CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
PENDEKAR SUPER SAKTI
BAGIAN 14
Ia bersikap tenang, melanjutkan perjalanannya terpincang-pincang dibantu tongkatnya hingga ia tiba di depan wanita dan empat orang brewok tadi yang memandang dengan mata terbelalak, masih tampak jeri. Akan tetapi wanita itu memandangnya dengan sikap angkuh memandang rendah. Han Han hanya melihat ini semua dari sudut matanya dan hendak melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalan dekat sungai agar tidak menerjang jalan yang sudah terpenuhi oleh rombongan pasukan itu.
“Pemuda buntung, berhenti dulu!”
Bentakan halus nyaring dari mulut wanita itu membuat Han Han terpaksa menghentikan langkahnya, berdiri tegak tanpa menoleh.
Sunyi sejenak, dan terdengar wanita itu bertanya lirih, “Dia itukah orangnya?”
“Benar, Sianli. Hati-hati, dia lihai bukan main,” jawaban Si Brewok Berhidung Besar ini terdengar jelas oleh Han Han yang masih tidak bergerak, juga tidak menoleh.
“Heh, orang muda pincang! Siapa namamu?”
Han Han yang mendengar betapa wanita itu disebut Sianli (Dewi), dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang tokoh kang-ouw dan tentu memiliki kepandaian tinggi. Jika tidak, mana berani memakai julukan Dewi? Baru satu orang yang ia tahu memakai Dewi, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li, bekas gurunya. Ia dapat menduga bahwa karena empat orang brewok itu adalah orang-orang yang berpihak kepada pemerintah Mancu, maka wanita cantik yang angkuh ini tentulah juga seorang tokoh yang membantu Kerajaan Ceng.
Tanpa menoleh Han Han menjawab, “Aku adalah seorang perantau miskin yang tidak ingin bermusuh dengan siapa juga, tidak mempunyai hubungan pula dengan perang, harap kalian membiarkan aku lewat.”
“Aihhh, orang muda sombong! Agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian maka sikapmu sesombong ini. Ketahuilah, kami tidak berniat jahat terhadapmu, sebaliknya, kalau benar engkau memiliki kepandaian, kami akan membawamu menghadap atasan kami karena pemerintah yang bijaksana membutuhkan bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian. Kalau engkau berkepandaian, percayalah, hidupmu akan terjamin dan engkau tidak usah berkeliaran merantau, menderita kekurangan dan kelaparan!”
Diam-diam Han Han tersenyum. Pemerintah Kerajaan Ceng dan bangsa Mancu memang cerdik sekall. Kalau bangsa Mancu menggunakan kekerasan untuk membasmi orang-orang pribumi yang berkepandaian, tentu perlawanan rakyat takkan kunjung berhenti karena rakyat akan menjadi makin benci kepada pemerintah penjajah itu. Akan tetapi, dengan jalan membujuk orang-orang pandai membantu pemerintah, memberi mereka kedudukan yang takkan mereka peroleh pada waktu pemerintah dipegang oleh bangsa sendiri, maka kedudukan Pemerintah Ceng akan menjadi makin kuat, mendapatkan simpati orang-orang kang-ouw dan dapat menarik hati rakyat.
“Terima kasih, aku tidak mungkin dapat menerimanya karena aku seorang yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.” Sambil berkata demikian, tanpa menoleh Han Han lalu melanjutkan langkahnya.
Wanita itu memperhatikan langkah Han Han yang terpincang-pincang, sejenak ragu-ragu akan kebenaran laporan empat orang brewok. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan....
“Cuiiittttt!” terdengar bunyi ketika sinar hitam menyambar ke arah punggung Han Han.
Han Han tentu saja maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arahnya dari belakang dan maklum pula bahwa senjata rahasia itu dilemparkan oleh seorang yang memiliki sinkang kuat bukan main. Diam-diam ia kaget dan tahu bahwa wanita itu sungguh tak dapat disamakan dengan empat orang Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Baja) yang brewokan itu. Tidak, wanita ini jauh lebih lihai, belum tentu kalah lihai oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo, melihat dari hebatnya sambaran angin senjata rahasianya.
Namun Han Han yang kini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa dan sukar diukur tingginya, masih belum menoleh dan belum berhenti melangkah, hanya kini tongkatnya bergerak sedikit ke belakang, kemudian sambil masih meloncat-loncat dengan sebelah kaki, ia mencabut tiga batang senjata rahasia piauw hitam dari tongkat di mana piauw-piauw itu menancap dan membuangnya ke atas tanah.
Wanita itu menahan seruan kaget. Pemuda pincang itu sama sekali tidak mengelak, bahkan menengok pun tidak, masih melangkah, akan tetapi dengan amat mudahnya sudah menyambut piauw-piauwnya dan membuang begitu saja seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa!
“Berhenti dulu...!”
Han Han melihat bayangan berkelebat dan wanita yang dapat bergerak cepat sekali membayangkan ginkang yang tinggi, kini telah berdiri di depannya. Terpaksa Han Han menahan langkahnya dan memandang tak acuh. Sebaliknya wanita itu memandang kepadanya penuh selidik, agaknya mengingat-ingat di mana ia pernah melihat pemuda ini dan kapan ia mendengar akan seorang jago muda yang buntung kakinya. Setelah merasa yakin bahwa dia belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw muda yang buntung kakinya, ia lalu berkata.
“Ternyata engkau memiliki kepandaian. Orang muda, marilah engkau ikut bersamaku menghadap atasanku. Guruku adalah seorang pembesar di istana, seorang panglima pengawal. Kalau engkau setelah diuji ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau tentu akan mendapat kedudukan yang tinggi pula.”
Han Han mengerutkan alisnya dan wanita itu diam-diam amat tertarik. Wajah pemuda buntung ini tampan dan gagah sekali. Jantung wanita ini mulai tergetar.
“Toanio, harap kau jangan menggangguku. Aku tidak mempunyai urusan dengan toanio, dengan guru toanio atau dengan siapa pun juga. Harap membiarkan aku mengambil jalanku sendiri dan kita tidak saling mengganggu.”
“Orang muda, agaknya karena engkau belum tahu siapa aku, dan belum tahu pula siapa guruku maka engkau memandang rendah dan tidak menaruh perhatian. Ketahuilah bahwa aku adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, dan kalau engkau masih belum mengenalku, guruku adalah Hwi-yang Sin-ciang Gak-locianpwe!” Sebagai murid Gak Liat tentu saja Ma Su Nio tidak mau menyebut nama poyokan gurunya, yaitu Kang-thouw-kwi atau Setan Botak!
Mendengar disebutnya Gak Liat, Han Han tercengang. Tanpa disadari ia mengangkat muka memandang wanita itu. Tentu saja ia sudah tahu bahwa Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi seorang panglima pengawal Kerajaan Mancu, akan tetapi ia tidak menyangka bahwa wanita yang agaknya dipanggil oleh empat orang brewok ini adalah murid Si Setan Botak.
Melihat pemuda buntung itu akhirnya mengangkat muka memandangnya penuh perhatian, Ma Su Nio tersenyum dengan bangga, akan tetapi senyumnya membeku di mulut ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han yang demikian aneh dan tajam menusuk menembus ke jantung menjenguk hati! Pandang mata itu begitu aneh dan seperti bukan pandang mata manusia!
Tiba-tiba Ma Su Nio menjerit karena entah bagaimana caranya ia tidak dapat mengikuti dengan pandang mata saking cepatnya, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram oleh pemuda buntung itu yang bertanya dengan suara yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Hayo katakan apa yang terjadi dengan seorang gadis bernama Lulu yang diculik oleh Ouwyang Seng!”
Ma Su Nio berusaha meronta untuk meloloskan diri dari cengkeraman, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa bahwa tenaganya lenyap dan sama sekali ia tidak mampu melepaskan pundaknya. Ia menjadi marah dan tangan kanannya menghantam ke depan. Tangan itu sudah berubah merah karena wanita ini telah menyalurkan sinkang-nya sehingga tangannya berubah menjadi tangan beracun Hiat-ciang (Tangan Berdarah)!
Pukulan Hiat-ciang dari Ma Su Nio amat berbahaya dan jarang ada orang mampu melawannya. Juga amat cepat seperti kilat menyambar, padahal tubuh Han Han begitu dekat di depannya. Akan tetapi mata Ma Su Nio berkunang ketika tubuh pemuda buntung itu berkelebat dan pukulannya mengenai angin, sedangkan tubuh pemuda itu telah berpindah ke belakangnya, namun tangan yang mencengkeram pundaknya masih berada di pundak. Sebelum Ma Su Nio dapat bergerak, tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan ia jatuh miring karena didorong oleh Han Han dengan tenaga yang tak tertahankan lagi! Ma Su Nio baru saja berkedip, tahu-tahu dadanya telah ditodong oleh ujung tongkat sehingga ia tidak berani bergerak, maklum bahwa nyawanya berada di ujung tongkat itu.
“Hayo katakan, di mana Lulu?”
Ma Su Nio sudah mendengar akan gadis Mancu yang ditawan Ouwyang Seng dan yang kemudian melarikan dari istana di mana ia dijadikan pelayan istana. Kini seperti terbuka matanya. Pemuda inilah yang disebut Sie Han, pemuda aneh yang pernah menggegerkan istana! Akan tetapi menurut pendengarannya, pemuda ini tidaklah buntung kakinya. Dalam keheranan dan kebingungannya, Ma Su Nio menjawab gagap.
“Aku... aku tidak... tidak tahu...!”
Han Han menghela napas, mengeraskan hati dan menyentuh kulit dada wanita itu dengan ujung tongkat. Pada saat itu empat orang brewok sudah datang menyerang dengan golok mereka dari belakang. Han Han masih menodong Ma Su Nio dan tanpa menoleh ia menggerakkan tangan kirinya ke belakang.
Terdengar suara hiruk-pikuk, empat buah golok terlepas dari tangan mereka dan tubuh empat orang itu terjengkang roboh. Kiranya tangan kiri yang lihai dari Han Han telah menyambut terjangan mereka dengan totokan-totokan pada pergelangan tangan mereka dan sekaligus mendorong mereka dengan hawa sinkang yang amat dahsyat!
“Lekas katakan!” Han Han mengancam lagi.
Ma Su Nio tak dapat mempercayai matanya sendiri. Dalam segebrakan saja pemuda buntung ini sudah merobohkannya dan membuatnya tidak berdaya, bahkan tanpa menoleh, entah dengan ilmu apa, telah merobohkan empat orang pembantunya yang tak dapat digolongkan orang lemah! Ia bergidik dan tengkuknya terasa dingin saking ngeri dan takutnya. Baru pertama kali ini selama hidupnya Ma Su Nio merasa ngeri dan takut. Pemuda buntung yang menodongnya ini bukan manusia, melainkan iblis sendiri!
“Dia... dia menjadi pelayan istana...”
Tongkat itu ditarik kembali dan Han Han tertawa. Kembali Ma Su Nio bergidik. Pemuda itu tertawa terbahak seperti orang yang merasa lucu. Dan memang Han Han merasa amat geli hatinya. Tadi ia merasa yakin bahwa sebagai murid Gak Liat, tentu wanita ini tahu apa yang terjadi dengan Lulu. Keyakinannya terbukti dengan pengakuan wanita itu, akan tetapi mendengar betapa Lulu, adiknya itu menjadi pelayan istana, ia dapat membayangkan betapa akan lucunya, betapa akan gegernya istana kalau mempunyai seorang pelayan seperti adiknya. Tentu kaisar sendiri akan menjadi pening kepalanya! Maka ia tertawa saking geli hatinya, kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.
“Tangkap dia! Bunuh...!”
Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Terdorong oleh rasa malu, penasaran dan marah ia lalu memerintahkan pasukan terdiri dari dua puluh empat orang itu, dibantu oleh empat orang brewok yang sudah bangun kembali, untuk mengejar dan menyerang Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio yang mengejar paling depan karena gerakannya jauh lebih cepat dari pada para pembantunya terbelalak, mukanya pucat lalu seperti orang bingung memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Dia tadi melihat tubuh pemuda buntung itu mencelat tinggi ke atas puncak pohon, lalu kelihatan bayangan putih itu mencelat-celat ke sana-sini dan lenyap!
“Ke mana dia, Sian-li? Di mana...?” Empat orang brewok itu telah datang dan mencari-cari.
Dengan hati sebal Ma Su Nio mengibaskan tangannya dan menghela napas. “Sudahlah, mari kita kembali!”
Pasukan Mancu saling berbisik dan mereka ini setibanya di markas lalu menceritakan pertemuan mereka dengan Pendekar Buntung Super Sakti! Makin terkenallah sebutan Pendekar Super Sakti yang juga disebut Pendekar Siluman sebab mereka menganggap pemuda buntung itu seperti siluman.
Sementara itu, Han Han yang sudah berhasil melarikan diri dari pasukan itu karena ia pun hanya menghendaki keterangan tentang Lulu, melanjutkan perjalanannya, seperti biasa, menyusuri Sungai Fen-ho menuju ke utara. Ketika ia tiba di luar kota Tai-goan, tiba-tiba ia mendengar suara orang.
“Taihiap, harap suka menunggu...!”
Han Han mengerutkan alisnya dan menengok. Ketika melihat dua orang berlari-lari cepat, ia membalikkan tubuhnya karena ia mengenal dua orang gagah yang ia lihat di restoran tadi. Mereka itu agaknya berlari cepat dan napas mereka agak terengah-engah namun wajah mereka berseri gembira.
“Untung kami dapat menyusul taihiap...,” kata yang tua dan mereka berdua serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han.
Pemuda buntung ini mengerutkan alisnya makin dalam dan berkata, suaranya penuh wibawa. “Tidak baik begini, harap ji-wi suka bangun!”
Dua orang itu lalu bangkit berdiri dan memandang kepada Han Han penuh kekaguman dan penghormatan. “Mohon maaf dari taihiap bahwa kami berdua mempunyai mata akan tetapi seperti buta saja tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Semenjak taihiap keluar dari restoran, kami berdua melihat betapa anjing-anjing penjilat itu memberi tahu kepada pasukan musuh. Kami berusaha memberi tahu taihiap akan dihadang, akan tetapi... ah, sungguh kami harus merasa malu. Bagaimana kami akan memperingatkan taihiap, kiranya mereka itu sekawanan tikus menghadapi kucing ketika bertemu taihiap. Hebat sekali...! Padahal iblis betina itu adalah Hiat-ciang Sian-li yang lihainya luar biasa...!”
“Dalam segebrakan saja roboh...!” Yang muda berseru, memandang Han Han dengan kagum.
Han Han mengerti dua orang ini tadi telah menyaksikan pertemuannya dengan pasukan Mancu, maka ia lalu berkata, “Hendaknya ji-wi tidak melebih-lebihkan hal itu. Kini ji-wi mengejar saya ada keperluan apakah?”
“Taihiap, saya bernama Ciang Boan dan dia ini adalah So Pek Kun. Kami adalah dua orang utusan dari Bu-ongya untuk menyelidiki daerah ini. Melihat kesaktian taihiap, kami segera melakukan pengejaran. Kini kami mohon sudilah kiranya taihiap membantu perjuangan Bu-ongya melawan penjajah...”
“Hemmm, ji-wi Enghiong. Terima kasih atas kepercayaan ji-wi, namun sesungguhnya saya tidak mau terlibat dalam perang yang tiada habisnya itu. Saya mempunyai banyak sekali urusan pribadi yang harus saya selesaikan.”
“Taihiap, urusan apakah yang taihiap hadapi? Kami mempunyai banyak sekali sahabat kaum pejuang di semua daerah, dan kalau kami dapat membantu...”
“Apakah ji-wi pernah mendengar akan seorang wanita bernama Lulu? Dia adalah Adikku dan saya ingin mencarinya. Dia dulu diculik oleh Ouwyang Seng dan kabarnya Adikku itu berada di istana...”
“Ouwyang Seng putera Pangeran Ouwyang Cin Kok? Wah, ini hebat! Akan tetapi, sungguh pun kami tidak pernah mendengar tentang Adik taihiap, yang bergerak di daerah kota raja adalah sahabat-sahabat yang dipimpin oleh Lauw-pangcu. Kalau taihiap bertanya kepadanya tentu akan ada yang tahu. Taihiap, saat ini seluruh orang gagah telah berkumpul di Se-cuan dan kami siap untuk sewaktu-waktu menghadapi penyerangan orang Mancu. Kami harap sudilah taihiap ikut mencurahkan tenaga taihiap yang amat lihai untuk membela nusa bangsa, dan kami percaya bahwa taihiap memiliki jiwa patriot.”
Han Han tidak mau berbantah lebih banyak lagi tentang hal itu, maka ia menghela napas dan berkata, “Saya tidak berani berjanji terlalu banyak, ji-wi Enghiong. Saya hendak mencari Adikku, kalau sudah bertemu barulah saya akan memikirkan tawaran ji-wi. Kalau memang kelak aku setuju, agaknya tidak akan sukar untuk pergi ke Se-cuan. Nah, selamat tinggal!” Han Han tidak menanti bantahan mereka. Tubuhnya mencelat ke belakang, kemudian dua orang gagah itu melihat bayangan putih berkali-kali mencelat makin jauh dan lenyap dari pandangan mata mereka.
Kedua orang itu menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian menarik napas panjang. “Manusiakah dia?” Yang muda menggumam.
“Entahlah, akan tetapi sungguh sukar dipercaya seorang buntung bisa bergerak seperti itu!”
Keduanya pergi dan makin banyaklah orang yang bercerita tentang kehebatan sepak terjang Pendekar Super Sakti!
Han Han tidak singgah di kota Tai-goan, melainkan terus keluar dari kota itu melalui pintu kota sebelah timur untuk melanjutkan perjalanannya ke kota raja melalui Pegunungan Tai-hang-san. Ketika beberapa hari kemudian ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, ia merasa kagum akan keindahan pemandangan alam di pegunungan ini, akan penghidupan para petani pegunungan yang aman, damai dan tenteram.
Han Han ikut menjadi gembira melihat para petani yang biar pun pakaiannya sederhana, robek-robek dan kotor terkena lumpur, bekerja di sawah sambil menyanyi-nyanyi, wajah mereka berseri gembira, tubuh mereka sehat kuat. Ia kagum sekali dan terkenanglah ia akan filsafat yang pernah dibacanya bahwa ‘kemajuan duniawi’ bahkan menjauhkan manusia dari pada kebahagiaan hidup.
Lihat saja di kota-kota besar. Di kota manusia mengadakan pelbagai kesenangan, makanan enak, pakaian indah, perhiasan, tontonan dan sebagainya yang dianggap sebagai kemajuan yang akan menyenangkan hidup manusia. Akan tetapi makin banyak diciptakan hiburan-hiburan dan kemewahan, bukan kebahagiaan yang didapat, bahkan sebaliknya.
Manusia yang bisa mendapatkan segala kemewahan itu hanya akan menikmatinya sebentar saja lalu menjadi bosan, sebaliknya betapa banyaknya yang karena tidak bisa mendapatkannya, merasa berduka dan menganggap hidupnya sengsara. Yang tidak bisa membeli pakaian indah dan perhiasan mewah, melihat mereka yang memakai segala kemewahan itu menjadi iri hati dan kepingin sekali, maka timbullah perbuatan-perbuatan maksiat, didorong oleh keinginan hendak memiliki benda-benda yang diinginkan.
Akan tetapi, di dusun yang sunyi ini, tidak nampak kemajuan duniawi, tidak nampak kesenangan-kesenangan yang aneh-aneh dan karenanya, tidak ada seorang pun yang kepingin dan tidak ada seorang pun yang merasa sengsara. Mereka tidak mabuk pengejaran kesenangan dan kemewahan, mereka tidak butuh akan itu, dan karenanya mereka pun tidak kekurangan sesuatu!
Boleh jadi para petani pegunungan ini miskin akan harta benda dan kesenangan duniawi yang sekelumit itu, namun tanpa disadari telah menemukan kebahagiaan sejati yang memang akan menonjol apa bila manusia menipis keinginannya untuk mengejar kesenangan.
Kesenangan adalah bayangan yang menyesatkan, makin dikejar makin membuat pengejarnya tersesat jauh sehingga tidak dapat menemukan kebahagiaan yang sudah ada pada dirinya sendiri. Lupa bahwa kesenangan itu bergandengan tangan dengan kesusahan. Bahkan merupakan satu badan dengan dua muka, yaitu yang sebelah kesenangan yang sebelah lagi kesusahan. Maka sudah menjadi kepastian bahwa siapa mencari kesenangan, dia berarti mencari pula kesusahan, karena yang merangkul kesenangan berarti menggandeng kesusahan pula.
Karena tertarik dan kagum, Han Han beristirahat di bawah pohon dekat sawah, melihat seorang petani tua yang sedang mencangkul sawahnya. Petani tua itu memandang ke arah Han Han, menggeleng-geleng kepala penuh kasihan melihat pemuda yang berkaki buntung itu, lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Lopek, maaf kalau aku mengganggu pekerjaanmu. Penduduk di sini kelihatan sehat dan gembira sekali, alangkah jauh bedanya dengan penduduk kota Tai-goan yang saya lalui beberapa hari yang lalu.”
Kakek itu menunda cangkulnya, menoleh dan tersenyum. “Habis, kalau tidak gembira, apa yang disusahkan? Bekerja setiap hari mendatangkan kesehatan. Dan berkat kesucian para nikouw yang bersembahyang untuk kami di Kwan-im-bio di dusun kami, Kwan Im Pouwsat memberi berkah sehingga hasil sawah kami selalu baik. Memang benar, semenjak Thian Sim Nikouw dan para muridnya membangun kuil Kwan-im-bio di dusun kami, penghidupan kami lebih tenteram. Sawah ladang subur, kalau ada yang sakit para nikouw cepat turun tangan mengobati, dan petuah-petuah yang berharga dari para nikouw mengusir semua kemaksiatan di dusun-dusun.”
Han Han tertarik dan makin kagum. Di mana ada penghidupan yang demikian tenang dan damai?
“Selain itu, juga tidak ada orang jahat berani mengganggu pedusunan di sekitar Tai-hang-san, berkat perlindungan para nikouw Kwan-im-bio yang sakti!”
Han Han makin kagum. Dia menoleh ke arah sebuah dusun yang ditunjuk oleh kakek itu, dan karena hari sudah menjelang senja, ia mengambil keputusan untuk singgah dan melewatkan malam di dusun itu. Ia lalu berpamit dan melanjutkan perjalanannya menuju ke dusun yang berada di sebuah lereng di kaki Pegunungan Tai-hang-san.
Ketika tiba di luar dusun, ia mendengar derap kaki kuda dan seekor kuda yang ditunggangi seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan sebatang golok tergantung di punggung, melewatinya dan meninggalkan debu yang mengotori pakaian Han Han. Pemuda ini mengebut-ngebutkan pakaiannya dan mengerutkan alisnya. Jelas bahwa orang tadi yang kini bersama kudanya memasuki dusun di depan bukanlah petani dusun, dan melihat sinar kejam membayang di wajah itu, diam-diam Han Han merasa khawatir.
Akan tetapi dengan tenang ia melanjutkan perjalanannya, melangkah dengan satu kaki dengan ringan dan mudah, akan tetapi apa bila bertemu orang ia lalu menggunakan tongkatnya membantu sehingga tidak menimbulkan curiga dan keheranan. Kalau ia menggunakan ilmunya, bergerak dengan langkah satu kaki seperti yang ia latih di bawah pimpinan gurunya, tentu ia akan mendatangkan keheranan kepada mereka yang melihatnya.
Di pinggir dusun itu tampak sebuah bangunan tembok yang dari jauh pun dapat diduga tentu sebuah kuil. Temboknya setinggi dua meter dan tebal, dan di pintu depan tampak tulisan tangan di atas papan, tulisan yang bergaya indah: KWAN IM BIO. Tentu saja Han Han tidak berani melihat-lihat karena maklum bahwa kuil itu adalah kuil yang dihuni para nikouw (pendeta wanita). Akan tetapi ia melihat kuda ditambatkan di pohon tak jauh dari kuil itu dan penunggangnya tidak kelihatan batang hidungnya. Han Han menjadi curiga dan ia menyelinap di belakang pohon mengintai.
Tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang yang gerakannya cukup gesit dan tampaklah si penunggang kuda tadi, agaknya baru turun dari pagar tembok dan wajah yang kasar dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar-sinar. Orang itu berlari menghampiri kudanya, melepaskan tambatan kuda, meloncat dengan sigap dan melarikan kudanya memasuki dusun yang kelihatannya cukup besar dengan rumah-rumah yang cukup baik keadaannya.
Sikap dan gerak-gerik penunggang kuda itu menjadi alasan yang cukup kuat bagi Han Han untuk memperhatikan keadaan kuil. Timbul kecurigaannya dan keinginannya untuk menyelidiki, maka setelah melihat bahwa di luar tidak ada orang, tubuhnya sudah mencelat naik dan di lain saat ia telah berada di sebelah dalam pagar tembok, menyelinap dan bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang yang tumbuh di sudut kebun. Kebun itu luas dan ternyata bahwa kuil itu sendiri tidaklah begitu besar. Agaknya para nikouw mengerjakan kebun itu, ditanami pohon-pohon buah dan bahan makanan lain.
Selagi Han Han hendak keluar dari tempat persembunyiannya dan mengintai ke dalam kuil melalui pintu atau jendela belakang karena kebun itu sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar suara dan melihat empat orang nikouw keluar dari pintu belakang. Ia cepat menyelinap lagi, bersembunyi.
Di dalam cuaca yang mulai suram karena matahari sudah tenggelam di barat, Han Han melihat seorang nikouw tua yang berwajah alim memegang sebatang tongkat bersama tiga orang nikouw yang bersikap halus. Seorang di antara tiga nikouw ini sudah setengah tua, yang seorang lagi paling banyak berusia tiga puluh tahun, berwajah cantik dan berkulit putih. Akan tetapi ketika Han Han melihat nikouw ke tiga, jantungnya berdebar. Nikouw ini masih amat muda dan wajahnya cantik jelita. Kepalanya yang gundul itu berkulit putih dan licin seolah-olah memang tidak pernah berambut, bibirnya segar merah seperti dicat di tengah kulit muka yang putih halus.
“Ah, agaknya engkau hanya melihat bayangan burung terbang,” kata nikouw tua dengan lemah lembut.
“Tidak, subo. Teecu yakin ada orang berkelebat meninggalkan kebun ini tadi. Biar teecu periksa sebentar!”
Suara itu! Wajah dan terutama mata dan bibir itu! Dan kini gerakan tubuh nikouw muda yang gesit dan ringan sekali, berloncatan ke sana ke mari dengan sinar mata tajam mencari-cari. Tidak salah lagi! Ia mengenal nikouw ini, nikouw yang ia duga sedang mencari bayangan si penunggang kuda yang agaknya mengintai ke kuil dari kebun ini!
“Kim Cu...!”
Han Han tak dapat menahan lagi hatinya. Sambil melompat keluar dari balik semak-semak ia menghampiri Kim Cu yang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat memandang kepadanya, seolah-olah nikouw muda ini melihat munculnya setan!
“Omitohud...!” Nikouw tua berseru perlahan, juga dua orang nikouw lain mengeluarkan seruan kaget melihat munculnya seorang pemuda berkaki buntung yang berwajah tampan dan berambut riap-riapan.
“Kim Cu...!” Kembali Han Han berseru dengan suara menggetar. “Ini aku... Han Han...!”
Nikouw muda ini mukanya menjadi seperti muka mayat, mulutnya yang tadinya merah itu menjadi pucat pula, terbuka sedikit dan matanya terbelalak memandang wajah Han Han, hidungnya kembang-kempis, dadanya turun naik.
“Kim Cu, lupakah engkau kepadaku...?” Han Han melangkah mendekat dan memegang pundak nikouw itu, suaranya makin menggetar dan wajahnya juga agak pucat, matanya bersinar tajam penuh selidik.
“Tidak...!” Tiba-tiba bibir itu mengeluarkan suara yang menggetar bunyinya, dengan bibir menggigil. “Tidak... jangan sentuh aku... ahhh, aku... bukan... bukan dia... aku... seorang nikouw...!”
Nikouw muda itu membuang muka yang ditundukkan, tangannya dengan halus merenggut tangan Han Han dari pundaknya, tangan yang dingin menggigil seperti seekor burung ketakutan.
“Kim Cu...,” Han Han menahan suaranya yang terisak ketika ia melihat wajah nikouw yang ditundukkan itu menitikkan dua butir air mata dari mata yang kini dipejamkan dan mulut yang kini berbisik-bisik membaca liam-keng!
“Orang muda, perbuatanmu ini tidak patut! Engkau hendak menodai kesucian seorang nikouw dan mengotorkan Kwan-im-bio?” Suara itu halus, akan tetapi penuh teguran.
Han Han sadar dan cepat memandang nikouw tua itu. Nikouw itu berdiri tegak, kening berkerut dan sepasang mata yang halus amat berwibawa. Dua orang nikouw lain berdiri menunduk, merangkap kedua tangan di dada dan mulutnya berkemak-kemik, seperti mulut nikouw muda itu, membaca doa!
“Maaf..., maaf...” Han Han merasa seperti terpukul, meloncat ke belakang dan tubuhnya mencelat ke atas pagar tembok. Dari atas pagar itu menoleh lagi kepada nikouw muda yang masih menunduk dan meruntuhkan air mata sambil berkemak-kemik berdoa mohon kekuatan batin kepada Kwan Im Pouwsat.
“Ohhh... Kim Cu...!” Suara Han Han mengandung isak dan tubuhnya berkelebat lenyap dari atas tembok.
Tubuh nikouw muda itu terhuyung kemudian terguling roboh! Pingsan! Sibuklah dua orang nikouw yang lain mengangkatnya dan nikouw tua berulang kali menghela napas dan menyuruh bawa tubuh nikouw muda yang pingsan itu ke dalam kamarnya, kemudian menyuruh dua orang muridnya itu keluar dari kamar.
Nikouw muda itu memang Kim Cu. Telah diketahui bahwa setelah kuil di mana nikouw tua itu tinggal kebanjiran, Thian Sim Nikouw mengajak murid-muridnya yang pada waktu itu telah menjadi sepuluh orang untuk mengungsi dan akhirnya menetap di lereng Pegunungan Tai-hang-san mendirikan sebuah kuil sederhana. Selama itu, Kim Cu yang telah memakai nama Kim Sim Nikouw, hidup tenteram dan damai, bahkan kalau tidak ada gangguan bayangan Han Han tentu dia telah mencapai kebahagiaan seperti yang telah dicapai Thian Sim Nikouw dan murid-muridnya.
Pertemuan tiba-tiba dengan Han Han yang dianggapnya sudah mati itu menimbulkan gelombang dahsyat dalam hati Kim Sim Nikouw, merupakan pukulan batin yang amat hebat sehingga ia roboh pingsan. Luka di hatinya yang tadinya sudah mulai sembuh dan mengering, kini seperti dirobek-robek dan mengucurkan darah.
“Han Han...” Bisikan ini keluar dari bibir Kim Sim Nikouw yang bergerak perlahan, lalu bangkit duduk, pandang matanya kosong sehingga ia tidak melihat bahwa gurunya duduk di situ. Ia menoleh ke kanan kiri, kembali memanggil lirih, “Han Han...”
“Omitohud, sadarlah dan kuatkan hatimu, Kim Sim...”
“Han Han...!” Kini panggilan itu merupakan jerit yang langsung keluar dari hatinya.
“Muridku, sadarlah!” Kembali nikouw tua itu berkata halus.
Kim Sim Nikouw menoleh dan... sambil menjerit ia menubruk gurunya, lalu berlutut dan menangis tersedu-sedu di pangkuan gurunya. “Subo... ampunkan teecu... ahhh, teecu yang lemah berdosa besar...!”
“Menangislah, muridku, menangislah. Pouwsat selalu menaruh kasihan dan memaafkan orang lemah yang sadar akan kelemahannya....” Nikouw itu memeluk muridnya dan membiarkan nikouw muda itu menangis di dadanya.
Dia sendiri tergetar hatinya dan tersentuh perasaan harunya, namun bagaikan air telaga yang sudah tenang, keriput air yang sedikit itu sebentar saja lenyap. Dia sengaja membiarkan muridnya menangis, oleh karena ia tahu bahwa tekanan batin yang hebat itu akan amat berbahaya bagi kesehatannya kalau tidak diberi saluran keluar. Dan saluran terbaik pada saat itu hanyalah membiarkannya menangis sepuasnya.
Kim Cu menangis sesenggukan sampai tubuhnya berguncang-guncang, air matanya membanjir bagaikan air bah menjebol bendungannya, hatinya menjerit-jerit keluar dari tenggorokannya sebagai keluh dan rintih melengking. Setelah dadanya tidak terlalu terhimpit lagi ia berkata, suaranya serak dan terputus.
“Aduh, Subo.... Apakah yang harus teecu lakukan...? Bagaimana teecu... ini..., Subo... tunjukkanlah jalan... bagi teecu....”
Thian Sim Nikouw tersenyum. “Omitohud... puji syukur kepada Kwan Im Pouwsat yang penuh welas asih...! Tanyalah kepada hati sanubarimu sendiri, anakku. Pinni tidak akan memaksamu, tidak akan menghalangimu. Engkau ambillah keputusan sendiri, Kim Sim Nikouw!”
“Subo... tolonglah teecu... teecu bimbang... teecu bingung. Kemunculan Han Han bagaikan sambaran petir mengenai kepala teecu, gelap semua... tolonglah Subo memberi jalan, memberi petunjuk kepada teecu.”
“Baikiah, tenangkan dan sabarlah hatimu. Mari kita bersemedhi sebentar... pinni akan membantumu memperoleh ketenangan dan kesabaran. Karena hanya hati yang tenang penuh kesabaran sajalah yang akan mampu menggunakan pikiran dan pertimbangan bersih dan tepat.”
Kim Sim Nikouw melepaskan pelukannya lalu duduk bersila di atas tanah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, bekas murid orang-orang sakti seperti Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Cui-sian-li, tentu saja semedhi merupakan hal yang sudah biasa ia lakukan. Akan tetapi dalam keadaan batin tertekan seperti itu, kalau tidak dibantu Thian Sim Nikouw, tak mungkin dia dapat mengheningkan ciptanya.
Tak lama kemudian terasalah olehnya getaran yang halus memasuki dirinya dan ia tahu bahwa gurunya yang biar pun tidak pandai ilmu silat akan tetapi dalam soal kebatinan jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada Toat-beng Ciu-sian-li, telah membantunya. Sebentar saja Kim Sim Nikouw dapat mengheningkan cipta dan setelah mereka menghentikan semedhi, Kim Sim Nikouw sudah dapat tenang, sungguh pun pikirannya masih tertekan dan bayangan Han Han masih belum mau lenyap dari depan matanya.
“Muridku, pinni akan berusaha membantumu memberi petunjuk. Akan tetapi, pinni tidak sekali-kali hendak mempengaruhimu, karena hal ini menyangkut jalan hidupmu sendiri. Kalau pinni memaksanya, yaitu memaksakan kehendak hati pinni, hal itu berarti pinni menyalahi hukum yang sudah ditentukan dalam hidup manusia. Nah, pinni mulai dengan pertanyaan yang hendaknya kau jawab sejujur-jujurnya.”
“Baiklah, Subo.”
“Apakah engkau mencinta Han Han?”
“Teecu mencintanya, Subo. Dahulu, Han Han adalah satu-satunya orang yang teecu cinta. Dan sekarang pun, hati teecu masih rindu kepadanya, rindu akan cintanya, sungguh pun perasaan itu hanya merupakan lamunan belaka karena sesungguhnya, setelah mempelajari dan melatih pelajaran dari Subo untuk mengubah cinta kasih perorangan menjadi cinta kasih alam semesta, mencinta setiap manusia, bahkan setiap makhluk, dunia dan isinya, teecu menjadi ragu-ragu apakah cinta kasih teecu masih sekuat dulu terhadap Han Han.”
Nikouw tua itu mengangguk-angguk, kelihatannya lega mendengar ini. Akan tetapi ia masih belum yakin benar, maka tanyanya kembali, “Apakah engkau masih mempunyai keinginan untuk menyerahkan tubuhmu kepadanya, ingin melakukan hubungan badani dengan dia? Apakah engkau masih ingin untuk menjadi isterinya dan kemudian melahirkan anak-anak keturunannya?”
Kim Sim Nikouw menundukkan mukanya yang menjadi merah, berpikir sampai lama menjenguk hati dan pikiran sendiri agar dapat memberi jawaban sejujurnya karena dia maklum bahwa gurunya berusaha keras untuk menolongnya dan hanya gurunya inilah yang akan dapat menunjukkan jalan yang tepat baginya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang gurunya dengan sinar mata tulus dan berkata.
“Subo tentu maksudkan apakah teecu masih mengandung nafsu birahi terhadap dia? Kalau benar demikian pertanyaan Subo, maka jawaban teecu adalah tidak! Berkat bimbingan Subo, teecu telah dapat menguasai dan mengendalikan nafsu birahi. Tidak, Subo, cinta teccu terhadap Han Han bukanlah cinta agar menjadi isterinya dan agar teecu menjadi ibu anak-anaknya.”
“Omitohud... syukurlah, engkau telah dapat membebaskan diri dari ikatan yang amat kuat. Dan kalau begitu, maka sebaiknya, bagimu sendiri dan bagi dia pula, engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia. Akan tetapi, harus engkau sendiri yang mengatakan kepadanya, karena kalau demikian barulah ia akan yakin, dan hal ini pun merupakan ujian terakhir bagimu. Yang kau nyatakan tadi hanyalah ucapan yang dapat dipengaruhi oleh pertimbangan, akan tetapi kalau engkau berhadapan sendiri dengan dia dan perasaanmu pun menguasaimu, nah, dalam keadaan seperti itulah maka pernyataanmu akan merupakan keputusan.”
“Maaf, Subo. Betapa beratnya kalau harus teecu sendiri yang mengatakannya. Tadinya pun teecu sudah menganggap dia mati. Begitu dia muncul dengan tiba-tiba, melihat raut wajahnya yang penuh bayangan duka, melihat kakinya yang buntung... ah, rela rasanya teecu mengorbankan apa pun juga demi untuk membahagiakan dia!”
“Kemukakanlah kesemuanya ini kepadanya, muridku. Dan jika engkau berhadapan dengan dia, sebutlah nama Kwan Im Pouwsat di hatimu, mohon kekuatan. Pinni hanya dapat mengatakan bahwa kalau engkau berhasil memutuskan hubungan dengan dia, maka engkau akan dapat berbuat lebih banyak dari pada kalau engkau melanjutkan ikatan itu. Engkau akan menderita karena setelah menjadi isterinya, engkau akan selalu teringat akan keadaanmu yang murni di sini, engkau akan disiksa oleh perasaan berdosa dan dengan demikian engkau akan menyeret pula dia ke dalam kesengsaraan. Pinni yakin akan hal ini karena engkau telah mencapai tingkat setinggi itu di mana kasih sayang alam semesta telah menyerap dan berakar di hati sanubarimu. Demikianlah, muridku. Kini beristirahatlah dan besok engkau boleh menjumpainya.” Setelah berkata demikian, nikouw tua itu meninggalkan Kim Sim Nikouw dan memasuki kamarnya sendiri.
Kim Sim Nikouw naik ke pembaringannya, berbaring dan berusaha untuk tidur. Akan tetapi ia gelisah, miring ke kanan, kembali ke kiri, terlentang, tertelungkup dan akhirnya ia bangun duduk bersila dan bersemedhi lagi! Setelah bersemedhi, barulah ia dapat tenang dan dalam keadaan hening ini ia dapat menenteramkan hati dan pikirannya, lalu ia terus melatih diri mengumpulkan hawa murni di tubuhnya.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba dia terkejut. Ia mendengar suara kaki di genteng. Tentu Han Han, pikirnya dengan jantung berdebar. Biarlah ia bersemedhi terus, karena menghadapi Han Han, dalam keadaan seperti ini ia akan merasa lebih kuat batinnya. Ia harus memutuskan hubungan mereka, harus mematahkan ikatan di antara mereka. Ia harus menolaknya, betapa pun hal ini menyakitkan!
Akan tetapi sampai lama, ia tidak mendengar gerakan lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara rintihan perlahan di kamar seperti rintihan orang tercekik atau terbungkam mulutnya, kemudian diam! Hatinya menjadi curiga dan kembalilah wataknya sebagai Kim Cu murid In-kok-san!
Sekali mencelat, tubuhnya sudah melayang ke luar dari jendela dan menerobos memasuki jendela Pui Sim Nikouw, yaitu suci-nya yang berusia tiga puluh tahun, yang cantik dan berkulit putih. Dan apa yang dilihatnya dalam kamar yang hanya diterangi sebatang lilin itu membuat ia hampir mengeluarkan makian saking marahnya! Ia melihat tubuh suci-nya itu telanjang bulat, pakaian nikouw telah robek-robek semua di kanan kiri tubuhnya yang putih mulus. Suci-nya dalam keadaan tertotok, air matanya bercucuran dan seorang laki-laki tinggi besar sambil menyeringai meraba-raba dada suci-nya dan menciumi bibirnya.
“Manusia jahat!” Kim Sim Nikouw masih dapat menahan makian yang lebih kotor, dan ia meloncat ke dekat pembaringan.
Laki-laki itu meloncat turun dan menyeringai lebar. “Ha-ha-ha, engkaulah yang kucari sebetulnya. Engkau paling muda dan paling cantik! Dan engkau... heh-heh, engkau masih perawan. Siang tadi kulihat engkau, akan tetapi aku salah masuk. Betapa pun juga, dia ini boleh juga!”
“Pergilah!” Kim Sim Nikouw mengayun kakinya dan tubuh laki-laki itu terlempar ke belakang menabrak dinding. Ia kaget sekali dan cepat merangkak bangun sambil menyambar golok yang tadi ia letakkan di atas meja.
“Ehhh, kiranya engkau pandai silat? Bagus, engkau menyerah atau kupenggal lehermu, kubawa kepalamu yang gundul dan cantik itu untuk hiasan kamarku, ha-ha!”
Golok lelaki itu menyambar, namun sekali Kim Sim Nikouw menggerakkan tangan, laki-laki itu berteriak. Goloknya terlepas, tangannya lumpuh karena pergelangan tangannya patah tercium jari tangan Kim Sim Nikouw yang amat kuat. Kim Sim Nikouw yang sudah marah sekali lalu menubruk maju, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam ke arah dada laki-laki itu.
Pukulan ini sepenuhnya mengandung pukulan Toat-beng-ciang dan sudah dapat dipastikan bahwa laki-laki itu tentu mati. Untung sekali baginya, pada detik terakhir, melihat wajah laki-laki yang ketakutan itu, Kim Sim Nikouw teringat akan sifat welas asih, dan ia menaikkan sasarannya.
“Kekkk-krekkkkk!” Bukan dada lelaki itu yang pecah, melainkan kedua tulang pundaknya yang hancur.
“Aduh tobaaat... aduhhh... aduhhh... ampunkah saya, Siankouw...!” lelaki itu mengaduh-aduh sambil berkelojotan di atas lantai.
“Hemmm!” Kim Sim Nikouw mendengus, lalu cepat menubruk suci-nya, membebaskan totokannya dan menyelimuti tubuhnya yang telanjang bulat.
Nikouw itu menangis, namun dihibur oleh Kim Sim Nikouw, “Syukur kepada Pouwsat bahwa kedatanganku belum terlambat, Suci.” Nikouw itu memeluk Kim Sim Nikouw sambil menangis.
Pintu kamar terbuka dan Thian Sim Nikouw masuk sambil memegang sebatang lilin, diikuti oleh para nikouw karena mendengar suara gaduh dalam kamar itu.
“Apakah yang terjadi di sini?”
“Subo, manusia sesat ini hendak melakukan perbuatan terkutuk,” kata Kim Sim Nikouw.
Nikouw tua itu mengeriing ke arah Pui Sim Nikouw yang berkerudung selimut dan memandang laki-laki yang patah pergelangan lengan kanan dan remuk kedua tulang pundaknya itu.
“Hemmm, ambilkan tempat obat penyambung tulang,” perintahnya kepada seorang murid yang segera memenuhi perintah gurunya.
Setelah keranjang obat itu datang, Thian Sim Nikouw lalu mengobati kedua pundak dan pergelangan tangan laki-laki itu yang terus merintih-rintih dan minta-minta ampun. Setelah selesai membalut, Thian Sim Nikouw lalu berkata, “Kalau mau minta ampun, mintalah ampun kepada Thian dan jadikanlah pengalaman pahit ini sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang jiwamu. Nah, pergilah!”
Laki-laki itu menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sim Nikouw, kemudian ia diperbolehkan keluar melalui pintu samping yang dibuka oleh seorang nikouw. Kemudian para nikouw itu kembali memasuki kamar masing-masing. Akan tetapi Kim Sim Nikouw tidak kembali ke kamarnya, melainkan memasuki ruangan liam-keng dan berlutut di depan sebuah arca Buddha yang besar.
Ia bersila, bersemedhi dan mulutnya berkemak-kemik membaca liam-keng. Hatinya gelisah sekali karena tadi ia dikuasai kemarahan, bukan karena melihat suci-nya hendak diperkosa orang, melainkan karena tadinya ia mengira Han Han-lah yang akan berbuat jahat melakukan perkosaan. Ia merasa makin berdosa dan kasihan kepada Han Han, juga merasa betapa sebetulnya ia masih amat lemah.
Dia tadi telah dibakar api cemburu, dan cemburu ini hanyalah menjadi bukti bahwa nafsu birahinya terhadap pemuda itu, yang bergulung menjadi satu dengan cinta kasihnya, sebenarnya masih belum lenyap sama sekali seperti yang ia katakan di depan gurunya. Ternyata Thian Sim Nikouw kembali betul! Dia harus menyatakan semua di depan Han Han dan ia bermohon kepada Buddha agar dia diberi kekuatar dan agar Han Han diberi penerangan suci sehingga pemuda itu akan memudahkan keputusan yang diambilnya ini.
“Kim Cu...!”
Nikouw muda itu terkejut, membuka matanya dan menoleh, ternyata Han Han telah berdiri di belakangnya. Sama sekali ia tidak mendengar gerakan pemuda buntung itu, dan diam-diam Kim Sim Nikouw kagum bukan main. Dahulu, sebelum buntung sekali pun, ia tentu akan dapat mendengar gerakannya. Akan tetapi sekarang, ia sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di situ!
“Omitohud... kenapa engkau berani mengotori tempat suci ini, dan mengapa engkau selalu mengejar-ngejarku?” Kim Sim Nikouw berkata, suaranya halus penuh wibawa, akan tetapi mukanya menunduk karena ia tidak berani bertemu pandang dengan Han Han, yang ia tahu mempunyai sinar mata yang luar biasa tajamnya, dan yang akan mampu menjenguk isi hatinya!
“Aku akan terus mengejar dan mengikutimu, biar sampai dunia kiamat sekali pun, selama engkau belum mau berterus terang karena aku merasa yakin bahwa engkau adalah Kim Cu! Apa kau kira aku tidak dapat mengenal pukulan Toat-beng Sin-ciang yang kau lakukan untuk membikin remuk kedua tulang pundak jai-hwa-cat tadi?”
“Ohhh, jadi engkau tadi melihatnya...? Ya Thian Yang Maha Kasih...! Baiklah... baiklah. Han Han... aku memang Kim Cu... akan tetapi sekarang aku telah menjadi Kim Sim Nikouw... Engkau tidak boleh mendekatiku, maka pergilah kau, Siangkong. Pergilah kau... Han Han... kasihani aku dan pergilah tinggalkan aku...”
“Hemmm... ke manakah perginya kegagahanmu, Kim Cu? Manusia tidak boleh membohongi dirinya sendiri, tidak boleh mengingkari perasaan hatinya sendiri. Ceritakan dulu, mengapa engkau menjadi nikouw dan mengapa engkau mengusirku, baru aku akan mempertimbangkan permintaanmu itu. Setelah semua yang kita alami bersama....!”
“Ya, setelah apa yang kita alami bersama...!” Kim Sim Nikouw berbisik dan ia membalikkan tubuh membelakangi Han Han, lalu jatuh berlutut karena kakinya menggigil, suaranya masih berbisik-bisik namun terdengar jelas oleh Han Han.
“...engkau tidak tahu betapa aku telah menderita hebat... betapa aku sekarang telah menemukan ketenteraman kembali... Ketika engkau menolongku, agar aku tak terkena senjata rahasia Toat-beng Ciu-sian-li, engkau menolongku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri... kita berdua jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar! Ahhh... betapa senang dan bahagianya hatiku ketika melayang jatuh karena aku yakin bahwa kita akan mati bersama... Mati bersamamu di waktu itu merupakan kebahagiaan yang tak terhingga bagiku...! Akan tetapi, ohhh... hancurlah hatiku ketika ada nelayan menolongku dan aku masih hidup! Aku hidup dan engkau mati! Aduhh, Han Han... tidak ada penderitaan yang lebih hebat dari pada itu, hatiku tersayat-sayat... ohhh...” Nikouw itu menangis terisak-isak.
Han Han tak dapat berkata-kata, hanya memandang gadis itu dengan wajah pucat dan mata basah, perasaannya diserang keharuan yang membuat ia tak dapat bicara, melainkan membayangkan penderitaan batin gadis ini yang amat mencintanya. Dengan ujung lengan bajunya yang lebar nikouw muda itu menyusuti air mata yang mengalir deras di kedua pipinya, kemudian melanjutkan.
“Aku tidak kuat menahan derita batin itu, dan tentu sudah membunuh diri kalau tidak ada Thian Sim Nikouw ketua Kwan-im-bio yang menolongku, dan menyadarkan aku... merupakan pelita yang menerangi kegelapan hatiku... Aku diberi wejangan, aku sadar lalu menjadi muridnya... menjadi nikouw setelah bertahun-tahun aku sembahyang setiap hari untukmu... untuk arwahmu yang kusangka sudah mati... akhirnya hidupku tenang dan tenteram, sebagai nikouw...”
“Kim Cu...” Suara Han Han menggetar dan berbisik penuh perasaan haru. “Apakah tidak ada jalan lain...?”
“Jalan lain yang mana? Aku... aku murid seorang wanita jahat..., seorang datuk hitam yang penuh dosa.... Dunia akan mengutuk aku... manusia akan memandang rendah kepadaku... Hanya dengan menjadi nikouw aku dapat menebus dosa... dan... dan dapat melupakan engkau....”
Han Han tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya jatuh bertitik. Ia tahu betapa besar, betapa murni perasaan cinta kasih Kim Cu terhadap dirinya. Dan demi cinta kasihnya itu pula gadis ini melakukan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita. Menjadi nikouw! Pengorbanan nyawa masih kalah besar, karena sekali kehilangan nyawa habislah sudah. Akan tetapi sedemikian muda dan cantiknya, berkepandaian tinggi, mempunyai harapan besar untuk menikmati hidup, sudah melempar dirinya menjadi patung hidup, menjadi nikouw! Betapa besar pengorbanan itu. Patutkah seorang gadis seperti Kim Cu berkorban sedemikian rupa untuknya?
“Kim Cu, tidak boleh! Engkau tidak boleh berkorban untukku seperti ini! Tidak, tidak...! Kalau memang engkau mencintaku... setelah semua pengorbanan yang kau lakukan untukku... Wahai Kim Cu, budimu kepadaku bertumpuk-tumpuk, tidak mungkin dapat kubalas selama hidupku... Mengapa setelah itu semua engkau lalu mengambil jalan terpendek ini? Kim Cu, engkau mungkin akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup dengan menjadi nikouw... akan tetapi aku..., aku yang kau usir... aku yang merasa terhimpit oleh budimu... betapa aku akan dapat bersenang hati, mengenangkan engkau yang selalu bersemedhi dan bersembahyang di dalam kelenteng yang sunyi? Ah, Kim Cu... jelas bahwa engkau masih mencintaku, mengapa... mengapa engkau merenggutnya putus membiarkan hatimu terkoyak-koyak berdarah...?”
“Han Han...!” Nikouw itu menjerit, mendekap mukanya dan menangis sesunggukan. Sampai lama ia menangis, berlutut dan air matanya yang bening seperti mutiara menetes-netes keluar melalui celah-celah jari tangannya yang kecil meruncing. “Kalau begitu, kalau aku merusak hatimu, kalau aku mendatangkan sengsara kepada engkau orang yang kukasihi dengan seluruh jiwa ragaku dengan kelanjutan hidupku menjadi nikouw... kalau begitu..., biarlah aku mati saja...!”
Cepat sekali nikouw muda yang sudah menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang ke depan dengan muka beringas, meloncat ke depan, ke arah arca Sang Buddha yang tersenyum cerah, hendak membenturkan kepalanya yang gundul licin itu kepada kaki arca yang terbuat dari pada batu hitam.
“Wuuuuuttttt...!”
Tubuh nikouw itu meluncur ke depan karena dalam kenekatannya nikouw ini sudah mengerahkan ginkang ketika meloncat dan tidak menggunakan tenaga sinkang untuk melindungi kepalanya karena ia ingin agar sekali bentur, kepalanya akan pecah.
“Plakkk...!”
Kepala nikouw itu bertemu dengan telapak tangan Han Han yang lunak karena Han Han sama sekali tidak menggunakan tenaga pula ketika ia tadi cepat meloncat ke depan arca dan menaruh tangannya di depan kaki arca, telapak tangannya menyambut kepala nikouw itu sehingga tangannyalah yang terhimpit dengan keras ke kaki arca.
Nikouw itu terpental ke belakang, cepat meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak kepada Han Han. Ia melihat tangan kanan pemuda buntung itu bercucuran darah yang keluar dari luka di punggung tangannya, darah yang membasahi kaki arca sehingga menjadi merah.
“Kim Sim Nikouw, apa yang kau lakukan ini?” Kini suara Han Han terdengar keras dan pandang matanya penuh daya pengaruh menundukkan.
Nikouw muda itu seperti terpesona, seperti baru bangun dari mimpi dan ia mamandang wajah Han Han yang pucat, dahi berkerut, mulut yang membayangkan derita, akan tetapi sinar mata yang tajam berwibawa.
“Han Han...!” Kim Sim Nikouw mengeluh.
“Kim Sim Nikouw, sadarlah bahwa tidak ada dosa yang lebih besar, tidak ada sifat pengecut yang paling rendah dari pada membunuh diri!” Suara Han Han kini tidak menggetar penuh keharuan seperti tadi, bahkan keras dan tegas. “Akulah yang salah dan engkau benar. Memang sebaiknya begini. Engkau menjadi nikouw dan menemukan kebahagiaan. Ada pun aku... hemmm... terus terang saja, Kim Sim Nikouw, aku hanya kasihan dan ingin membalas budi. Dan melihat engkau berbahagia di sini, aku pun akan merasa lega. Biarlah kita saling mendoakan saja. Selamat tinggal...!” Tubuh Han Han berkelebat dan lenyap dari ruangan itu.
Sejenak nikouw muda itu berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Han, kemudian ia menjerit kecil yang merupakan rintihan dan menubruk depan arca Sang Buddha yang masih tersenyum penuh pengertian, seolah-olah memandang kelakuan dua orang anak manusia itu sebagai kelakuan dua orang anak-anak nakal. Kim Sim Nikouw merintih dan menangis, menciumi ujung kaki arca yang merah oleh darah Han Han, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Han Han dan air matanya mencuci noda darah di kaki arca itu. Darah Han Han!
Han Han sejenak memandang penglihatan yang meremas hatinya itu. Melihat betapa Kim Cu menangis dan menciumi bekas darahnya, ingin Han Han masuk kembali dan mendekapnya, memaksanya meninggalkan kuil dan memasuki dunia memeluk kebahagiaan bersama dia. Akan tetapi, kesadarannya membisikan bahwa perbuatannya itu tidaklah benar. Sudah pastikah bahwa kelak Kim Cu akan hidup bahagia di sampingnya? Apakah dia mencinta Kim Cu?
Memang, mengingat akan budi gadis yang cantik jelita dan amat murni cintanya itu, siapakah orangnya tidak akan menyatakan cinta kepadanya? Betapa pun juga, Han Han ragu-ragu dan merasa yakin bahwa sebaiknya ia meninggalkan Kim Cu dalam usaha menemukan bahagia. Tadi ia sengaja keras, sengaja menyadarkan Kim Cu bahwa dia hanya kasihan dan ingin membalas budi, sama sekali bukan mencinta!
Sekali lagi Han Han memandang Kim Cu, seolah-olah hendak mengusir bayangan nikouw muda itu di lubuk hatinya, kemudian ia menghela napas dan berkelebat pergi menghilang di dalam gelap. Peristiwa pertemuannya dengan Kim Cu itu tanpa disadarinya sudah menambah sebuah guratan lagi di dahinya.
Penjahat yang tadi memasuki Kuil Kwan-im-bio dengan niat jahat memperkosa nikouw muda dan telah mendapat hajaran keras dari Kim Sim Nikouw, malam-malam itu juga meninggalkan dusun menunggang kudanya perlahan-lahan. Tubuhnya masih lemah dan kedua pundaknya terasa nyeri apa bila terguncang terlalu keras, maka ia tidak berani melarikan kudanya. Ia menyumpahi nasibnya yang amat buruk.
Siapa kira di dalam kuil sunyi seperti itu terdapat seorang nikouw muda yang demikian lihai? Tadinya ia mendengar berita bahwa Kuil Kwan-im-bio mempunyai nikouw-nikouw muda yang amat cantik, sehingga tergeraklah hatinya. Dan sore tadi ia telah menyelidiki dan melihat bahwa memang desas-desus yang didengarnya itu ternyata benar. Ia melihat nikouw muda yang amat cantik jelita.
“Sialan...!” pikirnya.
Sudah banyak wanita yang ia renggut kehormatannya. Memang dia terkenal sebagai jai-hwa-cat di samping seorang pencuri ulung. Tetapi belum pernah ia memperkosa seorang nikouw. Tentu seorang nikouw sebagai wanita yang selalu menjaga kesucian tubuh dan hatinya, akan merupakan mangsa yang hebat, maka ia tidak peduli lagi apakah dia melakukan pelanggaran yang amat besar, dan malam itu hampir saja terlaksana apa yang ia sering kali mimpikan.
Akan tetapi, agaknya para dewa tidak mengijinkan perbuatannya sehingga ia bertemu dengan nikouw muda itu. Hemmm, masih untung, pikirnya. Justru nikouw muda itu ia incar. Kalau ia tidak salah masuk ke kamar nikouw ke dua yang juga memiliki tubuh yang benar-benar tidak disangka-sangka, amat menggairahkan, kalau ia masuk ke kamar wanita muda yang lihai itu... ihhh, ngeri ia membayangkan. Agaknya ia belum tentu akan keluar dari kuil itu dalam keadaan bernyawa!
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat, kudanya meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas seperti ketakutan. Ketika penjahat itu berhasil menenangkan kudanya dan memandang dengan bantuan sinar bulan, ia terkejut melihat seorang pemuda buntung telah berdiri di depan kuda, memandangnya dengan sepasang mata seperti mata harimau. Karena dia sedang murung, penjahat itu yang memandang rendah si pemuda buntung.
“Heh, bocah buntung! Minggir! Apa kau ingin mampus diinjak-injak kuda?” bentaknya.
Pemuda yang bukan lain adalah Han Han ini, tersenyum dingin. Dia tadi melarikan diri dari kuil dan hatinya yang sedang dilanda perasaan duka itu membuat ia berloncatan seperti kilat cepatnya, mempergunakan ilmu kepandaiannya yang istimewa. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul penjahat berkuda itu dan begitu melihat penjahat ini, Han Han timbul kesebalan hatinya dan ia sengaja menghadang.
“Hemmm, jai-hwa-cat, apakah yang kau lakukan di kuil tadi?”
Penjahat itu pucat wajahnya. Ia membesar-besarkan hatinya, akan tetapi karena kedua pundaknya tak dapat digerakkan sehingga kedua lengannya pun setengah lumpuh, pergelangan tangan kanannya pun tidak boleh dipakai bergerak, ia maklum akan keadaan dirinya yang sedang terluka dan lemah.
“Aku... aku terluka... dan aku sudah diampuni para nikouw...,” katanya gagap.
Han Han memandang penuh selidik. “Andai kata aku membantumu mendapatkan nikouw muda itu dalam keadaan tidak berdaya sehingga engkau akan dapat melakukan apa juga atas dirinya tanpa ia mampu melawan, engkau akan memberi hadiah apa kepadaku?”
“Wah, jangan main-main, orang muda. Nikouw yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian lihai bukan main, sedangkan kau seorang buntung kakimu...”
“Hemmm, apakah dia selihai ini?” Han Han mengempit tongkatnya, kedua lengannya dikembangkan secara tiba-tiba ke kanan kiri.
“Kraaakkk... kraaakkkkk... bruukkk...!” Dan batang pohon di kiri kanannya ambruk dan terjebol akarnya.
Penjahat itu terbelalak, dan wajahnya berubah girang setengah ngeri ketika ia berkata, “Hebat sekali! Orang muda perkasa, kalau engkau mampu menangkap nikouw itu dalam keadaan tak berdaya sehingga aku dapat... eh, dapat membalas dendam kepadanya, aku... aku akan memberimu kuda ini, dan sekantung uang perak!”
“Kau tentu hendak memperkosanya?”
Penjahat itu menyeringai. “Akan dia rasakan, sepuasku, sampai dia mampus!”
“Keparat!”
Tongkat di tangan Han Han berkelebat, penjahat itu menjerit dan roboh dari atas kudanya dengan tubuh terlempar, kudanya meringkik dan melarikan diri. Sejenak Han Han berdiri tegak memandang tubuh yang tidak berkepala lagi itu, karena kepalanya sudah pecah berantakan tak berbentuk lagi, tercecer ke mana-mana. Han Han yang tadinya tenggelam dalam kedukaan karena Kim Cu, ditelan keharuan, kemudian menjadi marah mendengar kata-kata jawaban penjahat yang sengaja dipancingnya, tiba-tiba terisak, air matanya mengucur turun dan bibirnya terdengar mengeluarkan rintihan, lututnya yang tinggal sebuah itu ditekuk, ia berlutut dan mengeluh.
“Kakekku seorang jai-hwa-sian! Ahhh, Kong-kong, kenapa engkau begitu sesat? Aku keturunan keluarga Suma yang jahat, yang sesat! Kalau kakekku masih hidup, akan kubunuh juga... Ahhh, Kong-kong, kenapa kau sejahat itu...?” Kemudian ia meloncat bangun, wajahnya keruh dan beringas, suaranya keras, “Karena darah terkutuk itu mengalir di tubuhku, aku dibenci sana-sini, dimusuhi, nasibku selalu buruk... ya Tuhan, ampunilah hamba...”
Ia lalu mencelat jauh dan seperti gila melanjutkan perjalanan sambil mengerahkan kepandaiannya yang membuat tubuhnya makin lama mencelat makin jauh dan makin cepat sehingga seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah lagi.
*****************
Puteri Nirahai memenuhi janjinya. Lulu diterima di istana dan tidak dituntut oleh kaisar, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan puteranya pura-pura tidak tahu bahwa gadis yang menjadi adik angkat Han Han itu kini kembali ke istana.
Lulu tekun belajar ilmu silat di bawah bimbingan Nenek Puteri Maya yang amat sakti itu, juga Nirahai digembleng oleh nenek ini. Ternyata bahwa yang dilatih oleh Lulu ketika ia berada di Pulau Es adalah Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu ilmu silat yang dasar geraknya mengambil dari coretan huruf-huruf indah. Karena ketika berlatih di Pulau Es itu tidak ada yang memimpin, maka Lulu hanya mempelajari secara ngawur saja, sehingga ia hanya menguasai kulitnya, tidak menguasai isinya. Kini setelah digembleng oleh Puteri Mayat baru ia dapat mengerti inti dari Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat.
Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang diciptakan oleh Bu Kek Siansu, seorang manusia dewa yang selain sakti dalam ilmu silat, juga seorang ahli dalam ilmu sastra. Oleh kakek dewa ini kedua ilmu itu digabungkan sehingga dalam gerakan ilmu silat itu dimasukkan unsur-unsur keindahan tulisan, seolah-olah yang menggunakan ilmu silat ini sedang mencoret-coret tulisan huruf indah di udara. Karena inilah maka disebut Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan).
Dahulu jika Lulu bersilat, kelihatannya hanya indah sehingga oleh Han Han dikatakan sebagai tarian. Kini setelah mengetahui inti sari ilmu itu, setiap gerakan Lulu adalah didasari goresan menulis huruf. Di jaman dahulu, Ilmu Hong-in-bun-hoat ini oleh Bu Kek Siansu hanya diturunkan kepada pendekar sakti Suling Emas. Kemudian diajarkan pula kepada muridnya yang terkasih, yaitu Kam Han Ki yang kini menjadi Koai-lojin. Oleh Kam Han Ki inilah ilmu itu disusun menjadi kitab yang dipelajari Lulu.
Selain dilatih ilmu silat yang pada dasarnya telah dipelajari Lulu ini, juga Nenek Maya menurunkan ilmu yang amat dahsyat, yaitu ilmu Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas) yang kelihatannya dimainkan tanpa tenaga, dengan kedua tangan berubah sehalus kapas, namun mengandung inti tenaga sinkang yang dapat menahan tenaga sinkang lawan yang kuat.
Lulu amat berbakat dan juga amat cerdik sehingga dalam waktu singkat, hanya beberapa bulan saja, ia telah dapat menguasai kedua ilmu itu sehingga tingkat kepandaiannya melonjak cepat bukan main. Hal ini adalah karena ia telah memiliki tenaga sinkang murni yang ia dapatkan ketika bersama Han Han melatih diri di Pulau Es.
Ada pun Nirahai yang memang tadinya sudah lihai bukan main sebagai pewaris ilmu-ilmu dahsyat dari Mutiara Hitam, yang dahulunya menjadi ilmu-ilmu tangguh dari tokoh wanita perkasa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ibu kandung Suling Emas, kini setelah digembleng oleh Nenek Maya, kepandaiannya pun meningkat secara hebat sekali.
Bahkan ia telah dilatih untuk mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan dengan suling emas yang dipinjamnya dari Gu Toan si kakek bongkok penjaga kuburan Suling Emas. Kini dara perkasa ini menguasai dua ilmu pedang yang sebenarnya berlawanan, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Dengan penggabungan dari kedua ilmu pedang yang berlawanan ini dapat dibayangkan betapa lihainya Puteri selir Kaisar Mancu ini.
Makin lama Lulu makin betah tinggal di istana yang indah dan mewah, juga yang mencukupi segala kebutuhannya. Apa lagi Nirahai amat baik kepadanya, memperlakukannya sebagai adik sendiri. Dan memang sesungguhnya Nirahai amat mencinta Lulu sehingga Lulu yang halus perasaannya itu membalas kasih sayang suci-nya. Mereka amat rukun dan kerukunan ini mempengaruhi juga pendirian Lulu tentang pertentangan antara Kerajaan Mancu dan pemberontak yang berpusat di Se-cuan. Memang pada mulanya, secara terus terang ia berani menentang Nirahai dengan mengemukakan pendapatnya yang timbul dari pengalamannya.
“Suci, sebetulnya aku tidak ingin mencampuri tugas Suci sebagai puteri Kaisar dan sebagai pemimpin para pengawal. Akan tetapi karena Suci ingin mengajak aku membantu, perlu kuberitahukan kepadamu bahwa aku tidak mempunyai kesan baik terhadap sepak terjang bangsaku sendiri!”
Nirahai memandang tajam dan berkata, “Sumoi, lupakah engkau bahwa keluarga orang tuamu dibasmi oleh para pemberontak? Kalau engkau tidak memiliki kesetiaan dan kebaktian kepada bangsa dan negara, hal itu masih dapat kumengerti karena sejak kecil engkau hidup sebatang-kara bahkan kemudian menjadi adik angkat kakakmu Han Han. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engkau akan melupakan ayah bundamu yang tewas oleh para pemberontak. Aku tidak percaya bahwa engkau akan tidak berbakti kepada orang tuamu!”
Lulu mengerutkan alisnya yang hitam. Sepasang matanya memandang Nirahai dengan mata terbelalak. “Yang kau katakan pemberontak itu sebetulnya adalah pejuang-pejuang yang baik, Suci. Sebaliknya, dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan betapa kejamnya tentara Mancu yang membunuhi rakyat yang tak berdosa, memperkosa, merampok, membunuh seperti sekawanan binatang buas saja.”
“Hemmm, pendirianmu itu salah sungguh pun aku tidak sangsi akan keteranganmu tentang perbuatan sebagian tentara yang kejam. Akan tetapi, apakah kau anggap bahwa perbuatan para pemberontak yang membunuhi ayahmu sekeluarga itu juga tidak kejam?”
“Memang kuakui bahwa mereka telah membunuh orang tuaku bahkan telah kudapatkan pembunuhnya. Akan tetapi ternyata dia seorang gagah yang melakukan pembunuhan itu demi perjuangan, demi pembelaan terhadap bangsa mereka. Sama sekali tidak terkandung hati benci di dada mereka terhadap perorangan, bahkan mereka tidak mengenal orang tuaku yang tewas sebagai akibat perang.”
Nirahai mengangguk-angguk. “Memang aku percaya benar demikian. Akan tetapi engkau pun lupa bahwa aku dan teman-teman yang memimpin usaha penindasan para pemberontak pun terdorong oleh tugas membela bangsa dan negara! Aku seorang bangsa Mancu, kalau aku tidak membela bangsa Mancu, habis bagaimana? Engkau pun seorang gadis Mancu, sudah selayaknya kalau engkau membantu perjuangan bangsa sendiri. Kini para pemberontak yang bersarang di Se-cuan harus dihancurkan, kalau tidak, perang tidak akan pernah terhenti dan penderitaan rakyat pun takkan dapat dihabiskan. Kalau kau menganggap bahwa orang tuamu tewas dalam perang dan engkau tidak menaruh dendam perorangan, engkau pun harus dapat mengerti bahwa perbuatan tentara-tentara kita itu pun adalah akibat perang dan bukan merupakan perbuatan kejam perorangan, melainkan kekejaman perang. Akan tetapi percayalah bahwa pimpinan kita tidak menghendaki hal demikian itu terjadi. Hal itu hanya terjadi sebagai akibat-akibat yang berkelebihan dari perang yang memang ganas.”
Lulu merasa terdesak karena pikirannya yang cerdik dapat menangkap kebenaran-kebenaran dalam ucapan Nirahai.
“Apakah engkau percaya bahwa aku adalah seorang manusia yang begitu curang sehingga sudi mengadu domba Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai kalau bukan karena hal itu kuanggap sebagai taktik perjuangan? Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, bahkan aku mengagumi tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar dari kedua partai itu. Akan tetapi, sebagai pejuang untuk negaraku, aku melihat bahaya besar kalau sampai kedua partai yang kuat itu membantu pemberontak, maka jalan satu-satunya adalah mengadu domba mereka agar mereka tidak berkesempatan membantu pemberontak sehingga kedudukan para pemberontak tidak begitu kuat, mudah dihancurkan. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan dua tokoh di antara Siauw-lim Chit-kiam yang kukagumi karena kegagahan mereka, akan tetapi aku membunuh mereka sebagai musuh negara, bukan sebagai musuhku!”
“Kalau seorang saudaramu kebetulan memihak pejuang yang menentang kerajaan, apakah engkau juga akan membunuhnya, Suci?”
“Tentu saja! Kalau dia memihak pemberontak, dia berarti menjadi musuh negara! Bagi seorang pejuang yang mencinta bangsa dan negaranya, musuh sendiri bisa dimaafkan, akan tetapi musuh negara tidak!”
“Wah, kejinya! Aku benci...! Aku benci perang!” Lulu mencela, teringat akan kakaknya. Kalau Han Han kebetulan membantu pejuang, apakah dia pun harus memusuhi kakak yang disayangnya itu? Tidak mungkin!
Nirahai merangkul leher Lulu dan mengecup pipinya. “Adikku yang baik, siapakah orangnya yang mencinta perang? Hanya orang gila yang miring otaknya saja yang tidak membenci perang. Aku pun benci dengan perang. Aku pun rindu akan perdamaian di mana hidup manusia ini tenang tenteram, di mana nyawa manusia dihargai, di mana hak hidup seorang manusia lebih terjamin, di mana harga seorang manusia lebih dinilai tinggi. Akan tetapi, perang timbul bukan atas kehendak seseorang, dan kalau sudah timbul dan kita terseret di dalamnya, hanya dengan kemenangan saja perang itu dapat dihentikan! Menang atau kalah! Itulah persoalannya, dan sekuat tenaga tentu saja kita ingin menang. Dengan kemenangan, atau pun dengan kekalahan, perang baru habis dan timbul perdamaian. Percayalah, aku ingin sekali menikmati masa damai di mana kita tidak akan bicara tentang bunuh-membunuh, tentang siasat-siasat curang, tentang taktik-taktik memalukan dan sebagainya. Peri-kemanusiaan akan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Akan tetapi untuk mendapatkan perdamaian itu, sekarang kita semua harus mengerahkan tenaga untuk menumpas musuh sehingga perang pun terhenti.”
Lulu termenung. Ucapan suci-nya itu meresap ke dalam hatinya dan diam-diam ia kagum sekali. Suci-nya ini cantik, berkedudukan tinggi, berpengaruh dan berkuasa, juga memiliki pandangan yang luas seperti kakaknya. Han-koko! Ah, alangkah cocoknya kalau Han-koko dapat menjadi suami Nirahai! Pikiran yang tiba-tiba menyelinap di kepalanya yang kecil itu membuat ia serta-merta bertanya.
“Suci, kalau begitu engkau tidak mempunyai rasa benci perorangan kepada bangsa pribumi?”
Nirahai mengangkat alisnya. “Eh? Tentu saja tidak!”
“Juga kepada para pejuang kau tidak benci?”
Nirahai tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Tidak sama sekali, Sumoi. Bahkan aku merasa kagum akan kebudayaan mereka, akan kegagahan para pendekar. Bagaimana aku bisa membencinya kalau tokoh-tokoh perkasa yang kukagumi seperti Suling Emas, Mutiara Hitam dan lain-lain adalah bangsa Han juga? Malah aku adalah keturunan Khitan, dan karena Kerajaan Khitan memiliki darah campuran dengan bangsa Han, kaisar wanita Khitan adalah isteri Suling Emas, sedikit banyak ada pula darah Han di tubuhku.”
“Wah, kalau begitu, tentu engkau tidak akan keberatan kalau menikah dengan seorang bangsa Han, bukan?”
Kembali Puteri cantik itu membelalakkan matanya, lalu tertawa geli mencubit pipi dan Lulu. “Huh, engkau menggemaskan dan genit, Sumoi. Bertanya yang bukan-bukan!”
Akan tetapi Lulu mendesak, “Aku tidak main-main, Suci, melainkan benar-benar ingin mengetahui isi hatimu. Bagaimana, andai kata engkau menikah dengan seorang pribumi, apakah engkau akan merasa terlalu rendah?”
Nirahai menghela napas panjang. “Ratu Khitan dahulu menikah dengan Suling Emas seorang pendekar Han. Aku tidak memandang rendah bangsa Han, apa alasanku untuk merasa rendah? Akan tetapi adikku yang nakal, pernikahan harus berdasarkan cinta kasih kedua pihak, tanpa cinta mana bisa hidup bahagia sebagai suami isteri? Pula, aku seujung rambut pun belum memikirkan hal itu. Perang belum berakhir, mana bisa berpikir tentang cinta dan pernikahan?”
Lulu memandang dengan wajah berseri. “Wah, engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang hebat, Suci! Dan menurut pandanganku, engkau hanya patut menjadi isteri seorang yang paling mulia di dunia ini!”
“Hi-hik, kau lucu! Siapa yang paling mulia di dunia ini? Raja kahyangan?”
“Bukan, Suci. Bukan raja bukan pangeran. Orang biasa saja, seorang pria sederhana, yang budiman, gagah perkasa, tampan, seorang yang semulia-mulianya di dunia ini...” Pandang mata Lulu merenung jauh, matanya bersinar-sinar.
“Siapa dia?”
“Han-koko!”
“Aihhh..., kakak angkatmu itu? Pewaris pusaka Pulau Es? Hemmm, engkau berkelakar, Sumoi.”
“Tidak, suci. Dia seorang yang semulia-mulianya, tiada keduanya di dunia ini. Dan hanya dialah yang paling patut menjadi suamimu!”
Nirahai tersenyum dan menarik napas panjang. “Sumoi, enak dan mudah saja kau bicara. Aku belum melihat dia, dia pun belum pernah melihat aku. Andai kata kami saling bertemu, belum tentu pula dia dan aku akan saling jatuh cinta.”
“Pasti!” Lulu berteriak. “Pria mana yang takkan jatuh hati melihat engkau? Termasuk kakakku. Dan wanita mana yang tidak akan mencintanya? Sekali bertemu dengan dia, aku tanggung engkau akan terjungkir balik...!”
“Hahhh...? Kau anggap aku selemah itu mudah dijungkir-balikkan?” Nirahai menantang akan tetapi pandang matanya berseri tanda bahwa dia tidak merasa direndahkan oleh sumoi-nya yang nakal itu.
“Eiiit-eiit-eiiitttt, sabar, Suci! Bukan orangnya yang dijungkir-balikkan, akan tetapi hatimu! Engkau tentu akan jatuh bertekuk lutut...”
“Heiiiii...?”
“Yang bertekuk lutut hatimu, engkau akan jatuh cinta...”
“Sudah, sudah... Eh, Sumoi, engkau mencinta betul kepada kakakmu itu, ya?”
Lulu mengerutkan keningnya dan menjawab sungguh-sungguh, “Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, Suci. Tidak ada yang lebih kucinta dari pada Han-koko.”
“Nah, nah... kalau begitu engkaulah yang patut menjadi isterinya!”
Lulu meloncat bangun seperti diserang ular berbisa. “Suci, engkau gila...?”
Nirahai menuding-nuding telunjuknya ke hidung Lulu. “Eh, eh, beginikah sikap seorang Sumoi? Bocah kurang ajar, engkau memaki Suci-mu gila?” Akan tetapi mata yang tajam bening itu masih berseri, tidak marah.
“Eh, eh maaf, Suci. Maksudku, perkataan Suci itu benar-benar tidak masuk akal. Dia itu kakakku, ingat? Jangan bicara begitu, aku marah, Suci!”
“Sudahlah, maafkan aku. Kita lihat saja nanti, apakah kakakmu itu benar-benar sehebat yang kau banggakan dan pamerkan.”
“Aku tanggung engkau akan kagum! Bahkan wanita-wanita pendekar yang cantik jelita tergila-gila kepadanya. Seperti Hoa-san Kiam-li, seperti Enci Sin Lian...” tiba-tiba Lulu terhenti dan teringat, wajahnya menjadi seperti kaget, matanya merenung dan kedua pipinya merah. Ia teringat betapa ia pernah bicara dengan Lu Soan Li tentang kakaknya, bahkan ia telah menawarkan kakaknya itu menjadi suami Lauw Sin Lian. Kini dia menawarkan kakaknya menjadi suami Nirahai! Wah, tanpa disadarinya ia telah menjadi perantara dari tiga orang gadis!
“Ada apakah, Sumoi?” Nirahai bertanya ketika melihat perubahan pada wajah sumoi-nya yang termenung seperti orang bingung.
“Ti... tidak apa-apa, suci.”
“Engkau memang aneh, mari kita berlatih saja agar kelak kalau kakakmu datang, tidak mudah bagi dia untuk menjungkir-balikkan aku, hi-hik!”
Akan tetapi Lulu masih termenung. “Suci, bagaimana kabarnya dengan usahamu menyelidiki tentang dia?”
Nirahai menarik napas panjang. Hampir setiap hari ia dibikin repot oleh pertanyaan Lulu. Tentu saja dia sudah menyelidiki dan malah sudah mendengar tentang keributan yang ditimbulkan oleh Han Han di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok, betapa kemudian Han Han ditangkap ketika dikeroyok oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan Gak Liat, lalu dibawa pergi oleh nenek itu.
Dia sudah pula menyuruh orang menyelidiki ke In-kok-san, akan tetapi karena keadaan di situ dapat dikatakan menjadi sarang musuh, amatlah sukar menyelidik ke sana dan tidak ada penyelidik yang tahu apa yang terjadi dengan diri Han Han. Hanya diketahui bahwa pemuda itu lenyap, entah masih hidup entah sudah mati. Tentu saja ia tidak menceritakan semua itu kepada Lulu, hanya menceritakan bahwa ketika dikeroyok Oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat seperti yang diketahui Lulu ketika ditangkap Ouwyang Seng, pemuda itu dapat melarikan diri.
“Sampai sekarang belum ada beritanya, sumoi. Kakakmu itu orang aneh sekali, dan entah menghilang ke mana. Akan tetapi aku masih mengirim penyelidik ke semua jurusan.”
Demikianlah, Lulu berlatih terus bersama Nirahai dan ilmu kepandaiannya meningkat secara hebat sehingga diam-diam Nirahai sendiri menjadi kagum. Puteri yang sakti ini maklum bahwa kalau dia sendiri tidak digembleng oleh Maya, kiranya kepandaian Lulu sekarang sudah melampaui tingkatnya ketika ia belum menjadi murid nenek sakti itu.
Setahun mereka berlatih tekun. Pada suatu hari, Nirahai pulang dari pertemuannya dengan para pembantunya, langsung mengunjungi Lulu yang sedang berlatih di depan Nenek Maya di kebun bunga belakang tempat tinggal mereka di lingkungan istana. Wajah Nirahai tampak tegang dan datang-datang berkata.
“Wah, kembali pasukan-pasukan kita terpukul mundur di Se-cuan! Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai sehingga kini Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri mengirim berita minta bantuan orang-orang pandai. Agaknya teecu sendiri harus berangkat ke sana, Subo. Dan mengingat bahwa di pihak musuh banyak terdapat orang sakti, teecu mengharap Subo dan Sumoi suka pula membantu.”
Nenek Maya tersenyum. “Aku sudah tua untuk berperang. Engkau berangkatlah bersama Lulu, dan aku sendiri akan keluar dari istana karena sudah bosan di sini. Kelak kalau ada waktu aku akan menyusul ke sana, hanya untuk melihat-lihat.”
Nirahai tidak berani memaksa. “Sumoi, sekali ini, Suci-mu benar-benar membutuhkan bantuanmu. Tentu engkau suka membela bangsa dan negara, bukan? Selain itu, hanya daerah barat yang belum diselidiki. Siapa tahu kita akan dapat mendengar tentang kakakmu di barat.”
Memang Nirahai pandai sekali. Dia mendengar akan munculnya seorang panglima musuh yang berkaki buntung, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia menduga bahwa pemuda buntung itu agaknya Han Han, akan tetapi ia ragu-ragu karena kalau Han Han, mengapa kakinya buntung? Pula, kalau ia menceritakan hal ini kepada Lulu dan sumoi-nya itu kemudian menduga bahwa Han Han membela musuh, agaknya akan sukar mengajaknya untuk membantu.
Lulu mengangguk. “Baiklah, Suci. Biar pun aku juga seperti Subo, tidak suka perang, akan tetapi biarlah aku hitung-hitung membalas budimu.”
Nenek Maya lalu meninggalkan istana dan mendapat kehormatan besar karena kaisar sendiri mengantar keberangkatannya dengan pesta perpisahan. Kemudian tiga hari berikutnya, Puteri Nirahai bersama Lulu berangkat ke Se-cuan, memimpin sebuah pasukan besar. Puteri Nirahai nampak gagah sekali dengan pakaian perangnya, gagah dan cantik jelita. Ada pun Lulu yang tidak mau memakai pakaian perang, tidak mau pula menerima pangkat panglima, berpakaian biasa yang ketat dan dia menunggang kuda di samping Nirahai.
Banyak orang di sepanjang jalan mengelu-elukan keberangkatan Puteri Nirahai yang telah banyak dikenal. Akan tetapi mereka kagum dan heran melihat seorang gadis cantik berpakaian biasa yang berkuda di samping puteri itu, karena memang selama berada di kota raja, Lulu tidak pernah keluar dari istana, juga Puteri Nirahai diam-diam mengatur agar kehadiran Lulu di kota raja tidak sampai diketahui orang. Hal ini untuk menjaga agar gadis itu tidak dicari oleh Han Han atau oleh para pejuang yang menganggap gadis itu sudah menjadi sekutu mereka..
******************
Bagaimanakah ada berita bahwa pemuda buntung yang amat lihai menjadi panglima musuh di Se-cuan? Siapakah pemuda buntung ini? Dia itu bukan lain adalah Han Han! Seperti kita ketahui, setelah membunuh jai-hwa-cat yang berusaha memperkosa nikouw di Kwan-im-bio, di mana Han Han hancur hatinya menghadapi pertemuannya dengan Kim Cu, pemuda ini lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja.
Mungkin karena kakinya yang buntung, juga karena ketika dahulu berada di kota raja ia tidak menimbulkan kecurigaan kecuali hanya rasa kasihan yang timbul di hati orang yang melihat kakinya yang buntung, akan tetapi kebuntungan kakinya pun tidak menimbulkan keheranan, karena di masa itu perang telah menimbulkan banyak mala petaka sehingga banyak terdapat orang yang buntung kakinya, tangannya, atau cacat tubuhnya.
Pada malam harinya Han Han mempergunakan kepandaiannya. Tanpa terilhat oleh seorang pun penjaga, ia meloncat ke atas rumah enci-nya, yaitu rumah gedung Giam-ciangkun, perwira she Giam, kakak iparnya atau suami enci-nya. Menjelang tengah malam itu keadaan sunyi sekali dan ketika ia mengintai kamar enci-nya yang ia sudah hafal karena ia pernah tinggal di rumah gedung ini, ia menjadi girang melihat enci-nya tidur berdua saja dengan Giam Kwi Hong, puteri enci-nya itu yang kini sudah berusia hampir lima tahun. Cepat ia menyelinap masuk dan dengan hati-hati ia membangunkan enci-nya dengan jalan memijit ibu jari kaki enci-nya.
Sie Leng terbangun, kaget ketika melihat wajah Han Han yang dikenalnya betul, cepat bangkit duduk dan membetulkan pakaiannya. Han Han menaruh telunjuk ke depan bibirnya dan berbisik.
“Leng-cici, aku datang...”
Sie Leng kini sudah sadar betul, melihat adiknya dan matanya terbelalak ketika melihat kaki Han Han.
“Adik Han... kaki... kakimu...!”
“Ssttttt... tidak apa-apa, Enci. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Di mana dia... eh... suamimu?” Berat rasa lidah Han Han untuk menyebut Perwira Giam Cu sebagai cihu (kakak ipar).
“Dia... dia sudah sebulan... berangkat ke Se-cuan...” Sie Leng memandang khawatir sekali karena takut kalau-kalau adiknya masih mendendam.
Han Han bernapas lega, kemudian duduk di atas bangku. Sie Leng duduk di ranjang, menengok puterinya. Melihat puterinya tidur nyenyak, ia lega dan menoleh kepada adiknya.
“Han Han, engkau pergi tanpa pamit. Kata cihu-mu, engkau mencari adik angkatmu...”
“Cici, kedatanganku ini memang untuk bertanya kepadamu. Pertama, tahukah engkau tentang Lulu, adik angkatku itu?”
Sle Leng menggeleng kepala. “Adikmu itu aneh seperti engkau. Dia menjadi pelayan istana lalu tiba-tiba lenyap, melarikan diri! Semenjak itu, tidak ada lagi yang tahu di mana dia berada, dicari oleh sepasukan pun tidak dapat ditemukan.”
Han Han tersenyum. Lega dadanya bahwa adiknya tidak berada di istana. Memang ia sudah menduga akan hal ini.
“Sekarang pertanyaan kedua, Enci, dan kuharap Enci benar-benar akan jujur dan memenuhi permintaanku, menjawab pertanyaanku secara jujur. Di manakah tempat tinggal Giam Kok Ma, bedebah yang dahulu memperkosa Ibu kita, perwira muka kuning itu?”
“Han-te...! Apa yang akan kau lakukan?”
“Apa yang akan kulakukan tak perlu kau ketahui, Enci, dan juga bukan urusanmu lagi. Aku bersumpah bahwa engkau tidak akan tersangkut. Katakanlah, di mana dia dan di mana pula lima orang perwira yang lain, yang dahulu ikut bersama suamimu membasmi keluarga kita?”
Pucat wajah Sie Leng. Ia merasa takut kalau-kalau adiknya itu akan mengamuk. Apa dayanya seorang yang buntung? Kalau adiknya tertangkap dan dihukum mati, ahhh... ia merasa ngeri dan otomatis ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Enci, dengarlah!” Han Han berkata tak sabar. “Aku sudah melupakan perbuatan suamimu terhadap engkau, aku sudah mengampunkan dia. Akan tetapi aku minta ganti! Enam orang perwira yang lain harus dapat kuketahui tempat tinggalnya, dan engkau harus memberi tahu aku. Harus, kau dengar? Kalau engkau tidak mau memberitahukan di mana adanya enam orang perwira terkutuk itu, demi Tuhan, terpaksa aku akan mencari dan membunuh suamimu!”
“Tidak...! Jangan...!” Sie Leng berteriak, menjerit kecil dan anaknya terbangun. Bocah itu bangkit duduk dan melihat Han Han ia terbelalak memandang.
“Eh, Ibu? Siapakah dia ini? Apa dia mengganggu Ibu? Awas, siapa yang mengganggu Ibu, akan kubunuh!” Kwi Hong yang masih kecil itu sudah berdiri dan mengepal tinjunya. Han Han memandang dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Lihat, Enci. Puterimu lebih berbakti dari padamu!”
Encinya memangku Kwi Hong, menciumnya dan berbisik, “Husshhhh, dia ini Pamanmu, tidak akan mengganggu Ibu. Tidurlah, Nak...!” Setelah ditepuk-tepuk pahanya, anak yang masih mengantuk itu tertidur kembali dan dibaringkan oleh ibunya.
“Han Han, jangan kira bahwa aku tidak punya semangat. Aku tidak berdaya, akan tetapi kutanamkan sejak kecil di dalam hati Kwi Hong bahwa dia harus menjadi anak yang berbakti, yang akan membela ayah bundanya dengan taruhan nyawa, tidak seperti aku...!” Ia menangis pula.
“Syukurlah kalau begitu. Sekarang katakan, di mana adanya enam orang perwira musuh kita itu?”
“Han Han, apa dayamu menghadapi mereka? Apa lagi kakimu sudah buntung...”
“Jangan khawatir, setelah kakiku buntung, aku malah lebih banyak harapan untuk membalas dendam. Di mana mereka?”
Setelah menarik napas panjang berulang kali, Sie Leng lalu berkata, “Giam Kok Ma berada di kota raja. Gedungnya tidak jauh dari sini, di sebelah utara, gedung besar yang ada arca singa batu di depannya...” Ia berhenti sebentar. “Akan tetapi, engkau tidak akan menemukan dia di gedungnya, dia pun bersama cihu... eh, dengan suamiku, telah berangkat sebulan yang lalu ke Se-cuan. Dia dan suamiku adalah perwira-perwira pasukan tempur yang kini berangkat untuk menggempur Se-cuan.”
Hati Han Han kecewa sekali akan tetapi ia percaya akan keterangan enci-nya.
“Dan siapakah perwira-perwira yang lain, yang lima orang itu? Di mana mereka?”
“Ohhh... Han Han, mengapa engkau berkeras hendak membalas dendam? Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan besar, banyak pengawalnya dan... dan engkau sudah... sudah buntung begini...”
“Sudahlah, Cici. Lekas katakan. Di mana mereka yang lima orang itu!”
“Ahhh, aku tidak tahu... aku hanya berhasil tahu dari suamiku bahwa seorang di antara mereka itu adalah Su-ciangkun yang kini memimpin pasukan melakukan pembersihan terhadap para pemberontak, entah di mana. Han Han, sungguh... biar pun aku tidak pernah mempunyai harapan untuk menuntut balas kehancuran keluarga kita, namun dengan susah payah aku dahulu selalu membujuk suamiku agar menerangkan nama mereka itu, dan agar suamiku suka membalaskan dendamku. Akan tetapi dia selalu mencelaku dan mengatakan bahwa peristiwa itu sudah jamak terjadi di dalam perang. Maka aku hanya berhasil mengenal Giam Kok Ma dan Su-ciangkun yang tak kuketahui nama lengkapnya itu, orangnya tinggi besar, jalannya agak pincang. ada pun empat orang lainnya aku sungguh tidak tahu.”
Han Han mengerutkan alis. Benar-benar amat sukar membalas dendam keluarganya, pikirnya murung. Yang seorang adalah suami enci-nya sendiri. Yang ke dua sedang pergi ke Se-cuan, yang ke tiga bernama Su-ciangkun tidak diketahui ke mana perginya. Bahkan empat orang yang lain tidak dikenal, tidak diketahui namanya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa sekali bertemu dengan mereka, dia tentu akan mengenal mereka, musuh besarnya itu!
Tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menangkap dulu seorang di antara mereka dan memaksanya mengaku dan menunjukkan siapa adanya teman-temannya yang dahulu melakukan pembasmian terhadap keluarganya. Kalau dia tidak berhasil menangkap seorang di antara mereka, apa boleh buat, ia akan menangkap dan memaksa Giam Cu, kakak iparnya sendiri dan memaksa keterangan tentang enam orang musuh besarnya dari mulut suami enci-nya itu.
“Leng-cici, jagalah dirimu dan anakmu baik-baik. Aku pergi...”
“Han Han...!” Sie Leng mengeluh perlahan, akan tetapi ia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu adik kandungnya yang buntung itu telah lenyap dari kamar itu.
Sie Leng lari ke jendela, melongok keluar, akan tetapi sunyi saja di luar jendela dan tidak ada suara sedikit pun. Mimpikah dia? Atau benarkah Han Han tadi yang datang? Adiknya yang sudah buntung kakinya? Adik kandungnya yang demikian sengsara dan berkeras hendak menuntut balas atas kehancuran keluarga mereka? Sie Leng merintih dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, merangkul Kwi Hong dan menangis terisak-isak.
Han Han keluar dari gedung enci-nya dan cepat berkelebat keluar melalui atap-atap rumah di kota raja, menuju ke luar kota raja. Di atas atap rumah yang tinggi ia berhenti sebentar, termenung dan bingung. Rumah-rumah di kota raja demikian indah-indah dan tinggi, namun dalam waktu tengah malam itu amat sunyi seolah-olah kosong. Ke mana ia harus pergi? Dia tidak berhasil menemukan musuh-musuhnya, juga tidak mendengar tentang Lulu, hanya tahu bahwa Lulu telah pergi dari istana seperti yang diceritakan enci-nya. Ke manakah adiknya pergi?
Kalau saja Han Han tahu bahwa pada saat itu, Lulu sedang tidur nyenyak di sebuah kamar di istana bersama Puteri Nirahai! Ternyata kehadiran Lulu di istana dirahasiakan benar oleh Nirahai sehingga Nyonya Giam Cu atau Sie Leng itu sendiri tidak mengetahuinya.
Setelah menghela napas berulang kali, Han Han melanjutkan perjalanannya, dengan ilmu kepandaiannya yang hebat ia berhasil keluar dari kota raja melalui temboknya yang tinggi itu tanpa terlihat oleh para penjaga. Setelah tiba di luar kota raja sebelah barat, ia berlari terus dan akhirnya ia mengaso di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang berada di pinggir jalan dekat hutan yang sunyi. Saking lelah dan kecewa hatinya, sebentar saja Han Han tidur nyenyak.
Menjelang pagi, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda yang membuatnya terbangun. Derap kaki kuda yang datang dari arah kota raja ini berhenti di depan kuil dan terdengar suara dua orang bicara.
“Kenapa berhenti di sini?”
“Aku lelah sekali, kita mengaso sebentar. Celaka, malam tadi semalaman aku tak dapat tidur dan kalau tidak mengaso dan tidur sebentar di sini, aku akan mati kelelahan...”
“Ha-ha-ha, agaknya engkau tidak tidur semalam suntuk di rumah selirmu!”
“Tidak salah. Karena menerima tugas berat, aku berpamit dan dia... ha-ha, dia minta ditemani semalam suntuk. Mana aku tega meninggalkannya?”
“Ha-ha-ha, engkau terlalu. Menghadapi tugas berat masih sempat bersenang-senang. Baiklah, Loheng, akan tetapi jangan terlalu lama berhenti di sini. Kalau kita diketahui, leher kita akan putus!”
Agaknya mereka mengikat kendali kuda di depan. Tak lama kemudian Han Han yang sudah meloncat ke atas dan bersembunyi mendengar suara kaki kuda orang itu memasuki kuil. Cuaca masih gelap sekali, akan tetapi dua orang itu tidak peduli, terus saja masuk dan duduk di ruangan dalam yang merupakan satu-satunya ruangan yang terlindung dari angin dan debu. Seorang di antara mereka terus saja merebahkan diri dan tidur mendengkur, sedangkan yang seorang lagi duduk bersandar dinding.
Kira-kira dua jam kemudian, orang yang duduk itu mengguncang-guncang tubuh temannya. “Loheng, bangunlah. Matahari telah naik tinggi! Ingat, tugas kita amat penting dan kalau kita ketahuan berhenti terlalu lama, benar-benar kita akan dihukum berat!”
Temannya bangun, menguap dan menggosok-gosok kedua matanya yang merah. “Aaaaahhh... sedang enak-enak mimpi dengan dia kau bangunkan, Sam-te!”
“Wah, engkau benar tidak ada puas-puasnya! Sudah bersenang-senang semalam suntuk masih dilanjutkan dengan mimpi lagi! Hayo!”
Mereka berdua segera keluar dari kuil tua, melepaskan kendali kuda, meloncat dan membedal kuda mereka ke selatan. Han Han yang menjadi tertarik melihat bahwa mereka adalah dua orang yang berpakaian pengawal istana, diam-diam membayangi mereka. Dia tidak tahu mengapa ia membayangi mereka, dan apa perlunya. Akan tetapi karena dia sendiri pun bingung ke mana harus mencari musuh-musuhnya dan adiknya, maka ia membayangi dua orang pengawal itu untuk melihat apakah tugas mereka yang begitu penting dan ke mana mereka hendak pergi. Ternyata kemudian olehnya bahwa dua orang pengawal itu membalapkan kuda melalui sepanjang Terusan Besar yang menghubungkan kota raja dengan kota Thian-cin, kemudian terus ke selatan.
Di kota Thian-cin, dua orang pengawal itu hanya berganti kuda, setelah makan mereka melanjutkan perjalanan ke selatan. Han Han yang tidak mempunyai pegangan terus membayangi mereka tanpa kesulitan. Biar pun kakinya buntung sebelah, namun amat mudah bagi pemuda sakti ini kalau hanya membayangi larinya kuda.
Hujan lebat membuat dua orang itu terpaksa menghentikan perjalanan mereka di sebuah hutan. Sebuah pondok butut yang dibangun secara darurat oleh kaum pemburu kini mereka pakai untuk berlindung dari air hujan yang turun seperti dituangkan dari langit. Sambil berlindung mereka bercakap-cakap.
“Eh, Loheng, yakin benarkah kau bahwa Su-ciangkun bermarkas di tepi Huang-ho, di pinggir terusan?”
“Tidak salah lagi. Keterangan yang kudapat di Thian-cin meyakinkan. Memang tadinya Su-ciangkun melakukan operasi di perbatasan Propinsi Shan-tung selatan, akan tetapi kini mulai kembali ke utara dan melakukan pembersihan di sepanjang terusan yang sering mengalami gangguan para pemberontak.”
“Heran benar itu pemberontak, mengapa tiada habis-habisnya? Mereka berpusat di Se-cuan dan Se-cuan sendiri selalu dikurung dan digempur pasukan-pasukan kita. Kenapa masih ada di daerah ini? Sungguh memusingkan!”
“Mereka itu tentulah dikemudikan dari Se-cuan, mereka bertugas sebagai mata-mata dan juga untuk melakukan kekacauan. Kalau Se-cuan sudah dihancurkan, tentu yang bergerak di luar Se-cuan otomatis akan berhenti. Dan aku yakin, kalau Puteri Nirahai sendiri yang turun tangan memimpin pasukan menyerbu Se-cuan, menaklukkan daerah pemberontak itu akan sama mudahnya dengan makan bakpauw!”
“Wah, kau terlalu, Loheng! Sudah terkenal sekali betapa Bu Sam Kwi mempunyai banyak tokoh pandai sehingga beberapa kali pasukan-pasukan pilihan kita mengalami kegagalan dan jatuh banyak korban. Masa kalau Sang Puteri yang memimpin lalu begitu gampang seperti makan bakpauw?”
“Sam-te, kau tidak tahu. Puteri Nirahai amatlah sakti. Selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga cerdik sekali. Tentu dia melakukan siasat, entah siasat apa pula maka beliau secara rahasia mengutus kita menyerahkan sepucuk surat kepada Su-ciangkun. Hemmm, aku mau membayar dengan tiga bulan gajiku kalau diperbolehkan membaca isi surat ini!” Orang yang dipanggil Loheng itu, yang bertubuh tinggi kurus dengan mata lebar, menepuk-nepuk saku bajunya.
“Ihhh, hati-hati, Loheng,” kata kawannya yang lebih muda dan berhidung bengkok. “Siapa tahu di sini terdapat mata-mata pemberontak!”
“Ah, andai kata ada, berani apa terhadap kita? Dia tidak tahu kita membawa surat yang penting. Kedua kalinya, dengan golokku ini sepuluh orang pemberontak akan termakan olehku. Belum engkau yang tentu akan mampu makan sepuluh orang lagi.”
“Betapa pun juga, kita harus hati-hati dan hatiku takkan lega sebelum berjumpa dengan Su-ciangkun dan menyerahkan surat itu kepadanya!” kata yang muda. “Hujan sudah mereda, hayo kita berangkat lagi, Loheng.”
Akan tetapi alangkah kaget hati kedua orang prajurit pengawal itu ketika mereka melihat seorang pemuda buntung berdiri di antara kuda mereka. Hanya sebentar mereka kaget karena mereka memandang rendah ketika melihat kaki buntung itu dan menganggap Han Han seorang pengemis.
“Heh, kau mau apa di sini?” bentak Si Tinggi Kurus.
“Bukankah kalian hendak menghadap Su-ciangkun? Aku adalah kepercayaan Su-ciangkun yang ditugaskan menyambut kalian. Bukankah kalian membawa sebuah surat dari Puteri Nirahai untuk beliau? Nah, aku yang disuruh menjemput dan menerima surat itu, karena tempat beliau tidak boleh diketahui orang!”
Dua orang itu terbelalak dan memandang tidak percaya. “Ah, apa tandanya bahwa engkau orang kepercayaan Su-ciangkun?”
Han Han tersenyum, diam-diam merasa geli karena ia sengaja memancing. “Bukankah Su-ciangkun itu orangnya kecil pendek?”
Dua orang itu kembali saling pandang, kemudian Si Tinggi Kurus membentak, “Dia tinggi besar seperti raksasa! Engkau palsu!” Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan membacok.
Akan tetapi ujung tongkat Han Han dua kali meluncur dan Si Tinggi Kurus berdiri kaku dengan golok diangkat ke atas sedangkan temannya juga berdiri kaku karena totokan ujung tongkat Han Han. Pemuda itu memang telah amat tertarik mendengar percakapan dua orang utusan Puteri Nirahai itu, apa lagi ketika mendengar disebutnya nama Su-ciangkun.
Maka ia sengaja menghadang dan sengaja memancing sehingga ia akhirnya mendapat kepastian ketika Si Tinggi Kurus menyatakan bahwa Su-ciangkun tinggi besar seperti raksasa. Tidak salah lagi, itulah orangnya yang dicari-cari. Seorang di antara tujuh orang perwira yang membasmi keluarganya! Cepat ia merenggut ke dalam saku baju Si Tinggi Besar yang memandang dengan mata melotot, mengeluarkan surat dari kota raja dan membaca tulisan pada sampulnya. Di atas ditulis dengan huruf-huruf kecil: Perintah Rahasia. Dan di depan sampul itu tercantum nama si penerima: Su Long Tek ciangkun.
Dengan sikap tenang tapi gembira Han Han membuka sampul surat itu, mengeluarkan suratnya dan membaca isinya. Ia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa surat dari Puteri Nirahai itu memerintahkan kepada Su-ciangkun untuk mengerahkan pasukan dan menyerbu tempat persembunyian kepala pemberontak Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang bersarang di lembah Sungai Huang-ho, yaitu di seberang kota Cin-an. Demikian jelas surat perintah itu, bahkan diberi gambar pula yang menunjukkan di mana adanya sarang Lauw-pangcu!
Diam-diam Han Han amat kagum akan ketegasan dan ketelitian surat itu. Lauw-pangcu hendak diserbu! Terbayang ia akan wajah kakek yang budiman itu, kakek yang pertama kali mengambilnya sebagai murid. Dan otomatis terbayang pula wajah Lauw Sin Lian, gadis yang dahulu merupakan seorang kawan bermain yang gembira dan lincah, akan tetapi yang pada pertemuan terakhir ini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi dan yang marah-marah kepadanya.
Girang hati Han Han. Ada kesempatan baik baginya. Pertama untuk membalas dendam kepada Perwira Su Long Tek yang ia duga tentulah seorang di antara tujuh perwira pembasmi keluarganya, kedua ia akan dapat menyelamatkan Lauw-pangcu untuk membalas budinya, dan ketiga ia akan dapat menjelaskan persoalan yang dahulu, kesalah pahaman yang terjadi antara dia dan Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang diatur oleh Puteri Nirahai yang amat cerdik.
Han Han sudah mengangkat tongkatnya untuk membunuh dua orang itu. Dia harus membunuh mereka ini kalau hendak melakukan siasatnya, akan tetapi dia menahan tangannya, tidak membunuh mereka melainkan membebaskan totokan mereka. Tak mungkin ia dapat membunuh dua orang lawan yang tak berdaya. Begitu terbebas dari totokan, dua orang pengawal yang melihat betapa surat perintah rahasia itu dirampas segera berteriak marah dan golok mereka berkelebat menerjang Han Han.
Pemuda ini menjadi girang. Kalau sekarang ia melawan dan membunuh kedua lawan ini, hatinya tidak akan menyesal kelak, tidak seperti kalau dia membunuh mereka dengan darah dingin selagi mereka tak mampu bergerak. Dia teringat akan sepak terjang para prajurit Mancu yang banyak menimbulkan kesengsaraan terhadap rakyat yang tidak berdosa.
Begitu melihat golok kedua orang itu menyambar ganas, ia meloncat ke belakang. Tongkatnya bergerak menangkis, menempel kedua golok dan sekali ia menyontekkan tongkatnya, kedua buah golok itu membalik dan membacok kepada pemiliknya sendiri. Terdengar jerit dua kali dan dua orang pengawal itu roboh dengan golok masing-masing menancap dada menembus punggung. Karena tangan mereka masih menggenggam gagang golok, tampaknya mereka itu mati karena membunuh diri!
Sejenak Han Han memandang dan menghela napas. Itulah resiko orang-orang yang menjadi utusan rahasia. Andai kata mereka tidak tewas sekarang, kalau kemudian diketahui bahwa surat perintah rahasia itu hilang, tentu mereka berdua akan dihukum mati juga.
Han Han lalu berkelebat pergi, melanjutkan perjalanan ke selatan sambil membawa surat perintah itu yang dikantonginya. Memang dua orang pengawal itu mempunyai kuda yang baik, akan tetapi bagi Han Han jauh lebih leluasa berjalan dengan kaki buntungnya dari pada menunggang kuda.
Dia mengambil keputusan untuk mencari dulu tempat persembunyian Lauw-pangcu di lembah Huang-ho seperti tersebut dalam surat perintah rahasia itu, maka dengan amat cepat Han Han melanjutkan perjalanan menuju ke kota Cin-an. Menurut surat itu, sarang dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang berada di lembah Huang-ho, di seberang kota Cin-an.
Ketika Han Han tiba di lembah Huang-ho dan berjalan menyusuri sungai besar itu di pantai utara, masuk keluar hutan seorang diri sambil menduga-duga di mana kiranya tempat yang dijadikan markas itu, tiba-tiba ia melihat beberapa orang menuju ke sebuah hutan yang besar dan penuh dengan gunung-gunung karang kecil. Melihat cara mereka berjalan cepat, pakaian mereka, dan keadaan mereka, ada yang menunggang kuda, dan sebagian besar berjalan kaki, Han Han dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang kang-ouw. Tempat yang begini liar dan sunyi, bukan tempat bagi kaum pelancong.
Diam-diam ia membayangi beberapa orang yang bicara sambil bercakap-cakap. Karena gerakan Han Han amat luar biasa, dia dapat membayangi mereka tanpa ada yang melihat dan hatinya girang bukan main ketika mendengar percakapan di antara mereka bahwa mereka itu adalah tamu-tamu yang datang berkunjung untuk memberi selamat kepada Lauw-pangcu yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh!
Tak lama kemudian Han Han yang mengikuti orang-orang itu tiba di tengah hutan lebat. Diam-diam ia kagum menyaksikan penjagaan-penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang berpakaian pengemis, yang boleh dikata menjaga setiap sudut hutan. Untung bahwa dia datang pada saat lembah Huang-ho itu dikunjungi banyak tamu sehingga kedatangannya itu tidak dicurigai.
Memang nama besar Lauw-pangcu terkenal sampai di mana-mana, terutama sekali di antara para tokoh kang-ouw yang menentang penjajahan bangsa Mancu. Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini selain terkenal sebagai seorang ketua berpengaruh dari perkumpulan pengemis itu, sebagai seorang pendekar budiman, juga akhir-akhir ini namanya menjulang tinggi sebagai seorang patriot yang menentang kaum penjajah dengan mengorbankan banyak sekali anggota Pek-lian Kai-pang.
Ketika mereka semua itu tiba di markas kaum Pek-lian Kai-pang, Han Han menjadi kagum dan juga terharu. Ia kagum menyaksikan kehadiran tamu para tokoh kang-ouw yang ratusan orang jumlahnya, tidak kurang dari dua ratus orang. Dan ia terharu ketika melihat Lauw-pangcu yang sudah amat tua itu menerima para tamu di tempat terbuka dalam hutan, hanya duduk di atas rumput saja! Keadaan kakek yang berpakaian butut itu amatlah miskinnya. Di situ pun hanya terdapat beberapa buah gubuk kecil sederhana. Namun wajah kakek tua ini tampak berseri gembira menyambut para tamu yang terpaksa juga duduk di atas rumput. Ada yang duduk di akar pohon, ada pula yang berjongkok, tidak kurang pula yang berdiri saja. Sungguh sebuah pertemuan yang amat sederhana dan kalau pertemuan ini diadakan untuk merayakan hari ulang tahun, sungguh merupakan sebuah perayaan yang luar biasa sederhananya!
Amatlah mengharukan menyaksikan betapa kakek itu bangkit dan berkali-kali menyambut para tamu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, menghaturkan terima kasih dan minta maaf bahwa dia tidak dapat menyambut para tamu sebagaimana mestinya, bahkan bangku pun tidak ada!
Akan tetapi lebih mengharukan lagi adanya barang-barang sumbangan yang ditumpuk begitu saja di atas rumput, padahal di antara barang-barang itu terdapat benda-benda yang amat berharga dan mahal harganya. Juga Han Han mengenal Lauw Sin Lian yang cantik jelita dan gagah perkasa, berdiri di samping ayahnya ikut menyambut dan memberi hormat kepada para tamu. Biar pun pakaian Sin Lian juga sederhana, akan tetapi cukup bersih dan tidak penuh tambalan seperti pakaian ayahnya. Pakaian gadis ini ringkas dan ketat, membayangkan tubuh yang ramping padat sehingga para tamu pria yang muda-muda memandangnya penuh kagum.
“Terima kasih... terima kasih, cu-wi sekalian. Cu-wi yang sudi datang dan masih mengingat akan ulang tahun seorang kakek seperti saya, sungguh budi cu-wi sekalian itu bertumpuk setinggi gunung, lebih tinggi dari pada tumpukan barang sumbangan yang saya terima. Cu-wi sekalian, barang-barang sumbangan cu-wi ini tidak akan sia-sia, bukan untuk saya pribadi melainkan akan saya kirimkan ke Se-cuan sebagai penambah biaya perlawanan menentang pemerintah penjajah! Saya sudah tua, dan sejak dahulu seorang pengemis seperti saya tidak membutuhkan apa-apa, yang saya butuhkan hanyalah kebebasan tanah air dari cengkeraman penjajah.”
“Hidup Lauw-pangcu yang gagah perkasa!”
Teriakan-teriakan ini menggegap-gempita dan banyak di antara para tamu merogoh saku dan menguras isi saku untuk ditumpukkan pula di tumpukan barang sumbangan setelah mereka mendengar bahwa semua sumbangan akan dikirim ke Se-cuan untuk biaya perlawanan terhadap penjajah. Melihat ini Lauw-pangcu memandang terharu sampai basah kedua matanya.
Han Han juga terharu. Ketika ia memandang, di antara para tamu terdapat seorang yang mukanya bopeng, penuh bekas cacar burik-burik. Jantungnya berdebar. Ia pernah melihat orang ini. Tak mudah melupakan muka bopeng seperti itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana. Selagi ia mengingat-ingat, Si Muka Bopeng yang membawa pedang di punggungnya itu tiba-tiba melompat ke tengah lapangan, berhadapan dengan Lauw-pangcu, mengangkat tangan kanan ke atas dan berteriak.
“Saudara-saudara seperjuangan, kalian telah tersesat jauh!”
Mendengar seruan yang nyaring sekali ini, semua orang tertegun dan tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua mata ditujukan kepada Si Muka Bopeng ini. Juga Lauw-pangcu dan Lauw Sin Lian memandang. Dengan sikap tenang dan sabar, berbeda dengan sikap Sin Lian yang marah, Lauw-pangcu menjura kepada orang itu dan berkata.
“Mohon maaf jika saya tidak mengenal sicu, akan tetapi saya tidak meragukan bahwa sicu tentulah seorang saudara sepaham dan seperjuangan yang menentang penjajah, maka sicu sudi datang di tempat kami ini. Akan tetapi, apakah maksud sicu dengan ucapan tadi?”
“Kita semua adalah kaum pejuang yang gagah perkasa, yang siap mengorbankan apa pun juga demi nusa bangsa, dan akan berjuang terus sampai penjajah dipukul hancur! Bagaimana mungkin kita harus bekerja sama dengan Bu Sam Kwi, seorang pengkhianat bangsa?”
Ucapan itu hebat sekali. Pada waktu itu, satu-satunya kekuasaan yang mati-matian menentang pemerintah Mancu adalah Bu Sam Kwi yang mempertahankan daerah Se-cuan secara mati-matian dan gagah berani, menimbulkan rasa simpati dan kagum di hati semua pejuang. Sekarang, Si Muka Bopeng ini memakinya sebagai pengkhianat bangsa, hati siapa tidak akan kaget?
“Aihhhhh, apa yang kau ucapkan ini, sicu? Bu-ongya adalah seorang raja muda yang merupakan satu-satunya pemimpin kita menentang Mancu! Dan Se-cuan adalah satu-satunya tempat yang dapat menampung kekuatan pejuang.”
“Heh-heh-heh, sungguh picik sekali pendapatmu, Lauw-pangcu! Apa yang dikatakan Ouw Kian itu tepat sekali!” Suara ini amat nyaring dan berwibawa.
Tiba-tiba, setelah ada angin besar menyambar, di tengah lapangan itu muncul seorang kakek yang mukanya seperti muka kuda! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lauw-pangcu dan Sin Lian ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo!
Lauw-pangcu pernah melihat tokoh ini satu kali sedangkan Sin Lian sudah sering kali mendengar nama besar datuk kaum sesat ini yang menjadi majikan atau kepala dari In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san dan kini dapat menduganya. Tentu saja Han Han segera mengenal Iblis Muka Kuda ini dan sekarang teringatlah ia akan Si Muka Bopeng yang bernama Ouw Kian itu, seorang di antara pembantu Ma-bin Lo-mo ketika ia bersama Lulu ditawan di atas perahu dahulu itu.
Beberapa orang di antara para tamu juga mengenal kakek ini karena biar pun kakek ini termasuk tokoh kaum sesat, namun harus diakui bahwa kakek ini selalu menentang bangsa Mancu sehingga dianggap sebagai teman seperjuangan.
“Kiranya Siangkoan Lee locianpwe yang berkenan datang berkunjung! Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi kami dan merupakan kebahagiaan besar bahwa kini sekeluarga pejuang dapat bertemu dan berkumpul di sini.” Mendengar ucapan Lauw-pangcu ini, yang menjura dengan penuh kehormatan kepada kakek muka kuda, semua tamu menjadi terkejut sekali, terutama sekali mereka yang baru tahu bahwa kakek bermuka lucu ini adalah tokoh hitam yang sudah amat terkenal itu.
“Memang aku sengaja datang untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor. Perjuangan kita tidak boleh diselewengkan, dan pendapatmu tadi benar-benar merupakan penyelewengan besar, Lauw-pangcu. Kuulangi lagi bahwa pendapat Ouw Kian tadi tepat sekali. Merupakan penyelewengan besar kalau kita membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi yang seharusnya malah kita musuhi! Lauw-pangcu, apakah engkau pura-pura lupa bahwa Bu Sam Kwi merupakan seorang di antara pemberontak-pemberontak dan pengkhianat besar yang menjadi sebab utama jatuhnya Kerajaan Beng? Apakah engkau lupa akan riwayat hitam yang menyelimuti diri Bu Sam Kwi?”
Wajah Lauw-pangcu berubah merah. Dia maklum bahwa yang kini menyerangnya dengan kata-kata adalah seorang di antara datuk-datuk hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan maklum pula bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang penentang penjajah yang gigih. Akan tetapi, ia pun mengenal siapa kakek ini, dan ia cukup mengenal pula siapa Bu Sam Kwi. Maka dengan suara tenang ia menjawab.
“Tentu saja saya tahu, locianpwe. Bu-ongya, yaitu Bu Sam Kwi yang kini merupakan satu-satunya kekuasaan yang masih sanggup bertahan terhadap penjajah dahulu ialah seorang panglima bala tentara Beng yang bertugas menjaga dan mempertahankan tapal batas utara. Jasanya untuk Kerajaan Beng sudah amat besar, jauh lebih besar dari pada jasa para menteri dan pembesar di kota raja yang hanya membesarkan kesenangan diri sendiri.”
“Akan tetapi apa kau pura-pura menutupi pengkhianatannya? Jauh sebelum bangsa Mancu datang, dia telah memberontak! Bu Sam Kwi telah memberontak terhadap Kerajaan Beng dan bergerak dari utara bersama dengan pemberontak Lie Cu Seng yang mengangkat diri sendiri menjadi raja di Shan-si, dan pemberontak Thio Han Tiong yang bersarang di barat. Apakah engkau hendak menyangkal sejarah?”
“Maaf, locianpwe. Saya mengerti akan semua itu, akan tetapi saya pun mengerti mengapa mereka itu memberontak. Pada masa itu, pemerintahan Kerajaan Beng amat buruk dan lemah karena kaisar dan para menterinya mengubur diri dalam kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsu duniawi, tidak mempedulikan keadaan rakyat yang hidup sengsara, dari luar ditindas para perampok dan bajak-bajak, dari dalam ditindas oleh para pembesar yang lalim. Kerajaan Beng makin suram dan bobrok, bagaikan sebuah bangunan yang makin lama makin lemah dan rusak karena digerogoti tikus-tikus dan rayap dari dalam! Sebagai orang-orang gagah yang mengingat akan nasib rakyat jelata, mereka bangkit menentang kaisar, akan tetapi malah dimusuhi dan terpaksa mereka memberontak terhadap pemerintah yang bobrok!”
“Huh! Omongan orang yang berjiwa pemberontak! Betapa pun juga alasannya, Bu Sam Kwi sudah terang seorang pemberontak, seorang panglima yang tidak setia kepada rajanya. Dan orang macam itu sekarang hendak kalian bantu? Penyelewengan besar! Tidak ingatkah engkau bahwa selain dia itu pemberontak, dia juga seorang pengkhianat bangsa? Lupakah engkau bahwa Bu Sam Kwi si pengkhianat itulah yang bersekutu dengan bangsa Mancu? Bu Sam Kwi bersekutu dengan Pangeran Dorgan yang waktu itu memimpin barisan Mancu, kemudian bersama-sama menyerang ke selatan, menduduki kota raja yang telah dirampas pemberontak Lie Cu Seng!”
“Maaf, locianpwe. Saya kira hal itu terpaksa dilakukan untuk menundukkan Lie Cu Seng. Hal itu termasuk siasat perang...”
“Ha-ha-ha-ha! Siasat kotor, dan siasat goblok yang sama sekali tidak berhasil! Setelah bersekutu, dia berani memasukkan serigala ke dalam kandang! Kemudian dia sendiri dimusuhi oleh bangsa Mancu dan dikejar-kejar sampai lari terbirit-birit ke barat! Ha-ha-ha, dan orang macam itukah yang hendak kalian bantu?”
“Habis, kalau menurut pendapat locianpwe, bagaimana baiknya?” Lauw-pangcu yang terpaksa mengalah karena terdesak lalu bertanya.
“Kita berjuang sendiri! Kita menghancurkan penjajah Mancu, kalau sudah berhasil, kita membasmi pemberontak-pemberontak macam Bu Sam Kwi. Kita harus menegakkan kembali Kerajaan Beng yang tercinta!”
“Hemmm... kaisar terakhir Kerajaan Beng telah membunuh diri, dan saya tidak melihat adanya keturunan kaisar yang lolos dari maut ketika bangsa Mancu menduduki istana.”
“Masih banyak tokoh-tokoh Beng yang hidup di saat ini! Termasuk aku! Apa sukarnya kelak menentukan pilihan baru untuk kaisar Kerajaan Beng?”
Lauw-pangcu tidak dapat menjawab lagi. Keadaan menjadi sunyi, suasana menjadi tegang. Semua orang menjadi bingung setelah mendengar perdebatan kecil itu, karena sebagian besar dari mereka berjuang mati-matian hanya karena tidak suka melihat tanah air dijajah bangsa asing. Ada pun mengenai urusan Kerajaan Beng yang sudah runtuh, mengenai urusan pemberontakan-pemberontakan yang lalu, mereka sama sekali tidak tahu dan tidak pula memperhatikan.
Mereka berjuang dengan dasar mengusir penjajah dari tanah air. Kini muncul urusan berbelit-belit mengenai negara, mereka tidak mengerti dan menjadi bingung. Apa lagi karena yang berdebat ini adalah Lauw-pangcu yang selama dalam perjuangan ini merupakan pemimpin pejuang yang gigih dan pandai, berhadapan dengan seorang tokoh besar pula, bukan hanya tokoh perjuangan yang selalu melakukan perlawanan terhadap penjajah secara menyendiri sehingga nama pejuang-pejuang In-kok-san amat terkenal, akan tetapi juga tersohor sebagai seorang tokoh kang-ouw yang dianggap manusia iblis!
Melihat ayahnya tak dapat menjawab, agaknya terdesak oleh alasan-alasan yang dikemukakan Iblis Muka Kuda itu, Sin Lian cepat melangkah maju, berkata dengan suara tenang namun nyaring berwibawa kepada kakek itu.
“Siangkoan Locianpwe, sudah lama saya mendengar nama besar locianpwe yang terkenal sebagai Ma-bin Lo-mo. Kalau ada perbedaan pendapat antara locianpwe dengan kami, itu tidak perlu dipersoalkan. Kami adalah golongan pejuang yang tidak mempunyai pamrih untuk diri pribadi, keinginan kami satu-satunya hanyalah untuk menentang kaum penjajah. Soal siapa yang kelak akan memimpin rakyat setelah penjajah berhasil diusir dari tanah air, itu soal nanti, terserah kepada kaum cerdik pandai yang ahli mengenai hal itu. Sudah jelas bahwa Se-cuan merupakan satu-satunya daerah yang menjadi pusat kegiatan menentang penjajah, maka ke sanalah kita menoleh untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kalau locianpwe suka bekerja sama dengan kami, syukurlah. Kalau tidak pun tidak mengapa. Kita mengambil jalan sendiri dan cara sendiri untuk menghancurkan penjajah!”
Semua tamu mengangguk-angguk mendengar ucapan tegas dari Sin Lian ini. Ma-bin Lo-mo memandang tajam dan mengerutkan keningnya.
“Nona muda, engkau siapakah?”
“Dia adalah Lauw Sin Lian, puteriku,” kata Lauw-pangcu.
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk, akan tetapi matanya tidak pernah melepaskan wajah gadis itu. Kemudian ia berkata, “Di antara orang-orang yang menjunjung kegagahan, segala pertentangan paham dan perbedaan pikiran hanya dapat diselesaikan melalui pertandingan kekuatan. Siapa kuat dia menang dan benar!”
Lauw-pangcu dan Sin Lian hendak membantah pendapat yang memuja hukum rimba seperti kebiasaan watak kaum sesat itu, akan tetapi sambil tertawa Ouw Kian si Muka Bopeng sudah meloncat maju menghadapi Sin Lian dan berkata.
“Ha-ha-ha, memang harusnya begitu! Dan... eh, Lauw-pangcu, maafkan pertanyaanku. Apakah puterimu ini sudah bertunangan?”
Lauw-pangcu sendiri adalah seorang tokoh kang-ouw yang tidak begitu peduli akan segala sopan santun kosong, maka pertanyaan ini diterima sewajarnya olehnya, tidak dianggap kurang ajar. “Belum, Ouw-sicu.”
“Bagus! Kalau begitu, kebetulan selagi Lauw-pangcu mengadakan perayaan ulang tahun, mengapa tidak sekalian mencarikan jodoh untuk puterimu? Kulihat puterimu sudah lebih dari cukup dewasa. Bagaimana kalau sekarang ditentukan bahwa siapa yang dapat menandinginya berhak meminangnya? Heh-heh, aku pun belum menikah, eh... maksudku sudah duda dan sedang mencari jodoh...”
“Mulut busuk!” Sin Lian membentak marah sekali.
Tadinya, gadis yang sudah menerima gemblengan Siauw-lim Chit-kiam ini, yang sudah matang pengalamannya dan luas pandangannya, mengambil sikap tidak memusuhi Ma-bin Lo-mo yang betapa pun juga adalah seorang kawakan. Tetapi kini melihat sikap Ouw Kian, sebagai seorang wanita muda yang masih panas darahnya, ia menjadi marah sekali dan telunjuknya menuding ke arah hidung yang kulitnya kasar itu.
“Apakah engkau tidak pernah melihat bayangan mukamu yang buruk dan lebih menjijikkan dari pada muka tikus selokan itu? Cih, tak bermalu! Kalau engkau hendak mencoba kepandaian untuk mempertahankan pendirian masing-masing, majulah dan jangan terlalu lebar membuka mulut yang berbau busuk!”
Sin Lian memang pada dasarnya galak dan pandai sekali bicara, maka sekali terbangkitkan kemarahannya, ucapannya amat pedas menusuk jantung, membuat Si Muka Bopeng sebentar merah sebentar pucat. Ia pun marah sekali, apa lagi melihat betapa para tamu banyak yang menahan tawa dengan menyembunyikan mulut di balik lengan baju.
“Bocah sombong! Kau mau mengenal kelihaian tuanmu?” Ia membentak.
“Majulah dan cabut pedangmu!”
Sin Lian sudah melolos pedangnya karena gadis ini tidak sudi beradu lengan dengan Si Muka Bopeng. Kalau ia melayani orang itu bertanding tangan kosong, mau tidak mau ia harus membiarkan lengannya beradu dengan lengan lawan. Ia pun dapat menduga bahwa sebagai kaki tangan Ma-bin Lo-mo, ilmu silat Si Muka Bopeng ini tentulah lihai.
Diam-diam Ouw Kian menjadi girang. Memang dia sendiri adalah seorang jago pedang yang menganggap bahwa ilmu pedangnya adalah yang paling tinggi di dunia. Entah sudah berapa ratus kepala orang terpenggal oleh pedangnya itu selama ia merantau sebagai perampok tunggal, sebelum akhirnya ia ditundukkan Ma-bin Lo-mo dan menjadi pembantu Iblis Muka Kuda.
Cepat ia menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh juga, tubuh tegak kaki kanan diangkat menempel lutut kiri, tangan kiri menjulang ke atas dengan telunjuk menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang di pinggangnya. Aksinya memang hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala sehingga mukanya yang memang tak dapat dikatakan tampan itu menjadi makin buruk.
"Lihatlah kiam-sut ku yang tiada tandingan!" Ouw Kian membentak lalu pedangnya berkelebatan menyilaukan mata. Dia sudah bersilat pedang, tidak langsung menyerang karena pada pendapatnya, kalau melihat ilmu pedangnya, gadis puteri ketua Pek-lian Kai-pang itu tentu akan menguncup hatinya dan akan menyerah tanpa bertanding lagi.
"Hemmm...!" Sin Lian mendengus sebal dan membentak, "Sambutlah!"
Pedangnya sudah menusuk dengan kecepatan kilat. Dara ini adalah murid dari Siauw-lim Chit-kiam, tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkenal sebagai ahli pedang kenamaan dan Sin Lian sudah mewarisi Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam (Ilmu Pedang Sakti Tujuh Bintang)...
“Pemuda buntung, berhenti dulu!”
Bentakan halus nyaring dari mulut wanita itu membuat Han Han terpaksa menghentikan langkahnya, berdiri tegak tanpa menoleh.
Sunyi sejenak, dan terdengar wanita itu bertanya lirih, “Dia itukah orangnya?”
“Benar, Sianli. Hati-hati, dia lihai bukan main,” jawaban Si Brewok Berhidung Besar ini terdengar jelas oleh Han Han yang masih tidak bergerak, juga tidak menoleh.
“Heh, orang muda pincang! Siapa namamu?”
Han Han yang mendengar betapa wanita itu disebut Sianli (Dewi), dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang tokoh kang-ouw dan tentu memiliki kepandaian tinggi. Jika tidak, mana berani memakai julukan Dewi? Baru satu orang yang ia tahu memakai Dewi, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li, bekas gurunya. Ia dapat menduga bahwa karena empat orang brewok itu adalah orang-orang yang berpihak kepada pemerintah Mancu, maka wanita cantik yang angkuh ini tentulah juga seorang tokoh yang membantu Kerajaan Ceng.
Tanpa menoleh Han Han menjawab, “Aku adalah seorang perantau miskin yang tidak ingin bermusuh dengan siapa juga, tidak mempunyai hubungan pula dengan perang, harap kalian membiarkan aku lewat.”
“Aihhh, orang muda sombong! Agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian maka sikapmu sesombong ini. Ketahuilah, kami tidak berniat jahat terhadapmu, sebaliknya, kalau benar engkau memiliki kepandaian, kami akan membawamu menghadap atasan kami karena pemerintah yang bijaksana membutuhkan bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian. Kalau engkau berkepandaian, percayalah, hidupmu akan terjamin dan engkau tidak usah berkeliaran merantau, menderita kekurangan dan kelaparan!”
Diam-diam Han Han tersenyum. Pemerintah Kerajaan Ceng dan bangsa Mancu memang cerdik sekall. Kalau bangsa Mancu menggunakan kekerasan untuk membasmi orang-orang pribumi yang berkepandaian, tentu perlawanan rakyat takkan kunjung berhenti karena rakyat akan menjadi makin benci kepada pemerintah penjajah itu. Akan tetapi, dengan jalan membujuk orang-orang pandai membantu pemerintah, memberi mereka kedudukan yang takkan mereka peroleh pada waktu pemerintah dipegang oleh bangsa sendiri, maka kedudukan Pemerintah Ceng akan menjadi makin kuat, mendapatkan simpati orang-orang kang-ouw dan dapat menarik hati rakyat.
“Terima kasih, aku tidak mungkin dapat menerimanya karena aku seorang yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.” Sambil berkata demikian, tanpa menoleh Han Han lalu melanjutkan langkahnya.
Wanita itu memperhatikan langkah Han Han yang terpincang-pincang, sejenak ragu-ragu akan kebenaran laporan empat orang brewok. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan....
“Cuiiittttt!” terdengar bunyi ketika sinar hitam menyambar ke arah punggung Han Han.
Han Han tentu saja maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arahnya dari belakang dan maklum pula bahwa senjata rahasia itu dilemparkan oleh seorang yang memiliki sinkang kuat bukan main. Diam-diam ia kaget dan tahu bahwa wanita itu sungguh tak dapat disamakan dengan empat orang Kang-thouw Su-liong (Empat Naga Berkepala Baja) yang brewokan itu. Tidak, wanita ini jauh lebih lihai, belum tentu kalah lihai oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo, melihat dari hebatnya sambaran angin senjata rahasianya.
Namun Han Han yang kini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa dan sukar diukur tingginya, masih belum menoleh dan belum berhenti melangkah, hanya kini tongkatnya bergerak sedikit ke belakang, kemudian sambil masih meloncat-loncat dengan sebelah kaki, ia mencabut tiga batang senjata rahasia piauw hitam dari tongkat di mana piauw-piauw itu menancap dan membuangnya ke atas tanah.
Wanita itu menahan seruan kaget. Pemuda pincang itu sama sekali tidak mengelak, bahkan menengok pun tidak, masih melangkah, akan tetapi dengan amat mudahnya sudah menyambut piauw-piauwnya dan membuang begitu saja seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa!
“Berhenti dulu...!”
Han Han melihat bayangan berkelebat dan wanita yang dapat bergerak cepat sekali membayangkan ginkang yang tinggi, kini telah berdiri di depannya. Terpaksa Han Han menahan langkahnya dan memandang tak acuh. Sebaliknya wanita itu memandang kepadanya penuh selidik, agaknya mengingat-ingat di mana ia pernah melihat pemuda ini dan kapan ia mendengar akan seorang jago muda yang buntung kakinya. Setelah merasa yakin bahwa dia belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw muda yang buntung kakinya, ia lalu berkata.
“Ternyata engkau memiliki kepandaian. Orang muda, marilah engkau ikut bersamaku menghadap atasanku. Guruku adalah seorang pembesar di istana, seorang panglima pengawal. Kalau engkau setelah diuji ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau tentu akan mendapat kedudukan yang tinggi pula.”
Han Han mengerutkan alisnya dan wanita itu diam-diam amat tertarik. Wajah pemuda buntung ini tampan dan gagah sekali. Jantung wanita ini mulai tergetar.
“Toanio, harap kau jangan menggangguku. Aku tidak mempunyai urusan dengan toanio, dengan guru toanio atau dengan siapa pun juga. Harap membiarkan aku mengambil jalanku sendiri dan kita tidak saling mengganggu.”
“Orang muda, agaknya karena engkau belum tahu siapa aku, dan belum tahu pula siapa guruku maka engkau memandang rendah dan tidak menaruh perhatian. Ketahuilah bahwa aku adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, dan kalau engkau masih belum mengenalku, guruku adalah Hwi-yang Sin-ciang Gak-locianpwe!” Sebagai murid Gak Liat tentu saja Ma Su Nio tidak mau menyebut nama poyokan gurunya, yaitu Kang-thouw-kwi atau Setan Botak!
Mendengar disebutnya Gak Liat, Han Han tercengang. Tanpa disadari ia mengangkat muka memandang wanita itu. Tentu saja ia sudah tahu bahwa Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi seorang panglima pengawal Kerajaan Mancu, akan tetapi ia tidak menyangka bahwa wanita yang agaknya dipanggil oleh empat orang brewok ini adalah murid Si Setan Botak.
Melihat pemuda buntung itu akhirnya mengangkat muka memandangnya penuh perhatian, Ma Su Nio tersenyum dengan bangga, akan tetapi senyumnya membeku di mulut ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han yang demikian aneh dan tajam menusuk menembus ke jantung menjenguk hati! Pandang mata itu begitu aneh dan seperti bukan pandang mata manusia!
Tiba-tiba Ma Su Nio menjerit karena entah bagaimana caranya ia tidak dapat mengikuti dengan pandang mata saking cepatnya, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram oleh pemuda buntung itu yang bertanya dengan suara yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Hayo katakan apa yang terjadi dengan seorang gadis bernama Lulu yang diculik oleh Ouwyang Seng!”
Ma Su Nio berusaha meronta untuk meloloskan diri dari cengkeraman, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa bahwa tenaganya lenyap dan sama sekali ia tidak mampu melepaskan pundaknya. Ia menjadi marah dan tangan kanannya menghantam ke depan. Tangan itu sudah berubah merah karena wanita ini telah menyalurkan sinkang-nya sehingga tangannya berubah menjadi tangan beracun Hiat-ciang (Tangan Berdarah)!
Pukulan Hiat-ciang dari Ma Su Nio amat berbahaya dan jarang ada orang mampu melawannya. Juga amat cepat seperti kilat menyambar, padahal tubuh Han Han begitu dekat di depannya. Akan tetapi mata Ma Su Nio berkunang ketika tubuh pemuda buntung itu berkelebat dan pukulannya mengenai angin, sedangkan tubuh pemuda itu telah berpindah ke belakangnya, namun tangan yang mencengkeram pundaknya masih berada di pundak. Sebelum Ma Su Nio dapat bergerak, tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan ia jatuh miring karena didorong oleh Han Han dengan tenaga yang tak tertahankan lagi! Ma Su Nio baru saja berkedip, tahu-tahu dadanya telah ditodong oleh ujung tongkat sehingga ia tidak berani bergerak, maklum bahwa nyawanya berada di ujung tongkat itu.
“Hayo katakan, di mana Lulu?”
Ma Su Nio sudah mendengar akan gadis Mancu yang ditawan Ouwyang Seng dan yang kemudian melarikan dari istana di mana ia dijadikan pelayan istana. Kini seperti terbuka matanya. Pemuda inilah yang disebut Sie Han, pemuda aneh yang pernah menggegerkan istana! Akan tetapi menurut pendengarannya, pemuda ini tidaklah buntung kakinya. Dalam keheranan dan kebingungannya, Ma Su Nio menjawab gagap.
“Aku... aku tidak... tidak tahu...!”
Han Han menghela napas, mengeraskan hati dan menyentuh kulit dada wanita itu dengan ujung tongkat. Pada saat itu empat orang brewok sudah datang menyerang dengan golok mereka dari belakang. Han Han masih menodong Ma Su Nio dan tanpa menoleh ia menggerakkan tangan kirinya ke belakang.
Terdengar suara hiruk-pikuk, empat buah golok terlepas dari tangan mereka dan tubuh empat orang itu terjengkang roboh. Kiranya tangan kiri yang lihai dari Han Han telah menyambut terjangan mereka dengan totokan-totokan pada pergelangan tangan mereka dan sekaligus mendorong mereka dengan hawa sinkang yang amat dahsyat!
“Lekas katakan!” Han Han mengancam lagi.
Ma Su Nio tak dapat mempercayai matanya sendiri. Dalam segebrakan saja pemuda buntung ini sudah merobohkannya dan membuatnya tidak berdaya, bahkan tanpa menoleh, entah dengan ilmu apa, telah merobohkan empat orang pembantunya yang tak dapat digolongkan orang lemah! Ia bergidik dan tengkuknya terasa dingin saking ngeri dan takutnya. Baru pertama kali ini selama hidupnya Ma Su Nio merasa ngeri dan takut. Pemuda buntung yang menodongnya ini bukan manusia, melainkan iblis sendiri!
“Dia... dia menjadi pelayan istana...”
Tongkat itu ditarik kembali dan Han Han tertawa. Kembali Ma Su Nio bergidik. Pemuda itu tertawa terbahak seperti orang yang merasa lucu. Dan memang Han Han merasa amat geli hatinya. Tadi ia merasa yakin bahwa sebagai murid Gak Liat, tentu wanita ini tahu apa yang terjadi dengan Lulu. Keyakinannya terbukti dengan pengakuan wanita itu, akan tetapi mendengar betapa Lulu, adiknya itu menjadi pelayan istana, ia dapat membayangkan betapa akan lucunya, betapa akan gegernya istana kalau mempunyai seorang pelayan seperti adiknya. Tentu kaisar sendiri akan menjadi pening kepalanya! Maka ia tertawa saking geli hatinya, kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.
“Tangkap dia! Bunuh...!”
Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Terdorong oleh rasa malu, penasaran dan marah ia lalu memerintahkan pasukan terdiri dari dua puluh empat orang itu, dibantu oleh empat orang brewok yang sudah bangun kembali, untuk mengejar dan menyerang Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio yang mengejar paling depan karena gerakannya jauh lebih cepat dari pada para pembantunya terbelalak, mukanya pucat lalu seperti orang bingung memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Dia tadi melihat tubuh pemuda buntung itu mencelat tinggi ke atas puncak pohon, lalu kelihatan bayangan putih itu mencelat-celat ke sana-sini dan lenyap!
“Ke mana dia, Sian-li? Di mana...?” Empat orang brewok itu telah datang dan mencari-cari.
Dengan hati sebal Ma Su Nio mengibaskan tangannya dan menghela napas. “Sudahlah, mari kita kembali!”
Pasukan Mancu saling berbisik dan mereka ini setibanya di markas lalu menceritakan pertemuan mereka dengan Pendekar Buntung Super Sakti! Makin terkenallah sebutan Pendekar Super Sakti yang juga disebut Pendekar Siluman sebab mereka menganggap pemuda buntung itu seperti siluman.
Sementara itu, Han Han yang sudah berhasil melarikan diri dari pasukan itu karena ia pun hanya menghendaki keterangan tentang Lulu, melanjutkan perjalanannya, seperti biasa, menyusuri Sungai Fen-ho menuju ke utara. Ketika ia tiba di luar kota Tai-goan, tiba-tiba ia mendengar suara orang.
“Taihiap, harap suka menunggu...!”
Han Han mengerutkan alisnya dan menengok. Ketika melihat dua orang berlari-lari cepat, ia membalikkan tubuhnya karena ia mengenal dua orang gagah yang ia lihat di restoran tadi. Mereka itu agaknya berlari cepat dan napas mereka agak terengah-engah namun wajah mereka berseri gembira.
“Untung kami dapat menyusul taihiap...,” kata yang tua dan mereka berdua serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han.
Pemuda buntung ini mengerutkan alisnya makin dalam dan berkata, suaranya penuh wibawa. “Tidak baik begini, harap ji-wi suka bangun!”
Dua orang itu lalu bangkit berdiri dan memandang kepada Han Han penuh kekaguman dan penghormatan. “Mohon maaf dari taihiap bahwa kami berdua mempunyai mata akan tetapi seperti buta saja tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Semenjak taihiap keluar dari restoran, kami berdua melihat betapa anjing-anjing penjilat itu memberi tahu kepada pasukan musuh. Kami berusaha memberi tahu taihiap akan dihadang, akan tetapi... ah, sungguh kami harus merasa malu. Bagaimana kami akan memperingatkan taihiap, kiranya mereka itu sekawanan tikus menghadapi kucing ketika bertemu taihiap. Hebat sekali...! Padahal iblis betina itu adalah Hiat-ciang Sian-li yang lihainya luar biasa...!”
“Dalam segebrakan saja roboh...!” Yang muda berseru, memandang Han Han dengan kagum.
Han Han mengerti dua orang ini tadi telah menyaksikan pertemuannya dengan pasukan Mancu, maka ia lalu berkata, “Hendaknya ji-wi tidak melebih-lebihkan hal itu. Kini ji-wi mengejar saya ada keperluan apakah?”
“Taihiap, saya bernama Ciang Boan dan dia ini adalah So Pek Kun. Kami adalah dua orang utusan dari Bu-ongya untuk menyelidiki daerah ini. Melihat kesaktian taihiap, kami segera melakukan pengejaran. Kini kami mohon sudilah kiranya taihiap membantu perjuangan Bu-ongya melawan penjajah...”
“Hemmm, ji-wi Enghiong. Terima kasih atas kepercayaan ji-wi, namun sesungguhnya saya tidak mau terlibat dalam perang yang tiada habisnya itu. Saya mempunyai banyak sekali urusan pribadi yang harus saya selesaikan.”
“Taihiap, urusan apakah yang taihiap hadapi? Kami mempunyai banyak sekali sahabat kaum pejuang di semua daerah, dan kalau kami dapat membantu...”
“Apakah ji-wi pernah mendengar akan seorang wanita bernama Lulu? Dia adalah Adikku dan saya ingin mencarinya. Dia dulu diculik oleh Ouwyang Seng dan kabarnya Adikku itu berada di istana...”
“Ouwyang Seng putera Pangeran Ouwyang Cin Kok? Wah, ini hebat! Akan tetapi, sungguh pun kami tidak pernah mendengar tentang Adik taihiap, yang bergerak di daerah kota raja adalah sahabat-sahabat yang dipimpin oleh Lauw-pangcu. Kalau taihiap bertanya kepadanya tentu akan ada yang tahu. Taihiap, saat ini seluruh orang gagah telah berkumpul di Se-cuan dan kami siap untuk sewaktu-waktu menghadapi penyerangan orang Mancu. Kami harap sudilah taihiap ikut mencurahkan tenaga taihiap yang amat lihai untuk membela nusa bangsa, dan kami percaya bahwa taihiap memiliki jiwa patriot.”
Han Han tidak mau berbantah lebih banyak lagi tentang hal itu, maka ia menghela napas dan berkata, “Saya tidak berani berjanji terlalu banyak, ji-wi Enghiong. Saya hendak mencari Adikku, kalau sudah bertemu barulah saya akan memikirkan tawaran ji-wi. Kalau memang kelak aku setuju, agaknya tidak akan sukar untuk pergi ke Se-cuan. Nah, selamat tinggal!” Han Han tidak menanti bantahan mereka. Tubuhnya mencelat ke belakang, kemudian dua orang gagah itu melihat bayangan putih berkali-kali mencelat makin jauh dan lenyap dari pandangan mata mereka.
Kedua orang itu menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian menarik napas panjang. “Manusiakah dia?” Yang muda menggumam.
“Entahlah, akan tetapi sungguh sukar dipercaya seorang buntung bisa bergerak seperti itu!”
Keduanya pergi dan makin banyaklah orang yang bercerita tentang kehebatan sepak terjang Pendekar Super Sakti!
Han Han tidak singgah di kota Tai-goan, melainkan terus keluar dari kota itu melalui pintu kota sebelah timur untuk melanjutkan perjalanannya ke kota raja melalui Pegunungan Tai-hang-san. Ketika beberapa hari kemudian ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, ia merasa kagum akan keindahan pemandangan alam di pegunungan ini, akan penghidupan para petani pegunungan yang aman, damai dan tenteram.
Han Han ikut menjadi gembira melihat para petani yang biar pun pakaiannya sederhana, robek-robek dan kotor terkena lumpur, bekerja di sawah sambil menyanyi-nyanyi, wajah mereka berseri gembira, tubuh mereka sehat kuat. Ia kagum sekali dan terkenanglah ia akan filsafat yang pernah dibacanya bahwa ‘kemajuan duniawi’ bahkan menjauhkan manusia dari pada kebahagiaan hidup.
Lihat saja di kota-kota besar. Di kota manusia mengadakan pelbagai kesenangan, makanan enak, pakaian indah, perhiasan, tontonan dan sebagainya yang dianggap sebagai kemajuan yang akan menyenangkan hidup manusia. Akan tetapi makin banyak diciptakan hiburan-hiburan dan kemewahan, bukan kebahagiaan yang didapat, bahkan sebaliknya.
Manusia yang bisa mendapatkan segala kemewahan itu hanya akan menikmatinya sebentar saja lalu menjadi bosan, sebaliknya betapa banyaknya yang karena tidak bisa mendapatkannya, merasa berduka dan menganggap hidupnya sengsara. Yang tidak bisa membeli pakaian indah dan perhiasan mewah, melihat mereka yang memakai segala kemewahan itu menjadi iri hati dan kepingin sekali, maka timbullah perbuatan-perbuatan maksiat, didorong oleh keinginan hendak memiliki benda-benda yang diinginkan.
Akan tetapi, di dusun yang sunyi ini, tidak nampak kemajuan duniawi, tidak nampak kesenangan-kesenangan yang aneh-aneh dan karenanya, tidak ada seorang pun yang kepingin dan tidak ada seorang pun yang merasa sengsara. Mereka tidak mabuk pengejaran kesenangan dan kemewahan, mereka tidak butuh akan itu, dan karenanya mereka pun tidak kekurangan sesuatu!
Boleh jadi para petani pegunungan ini miskin akan harta benda dan kesenangan duniawi yang sekelumit itu, namun tanpa disadari telah menemukan kebahagiaan sejati yang memang akan menonjol apa bila manusia menipis keinginannya untuk mengejar kesenangan.
Kesenangan adalah bayangan yang menyesatkan, makin dikejar makin membuat pengejarnya tersesat jauh sehingga tidak dapat menemukan kebahagiaan yang sudah ada pada dirinya sendiri. Lupa bahwa kesenangan itu bergandengan tangan dengan kesusahan. Bahkan merupakan satu badan dengan dua muka, yaitu yang sebelah kesenangan yang sebelah lagi kesusahan. Maka sudah menjadi kepastian bahwa siapa mencari kesenangan, dia berarti mencari pula kesusahan, karena yang merangkul kesenangan berarti menggandeng kesusahan pula.
Karena tertarik dan kagum, Han Han beristirahat di bawah pohon dekat sawah, melihat seorang petani tua yang sedang mencangkul sawahnya. Petani tua itu memandang ke arah Han Han, menggeleng-geleng kepala penuh kasihan melihat pemuda yang berkaki buntung itu, lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Lopek, maaf kalau aku mengganggu pekerjaanmu. Penduduk di sini kelihatan sehat dan gembira sekali, alangkah jauh bedanya dengan penduduk kota Tai-goan yang saya lalui beberapa hari yang lalu.”
Kakek itu menunda cangkulnya, menoleh dan tersenyum. “Habis, kalau tidak gembira, apa yang disusahkan? Bekerja setiap hari mendatangkan kesehatan. Dan berkat kesucian para nikouw yang bersembahyang untuk kami di Kwan-im-bio di dusun kami, Kwan Im Pouwsat memberi berkah sehingga hasil sawah kami selalu baik. Memang benar, semenjak Thian Sim Nikouw dan para muridnya membangun kuil Kwan-im-bio di dusun kami, penghidupan kami lebih tenteram. Sawah ladang subur, kalau ada yang sakit para nikouw cepat turun tangan mengobati, dan petuah-petuah yang berharga dari para nikouw mengusir semua kemaksiatan di dusun-dusun.”
Han Han tertarik dan makin kagum. Di mana ada penghidupan yang demikian tenang dan damai?
“Selain itu, juga tidak ada orang jahat berani mengganggu pedusunan di sekitar Tai-hang-san, berkat perlindungan para nikouw Kwan-im-bio yang sakti!”
Han Han makin kagum. Dia menoleh ke arah sebuah dusun yang ditunjuk oleh kakek itu, dan karena hari sudah menjelang senja, ia mengambil keputusan untuk singgah dan melewatkan malam di dusun itu. Ia lalu berpamit dan melanjutkan perjalanannya menuju ke dusun yang berada di sebuah lereng di kaki Pegunungan Tai-hang-san.
Ketika tiba di luar dusun, ia mendengar derap kaki kuda dan seekor kuda yang ditunggangi seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan sebatang golok tergantung di punggung, melewatinya dan meninggalkan debu yang mengotori pakaian Han Han. Pemuda ini mengebut-ngebutkan pakaiannya dan mengerutkan alisnya. Jelas bahwa orang tadi yang kini bersama kudanya memasuki dusun di depan bukanlah petani dusun, dan melihat sinar kejam membayang di wajah itu, diam-diam Han Han merasa khawatir.
Akan tetapi dengan tenang ia melanjutkan perjalanannya, melangkah dengan satu kaki dengan ringan dan mudah, akan tetapi apa bila bertemu orang ia lalu menggunakan tongkatnya membantu sehingga tidak menimbulkan curiga dan keheranan. Kalau ia menggunakan ilmunya, bergerak dengan langkah satu kaki seperti yang ia latih di bawah pimpinan gurunya, tentu ia akan mendatangkan keheranan kepada mereka yang melihatnya.
Di pinggir dusun itu tampak sebuah bangunan tembok yang dari jauh pun dapat diduga tentu sebuah kuil. Temboknya setinggi dua meter dan tebal, dan di pintu depan tampak tulisan tangan di atas papan, tulisan yang bergaya indah: KWAN IM BIO. Tentu saja Han Han tidak berani melihat-lihat karena maklum bahwa kuil itu adalah kuil yang dihuni para nikouw (pendeta wanita). Akan tetapi ia melihat kuda ditambatkan di pohon tak jauh dari kuil itu dan penunggangnya tidak kelihatan batang hidungnya. Han Han menjadi curiga dan ia menyelinap di belakang pohon mengintai.
Tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang yang gerakannya cukup gesit dan tampaklah si penunggang kuda tadi, agaknya baru turun dari pagar tembok dan wajah yang kasar dan kejam itu menyeringai, matanya bersinar-sinar. Orang itu berlari menghampiri kudanya, melepaskan tambatan kuda, meloncat dengan sigap dan melarikan kudanya memasuki dusun yang kelihatannya cukup besar dengan rumah-rumah yang cukup baik keadaannya.
Sikap dan gerak-gerik penunggang kuda itu menjadi alasan yang cukup kuat bagi Han Han untuk memperhatikan keadaan kuil. Timbul kecurigaannya dan keinginannya untuk menyelidiki, maka setelah melihat bahwa di luar tidak ada orang, tubuhnya sudah mencelat naik dan di lain saat ia telah berada di sebelah dalam pagar tembok, menyelinap dan bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang yang tumbuh di sudut kebun. Kebun itu luas dan ternyata bahwa kuil itu sendiri tidaklah begitu besar. Agaknya para nikouw mengerjakan kebun itu, ditanami pohon-pohon buah dan bahan makanan lain.
Selagi Han Han hendak keluar dari tempat persembunyiannya dan mengintai ke dalam kuil melalui pintu atau jendela belakang karena kebun itu sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar suara dan melihat empat orang nikouw keluar dari pintu belakang. Ia cepat menyelinap lagi, bersembunyi.
Di dalam cuaca yang mulai suram karena matahari sudah tenggelam di barat, Han Han melihat seorang nikouw tua yang berwajah alim memegang sebatang tongkat bersama tiga orang nikouw yang bersikap halus. Seorang di antara tiga nikouw ini sudah setengah tua, yang seorang lagi paling banyak berusia tiga puluh tahun, berwajah cantik dan berkulit putih. Akan tetapi ketika Han Han melihat nikouw ke tiga, jantungnya berdebar. Nikouw ini masih amat muda dan wajahnya cantik jelita. Kepalanya yang gundul itu berkulit putih dan licin seolah-olah memang tidak pernah berambut, bibirnya segar merah seperti dicat di tengah kulit muka yang putih halus.
“Ah, agaknya engkau hanya melihat bayangan burung terbang,” kata nikouw tua dengan lemah lembut.
“Tidak, subo. Teecu yakin ada orang berkelebat meninggalkan kebun ini tadi. Biar teecu periksa sebentar!”
Suara itu! Wajah dan terutama mata dan bibir itu! Dan kini gerakan tubuh nikouw muda yang gesit dan ringan sekali, berloncatan ke sana ke mari dengan sinar mata tajam mencari-cari. Tidak salah lagi! Ia mengenal nikouw ini, nikouw yang ia duga sedang mencari bayangan si penunggang kuda yang agaknya mengintai ke kuil dari kebun ini!
“Kim Cu...!”
Han Han tak dapat menahan lagi hatinya. Sambil melompat keluar dari balik semak-semak ia menghampiri Kim Cu yang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat memandang kepadanya, seolah-olah nikouw muda ini melihat munculnya setan!
“Omitohud...!” Nikouw tua berseru perlahan, juga dua orang nikouw lain mengeluarkan seruan kaget melihat munculnya seorang pemuda berkaki buntung yang berwajah tampan dan berambut riap-riapan.
“Kim Cu...!” Kembali Han Han berseru dengan suara menggetar. “Ini aku... Han Han...!”
Nikouw muda ini mukanya menjadi seperti muka mayat, mulutnya yang tadinya merah itu menjadi pucat pula, terbuka sedikit dan matanya terbelalak memandang wajah Han Han, hidungnya kembang-kempis, dadanya turun naik.
“Kim Cu, lupakah engkau kepadaku...?” Han Han melangkah mendekat dan memegang pundak nikouw itu, suaranya makin menggetar dan wajahnya juga agak pucat, matanya bersinar tajam penuh selidik.
“Tidak...!” Tiba-tiba bibir itu mengeluarkan suara yang menggetar bunyinya, dengan bibir menggigil. “Tidak... jangan sentuh aku... ahhh, aku... bukan... bukan dia... aku... seorang nikouw...!”
Nikouw muda itu membuang muka yang ditundukkan, tangannya dengan halus merenggut tangan Han Han dari pundaknya, tangan yang dingin menggigil seperti seekor burung ketakutan.
“Kim Cu...,” Han Han menahan suaranya yang terisak ketika ia melihat wajah nikouw yang ditundukkan itu menitikkan dua butir air mata dari mata yang kini dipejamkan dan mulut yang kini berbisik-bisik membaca liam-keng!
“Orang muda, perbuatanmu ini tidak patut! Engkau hendak menodai kesucian seorang nikouw dan mengotorkan Kwan-im-bio?” Suara itu halus, akan tetapi penuh teguran.
Han Han sadar dan cepat memandang nikouw tua itu. Nikouw itu berdiri tegak, kening berkerut dan sepasang mata yang halus amat berwibawa. Dua orang nikouw lain berdiri menunduk, merangkap kedua tangan di dada dan mulutnya berkemak-kemik, seperti mulut nikouw muda itu, membaca doa!
“Maaf..., maaf...” Han Han merasa seperti terpukul, meloncat ke belakang dan tubuhnya mencelat ke atas pagar tembok. Dari atas pagar itu menoleh lagi kepada nikouw muda yang masih menunduk dan meruntuhkan air mata sambil berkemak-kemik berdoa mohon kekuatan batin kepada Kwan Im Pouwsat.
“Ohhh... Kim Cu...!” Suara Han Han mengandung isak dan tubuhnya berkelebat lenyap dari atas tembok.
Tubuh nikouw muda itu terhuyung kemudian terguling roboh! Pingsan! Sibuklah dua orang nikouw yang lain mengangkatnya dan nikouw tua berulang kali menghela napas dan menyuruh bawa tubuh nikouw muda yang pingsan itu ke dalam kamarnya, kemudian menyuruh dua orang muridnya itu keluar dari kamar.
Nikouw muda itu memang Kim Cu. Telah diketahui bahwa setelah kuil di mana nikouw tua itu tinggal kebanjiran, Thian Sim Nikouw mengajak murid-muridnya yang pada waktu itu telah menjadi sepuluh orang untuk mengungsi dan akhirnya menetap di lereng Pegunungan Tai-hang-san mendirikan sebuah kuil sederhana. Selama itu, Kim Cu yang telah memakai nama Kim Sim Nikouw, hidup tenteram dan damai, bahkan kalau tidak ada gangguan bayangan Han Han tentu dia telah mencapai kebahagiaan seperti yang telah dicapai Thian Sim Nikouw dan murid-muridnya.
Pertemuan tiba-tiba dengan Han Han yang dianggapnya sudah mati itu menimbulkan gelombang dahsyat dalam hati Kim Sim Nikouw, merupakan pukulan batin yang amat hebat sehingga ia roboh pingsan. Luka di hatinya yang tadinya sudah mulai sembuh dan mengering, kini seperti dirobek-robek dan mengucurkan darah.
“Han Han...” Bisikan ini keluar dari bibir Kim Sim Nikouw yang bergerak perlahan, lalu bangkit duduk, pandang matanya kosong sehingga ia tidak melihat bahwa gurunya duduk di situ. Ia menoleh ke kanan kiri, kembali memanggil lirih, “Han Han...”
“Omitohud, sadarlah dan kuatkan hatimu, Kim Sim...”
“Han Han...!” Kini panggilan itu merupakan jerit yang langsung keluar dari hatinya.
“Muridku, sadarlah!” Kembali nikouw tua itu berkata halus.
Kim Sim Nikouw menoleh dan... sambil menjerit ia menubruk gurunya, lalu berlutut dan menangis tersedu-sedu di pangkuan gurunya. “Subo... ampunkan teecu... ahhh, teecu yang lemah berdosa besar...!”
“Menangislah, muridku, menangislah. Pouwsat selalu menaruh kasihan dan memaafkan orang lemah yang sadar akan kelemahannya....” Nikouw itu memeluk muridnya dan membiarkan nikouw muda itu menangis di dadanya.
Dia sendiri tergetar hatinya dan tersentuh perasaan harunya, namun bagaikan air telaga yang sudah tenang, keriput air yang sedikit itu sebentar saja lenyap. Dia sengaja membiarkan muridnya menangis, oleh karena ia tahu bahwa tekanan batin yang hebat itu akan amat berbahaya bagi kesehatannya kalau tidak diberi saluran keluar. Dan saluran terbaik pada saat itu hanyalah membiarkannya menangis sepuasnya.
Kim Cu menangis sesenggukan sampai tubuhnya berguncang-guncang, air matanya membanjir bagaikan air bah menjebol bendungannya, hatinya menjerit-jerit keluar dari tenggorokannya sebagai keluh dan rintih melengking. Setelah dadanya tidak terlalu terhimpit lagi ia berkata, suaranya serak dan terputus.
“Aduh, Subo.... Apakah yang harus teecu lakukan...? Bagaimana teecu... ini..., Subo... tunjukkanlah jalan... bagi teecu....”
Thian Sim Nikouw tersenyum. “Omitohud... puji syukur kepada Kwan Im Pouwsat yang penuh welas asih...! Tanyalah kepada hati sanubarimu sendiri, anakku. Pinni tidak akan memaksamu, tidak akan menghalangimu. Engkau ambillah keputusan sendiri, Kim Sim Nikouw!”
“Subo... tolonglah teecu... teecu bimbang... teecu bingung. Kemunculan Han Han bagaikan sambaran petir mengenai kepala teecu, gelap semua... tolonglah Subo memberi jalan, memberi petunjuk kepada teecu.”
“Baikiah, tenangkan dan sabarlah hatimu. Mari kita bersemedhi sebentar... pinni akan membantumu memperoleh ketenangan dan kesabaran. Karena hanya hati yang tenang penuh kesabaran sajalah yang akan mampu menggunakan pikiran dan pertimbangan bersih dan tepat.”
Kim Sim Nikouw melepaskan pelukannya lalu duduk bersila di atas tanah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, bekas murid orang-orang sakti seperti Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Cui-sian-li, tentu saja semedhi merupakan hal yang sudah biasa ia lakukan. Akan tetapi dalam keadaan batin tertekan seperti itu, kalau tidak dibantu Thian Sim Nikouw, tak mungkin dia dapat mengheningkan ciptanya.
Tak lama kemudian terasalah olehnya getaran yang halus memasuki dirinya dan ia tahu bahwa gurunya yang biar pun tidak pandai ilmu silat akan tetapi dalam soal kebatinan jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada Toat-beng Ciu-sian-li, telah membantunya. Sebentar saja Kim Sim Nikouw dapat mengheningkan cipta dan setelah mereka menghentikan semedhi, Kim Sim Nikouw sudah dapat tenang, sungguh pun pikirannya masih tertekan dan bayangan Han Han masih belum mau lenyap dari depan matanya.
“Muridku, pinni akan berusaha membantumu memberi petunjuk. Akan tetapi, pinni tidak sekali-kali hendak mempengaruhimu, karena hal ini menyangkut jalan hidupmu sendiri. Kalau pinni memaksanya, yaitu memaksakan kehendak hati pinni, hal itu berarti pinni menyalahi hukum yang sudah ditentukan dalam hidup manusia. Nah, pinni mulai dengan pertanyaan yang hendaknya kau jawab sejujur-jujurnya.”
“Baiklah, Subo.”
“Apakah engkau mencinta Han Han?”
“Teecu mencintanya, Subo. Dahulu, Han Han adalah satu-satunya orang yang teecu cinta. Dan sekarang pun, hati teecu masih rindu kepadanya, rindu akan cintanya, sungguh pun perasaan itu hanya merupakan lamunan belaka karena sesungguhnya, setelah mempelajari dan melatih pelajaran dari Subo untuk mengubah cinta kasih perorangan menjadi cinta kasih alam semesta, mencinta setiap manusia, bahkan setiap makhluk, dunia dan isinya, teecu menjadi ragu-ragu apakah cinta kasih teecu masih sekuat dulu terhadap Han Han.”
Nikouw tua itu mengangguk-angguk, kelihatannya lega mendengar ini. Akan tetapi ia masih belum yakin benar, maka tanyanya kembali, “Apakah engkau masih mempunyai keinginan untuk menyerahkan tubuhmu kepadanya, ingin melakukan hubungan badani dengan dia? Apakah engkau masih ingin untuk menjadi isterinya dan kemudian melahirkan anak-anak keturunannya?”
Kim Sim Nikouw menundukkan mukanya yang menjadi merah, berpikir sampai lama menjenguk hati dan pikiran sendiri agar dapat memberi jawaban sejujurnya karena dia maklum bahwa gurunya berusaha keras untuk menolongnya dan hanya gurunya inilah yang akan dapat menunjukkan jalan yang tepat baginya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang gurunya dengan sinar mata tulus dan berkata.
“Subo tentu maksudkan apakah teecu masih mengandung nafsu birahi terhadap dia? Kalau benar demikian pertanyaan Subo, maka jawaban teecu adalah tidak! Berkat bimbingan Subo, teecu telah dapat menguasai dan mengendalikan nafsu birahi. Tidak, Subo, cinta teccu terhadap Han Han bukanlah cinta agar menjadi isterinya dan agar teecu menjadi ibu anak-anaknya.”
“Omitohud... syukurlah, engkau telah dapat membebaskan diri dari ikatan yang amat kuat. Dan kalau begitu, maka sebaiknya, bagimu sendiri dan bagi dia pula, engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia. Akan tetapi, harus engkau sendiri yang mengatakan kepadanya, karena kalau demikian barulah ia akan yakin, dan hal ini pun merupakan ujian terakhir bagimu. Yang kau nyatakan tadi hanyalah ucapan yang dapat dipengaruhi oleh pertimbangan, akan tetapi kalau engkau berhadapan sendiri dengan dia dan perasaanmu pun menguasaimu, nah, dalam keadaan seperti itulah maka pernyataanmu akan merupakan keputusan.”
“Maaf, Subo. Betapa beratnya kalau harus teecu sendiri yang mengatakannya. Tadinya pun teecu sudah menganggap dia mati. Begitu dia muncul dengan tiba-tiba, melihat raut wajahnya yang penuh bayangan duka, melihat kakinya yang buntung... ah, rela rasanya teecu mengorbankan apa pun juga demi untuk membahagiakan dia!”
“Kemukakanlah kesemuanya ini kepadanya, muridku. Dan jika engkau berhadapan dengan dia, sebutlah nama Kwan Im Pouwsat di hatimu, mohon kekuatan. Pinni hanya dapat mengatakan bahwa kalau engkau berhasil memutuskan hubungan dengan dia, maka engkau akan dapat berbuat lebih banyak dari pada kalau engkau melanjutkan ikatan itu. Engkau akan menderita karena setelah menjadi isterinya, engkau akan selalu teringat akan keadaanmu yang murni di sini, engkau akan disiksa oleh perasaan berdosa dan dengan demikian engkau akan menyeret pula dia ke dalam kesengsaraan. Pinni yakin akan hal ini karena engkau telah mencapai tingkat setinggi itu di mana kasih sayang alam semesta telah menyerap dan berakar di hati sanubarimu. Demikianlah, muridku. Kini beristirahatlah dan besok engkau boleh menjumpainya.” Setelah berkata demikian, nikouw tua itu meninggalkan Kim Sim Nikouw dan memasuki kamarnya sendiri.
Kim Sim Nikouw naik ke pembaringannya, berbaring dan berusaha untuk tidur. Akan tetapi ia gelisah, miring ke kanan, kembali ke kiri, terlentang, tertelungkup dan akhirnya ia bangun duduk bersila dan bersemedhi lagi! Setelah bersemedhi, barulah ia dapat tenang dan dalam keadaan hening ini ia dapat menenteramkan hati dan pikirannya, lalu ia terus melatih diri mengumpulkan hawa murni di tubuhnya.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba dia terkejut. Ia mendengar suara kaki di genteng. Tentu Han Han, pikirnya dengan jantung berdebar. Biarlah ia bersemedhi terus, karena menghadapi Han Han, dalam keadaan seperti ini ia akan merasa lebih kuat batinnya. Ia harus memutuskan hubungan mereka, harus mematahkan ikatan di antara mereka. Ia harus menolaknya, betapa pun hal ini menyakitkan!
Akan tetapi sampai lama, ia tidak mendengar gerakan lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara rintihan perlahan di kamar seperti rintihan orang tercekik atau terbungkam mulutnya, kemudian diam! Hatinya menjadi curiga dan kembalilah wataknya sebagai Kim Cu murid In-kok-san!
Sekali mencelat, tubuhnya sudah melayang ke luar dari jendela dan menerobos memasuki jendela Pui Sim Nikouw, yaitu suci-nya yang berusia tiga puluh tahun, yang cantik dan berkulit putih. Dan apa yang dilihatnya dalam kamar yang hanya diterangi sebatang lilin itu membuat ia hampir mengeluarkan makian saking marahnya! Ia melihat tubuh suci-nya itu telanjang bulat, pakaian nikouw telah robek-robek semua di kanan kiri tubuhnya yang putih mulus. Suci-nya dalam keadaan tertotok, air matanya bercucuran dan seorang laki-laki tinggi besar sambil menyeringai meraba-raba dada suci-nya dan menciumi bibirnya.
“Manusia jahat!” Kim Sim Nikouw masih dapat menahan makian yang lebih kotor, dan ia meloncat ke dekat pembaringan.
Laki-laki itu meloncat turun dan menyeringai lebar. “Ha-ha-ha, engkaulah yang kucari sebetulnya. Engkau paling muda dan paling cantik! Dan engkau... heh-heh, engkau masih perawan. Siang tadi kulihat engkau, akan tetapi aku salah masuk. Betapa pun juga, dia ini boleh juga!”
“Pergilah!” Kim Sim Nikouw mengayun kakinya dan tubuh laki-laki itu terlempar ke belakang menabrak dinding. Ia kaget sekali dan cepat merangkak bangun sambil menyambar golok yang tadi ia letakkan di atas meja.
“Ehhh, kiranya engkau pandai silat? Bagus, engkau menyerah atau kupenggal lehermu, kubawa kepalamu yang gundul dan cantik itu untuk hiasan kamarku, ha-ha!”
Golok lelaki itu menyambar, namun sekali Kim Sim Nikouw menggerakkan tangan, laki-laki itu berteriak. Goloknya terlepas, tangannya lumpuh karena pergelangan tangannya patah tercium jari tangan Kim Sim Nikouw yang amat kuat. Kim Sim Nikouw yang sudah marah sekali lalu menubruk maju, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam ke arah dada laki-laki itu.
Pukulan ini sepenuhnya mengandung pukulan Toat-beng-ciang dan sudah dapat dipastikan bahwa laki-laki itu tentu mati. Untung sekali baginya, pada detik terakhir, melihat wajah laki-laki yang ketakutan itu, Kim Sim Nikouw teringat akan sifat welas asih, dan ia menaikkan sasarannya.
“Kekkk-krekkkkk!” Bukan dada lelaki itu yang pecah, melainkan kedua tulang pundaknya yang hancur.
“Aduh tobaaat... aduhhh... aduhhh... ampunkah saya, Siankouw...!” lelaki itu mengaduh-aduh sambil berkelojotan di atas lantai.
“Hemmm!” Kim Sim Nikouw mendengus, lalu cepat menubruk suci-nya, membebaskan totokannya dan menyelimuti tubuhnya yang telanjang bulat.
Nikouw itu menangis, namun dihibur oleh Kim Sim Nikouw, “Syukur kepada Pouwsat bahwa kedatanganku belum terlambat, Suci.” Nikouw itu memeluk Kim Sim Nikouw sambil menangis.
Pintu kamar terbuka dan Thian Sim Nikouw masuk sambil memegang sebatang lilin, diikuti oleh para nikouw karena mendengar suara gaduh dalam kamar itu.
“Apakah yang terjadi di sini?”
“Subo, manusia sesat ini hendak melakukan perbuatan terkutuk,” kata Kim Sim Nikouw.
Nikouw tua itu mengeriing ke arah Pui Sim Nikouw yang berkerudung selimut dan memandang laki-laki yang patah pergelangan lengan kanan dan remuk kedua tulang pundaknya itu.
“Hemmm, ambilkan tempat obat penyambung tulang,” perintahnya kepada seorang murid yang segera memenuhi perintah gurunya.
Setelah keranjang obat itu datang, Thian Sim Nikouw lalu mengobati kedua pundak dan pergelangan tangan laki-laki itu yang terus merintih-rintih dan minta-minta ampun. Setelah selesai membalut, Thian Sim Nikouw lalu berkata, “Kalau mau minta ampun, mintalah ampun kepada Thian dan jadikanlah pengalaman pahit ini sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang jiwamu. Nah, pergilah!”
Laki-laki itu menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sim Nikouw, kemudian ia diperbolehkan keluar melalui pintu samping yang dibuka oleh seorang nikouw. Kemudian para nikouw itu kembali memasuki kamar masing-masing. Akan tetapi Kim Sim Nikouw tidak kembali ke kamarnya, melainkan memasuki ruangan liam-keng dan berlutut di depan sebuah arca Buddha yang besar.
Ia bersila, bersemedhi dan mulutnya berkemak-kemik membaca liam-keng. Hatinya gelisah sekali karena tadi ia dikuasai kemarahan, bukan karena melihat suci-nya hendak diperkosa orang, melainkan karena tadinya ia mengira Han Han-lah yang akan berbuat jahat melakukan perkosaan. Ia merasa makin berdosa dan kasihan kepada Han Han, juga merasa betapa sebetulnya ia masih amat lemah.
Dia tadi telah dibakar api cemburu, dan cemburu ini hanyalah menjadi bukti bahwa nafsu birahinya terhadap pemuda itu, yang bergulung menjadi satu dengan cinta kasihnya, sebenarnya masih belum lenyap sama sekali seperti yang ia katakan di depan gurunya. Ternyata Thian Sim Nikouw kembali betul! Dia harus menyatakan semua di depan Han Han dan ia bermohon kepada Buddha agar dia diberi kekuatar dan agar Han Han diberi penerangan suci sehingga pemuda itu akan memudahkan keputusan yang diambilnya ini.
“Kim Cu...!”
Nikouw muda itu terkejut, membuka matanya dan menoleh, ternyata Han Han telah berdiri di belakangnya. Sama sekali ia tidak mendengar gerakan pemuda buntung itu, dan diam-diam Kim Sim Nikouw kagum bukan main. Dahulu, sebelum buntung sekali pun, ia tentu akan dapat mendengar gerakannya. Akan tetapi sekarang, ia sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di situ!
“Omitohud... kenapa engkau berani mengotori tempat suci ini, dan mengapa engkau selalu mengejar-ngejarku?” Kim Sim Nikouw berkata, suaranya halus penuh wibawa, akan tetapi mukanya menunduk karena ia tidak berani bertemu pandang dengan Han Han, yang ia tahu mempunyai sinar mata yang luar biasa tajamnya, dan yang akan mampu menjenguk isi hatinya!
“Aku akan terus mengejar dan mengikutimu, biar sampai dunia kiamat sekali pun, selama engkau belum mau berterus terang karena aku merasa yakin bahwa engkau adalah Kim Cu! Apa kau kira aku tidak dapat mengenal pukulan Toat-beng Sin-ciang yang kau lakukan untuk membikin remuk kedua tulang pundak jai-hwa-cat tadi?”
“Ohhh, jadi engkau tadi melihatnya...? Ya Thian Yang Maha Kasih...! Baiklah... baiklah. Han Han... aku memang Kim Cu... akan tetapi sekarang aku telah menjadi Kim Sim Nikouw... Engkau tidak boleh mendekatiku, maka pergilah kau, Siangkong. Pergilah kau... Han Han... kasihani aku dan pergilah tinggalkan aku...”
“Hemmm... ke manakah perginya kegagahanmu, Kim Cu? Manusia tidak boleh membohongi dirinya sendiri, tidak boleh mengingkari perasaan hatinya sendiri. Ceritakan dulu, mengapa engkau menjadi nikouw dan mengapa engkau mengusirku, baru aku akan mempertimbangkan permintaanmu itu. Setelah semua yang kita alami bersama....!”
“Ya, setelah apa yang kita alami bersama...!” Kim Sim Nikouw berbisik dan ia membalikkan tubuh membelakangi Han Han, lalu jatuh berlutut karena kakinya menggigil, suaranya masih berbisik-bisik namun terdengar jelas oleh Han Han.
“...engkau tidak tahu betapa aku telah menderita hebat... betapa aku sekarang telah menemukan ketenteraman kembali... Ketika engkau menolongku, agar aku tak terkena senjata rahasia Toat-beng Ciu-sian-li, engkau menolongku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri... kita berdua jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar! Ahhh... betapa senang dan bahagianya hatiku ketika melayang jatuh karena aku yakin bahwa kita akan mati bersama... Mati bersamamu di waktu itu merupakan kebahagiaan yang tak terhingga bagiku...! Akan tetapi, ohhh... hancurlah hatiku ketika ada nelayan menolongku dan aku masih hidup! Aku hidup dan engkau mati! Aduhh, Han Han... tidak ada penderitaan yang lebih hebat dari pada itu, hatiku tersayat-sayat... ohhh...” Nikouw itu menangis terisak-isak.
Han Han tak dapat berkata-kata, hanya memandang gadis itu dengan wajah pucat dan mata basah, perasaannya diserang keharuan yang membuat ia tak dapat bicara, melainkan membayangkan penderitaan batin gadis ini yang amat mencintanya. Dengan ujung lengan bajunya yang lebar nikouw muda itu menyusuti air mata yang mengalir deras di kedua pipinya, kemudian melanjutkan.
“Aku tidak kuat menahan derita batin itu, dan tentu sudah membunuh diri kalau tidak ada Thian Sim Nikouw ketua Kwan-im-bio yang menolongku, dan menyadarkan aku... merupakan pelita yang menerangi kegelapan hatiku... Aku diberi wejangan, aku sadar lalu menjadi muridnya... menjadi nikouw setelah bertahun-tahun aku sembahyang setiap hari untukmu... untuk arwahmu yang kusangka sudah mati... akhirnya hidupku tenang dan tenteram, sebagai nikouw...”
“Kim Cu...” Suara Han Han menggetar dan berbisik penuh perasaan haru. “Apakah tidak ada jalan lain...?”
“Jalan lain yang mana? Aku... aku murid seorang wanita jahat..., seorang datuk hitam yang penuh dosa.... Dunia akan mengutuk aku... manusia akan memandang rendah kepadaku... Hanya dengan menjadi nikouw aku dapat menebus dosa... dan... dan dapat melupakan engkau....”
Han Han tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya jatuh bertitik. Ia tahu betapa besar, betapa murni perasaan cinta kasih Kim Cu terhadap dirinya. Dan demi cinta kasihnya itu pula gadis ini melakukan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita. Menjadi nikouw! Pengorbanan nyawa masih kalah besar, karena sekali kehilangan nyawa habislah sudah. Akan tetapi sedemikian muda dan cantiknya, berkepandaian tinggi, mempunyai harapan besar untuk menikmati hidup, sudah melempar dirinya menjadi patung hidup, menjadi nikouw! Betapa besar pengorbanan itu. Patutkah seorang gadis seperti Kim Cu berkorban sedemikian rupa untuknya?
“Kim Cu, tidak boleh! Engkau tidak boleh berkorban untukku seperti ini! Tidak, tidak...! Kalau memang engkau mencintaku... setelah semua pengorbanan yang kau lakukan untukku... Wahai Kim Cu, budimu kepadaku bertumpuk-tumpuk, tidak mungkin dapat kubalas selama hidupku... Mengapa setelah itu semua engkau lalu mengambil jalan terpendek ini? Kim Cu, engkau mungkin akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup dengan menjadi nikouw... akan tetapi aku..., aku yang kau usir... aku yang merasa terhimpit oleh budimu... betapa aku akan dapat bersenang hati, mengenangkan engkau yang selalu bersemedhi dan bersembahyang di dalam kelenteng yang sunyi? Ah, Kim Cu... jelas bahwa engkau masih mencintaku, mengapa... mengapa engkau merenggutnya putus membiarkan hatimu terkoyak-koyak berdarah...?”
“Han Han...!” Nikouw itu menjerit, mendekap mukanya dan menangis sesunggukan. Sampai lama ia menangis, berlutut dan air matanya yang bening seperti mutiara menetes-netes keluar melalui celah-celah jari tangannya yang kecil meruncing. “Kalau begitu, kalau aku merusak hatimu, kalau aku mendatangkan sengsara kepada engkau orang yang kukasihi dengan seluruh jiwa ragaku dengan kelanjutan hidupku menjadi nikouw... kalau begitu..., biarlah aku mati saja...!”
Cepat sekali nikouw muda yang sudah menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang ke depan dengan muka beringas, meloncat ke depan, ke arah arca Sang Buddha yang tersenyum cerah, hendak membenturkan kepalanya yang gundul licin itu kepada kaki arca yang terbuat dari pada batu hitam.
“Wuuuuuttttt...!”
Tubuh nikouw itu meluncur ke depan karena dalam kenekatannya nikouw ini sudah mengerahkan ginkang ketika meloncat dan tidak menggunakan tenaga sinkang untuk melindungi kepalanya karena ia ingin agar sekali bentur, kepalanya akan pecah.
“Plakkk...!”
Kepala nikouw itu bertemu dengan telapak tangan Han Han yang lunak karena Han Han sama sekali tidak menggunakan tenaga pula ketika ia tadi cepat meloncat ke depan arca dan menaruh tangannya di depan kaki arca, telapak tangannya menyambut kepala nikouw itu sehingga tangannyalah yang terhimpit dengan keras ke kaki arca.
Nikouw itu terpental ke belakang, cepat meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak kepada Han Han. Ia melihat tangan kanan pemuda buntung itu bercucuran darah yang keluar dari luka di punggung tangannya, darah yang membasahi kaki arca sehingga menjadi merah.
“Kim Sim Nikouw, apa yang kau lakukan ini?” Kini suara Han Han terdengar keras dan pandang matanya penuh daya pengaruh menundukkan.
Nikouw muda itu seperti terpesona, seperti baru bangun dari mimpi dan ia mamandang wajah Han Han yang pucat, dahi berkerut, mulut yang membayangkan derita, akan tetapi sinar mata yang tajam berwibawa.
“Han Han...!” Kim Sim Nikouw mengeluh.
“Kim Sim Nikouw, sadarlah bahwa tidak ada dosa yang lebih besar, tidak ada sifat pengecut yang paling rendah dari pada membunuh diri!” Suara Han Han kini tidak menggetar penuh keharuan seperti tadi, bahkan keras dan tegas. “Akulah yang salah dan engkau benar. Memang sebaiknya begini. Engkau menjadi nikouw dan menemukan kebahagiaan. Ada pun aku... hemmm... terus terang saja, Kim Sim Nikouw, aku hanya kasihan dan ingin membalas budi. Dan melihat engkau berbahagia di sini, aku pun akan merasa lega. Biarlah kita saling mendoakan saja. Selamat tinggal...!” Tubuh Han Han berkelebat dan lenyap dari ruangan itu.
Sejenak nikouw muda itu berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Han, kemudian ia menjerit kecil yang merupakan rintihan dan menubruk depan arca Sang Buddha yang masih tersenyum penuh pengertian, seolah-olah memandang kelakuan dua orang anak manusia itu sebagai kelakuan dua orang anak-anak nakal. Kim Sim Nikouw merintih dan menangis, menciumi ujung kaki arca yang merah oleh darah Han Han, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Han Han dan air matanya mencuci noda darah di kaki arca itu. Darah Han Han!
Han Han sejenak memandang penglihatan yang meremas hatinya itu. Melihat betapa Kim Cu menangis dan menciumi bekas darahnya, ingin Han Han masuk kembali dan mendekapnya, memaksanya meninggalkan kuil dan memasuki dunia memeluk kebahagiaan bersama dia. Akan tetapi, kesadarannya membisikan bahwa perbuatannya itu tidaklah benar. Sudah pastikah bahwa kelak Kim Cu akan hidup bahagia di sampingnya? Apakah dia mencinta Kim Cu?
Memang, mengingat akan budi gadis yang cantik jelita dan amat murni cintanya itu, siapakah orangnya tidak akan menyatakan cinta kepadanya? Betapa pun juga, Han Han ragu-ragu dan merasa yakin bahwa sebaiknya ia meninggalkan Kim Cu dalam usaha menemukan bahagia. Tadi ia sengaja keras, sengaja menyadarkan Kim Cu bahwa dia hanya kasihan dan ingin membalas budi, sama sekali bukan mencinta!
Sekali lagi Han Han memandang Kim Cu, seolah-olah hendak mengusir bayangan nikouw muda itu di lubuk hatinya, kemudian ia menghela napas dan berkelebat pergi menghilang di dalam gelap. Peristiwa pertemuannya dengan Kim Cu itu tanpa disadarinya sudah menambah sebuah guratan lagi di dahinya.
Penjahat yang tadi memasuki Kuil Kwan-im-bio dengan niat jahat memperkosa nikouw muda dan telah mendapat hajaran keras dari Kim Sim Nikouw, malam-malam itu juga meninggalkan dusun menunggang kudanya perlahan-lahan. Tubuhnya masih lemah dan kedua pundaknya terasa nyeri apa bila terguncang terlalu keras, maka ia tidak berani melarikan kudanya. Ia menyumpahi nasibnya yang amat buruk.
Siapa kira di dalam kuil sunyi seperti itu terdapat seorang nikouw muda yang demikian lihai? Tadinya ia mendengar berita bahwa Kuil Kwan-im-bio mempunyai nikouw-nikouw muda yang amat cantik, sehingga tergeraklah hatinya. Dan sore tadi ia telah menyelidiki dan melihat bahwa memang desas-desus yang didengarnya itu ternyata benar. Ia melihat nikouw muda yang amat cantik jelita.
“Sialan...!” pikirnya.
Sudah banyak wanita yang ia renggut kehormatannya. Memang dia terkenal sebagai jai-hwa-cat di samping seorang pencuri ulung. Tetapi belum pernah ia memperkosa seorang nikouw. Tentu seorang nikouw sebagai wanita yang selalu menjaga kesucian tubuh dan hatinya, akan merupakan mangsa yang hebat, maka ia tidak peduli lagi apakah dia melakukan pelanggaran yang amat besar, dan malam itu hampir saja terlaksana apa yang ia sering kali mimpikan.
Akan tetapi, agaknya para dewa tidak mengijinkan perbuatannya sehingga ia bertemu dengan nikouw muda itu. Hemmm, masih untung, pikirnya. Justru nikouw muda itu ia incar. Kalau ia tidak salah masuk ke kamar nikouw ke dua yang juga memiliki tubuh yang benar-benar tidak disangka-sangka, amat menggairahkan, kalau ia masuk ke kamar wanita muda yang lihai itu... ihhh, ngeri ia membayangkan. Agaknya ia belum tentu akan keluar dari kuil itu dalam keadaan bernyawa!
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat, kudanya meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas seperti ketakutan. Ketika penjahat itu berhasil menenangkan kudanya dan memandang dengan bantuan sinar bulan, ia terkejut melihat seorang pemuda buntung telah berdiri di depan kuda, memandangnya dengan sepasang mata seperti mata harimau. Karena dia sedang murung, penjahat itu yang memandang rendah si pemuda buntung.
“Heh, bocah buntung! Minggir! Apa kau ingin mampus diinjak-injak kuda?” bentaknya.
Pemuda yang bukan lain adalah Han Han ini, tersenyum dingin. Dia tadi melarikan diri dari kuil dan hatinya yang sedang dilanda perasaan duka itu membuat ia berloncatan seperti kilat cepatnya, mempergunakan ilmu kepandaiannya yang istimewa. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul penjahat berkuda itu dan begitu melihat penjahat ini, Han Han timbul kesebalan hatinya dan ia sengaja menghadang.
“Hemmm, jai-hwa-cat, apakah yang kau lakukan di kuil tadi?”
Penjahat itu pucat wajahnya. Ia membesar-besarkan hatinya, akan tetapi karena kedua pundaknya tak dapat digerakkan sehingga kedua lengannya pun setengah lumpuh, pergelangan tangan kanannya pun tidak boleh dipakai bergerak, ia maklum akan keadaan dirinya yang sedang terluka dan lemah.
“Aku... aku terluka... dan aku sudah diampuni para nikouw...,” katanya gagap.
Han Han memandang penuh selidik. “Andai kata aku membantumu mendapatkan nikouw muda itu dalam keadaan tidak berdaya sehingga engkau akan dapat melakukan apa juga atas dirinya tanpa ia mampu melawan, engkau akan memberi hadiah apa kepadaku?”
“Wah, jangan main-main, orang muda. Nikouw yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian lihai bukan main, sedangkan kau seorang buntung kakimu...”
“Hemmm, apakah dia selihai ini?” Han Han mengempit tongkatnya, kedua lengannya dikembangkan secara tiba-tiba ke kanan kiri.
“Kraaakkk... kraaakkkkk... bruukkk...!” Dan batang pohon di kiri kanannya ambruk dan terjebol akarnya.
Penjahat itu terbelalak, dan wajahnya berubah girang setengah ngeri ketika ia berkata, “Hebat sekali! Orang muda perkasa, kalau engkau mampu menangkap nikouw itu dalam keadaan tak berdaya sehingga aku dapat... eh, dapat membalas dendam kepadanya, aku... aku akan memberimu kuda ini, dan sekantung uang perak!”
“Kau tentu hendak memperkosanya?”
Penjahat itu menyeringai. “Akan dia rasakan, sepuasku, sampai dia mampus!”
“Keparat!”
Tongkat di tangan Han Han berkelebat, penjahat itu menjerit dan roboh dari atas kudanya dengan tubuh terlempar, kudanya meringkik dan melarikan diri. Sejenak Han Han berdiri tegak memandang tubuh yang tidak berkepala lagi itu, karena kepalanya sudah pecah berantakan tak berbentuk lagi, tercecer ke mana-mana. Han Han yang tadinya tenggelam dalam kedukaan karena Kim Cu, ditelan keharuan, kemudian menjadi marah mendengar kata-kata jawaban penjahat yang sengaja dipancingnya, tiba-tiba terisak, air matanya mengucur turun dan bibirnya terdengar mengeluarkan rintihan, lututnya yang tinggal sebuah itu ditekuk, ia berlutut dan mengeluh.
“Kakekku seorang jai-hwa-sian! Ahhh, Kong-kong, kenapa engkau begitu sesat? Aku keturunan keluarga Suma yang jahat, yang sesat! Kalau kakekku masih hidup, akan kubunuh juga... Ahhh, Kong-kong, kenapa kau sejahat itu...?” Kemudian ia meloncat bangun, wajahnya keruh dan beringas, suaranya keras, “Karena darah terkutuk itu mengalir di tubuhku, aku dibenci sana-sini, dimusuhi, nasibku selalu buruk... ya Tuhan, ampunilah hamba...”
Ia lalu mencelat jauh dan seperti gila melanjutkan perjalanan sambil mengerahkan kepandaiannya yang membuat tubuhnya makin lama mencelat makin jauh dan makin cepat sehingga seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah lagi.
Puteri Nirahai memenuhi janjinya. Lulu diterima di istana dan tidak dituntut oleh kaisar, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan puteranya pura-pura tidak tahu bahwa gadis yang menjadi adik angkat Han Han itu kini kembali ke istana.
Lulu tekun belajar ilmu silat di bawah bimbingan Nenek Puteri Maya yang amat sakti itu, juga Nirahai digembleng oleh nenek ini. Ternyata bahwa yang dilatih oleh Lulu ketika ia berada di Pulau Es adalah Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu ilmu silat yang dasar geraknya mengambil dari coretan huruf-huruf indah. Karena ketika berlatih di Pulau Es itu tidak ada yang memimpin, maka Lulu hanya mempelajari secara ngawur saja, sehingga ia hanya menguasai kulitnya, tidak menguasai isinya. Kini setelah digembleng oleh Puteri Mayat baru ia dapat mengerti inti dari Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat.
Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang diciptakan oleh Bu Kek Siansu, seorang manusia dewa yang selain sakti dalam ilmu silat, juga seorang ahli dalam ilmu sastra. Oleh kakek dewa ini kedua ilmu itu digabungkan sehingga dalam gerakan ilmu silat itu dimasukkan unsur-unsur keindahan tulisan, seolah-olah yang menggunakan ilmu silat ini sedang mencoret-coret tulisan huruf indah di udara. Karena inilah maka disebut Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan).
Dahulu jika Lulu bersilat, kelihatannya hanya indah sehingga oleh Han Han dikatakan sebagai tarian. Kini setelah mengetahui inti sari ilmu itu, setiap gerakan Lulu adalah didasari goresan menulis huruf. Di jaman dahulu, Ilmu Hong-in-bun-hoat ini oleh Bu Kek Siansu hanya diturunkan kepada pendekar sakti Suling Emas. Kemudian diajarkan pula kepada muridnya yang terkasih, yaitu Kam Han Ki yang kini menjadi Koai-lojin. Oleh Kam Han Ki inilah ilmu itu disusun menjadi kitab yang dipelajari Lulu.
Selain dilatih ilmu silat yang pada dasarnya telah dipelajari Lulu ini, juga Nenek Maya menurunkan ilmu yang amat dahsyat, yaitu ilmu Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas) yang kelihatannya dimainkan tanpa tenaga, dengan kedua tangan berubah sehalus kapas, namun mengandung inti tenaga sinkang yang dapat menahan tenaga sinkang lawan yang kuat.
Lulu amat berbakat dan juga amat cerdik sehingga dalam waktu singkat, hanya beberapa bulan saja, ia telah dapat menguasai kedua ilmu itu sehingga tingkat kepandaiannya melonjak cepat bukan main. Hal ini adalah karena ia telah memiliki tenaga sinkang murni yang ia dapatkan ketika bersama Han Han melatih diri di Pulau Es.
Ada pun Nirahai yang memang tadinya sudah lihai bukan main sebagai pewaris ilmu-ilmu dahsyat dari Mutiara Hitam, yang dahulunya menjadi ilmu-ilmu tangguh dari tokoh wanita perkasa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ibu kandung Suling Emas, kini setelah digembleng oleh Nenek Maya, kepandaiannya pun meningkat secara hebat sekali.
Bahkan ia telah dilatih untuk mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan dengan suling emas yang dipinjamnya dari Gu Toan si kakek bongkok penjaga kuburan Suling Emas. Kini dara perkasa ini menguasai dua ilmu pedang yang sebenarnya berlawanan, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Dengan penggabungan dari kedua ilmu pedang yang berlawanan ini dapat dibayangkan betapa lihainya Puteri selir Kaisar Mancu ini.
Makin lama Lulu makin betah tinggal di istana yang indah dan mewah, juga yang mencukupi segala kebutuhannya. Apa lagi Nirahai amat baik kepadanya, memperlakukannya sebagai adik sendiri. Dan memang sesungguhnya Nirahai amat mencinta Lulu sehingga Lulu yang halus perasaannya itu membalas kasih sayang suci-nya. Mereka amat rukun dan kerukunan ini mempengaruhi juga pendirian Lulu tentang pertentangan antara Kerajaan Mancu dan pemberontak yang berpusat di Se-cuan. Memang pada mulanya, secara terus terang ia berani menentang Nirahai dengan mengemukakan pendapatnya yang timbul dari pengalamannya.
“Suci, sebetulnya aku tidak ingin mencampuri tugas Suci sebagai puteri Kaisar dan sebagai pemimpin para pengawal. Akan tetapi karena Suci ingin mengajak aku membantu, perlu kuberitahukan kepadamu bahwa aku tidak mempunyai kesan baik terhadap sepak terjang bangsaku sendiri!”
Nirahai memandang tajam dan berkata, “Sumoi, lupakah engkau bahwa keluarga orang tuamu dibasmi oleh para pemberontak? Kalau engkau tidak memiliki kesetiaan dan kebaktian kepada bangsa dan negara, hal itu masih dapat kumengerti karena sejak kecil engkau hidup sebatang-kara bahkan kemudian menjadi adik angkat kakakmu Han Han. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engkau akan melupakan ayah bundamu yang tewas oleh para pemberontak. Aku tidak percaya bahwa engkau akan tidak berbakti kepada orang tuamu!”
Lulu mengerutkan alisnya yang hitam. Sepasang matanya memandang Nirahai dengan mata terbelalak. “Yang kau katakan pemberontak itu sebetulnya adalah pejuang-pejuang yang baik, Suci. Sebaliknya, dengan mata kepala sendiri aku menyaksikan betapa kejamnya tentara Mancu yang membunuhi rakyat yang tak berdosa, memperkosa, merampok, membunuh seperti sekawanan binatang buas saja.”
“Hemmm, pendirianmu itu salah sungguh pun aku tidak sangsi akan keteranganmu tentang perbuatan sebagian tentara yang kejam. Akan tetapi, apakah kau anggap bahwa perbuatan para pemberontak yang membunuhi ayahmu sekeluarga itu juga tidak kejam?”
“Memang kuakui bahwa mereka telah membunuh orang tuaku bahkan telah kudapatkan pembunuhnya. Akan tetapi ternyata dia seorang gagah yang melakukan pembunuhan itu demi perjuangan, demi pembelaan terhadap bangsa mereka. Sama sekali tidak terkandung hati benci di dada mereka terhadap perorangan, bahkan mereka tidak mengenal orang tuaku yang tewas sebagai akibat perang.”
Nirahai mengangguk-angguk. “Memang aku percaya benar demikian. Akan tetapi engkau pun lupa bahwa aku dan teman-teman yang memimpin usaha penindasan para pemberontak pun terdorong oleh tugas membela bangsa dan negara! Aku seorang bangsa Mancu, kalau aku tidak membela bangsa Mancu, habis bagaimana? Engkau pun seorang gadis Mancu, sudah selayaknya kalau engkau membantu perjuangan bangsa sendiri. Kini para pemberontak yang bersarang di Se-cuan harus dihancurkan, kalau tidak, perang tidak akan pernah terhenti dan penderitaan rakyat pun takkan dapat dihabiskan. Kalau kau menganggap bahwa orang tuamu tewas dalam perang dan engkau tidak menaruh dendam perorangan, engkau pun harus dapat mengerti bahwa perbuatan tentara-tentara kita itu pun adalah akibat perang dan bukan merupakan perbuatan kejam perorangan, melainkan kekejaman perang. Akan tetapi percayalah bahwa pimpinan kita tidak menghendaki hal demikian itu terjadi. Hal itu hanya terjadi sebagai akibat-akibat yang berkelebihan dari perang yang memang ganas.”
Lulu merasa terdesak karena pikirannya yang cerdik dapat menangkap kebenaran-kebenaran dalam ucapan Nirahai.
“Apakah engkau percaya bahwa aku adalah seorang manusia yang begitu curang sehingga sudi mengadu domba Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai kalau bukan karena hal itu kuanggap sebagai taktik perjuangan? Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, bahkan aku mengagumi tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar dari kedua partai itu. Akan tetapi, sebagai pejuang untuk negaraku, aku melihat bahaya besar kalau sampai kedua partai yang kuat itu membantu pemberontak, maka jalan satu-satunya adalah mengadu domba mereka agar mereka tidak berkesempatan membantu pemberontak sehingga kedudukan para pemberontak tidak begitu kuat, mudah dihancurkan. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan dua tokoh di antara Siauw-lim Chit-kiam yang kukagumi karena kegagahan mereka, akan tetapi aku membunuh mereka sebagai musuh negara, bukan sebagai musuhku!”
“Kalau seorang saudaramu kebetulan memihak pejuang yang menentang kerajaan, apakah engkau juga akan membunuhnya, Suci?”
“Tentu saja! Kalau dia memihak pemberontak, dia berarti menjadi musuh negara! Bagi seorang pejuang yang mencinta bangsa dan negaranya, musuh sendiri bisa dimaafkan, akan tetapi musuh negara tidak!”
“Wah, kejinya! Aku benci...! Aku benci perang!” Lulu mencela, teringat akan kakaknya. Kalau Han Han kebetulan membantu pejuang, apakah dia pun harus memusuhi kakak yang disayangnya itu? Tidak mungkin!
Nirahai merangkul leher Lulu dan mengecup pipinya. “Adikku yang baik, siapakah orangnya yang mencinta perang? Hanya orang gila yang miring otaknya saja yang tidak membenci perang. Aku pun benci dengan perang. Aku pun rindu akan perdamaian di mana hidup manusia ini tenang tenteram, di mana nyawa manusia dihargai, di mana hak hidup seorang manusia lebih terjamin, di mana harga seorang manusia lebih dinilai tinggi. Akan tetapi, perang timbul bukan atas kehendak seseorang, dan kalau sudah timbul dan kita terseret di dalamnya, hanya dengan kemenangan saja perang itu dapat dihentikan! Menang atau kalah! Itulah persoalannya, dan sekuat tenaga tentu saja kita ingin menang. Dengan kemenangan, atau pun dengan kekalahan, perang baru habis dan timbul perdamaian. Percayalah, aku ingin sekali menikmati masa damai di mana kita tidak akan bicara tentang bunuh-membunuh, tentang siasat-siasat curang, tentang taktik-taktik memalukan dan sebagainya. Peri-kemanusiaan akan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Akan tetapi untuk mendapatkan perdamaian itu, sekarang kita semua harus mengerahkan tenaga untuk menumpas musuh sehingga perang pun terhenti.”
Lulu termenung. Ucapan suci-nya itu meresap ke dalam hatinya dan diam-diam ia kagum sekali. Suci-nya ini cantik, berkedudukan tinggi, berpengaruh dan berkuasa, juga memiliki pandangan yang luas seperti kakaknya. Han-koko! Ah, alangkah cocoknya kalau Han-koko dapat menjadi suami Nirahai! Pikiran yang tiba-tiba menyelinap di kepalanya yang kecil itu membuat ia serta-merta bertanya.
“Suci, kalau begitu engkau tidak mempunyai rasa benci perorangan kepada bangsa pribumi?”
Nirahai mengangkat alisnya. “Eh? Tentu saja tidak!”
“Juga kepada para pejuang kau tidak benci?”
Nirahai tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Tidak sama sekali, Sumoi. Bahkan aku merasa kagum akan kebudayaan mereka, akan kegagahan para pendekar. Bagaimana aku bisa membencinya kalau tokoh-tokoh perkasa yang kukagumi seperti Suling Emas, Mutiara Hitam dan lain-lain adalah bangsa Han juga? Malah aku adalah keturunan Khitan, dan karena Kerajaan Khitan memiliki darah campuran dengan bangsa Han, kaisar wanita Khitan adalah isteri Suling Emas, sedikit banyak ada pula darah Han di tubuhku.”
“Wah, kalau begitu, tentu engkau tidak akan keberatan kalau menikah dengan seorang bangsa Han, bukan?”
Kembali Puteri cantik itu membelalakkan matanya, lalu tertawa geli mencubit pipi dan Lulu. “Huh, engkau menggemaskan dan genit, Sumoi. Bertanya yang bukan-bukan!”
Akan tetapi Lulu mendesak, “Aku tidak main-main, Suci, melainkan benar-benar ingin mengetahui isi hatimu. Bagaimana, andai kata engkau menikah dengan seorang pribumi, apakah engkau akan merasa terlalu rendah?”
Nirahai menghela napas panjang. “Ratu Khitan dahulu menikah dengan Suling Emas seorang pendekar Han. Aku tidak memandang rendah bangsa Han, apa alasanku untuk merasa rendah? Akan tetapi adikku yang nakal, pernikahan harus berdasarkan cinta kasih kedua pihak, tanpa cinta mana bisa hidup bahagia sebagai suami isteri? Pula, aku seujung rambut pun belum memikirkan hal itu. Perang belum berakhir, mana bisa berpikir tentang cinta dan pernikahan?”
Lulu memandang dengan wajah berseri. “Wah, engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang hebat, Suci! Dan menurut pandanganku, engkau hanya patut menjadi isteri seorang yang paling mulia di dunia ini!”
“Hi-hik, kau lucu! Siapa yang paling mulia di dunia ini? Raja kahyangan?”
“Bukan, Suci. Bukan raja bukan pangeran. Orang biasa saja, seorang pria sederhana, yang budiman, gagah perkasa, tampan, seorang yang semulia-mulianya di dunia ini...” Pandang mata Lulu merenung jauh, matanya bersinar-sinar.
“Siapa dia?”
“Han-koko!”
“Aihhh..., kakak angkatmu itu? Pewaris pusaka Pulau Es? Hemmm, engkau berkelakar, Sumoi.”
“Tidak, suci. Dia seorang yang semulia-mulianya, tiada keduanya di dunia ini. Dan hanya dialah yang paling patut menjadi suamimu!”
Nirahai tersenyum dan menarik napas panjang. “Sumoi, enak dan mudah saja kau bicara. Aku belum melihat dia, dia pun belum pernah melihat aku. Andai kata kami saling bertemu, belum tentu pula dia dan aku akan saling jatuh cinta.”
“Pasti!” Lulu berteriak. “Pria mana yang takkan jatuh hati melihat engkau? Termasuk kakakku. Dan wanita mana yang tidak akan mencintanya? Sekali bertemu dengan dia, aku tanggung engkau akan terjungkir balik...!”
“Hahhh...? Kau anggap aku selemah itu mudah dijungkir-balikkan?” Nirahai menantang akan tetapi pandang matanya berseri tanda bahwa dia tidak merasa direndahkan oleh sumoi-nya yang nakal itu.
“Eiiit-eiit-eiiitttt, sabar, Suci! Bukan orangnya yang dijungkir-balikkan, akan tetapi hatimu! Engkau tentu akan jatuh bertekuk lutut...”
“Heiiiii...?”
“Yang bertekuk lutut hatimu, engkau akan jatuh cinta...”
“Sudah, sudah... Eh, Sumoi, engkau mencinta betul kepada kakakmu itu, ya?”
Lulu mengerutkan keningnya dan menjawab sungguh-sungguh, “Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, Suci. Tidak ada yang lebih kucinta dari pada Han-koko.”
“Nah, nah... kalau begitu engkaulah yang patut menjadi isterinya!”
Lulu meloncat bangun seperti diserang ular berbisa. “Suci, engkau gila...?”
Nirahai menuding-nuding telunjuknya ke hidung Lulu. “Eh, eh, beginikah sikap seorang Sumoi? Bocah kurang ajar, engkau memaki Suci-mu gila?” Akan tetapi mata yang tajam bening itu masih berseri, tidak marah.
“Eh, eh maaf, Suci. Maksudku, perkataan Suci itu benar-benar tidak masuk akal. Dia itu kakakku, ingat? Jangan bicara begitu, aku marah, Suci!”
“Sudahlah, maafkan aku. Kita lihat saja nanti, apakah kakakmu itu benar-benar sehebat yang kau banggakan dan pamerkan.”
“Aku tanggung engkau akan kagum! Bahkan wanita-wanita pendekar yang cantik jelita tergila-gila kepadanya. Seperti Hoa-san Kiam-li, seperti Enci Sin Lian...” tiba-tiba Lulu terhenti dan teringat, wajahnya menjadi seperti kaget, matanya merenung dan kedua pipinya merah. Ia teringat betapa ia pernah bicara dengan Lu Soan Li tentang kakaknya, bahkan ia telah menawarkan kakaknya itu menjadi suami Lauw Sin Lian. Kini dia menawarkan kakaknya menjadi suami Nirahai! Wah, tanpa disadarinya ia telah menjadi perantara dari tiga orang gadis!
“Ada apakah, Sumoi?” Nirahai bertanya ketika melihat perubahan pada wajah sumoi-nya yang termenung seperti orang bingung.
“Ti... tidak apa-apa, suci.”
“Engkau memang aneh, mari kita berlatih saja agar kelak kalau kakakmu datang, tidak mudah bagi dia untuk menjungkir-balikkan aku, hi-hik!”
Akan tetapi Lulu masih termenung. “Suci, bagaimana kabarnya dengan usahamu menyelidiki tentang dia?”
Nirahai menarik napas panjang. Hampir setiap hari ia dibikin repot oleh pertanyaan Lulu. Tentu saja dia sudah menyelidiki dan malah sudah mendengar tentang keributan yang ditimbulkan oleh Han Han di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok, betapa kemudian Han Han ditangkap ketika dikeroyok oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan Gak Liat, lalu dibawa pergi oleh nenek itu.
Dia sudah pula menyuruh orang menyelidiki ke In-kok-san, akan tetapi karena keadaan di situ dapat dikatakan menjadi sarang musuh, amatlah sukar menyelidik ke sana dan tidak ada penyelidik yang tahu apa yang terjadi dengan diri Han Han. Hanya diketahui bahwa pemuda itu lenyap, entah masih hidup entah sudah mati. Tentu saja ia tidak menceritakan semua itu kepada Lulu, hanya menceritakan bahwa ketika dikeroyok Oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat seperti yang diketahui Lulu ketika ditangkap Ouwyang Seng, pemuda itu dapat melarikan diri.
“Sampai sekarang belum ada beritanya, sumoi. Kakakmu itu orang aneh sekali, dan entah menghilang ke mana. Akan tetapi aku masih mengirim penyelidik ke semua jurusan.”
Demikianlah, Lulu berlatih terus bersama Nirahai dan ilmu kepandaiannya meningkat secara hebat sehingga diam-diam Nirahai sendiri menjadi kagum. Puteri yang sakti ini maklum bahwa kalau dia sendiri tidak digembleng oleh Maya, kiranya kepandaian Lulu sekarang sudah melampaui tingkatnya ketika ia belum menjadi murid nenek sakti itu.
Setahun mereka berlatih tekun. Pada suatu hari, Nirahai pulang dari pertemuannya dengan para pembantunya, langsung mengunjungi Lulu yang sedang berlatih di depan Nenek Maya di kebun bunga belakang tempat tinggal mereka di lingkungan istana. Wajah Nirahai tampak tegang dan datang-datang berkata.
“Wah, kembali pasukan-pasukan kita terpukul mundur di Se-cuan! Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai sehingga kini Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri mengirim berita minta bantuan orang-orang pandai. Agaknya teecu sendiri harus berangkat ke sana, Subo. Dan mengingat bahwa di pihak musuh banyak terdapat orang sakti, teecu mengharap Subo dan Sumoi suka pula membantu.”
Nenek Maya tersenyum. “Aku sudah tua untuk berperang. Engkau berangkatlah bersama Lulu, dan aku sendiri akan keluar dari istana karena sudah bosan di sini. Kelak kalau ada waktu aku akan menyusul ke sana, hanya untuk melihat-lihat.”
Nirahai tidak berani memaksa. “Sumoi, sekali ini, Suci-mu benar-benar membutuhkan bantuanmu. Tentu engkau suka membela bangsa dan negara, bukan? Selain itu, hanya daerah barat yang belum diselidiki. Siapa tahu kita akan dapat mendengar tentang kakakmu di barat.”
Memang Nirahai pandai sekali. Dia mendengar akan munculnya seorang panglima musuh yang berkaki buntung, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia menduga bahwa pemuda buntung itu agaknya Han Han, akan tetapi ia ragu-ragu karena kalau Han Han, mengapa kakinya buntung? Pula, kalau ia menceritakan hal ini kepada Lulu dan sumoi-nya itu kemudian menduga bahwa Han Han membela musuh, agaknya akan sukar mengajaknya untuk membantu.
Lulu mengangguk. “Baiklah, Suci. Biar pun aku juga seperti Subo, tidak suka perang, akan tetapi biarlah aku hitung-hitung membalas budimu.”
Nenek Maya lalu meninggalkan istana dan mendapat kehormatan besar karena kaisar sendiri mengantar keberangkatannya dengan pesta perpisahan. Kemudian tiga hari berikutnya, Puteri Nirahai bersama Lulu berangkat ke Se-cuan, memimpin sebuah pasukan besar. Puteri Nirahai nampak gagah sekali dengan pakaian perangnya, gagah dan cantik jelita. Ada pun Lulu yang tidak mau memakai pakaian perang, tidak mau pula menerima pangkat panglima, berpakaian biasa yang ketat dan dia menunggang kuda di samping Nirahai.
Banyak orang di sepanjang jalan mengelu-elukan keberangkatan Puteri Nirahai yang telah banyak dikenal. Akan tetapi mereka kagum dan heran melihat seorang gadis cantik berpakaian biasa yang berkuda di samping puteri itu, karena memang selama berada di kota raja, Lulu tidak pernah keluar dari istana, juga Puteri Nirahai diam-diam mengatur agar kehadiran Lulu di kota raja tidak sampai diketahui orang. Hal ini untuk menjaga agar gadis itu tidak dicari oleh Han Han atau oleh para pejuang yang menganggap gadis itu sudah menjadi sekutu mereka..
Bagaimanakah ada berita bahwa pemuda buntung yang amat lihai menjadi panglima musuh di Se-cuan? Siapakah pemuda buntung ini? Dia itu bukan lain adalah Han Han! Seperti kita ketahui, setelah membunuh jai-hwa-cat yang berusaha memperkosa nikouw di Kwan-im-bio, di mana Han Han hancur hatinya menghadapi pertemuannya dengan Kim Cu, pemuda ini lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja.
Mungkin karena kakinya yang buntung, juga karena ketika dahulu berada di kota raja ia tidak menimbulkan kecurigaan kecuali hanya rasa kasihan yang timbul di hati orang yang melihat kakinya yang buntung, akan tetapi kebuntungan kakinya pun tidak menimbulkan keheranan, karena di masa itu perang telah menimbulkan banyak mala petaka sehingga banyak terdapat orang yang buntung kakinya, tangannya, atau cacat tubuhnya.
Pada malam harinya Han Han mempergunakan kepandaiannya. Tanpa terilhat oleh seorang pun penjaga, ia meloncat ke atas rumah enci-nya, yaitu rumah gedung Giam-ciangkun, perwira she Giam, kakak iparnya atau suami enci-nya. Menjelang tengah malam itu keadaan sunyi sekali dan ketika ia mengintai kamar enci-nya yang ia sudah hafal karena ia pernah tinggal di rumah gedung ini, ia menjadi girang melihat enci-nya tidur berdua saja dengan Giam Kwi Hong, puteri enci-nya itu yang kini sudah berusia hampir lima tahun. Cepat ia menyelinap masuk dan dengan hati-hati ia membangunkan enci-nya dengan jalan memijit ibu jari kaki enci-nya.
Sie Leng terbangun, kaget ketika melihat wajah Han Han yang dikenalnya betul, cepat bangkit duduk dan membetulkan pakaiannya. Han Han menaruh telunjuk ke depan bibirnya dan berbisik.
“Leng-cici, aku datang...”
Sie Leng kini sudah sadar betul, melihat adiknya dan matanya terbelalak ketika melihat kaki Han Han.
“Adik Han... kaki... kakimu...!”
“Ssttttt... tidak apa-apa, Enci. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Di mana dia... eh... suamimu?” Berat rasa lidah Han Han untuk menyebut Perwira Giam Cu sebagai cihu (kakak ipar).
“Dia... dia sudah sebulan... berangkat ke Se-cuan...” Sie Leng memandang khawatir sekali karena takut kalau-kalau adiknya masih mendendam.
Han Han bernapas lega, kemudian duduk di atas bangku. Sie Leng duduk di ranjang, menengok puterinya. Melihat puterinya tidur nyenyak, ia lega dan menoleh kepada adiknya.
“Han Han, engkau pergi tanpa pamit. Kata cihu-mu, engkau mencari adik angkatmu...”
“Cici, kedatanganku ini memang untuk bertanya kepadamu. Pertama, tahukah engkau tentang Lulu, adik angkatku itu?”
Sle Leng menggeleng kepala. “Adikmu itu aneh seperti engkau. Dia menjadi pelayan istana lalu tiba-tiba lenyap, melarikan diri! Semenjak itu, tidak ada lagi yang tahu di mana dia berada, dicari oleh sepasukan pun tidak dapat ditemukan.”
Han Han tersenyum. Lega dadanya bahwa adiknya tidak berada di istana. Memang ia sudah menduga akan hal ini.
“Sekarang pertanyaan kedua, Enci, dan kuharap Enci benar-benar akan jujur dan memenuhi permintaanku, menjawab pertanyaanku secara jujur. Di manakah tempat tinggal Giam Kok Ma, bedebah yang dahulu memperkosa Ibu kita, perwira muka kuning itu?”
“Han-te...! Apa yang akan kau lakukan?”
“Apa yang akan kulakukan tak perlu kau ketahui, Enci, dan juga bukan urusanmu lagi. Aku bersumpah bahwa engkau tidak akan tersangkut. Katakanlah, di mana dia dan di mana pula lima orang perwira yang lain, yang dahulu ikut bersama suamimu membasmi keluarga kita?”
Pucat wajah Sie Leng. Ia merasa takut kalau-kalau adiknya itu akan mengamuk. Apa dayanya seorang yang buntung? Kalau adiknya tertangkap dan dihukum mati, ahhh... ia merasa ngeri dan otomatis ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Enci, dengarlah!” Han Han berkata tak sabar. “Aku sudah melupakan perbuatan suamimu terhadap engkau, aku sudah mengampunkan dia. Akan tetapi aku minta ganti! Enam orang perwira yang lain harus dapat kuketahui tempat tinggalnya, dan engkau harus memberi tahu aku. Harus, kau dengar? Kalau engkau tidak mau memberitahukan di mana adanya enam orang perwira terkutuk itu, demi Tuhan, terpaksa aku akan mencari dan membunuh suamimu!”
“Tidak...! Jangan...!” Sie Leng berteriak, menjerit kecil dan anaknya terbangun. Bocah itu bangkit duduk dan melihat Han Han ia terbelalak memandang.
“Eh, Ibu? Siapakah dia ini? Apa dia mengganggu Ibu? Awas, siapa yang mengganggu Ibu, akan kubunuh!” Kwi Hong yang masih kecil itu sudah berdiri dan mengepal tinjunya. Han Han memandang dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Lihat, Enci. Puterimu lebih berbakti dari padamu!”
Encinya memangku Kwi Hong, menciumnya dan berbisik, “Husshhhh, dia ini Pamanmu, tidak akan mengganggu Ibu. Tidurlah, Nak...!” Setelah ditepuk-tepuk pahanya, anak yang masih mengantuk itu tertidur kembali dan dibaringkan oleh ibunya.
“Han Han, jangan kira bahwa aku tidak punya semangat. Aku tidak berdaya, akan tetapi kutanamkan sejak kecil di dalam hati Kwi Hong bahwa dia harus menjadi anak yang berbakti, yang akan membela ayah bundanya dengan taruhan nyawa, tidak seperti aku...!” Ia menangis pula.
“Syukurlah kalau begitu. Sekarang katakan, di mana adanya enam orang perwira musuh kita itu?”
“Han Han, apa dayamu menghadapi mereka? Apa lagi kakimu sudah buntung...”
“Jangan khawatir, setelah kakiku buntung, aku malah lebih banyak harapan untuk membalas dendam. Di mana mereka?”
Setelah menarik napas panjang berulang kali, Sie Leng lalu berkata, “Giam Kok Ma berada di kota raja. Gedungnya tidak jauh dari sini, di sebelah utara, gedung besar yang ada arca singa batu di depannya...” Ia berhenti sebentar. “Akan tetapi, engkau tidak akan menemukan dia di gedungnya, dia pun bersama cihu... eh, dengan suamiku, telah berangkat sebulan yang lalu ke Se-cuan. Dia dan suamiku adalah perwira-perwira pasukan tempur yang kini berangkat untuk menggempur Se-cuan.”
Hati Han Han kecewa sekali akan tetapi ia percaya akan keterangan enci-nya.
“Dan siapakah perwira-perwira yang lain, yang lima orang itu? Di mana mereka?”
“Ohhh... Han Han, mengapa engkau berkeras hendak membalas dendam? Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan besar, banyak pengawalnya dan... dan engkau sudah... sudah buntung begini...”
“Sudahlah, Cici. Lekas katakan. Di mana mereka yang lima orang itu!”
“Ahhh, aku tidak tahu... aku hanya berhasil tahu dari suamiku bahwa seorang di antara mereka itu adalah Su-ciangkun yang kini memimpin pasukan melakukan pembersihan terhadap para pemberontak, entah di mana. Han Han, sungguh... biar pun aku tidak pernah mempunyai harapan untuk menuntut balas kehancuran keluarga kita, namun dengan susah payah aku dahulu selalu membujuk suamiku agar menerangkan nama mereka itu, dan agar suamiku suka membalaskan dendamku. Akan tetapi dia selalu mencelaku dan mengatakan bahwa peristiwa itu sudah jamak terjadi di dalam perang. Maka aku hanya berhasil mengenal Giam Kok Ma dan Su-ciangkun yang tak kuketahui nama lengkapnya itu, orangnya tinggi besar, jalannya agak pincang. ada pun empat orang lainnya aku sungguh tidak tahu.”
Han Han mengerutkan alis. Benar-benar amat sukar membalas dendam keluarganya, pikirnya murung. Yang seorang adalah suami enci-nya sendiri. Yang ke dua sedang pergi ke Se-cuan, yang ke tiga bernama Su-ciangkun tidak diketahui ke mana perginya. Bahkan empat orang yang lain tidak dikenal, tidak diketahui namanya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa sekali bertemu dengan mereka, dia tentu akan mengenal mereka, musuh besarnya itu!
Tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menangkap dulu seorang di antara mereka dan memaksanya mengaku dan menunjukkan siapa adanya teman-temannya yang dahulu melakukan pembasmian terhadap keluarganya. Kalau dia tidak berhasil menangkap seorang di antara mereka, apa boleh buat, ia akan menangkap dan memaksa Giam Cu, kakak iparnya sendiri dan memaksa keterangan tentang enam orang musuh besarnya dari mulut suami enci-nya itu.
“Leng-cici, jagalah dirimu dan anakmu baik-baik. Aku pergi...”
“Han Han...!” Sie Leng mengeluh perlahan, akan tetapi ia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu adik kandungnya yang buntung itu telah lenyap dari kamar itu.
Sie Leng lari ke jendela, melongok keluar, akan tetapi sunyi saja di luar jendela dan tidak ada suara sedikit pun. Mimpikah dia? Atau benarkah Han Han tadi yang datang? Adiknya yang sudah buntung kakinya? Adik kandungnya yang demikian sengsara dan berkeras hendak menuntut balas atas kehancuran keluarga mereka? Sie Leng merintih dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, merangkul Kwi Hong dan menangis terisak-isak.
Han Han keluar dari gedung enci-nya dan cepat berkelebat keluar melalui atap-atap rumah di kota raja, menuju ke luar kota raja. Di atas atap rumah yang tinggi ia berhenti sebentar, termenung dan bingung. Rumah-rumah di kota raja demikian indah-indah dan tinggi, namun dalam waktu tengah malam itu amat sunyi seolah-olah kosong. Ke mana ia harus pergi? Dia tidak berhasil menemukan musuh-musuhnya, juga tidak mendengar tentang Lulu, hanya tahu bahwa Lulu telah pergi dari istana seperti yang diceritakan enci-nya. Ke manakah adiknya pergi?
Kalau saja Han Han tahu bahwa pada saat itu, Lulu sedang tidur nyenyak di sebuah kamar di istana bersama Puteri Nirahai! Ternyata kehadiran Lulu di istana dirahasiakan benar oleh Nirahai sehingga Nyonya Giam Cu atau Sie Leng itu sendiri tidak mengetahuinya.
Setelah menghela napas berulang kali, Han Han melanjutkan perjalanannya, dengan ilmu kepandaiannya yang hebat ia berhasil keluar dari kota raja melalui temboknya yang tinggi itu tanpa terlihat oleh para penjaga. Setelah tiba di luar kota raja sebelah barat, ia berlari terus dan akhirnya ia mengaso di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang berada di pinggir jalan dekat hutan yang sunyi. Saking lelah dan kecewa hatinya, sebentar saja Han Han tidur nyenyak.
Menjelang pagi, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda yang membuatnya terbangun. Derap kaki kuda yang datang dari arah kota raja ini berhenti di depan kuil dan terdengar suara dua orang bicara.
“Kenapa berhenti di sini?”
“Aku lelah sekali, kita mengaso sebentar. Celaka, malam tadi semalaman aku tak dapat tidur dan kalau tidak mengaso dan tidur sebentar di sini, aku akan mati kelelahan...”
“Ha-ha-ha, agaknya engkau tidak tidur semalam suntuk di rumah selirmu!”
“Tidak salah. Karena menerima tugas berat, aku berpamit dan dia... ha-ha, dia minta ditemani semalam suntuk. Mana aku tega meninggalkannya?”
“Ha-ha-ha, engkau terlalu. Menghadapi tugas berat masih sempat bersenang-senang. Baiklah, Loheng, akan tetapi jangan terlalu lama berhenti di sini. Kalau kita diketahui, leher kita akan putus!”
Agaknya mereka mengikat kendali kuda di depan. Tak lama kemudian Han Han yang sudah meloncat ke atas dan bersembunyi mendengar suara kaki kuda orang itu memasuki kuil. Cuaca masih gelap sekali, akan tetapi dua orang itu tidak peduli, terus saja masuk dan duduk di ruangan dalam yang merupakan satu-satunya ruangan yang terlindung dari angin dan debu. Seorang di antara mereka terus saja merebahkan diri dan tidur mendengkur, sedangkan yang seorang lagi duduk bersandar dinding.
Kira-kira dua jam kemudian, orang yang duduk itu mengguncang-guncang tubuh temannya. “Loheng, bangunlah. Matahari telah naik tinggi! Ingat, tugas kita amat penting dan kalau kita ketahuan berhenti terlalu lama, benar-benar kita akan dihukum berat!”
Temannya bangun, menguap dan menggosok-gosok kedua matanya yang merah. “Aaaaahhh... sedang enak-enak mimpi dengan dia kau bangunkan, Sam-te!”
“Wah, engkau benar tidak ada puas-puasnya! Sudah bersenang-senang semalam suntuk masih dilanjutkan dengan mimpi lagi! Hayo!”
Mereka berdua segera keluar dari kuil tua, melepaskan kendali kuda, meloncat dan membedal kuda mereka ke selatan. Han Han yang menjadi tertarik melihat bahwa mereka adalah dua orang yang berpakaian pengawal istana, diam-diam membayangi mereka. Dia tidak tahu mengapa ia membayangi mereka, dan apa perlunya. Akan tetapi karena dia sendiri pun bingung ke mana harus mencari musuh-musuhnya dan adiknya, maka ia membayangi dua orang pengawal itu untuk melihat apakah tugas mereka yang begitu penting dan ke mana mereka hendak pergi. Ternyata kemudian olehnya bahwa dua orang pengawal itu membalapkan kuda melalui sepanjang Terusan Besar yang menghubungkan kota raja dengan kota Thian-cin, kemudian terus ke selatan.
Di kota Thian-cin, dua orang pengawal itu hanya berganti kuda, setelah makan mereka melanjutkan perjalanan ke selatan. Han Han yang tidak mempunyai pegangan terus membayangi mereka tanpa kesulitan. Biar pun kakinya buntung sebelah, namun amat mudah bagi pemuda sakti ini kalau hanya membayangi larinya kuda.
Hujan lebat membuat dua orang itu terpaksa menghentikan perjalanan mereka di sebuah hutan. Sebuah pondok butut yang dibangun secara darurat oleh kaum pemburu kini mereka pakai untuk berlindung dari air hujan yang turun seperti dituangkan dari langit. Sambil berlindung mereka bercakap-cakap.
“Eh, Loheng, yakin benarkah kau bahwa Su-ciangkun bermarkas di tepi Huang-ho, di pinggir terusan?”
“Tidak salah lagi. Keterangan yang kudapat di Thian-cin meyakinkan. Memang tadinya Su-ciangkun melakukan operasi di perbatasan Propinsi Shan-tung selatan, akan tetapi kini mulai kembali ke utara dan melakukan pembersihan di sepanjang terusan yang sering mengalami gangguan para pemberontak.”
“Heran benar itu pemberontak, mengapa tiada habis-habisnya? Mereka berpusat di Se-cuan dan Se-cuan sendiri selalu dikurung dan digempur pasukan-pasukan kita. Kenapa masih ada di daerah ini? Sungguh memusingkan!”
“Mereka itu tentulah dikemudikan dari Se-cuan, mereka bertugas sebagai mata-mata dan juga untuk melakukan kekacauan. Kalau Se-cuan sudah dihancurkan, tentu yang bergerak di luar Se-cuan otomatis akan berhenti. Dan aku yakin, kalau Puteri Nirahai sendiri yang turun tangan memimpin pasukan menyerbu Se-cuan, menaklukkan daerah pemberontak itu akan sama mudahnya dengan makan bakpauw!”
“Wah, kau terlalu, Loheng! Sudah terkenal sekali betapa Bu Sam Kwi mempunyai banyak tokoh pandai sehingga beberapa kali pasukan-pasukan pilihan kita mengalami kegagalan dan jatuh banyak korban. Masa kalau Sang Puteri yang memimpin lalu begitu gampang seperti makan bakpauw?”
“Sam-te, kau tidak tahu. Puteri Nirahai amatlah sakti. Selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga cerdik sekali. Tentu dia melakukan siasat, entah siasat apa pula maka beliau secara rahasia mengutus kita menyerahkan sepucuk surat kepada Su-ciangkun. Hemmm, aku mau membayar dengan tiga bulan gajiku kalau diperbolehkan membaca isi surat ini!” Orang yang dipanggil Loheng itu, yang bertubuh tinggi kurus dengan mata lebar, menepuk-nepuk saku bajunya.
“Ihhh, hati-hati, Loheng,” kata kawannya yang lebih muda dan berhidung bengkok. “Siapa tahu di sini terdapat mata-mata pemberontak!”
“Ah, andai kata ada, berani apa terhadap kita? Dia tidak tahu kita membawa surat yang penting. Kedua kalinya, dengan golokku ini sepuluh orang pemberontak akan termakan olehku. Belum engkau yang tentu akan mampu makan sepuluh orang lagi.”
“Betapa pun juga, kita harus hati-hati dan hatiku takkan lega sebelum berjumpa dengan Su-ciangkun dan menyerahkan surat itu kepadanya!” kata yang muda. “Hujan sudah mereda, hayo kita berangkat lagi, Loheng.”
Akan tetapi alangkah kaget hati kedua orang prajurit pengawal itu ketika mereka melihat seorang pemuda buntung berdiri di antara kuda mereka. Hanya sebentar mereka kaget karena mereka memandang rendah ketika melihat kaki buntung itu dan menganggap Han Han seorang pengemis.
“Heh, kau mau apa di sini?” bentak Si Tinggi Kurus.
“Bukankah kalian hendak menghadap Su-ciangkun? Aku adalah kepercayaan Su-ciangkun yang ditugaskan menyambut kalian. Bukankah kalian membawa sebuah surat dari Puteri Nirahai untuk beliau? Nah, aku yang disuruh menjemput dan menerima surat itu, karena tempat beliau tidak boleh diketahui orang!”
Dua orang itu terbelalak dan memandang tidak percaya. “Ah, apa tandanya bahwa engkau orang kepercayaan Su-ciangkun?”
Han Han tersenyum, diam-diam merasa geli karena ia sengaja memancing. “Bukankah Su-ciangkun itu orangnya kecil pendek?”
Dua orang itu kembali saling pandang, kemudian Si Tinggi Kurus membentak, “Dia tinggi besar seperti raksasa! Engkau palsu!” Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan membacok.
Akan tetapi ujung tongkat Han Han dua kali meluncur dan Si Tinggi Kurus berdiri kaku dengan golok diangkat ke atas sedangkan temannya juga berdiri kaku karena totokan ujung tongkat Han Han. Pemuda itu memang telah amat tertarik mendengar percakapan dua orang utusan Puteri Nirahai itu, apa lagi ketika mendengar disebutnya nama Su-ciangkun.
Maka ia sengaja menghadang dan sengaja memancing sehingga ia akhirnya mendapat kepastian ketika Si Tinggi Kurus menyatakan bahwa Su-ciangkun tinggi besar seperti raksasa. Tidak salah lagi, itulah orangnya yang dicari-cari. Seorang di antara tujuh orang perwira yang membasmi keluarganya! Cepat ia merenggut ke dalam saku baju Si Tinggi Besar yang memandang dengan mata melotot, mengeluarkan surat dari kota raja dan membaca tulisan pada sampulnya. Di atas ditulis dengan huruf-huruf kecil: Perintah Rahasia. Dan di depan sampul itu tercantum nama si penerima: Su Long Tek ciangkun.
Dengan sikap tenang tapi gembira Han Han membuka sampul surat itu, mengeluarkan suratnya dan membaca isinya. Ia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa surat dari Puteri Nirahai itu memerintahkan kepada Su-ciangkun untuk mengerahkan pasukan dan menyerbu tempat persembunyian kepala pemberontak Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang bersarang di lembah Sungai Huang-ho, yaitu di seberang kota Cin-an. Demikian jelas surat perintah itu, bahkan diberi gambar pula yang menunjukkan di mana adanya sarang Lauw-pangcu!
Diam-diam Han Han amat kagum akan ketegasan dan ketelitian surat itu. Lauw-pangcu hendak diserbu! Terbayang ia akan wajah kakek yang budiman itu, kakek yang pertama kali mengambilnya sebagai murid. Dan otomatis terbayang pula wajah Lauw Sin Lian, gadis yang dahulu merupakan seorang kawan bermain yang gembira dan lincah, akan tetapi yang pada pertemuan terakhir ini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi dan yang marah-marah kepadanya.
Girang hati Han Han. Ada kesempatan baik baginya. Pertama untuk membalas dendam kepada Perwira Su Long Tek yang ia duga tentulah seorang di antara tujuh perwira pembasmi keluarganya, kedua ia akan dapat menyelamatkan Lauw-pangcu untuk membalas budinya, dan ketiga ia akan dapat menjelaskan persoalan yang dahulu, kesalah pahaman yang terjadi antara dia dan Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang diatur oleh Puteri Nirahai yang amat cerdik.
Han Han sudah mengangkat tongkatnya untuk membunuh dua orang itu. Dia harus membunuh mereka ini kalau hendak melakukan siasatnya, akan tetapi dia menahan tangannya, tidak membunuh mereka melainkan membebaskan totokan mereka. Tak mungkin ia dapat membunuh dua orang lawan yang tak berdaya. Begitu terbebas dari totokan, dua orang pengawal yang melihat betapa surat perintah rahasia itu dirampas segera berteriak marah dan golok mereka berkelebat menerjang Han Han.
Pemuda ini menjadi girang. Kalau sekarang ia melawan dan membunuh kedua lawan ini, hatinya tidak akan menyesal kelak, tidak seperti kalau dia membunuh mereka dengan darah dingin selagi mereka tak mampu bergerak. Dia teringat akan sepak terjang para prajurit Mancu yang banyak menimbulkan kesengsaraan terhadap rakyat yang tidak berdosa.
Begitu melihat golok kedua orang itu menyambar ganas, ia meloncat ke belakang. Tongkatnya bergerak menangkis, menempel kedua golok dan sekali ia menyontekkan tongkatnya, kedua buah golok itu membalik dan membacok kepada pemiliknya sendiri. Terdengar jerit dua kali dan dua orang pengawal itu roboh dengan golok masing-masing menancap dada menembus punggung. Karena tangan mereka masih menggenggam gagang golok, tampaknya mereka itu mati karena membunuh diri!
Sejenak Han Han memandang dan menghela napas. Itulah resiko orang-orang yang menjadi utusan rahasia. Andai kata mereka tidak tewas sekarang, kalau kemudian diketahui bahwa surat perintah rahasia itu hilang, tentu mereka berdua akan dihukum mati juga.
Han Han lalu berkelebat pergi, melanjutkan perjalanan ke selatan sambil membawa surat perintah itu yang dikantonginya. Memang dua orang pengawal itu mempunyai kuda yang baik, akan tetapi bagi Han Han jauh lebih leluasa berjalan dengan kaki buntungnya dari pada menunggang kuda.
Dia mengambil keputusan untuk mencari dulu tempat persembunyian Lauw-pangcu di lembah Huang-ho seperti tersebut dalam surat perintah rahasia itu, maka dengan amat cepat Han Han melanjutkan perjalanan menuju ke kota Cin-an. Menurut surat itu, sarang dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang berada di lembah Huang-ho, di seberang kota Cin-an.
Ketika Han Han tiba di lembah Huang-ho dan berjalan menyusuri sungai besar itu di pantai utara, masuk keluar hutan seorang diri sambil menduga-duga di mana kiranya tempat yang dijadikan markas itu, tiba-tiba ia melihat beberapa orang menuju ke sebuah hutan yang besar dan penuh dengan gunung-gunung karang kecil. Melihat cara mereka berjalan cepat, pakaian mereka, dan keadaan mereka, ada yang menunggang kuda, dan sebagian besar berjalan kaki, Han Han dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang kang-ouw. Tempat yang begini liar dan sunyi, bukan tempat bagi kaum pelancong.
Diam-diam ia membayangi beberapa orang yang bicara sambil bercakap-cakap. Karena gerakan Han Han amat luar biasa, dia dapat membayangi mereka tanpa ada yang melihat dan hatinya girang bukan main ketika mendengar percakapan di antara mereka bahwa mereka itu adalah tamu-tamu yang datang berkunjung untuk memberi selamat kepada Lauw-pangcu yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh!
Tak lama kemudian Han Han yang mengikuti orang-orang itu tiba di tengah hutan lebat. Diam-diam ia kagum menyaksikan penjagaan-penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang berpakaian pengemis, yang boleh dikata menjaga setiap sudut hutan. Untung bahwa dia datang pada saat lembah Huang-ho itu dikunjungi banyak tamu sehingga kedatangannya itu tidak dicurigai.
Memang nama besar Lauw-pangcu terkenal sampai di mana-mana, terutama sekali di antara para tokoh kang-ouw yang menentang penjajahan bangsa Mancu. Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini selain terkenal sebagai seorang ketua berpengaruh dari perkumpulan pengemis itu, sebagai seorang pendekar budiman, juga akhir-akhir ini namanya menjulang tinggi sebagai seorang patriot yang menentang kaum penjajah dengan mengorbankan banyak sekali anggota Pek-lian Kai-pang.
Ketika mereka semua itu tiba di markas kaum Pek-lian Kai-pang, Han Han menjadi kagum dan juga terharu. Ia kagum menyaksikan kehadiran tamu para tokoh kang-ouw yang ratusan orang jumlahnya, tidak kurang dari dua ratus orang. Dan ia terharu ketika melihat Lauw-pangcu yang sudah amat tua itu menerima para tamu di tempat terbuka dalam hutan, hanya duduk di atas rumput saja! Keadaan kakek yang berpakaian butut itu amatlah miskinnya. Di situ pun hanya terdapat beberapa buah gubuk kecil sederhana. Namun wajah kakek tua ini tampak berseri gembira menyambut para tamu yang terpaksa juga duduk di atas rumput. Ada yang duduk di akar pohon, ada pula yang berjongkok, tidak kurang pula yang berdiri saja. Sungguh sebuah pertemuan yang amat sederhana dan kalau pertemuan ini diadakan untuk merayakan hari ulang tahun, sungguh merupakan sebuah perayaan yang luar biasa sederhananya!
Amatlah mengharukan menyaksikan betapa kakek itu bangkit dan berkali-kali menyambut para tamu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, menghaturkan terima kasih dan minta maaf bahwa dia tidak dapat menyambut para tamu sebagaimana mestinya, bahkan bangku pun tidak ada!
Akan tetapi lebih mengharukan lagi adanya barang-barang sumbangan yang ditumpuk begitu saja di atas rumput, padahal di antara barang-barang itu terdapat benda-benda yang amat berharga dan mahal harganya. Juga Han Han mengenal Lauw Sin Lian yang cantik jelita dan gagah perkasa, berdiri di samping ayahnya ikut menyambut dan memberi hormat kepada para tamu. Biar pun pakaian Sin Lian juga sederhana, akan tetapi cukup bersih dan tidak penuh tambalan seperti pakaian ayahnya. Pakaian gadis ini ringkas dan ketat, membayangkan tubuh yang ramping padat sehingga para tamu pria yang muda-muda memandangnya penuh kagum.
“Terima kasih... terima kasih, cu-wi sekalian. Cu-wi yang sudi datang dan masih mengingat akan ulang tahun seorang kakek seperti saya, sungguh budi cu-wi sekalian itu bertumpuk setinggi gunung, lebih tinggi dari pada tumpukan barang sumbangan yang saya terima. Cu-wi sekalian, barang-barang sumbangan cu-wi ini tidak akan sia-sia, bukan untuk saya pribadi melainkan akan saya kirimkan ke Se-cuan sebagai penambah biaya perlawanan menentang pemerintah penjajah! Saya sudah tua, dan sejak dahulu seorang pengemis seperti saya tidak membutuhkan apa-apa, yang saya butuhkan hanyalah kebebasan tanah air dari cengkeraman penjajah.”
“Hidup Lauw-pangcu yang gagah perkasa!”
Teriakan-teriakan ini menggegap-gempita dan banyak di antara para tamu merogoh saku dan menguras isi saku untuk ditumpukkan pula di tumpukan barang sumbangan setelah mereka mendengar bahwa semua sumbangan akan dikirim ke Se-cuan untuk biaya perlawanan terhadap penjajah. Melihat ini Lauw-pangcu memandang terharu sampai basah kedua matanya.
Han Han juga terharu. Ketika ia memandang, di antara para tamu terdapat seorang yang mukanya bopeng, penuh bekas cacar burik-burik. Jantungnya berdebar. Ia pernah melihat orang ini. Tak mudah melupakan muka bopeng seperti itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana. Selagi ia mengingat-ingat, Si Muka Bopeng yang membawa pedang di punggungnya itu tiba-tiba melompat ke tengah lapangan, berhadapan dengan Lauw-pangcu, mengangkat tangan kanan ke atas dan berteriak.
“Saudara-saudara seperjuangan, kalian telah tersesat jauh!”
Mendengar seruan yang nyaring sekali ini, semua orang tertegun dan tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua mata ditujukan kepada Si Muka Bopeng ini. Juga Lauw-pangcu dan Lauw Sin Lian memandang. Dengan sikap tenang dan sabar, berbeda dengan sikap Sin Lian yang marah, Lauw-pangcu menjura kepada orang itu dan berkata.
“Mohon maaf jika saya tidak mengenal sicu, akan tetapi saya tidak meragukan bahwa sicu tentulah seorang saudara sepaham dan seperjuangan yang menentang penjajah, maka sicu sudi datang di tempat kami ini. Akan tetapi, apakah maksud sicu dengan ucapan tadi?”
“Kita semua adalah kaum pejuang yang gagah perkasa, yang siap mengorbankan apa pun juga demi nusa bangsa, dan akan berjuang terus sampai penjajah dipukul hancur! Bagaimana mungkin kita harus bekerja sama dengan Bu Sam Kwi, seorang pengkhianat bangsa?”
Ucapan itu hebat sekali. Pada waktu itu, satu-satunya kekuasaan yang mati-matian menentang pemerintah Mancu adalah Bu Sam Kwi yang mempertahankan daerah Se-cuan secara mati-matian dan gagah berani, menimbulkan rasa simpati dan kagum di hati semua pejuang. Sekarang, Si Muka Bopeng ini memakinya sebagai pengkhianat bangsa, hati siapa tidak akan kaget?
“Aihhhhh, apa yang kau ucapkan ini, sicu? Bu-ongya adalah seorang raja muda yang merupakan satu-satunya pemimpin kita menentang Mancu! Dan Se-cuan adalah satu-satunya tempat yang dapat menampung kekuatan pejuang.”
“Heh-heh-heh, sungguh picik sekali pendapatmu, Lauw-pangcu! Apa yang dikatakan Ouw Kian itu tepat sekali!” Suara ini amat nyaring dan berwibawa.
Tiba-tiba, setelah ada angin besar menyambar, di tengah lapangan itu muncul seorang kakek yang mukanya seperti muka kuda! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lauw-pangcu dan Sin Lian ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo!
Lauw-pangcu pernah melihat tokoh ini satu kali sedangkan Sin Lian sudah sering kali mendengar nama besar datuk kaum sesat ini yang menjadi majikan atau kepala dari In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san dan kini dapat menduganya. Tentu saja Han Han segera mengenal Iblis Muka Kuda ini dan sekarang teringatlah ia akan Si Muka Bopeng yang bernama Ouw Kian itu, seorang di antara pembantu Ma-bin Lo-mo ketika ia bersama Lulu ditawan di atas perahu dahulu itu.
Beberapa orang di antara para tamu juga mengenal kakek ini karena biar pun kakek ini termasuk tokoh kaum sesat, namun harus diakui bahwa kakek ini selalu menentang bangsa Mancu sehingga dianggap sebagai teman seperjuangan.
“Kiranya Siangkoan Lee locianpwe yang berkenan datang berkunjung! Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi kami dan merupakan kebahagiaan besar bahwa kini sekeluarga pejuang dapat bertemu dan berkumpul di sini.” Mendengar ucapan Lauw-pangcu ini, yang menjura dengan penuh kehormatan kepada kakek muka kuda, semua tamu menjadi terkejut sekali, terutama sekali mereka yang baru tahu bahwa kakek bermuka lucu ini adalah tokoh hitam yang sudah amat terkenal itu.
“Memang aku sengaja datang untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor. Perjuangan kita tidak boleh diselewengkan, dan pendapatmu tadi benar-benar merupakan penyelewengan besar, Lauw-pangcu. Kuulangi lagi bahwa pendapat Ouw Kian tadi tepat sekali. Merupakan penyelewengan besar kalau kita membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi yang seharusnya malah kita musuhi! Lauw-pangcu, apakah engkau pura-pura lupa bahwa Bu Sam Kwi merupakan seorang di antara pemberontak-pemberontak dan pengkhianat besar yang menjadi sebab utama jatuhnya Kerajaan Beng? Apakah engkau lupa akan riwayat hitam yang menyelimuti diri Bu Sam Kwi?”
Wajah Lauw-pangcu berubah merah. Dia maklum bahwa yang kini menyerangnya dengan kata-kata adalah seorang di antara datuk-datuk hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan maklum pula bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang penentang penjajah yang gigih. Akan tetapi, ia pun mengenal siapa kakek ini, dan ia cukup mengenal pula siapa Bu Sam Kwi. Maka dengan suara tenang ia menjawab.
“Tentu saja saya tahu, locianpwe. Bu-ongya, yaitu Bu Sam Kwi yang kini merupakan satu-satunya kekuasaan yang masih sanggup bertahan terhadap penjajah dahulu ialah seorang panglima bala tentara Beng yang bertugas menjaga dan mempertahankan tapal batas utara. Jasanya untuk Kerajaan Beng sudah amat besar, jauh lebih besar dari pada jasa para menteri dan pembesar di kota raja yang hanya membesarkan kesenangan diri sendiri.”
“Akan tetapi apa kau pura-pura menutupi pengkhianatannya? Jauh sebelum bangsa Mancu datang, dia telah memberontak! Bu Sam Kwi telah memberontak terhadap Kerajaan Beng dan bergerak dari utara bersama dengan pemberontak Lie Cu Seng yang mengangkat diri sendiri menjadi raja di Shan-si, dan pemberontak Thio Han Tiong yang bersarang di barat. Apakah engkau hendak menyangkal sejarah?”
“Maaf, locianpwe. Saya mengerti akan semua itu, akan tetapi saya pun mengerti mengapa mereka itu memberontak. Pada masa itu, pemerintahan Kerajaan Beng amat buruk dan lemah karena kaisar dan para menterinya mengubur diri dalam kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsu duniawi, tidak mempedulikan keadaan rakyat yang hidup sengsara, dari luar ditindas para perampok dan bajak-bajak, dari dalam ditindas oleh para pembesar yang lalim. Kerajaan Beng makin suram dan bobrok, bagaikan sebuah bangunan yang makin lama makin lemah dan rusak karena digerogoti tikus-tikus dan rayap dari dalam! Sebagai orang-orang gagah yang mengingat akan nasib rakyat jelata, mereka bangkit menentang kaisar, akan tetapi malah dimusuhi dan terpaksa mereka memberontak terhadap pemerintah yang bobrok!”
“Huh! Omongan orang yang berjiwa pemberontak! Betapa pun juga alasannya, Bu Sam Kwi sudah terang seorang pemberontak, seorang panglima yang tidak setia kepada rajanya. Dan orang macam itu sekarang hendak kalian bantu? Penyelewengan besar! Tidak ingatkah engkau bahwa selain dia itu pemberontak, dia juga seorang pengkhianat bangsa? Lupakah engkau bahwa Bu Sam Kwi si pengkhianat itulah yang bersekutu dengan bangsa Mancu? Bu Sam Kwi bersekutu dengan Pangeran Dorgan yang waktu itu memimpin barisan Mancu, kemudian bersama-sama menyerang ke selatan, menduduki kota raja yang telah dirampas pemberontak Lie Cu Seng!”
“Maaf, locianpwe. Saya kira hal itu terpaksa dilakukan untuk menundukkan Lie Cu Seng. Hal itu termasuk siasat perang...”
“Ha-ha-ha-ha! Siasat kotor, dan siasat goblok yang sama sekali tidak berhasil! Setelah bersekutu, dia berani memasukkan serigala ke dalam kandang! Kemudian dia sendiri dimusuhi oleh bangsa Mancu dan dikejar-kejar sampai lari terbirit-birit ke barat! Ha-ha-ha, dan orang macam itukah yang hendak kalian bantu?”
“Habis, kalau menurut pendapat locianpwe, bagaimana baiknya?” Lauw-pangcu yang terpaksa mengalah karena terdesak lalu bertanya.
“Kita berjuang sendiri! Kita menghancurkan penjajah Mancu, kalau sudah berhasil, kita membasmi pemberontak-pemberontak macam Bu Sam Kwi. Kita harus menegakkan kembali Kerajaan Beng yang tercinta!”
“Hemmm... kaisar terakhir Kerajaan Beng telah membunuh diri, dan saya tidak melihat adanya keturunan kaisar yang lolos dari maut ketika bangsa Mancu menduduki istana.”
“Masih banyak tokoh-tokoh Beng yang hidup di saat ini! Termasuk aku! Apa sukarnya kelak menentukan pilihan baru untuk kaisar Kerajaan Beng?”
Lauw-pangcu tidak dapat menjawab lagi. Keadaan menjadi sunyi, suasana menjadi tegang. Semua orang menjadi bingung setelah mendengar perdebatan kecil itu, karena sebagian besar dari mereka berjuang mati-matian hanya karena tidak suka melihat tanah air dijajah bangsa asing. Ada pun mengenai urusan Kerajaan Beng yang sudah runtuh, mengenai urusan pemberontakan-pemberontakan yang lalu, mereka sama sekali tidak tahu dan tidak pula memperhatikan.
Mereka berjuang dengan dasar mengusir penjajah dari tanah air. Kini muncul urusan berbelit-belit mengenai negara, mereka tidak mengerti dan menjadi bingung. Apa lagi karena yang berdebat ini adalah Lauw-pangcu yang selama dalam perjuangan ini merupakan pemimpin pejuang yang gigih dan pandai, berhadapan dengan seorang tokoh besar pula, bukan hanya tokoh perjuangan yang selalu melakukan perlawanan terhadap penjajah secara menyendiri sehingga nama pejuang-pejuang In-kok-san amat terkenal, akan tetapi juga tersohor sebagai seorang tokoh kang-ouw yang dianggap manusia iblis!
Melihat ayahnya tak dapat menjawab, agaknya terdesak oleh alasan-alasan yang dikemukakan Iblis Muka Kuda itu, Sin Lian cepat melangkah maju, berkata dengan suara tenang namun nyaring berwibawa kepada kakek itu.
“Siangkoan Locianpwe, sudah lama saya mendengar nama besar locianpwe yang terkenal sebagai Ma-bin Lo-mo. Kalau ada perbedaan pendapat antara locianpwe dengan kami, itu tidak perlu dipersoalkan. Kami adalah golongan pejuang yang tidak mempunyai pamrih untuk diri pribadi, keinginan kami satu-satunya hanyalah untuk menentang kaum penjajah. Soal siapa yang kelak akan memimpin rakyat setelah penjajah berhasil diusir dari tanah air, itu soal nanti, terserah kepada kaum cerdik pandai yang ahli mengenai hal itu. Sudah jelas bahwa Se-cuan merupakan satu-satunya daerah yang menjadi pusat kegiatan menentang penjajah, maka ke sanalah kita menoleh untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kalau locianpwe suka bekerja sama dengan kami, syukurlah. Kalau tidak pun tidak mengapa. Kita mengambil jalan sendiri dan cara sendiri untuk menghancurkan penjajah!”
Semua tamu mengangguk-angguk mendengar ucapan tegas dari Sin Lian ini. Ma-bin Lo-mo memandang tajam dan mengerutkan keningnya.
“Nona muda, engkau siapakah?”
“Dia adalah Lauw Sin Lian, puteriku,” kata Lauw-pangcu.
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk, akan tetapi matanya tidak pernah melepaskan wajah gadis itu. Kemudian ia berkata, “Di antara orang-orang yang menjunjung kegagahan, segala pertentangan paham dan perbedaan pikiran hanya dapat diselesaikan melalui pertandingan kekuatan. Siapa kuat dia menang dan benar!”
Lauw-pangcu dan Sin Lian hendak membantah pendapat yang memuja hukum rimba seperti kebiasaan watak kaum sesat itu, akan tetapi sambil tertawa Ouw Kian si Muka Bopeng sudah meloncat maju menghadapi Sin Lian dan berkata.
“Ha-ha-ha, memang harusnya begitu! Dan... eh, Lauw-pangcu, maafkan pertanyaanku. Apakah puterimu ini sudah bertunangan?”
Lauw-pangcu sendiri adalah seorang tokoh kang-ouw yang tidak begitu peduli akan segala sopan santun kosong, maka pertanyaan ini diterima sewajarnya olehnya, tidak dianggap kurang ajar. “Belum, Ouw-sicu.”
“Bagus! Kalau begitu, kebetulan selagi Lauw-pangcu mengadakan perayaan ulang tahun, mengapa tidak sekalian mencarikan jodoh untuk puterimu? Kulihat puterimu sudah lebih dari cukup dewasa. Bagaimana kalau sekarang ditentukan bahwa siapa yang dapat menandinginya berhak meminangnya? Heh-heh, aku pun belum menikah, eh... maksudku sudah duda dan sedang mencari jodoh...”
“Mulut busuk!” Sin Lian membentak marah sekali.
Tadinya, gadis yang sudah menerima gemblengan Siauw-lim Chit-kiam ini, yang sudah matang pengalamannya dan luas pandangannya, mengambil sikap tidak memusuhi Ma-bin Lo-mo yang betapa pun juga adalah seorang kawakan. Tetapi kini melihat sikap Ouw Kian, sebagai seorang wanita muda yang masih panas darahnya, ia menjadi marah sekali dan telunjuknya menuding ke arah hidung yang kulitnya kasar itu.
“Apakah engkau tidak pernah melihat bayangan mukamu yang buruk dan lebih menjijikkan dari pada muka tikus selokan itu? Cih, tak bermalu! Kalau engkau hendak mencoba kepandaian untuk mempertahankan pendirian masing-masing, majulah dan jangan terlalu lebar membuka mulut yang berbau busuk!”
Sin Lian memang pada dasarnya galak dan pandai sekali bicara, maka sekali terbangkitkan kemarahannya, ucapannya amat pedas menusuk jantung, membuat Si Muka Bopeng sebentar merah sebentar pucat. Ia pun marah sekali, apa lagi melihat betapa para tamu banyak yang menahan tawa dengan menyembunyikan mulut di balik lengan baju.
“Bocah sombong! Kau mau mengenal kelihaian tuanmu?” Ia membentak.
“Majulah dan cabut pedangmu!”
Sin Lian sudah melolos pedangnya karena gadis ini tidak sudi beradu lengan dengan Si Muka Bopeng. Kalau ia melayani orang itu bertanding tangan kosong, mau tidak mau ia harus membiarkan lengannya beradu dengan lengan lawan. Ia pun dapat menduga bahwa sebagai kaki tangan Ma-bin Lo-mo, ilmu silat Si Muka Bopeng ini tentulah lihai.
Diam-diam Ouw Kian menjadi girang. Memang dia sendiri adalah seorang jago pedang yang menganggap bahwa ilmu pedangnya adalah yang paling tinggi di dunia. Entah sudah berapa ratus kepala orang terpenggal oleh pedangnya itu selama ia merantau sebagai perampok tunggal, sebelum akhirnya ia ditundukkan Ma-bin Lo-mo dan menjadi pembantu Iblis Muka Kuda.
Cepat ia menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh juga, tubuh tegak kaki kanan diangkat menempel lutut kiri, tangan kiri menjulang ke atas dengan telunjuk menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang di pinggangnya. Aksinya memang hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala sehingga mukanya yang memang tak dapat dikatakan tampan itu menjadi makin buruk.
"Lihatlah kiam-sut ku yang tiada tandingan!" Ouw Kian membentak lalu pedangnya berkelebatan menyilaukan mata. Dia sudah bersilat pedang, tidak langsung menyerang karena pada pendapatnya, kalau melihat ilmu pedangnya, gadis puteri ketua Pek-lian Kai-pang itu tentu akan menguncup hatinya dan akan menyerah tanpa bertanding lagi.
"Hemmm...!" Sin Lian mendengus sebal dan membentak, "Sambutlah!"
Pedangnya sudah menusuk dengan kecepatan kilat. Dara ini adalah murid dari Siauw-lim Chit-kiam, tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkenal sebagai ahli pedang kenamaan dan Sin Lian sudah mewarisi Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam (Ilmu Pedang Sakti Tujuh Bintang)...