CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
PENDEKAR SUPER SAKTI
BAGIAN 12
Celaka, pikirnya. Kalau sampai pemuda ini menyeleweng, tentu akan menjadi tokoh dunia yang terjahat di antara semua keturunan Suma yang pernah hidup.
"Siapa berani menasehatinya setelah apa yang ia lakukan terhadap Kian Ti Hosiang yang di waktu itu menjadi tokoh Siauw-lim-pai?”
Han Han teringat akan hwesio tua di Siauw-lim-pai yang amat mengesankan hatinya itu dan segera bertanya, “Apakah yang telah dilakukannya terhadap hwesio Siauw-lim-pai itu?”
Im-yang Seng-cu menghela napas. “Waktu itu sungguh ia sedang gelap mata. Kian Ti Hosiang adalah seorang berilmu tinggi, tidak hanya memiliki ilmu silat yang sukar dicari bandingnya, juga memiliki ilmu batin yang amat tinggi. Hwesio itu menemui Jai-hwa-sian yang hendak mengganggu puteri seorang pembesar yang terkenal bijaksana, memberinya wejangan-wejangan. Jai-hwa-sian marah dan menantang hwesio itu. Kian Ti Hosiang mempersilakan ia menyerang asal Jai-hwa-sian berjanji untuk menghentikan perbuatannya yang sesat. Dan Jai-hwa-sian menyerangnya, tanpa ada perlawanan sama sekali dari orang berilmu itu! Kian Ti Hosiang mengorbankan dirinya untuk menyadarkan Jai-hwa-sian dan hwesio itu dipukul sampai lumpuh kedua kakinya!”
“Ahhh...! Keparat! Jahat benar dia!” Han Han memaki dan mengepal tinjunya. Kiranya hwesio tua yang mengesankan hatinya itu lumpuh kedua kakinya karena dipukul kakeknya sendiri, sengaja mengorbankan diri untuk menyadarkan kesesatan kakeknya yang jahat!
“Hemmm, dia adalah Kakekmu sendiri!” Im-yang Seng-cu memperingatkan sambil mengerutkan keningnya.
“Dia boleh seribu kali Kakekku, akan tetapi kalau dia melakukan perbuatan-perbuatan sesat seperti itu, aku tetap akan mengutuknya!” kata Han Han yang marah sekali. Kemudian ia menggerakkan tongkat di tangannya, memukul ke arah batu nisan.
“Bresssss...!” batu nisan itu hancur berkeping-keping terkena pukulan tongkat Han Han.
Im-yang Seng-cu terbelalak menyaksikan betapa pemuda itu dengan senjata hanya sebatang ranting dapat menghancurkan batu nisan, padahal ia melihat sendiri bahwa ranting itu hampir tidak menyentuh batu nisan. Jelas bahwa pemuda itu telah menghancurkan batu nisan dengan tenaga sinkang yang amat luar biasa kuatnya.
“Kenapa engkau merusak nisan Kakekmu sendiri yang kubuat dengan sengaja agar namanya tidak lenyap?” Im-yang Seng-cu bertanya dengan suara dingin. Jelas terdengar dari suaranya bahwa ia marah.
Dengan bersandar pada tongkatnya, Han Han menoleh kepadanya.
“Saya menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan locianpwe, juga terhadap kuburan Kakek saya. Akan tetapi nama seperti yang dimiliki Kakek saya perlukah dipertahankan? Hanya akan mendatangkan aib dan noda saja pada keturunannya!” Suara Han Han terdengar penuh kepahitan ketika ia mengucapkan kata-kata terakhir ‘keturunannya’ itu, ketika ia teringat betapa sesungguhnya ia adalah keturunan seorang yang begitu bejat akhlaknya!
Im-yang Seng-cu juga kelihatan marah. “Orang muda, engkau sombong! Biar pun Kakekmu tersesat dalam hal kelemahannya terhadap wanita, namun aku sebagai sahabat baiknya maklum betapa dengan susah payah ia melawan pengaruh jahat yang mengalir dalam tubuhnya sebagai darah nenek moyang Suma! Engkau pun hanya seorang manusia yang tentu memiliki kelemahan-kelemahan. Kalau engkau tak dapat memaafkan Kakekmu sendiri, bagaimana engkau akan dapat memaafkan orang lain? Hemmm, hendak kulihat engkau kelak apakah lebih baik dari pada Suma Hoat!” Setelah berkata demikian, Im-yang Seng-cu melesat pergi dan lenyap dari situ.
Han Han menghela napas panjang dan merasa menyesal bahwa guru Sin Kiat itu pun marah kepadanya.
Melihat Han Han termenung dengan wajah keruh, Kim Cu mendekatinya dan menyentuh lengannya. “Han Han, biar semua orang marah dan tidak suka kepadamu, ingatlah bahwa di sini masih ada aku yang selamanya takkan dapat membencimu...”
Hati Han Han seperti dibetot-betot. Ia memeluk gadis itu yang membenamkan mukanya di dadanya yang masih panas karena kemarahannya tadi. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, kemudian Kim Cu dapat menguasai hatinya, melepaskan pelukan Han Han dan berkata.
“Marilah kita cepat pergi dari tempat ini.” Bisikannya mengandung perasaan takut.
“Jangan takut, Kim Cu. Kalau sampai gurumu muncul dan hendak mengganggu kita, kita lawan mati-matian.”
“Aku tidak takut, Han Han, hanya aku merasa ngeri kalau harus berpisah denganmu. Marilah kita pergi.”
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan. Biar pun keduanya tidak takut lagi menghadapi ancaman Toat-beng Ciu-sian-li, namun mereka juga bukan orang-orang nekat yang ingin mencari mati. Mereka mengambil jalan melalui hutan-hutan dan mendaki lereng yang tersembunyi agar jangan sampai bertemu dengan nenek itu.
“Han Han, kesehatanmu belum pulih kembali. Kalau kita melanjutkan perjalanan terlalu lama, tentu engkau akan jatuh sakit. Maka, kurasa lebih baik kita mencari tempat persembunyian dan tinggal dulu di tempat itu sampai kesehatanmu pulih. Bagaimana?”
Han Han mengangguk. “Terserah kepadamu, Kim Cu. Akan tetapi di mana kita mencari tempat yang baik?”
Kim Cu tersenyum. Manis sekali wajahnya setelah kini mereka terlepas dari bahaya dan ia dapat tersenyum dengan hati lapang. “Kau tahu, dahulu ketika kita mendapat waktu libur dan diperbolehkan pergi untuk beberapa hari, setelah bertemu dengan engkau yang tidak mau kembali, aku lalu pergi mendaki sebuah puncak di antara puncak-puncak pegunungan ini dan bersembunyi di sebuah goa yang amat tersembunyi. Tempat itu indah sekali, goa itu merupakan terowongan yang menjurus ke tepi jurang yang tak berdasar saking tingginya! Tak seorang pun akan datang ke tempat itu.”
“Hemmm, mau apa engkau dahulu bersembunyi di tempat itu?”
Wajah Kim Cu menjadi merah. “Mau... menangis...”
Han Han memandang wajah cantik itu dengan mata terbelalak heran. “Menangis? Menangis saja mengapa mencari tempat yang tersembunyi?”
Kim Cu mengangguk. “Ya, biar tidak ketahuan orang. Aku kecewa sekali melihat engkau pergi tidak mau kembali, dan aku menangis di sana sampai kedua mataku bengkak-bengkak!”
“Ah... Kim Cu... Kim Cu...” Han Han makin terharu menyaksikan betapa gadis ini sejak dahulu telah jatuh cinta kepadanya.
Han Han merasa heran bukan main melihat perubahan dirinya. Mengapa kini ia mudah terharu, mudah berduka? Padahal dahulu ia tidak pernah selemah ini. Dan ketika ia marah-marah tadi, menghancurkan batu nisan kakeknya tidak timbul kebuasan untuk membinasakan orang. Kemarahannya tadi masih terkendali dan ia menghancurkan batu nisan dengan sadar. Ia menunduk, memandang kakinya yang buntung. Karena kebutungan kakinya itulah maka terjadi perubahan pada dirinya? Dia tidak tahu.
Melihat pemuda itu memandang kakinya yang buntung, Kim Cu salah menduga dan berkata, “Jangan khawatir, Han Han. Jalan ke puncak yang kumaksudkan itu memang sukar. Akan tetapi di bagian yang paling sukar, aku bisa menggendongmu!”
Han Han tersenyum. “Apa kau kira aku anak kecil? Betapa pun sukarnya, dengan bantuan tongkatku ini dan dengan bantuanmu, tentu akan dapat kulalui.”
Kim Cu tiba-tiba menari kegirangan mengelilingi Han Han, membuat pemuda itu makin heran. “Eh, eh, apa-apaan engkau ini? Apa kau sudah gila?”
“Hi-hik, memang aku gila. Gila karena girang melihat perubahanmu. Engkau tidak putus asa lagi dan semangatmu telah bangkit kembali. Bagus! Bagus sekali! Bukankah hal itu amat menggirangkan hati?”
Han Han memegang kedua tangan gadis itu, tongkatnya ia kempit. “Kim Cu...” katanya penuh keharuan. “Engkau seorang gadis yang baik sekali. Dengan engkau di sampingku, aku merasa seolah-olah mendapatkan Adikku Lulu yang hilang itu kembali. Memang, aku tidak akan putus asa, Kim Cu. Aku akan membuktikan kepada dunia, kepada Im-yang Seng-cu, dan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya bahwa biar pun aku keturunan Keluarga Suma yang terkutuk, akan tetapi aku tidak jahat seperti mereka, dan aku akan membuktikan bahwa seorang buntung, seperti katamu, masih dapat melakukan hal yang berguna bagi manusia dan dunia!”
“Bagus! Dan aku yakin bahwa engkau kelak tentu akan menjadi orang yang amat berguna, jauh melebihi mereka yang kakinya utuh, dan akan dapat membersihkan nama keturunan Suma yang berlepotan noda yang diperbuat oleh nenek moyangmu.”
Han Han mengangguk-angguk. “Mudah-mudahan, Kim Cu.”
Berangkatlah kedua orang muda itu mendaki puncak yang dimaksudkan Kim Cu. Menjelang malam mereka tiba di goa yang dimaksudkan, sebuah goa yang berada di puncak. Kim Cu membuat obor dari kayu kering dan mereka memasuki goa yang merupakan mulut terowongan itu. Perjalanan itu amat melelahkan, terutama sekali bagi Han Han yang kesehatannya belum pulih sama sekali.
“Sebelum gelap, aku akan keluar mencari daun-daun obat untuk lukamu. Lukamu perlu dicuci, diobati dan diganti kain pembalutnya.”
Han Han mengerutkan kening. “Eh, aku membuatmu repot sekali, Kim Cu. Daun obat dan air pencuci bisa dicari di puncak, akan tetapi kain pembalut...?”
Kim Cu memandang pakaiannya. “Pakaianku masih utuh, diambil sedikit-sedikit untuk pembalut masih lebih dari pada cukup!”
Han Han hanya menggeleng kepala dan menghela napas melihat gadis itu sambil tertawa sudah berlari ke luar goa. Dia duduk bersandar pada dinding goa, diam-diam ia merasa gelisah memikirkan Kim Cu. Gadis itu dengan jelas membuktikan cinta kasihnya yang amat mendalam kepadanya. Ia berhutang budi, dan ia suka sekali kepada Kim Cu. Akan tetapi cinta? Ah, bagaimana kalau dia tidak dapat membalas cintanya? Dia merasa gelisah kalau-kalau harus membuat gadis itu berduka kelak karena tidak mampu membalas cinta kasihnya yang demikian murni. Pula, dia seorang pemuda buntung, keturunan keluarga jahat. Dia terlalu kotor dan tidak berharga bagi seorang gadis semulia Kim Cu.
Malam itu Kim Cu datang membawa daun obat, air dan buah-buahan. Dengan tekun di bawah penerangan api unggun, gadis ini membuka balut kaki buntung Han Han, sedikit pun tidak kelihatan jijik, mencuci paha yang buntung, menaruh obat, dan membalutnya lagi menggunakan sabuk suteranya. Setelah selesai, mereka makan buah-buahan lalu mengaso dan Kim Cu tertidur di dekat api unggun.
Sampai jauh malam Han Han tidak dapat tidur. Terlalu banyak hal-hal memenuhi otaknya, dari memikirkan Lulu sampai pengalamannya di Pulau Es, memikirkan keadaan nenek moyangnya, dan akhirnya memikirkan Kim Cu. Gadis itu tertidur nyenyak sekali di dekat api unggun, tidur miring dengan muka menghadap ke arahnya. Wajah yang cantik itu tampak pucat di bawah sinar api unggun, rambutnya kusut karena tidak disisir. Bibirnya agak terbuka memperlihatkan deretan ujung gigi yang putih. Han Han mendekati api unggun, menambah kayu kering yang tadi dikumpulkan gadis itu. Sampai hampir pagi barulah Han Han dapat tidur sambil bersandar pada dinding goa, setelah tadi ia duduk bersila dengan kaki yang tinggal satu untuk memulihkan tenaga dan mengatur pernapasannya.
Han Han terkejut dan bangun dari tidurnya ketika lengannya diguncang-guncang Kim Cu. “Han Han...! Han Han... bangunlah...!”
Han Han memandang gadis itu yang mukanya pucat sekali. Segera kewaspadaannya timbul. “Ada apakah, Kim Cu?”
“Ada orang di luar... kulihat bayangannya berkelebat...”
“Hemmm, mengapa bingung. Biarkan saja.”
“Tidak, siapa tahu dia Subo! Bayangannya berkelebat cepat sekali. Mari kita sembunyi!” Gadis itu menarik-narik tangan Han Han.
Pemuda ini menurut, segera bangkit dan jalan terpincang-pincang dengan tongkatnya. Tangannya ditarik Kim Cu yang memasuki terowongan. Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinarnya menerobos memasuki terowongan itu sehingga keadaan dalam goa tidak terlalu gelap. Tiba-tiba terdengar suara yang amat mereka kenal, datangnya dari luar goa.
“Hi-hi-hik! Kalian hendak lari ke mana? Biar ada Im-yang Seng-cu aku harus mengambil nyawamu, murid murtad!”
“Celaka... dia Subo...!” Kim Cu berbisik dan menarik tangan Han Han sambil melangkah maju lebih cepat lagi.
Tak lama kemudian mereka tiba di ujung terowongan. Han Han melihat bahwa mereka berada di pinggir sebuah jurang yang amat luas. Ketika menjenguk ke bawah, matanya lantas berkunang. Demikian tinggi dan curamnya jurang ini sehingga dasarnya tidak tampak, terhalang oleh embun pagi dan awan! Mereka berhenti dan membalikkan tubuh memandang ke arah terowongan, lalu dengan hati berdebar-debar menanti munculnya Toat-beng Ciu-sian-li yang tadi mereka dengar suaranya.
Melihat betapa tubuh gadis itu menggigil dan wajahnya pucat sekali, Han Han berkata halus, “Jangan takut, Kim Cu. Aku akan selalu mendampingimu.”
“Jangan... jangan mencampuri... biarlah aku menghadapi Subo,” bisik Kim Cu sambil menjauhkan diri dari pemuda itu.
Dalam terowongan itu sunyi dan secara tiba-tiba, seperti munculnya iblis sendiri tampak tubuh Toat-beng Ciu-sian-li yang tersenyum-senyum mengerikan. Melihat gurunya ini, Kim Cu maklum bahwa biar pun Han Han membantunya, mereka tidak akan menang, dan akhirnya mereka berdua tentu akan tewas. Maka ia cepat berkata.
“Subo, teecu merasa berdosa kepada subo. Kalau teecu mau dihukum, hukumlah. Mau bunuh, bunuhlah. Akan tetapi... teecu mohon, jangan Subo mengganggu Han Han, dia sudah cukup menderita... bunuhlah teecu saja...”
“Kim Cu...!” Han Han membentak.
“Heh-heh-hi-hik, muridku yang paling kusayang, yang paling banyak kuberi ilmu-ilmuku, kini hendak menentangku sendiri? Murid murtad engkau!” Toat-beng Ciu-sian-li yang masih tersenyum-senyum menyeramkan itu memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata beringas.
Kim Cu merasa ngeri hatinya, bulu tengkuknya berdiri dan maklum bahwa tangan maut telah menjangkaunya.
“Toat-beng Ciu-sian-li! Tahan dulu! Jangan coba-coba kau berani membunuh Kim Cu!” Han Han membentak marah sambil maju terpincang-pincang.
“Bocah buntung, kau tunggulah giliranmu!” Bentak Toat-beng Ciu-sian-li sambil terkekeh dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sinar berkilauan menyambar ke arah Kim Cu dan itu adalah sebuah gelang rantai anting-antingnya yang kini digunakan sebagai senjata rahasia yang menyambar dengan kecepatan kilat ke arah gadis itu. Kim Cu memang tidak ingin melawan, maka dia berdiri seperti arca menanti datangnya senjata rahasia yang menyambar ke arah dahinya untuk merenggut nyawanya.
“Kim Cu...!” Han Han berteriak ketika melihat betapa gadis itu sama sekali tidak berusaha menghindarkan diri dari sambaran senjata itu. Han Han lupa diri dan lupa bahaya, melepaskan tongkatnya dan langsung meloncat ke depan menubruk kaki Kim Cu dengan maksud menghindarkan gadis itu dari pada ancaman maut.
“Han Han...!”
“Kim Cu...!”
“Heh-heh-heh, hi-hi-hik!” Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh ketika melihat tubuh kedua orang muda itu tergelincir ke bibir jurang!
Han Han memang berhasil menyelamatkan Kim Cu dari sambaran senjata rahasia, akan tetapi ia membawa Kim Cu bersama-sama terjerumus ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya!
Perlahan-lahan Toat-beng Ciu-sian-li melangkah ke pinggir jurang, menjenguk ke bawah lalu tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya kecewa. “Sayang..., andai dia bisa membawaku ke Pulau Es....” Nenek ini lalu berjalan ke luar dari terowongan itu, sedikit pun tidak memikirkan lagi keadaan Han Han dan Kim Cu yang dianggapnya tentu akan hancur lebur tubuhnya terbanting pada dasar jurang yang sedemikian curamnya.
Biar pun Toat-beng Ciu-sian-li adalah seorang nenek yang amat lihai dan pengalaman hidupnya sudah seratus tahun, namun ia sungguh lancang kalau berani menentukan mati hidup manusia. Hidup dan matinya manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menentukan seseorang harus hidup, biar dia dihujani selaksa batang anak panah, ada saja sebabnya yang membuat ia lolos dari bahaya maut. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang harus mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, tetap saja maut akan datang menjemput tanpa dapat dihindarkan lagi.
Kim Cu sudah hampir pingsan ketika tubuhnya meluncur ke bawah. Tenaga luncuran itu sedemikian kuatnya sehingga tidak mungkin mempergunakan ginkang dan kepalanya menjadi pening, napasnya seperti terhenti. Masih dapat dilihatnya bayangan tubuh Han Han berkelebat mendahuluinya karena tubuh Han Han yang lebih berat itu lebih cepat lagi tenaga luncurannya, apa lagi Han Han terdorong oleh tenaga loncatannya ketika menolongnya tadi. Teringat akan Han Han, Kim Cu menjadi sadar kembali dan ia menjerit panjang, “Han Hannn...!”
Seakan-akan tidak akan ada akhirnya tubuhnya meluncur ke bawah dan Kim Cu yang sudah setengah pingsan itu terheran apakah dia tidak sudah mati dan kini yang melayang-layang turun itu adalah nyawanya? Terbayang dalam otaknya akan dongeng yang pernah didengarnya bahwa sorga letaknya di atas, sedangkan neraka di bawah. Kalau begitu, apakah nyawanya sedang melayang menuju ke neraka? Ia merasa ngeri, akan tetapi ia teringat akan Han Han. Kalau di neraka ia akan bertemu dan berkumpul dengan Han Han, biarlah ia menuju ke neraka!
“Byurrrrr...!” Kim Cu merasa seolah-olah tubuhnya remuk dan ia tidak ingat apa-apa lagi!
Tiga hari tiga malam kemudian, pada pagi harinya, Kim Cu membuka mata. Tubuhnya masih terasa nyeri semua, akan tetapi ia dapat menggerakkan kaki tangannya dan membuka matanya.
“Omitohud..., Nona sudah sadar...? Omitohud, syukurlah,” terdengar suara halus.
Kim Cu menoleh ke kiri dan melihat seorang nikouw yang tersenyum memandangnya. Kepalanya gundul kelimis, sikapnya halus, mukanya menyinarkan kebahagiaan batin. Nikouw ini usianya tidak akan kurang dari enam puluh tahun, namun wajahnya halus dan merah penuh kesehatan dan ada sesuatu dalam gerak-gerik nikouw ini yang membuat ia tampak seperti seorang dewi.
“Siankouw... seorang dewi penjaga hukuman di neraka?” tanya Kim Cu yang masih menduga bahwa dia kini telah berada dalam neraka, sungguh pun ia heran mengapa neraka begini bersih dan enak, dalam sebuah kamar yang bersih dan dia rebah di atas dipan yang bertilam putih bersih pula.
“Omitohud...! Memang dunia ini neraka bagi yang belum sadar, anakku, akan tetapi sorga bagi yang telah sadar. Engkau masih hidup, Nona. Thian belum menghendaki engkau mati.”
Serentak Kim Cu bangkit duduk dan tidak memperhatikan tubuhnya yang nyeri semua rasanya. “Jadi aku masih hidup? Han Han... di mana dia...? Han Han...!” Ia menjerit, memanggil nama itu.
Nikouw itu bangkit berdiri mendekatinya dan menaruhkan tangannya yang halus di pundak Kim Cu. “Tenangkan hatimu, Nona. Engkau belum sembuh benar, tidak baik banyak bergerak. Berbaringlah kembali.”
Suara itu halus sekali, namun mengandung wibawa yang tak mungkin dapat dibantah sehingga Kim Cu merebahkan tubuhnya lagi di atas dipan. “Akan tetapi... tolonglah beri tahu, Suthai. Di mana Han Han?”
“Han Han siapakah yang Nona maksudkan?”
“Han Han... temanku. Kami berdua jatuh dari atas, dan kalau aku masih hidup dia tentu hidup pula. Ah, di mana dia?”
Nikouw itu menggeleng-geleng kepalanya. “Sukar dipercaya ada orang yang jatuh dari atas tebing gunung itu masih dapat hidup seperti engkau, Nona. Engkau telah berada di sini tiga hari tiga malam, pingsan. Dan pinni (aku) tidak pernah mendengar tentang temanmu yang bernama Han Han itu...”
“Tiga hari tiga malam? Dan Han Han tidak ada? Ah, mana mungkin? Subo, tolong ceritakan, apakah yang sesungguhnya telah terjadi?”
“Nona, sebaiknya kau ceritakan dahulu kepada pinni bagaimana engkau tiba-tiba saja jatuh dari atas, seperti dari langit saja.”
Kalau dia masih hidup, lebih baik dia tidak bercerita tentang dirinya, karena kalau hati ini terdengar oleh Toat-beng Ciu-sian-li, tentu nenek itu akan mencarinya, demikian pikirnya. “Kami... aku dan temanku itu berjalan di atas tebing, dan aku tergelincir, dia berusaha menolongku tetapi kami terjerumus ke bawah. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Subo, ceritakanlah, bagaimana aku dapat berada di sini?”
Dengan sabar nikouw itu mengambil sebuah mangkok dari atas meja. “Kau minumlah obat ini dulu, Nona. Minumlah.”
Karena maklum bahwa ia ditolong oleh nikouw ini, maka tanpa membantah Kim Cu minum obat yang pahit rasanya itu sampai habis, kemudian ia rebah kembali, siap mendengarkan cerita nikouw tua yang ramah dan amat halus tutur sapanya itu.
“Menurut nalar orang yang jatuh dari tempat setinggi itu tentu mati. Akan tetapi agaknya Thian menghendaki lain. Engkau jatuh ke dalam Sungai Hek-ho yang mengalir tepat di bawah tebing itu menuju ke timur, masuk ke saluran besar. Sungai itu di bagian bawah tebing amat deras alirannya, dan banyak mengandung batu-batu karang menonjol di permukaan dan di bawah permukaan air. Akan tetapi, omitohud... engkau agaknya jatuh di bagian yang dalam sehingga tidak terluka. Dan lebih kebetulan sekali seperti telah diatur oleh tangan Thian sendiri ketika tubuhmu yang pingsan itu timbul ke permukaan air, dari jauh kelihatan oleh perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Engkau mereka tolong dan melihat engkau seorang wanita, mereka lalu membawamu ke sini. Pinni adalah ketua dari Kwan-im-bio di sini bersama tujuh orang nikouw lain, dan karena pinni sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan, maka pinni cepat mengobatimu. Syukurlah, atas kemurahan Thian, engkau selamat....”
“Akan tetapi temanku itu bagaimana dia? Di mana dia?”
Nikouw itu menghela napas. “Kalau dia jatuh bersamamu dan masih hidup tentu telah ditolong pula oleh para nelayan. Akan tetapi tak seorang pun melihatnya dan seperti kukatakan tadi, tempat itu banyak mengandung batu karang. Kalau jatuhnya menimpa batu karang, atau seperti engkau pingsan lalu hanyut oleh air yang sedemikian derasnya... hemmm... agaknya tidak ada harapan lagi baginya.”
“Tidak...! Tidaaakkkk...!” Kim Cu menjerit dan bangkit duduk, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. “Tidak boleh dia mati aku masih hidup! Nikouw tua yang mulia, aku harus mencari dia!”
Dari pintu kamar yang terbuka itu muncul tujuh orang nikouw, yang lima sudah berusia lima puluhan tahun, yang dua masih muda, kurang lebih tiga puluh tahun. Sikap mereka juga halus-halus dan wajah mereka membayangkan ketenangan. Melihat Kim Cu hendak turun, para nikouw yang tadi mendengar jeritan gadis itu mendekati dipan dan hendak mencegahnya, mengira bahwa gadis ini menjadi bingung karena kecelakaan hebat itu.
Nikouw tua mengangkat tangan mencegah mereka, lalu memegang tangan Kim Cu dan berkata, “Engkau hendak mencari temanmu itu, Nona? Baiklah, boleh saja dan mari pinni menemanimu ke tepi sungai.”
Kim Cu berjalan dengan tubuh menggigil dan masih lemah sekali. Akan tetapi nikouw tua yang baik hati itu menggandengnya dan pergilah mereka berdua keluar dari kelenteng kecil itu, diikuti pandang mata tujuh orang nikouw yang menggerakkan pundak masing-masing, hati mereka penuh iba terhadap Kim Cu.
Dengan hati yang tidak karuan rasanya Kim Cu bersama nikouw tua itu menuju ke pinggir sungai. Ngeri hatinya melihat sungai yang benar-benar amat deras airnya, lebih ngeri menyaksikan batu-batu yang runcing tajam menonjol di seluruh permukaan sungai, akan tetapi ia benar-benar mengkirik (meremang bulu tengkuknya) ketika berdongak ke atas melihat tebing yang amat tinggi yang puncaknya tertutup mega. Dari tempat setinggi itu dia jatuh! Kim Cu mengeluarkan seruan tertahan dan kedua pundaknya menggigil.
“Percayakah engkau kini bahwa hanya tangan Tuhan saja yang mampu menyelamatkan engkau, Nona? Ada pun tentang nasib temanmu itu..., benar-benar pinni meragukan keselamatannya.”
“Tidak, kalau aku selamat, dia harus selamat, Suthai! Tolong panggil para nelayan.”
Nikouw itu bertepuk tangan, lalu menggapai ke arah seorang nelayan yang sedang menjemur jala di tepi sungai. Nelayan itu menengok dan cepat berlari menghampiri. Melihat Kim Cu, ia memandang dengan muka berseri. “Ah, inikah Nona yang jatuh dari langit itu, Sian-kouw? Sungguh beruntung, dia dapat tertolong dan kembali terbukti kelihaian Sian-kouw mengobati orang.” Ia membungkuk-bungkuk, sikapnya kasar dan sederhana.
Kim Cu berkata, “Lopek, aku berterima kasih sekali kepada para nelayan yang telah menolongku. Sekarang aku mohon kepada kalian untuk mencari temanku.”
“Temanmu, Nona? Temanmu yang mana?”
Kim Cu menahan mulutnya yang hendak menyebut nama Han Han ketika teringat bahwa nama itu takkan ada artinya bagi si nelayan. “Temanku, seorang pemuda yang ikut pula terjerumus dari tebing atas bersamaku.”
“Heh...?” Nelayan itu terkejut. “Masih ada lagi yang jatuh dari langit?”
“A-liuk, harap kau panggil berkumpul para nelayan ke sini.”
“Baik, Sian-kouw!”
Nelayan itu lalu berlari menuju ke dusun di mana tinggal para nelayan, tidak jauh dari Kuil Kwan-im-bio yang terletak di ujung dusun. Tak lama kemudian di situ telah berkumpul dua puluh orang lebih nelayan-nelayan yang sederhana. Seperti A-liuk, mereka semua merasa girang melihat Kim Cu selamat dan merasa kagum akan kepandaian nikouw yang mengobati Kim Cu.
“Paman sekalian, selain bersyukur dan amat berterima kasih kepada paman sekalian, saya minta tolong sukalah paman menceritakan teman saya yang pada hari dan saat itu jatuh pula dari atas.”
“Kami tidak melihat ada orang lain!” terdengar suara mereka riuh rendah bicara sendiri dan saling bertanya sendiri.
“Mungkin paman semua tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi karena aku selamat, kiranya dia pun selamat. Harap paman suka menggunakan perahu dan mencari di sekeliling pantai dan di seberang kalau-kalau ia terdampar dan mendarat di suatu tempat dalam keadaan terluka.”
“Kalian penuhi permintaannya. Kasihan temannya itu kalau memang benar dia selamat.”
“Baik, Sian-kouw,” jawab mereka serempak.
“Tunggu dulu, paman-paman yang baik!” Kim Cu berkata ketika melihat mereka hendak pergi melaksanakan permintaannya. Ia meloloskan delapan buah gelang emas, satu-satunya perhiasan yang berada di tubuhnya, dan menyerahkan gelang-gelang emas itu kepada mereka. “Aku hanya mempunyai gelang-gelang ini, harap paman sekalian membaginya sebagai hadiah dariku atas pertolongan kalian mencarikan temanku.”
Akan tetapi tidak ada seorang pun diantara mereka yang menerima pemberian ini. Seorang nelayan tua lalu berkata, “Nona, hadiah adalah pernyataan hati girang dan untuk membalas jasa. Sedangkan teman Nona belum diketemukan, bahkan kami belum mencarinya, bagaimana kami dapat menerima hadiah darimu? Kalau kami begitu loba, tentu Sian-kouw takkan mendoakan rejeki kami dan tentu ikan-ikan pada lari bersembunyi dari jala dan kail kami.” Setelah berkata demikian, semua nelayan itu bubar, meninggalkan Kim Cu yang masih memegangi gelang-gelangnya dengan melongo.
Nikouw tua itu tersenyum menyaksikan keheranan Kim Cu. “Mereka adalah nelayan-nelayan desa yang polos, jujur dan bersih, Nona. Dan jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh seperti pendapat orang kota. Orang kota menilai kepintaran berdasarkan akal, yang banyak akalnya dikatakan pintar, padahal akal itu hanya mereka gunakan untuk akal-akalan, saling mengakali dan menipu. Orang-orang yang tidak tahu akan akal-akal macam itu adalah sepintar-pintarnya orang.”
Selama seminggu lebih, setiap hari para nelayan mencari jejak atau tanda-tanda Han Han, namun mereka selalu kembali dengan tangan hampa, membuat hati Kim Cu yang menanti terus di tepi sungai menjadi makin hampa. Dua minggu kemudian, para nelayan menyatakan keyakinannya bahwa kalau pemuda itu benar terjatuh dari atas seperti halnya Kim Cu, tentu tubuh pemuda itu menimpa batu dan hancur lebur, atau tenggelam dan mungkin juga hanyut oleh air sungai yang amat deras. Mereka tidak mencari lagi.
Kim Cu tidak mau kembali ke kuil. Selama menanti para nelayan yang mencari-cari, dia selalu ditemani oleh nikouw tua atau kadang-kadang ditemani seorang di antara para nikouw secara bergilir. Makan dan minum pun hampir dipaksa oleh para nikouw, baru Kim Cu mau makan dan minum. Akan tetapi ia tidak pernah kembali ke kuil, tidur pun di tepi sungai!
Ketika para nelayan menghentikan pencariannya, Kim Cu seperti gila. Tidak lagi ia mau makan atau minum, tidak tidur, hanya berdiri atau duduk di tepi sungai. Wajahnya makin kurus dan pucat, rambutnya kusut dan matanya sipit dan bengkak karena terlalu banyak menangis sehingga air matanya kering!
Beberapa hari kemudian, para nikouw terpaksa menggotong tubuhnya yang menggeletak pingsan di tepi sungai, dibawa kembali ke kuil. Kembali nikouw tua itu yang sibuk mencekokkan obat ke mulutnya sampai ia siuman kembali dan dipaksa makan bubur atau obat.
“Mengapa engkau menyiksa hatimu sampai sedemikian rupa, Nona? Dicari lagi pun percuma, agaknya temanmu itu sudah tewas.”
“Kalau dia mati, aku pun akan mati!” kata Kim Cu dan ia menangis sesenggukan. “Suthai, biarkan aku mati...!” Ia terisak-isak.
“Engkau keliru, Nona. Andai kata temanmu itu mati, matinya adalah karena kehendak Tuhan. Kalau engkau memaksa ingin mati, matimu adalah mati paksaan dan amatlah tidak baik mati seperti itu, Nona.”
“Suthai, kalau Han Han mati, apa gunanya lagi aku hidup?”
Nikouw itu mengangguk-angguk dan mengelus-elus rambut gadis itu. “Nona, engkau tentu amat mencinta pemuda itu, bukan?”
Mendengar suara yang masih tenang akan tetapi menggetar penuh rasa iba dan haru ini, Kim Cu memandang dengan mata basah. “Benar, suthai. Aku mencintanya. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki.”
“Kalau begitu, engkau harus hidup, Nona. Kalau engkau mati, engkau takkan dapat berguna untuk dia. Akan tetapi kalau engkau hidup, tidak hanya engkau akan dapat berguna bagi orang yang kau cinta, akan tetapi engkau malah akan dapat berguna bagi semua orang dan dunia.”
Kim Cu memeluk nikouw itu dan berkata, “Ah, suthai. Benarkah itu? Benarkah aku akan dapat berguna, berguna bagi Han Han biar pun dia sudah sudah mati?”
Nikouw itu mengusap air mata dari kedua pipi Kim Cu dan di dalam hatinya dia pun mengusap air matanya sendiri yang mengucur di hatinya. Matanya dikejap-kejapkan untuk menahan panasnya keharuan yang mendorong air mata, mulutnya tersenyum untuk menekan keharuan hati, dan kepalanya mengangguk-angguk untuk mengganti kegaguannya untuk sementara. Setelah keharuannya reda dan ia yakin suaranya tidak menggetar, nikouw itu berkata.
“Tentu saja, anakku yang baik. Kalau engkau menghambakan dirimu kepada kebajikan, menjadi murid Kwan Im Pouwsat, menjadi seperti pinni, engkau akan dapat berguna sekali bagi temanmu itu.”
“Menjadi... nikouw...?”
Nikouw tua itu mengangguk-angguk. “Tidak langsung sekarang, terserah kepadamu. Kau pelajarilah dahulu kebajikan-kebajikan dari Kwan Im Pouwsat, kelak engkau boleh menentukan sendiri apakah suka menjadi nikouw atau tidak. Akan tetapi, setidaknya engkau sudah akan lebih tahu akan arti hidup, dan engkau dapat berdoa setiap saat untuk temanmu itu sehingga andai kata dia sudah mati, semoga ia akan mendapatkan tempat yang layak dan damai, sebaliknya kalau masih hidup, semoga dia hidup bahagia. Bukankah dengan demikian engkau akan berguna baginya? Dan berguna pula bagi orang lain...”
Kim Cu kembali menubruk dam memeluk nikouw itu sambil menangis, kemudian ia melorot turun dan berlutut di depan nikouw itu. “Teecu, Kim Cu, mohon petunjuk dari Subo...”
Demikianlah, mulai hari itu Kim Cu menjadi murid Thian Sim Nikouw dan mempelajari pelajaran kebatinan yang berpusat pada penyembahan Kwan Im Pouwsat. Akan tetapi, nasib malang masih mengharuskan Kim Cu mengelami banyak penderitaan hidup. Enam bulan sejak ia tinggal di situ, pada musim hujan, air Sungai Hek-ho meluap dan terjadi banjir besar yang menghanyutkan dusun itu, termasuk Kwan-im-bio. Para nikouw dan Kim Cu terpaksa mengungsi setelah mereka semua memberi pertolongan kepada para korban banjir.
Dalam pekerjaan yang dipimpin Thian Sim Nikouw inilah Kim Cu merasa betapa hidupnya amat berguna bagi orang lain, yang nyata dan dapat dirasainya. Ia makin tekun belajar dan makin lama ia mendapat ketenangan batin sehingga ketika semua pindah ke utara, ke sebuah lereng bukit dan mendirikan kuil kecil sederhana di sana, Kim Cu mengambil keputusan menggunduli rambutnya dan masuk menjadi nikouw! Oleh gurunya ia diberi nama Kim-sim Nikouw (Pendeta Wanita Berhati Emas). Ia telah mendapat ketenangan dan kebahagiaan batin, dan rasa rindunya yang kadang-kadang muncul terhadap Han Han, ia tekan dengan doa-doa bagi keselamatan pemuda itu, baik di dunia mau pun di akherat.....
******************
Di dalam sebuah gubuk di kaki Gunung Lu-liang-san, Lulu sadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya sedang dirawat oleh kakek pengemis yang mengobati luka-lukanya. Melihat gadis itu bergerak, kakek itu berkata perlahan.
“Jangan bergerak dulu, Nona. Luka-lukamu bekas bacokan senjata tajam tidak terlalu berbahaya, akan tetapi pukulan di punggung membuat tulangmu ada yang retak. Kau rebahlah saja dan jangan banyak bergerak.”
Lulu tersenyum, hatinya girang bahwa dia belum mati. Dia mengenal kakek jembel ini yang telah menyelamatkan nyawanya ketika golok Twa-to-kwi Liok Bu Tang si Mata Satu menyambar lehernya, yaitu kakek yang telah menangkis golok itu dengan tongkatnya.
“Locianpwe, aku berhutang satu nyawa kepadamu.”
Kakek itu memandangnya dan tersenyum melihat gadis yang berpakaian pria itu tersenyum, kaget dan kagumlah dia. “Wah, engkau memiliki daya tahan yang hebat. Hal ini membuktikan bahwa engkau telah mempelajari sinkang yang luar biasa.”
“Eh, jangan pura-pura tidak mendengar omonganku dan mengeluarkan puji-pujian kosong, locianpwe. Aku telah hutang satu nyawa kepadamu karena aku tentu telah mati kalau locianpwe tidak datang menolong.”
Kakek itu menyelesaikan pekerjaannya membalut luka-luka di tubuh Lulu, kemudian berkata sungguh-sungguh, “Nona, saling bantu di antara kita segolongan adalah wajar, bahkan saling menolong di antara manusia sudah semestinya, sama sekali tidak dapat dikatakan hutang-berhutang. Apa lagi kalau kita bersama menghadapi orang-orang Mancu yang amat jahatnya. Ah, bukan semata-mata orangnya yang jahat, karena orang Mancu pun manusia seperti kita. Yang jahat adalah pimpinan mereka yang mengatur penjajahan dan menimbulkan perang. Perang adalah jahat dan kejam, membuat manusia-manusia seperti kita menjadi binatang-binatang buas! Aku sungguh amat membenci perang, akan tetapi lebih membenci orang-orang Mancu yang menimbulkan perang!”
Hati Lulu tertarik sekali. Ucapan kakek ini benar-benar memiliki arti yang dalam, apa lagi terdengar oleh telinganya, telinga seorang gadis Mancu! “Locianpwe, apakah engkau demikian membenci orang Mancu? Engkau sendiri mengatakan tadi bahwa orang Mancu juga manusia seperti kita, mengapa locianpwe amat membenci mereka?”
“Mengapa tidak? Karena merekalah maka orang-orang seperti aku menjadi binatang-binatang buas yang membunuhi manusia lain tanpa berkedip! Dahulu, sebelum ada perang, manusia mengenal peri-kemanusiaan dan aku akan merasa bangga kalau dapat menyelamatkan nyawa seorang manusia lain dari pada ancaman bahaya maut. Dahulu, nyawa manusia amat dihargai sehingga sebuah pembunuhan akan menggegetkan dan pembunuhnya akan dikutuk manusia lain. Akan tetapi sekarang? Ah, dalam keadaan perang, manusia menjadi makhluk sejahat-jahatnya! Betapa banyaknya nyawa manusia melayang oleh perbuatanku, dan kedua tanganku yang berlumuran darah ini telah membunuh entah berapa banyak manusia lain!”
Lulu makin tertarik. Kakek itu mengucapkan kata-kata dengan penuh semangat dan kesungguhan, dan wajah yang keriputan itu tampak berduka sekali. “Akan tetapi yang locianwe lakukan adalah demi perjuangan. Locianpwe berjuang demi negara dan bangsa, dan locianpwe membunuh musuh bangsa. Bukankah hal itu merupakan perbuatan mulia?”
Tiba-tiba kakek itu tertawa dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Lulu berdiri. Kelihatannya saja tertawa, akan tetapi nadanya seperti orang menangis! “Ha-ha-ha! Inilah yang menyedihkan! Manusia menganggap penyembelihan sesama manusia ini sebagai perbuatan mulia! Makin banyak menyembelih manusia, makin banyak merenggut nyawa sesama manusia, akan gagah perkasa, makin mulia dan disebut pahlawan! Memang perjuangan membela nusa bangsa, membela tanah air adalah sebuah tugas yang mulia, akan tetapi penyembelihan sesama manusia, sungguh pun berlainan bangsa, yang dianggap mulia oleh manusia itu, apakah juga mulia dalam pandangan Thian? Apakah Thian akan bersenang hati menyaksikan manusia ciptaan-Nya saling bunuh hanya karena memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi! Tidak, Nona. Aku yakin bahwa Thian tidak menghendaki manusia berbunuh-bunuhan, dan aku yakin bahwa penyembelihan antara manusia yang oleh masing-masing golongan manusia disebut mulia dan dipuji-puji ini dikutuk Thian!”
Lulu menjadi terharu. Ia dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, dan tentu saja bagi dia, seorang gadis Mancu, ucapan itu berkesan amat dalam.
“Kata-kata locianpwe benar-benar mengejutkan hatiku. Akan tetapi, aku ingin sekali mendengar maksud ucapan locianpwe tadi bahwa perang antara manusia hanya memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi. Apakah yang locianpwe maksudkan?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Maksudku, tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak menganggap bahwa perang yang dilakukannya berdasarkan kebenaran! Lihat contohnya perang yang dikobarkan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiongkok! Bangsa Mancu menyerbu ke selatan dan mereka merasa benar karena mereka menganggap bahwa mereka semenjak dahulu direndahkan, dan menganggap bahwa mereka itu datang untuk membebaskan rakyat Tiongkok dari pada cengkeraman pemerintahan yang tidak baik. Mereka berperang dengan dasar kebenaran mereka, karena hanya kalau mereka berkuasa di sinilah maka rakyat akan dapat hidup makmur, terbebas dari pada penindasan kaisar dan pembesar-pembesar Kerajaan Beng yang lemah dan jahat dalam pandangan mereka. Jelaslah bahwa bangsa Mancu berperang dengan dasar kebenaran mereka, kebenaran palsu! Di lain pihak, Kerajaan Beng berikut semua pejuang yang melawan mereka, termasuk aku, mendasarkan perjuangan dengan kebenaran kita sendiri, kebenaran orang mempertahankan tanah airnya, kebenaran negara mempertahankan hak dan kedaulatannya. Padahal, yang diperebutkan adalah kemenangan, dan sesungguhnyalah bahwa kemenangan yang akan mendatangkan kemuliaan duniawi kepada mereka yang menang! Kalau perang hanya terbatas kepada mereka yang bercita-cita, baik para pembesar yang memperebutkan kedudukan, mau pun para prajurit yang berperang karena menerima upah, atau pejuang yang berperang karena dorongan cita-cita, masih tidak mengapa. Mereka sudah sengaja ingin terjun ke dalam kancah perang yang isinya menang atau kalah, hidup atau mati. Celakanya, rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban keganasan perang.” Kakek itu menarik napas panjang, kemudian memandang Lulu tajam-tajam dan melanjutkan kata-katanya.
“Perang ini akibatnya jahat sekali. Pertengkaran pribadi hanya menimbulkan kebencian, akan tetapi perang menimbulkan kebencian antara bangsa! Tidak ada lagi pertimbangan antara baik dan buruk, bangsa yang dibencinya karena perang, dianggapnya semua jahat dan semua harus dibasmi! Sungguh menyedihkan sekali karena baru dalam hal inilah ada persamaan pendapat antara orang baik dan orang jahat! Pendeta-pendeta dan perampok-perampok dapat bekerja sama menghadapi musuh! Dalam perang antar bangsa, biar dia perampok yang sekejam-kejamnya kalau sebangsa, dianggap sekutu. Biar sama-sama pendeta kalau menjadi bangsa yang dibenci dianggap lawan yang harus dibunuh! Dan maut yang disebar tidak memandang bulu, tidak mengenal peri-kemanusiaan lagi. Kebencian melanda dan menguasai hati nurani manusia sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan yang kejamnya melebihi serigala. Membunuh dan menyiksa dianggap perbuatan yang baik dan gagah perkasa. Semua karena gara-gara perang dan andai kata bangsa Mancu tidak mengobarkan perang lebih dulu, tidak akan terjadi segala kekejaman itu. Karena itu, aku membenci orang-orang Mancu yang menimbulkan perang, membenci mereka yang telah membuat aku sekarang menjadi seorang pembunuh berdarah dingin!” Kembali kakek itu menarik napas panjang, kelihatan berduka sekali.
“Locianpwe, bukan hanya engkau yang menderita, bukan hanya rakyat Tiongkok yang menderita akibat perang. Juga bangsa Mancu sendiri banyak yang menderita akibat perang ini, perang yang dicetuskan oleh para pimpinan dengan mengorbankan banyak rakyat. Rakyat Mancu yang dipaksa menjadi prajurit, mati di sini tanpa diketahui keluarganya. Betapa banyaknya pula rumah tangga para perwira yang hancur akibat perang, terbasmi oleh musuh mereka yang oleh mereka disebut dan dianggap para pemberontak.”
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian mengangkat muka memandang. “Eh, Nona, bagaimana Nona bisa tahu akan keadaan bangsa Mancu?”
Lulu memandang tajam dan menjawab tenang, “Tentu saja aku tahu, locianpwe, karena aku sendiri adalah seorang Mancu.”
“Ahhh...!” Kakek itu benar-benar kaget mendengar ini dan ia memandang wajah Lulu dengan sikap tegang.
“Aku adalah seorang gadis Mancu yang menjadi korban perang ini, locianpwe. Ayahku seorang perwira yang terbunuh bersama seluruh keluarganya oleh segerombolan pemberon... eh, pejuang yang dipimpin oleh seorang bernama Lauw-pangcu. Hanya aku yang dibiarkan hidup, dirampas pakaianku, diberi pakaian jembel dan aku dilepas sebagai seorang anak jembel yang hidup terlantar...!”
“Ya Tuhan...!” Kakek itu meloncat ke belakang dan berdiri tegak memandang Lulu dengan mata terbelalak. Teringatlah ia peristiwa tujuh tahun yang lalu dan ia berkata lirih penuh getaran perasaan, “Akulah Lauw-pangcu. Kini teringat olehku akulah yang memimpin teman-teman menyerbu perwira dan membunuh mereka sekeluarga. Karena engkau mengingatkan aku akan puteriku yang hampir sebaya, aku tidak membolehkan mereka membunuhmu... Ah, Nona, engkaukah kiranya anak itu? Akan tetapi mengapa engkau sekarang membantu kaum pejuang memusuhi bangsa Mancu sendiri?”
Berubah wajah Lulu. Hemmm, jadi kakek inikah musuh besarnya yang selama ini ia cari-cari? Sejenak seluruh tubuhnya menegang dan timbul keinginannya untuk menyerang kakek itu. Akan tetapi teringat akan pembicaraan mereka tadi Lulu menarik napas panjang dan... menangis! Sejenak Lauw-pangcu hanya memandang gadis yang menangis itu penuh keheranan dan keharuan, kemudian ia berkata.
“Nona, aku mengerti bahwa di dalam hatimu mengandung sakit hati dan dendam yang besar kepadaku. Andai kata engkau kini menjadi pembantu pemerintah Mancu, tentu dendammu akan kau hadapi dengan kekerasan dan engkau akan kuanggap sebagai musuh. Akan tetapi karena terbukti bahwa engkau membantu pihak pejuang menentang kekejaman pasukan Mancu, hal ini membuat hatiku terasa berat dan penuh oleh dosa terhadap dirimu. Nona, aku Lauw-pangcu bukan seorang yang tidak mengenal budi dan bukan seorang yang tidak berani menanggung segala akibat perbuatanku. Aku yang membuat keluarga Nona terbasmi, yang membuat keluarga Nona terlantar, dan menyaksikan sepak terjangmu, kini aku siap menerima pembalasanmu. Engkau boleh menbunuhku untuk membalas dendam keluargamu. Silakan, aku tidak akan melawan dan menyerahkan nyawaku sebagai tebusan dosaku kepadamu.”
Lulu mengangkat mukanya yang basah air mata memandang kakek itu, kemudian ia menangis lagi, lalu menutupi muka dengan kedua tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak... tidak..., setelah aku menyaksikan sepak terjangmu, setelah aku mendengar kata-katamu dan mengenal watakmu sebagai seorang gagah perkasa, seorang pendekar sejati, bagaimana aku dapat membunuhmu? Apa lagi setelah menyaksikan keganasan perwira-perwira Mancu... ah, biarlah kuanggap bahwa Ayah sekeluarga terbasmi oleh perang, bukan oleh tanganmu, Lauw-pangcu. Engkau membasmi mereka bukan karena benci pribadi, melainkan karena perjuanganmu, karena perang. Biarlah, aku akan melupakan semua itu...”
Lauw-pangcu terbelalak, menghela napas dan mengeluh, “Aduh, baru sekali ini selama hidupku bertemu dengan seorang wanita semuda engkau, memiliki kebijaksanaan yang begini besar! Sikapmu merupakan tusukan pedang yang tiada bandingnya, menembus hatiku. Ah, Nona, tahukah engkau betapa sikapmu ini membuat aku jauh lebih menderita penuh penyesalan selama hidup dari pada kalau engkau menusuk mati aku dengan pedangmu? Aku telah membasmi keluargamu... dan engkau tidak mau membalas dendam. Satu-satunya jalan bagiku, biarlah aku menjadi pengganti keluargamu, menjadi Ayah Ibumu, biarlah aku mengambil engkau sebagai anakku, kalau engkau sudi...”
Mendengar ini, Lulu terisak, menurunkan kedua tangan, memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang lebar, kakek yang telah menyelamatkan nyawanya, kakek yang telah membasmi keluarganya, kemudian ia mengeluarkan jerit lirih menubruk maju dan berlutut di depan kakek Lauw-pancu, “Ayah...!”
Sepasang mata kakek tua itu menitikkan dua butir air mata dan dengan penuh keharuan ia mengangkat bangun gadis itu, memegang kedua pundaknya dan menatap wajah cantik jelita dengan sepasang mata lebar yang masih mengucurkan air mata.
“Anakku..., engkau anakku..., siapakah namamu?”
“Lulu...”
“Ah, nama yang bagus! Lulu, aku akan membimbingmu, melatihmu. Engkau memiliki sinkang yang luar biasa dan gerakanmu cepat sekali, amat menakjubkan, hanya ilmu silatmu yang belum masak. Aku akan menurunkan semua kepandaianku dan kelak engkau menjadi orang yang lebih lihai dari pada aku sendiri. Akan tetapi aku heran sekali..., siapa yang mengajarimu berlatih sehinga memiliki sinkang begitu hebat dan... memiliki kebijaksanaan yang belum tentu dimiliki seorang pendeta sekali pun?”
Lulu yang merasa amat terharu dan juga berbahagia karena kini merasa mendapatkan seorang ayah, sambil bersandar di dada ‘ayah’ ini menjawab manja, seperti kalau ia bersikap manja kepada Han Han! “Ayah, yang mengajarku adalah Kakakku sendiri.”
Kembali Lauw-pangcu terkejut, memegang kedua pundak anaknya itu dan memandang wajahnya dengan tajam. “Kakakmu? Engkau mempunyai Kakak? Bukankah tadi kau katakan bahwa... bahwa yang hidup hanya tinggal engkau seorang?” Kalimat terakhir ini diucapkannya dengan pahit, mengingatkan dia bahwa dia yang membunuh semua keluarga gadis yang kini menjadi anaknya itu.
“Kakak angkat, Ayah.”
“Ohhh... jadi engkau mempunyai seorang kakak angkat dan kini mempunyai seorang ayah angkat, anakku? Agaknya engkau memang seorang yang amat baik budi sehingga banyak orang yang suka kepadamu. Kakakmu itu tentu lihai sekali.”
“Kakakku adalah orang yang paling hebat dan lihai di seluruh dunia ini...!”
“Ayah, bocah ini adalah teman si keparat Han Han!” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring disusul berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis cantik gagah yang dikenal Lulu karena gadis itu bukan lain adalah Lauw Sin Lian, murid Siauw-lim Chit-kiam yang amat lihai dan yang pernah bentrok dengan Han Han ketika mereka berdua baru keluar dari Pulau Es, ketika dia dan kakaknya membantu para piauwsu Hoa-san-pai yang diserang orang-orang Siauw-lim-pai yang mereka kira perampok.
Melihat Sin Lian yang bersikap kasar terhadap kakaknya namun yang ia duga mencinta kakaknya itu, Lulu tersenyum dan memandang dengan matanya yang lebar. Sebaliknya, Sin Lian memandang dengan mata penuh kebencian, bahkan lalu membentak dan melangkah maju, “Dia dan Han Han membantu penjahat-penjahat Hoa-san-pai dan matinya dua orang suhu-ku mungkin karena mereka!”
Melihat puterinya maju hendak menerjang Lulu, Lauw-pangcu cepat melompat ke depan Sin Lian, menghadang dan berseru. “Lian-ji (Anak Lian), tahan dulu! Dia ini adalah Adikmu!”
Mendengar ini, Sin Lian begitu kaget dan heran sehingga ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri seperti arca dalam keadaan masih memasang kuda-kuda siap menyerang. Matanya memandang kepada ayahnya penuh pertanyaan.
“Apa... apa artinya ini, Ayah?”
“Aku telah mengangkat Lulu ini sebagai anakku, Sin Lian. Dia telah membantu para pejuang dan hampir mengorbankan nyawanya untuk perjuangan, selain itu... dia adalah puteri keluarga Perwira Mancu yang terbasmi di tanganku... dan... satu-satunya jalan bagiku untuk menebus dosaku kepadanya..., yang sama sekali tidak mendendam kepadaku, adalah mengambil dia sebagai anakku sendiri, dan aku melarang engkau mengganggu adikmu sendiri!”
Wajah Sin Lian berubah agak pucat dan ia membantah, “Akan tetapi dia... dia dan Han Han bersekutu dengan Hoa-san-pai memusuhi Siauw-lim-pai...!”
“Tidak sama sekali, Enci Lian,” Lulu berkata dengan sikap tenang. Pandang matanya yang indah tajam, wajah cantik jelita yang tersenyum cerah, suara yang bening halus itu mengagumkan hati Sin Lian. “Kami sama sekali tidak pernah bersekutu dengan Hoa-san-pai, dan tidak pernah pula memusuhi Siauw-lim-pai. Semua yang dilakukan Kakakku hanyalah karena salah paham belaka.”
“Kakakmu...?” Sin Lian bertanya, bingung.
Lulu tersenyum dan wajahnya berseri. “Benar, dia adalah Kakakku, Kakak angkatku. Apakah engkau kira dia itu kekasihku, Enci Lian? Memang kekasihku, karena Han-koko adalah orang yang paling kukasihi di seluruh dunia ini, kemudian tentu saja Ayahku dan engkau Cici-ku!”
Pandang mata penuh kebencian itu melunak dan Sin Lian tak dapat berkata-kata. Ada pun Lauw-pangcu ketika mendengar bahwa anak angkatnya ini juga adik angkat Han Han, menjadi terkejut dan berseru, “Ah, sungguh tak kusangka Kakak angkatmu adalah Han Han. Bocah itu! Ceritakanlah, Lulu anakku, tentu menarik ceritamu. Sin Lian, duduklah dan kita mendengarkan ceritanya agar semua persoalan menjadi terang.”
Setelah mereka bertiga duduk, Lulu menghela napas dan berkata, “Kasihan sekali kakakku Han Han. Karena mengira murid-murid Siauw-lim-pai hendak merampok dan menghadang para piauwsu Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Kemudian melihat mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, dia mengira murid-murid Hoa-san-pai yang melakukannya sehingga dalam marahnya dia membunuh beberapa orang murid Hoa-san-pai. Akibatnya, dia dimusuhi oleh Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai!”
Sin Lian yang hatinya menjadi lega mendengar bahwa gadis cantik yang kini menjadi adik angkatnya itu ternyata bukan kekasih Han Han seperti yang tadinya ia sangka, menjadi tertarik sekali dan berkata, “Ceritakanlah... ceritakan apa yang telah terjadi sesungguhnya.”
Maka berceritalah Lulu tentang peristiwa yang ia alami bersama Han Han itu, mulai dari pertemuan mereka dengan para piauwsu Pek-eng-piauwkiok, lalu terjadi pertempuran dengan para penghadang dan munculnya Sin Lian, kemudian betapa Han Han membunuh murid-murid Hoa-san-pai, kemudian betapa dia dan kakaknya bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai.
“Ahhh...!” Lauw-pangcu menepuk pahanya setelah mendengar penuturan Lulu bahwa jelas sekali kedua pihak terpancing dan menjadi korban adu domba yang diatur oleh pihak Mancu. “Han Han menjadi korban fitnah. Hal ini harus segera dilaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai, Lian-ji, agar permusuhan antara kedua partai dapat dihentikan dan juga fitnah atas diri Han Han dibersihkan.”
“Baik, Ayah. Memang semestinya begitu. Aku pun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan ketua Siauw-lim-pai untuk pergi mencari lima orang guruku, akan tetapi sungguh heran, lima orang guruku itu tidak dapat kutemukan jejaknya. Sebaiknya aku pergi sekarang juga melaporkan hal penting itu kepada ketua Siauw-lim-pai.”
“Harap engkau tidak usah sibuk-sibuk dan capek-capek, Enci-ku yang baik. Para pimpinan Siauw-lim-pai sudah tahu akan hal itu karena aku dan Han-koko telah pula datang mengunjungi Siauw-lim-si untuk menghadap ketuanya.”
“Apa?! Dia yang telah difitnah dan dianggap musuh oleh Siauw-lim-pai malah datang mengunjungi Siauw-lim-si? Begitu beraninya?” Sin Lian terbelalak saking herannya. Sungguh gadis Mancu ini membawa cerita yang makin aneh saja. Juga Lauw-pangcu menjadi terkejut dan heran.
“Memang Han-ko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling berani di seluruh dunia ini!” kata Lulu dengan bangga. “Dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela kebenaran. Jangankan hanya mendatangi Siauw-lim-si menghadap ketua Siauw-lim-pai, biar pun harus mendatangi neraka menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut), jika dia benar, akan dia lakukan tanpa mengenal takut!”
Berceritalah dara yang lincah dan yang amat mencinta kakaknya ini akan sepak terjang Han Han ketika mengunjungi Siauw-lim-pai. Diceritakannya pula betapa Han Han dikeroyok oleh para tokoh Siauw-lim-pai, betapa Han Han masuk bertemu dengan Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan ini, makin lama Sin Lian menjadi makin terheran-heran dan diam-diam ia menjadi kagum sekali kepada Han Han yang memang amat menarik hatinya dan yang sudah ia buktikan sendiri kelihaiannya. Setelah Lulu berhenti bercerita, keadaan sunyi senyap. Lauw-pangcu termangu penuh keheranan, sedangkan Sin Lian termenung mengenangkan keadaan pemuda itu.
“Wah, ceritamu sungguh hebat!” Akhirnya Lauw-pangcu berkata sambil menarik napas panjang. “Anakku Lulu, tahukah engkau bahwa dahulu Kakakmu itu adalah muridku? Sungguh tidak nyana dia dapat menjadi seorang yang berilmu tinggi, juga engkau dapat memiliki sinkang dan ginkang yang amat luar biasa. Siapakah guru kalian?”
Biar pun Han Han pernah memesan agar dia tidak bicara tentang Pulau Es dengan siapa pun juga, akan tetapi karena Lauw-pangcu telah menjadi ayahnya sedang Sin Lian menjadi cici-nya, Lulu merasa tidak perlu merahasiakan hal itu dari mereka. Ia lalu menjawab.
“Guru kami adalah pemilik Pulau Es...”
“Heiii! Pulau Es...?” Lauw-pangcu dan Sin Lian makin terkejut. Benar-benar makin banyak hal tak terduga-duga dan aneh-aneh mereka dengar dari mulut Lulu!
“Pulau Es yang semenjak puluhan tahun dicari oleh semua tokoh kang-ouw?”
Lulu mengangguk. “Secara kebetulan saja kami dapat sampai di pulau itu dalam keadaan hampir mati setelah mengalami ancaman maut berkali-kali....”
Ia lalu bercerita tentang pengalamannya bersama Han Han ketika menjadi tawanan Ma-bin Lo-mo sampai terbawa badai dalam perahu rusak sehingga mereka mendarat di Pulau Es, menemukan peninggalan kitab-kitab pelajaran penghuni Pulau Es dan belajar ilmu selama enam tahun di tempat itu. Betapa kemudian dengan susah payah mereka dapat meninggalkan tempat itu.
Lauw-pangcu dan Sin Llan mendengarkan penuturan itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, merasa seperti mendengarkan dongeng saja. Cerita itu amat mempesona mereka, bukan hanya karena keanehan cerita itu sendiri, melainkan juga karena pandainya Lulu bercerita sehingga untuk waktu yang cukup lama kedua orang ini seperti menggantungkan pandang mata mereka kepada bibir tipis merah yang bergerak-gerak manis ketika bercerita.
“Yang berilmu tinggi-tinggi dan berusaha mati-matian mencari Pulau Es, tidak pernah berhasil, dua orang bocah yang tidak mencarinya malah mendapatkan. Ha-ha, inilah yang disebut jodoh yang terjadi atas kehendak Thian! Pantas saja engkau lihai sekali, anakku, kiranya engkau menjadi ahli waris pusaka-pusaka mukjizat yang terdapat di Pulau Es. Sungguh engkau beruntung sekali, anakku.”
“Aah, ilmu yang berhasil kumiliki dengan latihan berat tidak ada artinya, Ayah. Aku memang bodoh dan kurang tekun seperti Han-ko. Dibandingkan dengan Han-koko, ilmuku sama sekali tidak ada artinya, dia sepuluh kali lebih lihai dari pada aku!”
Sin Lian makin kagum kepada Han Han dan diam-diam jantungnya berdebar. Hatinya makin tertarik.
“Sekarang di manakah... Han Han? Mengapa engkau berpisah darinya?” Pertanyaan ini biasa saja, akan tetapi begitu menyebut Han Han, muka Sin Lian menjadi merah sekali. Hal ini tidak terlepas dari pandang mata Lulu yang tajam dan pandang mata Lauw-pangcu yang berpengalaman.
Akan tetapi karena Lulu diingatkan kepada kakaknya dan hatinya menjadi gelisah, dia tidak ingin menggoda enci angkatnya itu, bahkan lalu menghela napas dan mengerutkan alisnya yang hitam panjang, “Ahh, hal inilah yang menyusahkan hatiku. Ketika kami saling berpisah, aku tertawan oleh si keparat Ouwyang Seng murid Setan Botak, sedangkan kakakku ketika itu dikeroyok dua oleh Setan Botak dan Iblis Muka Kuda!”
“Apa? Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee mengeroyok Han Han?” Lauw-pangcu berteriak dan Sin Lian pun menjadi pucat mukanya.
Mereka mengenal siapa dua orang datuk hitam ini, tahu pula akan kehebatan ilmu kepandaian mereka. Seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang amat hebat, bahkan ke tujuh orang sakti Siauw-lim Chit-kiam ketika menghadapi Setan Botak seorang diri saja hampir kalah. Apa lagi kini dua orang datuk hitam itu sekaligus maju mengeroyok!
“Mana mungkin ia dapat menangkan dua orang datuk hitam itu?” Suara Sin Lian ini terdengar lirih, penuh kengerian dan kekhawatiran. Sembilan bagian perasaannya mengatakan bahwa tentu Han Han tewas kalau dikeroyok dua orang datuk hitam itu, betapa pun lihainya Han Han.
“Tidak, kakakku tidak akan kalah!” Lulu berkata. “Tidak mungkin Han-ko sampai kalah! Dia sakti dan cerdik, tentu dapat mengatasi dua orang kakek iblis itu! Akan tetapi, entah ke mana perginya. Aku sedang mencarinya sehingga tiba di sini dan bertemu dengan Ayah. Sekarang aku akan pergi mencarinya lagi sampai bertemu.”
“Lulu, anakku yang baik. Jangan engkau pergi dulu. Setelah aku mendapatkan seorang anak seperti engkau, mana boleh engkau lalu pergi lagi begitu saja? Engkau telah memiliki sinkang yang luar biasa, melebihi aku sendiri, bahkan mungkin sinkang-mu lebih hebat dari pada Sin Lian. Akan tetapi ilmu silatmu belum matang, dan sementara ini engkau tinggallah di sini bersamaku agar dapat kau perdalam ilmu silatmu. Aku yang akan menggemblengmu sehingga kalau ilmu silatmu sudah matang, kiranya aku sendiri sama sekali tidak akan dapat melawanmu. Engkau tidak membutuhkan waktu lama untuk mematangkan ilmu silatmu, juga Enci-mu dapat membantumu. Ada pun tentang Han Han, aku akan mengerahkan anak buahku untuk membantumu mencari kabar tentang Kakakmu itu. Kiranya akan lebih berhasil dari pada kalau engkau pergi mencari sendiri.”
“Ucapan Ayah benar sekali, Adik Lulu. Sebagai murid Siauw-lim-pai, tentu saja aku tidak boleh mengajarkan ilmu silat Siauw-lim-pai kepada orang lain yang bukan murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi agaknya sedikit banyak aku akan dapat membantumu untuk mematangkan ilmu silatmu sendiri yang hebat.”
Dibujuk oleh ayah dan enci angkat yang amat disukainya itu, akhirnya Lulu menurut dan demikianlah, mulai hari itu Lulu digembleng ilmu silat oleh Lauw-pangcu dan Sin Lian.
Benar saja, di bawah bimbingan Lauw-pangcu yang sudah berpengalaman, Lulu dapat mematangkan ilmu silatnya dan Sin Lian sendiri terheran-heran menyaksikan kehebatan sinkang adik angkatnya itu yang benar-benar lebih kuat dari dia sendiri. Juga ilmu silat yang dimainkan Lulu selain aneh, juga indah dan amat kuat.
Benar pula seperti yang diramalkan Lauw-pangcu. Setelah ilmu silatnya dimatangkan di bawah petunjuk Lauw-pangcu yang berpengalaman dan Sin Lian yang berilmu tinggi, Lulu memperoleh kemajuan hebat sekali sehingga kalau menghadapi lawan, kiranya dia lebih berbahaya dari pada Lauw-pangcu, bahkan lebih sukar dilawan dari pada Sin Lian sendiri. Hal ini adalah karena ilmu silatnya tidak dikenal orang, berbeda dengan ilmu silat Sin Lian yang merupakan ilmu asli dari Siauw-lim-pai.
Semenjak pertemuannya dengan Lulu dan mengangkat Lulu sebagai anak, semangat Lauw-pangcu dalam perjuangan menentang bangsa Mancu menurun secara menyolok sekali. Biar pun ia tidak pernah melarang anak buah Pek-lian Kai-pang melanjutkan perjuangan mereka menentang pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu), namun ia sendiri tidak aktif bergerak, bahkan lalu mengundurkan diri kembali ke sarang Pek-lian Kai-pang di lembah Sungai Huang-ho sebelah selatan, di mana ia bersama Sin Lian setiap hari berlatih silat dengan Lulu.
Hubungan antara Lulu dan Sin Lian makin akrab dan mereka saling mencinta seperti adik dan kakak kandung. Lulu memang memiliki sifat periang jenaka dan lincah hingga mendatangkan rasa suka kepada siapa saja. Juga ia jujur, polos terbuka di samping memiliki kecerdikan dan wawasan yang tajam.
Pada suatu hari, beberapa bulan setelah mereka tinggal di lembah Sungai Huang-ho, Lulu ditanggap (dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan) oleh Sin Lian tentang diri Han Han. Diam-diam Lulu mentertawakan enci-nya ini, akan tetapi secara cerdik dan nakal ia malah bercerita tentang Han Han secara berlebihan. Dipuji-pujinya kakaknya itu setinggi langit, kegagahannya, ketampanannya, kepandaiannya, dan kebaikan budinya.
“Di waktu kecil dahulu, dia adalah sahabatku,” kata Sin Lian perlahan dengan pandang mata melamun, terkenang akan masa lalu.
“Ya, dia pernah bercerita tentang dirimu, Enci Lian.”
“Betulkah? Apa yang ia katakan tentang aku?” tanya Sin Lian, wajahnya berseri.
Lulu tersenyum. “Ia pernah mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang amat baik budi.”
Wajah Sin Lian menjadi merah, akan tetapi matanya bersinar-sinar. “Ah, dahulu aku bersikap galak kepadanya, mana baik budi?”
“Akan tetapi, dia betul-betul memujimu. Agaknya dia senang akan kegalakanmu, Enci Lian. Kakakku memang sabar dan suka mengalah. Di samping segala kebaikannya hal ini membuat banyak gadis jatuh hati kepadanya. Di sepanjang perjalanan kami kulihat banyak wanita jatuh cinta kepadanya.”
Sin Lian menengok dan memandang dengan gerakan cepat. “Hemmm, bagaimana engkau bisa tahu, Adikku?”
“Hi-hik! Bagaimana aku tidak tahu? Pandang mata mereka itu! Pandang mata yang mereka tujukan kepada Han-ko terlalu jelas, tampak sinar-sinar cinta kasih memancar dari mata mereka dan Dewi Asmara mengintai dari balik senyum mereka.”
“Ihhh, genit kau!” Sin Lian mencela dan mencubit lengan adiknya.
“Aduh!” Lulu menggosok-gosok kulit lengan yang dicubit enci-nya. “Tanganmu mencubit aku, akan tetapi pikiranmu mencubit Han-ko, bukankah begitu, Enci Lian?”
“Idiiih! Engkau benar-benar centil, Adik Lulu! Sudah, jangan menggoda orang, ceritakan yang betul.”
“Aku sudah bercerita sebenarnya, masa aku membohong? Bahkan murid Im-yang Seng-cu, Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga jatuh cinta kepada Kakak Han Han. Baru berkenalan beberapa hari saja mereka sudah begitu akrab. Pendekar wanita itu seperti menjadi bayangan tubuh Han-ko, tidak mau berpisah lagi, setiap gerak-geriknya jelas menunjukkan cinta kasih yang mendalam.” Lulu menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa wajah Sin Lian yang tadinya merah itu kini berubah agak pucat dan sinar mata yang tadinya berseri itu menjadi agak muram. Ia merasa kasihan dan cepat-cepat ia menyambung.
“Akan tetapi, Hoa-san Kiam-li itu akan kecelik kalau mengira bahwa Han-koko mudah saja terjebak panah asmara. Wah, sama sekali tidak! Han-koko terlalu murni dan bersih, tidak pernah mengingat tentang asmara, apa lagi bicara tentang itu! Han-koko adalah seorang pemuda perkasa yang belum pernah diusik panah asmara, masih bersih dan mulus seperti mutiara belum digosok!” Senang sekali hati Lulu melihat betapa kata-katanya mengembalikan warna merah di kedua pipi enci angkatnya. “Dan lagi Han-koko tentu akan merundingkan soal jodohnya dengan aku, kalau sudah tiba saatnya, karena di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa kecuali aku yang menjadi adiknya. Dan aku tentu tidak akan menyetujui dia berjodoh dengan Hoa-san Kiam-li atau gadis mana pun juga, biar puteri kaisar sendiri!”
Dengan wajah heran akan tetapi tidak keruh lagi pandang matanya, Sin Lian memandang Lulu dan bertanya, “Mengapa tidak setuju, Adikku?”
“Karena aku telah menemukan seorang gadis yang betul-betul mencintanya dengan seluruh jiwa raganya, yang betul-betul cantik jelita, betul-betul gagah perkasa, dan betul-betul berbudi mulia sehingga cocok sekali untuk menjadi teman hidup Han-koko selamanya.”
Kembali wajah cantik itu kehilangan sinarnya dan suara Sin Lian agak menggetar ketika bertanya, “Siapa... siapa dia, Adikku?”
Lulu menengadah, seolah-olah hendak minta nasehat dari awan dan perlahan-lahan ia menjawab, “Gadis itu, yang kuanggap paling cocok untuk menjadi jodoh Han-koko, dikatakan dekat amatlah jauhnya karena dia sendiri tidak tahu bahwa dialah pilihanku, dikatakan jauh amatlah dekatnya karena saat ini ia duduk di depanku...”
“Aduuhhhh... Aduuuhhhhh... tobaaat, Enci...!” Lulu menjerit dan meronta-ronta sehingga cubitan pada pahanya terlepas dan ia meloncat dan lari menjauhkan diri dari Sin Lian yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus. “Wah, engkau terlalu, Enci Lian! Mencubit paha orang sampai lecet! Awas kau, kelak kulaporkan kepada Han-koko, biar kau dicubit sampai habis! Hi-hik!”
“Lulu...!” Suara Sin Lian terdengar marah, “Engkau yang terlalu! Engkau sudah kelewat batas mempermainkan aku. Apakah engkau sengaja hendak menghina Enci-mu?”
Melihat Sin Lian marah, Lulu menghampiri dan merangkulnya, mencium pipinya dan merebahkan muka di dada yang membusung itu. “Enci Lian, Enci-ku yang baik, masa engkau tega marah-marah kepada Adikmu? Aku sayang kepadamu, Enci, dan biar pun aku tadi main-main, akan tetapi main-main karena ada dasarnya. Main-main yang bisa menjadi sungguhan! Atau... engkau hendak menyangkal dan membohongi hati sendiri bahwa... bahwa engkau mencinta Han-koko?”
Terdengar isak tertahan di dada Sin Lian. Ia balas memeluk adiknya tanpa menjawab. Ketika Lulu mengangkat muka memandang dan melihat Sin Lian menitikkan dua butir air mata, Lulu bertanya lirih.
“Salahkah dugaanku, Enci? Kelirukah aku bahwa engkau mencinta Han-ko?”
Sin Lian menggigit bibir, mengejapkan mata, kemudian... mengangguk! Lulu tersenyum gembira lalu berloncatan menari-nari mengelilingi Sin Lian. “Bagus... bagus...! Wah, aku girang sekali! Engkau Enci-ku menjadi Soso-ku (Kakak Iparku) sama saja! Wah, aku bahagia sekali, Enci... eh, calon Soso yang baik!” Lulu merangkul dan menciumi kedua pipi Sin Lian.
Mau tidak mau Sin Lian tertawa juga, mengusap air matanya dan memegang kedua pundak Lulu. “Lulu, adikku yang nakal! Hanya kepadamulah aku sudi membuka rahasia hatiku ini. Bahkan di depan Ayahku sekali pun aku tidak akan suka mengaku. Akan tetapi, hendaknya engkau menutup mulut dan memegang rahasia ini, Adikku. Biar pun aku mencinta orang, harus diselidiki lebih dahulu apakah orang itu akan membalas cintaku. Dan... dan... dia masih belum diketahui berada di mana. Karena itu, mulai detik ini kuminta jangan kau bicara lagi tentang dia.”
Lulu mengangguk. “Tak mungkin aku tidak boleh bicara tentang dia, hanya aku tidak akan menyinggung perasaanmu, Enci Lian. Dan aku berjanji kelak akan mengusahakan dia membalas cinta kasihmu.”
“Sudahlah, lebih baik mari kita berlatih lagi. Kemajuanmu sudah hebat dan beberapa bulan lagi saja aku takkan kuat menandingimu.”
Kedua orang dara jelita itu lalu berlatih silat dengan tekun. Sampai setahun lebih Lulu berada di lembah Huang-ho, berlatih silat di bawah bimbingan ayah dan enci angkatnya sehingga dia memperoleh kemajuan hebat. Kemudian timbul lagi rasa rindu dan khawatirnya terhadap Han Han, maka ia minta diri dari ayah angkatnya untuk pergi mencari kakaknya. Lauw-pangcu sebetulnya tidak rela melihat puteri angkatnya yang amat dikasihinya itu pergi, akan tetapi karena maklum bahwa hati Lulu tidak akan bahagia sebelum dapat menemukan kembali Han Han terpaksa ia berkata.
“Aku merasa menyesal sekali bahwa usahaku menyebar anak buahku untuk mencari Kakak angkatmu itu selama ini sama sekali tidak ada hasilnya, Lulu. Tidak ada seorang pun di dunia kang-ouw mendengar atau melihat adanya Han Han. Oleh karena itu, sungguh pun hatiku tidak akan tenteram melihat engkau pergi sendiri, namun aku tidak dapat mencegahmu. Engkau hati-hatilah di dalam perjalanan, Lulu, karena sungguh pun sekarang tingkat kepandaianmu sudah melampaui aku, namun di dunia ini banyak sekali terdapat orang sakti yang menyeleweng dari pada kebenaran.”
“Jangan khawatir, Ayah. Kalau aku telah bertemu dengan Han-ko, aku akan mengajak dia datang ke sini, terutama sekali untuk bertemu dengan Lian-ci...” Lulu melirik ke arah Sin Lian dengan pandang mata dan senyum menggoda.
Wajah Sin Lian berubah merah sungguh pun hatinya merasa senang mendengar janji Lulu. Cepat-cepat ia bekata, “Lulu-moi, kita dapat melakukan perjalanan bersama. Aku pun hendak pergi mencari lima orang suhu-ku dan mengajak mereka mencari Puteri Nirahai yang menurut dugaanmu menjadi biang keladi semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dan yang tentu mengetahui siapa sebenarnya yang membunuh Liok-suhu dan Chit-suhu.”
Demikianlah, dua orang dara jelita itu pergi dari lembah Huang-ho yang tersembunyi, meninggalkan Lauw-pangcu yang bersunyi diri dan yang telah mengundurkan diri dari perjuangan, bahkan yang mulai menjauhkan diri dari urusan duniawi karena merasa sudah terlalu tua, ditambah kesadaran bahwa ikut sertanya dalam perang sama sekali tidak akan mengubah keadaan menjadi baik, bahkan sebaliknya. Semenjak kedua orang puterinya pergi, ia kini tekun bersemedhi bahkan menyerahkan urusan Pek-lian Kai-pang kepada para pembantunya.
Ada pun Sin Lian dan Lulu tidak lama melakukan perjalanan bersama. Sepekan kemudian mereka terpaksa harus berpisah karena Lulu hendak mencari kakaknya di kota raja, sedangkan Sin Lian hendak pergi ke Siauw-lim-si lebih dulu untuk mendengar apakah lima orang suhu-nya telah kembali ke sana. Kedua orang gadis remaja ini saling berangkulan ketika hendak berpisah dan berjanji akan segera saling bertemu kembali di lembah Huang-ho.
“Jangan lupa, Adikku. Bulan tiga tahun depan, jadi kurang enam tujuh bulan lagi adalah ulang tahun ke tujuh puluh dari Ayah kita, tepatnya jatuh pada pertengahan bulan. Aku bermaksud mengadakan sedikit pesta ulang tahun, dan engkau harus membantu dan hadir,” demikian pesan Sin Lian.
“Baik, Enci Lian. Aku pasti akan ada di sana bersama kakakku!”
Sin Lian merasa betapa jantungnya berdebar dan pipinya panas, kemudian ia merangkul sekali lagi dan mencium pipi adik angkatnya, lalu berkata, “Selamat jalan, selamat berpisah sampai jumpa kembali, Lulu.”
Maka berpisahlah kakak dan adik angkat ini. Lulu berdiri memandang enci-nya yang berlari cepat ke selatan itu sambil tersenyum. Gadis yang amat baik budi, pikirnya, lagi pula gagah perkasa dan cantik jelita. Tepat menjadi isteri Han-ko. Akan tetapi di mana kakaknya? Teringat akan ini, cepat ia membalikkan tubuhnya dan lari ke utara, arah yang berlawanan dengan larinya Sin Lian. Ia harus dapat bertemu dengan kakaknya yang sudah lama dirindukannya itu.....
******************
Telah lama kita meninggalkan Han Han. Apakah yang telah terjadi dengan Han Han setelah dalam usahanya menyelamatkan Kim Cu dia sendiri terpelanting dan terjerumus ke dalam jurang yang seolah-olah tak berdasar saking curamnya? Benarkah kekhawatiran para nikouw, Kim Cu, dan para nelayan bahwa pemuda itu tentu tewas dan hancur sehingga mayatnya pun tak dapat ditemukan? Memang, kalau menurut pengertian dan perhitungan manusia, selamatnya Kim Cu setelah terjatuh dari tempat tinggi itu merupakan hal yang ajaib dan kiranya tidak mungkin ada orang lain yang sebaik itu nasibnya. Han Han pasti hancur lebur tubuhnya!
Akan tetapi pengertian manusia sesungguhnya amat tidak berarti, amat kecil dan jauh dari pada cukup untuk dapat menjangkau dan menjenguk untuk mengukur kekuasaan Tuhan yang terlampau besar untuk dapat dipertimbangkan dan diukur oleh pengertian manusia. Logika atau nalar manusia amatlah kecil. Apa lagi tentang hidup dan mati. Jika Tuhan menghendaki kematian seseorang, ke mana pun dia pergi, biar pun dia bersembunyi ke lubang semut, tidak urung maut akan datang menjemput! Jika menghendaki sebaliknya, biar selaksa macam mala petaka mengancam, dia akan lolos dari bencana!
Demikianlah pula dengan Han Han. Agaknya Tuhan memang belum menghendaki pemuda ini tamat riwayat hidupnya, sungguh pun nyawanya sudah berada di ujung rambut, nyaris ia tewas. Ketika ia meluncur turun, lebih cepat dari pada tubuh Kim Cu yang ringan, ia menimpa air lebih keras dari pada gadis itu. Hal ini adalah karena selama melayang turun ini, pikiran Han Han penuh dengan kekhawatiran akan diri gadis itu. Dia selalu ingat akan menyelamatkan Kim Cu, maka tubuhnya melakukan gerakan melawan sehingga tubuh itu terbanting keras ke permukaan air. Hebat sekali akibatnya, membuat matanya gelap dan ia tenggelam dalam keadaan setengah pingsan.
Kebetulan sekali ia jatuh di bagian yang dalam dan airnya amat deras sehingga begitu ia jatuh dan tenggelam, tubuhnya disambar dan dihanyutkan air amat cepatnya. Dalam keadaan pening dan setengah pingsan itu, Han Han menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi kakinya yang buntung terasa nyeri sekali, hampir tak tertahankan. Untung baginya bahwa dia memang telah memiliki sinkang yang tinggi dan selama enam tahun menggembleng diri secara tekun sehingga ia telah memiliki kekuatan menahan napas.
Ia membiarkan dirinya hanyut, menahan napas dan perlahan-lahan menggerakkan kedua lengan sehingga akhirnya ia dapat juga mengambang setelah terbawa hanyut amat jauh. Aliran sungai itu makin berbelak-belok dan arusnya kuat sekali. Tubuh Han Han terbanting-banting batu karang menonjol sehingga pakaiannya robek-robek, berikut kulit tubuhnya. Kakinya terasa makin nyeri, sampai menusuk ke jantung, membuat napasnya terengah dan pandang matanya gelap. Kalau saja Tuhan tidak menolongnya, tentu Han Han tewas dalam keadaan seperti itu. Sungguh amat kebetulan bahwa pada saat itu ia tidak sadarkan diri, pingsan benar-benar.
Tangannya meraih dan kebetulan lengannya dapat merangkul sebatang pohon yang hanyut. Kedua tangannya mencengkeram ranting-ranting dan daun, dan pingsanlah dia setengah bergantung pada cabang pohon, dibawa hanyut arus air yang makin kuat.
Han Han sama sekali tidak tahu karena dia tidak sadar ketika cabang pohon itu dihanyutkan air yang makin kuat arusnya dan tiba di tempat yang sempit dan menurun. Kalau saja ia tidak memeluk kuat-kuat cabang itu di waktu hampir pingsan sehingga tubuhnya kini terbelit-belit ranting, tentu ia sudah terlepas dan tewas ditelan air. Arus air makin kuat dan tibalah di sebuah tikungan. Cabang pohon itu terhalang batu dan karena cepatnya cabang itu dihanyutkan, ketika menghantam batu karang terdorong minggir, ditangkap pusaran air dan dihanyutkan ke pinggir di mana air terpecah memasuki sebuah terowongan.
Kiranya sungai di bagian ini mempunyai banyak cabang-cabang, yaitu lubang-lubang di antara batu gunung yang merupakan goa-goa atau terowongan. Cabang pohon yang membawa tubuh Han Han hanyut memasuki terowongan yang amat panjang dan gelap. Lebih dari dua kilometer panjang terowongan ini, di mana air yang masih deras mengalir di bawah gunung karang!
Sampai setengah hari lamanya Han Han dibawa hanyut air sungai. Ketika siuman dari pingsannya, ia telah menggeletak di antara batu-batu kali yang halus dan berwarna hitam. Cabang pohon tadi hanyut oleh air terdampar ke pinggir dan terjepit di antara batu-batu. Untung bagi Han Han bahwa ia rebah terlentang sehingga hanya tubuhnya saja terendam air dangkal, mukanya terapung di permukaan air.
Ia membuka mata, mengeluh perlahan karena merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri. Akan tetapi pikirannya masih sadar dan segera ia dapat mengingat kembali keadaannya. Tahulah dia bahwa secara gaib sekali Tuhan telah menolongnya sehingga dia tidak tewas ketika terjatuh dari atas tebing yang curam itu. Sejenak ia teringat akan nasib Kim Cu dan cepat ia menggerakkan tubuh, menekankan kedua tangan pada batu hitam.
“Kim Cu...” Ia berseru perlahan. Matanya memandang ke arah air sungai yang masih deras mengalir di tengah, mencari-cari penuh harapan. Kalau dia selamat, kemungkinan besar Kim Cu selamat pula.
“Kim Cu...!” Makin keras ia memanggil. “Aku selamat, tentu engkau pun selamat...!”
“Orang muda yang lancang! Boleh jadi engkau bebas dari cengkeraman air, akan tetapi jangan harap dapat terbebas dari tanganku!”
Han Han yang kuat menahan dinginnya air karena sinkang-nya, sekarang menggigil mendengar suara itu. Suara yang merdu dan halus sekali, akan tetapi mengandung hawa dingin yang membeku. Cepat ia memutar tubuh, berpegang kepada batu dan melihat seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya dan ia bengong. Nenek itu hanya berkaki satu!
Namun, biar kakinya hanya tinggal satu, nenek itu dapat berdiri tegak di atas batu. Kaki tunggalnya itu berada di tengah-tengah bawah tubuhnya, sukar dikatakan kaki kanan ataukah kaki kiri. Berdiri tegak tak bergerak seperti sebuah arca, tangan kiri memegang tongkat sehingga lengan bajunya tersingkap dan tampak sebuah tangan yang kecil dan berkulit halus putih. Wajah yang keriputan kurus itu masih membayangkan kecantikan masa muda dan tubuhnya masih kecil ramping. Akan tetapi pandang mata nenek itu membuat Han Han mengkirik. Pandang mata yang dingin sekali. Setelah kini ia membalikkan tubuh memandang ke darat, tampak olehnya jauh di belakang wanita tua itu sebuah pondok butut
Penglihatan mata Han Han amat tajam, dia dapat mengenal orang pandai. Akan tetapi pada saat itu ia bengong dan memeras otak untuk mengingat-ingat karena ia merasa yakin bahwa ia pernah bertemu dengan wanita ini! Akan tetapi mendengar ucapan wanita tua itu, ia terkejut dan berkata.
“Maaf, locianpwe. Mengapa locianpwe mengatakan saya lancang?”
“Hemmm, aku sudah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang berani datang ke tempat pertapaanku ini dan engkau telah lancang berani datang ke sini!”
“Tapi... saya... tidak sengaja datang ke tempat ini!” Han Han memprotes.
“Tidak peduli. Engkau telah mengotori tempat ini dan engkau harus mati!” Tiba-tiba, sukar diketahui oleh Han Han bagaimana wanita itu bergerak, tahu-tahu tubuh wanita itu telah menyambar ke arahnya dan tongkat di tangan kiri itu menyambar ke arah kepalanya.
Han Han masih berdiri di dalam air, sebatas paha. Melihat sambaran yang dahsyat luar biasa ini, Han Han cepat melempar tubuh ke belakang.
“Byurrr...!” Ia terluput dari maut, akan tetapi ia gelagapan dan cepat memegang batu karang, bangun berdiri lagi. Wanita itu telah berdiri di atas batu seperti tadi, pandang matanya yang dingin bersinar marah, keningnya yang tipis berkerut.
“Hemmm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, coba kau hadapi pukulan ini!”
Sebelum Han Han dapat mencegah atau membantah, Nenek itu telah mendorong dengan tangan kanannya ke depan. Serangkum hawa yang amat dingin menyambar ke arah Han Han. Cepat pemuda itu membuang diri ke kanan.
“Pyarrrrr!” Batu hitam besar yang berada di sebelah kiri pemuda itu pecah berantakan terkena hawa pukulan yang amat dahsyat itu.
“Locianpwe, tahan...!” Han Han berseru, akan tetapi pukulan ke dua sudah datang pula, lebih hebat dari tadi. Han Han kembali mengelak ke kiri.
“Byurrrr!”
Han Han menengok dengan kaget menyaksikan betapa hawa pukulan itu membuat air di belakangnya menjadi bongkahan-bongkahan salju membeku! Maklumlah ia bahwa nenek itu memiliki Im-kang yang amat dahsyat dan kini teringatlah ia di mana ia telah ‘bertemu’ dengan nenek itu.
“Locianpwe...!”
Nenek itu sudah memukul lagi, tidak ada kesempatan lagi bagi Han Han untuk mengelak. Terpaksa ia menggerakkan tangan menangkis dengan cara mendorongkan tangan kanan ke depan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Gerakan ini tentu saja meniru gerakan yang pernah dia pelajari dari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, yaitu Swat-im Sin-ciang.
“Desssss...! Aihhhhh...!”
Tubuh nerek itu bergoyang-goyang dan ia mengeluarkan seruan kaget, sedangkan tubuh Han Han terbanting ke belakang, mulutnya mengeluarkan darah segar! Keadaan pemuda ini masih belum pulih, belum sembuh benar dari penderitaan luka di kaki yang dibuntungi, apa lagi baru saja dia dipermainkan arus air sehingga dia amat lelah dan tenaga yang ia keluarkan tadi hanyalah sisa tenaga yang tinggal separuh.
Pertemuan tenaga Im-kang dahsyat itu membuat Han Han terluka di sebelah dalam tubuhnya dan ia terhuyung, memegang batu dan jatuh di atas batu hitam.
“Keparat! Engkau pandai Swat-im Sin-ciang? Ada hubungan apa engkau dengan Si Setan Muka Kuda Siangkoan Lee?”
Akan tetapi pertanyaan yang terdengar merdu dan terlalu dingin itu seperti tak terdengar oleh Han Han yang kepalanya terasa amat pening. “Locianpwe... saya pernah bertemu dengan locianpwe... di Istana Pulau Es...”
Terdengar wanita tua itu mengeluarkan suara melengking dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di atas batu depan Han Han, tongkatnya telah diangkat ke atas, siap ditusukkan ke ubun-ubuh kepala Han Han.
“Apa kau bilang...? Pulau Es...? Orang muda, sekarang ada tiga alasan bagiku untuk membunuhmu. Pertama, engkau lancang masuk ke sini, ke dua, engkau ada hubungan dengan Siangkoan Lee dan Swat-im Sin-ciang, ke tiga, engkau tahu akan Pulau Es...!”
Tongkat diangkat ke atas, ujungnya hendak ditusukkan ke kepala Han Han. Pemuda ini melihat datangnya bahaya maut, akan tetapi kepalanya terlalu pening dan pikirannya tidak karuan. Entah bagaimana, ia merasa pasti akan mati dan ia terbayang akan beruang es yang mati di Pulau Es, maka bibirnya mengeluh, “Beruang Es itu telah mati... mati digigit ular merah...” Dan dia pun roboh pingsan, terkulai lemas.
“Beruang... beruang es...? Mati...?” Tongkat yang sudah siap menghabiskan nyawa Han Han itu perlahan-lahan turun. Nenek itu tertegun dan termenung memandang tubuh Han Han yang terkulai, kemudian tongkatnya bergerak, mencokel tubuh Han Han dan sekali digerakkan tubuh Han Han terlontar ke atas, disambut dengan lengan kanan, dikempit kemudian nenek itu meloncat-loncat dengan satu kakinya, cepat bukan main dari batu ke batu, menuju ke pondok kecil.
“Luar biasa...! Kakinya juga buntung sebelah...!” gumamnya ketika tadi melihat betapa kaki pemuda itu juga buntung sebelah.
Keadaan pemuda itu menarik perhatiannya, begitu tertarik sehingga ia tidak ingin lagi membunuhnya. Pertama, pemuda yang keadaannya sudah lemah ini ternyata sanggup menangkis pukulan Im-kang-nya. Hal ini saja sudah mengejutkannya karena tadi ia merasa betapa tangkisan itu amat kuatnya. Si Muka Kuda sendiri belum tentu dapat bertahan dan menangkis sekuat itu. Kedua, pemuda itu mengatakan pernah bertemu dengannya. Ke tiga, pemuda itu menyebut-nyebut beruang es yang mati digigit ular merah, hal ini menguatkan bukti bahwa pemuda ini berar-benar pernah berada di Pulau Es. Dan kini ke empat, kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berkaki satu menambah keinginan tahunya.
Ketika Han Han membuka matanya, pertama yang terasa olehnya adalah rasa pahit di mulut dan bau harum di hidung. Ia mengecap mulutnya dan tahulah ia bahwa dia telah dicekoki obat selagi pingsan. Teringatlah ia akan semua pengalamannya tadi. Cepat ia bangkit duduk di atas pembaringan itu dan melihat nenek tadi sedang duduk di atas kursi di sudut bilik, memandangnya penuh perhatian.
Melihat nenek itu Han Han maklum bahwa walau pun tadi ia diserang sampai roboh pingsan, namun akhirnya nenek itu telah menolongnya. Ia lalu meloncat turun dari atas pembaringan, lupa akan kakinya yang buntung sehingga akibatnya ia roboh terguling.
“Aduhhh...!” Kakinya terasa nyeri sekali, namun ia memaksa diri merangkak dan berlutut dengan sebelah kaki di depan nenek itu.
“Huh, canggung benar!” Si Nenek mencela. “Sudah berapa lama kakimu buntung?”
“Baru... baru beberapa hari, locianpwe.”
Nenek itu mengangguk-angguk. Kiranya pemuda ini malah masih menderita luka pada kakinya yang buntung! Ia makin heran dan kagum betapa pemuda yang terluka hebat masih memiliki tenaga sedemikian kuatnya.
“Sekarang lekas ceritakan semua, bagaimana engkau tahu tentang beruang es dan kapan pernah bertemu denganku? Kalau ada yang kau sembunyikan, aku tidak akan mengampuni nyawamu lagi!”
“Locianpwe, saya bernama Sie Han dan bukanlah seorang yang suka membohong atau menipu, apa lagi lancang memasuki tempat kediaman orang-orang suci. Saya tiba di tempat ini tanpa saya sengaja, juga saya dahulu tiba di Pulau Es secara kebetulan, terbawa badai dalam perahu rusak. Sampai enam tahun lamanya, saya bersama Adik angkat saya berdiam di Pulau Es, melatih diri dengar ilmu yang terdapat di kitab-kitab milik penghuni istana di Pulau Es. Setelah beruang es mati tergigit ular merah beracun dan melihat betapa pulau itu sesungguhnya tedapat ular merah yang amat berbahaya, akhirnya saya dan Adik saya berhasil melarikan diri keluar dari pulau itu. Ketika tadi... ataukah kemarin... saya melihat locianpwe di pinggir sungai, segera saya mengenal locianpwe. Bukankah locianpwe ini adalah orang yang patungnya berada di Pulau Es? Saya ada melihat tiga buah patung di sana, patung seorang pria tampan gagah yang ada bekas tusukan pada dahinya, patung seorang wanita cantik yang pandang matanya menyeramkan, dan ke tiga adalah patung wanita cantik yang... eh, seperti locianpwe...”
“Buntung kakinya?” Nenek itu bertanya dan suaranya agak menggetar.
Han Han mengangguk sambil menatap wajah nenek itu. Setelah kini sikap dingin nenek itu lenyap oleh perasaan terharu, tampaklah olehnya sifat lemah lembut seperti yang terdapat pada muka patung. Kiranya wanita yang pada dasarnya berwatak lembut ini sengaja menutup watak aslinya dengan muka dingin, dan hal ini hanya terjadi pada orang yang mengalami penderitaan batin yang amat hebat.
Tiba-tiba nenek itu mengangkat muka dan ternyata ia telah dapat menguasai getaran perasaannya, matanya bersinar dingin kembali dan ia berkata, “Benar, akulah patung wanita kaki buntung itu! Dan karena engkau telah mengetahui rahasia ini, telah pula menemukan tempat persembunyianku, lebih kuat lagi alasanku untuk membunuhmu! Bersiaplah, engkau untuk mati!” Wanita kaki buntung itu menggerakkan tangan hendak menyerang.
Han Han maklum bahwa dia bukanlah lawan wanita ini, namun telah menjadi wataknya untuk tidak menyerah begitu saja kepada siapa pun juga, apa lagi kalau dia hendak dibunuh. Timbul rasa penasaran di hatinya dan biar pun tubuhnya lemah dan rasa nyeri di kakinya belum lenyap, ia bersikap nekat hendak melawan dan membela diri. Timbul pula rasa marah. Telah dengan susah payah ia membawa surat-surat peninggalan pria penghuni Pulau Es, dan sekarang secara kebetulan ia bertemu dengan seorang di antara tiga patung di Istana Pulau Es, akan tetapi tanpa dosa apa-apa ia akan dibunuh!
“Nanti dulu, Locianpwe!” Ia berseru, suaranya nyaring sekali karena ia mengerahkan khikang sehingga nenek itu terkejut dan menahan pukulannya. “Saya tidak merasa mempunyai kesalahan apa-apa, mengapa locianpwe hendak membunuh saya? Bukankah perbuatan itu kejam dan ganas sekali? Kalau locianpwe memaksa diri ingin membunuh saya, sebagai seorang manusia terpaksa saya akan melawan locianpwe! Tetapi, karena saya pasti akan tewas di tangan locianpwe biarlah saya menyerahkan surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es kepada locianpwe agar tugas saya ini ada yang melanjutkan. Apa lagi karena locianpwe adalah seorang anggota keluarga penghuni Pulau Es, tentu lebih tahu kepada siapa surat-surat itu harus diserahkan!” Sambil berkata dengan nada keras, Han Han mengeluarkan kantung yang berisi surat-surat yang ia temukan dalam laci meja di kamar pria penghuni Istana Pulau Es, kemudian dilemparkannya kantung itu kepada Si Nenek yang cepat menyambar dengan tangannya.
“Plakkk...! Aihhhhh...!”
Tubuh nenek itu tiba-tiba lenyap dan Han Han memandang dengan mata terbelalak. Tadi ketika melontarkan kantung surat-surat itu ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Nenek itu menerima lontaran kantung dengan mudah dan tubuh Si Nenek seperti sehelai daun kering tertiup angin badai, melayang terbang keluar pintu dan beberapa detik kemudian sudah meluncur lagi memasuki pondok, berdiri di atas kaki tunggalnya dan memandangnya dengan terbelalak. Mereka sama-sama terheran karena peristiwa ini menunjukkan bahwa Si Nenek mengagumi kehebatan tenaga sinkang Han Han, sebaliknya selama hidupnya baru sekali ini Han Han menyaksikan ginkang yang sedemikian tingginya sehingga gerakan nenek itu seperti orang menghilang saja!
Akan tetapi betapa herannya hati Han Han ketika melihat nenek itu berdiri dengan muka pucat memandang surat-surat dalam kantung yang telah dibukanya, bibir nenek itu gemetar, air mata mengalir turun dari kedua matanya, tangannya dengan jari-jari menggigil mengambil surat satu demi satu, lalu tiba-tiba ia menciumi surat-surat itu, mendekap di dadanya dan terdengar jeritnya lirih.
“Aduh... Suheng..., Han Ki Koko... (Kanda Han Ki)...!” Nenek itu menekuk lutut kaki tunggalnya dan mendeprok lalu menangis tersedu-sedu, amat mengenaskan.
Han Han melongo, apa lagi dalam tangisnya, nenek itu berkali-kali menyebut nama Han-koko (Kakak Han), mengingatkan ia akan suara tangisan dan panggilan adiknya, Lulu!
“Kakanda Han... kalau memang mencinta mengapa tidak dari dahulu berterus terang...? Kalau benar engkau mencinta aku seorang... ahhh, kalau aku tahu... masa aku akan mengalah begitu saja, membiarkan suci membuntungi kakiku...? Aduh, Han-koko... Han-suheng... betapa kejamnya engkau...!”
Han Han tetap berdiri seperti patung memandang nenek itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh keharuan. Nenek itu seperti seorang anak kecil, menangis terisak-isak dan bicara sendiri seperti orang gila. Satu demi satu surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah itu dibacanya, dan tiap kali membaca sebuah surat ia menangis makin sedih. Akhirnya semua surat habis dibaca nenek itu, surat-surat itu berserakan di atas tanah lantai pondok dan Han Han melihat betapa air mata nenek itu membuat beberapa huruf hitam menjadi luntur dan kotor.
Nenek itu sendiri masih terisak-isak, seolah-olah dia telah lupa kepada Han Han dan tenggelam dalam kedukaan yang amat hebat. Wajah yang kurus itu sepucat mayat, kosong tak ada gairah hidup. Sepuluh jari tangannya mencengkeram dan membuka, seperti orang sekarat, tanda bahwa jantungnya seperti diremas-remas oleh penderitaan batin.
Han Han merasa kasihan sekali. Setelah menanti lebih dari dua jam dan nenek itu masih saja belum dapat menguasai kesedihannya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata.
“Locianpwe, ampunkanlah saya kalau penyerahan surat-surat itu mendukakan hati locianpwe... kalau saya tahu... ah, lebih baik saya buang saja surat-surat itu. Saya tidak ingin melihat locianpwe berduka seperti ini...”
Nenek itu menoleh dan memandang Han Han seperti orang bingung, seperti heran mengapa ada seorang pemuda di situ. Akan tetapi ia segera teringat kembali dan kini pandang matanya menyapu surat-surat yang berserakan di atas lantai. “Mengapa aku tidak berduka? Delapan puluh tahun lamanya aku berada di sini, menyiksa diri dan hati, menanam kebencian yang menjangkau langit, menyimpan sakit hati sedalam laut dan kini, surat-surat itu membuka rahasia, menyatakan bahwa semua penderitaanku selama puluhan tahun ini sesungguhnya sia-sia belaka, hanya muncul sebagai akibat salah paham! Dia mencintaku seorang...! Ha-ha-heh-heh-hi-hik! Ingin aku melihat wajah Maya Suci kalau dia membaca surat ini. Sebuah saja! Hi-hi-hik!” Nenek itu kini tertawa-tawa dan Han Han merasa amat terharu, seperti ditusuk jantungnya karena nenek itu tertawa seperti setan menangis!
“Ahhhhh! Apa artinya semua ini?” Tiba tiba Si Nenek mencelat dan seketika Han Han bingung karena kembali nenek itu lenyap dari pandang matanya.
Ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, bayangan putih berkelebat seperti kilat menyambar dan tahu-tahu nenek itu sudah berada kembali di tempat itu, tangannya memegang obor dan dibakarnyalah semua surat-surat yang berserakan di atas lantai. Ia kini tersenyum-senyum, tertawa-tawa melihat api yang membakar surat-surat itu menyala-nyala di sekelilingnya, kemudian ia melempar obor itu keluar pondok dan berkata.
“Han-koko, biarlah rahasia ini tetap tersimpan dalam hati kita. Biarlah kelak kita bicarakan cinta kasih antara kita kalau kita saling berjumpa di akhirat!” Dalam ucapan ini terkandung kasih sayang yang amat besar, suara nenek itu terdengar merdu dan penuh getaran kasih, membuat Han Han menjadi makin terharu hatinya.
Setelah surat-surat yang terbakar itu habis menjadi abu, nenek itu mengibaskan tangannya dan abu surat itu melayang keluar pondok, sehingga lantai itu kini bersih, sedikit pun tidak ada bekas-bekas surat yang dibakar. Nenek itu lalu memandang Han Han yang masih berlutut, suaranya kembali terdengar dingin.
“Siapa tadi namamu?”
Han Han masih merasa tegang dan heran mendengar betapa nenek itu menyebut nama si penulis surat sebagai ‘Kanda Han’, nama yang sama benar dengan namanya sungguh pun kemudian sebutan-sebutan lain membuat ia tahu bahwa laki-laki penulis surat itu tentulah suheng dari nenek ini yang bernama Han Ki. Maka ia lalu menjawab.
“Nama saya Sie Han, locianpwe.”
“Hmmm, benar namamu itu yang tadi mendatangkan rasa benci di hatiku dan membuat aku ingin membunuhmu. Akan tetapi sekarang tidak lagi, aku tidak membenci nama Han. Tidak! Eh, orang muda, sungguh keadaanmu mengherankan hatiku. Engkau telah menemukan Pulau Es, mempelajari ilmu di sana sehingga tenaga sinkang-mu luar biasa sekali. Kemudian engkau membawa surat-surat itu yang memang ditujukan kepadaku dan... dan kakimu juga buntung. Siapa yang membuntungi kakimu?”
“Yang membuntungi adalah Toat-beng Ciu-sian-li...”
“Wah-wah! Bu Ci Goat perempuan tak tahu malu itu? Hemmm, mengapa?”
Karena maklum bahwa wanita tua yang menjadi seorang di antara penghuni Pulau Es ini adalah seorang yang amat sakti, maka Han Han tidak berani berbohong!
“Dahulu, di waktu masih kecil, saya pernah menjadi muridnya dan karena saya tidak senang, lalu melarikan diri darinya. Setelah berjumpa kembali saya lalu dihukum potong kaki.”
“Bu Ci Goat sungguh tak tahu diri! Tidakkah dia tahu bahwa engkau telah menjadi ahli waris Pulau Es?”
Han Han yang tidak mengerti, apa hubungannya nenek ini dengan Toat-beng Ciu-sian-li yang disebut Bu Ci Goat itu, mengangguk.
“Sudah tahu bahwa engkau telah menjadi murid kami bertiga, tetapi dia masih berani mengganggu? Apakah engkau kalah olehnya?!” Nenek itu membentak, agaknya marah karena penasaran.
Mendengar itu, giranglah hati Han Han. Kiranya nenek yang aneh ini telah menganggap dirinya sebagai murid! Jelas bahwa nenek itu tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya, maka ia cepat berkata.
“Teecu (Murid) melawan sekuatnya, akan tetapi selain Toat-beng Ciu-sian-li amat lihai, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat membantunya sehingga teecu tertawan dan kaki teecu dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li.”
“Biar dikeroyok dengan Si Setan Botak sekali pun, sebagai murid Istana Pulau Es, amat memalukan kalau engkau sampai kalah!” Nenek itu berkata penasaran.
“Maafkan atas kebodohan teecu, locianpwe. Teecu telah beruntung sekali menemukan kitab-kitab rahasia Pulau Es dan mempelajarinya, akan tetapi karena teecu tidak menerima petunjuk langsung dari locianpwe bertiga, bagaimana teecu dapat mewarisi ilmu kepandaian tinggi? Mohon petunjuk locianpwe.”
Sejenak nenek itu memandang Han Han, kemudian menghela napas panjang. “Hemmm, setelah menemukan Pulau Es dan mempelajari kitab-kitab di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Kemudian engkau dengan setia membawa surat-surat peninggalan suheng-ku dan menyampaikannya kepadaku, berarti engkau adalah orang sendiri yang patut mendengar riwayat kami. Sekarang kakimu buntung, sama dengan kakiku, padahal selama delapan puluh tahun aku menciptakan ilmu silat yang khusus untuk seorang yang sebelah kakinya buntung, kalau tidak kuajarkan kepadamu, habis kepada siapa lagi? Akan tetapi sebelum itu engkau sebagai murid tunggal harus mengenal siapakah sebetulnya guru-gurumu, siapakah penghuni-penghuni Pulau Es yang selama ini menjadi rahasia dan tidak dikenal, sungguh pun setiap orang kang-ouw mengharapkan kemurahan penghuni-penghuni Pulau Es untuk mengulurkan tangan memberi satu dua ilmu pukulan kepada mereka. Dari manakah tokoh-tokoh macam Setan Botak mendapatkan Hwi-yang Sin-ciang, Si Muka Kuda mendapatkan Swat-im Sin-ciang kalau tidak dari Pulau Es?”
Han Han terkejut. “Teecu mendengar mereka itu menerima petunjuk dari seorang manusia dewa bernama Koai-lojin...”
“Dialah suhu mu yang pertama, Sie Han. Koai-lojin adalah suheng-ku, adalah penulis surat-surat yang kau sampaikan kepadaku.”
“Ahhhhh...!” Han Han makin terkejut dan terheran-heran.
“Dengarlah baik-baik, muridku. Akan kuceritakan secara singkat kepadamu rahasia besar itu. Guru kami, manusia dewa Bu Kek Siansu pada akhir kali muncul sebagai manusia, menggembleng kami bertiga di Pulau Es. Hanya tiga orang murid beliau, pertama adalah Kam Han Ki yang menjadi keponakan pendekar sakti Suling Emas. Ke dua adalah seorang puteri suku bangsa Khitan yang cantik jelita bernama Maya, masih keturunan dari Ratu Khitan sendiri. Ada pun orang ketiga yang menjadi murid manusia dewa itu adalah aku sendiri, Khu Siauw Bwee....”
Sampai di sini nenek itu menghela napas dan pandang matanya merenung jauh. Han Han merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Nama-nama yang disebutkan itu membuat ia kaget, heran, kagum dan mengkirik karena nama-nama itu pernah ia dengar dari murid-murid Ma-bin Lo-mo, dan dianggap sebagai nama tokoh-tokoh dalam dongeng!
“Kami bertiga menerima gemblengan Bu Kek Siansu guru kami, tidak hanya dalam ilmu silat, melainkan juga ilmu sastra dan ilmu batin. Tentu saja aku tidak dapat menandingi kelihaian suci-ku Maya, apa lagi suheng-ku Kam Han Ki. Akhirnya tiba saatnya guru kami meninggalkan kami dengan pesan agar kami bertiga meninggalkan Pulau Es dan hidup berpencar, berpisahan karena kalau kami bertiga berkumpul, akan timbul bencana di antara kami, bencana yang ditimbulkan oleh nafsu!”
“Ahhhhh, teecu ingat akan bunyi syair yang diukir pada dinding istana Pulau Es...!” Tanpa disadarinya Han Han berseru karena memang ia teringat akan syair itu, ditimbulkan oleh ucapan nenek buntung tentang mala petaka yang ditimbulkan nafsu.
“Syair apa? Ketika aku pergi, tidak ada terdapat syair di dinding! Bagaimana bunyinya?”
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
Dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga, cinta segi tiga tidak membahagiakan!
Menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
Akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
Ikatan persaudaraan dilupakan
Akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu, bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Ketika Han Han mengucapkan syair ini dengan suara lantang dan jelas, nenek itu memandangnya dengan bengong dan menggantungkan pandang mata pada bibir Han Han yang bergerak-gerak. Kemudian, setelah Han Han menghabiskan syair, keadaan menjadi sunyi dan nenek itu kembali menarik napas panjang.
“Ahhh, seolah-olah aku mendengar dia sendiri membacakan tulisan syairnya! Dialah yang menulis itu, Sie Han, dan dapat kubayangkan betapa dia menulisnya dengan hati bercucuran darah. Kasihan Han Ki Suheng!”
“Apakah yang terjadi di antara Subo (Ibu Guru) bertiga?” Han Han yang makin terseret dan tertarik kini merasa dirinya dekat dengan nenek itu dan otomatis ia tidak lagi menyebut locianpwe melainkan menyebut Subo!
“Apa yang terjadi? Telah tersurat dalam syair Koai-lojin Kam Han Ki tadi! Engkau tidak perlu tahu, muridku, urusan itu adalah urusan yang menyangkut kepribadian dan akan tetap menjadi rahasia kami.”
“Ahhhh...!” Han Han tak dapat menahan seruan kecewa ini.
Nenek itu tersenyum dan makin jelaslah kini persamaan antara wajah keriputan ini dengan wajah cantik jelita dari patung di dalam Istana Pulau Es. “Asmara gagal hanya merupakan cerita sedih. Engkau yang masih bersih dan hatimu belum disentuh tangan asmara yang jahil perlu apa tahu akan hal itu? Pendeknya, terjadi kekusutan dalam pertalian saudara kami bertiga, atau lebih tepat, antara Maya Suci dan aku. Dari dua orang kakak beradik seperguruan yang saling mencinta, kami berubah menjadi dua orang musuh, seperti dua ekor harimau memperebutkan kelinci. Kami bertanding dan aku lengah, sebelah kakiku buntung...”
“Yang mana, subo? Teecu tidak dapat membedakan, yang kanan ataukah yang kiri?”
Kembali nenek itu tersenyum dan kini Han Han merasa yakin bahwa sesungguhnya nenek buntung yang mengaku bernama Khu Siauw Bwee ini sesungguhnya merupakan seorang yang amat halus budi dan peramah, hanya menjadi ‘beku’ di luarnya, mungkin karena penderitaan batin yang hebat.
“Yang kiri, Sie Han. Kelak kalau engkau sudah mempelajari ilmu ciptaanku, engkau pun akan dapat mengubah kaki buntung menjadi kaki tunggal. Setelah kakiku buntung sebelah, Maya Suci menjadi menyesal seperti gila, lalu membunuh diri.”
“Membunuh diri?” Han Han terbelalak, teringat ia akan patung wanita yang luar biasa cantiknya, yang telah mendatangkan perasaan aneh di dadanya ketika memandang patung itu, perasaan cinta dan tergila-gila.
“Begitulah agaknya, dia melempar dirinya ke dalam jurang yang amat curam. Dan demikianlah, kami tiga murid Bu Kek Siansu yang tadinya rukun dan setia penuh kasih sayang, menjadi terpecah-pecah. Maya suci mungkin mati mungkin tidak, akan tetapi selama delapan puluh tahun aku tidak lagi mendengar tentang dia. Juga aku tidak pernah mendengar tentang dia... Ahhh, surat-suratnya...” Sepasang mata itu menjadi basah akan tetapi mulutnya tersenyum bahagia.
Han Han termenung. Teringat ia akan segala penuturan Im-yang Seng-cu tentang nenek-moyangnya. Dia adalah cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat, Si Dewa Pemerkosa Wanita, manusia cabul dan sesat. Dalam darahnya mengalir darah Suma yang terkutuk dan jahat. Akan tetapi, juga mengalir darah keturunan keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas. Dan kini, penghuni Pulau Es yang merupakan manusia setengah dewa, manusia rahasia yang disebut oleh orang-orang kang-ouw dengan sebutan Koai-lojin (Orang Tua Aneh), ternyata bernama Kam Han Ki, keponakan Suling Emas, jadi ada hubungan darah dengan dia sendiri!
Dorongan perasaan membuat Han Han menggerak-gerakkan bibir, hendak berterus terang memperkenalkan diri. Akan tetapi ia teringat bahwa hal itu adalah urusan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan nenek yang menjadi gurunya ini. Pula, dia sudah mengambil keputusan, untuk selanjutnya menggunakan she Sie tidak mau memakai she Suma yang amat dibencinya itu. Lebih baik dia tidak mengaku kepada siapa pun juga bahwa dia masih keturunan keluarga Suma yang sama sekali tak bisa dibanggakan.
Nenek itu kini tersenyum lagi. “Orang-orang di dunia kang-ouw tidak ada lagi yang mengenalku dan tentu menganggap aku telah tewas karena selama delapan puluh tahun aku bersembunyi di sini. Demikian pula dengan Maya Suci, mungkin dia sudah mati karena tidak pernah muncul di dunia. Hanya Suheng yang melanjutkan sepak terjang guru kami. Dahulu, guru kami Bu Kek Siansu selalu merantau dan melakukan hal-hal yang luar biasa, melindungi yang benar dan menyadarkan yang salah. Dahulu, nama Bu Kek Siansu kadang-kadang disebut Koai-lojin, dan sekarang pun Suheng disebut orang Koai-lojin sehingga tidak ada yang tahu siapa sebenarnya Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Mungkin juga Suhu, mungkin juga Suheng!”
“Subo, apakah... apakah Sukong Bu Kek Siansu itu masih hidup? Teecu pernah mendengar dongeng bahwa beliau telah menjadi seorang kakek tua renta di jamannya pendekar sakti Suling Emas. Kalau begitu, berapakah usianya?”
Nenek itu menggeleng-geleng kepala. “Tidak ada manusia yang mengetahuinya. Beliau boleh jadi masih hidup, boleh jadi sudah tiada. Dan tidak ada perlunya bagi kita untuk mengetahui akan hal itu. Yang penting sekarang, engkau akan kulatih dengan ilmu silat yang kuciptakan selama puluhan tahun di sini, ilmu yang khusus untuk seorang yang berkaki satu. Mari, kau ikutlah!”
Han Han tidak berani bertanya-tanya lagi dan segera bangkit lalu berloncatan dibantu tongkatnya keluar dari pondok mengikuti gurunya. Nenek itu memang buntung seperti dia, namun gerakannya cepat dan lincah sekali, jauh melebihi gerakan orang yang tidak buntung kakinya. Dia berloncatan dengan payah dibantu tongkatnya, akan tetapi nenek itu berloncatan tanpa dibantu tongkat, dan kakinya seperti ada per-nya, menotol-notol tanah tanpa mengeluarkan suara dan tubuhnya begitu ringan seperti terbang saja, makin lama makin jauh dan cepat loncatannya.
Dengan susah payah Han Han mengikuti nenek itu dan baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa daerah tempat tinggal nenek itu merupakan daerah yang amat aneh, daerah penuh batu-batu licin hitam, akan tetapi anehnya, di antara batu-batu itu dapat tumbuh pohon-pohon dan yang jarang terdapat di daerah tanah biasa. Nenek itu berhenti di sebuah telaga yang mempunyai air jernih kebiruan, akan tetapi juga penuh pula dengan batu-batu yang licin menghitam, permukaannya mengkilap tertimpa cahaya matahari.
Setelah Han Han dapat menyusulnya dan pemuda ini berdiri di dekatnya, nenek buntung itu lalu berkata, “Berapa lama engkau berada di Pulau Es?”
“Kurang lebih enam tahun, subo.”
“Apa saja yang kau pelajari selama itu?”
“Maaf, subo. Teecu memang bodoh. Kitab-kitab di sana terlalu tinggi bagi teecu, bahkan setiap kali teecu berusaha melatih diri dengan petunjuk kitab di sana, teecu jatuh sakit dan peredaran darah teecu menjadi kacau. Yang cocok hanya kitab-kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Siang-mo-kiam.”
“Eh, Siang-mo-kiam? Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa? Kau ketemu dengan mereka dan menerima warisan kitab mereka pula? Mereka adalah murid-murid pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, kau tahu?” Khu Siauw Bwee, nenek itu, makin heran dan terkejut saja mendengar pengakuan Han Han tadi.
Secara singkat Han Han lalu menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh dan yang menyerahkan kitab kepadanya, kemudian menceritakan pula betapa selama enam tahun di Pulau Es, dia hanya mencurahkan tenaga dan perhatiannya untuk melatih sinkang, sedangkan dalam hal ilmu silat, biar pun ia membaca banyak kitab-kitab di situ, namun karena tidak ada yang membimbing, dia tidak dapat memetik hasilnya.
Mendengar ini, nenek itu menggeleng-geleng kepala penuh takjub. “Dan tanpa kepandaian silat, hanya mengandalkan sinkang saja, engkau berani menentang orang-orang macam Kang-thouw-kwi, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li? Gila benar! Akan tetapi ada untungnya bagimu, Sie Han. Ilmu ciptaanku ini adalah khusus untuk orang buntung sehingga orang yang berkaki dua tidak akan mungkin dapat mempelajarinya dengan sempurna. Andai kata sebelum buntung engkau sudah mempelajari banyak ilmu silat, tentu saja ilmu silat biasa bukan untuk orang buntung, agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mempelajari ilmuku ini, karena engkau akan terpengaruh oleh ilmu-ilmu silat biasa. Aku sendiri, karena sebelum buntung telah menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari bandingnya, baru setelah delapan puluh tahun dapat menciptakan ilmu ini. Engkau masih kosong dan telah memiliki dasar sinkang yang kuat. Bagus sekali. Engkau akan cocok sekali dan dapat jauh lebih mudah mempelajarinya dari siapa pun juga. Nah, sekarang aku hendak mencoba dulu kekuatan sinkang-mu. Engkau telah kuat menangkis pukulanku, akan tetapi aku masih belum yakin akan ukuran kekuatanmu, apakah perlu ditambah atau tidak. Masukkan tanganmu di dalam air ini dan kerahkan sinkang-mu melawanku.”
Han Han meniru gurunya yang duduk di atas batu. Gurunya telah memasukkan tangan kirinya ke dalam air sebatas siku. Ia pun lalu mengulur tangan kanannya, dimasukkan ke dalam air telaga di dekat batu yang didudukinya itu. Terkejutlah ia ketika merasa betapa air itu amat dinginnya. Tadinya, ia mengira bahwa memang air telaga itu dingin, akan tetapi ketika merasa betapa air itu makin lama makin dingin, tahulah dia bahwa rasa dingin itu adalah akibat pengerahan tenaga sakti Im-kang dari gurunya yang lihai.
“Pertahankan dan lawanlah!” Gurunya berkata dan tiba-tiba air itu menjadi begitu dinginnya sampai membeku dan berubah menjadi es sehingga tangan Han Han tidak dapat dicabut kembali!
Han Han terkejut dan cepat ia mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia maklum bahwa gurunya mempergunakan Im-kang dan untuk melawannya. Ia lalu mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga Yang-kang. Seperti telah diketahui, dahulu Han Han melatih Yang-kang menurut ilmu Hwi-yang Sin-ciang dari Si Kepala Botak Gak Liat dengan merendam tangan di air masakan batu bintang yang mendidih, bahkan di dalam api, kemudian ia memperdalam dan memperkuat sinkang-nya di Pulau Es.
Biar pun bertahun-tahun melatih diri dengan sinkang, kiranya tingkat Han Han tidak akan mungkin dapat melawan tingkat Khu Siauw Bwee murid ketiga Bu Kek Siansu ini kalau tidak terjadi ketidak-wajaran dalam tubuh Han Han sebagai akibat malam terkutuk ketika ibu dan enci-nya diperkosa para perwira Mancu itu. Karena ia dibenturkan ke dinding pada saat ia dalam keadaan marah, mendendam dan batinnya tertekan, terjadi kekacauan susunan syaraf dalam tubuhnya yang mendatangkan kekuatan-kekuatan mukjizat.
Air yang tadinya membeku dan amat dingin itu kini makin lama makin mencair dan hawa dingin perlahan-lahan berubah menjadi hangat, bahkan tak lama kemudian, setelah mengerahkan seluruh tenaga sehingga mukanya berubah merah, air itu mulai mendidih! Hanya air di sekitar kedua tangan mereka saja, yaitu yang dekat batu, yang terpengaruh sinkang Han Han yang amat hebat.
Khu Siauw Bwee diam-diam menjadi kaget, heran dan kagum sekali. Akan tetapi nenek ini masih belum puas dan tiba-tiba ia mengubah sinkang-nya, mengerahkan Yang-kang sehingga air itu menjadi makin panas mendidih yang takkan tertahankan oleh kulit manusia biasa.
“Lawanlah yang ini!” serunya dengan pandang mata berseri saking girangnya.
Ketika merasa betapa air itu menjadi amat panas dan wajah gurunya yang tadi agak pucat kehijauan ketika mengerahkan Im-kang kini berubah menjadi merah, tahulah Han Han bahwa gurunya sudah mengubah sinkangnya, menjadi Yang-kang. Maka dia pun cepat mengubah sinkang-nya, menjadi tenaga dingin yang amat kuat untuk melawan tenaga panas gurunya.
Pertandingan adu tenaga sakti ini berjalan amat lama, namun akhirnya nenek itu merasa puas dan harus mengakui bahwa muridnya ini memiliki dasar kekuatan sinkang yang tidak lumrah! Ia menghentikan ujiannya lalu berkata.
“Sekarang kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat yang kuciptakan semenjak kakiku buntung.” Nenek itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking dan... lenyaplah dia dari atas batu di depan Han Han! Pemuda ini terkejut dan cepat memandang ke depan.
“Aihhhhh...!”
Ia melongo dan matanya terbelalak, mulutnya ternganga ketika akhirnya ia dapat menemukan gurunya dengan pandang matanya. Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat melihat dengan jelas dan hanya melihat sinar dan bayangan berkelebatan dari batu ke batu, cepatnya bukan main, seperti kilat menyambar.
Bayangan gurunya itu seperti sebuah mainan bola yang dilontarkan kian kemari, dari sebuah batu melayang ke batu lain, akan tetapi tidak ada sedetik lamanya hinggap di sebuah batu karena begitu menotolkan kaki turun terus mencelat lagi ke jurusan lain, kadang-kadang ke belakang, ke depan, ke kiri dan ada kalanya ke atas. Kecepatannya melebihi gerakan seekor burung walet! Makin dipandang, makin pening dan berkunang pandang mata Han Han...
"Siapa berani menasehatinya setelah apa yang ia lakukan terhadap Kian Ti Hosiang yang di waktu itu menjadi tokoh Siauw-lim-pai?”
Han Han teringat akan hwesio tua di Siauw-lim-pai yang amat mengesankan hatinya itu dan segera bertanya, “Apakah yang telah dilakukannya terhadap hwesio Siauw-lim-pai itu?”
Im-yang Seng-cu menghela napas. “Waktu itu sungguh ia sedang gelap mata. Kian Ti Hosiang adalah seorang berilmu tinggi, tidak hanya memiliki ilmu silat yang sukar dicari bandingnya, juga memiliki ilmu batin yang amat tinggi. Hwesio itu menemui Jai-hwa-sian yang hendak mengganggu puteri seorang pembesar yang terkenal bijaksana, memberinya wejangan-wejangan. Jai-hwa-sian marah dan menantang hwesio itu. Kian Ti Hosiang mempersilakan ia menyerang asal Jai-hwa-sian berjanji untuk menghentikan perbuatannya yang sesat. Dan Jai-hwa-sian menyerangnya, tanpa ada perlawanan sama sekali dari orang berilmu itu! Kian Ti Hosiang mengorbankan dirinya untuk menyadarkan Jai-hwa-sian dan hwesio itu dipukul sampai lumpuh kedua kakinya!”
“Ahhh...! Keparat! Jahat benar dia!” Han Han memaki dan mengepal tinjunya. Kiranya hwesio tua yang mengesankan hatinya itu lumpuh kedua kakinya karena dipukul kakeknya sendiri, sengaja mengorbankan diri untuk menyadarkan kesesatan kakeknya yang jahat!
“Hemmm, dia adalah Kakekmu sendiri!” Im-yang Seng-cu memperingatkan sambil mengerutkan keningnya.
“Dia boleh seribu kali Kakekku, akan tetapi kalau dia melakukan perbuatan-perbuatan sesat seperti itu, aku tetap akan mengutuknya!” kata Han Han yang marah sekali. Kemudian ia menggerakkan tongkat di tangannya, memukul ke arah batu nisan.
“Bresssss...!” batu nisan itu hancur berkeping-keping terkena pukulan tongkat Han Han.
Im-yang Seng-cu terbelalak menyaksikan betapa pemuda itu dengan senjata hanya sebatang ranting dapat menghancurkan batu nisan, padahal ia melihat sendiri bahwa ranting itu hampir tidak menyentuh batu nisan. Jelas bahwa pemuda itu telah menghancurkan batu nisan dengan tenaga sinkang yang amat luar biasa kuatnya.
“Kenapa engkau merusak nisan Kakekmu sendiri yang kubuat dengan sengaja agar namanya tidak lenyap?” Im-yang Seng-cu bertanya dengan suara dingin. Jelas terdengar dari suaranya bahwa ia marah.
Dengan bersandar pada tongkatnya, Han Han menoleh kepadanya.
“Saya menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan locianpwe, juga terhadap kuburan Kakek saya. Akan tetapi nama seperti yang dimiliki Kakek saya perlukah dipertahankan? Hanya akan mendatangkan aib dan noda saja pada keturunannya!” Suara Han Han terdengar penuh kepahitan ketika ia mengucapkan kata-kata terakhir ‘keturunannya’ itu, ketika ia teringat betapa sesungguhnya ia adalah keturunan seorang yang begitu bejat akhlaknya!
Im-yang Seng-cu juga kelihatan marah. “Orang muda, engkau sombong! Biar pun Kakekmu tersesat dalam hal kelemahannya terhadap wanita, namun aku sebagai sahabat baiknya maklum betapa dengan susah payah ia melawan pengaruh jahat yang mengalir dalam tubuhnya sebagai darah nenek moyang Suma! Engkau pun hanya seorang manusia yang tentu memiliki kelemahan-kelemahan. Kalau engkau tak dapat memaafkan Kakekmu sendiri, bagaimana engkau akan dapat memaafkan orang lain? Hemmm, hendak kulihat engkau kelak apakah lebih baik dari pada Suma Hoat!” Setelah berkata demikian, Im-yang Seng-cu melesat pergi dan lenyap dari situ.
Han Han menghela napas panjang dan merasa menyesal bahwa guru Sin Kiat itu pun marah kepadanya.
Melihat Han Han termenung dengan wajah keruh, Kim Cu mendekatinya dan menyentuh lengannya. “Han Han, biar semua orang marah dan tidak suka kepadamu, ingatlah bahwa di sini masih ada aku yang selamanya takkan dapat membencimu...”
Hati Han Han seperti dibetot-betot. Ia memeluk gadis itu yang membenamkan mukanya di dadanya yang masih panas karena kemarahannya tadi. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, kemudian Kim Cu dapat menguasai hatinya, melepaskan pelukan Han Han dan berkata.
“Marilah kita cepat pergi dari tempat ini.” Bisikannya mengandung perasaan takut.
“Jangan takut, Kim Cu. Kalau sampai gurumu muncul dan hendak mengganggu kita, kita lawan mati-matian.”
“Aku tidak takut, Han Han, hanya aku merasa ngeri kalau harus berpisah denganmu. Marilah kita pergi.”
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan. Biar pun keduanya tidak takut lagi menghadapi ancaman Toat-beng Ciu-sian-li, namun mereka juga bukan orang-orang nekat yang ingin mencari mati. Mereka mengambil jalan melalui hutan-hutan dan mendaki lereng yang tersembunyi agar jangan sampai bertemu dengan nenek itu.
“Han Han, kesehatanmu belum pulih kembali. Kalau kita melanjutkan perjalanan terlalu lama, tentu engkau akan jatuh sakit. Maka, kurasa lebih baik kita mencari tempat persembunyian dan tinggal dulu di tempat itu sampai kesehatanmu pulih. Bagaimana?”
Han Han mengangguk. “Terserah kepadamu, Kim Cu. Akan tetapi di mana kita mencari tempat yang baik?”
Kim Cu tersenyum. Manis sekali wajahnya setelah kini mereka terlepas dari bahaya dan ia dapat tersenyum dengan hati lapang. “Kau tahu, dahulu ketika kita mendapat waktu libur dan diperbolehkan pergi untuk beberapa hari, setelah bertemu dengan engkau yang tidak mau kembali, aku lalu pergi mendaki sebuah puncak di antara puncak-puncak pegunungan ini dan bersembunyi di sebuah goa yang amat tersembunyi. Tempat itu indah sekali, goa itu merupakan terowongan yang menjurus ke tepi jurang yang tak berdasar saking tingginya! Tak seorang pun akan datang ke tempat itu.”
“Hemmm, mau apa engkau dahulu bersembunyi di tempat itu?”
Wajah Kim Cu menjadi merah. “Mau... menangis...”
Han Han memandang wajah cantik itu dengan mata terbelalak heran. “Menangis? Menangis saja mengapa mencari tempat yang tersembunyi?”
Kim Cu mengangguk. “Ya, biar tidak ketahuan orang. Aku kecewa sekali melihat engkau pergi tidak mau kembali, dan aku menangis di sana sampai kedua mataku bengkak-bengkak!”
“Ah... Kim Cu... Kim Cu...” Han Han makin terharu menyaksikan betapa gadis ini sejak dahulu telah jatuh cinta kepadanya.
Han Han merasa heran bukan main melihat perubahan dirinya. Mengapa kini ia mudah terharu, mudah berduka? Padahal dahulu ia tidak pernah selemah ini. Dan ketika ia marah-marah tadi, menghancurkan batu nisan kakeknya tidak timbul kebuasan untuk membinasakan orang. Kemarahannya tadi masih terkendali dan ia menghancurkan batu nisan dengan sadar. Ia menunduk, memandang kakinya yang buntung. Karena kebutungan kakinya itulah maka terjadi perubahan pada dirinya? Dia tidak tahu.
Melihat pemuda itu memandang kakinya yang buntung, Kim Cu salah menduga dan berkata, “Jangan khawatir, Han Han. Jalan ke puncak yang kumaksudkan itu memang sukar. Akan tetapi di bagian yang paling sukar, aku bisa menggendongmu!”
Han Han tersenyum. “Apa kau kira aku anak kecil? Betapa pun sukarnya, dengan bantuan tongkatku ini dan dengan bantuanmu, tentu akan dapat kulalui.”
Kim Cu tiba-tiba menari kegirangan mengelilingi Han Han, membuat pemuda itu makin heran. “Eh, eh, apa-apaan engkau ini? Apa kau sudah gila?”
“Hi-hik, memang aku gila. Gila karena girang melihat perubahanmu. Engkau tidak putus asa lagi dan semangatmu telah bangkit kembali. Bagus! Bagus sekali! Bukankah hal itu amat menggirangkan hati?”
Han Han memegang kedua tangan gadis itu, tongkatnya ia kempit. “Kim Cu...” katanya penuh keharuan. “Engkau seorang gadis yang baik sekali. Dengan engkau di sampingku, aku merasa seolah-olah mendapatkan Adikku Lulu yang hilang itu kembali. Memang, aku tidak akan putus asa, Kim Cu. Aku akan membuktikan kepada dunia, kepada Im-yang Seng-cu, dan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya bahwa biar pun aku keturunan Keluarga Suma yang terkutuk, akan tetapi aku tidak jahat seperti mereka, dan aku akan membuktikan bahwa seorang buntung, seperti katamu, masih dapat melakukan hal yang berguna bagi manusia dan dunia!”
“Bagus! Dan aku yakin bahwa engkau kelak tentu akan menjadi orang yang amat berguna, jauh melebihi mereka yang kakinya utuh, dan akan dapat membersihkan nama keturunan Suma yang berlepotan noda yang diperbuat oleh nenek moyangmu.”
Han Han mengangguk-angguk. “Mudah-mudahan, Kim Cu.”
Berangkatlah kedua orang muda itu mendaki puncak yang dimaksudkan Kim Cu. Menjelang malam mereka tiba di goa yang dimaksudkan, sebuah goa yang berada di puncak. Kim Cu membuat obor dari kayu kering dan mereka memasuki goa yang merupakan mulut terowongan itu. Perjalanan itu amat melelahkan, terutama sekali bagi Han Han yang kesehatannya belum pulih sama sekali.
“Sebelum gelap, aku akan keluar mencari daun-daun obat untuk lukamu. Lukamu perlu dicuci, diobati dan diganti kain pembalutnya.”
Han Han mengerutkan kening. “Eh, aku membuatmu repot sekali, Kim Cu. Daun obat dan air pencuci bisa dicari di puncak, akan tetapi kain pembalut...?”
Kim Cu memandang pakaiannya. “Pakaianku masih utuh, diambil sedikit-sedikit untuk pembalut masih lebih dari pada cukup!”
Han Han hanya menggeleng kepala dan menghela napas melihat gadis itu sambil tertawa sudah berlari ke luar goa. Dia duduk bersandar pada dinding goa, diam-diam ia merasa gelisah memikirkan Kim Cu. Gadis itu dengan jelas membuktikan cinta kasihnya yang amat mendalam kepadanya. Ia berhutang budi, dan ia suka sekali kepada Kim Cu. Akan tetapi cinta? Ah, bagaimana kalau dia tidak dapat membalas cintanya? Dia merasa gelisah kalau-kalau harus membuat gadis itu berduka kelak karena tidak mampu membalas cinta kasihnya yang demikian murni. Pula, dia seorang pemuda buntung, keturunan keluarga jahat. Dia terlalu kotor dan tidak berharga bagi seorang gadis semulia Kim Cu.
Malam itu Kim Cu datang membawa daun obat, air dan buah-buahan. Dengan tekun di bawah penerangan api unggun, gadis ini membuka balut kaki buntung Han Han, sedikit pun tidak kelihatan jijik, mencuci paha yang buntung, menaruh obat, dan membalutnya lagi menggunakan sabuk suteranya. Setelah selesai, mereka makan buah-buahan lalu mengaso dan Kim Cu tertidur di dekat api unggun.
Sampai jauh malam Han Han tidak dapat tidur. Terlalu banyak hal-hal memenuhi otaknya, dari memikirkan Lulu sampai pengalamannya di Pulau Es, memikirkan keadaan nenek moyangnya, dan akhirnya memikirkan Kim Cu. Gadis itu tertidur nyenyak sekali di dekat api unggun, tidur miring dengan muka menghadap ke arahnya. Wajah yang cantik itu tampak pucat di bawah sinar api unggun, rambutnya kusut karena tidak disisir. Bibirnya agak terbuka memperlihatkan deretan ujung gigi yang putih. Han Han mendekati api unggun, menambah kayu kering yang tadi dikumpulkan gadis itu. Sampai hampir pagi barulah Han Han dapat tidur sambil bersandar pada dinding goa, setelah tadi ia duduk bersila dengan kaki yang tinggal satu untuk memulihkan tenaga dan mengatur pernapasannya.
Han Han terkejut dan bangun dari tidurnya ketika lengannya diguncang-guncang Kim Cu. “Han Han...! Han Han... bangunlah...!”
Han Han memandang gadis itu yang mukanya pucat sekali. Segera kewaspadaannya timbul. “Ada apakah, Kim Cu?”
“Ada orang di luar... kulihat bayangannya berkelebat...”
“Hemmm, mengapa bingung. Biarkan saja.”
“Tidak, siapa tahu dia Subo! Bayangannya berkelebat cepat sekali. Mari kita sembunyi!” Gadis itu menarik-narik tangan Han Han.
Pemuda ini menurut, segera bangkit dan jalan terpincang-pincang dengan tongkatnya. Tangannya ditarik Kim Cu yang memasuki terowongan. Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinarnya menerobos memasuki terowongan itu sehingga keadaan dalam goa tidak terlalu gelap. Tiba-tiba terdengar suara yang amat mereka kenal, datangnya dari luar goa.
“Hi-hi-hik! Kalian hendak lari ke mana? Biar ada Im-yang Seng-cu aku harus mengambil nyawamu, murid murtad!”
“Celaka... dia Subo...!” Kim Cu berbisik dan menarik tangan Han Han sambil melangkah maju lebih cepat lagi.
Tak lama kemudian mereka tiba di ujung terowongan. Han Han melihat bahwa mereka berada di pinggir sebuah jurang yang amat luas. Ketika menjenguk ke bawah, matanya lantas berkunang. Demikian tinggi dan curamnya jurang ini sehingga dasarnya tidak tampak, terhalang oleh embun pagi dan awan! Mereka berhenti dan membalikkan tubuh memandang ke arah terowongan, lalu dengan hati berdebar-debar menanti munculnya Toat-beng Ciu-sian-li yang tadi mereka dengar suaranya.
Melihat betapa tubuh gadis itu menggigil dan wajahnya pucat sekali, Han Han berkata halus, “Jangan takut, Kim Cu. Aku akan selalu mendampingimu.”
“Jangan... jangan mencampuri... biarlah aku menghadapi Subo,” bisik Kim Cu sambil menjauhkan diri dari pemuda itu.
Dalam terowongan itu sunyi dan secara tiba-tiba, seperti munculnya iblis sendiri tampak tubuh Toat-beng Ciu-sian-li yang tersenyum-senyum mengerikan. Melihat gurunya ini, Kim Cu maklum bahwa biar pun Han Han membantunya, mereka tidak akan menang, dan akhirnya mereka berdua tentu akan tewas. Maka ia cepat berkata.
“Subo, teecu merasa berdosa kepada subo. Kalau teecu mau dihukum, hukumlah. Mau bunuh, bunuhlah. Akan tetapi... teecu mohon, jangan Subo mengganggu Han Han, dia sudah cukup menderita... bunuhlah teecu saja...”
“Kim Cu...!” Han Han membentak.
“Heh-heh-hi-hik, muridku yang paling kusayang, yang paling banyak kuberi ilmu-ilmuku, kini hendak menentangku sendiri? Murid murtad engkau!” Toat-beng Ciu-sian-li yang masih tersenyum-senyum menyeramkan itu memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata beringas.
Kim Cu merasa ngeri hatinya, bulu tengkuknya berdiri dan maklum bahwa tangan maut telah menjangkaunya.
“Toat-beng Ciu-sian-li! Tahan dulu! Jangan coba-coba kau berani membunuh Kim Cu!” Han Han membentak marah sambil maju terpincang-pincang.
“Bocah buntung, kau tunggulah giliranmu!” Bentak Toat-beng Ciu-sian-li sambil terkekeh dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sinar berkilauan menyambar ke arah Kim Cu dan itu adalah sebuah gelang rantai anting-antingnya yang kini digunakan sebagai senjata rahasia yang menyambar dengan kecepatan kilat ke arah gadis itu. Kim Cu memang tidak ingin melawan, maka dia berdiri seperti arca menanti datangnya senjata rahasia yang menyambar ke arah dahinya untuk merenggut nyawanya.
“Kim Cu...!” Han Han berteriak ketika melihat betapa gadis itu sama sekali tidak berusaha menghindarkan diri dari sambaran senjata itu. Han Han lupa diri dan lupa bahaya, melepaskan tongkatnya dan langsung meloncat ke depan menubruk kaki Kim Cu dengan maksud menghindarkan gadis itu dari pada ancaman maut.
“Han Han...!”
“Kim Cu...!”
“Heh-heh-heh, hi-hi-hik!” Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh ketika melihat tubuh kedua orang muda itu tergelincir ke bibir jurang!
Han Han memang berhasil menyelamatkan Kim Cu dari sambaran senjata rahasia, akan tetapi ia membawa Kim Cu bersama-sama terjerumus ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya!
Perlahan-lahan Toat-beng Ciu-sian-li melangkah ke pinggir jurang, menjenguk ke bawah lalu tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya kecewa. “Sayang..., andai dia bisa membawaku ke Pulau Es....” Nenek ini lalu berjalan ke luar dari terowongan itu, sedikit pun tidak memikirkan lagi keadaan Han Han dan Kim Cu yang dianggapnya tentu akan hancur lebur tubuhnya terbanting pada dasar jurang yang sedemikian curamnya.
Biar pun Toat-beng Ciu-sian-li adalah seorang nenek yang amat lihai dan pengalaman hidupnya sudah seratus tahun, namun ia sungguh lancang kalau berani menentukan mati hidup manusia. Hidup dan matinya manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menentukan seseorang harus hidup, biar dia dihujani selaksa batang anak panah, ada saja sebabnya yang membuat ia lolos dari bahaya maut. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang harus mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, tetap saja maut akan datang menjemput tanpa dapat dihindarkan lagi.
Kim Cu sudah hampir pingsan ketika tubuhnya meluncur ke bawah. Tenaga luncuran itu sedemikian kuatnya sehingga tidak mungkin mempergunakan ginkang dan kepalanya menjadi pening, napasnya seperti terhenti. Masih dapat dilihatnya bayangan tubuh Han Han berkelebat mendahuluinya karena tubuh Han Han yang lebih berat itu lebih cepat lagi tenaga luncurannya, apa lagi Han Han terdorong oleh tenaga loncatannya ketika menolongnya tadi. Teringat akan Han Han, Kim Cu menjadi sadar kembali dan ia menjerit panjang, “Han Hannn...!”
Seakan-akan tidak akan ada akhirnya tubuhnya meluncur ke bawah dan Kim Cu yang sudah setengah pingsan itu terheran apakah dia tidak sudah mati dan kini yang melayang-layang turun itu adalah nyawanya? Terbayang dalam otaknya akan dongeng yang pernah didengarnya bahwa sorga letaknya di atas, sedangkan neraka di bawah. Kalau begitu, apakah nyawanya sedang melayang menuju ke neraka? Ia merasa ngeri, akan tetapi ia teringat akan Han Han. Kalau di neraka ia akan bertemu dan berkumpul dengan Han Han, biarlah ia menuju ke neraka!
“Byurrrrr...!” Kim Cu merasa seolah-olah tubuhnya remuk dan ia tidak ingat apa-apa lagi!
Tiga hari tiga malam kemudian, pada pagi harinya, Kim Cu membuka mata. Tubuhnya masih terasa nyeri semua, akan tetapi ia dapat menggerakkan kaki tangannya dan membuka matanya.
“Omitohud..., Nona sudah sadar...? Omitohud, syukurlah,” terdengar suara halus.
Kim Cu menoleh ke kiri dan melihat seorang nikouw yang tersenyum memandangnya. Kepalanya gundul kelimis, sikapnya halus, mukanya menyinarkan kebahagiaan batin. Nikouw ini usianya tidak akan kurang dari enam puluh tahun, namun wajahnya halus dan merah penuh kesehatan dan ada sesuatu dalam gerak-gerik nikouw ini yang membuat ia tampak seperti seorang dewi.
“Siankouw... seorang dewi penjaga hukuman di neraka?” tanya Kim Cu yang masih menduga bahwa dia kini telah berada dalam neraka, sungguh pun ia heran mengapa neraka begini bersih dan enak, dalam sebuah kamar yang bersih dan dia rebah di atas dipan yang bertilam putih bersih pula.
“Omitohud...! Memang dunia ini neraka bagi yang belum sadar, anakku, akan tetapi sorga bagi yang telah sadar. Engkau masih hidup, Nona. Thian belum menghendaki engkau mati.”
Serentak Kim Cu bangkit duduk dan tidak memperhatikan tubuhnya yang nyeri semua rasanya. “Jadi aku masih hidup? Han Han... di mana dia...? Han Han...!” Ia menjerit, memanggil nama itu.
Nikouw itu bangkit berdiri mendekatinya dan menaruhkan tangannya yang halus di pundak Kim Cu. “Tenangkan hatimu, Nona. Engkau belum sembuh benar, tidak baik banyak bergerak. Berbaringlah kembali.”
Suara itu halus sekali, namun mengandung wibawa yang tak mungkin dapat dibantah sehingga Kim Cu merebahkan tubuhnya lagi di atas dipan. “Akan tetapi... tolonglah beri tahu, Suthai. Di mana Han Han?”
“Han Han siapakah yang Nona maksudkan?”
“Han Han... temanku. Kami berdua jatuh dari atas, dan kalau aku masih hidup dia tentu hidup pula. Ah, di mana dia?”
Nikouw itu menggeleng-geleng kepalanya. “Sukar dipercaya ada orang yang jatuh dari atas tebing gunung itu masih dapat hidup seperti engkau, Nona. Engkau telah berada di sini tiga hari tiga malam, pingsan. Dan pinni (aku) tidak pernah mendengar tentang temanmu yang bernama Han Han itu...”
“Tiga hari tiga malam? Dan Han Han tidak ada? Ah, mana mungkin? Subo, tolong ceritakan, apakah yang sesungguhnya telah terjadi?”
“Nona, sebaiknya kau ceritakan dahulu kepada pinni bagaimana engkau tiba-tiba saja jatuh dari atas, seperti dari langit saja.”
Kalau dia masih hidup, lebih baik dia tidak bercerita tentang dirinya, karena kalau hati ini terdengar oleh Toat-beng Ciu-sian-li, tentu nenek itu akan mencarinya, demikian pikirnya. “Kami... aku dan temanku itu berjalan di atas tebing, dan aku tergelincir, dia berusaha menolongku tetapi kami terjerumus ke bawah. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Subo, ceritakanlah, bagaimana aku dapat berada di sini?”
Dengan sabar nikouw itu mengambil sebuah mangkok dari atas meja. “Kau minumlah obat ini dulu, Nona. Minumlah.”
Karena maklum bahwa ia ditolong oleh nikouw ini, maka tanpa membantah Kim Cu minum obat yang pahit rasanya itu sampai habis, kemudian ia rebah kembali, siap mendengarkan cerita nikouw tua yang ramah dan amat halus tutur sapanya itu.
“Menurut nalar orang yang jatuh dari tempat setinggi itu tentu mati. Akan tetapi agaknya Thian menghendaki lain. Engkau jatuh ke dalam Sungai Hek-ho yang mengalir tepat di bawah tebing itu menuju ke timur, masuk ke saluran besar. Sungai itu di bagian bawah tebing amat deras alirannya, dan banyak mengandung batu-batu karang menonjol di permukaan dan di bawah permukaan air. Akan tetapi, omitohud... engkau agaknya jatuh di bagian yang dalam sehingga tidak terluka. Dan lebih kebetulan sekali seperti telah diatur oleh tangan Thian sendiri ketika tubuhmu yang pingsan itu timbul ke permukaan air, dari jauh kelihatan oleh perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Engkau mereka tolong dan melihat engkau seorang wanita, mereka lalu membawamu ke sini. Pinni adalah ketua dari Kwan-im-bio di sini bersama tujuh orang nikouw lain, dan karena pinni sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan, maka pinni cepat mengobatimu. Syukurlah, atas kemurahan Thian, engkau selamat....”
“Akan tetapi temanku itu bagaimana dia? Di mana dia?”
Nikouw itu menghela napas. “Kalau dia jatuh bersamamu dan masih hidup tentu telah ditolong pula oleh para nelayan. Akan tetapi tak seorang pun melihatnya dan seperti kukatakan tadi, tempat itu banyak mengandung batu karang. Kalau jatuhnya menimpa batu karang, atau seperti engkau pingsan lalu hanyut oleh air yang sedemikian derasnya... hemmm... agaknya tidak ada harapan lagi baginya.”
“Tidak...! Tidaaakkkk...!” Kim Cu menjerit dan bangkit duduk, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. “Tidak boleh dia mati aku masih hidup! Nikouw tua yang mulia, aku harus mencari dia!”
Dari pintu kamar yang terbuka itu muncul tujuh orang nikouw, yang lima sudah berusia lima puluhan tahun, yang dua masih muda, kurang lebih tiga puluh tahun. Sikap mereka juga halus-halus dan wajah mereka membayangkan ketenangan. Melihat Kim Cu hendak turun, para nikouw yang tadi mendengar jeritan gadis itu mendekati dipan dan hendak mencegahnya, mengira bahwa gadis ini menjadi bingung karena kecelakaan hebat itu.
Nikouw tua mengangkat tangan mencegah mereka, lalu memegang tangan Kim Cu dan berkata, “Engkau hendak mencari temanmu itu, Nona? Baiklah, boleh saja dan mari pinni menemanimu ke tepi sungai.”
Kim Cu berjalan dengan tubuh menggigil dan masih lemah sekali. Akan tetapi nikouw tua yang baik hati itu menggandengnya dan pergilah mereka berdua keluar dari kelenteng kecil itu, diikuti pandang mata tujuh orang nikouw yang menggerakkan pundak masing-masing, hati mereka penuh iba terhadap Kim Cu.
Dengan hati yang tidak karuan rasanya Kim Cu bersama nikouw tua itu menuju ke pinggir sungai. Ngeri hatinya melihat sungai yang benar-benar amat deras airnya, lebih ngeri menyaksikan batu-batu yang runcing tajam menonjol di seluruh permukaan sungai, akan tetapi ia benar-benar mengkirik (meremang bulu tengkuknya) ketika berdongak ke atas melihat tebing yang amat tinggi yang puncaknya tertutup mega. Dari tempat setinggi itu dia jatuh! Kim Cu mengeluarkan seruan tertahan dan kedua pundaknya menggigil.
“Percayakah engkau kini bahwa hanya tangan Tuhan saja yang mampu menyelamatkan engkau, Nona? Ada pun tentang nasib temanmu itu..., benar-benar pinni meragukan keselamatannya.”
“Tidak, kalau aku selamat, dia harus selamat, Suthai! Tolong panggil para nelayan.”
Nikouw itu bertepuk tangan, lalu menggapai ke arah seorang nelayan yang sedang menjemur jala di tepi sungai. Nelayan itu menengok dan cepat berlari menghampiri. Melihat Kim Cu, ia memandang dengan muka berseri. “Ah, inikah Nona yang jatuh dari langit itu, Sian-kouw? Sungguh beruntung, dia dapat tertolong dan kembali terbukti kelihaian Sian-kouw mengobati orang.” Ia membungkuk-bungkuk, sikapnya kasar dan sederhana.
Kim Cu berkata, “Lopek, aku berterima kasih sekali kepada para nelayan yang telah menolongku. Sekarang aku mohon kepada kalian untuk mencari temanku.”
“Temanmu, Nona? Temanmu yang mana?”
Kim Cu menahan mulutnya yang hendak menyebut nama Han Han ketika teringat bahwa nama itu takkan ada artinya bagi si nelayan. “Temanku, seorang pemuda yang ikut pula terjerumus dari tebing atas bersamaku.”
“Heh...?” Nelayan itu terkejut. “Masih ada lagi yang jatuh dari langit?”
“A-liuk, harap kau panggil berkumpul para nelayan ke sini.”
“Baik, Sian-kouw!”
Nelayan itu lalu berlari menuju ke dusun di mana tinggal para nelayan, tidak jauh dari Kuil Kwan-im-bio yang terletak di ujung dusun. Tak lama kemudian di situ telah berkumpul dua puluh orang lebih nelayan-nelayan yang sederhana. Seperti A-liuk, mereka semua merasa girang melihat Kim Cu selamat dan merasa kagum akan kepandaian nikouw yang mengobati Kim Cu.
“Paman sekalian, selain bersyukur dan amat berterima kasih kepada paman sekalian, saya minta tolong sukalah paman menceritakan teman saya yang pada hari dan saat itu jatuh pula dari atas.”
“Kami tidak melihat ada orang lain!” terdengar suara mereka riuh rendah bicara sendiri dan saling bertanya sendiri.
“Mungkin paman semua tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi karena aku selamat, kiranya dia pun selamat. Harap paman suka menggunakan perahu dan mencari di sekeliling pantai dan di seberang kalau-kalau ia terdampar dan mendarat di suatu tempat dalam keadaan terluka.”
“Kalian penuhi permintaannya. Kasihan temannya itu kalau memang benar dia selamat.”
“Baik, Sian-kouw,” jawab mereka serempak.
“Tunggu dulu, paman-paman yang baik!” Kim Cu berkata ketika melihat mereka hendak pergi melaksanakan permintaannya. Ia meloloskan delapan buah gelang emas, satu-satunya perhiasan yang berada di tubuhnya, dan menyerahkan gelang-gelang emas itu kepada mereka. “Aku hanya mempunyai gelang-gelang ini, harap paman sekalian membaginya sebagai hadiah dariku atas pertolongan kalian mencarikan temanku.”
Akan tetapi tidak ada seorang pun diantara mereka yang menerima pemberian ini. Seorang nelayan tua lalu berkata, “Nona, hadiah adalah pernyataan hati girang dan untuk membalas jasa. Sedangkan teman Nona belum diketemukan, bahkan kami belum mencarinya, bagaimana kami dapat menerima hadiah darimu? Kalau kami begitu loba, tentu Sian-kouw takkan mendoakan rejeki kami dan tentu ikan-ikan pada lari bersembunyi dari jala dan kail kami.” Setelah berkata demikian, semua nelayan itu bubar, meninggalkan Kim Cu yang masih memegangi gelang-gelangnya dengan melongo.
Nikouw tua itu tersenyum menyaksikan keheranan Kim Cu. “Mereka adalah nelayan-nelayan desa yang polos, jujur dan bersih, Nona. Dan jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh seperti pendapat orang kota. Orang kota menilai kepintaran berdasarkan akal, yang banyak akalnya dikatakan pintar, padahal akal itu hanya mereka gunakan untuk akal-akalan, saling mengakali dan menipu. Orang-orang yang tidak tahu akan akal-akal macam itu adalah sepintar-pintarnya orang.”
Selama seminggu lebih, setiap hari para nelayan mencari jejak atau tanda-tanda Han Han, namun mereka selalu kembali dengan tangan hampa, membuat hati Kim Cu yang menanti terus di tepi sungai menjadi makin hampa. Dua minggu kemudian, para nelayan menyatakan keyakinannya bahwa kalau pemuda itu benar terjatuh dari atas seperti halnya Kim Cu, tentu tubuh pemuda itu menimpa batu dan hancur lebur, atau tenggelam dan mungkin juga hanyut oleh air sungai yang amat deras. Mereka tidak mencari lagi.
Kim Cu tidak mau kembali ke kuil. Selama menanti para nelayan yang mencari-cari, dia selalu ditemani oleh nikouw tua atau kadang-kadang ditemani seorang di antara para nikouw secara bergilir. Makan dan minum pun hampir dipaksa oleh para nikouw, baru Kim Cu mau makan dan minum. Akan tetapi ia tidak pernah kembali ke kuil, tidur pun di tepi sungai!
Ketika para nelayan menghentikan pencariannya, Kim Cu seperti gila. Tidak lagi ia mau makan atau minum, tidak tidur, hanya berdiri atau duduk di tepi sungai. Wajahnya makin kurus dan pucat, rambutnya kusut dan matanya sipit dan bengkak karena terlalu banyak menangis sehingga air matanya kering!
Beberapa hari kemudian, para nikouw terpaksa menggotong tubuhnya yang menggeletak pingsan di tepi sungai, dibawa kembali ke kuil. Kembali nikouw tua itu yang sibuk mencekokkan obat ke mulutnya sampai ia siuman kembali dan dipaksa makan bubur atau obat.
“Mengapa engkau menyiksa hatimu sampai sedemikian rupa, Nona? Dicari lagi pun percuma, agaknya temanmu itu sudah tewas.”
“Kalau dia mati, aku pun akan mati!” kata Kim Cu dan ia menangis sesenggukan. “Suthai, biarkan aku mati...!” Ia terisak-isak.
“Engkau keliru, Nona. Andai kata temanmu itu mati, matinya adalah karena kehendak Tuhan. Kalau engkau memaksa ingin mati, matimu adalah mati paksaan dan amatlah tidak baik mati seperti itu, Nona.”
“Suthai, kalau Han Han mati, apa gunanya lagi aku hidup?”
Nikouw itu mengangguk-angguk dan mengelus-elus rambut gadis itu. “Nona, engkau tentu amat mencinta pemuda itu, bukan?”
Mendengar suara yang masih tenang akan tetapi menggetar penuh rasa iba dan haru ini, Kim Cu memandang dengan mata basah. “Benar, suthai. Aku mencintanya. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki.”
“Kalau begitu, engkau harus hidup, Nona. Kalau engkau mati, engkau takkan dapat berguna untuk dia. Akan tetapi kalau engkau hidup, tidak hanya engkau akan dapat berguna bagi orang yang kau cinta, akan tetapi engkau malah akan dapat berguna bagi semua orang dan dunia.”
Kim Cu memeluk nikouw itu dan berkata, “Ah, suthai. Benarkah itu? Benarkah aku akan dapat berguna, berguna bagi Han Han biar pun dia sudah sudah mati?”
Nikouw itu mengusap air mata dari kedua pipi Kim Cu dan di dalam hatinya dia pun mengusap air matanya sendiri yang mengucur di hatinya. Matanya dikejap-kejapkan untuk menahan panasnya keharuan yang mendorong air mata, mulutnya tersenyum untuk menekan keharuan hati, dan kepalanya mengangguk-angguk untuk mengganti kegaguannya untuk sementara. Setelah keharuannya reda dan ia yakin suaranya tidak menggetar, nikouw itu berkata.
“Tentu saja, anakku yang baik. Kalau engkau menghambakan dirimu kepada kebajikan, menjadi murid Kwan Im Pouwsat, menjadi seperti pinni, engkau akan dapat berguna sekali bagi temanmu itu.”
“Menjadi... nikouw...?”
Nikouw tua itu mengangguk-angguk. “Tidak langsung sekarang, terserah kepadamu. Kau pelajarilah dahulu kebajikan-kebajikan dari Kwan Im Pouwsat, kelak engkau boleh menentukan sendiri apakah suka menjadi nikouw atau tidak. Akan tetapi, setidaknya engkau sudah akan lebih tahu akan arti hidup, dan engkau dapat berdoa setiap saat untuk temanmu itu sehingga andai kata dia sudah mati, semoga ia akan mendapatkan tempat yang layak dan damai, sebaliknya kalau masih hidup, semoga dia hidup bahagia. Bukankah dengan demikian engkau akan berguna baginya? Dan berguna pula bagi orang lain...”
Kim Cu kembali menubruk dam memeluk nikouw itu sambil menangis, kemudian ia melorot turun dan berlutut di depan nikouw itu. “Teecu, Kim Cu, mohon petunjuk dari Subo...”
Demikianlah, mulai hari itu Kim Cu menjadi murid Thian Sim Nikouw dan mempelajari pelajaran kebatinan yang berpusat pada penyembahan Kwan Im Pouwsat. Akan tetapi, nasib malang masih mengharuskan Kim Cu mengelami banyak penderitaan hidup. Enam bulan sejak ia tinggal di situ, pada musim hujan, air Sungai Hek-ho meluap dan terjadi banjir besar yang menghanyutkan dusun itu, termasuk Kwan-im-bio. Para nikouw dan Kim Cu terpaksa mengungsi setelah mereka semua memberi pertolongan kepada para korban banjir.
Dalam pekerjaan yang dipimpin Thian Sim Nikouw inilah Kim Cu merasa betapa hidupnya amat berguna bagi orang lain, yang nyata dan dapat dirasainya. Ia makin tekun belajar dan makin lama ia mendapat ketenangan batin sehingga ketika semua pindah ke utara, ke sebuah lereng bukit dan mendirikan kuil kecil sederhana di sana, Kim Cu mengambil keputusan menggunduli rambutnya dan masuk menjadi nikouw! Oleh gurunya ia diberi nama Kim-sim Nikouw (Pendeta Wanita Berhati Emas). Ia telah mendapat ketenangan dan kebahagiaan batin, dan rasa rindunya yang kadang-kadang muncul terhadap Han Han, ia tekan dengan doa-doa bagi keselamatan pemuda itu, baik di dunia mau pun di akherat.....
Di dalam sebuah gubuk di kaki Gunung Lu-liang-san, Lulu sadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya sedang dirawat oleh kakek pengemis yang mengobati luka-lukanya. Melihat gadis itu bergerak, kakek itu berkata perlahan.
“Jangan bergerak dulu, Nona. Luka-lukamu bekas bacokan senjata tajam tidak terlalu berbahaya, akan tetapi pukulan di punggung membuat tulangmu ada yang retak. Kau rebahlah saja dan jangan banyak bergerak.”
Lulu tersenyum, hatinya girang bahwa dia belum mati. Dia mengenal kakek jembel ini yang telah menyelamatkan nyawanya ketika golok Twa-to-kwi Liok Bu Tang si Mata Satu menyambar lehernya, yaitu kakek yang telah menangkis golok itu dengan tongkatnya.
“Locianpwe, aku berhutang satu nyawa kepadamu.”
Kakek itu memandangnya dan tersenyum melihat gadis yang berpakaian pria itu tersenyum, kaget dan kagumlah dia. “Wah, engkau memiliki daya tahan yang hebat. Hal ini membuktikan bahwa engkau telah mempelajari sinkang yang luar biasa.”
“Eh, jangan pura-pura tidak mendengar omonganku dan mengeluarkan puji-pujian kosong, locianpwe. Aku telah hutang satu nyawa kepadamu karena aku tentu telah mati kalau locianpwe tidak datang menolong.”
Kakek itu menyelesaikan pekerjaannya membalut luka-luka di tubuh Lulu, kemudian berkata sungguh-sungguh, “Nona, saling bantu di antara kita segolongan adalah wajar, bahkan saling menolong di antara manusia sudah semestinya, sama sekali tidak dapat dikatakan hutang-berhutang. Apa lagi kalau kita bersama menghadapi orang-orang Mancu yang amat jahatnya. Ah, bukan semata-mata orangnya yang jahat, karena orang Mancu pun manusia seperti kita. Yang jahat adalah pimpinan mereka yang mengatur penjajahan dan menimbulkan perang. Perang adalah jahat dan kejam, membuat manusia-manusia seperti kita menjadi binatang-binatang buas! Aku sungguh amat membenci perang, akan tetapi lebih membenci orang-orang Mancu yang menimbulkan perang!”
Hati Lulu tertarik sekali. Ucapan kakek ini benar-benar memiliki arti yang dalam, apa lagi terdengar oleh telinganya, telinga seorang gadis Mancu! “Locianpwe, apakah engkau demikian membenci orang Mancu? Engkau sendiri mengatakan tadi bahwa orang Mancu juga manusia seperti kita, mengapa locianpwe amat membenci mereka?”
“Mengapa tidak? Karena merekalah maka orang-orang seperti aku menjadi binatang-binatang buas yang membunuhi manusia lain tanpa berkedip! Dahulu, sebelum ada perang, manusia mengenal peri-kemanusiaan dan aku akan merasa bangga kalau dapat menyelamatkan nyawa seorang manusia lain dari pada ancaman bahaya maut. Dahulu, nyawa manusia amat dihargai sehingga sebuah pembunuhan akan menggegetkan dan pembunuhnya akan dikutuk manusia lain. Akan tetapi sekarang? Ah, dalam keadaan perang, manusia menjadi makhluk sejahat-jahatnya! Betapa banyaknya nyawa manusia melayang oleh perbuatanku, dan kedua tanganku yang berlumuran darah ini telah membunuh entah berapa banyak manusia lain!”
Lulu makin tertarik. Kakek itu mengucapkan kata-kata dengan penuh semangat dan kesungguhan, dan wajah yang keriputan itu tampak berduka sekali. “Akan tetapi yang locianwe lakukan adalah demi perjuangan. Locianpwe berjuang demi negara dan bangsa, dan locianpwe membunuh musuh bangsa. Bukankah hal itu merupakan perbuatan mulia?”
Tiba-tiba kakek itu tertawa dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Lulu berdiri. Kelihatannya saja tertawa, akan tetapi nadanya seperti orang menangis! “Ha-ha-ha! Inilah yang menyedihkan! Manusia menganggap penyembelihan sesama manusia ini sebagai perbuatan mulia! Makin banyak menyembelih manusia, makin banyak merenggut nyawa sesama manusia, akan gagah perkasa, makin mulia dan disebut pahlawan! Memang perjuangan membela nusa bangsa, membela tanah air adalah sebuah tugas yang mulia, akan tetapi penyembelihan sesama manusia, sungguh pun berlainan bangsa, yang dianggap mulia oleh manusia itu, apakah juga mulia dalam pandangan Thian? Apakah Thian akan bersenang hati menyaksikan manusia ciptaan-Nya saling bunuh hanya karena memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi! Tidak, Nona. Aku yakin bahwa Thian tidak menghendaki manusia berbunuh-bunuhan, dan aku yakin bahwa penyembelihan antara manusia yang oleh masing-masing golongan manusia disebut mulia dan dipuji-puji ini dikutuk Thian!”
Lulu menjadi terharu. Ia dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, dan tentu saja bagi dia, seorang gadis Mancu, ucapan itu berkesan amat dalam.
“Kata-kata locianpwe benar-benar mengejutkan hatiku. Akan tetapi, aku ingin sekali mendengar maksud ucapan locianpwe tadi bahwa perang antara manusia hanya memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi. Apakah yang locianpwe maksudkan?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Maksudku, tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak menganggap bahwa perang yang dilakukannya berdasarkan kebenaran! Lihat contohnya perang yang dikobarkan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiongkok! Bangsa Mancu menyerbu ke selatan dan mereka merasa benar karena mereka menganggap bahwa mereka semenjak dahulu direndahkan, dan menganggap bahwa mereka itu datang untuk membebaskan rakyat Tiongkok dari pada cengkeraman pemerintahan yang tidak baik. Mereka berperang dengan dasar kebenaran mereka, karena hanya kalau mereka berkuasa di sinilah maka rakyat akan dapat hidup makmur, terbebas dari pada penindasan kaisar dan pembesar-pembesar Kerajaan Beng yang lemah dan jahat dalam pandangan mereka. Jelaslah bahwa bangsa Mancu berperang dengan dasar kebenaran mereka, kebenaran palsu! Di lain pihak, Kerajaan Beng berikut semua pejuang yang melawan mereka, termasuk aku, mendasarkan perjuangan dengan kebenaran kita sendiri, kebenaran orang mempertahankan tanah airnya, kebenaran negara mempertahankan hak dan kedaulatannya. Padahal, yang diperebutkan adalah kemenangan, dan sesungguhnyalah bahwa kemenangan yang akan mendatangkan kemuliaan duniawi kepada mereka yang menang! Kalau perang hanya terbatas kepada mereka yang bercita-cita, baik para pembesar yang memperebutkan kedudukan, mau pun para prajurit yang berperang karena menerima upah, atau pejuang yang berperang karena dorongan cita-cita, masih tidak mengapa. Mereka sudah sengaja ingin terjun ke dalam kancah perang yang isinya menang atau kalah, hidup atau mati. Celakanya, rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban keganasan perang.” Kakek itu menarik napas panjang, kemudian memandang Lulu tajam-tajam dan melanjutkan kata-katanya.
“Perang ini akibatnya jahat sekali. Pertengkaran pribadi hanya menimbulkan kebencian, akan tetapi perang menimbulkan kebencian antara bangsa! Tidak ada lagi pertimbangan antara baik dan buruk, bangsa yang dibencinya karena perang, dianggapnya semua jahat dan semua harus dibasmi! Sungguh menyedihkan sekali karena baru dalam hal inilah ada persamaan pendapat antara orang baik dan orang jahat! Pendeta-pendeta dan perampok-perampok dapat bekerja sama menghadapi musuh! Dalam perang antar bangsa, biar dia perampok yang sekejam-kejamnya kalau sebangsa, dianggap sekutu. Biar sama-sama pendeta kalau menjadi bangsa yang dibenci dianggap lawan yang harus dibunuh! Dan maut yang disebar tidak memandang bulu, tidak mengenal peri-kemanusiaan lagi. Kebencian melanda dan menguasai hati nurani manusia sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan yang kejamnya melebihi serigala. Membunuh dan menyiksa dianggap perbuatan yang baik dan gagah perkasa. Semua karena gara-gara perang dan andai kata bangsa Mancu tidak mengobarkan perang lebih dulu, tidak akan terjadi segala kekejaman itu. Karena itu, aku membenci orang-orang Mancu yang menimbulkan perang, membenci mereka yang telah membuat aku sekarang menjadi seorang pembunuh berdarah dingin!” Kembali kakek itu menarik napas panjang, kelihatan berduka sekali.
“Locianpwe, bukan hanya engkau yang menderita, bukan hanya rakyat Tiongkok yang menderita akibat perang. Juga bangsa Mancu sendiri banyak yang menderita akibat perang ini, perang yang dicetuskan oleh para pimpinan dengan mengorbankan banyak rakyat. Rakyat Mancu yang dipaksa menjadi prajurit, mati di sini tanpa diketahui keluarganya. Betapa banyaknya pula rumah tangga para perwira yang hancur akibat perang, terbasmi oleh musuh mereka yang oleh mereka disebut dan dianggap para pemberontak.”
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian mengangkat muka memandang. “Eh, Nona, bagaimana Nona bisa tahu akan keadaan bangsa Mancu?”
Lulu memandang tajam dan menjawab tenang, “Tentu saja aku tahu, locianpwe, karena aku sendiri adalah seorang Mancu.”
“Ahhh...!” Kakek itu benar-benar kaget mendengar ini dan ia memandang wajah Lulu dengan sikap tegang.
“Aku adalah seorang gadis Mancu yang menjadi korban perang ini, locianpwe. Ayahku seorang perwira yang terbunuh bersama seluruh keluarganya oleh segerombolan pemberon... eh, pejuang yang dipimpin oleh seorang bernama Lauw-pangcu. Hanya aku yang dibiarkan hidup, dirampas pakaianku, diberi pakaian jembel dan aku dilepas sebagai seorang anak jembel yang hidup terlantar...!”
“Ya Tuhan...!” Kakek itu meloncat ke belakang dan berdiri tegak memandang Lulu dengan mata terbelalak. Teringatlah ia peristiwa tujuh tahun yang lalu dan ia berkata lirih penuh getaran perasaan, “Akulah Lauw-pangcu. Kini teringat olehku akulah yang memimpin teman-teman menyerbu perwira dan membunuh mereka sekeluarga. Karena engkau mengingatkan aku akan puteriku yang hampir sebaya, aku tidak membolehkan mereka membunuhmu... Ah, Nona, engkaukah kiranya anak itu? Akan tetapi mengapa engkau sekarang membantu kaum pejuang memusuhi bangsa Mancu sendiri?”
Berubah wajah Lulu. Hemmm, jadi kakek inikah musuh besarnya yang selama ini ia cari-cari? Sejenak seluruh tubuhnya menegang dan timbul keinginannya untuk menyerang kakek itu. Akan tetapi teringat akan pembicaraan mereka tadi Lulu menarik napas panjang dan... menangis! Sejenak Lauw-pangcu hanya memandang gadis yang menangis itu penuh keheranan dan keharuan, kemudian ia berkata.
“Nona, aku mengerti bahwa di dalam hatimu mengandung sakit hati dan dendam yang besar kepadaku. Andai kata engkau kini menjadi pembantu pemerintah Mancu, tentu dendammu akan kau hadapi dengan kekerasan dan engkau akan kuanggap sebagai musuh. Akan tetapi karena terbukti bahwa engkau membantu pihak pejuang menentang kekejaman pasukan Mancu, hal ini membuat hatiku terasa berat dan penuh oleh dosa terhadap dirimu. Nona, aku Lauw-pangcu bukan seorang yang tidak mengenal budi dan bukan seorang yang tidak berani menanggung segala akibat perbuatanku. Aku yang membuat keluarga Nona terbasmi, yang membuat keluarga Nona terlantar, dan menyaksikan sepak terjangmu, kini aku siap menerima pembalasanmu. Engkau boleh menbunuhku untuk membalas dendam keluargamu. Silakan, aku tidak akan melawan dan menyerahkan nyawaku sebagai tebusan dosaku kepadamu.”
Lulu mengangkat mukanya yang basah air mata memandang kakek itu, kemudian ia menangis lagi, lalu menutupi muka dengan kedua tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak... tidak..., setelah aku menyaksikan sepak terjangmu, setelah aku mendengar kata-katamu dan mengenal watakmu sebagai seorang gagah perkasa, seorang pendekar sejati, bagaimana aku dapat membunuhmu? Apa lagi setelah menyaksikan keganasan perwira-perwira Mancu... ah, biarlah kuanggap bahwa Ayah sekeluarga terbasmi oleh perang, bukan oleh tanganmu, Lauw-pangcu. Engkau membasmi mereka bukan karena benci pribadi, melainkan karena perjuanganmu, karena perang. Biarlah, aku akan melupakan semua itu...”
Lauw-pangcu terbelalak, menghela napas dan mengeluh, “Aduh, baru sekali ini selama hidupku bertemu dengan seorang wanita semuda engkau, memiliki kebijaksanaan yang begini besar! Sikapmu merupakan tusukan pedang yang tiada bandingnya, menembus hatiku. Ah, Nona, tahukah engkau betapa sikapmu ini membuat aku jauh lebih menderita penuh penyesalan selama hidup dari pada kalau engkau menusuk mati aku dengan pedangmu? Aku telah membasmi keluargamu... dan engkau tidak mau membalas dendam. Satu-satunya jalan bagiku, biarlah aku menjadi pengganti keluargamu, menjadi Ayah Ibumu, biarlah aku mengambil engkau sebagai anakku, kalau engkau sudi...”
Mendengar ini, Lulu terisak, menurunkan kedua tangan, memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang lebar, kakek yang telah menyelamatkan nyawanya, kakek yang telah membasmi keluarganya, kemudian ia mengeluarkan jerit lirih menubruk maju dan berlutut di depan kakek Lauw-pancu, “Ayah...!”
Sepasang mata kakek tua itu menitikkan dua butir air mata dan dengan penuh keharuan ia mengangkat bangun gadis itu, memegang kedua pundaknya dan menatap wajah cantik jelita dengan sepasang mata lebar yang masih mengucurkan air mata.
“Anakku..., engkau anakku..., siapakah namamu?”
“Lulu...”
“Ah, nama yang bagus! Lulu, aku akan membimbingmu, melatihmu. Engkau memiliki sinkang yang luar biasa dan gerakanmu cepat sekali, amat menakjubkan, hanya ilmu silatmu yang belum masak. Aku akan menurunkan semua kepandaianku dan kelak engkau menjadi orang yang lebih lihai dari pada aku sendiri. Akan tetapi aku heran sekali..., siapa yang mengajarimu berlatih sehinga memiliki sinkang begitu hebat dan... memiliki kebijaksanaan yang belum tentu dimiliki seorang pendeta sekali pun?”
Lulu yang merasa amat terharu dan juga berbahagia karena kini merasa mendapatkan seorang ayah, sambil bersandar di dada ‘ayah’ ini menjawab manja, seperti kalau ia bersikap manja kepada Han Han! “Ayah, yang mengajarku adalah Kakakku sendiri.”
Kembali Lauw-pangcu terkejut, memegang kedua pundak anaknya itu dan memandang wajahnya dengan tajam. “Kakakmu? Engkau mempunyai Kakak? Bukankah tadi kau katakan bahwa... bahwa yang hidup hanya tinggal engkau seorang?” Kalimat terakhir ini diucapkannya dengan pahit, mengingatkan dia bahwa dia yang membunuh semua keluarga gadis yang kini menjadi anaknya itu.
“Kakak angkat, Ayah.”
“Ohhh... jadi engkau mempunyai seorang kakak angkat dan kini mempunyai seorang ayah angkat, anakku? Agaknya engkau memang seorang yang amat baik budi sehingga banyak orang yang suka kepadamu. Kakakmu itu tentu lihai sekali.”
“Kakakku adalah orang yang paling hebat dan lihai di seluruh dunia ini...!”
“Ayah, bocah ini adalah teman si keparat Han Han!” Tiba-tiba terdengar seruan nyaring disusul berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis cantik gagah yang dikenal Lulu karena gadis itu bukan lain adalah Lauw Sin Lian, murid Siauw-lim Chit-kiam yang amat lihai dan yang pernah bentrok dengan Han Han ketika mereka berdua baru keluar dari Pulau Es, ketika dia dan kakaknya membantu para piauwsu Hoa-san-pai yang diserang orang-orang Siauw-lim-pai yang mereka kira perampok.
Melihat Sin Lian yang bersikap kasar terhadap kakaknya namun yang ia duga mencinta kakaknya itu, Lulu tersenyum dan memandang dengan matanya yang lebar. Sebaliknya, Sin Lian memandang dengan mata penuh kebencian, bahkan lalu membentak dan melangkah maju, “Dia dan Han Han membantu penjahat-penjahat Hoa-san-pai dan matinya dua orang suhu-ku mungkin karena mereka!”
Melihat puterinya maju hendak menerjang Lulu, Lauw-pangcu cepat melompat ke depan Sin Lian, menghadang dan berseru. “Lian-ji (Anak Lian), tahan dulu! Dia ini adalah Adikmu!”
Mendengar ini, Sin Lian begitu kaget dan heran sehingga ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri seperti arca dalam keadaan masih memasang kuda-kuda siap menyerang. Matanya memandang kepada ayahnya penuh pertanyaan.
“Apa... apa artinya ini, Ayah?”
“Aku telah mengangkat Lulu ini sebagai anakku, Sin Lian. Dia telah membantu para pejuang dan hampir mengorbankan nyawanya untuk perjuangan, selain itu... dia adalah puteri keluarga Perwira Mancu yang terbasmi di tanganku... dan... satu-satunya jalan bagiku untuk menebus dosaku kepadanya..., yang sama sekali tidak mendendam kepadaku, adalah mengambil dia sebagai anakku sendiri, dan aku melarang engkau mengganggu adikmu sendiri!”
Wajah Sin Lian berubah agak pucat dan ia membantah, “Akan tetapi dia... dia dan Han Han bersekutu dengan Hoa-san-pai memusuhi Siauw-lim-pai...!”
“Tidak sama sekali, Enci Lian,” Lulu berkata dengan sikap tenang. Pandang matanya yang indah tajam, wajah cantik jelita yang tersenyum cerah, suara yang bening halus itu mengagumkan hati Sin Lian. “Kami sama sekali tidak pernah bersekutu dengan Hoa-san-pai, dan tidak pernah pula memusuhi Siauw-lim-pai. Semua yang dilakukan Kakakku hanyalah karena salah paham belaka.”
“Kakakmu...?” Sin Lian bertanya, bingung.
Lulu tersenyum dan wajahnya berseri. “Benar, dia adalah Kakakku, Kakak angkatku. Apakah engkau kira dia itu kekasihku, Enci Lian? Memang kekasihku, karena Han-koko adalah orang yang paling kukasihi di seluruh dunia ini, kemudian tentu saja Ayahku dan engkau Cici-ku!”
Pandang mata penuh kebencian itu melunak dan Sin Lian tak dapat berkata-kata. Ada pun Lauw-pangcu ketika mendengar bahwa anak angkatnya ini juga adik angkat Han Han, menjadi terkejut dan berseru, “Ah, sungguh tak kusangka Kakak angkatmu adalah Han Han. Bocah itu! Ceritakanlah, Lulu anakku, tentu menarik ceritamu. Sin Lian, duduklah dan kita mendengarkan ceritanya agar semua persoalan menjadi terang.”
Setelah mereka bertiga duduk, Lulu menghela napas dan berkata, “Kasihan sekali kakakku Han Han. Karena mengira murid-murid Siauw-lim-pai hendak merampok dan menghadang para piauwsu Pek-eng-piauwkiok yang menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Kemudian melihat mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, dia mengira murid-murid Hoa-san-pai yang melakukannya sehingga dalam marahnya dia membunuh beberapa orang murid Hoa-san-pai. Akibatnya, dia dimusuhi oleh Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai!”
Sin Lian yang hatinya menjadi lega mendengar bahwa gadis cantik yang kini menjadi adik angkatnya itu ternyata bukan kekasih Han Han seperti yang tadinya ia sangka, menjadi tertarik sekali dan berkata, “Ceritakanlah... ceritakan apa yang telah terjadi sesungguhnya.”
Maka berceritalah Lulu tentang peristiwa yang ia alami bersama Han Han itu, mulai dari pertemuan mereka dengan para piauwsu Pek-eng-piauwkiok, lalu terjadi pertempuran dengan para penghadang dan munculnya Sin Lian, kemudian betapa Han Han membunuh murid-murid Hoa-san-pai, kemudian betapa dia dan kakaknya bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai.
“Ahhh...!” Lauw-pangcu menepuk pahanya setelah mendengar penuturan Lulu bahwa jelas sekali kedua pihak terpancing dan menjadi korban adu domba yang diatur oleh pihak Mancu. “Han Han menjadi korban fitnah. Hal ini harus segera dilaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai, Lian-ji, agar permusuhan antara kedua partai dapat dihentikan dan juga fitnah atas diri Han Han dibersihkan.”
“Baik, Ayah. Memang semestinya begitu. Aku pun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan ketua Siauw-lim-pai untuk pergi mencari lima orang guruku, akan tetapi sungguh heran, lima orang guruku itu tidak dapat kutemukan jejaknya. Sebaiknya aku pergi sekarang juga melaporkan hal penting itu kepada ketua Siauw-lim-pai.”
“Harap engkau tidak usah sibuk-sibuk dan capek-capek, Enci-ku yang baik. Para pimpinan Siauw-lim-pai sudah tahu akan hal itu karena aku dan Han-koko telah pula datang mengunjungi Siauw-lim-si untuk menghadap ketuanya.”
“Apa?! Dia yang telah difitnah dan dianggap musuh oleh Siauw-lim-pai malah datang mengunjungi Siauw-lim-si? Begitu beraninya?” Sin Lian terbelalak saking herannya. Sungguh gadis Mancu ini membawa cerita yang makin aneh saja. Juga Lauw-pangcu menjadi terkejut dan heran.
“Memang Han-ko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling berani di seluruh dunia ini!” kata Lulu dengan bangga. “Dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela kebenaran. Jangankan hanya mendatangi Siauw-lim-si menghadap ketua Siauw-lim-pai, biar pun harus mendatangi neraka menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut), jika dia benar, akan dia lakukan tanpa mengenal takut!”
Berceritalah dara yang lincah dan yang amat mencinta kakaknya ini akan sepak terjang Han Han ketika mengunjungi Siauw-lim-pai. Diceritakannya pula betapa Han Han dikeroyok oleh para tokoh Siauw-lim-pai, betapa Han Han masuk bertemu dengan Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan ini, makin lama Sin Lian menjadi makin terheran-heran dan diam-diam ia menjadi kagum sekali kepada Han Han yang memang amat menarik hatinya dan yang sudah ia buktikan sendiri kelihaiannya. Setelah Lulu berhenti bercerita, keadaan sunyi senyap. Lauw-pangcu termangu penuh keheranan, sedangkan Sin Lian termenung mengenangkan keadaan pemuda itu.
“Wah, ceritamu sungguh hebat!” Akhirnya Lauw-pangcu berkata sambil menarik napas panjang. “Anakku Lulu, tahukah engkau bahwa dahulu Kakakmu itu adalah muridku? Sungguh tidak nyana dia dapat menjadi seorang yang berilmu tinggi, juga engkau dapat memiliki sinkang dan ginkang yang amat luar biasa. Siapakah guru kalian?”
Biar pun Han Han pernah memesan agar dia tidak bicara tentang Pulau Es dengan siapa pun juga, akan tetapi karena Lauw-pangcu telah menjadi ayahnya sedang Sin Lian menjadi cici-nya, Lulu merasa tidak perlu merahasiakan hal itu dari mereka. Ia lalu menjawab.
“Guru kami adalah pemilik Pulau Es...”
“Heiii! Pulau Es...?” Lauw-pangcu dan Sin Lian makin terkejut. Benar-benar makin banyak hal tak terduga-duga dan aneh-aneh mereka dengar dari mulut Lulu!
“Pulau Es yang semenjak puluhan tahun dicari oleh semua tokoh kang-ouw?”
Lulu mengangguk. “Secara kebetulan saja kami dapat sampai di pulau itu dalam keadaan hampir mati setelah mengalami ancaman maut berkali-kali....”
Ia lalu bercerita tentang pengalamannya bersama Han Han ketika menjadi tawanan Ma-bin Lo-mo sampai terbawa badai dalam perahu rusak sehingga mereka mendarat di Pulau Es, menemukan peninggalan kitab-kitab pelajaran penghuni Pulau Es dan belajar ilmu selama enam tahun di tempat itu. Betapa kemudian dengan susah payah mereka dapat meninggalkan tempat itu.
Lauw-pangcu dan Sin Llan mendengarkan penuturan itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, merasa seperti mendengarkan dongeng saja. Cerita itu amat mempesona mereka, bukan hanya karena keanehan cerita itu sendiri, melainkan juga karena pandainya Lulu bercerita sehingga untuk waktu yang cukup lama kedua orang ini seperti menggantungkan pandang mata mereka kepada bibir tipis merah yang bergerak-gerak manis ketika bercerita.
“Yang berilmu tinggi-tinggi dan berusaha mati-matian mencari Pulau Es, tidak pernah berhasil, dua orang bocah yang tidak mencarinya malah mendapatkan. Ha-ha, inilah yang disebut jodoh yang terjadi atas kehendak Thian! Pantas saja engkau lihai sekali, anakku, kiranya engkau menjadi ahli waris pusaka-pusaka mukjizat yang terdapat di Pulau Es. Sungguh engkau beruntung sekali, anakku.”
“Aah, ilmu yang berhasil kumiliki dengan latihan berat tidak ada artinya, Ayah. Aku memang bodoh dan kurang tekun seperti Han-ko. Dibandingkan dengan Han-koko, ilmuku sama sekali tidak ada artinya, dia sepuluh kali lebih lihai dari pada aku!”
Sin Lian makin kagum kepada Han Han dan diam-diam jantungnya berdebar. Hatinya makin tertarik.
“Sekarang di manakah... Han Han? Mengapa engkau berpisah darinya?” Pertanyaan ini biasa saja, akan tetapi begitu menyebut Han Han, muka Sin Lian menjadi merah sekali. Hal ini tidak terlepas dari pandang mata Lulu yang tajam dan pandang mata Lauw-pangcu yang berpengalaman.
Akan tetapi karena Lulu diingatkan kepada kakaknya dan hatinya menjadi gelisah, dia tidak ingin menggoda enci angkatnya itu, bahkan lalu menghela napas dan mengerutkan alisnya yang hitam panjang, “Ahh, hal inilah yang menyusahkan hatiku. Ketika kami saling berpisah, aku tertawan oleh si keparat Ouwyang Seng murid Setan Botak, sedangkan kakakku ketika itu dikeroyok dua oleh Setan Botak dan Iblis Muka Kuda!”
“Apa? Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee mengeroyok Han Han?” Lauw-pangcu berteriak dan Sin Lian pun menjadi pucat mukanya.
Mereka mengenal siapa dua orang datuk hitam ini, tahu pula akan kehebatan ilmu kepandaian mereka. Seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang amat hebat, bahkan ke tujuh orang sakti Siauw-lim Chit-kiam ketika menghadapi Setan Botak seorang diri saja hampir kalah. Apa lagi kini dua orang datuk hitam itu sekaligus maju mengeroyok!
“Mana mungkin ia dapat menangkan dua orang datuk hitam itu?” Suara Sin Lian ini terdengar lirih, penuh kengerian dan kekhawatiran. Sembilan bagian perasaannya mengatakan bahwa tentu Han Han tewas kalau dikeroyok dua orang datuk hitam itu, betapa pun lihainya Han Han.
“Tidak, kakakku tidak akan kalah!” Lulu berkata. “Tidak mungkin Han-ko sampai kalah! Dia sakti dan cerdik, tentu dapat mengatasi dua orang kakek iblis itu! Akan tetapi, entah ke mana perginya. Aku sedang mencarinya sehingga tiba di sini dan bertemu dengan Ayah. Sekarang aku akan pergi mencarinya lagi sampai bertemu.”
“Lulu, anakku yang baik. Jangan engkau pergi dulu. Setelah aku mendapatkan seorang anak seperti engkau, mana boleh engkau lalu pergi lagi begitu saja? Engkau telah memiliki sinkang yang luar biasa, melebihi aku sendiri, bahkan mungkin sinkang-mu lebih hebat dari pada Sin Lian. Akan tetapi ilmu silatmu belum matang, dan sementara ini engkau tinggallah di sini bersamaku agar dapat kau perdalam ilmu silatmu. Aku yang akan menggemblengmu sehingga kalau ilmu silatmu sudah matang, kiranya aku sendiri sama sekali tidak akan dapat melawanmu. Engkau tidak membutuhkan waktu lama untuk mematangkan ilmu silatmu, juga Enci-mu dapat membantumu. Ada pun tentang Han Han, aku akan mengerahkan anak buahku untuk membantumu mencari kabar tentang Kakakmu itu. Kiranya akan lebih berhasil dari pada kalau engkau pergi mencari sendiri.”
“Ucapan Ayah benar sekali, Adik Lulu. Sebagai murid Siauw-lim-pai, tentu saja aku tidak boleh mengajarkan ilmu silat Siauw-lim-pai kepada orang lain yang bukan murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi agaknya sedikit banyak aku akan dapat membantumu untuk mematangkan ilmu silatmu sendiri yang hebat.”
Dibujuk oleh ayah dan enci angkat yang amat disukainya itu, akhirnya Lulu menurut dan demikianlah, mulai hari itu Lulu digembleng ilmu silat oleh Lauw-pangcu dan Sin Lian.
Benar saja, di bawah bimbingan Lauw-pangcu yang sudah berpengalaman, Lulu dapat mematangkan ilmu silatnya dan Sin Lian sendiri terheran-heran menyaksikan kehebatan sinkang adik angkatnya itu yang benar-benar lebih kuat dari dia sendiri. Juga ilmu silat yang dimainkan Lulu selain aneh, juga indah dan amat kuat.
Benar pula seperti yang diramalkan Lauw-pangcu. Setelah ilmu silatnya dimatangkan di bawah petunjuk Lauw-pangcu yang berpengalaman dan Sin Lian yang berilmu tinggi, Lulu memperoleh kemajuan hebat sekali sehingga kalau menghadapi lawan, kiranya dia lebih berbahaya dari pada Lauw-pangcu, bahkan lebih sukar dilawan dari pada Sin Lian sendiri. Hal ini adalah karena ilmu silatnya tidak dikenal orang, berbeda dengan ilmu silat Sin Lian yang merupakan ilmu asli dari Siauw-lim-pai.
Semenjak pertemuannya dengan Lulu dan mengangkat Lulu sebagai anak, semangat Lauw-pangcu dalam perjuangan menentang bangsa Mancu menurun secara menyolok sekali. Biar pun ia tidak pernah melarang anak buah Pek-lian Kai-pang melanjutkan perjuangan mereka menentang pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu), namun ia sendiri tidak aktif bergerak, bahkan lalu mengundurkan diri kembali ke sarang Pek-lian Kai-pang di lembah Sungai Huang-ho sebelah selatan, di mana ia bersama Sin Lian setiap hari berlatih silat dengan Lulu.
Hubungan antara Lulu dan Sin Lian makin akrab dan mereka saling mencinta seperti adik dan kakak kandung. Lulu memang memiliki sifat periang jenaka dan lincah hingga mendatangkan rasa suka kepada siapa saja. Juga ia jujur, polos terbuka di samping memiliki kecerdikan dan wawasan yang tajam.
Pada suatu hari, beberapa bulan setelah mereka tinggal di lembah Sungai Huang-ho, Lulu ditanggap (dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan) oleh Sin Lian tentang diri Han Han. Diam-diam Lulu mentertawakan enci-nya ini, akan tetapi secara cerdik dan nakal ia malah bercerita tentang Han Han secara berlebihan. Dipuji-pujinya kakaknya itu setinggi langit, kegagahannya, ketampanannya, kepandaiannya, dan kebaikan budinya.
“Di waktu kecil dahulu, dia adalah sahabatku,” kata Sin Lian perlahan dengan pandang mata melamun, terkenang akan masa lalu.
“Ya, dia pernah bercerita tentang dirimu, Enci Lian.”
“Betulkah? Apa yang ia katakan tentang aku?” tanya Sin Lian, wajahnya berseri.
Lulu tersenyum. “Ia pernah mengatakan bahwa engkau adalah seorang yang amat baik budi.”
Wajah Sin Lian menjadi merah, akan tetapi matanya bersinar-sinar. “Ah, dahulu aku bersikap galak kepadanya, mana baik budi?”
“Akan tetapi, dia betul-betul memujimu. Agaknya dia senang akan kegalakanmu, Enci Lian. Kakakku memang sabar dan suka mengalah. Di samping segala kebaikannya hal ini membuat banyak gadis jatuh hati kepadanya. Di sepanjang perjalanan kami kulihat banyak wanita jatuh cinta kepadanya.”
Sin Lian menengok dan memandang dengan gerakan cepat. “Hemmm, bagaimana engkau bisa tahu, Adikku?”
“Hi-hik! Bagaimana aku tidak tahu? Pandang mata mereka itu! Pandang mata yang mereka tujukan kepada Han-ko terlalu jelas, tampak sinar-sinar cinta kasih memancar dari mata mereka dan Dewi Asmara mengintai dari balik senyum mereka.”
“Ihhh, genit kau!” Sin Lian mencela dan mencubit lengan adiknya.
“Aduh!” Lulu menggosok-gosok kulit lengan yang dicubit enci-nya. “Tanganmu mencubit aku, akan tetapi pikiranmu mencubit Han-ko, bukankah begitu, Enci Lian?”
“Idiiih! Engkau benar-benar centil, Adik Lulu! Sudah, jangan menggoda orang, ceritakan yang betul.”
“Aku sudah bercerita sebenarnya, masa aku membohong? Bahkan murid Im-yang Seng-cu, Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga jatuh cinta kepada Kakak Han Han. Baru berkenalan beberapa hari saja mereka sudah begitu akrab. Pendekar wanita itu seperti menjadi bayangan tubuh Han-ko, tidak mau berpisah lagi, setiap gerak-geriknya jelas menunjukkan cinta kasih yang mendalam.” Lulu menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa wajah Sin Lian yang tadinya merah itu kini berubah agak pucat dan sinar mata yang tadinya berseri itu menjadi agak muram. Ia merasa kasihan dan cepat-cepat ia menyambung.
“Akan tetapi, Hoa-san Kiam-li itu akan kecelik kalau mengira bahwa Han-koko mudah saja terjebak panah asmara. Wah, sama sekali tidak! Han-koko terlalu murni dan bersih, tidak pernah mengingat tentang asmara, apa lagi bicara tentang itu! Han-koko adalah seorang pemuda perkasa yang belum pernah diusik panah asmara, masih bersih dan mulus seperti mutiara belum digosok!” Senang sekali hati Lulu melihat betapa kata-katanya mengembalikan warna merah di kedua pipi enci angkatnya. “Dan lagi Han-koko tentu akan merundingkan soal jodohnya dengan aku, kalau sudah tiba saatnya, karena di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa kecuali aku yang menjadi adiknya. Dan aku tentu tidak akan menyetujui dia berjodoh dengan Hoa-san Kiam-li atau gadis mana pun juga, biar puteri kaisar sendiri!”
Dengan wajah heran akan tetapi tidak keruh lagi pandang matanya, Sin Lian memandang Lulu dan bertanya, “Mengapa tidak setuju, Adikku?”
“Karena aku telah menemukan seorang gadis yang betul-betul mencintanya dengan seluruh jiwa raganya, yang betul-betul cantik jelita, betul-betul gagah perkasa, dan betul-betul berbudi mulia sehingga cocok sekali untuk menjadi teman hidup Han-koko selamanya.”
Kembali wajah cantik itu kehilangan sinarnya dan suara Sin Lian agak menggetar ketika bertanya, “Siapa... siapa dia, Adikku?”
Lulu menengadah, seolah-olah hendak minta nasehat dari awan dan perlahan-lahan ia menjawab, “Gadis itu, yang kuanggap paling cocok untuk menjadi jodoh Han-koko, dikatakan dekat amatlah jauhnya karena dia sendiri tidak tahu bahwa dialah pilihanku, dikatakan jauh amatlah dekatnya karena saat ini ia duduk di depanku...”
“Aduuhhhh... Aduuuhhhhh... tobaaat, Enci...!” Lulu menjerit dan meronta-ronta sehingga cubitan pada pahanya terlepas dan ia meloncat dan lari menjauhkan diri dari Sin Lian yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus. “Wah, engkau terlalu, Enci Lian! Mencubit paha orang sampai lecet! Awas kau, kelak kulaporkan kepada Han-koko, biar kau dicubit sampai habis! Hi-hik!”
“Lulu...!” Suara Sin Lian terdengar marah, “Engkau yang terlalu! Engkau sudah kelewat batas mempermainkan aku. Apakah engkau sengaja hendak menghina Enci-mu?”
Melihat Sin Lian marah, Lulu menghampiri dan merangkulnya, mencium pipinya dan merebahkan muka di dada yang membusung itu. “Enci Lian, Enci-ku yang baik, masa engkau tega marah-marah kepada Adikmu? Aku sayang kepadamu, Enci, dan biar pun aku tadi main-main, akan tetapi main-main karena ada dasarnya. Main-main yang bisa menjadi sungguhan! Atau... engkau hendak menyangkal dan membohongi hati sendiri bahwa... bahwa engkau mencinta Han-koko?”
Terdengar isak tertahan di dada Sin Lian. Ia balas memeluk adiknya tanpa menjawab. Ketika Lulu mengangkat muka memandang dan melihat Sin Lian menitikkan dua butir air mata, Lulu bertanya lirih.
“Salahkah dugaanku, Enci? Kelirukah aku bahwa engkau mencinta Han-ko?”
Sin Lian menggigit bibir, mengejapkan mata, kemudian... mengangguk! Lulu tersenyum gembira lalu berloncatan menari-nari mengelilingi Sin Lian. “Bagus... bagus...! Wah, aku girang sekali! Engkau Enci-ku menjadi Soso-ku (Kakak Iparku) sama saja! Wah, aku bahagia sekali, Enci... eh, calon Soso yang baik!” Lulu merangkul dan menciumi kedua pipi Sin Lian.
Mau tidak mau Sin Lian tertawa juga, mengusap air matanya dan memegang kedua pundak Lulu. “Lulu, adikku yang nakal! Hanya kepadamulah aku sudi membuka rahasia hatiku ini. Bahkan di depan Ayahku sekali pun aku tidak akan suka mengaku. Akan tetapi, hendaknya engkau menutup mulut dan memegang rahasia ini, Adikku. Biar pun aku mencinta orang, harus diselidiki lebih dahulu apakah orang itu akan membalas cintaku. Dan... dan... dia masih belum diketahui berada di mana. Karena itu, mulai detik ini kuminta jangan kau bicara lagi tentang dia.”
Lulu mengangguk. “Tak mungkin aku tidak boleh bicara tentang dia, hanya aku tidak akan menyinggung perasaanmu, Enci Lian. Dan aku berjanji kelak akan mengusahakan dia membalas cinta kasihmu.”
“Sudahlah, lebih baik mari kita berlatih lagi. Kemajuanmu sudah hebat dan beberapa bulan lagi saja aku takkan kuat menandingimu.”
Kedua orang dara jelita itu lalu berlatih silat dengan tekun. Sampai setahun lebih Lulu berada di lembah Huang-ho, berlatih silat di bawah bimbingan ayah dan enci angkatnya sehingga dia memperoleh kemajuan hebat. Kemudian timbul lagi rasa rindu dan khawatirnya terhadap Han Han, maka ia minta diri dari ayah angkatnya untuk pergi mencari kakaknya. Lauw-pangcu sebetulnya tidak rela melihat puteri angkatnya yang amat dikasihinya itu pergi, akan tetapi karena maklum bahwa hati Lulu tidak akan bahagia sebelum dapat menemukan kembali Han Han terpaksa ia berkata.
“Aku merasa menyesal sekali bahwa usahaku menyebar anak buahku untuk mencari Kakak angkatmu itu selama ini sama sekali tidak ada hasilnya, Lulu. Tidak ada seorang pun di dunia kang-ouw mendengar atau melihat adanya Han Han. Oleh karena itu, sungguh pun hatiku tidak akan tenteram melihat engkau pergi sendiri, namun aku tidak dapat mencegahmu. Engkau hati-hatilah di dalam perjalanan, Lulu, karena sungguh pun sekarang tingkat kepandaianmu sudah melampaui aku, namun di dunia ini banyak sekali terdapat orang sakti yang menyeleweng dari pada kebenaran.”
“Jangan khawatir, Ayah. Kalau aku telah bertemu dengan Han-ko, aku akan mengajak dia datang ke sini, terutama sekali untuk bertemu dengan Lian-ci...” Lulu melirik ke arah Sin Lian dengan pandang mata dan senyum menggoda.
Wajah Sin Lian berubah merah sungguh pun hatinya merasa senang mendengar janji Lulu. Cepat-cepat ia bekata, “Lulu-moi, kita dapat melakukan perjalanan bersama. Aku pun hendak pergi mencari lima orang suhu-ku dan mengajak mereka mencari Puteri Nirahai yang menurut dugaanmu menjadi biang keladi semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dan yang tentu mengetahui siapa sebenarnya yang membunuh Liok-suhu dan Chit-suhu.”
Demikianlah, dua orang dara jelita itu pergi dari lembah Huang-ho yang tersembunyi, meninggalkan Lauw-pangcu yang bersunyi diri dan yang telah mengundurkan diri dari perjuangan, bahkan yang mulai menjauhkan diri dari urusan duniawi karena merasa sudah terlalu tua, ditambah kesadaran bahwa ikut sertanya dalam perang sama sekali tidak akan mengubah keadaan menjadi baik, bahkan sebaliknya. Semenjak kedua orang puterinya pergi, ia kini tekun bersemedhi bahkan menyerahkan urusan Pek-lian Kai-pang kepada para pembantunya.
Ada pun Sin Lian dan Lulu tidak lama melakukan perjalanan bersama. Sepekan kemudian mereka terpaksa harus berpisah karena Lulu hendak mencari kakaknya di kota raja, sedangkan Sin Lian hendak pergi ke Siauw-lim-si lebih dulu untuk mendengar apakah lima orang suhu-nya telah kembali ke sana. Kedua orang gadis remaja ini saling berangkulan ketika hendak berpisah dan berjanji akan segera saling bertemu kembali di lembah Huang-ho.
“Jangan lupa, Adikku. Bulan tiga tahun depan, jadi kurang enam tujuh bulan lagi adalah ulang tahun ke tujuh puluh dari Ayah kita, tepatnya jatuh pada pertengahan bulan. Aku bermaksud mengadakan sedikit pesta ulang tahun, dan engkau harus membantu dan hadir,” demikian pesan Sin Lian.
“Baik, Enci Lian. Aku pasti akan ada di sana bersama kakakku!”
Sin Lian merasa betapa jantungnya berdebar dan pipinya panas, kemudian ia merangkul sekali lagi dan mencium pipi adik angkatnya, lalu berkata, “Selamat jalan, selamat berpisah sampai jumpa kembali, Lulu.”
Maka berpisahlah kakak dan adik angkat ini. Lulu berdiri memandang enci-nya yang berlari cepat ke selatan itu sambil tersenyum. Gadis yang amat baik budi, pikirnya, lagi pula gagah perkasa dan cantik jelita. Tepat menjadi isteri Han-ko. Akan tetapi di mana kakaknya? Teringat akan ini, cepat ia membalikkan tubuhnya dan lari ke utara, arah yang berlawanan dengan larinya Sin Lian. Ia harus dapat bertemu dengan kakaknya yang sudah lama dirindukannya itu.....
Telah lama kita meninggalkan Han Han. Apakah yang telah terjadi dengan Han Han setelah dalam usahanya menyelamatkan Kim Cu dia sendiri terpelanting dan terjerumus ke dalam jurang yang seolah-olah tak berdasar saking curamnya? Benarkah kekhawatiran para nikouw, Kim Cu, dan para nelayan bahwa pemuda itu tentu tewas dan hancur sehingga mayatnya pun tak dapat ditemukan? Memang, kalau menurut pengertian dan perhitungan manusia, selamatnya Kim Cu setelah terjatuh dari tempat tinggi itu merupakan hal yang ajaib dan kiranya tidak mungkin ada orang lain yang sebaik itu nasibnya. Han Han pasti hancur lebur tubuhnya!
Akan tetapi pengertian manusia sesungguhnya amat tidak berarti, amat kecil dan jauh dari pada cukup untuk dapat menjangkau dan menjenguk untuk mengukur kekuasaan Tuhan yang terlampau besar untuk dapat dipertimbangkan dan diukur oleh pengertian manusia. Logika atau nalar manusia amatlah kecil. Apa lagi tentang hidup dan mati. Jika Tuhan menghendaki kematian seseorang, ke mana pun dia pergi, biar pun dia bersembunyi ke lubang semut, tidak urung maut akan datang menjemput! Jika menghendaki sebaliknya, biar selaksa macam mala petaka mengancam, dia akan lolos dari bencana!
Demikianlah pula dengan Han Han. Agaknya Tuhan memang belum menghendaki pemuda ini tamat riwayat hidupnya, sungguh pun nyawanya sudah berada di ujung rambut, nyaris ia tewas. Ketika ia meluncur turun, lebih cepat dari pada tubuh Kim Cu yang ringan, ia menimpa air lebih keras dari pada gadis itu. Hal ini adalah karena selama melayang turun ini, pikiran Han Han penuh dengan kekhawatiran akan diri gadis itu. Dia selalu ingat akan menyelamatkan Kim Cu, maka tubuhnya melakukan gerakan melawan sehingga tubuh itu terbanting keras ke permukaan air. Hebat sekali akibatnya, membuat matanya gelap dan ia tenggelam dalam keadaan setengah pingsan.
Kebetulan sekali ia jatuh di bagian yang dalam dan airnya amat deras sehingga begitu ia jatuh dan tenggelam, tubuhnya disambar dan dihanyutkan air amat cepatnya. Dalam keadaan pening dan setengah pingsan itu, Han Han menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi kakinya yang buntung terasa nyeri sekali, hampir tak tertahankan. Untung baginya bahwa dia memang telah memiliki sinkang yang tinggi dan selama enam tahun menggembleng diri secara tekun sehingga ia telah memiliki kekuatan menahan napas.
Ia membiarkan dirinya hanyut, menahan napas dan perlahan-lahan menggerakkan kedua lengan sehingga akhirnya ia dapat juga mengambang setelah terbawa hanyut amat jauh. Aliran sungai itu makin berbelak-belok dan arusnya kuat sekali. Tubuh Han Han terbanting-banting batu karang menonjol sehingga pakaiannya robek-robek, berikut kulit tubuhnya. Kakinya terasa makin nyeri, sampai menusuk ke jantung, membuat napasnya terengah dan pandang matanya gelap. Kalau saja Tuhan tidak menolongnya, tentu Han Han tewas dalam keadaan seperti itu. Sungguh amat kebetulan bahwa pada saat itu ia tidak sadarkan diri, pingsan benar-benar.
Tangannya meraih dan kebetulan lengannya dapat merangkul sebatang pohon yang hanyut. Kedua tangannya mencengkeram ranting-ranting dan daun, dan pingsanlah dia setengah bergantung pada cabang pohon, dibawa hanyut arus air yang makin kuat.
Han Han sama sekali tidak tahu karena dia tidak sadar ketika cabang pohon itu dihanyutkan air yang makin kuat arusnya dan tiba di tempat yang sempit dan menurun. Kalau saja ia tidak memeluk kuat-kuat cabang itu di waktu hampir pingsan sehingga tubuhnya kini terbelit-belit ranting, tentu ia sudah terlepas dan tewas ditelan air. Arus air makin kuat dan tibalah di sebuah tikungan. Cabang pohon itu terhalang batu dan karena cepatnya cabang itu dihanyutkan, ketika menghantam batu karang terdorong minggir, ditangkap pusaran air dan dihanyutkan ke pinggir di mana air terpecah memasuki sebuah terowongan.
Kiranya sungai di bagian ini mempunyai banyak cabang-cabang, yaitu lubang-lubang di antara batu gunung yang merupakan goa-goa atau terowongan. Cabang pohon yang membawa tubuh Han Han hanyut memasuki terowongan yang amat panjang dan gelap. Lebih dari dua kilometer panjang terowongan ini, di mana air yang masih deras mengalir di bawah gunung karang!
Sampai setengah hari lamanya Han Han dibawa hanyut air sungai. Ketika siuman dari pingsannya, ia telah menggeletak di antara batu-batu kali yang halus dan berwarna hitam. Cabang pohon tadi hanyut oleh air terdampar ke pinggir dan terjepit di antara batu-batu. Untung bagi Han Han bahwa ia rebah terlentang sehingga hanya tubuhnya saja terendam air dangkal, mukanya terapung di permukaan air.
Ia membuka mata, mengeluh perlahan karena merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri. Akan tetapi pikirannya masih sadar dan segera ia dapat mengingat kembali keadaannya. Tahulah dia bahwa secara gaib sekali Tuhan telah menolongnya sehingga dia tidak tewas ketika terjatuh dari atas tebing yang curam itu. Sejenak ia teringat akan nasib Kim Cu dan cepat ia menggerakkan tubuh, menekankan kedua tangan pada batu hitam.
“Kim Cu...” Ia berseru perlahan. Matanya memandang ke arah air sungai yang masih deras mengalir di tengah, mencari-cari penuh harapan. Kalau dia selamat, kemungkinan besar Kim Cu selamat pula.
“Kim Cu...!” Makin keras ia memanggil. “Aku selamat, tentu engkau pun selamat...!”
“Orang muda yang lancang! Boleh jadi engkau bebas dari cengkeraman air, akan tetapi jangan harap dapat terbebas dari tanganku!”
Han Han yang kuat menahan dinginnya air karena sinkang-nya, sekarang menggigil mendengar suara itu. Suara yang merdu dan halus sekali, akan tetapi mengandung hawa dingin yang membeku. Cepat ia memutar tubuh, berpegang kepada batu dan melihat seorang nenek berdiri tidak jauh di depannya dan ia bengong. Nenek itu hanya berkaki satu!
Namun, biar kakinya hanya tinggal satu, nenek itu dapat berdiri tegak di atas batu. Kaki tunggalnya itu berada di tengah-tengah bawah tubuhnya, sukar dikatakan kaki kanan ataukah kaki kiri. Berdiri tegak tak bergerak seperti sebuah arca, tangan kiri memegang tongkat sehingga lengan bajunya tersingkap dan tampak sebuah tangan yang kecil dan berkulit halus putih. Wajah yang keriputan kurus itu masih membayangkan kecantikan masa muda dan tubuhnya masih kecil ramping. Akan tetapi pandang mata nenek itu membuat Han Han mengkirik. Pandang mata yang dingin sekali. Setelah kini ia membalikkan tubuh memandang ke darat, tampak olehnya jauh di belakang wanita tua itu sebuah pondok butut
Penglihatan mata Han Han amat tajam, dia dapat mengenal orang pandai. Akan tetapi pada saat itu ia bengong dan memeras otak untuk mengingat-ingat karena ia merasa yakin bahwa ia pernah bertemu dengan wanita ini! Akan tetapi mendengar ucapan wanita tua itu, ia terkejut dan berkata.
“Maaf, locianpwe. Mengapa locianpwe mengatakan saya lancang?”
“Hemmm, aku sudah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang berani datang ke tempat pertapaanku ini dan engkau telah lancang berani datang ke sini!”
“Tapi... saya... tidak sengaja datang ke tempat ini!” Han Han memprotes.
“Tidak peduli. Engkau telah mengotori tempat ini dan engkau harus mati!” Tiba-tiba, sukar diketahui oleh Han Han bagaimana wanita itu bergerak, tahu-tahu tubuh wanita itu telah menyambar ke arahnya dan tongkat di tangan kiri itu menyambar ke arah kepalanya.
Han Han masih berdiri di dalam air, sebatas paha. Melihat sambaran yang dahsyat luar biasa ini, Han Han cepat melempar tubuh ke belakang.
“Byurrr...!” Ia terluput dari maut, akan tetapi ia gelagapan dan cepat memegang batu karang, bangun berdiri lagi. Wanita itu telah berdiri di atas batu seperti tadi, pandang matanya yang dingin bersinar marah, keningnya yang tipis berkerut.
“Hemmm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, coba kau hadapi pukulan ini!”
Sebelum Han Han dapat mencegah atau membantah, Nenek itu telah mendorong dengan tangan kanannya ke depan. Serangkum hawa yang amat dingin menyambar ke arah Han Han. Cepat pemuda itu membuang diri ke kanan.
“Pyarrrrr!” Batu hitam besar yang berada di sebelah kiri pemuda itu pecah berantakan terkena hawa pukulan yang amat dahsyat itu.
“Locianpwe, tahan...!” Han Han berseru, akan tetapi pukulan ke dua sudah datang pula, lebih hebat dari tadi. Han Han kembali mengelak ke kiri.
“Byurrrr!”
Han Han menengok dengan kaget menyaksikan betapa hawa pukulan itu membuat air di belakangnya menjadi bongkahan-bongkahan salju membeku! Maklumlah ia bahwa nenek itu memiliki Im-kang yang amat dahsyat dan kini teringatlah ia di mana ia telah ‘bertemu’ dengan nenek itu.
“Locianpwe...!”
Nenek itu sudah memukul lagi, tidak ada kesempatan lagi bagi Han Han untuk mengelak. Terpaksa ia menggerakkan tangan menangkis dengan cara mendorongkan tangan kanan ke depan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Gerakan ini tentu saja meniru gerakan yang pernah dia pelajari dari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, yaitu Swat-im Sin-ciang.
“Desssss...! Aihhhhh...!”
Tubuh nerek itu bergoyang-goyang dan ia mengeluarkan seruan kaget, sedangkan tubuh Han Han terbanting ke belakang, mulutnya mengeluarkan darah segar! Keadaan pemuda ini masih belum pulih, belum sembuh benar dari penderitaan luka di kaki yang dibuntungi, apa lagi baru saja dia dipermainkan arus air sehingga dia amat lelah dan tenaga yang ia keluarkan tadi hanyalah sisa tenaga yang tinggal separuh.
Pertemuan tenaga Im-kang dahsyat itu membuat Han Han terluka di sebelah dalam tubuhnya dan ia terhuyung, memegang batu dan jatuh di atas batu hitam.
“Keparat! Engkau pandai Swat-im Sin-ciang? Ada hubungan apa engkau dengan Si Setan Muka Kuda Siangkoan Lee?”
Akan tetapi pertanyaan yang terdengar merdu dan terlalu dingin itu seperti tak terdengar oleh Han Han yang kepalanya terasa amat pening. “Locianpwe... saya pernah bertemu dengan locianpwe... di Istana Pulau Es...”
Terdengar wanita tua itu mengeluarkan suara melengking dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di atas batu depan Han Han, tongkatnya telah diangkat ke atas, siap ditusukkan ke ubun-ubuh kepala Han Han.
“Apa kau bilang...? Pulau Es...? Orang muda, sekarang ada tiga alasan bagiku untuk membunuhmu. Pertama, engkau lancang masuk ke sini, ke dua, engkau ada hubungan dengan Siangkoan Lee dan Swat-im Sin-ciang, ke tiga, engkau tahu akan Pulau Es...!”
Tongkat diangkat ke atas, ujungnya hendak ditusukkan ke kepala Han Han. Pemuda ini melihat datangnya bahaya maut, akan tetapi kepalanya terlalu pening dan pikirannya tidak karuan. Entah bagaimana, ia merasa pasti akan mati dan ia terbayang akan beruang es yang mati di Pulau Es, maka bibirnya mengeluh, “Beruang Es itu telah mati... mati digigit ular merah...” Dan dia pun roboh pingsan, terkulai lemas.
“Beruang... beruang es...? Mati...?” Tongkat yang sudah siap menghabiskan nyawa Han Han itu perlahan-lahan turun. Nenek itu tertegun dan termenung memandang tubuh Han Han yang terkulai, kemudian tongkatnya bergerak, mencokel tubuh Han Han dan sekali digerakkan tubuh Han Han terlontar ke atas, disambut dengan lengan kanan, dikempit kemudian nenek itu meloncat-loncat dengan satu kakinya, cepat bukan main dari batu ke batu, menuju ke pondok kecil.
“Luar biasa...! Kakinya juga buntung sebelah...!” gumamnya ketika tadi melihat betapa kaki pemuda itu juga buntung sebelah.
Keadaan pemuda itu menarik perhatiannya, begitu tertarik sehingga ia tidak ingin lagi membunuhnya. Pertama, pemuda yang keadaannya sudah lemah ini ternyata sanggup menangkis pukulan Im-kang-nya. Hal ini saja sudah mengejutkannya karena tadi ia merasa betapa tangkisan itu amat kuatnya. Si Muka Kuda sendiri belum tentu dapat bertahan dan menangkis sekuat itu. Kedua, pemuda itu mengatakan pernah bertemu dengannya. Ke tiga, pemuda itu menyebut-nyebut beruang es yang mati digigit ular merah, hal ini menguatkan bukti bahwa pemuda ini berar-benar pernah berada di Pulau Es. Dan kini ke empat, kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berkaki satu menambah keinginan tahunya.
Ketika Han Han membuka matanya, pertama yang terasa olehnya adalah rasa pahit di mulut dan bau harum di hidung. Ia mengecap mulutnya dan tahulah ia bahwa dia telah dicekoki obat selagi pingsan. Teringatlah ia akan semua pengalamannya tadi. Cepat ia bangkit duduk di atas pembaringan itu dan melihat nenek tadi sedang duduk di atas kursi di sudut bilik, memandangnya penuh perhatian.
Melihat nenek itu Han Han maklum bahwa walau pun tadi ia diserang sampai roboh pingsan, namun akhirnya nenek itu telah menolongnya. Ia lalu meloncat turun dari atas pembaringan, lupa akan kakinya yang buntung sehingga akibatnya ia roboh terguling.
“Aduhhh...!” Kakinya terasa nyeri sekali, namun ia memaksa diri merangkak dan berlutut dengan sebelah kaki di depan nenek itu.
“Huh, canggung benar!” Si Nenek mencela. “Sudah berapa lama kakimu buntung?”
“Baru... baru beberapa hari, locianpwe.”
Nenek itu mengangguk-angguk. Kiranya pemuda ini malah masih menderita luka pada kakinya yang buntung! Ia makin heran dan kagum betapa pemuda yang terluka hebat masih memiliki tenaga sedemikian kuatnya.
“Sekarang lekas ceritakan semua, bagaimana engkau tahu tentang beruang es dan kapan pernah bertemu denganku? Kalau ada yang kau sembunyikan, aku tidak akan mengampuni nyawamu lagi!”
“Locianpwe, saya bernama Sie Han dan bukanlah seorang yang suka membohong atau menipu, apa lagi lancang memasuki tempat kediaman orang-orang suci. Saya tiba di tempat ini tanpa saya sengaja, juga saya dahulu tiba di Pulau Es secara kebetulan, terbawa badai dalam perahu rusak. Sampai enam tahun lamanya, saya bersama Adik angkat saya berdiam di Pulau Es, melatih diri dengar ilmu yang terdapat di kitab-kitab milik penghuni istana di Pulau Es. Setelah beruang es mati tergigit ular merah beracun dan melihat betapa pulau itu sesungguhnya tedapat ular merah yang amat berbahaya, akhirnya saya dan Adik saya berhasil melarikan diri keluar dari pulau itu. Ketika tadi... ataukah kemarin... saya melihat locianpwe di pinggir sungai, segera saya mengenal locianpwe. Bukankah locianpwe ini adalah orang yang patungnya berada di Pulau Es? Saya ada melihat tiga buah patung di sana, patung seorang pria tampan gagah yang ada bekas tusukan pada dahinya, patung seorang wanita cantik yang pandang matanya menyeramkan, dan ke tiga adalah patung wanita cantik yang... eh, seperti locianpwe...”
“Buntung kakinya?” Nenek itu bertanya dan suaranya agak menggetar.
Han Han mengangguk sambil menatap wajah nenek itu. Setelah kini sikap dingin nenek itu lenyap oleh perasaan terharu, tampaklah olehnya sifat lemah lembut seperti yang terdapat pada muka patung. Kiranya wanita yang pada dasarnya berwatak lembut ini sengaja menutup watak aslinya dengan muka dingin, dan hal ini hanya terjadi pada orang yang mengalami penderitaan batin yang amat hebat.
Tiba-tiba nenek itu mengangkat muka dan ternyata ia telah dapat menguasai getaran perasaannya, matanya bersinar dingin kembali dan ia berkata, “Benar, akulah patung wanita kaki buntung itu! Dan karena engkau telah mengetahui rahasia ini, telah pula menemukan tempat persembunyianku, lebih kuat lagi alasanku untuk membunuhmu! Bersiaplah, engkau untuk mati!” Wanita kaki buntung itu menggerakkan tangan hendak menyerang.
Han Han maklum bahwa dia bukanlah lawan wanita ini, namun telah menjadi wataknya untuk tidak menyerah begitu saja kepada siapa pun juga, apa lagi kalau dia hendak dibunuh. Timbul rasa penasaran di hatinya dan biar pun tubuhnya lemah dan rasa nyeri di kakinya belum lenyap, ia bersikap nekat hendak melawan dan membela diri. Timbul pula rasa marah. Telah dengan susah payah ia membawa surat-surat peninggalan pria penghuni Pulau Es, dan sekarang secara kebetulan ia bertemu dengan seorang di antara tiga patung di Istana Pulau Es, akan tetapi tanpa dosa apa-apa ia akan dibunuh!
“Nanti dulu, Locianpwe!” Ia berseru, suaranya nyaring sekali karena ia mengerahkan khikang sehingga nenek itu terkejut dan menahan pukulannya. “Saya tidak merasa mempunyai kesalahan apa-apa, mengapa locianpwe hendak membunuh saya? Bukankah perbuatan itu kejam dan ganas sekali? Kalau locianpwe memaksa diri ingin membunuh saya, sebagai seorang manusia terpaksa saya akan melawan locianpwe! Tetapi, karena saya pasti akan tewas di tangan locianpwe biarlah saya menyerahkan surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es kepada locianpwe agar tugas saya ini ada yang melanjutkan. Apa lagi karena locianpwe adalah seorang anggota keluarga penghuni Pulau Es, tentu lebih tahu kepada siapa surat-surat itu harus diserahkan!” Sambil berkata dengan nada keras, Han Han mengeluarkan kantung yang berisi surat-surat yang ia temukan dalam laci meja di kamar pria penghuni Istana Pulau Es, kemudian dilemparkannya kantung itu kepada Si Nenek yang cepat menyambar dengan tangannya.
“Plakkk...! Aihhhhh...!”
Tubuh nenek itu tiba-tiba lenyap dan Han Han memandang dengan mata terbelalak. Tadi ketika melontarkan kantung surat-surat itu ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Nenek itu menerima lontaran kantung dengan mudah dan tubuh Si Nenek seperti sehelai daun kering tertiup angin badai, melayang terbang keluar pintu dan beberapa detik kemudian sudah meluncur lagi memasuki pondok, berdiri di atas kaki tunggalnya dan memandangnya dengan terbelalak. Mereka sama-sama terheran karena peristiwa ini menunjukkan bahwa Si Nenek mengagumi kehebatan tenaga sinkang Han Han, sebaliknya selama hidupnya baru sekali ini Han Han menyaksikan ginkang yang sedemikian tingginya sehingga gerakan nenek itu seperti orang menghilang saja!
Akan tetapi betapa herannya hati Han Han ketika melihat nenek itu berdiri dengan muka pucat memandang surat-surat dalam kantung yang telah dibukanya, bibir nenek itu gemetar, air mata mengalir turun dari kedua matanya, tangannya dengan jari-jari menggigil mengambil surat satu demi satu, lalu tiba-tiba ia menciumi surat-surat itu, mendekap di dadanya dan terdengar jeritnya lirih.
“Aduh... Suheng..., Han Ki Koko... (Kanda Han Ki)...!” Nenek itu menekuk lutut kaki tunggalnya dan mendeprok lalu menangis tersedu-sedu, amat mengenaskan.
Han Han melongo, apa lagi dalam tangisnya, nenek itu berkali-kali menyebut nama Han-koko (Kakak Han), mengingatkan ia akan suara tangisan dan panggilan adiknya, Lulu!
“Kakanda Han... kalau memang mencinta mengapa tidak dari dahulu berterus terang...? Kalau benar engkau mencinta aku seorang... ahhh, kalau aku tahu... masa aku akan mengalah begitu saja, membiarkan suci membuntungi kakiku...? Aduh, Han-koko... Han-suheng... betapa kejamnya engkau...!”
Han Han tetap berdiri seperti patung memandang nenek itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh keharuan. Nenek itu seperti seorang anak kecil, menangis terisak-isak dan bicara sendiri seperti orang gila. Satu demi satu surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah itu dibacanya, dan tiap kali membaca sebuah surat ia menangis makin sedih. Akhirnya semua surat habis dibaca nenek itu, surat-surat itu berserakan di atas tanah lantai pondok dan Han Han melihat betapa air mata nenek itu membuat beberapa huruf hitam menjadi luntur dan kotor.
Nenek itu sendiri masih terisak-isak, seolah-olah dia telah lupa kepada Han Han dan tenggelam dalam kedukaan yang amat hebat. Wajah yang kurus itu sepucat mayat, kosong tak ada gairah hidup. Sepuluh jari tangannya mencengkeram dan membuka, seperti orang sekarat, tanda bahwa jantungnya seperti diremas-remas oleh penderitaan batin.
Han Han merasa kasihan sekali. Setelah menanti lebih dari dua jam dan nenek itu masih saja belum dapat menguasai kesedihannya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata.
“Locianpwe, ampunkanlah saya kalau penyerahan surat-surat itu mendukakan hati locianpwe... kalau saya tahu... ah, lebih baik saya buang saja surat-surat itu. Saya tidak ingin melihat locianpwe berduka seperti ini...”
Nenek itu menoleh dan memandang Han Han seperti orang bingung, seperti heran mengapa ada seorang pemuda di situ. Akan tetapi ia segera teringat kembali dan kini pandang matanya menyapu surat-surat yang berserakan di atas lantai. “Mengapa aku tidak berduka? Delapan puluh tahun lamanya aku berada di sini, menyiksa diri dan hati, menanam kebencian yang menjangkau langit, menyimpan sakit hati sedalam laut dan kini, surat-surat itu membuka rahasia, menyatakan bahwa semua penderitaanku selama puluhan tahun ini sesungguhnya sia-sia belaka, hanya muncul sebagai akibat salah paham! Dia mencintaku seorang...! Ha-ha-heh-heh-hi-hik! Ingin aku melihat wajah Maya Suci kalau dia membaca surat ini. Sebuah saja! Hi-hi-hik!” Nenek itu kini tertawa-tawa dan Han Han merasa amat terharu, seperti ditusuk jantungnya karena nenek itu tertawa seperti setan menangis!
“Ahhhhh! Apa artinya semua ini?” Tiba tiba Si Nenek mencelat dan seketika Han Han bingung karena kembali nenek itu lenyap dari pandang matanya.
Ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, bayangan putih berkelebat seperti kilat menyambar dan tahu-tahu nenek itu sudah berada kembali di tempat itu, tangannya memegang obor dan dibakarnyalah semua surat-surat yang berserakan di atas lantai. Ia kini tersenyum-senyum, tertawa-tawa melihat api yang membakar surat-surat itu menyala-nyala di sekelilingnya, kemudian ia melempar obor itu keluar pondok dan berkata.
“Han-koko, biarlah rahasia ini tetap tersimpan dalam hati kita. Biarlah kelak kita bicarakan cinta kasih antara kita kalau kita saling berjumpa di akhirat!” Dalam ucapan ini terkandung kasih sayang yang amat besar, suara nenek itu terdengar merdu dan penuh getaran kasih, membuat Han Han menjadi makin terharu hatinya.
Setelah surat-surat yang terbakar itu habis menjadi abu, nenek itu mengibaskan tangannya dan abu surat itu melayang keluar pondok, sehingga lantai itu kini bersih, sedikit pun tidak ada bekas-bekas surat yang dibakar. Nenek itu lalu memandang Han Han yang masih berlutut, suaranya kembali terdengar dingin.
“Siapa tadi namamu?”
Han Han masih merasa tegang dan heran mendengar betapa nenek itu menyebut nama si penulis surat sebagai ‘Kanda Han’, nama yang sama benar dengan namanya sungguh pun kemudian sebutan-sebutan lain membuat ia tahu bahwa laki-laki penulis surat itu tentulah suheng dari nenek ini yang bernama Han Ki. Maka ia lalu menjawab.
“Nama saya Sie Han, locianpwe.”
“Hmmm, benar namamu itu yang tadi mendatangkan rasa benci di hatiku dan membuat aku ingin membunuhmu. Akan tetapi sekarang tidak lagi, aku tidak membenci nama Han. Tidak! Eh, orang muda, sungguh keadaanmu mengherankan hatiku. Engkau telah menemukan Pulau Es, mempelajari ilmu di sana sehingga tenaga sinkang-mu luar biasa sekali. Kemudian engkau membawa surat-surat itu yang memang ditujukan kepadaku dan... dan kakimu juga buntung. Siapa yang membuntungi kakimu?”
“Yang membuntungi adalah Toat-beng Ciu-sian-li...”
“Wah-wah! Bu Ci Goat perempuan tak tahu malu itu? Hemmm, mengapa?”
Karena maklum bahwa wanita tua yang menjadi seorang di antara penghuni Pulau Es ini adalah seorang yang amat sakti, maka Han Han tidak berani berbohong!
“Dahulu, di waktu masih kecil, saya pernah menjadi muridnya dan karena saya tidak senang, lalu melarikan diri darinya. Setelah berjumpa kembali saya lalu dihukum potong kaki.”
“Bu Ci Goat sungguh tak tahu diri! Tidakkah dia tahu bahwa engkau telah menjadi ahli waris Pulau Es?”
Han Han yang tidak mengerti, apa hubungannya nenek ini dengan Toat-beng Ciu-sian-li yang disebut Bu Ci Goat itu, mengangguk.
“Sudah tahu bahwa engkau telah menjadi murid kami bertiga, tetapi dia masih berani mengganggu? Apakah engkau kalah olehnya?!” Nenek itu membentak, agaknya marah karena penasaran.
Mendengar itu, giranglah hati Han Han. Kiranya nenek yang aneh ini telah menganggap dirinya sebagai murid! Jelas bahwa nenek itu tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya, maka ia cepat berkata.
“Teecu (Murid) melawan sekuatnya, akan tetapi selain Toat-beng Ciu-sian-li amat lihai, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat membantunya sehingga teecu tertawan dan kaki teecu dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li.”
“Biar dikeroyok dengan Si Setan Botak sekali pun, sebagai murid Istana Pulau Es, amat memalukan kalau engkau sampai kalah!” Nenek itu berkata penasaran.
“Maafkan atas kebodohan teecu, locianpwe. Teecu telah beruntung sekali menemukan kitab-kitab rahasia Pulau Es dan mempelajarinya, akan tetapi karena teecu tidak menerima petunjuk langsung dari locianpwe bertiga, bagaimana teecu dapat mewarisi ilmu kepandaian tinggi? Mohon petunjuk locianpwe.”
Sejenak nenek itu memandang Han Han, kemudian menghela napas panjang. “Hemmm, setelah menemukan Pulau Es dan mempelajari kitab-kitab di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Kemudian engkau dengan setia membawa surat-surat peninggalan suheng-ku dan menyampaikannya kepadaku, berarti engkau adalah orang sendiri yang patut mendengar riwayat kami. Sekarang kakimu buntung, sama dengan kakiku, padahal selama delapan puluh tahun aku menciptakan ilmu silat yang khusus untuk seorang yang sebelah kakinya buntung, kalau tidak kuajarkan kepadamu, habis kepada siapa lagi? Akan tetapi sebelum itu engkau sebagai murid tunggal harus mengenal siapakah sebetulnya guru-gurumu, siapakah penghuni-penghuni Pulau Es yang selama ini menjadi rahasia dan tidak dikenal, sungguh pun setiap orang kang-ouw mengharapkan kemurahan penghuni-penghuni Pulau Es untuk mengulurkan tangan memberi satu dua ilmu pukulan kepada mereka. Dari manakah tokoh-tokoh macam Setan Botak mendapatkan Hwi-yang Sin-ciang, Si Muka Kuda mendapatkan Swat-im Sin-ciang kalau tidak dari Pulau Es?”
Han Han terkejut. “Teecu mendengar mereka itu menerima petunjuk dari seorang manusia dewa bernama Koai-lojin...”
“Dialah suhu mu yang pertama, Sie Han. Koai-lojin adalah suheng-ku, adalah penulis surat-surat yang kau sampaikan kepadaku.”
“Ahhhhh...!” Han Han makin terkejut dan terheran-heran.
“Dengarlah baik-baik, muridku. Akan kuceritakan secara singkat kepadamu rahasia besar itu. Guru kami, manusia dewa Bu Kek Siansu pada akhir kali muncul sebagai manusia, menggembleng kami bertiga di Pulau Es. Hanya tiga orang murid beliau, pertama adalah Kam Han Ki yang menjadi keponakan pendekar sakti Suling Emas. Ke dua adalah seorang puteri suku bangsa Khitan yang cantik jelita bernama Maya, masih keturunan dari Ratu Khitan sendiri. Ada pun orang ketiga yang menjadi murid manusia dewa itu adalah aku sendiri, Khu Siauw Bwee....”
Sampai di sini nenek itu menghela napas dan pandang matanya merenung jauh. Han Han merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Nama-nama yang disebutkan itu membuat ia kaget, heran, kagum dan mengkirik karena nama-nama itu pernah ia dengar dari murid-murid Ma-bin Lo-mo, dan dianggap sebagai nama tokoh-tokoh dalam dongeng!
“Kami bertiga menerima gemblengan Bu Kek Siansu guru kami, tidak hanya dalam ilmu silat, melainkan juga ilmu sastra dan ilmu batin. Tentu saja aku tidak dapat menandingi kelihaian suci-ku Maya, apa lagi suheng-ku Kam Han Ki. Akhirnya tiba saatnya guru kami meninggalkan kami dengan pesan agar kami bertiga meninggalkan Pulau Es dan hidup berpencar, berpisahan karena kalau kami bertiga berkumpul, akan timbul bencana di antara kami, bencana yang ditimbulkan oleh nafsu!”
“Ahhhhh, teecu ingat akan bunyi syair yang diukir pada dinding istana Pulau Es...!” Tanpa disadarinya Han Han berseru karena memang ia teringat akan syair itu, ditimbulkan oleh ucapan nenek buntung tentang mala petaka yang ditimbulkan nafsu.
“Syair apa? Ketika aku pergi, tidak ada terdapat syair di dinding! Bagaimana bunyinya?”
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
Dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga, cinta segi tiga tidak membahagiakan!
Menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
Akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
Ikatan persaudaraan dilupakan
Akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu, bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Ketika Han Han mengucapkan syair ini dengan suara lantang dan jelas, nenek itu memandangnya dengan bengong dan menggantungkan pandang mata pada bibir Han Han yang bergerak-gerak. Kemudian, setelah Han Han menghabiskan syair, keadaan menjadi sunyi dan nenek itu kembali menarik napas panjang.
“Ahhh, seolah-olah aku mendengar dia sendiri membacakan tulisan syairnya! Dialah yang menulis itu, Sie Han, dan dapat kubayangkan betapa dia menulisnya dengan hati bercucuran darah. Kasihan Han Ki Suheng!”
“Apakah yang terjadi di antara Subo (Ibu Guru) bertiga?” Han Han yang makin terseret dan tertarik kini merasa dirinya dekat dengan nenek itu dan otomatis ia tidak lagi menyebut locianpwe melainkan menyebut Subo!
“Apa yang terjadi? Telah tersurat dalam syair Koai-lojin Kam Han Ki tadi! Engkau tidak perlu tahu, muridku, urusan itu adalah urusan yang menyangkut kepribadian dan akan tetap menjadi rahasia kami.”
“Ahhhh...!” Han Han tak dapat menahan seruan kecewa ini.
Nenek itu tersenyum dan makin jelaslah kini persamaan antara wajah keriputan ini dengan wajah cantik jelita dari patung di dalam Istana Pulau Es. “Asmara gagal hanya merupakan cerita sedih. Engkau yang masih bersih dan hatimu belum disentuh tangan asmara yang jahil perlu apa tahu akan hal itu? Pendeknya, terjadi kekusutan dalam pertalian saudara kami bertiga, atau lebih tepat, antara Maya Suci dan aku. Dari dua orang kakak beradik seperguruan yang saling mencinta, kami berubah menjadi dua orang musuh, seperti dua ekor harimau memperebutkan kelinci. Kami bertanding dan aku lengah, sebelah kakiku buntung...”
“Yang mana, subo? Teecu tidak dapat membedakan, yang kanan ataukah yang kiri?”
Kembali nenek itu tersenyum dan kini Han Han merasa yakin bahwa sesungguhnya nenek buntung yang mengaku bernama Khu Siauw Bwee ini sesungguhnya merupakan seorang yang amat halus budi dan peramah, hanya menjadi ‘beku’ di luarnya, mungkin karena penderitaan batin yang hebat.
“Yang kiri, Sie Han. Kelak kalau engkau sudah mempelajari ilmu ciptaanku, engkau pun akan dapat mengubah kaki buntung menjadi kaki tunggal. Setelah kakiku buntung sebelah, Maya Suci menjadi menyesal seperti gila, lalu membunuh diri.”
“Membunuh diri?” Han Han terbelalak, teringat ia akan patung wanita yang luar biasa cantiknya, yang telah mendatangkan perasaan aneh di dadanya ketika memandang patung itu, perasaan cinta dan tergila-gila.
“Begitulah agaknya, dia melempar dirinya ke dalam jurang yang amat curam. Dan demikianlah, kami tiga murid Bu Kek Siansu yang tadinya rukun dan setia penuh kasih sayang, menjadi terpecah-pecah. Maya suci mungkin mati mungkin tidak, akan tetapi selama delapan puluh tahun aku tidak lagi mendengar tentang dia. Juga aku tidak pernah mendengar tentang dia... Ahhh, surat-suratnya...” Sepasang mata itu menjadi basah akan tetapi mulutnya tersenyum bahagia.
Han Han termenung. Teringat ia akan segala penuturan Im-yang Seng-cu tentang nenek-moyangnya. Dia adalah cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat, Si Dewa Pemerkosa Wanita, manusia cabul dan sesat. Dalam darahnya mengalir darah Suma yang terkutuk dan jahat. Akan tetapi, juga mengalir darah keturunan keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas. Dan kini, penghuni Pulau Es yang merupakan manusia setengah dewa, manusia rahasia yang disebut oleh orang-orang kang-ouw dengan sebutan Koai-lojin (Orang Tua Aneh), ternyata bernama Kam Han Ki, keponakan Suling Emas, jadi ada hubungan darah dengan dia sendiri!
Dorongan perasaan membuat Han Han menggerak-gerakkan bibir, hendak berterus terang memperkenalkan diri. Akan tetapi ia teringat bahwa hal itu adalah urusan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan nenek yang menjadi gurunya ini. Pula, dia sudah mengambil keputusan, untuk selanjutnya menggunakan she Sie tidak mau memakai she Suma yang amat dibencinya itu. Lebih baik dia tidak mengaku kepada siapa pun juga bahwa dia masih keturunan keluarga Suma yang sama sekali tak bisa dibanggakan.
Nenek itu kini tersenyum lagi. “Orang-orang di dunia kang-ouw tidak ada lagi yang mengenalku dan tentu menganggap aku telah tewas karena selama delapan puluh tahun aku bersembunyi di sini. Demikian pula dengan Maya Suci, mungkin dia sudah mati karena tidak pernah muncul di dunia. Hanya Suheng yang melanjutkan sepak terjang guru kami. Dahulu, guru kami Bu Kek Siansu selalu merantau dan melakukan hal-hal yang luar biasa, melindungi yang benar dan menyadarkan yang salah. Dahulu, nama Bu Kek Siansu kadang-kadang disebut Koai-lojin, dan sekarang pun Suheng disebut orang Koai-lojin sehingga tidak ada yang tahu siapa sebenarnya Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Mungkin juga Suhu, mungkin juga Suheng!”
“Subo, apakah... apakah Sukong Bu Kek Siansu itu masih hidup? Teecu pernah mendengar dongeng bahwa beliau telah menjadi seorang kakek tua renta di jamannya pendekar sakti Suling Emas. Kalau begitu, berapakah usianya?”
Nenek itu menggeleng-geleng kepala. “Tidak ada manusia yang mengetahuinya. Beliau boleh jadi masih hidup, boleh jadi sudah tiada. Dan tidak ada perlunya bagi kita untuk mengetahui akan hal itu. Yang penting sekarang, engkau akan kulatih dengan ilmu silat yang kuciptakan selama puluhan tahun di sini, ilmu yang khusus untuk seorang yang berkaki satu. Mari, kau ikutlah!”
Han Han tidak berani bertanya-tanya lagi dan segera bangkit lalu berloncatan dibantu tongkatnya keluar dari pondok mengikuti gurunya. Nenek itu memang buntung seperti dia, namun gerakannya cepat dan lincah sekali, jauh melebihi gerakan orang yang tidak buntung kakinya. Dia berloncatan dengan payah dibantu tongkatnya, akan tetapi nenek itu berloncatan tanpa dibantu tongkat, dan kakinya seperti ada per-nya, menotol-notol tanah tanpa mengeluarkan suara dan tubuhnya begitu ringan seperti terbang saja, makin lama makin jauh dan cepat loncatannya.
Dengan susah payah Han Han mengikuti nenek itu dan baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa daerah tempat tinggal nenek itu merupakan daerah yang amat aneh, daerah penuh batu-batu licin hitam, akan tetapi anehnya, di antara batu-batu itu dapat tumbuh pohon-pohon dan yang jarang terdapat di daerah tanah biasa. Nenek itu berhenti di sebuah telaga yang mempunyai air jernih kebiruan, akan tetapi juga penuh pula dengan batu-batu yang licin menghitam, permukaannya mengkilap tertimpa cahaya matahari.
Setelah Han Han dapat menyusulnya dan pemuda ini berdiri di dekatnya, nenek buntung itu lalu berkata, “Berapa lama engkau berada di Pulau Es?”
“Kurang lebih enam tahun, subo.”
“Apa saja yang kau pelajari selama itu?”
“Maaf, subo. Teecu memang bodoh. Kitab-kitab di sana terlalu tinggi bagi teecu, bahkan setiap kali teecu berusaha melatih diri dengan petunjuk kitab di sana, teecu jatuh sakit dan peredaran darah teecu menjadi kacau. Yang cocok hanya kitab-kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Siang-mo-kiam.”
“Eh, Siang-mo-kiam? Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa? Kau ketemu dengan mereka dan menerima warisan kitab mereka pula? Mereka adalah murid-murid pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, kau tahu?” Khu Siauw Bwee, nenek itu, makin heran dan terkejut saja mendengar pengakuan Han Han tadi.
Secara singkat Han Han lalu menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh dan yang menyerahkan kitab kepadanya, kemudian menceritakan pula betapa selama enam tahun di Pulau Es, dia hanya mencurahkan tenaga dan perhatiannya untuk melatih sinkang, sedangkan dalam hal ilmu silat, biar pun ia membaca banyak kitab-kitab di situ, namun karena tidak ada yang membimbing, dia tidak dapat memetik hasilnya.
Mendengar ini, nenek itu menggeleng-geleng kepala penuh takjub. “Dan tanpa kepandaian silat, hanya mengandalkan sinkang saja, engkau berani menentang orang-orang macam Kang-thouw-kwi, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li? Gila benar! Akan tetapi ada untungnya bagimu, Sie Han. Ilmu ciptaanku ini adalah khusus untuk orang buntung sehingga orang yang berkaki dua tidak akan mungkin dapat mempelajarinya dengan sempurna. Andai kata sebelum buntung engkau sudah mempelajari banyak ilmu silat, tentu saja ilmu silat biasa bukan untuk orang buntung, agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mempelajari ilmuku ini, karena engkau akan terpengaruh oleh ilmu-ilmu silat biasa. Aku sendiri, karena sebelum buntung telah menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari bandingnya, baru setelah delapan puluh tahun dapat menciptakan ilmu ini. Engkau masih kosong dan telah memiliki dasar sinkang yang kuat. Bagus sekali. Engkau akan cocok sekali dan dapat jauh lebih mudah mempelajarinya dari siapa pun juga. Nah, sekarang aku hendak mencoba dulu kekuatan sinkang-mu. Engkau telah kuat menangkis pukulanku, akan tetapi aku masih belum yakin akan ukuran kekuatanmu, apakah perlu ditambah atau tidak. Masukkan tanganmu di dalam air ini dan kerahkan sinkang-mu melawanku.”
Han Han meniru gurunya yang duduk di atas batu. Gurunya telah memasukkan tangan kirinya ke dalam air sebatas siku. Ia pun lalu mengulur tangan kanannya, dimasukkan ke dalam air telaga di dekat batu yang didudukinya itu. Terkejutlah ia ketika merasa betapa air itu amat dinginnya. Tadinya, ia mengira bahwa memang air telaga itu dingin, akan tetapi ketika merasa betapa air itu makin lama makin dingin, tahulah dia bahwa rasa dingin itu adalah akibat pengerahan tenaga sakti Im-kang dari gurunya yang lihai.
“Pertahankan dan lawanlah!” Gurunya berkata dan tiba-tiba air itu menjadi begitu dinginnya sampai membeku dan berubah menjadi es sehingga tangan Han Han tidak dapat dicabut kembali!
Han Han terkejut dan cepat ia mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia maklum bahwa gurunya mempergunakan Im-kang dan untuk melawannya. Ia lalu mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga Yang-kang. Seperti telah diketahui, dahulu Han Han melatih Yang-kang menurut ilmu Hwi-yang Sin-ciang dari Si Kepala Botak Gak Liat dengan merendam tangan di air masakan batu bintang yang mendidih, bahkan di dalam api, kemudian ia memperdalam dan memperkuat sinkang-nya di Pulau Es.
Biar pun bertahun-tahun melatih diri dengan sinkang, kiranya tingkat Han Han tidak akan mungkin dapat melawan tingkat Khu Siauw Bwee murid ketiga Bu Kek Siansu ini kalau tidak terjadi ketidak-wajaran dalam tubuh Han Han sebagai akibat malam terkutuk ketika ibu dan enci-nya diperkosa para perwira Mancu itu. Karena ia dibenturkan ke dinding pada saat ia dalam keadaan marah, mendendam dan batinnya tertekan, terjadi kekacauan susunan syaraf dalam tubuhnya yang mendatangkan kekuatan-kekuatan mukjizat.
Air yang tadinya membeku dan amat dingin itu kini makin lama makin mencair dan hawa dingin perlahan-lahan berubah menjadi hangat, bahkan tak lama kemudian, setelah mengerahkan seluruh tenaga sehingga mukanya berubah merah, air itu mulai mendidih! Hanya air di sekitar kedua tangan mereka saja, yaitu yang dekat batu, yang terpengaruh sinkang Han Han yang amat hebat.
Khu Siauw Bwee diam-diam menjadi kaget, heran dan kagum sekali. Akan tetapi nenek ini masih belum puas dan tiba-tiba ia mengubah sinkang-nya, mengerahkan Yang-kang sehingga air itu menjadi makin panas mendidih yang takkan tertahankan oleh kulit manusia biasa.
“Lawanlah yang ini!” serunya dengan pandang mata berseri saking girangnya.
Ketika merasa betapa air itu menjadi amat panas dan wajah gurunya yang tadi agak pucat kehijauan ketika mengerahkan Im-kang kini berubah menjadi merah, tahulah Han Han bahwa gurunya sudah mengubah sinkangnya, menjadi Yang-kang. Maka dia pun cepat mengubah sinkang-nya, menjadi tenaga dingin yang amat kuat untuk melawan tenaga panas gurunya.
Pertandingan adu tenaga sakti ini berjalan amat lama, namun akhirnya nenek itu merasa puas dan harus mengakui bahwa muridnya ini memiliki dasar kekuatan sinkang yang tidak lumrah! Ia menghentikan ujiannya lalu berkata.
“Sekarang kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat yang kuciptakan semenjak kakiku buntung.” Nenek itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking dan... lenyaplah dia dari atas batu di depan Han Han! Pemuda ini terkejut dan cepat memandang ke depan.
“Aihhhhh...!”
Ia melongo dan matanya terbelalak, mulutnya ternganga ketika akhirnya ia dapat menemukan gurunya dengan pandang matanya. Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat melihat dengan jelas dan hanya melihat sinar dan bayangan berkelebatan dari batu ke batu, cepatnya bukan main, seperti kilat menyambar.
Bayangan gurunya itu seperti sebuah mainan bola yang dilontarkan kian kemari, dari sebuah batu melayang ke batu lain, akan tetapi tidak ada sedetik lamanya hinggap di sebuah batu karena begitu menotolkan kaki turun terus mencelat lagi ke jurusan lain, kadang-kadang ke belakang, ke depan, ke kiri dan ada kalanya ke atas. Kecepatannya melebihi gerakan seekor burung walet! Makin dipandang, makin pening dan berkunang pandang mata Han Han...