CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
PENDEKAR SUPER SAKTI
BAGIAN 16
Han Han menghela napas. "Sin Kiat, kalau engkau tahu bahwa dia sudah ditunangkan dengan laki-laki lain, mengapa engkau tidak menegurnya?"
"Sudah kutegur, akan tetapi akhirnya aku harus membela dia. Dia ditunangkan dengan Tan-siucai atas kehendak Suhu, bahkan ia belum pernah bertemu dengan tunangannya itu. Kalau dia bertemu denganmu dan jatuh cinta, salahkah itu? Karena itu, aku mewakili mendiang sumoi-ku untuk bertanya terus terang kepadamu, Han Han. Adakah engkau mencinta sumoi?”
Han Han menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. “Manusia cacat macam aku ini bagaimana berani menjatuhkan kasih sayang kepada seorang wanita, Sin Kiat? Tidak, semenjak kakiku buntung, aku tidak lagi berani membiarkan hatiku menjatuhkan cinta kepada seorang wanita karena aku maklum bahwa tidak ada seorang pun wanita di dunia ini dapat hidup bahagia di samping seorang suami cacat memalukan seperti aku. Tidak, aku tidak berani dan tidak dapat mencinta seorang gadis murni cantik dan perkasa seperti sumoi-mu itu...”
Sin Kiat menarik napas panjang. Di dalam hatinya pemuda ini dapat mengerti akan sikap rendah hati Han Han ini, sikap yang mungkin timbul karena peristiwa yang menyedihkan di samping buntungnya kaki pemuda ini. Ia pun tidak mau menyinggung-nyinggung lagi akan hal itu, namun diam-diam timbul rasa khawatir di hatinya, karena sebagai seorang pemuda yang berpandangan tajam Sin Kiat dapat menduga bahwa Sin Lian pun seperti adiknya, jatuh cinta kepada pemuda kaki buntung yang mengagumkan ini.
******************
Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu adalah seorang kaisar yang benar-benar pandai sekali, bukan hanya di bidang kemiliteran akan tetapi juga di bidang pekerjaan sipil seperti pembangunan dan lain-lain. Kaisar yang amat pandai dan amat lama memegang kendali pemerintahan Kerajaan Mancu ini (tahun 1663-1722) telah berhasil dengan baik menarik bangsa pribumi yang tadinya menentang penjajahan menjadi tenaga-tenaga yang amat penting dan berguna demi memajukan negara di bawah pemerintahannya.
Untuk mencapai hasil baik, Kaisar Kang Hsi memajukan kebudayaan pribumi, bahkan mengundang bangsa pribumi yang terkenal sebagai kaum cendekiawan, kaum cerdik pandai, untuk menduduki jabatan-jahatan penting dalam pemerintah. Tentu saja kaum sastrawan dan kaum persilatan menyambut undangan ini dengan gembira sehingga banyaklah sastrawan-sastrawan dan ahli-ahli silat muda mengalir ke kota raja. Mereka diterima oleh kaisar dan diberi jabatan-jabatan yang penting.
Juga dalam urusan membersihkan negara dari pada para pemberontak, kaisar yang pandai ini berhasil baik sekali. Dengan bantuan tokoh-tokoh kang-ouw yang kena terbujuk, pula karena memang bala tentara Mancu merupakan bala tentara yang kuat, tahan uji, dan berdisiplin, maka gerombolan-gerombolan bersenjata yang menentang Kerajaan Ceng satu demi satu dapat dihancurkan.
Sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa di antara gerombolan-gerombolan pejuang yang menentang penjajah Mancu demi perasaan patriotik, terdapat banyak pula gerombolan yang sebenarnya adalah penjahat-penjahat dan perampok yang menggunakan dalih ‘perjuangan’ untuk dapat memeras dan merampok rakyat jelata. Dengan dalih perjuangan, mereka yang mengotorkan dan mencemarkan perjuangan itu mengancam rakyat yang dipaksa membantu perjuangan mereka dengan menyerahkan harta benda untuk biaya perjuangan!
Sebetulnya, kenyataan itulah yang merupakan sebuah di antara kelemahan perjuangan kaum patriot di masa itu. Karena nama perjuangan dibikin cemar, maka ketika tentara Mancu datang dan menyapu para perampok yang berkedok pejuang itu, rakyat menyambut dengan gembira, menganggap bahwa pemerintah yang baru berhasil membebaskan rakyat dari pada pemerasan dan penindasan pejuang-pejuang yang kini disamakan dengan perampok jahat itu! Hal ini adalah satu di antara sebab-sebab mengapa penduduk pribumi dapat cepat melenyapkan perasaan kebencianhya terhadap bangsa Mancu yang menjajah.
Selain itu juga Kaisar Kang Hsi dengan taktiknya yang tepat dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan tradisi-tradisi lama di Tiongkok. Para pembesar Mancu diharuskan belajar bahasa dan sastra Tiongkok dan bahkan diharuskan bicara dalam bahasa pribumi, bukan dalam pertemuan-pertemuan resmi saja, bahkan di antara keluarga para pembesar Mancu pun mereka menggunakan bahasa pribumi. Hal ini adalah karena Kaisar Kang Hsi yang bijaksana itu maklum bahwa sekali bangsanya sudah menjadi ‘bangsa asli’, maka dalam abad-abad selanjutnya tidak akan ada lagi ‘pribumi’ yang menganggap bahwa pemerintah Kerajan Ceng adalah kerajaan asing!
Biar pun hampir seluruh daerah Tiongkok telah dikuasai, dan semua pemberontak di perbatasan-perbatasan telah dapat dihancurkan, namun hanya Se-cuan yang masih tetap bertahan. Hal ini adalah karena pemerintah Ceng yang cerdik memang sengaja membiarkan daerah ini agar menjadi pusat pelarian bagi para pemberontak. Agar dengan adanya wadah ini, para pemberontak yang sudah kehilangan kesatuannya akan melarikan diri ke Se-cuan dan kelak akan mudah untuk menyerbu satu tempat saja dari pada kalau harus mengejar pemberontak-pemberontak yang tersebar di mana-mana. Selain sukar juga membutuhkan benyak tenaga dan biaya.
Karena sengaja didiamkan, dan hanya sekali-kali diadakan pengepungan dan serangan kecil, maka terjadilah semacam perang dingin dan tapal batas. Se-cuan merupakan daerah gawat. Pedagang-pedagang petualang yang berani hilir-mudik melewati perbatasan yang gawat ini tentu akan memperoleh keuntungan yang besar sekali, akan tetapi tentu saja dengan resiko perutnya ditembus tombak, baik oleh tentara di pihak Se-cuan mau pun tentara Mancu, karena dicurigai sebagai mata-mata musuh.
Dan biar pun belum diadakan penyerbuan besar-besaran, namun telah terjadi ketegangan karena di pihak orang-orang gagah di dunia kang-ouw terpecah dua, ada yang pro Se-cuan, ada pula yang pro Kerajaan Ceng. Bentrokan-bentrokan kecil terjadi di mana-mana dan tentu saja mata-mata kedua pihak pun disebar dengan leluasa karena di pihak pemerintah Mancu pun memiliki banyak kaki tangan orang kang-ouw yang terdiri dari orang pribumi.
Han Han dan Sin Kiat yang melakukan perjalanan ke barat, di sepanjang jalan mereka menyelidiki tentang Lulu. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk. Bahkan banyak kaum pejuang yang hilir-mudik ke Se-cuan, yang mengenal Sin Kiat, juga tidak ada yang pernah melihat Lulu. Hati mereka kecewa sekali, terutama Han Han yang menjadi makin gelisah. Masih hidupkah adiknya itu? Kalau hidup, di mana dan mengapa tidak ada jejaknya?
Pada suatu pagi, kedua orang muda ini memasuki kota Tiang-koan-bun yang letaknya dekat dengan perbatasan Se-cuan. Di bagian ini telah ada pelarangan membawa senjata yang dilaksanakan dengan keras oleh para penjaga, berbeda dengan pedalaman yang biar pun ada pula pelarangan umum itu, namun pelaksanaannya tidaklah begitu ketat. Karena maklum akan hal ini dan tidak ingin mencari perkara di daerah gawat, Sin Kiat menyembunyikan pedangnya di balik baju dan ia berpakaian sebagai seorang penduduk biasa. Han Han masih berpakaian seperti biasa, sederhana dan berwarna putih, tangan kirinya memegang sebatang tongkat kayu yang dibuatnya begitu saja dari sebuah ranting pohon.
“Malam nanti kita menyelundup lewat perbatasan, masuk daerah Se-cuan,” kata Sin Kiat perlahan ketika mereka tiba di sudut kota.
Han Han berhenti melangkah dan pandang matanya termenung, keningnya berkerut. Ia menoleh ke kanan kiri seperti orang mencari-cari, dan memang ia selalu tak pernah berhenti mencari-cari dengan pandang matanya, seolah-olah setiap saat ia mengharapkan akan melihat berkelebatnya bayangan Lulu.
“Sin Kiat, agaknya yang kau pentingkan hanya perjuangan saja,” kata Han Han lirih.
Sin Kiat memandang heran. “Habis, bagaimana kalau tidak begitu, Han Han? Dalam masa seperti ini, siapa tidak mementingkan perjuangan?”
Terdengar derap kaki kuda dan seorang penunggang kuda lewat di jalan itu. Han Han tidak mempedulikan, bahkan menengok pun tidak. Tanpa memandang Sin Kiat dia berkata, “Bagiku, yang terpenting adalah mencari Lulu sampai dapat ditemukan!”
Sin Kiat juga mengerutkan keningnya. “Hemmm, Han Han, mengapa kau menekankan hal itu? Apakah kau kira aku pun tidak gelisah memikirkan Nona Lulu? Kiranya tidak perlu kujelaskan lagi bahwa engkau tentu paham akan isi hatiku terhadap adikmu! Aku pun ingin sekali bertemu dengan dia, ingin melihat dia selamat. Akan tetapi, kita memiliki tujuan dalam perjalanan ini, yaitu ke Se-cuan! Tentang adikmu yang kau tahu amat kucinta... hmmm... bukankah kita sudah selalu menyelidiki tentang dia? Bukankah aku pun selama ini mengerahkan seluruh tenaga untuk mencari dia? Siapa tahu, dia berada di Se-cuan.”
Han Han menarik napas panjang dan kini ia menoleh memandang wajah Sin Kiat yang tampan itu. Tentu saja dia tahu bahwa pemuda perkasa ini, pemuda yang gagah dan berwatak pendekar, jatuh cinta kepada Lulu. Dan diam-diam ia pun akan merasa setuju sekali kalau adiknya mendapatkan jodoh seperti Sin Kiat. Akan tetapi itu adalah perkara nanti. Yang perlu mencari Lulu sampai dapat! Apa perlunya memikirkan perjodohan Lulu kalau gadis itu sendiri masih belum dapat ditemukan, belum diketahui masih hidup atau sudah mati?
“Begini sajalah. Engkau pergilah dulu ke sana, aku akan mencarinya di sekeliling perbatasan ini. Selain itu, dulu sudah kukatakan bahwa aku mempunyai urusan pribadi yang harus kuselesalkan sebelum aku menyusulmu ke Se-cuan. Kita berpisah di sini saja, Sin Kiat.”
Selama dalam perjalanan, Sin Kiat sudah mengenal Han Han lebih baik lagi dan ia mengerti bahwa pemuda berkaki buntung itu sedang menderita tekanan batin hebat sekali sehingga apa yang keluar dari mulutnya selalu merupakan keputusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ia maklum bahwa akan percuma saja dia membantah, maka katanya.
“Baiklah, Han Han. Kalau engkau menghendaki demikian, biar aku yang masuk ke sana lebih dulu dan akan kucari Nona Lulu di sana. Kalau berhasil, aku akan kembali ke sini dan biarlah tempat ini menjadi tempat pertemuan kita. Selain itu, harap kau suka melihat-lihat kalau-kalau Nona Lauw Sin Lian tiba di sini. Kalau Nona Lulu tidak ada di Se-cuan, barangkali dia akan datang bersama Nona Lauw.”
Han Han mengangguk dan mereka lalu berpisah. Baru saja beberapa langkah Sin Kiat sudah membalikkan tubuhnya. “Han Han, ada urusan apakah sebetulnya? Apakah aku tidak bisa membantumu sebelum kita berpisah?”
Han Han hanya menggeleng kepala. “Urusan ini adalah urusan pribadiku. Berangkatlah, Sin Kiat dan sampai jumpa. Percayalah, kalau memang aku memerlukan bantuanmu, tentu aku akan minta bantuan. Sekarang ini, bantuanmu satu-satunya yang kuperlukan hanya mencari Lulu sampai dapat.”
Sin Kiat menghela napas. “Kau tentu tahu bahwa aku siap mengorbankan apa saja untuk adikmu. Sampai jumpa!” Sin Kiat lalu pergi meninggalkan Han Han yang masih berdiri termenung-menung di tempat itu.
Aku harus mencari Lulu dan juga mencari musuh-musuhku, pikirnya. Dan menurut enci-nya tidak hanya cihu-nya berada di perbatasan Se-cuan, namun juga musuh besarnya nomor satu, Giam Kok Ma, dan mungkin juga empat perwira lainnya. Ia merasa menyesal kalau teringat betapa dia tidak berhasil membunuh Su-ciangkun karena pada waktu itu ada Ma-bin Lo-mo dan dia sedang menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara sehingga Su-ciangkun mendapat banyak kesempatan untuk melarikan diri.
Sekali ini aku tidak boleh gagal, pikirnya. Kembali terdengar derap kaki kuda, kini ada banyak kuda yang datang ke kota itu. Ketika Han Han menengok, ia melihat pasukan yang terdiri dari belasan orang penunggang kuda berhenti di tempat ramai dan kepala regu berkuda itu membacakan pengumuman dengan suara lantang dari atas kudanya yang menggerak-gerakkan kepala. Han Han mendengarkan.
Kiranya pasukan itu adalah pasukan yang bertugas mengumumkan bahwa berhubung dengan ulang tahun ke sepuluh dari kaisar, yaitu sepuluh tahun semenjak kaisar memegang kendali kerajaan, maka di seluruh negara diadakan pesta perayaan yang dibiayai oleh pemerintah dan rakyat akan dihibur dengan tontonan-tontonan gratis, bahkan di beberapa tempat akan disediakan arak dan roti kering yang boleh dimakan dan diminum di tempat itu secara gratis pula. Pesta akan dimulai malam nanti sampai tiga hari tiga malam lamanya.
“Terutama di daerah ini, akan diadakan pesta besar-besaran, rakyat diberi kesempatan bersuka ria!” Demikian kepala regu itu menutup pengumumannya dengan suara lantang.
Penduduk kota itu menjadi girang dan bersorak-sorak. Diam-diam Han Han memuji kecerdikan pemerintah. Justru di perbatasan ini pemerintah agaknya akan membuktikan perbedaan yang menyolok antara kehidupan rakyat di daerah pemerintah dan di seberang lewat perbatasan, daerah pemberontak. Di samping merayakan ulang tahun kedudukan kaisar, juga pesta itu dapat dipergunakan untuk mempengaruhi penduduk di daerah pemberontak agar mereka melihat bahwa peri-kehidupan rakyat di daerah pemerintah lebih makmur! Waktu itu permulaan tahun 1673 dan memang sudah sepuluh tahun Kaisar Kang Hsi menduduki singgasana pemerintah Ceng.
Han Han berjalan-jalan di kota sambil menyelidiki adiknya, juga mencari keterangan tentang perwira-perwira Mancu yang bertugas di perbatasan. Dia melihat persiapan-persiapan yang dibuat untuk pesta malam nanti. Panggung-panggung dibuka, panggung wayang dan lain-lain, suasana mulai ramai dan meriah karena rakyat juga menghias rumah-rumah mereka dengan bunga-bunga kertas yang dibagi-bagikan oleh petugas pemerintah setempat.
Tadinya Han Han hendak mencari tempat penginapan yang tidak usah bayar, seperti di kelenteng atau kalau perlu di bawah jembatan. Akan tetapi ketika ia merogoh saku bajunya, ia mendapatkan uang di situ dan ketika dilihatnya, ternyata ada beberapa potong uang perak dan dua potong uang emas!
Han Han menghela napas dan maklum bahwa tentulah Sin Kiat yang menaruhkan uang di sakunya di luar tahunya, mungkin malam tadi ketika mereka tidur di hutan di luar kota. Dan ia maklum mengapa Sin Kiat melakukan hal itu. Pertama, karena Sin Kiat maklum bahwa dia memang tidak beruang sama sekali, kedua karena kalau Sin Kiat memberi secara terang-terangan, tentu dia akan menolaknya!
Karena mempunyai uang, Han Han tidak jadi mengisi perut dengan roti kering dan arak gratis, juga tidak mencari penginapan gratis, melainkan menyewa sebuah kamar sederhana di sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota. Setelah mandi dan bertukar pakaian bersih, sore hari itu ia keluar dari kamar, terpincang-pincang pada tongkatnya, hendak menonton keramaian dengan harapan mungkin Lulu akan datang pula. Adiknya itu paling suka menonton pertunjukan, maka seandainya Lulu berada di tempat yang berdekatan, tentu adiknya itu akan datang ke kota Tiang-koan-bun ini untuk nonton wayang!
Akan tetapi sama sekali bukan Lulu yang dilihatnya di antara ribuan orang yang tak dikenalnya yang memenuhi kota di malam hari itu, melainkan seorang pria muda yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya akan dia jumpai lagi, Gu Lai Kwan! Atau suheng-nya, murid Toat-beng Ciu-sian-li, pemuda In-kok-san yang lihai, yang dulu diperintah oleh Toat-beng Ciu-sian-li untuk membunuhnya! Golok pemuda inilah yang telah membacok putus kakinya!
Han Han terkejut sekali dan cepat menyelinap di antara orang banyak. Dia tidak membenci Gu Lai Kwan yang dahulu di waktu kecilnya adalah temannya main-main, juga teman berlatih. Biar pun senjata pemuda ini yang membuntungi kakinya, akan tetapi pemuda itu hanyalah mentaati perintah Toat-beng Ciu-sian-li, karena murid yang tidak taat akan menerima hukuman lebih berat lagi. Lai Kwan adalah seorang di antara mereka berempat yang diambil murid oteh Toat-beng Ciu-sian-li. Lai Kwan, dia sendiri, Kim Cu dan Phoa Ciok Lin yang bermata tajam dan berwajah serius itu!
Melupakan semua persoalan yang pernah timbul di antara mereka, Han Han yang tadinya girang melihat Lai Kwan dan hendak menegur, tiba-tiba teringat bahwa Ma-bin Lo-mo kini telah bersekongkol dengan pemerintah Mancu. Kalau Ma-bin Lo-mo telah menjadi kaki tangan Mancu, sangat boleh jadi Toat-beng Ciu-sian-li juga menjadi kaki tangan Mancu dan tentu murid-muridnya sama saja.
Mengingat akan hal ini, ia membatalkan niatnya menegur bekas suheng ini dan Han Han malah membayanginya dengan diam-diam. Ia melihat Lai Kwan dengan senyum-senyum di wajahnya yang tampan itu berjalan-jalan dan menonton pertunjukan wayang sebentar, kemudian pemuda In-kok-san itu lalu berjalan lagi memasuki sebuah rumah penginapan besar. Pengurus rumah penginapan itu menyambut dengan membungkuk-bungkuk penuh hormat. Han Han yang menyelinap di sudut hotel itu bersembunyi di balik dinding, mendengar suara Lai Kwan bertanya dengan suara angkuh.
“Ouwyang-kongcu sudah datang?”
“Oh, sudah, sudah, Gu-taihiap. Malah semua orang sudah berkumpul, tinggal menanti taihiap dan beberapa orang tamu agung lagi,” pengurus hotel itu berkata hormat.
Han Han mengangguk-angguk. Tak salah dugaannya. Bila Lai Kwan telah berhubungan dengan Ouwyang-kongcu yang ia duga tentulah bukan lain Ouwyang Seng adanya, jelas bahwa pemuda ini pun mengikuti jejak Ma-bin Lo-mo dan bersekongkol dengan pemerintah Mancu. Hemmm, dahulu Ouwyang Seng pernah menculik Lulu dan biar pun tidak mengganggu Lulu, namun dapat diharapkan bahwa pemuda putera pangeran itu kini mengetahui di mana adanya Lulu. Sungguh pertemuan yang tak pernah disangka-sangkanya!
Hatinya girang sekali dan timbul harapan baru. Dengan cepat tanpa diketahui siapa pun, Han Han menyelinap ke belakang, menggunakan kepandaiannya bagaikan seekor burung tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ia maklum bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka ia bersikap hati-hati, dan selain mempergunakan ginkang-nya sehingga kakinya tidak menimbulkan suara dan tongkatnya tidak pernah menyentuh genteng, ia juga selalu bersembunyi di dalam bayangan yang gelap sampai ia berhasil mengintai dari atas ruangan yang dimasuki Lai Kwan.
Ruangan itu merupakan ruangan paling belakang di hotel itu dan dari atas Han Han dapat melihat bahwa hotel itu ternyata tidak dimasuki tamu lain kecuali rombongan orang-orang penting. Agaknya hotel ini telah diborong. Buktinya Li Kwan memasuki hotel itu tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya dan agaknya semua kamar di hotel itu hanya ditempati oleh orang-orang mereka sendiri. Ketika Han Han melihat mereka yang duduk memenuhi ruangan itu, sejumlah belasan orang, ia makin kaget mengenal tokoh-tokoh yang ia jumpai dahulu ketika ia terjebak oleh Giam Kok Ma di kota raja.
Ia mengenal Ouwyang Seng, Kang-thouw-kwi Gak Liat, cihu-nya sendiri Giam Cu, musuh besarnya, Giam Kok Ma, kemudian tokoh-tokoh aneh seperti Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang kepalanya seperti burung berondol bulunya itu, kakak beradik Tikus Kuburan Bhong Lok dan Bhong Poa Sik, juga tiga orang murid Setan Botak, yaitu Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio! Masih ada beberapa orang perwira dan tokoh-tokoh aneh yang tak dikenalnya, akan tetapi semua ini sudah cukup bagi Han Han bahwa di situ diadakan rapat yang amat penting oleh perwira-perwira Mancu dan tokoh-tokoh lihai dunia kang-ouw yang menjadi kaki tangan pemerintah Mancu.
Dia akan mendengarkan dulu apa yang hendak mereka bicarakan, siapa tahu kalau-kalau mereka akan menyinggung-nyinggung nama Lulu. Andai kata tidak, masih belum terlambat bagi dirinya untuk mencari kesempatan menangkap Ouwyang Seng dan memaksa pemuda bangsawan itu bicara tentang Lulu. Kalau dia turun tangan, ia masih merasa sangsi apakah ia akan mampu menghadapi sekian banyaknya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Ketika Lai Kwan muncul, sebagian dari mereka berdiri dan menyambut dengan hormat, terutama para perwira. Hanya Gak Liat dan tiga orang muridnya yang tidak berdiri, bahkan Gak Liat lalu menegur.
“Gu-sicu, mana gurumu dan Si Kuda Iblis?”
Gu Lai Kwan menjura ke arah Gak Liat yang dianggapnya orang yang lebih tinggi kedudukannya, lalu menjawab sambil duduk di atas kursi yang masih banyak yang kosong.
“Siankouw... eh, maksudku Subo (Ibu Guru) tidak dapat hadir sendiri dan mewakilkan kepada saya, juga Siangkoan Suhu tidak dapat datang, akan tetapi dalam waktu tiga hari Suhu dan Subo akan datang ke Tiang-koan-bun.”
Gak Liat mengangguk-angguk. Tak lama kemudian masuklah tiga orang perwira Mancu dan agaknya para anggota rapat sudah terkumpul semua, buktinya Giam Cu, kakak iparnya bangkit berdiri dan menjura kepada semua orang sambil berkata.
“Cu-wi sekalian tentu sudah maklum mengapa saat ini kita berkumpul semua di kota ini. Bertepatan dengan ulang tahun ke sepuluh dari Hong-siang (Kaisar) yang bijaksana dan yang dalam sepuluh tahun telah mendatangkan kemajuan pesat di negara kita, maka kita dihadapkan pada pemberontak yang kini telah berkumpul semua di Se-cuan. Menurut perintah dari Hong-siang sendiri, dalam tahun ini juga kita diharuskan menyerbu dan menghancurkan pusat pemberontak itu dan untuk tugas ini telah diserahkan kepada yang mulia Puteri Nirahai yang akan memimpin sendiri penyerbuan ke Se-cuan. Kita semua sudah mengetahui akan kecerdikan dan keahlian Sang Puteri, maka kini beliau telah mengutus Gak-locianpwe yang mewakili beliau untuk memimpin penyerbuan ke Se-cuan. Maka kami serahkan kepada Gak-locianpwe yang akan mengemukakan pendapat dan rencananya.” Giam Cu lalu duduk kembali dan menoleh kepada Gak Liat, dan semua orang pun kini memandang kepada Si Setan Botak itu.
Kang-thouw-kwi Gak Liat menggaruk-garuk botaknya, lalu berkata tanpa berdiri.
“Sesungguhnya, dalam soal ketentaraan saya tidak memiliki pengertian apa-apa dan untuk pelaksanaan penyerbuan, tentu saja saya mengharapkan petunjuk-petunjuk para perwira tinggi yang sudah berpengalaman dalam soal perang. Akan tetapi, untuk menghadapi para tokoh pemberontak yang kabarnya memiliki banyak orang pandai, saya dan teman-teman siap untuk turun tangan. Ada pun Sang Puteri yang menyuruh saya mewakili beliau hanya mengatakan bahwa penyerbuan harus dilakukan dengan rahasia sehingga pihak musuh tidak sedang berjaga, dan di dalam suasana pesta ini kiranya mereka tidak akan menyangka akan datangnya penyerbuan. Maka telah diputuskan oleh Sang Puteri untuk melakukan penyerbuan pertama pada bulan depan hari ke tujuh.”
Han Han kaget mendengar ini. Ah, kiranya tentara Mancu tak lama lagi akan melakukan penyerbuan besar-besaran, menggunakan kesempatan selagi pihak Se-cuan tidak menduga-duga karena dalam suasana pesta itu agaknya tidak mungkin tentara Mancu akan melakukan penyerangan. Dan agaknya Kaisar Mancu hendak mempergunakan penyerbuan Se-cuan ini sebagai hadiah ulang tahunnya!
Han Han tidak begitu peduli akan perang, namun mengingat akan keganasan tentara Mancu, ia dapat membayangkan betapa akan sengsaranya rakyat yang tinggal di daerah Se-cuan. Ia merasa telah menjadi kewajibannya untuk memberi tahu ke Se-cuan agar di sana orang dapat berjaga-jaga. Apa lagi kalau diingat bahwa banyak sahabat baiknya berada di sana, bahkan Sin Lian sendiri pun tak lama lagi tentu akan masuk ke Se-cuan bersama teman-temannya.
Akan tetapi, tidak mungkin ia meninggalkan Giam Kok Ma begitu saja. Musuh besar yang paling dibencinya itu, Si Muka Kuning yang dahulu memperkosa ibunya telah berada di situ. Bagaimana ia dapat melewatkan kesempatan baik ini begitu saja? Dia harus turun tangan melakukan pembalasan terhadap perwira keji ini, baru ia akan memaksa Ouwyang Seng bicara tentang Lulu. Setelah itu, barulah ia akan pergi ke Se-cuan untuk menyampaikan berita penyerbuan itu kepada Wan Sin Kiat!
Dengan sabar ia mendengarkan semua percakapan mereka dan mengingat-ingat nama tempat-tempat yang akan dijadikan dasar tempat penyerangan mereka, tempat-tempat di pihak musuh yang akan diserbu dan lain-lain. Tentu saja Han Han tidak dapat ingat semua, akan tetapi setelah mengingat beberapa nama tempat yang penting, ia merasa sudah cukup.
Ketika pembicaraan yang penting dihentikan dan pertemuan diubah menjadi pesta di mana mereka silih berganti mengangkat cawan arak dan minum untuk memberi selamat kepada kaisar, makan minum sambil tertawa-tawa, Han Han lalu melesat meninggalkan tempat pengintaiannya, turun di belakang hotel lalu berjalan perlahan keluar dari jalan samping ke jalan besar.
Ia menyelinap di antara para penonton dan menonton pertunjukan silat dan barongsai yang dimainkan di panggung dekat hotel. Dari tempat ia menonton, di antara ratusan orang penonton, ia dapat melihat ke arah hotel untuk memata-matai orang yang keluar dari tempat itu.
Betapa mengkal hati Han Han ketika ia menanti hampir tengah malam, belum ada juga yang keluar dari hotel, apa lagi Giam Kok Ma yang ia tunggu-tunggu munculnya. Ia mulai tidak sabar dan sudah melangkahkan kaki untuk turun tangan di hotel itu saja, tidak peduli di situ banyak terdapat orang pandai! Untuk membalas dendamnya, ia tidak takut mengorbankan nyawanya. Kalau tadi ia bersikap hati-hati, bukan karena takut ia akan celaka. Akan tetapi takut kalau gagal. Ia tidak rela mati sebelum ia mampu membalas dendam ibunya! Akan tetapi ternyata sampai sekarang perwira muka kuning yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul.
Selagi bergerak terpincang-pincang tiga langkah, tiba-tiba ia berhenti dan matanya memandang ke depan hotel. Sebuah kereta datang dari luar memasuki halaman hotel itu, kereta yang dikusiri oleh seorang berpakaian pengawal, dan di belakang kereta berdiri pula dua orang pengawal memegang tombak! Cepat Han Han menyelinap dan mengintai agak dekat pekarangan hotel. Jantungnya berdebar dan diam-diam ia mengharap mudah-mudahan jerih payahnya bersabar sejak tadi tidak akan sia-sia belaka.
Wajah Han Han berseri ketika tak lama kemudian ia melihat orang yang dinanti-nanti muncul dari dalam hotel itu. Giam Kok Ma! Pemuda ini menggeget gigi ketika melihat wajah perwira muka kuning yang amat dibencinya itu. Dan di samping orang ini berjalan cihu-nya (iparnya), Giam Cu, Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Agaknya musuh besarnya itu akan duduk sekereta dengan tiga orang ini. Dugaannya benar, sambil tertawa bebas tanda pengaruh arak, mereka berempat memasuki kereta dan kusir lalu memecut empat ekor kuda besar yang bergerak menarik kereta keluar dari pekarangan hotel.
Tanpa diketahui oleh siapa pun, Han Han menggunakan kepandaiannya membayangi kereta itu. Di ujung kota sebelah barat, kereta berhenti dan Han Han cepat mendekat sambil berjongkok di balik batu di pinggir jalan. Dia mendengar Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan tertawa-tawa dan dua orang muda itu keluar dari kereta. Kereta berjalan lagi keluar kota! Han Han girang bukan main. Kesempatan yang amat baik ini sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Akan tetapi di dalam kereta masih ada cihu-nya dan dia tidak mau membawa-bawa cihu-nya dalam urusan membalas dendam ini. Dia sudah berjanji kepada enci-nya untuk tidak mengganggu Giam Cu, dan kalau dia turun tangan di depan cihu-nya lalu Giam Cu membantu musuh, agaknya ia akan bisa lupa diri dan melanggar janji kepada enci-nya. Biarlah, dia akan tunggu sampai dua orang itu berpisah, baru ia akan turun tangan. Kalau Giam Kok Ma turun lebih dulu, ia akan menyergap pembesar ini di rumah tempat ia bermalam.
Kereta berhenti pula di depan kelompok rumah besar yang agaknya merupakan rumah-rumah penginapan perwira. Giam Cu keluar dari kereta sambil tertawa-tawa dan setelah perwira ini disambut oleh pengawal yang mengantarnya masuk ke dalam, kereta bergerak lagi!
“Thian menghendaki agar manusia terkutuk macam engkau menerima hukuman!” Han Han berbisik dalam hatinya.
Ketika kereta itu agak jauh meninggalkan rumah itu dan agaknya hendak menuju ke tempat penginapan Giam Kok Ma, Han Han meloncat ke atas. Sekali ia menggerakkan tangan, dua orang pengawal yang berdiri di belakang kereta telah tewas dalam keadaan berdiri dan tengkuk mereka patah. Han Han meloncat ke belakang kereta sambil melemparkan dua tubuh yang tak bernyawa lagi itu, kemudian ia meloncat lagi ke depan kereta.
Kusir kereta yang sedang mencambuki kuda agar berjalan lebih cepat karena ia pun ingin sekali mengaso, terbelalak kaget ketika melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada orang duduk di sampingnya. Namun ia tidak sempat berteriak, tubuhnya sudah terlempar jauh dalam keadaan tidak bernyawa tagi. Han Han menyambar kendali kuda dan menggerak-gerakkan cambuk yang mengeluarkan bunyi meledak-ledak. Empat ekor kuda itu membalap cepat.
“Heiiiii...! Mengapa terlalu cepat? Perlahan-lahan saja, kepalaku pening... ah! Heh, ke mana ini? Kenapa membelok ke kiri?”
Giam Kok Ma yang tadinya sudah setengah mabuk, tiba-tiba merasa tengkuknya menjadi dingin sekali ketika mendengar suara tertawa dari tempat kusir kereta. Suara ketawa itu aneh sekali, dan kusirnya tidak akan berani tertawa seperti itu kalau ia tegur.
“Heh, apa ini? Hayo berhenti...!” Giam Kok Ma memukul-mukul pintu kereta sambil berteriak-teriak marah. “Pengawal, suruh kusir berhenti dan beri sepuluh kali cambukan pada pantatnya!”
Akan tetapi tidak ada jawaban dari belakang. Giam Kok Ma cepat menyingkap tirai bagian belakang dan... betapa kagetnya ketika ia melihat tempat pengawal di belakangnya itu sudah kosong! Ia melongok keluar jendela, akan tetapi tidak dapat melihat wajah kusir karena gelap.
“Berhenti...!” Ia berseru lagi dan kini kusir menahan kuda, kereta pun berhenti.
Dengan kemarahan meluap-luap Giam Kok Ma yang juga memiliki ilmu silat lumayan, meloncat ke luar dari kereta sambil mencabut pedangnya, pedang kebesaran. Kalau perlu akan membunuh kusir yang lancang ini, dan ia bisa pulang dengan menunggang kuda! Ia terheran-heran dan menjadi ngeri melihat seorang yang buntung sebelah kakinya, yang turun dari tempat kusir, dengan sikap seenaknya dan tenang sekali mencabut lampu kereta dan berjalan menghampirinya, bukan berjalan melainkan meloncat dengan kecepatan luar biasa sekali.
Han Han memegang lampu kereta, mengangkat lampu tinggi-tinggi sehingga mereka berdua dapat saling memandang muka masing-masing. Han Han memandang wajah yang kekuningan itu penuh kebencian, sedangkan Giam Kok Ma agaknya tidak mengenal Han Han. Sungguh pun perwira ini merasa seperti pernah melihat wajah tampan yang bermata seperti sepasang api bernyala dengan rambut panjang terurai itu, namun ia tidak ingat pernah bertemu dengan seorang laki-laki buntung seperti ini.
“Siapa... siapa engkau...? Di mana kusirku? Mana pengawal-pengawalku?”
Han Han tersenyum, senyum yang tampak mengerikan dan menyeramkan bagi Giam-ciangkun. “Giam Kok Ma, tidak perlu mencari kusir dan pengawal-pengawalmu. Mereka telah kubunuh di tengah jalan tadi. Giam Kok Ma, apakah engkau lupa kepadaku?”
“Siapa... siapakah engkau...?” Suaranya meragu karena kini ia teringat akan suara ini, suara orang yang pernah membuat ia tidak enak makan tidak nyenyak tidur.
“Ingatlah baik-baik, pandang mukaku. Lupakah engkau akan peristiwa terkutuk yang kau lakukan di Kam-chi dekat Nan-king, di sebuah dusun kecil di mana engkau melakukan perbuatan terkutuk di rumah keluarga Sie Bun An?”
“Kau... kau...?”
“Benar! Kulihat engkau mulai teringat. Tentu engkau ingat akan anak laki-laki yang berteriak-teriak seperti gila ketika engkau memperkosa ibunya, kemudian engkau membunuh ibu anak itu, kawan-kawanmu membunuh seluruh keluarga anak itu, merampas barang-barangnya! Akulah anak itu! Akulah anak yang kau lemparkan ke dinding! Ingat?” Pandang mata Han Han seperti pandang mata beekor harimau marah.
Giam Kok Ma menggeleng-gelengkan kepalanya dan lalu berteriak, “Tidak... tidak...! Ah, tolooonggg...!”
Han Han tersenyum lebar. “Benar kata orang bahwa manusia yang berhati kejam sebenarnya adalah seorang pengecut besar! Giam Kok Ma, bersiaplah engkau untuk menebus dosamu, menerima hukumanmu atas perbuatanmu yang terkutuk terhadap Ibuku!”
Han Han melangkah maju karena perwira itu dengan muka sepucat mayat kini mundur-mundur, agaknya siap untuk melarikan diri. Namun kemudian perwira itu menguatkan hatinya. Orang ini kakinya buntung dan dia sendiri memegang pedang! Masa tidak akan dapat melawan seorang buntung?
“Mampuslah, buntung!”
Makian ini dikeluarkan oleh Giam Kok Ma untuk membesarkan hatinya dan menggugah keberaniannya. Pedangnya lalu berkelebat membacok ke arah muka yang mengerikan hatinya itu. Akan tetapi Han Han menggerakkan tangan dan Giam Kok Ma tidak tahu entah bagaimana, namun pedangnya sudah berpindah ke tangan kiri Han Han yang memegang tongkat!
Han Han tersenyum, senyum seorang yang dikuasai kemarahan dan kekejaman.
“Bagus, Giam Kok Ma, masih ada lagikah perlawananmu? Jikalau engkau melawan, sedikitnya engkau memperkecil sebutan pengecut!”
Kedua kaki perwira itu mulai menggigil, mukanya sudah tidak ada sinar merahnya lagi. Ia hendak lari, akan tetapi kedua kakinya tidak mempunyai kekuatan lagi dan dia menjadi nekat, tangannya dikepal dan dihantamkan ke dada Han Han.
“Bukkk! Augghhhh...!”
Perwira itu memegangi kepalan tangan kanannya yang terasa nyeri sekali, seolah-olah ia tidak memukul dada, melainkan memukul baja. Serasa remuk tulang-tulangnya! Saking takutnya tanpa ia sadari lagi celananya menjadi basah! Kiranya rasa ngeri dan takut membuat perwira yang biasanya galak ini menjadi terkencing-kencing! Tiba-tiba ia menggerakkan kakinya, membalikkan tubuhnya dan hendak lari. Akan tetapi ia terguling oleh sabetan tongkat pada kakinya. Han Han mengempit tongkatnya, mengangkat lampu kereta dan kini pedang rampasan di tangannya berkelebat.
“Brettt-brettt...!” Pakaian pembesar itu koyak-koyak dan ia telanjang bulat.
Pedang itu sudah merobek semua pakaiannya tanpa menggores sedikit pun kulitnya! Giam Kok Ma menggigil, bukan karena dingin setelah ia telanjang bulat, melainkan saking takutnya. Tanpa malu-malu lagi ia merangkak bangun dan berlutut, bersoja-kwi (menyembah-nyembah) sampai dahinya penuh debu tangan dan ia meratap.
“Taihiap... ampun... ampunkan hamba... ampuuunnnnn...!” Dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil!
Akan tetapi sepasang mata Han Han mengeluarkan sinar yang lebih ganas dan beringas dari pada tadi. Di bawah sinar lampu kereta ia melihat tubuh perwira yang telanjang bulat itu berlutut dan menyembah-nyembah, mengingatkan ia akan keadaan perwira itu belasan tahun yang lalu di kamar ibunya! Mengingatkan ia ketika perwira itu memperkosa ibunya! Ia seolah-olah dapat melihat ibunya di bawah tubuh perwira itu, ibunya yang meronta-ronta, menggeliat-geliat dan merintih-rintih!
“Bedebah! Keparat! Manusia berhati iblis! Manusia terkutuk! Terimalah hukumanmu!”
Giam Kok Ma mengangkat muka. Saat melihat wajah Han Han yang beringas di bawah sinar lampu kereta, semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya. “Aduhhh... ampunkan, taihiap... apa... apa yang akan taihiap lakukan...?”
“Apa yang akan kulakukan? Ha-ha, Giam Kok Ma, apa yang dulu kau lakukan kepada Ibuku? Jawablah... heh-heh, jawab!”
“Ampunnn...!”
“Giam Kok Ma, ingatkah engkau betapa tangan-tanganmu yang kotor itu menyentuh Ibuku, menelanjangi Ibuku? Hemmm, ingatlah peristiwa itu dan rasakan hukumanmu!”
Pedang itu berkelebat, Giam Kok Ma menjerit dan merintih-rintih sambil memegangi tangan kirinya yang tidak berjari lagi. Kelima jari tangan kirinya telah dibabat putus tanpa ia rasakan dan tahu-tahu ia hanya merasa perih dan jari-jari tangannya sudah lenyap!
“Ampun... aduh, ampun...!”
“Manusia terkutuk, ingatlah engkau akan ratap tangis Ibuku! Betapa engkau tertawa mengejek ketika memperkosanya dan dia menjerit-jerit, betapa engkau dan kawan-kawanmu tertawa ketika kau bunuh seluruh keluargaku! Betapa tanganmu yang menjijikkan mengotori Ibuku kemudian membunuhnya. Terimalah hukumanmu!”
Kembali tampak sinar pedang berkelebat menyambar dan kini kelima buah jari tangan Giam Kok Ma terbang lenyap, yaitu jari tangan kanan yang memegangi tangan kiri yang sudah tak berjari itu.
“Aduhhhh... mati aku... aduh, ampunnnn... taihiap...!”
“Mintalah ampun kepada Tuhan, atau mintalah ampun kepada iblis! Akan tetapi jelas aku tidak dapat mengampunimu!”
Pedang di tangan Han Han berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, disusul jerit-jerit mengerikan yang keluar dari mulut Giam Kok Ma! Darah muncrat-muncrat dan keadaan perwira yang bertelanjang bulat itu benar-benar amat mengerikan. Jari-jari tangannya putus semua, disusul jari-jari kakinya, kemudian alat kelaminnya dibabat pedang sehingga terputus. Darah muncrat-muncrat, Giam Kok Ma tidak dapat menjerit lagi, hanya berkelojotan dan mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih.
Han Han tertawa, suara ketawanya tidak lagi seperti manusia, sepertinya iblis telah menguasai dirinya dan suara itu adalah suara ketawa iblis sendiri yang menyoraki kemenangannya!
“Ha-ha-ha-ha! Rasakan engkau! Hendak kulihat apakah engkau ini akan mampu lagi memperkosa wanita! Ha-ha-ha!”
Sejenak Han Han seperti menikmati pemandangan yang disinari lampu kereta di tangannya itu. Tubuh telanjang bulat yang mandi darah, yang menggeliat-geliat dan berkelojotan, sepasang mata di muka calon mayat yang terbelalak penuh ketakutan, mulut yang menjadi menceng saking menahan rasa nyeri menusuk-nusuk. Kemudian Han Han tertawa lebih keras.
“Ha-ha-ha! Lihatlah Ibu! Lihatlah musuh besarmu!”
Pedangnya yang sudah merah itu bergerak dan kini menyayat-nyayat kulit tubuh telanjang itu. Tidak terlalu dalam, hanya menggurat-gurat kulit sehingga kulit di seluruh tubuh Giam Kok Ma pecah disayat-sayat, dan seluruh tubuh dari muka sampai ke kakinya menjadi merah oleh darahnya sendiri! Bukan main rasa nyeri diderita orang ini karena pedang itu tidak menggurat terlalu dalam sehingga dia tidak pingsan. Dalam keadaan sadar merasai siksaan seperti itu benar-benar amat mengerikan.
Sambil terus tertawa-tawa pedang Han Han berkelebat, terdengar jerit terakhir Giam Kok Ma ketika ujung pedang memasuki rongga perut, dari ulu hati terus merobek ke bawah, sehingga terbukalah perutnya, usus dan semua isi perut yang tidak tertutup lagi itu berhamburan keluar semua! Han Han masih belum puas, karena iblis kebencian dan dendam masih menguasai hatinya. Pedangnya menyambar-nyambar. Leher itu putus, disusul pinggang dan dalam sekejap mata saja tubuh Giam Kok Ma sudah putus menjadi beberapa potong!
Han Han berdiri terengah-engah, tak bergerak seperti patung, memandang daging-daging berdarah yang berceceran di depannya. Matanya terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan pedang bernoda darah di tangan kiri, lampu di tangan kanan. Tiba-tiba kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan aneh, matanya yang terbelalak dan yang tadi bersinar ganas dan liar, kini kehilangan sinar itu, terganti sinar penuh takut dan ngeri. Dengan tangan menggigil ia melempar pedang yang berlumuran darah itu ke atas tanah. Matanya tak pernah berkedip memandang daging berceceran itu, kini kedua pundaknya yang menggigil seolah-olah ia diserang demam.
“Tidak...! Tidak...!” Ia menggeleng-geleng kepalanya seolah-olah tidak percaya bahwa pemandangan mengerikan itu adalah akibat perbuatannya. Kemudian ia mengangkat kedua tangan menutupi muka, terus menggeleng-geleng kepala. Tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon muda terlanda angin besar.
“Tidak...! Tidak mungkin...!” Ia berteriak, kemudian menurunkan tangan dan memandang ke kanan kiri mencari-cari.
“Iblis...! Iblis menguasai aku! Iblis, di mana engkau...? Harus kuhancurkan engkau!” Tubuhnya melesat ke sana ke mari, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah suara hiruk-pikuk. Kereta hancur, empat ekor kudanya terlepas dan lari ketakutan. Pohon-pohon di sekitar tempat itu jebol dan tumbang.
Akhirnya Han Han roboh terkulai di atas tanah dan menangis. “Ibu... Ibu... mengapa aku menjadi begini? Iblis... mengapa aku begini kejam dan ganas? Ah, Giam Kok Ma, engkau boleh jadi seorang manusia jahat dan kejam, telah memperkosa Ibuku dan membunuh keluargaku. Akan tetapi... ya Tuhan... yang kulakukan tadi... ah, jauh lebih kejam...! Giam Kok Ma, engkau manusia keji dan jahat, akan tetapi aku tidak lebih baik dari pada engkau...!”
Tiba-tiba Han Han mencelat dan lenyap dari situ, di dalam gelap masih terdengar suaranya, “Tuhan... ampunkan aku... Ayah Ibu, ampunkan aku...!” Disusul suara tangisnya dan tubuhnya berkelebatan ke luar dari tempat itu, menuju ke kota Tiang-koan-bun kembali.
Peristiwa yang terjadi di hutan itu, yang amat mengerikan, adalah peristiwa yang sering kali terjadi pada setiap manusia. Manusia adalah makhluk yang sebenarnya amat lemah menghadapi nafsu-nafsunya sendiri. Sekali nafsu menguasai diri, pertimbangannya menjadi miring. Akal diperalat pemuasan nafsu, dan budi lenyap sinarnya, tertutup oleh uap hitam dari nyala nafsu yang berkobar.
Han Han dikuasai nafsu dendam kebencian yang bertahun-tahun ditekannya, kini meledak dan sepenuhnya menguasai dirinya sehingga ia melakukan pembalasan dendam yang amat kejam, tidak kalah kejamnya dengan perbuatan yang dilakukan Giam Kok Ma sendiri ketika perwira itu pun dikuasai nafsunya. Setelah iblis atau nafsu meninggalkannya dan ia sadar, penyesalan datang menimpanya. Baru terbuka mata pemuda itu betapa kejam dan kelirunya perbuatannya tadi, baru teringat olehnya akan wejangan-wejangan kebatinan yang pernah dibacanya bahwa membalas kekejaman dengan kekejaman, membalas kejahatan dengan kejahatan, adalah perbuatan manusia yang lemah.
Han Han lupa bahwa dahulu ia menganggap tepat wejangan filsafat yang mengatakan bahwa perbuatan jahat harus dibalas dengan keadilan! Akan tetapi, keadilan itu sendiri akan menjadi kotor dan tidak murni, tidak adil lagi kalau pelaksanaannya dikuasai pula oleh nafsu dendam dan kebencian. Dengan demikian bukanlah keadilan lagi namanya, melainkan kejahatan dalam bentuk lain! Keadilan hanya murni kalau dilaksanakan tanpa pengaruh benci dan suka, tidak berat sebelah dan pelaksanaannya hanya demi keadilan itu sendiri yang sudah ada batas-batasnya dan ada hukum-hukumnya.
Memang tidaklah mudah bagi orang-orang muda seperti Han Han untuk dapat menerima dan menghayati filsafat itu. Manusia, terutama yang masih muda memang masih amat kuat sifat mementingkan diri pribadi (egoism) yang tentu saja amat berguna untuk mengejar cita-cita dan mencapai kemajuan duniawi. Karena sifat ini maka mudah sekali menjadi mangsa nafsu, mudah dikuasai nafsu sehingga lupa diri. Terutama sekali dalam soal mendendam, bagi orang muda amat sukarlah untuk menekan nafsu amarah dan dendam kebencian yang menciptakan keinginan melihat orang yang dibencinya itu mengalami siksa sehebat-hebatnya. Terciptalah sifat kejam (sadistic) yang dibentuk nafsu marah dan benci, ingin melihat orang yang telah mencelakakan dan menyengsarakan dirinya itu tertimpa mala petaka yang lebih sengsara lagi!
“Lulu... ahhh, Adikku Lulu... di mana engkau...?” Han Han berloncatan dan kini ia mengeluh memanggil-manggil nama adiknya. Ia merasa seperti hanyut terbawa air yang deras, hanyut tidak berdaya dan tidak ada sesuatu yang dapat menolongnya kecuali Lulu yang merupakan bayang-bayang di permukaan air yang menghanyutkan. Kalau berjumpa dengan Lulu, tentu dia tidak akan sengsara seperti ini.
Teringat akan Lulu, hati Han Han berduka dan ia kini berjalan perlahan dibantu tongkatnya, menuju ke Tiang-koan-bun yang sudah tampak dalam cuaca pagi yang remang-remang.
“Aihhhhh...!”
Jerit yang hanya satu kali ini, seolah-olah mulut yang menjeritnya itu kena dekap, cukup bagi Han Han. Itulah jerit yang keluar dari mulut seorang wanita! Tubuhnya melesat ke kiri, memasuki hutan kecil dari mana ia mendengar suara jerit itu. Dan di belakang beberapa buah batu gunung yang besar, ia melihat pemandangan yang membuat mukanya menjadi merah sekali.
Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan sambil tertawa-tawa sedang mempermainkan seorang wanita muda yang cantik. Lai Kwan menelikung lengan wanita itu dari belakang dan mendekap mulutnya. Wanita yang kelihatannya memiliki kepandaian itu meronta-ronta dan sambil tertawa-tawa Ouwyang Seng merenggut pakaian wanita itu sehingga terlepas dari tubuhnya dan terobek, membuka dan menelanjangi tubuh yang berkulit kuning langsat! Di atas tanah menggeletak tiga orang laki-laki tua yang sudah tewas.
“Kuda betina ini liar! Lebih baik bunuh saja sekali pemberontak ini!” Lai Kwan berseru karena la kewalahan juga menelikung gadis yang meronta sekuat tenaga itu.
“Wah, sayang jika dibunuh begitu saja, Lai Kwan. Dia manis sekali, heh-heh!” Ouwyang Seng meraba dada yang telanjang itu. “Kita permainkan dulu sepuas kita, baru dibunuh. Lai Kwan, apakah engkau tidak mau...?”
Wajah Lai Kwan merah sekali. “Aku... aku... tidak pernah, Kongcu...”
“Ha-ha-ha-ha! Benar-benar engkau masih hijau! Engkau lihatlah aku, sesudah aku, engkau boleh belajar, ha-ha!”
“Akan tetapi... itu... itu perbuatan rendah...,” Lai Kwan berkata lagi.
Ouwyang Seng yang sudah hendak merangkul gadis yang tak berdaya itu, membalik dan memandang Lai Kwan. “Ucapanmu sungguh tolol, Lai Kwan. Engkau tahu siapa gadis ini? Seorang pemberontak! Dia agaknya seorang petugas pemberontak yang memata-matai kita, yang hilir mudik lewat perbatasan. Dia ini amat berbahaya, dia musuh kita! Apa salahnya kalau sebelum dibunuh kita menikmati tubuhnya yang indah, wajahnya yang manis ini? Sayang bukan kalau kembang yang harum dibuang begitu saja sebelum kita kenyang menciuminya dan mengambil sari madunya yang manis?”
Gadis itu meronta-ronta dan hampir terlepas dari pegangan Lai Kwan. “Kau totok dia agar lumpuh, Kongcu. Wah, dia kuat bukan main!”
“Ha-ha-ha, lebih baik dia meronta-ronta begitu dari pada ditotok lumpuh seperti orang mati! Rebahkan dia di rumput dan kau pegangi kedua tangannya, Lai Kwan. Biarkan kakinya menendang-nendang, ha-ha-ha!”
“Tidak, Kongcu... aku... aku malu melihatnya. Biar kuikat dia... eh, dia terlepas...!”
Lai Kwan yang melepaskan sebelah tangan untuk memegangi tali hitam yang tergulung dan tergantung di punggungnya, yaitu yang biasanya ia pergunakan sebagai senjata tidak kuasa lagi menahan ketika gadis itu meronta dan terlepas, kemudian gadis itu membalik cepat, mengirim tendangan ke arah selangkangan Lai Kwan dengan cepat dan kuat. Lai Kwan terkejut dan terpaksa ia meloncat ke belakang sambil melepaskan senjatanya, tali hitam.
“Ha-ha-ha, biarkan dia lepas, mari kita kejar dan tangkap lagi, lebih menggembirakan begitu. Ha-ha, lari tanpa pakaian ia kelihatan menarik sekali!” Ouwyang Seng tertawa.
Gadis yang sudah telanjang bulat itu tersipu-sipu, malu bukan main dan membalikkan tubuh melarikan diri. Lai Kwan menggerakkan tangan, tali hitam yang dipergunakan sebagai cambuk itu mengeluarkan bunyi meledak dan meluncur ke depan, hendak menjerat leher si gadis yang melarikan diri.
“Ahhh...!” Tiba-tiba Lai Kwan berseru kaget. Ujung talinya tertahan dalam gigitan seorang pemuda berkaki buntung yang tahu-tahu telah berdiri di depannya! Gadis telanjang itu lenyap di balik batu besar.
“Engkau... Sie Han sute...?” Lai Kwan berseru kaget.
“Ha-ha-ha, kiranya Han Han si bocah jembel itu masih hidup! Lai Kwan, jadi dia ini sute-mu? Punya sute kurang ajar macam itu, tangkap saja dia!” Ouwyang Seng bertolak pinggang dan memandang dengan kening berkerut.
Gu Lai Kwan mengerahkan tenaganya dan membetot-betot tali hitam. Kalau si buntung ini tidak mau melepaskan gigitannya, tentu akan rontok giginya, pikir pemuda ini. Akan tetapi, betapa pun ia nengeluarkan semua tenaganya, tali itu tetap tak bergerak sedikit pun dari gigitan Han Han!
“Han Han, lepaskan senjataku!” Lai Kwan membentak. “Kalau tidak...”
Tiba-tiba Lai Kwan terjengkang dan cepat ia menggulingkan tubuhnya. Kalau ia tadi kurang cepat bergerak, tentu ia akan kena hantaman senjatanya sendiri yang tiba-tiba meluncur ke arah mukanya ketika Han Han melepaskan gigitannya. Ia sudah meloncat bangun dan menghadapi Han Han dengan muka merah.
“Gu Lai Kwan, sampai begini jauhkah engkau menyeleweng? Engkau tidak saja menghamba kepada pemerintah Mancu, hal yang masih dapat dimengerti dan di-maafkan, akan tetapi engkau menjadi pembantu Ouwyang-kongcu, membantunya hendak memperkosa wanita! Ke manakah perginya kegagahanmu sebagai murid In-kok-san?”
“Han Han, kaki buntung yang lancang mulut dan sombong! Wanita itu adalah seorang pemberontak, seorang tawanan. Seorang tawanan boleh diperlakukan sesuka hati yang menawannya. Engkau mau apa? Aku tidak memperkosa wanita!”
“Lai Kwan, bocah buntung ini sudah begitu menghinamu. Perlu apa banyak bicara lagi? Mungkin dia kini pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap saja atau bunuh!” Ouwyang Seng berseru.
Lai Kwan memang merasa agak jerih kepada Han Han. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu kepandaian dari Pulau Es. Akan tetapi karena sekarang Han Han sudah buntung kakinya, biar pun tadi sinkang-nya masih luar biasa sehingga dia tahu takkan dapat mengalahkan tenaga Han Han, dia merasa yakin bahwa dalam pertandingan, pemuda yang buntung sebelah kakinya ini tentu tidak lincah dan mudah dikalahkan. Apa lagi di situ ada Ouwyang-kongcu yang ia tahu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari padanya.
“Han Han, engkau menyerahlah agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan merobohkanmu!”
Han Han menghela napas panjang. “Sayang seorang muda perkasa seperti engkau kini tidak lebih hanya seperti seekor anjing yang suka menjilat apa saja atas perintah majikannya.”
“Keparat buntung!” Lai Kwan marah sekali dan tali hitam di tangannya bergerak.
“Tar-tar!” Tali hitam itu mengeluarkan suara dan berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ke arah kepala Han Han.
“Wuuuttttt...!” Han Han menundukkan kepala dan sinar hitam itu menyambar lewat atas kepalanya, membuat rambutnya berkibar. Dari belakang, sinar hitam itu membalik dan kini ujung cambuk menotok tiga jalan darah di tengkuk, punggung dan lambung.
Han Han masih tidak bergerak, bahkan tidak mengelak sama sekali. Girang hati Lai Kwan. Ilmu cambuknya memang lihai dan kalau sekali luput menyerang dari depan, ujung cambuk itu disendal kembali dan dari belakang tubuh lawan dapat melakukan penyerangan yang lebih dahsyat lagi tanpa diduga lawan sehingga serangan membalik inilah yang sering kali merobohkan lawan. Kini agaknya Han Han tidak menduganya, maka ia merasa yakin bahwa tiga kali totokan ujung cambuknya akan mengenai sasaran secara tepat sekali.
“Tes! Tes! Tes!”
Memang tiga kali totokan ujung cambuk itu mengenai sasaran dengan tepat. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak bergeming, apa lagi roboh seperti yang dan disangka Lai Kwan. Malah Han Han sudah menggerakkan tangan kanan menangkap cambuk itu, dan tongkat di tangan kirinya meluncur ke depan menotok ke arah pergelangan tangan Lai Kwan yang memegang cambuk.
“Ayaaaaa...!” Lai Kwan cepat meloncat ke belakang dan terpaksa ia harus melepaskan cambuknya.
“Lai Kwan, jangan engkau turut campur. Aku hendak mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh Ouwyang Seng!”
“Setan buntung sombong kau! Lai Kwan, hayo kita bunuh dia!” Ouwyang Seng berteriak keras dan sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut pedang dari punggungnya dan tampaklah sinar yang menyilaukan mata. Pedang itu terbuat dari pada logam yang putih dan sinarnya menyilaukan seperti sinar matahari.
Ketabahan Lai Kwan yang sudah dirampas senjatanya pulih kembali melihat kawannya sudah mencabut pedang. Ia lalu berteriak keras dan menubruk maju, mengerahkan tenaganya dan memukul dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Han Han dengan ilmu pukulan Toat-beng-tok-ciang yang mengandung racun ampuh. Agaknya karena maklum akan kelihaian Han Han, sekali menyerang Lai Kwan ingin merobohkannya dan telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya sekaligus, dua macam pukulan sakti yang amat hebat dan sukar dilawan!
Ouwyang Seng bukanlah seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan juga dia memiliki kepandaian tinggi. Selain menerima gemblengan Si Setan Botak yang lihai sehingga ia mewarisi ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang, juga pemuda bangsawan yang suka sekali mempelajari ilmu silat ini telah berguru kepada banyak tokoh pandai, dan ia bahkan memiliki pedang terbuat dari pada logam putih yang luar biasa, pedang yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari). Gak Liat sendiri telah menciptakan ilmu pedang yang diambil dari inti ilmu-ilmu pedang yang pernah dipelajari Ouwyang Seng, yaitu ilmu pedang yang diberi nama Jit-kong Kiam-hoat, sesuai dengan nama pedangnya!
Sekali pandang saja, ketika Han Han menggigit cambuk, kemudian kebal terhadap totokan, bahkan dalam segebrakan Han Han berhasil merampas cambuk, mengertilah Ouwyang Seng, bahwa Han Han yang dahulu memang amat lihai sehingga perlu dikeroyok oleh gurunya dan Ma-bin Lo-mo, kini setelah buntung kakinya ternyata tidak kehilangan kelihaiannya! Maka ia menggunakan saat Lai Kwan menerjang dengan dahsyat itu untuk meloncat pula dan pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar menyilaukan, menyerang Han Han dari belakang.
“Syuuutttt... syuuuttt...!” Dua pukulan sakti Lai Kwan menghantam.
“Ciuuutttt... singggg...!”
“Heiii...! Ayaaaaa...!”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lai Kwan dan Ouwyang Seng ketika tiba-tiba tubuh Han Han melambung ke atas. Karena gerakan Han Han ini amat tiba-tiba setelah serangan dari depan dan belakang sudah dekat, tak dapat dicegah lagi hawa pukulan Lai Kwan bertemu dengan sinar pedang Ouwyang Seng. Keduanya kaget dan cepat menahan diri, namun tetap saja mereka terpelanting ke kanan kiri. Dengan enak saja Han Han yang memegang tongkat di tangan kiri dan cambuk di tangan kanan turun lagi, berdiri di atas tanah dengan kakinya yang hanya satu tanpa dibantu tongkat.
“Ouwyang Seng, jawablah, di mana adanya Lulu Adikku?”
Ouwyang Seng memandang marah. “Persetan dengan adikmu bocah liar itu!” bentaknya.
Pedangnya sudah meluncur ke depan menusuk dada Han Han. Lai Kwan juga sudah menyerang lagi, lebih hebat dari pada tadi. Namun, sekali lagi mereka berdua hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Han Han sudah pindah tempat.
“Ouwyang Seng, jawablah. Dahulu engkau menculik Lulu...”
Han Han berhenti untuk mencelat lagi ke lain tempat menghindarkan serangan susulan dua orang pengeroyoknya, lalu menyambung, “...dan adikku itu lari dari istana. Di manakah dia sekarang...?”
Ouwyang Seng menjadi penasaran bukan main. Dia dan Lai Kwan menyerang dengan hebat secara berbareng, akan tetapi sampai tiga kali berturut-turut Han Han lenyap begitu saja. Gerakannya demikian cepat seperti menghilang dan tahu-tahu sudah pindah tempat. Dan semua itu dilakukan oleh Han Han dengan seenaknya, malah sambil bicara!
“Dia sudah minggat, mana aku tahu?” Ouwyang Seng menyerang lagi mendahului Lai Kwan yang kaget bukan main menyaksikan kehebatan gerakan Han Han.
Dulu sebelum buntung, kelincahan Han Han tidak sehebat ini. Bagaimana kini setelah buntung malah menjadi begini lihai? Ia menubruk maju, kini meloncat ke atas karena tadi ia melihat betapa Han Han selalu mencelat ke atas kalau diserang. Dia hendak memapaki tubuh Han Han jika mencelat lagi ke atas menghindarkan serangan pedang Ouwyang Seng.
“Ouwyang Seng bersumpahlah....”
Han Han benar saja mencelat lagi ke atas ketika sinar pedang yang menyilaukan itu meluncur ke arah lehernya. Lai Kwan yang sudah meloncat, dengan girang memapaki tubuh Han Han dengan dua pukulan saktinya.
"Syuuut... syuutttt...!"
Lai Kwan berseru kaget karena kembali pukulannya itu hanya mengenai angin kosong. Bayangan tubuh Han Han yang tadi mencelat ke atas itu secara aneh meluncur ke kiri dan dengan enaknya turun dan berdiri lagi melanjutkan kata-katanya, “...bersumpahlah bahwa kau benar-benar tidak tahu di mana adanya Lulu!”
“Setan! Mampuslah!”
Kembali Ouwyang Seng menyerang. Kini ia tidak mau sembarangan menusuk atau membacok, melainkan memutar pedangnya sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin lebar dan lingkaran itu mulai mengurung tubuh Han Han! Lai Kwan juga sudah menerjang maju dan siap menyambut dengan pukulan maut kalau Han Han mengelak dari sinar pedang Ouwyang Seng yang kini benar-benar mengerahkan segala kepandaiannya untuk merobohkan Han Han.
Han Han berdiri tenang saja. Ia menunggu sampai lingkaran sinar pedang itu makin menyempit, makin menghimpit dirinya. Pada saat pedang meluncur dengan gerakan melingkar hendak membabat pinggangnya, mendadak Han Han menggerakkan tangan. Seperti seekor ular hidup, pecut yang dirampasnya dari tangan Lai Kwan tadi bergerak maju, menyambut pedang dan di lain detik pedang itu sudah terbelit oleh cambuk hitam! Ouwyang Seng berseru kaget dan mengerahkan tenaga membetot untuk merampas kembali pedangnya, untuk melepaskan libatan atau kalau perlu membabat putus cambuk itu dengan ketajaman pedang pusakanya. Akan tetapi pedangnya seperti telah melekat dengan cambuk, sama sekali tidak bergerak.
“Bersumpahlah...!” Han Han yang berdiri sambil memegang ujung tali atau cambuk dengan tangan kanan, mempertahankan dengan menyalurkan sinkang menggunakan tenaga ‘menempel dan menyedot’.
Melihat kesempatan baik selagi Han Han mengadu tenaga dengan Ouwyang Seng, Lai Kwan menerjang dari belakang menghantam punggung Han Han dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-jiu yang amat kuat. Hawa dingin sekali menyambar ke arah punggung sebelum kepalan yang memukul itu sendiri tiba.
“Desssss...!”
Lai Kwan merasa betapa hawa pukulan amblas memasuki telapak tangan Han Han yang luar biasa dinginnya, seperti sebongkah batu dilempar ke telaga.
“Ayaaaaa...!” Ouwyang Seng yang masih membetot-betot gagang pedangnya, tiba-tiba merasa betapa ada hawa dingin menyerangnya melalui pedang dan tangannya, terus menjalar ke dadanya. Ia terkejut dan cepat melepaskan pedangnya, terhuyung ke belakang dengan muka pucat.
Lai Kwan yang kaget merasa betapa tenaga sinkang-nya amblas, berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya terlempar ke belakang sampai lima meter lebih. Ia berbanting dan kepalanya pening, tubuhnya menggigil karena terasa dingin sekali. Tadi ia dilontarkan oleh hawa pukulan yang dingin sekali dari telapak tangan Han Han. Cepat ia duduk bersila untuk mengerahkan sinkang dan memulihkan kesehatannya, maklum bahwa hawa pukulannya sendiri ditambah hawa yang amat kuat telah membalik dan melukai dadanya!
“Ouwyang Seng, apa sih sukarnya menceritakan tentang adikku?” Han Han menegur.
Ouwyang Seng bangkit berdiri dengan muka masih pucat. Tahulah ia kini bahwa pemuda buntung di depannya ini luar biasa lihainya. Dia akan menjadi manusia segoblok-gobloknya kalau masih nekat hendak melawan. Maka ia tersenyum dan berkata.
“Adikmu itu aneh seperti engkau, tidak mengenal budi orang. Dia diangkat menjadi pelayan istana malah minggat dan kabar terakhir yang kudengar, dia bersekongkol dengan pemberontak! Malah menjadi anak buah Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Kini Pek-lian Kai-pang telah berantakan, entah adikmu itu mati atau hidup, siapa yang tahu?”
Han Han memandang tajam penuh selidik. Tentang keadaan Lulu setelah lari dari istana dan tinggal bersama Lauw-pangcu, dia sudah tahu. Tapi yang perlu ia ketahui adalah sekarang! Di mana adanya Lulu sekarang?
“Ouwyang Seng, benarkah engkau tidak tahu di mana adanya adikku sekarang?”
Ouwyang Seng menggeleng kepala.
“Bersumpahlah!”
Sepasang mata pemuda bangsawan itu memancarkan kebencian. “Setan engkau, Han Han! Tidak percaya kepadaku? Baiklah, aku bersumpah bahwa aku tidak tahu di mana adanya adikmu itu sekarang! Dan aku bersumpah lain kali aku tentu akan berhasil mencabut nyawamu!”
Han Han mengerutkan keningnya. Ia tidak peduli akan ancaman pemuda bangsawan ini. Ia kecewa mendengar bahwa pemuda itu tidak tahu di mana adanya Lulu. Dengan sembarangan ia melemparkan cambuk dan pedang ke atas tanah dan ia menghampiri Lai Kwan yang masih duduk bersila.
“Lai Kwan, kalau aku mengingat bahwa engkau yang membuntungi kakiku, kalau aku menuruti nafsu dendam, agaknya sekarang engkau pun akan kehilangan sebuah kakimu. Akan tetapi aku tidak akan melakukan hal bodoh dan keji itu, Lai Kwan, karena dahulu engkau hanya melaksanakan perintah Toat-beng Ciu-sian-li. Dan mengingat akan hubungan di antara kita sewaktu kecil, kuperingatkan kepadamu bahwa engkau telah tersesat. Menjadi sahabat atau kaki tangan seorang pemuda bangsawan seperti Ouwvang Seng amat berbahaya, akan menyeretmu ke jurang kemaksiatan dan kesesatan! Orang-orang muda yang kaya raya dan putera bangsawan biasanya mudah tersesat, karena mereka mengandalkan kekayaannya dan kedudukan orang tua, dan semua ini timbul dari sikap orang tua mereka yang terlalu mementingkan kesenangan pribadi, mabuk pangkat dan mabuk harta, tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya, atau tidak dapat melarang karena si orang tua sendiri sudah mencandu melakukan kemaksiatan. Insyaflah engkau Lai Kwan, demi kebaikanmu sendiri!”
“Han Han manusia sombong engkau!” Ouwyang Seng memaki dan menghampiri Lai Kwan, menarik lengan pemuda itu dan memaksanya bangun berdiri. “Hayo, Lai Kwan, kita pergi. Muak aku mendengar ocehannya, dan jijik aku melihat kakinya yang buntung!”
Han Han hanya menarik napas panjang untuk menekan kemarahannya oleh penghinaan Ouwyang Seng itu. Semenjak kecil pemuda bangsawan itu menghinanya. Sampai sekarang pun putera pangeran itu masih belum mengubah wataknya yang angkuh, sombong dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi, apakah dia sendiri pun seorang yang baik, lebih baik dari Ouwyang Seng? Hemmm, ia kini meragukan hal itu.
Dia keturunan bangsawan yang lebih jahat lagi, yang terkenal sebagai keluarga yang luar biasa keji dan jahatnya. Keluarga bangsawan Suma sudah terkenal, bahkan kakeknya sendiri dahulu adalah seorang yang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga). Jai-hwa-sian! Tidak sembarang penjahat cabul mendapat julukan Sian (Dewa), tentu kejahatannya sudah melewati takaran!
Menurut cerita Im-yang Seng-cu, kakeknya itu sedemikian jahat dan kejinya sehingga tokoh besar Siauw-lim-pai yang berniat hendak menyadarkannya masih dia bikin celaka! Keluarganya, kakeknya, demikian jahatnya dan dia sendiri? Dia telah melakukan hal-hal yang menimbulkan bencana, telah kesalahan tangan membunuhi orang-orang yang tak berdosa, dan dia telah menyiksa Giam Kok Ma secara kejam sekali, sungguh bukan seperti manusia lagi. Darah keluarga Sumakah ini? Maka ia menekan kemarahannya dan membiarkan Ouwyang Seng bersama Gu Lai Kwan pergi setelah mereka mengambil senjata masing-masing.
“Kenapa kau membiarkan mereka pergi? Kejar dan bunuhlah! Mereka itu adalah orang-orang penting dari kerajaan penjajah! Kalau kau membunuh mereka, kau akan berjasa besar dan Bu-ongya tentu akan berterima kasih sekali. Si bedebah itu adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok!” Suara wanita itu nyaring dan penuh semangat.
Han Han berkata, suaranya lemah, sama sekali tidak bersemangat. “Saya bukan anak buah Bu Sam Kwi.”
“Ehhh! Kalau begitu, kenapa kau menolong aku?”
Mendengar suara yang lincah galak dan nyaring, yang mengingatkannya akan adiknya, Han Han seperti tergugah dari lamunan dan ia tersenyum sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak melihat gadis itu yang muncul dari balik batu besar masih telanjang bulat! Begitu telanjang seperti bayi baru lahir akan tetapi juga begitu wajar seolah-olah gadis itu lupa bahwa dia tidak berpakaian sama sekali.
Gadis itu memandahg ke arah lenyapnya bayangan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Wajahnya yang cantik itu kelihatan marah dan penasaran sekali, agaknya ia merasa amat menyesal mengapa dua orang musuh penting seperti mereka itu, setelah dikalahkan tidak dibunuh.
Han Han masih terbelalak. Selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat seorang wanita berdiri telanjang bulat di depannya, dan baru sekali ini melihat pemandangan yang begini menggairahkan, begini mempesonakan sehingga dia berdiri melongo seperti terkena hikmat mukjizat.
Tiba-tiba gadis itu seperti merasa ada sinar mata panas merayapi kulit tubuhnya yang halus. Ia membalik, menghadapi Han Han. Melihat sinar mata pemuda itu, agaknya gadis yang tadi dipergaruhi kemarahan dan penasaran sehingga lupa akan keadaan dirinya, baru teringat. Ia menjerit kecil, jari-jari tangan kanannya cepat menutup tubuh bagian bawah sedangkan jari-jari tangan kirinya otomatis berusaha menutupi dadanya yang tentu saja tidak membawa hasil baik seperti yang diharapkan. Mata gadis itu yang tajam bersinar-sinar kini kelihatan marah sekali, wajahnya merah seperti udang direbus dan mulutnya mencaci-maki!
“Laki-laki monyet binatang hutan! Engkau sama saja seperti mereka! Kau biadab, kurang ajar, ceriwis, genit tak tahu malu...!”
Han Han yang tadinya hanya membelalakkan mata, kini membuka mulutnya pula dan tarpa memindahkan matanya dari penglihatan yang amat mempesonakan itu ia berkata gagap, “Nona... eh... apa maksudmu...?”
“Matamu itu! Mata jahat! Mata cabul! Matamu melihat apa, heh?!”
Baru sekarang Han Han berkedip, wajahnya pucat. Celaka, ini tentu gara-gara darah kakeknya! Ia menampar kepalanya sendiri, begitu keras sehingga ia terpelanting!
“Eh...! Eh, apa kau gila...?”
Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan teguran ini, tongkatnya bergerak hendak memukul kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu meloncat maju dan menangkap tongkat itu. “Eh, kau benar sudah gila! Celaka benar...!”
Han Han teringat bahwa kalau tadi ia melanjutkan pukulannya dengan tongkat ke arah kepalanya, tentu kepalanya sudah pecah dan nyawanya akan melayang. Ia menghela napas panjang, meloncat bangun membelakangi gadis itu, tangan kirinya dilonjorkan ke arah tumpukan pakaian gadis itu yang robek-robek dan sekali ia menggerakkan tangan... pakaian itu seperti hidup, terbang ke arah tangannya! Gadis itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum. Han Han lalu menyodorkan pakaian itu ke arah Si Gadis di belakang tubuhnya. Ia berkata tanpa menengok.
“Nih, pakaianmu, pakailah Nona!”
Gadis itu menyambar pakaiannya dan memakainya. Karena pakaian itu robek di bagian depan, maka ia memakai pakaian dalam berwarna merah muda itu dengan terbalik, yaitu bagian punggung yang tidak robek ditaruh di depan sehingga yang robek adalah bagian belakang, kemudian menutupi pakaian dalam itu dengan pakaian luarnya. Biar pun pakaian luar ini robek di bagian depan, akan tetapi tubuhnya sudah tertutup aman oleh pakaian dalam yang dibalik. Sambil memegangi bagian depan yang robek itu ia berkata.
“Sudah... sudah kupakai...”
Barulah Han Han berani membalikkan tubuhnya dan mukanya kini merah sekali ketika ia bertemu pandang dengan sinar mata gadis itu. Ia menunduk dan berkata, “Maafkan aku, Nona. Aku tadi telah bersikap tak tahu malu. Engkau benar, aku... aku memang kurang ajar, biadab... selamat tinggal...!” Ia lalu melangkah pergi, berjalan terpincang-pincang dibantu tongkatnya dengan tubuh lemas.
“Eh, nanti dulu...!”
Akan tetapi Han Han tidak menoleh dan melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti mendengar suara tangis yang amat memilukan. Hebat bocah ini, pikirnya. Tangisnya pun seperti tangis Lulu! Ia menghela napas dan menengok. Ketika melihat betapa gadis itu memeluki tubuh seorang di antara tiga buah mayat yang menggeletak di situ, hatinya terharu. Apa lagi ketika gadis itu dalam tangisnya menyebut “ayah... ayah...” ia lalu meloncat dan sekali loncat saja ia sudah berdiri di belakang gadis itu.
Dilihatnya bahwa yang ditangisi gadis itu adalah mayat seorang laki-laki tua yang usianya tujuh puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil. Mayat ke dua adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang usianya juga lima puluh tahun lebih, mayat ke tiga seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kepalanya besar.
“Nona, yang sudah mati tiada guna ditangisi, takkan hidup kembali...”
Tiba-tiba nona yang menangis itu membalik dan meloncat bangun. Agaknya ia kaget mendengar suara Han Han yang disangkanya sudah pergi itu karena kedatangan Han Han sama sekali tidak diketahuinya. Ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah pemuda pincang yang aneh itu, ia marah sekali.
“Kau...! Aku sudah tahu bahwa orang mati tidak akan hidup kembali, akan tetapi aku menangisi kematian Ayahku, apa sangkut-pautnya denganmu? Kenapa kau melarang? Aku tidak meminjam air matamu untuk menangis. Kau benar-benar menjemukan! Agaknya kau mau menghina seorang perempuan yang sudah yatim piatu, ya?”
Tiba-tiba gadis itu menerjang maju, gerakannya ringan dan cepat sekali dan tahu-tahu jari telunjuknya sudah menotok jalan darah di dada Han Han. Pemuda ini kaget, bukan karena kecepatan gerak tangan gadis itu yang cukup mengagumkan hatinya, melainkan kaget karena melihat gadis itu marah-marah seperti itu. Dia tidak takut menerima totokan jari telunjuk ini, akan tetapi kalau ia menutup jalan darah dan mempergunakan sinkang menerima totokan, tentu gadis itu akan merasa makin tersinggung di samping telunjuknya yang kecil runcing bisa patah tulangnya.
Maka Han Han lalu miringkan tubuhnya mengelak. Akan tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa tangan yang luput menotok itu cepat sekali sudah membalik, telunjuk kiri itu kembali menotok lambung, sedangkan telunjuk kanan menotok pundak! Heran dia, gadis ini dapat bergerak cepat sekali dan caranya menotok jalan darah juga aneh, hanya dengan sebuah jari telunjuk, tidak dengan dua jari seperti yang lajim dilakukan ahli totok jalan darah!
“Plak-plak-plak...!”
Han Han menangkis dengan telapak tangannya, menepuk lengan gadis itu dengan pengerahan sedikit tenaga. Gadis itu kelihatannya penasaran sekali, bergerak lebih cepat lagi dan kini totokan-totokannya mengarah jalan darah yang mematikan! Han Han tertarik dan kagum.
Gerakan gadis ini benar-benar luar biasa cepatnya dan agaknya dalam hal kecepatan tidak kalah oleh Sin Lian sungguh pun keistimewaan ilmu sitatnya hanyalah totokan-totokan satu jari. Ternyata gadis ini adalah seorang ahli totok satu jari yang memiliki ginkang cukup hebat, sungguh pun tentu saja tidak secepat Lulu gerakannya! Ia pun mengimbangi kecepatan gadis itu dan setelah Han Han mempergunakan ilmunya gerak kilat, gadis itu menjadi bingung karena berkali-kali pemuda buntung itu lenyap dari depannya!
“Eh, di mana kau...?” Gadis itu membalik sambil menotok tubuh Han Han yang tahu-tahu berada di belakangnya, akan tetapi kembali pemuda itu lenyap.
“Eh, menghilang? Kau setankah...?” Kembali ia menyerang kalang-kabut begitu tampak berkelebatnya tubuh Han Han.
Karena gerakan-gerakannya yang cepat, gadis itu lupa bahwa pakaian luarnya masih terbuka di bagian depan. Biar pun pakaian dalamnya masih menutupi tubuh depannya, akan tetapi pakaian dalam itu tipis, tidak mampu menyembunyikan lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan tubuhnya. Han Han menjadi silau dan ia meloncat jauh ke belakang dan berseru.
“Stopp...! Berhenti, Nona. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Aku bukan musuh dan aku tidak bermaksud menghina. Aku bermaksud menghiburmu.”
Gadis itu cemberut dan teringat akan bajunya lalu menggunakan tangan kiri menutup bagian depan, telunjuk kanannya yang kecil runcing, yang dapat dipergunakan sebagai senjata penotok yang ampuh, kini menuding ke arah hidung Han Han sehingga pemuda ini merasa hidungnya gatal seperti akan ditotok!
“Kau hendak menghibur ataukah mengejek? Kalau menghibur mengapa mengatakan mayat takkan hidup lagi kalau ditangisi? Yang betul kau bicara! Apakah kalau engkau sudah menolongku tadi, pertolongan yang tak pernah kuminta, kau lantas boleh bicara sesukamu?”
Han Han menghela napas. Kalau gadis ini tidak banyak sekali persamaan dalam wataknya dengan Lulu, tentu ia sudah pergi. Galak bukan main dan... tidak mengenal budi!
“Maafkanlah Nona kalau kata-kataku kau anggap keliru. Nah, lanjutkanlah tangismu, aku tidak akan mencegahmu. Menangislah sepuas hatimu.”
“Kau mengejek, ya? Biar pun kau sepuluh kali lebih pandai, aku Tan Hian Ceng bukan gadis penakut! Mati bukan apa-apa bagi seorang gadis pejuang, tahu?”
Celaka, pikir Han Han. Bicara begini salah, begitu pun tidak betul. Lebih baik tak bicara. Dia hanya mengangkat pundak dan memandang bengong ke arah tiga mayat itu. Tentu mereka itu pejuang-pejuang atau mata-mata dari Se-cuan, pikirnya. Mereka itu tewas sebagai pejuang. Betapa bahagianya. Dan gadis ini, di samping kegalakannya yang luar biasa, juga mengagumkan. Bukan mengagumkan kecantikan dan keindahan tubuhnya, cepat-cepat Han Han membantah pikirannya sendiri, tetapi mengagumkan kegagahan dan keberaniannya.
“Heh, jawablah! Aku tidak takut mati! Ibuku sudah tiada, kini Ayahku mati, aku tidak takut mati, kau tahu?”
Han Han memandang gadis itu dan ia terharu, merasa kasihan kepada gadis ini yang biar pun bersikap galak seperti itu, sesungguhnya gadis ini menderita duka yang hebat. Ia mengangguk.
“Jadi engkau tidak mengejek aku?”
Han Han menggeleng kepala.
“Dan engkau mengapa kembali lagi? Matamu tidak kurang ajar lagi. Engkau tidak akan kurang ajar dan mengejekku, bukan?”
Han Han menggeleng kepala.
“Kalau begitu, mengapa engkau menolongku? Engkau membenci Ouwyang Seng dan pemuda lihai yang membantunya tadi?”
Han Han mengangguk.
Gadis itu bertolak pinggang dan kembali pakaian luarnya terbuka. Han Han meramkan mata dan menunduk. “Eh, pemuda buntung yang memiliki kepandaian seperti iblis! Mengapa engkau? Tadi kau pandai bicara, kata-katamu memanaskan perut, sekarang kenapa tiba-tiba menjadi gagu?”
Han Han menarik napas panjang. Baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang membuat dia bingung dan bohwat (kehabisan akal). Banyak bicara tidak benar, kalau didiamkan saja tentu akan marah pula. Sepasang mata yang bening dan tajam itu kini pun sudah mulai menyala. Ia tahu bahwa mata seperti ini kalau sudah berkobar karena marah, bisa repot dia!
“Nona, aku tidak gagu. Aku tidak berani bicara, karena tiap kali aku bicara, engkau salah terima dan mengira aku mengejek dan menghina.”
Gadis itu memandang wajah Han Han dengan penuh perhatian, sepasang matanya tidak pernah berkedip, menjelajahi wajah Han Han terus ke bawah sampai ke kakinya yang buntung, naik lagi ke atas dan berhenti pada matanya sehingga pandang mata mereka bertaut dan melekat. Han Han merasa seolah-olah dia menjadi seekor kuda yang sedang diteliti, diperiksa dan ditaksir-taksir oleh seorang calon pembeli!
Tiba-tiba sikap kaku gadis itu berubah dan dia berkata lirih, “Maafkan aku... maafkan bahwa aku telah salah duga... ah, tentu In-kong menganggap aku sebagai seorang yang bocengli dan tak kenal budi. Akan tetapi tadi... mata In-kong... sungguh... mengerikan hatiku...” Gadis itu kembali berlutut di dekat jenazah ayahnya dan menangis.
Biar pun hatinya amat terharu, namun ada rasa geli juga. Bocah ini benar-benar amat menarik, mengingatkan ia akan Lulu. Adiknya itu, Lulu, kadang-kadang kalau sudah kumat penyakitnya juga sifatnya aneh sekali. Gadis ini pun aneh, sekejap marah-marah seperti seekor harimau betina diganggu anaknya, di lain detik sudah menjadi lembut dan lunak seperti seekor domba! Ia pun lalu berlutut dan berkata hati-hati.
“Nona Tan, marilah kita mengubur jenazah-jenazah ini, tidak baik dibiarkan begini saja.”
Tan Hian Ceng, nona itu, menoleh kepadanya dengan mata merah dan muka basah air mata, lalu mengangguk. “In-kong benar. Kita harus cepat menguburnya, kalau tidak, ada bahayanya datang pasukan Mancu... sudikah In-kong membantuku mengubur Ayah dan Paman-pamanku ini?”
Han Han sebenarnya merasa geli. Dia yang mengusulkan untuk mengubur jenazah tiga orang itu, eh, kini dia dimintai tolong membantu. Akan tetapi dengan wajah serius ia menjawab, “Tentu saja. Marilah, Nona.”
Gadis itu kembali bengong terheran-heran ketika melihat betapa dengan tongkatnya, pemuda buntung itu menggali tanah dengan kecepatan yang luar biasa sehingga dalam waktu singkat tiga buah lubang yang cukup dalam telah digali berjajar di bawah pohon. Apa yang dilakukan pemuda buntung itu seperti main sulap saja dan diam-diam ia menjadi kagum bukan main. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian sehebat ini. Seperti bukan manusia!
Tiga jenazah itu lalu dimasukkan lubang. Setelah tiga jenazah dimasukkan lubang, dengan suara penuh duka Hian Ceng berkata sambil menunjuk jenazah-jenazah itu satu demi satu.
“Ini adalah ayahku, seorang pejuang kenamaan yang telah berjuang puluhan tahun membela nusa bangsa, bernama Tan Sun dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai It-ci Sin-mo (Iblis Sakti Satu Jari).”
Han Han mengangguk-angguk. Nama ini pernah ia dengar dan kini mengertilah ia mengapa gadis ini amat pandai menggunakan satu jari untuk menotok jalan darah di tubuh lawan.
“Dia itu adalah Paman Giam Ki, seorang pejuang gagah sahabat baik Ayah, terkenal pula dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Bertenaga Selaksa Kati).”
Han Han juga pernah mendengar nama ini dan diam-diam ia mengagumi kakek yang bertubuh tinggi besar itu. Tentu dahulu menjadi seorang ahli gwa-kang (tenaga kasar).
“Dan yang itu adalah seorang sahabat Ayah pula, bernama Thio Kai, seorang ahli dalam menyelundup perbatasan. Atas petunjuk dia inilah maka kami dapat melakukan tugas dengan sebaiknya, dapat memata-matai gerakan tentara Mancu dan mengumpulkan segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh teman-teman pejuang di Se-cuan.”
Han Han kagum dan terharu. Tiga orang ini adalah orang-orang gagah yang biar pun sudah tua namun masih bersemangat tinggi untuk melaksanakan tugas perjuangan sehingga kini tewas mengorbankan nyawa untuk bangsa! Ah, betapa mulia mereka ini, jauh lebih mulia dan lebih berguna dari pada dia! Akan tetapi, betapa mungkin dia memusuhi bangsa Mancu sedangkan Lulu adiknya yang tercinta itu pun seorang gadis Mancu pula?
Dan keluarga Lulu telah habis dibunuh Lauw-pangcu dan para pejuang, namun Lulu adiknya yang berhati mulia itu sama sekali tidak membenci bangsa Han, bahkan tidak membenci Lauw-pangcu. Sebaliknya malah! Adiknya itu menghapus dendam dan kebencian, menggantinya dengan kasih sayang sehingga ia rela menjadi anak angkat Lauw-pangcu, musuh besarnya!
Betapa mulia mereka itu, tiga orang pejuang yang kini menjadi mayat ini, dan Lulu adiknya! Saking terharu dan merasa betapa dia sendiri adalah seorang yang tidak berharga, Han Han menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada tiga jenazah itu dan dua titik air mata mengalir turun dari kedua matanya!
Hian Ceng melongo memandang Han Han, air matanya mengucur turun mengalir di kedua pipinya. “In-kong... engkau... engkau mengucurkan air mata untuk Ayahku? Ah, maafkan aku, In-kong... betapa kurang ajar sikapku terhadapmu tadi... kiranya In-kong adalah seorang pendekar sakti yang budiman...”
Han Han bangkit perlahan-lahan, bersandar pada tongkatnya. “Nona Tan, aku hanya seorang yang rendah, seorang tak berharga. Karena kagum kepada Ayah dan kedua sahabatnya ini aku merasa betapa aku lebih rendah lagi. Marilah kita kubur mereka baik-baik.”
Hian Ceng kini sudah berubah sikapnya. Amat taat dan amat menghormat. Ia pun berdiri. “Baiklah, In-kong...”
Hian Ceng lalu mengambil tanah segenggam dan menaburkan tanah itu ke dalam kuburan ayahnya dan kedua orang pamannya. Han Han lalu menggunakan sinkang-nya, mendorong ke arah tanah galian dan angin yang amat kuat menyambar, membuat tanah itu beterbangan. Hian Ceng terpaksa meloncat mundur dan ia hanya melihat tanah berputaran seperti ada angin puyuh. Matanya berkunang menyaksikan ini dan ketika putaran tanah berdebu lenyap, ternyata lubang galian itu telah teruruk tanah yang menggunduk, merupakan tiga buah kuburan yang rapi!
Hian Ceng menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan ayahnya yang berada di tengah, menangis sesenggukan. Han Han membiarkan gadis yang sedang berkabung dan berduka itu menangis. Dia lalu meloncat ke dekat batu besar yang rata permukaannya, dan berdiri di depan batu yang tingginya sama dengan dia, tongkatnya diangkat dan dengan kening berkerut tongkatnya menggurat-gurat pada permukaan batu. Dengan pengerahan tenaga sinkang, ia telah mengukir huruf-huruf di permukaan batu itu.
Sepanjang usia dicurahkan membela bangsa
tak kunjung padam sampai nyawa meninggalkan raga
Tan Sun, Giam Ki, dan Thio Kai
tiga pahlawan patut dijadikan sari tauladan!
Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia!
“Indah sekali... ah, In-kong hebat luar biasa...!” Suara itu membuat Han Han menengok. Kiranya Hian Ceng telah berdiri di dekatnya, membaca ukiran huruf-huruf itu dengan air mata bercucuran.
“Ah, tidak ada artinya, Nona. Hanya sekedar untuk peringatan di depan kuburan Ayahmu.”
“Akan tetapi... batu ini begini besar, tentu berat sekali. Betapa mungkin kita berdua menggesernya ke depan kuburan yang begitu jauh, In-kong?” Hian Ceng terbelalak.
Ayahnya adalah seorang ahli lweekeh, memiliki tenaga lweekang (tenaga dalam) yang kuat, dan dia pun telah mewarisi tenaga lweekang yang cukup lumayan, sudah mengimbangi ayahnya. Akan tetapi dia dan ayahnya takkan mungkin menggeser batu sebesar ini.
“Biarlah aku yang menggesernya, Nona. Harap kau suka minggir.”
Hian Ceng melompat menjauhi dan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar. Han Han lalu menggunakan tongkatnya, menusuk bawah batu besar itu, kemudian ia mengerahkan sinkang, tongkat dipantulkan dan... batu besar ini melayang dan jatuh menimpanya!
“Ahhh... awas! In-kong...!” Hian Ceng menjerit, akan tetapi ia segera menutup mulutnya dengan tangannya, matanya terbelalak kagum kaget dan heran melihat betapa pemuda berkaki buntung itu menerima batu dengan tangan kanannya, kemudian berloncatan dua kali membawa batu itu sampai ke depan kuburan ayahnya, lalu menurunkan batu itu perlahan-lahan ke depan ketiga buah kuburan!
“Bukan main...!” Hian Ceng berbisik, lalu melangkah perlahan menghampiri Han Han. “In-kong... kiranya In-kong adalah seorang taihiap yang sakti. Ah, dengan bantuan taihiap di Se-cuan, jangan harap penjajah Mancu akan dapat menaklukkan Se-cuan. Tentu In-kong akan ke sana, bukan?”
Akan tetapi betapa kecewa hati Hian Ceng ketika melihat pemuda itu menggeleng kepada. Han Han yang memandang wajah gadis itu melihat kekecewaan membayang di wajah yang cantik dan yang ia duga tentu biasanya cerah itu. Cepat ia berkata.
“Tidak, Nona. Aku... aku bukanlah seorang pejuang gagah perkasa dan mulia seperti Ayahmu dan engkau. Aku... aku hendak mencari adikku.”
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sukar dapat dipercaya! Seorang gagah perkasa seperti In-kong, seorang yang memiliki kesaktian hebat... yang budiman, tidak membantu perjuangan? Ah, betapa mungkin... dan siapakah adikmu kalau aku boleh bertanya, In-kong?”
“Adikku bernama Lulu, sudah hampir dua tahun dia lenyap... Sampai sekarang aku mencarinya tanpa hasil...”
Mendengar suara Han Han yang penuh duka, Hian Ceng menjadi kasihan. “Yang terakhir kalinya engkau mendengar adikmu itu berada di mana, In-kong?”
“Di lembah Huang-ho, bersama Lauw-pangcu...”
“Eh? Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Gadis itu bertanya kaget dan heran.
“Benar, dia diambil anak angkat oleh Lauw-pangcu...”
“Ah...! Kalau adikmu itu anak angkat Lauw-pangcu, tentu mudah dicari. Aku yakin bahwa kalau dia lenyap tak dapat kau temukan jejaknya, dia pasti berada di daerah Se-cuan! Semua pejuang akhirnya pergi ke sana, In-kong. Marilah kita ke Se-cuan dan aku tanggung engkau akan dapat menemuinya di sana.”
“Memang tadinya aku hendak mencari di sana, menyusul sahabat baikku Wan Sin Kiat...”
“Wah, In-kong sahabat baik Hoa-san Gi-hiap?”
Han Han mengangguk. “Kami, yaitu aku, dia dan Nona Lauw Sin Lian...”
“Puteri Lauw-pangcu, murid Siauw-lim Chit-kiam yang lihai?” Gadis itu memotong lagi.
Han Han mengangguk, girang bahwa nona pejuang ini ternyata mengenal semua tokoh pejuang. “Kami berjanji akan bertemu di Se-cuan. Sin Kiat lebih dulu, Nona Sin Lian hendak mengumpulkan sisa-sisa anggota Pek-lian Kai-pang yang habis dibasmi oleh tentara Mancu di lembah Huang-ho...”
“Aaahhhhh...!”
“Lauw-pangcu juga gugur dalam penyerbuan itu.”
“Ahhhhh...!”
Tiba-tiba terdengar derap banyak kuda dari jauh. Gadis itu cepat berkata, “Mereka datang, In-kong, mari kita lari. Cepat...!”
Gadis itu dalam ketegangannya agaknya lupa bahwa Han Han memiliki kepandaian hebat. Dia menyambar tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu melarikan diri. Han Han maklum bahwa kalau pasukan Mancu yang besar jumlahnya tiba, tentu mereka berdua tidak akan mampu melawan. Dia sendiri akan dapat melarikan diri dengan mudah, akan tetapi belum tentu akan mudah bagi Hian Ceng untuk menyelamatkan diri. Maka ia tidak melepaskan tangan gadis itu yang menggandengnya, bahkan ia balas memegang dan tubuhnya lalu berloncatan cepat sekali, membawa tubuh Hian Ceng yang terbawa meloncat-loncat dan melayang-layang.
“Heiii... eeeiiitttt... eh, kita terbang...!” Hian Ceng menjerit kaget dan ngeri, akan tetapi tak lama kemudian ia tertawa-tawa gembira.
“Waduhhhh... hebat sekali... eiiihh, ngeri... terlalu tinggi kita meloncat... aihhhhh!” Saking ngerinya melihat betapa tubuh mereka mencelat ke atas pohon, kemudian dengan mengenjotkan kaki satu ke ranting lalu melambung lagi, Hian Ceng memejamkan mata dan merangkul Han Han!
Han Han mendiamkannya saja, bahkan berloncatan makin cepat sehingga tidak terdengar lagi suara kaki kuda. Mereka telah berada jauh di balik sebuah bukit, dan Han Han menurunkan tubuh Hian Ceng. “Kita sudah aman, Nona.”
Hian Ceng turun dan membuka matanya. Kedua pipinya merah sekali dan ia memandang Han Han dengan sinar mata penuh kagum. “In-kong, aku kagum sekali... ah, betapa senangku dapat berkenalan denganmu, In-kong.”
Han Han memandang wajah Hian Ceng yang kedua pipinya kemerahan. Gadis ini amat cantik dan memiliki kelincahan yang sama dengan Lulu. Juga wajahnya cerah, tadi baru saja menyedihkan kematian ayahnya kini sudah dapat tersenyum amat manis.
“Nona, engkau mengingatkan aku akan adikku, Lulu.”
“Ah, adikmu tentu cantik jelita sekali, In-kong!” kata Hian Ceng saat mereka melanjutkan perjalanan.
“Memang cantik jelita dan manis sekali, Nona.”
“Dan dia tentu amat lihai.”
“Memang dia amat lihai!”
“Dan dia tentu amat menyenangkan hati, In-kong.”
“Memang sesungguhnyalah dia amat menyenangkan hatiku, aku amat sayang Nona.”
Hian Ceng tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh memandang Han Han, alisnya yang hitam kecil menjelirit itu mengerut, suaranya terdengar agak marah, “Kalau begitu, In-kong telah tega hati untuk membohongiku dan mempermainkan aku!”
Nah-nah-nah, sudah kumat lagi, pikir Han Han. “Mengapa, Nona? Aku tidak bohong! Masa aku bohong kalau mengatakan bahwa adikku Lulu cantik jelita, manis, lihai dan menyenangkan hatiku?” Dia benar-benar tidak mengerti karena biar pun Lulu kadang-kadang juga merajuk dan mengambek, akan tetapi ada sebabnya, bukan seperti nona ini yang tiada hujan tiada angin lalu menyambar-nyambar seperti kilat di siang hari!
“In-kong bohong! Kalau begitu, mana bisa aku mengingatkan In-kong kepada adik In-kong itu?”
Han Han mengangkat alis membelalakkan mata dan di dalam hatinya ia tertawa bergelak, akan tetapi mulutnya menahan ketawa itu sehingga ia menyeringai seperti orang sakit gigi. “Oh... mengapa tidak? Engkau hampir sama dengan dia, juga watakmu hampir sama dengan wataknya.”
“Akan tetapi dia cantik manis...”
“Engkau juga... ehhhh!” Han Han menutup mulutnya, khawatir disangka mengejek lagi. Akan tetapi melihat kini gadis itu menahan senyum dan kelihatan gembira karena wajahnya berseri, ia melanjutkan, “Dan engkau pun lihai dan menarik, menyenangkan hati...”
Dengan muka berseri girang Hian Ceng berkata, suaranya penuh semangat, “Aku akan mencari adikmu sampai dapat, In-kong! Percayalah, kalau memang benar dia berada di daerah Se-cuan, aku pasti akan dapat menemukannya! Setelah Paman Thio Kai meninggal dunia, akulah satu-satunya orang yang paling mengenal keadaan daerah Se-cuan. Sudah kujelajahi semua daerah karena hal ini amat penting bagi tugasku sebagai penyelidik. Sssttttt... kita sekarang harus berhati-hati, In-kong. Lembah di depan itu disebut Lembah Neraka oleh kaum pejuang karena di situ musuh melakukan penjagaan keras.”
Dari tempat yang agak tinggi itu Han Han memandang tajam ke depan. “Akan tetapi kelihatannya sunyi saja.”
Gadis itu mengangguk. “Itulah bahayanya. Kaum pejuang yang menyeberang dan belum mengenal keadaan akan terjebak, mengira bahwa jalan itu aman. Padahal tentara penjajah yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya bersembunyi di kanan kiri lembah itu, ada yang mendirikan perkemahan di dalam jurang-jurang di kedua sampingnya, dan ada yang memasang barisan di atas tebing, siap dengan anak panah mereka. Karena jalan di bagian lereng sebelah kiri itu merupakan jalan satu-satunya dan di sana terapit dinding batu gunung maka jalan itu sempit dan sekali orang lewat di situ, sukar untuk menyelamatkan diri jika diserang dari kanan kiri, atas dan kedua jalan itu ditutup oleh mereka dari depan belakang. Dahulu, setahun yang lalu, tidak kurang dari dua ratus orang pengungsi dari timur yang hendak melarikan diri ke Se-cuan dan lewat di lorong itu, disembelih habis semua oleh mereka, laki-laki wanita dan kanak-kanak!”
Han Han bergidik. Dia teringat akan keganasan bala tentara Mancu yang melakukan pembunuhan terhadap para pengungsi. Kalau kaum pejuang yang mereka bunuh, hal itu memang sewajarnya, sebagai musuh dalam perang. Akan tetapi tentara Mancu yang ganas itu banyak pula membunuhi rakyat yang tidak tahu apa-apa, hal ini benar-benar merupakan perbuatan kejam yang harus ditentang.
“Kalau jalan itu demikian berbahaya, bagaimana kita akan dapat lewat? Mengapa Nona tidak mengambil jalan lain yang lebih aman?”
“Jalan depan itu yang terdekat dan bagiku, yang paling aman.”
“Eh, bagaimana bisa begitu? Bukankah kau katakan tadi bahwa...”
“Bagi yang tidak mengerti bagaimana mengakalinya memang berbahaya, juga bagi rombongan yang terdiri dari banyak orang. Akan tetapi biasanya kami berempat...,” dia berhenti sebentar, teringat akan ayahnya dan dua orang pamannya yang tewas, “kami selalu menggunakan jalan ini. In-kong lihat, pegunungan yang menjulang di sebelah kanan itu adalah Pegunungan Min-san. Dan yang menjulang tinggi di sebelah kiri itu adalah Pegunungan Ta-pa-san. Kita sekarang ini berada di Pegunungan Cin-ling-san. Dan lihatlah baik-baik di balik jurang di bawah itu.”
Han Han memandang daerah yang dikelilingi pegunungan ini dan ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk, ia melihat garis kebiruan yang panjang berliku-liku seperti tubuh seekor naga biru.
“Kau maksudkan sungai itu, Nona?”
“Benar, sungai yang mengalir ke selatan itu adalah Sungai Cia-ling dan kita akan memasuki daerah Se-cuan melalui sungai itu.”
“Naik perahu?”
“Tidak mungkin naik perahu, In-kong. Di kedua tepi sungai itu penuh dengan perkemahan musuh dan barisan tentara sudah siap menghujani setiap perahu yang lewat dari luar perbatasan dengan panah api...!”
“Habis, bagaimana?” Han Han memandang heran. Gadis itu tersenyum manis, agaknya merasa bangga sekali bahwa dalam hal ini dia dapat mengatasi Han Han, dan dialah yang memimpin. Menghadapi pemuda buntung ini ia merasa kecil tak berarti, merasa bukan apa-apa karena kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, akan tetapi kini dialah yang menjadi ‘pemimpin’!
“Marilah, In-kong. Aku akan menunjukkan jalan dan caranya nanti!” Hian Ceng memegang tangan Han Han dan menariknya ke kanan, menuruni jalan menurun yang curam.
Melihat jurang yang dituruni ini dan cara gadis itu menuruni dengan merayap seperti itu, sebetulnya Han Han tidak sabar. Kalau dia mau, dengan menggendong Hian Ceng ia dapat saja turun dengan gerak kilatnya sehingga dapat cepat tiba di Sungai Cia-ling. Akan tetapi ia merasa betapa telapak tangan gadis yang menggandeng tangannya itu hangat sekali, tanda bahwa gadis itu gembira dan bersemangat. Ia dapat menyelami perasaan Hian Ceng yang kini merasa menjadi orang yang lebih pandai, menjadi pemimpin, maka dia tidak tega untuk menghancurkan kegembiraan dan kebanggaannya. Maka ia pun ikut merayap turun.
Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Cia-ling. Hian Ceng mengajak Han Han bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai, lalu menuding ke arah selatan. Han Han memandang dan melihat sebuah perahu dengan lima orang tentara Mancu berada di pinggir. Perahu ditambatkan pada pohon dan lima orang itu mengobrol sambil makan minum perbekalan mereka.
“Kita bunuh mereka dan rampas perahunya?” bisik Han Han.
Hian Ceng menggeleng kepala dan mendekatkan mulutnya di telinga pemuda itu, berbisik, “Jangan, kalau kita bunuh dan akhirnya diketahui, penyeberangan perbatasan menjadi sulit. Dan perahu itu pun tidak ada gunanya bagi kita.”
Akan tetapi Han Han hampir tidak dapat menangkap arti ucapan gadis itu karena merasa betapa bibir itu bergerak-gerak menyentuh daun telinga, hawa yang hangat dari mulut meniup-niup telinga, hidung itu menyentuh-nyentuh pipi dan pelipis. Jantungnya berdebar keras. Selama hidupnya Han Han belum pernah berdekatan dengan wanita seperti sekarang ini.
Dahulu pernah dia mengalami hal luar biasa dengan Lulu ketika berada di Pulau Es, hal yang sampai sekarang kalau ia ingat membuat ia menjadi merah mukanya, akan tetapi ketika itu ia dan Lulu berada dalam keadaan tidak sadar dan diamuk gairah nafsu birahi yang dibangkitkan oleh racun ular merah. Mereka dulu keracunan dan masih dapat melawan sehingga mereka berdua terhindar dari perbuatan yang akan membuatnya menyesal selama hidupnya.
Dan selain peristiwa itu, memang sering kali Lulu dengan sikapnya yang manis memeluknya, mengambung pipinya, akan tetapi Lulu adalah adiknya dan perbuatan itu tidak menimbulkan sesuatu dalam batinnya. Kemudian, pernah pula berdekapan dengan Kim Cu, akan tetapi, hal itu pun dia lakukan ketika ia diamuk kedukaan karena kakinya buntung dan diamuk keharuan melihat cinta kasih Kim Cu yang demikian mendalam kepada dirinya. Berbeda dengan sekarang ini. Sekarang dia berada dalam keadaan sadar dan gadis ini baru saja dia kenal!
“Lalu... bagaimana...?” bisiknya.
“Kau pandai renang... ah, maafkan, In-kong. Tentu kau tidak bisa...” Gadis itu melirik ke arah kaki yang tinggal satu itu.
Han Han menghela napas, bukan karena menyesal melihat kakinya buntung. Kebuntungan kakinya bukan apa-apa lagi baginya, akan tetapi ia menyesal bahwa kebuntungan ini selalu mendatangkan rasa kasihan dan tidak enak, canggung bagi orang lain.
“Akan tetapi memang tidak perlu berenang,” gadis itu cepat menyambung dengan kata-kata lirih. “Aku memerlukan selonjor batang pohon itu ke tengah sungai dan kita bersembunyi di bawahnya, berpegang dan bergantung kepada cabangnya. Dengan demikian, tanpa susah payah kita akan dapat melewati barisan musuh dengan aman.”
Han Han mengangguk-angguk. Jadi beginikah akalnya gadis cerdik ini? Cerdik dan penuh keberanian karena kalau sampai akal ini diketahui musuh, tentu dia akan menjadi seperti tikus terjebak!
“Baik sekali, Nona. Akan tetapi bagaimana kita akan bernapas dalam air?”
Gadis itu tersenyum, senyum kemenangan penuh bangga karena kembali dialah yang akan dapat mengatasi kesulitan itu. Tangan kirinya meraih ke kiri dan jari-jari tangannya yang kecil dan kuat itu telah mematahkan sebatang alang-alang, mematahkan batang itu ke mulutnya. “Dengan dua tiga batang alang-alang di mulut, dapat kita menyedot hawa dari permukaan air.”
Han Han memandang kagum. Memang cerdik sekali. Dengan pipa batang alang-alang itu memang mereka akan dapat tinggal di bawah permukaan air sampai berapa lamanya pun! Permainan yang cerdik, akan tetapi amat berbahaya. Dengan tubuh di dalam air, berarti sama sekali tidak dapat melindungi tubuh terhadap bahaya dari luar, seolah-olah hanya menggantungkan nyawa kepada berhasilnya akal itu.
Menggantungkan nyawa kepada batang alang-alang! Betapa bahayanya! Akan tetapi, ia tidak mau mengecewakan orang dan mengangguk-angguk, bahkan ia lalu berkata, “Aku akan mencari batang pohon itu di sana.” Sebelum Hian Ceng menjawab, tubuhnya sudah melesat dan lenyap.
Gadis itu tertegun dan mengintai ke arah para tentara yang berada di perahu, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak melihat gerakan Han Han. Sedangkan dia sendiri yang biasanya membanggakan matanya, dan yang berada dekat sekali dengan Han Han, tidak dapat melihat bagaimana pemuda buntung itu lenyap begitu saja dari depan hidungnya!
Karena percaya penuh akan kelihaian Han Han, maka Hian Ceng tidak mau tinggal diam dan ia lalu mulai mencari dan mengumpulkan batang alang-alang yang cukup besar dan tua sehingga batangnya kuat, tidak mudah patah. Ia mengumpulkan sampai sepuluh batang dan tak lama kemudian Han Han kembali dan berbisik.
“Batang pohon sudah siap di sana, dekat tikungan.” Ia menuding.
“Bagus, mari kita ke sana, In-kong. Ini batang jerami alang-alang, kau pakai sebagian.”
Berindap-indap mereka lalu maju ke tepi sungai di tikungan sehingga tidak tampak oleh lima orang tentara di perahu. Melihat sebatang pohon besar yang jebol bersama akar-akarnya, Hian Ceng terbelalak. Kalau keadaan tidak demikian genting, tentu ia ingin sekali tahu bagaimana caranya pemuda buntung itu menumbangkan pohon ini berikut akarnya!
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang muda itu lalu menyeret batang pohon ke sungai, menghanyutkan batang pohon itu sampai ke tengah sungai dan mereka bergantung pada dahan di bawah batang. Dan batang alang-alang menyambung mulut mereka dengan hawa di permukaan air, bersembunyi di antara daun-daun pohon sehingga mudah bagi mereka untuk bernapas. Batang pohon itu hanyut dengan cepat karena arus air di bagian itu kuat juga.
Han Han bergantung pada dahan pohon dengan jantung berdebar tegang. Bagaimana ia tidak akan merasa tegang kalau berada dalam keadaan seperti itu, sama sekali tidak dapat menjaga diri, tak dapat menggunakan kepandaiannya, tidak dapat melihat musuh dan menggantungkan keselamatan dirinya pada dua batang alang-alang?
Tiba-tiba tangan Hian Ceng mencengkeram lengan Han Han. Han Han membuka matanya memandang ke arah atas yang ditunjuk gadis itu. Mula-mula hanya tampak bayangan hitam, akan tetapi lalu tampak kayu lonjong bergerak. Perahu! Han Han khawatir sekali, jelas ada perahu mendekati batang pohon. Ia lalu menyembulkan kepalanya, bersembunyi di antara daun-daun pohon itu. Benar saja, perahu dengan lima orang tentara Mancu berada dekat sekali, dan mereka semua sudah berdiri di perahu dengan tombak di tangan. Seorang di antara mereka berteriak.
“Awas kawan! Di hawah pohon ini tentu ada ikan-ikan pemberontak, kita panggang mereka, ha-ha-ha!”
Han Han terkejut sekali. Untung dia menyembulkan kepalanya, kalau tidak tentu mereka benar-benar akan disate oleh tombak-tombak itu. Mereka yang berada di perahu akan dapat melihat Han Han dan Hian Ceng, sebaliknya mereka yang berada di dalam air sukar untuk dapat melihat gerakan mereka yang di perahu!
Cepat Han Han menyelam lagi dan ketika perahu sudah cukup dekat bagian depannya. Han Han menggerakkan tongkatnya, mendorong perahu dengan gerakan tiba-tiba sehingga perahu itu terbalik dan lima orang tentara Mancu itu terlempar ke air! Han Han kagum sekali melihat betapa dengan gerakan yang cepat, Hian Ceng sudah mengerjakan jari-jari tangannya yang lihai sehingga tanpa mendapat kesempatan sama sekali, dua orang telah ditotok dan tewas seketika, rambut kepala mereka dicengkeram oleh tangan Hian Ceng.
Han Han juga mengerjakan tongkatnya dan tiga orang tentara yang lain tewas tanpa dapat mengerti mengapa mereka mati dan oleh siapa. Han Han menahan mayat-mayat mereka dengan tongkat. Mereka berdua terpaksa menyembulkan kepala ke permukaan air. Untung kedua tepi sungai sunyi di saat itu sehingga peristiwa itu tidak teriihat oleh tentara lain.
“Kita harus membawa mayat mereka ke tepi. Kalau terhanyut, kita celaka...,” kata Hian Ceng yang hendak berenang minggir sambil menyeret dua mayat korbannya.
“Biarkan aku melempar mereka ke darat!” Han Han mencegah dan tongkatnya bergerak dan... tubuh seorang tentara terlempar dan terbanting di tepi sungai. Lima kali Han Han menggerakkan tongkatnya dan lima mayat itu kini semua sudah menggeletak di pantai sungai. Perahunya yang tersangkut pada pohon itu, oleh Han Han didorong. Kekuatan mendorongnya luar biasa sekali sehingga perahu itu terdorong bagaikan anak panah cepatnya sehingga setibanya di tepi, ujung perahu itu menancap pada tanah!
Mereka cepat menyelam lagi. Tiba-tiba tangan gadis itu sekali lagi mencengkeram lengannya, Han Han membuka mata memandang gadis itu yang kelihatan lucu dan aneh sekali karena gerakan air membuat wajah gadis itu peletat-peletot dan bengkak-bengkok. Hian Ceng mengangkat tangan kanan yang dikepal jari-jarinya kecuali ibu jari yang diangkat ke atas, di depan hidung Han Han. Ah, kiranya gadis itu hanya ingin menyatakan kagumnya, hanya ingin memujinya dan karena di dalam air itu tak mungkin mengeluarkan suara, maka gadis itu mengacungkan jempolnya di depan hidung untuk memuji.
“Kita sudah masuk perbatasan daerah Se-cuan, di sini aman. Pakaian kita basah, kalau tidak dijemur dulu, bisa masuk angin!”
Han Han hanya mengangguk-angguk kemudian ia membalikkan tubuhnya membiarkan gadis itu membuka dan menjemur pakaian. Ia mendengar gadis itu mandi di anak sungai yang memuntahkan airnya di Sungai Cia-ling. Benar-benar mengherankan sekali. Setengah hari lamanya sudah merendam tubuh di air, sekarang masih mandi lagi! Benar-benar wanita merupakan makhluk yang paling aneh, merupakan manusia yang wataknya kadang-kadang mengherankan sekali. Bahkan watak adiknya sendiri pun kadang-kadang membuat dia bengong dan menggeleng-geleng kepala, menggaruk garuk belakang telinga. Kini ia pun menggeleng kepala dan menggaruk telinga tanpa disadarinya.
“Heiiiiii...! In-kong, kenapa kau menggeleng kepala dan menggaruk belakang telinga?” terdengar teriakan gadis itu dari belakangnya. Bukan main! Sudah mandi, kiranya masih mencurahkan perhatian kepadanya sehingga semua gerak-geriknya diketahuinya belaka!
“Aku heran mendengar engkau mandi, Nona,” kata Han Han sambil membuka bajunya, memeras air dari bajunya dan menggantungkannya di tempat panas bersama pakaiannya yang hanya satu stel. Celananya tetap ia pakai dan dia pun duduk di tempat panas untuk mengeringkan celana yang dipakainya.
“Mengapa heran mendengar orang mandi? Apakah engkau belum pernah mendengar orang mandi?”
“Bukan begitu maksudku. Baru saja kita keluar dari dalam sungai di mana kita berendam sampai setengah hari. Mengapa engkau mandi lagi, Nona?”
“Mengapa tidak? Air Sungai Cia-ling kotor, dan air sungai kecil ini amat jernih.” Kini suara gadis itu terdengar dekat, agaknya sudah selesai mandi. “Dan engkau tidak perlu lagi membelakangiku, In-kong. Aku sudah bersembunyi di balik semak-semak.”
Han Han membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi semak-semak dan sungai. Namun ia masih dapat melihat bayangan tubuh gadis yang telanjang itu di antara celah-celah daun semak-semak itu. Terpaksa ia menundukkan mukanya agar matanya jangan sampai melihat bayangan itu.
Sunyi sejenak. Gadis itu memeras pakaiannya yang basah dan yang baru saja dicucinya, kemudian dari bayangan yang dikerlingnya sebentar untuk mengetahui apa yang dilakukan Hian Ceng, Han Han dapat menduga bahwa gadis itu sedang menyambung bagian kain yang robek dengan benang-benang yang ia cabut dari kain pengikat kepalanya.
“Mengapa diam saja, In-kong? Apa yang kau pikirkan?” Tiba-tiba pertanyaan ini mengejutkan Han Han dan menyadarkannya dari lamunan.
“Eh, tidak apa-apa. Akalmu tadi baik sekali, Nona.”
“Uh, baik apa? Buruk sekali! Hampir saja celaka. Akal itu sudah kuno, tidak memenuhi syarat lagi. Musuh sudah tahu, perlu diganti dengan akal yang lebih tepat.” Hian Ceng lalu bercerita panjang lebar tentang semua pengalamannya sambil menanti keringnya pakaian.
Dari cerita ini tahulah Han Han bahwa gadis ini memang seorang gadis pejuang, gadis yang semenjak berusia tujuh tahun sudah ditinggal mati ibunya, kemudian ikut dengan ayahnya ke mana pun It-ci Sin-mo Tan Sun yang sudah tua itu pergi. Dia diajak berjuang oleh ayahnya, tak tentu tempat tinggalnya, sebagian besar hidup di dalam hutan-hutan di atas gunung-gunung dan di tempat-tempat liar!
Mengertilah Han Han mengapa sikap gadis ini terbuka, lincah liar dan polos. Agaknya, hidupnya selama ini di tempat-tempat terbuka, bersama-sama dengan para pejuang, hidup penuh kekerasan, menghadapi banyak bahaya maut bersama pejuang yang sudah mengeras wataknya dan menjadi kasar, membuat gadis ini menjadi gadis alam. Pantas saja tidak pemalu seperti gadis-gadis kota, dan tidak merasa canggung biar pun kini ia bercakap-cakap dengan Han Han dalam keadaan telanjang, biar pun tertutup semak-semak.
Setelah pakaian mereka kering dan tubuh mereka yang tadinya dingin menjadi hangat oleh sinar matahari, Hian Ceng berpakaian dan muncul dari balik semak-semak. Wajahnya segar dan bersih, rambutnya terurai lepas, pakaiannya sudah tertutup rapat dan dia memandang Han Han yang sudah sejak tadi berpakaian dengan wajah berseri.
“In-kong, marilah kuperlihatkan padamu daerah Se-cuan yang indah, kuperkenalkan daerah pejuang!” Ia lalu berlari-lari cepat.
Han Han segera berloncatan mengejar gadis yang mendaki pundak itu. Kegembiraan gadis itu menular kepadanya sehingga dengan kaget dan heran akan tetapi juga senang ia sadar dan teringat betapa kini hatinya tidak begitu tertekan lagi, semangatnya tidak lemah lagi seperti sebelum ia bertemu dengan Hian Ceng. Ah, melihat gadis itu yang demikian lincah gembira, melihat dia hidup seperti tidak mengenal susah padahal baru saja ditinggal mati ayahnya, benar-benar menyadarkannya bahwa hidup ini sebetulnya tidaklah begitu buruk!
Tak lama kemudian kedua orang ini tiba di sebuah puncak di Pegunungan Cin-ling-san dan Hian Ceng berhenti. Han Han kagum sekali. Memang pemandangan di situ amat indahnya, sungguh pun dia harus mengakui bahwa ia lebih tertarik dan merasa lebih indah ketika memandang sepasang mata yang bersinar-sinar gembira, bibir yang tersenyum dan agak terbuka karena terengah-engah, pipi yang kemerahan dan segar, rambut yang sudah kering betul dan melambai-lambai tertiup angin seperti benang-benang sutera.
“Lihatlah, In-kong. Puncak-puncak Pegunungan Ta-pa-san di timur dan puncak-puncak Pegunungan Min-san di barat tampak semua dari sini. Seperti juga di lembah Cin-ling-san ini, di lembah kedua gunung itu pun terjaga oleh barisan Mancu. Berkali-kali pihak Mancu menyerang dari tiga daerah pegunungan ini, akan tetapi kami selalu dapat memukul mundur mereka. Daerah Se-cuan memang amat tepat menjadi pusat perjuangan melawan Mancu. Daerah yang dikurung gunung-gunung. Puncak yang amat tinggi dan jauh di barat itu, di balik Pegunungan Min-san, adalah Pegunungan Bayangkara. Di sebelah selatan Min-san disambung dengan Pegunungan Ciung-lai-san, dan di tapal batas sebelah selatan masih disambung lagi oleh Pegunungan Ta-liang-san. Daerah timur ditutup oleh Sungai Yang-ce-kiang dan bala tentara Bu-ongya dikerahkan untuk menjaga tapal batas di timur sepanjang Sungai Yang-ce-kiang, dan di utara di lembah-lembah Gunung Ta-pa-san dan Min-san.”
Sambil memandang ke sekeliling dari tempat tinggi ini, Han Han kagum akan pengetahuan gadis itu tentang keadaan dan daerah itu.
“Pusat pemerintah di mana Bu-ongya tinggal berada di kota raja Cung-king, dan semua benteng pertahanan yang dijadikan pusat para pejuang yang membantu Bu-ongya tersebar di tiga tempat, yaitu Cung-king, Kwang-yang dan Wan-sian. Engkau sendiri harus ke Cung-king, In-kong, selain untuk bertemu dengan Bu-ongya, juga di sana tentu engkau akan bertemu dengan para pejuang lain yang sudah In-kong kenal. Mari kita turun dan melanjutkan perjalanan. Biar pun sekarang telah memasuki daerah sendiri yang aman, akan tetapi perjalanan masih harus ditempuh dua hari dua malam dan amat sukar perjalanannya, baru kita akan bertemu dengan penjaga-penjaga. Nanti aku akan menyuruh mereka mengantar In-kong ke Cung-king.”
“Dan kau sendiri, Nona?”
“Aku akan pergi mencari adikmu, kumulai dengan mencarinya di Kwang-yang.”
“Aku pun hendak mencari adikku. Memang untuk keperluan itulah aku memasuki Se-cuan.”
“Benar, akan tetapi sebagai seorang yang baru saja memasuki Se-cuan, In-kong adalah seorang asing. Kalau tidak menghadap dulu ke Cung-king, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan bagi In-kong sendiri yang akan dicurigai di mana-mana. Selain itu, sudah sepatutnyalah kalau orang memasuki daerah yang sedang bergolak, terlebih dahulu menghadap Bu-ongya yang dapat dikatakan sebagai tuan rumahnya.”
Gadis itu pandai sekali berdebat dan Han Han terpaksa membenarkannya. Mereka lalu menuruni puncak itu dan setelah hari menjadi gelap, Hian Ceng mengajak Han Han beristirahat di sebuah lereng gunung di mana terdapat sebuah gubuk kecil di pinggir hutan, gubuk yang menurut kata Hian Ceng sengaja dibuat oleh para pejuang untuk tempat istirahat.
Hian Ceng benar-benar mengenal daerah itu. Dia pergi sebentar dan datang lagi membawa buah-buahan dan seekor ayam hutan yang gemuk. Sambil bernyanyi-nyanyi Hian Ceng membersihkan dan memanggang daging ayam itu, kemudian mereka makan dan minum air jernih.
Malamnya, Hian Ceng yang sudah lelah sekali tidur di dalam gubuk, di atas dipan bambu, rebah miring. Dingin sekali malam itu. Han Han duduk tidak jauh dari tempat Hian Ceng rebah karena gubuk itu hanya sempit saja, dan biasanya, para pejuang yang kemalaman di tempat ini tidur saja di atas dipan yang memenuhi gubuk, berderet-deret seperti ikan bandeng. Hal ini juga sudah dikatakan oleh Hian Ceng tadi ketika gadis yang sudah biasa hidup di alam liar ini hendak tidur dan merebahkan tubuhnya miring.
“In-kong, mari kita tidur. Kita harus mengaso karena perjalanan besok masih jauh!”
Wajah Han Han merah sekali mendengar ajakan itu, untung bahwa sinar api unggun yang merah menyembunyikan warna mukanya. “Tidurlah, Nona.”
“Eh, masa engkau duduk saja? Tidurlah, tempat ini cukup lebar. Biasanya kami juga tidur di sini, bersama Ayah dan para Paman. Mengapa malu? Nih, di belakangku masih lega, rebahlah di sini.”
Akan tetapi tentu saja Han Han hanya dapat menggeleng kepala dan pura-pura tidak memperhatikan gadis itu dengan menambah kayu pada api unggun. Ia mengerti bahwa gadis yang biasa hidup di alam terbuka, biasa mengalami kesukaran hidup bersama para pejuang lainnya, menganggap tidur bersama seperti itu biasa saja! Bahkan bertelanjang di depannya pun tadinya dianggap bukan apa-apa. Ia baru marah karena pandang mata Han Han yang terpesona! Benar-benar gadis yang jujur, polos dan murni.
Akan tetapi dia yang sudah kenyang membaca kitab-kitab, tahu akan segala peradaban, segala kesusilaan dan kesopanan, bagaimana mungkin dapat rebah di samping seorang gadis? Kalau rebah dan tidur sepembaringan dengan Lulu, hal itu sih tidak terlalu menyiksa perasaan. Akan tetapi dengan gadis yang baru dikenalnya ini? Tak mungkin...!!
"Sudah kutegur, akan tetapi akhirnya aku harus membela dia. Dia ditunangkan dengan Tan-siucai atas kehendak Suhu, bahkan ia belum pernah bertemu dengan tunangannya itu. Kalau dia bertemu denganmu dan jatuh cinta, salahkah itu? Karena itu, aku mewakili mendiang sumoi-ku untuk bertanya terus terang kepadamu, Han Han. Adakah engkau mencinta sumoi?”
Han Han menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. “Manusia cacat macam aku ini bagaimana berani menjatuhkan kasih sayang kepada seorang wanita, Sin Kiat? Tidak, semenjak kakiku buntung, aku tidak lagi berani membiarkan hatiku menjatuhkan cinta kepada seorang wanita karena aku maklum bahwa tidak ada seorang pun wanita di dunia ini dapat hidup bahagia di samping seorang suami cacat memalukan seperti aku. Tidak, aku tidak berani dan tidak dapat mencinta seorang gadis murni cantik dan perkasa seperti sumoi-mu itu...”
Sin Kiat menarik napas panjang. Di dalam hatinya pemuda ini dapat mengerti akan sikap rendah hati Han Han ini, sikap yang mungkin timbul karena peristiwa yang menyedihkan di samping buntungnya kaki pemuda ini. Ia pun tidak mau menyinggung-nyinggung lagi akan hal itu, namun diam-diam timbul rasa khawatir di hatinya, karena sebagai seorang pemuda yang berpandangan tajam Sin Kiat dapat menduga bahwa Sin Lian pun seperti adiknya, jatuh cinta kepada pemuda kaki buntung yang mengagumkan ini.
Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu adalah seorang kaisar yang benar-benar pandai sekali, bukan hanya di bidang kemiliteran akan tetapi juga di bidang pekerjaan sipil seperti pembangunan dan lain-lain. Kaisar yang amat pandai dan amat lama memegang kendali pemerintahan Kerajaan Mancu ini (tahun 1663-1722) telah berhasil dengan baik menarik bangsa pribumi yang tadinya menentang penjajahan menjadi tenaga-tenaga yang amat penting dan berguna demi memajukan negara di bawah pemerintahannya.
Untuk mencapai hasil baik, Kaisar Kang Hsi memajukan kebudayaan pribumi, bahkan mengundang bangsa pribumi yang terkenal sebagai kaum cendekiawan, kaum cerdik pandai, untuk menduduki jabatan-jahatan penting dalam pemerintah. Tentu saja kaum sastrawan dan kaum persilatan menyambut undangan ini dengan gembira sehingga banyaklah sastrawan-sastrawan dan ahli-ahli silat muda mengalir ke kota raja. Mereka diterima oleh kaisar dan diberi jabatan-jabatan yang penting.
Juga dalam urusan membersihkan negara dari pada para pemberontak, kaisar yang pandai ini berhasil baik sekali. Dengan bantuan tokoh-tokoh kang-ouw yang kena terbujuk, pula karena memang bala tentara Mancu merupakan bala tentara yang kuat, tahan uji, dan berdisiplin, maka gerombolan-gerombolan bersenjata yang menentang Kerajaan Ceng satu demi satu dapat dihancurkan.
Sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa di antara gerombolan-gerombolan pejuang yang menentang penjajah Mancu demi perasaan patriotik, terdapat banyak pula gerombolan yang sebenarnya adalah penjahat-penjahat dan perampok yang menggunakan dalih ‘perjuangan’ untuk dapat memeras dan merampok rakyat jelata. Dengan dalih perjuangan, mereka yang mengotorkan dan mencemarkan perjuangan itu mengancam rakyat yang dipaksa membantu perjuangan mereka dengan menyerahkan harta benda untuk biaya perjuangan!
Sebetulnya, kenyataan itulah yang merupakan sebuah di antara kelemahan perjuangan kaum patriot di masa itu. Karena nama perjuangan dibikin cemar, maka ketika tentara Mancu datang dan menyapu para perampok yang berkedok pejuang itu, rakyat menyambut dengan gembira, menganggap bahwa pemerintah yang baru berhasil membebaskan rakyat dari pada pemerasan dan penindasan pejuang-pejuang yang kini disamakan dengan perampok jahat itu! Hal ini adalah satu di antara sebab-sebab mengapa penduduk pribumi dapat cepat melenyapkan perasaan kebencianhya terhadap bangsa Mancu yang menjajah.
Selain itu juga Kaisar Kang Hsi dengan taktiknya yang tepat dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan tradisi-tradisi lama di Tiongkok. Para pembesar Mancu diharuskan belajar bahasa dan sastra Tiongkok dan bahkan diharuskan bicara dalam bahasa pribumi, bukan dalam pertemuan-pertemuan resmi saja, bahkan di antara keluarga para pembesar Mancu pun mereka menggunakan bahasa pribumi. Hal ini adalah karena Kaisar Kang Hsi yang bijaksana itu maklum bahwa sekali bangsanya sudah menjadi ‘bangsa asli’, maka dalam abad-abad selanjutnya tidak akan ada lagi ‘pribumi’ yang menganggap bahwa pemerintah Kerajan Ceng adalah kerajaan asing!
Biar pun hampir seluruh daerah Tiongkok telah dikuasai, dan semua pemberontak di perbatasan-perbatasan telah dapat dihancurkan, namun hanya Se-cuan yang masih tetap bertahan. Hal ini adalah karena pemerintah Ceng yang cerdik memang sengaja membiarkan daerah ini agar menjadi pusat pelarian bagi para pemberontak. Agar dengan adanya wadah ini, para pemberontak yang sudah kehilangan kesatuannya akan melarikan diri ke Se-cuan dan kelak akan mudah untuk menyerbu satu tempat saja dari pada kalau harus mengejar pemberontak-pemberontak yang tersebar di mana-mana. Selain sukar juga membutuhkan benyak tenaga dan biaya.
Karena sengaja didiamkan, dan hanya sekali-kali diadakan pengepungan dan serangan kecil, maka terjadilah semacam perang dingin dan tapal batas. Se-cuan merupakan daerah gawat. Pedagang-pedagang petualang yang berani hilir-mudik melewati perbatasan yang gawat ini tentu akan memperoleh keuntungan yang besar sekali, akan tetapi tentu saja dengan resiko perutnya ditembus tombak, baik oleh tentara di pihak Se-cuan mau pun tentara Mancu, karena dicurigai sebagai mata-mata musuh.
Dan biar pun belum diadakan penyerbuan besar-besaran, namun telah terjadi ketegangan karena di pihak orang-orang gagah di dunia kang-ouw terpecah dua, ada yang pro Se-cuan, ada pula yang pro Kerajaan Ceng. Bentrokan-bentrokan kecil terjadi di mana-mana dan tentu saja mata-mata kedua pihak pun disebar dengan leluasa karena di pihak pemerintah Mancu pun memiliki banyak kaki tangan orang kang-ouw yang terdiri dari orang pribumi.
Han Han dan Sin Kiat yang melakukan perjalanan ke barat, di sepanjang jalan mereka menyelidiki tentang Lulu. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk. Bahkan banyak kaum pejuang yang hilir-mudik ke Se-cuan, yang mengenal Sin Kiat, juga tidak ada yang pernah melihat Lulu. Hati mereka kecewa sekali, terutama Han Han yang menjadi makin gelisah. Masih hidupkah adiknya itu? Kalau hidup, di mana dan mengapa tidak ada jejaknya?
Pada suatu pagi, kedua orang muda ini memasuki kota Tiang-koan-bun yang letaknya dekat dengan perbatasan Se-cuan. Di bagian ini telah ada pelarangan membawa senjata yang dilaksanakan dengan keras oleh para penjaga, berbeda dengan pedalaman yang biar pun ada pula pelarangan umum itu, namun pelaksanaannya tidaklah begitu ketat. Karena maklum akan hal ini dan tidak ingin mencari perkara di daerah gawat, Sin Kiat menyembunyikan pedangnya di balik baju dan ia berpakaian sebagai seorang penduduk biasa. Han Han masih berpakaian seperti biasa, sederhana dan berwarna putih, tangan kirinya memegang sebatang tongkat kayu yang dibuatnya begitu saja dari sebuah ranting pohon.
“Malam nanti kita menyelundup lewat perbatasan, masuk daerah Se-cuan,” kata Sin Kiat perlahan ketika mereka tiba di sudut kota.
Han Han berhenti melangkah dan pandang matanya termenung, keningnya berkerut. Ia menoleh ke kanan kiri seperti orang mencari-cari, dan memang ia selalu tak pernah berhenti mencari-cari dengan pandang matanya, seolah-olah setiap saat ia mengharapkan akan melihat berkelebatnya bayangan Lulu.
“Sin Kiat, agaknya yang kau pentingkan hanya perjuangan saja,” kata Han Han lirih.
Sin Kiat memandang heran. “Habis, bagaimana kalau tidak begitu, Han Han? Dalam masa seperti ini, siapa tidak mementingkan perjuangan?”
Terdengar derap kaki kuda dan seorang penunggang kuda lewat di jalan itu. Han Han tidak mempedulikan, bahkan menengok pun tidak. Tanpa memandang Sin Kiat dia berkata, “Bagiku, yang terpenting adalah mencari Lulu sampai dapat ditemukan!”
Sin Kiat juga mengerutkan keningnya. “Hemmm, Han Han, mengapa kau menekankan hal itu? Apakah kau kira aku pun tidak gelisah memikirkan Nona Lulu? Kiranya tidak perlu kujelaskan lagi bahwa engkau tentu paham akan isi hatiku terhadap adikmu! Aku pun ingin sekali bertemu dengan dia, ingin melihat dia selamat. Akan tetapi, kita memiliki tujuan dalam perjalanan ini, yaitu ke Se-cuan! Tentang adikmu yang kau tahu amat kucinta... hmmm... bukankah kita sudah selalu menyelidiki tentang dia? Bukankah aku pun selama ini mengerahkan seluruh tenaga untuk mencari dia? Siapa tahu, dia berada di Se-cuan.”
Han Han menarik napas panjang dan kini ia menoleh memandang wajah Sin Kiat yang tampan itu. Tentu saja dia tahu bahwa pemuda perkasa ini, pemuda yang gagah dan berwatak pendekar, jatuh cinta kepada Lulu. Dan diam-diam ia pun akan merasa setuju sekali kalau adiknya mendapatkan jodoh seperti Sin Kiat. Akan tetapi itu adalah perkara nanti. Yang perlu mencari Lulu sampai dapat! Apa perlunya memikirkan perjodohan Lulu kalau gadis itu sendiri masih belum dapat ditemukan, belum diketahui masih hidup atau sudah mati?
“Begini sajalah. Engkau pergilah dulu ke sana, aku akan mencarinya di sekeliling perbatasan ini. Selain itu, dulu sudah kukatakan bahwa aku mempunyai urusan pribadi yang harus kuselesalkan sebelum aku menyusulmu ke Se-cuan. Kita berpisah di sini saja, Sin Kiat.”
Selama dalam perjalanan, Sin Kiat sudah mengenal Han Han lebih baik lagi dan ia mengerti bahwa pemuda berkaki buntung itu sedang menderita tekanan batin hebat sekali sehingga apa yang keluar dari mulutnya selalu merupakan keputusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ia maklum bahwa akan percuma saja dia membantah, maka katanya.
“Baiklah, Han Han. Kalau engkau menghendaki demikian, biar aku yang masuk ke sana lebih dulu dan akan kucari Nona Lulu di sana. Kalau berhasil, aku akan kembali ke sini dan biarlah tempat ini menjadi tempat pertemuan kita. Selain itu, harap kau suka melihat-lihat kalau-kalau Nona Lauw Sin Lian tiba di sini. Kalau Nona Lulu tidak ada di Se-cuan, barangkali dia akan datang bersama Nona Lauw.”
Han Han mengangguk dan mereka lalu berpisah. Baru saja beberapa langkah Sin Kiat sudah membalikkan tubuhnya. “Han Han, ada urusan apakah sebetulnya? Apakah aku tidak bisa membantumu sebelum kita berpisah?”
Han Han hanya menggeleng kepala. “Urusan ini adalah urusan pribadiku. Berangkatlah, Sin Kiat dan sampai jumpa. Percayalah, kalau memang aku memerlukan bantuanmu, tentu aku akan minta bantuan. Sekarang ini, bantuanmu satu-satunya yang kuperlukan hanya mencari Lulu sampai dapat.”
Sin Kiat menghela napas. “Kau tentu tahu bahwa aku siap mengorbankan apa saja untuk adikmu. Sampai jumpa!” Sin Kiat lalu pergi meninggalkan Han Han yang masih berdiri termenung-menung di tempat itu.
Aku harus mencari Lulu dan juga mencari musuh-musuhku, pikirnya. Dan menurut enci-nya tidak hanya cihu-nya berada di perbatasan Se-cuan, namun juga musuh besarnya nomor satu, Giam Kok Ma, dan mungkin juga empat perwira lainnya. Ia merasa menyesal kalau teringat betapa dia tidak berhasil membunuh Su-ciangkun karena pada waktu itu ada Ma-bin Lo-mo dan dia sedang menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara sehingga Su-ciangkun mendapat banyak kesempatan untuk melarikan diri.
Sekali ini aku tidak boleh gagal, pikirnya. Kembali terdengar derap kaki kuda, kini ada banyak kuda yang datang ke kota itu. Ketika Han Han menengok, ia melihat pasukan yang terdiri dari belasan orang penunggang kuda berhenti di tempat ramai dan kepala regu berkuda itu membacakan pengumuman dengan suara lantang dari atas kudanya yang menggerak-gerakkan kepala. Han Han mendengarkan.
Kiranya pasukan itu adalah pasukan yang bertugas mengumumkan bahwa berhubung dengan ulang tahun ke sepuluh dari kaisar, yaitu sepuluh tahun semenjak kaisar memegang kendali kerajaan, maka di seluruh negara diadakan pesta perayaan yang dibiayai oleh pemerintah dan rakyat akan dihibur dengan tontonan-tontonan gratis, bahkan di beberapa tempat akan disediakan arak dan roti kering yang boleh dimakan dan diminum di tempat itu secara gratis pula. Pesta akan dimulai malam nanti sampai tiga hari tiga malam lamanya.
“Terutama di daerah ini, akan diadakan pesta besar-besaran, rakyat diberi kesempatan bersuka ria!” Demikian kepala regu itu menutup pengumumannya dengan suara lantang.
Penduduk kota itu menjadi girang dan bersorak-sorak. Diam-diam Han Han memuji kecerdikan pemerintah. Justru di perbatasan ini pemerintah agaknya akan membuktikan perbedaan yang menyolok antara kehidupan rakyat di daerah pemerintah dan di seberang lewat perbatasan, daerah pemberontak. Di samping merayakan ulang tahun kedudukan kaisar, juga pesta itu dapat dipergunakan untuk mempengaruhi penduduk di daerah pemberontak agar mereka melihat bahwa peri-kehidupan rakyat di daerah pemerintah lebih makmur! Waktu itu permulaan tahun 1673 dan memang sudah sepuluh tahun Kaisar Kang Hsi menduduki singgasana pemerintah Ceng.
Han Han berjalan-jalan di kota sambil menyelidiki adiknya, juga mencari keterangan tentang perwira-perwira Mancu yang bertugas di perbatasan. Dia melihat persiapan-persiapan yang dibuat untuk pesta malam nanti. Panggung-panggung dibuka, panggung wayang dan lain-lain, suasana mulai ramai dan meriah karena rakyat juga menghias rumah-rumah mereka dengan bunga-bunga kertas yang dibagi-bagikan oleh petugas pemerintah setempat.
Tadinya Han Han hendak mencari tempat penginapan yang tidak usah bayar, seperti di kelenteng atau kalau perlu di bawah jembatan. Akan tetapi ketika ia merogoh saku bajunya, ia mendapatkan uang di situ dan ketika dilihatnya, ternyata ada beberapa potong uang perak dan dua potong uang emas!
Han Han menghela napas dan maklum bahwa tentulah Sin Kiat yang menaruhkan uang di sakunya di luar tahunya, mungkin malam tadi ketika mereka tidur di hutan di luar kota. Dan ia maklum mengapa Sin Kiat melakukan hal itu. Pertama, karena Sin Kiat maklum bahwa dia memang tidak beruang sama sekali, kedua karena kalau Sin Kiat memberi secara terang-terangan, tentu dia akan menolaknya!
Karena mempunyai uang, Han Han tidak jadi mengisi perut dengan roti kering dan arak gratis, juga tidak mencari penginapan gratis, melainkan menyewa sebuah kamar sederhana di sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota. Setelah mandi dan bertukar pakaian bersih, sore hari itu ia keluar dari kamar, terpincang-pincang pada tongkatnya, hendak menonton keramaian dengan harapan mungkin Lulu akan datang pula. Adiknya itu paling suka menonton pertunjukan, maka seandainya Lulu berada di tempat yang berdekatan, tentu adiknya itu akan datang ke kota Tiang-koan-bun ini untuk nonton wayang!
Akan tetapi sama sekali bukan Lulu yang dilihatnya di antara ribuan orang yang tak dikenalnya yang memenuhi kota di malam hari itu, melainkan seorang pria muda yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya akan dia jumpai lagi, Gu Lai Kwan! Atau suheng-nya, murid Toat-beng Ciu-sian-li, pemuda In-kok-san yang lihai, yang dulu diperintah oleh Toat-beng Ciu-sian-li untuk membunuhnya! Golok pemuda inilah yang telah membacok putus kakinya!
Han Han terkejut sekali dan cepat menyelinap di antara orang banyak. Dia tidak membenci Gu Lai Kwan yang dahulu di waktu kecilnya adalah temannya main-main, juga teman berlatih. Biar pun senjata pemuda ini yang membuntungi kakinya, akan tetapi pemuda itu hanyalah mentaati perintah Toat-beng Ciu-sian-li, karena murid yang tidak taat akan menerima hukuman lebih berat lagi. Lai Kwan adalah seorang di antara mereka berempat yang diambil murid oteh Toat-beng Ciu-sian-li. Lai Kwan, dia sendiri, Kim Cu dan Phoa Ciok Lin yang bermata tajam dan berwajah serius itu!
Melupakan semua persoalan yang pernah timbul di antara mereka, Han Han yang tadinya girang melihat Lai Kwan dan hendak menegur, tiba-tiba teringat bahwa Ma-bin Lo-mo kini telah bersekongkol dengan pemerintah Mancu. Kalau Ma-bin Lo-mo telah menjadi kaki tangan Mancu, sangat boleh jadi Toat-beng Ciu-sian-li juga menjadi kaki tangan Mancu dan tentu murid-muridnya sama saja.
Mengingat akan hal ini, ia membatalkan niatnya menegur bekas suheng ini dan Han Han malah membayanginya dengan diam-diam. Ia melihat Lai Kwan dengan senyum-senyum di wajahnya yang tampan itu berjalan-jalan dan menonton pertunjukan wayang sebentar, kemudian pemuda In-kok-san itu lalu berjalan lagi memasuki sebuah rumah penginapan besar. Pengurus rumah penginapan itu menyambut dengan membungkuk-bungkuk penuh hormat. Han Han yang menyelinap di sudut hotel itu bersembunyi di balik dinding, mendengar suara Lai Kwan bertanya dengan suara angkuh.
“Ouwyang-kongcu sudah datang?”
“Oh, sudah, sudah, Gu-taihiap. Malah semua orang sudah berkumpul, tinggal menanti taihiap dan beberapa orang tamu agung lagi,” pengurus hotel itu berkata hormat.
Han Han mengangguk-angguk. Tak salah dugaannya. Bila Lai Kwan telah berhubungan dengan Ouwyang-kongcu yang ia duga tentulah bukan lain Ouwyang Seng adanya, jelas bahwa pemuda ini pun mengikuti jejak Ma-bin Lo-mo dan bersekongkol dengan pemerintah Mancu. Hemmm, dahulu Ouwyang Seng pernah menculik Lulu dan biar pun tidak mengganggu Lulu, namun dapat diharapkan bahwa pemuda putera pangeran itu kini mengetahui di mana adanya Lulu. Sungguh pertemuan yang tak pernah disangka-sangkanya!
Hatinya girang sekali dan timbul harapan baru. Dengan cepat tanpa diketahui siapa pun, Han Han menyelinap ke belakang, menggunakan kepandaiannya bagaikan seekor burung tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ia maklum bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka ia bersikap hati-hati, dan selain mempergunakan ginkang-nya sehingga kakinya tidak menimbulkan suara dan tongkatnya tidak pernah menyentuh genteng, ia juga selalu bersembunyi di dalam bayangan yang gelap sampai ia berhasil mengintai dari atas ruangan yang dimasuki Lai Kwan.
Ruangan itu merupakan ruangan paling belakang di hotel itu dan dari atas Han Han dapat melihat bahwa hotel itu ternyata tidak dimasuki tamu lain kecuali rombongan orang-orang penting. Agaknya hotel ini telah diborong. Buktinya Li Kwan memasuki hotel itu tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya dan agaknya semua kamar di hotel itu hanya ditempati oleh orang-orang mereka sendiri. Ketika Han Han melihat mereka yang duduk memenuhi ruangan itu, sejumlah belasan orang, ia makin kaget mengenal tokoh-tokoh yang ia jumpai dahulu ketika ia terjebak oleh Giam Kok Ma di kota raja.
Ia mengenal Ouwyang Seng, Kang-thouw-kwi Gak Liat, cihu-nya sendiri Giam Cu, musuh besarnya, Giam Kok Ma, kemudian tokoh-tokoh aneh seperti Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang kepalanya seperti burung berondol bulunya itu, kakak beradik Tikus Kuburan Bhong Lok dan Bhong Poa Sik, juga tiga orang murid Setan Botak, yaitu Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio! Masih ada beberapa orang perwira dan tokoh-tokoh aneh yang tak dikenalnya, akan tetapi semua ini sudah cukup bagi Han Han bahwa di situ diadakan rapat yang amat penting oleh perwira-perwira Mancu dan tokoh-tokoh lihai dunia kang-ouw yang menjadi kaki tangan pemerintah Mancu.
Dia akan mendengarkan dulu apa yang hendak mereka bicarakan, siapa tahu kalau-kalau mereka akan menyinggung-nyinggung nama Lulu. Andai kata tidak, masih belum terlambat bagi dirinya untuk mencari kesempatan menangkap Ouwyang Seng dan memaksa pemuda bangsawan itu bicara tentang Lulu. Kalau dia turun tangan, ia masih merasa sangsi apakah ia akan mampu menghadapi sekian banyaknya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Ketika Lai Kwan muncul, sebagian dari mereka berdiri dan menyambut dengan hormat, terutama para perwira. Hanya Gak Liat dan tiga orang muridnya yang tidak berdiri, bahkan Gak Liat lalu menegur.
“Gu-sicu, mana gurumu dan Si Kuda Iblis?”
Gu Lai Kwan menjura ke arah Gak Liat yang dianggapnya orang yang lebih tinggi kedudukannya, lalu menjawab sambil duduk di atas kursi yang masih banyak yang kosong.
“Siankouw... eh, maksudku Subo (Ibu Guru) tidak dapat hadir sendiri dan mewakilkan kepada saya, juga Siangkoan Suhu tidak dapat datang, akan tetapi dalam waktu tiga hari Suhu dan Subo akan datang ke Tiang-koan-bun.”
Gak Liat mengangguk-angguk. Tak lama kemudian masuklah tiga orang perwira Mancu dan agaknya para anggota rapat sudah terkumpul semua, buktinya Giam Cu, kakak iparnya bangkit berdiri dan menjura kepada semua orang sambil berkata.
“Cu-wi sekalian tentu sudah maklum mengapa saat ini kita berkumpul semua di kota ini. Bertepatan dengan ulang tahun ke sepuluh dari Hong-siang (Kaisar) yang bijaksana dan yang dalam sepuluh tahun telah mendatangkan kemajuan pesat di negara kita, maka kita dihadapkan pada pemberontak yang kini telah berkumpul semua di Se-cuan. Menurut perintah dari Hong-siang sendiri, dalam tahun ini juga kita diharuskan menyerbu dan menghancurkan pusat pemberontak itu dan untuk tugas ini telah diserahkan kepada yang mulia Puteri Nirahai yang akan memimpin sendiri penyerbuan ke Se-cuan. Kita semua sudah mengetahui akan kecerdikan dan keahlian Sang Puteri, maka kini beliau telah mengutus Gak-locianpwe yang mewakili beliau untuk memimpin penyerbuan ke Se-cuan. Maka kami serahkan kepada Gak-locianpwe yang akan mengemukakan pendapat dan rencananya.” Giam Cu lalu duduk kembali dan menoleh kepada Gak Liat, dan semua orang pun kini memandang kepada Si Setan Botak itu.
Kang-thouw-kwi Gak Liat menggaruk-garuk botaknya, lalu berkata tanpa berdiri.
“Sesungguhnya, dalam soal ketentaraan saya tidak memiliki pengertian apa-apa dan untuk pelaksanaan penyerbuan, tentu saja saya mengharapkan petunjuk-petunjuk para perwira tinggi yang sudah berpengalaman dalam soal perang. Akan tetapi, untuk menghadapi para tokoh pemberontak yang kabarnya memiliki banyak orang pandai, saya dan teman-teman siap untuk turun tangan. Ada pun Sang Puteri yang menyuruh saya mewakili beliau hanya mengatakan bahwa penyerbuan harus dilakukan dengan rahasia sehingga pihak musuh tidak sedang berjaga, dan di dalam suasana pesta ini kiranya mereka tidak akan menyangka akan datangnya penyerbuan. Maka telah diputuskan oleh Sang Puteri untuk melakukan penyerbuan pertama pada bulan depan hari ke tujuh.”
Han Han kaget mendengar ini. Ah, kiranya tentara Mancu tak lama lagi akan melakukan penyerbuan besar-besaran, menggunakan kesempatan selagi pihak Se-cuan tidak menduga-duga karena dalam suasana pesta itu agaknya tidak mungkin tentara Mancu akan melakukan penyerangan. Dan agaknya Kaisar Mancu hendak mempergunakan penyerbuan Se-cuan ini sebagai hadiah ulang tahunnya!
Han Han tidak begitu peduli akan perang, namun mengingat akan keganasan tentara Mancu, ia dapat membayangkan betapa akan sengsaranya rakyat yang tinggal di daerah Se-cuan. Ia merasa telah menjadi kewajibannya untuk memberi tahu ke Se-cuan agar di sana orang dapat berjaga-jaga. Apa lagi kalau diingat bahwa banyak sahabat baiknya berada di sana, bahkan Sin Lian sendiri pun tak lama lagi tentu akan masuk ke Se-cuan bersama teman-temannya.
Akan tetapi, tidak mungkin ia meninggalkan Giam Kok Ma begitu saja. Musuh besar yang paling dibencinya itu, Si Muka Kuning yang dahulu memperkosa ibunya telah berada di situ. Bagaimana ia dapat melewatkan kesempatan baik ini begitu saja? Dia harus turun tangan melakukan pembalasan terhadap perwira keji ini, baru ia akan memaksa Ouwyang Seng bicara tentang Lulu. Setelah itu, barulah ia akan pergi ke Se-cuan untuk menyampaikan berita penyerbuan itu kepada Wan Sin Kiat!
Dengan sabar ia mendengarkan semua percakapan mereka dan mengingat-ingat nama tempat-tempat yang akan dijadikan dasar tempat penyerangan mereka, tempat-tempat di pihak musuh yang akan diserbu dan lain-lain. Tentu saja Han Han tidak dapat ingat semua, akan tetapi setelah mengingat beberapa nama tempat yang penting, ia merasa sudah cukup.
Ketika pembicaraan yang penting dihentikan dan pertemuan diubah menjadi pesta di mana mereka silih berganti mengangkat cawan arak dan minum untuk memberi selamat kepada kaisar, makan minum sambil tertawa-tawa, Han Han lalu melesat meninggalkan tempat pengintaiannya, turun di belakang hotel lalu berjalan perlahan keluar dari jalan samping ke jalan besar.
Ia menyelinap di antara para penonton dan menonton pertunjukan silat dan barongsai yang dimainkan di panggung dekat hotel. Dari tempat ia menonton, di antara ratusan orang penonton, ia dapat melihat ke arah hotel untuk memata-matai orang yang keluar dari tempat itu.
Betapa mengkal hati Han Han ketika ia menanti hampir tengah malam, belum ada juga yang keluar dari hotel, apa lagi Giam Kok Ma yang ia tunggu-tunggu munculnya. Ia mulai tidak sabar dan sudah melangkahkan kaki untuk turun tangan di hotel itu saja, tidak peduli di situ banyak terdapat orang pandai! Untuk membalas dendamnya, ia tidak takut mengorbankan nyawanya. Kalau tadi ia bersikap hati-hati, bukan karena takut ia akan celaka. Akan tetapi takut kalau gagal. Ia tidak rela mati sebelum ia mampu membalas dendam ibunya! Akan tetapi ternyata sampai sekarang perwira muka kuning yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul.
Selagi bergerak terpincang-pincang tiga langkah, tiba-tiba ia berhenti dan matanya memandang ke depan hotel. Sebuah kereta datang dari luar memasuki halaman hotel itu, kereta yang dikusiri oleh seorang berpakaian pengawal, dan di belakang kereta berdiri pula dua orang pengawal memegang tombak! Cepat Han Han menyelinap dan mengintai agak dekat pekarangan hotel. Jantungnya berdebar dan diam-diam ia mengharap mudah-mudahan jerih payahnya bersabar sejak tadi tidak akan sia-sia belaka.
Wajah Han Han berseri ketika tak lama kemudian ia melihat orang yang dinanti-nanti muncul dari dalam hotel itu. Giam Kok Ma! Pemuda ini menggeget gigi ketika melihat wajah perwira muka kuning yang amat dibencinya itu. Dan di samping orang ini berjalan cihu-nya (iparnya), Giam Cu, Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Agaknya musuh besarnya itu akan duduk sekereta dengan tiga orang ini. Dugaannya benar, sambil tertawa bebas tanda pengaruh arak, mereka berempat memasuki kereta dan kusir lalu memecut empat ekor kuda besar yang bergerak menarik kereta keluar dari pekarangan hotel.
Tanpa diketahui oleh siapa pun, Han Han menggunakan kepandaiannya membayangi kereta itu. Di ujung kota sebelah barat, kereta berhenti dan Han Han cepat mendekat sambil berjongkok di balik batu di pinggir jalan. Dia mendengar Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan tertawa-tawa dan dua orang muda itu keluar dari kereta. Kereta berjalan lagi keluar kota! Han Han girang bukan main. Kesempatan yang amat baik ini sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Akan tetapi di dalam kereta masih ada cihu-nya dan dia tidak mau membawa-bawa cihu-nya dalam urusan membalas dendam ini. Dia sudah berjanji kepada enci-nya untuk tidak mengganggu Giam Cu, dan kalau dia turun tangan di depan cihu-nya lalu Giam Cu membantu musuh, agaknya ia akan bisa lupa diri dan melanggar janji kepada enci-nya. Biarlah, dia akan tunggu sampai dua orang itu berpisah, baru ia akan turun tangan. Kalau Giam Kok Ma turun lebih dulu, ia akan menyergap pembesar ini di rumah tempat ia bermalam.
Kereta berhenti pula di depan kelompok rumah besar yang agaknya merupakan rumah-rumah penginapan perwira. Giam Cu keluar dari kereta sambil tertawa-tawa dan setelah perwira ini disambut oleh pengawal yang mengantarnya masuk ke dalam, kereta bergerak lagi!
“Thian menghendaki agar manusia terkutuk macam engkau menerima hukuman!” Han Han berbisik dalam hatinya.
Ketika kereta itu agak jauh meninggalkan rumah itu dan agaknya hendak menuju ke tempat penginapan Giam Kok Ma, Han Han meloncat ke atas. Sekali ia menggerakkan tangan, dua orang pengawal yang berdiri di belakang kereta telah tewas dalam keadaan berdiri dan tengkuk mereka patah. Han Han meloncat ke belakang kereta sambil melemparkan dua tubuh yang tak bernyawa lagi itu, kemudian ia meloncat lagi ke depan kereta.
Kusir kereta yang sedang mencambuki kuda agar berjalan lebih cepat karena ia pun ingin sekali mengaso, terbelalak kaget ketika melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada orang duduk di sampingnya. Namun ia tidak sempat berteriak, tubuhnya sudah terlempar jauh dalam keadaan tidak bernyawa tagi. Han Han menyambar kendali kuda dan menggerak-gerakkan cambuk yang mengeluarkan bunyi meledak-ledak. Empat ekor kuda itu membalap cepat.
“Heiiiii...! Mengapa terlalu cepat? Perlahan-lahan saja, kepalaku pening... ah! Heh, ke mana ini? Kenapa membelok ke kiri?”
Giam Kok Ma yang tadinya sudah setengah mabuk, tiba-tiba merasa tengkuknya menjadi dingin sekali ketika mendengar suara tertawa dari tempat kusir kereta. Suara ketawa itu aneh sekali, dan kusirnya tidak akan berani tertawa seperti itu kalau ia tegur.
“Heh, apa ini? Hayo berhenti...!” Giam Kok Ma memukul-mukul pintu kereta sambil berteriak-teriak marah. “Pengawal, suruh kusir berhenti dan beri sepuluh kali cambukan pada pantatnya!”
Akan tetapi tidak ada jawaban dari belakang. Giam Kok Ma cepat menyingkap tirai bagian belakang dan... betapa kagetnya ketika ia melihat tempat pengawal di belakangnya itu sudah kosong! Ia melongok keluar jendela, akan tetapi tidak dapat melihat wajah kusir karena gelap.
“Berhenti...!” Ia berseru lagi dan kini kusir menahan kuda, kereta pun berhenti.
Dengan kemarahan meluap-luap Giam Kok Ma yang juga memiliki ilmu silat lumayan, meloncat ke luar dari kereta sambil mencabut pedangnya, pedang kebesaran. Kalau perlu akan membunuh kusir yang lancang ini, dan ia bisa pulang dengan menunggang kuda! Ia terheran-heran dan menjadi ngeri melihat seorang yang buntung sebelah kakinya, yang turun dari tempat kusir, dengan sikap seenaknya dan tenang sekali mencabut lampu kereta dan berjalan menghampirinya, bukan berjalan melainkan meloncat dengan kecepatan luar biasa sekali.
Han Han memegang lampu kereta, mengangkat lampu tinggi-tinggi sehingga mereka berdua dapat saling memandang muka masing-masing. Han Han memandang wajah yang kekuningan itu penuh kebencian, sedangkan Giam Kok Ma agaknya tidak mengenal Han Han. Sungguh pun perwira ini merasa seperti pernah melihat wajah tampan yang bermata seperti sepasang api bernyala dengan rambut panjang terurai itu, namun ia tidak ingat pernah bertemu dengan seorang laki-laki buntung seperti ini.
“Siapa... siapa engkau...? Di mana kusirku? Mana pengawal-pengawalku?”
Han Han tersenyum, senyum yang tampak mengerikan dan menyeramkan bagi Giam-ciangkun. “Giam Kok Ma, tidak perlu mencari kusir dan pengawal-pengawalmu. Mereka telah kubunuh di tengah jalan tadi. Giam Kok Ma, apakah engkau lupa kepadaku?”
“Siapa... siapakah engkau...?” Suaranya meragu karena kini ia teringat akan suara ini, suara orang yang pernah membuat ia tidak enak makan tidak nyenyak tidur.
“Ingatlah baik-baik, pandang mukaku. Lupakah engkau akan peristiwa terkutuk yang kau lakukan di Kam-chi dekat Nan-king, di sebuah dusun kecil di mana engkau melakukan perbuatan terkutuk di rumah keluarga Sie Bun An?”
“Kau... kau...?”
“Benar! Kulihat engkau mulai teringat. Tentu engkau ingat akan anak laki-laki yang berteriak-teriak seperti gila ketika engkau memperkosa ibunya, kemudian engkau membunuh ibu anak itu, kawan-kawanmu membunuh seluruh keluarga anak itu, merampas barang-barangnya! Akulah anak itu! Akulah anak yang kau lemparkan ke dinding! Ingat?” Pandang mata Han Han seperti pandang mata beekor harimau marah.
Giam Kok Ma menggeleng-gelengkan kepalanya dan lalu berteriak, “Tidak... tidak...! Ah, tolooonggg...!”
Han Han tersenyum lebar. “Benar kata orang bahwa manusia yang berhati kejam sebenarnya adalah seorang pengecut besar! Giam Kok Ma, bersiaplah engkau untuk menebus dosamu, menerima hukumanmu atas perbuatanmu yang terkutuk terhadap Ibuku!”
Han Han melangkah maju karena perwira itu dengan muka sepucat mayat kini mundur-mundur, agaknya siap untuk melarikan diri. Namun kemudian perwira itu menguatkan hatinya. Orang ini kakinya buntung dan dia sendiri memegang pedang! Masa tidak akan dapat melawan seorang buntung?
“Mampuslah, buntung!”
Makian ini dikeluarkan oleh Giam Kok Ma untuk membesarkan hatinya dan menggugah keberaniannya. Pedangnya lalu berkelebat membacok ke arah muka yang mengerikan hatinya itu. Akan tetapi Han Han menggerakkan tangan dan Giam Kok Ma tidak tahu entah bagaimana, namun pedangnya sudah berpindah ke tangan kiri Han Han yang memegang tongkat!
Han Han tersenyum, senyum seorang yang dikuasai kemarahan dan kekejaman.
“Bagus, Giam Kok Ma, masih ada lagikah perlawananmu? Jikalau engkau melawan, sedikitnya engkau memperkecil sebutan pengecut!”
Kedua kaki perwira itu mulai menggigil, mukanya sudah tidak ada sinar merahnya lagi. Ia hendak lari, akan tetapi kedua kakinya tidak mempunyai kekuatan lagi dan dia menjadi nekat, tangannya dikepal dan dihantamkan ke dada Han Han.
“Bukkk! Augghhhh...!”
Perwira itu memegangi kepalan tangan kanannya yang terasa nyeri sekali, seolah-olah ia tidak memukul dada, melainkan memukul baja. Serasa remuk tulang-tulangnya! Saking takutnya tanpa ia sadari lagi celananya menjadi basah! Kiranya rasa ngeri dan takut membuat perwira yang biasanya galak ini menjadi terkencing-kencing! Tiba-tiba ia menggerakkan kakinya, membalikkan tubuhnya dan hendak lari. Akan tetapi ia terguling oleh sabetan tongkat pada kakinya. Han Han mengempit tongkatnya, mengangkat lampu kereta dan kini pedang rampasan di tangannya berkelebat.
“Brettt-brettt...!” Pakaian pembesar itu koyak-koyak dan ia telanjang bulat.
Pedang itu sudah merobek semua pakaiannya tanpa menggores sedikit pun kulitnya! Giam Kok Ma menggigil, bukan karena dingin setelah ia telanjang bulat, melainkan saking takutnya. Tanpa malu-malu lagi ia merangkak bangun dan berlutut, bersoja-kwi (menyembah-nyembah) sampai dahinya penuh debu tangan dan ia meratap.
“Taihiap... ampun... ampunkan hamba... ampuuunnnnn...!” Dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil!
Akan tetapi sepasang mata Han Han mengeluarkan sinar yang lebih ganas dan beringas dari pada tadi. Di bawah sinar lampu kereta ia melihat tubuh perwira yang telanjang bulat itu berlutut dan menyembah-nyembah, mengingatkan ia akan keadaan perwira itu belasan tahun yang lalu di kamar ibunya! Mengingatkan ia ketika perwira itu memperkosa ibunya! Ia seolah-olah dapat melihat ibunya di bawah tubuh perwira itu, ibunya yang meronta-ronta, menggeliat-geliat dan merintih-rintih!
“Bedebah! Keparat! Manusia berhati iblis! Manusia terkutuk! Terimalah hukumanmu!”
Giam Kok Ma mengangkat muka. Saat melihat wajah Han Han yang beringas di bawah sinar lampu kereta, semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya. “Aduhhh... ampunkan, taihiap... apa... apa yang akan taihiap lakukan...?”
“Apa yang akan kulakukan? Ha-ha, Giam Kok Ma, apa yang dulu kau lakukan kepada Ibuku? Jawablah... heh-heh, jawab!”
“Ampunnn...!”
“Giam Kok Ma, ingatkah engkau betapa tangan-tanganmu yang kotor itu menyentuh Ibuku, menelanjangi Ibuku? Hemmm, ingatlah peristiwa itu dan rasakan hukumanmu!”
Pedang itu berkelebat, Giam Kok Ma menjerit dan merintih-rintih sambil memegangi tangan kirinya yang tidak berjari lagi. Kelima jari tangan kirinya telah dibabat putus tanpa ia rasakan dan tahu-tahu ia hanya merasa perih dan jari-jari tangannya sudah lenyap!
“Ampun... aduh, ampun...!”
“Manusia terkutuk, ingatlah engkau akan ratap tangis Ibuku! Betapa engkau tertawa mengejek ketika memperkosanya dan dia menjerit-jerit, betapa engkau dan kawan-kawanmu tertawa ketika kau bunuh seluruh keluargaku! Betapa tanganmu yang menjijikkan mengotori Ibuku kemudian membunuhnya. Terimalah hukumanmu!”
Kembali tampak sinar pedang berkelebat menyambar dan kini kelima buah jari tangan Giam Kok Ma terbang lenyap, yaitu jari tangan kanan yang memegangi tangan kiri yang sudah tak berjari itu.
“Aduhhhh... mati aku... aduh, ampunnnn... taihiap...!”
“Mintalah ampun kepada Tuhan, atau mintalah ampun kepada iblis! Akan tetapi jelas aku tidak dapat mengampunimu!”
Pedang di tangan Han Han berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, disusul jerit-jerit mengerikan yang keluar dari mulut Giam Kok Ma! Darah muncrat-muncrat dan keadaan perwira yang bertelanjang bulat itu benar-benar amat mengerikan. Jari-jari tangannya putus semua, disusul jari-jari kakinya, kemudian alat kelaminnya dibabat pedang sehingga terputus. Darah muncrat-muncrat, Giam Kok Ma tidak dapat menjerit lagi, hanya berkelojotan dan mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih.
Han Han tertawa, suara ketawanya tidak lagi seperti manusia, sepertinya iblis telah menguasai dirinya dan suara itu adalah suara ketawa iblis sendiri yang menyoraki kemenangannya!
“Ha-ha-ha-ha! Rasakan engkau! Hendak kulihat apakah engkau ini akan mampu lagi memperkosa wanita! Ha-ha-ha!”
Sejenak Han Han seperti menikmati pemandangan yang disinari lampu kereta di tangannya itu. Tubuh telanjang bulat yang mandi darah, yang menggeliat-geliat dan berkelojotan, sepasang mata di muka calon mayat yang terbelalak penuh ketakutan, mulut yang menjadi menceng saking menahan rasa nyeri menusuk-nusuk. Kemudian Han Han tertawa lebih keras.
“Ha-ha-ha! Lihatlah Ibu! Lihatlah musuh besarmu!”
Pedangnya yang sudah merah itu bergerak dan kini menyayat-nyayat kulit tubuh telanjang itu. Tidak terlalu dalam, hanya menggurat-gurat kulit sehingga kulit di seluruh tubuh Giam Kok Ma pecah disayat-sayat, dan seluruh tubuh dari muka sampai ke kakinya menjadi merah oleh darahnya sendiri! Bukan main rasa nyeri diderita orang ini karena pedang itu tidak menggurat terlalu dalam sehingga dia tidak pingsan. Dalam keadaan sadar merasai siksaan seperti itu benar-benar amat mengerikan.
Sambil terus tertawa-tawa pedang Han Han berkelebat, terdengar jerit terakhir Giam Kok Ma ketika ujung pedang memasuki rongga perut, dari ulu hati terus merobek ke bawah, sehingga terbukalah perutnya, usus dan semua isi perut yang tidak tertutup lagi itu berhamburan keluar semua! Han Han masih belum puas, karena iblis kebencian dan dendam masih menguasai hatinya. Pedangnya menyambar-nyambar. Leher itu putus, disusul pinggang dan dalam sekejap mata saja tubuh Giam Kok Ma sudah putus menjadi beberapa potong!
Han Han berdiri terengah-engah, tak bergerak seperti patung, memandang daging-daging berdarah yang berceceran di depannya. Matanya terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan pedang bernoda darah di tangan kiri, lampu di tangan kanan. Tiba-tiba kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan aneh, matanya yang terbelalak dan yang tadi bersinar ganas dan liar, kini kehilangan sinar itu, terganti sinar penuh takut dan ngeri. Dengan tangan menggigil ia melempar pedang yang berlumuran darah itu ke atas tanah. Matanya tak pernah berkedip memandang daging berceceran itu, kini kedua pundaknya yang menggigil seolah-olah ia diserang demam.
“Tidak...! Tidak...!” Ia menggeleng-geleng kepalanya seolah-olah tidak percaya bahwa pemandangan mengerikan itu adalah akibat perbuatannya. Kemudian ia mengangkat kedua tangan menutupi muka, terus menggeleng-geleng kepala. Tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon muda terlanda angin besar.
“Tidak...! Tidak mungkin...!” Ia berteriak, kemudian menurunkan tangan dan memandang ke kanan kiri mencari-cari.
“Iblis...! Iblis menguasai aku! Iblis, di mana engkau...? Harus kuhancurkan engkau!” Tubuhnya melesat ke sana ke mari, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah suara hiruk-pikuk. Kereta hancur, empat ekor kudanya terlepas dan lari ketakutan. Pohon-pohon di sekitar tempat itu jebol dan tumbang.
Akhirnya Han Han roboh terkulai di atas tanah dan menangis. “Ibu... Ibu... mengapa aku menjadi begini? Iblis... mengapa aku begini kejam dan ganas? Ah, Giam Kok Ma, engkau boleh jadi seorang manusia jahat dan kejam, telah memperkosa Ibuku dan membunuh keluargaku. Akan tetapi... ya Tuhan... yang kulakukan tadi... ah, jauh lebih kejam...! Giam Kok Ma, engkau manusia keji dan jahat, akan tetapi aku tidak lebih baik dari pada engkau...!”
Tiba-tiba Han Han mencelat dan lenyap dari situ, di dalam gelap masih terdengar suaranya, “Tuhan... ampunkan aku... Ayah Ibu, ampunkan aku...!” Disusul suara tangisnya dan tubuhnya berkelebatan ke luar dari tempat itu, menuju ke kota Tiang-koan-bun kembali.
Peristiwa yang terjadi di hutan itu, yang amat mengerikan, adalah peristiwa yang sering kali terjadi pada setiap manusia. Manusia adalah makhluk yang sebenarnya amat lemah menghadapi nafsu-nafsunya sendiri. Sekali nafsu menguasai diri, pertimbangannya menjadi miring. Akal diperalat pemuasan nafsu, dan budi lenyap sinarnya, tertutup oleh uap hitam dari nyala nafsu yang berkobar.
Han Han dikuasai nafsu dendam kebencian yang bertahun-tahun ditekannya, kini meledak dan sepenuhnya menguasai dirinya sehingga ia melakukan pembalasan dendam yang amat kejam, tidak kalah kejamnya dengan perbuatan yang dilakukan Giam Kok Ma sendiri ketika perwira itu pun dikuasai nafsunya. Setelah iblis atau nafsu meninggalkannya dan ia sadar, penyesalan datang menimpanya. Baru terbuka mata pemuda itu betapa kejam dan kelirunya perbuatannya tadi, baru teringat olehnya akan wejangan-wejangan kebatinan yang pernah dibacanya bahwa membalas kekejaman dengan kekejaman, membalas kejahatan dengan kejahatan, adalah perbuatan manusia yang lemah.
Han Han lupa bahwa dahulu ia menganggap tepat wejangan filsafat yang mengatakan bahwa perbuatan jahat harus dibalas dengan keadilan! Akan tetapi, keadilan itu sendiri akan menjadi kotor dan tidak murni, tidak adil lagi kalau pelaksanaannya dikuasai pula oleh nafsu dendam dan kebencian. Dengan demikian bukanlah keadilan lagi namanya, melainkan kejahatan dalam bentuk lain! Keadilan hanya murni kalau dilaksanakan tanpa pengaruh benci dan suka, tidak berat sebelah dan pelaksanaannya hanya demi keadilan itu sendiri yang sudah ada batas-batasnya dan ada hukum-hukumnya.
Memang tidaklah mudah bagi orang-orang muda seperti Han Han untuk dapat menerima dan menghayati filsafat itu. Manusia, terutama yang masih muda memang masih amat kuat sifat mementingkan diri pribadi (egoism) yang tentu saja amat berguna untuk mengejar cita-cita dan mencapai kemajuan duniawi. Karena sifat ini maka mudah sekali menjadi mangsa nafsu, mudah dikuasai nafsu sehingga lupa diri. Terutama sekali dalam soal mendendam, bagi orang muda amat sukarlah untuk menekan nafsu amarah dan dendam kebencian yang menciptakan keinginan melihat orang yang dibencinya itu mengalami siksa sehebat-hebatnya. Terciptalah sifat kejam (sadistic) yang dibentuk nafsu marah dan benci, ingin melihat orang yang telah mencelakakan dan menyengsarakan dirinya itu tertimpa mala petaka yang lebih sengsara lagi!
“Lulu... ahhh, Adikku Lulu... di mana engkau...?” Han Han berloncatan dan kini ia mengeluh memanggil-manggil nama adiknya. Ia merasa seperti hanyut terbawa air yang deras, hanyut tidak berdaya dan tidak ada sesuatu yang dapat menolongnya kecuali Lulu yang merupakan bayang-bayang di permukaan air yang menghanyutkan. Kalau berjumpa dengan Lulu, tentu dia tidak akan sengsara seperti ini.
Teringat akan Lulu, hati Han Han berduka dan ia kini berjalan perlahan dibantu tongkatnya, menuju ke Tiang-koan-bun yang sudah tampak dalam cuaca pagi yang remang-remang.
“Aihhhhh...!”
Jerit yang hanya satu kali ini, seolah-olah mulut yang menjeritnya itu kena dekap, cukup bagi Han Han. Itulah jerit yang keluar dari mulut seorang wanita! Tubuhnya melesat ke kiri, memasuki hutan kecil dari mana ia mendengar suara jerit itu. Dan di belakang beberapa buah batu gunung yang besar, ia melihat pemandangan yang membuat mukanya menjadi merah sekali.
Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan sambil tertawa-tawa sedang mempermainkan seorang wanita muda yang cantik. Lai Kwan menelikung lengan wanita itu dari belakang dan mendekap mulutnya. Wanita yang kelihatannya memiliki kepandaian itu meronta-ronta dan sambil tertawa-tawa Ouwyang Seng merenggut pakaian wanita itu sehingga terlepas dari tubuhnya dan terobek, membuka dan menelanjangi tubuh yang berkulit kuning langsat! Di atas tanah menggeletak tiga orang laki-laki tua yang sudah tewas.
“Kuda betina ini liar! Lebih baik bunuh saja sekali pemberontak ini!” Lai Kwan berseru karena la kewalahan juga menelikung gadis yang meronta sekuat tenaga itu.
“Wah, sayang jika dibunuh begitu saja, Lai Kwan. Dia manis sekali, heh-heh!” Ouwyang Seng meraba dada yang telanjang itu. “Kita permainkan dulu sepuas kita, baru dibunuh. Lai Kwan, apakah engkau tidak mau...?”
Wajah Lai Kwan merah sekali. “Aku... aku... tidak pernah, Kongcu...”
“Ha-ha-ha-ha! Benar-benar engkau masih hijau! Engkau lihatlah aku, sesudah aku, engkau boleh belajar, ha-ha!”
“Akan tetapi... itu... itu perbuatan rendah...,” Lai Kwan berkata lagi.
Ouwyang Seng yang sudah hendak merangkul gadis yang tak berdaya itu, membalik dan memandang Lai Kwan. “Ucapanmu sungguh tolol, Lai Kwan. Engkau tahu siapa gadis ini? Seorang pemberontak! Dia agaknya seorang petugas pemberontak yang memata-matai kita, yang hilir mudik lewat perbatasan. Dia ini amat berbahaya, dia musuh kita! Apa salahnya kalau sebelum dibunuh kita menikmati tubuhnya yang indah, wajahnya yang manis ini? Sayang bukan kalau kembang yang harum dibuang begitu saja sebelum kita kenyang menciuminya dan mengambil sari madunya yang manis?”
Gadis itu meronta-ronta dan hampir terlepas dari pegangan Lai Kwan. “Kau totok dia agar lumpuh, Kongcu. Wah, dia kuat bukan main!”
“Ha-ha-ha, lebih baik dia meronta-ronta begitu dari pada ditotok lumpuh seperti orang mati! Rebahkan dia di rumput dan kau pegangi kedua tangannya, Lai Kwan. Biarkan kakinya menendang-nendang, ha-ha-ha!”
“Tidak, Kongcu... aku... aku malu melihatnya. Biar kuikat dia... eh, dia terlepas...!”
Lai Kwan yang melepaskan sebelah tangan untuk memegangi tali hitam yang tergulung dan tergantung di punggungnya, yaitu yang biasanya ia pergunakan sebagai senjata tidak kuasa lagi menahan ketika gadis itu meronta dan terlepas, kemudian gadis itu membalik cepat, mengirim tendangan ke arah selangkangan Lai Kwan dengan cepat dan kuat. Lai Kwan terkejut dan terpaksa ia meloncat ke belakang sambil melepaskan senjatanya, tali hitam.
“Ha-ha-ha, biarkan dia lepas, mari kita kejar dan tangkap lagi, lebih menggembirakan begitu. Ha-ha, lari tanpa pakaian ia kelihatan menarik sekali!” Ouwyang Seng tertawa.
Gadis yang sudah telanjang bulat itu tersipu-sipu, malu bukan main dan membalikkan tubuh melarikan diri. Lai Kwan menggerakkan tangan, tali hitam yang dipergunakan sebagai cambuk itu mengeluarkan bunyi meledak dan meluncur ke depan, hendak menjerat leher si gadis yang melarikan diri.
“Ahhh...!” Tiba-tiba Lai Kwan berseru kaget. Ujung talinya tertahan dalam gigitan seorang pemuda berkaki buntung yang tahu-tahu telah berdiri di depannya! Gadis telanjang itu lenyap di balik batu besar.
“Engkau... Sie Han sute...?” Lai Kwan berseru kaget.
“Ha-ha-ha, kiranya Han Han si bocah jembel itu masih hidup! Lai Kwan, jadi dia ini sute-mu? Punya sute kurang ajar macam itu, tangkap saja dia!” Ouwyang Seng bertolak pinggang dan memandang dengan kening berkerut.
Gu Lai Kwan mengerahkan tenaganya dan membetot-betot tali hitam. Kalau si buntung ini tidak mau melepaskan gigitannya, tentu akan rontok giginya, pikir pemuda ini. Akan tetapi, betapa pun ia nengeluarkan semua tenaganya, tali itu tetap tak bergerak sedikit pun dari gigitan Han Han!
“Han Han, lepaskan senjataku!” Lai Kwan membentak. “Kalau tidak...”
Tiba-tiba Lai Kwan terjengkang dan cepat ia menggulingkan tubuhnya. Kalau ia tadi kurang cepat bergerak, tentu ia akan kena hantaman senjatanya sendiri yang tiba-tiba meluncur ke arah mukanya ketika Han Han melepaskan gigitannya. Ia sudah meloncat bangun dan menghadapi Han Han dengan muka merah.
“Gu Lai Kwan, sampai begini jauhkah engkau menyeleweng? Engkau tidak saja menghamba kepada pemerintah Mancu, hal yang masih dapat dimengerti dan di-maafkan, akan tetapi engkau menjadi pembantu Ouwyang-kongcu, membantunya hendak memperkosa wanita! Ke manakah perginya kegagahanmu sebagai murid In-kok-san?”
“Han Han, kaki buntung yang lancang mulut dan sombong! Wanita itu adalah seorang pemberontak, seorang tawanan. Seorang tawanan boleh diperlakukan sesuka hati yang menawannya. Engkau mau apa? Aku tidak memperkosa wanita!”
“Lai Kwan, bocah buntung ini sudah begitu menghinamu. Perlu apa banyak bicara lagi? Mungkin dia kini pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap saja atau bunuh!” Ouwyang Seng berseru.
Lai Kwan memang merasa agak jerih kepada Han Han. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu kepandaian dari Pulau Es. Akan tetapi karena sekarang Han Han sudah buntung kakinya, biar pun tadi sinkang-nya masih luar biasa sehingga dia tahu takkan dapat mengalahkan tenaga Han Han, dia merasa yakin bahwa dalam pertandingan, pemuda yang buntung sebelah kakinya ini tentu tidak lincah dan mudah dikalahkan. Apa lagi di situ ada Ouwyang-kongcu yang ia tahu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari padanya.
“Han Han, engkau menyerahlah agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan merobohkanmu!”
Han Han menghela napas panjang. “Sayang seorang muda perkasa seperti engkau kini tidak lebih hanya seperti seekor anjing yang suka menjilat apa saja atas perintah majikannya.”
“Keparat buntung!” Lai Kwan marah sekali dan tali hitam di tangannya bergerak.
“Tar-tar!” Tali hitam itu mengeluarkan suara dan berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ke arah kepala Han Han.
“Wuuuttttt...!” Han Han menundukkan kepala dan sinar hitam itu menyambar lewat atas kepalanya, membuat rambutnya berkibar. Dari belakang, sinar hitam itu membalik dan kini ujung cambuk menotok tiga jalan darah di tengkuk, punggung dan lambung.
Han Han masih tidak bergerak, bahkan tidak mengelak sama sekali. Girang hati Lai Kwan. Ilmu cambuknya memang lihai dan kalau sekali luput menyerang dari depan, ujung cambuk itu disendal kembali dan dari belakang tubuh lawan dapat melakukan penyerangan yang lebih dahsyat lagi tanpa diduga lawan sehingga serangan membalik inilah yang sering kali merobohkan lawan. Kini agaknya Han Han tidak menduganya, maka ia merasa yakin bahwa tiga kali totokan ujung cambuknya akan mengenai sasaran secara tepat sekali.
“Tes! Tes! Tes!”
Memang tiga kali totokan ujung cambuk itu mengenai sasaran dengan tepat. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak bergeming, apa lagi roboh seperti yang dan disangka Lai Kwan. Malah Han Han sudah menggerakkan tangan kanan menangkap cambuk itu, dan tongkat di tangan kirinya meluncur ke depan menotok ke arah pergelangan tangan Lai Kwan yang memegang cambuk.
“Ayaaaaa...!” Lai Kwan cepat meloncat ke belakang dan terpaksa ia harus melepaskan cambuknya.
“Lai Kwan, jangan engkau turut campur. Aku hendak mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh Ouwyang Seng!”
“Setan buntung sombong kau! Lai Kwan, hayo kita bunuh dia!” Ouwyang Seng berteriak keras dan sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut pedang dari punggungnya dan tampaklah sinar yang menyilaukan mata. Pedang itu terbuat dari pada logam yang putih dan sinarnya menyilaukan seperti sinar matahari.
Ketabahan Lai Kwan yang sudah dirampas senjatanya pulih kembali melihat kawannya sudah mencabut pedang. Ia lalu berteriak keras dan menubruk maju, mengerahkan tenaganya dan memukul dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Han Han dengan ilmu pukulan Toat-beng-tok-ciang yang mengandung racun ampuh. Agaknya karena maklum akan kelihaian Han Han, sekali menyerang Lai Kwan ingin merobohkannya dan telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya sekaligus, dua macam pukulan sakti yang amat hebat dan sukar dilawan!
Ouwyang Seng bukanlah seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan juga dia memiliki kepandaian tinggi. Selain menerima gemblengan Si Setan Botak yang lihai sehingga ia mewarisi ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang, juga pemuda bangsawan yang suka sekali mempelajari ilmu silat ini telah berguru kepada banyak tokoh pandai, dan ia bahkan memiliki pedang terbuat dari pada logam putih yang luar biasa, pedang yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari). Gak Liat sendiri telah menciptakan ilmu pedang yang diambil dari inti ilmu-ilmu pedang yang pernah dipelajari Ouwyang Seng, yaitu ilmu pedang yang diberi nama Jit-kong Kiam-hoat, sesuai dengan nama pedangnya!
Sekali pandang saja, ketika Han Han menggigit cambuk, kemudian kebal terhadap totokan, bahkan dalam segebrakan Han Han berhasil merampas cambuk, mengertilah Ouwyang Seng, bahwa Han Han yang dahulu memang amat lihai sehingga perlu dikeroyok oleh gurunya dan Ma-bin Lo-mo, kini setelah buntung kakinya ternyata tidak kehilangan kelihaiannya! Maka ia menggunakan saat Lai Kwan menerjang dengan dahsyat itu untuk meloncat pula dan pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar menyilaukan, menyerang Han Han dari belakang.
“Syuuutttt... syuuuttt...!” Dua pukulan sakti Lai Kwan menghantam.
“Ciuuutttt... singggg...!”
“Heiii...! Ayaaaaa...!”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lai Kwan dan Ouwyang Seng ketika tiba-tiba tubuh Han Han melambung ke atas. Karena gerakan Han Han ini amat tiba-tiba setelah serangan dari depan dan belakang sudah dekat, tak dapat dicegah lagi hawa pukulan Lai Kwan bertemu dengan sinar pedang Ouwyang Seng. Keduanya kaget dan cepat menahan diri, namun tetap saja mereka terpelanting ke kanan kiri. Dengan enak saja Han Han yang memegang tongkat di tangan kiri dan cambuk di tangan kanan turun lagi, berdiri di atas tanah dengan kakinya yang hanya satu tanpa dibantu tongkat.
“Ouwyang Seng, jawablah, di mana adanya Lulu Adikku?”
Ouwyang Seng memandang marah. “Persetan dengan adikmu bocah liar itu!” bentaknya.
Pedangnya sudah meluncur ke depan menusuk dada Han Han. Lai Kwan juga sudah menyerang lagi, lebih hebat dari pada tadi. Namun, sekali lagi mereka berdua hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Han Han sudah pindah tempat.
“Ouwyang Seng, jawablah. Dahulu engkau menculik Lulu...”
Han Han berhenti untuk mencelat lagi ke lain tempat menghindarkan serangan susulan dua orang pengeroyoknya, lalu menyambung, “...dan adikku itu lari dari istana. Di manakah dia sekarang...?”
Ouwyang Seng menjadi penasaran bukan main. Dia dan Lai Kwan menyerang dengan hebat secara berbareng, akan tetapi sampai tiga kali berturut-turut Han Han lenyap begitu saja. Gerakannya demikian cepat seperti menghilang dan tahu-tahu sudah pindah tempat. Dan semua itu dilakukan oleh Han Han dengan seenaknya, malah sambil bicara!
“Dia sudah minggat, mana aku tahu?” Ouwyang Seng menyerang lagi mendahului Lai Kwan yang kaget bukan main menyaksikan kehebatan gerakan Han Han.
Dulu sebelum buntung, kelincahan Han Han tidak sehebat ini. Bagaimana kini setelah buntung malah menjadi begini lihai? Ia menubruk maju, kini meloncat ke atas karena tadi ia melihat betapa Han Han selalu mencelat ke atas kalau diserang. Dia hendak memapaki tubuh Han Han jika mencelat lagi ke atas menghindarkan serangan pedang Ouwyang Seng.
“Ouwyang Seng bersumpahlah....”
Han Han benar saja mencelat lagi ke atas ketika sinar pedang yang menyilaukan itu meluncur ke arah lehernya. Lai Kwan yang sudah meloncat, dengan girang memapaki tubuh Han Han dengan dua pukulan saktinya.
"Syuuut... syuutttt...!"
Lai Kwan berseru kaget karena kembali pukulannya itu hanya mengenai angin kosong. Bayangan tubuh Han Han yang tadi mencelat ke atas itu secara aneh meluncur ke kiri dan dengan enaknya turun dan berdiri lagi melanjutkan kata-katanya, “...bersumpahlah bahwa kau benar-benar tidak tahu di mana adanya Lulu!”
“Setan! Mampuslah!”
Kembali Ouwyang Seng menyerang. Kini ia tidak mau sembarangan menusuk atau membacok, melainkan memutar pedangnya sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin lebar dan lingkaran itu mulai mengurung tubuh Han Han! Lai Kwan juga sudah menerjang maju dan siap menyambut dengan pukulan maut kalau Han Han mengelak dari sinar pedang Ouwyang Seng yang kini benar-benar mengerahkan segala kepandaiannya untuk merobohkan Han Han.
Han Han berdiri tenang saja. Ia menunggu sampai lingkaran sinar pedang itu makin menyempit, makin menghimpit dirinya. Pada saat pedang meluncur dengan gerakan melingkar hendak membabat pinggangnya, mendadak Han Han menggerakkan tangan. Seperti seekor ular hidup, pecut yang dirampasnya dari tangan Lai Kwan tadi bergerak maju, menyambut pedang dan di lain detik pedang itu sudah terbelit oleh cambuk hitam! Ouwyang Seng berseru kaget dan mengerahkan tenaga membetot untuk merampas kembali pedangnya, untuk melepaskan libatan atau kalau perlu membabat putus cambuk itu dengan ketajaman pedang pusakanya. Akan tetapi pedangnya seperti telah melekat dengan cambuk, sama sekali tidak bergerak.
“Bersumpahlah...!” Han Han yang berdiri sambil memegang ujung tali atau cambuk dengan tangan kanan, mempertahankan dengan menyalurkan sinkang menggunakan tenaga ‘menempel dan menyedot’.
Melihat kesempatan baik selagi Han Han mengadu tenaga dengan Ouwyang Seng, Lai Kwan menerjang dari belakang menghantam punggung Han Han dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-jiu yang amat kuat. Hawa dingin sekali menyambar ke arah punggung sebelum kepalan yang memukul itu sendiri tiba.
“Desssss...!”
Lai Kwan merasa betapa hawa pukulan amblas memasuki telapak tangan Han Han yang luar biasa dinginnya, seperti sebongkah batu dilempar ke telaga.
“Ayaaaaa...!” Ouwyang Seng yang masih membetot-betot gagang pedangnya, tiba-tiba merasa betapa ada hawa dingin menyerangnya melalui pedang dan tangannya, terus menjalar ke dadanya. Ia terkejut dan cepat melepaskan pedangnya, terhuyung ke belakang dengan muka pucat.
Lai Kwan yang kaget merasa betapa tenaga sinkang-nya amblas, berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya terlempar ke belakang sampai lima meter lebih. Ia berbanting dan kepalanya pening, tubuhnya menggigil karena terasa dingin sekali. Tadi ia dilontarkan oleh hawa pukulan yang dingin sekali dari telapak tangan Han Han. Cepat ia duduk bersila untuk mengerahkan sinkang dan memulihkan kesehatannya, maklum bahwa hawa pukulannya sendiri ditambah hawa yang amat kuat telah membalik dan melukai dadanya!
“Ouwyang Seng, apa sih sukarnya menceritakan tentang adikku?” Han Han menegur.
Ouwyang Seng bangkit berdiri dengan muka masih pucat. Tahulah ia kini bahwa pemuda buntung di depannya ini luar biasa lihainya. Dia akan menjadi manusia segoblok-gobloknya kalau masih nekat hendak melawan. Maka ia tersenyum dan berkata.
“Adikmu itu aneh seperti engkau, tidak mengenal budi orang. Dia diangkat menjadi pelayan istana malah minggat dan kabar terakhir yang kudengar, dia bersekongkol dengan pemberontak! Malah menjadi anak buah Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Kini Pek-lian Kai-pang telah berantakan, entah adikmu itu mati atau hidup, siapa yang tahu?”
Han Han memandang tajam penuh selidik. Tentang keadaan Lulu setelah lari dari istana dan tinggal bersama Lauw-pangcu, dia sudah tahu. Tapi yang perlu ia ketahui adalah sekarang! Di mana adanya Lulu sekarang?
“Ouwyang Seng, benarkah engkau tidak tahu di mana adanya adikku sekarang?”
Ouwyang Seng menggeleng kepala.
“Bersumpahlah!”
Sepasang mata pemuda bangsawan itu memancarkan kebencian. “Setan engkau, Han Han! Tidak percaya kepadaku? Baiklah, aku bersumpah bahwa aku tidak tahu di mana adanya adikmu itu sekarang! Dan aku bersumpah lain kali aku tentu akan berhasil mencabut nyawamu!”
Han Han mengerutkan keningnya. Ia tidak peduli akan ancaman pemuda bangsawan ini. Ia kecewa mendengar bahwa pemuda itu tidak tahu di mana adanya Lulu. Dengan sembarangan ia melemparkan cambuk dan pedang ke atas tanah dan ia menghampiri Lai Kwan yang masih duduk bersila.
“Lai Kwan, kalau aku mengingat bahwa engkau yang membuntungi kakiku, kalau aku menuruti nafsu dendam, agaknya sekarang engkau pun akan kehilangan sebuah kakimu. Akan tetapi aku tidak akan melakukan hal bodoh dan keji itu, Lai Kwan, karena dahulu engkau hanya melaksanakan perintah Toat-beng Ciu-sian-li. Dan mengingat akan hubungan di antara kita sewaktu kecil, kuperingatkan kepadamu bahwa engkau telah tersesat. Menjadi sahabat atau kaki tangan seorang pemuda bangsawan seperti Ouwvang Seng amat berbahaya, akan menyeretmu ke jurang kemaksiatan dan kesesatan! Orang-orang muda yang kaya raya dan putera bangsawan biasanya mudah tersesat, karena mereka mengandalkan kekayaannya dan kedudukan orang tua, dan semua ini timbul dari sikap orang tua mereka yang terlalu mementingkan kesenangan pribadi, mabuk pangkat dan mabuk harta, tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya, atau tidak dapat melarang karena si orang tua sendiri sudah mencandu melakukan kemaksiatan. Insyaflah engkau Lai Kwan, demi kebaikanmu sendiri!”
“Han Han manusia sombong engkau!” Ouwyang Seng memaki dan menghampiri Lai Kwan, menarik lengan pemuda itu dan memaksanya bangun berdiri. “Hayo, Lai Kwan, kita pergi. Muak aku mendengar ocehannya, dan jijik aku melihat kakinya yang buntung!”
Han Han hanya menarik napas panjang untuk menekan kemarahannya oleh penghinaan Ouwyang Seng itu. Semenjak kecil pemuda bangsawan itu menghinanya. Sampai sekarang pun putera pangeran itu masih belum mengubah wataknya yang angkuh, sombong dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi, apakah dia sendiri pun seorang yang baik, lebih baik dari Ouwyang Seng? Hemmm, ia kini meragukan hal itu.
Dia keturunan bangsawan yang lebih jahat lagi, yang terkenal sebagai keluarga yang luar biasa keji dan jahatnya. Keluarga bangsawan Suma sudah terkenal, bahkan kakeknya sendiri dahulu adalah seorang yang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga). Jai-hwa-sian! Tidak sembarang penjahat cabul mendapat julukan Sian (Dewa), tentu kejahatannya sudah melewati takaran!
Menurut cerita Im-yang Seng-cu, kakeknya itu sedemikian jahat dan kejinya sehingga tokoh besar Siauw-lim-pai yang berniat hendak menyadarkannya masih dia bikin celaka! Keluarganya, kakeknya, demikian jahatnya dan dia sendiri? Dia telah melakukan hal-hal yang menimbulkan bencana, telah kesalahan tangan membunuhi orang-orang yang tak berdosa, dan dia telah menyiksa Giam Kok Ma secara kejam sekali, sungguh bukan seperti manusia lagi. Darah keluarga Sumakah ini? Maka ia menekan kemarahannya dan membiarkan Ouwyang Seng bersama Gu Lai Kwan pergi setelah mereka mengambil senjata masing-masing.
“Kenapa kau membiarkan mereka pergi? Kejar dan bunuhlah! Mereka itu adalah orang-orang penting dari kerajaan penjajah! Kalau kau membunuh mereka, kau akan berjasa besar dan Bu-ongya tentu akan berterima kasih sekali. Si bedebah itu adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok!” Suara wanita itu nyaring dan penuh semangat.
Han Han berkata, suaranya lemah, sama sekali tidak bersemangat. “Saya bukan anak buah Bu Sam Kwi.”
“Ehhh! Kalau begitu, kenapa kau menolong aku?”
Mendengar suara yang lincah galak dan nyaring, yang mengingatkannya akan adiknya, Han Han seperti tergugah dari lamunan dan ia tersenyum sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak melihat gadis itu yang muncul dari balik batu besar masih telanjang bulat! Begitu telanjang seperti bayi baru lahir akan tetapi juga begitu wajar seolah-olah gadis itu lupa bahwa dia tidak berpakaian sama sekali.
Gadis itu memandahg ke arah lenyapnya bayangan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Wajahnya yang cantik itu kelihatan marah dan penasaran sekali, agaknya ia merasa amat menyesal mengapa dua orang musuh penting seperti mereka itu, setelah dikalahkan tidak dibunuh.
Han Han masih terbelalak. Selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat seorang wanita berdiri telanjang bulat di depannya, dan baru sekali ini melihat pemandangan yang begini menggairahkan, begini mempesonakan sehingga dia berdiri melongo seperti terkena hikmat mukjizat.
Tiba-tiba gadis itu seperti merasa ada sinar mata panas merayapi kulit tubuhnya yang halus. Ia membalik, menghadapi Han Han. Melihat sinar mata pemuda itu, agaknya gadis yang tadi dipergaruhi kemarahan dan penasaran sehingga lupa akan keadaan dirinya, baru teringat. Ia menjerit kecil, jari-jari tangan kanannya cepat menutup tubuh bagian bawah sedangkan jari-jari tangan kirinya otomatis berusaha menutupi dadanya yang tentu saja tidak membawa hasil baik seperti yang diharapkan. Mata gadis itu yang tajam bersinar-sinar kini kelihatan marah sekali, wajahnya merah seperti udang direbus dan mulutnya mencaci-maki!
“Laki-laki monyet binatang hutan! Engkau sama saja seperti mereka! Kau biadab, kurang ajar, ceriwis, genit tak tahu malu...!”
Han Han yang tadinya hanya membelalakkan mata, kini membuka mulutnya pula dan tarpa memindahkan matanya dari penglihatan yang amat mempesonakan itu ia berkata gagap, “Nona... eh... apa maksudmu...?”
“Matamu itu! Mata jahat! Mata cabul! Matamu melihat apa, heh?!”
Baru sekarang Han Han berkedip, wajahnya pucat. Celaka, ini tentu gara-gara darah kakeknya! Ia menampar kepalanya sendiri, begitu keras sehingga ia terpelanting!
“Eh...! Eh, apa kau gila...?”
Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan teguran ini, tongkatnya bergerak hendak memukul kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu meloncat maju dan menangkap tongkat itu. “Eh, kau benar sudah gila! Celaka benar...!”
Han Han teringat bahwa kalau tadi ia melanjutkan pukulannya dengan tongkat ke arah kepalanya, tentu kepalanya sudah pecah dan nyawanya akan melayang. Ia menghela napas panjang, meloncat bangun membelakangi gadis itu, tangan kirinya dilonjorkan ke arah tumpukan pakaian gadis itu yang robek-robek dan sekali ia menggerakkan tangan... pakaian itu seperti hidup, terbang ke arah tangannya! Gadis itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum. Han Han lalu menyodorkan pakaian itu ke arah Si Gadis di belakang tubuhnya. Ia berkata tanpa menengok.
“Nih, pakaianmu, pakailah Nona!”
Gadis itu menyambar pakaiannya dan memakainya. Karena pakaian itu robek di bagian depan, maka ia memakai pakaian dalam berwarna merah muda itu dengan terbalik, yaitu bagian punggung yang tidak robek ditaruh di depan sehingga yang robek adalah bagian belakang, kemudian menutupi pakaian dalam itu dengan pakaian luarnya. Biar pun pakaian luar ini robek di bagian depan, akan tetapi tubuhnya sudah tertutup aman oleh pakaian dalam yang dibalik. Sambil memegangi bagian depan yang robek itu ia berkata.
“Sudah... sudah kupakai...”
Barulah Han Han berani membalikkan tubuhnya dan mukanya kini merah sekali ketika ia bertemu pandang dengan sinar mata gadis itu. Ia menunduk dan berkata, “Maafkan aku, Nona. Aku tadi telah bersikap tak tahu malu. Engkau benar, aku... aku memang kurang ajar, biadab... selamat tinggal...!” Ia lalu melangkah pergi, berjalan terpincang-pincang dibantu tongkatnya dengan tubuh lemas.
“Eh, nanti dulu...!”
Akan tetapi Han Han tidak menoleh dan melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti mendengar suara tangis yang amat memilukan. Hebat bocah ini, pikirnya. Tangisnya pun seperti tangis Lulu! Ia menghela napas dan menengok. Ketika melihat betapa gadis itu memeluki tubuh seorang di antara tiga buah mayat yang menggeletak di situ, hatinya terharu. Apa lagi ketika gadis itu dalam tangisnya menyebut “ayah... ayah...” ia lalu meloncat dan sekali loncat saja ia sudah berdiri di belakang gadis itu.
Dilihatnya bahwa yang ditangisi gadis itu adalah mayat seorang laki-laki tua yang usianya tujuh puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil. Mayat ke dua adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang usianya juga lima puluh tahun lebih, mayat ke tiga seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kepalanya besar.
“Nona, yang sudah mati tiada guna ditangisi, takkan hidup kembali...”
Tiba-tiba nona yang menangis itu membalik dan meloncat bangun. Agaknya ia kaget mendengar suara Han Han yang disangkanya sudah pergi itu karena kedatangan Han Han sama sekali tidak diketahuinya. Ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah pemuda pincang yang aneh itu, ia marah sekali.
“Kau...! Aku sudah tahu bahwa orang mati tidak akan hidup kembali, akan tetapi aku menangisi kematian Ayahku, apa sangkut-pautnya denganmu? Kenapa kau melarang? Aku tidak meminjam air matamu untuk menangis. Kau benar-benar menjemukan! Agaknya kau mau menghina seorang perempuan yang sudah yatim piatu, ya?”
Tiba-tiba gadis itu menerjang maju, gerakannya ringan dan cepat sekali dan tahu-tahu jari telunjuknya sudah menotok jalan darah di dada Han Han. Pemuda ini kaget, bukan karena kecepatan gerak tangan gadis itu yang cukup mengagumkan hatinya, melainkan kaget karena melihat gadis itu marah-marah seperti itu. Dia tidak takut menerima totokan jari telunjuk ini, akan tetapi kalau ia menutup jalan darah dan mempergunakan sinkang menerima totokan, tentu gadis itu akan merasa makin tersinggung di samping telunjuknya yang kecil runcing bisa patah tulangnya.
Maka Han Han lalu miringkan tubuhnya mengelak. Akan tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa tangan yang luput menotok itu cepat sekali sudah membalik, telunjuk kiri itu kembali menotok lambung, sedangkan telunjuk kanan menotok pundak! Heran dia, gadis ini dapat bergerak cepat sekali dan caranya menotok jalan darah juga aneh, hanya dengan sebuah jari telunjuk, tidak dengan dua jari seperti yang lajim dilakukan ahli totok jalan darah!
“Plak-plak-plak...!”
Han Han menangkis dengan telapak tangannya, menepuk lengan gadis itu dengan pengerahan sedikit tenaga. Gadis itu kelihatannya penasaran sekali, bergerak lebih cepat lagi dan kini totokan-totokannya mengarah jalan darah yang mematikan! Han Han tertarik dan kagum.
Gerakan gadis ini benar-benar luar biasa cepatnya dan agaknya dalam hal kecepatan tidak kalah oleh Sin Lian sungguh pun keistimewaan ilmu sitatnya hanyalah totokan-totokan satu jari. Ternyata gadis ini adalah seorang ahli totok satu jari yang memiliki ginkang cukup hebat, sungguh pun tentu saja tidak secepat Lulu gerakannya! Ia pun mengimbangi kecepatan gadis itu dan setelah Han Han mempergunakan ilmunya gerak kilat, gadis itu menjadi bingung karena berkali-kali pemuda buntung itu lenyap dari depannya!
“Eh, di mana kau...?” Gadis itu membalik sambil menotok tubuh Han Han yang tahu-tahu berada di belakangnya, akan tetapi kembali pemuda itu lenyap.
“Eh, menghilang? Kau setankah...?” Kembali ia menyerang kalang-kabut begitu tampak berkelebatnya tubuh Han Han.
Karena gerakan-gerakannya yang cepat, gadis itu lupa bahwa pakaian luarnya masih terbuka di bagian depan. Biar pun pakaian dalamnya masih menutupi tubuh depannya, akan tetapi pakaian dalam itu tipis, tidak mampu menyembunyikan lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan tubuhnya. Han Han menjadi silau dan ia meloncat jauh ke belakang dan berseru.
“Stopp...! Berhenti, Nona. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Aku bukan musuh dan aku tidak bermaksud menghina. Aku bermaksud menghiburmu.”
Gadis itu cemberut dan teringat akan bajunya lalu menggunakan tangan kiri menutup bagian depan, telunjuk kanannya yang kecil runcing, yang dapat dipergunakan sebagai senjata penotok yang ampuh, kini menuding ke arah hidung Han Han sehingga pemuda ini merasa hidungnya gatal seperti akan ditotok!
“Kau hendak menghibur ataukah mengejek? Kalau menghibur mengapa mengatakan mayat takkan hidup lagi kalau ditangisi? Yang betul kau bicara! Apakah kalau engkau sudah menolongku tadi, pertolongan yang tak pernah kuminta, kau lantas boleh bicara sesukamu?”
Han Han menghela napas. Kalau gadis ini tidak banyak sekali persamaan dalam wataknya dengan Lulu, tentu ia sudah pergi. Galak bukan main dan... tidak mengenal budi!
“Maafkanlah Nona kalau kata-kataku kau anggap keliru. Nah, lanjutkanlah tangismu, aku tidak akan mencegahmu. Menangislah sepuas hatimu.”
“Kau mengejek, ya? Biar pun kau sepuluh kali lebih pandai, aku Tan Hian Ceng bukan gadis penakut! Mati bukan apa-apa bagi seorang gadis pejuang, tahu?”
Celaka, pikir Han Han. Bicara begini salah, begitu pun tidak betul. Lebih baik tak bicara. Dia hanya mengangkat pundak dan memandang bengong ke arah tiga mayat itu. Tentu mereka itu pejuang-pejuang atau mata-mata dari Se-cuan, pikirnya. Mereka itu tewas sebagai pejuang. Betapa bahagianya. Dan gadis ini, di samping kegalakannya yang luar biasa, juga mengagumkan. Bukan mengagumkan kecantikan dan keindahan tubuhnya, cepat-cepat Han Han membantah pikirannya sendiri, tetapi mengagumkan kegagahan dan keberaniannya.
“Heh, jawablah! Aku tidak takut mati! Ibuku sudah tiada, kini Ayahku mati, aku tidak takut mati, kau tahu?”
Han Han memandang gadis itu dan ia terharu, merasa kasihan kepada gadis ini yang biar pun bersikap galak seperti itu, sesungguhnya gadis ini menderita duka yang hebat. Ia mengangguk.
“Jadi engkau tidak mengejek aku?”
Han Han menggeleng kepala.
“Dan engkau mengapa kembali lagi? Matamu tidak kurang ajar lagi. Engkau tidak akan kurang ajar dan mengejekku, bukan?”
Han Han menggeleng kepala.
“Kalau begitu, mengapa engkau menolongku? Engkau membenci Ouwyang Seng dan pemuda lihai yang membantunya tadi?”
Han Han mengangguk.
Gadis itu bertolak pinggang dan kembali pakaian luarnya terbuka. Han Han meramkan mata dan menunduk. “Eh, pemuda buntung yang memiliki kepandaian seperti iblis! Mengapa engkau? Tadi kau pandai bicara, kata-katamu memanaskan perut, sekarang kenapa tiba-tiba menjadi gagu?”
Han Han menarik napas panjang. Baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang membuat dia bingung dan bohwat (kehabisan akal). Banyak bicara tidak benar, kalau didiamkan saja tentu akan marah pula. Sepasang mata yang bening dan tajam itu kini pun sudah mulai menyala. Ia tahu bahwa mata seperti ini kalau sudah berkobar karena marah, bisa repot dia!
“Nona, aku tidak gagu. Aku tidak berani bicara, karena tiap kali aku bicara, engkau salah terima dan mengira aku mengejek dan menghina.”
Gadis itu memandang wajah Han Han dengan penuh perhatian, sepasang matanya tidak pernah berkedip, menjelajahi wajah Han Han terus ke bawah sampai ke kakinya yang buntung, naik lagi ke atas dan berhenti pada matanya sehingga pandang mata mereka bertaut dan melekat. Han Han merasa seolah-olah dia menjadi seekor kuda yang sedang diteliti, diperiksa dan ditaksir-taksir oleh seorang calon pembeli!
Tiba-tiba sikap kaku gadis itu berubah dan dia berkata lirih, “Maafkan aku... maafkan bahwa aku telah salah duga... ah, tentu In-kong menganggap aku sebagai seorang yang bocengli dan tak kenal budi. Akan tetapi tadi... mata In-kong... sungguh... mengerikan hatiku...” Gadis itu kembali berlutut di dekat jenazah ayahnya dan menangis.
Biar pun hatinya amat terharu, namun ada rasa geli juga. Bocah ini benar-benar amat menarik, mengingatkan ia akan Lulu. Adiknya itu, Lulu, kadang-kadang kalau sudah kumat penyakitnya juga sifatnya aneh sekali. Gadis ini pun aneh, sekejap marah-marah seperti seekor harimau betina diganggu anaknya, di lain detik sudah menjadi lembut dan lunak seperti seekor domba! Ia pun lalu berlutut dan berkata hati-hati.
“Nona Tan, marilah kita mengubur jenazah-jenazah ini, tidak baik dibiarkan begini saja.”
Tan Hian Ceng, nona itu, menoleh kepadanya dengan mata merah dan muka basah air mata, lalu mengangguk. “In-kong benar. Kita harus cepat menguburnya, kalau tidak, ada bahayanya datang pasukan Mancu... sudikah In-kong membantuku mengubur Ayah dan Paman-pamanku ini?”
Han Han sebenarnya merasa geli. Dia yang mengusulkan untuk mengubur jenazah tiga orang itu, eh, kini dia dimintai tolong membantu. Akan tetapi dengan wajah serius ia menjawab, “Tentu saja. Marilah, Nona.”
Gadis itu kembali bengong terheran-heran ketika melihat betapa dengan tongkatnya, pemuda buntung itu menggali tanah dengan kecepatan yang luar biasa sehingga dalam waktu singkat tiga buah lubang yang cukup dalam telah digali berjajar di bawah pohon. Apa yang dilakukan pemuda buntung itu seperti main sulap saja dan diam-diam ia menjadi kagum bukan main. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian sehebat ini. Seperti bukan manusia!
Tiga jenazah itu lalu dimasukkan lubang. Setelah tiga jenazah dimasukkan lubang, dengan suara penuh duka Hian Ceng berkata sambil menunjuk jenazah-jenazah itu satu demi satu.
“Ini adalah ayahku, seorang pejuang kenamaan yang telah berjuang puluhan tahun membela nusa bangsa, bernama Tan Sun dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai It-ci Sin-mo (Iblis Sakti Satu Jari).”
Han Han mengangguk-angguk. Nama ini pernah ia dengar dan kini mengertilah ia mengapa gadis ini amat pandai menggunakan satu jari untuk menotok jalan darah di tubuh lawan.
“Dia itu adalah Paman Giam Ki, seorang pejuang gagah sahabat baik Ayah, terkenal pula dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Bertenaga Selaksa Kati).”
Han Han juga pernah mendengar nama ini dan diam-diam ia mengagumi kakek yang bertubuh tinggi besar itu. Tentu dahulu menjadi seorang ahli gwa-kang (tenaga kasar).
“Dan yang itu adalah seorang sahabat Ayah pula, bernama Thio Kai, seorang ahli dalam menyelundup perbatasan. Atas petunjuk dia inilah maka kami dapat melakukan tugas dengan sebaiknya, dapat memata-matai gerakan tentara Mancu dan mengumpulkan segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh teman-teman pejuang di Se-cuan.”
Han Han kagum dan terharu. Tiga orang ini adalah orang-orang gagah yang biar pun sudah tua namun masih bersemangat tinggi untuk melaksanakan tugas perjuangan sehingga kini tewas mengorbankan nyawa untuk bangsa! Ah, betapa mulia mereka ini, jauh lebih mulia dan lebih berguna dari pada dia! Akan tetapi, betapa mungkin dia memusuhi bangsa Mancu sedangkan Lulu adiknya yang tercinta itu pun seorang gadis Mancu pula?
Dan keluarga Lulu telah habis dibunuh Lauw-pangcu dan para pejuang, namun Lulu adiknya yang berhati mulia itu sama sekali tidak membenci bangsa Han, bahkan tidak membenci Lauw-pangcu. Sebaliknya malah! Adiknya itu menghapus dendam dan kebencian, menggantinya dengan kasih sayang sehingga ia rela menjadi anak angkat Lauw-pangcu, musuh besarnya!
Betapa mulia mereka itu, tiga orang pejuang yang kini menjadi mayat ini, dan Lulu adiknya! Saking terharu dan merasa betapa dia sendiri adalah seorang yang tidak berharga, Han Han menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada tiga jenazah itu dan dua titik air mata mengalir turun dari kedua matanya!
Hian Ceng melongo memandang Han Han, air matanya mengucur turun mengalir di kedua pipinya. “In-kong... engkau... engkau mengucurkan air mata untuk Ayahku? Ah, maafkan aku, In-kong... betapa kurang ajar sikapku terhadapmu tadi... kiranya In-kong adalah seorang pendekar sakti yang budiman...”
Han Han bangkit perlahan-lahan, bersandar pada tongkatnya. “Nona Tan, aku hanya seorang yang rendah, seorang tak berharga. Karena kagum kepada Ayah dan kedua sahabatnya ini aku merasa betapa aku lebih rendah lagi. Marilah kita kubur mereka baik-baik.”
Hian Ceng kini sudah berubah sikapnya. Amat taat dan amat menghormat. Ia pun berdiri. “Baiklah, In-kong...”
Hian Ceng lalu mengambil tanah segenggam dan menaburkan tanah itu ke dalam kuburan ayahnya dan kedua orang pamannya. Han Han lalu menggunakan sinkang-nya, mendorong ke arah tanah galian dan angin yang amat kuat menyambar, membuat tanah itu beterbangan. Hian Ceng terpaksa meloncat mundur dan ia hanya melihat tanah berputaran seperti ada angin puyuh. Matanya berkunang menyaksikan ini dan ketika putaran tanah berdebu lenyap, ternyata lubang galian itu telah teruruk tanah yang menggunduk, merupakan tiga buah kuburan yang rapi!
Hian Ceng menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan ayahnya yang berada di tengah, menangis sesenggukan. Han Han membiarkan gadis yang sedang berkabung dan berduka itu menangis. Dia lalu meloncat ke dekat batu besar yang rata permukaannya, dan berdiri di depan batu yang tingginya sama dengan dia, tongkatnya diangkat dan dengan kening berkerut tongkatnya menggurat-gurat pada permukaan batu. Dengan pengerahan tenaga sinkang, ia telah mengukir huruf-huruf di permukaan batu itu.
Sepanjang usia dicurahkan membela bangsa
tak kunjung padam sampai nyawa meninggalkan raga
Tan Sun, Giam Ki, dan Thio Kai
tiga pahlawan patut dijadikan sari tauladan!
Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia!
“Indah sekali... ah, In-kong hebat luar biasa...!” Suara itu membuat Han Han menengok. Kiranya Hian Ceng telah berdiri di dekatnya, membaca ukiran huruf-huruf itu dengan air mata bercucuran.
“Ah, tidak ada artinya, Nona. Hanya sekedar untuk peringatan di depan kuburan Ayahmu.”
“Akan tetapi... batu ini begini besar, tentu berat sekali. Betapa mungkin kita berdua menggesernya ke depan kuburan yang begitu jauh, In-kong?” Hian Ceng terbelalak.
Ayahnya adalah seorang ahli lweekeh, memiliki tenaga lweekang (tenaga dalam) yang kuat, dan dia pun telah mewarisi tenaga lweekang yang cukup lumayan, sudah mengimbangi ayahnya. Akan tetapi dia dan ayahnya takkan mungkin menggeser batu sebesar ini.
“Biarlah aku yang menggesernya, Nona. Harap kau suka minggir.”
Hian Ceng melompat menjauhi dan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar. Han Han lalu menggunakan tongkatnya, menusuk bawah batu besar itu, kemudian ia mengerahkan sinkang, tongkat dipantulkan dan... batu besar ini melayang dan jatuh menimpanya!
“Ahhh... awas! In-kong...!” Hian Ceng menjerit, akan tetapi ia segera menutup mulutnya dengan tangannya, matanya terbelalak kagum kaget dan heran melihat betapa pemuda berkaki buntung itu menerima batu dengan tangan kanannya, kemudian berloncatan dua kali membawa batu itu sampai ke depan kuburan ayahnya, lalu menurunkan batu itu perlahan-lahan ke depan ketiga buah kuburan!
“Bukan main...!” Hian Ceng berbisik, lalu melangkah perlahan menghampiri Han Han. “In-kong... kiranya In-kong adalah seorang taihiap yang sakti. Ah, dengan bantuan taihiap di Se-cuan, jangan harap penjajah Mancu akan dapat menaklukkan Se-cuan. Tentu In-kong akan ke sana, bukan?”
Akan tetapi betapa kecewa hati Hian Ceng ketika melihat pemuda itu menggeleng kepada. Han Han yang memandang wajah gadis itu melihat kekecewaan membayang di wajah yang cantik dan yang ia duga tentu biasanya cerah itu. Cepat ia berkata.
“Tidak, Nona. Aku... aku bukanlah seorang pejuang gagah perkasa dan mulia seperti Ayahmu dan engkau. Aku... aku hendak mencari adikku.”
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sukar dapat dipercaya! Seorang gagah perkasa seperti In-kong, seorang yang memiliki kesaktian hebat... yang budiman, tidak membantu perjuangan? Ah, betapa mungkin... dan siapakah adikmu kalau aku boleh bertanya, In-kong?”
“Adikku bernama Lulu, sudah hampir dua tahun dia lenyap... Sampai sekarang aku mencarinya tanpa hasil...”
Mendengar suara Han Han yang penuh duka, Hian Ceng menjadi kasihan. “Yang terakhir kalinya engkau mendengar adikmu itu berada di mana, In-kong?”
“Di lembah Huang-ho, bersama Lauw-pangcu...”
“Eh? Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Gadis itu bertanya kaget dan heran.
“Benar, dia diambil anak angkat oleh Lauw-pangcu...”
“Ah...! Kalau adikmu itu anak angkat Lauw-pangcu, tentu mudah dicari. Aku yakin bahwa kalau dia lenyap tak dapat kau temukan jejaknya, dia pasti berada di daerah Se-cuan! Semua pejuang akhirnya pergi ke sana, In-kong. Marilah kita ke Se-cuan dan aku tanggung engkau akan dapat menemuinya di sana.”
“Memang tadinya aku hendak mencari di sana, menyusul sahabat baikku Wan Sin Kiat...”
“Wah, In-kong sahabat baik Hoa-san Gi-hiap?”
Han Han mengangguk. “Kami, yaitu aku, dia dan Nona Lauw Sin Lian...”
“Puteri Lauw-pangcu, murid Siauw-lim Chit-kiam yang lihai?” Gadis itu memotong lagi.
Han Han mengangguk, girang bahwa nona pejuang ini ternyata mengenal semua tokoh pejuang. “Kami berjanji akan bertemu di Se-cuan. Sin Kiat lebih dulu, Nona Sin Lian hendak mengumpulkan sisa-sisa anggota Pek-lian Kai-pang yang habis dibasmi oleh tentara Mancu di lembah Huang-ho...”
“Aaahhhhh...!”
“Lauw-pangcu juga gugur dalam penyerbuan itu.”
“Ahhhhh...!”
Tiba-tiba terdengar derap banyak kuda dari jauh. Gadis itu cepat berkata, “Mereka datang, In-kong, mari kita lari. Cepat...!”
Gadis itu dalam ketegangannya agaknya lupa bahwa Han Han memiliki kepandaian hebat. Dia menyambar tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu melarikan diri. Han Han maklum bahwa kalau pasukan Mancu yang besar jumlahnya tiba, tentu mereka berdua tidak akan mampu melawan. Dia sendiri akan dapat melarikan diri dengan mudah, akan tetapi belum tentu akan mudah bagi Hian Ceng untuk menyelamatkan diri. Maka ia tidak melepaskan tangan gadis itu yang menggandengnya, bahkan ia balas memegang dan tubuhnya lalu berloncatan cepat sekali, membawa tubuh Hian Ceng yang terbawa meloncat-loncat dan melayang-layang.
“Heiii... eeeiiitttt... eh, kita terbang...!” Hian Ceng menjerit kaget dan ngeri, akan tetapi tak lama kemudian ia tertawa-tawa gembira.
“Waduhhhh... hebat sekali... eiiihh, ngeri... terlalu tinggi kita meloncat... aihhhhh!” Saking ngerinya melihat betapa tubuh mereka mencelat ke atas pohon, kemudian dengan mengenjotkan kaki satu ke ranting lalu melambung lagi, Hian Ceng memejamkan mata dan merangkul Han Han!
Han Han mendiamkannya saja, bahkan berloncatan makin cepat sehingga tidak terdengar lagi suara kaki kuda. Mereka telah berada jauh di balik sebuah bukit, dan Han Han menurunkan tubuh Hian Ceng. “Kita sudah aman, Nona.”
Hian Ceng turun dan membuka matanya. Kedua pipinya merah sekali dan ia memandang Han Han dengan sinar mata penuh kagum. “In-kong, aku kagum sekali... ah, betapa senangku dapat berkenalan denganmu, In-kong.”
Han Han memandang wajah Hian Ceng yang kedua pipinya kemerahan. Gadis ini amat cantik dan memiliki kelincahan yang sama dengan Lulu. Juga wajahnya cerah, tadi baru saja menyedihkan kematian ayahnya kini sudah dapat tersenyum amat manis.
“Nona, engkau mengingatkan aku akan adikku, Lulu.”
“Ah, adikmu tentu cantik jelita sekali, In-kong!” kata Hian Ceng saat mereka melanjutkan perjalanan.
“Memang cantik jelita dan manis sekali, Nona.”
“Dan dia tentu amat lihai.”
“Memang dia amat lihai!”
“Dan dia tentu amat menyenangkan hati, In-kong.”
“Memang sesungguhnyalah dia amat menyenangkan hatiku, aku amat sayang Nona.”
Hian Ceng tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh memandang Han Han, alisnya yang hitam kecil menjelirit itu mengerut, suaranya terdengar agak marah, “Kalau begitu, In-kong telah tega hati untuk membohongiku dan mempermainkan aku!”
Nah-nah-nah, sudah kumat lagi, pikir Han Han. “Mengapa, Nona? Aku tidak bohong! Masa aku bohong kalau mengatakan bahwa adikku Lulu cantik jelita, manis, lihai dan menyenangkan hatiku?” Dia benar-benar tidak mengerti karena biar pun Lulu kadang-kadang juga merajuk dan mengambek, akan tetapi ada sebabnya, bukan seperti nona ini yang tiada hujan tiada angin lalu menyambar-nyambar seperti kilat di siang hari!
“In-kong bohong! Kalau begitu, mana bisa aku mengingatkan In-kong kepada adik In-kong itu?”
Han Han mengangkat alis membelalakkan mata dan di dalam hatinya ia tertawa bergelak, akan tetapi mulutnya menahan ketawa itu sehingga ia menyeringai seperti orang sakit gigi. “Oh... mengapa tidak? Engkau hampir sama dengan dia, juga watakmu hampir sama dengan wataknya.”
“Akan tetapi dia cantik manis...”
“Engkau juga... ehhhh!” Han Han menutup mulutnya, khawatir disangka mengejek lagi. Akan tetapi melihat kini gadis itu menahan senyum dan kelihatan gembira karena wajahnya berseri, ia melanjutkan, “Dan engkau pun lihai dan menarik, menyenangkan hati...”
Dengan muka berseri girang Hian Ceng berkata, suaranya penuh semangat, “Aku akan mencari adikmu sampai dapat, In-kong! Percayalah, kalau memang benar dia berada di daerah Se-cuan, aku pasti akan dapat menemukannya! Setelah Paman Thio Kai meninggal dunia, akulah satu-satunya orang yang paling mengenal keadaan daerah Se-cuan. Sudah kujelajahi semua daerah karena hal ini amat penting bagi tugasku sebagai penyelidik. Sssttttt... kita sekarang harus berhati-hati, In-kong. Lembah di depan itu disebut Lembah Neraka oleh kaum pejuang karena di situ musuh melakukan penjagaan keras.”
Dari tempat yang agak tinggi itu Han Han memandang tajam ke depan. “Akan tetapi kelihatannya sunyi saja.”
Gadis itu mengangguk. “Itulah bahayanya. Kaum pejuang yang menyeberang dan belum mengenal keadaan akan terjebak, mengira bahwa jalan itu aman. Padahal tentara penjajah yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya bersembunyi di kanan kiri lembah itu, ada yang mendirikan perkemahan di dalam jurang-jurang di kedua sampingnya, dan ada yang memasang barisan di atas tebing, siap dengan anak panah mereka. Karena jalan di bagian lereng sebelah kiri itu merupakan jalan satu-satunya dan di sana terapit dinding batu gunung maka jalan itu sempit dan sekali orang lewat di situ, sukar untuk menyelamatkan diri jika diserang dari kanan kiri, atas dan kedua jalan itu ditutup oleh mereka dari depan belakang. Dahulu, setahun yang lalu, tidak kurang dari dua ratus orang pengungsi dari timur yang hendak melarikan diri ke Se-cuan dan lewat di lorong itu, disembelih habis semua oleh mereka, laki-laki wanita dan kanak-kanak!”
Han Han bergidik. Dia teringat akan keganasan bala tentara Mancu yang melakukan pembunuhan terhadap para pengungsi. Kalau kaum pejuang yang mereka bunuh, hal itu memang sewajarnya, sebagai musuh dalam perang. Akan tetapi tentara Mancu yang ganas itu banyak pula membunuhi rakyat yang tidak tahu apa-apa, hal ini benar-benar merupakan perbuatan kejam yang harus ditentang.
“Kalau jalan itu demikian berbahaya, bagaimana kita akan dapat lewat? Mengapa Nona tidak mengambil jalan lain yang lebih aman?”
“Jalan depan itu yang terdekat dan bagiku, yang paling aman.”
“Eh, bagaimana bisa begitu? Bukankah kau katakan tadi bahwa...”
“Bagi yang tidak mengerti bagaimana mengakalinya memang berbahaya, juga bagi rombongan yang terdiri dari banyak orang. Akan tetapi biasanya kami berempat...,” dia berhenti sebentar, teringat akan ayahnya dan dua orang pamannya yang tewas, “kami selalu menggunakan jalan ini. In-kong lihat, pegunungan yang menjulang di sebelah kanan itu adalah Pegunungan Min-san. Dan yang menjulang tinggi di sebelah kiri itu adalah Pegunungan Ta-pa-san. Kita sekarang ini berada di Pegunungan Cin-ling-san. Dan lihatlah baik-baik di balik jurang di bawah itu.”
Han Han memandang daerah yang dikelilingi pegunungan ini dan ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk, ia melihat garis kebiruan yang panjang berliku-liku seperti tubuh seekor naga biru.
“Kau maksudkan sungai itu, Nona?”
“Benar, sungai yang mengalir ke selatan itu adalah Sungai Cia-ling dan kita akan memasuki daerah Se-cuan melalui sungai itu.”
“Naik perahu?”
“Tidak mungkin naik perahu, In-kong. Di kedua tepi sungai itu penuh dengan perkemahan musuh dan barisan tentara sudah siap menghujani setiap perahu yang lewat dari luar perbatasan dengan panah api...!”
“Habis, bagaimana?” Han Han memandang heran. Gadis itu tersenyum manis, agaknya merasa bangga sekali bahwa dalam hal ini dia dapat mengatasi Han Han, dan dialah yang memimpin. Menghadapi pemuda buntung ini ia merasa kecil tak berarti, merasa bukan apa-apa karena kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, akan tetapi kini dialah yang menjadi ‘pemimpin’!
“Marilah, In-kong. Aku akan menunjukkan jalan dan caranya nanti!” Hian Ceng memegang tangan Han Han dan menariknya ke kanan, menuruni jalan menurun yang curam.
Melihat jurang yang dituruni ini dan cara gadis itu menuruni dengan merayap seperti itu, sebetulnya Han Han tidak sabar. Kalau dia mau, dengan menggendong Hian Ceng ia dapat saja turun dengan gerak kilatnya sehingga dapat cepat tiba di Sungai Cia-ling. Akan tetapi ia merasa betapa telapak tangan gadis yang menggandeng tangannya itu hangat sekali, tanda bahwa gadis itu gembira dan bersemangat. Ia dapat menyelami perasaan Hian Ceng yang kini merasa menjadi orang yang lebih pandai, menjadi pemimpin, maka dia tidak tega untuk menghancurkan kegembiraan dan kebanggaannya. Maka ia pun ikut merayap turun.
Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Cia-ling. Hian Ceng mengajak Han Han bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai, lalu menuding ke arah selatan. Han Han memandang dan melihat sebuah perahu dengan lima orang tentara Mancu berada di pinggir. Perahu ditambatkan pada pohon dan lima orang itu mengobrol sambil makan minum perbekalan mereka.
“Kita bunuh mereka dan rampas perahunya?” bisik Han Han.
Hian Ceng menggeleng kepala dan mendekatkan mulutnya di telinga pemuda itu, berbisik, “Jangan, kalau kita bunuh dan akhirnya diketahui, penyeberangan perbatasan menjadi sulit. Dan perahu itu pun tidak ada gunanya bagi kita.”
Akan tetapi Han Han hampir tidak dapat menangkap arti ucapan gadis itu karena merasa betapa bibir itu bergerak-gerak menyentuh daun telinga, hawa yang hangat dari mulut meniup-niup telinga, hidung itu menyentuh-nyentuh pipi dan pelipis. Jantungnya berdebar keras. Selama hidupnya Han Han belum pernah berdekatan dengan wanita seperti sekarang ini.
Dahulu pernah dia mengalami hal luar biasa dengan Lulu ketika berada di Pulau Es, hal yang sampai sekarang kalau ia ingat membuat ia menjadi merah mukanya, akan tetapi ketika itu ia dan Lulu berada dalam keadaan tidak sadar dan diamuk gairah nafsu birahi yang dibangkitkan oleh racun ular merah. Mereka dulu keracunan dan masih dapat melawan sehingga mereka berdua terhindar dari perbuatan yang akan membuatnya menyesal selama hidupnya.
Dan selain peristiwa itu, memang sering kali Lulu dengan sikapnya yang manis memeluknya, mengambung pipinya, akan tetapi Lulu adalah adiknya dan perbuatan itu tidak menimbulkan sesuatu dalam batinnya. Kemudian, pernah pula berdekapan dengan Kim Cu, akan tetapi, hal itu pun dia lakukan ketika ia diamuk kedukaan karena kakinya buntung dan diamuk keharuan melihat cinta kasih Kim Cu yang demikian mendalam kepada dirinya. Berbeda dengan sekarang ini. Sekarang dia berada dalam keadaan sadar dan gadis ini baru saja dia kenal!
“Lalu... bagaimana...?” bisiknya.
“Kau pandai renang... ah, maafkan, In-kong. Tentu kau tidak bisa...” Gadis itu melirik ke arah kaki yang tinggal satu itu.
Han Han menghela napas, bukan karena menyesal melihat kakinya buntung. Kebuntungan kakinya bukan apa-apa lagi baginya, akan tetapi ia menyesal bahwa kebuntungan ini selalu mendatangkan rasa kasihan dan tidak enak, canggung bagi orang lain.
“Akan tetapi memang tidak perlu berenang,” gadis itu cepat menyambung dengan kata-kata lirih. “Aku memerlukan selonjor batang pohon itu ke tengah sungai dan kita bersembunyi di bawahnya, berpegang dan bergantung kepada cabangnya. Dengan demikian, tanpa susah payah kita akan dapat melewati barisan musuh dengan aman.”
Han Han mengangguk-angguk. Jadi beginikah akalnya gadis cerdik ini? Cerdik dan penuh keberanian karena kalau sampai akal ini diketahui musuh, tentu dia akan menjadi seperti tikus terjebak!
“Baik sekali, Nona. Akan tetapi bagaimana kita akan bernapas dalam air?”
Gadis itu tersenyum, senyum kemenangan penuh bangga karena kembali dialah yang akan dapat mengatasi kesulitan itu. Tangan kirinya meraih ke kiri dan jari-jari tangannya yang kecil dan kuat itu telah mematahkan sebatang alang-alang, mematahkan batang itu ke mulutnya. “Dengan dua tiga batang alang-alang di mulut, dapat kita menyedot hawa dari permukaan air.”
Han Han memandang kagum. Memang cerdik sekali. Dengan pipa batang alang-alang itu memang mereka akan dapat tinggal di bawah permukaan air sampai berapa lamanya pun! Permainan yang cerdik, akan tetapi amat berbahaya. Dengan tubuh di dalam air, berarti sama sekali tidak dapat melindungi tubuh terhadap bahaya dari luar, seolah-olah hanya menggantungkan nyawa kepada berhasilnya akal itu.
Menggantungkan nyawa kepada batang alang-alang! Betapa bahayanya! Akan tetapi, ia tidak mau mengecewakan orang dan mengangguk-angguk, bahkan ia lalu berkata, “Aku akan mencari batang pohon itu di sana.” Sebelum Hian Ceng menjawab, tubuhnya sudah melesat dan lenyap.
Gadis itu tertegun dan mengintai ke arah para tentara yang berada di perahu, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak melihat gerakan Han Han. Sedangkan dia sendiri yang biasanya membanggakan matanya, dan yang berada dekat sekali dengan Han Han, tidak dapat melihat bagaimana pemuda buntung itu lenyap begitu saja dari depan hidungnya!
Karena percaya penuh akan kelihaian Han Han, maka Hian Ceng tidak mau tinggal diam dan ia lalu mulai mencari dan mengumpulkan batang alang-alang yang cukup besar dan tua sehingga batangnya kuat, tidak mudah patah. Ia mengumpulkan sampai sepuluh batang dan tak lama kemudian Han Han kembali dan berbisik.
“Batang pohon sudah siap di sana, dekat tikungan.” Ia menuding.
“Bagus, mari kita ke sana, In-kong. Ini batang jerami alang-alang, kau pakai sebagian.”
Berindap-indap mereka lalu maju ke tepi sungai di tikungan sehingga tidak tampak oleh lima orang tentara di perahu. Melihat sebatang pohon besar yang jebol bersama akar-akarnya, Hian Ceng terbelalak. Kalau keadaan tidak demikian genting, tentu ia ingin sekali tahu bagaimana caranya pemuda buntung itu menumbangkan pohon ini berikut akarnya!
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang muda itu lalu menyeret batang pohon ke sungai, menghanyutkan batang pohon itu sampai ke tengah sungai dan mereka bergantung pada dahan di bawah batang. Dan batang alang-alang menyambung mulut mereka dengan hawa di permukaan air, bersembunyi di antara daun-daun pohon sehingga mudah bagi mereka untuk bernapas. Batang pohon itu hanyut dengan cepat karena arus air di bagian itu kuat juga.
Han Han bergantung pada dahan pohon dengan jantung berdebar tegang. Bagaimana ia tidak akan merasa tegang kalau berada dalam keadaan seperti itu, sama sekali tidak dapat menjaga diri, tak dapat menggunakan kepandaiannya, tidak dapat melihat musuh dan menggantungkan keselamatan dirinya pada dua batang alang-alang?
Tiba-tiba tangan Hian Ceng mencengkeram lengan Han Han. Han Han membuka matanya memandang ke arah atas yang ditunjuk gadis itu. Mula-mula hanya tampak bayangan hitam, akan tetapi lalu tampak kayu lonjong bergerak. Perahu! Han Han khawatir sekali, jelas ada perahu mendekati batang pohon. Ia lalu menyembulkan kepalanya, bersembunyi di antara daun-daun pohon itu. Benar saja, perahu dengan lima orang tentara Mancu berada dekat sekali, dan mereka semua sudah berdiri di perahu dengan tombak di tangan. Seorang di antara mereka berteriak.
“Awas kawan! Di hawah pohon ini tentu ada ikan-ikan pemberontak, kita panggang mereka, ha-ha-ha!”
Han Han terkejut sekali. Untung dia menyembulkan kepalanya, kalau tidak tentu mereka benar-benar akan disate oleh tombak-tombak itu. Mereka yang berada di perahu akan dapat melihat Han Han dan Hian Ceng, sebaliknya mereka yang berada di dalam air sukar untuk dapat melihat gerakan mereka yang di perahu!
Cepat Han Han menyelam lagi dan ketika perahu sudah cukup dekat bagian depannya. Han Han menggerakkan tongkatnya, mendorong perahu dengan gerakan tiba-tiba sehingga perahu itu terbalik dan lima orang tentara Mancu itu terlempar ke air! Han Han kagum sekali melihat betapa dengan gerakan yang cepat, Hian Ceng sudah mengerjakan jari-jari tangannya yang lihai sehingga tanpa mendapat kesempatan sama sekali, dua orang telah ditotok dan tewas seketika, rambut kepala mereka dicengkeram oleh tangan Hian Ceng.
Han Han juga mengerjakan tongkatnya dan tiga orang tentara yang lain tewas tanpa dapat mengerti mengapa mereka mati dan oleh siapa. Han Han menahan mayat-mayat mereka dengan tongkat. Mereka berdua terpaksa menyembulkan kepala ke permukaan air. Untung kedua tepi sungai sunyi di saat itu sehingga peristiwa itu tidak teriihat oleh tentara lain.
“Kita harus membawa mayat mereka ke tepi. Kalau terhanyut, kita celaka...,” kata Hian Ceng yang hendak berenang minggir sambil menyeret dua mayat korbannya.
“Biarkan aku melempar mereka ke darat!” Han Han mencegah dan tongkatnya bergerak dan... tubuh seorang tentara terlempar dan terbanting di tepi sungai. Lima kali Han Han menggerakkan tongkatnya dan lima mayat itu kini semua sudah menggeletak di pantai sungai. Perahunya yang tersangkut pada pohon itu, oleh Han Han didorong. Kekuatan mendorongnya luar biasa sekali sehingga perahu itu terdorong bagaikan anak panah cepatnya sehingga setibanya di tepi, ujung perahu itu menancap pada tanah!
Mereka cepat menyelam lagi. Tiba-tiba tangan gadis itu sekali lagi mencengkeram lengannya, Han Han membuka mata memandang gadis itu yang kelihatan lucu dan aneh sekali karena gerakan air membuat wajah gadis itu peletat-peletot dan bengkak-bengkok. Hian Ceng mengangkat tangan kanan yang dikepal jari-jarinya kecuali ibu jari yang diangkat ke atas, di depan hidung Han Han. Ah, kiranya gadis itu hanya ingin menyatakan kagumnya, hanya ingin memujinya dan karena di dalam air itu tak mungkin mengeluarkan suara, maka gadis itu mengacungkan jempolnya di depan hidung untuk memuji.
“Kita sudah masuk perbatasan daerah Se-cuan, di sini aman. Pakaian kita basah, kalau tidak dijemur dulu, bisa masuk angin!”
Han Han hanya mengangguk-angguk kemudian ia membalikkan tubuhnya membiarkan gadis itu membuka dan menjemur pakaian. Ia mendengar gadis itu mandi di anak sungai yang memuntahkan airnya di Sungai Cia-ling. Benar-benar mengherankan sekali. Setengah hari lamanya sudah merendam tubuh di air, sekarang masih mandi lagi! Benar-benar wanita merupakan makhluk yang paling aneh, merupakan manusia yang wataknya kadang-kadang mengherankan sekali. Bahkan watak adiknya sendiri pun kadang-kadang membuat dia bengong dan menggeleng-geleng kepala, menggaruk garuk belakang telinga. Kini ia pun menggeleng kepala dan menggaruk telinga tanpa disadarinya.
“Heiiiiii...! In-kong, kenapa kau menggeleng kepala dan menggaruk belakang telinga?” terdengar teriakan gadis itu dari belakangnya. Bukan main! Sudah mandi, kiranya masih mencurahkan perhatian kepadanya sehingga semua gerak-geriknya diketahuinya belaka!
“Aku heran mendengar engkau mandi, Nona,” kata Han Han sambil membuka bajunya, memeras air dari bajunya dan menggantungkannya di tempat panas bersama pakaiannya yang hanya satu stel. Celananya tetap ia pakai dan dia pun duduk di tempat panas untuk mengeringkan celana yang dipakainya.
“Mengapa heran mendengar orang mandi? Apakah engkau belum pernah mendengar orang mandi?”
“Bukan begitu maksudku. Baru saja kita keluar dari dalam sungai di mana kita berendam sampai setengah hari. Mengapa engkau mandi lagi, Nona?”
“Mengapa tidak? Air Sungai Cia-ling kotor, dan air sungai kecil ini amat jernih.” Kini suara gadis itu terdengar dekat, agaknya sudah selesai mandi. “Dan engkau tidak perlu lagi membelakangiku, In-kong. Aku sudah bersembunyi di balik semak-semak.”
Han Han membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi semak-semak dan sungai. Namun ia masih dapat melihat bayangan tubuh gadis yang telanjang itu di antara celah-celah daun semak-semak itu. Terpaksa ia menundukkan mukanya agar matanya jangan sampai melihat bayangan itu.
Sunyi sejenak. Gadis itu memeras pakaiannya yang basah dan yang baru saja dicucinya, kemudian dari bayangan yang dikerlingnya sebentar untuk mengetahui apa yang dilakukan Hian Ceng, Han Han dapat menduga bahwa gadis itu sedang menyambung bagian kain yang robek dengan benang-benang yang ia cabut dari kain pengikat kepalanya.
“Mengapa diam saja, In-kong? Apa yang kau pikirkan?” Tiba-tiba pertanyaan ini mengejutkan Han Han dan menyadarkannya dari lamunan.
“Eh, tidak apa-apa. Akalmu tadi baik sekali, Nona.”
“Uh, baik apa? Buruk sekali! Hampir saja celaka. Akal itu sudah kuno, tidak memenuhi syarat lagi. Musuh sudah tahu, perlu diganti dengan akal yang lebih tepat.” Hian Ceng lalu bercerita panjang lebar tentang semua pengalamannya sambil menanti keringnya pakaian.
Dari cerita ini tahulah Han Han bahwa gadis ini memang seorang gadis pejuang, gadis yang semenjak berusia tujuh tahun sudah ditinggal mati ibunya, kemudian ikut dengan ayahnya ke mana pun It-ci Sin-mo Tan Sun yang sudah tua itu pergi. Dia diajak berjuang oleh ayahnya, tak tentu tempat tinggalnya, sebagian besar hidup di dalam hutan-hutan di atas gunung-gunung dan di tempat-tempat liar!
Mengertilah Han Han mengapa sikap gadis ini terbuka, lincah liar dan polos. Agaknya, hidupnya selama ini di tempat-tempat terbuka, bersama-sama dengan para pejuang, hidup penuh kekerasan, menghadapi banyak bahaya maut bersama pejuang yang sudah mengeras wataknya dan menjadi kasar, membuat gadis ini menjadi gadis alam. Pantas saja tidak pemalu seperti gadis-gadis kota, dan tidak merasa canggung biar pun kini ia bercakap-cakap dengan Han Han dalam keadaan telanjang, biar pun tertutup semak-semak.
Setelah pakaian mereka kering dan tubuh mereka yang tadinya dingin menjadi hangat oleh sinar matahari, Hian Ceng berpakaian dan muncul dari balik semak-semak. Wajahnya segar dan bersih, rambutnya terurai lepas, pakaiannya sudah tertutup rapat dan dia memandang Han Han yang sudah sejak tadi berpakaian dengan wajah berseri.
“In-kong, marilah kuperlihatkan padamu daerah Se-cuan yang indah, kuperkenalkan daerah pejuang!” Ia lalu berlari-lari cepat.
Han Han segera berloncatan mengejar gadis yang mendaki pundak itu. Kegembiraan gadis itu menular kepadanya sehingga dengan kaget dan heran akan tetapi juga senang ia sadar dan teringat betapa kini hatinya tidak begitu tertekan lagi, semangatnya tidak lemah lagi seperti sebelum ia bertemu dengan Hian Ceng. Ah, melihat gadis itu yang demikian lincah gembira, melihat dia hidup seperti tidak mengenal susah padahal baru saja ditinggal mati ayahnya, benar-benar menyadarkannya bahwa hidup ini sebetulnya tidaklah begitu buruk!
Tak lama kemudian kedua orang ini tiba di sebuah puncak di Pegunungan Cin-ling-san dan Hian Ceng berhenti. Han Han kagum sekali. Memang pemandangan di situ amat indahnya, sungguh pun dia harus mengakui bahwa ia lebih tertarik dan merasa lebih indah ketika memandang sepasang mata yang bersinar-sinar gembira, bibir yang tersenyum dan agak terbuka karena terengah-engah, pipi yang kemerahan dan segar, rambut yang sudah kering betul dan melambai-lambai tertiup angin seperti benang-benang sutera.
“Lihatlah, In-kong. Puncak-puncak Pegunungan Ta-pa-san di timur dan puncak-puncak Pegunungan Min-san di barat tampak semua dari sini. Seperti juga di lembah Cin-ling-san ini, di lembah kedua gunung itu pun terjaga oleh barisan Mancu. Berkali-kali pihak Mancu menyerang dari tiga daerah pegunungan ini, akan tetapi kami selalu dapat memukul mundur mereka. Daerah Se-cuan memang amat tepat menjadi pusat perjuangan melawan Mancu. Daerah yang dikurung gunung-gunung. Puncak yang amat tinggi dan jauh di barat itu, di balik Pegunungan Min-san, adalah Pegunungan Bayangkara. Di sebelah selatan Min-san disambung dengan Pegunungan Ciung-lai-san, dan di tapal batas sebelah selatan masih disambung lagi oleh Pegunungan Ta-liang-san. Daerah timur ditutup oleh Sungai Yang-ce-kiang dan bala tentara Bu-ongya dikerahkan untuk menjaga tapal batas di timur sepanjang Sungai Yang-ce-kiang, dan di utara di lembah-lembah Gunung Ta-pa-san dan Min-san.”
Sambil memandang ke sekeliling dari tempat tinggi ini, Han Han kagum akan pengetahuan gadis itu tentang keadaan dan daerah itu.
“Pusat pemerintah di mana Bu-ongya tinggal berada di kota raja Cung-king, dan semua benteng pertahanan yang dijadikan pusat para pejuang yang membantu Bu-ongya tersebar di tiga tempat, yaitu Cung-king, Kwang-yang dan Wan-sian. Engkau sendiri harus ke Cung-king, In-kong, selain untuk bertemu dengan Bu-ongya, juga di sana tentu engkau akan bertemu dengan para pejuang lain yang sudah In-kong kenal. Mari kita turun dan melanjutkan perjalanan. Biar pun sekarang telah memasuki daerah sendiri yang aman, akan tetapi perjalanan masih harus ditempuh dua hari dua malam dan amat sukar perjalanannya, baru kita akan bertemu dengan penjaga-penjaga. Nanti aku akan menyuruh mereka mengantar In-kong ke Cung-king.”
“Dan kau sendiri, Nona?”
“Aku akan pergi mencari adikmu, kumulai dengan mencarinya di Kwang-yang.”
“Aku pun hendak mencari adikku. Memang untuk keperluan itulah aku memasuki Se-cuan.”
“Benar, akan tetapi sebagai seorang yang baru saja memasuki Se-cuan, In-kong adalah seorang asing. Kalau tidak menghadap dulu ke Cung-king, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan bagi In-kong sendiri yang akan dicurigai di mana-mana. Selain itu, sudah sepatutnyalah kalau orang memasuki daerah yang sedang bergolak, terlebih dahulu menghadap Bu-ongya yang dapat dikatakan sebagai tuan rumahnya.”
Gadis itu pandai sekali berdebat dan Han Han terpaksa membenarkannya. Mereka lalu menuruni puncak itu dan setelah hari menjadi gelap, Hian Ceng mengajak Han Han beristirahat di sebuah lereng gunung di mana terdapat sebuah gubuk kecil di pinggir hutan, gubuk yang menurut kata Hian Ceng sengaja dibuat oleh para pejuang untuk tempat istirahat.
Hian Ceng benar-benar mengenal daerah itu. Dia pergi sebentar dan datang lagi membawa buah-buahan dan seekor ayam hutan yang gemuk. Sambil bernyanyi-nyanyi Hian Ceng membersihkan dan memanggang daging ayam itu, kemudian mereka makan dan minum air jernih.
Malamnya, Hian Ceng yang sudah lelah sekali tidur di dalam gubuk, di atas dipan bambu, rebah miring. Dingin sekali malam itu. Han Han duduk tidak jauh dari tempat Hian Ceng rebah karena gubuk itu hanya sempit saja, dan biasanya, para pejuang yang kemalaman di tempat ini tidur saja di atas dipan yang memenuhi gubuk, berderet-deret seperti ikan bandeng. Hal ini juga sudah dikatakan oleh Hian Ceng tadi ketika gadis yang sudah biasa hidup di alam liar ini hendak tidur dan merebahkan tubuhnya miring.
“In-kong, mari kita tidur. Kita harus mengaso karena perjalanan besok masih jauh!”
Wajah Han Han merah sekali mendengar ajakan itu, untung bahwa sinar api unggun yang merah menyembunyikan warna mukanya. “Tidurlah, Nona.”
“Eh, masa engkau duduk saja? Tidurlah, tempat ini cukup lebar. Biasanya kami juga tidur di sini, bersama Ayah dan para Paman. Mengapa malu? Nih, di belakangku masih lega, rebahlah di sini.”
Akan tetapi tentu saja Han Han hanya dapat menggeleng kepala dan pura-pura tidak memperhatikan gadis itu dengan menambah kayu pada api unggun. Ia mengerti bahwa gadis yang biasa hidup di alam terbuka, biasa mengalami kesukaran hidup bersama para pejuang lainnya, menganggap tidur bersama seperti itu biasa saja! Bahkan bertelanjang di depannya pun tadinya dianggap bukan apa-apa. Ia baru marah karena pandang mata Han Han yang terpesona! Benar-benar gadis yang jujur, polos dan murni.
Akan tetapi dia yang sudah kenyang membaca kitab-kitab, tahu akan segala peradaban, segala kesusilaan dan kesopanan, bagaimana mungkin dapat rebah di samping seorang gadis? Kalau rebah dan tidur sepembaringan dengan Lulu, hal itu sih tidak terlalu menyiksa perasaan. Akan tetapi dengan gadis yang baru dikenalnya ini? Tak mungkin...!!