CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
JODOH RAJAWALI JILID 21
Mendengar betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi secara aneh telah berkhianat, membantu Siluman Kecil dan bahkan telah menculik Puteri Syanti Dewi pula, dan juga membakar benteng, kemarahannya memuncak akan tetapi karena kedua orang kakek iblis yang dianggapnya berkhianat itu telah tidak ada lagi, maka kemarahannya lalu dia timpakan kepada Jenderal Kao Liang!
“Ternyata engkau seorang yang tidak dapat memegang janji!” bentaknya ketika jenderal tua ini dihadapkan kepadanya. “Engkau telah menipu kami! Engkau tidak sungguh sungguh dalam pembuatan benteng ini sehingga mudah saja dikacau orang! Padahal yang mengacau hanya empat orang, yaitu Hek-tiauw Lo-mo si keparat dan anaknya, Hek-hwa Lo-kwi si pengkhianat, dan Siluman Kecil. Benteng macam apa yang kau buat ini?”
Jenderal Kao Liang memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan sikap tenang. “Pangeran, sama sekali bukan salahku! Coba ada datang pasukan besar menyerbu, sudah pasti aku akan dapat menahan mereka dengan bentengku dan dengan pasukan penjaga benteng. Jangan harap pasukan musuh akan dapat dengan mudah membobol bentengku ini! Akan tetapi, tadi yang menimbulkan kekacauan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang sakti dari dunia kang-ouw. Benteng ini bukan dibuat untuk menghadapi orang kang-ouw, melainkan untuk menghadapi pasukan musuh. Tentu saja pasukan yang terdiri dari orang-orang biasa tidak mampu menghadapi ahli ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Adalah kesalahan Pangeran sendiri yang memusuhi orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Mengapa menyalahkan aku?”
Melihat sikap Jenderal Kao Liang itu, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dengan geram dia lalu memberi aba-aba dan beberapa orang pengawal pribadinya cepat maju dan menangkap Jenderal Kao! Jenderal itu hanya memandang dengan tersenyum pahit, sikapnya tenang sekali dan memandang rendah. Sudah lama dia kehilangan perhatiannya terhadap keselamatan dirinya sendiri sehingga baginya tidak ada lagi rasa takut. Melihat sikap ini, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dia lalu memerintahkan para pengawalnya untuk menyeret jenderal itu ke pintu gerbang dan mencambukinya sebagai hukuman atas kelalaiannya sehingga benteng itu sampai dapat diserbu dan dimasuki oleh musuh!
Dengan penerangan obor dan lampu karena malam mulai tiba, Jenderal Kao, yang dibelenggu kedua tangannya itu diseret menuju ke lapangan terbuka di dekat pintu gerbang. Para pengawal Nepal itu telah mengikatnya pada balok kayu yang berbentuk salib, mengikat kaki dan tangannya pada balok itu. Seorang pengawal lain telah membuka baju atasnya dan pengawal algojo sudah mempersiapkan cambuknya, menanti tanda dari Pangeran Nepal itu yang juga mengikuti sampai di tempat itu.
Tanda itu diberikan dengan mengangkat tangan kiri dan menganggukkan kepala ke arah algojo itu. Dengan menyeringai puas algojo itu menghampiri Jenderal Kao. Tidak ada kesenangan yang lebih memuaskan bagi algojo ini dari pada kalau dia sedang melaksanakan tugas menghajar atau membunuh orang hukuman. Dalam pelaksanaan hukuman ini, tanpa mempedulikan siapa korbannya, dia menemukan kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa yang mendatangkan perasaan puas dan lega, penyaluran dari rasa dendamnya terhadap manusia lain!
Setelah menerima tanda dari sang pangeran, algojo ini tidak segera mau menjatuhkan pukulan cambuk pertama, melainkan mengayun-ayunkan cambuknya di udara, di atas kepalanya dan matanya berkilat memilih bagian punggung yang paling lunak untuk dijadikan sasaran lecutan pertama. Biasanya dia paling senang menikmati lecutan pertama ini, melihat betapa korbannya menegang dan menjerit, melihat darah pertama nampak memanjang di kulit punggung korbannya. Seperti seorang yang ingin menikmati makanan lezat, sebelum memakannya dia hendak memuaskan hatinya dulu dengan memandanginya, menghemat gerakannya agar kenikmatan itu dapat dikunyahnya lebih lama lagi.
“Wirrr... siuuuuuttttt...!”
Akhirnya cambuk itu yang berputar makin cepat, kini turun meluncur dan menyambar ke arah punggung Jenderal Kao yang sudah siap sedia untuk menghadapi segala macam siksaan, bahkan kematian sekali pun, dengan tenang dan dia tidak akan menyenangkan hati para musuh dan penyiksanya dengan keluhan sedikit pun juga.
Akan tetapi, algojo yang sudah meringis seperti seekor harimau yang sedang menubruk mangsanya itu, tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget dan heran. Cambuknya tertahan di udara! Dia mengerahkan tenaga, tetapi tetap saja cambuknya tidak dapat meluncur terus, dan ketika dia menengok, bukan main kagetnya melihat betapa ujung cambuknya itu telah ditangkap oleh tangan seorang kakek botak yang bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin atau juga yang dikenalnya sebagai Pendeta Lakshapadma, koksu dari Nepal!
“Mundur kau!” Koksu itu berkata dan sang algojo tentu saja tidak berani membantah.
Walau pun dia akan melakukan tugas menurut perintah Pangeran Bharuhendra, akan tetapi kakek botak ini adalah guru negara, dan juga merupakan guru dari sang pangeran itu. Dia membungkuk dengan hormat, menggulung cambuknya dan setelah melepaskan kerling kecewa ke arah Jenderal Kao, dia lalu mengundurkan diri.
Pangeran Liong Bian Cu memandang kepada Ban Hwa Sengjin yang datang bersama dengan Hek-hwa Lo-kwi, Hektiauw Lo-mo, kakek yang seperti gorilla, nenek bermuka tengkorak, hwesio gundul katai, dan kakek yang tingginya luar biasa itu. Pangeran ini belum pernah bertemu dengan empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama mereka. Dalam keadaan lain tentu dia akan merasa girang dan menyambut mereka dengan keramahan, akan tetapi pada saat itu, Pangeran Liong Bian Cu sedang marah bukan main. Dia marah melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia tidak mempedulikan lagi betapa perintahnya menghajar Jenderal Kao tadi dihentikan oleh koksu, dan kini dia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya secara bergantian kepada dua orang kakek raksasa itu.
“Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua orang pengkhianat besar! Kalian masih berani muncul di hadapanku? Koksu, kenapa dua orang manusia pengkhianat ini tidak ditangkap dan diberi hukuman yang berat?” Pangeran itu menoleh kepada gurunya dengan pandang mata penuh penasaran.
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi segera saling pandang dengan penuh keheranan, dan koksu itu kemudian berkata, “Harap Paduka tenang, Pangeran. Kenapa Paduka marah-marah, hendak menghukum cambuk kepada Jenderal Kao, dan kenapa pula Paduka marah kepada mereka berdua ini? Dan kami melihat tadi di dalam benteng terjadi kebakaran-kebakaran. Apakah yang telah terjadi?”
“Musuh telah memasuki benteng dengan bantuan dua orang pengkhianat ini! Dan selain melakukan pembakaran-pembakaran, juga musuh yang dibantu dua orang pengkhianat ini telah melarikan Puteri Syanti Dewi!” Pangeran Liong Bian Cu berkata marah.
“Ini dia orangnya!” teriak seorang pengawal yang tadi kena dirobohkan oleh Hek-tiauw Lo-mo palsu sehingga sampai sekarang pun dia masih terpincang-pincang, sekarang jari tangannya menuding ke arah kakek raksasa dari Pulau Neraka itu dengan penuh kebencian.
“Mereka inilah yang tadi membantu melarikan Puteri Syanti Dewi!” Tiba-tiba terdengar Mohinta berseru. “Dengan bantuan para pengawal, saya sudah dapat menyingkirkan Sang Puteri dan dua orang pengkhianat ini bersama pemuda berambut putih itu dan... puteri Hek-tiauw Lo-mo mengamuk, dikeroyok oleh para pengawal. Akan tetapi tiba-tiba saya diserang secara menggelap, tentu oleh seorang di antara mereka ini dan Sang Puteri dilarikan!”
“Koksu, cepat tangkap mereka!” bentak Liong Bian Cu dengan marah.
Dia sudah kehilangan kekasihnya, juga kehilangan Puteri Bhutan yang amat penting baginya, dan ditambah lagi kenyataan betapa dua orang pembantunya ini melakukan pengkhianatan!
Akan tetapi, Ban Hwa Sengjin bersikap tenang saja. “Pangeran, tidak baik membiarkan diri terseret oleh kemarahan. Marilah kita bicarakan hal ini dengan tenang, karena di sini terjadi keanehan dan kesalah pahaman besar. Kerugian kita yang paling besar adalah kalau musuh sampai berhasil membuat kita semua saling mencurigai kemudian terjadi perpecahan sehingga melemahkan kedudukan kita sendiri.” Koksu lalu melepaskan belenggu kaki tangan Jenderal Kao dan mengajaknya untuk melakukan perundingan pula di sebelah dalam.
Liong Bian Cu terheran-heran mendengar ucapan gurunya itu, tetapi dia dapat melihat kebenaran kata-kata gurunya bahwa perpecahan antara dia dan para pembantunya sungguh amat merugikan dan dapat melemahkan kedudukannya sendiri. Maka dengan menahan kemarahan dan penasaran, dia pun lalu tidak bicara apa-apa lagi melainkan melangkah menuju ke dalam gedungnya, langsung menuju ke ruangan tamu yang luas, diikuti oleh Ban Hwa Sengjin, empat orang dari Im-kan Ngo-ok, Jenderal Kao Liang, Mohinta, Hwa-i-kongcu dan beberapa orang pembantu utama lagi.
Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan karena Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya sedang berada dalam keadaan tegang, maka Ban Hwa Sengjin juga tidak memakai banyak peraturan dan dia tidak memperkenalkan empat orang rekannya itu, melainkan segera minta penjelasan dari Liong Bian Cu tentang peristiwa yang terjadi di dalam benteng.
Liong Bian Cu lalu menceritakan semua yang telah disaksikannya sendiri dan yang dilengkapi oleh pelaporan semua pembantunya, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ban Hwa Sengjin dan dengan penuh keheranan oleh Hek-tiauw Lo-mo berdua Hek-hwa Lo-kwi. Dua orang kakek raksasa ini marah bukan main dan mereka dapat menduga siapa adanya kedua orang yang telah menyamar sebagai mereka itu!
Maka, setelah Pangeran Liong Bian Cu selesai menceritakan semua peristiwa yang terjadi dalam benteng, Hek-tiauw Lo-mo berseru, “Si keparat itu! Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong dan muridnya!”
“Benar, guru dan murid itulah yang telah menyamar sebagai kita dan membikin kacau di dalam benteng!” Hek-hwa Lo-kwi juga berseru marah.
Liong Bian Cu terkejut sekali dan memandang kepada mereka bergantian dengan alis berkerut, karena masih belum hilang rasa penasaran dan marahnya kepada dua orang tokoh yang tadinya dianggap sebagai pengkhianat-pengkhianat ini. “Apa pula maksud kalian?”
“Pangeran, mereka berdua ini sama sekali tidak pernah kembali ke dalam benteng, karena mereka telah dirobohkan musuh dan baru kembali ke sini bersama kami tadi. Yang memasuki benteng bukanlah mereka, melainkan dua orang yang telah menyamar sebagai mereka. Dan menurut cerita Paduka, dua orang palsu yang pandai itu bukan hanya dapat mengelabui para penjaga dan para pengawal, bahkan mereka telah berani menghadap Paduka dalam penyamaran mereka dan Paduka sendiri sampai tidak dapat melihat bahwa mereka adalah dua orang musuh yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Dan mengapa Paduka tadi hendak menjatuhkan hukuman kepada Jenderal Kao?”
Liong Bian Cu masih terheran-heran mendengar bahwa dua kakek yang menghadapnya tadi sambil membawa tawanan Siluman Kecil dan membawa kembali tunangannya itu bukanlah Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, menjadi bingung dan ketika dia ditanya tentang hukuman terhadap Jenderal Kao, dia menjawab, “Koksu, kuanggap bahwa dialah yang bertanggung jawab sehingga benteng ini dengan mudah dapat diserbu musuh yang mengacau dan mendatangkan kebakaran di banyak rumah dalam benteng ini. Akan tetapi dia tidak mau mengakui kesalahannya bahkan mengatakan bahwa benteng ini dibangun untuk menghadapi serbuan pasukan besar, bukan penyelundupan beberapa orang sakti, dan ia berani menyalahkan kami yang dianggap memusuhi orang orang kang-ouw.”
Koksu Nepal itu mengangguk-angguk dan dia memandang kepada Jenderal Kao yang semenjak tadi hanya mendengarkan sambil menundukkan muka saja. Kemudian kakek botak ini berkata, “Pangeran, alasan Jenderal Kao memang benar. Untuk menghadapi penerobosan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, haruslah dipergunakan kesaktian pula untuk melawannya pula. Dan dengan girang saya beritahukan kepada Pangeran bahwa sekarang sahabat-sahabat saya ini telah datang untuk membantu kita. Andai kata tadi sewaktu musuh menyelundup ke sini ada seorang saja di antara kami berlima, sudah pasti mereka itu tidak akan dapat bergerak seenaknya. Pangeran, dan juga para rekan dan sahabat, perkenalkanlah empat orang sahabat saya ini.”
Dengan bangga Ban Hwa Sengjin memperkenalkan empat orang itu dan para tokoh yang baru pertama kali ini bertemu dengan mereka, memandang dengan hati terkejut dan penuh kekaguman, juga kengerian karena sesungguhnya mereka sudah pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok! Melihat mereka, para tokoh ini seolah-olah melihat iblis-iblis yang keluar dari dalam neraka, iblis-iblis yang tadinya hanya mereka dengar seperti dalam cerita dongeng saja!
“Pangeran, seperti saya katakan tadi, kalau musuh mempergunakan pasukan, maka saya percaya bahwa Jenderal Kao dengan bentengnya akan mampu menghalau setiap pasukan musuh yang bagaimana besar pun juga. Akan tetapi karena musuh yang datang adalah orang-orang yang menggunakan ilmu kepandaian, maka biarlah saya minta bantuan Su-ok dan Ngo-ok untuk melakukan pengejaran.” Pangeran Liong Bian Cu hanya mengangguk.
“Su-te dan Ngo-te, harap kalian suka sedikit melelahkan diri dan melakukan pengejaran terhadap para pengacau yang telah membikin pusing kepala Sang Pangeran. Kalian sudah mendengar bahwa dua orang yang menyamar itu adalah Hek-sin Touw-ong dan muridnya, dan tentu kalian tahu di mana adanya mereka itu.”
Kakek cebol dan kakek tinggi itu bangkit berdiri, dan mengangguk kepada Liong Bian Cu. Kalau kakek tinggi itu hanya cemberut saja, adalah kakek gundul pendek yang tertawa dan berkata kepada Ban Hwa Sengjin, “Ahhh, Koksu, kalau saja kami tidak mengingat betapa Pangeran telah dibikin pusing oleh penjahat-penjahat itu, tentu kami malas untuk pergi karena kami baru saja datang belum disambut dengan makanan lezat dan arak wangi!”
Pangeran Liong Bian Cu merasa tidak enak sekali dan dia sudah hendak menyuruh pengawal memerintahkan pelayan mengeluarkan hidangan, namun Ban Hwa Sengjin sambil tertawa menjawab, “Su-te, jangan khawatir. Mengejar orang-orang macam raja maling itu saja bersama muridnya, apa sih sukarnya bagi kalian? Sebelum masakan masakan itu dingin, tentu kalian sudah datang kembali membawa mereka sebagai tawanan dan masih belum terlambat bagi kalian untuk makan minum sepuasnya nanti!”
Si pendek dan si tinggi itu kemudian menggerakkan tubuh dan dalam sekelebatan saja mereka telah lenyap dari tempat itu! Semua orang merasa kagum sekali, bahkan diam diam Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi harus mengakui bahwa sekarang mereka mendapatkan saingan yang amat berat! Pangeran Liong Bian Cu menjadi girang dan terhibur melihat datangnya orang-orang pandai yang membantunya, maka dia cepat memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan untuk menyambut Twa-ok Su Lo Ti dan Ji-ok Kui-bin Nionio.
“Harap Pangeran mengijinkan saya untuk kembali ke kamar saya,” kata Jenderal Kao Liang. Pangeran Liong Bian Cu mengangguk dengan sikap tidak begitu mempedulikan. Jenderal tua ini lantas meninggalkan ruangan di mana pangeran itu mulai berpesta dengan gembira bersama para pembantunya.
Dengan hati berat Jenderal Kao Liang kembali ke dalam kamarnya lalu dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringannya. Kedua matanya yang sejak tadi terbelalak memandang ke langit-langit dalam kamarnya tak pernah berkedip itu, perlahan-lahan menjadi basah! Setelah berkumpul, akhirnya dua butir air mata bergerak keluar dari sepasang matanya dan jatuh menimpa bantal. Hanya dua butir air mata, akan tetapi hal ini sudah merupakan suatu hal yang amat luar biasa.
Jenderal Kao adalah seorang laki-laki sejati yang pantang menitikkan air mata. Lebih baik mengucurkan peluh dan darah dari pada air mata bagi jenderal yang gagah perkasa ini. Akan tetapi, pada saat ini hatinya tersiksa bukan main rasanya. Pangeran Nepal itu mendatangkan kelima Im-kan Ngo-ok! Negara berada dalam bahaya. Dan dia malah menjadi kaki tangan pangeran pemberontak itu! Ahhh, kalau saja keluarganya dapat lolos dari tempat itu, berada dalam keadaan selamat, tentu dia tidak akan merasa begini tersiksa. Dia tentu akan dapat melaksanakan segala rencananya yang telah dipersiapkannya semenjak dia membangun benteng itu secara terpaksa sekali untuk menyelamatkan nyawa semua keluarganya! Akan tetapi, agaknya tidak ada jalan bagi keluarganya untuk dapat lolos dari tempat itu. Bahkan Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti itu sendiri tidak berdaya…..
“Suhu, aku tidak mau!”
Seperti seorang anak kecil yang ngambek, Kang Swi Hwa berhenti di tepi jalan dan duduk di atas batu besar, sepasang alisnya bertemu, mulutnya cemberut dan matanya hampir menangis.
Hek-sin Touw-ong memandang kepada muridnya itu dan tersenyum melihat murid yang dicintanya itu mogok berjalan! Biar pun mukanya berwarna hitam, namun muka raja maling ini membayangkan kelembutan, apa lagi kalau dia berhadapan dengan muridnya itu.
“Hayaaa...“ Dia menarik napas panjang dan duduk pula di atas batu tak jauh dari tempat duduk muridnya. “Swi Hwa, berkali-kali kau mengatakan tidak mau. Ehh, muridku yang baik, tahukah engkau apa yang paling berharga bagi seorang wanita?”
“Aku tahu, aku tahu, berapa kali Suhu menanyakan itu? Yang paling berharga adalah kehormatan.”
“Nah, engkau sudah tahu! Dan engkau tahu apa yang telah terjadi antara engkau dan pemuda bernama Siauw Hong itu.”
“Akan tetapi, tidak terjadi apa-apa antara dia dengan aku, hanya dia melihat bahwa aku seorang wanita.”
“Hemmm, muridku yang baik. Tidak ada wanita yang membiarkan tubuhnya dilihat, apa lagi disentuh oleh seorang pria yang bukan suaminya. Dan Siauw Hong itu… dia telah menyentuhmu. Memang hal itu dilakukannya tanpa sengaja, bahkan dia bermaksud menyelamatkanmu dari bahaya maut. Mengingat bahwa dia murid Sai-cu Kai-ong, maka kuanggap bahwa hal itu memang telah diatur oleh Thian, dan agaknya Tuhan sendiri yang telah menjodohkan engkau dengan dia, muridku. Bagi seorang wanita terhormat, tubuhnya hanya boleh disentuh oleh suaminya, dan kalau ada pria lain yang melakukan hal itu, pria itu harus dibunuhnya!”
“Kalau begitu, aku akan membunuhnya!” Kang Swi Hwa masih mengambek.
“Dan engkau akan menjadi seorang yang paling tidak kenal budi, bahkan seorang yang membalas kebaikan dengan kejahatan. Dia telah menolongmu, menyelamatkanmu, dan kau hendak membunuhnya?”
“Habis, mau bagaimana? Hanya ada dua pilihan kata Suhu, membunuhnya atau kawin dengan dia. Aku tidak mau kawin dengan dia, maka aku akan membunuhnya.”
“Swi Hwa, muridku yang baik. Mengapa engkau berkeras tidak mau menikah dengan dia? Apakah dia seorang pemuda yang berwajah buruk? Ataukah tubuhnya cacat?”
“Tidak, tidak sama sekali, Suhu. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah...“
“Nah, kalau begitu, mengapa menolak?”
“Dia hanya seorang pengemis, Suhu! Dan aku tidak mungkin menikah dengan seorang pengemis!”
Kakek itu tertawa bergelak. Melihat ini, Ang-siocia yang tadinya selalu menundukkan mukanya, kini dia mengangkat muka memandang gurunya, mukanya merah dan sinar matanya marah. “Suhu, hatiku sedang mengkal, sekarang Suhu malah tertawa-tawa, mentertawakan aku! Apanya yang lucu?”
“Ha-ha-ha, Swi Hwa, memang aku mentertawakan engkau. Engkau sungguh tidak mau bercermin!”
“Bercermin?” Tangan kiri Swi Hwa dengan jari-jarinya yang lentik halus itu otomatis meraba-raba rambut kepala dan mukanya. “Setiap hari aku bercermin. Apakah mukaku coreng-moreng, rambutku awut-awutan?”
Kakek itu makin geli tertawa, lalu dia memandang kepada muridnya yang dianggapnya seperti anaknya sendiri itu. “Swi Hwa, maksudku bukan bercermin untuk melihat wajah, melainkan bercermin untuk mengenal dirimu sendiri. Engkau terlalu memandang rendah pengemis, dan agaknya lupa siapakah kita ini! Engkau hanyalah murid seorang maling, apakah maling lebih tinggi derajatnya dari pada seorang pengemis?”
Makin merah wajah Swi Hwa, merah karena penasaran dan marah. “Akan tetapi kita adalah maling bukan sembarang maling! Suhu adalah Raja Maling! Mana bisa lantas disamakan dengan pengemis...?”
“Hemmm, Swi Hwa, apa kau lupa bahwa pemuda itu juga bukan sembarang pengemis, melainkan murid dari Raja Pengemis Sai-cu Kai-ong? Dan apakah engkau tahu? Sai-cu Kai-ong itu adalah seorang... sahabat baikku, setidaknya adalah seorang bekas sahabat baikku. Maka, muridnya tentu saja bukan merupakan seorang yang asing sama sekali.”
Swi Hwa masih cemberut. Dia membayangkan wajah Siauw Hong. Seorang pemuda yang tampan memang. Akan tetapi, ketika dia mengenal Siauw Hong dan Siluman Kecil, bahkan lalu melakukan perjalanan bersama, dia menganggap Siaw Hong sebagai seorang pemuda remaja yang belum dewasa benar, bahkan sering kali dia menyuruh Siauw Hong, sebagai pelayan! Betapa jauhnya kalau dibandingkan dengan Siluman Kecil, pendekar yang sakti itu, pria yang sudah matang dan amat mengagumkan hatinya. “Tidak, Suhu, aku tidak mau! Aku tidak suka!”
“Agaknya engkau masih kukuh bahwa engkau jatuh cinta kepada pendekar Siluman Kecil. Benarkah itu, Swi Hwa?”
Wajah itu menjadi makin merah dan dia menunduk.
“Swi Hwa, aku adalah seorang tua yang sudah dapat melihat tanda-tanda orang yang jatuh cinta. Dan dalam pertemuan kita dengan Siluman Kecil, aku tidak yakin bahwa engkau mencinta dia. Engkau hanya kagum saja kepadanya dan memang sudah sepatutnya orang kagum kepada pendekar yang berkepandaian tinggi itu. Akan tetapi, dia bukan jodohmu, muridku.”
“Tapi, Suhu, bagaimana mungkin perjodohan dilangsungkan tanpa cinta kasih?”
“Mengapa tidak mungkin? Perjodohan antara dua orang muda yang tidak saling mencinta bisa saja kelak mendatangkan rasa cinta kasih yang amat mendalam, dan sebaliknya mungkin saja apa yang dinamakan cinta kasih antara dua orang muda sebelum perjodohan akan menjadi luntur setelah mereka memasuki pintu gerbang pernikahan. Pula, aku tidak melihat tanda-tanda, baik dari sikapnya, kata-katanya mau pun pandang matanya bahwa pendekar itu mencintamu, Swi Hwa. Dan bagaimana mungkin engkau mengikat perjodohan dengan seorang pendekar besar dan aneh seperti dia? Apa lagi mengingat dia adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ah, tempat dia berpijak lebih tinggi dari pada bintang di langit, muridku, agaknya lebih sukar berjodoh dengan dia dari pada dengan seorang pangeran sekali pun untukmu.”
Mendengar ini, Swi Hwa makin menunduk dan wajahnya membayangkan kecewa dan duka sekali. Kini teringatlah dia akan hubungan antara Siluman Kecil dengan Hwee Li. Ah, gurunya benar! Agaknya Siluman Kecil terlalu tinggi untuknya. Dia, hanya seorang maling, pantasnya hanya berjodoh dengan seorang pengemis! Tanpa terasa lagi air matanya bercucuran didorong oleh rasa iba diri.
Kakek itu menyentuh tangan muridnya. “Hidup ini memang penuh dengan kepahitan kepahitan yang ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan, muridku. Kekecewaan bisa timbul karena harapan-harapan kita yang tidak tercapai, dan harapan-harapan selalu memang lebih indah dari pada kenyataan...”
Tiba-tiba ucapan Hek-sin Touw-ong itu terhenti karena guru dan murid ini mendengar suara aneh, suara ketawa yang terdengar teramat kerasnya seolah-olah orang yang tertawa itu berada di dekat mereka, padahal mereka tidak melihat seorang pun manusia di situ. Pagi hari itu sunyi saja. Mereka berdua telah melarikan diri semalaman, dan baru pagi ini mereka berhenti di tempat itu setelah semalam suntuk mereka tidak melihat ada orang mengejar mereka.
“Ha-ha-ha, sekali ini aku mengaku kalah kepadamu, Ngo-te! Matamu memang awas sekali dan benar saja, mereka berada di sini!”
Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa meloncat berdiri dan siap menghadapi bahaya. Swi Hwa sudah mencabut pedangnya, dan gurunya yang tidak pernah berpedang lagi berdiri dengan penuh kewaspadaan. Maklumlah kakek pandai ini bahwa ada orang bicara mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh, orangnya masih jauh akan tetapi suaranya sudah tiba di situ, tanda bahwa ada orang pandai agaknya mengejar mereka.
Tak lama kemudian, nampaklah dua orang yang bentuk tubuhnya amat aneh datang dengan kecepatan yang mengejutkan hati guru dan murid itu.
Gurunya menggeleng kepala. “Mereka sudah mengetahui kita di sini, dan percuma saja melarikan diri. Kau berhati-hatilah, Swi Hwa,” bisik gurunya sambil memandang dengan penuh perhatian ke depan. Bayangan dua orang itu cepat sekali gerakannya dan sebentar saja mereka sudah tiba di depan guru dan murid itu.
Setelah dua orang kakek yang bentuk tubuhnya amat luar biasa dan berlawanan itu tiba di depan mereka, Swi Hwa memandang penuh perhatian. Biar pun masih muda, dara ini sudah banyak pengetahuannya di dunia kang-ouw dan sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar, akan tetapi betapa pun dia mengingat-ingat, belum pernah dia bertemu dengan dua orang kakek aneh ini, yang seorang tingginya hanya sampai di pundaknya, tetapi kakek kedua tingginya bukan main sehingga dia harus menengadah kalau hendak memandang wajahnya. Kakek yang pendek gundul itu tersenyum-senyum lebar, akan tetapi yang membuat Swi Hwa merasa ngeri adalah kakek tinggi itu, karena biar pun kakek tinggi itu hanya cemberut saja, namun matanya yang sipit itu seolah-olah hendak menelanjanginya dengan pandang matanya!
“Su-ko, yang tua untukmu karena aku perlu dengan yang muda!” tiba-tiba si tinggi kurus bermata sipit itu berkata.
Sebelum suaranya yang menyeramkan itu habis, tangannya yang berlengan panjang sekali itu tahu-tahu sudah menjangkau ke arah pundak Swi Hwa! Gerakannya itu amat mengerikan karena jarak antara dia dan Swi Hwa cukup jauh, terlalu jauh bagi orang yang berlengan bagaimana panjang pun untuk bisa menjangkaunya. Akan tetapi kakek tinggi itu tidak melangkahkan kakinya, dan lengannya seperti dapat diulur lebih panjang dari pada semestinya. Gerakan yang mengerikan sekali!
“Ihhh...!” Swi Hwa berseru kaget dan juga jijik saat melihat lengan itu seperti seekor ular panjang hidup meluncur ke arah pundaknya.
Dia cepat-cepat menarik kaki melangkah mundur, akan tetapi hebatnya, tangan itu terus mengejarnya, sebuah tangan yang lebar dengan jari-jari yang panjang dan besar, kotor dan kukunya panjang hitam! Swi Hwa kaget setengah mati dan agaknya sukar baginya untuk dapat mengelak. Pada saat itu, Hek-sin Touw-ong yang mengenal ilmu luar biasa dari si jangkung itu, yaitu ilmu mengulur lengan yang tidak mudah dipelajari, kecuali oleh mereka yang telah menguasai ilmu melepas tulang, maklum bahwa muridnya terancam bahaya. Dia cepat menggerakkan tangan kirinya.
“Cusssss...!”
Tangan kiri Hek-sin Touw-ong yang digerakkan ini bukan sembarang tangan, melainkan tangan yang mengandung Ilmu Kiam-to Sin-ciang sehingga tangan itu seperti berubah tajam bagaikan pedang atau golok, bahkan hawa pukulannya saja dapat membabat putus benda keras!
“Wusss... ahaaa...!”
Si jangkung terkejut sekali dan walau pun lengannya tidak terluka karena dia sudah menarik kembali lengannya sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi lengan itu, akan tetapi tetap saja lengan bajunya terobek oleh hawa yang menyambar dari Kiam-to Sin-ciang tadi.
Si pendek gundul tertawa. “Ha-haha, engkau mendapat malu, Ngo-te! Jangan terlalu memandang rendah kepada Hek-sin Touw-ong yang kabarnya juga memiliki Kiam-to Sin-ciang. Dan engkau sama sekali tidak boleh main hakim sendiri, ingat bahwa tugas kita hanya untuk menawan mereka ini!”
Si jangkung hanya cemberut, akan tetapi matanya terus mengincar Swi Hwa dan gadis ini diam-diam bergidik. Dia tadi melihat betapa gurunya menggunakan ilmu ini. Lengan si jangkung tadi jelas terkena sambaran hawa sakti itu, akan tetapi lengan itu sama sekali tidak terluka dan hanya lengan bajunya saja yang terobek! Tahulah dia bahwa si jangkung yang luar biasa itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Biar pun wajahnya tidak menunjukkan perasaan, namun di dalam hatinya, Si Raja Maling juga menjadi terkejut bukan main. Tadi dia sudah menduga-duga, akan tetapi kini melihat kelihaian si jangkung, melihat bentuk tubuh mereka dan cara kedua orang itu saling memanggil, yaitu Ngo-te dan Su-ko (adik kelima dan kakak keempat), dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu kedua orang inilah tokoh-tokoh dari Im-kan Ngo-ok yang telah puluhan tahun lamanya tidak pernah terdengar lagi turun ke dunia ramai.
Hampir dia tidak percaya karena memang selama dia menjelajahi dunia kang-ouw, Raja Maling ini tidak pernah berjumpa dengan mereka dan menganggap bahwa nama mereka itu hanya merupakan dongeng di antara orang-orang kang-ouw saja. Dan kini, melihat keadaan kedua orang ini yang ternyata bukan hanya mengenalnya, bahkan mengenal pula Ilmu Kiam-to Sin-ciang, dia yakin bahwa tentu mereka ini adalah orang keempat dan kelima dari Im-kan Ngo-ok. Maka cepat dia menjura dengan hormat kepada datuk-datuk kaum sesat itu sambil berkata dengan suara halus merendah.
“Siauwte yang bodoh pernah mendengar nama besar dari Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Siansu, tidak tahu apakah dua nama besar itu adalah nama Ji-wi?”
Tosu jangkung bermata sipit itu hanya cemberut, akan tetapi hwesio cebol gendut itu tertawa. ”Ha-ha-ha, kiranya Si Raja Maling juga dapat mengenal kami, itu menunjukkan bahwa engkau memang bukan orang sembarangan!”
Hek-sin Touw-ong menjura lagi. “Maaf kalau siauwte yang bodoh kurang menghormat, karena sungguh mati kami berdua tidak pernah mimpi akan dapat jumpa dengan tokoh tokoh besar seperti Ji-wi (Anda berdua). Setelah kami mendapat kehormatan bertemu dengan Ji-wi, siauwte mohon bertanya ada keperluan apakah gerangan maka Ji-wi memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?”
“Su-ko, mulutnya terlalu manis!” Tiba-tiba tosu tinggi kurus itu mencela.
Akan tetapi hwesio cebol itu hanya tersenyum lebar. Girang sekali hatinya. Memang sudah menjadi watak Si Jahat Keempat dari Im-kan Ngo-ok ini untuk beramah-tamah dengan orang untuk kemudian mencelakai orang yang diajaknya beramah-tamah itu!
“Hek-sin Touw-ong, sudah lama kami mendengar nama besarmu dan ternyata engkau memang seorang yang lihai sekali. Kiam-to Sin-ciang tadi amat hebat, dan engkau mempunyai seorang murid yang cantik jelita dan pandai. Sungguh beruntung sekali hidupmu. Aku Su-ok Siauw-siang-cu ikut merasa girang melihat keberuntunganmu dan sayang di sini tidak ada arak untuk menghaturkan selamat kepadamu. Ha-ha-ha!”
Si Raja Maling mengerutkan alis. Dia hanya pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok akan tetapi tidak mengenal watak mereka seorang demi seorang, maka dia pun tidak tahu akan watak Su-ok ini. Dia sendiri adalah salah seorang tokoh besar di dalam dunia kang-ouw, maka teritu saja dia tidak mudah tertipu oleh sikap ramah-tamah yang luar biasa itu. Maka dia hanya menjura sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan Su-ok Siauw-siang-cu Lo-enghiong.”
Akan tetapi, Ngo-ok Toat-beng Sian-cu tidak sabar menyaksikan sikap ramah-tamah dari kawannya itu, maka dia berkata singkat, “Hek-sin Touw-ong, hayo lekas menyerah untuk kami tangkap dan bawa kembali ke benteng lembah, di mana engkau bersama muridmu mengacau malam tadi!”
Hek-sin Touw-ong tidak terkejut mendengar ini, karena memang dia sudah menduga bahwa dua orang sakti dari kaum sesat ini tentu muncul sehubungan dengan perbuatan mereka di benteng lembah semalam. Dia sama sekali tidak pernah menduga dan sama sekali tidak tahu bahwa Koksu Nepal adalah orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok!
“Kami tidak akan menyerah kepada siapa pun juga!” Tiba-tiba Kang Swi Hwa berkata dengan nada suara keras dan dia sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Tidak seperti gurunya, dara ini belum pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok, maka dia pun tidak merasa gentar sama sekali sungguh pun dia tahu bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan orang-orang lihai dan lawan-lawan tangguh.
“Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong dan muridnya ini memang amat hebat!” kembali hwesio cebol itu tertawa dan memuji. “Siapa yang dapat mengira bahwa kalian berdua dapat menyamar sebagai dua orang iblis Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi! Ha-ha-ha! Melihat Hek-sin Touw-ong menyamar sebagai seorang di antara mereka masih tidak mengherankan, akan tetapi bagaimana engkau bisa menyamar sebagai seorang iblis seperti mereka itu, Nona? Mengagumkan, sukar untuk dapat dipercaya! Eh, Nona Cilik, aku berani bertaruh bahwa engkau tidak akan mampu menyamar sebagai aku atau sebagai Ngo-te ini!”
Di dalam hatinya, Kang Swi Hwa mengejek. Kalau ada alat-alatnya, tentu saja dia akan mampu menyamar sebagai mereka, sungguh pun untuk menyamar sebagai Su-ok dia harus menekuk lututnya dan untuk menyamar sebagai Ngo-ok dia harus menggunakan jangkungan, yaitu dua potong kayu untuk menyambung kakinya agar dia dapat menjadi jangkung seperti tosu itu. Akan tetapi dia tidak mau melayani kelakar ini dan hanya memandang dengan sinar mata marah.
“Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong, kepandaian kalian amat hebat dan mengagumkan hati Pangeran Nepal. Oleh karena itu, beliau mengutus kami berdua untuk mengundang kalian sebagai tamu terhormat ke dalam benteng, mungkin akan memberi hadiah atas permainan sandiwara kalian yang amat berhasil itu. Marilah, Touw-ong, marilah kami iringkan ke benteng di lembah sana.” Sikap hwesio cebol itu masih manis sekali, terlalu manis malah.
Akan tetapi Hek-sin Touw-ong kini sudah maklum bahwa keramahan hwesio cebol ini adalah wataknya dan cirinya yang khas, sama sekali bukan keramahan yang timbul dari hati yang beriktikad baik. Maka dia pun tidak mau melayani, melainkan memandang dengan tajam.
“Ji-wi tidak perlu berpura-pura. Memang sesungguhnya kami berdua yang semalam mengunjungi benteng. Kami telah gagal, nah, sekarang Ji-wi datang menyusul kami dan betapa pun juga kami tidak akan mau kembali ke sana, baik itu merupakan undangan mau pun paksaan.”
Ucapan ini halus akan tetapi juga merupakan tantangan.
“Su-ko, kenapa cerewet? Tangkap mereka!” bentak Ngo-ok Toat-beng Siansu sambil menubruk ke arah Swi Hwa.
“Ngo-te, awas, jangan kau lukai dia, kita harus menangkap mereka hidup-hidup. Jangan sampai membuat Sam-ko dan pangeran menjadi marah!” Si cebol berseru, kemudian secepat kilat dia pun sudah menerjang kepada Hek-sin Touw-ong!
Swi Hwa menggerakkan pedangnya, memutar pedang itu untuk membabat dua tangan panjang yang mengancamnya dari kanan kiri itu. Sinar pedangnya bergulung-gulung dan membentuk lingkaran yang berhawa tajam sekali karena dara ini sudah memainkan pedang dengan pengerahan Ilmu Kiam-to Sin-siang yang dipelajarinya dari gurunya.
Biar pun dia lihai bukan main, Ngo-ok tidak mau sembarangan mempertaruhkan kedua lengannya, atau sedikitnya tentu lengan bajunya akan hancur kalau terkena sambaran sinar pedang itu, maka dia menggunakan kegesitannya untuk menarik kembali tangan yang hendak terbacok, kemudian membalas dengan kedua tangan itu meluncur dari sana-sini seperti dua ekor ular terbang yang berusaha menangkap atau menotok dara itu. Bulu tengkuk dara itu meremang saking ngerinya ketika beberapa kali tangan telanjang si jangkung itu menyampok pedangnya dan terdengar bunyi berdencing nyaring ketika pedangnya bertemu dengan jari tangan itu, seolah-olah tangan itu terbuat dari pada baja yang amat kuat!
Sementara itu, Hek-sin Touw-ong sudah bertanding dengan hebatnya melawan Su-ok Siauw-siang-cu. Hek-sin Touw-ong yang maklum bahwa dia menghadapi lawan pandai dan bahwa dia dan muridnya terancam bahaya maut, telah mengeluarkan ilmunya yang amat hebat, yaitu Kiam-to Sin-ciang dan mengerahkan ginkang-nya untuk berkelebatan dengan cepatnya. Dia harus dapat merobohkan lawannya yang gemuk pendek ini sebelum dia dapat membantu muridnya. Dia tahu bahwa muridnya bukanlah tandingan si jangkung itu, dan maklum bahwa kalau dia dan muridnya sampai tertangkap dan dibawa kembali ke lembah, tentu mereka berdua akan celaka dan menerima hukuman berat atas perbuatan mereka semalam yang mengacau dan membakar benteng di lembah Huang-ho itu.
Bunyi angin bersuitan dan mendesis-desis ketika kedua tangan Raja Maling ini bergerak melancarkan serangan Kiam-to Sin-ciang. Demikian hebatnya ilmu itu sehingga orang keempat dari Im-kan Ngo-ok sendiri tidak berani secara lancang menerima pukulan itu dengan tubuhnya. Su-ok bergulingan menghindarkan diri, kemudian dia meloncat dan tubuhnya yang pendek itu menjadi makin pendek ketika dia berjongkok dan perutnya yang gendut itu makin menggembung terisi penuh hawa mukjijat! Kemudian, dari tenggorokan dan perutnya berbunyi suara.
“Kok-kok-kok!” dan itulah ilmunya yang amat luar biasa, ilmu pukulan Katak Buduk!
Ketika Hek-sin Touw-ong kembali menggerakkan kedua tangan dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mengandung angin tajam sekali, Su-ok lalu mendorong dengan kedua tangannya yang pendek ke depan. Angin pukulan dahsyat menyambar dari kedua tangannya dan begitu angin pukulan ini bertemu dengan hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang.
Tubuh Hek-sin Touw-ong terjengkang dan dia tentu sudah roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat-cepat meloncat ke kiri dan terhindar dari dorongan hawa dahsyat yang mendorong pukulannya yang tadi membalik itu! Bukan main terkejutnya hati Si Raja Maling! Kini kakek pendek itu tertawa-tawa, kemudian bergulingan dan mengejarnya seperti seekor binatang trenggiling dan melakukan serangan dari atas tanah secara tidak terduga-duga! Dan setiap kali Touw-ong menggunakan Kiam-to Sin-ciang, selalu kakek pendek itu menggunakan pukulan sakti Katak Buduk membuat Kiam-to Sin-ciang kehilangan kehebatannya dan selalu terdorong kembali!
Perkelahian antara Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dan kakek tosu jangkung Ngo-ok tak berlangsung terlalu lama. Agaknya Ngo-ok merasa jengkel juga menyaksikan kenekatan dara itu, maka dia lalu mengerahkan tenaganya dan begitu pedang di tangan nona itu menusuknya, dia menggunakan jari-jari tangannya menangkis dan terus mencengkeram dan pedang itu sudah kena dicengkeramnya!
“Krek-krekkk!”
Pedang itu dicengkeram patah-patah dan dilemparkan ke samping, kemudian sebelum Swi Hwa sempat mengelak, tengkuknya sudah dicengkeram dan tubuhnya diangkat ke atas! Swi Hwa hampir pingsan ketika merasa betapa jari-jari tangan yang panjang dan besar sudah mencengkeram baju di dadanya dan hendak mencabik dan merenggutnya. Tanpa terasa lagi dia menjerit.
Jeritan itu menolongnya karena Su-ok sudah menggelinding dekat dan menendang lutut Ngo-ok. Hampir saja Ngo-ok tertendang roboh kalau dia tidak cepat meloncat tinggi sekali sambil membawa tubuh Swi Hwa yang seperti hampir pingsan rasanya dibawa melambung tinggi itu.
“Ngo-te, kuperingatkan kau, jangan ganggu dia!” bentak Su-ok.
“Ehh, kau mengiri? Apa pedulimu?” bantah Ngo-ok.
“Tolol kau, Ngo-te. Jika kau mengganggunya dan Sam-ko marah, juga Pangeran, tentu Twako dan Ji-ci juga marah dan jika mereka semua marah, apa kau kira hanya engkau saja yang akan dihajar? Aku pun ikut bertanggung jawab, mengerti? Jangan ganggu dia sebelum kita menyerahkan kedua orang guru dan murid ini kepada Pangeran. Kalau kau nekat, aku sendiri akan menggempurmu!”
“Huh, menyebalkan!” Ngo-ok berseru marah dan kecewa, jari tangannya menotok dan seketika tubuh Swi Hwa menjadi lumpuh dan ketika dia dilemparkan ke atas tanah, dara itu tak dapat bergerak lagi.
Hek-sin Touw-ong tadi sudah merasa khawatir menyaksikan betapa muridnya tertawan, akan tetapi legalah hatinya ketika dia melihat Su-ok menyelamatkannya dari ancaman malapetaka yang amat mengerikan. Melihat muridnya sudah terbebas dari malapetaka, Raja Maling itu lalu menyerang lagi, kini tidak menyerang kepada Su-ok, melainkan kepada Ngo-ok saking marahnya melihat betapa si jangkung itu tadi sudah hampir saja menghina muridnya.
“Cusss-cusssss... wuuut-wuuuttt... brettt...!”
Ujung baju Ngo-ok terobek oleh hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang dan tubuh si jangkung sampai terhuyung ke belakang. Hal ini adalah karena dia sama sekali tidak menyangka akan kehebatan serangan dari Si Raja Maling itu, maka dia tadi terdesak dan lupa untuk mengelak, melainkan menangkis sehingga biar pun dia tidak terluka, namun bajunya robek dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
Si jangkung mengeluarkan suara aneh dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas kemudian secara aneh sekali tubuh yang membalik ini sudah menyerang kalang-kabut kepada Hek-sin Touw-ong!
Raja Maling ini sudah banyak menghadapi lawan lihai dan aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia diserang orang yang berjungkir balik seperti ini. Dia agak bingung karena kedua tangan yang panjang itu menyerangnya dari bawah dan begitu dia menggunakan kedua tangan untuk menangkis, tiba-tiba dari angkasa meluncur turun dua batang kaki yang menyerangnya secara hebat, mengancam ubun-ubun kepala dan tengkuknya!
“Jangan bunuh dia, Ngo-ok, manusia bandel!” bentak Su-ok.
Bentakan ini menyelamatkan nyawa Hek-sin Touw-ong karena Ngo-ok teringat bahwa dia sama sekali tidak boleh membunuh kalau dia ingin selamat kembali ke benteng, maka kakinya yang menotok ke arah ubun-ubun itu mengubah gerakan menotok ke leher dan ketika Hek-sin Touw-ong mengangkat tangan menangkis, kaki kirinya sudah menotok tengkuk.
“Dukkk!”
Tubuh Hek-sin Touw-ong roboh dalam keadaan pingsan oleh totokan ujung kaki yang amat tepat dan amat kuat itu.
“Bagus! Engkau telah maju pesat, Ngo-te. Engkau telah dapat merobohkan guru dan murid itu tanpa membunuh mereka. Hebat kau, aku kagum sekali!” kata Su-ok sambil tertawa.
Tosu jangkung itu memandang kepada Su-ok, kemudian menyeringai dan meludah ke samping kiri. “Cuhhh!”
Dia hanya memandang kepada tubuh Swi Hwa yang terlentang di atas tanah dengan sinar mata penuh gairah dan kekecewaan. Kembali dia terhalang untuk melampiaskan gelora nafsunya, terutama sekali untuk memenuhi koleksi kuku-kuku ibu jari wanita yang sudah berjumlah empat ratus kurang satu itu!
“Mari kita cepat kembali, Ngo-te. Jangan sampai masakan-masakan untuk kita menjadi dingin. Nah, kau panggul si tua itu, biar aku yang membawa nona ini!” kata Su-ok yang tahu bahwa dia tidak boleh mempercayakan tubuh wanita muda itu kepada Ngo-ok, maka cepat dia menyambar tubuh Swi Hwa dan mengempitnya sambil berkelebat cepat pergi dari tempat itu.
Ngo-ok meludah kembali dengan hati mengkal, kemudian menggunakan ujung kakinya untuk mencokel tubuh Hek-sin Touw-ong ke atas, menyambarnya dengan tangan kiri, memanggulnya dan dia pun berlari cepat menyusul Su-ok menuju ke benteng di lembah Huang-ho.
Pangeran Liong Bian Cu merasa girang dan kagum bukan main ketika melihat Su-ok dan Ngo-ok telah kembali membawa Hek-sin Touw-ong dan Kang Swi Hwa. Akan tetapi tentu saja hati pangeran ini masih kecewa, marah dan juga berduka karena Hwee Li, dara yang dicintanya itu, dan Puteri Syanti Dewi, tawanan yang amat penting baginya, belum ditemukan kembali.
Sejenak dia memandang kepada tubuh Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa yang sudah dilemparkan ke atas lantai, lalu sang pangeran itu menarik napas panjang dan berkata, “Aih, sayang sekali bahwa yang ditemukan hanya dua orang pengacau ini. Apa gunanya kecuali hanya menghukum mereka? Kami akan lebih gembira kalau yang dapat dibawa kembali adalah Hwee Li dan Puteri Bhutan....“
Ban Hwa Sengjin maklum bahwa diam-diam sang pangeran kecewa sekali atas hasil pengejaran Su-ok dan Ngo-ok. Dia pun maklum betapa pentingnya Syanti Dewi bagi Nepal, dan betapa pangeran itu amat mencinta Hwee Li. Maka dia lalu berkata, “Harap Paduka tenangkan hati. Sudah saya katakan tadi bahwa menghadapi orang pandai harus pula mempergunakan kesaktian dan setelah kini saudara-saudaraku berada di sini, kita tidak perlu khawatir. Kiranya bukan merupakan tugas yang terlalu berat untuk menemukan dan membawa kembali dua orang dara itu, Pangeran. Twako dan Ji-ci, sekarang aku mengharap bantuan kalian untuk mencari dua orang dara itu. Yang seorang bernama Hwee Li, seorang dara berusia delapan belas tahun, berpakaian serba hitam, suka bermain dengan ular-ular beracun, anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka, wajahnya cantik jelita dan wataknya periang, jenaka dan agak... agak liar. Dan dara yang kedua adalah seorang Puteri Bhutan, usianya dua puluh satu tahun, cantik sekali, lemah lembut dan halus, bernama Syanti Dewi. Kalau tidak keliru, dua orang dara itu tentu bersama dengan seorang pemuda yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil, bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.”
“Ahhh...!” Hampir berbarengan kakek gorilla dan nenek tengkorak itu berseru kaget mendengar ucapan terakhir itu.
“Ya, benar, Twako dan Ji-ci. Pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, maka kalian kini memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian. Harap kalian dapat segera mencari dan membawa kembali dua orang puteri itu ke sini dan untuk jasa itu, Pangeran Nepal pasti tidak akan melupakannya.”
“Tentu saja!” Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri dan menjura. “Pertolongan Ji-wi Locianpwe amat berharga dan saya pasti tidak akan melupakan budi Ji-wi itu.”
Kakek gorilla itu saling pandang dengan nenek bertopeng tengkorak, lalu terdengar kakek itu berkata dengan suaranya yang tenang dan lembut, “Ji-moi, mari kita pergi!” Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan orangnya sudah lenyap!
Nenek muka tengkorak memandang kepada koksu dan berkata, “Sam-te, tugas kami cukup berat, namun menegangkan dan menggembirakan. Mungkin saja kami gagal, akan tetapi kami percaya bahwa kau, Su-te dan Ngo-te tidak akan membiarkan kami penasaran.”
“Jangan khawatir, Ji-ci!” kata Koksu Nepal dan percakapan sekali ini terjadi seperti dua orang saudara dan memang koksu itu bicara sebagai Sam-ok, bukan sebagai koksu. Akan tetapi jawabannya belum selesai ketika tubuh Ji-ok Kui-bin Nionio sudah lenyap pula dari tempat itu!
Hek-sin Touw-ong yang tadinya pingsan, sudah sejak tadi siuman, tetapi kakek ini pura pura masih pingsan. Diam-diam dia memperhatikan keadaan di situ dan mendengarkan semua percakapan. Dia terkejut sekali melihat betapa Im-kan Ngo-ok telah berkumpul semua di dalam benteng itu! Dan mendengarkan mereka bicara, tahulah kakek ini bahwa Koksu Nepal yang lihai itu bukan lain adalah Sam-ok, orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok! Tahulah dia bahwa dia dan muridnya tak mungkin dapat lolos dari tempat yang dihuni demikian banyaknya orang-orang pandai itu! Hanya dengan akal saja dia akan dapat menyelamatkan muridnya.
Dia sendiri adalah seorang yang sudah tua, hidup bukan lagi merupakan suatu hal yang terlalu berharga baginya, dan kematian bukan merupakan suatu hal yang menakutkan. Akan tetapi Swi Hwa! Dia tidak boleh mati dalam usia semuda itu! Dan terbayanglah di depan mata kakek ini semua yang telah terjadi atas diri anak itu dan dia merasa berdosa sekali!
Dia telah menculik anak itu, memisahkan anak itu dari semua keluarganya! Semua itu dilakukan hanya untuk melampiaskan dendam dan kemarahannya. Dan setelah sekian lama dipeliharanya, maka dia mencinta anak itu seperti anaknya sendiri. Dan sekarang, anak itu akan mati! Semua adalah gara-gara dia, dan anak itu tidak boleh mati karena menjadi muridnya!
“Ahhh...!” Dia mengeluh dan pura-pura baru siuman dari pingsannya, bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri. “Ahhh... Ji-wi Lo-enghiong Su-ok dan Ngo-ok sungguh tak boleh dibuat permainan, dan sekarang aku yang dijadikan permainan! Mengapa orang segolongan sendiri menyusahkan kami guru dan murid?”
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong pura-pura kaget melihat sang pangeran dan Koksu Nepal. “Celaka! Kenapa kami dibawa ke sini?”
Ban Hwa Sengjin memandang dengan muka kereng. “Hek-sin Touw-ong, apa yang sudah kau lakukan bersama muridmu ketika menyamar sebagai Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, mengacau di dalam benteng?” bentaknya.
Pada saat itu, Swi Hwa sudah bergerak pula dan dara ini meloncat berdiri, akan tetapi gurunya cepat menarik tangannya, diajak berlutut, “Lekas berlutut, kita berada di depan Pangeran dan Koksu Nepal yang mulia!”
Swi Hwa heran menyaksikan sikap gurunya, akan tetapi ketika dia melihat bahwa dia telah berada di dalam benteng, terkurung oleh orang-orang pandai yang sekian banyaknya, dia tidak membantah dan cepat dia berlutut sambil menundukkan mukanya.
“Koksu yang mulia, Locianpwe Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang sakti tentu sudah bisa maklum mengapa orang-orang seperti kita melakukan suatu tindakan. Sesuai dengan kebijaksanaan golongan kita kaum hitam, tentu saja kami berdua guru dan murid juga melakukan hal itu demi kepentingan kami sendiri, yaitu menerima hadiah dan juga atas tekanan dari Pendekar Siluman Kecil. Tadinya kami kira bahwa benteng ini hanya menjadi tempat orang-orang yang dimusuhi oleh Pendekar Siluman Kecil yang minta bantuan kami, sama sekali kami tak tahu bahwa banyak tokoh dan datuk dari golongan kita sendiri berkumpul di sini. Kami berdua tidak mati pun sudah sangat untung, hanya mengalami kegagalan saja. Harap Locianpwe memaklumi keadaan kami.”
Dengan ucapan itu Hek-sin Touw-ong hendak menyatakan bahwa dia dan muridnya sama sekali tak berniat memusuhi Im-kan Ngo-ok yang dianggap orang-orang dari satu golongan, yaitu golongan hitam atau kaum sesat, dan bahwa penyerbuannya semalam di dalam benteng adalah karena penekanan Siluman Kecil dan juga hadiah yang diberikannya, jadi dasarnya hanya ‘pekerjaan’ saja, bukan permusuhan pribadi.
Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kakek muka hitam ini sebagai raja maling, tentu saja merupakan tokoh hitam pula di dunia kang-ouw, maka dia pun tak merasa benci. Hanya karena kedudukannya sebagai koksu dan karena guru dan murid ini telah mengacau benteng maka dia harus bertindak.
“Tidak perlu banyak cakap. Kalian telah mengacaukan tempat ini, baik sebagai musuh atau bukan tidak ada bedanya. Sekarang katakan, di mana adanya Siluman Kecil dan Nona Hwee Li? Di mana pula adanya Puteri Syanti Dewi?”
Pertanyaan terakhir itu amat mengejutkan hati guru dan murid itu. Jelas bahwa mereka berempat gagal untuk melarikan Syanti Dewi, juga gagal untuk melarikan seorang pun dari keluarga Jenderal Kao, bagaimana sekarang Koksu Nepal ini menanyakan tentang Puteri Bhutan itu? Apakah puteri itu berhasil melarikan diri di waktu ribut-ribut semalam? Karena maklum bahwa mereka berdua tidak berdaya dan bahwa agaknya gurunya yang biasanya tidak banyak cakap itu kini hendak menggunakan ‘kepandaiannya’ bicara, maka Swi Hwa diam saja dan menyerahkan semua jawaban kepada suhu-nya.
“Kami telah gagal melarikan Syanti Dewi seperti yang dikehendaki oleh Siluman Kecil,” jawab Touw-ong dengan tenang. “Setelah kegagalan itu, maka kami lalu berpencar, saya melarikan diri bersama murid saya, hal yang agak mudah karena kami berdua menyamar sebagai...” dia menoleh ke arah Hek-tiauw Lo-mo, dan Hek-hwa Lo-kwi, “... kedua orang gagah itu, sedangkan Siluman Kecil melarikan diri bersama Nona Hwee Li. Setelah itu, kami berdua tidak lagi bertemu dengan mereka. Tentang Puteri Bhutan, sungguh kami tidak tahu karena telah gagal membawanya, bahkan kalau tidak salah, ketika itu sang puteri sudah dibawa masuk kembali oleh seorang Panglima Bhutan...“
Penuturan ini memang cocok sekali dengan laporan para pengawal yang melakukan pengeroyokan, maka Ban Hwa Sengjin berpendapat bahwa tentu Siluman Kecil yang telah berhasil melarikan sang puteri. Hanya Siluman Kecil yang memiliki kepandaian tinggi sekali, bahkan dia sendiri karena kurang hati-hati, pernah roboh pingsan oleh Siluman Kecil itu. Sedangkan Touw-ong bersama muridnya ini tentu hanya memiliki kepandaian biasa saja, buktinya mudah tertawan oleh Su-ok dan Ngo-ok.
“Pangeran, saya kira Raja Maling ini tidak membohong dan memang mereka ini tidak tahu di mana adanya Sang Puteri dan juga Nona Hwee Li. Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?”
Pangeran itu mengerutkan alisnya. “Dia ini telah mengacau benteng, juga melakukan pembakaran, dan bersama muridnya telah menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?” Ucapan pangeran itu seperti bertanya kepada semua orang yang ada di ruangan itu. Hatinya memang mengkal sekali kalau mengingat bahwa perbuatan kedua orang ini telah menyebabkan hilangnya Syanti Dewi, sungguh pun Hwee Li memang sudah lolos sebelum mereka berdua ini datang mengacau dengan penyamaran mereka.
“Serahkan saja mereka pada kami berdua!” tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan marah.
“Bunuh saja mereka!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi.
“Siksa mereka agar mengaku di mana adanya Sang Puteri Syanti Dewi!” kata Mohinta. “Saya yakin bahwa dia yang menyerang saya dan melarikan sang puteri, tentu seorang kawan dari mereka ini!”
“Koksu, harap serahkan gadis ini kepadaku sebagai pengganti yang tempo hari!” tiba tiba Ngo-ok berkata dan menoleh kepada Swi Hwa.
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong tertawa. “Sungguh mengherankan. Di dalam rimba sekali pun, tidak ada harimau makan harimau dan serigala makan serigala! Kalau golongan hitam tidak saling membantu, mana mungkin menghadapi golongan putih yang kuat? Kami guru dan murid memang telah melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya karena kami tidak tahu bahwa di sini terdapat banyak orang-orang segolongan, dan kami tertipu dan tertekan oleh Siluman Kecil! Kalau kami dianggap sebagai golongan putih hendak dihukum, silakan. Siapa yang takut mati? Akan tetapi, sungguh menggelikan sekali kalau terdengar di dunia kang-ouw betapa ada kawan makan kawan sendiri! Pangeran, kami guru dan murid adalah orang-orang yang mencari rejeki menggunakan kemampuan kami. Kalau Paduka memaafkan kami dan memberi kami pekerjaan, kiranya kami dapat mempergunakan kepandaian kami untuk keuntungan Paduka!”
Pangeran Liong Bian Cu yang sedang marah itu memang tertarik oleh kepandaian guru dan murid ini. Masih belum dapat dia melenyapkan keheranannya betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang menghadapnya kemarin sore itu adalah penyamaran dari guru dan murid ini! Kini, mendengar omongan kakek bermuka hitam itu, dia berkata, “Orang berdosa, apa lagi yang hendak kau sampaikan kepada kami? Pekerjaan apa yang dapat kami berikan kepada kalian yang telah melakukan dosa besar itu?”
“Pangeran, harap jangan percaya kepada omongannya!” Lo-mo berkata marah.
“Lo-mo, jangan ganggu pembicaraan Pangeran dengan pesakitan!” Ban Hwa Sengin menegur dan Hek-tiauw Lo-mo melotot marah, akan tetapi tidak berani berkata apa-apa lagi.
“Pangeran, saya masih heran mendengar akan lenyapnya sang puteri. Sedangkan saya bersama murid saya, juga pendekar Siluman Kecil yang demikian sakti bersama Nona Hwee Li, tidak mampu melarikan sang puteri, bagaimana dalam keadaan ribut-ribut kebakaran itu ada orang yang mampu melarikannya? Hal itu hanya berarti bahwa ada orang lain yang melarikan sang puteri, dan menurut pendapat saya, orang itu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada kepandaian Siluman Kecil.”
Semua orang tertegun dan bengong mendengar ini. Juga Ban Hwa Sengjin menjadi terkejut dan diam-diam dia memperhatikan karena dugaan yang diajukan oleh Raja Maling itu memang masuk di akal. Akan tetapi, siapakah orang yang lebih tinggi dari Siluman Kecil? Padahal Siluman Kecil itu sudah demikian lihainya!
“Jangan ngawur!” bentaknya. “Siapakah orangnya yang dapat lebih lihai dari Siluman Kecil dan mengapa pula dia melarikan sang puteri?”
Hek-sin Touw-ong memang cerdik dan dia tidak kekurangan akal untuk mengemukakan dugaan-dugaan yang dapat diterima, semua itu dilakukannya untuk menyelamatkan muridnya dari ancaman hukuman mati. “Ketika kami dimintai bantuan oleh Siluman Kecil, rencana kami adalah melarikan Puteri Bhutan dan juga keluarga Jenderal Kao Liang. Akan tetapi melihat keluarga jenderal itu demikian banyaknya, Siluman Kecil lalu hendak melarikan sang puteri saja. Akan tetapi hal itu pun gagal dilakukan karena kami ketahuan. Dalam keributan itu, ternyata sang puteri benar-benar lenyap. Hal ini tentu dilakukan oleh seorang yang amat lihai dan mengingat bahwa keluarga Jenderal Kao berada di sini sebagai tahanan, maka siapa lagi orang yang lebih lihai dari pada Siluman Kecil itu selain putera sulung Jenderal Kao yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Ahhh...! Benar juga dugaannya!” tiba-tiba terdengar suara wanita berseru dan wanita yang bangkit dari tempat duduknya itu bukan lain adalah Cheng-yan-cu Kim Cui Yan!
Liok Tek Hwi juga berkata kepada Pangeran Liong Bian Cu, “Kiranya dugaannya itu tidak salah. Tadi pun aku sudah menduga bahwa tentu dia yang datang melarikan sang puteri.”
Ban Hwa Sengjin berubah wajahnya dan alisnya berkerut. “Si Naga Sakti Gurun Pasir?” Dia sudah mendengar nama ini, nama yang amat terkenal bukan karena pendekar itu sendiri, melainkan karena tempat tinggalnya, yaitu Istana Gurun Pasir yang menjadi tempat tinggal Si Dewa Bongkok, guru dari Naga Sakti itu! Benarkah pendekar yang sama tenarnya dengan nama pendekar Pulau Es itu telah datang?
“Ahhh, kalau benar dia yang datang, kenapa dia tidak melarikan puteranya, melainkan puteri itu?” Terdengar Kim Cui Yan membantah.
“Benar juga pendapatmu itu, Sumoi.”
“Kita harus cepat menyelidiki hal ini,” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Kita harus dapat menyelidiki tentang putera sulung Jenderal Kao Liang itu, mencari keterangan dari keluarganya.”
“Akan tetapi mereka semua itu keras hati dan tidak takut mati, mana mereka mau membocorkan rahasia Si Naga Sakti?” Ban Hwa Sengjin meragu.
“Kalau Paduka suka memaafkan kami berdua guru dan murid, maka saya dapat menyelidikinya dengan menyamar sebagai Jenderal Kao dan bicara dengan mereka!” tiba-tiba Hek-sin Tow-ong yang melihat kesempatan baik terbuka itu segera berkata. “Tentu mereka akan membuka semua rahasia tentang putera sulung dari jenderal itu. Akan tetapi tentu saja lebih dulu saya harus mengenal mereka, satu-satu, dan apa hubungan mereka dengan jenderal itu.”
Pangeran dan koksu saling pandang dan diam-diam koksu memberi persetujuan dengan anggukan kepalanya. Memang tidak ada untungnya kalau hanya membunuh kedua orang guru dan murid ini, dan kalau dapat mempergunakan mereka sebagai pembantu, memanfaatkan kepandaian mereka menyamar, agaknya akan banyak berguna dan menguntungkan. Pula, mereka itu bukanlah musuh-musuh golongan, bahkan orang-orang segolongan dan perbuatan mereka semalam di benteng itu hanya terdorong oleh pekerjaan mereka sebagai maling yang menghendaki keuntungan dalam setiap perbuatan mereka!
Demikianlah, setelah mempelajari gerak-gerik Jenderal Kao dan mengenal semua keluarga jenderal itu, Si Raja Maling kemudian menyuruh muridnya yang melakukan penyamaran. Dia telah percaya benar akan kepandaian Swi Hwa dalam hal menyamar, bahkan kelincahan dara itu membuat Swi Hwa tidak kalah pandai dari pada sang guru dalam meniru gerak-gerik orang lain. Selain ini, Raja Maling ini juga ingin menonjolkan jasa muridnya karena sesungguhnya semua ini dilakukannya untuk menyelamatkan sang murid dari hukuman berat. Dan usaha yang dilakukan oleh Swi Hwa memang berhasil baik sekali
Semua keluarga jenderal itu tidak ada yang tahu bahwa yang bercakap-cakap dengan mereka di luar pintu jeruji besi itu bukanlah Jenderal Kao Liang! Bahkan isteri sang jenderal sendiri tidak mengenal kepalsuan ini. Mereka saling bercakap tentang lolosnya Puteri Bhutan, dan Swi Hwa sebagai Jenderal Kao menyatakan dugaannya kepada keluarganya bahwa mungkin yang melarikan sang puteri adalah Kao Kok Cu, putera sulungnya atau Si Naga Sakti itu.
Akan tetapi keluarganya membantah. Tidak mungkin, kata mereka, karena kalau benar Naga Sakti yang datang, tentu puteranya, Kao Cin Liong, yang akan diselamatkannya lebih dulu, atau juga ayah ibunya, bukan puteri dari Bhutan itu! Dari percakapan ini, Swi Hwa mendengar tentang semua riwayat Jenderal Kao Liang, dan juga betapa jenderal itu telah menyuruh puteranya yang ketiga, yaitu Kao Kok Han, untuk mencari Naga Sakti dan memberi tahu tentang segala malapetaka yang menimpa keluarga Kao.
Semua yang diketahui dari hasil percakapan ini, oleh Swi Hwa dan gurunya kemudian dilaporkan kepada Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya, melihat betapa dara itu dalam melakukan penyamaran sungguh amat mengagumkan, pangeran ini dan koksu lantas menerima mereka berdua sebagai pembantu-pembantu mereka karena Pangeran Liong Bian Cu memang ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang pandai, terutama dari golongan hitam untuk membantunya.
Dan sesungguhnya Hek-sin Touw-ong juga termasuk seorang di antara tokoh-tokoh yang memang sudah diincarnya untuk membantunya, bahkan ketika terjadi pertemuan di lembah ini antara para tokoh hitam, Hek-sin Touw-ong juga diwakili oleh Ang-siocia, muridnya itu. Mengingat akan semua inilah, maka pangeran dan koksu memaafkan pengacauan mereka berdua di dalam benteng semalam, dan menarik mereka sebagai pembantu dan sekutu…..
"Bagaimana kita menyeberang lautan yang lebar tanpa tepi itu, Enci?" Syanti Dewi bertanya ketika dia bersama Ouw Yan Hui berdiri di pantai yang sunyi pada siang hari itu, melihat air laut yang bergelombang, luas dan sampai ke kaki langit tidak nampak ada tepi atau pulau itu.
“Dengan kapal tentu saja. Kapalku sudah menantiku di sini,” jawab wanita cantik itu sambil tersenyum.
Kemudian Ouw Yan Hui mengeluarkan sebatang anak panah kecil dari dalam buntalan pakaiannya, memukulkan ujung anak panah itu ke atas batu dan anak panah itu pun terbakarlah, mengeluarkan asap berwarna biru! Kemudian, tanpa gendewa, hanya menggunakan jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu saja, dia melontarkan anak panah itu ke udara. Nampak sinar biru meluncur ke atas, dan asap biru nampak nyata. Itulah tanda rahasia, pikir Syanti Dewi kagum. Dan sesaat kemudian, nampak sinar asap biru meluncur di sebelah barat.
“Nah, itulah mereka!” kata Ouw Yan Hui dengan wajah girang sambil memandang ke barat.
Syanti Dewi juga ikut memandang, dan tidak lama kemudian muncullah sebuah kapal yang amat indah. Kapal layar itu besar sekali dan indah, dan nampak beberapa orang anak buah menurunkan sebuah perahu kecil yang didayung oleh empat orang dengan cepat menuju ke pantai. Setelah perahu itu tiba di pantai, barulah nampak oleh Syanti Dewi bahwa empat orang anak buah kapal yang mendayung perahu itu adalah wanita wanita cantik dan muda yang memakai pakaian ringkas hingga dari jauh tidak kelihatan bahwa mereka itu wanita.
“Tocu telah pulang!” Mereka berseru dengan girang dan mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ouw Yan Hui yang mereka sebut tocu (majikan pulau).
Ouw Yan Hui hanya tersenyum, kemudian menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajak naik ke dalam perahu kecil yang segera didayung dengan cepat oleh keempat orang wanita itu menuju ke kapal besar.
Setelah tiba di kapal dan naik, Syanti Dewi melihat bahwa semua anak buah kapal itu adalah wanita, muda-muda dan rata-rata memiliki wajah yang cantik, atau setidaknya bersih. Dan begitu sang tocu naik ke atas kapal, mereka semua menjatuhkan diri berlutut dengan wajah gembira dan penuh hormat kepada Ouw Yan Hui! Mereka bersikap seolah-olah Ouw Yan Hui adalah ratu mereka! Dan kapal itu ternyata amat mewah.
“Hei, kalian semua lihatlah baik-baik. Nona ini adalah adikku, juga muridku, dan kalian harus bersikap hormat dan ramah kepadanya, dan menyebutnya siocia.”
Semua orang yang masih berlutut itu cepat memberi hormat kepada Syanti Dewi dan menyebut, “Siocia!” dengan suara nyaring sehingga Syanti Dewi merasa canggung sekali.
Dia memang sudah biasa dihormati orang, sebagai puteri istana Bhutan, akan tetapi di tempat ini dia merasa amat canggung menerima penghormatan seperti itu. Dan secara otomatis, keagungannya sebagai seorang puteri seketika timbul. Ia mengangkat sedikit tangannya sambil menganggukkan kepala sebagai tanda menerima penghormatan itu.
Terdengar suara bisik-bisik memuji kecantikan puteri ini ketika Ouw Yan Hui memberi isyarat agar kapal segera dilayarkan. Sibuklah semua anak buah kapal itu dan Syanti Dewi mengagumi ruangan-ruangan yang mewah dari kapal itu ketika Ouw Yan Hui mengajaknya masuk ke dalam bilik kapal yang cukup luas. Di situ pun mereka disambut oleh para pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka segera sibuk melayani sang tocu, menyediakan air hangat untuk mandi, pakaian yang indah dan bersih, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan hidangan.
Ouw Yan Hui mandi dan bertukar pakaian, pakaian yang bahkan lebih indah dari pada yang dipakainya tadi, dan sehabis mandi, wanita itu nampak makin cantik saja. Syanti Dewi dipersilakan mandi pula dan puteri ini kembali mengagumi kamar mandi tocu itu di dalam kapal yang indah dan lengkap. Air hangat dalam kolam air yang berbau harum membuat tubuhnya terasa segar dan dua orang pelayan melayaninya dengan pakaian yang serba baru! Pakaian itu adalah pakaian Ouw Yan Hui yang memerintah pelayan untuk memberikan kepada Syanti Dewi, dan karena bentuk tubuh kedua orang wanita cantik ini memang tidak berbeda jauh, maka pakaian Ouw Yan Hui dapat pula dipakai oleh Syanti Dewi dengan pantas.
Kemudian Sang Puteri Bhutan dipersilakan makan bersama nyonya rumah yang juga menjadi gurunya itu. Hidangannya juga serba mewah, tidak kalah lezat oleh masakan di restoran-restoran besar. Sekarang tahulah Syanti Dewi bahwa Ouw Yan Hui selain gagah perkasa dan lihai sekali, juga amat kaya raya!
Syanti Dewi tidak tahu arah mana yang ditempuh oleh kapal itu. Akan tetapi, cuaca telah berubah gelap dan para awak kapal menyalakan lampu-lampu kapal, dan kapal itu masih terus berlayar. Ouw Yan Hui mempersilakan Syanti Dewi untuk tidur. Mereka tidur sekamar, di mana terdapat dua buah tempat tidur.
Syanti Dewi baru merasa demikian aman dan senang setelah untuk beberapa pekan lamanya hidup dengan penuh ketegangan dan kekhawatiran sehingga dia dapat tidur dengan nyenyak sekali, tanpa diusik mimpi dan tanpa bangun sampai suara musik dan nyanyian membangunkannya. Cepat dia menengok dan ternyata bahwa Ouw Yan Hui telah pergi, karena tempat tidurnya kosong dan dari jendela bilik kapal yang ditutup tirai biru tipis itu menyorot cahaya matahari pagi! Hari telah pagi! Betapa nyenyaknya dia tidur!
Seperti telah mengikuti semua gerak geriknya, begitu dia duduk datanglah seorang pelayan yang berkata dengan sikap hormat dan suara halus, “Siocia, air untuk mandi telah siap. Siocia menghendaki air hangat atau air dingin?”
“Dingin saja,” jawab Syanti Dewi dan pelayan itu lalu membungkuk.
“Sudah siap di kamar mandi, Siocia.”
“Ke manakah perginya... Tocu?”
“Tocu sudah menanti di geladak kapal, sedang menonton tari-tarian yang menyambut kedatangan beliau.”
Ah, jadi suara musik dan nyanyian itu adalah tari-tarian yang khusus diadakan untuk menyambut kedatangan Ouw Yan Hui? Bukan main! Syanti Dewi tergesa-gesa pergi ke kamar mandi, diikuti oleh pelayan yang menanti di luar kamar mandi dengan pakaian baru yang sudah dipersiapkan.
Setelah selesai mandi dan melihat betapa pakaian yang diperuntukkan bagi dia amat bagusnya, dia berseru, “Ahh, untuk apa pakaian begini indah dan mewah?”
“Atas perintah Tocu, Siocia. Untuk menghadiri penyambutan ini!” jawab pelayan dengan tegas dan singkat, agaknya memang sudah dipersiapkan jawaban ini.
Syanti Dewi cepat-cepat mengenakan pakaian indah itu, dibantu oleh pelayan. Setelah selesai, seorang pelayan lain datang menghadap dan memberi hormat. “Tocu minta kepada Siocia untuk makan pagi di geladak sambil menikmati pesta sambutan.”
Hampir Syanti Dewi tertawa. Bukan main penolongnya ini! Agaknya mempunyai kehidupan yang amat mulia dan mewah dan menyenangkan, tiada ubahnya seorang puteri atau seorang ratu saja! Dia pun lalu berjalan keluar dari kamar, didahului oleh pelayan tadi dan ketika dia tiba di geladak kapal itu, Syanti Dewi kembali merasa kagum bukan main.
Kiranya kapal itu telah berlabuh di pantai sebuah pulau yang subur sekali, penuh dengan pohon-pohon dan bunga-bunga yang agaknya teratur rapi, seperti sebuah taman yang amat besar, luas dan indah. Sejauh mata memandang, tidak nampak rumah melainkan pohon-pohon dan bunga-bunga belaka! Seperti pulau sorga dalam dongeng saja!
Dan di pantai nampak belasan orang wanita cantik sedang menari-nari amat indahnya, lemah gemulai, dengan melambaikan selendang-selendang yang beraneka warna, dengan gerakan berirama sehingga selendang-selendang yang beraneka warna itu seperti bunga-bunga yang berkembang dan mekar. Mereka menari sambil menyanyi, diiringi musik yang dimainkan oleh wanita-wanita pula. Tidak ada seorang pun pria di situ, semua wanita belaka, dari yang berpakaian pelayan, berpakaian penjaga atau prajurit, sampai para penari dan pemain musik, semua perempuan dan jumlah mereka amat banyak, tak terhitung oleh Syanti Dewi yang berdiri bengong.
“Ah, engkau sudah bangun, Syanti? Mari, duduklah di sini. Enak makan di sini, mandi cahaya matahari pagi sebelum panas sambil menikmati tarian dan nyanyian!”
Syanti Dewi menengok dan dia melihat Ouw Yan Hui duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan yang sudah lengkap dan masih mengepul panas. Beberapa orang pelayan berdiri di dekat situ dengan sikap hormat dan seorang di antara mereka menarik bangku yang memang sudah dipersiapkan untuk Syanti Dewi.
“Terima kasih, Enci” kata Syanti Dewi yang lalu duduk dan pelayan sibuk mengambilkan hidangan dan minuman untuk puteri itu.
Mereka berdua lalu makan pagi sambil menikmati tontonan yang sengaja diadakan untuk menyambut pulangnya Ouw Yan Hui.
“Enci, apakah setiap kali kau bepergian, pulangnya disambut seperti ini?” Syanti Dewi bertanya.
Wanita cantik itu tersenyum. “Ah, engkau tidak tahu, Syanti. Dalam beberapa tahun ini aku tidak pernah meninggalkan pulau ini. Karena itulah maka anak buahku merasa girang melihat aku pulang, agaknya mereka itu khawatir karena sudah beberapa pekan lamanya aku tidak pulang. Mereka itu menganggap aku sebagai ratu mereka, Syanti.”
“Enci, engkau memang pantas menjadi ratu! Pulau ini milikmu?”
Wanita itu mengangguk. “Begitulah. Pulau ini kosong tiada orangnya, dan punghuninya hanyalah ular-ular beracun, bahkan di sini terdapat ular beracun paling hebat yang kulitnya seperti emas, dan dinamakan Kim-coa. Tidak ada nelayan berani mendarat di sini, maka aku lalu tinggal di sini, membersihkan pulau ini yang kuberi nama Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Ternyata tanah di pulau ini subur sekali, maka setelah lewat belasan tahun, kau lihat pulau ini telah berubah menjadi tempat yang menyenangkan sekali, dan aku hidup bersama lima puluh orang anak buahku di tempat ini dengan bahagia.”
“Belasan tahun? Engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun? Tentu engkau datang ke tempat ini ketika masih amat kecil, Enci. Bagaimana dalam usia kanak-kanak engkau dapat menaklukkan ular-ular beracun dan dapat berlayar sampai di tempat terpencil ini? Dan... menurut ceritamu, kau pernah bersuami... ehh, apakah kalian dulu juga tinggal di sini? Kalau begitu kurasa di sini tidak ada tetangga... ataukah yang kau maksudkan wanita pengganggu itu seorang di antara pelayan-pelayanmu ini?”
Ouw Yan Hui tersenyum geli. “Ahhh, dugaanmu meleset jauh sekali, Syanti. Tentu saja dahulu aku tidak tinggal di sini. Justeru karena peristiwa terkutuk itu, setelah membunuh mereka, aku menjadi buronan dan aku melarikan diri dengan perahu, sampai akhirnya tiba di sini!”
“Tapi... tapi kau tadi bilang bahwa engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun...”
Ouw Yan Hui mengangguk. “Sudah tujuh belas tahun.”
Syanti Dewi terbelalak. “Mana mungkin? Tentu ketika itu engkau baru berusia paling banyak delapan tahun, Enci...”
“Ketika pertama kali aku mendarat di, pulau ini, usiaku sudah sebaya denganmu, Syanti, sekitar dua puluh dua tahun.”
“Ahhh...! Tapi... tapi...“ Syanti Dewi benar-benar terkejut dan heran, menatap wajah wanita itu penuh selidik, wajah yang membayangkan usia yang tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun.
“Kau kira berapakah usiaku, Syanti? Sudah empat puluh tahun.”
”Tidak mungkin!” Puteri Bhutan itu berseru.
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tersenyum lebar, malah hampir tertawa. “Baru melihat aku saja engkau sudah terheran-heran, apa lagi kalau engkau bertemu dengan Bibi Maya.”
“Siapakah Bibi Maya?”
“Dia adalah guruku, guru dalam ilmu awet muda. Kelak engkau akan dapat bertemu dengan dia kalau kebetulan dia berkunjung ke sini. Sekarang, marilah kita mendarat. Kasihan para pelayan di istanaku yang sudah lama menanti-nanti.”
Keheranan demi keheranan, kekaguman demi kekaguman memenuhi hati Syanti Dewi semenjak dia dilarikan oleh Ouw Yan Hui dari dalam benteng di mana dia menjadi tawanan sampai dia mendarat di Kim-coa-to.
Pulau itu tidak berapa besar, akan tetapi tentu saja sudah cukup besar untuk ditinggali oleh Ouw Yan Hui bersama lima puluh orang anak buahnya itu. Merupakan sebuah perkampungan berikut ladang yang ditanami tumbuh-tumbuhan obat, sayur dan pohon pohon buah. Terdapat belasan pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anak buah majikan Pulau Ular Emas itu. Di tengah-tengah pulau, dari pantai tidak nampak karena tertutup oleh pohon-pohon besar, berdiri sebuah bangunan yang tidak terlalu besar, akan tetapi amat megah dan mewah. Pantas saja kalau Ouw Yan Hui menyebut rumahnya itu istana karena memang indah seperti istana raja saja! Dan di belakang istana itu terdapat sebuah taman yang indah sekali, merupakan inti dari pulau yang sudah merupakan taman besar itu.
Benar saja seperti yang telah diduganya ketika dia makan pagi bersama Ouw Yan Hui di atas geladak kapal dan tidak melihat adanya seorang pun pria, ternyata di atas pulau itu memang sama sekali tidak ada prianya. Semua adalah wanita-wanita, dan tidak ada wanita yang sudah tua, paling tua berusia tiga puluh tahun dan rata-rata memiliki wajah bersih dan tubuh yang ramping dan padat? Seperti dunia wanita saja! Akan tetapi, setelah segala pengalamannya yang mengerikan terjatuh ke tangan orang-orang jahat, kini berada di antara wanita-wanita itu saja Syanti Dewi merasa aman.
Hanya satu hal yang membuat Syanti Dewi tidak pernah berhenti terheran-heran, yaitu melihat kecantikan wajah Ouw Yan Hui dan kepadatan tubuh wanita itu. Usia sudah empat puluh tahun. Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Di negerinya, di Bhutan, memang terdapat ilmu untuk membuat wanita awet muda, akan tetapi tidak seperti ini, sudah berusia empat puluh tahun namun wajahnya tidak lebih tua dari dua puluh lima tahun dan tubuhnya malah seperti seorang dara remaja saja! Padahal wanita berusia empat puluh tahun ini sudah pernah bersuami, bahkan pernah pula mengandung dan melahirkan!
Setelah tinggal di Pulau Kim-coa-to, mulailah Ouw Yan Hui melatih ginkang kepada Syanti Dewi. Mula-mula Syanti Dewi disuruh mengejar-ngejar kupu-kupu dalam taman! Seperti permainan kanak-kanak saja. Mula-mula hanya disuruh mengejar seekor kupu kupu terbang dan menangkapnya, akan tetapi dari seekor kupu-kupu dia lalu disuruh menangkap dua ekor kupu-kupu sekaligus, lalu tiga ekor dan seterusnya. Dia dilatih untuk bersemedhi, mengatur pernapasan, dan bagaimana cara dia harus mengerahkan sinkang di waktu berloncatan mengejar kupu-kupu.
Jangan dikira mudah mengejar kupu-kupu, terutama kupu-kupu yang bersayap kuning, yang amat lincah dan pandai mengelak. Pertama kali mengejarnya, seekor kupu-kupu saja baru dapat ditangkapnya setelah Syanti Dewi bermandi keringat dan mengejar ngejarnya sampai berjam-jam lamanya. Akan tetapi, setelah memperoleh kemajuan dan mulai memiliki gerakan yang lincah dan gesit sekali, Syanti Dewi dapat menangkapnya dengan sekali lompat, dan setelah lewat dua bulan, dia dapat menangkap lima ekor kupu-kupu hanya dengan beberapa kali loncatan saja!
Setelah itu, Ouw Yan Hui lalu mengajarnya untuk menangkap burung terbang!
“Aihh, Enci Hui, mana mungkin aku dapat menangkap burung terbang? Aku tidak punya sayap seperti burung!” Syanti Dewi berkata penuh keraguan.
“Kau lihatlah aku!” kata wanita itu sambil memandang ke atas, ke arah pohon-pohon di mana terdapat beberapa ekor burung berwarna coklat dengan dada putih. “Aku akan menangkap burung-burung itu!”
Tiba-tiba tubuhnya lenyap, berkelebat ke atas, dan dengan mata terbelalak Syanti Dewi melihat bayangan wanita itu berkelebatan di antara cabang-cabang pohon lalu disusul suara burung-burung mencicit ketakutan. Sesosok bayangan berkelebat turun dan tahu tahu wanita luar biasa itu telah melompat turun, di masing-masing tangannya terdapat dua ekor burung yang tadi beterbangan di antara daun-daun pohon itu!
“Hebat, Enci! Kau hebat bukan main!” Syanti Dewi berseru.
“Kalau kau tekun berlatih, engkau pun akan dapat menangkap burung-burung seperti itu. Mari kita latihan di lian-bu-thia dengan burung-burung ini!”
Syanti Dewi diajak ke ruangan latihan silat yang tertutup rapat dan di situ Ouw Yan Hui melepaskan empat ekor burung kecil tadi. Burung itu beterbangan di dalam ruangan itu, akan tetapi tidak dapat keluar karena jendela dan pintunya sudah ditutup rapat. Atas petunjuk Ouw Yan Hui, mulailah Syanti Dewi mengejar-ngejar empat ekor burung itu. Dia menggunakan kegesitannya dan kelincahannya yang diperoleh selama berlatih menangkap kupu-kupu, tetapi sampai sehari itu, belum juga dia berhasil menangkap seekor pun di antara burung-burung itu! Ternyata jauh sekali bedanya antara gerakan kupu-kupu dengan gerakan burung yang jauh lebih gesit dan cepat itu!
Kembali Syanti Dewi harus dengan tekun melatih semedhi dan pernapasan, dan tiada bosan-bosannya dia berlatih mengejar dan menangkap burung-burung. Ouw Yan Hui selalu menggantikan burung-burung itu dengan burung-burung baru yang segar dan lebih gesit, akan tetapi dengan ketekunannya yang luar biasa, bahkan kadang-kadang di waktu malam Syanti Dewi berlatih seorang diri di dalam lian-bu-thia, akhirnya Puteri Bhutan itu berhasil juga menangkap burung terbang, mula-mula hanya seekor, akan tetapi beberapa bulan kemudian dia dapat menangkap empat lima ekor burung yang dilepas oleh Ouw Yan Hui di dalam ruangan silat itu!
“Bagus, engkau memang berbakat dan untungnya engkau pernah mempelajari dasar dasar ilmu silat tinggi dari pendekar pendekar sakti, sehingga engkau dapat dengan mudah menguasai dasar-dasar ginkang. Setelah engkau menguasai kecepatan gerak, kita boleh mulai berlatih di luar untuk memperoleh keringanan tubuh sehingga engkau dapat mulai belajar Ilmu Jouw-sang-hui-teng yang akan membuat engkau dapat berlari seperti terbang cepatnya dan belajar meloncat tinggi seperti melayang. Akan tetapi ilmu ini tidak mudah, Syanti, engkau harus belajar dengan tekun sekali.”
Mulailah Syanti Dewi berlatih di bawah petunjuk Ouw Yan Hui. Latihan ini dilakukan di tempat-tempat sunyi, tidak boleh dilihat oleh para anak buah. Dan kadang-kadang Ouw Yan Hui mengajak Syanti Dewi untuk naik perahu kecil berdua saja di tengah lautan, kemudian mengajak Puteri Bhutan itu untuk mandi di laut, bertelanjang bulat karena memang di tengah laut itu sunyi sekali. Seperti dua orang peri laut kedua orang wanita cantik jelita itu berkecimpung di antara ombak-ombak dan di sini Ouw Yan Hui mengajarkan ginkang yang amat tinggi tingkatnya kepada Syanti Dewi!
Tanpa disadarinya sendiri, Syanti Dewi telah mempelajari ilmu yang amat hebat, ilmu yang mengubah dirinya sama sekali, dari seorang puteri yang biar pun mengenal ilmu silat namun tergolong lemah di antara tokoh-tokoh kang-ouw, menjadi seorang wanita yang memiliki gerakan seperti kilat, memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi bukan hanya perubahan ini saja yang terjadi pada dirinya, akan tetapi tanpa disadarinya pula, karena setiap hari bergaul dengan Ouw Yan Hui dan selalu meniru contoh-contoh yang diberikan wanita itu dalam berlatih ilmu, maka secara otomatis watak aneh dari Ouw Yan Hui juga menular kepada Syanti Dewi!
Puteri Bhutan itu kini makin cantik, atau makin pesolek, makin angkuh dan tinggi hati, juga keramahan pada wajahnya lenyap, berubah menjadi dingin! Akan tetapi karena dinginnya ini bukan terpengaruh batinnya, melainkan pengaruh dari luar, maka gadis yang sudah dewasa ini, yang sangat rindu akan belaian kasih sayang pria pujaannya, sebetulnya menyimpan gairah yang berapi-api, sehingga karena dibungkus oleh sifat dingin yang ditularkan Ouw Yan Hui maka Syanti Dewi kini seperti gunung berapi yang tertutup salju…..
Di sebelah timur daratan Tiongkok terdapat banyak sekali pulau-pulau besar dan kecil. Terutama agak ke utara, terdapat pulau-pulau kecil yang tak terhitung banyaknya, pulau-pulau yang masih terasing dan masih banyak yang kosong. Di ujung utara, di tempat terpencil dan jauh sekali dari kehidupan ramai, terdapat sebuah pulau di antara pulaa-pulau lain, yaitu pulau yang terkenal di dalam dongeng para tokoh kang-ouw, yang dinamakan Pulau Es!
Jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah melihat pulau ini, karena selain sukar sekali didatangi, juga kebanyakan orang kang-ouw takut untuk mendekati pulau ini, takut kepada penghuninya yang lebih terkenal dari pada pulau itu sendiri. Penghuni Pulau Es atau majikan dari Pulau Es terkenal dengan julukan Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti. Baru menyebut namanya saja, semua orang dari golongan hitam atau kaum sesat sudah menggigil ketakutan.
Para pembaca cerita Pendekar Super Sakti dan cerita-cerita lanjutannya tentu sudah mengenal siapa adanya Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini. Namanya adalah Suma Han, dan kini Suma Han atau Pendekar Super Sakti telah berusia lanjut, sudah lebih dari enam puluh tahun. Pendekar sakti ini tinggal dengan tenang dan tenteramnya di Pulau Es, bersama dua orang isterinya yang tercinta, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang wanita yang amat mencinta suami mereka, amat setia dan juga merasa amat bahagia hidup bertiga di atas pulau itu bersama suami dan madu mereka.
Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa ketenteraman, ketenangan atau kedamaian hidup sama sekali bukan tergantung dari pada tempat atau keadaan di luar diri kita, melainkan sepenuhnya tergantung dari keadaan batin kita sendiri! Betapa pun sunyi tempat di mana kita tinggal, namun kalau batin kita tidak hening, kalau batin kita sibuk dan bising, maka kesunyian tempat itu tidak ada artinya!
Oleh karena itu, bukan hanya teori belaka kalau dikatakan bahwa seorang yang bertapa di puncak gunung yang sunyi akan menderita karena kebisingan batinnya, sebaliknya orang yang berada di tengah kebisingan akan dapat menikmati keheningan batinnya. Sungguh pun tak dapat disangkal bahwa keadaan di luar itu ada pengaruhnya juga terhadap batin, akan tetapi segala sesuatu berpusat pada batin kita sendiri. Masalah timbul dari dalam batin, timbul dari penanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi.
Segala macam hal yang terjadi dalam hidup ini merupakan suatu fakta, dan apakah kejadian itu menjadi masalah ataukah tidak, sepenuhnya tergantung dari pikiran yang menanggapinya. Kalau pikiran menanggapi, tentu saja timbul masalah karena pikiran selalu memperhitungkan rugi untung, dan setelah masalah timbul, tentu saja terdapat penderitaan dan kekhawatiran.
Demikian pula halnya dengan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Bukan hanya Pendekar Super Sakti saja yang merupakan seorang manusia sakti, dengan ilmunya yang tinggi sukar dicari bandingnya, bahkan kedua orang isterinya juga merupakan wanita-wanita yang amat lihai. Kedua orang wanita itu, baik Puteri Nirahai mau pun Lulu, pernah menggegerkan dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi, kesaktian mereka dan kehidupan mereka di Pulau Es yang amat sunyi itu, tetap saja bukan merupakan jaminan akan kedamaian hidup mereka di waktu usia mereka sudah mulai tua itu.
Selama beberapa bulan ini terasa sekali oleh Pendekar Super Sakti betapa hatinya tertindih oleh kegelisahan dan kemarahan. Dia marah kepada dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali kepada Suma Kian Bu, putera dari Nirahai, yang sudah meninggalkan Pulau Es selama enam tahun dan belum pernah pulang!
Puteranya yang lain, yaitu Suma Kian Lee, putera Lulu, enam tahun yang lalu juga pergi meninggalkan Pulau Es bersama adiknya itu, tetapi Kian Lee sudah pulang, bahkan memperdalam ilmunya di Pulau Es selama beberapa tahun. Sekarang, Kian Lee telah diutusnya untuk pergi mencari adiknya, dan sudah hampir setahun lamanya Kian Lee belum pulang sehingga tidak ada berita tentang kedua orang puteranya itu. Tentu saja hal ini membuat hati pendekar sakti itu menjadi gelisah dan marah.
Apa lagi kegelisahannya itu bertambah dengan adanya sikap dari dua orang isterinya. Mereka berdua itu selalu kelihatan berwajah muram, kadang-kadang marah-marah dan berduka karena mereka merasa rindu dan khawatir sekali. Terutama Puteri Nirahai yang telah enam tahun tak melihat puteranya. Sebagai wanita-wanita gagah, mereka pantang untuk memperlihatkan kedukaan mereka, tetapi mereka menjadi marah-marah karena melihat suami mereka seperti tidak mempedulikan kepergian dua orang anak mereka itu. Mereka memperlihatkan rasa tidak suka hati mereka kepada suami mereka dengan wajah muram.
Ketika pada suatu malam, kedua isterinya yang melayani makan itu hanya duduk diam saja menghadapi dia makan, dan tidak ikut makan, Pendekar Super Sakti menghela napas panjang dan mendorong mangkok nasinya ke samping.
“Nah, katakanlah, apa yang kalian kehendaki? Tidak baik menyimpan dendam di dalam hati,” katanya dengan halus dan penuh kasih sayang karena memang sesungguhnya pendekar ini masih menaruh hati cinta yang mendalam terhadap kedua orang isterinya itu.
Setelah melihat sikap halus dari suami mereka itu, dua orang isteri yang juga amat kagum dan mencinta suami mereka, berbalik merasa kasihan.
“Kami besok hendak pergi meninggalkan pulau,” tiba-tiba Lulu, yang kini telah menjadi seorang nenek berusia hampir enam puluh tahun itu, namun masih memiliki raut wajah yang cantik, berkata penuh semangat. Memang wanita ini tidak pernah kehilangan semangatnya sejak dahulu sampai sekarang.
“Kami harus pergi menyusul dan mencari anak-anak kita,” Puteri Nirahai menerangkan dengan tenang. “Kau harus ingat, suamiku, mereka berdua itu telah cukup umur, telah berusia dua puluh satu dan dua puluh tahun. Kami ingin melihat mereka itu menjadi suami dari isteri yang baik. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk mempunyai menantu.”
“Hemmm..., bagaimana mungkin wanita-wanita yang sudah mulai lanjut usianya seperti kalian berdua ini hendak melakukan perjalanan yang demikian jauh dan berbahaya?” Pendekar Super Sakti berkata halus, penuh kekhawatiran.
“Habis, kalau engkau yang menjadi ayahnya diam saja, terpaksa kami yang menjadi ibu mereka turun tangan. Mendiamkannya saja mereka pergi tanpa berita lebih lama lagi, kami bisa mati karena gelisah!” Lulu berkata.
Suma Han menghela napas panjang, lalu meraih kembali mangkok nasinya. “Baiklah, nanti kita bicarakan hal itu, untuk itu kalian tidak perlu mogok makan, membahayakan kesehatan sendiri.”
Dua orang isterinya itu saling pandang, timbul harapan mereka bahwa sekali ini suami mereka akan menaruh perhatian, maka mereka pun lalu mengisi mangkok dengan nasi dan makan bersama suaminya. Mereka makan tanpa berkata-kata, seperti biasa kalau mereka makan, dengan mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada apa yang mereka lakukan saat itu.
Setelah selesai makan dan ketika dua orang isterinya menyingkirkan mangkok piring, Pendekar Super Sakti duduk termenung. Sudah lama dia tinggal bertiga saja bersama dua orang isterinya sejak dua orang puteranya pergi, enam tahun yang lalu. Semua anak buah atau pelayan dan pembantu di Pulau Es, telah dia suruh pulang ke tempat asal masing-masing meninggalkan Pulau Es, sehingga dia tinggal bertiga saja dengan dua orang isterinya. Dia telah membagi-bagikan sebagian harta kepada para anak buah itu yang dengan hati berat meninggalkan Pulau Es, karena mereka maklum bahwa pendekar sakti itu dalam usia tuanya ingin hidup mengasingkan diri di tempat sunyi itu, tidak ingin mencampuri urusan dunia ramai lagi, maka tidak membutuhkan bantuan para anak buah itu lagi. Akan tetapi kini, timbul urusan kedua orang puteranya sehingga mau tidak mau dia harus pula memikirkan.
Beberapa kali pendekar itu menarik napas panjang. Betapa hidup ini selalu menjadi permainan keinginan. Sejak kecil sampai sudah setua dia masih juga belum dapat bebas dari keinginan-keinginan. Kalau pun sekarang, dalam usia tua dia sudah tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri yang sudah tua, keinginan itu bukannya mati, melainkan meluas menjadi keinginan untuk melihat anak-anaknya berbahagia!
Dan untuk memperjuangkan kebahagiaan anak-anaknya, maka dia mau pun kedua orang isterinya mau melakukan apa saja! Hidup penuh dengan ikatan, sehingga tidak mungkin dapat bebas selama dirinya masih terikat, terikat kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kedudukan, kepada nama! Ah, dia tidak boleh membiarkan kedua orang isterinya itu pergi ke daratan besar. Kalau mereka pergi, tentu mereka akan menimbulkan onar, terutama sekali Lulu, tentu akan terjadi geger di dunia kang-ouw, dan belum tentu mereka berdua akan kembali ke Pulau Es! Tidak, dia tidak boleh membiarkan mereka pergi, dia yang harus pergi sendiri!
Betapa kebanyakan dari kita masih belum melihat betapa cinta kasih kita terhadap anak-anak kita adalah palsu belaka! Betapa sesungguhnya kita, secara halus dan tentu saja tidak akan ada yang mau mengakuinya, hanya ingin mempergunakan anak-anak kita sebagai jembatan atau perabot untuk memperoleh kesenangan bagi diri kita sendiri, yaitu melihat anak-anak kita taat, berbakti kepada kita, lalu kelak menjadi seorang yang terpandang di masyarakat, pendeknya menjadi seorang anak kita yang mengangkat tinggi nama kita! Menjadi seorang anak yang dapat kita banggakan, dapat kita sandari, dan dapat kita andalkan!
Mulut kita mengatakan bahwa kita ingin membahagiakan anak, akan tetapi mata kita tidak ada yang melihat dengan waspada betapa kita telah membentuk anak-anak kita menjadi boneka sesuai dengan selera kita, membentuk kebahagiaan-kebahagiaan mereka yang sesuai dengan perumusan kita tentang kebahagiaan. Karena itu, karena kebodohan kita, karena ketamakan kita, maka kita sama sekali bukan membahagiakan mereka, melainkan sebaliknya kita melempar anak-anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan konflik dan kesengsaraan tiada hentinya. Karena perumusan kita tentang bahagia adalah kaya raya, mulia, terhormat, terpandang, padahal semua ini tiada lain hanya mendatangkan iri hati dan konflik antara sesama manusia, dan konflik ini tak dapat tiada mendatangkan penderitaan batin. Kita hendak mengikat anak-anak kita dengan apa yang kita namakan cinta, padahal sesungguhnya hanyalah pamrih untuk memuaskan hati sendiri belaka.
Kalau kita benar mencinta anak-anak kita, kiranya kita tidak akan membiarkan anak anak kita bersaingan, bermusuhan, berebutan, dan terutama sekali takkan membiarkan anak-anak kita berperang! Saling bersaing dalam sekolah, lalu saling berebutan dalam mencari nafkah, juga saling bermusuhan dalam mencari kedudukan dan kemuliaan, kemudian saling membunuh dalam perang. Kita mengajarkan semua itu dan toh kita mengaku cinta kepada anak-anak kita!
Kita lupa bahwa kalau kita mencinta anak-anak kita, selayaknya kalau kita memberi kebebasan kepada mereka, dengan pengamatan yang penuh perhatian, menunjukkan bahaya-bahaya agar mereka mengerti, menunjukkan kesesatan-kesesatan agar mereka tidak sampai memasukinya, dan menuntun mereka, bukan memaksa mereka melalui jalan tertentu, dengan penuh kasih sayang, bukan dengan cinta yang berpamrih memuaskan diri sendiri melalui anak-anak!
Semalam suntuk Pendekar Super Sakti bersama dua orang isterinya bercakap-cakap tentang kedua orang anak mereka.
“Kian Lee dan Kian Bu bukan kanak-kanak lagi, mereka sudah dewasa,” kata Pendekar Super Sakti antara lain kepada dua orang isterinya. “Dan mereka pun telah memiliki kepandaian cukup sehingga mereka tentu mampu menjaga diri sendiri. Tentang jodoh, kalian tentu mengerti bahwa mereka berhak untuk memilih calon jodoh mereka masing masing sendiri, dan tidak baik kalau kita yang mencarikan jodoh untuk mereka.”
“Akan tetapi, lupakah kau bahwa Kian Bu sudah meninggalkan pulau ini selama enam tahun? Kalau tidak ada apa-apa dengan dia, tidak mungkin dia seolah-olah lupa kepada orang tuanya! Dan menurut penuturan Kian Lee ketika pulang, agaknya Kian Bu juga menderita kekecewaan dalam percintaannya. Ahh, aku khawatir kalau-kalau terjadi apa apa dengan dia.”
“Aku pun tidak akan memaksa dia berjodoh dengan orang yang tidak dicintanya,” Lulu juga membantah. “Akan tetapi, dia dan Kian Bu harus pulang dulu ke sini, baru kita bicara tentang perjodohan mereka. Kian Lee berjanji akan mencari dan mengajak pulang Kian Bu, akan tetapi mengapa sampai sekarang tidak ada kabar beritanya? Dan menurut penuturannya, di dunia ramai banyak bermuncullan tokoh-tokoh kaum sesat. Biar pun kedua orang anak kita itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka itu belum banyak pengalaman, tentu berbahaya kalau berhadapan dengan datuk-datuk sesat.”
“Baiklah, kalian jangan khawatir. Aku sendiri memang sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul mereka. Karena kita sekarang sudah tidak mempunyai pembantu lagi, maka aku akan pergi sendiri sambil melihat-lihat keadaan di dunia ramai. Aku akan membawa Tiauw-ko (Rajawali) yang sudah tua itu. Mudah-mudahan saja dia masih kuat menyeberangkan aku ke daratan besar.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti telah memanggil burung rajawali yang sudah tua pula. Burung ini hanya satu-satunya burung rajawali yang masih berada di pulau itu, dan ketika burung tua itu meluncur turun dan hinggap di depan pendekar itu bersama kedua orang isterinya, Suma Han memandang kepada burung itu dengan terharu.
“Tiauw-ko, maafkan aku. Sudah setua ini kau masih harus membantuku menyeberang lautan. Membikin lelah engkau saja, Tiuaw-ko!” berkata pendekar ini sambil menepuk-nepuk punggung burung itu yang mengeluarkan suara menguik-nguik seperti seekor anjing setia.
“Hati-hati dalam perjalanan!” kata Nirahai.
“Dan jangan lama-lama, cepat ajak pulang Kian Lee dan Kian Bu,” kata pula Lulu.
Suma Han tersenyum, memandang kepada dua orang isterinya dengan penuh kasih sayang, diam-diam merasa kasihan meninggalkan dua orang isterinya itu berdua saja di atas pulau yang sunyi itu. Dia membiarkan dua orang isterinya memegang kedua tangannya, kemudian setelah meremas tangan mereka dengan jari-jari tangan yang masih menggetarkan kasih yang mendalam, Suma Han lalu melepaskan pegangan tangannya dan sekali dia menggerakkan kaki tunggalnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas punggung burung rajawali.
“Selamat tinggal, aku pergi takkan lama!” katanya. “Tiauw-ko, mari kita berangkat.”
Burung itu lalu menggerakkan sepasang sayapnya dan terbanglah dia ke atas. Suma Han membalas lambaian tangan kedua orang isterinya itu dengan gerakan tongkatnya, dan sebentar saja dia sudah tidak lagi dapat melihat isterinya, hanya melihat pulau itu yang nampak kecil dari atas, keputih-putihan. Dari bawah, Lulu dan Nirahai hanya melihat titik hitam dari rajawali itu untuk kemudian lenyap ditelan awan.
Setelah dibawa terbang di antara awan-awan di udara, Pendekar Super Sakti kembali merasakan kegembiraan yang luar biasa dan bangkitlah semangatnya seperti pada puluhan tahun yang lalu! Teringatlah dia akan semua pengalamannya yang lalu dan terbayanglah di depan matanya wajah-wajah para tokoh dunia persilatan. Apakah mereka itu masih hidup? Dan apakah mereka itu pun seperti dia, mengasingkan diri dari dunia ramai?
Ah, kalau para tokoh kaum sesat bermunculan, tentu kepergiannya sekali ini tidaklah begitu mudah untuk menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan. Dia sudah tidak bergairah untuk mempergunakan kepandaian melawan seorang dalam perkelahian, dia sudah bosan harus bertanding melawan orang lain. Akan tetapi, apakah dia mungkin dapat membiarkan kejahatan merajalela dan membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya? Biarlah, dia tidak akan bergerak kalau tidak terpaksa. Biarkan pendekar-pendekar muda menggantikan tempatnya untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, pendekar-pendekar muda dan gagah seperti dua orang puteranya itu.
Pendekar Super Sakti tidak memaksa rajawalinya untuk terbang terus. Dia tahu bahwa rajawalinya itu telah tua, setua dia dan sudah banyak berkurang tenaganya. Di sendiri tidak tahu apakah tenaganya juga banyak berkurang karena selama ini dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengukur tenaganya. Melihat rajawali itu terengah engah, dia lalu menyuruh burung itu menukik turun sehingga beberapa kali dia dan burungnya beristirahat di sebuah pulau kosong. Akhirnya, sampai juga dia di pantai daratan besar. Setelah beristirahat lagi dan melewatkan malam itu di pantai yang sunyi, pada keesokan harinya Pendekar Super Sakti melanjutkan perjalanannya menunggang rajawali yang terbang tinggi menuju ke selatan.
Pada suatu hari, pada waktu burung itu terbang rendah di atas sebuah hutan di luar pedusunan, Pendekar Super Sakti merasa tertarik sekali ketika melihat serombongan orang berbondong-bondong memasuki hutan itu. Melihat pakaian orang-orang itu, dia mengenal mereka sebagai penghuni dusun, petani-petani miskin. Akan tetapi para petani itu kelihatan marah-marah, membawa benda-benda tajam dan pisau, kapak, cangkul dan sebagainya, seperti sepasukan orang yang tak teratur sedang melakukan penyerbuan. Dia menepuk punggung rajawali yang menukik ke bawah, kemudian dia meloncat jauh ke depan sehingga dia menghadang rombongan penduduk dusun itu.
Ketika orang-orang dusun yang jumlahnya belasan orang itu melihat seorang kakek berkaki buntung memegang tongkat berdiri tegak dengan sikap tenang, mereka tertegun dan berhenti, akan tetapi mereka semua bersikap siap dengan senjata dipegang yang erat-erat.
“Sahabat-sahabat sekalian hendak ke manakah? Apa yang terjadi maka kalian kelihatan begitu marah?” tanya Suma Han dengan suara halus dan agak gemetar karena terharu.
Baru sekarang semenjak bertahun-tahun lamanya dia bertemu dengan manusia lain kecuali dua orang isterinya, dan melihat betapa begitu bertemu dia sudah melihat manusia yang agaknya hendak bertempur, maka dia merasa kasihan dan terharu sekali. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kekerasan, penuh permusuhan.
“Siapakah engkau? Apakah engkau sahabat dari nenek siluman itu?” tanya seorang di antara mereka, seorang laki-laki yang memegang tombak dan agaknya memimpin rombongan orang itu.
“Nenek siluman yang mana? Aku tidak melihatnya dan tidak mengenalnya,” kata Suma Han dengan heran.
“Kalau begitu, Paman, jangan ikut-ikut. Kami akan mengeroyok dan membunuh nenek siluman bermuka tengkorak itu!” berkata pula si pemegang tombak. “Kami adalah penduduk dusun di sana, dan aku adalah kepala dusunnya. Kami hendak membunuh nenek siluman!”
“Nanti dulu, sabarlah. Mana ada siluman di dunia ini, dan andai kata ada setan, masa dia keluar di siang hari? Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?” tanya Suma Han yang merasa bahwa tentu terjadi kesalah pahaman di sini sehingga dia khawatir kalau orang-orang dusun ini akan kesalahan membunuh orang.
Melihat keadaan Pendekar Super Sakti yang sangat aneh itu, kepala dusun dan orang orangnya agaknya jeri juga. Kakek berkaki sebelah ini tidak mereka kenal, rambutnya putih panjang dan halus, wajahnya begitu berwibawa dan dari mana kakek ini datang?
Karena jeri, kepala dusun kemudian bercerita, “Seorang anak dari dusun kami sedang menggembala delapan ekor lembu di dalam hutan, lalu muncul nenek iblis itu yang menggunakan tangannya memukul pecah kepala seekor lembu. Penggembala itu marah-marah, akan tetapi apa yang dilakukan oleh nenek itu? Dia malah memukuli semua lembu sampai delapan ekor lembu itu tewas semua! Anak itu lalu lari ketakutan dan melapor kepada kami, maka kini kami hendak menyerbu ke dalam hutan dan menangkap atau membunuh nenek siluman itu.”
Diam-diam Pendekar Super Sakti terkejut. Seorang nenek dapat memukul pecah kepala lembu begitu saja? Mukanya seperti tengkorak? Tentu bukan orang sembarangan, dan kalau memang benar nenek itu demikian jahatnya, maka amatlah berbahaya bagi orang-orang dusun ini untuk menyerbunya.
“Di manakah nenek itu?” tanyanya.
“Di tengah hutan ini!” kepala dusun menuding ke depan.
“Kalau begitu, harap kalian jangan tergesa-gesa, biarkan aku menemuinya lebih dulu. Kalau kalian tergesa-gesa, jangan-jangan kalian juga akan dibunuhnya seperti lembu lembu itu!”
Ucapan Suma Han ini membuat wajah mereka menjadi pucat, karena sebenarnya mereka memang sudah merasa ngeri dan jeri mendengar penuturan anak penggembala itu akan wajah si nenek yang amat mengerikan. Mereka tadi hanya berani karena semangat mereka dibakar oleh kepala dusun yang merasa marah karena kehilangan lembu-lembunya. Dialah pemilik lembu-lembu itu.
Kini melihat kakek berkaki sebelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan bantuan tongkatnya, mereka mengikuti dari belakang, akan tetapi agak jauh karena mereka juga curiga kepada kakek aneh ini di samping rasa takutnya terhadap nenek itu.
Dan tak lama kemudian, Suma Han melihat seorang wanita yang duduk di atas sebuah batu sambil makan benda putih lunak yang masih berdarah. Tiba-tiba saja dia menjadi muak, karena dia dapat menduga bahwa yang dimakan oleh nenek itu tentulah otak lembu yang mentah! Otak yang mentah dan masih berdarah, diambil dari kepala seekor lembu. Dan muka nenek itu sungguh mengerikan! Bukan muka, melainkan kedok, kedok tengkorak asli! Dan nenek itu kelihatan tenang-tenang saja, padahal nenek itu tentu tahu akan kedatangan banyak orang itu yang kini berhenti di tempat agak jauh, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.
Dengan sikap tenang, Suma Han melangkah dan menghampiri tempat itu dan dari jauh dia sudah melihat bangkai delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk dan yang malang melintang di tempat itu, satu di antaranya telah hancur kepalanya sehingga tidak kelihatan lagi, agaknya itulah yang diambil otaknya oleh nenek itu, sedangkan tujuh ekor yang lain juga mati dengan kepala pecah, sungguh pun belum hancur seperti yang seekor itu.
Masih baik nenek ini tidak membunuh orang, pikir Suma Han. Tentu ada hal-hal yang menyebabkan nenek ini marah-marah dan membunuh semua lembu itu, padahal andai kata dia membutuhkan otak lembu, tentu hanya seekor saja yang dibunuh, tidak semua. Kini Suma Han telah berdiri di depan nenek yang masih makan otak berdarah itu, hanya dalam jarak lima meter.
Sudah tentu nenek itu dapat melihatnya, tapi agaknya nenek itu tak mempedulikannya dan sengaja pura-pura tidak melihat, masih enak-enak makan otak itu dengan mulut tengkoraknya yang amat lebar, di balik mana terdapat mulutnya sendiri yang kecil. Gigi gigi di depan tengkorak itu kelihatan berlepotan darah dan otak, dan kembali Suma Han menjadi muak. Sudah terlalu lama dia tidak melihat kebuasan dan kejahatan manusia, hidup dengan tenang dan tenteram di Pulau Es, kini menyaksikan tingkah seorang aneh di dunia kang-ouw yang begini mengerikan dia menjadi muak.
Suma Han menanti sampai nenek itu menghabiskan sisa otak yang dimakannya. Dia berdiri tanpa bergerak, bersandar kepada tongkatnya dan memandang dengan sinar lembut, diam-diam dia merasa kasihan mengapa ada seorang wanita yang mau hidup seperti itu, mukanya ditutup tengkorak asli, seolah-olah hendak bersembunyi dari dunia, ataukah hendak memperingatkan dunia bahwa di balik wajah setiap orang manusia, apa pun kedudukannya, tiada lain hanyalah sebuah tengkorak yang mengerikan seperti itu?
Apakah nenek ini hendak menyindirkan bahwa di akhir semua kehidupan yang beraneka ragam, yang mendatangkan segala macam peristiwa itu, tiada lain hanyalah ada maut yang menanti? Suma Han tidak dapat menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dengan mengenakan kedok tengkorak asli di depan mukanya. Dan tentang otak mentah yang dimakannya, dia tahu bahwa memang di dalam otak berdarah itu terkandung obat penguat bagi nenek tua ini.
Kini wanita tua itu sudah selesai makan dan agaknya dia pun mulai memperhatikan Suma Han, buktinya mata di balik tengkorak itu berkilauan dan bergerak dari atas ke bawah, terutama sekali memperhatikan kaki yang buntung sebelah itu. Akan tetapi karena nenek itu tidak bicara atau bergerak, Suma Han lalu bertanya dengan suara halus, “Sobat, maafkan kalau aku mengganggumu. Akan tetapi mengapakah engkau membunuh delapan ekor lembu yang tidak bersalah apa-apa ini?”
Terdengar suara mendengus di balik kedok itu, dan mata di balik kedok itu berputar liar seperti mata setan, kemudian terdengar suaranya nyaring melengking dengan mulut tengkorak bergerak-gerak aneh, “Kubunuh mereka agar anak itu melapor ke dusun, agar semua orang dusun datang ke sini!”
Suma Han mengerutkan alisnya yang putih. Jawaban yang aneh!
“Kalau mereka sudah datang ke sini?” dia mendesak dengan suara masih halus.
“Sialan! Mereka tidak datang ke sini, yang datang malah engkau ini kakek buntung menyebalkan! Kalau mereka datang, tentu dengan enak aku akan membunuh mereka semua, akan tetapi yang datang hanya engkau kakek buntung, dibunuh pun tidak ada harganya!”
Diam-diam Suma Han terkejut juga. Kiranya nenek ini adalah seorang yang amat jahat! Demikian jahatnya sehingga bukan hanya membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi tak membunuh si penggembala hanyalah dengan maksud untuk memancing datangnya semua orang dusun untuk dibunuhnya!
“Sobat yang baik, apakah kesalahan semua orang dusun itu maka engkau hendak membunuh mereka?”
“Huh, semua orang kalau bisa akan kubunuh! Peduli apa mereka bersalah atau tidak? Kau pun seharusnya dibunuh, tetapi terlalu enak bagimu kalau kau dibunuh. Engkau sudah tua bangka, kakimu buntung pula, dan wajahmu membayangkan penderitaan. Heh-heh, engkau tentu menderita sekali dan sisa hidupmu yang tinggal tidak berapa lama itu, biarlah kau lewatkan dalam siksaan dan penderitaan. Kalau dibunuh sekarang, sungguh terlalu enak bagimu!”
Suma Han tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan orang sejahat ini! Dia teringat bahwa di dunianya kaum sesat terdapat Im-kan Ngo-ok, Si Lima Jahat dari Akhirat yang kabarnya mempunyai watak yang luar biasa jahatnya.
“Hemmm, sobat baik, apa gunanya engkau sengaja melakukan kejahatan seperti itu? Apakah manfaatnya bagimu kalau kau membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?”
“Gunanya? Manfaatnya? Ha, tentu saja untuk mengisi kenyataan pada sebutan Ji-ok Kui-bin Nionio, ha-ha-ha!”
Suma Han mengangguk-angguk. Kiranya nenek ini adalah orang kedua dari Im-kan Ngo-ok. Ahhh, pasti hebat juga kalau Im-kan Ngo-ok yang kabarnya sudah tidak pernah meninggalkan dunia mereka sendiri itu kini turun ke dunia ramai!
“Hai, kau ini siapakah?” Tiba-tiba nenek itu berseru, seolah-olah baru terkejut melihat betapa kakek buntung itu sedikit pun tidak kelihatan jeri kepadanya.
“Aku? Aku hanya seorang tua bangka buntung seperti katamu tadi, tidak ada apa apanya yang patut diperhatikan!” jawab Suma Han yang tidak ingin memperkenalkan diri, juga tidak ingin mencari perkara karena maksudnya pun bukan hendak memusuhi nenek ini melainkan hendak melindungi agar orang-orang dusun itu tidak sampai celaka. Kalau tadi dia tidak curiga dan para penghuni dusun itu sudah mendahuluinya tiba di sini, tentu mereka itu sudah menggeletak mati seperti bangkai-bangkai lembu itu!
“Kalau buntung keduanya mungkin akan patut diperhatikan orang!” Tiba-tiba nenek itu berkata dan telunjuk kanannya menuding ke depan, ke arah kaki kanan Suma Han yang tidak buntung.
Suma Han terkejut. Wanita ini benar-benar amat jahat sekali, begitu kejam dan ganas melebihi semua tokoh hitam yang pernah ditemuinya di waktu dia masih berkecimpung di dunia kang-ouw dahulu.
“Cusssss...!”
Hawa yang dingin sekali menyambar ke arah kakinya dan tahulah pendekar ini bahwa wanita berkedok tengkorak itu telah menguasai ilmu pukulan luar biasa yang digerakkan dengan Im-kang, yang amat berbahaya karena hawa yang menyambar dari gerakan telunjuk itu bukan main dahsyatnya, seperti tusukan pedang saja. Dan memang Ji-ok telah mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang) untuk membikin buntung kaki yang tinggal satu itu!
Tentu saja setelah dia sendiri diserang, Suma Han tidak dapat lagi menyembunyikan kepandaiannya, karena dia harus membela diri. Tangan kirinya yang memegang tongkatnya itu bergerak cepat dan dia telah menudingkan tongkatnya ke depan, ke arah telunjuk Ji-ok yang menuding ke arah kakinya itu.
“Wirrrrrrr...!”
Ji-ok mengeluarkan jerit tertahan ketika sambaran hawa dari telunjuknya itu kembali dan membuat tangannya terasa tergetar hebat. Cepat dia menyimpan tenaganya, kemudian mengerahkan telunjuknya lagi dan kini menunjuk ke arah dada kakek buntung kakinya itu! Kembali Suma Han memapakinya dengan tongkat yang ditudingkan dan untuk kedua kalinya Ji-ok tergetar hebat, bahkan kini sampai mundur selangkah. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar berapi. Baru dia percaya bahwa kakek buntung itu benar benar telah mampu menangkis serangan Kiam-ci sampai dua kali, bahkan yang kedua kalinya membuat dia terdorong ke belakang!
“Siapakah engkau?!” bentaknya.
Suma Han kembali menarik napas panjang. “Seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung,” jawabnya tenang.
“Kau... rambutmu putih, kaki kirimu buntung, kau... kau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es...?” Ji-ok berseru kaget bukan main.
“Ha-ha-ha, Ji-moi, apakah kau tidak mengenalnya? Lihat rajawali di atas itu! Siapa lagi kalau bukan Pendekar Siluman yang datang bersama rajawalinya?”
Suma Han kagum mendengar suara yang datang dibawa angin ini. Seorang yang amat lihai, pikirnya, akan tetapi dia tidak menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara, melainkan tetap memandang nenek berkedok itu karena dia tahu betapa bahayanya orang-orang seperti nenek ini yang suka bertindak curang. Dia tetap tenang dan waspada, tidak ingin mencari permusuhan, akan tetapi tentu saja dia pun harus menjaga diri terhadap datuk-datuk jahat seperti Im-kan Ngo-ok.
Nama lima orang manusia iblis itu sudah amat terkenal dan agaknya kalau ada yang satu, tentu ada pula yang lain. Buktinya, suara tadi tentulah suara Twa-ok, yaitu Si Jahat Pertama, dapat dikenal dari cara dia memanggil nenek itu dengan Ji-moi (adik kedua). Siapa lagi yang menyebut nenek itu adik kedua kalau bukan Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok? Tegang juga rasa hati Suma Han. Orang kedua saja sudah memiliki pukulan sakti yang dahsyat dari jari telunjuknya tadi, apa lagi orang yang pertama!
Dugaannya memang benar, dan ketika ada angin berkesiur, muncullah kakek yang seperti gorilla atau monyet besar itu, dengan langkahnya yang kaku dan kedua lengannya tergantung di bawah lutut! Suma Han memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi juga penuh kewaspadaan.
“Ji-moi, sudah lama aku ingin sekali melihat rajawali dari Pulau Es. Biar kupanggil dia ke sini!” kata kakek bermuka orang utan itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan suaranya yang halus.
Kemudian dia mengangkat kedua tangannya ke atas, ke arah rajawali yang terbang berputaran di atas pohon-pohon sambil mengeluarkan suara yang menggetar tinggi. Burung rajawali itu seperti kaget dan tiba-tiba terbangnya menjadi kacau.
Melihat ini, Suma Han merasa khawatir akan keselamatan burungnya yang sudah tua itu, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking halus, suara yang menjadi tanda bagi rajawalinya untuk terbang tinggi menjauhi tempat itu, kemudian dengan suara yang tenang dia berkata, “Sobat, apakah engkau hendak bermain-main dengan rajawali? Nah, dia sudah datang menyambarmu!”
Twa-ok Su Lo Ti adalah seorang Jahat Nomor Satu, biar pun dia bersikap lembut dan bersuara halus, tapi di dalam hatinya selalu terkandung keinginan untuk mencelakakan orang lain secara halus namun keji! Tadi begitu melihat Ji-ok berhadapan dengan Majikan Pulau Es, dia tidak langsung menghadapi pendekar yang amat terkenal itu, melainkan lebih dulu hendak meruntuhkan tunggangannya, yaitu burung rajawali. Biar pun dia tidak langsung memusuhi Pendekar Siluman, melainkan secara halus hendak mencelakai burungnya, namun jelas bahwa perbuatannya ini selain amat kejam, juga menunjukkan bahwa dia lebih dulu ingin mengganggu dan menyusahkan lawannya sebelum berhadapan secara langsung….
“Ternyata engkau seorang yang tidak dapat memegang janji!” bentaknya ketika jenderal tua ini dihadapkan kepadanya. “Engkau telah menipu kami! Engkau tidak sungguh sungguh dalam pembuatan benteng ini sehingga mudah saja dikacau orang! Padahal yang mengacau hanya empat orang, yaitu Hek-tiauw Lo-mo si keparat dan anaknya, Hek-hwa Lo-kwi si pengkhianat, dan Siluman Kecil. Benteng macam apa yang kau buat ini?”
Jenderal Kao Liang memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan sikap tenang. “Pangeran, sama sekali bukan salahku! Coba ada datang pasukan besar menyerbu, sudah pasti aku akan dapat menahan mereka dengan bentengku dan dengan pasukan penjaga benteng. Jangan harap pasukan musuh akan dapat dengan mudah membobol bentengku ini! Akan tetapi, tadi yang menimbulkan kekacauan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang sakti dari dunia kang-ouw. Benteng ini bukan dibuat untuk menghadapi orang kang-ouw, melainkan untuk menghadapi pasukan musuh. Tentu saja pasukan yang terdiri dari orang-orang biasa tidak mampu menghadapi ahli ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Adalah kesalahan Pangeran sendiri yang memusuhi orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Mengapa menyalahkan aku?”
Melihat sikap Jenderal Kao Liang itu, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dengan geram dia lalu memberi aba-aba dan beberapa orang pengawal pribadinya cepat maju dan menangkap Jenderal Kao! Jenderal itu hanya memandang dengan tersenyum pahit, sikapnya tenang sekali dan memandang rendah. Sudah lama dia kehilangan perhatiannya terhadap keselamatan dirinya sendiri sehingga baginya tidak ada lagi rasa takut. Melihat sikap ini, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dia lalu memerintahkan para pengawalnya untuk menyeret jenderal itu ke pintu gerbang dan mencambukinya sebagai hukuman atas kelalaiannya sehingga benteng itu sampai dapat diserbu dan dimasuki oleh musuh!
Dengan penerangan obor dan lampu karena malam mulai tiba, Jenderal Kao, yang dibelenggu kedua tangannya itu diseret menuju ke lapangan terbuka di dekat pintu gerbang. Para pengawal Nepal itu telah mengikatnya pada balok kayu yang berbentuk salib, mengikat kaki dan tangannya pada balok itu. Seorang pengawal lain telah membuka baju atasnya dan pengawal algojo sudah mempersiapkan cambuknya, menanti tanda dari Pangeran Nepal itu yang juga mengikuti sampai di tempat itu.
Tanda itu diberikan dengan mengangkat tangan kiri dan menganggukkan kepala ke arah algojo itu. Dengan menyeringai puas algojo itu menghampiri Jenderal Kao. Tidak ada kesenangan yang lebih memuaskan bagi algojo ini dari pada kalau dia sedang melaksanakan tugas menghajar atau membunuh orang hukuman. Dalam pelaksanaan hukuman ini, tanpa mempedulikan siapa korbannya, dia menemukan kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa yang mendatangkan perasaan puas dan lega, penyaluran dari rasa dendamnya terhadap manusia lain!
Setelah menerima tanda dari sang pangeran, algojo ini tidak segera mau menjatuhkan pukulan cambuk pertama, melainkan mengayun-ayunkan cambuknya di udara, di atas kepalanya dan matanya berkilat memilih bagian punggung yang paling lunak untuk dijadikan sasaran lecutan pertama. Biasanya dia paling senang menikmati lecutan pertama ini, melihat betapa korbannya menegang dan menjerit, melihat darah pertama nampak memanjang di kulit punggung korbannya. Seperti seorang yang ingin menikmati makanan lezat, sebelum memakannya dia hendak memuaskan hatinya dulu dengan memandanginya, menghemat gerakannya agar kenikmatan itu dapat dikunyahnya lebih lama lagi.
“Wirrr... siuuuuuttttt...!”
Akhirnya cambuk itu yang berputar makin cepat, kini turun meluncur dan menyambar ke arah punggung Jenderal Kao yang sudah siap sedia untuk menghadapi segala macam siksaan, bahkan kematian sekali pun, dengan tenang dan dia tidak akan menyenangkan hati para musuh dan penyiksanya dengan keluhan sedikit pun juga.
Akan tetapi, algojo yang sudah meringis seperti seekor harimau yang sedang menubruk mangsanya itu, tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget dan heran. Cambuknya tertahan di udara! Dia mengerahkan tenaga, tetapi tetap saja cambuknya tidak dapat meluncur terus, dan ketika dia menengok, bukan main kagetnya melihat betapa ujung cambuknya itu telah ditangkap oleh tangan seorang kakek botak yang bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin atau juga yang dikenalnya sebagai Pendeta Lakshapadma, koksu dari Nepal!
“Mundur kau!” Koksu itu berkata dan sang algojo tentu saja tidak berani membantah.
Walau pun dia akan melakukan tugas menurut perintah Pangeran Bharuhendra, akan tetapi kakek botak ini adalah guru negara, dan juga merupakan guru dari sang pangeran itu. Dia membungkuk dengan hormat, menggulung cambuknya dan setelah melepaskan kerling kecewa ke arah Jenderal Kao, dia lalu mengundurkan diri.
Pangeran Liong Bian Cu memandang kepada Ban Hwa Sengjin yang datang bersama dengan Hek-hwa Lo-kwi, Hektiauw Lo-mo, kakek yang seperti gorilla, nenek bermuka tengkorak, hwesio gundul katai, dan kakek yang tingginya luar biasa itu. Pangeran ini belum pernah bertemu dengan empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama mereka. Dalam keadaan lain tentu dia akan merasa girang dan menyambut mereka dengan keramahan, akan tetapi pada saat itu, Pangeran Liong Bian Cu sedang marah bukan main. Dia marah melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia tidak mempedulikan lagi betapa perintahnya menghajar Jenderal Kao tadi dihentikan oleh koksu, dan kini dia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya secara bergantian kepada dua orang kakek raksasa itu.
“Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua orang pengkhianat besar! Kalian masih berani muncul di hadapanku? Koksu, kenapa dua orang manusia pengkhianat ini tidak ditangkap dan diberi hukuman yang berat?” Pangeran itu menoleh kepada gurunya dengan pandang mata penuh penasaran.
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi segera saling pandang dengan penuh keheranan, dan koksu itu kemudian berkata, “Harap Paduka tenang, Pangeran. Kenapa Paduka marah-marah, hendak menghukum cambuk kepada Jenderal Kao, dan kenapa pula Paduka marah kepada mereka berdua ini? Dan kami melihat tadi di dalam benteng terjadi kebakaran-kebakaran. Apakah yang telah terjadi?”
“Musuh telah memasuki benteng dengan bantuan dua orang pengkhianat ini! Dan selain melakukan pembakaran-pembakaran, juga musuh yang dibantu dua orang pengkhianat ini telah melarikan Puteri Syanti Dewi!” Pangeran Liong Bian Cu berkata marah.
“Ini dia orangnya!” teriak seorang pengawal yang tadi kena dirobohkan oleh Hek-tiauw Lo-mo palsu sehingga sampai sekarang pun dia masih terpincang-pincang, sekarang jari tangannya menuding ke arah kakek raksasa dari Pulau Neraka itu dengan penuh kebencian.
“Mereka inilah yang tadi membantu melarikan Puteri Syanti Dewi!” Tiba-tiba terdengar Mohinta berseru. “Dengan bantuan para pengawal, saya sudah dapat menyingkirkan Sang Puteri dan dua orang pengkhianat ini bersama pemuda berambut putih itu dan... puteri Hek-tiauw Lo-mo mengamuk, dikeroyok oleh para pengawal. Akan tetapi tiba-tiba saya diserang secara menggelap, tentu oleh seorang di antara mereka ini dan Sang Puteri dilarikan!”
“Koksu, cepat tangkap mereka!” bentak Liong Bian Cu dengan marah.
Dia sudah kehilangan kekasihnya, juga kehilangan Puteri Bhutan yang amat penting baginya, dan ditambah lagi kenyataan betapa dua orang pembantunya ini melakukan pengkhianatan!
Akan tetapi, Ban Hwa Sengjin bersikap tenang saja. “Pangeran, tidak baik membiarkan diri terseret oleh kemarahan. Marilah kita bicarakan hal ini dengan tenang, karena di sini terjadi keanehan dan kesalah pahaman besar. Kerugian kita yang paling besar adalah kalau musuh sampai berhasil membuat kita semua saling mencurigai kemudian terjadi perpecahan sehingga melemahkan kedudukan kita sendiri.” Koksu lalu melepaskan belenggu kaki tangan Jenderal Kao dan mengajaknya untuk melakukan perundingan pula di sebelah dalam.
Liong Bian Cu terheran-heran mendengar ucapan gurunya itu, tetapi dia dapat melihat kebenaran kata-kata gurunya bahwa perpecahan antara dia dan para pembantunya sungguh amat merugikan dan dapat melemahkan kedudukannya sendiri. Maka dengan menahan kemarahan dan penasaran, dia pun lalu tidak bicara apa-apa lagi melainkan melangkah menuju ke dalam gedungnya, langsung menuju ke ruangan tamu yang luas, diikuti oleh Ban Hwa Sengjin, empat orang dari Im-kan Ngo-ok, Jenderal Kao Liang, Mohinta, Hwa-i-kongcu dan beberapa orang pembantu utama lagi.
Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan karena Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya sedang berada dalam keadaan tegang, maka Ban Hwa Sengjin juga tidak memakai banyak peraturan dan dia tidak memperkenalkan empat orang rekannya itu, melainkan segera minta penjelasan dari Liong Bian Cu tentang peristiwa yang terjadi di dalam benteng.
Liong Bian Cu lalu menceritakan semua yang telah disaksikannya sendiri dan yang dilengkapi oleh pelaporan semua pembantunya, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ban Hwa Sengjin dan dengan penuh keheranan oleh Hek-tiauw Lo-mo berdua Hek-hwa Lo-kwi. Dua orang kakek raksasa ini marah bukan main dan mereka dapat menduga siapa adanya kedua orang yang telah menyamar sebagai mereka itu!
Maka, setelah Pangeran Liong Bian Cu selesai menceritakan semua peristiwa yang terjadi dalam benteng, Hek-tiauw Lo-mo berseru, “Si keparat itu! Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong dan muridnya!”
“Benar, guru dan murid itulah yang telah menyamar sebagai kita dan membikin kacau di dalam benteng!” Hek-hwa Lo-kwi juga berseru marah.
Liong Bian Cu terkejut sekali dan memandang kepada mereka bergantian dengan alis berkerut, karena masih belum hilang rasa penasaran dan marahnya kepada dua orang tokoh yang tadinya dianggap sebagai pengkhianat-pengkhianat ini. “Apa pula maksud kalian?”
“Pangeran, mereka berdua ini sama sekali tidak pernah kembali ke dalam benteng, karena mereka telah dirobohkan musuh dan baru kembali ke sini bersama kami tadi. Yang memasuki benteng bukanlah mereka, melainkan dua orang yang telah menyamar sebagai mereka. Dan menurut cerita Paduka, dua orang palsu yang pandai itu bukan hanya dapat mengelabui para penjaga dan para pengawal, bahkan mereka telah berani menghadap Paduka dalam penyamaran mereka dan Paduka sendiri sampai tidak dapat melihat bahwa mereka adalah dua orang musuh yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Dan mengapa Paduka tadi hendak menjatuhkan hukuman kepada Jenderal Kao?”
Liong Bian Cu masih terheran-heran mendengar bahwa dua kakek yang menghadapnya tadi sambil membawa tawanan Siluman Kecil dan membawa kembali tunangannya itu bukanlah Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, menjadi bingung dan ketika dia ditanya tentang hukuman terhadap Jenderal Kao, dia menjawab, “Koksu, kuanggap bahwa dialah yang bertanggung jawab sehingga benteng ini dengan mudah dapat diserbu musuh yang mengacau dan mendatangkan kebakaran di banyak rumah dalam benteng ini. Akan tetapi dia tidak mau mengakui kesalahannya bahkan mengatakan bahwa benteng ini dibangun untuk menghadapi serbuan pasukan besar, bukan penyelundupan beberapa orang sakti, dan ia berani menyalahkan kami yang dianggap memusuhi orang orang kang-ouw.”
Koksu Nepal itu mengangguk-angguk dan dia memandang kepada Jenderal Kao yang semenjak tadi hanya mendengarkan sambil menundukkan muka saja. Kemudian kakek botak ini berkata, “Pangeran, alasan Jenderal Kao memang benar. Untuk menghadapi penerobosan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, haruslah dipergunakan kesaktian pula untuk melawannya pula. Dan dengan girang saya beritahukan kepada Pangeran bahwa sekarang sahabat-sahabat saya ini telah datang untuk membantu kita. Andai kata tadi sewaktu musuh menyelundup ke sini ada seorang saja di antara kami berlima, sudah pasti mereka itu tidak akan dapat bergerak seenaknya. Pangeran, dan juga para rekan dan sahabat, perkenalkanlah empat orang sahabat saya ini.”
Dengan bangga Ban Hwa Sengjin memperkenalkan empat orang itu dan para tokoh yang baru pertama kali ini bertemu dengan mereka, memandang dengan hati terkejut dan penuh kekaguman, juga kengerian karena sesungguhnya mereka sudah pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok! Melihat mereka, para tokoh ini seolah-olah melihat iblis-iblis yang keluar dari dalam neraka, iblis-iblis yang tadinya hanya mereka dengar seperti dalam cerita dongeng saja!
“Pangeran, seperti saya katakan tadi, kalau musuh mempergunakan pasukan, maka saya percaya bahwa Jenderal Kao dengan bentengnya akan mampu menghalau setiap pasukan musuh yang bagaimana besar pun juga. Akan tetapi karena musuh yang datang adalah orang-orang yang menggunakan ilmu kepandaian, maka biarlah saya minta bantuan Su-ok dan Ngo-ok untuk melakukan pengejaran.” Pangeran Liong Bian Cu hanya mengangguk.
“Su-te dan Ngo-te, harap kalian suka sedikit melelahkan diri dan melakukan pengejaran terhadap para pengacau yang telah membikin pusing kepala Sang Pangeran. Kalian sudah mendengar bahwa dua orang yang menyamar itu adalah Hek-sin Touw-ong dan muridnya, dan tentu kalian tahu di mana adanya mereka itu.”
Kakek cebol dan kakek tinggi itu bangkit berdiri, dan mengangguk kepada Liong Bian Cu. Kalau kakek tinggi itu hanya cemberut saja, adalah kakek gundul pendek yang tertawa dan berkata kepada Ban Hwa Sengjin, “Ahhh, Koksu, kalau saja kami tidak mengingat betapa Pangeran telah dibikin pusing oleh penjahat-penjahat itu, tentu kami malas untuk pergi karena kami baru saja datang belum disambut dengan makanan lezat dan arak wangi!”
Pangeran Liong Bian Cu merasa tidak enak sekali dan dia sudah hendak menyuruh pengawal memerintahkan pelayan mengeluarkan hidangan, namun Ban Hwa Sengjin sambil tertawa menjawab, “Su-te, jangan khawatir. Mengejar orang-orang macam raja maling itu saja bersama muridnya, apa sih sukarnya bagi kalian? Sebelum masakan masakan itu dingin, tentu kalian sudah datang kembali membawa mereka sebagai tawanan dan masih belum terlambat bagi kalian untuk makan minum sepuasnya nanti!”
Si pendek dan si tinggi itu kemudian menggerakkan tubuh dan dalam sekelebatan saja mereka telah lenyap dari tempat itu! Semua orang merasa kagum sekali, bahkan diam diam Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi harus mengakui bahwa sekarang mereka mendapatkan saingan yang amat berat! Pangeran Liong Bian Cu menjadi girang dan terhibur melihat datangnya orang-orang pandai yang membantunya, maka dia cepat memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan untuk menyambut Twa-ok Su Lo Ti dan Ji-ok Kui-bin Nionio.
“Harap Pangeran mengijinkan saya untuk kembali ke kamar saya,” kata Jenderal Kao Liang. Pangeran Liong Bian Cu mengangguk dengan sikap tidak begitu mempedulikan. Jenderal tua ini lantas meninggalkan ruangan di mana pangeran itu mulai berpesta dengan gembira bersama para pembantunya.
Dengan hati berat Jenderal Kao Liang kembali ke dalam kamarnya lalu dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringannya. Kedua matanya yang sejak tadi terbelalak memandang ke langit-langit dalam kamarnya tak pernah berkedip itu, perlahan-lahan menjadi basah! Setelah berkumpul, akhirnya dua butir air mata bergerak keluar dari sepasang matanya dan jatuh menimpa bantal. Hanya dua butir air mata, akan tetapi hal ini sudah merupakan suatu hal yang amat luar biasa.
Jenderal Kao adalah seorang laki-laki sejati yang pantang menitikkan air mata. Lebih baik mengucurkan peluh dan darah dari pada air mata bagi jenderal yang gagah perkasa ini. Akan tetapi, pada saat ini hatinya tersiksa bukan main rasanya. Pangeran Nepal itu mendatangkan kelima Im-kan Ngo-ok! Negara berada dalam bahaya. Dan dia malah menjadi kaki tangan pangeran pemberontak itu! Ahhh, kalau saja keluarganya dapat lolos dari tempat itu, berada dalam keadaan selamat, tentu dia tidak akan merasa begini tersiksa. Dia tentu akan dapat melaksanakan segala rencananya yang telah dipersiapkannya semenjak dia membangun benteng itu secara terpaksa sekali untuk menyelamatkan nyawa semua keluarganya! Akan tetapi, agaknya tidak ada jalan bagi keluarganya untuk dapat lolos dari tempat itu. Bahkan Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti itu sendiri tidak berdaya…..
********************
“Suhu, aku tidak mau!”
Seperti seorang anak kecil yang ngambek, Kang Swi Hwa berhenti di tepi jalan dan duduk di atas batu besar, sepasang alisnya bertemu, mulutnya cemberut dan matanya hampir menangis.
Hek-sin Touw-ong memandang kepada muridnya itu dan tersenyum melihat murid yang dicintanya itu mogok berjalan! Biar pun mukanya berwarna hitam, namun muka raja maling ini membayangkan kelembutan, apa lagi kalau dia berhadapan dengan muridnya itu.
“Hayaaa...“ Dia menarik napas panjang dan duduk pula di atas batu tak jauh dari tempat duduk muridnya. “Swi Hwa, berkali-kali kau mengatakan tidak mau. Ehh, muridku yang baik, tahukah engkau apa yang paling berharga bagi seorang wanita?”
“Aku tahu, aku tahu, berapa kali Suhu menanyakan itu? Yang paling berharga adalah kehormatan.”
“Nah, engkau sudah tahu! Dan engkau tahu apa yang telah terjadi antara engkau dan pemuda bernama Siauw Hong itu.”
“Akan tetapi, tidak terjadi apa-apa antara dia dengan aku, hanya dia melihat bahwa aku seorang wanita.”
“Hemmm, muridku yang baik. Tidak ada wanita yang membiarkan tubuhnya dilihat, apa lagi disentuh oleh seorang pria yang bukan suaminya. Dan Siauw Hong itu… dia telah menyentuhmu. Memang hal itu dilakukannya tanpa sengaja, bahkan dia bermaksud menyelamatkanmu dari bahaya maut. Mengingat bahwa dia murid Sai-cu Kai-ong, maka kuanggap bahwa hal itu memang telah diatur oleh Thian, dan agaknya Tuhan sendiri yang telah menjodohkan engkau dengan dia, muridku. Bagi seorang wanita terhormat, tubuhnya hanya boleh disentuh oleh suaminya, dan kalau ada pria lain yang melakukan hal itu, pria itu harus dibunuhnya!”
“Kalau begitu, aku akan membunuhnya!” Kang Swi Hwa masih mengambek.
“Dan engkau akan menjadi seorang yang paling tidak kenal budi, bahkan seorang yang membalas kebaikan dengan kejahatan. Dia telah menolongmu, menyelamatkanmu, dan kau hendak membunuhnya?”
“Habis, mau bagaimana? Hanya ada dua pilihan kata Suhu, membunuhnya atau kawin dengan dia. Aku tidak mau kawin dengan dia, maka aku akan membunuhnya.”
“Swi Hwa, muridku yang baik. Mengapa engkau berkeras tidak mau menikah dengan dia? Apakah dia seorang pemuda yang berwajah buruk? Ataukah tubuhnya cacat?”
“Tidak, tidak sama sekali, Suhu. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah...“
“Nah, kalau begitu, mengapa menolak?”
“Dia hanya seorang pengemis, Suhu! Dan aku tidak mungkin menikah dengan seorang pengemis!”
Kakek itu tertawa bergelak. Melihat ini, Ang-siocia yang tadinya selalu menundukkan mukanya, kini dia mengangkat muka memandang gurunya, mukanya merah dan sinar matanya marah. “Suhu, hatiku sedang mengkal, sekarang Suhu malah tertawa-tawa, mentertawakan aku! Apanya yang lucu?”
“Ha-ha-ha, Swi Hwa, memang aku mentertawakan engkau. Engkau sungguh tidak mau bercermin!”
“Bercermin?” Tangan kiri Swi Hwa dengan jari-jarinya yang lentik halus itu otomatis meraba-raba rambut kepala dan mukanya. “Setiap hari aku bercermin. Apakah mukaku coreng-moreng, rambutku awut-awutan?”
Kakek itu makin geli tertawa, lalu dia memandang kepada muridnya yang dianggapnya seperti anaknya sendiri itu. “Swi Hwa, maksudku bukan bercermin untuk melihat wajah, melainkan bercermin untuk mengenal dirimu sendiri. Engkau terlalu memandang rendah pengemis, dan agaknya lupa siapakah kita ini! Engkau hanyalah murid seorang maling, apakah maling lebih tinggi derajatnya dari pada seorang pengemis?”
Makin merah wajah Swi Hwa, merah karena penasaran dan marah. “Akan tetapi kita adalah maling bukan sembarang maling! Suhu adalah Raja Maling! Mana bisa lantas disamakan dengan pengemis...?”
“Hemmm, Swi Hwa, apa kau lupa bahwa pemuda itu juga bukan sembarang pengemis, melainkan murid dari Raja Pengemis Sai-cu Kai-ong? Dan apakah engkau tahu? Sai-cu Kai-ong itu adalah seorang... sahabat baikku, setidaknya adalah seorang bekas sahabat baikku. Maka, muridnya tentu saja bukan merupakan seorang yang asing sama sekali.”
Swi Hwa masih cemberut. Dia membayangkan wajah Siauw Hong. Seorang pemuda yang tampan memang. Akan tetapi, ketika dia mengenal Siauw Hong dan Siluman Kecil, bahkan lalu melakukan perjalanan bersama, dia menganggap Siaw Hong sebagai seorang pemuda remaja yang belum dewasa benar, bahkan sering kali dia menyuruh Siauw Hong, sebagai pelayan! Betapa jauhnya kalau dibandingkan dengan Siluman Kecil, pendekar yang sakti itu, pria yang sudah matang dan amat mengagumkan hatinya. “Tidak, Suhu, aku tidak mau! Aku tidak suka!”
“Agaknya engkau masih kukuh bahwa engkau jatuh cinta kepada pendekar Siluman Kecil. Benarkah itu, Swi Hwa?”
Wajah itu menjadi makin merah dan dia menunduk.
“Swi Hwa, aku adalah seorang tua yang sudah dapat melihat tanda-tanda orang yang jatuh cinta. Dan dalam pertemuan kita dengan Siluman Kecil, aku tidak yakin bahwa engkau mencinta dia. Engkau hanya kagum saja kepadanya dan memang sudah sepatutnya orang kagum kepada pendekar yang berkepandaian tinggi itu. Akan tetapi, dia bukan jodohmu, muridku.”
“Tapi, Suhu, bagaimana mungkin perjodohan dilangsungkan tanpa cinta kasih?”
“Mengapa tidak mungkin? Perjodohan antara dua orang muda yang tidak saling mencinta bisa saja kelak mendatangkan rasa cinta kasih yang amat mendalam, dan sebaliknya mungkin saja apa yang dinamakan cinta kasih antara dua orang muda sebelum perjodohan akan menjadi luntur setelah mereka memasuki pintu gerbang pernikahan. Pula, aku tidak melihat tanda-tanda, baik dari sikapnya, kata-katanya mau pun pandang matanya bahwa pendekar itu mencintamu, Swi Hwa. Dan bagaimana mungkin engkau mengikat perjodohan dengan seorang pendekar besar dan aneh seperti dia? Apa lagi mengingat dia adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ah, tempat dia berpijak lebih tinggi dari pada bintang di langit, muridku, agaknya lebih sukar berjodoh dengan dia dari pada dengan seorang pangeran sekali pun untukmu.”
Mendengar ini, Swi Hwa makin menunduk dan wajahnya membayangkan kecewa dan duka sekali. Kini teringatlah dia akan hubungan antara Siluman Kecil dengan Hwee Li. Ah, gurunya benar! Agaknya Siluman Kecil terlalu tinggi untuknya. Dia, hanya seorang maling, pantasnya hanya berjodoh dengan seorang pengemis! Tanpa terasa lagi air matanya bercucuran didorong oleh rasa iba diri.
Kakek itu menyentuh tangan muridnya. “Hidup ini memang penuh dengan kepahitan kepahitan yang ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan, muridku. Kekecewaan bisa timbul karena harapan-harapan kita yang tidak tercapai, dan harapan-harapan selalu memang lebih indah dari pada kenyataan...”
Tiba-tiba ucapan Hek-sin Touw-ong itu terhenti karena guru dan murid ini mendengar suara aneh, suara ketawa yang terdengar teramat kerasnya seolah-olah orang yang tertawa itu berada di dekat mereka, padahal mereka tidak melihat seorang pun manusia di situ. Pagi hari itu sunyi saja. Mereka berdua telah melarikan diri semalaman, dan baru pagi ini mereka berhenti di tempat itu setelah semalam suntuk mereka tidak melihat ada orang mengejar mereka.
“Ha-ha-ha, sekali ini aku mengaku kalah kepadamu, Ngo-te! Matamu memang awas sekali dan benar saja, mereka berada di sini!”
Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa meloncat berdiri dan siap menghadapi bahaya. Swi Hwa sudah mencabut pedangnya, dan gurunya yang tidak pernah berpedang lagi berdiri dengan penuh kewaspadaan. Maklumlah kakek pandai ini bahwa ada orang bicara mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh, orangnya masih jauh akan tetapi suaranya sudah tiba di situ, tanda bahwa ada orang pandai agaknya mengejar mereka.
Tak lama kemudian, nampaklah dua orang yang bentuk tubuhnya amat aneh datang dengan kecepatan yang mengejutkan hati guru dan murid itu.
Gurunya menggeleng kepala. “Mereka sudah mengetahui kita di sini, dan percuma saja melarikan diri. Kau berhati-hatilah, Swi Hwa,” bisik gurunya sambil memandang dengan penuh perhatian ke depan. Bayangan dua orang itu cepat sekali gerakannya dan sebentar saja mereka sudah tiba di depan guru dan murid itu.
Setelah dua orang kakek yang bentuk tubuhnya amat luar biasa dan berlawanan itu tiba di depan mereka, Swi Hwa memandang penuh perhatian. Biar pun masih muda, dara ini sudah banyak pengetahuannya di dunia kang-ouw dan sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar, akan tetapi betapa pun dia mengingat-ingat, belum pernah dia bertemu dengan dua orang kakek aneh ini, yang seorang tingginya hanya sampai di pundaknya, tetapi kakek kedua tingginya bukan main sehingga dia harus menengadah kalau hendak memandang wajahnya. Kakek yang pendek gundul itu tersenyum-senyum lebar, akan tetapi yang membuat Swi Hwa merasa ngeri adalah kakek tinggi itu, karena biar pun kakek tinggi itu hanya cemberut saja, namun matanya yang sipit itu seolah-olah hendak menelanjanginya dengan pandang matanya!
“Su-ko, yang tua untukmu karena aku perlu dengan yang muda!” tiba-tiba si tinggi kurus bermata sipit itu berkata.
Sebelum suaranya yang menyeramkan itu habis, tangannya yang berlengan panjang sekali itu tahu-tahu sudah menjangkau ke arah pundak Swi Hwa! Gerakannya itu amat mengerikan karena jarak antara dia dan Swi Hwa cukup jauh, terlalu jauh bagi orang yang berlengan bagaimana panjang pun untuk bisa menjangkaunya. Akan tetapi kakek tinggi itu tidak melangkahkan kakinya, dan lengannya seperti dapat diulur lebih panjang dari pada semestinya. Gerakan yang mengerikan sekali!
“Ihhh...!” Swi Hwa berseru kaget dan juga jijik saat melihat lengan itu seperti seekor ular panjang hidup meluncur ke arah pundaknya.
Dia cepat-cepat menarik kaki melangkah mundur, akan tetapi hebatnya, tangan itu terus mengejarnya, sebuah tangan yang lebar dengan jari-jari yang panjang dan besar, kotor dan kukunya panjang hitam! Swi Hwa kaget setengah mati dan agaknya sukar baginya untuk dapat mengelak. Pada saat itu, Hek-sin Touw-ong yang mengenal ilmu luar biasa dari si jangkung itu, yaitu ilmu mengulur lengan yang tidak mudah dipelajari, kecuali oleh mereka yang telah menguasai ilmu melepas tulang, maklum bahwa muridnya terancam bahaya. Dia cepat menggerakkan tangan kirinya.
“Cusssss...!”
Tangan kiri Hek-sin Touw-ong yang digerakkan ini bukan sembarang tangan, melainkan tangan yang mengandung Ilmu Kiam-to Sin-ciang sehingga tangan itu seperti berubah tajam bagaikan pedang atau golok, bahkan hawa pukulannya saja dapat membabat putus benda keras!
“Wusss... ahaaa...!”
Si jangkung terkejut sekali dan walau pun lengannya tidak terluka karena dia sudah menarik kembali lengannya sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi lengan itu, akan tetapi tetap saja lengan bajunya terobek oleh hawa yang menyambar dari Kiam-to Sin-ciang tadi.
Si pendek gundul tertawa. “Ha-haha, engkau mendapat malu, Ngo-te! Jangan terlalu memandang rendah kepada Hek-sin Touw-ong yang kabarnya juga memiliki Kiam-to Sin-ciang. Dan engkau sama sekali tidak boleh main hakim sendiri, ingat bahwa tugas kita hanya untuk menawan mereka ini!”
Si jangkung hanya cemberut, akan tetapi matanya terus mengincar Swi Hwa dan gadis ini diam-diam bergidik. Dia tadi melihat betapa gurunya menggunakan ilmu ini. Lengan si jangkung tadi jelas terkena sambaran hawa sakti itu, akan tetapi lengan itu sama sekali tidak terluka dan hanya lengan bajunya saja yang terobek! Tahulah dia bahwa si jangkung yang luar biasa itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Biar pun wajahnya tidak menunjukkan perasaan, namun di dalam hatinya, Si Raja Maling juga menjadi terkejut bukan main. Tadi dia sudah menduga-duga, akan tetapi kini melihat kelihaian si jangkung, melihat bentuk tubuh mereka dan cara kedua orang itu saling memanggil, yaitu Ngo-te dan Su-ko (adik kelima dan kakak keempat), dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu kedua orang inilah tokoh-tokoh dari Im-kan Ngo-ok yang telah puluhan tahun lamanya tidak pernah terdengar lagi turun ke dunia ramai.
Hampir dia tidak percaya karena memang selama dia menjelajahi dunia kang-ouw, Raja Maling ini tidak pernah berjumpa dengan mereka dan menganggap bahwa nama mereka itu hanya merupakan dongeng di antara orang-orang kang-ouw saja. Dan kini, melihat keadaan kedua orang ini yang ternyata bukan hanya mengenalnya, bahkan mengenal pula Ilmu Kiam-to Sin-ciang, dia yakin bahwa tentu mereka ini adalah orang keempat dan kelima dari Im-kan Ngo-ok. Maka cepat dia menjura dengan hormat kepada datuk-datuk kaum sesat itu sambil berkata dengan suara halus merendah.
“Siauwte yang bodoh pernah mendengar nama besar dari Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Siansu, tidak tahu apakah dua nama besar itu adalah nama Ji-wi?”
Tosu jangkung bermata sipit itu hanya cemberut, akan tetapi hwesio cebol gendut itu tertawa. ”Ha-ha-ha, kiranya Si Raja Maling juga dapat mengenal kami, itu menunjukkan bahwa engkau memang bukan orang sembarangan!”
Hek-sin Touw-ong menjura lagi. “Maaf kalau siauwte yang bodoh kurang menghormat, karena sungguh mati kami berdua tidak pernah mimpi akan dapat jumpa dengan tokoh tokoh besar seperti Ji-wi (Anda berdua). Setelah kami mendapat kehormatan bertemu dengan Ji-wi, siauwte mohon bertanya ada keperluan apakah gerangan maka Ji-wi memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?”
“Su-ko, mulutnya terlalu manis!” Tiba-tiba tosu tinggi kurus itu mencela.
Akan tetapi hwesio cebol itu hanya tersenyum lebar. Girang sekali hatinya. Memang sudah menjadi watak Si Jahat Keempat dari Im-kan Ngo-ok ini untuk beramah-tamah dengan orang untuk kemudian mencelakai orang yang diajaknya beramah-tamah itu!
“Hek-sin Touw-ong, sudah lama kami mendengar nama besarmu dan ternyata engkau memang seorang yang lihai sekali. Kiam-to Sin-ciang tadi amat hebat, dan engkau mempunyai seorang murid yang cantik jelita dan pandai. Sungguh beruntung sekali hidupmu. Aku Su-ok Siauw-siang-cu ikut merasa girang melihat keberuntunganmu dan sayang di sini tidak ada arak untuk menghaturkan selamat kepadamu. Ha-ha-ha!”
Si Raja Maling mengerutkan alis. Dia hanya pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok akan tetapi tidak mengenal watak mereka seorang demi seorang, maka dia pun tidak tahu akan watak Su-ok ini. Dia sendiri adalah salah seorang tokoh besar di dalam dunia kang-ouw, maka teritu saja dia tidak mudah tertipu oleh sikap ramah-tamah yang luar biasa itu. Maka dia hanya menjura sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan Su-ok Siauw-siang-cu Lo-enghiong.”
Akan tetapi, Ngo-ok Toat-beng Sian-cu tidak sabar menyaksikan sikap ramah-tamah dari kawannya itu, maka dia berkata singkat, “Hek-sin Touw-ong, hayo lekas menyerah untuk kami tangkap dan bawa kembali ke benteng lembah, di mana engkau bersama muridmu mengacau malam tadi!”
Hek-sin Touw-ong tidak terkejut mendengar ini, karena memang dia sudah menduga bahwa dua orang sakti dari kaum sesat ini tentu muncul sehubungan dengan perbuatan mereka di benteng lembah semalam. Dia sama sekali tidak pernah menduga dan sama sekali tidak tahu bahwa Koksu Nepal adalah orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok!
“Kami tidak akan menyerah kepada siapa pun juga!” Tiba-tiba Kang Swi Hwa berkata dengan nada suara keras dan dia sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Tidak seperti gurunya, dara ini belum pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok, maka dia pun tidak merasa gentar sama sekali sungguh pun dia tahu bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan orang-orang lihai dan lawan-lawan tangguh.
“Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong dan muridnya ini memang amat hebat!” kembali hwesio cebol itu tertawa dan memuji. “Siapa yang dapat mengira bahwa kalian berdua dapat menyamar sebagai dua orang iblis Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi! Ha-ha-ha! Melihat Hek-sin Touw-ong menyamar sebagai seorang di antara mereka masih tidak mengherankan, akan tetapi bagaimana engkau bisa menyamar sebagai seorang iblis seperti mereka itu, Nona? Mengagumkan, sukar untuk dapat dipercaya! Eh, Nona Cilik, aku berani bertaruh bahwa engkau tidak akan mampu menyamar sebagai aku atau sebagai Ngo-te ini!”
Di dalam hatinya, Kang Swi Hwa mengejek. Kalau ada alat-alatnya, tentu saja dia akan mampu menyamar sebagai mereka, sungguh pun untuk menyamar sebagai Su-ok dia harus menekuk lututnya dan untuk menyamar sebagai Ngo-ok dia harus menggunakan jangkungan, yaitu dua potong kayu untuk menyambung kakinya agar dia dapat menjadi jangkung seperti tosu itu. Akan tetapi dia tidak mau melayani kelakar ini dan hanya memandang dengan sinar mata marah.
“Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong, kepandaian kalian amat hebat dan mengagumkan hati Pangeran Nepal. Oleh karena itu, beliau mengutus kami berdua untuk mengundang kalian sebagai tamu terhormat ke dalam benteng, mungkin akan memberi hadiah atas permainan sandiwara kalian yang amat berhasil itu. Marilah, Touw-ong, marilah kami iringkan ke benteng di lembah sana.” Sikap hwesio cebol itu masih manis sekali, terlalu manis malah.
Akan tetapi Hek-sin Touw-ong kini sudah maklum bahwa keramahan hwesio cebol ini adalah wataknya dan cirinya yang khas, sama sekali bukan keramahan yang timbul dari hati yang beriktikad baik. Maka dia pun tidak mau melayani, melainkan memandang dengan tajam.
“Ji-wi tidak perlu berpura-pura. Memang sesungguhnya kami berdua yang semalam mengunjungi benteng. Kami telah gagal, nah, sekarang Ji-wi datang menyusul kami dan betapa pun juga kami tidak akan mau kembali ke sana, baik itu merupakan undangan mau pun paksaan.”
Ucapan ini halus akan tetapi juga merupakan tantangan.
“Su-ko, kenapa cerewet? Tangkap mereka!” bentak Ngo-ok Toat-beng Siansu sambil menubruk ke arah Swi Hwa.
“Ngo-te, awas, jangan kau lukai dia, kita harus menangkap mereka hidup-hidup. Jangan sampai membuat Sam-ko dan pangeran menjadi marah!” Si cebol berseru, kemudian secepat kilat dia pun sudah menerjang kepada Hek-sin Touw-ong!
Swi Hwa menggerakkan pedangnya, memutar pedang itu untuk membabat dua tangan panjang yang mengancamnya dari kanan kiri itu. Sinar pedangnya bergulung-gulung dan membentuk lingkaran yang berhawa tajam sekali karena dara ini sudah memainkan pedang dengan pengerahan Ilmu Kiam-to Sin-siang yang dipelajarinya dari gurunya.
Biar pun dia lihai bukan main, Ngo-ok tidak mau sembarangan mempertaruhkan kedua lengannya, atau sedikitnya tentu lengan bajunya akan hancur kalau terkena sambaran sinar pedang itu, maka dia menggunakan kegesitannya untuk menarik kembali tangan yang hendak terbacok, kemudian membalas dengan kedua tangan itu meluncur dari sana-sini seperti dua ekor ular terbang yang berusaha menangkap atau menotok dara itu. Bulu tengkuk dara itu meremang saking ngerinya ketika beberapa kali tangan telanjang si jangkung itu menyampok pedangnya dan terdengar bunyi berdencing nyaring ketika pedangnya bertemu dengan jari tangan itu, seolah-olah tangan itu terbuat dari pada baja yang amat kuat!
Sementara itu, Hek-sin Touw-ong sudah bertanding dengan hebatnya melawan Su-ok Siauw-siang-cu. Hek-sin Touw-ong yang maklum bahwa dia menghadapi lawan pandai dan bahwa dia dan muridnya terancam bahaya maut, telah mengeluarkan ilmunya yang amat hebat, yaitu Kiam-to Sin-ciang dan mengerahkan ginkang-nya untuk berkelebatan dengan cepatnya. Dia harus dapat merobohkan lawannya yang gemuk pendek ini sebelum dia dapat membantu muridnya. Dia tahu bahwa muridnya bukanlah tandingan si jangkung itu, dan maklum bahwa kalau dia dan muridnya sampai tertangkap dan dibawa kembali ke lembah, tentu mereka berdua akan celaka dan menerima hukuman berat atas perbuatan mereka semalam yang mengacau dan membakar benteng di lembah Huang-ho itu.
Bunyi angin bersuitan dan mendesis-desis ketika kedua tangan Raja Maling ini bergerak melancarkan serangan Kiam-to Sin-ciang. Demikian hebatnya ilmu itu sehingga orang keempat dari Im-kan Ngo-ok sendiri tidak berani secara lancang menerima pukulan itu dengan tubuhnya. Su-ok bergulingan menghindarkan diri, kemudian dia meloncat dan tubuhnya yang pendek itu menjadi makin pendek ketika dia berjongkok dan perutnya yang gendut itu makin menggembung terisi penuh hawa mukjijat! Kemudian, dari tenggorokan dan perutnya berbunyi suara.
“Kok-kok-kok!” dan itulah ilmunya yang amat luar biasa, ilmu pukulan Katak Buduk!
Ketika Hek-sin Touw-ong kembali menggerakkan kedua tangan dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mengandung angin tajam sekali, Su-ok lalu mendorong dengan kedua tangannya yang pendek ke depan. Angin pukulan dahsyat menyambar dari kedua tangannya dan begitu angin pukulan ini bertemu dengan hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang.
Tubuh Hek-sin Touw-ong terjengkang dan dia tentu sudah roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat-cepat meloncat ke kiri dan terhindar dari dorongan hawa dahsyat yang mendorong pukulannya yang tadi membalik itu! Bukan main terkejutnya hati Si Raja Maling! Kini kakek pendek itu tertawa-tawa, kemudian bergulingan dan mengejarnya seperti seekor binatang trenggiling dan melakukan serangan dari atas tanah secara tidak terduga-duga! Dan setiap kali Touw-ong menggunakan Kiam-to Sin-ciang, selalu kakek pendek itu menggunakan pukulan sakti Katak Buduk membuat Kiam-to Sin-ciang kehilangan kehebatannya dan selalu terdorong kembali!
Perkelahian antara Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dan kakek tosu jangkung Ngo-ok tak berlangsung terlalu lama. Agaknya Ngo-ok merasa jengkel juga menyaksikan kenekatan dara itu, maka dia lalu mengerahkan tenaganya dan begitu pedang di tangan nona itu menusuknya, dia menggunakan jari-jari tangannya menangkis dan terus mencengkeram dan pedang itu sudah kena dicengkeramnya!
“Krek-krekkk!”
Pedang itu dicengkeram patah-patah dan dilemparkan ke samping, kemudian sebelum Swi Hwa sempat mengelak, tengkuknya sudah dicengkeram dan tubuhnya diangkat ke atas! Swi Hwa hampir pingsan ketika merasa betapa jari-jari tangan yang panjang dan besar sudah mencengkeram baju di dadanya dan hendak mencabik dan merenggutnya. Tanpa terasa lagi dia menjerit.
Jeritan itu menolongnya karena Su-ok sudah menggelinding dekat dan menendang lutut Ngo-ok. Hampir saja Ngo-ok tertendang roboh kalau dia tidak cepat meloncat tinggi sekali sambil membawa tubuh Swi Hwa yang seperti hampir pingsan rasanya dibawa melambung tinggi itu.
“Ngo-te, kuperingatkan kau, jangan ganggu dia!” bentak Su-ok.
“Ehh, kau mengiri? Apa pedulimu?” bantah Ngo-ok.
“Tolol kau, Ngo-te. Jika kau mengganggunya dan Sam-ko marah, juga Pangeran, tentu Twako dan Ji-ci juga marah dan jika mereka semua marah, apa kau kira hanya engkau saja yang akan dihajar? Aku pun ikut bertanggung jawab, mengerti? Jangan ganggu dia sebelum kita menyerahkan kedua orang guru dan murid ini kepada Pangeran. Kalau kau nekat, aku sendiri akan menggempurmu!”
“Huh, menyebalkan!” Ngo-ok berseru marah dan kecewa, jari tangannya menotok dan seketika tubuh Swi Hwa menjadi lumpuh dan ketika dia dilemparkan ke atas tanah, dara itu tak dapat bergerak lagi.
Hek-sin Touw-ong tadi sudah merasa khawatir menyaksikan betapa muridnya tertawan, akan tetapi legalah hatinya ketika dia melihat Su-ok menyelamatkannya dari ancaman malapetaka yang amat mengerikan. Melihat muridnya sudah terbebas dari malapetaka, Raja Maling itu lalu menyerang lagi, kini tidak menyerang kepada Su-ok, melainkan kepada Ngo-ok saking marahnya melihat betapa si jangkung itu tadi sudah hampir saja menghina muridnya.
“Cusss-cusssss... wuuut-wuuuttt... brettt...!”
Ujung baju Ngo-ok terobek oleh hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang dan tubuh si jangkung sampai terhuyung ke belakang. Hal ini adalah karena dia sama sekali tidak menyangka akan kehebatan serangan dari Si Raja Maling itu, maka dia tadi terdesak dan lupa untuk mengelak, melainkan menangkis sehingga biar pun dia tidak terluka, namun bajunya robek dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
Si jangkung mengeluarkan suara aneh dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas kemudian secara aneh sekali tubuh yang membalik ini sudah menyerang kalang-kabut kepada Hek-sin Touw-ong!
Raja Maling ini sudah banyak menghadapi lawan lihai dan aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia diserang orang yang berjungkir balik seperti ini. Dia agak bingung karena kedua tangan yang panjang itu menyerangnya dari bawah dan begitu dia menggunakan kedua tangan untuk menangkis, tiba-tiba dari angkasa meluncur turun dua batang kaki yang menyerangnya secara hebat, mengancam ubun-ubun kepala dan tengkuknya!
“Jangan bunuh dia, Ngo-ok, manusia bandel!” bentak Su-ok.
Bentakan ini menyelamatkan nyawa Hek-sin Touw-ong karena Ngo-ok teringat bahwa dia sama sekali tidak boleh membunuh kalau dia ingin selamat kembali ke benteng, maka kakinya yang menotok ke arah ubun-ubun itu mengubah gerakan menotok ke leher dan ketika Hek-sin Touw-ong mengangkat tangan menangkis, kaki kirinya sudah menotok tengkuk.
“Dukkk!”
Tubuh Hek-sin Touw-ong roboh dalam keadaan pingsan oleh totokan ujung kaki yang amat tepat dan amat kuat itu.
“Bagus! Engkau telah maju pesat, Ngo-te. Engkau telah dapat merobohkan guru dan murid itu tanpa membunuh mereka. Hebat kau, aku kagum sekali!” kata Su-ok sambil tertawa.
Tosu jangkung itu memandang kepada Su-ok, kemudian menyeringai dan meludah ke samping kiri. “Cuhhh!”
Dia hanya memandang kepada tubuh Swi Hwa yang terlentang di atas tanah dengan sinar mata penuh gairah dan kekecewaan. Kembali dia terhalang untuk melampiaskan gelora nafsunya, terutama sekali untuk memenuhi koleksi kuku-kuku ibu jari wanita yang sudah berjumlah empat ratus kurang satu itu!
“Mari kita cepat kembali, Ngo-te. Jangan sampai masakan-masakan untuk kita menjadi dingin. Nah, kau panggul si tua itu, biar aku yang membawa nona ini!” kata Su-ok yang tahu bahwa dia tidak boleh mempercayakan tubuh wanita muda itu kepada Ngo-ok, maka cepat dia menyambar tubuh Swi Hwa dan mengempitnya sambil berkelebat cepat pergi dari tempat itu.
Ngo-ok meludah kembali dengan hati mengkal, kemudian menggunakan ujung kakinya untuk mencokel tubuh Hek-sin Touw-ong ke atas, menyambarnya dengan tangan kiri, memanggulnya dan dia pun berlari cepat menyusul Su-ok menuju ke benteng di lembah Huang-ho.
Pangeran Liong Bian Cu merasa girang dan kagum bukan main ketika melihat Su-ok dan Ngo-ok telah kembali membawa Hek-sin Touw-ong dan Kang Swi Hwa. Akan tetapi tentu saja hati pangeran ini masih kecewa, marah dan juga berduka karena Hwee Li, dara yang dicintanya itu, dan Puteri Syanti Dewi, tawanan yang amat penting baginya, belum ditemukan kembali.
Sejenak dia memandang kepada tubuh Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa yang sudah dilemparkan ke atas lantai, lalu sang pangeran itu menarik napas panjang dan berkata, “Aih, sayang sekali bahwa yang ditemukan hanya dua orang pengacau ini. Apa gunanya kecuali hanya menghukum mereka? Kami akan lebih gembira kalau yang dapat dibawa kembali adalah Hwee Li dan Puteri Bhutan....“
Ban Hwa Sengjin maklum bahwa diam-diam sang pangeran kecewa sekali atas hasil pengejaran Su-ok dan Ngo-ok. Dia pun maklum betapa pentingnya Syanti Dewi bagi Nepal, dan betapa pangeran itu amat mencinta Hwee Li. Maka dia lalu berkata, “Harap Paduka tenangkan hati. Sudah saya katakan tadi bahwa menghadapi orang pandai harus pula mempergunakan kesaktian dan setelah kini saudara-saudaraku berada di sini, kita tidak perlu khawatir. Kiranya bukan merupakan tugas yang terlalu berat untuk menemukan dan membawa kembali dua orang dara itu, Pangeran. Twako dan Ji-ci, sekarang aku mengharap bantuan kalian untuk mencari dua orang dara itu. Yang seorang bernama Hwee Li, seorang dara berusia delapan belas tahun, berpakaian serba hitam, suka bermain dengan ular-ular beracun, anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka, wajahnya cantik jelita dan wataknya periang, jenaka dan agak... agak liar. Dan dara yang kedua adalah seorang Puteri Bhutan, usianya dua puluh satu tahun, cantik sekali, lemah lembut dan halus, bernama Syanti Dewi. Kalau tidak keliru, dua orang dara itu tentu bersama dengan seorang pemuda yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil, bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.”
“Ahhh...!” Hampir berbarengan kakek gorilla dan nenek tengkorak itu berseru kaget mendengar ucapan terakhir itu.
“Ya, benar, Twako dan Ji-ci. Pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, maka kalian kini memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian. Harap kalian dapat segera mencari dan membawa kembali dua orang puteri itu ke sini dan untuk jasa itu, Pangeran Nepal pasti tidak akan melupakannya.”
“Tentu saja!” Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri dan menjura. “Pertolongan Ji-wi Locianpwe amat berharga dan saya pasti tidak akan melupakan budi Ji-wi itu.”
Kakek gorilla itu saling pandang dengan nenek bertopeng tengkorak, lalu terdengar kakek itu berkata dengan suaranya yang tenang dan lembut, “Ji-moi, mari kita pergi!” Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan orangnya sudah lenyap!
Nenek muka tengkorak memandang kepada koksu dan berkata, “Sam-te, tugas kami cukup berat, namun menegangkan dan menggembirakan. Mungkin saja kami gagal, akan tetapi kami percaya bahwa kau, Su-te dan Ngo-te tidak akan membiarkan kami penasaran.”
“Jangan khawatir, Ji-ci!” kata Koksu Nepal dan percakapan sekali ini terjadi seperti dua orang saudara dan memang koksu itu bicara sebagai Sam-ok, bukan sebagai koksu. Akan tetapi jawabannya belum selesai ketika tubuh Ji-ok Kui-bin Nionio sudah lenyap pula dari tempat itu!
Hek-sin Touw-ong yang tadinya pingsan, sudah sejak tadi siuman, tetapi kakek ini pura pura masih pingsan. Diam-diam dia memperhatikan keadaan di situ dan mendengarkan semua percakapan. Dia terkejut sekali melihat betapa Im-kan Ngo-ok telah berkumpul semua di dalam benteng itu! Dan mendengarkan mereka bicara, tahulah kakek ini bahwa Koksu Nepal yang lihai itu bukan lain adalah Sam-ok, orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok! Tahulah dia bahwa dia dan muridnya tak mungkin dapat lolos dari tempat yang dihuni demikian banyaknya orang-orang pandai itu! Hanya dengan akal saja dia akan dapat menyelamatkan muridnya.
Dia sendiri adalah seorang yang sudah tua, hidup bukan lagi merupakan suatu hal yang terlalu berharga baginya, dan kematian bukan merupakan suatu hal yang menakutkan. Akan tetapi Swi Hwa! Dia tidak boleh mati dalam usia semuda itu! Dan terbayanglah di depan mata kakek ini semua yang telah terjadi atas diri anak itu dan dia merasa berdosa sekali!
Dia telah menculik anak itu, memisahkan anak itu dari semua keluarganya! Semua itu dilakukan hanya untuk melampiaskan dendam dan kemarahannya. Dan setelah sekian lama dipeliharanya, maka dia mencinta anak itu seperti anaknya sendiri. Dan sekarang, anak itu akan mati! Semua adalah gara-gara dia, dan anak itu tidak boleh mati karena menjadi muridnya!
“Ahhh...!” Dia mengeluh dan pura-pura baru siuman dari pingsannya, bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri. “Ahhh... Ji-wi Lo-enghiong Su-ok dan Ngo-ok sungguh tak boleh dibuat permainan, dan sekarang aku yang dijadikan permainan! Mengapa orang segolongan sendiri menyusahkan kami guru dan murid?”
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong pura-pura kaget melihat sang pangeran dan Koksu Nepal. “Celaka! Kenapa kami dibawa ke sini?”
Ban Hwa Sengjin memandang dengan muka kereng. “Hek-sin Touw-ong, apa yang sudah kau lakukan bersama muridmu ketika menyamar sebagai Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, mengacau di dalam benteng?” bentaknya.
Pada saat itu, Swi Hwa sudah bergerak pula dan dara ini meloncat berdiri, akan tetapi gurunya cepat menarik tangannya, diajak berlutut, “Lekas berlutut, kita berada di depan Pangeran dan Koksu Nepal yang mulia!”
Swi Hwa heran menyaksikan sikap gurunya, akan tetapi ketika dia melihat bahwa dia telah berada di dalam benteng, terkurung oleh orang-orang pandai yang sekian banyaknya, dia tidak membantah dan cepat dia berlutut sambil menundukkan mukanya.
“Koksu yang mulia, Locianpwe Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang sakti tentu sudah bisa maklum mengapa orang-orang seperti kita melakukan suatu tindakan. Sesuai dengan kebijaksanaan golongan kita kaum hitam, tentu saja kami berdua guru dan murid juga melakukan hal itu demi kepentingan kami sendiri, yaitu menerima hadiah dan juga atas tekanan dari Pendekar Siluman Kecil. Tadinya kami kira bahwa benteng ini hanya menjadi tempat orang-orang yang dimusuhi oleh Pendekar Siluman Kecil yang minta bantuan kami, sama sekali kami tak tahu bahwa banyak tokoh dan datuk dari golongan kita sendiri berkumpul di sini. Kami berdua tidak mati pun sudah sangat untung, hanya mengalami kegagalan saja. Harap Locianpwe memaklumi keadaan kami.”
Dengan ucapan itu Hek-sin Touw-ong hendak menyatakan bahwa dia dan muridnya sama sekali tak berniat memusuhi Im-kan Ngo-ok yang dianggap orang-orang dari satu golongan, yaitu golongan hitam atau kaum sesat, dan bahwa penyerbuannya semalam di dalam benteng adalah karena penekanan Siluman Kecil dan juga hadiah yang diberikannya, jadi dasarnya hanya ‘pekerjaan’ saja, bukan permusuhan pribadi.
Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kakek muka hitam ini sebagai raja maling, tentu saja merupakan tokoh hitam pula di dunia kang-ouw, maka dia pun tak merasa benci. Hanya karena kedudukannya sebagai koksu dan karena guru dan murid ini telah mengacau benteng maka dia harus bertindak.
“Tidak perlu banyak cakap. Kalian telah mengacaukan tempat ini, baik sebagai musuh atau bukan tidak ada bedanya. Sekarang katakan, di mana adanya Siluman Kecil dan Nona Hwee Li? Di mana pula adanya Puteri Syanti Dewi?”
Pertanyaan terakhir itu amat mengejutkan hati guru dan murid itu. Jelas bahwa mereka berempat gagal untuk melarikan Syanti Dewi, juga gagal untuk melarikan seorang pun dari keluarga Jenderal Kao, bagaimana sekarang Koksu Nepal ini menanyakan tentang Puteri Bhutan itu? Apakah puteri itu berhasil melarikan diri di waktu ribut-ribut semalam? Karena maklum bahwa mereka berdua tidak berdaya dan bahwa agaknya gurunya yang biasanya tidak banyak cakap itu kini hendak menggunakan ‘kepandaiannya’ bicara, maka Swi Hwa diam saja dan menyerahkan semua jawaban kepada suhu-nya.
“Kami telah gagal melarikan Syanti Dewi seperti yang dikehendaki oleh Siluman Kecil,” jawab Touw-ong dengan tenang. “Setelah kegagalan itu, maka kami lalu berpencar, saya melarikan diri bersama murid saya, hal yang agak mudah karena kami berdua menyamar sebagai...” dia menoleh ke arah Hek-tiauw Lo-mo, dan Hek-hwa Lo-kwi, “... kedua orang gagah itu, sedangkan Siluman Kecil melarikan diri bersama Nona Hwee Li. Setelah itu, kami berdua tidak lagi bertemu dengan mereka. Tentang Puteri Bhutan, sungguh kami tidak tahu karena telah gagal membawanya, bahkan kalau tidak salah, ketika itu sang puteri sudah dibawa masuk kembali oleh seorang Panglima Bhutan...“
Penuturan ini memang cocok sekali dengan laporan para pengawal yang melakukan pengeroyokan, maka Ban Hwa Sengjin berpendapat bahwa tentu Siluman Kecil yang telah berhasil melarikan sang puteri. Hanya Siluman Kecil yang memiliki kepandaian tinggi sekali, bahkan dia sendiri karena kurang hati-hati, pernah roboh pingsan oleh Siluman Kecil itu. Sedangkan Touw-ong bersama muridnya ini tentu hanya memiliki kepandaian biasa saja, buktinya mudah tertawan oleh Su-ok dan Ngo-ok.
“Pangeran, saya kira Raja Maling ini tidak membohong dan memang mereka ini tidak tahu di mana adanya Sang Puteri dan juga Nona Hwee Li. Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?”
Pangeran itu mengerutkan alisnya. “Dia ini telah mengacau benteng, juga melakukan pembakaran, dan bersama muridnya telah menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?” Ucapan pangeran itu seperti bertanya kepada semua orang yang ada di ruangan itu. Hatinya memang mengkal sekali kalau mengingat bahwa perbuatan kedua orang ini telah menyebabkan hilangnya Syanti Dewi, sungguh pun Hwee Li memang sudah lolos sebelum mereka berdua ini datang mengacau dengan penyamaran mereka.
“Serahkan saja mereka pada kami berdua!” tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan marah.
“Bunuh saja mereka!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi.
“Siksa mereka agar mengaku di mana adanya Sang Puteri Syanti Dewi!” kata Mohinta. “Saya yakin bahwa dia yang menyerang saya dan melarikan sang puteri, tentu seorang kawan dari mereka ini!”
“Koksu, harap serahkan gadis ini kepadaku sebagai pengganti yang tempo hari!” tiba tiba Ngo-ok berkata dan menoleh kepada Swi Hwa.
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong tertawa. “Sungguh mengherankan. Di dalam rimba sekali pun, tidak ada harimau makan harimau dan serigala makan serigala! Kalau golongan hitam tidak saling membantu, mana mungkin menghadapi golongan putih yang kuat? Kami guru dan murid memang telah melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya karena kami tidak tahu bahwa di sini terdapat banyak orang-orang segolongan, dan kami tertipu dan tertekan oleh Siluman Kecil! Kalau kami dianggap sebagai golongan putih hendak dihukum, silakan. Siapa yang takut mati? Akan tetapi, sungguh menggelikan sekali kalau terdengar di dunia kang-ouw betapa ada kawan makan kawan sendiri! Pangeran, kami guru dan murid adalah orang-orang yang mencari rejeki menggunakan kemampuan kami. Kalau Paduka memaafkan kami dan memberi kami pekerjaan, kiranya kami dapat mempergunakan kepandaian kami untuk keuntungan Paduka!”
Pangeran Liong Bian Cu yang sedang marah itu memang tertarik oleh kepandaian guru dan murid ini. Masih belum dapat dia melenyapkan keheranannya betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang menghadapnya kemarin sore itu adalah penyamaran dari guru dan murid ini! Kini, mendengar omongan kakek bermuka hitam itu, dia berkata, “Orang berdosa, apa lagi yang hendak kau sampaikan kepada kami? Pekerjaan apa yang dapat kami berikan kepada kalian yang telah melakukan dosa besar itu?”
“Pangeran, harap jangan percaya kepada omongannya!” Lo-mo berkata marah.
“Lo-mo, jangan ganggu pembicaraan Pangeran dengan pesakitan!” Ban Hwa Sengin menegur dan Hek-tiauw Lo-mo melotot marah, akan tetapi tidak berani berkata apa-apa lagi.
“Pangeran, saya masih heran mendengar akan lenyapnya sang puteri. Sedangkan saya bersama murid saya, juga pendekar Siluman Kecil yang demikian sakti bersama Nona Hwee Li, tidak mampu melarikan sang puteri, bagaimana dalam keadaan ribut-ribut kebakaran itu ada orang yang mampu melarikannya? Hal itu hanya berarti bahwa ada orang lain yang melarikan sang puteri, dan menurut pendapat saya, orang itu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada kepandaian Siluman Kecil.”
Semua orang tertegun dan bengong mendengar ini. Juga Ban Hwa Sengjin menjadi terkejut dan diam-diam dia memperhatikan karena dugaan yang diajukan oleh Raja Maling itu memang masuk di akal. Akan tetapi, siapakah orang yang lebih tinggi dari Siluman Kecil? Padahal Siluman Kecil itu sudah demikian lihainya!
“Jangan ngawur!” bentaknya. “Siapakah orangnya yang dapat lebih lihai dari Siluman Kecil dan mengapa pula dia melarikan sang puteri?”
Hek-sin Touw-ong memang cerdik dan dia tidak kekurangan akal untuk mengemukakan dugaan-dugaan yang dapat diterima, semua itu dilakukannya untuk menyelamatkan muridnya dari ancaman hukuman mati. “Ketika kami dimintai bantuan oleh Siluman Kecil, rencana kami adalah melarikan Puteri Bhutan dan juga keluarga Jenderal Kao Liang. Akan tetapi melihat keluarga jenderal itu demikian banyaknya, Siluman Kecil lalu hendak melarikan sang puteri saja. Akan tetapi hal itu pun gagal dilakukan karena kami ketahuan. Dalam keributan itu, ternyata sang puteri benar-benar lenyap. Hal ini tentu dilakukan oleh seorang yang amat lihai dan mengingat bahwa keluarga Jenderal Kao berada di sini sebagai tahanan, maka siapa lagi orang yang lebih lihai dari pada Siluman Kecil itu selain putera sulung Jenderal Kao yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Ahhh...! Benar juga dugaannya!” tiba-tiba terdengar suara wanita berseru dan wanita yang bangkit dari tempat duduknya itu bukan lain adalah Cheng-yan-cu Kim Cui Yan!
Liok Tek Hwi juga berkata kepada Pangeran Liong Bian Cu, “Kiranya dugaannya itu tidak salah. Tadi pun aku sudah menduga bahwa tentu dia yang datang melarikan sang puteri.”
Ban Hwa Sengjin berubah wajahnya dan alisnya berkerut. “Si Naga Sakti Gurun Pasir?” Dia sudah mendengar nama ini, nama yang amat terkenal bukan karena pendekar itu sendiri, melainkan karena tempat tinggalnya, yaitu Istana Gurun Pasir yang menjadi tempat tinggal Si Dewa Bongkok, guru dari Naga Sakti itu! Benarkah pendekar yang sama tenarnya dengan nama pendekar Pulau Es itu telah datang?
“Ahhh, kalau benar dia yang datang, kenapa dia tidak melarikan puteranya, melainkan puteri itu?” Terdengar Kim Cui Yan membantah.
“Benar juga pendapatmu itu, Sumoi.”
“Kita harus cepat menyelidiki hal ini,” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Kita harus dapat menyelidiki tentang putera sulung Jenderal Kao Liang itu, mencari keterangan dari keluarganya.”
“Akan tetapi mereka semua itu keras hati dan tidak takut mati, mana mereka mau membocorkan rahasia Si Naga Sakti?” Ban Hwa Sengjin meragu.
“Kalau Paduka suka memaafkan kami berdua guru dan murid, maka saya dapat menyelidikinya dengan menyamar sebagai Jenderal Kao dan bicara dengan mereka!” tiba-tiba Hek-sin Tow-ong yang melihat kesempatan baik terbuka itu segera berkata. “Tentu mereka akan membuka semua rahasia tentang putera sulung dari jenderal itu. Akan tetapi tentu saja lebih dulu saya harus mengenal mereka, satu-satu, dan apa hubungan mereka dengan jenderal itu.”
Pangeran dan koksu saling pandang dan diam-diam koksu memberi persetujuan dengan anggukan kepalanya. Memang tidak ada untungnya kalau hanya membunuh kedua orang guru dan murid ini, dan kalau dapat mempergunakan mereka sebagai pembantu, memanfaatkan kepandaian mereka menyamar, agaknya akan banyak berguna dan menguntungkan. Pula, mereka itu bukanlah musuh-musuh golongan, bahkan orang-orang segolongan dan perbuatan mereka semalam di benteng itu hanya terdorong oleh pekerjaan mereka sebagai maling yang menghendaki keuntungan dalam setiap perbuatan mereka!
Demikianlah, setelah mempelajari gerak-gerik Jenderal Kao dan mengenal semua keluarga jenderal itu, Si Raja Maling kemudian menyuruh muridnya yang melakukan penyamaran. Dia telah percaya benar akan kepandaian Swi Hwa dalam hal menyamar, bahkan kelincahan dara itu membuat Swi Hwa tidak kalah pandai dari pada sang guru dalam meniru gerak-gerik orang lain. Selain ini, Raja Maling ini juga ingin menonjolkan jasa muridnya karena sesungguhnya semua ini dilakukannya untuk menyelamatkan sang murid dari hukuman berat. Dan usaha yang dilakukan oleh Swi Hwa memang berhasil baik sekali
Semua keluarga jenderal itu tidak ada yang tahu bahwa yang bercakap-cakap dengan mereka di luar pintu jeruji besi itu bukanlah Jenderal Kao Liang! Bahkan isteri sang jenderal sendiri tidak mengenal kepalsuan ini. Mereka saling bercakap tentang lolosnya Puteri Bhutan, dan Swi Hwa sebagai Jenderal Kao menyatakan dugaannya kepada keluarganya bahwa mungkin yang melarikan sang puteri adalah Kao Kok Cu, putera sulungnya atau Si Naga Sakti itu.
Akan tetapi keluarganya membantah. Tidak mungkin, kata mereka, karena kalau benar Naga Sakti yang datang, tentu puteranya, Kao Cin Liong, yang akan diselamatkannya lebih dulu, atau juga ayah ibunya, bukan puteri dari Bhutan itu! Dari percakapan ini, Swi Hwa mendengar tentang semua riwayat Jenderal Kao Liang, dan juga betapa jenderal itu telah menyuruh puteranya yang ketiga, yaitu Kao Kok Han, untuk mencari Naga Sakti dan memberi tahu tentang segala malapetaka yang menimpa keluarga Kao.
Semua yang diketahui dari hasil percakapan ini, oleh Swi Hwa dan gurunya kemudian dilaporkan kepada Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya, melihat betapa dara itu dalam melakukan penyamaran sungguh amat mengagumkan, pangeran ini dan koksu lantas menerima mereka berdua sebagai pembantu-pembantu mereka karena Pangeran Liong Bian Cu memang ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang pandai, terutama dari golongan hitam untuk membantunya.
Dan sesungguhnya Hek-sin Touw-ong juga termasuk seorang di antara tokoh-tokoh yang memang sudah diincarnya untuk membantunya, bahkan ketika terjadi pertemuan di lembah ini antara para tokoh hitam, Hek-sin Touw-ong juga diwakili oleh Ang-siocia, muridnya itu. Mengingat akan semua inilah, maka pangeran dan koksu memaafkan pengacauan mereka berdua di dalam benteng semalam, dan menarik mereka sebagai pembantu dan sekutu…..
********************
"Bagaimana kita menyeberang lautan yang lebar tanpa tepi itu, Enci?" Syanti Dewi bertanya ketika dia bersama Ouw Yan Hui berdiri di pantai yang sunyi pada siang hari itu, melihat air laut yang bergelombang, luas dan sampai ke kaki langit tidak nampak ada tepi atau pulau itu.
“Dengan kapal tentu saja. Kapalku sudah menantiku di sini,” jawab wanita cantik itu sambil tersenyum.
Kemudian Ouw Yan Hui mengeluarkan sebatang anak panah kecil dari dalam buntalan pakaiannya, memukulkan ujung anak panah itu ke atas batu dan anak panah itu pun terbakarlah, mengeluarkan asap berwarna biru! Kemudian, tanpa gendewa, hanya menggunakan jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu saja, dia melontarkan anak panah itu ke udara. Nampak sinar biru meluncur ke atas, dan asap biru nampak nyata. Itulah tanda rahasia, pikir Syanti Dewi kagum. Dan sesaat kemudian, nampak sinar asap biru meluncur di sebelah barat.
“Nah, itulah mereka!” kata Ouw Yan Hui dengan wajah girang sambil memandang ke barat.
Syanti Dewi juga ikut memandang, dan tidak lama kemudian muncullah sebuah kapal yang amat indah. Kapal layar itu besar sekali dan indah, dan nampak beberapa orang anak buah menurunkan sebuah perahu kecil yang didayung oleh empat orang dengan cepat menuju ke pantai. Setelah perahu itu tiba di pantai, barulah nampak oleh Syanti Dewi bahwa empat orang anak buah kapal yang mendayung perahu itu adalah wanita wanita cantik dan muda yang memakai pakaian ringkas hingga dari jauh tidak kelihatan bahwa mereka itu wanita.
“Tocu telah pulang!” Mereka berseru dengan girang dan mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ouw Yan Hui yang mereka sebut tocu (majikan pulau).
Ouw Yan Hui hanya tersenyum, kemudian menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajak naik ke dalam perahu kecil yang segera didayung dengan cepat oleh keempat orang wanita itu menuju ke kapal besar.
Setelah tiba di kapal dan naik, Syanti Dewi melihat bahwa semua anak buah kapal itu adalah wanita, muda-muda dan rata-rata memiliki wajah yang cantik, atau setidaknya bersih. Dan begitu sang tocu naik ke atas kapal, mereka semua menjatuhkan diri berlutut dengan wajah gembira dan penuh hormat kepada Ouw Yan Hui! Mereka bersikap seolah-olah Ouw Yan Hui adalah ratu mereka! Dan kapal itu ternyata amat mewah.
“Hei, kalian semua lihatlah baik-baik. Nona ini adalah adikku, juga muridku, dan kalian harus bersikap hormat dan ramah kepadanya, dan menyebutnya siocia.”
Semua orang yang masih berlutut itu cepat memberi hormat kepada Syanti Dewi dan menyebut, “Siocia!” dengan suara nyaring sehingga Syanti Dewi merasa canggung sekali.
Dia memang sudah biasa dihormati orang, sebagai puteri istana Bhutan, akan tetapi di tempat ini dia merasa amat canggung menerima penghormatan seperti itu. Dan secara otomatis, keagungannya sebagai seorang puteri seketika timbul. Ia mengangkat sedikit tangannya sambil menganggukkan kepala sebagai tanda menerima penghormatan itu.
Terdengar suara bisik-bisik memuji kecantikan puteri ini ketika Ouw Yan Hui memberi isyarat agar kapal segera dilayarkan. Sibuklah semua anak buah kapal itu dan Syanti Dewi mengagumi ruangan-ruangan yang mewah dari kapal itu ketika Ouw Yan Hui mengajaknya masuk ke dalam bilik kapal yang cukup luas. Di situ pun mereka disambut oleh para pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka segera sibuk melayani sang tocu, menyediakan air hangat untuk mandi, pakaian yang indah dan bersih, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan hidangan.
Ouw Yan Hui mandi dan bertukar pakaian, pakaian yang bahkan lebih indah dari pada yang dipakainya tadi, dan sehabis mandi, wanita itu nampak makin cantik saja. Syanti Dewi dipersilakan mandi pula dan puteri ini kembali mengagumi kamar mandi tocu itu di dalam kapal yang indah dan lengkap. Air hangat dalam kolam air yang berbau harum membuat tubuhnya terasa segar dan dua orang pelayan melayaninya dengan pakaian yang serba baru! Pakaian itu adalah pakaian Ouw Yan Hui yang memerintah pelayan untuk memberikan kepada Syanti Dewi, dan karena bentuk tubuh kedua orang wanita cantik ini memang tidak berbeda jauh, maka pakaian Ouw Yan Hui dapat pula dipakai oleh Syanti Dewi dengan pantas.
Kemudian Sang Puteri Bhutan dipersilakan makan bersama nyonya rumah yang juga menjadi gurunya itu. Hidangannya juga serba mewah, tidak kalah lezat oleh masakan di restoran-restoran besar. Sekarang tahulah Syanti Dewi bahwa Ouw Yan Hui selain gagah perkasa dan lihai sekali, juga amat kaya raya!
Syanti Dewi tidak tahu arah mana yang ditempuh oleh kapal itu. Akan tetapi, cuaca telah berubah gelap dan para awak kapal menyalakan lampu-lampu kapal, dan kapal itu masih terus berlayar. Ouw Yan Hui mempersilakan Syanti Dewi untuk tidur. Mereka tidur sekamar, di mana terdapat dua buah tempat tidur.
Syanti Dewi baru merasa demikian aman dan senang setelah untuk beberapa pekan lamanya hidup dengan penuh ketegangan dan kekhawatiran sehingga dia dapat tidur dengan nyenyak sekali, tanpa diusik mimpi dan tanpa bangun sampai suara musik dan nyanyian membangunkannya. Cepat dia menengok dan ternyata bahwa Ouw Yan Hui telah pergi, karena tempat tidurnya kosong dan dari jendela bilik kapal yang ditutup tirai biru tipis itu menyorot cahaya matahari pagi! Hari telah pagi! Betapa nyenyaknya dia tidur!
Seperti telah mengikuti semua gerak geriknya, begitu dia duduk datanglah seorang pelayan yang berkata dengan sikap hormat dan suara halus, “Siocia, air untuk mandi telah siap. Siocia menghendaki air hangat atau air dingin?”
“Dingin saja,” jawab Syanti Dewi dan pelayan itu lalu membungkuk.
“Sudah siap di kamar mandi, Siocia.”
“Ke manakah perginya... Tocu?”
“Tocu sudah menanti di geladak kapal, sedang menonton tari-tarian yang menyambut kedatangan beliau.”
Ah, jadi suara musik dan nyanyian itu adalah tari-tarian yang khusus diadakan untuk menyambut kedatangan Ouw Yan Hui? Bukan main! Syanti Dewi tergesa-gesa pergi ke kamar mandi, diikuti oleh pelayan yang menanti di luar kamar mandi dengan pakaian baru yang sudah dipersiapkan.
Setelah selesai mandi dan melihat betapa pakaian yang diperuntukkan bagi dia amat bagusnya, dia berseru, “Ahh, untuk apa pakaian begini indah dan mewah?”
“Atas perintah Tocu, Siocia. Untuk menghadiri penyambutan ini!” jawab pelayan dengan tegas dan singkat, agaknya memang sudah dipersiapkan jawaban ini.
Syanti Dewi cepat-cepat mengenakan pakaian indah itu, dibantu oleh pelayan. Setelah selesai, seorang pelayan lain datang menghadap dan memberi hormat. “Tocu minta kepada Siocia untuk makan pagi di geladak sambil menikmati pesta sambutan.”
Hampir Syanti Dewi tertawa. Bukan main penolongnya ini! Agaknya mempunyai kehidupan yang amat mulia dan mewah dan menyenangkan, tiada ubahnya seorang puteri atau seorang ratu saja! Dia pun lalu berjalan keluar dari kamar, didahului oleh pelayan tadi dan ketika dia tiba di geladak kapal itu, Syanti Dewi kembali merasa kagum bukan main.
Kiranya kapal itu telah berlabuh di pantai sebuah pulau yang subur sekali, penuh dengan pohon-pohon dan bunga-bunga yang agaknya teratur rapi, seperti sebuah taman yang amat besar, luas dan indah. Sejauh mata memandang, tidak nampak rumah melainkan pohon-pohon dan bunga-bunga belaka! Seperti pulau sorga dalam dongeng saja!
Dan di pantai nampak belasan orang wanita cantik sedang menari-nari amat indahnya, lemah gemulai, dengan melambaikan selendang-selendang yang beraneka warna, dengan gerakan berirama sehingga selendang-selendang yang beraneka warna itu seperti bunga-bunga yang berkembang dan mekar. Mereka menari sambil menyanyi, diiringi musik yang dimainkan oleh wanita-wanita pula. Tidak ada seorang pun pria di situ, semua wanita belaka, dari yang berpakaian pelayan, berpakaian penjaga atau prajurit, sampai para penari dan pemain musik, semua perempuan dan jumlah mereka amat banyak, tak terhitung oleh Syanti Dewi yang berdiri bengong.
“Ah, engkau sudah bangun, Syanti? Mari, duduklah di sini. Enak makan di sini, mandi cahaya matahari pagi sebelum panas sambil menikmati tarian dan nyanyian!”
Syanti Dewi menengok dan dia melihat Ouw Yan Hui duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan yang sudah lengkap dan masih mengepul panas. Beberapa orang pelayan berdiri di dekat situ dengan sikap hormat dan seorang di antara mereka menarik bangku yang memang sudah dipersiapkan untuk Syanti Dewi.
“Terima kasih, Enci” kata Syanti Dewi yang lalu duduk dan pelayan sibuk mengambilkan hidangan dan minuman untuk puteri itu.
Mereka berdua lalu makan pagi sambil menikmati tontonan yang sengaja diadakan untuk menyambut pulangnya Ouw Yan Hui.
“Enci, apakah setiap kali kau bepergian, pulangnya disambut seperti ini?” Syanti Dewi bertanya.
Wanita cantik itu tersenyum. “Ah, engkau tidak tahu, Syanti. Dalam beberapa tahun ini aku tidak pernah meninggalkan pulau ini. Karena itulah maka anak buahku merasa girang melihat aku pulang, agaknya mereka itu khawatir karena sudah beberapa pekan lamanya aku tidak pulang. Mereka itu menganggap aku sebagai ratu mereka, Syanti.”
“Enci, engkau memang pantas menjadi ratu! Pulau ini milikmu?”
Wanita itu mengangguk. “Begitulah. Pulau ini kosong tiada orangnya, dan punghuninya hanyalah ular-ular beracun, bahkan di sini terdapat ular beracun paling hebat yang kulitnya seperti emas, dan dinamakan Kim-coa. Tidak ada nelayan berani mendarat di sini, maka aku lalu tinggal di sini, membersihkan pulau ini yang kuberi nama Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Ternyata tanah di pulau ini subur sekali, maka setelah lewat belasan tahun, kau lihat pulau ini telah berubah menjadi tempat yang menyenangkan sekali, dan aku hidup bersama lima puluh orang anak buahku di tempat ini dengan bahagia.”
“Belasan tahun? Engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun? Tentu engkau datang ke tempat ini ketika masih amat kecil, Enci. Bagaimana dalam usia kanak-kanak engkau dapat menaklukkan ular-ular beracun dan dapat berlayar sampai di tempat terpencil ini? Dan... menurut ceritamu, kau pernah bersuami... ehh, apakah kalian dulu juga tinggal di sini? Kalau begitu kurasa di sini tidak ada tetangga... ataukah yang kau maksudkan wanita pengganggu itu seorang di antara pelayan-pelayanmu ini?”
Ouw Yan Hui tersenyum geli. “Ahhh, dugaanmu meleset jauh sekali, Syanti. Tentu saja dahulu aku tidak tinggal di sini. Justeru karena peristiwa terkutuk itu, setelah membunuh mereka, aku menjadi buronan dan aku melarikan diri dengan perahu, sampai akhirnya tiba di sini!”
“Tapi... tapi kau tadi bilang bahwa engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun...”
Ouw Yan Hui mengangguk. “Sudah tujuh belas tahun.”
Syanti Dewi terbelalak. “Mana mungkin? Tentu ketika itu engkau baru berusia paling banyak delapan tahun, Enci...”
“Ketika pertama kali aku mendarat di, pulau ini, usiaku sudah sebaya denganmu, Syanti, sekitar dua puluh dua tahun.”
“Ahhh...! Tapi... tapi...“ Syanti Dewi benar-benar terkejut dan heran, menatap wajah wanita itu penuh selidik, wajah yang membayangkan usia yang tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun.
“Kau kira berapakah usiaku, Syanti? Sudah empat puluh tahun.”
”Tidak mungkin!” Puteri Bhutan itu berseru.
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tersenyum lebar, malah hampir tertawa. “Baru melihat aku saja engkau sudah terheran-heran, apa lagi kalau engkau bertemu dengan Bibi Maya.”
“Siapakah Bibi Maya?”
“Dia adalah guruku, guru dalam ilmu awet muda. Kelak engkau akan dapat bertemu dengan dia kalau kebetulan dia berkunjung ke sini. Sekarang, marilah kita mendarat. Kasihan para pelayan di istanaku yang sudah lama menanti-nanti.”
Keheranan demi keheranan, kekaguman demi kekaguman memenuhi hati Syanti Dewi semenjak dia dilarikan oleh Ouw Yan Hui dari dalam benteng di mana dia menjadi tawanan sampai dia mendarat di Kim-coa-to.
Pulau itu tidak berapa besar, akan tetapi tentu saja sudah cukup besar untuk ditinggali oleh Ouw Yan Hui bersama lima puluh orang anak buahnya itu. Merupakan sebuah perkampungan berikut ladang yang ditanami tumbuh-tumbuhan obat, sayur dan pohon pohon buah. Terdapat belasan pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anak buah majikan Pulau Ular Emas itu. Di tengah-tengah pulau, dari pantai tidak nampak karena tertutup oleh pohon-pohon besar, berdiri sebuah bangunan yang tidak terlalu besar, akan tetapi amat megah dan mewah. Pantas saja kalau Ouw Yan Hui menyebut rumahnya itu istana karena memang indah seperti istana raja saja! Dan di belakang istana itu terdapat sebuah taman yang indah sekali, merupakan inti dari pulau yang sudah merupakan taman besar itu.
Benar saja seperti yang telah diduganya ketika dia makan pagi bersama Ouw Yan Hui di atas geladak kapal dan tidak melihat adanya seorang pun pria, ternyata di atas pulau itu memang sama sekali tidak ada prianya. Semua adalah wanita-wanita, dan tidak ada wanita yang sudah tua, paling tua berusia tiga puluh tahun dan rata-rata memiliki wajah bersih dan tubuh yang ramping dan padat? Seperti dunia wanita saja! Akan tetapi, setelah segala pengalamannya yang mengerikan terjatuh ke tangan orang-orang jahat, kini berada di antara wanita-wanita itu saja Syanti Dewi merasa aman.
Hanya satu hal yang membuat Syanti Dewi tidak pernah berhenti terheran-heran, yaitu melihat kecantikan wajah Ouw Yan Hui dan kepadatan tubuh wanita itu. Usia sudah empat puluh tahun. Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Di negerinya, di Bhutan, memang terdapat ilmu untuk membuat wanita awet muda, akan tetapi tidak seperti ini, sudah berusia empat puluh tahun namun wajahnya tidak lebih tua dari dua puluh lima tahun dan tubuhnya malah seperti seorang dara remaja saja! Padahal wanita berusia empat puluh tahun ini sudah pernah bersuami, bahkan pernah pula mengandung dan melahirkan!
Setelah tinggal di Pulau Kim-coa-to, mulailah Ouw Yan Hui melatih ginkang kepada Syanti Dewi. Mula-mula Syanti Dewi disuruh mengejar-ngejar kupu-kupu dalam taman! Seperti permainan kanak-kanak saja. Mula-mula hanya disuruh mengejar seekor kupu kupu terbang dan menangkapnya, akan tetapi dari seekor kupu-kupu dia lalu disuruh menangkap dua ekor kupu-kupu sekaligus, lalu tiga ekor dan seterusnya. Dia dilatih untuk bersemedhi, mengatur pernapasan, dan bagaimana cara dia harus mengerahkan sinkang di waktu berloncatan mengejar kupu-kupu.
Jangan dikira mudah mengejar kupu-kupu, terutama kupu-kupu yang bersayap kuning, yang amat lincah dan pandai mengelak. Pertama kali mengejarnya, seekor kupu-kupu saja baru dapat ditangkapnya setelah Syanti Dewi bermandi keringat dan mengejar ngejarnya sampai berjam-jam lamanya. Akan tetapi, setelah memperoleh kemajuan dan mulai memiliki gerakan yang lincah dan gesit sekali, Syanti Dewi dapat menangkapnya dengan sekali lompat, dan setelah lewat dua bulan, dia dapat menangkap lima ekor kupu-kupu hanya dengan beberapa kali loncatan saja!
Setelah itu, Ouw Yan Hui lalu mengajarnya untuk menangkap burung terbang!
“Aihh, Enci Hui, mana mungkin aku dapat menangkap burung terbang? Aku tidak punya sayap seperti burung!” Syanti Dewi berkata penuh keraguan.
“Kau lihatlah aku!” kata wanita itu sambil memandang ke atas, ke arah pohon-pohon di mana terdapat beberapa ekor burung berwarna coklat dengan dada putih. “Aku akan menangkap burung-burung itu!”
Tiba-tiba tubuhnya lenyap, berkelebat ke atas, dan dengan mata terbelalak Syanti Dewi melihat bayangan wanita itu berkelebatan di antara cabang-cabang pohon lalu disusul suara burung-burung mencicit ketakutan. Sesosok bayangan berkelebat turun dan tahu tahu wanita luar biasa itu telah melompat turun, di masing-masing tangannya terdapat dua ekor burung yang tadi beterbangan di antara daun-daun pohon itu!
“Hebat, Enci! Kau hebat bukan main!” Syanti Dewi berseru.
“Kalau kau tekun berlatih, engkau pun akan dapat menangkap burung-burung seperti itu. Mari kita latihan di lian-bu-thia dengan burung-burung ini!”
Syanti Dewi diajak ke ruangan latihan silat yang tertutup rapat dan di situ Ouw Yan Hui melepaskan empat ekor burung kecil tadi. Burung itu beterbangan di dalam ruangan itu, akan tetapi tidak dapat keluar karena jendela dan pintunya sudah ditutup rapat. Atas petunjuk Ouw Yan Hui, mulailah Syanti Dewi mengejar-ngejar empat ekor burung itu. Dia menggunakan kegesitannya dan kelincahannya yang diperoleh selama berlatih menangkap kupu-kupu, tetapi sampai sehari itu, belum juga dia berhasil menangkap seekor pun di antara burung-burung itu! Ternyata jauh sekali bedanya antara gerakan kupu-kupu dengan gerakan burung yang jauh lebih gesit dan cepat itu!
Kembali Syanti Dewi harus dengan tekun melatih semedhi dan pernapasan, dan tiada bosan-bosannya dia berlatih mengejar dan menangkap burung-burung. Ouw Yan Hui selalu menggantikan burung-burung itu dengan burung-burung baru yang segar dan lebih gesit, akan tetapi dengan ketekunannya yang luar biasa, bahkan kadang-kadang di waktu malam Syanti Dewi berlatih seorang diri di dalam lian-bu-thia, akhirnya Puteri Bhutan itu berhasil juga menangkap burung terbang, mula-mula hanya seekor, akan tetapi beberapa bulan kemudian dia dapat menangkap empat lima ekor burung yang dilepas oleh Ouw Yan Hui di dalam ruangan silat itu!
“Bagus, engkau memang berbakat dan untungnya engkau pernah mempelajari dasar dasar ilmu silat tinggi dari pendekar pendekar sakti, sehingga engkau dapat dengan mudah menguasai dasar-dasar ginkang. Setelah engkau menguasai kecepatan gerak, kita boleh mulai berlatih di luar untuk memperoleh keringanan tubuh sehingga engkau dapat mulai belajar Ilmu Jouw-sang-hui-teng yang akan membuat engkau dapat berlari seperti terbang cepatnya dan belajar meloncat tinggi seperti melayang. Akan tetapi ilmu ini tidak mudah, Syanti, engkau harus belajar dengan tekun sekali.”
Mulailah Syanti Dewi berlatih di bawah petunjuk Ouw Yan Hui. Latihan ini dilakukan di tempat-tempat sunyi, tidak boleh dilihat oleh para anak buah. Dan kadang-kadang Ouw Yan Hui mengajak Syanti Dewi untuk naik perahu kecil berdua saja di tengah lautan, kemudian mengajak Puteri Bhutan itu untuk mandi di laut, bertelanjang bulat karena memang di tengah laut itu sunyi sekali. Seperti dua orang peri laut kedua orang wanita cantik jelita itu berkecimpung di antara ombak-ombak dan di sini Ouw Yan Hui mengajarkan ginkang yang amat tinggi tingkatnya kepada Syanti Dewi!
Tanpa disadarinya sendiri, Syanti Dewi telah mempelajari ilmu yang amat hebat, ilmu yang mengubah dirinya sama sekali, dari seorang puteri yang biar pun mengenal ilmu silat namun tergolong lemah di antara tokoh-tokoh kang-ouw, menjadi seorang wanita yang memiliki gerakan seperti kilat, memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi bukan hanya perubahan ini saja yang terjadi pada dirinya, akan tetapi tanpa disadarinya pula, karena setiap hari bergaul dengan Ouw Yan Hui dan selalu meniru contoh-contoh yang diberikan wanita itu dalam berlatih ilmu, maka secara otomatis watak aneh dari Ouw Yan Hui juga menular kepada Syanti Dewi!
Puteri Bhutan itu kini makin cantik, atau makin pesolek, makin angkuh dan tinggi hati, juga keramahan pada wajahnya lenyap, berubah menjadi dingin! Akan tetapi karena dinginnya ini bukan terpengaruh batinnya, melainkan pengaruh dari luar, maka gadis yang sudah dewasa ini, yang sangat rindu akan belaian kasih sayang pria pujaannya, sebetulnya menyimpan gairah yang berapi-api, sehingga karena dibungkus oleh sifat dingin yang ditularkan Ouw Yan Hui maka Syanti Dewi kini seperti gunung berapi yang tertutup salju…..
********************
Di sebelah timur daratan Tiongkok terdapat banyak sekali pulau-pulau besar dan kecil. Terutama agak ke utara, terdapat pulau-pulau kecil yang tak terhitung banyaknya, pulau-pulau yang masih terasing dan masih banyak yang kosong. Di ujung utara, di tempat terpencil dan jauh sekali dari kehidupan ramai, terdapat sebuah pulau di antara pulaa-pulau lain, yaitu pulau yang terkenal di dalam dongeng para tokoh kang-ouw, yang dinamakan Pulau Es!
Jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah melihat pulau ini, karena selain sukar sekali didatangi, juga kebanyakan orang kang-ouw takut untuk mendekati pulau ini, takut kepada penghuninya yang lebih terkenal dari pada pulau itu sendiri. Penghuni Pulau Es atau majikan dari Pulau Es terkenal dengan julukan Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti. Baru menyebut namanya saja, semua orang dari golongan hitam atau kaum sesat sudah menggigil ketakutan.
Para pembaca cerita Pendekar Super Sakti dan cerita-cerita lanjutannya tentu sudah mengenal siapa adanya Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini. Namanya adalah Suma Han, dan kini Suma Han atau Pendekar Super Sakti telah berusia lanjut, sudah lebih dari enam puluh tahun. Pendekar sakti ini tinggal dengan tenang dan tenteramnya di Pulau Es, bersama dua orang isterinya yang tercinta, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang wanita yang amat mencinta suami mereka, amat setia dan juga merasa amat bahagia hidup bertiga di atas pulau itu bersama suami dan madu mereka.
Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa ketenteraman, ketenangan atau kedamaian hidup sama sekali bukan tergantung dari pada tempat atau keadaan di luar diri kita, melainkan sepenuhnya tergantung dari keadaan batin kita sendiri! Betapa pun sunyi tempat di mana kita tinggal, namun kalau batin kita tidak hening, kalau batin kita sibuk dan bising, maka kesunyian tempat itu tidak ada artinya!
Oleh karena itu, bukan hanya teori belaka kalau dikatakan bahwa seorang yang bertapa di puncak gunung yang sunyi akan menderita karena kebisingan batinnya, sebaliknya orang yang berada di tengah kebisingan akan dapat menikmati keheningan batinnya. Sungguh pun tak dapat disangkal bahwa keadaan di luar itu ada pengaruhnya juga terhadap batin, akan tetapi segala sesuatu berpusat pada batin kita sendiri. Masalah timbul dari dalam batin, timbul dari penanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi.
Segala macam hal yang terjadi dalam hidup ini merupakan suatu fakta, dan apakah kejadian itu menjadi masalah ataukah tidak, sepenuhnya tergantung dari pikiran yang menanggapinya. Kalau pikiran menanggapi, tentu saja timbul masalah karena pikiran selalu memperhitungkan rugi untung, dan setelah masalah timbul, tentu saja terdapat penderitaan dan kekhawatiran.
Demikian pula halnya dengan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Bukan hanya Pendekar Super Sakti saja yang merupakan seorang manusia sakti, dengan ilmunya yang tinggi sukar dicari bandingnya, bahkan kedua orang isterinya juga merupakan wanita-wanita yang amat lihai. Kedua orang wanita itu, baik Puteri Nirahai mau pun Lulu, pernah menggegerkan dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi, kesaktian mereka dan kehidupan mereka di Pulau Es yang amat sunyi itu, tetap saja bukan merupakan jaminan akan kedamaian hidup mereka di waktu usia mereka sudah mulai tua itu.
Selama beberapa bulan ini terasa sekali oleh Pendekar Super Sakti betapa hatinya tertindih oleh kegelisahan dan kemarahan. Dia marah kepada dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali kepada Suma Kian Bu, putera dari Nirahai, yang sudah meninggalkan Pulau Es selama enam tahun dan belum pernah pulang!
Puteranya yang lain, yaitu Suma Kian Lee, putera Lulu, enam tahun yang lalu juga pergi meninggalkan Pulau Es bersama adiknya itu, tetapi Kian Lee sudah pulang, bahkan memperdalam ilmunya di Pulau Es selama beberapa tahun. Sekarang, Kian Lee telah diutusnya untuk pergi mencari adiknya, dan sudah hampir setahun lamanya Kian Lee belum pulang sehingga tidak ada berita tentang kedua orang puteranya itu. Tentu saja hal ini membuat hati pendekar sakti itu menjadi gelisah dan marah.
Apa lagi kegelisahannya itu bertambah dengan adanya sikap dari dua orang isterinya. Mereka berdua itu selalu kelihatan berwajah muram, kadang-kadang marah-marah dan berduka karena mereka merasa rindu dan khawatir sekali. Terutama Puteri Nirahai yang telah enam tahun tak melihat puteranya. Sebagai wanita-wanita gagah, mereka pantang untuk memperlihatkan kedukaan mereka, tetapi mereka menjadi marah-marah karena melihat suami mereka seperti tidak mempedulikan kepergian dua orang anak mereka itu. Mereka memperlihatkan rasa tidak suka hati mereka kepada suami mereka dengan wajah muram.
Ketika pada suatu malam, kedua isterinya yang melayani makan itu hanya duduk diam saja menghadapi dia makan, dan tidak ikut makan, Pendekar Super Sakti menghela napas panjang dan mendorong mangkok nasinya ke samping.
“Nah, katakanlah, apa yang kalian kehendaki? Tidak baik menyimpan dendam di dalam hati,” katanya dengan halus dan penuh kasih sayang karena memang sesungguhnya pendekar ini masih menaruh hati cinta yang mendalam terhadap kedua orang isterinya itu.
Setelah melihat sikap halus dari suami mereka itu, dua orang isteri yang juga amat kagum dan mencinta suami mereka, berbalik merasa kasihan.
“Kami besok hendak pergi meninggalkan pulau,” tiba-tiba Lulu, yang kini telah menjadi seorang nenek berusia hampir enam puluh tahun itu, namun masih memiliki raut wajah yang cantik, berkata penuh semangat. Memang wanita ini tidak pernah kehilangan semangatnya sejak dahulu sampai sekarang.
“Kami harus pergi menyusul dan mencari anak-anak kita,” Puteri Nirahai menerangkan dengan tenang. “Kau harus ingat, suamiku, mereka berdua itu telah cukup umur, telah berusia dua puluh satu dan dua puluh tahun. Kami ingin melihat mereka itu menjadi suami dari isteri yang baik. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk mempunyai menantu.”
“Hemmm..., bagaimana mungkin wanita-wanita yang sudah mulai lanjut usianya seperti kalian berdua ini hendak melakukan perjalanan yang demikian jauh dan berbahaya?” Pendekar Super Sakti berkata halus, penuh kekhawatiran.
“Habis, kalau engkau yang menjadi ayahnya diam saja, terpaksa kami yang menjadi ibu mereka turun tangan. Mendiamkannya saja mereka pergi tanpa berita lebih lama lagi, kami bisa mati karena gelisah!” Lulu berkata.
Suma Han menghela napas panjang, lalu meraih kembali mangkok nasinya. “Baiklah, nanti kita bicarakan hal itu, untuk itu kalian tidak perlu mogok makan, membahayakan kesehatan sendiri.”
Dua orang isterinya itu saling pandang, timbul harapan mereka bahwa sekali ini suami mereka akan menaruh perhatian, maka mereka pun lalu mengisi mangkok dengan nasi dan makan bersama suaminya. Mereka makan tanpa berkata-kata, seperti biasa kalau mereka makan, dengan mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada apa yang mereka lakukan saat itu.
Setelah selesai makan dan ketika dua orang isterinya menyingkirkan mangkok piring, Pendekar Super Sakti duduk termenung. Sudah lama dia tinggal bertiga saja bersama dua orang isterinya sejak dua orang puteranya pergi, enam tahun yang lalu. Semua anak buah atau pelayan dan pembantu di Pulau Es, telah dia suruh pulang ke tempat asal masing-masing meninggalkan Pulau Es, sehingga dia tinggal bertiga saja dengan dua orang isterinya. Dia telah membagi-bagikan sebagian harta kepada para anak buah itu yang dengan hati berat meninggalkan Pulau Es, karena mereka maklum bahwa pendekar sakti itu dalam usia tuanya ingin hidup mengasingkan diri di tempat sunyi itu, tidak ingin mencampuri urusan dunia ramai lagi, maka tidak membutuhkan bantuan para anak buah itu lagi. Akan tetapi kini, timbul urusan kedua orang puteranya sehingga mau tidak mau dia harus pula memikirkan.
Beberapa kali pendekar itu menarik napas panjang. Betapa hidup ini selalu menjadi permainan keinginan. Sejak kecil sampai sudah setua dia masih juga belum dapat bebas dari keinginan-keinginan. Kalau pun sekarang, dalam usia tua dia sudah tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri yang sudah tua, keinginan itu bukannya mati, melainkan meluas menjadi keinginan untuk melihat anak-anaknya berbahagia!
Dan untuk memperjuangkan kebahagiaan anak-anaknya, maka dia mau pun kedua orang isterinya mau melakukan apa saja! Hidup penuh dengan ikatan, sehingga tidak mungkin dapat bebas selama dirinya masih terikat, terikat kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kedudukan, kepada nama! Ah, dia tidak boleh membiarkan kedua orang isterinya itu pergi ke daratan besar. Kalau mereka pergi, tentu mereka akan menimbulkan onar, terutama sekali Lulu, tentu akan terjadi geger di dunia kang-ouw, dan belum tentu mereka berdua akan kembali ke Pulau Es! Tidak, dia tidak boleh membiarkan mereka pergi, dia yang harus pergi sendiri!
Betapa kebanyakan dari kita masih belum melihat betapa cinta kasih kita terhadap anak-anak kita adalah palsu belaka! Betapa sesungguhnya kita, secara halus dan tentu saja tidak akan ada yang mau mengakuinya, hanya ingin mempergunakan anak-anak kita sebagai jembatan atau perabot untuk memperoleh kesenangan bagi diri kita sendiri, yaitu melihat anak-anak kita taat, berbakti kepada kita, lalu kelak menjadi seorang yang terpandang di masyarakat, pendeknya menjadi seorang anak kita yang mengangkat tinggi nama kita! Menjadi seorang anak yang dapat kita banggakan, dapat kita sandari, dan dapat kita andalkan!
Mulut kita mengatakan bahwa kita ingin membahagiakan anak, akan tetapi mata kita tidak ada yang melihat dengan waspada betapa kita telah membentuk anak-anak kita menjadi boneka sesuai dengan selera kita, membentuk kebahagiaan-kebahagiaan mereka yang sesuai dengan perumusan kita tentang kebahagiaan. Karena itu, karena kebodohan kita, karena ketamakan kita, maka kita sama sekali bukan membahagiakan mereka, melainkan sebaliknya kita melempar anak-anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan konflik dan kesengsaraan tiada hentinya. Karena perumusan kita tentang bahagia adalah kaya raya, mulia, terhormat, terpandang, padahal semua ini tiada lain hanya mendatangkan iri hati dan konflik antara sesama manusia, dan konflik ini tak dapat tiada mendatangkan penderitaan batin. Kita hendak mengikat anak-anak kita dengan apa yang kita namakan cinta, padahal sesungguhnya hanyalah pamrih untuk memuaskan hati sendiri belaka.
Kalau kita benar mencinta anak-anak kita, kiranya kita tidak akan membiarkan anak anak kita bersaingan, bermusuhan, berebutan, dan terutama sekali takkan membiarkan anak-anak kita berperang! Saling bersaing dalam sekolah, lalu saling berebutan dalam mencari nafkah, juga saling bermusuhan dalam mencari kedudukan dan kemuliaan, kemudian saling membunuh dalam perang. Kita mengajarkan semua itu dan toh kita mengaku cinta kepada anak-anak kita!
Kita lupa bahwa kalau kita mencinta anak-anak kita, selayaknya kalau kita memberi kebebasan kepada mereka, dengan pengamatan yang penuh perhatian, menunjukkan bahaya-bahaya agar mereka mengerti, menunjukkan kesesatan-kesesatan agar mereka tidak sampai memasukinya, dan menuntun mereka, bukan memaksa mereka melalui jalan tertentu, dengan penuh kasih sayang, bukan dengan cinta yang berpamrih memuaskan diri sendiri melalui anak-anak!
Semalam suntuk Pendekar Super Sakti bersama dua orang isterinya bercakap-cakap tentang kedua orang anak mereka.
“Kian Lee dan Kian Bu bukan kanak-kanak lagi, mereka sudah dewasa,” kata Pendekar Super Sakti antara lain kepada dua orang isterinya. “Dan mereka pun telah memiliki kepandaian cukup sehingga mereka tentu mampu menjaga diri sendiri. Tentang jodoh, kalian tentu mengerti bahwa mereka berhak untuk memilih calon jodoh mereka masing masing sendiri, dan tidak baik kalau kita yang mencarikan jodoh untuk mereka.”
“Akan tetapi, lupakah kau bahwa Kian Bu sudah meninggalkan pulau ini selama enam tahun? Kalau tidak ada apa-apa dengan dia, tidak mungkin dia seolah-olah lupa kepada orang tuanya! Dan menurut penuturan Kian Lee ketika pulang, agaknya Kian Bu juga menderita kekecewaan dalam percintaannya. Ahh, aku khawatir kalau-kalau terjadi apa apa dengan dia.”
“Aku pun tidak akan memaksa dia berjodoh dengan orang yang tidak dicintanya,” Lulu juga membantah. “Akan tetapi, dia dan Kian Bu harus pulang dulu ke sini, baru kita bicara tentang perjodohan mereka. Kian Lee berjanji akan mencari dan mengajak pulang Kian Bu, akan tetapi mengapa sampai sekarang tidak ada kabar beritanya? Dan menurut penuturannya, di dunia ramai banyak bermuncullan tokoh-tokoh kaum sesat. Biar pun kedua orang anak kita itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka itu belum banyak pengalaman, tentu berbahaya kalau berhadapan dengan datuk-datuk sesat.”
“Baiklah, kalian jangan khawatir. Aku sendiri memang sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul mereka. Karena kita sekarang sudah tidak mempunyai pembantu lagi, maka aku akan pergi sendiri sambil melihat-lihat keadaan di dunia ramai. Aku akan membawa Tiauw-ko (Rajawali) yang sudah tua itu. Mudah-mudahan saja dia masih kuat menyeberangkan aku ke daratan besar.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti telah memanggil burung rajawali yang sudah tua pula. Burung ini hanya satu-satunya burung rajawali yang masih berada di pulau itu, dan ketika burung tua itu meluncur turun dan hinggap di depan pendekar itu bersama kedua orang isterinya, Suma Han memandang kepada burung itu dengan terharu.
“Tiauw-ko, maafkan aku. Sudah setua ini kau masih harus membantuku menyeberang lautan. Membikin lelah engkau saja, Tiuaw-ko!” berkata pendekar ini sambil menepuk-nepuk punggung burung itu yang mengeluarkan suara menguik-nguik seperti seekor anjing setia.
“Hati-hati dalam perjalanan!” kata Nirahai.
“Dan jangan lama-lama, cepat ajak pulang Kian Lee dan Kian Bu,” kata pula Lulu.
Suma Han tersenyum, memandang kepada dua orang isterinya dengan penuh kasih sayang, diam-diam merasa kasihan meninggalkan dua orang isterinya itu berdua saja di atas pulau yang sunyi itu. Dia membiarkan dua orang isterinya memegang kedua tangannya, kemudian setelah meremas tangan mereka dengan jari-jari tangan yang masih menggetarkan kasih yang mendalam, Suma Han lalu melepaskan pegangan tangannya dan sekali dia menggerakkan kaki tunggalnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas punggung burung rajawali.
“Selamat tinggal, aku pergi takkan lama!” katanya. “Tiauw-ko, mari kita berangkat.”
Burung itu lalu menggerakkan sepasang sayapnya dan terbanglah dia ke atas. Suma Han membalas lambaian tangan kedua orang isterinya itu dengan gerakan tongkatnya, dan sebentar saja dia sudah tidak lagi dapat melihat isterinya, hanya melihat pulau itu yang nampak kecil dari atas, keputih-putihan. Dari bawah, Lulu dan Nirahai hanya melihat titik hitam dari rajawali itu untuk kemudian lenyap ditelan awan.
Setelah dibawa terbang di antara awan-awan di udara, Pendekar Super Sakti kembali merasakan kegembiraan yang luar biasa dan bangkitlah semangatnya seperti pada puluhan tahun yang lalu! Teringatlah dia akan semua pengalamannya yang lalu dan terbayanglah di depan matanya wajah-wajah para tokoh dunia persilatan. Apakah mereka itu masih hidup? Dan apakah mereka itu pun seperti dia, mengasingkan diri dari dunia ramai?
Ah, kalau para tokoh kaum sesat bermunculan, tentu kepergiannya sekali ini tidaklah begitu mudah untuk menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan. Dia sudah tidak bergairah untuk mempergunakan kepandaian melawan seorang dalam perkelahian, dia sudah bosan harus bertanding melawan orang lain. Akan tetapi, apakah dia mungkin dapat membiarkan kejahatan merajalela dan membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya? Biarlah, dia tidak akan bergerak kalau tidak terpaksa. Biarkan pendekar-pendekar muda menggantikan tempatnya untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, pendekar-pendekar muda dan gagah seperti dua orang puteranya itu.
Pendekar Super Sakti tidak memaksa rajawalinya untuk terbang terus. Dia tahu bahwa rajawalinya itu telah tua, setua dia dan sudah banyak berkurang tenaganya. Di sendiri tidak tahu apakah tenaganya juga banyak berkurang karena selama ini dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengukur tenaganya. Melihat rajawali itu terengah engah, dia lalu menyuruh burung itu menukik turun sehingga beberapa kali dia dan burungnya beristirahat di sebuah pulau kosong. Akhirnya, sampai juga dia di pantai daratan besar. Setelah beristirahat lagi dan melewatkan malam itu di pantai yang sunyi, pada keesokan harinya Pendekar Super Sakti melanjutkan perjalanannya menunggang rajawali yang terbang tinggi menuju ke selatan.
Pada suatu hari, pada waktu burung itu terbang rendah di atas sebuah hutan di luar pedusunan, Pendekar Super Sakti merasa tertarik sekali ketika melihat serombongan orang berbondong-bondong memasuki hutan itu. Melihat pakaian orang-orang itu, dia mengenal mereka sebagai penghuni dusun, petani-petani miskin. Akan tetapi para petani itu kelihatan marah-marah, membawa benda-benda tajam dan pisau, kapak, cangkul dan sebagainya, seperti sepasukan orang yang tak teratur sedang melakukan penyerbuan. Dia menepuk punggung rajawali yang menukik ke bawah, kemudian dia meloncat jauh ke depan sehingga dia menghadang rombongan penduduk dusun itu.
Ketika orang-orang dusun yang jumlahnya belasan orang itu melihat seorang kakek berkaki buntung memegang tongkat berdiri tegak dengan sikap tenang, mereka tertegun dan berhenti, akan tetapi mereka semua bersikap siap dengan senjata dipegang yang erat-erat.
“Sahabat-sahabat sekalian hendak ke manakah? Apa yang terjadi maka kalian kelihatan begitu marah?” tanya Suma Han dengan suara halus dan agak gemetar karena terharu.
Baru sekarang semenjak bertahun-tahun lamanya dia bertemu dengan manusia lain kecuali dua orang isterinya, dan melihat betapa begitu bertemu dia sudah melihat manusia yang agaknya hendak bertempur, maka dia merasa kasihan dan terharu sekali. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kekerasan, penuh permusuhan.
“Siapakah engkau? Apakah engkau sahabat dari nenek siluman itu?” tanya seorang di antara mereka, seorang laki-laki yang memegang tombak dan agaknya memimpin rombongan orang itu.
“Nenek siluman yang mana? Aku tidak melihatnya dan tidak mengenalnya,” kata Suma Han dengan heran.
“Kalau begitu, Paman, jangan ikut-ikut. Kami akan mengeroyok dan membunuh nenek siluman bermuka tengkorak itu!” berkata pula si pemegang tombak. “Kami adalah penduduk dusun di sana, dan aku adalah kepala dusunnya. Kami hendak membunuh nenek siluman!”
“Nanti dulu, sabarlah. Mana ada siluman di dunia ini, dan andai kata ada setan, masa dia keluar di siang hari? Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?” tanya Suma Han yang merasa bahwa tentu terjadi kesalah pahaman di sini sehingga dia khawatir kalau orang-orang dusun ini akan kesalahan membunuh orang.
Melihat keadaan Pendekar Super Sakti yang sangat aneh itu, kepala dusun dan orang orangnya agaknya jeri juga. Kakek berkaki sebelah ini tidak mereka kenal, rambutnya putih panjang dan halus, wajahnya begitu berwibawa dan dari mana kakek ini datang?
Karena jeri, kepala dusun kemudian bercerita, “Seorang anak dari dusun kami sedang menggembala delapan ekor lembu di dalam hutan, lalu muncul nenek iblis itu yang menggunakan tangannya memukul pecah kepala seekor lembu. Penggembala itu marah-marah, akan tetapi apa yang dilakukan oleh nenek itu? Dia malah memukuli semua lembu sampai delapan ekor lembu itu tewas semua! Anak itu lalu lari ketakutan dan melapor kepada kami, maka kini kami hendak menyerbu ke dalam hutan dan menangkap atau membunuh nenek siluman itu.”
Diam-diam Pendekar Super Sakti terkejut. Seorang nenek dapat memukul pecah kepala lembu begitu saja? Mukanya seperti tengkorak? Tentu bukan orang sembarangan, dan kalau memang benar nenek itu demikian jahatnya, maka amatlah berbahaya bagi orang-orang dusun ini untuk menyerbunya.
“Di manakah nenek itu?” tanyanya.
“Di tengah hutan ini!” kepala dusun menuding ke depan.
“Kalau begitu, harap kalian jangan tergesa-gesa, biarkan aku menemuinya lebih dulu. Kalau kalian tergesa-gesa, jangan-jangan kalian juga akan dibunuhnya seperti lembu lembu itu!”
Ucapan Suma Han ini membuat wajah mereka menjadi pucat, karena sebenarnya mereka memang sudah merasa ngeri dan jeri mendengar penuturan anak penggembala itu akan wajah si nenek yang amat mengerikan. Mereka tadi hanya berani karena semangat mereka dibakar oleh kepala dusun yang merasa marah karena kehilangan lembu-lembunya. Dialah pemilik lembu-lembu itu.
Kini melihat kakek berkaki sebelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan bantuan tongkatnya, mereka mengikuti dari belakang, akan tetapi agak jauh karena mereka juga curiga kepada kakek aneh ini di samping rasa takutnya terhadap nenek itu.
Dan tak lama kemudian, Suma Han melihat seorang wanita yang duduk di atas sebuah batu sambil makan benda putih lunak yang masih berdarah. Tiba-tiba saja dia menjadi muak, karena dia dapat menduga bahwa yang dimakan oleh nenek itu tentulah otak lembu yang mentah! Otak yang mentah dan masih berdarah, diambil dari kepala seekor lembu. Dan muka nenek itu sungguh mengerikan! Bukan muka, melainkan kedok, kedok tengkorak asli! Dan nenek itu kelihatan tenang-tenang saja, padahal nenek itu tentu tahu akan kedatangan banyak orang itu yang kini berhenti di tempat agak jauh, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.
Dengan sikap tenang, Suma Han melangkah dan menghampiri tempat itu dan dari jauh dia sudah melihat bangkai delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk dan yang malang melintang di tempat itu, satu di antaranya telah hancur kepalanya sehingga tidak kelihatan lagi, agaknya itulah yang diambil otaknya oleh nenek itu, sedangkan tujuh ekor yang lain juga mati dengan kepala pecah, sungguh pun belum hancur seperti yang seekor itu.
Masih baik nenek ini tidak membunuh orang, pikir Suma Han. Tentu ada hal-hal yang menyebabkan nenek ini marah-marah dan membunuh semua lembu itu, padahal andai kata dia membutuhkan otak lembu, tentu hanya seekor saja yang dibunuh, tidak semua. Kini Suma Han telah berdiri di depan nenek yang masih makan otak berdarah itu, hanya dalam jarak lima meter.
Sudah tentu nenek itu dapat melihatnya, tapi agaknya nenek itu tak mempedulikannya dan sengaja pura-pura tidak melihat, masih enak-enak makan otak itu dengan mulut tengkoraknya yang amat lebar, di balik mana terdapat mulutnya sendiri yang kecil. Gigi gigi di depan tengkorak itu kelihatan berlepotan darah dan otak, dan kembali Suma Han menjadi muak. Sudah terlalu lama dia tidak melihat kebuasan dan kejahatan manusia, hidup dengan tenang dan tenteram di Pulau Es, kini menyaksikan tingkah seorang aneh di dunia kang-ouw yang begini mengerikan dia menjadi muak.
Suma Han menanti sampai nenek itu menghabiskan sisa otak yang dimakannya. Dia berdiri tanpa bergerak, bersandar kepada tongkatnya dan memandang dengan sinar lembut, diam-diam dia merasa kasihan mengapa ada seorang wanita yang mau hidup seperti itu, mukanya ditutup tengkorak asli, seolah-olah hendak bersembunyi dari dunia, ataukah hendak memperingatkan dunia bahwa di balik wajah setiap orang manusia, apa pun kedudukannya, tiada lain hanyalah sebuah tengkorak yang mengerikan seperti itu?
Apakah nenek ini hendak menyindirkan bahwa di akhir semua kehidupan yang beraneka ragam, yang mendatangkan segala macam peristiwa itu, tiada lain hanyalah ada maut yang menanti? Suma Han tidak dapat menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dengan mengenakan kedok tengkorak asli di depan mukanya. Dan tentang otak mentah yang dimakannya, dia tahu bahwa memang di dalam otak berdarah itu terkandung obat penguat bagi nenek tua ini.
Kini wanita tua itu sudah selesai makan dan agaknya dia pun mulai memperhatikan Suma Han, buktinya mata di balik tengkorak itu berkilauan dan bergerak dari atas ke bawah, terutama sekali memperhatikan kaki yang buntung sebelah itu. Akan tetapi karena nenek itu tidak bicara atau bergerak, Suma Han lalu bertanya dengan suara halus, “Sobat, maafkan kalau aku mengganggumu. Akan tetapi mengapakah engkau membunuh delapan ekor lembu yang tidak bersalah apa-apa ini?”
Terdengar suara mendengus di balik kedok itu, dan mata di balik kedok itu berputar liar seperti mata setan, kemudian terdengar suaranya nyaring melengking dengan mulut tengkorak bergerak-gerak aneh, “Kubunuh mereka agar anak itu melapor ke dusun, agar semua orang dusun datang ke sini!”
Suma Han mengerutkan alisnya yang putih. Jawaban yang aneh!
“Kalau mereka sudah datang ke sini?” dia mendesak dengan suara masih halus.
“Sialan! Mereka tidak datang ke sini, yang datang malah engkau ini kakek buntung menyebalkan! Kalau mereka datang, tentu dengan enak aku akan membunuh mereka semua, akan tetapi yang datang hanya engkau kakek buntung, dibunuh pun tidak ada harganya!”
Diam-diam Suma Han terkejut juga. Kiranya nenek ini adalah seorang yang amat jahat! Demikian jahatnya sehingga bukan hanya membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi tak membunuh si penggembala hanyalah dengan maksud untuk memancing datangnya semua orang dusun untuk dibunuhnya!
“Sobat yang baik, apakah kesalahan semua orang dusun itu maka engkau hendak membunuh mereka?”
“Huh, semua orang kalau bisa akan kubunuh! Peduli apa mereka bersalah atau tidak? Kau pun seharusnya dibunuh, tetapi terlalu enak bagimu kalau kau dibunuh. Engkau sudah tua bangka, kakimu buntung pula, dan wajahmu membayangkan penderitaan. Heh-heh, engkau tentu menderita sekali dan sisa hidupmu yang tinggal tidak berapa lama itu, biarlah kau lewatkan dalam siksaan dan penderitaan. Kalau dibunuh sekarang, sungguh terlalu enak bagimu!”
Suma Han tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan orang sejahat ini! Dia teringat bahwa di dunianya kaum sesat terdapat Im-kan Ngo-ok, Si Lima Jahat dari Akhirat yang kabarnya mempunyai watak yang luar biasa jahatnya.
“Hemmm, sobat baik, apa gunanya engkau sengaja melakukan kejahatan seperti itu? Apakah manfaatnya bagimu kalau kau membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?”
“Gunanya? Manfaatnya? Ha, tentu saja untuk mengisi kenyataan pada sebutan Ji-ok Kui-bin Nionio, ha-ha-ha!”
Suma Han mengangguk-angguk. Kiranya nenek ini adalah orang kedua dari Im-kan Ngo-ok. Ahhh, pasti hebat juga kalau Im-kan Ngo-ok yang kabarnya sudah tidak pernah meninggalkan dunia mereka sendiri itu kini turun ke dunia ramai!
“Hai, kau ini siapakah?” Tiba-tiba nenek itu berseru, seolah-olah baru terkejut melihat betapa kakek buntung itu sedikit pun tidak kelihatan jeri kepadanya.
“Aku? Aku hanya seorang tua bangka buntung seperti katamu tadi, tidak ada apa apanya yang patut diperhatikan!” jawab Suma Han yang tidak ingin memperkenalkan diri, juga tidak ingin mencari perkara karena maksudnya pun bukan hendak memusuhi nenek ini melainkan hendak melindungi agar orang-orang dusun itu tidak sampai celaka. Kalau tadi dia tidak curiga dan para penghuni dusun itu sudah mendahuluinya tiba di sini, tentu mereka itu sudah menggeletak mati seperti bangkai-bangkai lembu itu!
“Kalau buntung keduanya mungkin akan patut diperhatikan orang!” Tiba-tiba nenek itu berkata dan telunjuk kanannya menuding ke depan, ke arah kaki kanan Suma Han yang tidak buntung.
Suma Han terkejut. Wanita ini benar-benar amat jahat sekali, begitu kejam dan ganas melebihi semua tokoh hitam yang pernah ditemuinya di waktu dia masih berkecimpung di dunia kang-ouw dahulu.
“Cusssss...!”
Hawa yang dingin sekali menyambar ke arah kakinya dan tahulah pendekar ini bahwa wanita berkedok tengkorak itu telah menguasai ilmu pukulan luar biasa yang digerakkan dengan Im-kang, yang amat berbahaya karena hawa yang menyambar dari gerakan telunjuk itu bukan main dahsyatnya, seperti tusukan pedang saja. Dan memang Ji-ok telah mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang) untuk membikin buntung kaki yang tinggal satu itu!
Tentu saja setelah dia sendiri diserang, Suma Han tidak dapat lagi menyembunyikan kepandaiannya, karena dia harus membela diri. Tangan kirinya yang memegang tongkatnya itu bergerak cepat dan dia telah menudingkan tongkatnya ke depan, ke arah telunjuk Ji-ok yang menuding ke arah kakinya itu.
“Wirrrrrrr...!”
Ji-ok mengeluarkan jerit tertahan ketika sambaran hawa dari telunjuknya itu kembali dan membuat tangannya terasa tergetar hebat. Cepat dia menyimpan tenaganya, kemudian mengerahkan telunjuknya lagi dan kini menunjuk ke arah dada kakek buntung kakinya itu! Kembali Suma Han memapakinya dengan tongkat yang ditudingkan dan untuk kedua kalinya Ji-ok tergetar hebat, bahkan kini sampai mundur selangkah. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar berapi. Baru dia percaya bahwa kakek buntung itu benar benar telah mampu menangkis serangan Kiam-ci sampai dua kali, bahkan yang kedua kalinya membuat dia terdorong ke belakang!
“Siapakah engkau?!” bentaknya.
Suma Han kembali menarik napas panjang. “Seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung,” jawabnya tenang.
“Kau... rambutmu putih, kaki kirimu buntung, kau... kau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es...?” Ji-ok berseru kaget bukan main.
“Ha-ha-ha, Ji-moi, apakah kau tidak mengenalnya? Lihat rajawali di atas itu! Siapa lagi kalau bukan Pendekar Siluman yang datang bersama rajawalinya?”
Suma Han kagum mendengar suara yang datang dibawa angin ini. Seorang yang amat lihai, pikirnya, akan tetapi dia tidak menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara, melainkan tetap memandang nenek berkedok itu karena dia tahu betapa bahayanya orang-orang seperti nenek ini yang suka bertindak curang. Dia tetap tenang dan waspada, tidak ingin mencari permusuhan, akan tetapi tentu saja dia pun harus menjaga diri terhadap datuk-datuk jahat seperti Im-kan Ngo-ok.
Nama lima orang manusia iblis itu sudah amat terkenal dan agaknya kalau ada yang satu, tentu ada pula yang lain. Buktinya, suara tadi tentulah suara Twa-ok, yaitu Si Jahat Pertama, dapat dikenal dari cara dia memanggil nenek itu dengan Ji-moi (adik kedua). Siapa lagi yang menyebut nenek itu adik kedua kalau bukan Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok? Tegang juga rasa hati Suma Han. Orang kedua saja sudah memiliki pukulan sakti yang dahsyat dari jari telunjuknya tadi, apa lagi orang yang pertama!
Dugaannya memang benar, dan ketika ada angin berkesiur, muncullah kakek yang seperti gorilla atau monyet besar itu, dengan langkahnya yang kaku dan kedua lengannya tergantung di bawah lutut! Suma Han memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi juga penuh kewaspadaan.
“Ji-moi, sudah lama aku ingin sekali melihat rajawali dari Pulau Es. Biar kupanggil dia ke sini!” kata kakek bermuka orang utan itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan suaranya yang halus.
Kemudian dia mengangkat kedua tangannya ke atas, ke arah rajawali yang terbang berputaran di atas pohon-pohon sambil mengeluarkan suara yang menggetar tinggi. Burung rajawali itu seperti kaget dan tiba-tiba terbangnya menjadi kacau.
Melihat ini, Suma Han merasa khawatir akan keselamatan burungnya yang sudah tua itu, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking halus, suara yang menjadi tanda bagi rajawalinya untuk terbang tinggi menjauhi tempat itu, kemudian dengan suara yang tenang dia berkata, “Sobat, apakah engkau hendak bermain-main dengan rajawali? Nah, dia sudah datang menyambarmu!”
Twa-ok Su Lo Ti adalah seorang Jahat Nomor Satu, biar pun dia bersikap lembut dan bersuara halus, tapi di dalam hatinya selalu terkandung keinginan untuk mencelakakan orang lain secara halus namun keji! Tadi begitu melihat Ji-ok berhadapan dengan Majikan Pulau Es, dia tidak langsung menghadapi pendekar yang amat terkenal itu, melainkan lebih dulu hendak meruntuhkan tunggangannya, yaitu burung rajawali. Biar pun dia tidak langsung memusuhi Pendekar Siluman, melainkan secara halus hendak mencelakai burungnya, namun jelas bahwa perbuatannya ini selain amat kejam, juga menunjukkan bahwa dia lebih dulu ingin mengganggu dan menyusahkan lawannya sebelum berhadapan secara langsung….