CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
MUTIARA HITAM
JILID 02
Si Muka Bopeng menjadi girang melihat gadis cilik itu menyambut serangannya dengan jurus yang sama dan memapaki kedua tangannya yang menubruk. Diam-diam ia mengerahkan tenaganya dan mukanya menyeringai. Gadis cilik sombong ini tentu akan mudah ditawan kalau kedua tangannya dapat ia tangkap. Bau wangi yang menyambar hidungnya tidak membuat si Muka Bopeng sadar, bahkan makin girang mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu demikian wangi!
“Plak plak!” kedua pasang tangan bertemu dan beradu telapak tangan.
Si Muka Bopeng mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting roboh telentang dan tidak bergerak lagi. Kedua lengannya masih berkembang seperti akan menubruk, akan tetapi lengan itu kaku dan telapak tangannya terdapat warna merah dan kebiruan, matanya mendelik napasnya putus!
Sisa para pengemis baju bersih menjadi kaget dan jerih. Wanita setengah tua yang kini menangisi pengemis baju butut tadi sudah hebat, kiranya gadis cilik ini lebih hebat lagi, dalam segebrakan mampu menewaskan pimpinan rombongan mereka! Dengan ketakutan sembilan orang pengemis itu cepat menyeret teman-teman mereka yang luka dan mengangkut mayat si Muka Bopeng, lalu melarikan diri dari tempat itu sambil sebentar-sebentar menoleh ketakutan melihat ke arah Kwi Lan yang tertawa-tawa sambil bertolak pinggang!
Setelah semua pengemis pergi, Kwi Lan baru sadar akan suara Bi Li yang menangis terisak-isak. Ia cepat membalikkan tubuh. Melihat Bi Li berlutut di depan pengemis baju butut yang dikeroyok tadi, ia cepat menghampiri. Kini pengemis itu sudah bangkit duduk, bersandar pada batang pohon. Napasnya terengah-engah, kedua lengannya memeluk pundak Bi Li yang berlutut di depannya.
Melihat keadaan mereka, Kwi Lan menjadi heran bukan main, akan tetapi ia tidak mau bertanya karena merasa jengah. Kenapa Bibi Bi Li mau dipeluk laki laki jembel itu? Sebagai seorang gadis cilik yang belum pernah menyaksikan orang berpelukan, ia tidak tahan untuk melihat lebih lama lagi, maka ia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi mereka. Akan tetapi ia mendengar suara mereka ketika mereka bicara.
“Suamiku... mana dia? Mana Hauw Lam anak kita...?” terdengar Bi Li berkata menahan isak.
Mendengar ini, Kwi Lan makin kaget. Suami? Jembel itu suami Bibi Bi Li? Rasa heran dan kaget membuat ia kembali membalik dan memandang pengemis itu lebih teliti. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, pakaiannya lapuk dan kotor, pakaian seorang jembel. Akan tetapi mukanya bersih terpelihara, muka yang pucat karena menderita luka parah, namun masih membayangkan ketampanan laki-laki.
“Bi Li... isteriku, kenapa engkau meninggalkan aku? Kenapa engkau tega pergi meninggalkan kami, suamimu dan anak kita? Apakah kesalahanku kepadamu sehingga engkau begitu kejam?” Suaranya ini penuh pertanyaan, penuh tuntutan dan tangis Bi Li makin tersedu-sedu.
Di antara isak tangis, istri yang malang ini lalu bercerita dengan singkat betapa ia diculik dan dipaksa pergi oleh Kam Sian Eng untuk menyusui dan merawat anaknya yang baru terlahir, menceritakan betapa Kam Sian Eng adalah seorang yang berilmu tinggi dan betapa dia tidak berdaya.
“Demikianlah, Suamiku. Kuharap engkau suka mengampunkan aku, akan tetapi... sungguh aku tidak berdaya... sampai sekarang pun aku tidak mungkin bisa pergi meninggalkan Sian-kouwnio...”
Laki-laki itu makin pucat, jelas ia menahan sakit sambil menggigit bibir. “Ah, engkau terluka hebat... mari kubawa ke pondok kami, biar kuminta Kouwnio memberi obat kepadamu....“
“Tidak perlu lagi!” Laki-laki yang bernama Tang Sun itu, suami dari Phang Bi Li, mencegah sambil mengangkat tangan, kemudian karena tidak tahan bersandar dan duduk, ia lalu merebahkan diri lagi, dibantu isterinya. “Lukaku amat parah, kurasa ada perdarahan di dalam dadaku, sakit sekali... ougghh... tak mungkin dapat diobati. Akan tetapi, terima kasih kepada Thian... mati pun aku tidak penasaran, sudah dapat bertemu denganmu... tapi sayang... Hauw Lam... di mana engkau, Anakku...?”
Mendengar disebutnya nama anaknya, Bi Li lupa akan penderitaan suaminya yang sudah menghadapi maut. Sambil memegang lengan suaminya ia berseru keras, “Dimana Hauw Lam? Dimana dia?”
Suara Tang Sun makin lemah, bahkan agak menggigil dan pelo, akan tetapi lancar dan tidak terputus-putus lagi. Perubahan ini tidak diketahui Bi Li yang amat ingin mendengar cerita tentang puteranya.
“Sepeninggalmu, kubawa dia pergi mencarimu dan hidup menderita. Ketika dia berusia lima tahun, kuserahkan dia kepada ketua kelenteng di puncak gunung Kim-liong-san yang kutahu seorang berilmu tinggi. Aku sendiri lalu melanjutkan perjalanan mencarimu, Bi Li, menempuh seribu satu macam kesukaran!”
Cerita ini terputus sebentar oleh tangis Bi Li penuh keharuan sambil memeluk leher suaminya. Kwi Lan yang berdiri tak jauh dari situ merasa betapa jantungnya seperti disayat-sayat saking terharu, namun ia dapat menekannya dan tidak sebutir pun air mata menetes turun. Di dalam hatinya ia makin menyesalkan perbuatan Kam Sian Eng yang telah memisahkan suami isteri ini dan menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan dua orang, bahkan mungkin tiga orang dengan anak mereka yang agaknya tidak diketahui pula di mana adanya.
“Akan tetapi sekarang aku tidak menyalahkan engkau, isteriku, setelah aku tahu betapa engkau pun menderita dan tidak berdaya. Aku lalu hidup sebagai pengemis dan akhirnya aku tertarik akan sepak terjang Khong-sim Kai-pang yang adil dan gagah, maka aku masuk menjadi anggota Khong-sim Kai-pang. Khong-sim Kai-pang termasuk perkumpulan pengemis golongan bersih yang ditandai dengan pakaian kotor, dan pada waktu ini golongan bersih sedang berusaha membasmi pengemis-pengemis golongan kotor yang ditandai dengan pakaian bersih. Setelah menjadi anggota Khong-sim Kai-pang, banyak teman temanku membantuku mencarimu. Dan beberapa hari yang lalu, seorang temanku melihat engkau di depan pondok. Karena dia tidak mengenalmu akan tetapi merasa heran melihat seorang wanita dan dua orang anak tanggung tinggal bersunyi diri didalam hutan, ia lalu menceritakannya kepadaku. Nah, hari ini aku datang ke sini menyelidik, siapa kira, di sini aku bertemu dengan belasan orang pengemis golongan hitam yang mengeroyokku...”
“Dan Hauw Lam, Anakku... dia bagaimana... ?” Bi Li mendesak, tidak sadar bahwa kini wajah suaminya yang pucat itu sudah mulai agak kebiruan.
“Dia... dia...,“ kini napas Tang Sun mulai tersendat-sendat. “Dia... kini tentu sudah dewasa... hampir lima belas tahun... Akan tetapi ketika aku datang menjenguk ke sana... hwesio tua itu telah meninggal dunia dan... dan Hauw Lam... dia...” Sukar sekali ia melanjutkan kata-katanya.
Barulah Bi Li sadar akan keadaan suaminya. Ia menjerit dan memeluk. Melihat suaminya meramkan matanya, ia menciuminya dan memanggil-manggil namanya, kini tidak peduli lagi akan anaknya. Kwi Lan yang berdiri termangu-mangu cepat menggunakan punggung tangan kirinya menghapus dua butir air mata yang tak tertahankan lagi menetes turun ke atas pipinya.
Tang Sun membuka matanya, lalu tersenyum dan membelai rambut isterinya. Wajahnya membayangkan kepuasan, akan tetapi kembali keningnya berkerut ketika ia berkata, “...Hauw Lam... dia... pergi dari sana... tak seorang pun tahu ke mana. Isteriku, kau... kau carilah dia...” Tangan yang membelai rambut itu lemas dan terkulai.
Bi Li menjerit dan roboh pingsan sambil memeluk mayat Tang Sun yang masih hangat!
“Bibi Bi Li...! Bibi Bi Li...!” Kwi Lan memanggil manggil sambil mengguncang-guncang tubuh Bi Li.
Wanita itu akhirnya siuman dan dengan muka merah mata berapi-api ia meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Bi Li memang memiliki kepandaian yang khusus ia pelajari dari Sian Eng, yaitu bermain pedang, bahkan ia menerima hadiah sebatang pedang indah dari Sian Eng. Kini dengan pedang di tangan, matanya terbelalak memandang kanan kiri, mulutnya menantang-nantang.
“Pengemis-pengemis busuk, jembel-jembel terkutuk! Hayo majulah semua, akan kubunuh kalian sampai habis!”
Kwi Lan maklum bahwa bibinya ini amat marah dan sakit hati karena kematian suaminya. Suami yang terpisah darinya selama belasan tahun, dan yang kini begitu berjumpa terus meninggal dunia!
“Perempuan setan, berani kau membunuh saudara kami?” tiba tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah tiga orang kakek berpakaian pengemis. Mereka adalah tiga orang kakek tinggi kurus yang memegang tongkat butut, sebutut pakaian mereka.
Begitu melihat tiga orang kakek pengemis ini, sambil berseru marah Bi Li maju menerjang dengan pedangnya. Gerakannya secepat kilat, pedangnya berkelebat seperti halilintar menyambar.
“Tranggg...!” pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Bi Li ketika tertangkis sebatang tongkat butut yang dipegang oleh kakek pengemis yang bertahi lalat besar di bawah hidungnya.
Bi Li makin marah. Kakek pengemis ini kiranya lihai sekali, tidak boleh disamakan dengan para pengemis yang tadi mengeroyok suaminya. Maka ia lalu mengeluarkan seruan keras sambil memutar pedangnya dan mengerahkan tenaga, menerjang dengan cepat sekali. Menghadapi serangan yang begitu dahsyat, kakek pengemis itu terkejut dan cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kemudian terjadilah pertandingan hebat di antara Bi Li dan kakek pengemis.
Dua orang kakek pengemis lain segera melangkah maju mendekati mayat Tang Sun. Melihat ini, Kwi Lan menjadi curiga dan membentak, “Jembel-jembel busuk, mundurlah kalian!” Gadis cilik ini menerjang maju dengan pukulan kedua tangannya yang mendorong.
Karena melihat bahwa yang menerjang mereka hanyalah seorang gadis cilik berusia empat belas tahun, dua orang kakek jembel itu tersenyum tenang, bahkan mengulur tangan untuk menangkap pundak Kwi Lan. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tangan mereka bertemu dengan tangan Kwi Lan, tubuh mereka terdorong mundur dan hampir saja mereka terbanting roboh! Baiknya keduanya adalah tokoh-tokoh lihai, cepat mereka dapat menekan tanah dengan ujung tongkat sehingga dapat menguasai keseimbangan tubuh lagi.
Sejenak mereka saling pandang dengan muka merah, lalu menatap wajah Kwi Lan dengan sikap terheran-heran. Namun mereka merasa penasaran. Mungkinkah bocah perempuan ini memiliki tenaga yang sedemikian dahsyatnya? Karena merasa malu untuk menghadapi seorang anak-anak dengan senjata tongkat mereka, keduanya lalu menyelipkan tongkat di ikat pinggang lalu melangkah maju mengulur tangan.
“Bocah setan, mau lari kemana kau?”
Melihat dirinya diserang dengan jangkauan tangan hendak menangkap, Kwi Lan tertawa mengejek, “Lari ke mana? Untuk apa lari menghadapi dua ekor babi tua macam kalian?” Dan dengan gerakan yang indah namun gesit bukan main, Kwi Lan sudah dapat mengelak, lolos dari tubrukan mereka, kemudian cepat ia membalik dan mengirim pukulan ke arah punggung mereka!
“Wuuuttt!”
Dua orang pengemis tua itu berseru kaget dan cepat melompat jauh ke depan sehingga terhindar dari pada pukulan maut tadi. Wajah mereka menjadi pucat dan keringat dingin memenuhi jidat. Sebagai orang-orang yang ahli, mereka cukup maklum betapa pukulan kedua tangan bocah ini tadi mengandung tenaga Iweekang yang hebat dan dapat mematikan! Berubahlah pandangan mereka. Kiranya bocah ini gerakannya jauh lebih hebat dari pada wanita yang bertanding melawan saudara mereka. Tanpa malu-malu lagi keduanya lalu mencabut tongkat.
“Hi hik, kalian mau lari ke mana?” Kwi Lan mengejek.
Akan tetapi cepat gadis cilik ini menggerakkan kaki untuk berkelit karena melihat dua sinar tongkat telah meluncur dengan hebat. Selanjutnya Kwi Lan harus menggunakan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari pada kurungan sinar kedua tongkat itu. Diam-diam anak ini kaget juga. Kiranya dua orang pengeroyoknya ini benar-benar amat tangguh sehingga tekanan kedua tongkat itu mengurung dirinya, membuat ia tidak mampu balas menyerang.
Dia tidak tahu bahwa dua orang kakek itu jauh lebih kaget dan heran dari padanya. Selama mereka hidup, sudah hampir enam puluh tahun, baru kali ini mereka menghadapi peristiwa yang begini aneh dan memalukan. Mereka terkenal sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, hanya orang-orang pilihan di dunia kang-ouw saja yang setanding dengan mereka. Akan tetapi kini, dengan maju berdua dan memegang tongkat pula, mereka tidak mampu mengalahkan seorang gadis cilik yang bertangan kosong! Sebetulnya tingkat ilmu silat anak itu belumlah matang dan tidak seberapa tinggi, akan tetapi gerakannya amat aneh luar biasa sekali dan sukar diduga karena jauh berbeda dengan dasar-dasar ilmu silat yang lazim!
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring sekali, datangnya dari jauh akan tetapi amat jelas seakan-akan yang berkata berada di belakang mereka, “Enci Bi Li! Kwi Lan! Mundur... !”
Tentu saja Bi Li dan Kwi Lan mengenal baik suara ini dan mereka cepat meloncat mundur tanpa menoleh. Tiga orang pengemis yang tidak mendengar seruan tadi mendesak maju. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan... tiga orang kakek itu berhenti bergerak dan telah menjadi kaku seolah-olah mereka berubah menjadi arca batu! Tanpa dapat mereka lihat, jalan darah mereka telah ditotok oleh ujung lengan baju Sian Eng yang kini sudah berdiri di depan mereka dengan sikap bengis!
Pada saat itu terdengar bunyi angin menyambar. Belasan buah senjata rahasia berbentuk piauw (pisau) dan besi bintang menyambar ke arah Bi Li, Kwi Lan, Sian Eng, dan juga ke arah tiga orang pengemis yang berdiri kaku. Bi Li dan Kwi Lan melihat datangnya senjata rahasia yang membawa angin ini, maklum bahwa senjata itu digerakkan oleh tangan yang lihai, maka tidak berani menyambut dan cepat mengelak. Akan tetapi Sian Eng lalu mengebutkan kedua tangannya ke depan dan... belasan batang senjata rahasia yang menyambar ke arahnya dan ke arah tiga orang pengemis tua runtuh terpukul oleh hawa pukulan kedua tangannya!
Dari balik pohon meloncat ke luar lima orang kakek pengemis pula, akan tetapi mereka ini berbeda dengan yang tiga tadi. Kalau tiga orang kakek pertama berpakaian butut kotor, adalah lima orang ini berpakaian bersih, sungguh pun bertambal-tambalan seperti halnya para pengemis yang mengeroyok Tang Sun.
“Wanita iblis, berani kau....” Hanya sampai sekian saja bentakan seorang di antara mereka karena tiba-tiba tubuh Sian Eng lenyap berkelebat ke depan.
Lima orang itu menggerakkan kaki tangan hendak melawan bayangan yang tiba-tiba menyambar, namun sia-sia belaka karena tahu-tahu mereka ini pun sudah berdiri kaku seperti patung, persis seperti keadaan tiga orang kakek baju butut!
Melihat munculnya lima orang pengemis baju bersih ini, baru Bi Li sadar akan perbedaan antara lima orang pengemis ini dan tiga orang pengemis yang tadi datang lebih dulu. Pakaian mereka! Pakaian lima orang pengemis yang datang belakangan ini serupa dengan pakaian para pengemis yang mengeroyoknya, yang membunuh suaminya. Ada pun pakaian tiga orang pengemis yang mengeroyoknya, sama butut dengan pakaian suaminya. Teringatlah ia akan cerita suaminya tentang golongan putih yang berpakaian butut dan golongan hitam yang berpakaian bersih. Kini melihat Kam Sian Eng memandang kepada tiga orang pengemis baju butut dengan mata beringas, ia cepat meloncat maju dan berkata.
“Sian-kouwnio...! Jangan... jangan bunuh mereka ini....“
Kam Sian Eng tanpa menoleh bertanya, suaranya dingin dan ketus, “Apa yang terjadi di sini?”
Bi Li yang teringat kembali kepada suaminya, tidak menjawab melainkan berlutut lagi di depan mayat suaminya sambil menangis. Kwi Lan maklum bahwa bibinya dan juga gurunya itu sedang marah, maka ia cepat maju mewakili Bi Li dan bercerita singkat.
“Bibi Bi Li dan aku sedang memetik bunga ketika kami mendengar suara orang bertempur di sini. Ternyata yang bertempur adalah... suami Bibi Bi Li dikeroyok pengemis-pengemis baju bersih sampai terluka dan tewas. Bibi Bi Li dan aku berhasil mengusir dan membunuh beberapa orang pengemis baju bersih, dan sebelum mati suami Bibi Bi Li sempat bercerita bahwa dia adalah anggota pengemis baju butut. Kemudian muncul tiga orang kakek pengemis baju butut ini yang lancang menyerang Bibi Bi Li dan aku. Agaknya mereka bertiga ini masih segolongan dengan suami Bibi Bi Li. Dan lima orang kakek yang datang belakangan ini agaknya hendak membalaskan kematian anak buah mereka.”
Sian Eng mendengar ini, melirik kearah Bi Li. Wajah yang tertutup tirai sutera itu sedikit pun tidak berubah, tetap dingin dan keras. Tiba-tiba tangannya bergerak ke punggung, sinar terang berkelebatan disusul jerit-jerit kesakitan dan... delapan orang pengemis yang masih berdiri kaku itu kini telah buntung semua tangan kanannya! Entah kapan Sian Eng menggunakan pedang, entah kapan mencabutnya, dan menyarungkannya kembali, tak dapat diikuti pandang mata para pengemis itu sehingga biar pun mereka menanggung luka hebat dan nyeri, mereka masih terbelalak kaget dan gentar.
Tiga orang pengemis tua baju butut itu adalah tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang sedangkan lima orang pengemis baju bersih itu adalah tokoh-tokoh terkemuka pula dari perkumpulan golongan hitam. Di dalam dunia kang-ouw, terutama dunia para pengemis kang-ouw, mereka delapan orang ini merupakan orang-orang terkenal dengan ilmu silat mereka yang tinggi. Akan tetapi kini, dalam tangan wanita berkerudung yang cantik dan aneh itu, mereka sama sekali tidak berdaya, dipermainkan seperti tikus-tikus dipermainkan kucing!
“Ohh, Kouwnio, jangan...!” Bi Li yang mendengar jerit mereka dan mengangkat muka, segera meloncat bangun. “Tiga orang Lo-kai ini adalah orang-orang segolongan mendiang suami saya....“
Sian Eng mendenguskan suara dari hidung. “Hemmm...!”
Kwi Lan segera berkata, “Bibi Bi Li, tiga orang jembel tua ini biar pun segolongan dengan suamimu, namun mereka datang-datang menyerang kita. Pasti bukan orang baik-baik! Sudah sepatutnya Bibi Sian memberi hukuman.”
Kakek pengemis baju butut yang bertahi lalat di bawah hidungnya terdengar menarik napas panjang. Delapan orang ini biar pun tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi yang kaku hanyalah kaki tangan, sedangkan anggota tubuh yang lain tidak, sehingga mereka masih mampu bicara.
“Kami tiga orang tua bangka memang telah berlaku ceroboh, tidak mengenal orang dan tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan. Kehilangan tangan ini sudah sepantasnya...!”
“Kouwnio, harap sudi mengampuni mereka. Tentu tadi mereka menyangka bahwa sayalah yang membunuh saudara mereka ini, padahal dia... dia ini... Tang Sun, suamiku....“
“Hemmm...! Kwi Lan bebaskan mereka!” Sian Eng menggerakkan kepalanya ke arah tiga orang pengemis baju butut.
Sebagai seorang murid yang amat tekun dan amat cerdik, tentu saja Kwi Lan sudah pula membaca dan mempelajari isi kitab Im-yang-tiam-hoat, sebuah kitab pusaka dari Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh Tok-siauw-kwi dan terjatuh ke tangan Sian Eng. Dan tentu saja ia dapat pula membebaskan pengaruh totokan ilmu menotok jalan darah ini.
Dihampirinya tiga orang kakek itu dan dengan sebuah jari telunjuk kanan, ditotoknya punggung belakang pusar mereka sambil tangan kirinya tidak lupa menampar belakang kepala. Sebetulnya tamparan belakang kepala ini tidak ada hubungannya dengan pembebasan totokan, akan tetapi dasar anak nakal, ia hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya kepada tiga orang kakek pengemis itu dalam kesempatan ini!
Kembali tiga orang kakek ini terkejut sekali. Mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi dan tahu banyak tentang seluk-beluk Ilmu Tiam-hiat-hoat (Menotok Jalan Darah). Akan tetapi selama hidup mereka, baru sekali ini mereka tahu ada ilmu menotok jalan darah yang pembebasannya diharuskan menempeleng kepala segala!
Makin gentarlah mereka terhadap Sian Eng, dan cepat-cepat mereka menggunakan tangan kiri untuk menotok lengan kanan, menghentikan jalan darah agar darah yang mengalir ke luar dari pergelangan tangan yang buntung itu berhenti. Kemudian sejenak mereka memandang kepada Sian Eng, dan pengemis tua bertahi lalat segera menjura, diturut dua orang temannya dan bertanya,
“Kami bertiga dari Khong-sim Kai-pang telah menerima petunjuk Kouwnio (Nona), semoga lain kali kami akan dapat membalas kebaikan ini. Sudilah Kouwnio memberitahukan nama yang mulia dan tempat tinggal.”
Sian Eng tersenyum, senyum yang dingin dan mendirikan bulu roma. Suaranya halus merdu akan tetapi juga mengandung hawa dingin yang menyeramkan ketika ia berkata, “Aku Kam Sian Eng dan tinggal di hutan ini. Kalau belum puas, boleh suruh ketua Khong-sim Kai-pang datang! Pergilah!”
Tiga orang pengemis tua itu menjura, lalu menghampiri mayat Tang Sun, bermaksud akan mengambilnya. Bi Li maju hendak mencegah, akan tetapi terdengar suara Sian Eng menghardiknya.
“Enci Bi Li, mundur kau!”
Bi Li terkejut sekali dan segera meloncat mundur. Wajahnya pucat dan air matanya bercucuran ketika ia melihat mayat suaminya dibawa pergi oleh tiga orang kakek pengemis itu. Tiga orang ini memandang sebentar kepada Bi Li dengan pandang mata kasihan, lalu menghela napas dan pergi dari tempat itu dengan langkah lebar sambil membawa mayat Tang Sun.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu tadinya terkejut dan khawatir sekali mendengar bahwa anggota Khong-sim Kai-pang yang terbunuh adalah suami wanita yang tak tertutup mukanya. Akan tetapi, mereka menjadi lega hati melihat sikap Bi Li dan mendengar bentakan wanita yang berkerudung dan mengaku bernama Kam Sian Eng itu. Jelas bahwa biar pun wanita yang kedua itu mempunyai suami anggota Khong-sim Kai-pang, namun si wanita aneh yang sakti itu sama sekali tidak bersahabat dengan Khong-sim Kai-pang. Biar pun tubuh mereka masih kaku dan tak mampu bergerak, namun pengemis yang tertua di antara mereka, yang hidungnya bengkok seperti hidung kukuk beluk berkata merendah,
“Mohon maaf sebanyaknya kepada Cianpwe yang mulia. Karena tidak tahu dan belum mengenal, boanpwe berlima berani amat lancang memasuki wilayah Cianpwe. Hendaknya Cianpwe memaklumi bahwa boanpwe berlima adalah pimpinan perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Garuda Hitam) yang masih berada di bawah lindungan yang mulia Bu-tek Siu-lam! Maka boanpwe berlima mengharap sudilah kiranya Cianpwe melihat muka Ciang-bujin (Pemimpin Besar) Bu-tek Siu-lam untuk mengampuni dan membebaskan boanpwe berlima!”
Sian Eng mengerutkan keningnya. Diam-diam ia merasa geli mendengar betapa lima orang kakek itu menyebutnya cianpwe, sebutan bagi tokoh-tokoh tinggi dunia persilatan dan menyebut diri boanpwe, sikap yang amat merendah sekali. Akan tetapi ia heran mendengar nama Bu-tek Siu-lam (Laki-laki Tampan Tanpa Tanding). Siapakah itu? Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri sehingga tidak melihat perubahan di dalam dunia kang-ouw, tidak mengenal tokoh-tokoh barunya.
“Siapakah dia yang berjuluk Bu-tek Siu-lam itu?” tanyanya tanpa disengaja karena pertanyaan dalam hati ini terlontar keluar melalui bibirnya.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu saling pandang dengan heran dan juga kecewa. Benarkah ada orang di dunia kang-ouw ini yang belum mengenal nama Bu-tek Siu-lam? Dan wanita aneh ini demikian sakti! Tapi mungkin belum memasuki dunia kang-ouw. Karena ini si Hidung Bengkok segera berkata, sengaja mengangkat-angkat nama besar Bu-tek Siu-lam untuk menimbulkan kesan mendalam.
“Beliau adalah tokoh tertinggi di dunia kang-ouw yang datang dari dunia barat. Semua perkumpulan pengemis baju bersih berada di bawah perlindungan beliau, dan boanpwe yakin bahwa kelak beliaulah yang akan menjadi pemimpin besar semua kai-pang! Juga dalam pemilihan tokoh-tokoh terbesar untuk memilih jagoan yang Thian-he-te-it (di Seluruh Dunia Nomor Satu) yang akan diadakan di puncak Cheng-liong-san pada malam tahun baru nanti, sudah dapat dipastikan bahwa Ciang-bujin Bu-tek Siu-lam yang akan keluar sebagai juara, jagoan di antara segala datuk! Tapi...eh, kecuali...kalau Cianpwe ikut pula dalam kejuaraan itu, keadaan akan makin ramai.” Demikian tambah si Hidung Bengkok ketika melihat wajah di balik kerudung itu kelihatan tak senang.
“Aku tidak peduli segala macam Bu-tek Siu-lam! Kalian berlima sudah lancang berani menyerangku, berani memandang sebelah mata. Karena itu kalian baru boleh pergi kalau kalian suka mencongkel keluar sebuah biji mata kalian!”
Lima orang pengemis itu terbelalak dan muka mereka pucat. Keringat dingin mengalir ke luar membasahi jidat dan leher. Sebuah biji mata disuruh congkel ke luar? Siapa yang sudi? Sebelah tangan sudah dibuntungkan, kini sebelah mata diminta lagi! Mana ada aturan begini bocengli (kurang ajar)?
Wanita aneh ini tidak takut kepada Bu-tek Siu-lam, berarti belum mengenal. Kalau belum kenal, belum tentu wanita ini benar-benar sakti. Agaknya hanya memiliki Ilmu Tiam-hiat-hoat yang aneh sehingga mereka tadi menjadi korban totokan sebelum dapat bergerak banyak dan sebelum melihat sampai di mana tingkat ilmu kepandaian wanita berkerudung itu. Karena tidak terdapat jalan lain untuk menghindarkan diri dari ancaman congkel mata, si Hidung Bengkok lalu berkata, nadanya sengaja dikeluarkan untuk mengejek.
“Sebagai orang-orang kang-ouw kami tahu bahwa hukumnya adalah siapa kuat dia menang dan siapa kalah harus tunduk. Sayang sekali bahwa kami belum merasa dikalahkan, hanya dibuat tidak berdaya oleh serangan gelap. Sebagai tokoh-tokoh Hek-peng Kai-pang, kami mengandalkan keselamatan nyawa kami di ujung pedang. Siapa tahu, sebelum kami sempat mencabut pedang, kami mengalami penghinaan. Kalau sudah tertotok seperti ini, bicara pun kami tak berhak. Seorang kanak-kanak yang masih ingusan sekali pun dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap kami!”
Akal si Hidung Bengkok ini berhasil baik sekali. Sian Eng menjadi merah mukanya dan sekali tubuhnya bergerak, tampak bayangan putih berkelebat. Ujung lengan bajunya menyambar dan lima orang kakek itu merasa betapa punggung belakang pusar mereka tertotok yang membuat tubuh mereka pulih seperti biasa. Serentak mereka berlima mencabut pedang dan membuat gerakan keliling, mengurung wanita berkerudung itu.
Sian Eng yang berdiri di tengah-tengah dalam keadaan terkurung hanya memandang tanpa mengubah kedudukan badan dan tanpa menoleh. Hanya sepasang matanya di balik kerudung hitam itu yang melirik ke kanan kiri, kemudian tampak giginya berkilat putih ketika ia berkata, “Kalian telah bebas. Pedang telah dicabut. Tidak lekas mencongkel mata kanan kalian, tunggu apa lagi?”
Ucapan yang menyakitkan hati ini merupakan komando bagi lima orang kakek pengemis itu untuk menerjang dengan hebat. Sian Eng dalam keadaan terkepung dan lima orang itu melakukan serangan berbareng. Lima buah pedang dengan tusukan dan bacokan kilat mengarah tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh dan lima orang pengemis terkejut ketika melihat bayangan putih melesat cepat dari tengah kepungan dan benar saja, ketika mereka melihat, ujung pedang mereka hanya mengenai tempat kosong dan lima buah pedang mereka hampir beradu sendiri dengan kawan. Cepat mereka menengok dan kiranya Sian Eng telah berdiri sambil bertolak pinggang di sebelah kiri sambil tersenyum mengejek.
Pengemis hidung bengkok yang berdiri paling dekat cepat menerjangnya dengan pedang, diikuti oleh teman-temannya yang kini tidak mengurung lagi. Inilah yang dikehendaki Sian Eng, yaitu agar lima orang pengeroyoknya itu menyerangnya dengan susul menyusul, tidak berbareng seperti tadi. Begitu pedang si Hidung Bengkok menyambar, ia menggerakkan lengannya secara aneh. Pedang menusuk datang dan terdengarlah jerit mengerikan disusul robohnya tubuh pengemis hidung bengkok.
Sian Eng tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya terus bergerak ke depan dan jerit kesakitan susul menyusul sehingga akhirnya empat orang pengemis yang lain juga roboh. Hanya beberapa puluh detik saja terjadinya. Lima orang pengemis itu sendiri tidak tahu benar apa yang terjadi. Ketika mereka menyerang secara mendadak pedang mereka membalik dan mencongkel mata mereka sendiri, mata kanan!
Kini Sian Eng berdiri tegak, memandang lima orang pengemis itu yang merangkak bangun sambil merintih-rintih. Tangan kanan mereka sebatas pergelangan telah buntung. Tadi mereka menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang. Siapa kira secara aneh sekali wanita sakti itu telah membuat pedang mereka membalik dan mencongkel ke luar biji mata kanan mereka dengan pedang mereka sendiri. Setelah mereka mampu berdiri, lima orang pengemis tua yang terluka parah itu berdiri memandang Sian Eng dengan mata sebelah mereka, memandang penuh kemarahan dan kebencian.
“Pergilah kalau tidak ingin mampus!” Sian Eng berkata dingin.
Lima orang pengemis itu ingin sekali menerjang mengadu nyawa. Akan tetapi kini maklumlah mereka bahwa terhadap wanita aneh ini mereka tidak berdaya sama sekali. Si Hidung Bengkok sambil meringis menahan sakit berkata, “Akan kami laporkan bahwa engkau menantang ciang-bujin kami Bu-tek Siu-lam!”
“Boleh! Suruh dia datang ke sini, akan kubuntungi kedua tangannya dan kucongkel ke luar kedua biji matanya!” bentak Sian Eng.
Lima orang itu terkejut. Benar-benar wanita ini sudah gila, berani mengeluarkan kata-kata seperti itu terhadap Bu-tek Siu-lam yang sakti seperti dewa. “Tunggulah dan kalau memang berani, datanglah kelak di puncak Cheng-liong-san!”
Sian Eng hanya tersenyum dan memandang lima orang itu yang pergi sambil meringis kesakitan. Setelah keadaan menjadi sunyi, barulah Sian Eng menoleh kepada Bi Li dan membentak, “Apakah engkau hendak pergi pula meninggalkan aku?” Di dalam suaranya terkandung ancaman maut.
Bi Li menggeleng kepala, menyusut air matanya. “Pergi ke mana? Suamiku telah mati...! Tidak, aku tidak akan pergi dari sini, kecuali pergi ke akhirat. Tidak ada lagi yang kuharapkan.”
Mendengar jawaban ini, Sian Eng mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh mendirikan bulu roma. Kwi Lan mengerutkan keningnya, akan tetapi ketika melirik kearah Bi Li, ia melihat wanita itu memandang kepadanya dan tahulah ia bahwa Bi Li diam-diam amat mengharapkan agar kelak dapat bertemu dengan puteranya yang bernama Hauw Lam. Dan gadis ini, biar pun tidak mendengar kata-kata keluar dari mulut Bi Li, dapat menduga, bahkan berjanji dalam hatinya bahwa kelak ia akan bantu mencari putera yang hilang itu.
Semenjak terjadi peristiwa itu, Kwi Lan belajar makin tekun dan giat karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian tinggi merupakan modal terutama baginya untuk kelak mencari orang tuanya dan untuk membantu Bi Li mencari puteranya yang bernama Tang Hauw Lam. Dan semenjak terjadinya peristiwa itulah nama Kam Sian Eng dikenal di dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang aneh dan luar biasa, serta memiliki ilmu kesaktian yang dahsyat pula. Hal ini menyebabkan semua orang menjauhkan diri dari hutan itu, yang dianggap sebagai hutan iblis dan tak seorang pun berani memasukinya.
********************
Lima tahun kemudian, seorang gadis berusia sembilan belas tahun berjalan seorang diri dikaki gunung Lu-liang-san, di sebelah barat kota Tai-goan. Gadis remaja ini cantik sekali dan amat manis. Bentuk mukanya lonjong, dagunya meruncing, dengan kulit muka yang halus dan putih seperti susu, dihias warna merah jambu di kedua pipinya, warna merah karena sehat. Mulutnya kecil dengan bibir selalu tersenyum, bibir merah membasah dan segar.
Rambutnya agak awut-awutan, tidak disisir rapi, namun menambah keluwesan dan keayuannya. Tubuhnya sedang dan ramping, agak kurus akan tetapi dengan lekuk lengkung tubuh yang menonjolkan kewanitaannya. Pakaiannya berwarna merah muda dengan ikat pinggang merah tua. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan gagang pedang ini dihias sebuah mutiara yang besar, mutiara berwarna hitam berkilauan.
Gadis jelita ini bukan lain adalah Kam Kwi Lan! Sudah setengah tahun ia merantau meninggalkan hutan iblis. Setengah tahun yang lalu, bibinya, juga gurunya, Kam Sian Eng telah pergi bersama Suma Kiat.
“Aku pergi bersama Suheng-mu. Kau tidak boleh ikut, Kwi Lan. Akan tetapi terserah kalau engkau mau pergi merantau. Engkau sudah cukup dewasa dan kuat untuk menjaga diri,” demikian pesan Sian Eng secara singkat.
Ada pun Suma Kiat tersenyum-senyum, agaknya hendak menggoda sumoi-nya itu yang tidak boleh ikut pergi! Memang, biar pun usianya sudah dua puluh tahun, Suma Kiat yang kini juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu kadang-kadang sikapnya seperti kanak-kanak saja!
“Bibi, saya hanya minta agar sebelum Bibi pergi, Bibi suka memberi sedikit keterangan kepadaku.”
Sian Eng tersenyum di balik kerudung hitamnya. “Keterangan tentang ayah bundamu, bukan?”
Kwi Lan terkejut dan melirik ke arah Bi Li yang juga berdiri di situ dan yang menjadi kaget pula.
“Hemm, jangan kira bahwa aku tidak tahu akan persekutuan kalian beberapa tahun yang lalu! Enci Bi Li, suamimu telah mati, anakmu hilang. Kalau dia memang anak berbakti, tentu dia akan datang mencarimu kelak. Kwi Lan, kalau kau hendak mencari ibumu, pergilah ke Khitan. Ibumu adalah adik angkatku, yaitu Ratu Yalina di Khitan. Tentang Ayahmu... hi-hik, kau tanya saja kepada ibumu yang manis itu!“
Demikianlah, setelah Sian Eng bersama Suma Kiat pergi, Kwi Lan lalu pergi pula meninggalkan hutan di mana ia hidup selama delapan belas tahun. Ia menasehati Bi Li agar tinggal di dalam istana bawah tanah saja, menanti kembalinya mereka dari perantauan. Ia berjanji akan mencari keterangan di dunia luar tentang Tang Hauw Lam.
Dengan kawan pedang pusaka pemberian bibinya, Kwi Lan melakukan perjalanan seorang diri. Tujuan perjalanannya tentu saja ke Khitan di sebelah utara. Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, melakukan perjalanan seenaknya. Hal ini bukan saja karena ia memang hendak menikmati keadaan kota dan dusun yang dilaluinya, juga terutama sekali karena hatinya merasa amat kecewa ketika mendengar keterangan gurunya bahwa dia sebetulnya anak Ratu Khitan! Anak ratu! Akan tetapi ratunya bangsa Khitan yang dianggap sebagai bangsa yang setengah liar di utara.
Dan kalau dia benar anak ratu, mengapa sampai diberikan kepada gurunya? Kalau benar ibunya Ratu Khitan itu adalah adik angkat gurunya, tentu dia telah diberikan kepada bibi itu untuk dilatih ilmu silat. Alangkah tega hati ibu kandungnya itu! Berarti tidak sayang kepadanya! Karena pikiran inilah maka Kwi Lan tidak sangat bernafsu untuk bertemu dengan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan.
Pada pagi hari yang cerah itu Kwi Lan berjalan di kaki bukit Lu-liang-san, menikmati keindahan alam yang mandi cahaya matahari pagi. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara orang bertanding di sebelah depan. Hatinya tertarik dan ia mempercepat langkahnya.
Ketika tiba di sebuah belokan, ia melihat dua orang tengah bertanding hebat. Yang seorang bersenjata pedang, yang kedua bersenjata tongkat butut. Di sekeliling tempat pertandingan itu berdiri pula beberapa orang dengan tegak dan penuh perhatian menonton jalannya pertandingan. Melihat betapa dua orang yang bertanding, juga mereka yang berdiri menonton, semua berpakaian pengemis, teringatlah Kwi Lan akan peristiwa di hutan iblis pada lima tahun yang lalu.
Yang bersenjata tongkat butut adalah seorang kakek pengemis berpakaian butut dan di situ masih ada tiga orang temannya yang kurus-kurus dan tua berdiri menonton. Ada pun lawannya, yang berpedang, adalah seorang pengemis pakaian bersih, sedangkan agaknya empat orang yang berdiri menonton di sebelah kiri adalah teman-temannya, sungguh pun hanya dua di antara mereka yang berpakaian pengemis baju bersih.
Pertandingan itu cukup seru dan dari gerakan mereka tahulah Kwi Lan bahwa mereka yang bertanding itu memiliki kepandaian cukup tinggi dan tentu bukan anggota biasa dari perkumpulan mereka, melainkan tokoh-tokoh yang berkedudukan cukup tinggi. Maka ia memandang penuh perhatian sambil mendekati dengan langkah perlahan.
“Ssssttt...!”
Kwi Lan terkejut dan berdongak. Ternyata yang berdesis itu adalah seorang pemuda yang duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon sambil menghadap ke arah pertandingan. Pemuda itu kini menoleh kepadanya dan menaruh telunjuk ke depan mulut. Melihat wajah pemuda itu yang berseri, tidak hanya mulutnya, bahkan hidung dan matanya ikut tersenyum ramah, sekaligus timbul rasa suka dihati Kwi Lan. Mata pemuda itu bersinar terang dan gembira, jelas tampak bahwa dia seorang periang yang lucu dan juga nakal.
“Kalau mau nonton, di sini paling enak, jelas aman dan tidak usah bayar!” bisik pemuda itu dan terkejutlah Kwi Lan.
Pemuda itu hanya berbisik-bisik, akan tetapi suaranya jelas sekali terdengar olehnya, seperti didekat telinganya. Tahulah ia bahwa pemuda yang periang ini bukan hanya seorang pemuda berandalan biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah menguasai Ilmu Coan-im-pek-li (Mengirim Suara Seratus Mil).
Kalau saja pemuda itu tidak memiliki wajah tampan yang begitu jenaka seperti wajah seorang anak kecil yang nakal, tentu Kwi Lan akan ragu-ragu bahkan marah. Namun jelas baginya bahwa pemuda itu nakal dan polos, tidak bermaksud kurang ajar. Hal ini dapat ia lihat dari sinar matanya. Selama setengah tahun merantau dan bertemu banyak laki-laki, Kwi Lan sudah dapat membedakan pandang mata laki-laki yang tertarik akan kecantikan wajah dan bentuk tubuhnya, pandang mata mengandung birahi yang kurang ajar.
Sengaja Kwi Lan mengerahkan ginkang-nya sehingga ketika ujung kedua kakinya menggenjot tanah, tubuhnya melayang naik seperti seekor burung kenari terbang melayang dan hinggap di atas cabang di dekat pemuda itu, duduk ongkang-ongkang seperti si pemuda tanpa sedikit pun membuat cabang itu bergoyang. Akan tetapi Kwi Lan kecelik kalau ia memancing kekaguman pemuda itu, karena si pemuda menoleh kepadanya seperti tidak ada apa-apa saja, seakan-akan gerakannya yang indah dan ringan itu tadi sudah sewajarnya!
Setelah menoleh dan memandang wajah Kwi Lan sejenak, pemuda itu tersenyum lebar, merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan itu, lalu menyodorkannya kepada Kwi Lan. Kiranya tanpa bicara pemuda itu telah menawarkan kacang garing kepada Kwi Lan!
“Enak nonton di sini sambil makan kacang,” katanya dengan mata bersinar-sinar. “Gerakan mereka dapat nampak jelas. Hayo bertaruh, siapa yang akan menang antara pengemis bertongkat kurus kering dan pengemis botak berpedang itu? Aku berpegang kepada si Botak!”
Kwi Lan makin suka kepada pemuda yang sebaya dengannya ini, atau mungkin lebih muda melihat sikapnya yang kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil segenggam kacang, membuka kulit dan memakannya sambil menonton ke arah pertandingan.
“Aku bertaruh pengemis baju butut yang menang,” Kwi Lan berkata setelah menonton sebentar. Kacang garing itu enak sekali, selain gurih dan wangi tanda kacang tua dan baik, juga agaknya diberi bumbu dan asinnya cukup.
“Belum tentu!” kata si Pemuda gembira dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang itu digerak-gerakkan menendang. “Memang si Kurus Kering itu lebih lihai ginkang-nya, lebih cekatan. Akan tetapi kulihat si Botak ini banyak tipu muslihatnya. Di gagang pedangnya terdapat alat untuk melepas jarum beracun.”
“Ihhh...! Memang pengemis baju bersih itu golongan hitam dan curang!” Kwi Lan berseru.
“Eh, bagaimana engkau bisa tahu?”
“Tahu saja! Kau kira engkau saja yang tahu kelicikan mereka?”
Mereka saling pandang, cemberut karena dengan pertaruhan itu mereka seperti hendak saling memihak. Akan tetapi pemuda itu tersenyum, menyodorkan lagi bungkusan kacangnya. “Enak kacang ini, bukan? Tentu enak, kacang ini khusus dibuat untuk istana kerajaan!” ia tertawa ha-ha-he-he, lalu melanjutkan, “Akan tetapi, Raja dan para Pangeran belum tentu mempunyai mulut seperti mulutku, maka aku merasa bahwa mulutku tidak terlalu rendah untuk mencicipi kacang untuk istana ini dan kucuri sebagian. He-he-heh!”
Kwi Lan juga tersenyum lebar dan mengambil lagi segenggam. Keduanya kini tidak berkata-kata lagi karena ikut merasa tegang dengan pertandingan yang makin seru itu. Mereka seperti lupa diri, makan kacang sambil menonton ke bawah, persis seperti lagak para penonton permainan sepak bola yang ramai. Mereka seperti dua orang anak nakal yang sudah sejak kecil menjadi kawan bermain.
Memang pertandingan itu makin seru. Tepat seperti yang dikatakan pemuda itu, gerakan pengemis baju butut yang memegang tongkat amat lincah, tubuhnya sering kali mencelat ke atas dan menyambar-nyambar dengan tongkatnya. Pengemis botak yang berbaju bersih, agaknya kewalahan dan terdesak sehingga ia hanya mampu mengelak dan menangkis, sukar untuk dapat membalas. Namun harus diakui bahwa pertahanan pedangnya cukup kuat sehingga semua terjangan si Pengemis kurus kering selalu tidak mengenai sasaran. Tiba-tiba pengemis baju kotor itu mengeluarkan seruan keras dan ilmu tongkatnya berubah, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin sempit sehingga mengurung tubuh lawannya.
“Hah, mampus sekarang jagomu!” kata Kwi Lan.
“Heh, belum tentu! Lihat saja...,” jawab si Pemuda.
“Lihat, nah...kena!” Berbareng dengan ucapan Kwi Lan yang tentu saja dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas dan bahkan dapat menduga pula perkembangan setiap gerakan, benar saja tongkat pengemis pakaian kotor itu dapat menusuk leher pengemis botak.
Akan tetapi, ketika pengemis botak itu berusaha menangkis dengan sia-sia, tiba-tiba dari gagang pedangnya meluncur sinar hitam dan kakek pengemis kurus kering itu pun berseru kesakitan dan roboh bersama-sama lawannya. Kalau lawannya dapat ia tusuk dengan tongkat tepat mengenai leher, adalah dia sendiri menjadi korban tiga batang jarum beracun yang menyambar ke luar dari gagang pedang ketika lawannya menekan alat rahasia di gagang pedang itu. Tiga batang jarum berbisa memasuki perutnya!
Tiga orang pengemis baju kotor yang bertubuh kurus-kurus itu menjadi marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, empat orang lawannya yang tadinya juga menonton, dengan bersorak telah menyerbu dan menerjang mereka bertiga. Tiga orang pengemis ini cepat menggerakkan tongkat melawan pengeroyokan empat orang lawan itu. Akan tetapi ternyata kepandaian empat orang lawan, terutama yang berpakaian seperti jago silat, bermuka penuh brewok dengan alis tebal, tubuhnya tinggi besar, amatlah lihai.
Si Brewok tinggi besar ini menggunakan sepasang pedang dan gerakannya laksana harimau mengamuk. Tiga orang pengemis baju kotor itu amat kewalahan dan terdesak sambil mundur. Namun mereka melawan terus dengan nekat sambil memaki-maki. Tidak lama pertandingan itu karena tiba-tiba tiga orang pengemis kurus itu berteriak keras dan terjungkal roboh. Kiranya diam-diam empat orang lawannya itu telah mempergunakan senjata rahasia dan memukul roboh lawannya dengan senjata rahasia ini. Dan agaknya senjata rahasia mereka itu semua memakai racun, buktinya begitu roboh, seperti halnya pengemis pertama, tiga orang kakek baju kotor ini pun tak bergerak lagi, mati seketika!
“Hah-ha-ha, kau kalah bertaruh! Bukankah jembel-jembel busuk pesolek yang menang?” pemuda di samping Kwi Lan bersorak.
Kwi Lan cemberut, lalu berseru keras ke bawah, “Jembel-jembel pesolek dan kaki tangannya memang curang! Anak buah Bu-tek Siu-lam mana ada yang tidak curang dan pengecut?” Teringat peristiwa lima tahun yang lalu, sengaja Kwi Lan menyebut nama itu.
Siapa kira, mendengar disebutnya nama ini, si Pemuda di sampingnya terkejut dan berteriak keras lalu terjungkal ke bawah pohon! Kwi Lan terkejut dan baru ia tahu bahwa pada saat pemuda itu terjungkal, dari bawah menyambar beberapa macam senjata rahasia itu. Cepat ia menggunakan ujung lengan bajunya mengebut dan...runtuhlah semua senjata rahasia itu.
Dengan muka merah Kwi Lan meloncat berdiri di atas cabang pohon. Ia melihat empat orang itu terbelalak kaget, akan tetapi seorang di antara dua pengemis baju bersih, yang bertubuh pendek dan bermuka bengis, telah mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kembali menyambitkan senjata rahasia gelang besi yang melayang dan berputar-putar menyambar ke arah perut Kwi Lan.
Gadis ini memuncak kemarahannya. Ia meloncat turun sambil menyampok senjata gelang besi itu ke bawah, dan setengah disengaja ia menyampok gelang besi itu ke arah si Pemuda yang sudah bangun.
“Aduhh!” teriak si Pemuda sambil berloncatan bangun dan mengelus-elus kepalanya, seakan-akan kepalanya terkena hantaman senjata rahasia itu. Akan tetapi jidatnya yang lebar dan kelimis itu tidak terluka, lecet pun tidak.
Kwi Lan tidak pedulikan pemuda itu, lalu melayang ke arah pengemis baju bersih yang menyambut kedatangannya dengan sebuah tusukan pedang! Tampaknya serangan ini tak mungkin dielakkan lagi oleh Kwi Lan yang tubuhnya sedang melayang di udara dan memang gadis ini pun tidak berusaha untuk mengelak.
Tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka melakukan gerakan mendorong dan... pedang itu terkena dorongan hawa pukulan lalu membalik. Kemudian secepat kilat Kwi Lan menyentil dengan telunjuknya ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang dan... pedang itu mencelat sambil membalik sehingga menusuk pangkal lengan pengemis pendek itu sendiri. Kulit dagingnya terbelah dan tampak tulang lengannya! Sementara itu, entah bagaimana pedangnya telah berpindah ke tangan Kwi Lan yang mempergunakan pedang rampasan untuk menodong!
“Ha-ha-ha-heh-heh!” si Pemuda itu bersorak sambil mempermain-mainkan gelang besi yang tadi menyambarnya dengan tangan kanan. “Jembel tua bangka pesolek sekarang kehilangan aksinya. Makanya jangan sok aksi. Sudah tua bangka begitu, pura-pura jadi pengemis tapi pakaiannya bersih dan baru, biar kelihatan aksi dan tampan. Wah, ini namanya tua-tua keladi!”
Tentu saja pengemis pendek yang dirobohkan Kwi Lan itu melotot ke arah si Pemuda dengan kemarahan meluap-luap, akan tetapi juga terheran-heran mengapa senjata rahasianya yang biasanya ampuh bahkan mengandung racun itu kini dipakai main-main oleh si Pemuda ini. Pada saat itu, pengemis kedua yang tubuhnya kurus kecil seperti kucing kelaparan itu menudingkan telunjuknya kepada Kwi Lan sambil membentak, suaranya besar dan parau sungguh berlawanan dengan tubuhnya yang serba kecil kurus.
“Eh, iblis betina dari mana berani menentang Hek-coa Kai-pang dan mengeluarkan ucapan menghina ciangbujin Bu-tek Siu-lam? Apakah sudah bosan hidup?”
Kwi Lan membalikkan tubuhnya, membelakangi pengemis pendek yang terluka untuk menghadapi lawan baru ini. Ia tersenyum manis ketika berkata, “Kalian ini jembel-jembel busuk, biar pun tidak sama dengan Hek-peng Kai-pang, kiranya sama busuknya, apa lagi sama-sama di bawah pimpinan Bu-tek Siu-lam yang biar pun belum pernah kujumpai, tentu busuk pula!”
“Eh, perempuan keparat! Selama hidup kami tidak pernah bertemu denganmu dan tidak pernah bertentangan, mengapa hari ini kau datang-datang menghina dan memusuhi kami? Apakah kau berpihak kepada jembel-jembel butut itu?” bentak pula pengemis kurus kecil sambil menuding ke arah mayat empat orang pengemis baju butut. Kumis kecil di kanan kiri hidung itu bergerak-gerak akan tetapi tidak sama sehingga kelihatannya seperti sepasang sayap kupu-kupu yang hinggap di bawah hidung, membuat Kwi Lan menjadi geli dan memperlebar senyumnya.
“Urusan kalian dengan jembel-jembel berpakaian butut sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Akan tetapi kebetulan sekali aku adalah orang yang paling tidak suka melihat perbuatan-perbuatan curang dan pengecut. Dalam pertandingan tadi kalian merobohkan lawan mengandalkan senjata rahasia secara curang sekali. Kemudian kalian juga menyerangku dengan senjata rahasia. Apakah kau masih mau bilang di antara kita tidak ada pertentangan?” berkata demikian, Kwi Lan melirik kepada dua orang lain yang tidak berpakaian pengemis, yaitu yang bermuka brewok dan seorang temannya lagi. Jelas mereka itu tidak segolongan dengan dua orang pengemis baju bersih ini dan mereka pun tidak mencampuri perdebatan, hanya memandang dengan mata terbelalak heran dan kening berkerut.
“Bocah sombong! Merampas pedang dan melukai saudaraku masih belum merupakan dosa besar, akan tetapi menyebut dan menghina nama ciangbujin kami....”
Kwi Lan memegang ujung pedang dengan tangan kirinya dan sekali tekuk, pedang rampasan itu patah menjadi dua dan ia buang ke atas tanah. “Pedang sudah kupatahkan, kalau aku bunuh saudaramu itu dan kumaki si Kepala Penjahat busuk Bu-tek Siu-lam, kau mau apa?”
“Iblis betina, rasakan tanganku!” Tiba-tiba pengemis kecil kurus itu sudah mencabut pedang dan menggerakkan pedangnya membacok, gerakannya selain cepat juga kuat sekali, jauh lebih kuat dari pada gerakan pengemis yang sudah terluka tadi.
Pada saat yang sama, ketika Kwi Lan memutar tubuhnya untuk menghadapi serangan pengemis kecil kurus, pengemis kedua yang sudah terluka lengannya itu menggerakkan tangan kirinya menyambitkan sebuah gelang besi ke arah punggung gadis itu.
Apa yang terjadi selanjutnya sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata, akan tetapi tahu-tahu dua orang pengemis itu menjerit dan roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi dan hebatnya, tepat di dahi mereka tampak luka berlubang ditembusi gelang besi beracun!
Kiranya ketika tadi diserang pedang pengemis kurus, Kwi Lan juga tahu bahwa dari belakang ia diserang dengan senjata rahasia, maka secepat kilat ia berkelebat kedepan, menangkap tangan yang berpedang dari samping lalu membetot tubuh itu dipakai menangkis gelang besi yang menyambar punggungnya sehingga senjata rahasia itu tepat menyambar dahi pengemis kurus. Ada pun si Pengemis pendek yang melepas senjata rahasia secara curang itu, sebelum sempat mengelak, telah ‘dimakan’ senjata rahasianya sendiri yang dilemparkan oleh pemuda teman Kwi Lan dengan gerakan sembarangan namun yang membuat senjata itu menyambar cepat sekali dan masuk ke dalam dahi pemiliknya.
Kini tinggal dua orang yang bukan pengemis, teman-teman dari pengemis baju bersih, berdiri memandang dengan mata terbelalak kaget. Mereka berdua mengerti bahwa dua orang muda itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Orang pertama yang mukanya penuh brewok segera melangkah maju dan menjura sambil mengangkat kedua tangan ke dada dan berkata, “Kepandaian Ji-wi (Tuan Berdua) sungguh hebat dan membuat kami merasa kagum sekali!”
Kwi Lan hanya tersenyum mengejek, akan tetapi pemuda itu tertawa-tawa tanpa membalas penghormatan orang. “Heh-heh, kulihat kalian berdua bukan pengemis. Tapi tadi membantu dalam pertandingan antar pengemis! Apakah sekarang hendak menuntut bela atas kematian dua orang sahabatmu ini?”
Si Brewok menggeleng-geleng kepalanya. “Kami tidak tersangkut dalam urusan antara mereka dan Ji-wi. Telah saya lihat betapa mereka itu mencari mati sendiri dengan keberanian mereka melawan dan memandang rendah Ji-wi. Sungguh pun menghadapi empat orang anggota Khong-sim Kai-pang pengemis baju butut tadi kami merupakan sekutu mereka, namun urusan terhadap Ji-wi kami tidak ikut campur.”
“Menggerakkan lidah memang amat mudah!” Kwi Lan berkata mengejek. “Kau bilang tidak ikut campur, akan tetapi siapa tadi yang ikut menyerangku dengan senjata rahasia ketika aku berada di atas pohon itu?”
Wajah si Brewok menjadi merah. Memang tadi dia ikut menyerang Kwi Lan dengan senjata rahasianya yang berbentuk peluru bintang. Ia menjura kepada gadisitu dan berkata, “Harap Nona maafkan, tadi saya menyangka Nona adalah kawan pengemis Khong-sim Kai-pang.”
“Tidak peduli apa yang kau sangka. Hayo serang aku lagi dengan senjata rahasiamu!” bentak Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Berubah muka si Brewok. “Saya... saya mana berani?”
“Berani atau tidak masa bodoh, kau harus! Kalau membangkang, jangan bilang aku keterlaluan!” Suara ini mengandung penuh ancaman sehingga muka yang penuh brewok itu menjadi pucat. Ia berdiri saling pandang dengan kawannya.
Kawannya itu agaknya lebih berani dari pada si Brewok. Matanya yang agak menjuling itu dipelototkan ke arah Kwi Lan dan ia berseru, “Nona, engkau sungguh keterlaluan! Kami adalah orang-orang Thian-liong-pang, bukan orang-orang sembarangan! Kalau Suheng-ku ini berlaku mengalah kepadamu, adalah karena melihat engkau masih muda, masih setengah kanak-kanak. Setelah Ouw-suheng mengalah, mengapa engkau malah mendesaknya? Sekali dia turun tangan, engkau akan celaka, dan hal itu akan sayang sekali melihat engkau begini muda dan cantik!”
“Sute, diam...!” si Brewok menegur adik seperguruannya.
Kwi Lan marah sekali, akan tetapi tak seorang pun tahu akan hal ini karena senyumnya makin manis. “Ah, begitukah? Jadi kalian ini orang-orang Thian-liong-pang yang lihai? Kebetulan sekali, lekas kalian berdua menyerangku dengan senjata-senjata rahasia kalian!”
Si Brewok ragu-ragu, akan tetapi si Mata Juling berkata, “Suheng, dia yang minta dihajar, tunggu apa lagi?” Sambil berkata demikian si Juling mengeluarkan dua buah senjata rahasianya, yaitu peluru bintang.
Senjata rahasia ini terbuat dari pada baja, ujungnya runcing-runcing dan karena bentuknya bulat seperti peluru, maka dapat disambitkan dengan keras. Melihat ini, si Brewok yang didesak-desak juga mengeluarkan senjata rahasia yang sama, akan tetapi hanya sebuah.
“Hayo lekas serang, tunggu apa lagi?” Kwi Lan berseru, berdiri dengan sikap seenaknya, bahkan sengaja ia miringkan tubuh dan menoleh membelakangi dua orang itu.
Selagi si Brewok ragu-ragu dan adik seperguruannya yang marah itu menanti gerakan kakaknya, terdengar pemuda itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Aku mendengar nama besar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan yang disegani dan ditakuti, yang mempunyai cabang di seluruh negeri, yang dipimpin oleh orang-orang sakti. Akan tetapi ternyata kini orang-orangnya hanya pengecut-pengecut yang suka menyerang seorang gadis dengan curang....”
“Eh, manusia berandalan! Diam kau! Ini bukan urusanmu!” Kwi Lan membentak dan melotot kepada pemuda itu.
Si Pemuda masih tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak dan wajahnya memperlihatkan sikap kaget ketika pemuda itu melihat betapa dua orang itu menggunakan kesempatan selagi Kwi Lan menoleh dan bicara kepadanya untuk menyerang dengan senjata rahasia mereka. Pemuda itu menjadi pucat karena maklum betapa hebatnya serangan itu dan betapa ia sendiri yang berdiri jauh tidak sempat mencegah serangan ini. Akan tetapi wajah yang kaget itu berubah girang dan sinar matanya menyorotkan kekaguman ketika ia mendengar pekik kesakitan kedua orang anggota Thian-liong-pang itu.
Si Mata Juling roboh dan tewas seketika karena pelipis dan dadanya dihantam senjata rahasianya sendiri, sedangkan si Brewok roboh kesakitan akan tetapi segera melompat bangun kembali karena hanya pahanya yang terluka oleh senjata rahasianya sendiri pula. Ia berdiri dengan mata terbelalak kagum dan heran.
Memang luar biasa sekali caranya gadis itu menghadapi serangan senjata rahasia tadi. Biar pun sedang menengok ke belakang, namun Kwi Lan tahu akan serangan senjata rahasia. Bahkan tanpa menoleh lagi ia menggerakkan kedua tangannya, menyambar senjata rahasia si Juling yang datang lebih dulu ke arah pelipis dan dada, kemudian secepat kilat ia mengembalikan dua senjata itu ke arah pemiliknya, tepat mengenai pelipis dan dada! Ada pun peluru bintang yang dilepas si Brewok hanya mengarah pahanya, itu pun tidak tepat di tengah-tengah, maka Kwi Lan juga membalikkan senjata rahasia itu tepat mengenai pinggir paha si Brewok yang mendatangkan luka daging!
Sambil meringis menahan sakit, si Brewok menjura kepada Kwi Lan. “Benar hebat dan mengagumkan. Saya mengaku kalah dan kematian Sute-ku adalah karena tidak hati-hatinya. Mohon tanya, siapakah nama Nona yang gagah?”
Kwi Lan sudah menggerakkan bibir hendak mengaku, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berkata, “Eh, apakah matamu sudah buta? Terang Nona ini menggunakan nama Mutiara Hitam, engkau masih bertanya-tanya lagi?” Sambil berkata demikian, pemuda itu sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang dan hinggap di dekat Kwi Lan seperti gerakan seekor burung ringannya.
Si Brewok memandang kagum dan tersenyum mendengar kata-kata itu. Ia menduga bahwa gadis ini memakai nama julukan Mutiara Hitam karena gagang pedangnya terhias sebutir mutiara hitam yang besar. Ia lalu menjura kepada pemuda itu dan bertanya, “Terima kasih atas penjelasan Tuan Muda. Bolehkah saya mengetahui nama Kongcu?”
“Namanya Si Berandal, apa kalian belum tahu?” Suara ini keluar dari mulut Kwi Lan yang hendak membalas pemuda itu.
Akan tetapi si Berandal hanya tertawa, lalu berkata kepada anggota Thian-liong-pang itu. “Kau ini manusia tidak tahu diri berani main-main di depan Mutiara Hitam dan Berandal, sungguh sudah bosan hidup!”
“Mohon Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memaafkan. Karena tidak mengenal maka kami telah berlaku kurang hormat. Harap Ji-wi suka memandang perkumpulan dan ketua kami memberi maaf kepada saya.”
“Kalau kami tidak memaafkan, apa kau kira akan masih tinggal hidup?” si Berandal bersombong. “Hayo ceritakan siapa engkau dan apa urusan Thian-liong-pang dengan pengemis-pengemis itu serta mengapa pula terjadi pertandingan dengan pengemis-pengemis Khong-sim Kai-pang? Dan mengapa pula nama Bu-tek Siu-lan tadi kudengar disebut Ciangbujin oleh pengemis pendek itu?”
“Saya bernama Ouw Kiu. Seperti semua pimpinan dan petugas Thian-liong-pang saya taat dan tunduk kepada perintah atasan. Saya dan Sute Ouw Lun itu mendapat tugas untuk menyampaikan undangan kepada para pimpinan Hek-coa Kai-pang untuk menghadiri pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang pertengahan bulan depan. Ketika hendak kembali ke Yen-an, di sini kami bertemu dengan tiga orang anggota Hek-coa Kai-pang yang berhadapan dengan empat orang Khong-sim Kai-pang. Tentu saja kami membantu Hek-coa Kai-pang dan salah mengira bahwa Ji-wi adalah teman-teman anggota Khong-sim Kai-pang.”
“Dan tentang Bu-tek Siu-lam?” pemuda itu mendesak.
Ouw Kiu tidak menjawab, wajahnya pucat.
“Ah, urusan begitu saja mengapa mesti banyak tanya lagi?” Kwi Lan mencela. “Si badut Bu-tek Siu-lam itu sudah jelas menjadi cukong dunia pengemis golongan hitam! Ingin aku bertemu dengan badut itu untuk memberi hajaran agar ia kapok dan tidak membiarkan anak buahnya bermain curang!”
Ouw Kiu makin pucat. “Saya... saya tidak mempunyai cukup harga untuk menyebut-nyebut nama besar beliau, hanya saya mengerti bahwa beliau merupakan seorang tokoh besar yang amat dihormati Thian-liong-pang. Suaranya agak gemetar dan matanya lirak-lirik ke kanan kiri penuh kekhawatiran.
“Sudah, pergilah dan bawa mayat temanmu. Mengingat Thian-liong-pang kami memaafkanmu dan bulan depan kalau tiada halangan, kami akan datang menonton keramaian di Yen-an.”
Ouw Kiu menjura mengucapkan terima kasih, kemudian menyambar mayat sute-nya dan pergi dari situ dengan langkah terpincang-pincang. Kwi Lan membalikkan tubuh terus lari pergi pula dari tempat itu. Akan tetapi belum jauh ia pergi, ia mendengar suara orang berlari di belakangnya. Ketika melirik dan melihat bahwa yang mengikutinya adalah pemuda itu, Kwi Lan lalu mengerahkan ginkang-nya dan berlari makin cepat.
Setelah lari agak jauh, ia melirik kebelakang. Kiranya pemuda itu masih saja mengikuti di belakangnya, hanya terpisah tiga meter! Kwi Lan penasaran dan mengerahkan seluruh tenaganya, lari secepat terbang. Pemuda itu pun mengerahkan tenaganya. Beberapa lama mereka berlari-larian cepat sampai puluhan li jauhnya. Akhirnya terdengar pemuda itu berkata dengan napas memburu.
“Waduh... berat nih! Eh, Mutiara Hitam, apakah engkau takut padaku maka melarikan diri?”
Kalau pemuda itu mengeluarkan ucapan lain, agaknya Kwi Lan tidak akan mempedulikannya dan akan berlari terus. Akan tetapi dikatakan takut merupakan pantangan besar baginya, maka cepat ia mengerem larinya, berhenti dengan tiba-tiba sehingga pemuda yang membalap di belakangnya itu hampir saja menubruknya kalau tidak cepat-cepat membuang diri ke samping dan berjungkir balik dua kali. Gerakan pemuda ini amat lucu, akan tetapi juga indah dan membuktikan kegesitannya yang luar biasa.
“Takut? Siapa bilang aku takut padamu?” Kwi Lan bertanya, memandang tajam dan mengangkat muka membusungkan dada, sikapnya menantang.
“Tentu saja aku yang bilang...!” Pemuda itu berhenti dan mengatur napasnya yang agak terengah-engah. “Wah, bisa putus napasku kalau diajak balapan lari gila-gilaan seperti tadi! Aku tidak bilang kau takut, aku tadi bertanya apakah engkau takut kepadaku.”
“Aku tidak takut! Apamu yang kutakuti?” Kwi Lan membentak.
“Kalau tidak takut kenapa lari seperti dikejar setan? Aku... aku mau bicara denganmu, aku ingin jalan bersama, kenapa kau melarikan diri?”
“Aku lari, atau jalan, atau tidur, bukan urusanmu. Aku tidak ada urusan denganmu, aku tidak ingin berjalan bersama, tidak ingin bicara denganmu.”
“Wah-wah-wah, kenapa begini galak? Sungguh tidak berbudi....”
“Aku tidak berhutang budi kepadamu! Kau mau apa?”
Pemuda itu menyeringai dan senyumnya yang lebar itu lucu sekali, seperti senyum orang mengunyah garam, sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi geli.
“Kau memang tidak berhutang budi kepadaku. Akan tetapi engkau hutang kacang! Hayo menyangkallah kalau mampu! Bukankah kau berhutang kacang asin garing yang gurih dan wangi, tidak satu, tidak pula dua atau tiga, melainkan tiga genggam yang isinya banyak!”
“Hanya dua genggam!” bentak Kwi Lan.
“Dua genggam banyak juga namanya. Lebih dua puluh! Hayo kau bayar kembali hutangmu itu, baru di antara kita tidak ada sangkut paut lagi!”
Kwi Lan tertegun dan melengak. Ia menoleh kekanan kekiri, tak berdaya. Dari mana ia bisa mendapatkan kacang asin di dalam hutan itu? Dan yang sudah masuk perutnya pun tidak mungkin dikeluarkan lagi. Betapa pun juga, ia kalah benar. Memang tak dapat ia menyangkal bahwa ia tadi telah makan dua genggam kacang asin pemuda itu. Baru sekarang Kwi Lan merasa kalah debat.
Biasanya menghadapi suheng-nya, Suma Kiat, ia selalu menang berdebat sampai suheng-nya kewalahan. Akan tetapi sekarang ia benar-benar bingung, tak tahu harus melawan secara bagaimana. Akhirnya Kwi Lan menggerakkan kepala keras-keras untuk menyingkap gumpalan rambut yang jatuh ke mukanya, sebuah kebiasaan atau gerakan yang biasa ia lakukan tanpa sadar apa bila ia merasa malu, bingung atau marah.
“Kau memang manusia berandalan, ugal-ugalan, tidak tahu malu menyebut-nyebut urusan dua genggam kacang asin yang tidak ada harganya! Cih!”
“Kau yang sombong, galak, tidak menghargai orang. Diajak jalan bersama dan bicara saja tidak sudi, seperti tidak ingat saja betapa tadi di atas pohon ikut duduk dan makan kacang...,“ pemuda itu merengut.
“Sudahlah! Betul aku telah berhutang dua genggam kacang padamu. Nah, sekarang apa yang hendak kau bicarakan.”
Wajah pemuda itu sekaligus berseri kembali seperti biasa, sepasang matanya bersinar-sinar penuh keriangan. Memang wajah yang amat tampan dan melihat wajah ini, sukarlah bagi Kwi Lan untuk mempertahankan kedongkolan hatinya. Wajah itu amat segar dan riang, tidak hanya mata dan bibir yang selalu membayangkan senyum gembira, bahkan alis yang tebal itu bergerak-gerak lucu, bulu mata ikut bergetar seperti menari-nari. Wajah yang tampan, wajah yang lucu dan gembira! Seperti awan tipis disapu angin, lenyaplah rasa panas di hati Kwi Lan dan gadis ini lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol, membereskan rambutnya dan mengusap peluh di leher dengan ujung lengan baju.
“Gerah, ya? Memang hawanya panas, apa lagi kalau dipakai lari-lari cepat, bisa mandi keringat kita.” Tangannya merogoh dalam baju dan ketika ditarik ke luar, ternyata ia telah memegang sebuah guci panjang berisi air jernih dan dingin. Gerakannya cepat dan kelihatannya seperti seorang pelawak main sulap saja. Dibukanya tutup guci dan dengan tersenyum ia berkata,
“Isinya air, jernih dan bersih. Guci ini bukan sembarang guci, melainkan guci wasiat dan air yang disimpan di sini, makin lama tidak makin kotor malah makin jernih, berbau harum dan timbul rasa manis, juga menjadi dingin segar. Minumlah, Nona.” Ia menyodorkan guci itu kepada Kwi Lan.
Air yang tampak jernih berkilau, muka yang tampak riang dan menawarkan dengan penuh kejujuran, hawa yang panas, semua ini membuat Kwi Lan bernafsu sekali untuk meneguk air segar itu. Tanpa berkata apa-apa ia menerima guci, mendekatkan bibir guci yang halus kepada bibirnya sendiri yang lebih halus lagi, akan tetapi pada saat itu pandang mata mereka bentrok dan cepat-cepat Kwi Lan menurunkan lagi guci air itu ke bawah, tidak jadi minum.
“Kenapa...?”
Kwi Lan mengerling dengan pandang mata tajam. “Apakah air ini juga akan dianggap hutang? Lebih baik mati kehausan dari pada minum air hutangan!” Ia menyerahkan kembali guci itu kepada pemiliknya.
Pemuda itu tertawa bergelak, memperlihatkan deretan gigi yang terpelihara rapi dan putih. “Apakah benar-benar engkau begini pemarah dan galak? Ah, aku tidak percaya, kau hanya pura-pura bersikap galak saja!”
“Siapa tidak akan marah kalau kau begini ugal-ugalan? Dua genggam kacang asin saja digugat-gugat, dijadikan alasan....”
Pemuda itu tiba-tiba berdiri dan menjura sampai jidatnya hampir menyentuh tanah, seperti seorang melakukan penghormatan kepada ratu. “Hamba mohon beribu ampun atas segala kesalahan hamba terhadap tuan putri yang mulia....”
“Heiii! Bagaimana engkau tahu bahwa...?” Kwi Lan tiba-tiba menghentikan kata-katanya.
Sikap pemuda ugal-ugalan yang melawak itu sejenak mengingatkan ia akan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan sehingga timbul dugaan dan kecurigaannya bahwa pemuda aneh ini tahu bahwa dia anak ratu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu berbalik menjadi kaget dan heran, ia menahan kata-katanya, kemudian melanjutkan, “Sudahlah! Jangan kau main-main seperti badut. Sebetulnya engkau mau apakah? Mengapa mengejarku dan hendak bicara apa dengan aku?”
Pemuda itu menarik muka sungguh-sungguh, akan tetapi tetap saja mukanya yang kekanak-kanakan itu berseri ketika ia menyodorkan guci airnya. “Harap nona suka minum dulu air ini agar percaya bahwa Nona tidak lagi marah kepadaku.”
Kwi Lan menerima guci itu dan meneguk isinya. Memang air yang amat dingin dan segar sehingga hilanglah hausnya, terasa amat puas dan nikmat. “Enak benar air ini,” katanya memuji sambil mengembalikan guci.
Pemuda itu pun meneguk air, kemudian menutup guci dan menyimpannya kembali ke balik bajunya.
“Nona, terus terang saja, begitu bertemu denganmu aku sudah menjadi sangat tertarik dan kagum. Gerakanmu jelas menunjukkan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapmu terbuka dan tegas. Benar-benar hebat sekali. Setelah bertemu dengan seorang seperti Nona, bagaimana aku dapat berpisah begitu saja tanpa lebih dahulu bicara dan mengikat persahabatan? Apa lagi melihat sikap Nona yang sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-liong-pang dan terutama sekali berani memaki seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, benar-benar hebat sekali dan tentulah Nona seorang yang memiliki kedudukan sejajar dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw pada waktu ini.”
“Ngawur dan ngaco! Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan macamnya Bu-tek Siu-lam dan aku merasa heran sekali mengapa Ouw Kiu si Brewok tadi kelihatan begitu ketakutan ketika nama Bu-tek Siu-lam disebut-sebut.”
“Apa lagi dia, aku sendiri pun hampir terjengkang karena kaget mendengar engkau berani memaki-maki Bu-tek Siu-lam!”
“Huh, orang macam apakah Bu-tek Siu-lam itu? Aku hanya pernah mendengar dari mulut pengemis-pengemis Hek-peng Kai-pang bahwa dia yang melindungi semua pengemis golongan hitam yang katanya datang dari dunia barat. Perlu apa takut terhadap badut macam dia?”
“Aihh...aihh..., agaknya Nona belum banyak tahu akan tokoh-tokoh dunia kang-ouw pada waktu ini! Sehingga nama besar Bu-tek Siu-lam pun belum dikenalnya betul. Nona, agaknya engkau merupakan seorang perantau yang baru, belum lama turun gunung...“
Kwi Lan merasa betapa pipinya panas. Hatinya juga panas karena rahasianya diketahui. Dengan lain kata-kata pemuda ini hendak mengejeknya, mengatakan bahwa ia masih hijau, masih belum berpengalaman sehingga tidak mengenal tokoh-tokoh besar!
“Hemm, kalau engkau..., sudah banyak pengalaman, ya? Sudah puluhan tahun merantau?” Kwi Lan sengaja mengatakan puluhan tahun padahal usia pemuda itu paling banyak sama dengan usianya sendiri, sembilan belas tahun!
Akan tetapi pemuda itu tidak merasakan ejekan ini agaknya. Wajahnya serius ketika ia menjawab, “Semenjak lahir aku sudah merantau, Nona.”
“Dan aku..., sebelum lahir sudah merantau!” potong Kwi Lan, matanya menyinarkan kemarahan, bibirnya tersenyum manis, senyum marah. Memang ciri khas gadis ini, makin marah ia, makin manis senyumnya!
Pemuda ini menatap wajahnya penuh selidik, tiba-tiba wajahnya yang serius itu kembali berseri seperti biasa. “Aih, kiranya Nona juga suka berkelakar. Mana bisa sebelum lahir sudah merantau!”
“Mengapa tidak bisa kalau kau pun sudah merantau sejak lahir? Tentu kau akan mendongeng bahwa begitu lahir engkau sudah pandai tertawa, pandai berlari cepat, dan pandai... membual?”
“Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali!” Pemuda itu terpingkal-pingkal dan mau tak mau Kwi Lan tertawa juga membayangkan betapa begitu lahir pemuda itu pandai membual.
“Aku tidak membohong, Nona. Tentu saja bukan aku yang melakukan perantauan seorang diri, melainkan ayahku. Aku dibawa merantau dan sejak itu tak pernah berhenti merantau. Akan tetapi sudahlah, tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Lebih baik kuceritakan kepadamu tentang tokoh itu. Bu-tek Siu-lam adalah seorang tokoh besar yang benar-benar sakti. Tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak ngeri mendengar nama ini sungguh pun baru beberapa tahun saja ia datang dari sebelah barat Pegunungan Himalaya. Selain sakti, dia pun amat aneh sehingga tak seorang pun dapat menduga apakah dia itu laki-laki tulen ataukah perempuan.”
“Hee...? Mengapa begitu?” Kwi Lan mulai tertarik. Karena semenjak kecil ia terkurung di istana bawah tanah kemudian di dalam hutan yang tak pernah ada yang berani memasukinya, tentu saja pengetahuannya tentang dunia kang-ouw amat sempit. Apa lagi tentang tokoh-tokoh yang demikian anehnya.
Ada pun pemuda itu ketika melihat sikap Kwi Lan mulai tertarik, menjadi gembira untuk bercerita. “Dia berperawakan laki-laki tinggi tegap dan gagah, wajahnya tampan sekali, rambutnya terurai dan berombak indah. Akan tetapi lagak dan bicaranya seperti seorang perempuan yang amat genit, dan senjatanya adalah sebuah gunting besar yang amat mengerikan. Melihat gerak-gerik dan lagaknya, dia itu seratus prosen wanita, akan tetapi melihat bentuk tubuh dan wajahnya, dia adalah laki-laki. Hal ini saja sudah menyeramkan, apa lagi menyaksikan kekejamannya, membikin bulu roma berdiri. Ia pernah membasmi pengemis golongan putih dalam sebuah rapat besar sebanyak dua ratus orang lebih yang digunting-gunting dan dipotong-potong tubuhnya! Sejak itu ia menjadi datuknya pengemis golongan hitam. Banyak sudah tokoh golongan putih dan para pendekar hendak membasminya, namun mereka itu malah menjadi korban. Karena kesaktiannya inilah maka tak seorang pun berani lagi mengganggunya dan ia merupakan tokoh besar yang dicalonkan menjadi pemimpin dunia hitam jika ada pemilihan lagi di samping tokoh-tokoh yang lain.”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. Tak pernah disangkanya ada seorang yang sedemikian hebatnya. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini hanya bibinya, Kam Sian Eng, saja yang paling lihai. Siapa tahu pemuda ini sendiri sudah lihai sungguh pun ia belum mencobanya, akan tetapi pemuda ini amat jerih ketika menceritakan kesaktian Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, betapa pun juga, aku tidak takut kepadanya!” kata Kwi Lan. “Bagaimana dengan Thian-liong-pang? Apakah ketuanya juga sehebat laki-laki genit itu?”
Pemuda itu tertawa.
“Ihh, mengapa kau tertawa?”
“Mendengar kau menyebut Bu-tek Siu-lam laki-laki genit!”
“Kau sendiri yang bilang dia genit.”
“Mana bisa laki-laki genit? Laki-laki tidak ada yang genit, yang genit hanyalah perempuan.”
“Belum tentu semua perempuan genit! Laki-laki yang genit banyak, di antaranya... engkau inilah!”
“Wah, wah, menyerang lagi. Kau benar-benar pemarah, Nona. Maafkanlah. Yang kumaksudkan adalah bahwa Bu-tek Siu-lam itu bersikap genit seperti wanita, jadi dia itu laki-laki bukan wanita bukan. Dia seorang banci.”
“Banci? Apa banci...?”
“Banci itu wadam!”
“Wadam? Apa itu?”
“Wadam itu wandu.”
“Wandu? Aku tidak mengerti.”
Pemuda itu menarik napas panjang, lalu menggeleng kepala. “Tidak banyak pengertianmu, Nona. Banci, wadam, atau wandu itu adalah orang yang bukan laki-laki bukan pula wanita, akan tetapi juga bisa laki-laki bisa disebut wanita.”
Pusing kepala Kwi Lan mendengar ini. Keningnya berkerut, matanya bersinar marah. “Berandal, kalau kau mempermainkan aku, hemm... aku takkan sudi mendengarmu lag!”
“Eh, eh, nanti dulu! Aku tidak main-main, Nona. Banci adalah seorang yang bertubuh laki-laki akan tetapi berwatak perempuan, atau sebaliknya. Memang sukar untuk menerangkan, karena aku sendiri tidak tahu persis mengapa bisa begitu, akan tetapi memang kenyataannya demikian. Kau tadi bertanya tentang Thian-liong-pang? Ketuanya juga seorang yang terkenal memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan itu saja yang membuat Thian-liong-pang disegani, melainkan banyaknya anggota dan banyaknya para pimpinan yang tinggi-tinggi ilmunya. Kabarnya tidak kurang dari dua belas orang murid kepala Thian-liong-pang amat lihai dan jika tenaga mereka digabungkan menjadi satu, agaknya Bu-tek Siu-lam sendiri tidak berani main-main dengan mereka. Pusatnya di Yen-an dan entah apa yang dimaksudkan si Brewok tadi dengan upacara pengangkatan ketua baru. Mungkin ketua lama mengundurkan diri, diganti muridnya yang paling besar. Peristiwa itu tentu amat menarik dan dikunjungi semua tokoh dunia hitam, karena itu aku ingin sekali mengunjungi ke Yen-an bersama... Nona, kalau Nona... berani!”
“Tentu saja aku berani!” Kwi Lan meloncat sambil meraba gagang pedangnya.
“Jadi Nona mau...?” Pemuda itu tersenyum lebar dan menjadi girang sekali.
Kwi Lan sadar lalu duduk kembali, “Soal mau atau tidak, nanti, dulu! Akan tetapi pokoknya aku berani! Sekarang ceritakan, selain laki-laki genit....” Ia berhenti dan melotot, akan tetapi pemuda itu tidak tertawa sekarang, “selain dia, siapa lagi tokoh besar di dunia ini sekarang?”
“Tokoh-tokoh dunia hitam banyak sekali, akan tetapi mereka itu adalah tokoh-tokoh yang dahulu berada di bawah Thian-te Liok-koai yang sekarang sudah lenyap dari permukaan bumi. Ada pun tokoh-tokoh yang sekiranya dapat disejajarkan Bu-tek Siu-lam, sedikit sekali. Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh iblis yang berjuluk Thai-lek Kauw-ong, seorang hwesio tua yang kabarnya memiliki kesaktian seperti iblis. Ada pula yang berjuluk Sin-cam Khoa-ong yang suka membunuh orang tanpa sebab dan tanpa berkedip. Orang ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo. Kabarnya empat tokoh itulah yang kini merajai empat penjuru dunia hitam. Akan tetapi aku sendiri belum pernah bertemu dengan seorang di antara mereka.”
“Hemm, kalau mereka itu jahat, perlu apa memiliki kepandaian hebat? Apakah tidak ada yang menentang dan mengalahkan mereka?”
“Aku tidak tahu jelas, hanya kabarnya sudah terlalu banyak orang gagah dan pendekar yang roboh di tangan mereka.”
“Orang gagah? Pendekar? Orang macam apa mereka ini?”
Pemuda itu membelalakkan matanya. Kalau tadi mendengar gadis ini tidak tahu apa-apa tentang dunia hitam, ia menyangka gadis ini tentu murid tokoh sakti dunia putih yang baru saja turun gunung. Akan tetapi mendengar pertanyaan ini ia benar-benar heran sekali. Kalau tidak mengerti tentang dunia hitam dan dunia putih, habis gadis ini termasuk golongon apa?
“Bagaimana Nona tidak mengerti akan hal ini? Pendekar adalah orang-orang yang menentang kejahatan, orang-orang dari dunia putih yang selalu berusaha menumpas dunia hitam. Aku percaya bahwa guru Nona sendiri tentu seorang tokoh besar, seorang locianpwe dari dunia putih yang amat mulia.”
Kwi Lan menggeleng kepala. “Guruku bukan dari dunia putih, bukan pula dunia hitam. Entah dunia apa aku tidak tahu! Coba katakan, siapa tokoh-tokoh paling hebat di dunia putih?”
Pemuda itu masih belum hilang keheranannya, akan tetapi ia menahan perasaan ini dan menjawab, “Juga di antara pendekar-pendekar sakti banyak sekali yang merupakan tokoh puncak, akan tetapi aku yang muda hanya pernah mendengar beberapa orang saja. Pertama-tama adalah Suling Emas....”
“Suling Emas? Aku tanya nama orangnya, bukan sulingnya. Dari emas, perak, atau kuningan siapa peduli?”
“Suling Emas adalah nama julukannya. Nama aslinya, seperti tokoh-tokoh besar kang-ouw lainnya, siapa yang tahu?”
“Siapakah Suling Emas itu? Orang macam apa dan bagaimana kelihaiannya?”
Pemuda itu mengangkat jempol tangannya ke atas. “Aku sendiri belum mempunyai keberuntungan berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi namanya sudah sering kali kudengar dari para Locianpwe. Ilmu kepandaiannya setinggi langit, bahkan kabarnya Thian-te Liok-koai, enam datuk persilatan, musnah oleh sepak terjang Suling Emas. Sulingnya yang terbuat dari emas itu mengalahkan segala macam senjata yang ada di dunia ini.”
“Dimana dia tinggal?”
“Tak seorang pun tahu. Seperti juga empat tokoh dunia hitam, banyak tokoh dunia putih terdiri dari orang-orang aneh yang sukar diketahui tempatnya, akan tetapi yang sewaktu-waktu dapat muncul di tempat-tempat yang sekali tidak terduga-duga. Aku tidak akan merasa heran kalau saat ini di sekeliling kita terdapat tokoh dunia hitam mau pun dunia putih. Sepak terjang mereka penuh rahasia.”
Mendengar ini, tanpa disadarinya lagi Kwi Lan melirik ke kanan-kiri, akan tetapi keadaan di sekeliling tempat itu sunyi. “Lalu siapa lagi selain Suling Emas?”
“Di antara para pengemis golongan putih menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo adalah seorang tokoh pengemis yang amat lihai ilmu silatnya, senjatanya hanya sebatang tongkat rotan kecil namun keampuhannya tidak kalah oleh pedang pusaka yang mana pun juga. Tentu saja dua orang itu hanya dua di antara banyak lagi. Apa lagi kalau kita ingat kepada partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai yang tentu mempunyai banyak orang pandai. Belum lagi di selatan kabarnya Agama Beng-kauw di Negara Nan-co dipimpin oleh orang-orang yang amat sakti. Akan tetapi di antara segala orang sakti, baik di dunia putih mau pun hitam, agaknya tidak akan dapat menyamai tingkat kakek yang mulia dan terhormat Bu Kek Siansu....”
Berkata sampai di sini, pemuda itu membungkukkan tubuhnya seakan-akan hendak memberi hormat kepada nama yang disebutnya tadi.
“Bu Kek Siansu? Siapa dia...?” Kwi Lan makin tertarik. Kalau di antara semua tokoh yang hebat-hebat tadi tidak dapat menyamai tingkat kakek ini, tentu kakek ini benar-benar seorang manusia yang amat luar biasa.
“Maaf, Nona. Aku tidak berani sembarangan menyebut-nyebut namanya yang terhormat. Akan tetapi aku mempunyai lagu yang menurut Suhu adalah ciptaan beliau. Kau suka mendengar lagu tiupan suling?” Sambil berkata demikian, pemuda itu merogoh ke belakang baju dan kembali seperti orang main sulap, ia telah mengeluarkan sebatang suling bambu.
Diam-diam Kwi Lan terheran dan menduga-duga, apa saja kiranya isi dalam baju pemuda tukang sulap ini. Kemudian melihat suling itu, ia bertanya, “Jangan-jangan engkau sendiri yang berjuluk Suling Emas!”
Pemuda itu tertawa. “Ah, Nona jangan main-main. Apakah aku pantas menjadi seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih? Dan pula, sulingku ini bambu biasa, bambu kuning, sama sekali bukan emas, biar pun sama kuningnya. Kau dengarlah baik-baik, karena lagu ini bukan lagu sembarangan lagu melainkan lagu agung ciptaan manusia dewa.”
Pemuda itu lalu meniup sulingnya dan terdengar lengking suara suling yang halus merdu, kemudian suara itu membentuk irama lagu yang amat aneh. Mula-mula amat sukar ditangkap iramanya, sukar dirasakan kenikmatannya, akan tetapi makin lama suara suling itu makin menggulung semua pikiran dan perasaan Kwi Lan sehingga gadis ini duduk termenung seperti orang tak sadar, terbuai suara itu yang mendatangkan rasa tenang dan damai dalam hatinya. Lenyaplah segala kehendak, segala keinginan, segala perasaan, seperti keadaan orang tidur dalam sadar! Setelah pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya, gema suara tadi masih berdengung dan mempesona jiwa Kwi Lan sehingga ia masih diam terlongong. Akhirnya ia sadar dan menarik napas panjang, kemudian memandang dengan kagum kepada pemuda itu.
“Aiih, kiranya engkau amat pandai meniup suling. Hebat!”
Wajah pemuda itu makin berseri gembira. Ia menjura dan berkata, “Bukan karena aku pandai meniup suling Nona, melainkan karena lagu itu memang hebat, sekaligus menembus jantung menguasai jiwa. Dibandingkan dengan Suling Emas, kepandaianku meniup suling tidak ada seper-sepuluhnya dan lagi... kabarnya Suling Emas memang menerima ilmu-ilmunya dari Bu Kek Siansu yang terhormat.”
Kwi Lan makin kagum dan terheran-heran. Timbul keinginan hatinya untuk bertemu dengan Suling Emas, walau pun hanya untuk mendengar tiupan sulingnya yang sepuluh kali lebih hebat dari pada tiupan suling pemuda ini.
“Wah, alangkah goblok!” Pemuda itu yang sudah menyimpan sulingnya kembali, meloncat bangun sambil menampar kepalanya.
Kwi Lan ikut terkejut dan ikut meloncat bangun. “Ada apa lagi?”
Pemuda itu tertawa. “Alangkah goblok aku. Lihat, kita bicara sudah setengah hari, banyak nama tokoh-tokoh dunia hitam dan putih sudah kuperkenalkan, malah aku sudah meniup suling untukmu dan kau sudah menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Akan tetapi, kita masih belum saling mengenal nama! Padahal aku merasa seakan-akan sudah mengenal Nona selama bertahun-tahun, seolah-olah kita sudah saling bersahabat lama sekali. Bolehkah aku mengetahui nama besar Nona yang mulia?”
Kwi Lan tersenyum. Terhadap seorang pemuda seperti ini, tak mungkin ia dapat membencinya. Pemuda ini berandalan memang, aneh pula, akan tetapi tidak terbayang watak kurang ajar baik dalam kata-kata mau pun dalam pandang mata kepadanya. Ilmu silatnya agaknya tinggi, banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, budinya baik dan masih ditambah pandai bersuling lagi!
“Mengapa masih bertanya lagi? Bukankah namaku Mutiara Hitam dan engkau Setan Berandalan?”
Pemuda itu tertawa geli kemudian berkata sungguh-sungguh, “Biar pun kita bukan orang lemah, namun kita belumlah seperti kakek-kakek dan nenek-nenek yang suka memakai nama julukan dan menyembunyikan nama sendiri! Nona yang baik, sudilah memperkenalkan nama besar dan she (nama keturunan) yang terhormat.”
“Kau sendiri siapa? Kau yang ingin berkenalan, seharusnya kau yang lebih dulu memperkenalkan nama.”
Pemuda itu mengangguk-angguk. “Nona benar. Maafkan aku yang pelupa. Nah, namaku Hauw Lam, she Tang. Tang Hauw Lam, nama yang bagus, sesuai dengan orangnya, bukan?” Sambil berkata demikian, sengaja pemuda itu pasang aksi menggoyang-goyangkan kedua pundak. Segala hal dilakukan sambil melucu.
Akan tetapi kali ini Kwi Lan tidak merasa lucu, melainkan kaget bukan main. Kalau saja ia tidak memiliki batin yang kuat, tentu ia akan kelihatan kaget sekali pada mukanya. Namun muka yang cantik jelita itu tenang saja, hanya jantungnya yang berdebar-debar keras. Jadi inikah putera Bi Li? Putera Tang Sun dan Phang Bi Li yang disangka lenyap setelah gurunya, ketua kelenteng di Kim-liong-san meninggal dunia? Inikah yang dicari-cari oleh Bi Li, bahkan yang telah ia janjikan kepada Bibi Bi Li untuk bantu mencari?
Sungguh tidak disangka-sangka! Akan tetapi, betapapun juga ia merasa girang bahwa putera Bibi Bi Li yang amat sayang kepadanya itu ternyata adalah seorang yang berilmu tinggi, yang berbudi baik seperti Ibunya, dan yang lucu seperti... entah siapa yang menurunkan sifat lucu kepada pemuda ini. Akan tetapi, untuk sementara Kwi Lan tidak akan membuka rahasia ini.
“Aku sebatang kara,” Hauw Lam melanjutkan, “dan Guruku yang terakhir adalah seorang kakek yang sakti dan aneh yang dahulu merupakan orang ke dua setelah Bu Kek Siansu. Seorang kakek yang hidup di dalam kuburan, tidak pernah keluar dari kuburan itu! Kakek itu sudah sangat tua, sukar ditaksir lagi berapa usianya, akan tetapi sifatnya ugal-ugalan dan seenaknya sendiri....“
“Seperti engkau!” Kwi Lan memotong.
Hauw Lam tertawa dan mengangguk. “Ya, aku banyak meniru sifat-sifatnya itu, sifat yang amat baik. Manusia hidup satu kali di dunia, kalau tidak bergembira mau apa lagi? Keadaan baik diterima dengan gembira akan menjadi lebih menyenangkan, sebaliknya keadaan buruk kalau diterima dengan gembira, akan terasa ringan! Aku hanya menerima petunjuk beliau selama seratus hari, akan tetapi gemblengan selama tiga bulan itu begitu jauh lebih berharga dari pada ajaran kuterima belasan tahun dari guru-guru yang lain.”
“Siapa nama gurumu yang aneh. itu?”
“Julukan beliau adalah Bu-tek Lo-jin. Menurut beliau memang aku berjodoh menjadi muridnya.” Hauw Lam kemudian menuturkan pengalamannya menjadi murid kakek sakti itu yang didengarkan Kwi Lan penuh perhatian.
Ketika Hauw Lam berusia lima tahun, setelah selama itu ia diajak merantau oleh Tang Sun, ayahnya yang mencari ibunya, ia dititipkan oleh ayahnya kepada Gwat Kim Hosiang ketua kelenteng di bukit Kim-liong-san. Karena ketika berpisah dari ayahnya ia baru berusia lima tahun, maka wajah ayahnya pun tidak begitu teringat olehnya. Apa lagi ibunya meninggalkannya ketika ia berusia tiga bulan! Sepuluh tahun lamanya ia tinggal di kelenteng bukit Kim-liong-san, menjadi kacung kelenteng membantu pekerjaan para hwesio. Karena bakatnya memang baik sekali, ketua kelenteng itu, Gwat Kim Hosiang murid Go-bi-pai, telah menurunkan semua ilmunya kepada Hauw Lam.
Ketika ia berusia lima belas tahun dan telah mewarisi ilmu kepandaian suhunya, ketua kelenteng itu meninggal dunia. Hauw Lam lalu meninggalkan kelenteng dan pergi merantau. Anak muda ini suka akan ilmu silat, maka dengan bekal pelajaran dari Gwat Kim Hosiang yang membuat ia mencapai dasar-dasar ilmu silat tinggi, ia dapat memperdalam ilmunya, Hauw Lam pandai merendah sehingga pandai ia mengambil hati beberapa tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga banyak pula ia menerima petunjuk.
Pada suatu hari, perantauannya membawanya ke selatan. Ia telah berusia tujuh belas tahun dan ketika ia melewati sebuah hutan, keadaan yang sunyi membuatnya menjadi keisengan dan dikeluarkanlah sulingnya. Memang semenjak kecil ketika ia tinggal di kelenteng Kim-liong-san, seorang hwesio yang pandai menyuling mengajarnya menyuling dan Hauw Lam amat suka meniup suling. Kini ia berjalan perlahan sambil meniup sulingnya. Tiba-tiba, ketika melewati segundukan tanah ia roboh terguling!
Hauw Lam kaget sekali, kedua kakinya adalah anggota badan yang terlatih. Diserang lawan saja tidak mudah terguling bagaimana sekarang bisa terguling tanpa sebab? Ia tadi merasa ada yang menarik kakinya dengan tenaga luar biasa. Sambil meloncat bangun ia memutar tubuh mempersiapkan kedua tangan untuk menangkis atau memukul dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak ada apa-apa di sekeliling tempat itu. Ia memandang ke bawah. Tanah di bawah kakinya menonjol, merupakan gundukan tanah seperti tempat kuburan orang.
Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang. Setankah yang menggodanya tadi? Setan dalam kuburan yang marah karena kuburan itu tanpa sengaja terinjak olehnya? Hauw Lam boleh jadi gagah perkasa dan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang tangguh. Akan tetapi sekali ini, biar pun belum gelap, baru menjelang senja, berada seorang diri di hutan sunyi dan merasa diserang dari dalam kuburan, ia merasa ngeri karena seram dan takut.
Tanpa berpikir panjang lagi Hauw Lam menggerakkan kedua kaki hendak lari dari tempat yang menyeramkan itu, akan tetapi baru selangkah ia lari, kembali tubuhnya roboh terguling! Timbul kemarahan hatinya yang amat sangat, melebihi ketakutannya. Belum pernah selamanya ia diperhina seperti ini. Kali ini ia melompat bangun berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, memasang kuda-kuda, membusungkan dada melebarkan mata mengatasi rasa seram sambil memaki-maki.
“Setan atau iblis atau siluman dari mana berani mengganggu Siauw-ya (Tuan Muda) yang sedang lewat? Kalau manusia, jawablah, kalau siluman muncullah dan mari kita bertanding sepuluh ribu jurus melawan Tang Hauw Lam!”
Ia petentang-petenteng, memaki-maki sambil menantang-nantang sampai beberapa lama. Namun sunyi tiada jawaban, juga tiada suara mau pun sesuatu. Hanya angin yang lewat menggerakkan daun-daun pohon, menimbulkan suara bisik-bisik seperti banyak makhluk yang tak tampak sedang bersendau gurau. Rasa seram kembali menyelubungi hati Hauw Lam, mengatasi kemarahannya dan semua bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tak salah lagi, tentu setan, pikirnya. Ketika ia roboh yang kedua kalinya tadi terasa benar betapa ada hawa pukulan yang mengait kakinya.
Kini ia memaki-maki lagi, akan tetapi diam-diam ia menggerakkan kedua kakinya. Ia ingin mengikat perhatian ‘siluman’ yang mengganggunya dengan makiannya kemudian menggunakan saat ‘siluman’ itu lengah, sekali meloncat jauh pergi dari situ. Setelah siap, sambil memaki-maki, mendadak ia menggerakkan kakinya meloncat jauh. Girang hatinya karena akalnya ini berhasil, buktinya ketika ia meloncat, tidak ada yang menjegal kakinya lagi.
Akan tetapi, selagi ia merasa girang dan tubuhnya masih melayang di atas, tiba-tiba tubuhnya itu tanpa dapat ia kuasai lagi tertarik ke bawah dan terbanting di atas tanah! Ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia terbanting kembali di atas gundukan tanah, ia makin kaget dan berseru, “Celaka... mati aku di tangan siluman...!”
“Heh-heh, siapa bilang mati itu celaka? Hidup sekedar hidup itulah yang celaka, apa lagi hidup menghamba nafsu, lebih-lebih celaka!”
Hauw Lam terkejut sekali. Karena suara itu terdengar dari bawah, ia lalu memandang ke bawah dan... hampir ia terjengkang roboh kembali ketika melihat sebuah kepala di atas tanah! Kepala yang berdiri sebatas leher di atas tanah yang rambutnya riap-riapan, mukanya penuh cambang bauk, matanya melotot. Dengan muka pucat Hauw Lam memandang kepala itu, mengucek-ucek kedua matanya, memandang lagi dan bergidik. Kedua kakinya terasa lemas dan lumpuh, seluruh tubuhnya menggigil.
Sambil menahan kedua kakinya agar tidak roboh saking lemas, Hauw Lam menghadap ke arah kepala di atas tanah lalu menjura dan berkata, suaranya gemetar, “Saya..., Tang Hauw Lam... selamanya ingin menjadi orang baik-baik..., harap anda jangan mengganggu saya....”
Kepala itu bergerak, menengadah dan matanya yang melotot itu menatap tajam, kemudian terdengar suara dari balik kumis tebal yang menyembunyikan mulut, “Tidak mengganggu, hah? Kau menginjak-injak dan melangkahi kepalaku, masih bisa bilang tidak mengganggu?”
Melihat kepala itu bergerak-gerak dan mendengar mulut di balik kumis dapat bicara seperti manusia, mulai berangsur hilanglah rasa ngeri dan takut dari hati Hauw Lam. Ia memandang lebih teliti lagi. Kepala itu di atas tanah den lehernya tersembul keluar dari tanah, agaknya tubuhnya terpendam. Kakek tua renta ini tadi bicara tentang ‘kepalaku’, hal ini hanya berarti bahwa kakek itu masih mempunyai bagian tubuh yang lain. Andai kata ia seorang siluman dan tubuhnya hanya kepala itu saja, tentu tidak akan menyebut kepalaku.
Pula, setelah kini ia memandang penuh perhatian, biar pun muka itu buruk penuh cambang bauk dan tertutup rambut yang riap-riapan, namun jelas bahwa itu kepala manusia, hanya entah bagaimana tubuh kakek itu terpendam ke dalam tanah kuburan dan entah bagaimana pula kepala itu tiba-tiba muncul sedangkan tadinya tidak ada apa-apa di situ. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu dan berkata.
“Locianpwe (Orang Tua Gagah), mohon maaf sebanyaknya apa bila boanpwe (saya yang bodoh) telah melakukan kesalahan terhadap Locianpwe karena sesungguhnya boanpwe tidak tahu bahwa Locianpwe berada di sini dan tidak sengaja....”
“Wah-wah, membekuk-bekuk lidah pun tidak ada gunanya! Masa begini caranya orang minta maaf? Mulutnya bilang minta maaf akan tetapi berlutut di sebelah atas kepalaku? Terlalu... terlalu...!” kepala itu mengomel panjang pendek.
Hauw Lam membelalakkan matanya. Kakek ini terlalu aneh dan agaknya seorang yang suka berkelakar. Ia sendiri adalah seorang pemuda yang jenaka dan selalu riang gembira, maka biar pun ia merasa mendongkol atas sikap kakek yang tidak puas dengan permintaan maafnya itu, ia memutar otak mencari akal.
“Baiklah, Locianpwe. Saya akan mohon maaf dan memberi hormat sepatutnya.”
Setelah berkata demikian Hauw Lam lalu mencabut goloknya dan dengan senjata ini ia menggali tanah di depan kepala itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, cepat ia dapat menggali sampai dalam, dan ia lalu masuk ke dalam lubang itu sehingga kini yang tampak di luar tanah hanyalah kepalanya saja yang ia angguk-anggukkan sambil mengulangi permintaan maafnya.
Mulut kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bagus sekali. Kau cocok untuk menjadi muridku. Kau banyak akal, tidak mudah putus asa dan menghadapi segala rintangan hidup dengan wajah gembira. Hayo naik!” Begitu kakek ini mengeluarkan kata-kata tubuh Hauw Lam mencelat ke atas.
Pemuda ini kaget sekali dan mengerahkan tenaga untuk mengatur keseimbangan tubuh. Ketika ia berhasil turun dengan berdiri di atas tanah, ternyata kakek itu sudah keluar dari dalam tanah, kini duduk bersila di atas tanah. Sekilas pandang, ia kaget dan heran. Kakek itu kepalanya besar dan seperti kepala orang dewasa, akan tetapi tubuhnya kecil pendek seperti tubuh seorang anak berusia belasan tahun! Maklum bahwa kakek yang tubuhnya aneh ini seorang sakti, ia lalu menjatuhkan diri kembali, berlutut di depan kakek itu.
“Demikianlah, Mutiara Hitam. Semenjak saat itu aku menjadi murid Bu-tek Lo-jin selama seratus hari. Aku tidak menerima ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi semua ilmu silat yang pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak itu, baru terbuka mataku akan ilmu yang sebenarnya,” Hauw Lam mengakhiri ceritanya.
Kwi Lan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali akan semua pengalaman Hauw Lam dan diam-diam ia merasa girang bahwa putera bibinya ini benar-benar seorang pemuda yang perkasa dan juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik. Perasaan hangat memenuhi dadanya ketika ia menatap wajah yang tampan dan jenaka itu. Ia sudah merasa tertarik sekali, seakan-akan ia berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri.
Perasaan ini mungkin timbul karena semenjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li seperti ibu kandungnya. Betapa tidak? Bibi Bi Li yang memeliharanya semenjak ia belum mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia menangis, yang memberinya makan kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda ini adalah anak kandung Bibi Bi Li! Apa bedanya dengan kakaknya sendiri?
“Wah, kau melamunkan apa?”
Tiba-tiba Kwi Lan terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentak kaget. Ia mendongkol juga akan watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar. “Kenapa kau membentak-bentak orang?”
Hauw Lam tertawa. “Siapa membentak-bentak? Aku hanya bertanya. Mengapa engkau melamun sedangkan aku sudah menanti sejak tadi memasang telinga setajam-tajamnya!”
“Menanti apa? Memasang telinga untuk apa?”
“Waduh, bagaimana ini? Sejak tadi sampai letih mulutku bercerita tentang riwayatku, tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku selesai, kini kau bertanya aku menanti apa dan memasang telinga untuk apa? Tentu saja untuk mendengarkan ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang riwayat hidupmu!” jawab Hauw Lam, penasaran.
Mendengar ini, Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi Kam Sian Eng, tidak mau pula bercerita tentang ibu kandungnya, Ratu Khitan yang belum pernah dilihatnya itu. Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa belum tiba saatnya. Maka ia lalu berkata, “Perlu apa banyak cerita? Engkau sudah tahu namaku.”
“Siapa?”
“Mutiara Hitam.”
“Wah, kenapa kau suka sekali mempermainkan aku? Aku sudah menceritakan namaku sendiri, Tang Hauw Lam...”
“Tapi aku mengenalmu sebagal Berandal saja, cukup. Dan kau mengenalku sebagai Mutiara Hitam. Apa artinya nama? Nama apa pun, juga apa bedanya? Yang penting mengenal orangnya dan melihat wataknya. Nama hanya kosong belaka!”
Hauw Lam menggaruk-garuk belakang telinganya dan mulutnya menggumam lirih, “Nama itu kosong belaka...! Eh, Mutiara Hitam, semuda ini kau sudah sepandai itu berfilsafat? Ataukah... kau pernah patah hati?”
“Patah hati? Bagaimana hati bisa patah? Apakah hati itu seperti kayu kering... macam ini?” Kwi Lan mematahkan sebatang ranting kayu. Melihat wajah gadis itu bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw Lam tertawa.
“Sudahlah, tidak gampang mengajak kau bicara. Tidak mau menceritakan nama ya sudah, sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang tentu menarik sekali.”
“Aku tidak punya riwayat. Lebih baik kau lanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau sebatang kara. Mana ayah dan ibumu?”
Untuk sesaat wajah yang jenaka dan lucu itu diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya sebentar saja karena kembali wajah yang tampan itu menjadi cerah ketika menjawab, “Ibuku telah meninggal dunia dan....”
“Siapa bilang ibumu meninggal dunia?!”
“Lho! Kenapa marah?” Hauw Lam bertanya karena mendengar suara pertanyaan yang membentak itu dan melihat wajah yang masam.
“Siapa bilang ibumu meninggal dunia?” Kwi Lan mengulang.
Pemuda itu melongo. Dara yang cantik jelita seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan tetapi yang anehnya bukan main, memiliki watak yang sukar sekali dijajaki, sukar diduga. “Yang bilang? Tentu saja ayahku. Ayahku yang bilang bahwa ibu telah meninggal dunia.”
Sudah berada di ujung lidah Kwi Lan untuk menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu bohong, akan tetapi dapat ditahannya.
“Dan ayahmu di mana dia?”
“Ayah? Ayah tidak sayang kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, ayah meninggalkan aku di kelenteng bukit Kim-liong-san dan semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Nah, sudah lengkap kini riwayatku, sekarang ganti engkau...”
Ucapan Hauw Lam terhenti karena tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara orang. Tak lama kemudian muncullah tujuh orang penunggang kuda. Pakaian, topi, dan bahasa mereka membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang asing. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda besar dan baik. Akan tetapi tujuh ekor kuda tunggang mereka itu seperti tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor kuda yang dituntun oleh seorang di antara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih tinggi, tubuhnya ramping dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit kecil dan bulunya hitam mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan bercahaya.
“Kuda betina yang hebat!” Hauw Lam terdengar memuji dengan suara lantang, matanya memandang ke arah kuda hitam itu penuh kekaguman.
Akan tetapi Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu apanya yang hebat pada kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikannya. Sebaliknya, ia tertarik kepada tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka itu rata-rata berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan tinggi, membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam oleh sinar matahari.
Sementara itu, tujuh orang ini pun menahan kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan. Agaknya tidak ada perbedaan antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan pandang mata Hauw Lam terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman!
Pandang mata mereka yang penuh getaran nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, membuat dara ini menjadi jengah dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena mereka itu tidak mengeluarkan kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti beberapa helai rumput hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik ke arah mereka. Ia masih tetap duduk di atas akar pohon.
Akan tetapi Hauw Lam sudah meloncat berdiri. Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak pula pengalamannya. Melihat sikap dan pandang mata tujuh orang itu kepada temannya, ia merasa mendongkol pula. Akan tetapi wajahnya berseri dan ia tersenyum lebar ketika berkata, “Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan!”
“Salam!” Tujuh orang itu menjawab, suara mereka rata-rata besar parau.
Senyum di mulut Hauw Lam melebar dan ia melangkah mendekati kuda hitam. Setelah kini dekat dan memandang penuh perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor kuda yang hebat, pikirnya. Ketika ia mencoba untuk menepuk-nepuk leher kuda hitam itu, si Kuda hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya kalau pemuda ini tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.
“Kuda hebat...!” ia memuji pula. “Sobat, apakah kuda hitam ini hendak dijual? Kalau hendak dijual, berapakah harganya?”
Orang yang menuntun kuda membelalakkan matanya kepada Hauw Lam, kemudian ia tertawa sehingga tampak betapa dua buah gigi atasnya ompong. Enam orang temannya hanya berdiri memandang. Kemudian si Ompong berpaling dan menterjemahkan ucapan Hauw Lam tadi dalam bahasa mereka. Seketika meledaklah ketawa enam orang itu sehingga keadaan hutan yang tadinya sunyi kini menjadi riuh dengan suara ketawa mereka. Lalu disusul mereka bertujuh saling bicara riuh rendah sambil tertawa-tawa.
“Orang muda, tahukah engkau kuda apakah ini, dari mana dan hendak dibawa ke mana?” Akhirnya si Ompong yang menjadi juru bicara berkata dengan suara pelo dan kaku. “Kuda ini adalah kuda keturunan langsung dari Hek-liong-ma milik pribadi Ratu kami!”
“Siapakah Ratu kalian yang mulia?” Hauw Lam bertanya, tertarik karena ia tidak mengerti bahasa mereka.
“Ratu kami adalah Sang Ratu di Khitan.”
“Ohhh...!” Suara seruan kaget ini keluar dari mulut Kwi Lan. Akan tetapi ketika Hauw Lam menengok, gadis ini sudah dapat menekan perasaannya kembali dan hanya memandang penuh perhatian.
“Dan tahukah engkau kuda ini hendak kami bawa ke mana? Akan kami antarkan ke Yen-an sebagai barang sumbangan kepada ketua baru dari Thian-liong-pang!”
Diam-diam Hauw Lam terkejut juga. Kiranya bukan kuda sembarangan dan ia maklum bahwa tujuh orang ini sengaja menyebut nama Thian-liong-pang untuk membuat ia kaget dan jeri. Akan tetapi ia berpura-pura tidak mengenal Thian-liong-pang, bahkan ia lalu berkata, “Wah, barang sumbangan saja mengapa kuda yang begini bagus? Yang kalian tunggangi itu semua juga sudah lebih dari cukup untuk sumbangan. Yang hitam ini kalau boleh, harap jual kepadaku.”
Tiba-tiba seorang di antara mereka berbicara dengan bahasa mereka, suaranya lantang dan telunjuknya menuding-nuding ke arah Kwi Lan yang masih duduk di atas akar pohon. Begitu selesai ia berbicara, tujuh orang itu tertawa bergelak-gelak. Semua kuda mereka kaget dan meringkik-ringkik sambil berdiri di atas kedua kaki belakang sehingga hampir saja dua orang di antara mereka terlempar ke bawah. Hal ini membuat mereka tertawa makin riuh rendah.
“Orang muda, mengertikah engkau apa yang dimaksudkan teman-temanku? Ha-ha-ha! Engkau sendiri sudah memiliki seekor kuda betina yang demikian cantik jelita, mengapa masih ingin membeli kuda hitam ini? Apakah artinya kuda hitam ini kalau dibandingkan dengan kudamu yang putih kuning dan cantik molek itu? Ha-ha-ha!” Kembali tujuh orang itu tertawa-tawa karena mereka tahu bahwa temannya si Ompong sudah menterjemahkan ucapan mereka.
Tentu saja Hauw Lam menjadi marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi Lan lebih marah lagi. Tadinya ia tidak mengerti apa artinya ucapan mereka, akan tetapi karena mereka bertujuh semua memandang kepadanya dan menuding-nudingkan telunjuk ke arahnya, tahulah ia bahwa dia sesungguhnya yang disebut kuda betina putih kuning! Ia disamakan dengan kuda! Keparat! Bagaikan seekor harimau ia meloncat bangun, kedua tangannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua tangannya menyambar ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika lenyap suara ketawa mereka, terganti suara jeritan dan mereka bertujuh terguling roboh dari atas kuda! Namun dengan gerakan yang amat cekatan mereka bertujuh sudah meloncat bangun lagi dan ramailah mereka berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti Hauw Lam mau pun Kwi Lan. Kini Hauw Lam yang melongo dan memandang mereka dengan muka terheran-heran.
Kiranya sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara Hitam tadi adalah rumput-rumput yang tadi dicabutinya sambil duduk di atas akar pohon. Dalam kemarahannya gadis itu telah menyerang tujuh orang Khitan dengan rumput-rumput itu. Biar pun hanya rumput hijau, namun di tangan dara perkasa ini berubah menjadi senjata rahasia yang amat ampuh dan menggiriskan hati.
Batang-batang rumput itu meluncur melebihi anak panah cepatnya dan tak terhindarkan lagi oleh tujuh orang Khitan itu. Tahu-tahu muka mereka telah terkena rumput yang menempel pada kulit muka mereka, menimbulkan rasa perih dan pedas, sedangkan tadi ketika rumput-rumput itu menyerang, mereka terdorong oleh angin pukulan yang membuat mereka terjungkal dari atas kuda. Kini mereka berdiri dan berusaha melepaskan rumput-rumput yang menempel muka mereka.
Aneh bin ajaib! Sampai meringis-ringis mereka berusaha mengambil rumput yang menempel di kulit muka. Sia-sia belaka! Rumput-rumput itu menempel seakan-akan diberi lem perekat ajaib, seakan-akan telah tumbuh menjadi satu dengan kulit. Seorang di antara mereka agak menggunakan kekerasan untuk mengupas rumput, akan tetapi kulit pipinya ikut terkelupas, nyeri dan perih bukan main dan darah menetes-netes!
Mereka terheran-heran dan juga kesakitan, terutama sekali rasa jeri membuat wajah mereka pucat. Bagi Hauw Lam, penglihatan itu amatlah lucu. Melihat mereka berusaha mengupas rumput dari muka meringis-ringis kesakitan, melihat betapa rumput itu merupakan plester-plester hijau ‘menghias’ muka, apa lagi orang yang tadi menghina Mutiara Hitam, rumput melintang di atas kulit hidungnya sehingga wajahnya tampak lucu sekali, membuat Hauw Lam tak dapat menahan ketawanya.
“Hua-ha-ha-ha! Lucu sekali...! Lucu sekali...! Muka kalian bertujuh ditambal-tambal seperti badut dan delapan ekor kuda ini begini bagus. Tentu kalian hendak main komidi kuda, ya? Bagus..., bagus...!” Hauw Lam bertepuk-tepuk tangan dan berjingkrak-jingkrak, membuat tujuh orang itu mendongkol bukan main.
Akan tetapi karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda-mudi itu tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak mau lagi meladeni dengan kata-kata. Serentak tangan mereka bergerak dan tujuh orang itu sudah mencabut golok masing-masing lalu mengurung dengan sikap mengancam.
“Aih... aih... kalian masih belum kapok? Kalau tadi Nona muda kalian ini menghendaki nyawa kalian, apakah kalian tidak menjadi bangkai?” Hauw Lam berseru sambil melangkah maju, kemudian menoleh kepada Kwi Lan. “Biarlah aku yang kini menikmati permainan dengan mereka!”
Kwi Lan diam saja, sikapnya tidak acuh. Ia tidak memandang mata kepada tujuh orang itu, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah orang-orang Khitan, rakyat dari ibu kandungnya, ia tadi tidak mau membunuh mereka. Kini ia hendak menyaksikan sampai di mana kepandaian Berandal, karena dari gerak-gerik tujuh orang itu ia dapat menduga bahwa mereka memiliki ilmu silat yang tinggi juga.
“Mengalahkan mereka tanpa membunuh barulah hebat,” Kwi Lan sengaja berkata, nada suaranya mengejek, padahal di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda berandalan itu membunuh rakyat ibu kandungnya.
“Oho, mudah saja, kau lihatlah!” Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian membusungkan perutnya ke depan, menantang.
“Hayo kalian maju, tunggu apa lagi? Bukankah golok kalian sudah terhunus? Di sini tidak ada babi untuk ditusuk perutnya, tidak ada kambing untuk disembelih lehernya. Nih perutku, boleh kalian tusuk, atau leher nih, boleh pilih!” Ia menantang dengan cara mengejek sekali, meramkan kedua mata, mengulur leher membusungkan perut dan menaruh kedua tangan di punggung!
Diam-diam Kwi Lan geli menyaksikan sikap ini, juga merasa betapa sikap ini keterlaluan dan berbahaya. Coba dia yang ditantang secara itu, tentu sekali bergerak akan dapat merobohkan pemuda ugal-ugalan itu.
Agaknya tujuh orang yang sudah amat marah itu pun berpikir demikian. Mereka tadi sudah marah dan penasaran sekali, merasa mengalami penghinaan yang luar biasa, maka kini menyaksikan sikap dan tantangan Hauw Lam, mereka sampai tak dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya. Tujuh orang Ini bukan orang sembarangan, merupakan jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi, bagaimana sekarang menghadapi dua orang bocah saja mereka tidak berdaya dan sampai mengalami hinaan? Kini melihat sikap Hauw Lam, mereka serentak menerjang untuk membalas penghinaan yang mereka alami.
“Cring-cring-trangg-traaanggg...!” Tujuh batang golok yang menerjang dalam detik bersamaan dengan sebuah saja sasaran, tentu saja tak dapat terhindar lagi saling beradu ketika sasarannya tiba-tiba lenyap dari tempatnya.
Cepat mereka meloncat dan membalikkan tubuh. Kiranya pemuda ugal-ugalan itu sudah berada di belakang mereka dan kembali pemuda itu mengulur leher membusungkan perut, akan tetapi sekarang tangannya memegang sebatang golok pula, golok yang pendek dan lebar seperti golok tukang babi! Akan tetapi melihat sinar putih bersinar dari mata golok, dapat diduga bahwa golok yang buruk bentuknya itu ternyata terbuat dari pada logam yang ampuh dan terpilih.
“Hayo tusuk lagi, bacok lagi, kenapa ragu-ragu? Perut dan leherku sudah gatal-gatal nih!” Hauw Lam mengejek, menggoyang-goyangkan perutnya yang sengaja ia busungkan ke depan.
Kemarahan tujuh orang Khitan itu memuncak. Sambil memaki-maki dalam bahasa sendiri kembali mereka menerjang maju, melakukan serangan dahsyat penuh kemarahan. Kali ini tampak sinar putih yang amat lebar menyilaukan mata bergulung-gulung menyambut mereka.
Terdengar suara nyaring beradunya senjata diikuti tujuh batang golok terlempar dalam keadaan patah menjadi dua, disusul pekik tujuh orang itu dan memberebetnya kain robek. Dalam sekejap mata saja tujuh orang itu tidak hanya kehilangan golok, akan tetapi juga baju mereka robek dari leher sampai ke perut! Wajah mereka kini menjadi pucat sekali karena mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam segebrakan saja tadi tentu mereka akan terobek perut mereka!
Si Gigi Ompong lalu menjura dan berkata, “Kami telah kesalahan terhadap Taihiap, mohon maaf, mengingat bahwa kami jauh dari utara hendak mengunjungi Thian-liong-pang.”
Hauw Lam tertawa akan tetapi sebelum ia menjawab, Kwi Lan melompat maju dan menghardik, “Masih banyak cakap lagi? Kalian ini orang-orang Khitan yang tidak baik! Lekas pergi dan tinggalkan kuda hitam!”
Si Gigi Ompong kaget bukan main dan dengan suara gemetar ia menterjemahkan ucapan ini. Kawan-kawannya juga nampak kaget dan memprotes. Si Gigi Ompong kini menghadapi Kwi Lan dan berkata, “Tidak mungkin, Nona! Kuda hitam ini adalah persembahan dari kami untuk dihadiahkan kepada ketua Thian-liong-pang sebagai tanda persahabatan. Bagaimana kami berani meninggalkannya di sini? Hal ini berarti akan hilangnya nyawa kami sebagai penggantinya!”
“Huh! Siapa peduli nyawa anjing kalian? Katakan saja kepada Ratumu bahwa yang mengambil kuda hitam adalah Mutiara Hitam. Habis perkara!”
Kini Hauw Lam mendengarkan dengan mulut ternganga. Dara itu terlalu lancang, terlalu berani. Tadi berani menghina dan memandang rendah Bu-tek Siu-lam, kini malah berani menantang Ratu Khitan yang selain terkenal sebagai ratu, juga terkenal memiliki ilmu kesaktian hebat dan mempunyai banyak anak buah yang berilmu tinggi!
Apakah yang diandalkan dara ini maka bersikap sedemikian angkuh dan berani menghina orang-orang golongan atas? Kepandaiannya memang hebat dan melihat cara melempar rumput yang sampai kini menempel di muka ketujuh orang Khitan itu, terbukti akan kelihaiannya. Akan tetapi belum tampak ilmu silatnya dan ia merasa ragu-ragu apakah dara semuda ini akan mampu menandingi tokoh-tokoh besar itu?
Akan tetapi mendengar ucapan gadis yang memandang rendah Ratu Khitan, tujuh orang itu tidak menjadi marah setelah si Ompbng menterjemahkannya, bahkan nampak heran dan girang. Si Ompong lalu berkata sambil menjura, “Aha, kiranya masih sepaham! Nona yang gagah perkasa, ketahuilah bahwa kami adalah anak buah Pak-sin-ong...”
“Tidak peduli siapa itu Pak-sin-ong!” bentak Kwi Lan tidak sabar lagi.
Akan tetapi Hauw Lam sudah menjadi kaget sekali dan bertanya, “Apa? Kalian ini anak buah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) yang juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara)?”
Si Ompong berseri wajahnya, akan tetapi jadi menyeringai buruk karena wajahnya masih pucat dan masih tertempel rumput. “Betul..., betul...! Nona, agaknya Nona belum mengenal nama besar Tai-ong kami yang juga memusuhi Ratu Khitan dan....”
“Bedebah...!” Bentakan ini keluar dari mulut Kwi Lan, disusul berkelebatnya sinar kehijauan dan terciumlah bau yang harum. Akan tetapi tujuh orang Khitan itu menjerit, darah muncrat dan di lain saat Kwi Lan sudah berdiri tegak kembali, sikapnya kereng dan mulutnya membentak, “Lekas pergi dari sini!”
Hauw Lam melongo. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja ia dapat melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya. Ia melihat betapa gadis itu mencabut sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan mengeluarkan ganda harum semerbak, melihat pula betapa dengan gerakan yang amat aneh, dahsyat dan secepat kilat pedang di tangan gadis berkelebat dan dengan persis membabat putus telinga kanan ketujuh orang Khitan itu sebelum mereka mampu mengelak atau melawan! Melihat pula betapa dengan gerakan yang masih sama cepatnya gadis itu telah menyimpan kembali pedangnya sebelum darah yang muncrat dari pinggir kepala tujuh orang itu menyentuh tanah. Sebuah gerakan yang luar biasa sekali, yang aneh, dahsyat akan tetapi juga ganas dan kejam!
Tujuh orang Khitan yang tadinya kegirangan karena mengira bahwa mereka itu sefihak dengan nona ini dalam hal memusuhi Ratu Khitan, tentu saja menjadi kaget dan kesakitan. Sambil menutupi telinga kanan yang sudah tak berdaun lagi, mereka memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak, sejenak lupa akan rasa perih dan nyeri pada telinganya.
“Kami telah menerima pengajaran,” kata si Ompong sambil meringis. “Harap Nona suka memberitahukan nama agar tidak mudah kami melupakannya...“
“Eh-eh, masih banyak tingkah lagi?” Hauw Lam yang khawatir kalau-kalau nona itu makin marah dan membunuh mereka, memotong. “Dia ini bernama Mutiara Hitam, apakah kalian buta? Dan aku adalah Berandal. Hayo pergi dan jangan membuka mulut busuk lagi!”
Tujuh orang Khitan itu melompat ke atas kuda. Sekali lagi mereka menoleh dengan pandang mata penuh kebencian dan sakit hati, kemudian membalapkan kuda mereka pergi dari tempat itu. Kuda hitam ditinggalkan begitu saja dan kuda ini kelihatan tenang makan rumput, kendalinya terlepas dan terseret di atas tanah.
Hauw Lam cepat mengambil kendali itu dan kini kuda itu diam saja ketika ditepuk-tepuk lehernya. Agaknya kuda itu tahu bahwa siapa yang memegang kendali adalah majikannya. “Kuda bagus, kuda hebat...!” Hauw Lam menepuk-nepuknya dan membawanya dekat kepada Kwi Lan.
“Pilihanmu tepat, Mutiara Hitam. Julukanmu Hitam maka tepatlah kalau kau menunggang kuda hitam ini.”
“Siapa yang menginginkan kuda? Aku hanya minta kuda ini agar ada alasan mengunjungi Thian-liong-pang.”
“Apa? Bagaimana maksudmu?”
Kwi Lan tersenyum mengejek. “Bodoh! Kalau kita datang ke sana dan membawa kuda ini sebagai barang sumbangan, bukankah namanya sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat? Maksud si Raja Algojo yang kau sebut-sebut itu mempersembahkan kuda kepada Thian-liong-pang tak berhasil, berarti dia sudah kalah satu nol melawan kita. Kedua, dengan hadiah ini, masa kita tidak akan diterima sebagai tamu agung oleh Thian-liong-pang?”
Hauw Lam membelalakkan matanya kemudian berjingkrak dan bertepuk tangan, “Wah, bagus! Kau ternyata pintar sekali. Tapi sesungguhnya sayang kalau kuda sebaik ini dilepaskan kembali kepada orang lain.”
“Hal ini dapat diputuskan nanti. Kalau kulihat Thian-liong-pang tidak berharga memiliki kuda ini, bisa saja kita ambil kembali.”
Diam-diam Hauw Lam merasa khawatir. Gadis ini memang harus diakui memiliki ilmu kepandaian hebat. Akan tetapi terlalu ceroboh, terlalu sembrono dan terlalu memandang rendah orang lain.
“Ahh, Mutiara Hitam. Engkau benar-benar belum banyak mengenal orang! Engkau tidak tahu siapa dia Jin-cam Khoa-ong.”
“Siapa sih Algojo itu?”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan tokoh menyeramkan itu, akan tetapi sepanjang pendengaranku, dia tidak kalah terkenalnya dari pada, Bu-tek Siu-lam sendiri! Kabarnya dia datang dari daerah Mongol, paling suka membunuh orang. Semua orang yang pernah bentrok dengan dia tidak akan dapat keluar hidup-hidup. Betapa pun gagahnya, semua orang itu tewas di bawah senjatanya yang mengerikan, yaitu berbentuk gergaji berkait. Dia mengangkat diri dengan sebutan Pak-sin-ong untuk memperkenalkan asalnya dari utara, akan tetapi karena kekejamannya yang melewati batas, di dunia kangouw dia dijuluki orang Jin-cam Khoa-ong si Raja Algojo Manusia!”
“Huh, makin besar julukannya, makin kosong melompong! Aku tidak takut!”
“Dan Thian-liong-pang sungguh tidak boleh dibuat permainan! Bahkan kini merupakan perkumpulan yang paling besar, paling berpengaruh dan paling banyak anggotanya untuk golongan hitam. Karena itulah, para tokoh golongan hitam yang tidak mempunyai perkumpulan besar masih memandang kepada Thian-liongpang...“
"Sudahlah! Kalau engkau takut, tidak perlu kau banyak mengoceh lagi. Aku pun tidak mengajak engkau. Kau kira aku takut untuk pergi sendiri?” Sambil berkata demikian, Kwi Lan menyambar kendali kuda dari tangan Hauw Lam, lalu pergi menuntun kuda hitam itu meninggalkan Hauw Lam yang berdiri melongo...
“Plak plak!” kedua pasang tangan bertemu dan beradu telapak tangan.
Si Muka Bopeng mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting roboh telentang dan tidak bergerak lagi. Kedua lengannya masih berkembang seperti akan menubruk, akan tetapi lengan itu kaku dan telapak tangannya terdapat warna merah dan kebiruan, matanya mendelik napasnya putus!
Sisa para pengemis baju bersih menjadi kaget dan jerih. Wanita setengah tua yang kini menangisi pengemis baju butut tadi sudah hebat, kiranya gadis cilik ini lebih hebat lagi, dalam segebrakan mampu menewaskan pimpinan rombongan mereka! Dengan ketakutan sembilan orang pengemis itu cepat menyeret teman-teman mereka yang luka dan mengangkut mayat si Muka Bopeng, lalu melarikan diri dari tempat itu sambil sebentar-sebentar menoleh ketakutan melihat ke arah Kwi Lan yang tertawa-tawa sambil bertolak pinggang!
Setelah semua pengemis pergi, Kwi Lan baru sadar akan suara Bi Li yang menangis terisak-isak. Ia cepat membalikkan tubuh. Melihat Bi Li berlutut di depan pengemis baju butut yang dikeroyok tadi, ia cepat menghampiri. Kini pengemis itu sudah bangkit duduk, bersandar pada batang pohon. Napasnya terengah-engah, kedua lengannya memeluk pundak Bi Li yang berlutut di depannya.
Melihat keadaan mereka, Kwi Lan menjadi heran bukan main, akan tetapi ia tidak mau bertanya karena merasa jengah. Kenapa Bibi Bi Li mau dipeluk laki laki jembel itu? Sebagai seorang gadis cilik yang belum pernah menyaksikan orang berpelukan, ia tidak tahan untuk melihat lebih lama lagi, maka ia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi mereka. Akan tetapi ia mendengar suara mereka ketika mereka bicara.
“Suamiku... mana dia? Mana Hauw Lam anak kita...?” terdengar Bi Li berkata menahan isak.
Mendengar ini, Kwi Lan makin kaget. Suami? Jembel itu suami Bibi Bi Li? Rasa heran dan kaget membuat ia kembali membalik dan memandang pengemis itu lebih teliti. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, pakaiannya lapuk dan kotor, pakaian seorang jembel. Akan tetapi mukanya bersih terpelihara, muka yang pucat karena menderita luka parah, namun masih membayangkan ketampanan laki-laki.
“Bi Li... isteriku, kenapa engkau meninggalkan aku? Kenapa engkau tega pergi meninggalkan kami, suamimu dan anak kita? Apakah kesalahanku kepadamu sehingga engkau begitu kejam?” Suaranya ini penuh pertanyaan, penuh tuntutan dan tangis Bi Li makin tersedu-sedu.
Di antara isak tangis, istri yang malang ini lalu bercerita dengan singkat betapa ia diculik dan dipaksa pergi oleh Kam Sian Eng untuk menyusui dan merawat anaknya yang baru terlahir, menceritakan betapa Kam Sian Eng adalah seorang yang berilmu tinggi dan betapa dia tidak berdaya.
“Demikianlah, Suamiku. Kuharap engkau suka mengampunkan aku, akan tetapi... sungguh aku tidak berdaya... sampai sekarang pun aku tidak mungkin bisa pergi meninggalkan Sian-kouwnio...”
Laki-laki itu makin pucat, jelas ia menahan sakit sambil menggigit bibir. “Ah, engkau terluka hebat... mari kubawa ke pondok kami, biar kuminta Kouwnio memberi obat kepadamu....“
“Tidak perlu lagi!” Laki-laki yang bernama Tang Sun itu, suami dari Phang Bi Li, mencegah sambil mengangkat tangan, kemudian karena tidak tahan bersandar dan duduk, ia lalu merebahkan diri lagi, dibantu isterinya. “Lukaku amat parah, kurasa ada perdarahan di dalam dadaku, sakit sekali... ougghh... tak mungkin dapat diobati. Akan tetapi, terima kasih kepada Thian... mati pun aku tidak penasaran, sudah dapat bertemu denganmu... tapi sayang... Hauw Lam... di mana engkau, Anakku...?”
Mendengar disebutnya nama anaknya, Bi Li lupa akan penderitaan suaminya yang sudah menghadapi maut. Sambil memegang lengan suaminya ia berseru keras, “Dimana Hauw Lam? Dimana dia?”
Suara Tang Sun makin lemah, bahkan agak menggigil dan pelo, akan tetapi lancar dan tidak terputus-putus lagi. Perubahan ini tidak diketahui Bi Li yang amat ingin mendengar cerita tentang puteranya.
“Sepeninggalmu, kubawa dia pergi mencarimu dan hidup menderita. Ketika dia berusia lima tahun, kuserahkan dia kepada ketua kelenteng di puncak gunung Kim-liong-san yang kutahu seorang berilmu tinggi. Aku sendiri lalu melanjutkan perjalanan mencarimu, Bi Li, menempuh seribu satu macam kesukaran!”
Cerita ini terputus sebentar oleh tangis Bi Li penuh keharuan sambil memeluk leher suaminya. Kwi Lan yang berdiri tak jauh dari situ merasa betapa jantungnya seperti disayat-sayat saking terharu, namun ia dapat menekannya dan tidak sebutir pun air mata menetes turun. Di dalam hatinya ia makin menyesalkan perbuatan Kam Sian Eng yang telah memisahkan suami isteri ini dan menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan dua orang, bahkan mungkin tiga orang dengan anak mereka yang agaknya tidak diketahui pula di mana adanya.
“Akan tetapi sekarang aku tidak menyalahkan engkau, isteriku, setelah aku tahu betapa engkau pun menderita dan tidak berdaya. Aku lalu hidup sebagai pengemis dan akhirnya aku tertarik akan sepak terjang Khong-sim Kai-pang yang adil dan gagah, maka aku masuk menjadi anggota Khong-sim Kai-pang. Khong-sim Kai-pang termasuk perkumpulan pengemis golongan bersih yang ditandai dengan pakaian kotor, dan pada waktu ini golongan bersih sedang berusaha membasmi pengemis-pengemis golongan kotor yang ditandai dengan pakaian bersih. Setelah menjadi anggota Khong-sim Kai-pang, banyak teman temanku membantuku mencarimu. Dan beberapa hari yang lalu, seorang temanku melihat engkau di depan pondok. Karena dia tidak mengenalmu akan tetapi merasa heran melihat seorang wanita dan dua orang anak tanggung tinggal bersunyi diri didalam hutan, ia lalu menceritakannya kepadaku. Nah, hari ini aku datang ke sini menyelidik, siapa kira, di sini aku bertemu dengan belasan orang pengemis golongan hitam yang mengeroyokku...”
“Dan Hauw Lam, Anakku... dia bagaimana... ?” Bi Li mendesak, tidak sadar bahwa kini wajah suaminya yang pucat itu sudah mulai agak kebiruan.
“Dia... dia...,“ kini napas Tang Sun mulai tersendat-sendat. “Dia... kini tentu sudah dewasa... hampir lima belas tahun... Akan tetapi ketika aku datang menjenguk ke sana... hwesio tua itu telah meninggal dunia dan... dan Hauw Lam... dia...” Sukar sekali ia melanjutkan kata-katanya.
Barulah Bi Li sadar akan keadaan suaminya. Ia menjerit dan memeluk. Melihat suaminya meramkan matanya, ia menciuminya dan memanggil-manggil namanya, kini tidak peduli lagi akan anaknya. Kwi Lan yang berdiri termangu-mangu cepat menggunakan punggung tangan kirinya menghapus dua butir air mata yang tak tertahankan lagi menetes turun ke atas pipinya.
Tang Sun membuka matanya, lalu tersenyum dan membelai rambut isterinya. Wajahnya membayangkan kepuasan, akan tetapi kembali keningnya berkerut ketika ia berkata, “...Hauw Lam... dia... pergi dari sana... tak seorang pun tahu ke mana. Isteriku, kau... kau carilah dia...” Tangan yang membelai rambut itu lemas dan terkulai.
Bi Li menjerit dan roboh pingsan sambil memeluk mayat Tang Sun yang masih hangat!
“Bibi Bi Li...! Bibi Bi Li...!” Kwi Lan memanggil manggil sambil mengguncang-guncang tubuh Bi Li.
Wanita itu akhirnya siuman dan dengan muka merah mata berapi-api ia meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Bi Li memang memiliki kepandaian yang khusus ia pelajari dari Sian Eng, yaitu bermain pedang, bahkan ia menerima hadiah sebatang pedang indah dari Sian Eng. Kini dengan pedang di tangan, matanya terbelalak memandang kanan kiri, mulutnya menantang-nantang.
“Pengemis-pengemis busuk, jembel-jembel terkutuk! Hayo majulah semua, akan kubunuh kalian sampai habis!”
Kwi Lan maklum bahwa bibinya ini amat marah dan sakit hati karena kematian suaminya. Suami yang terpisah darinya selama belasan tahun, dan yang kini begitu berjumpa terus meninggal dunia!
“Perempuan setan, berani kau membunuh saudara kami?” tiba tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah tiga orang kakek berpakaian pengemis. Mereka adalah tiga orang kakek tinggi kurus yang memegang tongkat butut, sebutut pakaian mereka.
Begitu melihat tiga orang kakek pengemis ini, sambil berseru marah Bi Li maju menerjang dengan pedangnya. Gerakannya secepat kilat, pedangnya berkelebat seperti halilintar menyambar.
“Tranggg...!” pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Bi Li ketika tertangkis sebatang tongkat butut yang dipegang oleh kakek pengemis yang bertahi lalat besar di bawah hidungnya.
Bi Li makin marah. Kakek pengemis ini kiranya lihai sekali, tidak boleh disamakan dengan para pengemis yang tadi mengeroyok suaminya. Maka ia lalu mengeluarkan seruan keras sambil memutar pedangnya dan mengerahkan tenaga, menerjang dengan cepat sekali. Menghadapi serangan yang begitu dahsyat, kakek pengemis itu terkejut dan cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kemudian terjadilah pertandingan hebat di antara Bi Li dan kakek pengemis.
Dua orang kakek pengemis lain segera melangkah maju mendekati mayat Tang Sun. Melihat ini, Kwi Lan menjadi curiga dan membentak, “Jembel-jembel busuk, mundurlah kalian!” Gadis cilik ini menerjang maju dengan pukulan kedua tangannya yang mendorong.
Karena melihat bahwa yang menerjang mereka hanyalah seorang gadis cilik berusia empat belas tahun, dua orang kakek jembel itu tersenyum tenang, bahkan mengulur tangan untuk menangkap pundak Kwi Lan. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tangan mereka bertemu dengan tangan Kwi Lan, tubuh mereka terdorong mundur dan hampir saja mereka terbanting roboh! Baiknya keduanya adalah tokoh-tokoh lihai, cepat mereka dapat menekan tanah dengan ujung tongkat sehingga dapat menguasai keseimbangan tubuh lagi.
Sejenak mereka saling pandang dengan muka merah, lalu menatap wajah Kwi Lan dengan sikap terheran-heran. Namun mereka merasa penasaran. Mungkinkah bocah perempuan ini memiliki tenaga yang sedemikian dahsyatnya? Karena merasa malu untuk menghadapi seorang anak-anak dengan senjata tongkat mereka, keduanya lalu menyelipkan tongkat di ikat pinggang lalu melangkah maju mengulur tangan.
“Bocah setan, mau lari kemana kau?”
Melihat dirinya diserang dengan jangkauan tangan hendak menangkap, Kwi Lan tertawa mengejek, “Lari ke mana? Untuk apa lari menghadapi dua ekor babi tua macam kalian?” Dan dengan gerakan yang indah namun gesit bukan main, Kwi Lan sudah dapat mengelak, lolos dari tubrukan mereka, kemudian cepat ia membalik dan mengirim pukulan ke arah punggung mereka!
“Wuuuttt!”
Dua orang pengemis tua itu berseru kaget dan cepat melompat jauh ke depan sehingga terhindar dari pada pukulan maut tadi. Wajah mereka menjadi pucat dan keringat dingin memenuhi jidat. Sebagai orang-orang yang ahli, mereka cukup maklum betapa pukulan kedua tangan bocah ini tadi mengandung tenaga Iweekang yang hebat dan dapat mematikan! Berubahlah pandangan mereka. Kiranya bocah ini gerakannya jauh lebih hebat dari pada wanita yang bertanding melawan saudara mereka. Tanpa malu-malu lagi keduanya lalu mencabut tongkat.
“Hi hik, kalian mau lari ke mana?” Kwi Lan mengejek.
Akan tetapi cepat gadis cilik ini menggerakkan kaki untuk berkelit karena melihat dua sinar tongkat telah meluncur dengan hebat. Selanjutnya Kwi Lan harus menggunakan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari pada kurungan sinar kedua tongkat itu. Diam-diam anak ini kaget juga. Kiranya dua orang pengeroyoknya ini benar-benar amat tangguh sehingga tekanan kedua tongkat itu mengurung dirinya, membuat ia tidak mampu balas menyerang.
Dia tidak tahu bahwa dua orang kakek itu jauh lebih kaget dan heran dari padanya. Selama mereka hidup, sudah hampir enam puluh tahun, baru kali ini mereka menghadapi peristiwa yang begini aneh dan memalukan. Mereka terkenal sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, hanya orang-orang pilihan di dunia kang-ouw saja yang setanding dengan mereka. Akan tetapi kini, dengan maju berdua dan memegang tongkat pula, mereka tidak mampu mengalahkan seorang gadis cilik yang bertangan kosong! Sebetulnya tingkat ilmu silat anak itu belumlah matang dan tidak seberapa tinggi, akan tetapi gerakannya amat aneh luar biasa sekali dan sukar diduga karena jauh berbeda dengan dasar-dasar ilmu silat yang lazim!
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring sekali, datangnya dari jauh akan tetapi amat jelas seakan-akan yang berkata berada di belakang mereka, “Enci Bi Li! Kwi Lan! Mundur... !”
Tentu saja Bi Li dan Kwi Lan mengenal baik suara ini dan mereka cepat meloncat mundur tanpa menoleh. Tiga orang pengemis yang tidak mendengar seruan tadi mendesak maju. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan... tiga orang kakek itu berhenti bergerak dan telah menjadi kaku seolah-olah mereka berubah menjadi arca batu! Tanpa dapat mereka lihat, jalan darah mereka telah ditotok oleh ujung lengan baju Sian Eng yang kini sudah berdiri di depan mereka dengan sikap bengis!
Pada saat itu terdengar bunyi angin menyambar. Belasan buah senjata rahasia berbentuk piauw (pisau) dan besi bintang menyambar ke arah Bi Li, Kwi Lan, Sian Eng, dan juga ke arah tiga orang pengemis yang berdiri kaku. Bi Li dan Kwi Lan melihat datangnya senjata rahasia yang membawa angin ini, maklum bahwa senjata itu digerakkan oleh tangan yang lihai, maka tidak berani menyambut dan cepat mengelak. Akan tetapi Sian Eng lalu mengebutkan kedua tangannya ke depan dan... belasan batang senjata rahasia yang menyambar ke arahnya dan ke arah tiga orang pengemis tua runtuh terpukul oleh hawa pukulan kedua tangannya!
Dari balik pohon meloncat ke luar lima orang kakek pengemis pula, akan tetapi mereka ini berbeda dengan yang tiga tadi. Kalau tiga orang kakek pertama berpakaian butut kotor, adalah lima orang ini berpakaian bersih, sungguh pun bertambal-tambalan seperti halnya para pengemis yang mengeroyok Tang Sun.
“Wanita iblis, berani kau....” Hanya sampai sekian saja bentakan seorang di antara mereka karena tiba-tiba tubuh Sian Eng lenyap berkelebat ke depan.
Lima orang itu menggerakkan kaki tangan hendak melawan bayangan yang tiba-tiba menyambar, namun sia-sia belaka karena tahu-tahu mereka ini pun sudah berdiri kaku seperti patung, persis seperti keadaan tiga orang kakek baju butut!
Melihat munculnya lima orang pengemis baju bersih ini, baru Bi Li sadar akan perbedaan antara lima orang pengemis ini dan tiga orang pengemis yang tadi datang lebih dulu. Pakaian mereka! Pakaian lima orang pengemis yang datang belakangan ini serupa dengan pakaian para pengemis yang mengeroyoknya, yang membunuh suaminya. Ada pun pakaian tiga orang pengemis yang mengeroyoknya, sama butut dengan pakaian suaminya. Teringatlah ia akan cerita suaminya tentang golongan putih yang berpakaian butut dan golongan hitam yang berpakaian bersih. Kini melihat Kam Sian Eng memandang kepada tiga orang pengemis baju butut dengan mata beringas, ia cepat meloncat maju dan berkata.
“Sian-kouwnio...! Jangan... jangan bunuh mereka ini....“
Kam Sian Eng tanpa menoleh bertanya, suaranya dingin dan ketus, “Apa yang terjadi di sini?”
Bi Li yang teringat kembali kepada suaminya, tidak menjawab melainkan berlutut lagi di depan mayat suaminya sambil menangis. Kwi Lan maklum bahwa bibinya dan juga gurunya itu sedang marah, maka ia cepat maju mewakili Bi Li dan bercerita singkat.
“Bibi Bi Li dan aku sedang memetik bunga ketika kami mendengar suara orang bertempur di sini. Ternyata yang bertempur adalah... suami Bibi Bi Li dikeroyok pengemis-pengemis baju bersih sampai terluka dan tewas. Bibi Bi Li dan aku berhasil mengusir dan membunuh beberapa orang pengemis baju bersih, dan sebelum mati suami Bibi Bi Li sempat bercerita bahwa dia adalah anggota pengemis baju butut. Kemudian muncul tiga orang kakek pengemis baju butut ini yang lancang menyerang Bibi Bi Li dan aku. Agaknya mereka bertiga ini masih segolongan dengan suami Bibi Bi Li. Dan lima orang kakek yang datang belakangan ini agaknya hendak membalaskan kematian anak buah mereka.”
Sian Eng mendengar ini, melirik kearah Bi Li. Wajah yang tertutup tirai sutera itu sedikit pun tidak berubah, tetap dingin dan keras. Tiba-tiba tangannya bergerak ke punggung, sinar terang berkelebatan disusul jerit-jerit kesakitan dan... delapan orang pengemis yang masih berdiri kaku itu kini telah buntung semua tangan kanannya! Entah kapan Sian Eng menggunakan pedang, entah kapan mencabutnya, dan menyarungkannya kembali, tak dapat diikuti pandang mata para pengemis itu sehingga biar pun mereka menanggung luka hebat dan nyeri, mereka masih terbelalak kaget dan gentar.
Tiga orang pengemis tua baju butut itu adalah tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang sedangkan lima orang pengemis baju bersih itu adalah tokoh-tokoh terkemuka pula dari perkumpulan golongan hitam. Di dalam dunia kang-ouw, terutama dunia para pengemis kang-ouw, mereka delapan orang ini merupakan orang-orang terkenal dengan ilmu silat mereka yang tinggi. Akan tetapi kini, dalam tangan wanita berkerudung yang cantik dan aneh itu, mereka sama sekali tidak berdaya, dipermainkan seperti tikus-tikus dipermainkan kucing!
“Ohh, Kouwnio, jangan...!” Bi Li yang mendengar jerit mereka dan mengangkat muka, segera meloncat bangun. “Tiga orang Lo-kai ini adalah orang-orang segolongan mendiang suami saya....“
Sian Eng mendenguskan suara dari hidung. “Hemmm...!”
Kwi Lan segera berkata, “Bibi Bi Li, tiga orang jembel tua ini biar pun segolongan dengan suamimu, namun mereka datang-datang menyerang kita. Pasti bukan orang baik-baik! Sudah sepatutnya Bibi Sian memberi hukuman.”
Kakek pengemis baju butut yang bertahi lalat di bawah hidungnya terdengar menarik napas panjang. Delapan orang ini biar pun tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi yang kaku hanyalah kaki tangan, sedangkan anggota tubuh yang lain tidak, sehingga mereka masih mampu bicara.
“Kami tiga orang tua bangka memang telah berlaku ceroboh, tidak mengenal orang dan tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan. Kehilangan tangan ini sudah sepantasnya...!”
“Kouwnio, harap sudi mengampuni mereka. Tentu tadi mereka menyangka bahwa sayalah yang membunuh saudara mereka ini, padahal dia... dia ini... Tang Sun, suamiku....“
“Hemmm...! Kwi Lan bebaskan mereka!” Sian Eng menggerakkan kepalanya ke arah tiga orang pengemis baju butut.
Sebagai seorang murid yang amat tekun dan amat cerdik, tentu saja Kwi Lan sudah pula membaca dan mempelajari isi kitab Im-yang-tiam-hoat, sebuah kitab pusaka dari Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh Tok-siauw-kwi dan terjatuh ke tangan Sian Eng. Dan tentu saja ia dapat pula membebaskan pengaruh totokan ilmu menotok jalan darah ini.
Dihampirinya tiga orang kakek itu dan dengan sebuah jari telunjuk kanan, ditotoknya punggung belakang pusar mereka sambil tangan kirinya tidak lupa menampar belakang kepala. Sebetulnya tamparan belakang kepala ini tidak ada hubungannya dengan pembebasan totokan, akan tetapi dasar anak nakal, ia hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya kepada tiga orang kakek pengemis itu dalam kesempatan ini!
Kembali tiga orang kakek ini terkejut sekali. Mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi dan tahu banyak tentang seluk-beluk Ilmu Tiam-hiat-hoat (Menotok Jalan Darah). Akan tetapi selama hidup mereka, baru sekali ini mereka tahu ada ilmu menotok jalan darah yang pembebasannya diharuskan menempeleng kepala segala!
Makin gentarlah mereka terhadap Sian Eng, dan cepat-cepat mereka menggunakan tangan kiri untuk menotok lengan kanan, menghentikan jalan darah agar darah yang mengalir ke luar dari pergelangan tangan yang buntung itu berhenti. Kemudian sejenak mereka memandang kepada Sian Eng, dan pengemis tua bertahi lalat segera menjura, diturut dua orang temannya dan bertanya,
“Kami bertiga dari Khong-sim Kai-pang telah menerima petunjuk Kouwnio (Nona), semoga lain kali kami akan dapat membalas kebaikan ini. Sudilah Kouwnio memberitahukan nama yang mulia dan tempat tinggal.”
Sian Eng tersenyum, senyum yang dingin dan mendirikan bulu roma. Suaranya halus merdu akan tetapi juga mengandung hawa dingin yang menyeramkan ketika ia berkata, “Aku Kam Sian Eng dan tinggal di hutan ini. Kalau belum puas, boleh suruh ketua Khong-sim Kai-pang datang! Pergilah!”
Tiga orang pengemis tua itu menjura, lalu menghampiri mayat Tang Sun, bermaksud akan mengambilnya. Bi Li maju hendak mencegah, akan tetapi terdengar suara Sian Eng menghardiknya.
“Enci Bi Li, mundur kau!”
Bi Li terkejut sekali dan segera meloncat mundur. Wajahnya pucat dan air matanya bercucuran ketika ia melihat mayat suaminya dibawa pergi oleh tiga orang kakek pengemis itu. Tiga orang ini memandang sebentar kepada Bi Li dengan pandang mata kasihan, lalu menghela napas dan pergi dari tempat itu dengan langkah lebar sambil membawa mayat Tang Sun.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu tadinya terkejut dan khawatir sekali mendengar bahwa anggota Khong-sim Kai-pang yang terbunuh adalah suami wanita yang tak tertutup mukanya. Akan tetapi, mereka menjadi lega hati melihat sikap Bi Li dan mendengar bentakan wanita yang berkerudung dan mengaku bernama Kam Sian Eng itu. Jelas bahwa biar pun wanita yang kedua itu mempunyai suami anggota Khong-sim Kai-pang, namun si wanita aneh yang sakti itu sama sekali tidak bersahabat dengan Khong-sim Kai-pang. Biar pun tubuh mereka masih kaku dan tak mampu bergerak, namun pengemis yang tertua di antara mereka, yang hidungnya bengkok seperti hidung kukuk beluk berkata merendah,
“Mohon maaf sebanyaknya kepada Cianpwe yang mulia. Karena tidak tahu dan belum mengenal, boanpwe berlima berani amat lancang memasuki wilayah Cianpwe. Hendaknya Cianpwe memaklumi bahwa boanpwe berlima adalah pimpinan perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Garuda Hitam) yang masih berada di bawah lindungan yang mulia Bu-tek Siu-lam! Maka boanpwe berlima mengharap sudilah kiranya Cianpwe melihat muka Ciang-bujin (Pemimpin Besar) Bu-tek Siu-lam untuk mengampuni dan membebaskan boanpwe berlima!”
Sian Eng mengerutkan keningnya. Diam-diam ia merasa geli mendengar betapa lima orang kakek itu menyebutnya cianpwe, sebutan bagi tokoh-tokoh tinggi dunia persilatan dan menyebut diri boanpwe, sikap yang amat merendah sekali. Akan tetapi ia heran mendengar nama Bu-tek Siu-lam (Laki-laki Tampan Tanpa Tanding). Siapakah itu? Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri sehingga tidak melihat perubahan di dalam dunia kang-ouw, tidak mengenal tokoh-tokoh barunya.
“Siapakah dia yang berjuluk Bu-tek Siu-lam itu?” tanyanya tanpa disengaja karena pertanyaan dalam hati ini terlontar keluar melalui bibirnya.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu saling pandang dengan heran dan juga kecewa. Benarkah ada orang di dunia kang-ouw ini yang belum mengenal nama Bu-tek Siu-lam? Dan wanita aneh ini demikian sakti! Tapi mungkin belum memasuki dunia kang-ouw. Karena ini si Hidung Bengkok segera berkata, sengaja mengangkat-angkat nama besar Bu-tek Siu-lam untuk menimbulkan kesan mendalam.
“Beliau adalah tokoh tertinggi di dunia kang-ouw yang datang dari dunia barat. Semua perkumpulan pengemis baju bersih berada di bawah perlindungan beliau, dan boanpwe yakin bahwa kelak beliaulah yang akan menjadi pemimpin besar semua kai-pang! Juga dalam pemilihan tokoh-tokoh terbesar untuk memilih jagoan yang Thian-he-te-it (di Seluruh Dunia Nomor Satu) yang akan diadakan di puncak Cheng-liong-san pada malam tahun baru nanti, sudah dapat dipastikan bahwa Ciang-bujin Bu-tek Siu-lam yang akan keluar sebagai juara, jagoan di antara segala datuk! Tapi...eh, kecuali...kalau Cianpwe ikut pula dalam kejuaraan itu, keadaan akan makin ramai.” Demikian tambah si Hidung Bengkok ketika melihat wajah di balik kerudung itu kelihatan tak senang.
“Aku tidak peduli segala macam Bu-tek Siu-lam! Kalian berlima sudah lancang berani menyerangku, berani memandang sebelah mata. Karena itu kalian baru boleh pergi kalau kalian suka mencongkel keluar sebuah biji mata kalian!”
Lima orang pengemis itu terbelalak dan muka mereka pucat. Keringat dingin mengalir ke luar membasahi jidat dan leher. Sebuah biji mata disuruh congkel ke luar? Siapa yang sudi? Sebelah tangan sudah dibuntungkan, kini sebelah mata diminta lagi! Mana ada aturan begini bocengli (kurang ajar)?
Wanita aneh ini tidak takut kepada Bu-tek Siu-lam, berarti belum mengenal. Kalau belum kenal, belum tentu wanita ini benar-benar sakti. Agaknya hanya memiliki Ilmu Tiam-hiat-hoat yang aneh sehingga mereka tadi menjadi korban totokan sebelum dapat bergerak banyak dan sebelum melihat sampai di mana tingkat ilmu kepandaian wanita berkerudung itu. Karena tidak terdapat jalan lain untuk menghindarkan diri dari ancaman congkel mata, si Hidung Bengkok lalu berkata, nadanya sengaja dikeluarkan untuk mengejek.
“Sebagai orang-orang kang-ouw kami tahu bahwa hukumnya adalah siapa kuat dia menang dan siapa kalah harus tunduk. Sayang sekali bahwa kami belum merasa dikalahkan, hanya dibuat tidak berdaya oleh serangan gelap. Sebagai tokoh-tokoh Hek-peng Kai-pang, kami mengandalkan keselamatan nyawa kami di ujung pedang. Siapa tahu, sebelum kami sempat mencabut pedang, kami mengalami penghinaan. Kalau sudah tertotok seperti ini, bicara pun kami tak berhak. Seorang kanak-kanak yang masih ingusan sekali pun dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap kami!”
Akal si Hidung Bengkok ini berhasil baik sekali. Sian Eng menjadi merah mukanya dan sekali tubuhnya bergerak, tampak bayangan putih berkelebat. Ujung lengan bajunya menyambar dan lima orang kakek itu merasa betapa punggung belakang pusar mereka tertotok yang membuat tubuh mereka pulih seperti biasa. Serentak mereka berlima mencabut pedang dan membuat gerakan keliling, mengurung wanita berkerudung itu.
Sian Eng yang berdiri di tengah-tengah dalam keadaan terkurung hanya memandang tanpa mengubah kedudukan badan dan tanpa menoleh. Hanya sepasang matanya di balik kerudung hitam itu yang melirik ke kanan kiri, kemudian tampak giginya berkilat putih ketika ia berkata, “Kalian telah bebas. Pedang telah dicabut. Tidak lekas mencongkel mata kanan kalian, tunggu apa lagi?”
Ucapan yang menyakitkan hati ini merupakan komando bagi lima orang kakek pengemis itu untuk menerjang dengan hebat. Sian Eng dalam keadaan terkepung dan lima orang itu melakukan serangan berbareng. Lima buah pedang dengan tusukan dan bacokan kilat mengarah tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh dan lima orang pengemis terkejut ketika melihat bayangan putih melesat cepat dari tengah kepungan dan benar saja, ketika mereka melihat, ujung pedang mereka hanya mengenai tempat kosong dan lima buah pedang mereka hampir beradu sendiri dengan kawan. Cepat mereka menengok dan kiranya Sian Eng telah berdiri sambil bertolak pinggang di sebelah kiri sambil tersenyum mengejek.
Pengemis hidung bengkok yang berdiri paling dekat cepat menerjangnya dengan pedang, diikuti oleh teman-temannya yang kini tidak mengurung lagi. Inilah yang dikehendaki Sian Eng, yaitu agar lima orang pengeroyoknya itu menyerangnya dengan susul menyusul, tidak berbareng seperti tadi. Begitu pedang si Hidung Bengkok menyambar, ia menggerakkan lengannya secara aneh. Pedang menusuk datang dan terdengarlah jerit mengerikan disusul robohnya tubuh pengemis hidung bengkok.
Sian Eng tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya terus bergerak ke depan dan jerit kesakitan susul menyusul sehingga akhirnya empat orang pengemis yang lain juga roboh. Hanya beberapa puluh detik saja terjadinya. Lima orang pengemis itu sendiri tidak tahu benar apa yang terjadi. Ketika mereka menyerang secara mendadak pedang mereka membalik dan mencongkel mata mereka sendiri, mata kanan!
Kini Sian Eng berdiri tegak, memandang lima orang pengemis itu yang merangkak bangun sambil merintih-rintih. Tangan kanan mereka sebatas pergelangan telah buntung. Tadi mereka menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang. Siapa kira secara aneh sekali wanita sakti itu telah membuat pedang mereka membalik dan mencongkel ke luar biji mata kanan mereka dengan pedang mereka sendiri. Setelah mereka mampu berdiri, lima orang pengemis tua yang terluka parah itu berdiri memandang Sian Eng dengan mata sebelah mereka, memandang penuh kemarahan dan kebencian.
“Pergilah kalau tidak ingin mampus!” Sian Eng berkata dingin.
Lima orang pengemis itu ingin sekali menerjang mengadu nyawa. Akan tetapi kini maklumlah mereka bahwa terhadap wanita aneh ini mereka tidak berdaya sama sekali. Si Hidung Bengkok sambil meringis menahan sakit berkata, “Akan kami laporkan bahwa engkau menantang ciang-bujin kami Bu-tek Siu-lam!”
“Boleh! Suruh dia datang ke sini, akan kubuntungi kedua tangannya dan kucongkel ke luar kedua biji matanya!” bentak Sian Eng.
Lima orang itu terkejut. Benar-benar wanita ini sudah gila, berani mengeluarkan kata-kata seperti itu terhadap Bu-tek Siu-lam yang sakti seperti dewa. “Tunggulah dan kalau memang berani, datanglah kelak di puncak Cheng-liong-san!”
Sian Eng hanya tersenyum dan memandang lima orang itu yang pergi sambil meringis kesakitan. Setelah keadaan menjadi sunyi, barulah Sian Eng menoleh kepada Bi Li dan membentak, “Apakah engkau hendak pergi pula meninggalkan aku?” Di dalam suaranya terkandung ancaman maut.
Bi Li menggeleng kepala, menyusut air matanya. “Pergi ke mana? Suamiku telah mati...! Tidak, aku tidak akan pergi dari sini, kecuali pergi ke akhirat. Tidak ada lagi yang kuharapkan.”
Mendengar jawaban ini, Sian Eng mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh mendirikan bulu roma. Kwi Lan mengerutkan keningnya, akan tetapi ketika melirik kearah Bi Li, ia melihat wanita itu memandang kepadanya dan tahulah ia bahwa Bi Li diam-diam amat mengharapkan agar kelak dapat bertemu dengan puteranya yang bernama Hauw Lam. Dan gadis ini, biar pun tidak mendengar kata-kata keluar dari mulut Bi Li, dapat menduga, bahkan berjanji dalam hatinya bahwa kelak ia akan bantu mencari putera yang hilang itu.
Semenjak terjadi peristiwa itu, Kwi Lan belajar makin tekun dan giat karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian tinggi merupakan modal terutama baginya untuk kelak mencari orang tuanya dan untuk membantu Bi Li mencari puteranya yang bernama Tang Hauw Lam. Dan semenjak terjadinya peristiwa itulah nama Kam Sian Eng dikenal di dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang aneh dan luar biasa, serta memiliki ilmu kesaktian yang dahsyat pula. Hal ini menyebabkan semua orang menjauhkan diri dari hutan itu, yang dianggap sebagai hutan iblis dan tak seorang pun berani memasukinya.
Lima tahun kemudian, seorang gadis berusia sembilan belas tahun berjalan seorang diri dikaki gunung Lu-liang-san, di sebelah barat kota Tai-goan. Gadis remaja ini cantik sekali dan amat manis. Bentuk mukanya lonjong, dagunya meruncing, dengan kulit muka yang halus dan putih seperti susu, dihias warna merah jambu di kedua pipinya, warna merah karena sehat. Mulutnya kecil dengan bibir selalu tersenyum, bibir merah membasah dan segar.
Rambutnya agak awut-awutan, tidak disisir rapi, namun menambah keluwesan dan keayuannya. Tubuhnya sedang dan ramping, agak kurus akan tetapi dengan lekuk lengkung tubuh yang menonjolkan kewanitaannya. Pakaiannya berwarna merah muda dengan ikat pinggang merah tua. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan gagang pedang ini dihias sebuah mutiara yang besar, mutiara berwarna hitam berkilauan.
Gadis jelita ini bukan lain adalah Kam Kwi Lan! Sudah setengah tahun ia merantau meninggalkan hutan iblis. Setengah tahun yang lalu, bibinya, juga gurunya, Kam Sian Eng telah pergi bersama Suma Kiat.
“Aku pergi bersama Suheng-mu. Kau tidak boleh ikut, Kwi Lan. Akan tetapi terserah kalau engkau mau pergi merantau. Engkau sudah cukup dewasa dan kuat untuk menjaga diri,” demikian pesan Sian Eng secara singkat.
Ada pun Suma Kiat tersenyum-senyum, agaknya hendak menggoda sumoi-nya itu yang tidak boleh ikut pergi! Memang, biar pun usianya sudah dua puluh tahun, Suma Kiat yang kini juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu kadang-kadang sikapnya seperti kanak-kanak saja!
“Bibi, saya hanya minta agar sebelum Bibi pergi, Bibi suka memberi sedikit keterangan kepadaku.”
Sian Eng tersenyum di balik kerudung hitamnya. “Keterangan tentang ayah bundamu, bukan?”
Kwi Lan terkejut dan melirik ke arah Bi Li yang juga berdiri di situ dan yang menjadi kaget pula.
“Hemm, jangan kira bahwa aku tidak tahu akan persekutuan kalian beberapa tahun yang lalu! Enci Bi Li, suamimu telah mati, anakmu hilang. Kalau dia memang anak berbakti, tentu dia akan datang mencarimu kelak. Kwi Lan, kalau kau hendak mencari ibumu, pergilah ke Khitan. Ibumu adalah adik angkatku, yaitu Ratu Yalina di Khitan. Tentang Ayahmu... hi-hik, kau tanya saja kepada ibumu yang manis itu!“
Demikianlah, setelah Sian Eng bersama Suma Kiat pergi, Kwi Lan lalu pergi pula meninggalkan hutan di mana ia hidup selama delapan belas tahun. Ia menasehati Bi Li agar tinggal di dalam istana bawah tanah saja, menanti kembalinya mereka dari perantauan. Ia berjanji akan mencari keterangan di dunia luar tentang Tang Hauw Lam.
Dengan kawan pedang pusaka pemberian bibinya, Kwi Lan melakukan perjalanan seorang diri. Tujuan perjalanannya tentu saja ke Khitan di sebelah utara. Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, melakukan perjalanan seenaknya. Hal ini bukan saja karena ia memang hendak menikmati keadaan kota dan dusun yang dilaluinya, juga terutama sekali karena hatinya merasa amat kecewa ketika mendengar keterangan gurunya bahwa dia sebetulnya anak Ratu Khitan! Anak ratu! Akan tetapi ratunya bangsa Khitan yang dianggap sebagai bangsa yang setengah liar di utara.
Dan kalau dia benar anak ratu, mengapa sampai diberikan kepada gurunya? Kalau benar ibunya Ratu Khitan itu adalah adik angkat gurunya, tentu dia telah diberikan kepada bibi itu untuk dilatih ilmu silat. Alangkah tega hati ibu kandungnya itu! Berarti tidak sayang kepadanya! Karena pikiran inilah maka Kwi Lan tidak sangat bernafsu untuk bertemu dengan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan.
Pada pagi hari yang cerah itu Kwi Lan berjalan di kaki bukit Lu-liang-san, menikmati keindahan alam yang mandi cahaya matahari pagi. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara orang bertanding di sebelah depan. Hatinya tertarik dan ia mempercepat langkahnya.
Ketika tiba di sebuah belokan, ia melihat dua orang tengah bertanding hebat. Yang seorang bersenjata pedang, yang kedua bersenjata tongkat butut. Di sekeliling tempat pertandingan itu berdiri pula beberapa orang dengan tegak dan penuh perhatian menonton jalannya pertandingan. Melihat betapa dua orang yang bertanding, juga mereka yang berdiri menonton, semua berpakaian pengemis, teringatlah Kwi Lan akan peristiwa di hutan iblis pada lima tahun yang lalu.
Yang bersenjata tongkat butut adalah seorang kakek pengemis berpakaian butut dan di situ masih ada tiga orang temannya yang kurus-kurus dan tua berdiri menonton. Ada pun lawannya, yang berpedang, adalah seorang pengemis pakaian bersih, sedangkan agaknya empat orang yang berdiri menonton di sebelah kiri adalah teman-temannya, sungguh pun hanya dua di antara mereka yang berpakaian pengemis baju bersih.
Pertandingan itu cukup seru dan dari gerakan mereka tahulah Kwi Lan bahwa mereka yang bertanding itu memiliki kepandaian cukup tinggi dan tentu bukan anggota biasa dari perkumpulan mereka, melainkan tokoh-tokoh yang berkedudukan cukup tinggi. Maka ia memandang penuh perhatian sambil mendekati dengan langkah perlahan.
“Ssssttt...!”
Kwi Lan terkejut dan berdongak. Ternyata yang berdesis itu adalah seorang pemuda yang duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon sambil menghadap ke arah pertandingan. Pemuda itu kini menoleh kepadanya dan menaruh telunjuk ke depan mulut. Melihat wajah pemuda itu yang berseri, tidak hanya mulutnya, bahkan hidung dan matanya ikut tersenyum ramah, sekaligus timbul rasa suka dihati Kwi Lan. Mata pemuda itu bersinar terang dan gembira, jelas tampak bahwa dia seorang periang yang lucu dan juga nakal.
“Kalau mau nonton, di sini paling enak, jelas aman dan tidak usah bayar!” bisik pemuda itu dan terkejutlah Kwi Lan.
Pemuda itu hanya berbisik-bisik, akan tetapi suaranya jelas sekali terdengar olehnya, seperti didekat telinganya. Tahulah ia bahwa pemuda yang periang ini bukan hanya seorang pemuda berandalan biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah menguasai Ilmu Coan-im-pek-li (Mengirim Suara Seratus Mil).
Kalau saja pemuda itu tidak memiliki wajah tampan yang begitu jenaka seperti wajah seorang anak kecil yang nakal, tentu Kwi Lan akan ragu-ragu bahkan marah. Namun jelas baginya bahwa pemuda itu nakal dan polos, tidak bermaksud kurang ajar. Hal ini dapat ia lihat dari sinar matanya. Selama setengah tahun merantau dan bertemu banyak laki-laki, Kwi Lan sudah dapat membedakan pandang mata laki-laki yang tertarik akan kecantikan wajah dan bentuk tubuhnya, pandang mata mengandung birahi yang kurang ajar.
Sengaja Kwi Lan mengerahkan ginkang-nya sehingga ketika ujung kedua kakinya menggenjot tanah, tubuhnya melayang naik seperti seekor burung kenari terbang melayang dan hinggap di atas cabang di dekat pemuda itu, duduk ongkang-ongkang seperti si pemuda tanpa sedikit pun membuat cabang itu bergoyang. Akan tetapi Kwi Lan kecelik kalau ia memancing kekaguman pemuda itu, karena si pemuda menoleh kepadanya seperti tidak ada apa-apa saja, seakan-akan gerakannya yang indah dan ringan itu tadi sudah sewajarnya!
Setelah menoleh dan memandang wajah Kwi Lan sejenak, pemuda itu tersenyum lebar, merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan itu, lalu menyodorkannya kepada Kwi Lan. Kiranya tanpa bicara pemuda itu telah menawarkan kacang garing kepada Kwi Lan!
“Enak nonton di sini sambil makan kacang,” katanya dengan mata bersinar-sinar. “Gerakan mereka dapat nampak jelas. Hayo bertaruh, siapa yang akan menang antara pengemis bertongkat kurus kering dan pengemis botak berpedang itu? Aku berpegang kepada si Botak!”
Kwi Lan makin suka kepada pemuda yang sebaya dengannya ini, atau mungkin lebih muda melihat sikapnya yang kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil segenggam kacang, membuka kulit dan memakannya sambil menonton ke arah pertandingan.
“Aku bertaruh pengemis baju butut yang menang,” Kwi Lan berkata setelah menonton sebentar. Kacang garing itu enak sekali, selain gurih dan wangi tanda kacang tua dan baik, juga agaknya diberi bumbu dan asinnya cukup.
“Belum tentu!” kata si Pemuda gembira dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang itu digerak-gerakkan menendang. “Memang si Kurus Kering itu lebih lihai ginkang-nya, lebih cekatan. Akan tetapi kulihat si Botak ini banyak tipu muslihatnya. Di gagang pedangnya terdapat alat untuk melepas jarum beracun.”
“Ihhh...! Memang pengemis baju bersih itu golongan hitam dan curang!” Kwi Lan berseru.
“Eh, bagaimana engkau bisa tahu?”
“Tahu saja! Kau kira engkau saja yang tahu kelicikan mereka?”
Mereka saling pandang, cemberut karena dengan pertaruhan itu mereka seperti hendak saling memihak. Akan tetapi pemuda itu tersenyum, menyodorkan lagi bungkusan kacangnya. “Enak kacang ini, bukan? Tentu enak, kacang ini khusus dibuat untuk istana kerajaan!” ia tertawa ha-ha-he-he, lalu melanjutkan, “Akan tetapi, Raja dan para Pangeran belum tentu mempunyai mulut seperti mulutku, maka aku merasa bahwa mulutku tidak terlalu rendah untuk mencicipi kacang untuk istana ini dan kucuri sebagian. He-he-heh!”
Kwi Lan juga tersenyum lebar dan mengambil lagi segenggam. Keduanya kini tidak berkata-kata lagi karena ikut merasa tegang dengan pertandingan yang makin seru itu. Mereka seperti lupa diri, makan kacang sambil menonton ke bawah, persis seperti lagak para penonton permainan sepak bola yang ramai. Mereka seperti dua orang anak nakal yang sudah sejak kecil menjadi kawan bermain.
Memang pertandingan itu makin seru. Tepat seperti yang dikatakan pemuda itu, gerakan pengemis baju butut yang memegang tongkat amat lincah, tubuhnya sering kali mencelat ke atas dan menyambar-nyambar dengan tongkatnya. Pengemis botak yang berbaju bersih, agaknya kewalahan dan terdesak sehingga ia hanya mampu mengelak dan menangkis, sukar untuk dapat membalas. Namun harus diakui bahwa pertahanan pedangnya cukup kuat sehingga semua terjangan si Pengemis kurus kering selalu tidak mengenai sasaran. Tiba-tiba pengemis baju kotor itu mengeluarkan seruan keras dan ilmu tongkatnya berubah, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin sempit sehingga mengurung tubuh lawannya.
“Hah, mampus sekarang jagomu!” kata Kwi Lan.
“Heh, belum tentu! Lihat saja...,” jawab si Pemuda.
“Lihat, nah...kena!” Berbareng dengan ucapan Kwi Lan yang tentu saja dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas dan bahkan dapat menduga pula perkembangan setiap gerakan, benar saja tongkat pengemis pakaian kotor itu dapat menusuk leher pengemis botak.
Akan tetapi, ketika pengemis botak itu berusaha menangkis dengan sia-sia, tiba-tiba dari gagang pedangnya meluncur sinar hitam dan kakek pengemis kurus kering itu pun berseru kesakitan dan roboh bersama-sama lawannya. Kalau lawannya dapat ia tusuk dengan tongkat tepat mengenai leher, adalah dia sendiri menjadi korban tiga batang jarum beracun yang menyambar ke luar dari gagang pedang ketika lawannya menekan alat rahasia di gagang pedang itu. Tiga batang jarum berbisa memasuki perutnya!
Tiga orang pengemis baju kotor yang bertubuh kurus-kurus itu menjadi marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, empat orang lawannya yang tadinya juga menonton, dengan bersorak telah menyerbu dan menerjang mereka bertiga. Tiga orang pengemis ini cepat menggerakkan tongkat melawan pengeroyokan empat orang lawan itu. Akan tetapi ternyata kepandaian empat orang lawan, terutama yang berpakaian seperti jago silat, bermuka penuh brewok dengan alis tebal, tubuhnya tinggi besar, amatlah lihai.
Si Brewok tinggi besar ini menggunakan sepasang pedang dan gerakannya laksana harimau mengamuk. Tiga orang pengemis baju kotor itu amat kewalahan dan terdesak sambil mundur. Namun mereka melawan terus dengan nekat sambil memaki-maki. Tidak lama pertandingan itu karena tiba-tiba tiga orang pengemis kurus itu berteriak keras dan terjungkal roboh. Kiranya diam-diam empat orang lawannya itu telah mempergunakan senjata rahasia dan memukul roboh lawannya dengan senjata rahasia ini. Dan agaknya senjata rahasia mereka itu semua memakai racun, buktinya begitu roboh, seperti halnya pengemis pertama, tiga orang kakek baju kotor ini pun tak bergerak lagi, mati seketika!
“Hah-ha-ha, kau kalah bertaruh! Bukankah jembel-jembel busuk pesolek yang menang?” pemuda di samping Kwi Lan bersorak.
Kwi Lan cemberut, lalu berseru keras ke bawah, “Jembel-jembel pesolek dan kaki tangannya memang curang! Anak buah Bu-tek Siu-lam mana ada yang tidak curang dan pengecut?” Teringat peristiwa lima tahun yang lalu, sengaja Kwi Lan menyebut nama itu.
Siapa kira, mendengar disebutnya nama ini, si Pemuda di sampingnya terkejut dan berteriak keras lalu terjungkal ke bawah pohon! Kwi Lan terkejut dan baru ia tahu bahwa pada saat pemuda itu terjungkal, dari bawah menyambar beberapa macam senjata rahasia itu. Cepat ia menggunakan ujung lengan bajunya mengebut dan...runtuhlah semua senjata rahasia itu.
Dengan muka merah Kwi Lan meloncat berdiri di atas cabang pohon. Ia melihat empat orang itu terbelalak kaget, akan tetapi seorang di antara dua pengemis baju bersih, yang bertubuh pendek dan bermuka bengis, telah mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kembali menyambitkan senjata rahasia gelang besi yang melayang dan berputar-putar menyambar ke arah perut Kwi Lan.
Gadis ini memuncak kemarahannya. Ia meloncat turun sambil menyampok senjata gelang besi itu ke bawah, dan setengah disengaja ia menyampok gelang besi itu ke arah si Pemuda yang sudah bangun.
“Aduhh!” teriak si Pemuda sambil berloncatan bangun dan mengelus-elus kepalanya, seakan-akan kepalanya terkena hantaman senjata rahasia itu. Akan tetapi jidatnya yang lebar dan kelimis itu tidak terluka, lecet pun tidak.
Kwi Lan tidak pedulikan pemuda itu, lalu melayang ke arah pengemis baju bersih yang menyambut kedatangannya dengan sebuah tusukan pedang! Tampaknya serangan ini tak mungkin dielakkan lagi oleh Kwi Lan yang tubuhnya sedang melayang di udara dan memang gadis ini pun tidak berusaha untuk mengelak.
Tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka melakukan gerakan mendorong dan... pedang itu terkena dorongan hawa pukulan lalu membalik. Kemudian secepat kilat Kwi Lan menyentil dengan telunjuknya ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang dan... pedang itu mencelat sambil membalik sehingga menusuk pangkal lengan pengemis pendek itu sendiri. Kulit dagingnya terbelah dan tampak tulang lengannya! Sementara itu, entah bagaimana pedangnya telah berpindah ke tangan Kwi Lan yang mempergunakan pedang rampasan untuk menodong!
“Ha-ha-ha-heh-heh!” si Pemuda itu bersorak sambil mempermain-mainkan gelang besi yang tadi menyambarnya dengan tangan kanan. “Jembel tua bangka pesolek sekarang kehilangan aksinya. Makanya jangan sok aksi. Sudah tua bangka begitu, pura-pura jadi pengemis tapi pakaiannya bersih dan baru, biar kelihatan aksi dan tampan. Wah, ini namanya tua-tua keladi!”
Tentu saja pengemis pendek yang dirobohkan Kwi Lan itu melotot ke arah si Pemuda dengan kemarahan meluap-luap, akan tetapi juga terheran-heran mengapa senjata rahasianya yang biasanya ampuh bahkan mengandung racun itu kini dipakai main-main oleh si Pemuda ini. Pada saat itu, pengemis kedua yang tubuhnya kurus kecil seperti kucing kelaparan itu menudingkan telunjuknya kepada Kwi Lan sambil membentak, suaranya besar dan parau sungguh berlawanan dengan tubuhnya yang serba kecil kurus.
“Eh, iblis betina dari mana berani menentang Hek-coa Kai-pang dan mengeluarkan ucapan menghina ciangbujin Bu-tek Siu-lam? Apakah sudah bosan hidup?”
Kwi Lan membalikkan tubuhnya, membelakangi pengemis pendek yang terluka untuk menghadapi lawan baru ini. Ia tersenyum manis ketika berkata, “Kalian ini jembel-jembel busuk, biar pun tidak sama dengan Hek-peng Kai-pang, kiranya sama busuknya, apa lagi sama-sama di bawah pimpinan Bu-tek Siu-lam yang biar pun belum pernah kujumpai, tentu busuk pula!”
“Eh, perempuan keparat! Selama hidup kami tidak pernah bertemu denganmu dan tidak pernah bertentangan, mengapa hari ini kau datang-datang menghina dan memusuhi kami? Apakah kau berpihak kepada jembel-jembel butut itu?” bentak pula pengemis kurus kecil sambil menuding ke arah mayat empat orang pengemis baju butut. Kumis kecil di kanan kiri hidung itu bergerak-gerak akan tetapi tidak sama sehingga kelihatannya seperti sepasang sayap kupu-kupu yang hinggap di bawah hidung, membuat Kwi Lan menjadi geli dan memperlebar senyumnya.
“Urusan kalian dengan jembel-jembel berpakaian butut sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Akan tetapi kebetulan sekali aku adalah orang yang paling tidak suka melihat perbuatan-perbuatan curang dan pengecut. Dalam pertandingan tadi kalian merobohkan lawan mengandalkan senjata rahasia secara curang sekali. Kemudian kalian juga menyerangku dengan senjata rahasia. Apakah kau masih mau bilang di antara kita tidak ada pertentangan?” berkata demikian, Kwi Lan melirik kepada dua orang lain yang tidak berpakaian pengemis, yaitu yang bermuka brewok dan seorang temannya lagi. Jelas mereka itu tidak segolongan dengan dua orang pengemis baju bersih ini dan mereka pun tidak mencampuri perdebatan, hanya memandang dengan mata terbelalak heran dan kening berkerut.
“Bocah sombong! Merampas pedang dan melukai saudaraku masih belum merupakan dosa besar, akan tetapi menyebut dan menghina nama ciangbujin kami....”
Kwi Lan memegang ujung pedang dengan tangan kirinya dan sekali tekuk, pedang rampasan itu patah menjadi dua dan ia buang ke atas tanah. “Pedang sudah kupatahkan, kalau aku bunuh saudaramu itu dan kumaki si Kepala Penjahat busuk Bu-tek Siu-lam, kau mau apa?”
“Iblis betina, rasakan tanganku!” Tiba-tiba pengemis kecil kurus itu sudah mencabut pedang dan menggerakkan pedangnya membacok, gerakannya selain cepat juga kuat sekali, jauh lebih kuat dari pada gerakan pengemis yang sudah terluka tadi.
Pada saat yang sama, ketika Kwi Lan memutar tubuhnya untuk menghadapi serangan pengemis kecil kurus, pengemis kedua yang sudah terluka lengannya itu menggerakkan tangan kirinya menyambitkan sebuah gelang besi ke arah punggung gadis itu.
Apa yang terjadi selanjutnya sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata, akan tetapi tahu-tahu dua orang pengemis itu menjerit dan roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi dan hebatnya, tepat di dahi mereka tampak luka berlubang ditembusi gelang besi beracun!
Kiranya ketika tadi diserang pedang pengemis kurus, Kwi Lan juga tahu bahwa dari belakang ia diserang dengan senjata rahasia, maka secepat kilat ia berkelebat kedepan, menangkap tangan yang berpedang dari samping lalu membetot tubuh itu dipakai menangkis gelang besi yang menyambar punggungnya sehingga senjata rahasia itu tepat menyambar dahi pengemis kurus. Ada pun si Pengemis pendek yang melepas senjata rahasia secara curang itu, sebelum sempat mengelak, telah ‘dimakan’ senjata rahasianya sendiri yang dilemparkan oleh pemuda teman Kwi Lan dengan gerakan sembarangan namun yang membuat senjata itu menyambar cepat sekali dan masuk ke dalam dahi pemiliknya.
Kini tinggal dua orang yang bukan pengemis, teman-teman dari pengemis baju bersih, berdiri memandang dengan mata terbelalak kaget. Mereka berdua mengerti bahwa dua orang muda itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Orang pertama yang mukanya penuh brewok segera melangkah maju dan menjura sambil mengangkat kedua tangan ke dada dan berkata, “Kepandaian Ji-wi (Tuan Berdua) sungguh hebat dan membuat kami merasa kagum sekali!”
Kwi Lan hanya tersenyum mengejek, akan tetapi pemuda itu tertawa-tawa tanpa membalas penghormatan orang. “Heh-heh, kulihat kalian berdua bukan pengemis. Tapi tadi membantu dalam pertandingan antar pengemis! Apakah sekarang hendak menuntut bela atas kematian dua orang sahabatmu ini?”
Si Brewok menggeleng-geleng kepalanya. “Kami tidak tersangkut dalam urusan antara mereka dan Ji-wi. Telah saya lihat betapa mereka itu mencari mati sendiri dengan keberanian mereka melawan dan memandang rendah Ji-wi. Sungguh pun menghadapi empat orang anggota Khong-sim Kai-pang pengemis baju butut tadi kami merupakan sekutu mereka, namun urusan terhadap Ji-wi kami tidak ikut campur.”
“Menggerakkan lidah memang amat mudah!” Kwi Lan berkata mengejek. “Kau bilang tidak ikut campur, akan tetapi siapa tadi yang ikut menyerangku dengan senjata rahasia ketika aku berada di atas pohon itu?”
Wajah si Brewok menjadi merah. Memang tadi dia ikut menyerang Kwi Lan dengan senjata rahasianya yang berbentuk peluru bintang. Ia menjura kepada gadisitu dan berkata, “Harap Nona maafkan, tadi saya menyangka Nona adalah kawan pengemis Khong-sim Kai-pang.”
“Tidak peduli apa yang kau sangka. Hayo serang aku lagi dengan senjata rahasiamu!” bentak Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Berubah muka si Brewok. “Saya... saya mana berani?”
“Berani atau tidak masa bodoh, kau harus! Kalau membangkang, jangan bilang aku keterlaluan!” Suara ini mengandung penuh ancaman sehingga muka yang penuh brewok itu menjadi pucat. Ia berdiri saling pandang dengan kawannya.
Kawannya itu agaknya lebih berani dari pada si Brewok. Matanya yang agak menjuling itu dipelototkan ke arah Kwi Lan dan ia berseru, “Nona, engkau sungguh keterlaluan! Kami adalah orang-orang Thian-liong-pang, bukan orang-orang sembarangan! Kalau Suheng-ku ini berlaku mengalah kepadamu, adalah karena melihat engkau masih muda, masih setengah kanak-kanak. Setelah Ouw-suheng mengalah, mengapa engkau malah mendesaknya? Sekali dia turun tangan, engkau akan celaka, dan hal itu akan sayang sekali melihat engkau begini muda dan cantik!”
“Sute, diam...!” si Brewok menegur adik seperguruannya.
Kwi Lan marah sekali, akan tetapi tak seorang pun tahu akan hal ini karena senyumnya makin manis. “Ah, begitukah? Jadi kalian ini orang-orang Thian-liong-pang yang lihai? Kebetulan sekali, lekas kalian berdua menyerangku dengan senjata-senjata rahasia kalian!”
Si Brewok ragu-ragu, akan tetapi si Mata Juling berkata, “Suheng, dia yang minta dihajar, tunggu apa lagi?” Sambil berkata demikian si Juling mengeluarkan dua buah senjata rahasianya, yaitu peluru bintang.
Senjata rahasia ini terbuat dari pada baja, ujungnya runcing-runcing dan karena bentuknya bulat seperti peluru, maka dapat disambitkan dengan keras. Melihat ini, si Brewok yang didesak-desak juga mengeluarkan senjata rahasia yang sama, akan tetapi hanya sebuah.
“Hayo lekas serang, tunggu apa lagi?” Kwi Lan berseru, berdiri dengan sikap seenaknya, bahkan sengaja ia miringkan tubuh dan menoleh membelakangi dua orang itu.
Selagi si Brewok ragu-ragu dan adik seperguruannya yang marah itu menanti gerakan kakaknya, terdengar pemuda itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Aku mendengar nama besar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan yang disegani dan ditakuti, yang mempunyai cabang di seluruh negeri, yang dipimpin oleh orang-orang sakti. Akan tetapi ternyata kini orang-orangnya hanya pengecut-pengecut yang suka menyerang seorang gadis dengan curang....”
“Eh, manusia berandalan! Diam kau! Ini bukan urusanmu!” Kwi Lan membentak dan melotot kepada pemuda itu.
Si Pemuda masih tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak dan wajahnya memperlihatkan sikap kaget ketika pemuda itu melihat betapa dua orang itu menggunakan kesempatan selagi Kwi Lan menoleh dan bicara kepadanya untuk menyerang dengan senjata rahasia mereka. Pemuda itu menjadi pucat karena maklum betapa hebatnya serangan itu dan betapa ia sendiri yang berdiri jauh tidak sempat mencegah serangan ini. Akan tetapi wajah yang kaget itu berubah girang dan sinar matanya menyorotkan kekaguman ketika ia mendengar pekik kesakitan kedua orang anggota Thian-liong-pang itu.
Si Mata Juling roboh dan tewas seketika karena pelipis dan dadanya dihantam senjata rahasianya sendiri, sedangkan si Brewok roboh kesakitan akan tetapi segera melompat bangun kembali karena hanya pahanya yang terluka oleh senjata rahasianya sendiri pula. Ia berdiri dengan mata terbelalak kagum dan heran.
Memang luar biasa sekali caranya gadis itu menghadapi serangan senjata rahasia tadi. Biar pun sedang menengok ke belakang, namun Kwi Lan tahu akan serangan senjata rahasia. Bahkan tanpa menoleh lagi ia menggerakkan kedua tangannya, menyambar senjata rahasia si Juling yang datang lebih dulu ke arah pelipis dan dada, kemudian secepat kilat ia mengembalikan dua senjata itu ke arah pemiliknya, tepat mengenai pelipis dan dada! Ada pun peluru bintang yang dilepas si Brewok hanya mengarah pahanya, itu pun tidak tepat di tengah-tengah, maka Kwi Lan juga membalikkan senjata rahasia itu tepat mengenai pinggir paha si Brewok yang mendatangkan luka daging!
Sambil meringis menahan sakit, si Brewok menjura kepada Kwi Lan. “Benar hebat dan mengagumkan. Saya mengaku kalah dan kematian Sute-ku adalah karena tidak hati-hatinya. Mohon tanya, siapakah nama Nona yang gagah?”
Kwi Lan sudah menggerakkan bibir hendak mengaku, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berkata, “Eh, apakah matamu sudah buta? Terang Nona ini menggunakan nama Mutiara Hitam, engkau masih bertanya-tanya lagi?” Sambil berkata demikian, pemuda itu sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang dan hinggap di dekat Kwi Lan seperti gerakan seekor burung ringannya.
Si Brewok memandang kagum dan tersenyum mendengar kata-kata itu. Ia menduga bahwa gadis ini memakai nama julukan Mutiara Hitam karena gagang pedangnya terhias sebutir mutiara hitam yang besar. Ia lalu menjura kepada pemuda itu dan bertanya, “Terima kasih atas penjelasan Tuan Muda. Bolehkah saya mengetahui nama Kongcu?”
“Namanya Si Berandal, apa kalian belum tahu?” Suara ini keluar dari mulut Kwi Lan yang hendak membalas pemuda itu.
Akan tetapi si Berandal hanya tertawa, lalu berkata kepada anggota Thian-liong-pang itu. “Kau ini manusia tidak tahu diri berani main-main di depan Mutiara Hitam dan Berandal, sungguh sudah bosan hidup!”
“Mohon Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memaafkan. Karena tidak mengenal maka kami telah berlaku kurang hormat. Harap Ji-wi suka memandang perkumpulan dan ketua kami memberi maaf kepada saya.”
“Kalau kami tidak memaafkan, apa kau kira akan masih tinggal hidup?” si Berandal bersombong. “Hayo ceritakan siapa engkau dan apa urusan Thian-liong-pang dengan pengemis-pengemis itu serta mengapa pula terjadi pertandingan dengan pengemis-pengemis Khong-sim Kai-pang? Dan mengapa pula nama Bu-tek Siu-lan tadi kudengar disebut Ciangbujin oleh pengemis pendek itu?”
“Saya bernama Ouw Kiu. Seperti semua pimpinan dan petugas Thian-liong-pang saya taat dan tunduk kepada perintah atasan. Saya dan Sute Ouw Lun itu mendapat tugas untuk menyampaikan undangan kepada para pimpinan Hek-coa Kai-pang untuk menghadiri pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang pertengahan bulan depan. Ketika hendak kembali ke Yen-an, di sini kami bertemu dengan tiga orang anggota Hek-coa Kai-pang yang berhadapan dengan empat orang Khong-sim Kai-pang. Tentu saja kami membantu Hek-coa Kai-pang dan salah mengira bahwa Ji-wi adalah teman-teman anggota Khong-sim Kai-pang.”
“Dan tentang Bu-tek Siu-lam?” pemuda itu mendesak.
Ouw Kiu tidak menjawab, wajahnya pucat.
“Ah, urusan begitu saja mengapa mesti banyak tanya lagi?” Kwi Lan mencela. “Si badut Bu-tek Siu-lam itu sudah jelas menjadi cukong dunia pengemis golongan hitam! Ingin aku bertemu dengan badut itu untuk memberi hajaran agar ia kapok dan tidak membiarkan anak buahnya bermain curang!”
Ouw Kiu makin pucat. “Saya... saya tidak mempunyai cukup harga untuk menyebut-nyebut nama besar beliau, hanya saya mengerti bahwa beliau merupakan seorang tokoh besar yang amat dihormati Thian-liong-pang. Suaranya agak gemetar dan matanya lirak-lirik ke kanan kiri penuh kekhawatiran.
“Sudah, pergilah dan bawa mayat temanmu. Mengingat Thian-liong-pang kami memaafkanmu dan bulan depan kalau tiada halangan, kami akan datang menonton keramaian di Yen-an.”
Ouw Kiu menjura mengucapkan terima kasih, kemudian menyambar mayat sute-nya dan pergi dari situ dengan langkah terpincang-pincang. Kwi Lan membalikkan tubuh terus lari pergi pula dari tempat itu. Akan tetapi belum jauh ia pergi, ia mendengar suara orang berlari di belakangnya. Ketika melirik dan melihat bahwa yang mengikutinya adalah pemuda itu, Kwi Lan lalu mengerahkan ginkang-nya dan berlari makin cepat.
Setelah lari agak jauh, ia melirik kebelakang. Kiranya pemuda itu masih saja mengikuti di belakangnya, hanya terpisah tiga meter! Kwi Lan penasaran dan mengerahkan seluruh tenaganya, lari secepat terbang. Pemuda itu pun mengerahkan tenaganya. Beberapa lama mereka berlari-larian cepat sampai puluhan li jauhnya. Akhirnya terdengar pemuda itu berkata dengan napas memburu.
“Waduh... berat nih! Eh, Mutiara Hitam, apakah engkau takut padaku maka melarikan diri?”
Kalau pemuda itu mengeluarkan ucapan lain, agaknya Kwi Lan tidak akan mempedulikannya dan akan berlari terus. Akan tetapi dikatakan takut merupakan pantangan besar baginya, maka cepat ia mengerem larinya, berhenti dengan tiba-tiba sehingga pemuda yang membalap di belakangnya itu hampir saja menubruknya kalau tidak cepat-cepat membuang diri ke samping dan berjungkir balik dua kali. Gerakan pemuda ini amat lucu, akan tetapi juga indah dan membuktikan kegesitannya yang luar biasa.
“Takut? Siapa bilang aku takut padamu?” Kwi Lan bertanya, memandang tajam dan mengangkat muka membusungkan dada, sikapnya menantang.
“Tentu saja aku yang bilang...!” Pemuda itu berhenti dan mengatur napasnya yang agak terengah-engah. “Wah, bisa putus napasku kalau diajak balapan lari gila-gilaan seperti tadi! Aku tidak bilang kau takut, aku tadi bertanya apakah engkau takut kepadaku.”
“Aku tidak takut! Apamu yang kutakuti?” Kwi Lan membentak.
“Kalau tidak takut kenapa lari seperti dikejar setan? Aku... aku mau bicara denganmu, aku ingin jalan bersama, kenapa kau melarikan diri?”
“Aku lari, atau jalan, atau tidur, bukan urusanmu. Aku tidak ada urusan denganmu, aku tidak ingin berjalan bersama, tidak ingin bicara denganmu.”
“Wah-wah-wah, kenapa begini galak? Sungguh tidak berbudi....”
“Aku tidak berhutang budi kepadamu! Kau mau apa?”
Pemuda itu menyeringai dan senyumnya yang lebar itu lucu sekali, seperti senyum orang mengunyah garam, sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi geli.
“Kau memang tidak berhutang budi kepadaku. Akan tetapi engkau hutang kacang! Hayo menyangkallah kalau mampu! Bukankah kau berhutang kacang asin garing yang gurih dan wangi, tidak satu, tidak pula dua atau tiga, melainkan tiga genggam yang isinya banyak!”
“Hanya dua genggam!” bentak Kwi Lan.
“Dua genggam banyak juga namanya. Lebih dua puluh! Hayo kau bayar kembali hutangmu itu, baru di antara kita tidak ada sangkut paut lagi!”
Kwi Lan tertegun dan melengak. Ia menoleh kekanan kekiri, tak berdaya. Dari mana ia bisa mendapatkan kacang asin di dalam hutan itu? Dan yang sudah masuk perutnya pun tidak mungkin dikeluarkan lagi. Betapa pun juga, ia kalah benar. Memang tak dapat ia menyangkal bahwa ia tadi telah makan dua genggam kacang asin pemuda itu. Baru sekarang Kwi Lan merasa kalah debat.
Biasanya menghadapi suheng-nya, Suma Kiat, ia selalu menang berdebat sampai suheng-nya kewalahan. Akan tetapi sekarang ia benar-benar bingung, tak tahu harus melawan secara bagaimana. Akhirnya Kwi Lan menggerakkan kepala keras-keras untuk menyingkap gumpalan rambut yang jatuh ke mukanya, sebuah kebiasaan atau gerakan yang biasa ia lakukan tanpa sadar apa bila ia merasa malu, bingung atau marah.
“Kau memang manusia berandalan, ugal-ugalan, tidak tahu malu menyebut-nyebut urusan dua genggam kacang asin yang tidak ada harganya! Cih!”
“Kau yang sombong, galak, tidak menghargai orang. Diajak jalan bersama dan bicara saja tidak sudi, seperti tidak ingat saja betapa tadi di atas pohon ikut duduk dan makan kacang...,“ pemuda itu merengut.
“Sudahlah! Betul aku telah berhutang dua genggam kacang padamu. Nah, sekarang apa yang hendak kau bicarakan.”
Wajah pemuda itu sekaligus berseri kembali seperti biasa, sepasang matanya bersinar-sinar penuh keriangan. Memang wajah yang amat tampan dan melihat wajah ini, sukarlah bagi Kwi Lan untuk mempertahankan kedongkolan hatinya. Wajah itu amat segar dan riang, tidak hanya mata dan bibir yang selalu membayangkan senyum gembira, bahkan alis yang tebal itu bergerak-gerak lucu, bulu mata ikut bergetar seperti menari-nari. Wajah yang tampan, wajah yang lucu dan gembira! Seperti awan tipis disapu angin, lenyaplah rasa panas di hati Kwi Lan dan gadis ini lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol, membereskan rambutnya dan mengusap peluh di leher dengan ujung lengan baju.
“Gerah, ya? Memang hawanya panas, apa lagi kalau dipakai lari-lari cepat, bisa mandi keringat kita.” Tangannya merogoh dalam baju dan ketika ditarik ke luar, ternyata ia telah memegang sebuah guci panjang berisi air jernih dan dingin. Gerakannya cepat dan kelihatannya seperti seorang pelawak main sulap saja. Dibukanya tutup guci dan dengan tersenyum ia berkata,
“Isinya air, jernih dan bersih. Guci ini bukan sembarang guci, melainkan guci wasiat dan air yang disimpan di sini, makin lama tidak makin kotor malah makin jernih, berbau harum dan timbul rasa manis, juga menjadi dingin segar. Minumlah, Nona.” Ia menyodorkan guci itu kepada Kwi Lan.
Air yang tampak jernih berkilau, muka yang tampak riang dan menawarkan dengan penuh kejujuran, hawa yang panas, semua ini membuat Kwi Lan bernafsu sekali untuk meneguk air segar itu. Tanpa berkata apa-apa ia menerima guci, mendekatkan bibir guci yang halus kepada bibirnya sendiri yang lebih halus lagi, akan tetapi pada saat itu pandang mata mereka bentrok dan cepat-cepat Kwi Lan menurunkan lagi guci air itu ke bawah, tidak jadi minum.
“Kenapa...?”
Kwi Lan mengerling dengan pandang mata tajam. “Apakah air ini juga akan dianggap hutang? Lebih baik mati kehausan dari pada minum air hutangan!” Ia menyerahkan kembali guci itu kepada pemiliknya.
Pemuda itu tertawa bergelak, memperlihatkan deretan gigi yang terpelihara rapi dan putih. “Apakah benar-benar engkau begini pemarah dan galak? Ah, aku tidak percaya, kau hanya pura-pura bersikap galak saja!”
“Siapa tidak akan marah kalau kau begini ugal-ugalan? Dua genggam kacang asin saja digugat-gugat, dijadikan alasan....”
Pemuda itu tiba-tiba berdiri dan menjura sampai jidatnya hampir menyentuh tanah, seperti seorang melakukan penghormatan kepada ratu. “Hamba mohon beribu ampun atas segala kesalahan hamba terhadap tuan putri yang mulia....”
“Heiii! Bagaimana engkau tahu bahwa...?” Kwi Lan tiba-tiba menghentikan kata-katanya.
Sikap pemuda ugal-ugalan yang melawak itu sejenak mengingatkan ia akan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan sehingga timbul dugaan dan kecurigaannya bahwa pemuda aneh ini tahu bahwa dia anak ratu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu berbalik menjadi kaget dan heran, ia menahan kata-katanya, kemudian melanjutkan, “Sudahlah! Jangan kau main-main seperti badut. Sebetulnya engkau mau apakah? Mengapa mengejarku dan hendak bicara apa dengan aku?”
Pemuda itu menarik muka sungguh-sungguh, akan tetapi tetap saja mukanya yang kekanak-kanakan itu berseri ketika ia menyodorkan guci airnya. “Harap nona suka minum dulu air ini agar percaya bahwa Nona tidak lagi marah kepadaku.”
Kwi Lan menerima guci itu dan meneguk isinya. Memang air yang amat dingin dan segar sehingga hilanglah hausnya, terasa amat puas dan nikmat. “Enak benar air ini,” katanya memuji sambil mengembalikan guci.
Pemuda itu pun meneguk air, kemudian menutup guci dan menyimpannya kembali ke balik bajunya.
“Nona, terus terang saja, begitu bertemu denganmu aku sudah menjadi sangat tertarik dan kagum. Gerakanmu jelas menunjukkan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapmu terbuka dan tegas. Benar-benar hebat sekali. Setelah bertemu dengan seorang seperti Nona, bagaimana aku dapat berpisah begitu saja tanpa lebih dahulu bicara dan mengikat persahabatan? Apa lagi melihat sikap Nona yang sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-liong-pang dan terutama sekali berani memaki seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, benar-benar hebat sekali dan tentulah Nona seorang yang memiliki kedudukan sejajar dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw pada waktu ini.”
“Ngawur dan ngaco! Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan macamnya Bu-tek Siu-lam dan aku merasa heran sekali mengapa Ouw Kiu si Brewok tadi kelihatan begitu ketakutan ketika nama Bu-tek Siu-lam disebut-sebut.”
“Apa lagi dia, aku sendiri pun hampir terjengkang karena kaget mendengar engkau berani memaki-maki Bu-tek Siu-lam!”
“Huh, orang macam apakah Bu-tek Siu-lam itu? Aku hanya pernah mendengar dari mulut pengemis-pengemis Hek-peng Kai-pang bahwa dia yang melindungi semua pengemis golongan hitam yang katanya datang dari dunia barat. Perlu apa takut terhadap badut macam dia?”
“Aihh...aihh..., agaknya Nona belum banyak tahu akan tokoh-tokoh dunia kang-ouw pada waktu ini! Sehingga nama besar Bu-tek Siu-lam pun belum dikenalnya betul. Nona, agaknya engkau merupakan seorang perantau yang baru, belum lama turun gunung...“
Kwi Lan merasa betapa pipinya panas. Hatinya juga panas karena rahasianya diketahui. Dengan lain kata-kata pemuda ini hendak mengejeknya, mengatakan bahwa ia masih hijau, masih belum berpengalaman sehingga tidak mengenal tokoh-tokoh besar!
“Hemm, kalau engkau..., sudah banyak pengalaman, ya? Sudah puluhan tahun merantau?” Kwi Lan sengaja mengatakan puluhan tahun padahal usia pemuda itu paling banyak sama dengan usianya sendiri, sembilan belas tahun!
Akan tetapi pemuda itu tidak merasakan ejekan ini agaknya. Wajahnya serius ketika ia menjawab, “Semenjak lahir aku sudah merantau, Nona.”
“Dan aku..., sebelum lahir sudah merantau!” potong Kwi Lan, matanya menyinarkan kemarahan, bibirnya tersenyum manis, senyum marah. Memang ciri khas gadis ini, makin marah ia, makin manis senyumnya!
Pemuda ini menatap wajahnya penuh selidik, tiba-tiba wajahnya yang serius itu kembali berseri seperti biasa. “Aih, kiranya Nona juga suka berkelakar. Mana bisa sebelum lahir sudah merantau!”
“Mengapa tidak bisa kalau kau pun sudah merantau sejak lahir? Tentu kau akan mendongeng bahwa begitu lahir engkau sudah pandai tertawa, pandai berlari cepat, dan pandai... membual?”
“Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali!” Pemuda itu terpingkal-pingkal dan mau tak mau Kwi Lan tertawa juga membayangkan betapa begitu lahir pemuda itu pandai membual.
“Aku tidak membohong, Nona. Tentu saja bukan aku yang melakukan perantauan seorang diri, melainkan ayahku. Aku dibawa merantau dan sejak itu tak pernah berhenti merantau. Akan tetapi sudahlah, tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Lebih baik kuceritakan kepadamu tentang tokoh itu. Bu-tek Siu-lam adalah seorang tokoh besar yang benar-benar sakti. Tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak ngeri mendengar nama ini sungguh pun baru beberapa tahun saja ia datang dari sebelah barat Pegunungan Himalaya. Selain sakti, dia pun amat aneh sehingga tak seorang pun dapat menduga apakah dia itu laki-laki tulen ataukah perempuan.”
“Hee...? Mengapa begitu?” Kwi Lan mulai tertarik. Karena semenjak kecil ia terkurung di istana bawah tanah kemudian di dalam hutan yang tak pernah ada yang berani memasukinya, tentu saja pengetahuannya tentang dunia kang-ouw amat sempit. Apa lagi tentang tokoh-tokoh yang demikian anehnya.
Ada pun pemuda itu ketika melihat sikap Kwi Lan mulai tertarik, menjadi gembira untuk bercerita. “Dia berperawakan laki-laki tinggi tegap dan gagah, wajahnya tampan sekali, rambutnya terurai dan berombak indah. Akan tetapi lagak dan bicaranya seperti seorang perempuan yang amat genit, dan senjatanya adalah sebuah gunting besar yang amat mengerikan. Melihat gerak-gerik dan lagaknya, dia itu seratus prosen wanita, akan tetapi melihat bentuk tubuh dan wajahnya, dia adalah laki-laki. Hal ini saja sudah menyeramkan, apa lagi menyaksikan kekejamannya, membikin bulu roma berdiri. Ia pernah membasmi pengemis golongan putih dalam sebuah rapat besar sebanyak dua ratus orang lebih yang digunting-gunting dan dipotong-potong tubuhnya! Sejak itu ia menjadi datuknya pengemis golongan hitam. Banyak sudah tokoh golongan putih dan para pendekar hendak membasminya, namun mereka itu malah menjadi korban. Karena kesaktiannya inilah maka tak seorang pun berani lagi mengganggunya dan ia merupakan tokoh besar yang dicalonkan menjadi pemimpin dunia hitam jika ada pemilihan lagi di samping tokoh-tokoh yang lain.”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. Tak pernah disangkanya ada seorang yang sedemikian hebatnya. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini hanya bibinya, Kam Sian Eng, saja yang paling lihai. Siapa tahu pemuda ini sendiri sudah lihai sungguh pun ia belum mencobanya, akan tetapi pemuda ini amat jerih ketika menceritakan kesaktian Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, betapa pun juga, aku tidak takut kepadanya!” kata Kwi Lan. “Bagaimana dengan Thian-liong-pang? Apakah ketuanya juga sehebat laki-laki genit itu?”
Pemuda itu tertawa.
“Ihh, mengapa kau tertawa?”
“Mendengar kau menyebut Bu-tek Siu-lam laki-laki genit!”
“Kau sendiri yang bilang dia genit.”
“Mana bisa laki-laki genit? Laki-laki tidak ada yang genit, yang genit hanyalah perempuan.”
“Belum tentu semua perempuan genit! Laki-laki yang genit banyak, di antaranya... engkau inilah!”
“Wah, wah, menyerang lagi. Kau benar-benar pemarah, Nona. Maafkanlah. Yang kumaksudkan adalah bahwa Bu-tek Siu-lam itu bersikap genit seperti wanita, jadi dia itu laki-laki bukan wanita bukan. Dia seorang banci.”
“Banci? Apa banci...?”
“Banci itu wadam!”
“Wadam? Apa itu?”
“Wadam itu wandu.”
“Wandu? Aku tidak mengerti.”
Pemuda itu menarik napas panjang, lalu menggeleng kepala. “Tidak banyak pengertianmu, Nona. Banci, wadam, atau wandu itu adalah orang yang bukan laki-laki bukan pula wanita, akan tetapi juga bisa laki-laki bisa disebut wanita.”
Pusing kepala Kwi Lan mendengar ini. Keningnya berkerut, matanya bersinar marah. “Berandal, kalau kau mempermainkan aku, hemm... aku takkan sudi mendengarmu lag!”
“Eh, eh, nanti dulu! Aku tidak main-main, Nona. Banci adalah seorang yang bertubuh laki-laki akan tetapi berwatak perempuan, atau sebaliknya. Memang sukar untuk menerangkan, karena aku sendiri tidak tahu persis mengapa bisa begitu, akan tetapi memang kenyataannya demikian. Kau tadi bertanya tentang Thian-liong-pang? Ketuanya juga seorang yang terkenal memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan itu saja yang membuat Thian-liong-pang disegani, melainkan banyaknya anggota dan banyaknya para pimpinan yang tinggi-tinggi ilmunya. Kabarnya tidak kurang dari dua belas orang murid kepala Thian-liong-pang amat lihai dan jika tenaga mereka digabungkan menjadi satu, agaknya Bu-tek Siu-lam sendiri tidak berani main-main dengan mereka. Pusatnya di Yen-an dan entah apa yang dimaksudkan si Brewok tadi dengan upacara pengangkatan ketua baru. Mungkin ketua lama mengundurkan diri, diganti muridnya yang paling besar. Peristiwa itu tentu amat menarik dan dikunjungi semua tokoh dunia hitam, karena itu aku ingin sekali mengunjungi ke Yen-an bersama... Nona, kalau Nona... berani!”
“Tentu saja aku berani!” Kwi Lan meloncat sambil meraba gagang pedangnya.
“Jadi Nona mau...?” Pemuda itu tersenyum lebar dan menjadi girang sekali.
Kwi Lan sadar lalu duduk kembali, “Soal mau atau tidak, nanti, dulu! Akan tetapi pokoknya aku berani! Sekarang ceritakan, selain laki-laki genit....” Ia berhenti dan melotot, akan tetapi pemuda itu tidak tertawa sekarang, “selain dia, siapa lagi tokoh besar di dunia ini sekarang?”
“Tokoh-tokoh dunia hitam banyak sekali, akan tetapi mereka itu adalah tokoh-tokoh yang dahulu berada di bawah Thian-te Liok-koai yang sekarang sudah lenyap dari permukaan bumi. Ada pun tokoh-tokoh yang sekiranya dapat disejajarkan Bu-tek Siu-lam, sedikit sekali. Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh iblis yang berjuluk Thai-lek Kauw-ong, seorang hwesio tua yang kabarnya memiliki kesaktian seperti iblis. Ada pula yang berjuluk Sin-cam Khoa-ong yang suka membunuh orang tanpa sebab dan tanpa berkedip. Orang ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo. Kabarnya empat tokoh itulah yang kini merajai empat penjuru dunia hitam. Akan tetapi aku sendiri belum pernah bertemu dengan seorang di antara mereka.”
“Hemm, kalau mereka itu jahat, perlu apa memiliki kepandaian hebat? Apakah tidak ada yang menentang dan mengalahkan mereka?”
“Aku tidak tahu jelas, hanya kabarnya sudah terlalu banyak orang gagah dan pendekar yang roboh di tangan mereka.”
“Orang gagah? Pendekar? Orang macam apa mereka ini?”
Pemuda itu membelalakkan matanya. Kalau tadi mendengar gadis ini tidak tahu apa-apa tentang dunia hitam, ia menyangka gadis ini tentu murid tokoh sakti dunia putih yang baru saja turun gunung. Akan tetapi mendengar pertanyaan ini ia benar-benar heran sekali. Kalau tidak mengerti tentang dunia hitam dan dunia putih, habis gadis ini termasuk golongon apa?
“Bagaimana Nona tidak mengerti akan hal ini? Pendekar adalah orang-orang yang menentang kejahatan, orang-orang dari dunia putih yang selalu berusaha menumpas dunia hitam. Aku percaya bahwa guru Nona sendiri tentu seorang tokoh besar, seorang locianpwe dari dunia putih yang amat mulia.”
Kwi Lan menggeleng kepala. “Guruku bukan dari dunia putih, bukan pula dunia hitam. Entah dunia apa aku tidak tahu! Coba katakan, siapa tokoh-tokoh paling hebat di dunia putih?”
Pemuda itu masih belum hilang keheranannya, akan tetapi ia menahan perasaan ini dan menjawab, “Juga di antara pendekar-pendekar sakti banyak sekali yang merupakan tokoh puncak, akan tetapi aku yang muda hanya pernah mendengar beberapa orang saja. Pertama-tama adalah Suling Emas....”
“Suling Emas? Aku tanya nama orangnya, bukan sulingnya. Dari emas, perak, atau kuningan siapa peduli?”
“Suling Emas adalah nama julukannya. Nama aslinya, seperti tokoh-tokoh besar kang-ouw lainnya, siapa yang tahu?”
“Siapakah Suling Emas itu? Orang macam apa dan bagaimana kelihaiannya?”
Pemuda itu mengangkat jempol tangannya ke atas. “Aku sendiri belum mempunyai keberuntungan berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi namanya sudah sering kali kudengar dari para Locianpwe. Ilmu kepandaiannya setinggi langit, bahkan kabarnya Thian-te Liok-koai, enam datuk persilatan, musnah oleh sepak terjang Suling Emas. Sulingnya yang terbuat dari emas itu mengalahkan segala macam senjata yang ada di dunia ini.”
“Dimana dia tinggal?”
“Tak seorang pun tahu. Seperti juga empat tokoh dunia hitam, banyak tokoh dunia putih terdiri dari orang-orang aneh yang sukar diketahui tempatnya, akan tetapi yang sewaktu-waktu dapat muncul di tempat-tempat yang sekali tidak terduga-duga. Aku tidak akan merasa heran kalau saat ini di sekeliling kita terdapat tokoh dunia hitam mau pun dunia putih. Sepak terjang mereka penuh rahasia.”
Mendengar ini, tanpa disadarinya lagi Kwi Lan melirik ke kanan-kiri, akan tetapi keadaan di sekeliling tempat itu sunyi. “Lalu siapa lagi selain Suling Emas?”
“Di antara para pengemis golongan putih menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo adalah seorang tokoh pengemis yang amat lihai ilmu silatnya, senjatanya hanya sebatang tongkat rotan kecil namun keampuhannya tidak kalah oleh pedang pusaka yang mana pun juga. Tentu saja dua orang itu hanya dua di antara banyak lagi. Apa lagi kalau kita ingat kepada partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai yang tentu mempunyai banyak orang pandai. Belum lagi di selatan kabarnya Agama Beng-kauw di Negara Nan-co dipimpin oleh orang-orang yang amat sakti. Akan tetapi di antara segala orang sakti, baik di dunia putih mau pun hitam, agaknya tidak akan dapat menyamai tingkat kakek yang mulia dan terhormat Bu Kek Siansu....”
Berkata sampai di sini, pemuda itu membungkukkan tubuhnya seakan-akan hendak memberi hormat kepada nama yang disebutnya tadi.
“Bu Kek Siansu? Siapa dia...?” Kwi Lan makin tertarik. Kalau di antara semua tokoh yang hebat-hebat tadi tidak dapat menyamai tingkat kakek ini, tentu kakek ini benar-benar seorang manusia yang amat luar biasa.
“Maaf, Nona. Aku tidak berani sembarangan menyebut-nyebut namanya yang terhormat. Akan tetapi aku mempunyai lagu yang menurut Suhu adalah ciptaan beliau. Kau suka mendengar lagu tiupan suling?” Sambil berkata demikian, pemuda itu merogoh ke belakang baju dan kembali seperti orang main sulap, ia telah mengeluarkan sebatang suling bambu.
Diam-diam Kwi Lan terheran dan menduga-duga, apa saja kiranya isi dalam baju pemuda tukang sulap ini. Kemudian melihat suling itu, ia bertanya, “Jangan-jangan engkau sendiri yang berjuluk Suling Emas!”
Pemuda itu tertawa. “Ah, Nona jangan main-main. Apakah aku pantas menjadi seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih? Dan pula, sulingku ini bambu biasa, bambu kuning, sama sekali bukan emas, biar pun sama kuningnya. Kau dengarlah baik-baik, karena lagu ini bukan lagu sembarangan lagu melainkan lagu agung ciptaan manusia dewa.”
Pemuda itu lalu meniup sulingnya dan terdengar lengking suara suling yang halus merdu, kemudian suara itu membentuk irama lagu yang amat aneh. Mula-mula amat sukar ditangkap iramanya, sukar dirasakan kenikmatannya, akan tetapi makin lama suara suling itu makin menggulung semua pikiran dan perasaan Kwi Lan sehingga gadis ini duduk termenung seperti orang tak sadar, terbuai suara itu yang mendatangkan rasa tenang dan damai dalam hatinya. Lenyaplah segala kehendak, segala keinginan, segala perasaan, seperti keadaan orang tidur dalam sadar! Setelah pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya, gema suara tadi masih berdengung dan mempesona jiwa Kwi Lan sehingga ia masih diam terlongong. Akhirnya ia sadar dan menarik napas panjang, kemudian memandang dengan kagum kepada pemuda itu.
“Aiih, kiranya engkau amat pandai meniup suling. Hebat!”
Wajah pemuda itu makin berseri gembira. Ia menjura dan berkata, “Bukan karena aku pandai meniup suling Nona, melainkan karena lagu itu memang hebat, sekaligus menembus jantung menguasai jiwa. Dibandingkan dengan Suling Emas, kepandaianku meniup suling tidak ada seper-sepuluhnya dan lagi... kabarnya Suling Emas memang menerima ilmu-ilmunya dari Bu Kek Siansu yang terhormat.”
Kwi Lan makin kagum dan terheran-heran. Timbul keinginan hatinya untuk bertemu dengan Suling Emas, walau pun hanya untuk mendengar tiupan sulingnya yang sepuluh kali lebih hebat dari pada tiupan suling pemuda ini.
“Wah, alangkah goblok!” Pemuda itu yang sudah menyimpan sulingnya kembali, meloncat bangun sambil menampar kepalanya.
Kwi Lan ikut terkejut dan ikut meloncat bangun. “Ada apa lagi?”
Pemuda itu tertawa. “Alangkah goblok aku. Lihat, kita bicara sudah setengah hari, banyak nama tokoh-tokoh dunia hitam dan putih sudah kuperkenalkan, malah aku sudah meniup suling untukmu dan kau sudah menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Akan tetapi, kita masih belum saling mengenal nama! Padahal aku merasa seakan-akan sudah mengenal Nona selama bertahun-tahun, seolah-olah kita sudah saling bersahabat lama sekali. Bolehkah aku mengetahui nama besar Nona yang mulia?”
Kwi Lan tersenyum. Terhadap seorang pemuda seperti ini, tak mungkin ia dapat membencinya. Pemuda ini berandalan memang, aneh pula, akan tetapi tidak terbayang watak kurang ajar baik dalam kata-kata mau pun dalam pandang mata kepadanya. Ilmu silatnya agaknya tinggi, banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, budinya baik dan masih ditambah pandai bersuling lagi!
“Mengapa masih bertanya lagi? Bukankah namaku Mutiara Hitam dan engkau Setan Berandalan?”
Pemuda itu tertawa geli kemudian berkata sungguh-sungguh, “Biar pun kita bukan orang lemah, namun kita belumlah seperti kakek-kakek dan nenek-nenek yang suka memakai nama julukan dan menyembunyikan nama sendiri! Nona yang baik, sudilah memperkenalkan nama besar dan she (nama keturunan) yang terhormat.”
“Kau sendiri siapa? Kau yang ingin berkenalan, seharusnya kau yang lebih dulu memperkenalkan nama.”
Pemuda itu mengangguk-angguk. “Nona benar. Maafkan aku yang pelupa. Nah, namaku Hauw Lam, she Tang. Tang Hauw Lam, nama yang bagus, sesuai dengan orangnya, bukan?” Sambil berkata demikian, sengaja pemuda itu pasang aksi menggoyang-goyangkan kedua pundak. Segala hal dilakukan sambil melucu.
Akan tetapi kali ini Kwi Lan tidak merasa lucu, melainkan kaget bukan main. Kalau saja ia tidak memiliki batin yang kuat, tentu ia akan kelihatan kaget sekali pada mukanya. Namun muka yang cantik jelita itu tenang saja, hanya jantungnya yang berdebar-debar keras. Jadi inikah putera Bi Li? Putera Tang Sun dan Phang Bi Li yang disangka lenyap setelah gurunya, ketua kelenteng di Kim-liong-san meninggal dunia? Inikah yang dicari-cari oleh Bi Li, bahkan yang telah ia janjikan kepada Bibi Bi Li untuk bantu mencari?
Sungguh tidak disangka-sangka! Akan tetapi, betapapun juga ia merasa girang bahwa putera Bibi Bi Li yang amat sayang kepadanya itu ternyata adalah seorang yang berilmu tinggi, yang berbudi baik seperti Ibunya, dan yang lucu seperti... entah siapa yang menurunkan sifat lucu kepada pemuda ini. Akan tetapi, untuk sementara Kwi Lan tidak akan membuka rahasia ini.
“Aku sebatang kara,” Hauw Lam melanjutkan, “dan Guruku yang terakhir adalah seorang kakek yang sakti dan aneh yang dahulu merupakan orang ke dua setelah Bu Kek Siansu. Seorang kakek yang hidup di dalam kuburan, tidak pernah keluar dari kuburan itu! Kakek itu sudah sangat tua, sukar ditaksir lagi berapa usianya, akan tetapi sifatnya ugal-ugalan dan seenaknya sendiri....“
“Seperti engkau!” Kwi Lan memotong.
Hauw Lam tertawa dan mengangguk. “Ya, aku banyak meniru sifat-sifatnya itu, sifat yang amat baik. Manusia hidup satu kali di dunia, kalau tidak bergembira mau apa lagi? Keadaan baik diterima dengan gembira akan menjadi lebih menyenangkan, sebaliknya keadaan buruk kalau diterima dengan gembira, akan terasa ringan! Aku hanya menerima petunjuk beliau selama seratus hari, akan tetapi gemblengan selama tiga bulan itu begitu jauh lebih berharga dari pada ajaran kuterima belasan tahun dari guru-guru yang lain.”
“Siapa nama gurumu yang aneh. itu?”
“Julukan beliau adalah Bu-tek Lo-jin. Menurut beliau memang aku berjodoh menjadi muridnya.” Hauw Lam kemudian menuturkan pengalamannya menjadi murid kakek sakti itu yang didengarkan Kwi Lan penuh perhatian.
Ketika Hauw Lam berusia lima tahun, setelah selama itu ia diajak merantau oleh Tang Sun, ayahnya yang mencari ibunya, ia dititipkan oleh ayahnya kepada Gwat Kim Hosiang ketua kelenteng di bukit Kim-liong-san. Karena ketika berpisah dari ayahnya ia baru berusia lima tahun, maka wajah ayahnya pun tidak begitu teringat olehnya. Apa lagi ibunya meninggalkannya ketika ia berusia tiga bulan! Sepuluh tahun lamanya ia tinggal di kelenteng bukit Kim-liong-san, menjadi kacung kelenteng membantu pekerjaan para hwesio. Karena bakatnya memang baik sekali, ketua kelenteng itu, Gwat Kim Hosiang murid Go-bi-pai, telah menurunkan semua ilmunya kepada Hauw Lam.
Ketika ia berusia lima belas tahun dan telah mewarisi ilmu kepandaian suhunya, ketua kelenteng itu meninggal dunia. Hauw Lam lalu meninggalkan kelenteng dan pergi merantau. Anak muda ini suka akan ilmu silat, maka dengan bekal pelajaran dari Gwat Kim Hosiang yang membuat ia mencapai dasar-dasar ilmu silat tinggi, ia dapat memperdalam ilmunya, Hauw Lam pandai merendah sehingga pandai ia mengambil hati beberapa tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga banyak pula ia menerima petunjuk.
Pada suatu hari, perantauannya membawanya ke selatan. Ia telah berusia tujuh belas tahun dan ketika ia melewati sebuah hutan, keadaan yang sunyi membuatnya menjadi keisengan dan dikeluarkanlah sulingnya. Memang semenjak kecil ketika ia tinggal di kelenteng Kim-liong-san, seorang hwesio yang pandai menyuling mengajarnya menyuling dan Hauw Lam amat suka meniup suling. Kini ia berjalan perlahan sambil meniup sulingnya. Tiba-tiba, ketika melewati segundukan tanah ia roboh terguling!
Hauw Lam kaget sekali, kedua kakinya adalah anggota badan yang terlatih. Diserang lawan saja tidak mudah terguling bagaimana sekarang bisa terguling tanpa sebab? Ia tadi merasa ada yang menarik kakinya dengan tenaga luar biasa. Sambil meloncat bangun ia memutar tubuh mempersiapkan kedua tangan untuk menangkis atau memukul dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak ada apa-apa di sekeliling tempat itu. Ia memandang ke bawah. Tanah di bawah kakinya menonjol, merupakan gundukan tanah seperti tempat kuburan orang.
Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang. Setankah yang menggodanya tadi? Setan dalam kuburan yang marah karena kuburan itu tanpa sengaja terinjak olehnya? Hauw Lam boleh jadi gagah perkasa dan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang tangguh. Akan tetapi sekali ini, biar pun belum gelap, baru menjelang senja, berada seorang diri di hutan sunyi dan merasa diserang dari dalam kuburan, ia merasa ngeri karena seram dan takut.
Tanpa berpikir panjang lagi Hauw Lam menggerakkan kedua kaki hendak lari dari tempat yang menyeramkan itu, akan tetapi baru selangkah ia lari, kembali tubuhnya roboh terguling! Timbul kemarahan hatinya yang amat sangat, melebihi ketakutannya. Belum pernah selamanya ia diperhina seperti ini. Kali ini ia melompat bangun berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, memasang kuda-kuda, membusungkan dada melebarkan mata mengatasi rasa seram sambil memaki-maki.
“Setan atau iblis atau siluman dari mana berani mengganggu Siauw-ya (Tuan Muda) yang sedang lewat? Kalau manusia, jawablah, kalau siluman muncullah dan mari kita bertanding sepuluh ribu jurus melawan Tang Hauw Lam!”
Ia petentang-petenteng, memaki-maki sambil menantang-nantang sampai beberapa lama. Namun sunyi tiada jawaban, juga tiada suara mau pun sesuatu. Hanya angin yang lewat menggerakkan daun-daun pohon, menimbulkan suara bisik-bisik seperti banyak makhluk yang tak tampak sedang bersendau gurau. Rasa seram kembali menyelubungi hati Hauw Lam, mengatasi kemarahannya dan semua bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tak salah lagi, tentu setan, pikirnya. Ketika ia roboh yang kedua kalinya tadi terasa benar betapa ada hawa pukulan yang mengait kakinya.
Kini ia memaki-maki lagi, akan tetapi diam-diam ia menggerakkan kedua kakinya. Ia ingin mengikat perhatian ‘siluman’ yang mengganggunya dengan makiannya kemudian menggunakan saat ‘siluman’ itu lengah, sekali meloncat jauh pergi dari situ. Setelah siap, sambil memaki-maki, mendadak ia menggerakkan kakinya meloncat jauh. Girang hatinya karena akalnya ini berhasil, buktinya ketika ia meloncat, tidak ada yang menjegal kakinya lagi.
Akan tetapi, selagi ia merasa girang dan tubuhnya masih melayang di atas, tiba-tiba tubuhnya itu tanpa dapat ia kuasai lagi tertarik ke bawah dan terbanting di atas tanah! Ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia terbanting kembali di atas gundukan tanah, ia makin kaget dan berseru, “Celaka... mati aku di tangan siluman...!”
“Heh-heh, siapa bilang mati itu celaka? Hidup sekedar hidup itulah yang celaka, apa lagi hidup menghamba nafsu, lebih-lebih celaka!”
Hauw Lam terkejut sekali. Karena suara itu terdengar dari bawah, ia lalu memandang ke bawah dan... hampir ia terjengkang roboh kembali ketika melihat sebuah kepala di atas tanah! Kepala yang berdiri sebatas leher di atas tanah yang rambutnya riap-riapan, mukanya penuh cambang bauk, matanya melotot. Dengan muka pucat Hauw Lam memandang kepala itu, mengucek-ucek kedua matanya, memandang lagi dan bergidik. Kedua kakinya terasa lemas dan lumpuh, seluruh tubuhnya menggigil.
Sambil menahan kedua kakinya agar tidak roboh saking lemas, Hauw Lam menghadap ke arah kepala di atas tanah lalu menjura dan berkata, suaranya gemetar, “Saya..., Tang Hauw Lam... selamanya ingin menjadi orang baik-baik..., harap anda jangan mengganggu saya....”
Kepala itu bergerak, menengadah dan matanya yang melotot itu menatap tajam, kemudian terdengar suara dari balik kumis tebal yang menyembunyikan mulut, “Tidak mengganggu, hah? Kau menginjak-injak dan melangkahi kepalaku, masih bisa bilang tidak mengganggu?”
Melihat kepala itu bergerak-gerak dan mendengar mulut di balik kumis dapat bicara seperti manusia, mulai berangsur hilanglah rasa ngeri dan takut dari hati Hauw Lam. Ia memandang lebih teliti lagi. Kepala itu di atas tanah den lehernya tersembul keluar dari tanah, agaknya tubuhnya terpendam. Kakek tua renta ini tadi bicara tentang ‘kepalaku’, hal ini hanya berarti bahwa kakek itu masih mempunyai bagian tubuh yang lain. Andai kata ia seorang siluman dan tubuhnya hanya kepala itu saja, tentu tidak akan menyebut kepalaku.
Pula, setelah kini ia memandang penuh perhatian, biar pun muka itu buruk penuh cambang bauk dan tertutup rambut yang riap-riapan, namun jelas bahwa itu kepala manusia, hanya entah bagaimana tubuh kakek itu terpendam ke dalam tanah kuburan dan entah bagaimana pula kepala itu tiba-tiba muncul sedangkan tadinya tidak ada apa-apa di situ. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu dan berkata.
“Locianpwe (Orang Tua Gagah), mohon maaf sebanyaknya apa bila boanpwe (saya yang bodoh) telah melakukan kesalahan terhadap Locianpwe karena sesungguhnya boanpwe tidak tahu bahwa Locianpwe berada di sini dan tidak sengaja....”
“Wah-wah, membekuk-bekuk lidah pun tidak ada gunanya! Masa begini caranya orang minta maaf? Mulutnya bilang minta maaf akan tetapi berlutut di sebelah atas kepalaku? Terlalu... terlalu...!” kepala itu mengomel panjang pendek.
Hauw Lam membelalakkan matanya. Kakek ini terlalu aneh dan agaknya seorang yang suka berkelakar. Ia sendiri adalah seorang pemuda yang jenaka dan selalu riang gembira, maka biar pun ia merasa mendongkol atas sikap kakek yang tidak puas dengan permintaan maafnya itu, ia memutar otak mencari akal.
“Baiklah, Locianpwe. Saya akan mohon maaf dan memberi hormat sepatutnya.”
Setelah berkata demikian Hauw Lam lalu mencabut goloknya dan dengan senjata ini ia menggali tanah di depan kepala itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, cepat ia dapat menggali sampai dalam, dan ia lalu masuk ke dalam lubang itu sehingga kini yang tampak di luar tanah hanyalah kepalanya saja yang ia angguk-anggukkan sambil mengulangi permintaan maafnya.
Mulut kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bagus sekali. Kau cocok untuk menjadi muridku. Kau banyak akal, tidak mudah putus asa dan menghadapi segala rintangan hidup dengan wajah gembira. Hayo naik!” Begitu kakek ini mengeluarkan kata-kata tubuh Hauw Lam mencelat ke atas.
Pemuda ini kaget sekali dan mengerahkan tenaga untuk mengatur keseimbangan tubuh. Ketika ia berhasil turun dengan berdiri di atas tanah, ternyata kakek itu sudah keluar dari dalam tanah, kini duduk bersila di atas tanah. Sekilas pandang, ia kaget dan heran. Kakek itu kepalanya besar dan seperti kepala orang dewasa, akan tetapi tubuhnya kecil pendek seperti tubuh seorang anak berusia belasan tahun! Maklum bahwa kakek yang tubuhnya aneh ini seorang sakti, ia lalu menjatuhkan diri kembali, berlutut di depan kakek itu.
“Demikianlah, Mutiara Hitam. Semenjak saat itu aku menjadi murid Bu-tek Lo-jin selama seratus hari. Aku tidak menerima ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi semua ilmu silat yang pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak itu, baru terbuka mataku akan ilmu yang sebenarnya,” Hauw Lam mengakhiri ceritanya.
Kwi Lan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali akan semua pengalaman Hauw Lam dan diam-diam ia merasa girang bahwa putera bibinya ini benar-benar seorang pemuda yang perkasa dan juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik. Perasaan hangat memenuhi dadanya ketika ia menatap wajah yang tampan dan jenaka itu. Ia sudah merasa tertarik sekali, seakan-akan ia berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri.
Perasaan ini mungkin timbul karena semenjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li seperti ibu kandungnya. Betapa tidak? Bibi Bi Li yang memeliharanya semenjak ia belum mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia menangis, yang memberinya makan kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda ini adalah anak kandung Bibi Bi Li! Apa bedanya dengan kakaknya sendiri?
“Wah, kau melamunkan apa?”
Tiba-tiba Kwi Lan terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentak kaget. Ia mendongkol juga akan watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar. “Kenapa kau membentak-bentak orang?”
Hauw Lam tertawa. “Siapa membentak-bentak? Aku hanya bertanya. Mengapa engkau melamun sedangkan aku sudah menanti sejak tadi memasang telinga setajam-tajamnya!”
“Menanti apa? Memasang telinga untuk apa?”
“Waduh, bagaimana ini? Sejak tadi sampai letih mulutku bercerita tentang riwayatku, tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku selesai, kini kau bertanya aku menanti apa dan memasang telinga untuk apa? Tentu saja untuk mendengarkan ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang riwayat hidupmu!” jawab Hauw Lam, penasaran.
Mendengar ini, Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi Kam Sian Eng, tidak mau pula bercerita tentang ibu kandungnya, Ratu Khitan yang belum pernah dilihatnya itu. Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa belum tiba saatnya. Maka ia lalu berkata, “Perlu apa banyak cerita? Engkau sudah tahu namaku.”
“Siapa?”
“Mutiara Hitam.”
“Wah, kenapa kau suka sekali mempermainkan aku? Aku sudah menceritakan namaku sendiri, Tang Hauw Lam...”
“Tapi aku mengenalmu sebagal Berandal saja, cukup. Dan kau mengenalku sebagai Mutiara Hitam. Apa artinya nama? Nama apa pun, juga apa bedanya? Yang penting mengenal orangnya dan melihat wataknya. Nama hanya kosong belaka!”
Hauw Lam menggaruk-garuk belakang telinganya dan mulutnya menggumam lirih, “Nama itu kosong belaka...! Eh, Mutiara Hitam, semuda ini kau sudah sepandai itu berfilsafat? Ataukah... kau pernah patah hati?”
“Patah hati? Bagaimana hati bisa patah? Apakah hati itu seperti kayu kering... macam ini?” Kwi Lan mematahkan sebatang ranting kayu. Melihat wajah gadis itu bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw Lam tertawa.
“Sudahlah, tidak gampang mengajak kau bicara. Tidak mau menceritakan nama ya sudah, sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang tentu menarik sekali.”
“Aku tidak punya riwayat. Lebih baik kau lanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau sebatang kara. Mana ayah dan ibumu?”
Untuk sesaat wajah yang jenaka dan lucu itu diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya sebentar saja karena kembali wajah yang tampan itu menjadi cerah ketika menjawab, “Ibuku telah meninggal dunia dan....”
“Siapa bilang ibumu meninggal dunia?!”
“Lho! Kenapa marah?” Hauw Lam bertanya karena mendengar suara pertanyaan yang membentak itu dan melihat wajah yang masam.
“Siapa bilang ibumu meninggal dunia?” Kwi Lan mengulang.
Pemuda itu melongo. Dara yang cantik jelita seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan tetapi yang anehnya bukan main, memiliki watak yang sukar sekali dijajaki, sukar diduga. “Yang bilang? Tentu saja ayahku. Ayahku yang bilang bahwa ibu telah meninggal dunia.”
Sudah berada di ujung lidah Kwi Lan untuk menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu bohong, akan tetapi dapat ditahannya.
“Dan ayahmu di mana dia?”
“Ayah? Ayah tidak sayang kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, ayah meninggalkan aku di kelenteng bukit Kim-liong-san dan semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Nah, sudah lengkap kini riwayatku, sekarang ganti engkau...”
Ucapan Hauw Lam terhenti karena tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara orang. Tak lama kemudian muncullah tujuh orang penunggang kuda. Pakaian, topi, dan bahasa mereka membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang asing. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda besar dan baik. Akan tetapi tujuh ekor kuda tunggang mereka itu seperti tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor kuda yang dituntun oleh seorang di antara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih tinggi, tubuhnya ramping dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit kecil dan bulunya hitam mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan bercahaya.
“Kuda betina yang hebat!” Hauw Lam terdengar memuji dengan suara lantang, matanya memandang ke arah kuda hitam itu penuh kekaguman.
Akan tetapi Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu apanya yang hebat pada kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikannya. Sebaliknya, ia tertarik kepada tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka itu rata-rata berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan tinggi, membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam oleh sinar matahari.
Sementara itu, tujuh orang ini pun menahan kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan. Agaknya tidak ada perbedaan antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan pandang mata Hauw Lam terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman!
Pandang mata mereka yang penuh getaran nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, membuat dara ini menjadi jengah dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena mereka itu tidak mengeluarkan kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti beberapa helai rumput hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik ke arah mereka. Ia masih tetap duduk di atas akar pohon.
Akan tetapi Hauw Lam sudah meloncat berdiri. Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak pula pengalamannya. Melihat sikap dan pandang mata tujuh orang itu kepada temannya, ia merasa mendongkol pula. Akan tetapi wajahnya berseri dan ia tersenyum lebar ketika berkata, “Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan!”
“Salam!” Tujuh orang itu menjawab, suara mereka rata-rata besar parau.
Senyum di mulut Hauw Lam melebar dan ia melangkah mendekati kuda hitam. Setelah kini dekat dan memandang penuh perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor kuda yang hebat, pikirnya. Ketika ia mencoba untuk menepuk-nepuk leher kuda hitam itu, si Kuda hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya kalau pemuda ini tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.
“Kuda hebat...!” ia memuji pula. “Sobat, apakah kuda hitam ini hendak dijual? Kalau hendak dijual, berapakah harganya?”
Orang yang menuntun kuda membelalakkan matanya kepada Hauw Lam, kemudian ia tertawa sehingga tampak betapa dua buah gigi atasnya ompong. Enam orang temannya hanya berdiri memandang. Kemudian si Ompong berpaling dan menterjemahkan ucapan Hauw Lam tadi dalam bahasa mereka. Seketika meledaklah ketawa enam orang itu sehingga keadaan hutan yang tadinya sunyi kini menjadi riuh dengan suara ketawa mereka. Lalu disusul mereka bertujuh saling bicara riuh rendah sambil tertawa-tawa.
“Orang muda, tahukah engkau kuda apakah ini, dari mana dan hendak dibawa ke mana?” Akhirnya si Ompong yang menjadi juru bicara berkata dengan suara pelo dan kaku. “Kuda ini adalah kuda keturunan langsung dari Hek-liong-ma milik pribadi Ratu kami!”
“Siapakah Ratu kalian yang mulia?” Hauw Lam bertanya, tertarik karena ia tidak mengerti bahasa mereka.
“Ratu kami adalah Sang Ratu di Khitan.”
“Ohhh...!” Suara seruan kaget ini keluar dari mulut Kwi Lan. Akan tetapi ketika Hauw Lam menengok, gadis ini sudah dapat menekan perasaannya kembali dan hanya memandang penuh perhatian.
“Dan tahukah engkau kuda ini hendak kami bawa ke mana? Akan kami antarkan ke Yen-an sebagai barang sumbangan kepada ketua baru dari Thian-liong-pang!”
Diam-diam Hauw Lam terkejut juga. Kiranya bukan kuda sembarangan dan ia maklum bahwa tujuh orang ini sengaja menyebut nama Thian-liong-pang untuk membuat ia kaget dan jeri. Akan tetapi ia berpura-pura tidak mengenal Thian-liong-pang, bahkan ia lalu berkata, “Wah, barang sumbangan saja mengapa kuda yang begini bagus? Yang kalian tunggangi itu semua juga sudah lebih dari cukup untuk sumbangan. Yang hitam ini kalau boleh, harap jual kepadaku.”
Tiba-tiba seorang di antara mereka berbicara dengan bahasa mereka, suaranya lantang dan telunjuknya menuding-nuding ke arah Kwi Lan yang masih duduk di atas akar pohon. Begitu selesai ia berbicara, tujuh orang itu tertawa bergelak-gelak. Semua kuda mereka kaget dan meringkik-ringkik sambil berdiri di atas kedua kaki belakang sehingga hampir saja dua orang di antara mereka terlempar ke bawah. Hal ini membuat mereka tertawa makin riuh rendah.
“Orang muda, mengertikah engkau apa yang dimaksudkan teman-temanku? Ha-ha-ha! Engkau sendiri sudah memiliki seekor kuda betina yang demikian cantik jelita, mengapa masih ingin membeli kuda hitam ini? Apakah artinya kuda hitam ini kalau dibandingkan dengan kudamu yang putih kuning dan cantik molek itu? Ha-ha-ha!” Kembali tujuh orang itu tertawa-tawa karena mereka tahu bahwa temannya si Ompong sudah menterjemahkan ucapan mereka.
Tentu saja Hauw Lam menjadi marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi Lan lebih marah lagi. Tadinya ia tidak mengerti apa artinya ucapan mereka, akan tetapi karena mereka bertujuh semua memandang kepadanya dan menuding-nudingkan telunjuk ke arahnya, tahulah ia bahwa dia sesungguhnya yang disebut kuda betina putih kuning! Ia disamakan dengan kuda! Keparat! Bagaikan seekor harimau ia meloncat bangun, kedua tangannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua tangannya menyambar ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika lenyap suara ketawa mereka, terganti suara jeritan dan mereka bertujuh terguling roboh dari atas kuda! Namun dengan gerakan yang amat cekatan mereka bertujuh sudah meloncat bangun lagi dan ramailah mereka berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti Hauw Lam mau pun Kwi Lan. Kini Hauw Lam yang melongo dan memandang mereka dengan muka terheran-heran.
Kiranya sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara Hitam tadi adalah rumput-rumput yang tadi dicabutinya sambil duduk di atas akar pohon. Dalam kemarahannya gadis itu telah menyerang tujuh orang Khitan dengan rumput-rumput itu. Biar pun hanya rumput hijau, namun di tangan dara perkasa ini berubah menjadi senjata rahasia yang amat ampuh dan menggiriskan hati.
Batang-batang rumput itu meluncur melebihi anak panah cepatnya dan tak terhindarkan lagi oleh tujuh orang Khitan itu. Tahu-tahu muka mereka telah terkena rumput yang menempel pada kulit muka mereka, menimbulkan rasa perih dan pedas, sedangkan tadi ketika rumput-rumput itu menyerang, mereka terdorong oleh angin pukulan yang membuat mereka terjungkal dari atas kuda. Kini mereka berdiri dan berusaha melepaskan rumput-rumput yang menempel muka mereka.
Aneh bin ajaib! Sampai meringis-ringis mereka berusaha mengambil rumput yang menempel di kulit muka. Sia-sia belaka! Rumput-rumput itu menempel seakan-akan diberi lem perekat ajaib, seakan-akan telah tumbuh menjadi satu dengan kulit. Seorang di antara mereka agak menggunakan kekerasan untuk mengupas rumput, akan tetapi kulit pipinya ikut terkelupas, nyeri dan perih bukan main dan darah menetes-netes!
Mereka terheran-heran dan juga kesakitan, terutama sekali rasa jeri membuat wajah mereka pucat. Bagi Hauw Lam, penglihatan itu amatlah lucu. Melihat mereka berusaha mengupas rumput dari muka meringis-ringis kesakitan, melihat betapa rumput itu merupakan plester-plester hijau ‘menghias’ muka, apa lagi orang yang tadi menghina Mutiara Hitam, rumput melintang di atas kulit hidungnya sehingga wajahnya tampak lucu sekali, membuat Hauw Lam tak dapat menahan ketawanya.
“Hua-ha-ha-ha! Lucu sekali...! Lucu sekali...! Muka kalian bertujuh ditambal-tambal seperti badut dan delapan ekor kuda ini begini bagus. Tentu kalian hendak main komidi kuda, ya? Bagus..., bagus...!” Hauw Lam bertepuk-tepuk tangan dan berjingkrak-jingkrak, membuat tujuh orang itu mendongkol bukan main.
Akan tetapi karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda-mudi itu tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak mau lagi meladeni dengan kata-kata. Serentak tangan mereka bergerak dan tujuh orang itu sudah mencabut golok masing-masing lalu mengurung dengan sikap mengancam.
“Aih... aih... kalian masih belum kapok? Kalau tadi Nona muda kalian ini menghendaki nyawa kalian, apakah kalian tidak menjadi bangkai?” Hauw Lam berseru sambil melangkah maju, kemudian menoleh kepada Kwi Lan. “Biarlah aku yang kini menikmati permainan dengan mereka!”
Kwi Lan diam saja, sikapnya tidak acuh. Ia tidak memandang mata kepada tujuh orang itu, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah orang-orang Khitan, rakyat dari ibu kandungnya, ia tadi tidak mau membunuh mereka. Kini ia hendak menyaksikan sampai di mana kepandaian Berandal, karena dari gerak-gerik tujuh orang itu ia dapat menduga bahwa mereka memiliki ilmu silat yang tinggi juga.
“Mengalahkan mereka tanpa membunuh barulah hebat,” Kwi Lan sengaja berkata, nada suaranya mengejek, padahal di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda berandalan itu membunuh rakyat ibu kandungnya.
“Oho, mudah saja, kau lihatlah!” Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian membusungkan perutnya ke depan, menantang.
“Hayo kalian maju, tunggu apa lagi? Bukankah golok kalian sudah terhunus? Di sini tidak ada babi untuk ditusuk perutnya, tidak ada kambing untuk disembelih lehernya. Nih perutku, boleh kalian tusuk, atau leher nih, boleh pilih!” Ia menantang dengan cara mengejek sekali, meramkan kedua mata, mengulur leher membusungkan perut dan menaruh kedua tangan di punggung!
Diam-diam Kwi Lan geli menyaksikan sikap ini, juga merasa betapa sikap ini keterlaluan dan berbahaya. Coba dia yang ditantang secara itu, tentu sekali bergerak akan dapat merobohkan pemuda ugal-ugalan itu.
Agaknya tujuh orang yang sudah amat marah itu pun berpikir demikian. Mereka tadi sudah marah dan penasaran sekali, merasa mengalami penghinaan yang luar biasa, maka kini menyaksikan sikap dan tantangan Hauw Lam, mereka sampai tak dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya. Tujuh orang Ini bukan orang sembarangan, merupakan jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi, bagaimana sekarang menghadapi dua orang bocah saja mereka tidak berdaya dan sampai mengalami hinaan? Kini melihat sikap Hauw Lam, mereka serentak menerjang untuk membalas penghinaan yang mereka alami.
“Cring-cring-trangg-traaanggg...!” Tujuh batang golok yang menerjang dalam detik bersamaan dengan sebuah saja sasaran, tentu saja tak dapat terhindar lagi saling beradu ketika sasarannya tiba-tiba lenyap dari tempatnya.
Cepat mereka meloncat dan membalikkan tubuh. Kiranya pemuda ugal-ugalan itu sudah berada di belakang mereka dan kembali pemuda itu mengulur leher membusungkan perut, akan tetapi sekarang tangannya memegang sebatang golok pula, golok yang pendek dan lebar seperti golok tukang babi! Akan tetapi melihat sinar putih bersinar dari mata golok, dapat diduga bahwa golok yang buruk bentuknya itu ternyata terbuat dari pada logam yang ampuh dan terpilih.
“Hayo tusuk lagi, bacok lagi, kenapa ragu-ragu? Perut dan leherku sudah gatal-gatal nih!” Hauw Lam mengejek, menggoyang-goyangkan perutnya yang sengaja ia busungkan ke depan.
Kemarahan tujuh orang Khitan itu memuncak. Sambil memaki-maki dalam bahasa sendiri kembali mereka menerjang maju, melakukan serangan dahsyat penuh kemarahan. Kali ini tampak sinar putih yang amat lebar menyilaukan mata bergulung-gulung menyambut mereka.
Terdengar suara nyaring beradunya senjata diikuti tujuh batang golok terlempar dalam keadaan patah menjadi dua, disusul pekik tujuh orang itu dan memberebetnya kain robek. Dalam sekejap mata saja tujuh orang itu tidak hanya kehilangan golok, akan tetapi juga baju mereka robek dari leher sampai ke perut! Wajah mereka kini menjadi pucat sekali karena mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam segebrakan saja tadi tentu mereka akan terobek perut mereka!
Si Gigi Ompong lalu menjura dan berkata, “Kami telah kesalahan terhadap Taihiap, mohon maaf, mengingat bahwa kami jauh dari utara hendak mengunjungi Thian-liong-pang.”
Hauw Lam tertawa akan tetapi sebelum ia menjawab, Kwi Lan melompat maju dan menghardik, “Masih banyak cakap lagi? Kalian ini orang-orang Khitan yang tidak baik! Lekas pergi dan tinggalkan kuda hitam!”
Si Gigi Ompong kaget bukan main dan dengan suara gemetar ia menterjemahkan ucapan ini. Kawan-kawannya juga nampak kaget dan memprotes. Si Gigi Ompong kini menghadapi Kwi Lan dan berkata, “Tidak mungkin, Nona! Kuda hitam ini adalah persembahan dari kami untuk dihadiahkan kepada ketua Thian-liong-pang sebagai tanda persahabatan. Bagaimana kami berani meninggalkannya di sini? Hal ini berarti akan hilangnya nyawa kami sebagai penggantinya!”
“Huh! Siapa peduli nyawa anjing kalian? Katakan saja kepada Ratumu bahwa yang mengambil kuda hitam adalah Mutiara Hitam. Habis perkara!”
Kini Hauw Lam mendengarkan dengan mulut ternganga. Dara itu terlalu lancang, terlalu berani. Tadi berani menghina dan memandang rendah Bu-tek Siu-lam, kini malah berani menantang Ratu Khitan yang selain terkenal sebagai ratu, juga terkenal memiliki ilmu kesaktian hebat dan mempunyai banyak anak buah yang berilmu tinggi!
Apakah yang diandalkan dara ini maka bersikap sedemikian angkuh dan berani menghina orang-orang golongan atas? Kepandaiannya memang hebat dan melihat cara melempar rumput yang sampai kini menempel di muka ketujuh orang Khitan itu, terbukti akan kelihaiannya. Akan tetapi belum tampak ilmu silatnya dan ia merasa ragu-ragu apakah dara semuda ini akan mampu menandingi tokoh-tokoh besar itu?
Akan tetapi mendengar ucapan gadis yang memandang rendah Ratu Khitan, tujuh orang itu tidak menjadi marah setelah si Ompbng menterjemahkannya, bahkan nampak heran dan girang. Si Ompong lalu berkata sambil menjura, “Aha, kiranya masih sepaham! Nona yang gagah perkasa, ketahuilah bahwa kami adalah anak buah Pak-sin-ong...”
“Tidak peduli siapa itu Pak-sin-ong!” bentak Kwi Lan tidak sabar lagi.
Akan tetapi Hauw Lam sudah menjadi kaget sekali dan bertanya, “Apa? Kalian ini anak buah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) yang juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara)?”
Si Ompong berseri wajahnya, akan tetapi jadi menyeringai buruk karena wajahnya masih pucat dan masih tertempel rumput. “Betul..., betul...! Nona, agaknya Nona belum mengenal nama besar Tai-ong kami yang juga memusuhi Ratu Khitan dan....”
“Bedebah...!” Bentakan ini keluar dari mulut Kwi Lan, disusul berkelebatnya sinar kehijauan dan terciumlah bau yang harum. Akan tetapi tujuh orang Khitan itu menjerit, darah muncrat dan di lain saat Kwi Lan sudah berdiri tegak kembali, sikapnya kereng dan mulutnya membentak, “Lekas pergi dari sini!”
Hauw Lam melongo. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja ia dapat melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya. Ia melihat betapa gadis itu mencabut sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan mengeluarkan ganda harum semerbak, melihat pula betapa dengan gerakan yang amat aneh, dahsyat dan secepat kilat pedang di tangan gadis berkelebat dan dengan persis membabat putus telinga kanan ketujuh orang Khitan itu sebelum mereka mampu mengelak atau melawan! Melihat pula betapa dengan gerakan yang masih sama cepatnya gadis itu telah menyimpan kembali pedangnya sebelum darah yang muncrat dari pinggir kepala tujuh orang itu menyentuh tanah. Sebuah gerakan yang luar biasa sekali, yang aneh, dahsyat akan tetapi juga ganas dan kejam!
Tujuh orang Khitan yang tadinya kegirangan karena mengira bahwa mereka itu sefihak dengan nona ini dalam hal memusuhi Ratu Khitan, tentu saja menjadi kaget dan kesakitan. Sambil menutupi telinga kanan yang sudah tak berdaun lagi, mereka memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak, sejenak lupa akan rasa perih dan nyeri pada telinganya.
“Kami telah menerima pengajaran,” kata si Ompong sambil meringis. “Harap Nona suka memberitahukan nama agar tidak mudah kami melupakannya...“
“Eh-eh, masih banyak tingkah lagi?” Hauw Lam yang khawatir kalau-kalau nona itu makin marah dan membunuh mereka, memotong. “Dia ini bernama Mutiara Hitam, apakah kalian buta? Dan aku adalah Berandal. Hayo pergi dan jangan membuka mulut busuk lagi!”
Tujuh orang Khitan itu melompat ke atas kuda. Sekali lagi mereka menoleh dengan pandang mata penuh kebencian dan sakit hati, kemudian membalapkan kuda mereka pergi dari tempat itu. Kuda hitam ditinggalkan begitu saja dan kuda ini kelihatan tenang makan rumput, kendalinya terlepas dan terseret di atas tanah.
Hauw Lam cepat mengambil kendali itu dan kini kuda itu diam saja ketika ditepuk-tepuk lehernya. Agaknya kuda itu tahu bahwa siapa yang memegang kendali adalah majikannya. “Kuda bagus, kuda hebat...!” Hauw Lam menepuk-nepuknya dan membawanya dekat kepada Kwi Lan.
“Pilihanmu tepat, Mutiara Hitam. Julukanmu Hitam maka tepatlah kalau kau menunggang kuda hitam ini.”
“Siapa yang menginginkan kuda? Aku hanya minta kuda ini agar ada alasan mengunjungi Thian-liong-pang.”
“Apa? Bagaimana maksudmu?”
Kwi Lan tersenyum mengejek. “Bodoh! Kalau kita datang ke sana dan membawa kuda ini sebagai barang sumbangan, bukankah namanya sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat? Maksud si Raja Algojo yang kau sebut-sebut itu mempersembahkan kuda kepada Thian-liong-pang tak berhasil, berarti dia sudah kalah satu nol melawan kita. Kedua, dengan hadiah ini, masa kita tidak akan diterima sebagai tamu agung oleh Thian-liong-pang?”
Hauw Lam membelalakkan matanya kemudian berjingkrak dan bertepuk tangan, “Wah, bagus! Kau ternyata pintar sekali. Tapi sesungguhnya sayang kalau kuda sebaik ini dilepaskan kembali kepada orang lain.”
“Hal ini dapat diputuskan nanti. Kalau kulihat Thian-liong-pang tidak berharga memiliki kuda ini, bisa saja kita ambil kembali.”
Diam-diam Hauw Lam merasa khawatir. Gadis ini memang harus diakui memiliki ilmu kepandaian hebat. Akan tetapi terlalu ceroboh, terlalu sembrono dan terlalu memandang rendah orang lain.
“Ahh, Mutiara Hitam. Engkau benar-benar belum banyak mengenal orang! Engkau tidak tahu siapa dia Jin-cam Khoa-ong.”
“Siapa sih Algojo itu?”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan tokoh menyeramkan itu, akan tetapi sepanjang pendengaranku, dia tidak kalah terkenalnya dari pada, Bu-tek Siu-lam sendiri! Kabarnya dia datang dari daerah Mongol, paling suka membunuh orang. Semua orang yang pernah bentrok dengan dia tidak akan dapat keluar hidup-hidup. Betapa pun gagahnya, semua orang itu tewas di bawah senjatanya yang mengerikan, yaitu berbentuk gergaji berkait. Dia mengangkat diri dengan sebutan Pak-sin-ong untuk memperkenalkan asalnya dari utara, akan tetapi karena kekejamannya yang melewati batas, di dunia kangouw dia dijuluki orang Jin-cam Khoa-ong si Raja Algojo Manusia!”
“Huh, makin besar julukannya, makin kosong melompong! Aku tidak takut!”
“Dan Thian-liong-pang sungguh tidak boleh dibuat permainan! Bahkan kini merupakan perkumpulan yang paling besar, paling berpengaruh dan paling banyak anggotanya untuk golongan hitam. Karena itulah, para tokoh golongan hitam yang tidak mempunyai perkumpulan besar masih memandang kepada Thian-liongpang...“
"Sudahlah! Kalau engkau takut, tidak perlu kau banyak mengoceh lagi. Aku pun tidak mengajak engkau. Kau kira aku takut untuk pergi sendiri?” Sambil berkata demikian, Kwi Lan menyambar kendali kuda dari tangan Hauw Lam, lalu pergi menuntun kuda hitam itu meninggalkan Hauw Lam yang berdiri melongo...