CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
JODOH RAJAWALI JILID 03
Gegerlah seluruh istana Kerajaan Bhutan dengan berita tentang siluman yang memasuki istana itu. Tentu saja sebagian besar orang tidak percaya, dan raja sendiri pun tidak percaya. Namun betapa pun juga, para panglima mengerahkan pengawal-pengawal istana untuk melakukan penjagaan dan perondaan yang ketat untuk menjaga keselamatan keluarga istana raja. Juga para pendeta Buddha dikerahkan untuk mengusir ‘roh’ jahat atau siluman yang mengganggu istana.
Kalau saja tidak ada pengerahan pendeta-pendeta untuk mengusir roh-roh jahat, kiranya tidak akan terjadi hal-hal yang menghebohkan. Malam itu juga, seorang pendeta Buddha yang terkenal sebagai seorang ahli roh-roh jahat dan siluman yang bernama Nalanda, seorang yang bertubuh tinggi besar, berusia lima puluh tahun berwajah angker dan serius, dengan membawa tempat pedupaan yang terisi dupa wangi mengebul, berjalan mengelilingi istana.
Asap dupa mengebul dari tempat pedupaan, baunya semerbak sampai ke sudut-sudut, dan Pendeta Nalanda berkemak-kemik membaca mantera untuk mengusir roh jahat. Kemak… kemik… kemak… kemik….
Pada saat itu, sesosok bayangan menyelinap di antara bayangan-bayangan gedung istana. Bayangan ini bukan lain adalah dara cantik jelita yang tadi telah menggegerkan luar istana. Sekarang payungnya telah ditutup dan dikempit di bawah ketiak kirinya, dan dengan gerakan kaki yang ringan dan gesit, tanda bahwa gadis ‘siluman’ ini memiliki kepandaian tinggi, dan menyelinap ke sana ke mari mencari-cari. Dara itu sudah mulai kelihatan gelisah dan jengkel karena dia tidak mengenal jalan sehingga selalu tersesat bertemu dengan lorong buntu di kompleks istana yang luas itu.
“Sialaaan...!” Berulang kali dia mengumpat dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
Tiba-tiba hidung yang cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium bau harimau yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras. Akhirnya dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang besar, bersembuyi di balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang mengebulkan asap putih dan bibirnya terus berkemak-kemik membaca mantra pengusir roh jahat.
Dara itu tersenyum geli. Sekelebat mata, giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat tertimpa cahaya lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong istana. Dara itu tentu saja mengerti mengapa pendeta ini membakar dupa dan berdoa mengusir roh jahat. Matanya yang cerdik itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri gembira. Dia kini memperoleh seorang petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan gerakan yang ringan, yang menandakan bahwa dia memiliki ginkang yang tinggi, dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta itu dari belakang.
Pendeta Nalanda memasuki taman bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga ketat. Penjagaan di sekitar taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu hanya bersembunyi di luar taman, akan tetapi dia dapat mengintai dari luar, melihat pendeta itu memasuki taman, tiba di tengah taman yang luas dan dari jauh dia melihat pendeta itu bicara kepada seorang wanita yang agaknya duduk di dalam taman, lalu pendeta itu mengelilingi taman dengan pedupaannya dan keluar lagi.
Si Dara terus membayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar kosong, meletakkan pendupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulutnya tak hentinya berkemak-kemik membaca mantera.
Kemudian pendeta itu berdiri tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya, dan terdengar dia berkata, “Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di sekitar istana Bhutan, dengarkanlah perintahku! Aku adalah yang terkasih, Pendeta Nalanda, yang telah memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir kalian! Jangan kalian berani mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan menggunakan kekuasaan untuk menghukum kalian!”
Ucapan itu dilanjutkan dengan doa-doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi Pendeta Nalanda melakukan upacara pengusiran roh jahat, tiba-tiba saja pandang mata pendeta itu terbelalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya! Bayangan seorang wanita yang cantik jelita, yang mengempit sebuah payung!
Pendeta yang selama menjadi pengusir roh ini hanya mengusir siluman-siluman dalam khayalnya saja, kini melihat pemandangan itu, merasa tengkuknya pun dingin dan tebal, semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya berbulu, berdiri satu-satu! Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi, ketika dia melirik ke depan, ‘roh jahat’ itu masih berdiri di situ, malah makin mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum!
“Wahai, roh yang keras kepala!” bentaknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung ‘roh’ itu. “Pergilah kau kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!”
‘Roh’ cantik itu malah tersenyum, manisnya bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut keluar sebatang pedang kayu itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan sikap menggoda dan mempermainkan.
“Sliuman jahat... pedang pusakaku akan menghukummu!” Dengan suara gemetar pula pendeta Nalanda itu menggerakkan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari semacam kayu cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, menusuk ke arah dada wanita cantik itu.
“Plakkkk!” Sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang kayu telah dirampasnya, kemudian pedang itu bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi besar itu jatuh bertekuk lutut!
Dara jelita itu terkekeh, menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia oles-oleskan abu pendupaan untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang hitam! Setelah melakukan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas jubah pendeta itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopiah pendeta dan menaruhnya di atas kepala, lalu diambilnya pendupaan itu dan keluarlah dia dari kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu menuju ke taman istana yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda!
“Ehh, Losuhu, kenapa kembali lagi?” Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di tengah pintu taman.
“Minggir, ada siluman di dalam taman!” kata dara itu dengan suara dibesarkan, dan dia cepat membaca mantera dengan ngawur dan berjalan masuk.
Para penjaga sudah menjadi ketakutan mendengar kata-kata itu, maka mereka tidak begitu memperhatikan di dalam kegelapan malam yang mulai tiba itu bahwa si pendeta kini tiba-tiba berubah kecil tubuhnya, dan kini mengempit payung di bawah ketiaknya!
Dara itu terus memasuki taman. Setelah para penjaga sudah tidak kelihatan lagi, dia melemparkan pendupaan, kopiah dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat menyelinap ke belakang pohon-pohon dan semak-semak, menuju ke tengah taman.
Seperti telah diceritakan di bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah duduk melamun seorang diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai merah di dalam empang.
“Bunga teratai... engkau jauh lebih bahagia dari pada manusia,” demikian keluhan hati Sang Puteri.
Dia teringat akan kekasihnya. Betapa sukarnya menjadi manusia. Kotor atau bersihnya manusia ditentukan oleh keadaan, oleh lingkungan, dan terutama oleh pendapat orang lain atau umum. Sebelum pergi meninggalkan Bhutan, Ang Tek Hoat dikenal sebagai seorang pahlawan, seorang calon mantu raja, seorang yang sangat patut dihormati dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara orang lain dijatuhkan, Tek Hoat menjadi orang yang direndahkan.
“Tidak...!” bantah hatinya. “Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Bagai bunga teratai itu, biar direndam ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan selamanya aku akan menganggapmu begitu.“
Dia menghela napas panjang dan teringat akan pesan pendeta Nalanda tadi. Pendeta itu memasuki taman dan menasehati agar dia masuk ke kamarnya karena ada ‘hawa siluman’ mengotori istana dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh jahat. Tetapi Syanti Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari ketahyulan semenjak dia terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami banyak sekali hal-hal hebat hingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan itu hanyalah kebohongan semata.
Dia telah mengalami hal-hal yang nyata, dan dalam keadaan bagaimana pun juga, dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh seperti yang dipercaya oleh orang-orang yang suka menerima ketahyulan sebagai sesuatu yang benar. Dan oleh karena itu, nasehat pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri ini masih saja duduk seorang diri di dalam taman itu.
“Selamat malam, Adinda Syanti Dewi!”
Puteri itu menengok dan hatinya berbisik mencela, “Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia inilah siluman bagiku.”
Akan tetapi Syanti Dewi adalah seorang yang berperangai halus, dan biar pun hatinya tidak senang kepada Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan menjawab, “Selamat malam, Panglima Mohinta.”
Mohinta menyeringai dan kumis tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini masih selalu menyebutnya ‘panglima’. Hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut ‘kakanda’ kepada tunangannya ini! Sebutan ‘panglima’ sungguh sama sekali tidak mencerminkan kemesraan, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang berbicara dengan seorang panglima kerajaan, seorang bawahan!
“Mengapa Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin.”
“Biarlah, Panglima Mohinta. Aku sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada urusan apakah?”
Kembali panglima muda itu menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara pada waktu itu. “Saya... saya... hanya ingin menjenguk, khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya... hemmm... ada siluman berkeliaran... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu...“
“Hemmm, apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima, tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian.”
Akan tetapi panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.
“Adinda Syanti Dewi...“
“Panglima, aku ingin sendirian!”
“Aduhai, Adinda sayang. Bukankah telah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri. Apakah aku tak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?”
“Panglima, aku tidak ingin bicara tentang itu!”
“Adinda, itu adalah urusan kita berdua, urusan pribadiku dan pribadi...“
“Sudahlah. Kalau engkau mau bicara tentang hal itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau sebagai Ayahku yang berhak membicarakan soal itu, bukan aku.”
“Adinda... aku... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan ini...?”
“Sudah terlalu sering sampai membosankan!”
“Duhai, Adinda... jangan begitu“
Panglima Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.
“Panglima, bukan aku tidak kasihan kepadamu. Tetapi... aku tidak suka membicarakan hal itu. Pergilah!”
“Adinda... Syanti Dewi, kau kasihanilah aku...!” Panglima itu sekarang menjatuhkan diri berlutut!
Pada saat itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat persembunyiannya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihatnya.
“Siapa kau...?” Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring.
Panglima Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta.
Syanti Dewi terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa baginya. Dia melihat Panglima Mohinta memandang seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya ‘Adinda Syanti Dewi’! Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciuminya. Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu.
Dara itu melangkah mendekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil tersenyum manis, berbisik, “Puteri, lupakah engkau padaku?”
Syanti Dewi memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan di mana.
“Aku Siang In... eh, yang dulu pernah membantumu... guruku adalah See-thian Hoat-su yang pernah menolongmu.“
Berseri wajah Syanti Dewi. “Aihhh, Si tukang sulap itu...?” teriaknya.
“Sssttttt...!” Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih terus merayu arca. “Mari kita bicara di dalam saja. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti Dewi.”
Siang In, dara itu, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua kemudian melangkah keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghubungkan taman dengan gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga. Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu.
“Heh, semua penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?” bentaknya dengan suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima Mohinta!
Tujuh orang penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab ‘perintah’ dara itu, “Siap, Panglima!”
Setelah mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya, “Eh, apa yang telah kau lakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga itu menyebut engkau panglima?”
Siang In melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu. “Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!” Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.
“Hi-hik, masih mending merayu arca batu yang dingin dari pada merayu seorang gadis yang bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?”
“Tetapi... tetapi mengapa bisa begitu? Bingung aku... apa sih yang sebetulnya sudah terjadi?”
“Aihhhhh... kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main sulap juga.”
Syanti Dewi terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main. “Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu... hik-hik, dia menganggap arca tadi…?”
“Disangkanya engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ahh, dia tampan dan ganteng juga, ehh!”
Syanti Dewi bersungut-sungut. “Huh, siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia! Kusuruh tangkap pengawal dan kusuruh gantung...!”
“Ee-eeeiiiiittt, mengapa begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima Mohinta itu adalah tunanganmu, bukan?”
Tiba-tiba hati puteri itu menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak disukanya itu. Dia kemudian menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan muka di bantal.
Siang In meloncat dan duduk mendekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang halus itu basah. Siang In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua orang dara ini memang sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga, Syanti Dewi adalah bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan lembut dan lunak, sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik jelita kuat, bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan yang diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu Candra Dewi atau Ceng Ceng yang amat dicintanya, maka dia merangkul leher Siang In.
“Engkau cantik sekali, Puteri,” Siang In berkata.
Syanti Dewi mengambung pipi dara itu. “Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan engkau mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng.”
Sejenak mereka saling pandang, mengagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa puteri itu mempunyai seorang adik angkat yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga disebut Candra Dewi. Ceng Ceng kini telah menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang.
Dan siapakah dara cantik jelita, jenaka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini yang pada waktu itu baru berusia lima belas tahun. Teng Siang In adalah seorang dara berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah puteri dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli pengobatan yang amat terkenal. Dalam keadaan sebatang kara, karena orang tuanya telah meninggal dan juga enci-nya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga kemudian mati terbunuh, akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh yang berilmu tinggi dan juga pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid.
Empat tahun lamanya Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran ilmu silat tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini Siang In muncul sebagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu silatnya dan lebih hebat lagi ilmu sihirnya! Demikianlah sedikit riwayat Teng Siang In, dara cantik jelita yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul, terjadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman cantik!
Tidak lama setelah Syanti Dewi dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit buyarlah pengaruh sihir yang dilakukan oleh dara itu atas diri Panglima Mohinta. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda ini ketika dia sadar dan mendapatkan dirinya memeluk dan menciumi arca batu, sedangkan ketika ia menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi! Dia merasa seram dan ngeri, juga bingung.
Sejenak dia memandang ke kanan kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan berita tentang siluman! Tadi jelas bahwa Syanti Dewi duduk di bangku itu, dan dia berusaha untuk merayu tunangannya yang bersikap dingin itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu rayunya, bahkan membalas pelukannya, dan membalas pula ciuman-ciumannya penuh gairah. Akan tetapi ternyata bahwa yang dipeluk ciumnya itu adalah arca batu yang kotor dan Syanti Dewi sudah lenyap!
“Uhhhhh...!” Panglima Mohinta menggigil dan meraba tengkuknya.
Dia adalah seorang panglima muda yang berani, namun sekarang dia merasa ngeri dan takut juga berada seorang diri di dalam taman yang sepi itu. Penerangan dalam taman itu yang hanya datang dari dua buah lentera yang tergantung di bawah pohon, tertiup angin bergerak-gerak, menghidupkan bayangan-bayangan di sekelilingnya, menambah seram keadaan. Suara belalang, jengkerik dan burung malam yang mengasyikkan bagi mereka, menambah seram suasana dan Panglima Mohinta yang pemberani itu kini bergegas setengah lari melangkah keluar dari taman.
“Siap...!” Teriakan dan gerakan tujuh orang penjaga taman membuat Panglima Mohinta hampir menjerit dan panglima muda ini terloncat kaget memandang kepada tujuh orang itu. Akan tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Panglima Mohinta mengerutkan alisnya. Mengapa mereka memandang kepadanya seperti itu? Adakah sesuatu yang aneh pada mukanya? Dia meraba-raba mukanya dan menghapus-hapus muka itu, kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi tujuh orang itu tetap saja memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung.
“Heh, kalian lagi melihat apa?” bentaknya marah, hampir memukul kepala penjaga yang menjadi ketakutan.
“Ah, maaf, Panglima... ehh, kapankah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat Panglima keluar.“
“Heh, apa maksudmu? Bicara yang benar!” Panglima Mohinta membentak.
“Kami bertujuh tadi baru saja melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki istana dan... dan panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan sambil mengempit payung…“
“Mengempit payung? Apakah kalian gila?” Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali tengkuknya terasa dingin karena dia sudah merasa ngeri.
Pada saat itu terdengar teriakan mengerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para penjaga terlonjak kaget, akan tetapi mereka dipimpin oleh panglima segera lari cepat ke arah istana dan di jalan mereka bertemu dengan para penjaga dan pengawal yang juga sudah berlari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu.
“Tolong... aduhhh, toloonggg... si... siluman... sssetannnn...!” terdengar teriakan itu.
Ketika mereka semua tiba di tempat suara itu, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Pendeta Nalanda, pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi, kopiahnya juga hilang dan sebagai gantinya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia berteriak-teriak ketakutan, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.
Seorang pengawal cepat mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu masih berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas kepalanya yang gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar.
“Ah... ehh... ya ampun... ada... setan... wanita cantik...” dia lalu menceritakan munculnya siluman cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan kopiahnya, dan mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang dilumuri abu pendupaan. Seorang siluman cantik yang memegang payung.
“Membawa payung?” Panglima Mohinta bertanya dengan mata terbelalak, langsung punggungnya terasa dingin.
Tak salah lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga melihat dia membawa payung. Tentu siluman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai dia menggandeng tangan Syanti Dewi!
“Celaka, kita harus melapor kepada Sri Baginda!” teriaknya dan dia bergegas memasuki istana.
Sementara itu di dalam kamar Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In yang menceritakan betapa dia telah menggoda para penjaga.
“Apakah mereka di pintu gerbang tidak menyerangmu?” tanya Syanti Dewi dengan senyum lebar selalu menghias bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya. Berdekatan dengan Siang In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang Puteri timbul kembali kegembiraannya dan membawa dia kembali ke alam bebas, alam liar seperti ketika dia berkelana dahulu.
“Tentu saja mereka lalu mengejarku, dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ketika mereka sudah dekat, aku membalik seperti ini...“
“Ihhhhh...!” Syanti Dewi menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik manis, akan tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa mengerikan, wajah yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau mulut!
“Hik-hik, kau juga ngeri!” Siang In melepaskan kedoknya.
Syanti Dewi terkekeh-kekeh saking geli hatinya, mengambil kedok itu dari tangan Siang In dan memandanginya. Kedok itu hanya sehelai penutup muka seperti karet yang halus sekali, entah dibuat dari bahan apa.
“Dan pendeta gundul yang lucu itu, hi-hik.”
“Kau maksudkan Pendeta Nalanda? Kau apakan pula dia?” Syanti Dewi makin tertarik dan bertanya.
“Tidak apa-apa, hanya kucoreng-moreng mukanya.” Siang In kemudian menceritakan pertemuannya dengan pendeta itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi.
Dua orang dara yang sedang bergembira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri Baginda Raja Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya. Tentu saja hati raja ini senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa tahun lamanya tidak pernah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa ini dilakukan puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja menimbulkan perasaan bimbang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja yang tertawa-tawa geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar.
Empat orang pengawal Sri Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang menemani raja juga terbelalak dan saling pandang penuh kengerian. Jelaslah bagi mereka yang sedang panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah diganggu siluman!
“Syanti...! Buka pintu...!”
Ketukan pintu dan suara Sri Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak kaget. Mukanya menjadi pucat ketika dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya tenang-tenang saja, malah tersenyum dan berbisik, “Bukalah pintu dan anggap saja aku tidak ada di kamar ini.”
Syanti Dewi bimbang. Dia khawatir sekali karena tentu Siang In akan ditangkap dan dihukum karena dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan Siang In mendesaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar dan suara Sri Baginda makin mendesak.
Syanti Dewi melangkah, menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok. Dia melihat Siang In sudah duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya. Gadis itu tersenyum dan kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan juga terheran-heran. Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu.
Serentak masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglima Mohinta, empat orang pengawal dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang duduk bersila di lantai. Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih duduk tersenyum setelah tadi tangan kirinya diangkat dan digerakkan seperti memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar!
“Syanti, tadi dengan siapa engkau di kamarmu ini?” Sri Baginda bertanya sedangkan Panglima Mohinta berjalan hilir mudik dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya lewat dekat sekali dengan tubuh Siang In.
“Tidak dengan siapa-siapa, Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini datang mengganggu dan membangunkan saya?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara tidak senang.
“Hemmm... tidur? Akan tetapi tadi dari luar kami mendengar engkau tertawa-tawa, Syanti. Jangan engkau membohongi Ayahmu.”
“Sungguh saya sedang tidur dan kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi.”
“Ahh, engkau mimpi? Mimpi apa? Bertemu dengan siluman..., dengan siapa?” Sri Baginda yang sudah dicekam rasa ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya.
Syanti Dewi menjadi bingung dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini menudingkan telunjuknya ke arah Panglima Mohinta yang masih hilir mudik.
“Saya mimpi bertemu dengan... Panglima Mohinta...“
“Ahh, jadi Adinda mimpi bertemu dengan saya?” Panglima muda itu bertanya dengan wajah berseri.
Syanti Dewi mengangguk. “Di dalam mimpi, saya melihat... Kakanda Mohinta menjadi seorang badut yang sangat lucu, maka saya tertawa...“
Wajah yang tadinya berseri itu berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.
“Syanti Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?” Sri Baginda tiba-tiba bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila.
Syanti Dewi terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi!
“Kursi...? Ehh, inikah, Ayah? Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi antik...“
“Memang bagus sekali, tentu amat enak diduduki...“ Panglima Mohinta kini menghampiri Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang hendak duduk.
Tentu saja Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak akan sudi membiarkan kepalanya diduduki orang. Cepat dia gerakkan payungnya yang tadi telah disambarnya dari atas meja ketika rombongan raja masuk, kemudian ujung payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya.
“Cussss... aduhhhh...!” Panglima Mohinta terloncat kaget saat merasa betapa pantatnya ditusuk ujung payung. “Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!” Akan tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu!
Setelah melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda kemudian berkata, “Syukurlah kalau tak ada apa-apa, anakku. Tidurlah dengan tenang.” Dia kemudian keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari gangguan siluman.
Setelah menutupkan kembali daun pintu kamarnya, Syanti Dewi dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.
“Siang In, engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka menjadi sebuah kursi?” tanya puteri itu, memandang kagum.
Siang In mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis, “Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biar pun orangnya tunanganmu yang tampan dan ganteng itu, Puteri...“
“Hushhh, jangan berkata demikian, aku... aku benci padanya!”
“Eihhhh? Aku mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat rayuan maut tadi di taman...“
“Sudahlah, Siang In,” Syanti Dewi menghela napas panjang. “Aku tidak ingin berbicara tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?”
“Aku sedang mencari seseorang, Puteri. Karena merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri, tetapi sudah bertunangan dengan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena bukankah... ehhh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu dahulu...“
Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat saat dia menyebut nama pemuda itu.
“Adik yang baik.” Syanti Dewi kini memandang dara itu. “Apakah yang telah kau dengar tentang Ang Tek Hoat?”
“Aku dahulu mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi panglima dan dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?”
Ditanya begini, tiba-tiba Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tak pernah menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mongering. Namun kegembiraan tadi, tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula kemampuannya untuk menangis.
Melihat puteri yang keadaan hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya kini menderita kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap menghibur dan berkata lembut, “Puteri, jangan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di dunia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan panglima yang tidak kau cinta itu?” Dia mengangguk-angguk meyakinkan. “Ceritakanlah dan aku akan menolongmu sedapat mungkin, Puteri.”
Karena baru sekarang dia bertemu dengan seseorang yang memperhatikan nasibnya, yang selamanya tak akan mungkin dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk menjadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu.
“Aku tidak percaya kalau dia pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andai kata dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku takkan menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini, Adik Siang In,“ Puteri itu mengakhiri ceritanya.
Siang In mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup bebas, tidak pernah terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan makan, menderita kepanasan dan kehujanan, akan tetapi semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas. Tidak seperti Syanti Dewi yang bagaikan seekor burung hidup di dalam sangkar, biar pun sangkar itu terbuat dari pada emas dan dihias permata, biar pun di dalam sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah.
“Puteri...“
“In-moi (Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak).”
“Baiklah Enci Syanti Dewi,” jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri. “Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun ini engkau diam saja, malah menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?”
“Bertindak? Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu tentu saja demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?”
“Hemmm... mencintamu? Terus terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak didengar ini. Akan tetapi... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu tidak mencintamu, Enci.”
Dengan wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.
“Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua ayah di dunia ini, dia pasti melakukan semua itu demi cintanya kepadaku.”
“Hemmm, pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu, melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!”
“Ehh, bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?”
“Coba saja kau renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan tindakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?”
Syanti Dewi mengangguk.
“Nah, tindakan Ayahmu yang memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?”
“Tidak, akan tetapi dia maksudkan demi kebaikanku.”
“Itulah kepalsuannya, dan itulah tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan hampir semua orang-orang tua yang menujukan segala tindakan demi untuk memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagiakan anak, padahal si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hatinya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguh pun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!”
“In-moi...!” Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak. “Apa kau hendak mengatakan bahwa Ayahku jahat...?”
Dara itu menggeleng kepala, “Siapa pun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa semua tindakannya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami sekarang ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsara dan kedukaan?”
Syanti Dewi memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya. “Ah, aku tidak tahu... semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa yang harus kulakukan?”
“Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu...“
“Aku yakin benar akan cintanya!”
“Kalau begitu, tentu ada sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit! Kalau begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Enci itu, dari pada menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci cinta?”
“Pergi? Kau maksudkan minggat dari istana?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih. “Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan istana ini siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal.”
“Hal itu tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?”
“Tentu saja aku mau!”
“Meninggalkan kedudukan Enci sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan...?”
“Tentu aku mau dan aku berani menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat.”
“Bagus!” Siang In berseru girang. “Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Enci.”
Syanti Dewi girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu Siang In berkata, “Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantauan…“
“Siapa bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu.”
“Bagus, akan tetapi betapa pun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari sini dengan aman.”
Syanti Dewi lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat! Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In.
Mereka tidak tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tunangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun melakukan penjagaan di sekitar istana tunangannya.
Oleh karena penjagaan yang diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa keadaan, keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring, “Siluman jahat! Jangan lari!”
Siang In terkejut. Tidak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan kiri ke arah lambungnya!
Siang In tersenyum manis sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi dua orang perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tak boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman!
“Eh-eh, kalian ini mau apakah?” Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang sangat kuat dan aneh, sedangkan tangannya bergerak-gerak.
“Menyerahlah engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tubuhmu!” bentak di sebelah kirinya.
“Berlututlah kau!” perwira di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada pinggang yang ramping itu.
Siang In tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan, “Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang kalian? Dan mengapa pula kalian berdua memegang dan bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!”
Dua orang perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggembung dan mulutnya mengeluarkan desis yang mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk mematuk.
“Ihhhhh... ularrrrr...!”
“Hiiiiihhhhh... aih, celaka...!”
Mereka berdua berusaha untuk membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apa lagi ketika ular-ular itu makin mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana Syanti Dewi.
“Siapakah yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?” Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang.
“Dua orang pengawal. Wah, benar seperti yang kau ceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan penjagaan pengawal.”
“Habis, bagaimana kita dapat lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa menggunakan ilmu sihirmu itu, In-moi?” Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara ribut-ribut di luar dan agaknya dua orang pengawal yang berteriak-teriak tadi sudah menyebarkan cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka.
Siang In duduk dan menopang dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng kepala menjawab pertanyaan puteri itu.
“Aku dapat mempengaruhi belasan orang dengan permainan sihir, akan tetapi sukar sekali mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus, Enci. Pula di antara mereka terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan berbatin kuat sehingga belum tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri, tentu saja dapat lolos dengan mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar sekali hasilnya. Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan kegegeran, menggoda dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh pengawal yang berjaga di sini akan tertarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu, selagi semua pengawal ribut mengurungku, engkau meloloskan diri dari istana ini. Kemudian kita bertemu di luar istana dan aku selanjutnya akan membawamu melarikan diri. Bagaimana?”
Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian dua orang dara itu mengatur rencana pelarian itu yang akan mereka lakukan malam nanti, Syanti Dewi menggambar peta dari istana itu dan memberi tahu di mana letak pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan diri, sedangkan Siang In mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi pintu rahasia itu.
Sehari itu Siang In tidak lagi pernah keluar dari kamar sang puteri dan memang sudah lama Syanti Dewi tidak pernah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di dalam kamar. Semenjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka menyendiri sehingga pelayan-pelayannya hanya memasuki kamarnya di waktu perlu saja. Dengan demikian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di dalam kamarnya.
Malam itu hawanya masih dingin seperti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah cuaca yang gelap membuat suasana yang sudah seram karena dongeng-dongeng yang tersiar tentang gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami perubahan dan penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan. Hampir seluruh penghuni Kota Raja Bhutan yang semuanya telah mendengar akan gangguan siluman itu, tidak ada yang berani keluar dari rumah masing-masing. Mereka menerima dengan penuh kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu iblis, setan dan siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula dengan para penghuni istana sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing.
Tentu saja keadaan para penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas berjaga. Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi menjaga dari pada di waktu siang, karena mereka semua mempunyai dugaan bahwa di waktu malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi. Kini bahkan Panglima Mohinta sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, seolah-olah istana menghadapi ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya. Keadaan di sekeliling istana itu seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang pengawal dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh istana, terutama sekali sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi.
Keadaan sunyi sekali di sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan mencekam hati ini membuat para penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat suara keras untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-olah suara keras hanya mengundang datangnya siluman! Mereka bicara bisik-bisik dan membuat api unggun sebesarnya, karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa dingin dan menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat menjauhkan segala macam siluman.
Juga mereka berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa menyebut-nyebut tentang siluman, karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa setan tidak boleh disebut-sebut, karena kalau disebut-sebut biasanya suka datang! Demikian hebatnya dongeng tentang gangguan setan dan kepercayaan tentang tahyul menghimpit hati mereka sehingga para pengawal yang biasanya galak dan pemberani itu, kini berubah menjadi seperti sekelompok anak kecil yang ketakutan.
Panglima Mohinta sendiri, diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan seorang pendeta lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang perwira pengawal, tiada henti hilir mudik dari gardu ke gardu untuk memberi semangat kepada para pengawal yang berjaga.
Malam makin larut dan keadaan makin seram. Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap melakukan siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana mengintai ke luar. Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan terpencar. Dia mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu pun penuh dengan pengawal-pengawal yang menjaga ketat. Tidak mungkin dia dapat keluar dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya pun akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan akan dapat melihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya.
“Bagaimana...?” Syanti Dewi mendekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai dari jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah berpakaian ringkas dan sebuah buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja.
“Sssttttt,... banyak penjaga di luar. Aku akan keluar melalui genteng,” bisik Siang In.
Dara ini masih mengempit payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai. Tubuhnya mencelat ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia menusuk langit-langit dan bergantungan di situ. Dari bawah, Syanti Dewi memandang penuh kagum dan dia segera teringat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya yang juga memiliki kepandaian hebat seperti Siang In. Sementara itu, Siang In telah berhasil membobol langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah dan memberi kedipan mata yang lucu kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke atas dan lenyap.
Dengan hati-hati sekali Siang In membuka genteng dan menyelinap ke luar. Kemudian dia mempergunakan ilmunya dan berkelebat cepat sekali di atas genteng.
“Hei... apa itu...?!” terdengar seruan dari bawah. Agaknya ada seorang pengawal yang sempat melihat bayangan berkelebat cepat.
Siang In segera mendekam di wuwungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga mendengarkan. Ada gerakan-gerakan kaki orang di bawah.
“Mana? Tidak ada apa-apa!” terdengar orang lain mencela.
“Akan tetapi aku melihat bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sungguh, aku berani sumpah!”
“Hemmm, mana ada orang mampu menghilang? Kecuali setan... ihhhhh...!”
“Sssttttt, jangan bicara yang bukan-bukan. Kita harus waspada.”
Siang In terus mendekam. Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapa pun cepatnya dia menggunakan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah memasang mata penuh perhatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya. Dia mencari akal dan tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipatahkannya sepotong genteng dan dia lalu menyambitkan tiga patahan genteng berturut-turut ke arah belakangnya.
Potongan-potongan genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot bunga di bagian depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan semua orang menoleh ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau melihat ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus berlari dan akhirnya melayang turun ke dalam taman.
Dengan hati lega Siang In menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman itu. Dia telah berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang dan kini akan menuju ke kandang kuda seperti yang telah direncanakan di dalam kamar Sang Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal akan keadaan dan lorong-lorong di kompleks istana itu.
“Heiiiii, berhenti...!”
Siang In terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ada dua orang pengawal yang bersembunyi di belakang batang pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan dengan mereka.
“Srat! Srattt!” Dua orang pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing.
“Aihhh, mengapa kalian demikian galak? Mengagetkan orang saja!” Siang In tersenyum manis bukan main, suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga kedua orang pengawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu bergerak hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong.
Waktu yang hanya beberapa detik ini cukup sudah bagi Siang In. Dua kali payungnya bergerak dan dua orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi karena mereka telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan Siang In yang cepat sudah menyelinap maju. Kini dia berlaku hati-hati sekali sehingga dia tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain.
Akhirnya tibalah dia di bagian kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang istana. Dia menyelinap dan mengintai. Dilihatnya ada empat orang penjaga di dalam gudang rumput, maka dia lalu menyambar lampu minyak yang tergantung di samping gudang, kemudian dia bersenandung!
Tentu saja empat orang penjaga yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu, karena mereka ini pun menerima perintah agar malam itu mereka tidak tidur, menjadi terheran-heran mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di tempat itu? Sungguh aneh.
“Aihhh, kiranya di antara kalian ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?” penjaga yang gendut tertawa. “Hayo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang bersenandung itu?”
“Aih, suaranya begitu merdu...,” kata penjaga yang kurus.
“Aku tidak mempunyai kenalan wanita di sini,” kata yang ketiga.
“Aku pun tidak...,“ kata yang keempat.
“Kalau begitu... siapa...?“ Mereka saling pandang dan mata mereka terbelalak karena teringatlah mereka akan dongeng tentang siluman cantik.
“Jangan-jangan dia...?”
“Ahhhhh, mana ada siluman pandai bersenandung semerdu itu. Apa pun adanya dia, mari kita ke luar menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang,” kata Si Gendut yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu, berindap-indap keluar dari gudang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai untuk menumpuk rumput kering.
Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat sesuatu, dari jendela gudang itu ada sebuah lentera yang dilemparkan ke dalam gudang. Lentera menimpa tumpukan rumput kering dan tentu saja dalam sekejap mata rumput kering itu terbakar! Empat orang itu terkejut mendengar suara api di belakang mereka.
Cepat mereka menengok ke dalam gudang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang itu. Mereka terkejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum keluar, agaknya kini akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah berkobar memakan rumput kering itu.
“Kebakaran...!”
“Tolonggg... kebakaran...!”
Segera mereka memukul kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara kentongan dan berita kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di seluruh kompleks istana. Apa lagi ketika semua kuda telah terlepas dari kandangnya dan kini berlarian ke sana-sini oleh karena ketakutan melihat api. Tentu Siang In pula yang telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu-pintu kandang dan mencambuki binatang-binatang itu ke luar kandang mereka.
Panik dan gegerlah seluruh istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, berserabutan dan bingung.
“Jangan panik! Dan jangan tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!” Panglima Mohinta dibantu oleh beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para pengawal.
Akan tetapi tetap saja terjadi kepanikan hebat, bukan hanya karena kebakaran itu, melainkan kepanikan lain yang terjadi mulai dari taman di belakang kamar Syanti Dewi. Selagi para pengawal di sekitar taman itu yang jumlahnya paling banyak ada lima puluh orang yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak bingung mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di tempat gelap muncul seorang wanita muda yang sangat cantik, yang tersenyum-senyum kepada mereka dari jauh dan melambaikan tangan.
“Itu dia... siluman itu!” teriak seorang di antara mereka yang pernah bertemu dengan Siang In. “Lihat dia membawa payung!”
Mendengar ini, para pengawal yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu berlari menghampiri. Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan tubuhnya dan lari menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Gerakannya amat ringan dan cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia dapat bermain kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang bersembunyi di balik semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan kadang-kadang dia meloncat seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan ketika beberapa orang pengawal yang mencarinya lewat di bawah pohon, dia melempari mereka dengan buah-buah mentah lalu melompat ke lain pohon dan berlari lagi.
Dengan gangguan-gangguan ini, Siang In berhasil membikin kacau lima puluh orang itu dan kini mereka semua tercurah perhatiannya kepada Siang In yang sebentar muncul sebentar lenyap itu. Bahkan Siang In kini lari tidak begitu cepat meninggalkan taman, tentu saja segera dikejar oleh semua pengawal yang seolah-olah kini berlumba untuk menangkap siluman yang amat cantik jelita itu. Siang In sengaja memperlambat larinya dan membiarkan dirinya hampir tersusul.
Setelah dia mendengar suara derap para pengawal itu dekat di belakangnya, tiba-tiba dia berhenti, membalik sambil mengeluarkan suara melengking nyaring yang tidak menyerupai suara manusia. Begitu dia membalik, semua pengejarnya terbelalak ngeri melihat wajah yang putih polos, wajah setan tanpa mata hidung mulut! Dan selagi mereka bengong dengan muka pucat, Siang In menubruk ke depan, menggerakkan payungnya dan robohlah enam orang sambil mengaduh-aduh karena ujung payung itu secara nakal sekali telah menusuk pundak dan paha mereka, tidak membahayakan namun cukup mendatangkan rasa nyeri.
“Hi-hi-hik!” Siang In tertawa lagi sambil membalikkan dan melanjutkan larinya, makin menjauhi taman. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya dengan marah.
Berhasillah Siang In mengacaukan para pengawal dan Syanti Dewi yang sudah siap dan mendengar keributan kebakaran, maklum bahwa saat baginya sudah tiba. Memang tanda kebakaran itu merupakan isyarat baginya untuk mulai meloloskan diri. Karena itu puteri ini lalu cepat keluar dari kamarnya melalui jendela dan hal ini bukan merupakan hal yang sukar baginya karena Syanti Dewi juga bukanlah seorang puteri yang lemah, melainkan seorang yang telah mempelajari ilmu silat pula sehingga lolos dari jendela merupakan pekerjaan yang mudah.
Dia mendengar suara ribut-ribut di taman itu, maka tahulah dia bahwa Siang In sedang ‘mengerjai’ para pengawal yang berjaga di taman. Maka dia lantas menyelinap di belakang pohon, mengintai dari tempat gelap dan setelah suara teriakan para pengawal makin menjauhi taman, tanda bahwa Siang In yang cerdik itu telah berhasil memancing mereka ke luar dari taman, Sang Puteri cepat berlari menyelinap di antara kegelapan pohon-pohon di taman, membawa buntalannya dan terus menuju ke luar taman melalui jalan rahasia yang menembus ke pinggir tembok kota raja!
Sementara itu, Siang In dengan lincahnya mempermainkan para pengawal yang kini makin banyak berdatangan dan mengepungnya. Ketika para pengejarnya belum begitu banyak, dia masih dapat menggunakan sihirnya yang mempengaruhi para pengejarnya. Kadang-kadang dia berdiri begitu saja di dekat pohon dan mereka yang mengejarnya tidak dapat melihatnya karena mereka melihat gadis itu seperti sebatang pohon dan melewatinya begitu saja. Kadang-kadang ketika mereka sudah mengepung gadis itu, mendadak saja gadis itu lenyap berubah menjadi asap atau ‘terbang’ begitu saja ke angkasa di depan mata mereka!
Tentu saja semua ini hanyalah pengaruh sihir yang dikerjakan oleh Teng Siang In dan menguasai pikiran mereka semua. Akan tetapi ketika yang mengejarnya makin banyak, sihir Siang In tidak begitu manjur lagi! Ada sebagian yang melihat dia ‘terbang’ sehingga menjadi bengong, akan tetapi sebagian lagi yang tidak terpengaruh, melihat gadis itu sebetulnya hanya menyelinap saja untuk melarikan diri dan mereka ini terus mengejar, dan tentu saja perbuatan mereka ini sekaligus menyadarkan mereka yang terkena pengaruh sihir. Mulai sibuklah Siang In berlari ke sana ke mari dan dikejar oleh para pengawal yang dipimpin oleh Panglima Mohinta sendiri.
“Kejar! Tangkap dia!” Mohinta berteriak-teriak ketika melihat betapa gadis itu kadang-kadang melawan dan merobohkan para pengeroyok dengan gerakan silat yang amat hebat.
Mulailah Siang In mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Menurut perhitungannya, saat ini Syanti Dewi tentu telah lolos. Akan tetapi celaka baginya, kini tiga ratus orang pengawal memusatkan kekuatan untuk mengurungnya dan tidak memberi kesempatan baginya untuk keluar dari dalam lingkungan istana! Kemana pun lari, tentu dia bertemu dengan pasukan pengawal yang amat banyak jumlahnya! Dan dia tidak akan mungkin terus bermain kucing-kucingan seperti itu, karena kalau sampai malam berganti pagi dan dia masih berada di istana, dia akan celaka! Ilmu silatnya dan ilmu sihirnya tidak mungkin dapat dia pergunakan menghadapi bala tentara Bhutan yang tentu akan dikerahkan untuk menangkapnya!
Kemarin masih ada Syanti Dewi yang melindungi dan menyembunyikannya, akan tetapi sekarang, para pengawal sudah menduga bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa yang pandai ilmu sihir. Bahkan kini Mohinta telah mengundang jago-jago ilmu sihir yang banyak pula terdapat di Bhutan untuk menandinginya sehingga ketika dia mencoba menggunakan sihirnya ketika dia bertemu dengan sepasukan pengawal yang ditemani seorang pendeta, sihirnya melempem dan tidak berhasil sama sekali! Hanya berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi sajalah dia mampu lolos!
Napasnya agak terengah dan keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya ketika Siang In menyelinap ke dalam sebuah ruangan kosong untuk beristirahat sejenak serta mengumpulkan kekuatan dan mencari akal. Akan tetapi baru saja dia masuk dan menghapus peluh dengan saputangan, muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian panglima yang gagah sekali. Orang ini sudah setengah tua, usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya tegap dan gagah, tangannya memegang sebatang golok. Melihat laki-laki ini, Siang In terkejut, akan tetapi juga girang dan wajahnya berseri.
“Paman Jayin...!”
Panglima itu memang Panglima Jayin, seorang panglima yang setia kepada Kerajaan Bhutan dan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa panglima ini yang telah berhasil membawa pulang Syanti Dewi dari timur, dan panglima ini masih terhitung suheng dari Ceng Ceng karena dia pernah menerima gemblengan dari kakek pendekar wanita itu.
Panglima Jayin terkejut dan heran mendengar dara muda yang cantik, yang disangka siluman dan dikejar-kejar ratusan orang pengawal itu menyebutnya paman. Panglima ini baru saja tiba dari tugasnya ke luar kota raja dan begitu mendengar bahwa istana dikacau oleh seorang gadis lihai yang disangka siluman, dia bergegas pergi ke istana dan ikut pula mencari ‘siluman’ itu.
Panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman. Tentu saja dia tidak percaya bahwa istana diganggu siluman. Dia menduga bahwa tentulah yang mengganggu atau mengacau itu seorang tokoh kang-ouw atau seorang penjahat. Bahkan tadinya dia menduga bahwa yang mengacau adalah Ang Tek Hoat, tetapi dugaan ini dilenyapkan oleh berita bahwa pengacau atau siluman itu adalah wanita.
Dengan kecerdikannya, Panglima Jayin tidak ikut mengejar-ngejar dengan ribut, tetapi dia menyelinap ke tempat-tempat sunyi karena dia mempunyai perhitungan bahwa orang jahat yang dikejar-kejar itu tentu akan mencari tempat-tempat sunyi untuk beristirahat. Perhitungannya itu ternyata cocok sekali, dan dengan girang dia melihat seorang dara menyelinap masuk ke dalam ruangan kosong itu. Akan tetapi terkejut dan terheranlah dia ketika dara asing yang dia yakin tentulah si pengacau itu langsung saja menyebutnya paman!
Sejenak mereka berpandangan dan dara itu tersenyum manls, senyum kekanak-kanakan yang manis akan tetapi penuh dengan sifat menggoda seperti seorang anak nakal. “Ehhh, Paman Panglima Jayin, sudah lupa lagikah engkau kepadaku?” kembali dara itu berkata ramah sambil tersenyum.
Kini ada sesuatu pada diri dan sikap lucu serta nakal dari dara itu yang mengingatkan kepada panglima ini bahwa dia memang pernah bertemu dengan dara ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. “Nona, siapakah engkau?”
“Aku adalah Teng Siang In, murid dari See-thian Hoat-su. Kami dulu pernah membantu kalian ketika mengawal Syanti Dewi ke Bhutan.”
Jayin teringat dan dia mengangguk-angguk. “Ahhh, kiranya Nona! Akan tetapi apakah Nona pula yang menggegerkan istana dan dianggap sebagai siluman?”
“Hi-hik-hik, inilah yang disangka siluman!” Siang In mengeluarkan kedok dan sekali tangannya mengusap muka, mukanya berubah menjadi polos mengerikan.
Jayin terbelalak lalu tersenyum. “Aihh, Nona sungguh nakal sekali! Apa perlunya Nona mempermainkan kami dan mengacau istana?”
Siang In sudah melepaskan kedoknya lagi dan kini dengan sikap serius, sungguh tidak pantas bagi wajahnya yang cantik namun jenaka sifatnya itu, dia berkata, “Paman Jayin, apakah engkau tidak merasa kasihan kepada Puteri Syanti Dewi? Apakah dulu Paman bersusah payah membawanya pulang ke Bhutan hanya untuk menyiksanya sehingga dia akan mati tenggelam dalam kedukaan seperti seekor burung dalam sangkar?”
“Ehhh, apa maksudmu berkata seperti itu, Nona?” Jayin bertanya marah dengan alis berkerut.
“Hemmm, jangan kau pura-pura tidak tahu, Paman. Tidak tahukah engkau bahwa Puteri Syanti Dewi setiap hari berduka, bahwa Sang Puteri masih mencintai Tek Hoat dan sama sekali tidak mencinta Mohinta? Tidak tahukah Paman akan hal itu?”
Jayin terkejut dan sejenak dia tak dapat menjawab. Akhirnya dia menghela napas dan berkata, “Tentu saja aku tahu, Nona. Aku tidak buta, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan?”
“Paman Jayin, dahulu engkau adalah seorang gagah perkasa yang budiman, yang amat sayang kepada Syanti Dewi. Apakah sekarang Paman sudah berubah? Apakah Paman tidak ingin melihat dia berbahagia?”
“Bagaimana saya dapat membuat dia berbahagia?”
“Dengan membiarkan dia lolos dari istana untuk pergi mencari dan berkumpul kembali dengan kekasihnya, yaitu Ang Tek Hoat.”
“Hemmm... apakah kau menganjurkan aku berkhianat?”
“Siapa yang suruh kau berkhianat? Terus terang saja Paman Jayin, sejak dahulu aku menganggapmu sebagai teman. Namun sekarang aku sedang berusaha meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana. Bahkan sekarang pun dia sudah lolos. Kalau engkau hendak menghalangi, hemmm... terpaksa kini aku akan menganggap engkau sebagai musuh!” Berkata dengan demikian, gadis yang cerdik itu sudah siap dengan payungnya, akan tetapi sesungguhnya ini hanya aksi belaka, karena dia sama sekali tidak ingin melukai panglima ini, dan yang dia persiapkan adalah kekuatan sihirnya karena kalau perlu dia akan menguasai panglima ini dengan sihirnya.
Panglima Jayin tercengang. Tahulah dia sekarang mengapa gadis ini mengacau istana. Dan semenjak Tek Hoat pergi tanpa pamit dari Kota Raja Bhutan, kemudian melihat keadaan Sang Puteri, memang di dalam hati panglima yang setia ini sudah timbul penyesalan hebat. Namun tentu saja dia tidak berdaya untuk membantu Syanti Dewi. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga, muncul nona ini yang hendak menolong Syanti Dewi. Kalau dia menghalangi, sama saja artinya dengan dia hendak memaksa Syanti Dewi hidup menderita selamanya!
Pada saat itu, terdengar suara hiruk-pikuk dari jauh yang makin lama makin mendekati tempat itu.
“Dia tadi berkelebat ke sini!”
“Cari sampai dapat!”
“Geledah semua tempat, semua tempat kosong!”
Jayin dan Siang In masih saling berpandangan. “Apa kau yakin Puteri telah lolos dari istananya?” tiba-tiba Jayin bertanya.
“Sudah pasti!”
“Kalau begitu, aku akan memancing mereka menjauhimu menuju ke istana Syanti Dewi di utara dan kau dapat melarikan diri ke bagian selatan. Cepat kau temani Sang Puteri dan bantulah dia agar bertemu dengan kekasihnya agar dia hidup berbahagia.”
Siang In tersenyum dan menjura. “Sungguh engkau hebat, Paman! Sudah kusangka bahwa engkau memang seorang yang gagah perkasa dan budiman.”
“Sudahlah selamat berpisah...!” kata Jayin.
“Mari selidiki di dalam sini!” terdengar suara Mohinta tiba-tiba.
“Heiiiii, siluman! Kau hendak lari ke mana?!” Tiba-tiba Jayin membentak marah. Dengan golok terhunus dia menyerbu ke luar, mengejutkan Mohinta dan para anak buahnya.
“Ehh, Paman. Panglima!” Mohinta berseru.
“Mohinta! Cepat, siluman itu lari ke sana! Ehh, kenapa kalian mengejar-ngejar di sini? Celaka! Tentu siluman itu akan menculik Sang Puteri! Dan kalian meninggalkan istana Sang Puteri! Celaka, aku melihat siluman itu tadi lari ke arah istana Sang puteri!” Jayin mendahului yang lain-lain, melompat dan lari ke arah istana Syanti Dewi.
Mohinta terkejut dan baru teringat, maka dia pun kemudian berlari cepat mengejar Jayin, diikuti oleh para pengawal.
“Ini adalah pancingan!” Sambil berlari Panglima Jayin berseru. “Siluman itu memancing kalian meninggalkan penjagaan di istana Sang Puteri. Betapa bodohnya kalian!”
“Celaka...!” Mohinta menjadi pucat dan mempercepat larinya ke arah istana kecil itu.
Seperti berlomba lari saja mereka menuju ke istana, langsung ke kamar Sang Puteri dan memang semua pengawal yang menjaga di situ tadi telah lari mengejar Siang In. Mohinta bernapas lega melihat pintu kamar Sang Puteri masih terkunci dari dalam.
“Ahhh, syukur Adinda Syanti Dewi masih di dalam, tentu masih tidur nyenyak,” katanya sambil tersenyum lega.
“Bodoh! Coba ketuk, buka! Siapa tahu...!” Jayin melangkah maju dan mengetuk pintu perlahan-lahan sambil memanggil. Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketukan diperkeras dan akhirnya pintu itu digedor-gedor oleh Mohinta yang sudah menjadi pucat sekali mukanya. Namun tetap saja tidak ada jawaban.
“Bongkar pintunya…!” Jayin yang bersikap seperti orang kebingungan itu memerintah. Pintu kamar dibongkar, dipaksa terbuka dan mereka menyerbu ke dalam kamar yang ternyata sudah dalam keadaan kosong!
“Celaka...! Adinda...! Adinda Syanti Dewi...!” Panglima Mohinta mencari-cari di dalam kamar itu, lalu menjenguk keluar jendela, akan tetapi keadaan di luar jendela pun sunyi.
“Nah, apa kataku tadi!” Panglima Jayin marah-marah. “Sungguh tolol kalian semua yang dapat dipancing meninggalkan tempat ini oleh penjahat. Jelas bahwa penjahat itu sudah menyamar sebagai siluman, mengacau dan membakar kandang agar semua pengawal terpancing ke sana, kemudian dia dengan leluasa telah masuk ke dalam kamar ini dan menculik Sang Puteri.”
“Aduh, Paman Panglima Jayin, bagaimana baiknya sekarang?” Panglima Mohinta yang merasa cemas dan duka itu mengeluh.
“Agaknya tidak mungkin penjahat dapat melarikan Sang Puteri keluar dari lingkungan istana. Mohinta, kau perkuatlah penjagaan di sekitar istana, jangan sampai ada orang dapat keluar atau masuk. Aku sendiri yang akan melaporkan hal ini kepada Sri Baginda sekarang juga!”
Mohinta cepat mengerahkan semua pasukan untuk berjaga-jaga dan mencari-cari, akan tetapi tentu saja tanpa hasil karena pada saat itu, Syanti Dewi dan Siang In telah pergi jauh meninggalkan tembok tebal yang mengurung Kota Raja Bhutan.
Gegerlah istana Bhutan. Sri Baginda menjadi marah sekali dan juga sangat gelisah memikirkan puterinya yang untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang lebih lima tahun yang lalu, Sang Puteri bersama Ceng Ceng juga lenyap, sampai setahun lebih baru berhasil ditemukan. Sekarang, Sang Puteri lenyap pula, bahkan sekarang lenyap dari dalam kamarnya! Maka, ketika Panglima Mohinta mohon perkenan Sri Baginda untuk pergi mencari Sang Puteri, Sri Baginda segera menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk menemaninya pergi mencari jejak Sang Puteri Syanti Dewi.
Keadaan Syanti Dewi benar-benar seperti seekor burung yang tadinya terkurung dalam sangkar dan kini terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya pulih kembali, dalam waktu satu bulan saja melakukan perjalanan, wajahnya sudah menjadi segar kemerahan, sepasang matanya yang tadinya sayu kini bersinar-sinar penuh semangat dan gairah hidup dan biar pun pakaiannya tidak seindah dan semewah ketika dia berada di istana, namun hal ini sama sekali tak mengurangi kecantikannya, bahkan dia kelihatan segar dan cantik sekali, dengan mata bersinar, mulut tersenyum dan wajah berseri-seri.
Dia telah berhasil menyelinap keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang In di tempat yang telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat kelihaian Siang In, Sang Puteri dapat dibawa keluar tembok kota dan dengan cepat mereka melarikan diri ke timur.
Memang bukan perjalanan yang mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun gunung-gunung yang tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar dan gelap. Namun, karena di sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri ini pernah mempelajari ilmu silat dan telah banyak mengalami hal-hal yang hebat, maka perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara baginya. Sebaliknya malah, dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan penuh harapan yang muluk-muluk, yaitu harapan untuk dapat bertemu kembali dengan pria yang dicintanya, ialah Ang Tek Hoat.
Makin akrab saja hubungan di antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi dan langit itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut, halus budi, halus perasaan, pandai mengekang perasaan, dan memiliki keagungan seseorang puteri. Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita yang berwatak periang jenaka, bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur, polos dan tidak begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun, perasaannya sudah mengeras oleh gemblengan hidup, dan walau pun dia termasuk seorang dara yang suka berpakaian indah dan suka pula bersolek, namun pada dasarnya dia amat sederhana.
Betapa pun besar perbedaan watak antara mereka, akan tetapi mereka dapat segera menjadi sahabat yang akrab sekali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan pengganti Ceng Ceng! Memang ada persamaan antara Ceng Ceng dan Siang In, persamaan dalam hal watak periang, agak binal dan jujurnya. Akan tetapi Ceng Ceng tidaklah sebinal Siang In!
Betapa pun juga, dengan adanya Siang In di sampingnya, perjalanan yang amat sukar itu tidak terasa oleh Syanti Dewi dan dia dalam waktu sebulan itu saja sudah mengenal benar-benar watak Siang In. Biar pun kelihatan binal dan terpengaruh oleh keindahan yang membawa keanehan, kadang-kadang kelihatan keras, namun pada hakekatnya dara ini memiliki watak yang amat baik, setia dan jujur!
“Enci Syanti, ajari aku nyanyian yang kemarin kau nyanyikan ketika kita mandi di telaga itu! Kau sudah berjanji.“
Mereka tengah duduk beristirahat di sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di pegunungan yang jauh dari dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang terinjak kaki manusia. Akan tetapi ternyata alam memiliki daya cipta yang tak dapat terukur oleh otak manusia. Pohon-pohon besar kecil tumbuh dengan subur dan amat nyeni seolah-olah diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan sendirl-sendiri yang khas, namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah, yang tidak terpisahkan. Agaknya, sebatang pohon saja dipindahkan, akan hambarlah keindahan kesatuan itu. Kembang-kembang dan rumput-rumput seolah-olah tumbuh di tempat yang memang sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok sehingga suasana di hutan itu menjadi indah membahagiakan hati.
Dua orang dara yang benar-benar sadar atau tidak terpengaruh oleh keindahan yang membahagiakan itu, dan yang kini beristirahat melepaskan lelah di bawah sebatang pohon besar, merasa bergembira pula dan bercakap-cakap dengan asyiknya sampai terdengar Siang In minta diajari nyanyian.
“Adikku yang manis, engkau sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang aneh-aneh, tetapi kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran. Betapa rajinnya engkau, In-moi.” Syanti Dewi memuji sambil meletakkan tangannya ke atas pundak dara itu.
Siang In tersenyum. “Selama ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci. Ilmu silat, ilmu memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah, tidak ada yang baik dan hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi engkau sebagai seorang puteri benar-benar memiliki banyak kepandaian yang dapat menyenangkan orang lain, dan aku ingin sekali mempelajarinya, Enci.”
“Akan tetapi, aku mempelajari segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan lain-lain itu bukan untuk menyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya ingin menjadi seorang penari atau penyanyi umum.“
“Aku tahu, Enci. Tentu engkau hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kau cinta. Bukankah begitu?”
Dengan kedua pipinya berubah merah, Syanti Dewi mengangguk.
“Aku pun demikian, Enci. Aku minta diajar bernyanyi sebab aku suka sekali mendengar senandungmu kemarin itu, dan aku... hemmm, aku pun tidak akan mau sembarangan memamerkan nyanyian di depan orang lain!”
Wajah itu berseri dan mata yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh selidik. Akan tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja.
“Aihhh, kalau begitu engkau juga tentu sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang kekasih, adikku!”
Siang In menggeleng kepala. “Belum, Enci. Pilihan hati... hemmm, ya, mungkin saja, siapa tahu... akan tetapi kekasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru namanya kekasih, karena saling mencinta.”
Tiba-tiba pandang mata Syanti Dewi berubah, penuh kekhawatiran. “Adikku yang manis, apakah... apakah cintamu hanya sepihak...?”
Kembali Siang In menggeleng dan tersenyum. “Tidak ada cinta, baik dari fihak mana pun, Enci. Aku sendiri tidak tahu benar apakah aku telah mencinta seseorang. Banyak memang pria yang menyatakan cinta padaku, baik melalui pandangan matanya, melalui rayuannya...“
“Aku percaya. Engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari!”
“Tidak ada sepersepuluhmu dalam kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau hanya seperti itu cinta yang diagung-agungkan itu, seperti para pria yang menyatakan cinta melalui pandang mata atau rayuan mulut penuh nafsu itu, hihhh...“ Siang In bergidik. “Lebih baik aku tidak mengenal cinta!”
Syanti Dewi memandang tajam. “Hemmm... janganlah engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar engkau belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kau cari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu yang kau cari-cari?”
Terjadi perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk. “Memang aku sedang mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka dan dia mungkin tidak berada di barat.”
“Siapakah dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada.”
“Enci mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu.“
“Ehhh...? Dia...?” Sejenak puteri itu termenung, teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andai kata di dunia ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya dia jatuh cinta kepada seorang seperti Suma Kian Bu!
“Tahukah Enci di mana adanya dia?”
Syanti Dewi dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, tentunya di Pulau Es, di ternpat tinggal orang tuanya, In-moi. Suma Kian Bu adalah seperti kakakku sendiri, seperti saudaraku sendiri. Katakanlah kenapa engkau mencari dia? Kuharap saja tidak ada permusuhan di antara kalian.“
Siang In menggeleng kepalanya. “Tidak ada permusuhan apa-apa.“
“Kalau begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah…!”
“Juga tidak, Enci. Tidak ada permusuhan, juga tak ada ikatan itu karena selama ini kami tidak pernah saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap.”
“Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan merasa khawatir. “Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat engkau penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir sekali...”
“Ahh, tidak apa-apa, Enci Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia lakukan kepadaku, lima tahun yang lalu,” jawab Siang In dan mendadak wajahnya berubah merah.
Tentu saja puteri itu menjadi makin penasaran. “In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu sampai membuatmu penasaran? Atau... engkau kurang percaya kepadaku untuk memberitahu...“
“Ahhh, mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?” Siang In merangkul. “Tidak ada rahasia, perbuatan itu hanyalah... eh, lima tahun yang lalu dia... eh, dia pernah mencium bibirku.”
“Ihhh...!” Syanti Dewi terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya, seolah-olah itu ‘bukan apa-apa’!
“Kenapa kau terkejut, Enci?” Siang In memandang penuh selidik.
“Tidak apa-apa...“ Syanti Dewi mengatur napasnya yang agak memburu. “Hanya... jika sudah begitu... berarti kalian saling mencinta.”
Siang In menggeleng kepala. “Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?”
“Ya... karena... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kalau kau mau menerima ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya.”
“Hemmm... aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku. Akan tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering kali tidak bisa tidur, Enci Syanti.”
Syanti Dewi menutupi mulutnya, menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main, pikirnya dengan hati terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar hutan yang mulus tak pernah ternoda.
“Itulah tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku.”
“Ah, tidak. Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Memang aku sering kali membayangkan ciuman itu, tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang lalu itu dia menciumku seperti itu!”
Syanti Dewi menggeleng-geleng kepalanya. Selama hidupnya baru kini dia bertemu dengan seorang gadis seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan cerita tentang seorang gadis seperti Siang In!
“Jadi jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya tentang itu?”
“Benar, akan tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan amat kecewa karena kenyataannya perjalananku sia-sia belaka, tak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan dapat membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kau ajarkan lagu yang kau nyanyikan kemarin itu.”
“In-moi, lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya harus diiringi musik dan dinyanyikan sambil menari.”
“Bagus sekali! Aku pun senang menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kau ajarkan sekalian tariannya.”
“Musiknya?”'
“Asal kau ajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu.”
Syanti Dewi tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andai kata tidak ada alat musik, asal iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu atau apa pun jadilah! Dia lalu mengajarkan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam musik di dunia ini.
“Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan teratur, dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin pula mempelajarinya.”
Terdengarlah ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam lagu itu memang tepat sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri.
Kekasih telah lama pergi
tak tahu bila akan jumpa kembali
namun hati pantang membeku
tak mengenal putus harapan
selama hayat dikandung badan
cintaku tak pernah padam
jika tiada kesempatan jumpa di dunia
di akhirat kita akan saling bersua
harapan jumpa kekasih
kubawa sampai mati...
“Hebat, Enci! Hebat sekali, baik nyanyiannya mau pun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan irama, selagi aku masih ingat.”
Gembira bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan menarikan lagu Harapan Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum! Kiranya di samping kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuhnya yang padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai sehingga ketika dia menari, benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesonakan.
Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh tradisi sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikatan tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggota tubuhnya seolah-olah ‘hidup’ dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan!
Demikianlah, dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar penuh semangat, kadang-kadang Syanti Dewi masih turun tangan mengajarnya bagaimana harus menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah. Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil, Siang In mempelajari ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat memang terkandung inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu.
Tiba-tiba Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semak-semak belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda datang dari jurusan itu.
Tidak lama mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi saat melihat bahwa rombongan berkuda itu ternyata dipimpin oleh Panglima Mohinta! Seketika wajahya menjadi pucat dan tangannya yang memegang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ!
Setelah derap kaki kuda itu menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In kemudian berkata, “Aihhhh, tidak kusangka monyet-monyet itu akan bisa menyusul secepat itu. Dan tunanganmu sendiri yang memimpin pasukan pengejar.”
“Dia bukan tunanganku! Jangan menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau tahu bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!”
“Maaf, Enci Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli roti kering. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di sepanjang jalan.”
“Tapi mereka hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu...“
“Hemmm, apa engkau tidak melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggang kuda di samping tunang... ehh, Panglima Mohinta itu?”
“Ya, aku melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?”
“Ketika lewat tadi, aku sempat melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan undangan. Agaknya dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan mereka sambil melindungimu. Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhutan. Mari kita mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum.”
“Terserah kepadamu, In-moi.”
Siang In lalu mengubah rencana perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar, akan tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mungkin dapat mencari jejak mereka. Siasat Siang In berhasil baik. Memang tepat perhitungannya.
Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya dua orang gadis itu lewat di dusun ini, Mohinta dan kawan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang tadi bernyanyi dan menari. Namun Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia membawa rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan Syanti Dewi.
Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu berada dalam keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In telah menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu senja mereka tiba di kaki sebuah di antara pegunungan yang mempunyai banyak puncak. Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shen-si di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara.
Lebih dari sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat. Tujuan mereka adalah Kota Raja Peking di utara. Setelah berjalan beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok, mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan sehari lamanya mereka tidak juga bertemu dengan kota atau dusun! Baru sekarang mereka melihat kota di puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang amat lebar.
“Hari sudah gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi,” kata Siang In, “Kalau melanjutkan ke depan, kita terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu? Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di rumah makan.”
Syanti Dewi yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk. “Terserah kepadamu, In-moi. Aku setuju saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja. Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, demikian enak dan membikin malas hingga begitu diganti dengan perjalanan darat, kaki ini menjadi seperti mau patah-patah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan sampai sebulan lebih tidak apa-apa.”
Siang In tersenyum dan menggandeng puteri itu. “Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu yang mungil itu. Biasanya kalau pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu….“
“Hushhh, genit kau...!” Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun. Dengan kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak itu.
Sungguh kasihan kedua orang dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersenda gurau, membayangkan bahwa mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar di mana mereka akan dapat melepaskan lelah di rumah penginapan, mandi air hangat dan makan masakan yang lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka itu seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang sedang menuju ke goa yang penuh dengan harimau dan naga!
Tempat apakah yang dikurung tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir semua orang-orang kang-ouw di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si, tempat itu telah amat terkenal, disegani dan tidak sembarangan orang kang-ouw berani mendatangai tempat itu, apa lagi sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Puncak bukit itu merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu, orang-orang tidak lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun itu ditinggalkan orang. Inilah sebabnya mengapa selama sehari perjalanan Siang In dan Syanti Dewi tidak pernah melihat kota atau dusun.
Puncak itu dinamakan puncak Hwee-liong (Naga Api) dan yang kelihatan seperti dusun itu sesungguhnya adalah sekelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat seperti benteng saja. Tempat itu menjadi markas sebuah perkumpulan yang amat terkenal, yaitu Perkumpulan Liong-sim-pang (Perkumpulan Hati Naga). Yang menjadi ketuanya, atau lebih tepat menjadi pemiliknya karena sesungguhnya perkumpulan itu didirikan oleh seorang yang amat kaya raya, adalah seorang laki-laki yang terkenal dengan julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang), bernama Tang Hun dan memang dia merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang yang kaya raya dan seolah-olah sejak turun-temurun menjadi raja kecil yang menguasai semua tanah di daerah itu.
Mengapa pemuda bernama Tang Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong-sim-pang? Karena selain kaya raya dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan kini ia terkenal sebagai seorang yang amat tangguh dan lihai, apa lagi setelah sejak beberapa tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam yang kini tinggal di puncak itu sebagai seorang yang dipuja-puja. Sejak berguru kepada nenek hitam ini kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main karena selain silat nenek itu amat tinggi, juga terutama sekali nenek itu seorang ahli sihir yang menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada muridnya itu! Dan selain dia sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu yang sakti dan setia.
Sebagai seorang majikan atau ketua dari sebuah perkumpulan, apa lagi karena amat kaya raya, tentu saja Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah Liong-sim-pang. Anak buahnya berjumlah lima puluh orang, dan rata-rata memiliki kepandaian lumayan, sebab mereka yang masuk menjadl anggota harus lulus melalui ujian tertentu. Bahkan setelah menjadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini mendapat pendidikan khusus dari para pembantu Hwa-i-kongcu.
Melihat namanya, perkumpulan ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud untuk mengangkat diri sendiri sebagai majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang berhati naga! Akan tetapi, sudah menjadi kelajiman di dunia bagian mana pun juga, baik dalam bentuk pangkat, kedudukan, dan kepintaran, harta benda, mau pun kekuatan, selalu mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan inilah yang menimbulkan kesombongan, kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama kemudian, nama Liong-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para anak buahnya mengandalkan kekuasaan itu untuk menang sendiri terhadap fihak lain.
Hwa-i-kongcu Tang Hun sendiri tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakukan hal-hal yang remeh. Dia sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan pemerasan atau merampas harta. Akan tetapi dia memiliki kesenangan lain, yaitu wanita cantik!
Dengan berbagai jalan, baik menggunakan kekayaannya, ketampanannya, atau kalau perlu kepandaiannya, dia mengumpulkan banyak wanita cantik di dalam gedungnya dan celakanya, pemuda mata keranjang dan hidung belang ini adalah seorang pembosan sehingga kumpulan wanita di gedungnya selalu berganti. Yang sudah membosankan, dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari beberapa bulan saja, kemudian dipulangkan begitu saja dan dia mulai berkeliaran lagi mencari penggantinya. Kamar-kamarnya selalu penuh dengan wanita cantik yang jumlahnya paling sedikit ada sepuluh orang!
Hwa-i-kongcu sendiri biar pun usianya sudah tiga puluh tahun namun dia kelihatan amat muda, seperti seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun. Wajahnya tampan dan selalu putih karena dibedaki dengan bedak harum. Dia pesolek sekali, dengan pakaian seperti seorang sastrawan yang selalu berwarna-warni dan berbunga-bunga, pakaian dari sutera yang mahal dan mewah.
Karena kelihatan masih amat muda, tampan dan ganteng serta kaya raya, pandai ilmu sastra dan silat, maka tentu saja dengan mudah dia dapat memikat hati wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanita-wanita itu berhasil diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu menyesal bukan main dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka karena pria yang tampan itu memiliki watak yang amat aneh dan kejam, yang suka menyiksa wanita demi untuk memuaskan nafsu birahinya dan menganggap wanita hanya sebagai barang permainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka!
Sampai berusia tiga puluh tahun, Hwa-i-kongcu ini tidak pernah menikah. Hal ini adalah karena dia berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya yang sah! Semua wanita itu hanya mau dijadikan barang permainannya untuk sementara saja.
Demikianlah, di luar kesadaran atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang mendaki bukit itu menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas tembok yang seperti benteng itu sudah melihat akan adanya dua orang yang mendaki bukit. Sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang jumlahnya selosin orang segera bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani lancang naik ke puncak itu.
Siang In dan Syanti Dewi sudah tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup melelahkan, membuat mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya membasahi seluruh tubuh dan nafasnya agak memburu.
“Ihhhhh...“ Puteri itu mengeluh. “Kelihatan dekat, tapi kalau dijalani kenapa tidak juga sampai-sampai!”
Siang In tertawa. “Enci, kita sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan sukar dari pada bukit kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah mengeluh. Hal itu adalah karena kau tergesa-gesa ingin lekas-lekas tiba di puncak itu, maka menjadi lama dan kelihatan jauh...“
Tiba-tiba Siang In menghentikan kata-katanya, lalu memegang tangan puteri itu dan menghentikan langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tampak olehnya serombongan orang berjalan cepat turun dari atas. Bukan rombongan orang, melainkan sepasukan orang karena mereka itu berjalan dengan berbaris rapi seperti pasukan saja! Dan pakaian mereka juga seragam. Setelah mereka datang agak dekat, nampaklah bahwa pakaian mereka itu seragam dengan baju kuning dan celana hitam, dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga.
Syanti Dewi menjadi gelisah dan memegang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya tersenyum dan berkata lirih. “Tenanglah, Enci, biar aku menghadapi badut-badut itu.”
Pasukan itu berhenti di depan mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya menjadi komandan pasukan menyerukan aba-aba dan mereka lalu berpencar menghadang ke depan dua orang dara itu, berdiri berjajar memenuhi jalan. Mereka memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran ketika melihat bahwa dua orang yang naik dan mereka curigai itu ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan wajah yang aduhai! Sampai bengong mereka memandang, karena sesungguhnya, selama mereka hidup, belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini cantik jelitanya! Seolah-olah dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!.
Melihat dua orang wanita cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Ia mengebut-ngebutkan pakaian seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis hingga tubuhnya menjadi melengkung seperti huruf S atau seperti seekor ular sendok bergaya, kemudian melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan dia berdehem dua kali sebelum bicara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja sumbang karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau.
“Heiiiii! Kalian dua orang Nona Muda ini siapakah, dari mana dan hendak ke mana?” Si jangkung ini bertanya dengan suara mengandung nada-nada seperti orang bernyanyi, dan tentu saja nyanyian sumbang!
Melihat lagak orang ini mau tidak mau hati Syanti Dewi merasa geli dan dia menutupi mulutnya untuk menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar, bahkan tidak menahan suaranya terkekeh kecil. Inilah perbedaan antara dua orang dara cantik itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah dikurung oleh semacam kebiasaan, tradisi, dan sopan santun sehingga setiap gerak-geriknya terbentuk oleh suasana di dalam istana. Di lain fihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia tidak merasa kurang sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya.
“Kami adalah dua orang pelancong, dari belakang hendak ke depan, hik-hik!” Siang In menjawab sambil terkekeh.
“Ha-ha-ha, Nona ini lucu!”
“Lucu dan manis, heh-heh.”
“Kedua-duanya cantik jelita!”
“Hushhh, diam kalian!” Si jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya berhenti bicara. Sungguh pun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan mata mereka kadang-kadang melayang mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian pandang mata mereka meraba-raba ke seluruh anggota tubuh yang menggairahkan Itu. Hal ini terasa sekali oleh Syanti Dewi yang cepat menundukkan muka dengan alis berkerut.
“Nona, jangan kau main-main! Kalian berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh Liong-sim-pang! Hayo lekas mengaku baik-baik, jangan sampai aku bertindak kasar terhadap kalian dua orang dara-dara muda.”
“Nanti dulu, mengaku ya mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan apa-apa yang merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami hendak pergi ke kota di puncak itu.”
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Semua anggota pasukan tertawa dan Siang In mengerutkan alisnya, lalu memandang ke arah kota berdinding tebok itu.
“Mengapa kalian tertawa!?” tanyanya.
“Di atas itu bukan kota Nona, melainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan kalian berdua telah melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian,” kata pula si jangkung bernama Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu. Padahal tentu saja dia hanya seorang petugas rendahan yang paling tinggi berpangkat kopral.
Siang In dan Syanti Dewi saling pandang dan merasa terkejut serta kecewa. Kiranya mereka telah salah duga! Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu adalah anak buah perkumpulan yang bernama Hati Naga, dia merasa dadanya lapang.
Hati Naga berarti keberanian. Hanya orang-orang gagah saja yang mau menggunakan nama seperti itu. Dan orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia menjura dan berkata, “Aihh, kalau begitu harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami yang salah terka dan salah jalan. Kami kira yang di atas itu sebuah kota atau dusun. Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah kami kembali dan harap maafkan kami.”
“Eh-eh, nanti dulu, Nona!” Jiu Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi hendak pergi dan membalikkan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas orang pasukannya itu berpencar lalu membentuk lingkaran mengurung dua orang dara itu.
“Hemmm... kalian mau apa?” Siang In tersenyum. Dia menyembunyikan kemarahannya dibalik senyum manis.
“Kalian sudah melanggar wilayah kami, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami untuk menghadap Kongcu.”
“Hemmm, siapa itu Kongcu?” tanya Siang In.
“Kongcu adalah majikan dan ketua kami.”
“Kongcu pasti akan senang sekali melihat kalian, heh-heh!”
“Tentu saja, dan kita akan mendapatkan hadiah!”
Mereka tertawa-tawa dan lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan dengan anggota-anggota perkumpulan orang gagah. Lagak mereka ini tiada bedanya dengan penjahat-penjahat kecil atau sebangsa perampok liar saja.
“Kalau kami tidak mau?” tanyanya.
“Ha-ha, mau tidak mau kalian harus ikut bersama kami,” jawab Jiu Koan.
Siang In melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan bertanya, “Eh, siapa namamu tadi? Jiu Koan?”
“Benar.”
“Jadi engkau ini seorang jagoan Liong-sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu. Kalau kau memang jagoan, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah, biar kami akan menyerah dan ikut bersama kalian ke atas sana. Tetapi kalau aku menang, kalian harus membiarkan aku pergi. Bagaimana?”
Jiu Koan memandang dengan mata terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia seorang yang cerdik pula. Kalau gadis ini berani menantangnya, agaknya gadis yang membawa payung ini memiliki kepandaian. Kalau dia mempertaruhkan kebebasan mereka, amatlah berbahaya. Akan tetapi gadis kedua itu, yang kelihatan lemah lembut, tentu tidak bisa silat.
“Baik, akan tetapi karena kalian berdua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju, masing-masing melawan seorang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang, biarlah kalian boleh pergi. Akan tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus ikut kami ke atas untuk menghadap Kongcu.”
“Baiklah,” jawab Siang In sambil berkedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu. “Kau ajukan jagomu biar dilawan temanku ini.” Dan dia menggunakan ilmunya sehingga hanya Syanti Dewi saja yang mendengar bisikannya, “Enci, kau lawanlah saja, aku akan membantumu dan tidak mungkin kau kalah.”
Syanti Dewi mengangguk. Memang dia pernah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya telah memperoleh kemajuan hebat saat dia mendapat petunjuk-petunjuk dari pendekar sakti Gak Bun Beng beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi selama bertahun-tahun ini dia tidak pernah berlatih karena semangatnya seperti telah hilang terbawa pergi oleh Tek Hoat. Maka untuk bertanding tentu saja gerakannya kaku dan memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi!
Jiu Koan lalu memberi isyarat dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar. Usianya tentu belum ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh dengan lingkaran otot-otot besar karena dengan bajunya digulung sebatas siku. Dia ini tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali mendapat kesempatan untuk bertanding melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam benaknya betapa dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu.
Syanti Dewi merasa agak ngeri berhadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap sedia dan memasang kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar meliihat betapa dara cantik ini dapat memasang kuda-kuda ilmu silat, dia bersikap hati-hati dan berkata, “Nona manis, lebih baik kau menyerah dan mengaku kalah.”
“Tidak perlu banyak cakap, majulah!” Syanti Dewi berkata.
“Ha-ha, hendak kulihat apakah kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!” Raksasa itu tertawa dan menubruk cepat sekali ke arah Syanti Dewi.
Puteri ini amat terkejut, tak disangkanya orang tinggi besar itu dapat bergerak demikian cepatnya. Akan tetapi dia dapat mengelak dengan meloncat ke kanan sambil mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Dalam perjalanan yang jauh ini, puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang dipasangi besi di ujungnya, maka tendangannya itu bukanlah tidak berbahaya.
“Ehhh!” Lawannya berseru kaget juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu.
Dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik kembali kakinya. Raksasa itu kini menyerang dengan marah, tidak lagi hanya berusaha menangkap Sang Puteri, tetapi juga menggunakan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Karena kaki dan tangannya memang besar dan panjang, repot jugalah Syanti Dewi mengelak ke sana ke mari.
“Kau hendak lari ke mana sekarang?” Raksasa itu berseru keras, tangan kanannya diulur untuk mencengkeram ke arah rambut kepala Syanti Dewi.
Puteri ini cepat merendahkan tubuh mengelak, dan selagi ia membalas dengan pukulan ke arah muka raksasa itu, lawannya sama sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya akan menerima pukulan itu begitu saja, akan tetapi kedua tangannya kini mencengkeram ke arah kedua buah dada Sang Puteri!
“Aihhh...!” Syanti Dewi menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang.
Dia berjungkir-balik dan terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena kurang latihan, ketika berjungkir-balik itu tubuhnya agak terhuyung-huyung hampir jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh si raksasa untuk menyerbu ke depan.
Pada saat itu, Siang In menggerak-gerakkan tangannya ke arah si raksasa sambil berseru, “Laki-laki tidak sopan, jangan kau main curang dan kurang ajar!”
Suaranya melengking nyaring dan mengandung daya tarik yang luar biasa sehingga si raksasa itu memandang kepadanya. Inilah kesalahannya karena begitu dia bertemu pandang dengan dara itu, otomatis dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Siang In.
“Eh... eh... mana...?” Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat lagi dara cantik yang menjadi lawannya.
“Plak! Plak!”
Dua kali pipinya ditampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai menjadi merah dan terasa panas sehingga dia terhuyung ke belakang.
Syanti Dewi sendiri merasa telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia melihat lawannya berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai membantunya, maka dia kemudian melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang dengan tinju tangannya yang kecil.
“Buk-buk-bukkk!” Tiga kali dia memukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi ke belakang.
Semua temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas tampak oleh mereka bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan mereka itu seperti orang bingung dan dengan mudah saja ditampar dan ditonjok?
Si raksasa itu memang bingung dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan ditonjok, akan tetapi dia sama sekali tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya itu. Dia masih berusaha menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk memukul sana-sini, mencengkeram sana-sini, namun hanya mengenai angin saja karena Syanti Dewi sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin kaget dan heran melihat raksasa itu memukul dan mencengkeram tempat kosong di depannya, padahal lawannya berada di sebelah kirinya!
“Takkk! Aughhhhh... aduhhhhh...!”
Raksasa itu mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya dengan tangan dan berloncatan dengan kaki kanan. Hanya orang yang pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang keringnya saja akan mengerti bagaimana perasaan si raksasa di saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh ujung besi sepatu Syanti Dewi, tentu saja nyeri bukan main, kiut-miut rasanya, bernyut-nyutan sampai terasa di dalam sumsum.
“Dukkk...! Aduhhh...!”
Dan si raksasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan itu ditendang lagi oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah menjadi biru dan bengkak itu.
Siang In menggerakkan tangannya. Kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi yang berdiri di depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya yang amat mudah itu.
Kalau saja tidak ada pengerahan pendeta-pendeta untuk mengusir roh-roh jahat, kiranya tidak akan terjadi hal-hal yang menghebohkan. Malam itu juga, seorang pendeta Buddha yang terkenal sebagai seorang ahli roh-roh jahat dan siluman yang bernama Nalanda, seorang yang bertubuh tinggi besar, berusia lima puluh tahun berwajah angker dan serius, dengan membawa tempat pedupaan yang terisi dupa wangi mengebul, berjalan mengelilingi istana.
Asap dupa mengebul dari tempat pedupaan, baunya semerbak sampai ke sudut-sudut, dan Pendeta Nalanda berkemak-kemik membaca mantera untuk mengusir roh jahat. Kemak… kemik… kemak… kemik….
Pada saat itu, sesosok bayangan menyelinap di antara bayangan-bayangan gedung istana. Bayangan ini bukan lain adalah dara cantik jelita yang tadi telah menggegerkan luar istana. Sekarang payungnya telah ditutup dan dikempit di bawah ketiak kirinya, dan dengan gerakan kaki yang ringan dan gesit, tanda bahwa gadis ‘siluman’ ini memiliki kepandaian tinggi, dan menyelinap ke sana ke mari mencari-cari. Dara itu sudah mulai kelihatan gelisah dan jengkel karena dia tidak mengenal jalan sehingga selalu tersesat bertemu dengan lorong buntu di kompleks istana yang luas itu.
“Sialaaan...!” Berulang kali dia mengumpat dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
Tiba-tiba hidung yang cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium bau harimau yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras. Akhirnya dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang besar, bersembuyi di balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang mengebulkan asap putih dan bibirnya terus berkemak-kemik membaca mantra pengusir roh jahat.
Dara itu tersenyum geli. Sekelebat mata, giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat tertimpa cahaya lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong istana. Dara itu tentu saja mengerti mengapa pendeta ini membakar dupa dan berdoa mengusir roh jahat. Matanya yang cerdik itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri gembira. Dia kini memperoleh seorang petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan gerakan yang ringan, yang menandakan bahwa dia memiliki ginkang yang tinggi, dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta itu dari belakang.
Pendeta Nalanda memasuki taman bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga ketat. Penjagaan di sekitar taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu hanya bersembunyi di luar taman, akan tetapi dia dapat mengintai dari luar, melihat pendeta itu memasuki taman, tiba di tengah taman yang luas dan dari jauh dia melihat pendeta itu bicara kepada seorang wanita yang agaknya duduk di dalam taman, lalu pendeta itu mengelilingi taman dengan pedupaannya dan keluar lagi.
Si Dara terus membayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar kosong, meletakkan pendupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulutnya tak hentinya berkemak-kemik membaca mantera.
Kemudian pendeta itu berdiri tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya, dan terdengar dia berkata, “Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di sekitar istana Bhutan, dengarkanlah perintahku! Aku adalah yang terkasih, Pendeta Nalanda, yang telah memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir kalian! Jangan kalian berani mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan menggunakan kekuasaan untuk menghukum kalian!”
Ucapan itu dilanjutkan dengan doa-doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi Pendeta Nalanda melakukan upacara pengusiran roh jahat, tiba-tiba saja pandang mata pendeta itu terbelalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya! Bayangan seorang wanita yang cantik jelita, yang mengempit sebuah payung!
Pendeta yang selama menjadi pengusir roh ini hanya mengusir siluman-siluman dalam khayalnya saja, kini melihat pemandangan itu, merasa tengkuknya pun dingin dan tebal, semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya berbulu, berdiri satu-satu! Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi, ketika dia melirik ke depan, ‘roh jahat’ itu masih berdiri di situ, malah makin mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum!
“Wahai, roh yang keras kepala!” bentaknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung ‘roh’ itu. “Pergilah kau kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!”
‘Roh’ cantik itu malah tersenyum, manisnya bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut keluar sebatang pedang kayu itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan sikap menggoda dan mempermainkan.
“Sliuman jahat... pedang pusakaku akan menghukummu!” Dengan suara gemetar pula pendeta Nalanda itu menggerakkan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari semacam kayu cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, menusuk ke arah dada wanita cantik itu.
“Plakkkk!” Sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang kayu telah dirampasnya, kemudian pedang itu bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi besar itu jatuh bertekuk lutut!
Dara jelita itu terkekeh, menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia oles-oleskan abu pendupaan untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang hitam! Setelah melakukan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas jubah pendeta itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopiah pendeta dan menaruhnya di atas kepala, lalu diambilnya pendupaan itu dan keluarlah dia dari kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu menuju ke taman istana yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda!
“Ehh, Losuhu, kenapa kembali lagi?” Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di tengah pintu taman.
“Minggir, ada siluman di dalam taman!” kata dara itu dengan suara dibesarkan, dan dia cepat membaca mantera dengan ngawur dan berjalan masuk.
Para penjaga sudah menjadi ketakutan mendengar kata-kata itu, maka mereka tidak begitu memperhatikan di dalam kegelapan malam yang mulai tiba itu bahwa si pendeta kini tiba-tiba berubah kecil tubuhnya, dan kini mengempit payung di bawah ketiaknya!
Dara itu terus memasuki taman. Setelah para penjaga sudah tidak kelihatan lagi, dia melemparkan pendupaan, kopiah dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat menyelinap ke belakang pohon-pohon dan semak-semak, menuju ke tengah taman.
Seperti telah diceritakan di bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah duduk melamun seorang diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai merah di dalam empang.
“Bunga teratai... engkau jauh lebih bahagia dari pada manusia,” demikian keluhan hati Sang Puteri.
Dia teringat akan kekasihnya. Betapa sukarnya menjadi manusia. Kotor atau bersihnya manusia ditentukan oleh keadaan, oleh lingkungan, dan terutama oleh pendapat orang lain atau umum. Sebelum pergi meninggalkan Bhutan, Ang Tek Hoat dikenal sebagai seorang pahlawan, seorang calon mantu raja, seorang yang sangat patut dihormati dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara orang lain dijatuhkan, Tek Hoat menjadi orang yang direndahkan.
“Tidak...!” bantah hatinya. “Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Bagai bunga teratai itu, biar direndam ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan selamanya aku akan menganggapmu begitu.“
Dia menghela napas panjang dan teringat akan pesan pendeta Nalanda tadi. Pendeta itu memasuki taman dan menasehati agar dia masuk ke kamarnya karena ada ‘hawa siluman’ mengotori istana dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh jahat. Tetapi Syanti Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari ketahyulan semenjak dia terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami banyak sekali hal-hal hebat hingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan itu hanyalah kebohongan semata.
Dia telah mengalami hal-hal yang nyata, dan dalam keadaan bagaimana pun juga, dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh seperti yang dipercaya oleh orang-orang yang suka menerima ketahyulan sebagai sesuatu yang benar. Dan oleh karena itu, nasehat pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri ini masih saja duduk seorang diri di dalam taman itu.
“Selamat malam, Adinda Syanti Dewi!”
Puteri itu menengok dan hatinya berbisik mencela, “Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia inilah siluman bagiku.”
Akan tetapi Syanti Dewi adalah seorang yang berperangai halus, dan biar pun hatinya tidak senang kepada Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan menjawab, “Selamat malam, Panglima Mohinta.”
Mohinta menyeringai dan kumis tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini masih selalu menyebutnya ‘panglima’. Hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut ‘kakanda’ kepada tunangannya ini! Sebutan ‘panglima’ sungguh sama sekali tidak mencerminkan kemesraan, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang berbicara dengan seorang panglima kerajaan, seorang bawahan!
“Mengapa Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin.”
“Biarlah, Panglima Mohinta. Aku sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada urusan apakah?”
Kembali panglima muda itu menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara pada waktu itu. “Saya... saya... hanya ingin menjenguk, khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya... hemmm... ada siluman berkeliaran... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu...“
“Hemmm, apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima, tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian.”
Akan tetapi panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.
“Adinda Syanti Dewi...“
“Panglima, aku ingin sendirian!”
“Aduhai, Adinda sayang. Bukankah telah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri. Apakah aku tak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?”
“Panglima, aku tidak ingin bicara tentang itu!”
“Adinda, itu adalah urusan kita berdua, urusan pribadiku dan pribadi...“
“Sudahlah. Kalau engkau mau bicara tentang hal itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau sebagai Ayahku yang berhak membicarakan soal itu, bukan aku.”
“Adinda... aku... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan ini...?”
“Sudah terlalu sering sampai membosankan!”
“Duhai, Adinda... jangan begitu“
Panglima Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.
“Panglima, bukan aku tidak kasihan kepadamu. Tetapi... aku tidak suka membicarakan hal itu. Pergilah!”
“Adinda... Syanti Dewi, kau kasihanilah aku...!” Panglima itu sekarang menjatuhkan diri berlutut!
Pada saat itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat persembunyiannya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihatnya.
“Siapa kau...?” Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring.
Panglima Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta.
Syanti Dewi terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa baginya. Dia melihat Panglima Mohinta memandang seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya ‘Adinda Syanti Dewi’! Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciuminya. Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu.
Dara itu melangkah mendekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil tersenyum manis, berbisik, “Puteri, lupakah engkau padaku?”
Syanti Dewi memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan di mana.
“Aku Siang In... eh, yang dulu pernah membantumu... guruku adalah See-thian Hoat-su yang pernah menolongmu.“
Berseri wajah Syanti Dewi. “Aihhh, Si tukang sulap itu...?” teriaknya.
“Sssttttt...!” Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih terus merayu arca. “Mari kita bicara di dalam saja. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti Dewi.”
Siang In, dara itu, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua kemudian melangkah keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghubungkan taman dengan gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga. Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu.
“Heh, semua penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?” bentaknya dengan suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima Mohinta!
Tujuh orang penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab ‘perintah’ dara itu, “Siap, Panglima!”
Setelah mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya, “Eh, apa yang telah kau lakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga itu menyebut engkau panglima?”
Siang In melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu. “Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!” Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.
“Hi-hik, masih mending merayu arca batu yang dingin dari pada merayu seorang gadis yang bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?”
“Tetapi... tetapi mengapa bisa begitu? Bingung aku... apa sih yang sebetulnya sudah terjadi?”
“Aihhhhh... kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main sulap juga.”
Syanti Dewi terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main. “Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu... hik-hik, dia menganggap arca tadi…?”
“Disangkanya engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ahh, dia tampan dan ganteng juga, ehh!”
Syanti Dewi bersungut-sungut. “Huh, siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia! Kusuruh tangkap pengawal dan kusuruh gantung...!”
“Ee-eeeiiiiittt, mengapa begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima Mohinta itu adalah tunanganmu, bukan?”
Tiba-tiba hati puteri itu menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak disukanya itu. Dia kemudian menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan muka di bantal.
Siang In meloncat dan duduk mendekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang halus itu basah. Siang In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua orang dara ini memang sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga, Syanti Dewi adalah bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan lembut dan lunak, sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik jelita kuat, bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan yang diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu Candra Dewi atau Ceng Ceng yang amat dicintanya, maka dia merangkul leher Siang In.
“Engkau cantik sekali, Puteri,” Siang In berkata.
Syanti Dewi mengambung pipi dara itu. “Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan engkau mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng.”
Sejenak mereka saling pandang, mengagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa puteri itu mempunyai seorang adik angkat yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga disebut Candra Dewi. Ceng Ceng kini telah menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang.
Dan siapakah dara cantik jelita, jenaka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini yang pada waktu itu baru berusia lima belas tahun. Teng Siang In adalah seorang dara berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah puteri dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli pengobatan yang amat terkenal. Dalam keadaan sebatang kara, karena orang tuanya telah meninggal dan juga enci-nya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga kemudian mati terbunuh, akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh yang berilmu tinggi dan juga pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid.
Empat tahun lamanya Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran ilmu silat tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini Siang In muncul sebagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu silatnya dan lebih hebat lagi ilmu sihirnya! Demikianlah sedikit riwayat Teng Siang In, dara cantik jelita yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul, terjadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman cantik!
Tidak lama setelah Syanti Dewi dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit buyarlah pengaruh sihir yang dilakukan oleh dara itu atas diri Panglima Mohinta. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda ini ketika dia sadar dan mendapatkan dirinya memeluk dan menciumi arca batu, sedangkan ketika ia menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi! Dia merasa seram dan ngeri, juga bingung.
Sejenak dia memandang ke kanan kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan berita tentang siluman! Tadi jelas bahwa Syanti Dewi duduk di bangku itu, dan dia berusaha untuk merayu tunangannya yang bersikap dingin itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu rayunya, bahkan membalas pelukannya, dan membalas pula ciuman-ciumannya penuh gairah. Akan tetapi ternyata bahwa yang dipeluk ciumnya itu adalah arca batu yang kotor dan Syanti Dewi sudah lenyap!
“Uhhhhh...!” Panglima Mohinta menggigil dan meraba tengkuknya.
Dia adalah seorang panglima muda yang berani, namun sekarang dia merasa ngeri dan takut juga berada seorang diri di dalam taman yang sepi itu. Penerangan dalam taman itu yang hanya datang dari dua buah lentera yang tergantung di bawah pohon, tertiup angin bergerak-gerak, menghidupkan bayangan-bayangan di sekelilingnya, menambah seram keadaan. Suara belalang, jengkerik dan burung malam yang mengasyikkan bagi mereka, menambah seram suasana dan Panglima Mohinta yang pemberani itu kini bergegas setengah lari melangkah keluar dari taman.
“Siap...!” Teriakan dan gerakan tujuh orang penjaga taman membuat Panglima Mohinta hampir menjerit dan panglima muda ini terloncat kaget memandang kepada tujuh orang itu. Akan tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Panglima Mohinta mengerutkan alisnya. Mengapa mereka memandang kepadanya seperti itu? Adakah sesuatu yang aneh pada mukanya? Dia meraba-raba mukanya dan menghapus-hapus muka itu, kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi tujuh orang itu tetap saja memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung.
“Heh, kalian lagi melihat apa?” bentaknya marah, hampir memukul kepala penjaga yang menjadi ketakutan.
“Ah, maaf, Panglima... ehh, kapankah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat Panglima keluar.“
“Heh, apa maksudmu? Bicara yang benar!” Panglima Mohinta membentak.
“Kami bertujuh tadi baru saja melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki istana dan... dan panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan sambil mengempit payung…“
“Mengempit payung? Apakah kalian gila?” Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali tengkuknya terasa dingin karena dia sudah merasa ngeri.
Pada saat itu terdengar teriakan mengerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para penjaga terlonjak kaget, akan tetapi mereka dipimpin oleh panglima segera lari cepat ke arah istana dan di jalan mereka bertemu dengan para penjaga dan pengawal yang juga sudah berlari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu.
“Tolong... aduhhh, toloonggg... si... siluman... sssetannnn...!” terdengar teriakan itu.
Ketika mereka semua tiba di tempat suara itu, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Pendeta Nalanda, pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi, kopiahnya juga hilang dan sebagai gantinya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia berteriak-teriak ketakutan, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.
Seorang pengawal cepat mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu masih berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas kepalanya yang gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar.
“Ah... ehh... ya ampun... ada... setan... wanita cantik...” dia lalu menceritakan munculnya siluman cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan kopiahnya, dan mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang dilumuri abu pendupaan. Seorang siluman cantik yang memegang payung.
“Membawa payung?” Panglima Mohinta bertanya dengan mata terbelalak, langsung punggungnya terasa dingin.
Tak salah lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga melihat dia membawa payung. Tentu siluman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai dia menggandeng tangan Syanti Dewi!
“Celaka, kita harus melapor kepada Sri Baginda!” teriaknya dan dia bergegas memasuki istana.
Sementara itu di dalam kamar Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In yang menceritakan betapa dia telah menggoda para penjaga.
“Apakah mereka di pintu gerbang tidak menyerangmu?” tanya Syanti Dewi dengan senyum lebar selalu menghias bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya. Berdekatan dengan Siang In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang Puteri timbul kembali kegembiraannya dan membawa dia kembali ke alam bebas, alam liar seperti ketika dia berkelana dahulu.
“Tentu saja mereka lalu mengejarku, dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ketika mereka sudah dekat, aku membalik seperti ini...“
“Ihhhhh...!” Syanti Dewi menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik manis, akan tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa mengerikan, wajah yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau mulut!
“Hik-hik, kau juga ngeri!” Siang In melepaskan kedoknya.
Syanti Dewi terkekeh-kekeh saking geli hatinya, mengambil kedok itu dari tangan Siang In dan memandanginya. Kedok itu hanya sehelai penutup muka seperti karet yang halus sekali, entah dibuat dari bahan apa.
“Dan pendeta gundul yang lucu itu, hi-hik.”
“Kau maksudkan Pendeta Nalanda? Kau apakan pula dia?” Syanti Dewi makin tertarik dan bertanya.
“Tidak apa-apa, hanya kucoreng-moreng mukanya.” Siang In kemudian menceritakan pertemuannya dengan pendeta itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi.
Dua orang dara yang sedang bergembira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri Baginda Raja Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya. Tentu saja hati raja ini senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa tahun lamanya tidak pernah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa ini dilakukan puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja menimbulkan perasaan bimbang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja yang tertawa-tawa geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar.
Empat orang pengawal Sri Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang menemani raja juga terbelalak dan saling pandang penuh kengerian. Jelaslah bagi mereka yang sedang panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah diganggu siluman!
“Syanti...! Buka pintu...!”
Ketukan pintu dan suara Sri Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak kaget. Mukanya menjadi pucat ketika dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya tenang-tenang saja, malah tersenyum dan berbisik, “Bukalah pintu dan anggap saja aku tidak ada di kamar ini.”
Syanti Dewi bimbang. Dia khawatir sekali karena tentu Siang In akan ditangkap dan dihukum karena dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan Siang In mendesaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar dan suara Sri Baginda makin mendesak.
Syanti Dewi melangkah, menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok. Dia melihat Siang In sudah duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya. Gadis itu tersenyum dan kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan juga terheran-heran. Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu.
Serentak masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglima Mohinta, empat orang pengawal dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang duduk bersila di lantai. Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih duduk tersenyum setelah tadi tangan kirinya diangkat dan digerakkan seperti memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar!
“Syanti, tadi dengan siapa engkau di kamarmu ini?” Sri Baginda bertanya sedangkan Panglima Mohinta berjalan hilir mudik dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya lewat dekat sekali dengan tubuh Siang In.
“Tidak dengan siapa-siapa, Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini datang mengganggu dan membangunkan saya?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara tidak senang.
“Hemmm... tidur? Akan tetapi tadi dari luar kami mendengar engkau tertawa-tawa, Syanti. Jangan engkau membohongi Ayahmu.”
“Sungguh saya sedang tidur dan kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi.”
“Ahh, engkau mimpi? Mimpi apa? Bertemu dengan siluman..., dengan siapa?” Sri Baginda yang sudah dicekam rasa ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya.
Syanti Dewi menjadi bingung dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini menudingkan telunjuknya ke arah Panglima Mohinta yang masih hilir mudik.
“Saya mimpi bertemu dengan... Panglima Mohinta...“
“Ahh, jadi Adinda mimpi bertemu dengan saya?” Panglima muda itu bertanya dengan wajah berseri.
Syanti Dewi mengangguk. “Di dalam mimpi, saya melihat... Kakanda Mohinta menjadi seorang badut yang sangat lucu, maka saya tertawa...“
Wajah yang tadinya berseri itu berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.
“Syanti Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?” Sri Baginda tiba-tiba bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila.
Syanti Dewi terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi!
“Kursi...? Ehh, inikah, Ayah? Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi antik...“
“Memang bagus sekali, tentu amat enak diduduki...“ Panglima Mohinta kini menghampiri Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang hendak duduk.
Tentu saja Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak akan sudi membiarkan kepalanya diduduki orang. Cepat dia gerakkan payungnya yang tadi telah disambarnya dari atas meja ketika rombongan raja masuk, kemudian ujung payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya.
“Cussss... aduhhhh...!” Panglima Mohinta terloncat kaget saat merasa betapa pantatnya ditusuk ujung payung. “Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!” Akan tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu!
Setelah melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda kemudian berkata, “Syukurlah kalau tak ada apa-apa, anakku. Tidurlah dengan tenang.” Dia kemudian keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari gangguan siluman.
Setelah menutupkan kembali daun pintu kamarnya, Syanti Dewi dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.
“Siang In, engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka menjadi sebuah kursi?” tanya puteri itu, memandang kagum.
Siang In mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis, “Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biar pun orangnya tunanganmu yang tampan dan ganteng itu, Puteri...“
“Hushhh, jangan berkata demikian, aku... aku benci padanya!”
“Eihhhh? Aku mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat rayuan maut tadi di taman...“
“Sudahlah, Siang In,” Syanti Dewi menghela napas panjang. “Aku tidak ingin berbicara tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?”
“Aku sedang mencari seseorang, Puteri. Karena merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri, tetapi sudah bertunangan dengan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena bukankah... ehhh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu dahulu...“
Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat saat dia menyebut nama pemuda itu.
“Adik yang baik.” Syanti Dewi kini memandang dara itu. “Apakah yang telah kau dengar tentang Ang Tek Hoat?”
“Aku dahulu mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi panglima dan dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?”
Ditanya begini, tiba-tiba Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tak pernah menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mongering. Namun kegembiraan tadi, tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula kemampuannya untuk menangis.
Melihat puteri yang keadaan hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya kini menderita kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap menghibur dan berkata lembut, “Puteri, jangan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di dunia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan panglima yang tidak kau cinta itu?” Dia mengangguk-angguk meyakinkan. “Ceritakanlah dan aku akan menolongmu sedapat mungkin, Puteri.”
Karena baru sekarang dia bertemu dengan seseorang yang memperhatikan nasibnya, yang selamanya tak akan mungkin dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk menjadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu.
“Aku tidak percaya kalau dia pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andai kata dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku takkan menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini, Adik Siang In,“ Puteri itu mengakhiri ceritanya.
Siang In mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup bebas, tidak pernah terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan makan, menderita kepanasan dan kehujanan, akan tetapi semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas. Tidak seperti Syanti Dewi yang bagaikan seekor burung hidup di dalam sangkar, biar pun sangkar itu terbuat dari pada emas dan dihias permata, biar pun di dalam sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah.
“Puteri...“
“In-moi (Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak).”
“Baiklah Enci Syanti Dewi,” jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri. “Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun ini engkau diam saja, malah menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?”
“Bertindak? Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu tentu saja demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?”
“Hemmm... mencintamu? Terus terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak didengar ini. Akan tetapi... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu tidak mencintamu, Enci.”
Dengan wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.
“Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua ayah di dunia ini, dia pasti melakukan semua itu demi cintanya kepadaku.”
“Hemmm, pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu, melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!”
“Ehh, bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?”
“Coba saja kau renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan tindakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?”
Syanti Dewi mengangguk.
“Nah, tindakan Ayahmu yang memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?”
“Tidak, akan tetapi dia maksudkan demi kebaikanku.”
“Itulah kepalsuannya, dan itulah tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan hampir semua orang-orang tua yang menujukan segala tindakan demi untuk memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagiakan anak, padahal si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hatinya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguh pun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!”
“In-moi...!” Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak. “Apa kau hendak mengatakan bahwa Ayahku jahat...?”
Dara itu menggeleng kepala, “Siapa pun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa semua tindakannya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami sekarang ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsara dan kedukaan?”
Syanti Dewi memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya. “Ah, aku tidak tahu... semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa yang harus kulakukan?”
“Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu...“
“Aku yakin benar akan cintanya!”
“Kalau begitu, tentu ada sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit! Kalau begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Enci itu, dari pada menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci cinta?”
“Pergi? Kau maksudkan minggat dari istana?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih. “Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan istana ini siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal.”
“Hal itu tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?”
“Tentu saja aku mau!”
“Meninggalkan kedudukan Enci sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan...?”
“Tentu aku mau dan aku berani menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat.”
“Bagus!” Siang In berseru girang. “Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Enci.”
Syanti Dewi girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu Siang In berkata, “Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantauan…“
“Siapa bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu.”
“Bagus, akan tetapi betapa pun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari sini dengan aman.”
Syanti Dewi lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat! Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In.
Mereka tidak tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tunangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun melakukan penjagaan di sekitar istana tunangannya.
Oleh karena penjagaan yang diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa keadaan, keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring, “Siluman jahat! Jangan lari!”
Siang In terkejut. Tidak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan kiri ke arah lambungnya!
Siang In tersenyum manis sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi dua orang perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tak boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman!
“Eh-eh, kalian ini mau apakah?” Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang sangat kuat dan aneh, sedangkan tangannya bergerak-gerak.
“Menyerahlah engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tubuhmu!” bentak di sebelah kirinya.
“Berlututlah kau!” perwira di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada pinggang yang ramping itu.
Siang In tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan, “Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang kalian? Dan mengapa pula kalian berdua memegang dan bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!”
Dua orang perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggembung dan mulutnya mengeluarkan desis yang mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk mematuk.
“Ihhhhh... ularrrrr...!”
“Hiiiiihhhhh... aih, celaka...!”
Mereka berdua berusaha untuk membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apa lagi ketika ular-ular itu makin mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana Syanti Dewi.
“Siapakah yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?” Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang.
“Dua orang pengawal. Wah, benar seperti yang kau ceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan penjagaan pengawal.”
“Habis, bagaimana kita dapat lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa menggunakan ilmu sihirmu itu, In-moi?” Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara ribut-ribut di luar dan agaknya dua orang pengawal yang berteriak-teriak tadi sudah menyebarkan cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka.
Siang In duduk dan menopang dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng kepala menjawab pertanyaan puteri itu.
“Aku dapat mempengaruhi belasan orang dengan permainan sihir, akan tetapi sukar sekali mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus, Enci. Pula di antara mereka terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan berbatin kuat sehingga belum tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri, tentu saja dapat lolos dengan mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar sekali hasilnya. Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan kegegeran, menggoda dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh pengawal yang berjaga di sini akan tertarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu, selagi semua pengawal ribut mengurungku, engkau meloloskan diri dari istana ini. Kemudian kita bertemu di luar istana dan aku selanjutnya akan membawamu melarikan diri. Bagaimana?”
Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian dua orang dara itu mengatur rencana pelarian itu yang akan mereka lakukan malam nanti, Syanti Dewi menggambar peta dari istana itu dan memberi tahu di mana letak pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan diri, sedangkan Siang In mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi pintu rahasia itu.
Sehari itu Siang In tidak lagi pernah keluar dari kamar sang puteri dan memang sudah lama Syanti Dewi tidak pernah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di dalam kamar. Semenjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka menyendiri sehingga pelayan-pelayannya hanya memasuki kamarnya di waktu perlu saja. Dengan demikian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di dalam kamarnya.
Malam itu hawanya masih dingin seperti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah cuaca yang gelap membuat suasana yang sudah seram karena dongeng-dongeng yang tersiar tentang gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami perubahan dan penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan. Hampir seluruh penghuni Kota Raja Bhutan yang semuanya telah mendengar akan gangguan siluman itu, tidak ada yang berani keluar dari rumah masing-masing. Mereka menerima dengan penuh kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu iblis, setan dan siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula dengan para penghuni istana sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing.
Tentu saja keadaan para penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas berjaga. Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi menjaga dari pada di waktu siang, karena mereka semua mempunyai dugaan bahwa di waktu malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi. Kini bahkan Panglima Mohinta sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, seolah-olah istana menghadapi ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya. Keadaan di sekeliling istana itu seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang pengawal dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh istana, terutama sekali sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi.
Keadaan sunyi sekali di sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan mencekam hati ini membuat para penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat suara keras untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-olah suara keras hanya mengundang datangnya siluman! Mereka bicara bisik-bisik dan membuat api unggun sebesarnya, karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa dingin dan menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat menjauhkan segala macam siluman.
Juga mereka berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa menyebut-nyebut tentang siluman, karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa setan tidak boleh disebut-sebut, karena kalau disebut-sebut biasanya suka datang! Demikian hebatnya dongeng tentang gangguan setan dan kepercayaan tentang tahyul menghimpit hati mereka sehingga para pengawal yang biasanya galak dan pemberani itu, kini berubah menjadi seperti sekelompok anak kecil yang ketakutan.
Panglima Mohinta sendiri, diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan seorang pendeta lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang perwira pengawal, tiada henti hilir mudik dari gardu ke gardu untuk memberi semangat kepada para pengawal yang berjaga.
Malam makin larut dan keadaan makin seram. Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap melakukan siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana mengintai ke luar. Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan terpencar. Dia mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu pun penuh dengan pengawal-pengawal yang menjaga ketat. Tidak mungkin dia dapat keluar dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya pun akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan akan dapat melihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya.
“Bagaimana...?” Syanti Dewi mendekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai dari jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah berpakaian ringkas dan sebuah buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja.
“Sssttttt,... banyak penjaga di luar. Aku akan keluar melalui genteng,” bisik Siang In.
Dara ini masih mengempit payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai. Tubuhnya mencelat ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia menusuk langit-langit dan bergantungan di situ. Dari bawah, Syanti Dewi memandang penuh kagum dan dia segera teringat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya yang juga memiliki kepandaian hebat seperti Siang In. Sementara itu, Siang In telah berhasil membobol langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah dan memberi kedipan mata yang lucu kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke atas dan lenyap.
Dengan hati-hati sekali Siang In membuka genteng dan menyelinap ke luar. Kemudian dia mempergunakan ilmunya dan berkelebat cepat sekali di atas genteng.
“Hei... apa itu...?!” terdengar seruan dari bawah. Agaknya ada seorang pengawal yang sempat melihat bayangan berkelebat cepat.
Siang In segera mendekam di wuwungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga mendengarkan. Ada gerakan-gerakan kaki orang di bawah.
“Mana? Tidak ada apa-apa!” terdengar orang lain mencela.
“Akan tetapi aku melihat bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sungguh, aku berani sumpah!”
“Hemmm, mana ada orang mampu menghilang? Kecuali setan... ihhhhh...!”
“Sssttttt, jangan bicara yang bukan-bukan. Kita harus waspada.”
Siang In terus mendekam. Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapa pun cepatnya dia menggunakan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah memasang mata penuh perhatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya. Dia mencari akal dan tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipatahkannya sepotong genteng dan dia lalu menyambitkan tiga patahan genteng berturut-turut ke arah belakangnya.
Potongan-potongan genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot bunga di bagian depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan semua orang menoleh ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau melihat ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus berlari dan akhirnya melayang turun ke dalam taman.
Dengan hati lega Siang In menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman itu. Dia telah berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang dan kini akan menuju ke kandang kuda seperti yang telah direncanakan di dalam kamar Sang Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal akan keadaan dan lorong-lorong di kompleks istana itu.
“Heiiiii, berhenti...!”
Siang In terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ada dua orang pengawal yang bersembunyi di belakang batang pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan dengan mereka.
“Srat! Srattt!” Dua orang pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing.
“Aihhh, mengapa kalian demikian galak? Mengagetkan orang saja!” Siang In tersenyum manis bukan main, suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga kedua orang pengawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu bergerak hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong.
Waktu yang hanya beberapa detik ini cukup sudah bagi Siang In. Dua kali payungnya bergerak dan dua orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi karena mereka telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan Siang In yang cepat sudah menyelinap maju. Kini dia berlaku hati-hati sekali sehingga dia tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain.
Akhirnya tibalah dia di bagian kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang istana. Dia menyelinap dan mengintai. Dilihatnya ada empat orang penjaga di dalam gudang rumput, maka dia lalu menyambar lampu minyak yang tergantung di samping gudang, kemudian dia bersenandung!
Tentu saja empat orang penjaga yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu, karena mereka ini pun menerima perintah agar malam itu mereka tidak tidur, menjadi terheran-heran mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di tempat itu? Sungguh aneh.
“Aihhh, kiranya di antara kalian ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?” penjaga yang gendut tertawa. “Hayo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang bersenandung itu?”
“Aih, suaranya begitu merdu...,” kata penjaga yang kurus.
“Aku tidak mempunyai kenalan wanita di sini,” kata yang ketiga.
“Aku pun tidak...,“ kata yang keempat.
“Kalau begitu... siapa...?“ Mereka saling pandang dan mata mereka terbelalak karena teringatlah mereka akan dongeng tentang siluman cantik.
“Jangan-jangan dia...?”
“Ahhhhh, mana ada siluman pandai bersenandung semerdu itu. Apa pun adanya dia, mari kita ke luar menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang,” kata Si Gendut yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu, berindap-indap keluar dari gudang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai untuk menumpuk rumput kering.
Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat sesuatu, dari jendela gudang itu ada sebuah lentera yang dilemparkan ke dalam gudang. Lentera menimpa tumpukan rumput kering dan tentu saja dalam sekejap mata rumput kering itu terbakar! Empat orang itu terkejut mendengar suara api di belakang mereka.
Cepat mereka menengok ke dalam gudang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang itu. Mereka terkejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum keluar, agaknya kini akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah berkobar memakan rumput kering itu.
“Kebakaran...!”
“Tolonggg... kebakaran...!”
Segera mereka memukul kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara kentongan dan berita kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di seluruh kompleks istana. Apa lagi ketika semua kuda telah terlepas dari kandangnya dan kini berlarian ke sana-sini oleh karena ketakutan melihat api. Tentu Siang In pula yang telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu-pintu kandang dan mencambuki binatang-binatang itu ke luar kandang mereka.
Panik dan gegerlah seluruh istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, berserabutan dan bingung.
“Jangan panik! Dan jangan tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!” Panglima Mohinta dibantu oleh beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para pengawal.
Akan tetapi tetap saja terjadi kepanikan hebat, bukan hanya karena kebakaran itu, melainkan kepanikan lain yang terjadi mulai dari taman di belakang kamar Syanti Dewi. Selagi para pengawal di sekitar taman itu yang jumlahnya paling banyak ada lima puluh orang yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak bingung mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di tempat gelap muncul seorang wanita muda yang sangat cantik, yang tersenyum-senyum kepada mereka dari jauh dan melambaikan tangan.
“Itu dia... siluman itu!” teriak seorang di antara mereka yang pernah bertemu dengan Siang In. “Lihat dia membawa payung!”
Mendengar ini, para pengawal yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu berlari menghampiri. Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan tubuhnya dan lari menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Gerakannya amat ringan dan cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia dapat bermain kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang bersembunyi di balik semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan kadang-kadang dia meloncat seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan ketika beberapa orang pengawal yang mencarinya lewat di bawah pohon, dia melempari mereka dengan buah-buah mentah lalu melompat ke lain pohon dan berlari lagi.
Dengan gangguan-gangguan ini, Siang In berhasil membikin kacau lima puluh orang itu dan kini mereka semua tercurah perhatiannya kepada Siang In yang sebentar muncul sebentar lenyap itu. Bahkan Siang In kini lari tidak begitu cepat meninggalkan taman, tentu saja segera dikejar oleh semua pengawal yang seolah-olah kini berlumba untuk menangkap siluman yang amat cantik jelita itu. Siang In sengaja memperlambat larinya dan membiarkan dirinya hampir tersusul.
Setelah dia mendengar suara derap para pengawal itu dekat di belakangnya, tiba-tiba dia berhenti, membalik sambil mengeluarkan suara melengking nyaring yang tidak menyerupai suara manusia. Begitu dia membalik, semua pengejarnya terbelalak ngeri melihat wajah yang putih polos, wajah setan tanpa mata hidung mulut! Dan selagi mereka bengong dengan muka pucat, Siang In menubruk ke depan, menggerakkan payungnya dan robohlah enam orang sambil mengaduh-aduh karena ujung payung itu secara nakal sekali telah menusuk pundak dan paha mereka, tidak membahayakan namun cukup mendatangkan rasa nyeri.
“Hi-hi-hik!” Siang In tertawa lagi sambil membalikkan dan melanjutkan larinya, makin menjauhi taman. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya dengan marah.
Berhasillah Siang In mengacaukan para pengawal dan Syanti Dewi yang sudah siap dan mendengar keributan kebakaran, maklum bahwa saat baginya sudah tiba. Memang tanda kebakaran itu merupakan isyarat baginya untuk mulai meloloskan diri. Karena itu puteri ini lalu cepat keluar dari kamarnya melalui jendela dan hal ini bukan merupakan hal yang sukar baginya karena Syanti Dewi juga bukanlah seorang puteri yang lemah, melainkan seorang yang telah mempelajari ilmu silat pula sehingga lolos dari jendela merupakan pekerjaan yang mudah.
Dia mendengar suara ribut-ribut di taman itu, maka tahulah dia bahwa Siang In sedang ‘mengerjai’ para pengawal yang berjaga di taman. Maka dia lantas menyelinap di belakang pohon, mengintai dari tempat gelap dan setelah suara teriakan para pengawal makin menjauhi taman, tanda bahwa Siang In yang cerdik itu telah berhasil memancing mereka ke luar dari taman, Sang Puteri cepat berlari menyelinap di antara kegelapan pohon-pohon di taman, membawa buntalannya dan terus menuju ke luar taman melalui jalan rahasia yang menembus ke pinggir tembok kota raja!
Sementara itu, Siang In dengan lincahnya mempermainkan para pengawal yang kini makin banyak berdatangan dan mengepungnya. Ketika para pengejarnya belum begitu banyak, dia masih dapat menggunakan sihirnya yang mempengaruhi para pengejarnya. Kadang-kadang dia berdiri begitu saja di dekat pohon dan mereka yang mengejarnya tidak dapat melihatnya karena mereka melihat gadis itu seperti sebatang pohon dan melewatinya begitu saja. Kadang-kadang ketika mereka sudah mengepung gadis itu, mendadak saja gadis itu lenyap berubah menjadi asap atau ‘terbang’ begitu saja ke angkasa di depan mata mereka!
Tentu saja semua ini hanyalah pengaruh sihir yang dikerjakan oleh Teng Siang In dan menguasai pikiran mereka semua. Akan tetapi ketika yang mengejarnya makin banyak, sihir Siang In tidak begitu manjur lagi! Ada sebagian yang melihat dia ‘terbang’ sehingga menjadi bengong, akan tetapi sebagian lagi yang tidak terpengaruh, melihat gadis itu sebetulnya hanya menyelinap saja untuk melarikan diri dan mereka ini terus mengejar, dan tentu saja perbuatan mereka ini sekaligus menyadarkan mereka yang terkena pengaruh sihir. Mulai sibuklah Siang In berlari ke sana ke mari dan dikejar oleh para pengawal yang dipimpin oleh Panglima Mohinta sendiri.
“Kejar! Tangkap dia!” Mohinta berteriak-teriak ketika melihat betapa gadis itu kadang-kadang melawan dan merobohkan para pengeroyok dengan gerakan silat yang amat hebat.
Mulailah Siang In mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Menurut perhitungannya, saat ini Syanti Dewi tentu telah lolos. Akan tetapi celaka baginya, kini tiga ratus orang pengawal memusatkan kekuatan untuk mengurungnya dan tidak memberi kesempatan baginya untuk keluar dari dalam lingkungan istana! Kemana pun lari, tentu dia bertemu dengan pasukan pengawal yang amat banyak jumlahnya! Dan dia tidak akan mungkin terus bermain kucing-kucingan seperti itu, karena kalau sampai malam berganti pagi dan dia masih berada di istana, dia akan celaka! Ilmu silatnya dan ilmu sihirnya tidak mungkin dapat dia pergunakan menghadapi bala tentara Bhutan yang tentu akan dikerahkan untuk menangkapnya!
Kemarin masih ada Syanti Dewi yang melindungi dan menyembunyikannya, akan tetapi sekarang, para pengawal sudah menduga bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa yang pandai ilmu sihir. Bahkan kini Mohinta telah mengundang jago-jago ilmu sihir yang banyak pula terdapat di Bhutan untuk menandinginya sehingga ketika dia mencoba menggunakan sihirnya ketika dia bertemu dengan sepasukan pengawal yang ditemani seorang pendeta, sihirnya melempem dan tidak berhasil sama sekali! Hanya berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi sajalah dia mampu lolos!
Napasnya agak terengah dan keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya ketika Siang In menyelinap ke dalam sebuah ruangan kosong untuk beristirahat sejenak serta mengumpulkan kekuatan dan mencari akal. Akan tetapi baru saja dia masuk dan menghapus peluh dengan saputangan, muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian panglima yang gagah sekali. Orang ini sudah setengah tua, usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya tegap dan gagah, tangannya memegang sebatang golok. Melihat laki-laki ini, Siang In terkejut, akan tetapi juga girang dan wajahnya berseri.
“Paman Jayin...!”
Panglima itu memang Panglima Jayin, seorang panglima yang setia kepada Kerajaan Bhutan dan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa panglima ini yang telah berhasil membawa pulang Syanti Dewi dari timur, dan panglima ini masih terhitung suheng dari Ceng Ceng karena dia pernah menerima gemblengan dari kakek pendekar wanita itu.
Panglima Jayin terkejut dan heran mendengar dara muda yang cantik, yang disangka siluman dan dikejar-kejar ratusan orang pengawal itu menyebutnya paman. Panglima ini baru saja tiba dari tugasnya ke luar kota raja dan begitu mendengar bahwa istana dikacau oleh seorang gadis lihai yang disangka siluman, dia bergegas pergi ke istana dan ikut pula mencari ‘siluman’ itu.
Panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman. Tentu saja dia tidak percaya bahwa istana diganggu siluman. Dia menduga bahwa tentulah yang mengganggu atau mengacau itu seorang tokoh kang-ouw atau seorang penjahat. Bahkan tadinya dia menduga bahwa yang mengacau adalah Ang Tek Hoat, tetapi dugaan ini dilenyapkan oleh berita bahwa pengacau atau siluman itu adalah wanita.
Dengan kecerdikannya, Panglima Jayin tidak ikut mengejar-ngejar dengan ribut, tetapi dia menyelinap ke tempat-tempat sunyi karena dia mempunyai perhitungan bahwa orang jahat yang dikejar-kejar itu tentu akan mencari tempat-tempat sunyi untuk beristirahat. Perhitungannya itu ternyata cocok sekali, dan dengan girang dia melihat seorang dara menyelinap masuk ke dalam ruangan kosong itu. Akan tetapi terkejut dan terheranlah dia ketika dara asing yang dia yakin tentulah si pengacau itu langsung saja menyebutnya paman!
Sejenak mereka berpandangan dan dara itu tersenyum manls, senyum kekanak-kanakan yang manis akan tetapi penuh dengan sifat menggoda seperti seorang anak nakal. “Ehhh, Paman Panglima Jayin, sudah lupa lagikah engkau kepadaku?” kembali dara itu berkata ramah sambil tersenyum.
Kini ada sesuatu pada diri dan sikap lucu serta nakal dari dara itu yang mengingatkan kepada panglima ini bahwa dia memang pernah bertemu dengan dara ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. “Nona, siapakah engkau?”
“Aku adalah Teng Siang In, murid dari See-thian Hoat-su. Kami dulu pernah membantu kalian ketika mengawal Syanti Dewi ke Bhutan.”
Jayin teringat dan dia mengangguk-angguk. “Ahhh, kiranya Nona! Akan tetapi apakah Nona pula yang menggegerkan istana dan dianggap sebagai siluman?”
“Hi-hik-hik, inilah yang disangka siluman!” Siang In mengeluarkan kedok dan sekali tangannya mengusap muka, mukanya berubah menjadi polos mengerikan.
Jayin terbelalak lalu tersenyum. “Aihh, Nona sungguh nakal sekali! Apa perlunya Nona mempermainkan kami dan mengacau istana?”
Siang In sudah melepaskan kedoknya lagi dan kini dengan sikap serius, sungguh tidak pantas bagi wajahnya yang cantik namun jenaka sifatnya itu, dia berkata, “Paman Jayin, apakah engkau tidak merasa kasihan kepada Puteri Syanti Dewi? Apakah dulu Paman bersusah payah membawanya pulang ke Bhutan hanya untuk menyiksanya sehingga dia akan mati tenggelam dalam kedukaan seperti seekor burung dalam sangkar?”
“Ehhh, apa maksudmu berkata seperti itu, Nona?” Jayin bertanya marah dengan alis berkerut.
“Hemmm, jangan kau pura-pura tidak tahu, Paman. Tidak tahukah engkau bahwa Puteri Syanti Dewi setiap hari berduka, bahwa Sang Puteri masih mencintai Tek Hoat dan sama sekali tidak mencinta Mohinta? Tidak tahukah Paman akan hal itu?”
Jayin terkejut dan sejenak dia tak dapat menjawab. Akhirnya dia menghela napas dan berkata, “Tentu saja aku tahu, Nona. Aku tidak buta, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan?”
“Paman Jayin, dahulu engkau adalah seorang gagah perkasa yang budiman, yang amat sayang kepada Syanti Dewi. Apakah sekarang Paman sudah berubah? Apakah Paman tidak ingin melihat dia berbahagia?”
“Bagaimana saya dapat membuat dia berbahagia?”
“Dengan membiarkan dia lolos dari istana untuk pergi mencari dan berkumpul kembali dengan kekasihnya, yaitu Ang Tek Hoat.”
“Hemmm... apakah kau menganjurkan aku berkhianat?”
“Siapa yang suruh kau berkhianat? Terus terang saja Paman Jayin, sejak dahulu aku menganggapmu sebagai teman. Namun sekarang aku sedang berusaha meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana. Bahkan sekarang pun dia sudah lolos. Kalau engkau hendak menghalangi, hemmm... terpaksa kini aku akan menganggap engkau sebagai musuh!” Berkata dengan demikian, gadis yang cerdik itu sudah siap dengan payungnya, akan tetapi sesungguhnya ini hanya aksi belaka, karena dia sama sekali tidak ingin melukai panglima ini, dan yang dia persiapkan adalah kekuatan sihirnya karena kalau perlu dia akan menguasai panglima ini dengan sihirnya.
Panglima Jayin tercengang. Tahulah dia sekarang mengapa gadis ini mengacau istana. Dan semenjak Tek Hoat pergi tanpa pamit dari Kota Raja Bhutan, kemudian melihat keadaan Sang Puteri, memang di dalam hati panglima yang setia ini sudah timbul penyesalan hebat. Namun tentu saja dia tidak berdaya untuk membantu Syanti Dewi. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga, muncul nona ini yang hendak menolong Syanti Dewi. Kalau dia menghalangi, sama saja artinya dengan dia hendak memaksa Syanti Dewi hidup menderita selamanya!
Pada saat itu, terdengar suara hiruk-pikuk dari jauh yang makin lama makin mendekati tempat itu.
“Dia tadi berkelebat ke sini!”
“Cari sampai dapat!”
“Geledah semua tempat, semua tempat kosong!”
Jayin dan Siang In masih saling berpandangan. “Apa kau yakin Puteri telah lolos dari istananya?” tiba-tiba Jayin bertanya.
“Sudah pasti!”
“Kalau begitu, aku akan memancing mereka menjauhimu menuju ke istana Syanti Dewi di utara dan kau dapat melarikan diri ke bagian selatan. Cepat kau temani Sang Puteri dan bantulah dia agar bertemu dengan kekasihnya agar dia hidup berbahagia.”
Siang In tersenyum dan menjura. “Sungguh engkau hebat, Paman! Sudah kusangka bahwa engkau memang seorang yang gagah perkasa dan budiman.”
“Sudahlah selamat berpisah...!” kata Jayin.
“Mari selidiki di dalam sini!” terdengar suara Mohinta tiba-tiba.
“Heiiiii, siluman! Kau hendak lari ke mana?!” Tiba-tiba Jayin membentak marah. Dengan golok terhunus dia menyerbu ke luar, mengejutkan Mohinta dan para anak buahnya.
“Ehh, Paman. Panglima!” Mohinta berseru.
“Mohinta! Cepat, siluman itu lari ke sana! Ehh, kenapa kalian mengejar-ngejar di sini? Celaka! Tentu siluman itu akan menculik Sang Puteri! Dan kalian meninggalkan istana Sang Puteri! Celaka, aku melihat siluman itu tadi lari ke arah istana Sang puteri!” Jayin mendahului yang lain-lain, melompat dan lari ke arah istana Syanti Dewi.
Mohinta terkejut dan baru teringat, maka dia pun kemudian berlari cepat mengejar Jayin, diikuti oleh para pengawal.
“Ini adalah pancingan!” Sambil berlari Panglima Jayin berseru. “Siluman itu memancing kalian meninggalkan penjagaan di istana Sang Puteri. Betapa bodohnya kalian!”
“Celaka...!” Mohinta menjadi pucat dan mempercepat larinya ke arah istana kecil itu.
Seperti berlomba lari saja mereka menuju ke istana, langsung ke kamar Sang Puteri dan memang semua pengawal yang menjaga di situ tadi telah lari mengejar Siang In. Mohinta bernapas lega melihat pintu kamar Sang Puteri masih terkunci dari dalam.
“Ahhh, syukur Adinda Syanti Dewi masih di dalam, tentu masih tidur nyenyak,” katanya sambil tersenyum lega.
“Bodoh! Coba ketuk, buka! Siapa tahu...!” Jayin melangkah maju dan mengetuk pintu perlahan-lahan sambil memanggil. Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketukan diperkeras dan akhirnya pintu itu digedor-gedor oleh Mohinta yang sudah menjadi pucat sekali mukanya. Namun tetap saja tidak ada jawaban.
“Bongkar pintunya…!” Jayin yang bersikap seperti orang kebingungan itu memerintah. Pintu kamar dibongkar, dipaksa terbuka dan mereka menyerbu ke dalam kamar yang ternyata sudah dalam keadaan kosong!
“Celaka...! Adinda...! Adinda Syanti Dewi...!” Panglima Mohinta mencari-cari di dalam kamar itu, lalu menjenguk keluar jendela, akan tetapi keadaan di luar jendela pun sunyi.
“Nah, apa kataku tadi!” Panglima Jayin marah-marah. “Sungguh tolol kalian semua yang dapat dipancing meninggalkan tempat ini oleh penjahat. Jelas bahwa penjahat itu sudah menyamar sebagai siluman, mengacau dan membakar kandang agar semua pengawal terpancing ke sana, kemudian dia dengan leluasa telah masuk ke dalam kamar ini dan menculik Sang Puteri.”
“Aduh, Paman Panglima Jayin, bagaimana baiknya sekarang?” Panglima Mohinta yang merasa cemas dan duka itu mengeluh.
“Agaknya tidak mungkin penjahat dapat melarikan Sang Puteri keluar dari lingkungan istana. Mohinta, kau perkuatlah penjagaan di sekitar istana, jangan sampai ada orang dapat keluar atau masuk. Aku sendiri yang akan melaporkan hal ini kepada Sri Baginda sekarang juga!”
Mohinta cepat mengerahkan semua pasukan untuk berjaga-jaga dan mencari-cari, akan tetapi tentu saja tanpa hasil karena pada saat itu, Syanti Dewi dan Siang In telah pergi jauh meninggalkan tembok tebal yang mengurung Kota Raja Bhutan.
Gegerlah istana Bhutan. Sri Baginda menjadi marah sekali dan juga sangat gelisah memikirkan puterinya yang untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang lebih lima tahun yang lalu, Sang Puteri bersama Ceng Ceng juga lenyap, sampai setahun lebih baru berhasil ditemukan. Sekarang, Sang Puteri lenyap pula, bahkan sekarang lenyap dari dalam kamarnya! Maka, ketika Panglima Mohinta mohon perkenan Sri Baginda untuk pergi mencari Sang Puteri, Sri Baginda segera menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk menemaninya pergi mencari jejak Sang Puteri Syanti Dewi.
Keadaan Syanti Dewi benar-benar seperti seekor burung yang tadinya terkurung dalam sangkar dan kini terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya pulih kembali, dalam waktu satu bulan saja melakukan perjalanan, wajahnya sudah menjadi segar kemerahan, sepasang matanya yang tadinya sayu kini bersinar-sinar penuh semangat dan gairah hidup dan biar pun pakaiannya tidak seindah dan semewah ketika dia berada di istana, namun hal ini sama sekali tak mengurangi kecantikannya, bahkan dia kelihatan segar dan cantik sekali, dengan mata bersinar, mulut tersenyum dan wajah berseri-seri.
Dia telah berhasil menyelinap keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang In di tempat yang telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat kelihaian Siang In, Sang Puteri dapat dibawa keluar tembok kota dan dengan cepat mereka melarikan diri ke timur.
Memang bukan perjalanan yang mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun gunung-gunung yang tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar dan gelap. Namun, karena di sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri ini pernah mempelajari ilmu silat dan telah banyak mengalami hal-hal yang hebat, maka perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara baginya. Sebaliknya malah, dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan penuh harapan yang muluk-muluk, yaitu harapan untuk dapat bertemu kembali dengan pria yang dicintanya, ialah Ang Tek Hoat.
Makin akrab saja hubungan di antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi dan langit itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut, halus budi, halus perasaan, pandai mengekang perasaan, dan memiliki keagungan seseorang puteri. Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita yang berwatak periang jenaka, bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur, polos dan tidak begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun, perasaannya sudah mengeras oleh gemblengan hidup, dan walau pun dia termasuk seorang dara yang suka berpakaian indah dan suka pula bersolek, namun pada dasarnya dia amat sederhana.
Betapa pun besar perbedaan watak antara mereka, akan tetapi mereka dapat segera menjadi sahabat yang akrab sekali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan pengganti Ceng Ceng! Memang ada persamaan antara Ceng Ceng dan Siang In, persamaan dalam hal watak periang, agak binal dan jujurnya. Akan tetapi Ceng Ceng tidaklah sebinal Siang In!
Betapa pun juga, dengan adanya Siang In di sampingnya, perjalanan yang amat sukar itu tidak terasa oleh Syanti Dewi dan dia dalam waktu sebulan itu saja sudah mengenal benar-benar watak Siang In. Biar pun kelihatan binal dan terpengaruh oleh keindahan yang membawa keanehan, kadang-kadang kelihatan keras, namun pada hakekatnya dara ini memiliki watak yang amat baik, setia dan jujur!
“Enci Syanti, ajari aku nyanyian yang kemarin kau nyanyikan ketika kita mandi di telaga itu! Kau sudah berjanji.“
Mereka tengah duduk beristirahat di sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di pegunungan yang jauh dari dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang terinjak kaki manusia. Akan tetapi ternyata alam memiliki daya cipta yang tak dapat terukur oleh otak manusia. Pohon-pohon besar kecil tumbuh dengan subur dan amat nyeni seolah-olah diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan sendirl-sendiri yang khas, namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah, yang tidak terpisahkan. Agaknya, sebatang pohon saja dipindahkan, akan hambarlah keindahan kesatuan itu. Kembang-kembang dan rumput-rumput seolah-olah tumbuh di tempat yang memang sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok sehingga suasana di hutan itu menjadi indah membahagiakan hati.
Dua orang dara yang benar-benar sadar atau tidak terpengaruh oleh keindahan yang membahagiakan itu, dan yang kini beristirahat melepaskan lelah di bawah sebatang pohon besar, merasa bergembira pula dan bercakap-cakap dengan asyiknya sampai terdengar Siang In minta diajari nyanyian.
“Adikku yang manis, engkau sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang aneh-aneh, tetapi kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran. Betapa rajinnya engkau, In-moi.” Syanti Dewi memuji sambil meletakkan tangannya ke atas pundak dara itu.
Siang In tersenyum. “Selama ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci. Ilmu silat, ilmu memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah, tidak ada yang baik dan hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi engkau sebagai seorang puteri benar-benar memiliki banyak kepandaian yang dapat menyenangkan orang lain, dan aku ingin sekali mempelajarinya, Enci.”
“Akan tetapi, aku mempelajari segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan lain-lain itu bukan untuk menyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya ingin menjadi seorang penari atau penyanyi umum.“
“Aku tahu, Enci. Tentu engkau hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kau cinta. Bukankah begitu?”
Dengan kedua pipinya berubah merah, Syanti Dewi mengangguk.
“Aku pun demikian, Enci. Aku minta diajar bernyanyi sebab aku suka sekali mendengar senandungmu kemarin itu, dan aku... hemmm, aku pun tidak akan mau sembarangan memamerkan nyanyian di depan orang lain!”
Wajah itu berseri dan mata yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh selidik. Akan tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja.
“Aihhh, kalau begitu engkau juga tentu sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang kekasih, adikku!”
Siang In menggeleng kepala. “Belum, Enci. Pilihan hati... hemmm, ya, mungkin saja, siapa tahu... akan tetapi kekasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru namanya kekasih, karena saling mencinta.”
Tiba-tiba pandang mata Syanti Dewi berubah, penuh kekhawatiran. “Adikku yang manis, apakah... apakah cintamu hanya sepihak...?”
Kembali Siang In menggeleng dan tersenyum. “Tidak ada cinta, baik dari fihak mana pun, Enci. Aku sendiri tidak tahu benar apakah aku telah mencinta seseorang. Banyak memang pria yang menyatakan cinta padaku, baik melalui pandangan matanya, melalui rayuannya...“
“Aku percaya. Engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari!”
“Tidak ada sepersepuluhmu dalam kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau hanya seperti itu cinta yang diagung-agungkan itu, seperti para pria yang menyatakan cinta melalui pandang mata atau rayuan mulut penuh nafsu itu, hihhh...“ Siang In bergidik. “Lebih baik aku tidak mengenal cinta!”
Syanti Dewi memandang tajam. “Hemmm... janganlah engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar engkau belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kau cari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu yang kau cari-cari?”
Terjadi perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk. “Memang aku sedang mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka dan dia mungkin tidak berada di barat.”
“Siapakah dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada.”
“Enci mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu.“
“Ehhh...? Dia...?” Sejenak puteri itu termenung, teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andai kata di dunia ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya dia jatuh cinta kepada seorang seperti Suma Kian Bu!
“Tahukah Enci di mana adanya dia?”
Syanti Dewi dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, tentunya di Pulau Es, di ternpat tinggal orang tuanya, In-moi. Suma Kian Bu adalah seperti kakakku sendiri, seperti saudaraku sendiri. Katakanlah kenapa engkau mencari dia? Kuharap saja tidak ada permusuhan di antara kalian.“
Siang In menggeleng kepalanya. “Tidak ada permusuhan apa-apa.“
“Kalau begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah…!”
“Juga tidak, Enci. Tidak ada permusuhan, juga tak ada ikatan itu karena selama ini kami tidak pernah saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap.”
“Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan merasa khawatir. “Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat engkau penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir sekali...”
“Ahh, tidak apa-apa, Enci Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia lakukan kepadaku, lima tahun yang lalu,” jawab Siang In dan mendadak wajahnya berubah merah.
Tentu saja puteri itu menjadi makin penasaran. “In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu sampai membuatmu penasaran? Atau... engkau kurang percaya kepadaku untuk memberitahu...“
“Ahhh, mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?” Siang In merangkul. “Tidak ada rahasia, perbuatan itu hanyalah... eh, lima tahun yang lalu dia... eh, dia pernah mencium bibirku.”
“Ihhh...!” Syanti Dewi terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya, seolah-olah itu ‘bukan apa-apa’!
“Kenapa kau terkejut, Enci?” Siang In memandang penuh selidik.
“Tidak apa-apa...“ Syanti Dewi mengatur napasnya yang agak memburu. “Hanya... jika sudah begitu... berarti kalian saling mencinta.”
Siang In menggeleng kepala. “Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?”
“Ya... karena... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kalau kau mau menerima ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya.”
“Hemmm... aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku. Akan tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering kali tidak bisa tidur, Enci Syanti.”
Syanti Dewi menutupi mulutnya, menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main, pikirnya dengan hati terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar hutan yang mulus tak pernah ternoda.
“Itulah tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku.”
“Ah, tidak. Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Memang aku sering kali membayangkan ciuman itu, tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang lalu itu dia menciumku seperti itu!”
Syanti Dewi menggeleng-geleng kepalanya. Selama hidupnya baru kini dia bertemu dengan seorang gadis seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan cerita tentang seorang gadis seperti Siang In!
“Jadi jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya tentang itu?”
“Benar, akan tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan amat kecewa karena kenyataannya perjalananku sia-sia belaka, tak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan dapat membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kau ajarkan lagu yang kau nyanyikan kemarin itu.”
“In-moi, lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya harus diiringi musik dan dinyanyikan sambil menari.”
“Bagus sekali! Aku pun senang menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kau ajarkan sekalian tariannya.”
“Musiknya?”'
“Asal kau ajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu.”
Syanti Dewi tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andai kata tidak ada alat musik, asal iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu atau apa pun jadilah! Dia lalu mengajarkan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam musik di dunia ini.
“Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan teratur, dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin pula mempelajarinya.”
Terdengarlah ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam lagu itu memang tepat sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri.
Kekasih telah lama pergi
tak tahu bila akan jumpa kembali
namun hati pantang membeku
tak mengenal putus harapan
selama hayat dikandung badan
cintaku tak pernah padam
jika tiada kesempatan jumpa di dunia
di akhirat kita akan saling bersua
harapan jumpa kekasih
kubawa sampai mati...
“Hebat, Enci! Hebat sekali, baik nyanyiannya mau pun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan irama, selagi aku masih ingat.”
Gembira bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan menarikan lagu Harapan Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum! Kiranya di samping kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuhnya yang padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai sehingga ketika dia menari, benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesonakan.
Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh tradisi sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikatan tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggota tubuhnya seolah-olah ‘hidup’ dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan!
Demikianlah, dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar penuh semangat, kadang-kadang Syanti Dewi masih turun tangan mengajarnya bagaimana harus menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah. Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil, Siang In mempelajari ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat memang terkandung inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu.
Tiba-tiba Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semak-semak belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda datang dari jurusan itu.
Tidak lama mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi saat melihat bahwa rombongan berkuda itu ternyata dipimpin oleh Panglima Mohinta! Seketika wajahya menjadi pucat dan tangannya yang memegang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ!
Setelah derap kaki kuda itu menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In kemudian berkata, “Aihhhh, tidak kusangka monyet-monyet itu akan bisa menyusul secepat itu. Dan tunanganmu sendiri yang memimpin pasukan pengejar.”
“Dia bukan tunanganku! Jangan menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau tahu bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!”
“Maaf, Enci Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli roti kering. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di sepanjang jalan.”
“Tapi mereka hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu...“
“Hemmm, apa engkau tidak melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggang kuda di samping tunang... ehh, Panglima Mohinta itu?”
“Ya, aku melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?”
“Ketika lewat tadi, aku sempat melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan undangan. Agaknya dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan mereka sambil melindungimu. Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhutan. Mari kita mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum.”
“Terserah kepadamu, In-moi.”
Siang In lalu mengubah rencana perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar, akan tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mungkin dapat mencari jejak mereka. Siasat Siang In berhasil baik. Memang tepat perhitungannya.
Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya dua orang gadis itu lewat di dusun ini, Mohinta dan kawan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang tadi bernyanyi dan menari. Namun Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia membawa rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan Syanti Dewi.
Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu berada dalam keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In telah menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu senja mereka tiba di kaki sebuah di antara pegunungan yang mempunyai banyak puncak. Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shen-si di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara.
Lebih dari sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat. Tujuan mereka adalah Kota Raja Peking di utara. Setelah berjalan beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok, mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan sehari lamanya mereka tidak juga bertemu dengan kota atau dusun! Baru sekarang mereka melihat kota di puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang amat lebar.
“Hari sudah gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi,” kata Siang In, “Kalau melanjutkan ke depan, kita terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu? Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di rumah makan.”
Syanti Dewi yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk. “Terserah kepadamu, In-moi. Aku setuju saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja. Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, demikian enak dan membikin malas hingga begitu diganti dengan perjalanan darat, kaki ini menjadi seperti mau patah-patah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan sampai sebulan lebih tidak apa-apa.”
Siang In tersenyum dan menggandeng puteri itu. “Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu yang mungil itu. Biasanya kalau pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu….“
“Hushhh, genit kau...!” Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun. Dengan kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak itu.
Sungguh kasihan kedua orang dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersenda gurau, membayangkan bahwa mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar di mana mereka akan dapat melepaskan lelah di rumah penginapan, mandi air hangat dan makan masakan yang lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka itu seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang sedang menuju ke goa yang penuh dengan harimau dan naga!
Tempat apakah yang dikurung tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir semua orang-orang kang-ouw di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si, tempat itu telah amat terkenal, disegani dan tidak sembarangan orang kang-ouw berani mendatangai tempat itu, apa lagi sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Puncak bukit itu merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu, orang-orang tidak lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun itu ditinggalkan orang. Inilah sebabnya mengapa selama sehari perjalanan Siang In dan Syanti Dewi tidak pernah melihat kota atau dusun.
Puncak itu dinamakan puncak Hwee-liong (Naga Api) dan yang kelihatan seperti dusun itu sesungguhnya adalah sekelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat seperti benteng saja. Tempat itu menjadi markas sebuah perkumpulan yang amat terkenal, yaitu Perkumpulan Liong-sim-pang (Perkumpulan Hati Naga). Yang menjadi ketuanya, atau lebih tepat menjadi pemiliknya karena sesungguhnya perkumpulan itu didirikan oleh seorang yang amat kaya raya, adalah seorang laki-laki yang terkenal dengan julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang), bernama Tang Hun dan memang dia merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang yang kaya raya dan seolah-olah sejak turun-temurun menjadi raja kecil yang menguasai semua tanah di daerah itu.
Mengapa pemuda bernama Tang Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong-sim-pang? Karena selain kaya raya dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan kini ia terkenal sebagai seorang yang amat tangguh dan lihai, apa lagi setelah sejak beberapa tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam yang kini tinggal di puncak itu sebagai seorang yang dipuja-puja. Sejak berguru kepada nenek hitam ini kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main karena selain silat nenek itu amat tinggi, juga terutama sekali nenek itu seorang ahli sihir yang menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada muridnya itu! Dan selain dia sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu yang sakti dan setia.
Sebagai seorang majikan atau ketua dari sebuah perkumpulan, apa lagi karena amat kaya raya, tentu saja Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah Liong-sim-pang. Anak buahnya berjumlah lima puluh orang, dan rata-rata memiliki kepandaian lumayan, sebab mereka yang masuk menjadl anggota harus lulus melalui ujian tertentu. Bahkan setelah menjadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini mendapat pendidikan khusus dari para pembantu Hwa-i-kongcu.
Melihat namanya, perkumpulan ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud untuk mengangkat diri sendiri sebagai majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang berhati naga! Akan tetapi, sudah menjadi kelajiman di dunia bagian mana pun juga, baik dalam bentuk pangkat, kedudukan, dan kepintaran, harta benda, mau pun kekuatan, selalu mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan inilah yang menimbulkan kesombongan, kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama kemudian, nama Liong-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para anak buahnya mengandalkan kekuasaan itu untuk menang sendiri terhadap fihak lain.
Hwa-i-kongcu Tang Hun sendiri tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakukan hal-hal yang remeh. Dia sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan pemerasan atau merampas harta. Akan tetapi dia memiliki kesenangan lain, yaitu wanita cantik!
Dengan berbagai jalan, baik menggunakan kekayaannya, ketampanannya, atau kalau perlu kepandaiannya, dia mengumpulkan banyak wanita cantik di dalam gedungnya dan celakanya, pemuda mata keranjang dan hidung belang ini adalah seorang pembosan sehingga kumpulan wanita di gedungnya selalu berganti. Yang sudah membosankan, dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari beberapa bulan saja, kemudian dipulangkan begitu saja dan dia mulai berkeliaran lagi mencari penggantinya. Kamar-kamarnya selalu penuh dengan wanita cantik yang jumlahnya paling sedikit ada sepuluh orang!
Hwa-i-kongcu sendiri biar pun usianya sudah tiga puluh tahun namun dia kelihatan amat muda, seperti seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun. Wajahnya tampan dan selalu putih karena dibedaki dengan bedak harum. Dia pesolek sekali, dengan pakaian seperti seorang sastrawan yang selalu berwarna-warni dan berbunga-bunga, pakaian dari sutera yang mahal dan mewah.
Karena kelihatan masih amat muda, tampan dan ganteng serta kaya raya, pandai ilmu sastra dan silat, maka tentu saja dengan mudah dia dapat memikat hati wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanita-wanita itu berhasil diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu menyesal bukan main dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka karena pria yang tampan itu memiliki watak yang amat aneh dan kejam, yang suka menyiksa wanita demi untuk memuaskan nafsu birahinya dan menganggap wanita hanya sebagai barang permainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka!
Sampai berusia tiga puluh tahun, Hwa-i-kongcu ini tidak pernah menikah. Hal ini adalah karena dia berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya yang sah! Semua wanita itu hanya mau dijadikan barang permainannya untuk sementara saja.
Demikianlah, di luar kesadaran atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang mendaki bukit itu menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas tembok yang seperti benteng itu sudah melihat akan adanya dua orang yang mendaki bukit. Sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang jumlahnya selosin orang segera bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani lancang naik ke puncak itu.
Siang In dan Syanti Dewi sudah tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup melelahkan, membuat mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya membasahi seluruh tubuh dan nafasnya agak memburu.
“Ihhhhh...“ Puteri itu mengeluh. “Kelihatan dekat, tapi kalau dijalani kenapa tidak juga sampai-sampai!”
Siang In tertawa. “Enci, kita sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan sukar dari pada bukit kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah mengeluh. Hal itu adalah karena kau tergesa-gesa ingin lekas-lekas tiba di puncak itu, maka menjadi lama dan kelihatan jauh...“
Tiba-tiba Siang In menghentikan kata-katanya, lalu memegang tangan puteri itu dan menghentikan langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tampak olehnya serombongan orang berjalan cepat turun dari atas. Bukan rombongan orang, melainkan sepasukan orang karena mereka itu berjalan dengan berbaris rapi seperti pasukan saja! Dan pakaian mereka juga seragam. Setelah mereka datang agak dekat, nampaklah bahwa pakaian mereka itu seragam dengan baju kuning dan celana hitam, dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga.
Syanti Dewi menjadi gelisah dan memegang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya tersenyum dan berkata lirih. “Tenanglah, Enci, biar aku menghadapi badut-badut itu.”
Pasukan itu berhenti di depan mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya menjadi komandan pasukan menyerukan aba-aba dan mereka lalu berpencar menghadang ke depan dua orang dara itu, berdiri berjajar memenuhi jalan. Mereka memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran ketika melihat bahwa dua orang yang naik dan mereka curigai itu ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan wajah yang aduhai! Sampai bengong mereka memandang, karena sesungguhnya, selama mereka hidup, belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini cantik jelitanya! Seolah-olah dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!.
Melihat dua orang wanita cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Ia mengebut-ngebutkan pakaian seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis hingga tubuhnya menjadi melengkung seperti huruf S atau seperti seekor ular sendok bergaya, kemudian melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan dia berdehem dua kali sebelum bicara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja sumbang karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau.
“Heiiiii! Kalian dua orang Nona Muda ini siapakah, dari mana dan hendak ke mana?” Si jangkung ini bertanya dengan suara mengandung nada-nada seperti orang bernyanyi, dan tentu saja nyanyian sumbang!
Melihat lagak orang ini mau tidak mau hati Syanti Dewi merasa geli dan dia menutupi mulutnya untuk menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar, bahkan tidak menahan suaranya terkekeh kecil. Inilah perbedaan antara dua orang dara cantik itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah dikurung oleh semacam kebiasaan, tradisi, dan sopan santun sehingga setiap gerak-geriknya terbentuk oleh suasana di dalam istana. Di lain fihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia tidak merasa kurang sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya.
“Kami adalah dua orang pelancong, dari belakang hendak ke depan, hik-hik!” Siang In menjawab sambil terkekeh.
“Ha-ha-ha, Nona ini lucu!”
“Lucu dan manis, heh-heh.”
“Kedua-duanya cantik jelita!”
“Hushhh, diam kalian!” Si jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya berhenti bicara. Sungguh pun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan mata mereka kadang-kadang melayang mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian pandang mata mereka meraba-raba ke seluruh anggota tubuh yang menggairahkan Itu. Hal ini terasa sekali oleh Syanti Dewi yang cepat menundukkan muka dengan alis berkerut.
“Nona, jangan kau main-main! Kalian berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh Liong-sim-pang! Hayo lekas mengaku baik-baik, jangan sampai aku bertindak kasar terhadap kalian dua orang dara-dara muda.”
“Nanti dulu, mengaku ya mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan apa-apa yang merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami hendak pergi ke kota di puncak itu.”
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Semua anggota pasukan tertawa dan Siang In mengerutkan alisnya, lalu memandang ke arah kota berdinding tebok itu.
“Mengapa kalian tertawa!?” tanyanya.
“Di atas itu bukan kota Nona, melainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan kalian berdua telah melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian,” kata pula si jangkung bernama Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu. Padahal tentu saja dia hanya seorang petugas rendahan yang paling tinggi berpangkat kopral.
Siang In dan Syanti Dewi saling pandang dan merasa terkejut serta kecewa. Kiranya mereka telah salah duga! Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu adalah anak buah perkumpulan yang bernama Hati Naga, dia merasa dadanya lapang.
Hati Naga berarti keberanian. Hanya orang-orang gagah saja yang mau menggunakan nama seperti itu. Dan orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia menjura dan berkata, “Aihh, kalau begitu harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami yang salah terka dan salah jalan. Kami kira yang di atas itu sebuah kota atau dusun. Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah kami kembali dan harap maafkan kami.”
“Eh-eh, nanti dulu, Nona!” Jiu Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi hendak pergi dan membalikkan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas orang pasukannya itu berpencar lalu membentuk lingkaran mengurung dua orang dara itu.
“Hemmm... kalian mau apa?” Siang In tersenyum. Dia menyembunyikan kemarahannya dibalik senyum manis.
“Kalian sudah melanggar wilayah kami, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami untuk menghadap Kongcu.”
“Hemmm, siapa itu Kongcu?” tanya Siang In.
“Kongcu adalah majikan dan ketua kami.”
“Kongcu pasti akan senang sekali melihat kalian, heh-heh!”
“Tentu saja, dan kita akan mendapatkan hadiah!”
Mereka tertawa-tawa dan lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan dengan anggota-anggota perkumpulan orang gagah. Lagak mereka ini tiada bedanya dengan penjahat-penjahat kecil atau sebangsa perampok liar saja.
“Kalau kami tidak mau?” tanyanya.
“Ha-ha, mau tidak mau kalian harus ikut bersama kami,” jawab Jiu Koan.
Siang In melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan bertanya, “Eh, siapa namamu tadi? Jiu Koan?”
“Benar.”
“Jadi engkau ini seorang jagoan Liong-sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu. Kalau kau memang jagoan, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah, biar kami akan menyerah dan ikut bersama kalian ke atas sana. Tetapi kalau aku menang, kalian harus membiarkan aku pergi. Bagaimana?”
Jiu Koan memandang dengan mata terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia seorang yang cerdik pula. Kalau gadis ini berani menantangnya, agaknya gadis yang membawa payung ini memiliki kepandaian. Kalau dia mempertaruhkan kebebasan mereka, amatlah berbahaya. Akan tetapi gadis kedua itu, yang kelihatan lemah lembut, tentu tidak bisa silat.
“Baik, akan tetapi karena kalian berdua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju, masing-masing melawan seorang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang, biarlah kalian boleh pergi. Akan tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus ikut kami ke atas untuk menghadap Kongcu.”
“Baiklah,” jawab Siang In sambil berkedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu. “Kau ajukan jagomu biar dilawan temanku ini.” Dan dia menggunakan ilmunya sehingga hanya Syanti Dewi saja yang mendengar bisikannya, “Enci, kau lawanlah saja, aku akan membantumu dan tidak mungkin kau kalah.”
Syanti Dewi mengangguk. Memang dia pernah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya telah memperoleh kemajuan hebat saat dia mendapat petunjuk-petunjuk dari pendekar sakti Gak Bun Beng beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi selama bertahun-tahun ini dia tidak pernah berlatih karena semangatnya seperti telah hilang terbawa pergi oleh Tek Hoat. Maka untuk bertanding tentu saja gerakannya kaku dan memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi!
Jiu Koan lalu memberi isyarat dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar. Usianya tentu belum ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh dengan lingkaran otot-otot besar karena dengan bajunya digulung sebatas siku. Dia ini tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali mendapat kesempatan untuk bertanding melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam benaknya betapa dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu.
Syanti Dewi merasa agak ngeri berhadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap sedia dan memasang kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar meliihat betapa dara cantik ini dapat memasang kuda-kuda ilmu silat, dia bersikap hati-hati dan berkata, “Nona manis, lebih baik kau menyerah dan mengaku kalah.”
“Tidak perlu banyak cakap, majulah!” Syanti Dewi berkata.
“Ha-ha, hendak kulihat apakah kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!” Raksasa itu tertawa dan menubruk cepat sekali ke arah Syanti Dewi.
Puteri ini amat terkejut, tak disangkanya orang tinggi besar itu dapat bergerak demikian cepatnya. Akan tetapi dia dapat mengelak dengan meloncat ke kanan sambil mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Dalam perjalanan yang jauh ini, puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang dipasangi besi di ujungnya, maka tendangannya itu bukanlah tidak berbahaya.
“Ehhh!” Lawannya berseru kaget juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu.
Dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik kembali kakinya. Raksasa itu kini menyerang dengan marah, tidak lagi hanya berusaha menangkap Sang Puteri, tetapi juga menggunakan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Karena kaki dan tangannya memang besar dan panjang, repot jugalah Syanti Dewi mengelak ke sana ke mari.
“Kau hendak lari ke mana sekarang?” Raksasa itu berseru keras, tangan kanannya diulur untuk mencengkeram ke arah rambut kepala Syanti Dewi.
Puteri ini cepat merendahkan tubuh mengelak, dan selagi ia membalas dengan pukulan ke arah muka raksasa itu, lawannya sama sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya akan menerima pukulan itu begitu saja, akan tetapi kedua tangannya kini mencengkeram ke arah kedua buah dada Sang Puteri!
“Aihhh...!” Syanti Dewi menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang.
Dia berjungkir-balik dan terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena kurang latihan, ketika berjungkir-balik itu tubuhnya agak terhuyung-huyung hampir jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh si raksasa untuk menyerbu ke depan.
Pada saat itu, Siang In menggerak-gerakkan tangannya ke arah si raksasa sambil berseru, “Laki-laki tidak sopan, jangan kau main curang dan kurang ajar!”
Suaranya melengking nyaring dan mengandung daya tarik yang luar biasa sehingga si raksasa itu memandang kepadanya. Inilah kesalahannya karena begitu dia bertemu pandang dengan dara itu, otomatis dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Siang In.
“Eh... eh... mana...?” Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat lagi dara cantik yang menjadi lawannya.
“Plak! Plak!”
Dua kali pipinya ditampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai menjadi merah dan terasa panas sehingga dia terhuyung ke belakang.
Syanti Dewi sendiri merasa telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia melihat lawannya berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai membantunya, maka dia kemudian melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang dengan tinju tangannya yang kecil.
“Buk-buk-bukkk!” Tiga kali dia memukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi ke belakang.
Semua temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas tampak oleh mereka bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan mereka itu seperti orang bingung dan dengan mudah saja ditampar dan ditonjok?
Si raksasa itu memang bingung dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan ditonjok, akan tetapi dia sama sekali tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya itu. Dia masih berusaha menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk memukul sana-sini, mencengkeram sana-sini, namun hanya mengenai angin saja karena Syanti Dewi sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin kaget dan heran melihat raksasa itu memukul dan mencengkeram tempat kosong di depannya, padahal lawannya berada di sebelah kirinya!
“Takkk! Aughhhhh... aduhhhhh...!”
Raksasa itu mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya dengan tangan dan berloncatan dengan kaki kanan. Hanya orang yang pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang keringnya saja akan mengerti bagaimana perasaan si raksasa di saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh ujung besi sepatu Syanti Dewi, tentu saja nyeri bukan main, kiut-miut rasanya, bernyut-nyutan sampai terasa di dalam sumsum.
“Dukkk...! Aduhhh...!”
Dan si raksasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan itu ditendang lagi oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah menjadi biru dan bengkak itu.
Siang In menggerakkan tangannya. Kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi yang berdiri di depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya yang amat mudah itu.