CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
JODOH RAJAWALI JILID 13
SIAUW HONG mengerutkan alisnya, memandang ke arah gurunya dan kepada Sin-siauw Sengjin, nampaknya dia terkejut bukan main. Di luar tahunya, dia sudah dijodohkan dengan seorang gadis semenjak dia masih kecil dan belum tahu apa-apa. Akan tetapi, karena memang dia sudah tidak berkeluarga dan sejak kecil dia menerima budi kedua orang tua itu, maka dia tidak berkata apa-apa, lalu menunduk kembali. Ohh, nasib.
Sai-cu Kai-ong dapat meraba isi hati pemuda itu, maka dia berkata lagi, "Maafkan kami, muridku. Percayalah bahwa kami melakukan hal itu demi kebaikanmu dan demi memperkuat tali perhubungan antara keturunan keluarga Kam dan Yu. Tunanganmu itu, ialah cucuku yang bernama Yu Hwi, sejak kecil sekali kuserahkan kepada Sin-siauw Sengjin untuk dididik. Akan tetapi, seperti yang telah dia ceritakan tadi, terjadi mala petaka. Dia diculik orang dan sampai sekarang belum diketahui berada di mana, masih hidup ataukah sudah mati..." Kakek itu berhenti sebentar, mukanya menjadi pucat.
"Kai-ong, harap kau maafkan aku..." Sin-siauw Sengjin berkata pilu.
Lalu dia berkata kepada Siauw Hong, "Kam-kongcu, sekarang tibalah saatnya engkau harus menggembleng diri dengan ilmu-ilmu peninggalan nenek moyangmu, dan saya sendiri akan menurunkan semua ilmu itu. Setelah Kongcu mempelajarinya dan mudah mudahan Kongcu lebih cocok sehingga dapat menguasainya dengan sempurna, tidak seperti saya yang bodoh, maka sudah menjadi kewajiban Kongcu untuk pergi mencari tunangan Kongcu itu sampai dapat. Kalau tidak demikian, maka selama hidup kita akan berhutang kepada keluarga Yu..."
Melihat wajah Sai-cu Kai-ong yang pucat, dan melihat kedukaan Sin-siauw Sengjin, bangkit semangat Siauw Hong. Dia maklum bahwa mereka berdua itu selalu berusaha demi kebaikannya, maka ikatan jodoh itu pun dia terima dengan hati rela. "Baiklah, Locianpwe. Saya akan mengerahkan seluruh semangat saya untuk mempelajari ilmu ilmu itu. Suhu, harap jangan khawatir, teecu kelak akan mencari Yu Hwi sampai dapat! Teecu bersumpah!"
Sepasang mata kakek itu menjadi basah, akan tetapi mulutnya tersenyum. "Manusia boleh saja berusaha, namun Tuhan yang kuasa, muridku. Kalau memang Yu Hwi masih hidup, tentu dia sewaktu-waktu akan dapat bertemu dengan kita. Dan kalau toh sudah meninggal dunia, kita harus dapat menemukan kuburannya agar tali perjodohan itu bisa membebaskan dirimu dan engkau berhak untuk berjodoh dengan orang lain."
"Tidak! Saya merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh oleh penculiknya. Kalau memang penculik itu menghendaki nyawanya, mengapa tidak dibunuhnya dia seketika itu juga?" Sin-siauw Sengjin berkata hampir berteriak.
Melihat ini, Ceng Ceng lalu berkata, "Saya berjanji akan bantu mencarinya. Namanya Yu Hwi, apakah dia mempunyai ciri-ciri yang khas?"
"Saya juga berjanji akan bantu mencarinya!" Kian Lee berkata pula.
Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, walau pun di dalam hatinya juga merasa kasihan, namun diam saja karena mereka maklum bahwa tidak mungkin mereka akan dapat membantu, karena mereka sendiri masih bingung kehilangan seluruh keluarga mereka yang diculik orang. Bahkan mantunya, seperti telah diceritakan oleh mantunya kepadanya, telah kehilangan puteranya yang juga diculik orang, akan tetapi sekarang mantunya menjanjikan bantuannya untuk ikut mencari Yu Hwi. Dia mengenal watak mantunya, seorang pendekar wanita yang sakti, maka dia hanya mendengarkan dengan kagum.
Sin-siauw Sengjin dan Sai-cu Kai-ong serentak menjura kepada Kian Lee dan Ceng Ceng. "Terima kasih atas kebaikan Ji-wi," kata Sin-siauw Sengjin.
"Di dagu Yu Hwi, sebelah kiri, terdapat sebintik tahi lalat hitam, itulah cirinya yang paling mudah untuk dikenal," kata Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin mengangguk tanda membenarkan.
"Kalau begitu, adikku Kai-ong, perkenankan saya pergi dan mengajak Kam-kongcu agar dia dapat cepat mewarisi ilmu-ilmu keturunan keluarganya," tiba-tiba Sin-siauw Sengjin berkata sambil bangkit berdiri.
"Memang sebaiknya begitulah, kakakku yang baik. Aku sendiri pun segera berusaha mencari cucuku yang hilang," jawab Sai-cu Kai-ong. "Siauw Hong, kau ikutlah bersama Sin-siauw Sengjin dan berbahagialah muridku, karena engkau akan mewarisi ilmu dari keluargamu yang mukjijat, yang semenjak ratusan tahun selalu dicari dan diperebutkan oleh seluruh dunia persilatan."
Siauw Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu.
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas segala budi kebaikan yang sudah Suhu limpahkan kepada teecu."
Sai-cu Kai-ong tersenyum dan mengangkat bangun muridnya. "Berlatihlah baik-baik, muridku, agar kelak aku boleh berbangga hati bahwa engkau pernah menjadi muridku."
Siauw Hong kemudian memberi hormat kepada semua orang dan pergilah orang muda keturunan Suling Emas ini mengikuti Sin-siauw Sengjin, bersama rombongan murid muridnya yang mengikuti dari belakang.
Setelah Suling Sakti dan para muridnya itu pergi, Ceng Ceng kemudian menceritakan pertemuannya dengan Syanti Dewi kepada Kian Lee, didengarkan pula oleh Jenderal Kao dan dua orang puteranya, dan juga oleh Sai-cu Kai-ong. "Sungguh kasihan sekali Enci Syanti," kata Ceng Ceng. "Entah bagaimana nasibnya demikian terlunta-lunta selalu, setelah dia baik-baik kembali ke istana orang tuanya di Bhutan, tahu-tahu kini dia berada di sini pula, dan bahkan dia telah diculik seorang yang belum kuketahui siapa.”
Dia lalu menceritakan pertempurannya melawan See-thian Hoat-su di dalam gelap, pertempuran yang terjadi karena salah pengertian dan selagi mereka bertempur, Syanti Dewi lenyap dibawa orang.
Kian Bu mendengarkan dan dia terkejut bukan main, seakan-akan tersentuh kembali bekas luka di hatinya mendengar itu. Mengapa Syanti Dewi berada di daerah ini? Dan siapa yang menculiknya? Bagaimana dengan Ang Tek Hoat? Teringatlah Kian Bu akan ibu kandung Tek Hoat yang terbunuh oleh perwira Bhutan. Apakah ada hubungannya dengan kepergian Syanti Dewi meninggalkan Kerajaan Bhutan? Kian Bu kemudian menghampiri sebuah meja, membuat coretan-coretan dengan alat tulis di atas kertas, meninggalkan kertas tulisannya itu di atas meja, kemudian dia menyelinap pergi dengan diam-diam.
Setelah bercakap-cakap dan menceritakan pengalaman masing-masing, mereka lalu mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tempat itu di hari itu juga.
Kian Lee yang melihat bahwa sin-siauw Sengjin tidak ada lagi di situ akan tetapi adiknya belum juga muncul, segera mencarinya. Akan tetapi, ternyata Kian Bu tidak ada lagi di ruangan itu dan dia hanya menemukan sehelai suratnya.
Lee-ko,
Banyak sekali tugas menanti kita. Karena banyaknya, sebaiknya kalau kita berpisah dan masing-masing melaksanakan satu tugas. Aku lebih dulu akan pergi menyelidiki dan mencari Syanti Dewi.
Adikmu,
KIAN BU
Kian Lee menyimpan surat itu di dalam saku bajunya dan menarlk napas panjang. Dia merasa kasihan sekali kepada adiknya itu dan maklumlah dia bahwa diam-diam Kian Bu masih belum dapat melupakan Syanti Dewi. Karena itu, tidaklah mengherankan apa bila Kian Bu yang agaknya tadi mendengar penuturan Ceng Ceng, lalu diam-diam cepat pergi untuk mencari dan menolong puteri itu!
Mereka semua lalu pergi. Ceng Ceng pergi bersama ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya, meninggalkan tempat itu untuk pergi ke kota Pao-ting di mana dia sudah berjanji akan bertemu dengan suaminya yang mencari-cari jejak anak mereka dari lain jurusan.
Kian Lee juga pergi dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Kian Bu, maka dia teringat akan wanita yang mencuri pusaka-pusaka dari Sin-siauw Sengjin, yang agaknya tentu pusaka-pusaka palsu pula mengingat akan penuturan Sin-siauw Sengjin sendiri betapa nenek moyangnya banyak memalsukan pusaka-pusaka itu untuk mencegah yang asli dicuri orang.
Bukankah Kian Bu telah berjanji akan mendatangi tempat gadis pencuri itu di pantai Po-hai? Sebaiknya kalau dia mewakili adiknya mencari gadis pencuri itu di pantai Po-hai, di teluk sebelah utara. Siapa tahu, kalau-kalau Kian Bu juga pergi ke sana. Tadinya dia ingin mernbantu Jenderal Kao, akan tetapi setelah ada Ceng Ceng dan suaminya, yang dia tahu amat sakti, tidak perlu lagi dia membantu dan kalau dia tidak berhasil bertemu dengan adiknya, dia akan terus mencari atau akan kembali ke Pulau Es melapor pada ayahnya.
Sai-cu Kai-ong juga pergi meninggalkan tempat tinggalnya untuk mulai mencari cucunya yang hilang pula. Biar pun Ceng Ceng dan Kian Lee sudah berjanji untuk membantu mencari cucunya, dia tidak puas kalau dia sendiri tidak ikut mencari. Dia tahu betapa sukarnya mencari seseorang tanpa mengetahui di mana adanya cucunya itu, yang sama sekali tidak meninggalkan jejak dan hilangnya sudah lima belas tahun yang lalu. Hemmm, agaknya lagi musim penculikan…..
"Ayah, ke manakah kita pergi? Apakah akan kembali ke Pulau Neraka?" tanya Hwee Li kepada ayahnya ketika mereka dibawa terbang di atas punggung garudanya.
"Tidak, Hwee Li. Pulau Neraka terlalu jauh dan aku sudah tidak suka tinggal di tempat buruk itu. Aku malah tidak mau kembali lagi ke sana."
"Kalau begitu, kita pergi ke mana?"
"Ke tempatku yang baru."
"Di mana itu, Ayah?"
"Ha-ha, kau sudah pernah mengunjunginya. Di lembah Huang-ho."
"Lembah Huang-ho?" Dara itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Maksudmu di sarang Huang-ho Kui-liong-pang?"
"Ha-ha-ha, engkau memang anakku yang amat cerdik. Benar di sana. Tempat indah itu menjadi tempat tinggal kita yang baru."
"Ehh, bukankah di sana tinggal ketua Kui-liong-pang, musuh besar Ayah sendiri, yaitu Hek-hwa Lo-kwi?"
"Hemmm, dalam hal ini engkau masih bodoh dan tidak mengerti, anakku. Ada waktunya menjadi musuh, ada pula waktunya menjadi sahabat, semua disesuaikan dengan waktu dan keadaan. Ha-ha-ha!"
Hwee Li paling tidak suka melihat ayahnya tertawa. Kalau ayahnya bersikap biasa, maka ayahnya kelihatan sebagai seorang raksasa yang berwibawa. Akan tetapi kalau sudah tertawa dan kelihatan gigi yang bertaring itu, dia merasa jijik dan malu. Kalau tertawa, ayahnya amat menyeramkan seperti iblis saja, atau seperti seekor binatang buas!
"Kenapa Ayah tinggal di tempat orang 1ain!"
"Hek-hwa Lo-kwi bukan orang lain, anakku. Dia seorang sekutu!"
"Hemmm, agaknya Ayah sudah main-main lagi dengan persekutuan. Apakah Ayah tidak jera setelah mengalami kegagalan ketika Ayah dulu membantu pemberontak she Liong itu? Hampir saja Ayah celaka dan kehilangan banyak anak buah."
"Hemmmm, sekali ini lain lagi persoalannya, anakku. Bukan pemberontak biasa yang kubantu, melainkan seorang pangeran tulen, dari kerajaan besar Nepal."
"Ahhh... Ayah maksudkan orang she Liong itu? Peranakan Nepal dan putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong itu?"
"Benar, murid dari Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal yang sakti. Dia seorang muda yang amat pandai, seorang calon kaisar yang amat hebat, heh-heh-heh!"
"Dan aku amat benci padanya!" tiba-tiba Hwee Li berkata.
"Ehhh, mengapa, anakku?"
"Kulitnya hitam coklat..."
"Menambah manis dan jantan!"
"Hidungnya melengkung..."
"Tanda dia bernafsu besar dan kuat, heh-heh!"
"Matanya cekung..."
"Itu menunjukkan bahwa dia memiliki kecerdikan..."
"Ah, pendeknya aku tidak suka kepadanya. Pandang matanya cabul dan genit, Ayah. Aku sudah ingin menamparnya ketika kami bertemu di sana dan dia memandangku dengan mata seolah-olah hendak menelanjangiku. Huh!"
"Ha-ha-ha, begitulah kalau seorang pria sudah jatuh cinta! Dan pria mana yang tidak akan tergila-gila kepada anakku yang cantik jelita dan manis ini? Haha-ha!"
"Ahhh, aku tidak suka kalau Ayah bicara seperti itu!" Hwee Li bersungut-sungut dan menjambak bulu di leher garudanya sehingga garuda itu memekik kesakitan dan terbang makin cepat lagi. Ayahnya hanya tertawa-tawa akan tetapi tidak bicara lagi karena maklum bahwa puterinya masih marah-marah.
Benarkah ucapan Hek-tiauw Lo-mo, ayah Hwee Li itu, bahwa dia kini telah menjadi sekutu dari Hek-hwa Lo-kwi ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan betapa dahulu, Hek-tiauw Lo-mo pernah bermusuhan secara hebat dengan Hek-hwa Lo-kwi.
Hek-hwa Lo-kwi dahulu bernama Thio Sek, seorang pelayan dari manusia dewa yang amat terkenal sebagai penghuni Istana Gurun Pasir dan dikenal sebagai Go-bi Bu Beng Lojin atau juga Si Dewa Bongkok. Sebagai pelayan manusia sakti ini, sudah tentu saja Hek-hwa Lo-kwi juga memiliki kepandaian tinggi. Pada suatu hari, muncullah Hek-tiauw Lo-mo untuk mencuri kitab pusaka milik Si Dewa Bongkok.
Dengan bekerja sama bersama Thio Sek, berhasillah dua orang ini mencuri sebuah kitab pusaka tentang ilmu pukulan beracun. Keduanya lalu melarikan kitab itu, tetapi di tengah jalan mereka bercekcok dan saling memperebutkan kitab. Mereka bertanding dan karena keduanya memiliki tingkat kepandaian yang seimbang, akhirnya mereka menguasai seorang separoh dari kitab yang terobek dalam perebutan itu. Mereka mempelajari bagian masing-masing dan sampai bertahun-tahun menjadi musuh, akan tetapi keadaan mereka selalu seimbang. Dua orang yang tadinya menjadi kawan ketika maling kitab, berubah menjadi musuh.
Akan tetapi sekarang, dengan munculnya Liong Bian Cu, Pangeran Nepal yang pandai menarik hati orang-orang kang-ouw itu, mereka menjadi sekutu lagi. Kali ini keduanya yang sudah merasa tua ingin sekali memperoleh kedudukan, mengandalkan kedudukan Pangeran Nepal itu, agar mereka kelak akan mengakhiri kehidupan mereka sebagai pembesar-pembesar terhormat!
Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengunjungi lembah itu, tadinya dengan maksud menentang Hek-hwa Lo-kwi, dia bertemu dengan Liong Bian Cu, Ban Hwa Sengjin dan para pembantu pangeran itu. Liong Bian Cu berhasil membujuk Hek-tiauw Lo-mo dan akhirnya Hok-tiauw Lo-mo terpikat pula, bahkan lalu masuk dalam persekutuan itu, apa lagi ketika dia melihat betapa keadaan Liong Bian Cu sebagai pangeran dan sebagai murid Koksu Nepal, amatlah kuatnya.
Dia mendengar bahwa puterinya telah mewakilinya dia mengunjungi lembah itu, dan giranglah hatinya ketika dalam pembicaraannya dengan Pangeran Nepal itu, dia mendengar bahwa pangeran itu ternyata amat tertarik dan agaknya jatuh hati kepada puterinya! Kalau saja dia dapat menjadi mertua dari Pangeran Nepal ini. Dan kelak, kalau pangeran ini menjadi Raja Nepal, dia menjadi mertua raja! Apa lagi kalau pangeran ini berhasil menjadi kaisar, dia menjadi mertua kaisar. Pangkat dan kemuliaan apa lagi yang dapat lebih tinggi lagi dari pada itu? Maka dia lalu berpamit dari lembah dan pergi untuk mencari puterinya, dengan satu tujuan di dalam benaknya, yaitu dengan cara apa pun dia akan menyerahkan puterinya kepada Liong Bian Cu sebagai Isterinya! Beberapa orang anak buahnya membantunya mencari Hwee Li! dan akhirnya dia menemukan puterinya itu di tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.
Atas petunjuk Hek-tiauw Lo-mo, Hwee Li menyuruh garudanya menukik turun. Dari atas dia sudah melihat lembah itu dan dia memandang heran. Lembah yang dikenalnya sebagai tempat tinggal atau sarang Hek-hwa Lo-kwi itu kini telah berubah. Masih sukar untuk didatangi dari darat tanpa melalui jalan rahasia, akan tetapi kini dari atas nampak betapa lembah itu telah dikurung air!
Ternyata bahwa air yang meluap dan membanjiri lembah akibat ledakan-ledakan alat peledak Siluman Kucing dahulu itu, telah membentuk genangan air seperti telaga di sekitar lembah dan oleh Hek-hwa Lo-kwi, air itu malah dipergunakan untuk memperkuat bentengnya. Dengan adanya air yang mengurung lembah itu, maka makin sukarlah bagi orang luar untuk dapat menyerbu ke lembah. Mereka harus lebih dulu menyeberangi air yang lebarnya lebih dari dua puluh tombak itu, air yang cukup dalam karena oleh Hek-hwa Lo-kwi telah digali dan diperdalam dan tidak ada jembatan yang menghubungkan lembah dengan seberang air seperti sungai atau telaga itu.
Garuda itu menukik turun dan akhirnya hinggap di atas tanah di depan bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Hek-hwa Lo-kwi. Dari atas sudah nampak banyak orang berdiri di luar bangunan itu menyambut kedatangan ayah dan anak yang aneh itu. Ketika Hwee Li dan ayahnya meloncat dari atas punggung garuda, dara ini memutar tubuh dan memandang. Alisnya berkerut ketika wajah pertama yang dilihatnya justeru adalah wajah yang amat dibencinya, wajah Liong Bian Cu sendiri! Laki-laki yang tinggi tegap ini memakai pakaian indah, dan dia sudah menjura dengan hormatnya dan tersenyum penuh keramahan kepada Hwee Li.
"Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, sungguh mengagumkan sekali betapa dalam waktu singkat Locianpwe dapat menemukan puterimu!" katanya kepada Hek-tiauw lo-mo yang tertawa bergelak penuh kebanggaan.
"Nona Hwee Li, selamat datang di lembah dan mudah-mudahan engkau tadi menikmati perjalanan menyenangkan sekali," katanya kepada Hwee Li sambil tersenyum. Giginya putih dan rata, hidungnya yang agak melengkung itu bergerak-gerak.
Sesungguhnya pria ini cukup tampan dan juga gagah sekali, tetapi entah mengapa, Hwee Li merasa tidak suka kepadanya. Agaknya hal itu ditimbulkan oleh pandang mata yang memang jalang dan menembus itu, yang terpancar dari sepasang mata yang cekung dan tajam bukan main.
"Hemmm...!" Hwee Li hanya mengeluarkan suara dari hidungnya tanpa menjawab.
"Hwee Li, kau sedang diajak bicara oleh Pangeran. Jawablah, jangan membikin malu Ayahmu seolah-olah engkau tidak pernah dididik kesopanan!" kata Hek-tiauw Lo-mo kepada puterinya.
Makin dalam kerut pada alis dara itu. Dia merasa makin tidak senang dan juga terheran heran. Sejak kapankah ayahnya menjadi seorang penjilat dan seorang yang mengenal kesopanan? Biasanya, dahulu dia yang sering kali merasa malu karena ayahnya adalah seorang yang sama sekali tidak mempedulikan tata susila atau sopan santun! Karena di situ terdapat banyak orang, dan tentu saja dia tidak mau membikin malu ayahnya, maka dia lalu balas menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara kaku, "Terima kasih, Ayahku memaksa aku berkunjung ke sini, mudah-mudahan tidak mengganggu siapa pun!" Sambil berkata demikian, dia melirik kepada Hek-hwa Lo-kwi yang dia tahu adalah tuan rumahnya.
Kembali ia terheran-heran sebab Hek-hwa Lo-kwi hanya mengangguk sambil tersenyum saja sedangkan yang menjawabnya adalah pangeran itu, "Ha-ha-ha... tidak sama sekali, Nona! Saya percaya bahwa Hek-hwa Lo-kwi locianpwe bahkan akan merasa terhormat dan girang dengan kunjunganmu ini. Siapa yang tak kan merasa terhormat dan gembira menerima kunjungan seorang seperti engkau, Nona? Nona tentu telah merasa lelah sekali, maka silakan Nona beristirahat di kamar yang telah kami sediakan, menyegarkan diri baru kemudian kita makan dalam pesta yang kami selenggarakan untuk menyambut kedatangan Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dan Nona Kim Hwee Li!" Pangeran itu lalu bertepuk tangan dan muncullah empat orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu.
"Kalian antar Nona Hwee Li ke kamarnya dan layani baik-baik!" perintah pangeran itu.
"Silakan, Siocia...," seorang pelayan memberi hormat kepada Hwee Li.
Dara ini tadinya hendak menolak. Tidak biasa dia diperlakukan seperti seorang puteri dan dilayani orang, tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan mata ayahnya, dia melihat ayahnya menganggukkan kepala dan pandang matanya ayahnya itu seperti dia memaksanya. Dengan gerakan marah dia memutar tubuh lalu mengikuti para pelayan itu memasuki gedung yang besar dan akhirnya dipersilakan masuk ke sebuah kamar yang amat indah. Begitu masuk, Hwee Li terpesona. Hebat bukan main kamar ini. Selain besar dan luas, juga dihias seperti kamar seorang puteri istana saja layaknya.
Dia berdiri dan memandang ke kanan kiri. Sebuah dipan berada di tengah kamar, dipan yang terbuat dari kayu indah terukir dan terhias emas dan permata, terletak di atas permadani merah yang tebal dan berbulu, permadani yang terhampar memenuhi kamar itu. Di dekat pembaringan terdapat meja dengan empat kursinya dari kayu ukir-ukiran dan halus mengkilap amat indahnya, merupakan hasil seni ukir yang menakjubkan.
Pot-pot bunga berukiran gambar naga dan burung dewata menghias sudut-sudut kamar dan di sebelah kiri nampak meja rias yang mungil, dengan piring cermin dari perak mengkilap tergantung di dinding, dan di atas meja itu nampak lengkap alat-alat rias seperti bedak, yan-ci (pemerah pipi), gincu, sisir, tusuk konde emas, minyak wangi dan sebagainya. Dan dari pintu kecil di belakang yang menyambung dengan kamar itu, yang daun pintunya terbuka sedikit, nampak kolam mandi dari batu pualam! Sebuah kamar yang amat indah dan mewah dan dari jendela yang bentuknya seperti bulan purnama dan terhias pot-pot bunga itu dia dapat melihat sebuah kamar kecil yang indah pula di luar kamar. Benar-benar merupakan kamar seorang puteri raja!
"Siocia, mari kami bantu Siocia menanggalkan pakaian..."
"Biar kami membantu Siocia mandi..."
"Rambut Siocia kusut dan agak kotor terkena debu, perlu dikeramasi lalu disikat..."
Keempat orang pelayan itu lalu menghampiri Hwee Li dan mengulurkan tangan hendak membantu dara itu agar menanggalkan pakaian untuk mandi. Hwee Li membelalakkan matanya dan mengepal tinju, lalu menghardik, "Pergi kalian dari sini!"
Empat orang pelayan itu terkejut, akan tetapi mereka telah menerima perintah dari majikan mereka untuk melayani nona ini sebaiknya, "Siocia, kami..."
"Cukup! Cepat kalian menggelinding keluar dari kamar ini, kalau tidak, kalian akan kulemparkan satu demi satu!"
"Siocia..." Mereka masih nekat.
Mereka adalah empat orang di antara para pelayan Pangeran Nepal itu dan mereka adalah pelayan-pelayan terlatih yang menguasai ilmu silat dan ilmu gulat, maka ancaman Hwee Li tidak membuat mereka takut. Mereka sudah terlatih dan sudah biasa menghadapi dara cantik jelita yang dipersiapkan untuk melayani majikan mereka. Dan biar pun mereka sudah mendengar bahwa puteri Hek-tiauw Lo-mo ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, mereka tidak khawatlr karena mereka mengira bahwa sepandai pandainya seorang dara remaja seperti ini, mana mungkin dapat mengalahkan mereka berempat?
Apa lagi mereka melihat bahwa Hwee Li begitu cantik dan masih begitu muda, dan mereka dapat melihat dari sikap Pangeran Liong Bian Cu bahwa pangeran itu benar benar jatuh cinta kepada dara ini sehingga sebelum dara ini tiba pun kamar yang amat indah itu telah dipersiapkan olehnya! Maka, mereka berempat tentu saja tidak mau meninggalkan Hwee Li, karena kalau mereka mampu membujuk sehingga dara ini dengan hati terbuka mau melayani majikan mereka, mau menerima cintanya, tentu mereka akan menerima ganjaran besar!
"Siocia, kami hanya membantu..."
"Cerewet!" bentak Hwee Li, dan dia menggerakkan tangan kirinya untuk mendorong.
Akan tetapi, dengan cepat wanita itu mengelak ke kanan dan tiba-tiba saja tangannya telah menangkap pergelangan tangan kiri Hwee Li. Itulah gerakan seorang ahli gulat yang amat cekatan dan biar pun pelayan itu berlaku hati-hati sehingga tangkapannya tidak akan menyakitkan orang, namun jelas bahwa di bawah kulit telapak tangannya terkandung getaran tenaga yang kuat sehingga tangkapan itu pun erat sekali!
"Kalian mencari mampus!" Hwee Li berseru ketika tiga orang pelayan yang lain juga sudah memegangnya dari kanan kiri dan belakang.
Mendadak Hwee Li mengguncang tubuhnya sambil mengerahkan sinkang-nya. Tentu saja empat orang pelayan itu sama sekali bukan lawan puteri majikan Pulau Neraka ini. Mereka terguncang dan pegangan mereka terlepas semua, kemudian sebelum mereka tahu apa yang menimpa mereka, tubuh mereka satu demi satu melayang keluar dari pintu kamar mewah itu. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh empat orang pelayan itu terbanting di luar kamar, diiringi keluhan dan rintihan mereka.
Tiba-tiba di luar pintu itu muncul Liong Bian Cu, diiringi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu memandang kepada puterinya dan menegur, "Ehhh, Hwee Li, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan tadi?"
Kembali Hwee Li merasa terheran karena jelas bahwa di dalam pertanyaan ayahnya itu mengandung penyesalan terhadapnya dan terkandung rasa sungkan terhadap Sang Pangeran Nepal itu! Diam-diam dia merasa muak dan marah. Mengapa ayahnya tiba tiba menjadi seorang penjilat? Mana kegagahan ketua Pulau Neraka?
"Mereka memang layak dihajar!" katanya tak acuh dan sama sekali tidak merasa takut menghadapi Pangeran Nepal itu.
Liong Bian Cu tersenyum lebar dan menjura, sikapnya halus memikat. "Maaf, Nona. Apakah empat orang pelayan itu bersikap kurang ajar kepadamu? Apakah mereka tidak menyenangkan hatimu? Kalau begitu, katakanlah dan aku akan membunuh mereka atau menyiksa mereka di depan kakimu sekarang juga!"
Hwee Li cemberut. Sikap ayahnyalah yang membuat dia marah, bukan sikap pangeran itu. Jika saja ayahnya tak bersikap seperti itu, berubah sama sekali dari pada biasanya, agaknya sikap pangeran ini akan menyenangkan hatinya juga. Maka kemarahannya lalu dia lontarkan kepada pangeran itu. Dengan kaku dan kasar dia menjawab, "Mereka adalah orang-orangmu. Mau siksa atau mau bunuh terserah, tiada sangkut-pautnya dengan aku!" Lalu dia membuang muka, kedua pipinya merah dan terasa panas karena marahnya.
"Hwee Li!" Ayahnya membentak marah. "Pangeran telah bersikap demikian hormat dan ramah kepadamu, pantaskah sikap dan jawabanmu ini?"
Hwee Li menoleh kepada ayahnya. Mereka saling pandang dan baru sekarang Hwee Li melihat pandang mata ayahnya kepadanya demikian penuh kemarahan. Selamanya, pandang mata ayahnya kepadanya selalu lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi kini ayahnya memandangnya dengan mata melotot marah. Hal ini amat menyakitkan hatinya dan tak terasa lagi dua titik air mata membasahi matanya!
"Sudahlah, Locianpwe, jangan marah kepadanya. Nona Hwee Li, kalau para pelayanku tidak menyenangkan hatimu, biarlah aku yang minta maaf kepadamu!" Sambil berkata demikian, pangaran itu benar-benar menjura kepada Hwee Li!
Diam-diam gadis ini terkejut dan merasa heran juga. Pangeran ini ternyata seorang yang amat hormat kepadanya, sungguh pun pandang matanya amat menjijikkan dan membuat dia merasa seperti telanjang bulat kalau berhadapan dengan pangeran itu. Melihat sikap yang amat hormat ini, juga amat merendah, padahal pemuda berusia tiga puluhan tahun ini benar-benar seorang pangeran yang kaya raya dan berpengaruh, pula melihat betapa ayahnya marah-marah kepadanya, maka kemendongkolan hatinya agaknya mereda. Biar pun sikapnya masih acuh tak acuh, namun suaranya tidaklah sekaku dan sekasar tadi ketika dia berkata kepada Liong Bian Cu.
"Mereka tidak apa-apa, hanya aku tidak senang dilayani, aku ingin tinggal sendirian di kamar ini."
"Eh, begitukah? Baiklah, Nona." Dia lalu menoleh kepada empat orang pelayan wanita yang sudah berlutut di situ dengan muka pucat dan sikap ketakutan.
Hwee Li percaya bahwa sekali dia bilang ‘mati’, agaknya tanpa dapat diragukan lagi pangeran itu tentu akan membunuh mereka berempat!.
"Hei, dengarkan baik-baik kalian berempat! Kalian sama sekali tidak boleh masuk ke dalam kamar ini, melainkan siap di luar kamar dan baru masuk kalau Siocia memanggil dan membutuhkanmu. Mengerti?" Empat orang itu lalu memberi hormat dengan dahi menyentuh lantai.
"Nah, beristirahatlah, Nona Hwee Li. Sebentar lagi kita bertemu lagi di ruang dalam, di mana akan diadakan pesta perjamuan makan untuk menyambut kedatanganmu." Pangeran itu menjura lagi lalu pergi, diikuti oleh Hek-tiauw Lo-mo yang melirik penuh desakan kepada puterinya.
Setelah mereka pergi, dan melihat empat orang pelayan itu masih berlutut di situ, Hwee Li menutupkan daun pintu keras-keras dengan hati mengkal. Lalu dia menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kasur itu lantas bergoyang-goyang naik turun, mengayun-ayun tubuhnya. Ternyata pembaringan itu selain berkasur tebal juga dipasangi per sehingga amat enak di tiduri.
Hwee Li memejamkan matanya, kemudian membukanya lagi, termenung. Dia sungguh merasa penasaran dan heran melihat perubahan pada watak ayahnya. Akan tetapi, ayahnya adalah seorang yang dikenalnya sebagai orang yang amat cerdik. Tidak mungkin ayahnya menjadi penjilat. Tentu ada apa-apa di balik semua sikap ayahnya itu.
Ayahnya sedang bersiasat! Pikiran ini mengusir rasa penasaran di hatinya, dan tak lama kemudian wajah yang cantik itu telah berseri kembali. Sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia duduk di depan meja rias dan memandangi wajahnya sendiri. Dia membuat berbagai gerakan dengan lehernya, menggerakkan kepalanya miring ke kanan dan ke kiri, lalu menggerak-gerakkan alisnya, matanya, hidungnya dan mulutnya. Dia merasa puas. Dia cantik memang! Dan timbul rasa bangga di hatinya.
Pangeran hidung betet itu agaknya tergila-gila kepadanya! Kini baru terasa olehnya betapa mesra pandang mata pangeran itu, betapa halus dan hormat sikapnya. Bahkan pangeran itu tidak segan-segan untuk menjura dan minta maaf kepadanya untuk urusan kecil tadi!
Hwee Li adalah seorang gadis yang mempunyai watak lincah jenaka dan gembira, maka dia tidak bisa lama-lama berada dalam keadaan marah atau berduka. Sesaat kemudian dia sudah merendam tubuhnya di kolam mandi dan terdengar mulutnya bersenandung! Setelah merasa tubuhnya segar sekali, dia baru keluar dari kolam, mengeringkan tubuhnya dengan kain bersih yang tersedia di situ, kemudian keluar dari kamar mandi, kembali ke dalam kamar dalam keadaan telanjang bulat.
Seperti seekor kijang muda dia lalu melangkah kecil-kecil menuju ke depan meja rias, memutar-mutar tubuhnya yang telanjang di depan cermin perak, mengagumi bentuk tubuhnya sendiri yang padat dengan lekuk lengkung sempurna itu, kulitnya yang putih halus, mengagumi dadanya yang sebagian tertutup oleh rambutnya yang hitam halus, membayangkan bukit-bukit dadanya dan timbul kebanggaan di dalam hatinya. Dia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, bagaikan sebutir buah yang sedang meranum. Kesadaran bahwa dia cantik dan memiliki tubuh yang indah, mendatangkan kebanggaan dan dia berjanji dalam hati tidak akan menyerahkan dirinya secara murah kepada siapa pun, apa lagi kepada pangeran berhidung betet itu!
Ketika Hwee Li mengambil pakaiannya yang tadi ditanggalkannya dan ditumpuknya di atas pembaringan, alisnya berkerut. Tubuhnya sudah segar dan bersih, akan tetapi pakaiannya itu sudah kusut dan kotor! Dia teringat akan lemari yang berdiri di sudut kamar. Dihampirinya lemari itu dan dibukanya. Penuh dengan pakaian! Pakaian wanita, serba indah dan semua terbuat dari pada kain sutera yang mahal! Dipilihya pakaian dalam beserta celananya yang terbuat dari kain tipis licin berwarna merah muda, didekatkan kepada tubuhnya. Ukurannya persis!
Dia terheran-heran. Milik siapakah pakaian-pakaian ini? Kenapa semua masih baru dan belum ada yang bekas? Dan kenapa pula ukuran tubuh pemilik pakaian itu sama benar dengan ukuran tubuhnya? Dipakainya pakaian dalam itu. Dan dugaannya memang benar. Persis betul seperti memang sengaja dibuat untuk dia! Dipilihnya baju dan celana berwarna biru. Dia paling suka memakai pakaian hitam, akan tetapi pakaian selemari itu tiada yang hitam, maka dia memilih yang biru tua, satu-satunya warna yang mendekati warna hitam. Lalu dipakainya pula.
Ketika dia sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias, daun pintunya terketuk dari luar. Hwee Li mencelat kaget. Dia merasa ‘berdosa’ karena telah memakai pakaian orang lain dan tiba-tiba daun pintu terketuk, maka tentu saja dia kaget bukan main.
"Siapa?" bentaknya, karena dia mengira bahwa yang mengetuk pintu tentulah pangeran ceriwis itu, maka disambutnya lebih dulu dengan suara ketus.
"Hwee Li, bukalah pintunya. Aku mau bicara denganmu."
Suara ayahnya! Hwee Li kemudian menghampiri pintu dan sebelum membukanya dia bertanya, "Ayah datang dengan siapa? Kalau sendirian baru aku mau membuka pintu."
"Ha-ha-ha, anak bodoh. Tentu saja aku datang sendirian. Bukalah!"
Hwee Li membuka pintu dan ayahnya masuk ke dalam kamar sambil membelalakkan matanya, hidungnya yang besar berkembang-kempis dan dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh kagum. "Hemmm, harumnya! Dan kau begini segar, dan pakaian biru itu pantas sekali bagimu!"
"Ayah, aku lebih senang pakaian hitamku sendiri. Akan tetapi pakaianku kotor dan aku pinjam pakaian orang yang berada di dalam lemari itu..." Dia menuding ke arah lemari di sudut.
"Pakaian orang? Ha-ha-ha, anak bodoh, itu adalah pakaianmu semua! Dan hal itu membuktikan kebaikan hati Pangeran Liong Bian Cu kepadamu, kepada kita! Sungguh, selama hidupku belum pernah aku bertemu orang sebaik dia. Selain kamar ini yang sudah dipersiapkan sebelum kau datang, juga pakaian-pakaian itu telah disuruhnya buat untukmu, Hwee Li."
"Ahhh...!" Hwee Li terkejut sekali. "Dia membuatkan pakaian untukku? Bagaimana bisa, begini pas ukurannya?"
"Ha-ha-ha, tentu saja aku yang memberi tahu."
"Ayah! Kenapa Ayah begitu... merendah kepadanya? Kalau ini pakaian yang sengaja dia buatkan untukku, maka biarlah aku memakai pakaianku sendiri!" Hwee Li sudah memegang bajunya seperti orang hendak menanggalkannya.
"Eh, eh... jangan begitu Hwee Li. Kau tidak tahu! Duduklah dan dengarkan kata-kataku."
Hwee Li menjadi sangat girang. Tepat dugaannya. Tentu ada apa-apanya di balik sikap ayahnya yang seperti menjilat-jilat pangeran itu. Maka dia segera duduk menghadapi ayahnya, terhalang oleh meja berukir indah itu.
"Kau tidak tahu siapa Pangeran Liong Bian Cu. Dia adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan ibunya adalah Puteri dari Nepal, maka dia adalah cucu Raja Nepal sendiri! Dan siapa gurunya? Gurunya adalah seorang manusia sakti yang tingkat kepandaiannya tinggi sekali, mungkin tidak kalah olehku, dan gurunya itu adalah koksu dari Nepal!"
"Hemmm, aku sudah mendengar akan hal itu, Ayah. Lalu apa artinya bagi kita?" Hwee Li menjawab dan bibirnya berjebi, memandang rendah pangeran itu.
"Artinya? Anak bodoh! Artinya, pangeran itu kelak mempunyai kesempatan besar untuk menjadi Raja Nepal! Bukan itu saja, dia amat cerdik dan pandai, dengan mudahnya dia telah dapat menguasai Gubernur Ho-nan. Dia mempunyai banyak pembantu yang amat lihai sehingga aku tidak ragu-ragu bahwa kelak dia akan berhasil menguasai daratan Tiongkok dan menjadi seorang kaisar!"
Hwee Li masih tersenyum mengejek. "Hemmm, habis mengapa? Dia boleh jadi raja neraka sekali pun, apa hubungannya dengan kita?"
Ayahnya membelalakkan matanya sampai lebar sekali. "Oooh-ho-ho-ho-ho! Engkau sungguh bodoh dan polos, tidak tahu apa-apa, anakku!"
"Tidak, Ayah. Aku tahu semuanya. Aku tahu bahwa Ayah menjilat-jilat karena Ayah ingin memperolah kedudukan kelak di dekat pangeran itu. Bukan begitu?"
Hek-tiauw Lo-mo mengepal tinjunya. "Kau kira aku orang seperti apa yang suka menjilat dan merendahkan diri begitu saja? Akan tetapi, aku makin tua, Hwee Li, dan selama ini aku hidup dalam dunia yang keras dan penuh dengan kesukaran, penuh kemiskinan dan kehinaan. Aku sudah tua. Aku ingin mati sebagai seorang yang terhormat dan mulia, seseorang yang berkedudukan tinggi. Aku tidak ingin kelak mati sebagai seorang liar dari Pulau Neraka. Tidak! Aku ingin mati meninggalkan nama sebagai seorang mulia, seorang bangsawan tinggi!"
"Hemmm, terserah pada Ayah. Akan tetapi aku tidak sudi menjilat pangeran itu karena aku tidak menghendaki apa-apa darinya, Ayah. Bahkan pakaian ini pun tidak!" Berkata demikian, Hwee Li menyambar pakaian hitamnya sendiri dan lari ke dalam kamar mandi. Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kain dirobek-robek.
"Hwee Li, jangan begitu...! Jangan kau menyia-nyiakan kebaikan orang lain..."
"Peduli!" Hwee Li menjawab dengan marah dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dari kamar mandi, kini mengenakan pakaian hitamnya sendiri sedangkan pakaian bagus berwarna biru dan pakaian dalam berwarna merah muda sudah robek-robek dan berserakan di kamar mandi.
Wajah kakek raksasa itu menjadi merah dan dia bangkit berdiri, memandang kepada puterinya yang juga berdiri di depannya dan menentang pandang mata ayahnya dengan berani. "Hwee Li, engkau adalah puteriku! Apakah engkau tak mau menaati perintahku? Apakah engkau hendak menjadi anak yang tidak berbakti?"
Hwee Li mengerutkan alisnya. "Ayah, aku tidak melarang Ayah menghambakan diri kepada pangeran itu, aku tidak menentang Ayah. Akan tetapi aku sendiri tidak mau ikut campur dan aku hendak pergi dari sini sekarang juga agar jangan berhutang budi kepada pangeran atau kepada siapa pun juga."
"Tidak boleh! Engkau harus berada di sini, Hwee Li, membantu usahaku!"
"Akan tetapi aku tidak butuh bantuan pangeran."
"Aku butuh! Dan aku ingin menjadi mertuanya, maka engkau tidak boleh pergi!"
Ucapan itu seolah-olah kilat yang menyambar kepala Hwee Li. Seketika wajahnya menjadi pucat sekali, lalu berubah merah dan matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang ayahnya.
"Apa kata Ayah? Menjadi mertuanya? Jadi aku... aku...!"
"Engkau akan menjadi isterinya, menjadi permaisurinya. Dia amat mencintamu, Hwee Li. Dia berterus terang kepadaku bahwa dia telah jatuh hati kepadamu ketika untuk pertama kali bertemu denganmu di tempat ini. Ingat? Dan lihat betapa dia telah menyediakan segala-galanya untukmu. Engkau akan menjadi isteri pangeran, dan kelak menjadi Permaisuri Nepal, kemudian mungkin menjadi permaisuri kaisar! Dan aku mertua kaisar! Ha-ha, bukankah hebat sekali kedudukan kita kelak, anakku?”
Akan tetapi Hwee Li sudah tidak mendengarkan kata-kata ayahnya lagi karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat keluar dari situ.
"Hwee Li...!" Ayahnya mengejar.
"Ayah, aku mau pergi dari sini!" terdengar dara itu menjawab.
"Apa kau ingin Ayahmu menggunakan kekerasan?" bentak ayahnya sambil mengejar.
Jantung Hwee Li berdebar keras! Baru sekarang selama hidupnya dia diancam oleh ayahnya sendiri! Ayahnya yang dulu selalu memanjakannya, yang tak pernah bersikap keras padanya sungguh pun dia tahu ayahnya amat keras kepada orang lain. Ia terisak dan melanjutkan larinya. Dia tidak mempedulikan orang-orang yang memandangnya dengan heran di dalam gedung itu dan dia terus lari keluar dengan cepat, siap untuk menyerang siapa saja yang akan menghalangi larinya. Akan tetapi tidak ada orang yang menghalanginya, kecuali ayahnya yang mengejarnya dari belakang.
Sejak dia menjadi murid Ceng Ceng dan juga menerima petunjuk dari suami subo-nya itu, Hwee Li telah memperoleh kemajuan hebat sehingga ginkang-nya juga meningkat dengan luar biasa. Maka dia dapat melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan ayahnya. Banyak sekali para anggota Huang-ho Kui-liong-pang yang melihat gadis ini berlari-lari dikejar ayahnya, akan tetapi mereka hanya memandang dan tidak berani mencampuri. Juga anak buah Liong Bian Cu hanya menonton. Bahkan di dalam larinya, Hwee Li melihat Hek-hwa Lo-kwi duduk di bawah sebatang pohon sambil tersenyum melihat Hek-tiauw Lo-mo mengejar-ngejar puterinya.
Hwee Li berlari cepat sampai di lembah dan bukan main kagetnya ketika dia melihat telaga atau sungai menghadang di depannya. Dia berlari terus di sepanjang tepi sungai itu, akan tetapi sungai itu terus saja tiada putusnya karena air itu mengitari lembah! Teringatlah Hwee Li akan pemandangan lembah itu dari atas ketika dia datang bersama ayahnya menunggang garuda, maka tahulah dia bahwa tempat itu memang sudah dikelilingi air yang amat luas.
Melihat bahwa bayangan ayahnya sudah tidak mengejarnya lagi, mendadak Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring, memanggil burung garudanya. Beberapa kali dia melengking nyaring, akan tetapi garudanya tidak kunjung datang. Padahal biasanya, sekali saja dia memanggil, betapa pun jauhnya garuda itu terbang, dia akan mendengar dan akan datang, atau setidaknya menjawab dengan lengking yang sama.
Kembali dia melengking nyaring dan sekali ini ada jawaban, akan tetapi jawaban itu membuat Hwee Li terkejut. Jawaban yang nyaring itu terdengar dari dalam gedung! Dan yang lebih menggelisahkan hatinya lagi, jawaban itu terdengar mengandung keluhan yang membuat dia mengerti bahwa garudanya berada dalam keadaan tidak berdaya untuk datang ke situ. Jelas bahwa garuda itu tentu telah diikat atau dikurung sehingga percuma saja dia memanggilnya!
"Hwee Li jangan pergi...!"
Hwee Li meloncat dan lari lagi ketika mendengar suara ayahnya itu. Kini dia lari sambil meneliti dan tiba-tiba hatinya girang melihat sebuah perahu di tepi pantai. Cepat dia menghampiri perahu itu, menyambar dayungnya, lalu mengempit perahu itu sambil mengerahkan tenaganya dan membawanya lari ke air. Dia melontarkan perahu itu ke atas air, lalu meloncat ke dalamnya dan mendayung secepatnya ke tengah!
Hatinya sudah merasa lega dan girang karena dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Begitu terkena air, perahu itu pecah-pecah dan sambungannya terlepas! Tentu saja tanpa dapat dicegah lagi, dia tercebur ke dalam air! Padahal sungai itu amat luas dan dia baru saja meninggalkan pantai lembah. Untuk berenang menyeberangi sungai itu sama dengan membunuh diri, karena dia bukan ahli, biar pun dia dapat berenang sekedar untuk mencegah agar dia tidak tenggelam saja. Maka terpaksa dia menggerakkan kaki tangannya berenang kembali ke pantai, pantai lembah, bukan pantai di seberang!
Ketika dengan pakaian dan rambut basah kuyup, dengan mulut menyumpah-nyumpah dia merangkak keluar dari air, dia disambut oleh suara ketawa ayahnya yang sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bersedakap. Begitu mendongkol hati Hwee Li sehingga kalau saja bukan ayahnya yang mentertawakan, tentu orang itu akan diserangnya atau dimakinya habis-habisan. Dia hanya berdiri melotot memandang kepada ayahnya, penuh kemarahan.
"Ayah, kau... kau kejam!" akhirnya dia berkata dan menangis terisak-isak.
Ayahnya menghampirinya. "Hwee Li, siapa bilang aku kejam? Engkaulah yang terlalu, tidak mau mentaati perintah Ayahmu. Aku ingin mengangkat dirimu menjadi seorang yang mulia dan terhormat, akan tetapi engkau malah hendak menghancurkan rencana hidup Ayahmu. Jangan kira kau akan dapat pergi dari sini, anakku. Mau atau tidak mau, engkau harus menjadi isteri pangeran yang cinta kepadamu."
Watak Hwee Li memang keras. Begitu mendengar kata-kata ‘harus’, dadanya diangkat, kepalanya ditegakkan, dan dia bertanya dengan air matanya bercampur dengan air sungai yang mengalir turun dari rambutnya, "Kalau aku tidak sudi?"
"Kau akan dipaksa! Nah, boleh kau pilih. Engkau menjadi isterinya secara terhormat atau menjadi isterinya dengan lebih dulu dipaksa, seperti seekor kuda betina liar yang dijinakkan!"
Hwee Li membelalakkan kedua matanya, hampir tidak dapat percaya akan kata-kata ayahnya. Tidak mungkin ayahnya akan berbuat sekeji, itu. "Ayah! Kau... kau...," dia tak dapat melanjutkan, hanya menangis keras.
"Tiada gunanya engkau menangis, Hwee Li. Jika engkau mentaati permintaanku, berarti engkau menjadi puteriku tersayang, akan tetapi kalau kau menentang kehendakku, berarti engkau adalah musuhku! Dan engkau tentu tahu apa jadinya dengan musuh Hek-tiauw Lo-mo!"
"Biar sampai mati aku tidak sudi! Aku mau melihat siapa berani memaksaku!" Tiba-tiba Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya terkepal, pakaiannya basah kuyup sehingga menempel ketat di tubuhnya, membuat lekuk-lengkung tubuhnya nampak nyata.
"Hemmm, engkau tidak akan mati, akan tetapi aku yang akan menundukkanmu, anak bandel!" bentak Hek-tiauw Lo-mo.
"Aku adalah anakmu, aku tidak akan melawan Ayahku sendiri, tetapi kalau aku hendak kau umpankan kepadanya, seperti mengumpankan kelinci untuk dimakan serigala, aku akan melawan!" kata Hwee Li.
"Huh, agaknya gurumu telah mendidikmu untuk menjadi anak yang durhaka terhadap ayahnya. Nah, coba-cobalah kau lawan aku!" Hek-tiauw Lo-mo lalu menubruknya dan mencengkeram pundak puterinya.
Hwee Li cepat mengelak dan balas menyerang dengan dahsyat hingga ayah dan anak itu lalu saling serang dengan hebat dan serunya di tepi sungai itu! Hwee Li maklum bahwa kalau dia tidak dapat menangkan ayahnya, harapannya untuk lari habis sama sekali, dan entah apa yang akan menimpa dirinya, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh menggunakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, karena hal itu akan percuma saja karena tentu ayahnya lebih mahir.
Maka dia pun selalu bergerak menurut petunjuk Ceng Ceng dan suami subo-nya itu. Sebetulnya, dari Ceng Ceng, seperti pernah dijanjikan oleh subo-nya itu dahulu, dara ini hanya diberi pelajaran tentang racun-racun yang paling hebat dan penolaknya. Akan tetapi karena Ceng Ceng merasa suka kepada muridnya yang lincah jenaka ini, dia juga mengajarkan Ilmu Pukulan Sin-liong-kun, yaitu semacam ilmu silat yang diciptakannya dengan bantuan suaminya, yang disaring dari ilmu-ilmu silat yang telah dikenalnya, lalu ditambah pula dengan beberapa gerakan yang mengambil dari ilmu mukjijat Sin-liong ciang-hoat, ilmu yang hanya dapat dipelajari dan dikuasai oleh seorang yang buntung lengannya seperti Kao Kok Cu.
Akan tetapi betapa pun lihainya Hwee Li, tentu saja dia masih belum mampu untuk menandingi Hek-tiauw Lo-mo! Beberapa kali dia sudah kena ditampar oleh ayahnya, yang tidak ingin melukai puterinya, maka yang ditamparnya hanya bagian tubuh yang tidak berbahaya seperti di bahu dan pundak, akan tetapi yang cukup membuat tubuh Hwee Li terpelanting dan terguling-guling. Tetapi, setiap kali roboh, Hwee Li meloncat bangun kembali dan menyerang dengan ganas! Dia sudah nekat dan ingin mati di tangan ayahnya sendiri dari pada harus menyerahkan dirinya kepada Pangeran Liong Bian Cu!
"Hyaaaaattttt...!" Tiba-tiba dia melengking nyaring.
Tubuhnya meloncat dan meluncur lurus ke depan, kedua tangannya menusuk seperti pedang selagi tubuhnya masih melayang di udara. Inilah jurus yang sangat hebat dari Sin-long-kun, yang mengandung unsur ilmu mukjijat Sin-liong hok-te dari Kao Kok Cu!
"Ihhh...!" Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main.
Dari serangan Hwee Li ini menyambar hawa dahsyat yang membuat dia terjengkang. Akan tetapi, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi yang mengenal pukulan mukjijat, dia tidak berani menangkis dan cepat dia melempar tubuh ke belakang terus bergulingan. Dia meloncat bangun dan mukanya berubah. Nyaris dia roboh oleh pukulan mukjijat itu.
"Bocah durhaka!" Dia membentak dan menubruk maju begitu melihat Hwee Li melayang turun, tubrukan dari belakang yang dahsyat. Hwee Li bergerak ke samping, kakinya melayang untuk menyambut serangan ayahnya dengan tendangan.
"Plakkk!"
Ayahnya menangkis, demikian keras tangkisannya sehingga tubuh Hwee Li terhuyung. Kembali gadis itu melempengkan kedua lengan, untuk mengulangi serangannya yang hampir berhasil tadi. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya sudah menyerang lagi, menyerang dari bawah ke arah kedua kakinya. Melihat hebatnya serangan kaki ayahnya yang menyerampang ini, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas.
"Wuuuuuttttt...!"
Hwee Li terkejut. Hendak mengelak namun terlambat, dan tubuhnya sudah tercakup oleh sinar hitam yang ternyata adalah jala tipis yang tadi dipergunakan oleh Hek-tiauw Lo-mo selagi tubuh Hwee Li meloncat ke atas.
"Cukup, Locianpwe!"
Mendadak terdengar seruan nyaring dan tahu-tahu di situ telah berdiri Liong Bian Cu dengan sikapnya yang ramah. Pangeran ini berkata, "Andai kata bukan Locianpwe yang melakukan hal ini terhadap Nona Hwee Li, tentu akan berhadapan dengan aku dan aku belum puas kalau belum menyiksanya!"
Hek-tiauw Lo-mo membungkuk, "Anak ini tidak bisa dibujuk dengan halus, Pangeran. Terpaksa saya sebagai orang tuanya menundukkannya. Sekarang kuserahkan kepada Pangeran untuk menjinakkan dia. Ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo menyerahkan tali jala itu kepada Pangeran Nepal itu.
Liong Bian Cu menerima tali itu, lalu menghampiri Hwee Li yang masih rebah miring di dalam jala. "Marilah, Nona, biar aku merawatmu, Nona..." Dia membungkuk dan hendak memondong tubuh itu.
Hwee Li yang kini mengalihkan kemarahan dan kebenciannya kepada pangeran ini yang dianggapnya sebagai biang keladi perubahan sikap ayahnya, diam-diam menanti dan begitu pangeran itu membungkuk, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya menghantam sekuat tenaga! Akan tetapi, dia merasa pundaknya ditekan dan tenaganya lenyap, pukulannya tidak dapat dilakukan dan terhenti setengah jalan.
"Tenanglah, Nona, percayalah bahwa aku tidak tega untuk menyakitimu," kata pangeran itu dengan tenang dan tiba-tiba Hwee Li merasa tubuhnya diangkat dan dipondong oleh pangeran itu, dibawa ke arah gedung.
Semua orang yang melihat dan bertemu di jalan membungkuk dengan penuh hormat kepada pangeran itu yang bersikap seolah-olah tidak melihat mereka, sikap angkuh seorang pangeran! Hwee Li tidak dapat meronta lagi, kedua tangannya seperti lumpuh dan tahulah dia bahwa pangeran yang kelihatan lemah lembut ini memang lihai sekali sehingga dia telah ditotoknya sebelum dapat menyerang. Dia pernah melihat pangeran ini dalam pertemuan dengan para tokoh dan yang dahulu pernah mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat.
Dara ini maklum bahwa menggunakan kekerasan akan percuma saja, karena selain pangeran ini sendiri amat lihai, juga di situ terdapat ayahnya yang agaknya siap untuk menggunakan kekerasan terhadap dirinya untuk memaksanya menjadi isteri pangeran ini. Belum lagi diperhitungkan adanya Hek-hwa Lo-kwi di situ, dan banyak anak buah Kui-liong-pang dan anak buah pangeran itu sendiri. Juga, biar pun belum dijumpainya, dia mendengar bahwa di situ terdapat pula guru pangeran ini, koksu dari Nepal yang menurut ayahnya memiliki kepandaian yang amat hebat, mungkin melebihi kepandaian ayahnya dan Hek-hwa Lo-kwi. Jelas bahwa mengandalkan kepandaian silatnya akan sia-sia belaka, maka dia harus berlaku cerdik.
Pangeran itu memondongnya dengan hati-hati dan membawanya kembali ke dalam kamarnya yang mewah. Dengan gerakan lembut dia merebahkan Hwee Li di atas pembaringan setelah melepaskan jala tipis itu. Sejenak dia berdiri di tepi pembaringan memandang wajah Hwee Li yang rebah terlentang. Dara itu gelisah sekali. Dia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya dan dia tidak akan dapat melawan kalau pangeran itu melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Sepasang mata yang cekung dan tajam itu bersinar-sinar ketika menjelajahi tubuh Hwee Li dari rambut sampai ke kakinya. Dan tubuh yang terbungkus pakaian basah itu kelihatan bagaikan telanjang saja.
"Ah, betapa kejam ayahmu, Nona... sungguh kasihan engkau...," kata pangeran itu dengan sikap menyayang sekali dan tangannya lalu memeriksa leher, pipi, dan pundak Hwee Li yang babak bundas karena dibanting-banting tadi. "Aku akan mengobatimu. Ahhh, kalau lain kali dia berani menyakitimu lagi, tentu akan kuhukum dia!"
Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. Hatinya lega. Biar pun dia masih muda sekali, namun sebagai seorang wanita, Hwee Li dapat merasakan bahwa pangeran ini sungguh mencinta dia. Sikapnya demikian lembut, cintanya demikian halus sehingga agaknya tidak perlu dikhawatirkan bahwa pangeran ini akan melakukan kekerasan terhadap dirinya. Akan tetapi, biar pun dia amat cerdik, dalam hal seperti ini, mengenai urusan cinta, dia masih asing sama sekali sehinga dia tidak tahu benar bagaimana dia harus bersikap terhadap musuh yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia tahu bahwa dari orang berkulit kehitaman ini mengancam bahaya yang amat hebat terhadap dirinya, namun perasaan wanitanya juga tahu bahwa pria ini amat mencintanya dan tidak akan suka melihat dia sengsara.
"Pangeran... harap... harap kau suka membebaskan aku... dan biarkan aku pergi dari sini. Aku akan berterima kasih sekali kepadamu dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai seorang yang amat baik."
Liong Bian Cu tersenyum, memandang mesra dan menggeleng kepala. "Janganlah kita bicara tentang itu. Engkau perlu kuobati, akan tetapi pakaianmu basah. Engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Ah, betapa kejamnya ayahmu... sakit hatiku melihat engkau disiksa. Aku sangat cinta kepadamu, Nona Hwee Li, dan kalau bukan ayahmu yang melakukan ini, pasti dia sudah kubunuh. Biar aku membantumu berganti pakaian..."
Jari-jari tangan pangeran itu menyentuh kancing-kancing di depan dadanya. Meski pun pangeran itu tetap bersikap lembut dan sopan, namun Hwee Li terbelalak dan hampir menjerit. Sayang kaki tangannya masih belum dapat digerakkan, kalau tidak demikian, tentu dia sudah meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.
"Jangan...! Tidak... jangan buka pakaianku...!" dia meratap.
Jari-jari tangan yang baru berhasil membuka dua buah kancing itu berhenti dan mata yang cekung itu menatap tajam, mulutnya tersenyum dingin. "Mengapa, Nona? Engkau basah kuyup dan dapat jatuh sakit. Pakaianmu yang basah harus diganti dengan yang kering, baru luka-lukamu akan kuobati sendiri..."
Hwee Li melihat sinar gembira di mata pangeran itu dan tiba-tiba jantungnya memukul keras. Agaknya di balik kelembutan, di balik keramahan dan kesopanannya, pangeran ini memiliki watak aneh yang sangat kejam. Agaknya pangeran ini akan bergembira melihat dia digerogoti rasa malu, tersiksa batinnya kalau ditelanjangi.
Hwee Li tiba-tiba menekan perasaannya dan mukanya tidak lagi memperlihatkan rasa ngeri dan takut seperti tadi. Suaranya dingin dan tenang ketika dia berkata, "Pangeran, baru saja engkau mengatakan bahwa engkau amat mencintaku, akan tetapi sekarang engkau hendak melakukan penghinaan. Kalau perbuatanmu ini kau lanjutkan, aku akan merasa amat benci kepadamu!"
"Benci?" Pangeran itu mengerutkan alisnya. "Tidak bisa engkau membenciku, Nona, karena engkau akan menjadi isteriku yang terkasih. Aku hendak menolongmu, mengapa engkau membenciku?"
"Di luar banyak terdapat pelayan, mengapa kemudian engkau hendak mengganti sendiri pakaianku? Hal itu menandakan bahwa engkau sengaja hendak menghinaku, tidak memandang aku sebagai seorang gadis yang terhormat, yang tentu saja tidak sudi dilihat telanjang oleh seorang laki-laki."
Tangan itu meninggalkan baju Hwee Li dan pangeran itu tersenyum, mengangguk angguk. "Sikapmu ini menambah besar cintaku, Nona. Engkau memang seorang gadis terhormat dan agung, patut menjadi calon isteriku." Pangeran itu bertepuk tangan dan masuklah empat orang pelayan tadi.
"Kalian bantu Nona Hwee Li berganti pakaian kering. Ehhh, Nona, engkau memilih pakaian yang berwarna apa?" Pangeran itu bertanya kepada Hwee Li, sikapnya ramah dan biasa seolah-olah gadis itu sedang dalam keadaan biasa, tidak tertotok seperti itu.
"Aku selamanya selalu memakai pakaian hitam," jawab Hwee Li yang ingin mencegah pakaiannya diganti.
"Hei, kau! Cepat kau suruh penjahit membuatkan pakaian dari sutera hitam beberapa stel dan dengan cara kilat. Harus jadi sekarang juga!" Pangeran Liong Bian Cu berkata dan pelayan yang diperintahkannya itu cepat pergi. Lalu dia berpaling kepada Hwee Li. "Karena yang hitam sedang dibikin, harap kau suka memakai yang lain untuk sementara saja, Nona." Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan kakinya menuju ke pintu.
"Pangeran...!" Hwee Li tiba-tiba memanggil.
Liong Bian Cu membalikkan tubuhnya dan memandang dengan wajah berseri. "Apa lagi yang dapat kulakukan untukmu, Nona Hwee Li? Bukankah kau bilang bahwa engkau merasa terhina kalau... terlihat olehku? Aku tahu engkau malu, biarlah aku keluar dulu dan nanti baru kuobati engkau..."
"Pangeran, engkau tentu maklum bahwa aku tidak akan dapat lolos dari sini. Di sana ada ayahku, ada Hek-hwa Lo-kwi, ada orang-orangmu, dan tempat ini terkurung air. Aku tidak akan mampu lolos dan hal ini aku tahu benar, maka aku pun tidak begitu tolol untuk mencoba melarikan diri."
Pangeran itu mengangguk-angguk. Engkau memang cerdik sekali, Nona. Kecerdikanmu makin mengagumkan hatiku dan makin memperdalam cintaku."
Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran ini mengaku cinta begitu saja di depan tiga orang pelayan yang masih berlutut di atas lantai, maka cepat-cepat dia berkata, "Kalau engkau sudah tahu bahwa aku tidak akan lolos atau melarikan diri, mengapa engkau masih menotokku? Apakah kau memang sengaja ingin menyiksaku, Pangeran? Bebaskan totokan ini..."
Pangeran itu melangkah menghampiri pembaringan. "Dan engkau berjanji tidak akan memukul pelayan, tidak akan memberontak?"
"Aku bukan seorang tolol. Memberontak pun apa gunanya? Para pelayan ini tidak salah dan tidak tahu apa-apa. Tidak, aku tidak akan memukul mereka atau memberontak."
"Bagus, aku percaya kepadamu, Nona." Pangeran itu kemudian menggerakkan tangan kanannya menotok kedua pundak Hwee Li dan seketika dara itu dapat menggerakkan kembali kedua lengannya. Ketika pangeran itu menotok pula punggungnya dan kedua kakinya juga dapat digerakkan, hatinya lega bukan main. Kaki dan tangannya masih terasa penat dan sakit, maka dia bangkit duduk perlahan-lahan, memandang kepada pangeran yang diam-diam telah siap kalau-kalau dia akan memberontak.
Melihat ini, Hwee Li tersenyum. "Terima kasih, Pangeran. Dan sekarang harap engkau suka keluar, aku hendak ganti pakaian. Dan kalian bertiga juga keluarlah saja, nanti kalau aku perlu bantuan kalian akan kupanggil."
Tiga orang pelayan itu memandang kepada Liong Bian Cu, ragu-ragu apakah mereka harus mentaati perintah gadis itu. Liong Bian Cu tersenyum dan mengangguk, maka mereka pun pergilah meninggalkan kamar itu bersama Liong Bian Cu. Pangeran itu menutupkan pintunya sambil menjenguk ke dalam dan tersenyum.
"Kalau sudah selesai, beritahulah aku, Nona." Hwee Li mengangguk dan daun pintu itu ditutup dari luar oleh Liong Bian Cu.
Setelah mereka semua keluar, Hwee Li cepat menggerak-gerakkan kaki tangannya agar jalan darahnya lancar kembali. Diam-diam dia menyumpah di dalam hatinya dan panaslah rongga dadanya teringat akan perlakukan ayahnya kepadanya. Dia duduk kembali dan memutar otaknya. Keinginan besar untuk melarikan diri ditekannya. Tidak, dia tidak boleh sembrono lagi.
Lari dalam keadaan sekarang ini tidak akan ada gunanya, dan dia tentu akan tertawan kembali. Dan kalau sampai dia mencoba lari dan tertawan kembali, tentu pangeran itu tidak akan bersikap demikian baik lagi. Celaka kalau sampai dia ditotok terus atau dibelenggu. Lebih celaka lagi kalau dalam kemarahannya pangeran itu akan melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Lebih baik dia berlaku cerdik, bersikap halus dan mempergunakan cinta kasih pangeran terhadapnya untuk melindungi dirinya.
Hwee Li memilih pakaian hijau dari lemari, karena yang biru sudah dirobek-robeknya. Dia memindahkan dua benda seperti gulungan tali hitam dan segulung kecil tali merah dari saku pakaian hitamnya ke dalam saku baju dalamnya yang baru. Tiga benda yang kelihatan seperti gulungan tali itu sebetulnya adalah tiga ekor ular! Kemudian dia menyisir rambutnya, memakai sedikit bedak di meja rias dan mengganti pula sepatunya yang basah dengan sepatu baru yang berjajar beberapa pasang di bawah lemari.
"Aku sudah selesai, Pangeran!" katanya sambil duduk di atas kursi.
Daun pintu itu segera terbuka, tanda bahwa pangeran itu sejak tadi sudah siap dengan tangan tak pernah melepaskan daun pintu. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar memandang Hwee Li yang bangkit berdiri. Penuh kagum!
"Bukan main...!" Engkau... engkau sungguh cantik seperti bidadari, Nona Hwee Li! Aihh, rambutmu yang masih agak kusut itu, anak rambut yang melihgkar di dahi dan depan telinga, sungguh seperti lukisan saja! Marilah, Nona, mari kuobati semua luka-lukamu." Pangeran itu mengeluarkan sebuah botol terisi obat kuning dari dalam sakunya.
"Terima kasih, Pangeran. Kurasa tidak perlu karena sudah kuobati sendiri dan luka-luka ini tidak ada artinya." Dia memperlihatkan leher dan tangannya yang tadi lecet-lecet, dan yang kini sudah menjadi kering.
"Ahhh, engkau lihai, ilmu silatmu tinggi, juga engkau memiliki keberanian hebat, engkau cantik jelita dan cerdik. Sungguh, semua keindahan dan kebaikan terkumpul menjadi satu di dalam dirimu, Nona Hwee Li."
"Hanya luka di pundakku ini masih terasa nyeri. Aku khawatir kalau-kalau ada tulangnya yang retak..." Hwee Li meringis ketika tangannya menyentuh pundak kirinya.
"Ahhh...! Benarkah? Celaka! Sungguh kejam Hek-tiauw Lo-mo. Coba kuperiksa dahulu pundakmu, Nona. Jangan khawatir, jangankan baru retak, biar sudah remuk sekali pun, aku akan dapat mengobati dan menyembuhkannya!" Pangeran itu datang mendekat.
Dengan hati-hati, sambil kadang-kadang meringis kesakitan, Hwee Li membuka kancing bajunya bagian atas sehingga nampak baju dalamnya yang tipis. Disingkapnya baju di bagian pundak kiri dengan tangan kanannya sehingga nampak kulit pundaknya yang putih halus dan memang di atas pundak itu terdapat warna kebiruan. Ketika melihat pundak kiri setengah telanjang yang berkulit putih halus itu bernoda biru, pangeran itu lalu berseru, "Ahhh, sungguh kejam...!" Tangannya lalu memeriksa dan dengan halus menyentuh pundak itu.
Saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hwee Li. Sudah diperhitungkannya semenjak dia melihat pangeran itu masuk kamarnya. Dara ini tadi sudah mengambil keputusan untuk membunuh pangeran ini. Dia tidak mungkin melarikan diri, akan tetapi dia tahu bahwa yang menyebabkan ayahnya bersikap seperti itu kepadanya adalah pangeran ini. Pangeran inilah biang keladinya, maka kalau pangeran ini dibunuhnya, tentu ayahnya akan bersikap lain. Dan kalau ayahnya tidak lagi mengharapkan bantuan pangeran yang mati untuk meraih kedudukan tinggi, tentu akan lain lagi sikap ayahnya, tentu akan pulih seperti dahulu dan kalau sudah begitu, dia dan ayahnya tentu akan dapat saling bantu untuk meloloskan diri dari tempat itu.
Kini, melihat pangeran itu memeriksa pundak kirinya dan agaknya tenggelam dalam pekerjaannya itu, diam-diam Hwee Li mengeluarkan ular merahnya. Ular itu kecil sekali, sebesar kelingking jari tangannya, panjangnya hanya dua jengkal, kulitnya merah seperti darah, matanya juga merah dan lidahnya hitam. Inilah Hiat-coa (Ular Darah) dari Gurun Pasir Go-bi yang merupakan binatang yang sukar sekali dilihat orang, seekor ular tanah yang amat berbahaya dan racunnya amat hebat.
"Ssssshhh...!"
Liong Bian Cu terkejut sekali dan cepat dia meloncat mundur ketika dia melihat sinar merah meluncur ke arah mukanya. Matanya terbelalak, dia berusaha menghindarkan diri, akan tetapi gerakan ular itu lebih hebat dan cepat lagi, seolah-olah burung terbang dan tahu-tahu pundak pangeran itu telah kena digigitnya. Liong Bian Cu mengeluarkan suara melengking nyaring, jeritan maut yang amat lantang, lalu tubuhnya terhuyung dan roboh ke atas lantai.
Melihat ini, Hwee Li girang sekali. Cepat dia meloncat ke arah jendela kamar itu. Akan tetapi, begitu dia meloncat, dari jendela itu muncul dua orang penjaga yang memegang pedang. Hwee Li menggunakan kakinya menendang dari samping untuk menangkis sambaran pedang. Kini tangan kirinya bergerak dan sinar hitam panjang bergerak ke depan. Ular hitam panjang itu mematuk dan dua orang penjaga roboh seketika.
"Bocah setan, berani engkau mengacau lagi?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan Hek-hwa Lo-kwi muncul bersama Hek-tiauw Lo-mo!
"Ayah, aku sudah membunuh Liong Bian Cu!" teriak Hwee Li. "Mari kita cepat pergi dari sini!"
"Apa? Anak durhaka, engkau sungguh patut dihukum!” Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.
Hek-hwa Lo-kwi segera meloncat memasuki jendela dan cepat kakek ini memondong tubuh Pangeran Liong Bian Cu yang sudah menjadi biru mukanya. Hek-hwa Lo-kwi adalah ahli racun yang telah kebagian kitab yang dicuri bersama Hek-tiauw Lo-mo dari Si Dewa Bongkok, bagian tentang racun dan pengobatannya, maka sekarang dia cepat membawa pergi Liong Bian Cu untuk diobati.
Sementara itu, melihat ayahnya sudah menyerangnya, Hwee Li menjadi marah juga. "Ayah, apa engkau sudah gila?" Dia memaki sambil mengelak dari sambaran pedang yang amat mengerikan, pedang yang mendatangkan hawa mukjijat. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa) yang amat mukjijat.
Pedang ini dahulu adalah milik Cui-beng Koai-ong, tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, dan akhirnya pedang itu tadinya terjatuh ke tangan Ang Tek Hoat dan kemudian, ketika Tek Hoat tertawan, pedang itu terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang.
Sambil mengelak, Hwee Li yang sudah marah sekali itu memaki, "Aku adalah anakmu, apakah Ayah hendak membunuhku?"
"Bocah keparat, anak durhaka!" Hek-tiauw Lo-mo yang sudah marah sekali kembali menyerangnya dengan dahsyat.
"Baik! Ayah membela musuh dan melawan anak sendiri! Ayah memaksa aku untuk melawan!" Hwee Li juga mengeluarkan dua ekor ularnya yang panjang itu dan balas menyerang. Bertempurlah anak dan ayah ini untuk kedua kalinya, kini lebih seru dan hebat karena Hwee Li benar-benar melakukan perlawanan mati-matian.
Setelah dara itu melakukan perlawanan nekat dengan menggunakan dua ekor ularnya yang amat berbahaya, Hek-tiauw Lo-mo bergerak dengan hati-hati. Dia maklum bahwa anaknya itu telah menguasai banyak ilmu yang aneh dan hebat. Beberapa kali dia menggerakkan pedangnya untuk membunuh ular-ular itu, akan tetapi dua ekor ular itu adalah mahluk hidup, selain memiliki gerakan sendiri untuk mengelak, juga digerakkan oleh tangan Hwee Li yang mahir. Bahkan beberapa kali hampir saja tangan Hek-tiauw Lo-mo terpatuk oleh ular-ular itu.
"Hemmm, inikah anakmu, Hek-tiauw Lo-mo? Sungguh ganas dan liar dia!" Mendadak terdengar suara besar yang berwibawa dan muncullah dua orang kakek.
Yang seorang adalah kakek tinggi besar, sama tinggi besarnya dengan Hek-tiauw Lo-mo, seperti seorang raksasa yang kepalanya botak, pakaiannya indah dan mewah dengan mantel merah, sepatunya pakai lapis baja dan sepasang matanya besar sekali. Usianya tentu sudah hampir enam puluh tahun, akan tetapi wajahnya masih segar dan kemerahan. Sikapnya amat berwibawa dan di belakangnya berdiri seorang kakek lain yang bersorban, berkulit hitam, jenggotnya panjang sampai ke perut, tangan kirinya memegang tongkat cendana dan wajahnya seperti topeng, sama sekali tidak pernah bergerak seolah-olah mati.
Melihat munculnya dua orang kakek ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi terkejut. Itulah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal, dan kakek Nepal bersorban itu adalah Gitananda, pembantunya yang lihai dan pandai sihir.
"Maafkan, Sengjin, anakku kurang ajar dan perlu saya hukum!" teriak Hek-tiauw Lo-mo dan pedang Cui-beng-kiam diputarnya cepat.
Melihat ini, Hwee Li menarik kedua ekor ularnya karena tidak ingin ular-ularnya menjadi korban pedang ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu, tendangan kaki Hek-tiauw Lo-mo yang amat cepat datangnya tak dapat dielakkan oleh Hwee Li. Pahanya tertendang dan dara ini hanya dapat mengerahkan sinkang untuk melindungi pahanya.
"Desss...!" Dia terlempar dan terbanting, bergulingan.
"Mampus kau!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan pedangnya menyambar.
Hwee Li terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa ayahnya benar-benar hendak membunuhnya. Pedang itu menyambar dengan ganas dan merupakan serangan maut. Terpaksa dia menggunakan dua ekor ularnya untuk balas menyerang. Dua ekor ular itu meluncur dan kalau pedang Hek-tiauw Lo-mo dilanjutkan untuk membacok tubuh dara itu, tentu dua ekor ular itu akan berhasil pula menggigitnya. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo mengubah gerakan pedangnya, dibabatkan ke samping dua kali.
"Crok! Crokkk!"
"Ihhhhh... kau membunuh ular-ularku...?" Hwee Li menjerit dengan isak tertahan dan dia berlaku nekat, menubruk ayahnya dengan kedua tangan kosong sambil melancarkan pukulan-pukulan beracun.
"Anak setan!" Hek-tiauw Lo-mo menyambutnya dengan tusukan Cui-beng-kiam dan kali ini, tak mungkin Hwee Li dapat menghindarkan diri dari tusukan maut itu.
Tiba-tiba nampak sinar menyambar.
"Trangg...!"
Pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kakek itu amat terkejut dan melompat ke belakang. Kiranya Ban Hwa Sengjin sudah turun tangan menggunakan sebutir kerikil memukul ke arah pedangnya itu dengan sambitannya.
"Dia ini adalah calon isteri Pangeran, bagaimana kau begitu berani mencoba untuk membunuhnya?!" teriak Koksu Nepal itu. "Gitananda, tangkap Nona itu!"
Gitananda membungkuk dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, dia sudah meloncat ke depan Hwee Li. Tiba-tiba tangan kiri kakek Nepal ini mengeluarkan sesuatu dan ada cahaya menyorot ke muka kakek itu.
Hwee Li tentu saja tak mengerti apa yang terjadi. Melihat ada cahaya menyorot ke muka kakek itu, dia memandang. Kiranya kakek itu memegang sebuah cermin dan pantulan sinar matahari menyorot ke mukanya sendiri. Melihat wajah yang berkilauan terkena cahaya itu, Hwee Li memandang terbelalak. Dia seperti melihat wajah yang aneh, wajah dalam dongeng tentang dewa-dewa! Betapa pun dia ingin mengalihkan pandangannya, dia tak dapat! Dia tidak dapat menguasai pandang matanya sendiri yang terus menatap wajah kehitaman dengan mata yang tajam berpengaruh itu.
Tongkat Gitananda menyambar dan dengan perlahan mengetuk tengkuk Hwee Li. Gadis itu sama sekali tidak mampu bergerak untuk mengelak, seolah-olah pandang matanya yang melekat pada wajah menyeramkan itu membuat seluruh tubuhnya lumpuh. Ketika tongkat mengenai tengkuknya, dia mengeluh memejamkan matanya dan roboh terguling, pingsan.....
Kesadaran perlahan-lahan menyusupi dirinya. Mula-mula hanya pendengarannya yang bekerja. Dia mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap, makin lama makin jelas dan perhatiannya tertuju kepada suara-suara itu karena di antara suara-suara itu dia mendengar suara ayahnya. Matanya masih tetap dipejamkan dan dia masih belum mempunyai keinginan untuk melihat di mana adanya dia dan dalam keadaan bagai mana. Dia masih terlampau lemah untuk itu dan kini dia hanya tinggal diam dengan tenang, hanya membuka telinga mendengarkan.
"Kalau Paduka suka menggunakan obat hamba tentu mudahlah menundukkan dia. Dia akan jatuh cinta kepada Paduka, dan akan mentaati semua perintah Paduka," terdengar suara parau dan asing, suara yang tidak dikenalnya, namun dapat diduganya bahwa agaknya itu adalah suara orang Nepal yang memegang tongkat itu.
"Ahhh, Gitananda, aku sudah tahu akan kepandaianmu dan aku juga percaya bahwa menggunakan obat dan sihirmu, dia akan tunduk kepadaku. Akan tetapi aku tahu pula bahwa kekuatan sihir dan obat itu hanya sementara saja. Dan aku menghendaki agar selama hidupnya dia mau tunduk dan membalas cintaku!" terdengar suara yang amat dikenalnya, suara halus dan sopan, suara Liong Bian Cu.
Ahhh, jadi pangeran itu belum mampus, pikirnya dengan perasaan menyesal. Biar pun sudah terkena gigitan ular darah, tapi masih hidup. Hemmm, tentu Hek-hwa Lo-kwi yang mengobatinya. Dia tahu bahwa kakek itu juga seorang ahli racun yang jempolan!
"Dia memang keras kepala!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya. "Anak itu keras kepala dan keras hati, seperti ibunya! Sebaiknya kalau Pangeran menggunakan kekerasan menundukkan dia, seperti menjinakkan seekor kuda betina yang liar. Hanya kalau dia sudah satu kali menjadi milik Pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu. Percayalah kepada saya, Pangeran. Itu satu-satunya cara untuk menjinakkan dia. Paksa saja dia menjadi milik Pangeran malam ini juga, dan besok atau lusa, dia sudah akan menjadi jinak, untuk selama-lamanya!"
Hwee Li hampir menjerit. Dia mengepal tinju dan berniat untuk meloncat turun. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Dia tidak tertotok, kaki tangannya dapat bergerak, akan tetapi tidak dapat dipindahkan dari tempatnya. Cepat dia membuka matanya dan dia makin terkejut. Dia rebah terlentang di atas pembaringannya, kedua kakinya terpentang dan setiap kaki terbelenggu pada ujung pembaringan, demikian pun dengan kedua lengannya, terpentang dan pergelangan lengan terbelenggu dengan rantai baja pada ujung pembaringan. Dia seperti seekor lembu atau domba yang terikat dan siap untuk disembelih!
Dia berada di dalam kamar mewah itu dan orang-orang yang suaranya didengarnya itu bercakap-cakap di luar kamar. Dia mendengarkan lagi. Dan kini dia mendengar suara Hek-hwa Lo-kwi.
"Agaknya memang tepat apa yang diusulkan oleh Lo-mo, Pangeran. Anak itu amat keras hati, membujuknya akan sia-sia saja. Dan kekerasan yang tidak dapat diluluhkan oleh kelembutan, dapat dikalahkan oleh kekerasan pula."
"Akan tetapi... ahh, aku sungguh cinta kepadanya, dan aku ingin sekali agar dia dapat membalas cinta kasihku dengan sewajarnya.” Pangeran itu membantah dan mengeluh. "Menggunakan kekerasan? Memperkosanya? Ah, betapa hal itu akan menyiksa hatiku, aku tidak ingin melihat dia berduka..."
"Hemmm, pada mulanya memang dia akan menangis dan berduka, akan membencimu, akan tetapi lambat-laun kebencian itu akan berubah menjadi cinta. Dia persis ibunya...," terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata pula.
"Akan tetapi, melihat dia dibelenggu terus..."
"Hal itu tidak perlu lagi setelah Paduka dapat memaksa dan memilikinya, Pangeran," kata Hek-hwa Lo-kwi. "Dan jangan khawatir ia akan dapat melarikan diri. Dia akan saya beri obat beracun dan racun itu akan mengeram di dalam dirinya, akan membunuhnya dalam waktu satu tahun. Sedangkan obat penawarnya berada di tangan Paduka."
Hening sejenak. Lalu terdengar lagi suara ayahnya, suara yang mulai mendatangkan kebencian di hati Hwee Li. "Dia amat cerdik dan banyak akalnya, Pangeran. Selama dia belum menjadi milikmu, dia tentu akan menggunakan segala akalnya dan hal itu dapat menimbulkan kesukaran. Akan tetapi kalau malam ini Paduka berhasil memilikinya, semua daya lawannya akan patah dan luluh. Percayalah."
"Sudahlah, tinggalkan kami berdua. Akan kupikirkan usul-usul kalian."
Terdengar langkah kaki tiga orang kakek itu pergi dan tak lama kemudian, daun pintu kamar itu terbuka dan muncullah Liong Bian Cu. Melihat pangeran itu, Hwee Li segera membuang muka. Pangeran itu menghampiri dan duduk di dekat pembaringan, di atas sebuah kursi. Sejenak dia diam saja, hanya menatap wajah yang miring itu. Kemudian dia menarik napas panjang.
"Ahhh, betapa sedih hatiku melihat engkau terbelenggu kaki tanganmu seperti ini, Nona Hwee Li. Betapa perih hatiku yang mencintamu melihat bahwa hal ini terpaksa harus dilakukan karena engkau ternyata tega hendak membunuhku. Nyaris saja aku tewas oleh gigitan ular merahmu itu. Kalau tidak ada Hek-hwa Lo-kwi, tentu segera tercapai maksudmu dan aku sudah mati. Akan tetapi tentu engkau pun tidak akan terhindar dari maut."
Hwee Li tidak menjawab dan tidak menoleh. Masih terlalu ngeri hatinya mendengar percakapan tadi. Jantungnya berdebar keras. Mau apakah pangeran ini? Apakah benar benar hendak melakukan usul-usul tadi? Hampir dia pingsan kembali membayangkan hal itu! Ingin dia menangis, ingin dia minta-minta ampun agar dibebaskan saking ngeri dan takutnya, akan tetapi wataknya yang keras dan gagah melarangnya berbuat seperti itu. Dia hendak memperlihatkan, terutama kepada ayahnya, bahwa sampai mati dia tidak takut menghadapi apa pun! Akan tetapi, dia tidak boleh nekat begitu saja. Selama dia masih hidup, dia harus berusaha menggunakan kecerdikannya untuk meloloskan diri dari bahaya penghinaan hebat itu!
"Aku memang hendak membunuhmu. Maka sebaiknya kau bunuh saja aku sekarang!" akhirnya dia berkata sambil memutar otaknya mencari akal. Dia masih belum berani memandang, sebab dia khawatir jika sinar mata yang tajam itu akan dapat menjenguk isi hatinya.
Pangeran itu menyentuh lengan tangan Hwee Li, dan membelai lengan yang berkulit halus itu. Hwee Li memejamkan matanya. Rabaan jari-jari tangan pada lengannya itu menimbulkan perasaan jijik dan geli, juga gelisah dan ngeri.
"Ahhh, bagaimana mungkin aku membunuhmu, sayang? Tidak tahukah bahwa aku cinta kepadamu, Nona?"
"Aku sudah berdosa hendak membunuhmu, dan aku kelak akan membunuhmu kalau kau tidak membunuhku sekarang!" Hwee Li memancing.
"Tidak... tidak...! Engkau masih muda, belum tahu betapa aku amat mencintaimu. Kalau kau tahu, engkau akan menyesal, Hwee Li. Perbuatanmu itu amat kejam, sedangkan aku... ahhh, tanpa engkau sebagai isteriku, hidup rasanya akan menjadi hampa..."
"Hemmm, bagus, ya? Siapa sudi percaya obrolanmu tentang cinta? Kalau engkau benar mencintaku, mengapa pula engkau membiarkan aku dibelenggu seperti ini? Beginikah perlakuan orang yang mencinta?" Hwee Li kini memandang dan menjebikan bibirnya yang merah.
Pangeran itu mengerutkan alisnya dan matanya menjadi sayu, berduka. Sekarang dia melepaskan lengan Hwee Li dan kini jari-jari tangannya meraba kaki dara itu, mengelus betis yang nampak karena pipa celana kanannya tertarik ke atas. Betis yang berkulit putih mulus kemerahan itu, yang kulitnya kelihatan demikian tipis dan halus sehingga urat-uratnya membayang, dirabanya dengan penuh kemesraan dan kegairahan.
Kini Hwee Li menggigil. Seluruh bulu di tubuhnya bangkit berdiri, meremang saking ngerinya. Ingin dia menjerit, ingin dia memaki agar pangeran itu jangan mengusap dan membelai betis kakinya. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya.
"Sudah kukatakan tadi, sayang. Hatiku berduka, jantungku berdarah melihat kakimu yang indah dan tanganmu yang halus itu dirantai seperti ini. Akan tetapi, mengapa engkau memperlihatkan kekerasan dan tidak sudi menerima cintaku? Tentu saja, kalau engkau mau menerima dan membalas cintaku engkau tidak akan dibelenggu, bahkan engkau akan menjadi orang paling terhormat dan paling mulia di sini, di seluruh Nepal, dan di seluruh dunia! Engkau akan menjadi permaisuri, menjadi ratu yang disembah sembah! Mengapa engkau tidak mau menjadi kekasihku, sayang? Aku Liong Bian Cu dapat menciptakan sorga untukmu, engkau dapat bergelimang dalam kemewahan, kemuliaan dan kehormatan."
"Hemmm, janjimu terlalu muluk, Pangeran. Bagaimana kalau aku berjanji untuk tidak melawan dan untuk... hemmm, belajar mempertimbangkan cintamu dan mungkin kelak dapat menerima dan membalas cintamu itu?" kata Hwee Li hati-hati. "Apakah dengan janjiku itu engkau mau membebaskan aku sekarang juga?"
"Tentu saja! Tentu saja akan kubebaskan sekarang juga!" kata pangeran itu penuh gairah kegembiraan.
Dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hati Hwee Li mendengar ini dan dia merasa betapa tangan pangeran itu telah meraba-raba belenggu kedua kakinya. Akan tetapi, timbul kekecewaannya karena jari-jari tangan pangeran itu kembali meninggalkan belenggu dan terdengar pangeran itu berkata, "Nona, aku sungguh amat mencinta dan kasihan kepadamu. Akan tetapi, bagaimana aku dapat mempercayai janjimu. Betapa aku ingin kita dapat saling percaya dan saling mencinta, akan tetapi apa yang baru saja kau lakukan terhadapku sungguh membuat hatiku meragu. Dan engkau belum berjanji."
Dengan jantung berdebar Hwee Li berkata, "Aku berjanji, Pangeran! Aku berjanji bahwa aku akan mempertimbangkan cintamu dan aku akan belajar membalas cintamu!"
Mulut pangeran itu tersenyum lebar, matanya yang cekung bersinar-sinar, akan tetapi dia belum bergerak membuka belenggu kaki dan tangan Hwee Li. "Dan kau berani bersumpah?" tanyanya perlahan.
"Aku bersumpah!" jawab Hwee Li sedangkan di dalam hatinya dia mengejek. Apa artinya sumpah baginya? Apa lagi bersumpah di depan orang Nepal yang dibencinya ini!
"Ahhh, sumpah dan janji harus disertai bukti, Nona Manis."
"Bukti? Bukti bagaimana maksudmu?" Hwee Li bertanya, penasaran dan kecewa.
"Jika benar engkau mempunyai maksud hati yang baik dan tidak hendak berlaku curang kepadaku, kalau benar engkau jujur dalam janjimu, engkau tentu mau memperlihatkan kebaikanmu itu untuk menciumku." Pangeran itu tersenyum dan memandang tajam.
Hwee Li merasa betapa wajahnya panas sekali. Dia tidak tahu betapa kedua pipinya menjadi merah seperti udang direbus mendengar permintaan pangeran itu. Ingin dia menjerit, memaki dengan segala macam makian kotor yang pernah didengarnya. Akan tetapi dara yang cerdik ini menekan perasaannya dan dia lalu berkata, "Aku mau..."
Sepasang mata yang cekung itu langsung berkilat. "Benarkah? Aihhh, Nona Hwee Li, kekasihku..., benarkah engkau mau menciumku? Ah, betapa bahagia hatiku dan kalau benar, aku pasti akan mempercayaimu sepenuh hatiku. Nah, kau ciumlah aku, sayang." Pangeran itu lalu berlutut di dekat pembaringan dan mendekatkan mukanya pada muka dara itu.
Ketika muka itu mendekati mukanya, Hwee Li merasa ngeri bukan main. Tercium bau wangi yang aneh, agaknya pangeran itu memakai minyak wangi yang asing, bercampur bau badan pria yang mungkin keluar dari keringat, seperti bau binatang liar, dan napas pangeran itu menyapu pipinya, panas dan tersendat-sendat. Hwee Li memejamkan matanya dan dengan cepat menggerakkan mukanya sehingga hidungnya menyapu pipi pangeran itu.
"Ngokkk!"
Pertemuan antara ujung hidung dan sebagian bibirnya dengan pipi yang panas kasar itu membuat Hwee Li mengkirik dan bulu tengkuknya meremang.
"Terima kasih... ha-ha, ciumanmu seperti ciuman seorang anak kecil. Nona, karena kita kelak akan menjadi suami isteri, maka tiada buruknya kalau kita saling mencium. Dan mengingat betapa Nona adalah seorang dara yang masih murni dari hijau, biarlah saya memberi contoh bagaimana jika mencium kekasih." Setelah berkata demikian, tiba-tiba pangeran itu merangkul Hwee Li dan sebelum gadis itu dapat membuang muka, tahu tahu bibirnya telah dicium oleh pangeran itu.
Ketika merasa betapa sepasang bibirnya tertawan dalam ciuman mulut yang panas itu, hampir saja Hwee Li menjadi pingsan. Dia cepat menggerak-gerakkan kepalanya agar bibirnya terlepas dari ciuman, akan tetapi mulut pangeran itu menempel pada mulutnya seperti seekor lintah yang tidak mau lepas lagi. Setelah napas mereka terengah-engah, barulah pangeran itu melepaskannya.
Wajah Hwee Li menjadi pucat, matanya terbelalak penuh kemarahan dan dua titik air mata meloncat ke luar dari sepasang matanya. Akan tetapi wajah pangeran itu menjadi kemerahan, napasnya tersendat-sendat, tanda bahwa nafsu birahi telah naik ke kepala pangeran itu. Dia memandangi wajah dan tubuh Hwee Li dengan mata merah.
"Benar. Hemmm, benar usul mereka...," katanya lirih dan kini tangannya meraba baju Hwee Li.
Dara itu memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi telah mendengar usul-usul yang dikeluarkan oleh suara ayahnya sendiri dan suara Hek-hwa Lo-kwi, maka tahulah dia apa yang akan dliakukan oleh pangeran itu.
"Jangan..." bisiknya dengan muka semakin pucat. "Lepaskan aku...!" Dia meronta, akan tetapi karena kaki dan tangannya terikat, ia hanya dapat menggerak-gerakkan pinggang dan lehernya saja.
"Brettttt...!" Sekali renggut saja robeklah baju Hwee Li sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup pakaian dalam yang tipis.
"Jangan...! Aku akan bunuh diri kalau kau lanjutkan... aku akan menggigit putus lidahku sendiri...!"
Pangeran yang sedang dikuasai nafsu birahi itu amat terkejut, secepat kilat tangannya bergerak ke arah leher Hwee Li, menotok ke bawah telinga dan seketika gadis itu tidak mampu lagi menggerakkan dagunya, apa lagi untuk menggigit!
"Hwee Li, aku terlalu cinta padamu, aku ingin engkau dapat membalas cintaku, maka aku juga tidak segan-segan mempergunakan segala cara...," katanya terengah-engah dan kembali dia sudah menubruk gadis itu penuh nafsu birahi yang berkobar-kobar.
Hwee Li merasa takut sekali. Dia teringat akan jalan satu-satunya untuk membunuh diri. Maka dia melupakan segalanya, menutup ingatannya dan menahan napasnya.
Pangeran itu sudah meraba pakaian dalamnya pada saat melihat wajah Hwee Li. Dia terkejut sekali. "Ahhhhh..."
Dan cepat dia turun dari atas tubuh Hwee Li yang sudah ditindihnya, sekarang dia mengguncang-guncangkan pundak dara itu dengan muka pucat. "Hwee LI...! Hwee Li... jangan... jangan... aihhh, Hwee Li, aku tidak akan memaksamu... jangan begitu nekat...!"
Dia mempergunakan tangannya untuk mengurut leher dan ulu hati gadis itu. Dalam keadaan panik dan khawatir itu dia tidak lagi merasakan betapa tangannya tanpa disengaja menyentuh dua buah bukit dada yang sedang mekar itu. Lenyap sama sekali nafsu birahinya karena sama sekali dia tidak ingat lagi akan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kini pikirannya penuh dengan kekhawatiran melihat betapa wajah dara itu kebiruan dan napasnya sama sekali terhenti, dadanya mekar penuh dengan hawa yang ditahan-tahan dan tidak dikeluarkan.
"Hwee Li...!" Dia mengeluh dengan suara seperti orang menangis.
Akhirnya, oleh karena dipaksa oleh pijatan dan urutan tangan Liong Bian Cu, Hwee Li bernapas lagi, terengah-engah dan terbatuk-batuk. Dia sadar kembali dan membuka matanya. Melihat bahwa tubuhnya masih tertutup pakaian dalam, tahulah dia bahwa dia belum ternoda. Dia melihat pangeran itu berlutut dan ada air mata di kedua pipi pemuda itu!
"Hwee Li... ahh, Hwee Li, apa yang akan kulakukan tadi? Kau ampunkan aku, Hwee Li, percayalah padaku, semua yang kulakukan kepadamu terdorong oleh rasa cintaku yang besar..." Liong Bian Cu meratap.
"Hemmm, kau tahu sekarang bahwa setiap saat aku dapat membunuh diri dan kau sama sekali tidak akan mampu mencegahku? Aku sudah berjanji, dan kau ternyata hendak melanggar, padahal kau pun berjanji akan membebaskan aku."
"Akan kubebaskan... sekarang juga, tetapi kau pun harus berjanji tidak akan membunuh diri..."
Hwee Li tersenyum. "Aku tidak akan begitu bodoh untuk membunuh diri, Pangeran. Akan tetapi, kau tidak boleh menyentuhku, tidak boleh menciumku seperti tadi, apa lagi menggunakan kekerasan untuk memperkosa. Kalau kau melakukan satu kali saja, aku akan mencoba untuk membunuhmu, dan kalau aku gagal, aku akan membunuh diri sendiri. Kau boleh memiliki tubuhku sebagai mayat!"
"Tidak..., tidak..., kau maafkanlah aku, sayang. Nah, lihat, aku akan membebaskanmu sekarang juga." Dia meraba belenggu, akan tetapi berhenti lagi. Diam-diam Hwee Li gemas bukan main. Pangeran ini amat berbahaya, juga amat besar curiga dan hati-hati, amat licin dan cerdik!
"Tetapi, kau benar-benar mau menjadi isteriku, bukan? Jawablah, Hwee Li, sekarang juga. Karena kalau kau suka berjanji untuk menjadi isteriku, apa pun akan kulakukan demi engkau, sayang. Sebaliknya, aku tidak mau disiksa menantikan sesuatu yang tidak akan terjadi, tidak mau disiksa dengan harapan kosong yang tidak akan terpenuhi. Kalau kau tidak mau, katakan saja tidak mau. Aku tidak akan memaksamu, aku terlalu cinta padamu untuk melihat engkau menderita di bawah tanganku, akan tetapi... hemmm, kalau tidak mau, aku akan hadiahkan engkau kepada anak buahku!"
Hwee Li merasa ngeri. Dia maklum bahwa gertakan pangeran ini bisa saja dilaksanakan kalau dia membuat pangeran ini putus harapan dan marah. "Aku berjanji, Pangeran. Akan tetapi aku bukanlah seorang wanita sembarangan saja. Aku hanya mau menjadi isterimu dalam pernikahan yang syah, pernikahan yang dirayakan secara meriah dan disaksikan oleh banyak tamu di dunia kang-ouw. Sebelum itu, sekali saja engkau menyentuhku, aku akan membunuh diri! Kehormatanku jauh lebih penting dari pada nyawaku. Nah, aku sudah berjanji, terserah kepadamu!"
Bukan main girangnya hati Liong Bian Cu. Dia mengeluarkan kunci dari dalam saku bajunya dan segera membuka kunci belenggu kaki tangan Hwee Li. Dara itu bangkit duduk di atas pembaringan, bergantian menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya untuk melancarkan jalan darah yang tadi terganggu oleh himpitan belenggu. Tiba-tiba dia teringat akan peristiwa tadi, betapa mulutnya dicium dengan lahapnya oleh mulut Liong Bian Cu. Teringat akan ini, tiba-tiba saja Hwee Li muntah-muntah!
"Ahhh, kau sakit...! Kalau pusing, engkau rebahlah, Hwee Li..." Liong Bian Cu terkejut sekali melihat gadis itu muntah-muntah di atas lantai dekat pembaringan, lalu mendekati untuk memijat-mijat tengkuk gadis itu.
"Sudah, aku tidak apa-apa!" Hwee Li berkata sambil melepaskan tangan yang memijit mijit tengkuknya. Dia menggunakan lengan baju untuk mengusap mulutnya, diusapnya keras-keras karena dia bukan hanya mau menghapus bekas muntah tadi, melainkan hendak menghapus bekas ciuman dari kedua bibirnya.
"Sungguh engkau tidak apa-apa, Moimoi (Dinda)...?" tanya Liong Bian Cu, suaranya penuh kasih sayang dan dia bertepuk tangan memanggil pelayan.
Pelayan datang dan segera disuruh membersihkan lantai. Pelayan itu langsung disuruh keluar lagi setelah selesai mengerjakan perintah itu.
"Bekas belenggu itu menyakitkan tanganmu, Hwee Li?" Dia merayu lagi dan mendekati, membantu gadis itu menggosok-gosok pergelangan tangannya. "Biar kulancarkan jalan darahnya dengan urutan tangan dan...!"
Tiba-tiba pangeran itu menghentikan kata-katanya, karena dia merasa betapa tangan yang kecil halus akan tetapi mengandung tenaga yang amat kuat itu sekarang telah mencengkeram jalan darah di dekat ulu hatinya, jalan darah kematian!
"Jangan bergerak atau kau akan mampus!" Hwee Li menghardik.
"Aihhh, apa yang hendak kau lakukan ini, Moi-moi...?" Pangeran itu mengeluh, tidak berani bergerak karena sekali saja dara itu mengerahkan sinkang dan mencengkeram, tidak ada yang dapat menolong nyawanya lagi.
"Dengar kau, Liong Bian Cu! Engkau tadi telah menghinaku, dan untuk... ciuman itu saja engkau sudah layak mampus. Apa lagi penghinaan lainnya tadi! Hayo, cepat kau antar aku keluar dari lembah ini, kalau tidak, engkau akan mampus sekarang juga."
"Ahhh, Hwee Li, apa kau kira aku takut mati? Akan tetapi, bukan kematianku yang kutakutkan, melainkan nasibmu. Kalau kau membunuhku, apa kau kira akan dapat lolos dari kematian? Engkau yang masih begini muda remaja, cantik jelita, pasti tidak akan lolos dari kematian di tangan Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo dan semua anak buahku dan anak buah Kui-Liong-pang. Aku mati, akan tetapi engkau juga mati, apa bedanya bagiku? Kita akan berkumpul juga di alam baka! Mati di tangan seorang yang kucinta seperti engkau adalah kematian yang menyenangkan, Hwee Li. Nah, cepat kau bunuhlah dan aku akan menantimu di sana karena aku yakin engkau akan menyusulku cepat, dalam hari ini juga."
"Bohong!" bentak Hwee Li. "Kalau kau mampus, ayah tentu tidak melihat kegunaannya lagi berada di sini dan mengorbankan aku. Ayah tentu akan membantuku melarikan diri. Betapa pun juga, dia adalah ayah kandungku sendiri!"
Tiba-tiba pangeran itu tertawa dan Hwee Li memperkuat cengkeramannya sehingga kuku-kuku jarinya sudah mulai terbenam sedikit ke dalam baju dan menyentuh kulit di dada Liong Bian Cu.
"Ha-ha-ha-ha! Ayah kandungmu? Hwee Li, kalau dia ayah kandungmu, mana mungkin dia sengaja menyerahkan engkau kepadaku, bahkan dia telah memberiku nasehat buat memperkosamu? Kalau dia ayah kandung yang mencinta puterinya, mana mungkin dia tega melakukan hal itu? Sedangkan aku saja, seorang pria muda yang mencintamu, masih tidak tega memperkosamu seperti yang kau lihat sendiri tadi. Dia bukan ayah kandungmu, Hwee Li, engkau adalah anak pungut dari Hek Tiauw Lo-mo!"
"Bohong...!" Hwee Li menjerit dan dia lupa dengan ancamannya, sekarang tangannya bergerak menampar.
"Plakkk!"
Pipi Liong Bian Cu ditamparnya dan tubuh pemuda bangsawan itu terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan mengelus pipinya yang menjadi merah sekali oleh tamparan tadi.
"Bohong kau...! Bohong...!" bentak Hwee Li, wajahnya pucat dan air matanya menitik turun.
"Tidak, Hwee Li, aku tidak bohong. Ayahmu sendiri yang akan menceritakan kepadamu, dan kau boleh bertanya kepadanya. Semua peristiwa itu diketahui Hek-hwa Lo-kwi, dulu sahabat ayahmu, dan aku mendengar dari Hek-hwa Lo-kwi. Hek-tiauw Lo-mo tidak pernah punyak anak, dan engkau bukan puterinya."
Mata yang indah itu terbelalak, kedua kakinya menggigil. "Bohong...! Bohong...!" Dara itu meloncat ke luar dari kamar dan berlari sambil menutupi mukanya dan menangis terisak-isak.
Malam telah tiba. Di luar sudah gelap. Akan tetapi tidak terlalu gelap karena bulan telah muncul di angkasa timur. Biar pun bukan bulan purnama, akan tetapi bulan yang tiga perempat itu cukup mengusir kegelapan dan menimbulkan cahaya remang-remang yang sejuk dan kehijauan.
Hwee Li berlari terus sambil menangis dan akhirnya dia baru berhenti ketika tiba di tepi sungai yang mengurung lembah. Dia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis sejadi-jadinya. Ia mengingat akan semua pengalamannya dengan ayahnya, waktu yang belasan tahun itu seperti membayang semua di benaknya.
Ayahnya selalu memanjakannya, selalu mencintanya, dan baru akhir-akhir ini berubah. Dan dia mendengar ucapan ayahnya ketika bercakap-cakap di luar kamar tadi. Apa kata ayahnya ke pada Pangeran Liong Bian Cu? Terngiang di telinganya sebagian dari kata kata ayahnya yang sukar dia lupakan, "Hanya kalau dia satu kali sudah menjadi milik pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu."
Ah, ayahnya hanya bilang bahwa ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil. Dia sama sekali sudah tidak ingat lagi kepada ibunya. Dan dia percaya! Siapakah ibunya? Siapa pula ayahnya? Apa yang terjadi dengan mereka? Dan bagaimana dia bisa menjadi anak Hek-tiauw Lo-mo dan tinggal di Pulau Neraka?
Hwee Li masih menangis, akan tetapi sekarang pikirannya bekerja. Kalau benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, tentu dia tak bisa mengharapkan bantuan dari kakek itu. Dia sendirian saja dikurung di dalam lembah itu, bahkan ayahnya itu juga membantu Pangeran Liong Bian Cu. Dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa, dan kalau dia ingin selamat, dia harus mengandalkan dirinya! Akan tetapi, kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, yang amat lihai itu.
Satu-satunya yang boleh diminta tolong dan diandalkannya hanyalah otaknya sendiri, kecerdikannya. Dia harus cerdik, kalau dia tidak ingin terhina dan mati konyol. Dan dia tidak ingin mati. Dia harus mencari akal!
"Moi-moi...!"
Hwee Li tahu siapa yang datang dan dia menangis makin keras. Dia terisak-isak sambil berlutut di atas rumput, akan tetapi kini tangisnya berbeda dengan tadi. Kalau tadi, dia menangis sepenuhnya terdorong oleh rasa penasaran, marah, kecewa dan duka. Akan tetapi kini tangisnya sebagian besar terkendali oleh kecerdikannya.
"Hwee Li, kau maafkanlah aku. Aku tidak sengaja melukai hatimu. Tetapi percayalah, bahwa satu-satunya orang di dunia ini hanya aku yang dapat kau percaya, hanya aku yang mencintamu. Jangan kau memikirkan lagi ayah angkatmu itu. Akulah yang akan membahagiakan hidupmu, Moi-moi."
Hwee Li masih terus menangis, kemudian ketika dia merasa ada tangan menyentuh pundaknya, sentuhan penuh kasih sayang, dia mendorong perlahan tangan itu, bangkit berdiri dan menghadapi pangeran itu dengan muka basah air mata.
"Pangeran, betapa sedih hatiku mendengar bahwa dia bukan ayah kandungku. Dan aku tahu akan kebaikanmu, tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak sudi untuk dijadikan perempuan sembarangan. Kalau kau berlaku sopan, kalau kau dapat menghormati dan menghargai aku sebagai gadis baik-baik, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk kelak menjadi jodohmu."
Tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila dan benar-benar jatuh cinta kepada dara itu menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihat, kekasihku, lihat. Aku Pangeran Liong Bian Cu yang biasa disembah-sembah orang. Aku tidak malu-malu untuk berlutut di depan kakimu. Aku bersumpah akan memenuhi janjiku, takkan mengganggumu sebelum kita menikah dan menjadi suami isteri yang syah. Engkau tahu bahwa aku mempunyai cita-cita yang maha besar, dan agaknya, tanpa engkau di sampingku, aku merasa tidak cukup kuat untuk melaksanakan tugas berat itu. Akan tetapi, Moi-moi, dengan adanya engkau di sampingku, aku sanggup untuk menaklukkan seluruh dunia!"
"Baiklah, Pangeran. Aku percaya kepadamu, dan kuharap mulai sekarang aku boleh bebas di tempat ini."
"Tentu saja kekasihku. Akan tetapi, kuharap engkau jangan mencoba untuk melarikan diri karena engkau tahu bahwa hal itu selain tidak mungkin terjadi, juga ketahuilah bahwa aku telah terlanjur menusukkan jarum beracun pemberian Hek-hwa Lo-kwi itu di tubuhmu sehingga kini racun itu telah berada di dalam tubuhmu. Racun itu tidak akan bekerja sebelum satu tahun, tetapi dalam satu tahun, racun itu akan dapat mematikan, Moi-moi. Akan tetapi, jangan khawatir, obat penawarnya selalu berada di tanganku."
Pangeran itu bangkit berdiri dan tersenyum. “Jadi jelas bahwa mencoba untuk melarikan diri, selain tidak mungkin, juga berarti engkau kelak akan tewas dalam keadaan tersiksa sekali. Maka, kuharap engkau tidak sebodoh itu."
Demikianlah, dalam keadaan tersudut, Hwee Li yang cerdik itu lalu bermain sandiwara, pura-pura menerima kehendak sang pangeran untuk memperisterinya. Setiap hari dia hidup dengan bebas di lembah itu, dihormati semua orang yang tahu bahwa dara cantik jelita ini adalah tunangan Pangeran Nepal itu. Akan tetapi penjagaan terhadap dirinya sungguh amat ketat, apa lagi di situ selalu ada Hek-hwa Lo-kwi atau Hek-tiauw Lo-mo yang membayanginya. Selain itu, juga semua perahu selalu dijaga sehingga tanpa memiliki perahu, tidak mungkin dia dapat menyeberangi sungai.
Ada pun sikap pangeran itu terhadapnya kini tak begitu merisaukan hati Hwee Li karena pangeran yang amat mencintanya itu benar-benar tidak pernah mau mengganggunya. Sikapnya amat manis, ramah dan mesra dan pangeran itu jelas berusaha keras untuk menundukkan hatinya dengan memupuk segala macam kebaikan dan keramahan. Hwee Li mengimbanginya dengan sikap manis sambil selalu mengincar kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Bahkan dia pandai menyimpan penasaran hatinya sehingga dia pun tidak melontarkan rasa penasaran itu secara kasar kepada Hek-tiauw Lo-mo.
Ketika beberapa hari kemudian Liong Bian Cu mengundang makan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi di taman bunga untuk menikmati bulan purnama bersama Hwee Li, barulah dara ini dengan hati-hati mengajukan pertanyaan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Mereka telah selesai makan dan Hek-tiauw Lo-mo telah minum banyak sekali arak pada malam hari itu.
"Ayah, jangan Ayah merasa heran bahwa aku telah mendengar bahwa sesungguhnya Ayah bukanlah ayah kandungku."
"Ehhh?" Hek-tiauw Lo-mo menoleh kepada Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut, akan tetapi kakek muka tengkorak yang tinggi kurus itu tidak perduli dan tenang-tenang saja makan manisan angco.
"Sayalah yang menceritakan kepadanya, Locianpwe," tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata. "Untuk melenyapkan rasa penasaran di hatinya."
Hek-tiauw Lo-mo memandang kepada pangeran itu, tetapi lalu mengangguk-angguk dan minum arak dari cawannya, kemudian meletakkan cawan kosong dan memandang kepada Hwee Li sambil tersenyum lebar. "Bagus kalau engkau sudah tahu. Kalau pun Pangeran tidak memberi tahu, sebetulnya aku pun hendak memberitahukan kepadamu, Hwee Li. Engkau sudah dewasa dan sudah waktunya mengetahui riwayatmu."
"Ayah," kata Hwee Li tenang sambil memandang tajam.
Dia memaksa diri menyebut ayah, padahal di dalam hatinya dia tidak sudi lagi menyebut kakek yang kejam ini sebagai ayahnya. Semenjak dia bukan kanak-kanak lagi dan sudah mengerti dan dapat membedakan antara baik dan buruk, dia memang sudah merasa kecewa dan tak senang kepada ayahnya. Sikap ayahnya itulah yang membuat dia tidak kerasan berdekatan dengan ayahnya itu.
"Ayah telah memeliharaku sejak kecil dan untuk itu, aku berterima kasih sekali. Akan tetapi, aku berhak untuk mengetahui siapa orang tuaku yang sebenarnya dan di mana adanya mereka." Hwee Li menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan perasaan dan dia menelan kembali keinginannya untuk menangis. Kemudian dia menambahkan, "Kurasa Ayah adalah seorang tokoh yang terlalu terkenal dan gagah untuk tidak menyembunyikan semua perbuatan yang Ayah lakukan terhadap orang tuaku itu."
"Ha-ha-ha! Kim Hwee Li, engkau tentu sudah cukup mengenal watakku. Aku bukanlah orang yang suka menyesalkan semua perbuatanku sendiri, dan aku bukan orang yang suka mengingkari perbuatan sendiri. Aku berani berbuat dan berani pula bertanggung jawab. Ha-ha-ha! Sekarang dengarlah penuturanku dan setelah kau mendengarnya, terserah apa yang akan kau pikirkan terhadap diriku."
Dengan wajah tenang namun hatinya penuh dengan segala macam perasaan, Hwee Li mendengarkan penuturan kakek itu…..
Belasan tahun yang lalu, dalam perantauannya setelah menemukan dan menundukkan orang-orang di Pulau Neraka dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka, pada suatu hari Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin yang terkenal sebagai seorang panglima yang suka berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi di dunia kang-ouw. Karena tertarik akan berita bahwa Kim Bouw Sin amat menghormati orang-orang kang-ouw, maka Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng itu. Benar saja, Panglima Kim Bouw Sin menyambutnya penuh penghormatan, bahkan lalu mengadakan pesta untuk menyambut tamu agung ini. Di dalam pesta itu, Panglima Kim Bouw Sin berkenan untuk menghibur tamunya dengan tari-tarian yang dilakukan oleh seorang selirnya yang terkasih. Selir ini cantik sekali dan masih muda belia, seorang ahli menari yang amat pandai.
Sebenarnya, Hek-tiauw Lo-mo pelarian dari Korea itu, biar pun pernah menjadi raja orang-orang liar, bahkan pernah mempunyai kebiasaan makan daging manusia, amat kejam dan membunuh orang seperti membunuh lalat saja, dia bukan termasuk seorang laki-laki yang lemah terhadap nafsu birahi. Akan tetapi, dalam keadaan setengah mabuk melihat selir panglima itu menari-nari dengan tubuh yang lemah gemulai, dengan dada montok penuh karena wanita muda ini mempunyai anak yang baru tiga bulan usianya, Hek-tiauw Lo-mo menjadi tergila-gila, dan pada malam hari itu, tanpa pamit, lenyaplah Hek-tiauw Lo-mo dari dalam kamar itu, dan bersama dia lenyap pula selir cantik itu bersama anaknya yang baru berusia tiga bulan!
Panglima Kim Bouw Sin terkejut sekali, akan tetapi melihat betapa tamunya yang seperti raksasa itu dapat menculik selir dan anaknya, melarikan diri dari sebuah benteng yang terjaga ketat, tahulah dia bahwa tamunya itu lihai sekali. Dan sebagai seorang panglima yang bercita-cita besar, yang ingin mengambil hati orang-orang berilmu di dunia kangouw, Panglima Kim Bouw Sin tidak mau ribut-ribut tentang penculikan ini, sungguh pun diam-diam dia menggerakkan orang-orangnya untuk mencari tanpa hasil.
Selir muda yang cantik itu menangis ketika dibawa masuk ke rumah Hek-tiauw Lo-mo di Pulau Neraka. Mula-mula dia menolak semua bujuk rayu raksasa itu, dan memilih mati. Tetapi, ketika Hek-tiauw Lo-mo menangkap anaknya, menempelkan golok gergajinya di leher anak yang baru berusia tiga bulan itu, wanita muda ini menyerah! Demi menjaga nyawa anaknya, dia mau menyerahkan diri setelah Hek-tiauw Lo-mo berjanji tidak akan mengganggu dan tidak akan membunuh anak itu, bahkan mengambil anak itu sebagai anaknya sendiri. Barulah wanita muda itu menyerahkan diri, penyerahan yang dilakukan dengan terpaksa dan dengan hati hancur. Hek-tiauw Lo-mo, raksasa yang kasar itu, mempermainkan wanita itu di luar batas kekuatan si wanita sehingga dalam waktu tiga bulan saja, wanita itu tidak kuat bertahan dan tewas!
Walau pun dia seorang liar dan kejam, namun Hek-tiauw Lo-mo merasa sebagai orang gagah, maka dia pantang untuk menjilat janjinya sendiri. Setelah wanita itu meninggal dunia, dia benar tidak membunuh anak itu dan memeliharanya sebagai anak sendiri. Makin besar anak itu, makin sayanglah dia, apa lagi setelah anak perempuan itu memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia kelak akan menjadi seorang wanita yang cantik jelita seperti ibunya!
"Ha-ha-ha, dan engkaulah anak itu, Hwee Li!" Hek-tiauw Lo-mo menutup ceritanya yang dilakukan terang-terangan tanpa menyembunyikan sesuatu apa pun untuk membuktikan ‘kegagahannya’.
"Melihat engkau menjadi dewasa dan persis ibumu, tadinya aku mempunyai keinginan untuk menarik engkau di sampingku sebagai pengganti ibumu yang kucinta sungguh. Akan tetapi, setelah aku menjadi makin tua, aku kehilangan gairah terhadap wanita, apa lagi setelah berjumpa dengan Pangeran Liong, aku lantas mengambil keputusan untuk menyerahkan engkau kepadanya demi kebahagiaanmu, anakku! Ha-ha-ha-ha-ha!"
Dapat dibayangkan betapa muak, benci dan sakitnya hati Hwee Li mendengar semua itu. Meski ayahnya mengaku cinta kepada ibunya, tetapi dia tahu bahwa akibat paksaan ayah angkat atau ayah tirinya inilah maka ibunya sampai tewas. Dan sesungguhnya, orang ini sama sekali tidak pantas dia sebut ayah, bahkan sebagai ayah tiri sekali pun, karena ibunya menjadi isteri orang ini tidak secara suka rela dan tidak syah, melainkan diculik dan dipaksa! Orang ini sama sekali bukan ayahnya, bukan ayah angkat atau ayah tirinya, melainkan musuh besarnya, pembunuh ibunya!
Panglima Kim Bouw Sin? Dia teringat akan peristiwa pemberontakan lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, usianya baru kurang lebih sebelas tahun, akan tetapi dia sudah tahu akan apa yang telah terjadi. Dia mendengar nama Panglima Kim Bouw Sin ini. Bukankah itu panglima pembantu Jenderal Kao Liang yang kemudian memberontak dan bersekutu dengan Pangeran Liong Khi Ong dan akhirnya panglima itu terbunuh? Jadi ibunya dan ayahnya yang sebenarnya, ayah ibu kandungnya, semua telah mati?
Dia masih penasaran dan bertanya dengan suara kering, "Dan ayah kandungku...?"
"Panglima Kim Bouw Sin? Ha-haha, tentunya dia sekeluarga telah dihukum mati karena memberontak. Jadi akhirnya engkau malah harus berterima kasih kepadaku, Hwee Li. Karena andai kata aku tidak melarikan ibumu dan engkau ikut, tentu engkau dan ibumu juga akan mengalami nasib yang sama, dihukum mati sebagai salah seorang anggota keluarga pemberontak," kata Hek-tiauw Lo-mo.
Dengan muka pucat akan tetapi tidak begitu kentara karena taman itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama yang sudah membuat segala sesuatu nampak pucat, Hwee Li berkata lirih, "Kalau begitu, engkau bukan ayahku, Hek-tiauw Lo-mo..."
Pangeran Liong Bian Cu menyentuh tangan Hwee Li dan berkata, "Moi-moi, jangan bilang begitu. Betapa pun juga, Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo adalah ayah tirimu dan dia sudah memeliharamu sejak kecil, mendidikmu dengan segala macam ilmu. Aku akan selalu menganggap dia sebagai ayahmu."
Pikiran Hwee Li bekerja. Dia melihat Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepadanya dan di balik pandang matanya itu terdapat ancaman hebat. Dia tahu bahwa kakek itu melakukan semua ini dengan harapan untuk membonceng kemuliaannya kalau dia kelak menjadi isteri Liong Bian Cu. Tentu saja kalau tidak diaku sebagai ayah, harapan kakek itu menjadi hancur dan mungkin saja dia melakukan sesuatu yang akan merugikan dirinya. Selagi dia masih berada di lembah itu, selagi dia masih mencari-cari kesempatan untuk lolos, tidak baik kalau dia menanamkan kebencian dan ancaman baru dalam diri Hek-tiauw Lo-mo.
"Tentu saja, Pangeran. Aku tidak dapat melupakan segala kebaikan Ayah,” katanya sambil minum araknya beberapa teguk. Dia lalu melirik ke arah Hek-tiauw Lo-mo dan melihat kakek ini tertawa-tawa senang mendengar ucapannya itu.....
Demikianlah, Hwee Li yang bagaikan seekor burung telah terkurung dalam sangkar emas itu, terjaga ketat dan sama sekali tidak melihat kesempatan sedikit pun untuk melarikan diri, mulai menggunakan kecerdikannya. Tiap saat dia waspada dan mencari lubang, dan hanya kecerdikannya saja yang membuat dia dapat menahan segala kekhawatirannya dan bersikap biasa, bahkan ramah terhadap Pangeran Liong Bian Cu, seolah-olah dia mulai setuju untuk menjadi isteri Pangeran Nepal ini.
Sering Hwee Li termenung dan hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan. Dia merasa benci sekali kepada Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata adalah seorang musuh besar. Kini lenyaplah harapannya untuk dapat tertolong oleh kakek itu. Semua orang yang berada di lembah ini adalah musuh-musuhnya, dan Hek-tiauw Lo-mo merupakan musuh utama malah, di samping Pangeran Liong Bian Cu.
"Ingatlah, Moi-moi, engkau adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin dan engkau sudah tahu betapa ayah kandungmu itu dahulu juga bersekutu dengan ayahku dan membantu ayahku, Pangeran Liong Khi Ong. Maka, kalau sekarang engkau menjadi isteriku dan membantuku, sungguh sudah tepat sekali. Orang tua kita bersahabat, dan sekarang kita berjodoh, bukankah itu baik sekali?" Demikian antara lain bujukan dari Pangeran Liong Bian Cu.
Akan tetapi biar pun dia tidak mau membantah, di dalam hatinya dia sangat tidak senang. Ayahnya adalah seorang pemberontak dan karena perbuatannya itu, seluruh keluarga ayahnya binasa. Dia mengerti bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar, dan tentu saja dia tidak sudi mengulang perbuatan yang salah itu, apa lagi ditambah dengan pengorbanan dirinya menjadi isteri dari Liong Bian Cu yang dibencinya.
Akan tetapi, kesempatan yang dinanti-nantinya itu tidak kunjung datang. Penjagaan terlalu ketat dan dia sama sekali tidak melihat kernungkinan untuk dapat meloloskan diri melalui penyeberangan sungai. Satu-satunya jalan untuk dapat lolos hanyalah dengan bantuan garudanya, tetapi kini garuda itu telah dikurung, dijaga ketat dan kurungannya dikunci.
Hwee Li sudah menggunakan akal untuk terus bersikap ramah kepada Liong Bian Cu sehingga pergaulan di antara mereka sudah kelihatan akrab dan tidak asing lagi. Bahkan dengan keramahannya itu, Hwee Li mengajak dia bercakap-cakap dan dengan gembira Hwee Li menceritakan tentang kesenangannya menunggang burung garuda melayang-layang di angkasa.
Mendengar ini dan melihat sikap Hwee Li, Liong Bian Cu berkata, "Jangan khawatir, kekasihku. Kelak kalau kita sudah menikah, aku pasti akan mengajakmu berpesiar naik garuda itu."
"Ahhh, mana mungkin? Burungku itu tentu akan dibawa pergi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Sekarang pun telah dikurungnya, aku khawatir burung itu akan sakit dan mati."
"Ha-ha-ha, kau tidak perlu khawatir. Ayahmu telah menyerahkan burung itu kepadaku dan ini kunci kurungan itu selalu berada di tanganku. Dan aku sudah menyuruh para pemelihara burung itu baik-baik, memberi makan dan minum secukupnya."
lnilah yang ingin diketahui oleh Hwee Li dan dara ini cepat mengalihkan percakapan. Dia kini sudah tahu bahwa kunci kurungan berada di tangan pangeran ini! Cukuplah itu! Terbuka lagi jalan baginya untuk meloloskan diri. Kalau saja dia dapat merobohkan Liong Bian Cu, merampas kunci itu dan membebaskan garudanya, tentu dia akan dapat lolos dari situ menunggang garudanya!
Liong Bian Cu benar-benar jatuh cinta kepada Hwee Li. Sikapnya baik sekali, dan pemuda ini tidak pernah lagi memperlihatkan kekerasan, sungguh pun sikapnya mesra sekali. Namun, dia sudah puas untuk menggandeng tangan Hwee Li, atau paling jauh dia hanya mencium tangan dara itu, tidak berani bertindak lebih. Akan tetapi, Hwee Li makin gelisah ketika hari yang ditentukan telah makin mendekat. Liong Bian Cu sudah menentukan hari pernikahan mereka, dan tanpa disadari, dia telah hampir sebulan berada di situ sehingga waktu pernikahan tinggal satu bulan lagi!
Pada suatu senja, Liong Bian Cu sibuk mencari-cari Hwee Li. Dara ini memang diberi kebebasan untuk pergi ke mana saja di dalam lembah itu, karena Liong Bian Cu merasa yakin bahwa tidak mungkin Hwee Li dapat meloloskan diri. Selain lembah itu terkurung sungai lebar, juga terdapat banyak sekali penjaga di tepi sungai sehingga andai kata Hwee Li hendak nekat menyeberang, dia akan ketahuan pula.
"Hwee Li...!"
"Moi-moi, di mana kau...?"
Liong Bian Cu mencari-cari ke sana-sini sambil berteriak-teriak memanggil. Hatinya merasa agak gelisah. Biar pun dia merasa yakin bahwa tidak mungkin dara itu dapat meloloskan diri, namun setelah agak lama mencari-cari tanpa hasil, dia merasa khawatir juga, khawatir kehilangan dara yang dicintanya itu. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika seorang pengawal memberi tahu bahwa dara yang dicari-carinya itu tadi pergi ke sumber air di tempat yang agak tinggi di sebelah belakang lembah.
Sai-cu Kai-ong dapat meraba isi hati pemuda itu, maka dia berkata lagi, "Maafkan kami, muridku. Percayalah bahwa kami melakukan hal itu demi kebaikanmu dan demi memperkuat tali perhubungan antara keturunan keluarga Kam dan Yu. Tunanganmu itu, ialah cucuku yang bernama Yu Hwi, sejak kecil sekali kuserahkan kepada Sin-siauw Sengjin untuk dididik. Akan tetapi, seperti yang telah dia ceritakan tadi, terjadi mala petaka. Dia diculik orang dan sampai sekarang belum diketahui berada di mana, masih hidup ataukah sudah mati..." Kakek itu berhenti sebentar, mukanya menjadi pucat.
"Kai-ong, harap kau maafkan aku..." Sin-siauw Sengjin berkata pilu.
Lalu dia berkata kepada Siauw Hong, "Kam-kongcu, sekarang tibalah saatnya engkau harus menggembleng diri dengan ilmu-ilmu peninggalan nenek moyangmu, dan saya sendiri akan menurunkan semua ilmu itu. Setelah Kongcu mempelajarinya dan mudah mudahan Kongcu lebih cocok sehingga dapat menguasainya dengan sempurna, tidak seperti saya yang bodoh, maka sudah menjadi kewajiban Kongcu untuk pergi mencari tunangan Kongcu itu sampai dapat. Kalau tidak demikian, maka selama hidup kita akan berhutang kepada keluarga Yu..."
Melihat wajah Sai-cu Kai-ong yang pucat, dan melihat kedukaan Sin-siauw Sengjin, bangkit semangat Siauw Hong. Dia maklum bahwa mereka berdua itu selalu berusaha demi kebaikannya, maka ikatan jodoh itu pun dia terima dengan hati rela. "Baiklah, Locianpwe. Saya akan mengerahkan seluruh semangat saya untuk mempelajari ilmu ilmu itu. Suhu, harap jangan khawatir, teecu kelak akan mencari Yu Hwi sampai dapat! Teecu bersumpah!"
Sepasang mata kakek itu menjadi basah, akan tetapi mulutnya tersenyum. "Manusia boleh saja berusaha, namun Tuhan yang kuasa, muridku. Kalau memang Yu Hwi masih hidup, tentu dia sewaktu-waktu akan dapat bertemu dengan kita. Dan kalau toh sudah meninggal dunia, kita harus dapat menemukan kuburannya agar tali perjodohan itu bisa membebaskan dirimu dan engkau berhak untuk berjodoh dengan orang lain."
"Tidak! Saya merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh oleh penculiknya. Kalau memang penculik itu menghendaki nyawanya, mengapa tidak dibunuhnya dia seketika itu juga?" Sin-siauw Sengjin berkata hampir berteriak.
Melihat ini, Ceng Ceng lalu berkata, "Saya berjanji akan bantu mencarinya. Namanya Yu Hwi, apakah dia mempunyai ciri-ciri yang khas?"
"Saya juga berjanji akan bantu mencarinya!" Kian Lee berkata pula.
Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, walau pun di dalam hatinya juga merasa kasihan, namun diam saja karena mereka maklum bahwa tidak mungkin mereka akan dapat membantu, karena mereka sendiri masih bingung kehilangan seluruh keluarga mereka yang diculik orang. Bahkan mantunya, seperti telah diceritakan oleh mantunya kepadanya, telah kehilangan puteranya yang juga diculik orang, akan tetapi sekarang mantunya menjanjikan bantuannya untuk ikut mencari Yu Hwi. Dia mengenal watak mantunya, seorang pendekar wanita yang sakti, maka dia hanya mendengarkan dengan kagum.
Sin-siauw Sengjin dan Sai-cu Kai-ong serentak menjura kepada Kian Lee dan Ceng Ceng. "Terima kasih atas kebaikan Ji-wi," kata Sin-siauw Sengjin.
"Di dagu Yu Hwi, sebelah kiri, terdapat sebintik tahi lalat hitam, itulah cirinya yang paling mudah untuk dikenal," kata Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin mengangguk tanda membenarkan.
"Kalau begitu, adikku Kai-ong, perkenankan saya pergi dan mengajak Kam-kongcu agar dia dapat cepat mewarisi ilmu-ilmu keturunan keluarganya," tiba-tiba Sin-siauw Sengjin berkata sambil bangkit berdiri.
"Memang sebaiknya begitulah, kakakku yang baik. Aku sendiri pun segera berusaha mencari cucuku yang hilang," jawab Sai-cu Kai-ong. "Siauw Hong, kau ikutlah bersama Sin-siauw Sengjin dan berbahagialah muridku, karena engkau akan mewarisi ilmu dari keluargamu yang mukjijat, yang semenjak ratusan tahun selalu dicari dan diperebutkan oleh seluruh dunia persilatan."
Siauw Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu.
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas segala budi kebaikan yang sudah Suhu limpahkan kepada teecu."
Sai-cu Kai-ong tersenyum dan mengangkat bangun muridnya. "Berlatihlah baik-baik, muridku, agar kelak aku boleh berbangga hati bahwa engkau pernah menjadi muridku."
Siauw Hong kemudian memberi hormat kepada semua orang dan pergilah orang muda keturunan Suling Emas ini mengikuti Sin-siauw Sengjin, bersama rombongan murid muridnya yang mengikuti dari belakang.
Setelah Suling Sakti dan para muridnya itu pergi, Ceng Ceng kemudian menceritakan pertemuannya dengan Syanti Dewi kepada Kian Lee, didengarkan pula oleh Jenderal Kao dan dua orang puteranya, dan juga oleh Sai-cu Kai-ong. "Sungguh kasihan sekali Enci Syanti," kata Ceng Ceng. "Entah bagaimana nasibnya demikian terlunta-lunta selalu, setelah dia baik-baik kembali ke istana orang tuanya di Bhutan, tahu-tahu kini dia berada di sini pula, dan bahkan dia telah diculik seorang yang belum kuketahui siapa.”
Dia lalu menceritakan pertempurannya melawan See-thian Hoat-su di dalam gelap, pertempuran yang terjadi karena salah pengertian dan selagi mereka bertempur, Syanti Dewi lenyap dibawa orang.
Kian Bu mendengarkan dan dia terkejut bukan main, seakan-akan tersentuh kembali bekas luka di hatinya mendengar itu. Mengapa Syanti Dewi berada di daerah ini? Dan siapa yang menculiknya? Bagaimana dengan Ang Tek Hoat? Teringatlah Kian Bu akan ibu kandung Tek Hoat yang terbunuh oleh perwira Bhutan. Apakah ada hubungannya dengan kepergian Syanti Dewi meninggalkan Kerajaan Bhutan? Kian Bu kemudian menghampiri sebuah meja, membuat coretan-coretan dengan alat tulis di atas kertas, meninggalkan kertas tulisannya itu di atas meja, kemudian dia menyelinap pergi dengan diam-diam.
Setelah bercakap-cakap dan menceritakan pengalaman masing-masing, mereka lalu mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tempat itu di hari itu juga.
Kian Lee yang melihat bahwa sin-siauw Sengjin tidak ada lagi di situ akan tetapi adiknya belum juga muncul, segera mencarinya. Akan tetapi, ternyata Kian Bu tidak ada lagi di ruangan itu dan dia hanya menemukan sehelai suratnya.
Lee-ko,
Banyak sekali tugas menanti kita. Karena banyaknya, sebaiknya kalau kita berpisah dan masing-masing melaksanakan satu tugas. Aku lebih dulu akan pergi menyelidiki dan mencari Syanti Dewi.
Adikmu,
KIAN BU
Kian Lee menyimpan surat itu di dalam saku bajunya dan menarlk napas panjang. Dia merasa kasihan sekali kepada adiknya itu dan maklumlah dia bahwa diam-diam Kian Bu masih belum dapat melupakan Syanti Dewi. Karena itu, tidaklah mengherankan apa bila Kian Bu yang agaknya tadi mendengar penuturan Ceng Ceng, lalu diam-diam cepat pergi untuk mencari dan menolong puteri itu!
Mereka semua lalu pergi. Ceng Ceng pergi bersama ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya, meninggalkan tempat itu untuk pergi ke kota Pao-ting di mana dia sudah berjanji akan bertemu dengan suaminya yang mencari-cari jejak anak mereka dari lain jurusan.
Kian Lee juga pergi dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Kian Bu, maka dia teringat akan wanita yang mencuri pusaka-pusaka dari Sin-siauw Sengjin, yang agaknya tentu pusaka-pusaka palsu pula mengingat akan penuturan Sin-siauw Sengjin sendiri betapa nenek moyangnya banyak memalsukan pusaka-pusaka itu untuk mencegah yang asli dicuri orang.
Bukankah Kian Bu telah berjanji akan mendatangi tempat gadis pencuri itu di pantai Po-hai? Sebaiknya kalau dia mewakili adiknya mencari gadis pencuri itu di pantai Po-hai, di teluk sebelah utara. Siapa tahu, kalau-kalau Kian Bu juga pergi ke sana. Tadinya dia ingin mernbantu Jenderal Kao, akan tetapi setelah ada Ceng Ceng dan suaminya, yang dia tahu amat sakti, tidak perlu lagi dia membantu dan kalau dia tidak berhasil bertemu dengan adiknya, dia akan terus mencari atau akan kembali ke Pulau Es melapor pada ayahnya.
Sai-cu Kai-ong juga pergi meninggalkan tempat tinggalnya untuk mulai mencari cucunya yang hilang pula. Biar pun Ceng Ceng dan Kian Lee sudah berjanji untuk membantu mencari cucunya, dia tidak puas kalau dia sendiri tidak ikut mencari. Dia tahu betapa sukarnya mencari seseorang tanpa mengetahui di mana adanya cucunya itu, yang sama sekali tidak meninggalkan jejak dan hilangnya sudah lima belas tahun yang lalu. Hemmm, agaknya lagi musim penculikan…..
********************
"Ayah, ke manakah kita pergi? Apakah akan kembali ke Pulau Neraka?" tanya Hwee Li kepada ayahnya ketika mereka dibawa terbang di atas punggung garudanya.
"Tidak, Hwee Li. Pulau Neraka terlalu jauh dan aku sudah tidak suka tinggal di tempat buruk itu. Aku malah tidak mau kembali lagi ke sana."
"Kalau begitu, kita pergi ke mana?"
"Ke tempatku yang baru."
"Di mana itu, Ayah?"
"Ha-ha, kau sudah pernah mengunjunginya. Di lembah Huang-ho."
"Lembah Huang-ho?" Dara itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Maksudmu di sarang Huang-ho Kui-liong-pang?"
"Ha-ha-ha, engkau memang anakku yang amat cerdik. Benar di sana. Tempat indah itu menjadi tempat tinggal kita yang baru."
"Ehh, bukankah di sana tinggal ketua Kui-liong-pang, musuh besar Ayah sendiri, yaitu Hek-hwa Lo-kwi?"
"Hemmm, dalam hal ini engkau masih bodoh dan tidak mengerti, anakku. Ada waktunya menjadi musuh, ada pula waktunya menjadi sahabat, semua disesuaikan dengan waktu dan keadaan. Ha-ha-ha!"
Hwee Li paling tidak suka melihat ayahnya tertawa. Kalau ayahnya bersikap biasa, maka ayahnya kelihatan sebagai seorang raksasa yang berwibawa. Akan tetapi kalau sudah tertawa dan kelihatan gigi yang bertaring itu, dia merasa jijik dan malu. Kalau tertawa, ayahnya amat menyeramkan seperti iblis saja, atau seperti seekor binatang buas!
"Kenapa Ayah tinggal di tempat orang 1ain!"
"Hek-hwa Lo-kwi bukan orang lain, anakku. Dia seorang sekutu!"
"Hemmm, agaknya Ayah sudah main-main lagi dengan persekutuan. Apakah Ayah tidak jera setelah mengalami kegagalan ketika Ayah dulu membantu pemberontak she Liong itu? Hampir saja Ayah celaka dan kehilangan banyak anak buah."
"Hemmmm, sekali ini lain lagi persoalannya, anakku. Bukan pemberontak biasa yang kubantu, melainkan seorang pangeran tulen, dari kerajaan besar Nepal."
"Ahhh... Ayah maksudkan orang she Liong itu? Peranakan Nepal dan putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong itu?"
"Benar, murid dari Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal yang sakti. Dia seorang muda yang amat pandai, seorang calon kaisar yang amat hebat, heh-heh-heh!"
"Dan aku amat benci padanya!" tiba-tiba Hwee Li berkata.
"Ehhh, mengapa, anakku?"
"Kulitnya hitam coklat..."
"Menambah manis dan jantan!"
"Hidungnya melengkung..."
"Tanda dia bernafsu besar dan kuat, heh-heh!"
"Matanya cekung..."
"Itu menunjukkan bahwa dia memiliki kecerdikan..."
"Ah, pendeknya aku tidak suka kepadanya. Pandang matanya cabul dan genit, Ayah. Aku sudah ingin menamparnya ketika kami bertemu di sana dan dia memandangku dengan mata seolah-olah hendak menelanjangiku. Huh!"
"Ha-ha-ha, begitulah kalau seorang pria sudah jatuh cinta! Dan pria mana yang tidak akan tergila-gila kepada anakku yang cantik jelita dan manis ini? Haha-ha!"
"Ahhh, aku tidak suka kalau Ayah bicara seperti itu!" Hwee Li bersungut-sungut dan menjambak bulu di leher garudanya sehingga garuda itu memekik kesakitan dan terbang makin cepat lagi. Ayahnya hanya tertawa-tawa akan tetapi tidak bicara lagi karena maklum bahwa puterinya masih marah-marah.
Benarkah ucapan Hek-tiauw Lo-mo, ayah Hwee Li itu, bahwa dia kini telah menjadi sekutu dari Hek-hwa Lo-kwi ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan betapa dahulu, Hek-tiauw Lo-mo pernah bermusuhan secara hebat dengan Hek-hwa Lo-kwi.
Hek-hwa Lo-kwi dahulu bernama Thio Sek, seorang pelayan dari manusia dewa yang amat terkenal sebagai penghuni Istana Gurun Pasir dan dikenal sebagai Go-bi Bu Beng Lojin atau juga Si Dewa Bongkok. Sebagai pelayan manusia sakti ini, sudah tentu saja Hek-hwa Lo-kwi juga memiliki kepandaian tinggi. Pada suatu hari, muncullah Hek-tiauw Lo-mo untuk mencuri kitab pusaka milik Si Dewa Bongkok.
Dengan bekerja sama bersama Thio Sek, berhasillah dua orang ini mencuri sebuah kitab pusaka tentang ilmu pukulan beracun. Keduanya lalu melarikan kitab itu, tetapi di tengah jalan mereka bercekcok dan saling memperebutkan kitab. Mereka bertanding dan karena keduanya memiliki tingkat kepandaian yang seimbang, akhirnya mereka menguasai seorang separoh dari kitab yang terobek dalam perebutan itu. Mereka mempelajari bagian masing-masing dan sampai bertahun-tahun menjadi musuh, akan tetapi keadaan mereka selalu seimbang. Dua orang yang tadinya menjadi kawan ketika maling kitab, berubah menjadi musuh.
Akan tetapi sekarang, dengan munculnya Liong Bian Cu, Pangeran Nepal yang pandai menarik hati orang-orang kang-ouw itu, mereka menjadi sekutu lagi. Kali ini keduanya yang sudah merasa tua ingin sekali memperoleh kedudukan, mengandalkan kedudukan Pangeran Nepal itu, agar mereka kelak akan mengakhiri kehidupan mereka sebagai pembesar-pembesar terhormat!
Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengunjungi lembah itu, tadinya dengan maksud menentang Hek-hwa Lo-kwi, dia bertemu dengan Liong Bian Cu, Ban Hwa Sengjin dan para pembantu pangeran itu. Liong Bian Cu berhasil membujuk Hek-tiauw Lo-mo dan akhirnya Hok-tiauw Lo-mo terpikat pula, bahkan lalu masuk dalam persekutuan itu, apa lagi ketika dia melihat betapa keadaan Liong Bian Cu sebagai pangeran dan sebagai murid Koksu Nepal, amatlah kuatnya.
Dia mendengar bahwa puterinya telah mewakilinya dia mengunjungi lembah itu, dan giranglah hatinya ketika dalam pembicaraannya dengan Pangeran Nepal itu, dia mendengar bahwa pangeran itu ternyata amat tertarik dan agaknya jatuh hati kepada puterinya! Kalau saja dia dapat menjadi mertua dari Pangeran Nepal ini. Dan kelak, kalau pangeran ini menjadi Raja Nepal, dia menjadi mertua raja! Apa lagi kalau pangeran ini berhasil menjadi kaisar, dia menjadi mertua kaisar. Pangkat dan kemuliaan apa lagi yang dapat lebih tinggi lagi dari pada itu? Maka dia lalu berpamit dari lembah dan pergi untuk mencari puterinya, dengan satu tujuan di dalam benaknya, yaitu dengan cara apa pun dia akan menyerahkan puterinya kepada Liong Bian Cu sebagai Isterinya! Beberapa orang anak buahnya membantunya mencari Hwee Li! dan akhirnya dia menemukan puterinya itu di tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.
Atas petunjuk Hek-tiauw Lo-mo, Hwee Li menyuruh garudanya menukik turun. Dari atas dia sudah melihat lembah itu dan dia memandang heran. Lembah yang dikenalnya sebagai tempat tinggal atau sarang Hek-hwa Lo-kwi itu kini telah berubah. Masih sukar untuk didatangi dari darat tanpa melalui jalan rahasia, akan tetapi kini dari atas nampak betapa lembah itu telah dikurung air!
Ternyata bahwa air yang meluap dan membanjiri lembah akibat ledakan-ledakan alat peledak Siluman Kucing dahulu itu, telah membentuk genangan air seperti telaga di sekitar lembah dan oleh Hek-hwa Lo-kwi, air itu malah dipergunakan untuk memperkuat bentengnya. Dengan adanya air yang mengurung lembah itu, maka makin sukarlah bagi orang luar untuk dapat menyerbu ke lembah. Mereka harus lebih dulu menyeberangi air yang lebarnya lebih dari dua puluh tombak itu, air yang cukup dalam karena oleh Hek-hwa Lo-kwi telah digali dan diperdalam dan tidak ada jembatan yang menghubungkan lembah dengan seberang air seperti sungai atau telaga itu.
Garuda itu menukik turun dan akhirnya hinggap di atas tanah di depan bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Hek-hwa Lo-kwi. Dari atas sudah nampak banyak orang berdiri di luar bangunan itu menyambut kedatangan ayah dan anak yang aneh itu. Ketika Hwee Li dan ayahnya meloncat dari atas punggung garuda, dara ini memutar tubuh dan memandang. Alisnya berkerut ketika wajah pertama yang dilihatnya justeru adalah wajah yang amat dibencinya, wajah Liong Bian Cu sendiri! Laki-laki yang tinggi tegap ini memakai pakaian indah, dan dia sudah menjura dengan hormatnya dan tersenyum penuh keramahan kepada Hwee Li.
"Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, sungguh mengagumkan sekali betapa dalam waktu singkat Locianpwe dapat menemukan puterimu!" katanya kepada Hek-tiauw lo-mo yang tertawa bergelak penuh kebanggaan.
"Nona Hwee Li, selamat datang di lembah dan mudah-mudahan engkau tadi menikmati perjalanan menyenangkan sekali," katanya kepada Hwee Li sambil tersenyum. Giginya putih dan rata, hidungnya yang agak melengkung itu bergerak-gerak.
Sesungguhnya pria ini cukup tampan dan juga gagah sekali, tetapi entah mengapa, Hwee Li merasa tidak suka kepadanya. Agaknya hal itu ditimbulkan oleh pandang mata yang memang jalang dan menembus itu, yang terpancar dari sepasang mata yang cekung dan tajam bukan main.
"Hemmm...!" Hwee Li hanya mengeluarkan suara dari hidungnya tanpa menjawab.
"Hwee Li, kau sedang diajak bicara oleh Pangeran. Jawablah, jangan membikin malu Ayahmu seolah-olah engkau tidak pernah dididik kesopanan!" kata Hek-tiauw Lo-mo kepada puterinya.
Makin dalam kerut pada alis dara itu. Dia merasa makin tidak senang dan juga terheran heran. Sejak kapankah ayahnya menjadi seorang penjilat dan seorang yang mengenal kesopanan? Biasanya, dahulu dia yang sering kali merasa malu karena ayahnya adalah seorang yang sama sekali tidak mempedulikan tata susila atau sopan santun! Karena di situ terdapat banyak orang, dan tentu saja dia tidak mau membikin malu ayahnya, maka dia lalu balas menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara kaku, "Terima kasih, Ayahku memaksa aku berkunjung ke sini, mudah-mudahan tidak mengganggu siapa pun!" Sambil berkata demikian, dia melirik kepada Hek-hwa Lo-kwi yang dia tahu adalah tuan rumahnya.
Kembali ia terheran-heran sebab Hek-hwa Lo-kwi hanya mengangguk sambil tersenyum saja sedangkan yang menjawabnya adalah pangeran itu, "Ha-ha-ha... tidak sama sekali, Nona! Saya percaya bahwa Hek-hwa Lo-kwi locianpwe bahkan akan merasa terhormat dan girang dengan kunjunganmu ini. Siapa yang tak kan merasa terhormat dan gembira menerima kunjungan seorang seperti engkau, Nona? Nona tentu telah merasa lelah sekali, maka silakan Nona beristirahat di kamar yang telah kami sediakan, menyegarkan diri baru kemudian kita makan dalam pesta yang kami selenggarakan untuk menyambut kedatangan Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dan Nona Kim Hwee Li!" Pangeran itu lalu bertepuk tangan dan muncullah empat orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu.
"Kalian antar Nona Hwee Li ke kamarnya dan layani baik-baik!" perintah pangeran itu.
"Silakan, Siocia...," seorang pelayan memberi hormat kepada Hwee Li.
Dara ini tadinya hendak menolak. Tidak biasa dia diperlakukan seperti seorang puteri dan dilayani orang, tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan mata ayahnya, dia melihat ayahnya menganggukkan kepala dan pandang matanya ayahnya itu seperti dia memaksanya. Dengan gerakan marah dia memutar tubuh lalu mengikuti para pelayan itu memasuki gedung yang besar dan akhirnya dipersilakan masuk ke sebuah kamar yang amat indah. Begitu masuk, Hwee Li terpesona. Hebat bukan main kamar ini. Selain besar dan luas, juga dihias seperti kamar seorang puteri istana saja layaknya.
Dia berdiri dan memandang ke kanan kiri. Sebuah dipan berada di tengah kamar, dipan yang terbuat dari kayu indah terukir dan terhias emas dan permata, terletak di atas permadani merah yang tebal dan berbulu, permadani yang terhampar memenuhi kamar itu. Di dekat pembaringan terdapat meja dengan empat kursinya dari kayu ukir-ukiran dan halus mengkilap amat indahnya, merupakan hasil seni ukir yang menakjubkan.
Pot-pot bunga berukiran gambar naga dan burung dewata menghias sudut-sudut kamar dan di sebelah kiri nampak meja rias yang mungil, dengan piring cermin dari perak mengkilap tergantung di dinding, dan di atas meja itu nampak lengkap alat-alat rias seperti bedak, yan-ci (pemerah pipi), gincu, sisir, tusuk konde emas, minyak wangi dan sebagainya. Dan dari pintu kecil di belakang yang menyambung dengan kamar itu, yang daun pintunya terbuka sedikit, nampak kolam mandi dari batu pualam! Sebuah kamar yang amat indah dan mewah dan dari jendela yang bentuknya seperti bulan purnama dan terhias pot-pot bunga itu dia dapat melihat sebuah kamar kecil yang indah pula di luar kamar. Benar-benar merupakan kamar seorang puteri raja!
"Siocia, mari kami bantu Siocia menanggalkan pakaian..."
"Biar kami membantu Siocia mandi..."
"Rambut Siocia kusut dan agak kotor terkena debu, perlu dikeramasi lalu disikat..."
Keempat orang pelayan itu lalu menghampiri Hwee Li dan mengulurkan tangan hendak membantu dara itu agar menanggalkan pakaian untuk mandi. Hwee Li membelalakkan matanya dan mengepal tinju, lalu menghardik, "Pergi kalian dari sini!"
Empat orang pelayan itu terkejut, akan tetapi mereka telah menerima perintah dari majikan mereka untuk melayani nona ini sebaiknya, "Siocia, kami..."
"Cukup! Cepat kalian menggelinding keluar dari kamar ini, kalau tidak, kalian akan kulemparkan satu demi satu!"
"Siocia..." Mereka masih nekat.
Mereka adalah empat orang di antara para pelayan Pangeran Nepal itu dan mereka adalah pelayan-pelayan terlatih yang menguasai ilmu silat dan ilmu gulat, maka ancaman Hwee Li tidak membuat mereka takut. Mereka sudah terlatih dan sudah biasa menghadapi dara cantik jelita yang dipersiapkan untuk melayani majikan mereka. Dan biar pun mereka sudah mendengar bahwa puteri Hek-tiauw Lo-mo ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, mereka tidak khawatlr karena mereka mengira bahwa sepandai pandainya seorang dara remaja seperti ini, mana mungkin dapat mengalahkan mereka berempat?
Apa lagi mereka melihat bahwa Hwee Li begitu cantik dan masih begitu muda, dan mereka dapat melihat dari sikap Pangeran Liong Bian Cu bahwa pangeran itu benar benar jatuh cinta kepada dara ini sehingga sebelum dara ini tiba pun kamar yang amat indah itu telah dipersiapkan olehnya! Maka, mereka berempat tentu saja tidak mau meninggalkan Hwee Li, karena kalau mereka mampu membujuk sehingga dara ini dengan hati terbuka mau melayani majikan mereka, mau menerima cintanya, tentu mereka akan menerima ganjaran besar!
"Siocia, kami hanya membantu..."
"Cerewet!" bentak Hwee Li, dan dia menggerakkan tangan kirinya untuk mendorong.
Akan tetapi, dengan cepat wanita itu mengelak ke kanan dan tiba-tiba saja tangannya telah menangkap pergelangan tangan kiri Hwee Li. Itulah gerakan seorang ahli gulat yang amat cekatan dan biar pun pelayan itu berlaku hati-hati sehingga tangkapannya tidak akan menyakitkan orang, namun jelas bahwa di bawah kulit telapak tangannya terkandung getaran tenaga yang kuat sehingga tangkapan itu pun erat sekali!
"Kalian mencari mampus!" Hwee Li berseru ketika tiga orang pelayan yang lain juga sudah memegangnya dari kanan kiri dan belakang.
Mendadak Hwee Li mengguncang tubuhnya sambil mengerahkan sinkang-nya. Tentu saja empat orang pelayan itu sama sekali bukan lawan puteri majikan Pulau Neraka ini. Mereka terguncang dan pegangan mereka terlepas semua, kemudian sebelum mereka tahu apa yang menimpa mereka, tubuh mereka satu demi satu melayang keluar dari pintu kamar mewah itu. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh empat orang pelayan itu terbanting di luar kamar, diiringi keluhan dan rintihan mereka.
Tiba-tiba di luar pintu itu muncul Liong Bian Cu, diiringi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu memandang kepada puterinya dan menegur, "Ehhh, Hwee Li, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan tadi?"
Kembali Hwee Li merasa terheran karena jelas bahwa di dalam pertanyaan ayahnya itu mengandung penyesalan terhadapnya dan terkandung rasa sungkan terhadap Sang Pangeran Nepal itu! Diam-diam dia merasa muak dan marah. Mengapa ayahnya tiba tiba menjadi seorang penjilat? Mana kegagahan ketua Pulau Neraka?
"Mereka memang layak dihajar!" katanya tak acuh dan sama sekali tidak merasa takut menghadapi Pangeran Nepal itu.
Liong Bian Cu tersenyum lebar dan menjura, sikapnya halus memikat. "Maaf, Nona. Apakah empat orang pelayan itu bersikap kurang ajar kepadamu? Apakah mereka tidak menyenangkan hatimu? Kalau begitu, katakanlah dan aku akan membunuh mereka atau menyiksa mereka di depan kakimu sekarang juga!"
Hwee Li cemberut. Sikap ayahnyalah yang membuat dia marah, bukan sikap pangeran itu. Jika saja ayahnya tak bersikap seperti itu, berubah sama sekali dari pada biasanya, agaknya sikap pangeran ini akan menyenangkan hatinya juga. Maka kemarahannya lalu dia lontarkan kepada pangeran itu. Dengan kaku dan kasar dia menjawab, "Mereka adalah orang-orangmu. Mau siksa atau mau bunuh terserah, tiada sangkut-pautnya dengan aku!" Lalu dia membuang muka, kedua pipinya merah dan terasa panas karena marahnya.
"Hwee Li!" Ayahnya membentak marah. "Pangeran telah bersikap demikian hormat dan ramah kepadamu, pantaskah sikap dan jawabanmu ini?"
Hwee Li menoleh kepada ayahnya. Mereka saling pandang dan baru sekarang Hwee Li melihat pandang mata ayahnya kepadanya demikian penuh kemarahan. Selamanya, pandang mata ayahnya kepadanya selalu lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi kini ayahnya memandangnya dengan mata melotot marah. Hal ini amat menyakitkan hatinya dan tak terasa lagi dua titik air mata membasahi matanya!
"Sudahlah, Locianpwe, jangan marah kepadanya. Nona Hwee Li, kalau para pelayanku tidak menyenangkan hatimu, biarlah aku yang minta maaf kepadamu!" Sambil berkata demikian, pangaran itu benar-benar menjura kepada Hwee Li!
Diam-diam gadis ini terkejut dan merasa heran juga. Pangeran ini ternyata seorang yang amat hormat kepadanya, sungguh pun pandang matanya amat menjijikkan dan membuat dia merasa seperti telanjang bulat kalau berhadapan dengan pangeran itu. Melihat sikap yang amat hormat ini, juga amat merendah, padahal pemuda berusia tiga puluhan tahun ini benar-benar seorang pangeran yang kaya raya dan berpengaruh, pula melihat betapa ayahnya marah-marah kepadanya, maka kemendongkolan hatinya agaknya mereda. Biar pun sikapnya masih acuh tak acuh, namun suaranya tidaklah sekaku dan sekasar tadi ketika dia berkata kepada Liong Bian Cu.
"Mereka tidak apa-apa, hanya aku tidak senang dilayani, aku ingin tinggal sendirian di kamar ini."
"Eh, begitukah? Baiklah, Nona." Dia lalu menoleh kepada empat orang pelayan wanita yang sudah berlutut di situ dengan muka pucat dan sikap ketakutan.
Hwee Li percaya bahwa sekali dia bilang ‘mati’, agaknya tanpa dapat diragukan lagi pangeran itu tentu akan membunuh mereka berempat!.
"Hei, dengarkan baik-baik kalian berempat! Kalian sama sekali tidak boleh masuk ke dalam kamar ini, melainkan siap di luar kamar dan baru masuk kalau Siocia memanggil dan membutuhkanmu. Mengerti?" Empat orang itu lalu memberi hormat dengan dahi menyentuh lantai.
"Nah, beristirahatlah, Nona Hwee Li. Sebentar lagi kita bertemu lagi di ruang dalam, di mana akan diadakan pesta perjamuan makan untuk menyambut kedatanganmu." Pangeran itu menjura lagi lalu pergi, diikuti oleh Hek-tiauw Lo-mo yang melirik penuh desakan kepada puterinya.
Setelah mereka pergi, dan melihat empat orang pelayan itu masih berlutut di situ, Hwee Li menutupkan daun pintu keras-keras dengan hati mengkal. Lalu dia menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kasur itu lantas bergoyang-goyang naik turun, mengayun-ayun tubuhnya. Ternyata pembaringan itu selain berkasur tebal juga dipasangi per sehingga amat enak di tiduri.
Hwee Li memejamkan matanya, kemudian membukanya lagi, termenung. Dia sungguh merasa penasaran dan heran melihat perubahan pada watak ayahnya. Akan tetapi, ayahnya adalah seorang yang dikenalnya sebagai orang yang amat cerdik. Tidak mungkin ayahnya menjadi penjilat. Tentu ada apa-apa di balik semua sikap ayahnya itu.
Ayahnya sedang bersiasat! Pikiran ini mengusir rasa penasaran di hatinya, dan tak lama kemudian wajah yang cantik itu telah berseri kembali. Sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia duduk di depan meja rias dan memandangi wajahnya sendiri. Dia membuat berbagai gerakan dengan lehernya, menggerakkan kepalanya miring ke kanan dan ke kiri, lalu menggerak-gerakkan alisnya, matanya, hidungnya dan mulutnya. Dia merasa puas. Dia cantik memang! Dan timbul rasa bangga di hatinya.
Pangeran hidung betet itu agaknya tergila-gila kepadanya! Kini baru terasa olehnya betapa mesra pandang mata pangeran itu, betapa halus dan hormat sikapnya. Bahkan pangeran itu tidak segan-segan untuk menjura dan minta maaf kepadanya untuk urusan kecil tadi!
Hwee Li adalah seorang gadis yang mempunyai watak lincah jenaka dan gembira, maka dia tidak bisa lama-lama berada dalam keadaan marah atau berduka. Sesaat kemudian dia sudah merendam tubuhnya di kolam mandi dan terdengar mulutnya bersenandung! Setelah merasa tubuhnya segar sekali, dia baru keluar dari kolam, mengeringkan tubuhnya dengan kain bersih yang tersedia di situ, kemudian keluar dari kamar mandi, kembali ke dalam kamar dalam keadaan telanjang bulat.
Seperti seekor kijang muda dia lalu melangkah kecil-kecil menuju ke depan meja rias, memutar-mutar tubuhnya yang telanjang di depan cermin perak, mengagumi bentuk tubuhnya sendiri yang padat dengan lekuk lengkung sempurna itu, kulitnya yang putih halus, mengagumi dadanya yang sebagian tertutup oleh rambutnya yang hitam halus, membayangkan bukit-bukit dadanya dan timbul kebanggaan di dalam hatinya. Dia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, bagaikan sebutir buah yang sedang meranum. Kesadaran bahwa dia cantik dan memiliki tubuh yang indah, mendatangkan kebanggaan dan dia berjanji dalam hati tidak akan menyerahkan dirinya secara murah kepada siapa pun, apa lagi kepada pangeran berhidung betet itu!
Ketika Hwee Li mengambil pakaiannya yang tadi ditanggalkannya dan ditumpuknya di atas pembaringan, alisnya berkerut. Tubuhnya sudah segar dan bersih, akan tetapi pakaiannya itu sudah kusut dan kotor! Dia teringat akan lemari yang berdiri di sudut kamar. Dihampirinya lemari itu dan dibukanya. Penuh dengan pakaian! Pakaian wanita, serba indah dan semua terbuat dari pada kain sutera yang mahal! Dipilihya pakaian dalam beserta celananya yang terbuat dari kain tipis licin berwarna merah muda, didekatkan kepada tubuhnya. Ukurannya persis!
Dia terheran-heran. Milik siapakah pakaian-pakaian ini? Kenapa semua masih baru dan belum ada yang bekas? Dan kenapa pula ukuran tubuh pemilik pakaian itu sama benar dengan ukuran tubuhnya? Dipakainya pakaian dalam itu. Dan dugaannya memang benar. Persis betul seperti memang sengaja dibuat untuk dia! Dipilihnya baju dan celana berwarna biru. Dia paling suka memakai pakaian hitam, akan tetapi pakaian selemari itu tiada yang hitam, maka dia memilih yang biru tua, satu-satunya warna yang mendekati warna hitam. Lalu dipakainya pula.
Ketika dia sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias, daun pintunya terketuk dari luar. Hwee Li mencelat kaget. Dia merasa ‘berdosa’ karena telah memakai pakaian orang lain dan tiba-tiba daun pintu terketuk, maka tentu saja dia kaget bukan main.
"Siapa?" bentaknya, karena dia mengira bahwa yang mengetuk pintu tentulah pangeran ceriwis itu, maka disambutnya lebih dulu dengan suara ketus.
"Hwee Li, bukalah pintunya. Aku mau bicara denganmu."
Suara ayahnya! Hwee Li kemudian menghampiri pintu dan sebelum membukanya dia bertanya, "Ayah datang dengan siapa? Kalau sendirian baru aku mau membuka pintu."
"Ha-ha-ha, anak bodoh. Tentu saja aku datang sendirian. Bukalah!"
Hwee Li membuka pintu dan ayahnya masuk ke dalam kamar sambil membelalakkan matanya, hidungnya yang besar berkembang-kempis dan dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh kagum. "Hemmm, harumnya! Dan kau begini segar, dan pakaian biru itu pantas sekali bagimu!"
"Ayah, aku lebih senang pakaian hitamku sendiri. Akan tetapi pakaianku kotor dan aku pinjam pakaian orang yang berada di dalam lemari itu..." Dia menuding ke arah lemari di sudut.
"Pakaian orang? Ha-ha-ha, anak bodoh, itu adalah pakaianmu semua! Dan hal itu membuktikan kebaikan hati Pangeran Liong Bian Cu kepadamu, kepada kita! Sungguh, selama hidupku belum pernah aku bertemu orang sebaik dia. Selain kamar ini yang sudah dipersiapkan sebelum kau datang, juga pakaian-pakaian itu telah disuruhnya buat untukmu, Hwee Li."
"Ahhh...!" Hwee Li terkejut sekali. "Dia membuatkan pakaian untukku? Bagaimana bisa, begini pas ukurannya?"
"Ha-ha-ha, tentu saja aku yang memberi tahu."
"Ayah! Kenapa Ayah begitu... merendah kepadanya? Kalau ini pakaian yang sengaja dia buatkan untukku, maka biarlah aku memakai pakaianku sendiri!" Hwee Li sudah memegang bajunya seperti orang hendak menanggalkannya.
"Eh, eh... jangan begitu Hwee Li. Kau tidak tahu! Duduklah dan dengarkan kata-kataku."
Hwee Li menjadi sangat girang. Tepat dugaannya. Tentu ada apa-apanya di balik sikap ayahnya yang seperti menjilat-jilat pangeran itu. Maka dia segera duduk menghadapi ayahnya, terhalang oleh meja berukir indah itu.
"Kau tidak tahu siapa Pangeran Liong Bian Cu. Dia adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan ibunya adalah Puteri dari Nepal, maka dia adalah cucu Raja Nepal sendiri! Dan siapa gurunya? Gurunya adalah seorang manusia sakti yang tingkat kepandaiannya tinggi sekali, mungkin tidak kalah olehku, dan gurunya itu adalah koksu dari Nepal!"
"Hemmm, aku sudah mendengar akan hal itu, Ayah. Lalu apa artinya bagi kita?" Hwee Li menjawab dan bibirnya berjebi, memandang rendah pangeran itu.
"Artinya? Anak bodoh! Artinya, pangeran itu kelak mempunyai kesempatan besar untuk menjadi Raja Nepal! Bukan itu saja, dia amat cerdik dan pandai, dengan mudahnya dia telah dapat menguasai Gubernur Ho-nan. Dia mempunyai banyak pembantu yang amat lihai sehingga aku tidak ragu-ragu bahwa kelak dia akan berhasil menguasai daratan Tiongkok dan menjadi seorang kaisar!"
Hwee Li masih tersenyum mengejek. "Hemmm, habis mengapa? Dia boleh jadi raja neraka sekali pun, apa hubungannya dengan kita?"
Ayahnya membelalakkan matanya sampai lebar sekali. "Oooh-ho-ho-ho-ho! Engkau sungguh bodoh dan polos, tidak tahu apa-apa, anakku!"
"Tidak, Ayah. Aku tahu semuanya. Aku tahu bahwa Ayah menjilat-jilat karena Ayah ingin memperolah kedudukan kelak di dekat pangeran itu. Bukan begitu?"
Hek-tiauw Lo-mo mengepal tinjunya. "Kau kira aku orang seperti apa yang suka menjilat dan merendahkan diri begitu saja? Akan tetapi, aku makin tua, Hwee Li, dan selama ini aku hidup dalam dunia yang keras dan penuh dengan kesukaran, penuh kemiskinan dan kehinaan. Aku sudah tua. Aku ingin mati sebagai seorang yang terhormat dan mulia, seseorang yang berkedudukan tinggi. Aku tidak ingin kelak mati sebagai seorang liar dari Pulau Neraka. Tidak! Aku ingin mati meninggalkan nama sebagai seorang mulia, seorang bangsawan tinggi!"
"Hemmm, terserah pada Ayah. Akan tetapi aku tidak sudi menjilat pangeran itu karena aku tidak menghendaki apa-apa darinya, Ayah. Bahkan pakaian ini pun tidak!" Berkata demikian, Hwee Li menyambar pakaian hitamnya sendiri dan lari ke dalam kamar mandi. Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kain dirobek-robek.
"Hwee Li, jangan begitu...! Jangan kau menyia-nyiakan kebaikan orang lain..."
"Peduli!" Hwee Li menjawab dengan marah dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dari kamar mandi, kini mengenakan pakaian hitamnya sendiri sedangkan pakaian bagus berwarna biru dan pakaian dalam berwarna merah muda sudah robek-robek dan berserakan di kamar mandi.
Wajah kakek raksasa itu menjadi merah dan dia bangkit berdiri, memandang kepada puterinya yang juga berdiri di depannya dan menentang pandang mata ayahnya dengan berani. "Hwee Li, engkau adalah puteriku! Apakah engkau tak mau menaati perintahku? Apakah engkau hendak menjadi anak yang tidak berbakti?"
Hwee Li mengerutkan alisnya. "Ayah, aku tidak melarang Ayah menghambakan diri kepada pangeran itu, aku tidak menentang Ayah. Akan tetapi aku sendiri tidak mau ikut campur dan aku hendak pergi dari sini sekarang juga agar jangan berhutang budi kepada pangeran atau kepada siapa pun juga."
"Tidak boleh! Engkau harus berada di sini, Hwee Li, membantu usahaku!"
"Akan tetapi aku tidak butuh bantuan pangeran."
"Aku butuh! Dan aku ingin menjadi mertuanya, maka engkau tidak boleh pergi!"
Ucapan itu seolah-olah kilat yang menyambar kepala Hwee Li. Seketika wajahnya menjadi pucat sekali, lalu berubah merah dan matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang ayahnya.
"Apa kata Ayah? Menjadi mertuanya? Jadi aku... aku...!"
"Engkau akan menjadi isterinya, menjadi permaisurinya. Dia amat mencintamu, Hwee Li. Dia berterus terang kepadaku bahwa dia telah jatuh hati kepadamu ketika untuk pertama kali bertemu denganmu di tempat ini. Ingat? Dan lihat betapa dia telah menyediakan segala-galanya untukmu. Engkau akan menjadi isteri pangeran, dan kelak menjadi Permaisuri Nepal, kemudian mungkin menjadi permaisuri kaisar! Dan aku mertua kaisar! Ha-ha, bukankah hebat sekali kedudukan kita kelak, anakku?”
Akan tetapi Hwee Li sudah tidak mendengarkan kata-kata ayahnya lagi karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat keluar dari situ.
"Hwee Li...!" Ayahnya mengejar.
"Ayah, aku mau pergi dari sini!" terdengar dara itu menjawab.
"Apa kau ingin Ayahmu menggunakan kekerasan?" bentak ayahnya sambil mengejar.
Jantung Hwee Li berdebar keras! Baru sekarang selama hidupnya dia diancam oleh ayahnya sendiri! Ayahnya yang dulu selalu memanjakannya, yang tak pernah bersikap keras padanya sungguh pun dia tahu ayahnya amat keras kepada orang lain. Ia terisak dan melanjutkan larinya. Dia tidak mempedulikan orang-orang yang memandangnya dengan heran di dalam gedung itu dan dia terus lari keluar dengan cepat, siap untuk menyerang siapa saja yang akan menghalangi larinya. Akan tetapi tidak ada orang yang menghalanginya, kecuali ayahnya yang mengejarnya dari belakang.
Sejak dia menjadi murid Ceng Ceng dan juga menerima petunjuk dari suami subo-nya itu, Hwee Li telah memperoleh kemajuan hebat sehingga ginkang-nya juga meningkat dengan luar biasa. Maka dia dapat melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan ayahnya. Banyak sekali para anggota Huang-ho Kui-liong-pang yang melihat gadis ini berlari-lari dikejar ayahnya, akan tetapi mereka hanya memandang dan tidak berani mencampuri. Juga anak buah Liong Bian Cu hanya menonton. Bahkan di dalam larinya, Hwee Li melihat Hek-hwa Lo-kwi duduk di bawah sebatang pohon sambil tersenyum melihat Hek-tiauw Lo-mo mengejar-ngejar puterinya.
Hwee Li berlari cepat sampai di lembah dan bukan main kagetnya ketika dia melihat telaga atau sungai menghadang di depannya. Dia berlari terus di sepanjang tepi sungai itu, akan tetapi sungai itu terus saja tiada putusnya karena air itu mengitari lembah! Teringatlah Hwee Li akan pemandangan lembah itu dari atas ketika dia datang bersama ayahnya menunggang garuda, maka tahulah dia bahwa tempat itu memang sudah dikelilingi air yang amat luas.
Melihat bahwa bayangan ayahnya sudah tidak mengejarnya lagi, mendadak Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring, memanggil burung garudanya. Beberapa kali dia melengking nyaring, akan tetapi garudanya tidak kunjung datang. Padahal biasanya, sekali saja dia memanggil, betapa pun jauhnya garuda itu terbang, dia akan mendengar dan akan datang, atau setidaknya menjawab dengan lengking yang sama.
Kembali dia melengking nyaring dan sekali ini ada jawaban, akan tetapi jawaban itu membuat Hwee Li terkejut. Jawaban yang nyaring itu terdengar dari dalam gedung! Dan yang lebih menggelisahkan hatinya lagi, jawaban itu terdengar mengandung keluhan yang membuat dia mengerti bahwa garudanya berada dalam keadaan tidak berdaya untuk datang ke situ. Jelas bahwa garuda itu tentu telah diikat atau dikurung sehingga percuma saja dia memanggilnya!
"Hwee Li jangan pergi...!"
Hwee Li meloncat dan lari lagi ketika mendengar suara ayahnya itu. Kini dia lari sambil meneliti dan tiba-tiba hatinya girang melihat sebuah perahu di tepi pantai. Cepat dia menghampiri perahu itu, menyambar dayungnya, lalu mengempit perahu itu sambil mengerahkan tenaganya dan membawanya lari ke air. Dia melontarkan perahu itu ke atas air, lalu meloncat ke dalamnya dan mendayung secepatnya ke tengah!
Hatinya sudah merasa lega dan girang karena dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Begitu terkena air, perahu itu pecah-pecah dan sambungannya terlepas! Tentu saja tanpa dapat dicegah lagi, dia tercebur ke dalam air! Padahal sungai itu amat luas dan dia baru saja meninggalkan pantai lembah. Untuk berenang menyeberangi sungai itu sama dengan membunuh diri, karena dia bukan ahli, biar pun dia dapat berenang sekedar untuk mencegah agar dia tidak tenggelam saja. Maka terpaksa dia menggerakkan kaki tangannya berenang kembali ke pantai, pantai lembah, bukan pantai di seberang!
Ketika dengan pakaian dan rambut basah kuyup, dengan mulut menyumpah-nyumpah dia merangkak keluar dari air, dia disambut oleh suara ketawa ayahnya yang sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bersedakap. Begitu mendongkol hati Hwee Li sehingga kalau saja bukan ayahnya yang mentertawakan, tentu orang itu akan diserangnya atau dimakinya habis-habisan. Dia hanya berdiri melotot memandang kepada ayahnya, penuh kemarahan.
"Ayah, kau... kau kejam!" akhirnya dia berkata dan menangis terisak-isak.
Ayahnya menghampirinya. "Hwee Li, siapa bilang aku kejam? Engkaulah yang terlalu, tidak mau mentaati perintah Ayahmu. Aku ingin mengangkat dirimu menjadi seorang yang mulia dan terhormat, akan tetapi engkau malah hendak menghancurkan rencana hidup Ayahmu. Jangan kira kau akan dapat pergi dari sini, anakku. Mau atau tidak mau, engkau harus menjadi isteri pangeran yang cinta kepadamu."
Watak Hwee Li memang keras. Begitu mendengar kata-kata ‘harus’, dadanya diangkat, kepalanya ditegakkan, dan dia bertanya dengan air matanya bercampur dengan air sungai yang mengalir turun dari rambutnya, "Kalau aku tidak sudi?"
"Kau akan dipaksa! Nah, boleh kau pilih. Engkau menjadi isterinya secara terhormat atau menjadi isterinya dengan lebih dulu dipaksa, seperti seekor kuda betina liar yang dijinakkan!"
Hwee Li membelalakkan kedua matanya, hampir tidak dapat percaya akan kata-kata ayahnya. Tidak mungkin ayahnya akan berbuat sekeji, itu. "Ayah! Kau... kau...," dia tak dapat melanjutkan, hanya menangis keras.
"Tiada gunanya engkau menangis, Hwee Li. Jika engkau mentaati permintaanku, berarti engkau menjadi puteriku tersayang, akan tetapi kalau kau menentang kehendakku, berarti engkau adalah musuhku! Dan engkau tentu tahu apa jadinya dengan musuh Hek-tiauw Lo-mo!"
"Biar sampai mati aku tidak sudi! Aku mau melihat siapa berani memaksaku!" Tiba-tiba Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya terkepal, pakaiannya basah kuyup sehingga menempel ketat di tubuhnya, membuat lekuk-lengkung tubuhnya nampak nyata.
"Hemmm, engkau tidak akan mati, akan tetapi aku yang akan menundukkanmu, anak bandel!" bentak Hek-tiauw Lo-mo.
"Aku adalah anakmu, aku tidak akan melawan Ayahku sendiri, tetapi kalau aku hendak kau umpankan kepadanya, seperti mengumpankan kelinci untuk dimakan serigala, aku akan melawan!" kata Hwee Li.
"Huh, agaknya gurumu telah mendidikmu untuk menjadi anak yang durhaka terhadap ayahnya. Nah, coba-cobalah kau lawan aku!" Hek-tiauw Lo-mo lalu menubruknya dan mencengkeram pundak puterinya.
Hwee Li cepat mengelak dan balas menyerang dengan dahsyat hingga ayah dan anak itu lalu saling serang dengan hebat dan serunya di tepi sungai itu! Hwee Li maklum bahwa kalau dia tidak dapat menangkan ayahnya, harapannya untuk lari habis sama sekali, dan entah apa yang akan menimpa dirinya, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh menggunakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, karena hal itu akan percuma saja karena tentu ayahnya lebih mahir.
Maka dia pun selalu bergerak menurut petunjuk Ceng Ceng dan suami subo-nya itu. Sebetulnya, dari Ceng Ceng, seperti pernah dijanjikan oleh subo-nya itu dahulu, dara ini hanya diberi pelajaran tentang racun-racun yang paling hebat dan penolaknya. Akan tetapi karena Ceng Ceng merasa suka kepada muridnya yang lincah jenaka ini, dia juga mengajarkan Ilmu Pukulan Sin-liong-kun, yaitu semacam ilmu silat yang diciptakannya dengan bantuan suaminya, yang disaring dari ilmu-ilmu silat yang telah dikenalnya, lalu ditambah pula dengan beberapa gerakan yang mengambil dari ilmu mukjijat Sin-liong ciang-hoat, ilmu yang hanya dapat dipelajari dan dikuasai oleh seorang yang buntung lengannya seperti Kao Kok Cu.
Akan tetapi betapa pun lihainya Hwee Li, tentu saja dia masih belum mampu untuk menandingi Hek-tiauw Lo-mo! Beberapa kali dia sudah kena ditampar oleh ayahnya, yang tidak ingin melukai puterinya, maka yang ditamparnya hanya bagian tubuh yang tidak berbahaya seperti di bahu dan pundak, akan tetapi yang cukup membuat tubuh Hwee Li terpelanting dan terguling-guling. Tetapi, setiap kali roboh, Hwee Li meloncat bangun kembali dan menyerang dengan ganas! Dia sudah nekat dan ingin mati di tangan ayahnya sendiri dari pada harus menyerahkan dirinya kepada Pangeran Liong Bian Cu!
"Hyaaaaattttt...!" Tiba-tiba dia melengking nyaring.
Tubuhnya meloncat dan meluncur lurus ke depan, kedua tangannya menusuk seperti pedang selagi tubuhnya masih melayang di udara. Inilah jurus yang sangat hebat dari Sin-long-kun, yang mengandung unsur ilmu mukjijat Sin-liong hok-te dari Kao Kok Cu!
"Ihhh...!" Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main.
Dari serangan Hwee Li ini menyambar hawa dahsyat yang membuat dia terjengkang. Akan tetapi, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi yang mengenal pukulan mukjijat, dia tidak berani menangkis dan cepat dia melempar tubuh ke belakang terus bergulingan. Dia meloncat bangun dan mukanya berubah. Nyaris dia roboh oleh pukulan mukjijat itu.
"Bocah durhaka!" Dia membentak dan menubruk maju begitu melihat Hwee Li melayang turun, tubrukan dari belakang yang dahsyat. Hwee Li bergerak ke samping, kakinya melayang untuk menyambut serangan ayahnya dengan tendangan.
"Plakkk!"
Ayahnya menangkis, demikian keras tangkisannya sehingga tubuh Hwee Li terhuyung. Kembali gadis itu melempengkan kedua lengan, untuk mengulangi serangannya yang hampir berhasil tadi. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya sudah menyerang lagi, menyerang dari bawah ke arah kedua kakinya. Melihat hebatnya serangan kaki ayahnya yang menyerampang ini, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas.
"Wuuuuuttttt...!"
Hwee Li terkejut. Hendak mengelak namun terlambat, dan tubuhnya sudah tercakup oleh sinar hitam yang ternyata adalah jala tipis yang tadi dipergunakan oleh Hek-tiauw Lo-mo selagi tubuh Hwee Li meloncat ke atas.
"Cukup, Locianpwe!"
Mendadak terdengar seruan nyaring dan tahu-tahu di situ telah berdiri Liong Bian Cu dengan sikapnya yang ramah. Pangeran ini berkata, "Andai kata bukan Locianpwe yang melakukan hal ini terhadap Nona Hwee Li, tentu akan berhadapan dengan aku dan aku belum puas kalau belum menyiksanya!"
Hek-tiauw Lo-mo membungkuk, "Anak ini tidak bisa dibujuk dengan halus, Pangeran. Terpaksa saya sebagai orang tuanya menundukkannya. Sekarang kuserahkan kepada Pangeran untuk menjinakkan dia. Ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo menyerahkan tali jala itu kepada Pangeran Nepal itu.
Liong Bian Cu menerima tali itu, lalu menghampiri Hwee Li yang masih rebah miring di dalam jala. "Marilah, Nona, biar aku merawatmu, Nona..." Dia membungkuk dan hendak memondong tubuh itu.
Hwee Li yang kini mengalihkan kemarahan dan kebenciannya kepada pangeran ini yang dianggapnya sebagai biang keladi perubahan sikap ayahnya, diam-diam menanti dan begitu pangeran itu membungkuk, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya menghantam sekuat tenaga! Akan tetapi, dia merasa pundaknya ditekan dan tenaganya lenyap, pukulannya tidak dapat dilakukan dan terhenti setengah jalan.
"Tenanglah, Nona, percayalah bahwa aku tidak tega untuk menyakitimu," kata pangeran itu dengan tenang dan tiba-tiba Hwee Li merasa tubuhnya diangkat dan dipondong oleh pangeran itu, dibawa ke arah gedung.
Semua orang yang melihat dan bertemu di jalan membungkuk dengan penuh hormat kepada pangeran itu yang bersikap seolah-olah tidak melihat mereka, sikap angkuh seorang pangeran! Hwee Li tidak dapat meronta lagi, kedua tangannya seperti lumpuh dan tahulah dia bahwa pangeran yang kelihatan lemah lembut ini memang lihai sekali sehingga dia telah ditotoknya sebelum dapat menyerang. Dia pernah melihat pangeran ini dalam pertemuan dengan para tokoh dan yang dahulu pernah mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat.
Dara ini maklum bahwa menggunakan kekerasan akan percuma saja, karena selain pangeran ini sendiri amat lihai, juga di situ terdapat ayahnya yang agaknya siap untuk menggunakan kekerasan terhadap dirinya untuk memaksanya menjadi isteri pangeran ini. Belum lagi diperhitungkan adanya Hek-hwa Lo-kwi di situ, dan banyak anak buah Kui-liong-pang dan anak buah pangeran itu sendiri. Juga, biar pun belum dijumpainya, dia mendengar bahwa di situ terdapat pula guru pangeran ini, koksu dari Nepal yang menurut ayahnya memiliki kepandaian yang amat hebat, mungkin melebihi kepandaian ayahnya dan Hek-hwa Lo-kwi. Jelas bahwa mengandalkan kepandaian silatnya akan sia-sia belaka, maka dia harus berlaku cerdik.
Pangeran itu memondongnya dengan hati-hati dan membawanya kembali ke dalam kamarnya yang mewah. Dengan gerakan lembut dia merebahkan Hwee Li di atas pembaringan setelah melepaskan jala tipis itu. Sejenak dia berdiri di tepi pembaringan memandang wajah Hwee Li yang rebah terlentang. Dara itu gelisah sekali. Dia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya dan dia tidak akan dapat melawan kalau pangeran itu melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Sepasang mata yang cekung dan tajam itu bersinar-sinar ketika menjelajahi tubuh Hwee Li dari rambut sampai ke kakinya. Dan tubuh yang terbungkus pakaian basah itu kelihatan bagaikan telanjang saja.
"Ah, betapa kejam ayahmu, Nona... sungguh kasihan engkau...," kata pangeran itu dengan sikap menyayang sekali dan tangannya lalu memeriksa leher, pipi, dan pundak Hwee Li yang babak bundas karena dibanting-banting tadi. "Aku akan mengobatimu. Ahhh, kalau lain kali dia berani menyakitimu lagi, tentu akan kuhukum dia!"
Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. Hatinya lega. Biar pun dia masih muda sekali, namun sebagai seorang wanita, Hwee Li dapat merasakan bahwa pangeran ini sungguh mencinta dia. Sikapnya demikian lembut, cintanya demikian halus sehingga agaknya tidak perlu dikhawatirkan bahwa pangeran ini akan melakukan kekerasan terhadap dirinya. Akan tetapi, biar pun dia amat cerdik, dalam hal seperti ini, mengenai urusan cinta, dia masih asing sama sekali sehinga dia tidak tahu benar bagaimana dia harus bersikap terhadap musuh yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia tahu bahwa dari orang berkulit kehitaman ini mengancam bahaya yang amat hebat terhadap dirinya, namun perasaan wanitanya juga tahu bahwa pria ini amat mencintanya dan tidak akan suka melihat dia sengsara.
"Pangeran... harap... harap kau suka membebaskan aku... dan biarkan aku pergi dari sini. Aku akan berterima kasih sekali kepadamu dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai seorang yang amat baik."
Liong Bian Cu tersenyum, memandang mesra dan menggeleng kepala. "Janganlah kita bicara tentang itu. Engkau perlu kuobati, akan tetapi pakaianmu basah. Engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Ah, betapa kejamnya ayahmu... sakit hatiku melihat engkau disiksa. Aku sangat cinta kepadamu, Nona Hwee Li, dan kalau bukan ayahmu yang melakukan ini, pasti dia sudah kubunuh. Biar aku membantumu berganti pakaian..."
Jari-jari tangan pangeran itu menyentuh kancing-kancing di depan dadanya. Meski pun pangeran itu tetap bersikap lembut dan sopan, namun Hwee Li terbelalak dan hampir menjerit. Sayang kaki tangannya masih belum dapat digerakkan, kalau tidak demikian, tentu dia sudah meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.
"Jangan...! Tidak... jangan buka pakaianku...!" dia meratap.
Jari-jari tangan yang baru berhasil membuka dua buah kancing itu berhenti dan mata yang cekung itu menatap tajam, mulutnya tersenyum dingin. "Mengapa, Nona? Engkau basah kuyup dan dapat jatuh sakit. Pakaianmu yang basah harus diganti dengan yang kering, baru luka-lukamu akan kuobati sendiri..."
Hwee Li melihat sinar gembira di mata pangeran itu dan tiba-tiba jantungnya memukul keras. Agaknya di balik kelembutan, di balik keramahan dan kesopanannya, pangeran ini memiliki watak aneh yang sangat kejam. Agaknya pangeran ini akan bergembira melihat dia digerogoti rasa malu, tersiksa batinnya kalau ditelanjangi.
Hwee Li tiba-tiba menekan perasaannya dan mukanya tidak lagi memperlihatkan rasa ngeri dan takut seperti tadi. Suaranya dingin dan tenang ketika dia berkata, "Pangeran, baru saja engkau mengatakan bahwa engkau amat mencintaku, akan tetapi sekarang engkau hendak melakukan penghinaan. Kalau perbuatanmu ini kau lanjutkan, aku akan merasa amat benci kepadamu!"
"Benci?" Pangeran itu mengerutkan alisnya. "Tidak bisa engkau membenciku, Nona, karena engkau akan menjadi isteriku yang terkasih. Aku hendak menolongmu, mengapa engkau membenciku?"
"Di luar banyak terdapat pelayan, mengapa kemudian engkau hendak mengganti sendiri pakaianku? Hal itu menandakan bahwa engkau sengaja hendak menghinaku, tidak memandang aku sebagai seorang gadis yang terhormat, yang tentu saja tidak sudi dilihat telanjang oleh seorang laki-laki."
Tangan itu meninggalkan baju Hwee Li dan pangeran itu tersenyum, mengangguk angguk. "Sikapmu ini menambah besar cintaku, Nona. Engkau memang seorang gadis terhormat dan agung, patut menjadi calon isteriku." Pangeran itu bertepuk tangan dan masuklah empat orang pelayan tadi.
"Kalian bantu Nona Hwee Li berganti pakaian kering. Ehhh, Nona, engkau memilih pakaian yang berwarna apa?" Pangeran itu bertanya kepada Hwee Li, sikapnya ramah dan biasa seolah-olah gadis itu sedang dalam keadaan biasa, tidak tertotok seperti itu.
"Aku selamanya selalu memakai pakaian hitam," jawab Hwee Li yang ingin mencegah pakaiannya diganti.
"Hei, kau! Cepat kau suruh penjahit membuatkan pakaian dari sutera hitam beberapa stel dan dengan cara kilat. Harus jadi sekarang juga!" Pangeran Liong Bian Cu berkata dan pelayan yang diperintahkannya itu cepat pergi. Lalu dia berpaling kepada Hwee Li. "Karena yang hitam sedang dibikin, harap kau suka memakai yang lain untuk sementara saja, Nona." Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan kakinya menuju ke pintu.
"Pangeran...!" Hwee Li tiba-tiba memanggil.
Liong Bian Cu membalikkan tubuhnya dan memandang dengan wajah berseri. "Apa lagi yang dapat kulakukan untukmu, Nona Hwee Li? Bukankah kau bilang bahwa engkau merasa terhina kalau... terlihat olehku? Aku tahu engkau malu, biarlah aku keluar dulu dan nanti baru kuobati engkau..."
"Pangeran, engkau tentu maklum bahwa aku tidak akan dapat lolos dari sini. Di sana ada ayahku, ada Hek-hwa Lo-kwi, ada orang-orangmu, dan tempat ini terkurung air. Aku tidak akan mampu lolos dan hal ini aku tahu benar, maka aku pun tidak begitu tolol untuk mencoba melarikan diri."
Pangeran itu mengangguk-angguk. Engkau memang cerdik sekali, Nona. Kecerdikanmu makin mengagumkan hatiku dan makin memperdalam cintaku."
Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran ini mengaku cinta begitu saja di depan tiga orang pelayan yang masih berlutut di atas lantai, maka cepat-cepat dia berkata, "Kalau engkau sudah tahu bahwa aku tidak akan lolos atau melarikan diri, mengapa engkau masih menotokku? Apakah kau memang sengaja ingin menyiksaku, Pangeran? Bebaskan totokan ini..."
Pangeran itu melangkah menghampiri pembaringan. "Dan engkau berjanji tidak akan memukul pelayan, tidak akan memberontak?"
"Aku bukan seorang tolol. Memberontak pun apa gunanya? Para pelayan ini tidak salah dan tidak tahu apa-apa. Tidak, aku tidak akan memukul mereka atau memberontak."
"Bagus, aku percaya kepadamu, Nona." Pangeran itu kemudian menggerakkan tangan kanannya menotok kedua pundak Hwee Li dan seketika dara itu dapat menggerakkan kembali kedua lengannya. Ketika pangeran itu menotok pula punggungnya dan kedua kakinya juga dapat digerakkan, hatinya lega bukan main. Kaki dan tangannya masih terasa penat dan sakit, maka dia bangkit duduk perlahan-lahan, memandang kepada pangeran yang diam-diam telah siap kalau-kalau dia akan memberontak.
Melihat ini, Hwee Li tersenyum. "Terima kasih, Pangeran. Dan sekarang harap engkau suka keluar, aku hendak ganti pakaian. Dan kalian bertiga juga keluarlah saja, nanti kalau aku perlu bantuan kalian akan kupanggil."
Tiga orang pelayan itu memandang kepada Liong Bian Cu, ragu-ragu apakah mereka harus mentaati perintah gadis itu. Liong Bian Cu tersenyum dan mengangguk, maka mereka pun pergilah meninggalkan kamar itu bersama Liong Bian Cu. Pangeran itu menutupkan pintunya sambil menjenguk ke dalam dan tersenyum.
"Kalau sudah selesai, beritahulah aku, Nona." Hwee Li mengangguk dan daun pintu itu ditutup dari luar oleh Liong Bian Cu.
Setelah mereka semua keluar, Hwee Li cepat menggerak-gerakkan kaki tangannya agar jalan darahnya lancar kembali. Diam-diam dia menyumpah di dalam hatinya dan panaslah rongga dadanya teringat akan perlakukan ayahnya kepadanya. Dia duduk kembali dan memutar otaknya. Keinginan besar untuk melarikan diri ditekannya. Tidak, dia tidak boleh sembrono lagi.
Lari dalam keadaan sekarang ini tidak akan ada gunanya, dan dia tentu akan tertawan kembali. Dan kalau sampai dia mencoba lari dan tertawan kembali, tentu pangeran itu tidak akan bersikap demikian baik lagi. Celaka kalau sampai dia ditotok terus atau dibelenggu. Lebih celaka lagi kalau dalam kemarahannya pangeran itu akan melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Lebih baik dia berlaku cerdik, bersikap halus dan mempergunakan cinta kasih pangeran terhadapnya untuk melindungi dirinya.
Hwee Li memilih pakaian hijau dari lemari, karena yang biru sudah dirobek-robeknya. Dia memindahkan dua benda seperti gulungan tali hitam dan segulung kecil tali merah dari saku pakaian hitamnya ke dalam saku baju dalamnya yang baru. Tiga benda yang kelihatan seperti gulungan tali itu sebetulnya adalah tiga ekor ular! Kemudian dia menyisir rambutnya, memakai sedikit bedak di meja rias dan mengganti pula sepatunya yang basah dengan sepatu baru yang berjajar beberapa pasang di bawah lemari.
"Aku sudah selesai, Pangeran!" katanya sambil duduk di atas kursi.
Daun pintu itu segera terbuka, tanda bahwa pangeran itu sejak tadi sudah siap dengan tangan tak pernah melepaskan daun pintu. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar memandang Hwee Li yang bangkit berdiri. Penuh kagum!
"Bukan main...!" Engkau... engkau sungguh cantik seperti bidadari, Nona Hwee Li! Aihh, rambutmu yang masih agak kusut itu, anak rambut yang melihgkar di dahi dan depan telinga, sungguh seperti lukisan saja! Marilah, Nona, mari kuobati semua luka-lukamu." Pangeran itu mengeluarkan sebuah botol terisi obat kuning dari dalam sakunya.
"Terima kasih, Pangeran. Kurasa tidak perlu karena sudah kuobati sendiri dan luka-luka ini tidak ada artinya." Dia memperlihatkan leher dan tangannya yang tadi lecet-lecet, dan yang kini sudah menjadi kering.
"Ahhh, engkau lihai, ilmu silatmu tinggi, juga engkau memiliki keberanian hebat, engkau cantik jelita dan cerdik. Sungguh, semua keindahan dan kebaikan terkumpul menjadi satu di dalam dirimu, Nona Hwee Li."
"Hanya luka di pundakku ini masih terasa nyeri. Aku khawatir kalau-kalau ada tulangnya yang retak..." Hwee Li meringis ketika tangannya menyentuh pundak kirinya.
"Ahhh...! Benarkah? Celaka! Sungguh kejam Hek-tiauw Lo-mo. Coba kuperiksa dahulu pundakmu, Nona. Jangan khawatir, jangankan baru retak, biar sudah remuk sekali pun, aku akan dapat mengobati dan menyembuhkannya!" Pangeran itu datang mendekat.
Dengan hati-hati, sambil kadang-kadang meringis kesakitan, Hwee Li membuka kancing bajunya bagian atas sehingga nampak baju dalamnya yang tipis. Disingkapnya baju di bagian pundak kiri dengan tangan kanannya sehingga nampak kulit pundaknya yang putih halus dan memang di atas pundak itu terdapat warna kebiruan. Ketika melihat pundak kiri setengah telanjang yang berkulit putih halus itu bernoda biru, pangeran itu lalu berseru, "Ahhh, sungguh kejam...!" Tangannya lalu memeriksa dan dengan halus menyentuh pundak itu.
Saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hwee Li. Sudah diperhitungkannya semenjak dia melihat pangeran itu masuk kamarnya. Dara ini tadi sudah mengambil keputusan untuk membunuh pangeran ini. Dia tidak mungkin melarikan diri, akan tetapi dia tahu bahwa yang menyebabkan ayahnya bersikap seperti itu kepadanya adalah pangeran ini. Pangeran inilah biang keladinya, maka kalau pangeran ini dibunuhnya, tentu ayahnya akan bersikap lain. Dan kalau ayahnya tidak lagi mengharapkan bantuan pangeran yang mati untuk meraih kedudukan tinggi, tentu akan lain lagi sikap ayahnya, tentu akan pulih seperti dahulu dan kalau sudah begitu, dia dan ayahnya tentu akan dapat saling bantu untuk meloloskan diri dari tempat itu.
Kini, melihat pangeran itu memeriksa pundak kirinya dan agaknya tenggelam dalam pekerjaannya itu, diam-diam Hwee Li mengeluarkan ular merahnya. Ular itu kecil sekali, sebesar kelingking jari tangannya, panjangnya hanya dua jengkal, kulitnya merah seperti darah, matanya juga merah dan lidahnya hitam. Inilah Hiat-coa (Ular Darah) dari Gurun Pasir Go-bi yang merupakan binatang yang sukar sekali dilihat orang, seekor ular tanah yang amat berbahaya dan racunnya amat hebat.
"Ssssshhh...!"
Liong Bian Cu terkejut sekali dan cepat dia meloncat mundur ketika dia melihat sinar merah meluncur ke arah mukanya. Matanya terbelalak, dia berusaha menghindarkan diri, akan tetapi gerakan ular itu lebih hebat dan cepat lagi, seolah-olah burung terbang dan tahu-tahu pundak pangeran itu telah kena digigitnya. Liong Bian Cu mengeluarkan suara melengking nyaring, jeritan maut yang amat lantang, lalu tubuhnya terhuyung dan roboh ke atas lantai.
Melihat ini, Hwee Li girang sekali. Cepat dia meloncat ke arah jendela kamar itu. Akan tetapi, begitu dia meloncat, dari jendela itu muncul dua orang penjaga yang memegang pedang. Hwee Li menggunakan kakinya menendang dari samping untuk menangkis sambaran pedang. Kini tangan kirinya bergerak dan sinar hitam panjang bergerak ke depan. Ular hitam panjang itu mematuk dan dua orang penjaga roboh seketika.
"Bocah setan, berani engkau mengacau lagi?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan Hek-hwa Lo-kwi muncul bersama Hek-tiauw Lo-mo!
"Ayah, aku sudah membunuh Liong Bian Cu!" teriak Hwee Li. "Mari kita cepat pergi dari sini!"
"Apa? Anak durhaka, engkau sungguh patut dihukum!” Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.
Hek-hwa Lo-kwi segera meloncat memasuki jendela dan cepat kakek ini memondong tubuh Pangeran Liong Bian Cu yang sudah menjadi biru mukanya. Hek-hwa Lo-kwi adalah ahli racun yang telah kebagian kitab yang dicuri bersama Hek-tiauw Lo-mo dari Si Dewa Bongkok, bagian tentang racun dan pengobatannya, maka sekarang dia cepat membawa pergi Liong Bian Cu untuk diobati.
Sementara itu, melihat ayahnya sudah menyerangnya, Hwee Li menjadi marah juga. "Ayah, apa engkau sudah gila?" Dia memaki sambil mengelak dari sambaran pedang yang amat mengerikan, pedang yang mendatangkan hawa mukjijat. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa) yang amat mukjijat.
Pedang ini dahulu adalah milik Cui-beng Koai-ong, tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, dan akhirnya pedang itu tadinya terjatuh ke tangan Ang Tek Hoat dan kemudian, ketika Tek Hoat tertawan, pedang itu terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang.
Sambil mengelak, Hwee Li yang sudah marah sekali itu memaki, "Aku adalah anakmu, apakah Ayah hendak membunuhku?"
"Bocah keparat, anak durhaka!" Hek-tiauw Lo-mo yang sudah marah sekali kembali menyerangnya dengan dahsyat.
"Baik! Ayah membela musuh dan melawan anak sendiri! Ayah memaksa aku untuk melawan!" Hwee Li juga mengeluarkan dua ekor ularnya yang panjang itu dan balas menyerang. Bertempurlah anak dan ayah ini untuk kedua kalinya, kini lebih seru dan hebat karena Hwee Li benar-benar melakukan perlawanan mati-matian.
Setelah dara itu melakukan perlawanan nekat dengan menggunakan dua ekor ularnya yang amat berbahaya, Hek-tiauw Lo-mo bergerak dengan hati-hati. Dia maklum bahwa anaknya itu telah menguasai banyak ilmu yang aneh dan hebat. Beberapa kali dia menggerakkan pedangnya untuk membunuh ular-ular itu, akan tetapi dua ekor ular itu adalah mahluk hidup, selain memiliki gerakan sendiri untuk mengelak, juga digerakkan oleh tangan Hwee Li yang mahir. Bahkan beberapa kali hampir saja tangan Hek-tiauw Lo-mo terpatuk oleh ular-ular itu.
"Hemmm, inikah anakmu, Hek-tiauw Lo-mo? Sungguh ganas dan liar dia!" Mendadak terdengar suara besar yang berwibawa dan muncullah dua orang kakek.
Yang seorang adalah kakek tinggi besar, sama tinggi besarnya dengan Hek-tiauw Lo-mo, seperti seorang raksasa yang kepalanya botak, pakaiannya indah dan mewah dengan mantel merah, sepatunya pakai lapis baja dan sepasang matanya besar sekali. Usianya tentu sudah hampir enam puluh tahun, akan tetapi wajahnya masih segar dan kemerahan. Sikapnya amat berwibawa dan di belakangnya berdiri seorang kakek lain yang bersorban, berkulit hitam, jenggotnya panjang sampai ke perut, tangan kirinya memegang tongkat cendana dan wajahnya seperti topeng, sama sekali tidak pernah bergerak seolah-olah mati.
Melihat munculnya dua orang kakek ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi terkejut. Itulah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal, dan kakek Nepal bersorban itu adalah Gitananda, pembantunya yang lihai dan pandai sihir.
"Maafkan, Sengjin, anakku kurang ajar dan perlu saya hukum!" teriak Hek-tiauw Lo-mo dan pedang Cui-beng-kiam diputarnya cepat.
Melihat ini, Hwee Li menarik kedua ekor ularnya karena tidak ingin ular-ularnya menjadi korban pedang ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu, tendangan kaki Hek-tiauw Lo-mo yang amat cepat datangnya tak dapat dielakkan oleh Hwee Li. Pahanya tertendang dan dara ini hanya dapat mengerahkan sinkang untuk melindungi pahanya.
"Desss...!" Dia terlempar dan terbanting, bergulingan.
"Mampus kau!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan pedangnya menyambar.
Hwee Li terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa ayahnya benar-benar hendak membunuhnya. Pedang itu menyambar dengan ganas dan merupakan serangan maut. Terpaksa dia menggunakan dua ekor ularnya untuk balas menyerang. Dua ekor ular itu meluncur dan kalau pedang Hek-tiauw Lo-mo dilanjutkan untuk membacok tubuh dara itu, tentu dua ekor ular itu akan berhasil pula menggigitnya. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo mengubah gerakan pedangnya, dibabatkan ke samping dua kali.
"Crok! Crokkk!"
"Ihhhhh... kau membunuh ular-ularku...?" Hwee Li menjerit dengan isak tertahan dan dia berlaku nekat, menubruk ayahnya dengan kedua tangan kosong sambil melancarkan pukulan-pukulan beracun.
"Anak setan!" Hek-tiauw Lo-mo menyambutnya dengan tusukan Cui-beng-kiam dan kali ini, tak mungkin Hwee Li dapat menghindarkan diri dari tusukan maut itu.
Tiba-tiba nampak sinar menyambar.
"Trangg...!"
Pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kakek itu amat terkejut dan melompat ke belakang. Kiranya Ban Hwa Sengjin sudah turun tangan menggunakan sebutir kerikil memukul ke arah pedangnya itu dengan sambitannya.
"Dia ini adalah calon isteri Pangeran, bagaimana kau begitu berani mencoba untuk membunuhnya?!" teriak Koksu Nepal itu. "Gitananda, tangkap Nona itu!"
Gitananda membungkuk dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, dia sudah meloncat ke depan Hwee Li. Tiba-tiba tangan kiri kakek Nepal ini mengeluarkan sesuatu dan ada cahaya menyorot ke muka kakek itu.
Hwee Li tentu saja tak mengerti apa yang terjadi. Melihat ada cahaya menyorot ke muka kakek itu, dia memandang. Kiranya kakek itu memegang sebuah cermin dan pantulan sinar matahari menyorot ke mukanya sendiri. Melihat wajah yang berkilauan terkena cahaya itu, Hwee Li memandang terbelalak. Dia seperti melihat wajah yang aneh, wajah dalam dongeng tentang dewa-dewa! Betapa pun dia ingin mengalihkan pandangannya, dia tak dapat! Dia tidak dapat menguasai pandang matanya sendiri yang terus menatap wajah kehitaman dengan mata yang tajam berpengaruh itu.
Tongkat Gitananda menyambar dan dengan perlahan mengetuk tengkuk Hwee Li. Gadis itu sama sekali tidak mampu bergerak untuk mengelak, seolah-olah pandang matanya yang melekat pada wajah menyeramkan itu membuat seluruh tubuhnya lumpuh. Ketika tongkat mengenai tengkuknya, dia mengeluh memejamkan matanya dan roboh terguling, pingsan.....
********************
Kesadaran perlahan-lahan menyusupi dirinya. Mula-mula hanya pendengarannya yang bekerja. Dia mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap, makin lama makin jelas dan perhatiannya tertuju kepada suara-suara itu karena di antara suara-suara itu dia mendengar suara ayahnya. Matanya masih tetap dipejamkan dan dia masih belum mempunyai keinginan untuk melihat di mana adanya dia dan dalam keadaan bagai mana. Dia masih terlampau lemah untuk itu dan kini dia hanya tinggal diam dengan tenang, hanya membuka telinga mendengarkan.
"Kalau Paduka suka menggunakan obat hamba tentu mudahlah menundukkan dia. Dia akan jatuh cinta kepada Paduka, dan akan mentaati semua perintah Paduka," terdengar suara parau dan asing, suara yang tidak dikenalnya, namun dapat diduganya bahwa agaknya itu adalah suara orang Nepal yang memegang tongkat itu.
"Ahhh, Gitananda, aku sudah tahu akan kepandaianmu dan aku juga percaya bahwa menggunakan obat dan sihirmu, dia akan tunduk kepadaku. Akan tetapi aku tahu pula bahwa kekuatan sihir dan obat itu hanya sementara saja. Dan aku menghendaki agar selama hidupnya dia mau tunduk dan membalas cintaku!" terdengar suara yang amat dikenalnya, suara halus dan sopan, suara Liong Bian Cu.
Ahhh, jadi pangeran itu belum mampus, pikirnya dengan perasaan menyesal. Biar pun sudah terkena gigitan ular darah, tapi masih hidup. Hemmm, tentu Hek-hwa Lo-kwi yang mengobatinya. Dia tahu bahwa kakek itu juga seorang ahli racun yang jempolan!
"Dia memang keras kepala!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya. "Anak itu keras kepala dan keras hati, seperti ibunya! Sebaiknya kalau Pangeran menggunakan kekerasan menundukkan dia, seperti menjinakkan seekor kuda betina yang liar. Hanya kalau dia sudah satu kali menjadi milik Pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu. Percayalah kepada saya, Pangeran. Itu satu-satunya cara untuk menjinakkan dia. Paksa saja dia menjadi milik Pangeran malam ini juga, dan besok atau lusa, dia sudah akan menjadi jinak, untuk selama-lamanya!"
Hwee Li hampir menjerit. Dia mengepal tinju dan berniat untuk meloncat turun. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Dia tidak tertotok, kaki tangannya dapat bergerak, akan tetapi tidak dapat dipindahkan dari tempatnya. Cepat dia membuka matanya dan dia makin terkejut. Dia rebah terlentang di atas pembaringannya, kedua kakinya terpentang dan setiap kaki terbelenggu pada ujung pembaringan, demikian pun dengan kedua lengannya, terpentang dan pergelangan lengan terbelenggu dengan rantai baja pada ujung pembaringan. Dia seperti seekor lembu atau domba yang terikat dan siap untuk disembelih!
Dia berada di dalam kamar mewah itu dan orang-orang yang suaranya didengarnya itu bercakap-cakap di luar kamar. Dia mendengarkan lagi. Dan kini dia mendengar suara Hek-hwa Lo-kwi.
"Agaknya memang tepat apa yang diusulkan oleh Lo-mo, Pangeran. Anak itu amat keras hati, membujuknya akan sia-sia saja. Dan kekerasan yang tidak dapat diluluhkan oleh kelembutan, dapat dikalahkan oleh kekerasan pula."
"Akan tetapi... ahh, aku sungguh cinta kepadanya, dan aku ingin sekali agar dia dapat membalas cinta kasihku dengan sewajarnya.” Pangeran itu membantah dan mengeluh. "Menggunakan kekerasan? Memperkosanya? Ah, betapa hal itu akan menyiksa hatiku, aku tidak ingin melihat dia berduka..."
"Hemmm, pada mulanya memang dia akan menangis dan berduka, akan membencimu, akan tetapi lambat-laun kebencian itu akan berubah menjadi cinta. Dia persis ibunya...," terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata pula.
"Akan tetapi, melihat dia dibelenggu terus..."
"Hal itu tidak perlu lagi setelah Paduka dapat memaksa dan memilikinya, Pangeran," kata Hek-hwa Lo-kwi. "Dan jangan khawatir ia akan dapat melarikan diri. Dia akan saya beri obat beracun dan racun itu akan mengeram di dalam dirinya, akan membunuhnya dalam waktu satu tahun. Sedangkan obat penawarnya berada di tangan Paduka."
Hening sejenak. Lalu terdengar lagi suara ayahnya, suara yang mulai mendatangkan kebencian di hati Hwee Li. "Dia amat cerdik dan banyak akalnya, Pangeran. Selama dia belum menjadi milikmu, dia tentu akan menggunakan segala akalnya dan hal itu dapat menimbulkan kesukaran. Akan tetapi kalau malam ini Paduka berhasil memilikinya, semua daya lawannya akan patah dan luluh. Percayalah."
"Sudahlah, tinggalkan kami berdua. Akan kupikirkan usul-usul kalian."
Terdengar langkah kaki tiga orang kakek itu pergi dan tak lama kemudian, daun pintu kamar itu terbuka dan muncullah Liong Bian Cu. Melihat pangeran itu, Hwee Li segera membuang muka. Pangeran itu menghampiri dan duduk di dekat pembaringan, di atas sebuah kursi. Sejenak dia diam saja, hanya menatap wajah yang miring itu. Kemudian dia menarik napas panjang.
"Ahhh, betapa sedih hatiku melihat engkau terbelenggu kaki tanganmu seperti ini, Nona Hwee Li. Betapa perih hatiku yang mencintamu melihat bahwa hal ini terpaksa harus dilakukan karena engkau ternyata tega hendak membunuhku. Nyaris saja aku tewas oleh gigitan ular merahmu itu. Kalau tidak ada Hek-hwa Lo-kwi, tentu segera tercapai maksudmu dan aku sudah mati. Akan tetapi tentu engkau pun tidak akan terhindar dari maut."
Hwee Li tidak menjawab dan tidak menoleh. Masih terlalu ngeri hatinya mendengar percakapan tadi. Jantungnya berdebar keras. Mau apakah pangeran ini? Apakah benar benar hendak melakukan usul-usul tadi? Hampir dia pingsan kembali membayangkan hal itu! Ingin dia menangis, ingin dia minta-minta ampun agar dibebaskan saking ngeri dan takutnya, akan tetapi wataknya yang keras dan gagah melarangnya berbuat seperti itu. Dia hendak memperlihatkan, terutama kepada ayahnya, bahwa sampai mati dia tidak takut menghadapi apa pun! Akan tetapi, dia tidak boleh nekat begitu saja. Selama dia masih hidup, dia harus berusaha menggunakan kecerdikannya untuk meloloskan diri dari bahaya penghinaan hebat itu!
"Aku memang hendak membunuhmu. Maka sebaiknya kau bunuh saja aku sekarang!" akhirnya dia berkata sambil memutar otaknya mencari akal. Dia masih belum berani memandang, sebab dia khawatir jika sinar mata yang tajam itu akan dapat menjenguk isi hatinya.
Pangeran itu menyentuh lengan tangan Hwee Li, dan membelai lengan yang berkulit halus itu. Hwee Li memejamkan matanya. Rabaan jari-jari tangan pada lengannya itu menimbulkan perasaan jijik dan geli, juga gelisah dan ngeri.
"Ahhh, bagaimana mungkin aku membunuhmu, sayang? Tidak tahukah bahwa aku cinta kepadamu, Nona?"
"Aku sudah berdosa hendak membunuhmu, dan aku kelak akan membunuhmu kalau kau tidak membunuhku sekarang!" Hwee Li memancing.
"Tidak... tidak...! Engkau masih muda, belum tahu betapa aku amat mencintaimu. Kalau kau tahu, engkau akan menyesal, Hwee Li. Perbuatanmu itu amat kejam, sedangkan aku... ahhh, tanpa engkau sebagai isteriku, hidup rasanya akan menjadi hampa..."
"Hemmm, bagus, ya? Siapa sudi percaya obrolanmu tentang cinta? Kalau engkau benar mencintaku, mengapa pula engkau membiarkan aku dibelenggu seperti ini? Beginikah perlakuan orang yang mencinta?" Hwee Li kini memandang dan menjebikan bibirnya yang merah.
Pangeran itu mengerutkan alisnya dan matanya menjadi sayu, berduka. Sekarang dia melepaskan lengan Hwee Li dan kini jari-jari tangannya meraba kaki dara itu, mengelus betis yang nampak karena pipa celana kanannya tertarik ke atas. Betis yang berkulit putih mulus kemerahan itu, yang kulitnya kelihatan demikian tipis dan halus sehingga urat-uratnya membayang, dirabanya dengan penuh kemesraan dan kegairahan.
Kini Hwee Li menggigil. Seluruh bulu di tubuhnya bangkit berdiri, meremang saking ngerinya. Ingin dia menjerit, ingin dia memaki agar pangeran itu jangan mengusap dan membelai betis kakinya. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya.
"Sudah kukatakan tadi, sayang. Hatiku berduka, jantungku berdarah melihat kakimu yang indah dan tanganmu yang halus itu dirantai seperti ini. Akan tetapi, mengapa engkau memperlihatkan kekerasan dan tidak sudi menerima cintaku? Tentu saja, kalau engkau mau menerima dan membalas cintaku engkau tidak akan dibelenggu, bahkan engkau akan menjadi orang paling terhormat dan paling mulia di sini, di seluruh Nepal, dan di seluruh dunia! Engkau akan menjadi permaisuri, menjadi ratu yang disembah sembah! Mengapa engkau tidak mau menjadi kekasihku, sayang? Aku Liong Bian Cu dapat menciptakan sorga untukmu, engkau dapat bergelimang dalam kemewahan, kemuliaan dan kehormatan."
"Hemmm, janjimu terlalu muluk, Pangeran. Bagaimana kalau aku berjanji untuk tidak melawan dan untuk... hemmm, belajar mempertimbangkan cintamu dan mungkin kelak dapat menerima dan membalas cintamu itu?" kata Hwee Li hati-hati. "Apakah dengan janjiku itu engkau mau membebaskan aku sekarang juga?"
"Tentu saja! Tentu saja akan kubebaskan sekarang juga!" kata pangeran itu penuh gairah kegembiraan.
Dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hati Hwee Li mendengar ini dan dia merasa betapa tangan pangeran itu telah meraba-raba belenggu kedua kakinya. Akan tetapi, timbul kekecewaannya karena jari-jari tangan pangeran itu kembali meninggalkan belenggu dan terdengar pangeran itu berkata, "Nona, aku sungguh amat mencinta dan kasihan kepadamu. Akan tetapi, bagaimana aku dapat mempercayai janjimu. Betapa aku ingin kita dapat saling percaya dan saling mencinta, akan tetapi apa yang baru saja kau lakukan terhadapku sungguh membuat hatiku meragu. Dan engkau belum berjanji."
Dengan jantung berdebar Hwee Li berkata, "Aku berjanji, Pangeran! Aku berjanji bahwa aku akan mempertimbangkan cintamu dan aku akan belajar membalas cintamu!"
Mulut pangeran itu tersenyum lebar, matanya yang cekung bersinar-sinar, akan tetapi dia belum bergerak membuka belenggu kaki dan tangan Hwee Li. "Dan kau berani bersumpah?" tanyanya perlahan.
"Aku bersumpah!" jawab Hwee Li sedangkan di dalam hatinya dia mengejek. Apa artinya sumpah baginya? Apa lagi bersumpah di depan orang Nepal yang dibencinya ini!
"Ahhh, sumpah dan janji harus disertai bukti, Nona Manis."
"Bukti? Bukti bagaimana maksudmu?" Hwee Li bertanya, penasaran dan kecewa.
"Jika benar engkau mempunyai maksud hati yang baik dan tidak hendak berlaku curang kepadaku, kalau benar engkau jujur dalam janjimu, engkau tentu mau memperlihatkan kebaikanmu itu untuk menciumku." Pangeran itu tersenyum dan memandang tajam.
Hwee Li merasa betapa wajahnya panas sekali. Dia tidak tahu betapa kedua pipinya menjadi merah seperti udang direbus mendengar permintaan pangeran itu. Ingin dia menjerit, memaki dengan segala macam makian kotor yang pernah didengarnya. Akan tetapi dara yang cerdik ini menekan perasaannya dan dia lalu berkata, "Aku mau..."
Sepasang mata yang cekung itu langsung berkilat. "Benarkah? Aihhh, Nona Hwee Li, kekasihku..., benarkah engkau mau menciumku? Ah, betapa bahagia hatiku dan kalau benar, aku pasti akan mempercayaimu sepenuh hatiku. Nah, kau ciumlah aku, sayang." Pangeran itu lalu berlutut di dekat pembaringan dan mendekatkan mukanya pada muka dara itu.
Ketika muka itu mendekati mukanya, Hwee Li merasa ngeri bukan main. Tercium bau wangi yang aneh, agaknya pangeran itu memakai minyak wangi yang asing, bercampur bau badan pria yang mungkin keluar dari keringat, seperti bau binatang liar, dan napas pangeran itu menyapu pipinya, panas dan tersendat-sendat. Hwee Li memejamkan matanya dan dengan cepat menggerakkan mukanya sehingga hidungnya menyapu pipi pangeran itu.
"Ngokkk!"
Pertemuan antara ujung hidung dan sebagian bibirnya dengan pipi yang panas kasar itu membuat Hwee Li mengkirik dan bulu tengkuknya meremang.
"Terima kasih... ha-ha, ciumanmu seperti ciuman seorang anak kecil. Nona, karena kita kelak akan menjadi suami isteri, maka tiada buruknya kalau kita saling mencium. Dan mengingat betapa Nona adalah seorang dara yang masih murni dari hijau, biarlah saya memberi contoh bagaimana jika mencium kekasih." Setelah berkata demikian, tiba-tiba pangeran itu merangkul Hwee Li dan sebelum gadis itu dapat membuang muka, tahu tahu bibirnya telah dicium oleh pangeran itu.
Ketika merasa betapa sepasang bibirnya tertawan dalam ciuman mulut yang panas itu, hampir saja Hwee Li menjadi pingsan. Dia cepat menggerak-gerakkan kepalanya agar bibirnya terlepas dari ciuman, akan tetapi mulut pangeran itu menempel pada mulutnya seperti seekor lintah yang tidak mau lepas lagi. Setelah napas mereka terengah-engah, barulah pangeran itu melepaskannya.
Wajah Hwee Li menjadi pucat, matanya terbelalak penuh kemarahan dan dua titik air mata meloncat ke luar dari sepasang matanya. Akan tetapi wajah pangeran itu menjadi kemerahan, napasnya tersendat-sendat, tanda bahwa nafsu birahi telah naik ke kepala pangeran itu. Dia memandangi wajah dan tubuh Hwee Li dengan mata merah.
"Benar. Hemmm, benar usul mereka...," katanya lirih dan kini tangannya meraba baju Hwee Li.
Dara itu memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi telah mendengar usul-usul yang dikeluarkan oleh suara ayahnya sendiri dan suara Hek-hwa Lo-kwi, maka tahulah dia apa yang akan dliakukan oleh pangeran itu.
"Jangan..." bisiknya dengan muka semakin pucat. "Lepaskan aku...!" Dia meronta, akan tetapi karena kaki dan tangannya terikat, ia hanya dapat menggerak-gerakkan pinggang dan lehernya saja.
"Brettttt...!" Sekali renggut saja robeklah baju Hwee Li sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup pakaian dalam yang tipis.
"Jangan...! Aku akan bunuh diri kalau kau lanjutkan... aku akan menggigit putus lidahku sendiri...!"
Pangeran yang sedang dikuasai nafsu birahi itu amat terkejut, secepat kilat tangannya bergerak ke arah leher Hwee Li, menotok ke bawah telinga dan seketika gadis itu tidak mampu lagi menggerakkan dagunya, apa lagi untuk menggigit!
"Hwee Li, aku terlalu cinta padamu, aku ingin engkau dapat membalas cintaku, maka aku juga tidak segan-segan mempergunakan segala cara...," katanya terengah-engah dan kembali dia sudah menubruk gadis itu penuh nafsu birahi yang berkobar-kobar.
Hwee Li merasa takut sekali. Dia teringat akan jalan satu-satunya untuk membunuh diri. Maka dia melupakan segalanya, menutup ingatannya dan menahan napasnya.
Pangeran itu sudah meraba pakaian dalamnya pada saat melihat wajah Hwee Li. Dia terkejut sekali. "Ahhhhh..."
Dan cepat dia turun dari atas tubuh Hwee Li yang sudah ditindihnya, sekarang dia mengguncang-guncangkan pundak dara itu dengan muka pucat. "Hwee LI...! Hwee Li... jangan... jangan... aihhh, Hwee Li, aku tidak akan memaksamu... jangan begitu nekat...!"
Dia mempergunakan tangannya untuk mengurut leher dan ulu hati gadis itu. Dalam keadaan panik dan khawatir itu dia tidak lagi merasakan betapa tangannya tanpa disengaja menyentuh dua buah bukit dada yang sedang mekar itu. Lenyap sama sekali nafsu birahinya karena sama sekali dia tidak ingat lagi akan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kini pikirannya penuh dengan kekhawatiran melihat betapa wajah dara itu kebiruan dan napasnya sama sekali terhenti, dadanya mekar penuh dengan hawa yang ditahan-tahan dan tidak dikeluarkan.
"Hwee Li...!" Dia mengeluh dengan suara seperti orang menangis.
Akhirnya, oleh karena dipaksa oleh pijatan dan urutan tangan Liong Bian Cu, Hwee Li bernapas lagi, terengah-engah dan terbatuk-batuk. Dia sadar kembali dan membuka matanya. Melihat bahwa tubuhnya masih tertutup pakaian dalam, tahulah dia bahwa dia belum ternoda. Dia melihat pangeran itu berlutut dan ada air mata di kedua pipi pemuda itu!
"Hwee Li... ahh, Hwee Li, apa yang akan kulakukan tadi? Kau ampunkan aku, Hwee Li, percayalah padaku, semua yang kulakukan kepadamu terdorong oleh rasa cintaku yang besar..." Liong Bian Cu meratap.
"Hemmm, kau tahu sekarang bahwa setiap saat aku dapat membunuh diri dan kau sama sekali tidak akan mampu mencegahku? Aku sudah berjanji, dan kau ternyata hendak melanggar, padahal kau pun berjanji akan membebaskan aku."
"Akan kubebaskan... sekarang juga, tetapi kau pun harus berjanji tidak akan membunuh diri..."
Hwee Li tersenyum. "Aku tidak akan begitu bodoh untuk membunuh diri, Pangeran. Akan tetapi, kau tidak boleh menyentuhku, tidak boleh menciumku seperti tadi, apa lagi menggunakan kekerasan untuk memperkosa. Kalau kau melakukan satu kali saja, aku akan mencoba untuk membunuhmu, dan kalau aku gagal, aku akan membunuh diri sendiri. Kau boleh memiliki tubuhku sebagai mayat!"
"Tidak..., tidak..., kau maafkanlah aku, sayang. Nah, lihat, aku akan membebaskanmu sekarang juga." Dia meraba belenggu, akan tetapi berhenti lagi. Diam-diam Hwee Li gemas bukan main. Pangeran ini amat berbahaya, juga amat besar curiga dan hati-hati, amat licin dan cerdik!
"Tetapi, kau benar-benar mau menjadi isteriku, bukan? Jawablah, Hwee Li, sekarang juga. Karena kalau kau suka berjanji untuk menjadi isteriku, apa pun akan kulakukan demi engkau, sayang. Sebaliknya, aku tidak mau disiksa menantikan sesuatu yang tidak akan terjadi, tidak mau disiksa dengan harapan kosong yang tidak akan terpenuhi. Kalau kau tidak mau, katakan saja tidak mau. Aku tidak akan memaksamu, aku terlalu cinta padamu untuk melihat engkau menderita di bawah tanganku, akan tetapi... hemmm, kalau tidak mau, aku akan hadiahkan engkau kepada anak buahku!"
Hwee Li merasa ngeri. Dia maklum bahwa gertakan pangeran ini bisa saja dilaksanakan kalau dia membuat pangeran ini putus harapan dan marah. "Aku berjanji, Pangeran. Akan tetapi aku bukanlah seorang wanita sembarangan saja. Aku hanya mau menjadi isterimu dalam pernikahan yang syah, pernikahan yang dirayakan secara meriah dan disaksikan oleh banyak tamu di dunia kang-ouw. Sebelum itu, sekali saja engkau menyentuhku, aku akan membunuh diri! Kehormatanku jauh lebih penting dari pada nyawaku. Nah, aku sudah berjanji, terserah kepadamu!"
Bukan main girangnya hati Liong Bian Cu. Dia mengeluarkan kunci dari dalam saku bajunya dan segera membuka kunci belenggu kaki tangan Hwee Li. Dara itu bangkit duduk di atas pembaringan, bergantian menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya untuk melancarkan jalan darah yang tadi terganggu oleh himpitan belenggu. Tiba-tiba dia teringat akan peristiwa tadi, betapa mulutnya dicium dengan lahapnya oleh mulut Liong Bian Cu. Teringat akan ini, tiba-tiba saja Hwee Li muntah-muntah!
"Ahhh, kau sakit...! Kalau pusing, engkau rebahlah, Hwee Li..." Liong Bian Cu terkejut sekali melihat gadis itu muntah-muntah di atas lantai dekat pembaringan, lalu mendekati untuk memijat-mijat tengkuk gadis itu.
"Sudah, aku tidak apa-apa!" Hwee Li berkata sambil melepaskan tangan yang memijit mijit tengkuknya. Dia menggunakan lengan baju untuk mengusap mulutnya, diusapnya keras-keras karena dia bukan hanya mau menghapus bekas muntah tadi, melainkan hendak menghapus bekas ciuman dari kedua bibirnya.
"Sungguh engkau tidak apa-apa, Moimoi (Dinda)...?" tanya Liong Bian Cu, suaranya penuh kasih sayang dan dia bertepuk tangan memanggil pelayan.
Pelayan datang dan segera disuruh membersihkan lantai. Pelayan itu langsung disuruh keluar lagi setelah selesai mengerjakan perintah itu.
"Bekas belenggu itu menyakitkan tanganmu, Hwee Li?" Dia merayu lagi dan mendekati, membantu gadis itu menggosok-gosok pergelangan tangannya. "Biar kulancarkan jalan darahnya dengan urutan tangan dan...!"
Tiba-tiba pangeran itu menghentikan kata-katanya, karena dia merasa betapa tangan yang kecil halus akan tetapi mengandung tenaga yang amat kuat itu sekarang telah mencengkeram jalan darah di dekat ulu hatinya, jalan darah kematian!
"Jangan bergerak atau kau akan mampus!" Hwee Li menghardik.
"Aihhh, apa yang hendak kau lakukan ini, Moi-moi...?" Pangeran itu mengeluh, tidak berani bergerak karena sekali saja dara itu mengerahkan sinkang dan mencengkeram, tidak ada yang dapat menolong nyawanya lagi.
"Dengar kau, Liong Bian Cu! Engkau tadi telah menghinaku, dan untuk... ciuman itu saja engkau sudah layak mampus. Apa lagi penghinaan lainnya tadi! Hayo, cepat kau antar aku keluar dari lembah ini, kalau tidak, engkau akan mampus sekarang juga."
"Ahhh, Hwee Li, apa kau kira aku takut mati? Akan tetapi, bukan kematianku yang kutakutkan, melainkan nasibmu. Kalau kau membunuhku, apa kau kira akan dapat lolos dari kematian? Engkau yang masih begini muda remaja, cantik jelita, pasti tidak akan lolos dari kematian di tangan Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo dan semua anak buahku dan anak buah Kui-Liong-pang. Aku mati, akan tetapi engkau juga mati, apa bedanya bagiku? Kita akan berkumpul juga di alam baka! Mati di tangan seorang yang kucinta seperti engkau adalah kematian yang menyenangkan, Hwee Li. Nah, cepat kau bunuhlah dan aku akan menantimu di sana karena aku yakin engkau akan menyusulku cepat, dalam hari ini juga."
"Bohong!" bentak Hwee Li. "Kalau kau mampus, ayah tentu tidak melihat kegunaannya lagi berada di sini dan mengorbankan aku. Ayah tentu akan membantuku melarikan diri. Betapa pun juga, dia adalah ayah kandungku sendiri!"
Tiba-tiba pangeran itu tertawa dan Hwee Li memperkuat cengkeramannya sehingga kuku-kuku jarinya sudah mulai terbenam sedikit ke dalam baju dan menyentuh kulit di dada Liong Bian Cu.
"Ha-ha-ha-ha! Ayah kandungmu? Hwee Li, kalau dia ayah kandungmu, mana mungkin dia sengaja menyerahkan engkau kepadaku, bahkan dia telah memberiku nasehat buat memperkosamu? Kalau dia ayah kandung yang mencinta puterinya, mana mungkin dia tega melakukan hal itu? Sedangkan aku saja, seorang pria muda yang mencintamu, masih tidak tega memperkosamu seperti yang kau lihat sendiri tadi. Dia bukan ayah kandungmu, Hwee Li, engkau adalah anak pungut dari Hek Tiauw Lo-mo!"
"Bohong...!" Hwee Li menjerit dan dia lupa dengan ancamannya, sekarang tangannya bergerak menampar.
"Plakkk!"
Pipi Liong Bian Cu ditamparnya dan tubuh pemuda bangsawan itu terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan mengelus pipinya yang menjadi merah sekali oleh tamparan tadi.
"Bohong kau...! Bohong...!" bentak Hwee Li, wajahnya pucat dan air matanya menitik turun.
"Tidak, Hwee Li, aku tidak bohong. Ayahmu sendiri yang akan menceritakan kepadamu, dan kau boleh bertanya kepadanya. Semua peristiwa itu diketahui Hek-hwa Lo-kwi, dulu sahabat ayahmu, dan aku mendengar dari Hek-hwa Lo-kwi. Hek-tiauw Lo-mo tidak pernah punyak anak, dan engkau bukan puterinya."
Mata yang indah itu terbelalak, kedua kakinya menggigil. "Bohong...! Bohong...!" Dara itu meloncat ke luar dari kamar dan berlari sambil menutupi mukanya dan menangis terisak-isak.
Malam telah tiba. Di luar sudah gelap. Akan tetapi tidak terlalu gelap karena bulan telah muncul di angkasa timur. Biar pun bukan bulan purnama, akan tetapi bulan yang tiga perempat itu cukup mengusir kegelapan dan menimbulkan cahaya remang-remang yang sejuk dan kehijauan.
Hwee Li berlari terus sambil menangis dan akhirnya dia baru berhenti ketika tiba di tepi sungai yang mengurung lembah. Dia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis sejadi-jadinya. Ia mengingat akan semua pengalamannya dengan ayahnya, waktu yang belasan tahun itu seperti membayang semua di benaknya.
Ayahnya selalu memanjakannya, selalu mencintanya, dan baru akhir-akhir ini berubah. Dan dia mendengar ucapan ayahnya ketika bercakap-cakap di luar kamar tadi. Apa kata ayahnya ke pada Pangeran Liong Bian Cu? Terngiang di telinganya sebagian dari kata kata ayahnya yang sukar dia lupakan, "Hanya kalau dia satu kali sudah menjadi milik pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu."
Ah, ayahnya hanya bilang bahwa ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil. Dia sama sekali sudah tidak ingat lagi kepada ibunya. Dan dia percaya! Siapakah ibunya? Siapa pula ayahnya? Apa yang terjadi dengan mereka? Dan bagaimana dia bisa menjadi anak Hek-tiauw Lo-mo dan tinggal di Pulau Neraka?
Hwee Li masih menangis, akan tetapi sekarang pikirannya bekerja. Kalau benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, tentu dia tak bisa mengharapkan bantuan dari kakek itu. Dia sendirian saja dikurung di dalam lembah itu, bahkan ayahnya itu juga membantu Pangeran Liong Bian Cu. Dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa, dan kalau dia ingin selamat, dia harus mengandalkan dirinya! Akan tetapi, kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, yang amat lihai itu.
Satu-satunya yang boleh diminta tolong dan diandalkannya hanyalah otaknya sendiri, kecerdikannya. Dia harus cerdik, kalau dia tidak ingin terhina dan mati konyol. Dan dia tidak ingin mati. Dia harus mencari akal!
"Moi-moi...!"
Hwee Li tahu siapa yang datang dan dia menangis makin keras. Dia terisak-isak sambil berlutut di atas rumput, akan tetapi kini tangisnya berbeda dengan tadi. Kalau tadi, dia menangis sepenuhnya terdorong oleh rasa penasaran, marah, kecewa dan duka. Akan tetapi kini tangisnya sebagian besar terkendali oleh kecerdikannya.
"Hwee Li, kau maafkanlah aku. Aku tidak sengaja melukai hatimu. Tetapi percayalah, bahwa satu-satunya orang di dunia ini hanya aku yang dapat kau percaya, hanya aku yang mencintamu. Jangan kau memikirkan lagi ayah angkatmu itu. Akulah yang akan membahagiakan hidupmu, Moi-moi."
Hwee Li masih terus menangis, kemudian ketika dia merasa ada tangan menyentuh pundaknya, sentuhan penuh kasih sayang, dia mendorong perlahan tangan itu, bangkit berdiri dan menghadapi pangeran itu dengan muka basah air mata.
"Pangeran, betapa sedih hatiku mendengar bahwa dia bukan ayah kandungku. Dan aku tahu akan kebaikanmu, tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak sudi untuk dijadikan perempuan sembarangan. Kalau kau berlaku sopan, kalau kau dapat menghormati dan menghargai aku sebagai gadis baik-baik, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk kelak menjadi jodohmu."
Tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila dan benar-benar jatuh cinta kepada dara itu menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihat, kekasihku, lihat. Aku Pangeran Liong Bian Cu yang biasa disembah-sembah orang. Aku tidak malu-malu untuk berlutut di depan kakimu. Aku bersumpah akan memenuhi janjiku, takkan mengganggumu sebelum kita menikah dan menjadi suami isteri yang syah. Engkau tahu bahwa aku mempunyai cita-cita yang maha besar, dan agaknya, tanpa engkau di sampingku, aku merasa tidak cukup kuat untuk melaksanakan tugas berat itu. Akan tetapi, Moi-moi, dengan adanya engkau di sampingku, aku sanggup untuk menaklukkan seluruh dunia!"
"Baiklah, Pangeran. Aku percaya kepadamu, dan kuharap mulai sekarang aku boleh bebas di tempat ini."
"Tentu saja kekasihku. Akan tetapi, kuharap engkau jangan mencoba untuk melarikan diri karena engkau tahu bahwa hal itu selain tidak mungkin terjadi, juga ketahuilah bahwa aku telah terlanjur menusukkan jarum beracun pemberian Hek-hwa Lo-kwi itu di tubuhmu sehingga kini racun itu telah berada di dalam tubuhmu. Racun itu tidak akan bekerja sebelum satu tahun, tetapi dalam satu tahun, racun itu akan dapat mematikan, Moi-moi. Akan tetapi, jangan khawatir, obat penawarnya selalu berada di tanganku."
Pangeran itu bangkit berdiri dan tersenyum. “Jadi jelas bahwa mencoba untuk melarikan diri, selain tidak mungkin, juga berarti engkau kelak akan tewas dalam keadaan tersiksa sekali. Maka, kuharap engkau tidak sebodoh itu."
Demikianlah, dalam keadaan tersudut, Hwee Li yang cerdik itu lalu bermain sandiwara, pura-pura menerima kehendak sang pangeran untuk memperisterinya. Setiap hari dia hidup dengan bebas di lembah itu, dihormati semua orang yang tahu bahwa dara cantik jelita ini adalah tunangan Pangeran Nepal itu. Akan tetapi penjagaan terhadap dirinya sungguh amat ketat, apa lagi di situ selalu ada Hek-hwa Lo-kwi atau Hek-tiauw Lo-mo yang membayanginya. Selain itu, juga semua perahu selalu dijaga sehingga tanpa memiliki perahu, tidak mungkin dia dapat menyeberangi sungai.
Ada pun sikap pangeran itu terhadapnya kini tak begitu merisaukan hati Hwee Li karena pangeran yang amat mencintanya itu benar-benar tidak pernah mau mengganggunya. Sikapnya amat manis, ramah dan mesra dan pangeran itu jelas berusaha keras untuk menundukkan hatinya dengan memupuk segala macam kebaikan dan keramahan. Hwee Li mengimbanginya dengan sikap manis sambil selalu mengincar kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Bahkan dia pandai menyimpan penasaran hatinya sehingga dia pun tidak melontarkan rasa penasaran itu secara kasar kepada Hek-tiauw Lo-mo.
Ketika beberapa hari kemudian Liong Bian Cu mengundang makan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi di taman bunga untuk menikmati bulan purnama bersama Hwee Li, barulah dara ini dengan hati-hati mengajukan pertanyaan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Mereka telah selesai makan dan Hek-tiauw Lo-mo telah minum banyak sekali arak pada malam hari itu.
"Ayah, jangan Ayah merasa heran bahwa aku telah mendengar bahwa sesungguhnya Ayah bukanlah ayah kandungku."
"Ehhh?" Hek-tiauw Lo-mo menoleh kepada Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut, akan tetapi kakek muka tengkorak yang tinggi kurus itu tidak perduli dan tenang-tenang saja makan manisan angco.
"Sayalah yang menceritakan kepadanya, Locianpwe," tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata. "Untuk melenyapkan rasa penasaran di hatinya."
Hek-tiauw Lo-mo memandang kepada pangeran itu, tetapi lalu mengangguk-angguk dan minum arak dari cawannya, kemudian meletakkan cawan kosong dan memandang kepada Hwee Li sambil tersenyum lebar. "Bagus kalau engkau sudah tahu. Kalau pun Pangeran tidak memberi tahu, sebetulnya aku pun hendak memberitahukan kepadamu, Hwee Li. Engkau sudah dewasa dan sudah waktunya mengetahui riwayatmu."
"Ayah," kata Hwee Li tenang sambil memandang tajam.
Dia memaksa diri menyebut ayah, padahal di dalam hatinya dia tidak sudi lagi menyebut kakek yang kejam ini sebagai ayahnya. Semenjak dia bukan kanak-kanak lagi dan sudah mengerti dan dapat membedakan antara baik dan buruk, dia memang sudah merasa kecewa dan tak senang kepada ayahnya. Sikap ayahnya itulah yang membuat dia tidak kerasan berdekatan dengan ayahnya itu.
"Ayah telah memeliharaku sejak kecil dan untuk itu, aku berterima kasih sekali. Akan tetapi, aku berhak untuk mengetahui siapa orang tuaku yang sebenarnya dan di mana adanya mereka." Hwee Li menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan perasaan dan dia menelan kembali keinginannya untuk menangis. Kemudian dia menambahkan, "Kurasa Ayah adalah seorang tokoh yang terlalu terkenal dan gagah untuk tidak menyembunyikan semua perbuatan yang Ayah lakukan terhadap orang tuaku itu."
"Ha-ha-ha! Kim Hwee Li, engkau tentu sudah cukup mengenal watakku. Aku bukanlah orang yang suka menyesalkan semua perbuatanku sendiri, dan aku bukan orang yang suka mengingkari perbuatan sendiri. Aku berani berbuat dan berani pula bertanggung jawab. Ha-ha-ha! Sekarang dengarlah penuturanku dan setelah kau mendengarnya, terserah apa yang akan kau pikirkan terhadap diriku."
Dengan wajah tenang namun hatinya penuh dengan segala macam perasaan, Hwee Li mendengarkan penuturan kakek itu…..
Belasan tahun yang lalu, dalam perantauannya setelah menemukan dan menundukkan orang-orang di Pulau Neraka dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka, pada suatu hari Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin yang terkenal sebagai seorang panglima yang suka berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi di dunia kang-ouw. Karena tertarik akan berita bahwa Kim Bouw Sin amat menghormati orang-orang kang-ouw, maka Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng itu. Benar saja, Panglima Kim Bouw Sin menyambutnya penuh penghormatan, bahkan lalu mengadakan pesta untuk menyambut tamu agung ini. Di dalam pesta itu, Panglima Kim Bouw Sin berkenan untuk menghibur tamunya dengan tari-tarian yang dilakukan oleh seorang selirnya yang terkasih. Selir ini cantik sekali dan masih muda belia, seorang ahli menari yang amat pandai.
Sebenarnya, Hek-tiauw Lo-mo pelarian dari Korea itu, biar pun pernah menjadi raja orang-orang liar, bahkan pernah mempunyai kebiasaan makan daging manusia, amat kejam dan membunuh orang seperti membunuh lalat saja, dia bukan termasuk seorang laki-laki yang lemah terhadap nafsu birahi. Akan tetapi, dalam keadaan setengah mabuk melihat selir panglima itu menari-nari dengan tubuh yang lemah gemulai, dengan dada montok penuh karena wanita muda ini mempunyai anak yang baru tiga bulan usianya, Hek-tiauw Lo-mo menjadi tergila-gila, dan pada malam hari itu, tanpa pamit, lenyaplah Hek-tiauw Lo-mo dari dalam kamar itu, dan bersama dia lenyap pula selir cantik itu bersama anaknya yang baru berusia tiga bulan!
Panglima Kim Bouw Sin terkejut sekali, akan tetapi melihat betapa tamunya yang seperti raksasa itu dapat menculik selir dan anaknya, melarikan diri dari sebuah benteng yang terjaga ketat, tahulah dia bahwa tamunya itu lihai sekali. Dan sebagai seorang panglima yang bercita-cita besar, yang ingin mengambil hati orang-orang berilmu di dunia kangouw, Panglima Kim Bouw Sin tidak mau ribut-ribut tentang penculikan ini, sungguh pun diam-diam dia menggerakkan orang-orangnya untuk mencari tanpa hasil.
Selir muda yang cantik itu menangis ketika dibawa masuk ke rumah Hek-tiauw Lo-mo di Pulau Neraka. Mula-mula dia menolak semua bujuk rayu raksasa itu, dan memilih mati. Tetapi, ketika Hek-tiauw Lo-mo menangkap anaknya, menempelkan golok gergajinya di leher anak yang baru berusia tiga bulan itu, wanita muda ini menyerah! Demi menjaga nyawa anaknya, dia mau menyerahkan diri setelah Hek-tiauw Lo-mo berjanji tidak akan mengganggu dan tidak akan membunuh anak itu, bahkan mengambil anak itu sebagai anaknya sendiri. Barulah wanita muda itu menyerahkan diri, penyerahan yang dilakukan dengan terpaksa dan dengan hati hancur. Hek-tiauw Lo-mo, raksasa yang kasar itu, mempermainkan wanita itu di luar batas kekuatan si wanita sehingga dalam waktu tiga bulan saja, wanita itu tidak kuat bertahan dan tewas!
Walau pun dia seorang liar dan kejam, namun Hek-tiauw Lo-mo merasa sebagai orang gagah, maka dia pantang untuk menjilat janjinya sendiri. Setelah wanita itu meninggal dunia, dia benar tidak membunuh anak itu dan memeliharanya sebagai anak sendiri. Makin besar anak itu, makin sayanglah dia, apa lagi setelah anak perempuan itu memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia kelak akan menjadi seorang wanita yang cantik jelita seperti ibunya!
"Ha-ha-ha, dan engkaulah anak itu, Hwee Li!" Hek-tiauw Lo-mo menutup ceritanya yang dilakukan terang-terangan tanpa menyembunyikan sesuatu apa pun untuk membuktikan ‘kegagahannya’.
"Melihat engkau menjadi dewasa dan persis ibumu, tadinya aku mempunyai keinginan untuk menarik engkau di sampingku sebagai pengganti ibumu yang kucinta sungguh. Akan tetapi, setelah aku menjadi makin tua, aku kehilangan gairah terhadap wanita, apa lagi setelah berjumpa dengan Pangeran Liong, aku lantas mengambil keputusan untuk menyerahkan engkau kepadanya demi kebahagiaanmu, anakku! Ha-ha-ha-ha-ha!"
Dapat dibayangkan betapa muak, benci dan sakitnya hati Hwee Li mendengar semua itu. Meski ayahnya mengaku cinta kepada ibunya, tetapi dia tahu bahwa akibat paksaan ayah angkat atau ayah tirinya inilah maka ibunya sampai tewas. Dan sesungguhnya, orang ini sama sekali tidak pantas dia sebut ayah, bahkan sebagai ayah tiri sekali pun, karena ibunya menjadi isteri orang ini tidak secara suka rela dan tidak syah, melainkan diculik dan dipaksa! Orang ini sama sekali bukan ayahnya, bukan ayah angkat atau ayah tirinya, melainkan musuh besarnya, pembunuh ibunya!
Panglima Kim Bouw Sin? Dia teringat akan peristiwa pemberontakan lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, usianya baru kurang lebih sebelas tahun, akan tetapi dia sudah tahu akan apa yang telah terjadi. Dia mendengar nama Panglima Kim Bouw Sin ini. Bukankah itu panglima pembantu Jenderal Kao Liang yang kemudian memberontak dan bersekutu dengan Pangeran Liong Khi Ong dan akhirnya panglima itu terbunuh? Jadi ibunya dan ayahnya yang sebenarnya, ayah ibu kandungnya, semua telah mati?
Dia masih penasaran dan bertanya dengan suara kering, "Dan ayah kandungku...?"
"Panglima Kim Bouw Sin? Ha-haha, tentunya dia sekeluarga telah dihukum mati karena memberontak. Jadi akhirnya engkau malah harus berterima kasih kepadaku, Hwee Li. Karena andai kata aku tidak melarikan ibumu dan engkau ikut, tentu engkau dan ibumu juga akan mengalami nasib yang sama, dihukum mati sebagai salah seorang anggota keluarga pemberontak," kata Hek-tiauw Lo-mo.
Dengan muka pucat akan tetapi tidak begitu kentara karena taman itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama yang sudah membuat segala sesuatu nampak pucat, Hwee Li berkata lirih, "Kalau begitu, engkau bukan ayahku, Hek-tiauw Lo-mo..."
Pangeran Liong Bian Cu menyentuh tangan Hwee Li dan berkata, "Moi-moi, jangan bilang begitu. Betapa pun juga, Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo adalah ayah tirimu dan dia sudah memeliharamu sejak kecil, mendidikmu dengan segala macam ilmu. Aku akan selalu menganggap dia sebagai ayahmu."
Pikiran Hwee Li bekerja. Dia melihat Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepadanya dan di balik pandang matanya itu terdapat ancaman hebat. Dia tahu bahwa kakek itu melakukan semua ini dengan harapan untuk membonceng kemuliaannya kalau dia kelak menjadi isteri Liong Bian Cu. Tentu saja kalau tidak diaku sebagai ayah, harapan kakek itu menjadi hancur dan mungkin saja dia melakukan sesuatu yang akan merugikan dirinya. Selagi dia masih berada di lembah itu, selagi dia masih mencari-cari kesempatan untuk lolos, tidak baik kalau dia menanamkan kebencian dan ancaman baru dalam diri Hek-tiauw Lo-mo.
"Tentu saja, Pangeran. Aku tidak dapat melupakan segala kebaikan Ayah,” katanya sambil minum araknya beberapa teguk. Dia lalu melirik ke arah Hek-tiauw Lo-mo dan melihat kakek ini tertawa-tawa senang mendengar ucapannya itu.....
********************
Demikianlah, Hwee Li yang bagaikan seekor burung telah terkurung dalam sangkar emas itu, terjaga ketat dan sama sekali tidak melihat kesempatan sedikit pun untuk melarikan diri, mulai menggunakan kecerdikannya. Tiap saat dia waspada dan mencari lubang, dan hanya kecerdikannya saja yang membuat dia dapat menahan segala kekhawatirannya dan bersikap biasa, bahkan ramah terhadap Pangeran Liong Bian Cu, seolah-olah dia mulai setuju untuk menjadi isteri Pangeran Nepal ini.
Sering Hwee Li termenung dan hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan. Dia merasa benci sekali kepada Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata adalah seorang musuh besar. Kini lenyaplah harapannya untuk dapat tertolong oleh kakek itu. Semua orang yang berada di lembah ini adalah musuh-musuhnya, dan Hek-tiauw Lo-mo merupakan musuh utama malah, di samping Pangeran Liong Bian Cu.
"Ingatlah, Moi-moi, engkau adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin dan engkau sudah tahu betapa ayah kandungmu itu dahulu juga bersekutu dengan ayahku dan membantu ayahku, Pangeran Liong Khi Ong. Maka, kalau sekarang engkau menjadi isteriku dan membantuku, sungguh sudah tepat sekali. Orang tua kita bersahabat, dan sekarang kita berjodoh, bukankah itu baik sekali?" Demikian antara lain bujukan dari Pangeran Liong Bian Cu.
Akan tetapi biar pun dia tidak mau membantah, di dalam hatinya dia sangat tidak senang. Ayahnya adalah seorang pemberontak dan karena perbuatannya itu, seluruh keluarga ayahnya binasa. Dia mengerti bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar, dan tentu saja dia tidak sudi mengulang perbuatan yang salah itu, apa lagi ditambah dengan pengorbanan dirinya menjadi isteri dari Liong Bian Cu yang dibencinya.
Akan tetapi, kesempatan yang dinanti-nantinya itu tidak kunjung datang. Penjagaan terlalu ketat dan dia sama sekali tidak melihat kernungkinan untuk dapat meloloskan diri melalui penyeberangan sungai. Satu-satunya jalan untuk dapat lolos hanyalah dengan bantuan garudanya, tetapi kini garuda itu telah dikurung, dijaga ketat dan kurungannya dikunci.
Hwee Li sudah menggunakan akal untuk terus bersikap ramah kepada Liong Bian Cu sehingga pergaulan di antara mereka sudah kelihatan akrab dan tidak asing lagi. Bahkan dengan keramahannya itu, Hwee Li mengajak dia bercakap-cakap dan dengan gembira Hwee Li menceritakan tentang kesenangannya menunggang burung garuda melayang-layang di angkasa.
Mendengar ini dan melihat sikap Hwee Li, Liong Bian Cu berkata, "Jangan khawatir, kekasihku. Kelak kalau kita sudah menikah, aku pasti akan mengajakmu berpesiar naik garuda itu."
"Ahhh, mana mungkin? Burungku itu tentu akan dibawa pergi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Sekarang pun telah dikurungnya, aku khawatir burung itu akan sakit dan mati."
"Ha-ha-ha, kau tidak perlu khawatir. Ayahmu telah menyerahkan burung itu kepadaku dan ini kunci kurungan itu selalu berada di tanganku. Dan aku sudah menyuruh para pemelihara burung itu baik-baik, memberi makan dan minum secukupnya."
lnilah yang ingin diketahui oleh Hwee Li dan dara ini cepat mengalihkan percakapan. Dia kini sudah tahu bahwa kunci kurungan berada di tangan pangeran ini! Cukuplah itu! Terbuka lagi jalan baginya untuk meloloskan diri. Kalau saja dia dapat merobohkan Liong Bian Cu, merampas kunci itu dan membebaskan garudanya, tentu dia akan dapat lolos dari situ menunggang garudanya!
Liong Bian Cu benar-benar jatuh cinta kepada Hwee Li. Sikapnya baik sekali, dan pemuda ini tidak pernah lagi memperlihatkan kekerasan, sungguh pun sikapnya mesra sekali. Namun, dia sudah puas untuk menggandeng tangan Hwee Li, atau paling jauh dia hanya mencium tangan dara itu, tidak berani bertindak lebih. Akan tetapi, Hwee Li makin gelisah ketika hari yang ditentukan telah makin mendekat. Liong Bian Cu sudah menentukan hari pernikahan mereka, dan tanpa disadari, dia telah hampir sebulan berada di situ sehingga waktu pernikahan tinggal satu bulan lagi!
Pada suatu senja, Liong Bian Cu sibuk mencari-cari Hwee Li. Dara ini memang diberi kebebasan untuk pergi ke mana saja di dalam lembah itu, karena Liong Bian Cu merasa yakin bahwa tidak mungkin Hwee Li dapat meloloskan diri. Selain lembah itu terkurung sungai lebar, juga terdapat banyak sekali penjaga di tepi sungai sehingga andai kata Hwee Li hendak nekat menyeberang, dia akan ketahuan pula.
"Hwee Li...!"
"Moi-moi, di mana kau...?"
Liong Bian Cu mencari-cari ke sana-sini sambil berteriak-teriak memanggil. Hatinya merasa agak gelisah. Biar pun dia merasa yakin bahwa tidak mungkin dara itu dapat meloloskan diri, namun setelah agak lama mencari-cari tanpa hasil, dia merasa khawatir juga, khawatir kehilangan dara yang dicintanya itu. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika seorang pengawal memberi tahu bahwa dara yang dicari-carinya itu tadi pergi ke sumber air di tempat yang agak tinggi di sebelah belakang lembah.