Nyi Roro Sekar Mayang

Cerita silat Pendekar Pulau Neraka Episode nyi roro sekar mayang
Sonny Ogawa
Cerita silat serial pendekar pulau neraka

Episode 
Nyi Roro Sekar Mayang

Karya Teguh S
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



Pendekar Pulau Neraka Episode nyi roro sekar mayang



SATU

Pagi nan cerah di sebuah lembah yang tidak begitu subur, terdengar teriakan-teriakan membahana. Suara-suara itu seolah hendak meruntuhkan tebing-tebing yang berdiri kokoh di sekitarnya. Tidak jauh dari tempat itu terlihat sebuah gubuk kecil yang memiliki halaman cukup luas didepannya.

Permukaan tanah di tempat itu lebih rata dibanding dengan keadaan di sekitarnya. Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dan wanita dua puluh delapan tahunan, tengah melompat ke sana kemari sambil memainkan jurus-jurus ilmu silat yang amat ganas. Di sekitarnya terlihat tulang-belulang manusia berserakan dalam jumlah yang cukup banyak.

Ternyata dari sinilah sumber suara-suara teriakan tadi berasal. Kedua orang itu sebenarnya sepasang suami istri dan sekaligus sebagai tokoh yang amat ditakuti di dunia persilatan. Yang lelaki bernama Ki Sanca Ireng. Sedangkan istrinya yang berambut panjang terurai sebatas pinggang bernama Nyai Roro Sekar Mayang.

Saat ini mereka tengah berlatih suatu jurus silat yang amat langka dan puluhan tahun lalu pernah menggemparkan dunia persilatan di tangan Ki Panuluh Puspa. Tokoh tua yang terkenal dan kehebatannya tiada tara itu adalah guru Sanca Ireng dan Nyai Roro Sekar Mayang.

"Haaat...!"
"Yeaaa...!"

Keduanya kembali melompat sambil membentak nyaring. Beberapa buah tengkorak kepala manusia berpentalan ke atas tertendang kaki mereka.

Crab! Crab!
"Hiiih!"

Kedua tangan mereka membentuk cakar dan melesak dalam batok kepala tengkorak, lalu bergantian menghantam batok kepala tengkorak lainnya yang tersisa. Ketika keduanya melesat kembali, satu persatu tengkorak kepala manusia itu berjatuhan. Terlihat bekas jari-jari tangan mereka membentuk lubang di masing-masing kepala tengkorak.

"Hm, sial! Belum juga berhasil kutemukan cara agar pukulan Tengkorak Hitamku menjadi lebih sempurna!" dengus Ki Sanca Ireng geram.

"Betul, Kakang! Aku pun semakin kesal saja. Pukulan Tengkorak Putih ku belum seperti apa yang kuinginkan," sahut Nyai Roro Sekar Mayang.

"Hhh... tapi kita harus sabar dan terus tekun berlatih...."
"Hm, sampai kapan? Sayang, guru telah meninggal sebelum rahasia kedua ilmu pukulan itu kita kuasai...," ujar Nyai Roro Sekar Mayang.

Ki Sanca Ireng terdiam dan menatap tajam ke arah tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berserakan. Rata-rata dalam keadaan berlubang tertembus jari-jari mereka.

"Kita harus mencari korban lagi, Nyai...," katanya pelan.

"Benar. Hhh... tapi semakin jarang orang yang tersesat ke lembah ini. Mau tak mau kita harus mencarinya di luaran sana," sahut istrinya.

"Hm, kalau demikian kita harus keluar dari lembah ini untuk mencari korban baru...."

"Mari, Kakang! Untuk apa buang waktu lagi?" sahut istrinya cepat seraya melompat dari tempat itu.

Ki Sanca Ireng mengikuti dengan gerakan gesit sambil mengerahkan ilmu lari cepatnya. Tampak kedua suami istri itu melesat bersamaan meninggalkan lembah itu. Namun belum jauh mereka berlari, mendadak Ki Sanca Ireng berbisik halus pada istrinya sambil menghentikan larinya.

"Nyai, berhenti sebentar! Tampaknya ada beberapa orang tersesat di daerah ini."

Nyai Roro Sekar Mayang segera berhenti dan menajamkan pendengaran. Kemudian terlihat dia mengangguk pelan sambil memandang ke satu arah.

"Pucuk di cinta ulam tiba! Kalau benar, untuk apa kita bersusah payah mencari korban baru di luaran sana...?"

Keduanya melompat cepat ke atas sebatang pohon yang terdekat Kemudian melompat dari satu pohon ke pohon lainnya mendekati suara-suara yang mereka dengar. Kelima orang itu berjalan beriringan sambil memperhatikan ke sekitar hutan itu dengan tatapan curiga.

Dari cara berpakaian dan senjata-senjata yang disandang, jelas mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Paling tidak kelimanya mengerti ilmu silat. Salah seorang di antara mereka yang berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh agak kecil memberi isyarat pada kawan-kawannya agar menghentikan langkah. Matanya menyapu ke sekeliling dengan wajah menyiratkan perasaan curiga.

"Ada apa Kakang Suganda? Apakah kau mendengar sesuatu yang mencurigakan?" tanya salah seorang kawannya yang memakai baju kuning.

"Hm, sepertinya aku merasakan keanehan di hutan ini.." gumam lelaki yang dipanggil Suganda.

"Keanehan bagaimana, Kakang...?" tanya satu-satunya wanita di antara mereka.

"Entahlah, Ni Lastri. Tempat ini terasa sunyi sekali. Sedikit pun tak terdengar suara burung atau binatang lain. Sebaiknya kita bersikap waspada...!"

"Hm, buat apa takut! Kalaupun ada harimau atau beruang, bisa berbuat apa pada kita!" dengus seorang lainnya yang berkepala botak dan bertubuh gempal.

"Jangan gegabah kau, Oleng! Kalau hanya harimau atau binatang buas lainnya kita memang tidak perlu takut. Tapi kalau lebih dari itu, kita harus waspada!" desis kawannya yang bertubuh kurus dengan rambut penuh uban.

"Benar apa yang dikatakan, Ki Sirna. Kita harus berhati-hati terhadap apa pun," sahut Ki Suganda.

"Apa yang kau maksudkan, Kakang Suganda...?" tanya kawannya yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Di antara kawanan ini tampaknya memang dia yang berusia paling muda.

"Hutan ini agaknya tidak ramah. Aku khawatir ada sesuatu yang membahayakan keselamatan kita, Somali. Entah apa namanya, aku pun tak tahu. Namun yang jelas kita harus tetap waspada dan jangan lengah terhadap apa saja yang mencurigakan!" sahut Ki Suganda.

Baru saja dia berkata begitu, mendadak melesat dua sosok tubuh ke hadapan mereka sambil mengeluarkan suara tawa nyaring yang mendirikan bulu roma.

"Hi hi hi...!"

Kelima orang itu terkesiap kaget. Di hadapan mereka telah berdiri tegak dua sosok lelaki dan wanita yang memiliki pancaran mata amat menakutkan. Keduanya seperti memandang enteng terhadap mereka.

"Kisanak berdua, siapakah kalian? Dan apa maksudnya menghadang perjalanan kami?" tanya Ki Suganda dengan nada datar.

"Hi hi hi...! Selamanya daerah di sekitar Lembah Ngampar Nyawa adalah kekuasaan kami...," sahut yang wanita.

Mendengar nama tempat yang disebutkan, kelima orang itu tampak terkejut. "Jadi..., jadi kalian Iblis Tengkorak Hitam Putih...?!" tanya Ki Suganda dengan mata terbelalak.

Siapa pun orangnya pasti kenal siapa penghuni Lembah Ngampar Nyawa. Iblis Tengkorak Hitam Putih yang kesohor di delapan penjuru mata angin sebagai tokoh kejam berkepandaian tinggi. Tidak heran kalau wajah kelimanya langsung pucat begitu mendengar dan mengetahui siapa kedua orang di hadapan mereka.

Namun, sebagai orang yang telah banyak makan asam garam di dunia persilatan, tak mungkin mereka menunjukkan perasaan takut. Ki Suganda malah balik menatap keduanya dan mendengus pelan.

"Hm, Iblis Tengkorak Hitam Putih selamanya bukanlah orang baik-baik. Kami tak pernah berurusan dengan kalian. Karena itu tak ada alasan untuk bermusuhan dengan kalian berdua...."

"Hua ha ha...! Ternyata kalian sungguh-sungguh tak mengenal kami. Baik ada persoalan maupun tidak, kalian telah bertemu dengan kami. Dan selamanya tidak akan pernah ada yang selamat di tangan Iblis Tengkorak Hitam Putih. Nah, bersiaplah menjemput ajal!" sahut Ki Sanca Ireng.

Kelimanya segera membuka jurus dan bersiap menghadapi saat Ki Sanca Ireng mendekati perlahan-lahan.

"Yeaaa...!"
"Hei?!"

Mendadak saja Nyai Roro Sekar Mayang lebih dulu menerkam mereka sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Ki Sanca Ireng menyusul beberapa saat kemudian.

"Uts!"
"Hiiih!"
Sring!

Sambil mengelak dari serangan Iblis Tengkorak Hitam Putih, mereka langsung mencabut senjata masing-masing dan balas menyerang. Namun sambil terkekeh mengejek, kedua suami istri itu berkelit ke sana kemari dengan gerakan gesit yang sulit dikejar lawan.

"Hi hi hi...! Kalian kira bisa berbuat apa pada kami, heh?!"

"Iblis betina, tutup mulutmu! Meski kalian berkepandaian tinggi, kami tak akan takut dan menyerah begitu saja!" desis si Kepala Botak yang bernama Oleng dengan nada geram.

"He he he...! Siapa yang butuh ocehan kalian? Kami hanya butuh batok kepala kalian yang masih segar!" sahut Ki Sanca Ireng sambil terkekeh.

"Dan batok kelima kepala kalian sudah cukup bagi kami. Kalian boleh pergi dari sini setelah kami mendapatkannya!" timpal Nyai Roro Sekar Mayang.

"Phuih! Langkahi dulu mayat kami baru kau boleh berbuat sesuka hatimu!" dengus Ki Sirna geram.

"Nyai, aku bosan bermain-main dengan mereka. Sebaiknya kau tentukan saja pilihanmu dan sisanya untukku!" ujar Ki Sanca Ireng dengan nada tinggi.

"Baiklah, Kakang. Bagianku si Botak ini dan yang bersenjata pedang itu. Kau boleh mengambil tiga orang yang tersisa!"

"Hm, begitu lebih baik. Nah, ambillah batok kepala mereka secepatnya!"

"Keparat!" Ki Suganda memaki geram. Keduanya tampak tak memandang sebelah mata pada mereka. Seolah-olah kelimanya sebagai buruan yang mudah didapatkan begitu saja.

Maka Ki Suganda dan kawan-kawannya bertekad akan bertarung habis-habisan untuk mempertahankan nyawa mereka masing-masing. Namun Iblis Tengkorak Hitam Putih memang bukan tokoh sembarangan. Selama ini nama Lembah Ngampar Nyawa terkenal keangkerannya semata-mata karena kehadiran mereka di sana. Tak seorang pun bisa keluar dengan selamat setelah masuk ke Lembah Ngampar Nyawa. Bahkan banyak di antaranya tokoh-tokoh dunia persilatan yang cukup dikenal memiliki kepandaian tinggi.

Ki Sanca Ireng dan sang Istri agaknya akan membuktikan keperkasaan mereka kepada kelima orang mangsanya itu. Meski menghadapi tiga orang lawan, yaitu Ki Sirna, Ni Lastri, dan Somali, dia sama sekali tidak merasa kesulitan. Serangan-serangan mereka selalu luput dari sasaran.

Gerakan Ki Sanca Ireng memang cepat bukan main dan sulit diikuti. Dengan cepat dia menghantam dada Somali. Orang itu terkejut dan memiringkan tubuh untuk menghindar. Namun tubuh Ki Sanca Ireng telah berputar dengan tangan menyambar tengkuk Ki Sirna yang mencoba membokongnya dari belakang.

Prak!
"Aaakh!"

Ki Sirna menjerit kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke samping dengan tulang leher patah.

"Iblis keparat, mampuslah kau...!" teriak Ni Lastri geram seraya mengayunkan pedang dengan gerakan-gerakan indah dan sulit diduga ke mana arah serangannya.

"He he he...! Ilmu pedangmu cukup hebat, tapi kau terlalu gegabah jika berharap mampu mengalahkanku!" ejek Ki Sanca Ireng seraya menundukkan kepala menghindar dari tebasan senjata Ni Lastri.

Namun pada saat yang bersamaan, tongkat Ki Somali melesat menyodok perutnya. Hanya dengan mendoyongkan tubuhnya ke samping Ki Sanca Ireng mampu mengelakkan serangan itu. Tangan kirinya dengan cepat berkelebat mencekal tongkat lawan dan langsung membetotnya.

Ki Somali terkejut merasakan sentakan kuat. Dia bermaksud melepaskan genggaman pada tongkatnya ketika merasakan bahwa tenaganya tidak mampu menahan tarikan lawan. Namun kaki kanan Ki Sanca Ireng telah lebih dulu menghantam dadanya.

Bekh!
"Aaa...!"

Kembali terdengar jerit kesakitan ketika tubuh Ki Somali terjungkal beberapa langkah ke belakang sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya.


***


"Iblis keparat! Kau harus mampus untuk menebus nyawa mereka! Hiyaaa...!" Ni Lastri membentak nyaring karena marah melihat kedua kawannya tersungkur tidak berdaya dalam beberapa gebrakan saja. Pedangnya berkelebat cepat menyambar-nyambar.

Namun dengan mudah Ki Sanca Ireng mengelakkan setiap serangannya. Lelaki berpakaian hitam itu terkekeh-kekeh sambil melompat ke sana kemari. Tubuhnya ringan sekali menghindari setiap serangan-serangan yang dilancarkan lawan.

"He he he...! Kuberi kau kesempatan untuk menyerang dan ternyata kau sia-siakan. Nah, sekarang giliranmu...!" ujar Ki Sanca Ireng seraya melompat menerkam lawan. Ni Lastri mengibaskan pedang memapaki tubuh lawan. Namun tiba-tiba Ki Sanca Ireng berjumpalitan menghindar. Dan....

Duk!
"Aaakh...!"



Ni Lastri memekik kesakitan ketika tanpa diduga kaki Ki Sanca Ireng mendarat di tengkuknya. Tubuh wanita itu terjungkal dan tidak mampu bangkit lagi. Ki Sanca Ireng terkekeh-kekeh sambil bertolak pinggang.

Sementara itu Nyai Roro Sekar Mayang agak kesulitan dalam menjatuhkan lawan-lawannya. Hal itu tidak mengherankan sebab Ki Suganda memiliki kemampuan lebih tinggi dari kawan-kawannya. Namun agaknya hal itu tidak berlangsung lama.

"Nyai, apakah kau hendak bermain-main lebih lama dengan mereka?" teriak Ki Sanca Ireng mulai kesal melihat istrinya belum juga menjatuhkan lawan-lawannya.

"Kakang, kau tenang sajalah! Aku masih memberikan kesempatan pada mereka untuk mengerahkan seluruh kemampuannya!" sahut Nyai Roro Sekar Mayang.

"Huh, sebaiknya tidak usah lama-lama!"

"Baiklah kalau memang kau tidak sabaran...."

"Phuih! Wanita Iblis, jangan kira bisa berbuat seenaknya terhadapku!" dengus Ki Suganda semakin berang.

"Hi hi hi...! Bisa berbuat apa kau terhadapku? Ketiga kawanmu tengah sekarat, dan kini giliran kalian!"

"Phuih! Cobalah kalau kau mau mampus!" sambut Ki Suganda menantang.

"Hi hi hi...! Sombong. Heaaa...!"

Tiba-tiba saja tubuh Nyai Roro Sekar Mayang berkelebat cepat dan menyambar kedua lawannya. Ki Suganda sempat tersentak kaget. Namun dengan cepat pedangnya dikibaskan untuk menyambut serangan itu. Sementara tongkat di tangan Oleng menyambar ke kepala. Dengan gesit sekali tubuh wanita itu berkelit dan tahu-tahu ujung kaki kanannya menghantam dada Ki Suganda.

Wuuut!

Dengan cepat pula Ki Suganda berkelit sambil merundukkan tubuh. Namun hal itu ternyata disengaja oleh Nyai Roro Sekar Mayang untuk mengalihkan perhatian Oleng agar lengah. Ternyata pancingannya mengena. Laki-laki berkepala botak itu dengan bernafsu mengayunkan tongkat untuk menghantamnya. Nyai Roro Sekar Mayang yang memang telah menyadari serangan itu, melompat ke samping seraya melepaskan satu tendangan keras.

Degkh! "Aaakh...!"

Oleng memekik keras. Tubuhnya terjungkal ke belakang dengan tulang leher patah. Dia berkelojotan beberapa saat. Sementara Ki Suganda sengaja tidak menghiraukannya dan langsung menyerang wanita itu dengan membabatkan pedang.

Wuuutt
"Uhhh...!"

Namun Nyai Roro Sekar Mayang menghindar dengan gesit. Tubuhnya melayang tepat di atas kepala Ki Suganda. Lalu menghantam dengan keras.

Tuk!

Ki Suganda terperanjat kaget dan buru-buru bergulingan. Agaknya Nyai Roro Sekar Mayang telah memperhitungkan hal itu. Meski tendangannya hanya mengenai batok kepala lawan, namun sempat memanfaatkannya untuk berjumpalitan ke belakang.

Begkh!
"Aaakh...!"

Ki Suganda memekik keras. Dia sama sekali tidak menduga akan terkecoh oleh serangan lawan. Meski batok kepalanya selamat dari tendangan lawan, namun kaki si Wanita yang sebelah lagi menyambar dadanya dengan satu tendangan keras. Tubuhnya terpental beberapa langkah sambil menyemburkan darah segar.

"Hi hi hi...! Apa kubilang? Kau tak akan mampu menghadapiku. Sengaja kalian tidak kami binasakan sebab itu lebih baik. Mati dengan cara perlahan-lahan lebih pantas bagi kalian...," kata Nyai Roro Sekar Mayang sambil memperdengarkan suara tawanya yang nyaring.

"Wanita Iblis, bunuhlah kami! Ayo, bunuhlah! Kami tak takut mati...!" teriak Ki Suganda garang. Namun dengan begitu otot-ototnya mengejang, hingga membuat luka dalam yang dideritanya semakin parah. Belum lagi selesai kata-katanya, darah segar menyembur kembali dari mulutnya. Lelaki setelah baya itu bergulingan sambil mendekap dadanya yang terasa remuk.

"Hi hi hi...! Dasar tolol! Apa kau kira dengan begitu aku akan mengampuni, heh?!" ejek Nyai Roro Sekar Mayang.

"Nyai, kenapa kau berlama-lama dengan mereka? Ayo, cepat bawa bagianmu dan kita kembali ke pondok!" teriak Ki Sanca Ireng, nampak tak sabar terhadap istrinya.

Nyai Roro Sekar Mayang menoleh sekilas dan melihat sang Suami telah menyeret ketiga korbannya. Tanpa banyak bicara wanita itu menyambar kedua korbannya. Dengan ringan sekali dia mengangkat mereka, lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu menyusul Ki Sanca Ireng yang telah lebih dulu melesat meninggalkannya.


***


DUA

Pemuda berwajah tampan berpakaian terbuat dari kulit harimau itu tertegun sesaat. Pandangannya terpaku pada tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berserakan. Monyet kecil berbulu hitam yang bertengger di punggungnya menjerit-jerit kecil sambil menutup wajah dengan jari tangannya.

"Tenanglah, Tiren dan jangan ribut begitu! Kau hanya akan mengundang perhatian orang banyak saja...!" ujar pemuda berambut panjang itu kepada monyet kesayangannya.

"Nguk! Nguk...!"

Monyet kecil itu mengangguk-angguk dan terus melompat ke pundak si Pemuda. Pemuda itu membiarkannya saja dan mulai melangkah perlahan-lahan mengikuti jejak-jejak yang tertinggal di tanah. Namun pada satu tempat yang dipenuhi ilalang, jejak-jejak kaki itu hilang. Pemuda tampan berpakaian kulit harimau yang tak lain Bayu Hanggara menghentikan langkahnya. Matanya mengawasi ke sekitar tempat itu. Namun tetap tak ditemukan adanya benda-benda yang memberi petunjuk.

"Hm, agaknya jejak ini menghilang begitu saja. Pastilah mereka melompat ke salah satu cabang pohon. Siapa mereka dan apa yang dilakukannya terhadap kepala-kepala tengkorak manusia itu?" gumam Bayu dengan wajah berkerut bingung. Baru saja Bayu hendak berbalik, mendadak terdengar bentakan nyaring.

"Iblis Tengkorak Hitam Putih, bagus kau berada di sini sehingga tak kesulitan kami mencarimu!"

Bayu cepat berpaling dan melihat dua orang berdiri tegak di depannya pada jarak lebih kurang dua puluh langkah. Seorang di antara mereka yang bertubuh tegap, menggenggam senjata sebilah parang besar. Sementara yang satunya menyelipkan pedang di pinggang. Wajah mereka jelas menunjukkan tidak bersahabat. Namun mendengar mereka memanggil dengan nama yang asing di telinganya, tentu saja Pendekar Pulau Neraka dapat menduga bahwa kedua orang itu salah sangka.

"Em.... Sebenarnya siapa kalian berdua...? Lalu siapa yang kalian maksudkan dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih...?" tanya Bayu berusaha untuk bersikap ramah.

"Phuih! Dasar iblis keparat! Kau kira bisa mungkir dari kami, heh?! Siapa pun tahu bahwa kemunculanmu selalu ditandai dengan banyak tengkorak-tengkorak kepala manusia yang menjadi korbanmu. Hm, hari ini ternyata kau tengah sendirian. Lebih baik suruh keluar istrimu agar kalian dapat kami bereskan dengan cepat!" desis yang bersenjata parang dengan wajah merah menahan geram.

"Kisanak, tenanglah dulu! Ini mungkin salah paham. Kalau kalian menyangka aku adalah Iblis Tengkorak Hitam Putih, itu salah besar. Aku sama sekali tidak kenal dengan nama yang kalian sebutkan itu. Dan selama ini aku pun belum pernah beristri. Aku tengah mengamati-amati, apa yang telah terjadi dengan tengkorak-tengkorak kepala manusia ini...," sahut Bayu masih tetap bersikap tenang.

"Subali, kenapa kau malah bersitegang leher dengannya? Apakah kedatangan kita ke sini hanya untuk mendengarkannya bersilat lidah? Huh, lebih baik kuparahkan batang lehernya sekarang juga!" sahut yang mempunyai senjata pedang seraya mencabut senjatanya dan melangkah mendekati Pendekar Pulau Neraka.

"Hei, siapa bilang begitu, Somad? Sejak tadi sebenarnya tanganku sudah gatal ingin memotes lehernya. Biar dia tahu!" timpal kawannya itu.

"Iblis Tengkorak Hitam Putih, bersiaplah menerima kematianmu!"

Sring!
"Yeaaa...!"

Begitu mencabut senjata dengan cepat, keduanya langsung melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Bayu tersenyum sinis. Dia sudah kehilangan akal untuk meyakinkan bahwa dirinya bukarilah orang yang mereka cari. Dan ketika melihat keduanya menyerang dengan ganas, pendekar muda itu tidak bisa berdiam diri begitu saja. Dia melompat menghindar. Tubuhnya melesat ke atas lalu bersalto ke belakang tubuh lawan.

"Kaaakh...!" Tiren yang melompat dari bahunya menjerit keras karena nyaris terkena babatan senjata lawan yang luput dari sasaran.

"Kurang ajar! Hei, Iblis Tengkorak apakah ke bisaanmu cuma menghindar?! Ayo, keluarkan segala kesaktianmu dan hadapi kami secara jantan!" dengus Subali garang.

"Hhh..., manusia keras kepala! Tidak usah banyak bicara. Cepat, ke sinilah kalian agar aku bisa membelah kepala kalian yang keras kepala itu!" sahut Bayu geram.

"Keparat! Terimalah ini! Yeaaa...!" Kedua orang itu mendengus geram dan kembali melompat melancarkan serangan. Kali ini Bayu sengaja tidak mau melompat ke belakang, melainkan menghindar dari setiap tebasan senjata kedua lawan. Tubuhnya bergerak lincah, meliuk, bergeser, dan melompat.

"Hiyaaa...!"
"Uhhh...!"

Pedang di tangan Somad menyambar dengan gerakan menyilang yang cepat. Dengan cepat pula Pendekar Pulau Neraka mundur selangkah, lalu sebelah kakinya terangkat tinggi menyambar dagu Subali. Mendapat serangan mendadak begitu, Subali terkejut dan melompat ke belakang untuk menghindar. Namun Pendekar Pulau Neraka telah bergerak menyusul. Dengan untung-untungan Subali mengibaskan senjata memapaki serangan lawan.

Wuuut!
Bekh!
"Aaa...!"

Subali menjerit keras ketika tahu-tahu dadanya terhantam serangan lawan, setelah babatan parangnya tak mengenai sasaran. Seketika tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang. Dadanya dirasakan nyeri bukan main. Kalau saja saat itu Pendekar Pulau Neraka mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki, bukan tak mungkin Subali akan muntah darah seketika serta menderita luka dalam yang parah.

"Setan! Mampus kau...!" bentak Somad seraya mengibaskan pedang ke kepala dari belakang.

Pendekar Pulau Neraka berkelit ke samping, namun lawan dengan cepat melancarkan serangan balasan dengan tendangan keras saat senjatanya luput dari sasaran. Tubuh pemuda itu melompat agak tinggi, lalu berjumpalitan seraya menghantamkan kepalan tangan kanannya ke wajah lawan.

Bet!
Duk!
"Aaakh...!"

Dengan sigap Somad mengayunkan pedang memapas pergelangan tangan lawan. Namun saat itu pula Pendekar Pulau Neraka menarik pulang pukulannya. Tubuhnya sedikit merunduk ketika dia berbalik dan menghantam perut lawan dengan satu tendangan yang cukup keras. Somad memekik kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke samping Subali.

"Pendekar Pulau Neraka, kurasa cukuplah pelajaran yang kau berikan pada mereka!" teriak seseorang yang tiba-tiba muncul di tempat itu. Bayu berbalik dan melihat seorang laki-laki berusia lanjut telah berdiri di depannya berjarak sekitar sepuluh langkah.

"Hhh... siapa sebenarnya dirimu, Ki? Apakah kau kawan kedua orang ini?" tanya Bayu dengan nada ramah.

"Hm, namaku Pending Layung. Mereka berdua adalah muridku. Maafkanlah atas kelancangan yang mereka lakukan. Keduanya memang masih buta dan belum berpengalaman, sehingga maklum kalau mereka tidak mengenalmu...," sahut orang tua itu sambil tersenyum ramah.

"Tidak mengapa, Ki Pending. Hanya saja mereka terlalu bernafsu hendak membunuhku. Maka maafkan juga jika aku terlalu kasar terhadap mereka."

"Somad, dan kau Subali! Lekas, minta maaf pada Pendekar Pulau Neraka. Kalian memang tolol dan tidak berotak. Apakah kalian kira masih bisa bernapas jika dia bertindak kejam? Masih untung dia berbaik hati saat ini!" teriak Pending Layung kepada dua orang muridnya.

Somad dan Subali sesaat saling pandang dengan wajah kecut. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pemuda dihadapannya ternyata pendekar besar yang sering diceritakan gurunya. Dengan wajah tertunduk malu, mereka melangkah mendekati Pendekar Pulau Neraka menjura hormat.

"Tuan Pendekar, maafkan kami yang bodoh dan buta ini...! Sungguh kami tidak tahu kalau Tuan...."

"Tidak mengapa. Hanya lain kali kalian mesti berhati-hati dan tidak langsung menyerang sebelum memeriksa lebih teliti...," sahut Bayu bernada menggurui.

"Murid-muridku belakangan ini memang begitu gemas terhadap si Iblis Tengkorak Hitam Putih, terutama karena tindakannya terhadap muridku yang lain...," kata Ki Pending Layung menimpali.

"Ki Pending, sejak tadi aku mendengar nama Iblis Tengkorak Hitam Putih selalu disebut-sebut. Siapa sebenarnya orang itu dan apa yang dilakukannya sehingga kalian kelihatan begitu mendendam...?" tanya Bayu heran.

"Mereka adalah sepasang suami istri yang memiliki ilmu keji. Guna melatih dan memperdalam ilmu, mereka menculik orang-orang dijadikan korban bagi perkembangan ilmu mereka. Batok-batok kepala yang berserakan itu adalah hasil kerja mereka...," tutur Ki Pending Layung.

Bayu mengangguk sambil memandangi tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berserakan di sekitar tempat itu. Dia melangkah menghampiri kemudian memungut satu kepala tengkorak dan mengamatinya.

"Hm, ilmu yang mereka pelajari memang dahsyat. Dan untuk itu kurasa mereka akan terus mencari korban lain guna menyempurnakan ilmunya...," gumam Bayu pelan.

"Itulah yang kukhawatirkan. Telah banyak korban akibat ulah mereka, dan ini tidak boleh dibiarkan terus. Harus ada yang berani menghentikan kebuasan mereka. Sebab, akan lebih banyak korban lain yang berjatuhan kalau kita mendiamkannya saja," ujar Ki Pending Layung menyiratkan kecemasan hatinya.

"Ya, aku sependapat denganmu, Ki Pending. Lalu di manakah kita bisa menemui kedua orang itu?"

"Itulah yang saat ini amat membingungkan. Tidak ada yang mengetahui di mana mereka berada. Banyak yang pernah bertemu dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih, tapi rata-rata tak seorang pun yang selamat. Semua binasa di tangan keduanya," sahut Ki Pending Layung.

"Hm, sulit juga. Tapi persoalan ini harus dibereskan dan mereka mesti dihentikan!"

"Biasanya kedua orang itu meninggalkan jejak dengan tengkorak-tengkorak kepala manusia seperti ini. Tapi kalau keduanya berada di sekitar tempat ini, sudah barang tentu mereka telah muncul sejak tadi. Kini mereka sama sekali tidak terlihat batang hidungnya, jadi jelas mereka telah meninggalkan tempat ini beberapa saat lamanya sebelum kita tiba...," kata Ki Pending Layung seraya mengangguk mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka.

Kemudian lelaki tua itu kembali menjelaskan kebiasaan kedua tokoh yang tengah mereka bicarakan. Mereka kembali terdiam beberapa saat lamanya sampai kemudian Bayu menghampiri orang tua itu.

"Ki Pending, kurasa aku tak bisa berlama-lama di sini. Kami akan melanjutkan perjalanan," katanya seraya menggendong Tiren yang melompat ke pundaknya.

"Ah, sebenarnya aku ingin sekali mengundangmu ke tempatku, Nak Bayu...."

"Ah, terima kasih. Aku senang sekali, tapi rasanya masih banyak yang harus kukerjakan. Mungkin lain kali aku akan mampir ke tempatmu," sahut Bayu menolak secara halus.

"Pintu rumahku selalu terbuka untukmu, Nak Bayu. Kapan saja kalau kau bersedia datang."

"Terima kasih....."

"Eh, maaf. Mengenai urusan si Iblis Tengkorak Hitam Putih apakah kau telah mendapat undangan dari Ki Sapu Jagad?"

"Undangan apakah gerangan, Ki Pending...?"

"Beliau mengundang tokoh-tokoh persilatan agar hadir pada purnama besok di tempatnya. Kalau kau belum mendapat undangan itu, maka pemberitahuan ini anggaplah sebagai undangan terhadapmu!"

"Purnama besok?" Bayu mengernyitkan dahi sesaat, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Itu berarti dua hari dari mulai sekarang?"

"Benar. Beliau bermaksud menggalang kekuatan untuk menghadapi si Iblis Tengkorak Hitam Putih. Datanglah, Nak Bayu! Sebab aku pun akan berada di sana pula."

"Terima kasih, Ki Pending. Mudah-mudahan kalau tak ada halangan aku akan ke sana. Nah, aku permisi dulu, Ki Pending!" sahut Bayu seraya merangkapkan kedua telapak tangan untuk memberi hormat pada orang tua itu.

Ki Pending Layung mengangguk pelan dan menatap beberapa saat lamanya sampai pemuda itu menghilang dari pandangan mata.

"Hm, sungguh kami tiada mengira kalau Pendekar Pulau Neraka masih sedemikian muda, Guru...," gumam Subali seraya berdecak kagum.

"Ya, dia memang muda dalam usia, namun kepandaiannya sulit diukur. Aku sendiri belum apa-apa jika dibandingkan dengannya. Sudah banyak tokoh aliran hitam yang berkepandaian tinggi, tewas di tangannya," sahut Ki Pending Layung pelan.

"Apakah jika Iblis Tengkorak Hitam Putih sempat bertarung dengannya, dia mampu mengatasinya?" tanya Somad.

Ki Pending Layung menarik napas panjang, "Mudah-mudahan saja dia mampu mengatasi kedua iblis itu," katanya seraya mengajak kedua muridnya meninggalkan lembah itu.


***


Di sebuah lembah yang gersang dan berbatu-batu tampak dua orang lelaki terikat pada tonggak kayu. Wajah mereka yang telah memucat, dibasahi keringat dingin karena ketakutan. Di depan mereka sepasang lelaki dan wanita berwajah bengis tengah menatap dengan mata menyiratkan hawa dingin membunuh.

"Kau sudah siap, Nyai...?" tanya lelaki itu.

"Hm...," wanita itu hanya bergumam sambil mengangguk pelan.

"Pusatkan pikiranmu dan yakinkan dirimu bahwa kali ini akan mampu mencapai hasil yang kita inginkan...," kata lelaki itu lagi yang ternyata Ki Sanca Ireng.

Wanita itu yang tidak lain Nyai Roro Sekar Mayang kembali mengangguk dan mendengus seraya menatap calon mangsanya tanpa berkedip.

"Iblis Tengkorak Keparat! Lebih baik bunuh saja kami daripada kau siksa begini!" jerit salah seorang dari laki-laki yang tengah terikat di tonggak. Wajahnya tampak geram dan ketegangan membayang jelas dari wajahnya.

"Iblis laknat! Ayo, cepat bunuh kami...Chuih Apa kau kira aku takut mati?!" sambung kawannya menimpali dengan mata melotot garang.

"Tikus-tikus dungu! Jangan kira kami akan mendiamkan kalian begitu saja! Dasar tolol! Kalian akan menerima apa yang kalian inginkan itu!" bentak Nyai Roro Sekar Mayang galak.

"Huh! Yeaaah...!"

Ki Sanca Ireng agaknya tidak mau banyak mulut lagi. Dia langsung membentak nyaring seraya menghantamkan satu pukulan jarak jauh pada calon korbannya.

Deb!
Prasss!
"Aaakh...!"

Selarik cahaya kehitaman menderu dahsyat ke arah salah seorang lelaki yang terikat di tonggak kayu. Terdengar jeritan tertahan. Tubuh orang itu hancur berantakan, dan sebagian kulit dan dagingnya meleleh seperti terkena larutan penghancur daging.

"Sial!" desis Ki Sanca Ireng kesal. Melihat air mukanya yang tidak menggembirakan jelas dia belum mendapatkan hasil yang memuaskan dari pukulannya tadi.

Sementara itu calon korban yang satu lagi, tampak gemetar ketakutan. Wajahnya yang pucat telah dibasahi keringat dingin. Lidahnya semakin kelu untuk berbicara. Sepasang matanya membelalak ngeri seakan tak tahan menyaksikan penderitaan kawannya. Tubuh lelaki malang itu tidak hanya hancur berserakan dengan kulit daging meleleh berwarna kehitaman. Namun perlahan potongan-potongan daging itu meleleh terus sampai habis tinggal tulang-belulang yang kehitaman.

"Sekarang giliranmu, Tikus Dungu!" desis Nyai Roro Sekar Mayang bersiap menghantam calon korbannya.

"Eh, oh...!"
"Yeaaa...!"
Deb!

Orang itu mengeluh tertahan. Namun pukulan Nyai Roro Sekar Mayang telah melesat ke sasaran. Selarik cahaya putih mengandung hawa panas menghantam tubuhnya yang terikat di tonggak.

Prasss!
"Aaakh...!"

Seperti apa yang terjadi pada kawannya, tubuh orang itu hancur berantakan menjadi potongan-potongan daging kecil. Kemudian perlahan-lahan meleleh hingga tinggal tulang-belulangnya yang berwarna pucat.

"Hm, pukulanku pun agaknya masih belum sempurna, Kakang...!" keluh Nyai Roro Sekar Mayang.

"Setan! Kita harus banyak berlatih lagi kalau begini!" geram Ki Sanca Ireng.

"Kakang, lebih baik kita keluar lagi mencari mangsa lain," kata Ki Sanca Ireng.

"Hm, ya. Mari, kita pergi sekarang juga!" ajak Ki Sanca Ireng seraya melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu diikuti Nyai Roro Sekar Mayang.

Keduanya melesat berdampingan. Melihat cara mereka berlari, nyata sekali bahwa keduanya memiliki ilmu lari cepat yang bukan main hebatnya. Laksana sapuan angin kencang, membuat ranting serta dedaunan yang mereka lalui bergoyang-goyang keras. Bahkan hewan-hewan hutan berlarian ketakutan karena tersentak kaget. Dalam waktu singkat mereka tiba di mulut sebuah perkampungan yang cukup ramai. Keduanya berjalan dengan tenang seraya memandang ke sekeliling tempat yang dilalui.

"Hm, cukup ramai juga desa ini. Kita bisa mendapat korban yang cukup banyak...," gumam Ki Sanca Ireng dengan wajah berseri.

"Hei?! Nyai Roro Sekar Mayang membentak nyaring ketika berpapasan dengan dua orang pemuda. Kedua pemuda itu kaget dan segera menoleh. Namun saat itu juga tubuh Nyai Roro Sekar Mayang telah mencelat dan menotok keduanya. Cepat sekali dia menjinjing kedua pemuda yang lemas tidak berdaya karena aliran darahnya terbelenggu.

"Hi hi hi...! Aku telah mendapat bagianku. Cepatlah kau mencari bagianmu, Kakang!" kata wanita itu seraya tertawa kegirangan.

"Hm... ini dia!" seru Ki Sanca Ireng ketika kebingungan mencari orang. Saat itu tampak dua ekor kuda berlari kencang membawa sepasang muda-mudi. Dengan cepat tubuh Ki Sanca Ireng melompat tinggi ketika kedua kuda melewatinya. Dan bagai seekor rajawali menerkam mangsa, dia menukik tajam menyambar kedua penunggang kuda.

"Kakang Braja, awaaas...!"
"Hup! Yeaaa...!"

Kedua muda-mudi itu dengan tangkas melompat dari punggung kuda dan jatuh bergulingan. Namun dengan cepat mereka langsung bangkit berdiri. Secepat itu pula keduanya mencabut senjata masing-masing berupa pedang dengan gagang terbuat dari perak dan berukir naga mengamuk. Demikian pula dengan ukiran yang ada pada wararrgkanya. Sorot mata keduanya memandang tajam ke arah Ki Sanca Ireng yang tersenyum sinis.

"Kisanak, siapa kau?! Tidak ada angin tidak ada hujan, kau menyerang kami dengan ganas?!" bentak pemuda yang dipanggil Kakang Braja.

"Hm, melihat dari pedang itu pastilah kalian dari Perguruan Pedang Naga Perak. Kabarnya murid-murid di perguruan itu memiliki kepandaian tinggi. Tidak mengherankan, sebab ketua kalian Ki Anggora amat terkenal dan dikagumi banyak orang. Hm, tapi aku ingin membuktikan sampai di mana kebenaran kabar itu...," sahut Ki Sanca Ireng tersenyum dingin dan sangat memandang enteng sekali terhadap kedua muda-mudi itu.

"Hei, orang tua jelek bermuka hitam! Kalau telah mengetahui siapa kami, kenapa kau tidak cepat lari dari sini?! Enyahlah, sebelum kami bertindak keras terhadapmu!" kali ini gadis jelita berbaju hijau dan merah itu yang membentak.

Semula Nyai Roro Sekar Mayang agak kesal melihat sikap suaminya. Namun mendengar tingkah gadis itu, hatinya marah bukan main.

"Hei, Gadis Tolol! Kau kira gurumu itu tokoh hebat tiada tara? Chuih! Dasar bocah ingusan. Lebih baik buka matamu lebar-lebar dan korek kupingmu agar kau tidak salah mendengar. Saat ini kalian tengah berhadapan dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih!" dengus Nyai Roro Sekar Mayang sambil berkacak pinggang, setelah melemparkan kedua pemuda yang dijinjingnya.

Mendengar wanita itu menyebutkan jati dirinya, wajah kedua muda-mudi tampak pucat. Mereka memandang Iblis Tengkorak Hitam Putih dengan perasaan takut Tanpa sadar keduanya saling merapat untuk menjaga dan sekaligus berwaspada. Siapa yang tidak mengenal nama itu? Di seantero rimba persilatan nama itu kini menjadi momok yang amat menakutkan.

Namun begitu si Pemuda berusaha menahan rasa takutnya dengan menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap wanita berkulit pucat dan berwajah dingin itu.

"Hm, jadi kalian yang berjuluk Iblis Tengkorak Hitam Putih! Sungguh beruntung hari ini kalian bisa bertemu dengan kami...!"

"Bocah ingusan, apa maksudmu?!" kali ini Ki Sanca Ireng yang membentak. Pemuda tampan bernama Braja itu tersentak kaget. Nyaris jantungnya berhenti berdetak dan gendang telinganya pecah mendengar bentakan keras menggelegar itu. Dia kembali menarik napas panjang, dan menenangkan hati.

"Huh, kalian memang hebat dan memiliki kepandaian amat tinggi. Tapi jangan kira bisa berbuat seenaknya. Para tokoh persilatan golongan putih kini tengah berkumpul dan siap menghancurkan kalian berdua. Datanglah ke pinggiran Hutan Alas Layang, mereka tengah menunggu kalian berdua di sana.

Sebagai seorang yang amat disegani dan ditakuti, tentu kalian tidak akan lari dari tantangan itu. Kecuali kalau kalian berdua memang pengecut!"

"Keparat! Kau kira kami takut, heh?! Kapan mereka menantang kami?!" desis Ki Sanca Ireng garang.

"Hari ini juga, tepatnya sebelum matahari tenggelam!" sahut Braja, mantap.


***


EMPAT

Kedua muda-mudi itu menarik napas lega ketika melihat Iblis Tengkorak Hitam Putih meninggalkan mereka begitu saja. Bahkan Nyai Roro Sekar Mayang sama sekali tidak mempedulikan kedua pemuda yang akan mereka jadikan korban.

"Kakang, akal apa lagi yang kau gunakan? Kita tak akan bisa selamat kalau ternyata mereka tak menemukan siapa pun di tempat itu," kata gadis itu dengan nada khawatir.

"Tidak usah takut. Bukankah tokoh-tokoh persilatan aliran lurus saat ini tengah berkumpul untuk menantangnya?"

"Tapi Kakang mendahului mereka?!"

"Hm, itu bukan masalah. Yang penting kita harus buru-buru menuju tempat kediaman Ki Sapu Jagad untuk melaporkan hal ini."

"Sebentar lagi sore, kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih akan tiba di sana. Kita harus bergegas, Kakang!" ujar gadis itu seraya mencari-cari kuda tunggangannya yang tadi sempat kabur. Masih untung kedua hewan itu tidak berada jauh dari mereka, sehingga dengan mudah dapat ditemui dan langsung memacu kencang meninggalkan tempat itu.

Tempat kediaman Ki Sapu Jagad memang tidak begitu jauh dari desa yang tadi mereka lalui. Dan kebetulan pula saat ini mereka sesungguhnya tengah melakukan perjalanan menuju ke tempatnya. Tidak lebih dari sepeminum teh kudanya sampai ke tempat tujuan.

Sebuah rumah yang besar berpagar kayu jati yang berjajar rapi. Di halaman depan banyak kuda tertambat. Pintu gerbangnya tertutup dan di dalam dijaga dua orang laki-laki bersenjata lengkap. Kedua muda-mudi itu langsung turun dari punggung kudanya.

"Selamat sore! Kami murid Ki Anggora, ingin menemui beliau!" kata pemuda itu.

Pintu gerbang segera terbuka. Kedua penjaga gerbang mempersilakan keduanya masuk. Apa yang diduga mereka memang tidak salah. Di ruang tengah bangunan utama tampak tokoh-tokoh persilatan tengah berkumpul. Tidak kurang dari dua puluh orang hadir dalam pertemuan itu. Seorang laki-laki tua berusia sekitar lima puluh tahun menyambut mereka. Orang tua bertubuh gagah dan berambut yang sebagian telah memutih itu berbicara sejenak kepada muda-mudi yang baru datang. Setelah itu tampak dia memandang kepada para tokoh persilatan yang berada di ruangan itu.

"Saudara-saudara semua, aku baru saja menerima berita menggembirakan dari dua orang muridku. Mereka baru saja bertemu dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih...!"

"Hm, lalu bagaimana...?" tanya seorang lelaki tua berambut putih panjang dan digelung ke atas sebagian.

"Kedua muridku telah menjebaknya dengan mengatakan bahwa kita menunggu Iblis Tengkorak Hitam Putih di pinggiran Hutan Alas Layang, Ki Sapu Jagad."

"Hm, Hutan Alas Layang tidak begitu jauh dari sini...," gumam Ki Sapu Jagad.

"Kita harus berangkat sekarang, Ki. Sebab kedua muridku mengatakan bahwa perjanjian itu sebentar lagi saat matahari akan tenggelam," sahut orang tua yang tidak lain Ki Anggora.

"Baiklah. Kalau demikian sekarang juga kita berangkat ke sana!" seru Ki Saput Jagad yang langsung disusul pembubaran pertemuan itu. Diajaknya para pendekar untuk bergegas menuju Hutan Alas Layang.

Apa yang dikatakan kedua murid Ki Anggora ternyata benar. Ketika rombongan Ki Sapu Jagad sampai tujuan, terlihat Iblis Tengkorak Hitam Putih tengah berdiri menanti mereka. Banyak di antara para tokoh persilatan yang baru kali ini melihat kedua tokoh itu. Paling tidak sebagian dari mereka tampak kecut melihat keangkeran keduanya. Hal itu tidak mengherankan sebab sorot mata Iblis Tengkorak Hitam Putih sangat tajam, seolah-olah mengandung daya sihir yang mampu merontokkan tulang-belulang mereka.

Di samping itu keadaan keduanya memiliki perbedaan menyolok. Ki Sanca Ireng berkulit hitam pekat dan bertubuh tinggi besar. Sementara istrinya bertubuh kurus dan berkulit pucat bagai mayat. Matanya yang cekung seolah menyimpan kekuatan aneh. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai begitu saja.

"Hm, hanya inikah orang-orang yang bermaksud menantang Iblis Tengkorak Hitam Putih...?" dengus Ki Sanca Ireng dengan nada sinis.

Ki Sapu Jagad maju beberapa langkah mendekati Iblis Tengkorak Hitam Putih diikuti beberapa tokoh persilatan lainnya. Mereka berhenti saat jarak telah terpaut lima belas langkah.

"Iblis Tengkorak Hitam Putih, hari ini akan berakhir segala macam sepak terjangmu. Namun belum terlambat kalau kalian ingin menyerah dan menerima hukuman tanpa mengadakan perlawanan!" teriak Ki Sapu Jagad dengan suara lantang.

"Ha ha ha...! Orang Tua Busuk, seenaknya saja kau berkata begitu pada kami?! Huh, sungguh menganggap rendah!" dengus Ki Sanca Ireng.

"Kakang, aku muak sekali melihat tingkah mereka. Tanganku pun sudah gatal ingin menghajar mulut-mulut sok jago itu!" desis Nyai Roro Sekar Mayang.

"Hm, kalau kalian memang tidak bisa diajak bicara baik-baik, jangan salahkan kalau kami bertindak kasar!" seru Ki Sapu Jagad seraya memberi isyarat pada rombongan pendekar agar mengepung Iblis Tengkorak Hitam Putih.

"Bagus! Lebih cepat dan dekat kalian ke sini, maka akan lebih mudah bagi kami untuk mengirim kalian ke akherat!" kata Ki Sanca Ireng sambil tertawa kecil.

Baik Ki Sanca Ireng maupun istrinya, sama sekali tak memperlihatkan bahwa mereka takut, padahal jumlah lawan lebih dari lima belas orang. Bahkan sebaliknya terlihat jelas kalau Iblis Tengkorak Hitam Putih menganggap remeh.

"Yeaaa...!"

Keduanya membentak keras dan melompat menerkam lawan-lawannya yang mulai mendekat. Ki Sapu Jagad dan para pendekar yang bersamanya tersentak kaget Gerakan yang dilakukan suami istri itu cepat bukan main. Ki Sanca Ireng menerjang Ki Sapu Jagad, sementara Nyai Roro Sekar Mayang menghadapi Ki Anggora. Namun melihat perlawanan Iblis Tengkorak Hitam Putih, para pendekar yang lain segera ikut melancarkan serangan terhadap suami istri itu.

"Yeaaa...!" "Hiyaaa...!"
Sring! Sring!

Suara teriakan yang diiringi berkelebatnya berbagai macam senjata menyambar Iblis Tengkorak Hitam Putih. Namun dengan gesit keduanya berkelebat ke sana kemari sambil tertawa mengejek.

"Ha ha ha...! Apakah hanya segini jumlah kalian? Sepuluh kali lipat lagi belum tentu mampu menjatuhkan Iblis Tengkorak Hitam Putih!" ejek Ki Sanca Ireng.

"Iblis terkutuk! Ajalmu telah dekat, kau masih sempat menganggap rendah kami. Huh, lebih cepat kau mampus, akan lebih baik!" geram salah seorang sambil melepaskan pisau-pisau kecil ke arah Ki Sanca Ireng.

Srats! Srats!
Wuuut!

Dengan gesit lelaki tegap berkulit hitam itu mengelak dan terus menerjang ke arah lawan. Namun salah seorang dari para pendekar menghadang dengan sebatang toya yang terbuat dari baja hitam dan menghantam perutnya dengan sekuat tenaga.

Bet!
Plak!
"Aaa...!"

Ki Sanca Ireng berkelit ke samping. Tubuhnya berputar dengan cepat sambil tangan kanannya menghantam ke dada lawan. Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah sambil muntah darah kental kehitaman.

"Hei?!"

Ki Saput Jagad serta para pendekar lainnya tersentak kaget. Mereka melihat kawannya menggelepar-gelepar sambil melolong panjang ketika tubuhnya perlahan-lahan meleleh. Kemudian ketika teriakannya habis, kulit tubuhnya terus terkelupas dan seperti menguap ke udara meninggalkan tulang-belulangnya yang kehitaman.'

"Aaa...!"

Dalam keadaan demikian mereka" lengah, sehingga kembali terdengar pekikan panjang. Tiga orang terjungkal bermandikan darah dan menggelepar-gelepar seperti orang pertama tadi. Yang seorang tulang-belulangnya menghitam, dan dua lainnya putih seperti kapur tak bernoda.

"Keparat! Kalian orang-orang biadab...!" desis Ki Sapu Jagad semakin geram.

"Hm, kenapa musti marah-marah? Bukankah kalian yang mengundang kami ke sini? Terimalah akibatnya dan tidak perlu mencak-mencak!" sahut Ki Sanca Ireng mengejek.

"Hiyaaa...!"

Ki Anggora lebih dulu mencelat menyambar Ki Sanca Ireng dengan pedang peraknya. Ilmu pedang yang digunakannya sungguh dahsyat dan mengandung tenaga dalam yang hebat bukan main. Angin serangannya mampu membuat baju lawan berkibar-kibar. Selain itu jurus-jurus yang digunakannya sangat berbahaya. Namun sejauh itu Ki Sanca Ireng masih dengan mudah mengelak dari setiap sambaran pedang lawan. Bahkan ketika Ki Sapu Jagad serta empat orang lainnya ikut mengeroyok.

Wuuut!
"Hiiih!"
"Uts...!"

Ujung pedang Ki Anggora menyambar ke arah leher, dan pada saat yang bersamaan Ki Sapu Jagad melepaskan pukulan jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat. Tubuh Ki Sanca Ireng melejit ke atas, kemudian menukik tajam menghindari selarik sinar kuning yang melesat memburu dirinya. Dan tiba-tiba saja ujung kakinya menghantam Ki Anggora. Orang tua itu terkejut dan melompat ke belakang. Kaki Ki Sanca Ireng berputar dan bersamaan dengan tubuhnya terangkat tinggi, kembali menyambar batok kepala Ki Sapu Jagad. Kepalanya ditundukkan menghindari dua tebasan senjata golok dua orang lawan lain. Ki Sapu Jagad berkelit ke samping.

"Hiyaaa...!"
Bres!
"Aaa...!"

Pada saat itu juga telapak tangan kirinya melesat menghantam dua orang lawan yang hendak menerkamnya dengan senjata terhunus. Seketika terdengar jeritan dua orang kawan Ki Sapu Jagad. Tubuh mereka terjungkal beberapa langkah ke belakang sambil menyemburkan darah kental. Seperti yang terjadi pada kawan-kawannya, kulit daging mereka meleleh hingga hanya tinggal tulang-belulangnya yang berwarna kehitaman seperti habis terbakar.

"ilmu iblis! Kau telah banyak membunuh kawan-kawanku, Keparat! Untuk itu kau patut mati!" desis Ki Sapu Jagad dengan wajah merah padam menahan geram.

Belum lagi orang tua itu menyerang Ki Sanca Ireng, kembali terdengar jeritan tertahan. Serentak mereka menoleh ke arah dua orang lagi di pihak mereka, tewas disambar pukulan maut yang dilepaskan Nyai Roro Sekar Mayang.

"Hi hi hi...! Dasar tikus-tikus busuk tidak berguna! Kalian kira bisa berbuat apa terhadap kami...?!" ejek Nyai Roro Sekar Mayang mengeluarkan suara tawa nyaring.

"Hei, Tua Bangka Busuk... lebih baik kau perintahkan mereka menyerah dan ikut menjadi tawanan kami. Siapa tahu dengan begitu kami bisa mengampuni jiwa kalian!" teriak Ki Sanca Ireng sambil terkekeh kecil.

"Bedebah! Aku akan mengadu jiwa dengan kalian berdua!" desis Ki Sapu Jagad. Ki Anggora dan sisa para pendekar yang masih hidup kembali mengurung keduanya. Kali ini tampaknya mereka tidak mau gegabah, dan menunggu kesempatan yang baik untuk melancarkan serangan.

"Guru, aku akan ikut membereskan iblis terkutuk ini!" teriak Braja dari kejauhan dan sudah langsung melompat ikut dalam barisan yang sedang mengepung kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih.

"Aku juga tidak bisa berpangku tangan! Aku akan ikut dengan kalian!" teriak seorang gadis yang tadi bersama-sama dengan pemuda itu.

"Braja, dan kau Ayu Sulastri! Apa-apaan kalian?! Ayo, kembali! Bukankah sudah kukatakan jangan ikut ke sini?! Amat berbahaya bagi kalian berada di sini!" teriak Ki Anggora.

"Tidak! Aku tidak bisa berpangku tangan melihat kalian berjuang mati-matian menumpas kedua iblis ini!" sentak Braja berkeras.

"Begitu juga aku! Tidak akan kubiarkan Guru menghadapi Iblis Tengkorak Hitam Putih tanpa aku ikut membantu! Meski kepandaianku tidak seberapa, tapi aku tidak takut melawannya!" tambah gadis bernama Ayu Sulastri tidak kalah garangnya.

"Dasar anak-anak tolol! Kalian hanya akan mengantar nyawa secara percuma!" dengus Ki Anggora kesal.


***


"Hi hi hi...! Bocah-bocah manis, rupanya kalian tertarik dengan kami. Barangkali sudah ditakdirkan kalau kita berjodoh. Kalian akan menjadi korban kami yang amat berharga...!" kata Nyai Roro Sekar Mayang sambil tertawa mengikik.

"Iblis Betina, tertawalah sepuas hati sebelum menemui ajalmu!" dengus Ayu Sulastri garang.

"Hi hi hi...! Gadis manis, sayang sekali! Padahal aku suka padamu. Tapi mulutmu terlalu gegabah dan memandang rendah padaku. Oleh sebab itu kau akan mendapat giliran pertama untuk menjadi korbanku!" sahut Nyai Roro Sekar Mayang.

Tubuhnya melesat ke arah Ayu Sulastri. Gadis itu terkejut dan cepat menjatuhkan diri. Pada saat yang bersamaan pula tubuh Ki Anggora mencelat untuk melindungi muridnya.

Bet! Bet!

Ujung pedangnya menyambar-nyambar tubuh Nyai Roro Sekar Mayang. Namun dengan gesit tubuh wanita berambut panjang itu meliuk-liuk berputar, dan terus mencelat ke atas. Sengaja dia tidak balas menyerang orang tua itu. Karena perhatiannya ditujukan pada Ayu Sulastri. Melihat itu beberapa orang pendekar segera mengepung Nyai Roro Sekar Mayang.

Ki Sanca Ireng bergerak hendak menolong sang Istri, namun Ki Sapu Jagad dan sisa para pendekar telah pengepungnya. Laki-laki berkulit hitam itu mendengus garang. Sepasang matanya menatap tajam mereka. Tubuhnya berkelebat cepat, lalu telapak tangan kanannya menghantam ke depan. Selarik cahaya kehitaman melesat cepat menghantam dua orang yang terdekat padanya.

"Hiyaaa...!"
Pras!
"Aaakh...!"

Salah seorang dari mereka memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal dengan kulit daging meleleh. Seperti yang terjadi sebelumnya, tulang-belulang orang itu menghitam bagai arang. Sementara yang seorang lagi beruntung karena masih sempat mengelak hingga luput dari serangan lawan. Sesaat kemudian, salah seorang kembali tewas, di tangan Nyai Roro Sekar Mayang. Tentu saja hal itu membuat mereka semakin geram, namun tidak mampu berbuat apa-apa. Apalagi kini kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih terus mempergencar serangan. Kelihatannya mereka tidak ingin lagi bermain-main dan terus mendesak lawan-lawannya.

"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Uhhh...!"

Nyaris Ayu Lestari terkena pukulan Nyai Roro Sekar Mayang yang kalau saja Ki Anggora tidak menghalangi sambil menghantam dengan satu pukulan jarak jauh. Wanita itu berkelit cepat. Tubuhnya berjumpalitan di udara, kemudian kembali menerkam tubuh Ayu Sulastri dengan satu bentakan nyaring. Gadis itu terkejut dan cepat bergulingan untuk menghindarkan diri.

"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"

Dua orang pendekar bergerak menerjang Nyai Roro Sekar Mayang. Namun....

"Hih..'.!" Prasss...!

Nyai Roro Sekar Mayang mendengus geram dan mengibaskan tangan. Selarik cahaya keputih-putihan menerpa kedua lawannya. Kedua orang itu memekik kesakitan ketika tubuh mereka terjungkal beberapa langkah. Kulit dagingnya meleleh dengan cepat. Ki Anggora dan yang lainnya semakin geram menyaksikan kejadian itu. Kemudian lelaki itu segera mengerahkan pukulan mautnya.

"Iblis betina, mampuslah kau! Yeaaa...!"

Wuuuk!
"Aits...!"

Cepat sekali Nyai Roro Sekar Mayang menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah, lalu melejit ke atas. Telapak tangan kirinya menghantam ke arah Ki Anggora. Meski terkejut, orang tua itu sempat melompat ke samping. Namun tidak urung angin serangan lawan sempat menyerempet bahunya, memaksa Ki Anggora melompat ke belakang. Melihat keadaan lawan, Nyai Roro Sekar Mayang mencelat ke arahnya dengan tendangan keras dan cepat. Buk!

"Aaakh...!"

Ki Anggora memekik keras ketika tendangan lawan mendarat telak di atas perutnya. Tubuhnya terjengkang dengan mulut menyemburkan darah segar. Nyai Roro Sekar Mayang yang tidak langsung melanjutkan serangan, melainkan mengalihkan perhatian ke arah Ayu Sulastri dan terus menyerangnya. Gadis itu terkesiap. Kali ini tak ada harapan lagi baginya untuk menyelamatkan diri'. Dia harus berjuang mati-matian untuk menghindari serangan lawan.

"Yeaaa...!"
"Uhhh...!"

Gadis itu bergulingan ketika kepalan tangan Nyai Roro Sekar Mayang menghantam ke arah batok kepalanya. Ayu Sulastri bergulingan menghindari seraya mengayunkan pedangnya.

Plak!
Trap!
"Aouw...!"

Dengan cepat Nyai Roro Sekar Mayang berkelit dan tahu-tahu pergelangan tangan gadis yang menggenggam senjata kena dicekalnya. Cepat sekali pedang itu berpindah tangan, dan tahu-tahu tubuh Ayu Sulastri terangkat ke atas dalam keadaan tertotok. Rambutnya yang panjang dijambak. Gadis itu menjerit kesakitan bercampur rasa takut.

"Hi hi hi...! Apa kataku? Kau tak akan bisa lari dariku, Bocah Cerewet!"

Ki Anggora terkejut. Demikian pula dengan Braja dan yang lainnya. Ternyata wanita itu membuat Ayu Sulastri sebagai sanderanya untuk menggertak mereka.

"Iblis betina, lepaskan muridku! Dia bukan tandinganmu. Hadapilah aku kalau benar-benar kau bukan pengecut!" teriak Ki Anggora geram.

"Hi hi hi...! Orang tua busuk, kenapa kau mencak-mencak sendiri? Apa dikira kau adalah tandinganku? Chuih! Kalian semua sebangsa cacing busuk yang hanya punya kepandaian seujung kuku!"

"Iblis Tengkorak Hitam Putih, lepaskan gadis itu dan hadapilah aku!"

"Hei?!"


***


EMPAT

Nyai Roro Sekar Mayang serta yang lainnya tersentak kaget ketika mendengar bentakan keras di seputar tempat itu. Mereka segera berpaling dan melihat seorang pemuda tampan mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau. Pemuda berambut panjang itu berdiri tegak sekitar lima belas langkah dari tempat pertarungan. Sorot matanya tajam bagai elang, dan di pundaknya bertengger seekor monyet kecil berbulu hitam. Perlahan-lahan pemuda itu mendekati mereka.

"Bocah ingusan, siapa kau?! Lancang sekali kau berani mencampuri urusan Iblis Tengkorak Hitam Putih?!" bentak Ki Sanca Ireng garang.

Belum lagi pemuda itu menjawab, salah seorang dari para pendekar yang masih tersisa berseru girang. "Bayu..., ah, akhirnya kau datang juga ke sini!"

"Ki Pending, apakah kau mengenal pemuda itu?" tanya Ki Sapu Jagad heran.
"Apakah Ki Sapu Jagad tak mengenalnya...?" Ki Sapu Jagad menggeleng lemah.
"Dialah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu...."
"Oh, jadi diakah orangnya?!" sahut Ki Sapu Jagad dengan mata terbelalak seakan tak percaya.

Nama Pendekar Pulau Neraka belakangan ini memang menggemparkan dunia persilatan karena sepak terjangnya. Namun sama sekali tidak disangkanya bahwa Pendekar Pulau Neraka masih berusia demikian muda. Dalam sangkaannya, tokoh yang banyak melenyapkan tokoh-tokoh persilatan golongan hitam berilmu tinggi, pastilah sudah berusia lanjut.

Dan percakapan kedua orang tua itu agaknya sempat pula didengar Iblis Tengkorak Hitam Putih. Nyai Roro Sekar Mayang menurunkan Ayu Sulastri perlahan-lahan seraya melangkah mendekati. Pendekar muda itu tersenyum ramah sesaat pada Ki Pending Layung, juga pada yang lainnya. Lalu berhadapan dengan kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih.

"Hm, jadi inikah orangnya yang punya nama Pendekar Pulau Neraka? Hm, sudah lama sekali aku ingin berkenalan dan mencicipi sejurus dua jurus kepandaiannya yang kesohor setinggi langit!" kata Ki Sanca Ireng dengan nada sinis.

"Kisanak, kelakuan kalian sudah kelewat batas. Meskipun kepandaianku tak seberapa, aku tidak akan mendiamkan saja," sahut Bayu tenang dengan sikap merendah tanpa mempedulikan kata-kata Ki Sanca Ireng.

"Hua ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, apakah dengan mengandalkan nama besarmu kau hendak menakut-nakuti kami? Seumur hidup Iblis Tengkorak Hitam Putih tak akan pernah gentar berhadapan dengan bocah ingusan sepertimu!"

"Bagus! Kalau demikian kau boleh mati dengan kesombonganmu itu!" dengus Bayu dingin.

"Bocah sombong, kuremukan batok kepalamu!" Ki Sanca Ireng menggeram sambil melompat menerkam lawan. Bersamaan dengan itu Nyai Roro Sekar Mayang ikut pula menyerang Pendekar Pulau Neraka sambil membentak nyaring.

"Bocah ingusan, kau akan merasakan kematian yang amat menyakitkan!"

"Wanita iblis, jangan banyak bicara! Lebih baik kau jaga kepalamu dari seranganku!" ujar Bayu seraya melompat menghindar dari terkaman kedua lawan.

"Haits!"
"Yeaaa...!"

Tubuhnya meliuk-liuk dengan lincah. Sementara kedua lawan dengan kompak membuat serangan cepat, susul-menyusul laksana ombak samudera. Ki Sapu Jagad dan tokoh-tokoh yang lain menyingkir jauh dari arena pertarungan. Akibat yang ditimbulkan pertarungan itu sangat dahsyat. Debu beterbangan ke udara bersama angin pukulan yang mereka lancarkan. Sesekali terlihat cahaya hitam putih berselang-seling menyambar tubuh Pendekar Pulau Neraka.

"Hi hi hi...! Bocah dungu, ayo perlihatkan kehebatanmu yang sering dibicarakan orang. Sebentar lagi kematianmu tiba dan tengkorak kepalamu akan menjadi mainan kami! Hi hi hi...!" teriak Nyai Roro Sekar Mayang mengejek.

"Iblis wanita, kau kira bisa seenaknya berbuat begitu.... Sebaiknya kepalamu akan menjadi mainan anjing-anjing kampung yang kudisan!" sahut Bayu balas mengejek.

"Bangsat! Yeaaa...!"
"Uts! Heaaa...!"

Dengan geram Nyai Roro Sekar Mayang menghantamkan pukulan jarak jauhnya yang dahsyat. Seketika itu juga cahaya putih menerpa Pendekar Pulau Neraka. Bayu berkelit ke samping dan terus melompat ke atas sambil mengibaskan tangan kanan ketika Ki Sanca Ireng melepaskan pukulan mautnya pula.

"Yeaaa...!"
Siiing!
"Hei?!"

Kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih kaget ketika melihat selarik cahaya putih keperakan melesat bagaikan kilat ke arah mereka. Keduanya melompat menghindar. Bersamaan dengan itu Bayu melesat menerjang ke arah Nyai Roro Sekar Mayang. Plak!

"Uhhh...!" "Yeaaa...!"

Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan cepat menangkis. Meski telah mengerahkan ilmu 'Tengkorak Putih' yang dimilikinya, tapi tampak wajah wanita itu berkerut menahan rasa sakit ketika menangkis sambaran tangan lawan. Pendekar Pulau Neraka dengan cepat langsung menghantamkan ujung kaki ke perutnya. Wanita itu menjerit kesakitan, tubuhnya terjungkal beberapa langkah seraya memuntahkan darah segar. Namun pada saat yang bersamaan tubuh Ki Sanca Ireng melesat cepat seraya menghantamkan pukulan mautnya. Pendekar Pulau Neraka terkejut Keadaannya betul-betul tidak menguntungkan ketika hendak menangkap Cakra Maut

Bresss!
"Uhhh...!"
Siiing!
"Akh...!"


***


Pendekar Pulau Neraka memekik tertahan. Pangkal lengan kirinya terkena pukulan lawan. Tubuhnya berjumpalitan sambil mengerahkan tenaga dalam untuk melawan hawa panas yang seperti menusuk-nusuk kulit dagingnya. Namun, bersamaan dengan itu pula Cakra Mautnya berhasil menyambar pangkal leher Ki Sanca Ireng. Lelaki berkulit hitam itu menjerit kesakitan. Kepalanya menggelinding ke tanah dan tubuhnya berdiri sesaat dengan langkah limbung. Kemudian ambruk tidak berdaya.

"Nak Bayu, apakah kau baik-baik saja...?!" tanya Ki Pending Layung seraya melompat menghampiri pemuda itu dengan wajah cemas.

Bayu mengerutkan wajah menahan rasa sakit sambil duduk bersila dan tidak mempedulikan orang-orang yang mengelilinginya. Ki Pending Layung menyadari apa yang dilakukan pemuda itu. Dia langsung membantu menyalurkan hawa murninya dengan menempelkan telapak tangan ke punggung Pendekar Pulau Neraka.

Sementara orang tua itu membantunya, para pendekar lain dipimpin Ki Sapu Jagad mengejar Nyai Roro Sekar Mayang yang melarikan diri begitu melihat suaminya tewas. Keadaan Pendekar Pulau Neraka ternyata cukup parah. Namun begitu, masih dapat diatasi. Pangkal lengan kirinya yang menghitam dihantam pukulan Ki Sanca Ireng, perlahan-lahan mulai menampakkan kemerahan dan terus semakin mengecil.

Butir-butir keringat sebesar jagung membasahi sekujur tubuh pemuda itu. Demikian pula halnya dengan Ki Pending Layung. Setelah sepenanak nasi lamanya keadaan pemuda itu mulai sedikit pulih. Darah kental kehitaman termuntah dari mulutnya. Wajahnya tampak pucat dan napasnya turun naik tak beraturan. Namun demikian terlihat jalan darahnya mulai teratur kembali.

Ki Pending Layung menghentikan penyaluran tenaga dalamnya dan menarik napas panjang. Nyata sekali terlihat wajah orang tua itu amat letih. Dia duduk bersila dan bersandar di bawah sebatang pohon yang cukup besar sambil mengatur pernapasannya. Sementara Bayu sendiri masih tetap duduk bersila di tempatnya semula.

Tidak berapa lama terlihat rombongan yang dipimpin Ki Sapu Jagad telah kembali. Dari wajah mereKa yang kesal bercampur geram, jelas menyiratkan bahwa mereka gagal mengejar wanita itu. Ki Sapu Jagad melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka, diikuti beberapa pengikutnya.

"Bagaimana keadaanmu...?" tanya Ki Sapu Jagad tetap memandangi Bayu.

"Jangan khawatir! Aku sudah merasa lebih baik berkat pertolongan Ki Pending Layung...."

"Maafkan, kami tak segera membantumu. Aku sendiri tak mampu menahan amarah dan dendam setelah mereka menewaskan beberapa orang dari para pendekar. Melihatnya kabur, aku langsung memburu. Maksudku tidak ingin memberi kesempatan padanya untuk hidup lagi...."

"Hm, apakah kalian berhasil menangkapnya...?" tanya Bayu berbasa-basi.

"Sayang, kami kehilangan jejak. Ilmu lari cepatnya memang sangat mengagumkan...."

"Kurasa dia telah terluka parah dan tak bisa pergi jauh. Wanita itu pasti telah mengecoh kalian dan bersembunyi di suatu tempat," kata Bayu.

"He, bisa jadi begitu! Kenapa tidak terpikirkan oleh kita!" teriak salah seorang dari mereka dengan wajah bersemangat.

Orang itu langsung mengajak Ki Sapu Jagad dan yang lainnya untuk kembali mengadakan pencarian. Bayu tersenyum menggeleng ketika dia diminta untuk ikut serta.

"Terima kasih, aku di sini saja menunggu kalian...."

"Apakah kau tak ingin membalas apa yang dilakukan suaminya padamu?!" tanya orang itu sedikit heran.

"Bukan begitu, Ki. Wanita itu kini telah pergi jauh setelah kalian kembali ke sini. Mana mungkin dia melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Dia tentu akan melarikan diri sejauh-jauhnya begitu lepas dari jangkauan kalian. Dan bila kita mengejarnya sekarang ke tempat itu, akan sia-sia saja. Namun bila kalian ingin tetap mengejarnya juga, silakan saja...!" sahut Bayu tenang.

Orang itu tampaknya kurang menerima apa yang dikatakan Bayu. Namun Ki Sapu Jagad mengangguk dan membenarkan setelah berpikir sesaat lamanya.

"Benar. Apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka memang benar. Wanita itu kini pasti telah kabur, dan akan sia-sia saja pencarian kita...."

"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki Sapu Jagad...?" tanya orang yang mengajak tadi dengan sikap tidak sabaran.

Ki Sapu Jagad memandangnya sejurus, kemudian menepuk pundaknya sambil memperlihatkan senyum kecil.

"Ki Lodaya, aku menyadari dendam di hatimu atas kematian saudaramu Ki Santung di tangan wanita itu. Namun harap kau sadari, bahwa kita telah berbuat sekuat kemampuan kita. Dan mengenai langkah selanjutnya, yang harus kita lakukan adalah mencari wanita itu sampai ketemu, lalu membuat perhitungan dengannya. Tapi bukan sekarang. Hari telah gelap. Akan kita bicarakan dan cari jalan keluar yang sebaik-baiknya guna mengejar wanita itu...," katanya ramah.

Laki-laki yang dipanggil Lodaya itu mengangguk. Meski kelihatannya dia bisa menerima apa yang dikatakan Ki Sapu Jagad, namun jelas wajahnya masih menyiratkan perasaan tak puas. Dendam yang berkecamuk dalam dada membuatnya serasa ingin mencincang wanita itu saat ini juga.

"Bayu, kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas pertolongan yang kau berikan. Entah bagaimana keadaan kami jika kau tidak muncul tadi...," kata Ki Sapu Jagad seraya memandang Pendekar Pulau Neraka.

"Ki Sapu Jagad, kenapa berkata demikian? Hal ini sudah menjadi kewajiban kita bersama. Kisanak tak perlu berterima kasih, sebab orang-orang seperti mereka sudah sepatutnya memperoleh ganjaran setimpal atas perbuatan yang mereka lakukan...."

"Aku pun mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga padamu. Kalau saja sedikit lambat kau bertindak, niscaya jiwa muridku mungkin tidak akan tertolong," sela Ki Anggora seraya mengapit kedua muridnya.

"Ayo, Ayu! Ucapkan terima kasih dan berilah salam hormat pada dewa penolongmu!"

Gadis berwajah manis itu tertunduk lalu ketika memberi salam hormat kepada si Pendekar Pulau Neraka. "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...," katanya lirih.

"Ni Ayu, tidak perlu berkata begitu. Aku hanya kebetulan saja tiba pada saat yang tepat. Jika sekiranya tidak, mungkin yang lain akan menolongmu...," sahut Bayu dengan perasaan jengah.


***


Pendekar Pulau Neraka memang kurang menyukai segala peradatan seperti itu karena hanya akan membuat dirinya rikuh dan serba salah. Untuk mengalihkan perhatian dia segera melangkah mendekati Ki Pending Layung.

"Ki Pending Layung, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak kau tolong aku pasti terluka parah...!"

Ki Pending Layung tertawa seraya menepuk pundak Bayu. "Bayu, kau terlalu merendahkan diri. Mana mungkin orang sepertiku bisa berbuat begitu padamu? Tanpa kubantu pun kau akan mampu mengatasi dirimu!"

"Hm, memang sangat pantas. Pendekar besar sepertimu biasanya selalu merendahkan diri...," lanjut Ki Anggora.

"Kalau memang kau tidak ada urusan penting, sudikah kau mampir di gubukku? Aku bermaksud menjamu barang secangkir teh dan singkong rebus...?"

"Sebenarnya masih ada yang harus kukerjakan...," Bayu bermaksud menolak secara halus undangan orang tua itu. Namun Ki Anggora serta yang lainnya sudah lebih dulu memotong pembicaraannya.

"Sudah barang tentu dia akan ikut dengan kita ke pondokmu, Ki Sapu Jagad! Bukankah begitu, Nak Bayu...?" Pendekar muda itu merasa rikuh sendiri. Apalagi ketika yang lainnya terus mendesak. Sehingga mau tidak mau dia mengangguk menyetujuinya. Selain itu hari telah sore dan perutnya sudah minta diisi. Tubuhnya pun terasa letih sekali. Di tempat Ki Sapu Jagad dirinya bisa sekalian beristirahat!

Ki Sapu Jagad gembira sekali begitu mengetahui pemuda itu bersedia memenuhi undangannya. Pemuda itu disambut bagaikan raja di padepokannya beserta dengan yang lainnya. Pendekar Pulau Neraka merasakan hal itu sebagai suatu yang berlebihan. Namun dia tidak kuasa untuk menghindar atau mencegahnya. Lagi pula ada hal yang semakin membuatnya merasa jengah.

Ki Sapu Jagad mempunyai seorang putri berwajah rupawan, berusia sekitar tujuh belas tahun. Selama perjamuan berlangsung gadis itu terus berada tak jauh darinya. Hatinya menduga bahwa hal itu seperti disengaja ketika dia melihat Ki Sapu Jagad memberi isyarat pada putrinya agar melayani Bayu dengan sebaik-baiknya. Bahkan ketika orang tua itu menawarkannya untuk menginap, gadis itu terlebih dahulu membereskan ruangan tempat tidur, shingga bersih dan rapi.

"Silakan, Kakang Bayu! Maaf, hanya kamar seperti ini yang bisa kami sediakan bagimu...!"

"Hm, ini sudah lebih dari cukup, Ni Dewi Anggi...," sambut Bayu.

Gadis itu menundukkan wajah seakan-akan merasa malu. Pendekar Pulau Neraka sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Untuk sesaat mereka terdiam sampai Dewi Anggi kembali meneruskan kata-katanya.

"Eh, maaf, Kakang Bayu. Aku lupa menyampaikan pesan Ayah...."
"Pesan apakah gerangan...?"

"Kau tentu membutuhkan istirahat yang agak lama untuk mengembalikan tenaga yang banyak terkuras sehabis pertarungan dengan kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih itu. Kalau kau suka, ayahku mengatakan boleh tinggal beberapa hari di pondok kami ini...," kata gadis itu tanpa berani menatap wajah si Pemuda.

"Terima kasih, Ni Dewi. Ayahmu baik sekali. Tapi aku tidak bisa berlama-lama. Keadaanku sudah pulih, dan kalau tidak ada aral melintang, pagi-pagi sekali aku harus meninggalkan tempat ini...."

"Eh, secepat itukah...?"

Tanpa sadar Dewi Anggi berkata demikian. Jelas tersirat dari kata-katanya bahwa dia bermaksud menahan pemuda itu. Ucapan itu tentu bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari dalam hati. Terbukti gadis itu menunduk malu seakan merasa malu dan jengah. Kalau saja saat itu siang hari, tentu Bayu bisa melihat wajahnya yang merona merah. Pemuda itu tersenyum tipis seraya memangku Tiren yang melompat ke dadanya. Monyet kecil itu menyeringai lebar ke arah si Gadis.

"Masih banyak yang harus kukerjakan, Ni Dewi Anggi. Aku senang sekali bisa mendapatkan keramah-tamahan di sini. Terutama terhadap dirimu.... Kau baik sekali, seperti ayahmu. Sulit membalas budi kalian...," sengaja Bayu berkata demikian untuk menghibur hati Dewi Anggi.

"Hm... jadi... jadi besok pagi-pagi sekali Kakang Bayu akan berangkat meninggalkan tempat ini? Kalau tidak keberatan, bolehkah aku tahu tujuanmu...?" tanya Dewi Anggi berusaha meyakinkan pendengarannya. Atau juga sekadar mengalihkan hatinya yang agak kecewa.

"Betul, Ni Dewi...," sahut Bayu dengan perasaan berat. Gadis itu terdiam. Pendekar Pulau Neraka tak menjawab pertanyaannya yang terakhir. Gadis itu pun agaknya enggan untuk terus mendesak. Putri Ki Sapu Jagad itu terdiam beberapa saat. Ketika Tiren menjerit-jerit kecil, dia seperti tersentak kaget dan buru-buru mengucapkan selamat malam, terus beranjak pergi dari kamar Bayu.

Bayu menghela napas pendek dan menatap si Gadis sampai hilang di balik kamarnya sendiri. Ruangan yang diperuntukkan bagi para tamu, memang tidak begitu jauh dari kamar-kamar penghuni pondok ini. Kamar Pendekar Pulau Neraka berada di tengah. Sedang kamar Dewi Anggi berada di pojok, bersebelahan dengan kamar Ki Sapu Jagad yang dikelilingi pagar kayu jari setinggi satu tombak. Bayu tersenyum kecil seraya menggeleng lemah. Sebelum menutup pintu kamar, dia terkesiap.

Sepasang mata memperhatikannya dengan seksama sambil berdiri dan bersandar pada pintu. Namun ketika dia melihatnya, sosok itu buru-buru masuk ke kamar dan menutup pintu. Bayu tidak sempat melihat wajah orang itu dalam keremangan malam karena obor yang menyala pun agak jauh dari situ. Namun jelas dia mengetahui siapa sebenarnya orang itu.

"Ni Ayu Sulastri, kenapa dia...?" gumam Bayu, bertanya-tanya dalam hati. Sesaat pemuda berpakaian dari kulit harimau itu berpikir. Namun buru-buru menutup pintu dan merebahkan diri ditempat tidur. Rasa letih dan penat membuatnya cepat terlelap, melupakan segala yang dipikirkannya!


***


LIMA

Waktu berjalan dengan cepat dan tidak terasa setahun telah berlalu sejak kejadian itu. Semenjak kematian Ki Sanca Ireng di Hutan Alas Layang, tak terdengar lagi berita Iblis Tengkorak Hitam Putih. Banyak orang merasakan dapat hidup tenteram. Tidak terdengar lagi penculikan-penculikan yang terjadi seperti ketika kedua iblis itu masih merajalela. Juga tentang kepala-kepala tengkorak manusia yang berserakan dalam keadaan berlubang.

Namun agaknya hal itu tidak bertahan lama, sebab belakangan ini peristiwa yang lebih hebat kembali muncul. Beberapa tokoh persilatan dinyatakan hilang dan tidak seorang pun yang mengetahui ke mana mereka pergi. Semua raib bagai ditelan bumi!

Hal itu pun sampai di telinga Ki Sapu Jagad beserta rekan-rekannya. Mereka mengadakan pertemuan kembali. Seperti dulu, mereka membahas tentang hilangnya banyak tokoh persilatan secara gelap. Termasuk di dalamnya Ki Anggora dan Ki Pending Layung!

"Siapa kira-kira yang melakukan perbuatan ini...?" tanya Ki Anggora dengan wajah penasaran.

"Melakukan? Apakah tidak mungkin mereka mempunyai tujuan lain? Maksudku mereka bukan diculik atau dibunuh secara gelap, melainkan pergi dengan maksud dan tujuan tertentu...," sahut salah seorang dari mereka mengemukakan pendapatnya.

Ki Sapu Jagad tersenyum kecil seraya memandang orang itu," Ki Kompyang, hal ini bukan suatu kebetulan. Dalam waktu singkat lebih dari sepuluh tokoh persilatan hilang. Bahkan kejadiannya hampir bersamaan? Apa yang mereka lakukan?

Bahkan beberapa orang di antara mereka ada yang tidak saling mengenal. Memang benar, di antara mereka banyak yang berasal dari golongan hitam. Namun rasanya tak mungkin mereka berkumpul untuk membicarakan tujuan yang mencelakakan kita...," sahutnya.

"Apa tak mungkin kalau hal ini dilakukan oleh Nyai Roro Sekar Mayang...?" ungkap Ki Pending Layung, meyakinkan pendapatnya.

Mendengar pendapat Ki Pending Layung, semua yang ada diruang itu terdiam. Beberapa orang wajahnya tampak tegang. Bagaimanapun nama itu sempat membuat mereka kecut. Beberapa waktu lalu sepak terjang Nyai Roro Sekar Mayang bersama suaminya sempat membuat beberapa pendekar binasa dalam keadaan yang amat mengenaskan.

"Bisa jadi...," sahut Ki Sapu Jagad setengah bergumam.
"Kalau saja dia memperdalam ilmunya, maka bisa diperkirakan bahwa kepandaiannya saat ini tentu amat tinggi...," timpal Ki Anggora.

Suasana di ruangan itu berubah hening. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, seakan membayangkan bagaimana kehebatan wanita itu saat ini. Kalau benar Nyai Roro Sekar Mayang yang melakukan penculikan terhadap para tokoh persilatan belakangan ini, tentu kepandaiannya telah berlipat ganda. Dahulu saja tak ada yang mampu membekuknya, apalagi untuk mengalahkannya. Lalu apa yang mereka lakukan saat ini.

"Kira-kira apa rencananya jika benar bahwa hal itu ulah Nyai Roro Sekar Mayang...?" tanya Ki Pending Layung yang membuka pembicaraan kembali.

"Yang kukhawatirkan dia menggunakan segala cara, membujuk rayu para tokoh yang diculiknya untuk membantu membalaskan dendamnya...," sahut salah seorang di antara mereka.

"Ya, yang jelas dia memang bermaksud membalas dendam. Sekarang kita mesti waspada dan lebih berhati-hati!" Ki Sapu Jagad menimpali.

"Lalu apa yang akan kita lakukan, Ki...?" kali ini yang bertanya Ki Lodaya, salah seorang tokoh tua yang hadir dalam pertemuan itu.

"Hm.... Aku juga tengah berpikir. Ke mana kita akan mencarinya? Dan yang lebih membuat pusing, apakah semua ini benar tindakannya? Kalaupun benar, kurasa kita tak mampu berbuat apa-apa selain menunggu kedatangannya...," lanjut Ki.Sapu Jagad.

"Kita harus bertindak, Ki! Bagaimanapun harus kita cari wanita itu sampai ketemu!" sahut Ki Lodaya, merasa kurang puas dengan jawaban orang tua itu.

"Apakah Ki Lodaya punya petunjuk di mana kita harus mencari wanita itu?" tanya Ki Sapu Jagad dengan nada sedikit sinis.

"Pokoknya kita harus mencarinya ke mana saja! Kita tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu dia datang untuk membinasakan kita satu persatu...!" dengus Ki Lodaya dengan wajah berang.

"Ki Lodaya, sabarlah! Kedatangan kita ke sini untuk mencari jalan bagaimana cara mengatasi si Pengacau itu...," sela Ki Pending Layung menengahi.

"Apa?! Apa yang bisa kita lakukan di sini? Cuma bicara dan bicara! Lalu apa penyelesaiannya?! Cuma menunggu...!" Ki Lodaya benar-benar tidak puas dengan jawaban yang didengarnya.

Nada suaranya semakin keras. Bahkan kemudian lelaki berjubah kuning itu langsung keluar dari ruangan dengan membawa kemarahan hatinya. Ki Sapu Jagad serta mereka yang hadir berusaha menahan, tapi Ki Lodaya sama sekali tak menghiraukannya. Laki-laki berperawakan besar itu terus berlalu. Mereka hanya bisa menahan napas pendek!

"Sejak kematian saudaranya, dia memang sangat mendendam terhadap wanita itu...," desah Ki Sapu Jagad pelan.

"Hm..., tapi itu bisa membahayakan dirinya sendiri...," sahut Ki Pending Layung.

"Apalagi kalau dia mencari wanita itu seorang diri...."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki...?" tanya Ki Anggora pada Ki Sapu Jagad.

"Sebaiknya beberapa orang di antara kita mengikuti dan menjaganya. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!" sahut Ki Sapu Jagad.

"Biar kami yang menjaga dan mengikutinya!" ujar dua orang di antara mereka yang hadir.

"Terima kasih atas kesediaan kalian, Ki.Jaka Umbara dan Ki Kebo Ungu...."

"Ki Sapu Jagad, kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, kami mohon diri...!" kata Ki Anggora seraya mengajak serta kedua muridnya untuk meninggalkan tempat pertemuan.

Melihat itu, yang lainnya segera menyusul satu persatu. Ki Sapu Jagad tidak berusaha menahan mereka, sebab tidak ada yang bisa dibicarakan dan lakukan lagi dalam persoalan ini, selain menunggu perkembangan selanjutnya.


***


Dengan membawa amarah dan kekesalannya, Ki Lodaya buru-buru meninggalkan padepokan itu dan memacu kudanya kencang-kencang. Dia memang telah bertekad dalam hati untuk mencari dan membinasakan Nyai Roro Sekar Mayang dengan tangannya sendiri. Ingin membuktikan pada yang lain bahwa dia mampu melakukan hal itu tanpa bantuan mereka.

Ki Lodaya sendiri memang pemarah dan tidak bisa membiarkan persoalan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang memuaskan hatinya. Setahun lamanya dia menunggu keputusan mereka, namun selama itu tidak ada niat untuk mengejar Nyai Roro Sekar Mayang guna menuntut balas atas kematian saudaranya. Itu sudah cukup untuk membuat kemarahan dan dendam kesumatnya kian memuncak

"Hieee...!"

Pada sebuah pinggiran hutan yang dilalui, mendadak kuda tunggangannya meringkik keras seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Ki Lodaya terkesiap dan melompat cepat dari punggung kuda seraya memaki geram.

"Setan! Kenapa pula kuda ini?! Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja bertingkah aneh!"

Ki Lodaya mencari-cari, kalau mungkin ada seekor ular yang menghadang di depan, atau seekor harimau sehingga membuat kudanya bertingkah aneh. Namun belum lagi dia menemukan sesuatu, mendadak muncul beberapa sosok tubuh melayang ringan dari cabang-cabang pohon di sekitarnya. Ki Lodaya mundur beberapa langkah dengan wajah kaget memperhatikan mereka satu persatu.

"Keparat! Setan-setan mana yang berani menghadang perjalananku?! Apa kalian sudah bosan hidup, heh?!" bentaknya garang sebelum orang-orang itu mendahului.

Srang!

Ki Lodaya mencabut golok besar yang tersandang dipunggungnya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

"Ayo, majulah kalian semua! Biar kucincang-cincang tubuh kalian dan menjadi santapan anjing hutan!" bentaknya semakin geram

Namun demikian, tidak ada seorang pun dari mereka yang mengepungnya itu melakukan apa-apa. Mereka diam saja sambil memperhatikan Ki Lodaya dengan pandangan mata tidak berkedip. Bahkan tidak seorang pun yang membuat gerakan untuk menyerangnya.

"Keparat! Apa mau kalian sebenarnya? Mau membegalku? Ayo, cepat maju, biar kukirim kalian semua ke neraka...!" bentak Ki Lodaya kembali dengan nada garang.

Dan seperti tadi, tidak ada seorang pun dari mereka yang membuat gerakan. Hal itu semakin membuat Ki Lodaya naik darah. Dia mendahului sebelum mereka menyerangnya bersama-sama.

"Bagus! Kalian pasrah dan menyerahkan jiwa begitu saja untuk menerima hukuman. Mungkin kalian sebangsa perampok atau kawanan penjahat, sehingga aku tidak perlu merasa berdosa membunuh kalian...." Dengan satu lompatan ringan dia membabat salah seorang yang berada paling dekat darinya.

Sring!
Trang!
"Uhhh...!"

Namun ketika senjata di tangan Ki Lodaya hampir menyambar perutnya, orang itu cepat sekali mencabut pedang dan menangkis. Ki Lodaya tersentak kaget ketika senjata mereka beradu. Terasa ada tenaga kuat yang membuatnya bergetar hebat dengan jantung berdegup kencang.

Ki Lodaya cepat melompat ke belakang untuk mengatur jarak agar terhindar dari serangan lawan berikutnya. Namun dia dibuat bingung sendiri sebab lawan sama sekali tidak melanjutkan serangan. Mereka kembali terdiam seperti tadi dengan tangan tetap menggenggam senjata.

"Iblis jahanam! Apa sebenarnya yang kalian inginkan dariku?! Bicaralah jangan sampai aku kesalahan tangan membunuh kalian tanpa sebab!" bentak Ki Lodaya dengan suara menggelegar menumpahkan amarah dan kekesalannya. Kali ini sikap mereka masih seperti semula, sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ki Lodaya semakin naik pitam dibuatnya.

Dengan cepat tubuhnya melompat melakukan serangan. Tidak seperti tadi, dia melompat dan sekaligus menghantam ke arah tiga orang lawan yang paling dekat dengannya.

"Huh, kutu-kutu busuk mau bertingkah di hadapanku! Apa kalian kira aku takut dengan semua ini?! Mampuslah kalian, yeaaa...!"

Tring!
"Hiiih!"
Bet! Wuk!

Apa yang terpikir dalam benak lelaki berbadan besar itu memang terbukti. Orang-orang itu agaknya menunggu diserang baru membalas menyerang. Ketika golok di tangannya melayang menyambar leher salah seorang lawan, orang itu cepat menangkis dengan pedangnya. Begitu pula saat telapak tangan kirinya menghantam dengan pukulan jarak jauh, lawan menundukkan kepala dan berkelit ke samping.

Tendangan maut Ki Lodaya yang berisi tenaga dalam kuat pun mampu dihindari oleh lawannya yang lain. Namun agaknya Ki Lodaya tidak melihat keadaan karena terus mengamuk lawan-lawannya yang lain. Tidak kurang dari tujuh orang yang mengepungnya tampak mulai melakukan serangan balasan. Dan ternyata mereka bukanlah sebangsa perampok rendah yang memiliki ilmu silat tanggung.

Trang!
Bret!
"Uhhh...!"

Ki Lodaya terkejut. Dua pedang dan sebilah golok serta sebuah senjata pengait yang tajam bagai arit yang bergagang panjang, menyambar ke arahnya secara bersamaan. Dia berusaha berkelit dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Namun saat goloknya kena ditangkis salah seorang lawan, bahu kirinya disambar senjata lawan lainnya. Ki Lodaya mengeluh tertahan dan melompat ke belakang.

Sementara tiga orang lainnya telah menunggu kesempatan itu dan segera bersamaan bergerak menyerangnya. Ki Lodaya tersentak kaget. Tidak ada jalan lain baginya selain memapaki serangan lawan dengan mengibaskan senjata.

Trang!
"Aaakh...!"

Golok besar di tangan Ki Lodaya terpental. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, karena perutnya pun tersodok pukulan lawan. Dua orang lawan yang lain siap menerkam dan menghabisi dengan senjata masing-masing. Namun tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Cukup! Hentikan serangan kalian...!" Sungguh aneh! Pada saat itu juga para pengeroyoknya menghentikan serangan secara bersamaan. Tidak seorang pun berani bertindak. Mereka berdiri tegak dan mengelilingi Ki Lodaya masih dengan senjata-senjata terhunus. Dengan perasaan heran Ki Lodaya mengawasi ke sekeliling.

Tiba-tiba matanya terpicing sebelah saat melihat sesosok tubuh ramping memakai jubah putih berukuran besar. Sehingga saat angin bertiup jubah dan rambutnya yang telah sebagian besar memutih, berkibar-kibar seperti bendera. Ternyata sesosok wanita berusia sekitar lima puluh tahun dengan tubuh kurus dan wajah pucat bagai mayat. Kelopak matanya cekung dengan sepasang alis saling bertaut. Sinar matanya tajam menyeramkan seakan mengandung daya sihir yang mampu meluluhkan siapa pun yang beradu pandang dengannya. Meskipun demikian, Ki Lodaya agaknya tidak mungkin melupakan wajah wanita itu.

"Nyai Roro Sekar Mayang...?!" serunya kaget. Untuk sesaat terasa jantungnya berdegup kencang dan semangatnya hendak terbang. Ki Lodaya berusaha menguatkan hati dan menyadarkan diri bahwa kepergiannya sengaja untuk mencari wanita ini, serta membalaskan dendam saudaranya yang terbunuh.

Namun sungguh aneh! Penampilan wanita itu sekarang sungguh berbeda dengan setahun lalu. Bahkan usianya kelihatan lebih tua dari umur yang sebenarnya. Dan terlebih lagi, tatapan matanya itu...!

"Bagus! Akhirnya kau muncul juga di sini, Keparat! Jadi tak perlu lama-lama lagi aku mencarimu!" bentak Ki Lodaya geram.

"Siapa kau, dan ada perlu apa mencariku? Apakah kau salah seorang dari mereka yang dulu mengeroyokku...?" tanya wanita berjubah putih itu dengan nada dingin.

"Bajingan keparat! Aku Lodaya. Aku bersumpah akan membunuhmu setelah kau bunuh saudaraku setahun lalu!"

Nyai Roro Sekar Mayang terdiam sesaat, kemudian terlihat dia menyunggingkan senyum kecil. Jelas sekali terlihat bahwa dia sama sekali tidak menghiraukan kata-kata Ki Lodaya. Bahkan tampaknya wanita itu menganggap sepi dendam serta amarah Ki Lodaya.

"Hm, jadi namamu Lodaya...? Kulihat kepandaianmu tidak rendah. Kau bisa menjadi pembantu andalanku seperti mereka ini...," kata Nyai Roro Sekar Mayang tenang.

Ki Lodaya terkesiap dan menoleh sesaat pada para lawannya tadi, lalu kembali menatap wanita itu dengan tajam.

"Wanita iblis! Jangan bicara seenaknya...! Kedatanganku ke sini untuk membunuhmu!" bentaknya garang.

"Membunuhku...? Hi hi hi...! Tidak sadarkah kau dengan keadaanmu saat ini? Kau tengah terkepung. Hanya dengan satu isyarat, mereka akan merencahmu seperti kawanan serigala kelaparan. Hhh.... tanpa kehadiran mereka pun kau bisa berbuat apa terhadapku...?"

Sombong sekali kedengarannya ucapan wanita itu, seperti juga sikapnya saat ini. Namun, mana mungkin Ki Lodaya bisa menerima keadaan itu. Apalagi dengan dendam kesumat yang berkecamuk dalam dadanya. Maka sambil menggeretakkan rahang, laki-laki itu melompat menyerangnya.

"Iblis keparat, kau boleh mampus sekarang...! Yeaaa...!"

Nyai Roro Sekar Mayang tersenyum dingin dan sama sekali tidak bersiap hendak menangkis serangan lawan. Namun ketika serangan Ki Lodaya nyaris mengenai tubuhnya, seketika dia mengebutkan tangan sambil membentak keras. "Jatuh...!"

Buk
"Aaakh...!"

Ki Lodaya menjerit keras. Tubuhnya seperti menabrak dinding baja yang kuat luar biasa. Dadanya terasa sesak untuk bernapas, dan kedua tangannya terasa linu. Kepalanya dirasakan berputar-putar ketika dia mencoba bangkit dan bermaksud menyerang wanita itu kembali.

Nyai Roro Sekar Mayang tertawa nyaring sambil mengangkat tangan kanannya. Kemudian terdengar suaranya yang mengandung daya sihir kuat. Tiba-tiba kepala Ki Lodaya terangkat dan mau tidak mau matanya bertatapan dengan wanita itu.

"Lodaya.... Lodaya...! Hari ini kau menjadi budakku, dan tidak ada satu pun dari dirimu yang mampu melawanku. Kau adalah budakku dan akan selalu patuh pada perintahku...!"

Ki Lodaya tersentak kaget dan merasakan sekujur tubuhnya lemas tidak berdaya. Dia berusaha melawan pengaruh itu, tapi makin lama matanya menatap pandangan si Wanita, maka perasaan lemas terus menyusup ke setiap jalan darahnya. Pikirannya mengawang dan samar-samar bersama rasa pusing yang berangsur-angsur hilang, maka wajahnya yang tadi garang mulai berubah. Pandangan matanya kosong, seperti mayat yang bangkit dari kubur.

"Hi hi hi...! Lodaya, mulai sekarang kau menjadi budakku! Budak Nyai Roro Sekar Mayang. Ucapkan sumpah setiamu sampai mati!"

"Aku budakmu...! Aku bersumpah akan membelamu dengan taruhan nyawaku...!" sahut Ki Lodaya masih menatap wajah Nyai Roro Sekar Mayang.

"Hi hi hi...! Bagus, Lodaya! Bagus...! Hi hi hi...! Kini orang-orang itu boleh merasakan pembalasanku sebentar lagi. Dan terutama si Pendekar Pulau Neraka! Dia akan menebus nyawanya! Kematiannya merupakan peristiwa yang amat menyakitkan dan akan dibawanya terus ke akherat dengan dendamnya yang tidak terbalaskan! Hi hi hi...!"

Nyai Roro Sekar Mayang tertawa nyaring penuh kegembiraan. Namun saat menyebut nama Pendekar Pulau Neraka yang amat dibencinya, terlihat perubahan pada raut wajahnya. Rasa kebencian dan dendam kesumatnya bercampur menjadi satu. Lalu ketika merasa yakin bahwa dengan apa yang dimilikinya sekarang dia mampu membinasakan dan menuntut balas kematian suaminya, wanita itu kembali tertawa keras.

"Ayo, kita pergi dari sini, dan mulai bekerja...!" teriaknya kembali pada orang-orang yang berada di tempat itu.

Tanpa banyak bicara mereka mengikuti langkah Nyai Roro Sekar Mayang meninggalkan tempat itu. Melihat cara mereka berlari yang demikian cepat, jelas bahwa rata-rata orang itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Paling tidak setingkat dengan Ki Lodaya, ataupun di atasnya.


***


ENAM

Ketiga orang itu memacu kuda yang ditunggangi perlahan-lahan. Mereka agaknya tidak ingin buru-buru tiba di tujuan. Seorang di antaranya laki-laki berusia lanjut sekitar lima puluh tahun, menyandang pedang di punggungnya. Dua lainnya muda-mudi berparas tampan dan cantik. Keduanya pun bersenjata pedang di punggungnya.

"Guru, apakah benar apa yang mereka katakan tadi, bahwa semua ini perbuatan Nyai Roro Sekar Mayang...?" tanya si Gadis sambil menoleh ke lelaki tua disampingnya.

Terbayang olehnya setahun yang lalu dia hampir saja menjadi korban Nyai Roro Sekar Mayang. Padahal saat itu gurunya tengah terluka, dan banyak di antara para pendekar lainnya yang tewas. Sedangkan sisanya berada dalam jarak jangkau yang jauh dari wanita itu. Kalau saja saat itu tidak muncul seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau, niscaya dirinya telah tewas. Atau paling tidak akan terluka parah.

Pemuda itu? Ke mana dia sekarang dan apa yang sedang dilakukannya? Tiba-tiba saja wajah gadis itu nelangsa dan hatinya merasa terenyuh. Ada perasaan haru yang dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Benarkah dirinya menyukai pemuda itu?

Tapi apakah itu bisa dibenarkan? Pemuda itu sama sekali tidak menaruh perhatian padanya. Bahkan boleh dikatakan, selama pertemuan sedikit sekali mereka dapat bicara.

"Ayu Sulastri...!" Gadis itu tergagap dan memandang lelaki tua dan pemuda di sebelahnya. Wajahnya tampak kemerahan menahan perasaan malu karena ketahuan bahwa dia merenung seorang diri.

"Apa yang kau pikirkan...?" lanjut si Pemuda.
"Eh, tidak! Tidak ada, Kakang Braja...!" sahut Ayu Sulastri.
"Lalu kenapa kau melamun...?" tanya pemuda yang ternyata Braja.

"Tidak apa-apa. Aku hanya teringat ayah dan ibu. Sudah lama sekali aku tidak mengunjungi mereka...," jawab Ayu Sulastri tanpa menoleh ke wajah Braja.

"Kau ingin pulang mengunjungi orangtua mu...?" tanya si Orang Tua yang tak lain Ki Anggora.

"Kurasa begitu, Guru...."
"Ya. Kalau begitu, kuizinkan kau pulang menemui mereka."

"Apakah kau bersungguh-sungguh ingin pulang...?" tanya Braja meyakinkan.

Ayu Sulastri mengangguk. "Kalau kau tak keberatan, aku ingin mengantarmu...," Braja menawarkan diri.

"Maaf, Kakang Braja. Aku ingin berjalan sendirian saja...," Ayu Sulastri menolak secara halus.

"Apakah kau tidak suka kutemani...?" pertanyaan Braja yang terakhir ini menunjukkan perasaan kecewa bercampur curiga.

"Bukan begitu, Kakang. Aku suka sekali kau kawani, tapi untuk saat ini aku ingin melakukan perjalanan seorang diri. Mudah-mudahan kau bisa mengerti...," ujar Ayu Sulastri sehalus mungkin agar si Pemuda tidak merasa kecewa.

Gadis cantik itu menoleh ke arah Ki Anggora, lalu menghampiri serta memberi salam hormat. "Guru, terima kasih atas izinmu. Aku akan berangkat sekarang juga. Restuilah dengan doamu, hingga perjalananku selamat sampai tujuan...!"

Ki Anggora tersenyum kecil seraya mengangguk. "Pergilah, Ayu! Restuku selalu menyertaimu....

Ayu Sulastri menarik tali kekang kudanya. Setelah mengangguk kecil kepada Braja, dia menghela kudanya perlahan-lahan memisahkan diri di persimpangan jalan. Braja terpaku beberapa saat memandang gadis itu dengan perasaan tidak percaya. Apa yang telah terjadi terhadapnya? Kenapa belakangan ini dia begitu dingin padaku? Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam hatinya, dan tidak mendapat jawaban yang memuaskan.

Selama mereka berguru, hubungan keduanya amat akrab. Meskipun Ayu Sulastri tidak pernah menyatakan cintanya, Braja menganggap bahwa dirinya tidak bertepuk sebelah tangan. Namun selama setahun belakangan ini kelakuan gadis itu dirasakan semakin aneh. Tawa riangnya yang selalu terlihat berganti dengan kemurungan. Selain itu dia menjadi pendiam.

"Maaf, Guru. Aku ingin bicara sebentar dengannya...," kata Braja seraya menyusul gadis itu.

Ki Anggora hanya bisa menggeleng kecil sambil tersenyum memperhatikan tingkah kedua muridnya itu. Dia menghentikan kuda dan duduk dengan tenang memperhatikan keduanya dari kejauhan. Melihat dari wajah Braja yang tegang ketika berbicara dengan Ayu Sulastri, Ki Anggora bisa menduga bahwa si Pemuda pasti kesal. Dan sedikit banyak dia bisa mengerti, apa yang menyebabkan hal itu. Orang tua ini kembali menghela napas pendek.

"Kenapa, Ayu? Kenapa mendadak begini Apa yang terjadi...?!"

"Bukankah sudah kukatakan berkali-kali, Kakang? Tidak ada apa-apa. Aku hanya rindu pada mereka. Tidak bolehkah aku mengunjungi seorang diri...?" tukas Ayu Sulastri masih dengan suara rendah.

"Tapi belakangan ini kau aneh. Tidak biasanya kau menolak tawaranku. Bahkan biasanya jika hendak mengunjungi orangtuamu, kau selalu bicara padaku. Sekarang kau menjadi pemurung, pendiam, tidak pernah tertawa.... Apa sebenarnya yang terjadi padamu...?!" tanya Braja dengan rasa penasaran.

"Kakang Braja, tidak ada apa-apa. Percayalah, aku hanya ingin pulang sendiri! Apakah itu salah...?"
"Atau ada seseorang dalam hatimu...?" tanya Braja menyelidik dengan tatapan curiga.

"Apa maksudmu...?!" tanya si Gadis dengan perasaan jengah dan suara yang mulai tinggi.

"Sejak kedatangan pemuda itu tingkahmu mulai berubah. Apakah benar firasatku bahwa kau menyukainya? Kau menyukainya secara diam-diam dan tidak ingin kuketahui?!"

"Kakang, hentikan kata-katamu! Pemuda? Huh, pemuda siapa yang kau maksudkan?!"

"Siapa lagi kalau bukan Bayu? Kau menyukainya, bukan...?!" nada bicara Braja menyiratkan kecemburuan hatinya.

"Kakang Braja, jangan sembarangan kau bicara...!" bentak Ayu Sulastri merasa tidak senang dengan tuduhan itu. Ketika keduanya tengah berbicara, mendadak lima sosok tubuh melesat dan mengurung mereka. Braja dan Ayu Sulastri tentu saja tersentak kaget.

Sring!
Sring!


***


"Siapa kalian dan apa yang kalian inginkan...?!" bentak Braja dengan mata membelalak garang.

Lima orang lelaki berpakaian hitam yang baru muncul, tak mempedulikan bentakan Braja. Mendadak secara serentak mereka mencabut senjata masing-masing dan menyerang kedua muda-mudi itu.

"Hiyaaa...!"

"Hei?!" kedua orang itu tersentak kaget Demikian pula dengan Ki Anggora. Lelaki tua itu langsung melompat menghampiri saat kedua muridnya mencelat dari punggung kuda masing-masing untuk menghindari serangan kelima lelaki berpakaian hitam.

Trang!
"Hiiih!"
"Uhhh...!"

Braja dan Ayu Sulastri bukan main terkejutnya mendapat serangan yang mendadak begitu. Dengan sebisa-bisanya mereka menghindarkan diri dari tebasan senjata lawan. Kalau saja kelima orang yang mereka hadapi saat ini memiliki ilmu silat rendah, mungkin tidak jadi masalah, sebab dengan mudah mereka akan mampu mengatasi.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Gerakan kelima orang itu cepat bukan main, dan tenaga dalamnya kuat sekali. Angin serangannya saja terasa menyambar kulit tubuh mereka. Ketika senjata mereka saling berbenturan, Ayu Sulastri dan Braja mengeluh tertahan menahan rasa sakit. Rasanya kulit tangan mereka terkelupas. Kalau sedikit saja kurang sigap, bukan tidak mungkin senjata akan terlepas dari genggamaan.

"Keparat busuk! Setan dari mana yang menyuruh kalian tiba-tiba saja menyerang kami?!" bentak Ki Anggora seraya menyerang dua lawan yang tengah mendesak kedua muridnya. Namun belum sempat serangan orang tua itu sampai, tiga orang lainnya telah menghadang dan memapaki serangannya dengan kompak.

Trang!
Wuuut!
"Uhhh...!"

Ki Anggora memekik tertahan ketika pedangnya membentur pedang lawan. Sementara pada saat yang bersamaan, dua buah golok menyambar ke arah pinggang dan lehernya. Orang tua itu mencelat ke belakang untuk menghindar dari serangan lawan selanjutnya. Namun lawan yang bersenjata pedang seperti tidak ingin membiarkannya lolos begitu saja.

Pedangnya berputar sedemikian cepat membentuk pusaran yang menimbulkan desir angin kencang. Ki Anggora terkejut melihat cara lawan memainkan pedang. Rasanya dia kenal betul jurus-jurus yang dipergunakan lawan. Sehingga tak terasa orang tua itu memperhatikan wajah lawannya dengan seksama. Ketika mengetahui siapa sesungguhnya yang dihadapi Ki Anggora tersentak kaget.

"Kakang Sadewa, apa yang kau lakukan?! Sudah gilakah kau, hendak membunuh adik seperguruanmu sendiri?! Kakang Sadewa, sadarlah! Aku Anggora, adikmu sendiri...!" teriak Ki Anggora dengan mata terbelalak keheranan. Dia tidak habis pikir kenapa Ki Sadewa, kakak seperguruannya menyerang. Namun sia-sia saja sebab orang yang dipanggilnya dengan nama Ki Sadewa itu seperti tidak mengenalinya. Bahkan terus menyerangnya seperti berhadapan dengan musuh besar.

Cras!
"Akh...!"

Ki Anggora terpekik kesakitan. Dia yakin sekali bahwa Ki Sadewa akan mengenali setelah diingatkannya. Namun hal itu membuatnya lengah. Karena lawan sama sekali tidak terusik dengan teriakannya itu. Ujung pedang lawan menyambar lengan kirinya hingga putus. Tubuh Ki Anggora melompat ke belakang untuk menghindar dari serangan selanjutnya. Namun dua lawan lainnya telah siap menerkam dengan tebasan golok. Sehingga keadaan Ki Anggora memang terjepit sekali. Apalagi ketika dia mendengar jeritan Braja.

"Braja! Ayu Sulastri...! Lekas tinggalkan tempat ini! Selamatkan diri kalian masing-masing! Ayo, pergilah kalian dari sini!" teriak Ki Anggora memperingatkan kedua muridnya itu.

"Tidak, Guru! Kami tak akan pergi dari sini dan membiarkan kau seorang diri menghadapi mereka...!" sahut Ayu Sulastri dengan suara lantang.

"Hidup atau mati, kami akan tetap bertarung dengan iblis-iblis keparat ini....

Aaakh...!" teriak Braja terpotong ketika satu tendangan lawan membuat tubuhnya sempoyongan beberapa langkah. Namun begitu dia masih berusaha mempertahankan kuda-kuda semantap mungkin. Sementara pedangnya tetap dikibaskan untuk melindungi bagian dadanya saat lawan menerjang dengan ayunan goloknya yang kencang bukan main.

Trang! Brettt! "Aaakh...!"

Untuk kedua kalinya Braja menjadi kesakitan. Pedangnya terpental dihantam golok lawan. Dan golok itu terus menyambar ke arah pinggangnya. Pemuda itu ingin melompat mundur untuk menyelamatkan diri. Namun sungguh buruk akibatnya, sebab senjata lawan menyambar pangkal pahanya. Nyaris kakinya putus ketika terasa bahwa golok lawan membentur tulang pahanya. Darah mengucur deras dari lukanya. Langkahnya limbung serta terpincang-pincang ketika berusaha menjatuhkan diri untuk menghindari serangan lawan berikutnya.

Hal yang sama agaknya dialami Ayu Sulastri. Gadis itu menjerit kesakitan ketika satu tendangan keras menghantam punggungnya. Tubuhnya bergulingan ke depan sambil menyemburkan darah segar. Napasnya terasa sesak, dan punggungnya sakit sekali. Dia berusaha bangkit untuk mengayunkan pedang guna memapaki serangan lawan yang telah mendekat.

Namun tenaganya seperti terkuras habis, dan lengannya kaku untuk digerakkan. Gadis itu mengeluh pendek. Habislah riwayatnya kali ini. Tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya. Kalaupun dia mampu bertahan, mungkin hanya dalam sekali tangkisan. Selanjutnya dia tidak akan mampu berbuat banyak. Kecepatan lawan bergerak sungguh luar biasa. Begitu pula dengan tenaga dalam yang dimiliki lawannya, bukanlah tandingan gadis itu.

Trang!
Siiing!
Cras! Trang!
"Aaakh...!"

Ayu Sulastri tersentak kaget dengan mata terpejam. Pedangnya terlepas dari genggaman setelah berbenturan dengan senjata lawan. Angin tajam menyambar ke lehernya, sementara dia sama sekali tak berdaya untuk mengelak. Saat itulah samar-samar terdengar suara mendesing nyaring.

Sebuah benda melesat menahan senjata lawan yang telah begitu dekat dengannya. Sesaat kemudian terdengar pekikan tertahan. Percikan darah muncrat membasahi wajahnya. Gadis itu terbelalak. Lawan telah ambruk di depannya dengan leher nyaris putus.

"Heh...?!"


***


Pada saat yang bersamaan terlihat cahaya putih keperakan menyambar senjata-senjata lawan yang tengah berhadapan dengan Braja dan Ki Anggora. Golok di tangan lawan Braja patah menjadi dua. Demikian pula dengan senjata lawan yang lain. Lalu terlihat sekelebat bayangan melesat cepat menyambar keempat orang yang tengah mengeroyok guru dan murid itu.

Plak!
Duk!
"Aaa...!"

Ki Anggora dan Braja tertegun kaget. Gerakan yang dilakukan orang yang baru muncul itu cepat sekali, dibarengi tenaga dalam dahsyat. Angin berdesir kencang saat bayangannya berkelebat menyambar. Sesaat terdengar jeritan tertahan. Dua orang lawan terjungkal beberapa langkah dengan mulut memuntahkan darah segar. Keduanya menggelepar beberapa saat seperti ayam disembelih, lalu diam tidak bergerak.

Sementara dua lainnya masih memberikan perlawanan sengit. Ki Anggora mencoba berusaha memperhatikan, siapa dewa penolong mereka. Akhirnya menarik napas lega ketika mengetahui siapa orang itu.

"Pendekar Pulau Neraka...? Ah, dia selalu muncul pada saat yang tepat...," gumamnya. Orang tua itu mendekati kedua muridnya dan memeriksa luka mereka.

"Guru siapakah orang yang tiba-tiba muncul menolong kita...?" tanya Ayu Sulastri.

"Kau mungkin tak akan percaya. Dialah orangnya, penolong kita setahun yang lalu...."

"Maksud Guru, Bayu Hanggara...?"

Wajah Ayu Sulastri tampak berseri-seri meski menahan rasa nyeri dipunggungnya. Ki Anggora mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Dia melihat jelas dari pancaran wajahnya, sang Murid tidak mampu membohongi perasaan hatinya. Setidak-tidaknya orang tua itu mengerti, apa yang menyebabkan kelakuan Ayu Sulastri begitu murung setahun belakangan ini. Namun sungguh berbeda dengan Braja. Pemuda itu mendengus pelan sambil membuang wajah ketika mendengar nama Bayu. Hatinya kesal melihat perubahan wajah Ayu Sulastri.

Gadis itu seperti melupakan luka yang dideritanya, bahkan seakan tak sadar pada apa yang menimpa mereka. Hal itu bukan kebiasaannya. Dulu bila Ki Anggora dan Braja sedikit saja terluka, dia sudah sibuk dan cemas. Tapi kali ini benar-benar mengherankan. Matanya tiada berkedip menyaksikan pertarungan yang tengah berlangsung di hadapan mereka.

"Hm, lukamu cukup parah, Braja...," gumam Ki Anggora lalu menotok jalan darah di pangkal paha murid laki-lakinya itu.

"Tidak apa-apa, Guru. Hanya luka kecil saja. Sebaliknya yang menimpa Guru lebih parah. Guru kehilangan sebelah lengah...," desis Braja dengan wajah duka.

"Hm, tidak mengapa. Lenganku yang sebelah lagi masih mampu kupergunakan...," kata-kata Ki Anggora terpotong ketika terdengar kembali jeritan kematian. Salah seorang lawan terjungkal sambil menyemburkan darah segar. Orang tua itu terkesiap. Demikian juga dengan kedua muridnya. Ki Anggora tahu bahwa lawan terakhir Pendekar Pulau Neraka tak lain orang yang amat dikenalnya. Ki Sadewa, kakak seperguruannya. Kepandaiannya memang hebat dan ilmu pedangnya pun amat tinggi. Namun sayang, pedangnya telah patah dipapas senjata Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka.

Melihat hal itu Ki Anggora khawatir kalau kakak seperguruannya akan tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka. Siapa pun tahu pendekar muda berpakaian kulit harimau ini tidak pernah memberi ampun pada lawan-lawannya. Sementara dia tidak tahu, apa yang menyebabkan Ki Sadewa menjadi ganas begitu. Selama ini tidak pernah terjadi perselisihan diantara mereka. Bahkan Ki Sadewa sangat sayang padanya.

Siiing!
"Heh?!"

Ki Anggora terperanjat melihat Pendekar Pulau Neraka kembali melepaskan Cakra Maut Dia tahu betul akan kehebatan senjata itu karena pernah membuktikan dengan mata kepala sendiri ketika menewaskan Ki Sanca Ireng.

"Nak Bayu, harap kau memberi ampun padanya. Dia saudara seperguruanku. Pasti ada yang tidak beres padanya...!" teriak Ki Anggora.

"Heaaah...!"

Ki Sadewa tersentak kaget melihat senjata maut lawan yang melesat bagai lidah petir, menyambar ke arahnya. Angin tajam terasa hampir mengiris kulit tubuhnya ketika dia berusaha melompat menghindar sambil jungkir balik. Pendekar Pulau Neraka tak memberi kesempatan sedikit pun pada lawan. Tubuhnya berkelebat cepat menyambar lawan sambil menghantamkan tendangan keras.

Plak!
Tuk!
"Hukh...!"

Ki Sadewa melenguh tertahan ketika pergelangan tangan terasa remuk menangkis kaki lawan. Namun lebih kaget lagi ketika tubuhnya kaku tidak dapat bergerak. Seluruh persendian seakan lepas dan tenaganya lemas tidak berdaya. Ternyata sambil melancarkan tendangan, Pendekar Pulau Neraka menotok tubuh Ki Sadewa. Sehingga tubuh lelaki tua itu ambruk dalam keadaan lunglai.

"Kakang Sadewa...!" Ki Anggora menghampiri dengan wajah cemas lalu memeriksa keadaan saudara seperguruannya itu. Ketika mengetahui bahwa Ki Sadewa telah tertotok, dia menarik napas lega dan memandang Pendekar Pulau Neraka sambil menjura hormat.

"Ku ucapkan terima kasih atas kemurahan hatimu. Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba menjadi ganas dan menyerangku tanpa ampun. Pasti ada yang tidak beres. Sesuatu telah mempengaruhi pikirannya. Bahkan anehnya dia tak mengenalku lagi"


***


***

Bayu memandang sekilas pada orang tua itu, juga pada kedua muridnya. Lalu menghela napas pendek. "Ki Anggora, saudara seperguruanmu tidak sadar pikirannya. Dia tengah terpengaruh oleh semacam kekuatan sihir. Sebaiknya kita segera mengamankannya...," katanya pendek.

"Eh, iya... iya. Tahukah kau yang menyebabkannya demikian parah begini...?"

"Hm, kurasa ini perbuatan Nyai Roro Sekar Mayang...."

"Nyai Roro Sekar Mayang? Ah, kalau begitu tidak salah dugaanku. Wanita iblis itu kini muncul kembali. Tapi apakah Nak Bayu yakin bahwa semua ini perbuatannya...?"

Pendekar Pulau Neraka menggeleng kecil sambil mengelus kepala Tiren yang melompat ke pangkuannya, lalu menarik napas pendek.

"Hm..., aku belum yakin. Namun pernah kuketahui bahwa Ilmu Tengkorak yang mereka pelajari, pada tingkat tertinggi mampu mempengaruhi jalan pikiran seseorang. Orang itu akan menjadi abdi setianya. Bahkan harus mengorbankan nyawa untuk membela orang yang mempengaruhinya. Aku khawatir kita tidak bisa menolong saudara seperguruanmu ini sebelum orang yang mempengaruhinya mati...," jawab Pendekar Pulau Neraka.

"Sungguh biadab! Wanita iblis itu agaknya tak akan pernah menyerah. Dengan kepandaiannya sekarang, dia akan merajalela mengumbar angkara murka!" desis Ki Anggora geram.

Bayu terdiam sesaat. Demikian pula dengan kedua murid Ki Anggora yang berada di dekatnya. Dia sempat beradu pandang dengan Ayu Sulastri. Gadis itu buru-buru menundukkan kepala dengan wajah merah padam sebab ketahuan sejak tadi dia terus memandangi Pendekar Pulau Neraka.

"Ni Ayu, parahkah luka yang kau derita...?"
"Eh, aku... oh. Tidak! Tidak apa-apa...," sahut Ayu Sulastri tergagap.

"Mari, kuperiksa! Mungkin aku bisa- sedikit membantu...," ujar Bayu karena melihat wajah gadis itu pucat dan menahan sakit yang hebat pada punggungnya.

Bayu memeriksa nadi di pergelangan tangan Ayu Sulastri. Gadis itu tampak terdiam dengan mata terpejam. Namun tiba-tiba sekujur tubuhnya merasakan panas dingin tak karuan. Sementara ada perasaan jengah dan malu berkecamuk di hatinya.

"Hm, jalan darahmu tak beraturan, Ni Ayu. Duduklah di sini dan membelakangiku...!" kata Bayu sambil duduk bersila di tanah.

Gadis itu melakukan apa yang diperintahkan Pendekar Pulau Neraka.

"Tarik napas dalam-dalam...!" Ayu Sulastri menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan-lahan. Bayu menempelkan kedua telapak tangan ke punggung gadis itu. Seketika dirasakan nada hawa hangat menjalar ke punggungnya. Sesaat dia meringis menahan rasa nyeri yang hebat seperti menusuk-nusuk punggungnya. Namun dengan sekuat daya kemampuannya gadis itu berusaha menahan. Apalagi membayangkan bahwa dewa penolongnya tak lain orang yang selama ini ada dalam pikirannya.

"Hoeeekh...!"

Ayu Sulastri menyemburkan darah kental dari mulutnya. Rasa nyeri yang ada di punggung seperti menjalar ke dadanya. Wajah gadis itu semakin pucat, namun kini dirasakan seluruh persendiannya agak ringan dibandingkan dengan tadi. Hawa hangat yang disalurkan Pendekar Pulau Neraka seperti membungkus rasa sakit dan perlahan-lahan mengembalikan tenaganya yang banyak terkuras.

"Ni Ayu, cobalah latihan pernapasan beberapa saat lamanya! Mudah-mudahan luka dalammu cepat sembuh...," kata Bayu seraya menghentikan penyaluran tenaga dalam ke tubuh gadis itu.

Ayu Sulastri mengangguk pelan, lalu melakukan apa yang diperintahkan pemuda itu. Bayu menarik napas lega dan menoleh ke arah Braja.

"Em..., coba kulihat lukamu!" katanya bermaksud menolong.

"Terima kasih, Bayu. Aku baik-baik saja...," sahut Braja cepat menolak niat baik Pendekar Pulau Neraka.

"Syukurlah kalau memang demikian...!" Bayu tidak hendak memaksakan keinginan. Dia memalingkan perhatian pada Ki Anggora. "Ki Anggora, kurasa tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini, maka aku mohon pamit Uruslah saudara seperguruanmu ini sebaik-baiknya. Mudah-mudahan setelah Nyai Roro Sekar Mayang tewas, dia bisa disembuhkan...!" lanjutnya.

"Terima kasih atas segala pertolongan Nak Bayu. Tapi akan ke manakah tujuanmu sekarang...?"

"Aku bermaksud mencari wanita itu!"
"Nyai Roro Sekar Mayang...?"

Bayu mengangguk cepat. "Aku harus menghentikan sepak terjangnya sebelum jatuh korban lagi Doakan, mudah-mudahan aku mampu menaklukkan wanita iblis itu...!"

"Maaf, Bayu. Aku tidak bermaksud menghalangi kepergianmu. Namun sebelumnya, sudikah kau mendengarkan ceritaku barang sesaat. Setelah itu boleh memutuskan langkah terbaik. Sebab tujuan kita sama, yaitu ingin melenyapkan biang bencana yang dilakuan wanita iblis itu...."

"Hm, apakah yang akan Ki Anggora ceritakan padaku...?"
"Terima kasih, Nak Bayu...," sahut Ki Anggora lega. Dia pun menceritakan pertemuan terakhir di padepokan Ki Sapu Jagad, serta mengenai sikap Ki Lodaya. Wajah orang tua itu tampak khawatir.

"Saudara seperguruanku tentu berada di bawah pengaruhnya. Kini khawatir hal yang sama terjadi pula dengan Ki Lodaya serta tokoh-tokoh persilatan lainnya. Aku tak merendahkan kepandaian Ki Lodaya atau lainnya, tapi rata-rata mereka memiliki kemampuan yang setingkat denganku. Dan saudara seperguruanku jelas memiliki kepandaian yang satu tingkat di atasku. Jika beliau saja mampu ditaklukkan, apalagi seperti kami ini. Lalu jika mereka dipengaruhi Nyai Roro Sekar Mayang dengan ilmu iblisnya, kita akan repot sendiri menghadapi lawan yang merupakan kawan-kawan kita sendiri...," jelas orang tua itu mengemukakan kekhawatirannya.

Bayu berpikir sesaat, lalu mengangguk pelan.


***


"Lalu apa yang akan kau lakukan, Ki Anggora...?" tanya Bayu.

"Hm, aku khawatir akan keselamatan para pendekar yang lain. Apa kau bersedia jika aku mengajakmu menemui Ki Sapu Jagad...? Paling tidak memastikan bahwa Ki Lodaya tidak menemui nasib yang sama seperti saudara seperguruanku ini...."

"Baiklah. Kita berangkat sekarang ke tempat kediaman Ki Sapu Jagad...." Bayu menyetujui usul Ki Anggora. Dia memandang sekilas pada Ayu Sulastri.

Gadis itu terlihat sudah selesai melakukan latihan pernapasan dan hanya menundukkan kepala tanpa berkata apa-apa.

"Ayu, apakah kau melupakan peradatan? Kau kembali lupa mengucapkan terima kasih atas pertolongan Pendekar Pulau Neraka...," tegur Ki Anggora mengingatkan.

Mendengar teguran gurunya, wajah Ayu Sulastri bersemu merah. Dengan perasaan rikuh dia terdiam beberapa saat lamanya seraya melirik ke arah Pendekar Pulau Neraka.

"Sudahlah. Sebenarnya aku tidak suka dengan segala macam peradatan seperti itu. Lebih baik kita lekas ke tempat Ki Sapu Jagad, sebelum terjadi sesuatu yang buruk terhadap mereka," tukas Bayu cepat.

Baru saja selesai ucapan Pendekar Pulau Neraka, mendadak berkelebat empat sosok tubuh mengepung mereka. Bayu cepat bersiaga, melihat mereka mencabut pedang masing-masing. Ki Anggora sempat terkejut ketika mengenali keempatnya.

"Astaga! Mereka adalah Empat Raja Pedang Utara...!" desisnya dengan mata terbelalak kaget.

"Ki Anggora, aku tak tahu harus berbuat apa, tapi mereka agaknya tidak main-main terhadap kita!" bisik Bayu dengan mata tetap mengawasi keempat sosok bersenjata pedang dihadapannya.

"Entahlah, kenapa mereka bisa jadi begini. Hati-hati Nak Bayu! Mereka memiliki kepandaian tinggi, bahkan lebih hebat dari saudara seperguruanku sendiri. Terutama ilmu pedang mereka...!" Ki Anggora memperingatkan sambil menggeleng lesu.

"Serang...!"
"Hiyaaa...!"

Diiringi dengan bentakan keras, Empat Raja Pedang Utara bersama-sama melompat menyerang mereka.

"Yeaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka melompat menghindari serangan salah seorang di antara Empat Raja Pedang Utara. Pedang lawan berkelebat-kelebat menyambar bagaikan membungkus tubuhnya. Apa yang dikatakan Ki Anggora ternyata benar, ilmu pedang mereka hebat luar biasa. Sempat terlihat oleh Bayu, Braja dan Ayu Sulastri jatuh bangun menghindari tebasan senjata lawan. Keduanya tampak tak mampu memberikan serangan balasan. Bayu menggeram. Dia tidak bisa membiarkan keadaan ini terus berlarut-larut. Maka sambil membentak nyaring dia mengibaskan tangan kanannya.

"Hiiih!"
Siiing!"

Selarik cahaya putih keperakan melesat bagai kilatan petir menyambar keempat lawannya sekaligus.

Wuuut!
Trasss!
"Heh...?!"

Dua orang lawan melompat menghindari terjangan Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Namun dua lainnya terpaksa harus menangkis karena tidak sempat berkelit dari serangan mendadak yang bukan main cepatnya. Akibatnya pedang mereka putus sampai sebatas gagangnya.

"Yeaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka melompat menerkam lawannya yang tadi mampu menghindari sambaran Cakra Maut. Orang itu terkejut melihat gerakannya yang begitu cepat. Namun mereka sempat menguasai diri, bahkan bermaksud menghantam Bayu dengan pedang.

"Hiiih!"

Melihat serangan balasan, Pendekar Pulau Neraka menghentakkan kuat-kuat tangannya dengan gerakan mendorong. Dari kedua telapak tangannya mendesir angin kencang laksana badai topan, menghantam ke arah lawan. Dengan perasaan kaget, lawan berusaha menghindar sambil membalas dengan pukulan jarak jauh. Bayu agaknya telah memperhitungkan hal itu, hingga pukulan lawan mengenai tempat kosong. Sebab, tubuh pemuda berpakaian kulit harimau itu telah melesat ke arah lawan dengan berputar bagai kitiran.

Bresss!
"Aaakh...!"

Satu hantaman keras membuat lawan terjungkal dan memekik kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah segar. Bayu agaknya merasa yakin betul dengan hantamannya tadi, sebab belum lagi tubuh lawan terjerembab, dia kembali melompat menyerang lawan Braja. Sengaja dilakukan untuk membantu pemuda itu. Karena dalam keadaan payah Braja tak mampu berbuat banyak, hingga menjadi bulan-bulanan lawannya.

"Hiyaaa...!"
Plak!
Wuuut!

Dalam keadaan tanpa senjata, lawan tampak kewalahan mendapat serangan mendadak begitu rupa. Dia berusaha menahan dan bermaksud balas menyerang. Namun Bayu sedikit pun tidak memberi kesempatan padanya untuk balas menyerang. Pukulan-pukulan serta tendangannya yang dikerahkan dengan tenaga dalam kuat membuat lawan harus jatuh bangun mempertahankan selembar nyawanya.

"Yeaaa...!"
Siiing!
Begkh!
"Aaa...!"

Pendekar Pulau Neraka membentak nyaring. Tubuhnya melesat menyambar lawan sambil melepaskan Cakra Maut. Melihat senjata lawan yang telah diketahui kehebatannya, orang itu tampak terkejut sekali. Dengan geragapan dia menghindarkan diri. Pada saat itulah satu tendangan yang dilancarkan Bayu menghantam dadanya. Seketika terdengar pekikan kesakitan. Tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat tinggi dan menyambar Cakra Maut dan langsung menyerang lawan yang tengah dihadapi Ayu Sulastri.

"Hiyaaa...!"
Suiiing!
"Hei?!"

Dua orang menggelepar tidak berdaya dan tewas sesaat kemudian di tangan Pendekar Pulau Neraka. Namun mendadak terdengar siulan nyaring, dan dua lawan yang tersisa serentak kabur dari tempat itu dengan sekuat tenaga. Bayu menggeram sinis. Dia bermaksud melemparkan Cakra Maut untuk mengejar keduanya. Hal itu mudah saja baginya. Namun segera diurungkan niatnya dan hanya memandang keduanya dengan perasaan kesal.

"Ki Anggora, sebaiknya kita buru-buru saja ke tempat Ki Sapu Jagad. Perasaanku tak enak. Dua kali mereka mencegat kalian dan berusaha menewaskan kita semua. Entah berapa orang lagi yang akan datang menghadang...," ajak Bayu seraya menoleh ke arah Ki Anggara.

"Ya, aku pun bermaksud begitu. Tapi Nak Bayu, kami tak mempunyai persediaan kuda lagi bagimu...."

"Biar Kang Bayu bersamaku saja kalau tidak keberatan...," sahut Ayu Sulastri menawarkan diri.

Wajah Braja tampak kurang senang mendengar kata-kata gadis itu. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Terima kasih, Ni Ayu...," sahut Bayu lalu melompat kebelakang punggung Ayu Sulastri. Ki Anggora memacu kudanya mengikuti Braja yang telah lebih dulu meninggalkan tempat itu. Baru kemudian Ayu Sulastri menyusul belakangan!


***


Kedua orang itu dengan cepat memacu kudanya menuju padepokan Ki Sapu Jagad. Begitu pintu gerbang dibuka, mereka langsung melesat cepat dan melompat dengan sigap dari punggung kuda masing-masing. Ki Sapu Jagad yang telah diberi tahu oleh beberapa orang muridnya yang berjaga di menara atas, tergopoh-gopoh menyambut keduanya.

"Ki Jaka Umbara! Ki Kebo Ungu..., apa yang terjadi? Kenapa kalian seperti dikejar setan...?" tanya orang tua itu dengan wajah bingung.

"Celaka, Ki! Ketiwasan...! Ternyata benar dugaan kita. Nyai Roro Sekar Mayang berada di belakang semua peristiwa ini...!" kata Ki Jaka Umbara dengan napas memburu.

"Hm..., coba tenangkan dulu hari kalian! Ceritakan, apa yang kalian temukan...!" ujar Ki Sapu Jagad seraya menyilakan keduanya duduk di beranda depan.

Ki Jaka Umbara dan Ki Kebo Ungu menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri beberapa saat lamanya.

"Nah, coba ceritakan padaku apa yang telah kalian lihat?!" pinta Ki Sapu Jagad setelah melihat warga agak tenang.

"Kami bertemu dengan Nyai Roro Sekar Mayang...," ujar Ki Jaka Umbara.
"Lalu...?"
"Ki Lodaya kena dipengaruhinya, Ki!" sahut Ki Kebo Ungu.
"Apakah kalian diam saja dan meninggalkannya...?"

"Bukan begitu. Wanita iblis itu memiliki ilmu sihir hebat. Mula-mula Ki Lodaya melawan anak buahnya, namun akhirnya dia dibuat tak berkutik. Ketika wanita itu muncul, Ki Lodaya mencoba menyerangnya. Namun dengan sekali bentak, tubuh Ki Lodaya terpental. Lalu wanita itu menggunakan ilmu sihir untuk mempengaruhinya. Sehingga Ki Lodaya tidak berdaya melawannya. Bagai kehilangan akal Ki Lodaya menuruti perintah Nyai Roro Sekar Mayang...," lanjut Ki Kebo Ungu menjelaskan.

"Kurang ajar!" Ki Sapu Jagad menggeram sambil mengepalkan kedua tangan.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki? Jumlah pengikut Nyai Roro Sekar Mayang sudah banyak. Dan kalau dia mampu mempengaruhi Ki Lodaya, tentu mampu pula mempengaruhi mereka yang memiliki kemampuan setingkat dengan Ki Lodaya. Lalu yang paling membuat kita serba salah dan repot, jika harus melawan kawan sendiri...," lanjut Ki Jaka Umbara dengan wajah cemas.

Ki Sapu Jagad terdiam beberapa saat lamanya seperti merenungi kejadian yang menimpa sahabatnya itu.

"Sungguh malang nasib, Ki Lodaya. Ternyata nasib yang menimpanya lebih buruk dari dugaanku semula. Dia kini menjadi boneka wanita iblis itu...," keluh Ki Sapu Jagad dengan perasaan tertekan.

"Ki, kita harus melakukan sesuatu untuk menolongnya!" kata Ki Kebo Ungu bersemangat.

"Benar. Aku akan menyiapkan murid-muridku untuk melakukan penyerangan terhadap wanita iblis itu!" sahut Ki Sapu Jagad geram.

"Apa kita tidak perlu memberitahu sahabat-sahabat yang lain?" tanya Ki Jaka Umbara.

"Ya. Aku akan mengirim tiga orang muridku untuk memberitahu mereka yang lain!" Ki Sapu Jagad cepat berdiri dan melangkah ke depan untuk mengumpulkan murid-murid terbaiknya.

Tiga orang muridnya langsung menghadap. Mereka bicara sebentar kemudian terlihat ketiganya melompat cepat ke punggung kuda masing-masing dan melesat keluar ketika pintu gerbang terbuka lebar. Namun....

"Heaaa...!"
Prak! Cras!
"Aaa...!"
"Hah...?!"

Ki Sapu Jagad terkejut. Juga dengan yang lainnya. Ketiga muridnya memekik nyaring dan terjungkal dari pungung kuda. Mereka tewas seketika dalam keadaan yang menyedihkan. Dua orang kepalanya remuk dan seorang lagi lehernya nyaris putus disambar senjata tajam. Bersamaan dengan itu berlompatan beberapa sosok tubuh ke atas pagar.

"Hi hi hi...! Pesta akan dimulai sebentar lagi! Tempat ini akan menjadi banjir darah! Hi hi hi...! Orang-orang sok jago akan menemui pembalasan setimpal atas apa yang pernah kalian lakukan selama ini...!" terdengar suara tawa nyaring memekakkan telinga.

Beberapa murid Ki Sapu Jagad tergeletak dan menggelepar kesakitan. Dari lubang telinga mereka mengucur cairan merah kental. Sementara yang lain tampak duduk bersila berusaha menahan suara tawa yang mengandung tenaga dalam kuat itu. Ki Sapu Jagad terbelalak kaget. Seorang wanita kurus berjubah besar berwarna putih, telah berdiri di atas tembok kayu jati yang melindungi, rumahnya. Rambutnya yang panjang dan sebagian telah memutih, berkibar-kibar ditiup angin. Bola matanya cekung dan menyorot tajam. Wajahnya pucat bagai mayat yang bangkit dari kubur. Namun begitu, Ki Sapu Jagad masih mampu mengenalinya.

"Nyai Roro Sekar Mayang...!"


***


DELAPAN

"Hi hi hi...! Tua Bangka Busuk, agaknya kau tidak bisa melupakanku, heh?! Bagus! Bagus! Dan sampai ke liang kubur pun akan kubuat kau tidak bisa melupakanku...!" teriak wanita itu dengan tawanya yang tetap memekakkan telinga.

"Nyai Roro Sekar Mayang, bagus kau datang mengantarkan nyawamu sendiri! Aku tak perlu repot-repot lagi mencarimu!" bentak Ki Sapu Jagad tidak kalah lantang.

"Hi hi hi...! Nyawamu sudah di kerongkongan masih juga bisa berkoar. Lebih baik kau bergabung denganku secara baik-baik. Siapa tahu aku bisa mengampuni jiwa busukmu itu!" ejek Nyai Roro Sekar Mayang sinis.

"Chuih! Iblis! Jangan harap aku sudi menjadi pengikutmu! Sebaiknya kaulah yang musti sadar dan kembali ke jalan yang benar. Masih ada waktu sebelum ajal menjemputmu!"

"Tua bangka keparat! Omonganmu semakin ngaco saja. Sebaiknya kau memang harus cepat-cepat masuk ke liang kubur...!" bentak Nyai Roro Sekar Mayang semakin geram. Dia memberi isyarat pada anak buahnya. Bersamaan dengan itu melesat cepat dua puluh orang yang datang bersamanya, menyerang Ki Sapu Jagad beserta seluruh muridnya.

"Yeaaa...!"

"Hi hi hi...! Ayo, cincang mereka dan jangan sisakan seorang pun! Hi hi hi...! Berpesta poralah kalian sesuka hati...!"

"Heh...?"

Ki Sapu Jagad tersentak kaget. Banyak di antara anak buah Nyai Roro Sekar Mayang yang dikenalnya. Bahkan di antara mereka ada Ki Lodaya. Ki Sapu Jagad tampak berusaha menyadarkan mereka, namun sia-sia saja. Orang-orang itu sama sekali tidak menghiraukan dan tetap menganggapnya sebagai musuh yang harus dilenyapkan.

"Ki Lodaya, sadarlah! Aku sahabatmu sendiri! Kenapa kau sekarang?! Apa yang telah diperbuat wanita iblis itu terhadapmu?!"
"Yeaaa...!"
"Haits! Heaaa...!"

Ujung pedang Ki Lodaya yang menyambar ke leher Ki Sapu Jagad sebagai jawaban dari kata-kata orang tua itu. Ki Sapu Jagad terkejut bukan main dan terpaksa menghindar dengan melompat ke belakang. Dua orang lawan terus memburunya dari belakang. Orang tua itu menggeram dan terpaksa mencabut pedang untuk memberikan perlawanan.

Namun tampak tidak mudah. Lawan lawannya tidak bisa dianggap remeh karena rata-rata mereka memiliki kepandaian tinggi. Bahkan dia tampak mulai bingung ketika jerit kematian murid-muridnya terdengar susul-menyusul.

"Iblis-iblis keparat! Akan kubunuh kalian! Yeaaa...!" Ki Sapu Jagad menggeram dan melakukan serangan diiringi kemarahan yang meluap-luap. Namun hal itu ternyata tidak mudah baginya. Tiga orang lawan yang menyerangnya bukanlah orang sembarangan. Agaknya Nyai Roro Sekar Mayang tahu betul keadaan dan menempatkan orang-orangnya dengan lawan yang tepat. Ki Sapu Jagad tak mampu berkutik dibuatnya. Bahkan kalau tidak hati-hati, nyawanya sendiri akan melayang disambar senjata lawan.

"Yeaaa...!"
Trang!
Bret!
"Aaakh!"

Dua buah golok menyambar ke arahnya. Ki Sapu Jagad mengibaskan senjata untuk menangkis. Kaki kanannya berputar menendang lawan yang berada paling dekat. Setelah itu tubuhnya dengan cepat melompat ke samping untuk menghindar. Namun tiba-tiba angin tajam menyambar pangkal lehernya. Ki Sapu Jagad menunduk dan bermaksud membalas sambil memutar tubuh. Pada saat itu sebilah pedang lawan menyambar perutnya. Seketika mulutnya menjerit tertahan sambil mendekap perutnya yang robek dan bercucuran darah.

"Yeaaa...!"

Dua orang pengikut Nyai Roro Sekar Mayang dengan penuh nafsu terus menerjang Ki Sapu Jagad yang tengah terhuyung-huyung ke belakang.

Trang!
"Uhhh...!"
"Hiiih!"

Ki Sapu Jagad mengibaskan pedang berusaha menangkis sambil melompat ke samping. Tubuhnya bergulingan menghindarkan diri dari hantaman pukulan jarak jauh yang dilancarkan lawan.

Duk!
"Aaakh...!"

Pada saat itu juga seorang lawan yang lain menghantam punggungnya dengan keras. Ki Sapu Jagad menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke depan dengan mulut menyemburkan darah segar.

"Hiyaaa...!"

Dua orang lawan yang lain melompat cepat, bermaksud menghabisi orang tua itu secepatnya. Ki Sapu Jagad mengeluh pendek. Dia tidak mampu bergerak cepat. Sudah jelas senjata lawan akan menghabisi hidupnya. Orang tua itu hanya bisa menutup mata sambil berdoa dengan hati pasrah.

Siiing!
Tras! Bret!
"Aaa...!"


***


Mendadak pada saat itu mendesing sebuah benda yang mengeluarkan cahaya putih keperakan menyambar senjata-senjata lawan hingga berpentalan patah. Senjata maut itu terus melesat menyambar tenggorokan mereka. Dua orang langsung menjerit tertahan dan ambruk dengan leher nyaris putus.

"Ki Anggora, bantu yang lainnya! Biar kuhadapi wanita iblis itu...!" teriak seorang pemuda berbaju kulit harimau dan terus melesat menangkap benda yang mendesing bagaikan kilat itu.

"Hi hi hi...! Bagus! Bagus! Akhirnya semua berkumpul di tempat ini. Hari ini Pendekar Pulau Neraka akan menemukan tempat kuburan yang sesuai bagi kalian. Yeaaa...!"

Bersamaan dengan melesatnya tubuh Bayu alias Pendekar Pulau Neraka, sesosok tubuh kurus berbaju putih memburu. Wanita itu menghantamkan pukulan maut yang mengeluarkan sinar putih ke arah Bayu.

Bruakkkh!
"Aits! Heaaa...!"

Bayu berkelit dengan gesit sambil jungkir balik. Namun ketika kedua kakinya baru saja menjejak ke tanah, pukulan maut lawan menghantamnya. Pemuda itu bergerak tidak kalah sigap dan melompat tinggi. Namun Nyai Roro Sekar Mayang agaknya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun pada lawan. Tubuhnya melesat cepat bagai angin kencang dan terus menghantamkan kepalan tangan ke dada Pendekar Pulau Neraka.

Plak!
Wuuut!
"Hiiih!"

Bayu sedikit terkejut ketika tangannya berbenturan. Terasa ada hawa panas yang menyengat mengaliri tenaga dalam lawan. Dia melompat ke samping seraya mengegoskan kepala ketika ujung kaki kanan lawan menghantam ke arah dagu. Melihat dua serangannya gagal, Nyai Roro Sekar Mayang menggeram dan langsung menghantam dengan pukulan mautnya yang mengeluarkan cahaya putih.

"Jatuh...!"

Dia membentak nyaring ketika lawan masih mampu menghindar sambil bergulingan. Bayu tersentak kaget. Sesaat dia kebingungan bagai kehilangan kesabaran. Pukulan lawan tadi sempat membuat jantungnya berdegup kencang. Meski dia mampu menghindarinya, namun masih terasa perih dan sakit seperti ditusuk-tusuk akibat angin pukulan Nyai Roro Sekar Mayang.

"Yeaaa...!"

Pemuda itu membentak keras dan berusaha melawan dengan sekuat tenaga pengaruh sihir Nyai Roro Sekar Mayang.

"Hi hi hi...! Pendekar Pulau Neraka, kau harus patuh padaku! Kau harus patuh padaku! Tidak ada seorang pun yang mampu melawan pengaruh ilmu sihirku. Kau harus patuh...!" kata Nyai Roro Sekar Mayang dengan suara melengking tinggi yang mampu memecahkan gendang telinga.

Tubuh pemuda itu bergetar hebat. Teriakannya tadi hanya mampu mengusir pengaruh sihir lawan dalam sekejap. Namun begitu teriakannya hilang, pengaruh sihir Nyai Roro Sekar Mayang seperti mesibetot sukmanya.

"Tidak! Aku harus berusaha melawannya. Iblis betina ini tidak boleh menguasaiku...!" desisnya geram.

"Yeaaa...!"
Siiing!

Dengan sisa kesadarannya Pendekar Pulau Neraka mengerahkan tenaga dengan kekuatan penuh sambil mengibaskan tangan kanan. Bersamaan. dengan itu Cakra Maut nya berdesing mengeluarkan cahaya putih keperakan. Suaranya memekakkan telinga.

"Heh...?!"

Nyai Roro Sekar Mayang terkejut dan buru-buru melompat menghindar dari sambaran senjata lawan.

"Bedebah...!" makinya geram.

Bayu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tubuhnya langsung melompat melancarkan serangan cepat.

"Hiyaaa...!"
Plak!
"Hiiih!"

Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan cepat menangkis. Ujung kaki pemuda itu menyambar ke arah dada. Kali ini Bayu tidak mau memberi kesempatan lagi pada lawan untuk mengerahkan ilmu sihirnya. Dia terus menyerang dengan ganas dan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya.

Bet! Bet!
Tap!

Kepalan tangan dan kedua kakinya silih berganti menghantam lawan. Wanita itu melompat mundur untuk mengatur napasnya yang mulai memburu. Bayu dengan cepat melejit ke atas menyambar Cakra Mau yang melesat kembali. Senjata andalannya itu lalu melesat lagi menyambar lawan. Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan berusaha mengelak. Namun tak urung pinggang kirinya tersambar Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka.

Cras!
"Aaa...!"
"Hiyaaa...!"

Bayu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung menyerang terus dengan menghantamkan pukulan jarak jauh yang bertenaga kuat. Nyai Roro Sekar Mayang bergulingan menghindarinya. Namun Pendekar Pulau Neraka terus memburu sambil menangkap senjata andalannya. Dan ketika tubuhnya melompat menghindar dari hantaman pukulan jarak jauh yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Cakra Maut melesat menyambar wanita itu.

Cras!
"Aaakh!"

Nyai Roro Sekar Mayang mengeluh tertahan. Kepalanya terkulai dan nyaris lepas dari leher. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa saat sebelum ambruk dan tewas berlumuran darah.

"Wanita iblis itu mati...!" teriak salah seorang murid Ki Sapu Jagad.

"Nyai Roro Sekar Mayang tewas...!" sahut lainnya.

"Hei...!"

Tiba-tiba semua terkejut mendengar suara teriakan. Sebab bersamaan dengan tewasnya wanita itu, mereka yang tadi menyerang Ki Sapu Jagad beserta murid-muridnya dengan ganas, kini terdiam dengan pandangan mata bingung.

"Hei, apa yang telah kita lakukan di sini...?" tanya seseorang dari mereka bingung.

"Astaga! Apa yang kulakukan...?!"
"
Ki Sapu Jagad? Oh, apa yang telah terjadi...?" Ki Lodaya yang telah sadar dari pengaruh sihir Nyai Roro Sekar Mayang terperanjat kaget ketika melihat sahabatnya terluka parah. Buru-buru dia menghampiri Ki Sapu Jagad dan menolongnya. Demikian pula dengan yang lainnya. Mereka segera menolong murid-murid Ki Sapu Jagad yang terluka parah.

"Aku tidak menyalahkanmu, Ki Lodaya. Sudahlah! Semuanya sudah berakhir. Nyai Roro Sekar Mayang yang mempengaruhi kalian telah tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka...," ujar Ki Sapu Jagad ketika mendengar berkali-kali Ki Lodaya meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya terhadap sahabatnya itu.

"Pendekar Pulau Neraka? Mana dia? Kenapa aku tak melihatnya sejak tadi...?" tanya Ki Lodaya seraya mencari-cari.

"Mungkin masih ada di halaman depan...," sahut Ki Sapu Jagad seraya memutar pandangan. Namun sia-sia saja. Orang yang mereka cari tidak terlihat di tempat itu. Wajahnya tampak kecewa melihat pemuda itu tidak ditemuinya.

"Hm, mungkin dia telah meninggalkan tempat ini setelah tugasnya selesai...," ujar Ki Sapu Jagad dengan suara lirih seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Lain halnya yang dirasakan Ayu Sulastri, meski pada dasarnya apa yang mereka rasakan hampir bersamaan. Gadis itu melangkah seraya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Namun jejak pemuda itu sama sekali tidak ditemukannya.

"Kenapa? Kenapa kau pergi begitu saja tanpa pamit? Tidakkah kau mengetahui apa yang kurasa di hati ini... ? " keluh batin Ayu Sulastri dengan wajah murung. Dia tersentak kaget ketika merasa pundaknya ditepuk pelan dan melihat gurunya tersenyum kecil.

"Apa yang sedang kau cari...?" tanya orang tua itu lembut.

"Eh, tidak! Tidak apa-apa, Guru...," sahut si Gadis sedikit tergagap.

Ki Anggora tersenyum lebar seraya menarik napas panjang. "Pemuda itu memang tampan dan gagah. Untuk saat ini siapa gadis yang tidak menyukainya? Tapi..., aku tidak menyalahkanmu dan siapa pula yang bisa menduga hatinya. Mungkin kau bagai pungguk merindukan bulan. Kalau ada kata yang bisa menghibur mu adalah, lupakan dia! Kalau benar kau tidak bertepuk sebelah tangan, dia akan kembali padamu. Tapi sebaiknya kita harus hidup di alam nyata, bukan mengharap mimpi yang jauh dari kenyataan...."

"Guru, apakah suatu mimpi jika kita menyukai seseorang...?" tanya si Gadis pelan.

"Tergantung...."
"Maksud, Guru...?"

"Apakah kita yakin bahwa orang itu menyukai kita pula? Jika benar, mungkin bukan mimpi. Tapi kalau hanya kita yang menyukainya sedang dia sama sekali tidak mengetahui, itu lebih dekat ke mimpi...," sahut Ki Anggora bijak.

Ayu Sulastri mengeluh pelan seraya menghela napas berat, lalu membalikkan tubuh. Ki Anggora kembali tersenyum seraya menepuk-nepuk pundak gadis itu dan mengajaknya melangkah perlahan-lahan.

"Mudah-mudahan kau akan menemukan orang yang menyukaimu dengan sepenuh hati. Wanita lebih baik menerima laki-laki yang mencintainya sepenuh hati."

"Terima kasih, Guru. Aku akan selalu mengingat hal itu...," sahut Ayu Sulastri lirih.

Keduanya melangkah pelan. Ayu Sulastri mengerti apa yang dikatakan gurunya. Namun untuk menerimanya mungkin masih sulit. Paling tidak perlu waktu yang cukup lama, untuk memadamkan bara di hatinya yang saat ini menyala-nyala.


SELESAI

Episode Selanjutnya SETAN MATA SATU

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.