CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 38
Sambil menyelesaikan tiga buah arca yang kini telah jadi dan ternyata benar lebih indah dari pada tiga buah arca yang dibuatnya dahulu dan telah dihancurkannya, selama beberapa malam Han Ki tidak tidur, tak dapat beristirahat karena hati dan pikirannya penuh dengan persoalan itu. Hari terakhir dari waktu tiga bulan yang diberikan kepada dua orang sumoi-nya hampir tiba dan dia masih belum mengambil keputusan dalam pemilihan itu! Bagaimana dia akan dapat menghadapi kedua orang sumoi-nya dan bagaimana dia akan mengambil keputusan?
Tiga bulan lewat sudah. Maya dan Siauw Bwee berhasil melatih Swat-im Sinkang sampai tingkat terakhir. Musim dingin telah berlalu, bukit-bukit es yang memenuhi laut di sekeliling Pulau Es sudah banyak berkurang. Salju yang menutupi Pulau Es sudah banyak mencair. Dua orang dara itu menuju ke pantai dan mencoba Swat-im Sinkang mereka dengan memukulkan kedua telapak tangan mereka ke arah air. Ternyata hawa pukulan mereka yang mengandung Swat-im Sinkang dahsyat itu telah membuat air membeku dan menjadi bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau dan gajah!
Akan tetapi kemajuan hebat dalam ilmu kepandaian mereka ini tidak membuat Maya dan Siauw Bwee gembira. Sebaliknya, mereka makin gelisah karena waktu yang ditentukan telah tiba, seolah-olah sudah mendekatlah keputusan hukuman bagi mereka! Makin gelisah lagi ketika mereka menanti sampai lewat tiga hari belum juga suheng mereka muncul!
”Eh, Sumoi. Mengapa Suheng belum juga keluar?” Maya berkata ketika mereka berjalan kembali ke depan Istana Pulau Es.
”Mungkin arcanya belum selesai, Suci,” kata Siauw Bwee yang selalu ingin membela Han Ki.
”Selesai atau belum, semestinya dia keluar untuk memenuhi janjinya. Dia tentu sudah tahu bahwa tiga bulan telah lewat, dan tahu pula betapa menyiksanya menanti seperti ini.”
Siauw Bwee menghela napas. Sebenarnya dia pun merasa gelisah sekali, akan tetapi dia tidak mau menyatakan di depan suci-nya karena dia hendak melindungi Han Ki. ”Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Suheng terlambat, Suci. Biasanya Suheng tidak pernah melanggar janji. Harap Suci suka bersabar satu dua hari lagi, tentu Suheng akan keluar menemui kita.”
”Tidak! Kita sudah menunggu tiga hari. Itu sudah cukup. Aku akan menyusulnya ke dalam!” Setelah berkata demikian, Maya lalu melangkah memasuki Istana Pulau Es untuk mencari Han Ki di dalam ruangan tempat mereka menyimpan arca dahulu, yaitu di ruangan bawah. Melihat ini, tentu saja Siauw Bwee tidak mau tinggal sendiri dan dia pun cepat melangkah maju dan bersama suci-nya memasuki istana.
Sunyi sekali di dalam istana itu. Dengan jantung berdebar kedua orang dara itu memasuki ruangan bawah yang pintunya tertutup. Maya mendorong daun pintu, bersama Siauw Bwee memasuki ruangan itu. Tiga buah arca batu pualam putih berdiri berjajar di situ, amat indah dan hidupnya menggambarkan mereka bertiga! Kam Han Ki berdiri di tengah-tengah, Siauw Bwee di sebelah kanan dan Maya di sebelah kiri. Dua orang dara itu terpesona, sejenak malah lupa kepada Han Ki, memandang tiga buah arca itu dengan mata terbelalak kagum.
Benar-benar suheng mereka tidak membohong. Tiga buah arca itu indah sekali, jauh lebih indah dari pada yang dibuatnya dahulu. Apa lagi arca-arca itu menggambarkan keadaan mereka sekarang, berbeda dengan yang dahulu, yang menggambarkan mereka yang masih remaja. Tiga buah arca ini menggambarkan seorang pria tampan dan gagah namun berwajah sayu, dan dua orang dara yang sudah dewasa, bagaikan dua kuntum bunga yang mengharapkan datangnya lebah, memanggil lebah dengan keharuman mereka. Akan tetapi, ke mana perginya Han Ki?
”Suheng, di mana engkau?” Tiba-tiba Siauw Bwee berseru memanggil ketika dia tidak dapat menemukan suheng-nya di dalam ruangan itu.
”Hemm, dia malah meninggalkan kita. Dia sudah pergi, Sumoi. Lihat!” Maya berkata, menuding ke bawah. Siauw Bwee menghampiri dan bersama suci-nya membaca tulisan yang dicorat-coret di atas lantai.
”Maya-sumoi dan Khu-sumoi, aku masih belum dapat mengambil keputusan. Masih mencari-cari. Maafkan aku terlambat beberapa hari.”
”Hemm, Suheng benar-benar mempermainkan kita!” Maya berkata marah, kakinya menginjak-injak ukiran huruf-huruf di lantai sehingga lantai kembali rata dan huruf-huruf itu lenyap.
Melihat ini Siauw Bwee merasa tidak senang. “Suci, engkau terlalu. Karena sayangnya kepada kita maka Suheng merasa tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia dikasihani, mengapa Suci malah marah-marah kepadanya? Lihat betapa indahnya dia membuat arca kita, tanda bahwa Suheng benar-benar mencinta kita dengan sepenuh hatinya. Kalau Suci juga mencintanya seperti aku mencintanya, tentu Suci tidak akan marah, sebaliknya menaruh kasihan kepadanya.”
Maya merasa betapa tepatnya ucapan sumoi-nya dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah besar. Ucapan sumoi-nya itu membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari sumoi-nya kepada Han Ki, dan tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang artinya!
Dengan perlahan dia membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam dan berubahlah sinar matanya sekarang. Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan iri hati datang lagi setelah Han Ki tidak ada di situ.
”Sumoi, ucapanmu itu seolah-olah engkau hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu sendiri! Seolah-olah aku marah dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang mencinta! Sumoi, marilah kita hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kita bukanlah wanita-wanita lemah yang memperebutkan pria yang dicintanya dengan linangan air mata! Kita adalah wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala persoalan dengan ujung pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah? Sudah jelas bahwa Suheng menjadi lemah sekali menghadapi persoalan ini, dia malah tidak berani menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri dari persoalan, meninggalkan kita berdua di sini!”
”Cukup! Jangan memaki Suheng! Dia bukan pengecut. Habis, engkau mau apa?” Siauw Bwee timbul kemarahannya mendengar kekasihnya disebut pengecut.
”Bagus, sikapmu makin menjadi-jadi, seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng! Andai kata kita berdua menjadi isterinya, tentu engkau pun akan bersikap seperti ini, hendak menguasai dia sendiri menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya. Jalan satu-satunya hanyalah bahwa seorang di antara kita harus lenyap!”
Siauw Bwee membelalakkan mata dan mengerutkan alisnya. “Maksudmu...?” tanyanya untuk mendapat ketegasan.
”Kita selesaikan persoalan ini di ujung pedang! Tentu saja kalau engkau berani, karena sebagai suci-mu tentu tingkatku lebih tinggi darimu. Kalau engkau tidak berani melawanku, engkau harus pergi dari sini dan jangan muncul lagi di sini karena berarti bahwa engkau takut dan sudah kalah dalam memperebutkan Kam-suheng!”
”Suci! Aku sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi... kita adalah saudara seperguruan, mana mungkin bertanding saling bunuh? Pula, memperebutkan cinta dengan taruhan nyawa antara saudara adalah perebutan hina...”
”Cerewet! Kalau takut, perlu apa banyak alasan? Siauw Bwee, ingat, aku adalah seorang bekas panglima perang. Tidak ada persoalan lain bagiku kecuali berjuang untuk memperebutkan kemenangan. Yang ada bagiku hanyalah kalah dan menang. Hidup adalah perjuangan, yang menang berhak mendapatkan, yang kalah harus tahu diri dan pergi. Kalau tidak kita putuskan sekarang sewaktu Suheng tidak berada di sini, urusan di antara kita tidak akan ada beresnya!”
Siauw Bwee marah sekali. “Aku tidak sudi! Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu yang gila! Aku akan menanti datangnya Suheng.” Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Siauw Bwee berkelebat ke luar dan lari dari situ.
Maya melotot memandang arca Han Ki, kemudian berbisik, “Engkaulah yang mendatangkan ini semua dan engkau akan melihat seorang di antara kami bergelimpang tanpa nyawa!” Kemudian dia membalikkan tubuh, meloncat dan lari mengejar Siauw Bwee.
Dengan hati marah yang ditahan-tahannya, Siauw Bwee lari ke arah pantai yang merupakan tebing curam di Pulau Es. Dia sengaja mendaki pantai yang tinggi ini karena dia hendak melihat dari tempat tinggi ini untuk mencari suheng-nya. Mungkin suheng-nya yang ia tahu sedang bingung itu naik perahu dan menjauhkan diri dari pulau untuk mencari ‘ilham’ menghadapi persoalan yang ruwet itu.
Hatinya marah sekali kepada Maya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi suci-nya itu. Kalau dahulu sebelum meninggalkan pulau saja, tingkat kepandaiannya belum tentu kalah oleh Maya, apa lagi sekarang, setelah dia mendapatkan banyak tambahan ilmu silat yang aneh-aneh. Dia telah mempelajari Ilmu Kaki Tangan Kilat dari kaum lengan buntung dan kaki buntung mempelajari pula Jit-goat-sinkang. Dalam Ilmu Swat-im Sinkang pun kekuatan mereka seimbang.
Dia sama sekali tidak takut, akan tetapi dia tidak mau melayani kehendak suci-nya yang gila itu. Kalau mereka bertanding mati-matian, tentu akan menimbulkan mala-petaka hebat. Andai kata dia kalah dan tewas, baginya sudah tidak ada urusan lagi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dia menang dan suci-nya terluka atau tewas, bagaimana dia akan dapat memandang wajah suheng-nya? Kalau menurutkan hati marah, tentu saja ingin dia melayani dan melawan suci-nya yang juga menjadi saingannya itu. Akan tetapi cinta kasihnya terhadap suheng-nya terlalu besar dan tidak ingin menyakiti hati Kam Han Ki dengan melukai, apa lagi membunuh Maya.
Setelah tiba di tepi pantai yang merupakan tebing tinggi dan amat curam itu, Siauw Bwee memandang ke sekeliling pulau penuh harapan. Namun dia kecewa karena keadaan di sekeliling pulau sunyi, sama sekali tidak tampak adanya perahu seperti yang diharapkannya. Ia lalu mengerahkan khikangnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring sekali memanggil suheng-nya, ”Kam-suheng...!”
Suaranya bergema sampai ke sekeliling pulau. Beberapa kali dia mengulang teriakannya yang melengking nyaring, menghadap ke berbagai penjuru. Namun tidak ada terdengar jawaban, kecuali gema suaranya sendiri.
”Suheng...!”
”Khu Siauw Bwee, bersiaplah engkau!”
Siauw Bwee terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya Maya telah berdiri di hadapannya dengan pedang terhunus! Wajah Maya kelihatan bengis dan penuh kebencian.
”Suci, mau apa engkau?”
”Cabut pedangmu dan mari kita selesaikan urusan antara kita, sekarang juga!”
”Aku tidak sudi!” jawab Siauw Bwee, menekan kemarahan hatinya.
”Kalau tidak mau, minggat engkau dari sini!”
”Aku pun tidak sudi pergi!” jawab pula Siauw Bwee.
”Hemmm, hanya ada pilihan bagimu. Cabut pedangmu menandingiku, atau pergi dari sini!”
”Kalau keduanya aku tidak sudi...?”
”Akan kubunuh engkau di sini, sekarang juga!” Maya mengelebatkan pedangnya.
”Suci, engkau telah gila! Engkau gila karena cemburu dan iri hati!”
”Tidak, aku hanya mengambil jalan yang tepat dan singkat untuk menghabiskan persoalan yang berlarut-larut. Suheng tidak dapat mengambil keputusan, engkau pun ragu-ragu dan lemah, maka akulah yang mengambil keputusan. Hayo, cabut pedangmu, kalau tidak, aku akan menyerangmu!”
”Hemmm, Maya-suci, agaknya engkau sudah merasa yakin benar akan dapat menang dariku! Aku tidak takut melawanmu, Suci. Akan tetapi aku tidak mau, karena melawanmu berarti akan membuat Suheng makin berduka. Aku terlalu cinta kepadanya, maka aku rela berkorban perasaan menghadapi penghinaanmu ini...”
”Cukup! Lihat senjata!” Maya menjadi makin marah ketika Siauw Bwee bicara tentang cintanya yang mendalam.
Pedang di tangan Maya berubah menjadi sinar terang ketika menusuk ke arah dada Siauw Bwee. Dara ini tidak bergerak, tidak mengelak, tidak menangkis hanya memandang dengan mata terbuka lebar, sedikit pun tidak gentar.
Pedang yang meluncur cepat itu tiba-tiba terhenti, tepat di depan dada Siauw Bwee, ujungnya sudah menyentuh baju dan tergetar. Maju beberapa senti meter lagi saja tentu ujung pedang akan menembus dada itu!
”Keparat! Aku bukan seorang pengecut yang suka membunuh orang yang tidak melawan!” Maya berseru marah sekali. “Khu Siauw Bwee, engkau adalah seorang pengecut hina kalau tidak berani melawanku, melainkan memancingku agar membunuhmu tanpa melawan sehingga kelak Suheng akan menyalahkan aku. Benar-benarkah engkau seorang pengecut hina?”
Siauw Bwee juga seorang gadis yang berhati keras. Kalau saja dia tidak ingat kepada Han Ki dan tidak ingin menyakiti hati orang yang dicintanya itu, tentu sudah tadi-tadi dia mencabut senjata dan melawan suci-nya yang gila oleh cemburu dan iri hati ini. Akan tetapi, sekarang mendengar dia disebut pengecut hina, dia tidak dapat menahan lagi kemarahannya.
”Singgg...!” Pedangnya telah tercabut.
”Bagus, mari kita selesaikan!” Maya berseru girang dan menerjang maju dengan pedangnya.
”Trang-cring-cringgg...!” Bunga api berpijar ketika dua batang pedang itu bertemu bertubi-tubi.
Pertandingan itu hebat bukan main. Mereka sama kuat, sama cekatan, dan ilmu pedang mereka pun dari satu sumber. Lenyaplah bayangan tubuh kedua orang dara perkasa itu, terbungkus sinar pedang mereka yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga sakti bermain di angkasa raya.
Pertandingan itu mati-matian, terutama sekali dari pihak Maya yang benar-benar ingin memenangkan pertandingan itu. Sebagai seorang yang biasa mempergunakan siasat perang yang keras dara ini sudah mengambil keputusan untuk membunuh sumoi-nya dalam pertandingan ini. Bukan sekali-kali karena bencinya terhadap sumoi-nya, melainkan dia tidak dapat melihat jalan lain. Dia harus menang dan kalau kelak Han Ki datang, pemuda itu tentu tidak dapat menyalahkan dia yang menang dalam pertandingan yang terbuka dan adil. Kalau Siauw Bwee tewas, dia mendapat banyak kesempatan untuk menghibur Han Ki, dan tentu cinta kasih pemuda yang terpecah itu akan dicurahkan seluruhnya kepadanya.
Akan tetapi, betapa kaget hati Maya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan Siauw Bwee jauh lebih hebat dari dahulu! Gerakan kaki dan tangan sumoi-nya itu amat cepat dan aneh membuat dia bingung dan kadang-kadang dia terdesak hebat. Maklumlah dia bahwa tentu selama dalam perantauan ini sumoi-nya telah mempelajari ilmu silat baru yang hebat! Dan dia hanya membuang waktu perantauannya dengan ilmu perang saja!
Maya amat cerdik. Diam-diam dia memperhatikan gerakan kaki dan tangan Siauw Bwee dan berusaha menyelami dan mempelajari intinya. Namun sedikit saja dia membagi perhatian, sinar pedangnya terkurung dan dia hanya mampu menjaga diri saja tanpa mampu menyerang sedikit pun juga! Maya makin terkejut, lalu berusaha mencari kemenangan dengan mengandalkan tenaga sinkang-nya.
Dahulu sebelum mereka meninggalkan pulau, tingkat sinkang-nya masih menang sedikit dibandingkan dengan sumoi-nya, dan tentu gemblengan-gemblengan dalam perang yang dialaminya membuat tenaganya lebih kuat lagi. Dengan pengerahan sinkang sekuatnya pedangnya menyambar dan menangkis, dengan maksud untuk membuat pedang sumoi-nya patah atau terpental.
”Cringgg...!” Nyaring sekali bunyi kedua pedang yang bertemu itu dan akibatnya, Siauw Bwee terhuyung mundur dua langkah sedangkan Maya mundur tiga langkah!
”Aihhh...!” Tak terasa lagi Maya berteriak kaget.
Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dalam tenaga sinkang pun dia kalah kuat sedikit! Hal ini tidaklah aneh karena Siauw Bwee mendapat tambahan tenaga baru dari ilmunya Jit-goat Sinkang. Kemarahan Maya menjadi-jadi. Dia menubruk ke depan dan melakukan terjangan membabi-buta, agaknya kini bermaksud mengadu nyawa! Lebih baik mati bersama dari pada dia kalah dan kehilangan Han Ki!
Kalau dia menghendaki, biar pun tidak terlalu mudah, agaknya Siauw Bwee akan dapat keluar dari pertandingan itu sebagai pemenang. Namun di balik kemarahannya dara ini masih sadar bahwa dia tidak boleh melukai suci-nya, apa lagi membunuh karena hal itu mungkin akan menjadi sebab putusnya hubungan cinta antara dia dan Kam Han Ki. Karena inilah maka dia selalu menjaga gerakannya agar jangan sampai mendatangkan serangan maut yang mengancam nyawa lawan dan kalau mungkin, dia hanya akan mengalahkan suci-nya tanpa mendatangkan luka berat.
Akan tetapi tentu saja hal ini sama sekali tidak mudah. Biar pun dia dapat menandingi suci-nya karena ilmu-ilmu gerakan kilat dan Jit-goat Sinkang, namun kelebihan tingkatnya tidak berapa banyak. Betapa pun lihainya Ilmu Gerak Kilat dan Jit-goat Sinkang, tidaklah melebihi kehebatan ilmu-ilmu yang diajarkan Han Ki kepada mereka. Keunggulan Siauw Bwee hanya karena ilmu-ilmu itu tidak dikenal oleh Maya, membuat suci-nya menjadi bingung dan terdesak.
Lebih dari dua ratus jurus mereka bertanding, namun belum ada yang kalah atau menang. Jangankan terluka, bahkan tiada yang berhasil merobek ujung baju lawan sekalipun! Maya makin penasaran dan Siauw Bwee makin gelisah. Mengapa suheng-nya belum juga datang? Sukar untuk menahan serbuan dahsyat suci-nya, dan kalau dia mengalah terus, lambat laun dia sendiri yang akan celaka, akan terluka dan mungkin terancam maut!
Karena itu mulailah Siauw Bwee mempercepat gerakannya dan membalas serangan suci-nya dengan jurus-jurus dahsyat. Biar pun dia menggunakan jurus-jurus yang ia pelajari dari suheng-nya, namun dia memasukkan inti gerakan dari gerak kilat kaki tangannya yang ia pelajari dalam perantauannya.
Menghadapi serangan dahsyat ini, Maya menjadi bingung dan terdesak mundur terus. Dia menggigit bibirnya melawan dan membalas dengan serangan maut, namun pembalasan serangannya hanya membuat pertahanannya kurang rapat dan dengan gerakan seperti kilat menyambar, ujung pedang lawannya sudah berhasil menembus pertahanan Maya dan melukai pundak kirinya!
”Aihhh...!” Maya terhuyung dan biar pun dia mempertahankan, tetap saja tubuhnya tergelincir dan roboh miring. Pundaknya terbabat ujung pedang dan mengeluarkan banyak darah, membuat lengan kirinya seperti lumpuh.
Siauw Bwee terbelalak, pucat mukanya. Dia melempar pedangnya dan menubruk Maya. “Suci...!”
Siauw Bwee menubruk untuk menyatakan penyesalan hatinya, untuk minta maaf. Akan tetapi tidak demikian perkiraan Maya. Karena matanya gelap dan kepalanya pening akibat luka dan kemarahan, dia mengira bahwa gerakan Siauw Bwee itu merupakan gerakan susulan, merupakan serangan maut untuk membunuhnya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dengan tubuh masih rebah miring dia membabat dengan pedang di tangannya.
”Singgg... crakkk! Aduuuhhh... Suci...!”
Tubuh Siauw Bwee tergelimpang, sebelah kakinya buntung terbabat pedang tadi, darah muncrat dari paha yang buntung.
”Suci... kau... kau...!” Siauw Bwee meloncat bangun, menyambar kakinya yang buntung.
Maya sudah bangkit duduk, mukanya pucat sekali. Baru sekarang dia mengerti betapa dia telah salah duga. Pedang sumoi-nya ternyata ditinggalkan, dan kini tahulah dia bahwa sumoi-nya tadi bukan menyerangnya, melainkan hendak memeluknya, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya. Dia memandang pedangnya dengan pandang mata jijik, kemudian memandang sumoi-nya yang memandangi kaki yang buntung.
”Sumoi... aduh... Sumoi... apa yang telah kulakukan...?”
”Suci...!”
”Sumoi...!”
Kedua orang itu berpandangan, kemudian Maya meloncat berdiri, menghampiri sumoi-nya dan memeluknya.
”Sumoi... kau ampunkan aku...” Maya memeluk dan menciumi sumoi-nya.
Akan tetapi melihat sumoi-nya diam tak bergerak, disangkanya sumoi-nya telah tewas, maka dia menjerit-jerit memanggil nama sumoi-nya, kemudian roboh terguling, pingsan sambil merangkul tubuh Siauw Bwee yang juga pingsan.
Mereka tidak tahu betapa pada saat mereka mulai bertanding tadi, badai datang mengamuk. Tidak tahu betapa Han Ki yang datang dengan perahu karena mendengar suara panggilan Siauw Bwee tadi sedang berjuang mati-matian di tengah badai. Han Ki mendayung perahunya dengan susah payah karena perahu itu diombang-ambingkan gelombang.
Dengan hati berdebar penuh kegelisahan memikirkan kedua orang sumoi-nya, Han Ki mengerahkan seluruh tenaganya, namun sampai lama sekali barulah akhirnya dia berhasil meminggirkan perahunya dan meloncat ke darat. Badai masih mengamuk hebat, seolah-olah laut menjadi marah menyaksikan pertandingan antara suci dan sumoi yang mati-matian tadi.
Han Ki sama sekali tidak pernah mengira bahwa kedua orang sumoi-nya itu bertanding mati-matian di atas tebing, di pantai yang curam. Dia berlari-lari ke istana, hendak memperingatkan kedua sumoi-nya bahwa badai dan taufan datang mengamuk. Akan tetapi istana itu sunyi, kedua orang sumoi-nya tidak berada di situ. Dia mulai memanggil-manggil dan berlari ke sana-sini. Akhirnya dia berlari naik ke atas tebing yang tinggi dan berdiri terbelalak, kedua kakinya seperti mendadak lumpuh tak dapat digerakkan. Bahkan dia hampir pingsan menyaksikan pemandangan di depan itu!
Apa yang dilihatnya memang telalu mengerikan bagi Han Ki. Kedua sumoi-nya saling berpelukan dan bertangisan di atas tanah yang masih bersalju, yang kini menjadi merah oleh darah! Dia tidak tahu bahwa kedua orang dara itu telah siuman kembali dan bertangisan tanpa kata-kata. Yang membuat Han Ki hampir pingsan adalah melihat sebelah kaki Siauw Bwee buntung dan pundak Maya terluka berat.
Tiba-tiba Siauw Bwee merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan Maya, kemudian tubuh gadis itu mencelat ke pinggir tebing, dikejar oleh Maya yang menjerit-jerit kini memanggil nama Siauw Bwee dan menangis. Namun terlambat, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke bawah tebing, ke arah air laut yang sedang bergemuruh dan dahsyat bergelora itu! Maya menjerit-jerit, kemudian gadis itu meloncat ke bawah mengejar sumoi-nya!
Han Ki terlampau kaget dan ngeri ketika dapat bergerak. Andai kata dia dapat bergerak pun akan terlambat, karena jaraknya terlampau jauh. Kini dia berloncatan dan berlarian seperti orang gila sambil berteriak-teriak,
”Siauw Bwee...! Maya...!”
Han Ki berdiri di pinggir tebing dan matanya terbelalak memandang gelombang ombak yang begitu dahsyat, seolah-olah timbul ribuan buah kepala naga siluman yang siap mencaplok apa saja yang berani turun! Betapa pun dia mencari dengan pandang mata terbelalak, tidak tampak adanya dua orang sumoi-nya yang tadi dilihatnya meloncat ke bawah.
”Maya-sumoi...! Khu-sumoi...!” kembali dia memekik, kemudian dia menuruni tebing yang curam sekali itu. Sungguh mengerikan sekali melihat Han Ki berlari dan berloncatan turun. Sekali terpeleset tubuhnya tentu akan hancur ke bawah dan ditelan gelombang ombak yang amat dahsyat, yang tak mungkin dapat dilawan oleh tenaga manusia.
Badai mengamuk terus, air laut naik tinggi. Suara angin taufan bercampur air laut yang memecah di batu karang mengerikan hati. Langit menjadi gelap, bukan hanya oleh awan hitam, akan tetapi juga oleh kabut yang dibentuk oleh air yang memecah di batu karang, kemudian turun hujan dari atas.
Pulau Es seakan-akan hendak kiamat. Diserang gelombang badai mengamuk, pulau itu tergetar dan terselimut kabut hitam. Suara bergemuruh dahsyat seperti bersorak-sorai setan-setan yang muncul dari permukaan laut, di antara suara bergemuruh dari badai mengamuk ini, terdengar selingan suara lengking panjang,
”Maya...! Siauw Bwee...!”
Dan tampaklah bayangan Han Ki berlari-larian di sepanjang pantai Pulau Es, tersaruk-saruk, kadang-kadang terjatuh dan dilemparkan ombak yang menyeret kakinya. Bangun lagi, berlari-lari, berteriak-teriak dengan pengerahan khikangnya, memanggil-manggil nama kedua orang sumoi-nya tanpa hasil. Kedua sumoi-nya tidak ada yang menjawab, tidak ada yang muncul, seolah-olah sudah ditelan ombak membadai. Mengerikan dan menyedihkan.
******************
Sebuah perahu kecil dipermainkan ombak bergelombang dalam badai itu. Diangkat tinggi-tinggi di puncak sebuah gelombang yang setinggi bukit, kemudian dihempaskan ke bawah dan seolah-olah ditelan oleh mulut naga air, akan tetapi muncul kembali, diayun-ayun dan diputar-putar. Tiang layar perahu itu sudah lenyap, juga dayung-dayungnya. Yang ada tinggal perahunya yang telanjang dan seorang penghuninya yang tubuhnya terikat pada perahu. Seorang laki-laki muda yang pingsan dan sama sekali tidak merasakan betapa perahunya dipermainkan ombak dahsyat. Untung baginya, karena kalau dia tahu akan hal ini, mungkin sekali jantungnya tidak akan kuat menahan kengerian seperti itu!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia merasa penasaran ketika melihat Maya dibawa pergi oleh Kam Han Ki. Dia melakukan pengejaran dan berlari secepat dan sekuatnya. Namun tentu saja dia tidak dapat menyusul larinya Kam Han Ki yang memiliki kesaktian tinggi itu. Betapa pun juga, Suma Hoat tidak pernah berhenti melakukan pengejaran dengan bertanya-tanya di jalan. Akhirnya dia mendapat keterangan dalam penyelidikannya bahwa Kam Han Ki dan Maya melanjutkan perjalanan dengan perahu di pantai utara yang didatanginya itu. Dia pun lalu melakukan pengejaran dengan perahu, walaupun jarak waktu antara dia dan mereka sudah hampir dua pekan!
Mulailah pemuda yang menjadi korban perasaan asmara yang menggelora itu melakukan pelayaran di daerah yang sama sekali asing baginya, melakukan pengejaran terhadap perahu lain yang tidak dia ketahui ke arah mana perginya. Suma Hoat mengambil keputusan untuk mencari Maya atau Khu Siauw Bwee sampai dapat. Dia tahu bahwa mereka tentulah berada di Pulau Es dan dia harus dapat menemukan Pulau Es. Seorang di antara dua orang dara yang dicintanya itu akan menjadi isterinya.
Perbuatan pemuda itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat nekad. Sudah sejak puluhan, bahkan ratusan tahun tokoh-tokoh kang-ouw mencari-cari Pulau Es tanpa hasil, sehingga akhirnya di dunia kang-ouw hanya terdapat semacam dongeng saja tentang Pulau Es, dianggapnya bahwa pulau itu tidak ada kenyataannya karena tidak pernah ada yang berhasil menemukannya. Kini dengan berperahu kecil, tanpa petunjuk hanya bermodal jejak Kam Han Ki yang dikabarkan melanjutkan perjalanan dengan perahu dari pantai itu, Suma Hoat mencari Pulau Es. Dia benar-benar sudah nekat karena cinta kasihnya. Dia seperti seorang yang sudah kelaparan dan kehausan, haus dan lapar akan cinta karena selama ini dia hanya tenggelam dalam nafsu birahi, tidak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya.
Lebih dari dua bulan dia hidup di atas perahunya yang mengarungi lautan bebas dan asing. Bekal makanannya sudah lama habis, dan untuk menyambung hidupnya Suma Hoat terpaksa makan ikan laut. Kadang-kadang dia mendapatkan binatang darat di atas pulau karena sudah banyak sekali pulau dia datangi dan yang ternyata bukan Pulau Es, melainkan pulau-pulau kosong yang tidak ada penghuninya.
Pada hari itu, secara tiba-tiba badai mengamuk dan menimbulkan gelombang-gelombang sebesar bukit. Betapa pun kuatnya kedua lengan Suma Hoat menggerakkan dayung, namun sama sekali tidak ada artinya bagi lautan yang sedang mengganas itu. Dia sama sekali tidak berdaya, seperti seorang bayi dan akhirnya, setelah dia hampir tidak kuat bertahan lagi, Suma Hoat mengikat tubuhnya, melibatkan tali dengan erat pada tubuhnya, diikat pada perahu kemudian menyerahkan nasibnya kepada lautan.
Tubuhnya yang terikat pada perahu itu dipermainkan gelombang, diangkat tinggi-tinggi dan dihempaskan kembali, disambut gelombang lain, dilontarkan ke atas dan dibanting lagi sampai dia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi dengan perahu dan tubuhnya. Dia tidak tahu berapa lama dia dijadikan permainan gelombang dan sampai berapa jauh dia dihanyutkan.
Sungguh mengerikan melihat keadaan Suma Hoat pada waktu badai mengamuk itu. Semua yang melihatnya tidak akan ada yang menduga bahwa dia akan dapat keluar dari keadaan itu dengan selamat. Akan tetapi apakah yang dapat menentukan mati hidupnya seorang manusia? Kalau belum tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat mematikannya, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan apa pun yang akan dapat menyelamatkannya.
Suma Hoat siuman dan membuka matanya. Kepalanya terasa pening sekali, tubuhnya nyeri semua dan tenaganya habis. Akan tetapi tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi, perahu di mana tubuhnya terikat itu tidak diombang-ambingkan gelombang lagi. Dia masih mendengar suara bergemuruh, suara badai mengamuk, akan tetapi perahunya tidak lagi di atas air, melainkan berada di atas daratan yang kokoh kuat! Dia selamat! Perahunya telah dilontarkan gelombang ke atas daratan, sedemikian jauhnya sehingga tidak ada lagi gelombang yang dapat mencapainya.
Suma Hoat mengerahkan tenaga untuk membikin putus ikatan pada tubuhnya. Namun dia mengeluh dan kaki tangannya terkulai lemas. Agaknya tidak ada sisa tenaga lagi di tubuhnya. Akan tetapi tali itu telah mengendur dan dengan perlahan dia meloloskan kedua lengan, kemudian membuka tali yang mengikat tubuhnya itu dari perahu.
Ketika dia bangun duduk, kepalanya berdenyut-denyut dan pandang matanya berkunang. Sejenak dia memejamkan mata, ketika dibukanya kembali dan denyut di kepalanya tidak begitu hebat, dia memandang ke sekelilingnya. Air laut masih mengganas, ombak membesar dan angin badai masih mengamuk. Akan tetapi dia telah terdampar ke sebuah pulau yang cukup besar.
Tiba-tiba dia mendengar suara mengerikan. Suara melengking dahsyat, suara memekik-mekik seperti bukan suara manusia. Pekik melengking seperti itu keluar dari dalam dada setan dan iblis, pikirnya ngeri. Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri makin naik ke tengah pulau agar jangan sampai tercapai gelombang. Tidak lupa dia menggunakan seluruh tenaga untuk menyeret perahu. Perahu itu telah menyelamatkan nyawanya, dan dia masih amat membutuhkannya untuk membawanya ke luar dari tempat ini.
Setelah melakukan hal itu, Suma Hoat lalu duduk bersila, mengatur napas untuk memulihkan tenaganya sambil menanti berhentinya badai yang masih mengamuk dahsyat. Untung bahwa dia telah memiliki ilmu Jit-goat Sinkang yang mengandung unsur Yang-kang dan Im-kang. Dengan Im-kang di tubuhnya, dia dapat melawan hawa dingin yang luar biasa itu, hawa dingin yang seolah-olah keluar dari dalam tanah pulau yang didudukinya. Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia telah berada di Pulau Es!
Angin taufan mulai mereda, agaknya sudah cukup puas mengamuk selama hampir sehari semalam. Suara bergemuruh pun berhenti. Suma Hoat yang telah beberapa lamanya duduk bersila mengatur napas merasa tenaganya sudah pulih sebagian, kepeningan kepalanya menghilang dan sungguh pun tubuhnya masih lelah dan rasa nyeri-nyeri di seluruh tubuh masih terasa, dia sudah merasa ringan dan membuka matanya. Laut di pantai tidak bergelombang hebat lagi, yang terdengar hanyalah suara berkerosoknya air yang menipis habis di pantai datar.
Suma Hoat teringat akan suara melengking yang didengarnya ketika badai masih mengamuk tadi. Dia bangkit perlahan, membalikkan tubuh memandang ke arah tengah pulau yang kini tidak diselubungi kabut. Ia tercengang dan memandang terbelalak ketika samar-samar tampak sebuah bangunan di tengah pulau! Hampir dia tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Digosoknya kedua matanya, lalu memandang lagi. Tidak berubah. Bangunan itu masih berdiri megah di tengah pulau. Seperti sebuah istana.
“Istana...? Istana... Pulau Es...?” Tak terasa lagi mulut Suma Hoat berbisik.
Teringatlah dia akan suara melengking nyaring ketika terjadi badai. Mungkin saja suara manusia kalau manusianya adalah penghuni Istana Pulau Es yang dia tahu amat sakti. Bangkit semangatnya setelah timbul dugaan dan harapan di hatinya bahwa dia berada di Pulau Es, secara kebetulan dan aneh sekali tiba di pulau yang memang dicari-carinya itu. Jantungnya berdebar keras. Apakah dia akan berjumpa dengan Khu Siauw Bwee dan Maya? Apakah kedua orang dara yang dicintanya itu berada di sana?
Ketika ia tiba di depan bangunan yang indah dan megah itu, Suma Hoat menjadi ragu-ragu untuk masuk. Sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, dua orang dara itu memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sekali, apa lagi suheng mereka, Kam Han Ki. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti. Tanpa seijin mereka, bagaimana dia berani memasuki istana itu?
Akan tetapi, setelah menghadapi ancaman-ancaman maut di lautan ketika dia mencari dua orang dara itu, ketika mencari Pulau Es, mengapa kini dia merasa takut akan ancaman kemarahan mereka? Tidak, dia tidak takut karena memang dia sudah nekat. Mereka adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, tidak mungkin akan mudah marah hanya karena dia masuk ke istana tanpa ijin saja.
Dengan pikiran ini, melangkahlah Suma Hoat memasuki istana yang kelihatan sunyi sekali itu. Ruangan depan istana itu kosong, demikian pula ruangan tengah. Selagi dia kebingungan karena merasa betapa istana itu menyeramkan dengan kesunyian dan keindahannya, tiba-tiba dia mendengar suara orang, seperti tengah bersenandung atau membaca doa!
Perlahan-lahan dia segera menuruni anak tangga dan berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup, menahan napas mendengarkan suara seorang laki-laki yang sedang membaca sajak! Suara itu gemetar, kadang-kadang terisak, kadang-kadang tersendat-sendat dan diseling tarikan napas panjang penuh kedukaan. Suma Hoat mendengarkan dengan jantung berdebar dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia tidak berani lancang memasuki ruangan di balik pintu yang tertutup itu. Dia hanya mendengarkan. Mula-mula suara itu bersajak, dengan nada suara penuh duka, penuh lontaran pertanyaan dengan suara merintih.
Aduhai sayang, mengapa kalian begitu kejam?
Mengapa kalian hancurkan cinta yang indah?
Haruskah cinta berdampingan dengan benci?
Di mana ada cemburu dan iri,
adakah cinta di sana?
Aduhai sayang,
sesungguhnya siapa yang kalian cinta?
Akukah... atau diri kalian sendiri?
Suma Hoat tertegun dan bingung. Suara siapakah itu? Dan apa maksudnya? Apa yang telah terjadi dengan pria itu sehingga mengeluarkan rintihan yang keluar dari hati yang rusak dan hancur? Dia mendengarkan lagi, karena kembali suara laki-laki itu bersajak, kini tidak terdengar penuh duka, bahkan berwibawa sungguh pun suara itu masih menggetar penuh perasaan.
Setiap orang manusia ingin dicinta
tanpa ada yang menyayang, hidup terasa hampa,
mengapa...?
Karena hatinya tidak mengenal cinta!
yang tidak mengenal cinta, haus akan cinta
dia yang hatinya penuh oleh cinta sejati
tidak lagi mengharapkan dirinya dicintai
cinta sejati hanya kenal memberi
tak tahu minta, tak ingin jasa!
Untuk kedua kalinya Suma Hoat tertegun. Kini bahkan mukanya terasa panas. Dia merasa seolah-olah dia disindir. Selama bertahun-tahun, semenjak dia ditinggal mati cinta pertamanya, Ciok Kim Hwa, dia haus akan cinta kasih wanita. Akan tetapi dia pun tidak pernah jatuh cinta. Yang ada terhadap wanita-wanita yang diperkosanya hanyalah nafsu semata. Adakah hatinya tidak mengenal cinta?
Setelah bertemu dengan Maya dan Siauw Bwee, adakah perasaannya terhadap dua orang dara itu pun bukan cinta maka dia mengharapkan balasan cinta kasih mereka? Aihh, dia tidak mengerti sama sekali, namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang terpesona dan tergetar oleh isi kata-kata orang yang belum dilihatnya itu. Kembali dia memperhatikan karena suara itu telah bicara kembali.
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Kini Suma Hoat terkejut. Orang itu menyebut-nyebut Siansu, bukankah yang dimaksudkan itu adalah Bu Kek Siansu, manusia dewa yang hanya didengarnya dalam dongeng? Dan bukankah murid manusia dewa itu adalah Maya, Khu Siauw Bwee dan suheng mereka, Kam Han Ki? Kalau begitu, tentu Kam Han Ki laki-laki di dalam itu! Selagi ia hendak melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu yang masih tertutup.
“Suma Hoat, bagaimana engkau bisa sampai di sini dan apa kehendakmu?”
Suma Hoat makin kaget. Cepat dia menjura di tempatnya sambil berkata, “Harap Kam-taihiap sudi memaafkan. Terus terang saja, semenjak perpisahan di medan perang dahulu, saya terus mengikuti, kemudian mencari-cari Taihiap yang saya duga tentu berada di Pulau Es. Namun, berbulan-bulan saya tersesat di lautan, dan hanya oleh kehendak Thian saja maka saya dapat tiba di tempat ini, terbawa hanyut oleh badai yang mengamuk.”
Daun pintu terbuka dan Suma Hoat hampir meloncat mundur saking heran dan kagetnya ketika ia melihat orang yang muncul dari pintu itu. Dia masih mengenal wajah Kam Han Ki, akan tetapi pakaian orang sakti ini koyak-koyak, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat sekali, matanya merah dan wajah yang tampan itu seolah-olah bertambah tua belasan tahun dalam waktu tiga bulan ini!
Akan tetapi, kekhawatiran hati Suma Hoat lenyap ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kam Han Ki. Sama sekali tidak ada tanda marah pada pandang mata itu, pandang mata yang masih amat tajam menembus jantung dan menjenguk isi hati, akan tetapi begitu lembut dan penuh pengertian!
“Suma Hoat, setelah kami bertiga melupakan segala urusan pribadi antara kami dengan orang tuamu, mengapa engkau masih mencari perkara dengan melakukan pengejaran kepada kami? Setelah kini engkau berhasil mendarat di Pulau Es, apakah kehendakmu?”
Suma Hoat menundukkan mukanya. Tidak dapat dia menahan pandang mata Han Ki yang begitu lembut namun begitu penuh kekuatan. Sambil bertunduk dia menjawab, “Maaf, Taihiap. Terus terang saja, setelah saya mengetahui bahwa Nona Maya dan Nona Khu Siauw Bwee, keduanya jatuh cinta kepadamu, saya menjadi penasaran dan melakukan pengejaran. Tak mungkin keduanya menjadi milikmu, tentu seorang di antara mereka akan kau tolak cintanya dan di situlah terbuka harapan dan kesempatanku, Taihiap. Tak perlu kupungkiri lagi, saya mencinta kedua orang nona itu dan hanya kalau seorang di antara mereka dapat menjadi isteri saya, hidup saya akan bahagia.”
Mulut di wajah yang pucat itu tersenyum, senyum yang mengandung iba hati. Alisnya berkerut, kemudian dia membukakan daun pintu lebar-lebar sambil berkata, “Dua orang nona yang kau cari sudah tidak ada lagi, Suma Hoat. Yang ada tinggal inilah!”
Suma Hoat memandang ke dalam dan matanya terbelalak. Di dalam ruangan itu terdapat tiga buah arca dari batu pualam yang amat indah sekali seolah-olah hidup dan bernapas! Arca tiga orang yang amat dikenalnya. Yang berdiri di tengah adalah arca Kam Han Ki sendiri, akan tetapi sayang arca itu bercacat, berlubang dua buah di dahinya, karena dalam kedukaannya tadi Han Ki telah menusuknya dengan dua buah jari tangannya. Di sebelah kanan, yaitu di pinggir kiri arca pria itu, adalah arca Khu Siauw Bwee, cantik jelita, bertubuh ramping dengan wajah yang lemah-lembut, akan tetapi anehnya, sebelah kaki arca itu buntung! Ada pun arca ke tiga yang berdiri di sebelah kanan arca Han Ki, adalah arca Maya yang amat cantik dan agung, tanpa cacat, tidak seperti dua arca yang bercacat itu.
“Apa... apa maksudmu? Di mana mereka? Apa yang telah terjadi?” Hati Suma Hoat merasa tidak enak sekali, apa lagi ketika dia teringat akan keadaan Kam Han Ki yang dihimpit kedukaan dan teringat akan isi sajak-sajak tadi.
Kam Han Ki menutupkan kembali daun pintu, kemudian memberi isyarat dengan tangan, mengajak Suma Hoat keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, dia mempersilakan Suma Hoat duduk di atas batu hitam yang biasa dipergunakan sebagai tempat berlatih sinkang. Setelah mereka berdua duduk, dengan suara yang halus dan tenang, seolah-olah semua kedukaan telah dihabiskan dalam sajak-sajak tadi, Kam Han Ki lalu menceritakan betapa dia pun dipermainkan badai dan terlambat mendarat sehingga tidak berhasil mencegah terjadinya peristiwa yang amat mengerikan, yaitu Maya dan Khu Siauw Bwee saling bertanding. Maya terluka pundaknya dan Khu Siauw Bwee buntung kakinya, kemudian kedua orang dara itu terjun ke bawah, ditelan gelombang yang amat buas di waktu badai mengamuk.
Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan sampai lama dia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Tanpa disadarinya, dari kedua pelupuk matanya mengalir air mata yang turun perlahan-lahan di sepanjang kedua pipinya.
“Jadi... me... mereka... telah tewas...?” Akhirnya dia dapat bertanya dengan suara terengah-engah.
Kam Han Ki menggeleng kepalanya. “Hanya Thian yang mengetahuinya. Akan tetapi dapat engkau bayangkan kalau orang yang terluka melempar diri ke dalam gelombang di waktu badai mengamuk...”
“Ahhhh...!” Suma Hoat mengeluh, tak dapat menahan air matanya dan diusapnya air mata dengan ujung lengan bajunya yang koyak-koyak pula karena keadaannya tidak lebih baik dari Kam Han Ki setelah dipermainkan gelombang seperti itu. Dia tahu bahwa sudah pasti sekali kedua orang itu tewas. Dia sendiri yang tidak terluka, yang berperahu, hampir mati dan hanya karena keajaiban saja dia masih hidup. Apa lagi dua orang dara yang terluka, lebih-lebih Khu Siauw Bwee yang sebelah kakinya buntung, yang melempar diri begitu saja di dalam gelombang!
”Mengapa...? Kam-taihiap, mengapa mereka saling bertanding? Mengapa pula mereka melempar diri ke dalam gelombang badai? Mengapa...?” dia berteriak penuh penasaran.
”Urusan mereka sendiri, Suma Hoat. Bukan urusanmu dan kiranya tidak ada gunanya kau ketahui juga,” Han Ki berkata tenang dan tegas.
“Urusan mereka adalah urusanku juga, Taihiap! Saya mencinta mereka, saya rela mengorbankan nyawa untuk mereka. Saya harus mengetahui mengapa mereka melakukan hal itu!”
Kam Han Ki memandang wajah orang muda itu sambil tersenyum penuh pengertian, lalu berkata, “Andai kata kau ketahui juga, apa gunanya? Yang terpenting adalah untuk mengetahui isi hatimu sendiri, mengetahui keadaan dirimu sendiri. Engkau berkali-kali menyatakan bahwa engkau cinta kepada mereka, namun sebenarnya bukan, Suma Hoat. Engkau tidak mencinta mereka, tidak mencinta siapa-siapa, kecuali mencinta dirimu sendiri. Itu pun cinta dangkal yang hanya ingin melihat diri sendiri, ingin mencapai kehendak hati mempersunting si cantik yang menggairahkan hatimu. Setelah kini dua orang dara yang kau rindukan tidak ada lagi, engkau menjadi kecewa dan berduka, yang sesungguhnya hanya sedikit selisih dan bedanya dengan keadaanmu apa bila engkau memperoleh seorang di antara mereka karena kulihat tidak ada cinta dalam hatimu, melainkan cinta birahi belaka!”
Suma Hoat menjadi merah mukanya, bukan merah karena marah melainkan karena malu. Betapa pun menyakitkan kata-kata itu baginya, namun harus diakui bahwa memang seperti itulah kenyataannya. Betapa pun juga dia merasa penasaran dan bertanya, “Tentu saja cinta mengandung sifat-sifat seperti itu, Taihiap. Kalau tidak ada nafsu ingin memperoleh, ingin bersatu dan berdamping menghilangkan rindu, bukanlah cinta namanya dan mana ada laki-laki dan wanita bersuami isteri?”
Kam Han Ki menghela napas panjang. Kedukaan hebat yang menimpanya ketika badai mengamuk mendatangkan perubahan luar biasa pada diri pendekar ini, seolah-olah mata batinnya terbuka dan dia melihat kenyataan-kenyataan yang selama ini tidak dilihatnya. Kenyataan hidup yang penuh duka dan sengsara, yang kesemuanya timbul karena kekurang-sadaran manusia, yang tercipta oleh keadaan hidup manusia sendiri.
Sebelumnya terjadi peristiwa mengerikan itu memang hatinya sudah mulai terbuka, maka dia pun ragu-ragu untuk memilih Siauw Bwee yang dicintanya karena maklum bahwa pemilihan itu hanya terdorong oleh rasa sayang diri dan akibatnya akan membikin kecewa dan sengsara hati Maya. Namun, sekarang, dia mulai mengerti hal-hal yang selama ini tidak disadarinya.
“Suma Hoat, cinta yang mengandung kehendak ingin menguasai, ingin memiliki bukanlah cinta yang sejati. Karena menguasai dan memiliki hanya akan menimbulkan pertentangan dan persoalan batin, hanya menimbulkan kecewa dan sengsara kalau yang dikuasai dan dimiliki itu kemudian bersikap tidak sesuai dengan yang kita kehendaki. Bukanlah cinta yang sejati kalau bersyarat, kalau menuntut balas jasa, menghadapkan hal-hal yang menyenangkan hatinya sendiri. Cinta macam itu akan menimbulkan cemburu, iri hati, dengki, amarah dan mungkin berbalik menjadi benci. Padahal di mana ada cemburu dan lain-lain itu, apa lagi benci, di sana tidak mungkin ada cinta!”
Suma Hoat melongo memandang Kam Han Ki, kemudian menggeleng kepala sampai lama dan berkata, “Aihhh... aku menjadi bingung, Taihiap... aku harus merenungkan kata-katamu itu... aku tidak mengerti...”
“Apa bila rasa sayang diri masih melekat kuat di dalam pikiran, memang sukarlah untuk menjadi waspada, sukar untuk memandang dan melihat sesuatu sebagaimana adanya, karena kecenderungan pandangan dikuasai oleh pertimbangan demi kesenangan dan kepentingan diri pribadi. Sudahlah, Suma Hoat. Karena engkau sudah berada di sini, engkau boleh tinggal di pulau ini selama yang engkau suka, hanya pesanku, harap engkau jangan merusak dan mengganggu istana dan isinya.”
“Terima kasih atas kebaikan Taihiap. Memang saya merasa senang sekali tinggal di sini. Setelah kedua orang nona itu lenyap, hidup tiada artinya bagi saya. Kembali ke dunia ramai hanya akan berarti mengumbar hawa nafsu birahi belaka. Saya akan bertapa di sini menjauhkan diri dari dunia ramai, hidup sederhana dan melupakan wanita!”
Kam Han Ki sudah membalikkan tubuhnya hendak memasuki istana, akan tetapi mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan menoleh, lalu berkata, “Apa artinya hidup di tempat sunyi kalau pikiran dan hatinya masih gaduh dan ribut? Apa artinya hidup sederhana ditandai pakaian, tempat tinggal dan makan sederhana kalau semua itu hanya untuk menutupi hati yang membayangkan kemuliaan hidup? Apa artinya menjauhkan diri dari wanita dan mencoba melupakannya kalau pikirannya masih penuh dengan bayangan wanita? Yang perlu sekali dibebaskan adalah batinnya, bukan lahirnya, Suma Hoat.”
Setelah berkata demikian, Han Ki memasuki istana, meninggalkan Suma Hoat yang makin bengong terlongong mendengarkan semua ucapan itu. Ia merasa seperti disiram air dingin karena tiba-tiba dia melihat kebenaran nyata terkandung dalam semua ucapan Kam Han Ki, kebenaran nyata menelanjangi keadaan hatinya seperti apa adanya sehingga tak mungkin dapat dibantah lagi.
Selama beberapa hari, Suma Hoat memulihkan kesehatannya akibat siksaan badai, kemudian dia menjelajahi Pulau Es, bukan saja untuk memeriksa keadaan pulau yang menjadi bahan dongeng ini, juga dengan harapan kalau dia akan bertemu dengan Maya atau Siauw Bwee. Siapa tahu, dua orang dara itu, atau seorang di antaranya masih hidup. Namun ada juga kengerian hatinya membayangkan mayat mereka yang akan ditemukannya! Setelah mengelilingi pulau selama beberapa hari dan tidak melihat bayangan dua orang dara itu, dia lalu kembali ke tengah pulau dengan niat menemui Kam Han Ki.
Namun istana Pulau Es itu telah kosong! Kam Han Ki tidak ada lagi di situ. Ketika Suma Hoat memasuki ruangan yang indah di mana beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan Kam Han Ki, dia melihat tiga buah arca itu masih berjajar di situ. Dia mencari dalam kamar-kamar lain, dan di kamar yang terbesar dia melihat betapa dinding penuh dengan tulisan-tulisan indah berupa sajak-sajak yang mengandung kedukaan di samping sajak-sajak mengenai hidup. Sajak yang terpanjang dan ditulis paling indah membuat dia teringat akan suara Kam Han Ki ketika membaca sajak itu dengan suara penuh duka, sajak yang dimulai dengan pernyataan keinginan hati pria yang sedang dibuai asmara:
Betapa ingin mata memandang mesra
Betapa ingin jari membelai sayang
Betapa ingin hati menjeritkan cinta...
Suma Hoat menghentikan bacaannya karena kata-kata itu menusuk jantungnya, mengingatkan dia akan kemesraan cinta dan kelembutan wanita. Dia memeriksa seluruh keadaan istana itu dan mengagumi bangunan yang amat indah dan halus. Namun hatinya berduka kalau teringat akan nasib buruk yang menimpa penghuni-penghuninya. Tiga orang manusia sakti, kakak beradik seperguruan, menjadi cerai-berai oleh cinta yang gagal! Dan dia sendiri, orang ke empat yang kini secara kebetulan berada di Pulau Es dan memperoleh ijin untuk menghuni Istana Pulau Es, dia pun seorang manusia gagal yang rusak oleh cinta gagal pula!
Dengan penekanan mati-matian terhadap segala keinginan hati mudanya, Suma Hoat hidup sendiri di Pulau Es, memperdalam ilmu-ilmunya dan terutama sekali melatih Jit-goat Sinkang. Pulau Es merupakan tempat yang amat baik untuk melatih sinkang, karena hawa udara di situ amat dinginnya. Untuk melawan hawa dingin ini saja sudah merupakan latihan yang baik dan memperkuat daya tahan tubuhnya. Bertahun-tahun lewat tanpa dia pedulikan dan tanpa disadarinya. Pemuda tampan putera bangsawan yang sudah biasa hidup mewah itu hidup menyendiri di Pulau Es selama empat lima tahun lamanya.....
******************
Kurang lebih lima tahun kemudian, pada suatu pagi, kembali ada badai mengamuk dan air laut naik sampai beberapa meter tingginya. Pulau Es tergetar dan terguncang hebat, angin bertiup kencang membuat Suma Hoat yang gagah perkasa itu merasa ngeri juga dan terpaksa dia menyelamatkan dan menyembunyikan diri ke dalam istana! Karena angin benar-benar amat kuat, Suma Hoat bersembunyi di ruangan bawah istana itu.
Sampai sehari semalam badai mengamuk. Suma Hoat tidak dapat keluar dari ruangan bawah karena tiupan angin menyerbu masuk ke dalam istana. Perutnya terasa lapar dan ketika tiba-tiba muncul seekor ular dari sebuah lubang di lantai di ruangan bawah tanah itu, Suma Hoat menjadi girang. Ular itu cukup besar, sebesar lengan tangannya, berkulit merah dan kelihatan bersih sekali.
Sekali melompat, Suma Hoat berhasil menangkap leher ular dan mencengkeram leher itu sampai putus! Ular mati seketika, akan tetapi daging dan darahnya masih segar ketika Suma Hoat yang kelaparan mengulitinya lalu memanggang daging ular di dalam ruangan itu. Bau yang sedap gurih membuat perutnya makin kelaparan. Dengan lahapnya dimakanlah daging ular itu sampai habis! Setelah perutnya kenyang, Suma Hoat merebahkan diri dan tertidur pulas.
Dia mimpi tidur di atas sebuah ranjang lebar dan indah dalam sebuah kamar mewah dan berbau harum, ditemani oleh Coa Kim Hwa, Khu Siauw Bwee, dan Maya! Tiga orang dara cantik jelita itu semua melayaninya dengan manja dan penuh kasih sayang. Bukan main hebatnya kemesraan yang dinikmatinya itu, yang memeluk dan menciuminya secara bergilir dan sama sekali tidak bersaing. Gairah ketiga orang dara itu mendatangkan rasa panas sekali pada tubuhnya, membuat kepalanya berputar rasanya dan matanya berkunang. Payah juga melayani tiga orang dara yang begitu besar dan panas gairahnya. Rasa panas makin menghebat sehingga dia terpaksa mendorong mereka ke samping dan terguling jatuh dari atas ranjang lalu... sadar dari mimpi!
“Aughhhh...!” Suma Hoat menggosok dahinya, kaget merasa betapa tangannya menjadi basah oleh keringat yang memenuhi muka dan leher, bahkan ketika dia melihatnya, seluruh tubuhnya berpeluh. Tubuhnya panas bukan main. Agaknya badai telah mereda, tidak terdengar lagi hembusan angin ribut. Karena tidak dapat menahan panasnya, Suma Hoat meloncat bangun, terhuyung-huyung dan lari ke luar.
Biar pun dia telah berada di luar istana yang hawanya dingin, tetap saja dia merasa panas. Bukan hanya panas yang menyiksa, melainkan terutama sekali nafsu birahi yang mengguncangnya dan menguasainya. Nafsu birahi yang membuat dia membayangkan semua wanita yang pernah dihubunginya, pernah diperkosanya, benar-benar membuat dia makin tersiksa.
“Auhhh, setan keparat! Iblis laknat! Ini tentu gara-gara daging ular merah! Celaka sekali, daging itu mengandung racun perangsang birahi!”
Suma Hoat cepat duduk bersila dan mengerahkan sinkang-nya untuk melawan rangsangan nafsu birahi yang tidak sewajarnya itu. Namun racun ini benar-benar hebat sekali. Terlalu banyak dia makan daging ular sehingga amat banyak pula racun yang menguasai dirinya. Suma Hoat benar-benar tersiksa selama tiga hari tiga malam.
Andai kata dia tidak berada di Pulau Es, di tempat yang sunyi dan kosong tidak ada manusia lainnya, tentu dia sudah tidak dapat menahan, dan tentu dia sudah melakukan kembali perbuatan yang menjadi penyakit lamanya, yaitu melampiaskan nafsunya pada wanita yang mana saja, baik secara halus dengan bujukan mau pun secara kasar dengan perkosaan! Dia menyumpah-nyumpah, bukan hanya memaki ular merah, akan tetapi juga memaki-maki diri sendiri.
“Manusia lemah! Manusia terkutuk! Bertahun-tahun bertapa, sekarang menghadapi racun yang merangsang nafsu birahi saja tidak kuat bertahan! Aduhhh, benar ucapan Kam Han Ki!” Sekarang dia melihat kenyataan ucapan itu, bukan dengan teori, bukan dengan pemikiran, melainkan kenyataan yang dialaminya sendiri!
Menjauhkan diri dari wanita bukan berarti dia akan dapat melenyapkan nafsu birahi karena datangnya segala macam nafsu bukanlah dari luar, melainkan dari dalam diri pribadi, dari pikiran sendiri! Andai kata dia berada di tengah-tengah antara seribu wanita cantik, kalau pikirannya menerima kenyataan ini tanpa disertai angan-angan pikiran membayangkan pengejaran kenikmatan demi si aku, tentu tidak akan terjadi sesuatu, tidak akan timbul rangsangan yang tidak sehat. Sebaliknya, biar pun berada di pulau kosong seperti keadaannya sekarang, kalau hatinya masih mengenangkan dan membayangkan wanita, tentu saja nafsu birahi akan timbul, baik dengan racun ular merah mau pun tidak!
Sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan diri agar dia tidak menjadi gila karena rangsangan nafsu, dalam keadaan tersiksa dan menyendiri itu timbul pula perasaan jemu di hati Suma Hoat dengan pulau kosong ini. Memang patut dikasihani Suma Hoat. Demikianlah halnya manusia yang belum terbuka mata batinnya.
Batinnya selalu diamuk pertentangan-pertentangan dalam diri sendiri. Nafsu yang sekarang dikekang dan ditentang tidak akan hilang, sesaat kelihatannya dapat ditundukkan akan tetapi di lain saat akan bangkit dan tak dapat dikendalikan lagi. Keinginan untuk melenyapkan nafsu adalah nafsu itu sendiri dalam kedok lain. Bagi seorang yang ingin belajar dan mengerti, seyogianya mempelajari dan mengenal nafsu sendiri apa bila nafsu datang, menghadapinya dengan wajar, meneliti dan waspada akan keadaan diri pribadi, lahir batin.
Hanya orang yang belajar mengenal diri pribadi setiap saat, meneliti penuh kewaspadaan dan kesadaran akan sikap diri pribadi terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya, lahir mau pun batin, dia itulah yang akan terbebas dari nafsu, karena dia akan terbebas pula dari keinginan akan sesuatu demi diri pribadi. Mengenal diri pribadi, melihat dengan penuh kewajaran bahwa dirinya penuh dengan iri, dengki, murka, benci, munafik, birahi, dan sebagainya berarti dimulainya pembebasan akan semua itu.
Sayang sekali Suma Hoat tidak mau mencari ke dalam, seperti sebagian besar manusia di dunia ini. Setiap persoalan yang dihadapinya, manusia selalu menujukan pandang matanya ke luar, mencari sasaran, mencari kambing hitam yang akan dipergunakan sebagai penyebab persoalan. Andai kata manusia suka menujukan pandang matanya ke dalam, mempelajari diri sendiri, sikap diri sendiri menghadapi persoalan itu, maka setiap persoalan akan dapat diatasi tanpa menciptakan persoalan baru...
Tiga bulan lewat sudah. Maya dan Siauw Bwee berhasil melatih Swat-im Sinkang sampai tingkat terakhir. Musim dingin telah berlalu, bukit-bukit es yang memenuhi laut di sekeliling Pulau Es sudah banyak berkurang. Salju yang menutupi Pulau Es sudah banyak mencair. Dua orang dara itu menuju ke pantai dan mencoba Swat-im Sinkang mereka dengan memukulkan kedua telapak tangan mereka ke arah air. Ternyata hawa pukulan mereka yang mengandung Swat-im Sinkang dahsyat itu telah membuat air membeku dan menjadi bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau dan gajah!
Akan tetapi kemajuan hebat dalam ilmu kepandaian mereka ini tidak membuat Maya dan Siauw Bwee gembira. Sebaliknya, mereka makin gelisah karena waktu yang ditentukan telah tiba, seolah-olah sudah mendekatlah keputusan hukuman bagi mereka! Makin gelisah lagi ketika mereka menanti sampai lewat tiga hari belum juga suheng mereka muncul!
”Eh, Sumoi. Mengapa Suheng belum juga keluar?” Maya berkata ketika mereka berjalan kembali ke depan Istana Pulau Es.
”Mungkin arcanya belum selesai, Suci,” kata Siauw Bwee yang selalu ingin membela Han Ki.
”Selesai atau belum, semestinya dia keluar untuk memenuhi janjinya. Dia tentu sudah tahu bahwa tiga bulan telah lewat, dan tahu pula betapa menyiksanya menanti seperti ini.”
Siauw Bwee menghela napas. Sebenarnya dia pun merasa gelisah sekali, akan tetapi dia tidak mau menyatakan di depan suci-nya karena dia hendak melindungi Han Ki. ”Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Suheng terlambat, Suci. Biasanya Suheng tidak pernah melanggar janji. Harap Suci suka bersabar satu dua hari lagi, tentu Suheng akan keluar menemui kita.”
”Tidak! Kita sudah menunggu tiga hari. Itu sudah cukup. Aku akan menyusulnya ke dalam!” Setelah berkata demikian, Maya lalu melangkah memasuki Istana Pulau Es untuk mencari Han Ki di dalam ruangan tempat mereka menyimpan arca dahulu, yaitu di ruangan bawah. Melihat ini, tentu saja Siauw Bwee tidak mau tinggal sendiri dan dia pun cepat melangkah maju dan bersama suci-nya memasuki istana.
Sunyi sekali di dalam istana itu. Dengan jantung berdebar kedua orang dara itu memasuki ruangan bawah yang pintunya tertutup. Maya mendorong daun pintu, bersama Siauw Bwee memasuki ruangan itu. Tiga buah arca batu pualam putih berdiri berjajar di situ, amat indah dan hidupnya menggambarkan mereka bertiga! Kam Han Ki berdiri di tengah-tengah, Siauw Bwee di sebelah kanan dan Maya di sebelah kiri. Dua orang dara itu terpesona, sejenak malah lupa kepada Han Ki, memandang tiga buah arca itu dengan mata terbelalak kagum.
Benar-benar suheng mereka tidak membohong. Tiga buah arca itu indah sekali, jauh lebih indah dari pada yang dibuatnya dahulu. Apa lagi arca-arca itu menggambarkan keadaan mereka sekarang, berbeda dengan yang dahulu, yang menggambarkan mereka yang masih remaja. Tiga buah arca ini menggambarkan seorang pria tampan dan gagah namun berwajah sayu, dan dua orang dara yang sudah dewasa, bagaikan dua kuntum bunga yang mengharapkan datangnya lebah, memanggil lebah dengan keharuman mereka. Akan tetapi, ke mana perginya Han Ki?
”Suheng, di mana engkau?” Tiba-tiba Siauw Bwee berseru memanggil ketika dia tidak dapat menemukan suheng-nya di dalam ruangan itu.
”Hemm, dia malah meninggalkan kita. Dia sudah pergi, Sumoi. Lihat!” Maya berkata, menuding ke bawah. Siauw Bwee menghampiri dan bersama suci-nya membaca tulisan yang dicorat-coret di atas lantai.
”Maya-sumoi dan Khu-sumoi, aku masih belum dapat mengambil keputusan. Masih mencari-cari. Maafkan aku terlambat beberapa hari.”
”Hemm, Suheng benar-benar mempermainkan kita!” Maya berkata marah, kakinya menginjak-injak ukiran huruf-huruf di lantai sehingga lantai kembali rata dan huruf-huruf itu lenyap.
Melihat ini Siauw Bwee merasa tidak senang. “Suci, engkau terlalu. Karena sayangnya kepada kita maka Suheng merasa tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia dikasihani, mengapa Suci malah marah-marah kepadanya? Lihat betapa indahnya dia membuat arca kita, tanda bahwa Suheng benar-benar mencinta kita dengan sepenuh hatinya. Kalau Suci juga mencintanya seperti aku mencintanya, tentu Suci tidak akan marah, sebaliknya menaruh kasihan kepadanya.”
Maya merasa betapa tepatnya ucapan sumoi-nya dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah besar. Ucapan sumoi-nya itu membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari sumoi-nya kepada Han Ki, dan tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang artinya!
Dengan perlahan dia membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam dan berubahlah sinar matanya sekarang. Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan iri hati datang lagi setelah Han Ki tidak ada di situ.
”Sumoi, ucapanmu itu seolah-olah engkau hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu sendiri! Seolah-olah aku marah dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang mencinta! Sumoi, marilah kita hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kita bukanlah wanita-wanita lemah yang memperebutkan pria yang dicintanya dengan linangan air mata! Kita adalah wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala persoalan dengan ujung pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah? Sudah jelas bahwa Suheng menjadi lemah sekali menghadapi persoalan ini, dia malah tidak berani menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri dari persoalan, meninggalkan kita berdua di sini!”
”Cukup! Jangan memaki Suheng! Dia bukan pengecut. Habis, engkau mau apa?” Siauw Bwee timbul kemarahannya mendengar kekasihnya disebut pengecut.
”Bagus, sikapmu makin menjadi-jadi, seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng! Andai kata kita berdua menjadi isterinya, tentu engkau pun akan bersikap seperti ini, hendak menguasai dia sendiri menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya. Jalan satu-satunya hanyalah bahwa seorang di antara kita harus lenyap!”
Siauw Bwee membelalakkan mata dan mengerutkan alisnya. “Maksudmu...?” tanyanya untuk mendapat ketegasan.
”Kita selesaikan persoalan ini di ujung pedang! Tentu saja kalau engkau berani, karena sebagai suci-mu tentu tingkatku lebih tinggi darimu. Kalau engkau tidak berani melawanku, engkau harus pergi dari sini dan jangan muncul lagi di sini karena berarti bahwa engkau takut dan sudah kalah dalam memperebutkan Kam-suheng!”
”Suci! Aku sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi... kita adalah saudara seperguruan, mana mungkin bertanding saling bunuh? Pula, memperebutkan cinta dengan taruhan nyawa antara saudara adalah perebutan hina...”
”Cerewet! Kalau takut, perlu apa banyak alasan? Siauw Bwee, ingat, aku adalah seorang bekas panglima perang. Tidak ada persoalan lain bagiku kecuali berjuang untuk memperebutkan kemenangan. Yang ada bagiku hanyalah kalah dan menang. Hidup adalah perjuangan, yang menang berhak mendapatkan, yang kalah harus tahu diri dan pergi. Kalau tidak kita putuskan sekarang sewaktu Suheng tidak berada di sini, urusan di antara kita tidak akan ada beresnya!”
Siauw Bwee marah sekali. “Aku tidak sudi! Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu yang gila! Aku akan menanti datangnya Suheng.” Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Siauw Bwee berkelebat ke luar dan lari dari situ.
Maya melotot memandang arca Han Ki, kemudian berbisik, “Engkaulah yang mendatangkan ini semua dan engkau akan melihat seorang di antara kami bergelimpang tanpa nyawa!” Kemudian dia membalikkan tubuh, meloncat dan lari mengejar Siauw Bwee.
Dengan hati marah yang ditahan-tahannya, Siauw Bwee lari ke arah pantai yang merupakan tebing curam di Pulau Es. Dia sengaja mendaki pantai yang tinggi ini karena dia hendak melihat dari tempat tinggi ini untuk mencari suheng-nya. Mungkin suheng-nya yang ia tahu sedang bingung itu naik perahu dan menjauhkan diri dari pulau untuk mencari ‘ilham’ menghadapi persoalan yang ruwet itu.
Hatinya marah sekali kepada Maya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi suci-nya itu. Kalau dahulu sebelum meninggalkan pulau saja, tingkat kepandaiannya belum tentu kalah oleh Maya, apa lagi sekarang, setelah dia mendapatkan banyak tambahan ilmu silat yang aneh-aneh. Dia telah mempelajari Ilmu Kaki Tangan Kilat dari kaum lengan buntung dan kaki buntung mempelajari pula Jit-goat-sinkang. Dalam Ilmu Swat-im Sinkang pun kekuatan mereka seimbang.
Dia sama sekali tidak takut, akan tetapi dia tidak mau melayani kehendak suci-nya yang gila itu. Kalau mereka bertanding mati-matian, tentu akan menimbulkan mala-petaka hebat. Andai kata dia kalah dan tewas, baginya sudah tidak ada urusan lagi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dia menang dan suci-nya terluka atau tewas, bagaimana dia akan dapat memandang wajah suheng-nya? Kalau menurutkan hati marah, tentu saja ingin dia melayani dan melawan suci-nya yang juga menjadi saingannya itu. Akan tetapi cinta kasihnya terhadap suheng-nya terlalu besar dan tidak ingin menyakiti hati Kam Han Ki dengan melukai, apa lagi membunuh Maya.
Setelah tiba di tepi pantai yang merupakan tebing tinggi dan amat curam itu, Siauw Bwee memandang ke sekeliling pulau penuh harapan. Namun dia kecewa karena keadaan di sekeliling pulau sunyi, sama sekali tidak tampak adanya perahu seperti yang diharapkannya. Ia lalu mengerahkan khikangnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring sekali memanggil suheng-nya, ”Kam-suheng...!”
Suaranya bergema sampai ke sekeliling pulau. Beberapa kali dia mengulang teriakannya yang melengking nyaring, menghadap ke berbagai penjuru. Namun tidak ada terdengar jawaban, kecuali gema suaranya sendiri.
”Suheng...!”
”Khu Siauw Bwee, bersiaplah engkau!”
Siauw Bwee terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya Maya telah berdiri di hadapannya dengan pedang terhunus! Wajah Maya kelihatan bengis dan penuh kebencian.
”Suci, mau apa engkau?”
”Cabut pedangmu dan mari kita selesaikan urusan antara kita, sekarang juga!”
”Aku tidak sudi!” jawab Siauw Bwee, menekan kemarahan hatinya.
”Kalau tidak mau, minggat engkau dari sini!”
”Aku pun tidak sudi pergi!” jawab pula Siauw Bwee.
”Hemmm, hanya ada pilihan bagimu. Cabut pedangmu menandingiku, atau pergi dari sini!”
”Kalau keduanya aku tidak sudi...?”
”Akan kubunuh engkau di sini, sekarang juga!” Maya mengelebatkan pedangnya.
”Suci, engkau telah gila! Engkau gila karena cemburu dan iri hati!”
”Tidak, aku hanya mengambil jalan yang tepat dan singkat untuk menghabiskan persoalan yang berlarut-larut. Suheng tidak dapat mengambil keputusan, engkau pun ragu-ragu dan lemah, maka akulah yang mengambil keputusan. Hayo, cabut pedangmu, kalau tidak, aku akan menyerangmu!”
”Hemmm, Maya-suci, agaknya engkau sudah merasa yakin benar akan dapat menang dariku! Aku tidak takut melawanmu, Suci. Akan tetapi aku tidak mau, karena melawanmu berarti akan membuat Suheng makin berduka. Aku terlalu cinta kepadanya, maka aku rela berkorban perasaan menghadapi penghinaanmu ini...”
”Cukup! Lihat senjata!” Maya menjadi makin marah ketika Siauw Bwee bicara tentang cintanya yang mendalam.
Pedang di tangan Maya berubah menjadi sinar terang ketika menusuk ke arah dada Siauw Bwee. Dara ini tidak bergerak, tidak mengelak, tidak menangkis hanya memandang dengan mata terbuka lebar, sedikit pun tidak gentar.
Pedang yang meluncur cepat itu tiba-tiba terhenti, tepat di depan dada Siauw Bwee, ujungnya sudah menyentuh baju dan tergetar. Maju beberapa senti meter lagi saja tentu ujung pedang akan menembus dada itu!
”Keparat! Aku bukan seorang pengecut yang suka membunuh orang yang tidak melawan!” Maya berseru marah sekali. “Khu Siauw Bwee, engkau adalah seorang pengecut hina kalau tidak berani melawanku, melainkan memancingku agar membunuhmu tanpa melawan sehingga kelak Suheng akan menyalahkan aku. Benar-benarkah engkau seorang pengecut hina?”
Siauw Bwee juga seorang gadis yang berhati keras. Kalau saja dia tidak ingat kepada Han Ki dan tidak ingin menyakiti hati orang yang dicintanya itu, tentu sudah tadi-tadi dia mencabut senjata dan melawan suci-nya yang gila oleh cemburu dan iri hati ini. Akan tetapi, sekarang mendengar dia disebut pengecut hina, dia tidak dapat menahan lagi kemarahannya.
”Singgg...!” Pedangnya telah tercabut.
”Bagus, mari kita selesaikan!” Maya berseru girang dan menerjang maju dengan pedangnya.
”Trang-cring-cringgg...!” Bunga api berpijar ketika dua batang pedang itu bertemu bertubi-tubi.
Pertandingan itu hebat bukan main. Mereka sama kuat, sama cekatan, dan ilmu pedang mereka pun dari satu sumber. Lenyaplah bayangan tubuh kedua orang dara perkasa itu, terbungkus sinar pedang mereka yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga sakti bermain di angkasa raya.
Pertandingan itu mati-matian, terutama sekali dari pihak Maya yang benar-benar ingin memenangkan pertandingan itu. Sebagai seorang yang biasa mempergunakan siasat perang yang keras dara ini sudah mengambil keputusan untuk membunuh sumoi-nya dalam pertandingan ini. Bukan sekali-kali karena bencinya terhadap sumoi-nya, melainkan dia tidak dapat melihat jalan lain. Dia harus menang dan kalau kelak Han Ki datang, pemuda itu tentu tidak dapat menyalahkan dia yang menang dalam pertandingan yang terbuka dan adil. Kalau Siauw Bwee tewas, dia mendapat banyak kesempatan untuk menghibur Han Ki, dan tentu cinta kasih pemuda yang terpecah itu akan dicurahkan seluruhnya kepadanya.
Akan tetapi, betapa kaget hati Maya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan Siauw Bwee jauh lebih hebat dari dahulu! Gerakan kaki dan tangan sumoi-nya itu amat cepat dan aneh membuat dia bingung dan kadang-kadang dia terdesak hebat. Maklumlah dia bahwa tentu selama dalam perantauan ini sumoi-nya telah mempelajari ilmu silat baru yang hebat! Dan dia hanya membuang waktu perantauannya dengan ilmu perang saja!
Maya amat cerdik. Diam-diam dia memperhatikan gerakan kaki dan tangan Siauw Bwee dan berusaha menyelami dan mempelajari intinya. Namun sedikit saja dia membagi perhatian, sinar pedangnya terkurung dan dia hanya mampu menjaga diri saja tanpa mampu menyerang sedikit pun juga! Maya makin terkejut, lalu berusaha mencari kemenangan dengan mengandalkan tenaga sinkang-nya.
Dahulu sebelum mereka meninggalkan pulau, tingkat sinkang-nya masih menang sedikit dibandingkan dengan sumoi-nya, dan tentu gemblengan-gemblengan dalam perang yang dialaminya membuat tenaganya lebih kuat lagi. Dengan pengerahan sinkang sekuatnya pedangnya menyambar dan menangkis, dengan maksud untuk membuat pedang sumoi-nya patah atau terpental.
”Cringgg...!” Nyaring sekali bunyi kedua pedang yang bertemu itu dan akibatnya, Siauw Bwee terhuyung mundur dua langkah sedangkan Maya mundur tiga langkah!
”Aihhh...!” Tak terasa lagi Maya berteriak kaget.
Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dalam tenaga sinkang pun dia kalah kuat sedikit! Hal ini tidaklah aneh karena Siauw Bwee mendapat tambahan tenaga baru dari ilmunya Jit-goat Sinkang. Kemarahan Maya menjadi-jadi. Dia menubruk ke depan dan melakukan terjangan membabi-buta, agaknya kini bermaksud mengadu nyawa! Lebih baik mati bersama dari pada dia kalah dan kehilangan Han Ki!
Kalau dia menghendaki, biar pun tidak terlalu mudah, agaknya Siauw Bwee akan dapat keluar dari pertandingan itu sebagai pemenang. Namun di balik kemarahannya dara ini masih sadar bahwa dia tidak boleh melukai suci-nya, apa lagi membunuh karena hal itu mungkin akan menjadi sebab putusnya hubungan cinta antara dia dan Kam Han Ki. Karena inilah maka dia selalu menjaga gerakannya agar jangan sampai mendatangkan serangan maut yang mengancam nyawa lawan dan kalau mungkin, dia hanya akan mengalahkan suci-nya tanpa mendatangkan luka berat.
Akan tetapi tentu saja hal ini sama sekali tidak mudah. Biar pun dia dapat menandingi suci-nya karena ilmu-ilmu gerakan kilat dan Jit-goat Sinkang, namun kelebihan tingkatnya tidak berapa banyak. Betapa pun lihainya Ilmu Gerak Kilat dan Jit-goat Sinkang, tidaklah melebihi kehebatan ilmu-ilmu yang diajarkan Han Ki kepada mereka. Keunggulan Siauw Bwee hanya karena ilmu-ilmu itu tidak dikenal oleh Maya, membuat suci-nya menjadi bingung dan terdesak.
Lebih dari dua ratus jurus mereka bertanding, namun belum ada yang kalah atau menang. Jangankan terluka, bahkan tiada yang berhasil merobek ujung baju lawan sekalipun! Maya makin penasaran dan Siauw Bwee makin gelisah. Mengapa suheng-nya belum juga datang? Sukar untuk menahan serbuan dahsyat suci-nya, dan kalau dia mengalah terus, lambat laun dia sendiri yang akan celaka, akan terluka dan mungkin terancam maut!
Karena itu mulailah Siauw Bwee mempercepat gerakannya dan membalas serangan suci-nya dengan jurus-jurus dahsyat. Biar pun dia menggunakan jurus-jurus yang ia pelajari dari suheng-nya, namun dia memasukkan inti gerakan dari gerak kilat kaki tangannya yang ia pelajari dalam perantauannya.
Menghadapi serangan dahsyat ini, Maya menjadi bingung dan terdesak mundur terus. Dia menggigit bibirnya melawan dan membalas dengan serangan maut, namun pembalasan serangannya hanya membuat pertahanannya kurang rapat dan dengan gerakan seperti kilat menyambar, ujung pedang lawannya sudah berhasil menembus pertahanan Maya dan melukai pundak kirinya!
”Aihhh...!” Maya terhuyung dan biar pun dia mempertahankan, tetap saja tubuhnya tergelincir dan roboh miring. Pundaknya terbabat ujung pedang dan mengeluarkan banyak darah, membuat lengan kirinya seperti lumpuh.
Siauw Bwee terbelalak, pucat mukanya. Dia melempar pedangnya dan menubruk Maya. “Suci...!”
Siauw Bwee menubruk untuk menyatakan penyesalan hatinya, untuk minta maaf. Akan tetapi tidak demikian perkiraan Maya. Karena matanya gelap dan kepalanya pening akibat luka dan kemarahan, dia mengira bahwa gerakan Siauw Bwee itu merupakan gerakan susulan, merupakan serangan maut untuk membunuhnya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dengan tubuh masih rebah miring dia membabat dengan pedang di tangannya.
”Singgg... crakkk! Aduuuhhh... Suci...!”
Tubuh Siauw Bwee tergelimpang, sebelah kakinya buntung terbabat pedang tadi, darah muncrat dari paha yang buntung.
”Suci... kau... kau...!” Siauw Bwee meloncat bangun, menyambar kakinya yang buntung.
Maya sudah bangkit duduk, mukanya pucat sekali. Baru sekarang dia mengerti betapa dia telah salah duga. Pedang sumoi-nya ternyata ditinggalkan, dan kini tahulah dia bahwa sumoi-nya tadi bukan menyerangnya, melainkan hendak memeluknya, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya. Dia memandang pedangnya dengan pandang mata jijik, kemudian memandang sumoi-nya yang memandangi kaki yang buntung.
”Sumoi... aduh... Sumoi... apa yang telah kulakukan...?”
”Suci...!”
”Sumoi...!”
Kedua orang itu berpandangan, kemudian Maya meloncat berdiri, menghampiri sumoi-nya dan memeluknya.
”Sumoi... kau ampunkan aku...” Maya memeluk dan menciumi sumoi-nya.
Akan tetapi melihat sumoi-nya diam tak bergerak, disangkanya sumoi-nya telah tewas, maka dia menjerit-jerit memanggil nama sumoi-nya, kemudian roboh terguling, pingsan sambil merangkul tubuh Siauw Bwee yang juga pingsan.
Mereka tidak tahu betapa pada saat mereka mulai bertanding tadi, badai datang mengamuk. Tidak tahu betapa Han Ki yang datang dengan perahu karena mendengar suara panggilan Siauw Bwee tadi sedang berjuang mati-matian di tengah badai. Han Ki mendayung perahunya dengan susah payah karena perahu itu diombang-ambingkan gelombang.
Dengan hati berdebar penuh kegelisahan memikirkan kedua orang sumoi-nya, Han Ki mengerahkan seluruh tenaganya, namun sampai lama sekali barulah akhirnya dia berhasil meminggirkan perahunya dan meloncat ke darat. Badai masih mengamuk hebat, seolah-olah laut menjadi marah menyaksikan pertandingan antara suci dan sumoi yang mati-matian tadi.
Han Ki sama sekali tidak pernah mengira bahwa kedua orang sumoi-nya itu bertanding mati-matian di atas tebing, di pantai yang curam. Dia berlari-lari ke istana, hendak memperingatkan kedua sumoi-nya bahwa badai dan taufan datang mengamuk. Akan tetapi istana itu sunyi, kedua orang sumoi-nya tidak berada di situ. Dia mulai memanggil-manggil dan berlari ke sana-sini. Akhirnya dia berlari naik ke atas tebing yang tinggi dan berdiri terbelalak, kedua kakinya seperti mendadak lumpuh tak dapat digerakkan. Bahkan dia hampir pingsan menyaksikan pemandangan di depan itu!
Apa yang dilihatnya memang telalu mengerikan bagi Han Ki. Kedua sumoi-nya saling berpelukan dan bertangisan di atas tanah yang masih bersalju, yang kini menjadi merah oleh darah! Dia tidak tahu bahwa kedua orang dara itu telah siuman kembali dan bertangisan tanpa kata-kata. Yang membuat Han Ki hampir pingsan adalah melihat sebelah kaki Siauw Bwee buntung dan pundak Maya terluka berat.
Tiba-tiba Siauw Bwee merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan Maya, kemudian tubuh gadis itu mencelat ke pinggir tebing, dikejar oleh Maya yang menjerit-jerit kini memanggil nama Siauw Bwee dan menangis. Namun terlambat, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke bawah tebing, ke arah air laut yang sedang bergemuruh dan dahsyat bergelora itu! Maya menjerit-jerit, kemudian gadis itu meloncat ke bawah mengejar sumoi-nya!
Han Ki terlampau kaget dan ngeri ketika dapat bergerak. Andai kata dia dapat bergerak pun akan terlambat, karena jaraknya terlampau jauh. Kini dia berloncatan dan berlarian seperti orang gila sambil berteriak-teriak,
”Siauw Bwee...! Maya...!”
Han Ki berdiri di pinggir tebing dan matanya terbelalak memandang gelombang ombak yang begitu dahsyat, seolah-olah timbul ribuan buah kepala naga siluman yang siap mencaplok apa saja yang berani turun! Betapa pun dia mencari dengan pandang mata terbelalak, tidak tampak adanya dua orang sumoi-nya yang tadi dilihatnya meloncat ke bawah.
”Maya-sumoi...! Khu-sumoi...!” kembali dia memekik, kemudian dia menuruni tebing yang curam sekali itu. Sungguh mengerikan sekali melihat Han Ki berlari dan berloncatan turun. Sekali terpeleset tubuhnya tentu akan hancur ke bawah dan ditelan gelombang ombak yang amat dahsyat, yang tak mungkin dapat dilawan oleh tenaga manusia.
Badai mengamuk terus, air laut naik tinggi. Suara angin taufan bercampur air laut yang memecah di batu karang mengerikan hati. Langit menjadi gelap, bukan hanya oleh awan hitam, akan tetapi juga oleh kabut yang dibentuk oleh air yang memecah di batu karang, kemudian turun hujan dari atas.
Pulau Es seakan-akan hendak kiamat. Diserang gelombang badai mengamuk, pulau itu tergetar dan terselimut kabut hitam. Suara bergemuruh dahsyat seperti bersorak-sorai setan-setan yang muncul dari permukaan laut, di antara suara bergemuruh dari badai mengamuk ini, terdengar selingan suara lengking panjang,
”Maya...! Siauw Bwee...!”
Dan tampaklah bayangan Han Ki berlari-larian di sepanjang pantai Pulau Es, tersaruk-saruk, kadang-kadang terjatuh dan dilemparkan ombak yang menyeret kakinya. Bangun lagi, berlari-lari, berteriak-teriak dengan pengerahan khikangnya, memanggil-manggil nama kedua orang sumoi-nya tanpa hasil. Kedua sumoi-nya tidak ada yang menjawab, tidak ada yang muncul, seolah-olah sudah ditelan ombak membadai. Mengerikan dan menyedihkan.
Sebuah perahu kecil dipermainkan ombak bergelombang dalam badai itu. Diangkat tinggi-tinggi di puncak sebuah gelombang yang setinggi bukit, kemudian dihempaskan ke bawah dan seolah-olah ditelan oleh mulut naga air, akan tetapi muncul kembali, diayun-ayun dan diputar-putar. Tiang layar perahu itu sudah lenyap, juga dayung-dayungnya. Yang ada tinggal perahunya yang telanjang dan seorang penghuninya yang tubuhnya terikat pada perahu. Seorang laki-laki muda yang pingsan dan sama sekali tidak merasakan betapa perahunya dipermainkan ombak dahsyat. Untung baginya, karena kalau dia tahu akan hal ini, mungkin sekali jantungnya tidak akan kuat menahan kengerian seperti itu!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia merasa penasaran ketika melihat Maya dibawa pergi oleh Kam Han Ki. Dia melakukan pengejaran dan berlari secepat dan sekuatnya. Namun tentu saja dia tidak dapat menyusul larinya Kam Han Ki yang memiliki kesaktian tinggi itu. Betapa pun juga, Suma Hoat tidak pernah berhenti melakukan pengejaran dengan bertanya-tanya di jalan. Akhirnya dia mendapat keterangan dalam penyelidikannya bahwa Kam Han Ki dan Maya melanjutkan perjalanan dengan perahu di pantai utara yang didatanginya itu. Dia pun lalu melakukan pengejaran dengan perahu, walaupun jarak waktu antara dia dan mereka sudah hampir dua pekan!
Mulailah pemuda yang menjadi korban perasaan asmara yang menggelora itu melakukan pelayaran di daerah yang sama sekali asing baginya, melakukan pengejaran terhadap perahu lain yang tidak dia ketahui ke arah mana perginya. Suma Hoat mengambil keputusan untuk mencari Maya atau Khu Siauw Bwee sampai dapat. Dia tahu bahwa mereka tentulah berada di Pulau Es dan dia harus dapat menemukan Pulau Es. Seorang di antara dua orang dara yang dicintanya itu akan menjadi isterinya.
Perbuatan pemuda itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat nekad. Sudah sejak puluhan, bahkan ratusan tahun tokoh-tokoh kang-ouw mencari-cari Pulau Es tanpa hasil, sehingga akhirnya di dunia kang-ouw hanya terdapat semacam dongeng saja tentang Pulau Es, dianggapnya bahwa pulau itu tidak ada kenyataannya karena tidak pernah ada yang berhasil menemukannya. Kini dengan berperahu kecil, tanpa petunjuk hanya bermodal jejak Kam Han Ki yang dikabarkan melanjutkan perjalanan dengan perahu dari pantai itu, Suma Hoat mencari Pulau Es. Dia benar-benar sudah nekat karena cinta kasihnya. Dia seperti seorang yang sudah kelaparan dan kehausan, haus dan lapar akan cinta karena selama ini dia hanya tenggelam dalam nafsu birahi, tidak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya.
Lebih dari dua bulan dia hidup di atas perahunya yang mengarungi lautan bebas dan asing. Bekal makanannya sudah lama habis, dan untuk menyambung hidupnya Suma Hoat terpaksa makan ikan laut. Kadang-kadang dia mendapatkan binatang darat di atas pulau karena sudah banyak sekali pulau dia datangi dan yang ternyata bukan Pulau Es, melainkan pulau-pulau kosong yang tidak ada penghuninya.
Pada hari itu, secara tiba-tiba badai mengamuk dan menimbulkan gelombang-gelombang sebesar bukit. Betapa pun kuatnya kedua lengan Suma Hoat menggerakkan dayung, namun sama sekali tidak ada artinya bagi lautan yang sedang mengganas itu. Dia sama sekali tidak berdaya, seperti seorang bayi dan akhirnya, setelah dia hampir tidak kuat bertahan lagi, Suma Hoat mengikat tubuhnya, melibatkan tali dengan erat pada tubuhnya, diikat pada perahu kemudian menyerahkan nasibnya kepada lautan.
Tubuhnya yang terikat pada perahu itu dipermainkan gelombang, diangkat tinggi-tinggi dan dihempaskan kembali, disambut gelombang lain, dilontarkan ke atas dan dibanting lagi sampai dia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi dengan perahu dan tubuhnya. Dia tidak tahu berapa lama dia dijadikan permainan gelombang dan sampai berapa jauh dia dihanyutkan.
Sungguh mengerikan melihat keadaan Suma Hoat pada waktu badai mengamuk itu. Semua yang melihatnya tidak akan ada yang menduga bahwa dia akan dapat keluar dari keadaan itu dengan selamat. Akan tetapi apakah yang dapat menentukan mati hidupnya seorang manusia? Kalau belum tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat mematikannya, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan apa pun yang akan dapat menyelamatkannya.
Suma Hoat siuman dan membuka matanya. Kepalanya terasa pening sekali, tubuhnya nyeri semua dan tenaganya habis. Akan tetapi tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi, perahu di mana tubuhnya terikat itu tidak diombang-ambingkan gelombang lagi. Dia masih mendengar suara bergemuruh, suara badai mengamuk, akan tetapi perahunya tidak lagi di atas air, melainkan berada di atas daratan yang kokoh kuat! Dia selamat! Perahunya telah dilontarkan gelombang ke atas daratan, sedemikian jauhnya sehingga tidak ada lagi gelombang yang dapat mencapainya.
Suma Hoat mengerahkan tenaga untuk membikin putus ikatan pada tubuhnya. Namun dia mengeluh dan kaki tangannya terkulai lemas. Agaknya tidak ada sisa tenaga lagi di tubuhnya. Akan tetapi tali itu telah mengendur dan dengan perlahan dia meloloskan kedua lengan, kemudian membuka tali yang mengikat tubuhnya itu dari perahu.
Ketika dia bangun duduk, kepalanya berdenyut-denyut dan pandang matanya berkunang. Sejenak dia memejamkan mata, ketika dibukanya kembali dan denyut di kepalanya tidak begitu hebat, dia memandang ke sekelilingnya. Air laut masih mengganas, ombak membesar dan angin badai masih mengamuk. Akan tetapi dia telah terdampar ke sebuah pulau yang cukup besar.
Tiba-tiba dia mendengar suara mengerikan. Suara melengking dahsyat, suara memekik-mekik seperti bukan suara manusia. Pekik melengking seperti itu keluar dari dalam dada setan dan iblis, pikirnya ngeri. Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri makin naik ke tengah pulau agar jangan sampai tercapai gelombang. Tidak lupa dia menggunakan seluruh tenaga untuk menyeret perahu. Perahu itu telah menyelamatkan nyawanya, dan dia masih amat membutuhkannya untuk membawanya ke luar dari tempat ini.
Setelah melakukan hal itu, Suma Hoat lalu duduk bersila, mengatur napas untuk memulihkan tenaganya sambil menanti berhentinya badai yang masih mengamuk dahsyat. Untung bahwa dia telah memiliki ilmu Jit-goat Sinkang yang mengandung unsur Yang-kang dan Im-kang. Dengan Im-kang di tubuhnya, dia dapat melawan hawa dingin yang luar biasa itu, hawa dingin yang seolah-olah keluar dari dalam tanah pulau yang didudukinya. Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia telah berada di Pulau Es!
Angin taufan mulai mereda, agaknya sudah cukup puas mengamuk selama hampir sehari semalam. Suara bergemuruh pun berhenti. Suma Hoat yang telah beberapa lamanya duduk bersila mengatur napas merasa tenaganya sudah pulih sebagian, kepeningan kepalanya menghilang dan sungguh pun tubuhnya masih lelah dan rasa nyeri-nyeri di seluruh tubuh masih terasa, dia sudah merasa ringan dan membuka matanya. Laut di pantai tidak bergelombang hebat lagi, yang terdengar hanyalah suara berkerosoknya air yang menipis habis di pantai datar.
Suma Hoat teringat akan suara melengking yang didengarnya ketika badai masih mengamuk tadi. Dia bangkit perlahan, membalikkan tubuh memandang ke arah tengah pulau yang kini tidak diselubungi kabut. Ia tercengang dan memandang terbelalak ketika samar-samar tampak sebuah bangunan di tengah pulau! Hampir dia tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Digosoknya kedua matanya, lalu memandang lagi. Tidak berubah. Bangunan itu masih berdiri megah di tengah pulau. Seperti sebuah istana.
“Istana...? Istana... Pulau Es...?” Tak terasa lagi mulut Suma Hoat berbisik.
Teringatlah dia akan suara melengking nyaring ketika terjadi badai. Mungkin saja suara manusia kalau manusianya adalah penghuni Istana Pulau Es yang dia tahu amat sakti. Bangkit semangatnya setelah timbul dugaan dan harapan di hatinya bahwa dia berada di Pulau Es, secara kebetulan dan aneh sekali tiba di pulau yang memang dicari-carinya itu. Jantungnya berdebar keras. Apakah dia akan berjumpa dengan Khu Siauw Bwee dan Maya? Apakah kedua orang dara yang dicintanya itu berada di sana?
Ketika ia tiba di depan bangunan yang indah dan megah itu, Suma Hoat menjadi ragu-ragu untuk masuk. Sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, dua orang dara itu memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sekali, apa lagi suheng mereka, Kam Han Ki. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti. Tanpa seijin mereka, bagaimana dia berani memasuki istana itu?
Akan tetapi, setelah menghadapi ancaman-ancaman maut di lautan ketika dia mencari dua orang dara itu, ketika mencari Pulau Es, mengapa kini dia merasa takut akan ancaman kemarahan mereka? Tidak, dia tidak takut karena memang dia sudah nekat. Mereka adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, tidak mungkin akan mudah marah hanya karena dia masuk ke istana tanpa ijin saja.
Dengan pikiran ini, melangkahlah Suma Hoat memasuki istana yang kelihatan sunyi sekali itu. Ruangan depan istana itu kosong, demikian pula ruangan tengah. Selagi dia kebingungan karena merasa betapa istana itu menyeramkan dengan kesunyian dan keindahannya, tiba-tiba dia mendengar suara orang, seperti tengah bersenandung atau membaca doa!
Perlahan-lahan dia segera menuruni anak tangga dan berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup, menahan napas mendengarkan suara seorang laki-laki yang sedang membaca sajak! Suara itu gemetar, kadang-kadang terisak, kadang-kadang tersendat-sendat dan diseling tarikan napas panjang penuh kedukaan. Suma Hoat mendengarkan dengan jantung berdebar dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia tidak berani lancang memasuki ruangan di balik pintu yang tertutup itu. Dia hanya mendengarkan. Mula-mula suara itu bersajak, dengan nada suara penuh duka, penuh lontaran pertanyaan dengan suara merintih.
Aduhai sayang, mengapa kalian begitu kejam?
Mengapa kalian hancurkan cinta yang indah?
Haruskah cinta berdampingan dengan benci?
Di mana ada cemburu dan iri,
adakah cinta di sana?
Aduhai sayang,
sesungguhnya siapa yang kalian cinta?
Akukah... atau diri kalian sendiri?
Suma Hoat tertegun dan bingung. Suara siapakah itu? Dan apa maksudnya? Apa yang telah terjadi dengan pria itu sehingga mengeluarkan rintihan yang keluar dari hati yang rusak dan hancur? Dia mendengarkan lagi, karena kembali suara laki-laki itu bersajak, kini tidak terdengar penuh duka, bahkan berwibawa sungguh pun suara itu masih menggetar penuh perasaan.
Setiap orang manusia ingin dicinta
tanpa ada yang menyayang, hidup terasa hampa,
mengapa...?
Karena hatinya tidak mengenal cinta!
yang tidak mengenal cinta, haus akan cinta
dia yang hatinya penuh oleh cinta sejati
tidak lagi mengharapkan dirinya dicintai
cinta sejati hanya kenal memberi
tak tahu minta, tak ingin jasa!
Untuk kedua kalinya Suma Hoat tertegun. Kini bahkan mukanya terasa panas. Dia merasa seolah-olah dia disindir. Selama bertahun-tahun, semenjak dia ditinggal mati cinta pertamanya, Ciok Kim Hwa, dia haus akan cinta kasih wanita. Akan tetapi dia pun tidak pernah jatuh cinta. Yang ada terhadap wanita-wanita yang diperkosanya hanyalah nafsu semata. Adakah hatinya tidak mengenal cinta?
Setelah bertemu dengan Maya dan Siauw Bwee, adakah perasaannya terhadap dua orang dara itu pun bukan cinta maka dia mengharapkan balasan cinta kasih mereka? Aihh, dia tidak mengerti sama sekali, namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang terpesona dan tergetar oleh isi kata-kata orang yang belum dilihatnya itu. Kembali dia memperhatikan karena suara itu telah bicara kembali.
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Kini Suma Hoat terkejut. Orang itu menyebut-nyebut Siansu, bukankah yang dimaksudkan itu adalah Bu Kek Siansu, manusia dewa yang hanya didengarnya dalam dongeng? Dan bukankah murid manusia dewa itu adalah Maya, Khu Siauw Bwee dan suheng mereka, Kam Han Ki? Kalau begitu, tentu Kam Han Ki laki-laki di dalam itu! Selagi ia hendak melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu yang masih tertutup.
“Suma Hoat, bagaimana engkau bisa sampai di sini dan apa kehendakmu?”
Suma Hoat makin kaget. Cepat dia menjura di tempatnya sambil berkata, “Harap Kam-taihiap sudi memaafkan. Terus terang saja, semenjak perpisahan di medan perang dahulu, saya terus mengikuti, kemudian mencari-cari Taihiap yang saya duga tentu berada di Pulau Es. Namun, berbulan-bulan saya tersesat di lautan, dan hanya oleh kehendak Thian saja maka saya dapat tiba di tempat ini, terbawa hanyut oleh badai yang mengamuk.”
Daun pintu terbuka dan Suma Hoat hampir meloncat mundur saking heran dan kagetnya ketika ia melihat orang yang muncul dari pintu itu. Dia masih mengenal wajah Kam Han Ki, akan tetapi pakaian orang sakti ini koyak-koyak, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat sekali, matanya merah dan wajah yang tampan itu seolah-olah bertambah tua belasan tahun dalam waktu tiga bulan ini!
Akan tetapi, kekhawatiran hati Suma Hoat lenyap ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kam Han Ki. Sama sekali tidak ada tanda marah pada pandang mata itu, pandang mata yang masih amat tajam menembus jantung dan menjenguk isi hati, akan tetapi begitu lembut dan penuh pengertian!
“Suma Hoat, setelah kami bertiga melupakan segala urusan pribadi antara kami dengan orang tuamu, mengapa engkau masih mencari perkara dengan melakukan pengejaran kepada kami? Setelah kini engkau berhasil mendarat di Pulau Es, apakah kehendakmu?”
Suma Hoat menundukkan mukanya. Tidak dapat dia menahan pandang mata Han Ki yang begitu lembut namun begitu penuh kekuatan. Sambil bertunduk dia menjawab, “Maaf, Taihiap. Terus terang saja, setelah saya mengetahui bahwa Nona Maya dan Nona Khu Siauw Bwee, keduanya jatuh cinta kepadamu, saya menjadi penasaran dan melakukan pengejaran. Tak mungkin keduanya menjadi milikmu, tentu seorang di antara mereka akan kau tolak cintanya dan di situlah terbuka harapan dan kesempatanku, Taihiap. Tak perlu kupungkiri lagi, saya mencinta kedua orang nona itu dan hanya kalau seorang di antara mereka dapat menjadi isteri saya, hidup saya akan bahagia.”
Mulut di wajah yang pucat itu tersenyum, senyum yang mengandung iba hati. Alisnya berkerut, kemudian dia membukakan daun pintu lebar-lebar sambil berkata, “Dua orang nona yang kau cari sudah tidak ada lagi, Suma Hoat. Yang ada tinggal inilah!”
Suma Hoat memandang ke dalam dan matanya terbelalak. Di dalam ruangan itu terdapat tiga buah arca dari batu pualam yang amat indah sekali seolah-olah hidup dan bernapas! Arca tiga orang yang amat dikenalnya. Yang berdiri di tengah adalah arca Kam Han Ki sendiri, akan tetapi sayang arca itu bercacat, berlubang dua buah di dahinya, karena dalam kedukaannya tadi Han Ki telah menusuknya dengan dua buah jari tangannya. Di sebelah kanan, yaitu di pinggir kiri arca pria itu, adalah arca Khu Siauw Bwee, cantik jelita, bertubuh ramping dengan wajah yang lemah-lembut, akan tetapi anehnya, sebelah kaki arca itu buntung! Ada pun arca ke tiga yang berdiri di sebelah kanan arca Han Ki, adalah arca Maya yang amat cantik dan agung, tanpa cacat, tidak seperti dua arca yang bercacat itu.
“Apa... apa maksudmu? Di mana mereka? Apa yang telah terjadi?” Hati Suma Hoat merasa tidak enak sekali, apa lagi ketika dia teringat akan keadaan Kam Han Ki yang dihimpit kedukaan dan teringat akan isi sajak-sajak tadi.
Kam Han Ki menutupkan kembali daun pintu, kemudian memberi isyarat dengan tangan, mengajak Suma Hoat keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, dia mempersilakan Suma Hoat duduk di atas batu hitam yang biasa dipergunakan sebagai tempat berlatih sinkang. Setelah mereka berdua duduk, dengan suara yang halus dan tenang, seolah-olah semua kedukaan telah dihabiskan dalam sajak-sajak tadi, Kam Han Ki lalu menceritakan betapa dia pun dipermainkan badai dan terlambat mendarat sehingga tidak berhasil mencegah terjadinya peristiwa yang amat mengerikan, yaitu Maya dan Khu Siauw Bwee saling bertanding. Maya terluka pundaknya dan Khu Siauw Bwee buntung kakinya, kemudian kedua orang dara itu terjun ke bawah, ditelan gelombang yang amat buas di waktu badai mengamuk.
Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan sampai lama dia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Tanpa disadarinya, dari kedua pelupuk matanya mengalir air mata yang turun perlahan-lahan di sepanjang kedua pipinya.
“Jadi... me... mereka... telah tewas...?” Akhirnya dia dapat bertanya dengan suara terengah-engah.
Kam Han Ki menggeleng kepalanya. “Hanya Thian yang mengetahuinya. Akan tetapi dapat engkau bayangkan kalau orang yang terluka melempar diri ke dalam gelombang di waktu badai mengamuk...”
“Ahhhh...!” Suma Hoat mengeluh, tak dapat menahan air matanya dan diusapnya air mata dengan ujung lengan bajunya yang koyak-koyak pula karena keadaannya tidak lebih baik dari Kam Han Ki setelah dipermainkan gelombang seperti itu. Dia tahu bahwa sudah pasti sekali kedua orang itu tewas. Dia sendiri yang tidak terluka, yang berperahu, hampir mati dan hanya karena keajaiban saja dia masih hidup. Apa lagi dua orang dara yang terluka, lebih-lebih Khu Siauw Bwee yang sebelah kakinya buntung, yang melempar diri begitu saja di dalam gelombang!
”Mengapa...? Kam-taihiap, mengapa mereka saling bertanding? Mengapa pula mereka melempar diri ke dalam gelombang badai? Mengapa...?” dia berteriak penuh penasaran.
”Urusan mereka sendiri, Suma Hoat. Bukan urusanmu dan kiranya tidak ada gunanya kau ketahui juga,” Han Ki berkata tenang dan tegas.
“Urusan mereka adalah urusanku juga, Taihiap! Saya mencinta mereka, saya rela mengorbankan nyawa untuk mereka. Saya harus mengetahui mengapa mereka melakukan hal itu!”
Kam Han Ki memandang wajah orang muda itu sambil tersenyum penuh pengertian, lalu berkata, “Andai kata kau ketahui juga, apa gunanya? Yang terpenting adalah untuk mengetahui isi hatimu sendiri, mengetahui keadaan dirimu sendiri. Engkau berkali-kali menyatakan bahwa engkau cinta kepada mereka, namun sebenarnya bukan, Suma Hoat. Engkau tidak mencinta mereka, tidak mencinta siapa-siapa, kecuali mencinta dirimu sendiri. Itu pun cinta dangkal yang hanya ingin melihat diri sendiri, ingin mencapai kehendak hati mempersunting si cantik yang menggairahkan hatimu. Setelah kini dua orang dara yang kau rindukan tidak ada lagi, engkau menjadi kecewa dan berduka, yang sesungguhnya hanya sedikit selisih dan bedanya dengan keadaanmu apa bila engkau memperoleh seorang di antara mereka karena kulihat tidak ada cinta dalam hatimu, melainkan cinta birahi belaka!”
Suma Hoat menjadi merah mukanya, bukan merah karena marah melainkan karena malu. Betapa pun menyakitkan kata-kata itu baginya, namun harus diakui bahwa memang seperti itulah kenyataannya. Betapa pun juga dia merasa penasaran dan bertanya, “Tentu saja cinta mengandung sifat-sifat seperti itu, Taihiap. Kalau tidak ada nafsu ingin memperoleh, ingin bersatu dan berdamping menghilangkan rindu, bukanlah cinta namanya dan mana ada laki-laki dan wanita bersuami isteri?”
Kam Han Ki menghela napas panjang. Kedukaan hebat yang menimpanya ketika badai mengamuk mendatangkan perubahan luar biasa pada diri pendekar ini, seolah-olah mata batinnya terbuka dan dia melihat kenyataan-kenyataan yang selama ini tidak dilihatnya. Kenyataan hidup yang penuh duka dan sengsara, yang kesemuanya timbul karena kekurang-sadaran manusia, yang tercipta oleh keadaan hidup manusia sendiri.
Sebelumnya terjadi peristiwa mengerikan itu memang hatinya sudah mulai terbuka, maka dia pun ragu-ragu untuk memilih Siauw Bwee yang dicintanya karena maklum bahwa pemilihan itu hanya terdorong oleh rasa sayang diri dan akibatnya akan membikin kecewa dan sengsara hati Maya. Namun, sekarang, dia mulai mengerti hal-hal yang selama ini tidak disadarinya.
“Suma Hoat, cinta yang mengandung kehendak ingin menguasai, ingin memiliki bukanlah cinta yang sejati. Karena menguasai dan memiliki hanya akan menimbulkan pertentangan dan persoalan batin, hanya menimbulkan kecewa dan sengsara kalau yang dikuasai dan dimiliki itu kemudian bersikap tidak sesuai dengan yang kita kehendaki. Bukanlah cinta yang sejati kalau bersyarat, kalau menuntut balas jasa, menghadapkan hal-hal yang menyenangkan hatinya sendiri. Cinta macam itu akan menimbulkan cemburu, iri hati, dengki, amarah dan mungkin berbalik menjadi benci. Padahal di mana ada cemburu dan lain-lain itu, apa lagi benci, di sana tidak mungkin ada cinta!”
Suma Hoat melongo memandang Kam Han Ki, kemudian menggeleng kepala sampai lama dan berkata, “Aihhh... aku menjadi bingung, Taihiap... aku harus merenungkan kata-katamu itu... aku tidak mengerti...”
“Apa bila rasa sayang diri masih melekat kuat di dalam pikiran, memang sukarlah untuk menjadi waspada, sukar untuk memandang dan melihat sesuatu sebagaimana adanya, karena kecenderungan pandangan dikuasai oleh pertimbangan demi kesenangan dan kepentingan diri pribadi. Sudahlah, Suma Hoat. Karena engkau sudah berada di sini, engkau boleh tinggal di pulau ini selama yang engkau suka, hanya pesanku, harap engkau jangan merusak dan mengganggu istana dan isinya.”
“Terima kasih atas kebaikan Taihiap. Memang saya merasa senang sekali tinggal di sini. Setelah kedua orang nona itu lenyap, hidup tiada artinya bagi saya. Kembali ke dunia ramai hanya akan berarti mengumbar hawa nafsu birahi belaka. Saya akan bertapa di sini menjauhkan diri dari dunia ramai, hidup sederhana dan melupakan wanita!”
Kam Han Ki sudah membalikkan tubuhnya hendak memasuki istana, akan tetapi mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan menoleh, lalu berkata, “Apa artinya hidup di tempat sunyi kalau pikiran dan hatinya masih gaduh dan ribut? Apa artinya hidup sederhana ditandai pakaian, tempat tinggal dan makan sederhana kalau semua itu hanya untuk menutupi hati yang membayangkan kemuliaan hidup? Apa artinya menjauhkan diri dari wanita dan mencoba melupakannya kalau pikirannya masih penuh dengan bayangan wanita? Yang perlu sekali dibebaskan adalah batinnya, bukan lahirnya, Suma Hoat.”
Setelah berkata demikian, Han Ki memasuki istana, meninggalkan Suma Hoat yang makin bengong terlongong mendengarkan semua ucapan itu. Ia merasa seperti disiram air dingin karena tiba-tiba dia melihat kebenaran nyata terkandung dalam semua ucapan Kam Han Ki, kebenaran nyata menelanjangi keadaan hatinya seperti apa adanya sehingga tak mungkin dapat dibantah lagi.
Selama beberapa hari, Suma Hoat memulihkan kesehatannya akibat siksaan badai, kemudian dia menjelajahi Pulau Es, bukan saja untuk memeriksa keadaan pulau yang menjadi bahan dongeng ini, juga dengan harapan kalau dia akan bertemu dengan Maya atau Siauw Bwee. Siapa tahu, dua orang dara itu, atau seorang di antaranya masih hidup. Namun ada juga kengerian hatinya membayangkan mayat mereka yang akan ditemukannya! Setelah mengelilingi pulau selama beberapa hari dan tidak melihat bayangan dua orang dara itu, dia lalu kembali ke tengah pulau dengan niat menemui Kam Han Ki.
Namun istana Pulau Es itu telah kosong! Kam Han Ki tidak ada lagi di situ. Ketika Suma Hoat memasuki ruangan yang indah di mana beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan Kam Han Ki, dia melihat tiga buah arca itu masih berjajar di situ. Dia mencari dalam kamar-kamar lain, dan di kamar yang terbesar dia melihat betapa dinding penuh dengan tulisan-tulisan indah berupa sajak-sajak yang mengandung kedukaan di samping sajak-sajak mengenai hidup. Sajak yang terpanjang dan ditulis paling indah membuat dia teringat akan suara Kam Han Ki ketika membaca sajak itu dengan suara penuh duka, sajak yang dimulai dengan pernyataan keinginan hati pria yang sedang dibuai asmara:
Betapa ingin mata memandang mesra
Betapa ingin jari membelai sayang
Betapa ingin hati menjeritkan cinta...
Suma Hoat menghentikan bacaannya karena kata-kata itu menusuk jantungnya, mengingatkan dia akan kemesraan cinta dan kelembutan wanita. Dia memeriksa seluruh keadaan istana itu dan mengagumi bangunan yang amat indah dan halus. Namun hatinya berduka kalau teringat akan nasib buruk yang menimpa penghuni-penghuninya. Tiga orang manusia sakti, kakak beradik seperguruan, menjadi cerai-berai oleh cinta yang gagal! Dan dia sendiri, orang ke empat yang kini secara kebetulan berada di Pulau Es dan memperoleh ijin untuk menghuni Istana Pulau Es, dia pun seorang manusia gagal yang rusak oleh cinta gagal pula!
Dengan penekanan mati-matian terhadap segala keinginan hati mudanya, Suma Hoat hidup sendiri di Pulau Es, memperdalam ilmu-ilmunya dan terutama sekali melatih Jit-goat Sinkang. Pulau Es merupakan tempat yang amat baik untuk melatih sinkang, karena hawa udara di situ amat dinginnya. Untuk melawan hawa dingin ini saja sudah merupakan latihan yang baik dan memperkuat daya tahan tubuhnya. Bertahun-tahun lewat tanpa dia pedulikan dan tanpa disadarinya. Pemuda tampan putera bangsawan yang sudah biasa hidup mewah itu hidup menyendiri di Pulau Es selama empat lima tahun lamanya.....
Kurang lebih lima tahun kemudian, pada suatu pagi, kembali ada badai mengamuk dan air laut naik sampai beberapa meter tingginya. Pulau Es tergetar dan terguncang hebat, angin bertiup kencang membuat Suma Hoat yang gagah perkasa itu merasa ngeri juga dan terpaksa dia menyelamatkan dan menyembunyikan diri ke dalam istana! Karena angin benar-benar amat kuat, Suma Hoat bersembunyi di ruangan bawah istana itu.
Sampai sehari semalam badai mengamuk. Suma Hoat tidak dapat keluar dari ruangan bawah karena tiupan angin menyerbu masuk ke dalam istana. Perutnya terasa lapar dan ketika tiba-tiba muncul seekor ular dari sebuah lubang di lantai di ruangan bawah tanah itu, Suma Hoat menjadi girang. Ular itu cukup besar, sebesar lengan tangannya, berkulit merah dan kelihatan bersih sekali.
Sekali melompat, Suma Hoat berhasil menangkap leher ular dan mencengkeram leher itu sampai putus! Ular mati seketika, akan tetapi daging dan darahnya masih segar ketika Suma Hoat yang kelaparan mengulitinya lalu memanggang daging ular di dalam ruangan itu. Bau yang sedap gurih membuat perutnya makin kelaparan. Dengan lahapnya dimakanlah daging ular itu sampai habis! Setelah perutnya kenyang, Suma Hoat merebahkan diri dan tertidur pulas.
Dia mimpi tidur di atas sebuah ranjang lebar dan indah dalam sebuah kamar mewah dan berbau harum, ditemani oleh Coa Kim Hwa, Khu Siauw Bwee, dan Maya! Tiga orang dara cantik jelita itu semua melayaninya dengan manja dan penuh kasih sayang. Bukan main hebatnya kemesraan yang dinikmatinya itu, yang memeluk dan menciuminya secara bergilir dan sama sekali tidak bersaing. Gairah ketiga orang dara itu mendatangkan rasa panas sekali pada tubuhnya, membuat kepalanya berputar rasanya dan matanya berkunang. Payah juga melayani tiga orang dara yang begitu besar dan panas gairahnya. Rasa panas makin menghebat sehingga dia terpaksa mendorong mereka ke samping dan terguling jatuh dari atas ranjang lalu... sadar dari mimpi!
“Aughhhh...!” Suma Hoat menggosok dahinya, kaget merasa betapa tangannya menjadi basah oleh keringat yang memenuhi muka dan leher, bahkan ketika dia melihatnya, seluruh tubuhnya berpeluh. Tubuhnya panas bukan main. Agaknya badai telah mereda, tidak terdengar lagi hembusan angin ribut. Karena tidak dapat menahan panasnya, Suma Hoat meloncat bangun, terhuyung-huyung dan lari ke luar.
Biar pun dia telah berada di luar istana yang hawanya dingin, tetap saja dia merasa panas. Bukan hanya panas yang menyiksa, melainkan terutama sekali nafsu birahi yang mengguncangnya dan menguasainya. Nafsu birahi yang membuat dia membayangkan semua wanita yang pernah dihubunginya, pernah diperkosanya, benar-benar membuat dia makin tersiksa.
“Auhhh, setan keparat! Iblis laknat! Ini tentu gara-gara daging ular merah! Celaka sekali, daging itu mengandung racun perangsang birahi!”
Suma Hoat cepat duduk bersila dan mengerahkan sinkang-nya untuk melawan rangsangan nafsu birahi yang tidak sewajarnya itu. Namun racun ini benar-benar hebat sekali. Terlalu banyak dia makan daging ular sehingga amat banyak pula racun yang menguasai dirinya. Suma Hoat benar-benar tersiksa selama tiga hari tiga malam.
Andai kata dia tidak berada di Pulau Es, di tempat yang sunyi dan kosong tidak ada manusia lainnya, tentu dia sudah tidak dapat menahan, dan tentu dia sudah melakukan kembali perbuatan yang menjadi penyakit lamanya, yaitu melampiaskan nafsunya pada wanita yang mana saja, baik secara halus dengan bujukan mau pun secara kasar dengan perkosaan! Dia menyumpah-nyumpah, bukan hanya memaki ular merah, akan tetapi juga memaki-maki diri sendiri.
“Manusia lemah! Manusia terkutuk! Bertahun-tahun bertapa, sekarang menghadapi racun yang merangsang nafsu birahi saja tidak kuat bertahan! Aduhhh, benar ucapan Kam Han Ki!” Sekarang dia melihat kenyataan ucapan itu, bukan dengan teori, bukan dengan pemikiran, melainkan kenyataan yang dialaminya sendiri!
Menjauhkan diri dari wanita bukan berarti dia akan dapat melenyapkan nafsu birahi karena datangnya segala macam nafsu bukanlah dari luar, melainkan dari dalam diri pribadi, dari pikiran sendiri! Andai kata dia berada di tengah-tengah antara seribu wanita cantik, kalau pikirannya menerima kenyataan ini tanpa disertai angan-angan pikiran membayangkan pengejaran kenikmatan demi si aku, tentu tidak akan terjadi sesuatu, tidak akan timbul rangsangan yang tidak sehat. Sebaliknya, biar pun berada di pulau kosong seperti keadaannya sekarang, kalau hatinya masih mengenangkan dan membayangkan wanita, tentu saja nafsu birahi akan timbul, baik dengan racun ular merah mau pun tidak!
Sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan diri agar dia tidak menjadi gila karena rangsangan nafsu, dalam keadaan tersiksa dan menyendiri itu timbul pula perasaan jemu di hati Suma Hoat dengan pulau kosong ini. Memang patut dikasihani Suma Hoat. Demikianlah halnya manusia yang belum terbuka mata batinnya.
Batinnya selalu diamuk pertentangan-pertentangan dalam diri sendiri. Nafsu yang sekarang dikekang dan ditentang tidak akan hilang, sesaat kelihatannya dapat ditundukkan akan tetapi di lain saat akan bangkit dan tak dapat dikendalikan lagi. Keinginan untuk melenyapkan nafsu adalah nafsu itu sendiri dalam kedok lain. Bagi seorang yang ingin belajar dan mengerti, seyogianya mempelajari dan mengenal nafsu sendiri apa bila nafsu datang, menghadapinya dengan wajar, meneliti dan waspada akan keadaan diri pribadi, lahir batin.
Hanya orang yang belajar mengenal diri pribadi setiap saat, meneliti penuh kewaspadaan dan kesadaran akan sikap diri pribadi terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya, lahir mau pun batin, dia itulah yang akan terbebas dari nafsu, karena dia akan terbebas pula dari keinginan akan sesuatu demi diri pribadi. Mengenal diri pribadi, melihat dengan penuh kewajaran bahwa dirinya penuh dengan iri, dengki, murka, benci, munafik, birahi, dan sebagainya berarti dimulainya pembebasan akan semua itu.
Sayang sekali Suma Hoat tidak mau mencari ke dalam, seperti sebagian besar manusia di dunia ini. Setiap persoalan yang dihadapinya, manusia selalu menujukan pandang matanya ke luar, mencari sasaran, mencari kambing hitam yang akan dipergunakan sebagai penyebab persoalan. Andai kata manusia suka menujukan pandang matanya ke dalam, mempelajari diri sendiri, sikap diri sendiri menghadapi persoalan itu, maka setiap persoalan akan dapat diatasi tanpa menciptakan persoalan baru...