Suling Emas Jilid 12 - MALAM hari itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan minum semeja dengan tiga orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang, Pangeran Liang dan Panglima Muda Cu Bian.
Ketiga orang muda ini tentu saja tidak enak untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai Sian-toanio (Nyonya Besar Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian tinggi. Biar pun dengan malu-malu, mereka merasa girang juga dapat berkenalan dengan tokoh hebat ini. Dan bau semerbak harum di kala mereka makan bersama membuat hati muda mereka berdebar-debar.
Memang mereka semua maklum akan kegenitan selir ke tujuh kaisar yang sudah lama menggoda mereka, akan tetapi mereka tidak berani melayani karena mereka adalah orang-orang gagah yang tidak melakukan perbuatan hina. Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Sian-toanio benar-benar mengguncangkan hati dan pertahanan mereka.
Karena kini Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana, akhirnya kedua orang Pangeran Kang dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat menahan goda dan bujuk rayunya. Orang-orang muda yang kurang pengalaman ini tentu saja mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu di waktu malam dapat mengunjungi kamar mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal atau orang lain karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi.
Akan tetapi dasar moralnya sudah bejat dan rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil kemenangan-kemenangan ini. Sudah banyak ia berhasil menjadikan pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan menjadi kekasihnya, setiap saat ia dapat berpesta pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglima-panglima gagah, namun satu hal membuat ia kecewa dan penasaran.
Yaitu Panglima Muda Cu Bian yang sampai berbulan-bulan belum juga mau menyerah! Panglima muda ini benar-benar keras hati. Setiap kali Lu Sian datang, dia melayani wanita ini dengan sopan dan keras, tidak mau tunduk dan tak pernah menyatakan tanda-tanda runtuh di bawah sikap manis dan bujuk rayu.
Malam itu untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar Panglima Muda Cu Bian. Pemuda ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar kamarnya, di bawah penerangan lampu kehijauan. Ketika melihat bayangan berkelebat, Cu Bian cepat melompat berdiri dan bersiap karena pada masa itu memang tidak aneh kalau ada musuh datang di waktu tengah malam.
Akan tetapi ketika melihat bahwa yang datang adalah Lu Sian, ia tersenyum dan berkata. "Ah, kiranya Sian-toanio yang datang. Silakan duduk!"
Lu Sian tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata, "Cu-ciangkun benar-benar rajin sekali, asyik mempelajari kitab apakah?"
Cu Bian tersenyum dengan muka merah. "Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara tentang ilmu di depanmu. Aku terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."
"Ilmu apakah yang berada dalam kitab itu?"
"Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Pelemas Tulang)."
"Ah, Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"
Cu Bian cepat berdiri dan menjura. "Harap Toanio jangan mentertawakan aku yang masih bodoh."
Lu Sian menutupi mulutnya menyembunyikan tawa. "Para panglima di sini benar-benar pandai merendahkan diri. Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran dalam pelajaran Sia-kut-hoat?"
"Benar, Toanio."
"Hemm, apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu ini. Kalau Ciangkun suka, boleh saja aku mengajarmu sampai berhasil."
"Sungguh? Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih."
"Ciangkun suka?"
"Tentu saja saya suka, kalau tidak terlalu mengganggu Toanio."
"Ilmu Sia-kut-hoat berinti kepada penggunaan hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi untuk mengetahui sampai di mana tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi petunjuk sebentar. Mari kita main-main sebentar, Ciangkun boleh saja menggunakan golokmu yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa Sia-kut-hoat dapat melawannya."
"Mana saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan tetapi harap Toanio jangan mentertawai kebodohanku."
Lu Sian berdiri dan tersenyum manis. "Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan, Ciangkun."
Karena mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan, pemuda ini memenuhi permintaan Lu Sian. Ia lalu menyimpan bukunya dan berdiri menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena masih merasa sungkan-sungkan, ia menjura dan memberi hormat. "Harap Toanio maafkan kelancanganku."
"Tak usah Ciangkun sungkan, mulailah."
"Toanio, awas serangan!" sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan ke arah pundak.
Pukulan ini seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang pemalu merasa tidak pantas memukul dada dalam latihan, maka memukul pundak. Diam-diam Lu Sian menjadi gemas. Pemuda ini amat pemalu dan terlalu sopan, pikirnya. Ia segera mengangkat tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan dan lambat.
Sebagai seorang ahli silat yang sudah pandai, tentu saja Cu Bian melihat kelambatan ini. Betapa pun juga ia seorang panglima muda yang sudah terkenal, tentu saja dalam pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari kemenangan.
Melihat tangkisan lambat ini, kepalan tangannya dibuka dan ia menangkap lengan Lu Sian sambil menariknya. Tepat sekali tangannya berhasil mencengkeram kulit lengan yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak sekali pegangan yang erat itu terlepas seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan seakan-akan tulang lengan itu lenyap. Ia kaget sekali.
"Nah, itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi di mana saja!" tantang Lu Sian sambil tersenyum.
Cu-ciangkun masih belum mau percaya. "Maaf, Toanio!" katanya dan ia bergerak maju. Kedua tangannya cepat sekali berhasil menangkap kedua lengan Lu Sian dan kini ia mengerahkan tenaga, jari-jari tangannya mencengkeram.
Dengan mulut tetap tersenyum Lu Sian berkata, "Yang keras, Ciangkun, lebih keras lagi."
Cu Bian penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah pegangannya itu akan meyakitkan, bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda). Dengan ilmu ini ia berani mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat dibayangkan betapa kuatnya. Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih dan... tahu-tahu kedua lengannya sudah terlepas lagi dari cengkeraman Cu Bian!
"Hebat...!" Cu Bian berseru girang.
"Cu-ciangkun, kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat hanya dapat dipakai untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun menangkapku seperti orang menangkap pencuri, boleh Ciangkun menjepit tubuhku dengan kedua lengan boleh kau rangkul dan jepit."
Seketika wajah Cu Bian menjadi merah. "Ini... ini... mana saya berani...?"
"Ihh, Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang berlatih menguji ilmu? Hayo, lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat, membekuk leherku melalui bawah kedua lenganku ke atas."
Berdebar jantung Cu Bian. Di lubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu kepandaiannya, juga kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang pemuda hidung belang, dan ia selalu menjaga kesopanan dan menjaga nama. Kalau saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia akan berkeras menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.
"Aku... aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?" Ia masih membantah dan ragu-ragu.
Makin gemas hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan perasaan.
"Cu-ciangkun, bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau pelajari, mengapa begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam hatimu?"
Makin bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini bahkan menimbulkan kesan bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak! Ia segera melangkah maju dan berkata tegas, "Baiklah, Toanio!"
Lu Sian tersenyum mengejek, lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke atas, "Nah, kau bekuklah aku!"
Cu Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan tangan ke atas dan kedua tangannya bertemu di atas tengkuk Lu Sian. Jantungnya berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan matanya menggigit bibir! Kasihan sekali pemuda yang masih hijau ini.
Mana bisa ia tidak merasa ‘tersiksa’ ketika kedua lengannya merasakan kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut yang harum semerbak? Demi kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.
"Eh-eh, bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa Sia-kut-hoat sekali pun akan mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun. Atau... khawatirkah engkau kalau-kalau leherku akan patah?"
Cu Bian makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan tenaga mempererat kedua lengannya yang membekuk leher. Untuk melakukan ini, terpaksa pula ia merapatkan dadanya ke punggung Lu Sian. Jantungnya berdebar kencang sekali, darahnya berdenyut-denyut, kepalanya menjadi pening, dan napasnya terengah-engah!
Lu Sian tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia dapat merasakan betapa dada bidang dan keras yang merapat punggungnya itu berdenyut-denyut keras, betapa kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil, betapa napas di belakang tengkuknya itu panas sekali dan terengah-engah! Makin kagumlah ia.
Alangkah kuatnya pemuda ini, kuat lahir batin. Tubuhnya kuat, juga batinnya kuat sehingga biar pun nafsu muda yang sudah selayaknya itu mulai bergelora, namun ia masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.
"Yang lebih kuat lagi, Ciangkun!" Ia menggoda dan sengaja berlama-lama melepaskan diri sehingga pemuda itu merasa semakin ‘tersiksa’.
"Sudah cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat..."
"Kenapa sih Ciangkun terburu-buru?" Lu Sian menggoda terus.
"Saya... eh... saya khawatir kalau-kalau... Toanio akan terluka..."
Karena sudah yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat menahan daya tarik kewanitaannya, Lu Sian lalu berkata, "Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu, aku akan melepaskan diri!" sambil berkata demikian, ia menggerakkan tubuhnya, menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat ‘merosot’ ke luar dari pelukan ketat itu!
Cu Bian masih berdiri agak membongkok dengan kedua lengan memeluk seperti tadi, akan tetapi yang dipeluknya sudah terlepas dan ia masih terengah-engah dan meramkan matanya!
"Bagaimana, Ciangkun?" Lu Sian tertawa dan menggigit bibir menahan geli.
Cu Bian cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi hormat. "Benar-benar Toanio lihai sekali, saya merasa takluk. Dan amat beruntunglah saya akan mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari Sia-kut-hoat."
"Ciangkun, Ilmu Sia-kut-hoat mudah dipelajari, akan tetapi dasarnya harus kuat. Seperti kukatakan tadi, berdasarkan penggunaan hawa sakti dalam tubuh yang disalurkan pada sambungan tulang. Untuk mempelajari ini, kita harus berada dalam ruangan tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa dalam tubuh Ciangkun agar lebih cepat hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?"
Makin merah muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul bahwa Sian-toanio ini bersungguh-sungguh hendak melatihnya. Kalau memang caranya demikian, apa mau dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi syarat agar berhasil! "Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi syarat?"
"Cukuplah, asal di tempat tertutup," jawab Lu Sian menahan geli hatinya.
Mereka lalu meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian yang cukup luas dan bersih. Sebuah tempat tidur lebar berdiri di sudut kamar. Lu Sian tidak mau tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini terlalu sungkan, malu dan bercuriga. Maka ia pun berkata,
"Ciangkun harus duduk bersila menyatukan perhatian dan mengerahkan hawa sakti dalam tubuh. Biar saya yang membantu penyaluran hawa sakti itu. Akan tetapi agaknya Ciangkun akan merasa tidak pantas kalau kita berlatih di atas... sana itu!" Ia menuding ke arah ranjang dan Cu Bian menundukkan muka, tak berani memandang wajah Lu Sian. "Karena itu, biarlah kita duduk bersila di lantai ini saja."
Cu Bian tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat sungkan dan malu. Selama hidupnya belum pernah ia berdua dengan seorang wanita di dalam kamar, apalagi berada di atas satu ranjang, biar pun hanya bersila!
"Terserah... kepada Toanio...," jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas lantai.
Lu Sian pun duduk bersila di depannya, kemudian wanita itu menempelkan kedua telapak tangannya kepada tangan Cu Bian sambil berkata, "Atur napas kerahkan tenaga, biar nanti aku yang membantumu menyalurkan tenaga ke sambungan-sambungan tulang. Kau menurutlah saja dan lihat hasilnya."
Cu Bian mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan suara setelah kedua tangan mereka saling menempel. Betapa takkan berdebar jantungnya karena tapak tangan yang halus lunak itu menyalurkan hawa mukjijat yang seperti membanjir ke dalam tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran aneh. Dan bau yang semerbak harum itu!
Cu Bian cepat memejamkan kedua matanya, mencurahkan perhatiannya dan mengerahkan sinkang (hawa sakti) dalam tubuhnya. Terasa olehnya betapa satu kekuatan hebat yang masuk ke tubuhnya melalui telapak tangan itu menguasai hawa saktinya dan mendorongnya menembus seluruh tulang dalam tubuh. Mula-mula lengan kanannya berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri, kedua kaki, kedua pundak, leher dan punggung.
"Sia-kut-hoat dapat membuat tubuh menjadi kecil, tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga kita mudah lolos dari ikatan apa pun juga," Lu Sian berbisik. "Tanpa menggerakkan tubuh sekali pun kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman apa saja. Lihatlah buktinya!"
Tiba-tiba Cu Bian yang masih meramkan mata itu merasa betapa tulang pundaknya bergoncang. Ia tidak melawan karena tadi sudah dipesan, menurut saja. Pundaknya serasa tak bertulang lagi sehingga ia terkejut.
"Cu-ciangkun, lihat hasilnya, buka matamu...," kembali Lu Sian berbisik perlahan.
Cu Bian membuka kedua matanya dan... terbelalak ia memandang tubuh bagian atas yang tak tertutup apa-apa lagi itu. Kulit yang putih halus memerah terkena sinar lampu, dada yang montok padat dengan lekuk lengkung sempurna. Dia sendiri pun bertelanjang di tubuh bagian atas. Entah bagaimana, baju mereka berdua telah terlepas dan bergantungan di pinggang, sedangkan kedua tangan mereka masih saling menempel dan tak pernah lepas.
Pemuda yang selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, tak dapat menahan lagi. Tubuhnya menggetar, mukanya menjadi merah dan terasa panas, dadanya menggelora menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini memegang kedua tangan pemuda itu dan memijit-mijitnya mesra.
"Tak senangkah hatimu karena hasil ini?" Ia berbisik dengan senyum memikat dan mata basah penuh nafsu.
Makin berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk tanpa dapat berkata apa-apa, matanya tidak berani langsung bertemu pandang dengan Lu Sian melainkan tak pernah berkedip menatap ke arah dada! Tiba-tiba Lu Sian tertawa lirih dan menubruknya, merangkul dan menciumnya.
"Eh... eh... Toanio...." Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan tetapi kedua lengannya yang kuat itu memeluk dan mendekap tubuh yang menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau yang dipeluknya itu wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya.
Akan tetapi Lu Sian bukannya wanita biasa. Didekap sekuat itu, ia hanya tertawa dan kini ia menoleh ke arah lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika bibirnya meruncing untuk meniup ke arah lampu di sudut kamar sehingga padam.....
Karena di dalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian mengalami kehidupan yang penuh kesenangan di mana ia dapat memuaskan semua nafsunya, hidup bergelimang harta dunia dan kesenangan, maka ia merasa seakan-akan tercapai semua yang menjadi cita-citanya.
Sampai delapan tahun ia tinggal di dalam istana, dan selama itu Coa Kim Bwee berhasil menyenangkan hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis sehingga banyak pula ilmu yang ia turunkan kepada selir raja ini. Bahkan ilmu awet muda ia turunkan pula kepada Coa Kim Bwee yang tentu saja menjadi amat girang.
Biar pun maklum bahwa wanita yang di dalam istana dikenal sebagai Sian-tonio itu sesungguhnya adalah puteri Beng-kauwcu yang berjuluk Tok-siauw-kwi dan yang menghabiskan pangeran-pangeran dan panglima-panglima muda yang tampan untuk dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau menghalanginya.
Hal ini adalah karena hadirnya Lu Sian di dalam istana itu pun merupakan hal yang menguntungkan. Semenjak ada Lu Sian di dalam istana, jarang sekali terjadi penyerbuan musuh dan kalau pun ada, tentu akan disapu bersih oleh wanita sakti itu.
Karena istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para panglima yang tadinya bertugas menjaga keselamatan raja, kini memindahkan perhatiannya ke luar istana dan mulai membantu melakukan pembersihan dalam kota raja. Banyak sudah mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini belasan orang pengikut atau anak buah Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha merampas kekuasaan dapat dibasmi habis dalam sebuah kuil kosong di sebelah selatan kota raja.
Yang memimpin pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian yang kini telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silatnya semenjak ia menjadi kekasih Lu Sian. Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha membasmi musuh, karena dia melakukan penyelidikan dengan menyamar sebagai penduduk biasa, tidak berpakaian sebagai panglima.
Dalam penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan mata-mata yang paling aktif di kota raja adalah gerombolan anak buah Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin, bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang masih setia kepada dinasti yang sudah runtuh itu. Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota raja terdapat sebuah tempat yang dijadikan tempat pertemuan mereka, di samping kuil kosong di mana ia telah membasmi tiga belas orang mata-mata belum lama ini.
Pada suatu pagi, seorang diri Cu Bian yang berpakaian sebagai seorang penduduk biasa pergi menyelidiki rumah tua di ujung kota yang sunyi di sebelah barat itu. Goloknya ia sembunyikan di balik baju dan ia mendekati rumah tua itu dengan hati-hati dan menyelinap di antara pohon-pohon di belakang rumah. Biasanya rumah tua ini kosong, akan tetapi tadi ia melihat berkelebatnya bayangan orang melalui jendela yang tidak berdaun lagi itu.
Setelah dekat ia mengintai dan terdengar suara orang bercakap-cakap. Hatinya tergerak ketika ia melihat seorang kakek tua duduk di atas kursi sedang marah-marah kepada seorang laki-laki yang berdiri ketakutan. “Siapakah kakek ini?” pikirnya. Kakek yang mukanya penuh cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya berwibawa!
"Goblok! Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil disergap dan dibunuh? Benar-benar tidak berotak. Dan semua usaha ke istana gagal belaka, mengantar nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku mengaso di Pek-coa-to (Pulau Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan kalian. Kalau para pembantuku adalah patriot-patriot konyol seperti kalian ini, mana mungkin Kerajaan Tang yang jaya dapat bangkit kembali?"
"Ampun, Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan tetapi semenjak Tok-siauw-kwi berada di sini, kami tidak berdaya apa-apa. Semua serbuan ke istana gagal dan teman-teman kita banyak yang mati konyol. Gerakan kita di sini menjad macet sama sekali."
Diam-diam Cu Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw Pa Ong yang terkenal pula dengan julukannya Kong Lo Sengjin! Ia memandang penuh perhatian. Melihat betapa kedua kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan lumpuh, ia tidak ragu-ragu lagi. Hatinya berdebar dan ia menoleh ke belakang. Kalau saja ada pembantu, ah, kalau saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia tidak akan dapat mengalahkan seorang kakek yang lumpuh kedua kakinya? Dan orang kedua itu pun kelihatan lemah.
"Huh, menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah, setelah aku datang, akan kuhancurkan kepala siluman betina itu. Hemm, kau lihat baik-baik!" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin besar menyambar ke arah jendela di mana Cu Bian mengintai.
"Brakk!" runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu Bian sudah melompat ke samping, terus ia memutar golok yang sudah dicabutnya sambil menyerbu ke dalam rumah melalui jendela.
"Pemberontak tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan diri untuk diadili dari pada harus berkenalan dengan golokku!" bentaknya.
Kong Lo Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan menoleh ke arah laki-laki temannya tadi sambil bertanya, "Siapakah budak ini?"
Laki-laki itu meloncat ke pinggir, gerakannya cukup ringan, dan ia berkata, "Ong-ya, inilah dia Cu-ciangkun, panglima muda yang memimpin pembasmian teman-teman kita di kuil tua...!"
"Oho! Bagus sekali kau mengantarkan nyawa ke sini, budak. Lekas berlutut agar kau dapat terbebas dari kematian mengerikan!" suara Kong Lo Sengjin berubah menyeramkan.
"Ong-ya, dia ini seorang di antara kekasih Tok-siauw-kwi!" laki-laki itu berkata pula.
Sementara itu Cu Bian sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Pemeberontak rendah! Rasakan golokku!"
Ia menerjang maju, membacok dengan goloknya, gerakannya cepat dan kuat sekali. Goloknya lenyap berubah sinar putih seperti kilat menyambar ke arah leher kakek itu.
"Singgg...!!"
Namun goloknya mengenai angin belaka karena kakek yang sakti itu telah mencelat ke atas bersama kursinya! Dengan masih duduk diatas kursi, Kong Lo Sengjin telah berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar biasa ini dibarengi suara tertawa bergelak-gelak.
Cu Bian penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang terus kemana pun berkelebatnya bayangan kakek bersama kursinya. Ia sudah memperoleh pelajaran dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran bermain cinta, melainkan juga pelajaran untuk memperhebat ginkang-nya, lweekang dan ilmu goloknya.
Namun menghadapi kakek lumpuh ini, ia benar-benar tidak berdaya. Goloknya selalu membacok angin belaka dan pada detik terakhir, kakek itu selalu dapat berpindah tempat bersama kursinya dan masih tetap tertawa-tawa.
"Ha-ha, disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki kematian yang mengerikan!" kakek itu berkata dan lengan bajunya yang panjang itu berkibar menyambar ke depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri menyambar ke arah kepala Cu Bian.
Bukan main kagetnya pemuda ini ketika goloknya hampir saja terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan ujung lengan baju. Akan tetapi ia lebih memperhatikan sambaran ujung lengan baju ke dua yang mengarah kepalanya. Cepat ia miringkan tubuh membuang diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena dihantam ujung lengan baju.
"Plakk!" perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya cukup hebat karena tubuh Cu Bian terhuyung-huyung ke belakang dan kepalanya serasa hampir pecah saking hebatnya rasa nyeri di pundaknya.
Namun orang muda ini mempunyai keberanian besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan kemarahan meluap, ia menerjang maju lagi dengan dahsyat sambil menahan rasa nyeri yang menusuk jantung.
"Hah, rebahlah kau!" bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya.
Hanya dengan menggerakkan kedua tangannya, di lain saat ia telah dapat merampas golok dan merobohkan Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh pemuda itu lemas dan seperti lumpuh. Cu Bian mengerahkan tenaga hendak bangun, akan tetapi begitu bangun duduk ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat lemas. Akan tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini, sedikit pun tidak membayangkan ketakutan.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan di luar dan menerobos masuklah tiga orang berpakaian perwira diikuti oleh belasan orang anak buahnya. Mereka ini adalah pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat gerakan Cu Bian menyelidiki rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.
"Kau hadapi mereka!" teriak si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah menyambar Cu Bian berikut goloknya, kemudian tubuhnya melayang ke arah pintu.
"Serbu! Tolong Cu-ciangkun!" teriak seorang perwira.
Mereka yang berada dekat pintu segera memapaki tubuh kakek yang melayang itu dengan tombak dan golok. Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang prajurit ketika Kong Lo Sengjin menangkis dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil mengibaskan tangan mengirim tamparan.
Tubuhnya sudah mencelat ke luar dengan mempergunakan sepasang tongkat yang tadinya ia sambar dari dekat meja. Ia telah melesat jauh ke depan, sebentar saja lenyap dari tempat itu sambil membawa tubuh Cu Bian yang tak dapat bergerak sama sekali dalam kempitannya.
Yang celaka adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang tertinggal dalam rumah tua. Dia lihai juga, melawan mati-matian dengan golok rampasan, akan tetapi tiga orang perwira itu adalah pengawal-pengawal istana yang tangkas. Maka setelah mengalami pertempuran hebat, akhirnya orang itu tewas di bawah bacokan banyak senjata dan tubuhnya hancur.
Peristiwa tertawannya Cu-ciangkun oleh seorang kakek pemberontak amat menggegerkan kota raja. Penjagaan diperketat, di seluruh kota tampak para prajurit hilir mudik mengadakan pemeriksaan dan penjagaan. Juga sekitar istana dijaga keras. Namun semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin yang menyelundup ke dalam istana, mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa.
Bagaikan seekor burung saja ia melompati pagar tembok yang mengurung istana tanpa terlihat oleh para penjaga, kemudian menyelinap dalam gelap, meloncat ke atas bangunan istana. Cu-ciangkun masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba di atas istana sambil mencari-cari.
Lu Sian juga mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun. Ia ikut merasa gelisah karena Cu Bian merupakan seorang di antara kekasihnya yang menyenangkan hatinya. Ia menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai itu, dan samar-samar ia teringat akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong. Diam-diam ia bergidik. Pernah beberapa tahun yang lalu ia menyaksikan sepak terjang kakek lumpuh yang amat lihai itu.
Akan tetapi ia tidak takut sekarang. Bahkan ingin ia mencoba kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah menandingi kesaktian si Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong dan amat kuat tenaga sinkang-nya untuk melakukan pukulan jarak jauh.
Malam itu Lu Sian tak dapat tidur. Ia duduk dalam kamarnya termenung menghadapi meja. Karena hawa udara agak panas, ia membuka jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti bulan purnama. Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap suara perlahan di luar kamar.
Akan tetapi ia hanya tersenyum mengejek dan tidak bergerak dari bangku yang didudukinya, pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang tamu malam yang tinggi ginkang-nya, sehingga gerakan kakinya hampir tidak menerbitkan suara, tengah mendekati kamarnya. Selama ini ia tak pernah berhenti berlatih sehingga Lu Sian merasa amat percaya akan kepandaiannya sendiri.
Tiba-tiba sinar putih menyambar dari luar jendela memasuki kamar. Biar pun sinar itu menyambar dari belakangnya, namun Lu Sian maklum bahwa senjata itu tidak akan mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk tidak bergoyang sama sekali.
"Capp...!"
Sinar itu ternyata sebatang golok yang kini menancap di atas meja di depannya, golok yang indah dan di ujung golok itu terdapat sebuah benda merah kebiruan yang kini tertancap golok di atas meja. Benda yang berlumur darah. Sebuah jantung manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian berdebar. Inilah golok Cu Bian, kekasihnya. Dan jantung itu...??
Tiba-tiba terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh melayang masuk melalui jendela, menubruk Lu Sian. Wanita ini bangkit berdiri, tangan kirinya menyampok dan tubuh itu terbanting ke atas lantai. Ketika ia memandang, ternyata itu adalah sesosok mayat seorang laki-laki yang telentang dengan dada robek dan mata terbelalak. Mayat Cu Bian!
"Ha-ha-ha! Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau mengotori nama besar Beng-kauw!" terdengar suara memaki dan mengejeknya di luar.
Hampir meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya berkilat dan ia menyambar pedangnya, terus melayang ke luar dari jendela. Ketika ia turun di dalam taman bunga di pinggir rumah, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek, berdiri di atas kedua tongkatnya yang menggantikan kaki. Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo Sengjin!
"Hemmm, kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau ini si pemberontak Couw Pa Ong yang juga bernama Kong Lo Sengjin!"
"Ha-ha-ha! Betul sekali, Tok-siauw-kwi. Kau boleh menyebut aku pemberontak, akan tetapi aku memberontak kepada kerajaan-kerajaan yang dahulunya memberontak dan merobohkan Dinasti Tang. Aku seorang patriot sejati! Tidak seperti engkau ini! Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang patriot sejati, akan tetapi engkau telah mengkhianatinya, mencemarkan namanya. Apalagi kalau diingat bahwa engkau puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan..., benar-benar menyebalkan dan merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!"
"Tutup mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!"
"Ha-ha-ha, sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani kurang ajar terhadapku, kau ini bocah sombong bisa apakah? Mengingat muka Ayahmu, biarlah aku mengampuni dirimu dan lekas kau minggat dari Kerajaan Hou-han ini dan jangan membelanya. Ada hubungan apakah Hou-han denganmu maka kau membelanya mati-matian?"
"Kakek tua bangka! Apa yang kulakukan, ada hubungan apa denganmu? Kau peduli apa?!”
"Wah, benar keras kepala! Kau kira aku tidak tahu bahwa kau di sini mengumpulkan pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsumu yang kotor dan hina? Kau...."
"Keparat!" Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena tidak tahan lagi mendengar kata-kata Kong Lo Sengjin. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar, dengan gerakan dahsyat sekaligus telah menyerang dengan tiga kali bacokan dan dua tusukan berubi-tubi.
"Trang-trang-trang-trang-trang....!" lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat ke belakang sampai mereka terpisah dalam jarak enam meter.
Hebat serangan Lu Sian, akan tetapi hebat pula tangkisan si Kakek Tua. Keduanya merasa telapak tangan mereka tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin terheran-heran. Tangkisannya tadi telah ia gerakkan dengan pengerahan sinkang dengan maksud membuat pedang lawan terpental, akan tetapi jangankan terpental, bahkan pedang itu masih dapat menyerang terus sampai lima kali. Hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi marah dan penasaran.
Di lain pihak, Lu Sian juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa kakek ini pandai sekali serta kuat tenaganya. Serangannya tadi merupakan jurus yang lihai dari Toa-hong Kiam-sut, akan tetapi dapat ditangkis dengan baik oleh lawan dan tangannya terasa gemetar, tanda bahwa tenaga yang tersalur pada tongkat itu amat kuatnya.
Tangan kiri Lu Sia bergerak dan sinar merah menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam yang ia lepas dengan pengerahan tenaga. Belasan batang jarum halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar ke arah jalan darah yang mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu tangannya bergerak, sinar berkelebat dan jarum-jarum itu sudah sampai di tempat sasaran!
Namun sambil tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan bajunya dengan gerakan memutar dan jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian runtuh di tanah sebelum sampai ke tubuh kakek sakti itu.
"Ha-ha, jangan berlagak di depan Kakekmu! Rasakan ini!" bentak Kong Lo Sengjin sambil mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan.
Terdengar angin bersiutan menerjang ke arah Lu Sian. Angin pukulan ini amat dahsyat dan karena kehebatan kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Banyak musuh kuat roboh hanya oleh angin pukulannya ini.
Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah menyaksikan betapa kakek ini merobohkan banyak lawan dengan penggunaan ilmu pukulan jarak jauh. Dahulu ia merasa ngeri melihat kedahsyatan pukulan si Kakek, akan tetapi sekarang ia bukanlah Lu Sian beberapa tahun yang lalu.
Melihat kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia cepat memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk, tubuh direndahkan, kemudian kedua tangannya juga dia pukulkan ke depan. Pedang di tangan kanan ditarik ke dalam di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan dorongan hawa pukulan lawan. Dari kedua tangannya menyambar pula angin pukulan dahsyat ke depan!
Benturan dua tenaga sinkang di udara itu tidak menimbulkan suara, juga tidak tampak oleh mata, akan tetapi akibatnya hebat karena keduanya terpental ke belakang dengan kuda-kuda masih tidak berubah. Mereka saling pandang dengan kaget, karena adu tenaga sinkang tadi membuktikan bahwa keduanya memiliki tingkat seimbang! Hal ini tentu saja tidak dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka kakek ini menjadi penasaran sekali.
Ia tidak pernah mimpi bahwa tingkat kepandaian Lu Sian pada waktu itu sudah mengejar ayahnya sendiri dan dibandingkan dengan tingkat Kong Lo Sengjin, ia barangkali hanya kalah matang saja.
"Kau ingin mampus!" seru Kong Lo Sengjin.
Kini kakek itulah yang berkelebat ke depan dengan lompatan tinggi. Inilah terjangan berbahaya sekali karena dari atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan sepasang tongkatnya. Namun Lu Sian maklum dan sama sekali tidak takut, bahkan ia pun mengeluarkan pekik melengking nyaring, lalu tubuhnya mencelat pula ke atas menyambut serangan lawan. Dua tubuh itu masih melayang ketika mereka bertemu di udara, dekat sebatang pohon dan dekat pula dengan ujung atap.
Mereka menggerakkan senjata dan bertanding di udara, saling tusuk dan tangkis sebelum tubuh mereka meluncur turun. Terdengar suara keras senjata beradu disusul muncratnya bunga api menyilaukan mata. Ketika keduanya turun ke atas tanah, daun-daun pohon rontok terbabat pedang Lu Sian sedangkan ujung atap dari tembok itu pecah berantakan dihantam tongkat Kong Lo Sengjin.
Begitu keduanya hinggap di atas tanah, keduanya cepat membalik saling berhadapan. Sejenak mereka tak bergerak, mata memandang tak berkedip, napas agak terengah karena biar pun baru beberapa gebrakan, namun tadi mereka telah mempergunakan seluruh tenaga sinkang.
Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan kulit lehernya berdarah sedikit, akan tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo Sengjin juga berdarah, bajunya robek. Kiranya dalam pertempuran di udara tadi, keduanya telah terluka, biar pun hanya luka ringan!
Makin panas dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka. Kakek ini memang wataknya tidak pernah mau kalah. Kemarahannya memuncak ketika mendapatkan dirinya hanya dapat bertanding seimbang saja dalam menghadapi seorang wanita muda. Sambil menggereng liar ia menerjang maju. Tongkatnya bergerak cepat sekali dan amat kuat sehingga berpusinglah angin pukulan yang mengeluarkan bunyi bersiutan.
Namun Lu Sian yang juga tak pernah mau kalah kembali memekik panjang melengking-lengking, lalu tubuhnya bergerak cepat terbungkus sinar pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua orang sakti ini bertanding dari jarak dekat, tak lagi mengandalkan tenaga sinkang seperti tadi, melainkan mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan kegesitan gerakan tubuh.
Hebat bukan main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir akan Ilmu Coan-in-hui yang ia pelajari dari jago ginkang Tan Hui, maka gerakannya cepat dan tubuhnya ringan seperti seekor lebah. Pedangnya mainkan ilmu pedang campuran Pat-mo Kiam-hoat dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main. Tubuhnya seakan-akan sudah lenyap dan yang tampak hanyalah cahaya pedang gemerlapan yang merupakan sinar panjang melayang-layang membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk.
Namun Kong Lo Sengjin bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini amat lihai. Biar pun kedua kakinya sudah lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah kedua tongkat yang menggantikan kedudukan sepasang kaki itu dapat dipakai menyerang dan meloncat, diikuti tamparan dan kebutan tangan dan ujung lengan baju yang kesemuanya merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya.
Kadang-kadang pedang bertemu tongkat, ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu sukar diikuti pandang mata karena keduanya seakan-akan telah menjadi satu gundukan sinar yang saling gulung.
"Trang... cring... plak-plak...!" tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke belakang.
Kiranya dalam jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar punggung Lu Sian dengan telapak tangan kirinya, akan tetapi pada detik yang sama Lu Sian berhasil pula menggunakan rambutnya yang riap-riapan untuk menghantam jalan darah di leher lawan! Ketika mereka terhuyung ke belakang dan saling pandang, ternyata dari ujung bibir Lu Sian mengucur darah segar, akan tetapi Kong Lo Sengjin memejamkan dan lehernya kelihatan biru menghitam.
Setelah membuka matanya lagi, Kong Lo Sengjin tertawa. "Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi siluman betina. Kiranya kau benar-benar lihat sekali!"
"Tua bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan, hayo maju! Kalau kau sudah menerima kalah, lekas minggat dari sini!"
"Siluman betina, siapa kalah?" Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Iblis tua, jangan menjual lagak! Cici, biarkan kami membantumu!" Muncullah Coa Kim Bwee bersama tujuh orang panglima istana yang merupakan orang-orang pilihan dan memiliki kepandaian yang lumayan. Segera mereka mengurung dan menerjang Kong Lo Sengjin!
"Ha-ha-ha, Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu tidak ada waktu melayani segala macam anjing!" tiba-tiba tubuh Kong Lo Sengjin mencelat ke atas, melayang melampaui kepala para pengurungnya dan cepat sekali sudah menghilang ke atas tembok istana.
"Tak usah dikejar... sia-sia belaka....!" kata Lu Sian.
Coa Kim Bwee membalik dan baru terlihat olehnya Lu Sian mengusap darah dari bibir. "Eh, Cici, kau... kau terluka...?" Ia memegang lengan wanita itu hendak menolongnya.
Akan tetapi Lu Sian mengibaskan lengannya. "Aku tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang mengurus mayat Cu-ciangkun di dalam kamar itu."
Coa Kim Bwee terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika melihat betapa panglima muda yang tampan itu sudah menjadi mayat yang tidak berjantung lagi karena jantungnya sudah tertancap di atas meja oleh goloknya sendiri....
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng dan keluarganya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, perubahan besar terjadi dalam kehidupan Kwee Seng. Tadinya ia seakan-akan telah bosan hidup, tidak peduli lagi akan dirinya dan hidup sebagai seorang jembel tanpa sedikit pun memelihara diri.
Ia telah menjadi korban asmara ketika gagal dalam cinta dengan Liu Lu Sian, kemudian hatinya terpukul hebat pula ketika ia mengalami hubungan cinta yang luar biasa dengan nenek Neraka Bumi. Semua ini menambah hebat luka di hatinya yang tadinya sudah tergurat oleh peristiwa pengalamannya dengan Ang-siauw-hwa.
Memang, semenjak keluar dari Neraka Bumi, ilmu kepandaian Kwee Seng meningkat tinggi, akan tetapi juga keadaan dirinya berubah sama sekali. Kalau dahulu ia merupakan seorang pemuda terpelajar yang halus dan selalu berpakaian rapi bersih, kini ia berubah menjadi seorang yang tidak peduli dan keadaannya seperti jembel. Tidak ada lagi bekas-bekasnya seorang pelajar yang sopan dan bersih, sehingga ia di sana-sini disangka seorang gila.
Akan tetapi keadaan hidupnya berubah semenjak pertemuannya kembali dengan Khu Gin Lin, saudara kembar Ang-siauw-hwa yang ternyata adalah seorang wanita cantik yang dahulu menyamar sebagai nenek-nenek tua di Neraka Bumi. Timbul pula kegairahan dan kegembiraan hidupnya. Apalagi karena ‘nenek’ yang ternyata seorang wanita muda cantik itu datang bersama seorang anak perempuan, anaknya!
Ia telah menjadi seorang ayah dan ternyata dia dahulu sama sekali tidak melakukan hubungan gila dengan seorang nenek-nenek tua, melainkan dengan seorang gadis jelita, bahkan saudara kembar Ang-siauw-hwa yang merupakan wanita pertama yang menggugah cinta kasihnya.
Kegembiraan ini ditambah pula dengan kenyataan tentang diri Bu Song. Sama sekali tidak pernah ia sangka bahwa muridnya yang menimbulkan sayangnya ini ternyata adalah putera Liu Lu Sian! Dua hal yang datang berbareng ini benar-benar telah mengobati luka-luka di hati Kwee Seng.
Seperti telah kita ketahui, Kwee Seng membawa isteri, puteri dan juga muridnya ke gunung Min-san, di mana ia hidup berbahagia dengan mereka. Khu Gin Lin adalah seorang isteri yang mencinta suami, ada pun Kwee Eng atau biasa dipanggil Eng Eng adalah seorang anak perempuan yang lincah gembira, merupakan matahari ke dua di puncak Min-san itu. Bu Song sebagai murid juga amat penurut dan taat sehingga makin membahagiakan hati Kwee Seng.
Ada pun Bu Song dan Eng Eng yang selalu berdua di puncak gunung itu semenjak kecil, menjadi amat rukun. Ketika masih kecil mereka itu seakan-akan kakak beradik, akan tetapi makin besar makin berakarlah rasa kasih sayang mereka satu kepada yang lain sehingga tidaklah aneh kalau menjelang dewasa, daya tarik gadis itu menjatuhkan hati Bu Song sehingga diam-diam ia mencinta Eng Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang cantik jelita, lincah jenaka dan lihai ilmu silatnya.
Ada pun Bu Song telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan serius, wataknya pendiam, dan pandai dalam ilmu surat. Tanpa ia sadari, di dalam tubuhnya telah terdapat dasar-dasar ilmu silat. Bu Song telah memiliki tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya, hanya saja ia tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya!
Pada suatu pagi yang indah di puncak gunung Min-san, Kwee Seng bersama isterinya duduk di depan pondok, menikmati hawa pagi pegunungan yang bersih sejuk dan menyehatkan. Sinar matahari pagi dari timur mulai mengusir halimun pagi yang tebal. Dalam usianya yang empat puluh tahun lebih, Kwee Seng belum kelihatan tua benar. Wajahnya masih segar berseri, tubuhnya makin tegap dan agak gemuk. Hanya jenggot dan kumisnya yang tipis itu dipeliharanya dan membuat ia tampak lebih tua dari pada dahulu.
Ada pun isterinya yang amat cinta kepadanya juga belum tampak tua benar. Tubuhnya masih ramping, senyumnya masih segar dan sepasang matanya masih bening seperti bintang. Ketika mereka duduk di depan pondok itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa Eng Eng yang nyaring gembira, lalu tampak gadis itu berlari-lari mendekat puncak sambil berseru.
"Koko, kayu bakar kita telah habis. Hayo berlomba mencari kayu!" tubuhnya yang kecil ramping itu berkelebat cepat, bajunya yang berwarna merah berkibar-kibar ketika ia lari sambil menengok ke belakang, wajahnya cantik berseri-seri.
Di belakangnya tampak Bu Song berusaha mengejarnya. Pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang baik sekali. Bahunya bidang, dadanya berbentuk segitiga dan jelas membayangkan kekuatan, langkahnya tidak seperti seorang pelajar yang lemah, melainkan seperti seekor harimau. Wajahnya tampan dan ganteng, dengan alis hitam tebal berbentuk golok.
Matanya lebar bersinar tajam sekali penuh wibawa, hidungnya mancung dan bibirnya jarang tersenyum. Dagunya terdapat belahan kecil ditengah-tengahnya, menambah ketampanan dan sifat tegasnya. Sayang, wajah yang ganteng ini terbayang kemurungan yang membuat ia pendiam dan sering kali keningnya berkerut.
"Moi-moi, biarlah aku yang mengumpulkan kayu. Pekerjaan kasar ini adalah pekerjaan laki-laki. Kalau berlomba, tentu saja aku kalah. Larimu lebih cepat dari pada larinya rusa, mana aku bisa menyusulmu?" biar pun ia berkata demikian, namun Bu Song lari juga agar tidak mengecewakan hati gadis yang menjadi teman bermain sejak kecil selama belasan tahun. Sebentar kemudian bayangan kedua orang muda itu lenyap dalam sebuah hutan di puncak.
Suami isteri yang duduk di depan pondok itu tersenyum, saling pandang penuh arti. "Tak dapat disangkal lagi, mereka adalah pasangan yang amat cocok dan setimpal," kata Kwee Seng setelah menarik napas panjang penuh kepuasan.
Isterinya mengangguk. "Benar Eng Eng orangnya lincah jenaka, sebaliknya Bu Song pendiam dan penyabar, amat cocok dan dapat saling mempengaruhi. Juga kulihat mereka itu saling mencinta. Hanya sayang...."
"Mengapa sayang, isteriku?"
"Ada dua hal yang kusayangkan. Pertama, orang tuanya tidak hidup bahagia, rumah tangga orang tuanya berantakan, ayah bunda bercerai. Ayah kawin lagi, Ibu..."
Kwee Seng menghela napas. "Memang tak dapat disangkal hal itu, akan tetapi apakah kita harus mengukur keadaan seseorang anak dari orang tuanya? Bu Song anak baik, semenjak kecil dia dalam pengawasan kita. Bertahun-tahun kita melihat dia tumbuh dewasa, melihat watak-wataknya. Apakah masih belum cukup dan haruskah kita mengingat keadaan ayah bundanya?"
"Kau memang betul. Aku terpengaruh oleh keadaan orang tuanya karena biasanya dari keluarga yang berantakan akan tumbuh anak-anak yang kurang baik. Akan tetapi Bu Song semenjak kecil menjadi muridmu. Hanya aku sayangkan, karena kalau saja orang tuanya tidak demikian, alangkah akan lebih baiknya...."
"Hemmm, tak salah omonganmu itu. Dan hal kedua yang kau sayangkan, apakah itu?"
"Aku menyayangkan bahwa Bu Song tidak mau belajar ilmu silat. Sedangkan anak kita, sungguh pun tidak sangat pandai, boleh dibilang telah memiliki kepandaian tinggi. Apakah hal ini tidak akan menjadi penghalang kesesuaian faham dan watak mereka kelak?"
Kwee Seng tersenyum. "Kau tidak tahu, isteriku. Karena memang hal ini kurahasiakan agar jangan sampai bocor dan mengagetkan hati Bu Song. Kasihan anak yang hidupnya sebatang kara dan berhati bersih itu. Dia begitu benci kepada ilmu silat karena sejak kecil ia menelan filsafat-filsafat hidup penuh damai dan penuh cinta kasih terhadap sesama hidup, dan terutama sekali karena ia kecewa melihat ayah bundanya yang menurut jalan pikirannya terpisah dan tersesat oleh ilmu silat.
"Di samping ini, telah banyak ia menyaksikan kekejaman dan kekejian di waktu ia masih kecil sehingga timbul anggapannya bahwa ilmu silat hanya menjadi alat untuk melakukan kekejaman dan pembunuhan belaka. Inilah sebabnya ia tidak mau belajar ilmu silat.
"Akan tetapi, aku melihat bakat baik sekali terpendam dalam dirinya. Bakat luar biasa yang bahkan jauh lebih baik dari pada aku sendiri. Karena inilah, diam-diam aku menanam dasar-dasar ilmu silat dan telah menyuruh dia berlatih siulian dan napas. Sekarang pun ia telah memiliki sinkang yang hebat, hanya saja, ia tidak sadar akan hal ini.
"Kelak, kalau ia mengalami penderitaan hidup karena ketidak-mampuannya bersilat, baru akan terbuka pikirannya dan sekali ia mempelajarinya, ia akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan mungkin melebihi kepandaian dan tingkatku."
Gin Lin tercengang, akan tetapi juga girang sekali. "Syukurlah kalau begitu. Kini hilang keraguanku. Sebaiknya kita lekas-lekas laksanakan perjodohan mereka. Setelah mereka menjadi suami isteri, baru lega hatiku dan dapat kita tinggalkan mereka...."
"Ah, isteriku. Kurang bahagiakah kita tinggal di sini? Adakah yang lebih nikmat dari pada hidup tenang dan tenteram seperti hidup kita sekarang ini? Apakah kau masih selalu merindukan dunia ramai dan menyaksikan pertumpahan darah?"
Tiba-tiba wajah berseri nyonya itu digelapi mendung, bahkan kedua matanya menjadi basah sehingga cepat-cepat ia mengusap air mata itu dengan sapu-tangannya. Dengan muka tunduk ia berkata,
"Suamiku, memang aku berterima kasih kepada Thian, juga bersyukur kepadamu yang telah memberi kebahagiaan hidup kepadaku di tempat ini. Aku cukup bahagia, akan tetapi... ah, betapa aku dapat melupakan ayah bundaku yang terbunuh secara kejam, saudara kembarku menjadi... pel*cur... dan aku sendiri, seandainya tidak bertemu denganmu, apa jadinya dengan aku?
"Semua itu karena kebiadaban musuh yang membunuh, merampok, memperkosa, menghina... Suamiku, katakanlah, apakah aku harus diam saja sekarang? Apakah mungkin kebahagiaan hidupku tanpa mengingat sedikit pun akan penderitaan orang tua dan keluargaku? Suamiku, di waktu sadar aku hidup bahagia di sampingmu dan di samping anak kita, akan tetapi tahukah kau betapa setiap malam aku bermimpi dan bertemu dengan arwah orang tuaku yang memandang penuh penyesalan? Ah, suamiku..." Gin Lin lalu menangis.
Kwee Seng memegang pundak isterinya. "Tenangkan hatimu, isteriku. Jangan kau kira bahwa aku pun tidak peduli akan hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah tepat kalau urusan pribadi dicampur-adukkan dengan urusan negara. Keluargamu terbasmi bukan karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena keluargamu bangsawan Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja keluargamu terlanda mala-petaka. Andai kata kau hendak membalas, kepada siapakah kau akan membalas? Dalam keributan seperti itu, dalam perang, mana bisa kita membalas kepada seseorang?"
"Memang betul ucapanmu, suamiku," kata Gin Lin yang sudah dapat menenangkan hatinya. "Dan memang aku tidak mendendam kepada seseorang, melainkan menaruh dendam kepada mereka yang menurunkan Dinasti Tang, karena mereka itulah yang menghancurkan keluarga kami. Karena itu, kalau anak kita sudah menikah, aku... ijinkanlah aku membantu Paman Couw Pa Ong untuk menghancurkan musuh sehingga dengan jalan itu berarti aku sudah melakukan kewajibanku berbakti kepada orang tua dan keluarga...."
"Baiklah... baiklah, kita bicarakan hal ini kelak. Apa kau kira aku dapat melepasmu begitu saja? Sekali kita berkumpul, untuk selamanya. Kalau memang kulihat bahwa musuh-musuhmu itu orang jahat, sebagai seorang pendekar tentu saja aku akan suka membantumu membasmi mereka."
Gin Lin memegang lengan tangan suaminya. Matanya basah memandang wajah suaminya ketika ia berkata terharu, "Aku tahu engkau suamiku yang berhati baik sekali...."
Mereka berpadangan dan diam-diam Kwee Seng menarik napas. Ia hanya menaruh kasihan kepada wanita ini, wanita yang menjadi isterinya karena kebetulan dan terpaksa. Ia tahu bahwa Gin Lin amat mencintanya, mencintanya semenjak masih menyamar sebagai nenek di Neraka Bumi. Akan tetapi dia, cinta jugakah dia kepada isterinya ini? Sukar dikatakan, dan Kwee Seng akan membohongi diri sendiri kalau dia mengaku demikian.
Cinta kasih terhadap wanita agaknya telah lenyap dari hati Kwee Seng. Hatinya sudah kosong. Cintanya sudah lenyap bersama Lu Sian. Akan tetapi, sampai mati pun ia tidak akan suka menyatakan hal ini melalui mulut, bahkan ia coba mengusir dari dalam hatinya setiap kali timbul. Ia merasa kasihan kepada Gin Lin dan akan membela isterinya ini dengan seluruh jiwa raganya.
"Isteriku, bukankah sekarang Paman Couw Pa Ong telah berhasil pula meruntuhkan Kerajaan Cin dan dengan demikian berarti sudah menang perang?"
"Betul, suamiku. Akan tetapi Paman bersekutu dengan golongan lain sehingga kini didirikan Kerajaan Han Muda (947-951). Akan tetapi Kerajaan Han ini pun selalu dibayangi musuh, selalu diserang dan keadaan Paman kabarnya makin payah...."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Merah wajah isterinya ketika menjawab, "Aku telah menyuruh seorang penduduk lereng gunung pergi menyelidik ke kota raja...."
Kwee Seng terkejut. “Hemmm, kiranya isteriku ini diam-diam tak pernah melupakan urusan negara.”
Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berada di situ. Kedua kakinya bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang dipegangnya menggantikan kedua kaki untuk berdiri.
"Paman...!" Gin Lin berseru girang.
"Ah, kiranya Paman yang datang. Maafkan kami tidak dapat menyambut lebih dulu karena tidak tahu," kata Kwee Seng yang sudah bangkit berdiri dan memberi hormat.
Sejenak kakek itu tidak menjawab, hanya berdiri menatap tajam kepada suami isteri itu. Kemudian dia berkata, "Kim-mo Taisu Kwee Seng, aku ingin bicara empat mata denganmu."
"Tentu saja boleh. Silakan Paman masuk ke pondok kami yang buruk...."
"Tidak di situ, Kwee Seng. Mari kau ikut aku menuruni puncak. Di lereng sunyi sana kita bicara. Waktu hanya sedikit, musuh-musuh mengejar-ngejarku, aku perlu... bantuanmu, suami keponakanku!"
"Paman! Apakah yang terjadi...?" Gin Lin berseru kaget.
"Diamlah kau, Lin-ji. Tidak perlu ribut-ribut, hanya perlu kau tahu bahwa Kerajaan Han Muda runtuh pula. Masih untung Pamanmu ini tidak tewas. Relakah kau kalau suamimu membantuku?"
"Tentu saja, Paman! Kwee-koko, kau pergilah ke lereng bersama Paman. Kasihanilah, bantulah...." Ucapan nyonya ini disertai pandang mata penuh permohonan, juga suaranya menyembunyikan isak tangisnya. Agaknya ia sedih sekali mendengar bahwa pamannya kembali sudah jatuh!
"Baiklah, Lin-moi. Mari, Paman!"
Kedua orang sakti itu berkelebat cepat menuruni puncak. Di sebuah lereng yang sunyi Kong Lo Sengjin berhenti, lalu menjatuhkan diri duduk bersila dengan sepasang kakinya yang lumpuh sambil berkata, "Kim-mo Taisu, kali ini aku benar-benar membutuhkan bantuanmu."
"Hemm, bantuan bagaimana yang Paman maksudkan?"
"Duduklah di sini. Aku sengaja mengajakmu ke sini agar lebih enak kita bicara secara terbuka, jauh dari wanita yang tentu akan mengganggu saja."
Di dalam hatinya Kwee Seng tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi ia tidak membantah, lalu duduk di depan kakek itu. Kakek yang sudah amat tua, akan tetapi dari pandang matanya jelas tampak semangat bernyala-nyala. Setelah melihat Kwee Seng duduk di depannya, kakek ini berkata, suaranya lambat perlahan.
"Engkau tentu telah mendengar dari isterimu betapa mala-petaka hebat menimpa Kerajaan Tang berikut semua bangsawan dan keluarga kaisar. Dan tentu kau pun sudah tahu betapa aku kehilangan tenaga kedua kakiku dalam perang itu dan kemudian betapa aku mengorbankan seluruh hidupku untuk berusaha membangun kembali Kerajaan Tang yang telah dirobohkan para pemberontak."
Kwee Seng mengangguk.
"Bagaimana pendapatmu tentang semua usahaku itu?"
"Sudah sepatutnya mengingat bahwa Paman adalah seorang bekas pangeran dan Raja Muda Tang yang tentu harus bersetia kepada Kerajaan Tang," jawab Kwee Seng sejujurnya.
"Bukan itu saja. Akan tetapi juga mengingat akan mala-petaka yang menimpa keluargaku, keluarga Gin Lin isterimu. Jangan mengira bahwa aku aktif bergerak untuk mencari kedudukan. Sama sekali bukan. Terus terang kukatakan bahwa ketika Kerajaan Tang Muda berhasil meruntuhkan Kerajaan Liang, aku lalu mengundurkan diri ke pulau kosong di mana aku melatih dua orang muridku. Baru setelah Kerajaan Tang Muda roboh, aku keluar lagi dari pulau dan berusaha membangun kembali Kerajaan Tang.
"Akan tetapi, banyak pengikut Tang sudah tewas sehingga terpaksa dengan mengadakan persekutuan dengan golongan lain, akhirnya kami berhasil meruntuhkan Kerajaan Cin dan membangun Kerajaan Han Muda. Namun, begitu aku kembali ke pulau mengundurkan diri, sekarang Kerajaan Han telah runtuh kembali, hanya berdiri selama empat tahun saja (947-951)!"
"Hemm, lalu sekarang apa yang dapat kulakukan untuk membantu Paman?"
"Sekarang sudah runtuh semangatku untuk membangun kembali Kerajaan Tang. Sudah habis sekarang keturunan kaisar, dan sudah musnah pula pengikut-pengikutnya. Apa artinya kalau tinggal aku seorang? Betapa pun juga, aku harus membalas dendam kepada tokoh-tokoh yang dahulu telah meruntuhkan Kerajaan Tang, juga tokoh-tokoh yang sekarang telah merobohkan Han Muda. Akan tetapi aku hanya sendiri, dan musuh-musuh itu begitu banyak. Oleh karena itulah, Kwee Seng, demi sakit hati dan dendam isterimu, maukah kau membantuku?"
"Maaf, Paman. Menurut pendapatku, keluarga isteriku terbasmi dalam keadaan perang dan dia sendiri pun tidak dapat mengatakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang melakukan pembasmian. Dalam perang tentu keadaan kacau-balau dan seluruh barisan pihak musuh merupakan lawan. Tak mungkin saya dan isteri saya membalas secara membabi buta, karena bukankah tentara pihak musuh itu pun hanya memenuhi tugas mereka? Tidak ada dendam pribadi dalam urusan perang.
"Ada pun tentang membantu Paman, agaknya sudah sepatutnya aku membantu kalau Paman terancam bahaya. Akan tetapi, kulihat Paman tidak terancam siapa-siapa pada saat ini. Kalau Paman mempunyai musuh-musuh pribadi lalu minta bantuanku, tentu saja harus kulihat dulu siapakah mereka itu. Kalau mereka terdiri dari golongan jahat, tentu aku tidak akan segan-segan membantumu."
Kong Lo Sengjin menampar batu di dekatnya sehingga hancurlah batu. "Heh! Sudah kuduga kau akan banyak membantah! Banyak sekali musuh-musuhku dan sekarang pun aku sedang dikejar-kejar mereka. Di antara mereka adalah Ban-pi Lo-cia, Hek-giam-lo tokoh setan baru yang mewakili Khitan, Pouw-kai-ong si Raja Pengemis baru yang jahat, Ma Thai Kun orang Beng-kauw yang murtad, dan terakhir ada pula Tok-siauw-kwi...."
"Ahh...?" tanpa sadar Kwee Seng berseru kaget.
"Hemm, kau kaget mendengar nama Tok-siauw-kwi? Benar, dia adalah puteri Beng-kauwcu yang dulu menjadi tunanganmu!" kata Kong Lo Sengjin sambil memandang tajam.
Diam-diam Kwee Seng mengeluh. Kiranya peristiwa dua puluh tahunan yang lalu itu telah diketahui pula oleh kakek sakti ini.
"Mereka adalah orang-orang jahat, akan tetapi tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya, Paman. Pernah saya mendengar nama mereka yang terkenal kejam, akan tetapi kiranya hanya Ban-pi Lo-cia seorang yang menimbulkan dendam di hati saya karena dialah pembunuh keponakanmu Khu Kim Lin!"
"Hah, segala urusan wanita! Bagiku yang terpenting adalah karena mereka ikut bersekongkol merobohkan Kerajaan Han sehingga kini berdiri kerajaan yang menamakan dirinya Kerajaan Cou! Pendeknya, kau membantuku atau tidak menghadapi mereka?"
"Kalau Paman diancam dan diserang, saya tentu akan membela Paman. Akan tetapi mencari mereka untuk memusuhi? Benar-benar kurang cocok dengan...."
Pada saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin menjerit memanggil suaminya disertai pekik minta tolong.
"Celaka....!" bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang saja ia berlari ke puncak.
Kakek lumpuh itu pun bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum dingin.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak. Dari jarak jauh ia melihat isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang laki-laki yang berjenggot pendek, berambut panjang seperti saikong dan memegang sebatang pedang. Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di tangan isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki lawan isterinya itu hebat ilmu pedangnya, dan isterinya yang memang kurang berlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan bahaya.
"Lim-moi... lari...!" teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa setiap detik nyawa isterinya terancam bahaya.
Ujung pedang lawan itu sudah mematahkan semua jalan ke luar dan sudah mengancam hebat. Mendengar teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun sekali tangkis pedangnya terlepas. Kwee Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali seperti seekor garuda memekik, namun terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika menusuk dan....
"Blessss...!" ujung pedangnya amblas ke dalam dada kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik Kwee Seng terlambat.
Melihat hal mengerikan ini Kwee Seng mengerang. Tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya menampar.
"Krakkk!!!"
Hebat bukan main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang pedang yang menancap di dada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua biji matanya terloncat ke luar dan otaknya muncrat bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi.
Dengan gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang itu masih menancap di dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan pedang menancap, berarti darah masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur karena mendapat kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu menancap terlalu dalam, hampir menembus dada!
"Lin-moi... oh, Lin-moi...!" Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi pipinya.
Gin Lin membuka matanya dan tersenyum. "Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku dapat mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan keluarga, untuk Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang mencari aku... begitu aku mengakui namaku, dia... terus menyerang...." Ia terbatuk payah, lalu merangkul leher suaminya, mencium pipinya. "Koko... jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan Bu... Song..." tiba-tiba mata itu terpejam, leher itu lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya.
"Lin-moi...!!"
Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada. Sejenak ia memejamkan mata, menahan napas. Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya, membawanya masuk ke dalam pondok. Ketika ia keluar lagi dengan muka pucat, ia melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu dengan kedua tongkatnya sampai hancur lebur!
"Dia adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini, di sakunya ada surat tantangan Ban-pi Lo-cia ditujukan kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan Han!"
Kwee Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan membacanya. Sebuah surat tantangan! Ditanda-tangani oleh Ban-pi Lo-cia yang isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai Kuning di Laut Po-hai.
"Aku akan mencari mereka!" kata Kong Lo Sengjin dengan suara geram.
Seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya. "Harap Paman berangkat lebih dulu. Aku tidak berjanji apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo Taisu akan menemui mereka, biar pun mereka bersembunyi dalam neraka sekali pun!"
Kong Lo Sengjin mengangguk-angguk. "Begitu pun baik, akan tetapi bulan pertama tahun depan mereka berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah, sampai ketemu lagi!" Kakek itu tanpa mempedulikan kematian keponakannya, lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san.
Kwee Seng memasuki pondok, berlutut di samping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika mendengar suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Terdengar Eng Eng berseru tertahan dan Bu Song yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hancur di luar pondok, pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu berlari-lari, membuka pintu pondok dan....
"Ayah...?!" Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia memandang ke atas pembaringan depan ayahnya.
"Ibu...!!!" Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya. "Ibu...!! Ibu...!!! Ibuuu...!!!" Eng Eng memeluk dan terguling, pingsan di samping mayat ibunya.
Semenjak kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk termenung, bersemedhi di dalam kamarnya. Jarang ia keluar, jarang pula ia suka makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak Min-san seperti kosong, sunyi dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan.
Biar pun di dalam hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri yang berbudi dalam diri Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada wanita itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah menjatuhkan cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya, melainkan masih saja terikat kepada Lu Sian.
Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya. Ia harus membalas dendam. Biar pun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo Sengjin dan isterinya.
Keadaan yang merupakan perubahan besar ini amat mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis ini menjadi sedih melihat ayahnya yang selalu termenung dan berduka seperti seorang yang kehilangan semangat. Sore hari itu Kwee Seng baru keluar dari kamarnya, akan tetapi ia tidak melihat puterinya, hanya melihat Bu Song yang sedang duduk di depan pondok membaca kitab.
Melihat gurunya keluar, Bu Song cepat menghentikan bacaannya dan segera memberi hormat. Suaranya terharu ketika ia berkata, "Maafkan teecu yang berlancang mulut, Suhu. Akan tetapi teecu ingat betapa tidak baiknya membiarkan diri hanyut diseret dan ditenggelamkan perasaan yang dibiarkan berlarut-larut tanpa dilawan. Bukankah akan berubah menjadi racun yang melemahkan batin?"
Sejenak Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri dengan sikap hormat dan yang menundukkan muka. Ia tersenyum pahit dan menjawab. "Terima kasih, Bu Song. Aku tidak lupa akan kenyataan itu. Akan tetapi... ah, betapa lemahnya manusia. Dan engkau tidak tahu pula betapa hebat penderitaan batinku selama itu. Akan tetapi, bukanlah peristiwa ini saja yang membuat hatiku jatuh, muridku, melainkan hal-hal yang mendatanglah yang membuat aku prihatin. Aku harus pergi, akan tetapi betapa aku dapat meninggalkan Eng Eng seorang diri? Bu Song, berjanjilah engkau bahwa engkau bersedia melindungi adikmu Eng Eng selamanya."
Pemuda itu mengangkat mukanya yang membayangkan kesungguhan hatinya, memandang gurunya dengan sinar mata yang jujur. "Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi selama teecu hidup!"
Tergetar jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini. Terbayang kekerasan hati Lu Sian pada wajah itu dan ia menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda ini. "Bu Song, apakah kau mencinta Eng Eng?"
Wajah itu tidak berubah dan sinar matanya masih penuh kejujuran. "Tentu saja, Suhu. Teecu mencinta Adik Eng Eng."
"Mencinta seperti adik kandung?"
"Benar, Suhu."
"Ah, aku tidak ingin kau mencintanya seperti adik kandung."
Bu Song terkejut. "Maksud Suhu...?"
Kim-mo Taisu memegang pundak muridnya dengan pandang mata tajam. "Aku ingin kau mencintanya seperti seorang pria mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki mencinta calon isterinya!"
Seketika wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya, menjawab gagap, "Ah, ini... ini..."
“Jawablah sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya seperti itu...?" Dengan hati perih Kim-mo Taisu bertanya, karena ia tidak ingin puterinya mendapatkan suami yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti apa yang dialami mendiang ibunya.
Bu Song mengangguk. "Memang teecu... mencintanya seperti itu, Suhu... hanya tentu saja tadinya tak berani mengaku...."
"Bagus! Legalah hatiku. Bu Song. Kalau begitu kau tentu bersedia menjadi suami Eng Eng, bukan?"
Pemuda yang memiliki hati yang kuat itu telah dapat membebaskan diri dari rasa malu dan canggung. Kini ia mengangkat muka memandang gurunya dan menjawab dengan sungguh-sungguh,
"Suhu, teecu menghaturkan beribu terima kasih kepada Suhu yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan, mendidik teecu, juga kini menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri dan Thian yang mengetahui betapa besar rasa terima kasih itu. Tentu saja teecu bersedia sehidup semati dengan Eng-moi. Akan tetapi, Suhu.
"Bagaimana teecu berani lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini? Teecu sebatang kara, miskin dan tidak bekerja. Sungguh teecu akan menyesal seumur hidup kalau kelak hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret Eng-moi dalam kehidupan miskin sengsara."
Kim-mo Taisu menepuk-nepuk pundak Bu Song. "Hemm, anak baik. Kau mempunyai cita-cita apakah? Katakan padaku."
"Semenjak kecil teecu mempelajari sastra. Tentu pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak teecu pergunakan. Teecu ingin sekali mengikuti ujian di kota raja...."
Kim-mo Taisu mengerutkan kening. Teringat ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih muda. Ia pun dahulu bercita-cita demikian, namun cita-cita itu kandas karena pada masa itu tak mungkin orang dapat lulus ujian kalau tidak mampu memberi uang suapan yang besar kepada para petugas. Oleh karena itu ia dapat memaklumi isi hati calon mantunya.
"Baiklah, Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak tergesa-gesa. Cukup bagiku asal kalian sudah bertunangan. Kau boleh menempuh ujian di kota raja dan setelah itu, lulus atau gagal, kau harus melangsungkan pernikahanmu dengan Eng Eng. Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota raja. Mudah-mudahan sekarang sudah ada perubahan dan mudah-mudahan Kerajaan Cou Muda yang baru ini tidak lagi mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang. Eh, di mana Eng Eng?"
Bu Song menghela napas. "Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap hari menutup diri dan tenggelam berduka cita, Eng-moi pun turut bersusah hati sepanjang hari. Kalau Suhu tidak mau makan, Eng-moi pun tidak suka makan. Kalau Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi mau mengaso. Kerjanya hanya menangis setiap hari dan teecu sampai bingung bagaimana harus menghiburnya."
Naik sedu-sedan di tenggorokan Kim-mo Taisu. "Ahhh, salahku... salahku... mengapa aku selemah ini, Bu Song." Ia memandang wajah muridnya yang agak kurus dan pucat. "Kau pun tentu ikut pula kurang makan dan kurang tidur! Jangan bohong."
"Melihat keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa senang? Semua akibat sambung menyambung. Subo meninggal dan Suhu berduka. Suhu berduka dan Eng-moi bersusah. Eng-moi bersusah, teecu bingung merana."
"Ah, memang aku bersalah, Bu Song. Lekas kau susul Adikmu dan suruh pulang!"
Bu Song girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita tentang pertunangannya dengan Eng Eng atau tentang maksud suhunya menyuruh dia mengikuti ujian di kota raja, melainkan terutama sekali girang karena perubahan suhunya ini tentu akan mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan berjalan cepat mendaki sebuah puncak. Ia yakin tentu Eng Eng berada di sana.
Bu Song tidak tahu betapa suhunya mengawasi dari belakang, lalu menarik napas panjang dan berkata seorang diri, "Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak ia akan menjadi pendekar yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi bagaimana dapat menggerakkan hatinya untuk menjadi pendekar? Kematian isteriku tentu lebih membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak di mukanya betapa ia menyalahkan ilmu silat dalam peristiwa ini!"
Tepat seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng duduk berlutut di atas tanah di puncak yang sunyi, menangis sesenggukan. Bu Song berhenti dan memandang dengan hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan tetapi ketika ia melangkah mendekat, tidak seperti biasanya jantungnya berdebar aneh. Rasa iba hatinya bercampur dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas.
"Eng-moi...!" ia memanggil lirih.
Sejenak isak itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang kepada Bu Song dengan mata basah. Kemudian ia menangis lagi sambil berkata, "Koko, mau apa kau menyusulku di sini? Tinggalkanlah aku seorang diri...," tangisnya makin menjadi.
Bu Song maju mendekat, berlutut dan menyentuh pundak gadis itu. "Eng-moi, mengapa kau menyiksa diri seperti itu? Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi. Ahh... apakah yang kekal di dunia ini? Sewaktu-waktu maut pasti merenggut, memisahkan kita dari orang yang kita sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut merenggut nyawa kita sendiri. Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu. Ah, sakit rasa hatiku melihatmu sehari-hari menangis begini...."
"Song-koko...!" gadis itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada dada pemuda yang berlutut di depannya.
Bu Song mendekap kepala itu, jantungnya berdebar penuh kasih sayang. Setelah tangis gadis itu berkurang, ia perlahan mengangkat muka itu dari dadanya, memegang kedua pipi gadis itu dan memandang mukanya. Sepasang mata jeli yang memerah, hidung kecil mancung yang ujungnya merah dan pipi yang basah air mata, pipi yang agak pucat dan kurus.
"Moi-moi, kau kehilangan Ibumu, akan tetapi di sini masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku akan menjagamu, akan menemanimu selamanya, Moi-moi."
Air mata bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis ini terisak sambil memejamkan matanya. Tak tahan Bu Song menyaksikan ini dan ia menundukkan mukanya. Bibirnya menyapu ujung hidung, mengecap air mata dari pipi.
"Ah-hu-hu-hu...!" Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang bidang itu.
Bu Song menghela napas dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus. Tiba-tiba Eng Eng mendorongkan kedua tangannya pada dada Bu Song. Biar pun tangan gadis itu kecil halus, namun ia memiliki tenaga lweekang, maka tubuh Bu Song terjengkang ke belakang! Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan memandang. Gadis itu masih duduk di tanah, air matanya masih bertitik akan tetapi tidak menangis lagi, mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya marah.
"Song-koko... apa yang kau lakukan tadi...??"
"...apa...? Mengapa...? Ah, aku... menciummu... aku kasihan..."
"Engkau nakal!"
"Moi-moi, bukan baru sekarang aku menciummu!" Bu Song memperotes.
"Memang sejak kita masih kecil kau suka mencium, sebab kau memang tukang cium! Akan tetapi, kau biasa hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau... kau mencium hidung...??" Mata itu tidak menangis lagi, kini memandang marah.
"Ah, maaf, Moi-moi. Aku tidak... tidak sengaja... aku... aku...."
Aneh sekali. Terbayang senyum di bibir merah itu. "Sudahlah! Aku bukan marah karena kau mencium, melainkan... ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang menangis, penuh air mata, mengapa kau tidak menunggu mukaku bersih kalau mencium?"
Bu Song tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak! Akan tetapi memang sejak kecil Eng Eng tinggal di puncak gunung, jarang bergaul dengan orang banyak. Dialah satu-satunya kawan bermain, seperti kakak dan adik. Eng Eng masih kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang jodoh!
"Eng-moi, mari kita pulang." Dia membungkuk dan menyentuh pundak gadis itu. "Hari sudah hampir petang."
"Tidak, aku tidak pulang!" kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air matanya yang mulai keluar lagi. "Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah saja? Aku tidak pulang, biar tidur di sini!"
"Aihh, jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar pondok dan menanyakanmu. Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi."
"Kau bohong!"
"Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh Ayahmu menanti di sana. Sebentar lagi gelap di sini dan Suhu tentu akan marah kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh gadis itu berdiri.
Eng Eng seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret oleh Bu Song.
"Marilah, Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas hatimu!"
"Siapa mau pukul? Aku tidak marah!" akan tetapi suaranya ketus.
"Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu menanti."
"Kau janji dulu!"
"Janji apa?"
"Lain kali mau cium, harus bilang."
Bu Song menahan senyum. "Mengapa?"
"Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku."
Bu Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada. "Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!"
Eng Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu meninggalkan Bu Song. Bu Song juga tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik sehingga memiliki ginkang yang lumayan itu. Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan seenaknya.
Biarlah Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan. Sambil tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan, hatinya girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain sejak kecil.
Semenjak kecil Eng Eng memang lincah jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja. Semenjak kecil, karena hubungan mereka seperti kakak beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah mereka menjadi besar, ciuman mereka itu menjadi ciuman saudara. Akan tetapi tadi, terus terang harus ia akui bahwa ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan biasanya. Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia tersenyum lagi, kemudian Bu Song bersenandung.
Kegembiraan hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan. Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai Eng Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng Eng sebagai seorang pria mencintai seorang wanita! Seperti cinta gurunya terhadap ibu gurunya!
Karena sejak kecil hidupnya selalu di puncak dekat guru dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh dan ia gembira sekali. Guru dan ibu gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang sekali kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng Eng sebagai isterinya.
Ketika ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi di balik pohon tak jauh dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka itu adalah Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai paman ibu gurunya yang meninggal dunia. Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan heran. Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya melihat dari jauh. Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo Sengjin yang suaranya parau.
"Nah, Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali lagi kutekankan, engkau tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu terhadap isteri? Isteri terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak di sini. Inikah yang disebut orang gagah?"
"Kong Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan marah. "Tentang anakku, tak boleh orang lain turut campur, engkau sendiri pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan. Kau lihat saja, Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!"
Kakek lumpuh itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati, seorang patriot sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku, sahabat seperjuangan. Ha-ha-ha!"
"Sayang sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita terpisah, biar pun musuh-musuh kita sama. Nah, kau pergilah!"
Sambil terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya. Eng Eng tersedu dan berlari menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan gadis itu menangis. Bu Song tak berani bergerak. Untung pada waktu itu cuaca sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya tidak melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng sehingga kini agaknya ia terlambat datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, namun perbantahan yang isinya menghancurkan hati Eng Eng yang kebetulan datang dan mendengar sambil bersembunyi karena ia takut melihat ayahnya bicara keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu menimbulkan rasa takut di hatinya. Mula-mula ia mendengar ayahnya membentak keras....
"Tidak! Urusan jodoh anakku adalah di tanganku, tiada orang lain boleh mencampurinya! Akulah yang berhak menentukan, karena bukankah aku ayahnya?"
Kong Lo Sengjin tertawa mengejek. "Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar setelah isterimu meninggal? Kau kira aku tidak tahu betapa kau dahulu meninggalkan Gin Lin karena kau kira dia nenek-nenek? Betapa kau meninggalkan dia menderita seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena perbuatanmu? Tak ingatkah engkau bahwa akibat perbuatanmu yang hina itu Gin Lin menjadi wanita ternoda dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah, anak yang lahir dari perhubungan gelap? Dan akulah orangnya yang mengangkat Gin Lin dan anaknya dari sengsara.
"Setelah Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang gadis cantik, baru kau muncul dan mengaku sebagai suami Gin Lin, sebagai ayah Eng Eng! Huh, tak bermalu! Kini Gin Lin dibunuh orang, engkau enak-enak saja, sebaliknya kau mengukuhi hakmu sebagai ayah Eng Eng."
"Kong Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan sesalkan kalau aku terpaksa melawanmu!" Kim-mo Taisu membentak marah.
"Aha, kau kira aku takut? Kau kira engkau gagah? Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin Lin karena aku tahu rahasiamu? Ha-ha-ha! Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin, sebaliknya engkau malah hendak melawan aku! Boleh, engkau boleh menjadi musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak boleh mengaku sebagai ayah Eng Eng! Gin Lin hanyalah kekasihmu barangkali, akan tetapi bukan isterimu. Bilakah engkau menikah dengan keponakanku itu? Siapa saksinya? Ha-ha-ha!"
"Diam!!" Kim-mo Taisu membentak lagi. "Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan ulangi semua itu. Baiklah, kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira bahwa dia telah mengandung! Dan aku telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan membasmi musuh-musuhnya."
"Ha-ha-ha! Betulkah itu? Kau berani menghadapi Tok-siauw-kwi?" Kong Lo Sengjin mendesak. "Aku pun tahu bahwa cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah menceritakan semuanya kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Engkau yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar nenek-nenek sekali pun engkau tubruk.
"Sebaliknya, Tok-siauw-kwi tanpa mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila, menghabiskan para bangsawan muda di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku, memusuhi Gin Lin. Dialah seorang di antara musuh-musuh yang menyebabkan kematian Gin Lin. Beranikah kau kini membalas kepadanya?"
Kim-mo Taisu merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening kepalanya, sakit hatinya. Akan tetapi apa hendak ia jawab? Ucapan kakek keji ini semua tepat dan benar. Terbayang di depan matanya betapa ia telah mengalami hal-hal yang amat memalukan, betapa semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan batinnya terhadap asmara.
"Pergilah...! Aku akan menghadapinya... kau pergilah!" Hanya demikian ia menjawab dan pada saat itulah Bu Song datang dan mendengar percakapan selanjutnya.
Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi percakapan yang menyinggung-nyinggung ibunya. Namun, andai kata ia mendengar sekali pun, ia tidak akan tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu kandungnya....
Bu Song masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Baru setelah mereka memasuki pondok, ia berani mendekati pondok. Malam itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak keluar lagi dan Bu Song mendengar betapa Eng Eng bergelisah di dalam kamarnya, kadang-kadang menangis. Ada pun gurunya terdengar menarik napas berulang-ulang dalam kamar semedhinya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu sudah memanggilnya menghadap. "Bu Song," kata guru yang mukanya pucat ini. "Kau kumpulkan semua persediaan akar-akar obat yang sudah kering, juga kulit ular dan harimau yang sudah kering, pilih yang baik-baik. Kemudian kau bawa semua itu turun ke lereng barat dan temui Paman Kui Sam."
"Suhu maksudkan Kui Sam Lopek di dusun Hek-teng?" Bu Song menegaskan. Ia mengenal Kui Sam si pedagang keliling yang banyak menceritakan tentang kota raja dan kota-kota besar lainnya dalam perantauannya.
"Betul, dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan katakan agar ia tukar dengan lima stel pakaian sekolah untukmu, kemudian sisanya supaya dia persiapkan saja, nanti kalau aku hendak pergi, kuambil uangnya."
Berdebar jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan disuruh mengikuti ujian ke kota raja! Tak enak hatinya. Akar-akar obat dan kulit ular dan harimau itu adalah simpanan mereka, hasil perburuan bertahun-tahun. "Suhu, selain pakaian untuk teecu, apakah tidak ada lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi, untuk Suhu sendiri, atau lain keperluan...."
Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Bu Song, ketahuilah. Aku segera akan turun gunung pergi ke kota raja, mencarikan tempat untukmu. Kau jaga adikmu baik-baik sampai aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang akan pergi mengikuti ujian. Setelah itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain...."
Guru ini menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani membantah lagi. Cepat ia mengumpulkan barang-barang itu, mengikatnya menjadi satu, menggulung kulit dan menyediakan pikulan. Barang-barang itu sudah kering, tidak terlalu berat, apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul beban. Sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari.
Ia agak merasa heran mengapa Eng Eng belum juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis itu sebelum ia pergi ke dusun Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai muncul dan gadis itu belum keluar, ia tidak berani menanti lebih lama lagi. Barang-barang itu lalu dipikulnya dan mulailah ia menuruni puncak menuju ke dusun Hek-teng yang letaknya di lereng gunung Min-san bagian barat.
Hari sudah siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan langsung ia menuju ke rumah Kui Sam. Pedagang itu girang sekali menerima kiriman barang-barang yang baginya amat berharga dan menguntungkan itu. Kalau barang-barang ini dibawa ke kota akan menghasilkan uang banyak. Akan tetapi pada saat Bu Song tiba di situ, Kui Sam sedang sibuk sekali dan di situ berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng. Maka sesingkatnya saja Bu Song menyampaikan semua pesan suhunya yang diterima baik oleh Kui Sam.
Bu Song kemudian bertanya, "Kui Sam lopek, ada apakah ramai-ramai ini? Mengapa semua Paman berkumpul di sini dan menyiapkan tombak dan obor seperti orang mau perang saja?"
"Kebetulan sekali Kongcu datang ke sini. Tentu Kongcu sebagai murid Kim-mo Taisu akan dapat membantu kami mengusir atau membinasakan musuh ganas!" kata seorang di antara penduduk Hek-teng yng mewakili Kui Sam menjawab.
Muka Bu Song menjadi merah. "Ah, maafkan, Paman. Biar pun aku benar murid Suhu, namun aku bukan belajar ilmu silat, melainkan belajar ilmu sastra. Oleh karena itu, mana aku mampu berkelahi dan membunuh orang?"
Tentu saja para penduduk dusun itu tidak ada yang mau percaya. Mereka anggap sudah wajar seorang pendekar murid orang sakti selalu merendahkan diri, rendah hati dan pura-pura lemah.
"Wah, Kongcu terlalu merendah!" Kui Sam tertawa bergelak. "Gurumu memiliki kepandaian seperti malaikat, tentu muridnya lihai sekali. Lagi pula kami bukan hendak membunuh orang, karena musuh kami bukan orang."
"Bukan orang? Lalu... apakah musuh kalian?"
"Burung. Burung raksasa yang dalam waktu sebulan ini sudah menghabiskan sepuluh ekor domba kami!"
"Oohhh... agaknya hek-tiauw (Rajawali Hitam) yang pernah disebut-sebut Suhu," kata Bu Song kagum.
Pernah ia bersama suhunya pada suatu senja melihat titik hitam tinggi di angkasa, makin lama titik itu makin besar dan akhirnya tampaklah seekor burung hitam melayang-layang amatlah gagahnya. Tadinya Bu Song menyangka bahwa burung itu seekor garuda, akan tetapi suhunya segera menerangkan, "Bukan, burung itu adalah seekor hek-tiauw yang sukar dilihat. Agaknya ia datang ke sini untuk mencari-cari tampat yang aman untuk bersarang dan bertelur."
"Mungkin sekali," kata Kui Sam. "Besarnya bukan main, ganas dan kuat. Sebuah kakinya mampu mencengkeram seekor domba. Paling akhir ia mencengkeram dua ekor domba dan dibawanya terbang dengan mudah. Memang bulunya agak kehitaman, akan tetapi matanya merah seperti api menyala."
Bu Song makin tertarik. "Lalu kalian ini hendak menyerbunya secara bagaimanakah? Dia pandai terbang, bagaimana kalian dapat mengejarnya?"
"Kami akan menyerbu sarangnya, Kongcu. Sudah kami ketahui di mana sarangnya, di puncak batu karang sebelah selatan. Agaknya dia bertelur di sana. Kita akan obrak-abrik sarangnya, tentu dia akan lari ketakutan dan biar dia minggat mencari tempat lain! Hendak kami lihat apakah dia berani melawan api, ha-ha!"
Bu song tertarik sekali. "Boleh aku ikut menonton?"
"Ha-ha, tentu saja boleh. Dengan adanya Kongcu, kami makin tidak takut terhadap burung raksasa itu," jawab mereka.
Berangkatlah rombongan itu sebanyak dua puluh lima orang. Kui Sam menjadi pemimpin rombongan berjalan di depan. Bu Song berjalan di sampingnya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan bersenda-gurau seperti seregu pasukan hendak maju perang melawan musuh! Diam-diam Bu Song mengalami kegembiraan yang belum pernah ia rasakan selama ini. Orang-orang ini benar gagah, pikirnya.
Perjalanan mulai sukar, mendaki sebuah puncak yang penuh batu-batu seperti karang, runcing tajam dan kasar. Namun mereka adalah penduduk gunung yang sudah biasa melalui jalan seperti itu, maka perjalanan dapat dilanjutkan tanpa banyak kesukaran. Hanya kini tidak ada yang bernyanyi lagi, tidak ada yang bersendau-gurau, karena keringat telah membasahi tubuh yang telah membasahi tubuh yang lelah dan hati mulai berdebar tegang. Makin dekat dengan sebuah batu karang berbentuk menara yang menjulang tinggi di puncak, makin berdebarlah hati mereka. Di ujung batu karang itulah si burung raksasa bersarang.
Akhirnya mereka tiba di bawah batu karang seperti menara itu, terengah-engah menyusuti keringat. Tiba-tiba terdengar bunyi bercicit-cicit nyaring di atas batu karang, lalu terdengar kelepak sayap dan... mereka menjadi gelisah ketika tampak seekor burung hitam raksasa terbang melayang ke luar dari atas batu karang. Inilah si Rajawali Hitam yang ganas itu. Bulunya kehitaman, matanya mencorong seperti api bernyala.
"Cepat nyalakan obor!" seru Kui Sam dan ramai-ramai mereka nyalakan obor.
Ada yang mulai melepas anak panah ke arah burung itu karena si Rajawali kadang-kadang menyambar ke bawah sambil memekik-mekik nyaring. Akan tetapi, anak panah itu disampok runtuh oleh sayapnya yang besar seakan-akan anak-anak panah itu hanyalah mainan kanak-kanak belaka. Orang-orang itu berteriak-teriak dan mengacung-acungkan tombak serta obor.
Benar saja, karena melihat api, burung itu tidak berani menyerang, hanya terbang mengitari mereka dari atas sambil memekik-mekik marah. Selama orang-orang itu berkumpul dan melindungi kepala dengan api, burung itu tidak berani apa-apa.
"Hayo kita ke atas, kita bakar sarangnya!" teriak Kui Sam.
Akan tetapi jalan pendakian ke atas batu karang itu amat sempit, hanya dua orang saja dapat secara bersamaan mendaki ke atas, itupun amat sukar. Kui Sam dan seorang lain lagi mendaki, akan tetapi baru kurang lebih tiga meter, burung rajawali itu menyambar dari atas.
"Awas...!!" teriak mereka yang tinggal di bawah.
Kui Sam dan temannya terkejut, cepat mengangkat obor di tangan kanan untuk melindungi kepala sedangkan tangan kiri memegang batu karang yang menonjol. Bahkan Kui Sam menggerakkan tombak untuk menusuk ketika bayangan hitam itu menyambar. Akan tetapi kibasan sayap yang besar dan amat kuat itu sekaligus memadamkan dua buah obor, mematahkan tombak dan membuat kedua orang itu terlempar jatuh ke bawah!
Baiknya teman-teman di bawah segera menerima tubuh mereka yang langsung roboh bergulingan bersama orang-orang yang tertimpa. Biar pun babak-belur, namun mereka selamat. Kembali burung itu menyambar, akan tetapi sambil memekik marah ia terbang ke atas kembali setelah semua orang menyatukan obor dan mengacung-acungkan ke atas.
"Dia takut api dan tidak berani menyerang kita!" kata Kui Sam yang masih merasa mendongkol.
"Akan tetapi mana bisa kita mendaki bersama? Paling banyak hanya dua orang yang bisa mendaki bersama, dan hal itu berbahaya. Menghadapi dua obor saja ia tidak takut!" kata yang lain.
"Kita gunakan panah api! Kita ikatkan benda bernyala di ujung anak panah dan kita panahkan ke bagian atas. Agaknya sarang itu berada di puncak, dalam sebuah goa," kata Kui Sam.
"Lihat itu...!" tiba-tiba Bu Song berkata.
Pemuda ini sejak tadi menonton dan tidak ikut-ikut membawa obor. Ia merasa kagum bukan main menyaksikan gerakan dan sepak terjang burung rajawali hitam itu. Ketika melihat penuh perhatian ke arah puncak karang, ia tiba-tiba melihat tiga buah kepala burung muncul, tiga buah kepala burung yang lucu sekali karena tidak berbulu, matanya melotot.
Semua orang berdongak memandang.
"Itu anak-anaknya. Kita serang dengan anak panah...!" kata Kui Sam.
Usul ini lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan, karena selain terlindung batu karang yang menonjol, juga semua anak panah disapu habis oleh rajawali hitam yang melindungi anak-anaknya. Bahkan terjadi ribut dan gempar ketika seorang di antara mereka tertusuk anak panah yang runtuh dari atas, tepat mengenai daun telinganya sehingga robek.
Tiba-tiba Bu Song meloncat dari tempat duduknya. Ia sejak tadi memperhatikan anak-anak burung itu dan melihat betapa seekor di antara mereka agaknya tertarik oleh ribut-ribut di bawah, entah tertarik entah ketakutan, akan tetapi anak burung yang seekor ini bergerak-gerak makin ke pinggir.
Ia sudah khawatir sekali, maka begitu melihat anak burung itu tergelincir ke luar dan jatuh ke bawah, ia sudah melompat dan menerima burung kecil itu dengan kedua tangannya! Dari bawah burung itu kelihatan kecil, akan tetapi setelah ia terima dengan tangannya, ternyata sebesar bebek!
"Saudara-saudara, harap mundur. Tak baik ribut-ribut ini dilanjutkan!" Bu Song berkata dengan suara keras. Entah suaranya yang berwibawa, entah karena mereka menganggap ia seorang pendekar murid Kim-mo Taisu, akan tetapi semua orang berhenti memanah dan mengundurkan diri, memandang kepada Bu Song yang memegang anak burung itu di tangannya.
"Sekarang aku mengerti," kata Bu Song. "Rajawali itu mencuri kambing untuk memelihara anak-anaknya. Kalau anak-anaknya sudah pandai terbang, tentu mereka akan pergi meninggalkan tempat ini, karena asal mereka bukan di sini."
Anak burung itu bercicit di tangan Bu Song dan induk burung beterbangan di atas, memekik-mekik dan menyambar-nyambar ke arah Bu Song, akan tetapi tidak menyerang pemuda itu karena Bu Song mengangkat anak burung itu di atas kepalanya. Kemudian dengan tenang pemuda itu lalu mendaki batu karang berbentuk menara itu, perlahan-lahan dan hati-hati ia mendaki ke atas.
Burung rajawali hitam menyambar-nyambar lagi sambil memekik-mekik dan orang-orang di bawah sudah menahan napas melihat betapa burung besar itu menyambar ke arah Bu Song. Namun burung itu tidak menyerang. Agaknya melihat pemuda itu memegangi anaknya sambil mendaki dan tidak membawa api yang ditakuti, burung itu dapat mengerti niat orang menolong anaknya.
Setelah tiba di puncak, Bu Song melihat sebuah goa yang besar. Kiranya di dalam goa itulah sarang si Rajawali karena lubang itu penuh dengan rumput kering. Ia menaruh anak burung itu di dekat dua saudaranya, dua ekor burung kecil yang serupa dan yang memandang Bu Song dengan mata melotot-lotot lucu. Bu Song tertawa dan mengelus-elus kepala mereka.
Tiba-tiba matanya tertarik oleh setumpuk benda putih kekuningan di pinggir sarang, benda seperti agar-agar kering. Ia teringat akan cerita suhunya tentang khasiat liur burung yang sudah kering dalam sarang burung wallet, maka tanpa ragu-ragu ia lalu mengambil setumpuk benda itu, kemudian turun lagi ke bawah. Burung rajawali itu mengeluarkan suara aneh terbang berputaran mengelilingi tempat itu dan matanya selalu melirik ke arah Bu Song. Sama sekali ia tidak mengganggu Bu Song yang mendaki turun.
Setibanya di bawah, orang-orang menyambut Bu Song dengan kening berkerut. Mereka merasa tidak puas karena belum berhasil membasmi musuh, malah pemuda dari puncak Min-san ini seakan-akan berpihak kepada musuh!
Bu Song seorang pemuda yang luas pandangan dan cerdik. Ia maklum akan isi hati orang-orang itu, maka ia segera berkata, "Saudara-saudara, maafkan pendapatku ini. Akan tetapi burung rajawali hitam itu tidaklah jahat. Buktinya, ia tidak pernah membunuh manusia untuk dijadikan mangsanya. Ia menyerang manusia sekarang ini hanya karena kita yang lebih dahulu mengganggunya. Maka tidak perlu kita memusuhinya."
"Akan tetapi, dia sudah menghabiskan sepuluh ekor kambing kami!" bantah seorang.
"Kalau tidak dibunuh, tentu akan menghabiskan lebih banyak lagi!" sambung orang kedua.
"Tidak, asal dijaga baik-baik," kata pula Bu Song. "Kambing-kambing yang sudah diterkamnya, biarlah kelak aku yang menggantinya, kutukar dengan akar-akar obat. Selanjutnya, jika kalian menggembala domba, supaya mempersiapkan obor. Begitu dia muncul, kalian menyerang. Dengan cara begini, burung yang lapar itu tentu akan mencari binatang lain dalam hutan. Lebih aman begini dari pada harus bermusuh melawan burung ajaib yang amat berbahaya itu. Untuk apa mengorbankan nyawa manusia kalau jalan lain dapat ditempuh?"
Akhirnya semua orang itu setuju dengan pendapat Bu Song dan pemuda ini dengan hati girang pulang ke puncak membawa liur (ilar) kering burung rajawali hitam.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Si Ek, bekas suami Liu Lu Sian, bekas Jenderal Hou-han yang gagah perkasa. Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak ditinggalkan isterinya, Kam Si Ek hidup menduda selama tiga tahun di samping puteranya, Kam Bu Song.
Kemudian ia menikah lagi dengan Ciu Bwee Hwa, puteri seorang sastrawan bernama Ciu Kwan yang tinggal di Ting-chun. Peristiwa ini menekan perasaan Bu Song yang lalu minggat meninggalkan rumah ayahnya.
Tentu saja kepergian puteranya itu menyedihkan hati Kam Si Ek yang melakukan segala usaha untuk mencari puteranya, namun sia-sia belaka. Baru setelah istrinya melahirkan anak, kesedihan Kam Si Ek yang kehilangan Bu Song agak mereda, sungguh pun ia masih senantiasa teringat dan berusaha mencari puteranya yang sulung itu.
Jenderal Kam Si Ek adalah seorang panglima yang setia dan mentaati perintah atasan. Biar pun ilmu silatnya tidak amat hebat, namun kepandaiannya terkenal sekali dalam hal mengatur barisan dan menggunakan siasat perang. Dengan siasatnya yang cerdik, Jenderal Kam Si Ek sanggup menghadapi musuh yang jauh lebih besar bala tentaranya.
Berkat kepandaiannya mengatur bala tentara inilah maka Hou-han menjadi kuat sekali. Biar pun berkali-kali pihak musuh, terutama pasukan-pasukan Khitan, berusaha menyerbu, selalu dapat dipukul hancur dan digagalkan. Nama Jenderal Kam Si Ek terkenal sampai di luar daerah, sampai di Khitan dan di kerajaan-kerajaan lain yang pernah memusuhi Hou-han.
Akan tetapi hati Kam Si Ek makin lama makin bercuriga terhadapi Gubernur Li Ko Yung di Shan-si. Tadinya Li Ko Yung ia anggap seorang yang setia kepada kerajaan dan seorang pejabat tinggi yang tidak mempunyai ambisi pribadi. Kemudian ia dapat tahu bahwa Gubernur Shan-si ini mempunyai cita-cita untuk membangun kerajaan sendiri di Shan-si, apalagi setelah Kerajaan Tang makin lemah. Kam Si Ek mendengar bahwa Gurbernur Li ini ikut pula membantu dan bersekutu dengan pemberontak!
Pada saat itu juga Kam Si Ek sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Akan tetapi pada hari ia hendak mengirim surat permohonan berhentinya kepada gubernur, tiba-tiba Shan-si diserang oleh gelombang pasukan Khitan yang amat besar. Biar pun Kam Si Ek sudah tidak suka untuk mengabdi kepada Gubernur Li Ko Yung yang mengkhianati Kerajaan Tang, namun Kam Si Ek masih mengingat akan nasib rakyatnya.
Maka ia cepat-cepat mengenakan pakaian perang, membantah cegahan isterinya yang menggendong puterinya yang baru berusia empat tahun. Kini Ciu Bwee Hwa telah mempunyai dua orang anak, yang pertama laki-laki berusia enam tahun diberi nama Kam Bu Sin, yang ke dua perempuan yang digendong itu bernama Kam Sian Eng.
"Bukankah sudah bulat keputusanmu hendak meninggalkan Shansi dan kita mengundurkan diri ke gunung? Mengapa sekarang kau hendak maju perang lagi?" antara lain isterinya memperingatkan.
"Bala tentara Khitan yang menyerbu kali ini amat besar dan kuat. Aku maju bukan untuk membela Gubernur Li, melainkan untuk mencegah bangsa Khitan merusak kota-kota dan membunuhi rakyat. Biarlah kali ini menjadi tugas terakhir bagiku. Kau tenanglah dan jaga baik-baik kedua orang anak kita, isteriku."
Kemudian berangkatlah Kam Si Ek. Ia memimpin barisan memotong jalan yang akan dilalui bala tentara Khitan yang datang menyerang bagaikan gelombang. Dengan siasat memecah-mecah barisan dan membuat jebakan-jebakan dan perangkap, akhirnya ia berhasil memotong barisan musuh menjadi beberapa bagian terpisah, lalu pasukan-pasukannya yang terlatih baik itu menyerbu dari tempat-tempat sembunyi mereka.
Pertama-tama menggunakan panah-panah api untuk mengacaukan bala tentara Khitan yang sudah terpotong itu, kemudian mengurung mereka yang sudah terputus dengan bagian perlengkapan dan setelah mereka menjadi lemah keadaannya, barulah pasukan-pasukan ini menyerbu!
Seperti telah kita ketahui, pada waktu itu Raja Kulukan, ayah puteri Tayami telah meninggal dunia dan kedudukan Raja Khitan berada di tangan Kubakan, kakak tiri Tayami. Setelah Kubakan menjadi Raja Khitan, ia mengerahkan pasukannya untuk menyerang ke selatan dan ke timur. Pasukan-pasukannya ganas dan kuat, dibantu panglima-panglima yang kosen.
Hanyalah karena maklum bahwa banyak panglima tua masih setia kepada Puteri Tayami, maka Raja Kubakan bersikap baik terhadap Tayami. Akan tetapi kebaikan ini hanya lahiriah belaka, sebetulnya di dalam hati ia amat membenci Tayami yang tidak membalas cintanya. Apalagi Raja Kubakan juga tahu bahwa sewaktu-waktu kedudukannya dapat goyah karena Tayami adalah Puteri Mahkota yang sebenarnya. Ia mencari kesempatan untuk melenyapkan saingan ini.
Tayami telah menikah dengan Salinga, seorang panglima muda, prajurit perkasa dari Khitan. Mereka berdua hidup bahagia, saling mencinta dan setahun kemudian mereka dikaruniai seorang puteri yang mungil dan sehat, dan yang mereka beri nama Puteri Yalina.
Makin bahagialah kehidupan mereka dan biar pun bekas Puteri Mahkota ini tidak menggantikan kedudukan mendiang ayahnya menjadi raja, melainkan diganti oleh kakak tirinya, Kubakan, namun hati puteri ini tidaklah merasa penasaran. Ia merasa cukup berbahagia di samping suaminya yang mencinta dan puterinya yang mungil.
Kurang lebih dua tahun kemudian sejak Puteri Tayami melahirkan puterinya, terjadilah penyerbuan besar-besaran terhadap Shansi yang digerakkan oleh Raja Kubakan. Dalam operasi ini, Raja Kubakan memerintahkan kepada Panglima Salinga, suami Tayami untuk memimpin pasukan. Sebagai seorang prajurit yang bertugas membela negaranya, tentu saja Salinga tidak berani membantah dan siap-siap berangkat. Akan tetapi isterinya merasa khawatir.
"Suamiku, selama ini tugasmu menjaga keselamatan kerajaan di sini. Sekarang Raja memerintahmu untuk memimpin pasukan menyerang Shan-si. Serbuan ini besar-besaran dan mati-matian, apalagi kalau diingat bahwa di Shan-si terdapat Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai sehingga penyerbuan ini amat berbahaya. Aku merasa tidak enak dan curiga, oleh karena itu, aku harus ikut," demikian kata Puteri Tayami.
"Ah, mengapa harus ikut? Kau seorang wanita dan tugasmu menanti di rumah..."
"Biar seorang wanita, sejak dahulu aku sudah biasa ikut mendiang Ayah melakukan perang. Pula, aku seorang puteri, sudah menjadi tugasku pula menyertai pasukan kita melawan musuh."
"Benar, isteriku. Akan tetapi kau harus ingat, Yalina yang masih kecil."
"Dia anak kita, anak orang-orang peperangan. Usianya sudah dua tahun lebih. Pula, aku hanya mengantar dan berada di barisan belakang. Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa tidak ada sesuatu di balik perintah penyerbuan ini, suamiku."
Karena tidak dapat ditentang, akhirnya Puteri Tayami berangkat juga bersama barisan yang dipimpin suaminya. Dengan gagah Puteri Tayami naik kuda di samping suaminya sambil menggendong puterinya yang berusia dua tahun lebih. Anggota pasukan menjadi besar hati menyaksikan betapa puteri yang gagah perkasa ini menyertai suaminya.
Demikianlah, terjadi perang hebat melawan bala tentara yang dipimpin Kam Si Ek. Dan seperti telah disebutkan tadi, Kam Si EK mengatur siasat memecah-mecah barisan Khitan, memasang jebakan dan menyerbu dengan tiba-tiba sehingga barisan Khitan menjadi kocar-kacir. Pasukan-pasukan Khitan terdiri orang-orang gagah dan pandai perang, akan tetapi menghadapi siasat Jenderal Kam Si Ek, mereka tidak berdaya dan kacau-balau. Banyak orang Khitan tewas terkena panah gelap.
Dalam keadaan terkurung dan terjebak, Panglima Salinga tewas dalam pertempuran. Berita ini segera sampai di telinga Puteri Tayami yang berada di barisan belakang dan sudah terputus hubungannya. Puteri Tayami menjadi kaget dan berduka sekali, juga marah. Cepat ia melompat ke atas seekor kuda, menggendong puterinya dan dengan pedang di tangan, puteri yang perkasa ini lalu terjun ke dalam kancah perang, mengamuk secara hebat. Pedangnya merobohkan banyak lawan.
Keinginan sampai dapat bertemu dengan Jenderal Kam Si Ek yang memimpin sendiri barisannya dan jika berhasil membunuh pimpinan lawan ini hatinya akan puas. Pedang Besi Kuning di tangannya adalah pusaka Khitan yang ampuh sekali. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya ini tentu akan patah dan bagaikan seekor naga betina puteri ini mengamuk terus. Akhirnya ia berhasil mendekati tempat Jenderal Kam mengatur siasat dan memimpin pasukannya.
Semangat dan kegagahan Puteri Tayami ini menarik dan membangkitkan kembali semangat para pasukan Khitan sehingga dalam waktu singkat banyak pula pasukan Khitan yang ikut menyerbu di belakangnya dan sampai pula ke tempat itu. Pertempuran menjadi makin hebat, dan melihat kegaduhan ini Jenderal Kam Si Ek terkejut. Seorang pembantunya lalu melaporkan bahwa sepasukan musuh yang dipimpin seorang wanita Khitan menyerbu dengan nekat dan berhasil menghancurkan kepungan.
Jendral Kam meloncat ke atas kudanya dan segera memimpin pasukan pengawal untuk membantu pertahanan menghadapi amukan pasukan musuh yang menurut laporan amat berani dan kuat itu. Dari tempat agak jauh dan tinggi ia memeriksa keadaan, lalu memberi perintah pengepungan, memberi isyarat kepada pasukannya untuk mundur dan bersembunyi, kemudian dari empat penjuru pasukannya menghujani pasukan musuh yang mengamuk itu dengan anak panah!
Dalam keadaan dihujani anak panah itulah tiba-tiba Puteri Tayami roboh dari atas kudanya, bukan terkena anak panah musuh, melainkan terkena anak panah yang dilepas dari belakang, dari dalam pasukannya sendiri! Mengapa begitu? Kiranya dari sejak mula, Raja Kubakan sudah mengirim orangnya untuk menggunakan kesempatan ini membunuh Salinga dan Tayami! Salinga tewas dalam perang, tinggal Puteri Tayami.
Namun pembunuh itu tidak mendapatkan kesempatan melaksanakan tugasnya yang jahat dan berat, karena tentu saja selain hendak mentaati perintah raja dan mengharapkan hadiahnya, ia pun ingin menyelamatkan diri sendiri sehingga tugas itu dapat ia lakukan tanpa membahayakan nyawanya sendiri. Puteri Tayami adalah seorang wanita kosen, tidak mudah dibunuh begitu saja. Selain itu, apabila ketahuan para panglima bahwa dia membunuh Tayami, tentu ia pun tidak akan selamat!
Maka kini melihat puteri itu mengamuk, ia pun lalu masuk ke dalam pasukan yang mengikuti jejak puteri perkasa ini. Dalam keadaan kacau-balau karena terjebak dan dihujani anak panah inilah, ia mendapat kesempatan baik sekali. Teman-temannya dalam pasukan juga membalas musuh dengan anak panah.
Melihat betapa Puteri Tayami melindungi diri sendiri dan puterinya dengan memutar pedang bersinar kuning di depannya, pembunuh ini lalu menarik gendewa dan mengirim pula anak panahnya, bukan kepada musuh melainkan tepat ke arah Puteri Tayami!
Tak seorang pun mengetahui bahwa dialah yang menewaskan Puteri Tayami. Semua mengira bahwa Sang Puteri menjadi korban anak panah musuh! Robohnya Tayami ini tak dapat disangkal lagi malah menyelamatkan nyawa puteri dalam gendongannya. Setelah ia roboh, Puteri itu tetap memeluk puterinya, melindunginya dengan tubuh dan dengan Pedang Besi Kuning.
Robohnya Puteri ini mengagetkan pasukan Khitan, apalagi karena selain Sang Puteri, banyak pula anggota pasukan roboh terkena anak panah. Mereka menjadi agak panik dan kacau, sungguh pun mereka tidak takut...