Suling Emas Jilid 09
Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran. Ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya.
"Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
“Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini,” pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi. "Paman, siapakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi 'Kim-mo Taisu', lalu ia tertawa dan berkata, "Inilah namaku."
"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama To!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa bergelak....
"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk belajar ilmu silat."
Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk golok. "Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!"
"Eh, kenapa?"
"Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal permusuhan sumber kekejaman!"
"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia yang mempergunakan ilmu itu."
"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau tidak untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?"
"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang begitu?"
"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."
“Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci pula ilmu silat,” pikir Kwee Seng.
Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia pun heran mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini keras dan kuat seperti benteng baja. Anak yang pandai sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan luas, dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin tertarik dan suka sekali.
"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhu-mu, kau harus ikut ke mana pun aku pergi."
Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya awut-awutan itu, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng di depan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan walau pun ia tidak setuju dengan sepak terjangnya. Maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya seorang mengangkat guru sambil menyebut, "Suhu!"
Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya menggebrak tanah di depan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat ke atas semeter lebih tingginya. Akan tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat ke atas dalam keadaan masih berlutut dan biar pun hal itu merupakan hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau takut keluar dari mulutnya. Matanya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh muridnya itu, lalu dipeluknya.
"Anak baik, muridku yang baik....!"
Bu Song terharu, matanya terasa panas namun hatinya yang keras menentang untuk meruntuhkan air mata. Ia merasa betapa dari diri suhunya memancar kasih sayang yang amat ia butuhkan, kasih sayang orang tua yang amat ia rindukan karena sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini. Maka dalam saat itu, di dalam hatinya timbul rasa kasih yang amat besar terhadap gurunya yang berpakaian jembel dan berambut riap-riapan ini. Bukan hanya rasa taat dan bakti seorang murid terhadap guru, melainkan juga rasa sayang seorang anak terhadap ayah!
"Bu Song, kau tunggu sebentar di sini!" tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan tanpa menanti jawaban muridnya, tubuhnya melesat lenyap dari tempat itu.
Bu Song bengong, kagum dan terheran-heran. Sewajarnyalah kalau pada saat itu timbul rasa inginnya untuk belajar ‘terbang’ seperti yang dilakukan suhunya. Akan tetapi hatinya yang keras menolak keinginan ini karena pesan ayahnya dahulu ketika ia masih kecil masih lekat di lubuk hatinya. Ia tidak tahu ke mana suhunya pergi, juga tidak dapat menduga ke mana. Akan tetapi karena memang sejak semula maklum bahwa gurunya itu seorang manusia dengan kelakuan edan-edanan, ia hanya menghela napas lalu duduk menanti di bawah pohon itu. Kewajiban seorang murid untuk mentaati perintah gurunya dan andai kata gurunya itu sehari semalam tidak kembali, ia akan tetap menanti di tempat itu!
Untung baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama. Belum sejam lamanya, Kim-mo Taisu sudah berkelebat datang membawa pundi-pundi kuning. Datang-datang gurunya melempar pundi-pundi itu ke depan Bu Song sambil tertawa bergelak dan berkata, "Ha-ha-ha, kau benar, muridku! Setan-setan judi itu memang sukar disembuhkan dari penyakit gemar judi. Mereka itu telah ramai-ramai berjudi pula dan betul saja, uang pembagian dariku mereka pergunakan sebagai modal! Benar-benar menjemukan!"
Bu Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu menjadi gurunya, tentu saja tak berani ia mentertawakannya. "Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap mereka?" tanyanya, sikapnya hormat sehingga Kim-mo Taisu tercengang.
"Aku? Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus dua puluh tail, jumlah uangku sendiri, kemudian kujungkir-balikkan meja judi, kelempar-lemparkan mereka ke atas genteng."
Bu Song diam saja, akan tetapi di dalam hati ia tidak setuju dengan perbuatan suhunya ini yang dianggap juga sia-sia belaka. Tidak mungkin dapat mengobati penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam dalam hati mereka terhadap suhunya. Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan tajam sambil tersenyum, mengerti bahwa muridnya tentu saja tidak setuju, akan tetapi melihat mulut muridnya tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, diam-diam ia makin kagum. Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid terhadap guru, dan pandai pula menyimpan perasaan. Akan tetapi ia belum menguji sampai di mana keuletan dan ketahanan hati muridnya ini.
"Bu Song, kau melihat gunung itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bukit di selatan. "Itu adalah Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting ke sana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi uang ini dan kau susullah aku ke sana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"
"Mengapa tidak berani, Suhu?"
"Baik. Nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku pergi sekarang!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu menyerahkan pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap.
Untuk kedua kalinya Bu Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu bergerak dan lenyap begitu saja, seakan-akan suhunya pandai ilmu ‘menghilang’. Ia memandang pundi-pundi itu kemudian mengikatkannya di punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan.
Bukit itu masih jauh, hanya kelihatan menjulang tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia tidak merasa jeri. Ia percaya penuh bahwa suhunya pasti menanti di sana. Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara, ini adalah ucapan ayahnya. Apa pun akan ia jalani untuk mentaati perintah suhunya. Hatinya lapang, langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali.
Anak kecil ini memandang ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia. Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa potong uang kecil sisa hasilnya bekerja masih terdapat di saku. Akan tetapi, di dalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di kota orang berlomba mencari uang, akan tetapi di tempat seperti ini, uang segudang pun tiada gunanya!
Dua hari sudah ia berjalan, melalui hutan-hutan belaka. Tidak ada dusun, tidak ada rumah orang di mana ia dapat mencari pengisi perut. Namun, perantauannya selama ini membuat Bu Song selain tahan lapar, juga mendapatkan pengalaman, menambah akalnya untuk mengisi perut kosong. Buah-buahan, telur-telur di sarang burung, kalau perlu malah daun-daun muda dan beberapa macam ubi, dapat ia pergunakan untuk mengusir lapar. Soal minum tidaklah sukar, karena banyak terdapat sumber-sumber air atau sungai-sungai kecil. Hatinya lega karena akhirnya sampai juga ia ke kaki gunung Tapie-san.
Sementara itu, Kim-mo Taisu tentu saja sudah sampai di Gunung Tapie San lebih dulu. Bagi pendekar sakti ini, perjalanan semalam sudah cukup karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat. Pada keesokan harinya pagi-pagi ia sudah berloncatan dari batu ke batu, melompati jurang-jurang, mendaki lereng Tapie-san sebelah utara.
Akhirnya ia berhenti di depan sebuah bangunan besar terkurung tembok tinggi, bentuknya seperti kuil kuno yang besar dan yang agaknya belum lama diperbaiki karena cat dan kapurnya masih baru. Pagar tembok bagian depan bersambung pada sebuah pintu cat merah, pintu yang tebal dan kokoh kuat, namun tertutup. Sekeliling gedung itu sunyi senyap dan memang amat mengherankan bahwa di lereng yang sunyi jauh tempat tinggal manisia ini terdapat sebuah gedung demikian megahnya, mirip sebuah istana musim panas di mana seorang raja atau pangeran tinggal melewatkan musim panas. Tak mungkin seorang pengemis tinggal di tempat seperti ini, akan tetapi karena yang ia cari adalah raja pengemis, siapa tahu kalau-kalau inilah istananya?
Tanpa ragu-ragu lagi Kim-mo Taisu menghampiri pintu dan mengetoknya. Ketokannya keras dan suara ketokan bergema, lalu sunyi. Ia menanti sebentar, lalu mengetok lagi. Apakah gedung itu kosong? Tak mungkin! Kalau kosong pintu gerbangnya takkan tertutup, dan ia tadi melihat tiga ekor burung dara terbang berputaran di atas gedung. Burung dara tentu dipelihara orang.
Benar dugaannya. Tak lama kemudian terdengar suara orang disusul langkah kaki ke arah pintu, kemudian suara tapal pintu dibukakan orang. Daun pintu terbuka perlahan, pertama-tama memperlihatkan sebuah pekarangan yang luas di depan gedung yang dilihat dari keadaan ruang depannya saja jelas membayangkan kemewahan gedung. Dari balik daun pintu yang terbuka muncul dua orang pengemis tinggi besar yang berwajah bengis!
Kim-mo Taisu melangkah masuk. Sekarang tampaklah olehnya serombongan orang berpakaian pengemis berdiri berbaris di kanan kiri pekarangan itu, setiap baris sembilan orang, sedangkan dari dalam gedung itu keluar tiga orang pengemis tua. Pakaian tiga orang tua ini pun tambal-tambalan, malah tidak begitu bersih seperti barisan di pekarangan. Tampaknya tiga orang ini adalah pengemis-pengemis tulen. Akan tetapi sikap dan langkah mereka sama sekali bukanlah sikap pengemis. Begitu angkuh dan agung-agungan seperti sikap pembesar-pembesar tinggi!
Kim-mo Taisu memandang penuh perhatian. Yang manakah di antara tiga orang ini yang memakai nama julukan Raja Pengemis? Akan tetapi menurut cerita yang ia dengar dari guru silat Liong, raja pengemis itu masih muda sedangkan tiga orang pengemis ini biar pun agaknya juga merupakan pimpinan pengemis, sudah berusia lima puluh lebih.
Melihat betapa semua orang yang hadir di tempat ini berpakaian tambal-tambalan, Kim-mo Taisu menunduk untuk memandang pakaiannya sendiri, kemudian ia tertawa bergelak-gelak. Memang lucu. Tuan rumah dan anak buahnya semua berpakaian pengemis, sedangkan dia sendiri pun pakaiannya butut dan penuh tambalan.
"Ha-ha-ha-ha! Dunia pengemis ini! Tamunya dan yang punya rumah sama-sama berpakaian pengemis. Akan tetapi biar sama, jauh bedanya! Pakaianku memang butut dan tambal-tambalan, asli pakaian pengemis, namun aku bukan pengemis. Sebaliknya, pakaian kalian adalah buatan, sengaja ditambal-tambal seperti pakaian pengemis, akan tetapi kalian betul-betul pengemis! Ha-ha-ha, bukankah ini lucu dan memperlihatkan kepalsuan manusia?"
Kini tiga orang pengemis tua itu sudah berada di depan Kim-mo Taisu. Mendengar perkataannya, tiga orang pengemis itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka berkata, suaranya perlahan akan tetapi mengandung tenaga sehingga terdengar jelas, "Apakah engkau ini orang gila yang mengacau di Sin-yang dan hendak mencari Kai-ong?"
Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Bagaimana mereka ini bisa tahu akan peristiwa di Sin-yang? Padahal ia telah melakukan perjalanan cepat sekali ke lereng gunung ini. Mungkinkah ada orang dari Sin-yang mendahuluinya memberi kabar? Kalau memang ada tentu hebat bukan main ilmu lari cepat orang itu! Hampir sukar dipercaya.
Tiba-tiba Kim-mo Taisu berdongak ke atas dan ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Aku tidak bersayap, mana bisa melawan kecepatan burung?" Ia kini dapat menduga bahwa tentulah dari Sin-yang orang mengirim surat dengan perantaraan burung dara ke tempat ini. "Memang akulah yang mencari Kai-ong. Suruh dia keluar, aku mau bicara dengannya!"
"Hemm, tidak mudah bertemu dengan Kai-ong. Orang muda, kau siapakah dan apa maksudmu mau bertemu dengan Kai-ong?"
"Aku bukan datang untuk memperkenalkan nama. Suruh saja rajamu keluar, aku tidak ada urusan dengan kalian pengemis-pengemis palsu."
"Hemmm, orang muda sombong! Kai-ong sudah menugaskan kami menjaga di sini, tanpa melalui kami bertiga pengemis tua bertongkat sakti, mana bisa kau pergi menghadap Kai-ong?"
Mendengar ini, Kim-mo Taisu memandang teliti. Tiga orang kakek ini adalah orang-orang tua yang biasa saja, bertubuh kurus seperti kurang makan, pakaiannya tambal-tambalan, memakai sepatu kulit. Akan tetapi tangan mereka memegang sebuah tongkat panjang seperti toya, dapat dipergunakan sebagai tongkat mau pun senjata. Melihat bentuk pentung ketiganya serupa, teringatlah ia akah nama tiga tokoh besar pengemis, yaitu Sin-tung Sam-lo-kai (Tiga Pengemis Tua Bertongkat Sakti).
Akan tetapi sepanjang pendengarannya, Sin-tung Sam-lo-kai adalah tokoh-tokoh pengemis yang amat terkenal di selatan, terkenal sebagai orang-orang pandai yang tidak termasuk golongan jahat, bahkan memimpin kaipang-kaipang (perkumpulan pengemis) di selatan. Bagaimana sekarang tiga orang tokoh ini hanya menjadi penjaga pintu di sini?
"Bukankah Sam-wi (Tuan Bertiga) ini Sin-tung Sam-lo-kai?"
Tiga orang kakek itu saling pandang, agaknya merasa heran. "Hemm, orang muda," kata kakek pertama yang paling tua. "Jadi kau sudah mengenal kami? Kalau begitu, lebih baik kau memperkenalkan diri dan katakan terus terang saja, apa maksudmu mencari Kai-ong?"
"Sam-wi Lo-kai adalah orang-orang ternama di selatan, bagaimana sekarang hanya menjadi penjaga pintu di sini? Siapakah dia yang memiliki gedung ini?"
"Bukan urusanmu! Lebih baik kau lekas mengaku, atau pergi saja dari sini, jangan mengganggu kami," jawab pengemis itu cepat-cepat.
Akan tetapi Kim-mo Taisu seorang cerdik. Ia dapat menduga bahwa tiga orang itu tentu merasa tidak senang sekali dengan ‘pekerjaan’ mereka, akan tetapi agaknya dilakukan dengan terpaksa, entah oleh apa dan mengapa.
"Ha-ha-ha, kau boleh takut pada raja pengemis itu, akan tetapi aku tidak. Biar dia seorang siluman sekalipun, aku harus mencari dia!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu melangkah maju dan berkata keras, "Harap kalian bertiga minggir!"
Namun tiga orang kakek itu sudah memalangkan tongkat mereka yang panjang, siap menerjang. Kim-mo Taisu tertawa bergelak, seakan-akan tidak melihat ancaman tongkat terkenal itu, terus melangkah maju hendak memasuki pintu depan rumah gedung.
"Apakah kau mencari mampus?" bentak tiga orang kakek pengemis itu dan terdengar suara angin menyambar keras ketika mereka menggerakkan tongkat menyerang.
Dari angin serangan ini saja Kim-mo Taisu dapat menaksir bahwa kepandaian tiga orang kakek pengemis ini tidak kalah oleh Koai-tung Tiang-lo yang pernah ia lawan di dalam rumah judi di Sin-yang. Maka dapat dibayangkan hebatnya tiga batang tongkat yang menusuk dari kanan kiri dan sebatang lagi diputar menghadang di depan!
"Wuuuttt! Wuuuttt!" dua batang tongkat berubah menjadi sinar kehitaman menyambar dari kanan kiri mengancam lambung.
Kim-mo Taisu mengembangkan kedua lengannya, kemudian tangannya bergerak secepat kilat menangkap ujung kedua tongkat, mengerahkan lweekang menarik ujung tongkat ke bawah sambil berseru keras. Dua orang pengemis tua itu tak dapat melawan tarikan tenaga yang dahsyat ini. Betapa pun mereka mempertahankan kehendak merampas kembali tongkat yang terpegang lawan, namun sia-sia belaka dan tahu-tahu tongkat mereka telah amblas ke dalam tanah sampai setengahnya lebih!
Kakek ke tiga yang menyerang dari depan marah sekali. Ujung tongkatnya yang tadinya terputar-putar itu kini meluncur ke depan bagaikan seekor ular hitam, menerjang maju dengan tusukan yang berlenggang-lenggok dan sekaligus telah menotok ke arah tujuh jalan darah berturut-turut. Kim-mo Taisu maklum akan kelihaian jurus serangan ini, maka ia cepat menggunakan ginkang-nya untuk berturut-turut pula mengelak ke kanan kiri, kemudian lengan bajunya bergerak memutar, melibat ujung tongkat.
"Lepas....!!" teriaknya sambil mengerahkan sinkang. Sekali ia membetot dengan kuat, tongkat itu tak dapat dipertahankan lagi oleh pemiliknya, terlepas dan meluncur bagaikan anak panah kemudian menancap pada dinding pagar, gagangnya bergetar keras mengeluarkan bunyi.
Tiga orang kakek itu adalah Sin-tung Sam-lo-kai, dari julukannya saja sudah menyatakan bahwa mereka itu ahli-ahli tongkat yang lihai. Tentu saja mereka kaget setengah mati melihat kenyataan yang sukar dipercaya, betapa dalam segebrakan saja lawan muda yang seperti orang gila ini mampu merampas tongkat mereka! Mereka menjadi penasaran sekali, dan selain penasaran, juga mereka tidak berani membiarkan orang ini masuk ke dalam gedung begitu saja karena hal ini akan membuat mereka kesalahan dan akan mendapat marah dari Kai-ong.
"Tahan dia!" seru kakek tertua memberi perintah kepada barisan pengemis ketika ia melihat Kim-mo Taisu berlenggang seenaknya hendak memasuki gedung.
Ia sendiri lari untuk mencabut tongkatnya dari dinding, sedangkan kedua orang temannya juga sudah mencabut tongkat masing-masing yang menancap di atas tanah. Barisan pengemis yang terdiri dari delapan belas orang itu bergerak maju cepat sekali dari kanan kiri, dan terkurunglah Kim-mo Taisu.
Pendekar aneh ini berdiri di tengah-tengah pekarangan depan, bertolak pinggang dan tertawa bergelak melihat barisan pengemis itu lari berputaran di sekelilingnya, membentuk barisan aneh yang berubah-ubah, kadang-kadang merupakan lingkaran bundar, dalam sedetik berubah menjadi segi tiga, terus berubah-ubah dengan bertambah seginya dan setengah menjadi pat-kwa (segi delapan) lalu perlahan-lahan menjadi bulat lagi. Barisan ini teratur sekali dan melihat perubahan-perubahan yang rapi ini diam-diam Kim-mo Taisu merasa kagum.
"Orang muda, biar pun kau lihai, tak mungkin kau dapat lolos dari Kan-kauw-kai-tin (Barisan Pengemis Pengejar Anjing) kami. Sebelum kami turun tangan membunuhmu, lebih baik kau lekas mengaku, siapakah engkau dan apa perlumu mencari Kai-ong?!"
Kim-mo Taisu menarik napas panjang. "Barisanmu baik sekali, Sam-lo-kai, biarlah aku mencoba untuk menjadi anjingnya biar dikejar-kejar barisanmu." Sambil tertawa bergelak Kim-mo Taisu lalu menerobos ke depan, nekat hendak memasuki gedung.
Segera di depannya telah menghadang tiga orang pengemis anggota barisan yang sekaligus telah menerjang dan menyerangnya dengan senjata mereka. Seorang bersenjata tongkat panjang, seorang lagi bersenjata pedang dan orang ke tiga bersenjata joan-pian (ruyung lemas semacam cambuk). Tiga senjata yang amat berbeda sifatnya, amat berbeda pula caranya menyerang, namun ketika maju bersama, ternyata mereka bertiga dapat bekerja sama baik sekali, seakan-akan seorang saja dengan tiga macam senjata, tiga pasang kaki tangan menyerang Kim-mo Taisu!
Pendekar ini berseru kagum, dan tentu saja ia tidak gentar menghadapi serangan tiga orang ini. Kedua tangannya digerakkan, dengan ilmu tangkapnya Kim-na-hoat ia hendak merampas senjata-senjata mereka. Akan tetapi tiga orang itu tidak jadi menyerangnya dan berlari terus ke depan dan pada detik itu juga, pengurung bagian belakang yang menyerang. Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh dan ia kaget melihat betapa tiga orang di bagian belakangnya ini bersenjata persis seperti tiga orang pertama tadi akan tetapi cara mereka menyerang berbeda sungguh pun kerja sama mereka tetap baik.
Karena ia diserang dari belakang, Kim-mo Taisu terpaksa mengelak dan lewatlah berturut-turut pedang, toya, dan cambuk itu di samping tubuhnya. Begitu serangan mereka gagal, tiga orang ini bergerak lari, dan kini tiga orang lain yang berada di belakang Kim-mo Taisu menerjang hebat dengan tiga macam senjata mereka. Secara begini, sebentar saja Kim-mo Taisu telah diserang bertubi-tubi oleh barisan enam kali tiga orang ini dan ia betul-betul menjadi seperti seekor anjing yang dikejar-kejar oleh barisan pengemis!
Kim-mo Taisu adalah seorang ahli silat ia memiliki penyakit yang sama, yaitu haus akan ilmu silat. Melihat hebat dan rapinya Ilmu Barisan Kan-kauw-kai-tin ini, ia menjadi kagum dan tertarik sekali, tertarik untuk mempelajarinya tentu. Kalau ia mau, dengan kepandaiannya yang jauh lebih tinggi dari pada para pengeroyoknya, tidaklah sukar baginya untuk merobohkan mereka ini. Akan tetapi ia justru ingin melihat bentuk permainan mereka dalam barisan itu, maka ia sengaja membiarkan dirinya diserang terus-menerus. Ia hanya main berkelit saja karena tidak ingin merusak barisan mereka, maka ia dapat memperhatikan betapa barisan ini bergerak dan berubah.
Setelah ia menghadapi pengurungan ini selama seperempat jam, tahulah ia bahwa ilmu barisan ini sesungguhnya juga berdasarkan garis-garis perubahan dalam pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang terkenal itu. Dia sendiri adalah ahli permainan Pat-kwa-kun (Ilmu Silat Segi Delapan) tentu saja ia tahu dan hafal akan seluk-beluk pat-kwa, maka setelah menemui intisari barisan, ia menjadi jemu dan kecewa. Setelah mendapatkan rahasia sumbernya, kiranya barisan ini biasa saja.
"Ha-ha-ha-ha, Sin-tung Sam-lo-kai! Kiranya barisanmu ini adalah barisan pengemis kelaparan mengejar harimau! Bukan si harimau yang terpegang, melainkan pengemis-pengemis kelaparan ini yang menjadi mangsa harimau, ha-ha-ha!" Sambil berkata demikian, Kim-mo Taisu mulai ‘bekerja’, tangan kakinya bergerak cepat, tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan kilat.
Terdengar suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika senjata-senjata terlempar dan tubuh-tubuh menyusul bertebangan ke atas genteng. Dalam tempo beberapa menit saja delapan belas orang anggota barisan itu sudah berada di atas genteng semua, dilemparkan oleh Kim-mo Taisu tanpa mereka dapat mengerti bagaimana mereka itu kehilangan senjata dan berada di atas genteng dengan kaki atau tangan salah urat. Ketika melihat betapa Kim-mo Taisu mengamuk seperti harimau ganas, mereka ini tidak berani turun lagi!
Wajah Sin-tung Sam-lo-kai menjadi pucat. Barisan Kan-kauw-kai-tin sudah terkenal kehebatannya, namun menghadapi seorang muda gila saja kocar-kacir! Mereka maklum bahwa jika orang muda gila ini memasuki gedung, tentu mereka mendapatkan hukuman berat dari Kai-ong, maka dengan muka beringas mereka bertekad untuk mempertahankan penjagaan mereka. Dengan senjata tongkat di tangan mereka berdiri menghadang di depan pintu.
"Orang muda, kau lihai. Akan tetapi jangan harap dapat masuk mengganggu Kai-ong kalau tidak melalui mayat kami bertiga!"
"Eh, eh, Sam-lo-kai! Raja pengemis itu orang macam apa sih? Aku Kim-mo Taisu datang ke sini bukan untuk main-main dengan segala macam pengemis tua! Mengapa kau tidak segera melaporkan kepadanya bahwa aku hendak bertemu?"
Terbelalak kaget tiga orang kakek pengemis itu ketika mendengar nama ini. Sengaja Kim-mo Taisu memperkenalkan namanya karena ia merasa segan untuk bermusuhan dengan pimpinan pengemis yang namanya di dunia kang-ouw terkenal baik itu. Dan memang akibatnya hebat. Tiga orang pengemis itu tentu saja sudah mendengar nama besar Kim-mo Taisu yang orang di dunia kang-ouw sudah merangkaikannya dengan nama Kim-mo-eng, pendekar sastrawan yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sejak beberapa tahun tidak pernah muncul, kemudian muncul seorang pengemis muda yang sikapnya edan-edanan dan berjuluk Kim-mo Taisu. Mereka mendengar bahwa Kim-mo Taisu amat sakti sekali dan juga merupakan pemberantas kejahatan, pembela kebenaran, dan keadilan. Setelah terbelalak dengan muka pucat, seorang di antara mereka yang tertua segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu dan berkata, suaranya penuh permohonan.
"Ah, kiranya Taisu yang datang! Kim-mo Taisu, kami tiga orang saudara mohon pertolonganmu! Perkumpulan kami, juga perkumpulan di empat penjuru, telah ditaklukkan oleh ketua baru Khong-sim Kai-pang, yaitu Kai-ong yang amat bengis dan sakti. Kalau kami membiarkan Taisu masuk, berarti kami bertiga akan binasa. Karena itu, tolonglah Taisu membantu kami, membalaskan sakit hati kami... agar nama baik perkumpulan-perkumpulan Kai-pang di selatan dapat diangkat lagi dan.... Auuhhh!" tiba-tiba kakek pengemis ini terguling dan darah muncrat dari punggungnya yang tertembus sebatang sumpit gading yang meluncur dari dalam gedung!
"Twa-suheng...!" dua orang adik seperguruannya menubruk, dan mereka memandang kepada Kim-mo Taisu dengan mata penuh permohonan.
Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh memandang. Akan tetapi tidak ada seorang raja pengemis muncul melainkan seorang wanita cantik, masih muda berpakaian pelayan. Dengan gerak tubuh lemah lembut wanita itu berkata, suaranya nyaring dan merdu. "Kai-ong-ya memerintahkan tamu terhormat Kim-mo Taisu untuk datang menghadap!" Wanita itu lalu membungkuk dengan hormat, tangannya mempersilahkan.
Mendongkol hati Kim-mo Taisu. Bukan mendongkol karena pembunuhan atas pengemis tua, karena ia memang seorang aneh dan hal itu dianggapnya bukan urusannya. Ia mendongkol oleh sikap Kai-ong itu, yang seakan-akan benar-benar seorang raja yang memerintahkan tamunya datang menghadap! Akan tetapi bukan watak Kim-mo Taisu untuk mengobral kemarahannya begitu saja. Ia tertawa begelak, lalu mengikuti wanita cantik itu memasuki ruangan depan.
Heran sekali ia melihat perabot ruangan itu amat mewah, meja kursi halus dan dinding yang terkapur putih itu penuh hiasan tulisan dan gambar serba indah. Ketika ia mengikuti wanita itu memasuki ruangan dalam, keadaannya lebih mewah lagi, bahkan lantainya saja ditilam permadani merah muda! Mereka maju terus, ke ruangan yang lebih dalam lagi. Sebuah pintu kaca yang lebar tertutup tilam sutera hijau. Benar-benar seperti kamar di dalam istana raja. Pintu terbuka dan terdengarlah suara wanita-wanita yang merdu di antara tawa yang genit, tercium bau asap dupa wangi.
"Harap Kim-mo Taisu suka membersihkan kaki lebih dulu," wanita itu berkata, menunjuk ke arah babut tebal di depan pintu.
"Ha-ha-ha! Tanah yang menempel di telapak kakiku bukankah jauh lebih bersih dan sehat dari pada lantai dan permadani? Tidak biasa aku membersihkan kakiku, kalau rajamu ingin kakiku bersih, biarlah ada yang membersihkannya!"
Wanita itu nampak kaget sekali akan keberanian tamu ini. Ia hanya memandang bingung dan samar-samar tampak oleh Kim-mo Taisu betapa di wajah yang cantik itu terbayang ketakutan dan kekhawatiran. Agaknya wanita ini terlalu banyak menderita tekanan batin, pikirnya. Kasihan!
Tiba-tiba terdengar suara yang serak seperti orang berpenyakitan. "Tamu agung harus dihormati. Eh, kalian bertiga pergilah ke luar, cuci kaki tamu agung sampai bersih. Cepat!"
Terdengar suara tertawa-tawa genit disusul suara pakaian berkeresekan tanda bahwa wanita-wanita itu berjalan keluar tergesa-gesa, lalu muncul tiga orang wanita cantik-cantik dan muda. Pakaian mereka tidak seperti pakaian pelayan, melainkan pakaian puteri-puteri istana, terbuat dari pada sutera tipis dan halus beraneka warna. Sambil tertawa-tawa mereka keluar, wajah yang cantik dan berbedak tebal itu berseri-seri. Akan tetapi ketika mereka keluar dan melihat bahwa ‘tamu agung’ itu adalah seorang jembel yang pakaiannya penuh tambalan, kakinya telanjang dan rambutnya riap-riapan, mereka mengerutkan kening dan tersentak kaget, berhenti dan saling pandang dengan ragu-ragu.
Akan tetapi seorang di antara mereka yang berbaju hijau mengedipkan mata dan mereka cepat menghampiri Kim-mo Taisu, menarik tangannya ke arah sebuah bangku sambil berkata. "Silahkan Khek-koan (tamu) duduk di bangku ini, biarkan kami bertiga membersihkan kaki yang kotor."
Sejenak Kim-mo Taisu tercengang, tak disangkanya bahwa ucapannya tadi mendapat sambutan dari Kai-ong yang aneh itu. Sukar baginya menggunakan kekerasan terhadap desakan tiga orang wanita ini, dan bau yang harum sekali yang keluar dari pakaian mereka membuat kepalanya terasa pening!
"Eh... oh.... tidak usah, Nona-nona. Tak usah, biar kubersihkan sendiri!" katanya cepat-cepat sambil menjauhkan diri, dan ia lalu menggosok-gosokkan kedua kakinya kepada babut tadi.
Ngeri ia membayangkan kedua kakinya dipegang-pegang dan dicuci oleh tiga orang wanita muda cantik itu, yang demikian genit-genit. Tentu akan menimbulkan rasa seakan-akan kedua kakinya dikeroyok lintah yang menghisap darahnya! Tiga orang wanita itu terkekeh-kekeh sambil menutupi mulutnya dengan sikap yang amat genit, kemudian mereka mengantar Kim-mo Taisu memasuki ruangan indah sambil tertawa-tawa dan setengah berlari ke dalam, di mana terdapat seorang laki-laki duduk menghadapi meja ditemani tiga orang wanita muda lain.
Kim-mo Taisu berhenti melangkah, memandang penuh perhatian, sikapnya waspada menjaga diri kalau-kalau menghadapi penyerangan. Ia melihat laki-laki itu dan merasa heran karena laki-laki itu tidak kelihatan seperti seorang yang berilmu tinggi. Usianya tiga puluh tahun lebih, pakaiannya sengaja dibuat bersambung-sambung seperti pakaian bertambal, akan tetapi karena bahan-bahannya adalah sutera yang halus, maka menyerupai pakaian berkembang-kembang yang aneh warnanya. Sepatunya baru dan rambutnya tertutup topi sutera pula. Wajahnya tampan akan tetapi kulit mukanya pucat, matanya seperti mata burung elang dan mukanya yang sempit membayangkan kelicikan.
Laki-laki itu duduk menghadapi hidangan yang bermacam-macam dan arak yang baunya harum semerbak menimbulkan selera. Ketika ia masuk, laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya, bahkan agaknya sedang bercakap-cakap dan bergurau dengan tiga orang wanita itu. Seorang wanita menyumpitkan daging dan disodorkan di depan mulutnya, yang segera digigitnya sambil tersenyum-senyum. Wanita ke dua menuangkan arak ke dalam cawan araknya. Ada pun wanita ke tiga yang bersikap gagah duduk di sebelah kanannya dengan alis dikerutkan.
Laki-laki itu menoleh kepada wanita muda cantik yang kelihatan tidak senang itu, tersenyum dan menyentuh dagunya yang halus dengan jari tangan sambil berkata halus, akan tetapi suara tetap serak tak sedap didengar. "Moi-moi, mengapa kau kurang gembira? Marilah minum, dan kau sejak tadi tidak mau makan. Nih, daging kelinci ini enak sekali!" Ia menyumpit sepotong daging dan mendekatkannya ke mulut si Cantik.
Wanita itu tersenyum paksa, membuka mulut kecil mungil dan menggigit daging itu, kemudian berkata, "Pouw-koko (Kakanda Pouw), bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan menyuruh pergi semua selirmu? Aku tak senang dengan keadaan seperti ini."
"Ha-ha-ha, Moi-moi yang manis! Selirku tadinya tiga puluh orang lebih, sebagian besar sudah kuhadiahkan kepada para pembantuku. Akan tetapi yang lima ini...., hemm, sayang, Moi-moi. Hayo kalian berlima lekas berlutut dan mohon kasihan kepada Nyonya besar agar diperkenankan tinggal di sini melayaniku!" ia menoleh kepada lima orang wanita cantik itu.
Tiga orang di antara mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita berbaju biru tadi, akan tetapi yang dua tidak mau berlutut, malah memandang penuh kebencian. Seorang di antara mereka, yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata genit. "Aku sudah setahun lebih melayani Kai-ongya dan menjadi kesayangan Kai-ongya, namun tak pernah aku menyuruh usir selir lainnya. Mengapa Nona Loan ini begini manja? Apakah tidak mau membagi kebahagiaan sedikit pun dengan wanita lain?" Ia menggoyang tubuhnya dengan memalingkan muka, bibirnya yang merah cemberut.
"Benar, tidak adil!" kata wanita kedua yang bajunya merah. "Semenjak dia ini datang, kita seperti disia-siakan oleh Kai-ongya. Apakah di dunia ini hanya dia saja wanita cantik?"
Wanita baju biru itu tiba-tiba bangkit berdiri, alisnya terangkat dan matanya merah. "Mana bisa aku dipersamakan dengan... perempuan-perempuan cabul macam kalian?"
"Sshh... sshh... Moi-moi, jangan marah, duduklah." Dengan tangannya, raja pengemis itu menyuruh kekasihnya duduk, kemudian tangan kirinya bergerak cepat, dengan jari-jari terbuka menyambit ke arah dua orang selirnya yang berani membantah itu.
"Aduhhh...! Aduhhh...!!" dua orang wanita cantik itu terjengkang roboh, menutupi muka sambil menjerit-jerit bergulingan di lantai. Ternyata kedua mata mereka terusuk tulang-tulang bekas makanan yang berada di atas meja dan tadi dipergunakan untuk menyambit mereka. Darah membasahi pipi. Hanya sebentar kedua orang wanita itu menjerit-jerit berkelojotan, lalu diam karena rasa nyeri yang luar biasa membuat mereka pingsan.
"Hayo bawa pergi mereka, lekas!" perintah ini diturut tiga orang wanita yang lain dengan ketakutan. Mereka lalu menggotong kedua orang wanita malang itu keluar dari ruangan.
"Hemm, inikah Kai-ong yang tersohor yang telah menaklukkan seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis), yang secara keji membunuh orang tertua dari Sin-tung Sam-lo-kai tadi, dan kini melukai dua orang selirnya secara ganas pula?" Kim-mo Taisu berkata, suaranya dingin dan pandang matanya kepada Si Raja Pengemis itu penuh ejekan.
Raja pengemis itu bukan lain adalah Pouw Kee Lui yang pernah kita kenal. Seperti kita ketahui, Pouw Kee Lui adalah murid seorang pertapa sakti di pantai Po-hai yaitu pantai laut sebelah timur, yang secara kejam telah membunuh gurunya sendiri karena ia ditegur ketika ia mengganggu isteri orang. Ia memperdalam ilmu dari kitab-kitab simpanan gurunya itu, kemudian mulailah ia merantau dan merajalela mempergunakan ilmunya yang tinggi.
Pertama-tama ia merebut kedudukan ketua di perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Pernah ia bertemu dengan Liu Lu Sian dan hanya karena mengingat bahwa Lu Sian adalah puteri Beng-kauwcu, maka Pouw Kee Lui yang cerdik ini membebaskan Lu Sian. Kemudian semenjak itu, ia memperbesar kekuasaannya dengan menundukkan perkumpulan-perkumpulan pengemis yang ada, lalu mengangkat diri sendiri menjadi Kai-ong atau raja pengemis yang hidup mewah, yang menundukkan siapa saja yang menentangnya dan merampas gadis mana saja yang disukainya.
Wanita baju biru di sebelahnya itu adalah Liong Bi Loan murid yang kemudian diambil sebagai anak angkat oleh guru silat Liong Keng. Ketika gadis ini berkelahi dengan tukang-tukang pukul di rumah judi, kebetulan sekali Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong sedang jalan-jalan ke rumah judi. Melihat gadis cantik ini serta melihat ilmu silatnya yang lumayan, hati Pouw-kai-ong tertarik sekali. Di antara tiga puluh orang lebih selirnya, tidak ada yang memiliki ilmu silat seperti gadis ini. Maka ia lalu turun tangan dan dengan ilmu kepandaiannya yang amat tinggi, ia mengalahkan Bi Loan dan berhasil membuat gadis ini kagum oleh kepandaian silatnya, wajahnya yang tampan, dan sikapnya yang pandai berpura-pura dan memikat hati.
Gadis yang masih hijau ini terjatuh ke dalam perangkap, mereka bermain cinta dan gadis yang tidak tahu bahwa yang ia sangka seorang pendekar sakti itu sebetulnya seorang manusia iblis yang keji. Ia mengikuti Pouw Kee Lui bermain-main ke dalam hutan, dan di dalam sebuah kuil kosong, Si Manusia Iblis Pouw ini berhasil memberi minum arak yang ia campur obat sehingga Liong Bi Loan menjadi mabuk dan dalam keadaan tidak sadar telah menyerahkan dirinya dibawa terjun ke dalam jurang kehinaan oleh Pouw Kee Lui.
Ketika ia sadar, sesal pun tiada gunanya. Nasi telah menjadi bubur! Inilah akibatnya seorang gadis yang membuta saja menurutkan nafsu hati, membuta dalam bercinta sehingga tidak tahu bahwa yang disangka seekor domba sebenarnya adalah seekor serigala. Karena sudah terlanjur, ia hanya bisa menangis dan akhirnya reda juga penyesalannya ketika Pouw Kee Lui membujuk-bujuknya, bersumpah mati-matian akan bersetia kepadanya, akan mengambilnya sebagai isteri, sehidup semati dan lain omongan muluk-muluk lagi.
Terobatilah hati Bi Loan. Ketika pada keesokan harinya ayahnya mendapatkannya di situ, terpaksa ia ikut pulang ayahnya. Dan tentu saja hatinya girang sekali ketika pada malam harinya, Pouw Kee Lui benar-benar datang membawanya pergi dan tentu saja ia ikut pergi dengan sukarela. Lebih baik ikut pergi bersama kekasihnya ini dan sehidup semati menjadi isterinya, dari pada menjadi seorang gadis ternoda yang akan menderita malu seumur hidupnya! Apalagi setelah ia ketahui bahwa kekasihnya itu ternyata adalah seorang yang amat penting, seorang raja, biar pun hanya rajanya pengemis! Dan melihat selir ‘suaminya’ begitu banyak, ia menjadi tidak senang dan minta kepada suaminya untuk menghalau semua selir itui, yang juga diturut oleh Pouw Kee Lui, kecuali lima selir yang tadi melayani mereka makan minum. Demikianlah keadaan singkat Si Raja Pengemis yang lihai itu.
Ketika Pouw-kai-ong mendengar kata-kata Kim-mo Taisu yang penuh teguran, ia mengangkat muka memandang. Mulutnya tersenyum sinis, pelupuk matanya bergetar sedikit, kemudian terdengar suaranya yang serak, "Kim-mo Taisu, apakah kau mendapat nama besar itu karena kesukaanmu mencampuri urusan dalam rumah tangga orang lain? Kubunuh Lo-kai, itu adalah urusan kai-pang kami. Kubutakan mata kedua orang selirku, itu adalah urusan keluargaku sendiri."
"Tidak peduli... tidak peduli..., aku hanya seorang tamu, aku tidak peduli akan segala urusanmu yang busuk!" Kim-mo Taisu menggoyang-goyang tangannya.
"Heh-heh, itu baru ucapan seorang gagah. Nah, kau menjadi tamuku, seorang tamu agung harus disambut dengan arak wangi dan hangat!" Raja pengemis ini menuangkan arak ke dalam mangkok itu dan berseru. "Silakan!"
Sekali ia menggerakkan tangan, mangkok penuh berisi arak itu melayang cepat sekali seperti peluru menuju ke arah dada Kim-mo Taisu, tanpa araknya tumpah sedikit pun. Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat tangan kirinya. Begitu tangannya bergerak, ia sudah menerima mangkok itu di atas telapak tangan kirinya, di mana mangkok itu kini berdiri dan sedikit pun tidak ada arak yang muncrat dari dalamnya. Diam-diam ia kagum juga karena tenaga sambaran mangkok itu amat kuat, tanda bahwa penyambitnya memiliki sinkang yang hebat. Di lain pihak, Pouw-kai-ong juga kagum. Menerima sambitannya semangkok penuh arak, tanpa tergoyang sedikit pun badannya, tanpa mucrat setetes pun araknya, mungkin jarang didapatkan keduanya.
“Hebat Kim-mo Taisu ini,” pikirnya dan otaknya yang cerdik sudah diputar-putar untuk mencari akal.
Sementara itu, Kim-mo Taisu sudah menenggak habis arak di dalam mangkok dengan tenang, mengecap-ngecapkan lidahnya dan mengangguk-angguk sambil memandang ke arah mangkoknya yang sudah kosong. "Arak baik... hemm, arak yang baik sekali. Terima kasih, Kai-ong, ini kukembalikan mangkokmu!" Tiba-tiba tangannya bergerak dan mangkok itu sudah ia sentil dengan jari telunjuknya.
"Tinggg!!" mangkok kosong itu kini melayang ke arah Pouw-kai-ong, akan tetapi melayang sambil berputar seperti gasing. Pouw-kai-ong tersenyum dan mengangkat tangannya menyambut sambaran mangkok kosong.
"Brakkk!!" mangkok kosong itu begitu menyentuh tangannya, lalu pecah berantakan!
"Aiihhh!!" Pouw-kai-ong terloncat kaget. Mukanya menjadi merah sejenak, matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya menegang, jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar harimau.
Kim-mo Taisu tersenyum saja dengan tenang, menanti segala kemungkinan. Akan tetapi, lambat laun muka raja pengemis itu menjadi pucat kembali seperti sediakala, bukan pucat berpenyakitan, melainkan pucat karena latihan lweekang tertentu. Mulutnya masih tersenyum sinis dan tangannya membuat gerakan mempersilakan tamunya duduk.
"Heh-heh, tamu agung yang hebat! Kim-mo Taisu, namamu terkenal dan ternyata bukan kosong belaka. Silakan duduk!"
Kim-mo Taisu melangkah menghampiri meja dengan sikap masih tenang, mata tiada lepas dari gerakan raja pengemis itu. Ia kemudian menarik bangku dan duduk. "Terima kasih, Kai-ong."
Kembali Pouw-kai-ong menuangkan arak ke dalam mangkok sampai penuh. Mangkok itu ia letakkan di atas telapak tangan kanannya dan ia mengerahkan hawa sinkang di tubuhnya, disalurkan melalui tangan kanan terus menjalar ke mangkok arak. Sebentar saja arak di dalam mangkok itu bergolak mendidih dan beruap! Inilah hawa sinkang yang bukan main tingginya!
"Silakan minum, Kim-mo Taisu!" katanya tersenyum sinis seraya menyodorkan mangkok arak mendidih itu kepada tamunya.
Kim-mo Taisu menjadi kaget, kagum dan juga mendongkol. Harus ia akui bahwa demonstrasi hawa sinkang yang diperlihatkan raja pengemis itu memang hebat dan hanya orang dengan kepandaian tinggi saja yang akan mampu melakukannya. Akan tetapi, orang lain boleh merasa jeri, baginya demonstrasi itu hanyalah permainan untuk menakuti anak kecil! Sambil tersenyum pula ia mengulur tangan menerima mangkok arak mendidih itu sambil mengerahkan sinkang-nya. Aneh tapi nyata. Begitu mangkok arak mendidih itu berada di telapak tangan Kim-mo Taisu, mendadak uapnya hilang dan arak itu tidak bergolak mendidih lagi!
"Terima kasih, sayang arakmu dingin," kata Kim-mo Taisu sambil menuangkan arak ke mulutnya, tetapi arak itu tidak mau keluar dari mangkok karena ternyata telah membeku! Inilah demonstrasi yang lebih hebat lagi, menggunakan sifat dingin dari tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sambil tersenyum lebar Kim-mo Taisu meletakkan mangkok itu ke atas meja dan memandang tuan rumah.
Agak berubah air muka yang pucat dari raja pengemis itu. Telah dua kali ia menguji dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian tamunya benar-benar hebat, maka ia harus berlaku hati-hati sekali. "Kim-mo Taisu, keperluan apakah yang membawamu datang mencari aku?"
Kim-mo Taisu menyambar mangkok arak dan meneguknya habis, lalu mengangguk-angguk dan menjilati bibirnya. "Arak baik, arak baik...!"
Pouw-kai-ong tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau setan arak. Minumlah!" Ia melemparkan seguci arak ke arah Kim-mo Taisu. Lemparan ini kuat bukan main karena disertai tenaga lweekang, sedangkan jarak antara mereka dekat saja, hanya terpisah sebuah meja.
Namun dengan enaknya Kim-mo Taisu menerima guci arak itu dan terus menggelogoknya langsung tanpa cawan atau mangkok lagi. Setelah lima enam mangkok arak memasuki perutnya, baru ia berhenti dan meletakkan guci arak di atas meja.
"Pouw-kai-ong, kebetulan sekali aku berkenalan dengan Liong-kauwsu (Guru Silat Liong) di Sin-yang dan karena tidak tahan mendengar tangis seorang ayah kehilangan puterinya, maka aku datang kesini mencarimu."
"Aaahhhh....!" wanita cantik baju biru yang sejak tadi duduk tenang menonton pertunjukan ilmu yang hebat itu, kini berseru tertahan, wajahnya berubah pucat.
Akan tetapi Pouw Kee Lui tertawa mengejek. "Kim-mo Taisu, setelah sekarang kau dapat bertemu denganku, apa yang kau kehendaki?"
"Orang she Pouw, kau telah menculik puteri Liong-kauwsu. Sekarang harap kau memandang mukaku dan mengembalikan puterinya itu. Kalau tidak... ha-ha-ha, terpaksa aku lupa bahwa aku telah kau suguhi arak yang baik!"
Pouw Kee Lui juga tertawa. "Heh-heh-heh, aku pun menyuguhi arak padamu sama sekali bukan dengan maksud menyuap." Ia lalu bangkit berdiri dan memperkenalkan wanita yang duduk di sebelahnya. "Kim-mo Taisu, perkenalkan. Inilah isteriku yang bernama Liong Bi Loan, puteri Liong-kauwsu dari Sin-yang!"
"Is... terimu....?" Kim-mo Taisu terkejut dan heran.
"Moi-moi kekasihku, kau katakanlah kepada Kim-mo Taisu, benarkah bahwa aku menculikmu?"
Dengan muka berubah menjadi merah sekali karena jengah, wanita itu memandang Kim-mo Taisu dan berkata, "Aku pergi mengikutinya dengan sukarela, urusan kami berdua ini apa sangkut pautnya dengan orang luar?"
Kim-mo Taisu memandang terbelalak kepada wanita itu. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa ia akan menghadapi hal seperti ini, tak mengira bahwa urusan akan menjadi begini. Kalau ia tahu sebelumnya, tentu saja ia tidak sudi ikut mencampuri. Dapat ia menduga bahwa wanita ini telah terpikat oleh Pouw-kai-ong, telah jatuh cinta atau juga karena takut. Akan tetapi wajah yang cantik itu sama sekali tidak membayangkan rasa takut, jadi terang bahwa wanita ini telah jatuh cinta kepada Si Raja Pengemis!
Tentu saja Kim-mo Taisu tidak tahu apa yang telah terjadi, tidak tahu bahwa sesungguhnya bukan karena takut atau cinta, melainkan karena sudah terlanjur terjun ke dalam lumpur kehinaan maka wanita itu terpaksa mengikuti Pouw Kee Lui!
Saking malu dan mendongkol, Kim-mo Taisu menepuk kepalanya sendiri lalu bangkit berdiri. Wajahnya kehilangan senyumnya, seperti orang gila ketika ia berkata, "Cinta memang aneh! Pouw-kai-ong, pada detik ini juga aku menyatakan lepas tangan tentang urusanmu dengan puteri Liong-kauwsu. Akan tetapi mendengar bahwa kau telah merampas kedudukan semua perkumpulan pengemis dan betapa tanganmu dengan ganas merenggut nyawa para pimpinannya, aku menduga bahwa kau tentu memiliki tangan maut yang lihai. Maka, setelah aku datang, biarlah aku merasai kelihaian tangan mautmu itu. Kau yang menentukan, di dalam ruangan ini atau di luar!"
Inilah tantangan blak-blakan! Orang gagah paling pantang menolak tantangan. Wajah Pouw Kee Lui yang biasanya pucat itu kini menjadi merah dan sejenak matanya menyinarkan pancaran kilat karena marahnya. Akan tetapi mulutnya tersenyum sinis dan matanya lalu bergerak-gerak melirik ke kanan ke kiri membayangkan kecerdikan otaknya.
Selama ini ia sudah bersekutu dengan banyak orang pandai untuk bersama-sama meruntuhkan Kerajaan Tang Muda. Di antara sekutunya itu terdapat Ban-pi Lo-cia tokoh Khitan yang menganggap Kerajaan Tang Muda sebagai musuh. Dari Ban-pi Lo-cia inilah ia mendengar tentang kehebatan kepandaian Kim-mo-eng yang kini berjuluk Kim-mo Taisu. Kalau Ban-pi Lo-cia yang demikian lihainya memuji kepandaian seseorang, maka ia harus waspada menghadapi orang itu. Apalagi tadi ia pun sudah membuktikan sendiri kehebatan sinkang dari manusia sinting ini. Dan sungguh kebetulan sekali, dalam beberapa hari ini ia sudah berjanji akan mengadakan pertemuan dengan para sekutunya di Puncak Tapie-san. Maka ia lalu menahan kemarahannya, berkata dengan senyum lebar.
"Bagus! Aku pun sudah lama mendengar akan kehebatanmu dan ingin sekali merasai pukulan tanganmu. Akan tetapi kau dapat melihat sendiri, aku adalah... heh-heh, masih pengantin baru! Bagaimana aku dapat mengotori suasana meriah dengan isteriku tersayang ini dengan pertandingan? Isteriku tentu akan merasa gelisah setengah mati! Kim-mo Taisu, kalau kau memang jagoan dan tidak menyesal dengan tantanganmu, biarkan aku beristirahat selama tiga hari untuk mengumpulkan tenaga, kemudian tiga malam berikut ini aku akan menantimu di puncak gunung ini, di mana kita akan dapat bertanding sepuas hati kita tanpa mengganggu isteriku. Bagaimana, apakah kau berani?"
Kim-mo Taisu tertawa bergelak. Ia cukup berpengalaman, dan ia dapat menduga bahwa calon lawannya itu mencari alasan kosong. Entah tipu muslihat apa yang hendak digunakannya tiga hari kemudian di Puncak Tapie-san. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. "Heh-heh-heh, tiga malam yang akan datang kebetulan bulan gelap. Aku akan menantimu pagi-pagi pada hari ke empat di puncak. Nah, aku pergi!"
Setelah itu Kwee Seng melenggang keluar dari ruangan itu, terus berjalan dengan langkah seenaknya dan tidak mempedulikan pandang mata para pengemis yang menjaga di luar gedung. Setelah keluar dari gedung, tubuhnya bergerak cepat dan sebentar saja lenyaplah bayangannya dari pandang mata pengemis yang tebelalak lebar penuh kekaguman dan juga ketakutan. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang berani menantang Kai-ong mereka dapat keluar dengan selamat dan seenaknya!
"Suhu...!!" Bu Song berseru girang sekali ketika ia melihat Kim-mo Taisu duduk bersemedhi di bawah pohon. Kedua kakinya sudah merasa amat lelah mendaki bukit yang amat sukar itu, akan tetapi begitu melihat suhunya, semangatnya timbul dan ia berlari terengah-engah di jalan tanjakan, menghampiri suhunya.
Kim-mo Taisu membuka kedua matanya dan tersenyum girang memandang muridnya. Bocah yang sama sekali tidak pandai ilmu silat ini telah membuktikan keberanian luar biasa dan keuletan yang mengagumkan. Anak ini dapat juga menyusulnya sampai ke lereng gunung yang merupakan perjalanan amat sukar bagi orang yang tidak terlatih ilmu silat. Muridnya itu datang dengan muka agak pucat dan tubuh membayangkan kelelahan hebat, akan tetapi pundi-pundi uang itu masih digendongnya dan semangat besar masih bernyala-nyala di sepasang mata yang bersinar-sinar itu.
"Bu Song, lekas kau duduk bersila di sini. Kau harus belajar bagaimana memulihkan tenagamu kembali dan menghilangkan lelah."
Bu Song tidak membantah. Diturunkannya pundi-pundi dari pundaknya, kemudian ia duduk bersila di depan gurunya, meniru kedudukan kaki yang ditekuk tumpang tindih.
"Tarik napas dalam-dalam sewajarnya tanpa paksaan, busungkan dada kempiskan perut, tarik terus yang panjang...." Kim-mo Taisu memberi petunjuk sambil memberi contoh.
Bu Song memandang gurunya dan mentaati perintah ini, terus menarik napas dan merasa betapa dadanya penuh sekali.
"Keluarkan napas, perlahan-lahan sewajarnya tanpa paksaan, kempiskan dada busungkan perut. Nah, begitu ulangi sampai sembilan kali, makin panjang makin baik."
Otomatis Bu Song mentaati perintah suhunya ini, makin lama makin baik cara ia bernapas. Kemudian sambil masih bersila, Kim-mo Taisu mengajar muridnya mengatur napas, menarik napas dari dada ke perut, menahannya ke tengah pusar sampai perut terasa panas hangat, memberi petunjuk pula cara menguasai napas. "Kau umpamakan napasmu seekor naga yang sukar dikendalikan, akan tetapi kau harus dapat menunggang naga itu. Kau biarkan dirimu dibawa terbang keluar masuk, terus kau tunggangi, jangan lepaskan sedikit pun juga, akhirnya kau tentu akan mampu menguasai dan menaklukannya," demikianlah Kim-mo Taisu memberi petunjuk.
Kemudian ia mengajar muridnya untuk sambil duduk bersila menguasai napas, duduknya tegak dengan punggung lurus, muka lurus ke depan, pandang mata menunduk ke arah ujung hidung, seluruh panca indera dipusatkan ‘menunggang naga’. Inilah inti pelajaran ilmu bersemedhi, dan siulian atau semedhi ini pula menjadi dasar pelajaran ilmu silat tinggi. Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengira bahwa gurunya mulai menurunkan ilmu yang menjadi dasar ilmu silat tinggi.
Diam-diam Kim-mo Taisu kagum bukan main menyaksikan kekerasan hati dan kemauan muridnya. Sayang muridnya terlalu membenci ilmu silat sehingga sukarlah baginya untuk melatih ilmu silat. Bocah ini yang baru saja tiba setelah melalui perjalanan yang amat melelahkan, kini sanggup untuk bersemedhi, sungguh pun baru saja dimulai hari ini, dari pagi sampai sore!
"Cukuplah!" kata Kim-mo Taisu sambil meraba punggung muridnya.
Bu Song bagaikan sadar dari mimpi indah dan dengan hati girang ia merasa betapa tubuhnya sehat dan segar, tidak merasakan kelelahan lagi.
"Kau harus melatih siulian setiap kali ada waktu kosong. Dengan latihan ini, tubuhmu akan menjadi sehat, tidak mudah lelah dan tidak mudah diserang penyakit."
"Kapankah Suhu akan mengajarkan ilmu menulis indah kepada teecu (murid)?"
"Ha-ha-ha! Tidaklah mudah, Bu Song. Kau tentu tahu, tulisan huruf indah baru dapat disebut indah kalau tulisan itu dapat mengandung goresan yang bertenaga, dan untuk menghimpun tenaga dalam tangan agar dapat membuat goresan yang tepat, perlu tanganmu diisi tenaga. Dalam latihan siulian ini dapat membuat tanganmu bertenaga. Besok kuajarkan bagaimana kau harus menggunakan pernapasanmu untuk membangkitkan tenaga dari dalam pusar, menggunakan kekuatan hawa yang kau sedot itu untuk menerobos ke pergelangan tangan dan jari-jari tanganmu. Baru setelah tanganmu bertenaga, akan kuajarkan engkau menulis huruf indah."
Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan mata berseri-seri, akan tetapi diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia harus bicara secara berputar-putar dan seakan-akan ia menipu muridnya ini yang tidak mau belajar ilmu silat! Ia melihat betapa muridnya memandangnya penuh perhatian, sinar matanya memancarkan kepercayaan dan ketaatan yang tulus. Terharu hati Kim-mo Taisu. Bocah ini hebat, memiliki bakat yang baik sekali di samping watak yang keras dan bersih. Entah apa sebabnya, mungkin pandang mata itulah, yang membuat Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan jatuh sayang kepada anak ini. Ia merangkul pundak muridnya dan berkata halus.
"Bu Song, kau mengasolah. Kau tentu lapar, bukan? Nah, coba kau mencari makanan seperti yang kau lakukan ketika kau mendaki bukit ini selama tiga hari tiga malam."
"Baiklah, Suhu."
Bu Song lalu memasuki hutan di sebelah kiri, menyusup-nyusup sampai jauh dan akhirnya dengan hati girang ia mendapatkan sebuah pohon apel yang buahnya banyak yang sudah tua dan matang. Segera ia memanjat pohon itu dan memetik banyak buah apel yang kulitnya kuning kemerahan dan baunya sedap mengharum itu. Buah-buahan itu ia masukkan ke dalam kantung uang sampai penuh.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi kelenengan kuda, nyaring sekali bunyi itu, bergema di antara pohon-pohon. Suara yang menyelinap ke dalam telinganya seakan-akan berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk telinga dan masuk merayap melalui urat-uratnya, membuat Bu Song menggigil dan tak dapat pula ia mempertahankan diri. Buah-buah berikut pundi-pundi uang terlepas jatuh disusul tubuhnya jatuh pula dari atas pohon!
Untung baginya, pohon itu tidak terlalu tinggi. Juga ketika ia terjatuh, tubuhnya tertahan oleh cabang dan dahan di sebelah bawah sehingga ketika ia terbanting ke atas tanah, Bu Song hanya merasa pinggul dan bahu kirinya saja yang agak sakit. Begitu ia melompat bangun lagi, suara itu masih terngiang di telinganya, membuat kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit. Betapa pun ia menahan dan menutupi telinganya dengan kedua tangan, tetap saja suara itu menembus masuk. Saking sakitnya, serasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk jarum.
Bu Song bergulingan di atas tanah, merintih-rintih. Ingin ia melompat dan lari ke tempat suhunya, namun suara kelenengan itu makin keras. Kini ia sudah bangkit berdiri lagi. Tiba-tiba ia teringat akan nasehat suhunya, "Kalau kau berhasil menunggang naga, apa pun di dunia ini tidak akan mampu mengganggu badan dan pikiranmu." Menunggang naga adalah istilah untuk duduk memusatkan perhatian kepada masuk keluarnya hawa pernapasan.
Teringat akan ini, cepat-cepat Bu Song mengerahkan tenaganya untuk duduk bersila, kemudian mengerahkan pula segenap tekad dan kemauannya untuk menarik semua panca indera, terutama pendengarannya, menjadi satu dan memaksa diri ‘menunggang naga’ seperti yang pernah ia latih di bawah petunjuk suhunya. Sebentar saja anak yang bertekad membaja ini telah berhasil ‘tenggelam’ ke dalam keadaan diam, tekun menunggang naga pernapasannya sendiri sehingga lupa pula akan suara kelenengan yang mempunyai daya mukjijat tadi! Suara kelenengan masih terdengar nyaring, akan tetapi kini seakan-akan hanya lewat di luar daun telinganya saja, tidak mampu masuk karena telinga itu telah ditinggalkan ‘penumpangnya’ atau penjaganya yang sedang seenaknya menunggang naga!
Setelah lama suara kelenengan itu tidak berbunyi lagi, baru Bu Song sadar bahwa telinganya tidak menghadapi bahaya suara mukjijat itu, maka ia lalu melompat bangun, mengumpulkan buah-buah yang berceceran dan membungkusnya di dalam pundi-pundi uang. Kemudian ia lari menuju ke tempat suhunya.....
Bunyi kelenengan yang tadi terdengar oleh Bu Song keluar dari sebuah kelenengan kecil yang dibunyikan oleh tangan seorang kakek tinggi besar. Kakek ini menunggang keledai kecil sehingga kelihatannya lucu sekali. Kedua kakinya yang panjang tergantung di kanan kiri perut keledai hampir menyentuh tanah. Namun keledai kecil itu ternyata mampu berjalan cepat dan pandai pula mendaki bukit. Sambil membunyikan kelenengan, kakek ini melengut di atas punggung keledai. Hiasan bulu di atas kain kepalanya mengangguk-angguk dan jubahnya yang panjang lebar itu melambai-lambai tertiup angin gunung.
Ketika keledai itu tiba di depan Kim-mo Taisu yang masih duduk bersila di bawah pohon, kakek itu mengeluarkan seruan tertahan dan keledainya berhenti. Ia lalu melompat turun dan sengaja membunyikan kelenengannya di depan Kim-mo Taisu sambil mengerahkan tenaganya. Terheran-heran kakek itu melihat betapa orang yang duduk bersila itu masih saja duduk, sama sekali tidak bergeming biar pun bunyi kelenengan itu sebetulnya dapat merobohkan lawan tangguh!
Tiba-tiba Kim-mo Taisu membuka matanya memandang kakek itu lalu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Makin tua kau makin ugal-ugalan saja, Pat-jiu Sin-ong!"
Kakek itu terbelalak kaget. Kelenengannya terhenti dan ia membungkuk untuk memandang lebih teliti orang yang duduk bersila itu. Seorang berusia tiga puluhan, pakaiannya tambal-tambalan dan kakinya telanjang, tubuhnya tegap, rambutnya riap-riapan, dan mukanya terselimut awan kedukaan.
"Kau mengenal aku?"
"Beng-kauwcu, apakah usia tua sudah membuat kau menjadi lamur sehingga tidak mengenal lagi bekas calon mantumu? Ha-ha-ha!" Kim-mo Taisu melompat berdiri.
"Hehh...?? Kau... kau... Kim-mo-eng Kwee Seng...!" kakek itu menjelajahi tubuh Kim-mo Taisu dari kepala sampai ke kaki dengan pandang mata tidak percaya.
"Cukup Kim-mo Taisu saja, Kauwcu."
"Aha! Jadi kaulah Kim-mo Taisu...?" kakek itu lalu merangkul pundak dan tertawa bergelak-gelak. "Siapa akan mengira...! Dahulu kau seorang sastrawan tampan, sekarang... sekarang...."
"Seorang jembel busuk!"
"Ha-ha-ha! Alangkah akan girang hatiku kalau melihat anakku berpakaian jembel duduk di sampingmu bersiulian di bawah pohon! Ahhh, sayang tidak demikian jadinya. Eh, Kwee Seng, menyesal sekali dahulu ada penjahat secara menggelap menyerangmu sehingga kau jatuh ke dalam jurang. Sungguh mati, kukira kau sudah hancur di dasar jurang."
"Sebaiknya begitu, sayang nyawaku belum mau meninggalkan tubuh yang buruk nasib ini, masih ingin membiarkan tubuh ini menderita. Pat-jiu Sin-ong, bagaimana kau bisa sampai di sini?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Semua gara-gara Lu Sian, anak durhaka itu. Eh, apakah kau tidak pernah bertemu dengannya?"
Kim-mo Taisu menggeleng kepala, di dalam hatinya ia enggan bicara tentang bekas kekasihnya itu.
"Dia sudah pergi meninggalkan suaminya, Jenderal Kam Si Ek! Ahhh, alangkah untungnya kau. Kalau dia menjadi isterimu, agaknya kau pun akan makan hati seperti aku yang menjadi ayahnya. Dia pulang menceritakan bahwa dia meninggalkan suaminya, ketika aku marah-marah kepadanya, ia malah minggat sambil mencuri kitab-kitabku. Benar-benar anak durhaka dia! Aku mencarinya sampai berbulan-bulan. Kau benar-benar beruntung dapat terlepas dari padanya."
Tiba-tiba Kim-mo Taisu tertawa bergelak sambil memandang awan. "Ha-ha-ha! Pat-jiu Sin-ong, kau bilang aku bahagia karena terlepas dari padanya, bukankah kau juga sudah terlepas dari padanya? Bukankah dengan demikian kita sama-sama menjadi orang bahagia? Ha-ha-ha!" Suara ketawa Kim-mo Taisu bergema di seluruh hutan.
Di dalam hatinya, kakek itu terharu karena ia mampu menangkap tangis hati yang terkandung dalam suara tawa itu. Maka ia pun tertawa dan berkata. "Kau benar! Kita harus rayakan ini! Dua orang laki-laki, muda dan tua, tunangan dan ayah, terbebas dari rongrongan seorang wanita siluman! Ha-ha-ha! Kita harus rayakan ini, tunggu... aku membawa arak baik!"
Kakek itu lari ke arah keledainya yang makan rumput tak jauh dari situ, mengambil guci arak dari atas pelana, menuangkan arak ke dalam dua buah cawan dan membawanya kembali kepada Kim-mo Taisu. Mereka lalu minum arak bersama sambil berangkulan dan tertawa-tawa. Dua orang aneh di dunia kang-ouw bertemu dan kecocokan watak mereka mendatangkan kegembiraan sementara.
Saking gembira, mereka tidak melihat bahwa seorang anak laki-laki melihat dan mendengar percakapan mereka. Anak ini Bu Song! Wajahnya berubah saat mendengar bahwa kakek itu adalah Pat-jiu Sin-ong. Kiranya orang tua itu adalah kakeknya sendiri! Tentu saja ia sudah mendengar penuturan kedua orang tuanya tentang kakeknya, ketua Beng-kauw yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong bernama Liu Gan. Dan sekarang kakeknya berada di sini, kalau mengenalnya sebagai putera ibunya, tentu akan membawanya ke selatan!
Menurutkan kata hatinya, Bu Song sudah ingin berlari pergi meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ia teringat akan gurunya yang lapar, maka ia lalu menurunkan buntalan pundi-pundi uang berikut apel. Dengan hati-hati dan perlahan ia meletakkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berindap-indap pergi dari tempat itu sambil menoleh memandang kedua orang yang masih minum sambil tertawa-tawa. Dua butir air mata menghias pipinya ketika ia teringat akan ucapan kakeknya tentang ibunya. Setelah dua orang itu tidak tampak lagi, Bu Song lalu pergi secepatnya.
Setelah arak yang diminum habis, Pat-jiu Sin-ong melepaskan rangkulannya, melempar cawan kosong ke bawah lalu berkata. "Kim-mo Taisu, sekarang kau bersiaplah, mari kita mengadu kepandaian!"
Kim-mo Taisu menghela napas, melemparkan cawan kosongnya pula ke atas tanah. "Pat-jiu Sin-ong, apa pula ini? Kau tahu bahwa aku takkan bisa mengalahkanmu, dan pula, aku pun tidak ada nafsu untuk bertempur denganmu. Tidak ada alasan bagiku mau pun bagimu untuk saling serang."
"Ha-ha-ha, tidak ada alasan katamu? Akulah yang membuat engkau terjungkal ke dalam jurang. Nah, sekarang tiba saatnya kau harus membalas dan aku bersedia melayanimu untuk membayar hutang. Aku yang membuatmu menjadi seperti ini, tak usah kau pura-pura, seorang laki-laki harus berani menghadapi kenyataan!"
Akan tetapi Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Kenyataannya bukan seperti yang kau kira. Aku tidak mendendam kepadamu. Bukan kau yang merobohkan aku beberapa tahun yang lalu. Dan aku tahu bahwa kau tidak mempunyai niat buruk. Dahulu mau pun sekarang, Pat-jiu Sin-ong, kau seorang laki-laki sejati dan aku tidak suka bermusuhan denganmu."
"Eh-eh!" Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mencela dengan suara kecewa. "Siapa bilang tidak ada alasan? Bertahun-tahun aku tak pernah bertemu lawan tangguh, tanganku gatal-gatal. Kalau kau tidak mendendam kepadaku, sebaliknya akulah yang mendendam padamu dan sekarang kau harus membereskan hutangmu kepadaku!"
Berkerut alis Kim-mo Taisu. "Hem, hem...! Kalau begini kata-katamu, tentu urusannya lain lagi. Katakan, aku berhutang apa kepadamu? Kalau memang berhutang, tentu saja akan kubayar."
"Ha-ha-ha, kau masih berpura-pura? Aku kehilangan anak, aku menderita karena anak. Semua ini gara-gara engkau dahulu menolaknya. Aku baik-baik menyerahkan dia kepadamu, akan tetapi kau tidak mencintanya dan tidak mau menjadi suaminya, maka timbul urusan seperti sekarang ini. Andai kata dahulu kau suka memperisteri dia, tentu kita semua akan hidup bahagia. Nah, penghinaanmu itu bukankah hutang besar?"
Tertusuk hati Kim-mo Taisu mendengar ini. Bukan dia yang menolak, melainkan Liu Lu Sian. Dia mencinta Lu Sian, akan tetapi Lu Sian tidak mencintanya! Akan tetapi sebagai laki-laki, tentu saja ia malu untuk mengaku terus terang akan hal ini kepada Pat-jiu Sin-ong. Pula, ia pun ingin sekali memperlihatkan kepandaiannya. Kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, tingkatnya telah maju amat jauh. Kalau sebelum masuk ke Neraka Bumi saja ia sudah sanggup menandingi Pat-jiu Sin-ong, agaknya sekarang ia akan mampu merobohkan kakek sakti ini secara mudah. Dan ia pun sudah lama tidak berlatih melawan seorang lawan yang tangguh, sedangkan sekarang tiba kesempatan yang amat baik.
Ia mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu pendapatmu, Pat-jiu Sin-ong. Nah, aku sudah siap, kau mulailah!"
Wajah kakek itu berseri girang. "Kepandaianku sudah maju pesat, orang muda, kau waspadalah!" Tiba-tiba ia memekik keras sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, jubahnya yang lebar itu berkibar mendatangkan angin yang dahsyat.
Kim-mo Taisu kagum. Pekikan itu mengandung tenaga khi-kang yang hebat sekali. Dan seandainya ia tidak mengalami latihan luar biasa di Neraka Bumi, daya pekik ini saja tentu sudah mengendurkan semangatnya. Cepat ia menggeser kakinya, miringkan tubuh mengelak ke kiri sambil terus menghantamkan tangan kanannya dengan bantingan lengan dan tangan terbuka, serangan yang kelihatannya bertahan saja akan tetapi sebetulnya hebat bukan main karena ia telah mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti).
"Beng-kauwcu, awas serangan balasan!"
Pat-jiu Sin-ong melihat datangnya serangan tanpa didahului angin pukulan, akan tetapi telah terasa hawa amat dinginnya. Ia menjadi terkejut dan cepat-cepat mengelak sambil melompat ke kanan. "Bagus, kau hebat!" katanya sambil menerjang lagi.
Bertandinglah dua orang sakti itu, mula-mula hanya dengan jurus satu-satu dan lambat, akan tetapi makin lama makin cepat dan kuatlah gerakan mereka sehingga tubuh mereka lenyap tak tampak lagi, yang kelihatan hanya gundukan bayangan mereka yang sudah bercampur menjadi satu dan sukar dibedakan.
Sejam sudah mereka bertanding. Keduanya merasa kagum bukan main akan kemajuan lawan. Sepasang lengan sudah terasa sakit-sakit karena sering beradu, namun belum pernah pukulan mereka mengenai sasaran. Kim-mo Taisu selain kagum juga mulai bosan dan khawatir. Kalau dilanjutkan, tentu seorang di antara mereka akan terluka hebat. Ia tidak ingin melukai orang tua itu, dan tentu saja tidak ingin dilukai. Akan tetapi ia mengenal pula tabiat Pat-jiu Sin-ong yang gemar bertanding, sukar untuk dihentikan begitu saja.
Pada saat Kim-mo Taisu memutar otak mencari jalan untuk menghentikan pertandingan ini, tiba-tiba Pat-jiu Sin-ong menyerang dengan pukulan kedua tangan berbareng sambil merendahkan tubuh. Kedua kakinya ditekuk dan kedua lengan dilonjorkan dengan jari-jari tangan terbuka, menghantam ke arah dada Kim-mo Taisu.
Jangan disangka ringan pukulan ketua Beng-kauwcu ini. Tubuhnya yang setengah berjongkok itu dalam posisi pengumpulan tenaga dari pusat bawah perut yang meluncur ke luar melalui kedua lengan yang dilonjorkan. Dengan pukulan simpanan Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) ini, ketua Beng-kauw ini mampu merobohkan sebatang pohon dalam jarak lima meter hanya dengan hawa pukulannya.
Inilah sebuah di antara jurus-jurus rahasia yang tak pernah ia keluarkan, yang kesemuanya ia himpun dan catat dalam kumpulan tiga kitab rahasia Sam-po-cin-keng (Tiga Kitab Pusaka) dan yang kesemuanya kini lenyap dicuri puterinya sendiri! Pukulan Beng-kong-tong-tee ini adalah ciptaannya sendiri dan merupakan pukulan yang ia banggakan, oleh karena itu ia beri nama sebagai lambang dari pada Agama Beng-kauw (Agama Terang) yang ia pimpin.
Jurus ini demikian hebat dan gemilang seolah-olah agama Beng-kauw yang merupakan sinar terang menggetarkan bumi. Karena ingin sekali memperoleh kemenangan atas lawannya yang amat tangguh ini, Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan pukulan itu. Akan tetapi oleh karena ia diam-diam memang menaruh sayang kepada Kim-mo Taisu dan tidak ingin mencelakainya, maka ia hanya mempergunakan tiga perempat bagian saja dari tenaga sinkang-nya.
Menyaksikan gerak pukulan lawan, terkejutlah Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, sekali pandang saja dapatlah ia mengenal pukulan ampuh. Maka ia pun cepat-cepat memasang kuda-kuda. Dengan kaki terpentang kokoh dan kuat, kedua lengannya pun ia hantamkan ke depan dengan tangan terbuka. Tak berani ia mempergunakan tangan kapas lagi, karena maklum bahwa kedua tangan lawannya amatlah kuat dan berbahaya, maka ia juga mengerahkan sinkang-nya untuk melawan keras sama keras.
"Wuuuttt! Dess...!!"
Jarak antara mereka dekat, maka dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara, hebatnya bukan main pertemuan dua tenaga sinkang kedua orang sakti ini. Akibatnya pun hebat karena keduanya terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung seperti layang-layang putus talinya sampai mereka terpisah sepuluh meter jauhnya.
Kim-mo Taisu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan ia cepat bersila dan mengatur pernapasannya. Pat-jiu Sin-ong juga jatuh terduduk, dari mulutnya tersembur ke luar sedikit darah segar. Untung bagi ketua Beng-kauw ini bahwa Kim-mo Taisu juga mempergunakan tiga perempat tenaganya saja untuk menghadapi pukulannya tadi, dan karena tenaga mereka memang seimbang, maka keduanya tidak sampai menderita luka dalam. Hanya Pat-jiu Sin-ong lebih rugi karena dia yang menyerang, maka benturan tenaga seimbang itu membuat tenaga serangannya membalik sendiri dan membuat ia menderita lebih banyak dari pada lawannya. Dalam penggunaan tenaga dalam, tenaga dan napas, tidak sampai lima menit keduanya sudah melompat bangun.
"Ha-ha-ha, kau hebat, Kim-mo Taisu. Akan tetapi aku masih belum kalah. Hayo kita lanjutkan!" kata-kata ini diucapkan dengan wajah berseri, tanda bahwa kakek itu girang dan puas sekali dapat bertanding dengan seseorang lawan yang dapat menandinginya.
Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak punya nafsu lagi bermain-main dengan kakek itu. "Cukuplah, Kauwcu. Aku harus menyimpan tenaga karena akan menghadapi lawan yang lebih tangguh dari padamu di puncak ini besok. Lain kali saja kita lanjutkan."
Biar pun sudah tua, watak Pat-jiu Sin-ong yang tak mau kalah itu masih tetap ada. Mendengar ada lawan yang lebih tangguh dari padanya, ia menjadi penasaran sekali. "Hemm, siapakah dia yang kau katakan lebih tangguh dari pada aku?"
Kim-mo Taisu tersenyum. Memang ia cukup mengenal watak kakek ini maka tadi ia sengaja bilang demikian agar si Kakek mau berhenti. "Dia seorang tokoh baru, masih muda, agaknya kau belum mengenalnya, julukannya Raja Pengemis yang menguasai seluruh kai-pang di empat penjuru."
"Hemm, hemm ada Kai-ong baru, ya? Ingin sekali aku melihat macamnya bagaimana. Kau hendak bertanding dengannya? Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, kalau kau kalah olehnya kemudian aku mengalahkannya, bukankah itu sama saja dengan pertandingan kita dilanjutkan? Ha-ha, kita lihat saja nanti!" Sambil tertawa-tawa Pat-jiu Sin-ong lalu berjalan menghampiri keledainya, sekali kaki kanannya diayun ke atas ia sudah duduk di punggung keledai kecil itu dan berlarilah si keledai ketika mendengar kelenengan yang dibunyikan oleh penunggangnya.
Setelah bunyi itu kelenengan itu lenyap dan bayangan Pat-jiu Sin-ong tak tampak lagi, barulah Kim-mo Taisu sadar dari lamunannya. Perjumpaannya dengan kakek itu sekaligus membangkitkan ingatannya kepada Lu Sian. Jadi Lu Sian telah menikah dengan Kam Si Ek, jenderal muda yang amat terkenal itu? Jodoh yang tepat! Akan tetapi mengapa Lu Sian kemudian meninggalkan suaminya? Semua itu bukan urusannya, namun sukar baginya untuk tidak memikirkannya. Ia mengeluh dan membalikkan tubuh. Tampaklah buntalan pundi-pundi uang, akan tetapi ia tidak melihat Bu Song. Baru sekarang ia teringat kepada Bu Song.
"Bu Song!" ia memanggil. Tiada jawaban. Ia menyambar buntalan dan melihat bahwa di dalamnya ada beberapa buah apel. Ia makin heran. Anak itu telah berhasil mencarikan buah untuknya, menaruh dalam bungkusan, mengapa lalu pergi? Dan ke mana perginya?
"Bu Song....!" Ia berseru lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Tidak enaklah hatinya dan mulai ia mencari-cari sambil berseru memanggil-manggil nama muridnya.
Ke manakah perginya Bu Song? Anak ini meninggalkan tempat itu sambil berlari-lari cepat setelah mendengar bahwa orang tua yang bercakap-cakap dengan gurunya itu adalah kakeknya. Ia berlari-lari terus tanpa tujuan tertentu, naik turun pegunungan. Kakinya sudah lelah bukan main namun ia tidak mau berhenti. Akhirnya dari puncak sebuah bukit kecil ia melihat atap rumah di lereng bawah. Ia berlari lagi menuruni puncak dan akhirnya karena tak dapat menahan lelahnya, ia roboh terguling di luar pagar rumah yang berdiri tanpa tetangga di lereng itu. Sebuah rumah yang sederhana, dari papan, namun bersih dan cukup luas.
Bu Song merangkak bangun, memandang ke arah rumah itu. Dari bagian belakang rumah tampak asap mengepul dan terciumlah bau masakan yang gurih dan sedap. Seketika perut Bu Song meronta-ronta dan anak ini menelan ludah beberapa kali. Untuk dapat ikut makan masakan di rumah ini, ia harus membantu pemilik rumah bekerja, seperti yang sudah-sudah. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki pekarangan rumah.
"Haiii! Bocah, siapa kau dan mau apa?" tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu di belakangnya berdiri seorang kakek yang dahinya lebar sekali, mukanya berkeriput dan memegang sebatang tongkat.
Bu Song tersentak kaget. Tadi di pekarangan itu sama sekali tidak tampak ada orang, bagaimana kakek ini tiba-tiba muncul seperti keluar dari dalam bumi? "Maafkan aku, Kek. Aku ingin membantu pemilik rumah ini dengan pekerjaan apa saja, sekedar mendapat upah makan," katanya sambil menjura dengan hormat.
Kakek itu memandang kepadanya. Matanya menakutkan, mata yang bundar dan lebar setengah melotot, mulutnya yang ompong itu berkemak-kemik. "Kau akan mengemis makanan?"
Kini Bu Song yang mengedikkan mukanya dan pandang mata anak ini tajam melotot pula. "Aku bukan pengemis! Aku mau bekerja, dan kalau tidak diberi pekerjaan, aku pun tidak sudi minta makanan! Kalau di sini tidak ada pekerjaan, sudahlah!"
Dengan membusungkan dada Bu Song sudah memutar tubuh hendak keluar dari pekarangan itu. Akan tetapi tiba-tiba kakinya seperti tertarik sesuatu sehingga ia terguling jatuh. Ketika Bu Song merayap bangun, kakek itu sudah berada di dekatnya dan tersenyum mengejek.
"Bocah, tinggi hati sekali kau! Kalau cara orang minta pekerjaan semacam caramu ini, selamanya kau takkan bisa mendapat pekerjaan. Kau bisa apa? Hemm, tubuhmu kuat, apa kau bisa mengambil air dari sumber di puncak itu dipikul ke sini? Kalau kau sanggup, akan kami beri makan sekarang juga."
Girang sekali hati Bu Song. Ia tadi secara aneh terguling roboh, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek inilah yang merobohkannya.
"Tentu saja aku sanggup, Kek. Akan kupenuhi semua tempat air di sini."
"Tak perlu omong besar lebih dulu, sebaiknya isi perutmu sampai kenyang agar kau kuat mengambil air. Mari ikut ke dapur!"
Di bagian dapur rumah itu Bu Song bertemu dua orang lain. Seorang adalah wanita setengah tua, yang ke dua seorang kakek pula yang tubuhnya tinggi besar dan tubuh bagian atas selalu tak tertutup pakaian. Ada pun yang wanita selalu cemberut, tak banyak cakap akan tetapi sikapnya galak sekali, berbeda dengan kakek tinggi besar yang selalu tersenyum dan sering tertawa berkelakar.
"Heh, A-kwi, jenggot kambing! Kau datang membawa anak kelaparan lagi?" tegur si Tanpa Baju kepada kakek pertama.
"Aiiih, jangan kau main-main dengan bocah ini, A-liong. Dia sama sekali bukan pengemis, melainkan ingin bekerja membantu kita. Aku tadi mengira dia pengemis, dia marah-marah dan hendak pergi. Ia tidak sudi diberi makanan kalau tidak diberi pekerjaan. Pernahkah kau mendengar hal seaneh ini?"
Kakek yang bernama A-liong itu memandang tajam, juga si Nenek berpaling memandang. "Sam-hwa, kau isilah padat-padat perut anak ini lebih dulu, baru suruh dia mencari air ke puncak. Ia berkata sanggup memenuhi semua tempat air di sini. Lucu, kan?"
Nenek yang disebut Sam-hwa itu mengerutkan kening dan diam-diam Bu Song sudah merasa kecewa mengapa ia tadi minta pekerjaan di tempat ini. Agaknya orang serumah ini tidak ada yang waras!
"Kau makanlah dan ambil sendiri di atas meja itu," kata Si Nenek tak acuh.
Karena yakin bahwa yang akan dimakannya itu adalah hasil keringatnya nanti, tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi Bu Song menghampiri meja. Melihat nasi dan masakan-masakan masih mengebulkan asap, perutnya makin memberontak lagi. Ia segera mengambil mangkok kosong dan mengisinya dengan nasi dan masakan, lalu mulai makan dengan lahapnya. Lezat benar masakan itu, sungguh pun bahannya sangat sederhana. Bu Song adalah seorang anak yang sehat dan telah lama ia tidak bertemu nasi, setiap hari hanya makan buah-buahan saja, maka kini ia kuat sekali makan. Setelah ia menaruh mangkok kosong dan berhenti makan, persediaan nasi di tempat nasi tinggal tersisa setengahnya lagi!
"Ha-ha-ha-ha! Malam ini kita berpuasa, A-kwi!" kata A-liong sambil tertawa berkakakan, perutnya yang tak tertutup baju itu berguncang-guncang.
"Bocah ini kuat sekali makan, mudah-mudahan bekerjanya sekuat itu pula," kata A-kwi sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Sam-hwa muncul dari pintu. Setelah melirik ke arah tempat nasi, ia pun mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan dua orang kakek itu. "Apakah kau tidak sembrono, A-kwi? Biar dia kuberi buah. Anak, mari terima!"
Ia melemparkan sebutir buah merah ke arah Bu Song. Anak ini cepat menyambutnya, akan tetapi ia berteriak kaget karena buah yang hanya sebesar kepalan tangannya itu terasa amat berat ketika ia sambut sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi ia roboh terjengkang. Akan tetapi begitu korban roboh, buah itu ternyata biasa saja, sama sekali tidak berat. Ia tak pernah belajar ilmu silat, tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat buah tadi menjadi berat adalah tenaga lontaran si Nenek yang hendak mengujinya.
Melihat Bu Song roboh terjengkang, nenek itu dan kedua kakek menarik napas lega. A-kwi lalu menarik tangan Bu Song ke luar dapur. "Hayo, mulai bekerja. Itu tahang air dan pikulannya bawa ke luar."
Bu Song dapat merasa betapa tangan kakek yang menariknya itu kuat bukan main. Akan tetapi karena ia sudah menerima upahnya, ia tidak mau membantah lagi dan segera mengambil pikulan bersama tahang air dari kayu yang terletak di sudut rumah.
"Kek, mengapa pikulannya begini kecil? Jangan-jangan tidak kuat menahan dua tahang air," celanya sambil mengamat-amati kayu pikulan yang kecil berwarna putih.
"Oho, jangan pandang rendah kayu ini. Sepuluh tahang air ia masih sanggup angkat tanpa patah! Mari kutunjukkan kepadamu letak sumber air di puncak." Kakek itu mendahului berjalan ke luar diikuti Bu Song.
Mendadak berkelebat bayangan dari luar pekarangan. Alangkah kaget hati Bu Song ketika tiba-tiba ia melihat seorang kakek tua renta yang rambutnya riap-riapan seperti suhunya, seorang kakek yang kedua kakinya rusak, ditekuk bersila sedangkan dua batang tongkat yang menunjang ketiaknya menggantikan pekerjaan sepasang kaki.
"Siapa dia?" suara kakek lumpuh ini parau menyakitkan telinga.
A-kwi sudah memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali sampai punggungnya hampir patah dua, "Ong-ya, dia anak yang bekerja mengambil air."
Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya menyapu tubuh Bu Song dari atas ke bawah. "Siapa namamu?"
"Nama saya Bu Song, Kek."
"Hushh, jangan kurang ajar!" A-kwi menjewer telinga Bu Song. "Kau harus sebut Ong-ya!"
Bu Song mengerutkan keningnya. Daun telinganya terasa panas dan nyeri. Ia mengangkat muka memperhatikan kakek lumpuh. Kakek yang tua sekali, pakaiannya dan rambutnya kusut tidak karuan, masa disebut ong-ya? Sebutan seolah-olah kakek ini seorang raja muda. Bu Song yang banyak membaca tahu akan peraturan, maka ia menduga-duga. Tak mungkin orang macam ini menjadi raja muda. Ah, tentu seorang kepala rampok, pikirnya. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa kepala perampok juga disebut Twa-ong! Akan tetapi, menjadi kepala rampok juga tidak pantas. Masa kakek lumpuh menjadi kepala rampok? Karena kakek lumpuh ini tak mungkin menjadi raja muda mau pun kepala rampok, maka Bu Song ragu-ragu dan tidak mau menyebut Ong-ya!
"Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Di mana Nyonya Muda?"
"Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci."
"Hemmm, kau keluar cari mereka. Lekas suruh pulang, ada urusan penting."
"Baiklah, Ong-ya."
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap ke dalam rumah. Bu Song melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau begitu tentulah kepala rampok, biar pun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali ilmunya. Ia merasa menyesal sekali. Bekerja di keluarga perampok! Celaka. Kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi. Akan tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.
"Nah, di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat pohon besar itu? Di bawah pohon itulah letaknya. Lekas kau pergi ke sana mengisi kedua tahang ini, bawa ke sini dan terus saja ke dapur. A-liong dan Sam-hwa akan memberi tahu ke mana kau harus menuangkan air. Kerja yang baik, aku mau pergi!" Setelah berkata demikian, kakek yang bernama A-kwi itu meloncat dan sebentar kemudian nampak bayangannya sudah jauh sekali seakan-akan ia lari setengah terbang.
Bu Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya. Orang-orang ini berkepandaian tinggi dan tanpa ia sengaja, ia agaknya telah terjatuh ke dalam tangan segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka. Ia akan melakukan pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air, dan kemudian segera meninggalkan tempat ini.
Dengan penuh semangat Bu Song lalu mendaki bukit menuju ke sumber air. Perjalanannya sukar, namun ia telah terlatih menghadapi kesukaran. Air jernih mengucur ke luar dari sebuah goa kecil, membentuk kolam air yang tak pernah kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang air itu dan ketika ia memikulnya, benar saja, kayu pikulan itu dapat menahan dua tahang air, bahkan kayu ini mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul. Hati-hati ia lalu meninggalkan tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah di bawah yang tampak dari tempat itu.
Dahinya penuh peluh ketika ia tiba di dapur rumah. A-liong menyambutnya sambil tertawa-tawa. "Latihan ini menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi ditambah setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan air ke dalam kolam itu."
Kaget sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat besar, terbuat dari pada batu. Untuk memenuhi kolam ini, sedikitnya ia harus mengambil air sepuluh kali! Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh buat, nasi sudah memasuki perut, ia harus memenuhi janjinya. Hatinya mendongkol bukan main atas kekejaman orang-orang tua ini menipu dia, akan tetapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Setelah air di kedua tahang berpindah tempat, ia lalu mendaki lagi.
Menjelang senja, sudah sembilan kali ia mengambil air. Pundaknya serasa hendak copot, kedua kakinya seperti hendak lumpuh, tubuhnya sakit dan kelelahan yang dideritanya hebat sekali. Akan tetapi sekali angkut lagi kolam itu akan penuh. Ia sudah bekerja setengah hari untuk menebus hutang perutnya tadi!
"Ha-ha-ha, anak baik. Kejujuran dan kekerasan hatimu menciptakan keuletan yang luar biasa. Kau hampir lulus, tinggal satu kali lagi. Sebentar akan kuceritakan kepada Nyonya Muda, tentu ia tertarik dan menaruh kasihan kepadamu."
Dengan wajah muram Bu Song hanya menjawab pendek, "Aku tidak membutuhkan kasihan orang!"
Lalu ia membawa pikulan kosong mendaki bukit lagi, memaksa tubuhnya untuk berjalan gagah, akan tetapi karena memang sudah amat lelah, mana bisa ia berjalan dengan langkah tegap? Ia terhuyung-huyung dan kedua kakinya tersaruk-saruk. Hebatnya, A-liong malah menertawainya, membuat ia makin jengkel dan desakan hatinya untuk beristirahat ia tekan kuat-kuat.
Untuk ke sepuluh dan penghabisan kalinya ia tiba di bawah pohon besar, mengisi kedua tahang itu penuh air. Biar pun masih kecil, Bu Song maklum bahwa sekali ia beristirahat menurutkan dorongan hatinya, ia takkan mampu menyelesaikan pekerjaannya. Maka ia memaksa diri dan memikul lagi pikulannya yang kini ia rasakan bukan main beratnya, seakan-akan bukan dua tahang air yang dipikulnya, melainkan dua puluh!
Baru ia menuruni tebing pertama, tiba-tiba ia mendengar suara orang. Wajahnya berubah dan ia cepat-cepat menghampiri tempat itu dengan hati-hati sekali, sejenak lupa akan kelelahan kedua kakinya. Itulah suara gurunya! Suara gurunya tertawa-tawa bergelak!
Karena takut kalau-kalau Pat-jiu Sin-ong masih bersama gurunya. Bu Song tidak berani muncul begitu saja. Ia mengintai dari balik batu karang besar dan melihat betapa gurunya berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa di depan tiga orang laki-laki. Seorang di antara mereka bermuka bopeng penuh totol-totol hitam orang yang berdiri di tengah memakai pakaian tambal-tambalan, dan orang ketiga bermuka sempit seperti tikus.
"Ha-ha-ha-ha! Kai-ong, aku sudah menduga bahwa kau tentu akan menyambutku dengan meriah, memanggil semua sekutumu. Tak bisa mengharapkan sifat jantan dari seorang pengemis. Akan tetapi aku tidak takut, Kai-ong. Kerahkan semua sekutumu untuk menjadi saksi, siapa di antara kita yang lebih kuat. Apakah kau sudah siap?" demikian kata Kim-mo Taisu.
Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, kau sombong benar. Memang sahabat-sahabat baikku ikut datang karena mereka ini pun tertarik sekali mendengar bahwa kau datang. Telah lama mereka mendengar namamu dan ingin sekali menyaksikan apakan nama besarmu itu tidak sia-sia belaka. Sahabatku ini adalah Hwa-bin-liong (Naga Muka Kembang) dari pantai timur, raja sekalian penjaga gunung (perampok)." Ia menunjuk seorang sebelah kanannya yang bermuka bopeng. "Sahabat yang seorang ini adalah Sin-ciang-hai-ma (Kuda Laut Bertangan Sakti), juga tokoh pantai timur, raja dari pada bajak. Masih ada beberapa orang sahabat baikku yang akan datang menjumpaimu. Apakah kau takut?"
Bu Song mendengarkan semua itu dengan hati berdebar. Wah, gurunya telah bertemu orang-orang jahat, pikirnya. Pada saat itu, tiba-tiba telinga kanannya dijewer orang, Bu Song kaget dan melirik. Kiranya kakek A-kwi yang menjiwirnya.
"Hayo pikul tahang air itu dan bereskan pekerjaanmu, pemalas!" bisik si Kakek tanpa melepaskan telinga Bu Song.
Bu Song kaget dan ia cepat bangkit lalu memikul pikulannya. Ia tidak takut, melainkan taat karena tahu akan kewajiban. Tinggal sekali lagi mengantar air, kemudian ia akan lari kembali ke sini menonton gurunya. Kakek A-kwi melirik ke arah mereka yang sedang bantah-bantahan, nampaknya gelisah dan menarik telinga Bu Song agar anak itu berjalan lebih cepat.
Setelah agak jauh dari situ, kakek itu mengomel, "Anak tolol, apakah kau mencari mampus? Banyak tontonan di dunia ini, akan tetapi yang ditonton adalah harimau yang hendak bertempur melawan srigala-srigala! Gila betul. Hayo cepat dan jangan sekali-sekali kau beristirahat sebelum kau sampai di rumah. Aku jalan lebih dulu!" Sekali berkelebat kakek itu sudah meloncat jauh ke depan.
Bu Song sambil mengeluh di dalam hatinya memaksa diri untuk berjalan pula menuruni bukit. Istirahat yang sebentar tadi benar-benar membuat kedua kakinya hampir tak dapat dipakai berjalan. Akan tetapi ia menggigit bibir, memaksa diri untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar ia dapat kembali ke tempat itu untuk menjumpai gurunya.
Sementara itu, Kim-mo Taisu masih tertawa bergelak mendengar ucapan Pouw-kai-ong. "Ha-ha-ha, segala rampok dan bajak. Pantas menjadi sahabat pengemis. Akan tetapi aku tidak punya urusan dengan segala macam rampok dan bajak. Aku sengaja datang untuk mengulangi tantanganku kepadamu, Kai-ong. Mari kita mulai!"
Ucapan itu merupakan penghinaan hebat bagi tokoh bajak dan tokoh rampok itu. Si Muka Bopeng Hwa-bin-liong sudah melangkah maju, diikuti oleh si Kuda Laut. Mereka ini belum tua, paling banyak berusia empat puluh tahun. Begitu tiba di depan Kim-mo Taosu, Hwa-bin-liong melolos sebatang golok besar yang terselip di punggungnya, ada pun si Kuda Laut mengeluarkan sebatang cambuk yang terbuat dari pada ekor ikan pee. Keduanya berdiri dengan sikap menantang.
"San-ong (Raja Gunung), biarkan aku menghadapi jembel kelaparan yang sombong ini!" kata si Tokoh Bajak yang menyebut temannya raja gunung.
Segera cambuk ikan pee di tangannya digerak-gerakkan di atas kepala sehingga terdengar suara bersiutan mengerikan. Ekor ikan pee itu penuh duri-duri yang runcing, kalau sekali mengenai kulit tubuh manusia benar-benar akan mengakibatkan luka yang hebat.
"Bersabarlah, Hai-ong (Raja Laut). Biarkan aku menghadapinya lebih dulu. He, Kim-mo Taisu. Aku sudah lama mendengar namamu yang baru muncul, dan dengan maksud baik aku ingin sekali berkenalan dan menyaksikan kelihaianmu. Siapa kira, kau begini sombong dan tidak memandang orang lain. Keluarkan senjatamu, biar aku Hwa-bin-liong mencoba sampai di mana kehebatanmu maka kau bersikap sesombong ini!"
"Ha-ha-ha-ha, raja pengemis dibantu oleh raja laut dan raja gunung, benar-benar hebat! Segala macam raja sudah berkumpul di sini, biarlah kuantar kalian menghadap raja akhirat!"
Tentu saja kedua orang raja penjahat itu menjadi marah sekali. Hwa-bin-liong si Muka Bopeng yang sudah bertahun-tahun merajalela di hutan-hutan dan gunung-gunung, menjadi raja dari sekalian begal dan rampok, baru kali ini merasa dipandang rendah orang. Ia membentak marah. Tanpa menanti lawan mengeluarkan senjata, ia sudah menyambar ke depan dan golok besarnya diayun mengarah ke leher Kim-mo Taisu.
"Wuttt... syuuuutttt! Tringgg...!!"
Kim-mo Taisu yang melihat datangnya golok berkelebat tidak mengelak, malah menggerakkan tangannya, dan dengan jari tengah tangan kanan ia menyentil golok lawan yang sedang terbang mengarah lehernya itu. Hebatlah tenaga sentilan dari Kim-mo Taisu ini, karena hampir saja golok itu terlepas dari pegangan si Muka Bopeng, bahkan raja gunung itu terhuyung-huyung hampir roboh!
Marahlah si Raja Laut melihat kawannya mendapat malu. Senjatanya yang terbuat dari ekor ikan pee yang menyeramkan itu melecut di udara, mengeluarkan bunyi berdesing dan berkelebatan diputar-putar di atas kepalanya, lalu menyambar bertubi-tubi ke arah Kim-mo Taisu. Pendekar sakti ini tidak berani bertindak sembrono. Ia belum tahu bagaimana sifat senjata lawan yang aneh ini, maka beberapa kali mengelak. Gerakannya perlahan dan lambat saja, akan tetapi tak pernah senjata ekor ikan pee itu dapat menyentuh kulitnya.
Setelah mempergunakan hidungnya mencium-cium di kala senjata itu lewat, Kim-mo Taisu yakin bahwa senjata ini hanya mengerikan tampaknya, akan tetapi tidak mengandung racun berbahaya. Maka sambil mengelak dari pada tusukan golok si Raja Gunung yang sudah mengeroyoknya, Kim-mo Taisu menyambar ekor ikan pee itu dan menjepit ujungnya dengan dua jari tangan kiri! Ia menggunakan tenaga membetot sehingga ekor ikan pee itu menegang, kemudian pada saat si Raja Gunung Hwa-bin-liong dengan girang menyerangnya dari belakang, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga betotan dan... melayanglah cambuk ekor ikan pee itu ke arah penyerang di belakangnya, diikuti suara Hwa-bin-liong berteriak kesakitan.
Kim-mo Taisu cepat membalik. Sekali merenggut ia berhasil menyambar golok lawan yang terluka itu dan di lain saat golok itu sudah terbang dan menancap pada paha Raja Laut yang masih terlongong karena senjatanya tadi kena dirampas lawan. Ia terguling dalam saat hampir berbareng dengan Raja Gunung, masing-masing terluka oleh senjata kawan sendiri. Luka yang tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun cukup hebat untuk membuat mereka tak mampu bertempur lagi dan harus beristirahat untuk beberapa pekan!
Kim-mo Taisu tidak mempedulikan lagi mereka berdua yang kini merangkak-rangkak menjauhkan diri dari situ. Ia justru menghampiri Pouw-kai-ong, memandang tajam dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai urusan dengan segala rampok dan bajak. Mengapa kau mendatangkan penjahat-penjahat macam begitu untuk menggangu pertemuan kita? Segala macam penjahat kecil yang tidak ada artinya, memuakkan saja!"
Pouw Kee Lui tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, jangan buru-buru merasa takabur dan bangga. Masih ada beberapa orang sahabat yang ingin sekali bertemu denganmu." Setelah berkata demikian, Pouw Kee Lui lalu membalikkan tubuh, menjura dan memberi hormat sambil berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe, harap sudi memperlihatkan diri!"
Dari balik pohon dan batu besar bermunculan beberapa orang dan dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati Kim-mo Taisu melihat mereka. Di antaranya banyak yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang pernah menjadi lawannya, yaitu Ban-pi Lo-cia pendeta gundul raksasa, musuh lamanya yang memang ia cari untuk membalaskan kematian bekas kekasihnya, Ang-siauw-hwa si Ratu Pelacur!
Orang ke dua yang dikenalnya bukan lain adalah Ma Thai Kun, sute (adik seperguruan) Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang pernah bermusuhan dengannya akibat cemburu dan iri hati karena paman guru ini mencintai murid keponakannya sendiri, yaitu Liu Lu Sian. Ia maklum bahwa Ma Thai Kun membencinya seperti ia membenci Ban-pi Lo-cia dengan dasar yang sama, ialah merenggut wanita terkasih.
Selain dua orang yang merupakan tandingan berat ini, muncul pula tokoh-tokoh dunia pengemis yaitu Kim-tung Sin-yang dan Koai-tung Tiang-lo dari Sin-yang. Di dekat Ban-pi Lo-cia berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, sikapnya tenang, serius, dan gagah. Dia ini adalah Lauw Kiat, murid terkasih Ban-pi Lo-cia. Lauw Kiat ini seorang petualang dari selatan yang merantau ke utara, bertemu dan dikalahkan Ban-pi Lo-cia lalu menjadi muridnya. Ilmu kepandaiannya cukup hebat, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkat suheng-nya, yaitu Bayisan.
"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Kurasa kau sudah mengenal mereka ini, bukan? Ataukah perlu aku memperkenalkan mereka kepadamu?"
Kim-mo Taisu tidak menjawab, akan tetapi Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Tak usah diperkenalkan, aku dan dia adalah kenalan lama. Kau adalah pemuda sastrawan yang tampan bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng dan yang sekarang sudah bangkrut menjadi pengemis jembel gila lalu berjuluk Kim-mo Taisu. Ha-ha-ha. Kenalan lama!"
"Orang she Kwee ini dengan aku pun mempunyai perhitungan lama yang belum dibereskan, Pouw-pangcu," kata Ma Thai Kun yang tidak suka banyak bicara.
Orang ini lalu maju dan langsung menerjang Kim-mo Taisu dengan pukulan yang mengeluarkan sinar merah. Melihat tangan yang kemerahan itu, maklumlah Kim-mo Taisu bahwa Ma Thai Kun telah dapat menyempurnakan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang memang telah dimilikinya sejak dahulu. Namun, ketika ia mengelak, kagetlah ia karena dari kepalan tangan merah itu tampak uap mengepul putih yang seakan-akan menyambar mukanya dengan hawa pukulan yang amat hebat. Biar pun pukulan itu tidak mengenai sasaran, namun hawa pukulannya yang berupa uap putih itu masih merupakan ancaman hebat.
Dengan kaget Kim-mo Taisu mencelat mundur dan mengatur sikap karena lawannya ini ternyata telah maju amat pesat kepandaiannya. Memang sesungguhnya tepat dugaan Kim-mo Taisu itu. Kini Ma Thai Kun yang meninggalkan Beng-kauw, bertahun-tahun bertapa sambil menggembleng diri sehingga ia berhasil menyempurnakan Ang-tok-ciang sedemikian rupa dan merobahnya menjadi ilmu pukulan yang ia namakan Cui-beng-ciang, (Tangan Pengejar Nyawa)! Kembali Ma Thai Kun menerjang maju, dari kedua tangannya keluar hawa pukulan berputar-putar yang amat panas. Terpaksa kali ini Kwee Seng menggunakan Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) untuk menangkis karena selain tak mungkin menghadapi desakan lawan tangguh hanya dengan berkelit, juga ia ingin menguji kekuatan lawan.
Ketika kedua lengan bertemu, Ma Thai Kun kaget sekali. Ia merasa betapa tanaganya seperti tenggelam dan tangan lawan sedemikian lunaknya sehingga ilmunya Cui-beng-ciang tidak berpengaruh sedikit pun, sebaliknya ada hawa dingin yang menjalar dari tangannya sampai ke pangkal lengan. Oleh karena ini cepat ia menarik tangannya, menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan. Hanya dengan cara ini ia dapat terbebas dari pengaruh Bian-sin-kun. Sambil melompat berdiri, diam-diam Ma Thai Kun juga maklum bahwa ilmu kepandaian Kwee Seng ternyata telah meningkat hebat. Maka ia bersikap hati-hati dan menyerang lagi dengan Cui-beng-ciang, ditujukan ke arah anggota tubuh yang berbahaya, tidak mau lagi bertanding mengadu tenaga seperti tadi.
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Kiranya kau telah memperoleh sedikit kemajuan, pantas saja kau berani berlagak. Kau makanlah cambukku!" ucapan ini disusul suara ledakan cambuk di udara.
Tampaklah gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil melayang dari tangan Ban-pi Lo-cia. Itulah cambuknya yang hebat, yang terkenal sebagai senjata tunggalnya yang ampuh dan disebut Lui-kong-pian (Cambuk Petir), terbuat dari pada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat ditemukan di laut utara, di antara gunung-gunung es!
"Bagus! Kalian pengecut-pengecut besar boleh mengeroyokku!" Kim-mo Taisu tertawa mengejek.
Segera ia berkelebat, cepat menyelinap di antara garis-garis lingkaran yang dibentuk sinar cambuk, kemudian membalas lawan lama ini dengan sebuah tendangan kilat. Ketika Ban-pi Lo-cia menangkis tendangan ini dengan tangan kirinya, Kim-mo Taisu mempergunakan tenaga tangkisan lawan untuk mencelat ke arah Ma Thai Kun dan sudah mendahului orang she Ma ini dengan sebuah gerakan dari ilmu silat Lo-hai-kun (Pengacau Lautan).
Demikian cepat dan tak terduga gerakannya ini sehingga biar pun Ma Thai Kun sudah cepat menangkis, namun pundaknya masih kena tampar, kelihatannya tidak keras namun cukup membuat Ma Thai Kun terlempar dan bergulingan sampai lima meter jauhnya! Namun Ma Thai Kun memiliki kekebalan, dan tenaga dalamnya sudah cukup kuat, maka ia dapat melompat bangun kembali sambil menerjang maju dengan kemarahan meluap-luap.
Pada saat itu, murid Ban-pi Lo-cia yang bernama Lauw Kiat sudah maju pula. Dia ini bersenjatakan sebuah tongkat dan gerakannya ternyata cukup hebat. Pemuda ini menerjang tanpa banyak suara, akan tetapi serangannya selain kuat juga sungguh-sungguh sehingga sekali gebrakan saja ia sudah mengirim serangan sampai tiga jurus.
Kim-mo Taisu menggunakan ginkang-nya menghindarkan diri dan ia belum sempat membalas pemuda she Lauw itu karena kini kedua orang ketua kai-pang sudah menerjangnya juga sehingga dalam sekejap mata ia sudah dikurung oleh lima orang lawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali tentu saja Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun. Kim-mo Taisu maklum bahwa lawannya adalah orang-orang pandai dan keadaannya berbahaya, namun seujung rambut pun ia tidak terjadi gentar. Sambil mengerahkan ginkang-nya yang kini menanjak tinggi tingkatnya sejak ia berlatih di dalam Neraka Bumi, ia malah mengejek kepada Pouw Kee Lui yang masih berdiri menonton. Hatinya panas bukan main. Diam-diam ia kagum akan kecerdikan raja pengemis yang masih muda itu, yang dapat mengerahkan dan mempergunakan orang-orang pandai sedangkan dia sendiri enak-enak menonton.
"Aha, tikus busuk she Pouw yang mengaku raja pengemis, kiranya kau hanyalah raja pengecut yang mengandalkan kawan banyak....!"
Ia terpaksa berhenti mengejek untuk menangkis pukulan tongkat Lauw Kiat yang tak dapat ia elakkan. Tangkisan ini disertai tenaga dalam sehingga Lauw Kiat berteriak kaget dan terlempar sampai jauh bersama tongkatnya! Kemudian Kim-mo Taisu sudah berkelebat lagi menghindar dari sambaran cambuk Ban-pi Lo-cia, sambil mengelak kakinya mencongkel ke arah Koai-tung Tiang-lo. Orang tua yang menjadi ketua perkumpulan pengemis di Sin-yang dan sudah terjatuh ke dalam tangan Pouw-kai-ong ini berteriak kaget, roboh terguling-guling dan tak dapat berdiri lagi karena sambungan lutut kanannya terlepas!
"Ha-ha, Pouw-kai-ong, kau tidak berani menghadapi aku, bukan?"
Melihat betapa dikeroyok lima lawannya itu masih dapat mengejeknya, bahkan merobohkan Koai-tung Tiang-lo, diam-diam Pouw Kee Lui terkejut sekali. Ia maklum bahwa Kim-mo Taisu memang lihai, akan tetapi tidak mengira akan dapat menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia dan yang lain-lain itu.
"Kim-mo Taisu, kematian sudah di depan mata masih berani mengoceh?!" teriak si Raja Pengemis dan cepat ia menerjang maju, menggabungkan diri dengan barisan pengeroyok sehingga kini Kim-mo Taisu dikeroyok lima.
Akan tetapi pengeroyokan yang sekarang ini jauh lebih berat dibanding dengan tadi. Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang yang memiliki kepandaian seperti raja pengemis ini. Begitu maju Kai-ong menerjangnya dengan tubuh berputar-putar sehingga tangan dan kakinya bergerak-gerak seperti angin badai dan kelihatannya seperti berubah menjadi belasan banyaknya.
Kim-mo Taisu maklum bahwa dia inilah lawan yang berat, tidak kalah berat jika dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, malah lebih lihai dari pada Ma Thai Kun! Sibuklah Kim-mo Taisu sekarang. Tadi pun ia sudah repot melayani desakan para pengeroyoknya dan hanya menghindar mengandalkan kecepatan gerakannya, akan tetapi sekarang pengeroyokan ditambah dengan Pouw-kai-ong yang ternyata memiliki gerakan yang hampir sama cepatnya dengan dia sendiri. Betapa pun Kim-mo Taisu mengerahkan kepandaian, tetap ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Namun kelima orang lawannya itu pun terheran-heran betapa orang yang mereka keroyok itu selalu dapat menghindar dari serangan yang bertubi-tubi itu.
"Ha-ha-ha, alangkah gagahnya, tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal mengeroyok seorang lawan yang bertangan kosong!" Kim-mo Taisu sempat mengejek, akan tetapi ejekan ini ia bayar dengan terpukulnya pinggang oleh tongkat di tangan Kim-tung Sin-kai.
Sebetulnya hal ini memang tak terelakkan lagi. Karena ia bicara, maka pencurahan panca inderanya terganggu. Setelah berhasil menghindarkan serangan yang lain, pada detik yang bersamaan ujung cambuk Ban-pi Lo-cia menyambar dari atas sedangkan tongkat Kim-tung Sin-kai menghantam ke arah pinggang. Tiga orang pengeroyok lain telah menutup jalan ke luarnya, maka ia harus mengadakan pilihan. Menghindarkan tongkat berarti membuka jalan untuk datangnya cambuk, menghindarkan cambuk, harus menerima hantaman tongkat. Kim-mo Taisu tentu memilih dihantam tongkat, karena ia maklum bahwa hantaman ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia merupakan bahaya maut, sedangkan Kim-tung Sin-kai, biar pun lihai dapat ia atasi tenaganya.
"Bukkk!"
Kim-mo Taisu merasa pinggangnya agak sakit, akan tetapi di lain pihak Kim-tung Sin-kai menyeringai aneh dan tubuhnya terangkat ke atas. Kim-mo Taisu menggunakan kesempatan ini meluncur lewat di bawah kedua kaki Kim-tung Sin-kai yang masih terpengaruh oleh benturan tenaga dalam sehingga empat orang pengeroyoknya tidak berani turun tangan, khawatir akan mengenai tubuh kawan sendiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-mo Taisu untuk meloncat tinggi ke atas pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah turun kembali ke atas tanah, tangan kanannya memegang sebatang cabang pohon itu!
"Ha-ha-ha, sekarang ada senjata di tanganku, majulah!" ia menantang dan kagum juga melihat bahwa Kim-tung Sin-kai sudah pulih kembali, agaknya tidak terluka.
Tadinya ia heran karena tahu betul bahwa ketika pinggangnya terpukul, ia mengerahkan sinkang yang tentu akan membuat tenaga kakek itu membalik dan melukai isi perutnya sendiri. Akan tetapi ketika melirik ke arah Pouw-kai-ong yang baru saja mengantongi bungkus merah, ia dapat menduga bahwa tentulah Si Raja Pengemis itu yang mempunyai obat penawar yang manjur sekali.
Kini tanpa menanti datangnya pengeroyokan, Kim-mo Taisu mendahului menggerakkan cabang pohon liu itu dan serta-merta ia mainkan Ilmu Pedang Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) yang ia cipta dan sempurnakan dengan dasar ilmu yang ia baca dari kitab perbintangan di dalam Neraka Bumi.
Hebat sekali gerakannya ini, karena selain ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang sakti yang diciptakan menurut pengalaman dan ilmu pengetahuan, juga memang seluruh anggota tubuh Kim-mo Taisu sudah terlatih sehingga hawa sinkang di dalam tubuhnya sudah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya lagi. Cabang kayu di tangannya itu mengeluarkan bunyi seperti angin mendesir-desir, membentuk sinar kehijauan bergulung-gulung dan tampak membayang dalam gulungan sinar itu tujuh belas batang kayu. Kelihatan jelas sekali cabang-cabang ini bergerak ke sana ke mari membagi-bagi serangan kepada lima orang lawan.
Dengan bersenjatakan cabang kayu dan mainkan Cap-jit-seng-kiam, Kim-mo Taisu masih terus bertahan, akan tetapi tidak sepayah tadi. Kini ia mampu balas menyerang. Akan tetapi karena daya serangnya hanya satu bagian saja sedangkan yang sembilan bagian dipakai untuk bertahan, maka tentu saja serangan balasannya itu tidak ada artinya bagi lawan seperti Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong dan Ma Thai Kun yang dapat mengimbangi. Hanya kedua orang lainnya Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia yang tingkat kepandaiannya lebih rendah, terpengaruh serangan balasannya.
Melihat ini Kim-mo Taisu lalu menujukan serangan balasan kepada dua orang itu. Ketika ia mendapat kesempatan, cepat sekali cabang kayu di tangannya bergerak disertai seruan keras, tubuhnya menyambar laksana seekor burung garuda. Kedua orang yang diserang itu tiba-tiba menjadi silau matanya oleh sinar yang menyambar dahsyat. Mereka mencoba untuk menangkis dengan tongkat di tangan mereka, akan tetapi tongkat mereka seakan-akan terbetot oleh tenaga raksasa, terlepas dari tangan mereka, kemudian sinar hijau berkelebat cepat dan robohlah Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat, muntah darah! Beberapa orang anggota pimpinan pengemis yang kiranya sudah berkumpul di sekitar tempat itu, cepat maju menolong dan membawa mereka mundur.
"Ha-ha-ha. Pouw-kai-ong, Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun! Apakah tidak perlu kalian tambah lagi jumlah pengeroyokan?" Kim-mo Taisu masih mengejek sambil memutar cabang kayu di tangannya.
Marahlah tiga orang itu, terutama sekali Ban-pi Lo-cia. Beberapa tahun yang lalu, ia masih dapat mengatasi kepandaian Kim-mo-eng, dan selama ini kepandaiannya sendiri tidak berkurang, sungguh pun tenaga dalam dan hawa sakti di dalam tubuhnya tentu tidak memperoleh kemajuan karena terlalu menuruti nafsu birahinya yang tak kunjung padam. Namun ia merasa lebih unggul dari pada seorang lawan semuda Kim-mo-eng yang kini menjadi Kim-mo Taisu. Ia jauh lebih tua, tentu lebih terlatih dan lebih berpengalaman.
Maka mendengar ejekan ini, matanya melotot besar kemerahan, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti beruang terluka. Tanpa berkata apa-apa Ban-pi Lo-cia memutar cambuknya dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga cambuk itu meledak-ledak dengan kerasnya, lalu membentuk sinar hitam yang melingkar-lingkar dan bagai hujan datang menyambar ke arah lawannya. Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah, cepat memutar cabang liu di tangannya, membentuk sebuah bayangan payung yang melindungi tubuhnya dari atas.
Pouw Kee Lui biar pun masih muda, namun dia belum pernah menemui lawan tangguh, maka sekali ini ia pun amat penasaran. Ilmu kepandaiannya adalah warisan orang sakti yang merupakan ilmu yang jarang ditemui orang di dunia persilatan, dan dalam hal tenaga dalam hawa sakti, dia boleh dibilang termasuk orang tingkatan tinggi. Ketika tadi Kim-mo Taisu mengambil cabang pohon itu untuk senjata, ia pun sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang tongkat pula yang ia mainkan seperti orang bermain toya. Kini melihat betapa lawan yang dikeroyok itu berhasil merobohkan dua orang kawan, ia menjadi marah dan penasaran.
Pouw Kee Lui berseru keras, menekan ujung tongkat yang ada tombol rahasianya sambil mencabut dan tahu-tahu sebatang pedang telah ia keluarkan dari dalam tongkat, pedang yang mempunyai sinar merah! Kemudian dengan gerakan yang tangkas sekali ia menyerbu, pedang di tangan kanan diputar dan tongkat di tangan kiri digerakkan secara aneh. Belum pernah dalam sejarah ilmu silat ada orang mainkan pedang di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri, karena sebetulnya kedua senjata ini mempunyai gaya permainan yang amat berbeda, bahkan berlawanan. Namun raja pengemis itu dapat memainkannya seakan-akan ia menjadi dua orang yang memegang pedang dan toya.
Hanya Ma Thai Kun seorang yang tidak bersenjata. Memang bekas tokoh Beng-kauw ini tidak suka menggunakan senjata, hanya mengandalkan keampuhan kedua tangannya yang sejak puluhan tahun telah digembleng dan ‘diisi’ hawa beracun sehingga sebenarnya kedua tangannya itu lebih ampuh dan lebih berbahaya dari pada sepasang senjata. Kalau senjata tajam hanya melukai kulit dan daging namun tangan Ma Thai Kun ini selain merusak kulit daging, juga memasukkan hawa beracun!
Ia masih tetap mempergunakan ilmu pukulan Cui-beng-ciang yang amat hebat. Terlalu benci ia kepada Kim-mo Taisu yang membuat ia kehilangan wanita yang dicinta dan kehilangan tempat di Beng-kauw, maka setiap pukulannya merupakan tangan maut yang akan mendatangkan kematian mengerikan. Namun Kim-mo Taisu agaknya tak pernah mau membiarkan dirinya terkena pukulan maut ini sehingga membuat Ma Thai Kun menjadi makin marah dan penasaran.
Setelah tiga orang itu maju dengan kemarahan meluap, diam-diam Kim-mo Taisu harus mengakui bahwa sekali ini ia benar-benar dihadapkan kepada ujian berat sekali. Kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, biar pun mereka ini merupakan lawan yang jarang dapat dicari bandingnya, namun ia masih sanggup merobohkan mereka seorang demi seorang.
Akan tetapi menghadapi mereka bertiga maju bersama seperti ini, benar-benar amatlah berat karena mereka bertiga itu memiliki kepandaian khusus yang harus dihadapi secara khusus pula. Dengan pengeroyokan ini, tak mungkin ia memecah perhatian menjadi tiga untuk menghadapi mereka secara khusus, hanya dapat mempertahankan diri dan sekali-kali membalas dengan serangan yang tak berarti.
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya.
"Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
“Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini,” pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi. "Paman, siapakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi 'Kim-mo Taisu', lalu ia tertawa dan berkata, "Inilah namaku."
"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama To!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa bergelak....
"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk belajar ilmu silat."
Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk golok. "Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!"
"Eh, kenapa?"
"Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal permusuhan sumber kekejaman!"
"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia yang mempergunakan ilmu itu."
"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau tidak untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?"
"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang begitu?"
"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."
“Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci pula ilmu silat,” pikir Kwee Seng.
Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia pun heran mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini keras dan kuat seperti benteng baja. Anak yang pandai sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan luas, dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin tertarik dan suka sekali.
"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhu-mu, kau harus ikut ke mana pun aku pergi."
Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya awut-awutan itu, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng di depan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan walau pun ia tidak setuju dengan sepak terjangnya. Maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya seorang mengangkat guru sambil menyebut, "Suhu!"
Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya menggebrak tanah di depan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat ke atas semeter lebih tingginya. Akan tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat ke atas dalam keadaan masih berlutut dan biar pun hal itu merupakan hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau takut keluar dari mulutnya. Matanya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh muridnya itu, lalu dipeluknya.
"Anak baik, muridku yang baik....!"
Bu Song terharu, matanya terasa panas namun hatinya yang keras menentang untuk meruntuhkan air mata. Ia merasa betapa dari diri suhunya memancar kasih sayang yang amat ia butuhkan, kasih sayang orang tua yang amat ia rindukan karena sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini. Maka dalam saat itu, di dalam hatinya timbul rasa kasih yang amat besar terhadap gurunya yang berpakaian jembel dan berambut riap-riapan ini. Bukan hanya rasa taat dan bakti seorang murid terhadap guru, melainkan juga rasa sayang seorang anak terhadap ayah!
"Bu Song, kau tunggu sebentar di sini!" tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan tanpa menanti jawaban muridnya, tubuhnya melesat lenyap dari tempat itu.
Bu Song bengong, kagum dan terheran-heran. Sewajarnyalah kalau pada saat itu timbul rasa inginnya untuk belajar ‘terbang’ seperti yang dilakukan suhunya. Akan tetapi hatinya yang keras menolak keinginan ini karena pesan ayahnya dahulu ketika ia masih kecil masih lekat di lubuk hatinya. Ia tidak tahu ke mana suhunya pergi, juga tidak dapat menduga ke mana. Akan tetapi karena memang sejak semula maklum bahwa gurunya itu seorang manusia dengan kelakuan edan-edanan, ia hanya menghela napas lalu duduk menanti di bawah pohon itu. Kewajiban seorang murid untuk mentaati perintah gurunya dan andai kata gurunya itu sehari semalam tidak kembali, ia akan tetap menanti di tempat itu!
Untung baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama. Belum sejam lamanya, Kim-mo Taisu sudah berkelebat datang membawa pundi-pundi kuning. Datang-datang gurunya melempar pundi-pundi itu ke depan Bu Song sambil tertawa bergelak dan berkata, "Ha-ha-ha, kau benar, muridku! Setan-setan judi itu memang sukar disembuhkan dari penyakit gemar judi. Mereka itu telah ramai-ramai berjudi pula dan betul saja, uang pembagian dariku mereka pergunakan sebagai modal! Benar-benar menjemukan!"
Bu Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu menjadi gurunya, tentu saja tak berani ia mentertawakannya. "Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap mereka?" tanyanya, sikapnya hormat sehingga Kim-mo Taisu tercengang.
"Aku? Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus dua puluh tail, jumlah uangku sendiri, kemudian kujungkir-balikkan meja judi, kelempar-lemparkan mereka ke atas genteng."
Bu Song diam saja, akan tetapi di dalam hati ia tidak setuju dengan perbuatan suhunya ini yang dianggap juga sia-sia belaka. Tidak mungkin dapat mengobati penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam dalam hati mereka terhadap suhunya. Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan tajam sambil tersenyum, mengerti bahwa muridnya tentu saja tidak setuju, akan tetapi melihat mulut muridnya tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, diam-diam ia makin kagum. Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid terhadap guru, dan pandai pula menyimpan perasaan. Akan tetapi ia belum menguji sampai di mana keuletan dan ketahanan hati muridnya ini.
"Bu Song, kau melihat gunung itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bukit di selatan. "Itu adalah Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting ke sana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi uang ini dan kau susullah aku ke sana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"
"Mengapa tidak berani, Suhu?"
"Baik. Nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku pergi sekarang!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu menyerahkan pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap.
Untuk kedua kalinya Bu Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu bergerak dan lenyap begitu saja, seakan-akan suhunya pandai ilmu ‘menghilang’. Ia memandang pundi-pundi itu kemudian mengikatkannya di punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan.
Bukit itu masih jauh, hanya kelihatan menjulang tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia tidak merasa jeri. Ia percaya penuh bahwa suhunya pasti menanti di sana. Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara, ini adalah ucapan ayahnya. Apa pun akan ia jalani untuk mentaati perintah suhunya. Hatinya lapang, langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali.
Anak kecil ini memandang ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia. Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa potong uang kecil sisa hasilnya bekerja masih terdapat di saku. Akan tetapi, di dalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di kota orang berlomba mencari uang, akan tetapi di tempat seperti ini, uang segudang pun tiada gunanya!
Dua hari sudah ia berjalan, melalui hutan-hutan belaka. Tidak ada dusun, tidak ada rumah orang di mana ia dapat mencari pengisi perut. Namun, perantauannya selama ini membuat Bu Song selain tahan lapar, juga mendapatkan pengalaman, menambah akalnya untuk mengisi perut kosong. Buah-buahan, telur-telur di sarang burung, kalau perlu malah daun-daun muda dan beberapa macam ubi, dapat ia pergunakan untuk mengusir lapar. Soal minum tidaklah sukar, karena banyak terdapat sumber-sumber air atau sungai-sungai kecil. Hatinya lega karena akhirnya sampai juga ia ke kaki gunung Tapie-san.
Sementara itu, Kim-mo Taisu tentu saja sudah sampai di Gunung Tapie San lebih dulu. Bagi pendekar sakti ini, perjalanan semalam sudah cukup karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat. Pada keesokan harinya pagi-pagi ia sudah berloncatan dari batu ke batu, melompati jurang-jurang, mendaki lereng Tapie-san sebelah utara.
Akhirnya ia berhenti di depan sebuah bangunan besar terkurung tembok tinggi, bentuknya seperti kuil kuno yang besar dan yang agaknya belum lama diperbaiki karena cat dan kapurnya masih baru. Pagar tembok bagian depan bersambung pada sebuah pintu cat merah, pintu yang tebal dan kokoh kuat, namun tertutup. Sekeliling gedung itu sunyi senyap dan memang amat mengherankan bahwa di lereng yang sunyi jauh tempat tinggal manisia ini terdapat sebuah gedung demikian megahnya, mirip sebuah istana musim panas di mana seorang raja atau pangeran tinggal melewatkan musim panas. Tak mungkin seorang pengemis tinggal di tempat seperti ini, akan tetapi karena yang ia cari adalah raja pengemis, siapa tahu kalau-kalau inilah istananya?
Tanpa ragu-ragu lagi Kim-mo Taisu menghampiri pintu dan mengetoknya. Ketokannya keras dan suara ketokan bergema, lalu sunyi. Ia menanti sebentar, lalu mengetok lagi. Apakah gedung itu kosong? Tak mungkin! Kalau kosong pintu gerbangnya takkan tertutup, dan ia tadi melihat tiga ekor burung dara terbang berputaran di atas gedung. Burung dara tentu dipelihara orang.
Benar dugaannya. Tak lama kemudian terdengar suara orang disusul langkah kaki ke arah pintu, kemudian suara tapal pintu dibukakan orang. Daun pintu terbuka perlahan, pertama-tama memperlihatkan sebuah pekarangan yang luas di depan gedung yang dilihat dari keadaan ruang depannya saja jelas membayangkan kemewahan gedung. Dari balik daun pintu yang terbuka muncul dua orang pengemis tinggi besar yang berwajah bengis!
Kim-mo Taisu melangkah masuk. Sekarang tampaklah olehnya serombongan orang berpakaian pengemis berdiri berbaris di kanan kiri pekarangan itu, setiap baris sembilan orang, sedangkan dari dalam gedung itu keluar tiga orang pengemis tua. Pakaian tiga orang tua ini pun tambal-tambalan, malah tidak begitu bersih seperti barisan di pekarangan. Tampaknya tiga orang ini adalah pengemis-pengemis tulen. Akan tetapi sikap dan langkah mereka sama sekali bukanlah sikap pengemis. Begitu angkuh dan agung-agungan seperti sikap pembesar-pembesar tinggi!
Kim-mo Taisu memandang penuh perhatian. Yang manakah di antara tiga orang ini yang memakai nama julukan Raja Pengemis? Akan tetapi menurut cerita yang ia dengar dari guru silat Liong, raja pengemis itu masih muda sedangkan tiga orang pengemis ini biar pun agaknya juga merupakan pimpinan pengemis, sudah berusia lima puluh lebih.
Melihat betapa semua orang yang hadir di tempat ini berpakaian tambal-tambalan, Kim-mo Taisu menunduk untuk memandang pakaiannya sendiri, kemudian ia tertawa bergelak-gelak. Memang lucu. Tuan rumah dan anak buahnya semua berpakaian pengemis, sedangkan dia sendiri pun pakaiannya butut dan penuh tambalan.
"Ha-ha-ha-ha! Dunia pengemis ini! Tamunya dan yang punya rumah sama-sama berpakaian pengemis. Akan tetapi biar sama, jauh bedanya! Pakaianku memang butut dan tambal-tambalan, asli pakaian pengemis, namun aku bukan pengemis. Sebaliknya, pakaian kalian adalah buatan, sengaja ditambal-tambal seperti pakaian pengemis, akan tetapi kalian betul-betul pengemis! Ha-ha-ha, bukankah ini lucu dan memperlihatkan kepalsuan manusia?"
Kini tiga orang pengemis tua itu sudah berada di depan Kim-mo Taisu. Mendengar perkataannya, tiga orang pengemis itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka berkata, suaranya perlahan akan tetapi mengandung tenaga sehingga terdengar jelas, "Apakah engkau ini orang gila yang mengacau di Sin-yang dan hendak mencari Kai-ong?"
Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Bagaimana mereka ini bisa tahu akan peristiwa di Sin-yang? Padahal ia telah melakukan perjalanan cepat sekali ke lereng gunung ini. Mungkinkah ada orang dari Sin-yang mendahuluinya memberi kabar? Kalau memang ada tentu hebat bukan main ilmu lari cepat orang itu! Hampir sukar dipercaya.
Tiba-tiba Kim-mo Taisu berdongak ke atas dan ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Aku tidak bersayap, mana bisa melawan kecepatan burung?" Ia kini dapat menduga bahwa tentulah dari Sin-yang orang mengirim surat dengan perantaraan burung dara ke tempat ini. "Memang akulah yang mencari Kai-ong. Suruh dia keluar, aku mau bicara dengannya!"
"Hemm, tidak mudah bertemu dengan Kai-ong. Orang muda, kau siapakah dan apa maksudmu mau bertemu dengan Kai-ong?"
"Aku bukan datang untuk memperkenalkan nama. Suruh saja rajamu keluar, aku tidak ada urusan dengan kalian pengemis-pengemis palsu."
"Hemmm, orang muda sombong! Kai-ong sudah menugaskan kami menjaga di sini, tanpa melalui kami bertiga pengemis tua bertongkat sakti, mana bisa kau pergi menghadap Kai-ong?"
Mendengar ini, Kim-mo Taisu memandang teliti. Tiga orang kakek ini adalah orang-orang tua yang biasa saja, bertubuh kurus seperti kurang makan, pakaiannya tambal-tambalan, memakai sepatu kulit. Akan tetapi tangan mereka memegang sebuah tongkat panjang seperti toya, dapat dipergunakan sebagai tongkat mau pun senjata. Melihat bentuk pentung ketiganya serupa, teringatlah ia akah nama tiga tokoh besar pengemis, yaitu Sin-tung Sam-lo-kai (Tiga Pengemis Tua Bertongkat Sakti).
Akan tetapi sepanjang pendengarannya, Sin-tung Sam-lo-kai adalah tokoh-tokoh pengemis yang amat terkenal di selatan, terkenal sebagai orang-orang pandai yang tidak termasuk golongan jahat, bahkan memimpin kaipang-kaipang (perkumpulan pengemis) di selatan. Bagaimana sekarang tiga orang tokoh ini hanya menjadi penjaga pintu di sini?
"Bukankah Sam-wi (Tuan Bertiga) ini Sin-tung Sam-lo-kai?"
Tiga orang kakek itu saling pandang, agaknya merasa heran. "Hemm, orang muda," kata kakek pertama yang paling tua. "Jadi kau sudah mengenal kami? Kalau begitu, lebih baik kau memperkenalkan diri dan katakan terus terang saja, apa maksudmu mencari Kai-ong?"
"Sam-wi Lo-kai adalah orang-orang ternama di selatan, bagaimana sekarang hanya menjadi penjaga pintu di sini? Siapakah dia yang memiliki gedung ini?"
"Bukan urusanmu! Lebih baik kau lekas mengaku, atau pergi saja dari sini, jangan mengganggu kami," jawab pengemis itu cepat-cepat.
Akan tetapi Kim-mo Taisu seorang cerdik. Ia dapat menduga bahwa tiga orang itu tentu merasa tidak senang sekali dengan ‘pekerjaan’ mereka, akan tetapi agaknya dilakukan dengan terpaksa, entah oleh apa dan mengapa.
"Ha-ha-ha, kau boleh takut pada raja pengemis itu, akan tetapi aku tidak. Biar dia seorang siluman sekalipun, aku harus mencari dia!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu melangkah maju dan berkata keras, "Harap kalian bertiga minggir!"
Namun tiga orang kakek itu sudah memalangkan tongkat mereka yang panjang, siap menerjang. Kim-mo Taisu tertawa bergelak, seakan-akan tidak melihat ancaman tongkat terkenal itu, terus melangkah maju hendak memasuki pintu depan rumah gedung.
"Apakah kau mencari mampus?" bentak tiga orang kakek pengemis itu dan terdengar suara angin menyambar keras ketika mereka menggerakkan tongkat menyerang.
Dari angin serangan ini saja Kim-mo Taisu dapat menaksir bahwa kepandaian tiga orang kakek pengemis ini tidak kalah oleh Koai-tung Tiang-lo yang pernah ia lawan di dalam rumah judi di Sin-yang. Maka dapat dibayangkan hebatnya tiga batang tongkat yang menusuk dari kanan kiri dan sebatang lagi diputar menghadang di depan!
"Wuuuttt! Wuuuttt!" dua batang tongkat berubah menjadi sinar kehitaman menyambar dari kanan kiri mengancam lambung.
Kim-mo Taisu mengembangkan kedua lengannya, kemudian tangannya bergerak secepat kilat menangkap ujung kedua tongkat, mengerahkan lweekang menarik ujung tongkat ke bawah sambil berseru keras. Dua orang pengemis tua itu tak dapat melawan tarikan tenaga yang dahsyat ini. Betapa pun mereka mempertahankan kehendak merampas kembali tongkat yang terpegang lawan, namun sia-sia belaka dan tahu-tahu tongkat mereka telah amblas ke dalam tanah sampai setengahnya lebih!
Kakek ke tiga yang menyerang dari depan marah sekali. Ujung tongkatnya yang tadinya terputar-putar itu kini meluncur ke depan bagaikan seekor ular hitam, menerjang maju dengan tusukan yang berlenggang-lenggok dan sekaligus telah menotok ke arah tujuh jalan darah berturut-turut. Kim-mo Taisu maklum akan kelihaian jurus serangan ini, maka ia cepat menggunakan ginkang-nya untuk berturut-turut pula mengelak ke kanan kiri, kemudian lengan bajunya bergerak memutar, melibat ujung tongkat.
"Lepas....!!" teriaknya sambil mengerahkan sinkang. Sekali ia membetot dengan kuat, tongkat itu tak dapat dipertahankan lagi oleh pemiliknya, terlepas dan meluncur bagaikan anak panah kemudian menancap pada dinding pagar, gagangnya bergetar keras mengeluarkan bunyi.
Tiga orang kakek itu adalah Sin-tung Sam-lo-kai, dari julukannya saja sudah menyatakan bahwa mereka itu ahli-ahli tongkat yang lihai. Tentu saja mereka kaget setengah mati melihat kenyataan yang sukar dipercaya, betapa dalam segebrakan saja lawan muda yang seperti orang gila ini mampu merampas tongkat mereka! Mereka menjadi penasaran sekali, dan selain penasaran, juga mereka tidak berani membiarkan orang ini masuk ke dalam gedung begitu saja karena hal ini akan membuat mereka kesalahan dan akan mendapat marah dari Kai-ong.
"Tahan dia!" seru kakek tertua memberi perintah kepada barisan pengemis ketika ia melihat Kim-mo Taisu berlenggang seenaknya hendak memasuki gedung.
Ia sendiri lari untuk mencabut tongkatnya dari dinding, sedangkan kedua orang temannya juga sudah mencabut tongkat masing-masing yang menancap di atas tanah. Barisan pengemis yang terdiri dari delapan belas orang itu bergerak maju cepat sekali dari kanan kiri, dan terkurunglah Kim-mo Taisu.
Pendekar aneh ini berdiri di tengah-tengah pekarangan depan, bertolak pinggang dan tertawa bergelak melihat barisan pengemis itu lari berputaran di sekelilingnya, membentuk barisan aneh yang berubah-ubah, kadang-kadang merupakan lingkaran bundar, dalam sedetik berubah menjadi segi tiga, terus berubah-ubah dengan bertambah seginya dan setengah menjadi pat-kwa (segi delapan) lalu perlahan-lahan menjadi bulat lagi. Barisan ini teratur sekali dan melihat perubahan-perubahan yang rapi ini diam-diam Kim-mo Taisu merasa kagum.
"Orang muda, biar pun kau lihai, tak mungkin kau dapat lolos dari Kan-kauw-kai-tin (Barisan Pengemis Pengejar Anjing) kami. Sebelum kami turun tangan membunuhmu, lebih baik kau lekas mengaku, siapakah engkau dan apa perlumu mencari Kai-ong?!"
Kim-mo Taisu menarik napas panjang. "Barisanmu baik sekali, Sam-lo-kai, biarlah aku mencoba untuk menjadi anjingnya biar dikejar-kejar barisanmu." Sambil tertawa bergelak Kim-mo Taisu lalu menerobos ke depan, nekat hendak memasuki gedung.
Segera di depannya telah menghadang tiga orang pengemis anggota barisan yang sekaligus telah menerjang dan menyerangnya dengan senjata mereka. Seorang bersenjata tongkat panjang, seorang lagi bersenjata pedang dan orang ke tiga bersenjata joan-pian (ruyung lemas semacam cambuk). Tiga senjata yang amat berbeda sifatnya, amat berbeda pula caranya menyerang, namun ketika maju bersama, ternyata mereka bertiga dapat bekerja sama baik sekali, seakan-akan seorang saja dengan tiga macam senjata, tiga pasang kaki tangan menyerang Kim-mo Taisu!
Pendekar ini berseru kagum, dan tentu saja ia tidak gentar menghadapi serangan tiga orang ini. Kedua tangannya digerakkan, dengan ilmu tangkapnya Kim-na-hoat ia hendak merampas senjata-senjata mereka. Akan tetapi tiga orang itu tidak jadi menyerangnya dan berlari terus ke depan dan pada detik itu juga, pengurung bagian belakang yang menyerang. Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh dan ia kaget melihat betapa tiga orang di bagian belakangnya ini bersenjata persis seperti tiga orang pertama tadi akan tetapi cara mereka menyerang berbeda sungguh pun kerja sama mereka tetap baik.
Karena ia diserang dari belakang, Kim-mo Taisu terpaksa mengelak dan lewatlah berturut-turut pedang, toya, dan cambuk itu di samping tubuhnya. Begitu serangan mereka gagal, tiga orang ini bergerak lari, dan kini tiga orang lain yang berada di belakang Kim-mo Taisu menerjang hebat dengan tiga macam senjata mereka. Secara begini, sebentar saja Kim-mo Taisu telah diserang bertubi-tubi oleh barisan enam kali tiga orang ini dan ia betul-betul menjadi seperti seekor anjing yang dikejar-kejar oleh barisan pengemis!
Kim-mo Taisu adalah seorang ahli silat ia memiliki penyakit yang sama, yaitu haus akan ilmu silat. Melihat hebat dan rapinya Ilmu Barisan Kan-kauw-kai-tin ini, ia menjadi kagum dan tertarik sekali, tertarik untuk mempelajarinya tentu. Kalau ia mau, dengan kepandaiannya yang jauh lebih tinggi dari pada para pengeroyoknya, tidaklah sukar baginya untuk merobohkan mereka ini. Akan tetapi ia justru ingin melihat bentuk permainan mereka dalam barisan itu, maka ia sengaja membiarkan dirinya diserang terus-menerus. Ia hanya main berkelit saja karena tidak ingin merusak barisan mereka, maka ia dapat memperhatikan betapa barisan ini bergerak dan berubah.
Setelah ia menghadapi pengurungan ini selama seperempat jam, tahulah ia bahwa ilmu barisan ini sesungguhnya juga berdasarkan garis-garis perubahan dalam pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang terkenal itu. Dia sendiri adalah ahli permainan Pat-kwa-kun (Ilmu Silat Segi Delapan) tentu saja ia tahu dan hafal akan seluk-beluk pat-kwa, maka setelah menemui intisari barisan, ia menjadi jemu dan kecewa. Setelah mendapatkan rahasia sumbernya, kiranya barisan ini biasa saja.
"Ha-ha-ha-ha, Sin-tung Sam-lo-kai! Kiranya barisanmu ini adalah barisan pengemis kelaparan mengejar harimau! Bukan si harimau yang terpegang, melainkan pengemis-pengemis kelaparan ini yang menjadi mangsa harimau, ha-ha-ha!" Sambil berkata demikian, Kim-mo Taisu mulai ‘bekerja’, tangan kakinya bergerak cepat, tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan kilat.
Terdengar suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika senjata-senjata terlempar dan tubuh-tubuh menyusul bertebangan ke atas genteng. Dalam tempo beberapa menit saja delapan belas orang anggota barisan itu sudah berada di atas genteng semua, dilemparkan oleh Kim-mo Taisu tanpa mereka dapat mengerti bagaimana mereka itu kehilangan senjata dan berada di atas genteng dengan kaki atau tangan salah urat. Ketika melihat betapa Kim-mo Taisu mengamuk seperti harimau ganas, mereka ini tidak berani turun lagi!
Wajah Sin-tung Sam-lo-kai menjadi pucat. Barisan Kan-kauw-kai-tin sudah terkenal kehebatannya, namun menghadapi seorang muda gila saja kocar-kacir! Mereka maklum bahwa jika orang muda gila ini memasuki gedung, tentu mereka mendapatkan hukuman berat dari Kai-ong, maka dengan muka beringas mereka bertekad untuk mempertahankan penjagaan mereka. Dengan senjata tongkat di tangan mereka berdiri menghadang di depan pintu.
"Orang muda, kau lihai. Akan tetapi jangan harap dapat masuk mengganggu Kai-ong kalau tidak melalui mayat kami bertiga!"
"Eh, eh, Sam-lo-kai! Raja pengemis itu orang macam apa sih? Aku Kim-mo Taisu datang ke sini bukan untuk main-main dengan segala macam pengemis tua! Mengapa kau tidak segera melaporkan kepadanya bahwa aku hendak bertemu?"
Terbelalak kaget tiga orang kakek pengemis itu ketika mendengar nama ini. Sengaja Kim-mo Taisu memperkenalkan namanya karena ia merasa segan untuk bermusuhan dengan pimpinan pengemis yang namanya di dunia kang-ouw terkenal baik itu. Dan memang akibatnya hebat. Tiga orang pengemis itu tentu saja sudah mendengar nama besar Kim-mo Taisu yang orang di dunia kang-ouw sudah merangkaikannya dengan nama Kim-mo-eng, pendekar sastrawan yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sejak beberapa tahun tidak pernah muncul, kemudian muncul seorang pengemis muda yang sikapnya edan-edanan dan berjuluk Kim-mo Taisu. Mereka mendengar bahwa Kim-mo Taisu amat sakti sekali dan juga merupakan pemberantas kejahatan, pembela kebenaran, dan keadilan. Setelah terbelalak dengan muka pucat, seorang di antara mereka yang tertua segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu dan berkata, suaranya penuh permohonan.
"Ah, kiranya Taisu yang datang! Kim-mo Taisu, kami tiga orang saudara mohon pertolonganmu! Perkumpulan kami, juga perkumpulan di empat penjuru, telah ditaklukkan oleh ketua baru Khong-sim Kai-pang, yaitu Kai-ong yang amat bengis dan sakti. Kalau kami membiarkan Taisu masuk, berarti kami bertiga akan binasa. Karena itu, tolonglah Taisu membantu kami, membalaskan sakit hati kami... agar nama baik perkumpulan-perkumpulan Kai-pang di selatan dapat diangkat lagi dan.... Auuhhh!" tiba-tiba kakek pengemis ini terguling dan darah muncrat dari punggungnya yang tertembus sebatang sumpit gading yang meluncur dari dalam gedung!
"Twa-suheng...!" dua orang adik seperguruannya menubruk, dan mereka memandang kepada Kim-mo Taisu dengan mata penuh permohonan.
Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh memandang. Akan tetapi tidak ada seorang raja pengemis muncul melainkan seorang wanita cantik, masih muda berpakaian pelayan. Dengan gerak tubuh lemah lembut wanita itu berkata, suaranya nyaring dan merdu. "Kai-ong-ya memerintahkan tamu terhormat Kim-mo Taisu untuk datang menghadap!" Wanita itu lalu membungkuk dengan hormat, tangannya mempersilahkan.
Mendongkol hati Kim-mo Taisu. Bukan mendongkol karena pembunuhan atas pengemis tua, karena ia memang seorang aneh dan hal itu dianggapnya bukan urusannya. Ia mendongkol oleh sikap Kai-ong itu, yang seakan-akan benar-benar seorang raja yang memerintahkan tamunya datang menghadap! Akan tetapi bukan watak Kim-mo Taisu untuk mengobral kemarahannya begitu saja. Ia tertawa begelak, lalu mengikuti wanita cantik itu memasuki ruangan depan.
Heran sekali ia melihat perabot ruangan itu amat mewah, meja kursi halus dan dinding yang terkapur putih itu penuh hiasan tulisan dan gambar serba indah. Ketika ia mengikuti wanita itu memasuki ruangan dalam, keadaannya lebih mewah lagi, bahkan lantainya saja ditilam permadani merah muda! Mereka maju terus, ke ruangan yang lebih dalam lagi. Sebuah pintu kaca yang lebar tertutup tilam sutera hijau. Benar-benar seperti kamar di dalam istana raja. Pintu terbuka dan terdengarlah suara wanita-wanita yang merdu di antara tawa yang genit, tercium bau asap dupa wangi.
"Harap Kim-mo Taisu suka membersihkan kaki lebih dulu," wanita itu berkata, menunjuk ke arah babut tebal di depan pintu.
"Ha-ha-ha! Tanah yang menempel di telapak kakiku bukankah jauh lebih bersih dan sehat dari pada lantai dan permadani? Tidak biasa aku membersihkan kakiku, kalau rajamu ingin kakiku bersih, biarlah ada yang membersihkannya!"
Wanita itu nampak kaget sekali akan keberanian tamu ini. Ia hanya memandang bingung dan samar-samar tampak oleh Kim-mo Taisu betapa di wajah yang cantik itu terbayang ketakutan dan kekhawatiran. Agaknya wanita ini terlalu banyak menderita tekanan batin, pikirnya. Kasihan!
Tiba-tiba terdengar suara yang serak seperti orang berpenyakitan. "Tamu agung harus dihormati. Eh, kalian bertiga pergilah ke luar, cuci kaki tamu agung sampai bersih. Cepat!"
Terdengar suara tertawa-tawa genit disusul suara pakaian berkeresekan tanda bahwa wanita-wanita itu berjalan keluar tergesa-gesa, lalu muncul tiga orang wanita cantik-cantik dan muda. Pakaian mereka tidak seperti pakaian pelayan, melainkan pakaian puteri-puteri istana, terbuat dari pada sutera tipis dan halus beraneka warna. Sambil tertawa-tawa mereka keluar, wajah yang cantik dan berbedak tebal itu berseri-seri. Akan tetapi ketika mereka keluar dan melihat bahwa ‘tamu agung’ itu adalah seorang jembel yang pakaiannya penuh tambalan, kakinya telanjang dan rambutnya riap-riapan, mereka mengerutkan kening dan tersentak kaget, berhenti dan saling pandang dengan ragu-ragu.
Akan tetapi seorang di antara mereka yang berbaju hijau mengedipkan mata dan mereka cepat menghampiri Kim-mo Taisu, menarik tangannya ke arah sebuah bangku sambil berkata. "Silahkan Khek-koan (tamu) duduk di bangku ini, biarkan kami bertiga membersihkan kaki yang kotor."
Sejenak Kim-mo Taisu tercengang, tak disangkanya bahwa ucapannya tadi mendapat sambutan dari Kai-ong yang aneh itu. Sukar baginya menggunakan kekerasan terhadap desakan tiga orang wanita ini, dan bau yang harum sekali yang keluar dari pakaian mereka membuat kepalanya terasa pening!
"Eh... oh.... tidak usah, Nona-nona. Tak usah, biar kubersihkan sendiri!" katanya cepat-cepat sambil menjauhkan diri, dan ia lalu menggosok-gosokkan kedua kakinya kepada babut tadi.
Ngeri ia membayangkan kedua kakinya dipegang-pegang dan dicuci oleh tiga orang wanita muda cantik itu, yang demikian genit-genit. Tentu akan menimbulkan rasa seakan-akan kedua kakinya dikeroyok lintah yang menghisap darahnya! Tiga orang wanita itu terkekeh-kekeh sambil menutupi mulutnya dengan sikap yang amat genit, kemudian mereka mengantar Kim-mo Taisu memasuki ruangan indah sambil tertawa-tawa dan setengah berlari ke dalam, di mana terdapat seorang laki-laki duduk menghadapi meja ditemani tiga orang wanita muda lain.
Kim-mo Taisu berhenti melangkah, memandang penuh perhatian, sikapnya waspada menjaga diri kalau-kalau menghadapi penyerangan. Ia melihat laki-laki itu dan merasa heran karena laki-laki itu tidak kelihatan seperti seorang yang berilmu tinggi. Usianya tiga puluh tahun lebih, pakaiannya sengaja dibuat bersambung-sambung seperti pakaian bertambal, akan tetapi karena bahan-bahannya adalah sutera yang halus, maka menyerupai pakaian berkembang-kembang yang aneh warnanya. Sepatunya baru dan rambutnya tertutup topi sutera pula. Wajahnya tampan akan tetapi kulit mukanya pucat, matanya seperti mata burung elang dan mukanya yang sempit membayangkan kelicikan.
Laki-laki itu duduk menghadapi hidangan yang bermacam-macam dan arak yang baunya harum semerbak menimbulkan selera. Ketika ia masuk, laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya, bahkan agaknya sedang bercakap-cakap dan bergurau dengan tiga orang wanita itu. Seorang wanita menyumpitkan daging dan disodorkan di depan mulutnya, yang segera digigitnya sambil tersenyum-senyum. Wanita ke dua menuangkan arak ke dalam cawan araknya. Ada pun wanita ke tiga yang bersikap gagah duduk di sebelah kanannya dengan alis dikerutkan.
Laki-laki itu menoleh kepada wanita muda cantik yang kelihatan tidak senang itu, tersenyum dan menyentuh dagunya yang halus dengan jari tangan sambil berkata halus, akan tetapi suara tetap serak tak sedap didengar. "Moi-moi, mengapa kau kurang gembira? Marilah minum, dan kau sejak tadi tidak mau makan. Nih, daging kelinci ini enak sekali!" Ia menyumpit sepotong daging dan mendekatkannya ke mulut si Cantik.
Wanita itu tersenyum paksa, membuka mulut kecil mungil dan menggigit daging itu, kemudian berkata, "Pouw-koko (Kakanda Pouw), bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan menyuruh pergi semua selirmu? Aku tak senang dengan keadaan seperti ini."
"Ha-ha-ha, Moi-moi yang manis! Selirku tadinya tiga puluh orang lebih, sebagian besar sudah kuhadiahkan kepada para pembantuku. Akan tetapi yang lima ini...., hemm, sayang, Moi-moi. Hayo kalian berlima lekas berlutut dan mohon kasihan kepada Nyonya besar agar diperkenankan tinggal di sini melayaniku!" ia menoleh kepada lima orang wanita cantik itu.
Tiga orang di antara mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita berbaju biru tadi, akan tetapi yang dua tidak mau berlutut, malah memandang penuh kebencian. Seorang di antara mereka, yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata genit. "Aku sudah setahun lebih melayani Kai-ongya dan menjadi kesayangan Kai-ongya, namun tak pernah aku menyuruh usir selir lainnya. Mengapa Nona Loan ini begini manja? Apakah tidak mau membagi kebahagiaan sedikit pun dengan wanita lain?" Ia menggoyang tubuhnya dengan memalingkan muka, bibirnya yang merah cemberut.
"Benar, tidak adil!" kata wanita kedua yang bajunya merah. "Semenjak dia ini datang, kita seperti disia-siakan oleh Kai-ongya. Apakah di dunia ini hanya dia saja wanita cantik?"
Wanita baju biru itu tiba-tiba bangkit berdiri, alisnya terangkat dan matanya merah. "Mana bisa aku dipersamakan dengan... perempuan-perempuan cabul macam kalian?"
"Sshh... sshh... Moi-moi, jangan marah, duduklah." Dengan tangannya, raja pengemis itu menyuruh kekasihnya duduk, kemudian tangan kirinya bergerak cepat, dengan jari-jari terbuka menyambit ke arah dua orang selirnya yang berani membantah itu.
"Aduhhh...! Aduhhh...!!" dua orang wanita cantik itu terjengkang roboh, menutupi muka sambil menjerit-jerit bergulingan di lantai. Ternyata kedua mata mereka terusuk tulang-tulang bekas makanan yang berada di atas meja dan tadi dipergunakan untuk menyambit mereka. Darah membasahi pipi. Hanya sebentar kedua orang wanita itu menjerit-jerit berkelojotan, lalu diam karena rasa nyeri yang luar biasa membuat mereka pingsan.
"Hayo bawa pergi mereka, lekas!" perintah ini diturut tiga orang wanita yang lain dengan ketakutan. Mereka lalu menggotong kedua orang wanita malang itu keluar dari ruangan.
"Hemm, inikah Kai-ong yang tersohor yang telah menaklukkan seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis), yang secara keji membunuh orang tertua dari Sin-tung Sam-lo-kai tadi, dan kini melukai dua orang selirnya secara ganas pula?" Kim-mo Taisu berkata, suaranya dingin dan pandang matanya kepada Si Raja Pengemis itu penuh ejekan.
Raja pengemis itu bukan lain adalah Pouw Kee Lui yang pernah kita kenal. Seperti kita ketahui, Pouw Kee Lui adalah murid seorang pertapa sakti di pantai Po-hai yaitu pantai laut sebelah timur, yang secara kejam telah membunuh gurunya sendiri karena ia ditegur ketika ia mengganggu isteri orang. Ia memperdalam ilmu dari kitab-kitab simpanan gurunya itu, kemudian mulailah ia merantau dan merajalela mempergunakan ilmunya yang tinggi.
Pertama-tama ia merebut kedudukan ketua di perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Pernah ia bertemu dengan Liu Lu Sian dan hanya karena mengingat bahwa Lu Sian adalah puteri Beng-kauwcu, maka Pouw Kee Lui yang cerdik ini membebaskan Lu Sian. Kemudian semenjak itu, ia memperbesar kekuasaannya dengan menundukkan perkumpulan-perkumpulan pengemis yang ada, lalu mengangkat diri sendiri menjadi Kai-ong atau raja pengemis yang hidup mewah, yang menundukkan siapa saja yang menentangnya dan merampas gadis mana saja yang disukainya.
Wanita baju biru di sebelahnya itu adalah Liong Bi Loan murid yang kemudian diambil sebagai anak angkat oleh guru silat Liong Keng. Ketika gadis ini berkelahi dengan tukang-tukang pukul di rumah judi, kebetulan sekali Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong sedang jalan-jalan ke rumah judi. Melihat gadis cantik ini serta melihat ilmu silatnya yang lumayan, hati Pouw-kai-ong tertarik sekali. Di antara tiga puluh orang lebih selirnya, tidak ada yang memiliki ilmu silat seperti gadis ini. Maka ia lalu turun tangan dan dengan ilmu kepandaiannya yang amat tinggi, ia mengalahkan Bi Loan dan berhasil membuat gadis ini kagum oleh kepandaian silatnya, wajahnya yang tampan, dan sikapnya yang pandai berpura-pura dan memikat hati.
Gadis yang masih hijau ini terjatuh ke dalam perangkap, mereka bermain cinta dan gadis yang tidak tahu bahwa yang ia sangka seorang pendekar sakti itu sebetulnya seorang manusia iblis yang keji. Ia mengikuti Pouw Kee Lui bermain-main ke dalam hutan, dan di dalam sebuah kuil kosong, Si Manusia Iblis Pouw ini berhasil memberi minum arak yang ia campur obat sehingga Liong Bi Loan menjadi mabuk dan dalam keadaan tidak sadar telah menyerahkan dirinya dibawa terjun ke dalam jurang kehinaan oleh Pouw Kee Lui.
Ketika ia sadar, sesal pun tiada gunanya. Nasi telah menjadi bubur! Inilah akibatnya seorang gadis yang membuta saja menurutkan nafsu hati, membuta dalam bercinta sehingga tidak tahu bahwa yang disangka seekor domba sebenarnya adalah seekor serigala. Karena sudah terlanjur, ia hanya bisa menangis dan akhirnya reda juga penyesalannya ketika Pouw Kee Lui membujuk-bujuknya, bersumpah mati-matian akan bersetia kepadanya, akan mengambilnya sebagai isteri, sehidup semati dan lain omongan muluk-muluk lagi.
Terobatilah hati Bi Loan. Ketika pada keesokan harinya ayahnya mendapatkannya di situ, terpaksa ia ikut pulang ayahnya. Dan tentu saja hatinya girang sekali ketika pada malam harinya, Pouw Kee Lui benar-benar datang membawanya pergi dan tentu saja ia ikut pergi dengan sukarela. Lebih baik ikut pergi bersama kekasihnya ini dan sehidup semati menjadi isterinya, dari pada menjadi seorang gadis ternoda yang akan menderita malu seumur hidupnya! Apalagi setelah ia ketahui bahwa kekasihnya itu ternyata adalah seorang yang amat penting, seorang raja, biar pun hanya rajanya pengemis! Dan melihat selir ‘suaminya’ begitu banyak, ia menjadi tidak senang dan minta kepada suaminya untuk menghalau semua selir itui, yang juga diturut oleh Pouw Kee Lui, kecuali lima selir yang tadi melayani mereka makan minum. Demikianlah keadaan singkat Si Raja Pengemis yang lihai itu.
Ketika Pouw-kai-ong mendengar kata-kata Kim-mo Taisu yang penuh teguran, ia mengangkat muka memandang. Mulutnya tersenyum sinis, pelupuk matanya bergetar sedikit, kemudian terdengar suaranya yang serak, "Kim-mo Taisu, apakah kau mendapat nama besar itu karena kesukaanmu mencampuri urusan dalam rumah tangga orang lain? Kubunuh Lo-kai, itu adalah urusan kai-pang kami. Kubutakan mata kedua orang selirku, itu adalah urusan keluargaku sendiri."
"Tidak peduli... tidak peduli..., aku hanya seorang tamu, aku tidak peduli akan segala urusanmu yang busuk!" Kim-mo Taisu menggoyang-goyang tangannya.
"Heh-heh, itu baru ucapan seorang gagah. Nah, kau menjadi tamuku, seorang tamu agung harus disambut dengan arak wangi dan hangat!" Raja pengemis ini menuangkan arak ke dalam mangkok itu dan berseru. "Silakan!"
Sekali ia menggerakkan tangan, mangkok penuh berisi arak itu melayang cepat sekali seperti peluru menuju ke arah dada Kim-mo Taisu, tanpa araknya tumpah sedikit pun. Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat tangan kirinya. Begitu tangannya bergerak, ia sudah menerima mangkok itu di atas telapak tangan kirinya, di mana mangkok itu kini berdiri dan sedikit pun tidak ada arak yang muncrat dari dalamnya. Diam-diam ia kagum juga karena tenaga sambaran mangkok itu amat kuat, tanda bahwa penyambitnya memiliki sinkang yang hebat. Di lain pihak, Pouw-kai-ong juga kagum. Menerima sambitannya semangkok penuh arak, tanpa tergoyang sedikit pun badannya, tanpa mucrat setetes pun araknya, mungkin jarang didapatkan keduanya.
“Hebat Kim-mo Taisu ini,” pikirnya dan otaknya yang cerdik sudah diputar-putar untuk mencari akal.
Sementara itu, Kim-mo Taisu sudah menenggak habis arak di dalam mangkok dengan tenang, mengecap-ngecapkan lidahnya dan mengangguk-angguk sambil memandang ke arah mangkoknya yang sudah kosong. "Arak baik... hemm, arak yang baik sekali. Terima kasih, Kai-ong, ini kukembalikan mangkokmu!" Tiba-tiba tangannya bergerak dan mangkok itu sudah ia sentil dengan jari telunjuknya.
"Tinggg!!" mangkok kosong itu kini melayang ke arah Pouw-kai-ong, akan tetapi melayang sambil berputar seperti gasing. Pouw-kai-ong tersenyum dan mengangkat tangannya menyambut sambaran mangkok kosong.
"Brakkk!!" mangkok kosong itu begitu menyentuh tangannya, lalu pecah berantakan!
"Aiihhh!!" Pouw-kai-ong terloncat kaget. Mukanya menjadi merah sejenak, matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya menegang, jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar harimau.
Kim-mo Taisu tersenyum saja dengan tenang, menanti segala kemungkinan. Akan tetapi, lambat laun muka raja pengemis itu menjadi pucat kembali seperti sediakala, bukan pucat berpenyakitan, melainkan pucat karena latihan lweekang tertentu. Mulutnya masih tersenyum sinis dan tangannya membuat gerakan mempersilakan tamunya duduk.
"Heh-heh, tamu agung yang hebat! Kim-mo Taisu, namamu terkenal dan ternyata bukan kosong belaka. Silakan duduk!"
Kim-mo Taisu melangkah menghampiri meja dengan sikap masih tenang, mata tiada lepas dari gerakan raja pengemis itu. Ia kemudian menarik bangku dan duduk. "Terima kasih, Kai-ong."
Kembali Pouw-kai-ong menuangkan arak ke dalam mangkok sampai penuh. Mangkok itu ia letakkan di atas telapak tangan kanannya dan ia mengerahkan hawa sinkang di tubuhnya, disalurkan melalui tangan kanan terus menjalar ke mangkok arak. Sebentar saja arak di dalam mangkok itu bergolak mendidih dan beruap! Inilah hawa sinkang yang bukan main tingginya!
"Silakan minum, Kim-mo Taisu!" katanya tersenyum sinis seraya menyodorkan mangkok arak mendidih itu kepada tamunya.
Kim-mo Taisu menjadi kaget, kagum dan juga mendongkol. Harus ia akui bahwa demonstrasi hawa sinkang yang diperlihatkan raja pengemis itu memang hebat dan hanya orang dengan kepandaian tinggi saja yang akan mampu melakukannya. Akan tetapi, orang lain boleh merasa jeri, baginya demonstrasi itu hanyalah permainan untuk menakuti anak kecil! Sambil tersenyum pula ia mengulur tangan menerima mangkok arak mendidih itu sambil mengerahkan sinkang-nya. Aneh tapi nyata. Begitu mangkok arak mendidih itu berada di telapak tangan Kim-mo Taisu, mendadak uapnya hilang dan arak itu tidak bergolak mendidih lagi!
"Terima kasih, sayang arakmu dingin," kata Kim-mo Taisu sambil menuangkan arak ke mulutnya, tetapi arak itu tidak mau keluar dari mangkok karena ternyata telah membeku! Inilah demonstrasi yang lebih hebat lagi, menggunakan sifat dingin dari tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sambil tersenyum lebar Kim-mo Taisu meletakkan mangkok itu ke atas meja dan memandang tuan rumah.
Agak berubah air muka yang pucat dari raja pengemis itu. Telah dua kali ia menguji dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian tamunya benar-benar hebat, maka ia harus berlaku hati-hati sekali. "Kim-mo Taisu, keperluan apakah yang membawamu datang mencari aku?"
Kim-mo Taisu menyambar mangkok arak dan meneguknya habis, lalu mengangguk-angguk dan menjilati bibirnya. "Arak baik, arak baik...!"
Pouw-kai-ong tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau setan arak. Minumlah!" Ia melemparkan seguci arak ke arah Kim-mo Taisu. Lemparan ini kuat bukan main karena disertai tenaga lweekang, sedangkan jarak antara mereka dekat saja, hanya terpisah sebuah meja.
Namun dengan enaknya Kim-mo Taisu menerima guci arak itu dan terus menggelogoknya langsung tanpa cawan atau mangkok lagi. Setelah lima enam mangkok arak memasuki perutnya, baru ia berhenti dan meletakkan guci arak di atas meja.
"Pouw-kai-ong, kebetulan sekali aku berkenalan dengan Liong-kauwsu (Guru Silat Liong) di Sin-yang dan karena tidak tahan mendengar tangis seorang ayah kehilangan puterinya, maka aku datang kesini mencarimu."
"Aaahhhh....!" wanita cantik baju biru yang sejak tadi duduk tenang menonton pertunjukan ilmu yang hebat itu, kini berseru tertahan, wajahnya berubah pucat.
Akan tetapi Pouw Kee Lui tertawa mengejek. "Kim-mo Taisu, setelah sekarang kau dapat bertemu denganku, apa yang kau kehendaki?"
"Orang she Pouw, kau telah menculik puteri Liong-kauwsu. Sekarang harap kau memandang mukaku dan mengembalikan puterinya itu. Kalau tidak... ha-ha-ha, terpaksa aku lupa bahwa aku telah kau suguhi arak yang baik!"
Pouw Kee Lui juga tertawa. "Heh-heh-heh, aku pun menyuguhi arak padamu sama sekali bukan dengan maksud menyuap." Ia lalu bangkit berdiri dan memperkenalkan wanita yang duduk di sebelahnya. "Kim-mo Taisu, perkenalkan. Inilah isteriku yang bernama Liong Bi Loan, puteri Liong-kauwsu dari Sin-yang!"
"Is... terimu....?" Kim-mo Taisu terkejut dan heran.
"Moi-moi kekasihku, kau katakanlah kepada Kim-mo Taisu, benarkah bahwa aku menculikmu?"
Dengan muka berubah menjadi merah sekali karena jengah, wanita itu memandang Kim-mo Taisu dan berkata, "Aku pergi mengikutinya dengan sukarela, urusan kami berdua ini apa sangkut pautnya dengan orang luar?"
Kim-mo Taisu memandang terbelalak kepada wanita itu. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa ia akan menghadapi hal seperti ini, tak mengira bahwa urusan akan menjadi begini. Kalau ia tahu sebelumnya, tentu saja ia tidak sudi ikut mencampuri. Dapat ia menduga bahwa wanita ini telah terpikat oleh Pouw-kai-ong, telah jatuh cinta atau juga karena takut. Akan tetapi wajah yang cantik itu sama sekali tidak membayangkan rasa takut, jadi terang bahwa wanita ini telah jatuh cinta kepada Si Raja Pengemis!
Tentu saja Kim-mo Taisu tidak tahu apa yang telah terjadi, tidak tahu bahwa sesungguhnya bukan karena takut atau cinta, melainkan karena sudah terlanjur terjun ke dalam lumpur kehinaan maka wanita itu terpaksa mengikuti Pouw Kee Lui!
Saking malu dan mendongkol, Kim-mo Taisu menepuk kepalanya sendiri lalu bangkit berdiri. Wajahnya kehilangan senyumnya, seperti orang gila ketika ia berkata, "Cinta memang aneh! Pouw-kai-ong, pada detik ini juga aku menyatakan lepas tangan tentang urusanmu dengan puteri Liong-kauwsu. Akan tetapi mendengar bahwa kau telah merampas kedudukan semua perkumpulan pengemis dan betapa tanganmu dengan ganas merenggut nyawa para pimpinannya, aku menduga bahwa kau tentu memiliki tangan maut yang lihai. Maka, setelah aku datang, biarlah aku merasai kelihaian tangan mautmu itu. Kau yang menentukan, di dalam ruangan ini atau di luar!"
Inilah tantangan blak-blakan! Orang gagah paling pantang menolak tantangan. Wajah Pouw Kee Lui yang biasanya pucat itu kini menjadi merah dan sejenak matanya menyinarkan pancaran kilat karena marahnya. Akan tetapi mulutnya tersenyum sinis dan matanya lalu bergerak-gerak melirik ke kanan ke kiri membayangkan kecerdikan otaknya.
Selama ini ia sudah bersekutu dengan banyak orang pandai untuk bersama-sama meruntuhkan Kerajaan Tang Muda. Di antara sekutunya itu terdapat Ban-pi Lo-cia tokoh Khitan yang menganggap Kerajaan Tang Muda sebagai musuh. Dari Ban-pi Lo-cia inilah ia mendengar tentang kehebatan kepandaian Kim-mo-eng yang kini berjuluk Kim-mo Taisu. Kalau Ban-pi Lo-cia yang demikian lihainya memuji kepandaian seseorang, maka ia harus waspada menghadapi orang itu. Apalagi tadi ia pun sudah membuktikan sendiri kehebatan sinkang dari manusia sinting ini. Dan sungguh kebetulan sekali, dalam beberapa hari ini ia sudah berjanji akan mengadakan pertemuan dengan para sekutunya di Puncak Tapie-san. Maka ia lalu menahan kemarahannya, berkata dengan senyum lebar.
"Bagus! Aku pun sudah lama mendengar akan kehebatanmu dan ingin sekali merasai pukulan tanganmu. Akan tetapi kau dapat melihat sendiri, aku adalah... heh-heh, masih pengantin baru! Bagaimana aku dapat mengotori suasana meriah dengan isteriku tersayang ini dengan pertandingan? Isteriku tentu akan merasa gelisah setengah mati! Kim-mo Taisu, kalau kau memang jagoan dan tidak menyesal dengan tantanganmu, biarkan aku beristirahat selama tiga hari untuk mengumpulkan tenaga, kemudian tiga malam berikut ini aku akan menantimu di puncak gunung ini, di mana kita akan dapat bertanding sepuas hati kita tanpa mengganggu isteriku. Bagaimana, apakah kau berani?"
Kim-mo Taisu tertawa bergelak. Ia cukup berpengalaman, dan ia dapat menduga bahwa calon lawannya itu mencari alasan kosong. Entah tipu muslihat apa yang hendak digunakannya tiga hari kemudian di Puncak Tapie-san. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. "Heh-heh-heh, tiga malam yang akan datang kebetulan bulan gelap. Aku akan menantimu pagi-pagi pada hari ke empat di puncak. Nah, aku pergi!"
Setelah itu Kwee Seng melenggang keluar dari ruangan itu, terus berjalan dengan langkah seenaknya dan tidak mempedulikan pandang mata para pengemis yang menjaga di luar gedung. Setelah keluar dari gedung, tubuhnya bergerak cepat dan sebentar saja lenyaplah bayangannya dari pandang mata pengemis yang tebelalak lebar penuh kekaguman dan juga ketakutan. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang berani menantang Kai-ong mereka dapat keluar dengan selamat dan seenaknya!
"Suhu...!!" Bu Song berseru girang sekali ketika ia melihat Kim-mo Taisu duduk bersemedhi di bawah pohon. Kedua kakinya sudah merasa amat lelah mendaki bukit yang amat sukar itu, akan tetapi begitu melihat suhunya, semangatnya timbul dan ia berlari terengah-engah di jalan tanjakan, menghampiri suhunya.
Kim-mo Taisu membuka kedua matanya dan tersenyum girang memandang muridnya. Bocah yang sama sekali tidak pandai ilmu silat ini telah membuktikan keberanian luar biasa dan keuletan yang mengagumkan. Anak ini dapat juga menyusulnya sampai ke lereng gunung yang merupakan perjalanan amat sukar bagi orang yang tidak terlatih ilmu silat. Muridnya itu datang dengan muka agak pucat dan tubuh membayangkan kelelahan hebat, akan tetapi pundi-pundi uang itu masih digendongnya dan semangat besar masih bernyala-nyala di sepasang mata yang bersinar-sinar itu.
"Bu Song, lekas kau duduk bersila di sini. Kau harus belajar bagaimana memulihkan tenagamu kembali dan menghilangkan lelah."
Bu Song tidak membantah. Diturunkannya pundi-pundi dari pundaknya, kemudian ia duduk bersila di depan gurunya, meniru kedudukan kaki yang ditekuk tumpang tindih.
"Tarik napas dalam-dalam sewajarnya tanpa paksaan, busungkan dada kempiskan perut, tarik terus yang panjang...." Kim-mo Taisu memberi petunjuk sambil memberi contoh.
Bu Song memandang gurunya dan mentaati perintah ini, terus menarik napas dan merasa betapa dadanya penuh sekali.
"Keluarkan napas, perlahan-lahan sewajarnya tanpa paksaan, kempiskan dada busungkan perut. Nah, begitu ulangi sampai sembilan kali, makin panjang makin baik."
Otomatis Bu Song mentaati perintah suhunya ini, makin lama makin baik cara ia bernapas. Kemudian sambil masih bersila, Kim-mo Taisu mengajar muridnya mengatur napas, menarik napas dari dada ke perut, menahannya ke tengah pusar sampai perut terasa panas hangat, memberi petunjuk pula cara menguasai napas. "Kau umpamakan napasmu seekor naga yang sukar dikendalikan, akan tetapi kau harus dapat menunggang naga itu. Kau biarkan dirimu dibawa terbang keluar masuk, terus kau tunggangi, jangan lepaskan sedikit pun juga, akhirnya kau tentu akan mampu menguasai dan menaklukannya," demikianlah Kim-mo Taisu memberi petunjuk.
Kemudian ia mengajar muridnya untuk sambil duduk bersila menguasai napas, duduknya tegak dengan punggung lurus, muka lurus ke depan, pandang mata menunduk ke arah ujung hidung, seluruh panca indera dipusatkan ‘menunggang naga’. Inilah inti pelajaran ilmu bersemedhi, dan siulian atau semedhi ini pula menjadi dasar pelajaran ilmu silat tinggi. Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengira bahwa gurunya mulai menurunkan ilmu yang menjadi dasar ilmu silat tinggi.
Diam-diam Kim-mo Taisu kagum bukan main menyaksikan kekerasan hati dan kemauan muridnya. Sayang muridnya terlalu membenci ilmu silat sehingga sukarlah baginya untuk melatih ilmu silat. Bocah ini yang baru saja tiba setelah melalui perjalanan yang amat melelahkan, kini sanggup untuk bersemedhi, sungguh pun baru saja dimulai hari ini, dari pagi sampai sore!
"Cukuplah!" kata Kim-mo Taisu sambil meraba punggung muridnya.
Bu Song bagaikan sadar dari mimpi indah dan dengan hati girang ia merasa betapa tubuhnya sehat dan segar, tidak merasakan kelelahan lagi.
"Kau harus melatih siulian setiap kali ada waktu kosong. Dengan latihan ini, tubuhmu akan menjadi sehat, tidak mudah lelah dan tidak mudah diserang penyakit."
"Kapankah Suhu akan mengajarkan ilmu menulis indah kepada teecu (murid)?"
"Ha-ha-ha! Tidaklah mudah, Bu Song. Kau tentu tahu, tulisan huruf indah baru dapat disebut indah kalau tulisan itu dapat mengandung goresan yang bertenaga, dan untuk menghimpun tenaga dalam tangan agar dapat membuat goresan yang tepat, perlu tanganmu diisi tenaga. Dalam latihan siulian ini dapat membuat tanganmu bertenaga. Besok kuajarkan bagaimana kau harus menggunakan pernapasanmu untuk membangkitkan tenaga dari dalam pusar, menggunakan kekuatan hawa yang kau sedot itu untuk menerobos ke pergelangan tangan dan jari-jari tanganmu. Baru setelah tanganmu bertenaga, akan kuajarkan engkau menulis huruf indah."
Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan mata berseri-seri, akan tetapi diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia harus bicara secara berputar-putar dan seakan-akan ia menipu muridnya ini yang tidak mau belajar ilmu silat! Ia melihat betapa muridnya memandangnya penuh perhatian, sinar matanya memancarkan kepercayaan dan ketaatan yang tulus. Terharu hati Kim-mo Taisu. Bocah ini hebat, memiliki bakat yang baik sekali di samping watak yang keras dan bersih. Entah apa sebabnya, mungkin pandang mata itulah, yang membuat Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan jatuh sayang kepada anak ini. Ia merangkul pundak muridnya dan berkata halus.
"Bu Song, kau mengasolah. Kau tentu lapar, bukan? Nah, coba kau mencari makanan seperti yang kau lakukan ketika kau mendaki bukit ini selama tiga hari tiga malam."
"Baiklah, Suhu."
Bu Song lalu memasuki hutan di sebelah kiri, menyusup-nyusup sampai jauh dan akhirnya dengan hati girang ia mendapatkan sebuah pohon apel yang buahnya banyak yang sudah tua dan matang. Segera ia memanjat pohon itu dan memetik banyak buah apel yang kulitnya kuning kemerahan dan baunya sedap mengharum itu. Buah-buahan itu ia masukkan ke dalam kantung uang sampai penuh.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi kelenengan kuda, nyaring sekali bunyi itu, bergema di antara pohon-pohon. Suara yang menyelinap ke dalam telinganya seakan-akan berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk telinga dan masuk merayap melalui urat-uratnya, membuat Bu Song menggigil dan tak dapat pula ia mempertahankan diri. Buah-buah berikut pundi-pundi uang terlepas jatuh disusul tubuhnya jatuh pula dari atas pohon!
Untung baginya, pohon itu tidak terlalu tinggi. Juga ketika ia terjatuh, tubuhnya tertahan oleh cabang dan dahan di sebelah bawah sehingga ketika ia terbanting ke atas tanah, Bu Song hanya merasa pinggul dan bahu kirinya saja yang agak sakit. Begitu ia melompat bangun lagi, suara itu masih terngiang di telinganya, membuat kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit. Betapa pun ia menahan dan menutupi telinganya dengan kedua tangan, tetap saja suara itu menembus masuk. Saking sakitnya, serasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk jarum.
Bu Song bergulingan di atas tanah, merintih-rintih. Ingin ia melompat dan lari ke tempat suhunya, namun suara kelenengan itu makin keras. Kini ia sudah bangkit berdiri lagi. Tiba-tiba ia teringat akan nasehat suhunya, "Kalau kau berhasil menunggang naga, apa pun di dunia ini tidak akan mampu mengganggu badan dan pikiranmu." Menunggang naga adalah istilah untuk duduk memusatkan perhatian kepada masuk keluarnya hawa pernapasan.
Teringat akan ini, cepat-cepat Bu Song mengerahkan tenaganya untuk duduk bersila, kemudian mengerahkan pula segenap tekad dan kemauannya untuk menarik semua panca indera, terutama pendengarannya, menjadi satu dan memaksa diri ‘menunggang naga’ seperti yang pernah ia latih di bawah petunjuk suhunya. Sebentar saja anak yang bertekad membaja ini telah berhasil ‘tenggelam’ ke dalam keadaan diam, tekun menunggang naga pernapasannya sendiri sehingga lupa pula akan suara kelenengan yang mempunyai daya mukjijat tadi! Suara kelenengan masih terdengar nyaring, akan tetapi kini seakan-akan hanya lewat di luar daun telinganya saja, tidak mampu masuk karena telinga itu telah ditinggalkan ‘penumpangnya’ atau penjaganya yang sedang seenaknya menunggang naga!
Setelah lama suara kelenengan itu tidak berbunyi lagi, baru Bu Song sadar bahwa telinganya tidak menghadapi bahaya suara mukjijat itu, maka ia lalu melompat bangun, mengumpulkan buah-buah yang berceceran dan membungkusnya di dalam pundi-pundi uang. Kemudian ia lari menuju ke tempat suhunya.....
Bunyi kelenengan yang tadi terdengar oleh Bu Song keluar dari sebuah kelenengan kecil yang dibunyikan oleh tangan seorang kakek tinggi besar. Kakek ini menunggang keledai kecil sehingga kelihatannya lucu sekali. Kedua kakinya yang panjang tergantung di kanan kiri perut keledai hampir menyentuh tanah. Namun keledai kecil itu ternyata mampu berjalan cepat dan pandai pula mendaki bukit. Sambil membunyikan kelenengan, kakek ini melengut di atas punggung keledai. Hiasan bulu di atas kain kepalanya mengangguk-angguk dan jubahnya yang panjang lebar itu melambai-lambai tertiup angin gunung.
Ketika keledai itu tiba di depan Kim-mo Taisu yang masih duduk bersila di bawah pohon, kakek itu mengeluarkan seruan tertahan dan keledainya berhenti. Ia lalu melompat turun dan sengaja membunyikan kelenengannya di depan Kim-mo Taisu sambil mengerahkan tenaganya. Terheran-heran kakek itu melihat betapa orang yang duduk bersila itu masih saja duduk, sama sekali tidak bergeming biar pun bunyi kelenengan itu sebetulnya dapat merobohkan lawan tangguh!
Tiba-tiba Kim-mo Taisu membuka matanya memandang kakek itu lalu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Makin tua kau makin ugal-ugalan saja, Pat-jiu Sin-ong!"
Kakek itu terbelalak kaget. Kelenengannya terhenti dan ia membungkuk untuk memandang lebih teliti orang yang duduk bersila itu. Seorang berusia tiga puluhan, pakaiannya tambal-tambalan dan kakinya telanjang, tubuhnya tegap, rambutnya riap-riapan, dan mukanya terselimut awan kedukaan.
"Kau mengenal aku?"
"Beng-kauwcu, apakah usia tua sudah membuat kau menjadi lamur sehingga tidak mengenal lagi bekas calon mantumu? Ha-ha-ha!" Kim-mo Taisu melompat berdiri.
"Hehh...?? Kau... kau... Kim-mo-eng Kwee Seng...!" kakek itu menjelajahi tubuh Kim-mo Taisu dari kepala sampai ke kaki dengan pandang mata tidak percaya.
"Cukup Kim-mo Taisu saja, Kauwcu."
"Aha! Jadi kaulah Kim-mo Taisu...?" kakek itu lalu merangkul pundak dan tertawa bergelak-gelak. "Siapa akan mengira...! Dahulu kau seorang sastrawan tampan, sekarang... sekarang...."
"Seorang jembel busuk!"
"Ha-ha-ha! Alangkah akan girang hatiku kalau melihat anakku berpakaian jembel duduk di sampingmu bersiulian di bawah pohon! Ahhh, sayang tidak demikian jadinya. Eh, Kwee Seng, menyesal sekali dahulu ada penjahat secara menggelap menyerangmu sehingga kau jatuh ke dalam jurang. Sungguh mati, kukira kau sudah hancur di dasar jurang."
"Sebaiknya begitu, sayang nyawaku belum mau meninggalkan tubuh yang buruk nasib ini, masih ingin membiarkan tubuh ini menderita. Pat-jiu Sin-ong, bagaimana kau bisa sampai di sini?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Semua gara-gara Lu Sian, anak durhaka itu. Eh, apakah kau tidak pernah bertemu dengannya?"
Kim-mo Taisu menggeleng kepala, di dalam hatinya ia enggan bicara tentang bekas kekasihnya itu.
"Dia sudah pergi meninggalkan suaminya, Jenderal Kam Si Ek! Ahhh, alangkah untungnya kau. Kalau dia menjadi isterimu, agaknya kau pun akan makan hati seperti aku yang menjadi ayahnya. Dia pulang menceritakan bahwa dia meninggalkan suaminya, ketika aku marah-marah kepadanya, ia malah minggat sambil mencuri kitab-kitabku. Benar-benar anak durhaka dia! Aku mencarinya sampai berbulan-bulan. Kau benar-benar beruntung dapat terlepas dari padanya."
Tiba-tiba Kim-mo Taisu tertawa bergelak sambil memandang awan. "Ha-ha-ha! Pat-jiu Sin-ong, kau bilang aku bahagia karena terlepas dari padanya, bukankah kau juga sudah terlepas dari padanya? Bukankah dengan demikian kita sama-sama menjadi orang bahagia? Ha-ha-ha!" Suara ketawa Kim-mo Taisu bergema di seluruh hutan.
Di dalam hatinya, kakek itu terharu karena ia mampu menangkap tangis hati yang terkandung dalam suara tawa itu. Maka ia pun tertawa dan berkata. "Kau benar! Kita harus rayakan ini! Dua orang laki-laki, muda dan tua, tunangan dan ayah, terbebas dari rongrongan seorang wanita siluman! Ha-ha-ha! Kita harus rayakan ini, tunggu... aku membawa arak baik!"
Kakek itu lari ke arah keledainya yang makan rumput tak jauh dari situ, mengambil guci arak dari atas pelana, menuangkan arak ke dalam dua buah cawan dan membawanya kembali kepada Kim-mo Taisu. Mereka lalu minum arak bersama sambil berangkulan dan tertawa-tawa. Dua orang aneh di dunia kang-ouw bertemu dan kecocokan watak mereka mendatangkan kegembiraan sementara.
Saking gembira, mereka tidak melihat bahwa seorang anak laki-laki melihat dan mendengar percakapan mereka. Anak ini Bu Song! Wajahnya berubah saat mendengar bahwa kakek itu adalah Pat-jiu Sin-ong. Kiranya orang tua itu adalah kakeknya sendiri! Tentu saja ia sudah mendengar penuturan kedua orang tuanya tentang kakeknya, ketua Beng-kauw yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong bernama Liu Gan. Dan sekarang kakeknya berada di sini, kalau mengenalnya sebagai putera ibunya, tentu akan membawanya ke selatan!
Menurutkan kata hatinya, Bu Song sudah ingin berlari pergi meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ia teringat akan gurunya yang lapar, maka ia lalu menurunkan buntalan pundi-pundi uang berikut apel. Dengan hati-hati dan perlahan ia meletakkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berindap-indap pergi dari tempat itu sambil menoleh memandang kedua orang yang masih minum sambil tertawa-tawa. Dua butir air mata menghias pipinya ketika ia teringat akan ucapan kakeknya tentang ibunya. Setelah dua orang itu tidak tampak lagi, Bu Song lalu pergi secepatnya.
Setelah arak yang diminum habis, Pat-jiu Sin-ong melepaskan rangkulannya, melempar cawan kosong ke bawah lalu berkata. "Kim-mo Taisu, sekarang kau bersiaplah, mari kita mengadu kepandaian!"
Kim-mo Taisu menghela napas, melemparkan cawan kosongnya pula ke atas tanah. "Pat-jiu Sin-ong, apa pula ini? Kau tahu bahwa aku takkan bisa mengalahkanmu, dan pula, aku pun tidak ada nafsu untuk bertempur denganmu. Tidak ada alasan bagiku mau pun bagimu untuk saling serang."
"Ha-ha-ha, tidak ada alasan katamu? Akulah yang membuat engkau terjungkal ke dalam jurang. Nah, sekarang tiba saatnya kau harus membalas dan aku bersedia melayanimu untuk membayar hutang. Aku yang membuatmu menjadi seperti ini, tak usah kau pura-pura, seorang laki-laki harus berani menghadapi kenyataan!"
Akan tetapi Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Kenyataannya bukan seperti yang kau kira. Aku tidak mendendam kepadamu. Bukan kau yang merobohkan aku beberapa tahun yang lalu. Dan aku tahu bahwa kau tidak mempunyai niat buruk. Dahulu mau pun sekarang, Pat-jiu Sin-ong, kau seorang laki-laki sejati dan aku tidak suka bermusuhan denganmu."
"Eh-eh!" Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mencela dengan suara kecewa. "Siapa bilang tidak ada alasan? Bertahun-tahun aku tak pernah bertemu lawan tangguh, tanganku gatal-gatal. Kalau kau tidak mendendam kepadaku, sebaliknya akulah yang mendendam padamu dan sekarang kau harus membereskan hutangmu kepadaku!"
Berkerut alis Kim-mo Taisu. "Hem, hem...! Kalau begini kata-katamu, tentu urusannya lain lagi. Katakan, aku berhutang apa kepadamu? Kalau memang berhutang, tentu saja akan kubayar."
"Ha-ha-ha, kau masih berpura-pura? Aku kehilangan anak, aku menderita karena anak. Semua ini gara-gara engkau dahulu menolaknya. Aku baik-baik menyerahkan dia kepadamu, akan tetapi kau tidak mencintanya dan tidak mau menjadi suaminya, maka timbul urusan seperti sekarang ini. Andai kata dahulu kau suka memperisteri dia, tentu kita semua akan hidup bahagia. Nah, penghinaanmu itu bukankah hutang besar?"
Tertusuk hati Kim-mo Taisu mendengar ini. Bukan dia yang menolak, melainkan Liu Lu Sian. Dia mencinta Lu Sian, akan tetapi Lu Sian tidak mencintanya! Akan tetapi sebagai laki-laki, tentu saja ia malu untuk mengaku terus terang akan hal ini kepada Pat-jiu Sin-ong. Pula, ia pun ingin sekali memperlihatkan kepandaiannya. Kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, tingkatnya telah maju amat jauh. Kalau sebelum masuk ke Neraka Bumi saja ia sudah sanggup menandingi Pat-jiu Sin-ong, agaknya sekarang ia akan mampu merobohkan kakek sakti ini secara mudah. Dan ia pun sudah lama tidak berlatih melawan seorang lawan yang tangguh, sedangkan sekarang tiba kesempatan yang amat baik.
Ia mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu pendapatmu, Pat-jiu Sin-ong. Nah, aku sudah siap, kau mulailah!"
Wajah kakek itu berseri girang. "Kepandaianku sudah maju pesat, orang muda, kau waspadalah!" Tiba-tiba ia memekik keras sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, jubahnya yang lebar itu berkibar mendatangkan angin yang dahsyat.
Kim-mo Taisu kagum. Pekikan itu mengandung tenaga khi-kang yang hebat sekali. Dan seandainya ia tidak mengalami latihan luar biasa di Neraka Bumi, daya pekik ini saja tentu sudah mengendurkan semangatnya. Cepat ia menggeser kakinya, miringkan tubuh mengelak ke kiri sambil terus menghantamkan tangan kanannya dengan bantingan lengan dan tangan terbuka, serangan yang kelihatannya bertahan saja akan tetapi sebetulnya hebat bukan main karena ia telah mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti).
"Beng-kauwcu, awas serangan balasan!"
Pat-jiu Sin-ong melihat datangnya serangan tanpa didahului angin pukulan, akan tetapi telah terasa hawa amat dinginnya. Ia menjadi terkejut dan cepat-cepat mengelak sambil melompat ke kanan. "Bagus, kau hebat!" katanya sambil menerjang lagi.
Bertandinglah dua orang sakti itu, mula-mula hanya dengan jurus satu-satu dan lambat, akan tetapi makin lama makin cepat dan kuatlah gerakan mereka sehingga tubuh mereka lenyap tak tampak lagi, yang kelihatan hanya gundukan bayangan mereka yang sudah bercampur menjadi satu dan sukar dibedakan.
Sejam sudah mereka bertanding. Keduanya merasa kagum bukan main akan kemajuan lawan. Sepasang lengan sudah terasa sakit-sakit karena sering beradu, namun belum pernah pukulan mereka mengenai sasaran. Kim-mo Taisu selain kagum juga mulai bosan dan khawatir. Kalau dilanjutkan, tentu seorang di antara mereka akan terluka hebat. Ia tidak ingin melukai orang tua itu, dan tentu saja tidak ingin dilukai. Akan tetapi ia mengenal pula tabiat Pat-jiu Sin-ong yang gemar bertanding, sukar untuk dihentikan begitu saja.
Pada saat Kim-mo Taisu memutar otak mencari jalan untuk menghentikan pertandingan ini, tiba-tiba Pat-jiu Sin-ong menyerang dengan pukulan kedua tangan berbareng sambil merendahkan tubuh. Kedua kakinya ditekuk dan kedua lengan dilonjorkan dengan jari-jari tangan terbuka, menghantam ke arah dada Kim-mo Taisu.
Jangan disangka ringan pukulan ketua Beng-kauwcu ini. Tubuhnya yang setengah berjongkok itu dalam posisi pengumpulan tenaga dari pusat bawah perut yang meluncur ke luar melalui kedua lengan yang dilonjorkan. Dengan pukulan simpanan Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) ini, ketua Beng-kauw ini mampu merobohkan sebatang pohon dalam jarak lima meter hanya dengan hawa pukulannya.
Inilah sebuah di antara jurus-jurus rahasia yang tak pernah ia keluarkan, yang kesemuanya ia himpun dan catat dalam kumpulan tiga kitab rahasia Sam-po-cin-keng (Tiga Kitab Pusaka) dan yang kesemuanya kini lenyap dicuri puterinya sendiri! Pukulan Beng-kong-tong-tee ini adalah ciptaannya sendiri dan merupakan pukulan yang ia banggakan, oleh karena itu ia beri nama sebagai lambang dari pada Agama Beng-kauw (Agama Terang) yang ia pimpin.
Jurus ini demikian hebat dan gemilang seolah-olah agama Beng-kauw yang merupakan sinar terang menggetarkan bumi. Karena ingin sekali memperoleh kemenangan atas lawannya yang amat tangguh ini, Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan pukulan itu. Akan tetapi oleh karena ia diam-diam memang menaruh sayang kepada Kim-mo Taisu dan tidak ingin mencelakainya, maka ia hanya mempergunakan tiga perempat bagian saja dari tenaga sinkang-nya.
Menyaksikan gerak pukulan lawan, terkejutlah Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, sekali pandang saja dapatlah ia mengenal pukulan ampuh. Maka ia pun cepat-cepat memasang kuda-kuda. Dengan kaki terpentang kokoh dan kuat, kedua lengannya pun ia hantamkan ke depan dengan tangan terbuka. Tak berani ia mempergunakan tangan kapas lagi, karena maklum bahwa kedua tangan lawannya amatlah kuat dan berbahaya, maka ia juga mengerahkan sinkang-nya untuk melawan keras sama keras.
"Wuuuttt! Dess...!!"
Jarak antara mereka dekat, maka dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara, hebatnya bukan main pertemuan dua tenaga sinkang kedua orang sakti ini. Akibatnya pun hebat karena keduanya terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung seperti layang-layang putus talinya sampai mereka terpisah sepuluh meter jauhnya.
Kim-mo Taisu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan ia cepat bersila dan mengatur pernapasannya. Pat-jiu Sin-ong juga jatuh terduduk, dari mulutnya tersembur ke luar sedikit darah segar. Untung bagi ketua Beng-kauw ini bahwa Kim-mo Taisu juga mempergunakan tiga perempat tenaganya saja untuk menghadapi pukulannya tadi, dan karena tenaga mereka memang seimbang, maka keduanya tidak sampai menderita luka dalam. Hanya Pat-jiu Sin-ong lebih rugi karena dia yang menyerang, maka benturan tenaga seimbang itu membuat tenaga serangannya membalik sendiri dan membuat ia menderita lebih banyak dari pada lawannya. Dalam penggunaan tenaga dalam, tenaga dan napas, tidak sampai lima menit keduanya sudah melompat bangun.
"Ha-ha-ha, kau hebat, Kim-mo Taisu. Akan tetapi aku masih belum kalah. Hayo kita lanjutkan!" kata-kata ini diucapkan dengan wajah berseri, tanda bahwa kakek itu girang dan puas sekali dapat bertanding dengan seseorang lawan yang dapat menandinginya.
Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak punya nafsu lagi bermain-main dengan kakek itu. "Cukuplah, Kauwcu. Aku harus menyimpan tenaga karena akan menghadapi lawan yang lebih tangguh dari padamu di puncak ini besok. Lain kali saja kita lanjutkan."
Biar pun sudah tua, watak Pat-jiu Sin-ong yang tak mau kalah itu masih tetap ada. Mendengar ada lawan yang lebih tangguh dari padanya, ia menjadi penasaran sekali. "Hemm, siapakah dia yang kau katakan lebih tangguh dari pada aku?"
Kim-mo Taisu tersenyum. Memang ia cukup mengenal watak kakek ini maka tadi ia sengaja bilang demikian agar si Kakek mau berhenti. "Dia seorang tokoh baru, masih muda, agaknya kau belum mengenalnya, julukannya Raja Pengemis yang menguasai seluruh kai-pang di empat penjuru."
"Hemm, hemm ada Kai-ong baru, ya? Ingin sekali aku melihat macamnya bagaimana. Kau hendak bertanding dengannya? Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, kalau kau kalah olehnya kemudian aku mengalahkannya, bukankah itu sama saja dengan pertandingan kita dilanjutkan? Ha-ha, kita lihat saja nanti!" Sambil tertawa-tawa Pat-jiu Sin-ong lalu berjalan menghampiri keledainya, sekali kaki kanannya diayun ke atas ia sudah duduk di punggung keledai kecil itu dan berlarilah si keledai ketika mendengar kelenengan yang dibunyikan oleh penunggangnya.
Setelah bunyi itu kelenengan itu lenyap dan bayangan Pat-jiu Sin-ong tak tampak lagi, barulah Kim-mo Taisu sadar dari lamunannya. Perjumpaannya dengan kakek itu sekaligus membangkitkan ingatannya kepada Lu Sian. Jadi Lu Sian telah menikah dengan Kam Si Ek, jenderal muda yang amat terkenal itu? Jodoh yang tepat! Akan tetapi mengapa Lu Sian kemudian meninggalkan suaminya? Semua itu bukan urusannya, namun sukar baginya untuk tidak memikirkannya. Ia mengeluh dan membalikkan tubuh. Tampaklah buntalan pundi-pundi uang, akan tetapi ia tidak melihat Bu Song. Baru sekarang ia teringat kepada Bu Song.
"Bu Song!" ia memanggil. Tiada jawaban. Ia menyambar buntalan dan melihat bahwa di dalamnya ada beberapa buah apel. Ia makin heran. Anak itu telah berhasil mencarikan buah untuknya, menaruh dalam bungkusan, mengapa lalu pergi? Dan ke mana perginya?
"Bu Song....!" Ia berseru lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Tidak enaklah hatinya dan mulai ia mencari-cari sambil berseru memanggil-manggil nama muridnya.
Ke manakah perginya Bu Song? Anak ini meninggalkan tempat itu sambil berlari-lari cepat setelah mendengar bahwa orang tua yang bercakap-cakap dengan gurunya itu adalah kakeknya. Ia berlari-lari terus tanpa tujuan tertentu, naik turun pegunungan. Kakinya sudah lelah bukan main namun ia tidak mau berhenti. Akhirnya dari puncak sebuah bukit kecil ia melihat atap rumah di lereng bawah. Ia berlari lagi menuruni puncak dan akhirnya karena tak dapat menahan lelahnya, ia roboh terguling di luar pagar rumah yang berdiri tanpa tetangga di lereng itu. Sebuah rumah yang sederhana, dari papan, namun bersih dan cukup luas.
Bu Song merangkak bangun, memandang ke arah rumah itu. Dari bagian belakang rumah tampak asap mengepul dan terciumlah bau masakan yang gurih dan sedap. Seketika perut Bu Song meronta-ronta dan anak ini menelan ludah beberapa kali. Untuk dapat ikut makan masakan di rumah ini, ia harus membantu pemilik rumah bekerja, seperti yang sudah-sudah. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki pekarangan rumah.
"Haiii! Bocah, siapa kau dan mau apa?" tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu di belakangnya berdiri seorang kakek yang dahinya lebar sekali, mukanya berkeriput dan memegang sebatang tongkat.
Bu Song tersentak kaget. Tadi di pekarangan itu sama sekali tidak tampak ada orang, bagaimana kakek ini tiba-tiba muncul seperti keluar dari dalam bumi? "Maafkan aku, Kek. Aku ingin membantu pemilik rumah ini dengan pekerjaan apa saja, sekedar mendapat upah makan," katanya sambil menjura dengan hormat.
Kakek itu memandang kepadanya. Matanya menakutkan, mata yang bundar dan lebar setengah melotot, mulutnya yang ompong itu berkemak-kemik. "Kau akan mengemis makanan?"
Kini Bu Song yang mengedikkan mukanya dan pandang mata anak ini tajam melotot pula. "Aku bukan pengemis! Aku mau bekerja, dan kalau tidak diberi pekerjaan, aku pun tidak sudi minta makanan! Kalau di sini tidak ada pekerjaan, sudahlah!"
Dengan membusungkan dada Bu Song sudah memutar tubuh hendak keluar dari pekarangan itu. Akan tetapi tiba-tiba kakinya seperti tertarik sesuatu sehingga ia terguling jatuh. Ketika Bu Song merayap bangun, kakek itu sudah berada di dekatnya dan tersenyum mengejek.
"Bocah, tinggi hati sekali kau! Kalau cara orang minta pekerjaan semacam caramu ini, selamanya kau takkan bisa mendapat pekerjaan. Kau bisa apa? Hemm, tubuhmu kuat, apa kau bisa mengambil air dari sumber di puncak itu dipikul ke sini? Kalau kau sanggup, akan kami beri makan sekarang juga."
Girang sekali hati Bu Song. Ia tadi secara aneh terguling roboh, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek inilah yang merobohkannya.
"Tentu saja aku sanggup, Kek. Akan kupenuhi semua tempat air di sini."
"Tak perlu omong besar lebih dulu, sebaiknya isi perutmu sampai kenyang agar kau kuat mengambil air. Mari ikut ke dapur!"
Di bagian dapur rumah itu Bu Song bertemu dua orang lain. Seorang adalah wanita setengah tua, yang ke dua seorang kakek pula yang tubuhnya tinggi besar dan tubuh bagian atas selalu tak tertutup pakaian. Ada pun yang wanita selalu cemberut, tak banyak cakap akan tetapi sikapnya galak sekali, berbeda dengan kakek tinggi besar yang selalu tersenyum dan sering tertawa berkelakar.
"Heh, A-kwi, jenggot kambing! Kau datang membawa anak kelaparan lagi?" tegur si Tanpa Baju kepada kakek pertama.
"Aiiih, jangan kau main-main dengan bocah ini, A-liong. Dia sama sekali bukan pengemis, melainkan ingin bekerja membantu kita. Aku tadi mengira dia pengemis, dia marah-marah dan hendak pergi. Ia tidak sudi diberi makanan kalau tidak diberi pekerjaan. Pernahkah kau mendengar hal seaneh ini?"
Kakek yang bernama A-liong itu memandang tajam, juga si Nenek berpaling memandang. "Sam-hwa, kau isilah padat-padat perut anak ini lebih dulu, baru suruh dia mencari air ke puncak. Ia berkata sanggup memenuhi semua tempat air di sini. Lucu, kan?"
Nenek yang disebut Sam-hwa itu mengerutkan kening dan diam-diam Bu Song sudah merasa kecewa mengapa ia tadi minta pekerjaan di tempat ini. Agaknya orang serumah ini tidak ada yang waras!
"Kau makanlah dan ambil sendiri di atas meja itu," kata Si Nenek tak acuh.
Karena yakin bahwa yang akan dimakannya itu adalah hasil keringatnya nanti, tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi Bu Song menghampiri meja. Melihat nasi dan masakan-masakan masih mengebulkan asap, perutnya makin memberontak lagi. Ia segera mengambil mangkok kosong dan mengisinya dengan nasi dan masakan, lalu mulai makan dengan lahapnya. Lezat benar masakan itu, sungguh pun bahannya sangat sederhana. Bu Song adalah seorang anak yang sehat dan telah lama ia tidak bertemu nasi, setiap hari hanya makan buah-buahan saja, maka kini ia kuat sekali makan. Setelah ia menaruh mangkok kosong dan berhenti makan, persediaan nasi di tempat nasi tinggal tersisa setengahnya lagi!
"Ha-ha-ha-ha! Malam ini kita berpuasa, A-kwi!" kata A-liong sambil tertawa berkakakan, perutnya yang tak tertutup baju itu berguncang-guncang.
"Bocah ini kuat sekali makan, mudah-mudahan bekerjanya sekuat itu pula," kata A-kwi sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Sam-hwa muncul dari pintu. Setelah melirik ke arah tempat nasi, ia pun mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan dua orang kakek itu. "Apakah kau tidak sembrono, A-kwi? Biar dia kuberi buah. Anak, mari terima!"
Ia melemparkan sebutir buah merah ke arah Bu Song. Anak ini cepat menyambutnya, akan tetapi ia berteriak kaget karena buah yang hanya sebesar kepalan tangannya itu terasa amat berat ketika ia sambut sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi ia roboh terjengkang. Akan tetapi begitu korban roboh, buah itu ternyata biasa saja, sama sekali tidak berat. Ia tak pernah belajar ilmu silat, tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat buah tadi menjadi berat adalah tenaga lontaran si Nenek yang hendak mengujinya.
Melihat Bu Song roboh terjengkang, nenek itu dan kedua kakek menarik napas lega. A-kwi lalu menarik tangan Bu Song ke luar dapur. "Hayo, mulai bekerja. Itu tahang air dan pikulannya bawa ke luar."
Bu Song dapat merasa betapa tangan kakek yang menariknya itu kuat bukan main. Akan tetapi karena ia sudah menerima upahnya, ia tidak mau membantah lagi dan segera mengambil pikulan bersama tahang air dari kayu yang terletak di sudut rumah.
"Kek, mengapa pikulannya begini kecil? Jangan-jangan tidak kuat menahan dua tahang air," celanya sambil mengamat-amati kayu pikulan yang kecil berwarna putih.
"Oho, jangan pandang rendah kayu ini. Sepuluh tahang air ia masih sanggup angkat tanpa patah! Mari kutunjukkan kepadamu letak sumber air di puncak." Kakek itu mendahului berjalan ke luar diikuti Bu Song.
Mendadak berkelebat bayangan dari luar pekarangan. Alangkah kaget hati Bu Song ketika tiba-tiba ia melihat seorang kakek tua renta yang rambutnya riap-riapan seperti suhunya, seorang kakek yang kedua kakinya rusak, ditekuk bersila sedangkan dua batang tongkat yang menunjang ketiaknya menggantikan pekerjaan sepasang kaki.
"Siapa dia?" suara kakek lumpuh ini parau menyakitkan telinga.
A-kwi sudah memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali sampai punggungnya hampir patah dua, "Ong-ya, dia anak yang bekerja mengambil air."
Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya menyapu tubuh Bu Song dari atas ke bawah. "Siapa namamu?"
"Nama saya Bu Song, Kek."
"Hushh, jangan kurang ajar!" A-kwi menjewer telinga Bu Song. "Kau harus sebut Ong-ya!"
Bu Song mengerutkan keningnya. Daun telinganya terasa panas dan nyeri. Ia mengangkat muka memperhatikan kakek lumpuh. Kakek yang tua sekali, pakaiannya dan rambutnya kusut tidak karuan, masa disebut ong-ya? Sebutan seolah-olah kakek ini seorang raja muda. Bu Song yang banyak membaca tahu akan peraturan, maka ia menduga-duga. Tak mungkin orang macam ini menjadi raja muda. Ah, tentu seorang kepala rampok, pikirnya. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa kepala perampok juga disebut Twa-ong! Akan tetapi, menjadi kepala rampok juga tidak pantas. Masa kakek lumpuh menjadi kepala rampok? Karena kakek lumpuh ini tak mungkin menjadi raja muda mau pun kepala rampok, maka Bu Song ragu-ragu dan tidak mau menyebut Ong-ya!
"Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Di mana Nyonya Muda?"
"Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci."
"Hemmm, kau keluar cari mereka. Lekas suruh pulang, ada urusan penting."
"Baiklah, Ong-ya."
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap ke dalam rumah. Bu Song melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau begitu tentulah kepala rampok, biar pun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali ilmunya. Ia merasa menyesal sekali. Bekerja di keluarga perampok! Celaka. Kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi. Akan tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.
"Nah, di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat pohon besar itu? Di bawah pohon itulah letaknya. Lekas kau pergi ke sana mengisi kedua tahang ini, bawa ke sini dan terus saja ke dapur. A-liong dan Sam-hwa akan memberi tahu ke mana kau harus menuangkan air. Kerja yang baik, aku mau pergi!" Setelah berkata demikian, kakek yang bernama A-kwi itu meloncat dan sebentar kemudian nampak bayangannya sudah jauh sekali seakan-akan ia lari setengah terbang.
Bu Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya. Orang-orang ini berkepandaian tinggi dan tanpa ia sengaja, ia agaknya telah terjatuh ke dalam tangan segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka. Ia akan melakukan pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air, dan kemudian segera meninggalkan tempat ini.
Dengan penuh semangat Bu Song lalu mendaki bukit menuju ke sumber air. Perjalanannya sukar, namun ia telah terlatih menghadapi kesukaran. Air jernih mengucur ke luar dari sebuah goa kecil, membentuk kolam air yang tak pernah kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang air itu dan ketika ia memikulnya, benar saja, kayu pikulan itu dapat menahan dua tahang air, bahkan kayu ini mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul. Hati-hati ia lalu meninggalkan tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah di bawah yang tampak dari tempat itu.
Dahinya penuh peluh ketika ia tiba di dapur rumah. A-liong menyambutnya sambil tertawa-tawa. "Latihan ini menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi ditambah setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan air ke dalam kolam itu."
Kaget sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat besar, terbuat dari pada batu. Untuk memenuhi kolam ini, sedikitnya ia harus mengambil air sepuluh kali! Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh buat, nasi sudah memasuki perut, ia harus memenuhi janjinya. Hatinya mendongkol bukan main atas kekejaman orang-orang tua ini menipu dia, akan tetapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Setelah air di kedua tahang berpindah tempat, ia lalu mendaki lagi.
Menjelang senja, sudah sembilan kali ia mengambil air. Pundaknya serasa hendak copot, kedua kakinya seperti hendak lumpuh, tubuhnya sakit dan kelelahan yang dideritanya hebat sekali. Akan tetapi sekali angkut lagi kolam itu akan penuh. Ia sudah bekerja setengah hari untuk menebus hutang perutnya tadi!
"Ha-ha-ha, anak baik. Kejujuran dan kekerasan hatimu menciptakan keuletan yang luar biasa. Kau hampir lulus, tinggal satu kali lagi. Sebentar akan kuceritakan kepada Nyonya Muda, tentu ia tertarik dan menaruh kasihan kepadamu."
Dengan wajah muram Bu Song hanya menjawab pendek, "Aku tidak membutuhkan kasihan orang!"
Lalu ia membawa pikulan kosong mendaki bukit lagi, memaksa tubuhnya untuk berjalan gagah, akan tetapi karena memang sudah amat lelah, mana bisa ia berjalan dengan langkah tegap? Ia terhuyung-huyung dan kedua kakinya tersaruk-saruk. Hebatnya, A-liong malah menertawainya, membuat ia makin jengkel dan desakan hatinya untuk beristirahat ia tekan kuat-kuat.
Untuk ke sepuluh dan penghabisan kalinya ia tiba di bawah pohon besar, mengisi kedua tahang itu penuh air. Biar pun masih kecil, Bu Song maklum bahwa sekali ia beristirahat menurutkan dorongan hatinya, ia takkan mampu menyelesaikan pekerjaannya. Maka ia memaksa diri dan memikul lagi pikulannya yang kini ia rasakan bukan main beratnya, seakan-akan bukan dua tahang air yang dipikulnya, melainkan dua puluh!
Baru ia menuruni tebing pertama, tiba-tiba ia mendengar suara orang. Wajahnya berubah dan ia cepat-cepat menghampiri tempat itu dengan hati-hati sekali, sejenak lupa akan kelelahan kedua kakinya. Itulah suara gurunya! Suara gurunya tertawa-tawa bergelak!
Karena takut kalau-kalau Pat-jiu Sin-ong masih bersama gurunya. Bu Song tidak berani muncul begitu saja. Ia mengintai dari balik batu karang besar dan melihat betapa gurunya berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa di depan tiga orang laki-laki. Seorang di antara mereka bermuka bopeng penuh totol-totol hitam orang yang berdiri di tengah memakai pakaian tambal-tambalan, dan orang ketiga bermuka sempit seperti tikus.
"Ha-ha-ha-ha! Kai-ong, aku sudah menduga bahwa kau tentu akan menyambutku dengan meriah, memanggil semua sekutumu. Tak bisa mengharapkan sifat jantan dari seorang pengemis. Akan tetapi aku tidak takut, Kai-ong. Kerahkan semua sekutumu untuk menjadi saksi, siapa di antara kita yang lebih kuat. Apakah kau sudah siap?" demikian kata Kim-mo Taisu.
Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, kau sombong benar. Memang sahabat-sahabat baikku ikut datang karena mereka ini pun tertarik sekali mendengar bahwa kau datang. Telah lama mereka mendengar namamu dan ingin sekali menyaksikan apakan nama besarmu itu tidak sia-sia belaka. Sahabatku ini adalah Hwa-bin-liong (Naga Muka Kembang) dari pantai timur, raja sekalian penjaga gunung (perampok)." Ia menunjuk seorang sebelah kanannya yang bermuka bopeng. "Sahabat yang seorang ini adalah Sin-ciang-hai-ma (Kuda Laut Bertangan Sakti), juga tokoh pantai timur, raja dari pada bajak. Masih ada beberapa orang sahabat baikku yang akan datang menjumpaimu. Apakah kau takut?"
Bu Song mendengarkan semua itu dengan hati berdebar. Wah, gurunya telah bertemu orang-orang jahat, pikirnya. Pada saat itu, tiba-tiba telinga kanannya dijewer orang, Bu Song kaget dan melirik. Kiranya kakek A-kwi yang menjiwirnya.
"Hayo pikul tahang air itu dan bereskan pekerjaanmu, pemalas!" bisik si Kakek tanpa melepaskan telinga Bu Song.
Bu Song kaget dan ia cepat bangkit lalu memikul pikulannya. Ia tidak takut, melainkan taat karena tahu akan kewajiban. Tinggal sekali lagi mengantar air, kemudian ia akan lari kembali ke sini menonton gurunya. Kakek A-kwi melirik ke arah mereka yang sedang bantah-bantahan, nampaknya gelisah dan menarik telinga Bu Song agar anak itu berjalan lebih cepat.
Setelah agak jauh dari situ, kakek itu mengomel, "Anak tolol, apakah kau mencari mampus? Banyak tontonan di dunia ini, akan tetapi yang ditonton adalah harimau yang hendak bertempur melawan srigala-srigala! Gila betul. Hayo cepat dan jangan sekali-sekali kau beristirahat sebelum kau sampai di rumah. Aku jalan lebih dulu!" Sekali berkelebat kakek itu sudah meloncat jauh ke depan.
Bu Song sambil mengeluh di dalam hatinya memaksa diri untuk berjalan pula menuruni bukit. Istirahat yang sebentar tadi benar-benar membuat kedua kakinya hampir tak dapat dipakai berjalan. Akan tetapi ia menggigit bibir, memaksa diri untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar ia dapat kembali ke tempat itu untuk menjumpai gurunya.
Sementara itu, Kim-mo Taisu masih tertawa bergelak mendengar ucapan Pouw-kai-ong. "Ha-ha-ha, segala rampok dan bajak. Pantas menjadi sahabat pengemis. Akan tetapi aku tidak punya urusan dengan segala macam rampok dan bajak. Aku sengaja datang untuk mengulangi tantanganku kepadamu, Kai-ong. Mari kita mulai!"
Ucapan itu merupakan penghinaan hebat bagi tokoh bajak dan tokoh rampok itu. Si Muka Bopeng Hwa-bin-liong sudah melangkah maju, diikuti oleh si Kuda Laut. Mereka ini belum tua, paling banyak berusia empat puluh tahun. Begitu tiba di depan Kim-mo Taosu, Hwa-bin-liong melolos sebatang golok besar yang terselip di punggungnya, ada pun si Kuda Laut mengeluarkan sebatang cambuk yang terbuat dari pada ekor ikan pee. Keduanya berdiri dengan sikap menantang.
"San-ong (Raja Gunung), biarkan aku menghadapi jembel kelaparan yang sombong ini!" kata si Tokoh Bajak yang menyebut temannya raja gunung.
Segera cambuk ikan pee di tangannya digerak-gerakkan di atas kepala sehingga terdengar suara bersiutan mengerikan. Ekor ikan pee itu penuh duri-duri yang runcing, kalau sekali mengenai kulit tubuh manusia benar-benar akan mengakibatkan luka yang hebat.
"Bersabarlah, Hai-ong (Raja Laut). Biarkan aku menghadapinya lebih dulu. He, Kim-mo Taisu. Aku sudah lama mendengar namamu yang baru muncul, dan dengan maksud baik aku ingin sekali berkenalan dan menyaksikan kelihaianmu. Siapa kira, kau begini sombong dan tidak memandang orang lain. Keluarkan senjatamu, biar aku Hwa-bin-liong mencoba sampai di mana kehebatanmu maka kau bersikap sesombong ini!"
"Ha-ha-ha-ha, raja pengemis dibantu oleh raja laut dan raja gunung, benar-benar hebat! Segala macam raja sudah berkumpul di sini, biarlah kuantar kalian menghadap raja akhirat!"
Tentu saja kedua orang raja penjahat itu menjadi marah sekali. Hwa-bin-liong si Muka Bopeng yang sudah bertahun-tahun merajalela di hutan-hutan dan gunung-gunung, menjadi raja dari sekalian begal dan rampok, baru kali ini merasa dipandang rendah orang. Ia membentak marah. Tanpa menanti lawan mengeluarkan senjata, ia sudah menyambar ke depan dan golok besarnya diayun mengarah ke leher Kim-mo Taisu.
"Wuttt... syuuuutttt! Tringgg...!!"
Kim-mo Taisu yang melihat datangnya golok berkelebat tidak mengelak, malah menggerakkan tangannya, dan dengan jari tengah tangan kanan ia menyentil golok lawan yang sedang terbang mengarah lehernya itu. Hebatlah tenaga sentilan dari Kim-mo Taisu ini, karena hampir saja golok itu terlepas dari pegangan si Muka Bopeng, bahkan raja gunung itu terhuyung-huyung hampir roboh!
Marahlah si Raja Laut melihat kawannya mendapat malu. Senjatanya yang terbuat dari ekor ikan pee yang menyeramkan itu melecut di udara, mengeluarkan bunyi berdesing dan berkelebatan diputar-putar di atas kepalanya, lalu menyambar bertubi-tubi ke arah Kim-mo Taisu. Pendekar sakti ini tidak berani bertindak sembrono. Ia belum tahu bagaimana sifat senjata lawan yang aneh ini, maka beberapa kali mengelak. Gerakannya perlahan dan lambat saja, akan tetapi tak pernah senjata ekor ikan pee itu dapat menyentuh kulitnya.
Setelah mempergunakan hidungnya mencium-cium di kala senjata itu lewat, Kim-mo Taisu yakin bahwa senjata ini hanya mengerikan tampaknya, akan tetapi tidak mengandung racun berbahaya. Maka sambil mengelak dari pada tusukan golok si Raja Gunung yang sudah mengeroyoknya, Kim-mo Taisu menyambar ekor ikan pee itu dan menjepit ujungnya dengan dua jari tangan kiri! Ia menggunakan tenaga membetot sehingga ekor ikan pee itu menegang, kemudian pada saat si Raja Gunung Hwa-bin-liong dengan girang menyerangnya dari belakang, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga betotan dan... melayanglah cambuk ekor ikan pee itu ke arah penyerang di belakangnya, diikuti suara Hwa-bin-liong berteriak kesakitan.
Kim-mo Taisu cepat membalik. Sekali merenggut ia berhasil menyambar golok lawan yang terluka itu dan di lain saat golok itu sudah terbang dan menancap pada paha Raja Laut yang masih terlongong karena senjatanya tadi kena dirampas lawan. Ia terguling dalam saat hampir berbareng dengan Raja Gunung, masing-masing terluka oleh senjata kawan sendiri. Luka yang tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun cukup hebat untuk membuat mereka tak mampu bertempur lagi dan harus beristirahat untuk beberapa pekan!
Kim-mo Taisu tidak mempedulikan lagi mereka berdua yang kini merangkak-rangkak menjauhkan diri dari situ. Ia justru menghampiri Pouw-kai-ong, memandang tajam dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai urusan dengan segala rampok dan bajak. Mengapa kau mendatangkan penjahat-penjahat macam begitu untuk menggangu pertemuan kita? Segala macam penjahat kecil yang tidak ada artinya, memuakkan saja!"
Pouw Kee Lui tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, jangan buru-buru merasa takabur dan bangga. Masih ada beberapa orang sahabat yang ingin sekali bertemu denganmu." Setelah berkata demikian, Pouw Kee Lui lalu membalikkan tubuh, menjura dan memberi hormat sambil berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe, harap sudi memperlihatkan diri!"
Dari balik pohon dan batu besar bermunculan beberapa orang dan dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati Kim-mo Taisu melihat mereka. Di antaranya banyak yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang pernah menjadi lawannya, yaitu Ban-pi Lo-cia pendeta gundul raksasa, musuh lamanya yang memang ia cari untuk membalaskan kematian bekas kekasihnya, Ang-siauw-hwa si Ratu Pelacur!
Orang ke dua yang dikenalnya bukan lain adalah Ma Thai Kun, sute (adik seperguruan) Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang pernah bermusuhan dengannya akibat cemburu dan iri hati karena paman guru ini mencintai murid keponakannya sendiri, yaitu Liu Lu Sian. Ia maklum bahwa Ma Thai Kun membencinya seperti ia membenci Ban-pi Lo-cia dengan dasar yang sama, ialah merenggut wanita terkasih.
Selain dua orang yang merupakan tandingan berat ini, muncul pula tokoh-tokoh dunia pengemis yaitu Kim-tung Sin-yang dan Koai-tung Tiang-lo dari Sin-yang. Di dekat Ban-pi Lo-cia berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, sikapnya tenang, serius, dan gagah. Dia ini adalah Lauw Kiat, murid terkasih Ban-pi Lo-cia. Lauw Kiat ini seorang petualang dari selatan yang merantau ke utara, bertemu dan dikalahkan Ban-pi Lo-cia lalu menjadi muridnya. Ilmu kepandaiannya cukup hebat, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkat suheng-nya, yaitu Bayisan.
"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Kurasa kau sudah mengenal mereka ini, bukan? Ataukah perlu aku memperkenalkan mereka kepadamu?"
Kim-mo Taisu tidak menjawab, akan tetapi Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Tak usah diperkenalkan, aku dan dia adalah kenalan lama. Kau adalah pemuda sastrawan yang tampan bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng dan yang sekarang sudah bangkrut menjadi pengemis jembel gila lalu berjuluk Kim-mo Taisu. Ha-ha-ha. Kenalan lama!"
"Orang she Kwee ini dengan aku pun mempunyai perhitungan lama yang belum dibereskan, Pouw-pangcu," kata Ma Thai Kun yang tidak suka banyak bicara.
Orang ini lalu maju dan langsung menerjang Kim-mo Taisu dengan pukulan yang mengeluarkan sinar merah. Melihat tangan yang kemerahan itu, maklumlah Kim-mo Taisu bahwa Ma Thai Kun telah dapat menyempurnakan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang memang telah dimilikinya sejak dahulu. Namun, ketika ia mengelak, kagetlah ia karena dari kepalan tangan merah itu tampak uap mengepul putih yang seakan-akan menyambar mukanya dengan hawa pukulan yang amat hebat. Biar pun pukulan itu tidak mengenai sasaran, namun hawa pukulannya yang berupa uap putih itu masih merupakan ancaman hebat.
Dengan kaget Kim-mo Taisu mencelat mundur dan mengatur sikap karena lawannya ini ternyata telah maju amat pesat kepandaiannya. Memang sesungguhnya tepat dugaan Kim-mo Taisu itu. Kini Ma Thai Kun yang meninggalkan Beng-kauw, bertahun-tahun bertapa sambil menggembleng diri sehingga ia berhasil menyempurnakan Ang-tok-ciang sedemikian rupa dan merobahnya menjadi ilmu pukulan yang ia namakan Cui-beng-ciang, (Tangan Pengejar Nyawa)! Kembali Ma Thai Kun menerjang maju, dari kedua tangannya keluar hawa pukulan berputar-putar yang amat panas. Terpaksa kali ini Kwee Seng menggunakan Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) untuk menangkis karena selain tak mungkin menghadapi desakan lawan tangguh hanya dengan berkelit, juga ia ingin menguji kekuatan lawan.
Ketika kedua lengan bertemu, Ma Thai Kun kaget sekali. Ia merasa betapa tanaganya seperti tenggelam dan tangan lawan sedemikian lunaknya sehingga ilmunya Cui-beng-ciang tidak berpengaruh sedikit pun, sebaliknya ada hawa dingin yang menjalar dari tangannya sampai ke pangkal lengan. Oleh karena ini cepat ia menarik tangannya, menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan. Hanya dengan cara ini ia dapat terbebas dari pengaruh Bian-sin-kun. Sambil melompat berdiri, diam-diam Ma Thai Kun juga maklum bahwa ilmu kepandaian Kwee Seng ternyata telah meningkat hebat. Maka ia bersikap hati-hati dan menyerang lagi dengan Cui-beng-ciang, ditujukan ke arah anggota tubuh yang berbahaya, tidak mau lagi bertanding mengadu tenaga seperti tadi.
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Kiranya kau telah memperoleh sedikit kemajuan, pantas saja kau berani berlagak. Kau makanlah cambukku!" ucapan ini disusul suara ledakan cambuk di udara.
Tampaklah gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil melayang dari tangan Ban-pi Lo-cia. Itulah cambuknya yang hebat, yang terkenal sebagai senjata tunggalnya yang ampuh dan disebut Lui-kong-pian (Cambuk Petir), terbuat dari pada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat ditemukan di laut utara, di antara gunung-gunung es!
"Bagus! Kalian pengecut-pengecut besar boleh mengeroyokku!" Kim-mo Taisu tertawa mengejek.
Segera ia berkelebat, cepat menyelinap di antara garis-garis lingkaran yang dibentuk sinar cambuk, kemudian membalas lawan lama ini dengan sebuah tendangan kilat. Ketika Ban-pi Lo-cia menangkis tendangan ini dengan tangan kirinya, Kim-mo Taisu mempergunakan tenaga tangkisan lawan untuk mencelat ke arah Ma Thai Kun dan sudah mendahului orang she Ma ini dengan sebuah gerakan dari ilmu silat Lo-hai-kun (Pengacau Lautan).
Demikian cepat dan tak terduga gerakannya ini sehingga biar pun Ma Thai Kun sudah cepat menangkis, namun pundaknya masih kena tampar, kelihatannya tidak keras namun cukup membuat Ma Thai Kun terlempar dan bergulingan sampai lima meter jauhnya! Namun Ma Thai Kun memiliki kekebalan, dan tenaga dalamnya sudah cukup kuat, maka ia dapat melompat bangun kembali sambil menerjang maju dengan kemarahan meluap-luap.
Pada saat itu, murid Ban-pi Lo-cia yang bernama Lauw Kiat sudah maju pula. Dia ini bersenjatakan sebuah tongkat dan gerakannya ternyata cukup hebat. Pemuda ini menerjang tanpa banyak suara, akan tetapi serangannya selain kuat juga sungguh-sungguh sehingga sekali gebrakan saja ia sudah mengirim serangan sampai tiga jurus.
Kim-mo Taisu menggunakan ginkang-nya menghindarkan diri dan ia belum sempat membalas pemuda she Lauw itu karena kini kedua orang ketua kai-pang sudah menerjangnya juga sehingga dalam sekejap mata ia sudah dikurung oleh lima orang lawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali tentu saja Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun. Kim-mo Taisu maklum bahwa lawannya adalah orang-orang pandai dan keadaannya berbahaya, namun seujung rambut pun ia tidak terjadi gentar. Sambil mengerahkan ginkang-nya yang kini menanjak tinggi tingkatnya sejak ia berlatih di dalam Neraka Bumi, ia malah mengejek kepada Pouw Kee Lui yang masih berdiri menonton. Hatinya panas bukan main. Diam-diam ia kagum akan kecerdikan raja pengemis yang masih muda itu, yang dapat mengerahkan dan mempergunakan orang-orang pandai sedangkan dia sendiri enak-enak menonton.
"Aha, tikus busuk she Pouw yang mengaku raja pengemis, kiranya kau hanyalah raja pengecut yang mengandalkan kawan banyak....!"
Ia terpaksa berhenti mengejek untuk menangkis pukulan tongkat Lauw Kiat yang tak dapat ia elakkan. Tangkisan ini disertai tenaga dalam sehingga Lauw Kiat berteriak kaget dan terlempar sampai jauh bersama tongkatnya! Kemudian Kim-mo Taisu sudah berkelebat lagi menghindar dari sambaran cambuk Ban-pi Lo-cia, sambil mengelak kakinya mencongkel ke arah Koai-tung Tiang-lo. Orang tua yang menjadi ketua perkumpulan pengemis di Sin-yang dan sudah terjatuh ke dalam tangan Pouw-kai-ong ini berteriak kaget, roboh terguling-guling dan tak dapat berdiri lagi karena sambungan lutut kanannya terlepas!
"Ha-ha, Pouw-kai-ong, kau tidak berani menghadapi aku, bukan?"
Melihat betapa dikeroyok lima lawannya itu masih dapat mengejeknya, bahkan merobohkan Koai-tung Tiang-lo, diam-diam Pouw Kee Lui terkejut sekali. Ia maklum bahwa Kim-mo Taisu memang lihai, akan tetapi tidak mengira akan dapat menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia dan yang lain-lain itu.
"Kim-mo Taisu, kematian sudah di depan mata masih berani mengoceh?!" teriak si Raja Pengemis dan cepat ia menerjang maju, menggabungkan diri dengan barisan pengeroyok sehingga kini Kim-mo Taisu dikeroyok lima.
Akan tetapi pengeroyokan yang sekarang ini jauh lebih berat dibanding dengan tadi. Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang yang memiliki kepandaian seperti raja pengemis ini. Begitu maju Kai-ong menerjangnya dengan tubuh berputar-putar sehingga tangan dan kakinya bergerak-gerak seperti angin badai dan kelihatannya seperti berubah menjadi belasan banyaknya.
Kim-mo Taisu maklum bahwa dia inilah lawan yang berat, tidak kalah berat jika dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, malah lebih lihai dari pada Ma Thai Kun! Sibuklah Kim-mo Taisu sekarang. Tadi pun ia sudah repot melayani desakan para pengeroyoknya dan hanya menghindar mengandalkan kecepatan gerakannya, akan tetapi sekarang pengeroyokan ditambah dengan Pouw-kai-ong yang ternyata memiliki gerakan yang hampir sama cepatnya dengan dia sendiri. Betapa pun Kim-mo Taisu mengerahkan kepandaian, tetap ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Namun kelima orang lawannya itu pun terheran-heran betapa orang yang mereka keroyok itu selalu dapat menghindar dari serangan yang bertubi-tubi itu.
"Ha-ha-ha, alangkah gagahnya, tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal mengeroyok seorang lawan yang bertangan kosong!" Kim-mo Taisu sempat mengejek, akan tetapi ejekan ini ia bayar dengan terpukulnya pinggang oleh tongkat di tangan Kim-tung Sin-kai.
Sebetulnya hal ini memang tak terelakkan lagi. Karena ia bicara, maka pencurahan panca inderanya terganggu. Setelah berhasil menghindarkan serangan yang lain, pada detik yang bersamaan ujung cambuk Ban-pi Lo-cia menyambar dari atas sedangkan tongkat Kim-tung Sin-kai menghantam ke arah pinggang. Tiga orang pengeroyok lain telah menutup jalan ke luarnya, maka ia harus mengadakan pilihan. Menghindarkan tongkat berarti membuka jalan untuk datangnya cambuk, menghindarkan cambuk, harus menerima hantaman tongkat. Kim-mo Taisu tentu memilih dihantam tongkat, karena ia maklum bahwa hantaman ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia merupakan bahaya maut, sedangkan Kim-tung Sin-kai, biar pun lihai dapat ia atasi tenaganya.
"Bukkk!"
Kim-mo Taisu merasa pinggangnya agak sakit, akan tetapi di lain pihak Kim-tung Sin-kai menyeringai aneh dan tubuhnya terangkat ke atas. Kim-mo Taisu menggunakan kesempatan ini meluncur lewat di bawah kedua kaki Kim-tung Sin-kai yang masih terpengaruh oleh benturan tenaga dalam sehingga empat orang pengeroyoknya tidak berani turun tangan, khawatir akan mengenai tubuh kawan sendiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-mo Taisu untuk meloncat tinggi ke atas pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah turun kembali ke atas tanah, tangan kanannya memegang sebatang cabang pohon itu!
"Ha-ha-ha, sekarang ada senjata di tanganku, majulah!" ia menantang dan kagum juga melihat bahwa Kim-tung Sin-kai sudah pulih kembali, agaknya tidak terluka.
Tadinya ia heran karena tahu betul bahwa ketika pinggangnya terpukul, ia mengerahkan sinkang yang tentu akan membuat tenaga kakek itu membalik dan melukai isi perutnya sendiri. Akan tetapi ketika melirik ke arah Pouw-kai-ong yang baru saja mengantongi bungkus merah, ia dapat menduga bahwa tentulah Si Raja Pengemis itu yang mempunyai obat penawar yang manjur sekali.
Kini tanpa menanti datangnya pengeroyokan, Kim-mo Taisu mendahului menggerakkan cabang pohon liu itu dan serta-merta ia mainkan Ilmu Pedang Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) yang ia cipta dan sempurnakan dengan dasar ilmu yang ia baca dari kitab perbintangan di dalam Neraka Bumi.
Hebat sekali gerakannya ini, karena selain ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang sakti yang diciptakan menurut pengalaman dan ilmu pengetahuan, juga memang seluruh anggota tubuh Kim-mo Taisu sudah terlatih sehingga hawa sinkang di dalam tubuhnya sudah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya lagi. Cabang kayu di tangannya itu mengeluarkan bunyi seperti angin mendesir-desir, membentuk sinar kehijauan bergulung-gulung dan tampak membayang dalam gulungan sinar itu tujuh belas batang kayu. Kelihatan jelas sekali cabang-cabang ini bergerak ke sana ke mari membagi-bagi serangan kepada lima orang lawan.
Dengan bersenjatakan cabang kayu dan mainkan Cap-jit-seng-kiam, Kim-mo Taisu masih terus bertahan, akan tetapi tidak sepayah tadi. Kini ia mampu balas menyerang. Akan tetapi karena daya serangnya hanya satu bagian saja sedangkan yang sembilan bagian dipakai untuk bertahan, maka tentu saja serangan balasannya itu tidak ada artinya bagi lawan seperti Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong dan Ma Thai Kun yang dapat mengimbangi. Hanya kedua orang lainnya Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia yang tingkat kepandaiannya lebih rendah, terpengaruh serangan balasannya.
Melihat ini Kim-mo Taisu lalu menujukan serangan balasan kepada dua orang itu. Ketika ia mendapat kesempatan, cepat sekali cabang kayu di tangannya bergerak disertai seruan keras, tubuhnya menyambar laksana seekor burung garuda. Kedua orang yang diserang itu tiba-tiba menjadi silau matanya oleh sinar yang menyambar dahsyat. Mereka mencoba untuk menangkis dengan tongkat di tangan mereka, akan tetapi tongkat mereka seakan-akan terbetot oleh tenaga raksasa, terlepas dari tangan mereka, kemudian sinar hijau berkelebat cepat dan robohlah Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat, muntah darah! Beberapa orang anggota pimpinan pengemis yang kiranya sudah berkumpul di sekitar tempat itu, cepat maju menolong dan membawa mereka mundur.
"Ha-ha-ha. Pouw-kai-ong, Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun! Apakah tidak perlu kalian tambah lagi jumlah pengeroyokan?" Kim-mo Taisu masih mengejek sambil memutar cabang kayu di tangannya.
Marahlah tiga orang itu, terutama sekali Ban-pi Lo-cia. Beberapa tahun yang lalu, ia masih dapat mengatasi kepandaian Kim-mo-eng, dan selama ini kepandaiannya sendiri tidak berkurang, sungguh pun tenaga dalam dan hawa sakti di dalam tubuhnya tentu tidak memperoleh kemajuan karena terlalu menuruti nafsu birahinya yang tak kunjung padam. Namun ia merasa lebih unggul dari pada seorang lawan semuda Kim-mo-eng yang kini menjadi Kim-mo Taisu. Ia jauh lebih tua, tentu lebih terlatih dan lebih berpengalaman.
Maka mendengar ejekan ini, matanya melotot besar kemerahan, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti beruang terluka. Tanpa berkata apa-apa Ban-pi Lo-cia memutar cambuknya dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga cambuk itu meledak-ledak dengan kerasnya, lalu membentuk sinar hitam yang melingkar-lingkar dan bagai hujan datang menyambar ke arah lawannya. Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah, cepat memutar cabang liu di tangannya, membentuk sebuah bayangan payung yang melindungi tubuhnya dari atas.
Pouw Kee Lui biar pun masih muda, namun dia belum pernah menemui lawan tangguh, maka sekali ini ia pun amat penasaran. Ilmu kepandaiannya adalah warisan orang sakti yang merupakan ilmu yang jarang ditemui orang di dunia persilatan, dan dalam hal tenaga dalam hawa sakti, dia boleh dibilang termasuk orang tingkatan tinggi. Ketika tadi Kim-mo Taisu mengambil cabang pohon itu untuk senjata, ia pun sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang tongkat pula yang ia mainkan seperti orang bermain toya. Kini melihat betapa lawan yang dikeroyok itu berhasil merobohkan dua orang kawan, ia menjadi marah dan penasaran.
Pouw Kee Lui berseru keras, menekan ujung tongkat yang ada tombol rahasianya sambil mencabut dan tahu-tahu sebatang pedang telah ia keluarkan dari dalam tongkat, pedang yang mempunyai sinar merah! Kemudian dengan gerakan yang tangkas sekali ia menyerbu, pedang di tangan kanan diputar dan tongkat di tangan kiri digerakkan secara aneh. Belum pernah dalam sejarah ilmu silat ada orang mainkan pedang di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri, karena sebetulnya kedua senjata ini mempunyai gaya permainan yang amat berbeda, bahkan berlawanan. Namun raja pengemis itu dapat memainkannya seakan-akan ia menjadi dua orang yang memegang pedang dan toya.
Hanya Ma Thai Kun seorang yang tidak bersenjata. Memang bekas tokoh Beng-kauw ini tidak suka menggunakan senjata, hanya mengandalkan keampuhan kedua tangannya yang sejak puluhan tahun telah digembleng dan ‘diisi’ hawa beracun sehingga sebenarnya kedua tangannya itu lebih ampuh dan lebih berbahaya dari pada sepasang senjata. Kalau senjata tajam hanya melukai kulit dan daging namun tangan Ma Thai Kun ini selain merusak kulit daging, juga memasukkan hawa beracun!
Ia masih tetap mempergunakan ilmu pukulan Cui-beng-ciang yang amat hebat. Terlalu benci ia kepada Kim-mo Taisu yang membuat ia kehilangan wanita yang dicinta dan kehilangan tempat di Beng-kauw, maka setiap pukulannya merupakan tangan maut yang akan mendatangkan kematian mengerikan. Namun Kim-mo Taisu agaknya tak pernah mau membiarkan dirinya terkena pukulan maut ini sehingga membuat Ma Thai Kun menjadi makin marah dan penasaran.
Setelah tiga orang itu maju dengan kemarahan meluap, diam-diam Kim-mo Taisu harus mengakui bahwa sekali ini ia benar-benar dihadapkan kepada ujian berat sekali. Kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, biar pun mereka ini merupakan lawan yang jarang dapat dicari bandingnya, namun ia masih sanggup merobohkan mereka seorang demi seorang.
Akan tetapi menghadapi mereka bertiga maju bersama seperti ini, benar-benar amatlah berat karena mereka bertiga itu memiliki kepandaian khusus yang harus dihadapi secara khusus pula. Dengan pengeroyokan ini, tak mungkin ia memecah perhatian menjadi tiga untuk menghadapi mereka secara khusus, hanya dapat mempertahankan diri dan sekali-kali membalas dengan serangan yang tak berarti.
Selanjutnya,