Istana Pulau Es Jilid 39

Cerita silat karya Kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 39

Setelah mengerahkan seluruh tenaganya melawan racun ular merah selama tiga hari, pada pagi hari ke empatnya, pengaruh racun sudah mulai melemah, sama lemahnya dengan tubuh Suma Hoat yang selama tiga hari tiga malam mengerahkan tenaga, tidak tidur dan tidak makan. Selagi dia menghentikan perlawanannya terhadap racun, bangkit berdiri dengan lemas dan hendak mencari makanan, tiba-tiba dia mendengar suara mendesis-desis dari dalam istana.

Dia terkejut dan heran. Cepat dia berlari masuk karena memang dia tadinya hendak mencari bahan makanan yang banyak terdapat di gudang belakang. Mendadak ia terbelalak dan mencelat ke belakang. Kiranya yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu adalah barisan ular merah yang banyak sekali jumlahnya, ada ribuan ekor banyaknya, keluar dari dalam istana, dan ada pula yang merayap datang dari belakang istana. Sukar dikatakan dari mana datangnya ular-ular itu, mungkin dari bawah istana, mungkin juga dari pantai laut yang letaknya di belakang istana.

Suma Hoat terkejut dan pucat wajahnya. Menghadapi ribuan ekor ular beracun itu benar-benar amat menjijikkan dan mengerikan. Dia lalu melompat dan melarikan diri, menuju ke pantai di mana dia meninggalkan perahunya. Setelah dia menyeret perahu ke pinggir laut, dia membalikkan tubuh memandang Pulau Es dan menarik napas panjang berulang-ulang. Kemudian dia menghampiri sebongkah batu besar. Dia mulai membuat goresan-goresan pada permukaan batu itu, menulis huruf-huruf dengan tangan gemetar karena dia memang masih amat lemah sehingga huruf-huruf yang ditulisnya itu kasar dan buruk jadinya.

Betapa menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk, agaknya tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan Pulau Es?

Tulisan itu dibuat oleh Suma Hoat untuk menyatakan penyesalan dan juga diharapkan sebagai peninggalan pesan untuk Kam Han Ki mengapa dia meninggalkan pulau itu. Kemudian Suma Hoat mendayung perahunya ke tengah dan mulailah dia meninggalkan Pulau Es untuk kembali ke daratan yang diperkirakan berada di sebelah selatan atau barat itu.

******************


Kegagalan Suma Hoat di Pulau Es mulai dari kegagalan cinta sampai kegagalan menggembleng diri, membuat penghidupan pendekar itu menjadi makin rusak! Setelah dia berhasil mendarat, dunia kangouw menjadi gempar lagi dengan munculnya Jai-hwa-sian yang selain amat tinggi ilmu kepandaiannya, juga amat berani.

Dalam petualangannya yang jahat dan berbahaya Suma Hoat tidak mempedulikan anak dara siapa saja yang disukai, baik dara puteri seorang pembesar tinggi, mau pun puteri seorang ketua partai persilatan besar, anak murid partai besar, asal bertemu dengan dia dan membangkitkan birahinya, tentu akan dibujuknya atau dipaksanya!

Perbuatannya ini membuat nama Jai-hwa-sian menjadi makin terkenal sehingga namanya sendiri malah tidak dikenal orang. Selain itu juga mendatangkan banyak musuh karena banyak orang-orang gagah ingin membasminya, dan banyak pula tokoh-tokoh persilatan merasa sakit hati dan menaruh dendam karena murid wanita atau anak mereka menjadi korban keganasan Jai-hwa-sian.

Namun sampai belasan tahun Jai-hwa-sian merajalela, entah sudah berapa ratus orang gagah yang roboh di tangannya, tidak mampu menandingi kelihaian Dewa Pemetik Bunga ini. Selain lihai, juga Jai-hwa-sian tidak pernah tinggal lama-lama di sebuah kota, di samping ini dia jarang memperlihatkan diri sehingga jarang ada orang mengenalnya, kecuali para wanita korbannya yang sempat hidup setelah diperkosanya. Namun mereka ini, untuk menjaga kehormatan dan nama sendiri, tentu saja membungkam dan menyimpan rahasianya sampai mati.

Hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw memusuhinya, tentu saja ada pula yang menganggapnya sebagai seorang pendekar yang gagah berani karena sesungguhnya, sepak terjang Suma Hoat memang sebagai seorang pendekar. Di mana pun dia berada dia selalu menentang kejahatan, membasmi gerombolan perampok, membela yang tertindas dan sering kali membagi-bagikan harta benda yang dia rampas dari sarang-sarang perampok. Akan tetapi, tentu saja semua perbuatan baik ini tidak ada artinya karena dikotori oleh kesukaannya yang terkutuk, yaitu mendapatkan setiap orang wanita yang menggerakkan hatinya, baik secara halus mau pun kasar!

Di antara orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw yang menganggapnya sebagai sahabat, adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang amat lihai itu. Sering kali mereka berdua bersama-sama berjuang menghadapi gerombolan-gerombolan penjahat yang kuat, dan di antara kedua orang ini terdapat kecocokan watak. Namun semua nasehat Im-yang Seng-cu tidak dapat mengubah watak buruk, yaitu kesukaannya memetik bunga dengan paksa! Kesukaan buruk inilah yang lagi-lagi memisahkan mereka dan membuat hati Im-yang Seng-cu kecewa dan menyesal sekali.

Pada suatu pagi, di dalam sebuah hutan di luar kota Lok-yang, di sebelah utara dekat Sungai Huang-ho, terdengar jerit mengerikan seorang wanita di antara suara beradunya senjata tajam dan teriakan-teriakan kesakitan. Kiranya sebuah rombongan piauwsu (pengawal) yang mengantar pelancong dan pengawal barang-barang berharga sedang bertanding melawan gerombolan perampok yang hendak merampok barang dan menculik wanita.

Di dalam sebuah kereta yang dikawal, terdapat seorang ibu dengan anak daranya yang cantik. Jerit itu keluar dari mulut Si Dara yang menjadi ketakutan dan berpelukan dengan ibunya yang menangis penuh rasa takut dan gentar. Sedangkan ayah dara itu pun dengan muka pucat duduk sambil mengembangkan kedua lengan, seolah-olah hendak melindungi anak isterinya dengan kedua lengan yang dikembangkan itu!

Biar pun rombongan piauwsu itu melakukan perlawanan sekuatnya, namun karena jumlah mereka hanya dua puluh orang sedangkan perampok-perampok itu jumlahnya lebih lima puluh, dikepalai oleh seorang raksasa tinggi besar bersenjata sepasang ruyung yang mengerikan, akhirnya rombongan piauwsu itu tewas semua, termasuk para pelayan dan kusir kereta. Mayat mereka bergelimpangan dan terbenam dalam darah yang memenuhi tempat itu.

“Ha-ha-ha, kumpulkan semua barang!” kepala rampok itu tertawa-tawa.

“Tai-ongya, di dalam kereta terdapat seorang nona yang amat cantik!” seorang perampok melapor sambil cengar-cengir.

“Ha-ha-ha, bagus. Biar aku sendiri yang menangkapnya!”

Kepala rampok itu melangkah lebar, menyingkap tirai jendela kereta dan nampaklah dara remaja itu dipeluk ibu dan dijaga ayahnya! Sepasang mata kepala rampok itu terbelalak penuh kagum, air liurnya menitik dan matanya menjadi merah, mulutnya terkekeh genit.

”Heh-heh-heh, manis. Marilah kupondong kau, kusenangkan kau... ha-ha!”

“Pergi! Jangan ganggu anakku!” Ayah dara itu membentak, akan tetapi sekali saja kepala rampok itu mengayun tangannya, laki-laki itu terlempar ke luar dari kereta!

“Jangan ganggu anakku! Setan, perampok jahat...! Tolooonnggg...!” Ibu dara itu menjerit, akan tetapi kembali tubuhnya terlempar ke luar dari dalam kereta ketika didorong oleh kepala rampok yang sudah menyambar lengan Si Dara dan ditarik lalu didekapnya. Dara itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan tidak ada suara keluar dari mulutnya saking takut, hanya matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci yang ketakutan.

Karena ibu dara itu pun belum tua benar dan memang cantik, begitu melihat dia terlempar dari kereta sehingga bajunya tersingkap dan kelihatan bentuk dadanya yang masih padat, seorang perampok segera menubruk dan menciuminya, hendak memperkosanya di tempat itu juga, di dekat Si Suami yang mulai merangkak bangun sambil memegangi lengan kiri yang patah tulangnya ketika dia terjatuh tadi!

“Bretttt!” Perampok itu sudah merobek baju wanita itu dan Si Wanita selain meronta-ronta juga menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu melawan Si Perampok yang jauh lebih kuat dan yang tertawa-tawa senang melihat korbannya melakukan perlawanan itu.

Sementara itu Si Dara jelita yang dipondong oleh kepala rampok menjerit-jerit dan menggunakan kedua tangannya memukuli dada perampok itu, akan tetapi Si Kepala Perampok tertawa-tawa bergelak dan membawa anak dara yang meronta-ronta itu ke belakang semak-semak, diiringi gelak tawa anak buahnya.

Tiba-tiba kepala rampok itu terbelalak ketika melihat seorang laki-laki secara aneh sekali tahu-tahu telah berada di depannya. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian mewah dan berwajah tampan, dengan sepasang mata seperti mata setan, tajam mengerikan!

“Lepaskan dara itu!” Laki-laki itu berkata dengan sikap dingin, suaranya memerintah, seperti seorang bangsawan memerintah pelayannya saja.

Tahulah Si Kepala Rampok bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang hendak menentangnya. Sambil tertawa dia melempar dara itu ke atas rumput, kemudian berkata, “Kiranya masih ada yang belum mampus, keparat!”

Dia menggerakkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar berkelebat disusul pekik Si Kepala Rampok yang melihat betapa lengan kanannya terbang bersama ruyungnya, darah muncrat dari pangkal lengan kanan yang buntung!

“Singgg...” crottt!” Kembali sinar berkelebat dan kini pangkal lengan kirinya yang buntung!

Si Kepala Rampok menjerit mengerikan sebelum tubuhnya terjengkang rohoh, matanya terbelalak dan ia berkelojotan dalam sekarat!

Karena para perampok sedang sibuk dengan kesenangan masing-masing, membongkar-bongkar barang berharga, mereka tidak melihat peristiwa aneh itu. Ketika Si Perampok tengah berusaha memperkosa ibu Si Dara yang melakukan perlawanan keras, tiba-tiba perampok itu memekik nyaring dan tubuhnya terlempar ke belakang, lambungnya robek dan ususnya keluar.

Barulah para perampok sadar bahwa ada seorang pengacau! Mereka cepat mengurung laki-laki perkasa itu dan gegerlah mereka setelah ada yang melihat betapa kepala rampok pemimpin mereka itu telah berkelojotan dengan kedua lengan buntung! Sisa gerombolan perampok yang masih ada tiga puluh orang lebih itu kini mengurung dan menyerbu laki-laki itu dan menghujankan senjata.

Akan tetapi laki-laki itu memutar pedang yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung, tubuhnya berkelebat ke sana-sini dan terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya para perampok itu seorang demi seorang! Keadaan di tempat itu sungguh mengerikan dan akhirnya, semua perampok roboh dan tewas, kecuali seorang yang berusaha melarikan diri. Laki-laki itu menoleh ke arah perampok yang melarikan diri, kakinya mencongkel sebatang golok yang terletak di atas tanah, menendang dan terdengarlah jerit perampok itu yang roboh dengan golok menembus punggung!

Selesailah pertandingan itu dan keadaan menjadi sunyi sekali, kecuali suara isak tangis ibu dan anak yang saling merangkul, dan suara ayah Si Dara yang menghibur mereka. Di sekeliling tempat itu penuh dengan mayat! Di tengah-tengah tempat mengerikan itu, berdirilah laki-laki setengah tua yang tampan tadi, kini tersenyum-senyum dan matanya ditujukan kepada Si Dara yang sedang menangis bersama ibunya.

Ayah Si Dara itu bangkit dan mengajak anak isterinya menghampiri pendekar itu, berlutut dan memberi hormat. “Taihiap, kami sekeluarga menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap,” kata Si Ayah.

“Bangunlah, sudah sepatutnya kalau aku menolong kalian, terutama sekali mengingat akan puterimu. Semua ini berkat nasib puterimu yang amat baik,” terdengar pendekar itu berkata.

Mendengar suara yang halus itu, Si Dara mengangkat muka dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali. Tadi dia melihat wajah menyeramkan dari Si Kepala Rampok yang hampir saja memperkosanya. Kini melihat wajah amat tampan dan gagah dari pria yang telah menyelamatkannya, hati siapa yang tidak akan berdebar dan tertarik?

“Pertolongan Inkong lebih berharga dari pada nyawa dan sampai mati pun saya tidak akan melupakannya,” dara itu berbisik dengan suara mengandung isak karena bersyukur.

Laki-laki perkasa itu membungkuk, menyentuh kedua pundak dara itu dengan sentuhan mesra, menyuruhnya bangkit. “Aku pun merasa bahagia sekali dapat menyelamatkan dirimu, Nona.”

“Taihiap, kami adalah keluarga Kwa dari Tai-goan yang hendak pindah ke Lok-yang. Bolehkah kami mengetahui nama besar Taihiap dan mempersilakan Taihiap singgah di tempat kediaman baru kami?” kata pula Kwa Liok, ayah Si Dara itu.

“Namaku adalah Suma Hoat, dan tentu saja saya suka singgah karena memang saya pun hendak ke Lok-yang, sekalian akan saya kawani kalian sampai ke Lok-yang dengan selamat. Silakan naik kereta, biar aku yang akan mengemudikannya.”

Ketika keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu sudah naik kereta, Suma Hoat bertanya, “Milik siapakah barang-barang di dalam kereta kedua di belakang itu?”

“Bukan milik kami Taihiap. Mungkin barang-barang kiriman yang dikawal oleh rombongan piauwsu. Kami hanya ikut rombongan dengan membayar biaya pengawalan, kami keluarga miskin tidak membawa barang apa-apa kecuali bungkusan-bungkusan dalam kereta ini.”

Suma Hoat mengangguk-angguk, meloncat ke belakang dan setelah memilih dan mengantongi beberapa benda berharga dari emas permata, dia lalu kembali ke kereta, naik ke tempat di depan dan mencambuk dua ekor kuda yang tadi ketakutan itu sehingga dua ekor binatang itu membalap ke depan menarik kereta.

Setelah tiba di rumah keluarga Kwa di Lok-yang, tentu saja Suma Hoat diterima sebagai tamu agung, dihormati oleh suami isteri Kwa dan terutama oleh puterinya, Kwa Bi Kiok yang benar-benar merasa kagum dan berhutang budi kepada penolongnya itu. Dara ini memang cantik manis, maka tidaklah mengherankan apa bila timbul rasa suka di hati Jai-hwa-sian terhadap gadis itu!

Seperti biasa, begitu hatinya tergerak, begitu nafsunya terangsang, dia harus mendapatkan gadis itu dan kebetulan sekali, terhadap Bi Kiok, Suma Hoat tidak perlu mempergunakan kekerasan karena ketika pada malam harinya dia memasuki kamar gadis itu, dia diterima dengan penuh kemesraan dan cinta kasih!

Sekali ini tidak seperti biasanya, Suma Hoat jatuh hati terhadap Bi Kiok. Biasanya, setelah gairah nafsunya terlaksana terhadap seorang wanita yang dikehendakinya, dia tidak mau menengok lagi dan meninggalkan si korban begitu saja. Akan tetapi entah mengapa, terhadap Bi Kiok dia tidak dapat bersikap demikian. Timbul rasa cinta dan kasihan terhadap gadis ini, dan di dalam diri Bi Kiok dia seolah-olah menemukan sesuatu yang dicari-carinya, bagaikan seekor burung yang gelisah menemukan pohon yang cocok untuk berteduh seperti sebuah perahu menentukan pangkalan yang tepat untuk berlabuh. Ataukah, mungkin juga dia menemukan cinta, bukan hanya nafsu birahi seperti biasanya?

Malam hari itu dia tinggal di rumah Kwa Bi Kiok, bahkan dia menghadiahkan semua barang-barang berharga, perhiasan-perhiasan indah mahal kepada kekasih barunya ini. Dia menjadi amat ‘jinak’, tidak pernah keluar rumah. Apa lagi setelah ayah bunda Bi Kiok mengetahui akan hubungan antara penolong mereka dan puteri mereka, peristiwa yang mereka sesalkan akan tetapi mereka tidak berani mencegah atau melarangnya, Suma Hoat hidup di dalam rumah itu sebagai pengantin baru dengan Bi Kiok yang ternyata amat mencintanya.

Makin mendalam perasaan Suma Hoat terhadap Bi Kiok ketika tiga bulan kemudian kekasihnya itu mengandung! Kalau saja dia tidak khawatir akan datangnya mala-petaka, tentu dia akan menikah secara resmi dengan kekasihnya itu. Akan tetapi betapa mungkin dia melakukan pernikahan? Begitu namanya tersiar, tentu akan datang musuh-musuh besar yang selalu mencarinya, dan gadis yang menjadi isterinya tentu akan dimusuhi pula.

Bahkan sampai tiga bulan tinggal di dalam kota Lok-yang ini saja sudah merupakan hal yang amat berbahaya dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya dia selalu berpindah-pindah, tidak lebih dari sepekan saja berada di sebuah kota. Akan tetapi, karena Bi Kiok, dia kini telah tiga bulan berada di Lok-yang. Biar pun selama tiga bulan itu dia tidak pernah keluar dari dalam rumah, apa lagi melakukan perbuatannya sebagai Jai-hwa-sian, namun sudah amat berbahaya.

Pada suatu malam, terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh Jai-hwa-sian. Selagi tidur bersama Bi Kiok yang pulas dalam pelukannya, dia mendengar gerakan yang perlahan sekali di atas rumah! Dia menengok dan memandang wajah kekasihnya, wajah yang cantik manis dan gemilang mengeluarkan cahaya cemerlang seperti biasa wajah seorang wanita yang mengandung, tidur pulas dengan bibir tersenyum penuh kepuasan dan kebahagiaan. Jantung Suma Hoat seperti ditusuk rasanya. Dia mencinta wanita ini! Hati-hati sekali dia menarik lengannya yang dijadikan bantal oleh kepala Bi Kiok, cepat mengenakan pakaian dan sekali berkelebat, dia telah meloncat ke luar dari kamar membawa pedangnya.

Tepat seperti apa yang diduga dan dikhwatirkannya, begitu tubuhnya melayang naik ke atas genteng, lima orang telah menghadapinya!

“Jai-hwa-sian, iblis keparat, serahkan nyawamu kepada kami!” seorang di antara mereka membentak. Tanpa menanti jawaban, lima orang itu telah menerjang maju serentak dengan senjata mereka.

Suma Hoat tidak ingin mengagetkan kekasihnya, juga tidak ingin kekasihnya tahu akan keadaan dirinya, maka dia hanya mengelak lalu melarikan diri untuk memancing musuh-musuhnya itu melakukan pengejaran. Maka dia tidak berlari terlalu cepat sehingga musuh-musuhnya mampu menyusulnya keluar dari kota Lok-yang.

Akan tetapi yang mengejar Suma Hoat hanya empat orang, sedangkan orang ke lima, seorang hwesio, telah melayang turun dan memasuki rumah keluarga Kwa. Kwa Liok telah bangun karena kaget mendengar suara berisik tadi, dan melihat seorang hwesio di situ, dia kaget dan heran sekali. Akan tetapi, hwesio yang berwajah tenang itu segera berkata,

“Harap engkau tidak kaget dan lebih baik kau lekas melihat keadaan puterimu. Pinceng percaya bahwa engkau tentu mempunyai seorang gadis.”

Tentu saja Kwa Liok bingung dan heran. Dia menangguk, menelan ludah dan berkata, “Memang, Twa-suhu, kami mempunyai seorang anak perempuan, akan tetapi... mengapa...?”

”Lekas, lihat ke dalam kamarnya!” Hwesio itu mendekat dengan alis berkerut karena dia khawatir kalau-kalau Jai-hwa-sian telah memperkosa puteri tuan rumah ini.

Biar pun ragu-ragu dan heran, Kwa Liok menghampiri kamar puterinya. Tiba-tiba muncul isterinya yang menjadi pucat melihat seorang hwesio bersama suaminya menghampiri kamar puterinya. Tanpa bertanya, dia ikut menghampiri kamar itu. Pintu kamar ditekuk perlahan oleh Kwa Liok yang memanggil-manggil nama anaknya.

Tak lama kemudian terdengar jawaban, “Ehmmm...? Siapa...? Eihh, ke mana perginya...?”

“Bi Kiok, engkau tidak apa-apa?” Kwa Liok bertanya dan isterinya memandang bingung.

Daun pintu terbuka dan Bi Kiok terkejut, cepat-cepat menutupkan bajunya yang terbuka sedikit ketika melihat seorang hwesio bersama ayah bundanya. “Eh, ada apakah, Ayah?”

”Omitohud...!” Hwesio itu menarik napas panjang dan merasa lega. “Untung bahwa Tuhan masih melindungi puterimu dari cengkeraman keji Jai-hwa-sian.”

Kwa Liok, isterinya, dan Bi Kiok terkejut. “Jai-hwa-sian...?” Tentu saja mereka telah mendengar nama penjahat yang ditakuti ini, dan Kwa Liok menyebut nama itu dengan penuh pertanyaan.

“Ya, benar, baru saja kami berlima menyerbu setelah mendengar kabar bahwa Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang kami cari-cari itu berada di rumah ini. Dia tadi telah kabur dan dikejar teman-teman pinceng. Akan tetapi, melihat bahwa anakmu masih selamat, sebaiknya sekarang juga kalian segera pergi dari tempat ini. Biasanya kalau Jai-hwa-sian belum berhasil mendapatkan korbannya, dia akan penasaran dan akan terus melakukan pengejaran.”

“Tapi... tapi...” Kwa Liok tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia merasa bingung sekali.

“Biar pun teman-teman pinceng tadi mengejarnya, belum tentu mereka dapat menangkap atau membunuhnya. Dia amat lihai dan kejam. Untung bahwa anakmu masih belum menjadi korban, tadinya pinceng mengira dan mengkhawatirkan, seperti yang sudah-sudah, anakmu sudah menjadi mayat.”

“Lo-suhu, siapakah yang kau maksudkan dengan Jai-hwa-sian itu? Yang berada di sini sama sekali bukan Jai-hwa-sian, melainkan... eh, suamiku... Suma Hoat, bukan Jai-hwa-sian...” Bi Kiok yang mendengarkan dengan muka pucat ini tiba-tiba tak dapat menahan hatinya dan berkata dengan tegas. Biar pun dia belum menikah secara resmi dengan kekasihnya, namun Suma Hoat sudah dianggap sebagai suaminya sendiri, maka kini mendengar suaminya dituduh sebagai Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang sudah terkenal di mana-mana, tentu saja dia tidak senang dan membantah.

“Omitohud... suamimu...? Apa artinya ini...? Suma Hoat adalah Jai-hwa-sian, Jai-hwa-sian adalah Suma Hoat... haittt!” Tiba-tiba hwesio itu melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran sebatang jarum yang datang dari atas. Sambil bergulingan, hwesio itu memutar toyanya, kemudian melompat bangun dan berhadapan dengan Suma Hoat yang telah meloncat turun.

“Jai-hwa-sian...!” Hwesio itu membentak, matanya terbelalak penuh kaget dan heran mengapa orang yang dikejar-kejar empat orang temannya tadi tahu-tahu telah muncul di situ.

“Hemmm, agaknya engkau murid Siauw-lim-pai, ya? Nah, mampuslah seperti empat orang kawanmu!”

Suma Hoat menggerakkan pedangnya menerjang ke depan. Hwesio itu cepat menangkis dan terjadilah pertandingan di dalam rumah keluarga Kwa. Ternyata hwesio itu bukan tandingan Suma Hoat. Baru dua puluh jurus lebih saja, pundaknya terbabat pedang dan toyanya terlepas. Hwesio itu meloncat ke luar dari rumah, melarikan diri.

“Engkau hendak lari ke mana?” Suma Hoat membentak, akan tetapi tiba-tiba Bi Kiok menubruk. Wanita ini memeluk dan menangis.

“Engkau... engkau... benarkah engkau Jai-hwa-sian...?”

Suma Hoat merangkul pundak kekasihnya, mengusap rambut yang awut-awutan itu dan menghela napas. “Bi Kiok, kekasihku, dewi pujaan hatiku calon ibu anakku... siapa pun adanya aku, engkau yakin bahwa aku mencintamu, bukan?”

Bi Kiok mengangkat muka memandang wajah orang yang dicintanya itu, terisak, merangkul leher memaksa muka Suma Hoat mendekat, lalu menempelkan pipinya pada pipi kekasihnya. Sambil menangis dia hanya mengangguk-angguk, tak mampu menjawab karena dia bingung sekali. Pria yang dipeluknya ini adalah laki-laki yang dicintanya, benarkah orang yang dianggapnya paling mulia di dunia ini adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang telah memperkosa ratusan orang wanita dan membunuh korbannya secara keji? Benarkah ini? Sukar untuk mempercayai hal ini!

“Bi Kiok, hwesio tadi benar. Aku memang Jai-hwa-sian, bekas penjahat cabul yang kejam. Kukatakan bekas, karena setelah bertemu denganmu, aku tidak mau lagi melakukan kejahatan itu. Dan hwesio tadi benar bahwa engkau dan ayah bundamu harus segera pergi dari sini, malam ini juga. Bukan takut kepadaku, melainkan takut kepada orang-orang kang-ouw yang memusuhiku. Kalau mereka tahu bahwa engkau telah menjadi kekasihku, menjadi isteriku, menjadi calon ibu anakku, tentu engkau akan terbawa-bawa, akan dimusuhinya pula. Sebentar lagi pun mereka tentu akan menyerbu rumah ini. Bi Kiok, pergilah engkau.”

“Suma-koko... aku mau mati di sampingmu...” Bi Kiok menangis.

“Suma-taihiap, bagaimanakah ini...?” Kwa Liok akhirnya berkata dengan bingung.

”Apa yang kalian dengar dari hwesio tadi benar semua. Malam ini juga, kalian bertiga harus pergi dari sini. Saudara Kwa, bawa Bi Kiok pergi dari kota ini. Bawalah pergi ke kota Han-tiong di lembah sungai di kaki Pegunungan Ta-pa-san. Temui seorang tokoh kang-ouw bernama Im-yang Seng-cu, kau tanya-tanya di sana tentu akan bertemu. Mintalah perlindungan kepadanya. Dia sahabat baikku, kalau membawa surat ini tentu dia akan mellndungi Bi Kiok sampai Bi Kiok melahirkan, dan sebelum itu aku akan berusaha untuk menyusul ke sana...”

Suma Hoat menyerahkan sepucuk surat dan sebuah pundi-pundi. “Ini adalah uang emas untuk bekal di perjalanan. Nah, berangkatlah...”

Kwa Liok hanya mengangguk-angguk tak mampu menjawab saking bingungnya. Dia dan isterinya lalu lari ke dalam kamar untuk berkemas, mempersiapkan barang yang kiranya dapat mereka bawa melarikan diri. Akan tetapi Bi Kiok menubruk dan memeluk kekasihnya sambil menangis. Sampai ayah bundanya datang lagi mengajaknya, dia masih menangis sehingga terpaksa Suma Hoat melepaskan pelukannya dan setengah diseret wanita itu dipaksa meninggalkan rumah di malam buta.

Suma Hoat berdiri dengan jantung berdebar, ingin lari menyusul wanita yang tangisnya masih terdengar olehnya, makin lama makin lirih itu. Semangatnya seperti terbawa pergi, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan dia makin yakin bahwa dia benar-benar mencinta Bi Kiok! Bukan cinta birahi, melainkan cinta seorang suami terhadap isterinya, cinta seorang pria terhadap wanita yang akan menjadi ibu anaknya!

Tiba-tiba ia sadar dari lamunan ketika mendengar gerakan orang. Dia meloncat ke luar rumah dan di depan rumah itu telah terdapat belasan orang mengurung! Suma Hoat tersenyum mengejek, lalu berkata, “Apa kalian sudah bosan hidup? Mau apa kalian mencari Jai-hwa-sian?”

“Jai-hwa-sian iblis jahat. Kalau belum membunuhmu, sampai dunia kiamat kami orang-orang kang-ouw akan selalu mencarimu!”

Suma Hoat tertawa melengking dan meloncat ke depan, disambut oleh belasan batang senjata yang mengeroyoknya hingga terdengar suara senjata beradu keras sekali. Suma Hoat mengamuk dan setelah merobohkan lima orang lawan, dia terpaksa melarikan diri karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai ilmu silatnya, sedangkan malam hampir berganti pagi. Dengan cepat dia melarikan diri ke luar dari kota Lok-yang, menuju ke utara untuk memancing mereka menjauhi arah yang ditempuh Bi Kiok dan ayah bundanya.

Setelah dapat membebaskan diri dari para pengejarnya, Suma Hoat mengambil jalan memutar menuju ke kota Han-tiong menyusul rombongan kekasihnya. Dia sengaja mengambil jalan jauh dan memutar agar jangan sampai ada orang tahu tempat tinggal Bi Kiok kalau-kalau ada yang melihat dan membayanginya.

Karena perjalanan yang memutar ini, setelah tiga bulan barulah dia tiba di kaki Pegunungan Ta-pa-san, memasuki kota Han-tiong dan mencari kekasihnya. Akan tetapi hasilnya sia-sia. Keluarga Kwa Liok tidak berada di kota itu. Dia sudah mencari ke sekeliling kota, sudah bertanya-tanya, akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan rombongan tiga orang itu! Akhirnya Suma Hoat bertemu dengan Im-yang Seng-cu, sahabat lamanya yang tinggal di dalam pondok kecil di sebuah hutan di luar kota Han-tiong.

“Aihhh, Jai-hwa-sian, angin apa yang membawamu ke sini?” Im-yang Seng-cu cepat menyambut sahabatnya itu dan menegur gembira.

Dengan singkat Suma Hoat lalu menceritakan tentang pilihan hatinya yang baru, tentang Bi Kiok dan orang tuanya yang disuruh melarikan diri ke Han-tiong karena dia dikejar-kejar oleh musuh-musuhnya.

“Sudah lebih dari tiga bulan mereka pergi, mestinya sudah berada di Han-tiong, akan tetapi kucari-cari mereka tidak ada di sini, bahkan agaknya tidak pernah datang ke Han-tiong. Jangan-jangan ada halangan di jalan...” Suma Hoat kelihatan gelisah sekali memikirkan kekasihnya.

Im-yang Seng-cu memandang heran. “Sahabatku, tidak kelirukah pendengaranku dan penglihatanku bahwa agaknya engkau amat memperhatikan wanita yang kau cari ini?”

”Memperhatikan? Im-yang Seng-cu, aku mencintanya! Mencinta dengan seluruh tubuh dan nyawa!”

“Kau? Mencinta? Ha-ha, Jai-hwa-sian, harap jangan mempermainkan aku! Di waktu muda belia saja tidak pernah mengenal cinta, apa lagi setelah kini rambutmu mulai ada ubannya!”

“Sungguh aku tidak main-main. Aku telah menemukan cintaku, Im-yang Seng-cu. Dia adalah wanita satu-satunya yang sampai kini berhasil merebut kasihku, menghentikan semua petualanganku, dan... dan dia sudah mengandung. Dia isteriku, dan aku harus dapat menemukan dia...! Ahhh, jangan-jangan dia tertimpa halangan. Aku harus pergi sekarang juga!” Jai-hwa-sian akan meloncat bangkit dengan wajah keruh dan penuh kekhawatiran.

“Eh-eh, ke mana, sahabatku?”

“Aku harus mencarinya. Dia dan ayah bundanya berangkat dari Lok-yang menuju ke sini, aku akan menyelusuri jalan itu sampai ke Lok-yang. Sampai jumpa, sahabatku!” Jai-hwa-sian meninggalkan Im-yang Seng-cu yang berdiri bengong di depan pondoknya, menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

“Aihhh... sungguh kasihan. Makin tua makin terlibat urusan hati sendiri!” Im-yang Seng-cu yang biasanya memang suka merantau menjadi tidak kerasan di pondoknya, dan beberapa hari kemudian Im-yang Seng-cu juga meninggalkan pondok dan mengambil jurusan ke Lok-yang karena dia merasa khawatir melihat sikap sahabatnya yang dianggapnya tidak seperti biasa.

Istana Pulau Es Jilid 39 karya kho ping hoo


Kedatangan kembali Suma Hoat ke Lok-yang sama dengan ular mencari penggebuk. Musuh-musuhnya masih berada di Lok-yang dan masih mencari-carinya di sekitar tempat itu. Maka begitu dia memasuki daerah ini, di luar kota dia sudah bertemu dan dikepung belasan orang kang-ouw yang dipimpin oleh Ceng San Hwesio, seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai yang telah dicalonkan menjadi ketua!

Ceng San Hwesio ini adalah murid keponakan Kian Ti Hosiang dan karena dia dianggap seorang calon yang kuat dan tepat, Kian Ti Hosiang yang sakti berkenan menurunkan beberapa ilmu kepandaian kepadanya sehingga kini hwesio Siauw-lim-pai ini memiliki tingkat ilmu silat yang hebat!

Sekilas pandang saja tahulah Suma Hoat bahwa sekali ini dia harus menghadapi pertandingan berat karena yang menghadangnya terdiri dari tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, semua berjumlah empat belas orang dan dari sikap mereka, para penghadangnya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi kegelisahan hati dan kelakuannya karena kehilangan kekasihnya membuat Suma Hoat tidak sempat memikirkan diri sendiri, bahkan langsung dia bertanya,

“Kalian adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang katanya terdiri dari orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Kalau kalian memusuhi Jai-hwa-sian, mengapa kalian mengganggu seorang wanita yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa?”

“Omitohud...!” Ceng San Hwesio menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak berambut. “Engkau sendiri telah melakukan dosa besar terhadap ratusan orang wanita yang tidak berdosa, sekarang menuduh kami mengganggu seorang wanita! Jai-hwa-sian, apa maksud kata-katamu itu?”

“Tidak perlu berpura-pura atau menyangkal! Di dunia ini yang memusuhi Jai-hwa-sian adalah orang-orang macam kalian ini! Sekarang isteriku lenyap, tentu kalian yang telah menyembunyikan dan menculiknya. Kembalikan isteriku, baru aku akan dapat mengampuni kalian!” Suma Hoat mencabut pedangnya.

“Siancai... orang ini benar-benar tak tahu diri!” Seorang tosu Hoa-san-pai berseru marah. Seruannya ini agaknya merupakan dorongan kepada mereka semua yang serentak menerjang maju mengeroyok Suma Hoat.

Suma Hoat terkejut juga. Benar dugaannya. Para pengeroyoknya ini tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok yang lalu. Selain pemimpin hwesio Siauw-lim-pai itu lihai sekali, juga pemimpin orang-orang Hoa-san-pai adalah wakil Ketua Hoa-san-pai, tentu saja memiliki kepandaian yang hebat pula. Namun dia sudah marah sekali karena menduga keras bahwa kekasihnya tentu celaka di tangan mereka ini, maka dia mengamuk seperti seekor naga terluka!

Namun jumlah musuh terlalu banyak dan tingkat kepandaian Ceng San Hwesio dan wakil ketua Hoa-san-pai terlalu tinggi, maka setelah melakukan perlawanan selama satu jam lebih, biar pun dia berhasil merobohkan tiga orang dan melukai tiga orang lain lagi, dia sendiri pun menderita luka parah di leher, pundak dan lambungnya! Dengan luka-luka berat, Suma Hoat terpaksa melarikan diri, dikejar-kejar oleh para pengeroyoknya.

Akan tetapi hujan jarum beracun yang disebarkan oleh Suma Hoat membuat para pengeroyok dan pengejar itu terpaksa menunda pengejaran dan Suma Hoat berhasil lolos dan menghilang ke dalam hutan yang lebat. Maklum akan kelihaian Jai-hwa-sian dengan senjata-senjata rahasianya, Ceng San Hwesio dan kawan-kawannya tidak berani melakukan pengejaran terus, melainkan kembali ke tempat tadi untuk mengurus dan merawat teman-teman yang terluka dan tewas.

Luka-luka yang diderita oleh Suma Hoat amat parah. Dia lelah sekali dan tiga luka di tubuhnya amat nyeri, juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Ini semua masih tidak sehebat derita yang terasa di hatinya yaitu akan kenyataan bahwa kekasihnya, Kwa Bi Kiok, calon ibu anaknya telah lenyap! Penderitaan lahir batin ini membuat Suma Hoat tergelimpang di dalam hutan dalam keadaan pingsan!

Ketika Jai-hwa-sian siuman kembali dan membuka matanya, ternyata Im-yang Seng-cu telah berlutut di dekatnya dan luka-luka di tubuhnya telah diobati oleh sahabat itu.

”Luka-lukamu hebat sekali, engkau perlu beristirahat. Terlalu banyak engkau kehilangan darah,” Im-yang Seng-cu berkata.

“Musuh-musuhku... terlalu lihai... terutama hwesio Siauw-lim dan tosu Hoa-san itu...”

Im-yang Seng-cu mengangguk dan menarik napas panjang. “Sayang sekali engkau tak pernah menghentikan kesenangan yang sesat sehingga engkau dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka itu lihai karena hwesio itu adalah tokoh Siauw-lim-pai calon ketua, namanya Ceng San Hwesio. Ada pun tosu tua itu adalah paman guruku, Thian Cu Cinjin, juga calon ketua Hoa-san-pai!”

Suma Hoat terkejut. “Aahhh... pantas kalau begitu... aku tidak penasaran terluka parah... akan tetapi, tidak mengapalah, yang memusingkan aku adalah lenyapnya Bi Kiok...” Ia berhenti sebentar dan menerima air yang diminumkan oleh Im-yang Seng-cu. “Tentu dia celaka di tangan mereka yang memusuhiku.”

“Tidak, Jai-hwa-sian. Aku pun sudah membantumu melakukan penyelidikan. Tidak ada tokoh kang-ouw yang mengganggu kekasihmu dan ayah bundanya. Aku percaya kalau mereka itu sengaja melarikan diri darimu, entah bersembunyi di mana.”

“Tidak mungkin! Bi Kiok mencintaku! Tidak mungkin dia lari dariku!” Suma Hoat berkata penuh semangat dan kepercayaan.

“Gadis itu mungkin mencintamu dan tidak akan meninggalkan, akan tetapi orang tuanya? Orang tua manakah yang akan senang mempunyai mantu Jai-hwa-sian yang lebih terkenal jahat dan keji? Tentu mereka tidak rela puterinya menjadi isteri Jai-hwa-sian dan telah melarikan dan menyembunyikannya.”

“Kalau begitu, akan kubunuh mereka, dan kurampas Bi Kiok!”

Im-yang Seng-cu menghela napas panjang. “Itulah yang menyedihkan hatiku, sahabatku. Engkau seorang yang gagah perkasa, akan tetapi dalam hal satu ini, engkau seorang yang amat lemah dan kelemahanmu membuat engkau mudah saja berubah menjadi seorang iblis yang amat kejam!”

“Ahhhh... akan tetapi dia adalah wanita yang kucinta, dan dia sudah mengandung... anakku...” Suma Hoat terengah-engah dan memejamkan kedua matanya, merintih penuh kedukaan dan penasaran.

Melihat ini Im-yang Seng-cu merasa kasihan. Agaknya sahabatnya ini mulai memetik buah-buah dari perbuatannya sendiri, buah-buah yang pahit getir.

“Biarlah aku akan membantumu mencari Bi Kiok, akan tetapi yang terpenting sekarang, luka-lukamu amat parah dan berbahaya, harus dirawat dan diobati lebih dulu.”

“Jangan pedulikan aku, pergilah kau dan bantu aku mencari Bi Kiok. Im-yang Seng-cu, kalau kau bisa menemukan dan mengembalikan Bi Kiok kepadaku, selama hidupku aku takkan melupakan kebaikan budimu.”

“Tidak ada budi antara sahabat. Aku akan membantumu, akan tetapi lebih dulu harus dipikirkan keadaanmu. Kalau tidak mendapat rawatan yang baik, luka-luka ini bisa menyeret nyawamu. Apa artinya aku berhasil menemukan Bi Kiok kalau engkau mati karena luka-luka ini?”

Tiba-tiba Suma Hoat memegang tangan sahabatnya. “Aku harus bertemu dengan ayahku. Aku telah berdosa besar kepadanya. Aku seorang anak yang tidak berbakti. Bawalah aku kepada Ayah, engkau tahu dia di mana, bukan? Aku mendengar dia kini berada di Tai-hang-san...”

Im-yang Seng-cu mengangguk. “Baiklah, aku pun pernah mendengar bahwa ayahmu itu kini menjadi pertapa di puncak In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san.” Im-yang Seng-cu lalu memondong tubuh sahabatnya dan dibawalah Suma Hoat menuju ke Tai-hang-san.

Sebetulnya, apakah yang terjadi dengan diri Kwa Bi Kiok dan ayah bundanya? Tepat seperti yang diperkirakan Im-yang Seng-cu, tidak ada sesuatu menimpa diri wanita muda ini, karena mereka itu memang tidak memenuhi permintaan Suma Hoat dan tidak melarikan diri ke kota Han-tiong. Ketika mendapat kenyataan bahwa puterinya menjadi kekasih Jai-hwa-sian, Kwa Liok menjadi terkejut, menyesal dan penasaran sekali. Jai-hwa-sian adalah seorang penjahat yang sudah terkenal keganasannya, tukang perkosa dan tukang bunuh wanita. Mungkin sekarang, sebelum bosan, anaknya dicinta, akan tetapi siapa tahu kalau penjahat itu sudah bosan? Tentu anaknya akan dibunuh, dan dia bersama isterinya tentu tidak akan terluput dari kebinasaan!

Di samping ngeri akan kemungkinan menjadi korban kekejaman Jai-hwa-sian ini, juga andai kata dia membiarkan anaknya menjadi isteri Jai-hwa-sian, tentu selamanya anaknya akan menjadi korban pula kalau Jai-hwa-sian akhirnya terbunuh oleh orang-orang gagah dan pemerintah yang sudah lama mencari-cari penjahat itu. Karena pikiran inilah, biar pun Bi Kiok mengeluh dan menangis minta diantar ke Han-tiong, Kwa Liok tetap memaksa anak dan isterinya untuk melarikan diri ke lain jurusan, yaitu jauh ke selatan, menuju ke kota Nan-king!

Rombongan ini tidak kepalang-tanggung dalam usaha mereka menjauhkan diri karena mereka lari jauh sekali, sampai memakan waktu berbulan-bulan dan Kwa Liok yang cerdik telah mengganti nama dan nama keturunan mereka untuk menghilangkan jejaknya.

Akhirnya, Kwa Liok bertempat tinggal di kota kecil Kam-chi dekat Nan-king. Kepada para tetangga barunya dia mengatakan bahwa puterinya adalah seorang janda, ditinggal mati suaminya yang bernama Sie Hoat. Setelah Bi Kiok melahirkan seorang anak laki-laki, Kwa Liok memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil Sie Bun An ini dijauhkan dari segala yang berbau silat! Sie Bun An tumbuh besar dalam didikan bun (sastra) dan sama sekali buta silat!

Demikianlah, Bi Kiok lenyap dari kehidupan Suma Hoat dan tak mungkin dapat dicari lagi. Ada pun Suma Hoat sendiri, yang masih amat lemah tubuhnya, diantar oleh Im-yang Seng-cu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kiat bekas panglima besar yang menjadi buronan karena persekutuan dengan pihak Yucen itu melarikan diri bersama selirnya yang tercinta, Bu Ci Goat dan muridnya yang setia, Siangkoan Lee, menuju ke Tai-hang-san. Di puncak In-kok-san yang indah, mereka mendirikan rumah dan hidup cukup mewah karena ketika pergi mereka tidak lupa membawa banyak harta benda.

Suma Kiat sudah tua sekali, akan tetapi masih mendelik marah ketika Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat menghadap. “Aku tidak mempunyai anak bernama Suma Hoat!” bentaknya. “Im-yang Seng-cu, kalau tidak mengingat mendiang gurumu, Tee Cu Cinjin yang menjadi sahabatku, tentu engkau sudah kubunuh sekarang juga, berani lancang membawa manusia ini menghadapku!”

Mendengar ucapan ayahnya itu, Suma Hoat yang masih lemah itu merasa berduka sekali, akan tetapi dia tetap berlutut dan tidak berkata apa-apa. Sebaliknya Im-yang Seng-cu menjadi penasaran. Dia sudah mengenal baik Suma Kiat yang dahulu menjadi sahabat suhu-nya, bahkan dahulu di waktu dia masih kecil, kalau Suma Kiat mengunjungi gurunya, Suma Kiat bersikap baik kepadanya dan memperlihatkan rasa sayang besar. Akan tetapi dia pun maklum siapa adanya Suma Kiat, seorang yang selalu haus akan kedudukan dan kemuliaan, seorang yang tidak segan-segan melakukan kekejaman apa pun demi tercapainya cita-citanya mengejar kemuliaan.

“Suma-locianpwe,” katanya dengan berani. “Suma Hoat adalah putera tunggalmu, sekarang sedang menderita luka parah dan perlu perawatan khusus. Saya tidak percaya bahwa Locianpwe akan tega membiarkannya menghadapi ancaman maut. Andai kata dia telah melakukan kesalahan-kesalahan terhadap Locianpwe, saya mohon sudilah kiranya memaafkan putera sendiri.”

“Tutup mulut! Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai anak yang bernama Suma Hoat! Im-yang Seng-cu, aku dahulu menyayangmu di waktu engkau kecil karena engkau seorang anak baik yang tidak pernah menentangku, akan tetapi kalau sekarang engkau hendak menentangku, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan mengusirmu dari sini!”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa melengking nyaring disusul suara seorang wanita, “Bagus sekali, dasar manusia jahat seperti iblis, anak sendiri pun dikutuknya!”

“Maya...!” Tiba-tiba Suma Hoat yang berlutut berusaha melompat, akan tetapi roboh kembali karena tubuhnya masih lemah dan menderita pukulan batin mendengar ucapan ayahnya tadi yang benar-benar membuat hatinya makin remuk. Im-yang Seng-cu cepat memeluknya dan dengan mata terbelalak melihat betapa ada bayangan didahului sinar berkelebat menyambar ke arah tubuh Suma Kiat!

Kakek yang masih lihai sekali ini sudah mencabut pedangnya menangkis. Terdengar suara keras dan pedang di tangan Suma Kiat patah, tubuhnya roboh dan kembali bayangan itu berkelebat ke luar.

“Keparat, hendak lari ke mana?” Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat meloncat dan mengejar, akan tetapi baru sampai di pintu, kedua orang ini roboh dan bayangan itu berkelebat ke luar meninggalkan suara melengking dan mengerikan!

Bu Ci Goat yang lihai itu telah berhasil bangun lebih dulu dari pada Siangkoan Lee yang merangkak dan terengah-engah karena pukulan jarak jauh yang yang tadi membuat dadanya sesak. Bu Ci Goat cepat menghampiri suaminya dan terkejut melihat goresan pedang melukai leher dan dada suaminya.

Suma Kiat dipapah bangun, duduk di kursinya dan ketika melihat Suma Hoat, bangkit lagi kemarahannya, seolah-olah anaknyalah yang mendatangkan malapetaka itu. Telunjuknya menuding, "Pergi... Pergi kalian dari sini...!"

Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya, mengempit tubuh temannya dan membawanya ke luar. Anak murid In-kok-san yang berbaris di depan hanya memandang bengong. Mereka tidak berani mencampuri dan tadi ketika ada bayangan berkelebat cepat, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu.

Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee cepat merawat Suma Kiat. Akan tetapi, biar pun serangan pedang itu mendatangkan luka yang tidak berapa berat, serangan batin karena munculnya Suma Hoat lebih hebat dan membuat kakek ini jatuh sakit lagi, tidak mampu meninggalkan pembaringannya.

Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat pergi dan berhenti di sebuah lereng puncak pegunungan itu. Suma Hoat mengeluh minta diturunkan, lalu berkata, ”Im-yang Seng-cu, apakah engkau melihat dia tadi?”

Im-yang Seng-cu menggeleng kepalanya. “Orang itu gerakannya luar biasa sekali. Aku hanya tahu bahwa dia seorang wanita, entah tua ataukah muda, namun kecepatannya luar biasa sehingga aku tidak dapat mengenalnya. Tentu dia seorang yang sakti dan musuh Suma Kiat.”

“Dia adalah Maya... penghuni Pulau Es...”

Im-yang Seng-cu terkejut bukan main.

“Akan tetapi... mungkin hanya rohnya saja... dia... dia sudah mati...”

Mendengar ini, Im-yang Seng-cu makin bingung dan meraba dahi sahabatnya. “Engkau panas lagi. Harap jangan pikirkan apa-apa dan beristirahatiah.”

“Im-yang Seng-cu, engkau satu-satunya sahabatku. Kau penuhilah permintaanku. Kau tinggalkan aku di sini dan pergilah kau cari Bi Kiok.”

“Akan tetapi engkau perlu perawatan,” Im-yang Seng-cu membantah.

Tiba-tiba terdengar jawaban seorang wanita, “Biarlah aku yang akan merawatnya, Im-yang Seng-cu.”

Im-yang Seng-cu menengok dan melihat bahwa Bu Ci Goat, selir yang lihai dari Suma Kiat telah berdiri di situ. Biar pun usianya sudah lima puluhan tahun, namun wanita itu masih tampak cantik dan pakaiannya mewah.

“Jangan kau kawatir, biar pun ayahnya membencinya, aku tidak. Kau pergilah memenuhi permintaannya, aku yang akan merawatnya di sini.”

Im-yang Seng-cu masih ragu-ragu, menoleh kepada sahabatnya. Suma Hoat mengangguk dan berkata lemah, “Pergilah dan cari dia, Im-yang Seng-cu. Ibu tiriku akan merawatku di sini.”

Legalah hati Im-yang Seng-cu dan dia segera pergi meninggalkan sahabatnya bersama Bu Ci Goat. Setelah Im-yang Seng-cu pergi, Bu Ci Goat berlutut di dekat Suma Hoat, memeriksa keadaannya.

“Hemm, kulihat engkau telah diobati dengan baik dan hanya perlu beristirahat. Eh, Suma Hoat, siapakah adanya bayangan yang menyerang ayahmu tadi?”

Suma Hoat menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu...”

“Akan tetapi, engkau tadi menyebut nama Maya...”

“Mungkin dia, aku tidak yakin. Dia sudah mati ditelan badai... andai kata benar dia, agaknya dia kaget dan takut dikenal olehku, maka dia pergi lagi. Untung bagi Ayah...”

“Dia lihai bukan main!”

“Dia penghuni Pulau Es, tentu saja amat sakti...”

Mengingat akan cinta kasihnya dahulu, Bu Ci Goat merawat Suma Hoat di lereng itu dan menyuruh anak buahnya membangun sebuah pondok. Semua itu dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui oleh Suma Kiat yang juga jatuh sakit.

Setelah Suma Kiat jatuh sakit, maka tampaklah betapa Siangkoan Lee merupakan seorang yang pandai memimpin. Semua urusan berada di tangannya dan semua anak buah In-kok-san yang telah dikumpulkan untuk menyenangkan hati gurunya amat tunduk dan setia kepadanya. Juga ilmu kepandaian Siangkoan Lee menjadi hebat. Boleh dibilang seluruh ilmu gerakan telah dia kuasai, dan biar pun dibandingkan dengan Bu Ci Goat dia masih kalah setingkat, namun pada waktu itu, Siangkoan Lee telah menjadi seorang yang sukar dicari lawannya.

Munculnya Suma Hoat menimbulkan gairah cinta lama di hati Bu Ci Goat. Biar pun wanita ini secara diam-diam telah memuaskan nafsunya dengan pelayan-pelayan pria yang menjadi anak buah In-kok-san, namun begitu melihat Suma Hoat, timbul kembali cintanya, maka dia lalu melakukan pengejaran dan berhasil menemukan Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat, bahkan dia lalu menawarkan diri untuk merawat anak tiri yang pernah menjadi kekasihnya itu.

Akan tetapi dia segera mengalami kekecewaan. Suma Hoat telah berubah banyak sekali. Suma Hoat telah menjadi seorang yang sama sekali tidak mempedulikan bujuk rayunya, bahkan dengan suara dingin bekas Jai-hwa-sian ini berkata, “Bu Ci Goat, harap kau jangan menimbulkan lagi persoalan hanya untuk melampiaskan nafsu-nafsumu. Hal pertama kali yang merenggangkan aku dengan Ayah adalah akibat perbuatanmu. Ketahuilah, pada saat ini di dunia ini hanya ada seorang saja wanita yang kucinta, dan aku telah bersumpah tidak akan menyentuh wanita lain kecuali dia! Aku tidak dapat melayani hasratmu, dan engkau hendak merawatku atau tidak setelah penolakanku ini terserah kepadamu!”

Tentu saja Bu Ci Goat merasa malu sekali dan mundur teratur. Akan tetapi, demi kasih sayangnya kepada Suma Hoat dia masih menyuruh beberapa orang anak buahnya merawat dan memenuhi kebutuhan anak tirinya itu. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan nafsu birahinya yang selalu mendesak, mulailah dia menggoda Siangkoan Lee yang biar pun rupanya buruk seperti seekor kuda, akan tetapi merupakan laki-laki yang tidak pernah bermain gila dengan wanita sehingga keadaannya itu membangkitkan birahi Bu Ci Goat yang merasa penasaran apakah dia tidak akan dapat menjatuhkan hati pria yang berhati teguh ini!

Dan dia berhasil. Akan tetapi, karena memandang rendah Suma Kiat yang sedang rebah dan sakit, dua orang ini kurang hati-hati dan mereka berani mengadakan pertemuan di dalam kamar Bu Ci Goat yang hanya berpisah dinding dengan kamar Suma Kiat. Pada suatu hari, masih siang, kedua orang yang mabuk nafsu itu sedang berada di dalam kamar, tidak tahu sama sekali bahwa Suma Kiat mendengar suara mereka, turun dari pembaringan dan menghampiri pintu kamar Bu Ci Goat.

“Ci Goat...!”

Suma Kiat mendorong pintu, terbuka, dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke atas tempat tidur Bu Ci Goat di mana selirnya dan muridnya, dua orang yang paling dicinta dan dipercaya, terbelalak penuh rasa kaget memandang kepadanya, kehabisan akal! Tiba-tiba Suma Kiat mengeluh, menekan dada kiri dengan tangan kanan, menyemburkan darah dari mulutnya, tubuhnya tergelimpang dan robohlah kakek ini ke atas lantai!

Serangan batin yang hebat ini tidak tertahan oleh tubuh yang lemah itu. Suma Kiat roboh pingsan dan tidak sadar kembali. Setelah jenazahnya dimasukkan peti mati dan dilakukan upacara sembahyang, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang berkabung, menangis sedih di depan peti mati.

Suma Hoat yang masih lemah datang juga untuk bersembahyang ketika mendengar bahwa ayahnya meninggal dunia. Setelah bersembahyang, Suma Hoat menoleh kepada Bu Ci Goat, berkata perlahan, “Apa gunanya setelah mati ditangisi?”

Ucapan itu ditujukan kepada selir ayahnya yang dia tahu merupakan seorang isteri yang berhati palsu, yang selalu menyeleweng, seorang isteri yang amat dicinta ayahnya, namun yang sesungguhnya tidak patut mendapatkan cinta seorang suami. Akan tetapi tanpa disengaja, teguran Suma Hoat itu membuat Siangkoan Lee menjadi marah sekali karena dia merasa disindir. Sebelum melakukan hubungan rahasia dengan Bu Ci Goat, dia merupakan seorang murid yang amat setia, dan dia memang selalu merasa berhutang budi kepada gurunya itu. Kini mendengar ucapan Suma Hoat, dia bangkit berdiri dan berkata,

“Mengapa Suheng berkata demikian? Budi Suhu amat besar, sampai mati pun takkan terlupa olehku. Biar pun Suhu bersikap marah kepada Suheng, akan tetapi Suheng adalah puteranya, bagaimana berkata demikian? Apakah setelah Suhu meninggal, Suheng hendak menunjukkan kekuasaan di sini menuntut warisan dengan kekeraaan?”

Menggigil tubuh Suma Hoat saking marahnya mendengar ini. Tubuhnya masih lemah sekali, akan tetapi kemarahan membuat matanya mendelik memandang Si Muka Kuda itu. “Bedebah, kau sombong sekali, Siangkoan Lee! Engkau yang dahulu hanya seorang pelayan, yang telah menerima budi semenjak kecil, kini berani bersikap kurang ajar kepadaku? Apa kau kira aku takut kepadamu?”

Melihat ini Bu Ci Goat cepat bangkit berdiri, “Harap kalian suka bersabar. Sungguh tidak patut sekali ribut-ribut di depan peti mati!”

Suma Hoat menarik napas panjang menyabarkan diri karena dia dapat memahami kebenaran ucapan ibu tirinya itu. “Kalian dengarlah baik-baik. Biar pun aku putera Ayah, namun Ayah sudah tidak mengakui aku sebagai puteranya. Aku pun tidak haus akan warisan dan aku tidak akan menuntut dan tidak akan menguasai tempat ini. Bahkan aku tidak sudi tinggal di In-kok-san, lebih baik tinggal di pondok yang dibuatkan Bu Ci Goat. Itu pun hanya untuk sementara sambil menanti kembalinya sahabatku.” Setelah berkata demikian, Suma Hoat pergi meninggalkan mereka dan tidak pernah lagi datang sampai peti ayahnya dikubur.

Hatinya menjadi makin risau dan tertekan. Dia merasa betapa hidupnya penuh dengan kekecewaan dan kesengsaraan. Baru terbuka mata hatinya betapa selama ini dia hidup sebagai seorang yang amat jahat. Tiap kali dia teringat akan semua perbuatannya, diam-diam dia merasa menyesal sekali dan berjanji bahwa kalau sampai dia dapat berkumpul kembali dengan Bi Kiok, dia akan menebus semua kesalahannya, akan membahagiakan isterinya, anaknya, semua orang!

Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Im-yang Seng-cu datang dengan wajah lesu dan dengan suara berat mengatakan bahwa dia tidak berhasil menemukan Bi Kiok.

“Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka itu tewas oleh gerombolan orang jahat yang tidak terkenal sehingga tidak ada yang tahu. Kedua, mereka memang sengaja menyembunyikan diri darimu dengan mengubah nama palsu dan pergi jauh sekali dari sini.”

Suma Hoat mengeluh dan semenjak saat itu, kesehatannya makin memburuk. Im-yang Seng-cu berusaha menghibur dan merawatnya, namun percuma saja karena Suma Hoat sudah kehilangan pegangan hidup, kehilangan harapan dan satu-satunya yang dirindukan hanyalah kematian.

Akhirnya, hanya berselisih setengah tahun dari kematian ayahnya, Jai-hwa-sian yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu meninggal dunia dalam rangkulan Im-yang Seng-cu, satu-satunya orang yang mengenal betul hatinya, mengenal kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatannya!

Dengan sederhana sekali, tanpa dihadiri siapa pun, Im-yang Seng-cu mengubur jenazah sahabatnya di lereng bukit, membuatkan batu nisan yang dipahatnya sendiri dengan huruf-huruf:

MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT

Kemudian dia membakar pondok bekas tempat tinggal sahabatnya, dan meninggalkan lereng bukit sambil bernyanyi! Memang Im-yang Seng-cu seorang manusia yang berwatak aneh sekali, berbeda jauh dengan manusia biasa, bahkan kadang-kadang sikapnya merupakan kebalikan dari sikap manusia biasa sehingga sering kali dia dianggap berotak miring.

Apakah benar bayangan yang menyerang Suma Kiat dahulu itu adalah Maya seperti yang diteriakkan oleh Suma Hoat? Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Yang sudah jelas, bahwa Maya mau pun Khu Siauw Bwee tidak pernah muncul lagi di dunia ramai, tidak pernah ada orang yang bertemu dengan seorang di antara mereka.

Juga Kam Han Ki lenyap dan sebagai gantinya, puluhan tahun kemudian, muncullah nama seorang yang sakti dan aneh, seorang laki-laki yang membiarkan rambutnya riap-riapan, tak pernah bersepatu, berpakaian sederhana dan tingkah lakunya seperti orang gila. Dia disebut Koai-lojin (Kakek Aneh) karena tidak pernah memperkenalkan namanya. Namun dia memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia.

Keanehannya adalah serupa dengan keanehan Bu Kek Siansu si manusia dewa yang menjadi dongeng di dunia kang-ouw. Koai-lojin juga menolong siapa saja, mencinta siapa saja tanpa pilih bulu! Karena itu banyak sekali tokoh dunia persilatan yang mendapat rezeki kebagian ilmu dari kakek sakti ini yang selalu memberi ilmu kepada siapa saja yang memintanya.

Pembaca tentu dapat menduga siapa adanya Koai-lojin ini. Dia bukan lain adalah Kam Han Ki! Apakah dia dapat melupakan kedukaannya? Sukar untuk diketahui karena tak mungkin untuk menanyakan hal itu kepada Koai-lojin yang jarang sekali muncul di antara manusia.

Yang jelas, duka sengsara harus dihadapi dengan wajar, dimengerti dengan jalan mengenal diri sendiri. Kalau hanya dijauhi, dilupakan, takkan berhasil karena berhasil melupakan duka yang satu, akan muncul duka yang lain. Yang penting mengenal sumber dari segala duka di dalam diri sendiri.

Kalau sudah mengenal diri sendiri, mengenal sumber segala duka maka apa yang oleh umum disebut duka, bukanlah menjadi duka lagi baginya. Duka hanyalah hasil angan-angan pikiran yang mengingat masa lampau. Sekali ingatan akan masa lalu terhapus, lenyap pulalah duka. Berusaha melupakan duka dengan penekanan, tidak akan menghilangkan sumber dari segaia macam duka. Akan tetapi menghadapi duka, menyelami, mengenal duka yang berada di hati sendiri dengan mempelajari dan mengenal diri sendiri lahir batin, maka akan timbullah keadaan lain yang jauh dari jangkauan duka
.

Koai-lojin yang kelihatan sebagai seorang kakek sederhana itu paling suka berkelana di tempat-tempat sunyi, bergembira dengan alam yang masih bersih dari kotoran akibat tingkah polah manusia. Akan tetapi kadang-kadang dia muncul di dalam Istana Pulau Es yang selalu kosong itu, berdiri bengong di depan tiga arca buatannya sendiri, dan setelah membersihkan Istana Pulau Es, beberapa hari kemudian dia sudah meninggalkan lagi Pulau Es.

Dia pun tidak pernah berhasil mencari kedua orang sumoinya, bahkan kemudian sama sekali tidak mencarinya. Namun sebagai penebus rasa sesal dan salahnya terhadap Khu Siauw Bwee, diam-diam dia meninggalkan surat-surat pernyataan menyesal dan cintanya kepada Khu Siauw Bwee, dan menaruh surat-surat itu di dalam Istana Pulau Es.

Puluhan tahun kemudian, Koai-lojin datang ke Pulau Es, membawa seekor beruang salju yang berbulu putih, meninggalkan beruang yang jinak dan terlatih itu di Pulau Es sebagai penghuni dan penjaga! Kemudian, sampai lama sekali dia tidak pernah muncul lagi di Pulau Es, juga tidak muncul di dunia ramai.


T A M A T


KISAH BERIKUTNYA PENDEKAR SUPER SAKTI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.