CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
JODOH RAJAWALI JILID 29
Namun, mengingat bahwa dia adalah keturunan keluarga Yu yang ‘besar’, maka dia menekan perasaan hatinya dan hanya menundukkan mukanya tanpa menoleh. Terasa benar olehnya betapa detak jantungnya seperti hendak memecahkan rongga dadanya! Dag… dug… dag… dug.
Bukan hanya Yu Hwi saja yang dapat terserang semacam ‘penyakit’, yaitu kehilangan kebebasan dan kewajaran begitu dia ‘menempel’ kepada sesuatu yang lebih besar atau yang dianggap lebih besar dari pada dirinya sendiri. Yu Hwi tadinya adalah seorang dara yang bebas dan wajar, polos dan tidak berpura-pura, hidup lincah gembira tanpa adanya penghalang apa pun. Akan tetapi, begitu dia merasa bahwa dia adalah keturunan keluarga yang ‘besar’, maka dia menyamakan diri dengan kebesaran nama keluarga itu dan merasa dirinya besar pula, dan begitu dia merasa dirinya besar, lenyaplah kewajaran dan kebebasannya karena yang besar itu tentu mempunyai sifat sifat besar tersendiri pula! Bukan hanya Yu Hwi yang terserang penyakit itu, melainkan kita pada umumnya pun demikian!
Dapat kita lihat di dalam kehidupan kita sehari-hari kalau kita mau membuka mata melihat kanan kiri, depan belakang dan terutama sekali melihat ke dalam diri sendiri, melihat batin sendiri. Betapa kita hidup dalam alam kepalsuan! Betapa kita memaksa diri untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, semua itu hanya karena ingin ‘menyesuaikan diri’ dengan kesopanan, dengan kebudayaan, dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Padahal, apa yang dinamakan kesopanan itu sesungguhnya tidak sopan lagi kalau dilakukan dengan pura-pura, dengan paksaan. Apakah artinya senyum di bibir kalau di dalam hati kita mencibir atau menangis? Apakah artinya sikap sopan di lahir kalau di batin kita memandang rendah? Apakah gunanya sikap ramah dan suka kalau di dalam hati kita membenci?
Dan semua keadaan yang bertentangan ini terjadi setiap hari, setiap saat, di dalam kehidupan manusia di seluruh dunia! Kita kehilangan kewajaran, kehilangan kebebasan, karena kita INGIN DIANGGAP BAIK, kita ingin dianggap sopan, dianggap ramah, maka kita mengejar anggapan itu dengan menggunakan kedok palsu bernama kesopanan, keramahan, kebaikan dan selanjutnya! Betapa menyedihkan hal ini! Betapa munafik dan palsunya kita ini. Dapatkah kita hidup tanpa kepalsuan ini, dengan kesopanan yang tidak dibuat-buat, keramahan yang wajar dan tulus, senyum yang memancarkan cahaya kegembiraan dari hati, bukan sekedar usaha agar kita dianggap baik belaka? Dapatkah? Pertanyaan ini amat penting artinya bagi kita kalau kita ingin mengenal dan menyelidiki diri sendiri.
Biar pun sepasang mata Yu Hwi tidak menoleh, namun pendengaran telinganya dapat menangkap setiap gerakan dari orang yang memasuki ruangan itu. Langkah-langkah yang halus dan tetap, tidak tergesa-gesa, gerakan yang lembut.
“Suhu! Teecu girang sekali melihat kedatangan Suhu, dan teecu menghaturkan hormat kepada Suhu!” terdengar suara seorang pria dan hati dara itu tersentak kaget karena dia merasa seperti sudah mengenal suara itu dengan baik sekali.
Akan tetapi ‘kesopanan’ masih membuat dia memaksa diri menundukkan muka, sama sekali tidak berani mengerling ke arah pria yang kini berlutut tidak jauh di sebelah kiri bangku yang didudukinya itu. Dia hanya dapat melihat baju yang sederhana di pundak yang lebar.
Sai-cu Kai-ong cepat berdiri dari duduknya, menyentuh pundak pemuda itu untuk ditarik berdiri sambil tertawa. “Ha-ha-ha! Anak baik, bangkitlah dan perkenalkan calon isterimu yang sudah hilang selama belasan tahun…”
Mula-mula Yu Hwi hanya melirik dengan ujung matanya ketika melihat bayangan tubuh pemuda itu membalik dan menghadap kepadanya, tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika dia sudah mulai dapat memandang wajahnya.
“Kau…?!”
“Ahhhh….”
Walau pun dengan kata-kata yang berbeda, akan tetapi kedua orang ini berseru pada waktu yang bersamaan. Tidak mengherankan apabila dua orang ini sama-sama terkejut bukan main karena mereka sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa orang yang akan ditemuinya adalah yang kini sedang berada di hadapannya. Sejenak mereka hanya saling menatap dengan mata terbelalak, dan akhirnya Yu Hwi yang lebih dahulu mengeluarkan suara setengah berteriak.
“Ternyata kau adanya… laki-laki kurang ajar…!”
Setelah berkata demikian, gadis itu langsung membalikkan badan dan lari ke arah pintu, meninggalkan suara isak bercampur kemarahan. Dua orang kakek dan pemuda yang ternyata Kam Hong adanya, sekejap hanya bengong terlongong, tidak menduga bahwa kejadian akan berlangsung demikian.
Sai-cu Kai-ong yang sadar lebih dahulu kemudian berseru, “Siauw Hong, cepat kejar anak itu…!”
Seruan Sai-cu Kai-ong ini menyadarkan Sin-siauw Sengjin dan Kam Hong, dan bagai kuda dipecut, tanpa membuang waktu segera Kam Hong berkelebat ke arah pintu pula mengejar bayangan Yu Hwi yang sudah tidak nampak itu. Di dalam ruangan itu kini hanya tersisa dua orang kakek, Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin.
Sai-cu Kai-ong menarik napas, lalu dia berkata, “Aihhh, anak itu… dengan maksud baik kuajak ke sini untuk memperkenalkannya kepada Kam Hong. Eh, tidak tahunya mereka sudah saling mengenal, dan malah ada rahasia di antara mereka!” Kakek ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, lebih baik lagi,” kata Sin-siauw Sengjin. “Biarlah mereka saling berkenalan agar kelak mereka tidak menyalahkan kita kalau dalam perjodohan mereka terjadi ketegangan-ketegangan. Dan sebaiknya kalau Kam-kongcu yang mencari sendiri, karena dia telah menguasai ilmu-ilmu nenek moyangnya secara hampir sempurna. Sungguh hebat anak itu, ilmu-ilmu aneh yang selama puluhan tahun tak dapat aku kuasai, kini dia kuasai intinya. Agaknya dia mendapat petunjuk langsung dari arwah leluhur-leluhurnya.”
Ke manakah perginya Yu Hwi? Dan mengapa Kam Hong yang mengejarnya belum juga kembali setelah ditunggu selama semalam suntuk oleh dua orang kakek itu?
Pertanyaan ini juga mengganggu hati Kam Hong yang mencari sampai semalam suntuk tanpa hasil. Pemuda ini merasa khawatir bukan main. Padahal dia telah menggunakan ilmu ginkang-nya yang membuat dia dapat berlari seperti terbang cepatnya. Sudah dijelajahinya seluruh daerah itu, sudah dikejarnya ke empat penjuru, namun dia tidak berhasil menemukan jejak dara yang telah menggerakkan hatinya semenjak peristiwa pembukaan rahasia itu, dara yang ternyata adalah tunangannya, calon isterinya sendiri!
Berbagai perasaan mengaduk di hati Kam Hong. Diam-diam ada perasaan bahagia yang luar biasa oleh kenyataan bahwa tunangannya, calon isterinya yang dipilihkan oleh Sin-siauw Sengjin dan Sai-cu Kai-ong, adalah justeru gadis yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya itu! Akan tetapi, perasaan bahagia ini mulai berubah menjadi perasaan gelisah ketika dia tidak berhasil menyusul dan menemukan Yu Hwi. Padahal, dalam hal ilmu berlari cepat, dia menang jauh dibandingkan dengan dara itu. Tidak mungkin rasanya dara itu dapat berlari sedemikian cepatnya sehingga dia tidak mampu menyusulnya. Dia merasa cemas sekali karena menduga tentu telah terjadi sesuatu atas diri tunangannya itu.
Maka, Kam Hong kemudian mengambil keputusan untuk mencari terus sampai dia dapat menemukan Yu Hwi dan tidak akan pulang ke tempat tinggal Sin-siauw Sengjin sebelum dia dapat menemukan Yu Hwi.
Dan mengingat bahwa cerita ini masih panjang, dan akan terlalu panjang kalau harus mengikuti perjalanan Yu Hwi dan Kam Hong, maka terpaksa dua orang muda ini kita tinggalkan, dan cerita tentang mereka akan dapat diketahui dalam sebuah cerita terpisah yang akan terbit kemudian, merupakan sambungan atau juga cabang dari cerita Jodoh Sepasang Rajawali ini. Cerita tentang Kam Hong dan Yu Hwi akan merupakan sebuah cerita sendiri, karena keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan dari keluarga Raja Pengemis Yu itu akan mengalami hal-hal yang amat hebat. Dan kini kita mengikuti perjalanan tokoh-tokoh lainnya dari cerita ini, yaitu tokoh-tokoh utamanya. Sabar…..
Tek Hoat rebah dengan kedua mata terpejam di atas pembaringan dalam kamar yang bersih dan indah itu. Orang yang sudah mengenalnya tentu akan terkejut sekali kalau melihat wajahnya pada saat itu. Wajahnya pucat dan kurus sekali sehingga sepasang alisnya yang tebal itu nampak lebih hitam lagi. Kerut-merut di antara kedua alisnya membayangkan kedukaan besar yang agaknya menindih perasaan pemuda perkasa ini. Rambutnya yang dikuncir itu agak awut-awutan dan tubuhnya tertutup selimut tebal.
Dua pelayan wanita muda yang cantik duduk di atas lantai, di depan pembaringan. Mereka adalah pelayan-pelayan yang menjaga, bergiliran dengan pelayan-pelayan lain. Pemuda yang sedang menderita sakit ini selalu dijaga secara bergilir dan pada saat saat tertentu pelayan menyuapkan obat dan makanan ke dalam mulut pemuda itu yang menerima segala perawatan tanpa pernah bicara atau membantah, bahkan jarang membuka mata. Dia hanya rebahan seperti orang tidur, kadang-kadang berbisik-bisik, kadang-kadang mengeluh bahkan tidak jarang ada pelayan melihat air mata berlinang dan menitik turun ke atas pipi yang pucat dan cekung itu.
Sebetulnya semua luka yang diderita oleh Tek Hoat akibat pertempuran menghadapi para pemberontak itu telah dapat disembuhkan sama sekali oleh ahli-ahli pengobatan Kerajaan Bhutan. Akan tetapi luka di hatinya yang sukar disembuhkan. Para tabib itu merasa khawatir juga. Pemuda itu kelihatan linglung tidak pernah dapat sadar sama sekali dan selalu murung, seperti orang yang putus harapan.
Para pelayan wanita itu, yang sebagian besar merupakan bekas pelayan-pelayan dari Puteri Syanti Dewi, merasa terharu kalau mendengar betapa dalam igauannya, pemuda itu sering kali menyebut-nyebut nama Syanti Dewi. Mereka semua tahu belaka bahwa pemuda ini adalah bekas tunangan sang puteri dan betapa pemuda ini pernah terusir dari Bhutan tanpa salah, betapa kemudian sang puteri juga lolos dari istana untuk mencari pemuda kekasihnya ini. Mereka tahu bahwa ada hubungan cinta kasih yang mendalam antara pemuda perkasa ini dan sang puteri, dan bahwa pemuda ini jatuh sakit seperti orang linglung karena menyangka bahwa sang puteri telah bermain gila dengan Mohinta, kemudian melihat sang puteri tewas tanpa mengetahuinya bahwa yang tewas dan bermain gila dengan Mohinta itu bukanlah Syanti Dewi yang asli!
Tiba-tiba terdengar suara pengawal di luar pintu kamar dan dua orang pelayan itu cepat berlutut. Raja Bhutan sendiri dengan dua orang tabib dan dikawal beberapa orang pengawal, diiringi pula oleh Panglima Jayin, memasuki kamar itu. Sang raja mendekati pembaringan, memandang wajah pemuda itu, lalu menarik napas panjang.
“Kasihan...,“ keluhnya, lalu dia menoleh kepada dua orang tabib tua itu. “Bagaimana harapannya?”
Dua orang tabib itu saling pandang, kelihatan was-was, kemudian seorang di antara mereka berkata, “Hamba berdua telah berdaya sekuat tenaga, Sri baginda. Hamba telah membersihkan darahnya sehingga tidak membahayakan keselamatan tubuhnya, akan tetapi... penyakitnya bukan menyerang badan, melainkan batin dan hal ini amat sukar diatasi dengan obat. Perasaan kecewa yang besar dan kedukaan yang hebat telah meracuni jantungnya.”
“Hemmm...“ Sang raja mengusap jenggotnya. “Kalian maksudkan ada hubungannya dengan sang puteri?”
Tabib itu mengangguk. “Kiranya begitulah. Melihat semua peristiwa yang terjadi atas diri wanita yang disangkanya sang puteri, terutama melihat wanita itu tewas, telah mendatangkan guncangan yang amat hebat.”
Raja Bhutan mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali. Kini telah terbukti bahwa pemuda ini amat gagah perkasa dan setia, memang patut sekali menjadi mantunya, dan pemuda ini amat mencinta Syanti Dewi. Dia merasa menyesal pernah berusaha memisahkan dua orang muda itu dan sekarang akibatnya, Syanti Dewi masih belum dapat ditemukan dan pemuda ini yang sudah dua kali berjasa terhadap Bhutan, kini rebah dalam keadaan sakit hebat.
“Bagaimana kalau dia diberi tahu bahwa Syanti Dewi masih hidup?” Akhirnya dia bertanya.
“Memang, guncangan itu kiranya dapat disembuhkan dengan guncangan lain yang amat berpengaruh terhadap batinnya, Sri baginda. Akan tetapi hamba juga khawatir kalau-kalau guncangan lain itu bahkan akan mengakibatkan hal yang lebih parah lagi.”
“Dapat menewaskannya...?”
“Mungkin saja.”
“Hemmm, kalau begitu amat berbahaya. Biarlah saja dulu, tak usah diberi tahu sampai kita berhasil menemukan Syanti Dewi. Panglima Jayin, bagaimana dengan usahamu menyelidiki sang puteri?”
Panglima Jayin memberi hormat. “Hamba sudah mengerahkan para penyelidik yang terpandai. Ada kabar baik, Sri Baginda. Ada kabar bahwa Sang Puteri Syanti Dewi diberitakan berada di sebuah pulau pada beberapa tahun yang lalu, akan tetapi beliau sudah meninggalkan pulau itu. Para penyelidik sedang melanjutkan penyelidikannya. Setidaknya hasil penyelidikan itu membuktikan bahwa sang puteri memang masih dalam keadaan sehat.”
Raja Bhutan itu mengangguk-angguk, lalu mengomel, “Itulah susahnya kalau wanita diberi pelajaran silat. Jayin, mulai sekarang umumkan di seluruh Bhutan bahwa dilarang mengajarkan ilnmu silat kepada kaum wanita!”
Panglima Jayin merasa geli oleh perintah ini, akan tetapi dengan wajah bersungguh-sungguh dia mengambil sikap tegak dan menjawab, “Baik, Sri baginda!”
Setelah memandang sekali lagi wajah pemuda itu, Raja Bhutan lalu keluar dari dalam kamar, diiringkan oleh Panglima Jayin, para tabib dan para pengawal. Dua orang pelayan tadi masih duduk di dalam kamar, di depan pembaringan setelah menutupkan kembali pintu kamar.
Tidak ada seorang pun yang melihatnya, juga Panglima Jayin yang lihai itu tidak dapat melihat betapa ada bayangan yang amat cepat berkelebat di atas genteng kamar itu. Bayangan itu berkelebat seperti setan saja saking cepatnya, demikian ringan seperti seekor kucing yang berlompatan di atas genteng.
Setelah rombongan raja meninggalkan kamar, bayangan yang amat ringan dan cepat gerakannya itu melayang turun lalu meloncat ke depan pintu kamar Tek Hoat. Dengan amat hati-hati sebuah tangan dengan jari-jari runcing kecil dan halus kulitnya itu membuka pintu mengintai ke dalam, kemudian, daun pintu kamar itu dibukanya dan secepat kilat tubuhnya melayang ke dalam. Gerakannya itu sedemikian ringannya sehingga sama sekali tidak menimbulkan suara apa-apa dan dua orang pelayan wanita yang duduk di atas lantai menghadapi pembaringan itu sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tidak menengok.
Tiba-tiba mereka itu mengeluh dan roboh terguling, pingsan dan tidak sempat melihat siapa orangnya yang menyerang mereka, bahkan tidak tahu apa yang terjadi karena serangan dengan totokan kedua tangan ke arah tengkuk yang membuat mereka pingsan itu demikian luar biasa cepatnya.
Bayangan itu bukan lain adalah Syanti Dewi! Seperti telah kita ketahui, puteri Bhutan yang cantik jetita ini telah melarikan diri dari Kim-coa-to karena jijik melihat kenyataan betapa gurunya, yaitu Ouw Yan Hui, dan Maya Dewi si nenek India ahli kecantikan itu melakukan perbuatan-perbuatan mengerikan, yaitu suka berjina dengan sesama wanita. Sang puteri melarikan diri dengan perahu dan kini dia telah berubah menjadi seorang wanita yang luar biasa cantiknya berkat ramuan obat yang diberikan oleh Maya Dewi. Di samping kecantikan yang luar biasa, bagaikan batu permata yang sudah digosok, dia pun kini memiliki kepandaian istimewa, terutama sekali ilmu ginkang yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang cepatnya!
Dengan kepandaiannya yang hebat itu, Syanti Dewi cepat menuju ke Bhutan. Dia sudah merasa rindu kepada kampung halaman, dan merasa berdosa telah meninggalkan ayah bundanya di Kerajaan Bhutan. Apa lagi ketika dia mendengar berita yang didapatnya di sepanjang jalan bahwa di Bhutan terjadi pemberontakan dan bahwa hampir saja Raja Bhutan menjadi korban, dia mempercepat perjalanannya menuju ke Bhutan. Setelah tiba di daerah Bhutan, berita yang didapatnya lebih mengejutkan hatinya karena berita ini menyatakan betapa dalam keadaan bahaya besar bagi ayahnya dan Kerajaan Bhutan itu, kernbali muncul Ang Tek Hoat sebagai pahlawan dan penolong! Akan tetapi, hatinya merasa gelisah bukan main ketika mendengar bahwa pemuda itu luka-luka parah dan kini rebah di istana dalam keadaan menderita sakit berat.
Syanti Dewi mendengar pula akan adanya wanita yang memalsu dirinya, dan betapa pemberontakan itu dipimpin oleh Mohinta yang telah tewas. Semua ini mendatangkan tanda tanya besar baginya sehingga dia tidak mau memasuki Bhutan secara terang terangan, melainkan memasuki daerah istana itu setelah malam tiba. Bahkan dia bersembunyi di atas genteng ketika melihat rombongan ayahnya memasuki kamar Tek Hoat, dan mendengarkan percakapan mereka tanpa diketahui seorang pun. Dengan kepandaiannya yang sekarang, hal ini dapat mudah dilakukannya karena semua gerakannya sedemikian ringan dan tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Setelah ayahnya dan rombongan ayahnya meninggalkan kamar itu, untuk sejenak dia berdiam dengan hati terguncang hebat. Apa yang didengarnya antara percakapan ayahnya dengan Panglima Jayin dan tabib-tabib tadi benar-benar amat mengejutkan dan mengharukan hatinya. Tek Hoat sakit parah dan mungkin tidak akan tertolong keselamatannya! Tek Hoat bukan parah karena luka-lukanya, tetapi karena mengira dia telah mati, belum tahu bahwa yang mati adalah wanita yang mertyamar sebagai dia!
“Tek Hoat...!” Setelah dia meluncur turun dan merobohkan dua orang pelayan sehingga mereka berdua itu roboh pingsan tanpa mengenalnya, Syanti Dewi berlari menghampiri dipan di mana tubuh Tek Hoat terbujur terlentang di atasnya.
“Tek Hoat...!” Dia berbisik, menubruk pemuda itu dan duduk di tepi pembaringan, lalu memandang wajah yang kurus pucat itu dengan hati penuh keharuan.
Dia merasa terharu karena betapa pun juga, Tek Hoat telah membuktikan kesetiaannya terhadap Bhutan dan cinta kasih yang mendalam kepada dirinya sendiri. Kekerasan hatinya yang pernah marah terhadap Tek Hoat yang meninggalkannya tanpa pamit itu melunak, akhirnya mencair bersama keluarnya air matanya dan bangkitlah rasa cintanya terhadap pemuda ini yang memang belum pernah padam.
Perasaan duka dan iba memang merupakan perasaan yang paling kuat untuk menggerakkan cinta kasih dalam batin seorang wanita! Betapa sering dan banyak terbukti bahwa seorang wanita yang menaruh iba dan merasa terharu, akan mudah sekali menyatakan cinta kasihnya.
Agaknya Puteri Bhutan itu juga tidak terkecuali dan pada saat itu, keharuan dan iba hati mempengaruhi batinnya dengan amat kuatnya sehingga hatinya yang memang sejak dahulu mencinta Tek Hoat, kini bagaikan api berkobar lagi.
“Tek Hoat, ahhh... Tek Hoat...!”
Dia meraba-raba pipi yang kurus itu, air matanya bertitik turun di sepanjang kedua pipinya, semua keangkuhan terbang pergi meninggalkan batinnya dan sang puteri yang cantik jelita seperti bidadari kahyangan ini merangkul, menunduk dan mencium ujung mulut Tek Hoat dengan sepenuh perasaan kasih sayangnya.
Getaran perasaan yang memuncak itu agaknya terasa pula oleh Tek Hoat yang sedang rebah tidur atau dalam keadaan setengah sadar. Dia membuka matanya yang sayu. Pandang mata yang sayu itu bertemu dengan sepasang mata yang amat dekat, sepasang mata bening yang basah air mata, wajah yang cantik, yang begitu dekat sehingga dia merasakan hembusan napas yang hangat, wajah yang selama ini membuat dia seperti bosan hidup, wajah Syanti Dewi yang telah meninggal dunia!
Tiba-tiba sepasang mata yang sayu itu terbelalak lebar, Tek Hoat tersentak kaget seperti melihat setan. Ada kekuatan gaib yang menibuat dia seperti kemasukan kilat, membuatnya bangkit duduk.
“Syanti Dewi...!” dia menjerit, akan tetapi jeritannya itu hanya keluar seperti bisikan halus saja. “Tak mungkin...! Tak mungkin...! Engkau telah... mati...!” Dengan sepasang mata tak pernah berkedip, masih terbelalak, Tek Hoat berkata dengan suara berbisik, dan dadanya bergelombang, napasnya terengah-engah.
Sambil tersenyum dengan mata basah air nata, Syanti Dewi mengulur kedua tangannya, memegang lengan pemuda itu dengan lembut sambil berkata, “Tidak, Tek Hoat, tidak... aku tidak mati...“ Sungguh mengharukan sekali wajah yang cantik itu, mulutnya tersenyum lebar sehingga nampak deretan giginya yang seperti mutiara, akan tetapi air matanya masih membasahi matanya dan menuruni pipinya.
Tetapi lahir batin Tek Hoat masih dalam keadaan belum sehat benar. Tiba-tiba saja dia mengibaskan kedua tangan dara itu dari lengannya, sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya bersungut-sungut dan kedua tangannya dikepal! Dia seperti melihat lagi bayangan Syanti Dewi bercumbu dengan Mohinta, mendengar kata-kata penuh rayuan dan kegenitan Syanti Dewi ketika bercumbu dalam kamar bersama pemberontak itu. Makin dikenang, makin hebatlah kemarahannya dan akhirnya meledak dengan keras dalam bentuk kata-kata yang parau penuh kebencian.
“Enyah engkau, perempuan lacur! Perempuan hina dan rendah tak tahu malu! Engkau mengotorkan negaramu, engkau mengotorkan cinta kasih kita, engkau mengotorkan bumi dengan kecabulanmu. Pergi!”
Syanti Dewi terhuyung ke belakang, memegangi pipinya seakan-akan baru menerima tamparan keras dari Tek Hoat dengan kata-kata itu. Wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak memandang wajah Tek Hoat dan air matanya makin deras bercucuran. Dia lalu memejamkan matanya, menggigit bibirnya agar jangan menjerit.
“Engkau telah berjinah dengan Mohinta! Berani kau menyentuhku setelah melakukan perbuatan keji dan kotor itu?” Setiap kata yang keluar dari rnulut Tek Hoat seolah-olah menghujam di ulu hati Syanti Dewi, menimbulkan keperihan yang amat hebat sehingga dia menjadi berduka sekali, kemudian kemarahan menguasai dirinya.
Tiba-tiba dia meloncat ke belakang. Mukanya berubah merah, matanya bersinar-sinar, dadanya bergelombang dan napasnya sesak, dengan kemarahan yang luar biasa dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Tek Hoat.
“Tutup mulutmu yang kotor, Tek Hoat! Engkau laki-laki tolol, keji dan jahat! Aku... aku... muak perutku melihat mukamu! Uhhhhh...!” Syanti Dewi menutupi mukanya menahan tangis, lalu sekali berkelebat dia sudah meloncat keluar kamar itu.
Sejenak Tek Hoat berdiri seperti patung. Mukanya sudah berubah pucat lagi, seperti mayat hidup. Baru dia sadar betapa dia sudah menghina puteri itu, memaki puteri itu, puteri yang selama ini tidak pernah dilupakannya, yang agaknya merupakan bayangan satu-satunya yang masih mampu menahan sehingga nyawanya masih enggan meninggalkan tubuhnya. Betapa dia mencinta wanita itu! Dan betapa dia telah menghinanya dengan kata-kata keji dan maki-makian! Semua itu kini nampak nyata.
“Syanti Dewi...!” Dia berteriak lantang dan cepat meloncat, terhuyung dan keluar dari kamar itu melalui jendela, kemudian melakukan pengejaran secepat mungkin, tidak lagi mempedulikan kepeningan yang mengganggu kepalanya dan yang membuat pandang matanya kabur.
“Dewi...! Syanti Dewi..., jangan tinggalkan aku...!” Berulang-ulang Tek Hoat berteriak sekuatnya ketika akhirnya dia dapat melihat bayangan wanita itu.
Setengah malam suntuk dia telah melakukan pengejaran, sampai bayangan wanita itu jauh meninggalkan Kota Raja Bhutan, naik turun bukit dan fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia dapat melihat Syanti Dewi masih berjalan cepat di sebelah depan.
“Syanti Dewi..., jangan tinggalkan aku...!” Dia berteriak sambil mengeluh dan terus berlari secepatnya.
Syanti Dewi yang tahu betapa Tek Hoat mengejarnya sejak semalam dan sengaja dia tidak mau berhenti, sambil menangis terus berjalan cepat, kini tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya, berdiri di tengah jalan hutan yang kecil itu, berdiri tegak, bahkan bertolak pinggang menanti datangnya pemuda itu.
“Ah, Dewi..., kau tunggu...!” Tek Hoat berkata lemah dan terhuyung-huyung sampai juga di depan dara itu.
“Siapa yang lari meninggalkan siapa? Tek Hoat, lupakah engkau betapa dulu engkau telah lari dari Bhutan tanpa pamit, meninggalkan aku begitu saja? Tidak tahukah engkau, atau pura-pura tidak tahu, betapa sampai mati-matian aku bersusah payah mencari-carimu, menempuh banyak bahaya dan penderitaan, semua kulakukan untuk dapat mencari dan menyusulmu? Beribu macam kesengsaraan kuderita demi untukmu seorang! Dan sekarang, setelah kita saling bertemu, apa yang kudapatkan? Hanya fitnah dari mulutmu yang keji, makian-makian dan kata-kata kotor! Aku muak! Aku tak sudi!” Syanti Dewi lalu menangis dan menutupi mukanya, terisak-isak dengan hati terasa perih sekali.
Tek Hoat berdiri bingung, tubuhnya bergoyang-goyang, kepalanya masih pening, akan tetapi pikirannya mulai berjalan, mulai sadar. Inilah Syanti Dewi yang asli, dan kalau Syanti Dewi ini masih hidup, jelas bahwa yang mati itu bukanlah Syanti Dewi! Dan kalau yang mati bukan Syanti Dewi, berarti yang berjinah dengan Mohinta tentu juga bukan Syanti Dewi. Dan yang mencoba membunuh Raja Bhutan tentu bukan yang berdiri di depannya ini pula!
“Syanti... Dewiku... aku... aku bingung..., aku melihat engkau berjinah dengan Mohinta, aku melihat engkau menyerang dan hendak membunuh Raja Bhutan ayahandamu sendiri, kemudian aku melihat engkau... engkau mati...!”
“Itulah karena matamu telah buta! Buta oleh cemburu! Tidak sadar bahwa engkau sendiri yang mengkhianati ikatan cinta kita, engkau pergi meninggalkan aku begitu saja! Engkau tidak tahu bahwa wanita itu adalah wanita lain yang dipergunakan oleh Mohinta untuk memalsu aku! Dan engkau telah memaki aku dengan kata-kata kotor, menghina diriku seperti belum pernah ada manusia berani menghinaku selama hidupku ini...“ Kembali Syanti Dewi menangis.
Mulai teranglah kini bagi Tek Hoat terhadap semua kenangan dan gambaran yang amat membingungkan hatinya itu dan makin jelaslah baginya betapa dia telah melakukan hal yang amat keji dan menyakitkan hati kekasihnya itu. “Dewi... ahhh, Dewi... aku telah bersalah besar, aku berdosa padamu, kau maafkanlah aku, Dewi, kau ampunkan aku...“
“Apa? Maaf? Ampun? Setelah apa yang kuderita selama setahun lebih, setelah apa yang kau katakan dengan kata-kata keji terhadap diriku? Tidak! Aku tak sudi merendah lagi, aku sudah cukup merangkak-rangkak dengan mencari-carimu selama ini! Aku tidak mau menyembah-nyembah lagi, aku tidak mau mendamba cintamu dengan mengemis! Tidak, kini sudah tiba masanya, tiba saatnya bahwa engkau yang harus benar-benar menunjukkan cintamu kepadaku. Engkau yang harus menyembah-nyembah, harus menderita kalau mau mendapatkan cintaku! Nah, dengar kau, Tek Hoat. Aku muak melihatmu, aku... ah, aku...“ Dia menutupi mukanya dan menangis makin keras sampai sesenggukan.
Wajah Tek Hoat menjadi pucat sekali, tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Dia tahu akan kesalahannya. Kata-katanya memang terlampau keji, padahal, kalau dia mengingatkan betapa wanita ini telah menderita hebat demi untuk mencarinya setelah dia meninggalkannya begitu saja! Ah, betapa besar dosanya.
”Syanti Dewi... Puteri... ampunkanlah hamba...!” Dia menangis sesenggukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Syanti Dewi, menyembah-nyembahnya dengan muka pucat dan air mata bercucuran.
Syanti Dewi terbelalak memandang kepada pemuda yang berlutut dan menyembah itu, mukanya membayangkan kekagetan hebat, menjadi pucat kemudian merah dan dia menjadi semakin marah. Dengan gemas dia membanting-banting kakinya.
“Uhhhhh! Laki-laki macam apakah engkau? Laki-laki lemah, laki-laki canggung, laki-laki cengeng! Uh, mual perutku melihatmu!” Dia terisak dan membalik, terus lari secepat kijang melompat.
“Syanti Dewi...!” Tek Hoat mengangkat muka, terbelalak memandang gadis itu yang lari. Dia pun cepat meloncat dan lari mengejar, akan tetapi terhuyung dan terguling roboh karena matanya gelap. Dia merangkak, bangkit lagi dan berlari lagi terhuyung mengejar Syanti Dewi yang sudah lari jauh di depan.
“Dewiiiii...! Tungguuuuu...., jangan tinggalkan aku...!”
Akan tetapi wanita itu tidak mau peduli, berlari makin cepat dan karena kini dia telah memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi, sebentar saja Tek Hoat tertinggal jauh dan akhirnya dia lenyap dari pandang mata pemuda itu yang masih terus lari mengejar dengan terhuyung-huyung dan akhirnya Tek Hoat merasa matanya gelap sehingga dia menabrak sebatang pohon dan terpelanting, pingsan!
Sunyi sekali di tempat itu setelah Syanti Dewi pergi dan Tek Hoat roboh pingsan. Sinar matahari pagi menimpa wajah pucat dari pemuda yang menggeletak terlentang tak sadarkan diri itu. Burung-burung berkicau saling bersahutan sambil berloncatan di atas dahan-dahan pohon. Mereka itu bernyanyi menyambut datangnya matahari ataukah mereka sedang membicarakan persoalan manusia yang hidupnya selalu penuh dengan duka dan sengsara itu?
Matahari telah naik semakin tinggi dan burung-burung telah meninggalkan pohon-pohon di hutan itu untuk bertebaran keempat penjuru mengikuti jalan sendiri-sendiri untuk mulai mencari makan ketika serombongan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Panglima Jayin memasuki hutan itu dan menemukan Tek Hoat yang masih menggeletak pingsan.
Panglima Jayin terharu dan girang dapat menemukan pemuda ini, lalu digotonglah pemuda itu dengan hati-hati, kembali ke istana di Kota Raja Bhutan. Panglima ini telah dengan cepat memimpin pasukan untuk mengikuti jejak Tek Hoat dan mencarinya setelah ada dayang yang menjenguk kamar sang pendekar dan melihat dua orang pelayan masih roboh tak bergerak karena tertotok dan pendekar itu lenyap dari atas pembaringan. Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Syanti Dewi, maka mereka semua, termasuk Panglima Jayin, menyangka bahwa Tek Hoat, dalam keadaan bingung dan belum sadar benar, telah menotok dua orang pelayan itu dan melarikan diri dari dalam kamarnya.
Ketika siuman dari pingsannya setelah dirawat oleh para tabib, Tek Hoat gelisah dan mulutnya memanggil-manggil Syanti Dewi. Melihat keadaan pemuda ini, sri baginda lalu mendesak kepada Panglima Jayin untuk menggiatkan kembali pencarian terhadap puterinya sampai dapat.
Guncangan batin yang hebat diderita oleh Tek Hoat sehingga untuk kedua kalinya dia rebah dan sakit, kadang-kadang berteriak-teriak memanggil Syanti Dewi seperti orang gila, kadang-kadang merenung dan menangis seorang diri seperti anak kecil. Dalam penderitaan ini, teringatlah dia akan semua perbuatannya sebelum dia berjumpa dengan Syanti Dewi dan dia merasa menyesal sekali. Agaknya dosa-dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu itulah yang kini berbuah dengan kesengsaraan batin yang amat hebat sebagai hukuman baginya…..
Dia menjatuhkan dirinya yang sudah amat lelah itu ke atas rumput tebal di dalam hutan yang sunyi itu, di bawah sebatang pohon, menangis terisak-isak. Makin diingat, makin sakitlah rasa hatinya. Syanti Dewi menangis sampai mengguguk dan memijit-mijit betis kakinya yang terasa amat lelahnya. Dia tadi telah mengerahkan seluruh tenaga dan ilmunya berlari cepat, berlari terus sampai dia tidak kuat lagi dan akhirnya terpaksa menjatuhkan diri di situ.
“Tek Hoat...!” Nama ini keluar dari bibirnya seperti rintihan dan memang dia merintih karena jantungnya terasa perih dan nyeri.
Dia tidak merasa syak lagi bahwa dia amat mencinta pemuda itu. Akan tetapi, sikap Tek Hoat amat menyakitkan hatinya. Dia pun tahu bahwa Tek Hoat salah sangka, mengira wanita palsu yang menyamar seperti dia itu adalah dia yang sesungguhnya sehingga makian Tek Hoat bukan tidak beralasan. Namun, pengertian ini tidak cukup kuat untuk meredakan kemarahan dan sakit hatinya karena sambutan Tek Hoat itu sungguh menyakitkan hati.
Dia telah bertahun-tahun menderita karena pemuda itu, dia telah sengsara dan beberapa kali terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri dalam usahanya mencari kekasihnya. Dia telah berkorban lahir batin untuk Tek Hoat, akan tetapi pemuda itu malah memakinya dengan kata-kata keji! Hati siapa tidak akan menjadi panas karenanya? Makin diingatnya peristiwa tadi ketika Tek Hoat memakinya, makin marahlah hati Syanti Dewi dan makin membuyar pengertiannya bahwa pemuda itu melakukannya bukan tanpa sebab.
Marah, dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti ditimbulkan oleh kekecewaan karena merasa dirinya dirugikan, lahir mau pun batin. Dirinya itu pada hal-hal biasa adalah si aku, tetapi sering kali juga meluas sifatnya menjadi si kami, keluargaku, golonganku, bangsaku dan selanjutnya yang sesungguhnya tiada bedanya dengan si aku karena di dalam semua itu bersembunyi si aku yang menyamakan dirinya. Si aku ini selalu ingin senang, oleh karena itu kalau dia tidak dibikin senang, marahlah dia.
Dari pengalaman, atau pelajaran kebudayaan, atau pelajaran agama, kita mengenal akibat-akibat kemarahan yang mendatangkan kekerasan, permusuhan, kebencian dan kesengsaraan. Oleh karena ini maka timbullah daya upaya untuk melenyapkan kemarahan, atau setidaknya menekannya dan mengesampingkannya. Maka muncullah pelajaran untuk bersabar. Apakah ‘belajar sabar’ ini dapat membebaskan kita dari pada kemarahan? Kiranya hasil belajar sabar ini hanya untuk sementara saja. Belajar sabar berarti penekanan terhadap kemarahan dan biar pun kadang kala nampaknya berhasil, namun sesungguhnya kemenangan itu hanya sementara saja.
Api kemarahan itu masih ada, hanya ditutup secara paksa oleh kesabaran yang dilandasi pengetahuan bahwa kemarahan itu tidak baik. Api kemarahan itu masih belum padam, hanya nampaknya saja padam karena tertutup oleh kesabaran, seperti api dalam sekam, nampaknya tidak bernyala namun sebenarnya di sebelah dalam masih membara dan sewaktu-waktu akan dapat meledak dan menyala kembali! Belajar sabar menyeret kita ke dalam lingkaran setan, marah, ditekan kesabaran, marah lagi, bersabar lagi dan seterusnya seperti yang dapat kita lihat kenyataannya sehari-hari. Akhirnya, bukan api kemarahan yang padam, melainkan api semangat kita sendiri, membuat kita menjadi apatis, tak acuh, tidak peduli, atau sinis! Belajar sabar hanya pemulas, di sebelah dalam, batin, kita marah, akan tetapi di luar, lahir, kita sabar.
Setelah melihat kenyataan ini semua, tindakan apakah yang harus kita ambil dalam menanggulangi kemarahan dalam batin? Bagaimana pula kita harus melenyapkan kemarahan yang setiap saat muncul apa bila kita merasa diganggu dan dirugikan lahir batin?
Melakukan tindakan apa pun juga untuk melenyapkan kemarahan tidak akan berhasil membebaskan diri dari pada kemarahan. Kemarahan tidak dapat dilenyapkan oleh daya upaya. Kemarahan adalah si aku itu sendiri, satu di antara sifat si aku yang selalu ingin senang, maka kalau kesenangannya terganggu, tentu marah. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah mengenal aku, mengenal kemarahan, mengerti kemarahan dan hal ini hanya dapat terjadi apa bila kita mau menghadapi kemarahan tanpa ingin mengubah, tanpa ingin menekan atau melenyapkan!
Kalau kemarahan datang, yang membuat jantung berdebar panas, yang membuat napas terengah, muka merah dan mata mendelik, kalau kita merasa tidak senang lalu marah, kita menghadapi kemarahan itu seperti kenyataannya, kita mengamatinya, memandang dan mengamati saja penuh perhatian, penuh kewaspadaan tanpa pamrih apa-apa, tanpa ingin menguasai menekan atau melenyapkan. Kalau kita memandang dan mengamati dengan penuh perhatian tanpa perasaan atau keinginan apa-apa, berarti kita sadar waspada, maka semua akan nampak terang dan kemarahan akan musnah tanpa kita hilangkan atau tekan.
Hal ini tak mungkin dapat dimengerti tanpa penghayatan, tanpa pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari! Dan kalau kemarahan sudah lenyap sendiri, tanpa dilenyapkan, kalau api kemarahan sudah padam, bukan ditutup sekam, melainkan padam sama sekali, kalau di dalam batin sudah tidak ada lagi kemarahan, apa perlunya kita belajar sabar? Tidak dibutuhkan lagi apa yang dinamakan kesabaran itu.
Kemarahan dalam hati Syanti Dewi mendatangkan perasaan nelangsa, iba diri dan duka. Dia merasa hidupnya sengsara, penuh derita batin, dan tidak bahagia.
“Ahhh, betapa buruk nasibnya...,“ dia mengeluh di antara tangisnya. “Betapa jauh dari kebahagiaan...“
Gadis ini menghapus air matanya, lalu duduk bersandarkan batang pohon, termenung dengan hati sayu dan sepi. Mulailah Puteri Bhutan ini bertanya-tanya apakah sesungguhnya kebahagiaan hidup! Apakah yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Harta bendakah?
Dia adalah seorang puteri kerajaan yang tentu kaya raya, dan apa pun juga yang diinginkannya dalam bentuk benda, sudah pasti akan dapat dia peroleh. Dia memiliki harta benda berlimpahan, namun tetap tidak berbahagia. Jelas bukan dalam harta bendalah letaknya kebahagiaan! Lalu di mana? Apakah dalam kedudukan dan kemuliaan? Juga tidak, karena sebagai puteri raja yang dimanja, kedudukannya tinggi dan terhormat, kemuliaan selalu dirasakan semenjak dia kecil, namun semua itu akhirnya, seperti juga pada harta benda, mendatangkan kebosanan dan dia tetap tidak berbahagia. Apakah dalam petualangan hidup? Juga tidak. Hal itu pun hanya berlalu begitu saja, yang tinggal hanya kenangan hampa. Ataukah dalam cinta? Dia saling mencinta dengan Tek Hoat, akan tetapi selama ini lebih banyak dukanya dirasakan dari cintanya ini dari pada sukanya.
Memang kasihan sekali dara jelita puteri bangsawan ini. Wajahnya pucat dan basah air mata, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut seperti pakaiannya pula, sinar mata yang biasanya bening, jeli dan tajam itu kini sayu tak bercahaya, dan segala yang nampak oleh sepasang mata itu buruk dan membosankan belaka, seolah-olah matahari sudah kehilangan cahayanya. Dia terbenam dalam lautan duka yang makin mendahsyat oleh gelombang iba diri.
Memang kasihanlah Puteri Syanti Dewi atau siapa saja yang menganggap cinta kasih sebagai suatu hal yang harus menjadi sumber kesenangan menjadi suatu hal yang harus menjadi pemuas keinginan diri sendiri belaka, karena siapa saja yang beranggapan demikian sudah pasti akan menemui kegagalan dalam cinta, sudah pasti pada suatu waktu akan kecewa karena cinta kasih yang tadinya dianggap sebagai sumber kesenangan ternyata tidaklah seperti yang diharapkan semula. Setiap bentuk kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan, jelaslah bahwa hal itu berarti bahwa cinta kasih juga merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan! Kesenangan mempunyai kebalikannya, yaitu kedukaan. Maka, kalau kesenangan terluput, datanglah kekecewaan atau kedukaan.
Patutkah kalau kita menyamakan cinta kasih dengan kesenangan? Benarkah anggapan sementara orang bahwa cinta kasih adalah pemuasan birahi belaka? Tepatkah kalau cinta kasih mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian, dan kedukaan?
Tidaklah mungkin untuk menentukan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu. Cinta kasih bukanlah benda atau hal mati yang sudah dapat ditentukan sifatnya. Namun jelas bukan cinta kasih kalau mendatangkan duka! Dan pementingan mendatangkan duka, pengejaran kesenangan mendatangkan duka, jadi semua itu bukanlah cinta kasih!
Yang menimbulkan suka dan duka bukan cinta kasih. Yang masih dicengkeram suka duka tak mungkin mengenal bahagia. Cinta kasih atau bahagia tentu jauh lebih tinggi di atas alam suka duka!
Merasa betapa dirinya amat celaka dan bernasib buruk, Syanti Dewi merasa nelangsa dan iba diri. Semenjak menjadi murid Ouw Yan Hui, sedikit banyak watak dan sifat dingin keras dari tokoh wanita majikan Pulau Ular Emas itu menular kepadanya.
Tidak, pikirnya sambil mengepal tinju. Aku tidak akan membiarkan diri merendah lebih lama lagi! Dia tidak akan sudi merendah kepada Tek Hoat, betapa besar pun rasa cintanya kepada pemuda itu. Sudah tiba saatnya dia bersikap sebagai seorang puteri raja! Kini sudah tiba waktunya bagi Tek Hoat untuk menerima giliran, bersusah payah mencarinya, menderita karena dia, dan akhirnya bertekuk lutut padanya, membuktikan cinta kasihnya, kalau memang Tek Hoat benar cinta kepadanya!
Syanti Dewi terbangun dengan kaget karena dia seperti mendengar teriakan-teriakan suara Tek Hoat yang memanggil-manggilnya. Dia terloncat dan membelalakkan mata, memandang ke kanan kiri namun sunyi saja. Kiranya dia mimpi! Tanpa disadari, ketika melamun dengan hati penuh duka di bawah pohon tadi, dia tertidur saking lelahnya. Dan kini matahari telah condong ke barat, keadaan di dalam hutan itu sudah mulai remang-remang.
Perutnya terasa lapar bukan main. Syanti Dewi meneliti keadaan di sekeliling tempat itu. Hutan yang sunyi, bahkan suara burung pun tidak didengarnya, padahal pada saat seperti itu biasanya burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Jelas bahwa tempat ini tidak dihuni burung, dan ini berarti pula bahwa di tempat itu tidak terdapat pohon-pohon yang berbuah. Padahal perutnya amat lapar. Di hutan itu tidak dapat mengharapkan memperoleh makanan, dan dia pun tidak tahu mana dusun terdekat. Agaknya dia harus menahan rasa lapar di perutnya sampai lewat malam itu!
“Hemmm, pada hari dan malam pertama saja aku sudah harus menderita lagi karena ulah Tek Hoat!” Dia menggerutu sambil mengepal tinju dengan hati gemas.
Kalau tidak ada Tek Hoat yang bersikap menyakitkan hatinya, tentu saat itu dia berada di istana ayahnya, melepas rindunya kepada ayah bundanya dan mereka tentu sedang bercakap-cakap dengan gembira, menghadapi hidangan-hidangan yang amat lezat dan yang disukainya. Dia berjalan menyusup lebih dalam ke hutan itu, dengan harapan akan melihat rumah-rumah orang. Kalau ada dusun, dia tentu akan bisa mendapatkan makanan, baik secara meminta, membeli, atau mencuri sekali pun! Akan tetapi ternyata hutan itu kecil saja dan setelah dia menembus hutan itu, dia tiba di padang rumput yang luas!
Sialan, pikirnya memandang ke depan, pada padang rumput yang agaknya tidak bertepi itu. Angin senja ditiup dan permukaan padang rumput itu bergelombang, merupakan lautan hijau kemerahan karena bermandikan cahaya matahari senja. Bukan main indahnya pemandangan di saat itu, akan tetapi keindahan itu tidak nampak oleh mata Syanti Dewi karena dia sedang merasa jengkel dan duka, apa lagi rasa lapar di perutnya amat menyiksa.
Memang demikianlah keadaan hidup kita manusia ini. Keindahan dan kebahagiaan itu sudah ada di mana pun dan kapan pun. Akan tetapi keindahan itu tidak nampak dan kebahagiaan itu tidak terasa oleh kita apa bila batin kita penuh dengan masalah masalah kehidupan, penuh dengan pertentangan, kekhawatiran, kemarahan, keputus asaan, kebencian, yang kesemuanya itu mendatangkan duka.
Jelaslah bahwa keindahan dan kebahagiaan itu tidak dapat dicari diluar diri kita, karena sumber dari segalanya berada di dalam diri kita sendiri. Kalau batin kita sudah bebas dari segala pamrih, bebas dari segala macam keinginan memperoleh hal-hal yang tidak ada, maka akan nampaklah segala keindahan yang terbentang di hadapan kita, di mana pun dan bilamana pun, akan terasalah kebahagiaan dan cinta kasih! Hal hal seperti ini tidak mungkin dapat dimengerti kalau hanya dibicarakan sebagai teori hampa belaka, melainkan harus dihayati di dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri.
Makin besar penderitaannya, makin besar pula Syanti Dewi menimpakan kesalahannya kepada Tek Hoat. Makin besar pula kemarahannya kepada pemuda itu dan makin besar pula tekadnya untuk membiarkan Tek Hoat menderita sebelum dia mau ‘mengalah’. Dia sudah membuktikan cintanya terhadap Tek Hoat, maka kini dia pun menuntut agar pemuda itu membuktikan cintanya pula, dengan cara bersengsara untuknya! Aihhh, betapa sudah gilanya orang yang tercengkeram oleh cinta! Cinta yang sesungguhnya bukan lain hanyalah nafsu menyenangkan diri sendiri belaka, melalui orang lain!
Tiba-tiba Syanti Dewi mendengar suara gaduh dan dari depan nampak serombongan orang berlari-lari ketakutan ke arah hutan dari mana dia muncul.
Ahhh, ada orang! Hati puteri itu menjadi girang. Di mana ada orang tentu ada pula makanan! Akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya ketika melihat orang-orang itu semua dalam keadaan ketakutan dan dari pakaian mereka, dia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang dusun. Anehnya, di antara mereka terdapat pula orang orang yang agaknya memiliki kepandaian lumayan karena dapat berlari cepat dan gerak-gerik mereka jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang dusun!
Ketika orang-orang itu melihat Syanti Dewi di tepi hutan, mereka memandang dengan terheran-heran karena sungguh merupakan hal yang aneh melihat seorang dara yang sedemikian cantiknya, lebih mirip bidadari dari pada manusia, sendirian saja di tepi hutan pada waktu senja seperti itu! Orang-orang yang memang sedang panik dan ketakutan ini makin menjadi takut, mengira bahwa Syanti Dewi sudah pasti bukan manusia, karena kalau manusia, seorang gadis secantik jelita itu mana mungkin sendirian saja di senja hari di tepi hutan! Maka mereka menjadi pucat terbelalak, tidak tahu lagi harus lari ke mana.
Akan tetapi, beberapa orang yang kelihatan gagah perkasa itu, memandang kepada Syanti Dewi dengan kaget, kemudian mereka berseru girang dan lari menghampiri, terus langsung menjatuhkan diri di depan kaki dara bangsawan itu.
“Sang Puteri... tak disangka hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini..., mari hamba antarkan pulang dengan segera karena ada bahaya mengancam di dusun sana!”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Orang-orang ini telah mengenalnya dan hal itu tidak mengherankan karena daerah ini tidak jauh dari Kota Raja Bhutan.
“Siapakah kalian dan mengapa kalian berlari-lari seperti ini?” tanyanya tenang.
“Hamba berlima adalah pengawal-pengawal yang diutus oleh Panglima Jayin untuk mencari jejak Paduka. Hamba tadinya merupakan pasukan kecil terdiri dari dua belas orang. Ketika hamba sekalian tiba di dusun di luar padang rumput ini, hamba melihat serombongan orang kate yang aneh sedang mengacau di dusun. Sebagai prajurit prajurit Bhutan tentu saja hamba sekalian segera turun tangan menentang gerombolan itu, akan tetapi sungguh celaka, Sang Puteri...“
Melihat orang yang bercerita itu kelihatan berduka dan empat orang prajurit lainnya kelihatannya takut-takut dan menoleh ke arah belakang, Syanti Dewi mendesak, “Mengapa? Apa yang terjadi selanjutnya?”
Sementara, itu, orang-orang dusun yang ikut melarikan diri tadi kini pun sudah berlutut menghadap Syanti Dewi ketika mereka mendengar bahwa dara cantik jelita itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang amat terkenal itu. Mereka sudah mendengar bahwa sang puteri ini selain cantik jelita seperti bidadari, juga memiliki kepandaian tinggi, maka begitu melihat munculnya puteri jelita ini secara aneh di tepi hutan, apa lagi melihat lima orang yang lihai itu demikian menghormatinya, mereka pun menjadi girang dan timbul harapan dalam hati mereka yang gelisah dan putus asa.
“Sungguh celaka, Sang Puteri, gerombolan orang cebol itu lihai bukan main. Bukan saja hamba sekalian dipukul mundur, bahkan tujuh orang teman hamba tewas oleh mereka dan hamba berlima tentu akan tewas pula kalau tidak cepat melarikan diri untuk mencari bantuan. Hamba hendak melapor ke kota raja.”
“Hemmm, siapakah mereka itu? Dan apa yang mereka lakukan di dusun?” Syanti Dewi bertanya dengan marah.
“Hamba sendiri tidak tahu siapakah mereka. Menurut cerita para penghuni dusun, mula mula yang muncul hanya seorang kakek cebol yang aneh, yang tinggal di dalam kuil tua di dusun itu. Akan tetapi, munculnya kakek ini disusul kematian para hwesio di kuil itu yang jumlahnya hanya empat orang dan kuil itu sama sekali dikuasainya. Kemudian, berturut-turut bermunculan orang-orang cebol yang lihai dan ternyata dusun itu mereka jadikan semacam tempat pertemuan besar antara orang-orang cebol. Mereka lalu memaksa penduduk untuk melayani mereka, menyediakan makanan setiap hari untuk mereka, dan selain mereka menuntut makanan yang mahal-mahal, juga mereka mulai mengganggu wanita...!”
“Keparat!” Syanti Dewi mengepal tinju dengan marah.
“Penduduk dusun tidak ada yang berani melawan. Lalu hamba dua belas orang secara kebetulan lewat di dusun itu dalam usaha hamba mencari jejak Paduka, dan begitu mendengar laporan mereka, hamba lalu menyerbu ke kuil dan akibatnya, tujuh orang teman hamba tewas dan orang-orang cebol itu mengamuk, membunuhi orang-orang dusun karena menuduh penduduk dusun sengaja melapor kepada prajurit-prajurit kerajaan.”
“Hemmm, kalau begitu kalian boleh minta bantuan ke kota raja, dan aku sendiri akan menghadapi mereka.”
“Akan tetapi, mereka itu lihai bukan main...,“ prajurit itu berkata dengan khawatir.
“Aku tidak takut. Besok pagi-pagi aku akan ke sana, biar diantar oleh beberapa orang penghuni dusun, dan kalian sekarang juga boleh pergi ke kota raja mencari bala bantuan.”
Lima orang prajurit itu memberi hormat dan segera melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja, sedangkan Syanti Dewi mengajak para penghuni dusun itu bermalam di hutan sambil mendengarkan penuturan mereka. Juga dia tidak ragu-ragu untuk minta kepada mereka memasakkan makanan sekedarnya dari perbekalan mereka. Biar pun masakan yang dihidangkan dari perbekalan mereka itu adalah masakan sederhana sekali dari para penghuni dusun, namun nyatanya bagi Syanti Dewi, belum pernah dia makan selezat itu selama ini! Sambil mendengar penuturan orang-orang dusun sebangsanya itu, dia makan dengan lahap, tanpa mempedulikan tatapan mata penuh kagum dan hormat dari puluhan pasang mata penghuni dusun yang mengungsi itu. Nyammm….
Siapakah sebenarnya gerombolan orang cebol yang telah mengacau dalam dusun itu? Kakek cebol pertama yang memasuki dusun itu bukan lain ialah Su-ok Siauw-siang-cu, orang keempat dari Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akherat)!
Seperti telah kita ketahui, Twa-ok, Ji-ok, Su-ok, dan Ngo-ok telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti dan mereka berempat terdesak mundur. Karena merasa penasaran mereka itu lalu mengajukan tantangan kepada Pendekar Super Sakti untuk mengadakan pertemuan di gurun pasir yang berada di dataran Bukit Chang-pai-san dan tantangan itu diterima pula oleh Pendekar Super Sakti!
Tentu saja empat orang datuk kaum sesat itu cepat mengadakan persiapan untuk keluar sebagai pemenang dalam pertemuan itu, karena mereka maklum betapa lihainya Pendekar Super Sakti yang telah mengalahkan mereka berempat dan mereka mengambil keputusan untuk dapat menebus kekalahan dengan persiapan sebaik mungkin. Untuk persiapan inilah maka Su-ok, kakek cebol yang tingginya hanya satu seperempat meter itu meninggalkan rombongannya, pergi ke barat untuk minta bantuan dari saudara-saudaranya, yaitu sekumpulan orang cebol yang tinggal di sebuah lembah di lereng Pegunungan Himalaya, di sebelah timur batas Kerajaan Bhutan! Memang dari sinilah Su-ok berasal, dan di tempat ini dia mempunyai saudara-saudara seperguruan yang selain lihai-lihai, juga semua bertubuh cebol katai seperti dia!
Seperti juga Su-ok Siauw-siang-cu yang menjadi datuk kaum sesat, orang-orang cebol lihai yang menjadi saudara-saudaranya itu pun bukan termasuk golongan orang baik baik. Maka ketika mereka berkumpul di dusun yang dipilih oleh Su-ok sebagai tempat berkumpul itu, mereka berlaku sewenang-wenang, bukan hanya memaksa penduduk untuk memasakkan daging dan mencari arak untuk mereka berpesta-pora, akan tetapi bahkan mereka tak segan-segan untuk memaksa wanita-wanita muda untuk menemani mereka dan melayani mereka!
Daerah Pegunungan Himalaya memang merupakan daerah yang liar dan penuh rahasia aneh. Banyak bagian dari daerah ini yang masih belum pernah didatangi manusia karena selain liar dan amat luas, juga terlampau tinggi, penuh salju dan amat berbahaya dan sukar sekali didaki. Menurut dongeng, banyak daerah rahasia yang tersembunyi dan tidak pernah dapat dipijak kaki manusia dan di tempat-tempat rahasia ini tinggal mahluk-mahluk aneh, kabarnya menurut dongeng itu terdapat manusia-manusia salju yang berbulu putih dan tinggi besar seperti raksasa, ada pula manusia-manusia monyet, yaitu monyet-monyet besar yang bertubuh manusia atau manusia-manusia raksasa berwajah monyet, dan bahkan di Himalaya ini pula tempat tinggal para manusia dewa, pertapa-pertapa suci, dan sebagainya yang aneh-aneh lagi menurut khayal kelompok dan golongan masing-masing menurut kepercayaan masing-masing pula.
Dan orang-orang cebol ini merupakan segolongan manusia aneh pula yang bertempat tinggal di sebuah lereng Pegunungan Himalaya dan yang menjadi kampung halaman Su-ok. Di sini dia mempunyai saudara-saudara pula dan hampir semua orang cebol ini memiliki ilmu kepandaian yang aneh-aneh, bahkan di antara mereka ada lima orang yang menjadi sute-sute (adik-adik seperguruan) dari Su-ok, maka dapat dibayangkan betapa lihainya mereka itu setelah kini berkumpul menjadi satu di dusun itu! Pertemuan ini selain dimaksudkan oleh Su-ok untuk mencari bantuan saudara-saudaranya, juga merupakan semacam pertemuan dengan Su-ok yang lama tidak meninjau kampung halaman, dan merupakan pertemuan gembira yang dirayakan dengan pesta. Akan tetapi celakanya, orang-orang cebol itu yang hidup dalam keadaan miskin sederhana di lereng mereka, kini berpesta di dalam dusun dan memaksa penghuni dusun yang lemah untuk melayani mereka.
Karena khawatir kalau-kalau tidak akan mampu menghadapi Pendekar Super Sakti yang amat lihai, maka Su-ok bertugas untuk minta bantuan saudara-saudaranya, juga sekalian mengundang Sam-ok atau Koksu Nepal yang berada di Nepal, tidak begitu jauh dari tempat di mana dia berkumpul dengan saudara-saudaranya ini.
Sungguh patut dikasihani para penduduk dusun yang didatangi orang-orang cebol itu. Biar pun jumlah mereka hanya ada belasan orang, dan rata-rata bertubuh kecil pendek pula, namun setiap orang penduduk dusun yang coba-coba berani menentang, dengan sekali pukul saja roboh muntah darah! Maka, ketika mereka itu menculik beberapa orang wanita muda, yang menjadi suami wanita itu, atau ayah atau keluarga mereka, hanya mampu mengutuk dalam hati saja, dengan wajah pucat tangan terkepal mereka hanya dapat melihat betapa wanita-wanita itu diseret dan dibawa masuk ke dalam rumah-rumah terbesar di dusun itu yang untuk sementara waktu diduduki oleh para orang cebol.
Su-ok sendiri bersama lima orang sute-nya berpesta-pora dalam kuil, dilayani oleh lima orang gadis tercantik di dusun itu yang telah dipilih oleh lima orang sute-nya. Su-ok sendiri sudah sejak lama tidak lagi suka mengganggu wanita, dan hanya membiarkan lima orang sute-nya dan para saudara lain untuk memuaskan diri di dusun itu, sambil tersenyum melihat betapa wanita-wanita itu menjerit dan menangis, takut dan juga jijik melihat lagak orang-orang katai yang buas itu.
Akan tetapi, melihat betapa semua laki laki di dalam dusun itu tidak ada yang berani menentang, akhirnya wanita-wanita yang dipilih oleh gerombolan orang cebol itu terpaksa menerima nasib sambil menangis. Juga lima orang gadis yang kini melayani Su-ok dan lima orang sute-nya makan minum di dalam kuil, tidak lagi memperlihatkan sikap melawan, hanya melayani sambil bermuram durja, dengan pakaian dan rambut kusut, muka pucat dan air mata sudah mengering, kalau sekali-kali digoda oleh mereka dan tubuh mereka diraba, mereka itu hanya menunduk saja tanpa menolak akan tetapi juga tidak pernah mau tersenyum.
Keadaan lima orang sute dari Su-ok itu juga sama mengerikan seperti keadaan Su-ok Siauw-siang-cu sendiri. Melihat wajah mereka, jelaslah bahwa mereka itu adalah orang orang yang sudah berusia sedikitnya empat puluh tahun, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berwajah menyeramkan, sungguh pun tidak ada pula yang dapat disebut tampan. Akan tetapi, karena tubuh mereka itu pendek kecil, mereka itu nampak seperti anak-anak yang sudah tua!
Sebetulnya mereka itu nampak lebih lucu dari pada menakutkan. Akan tetapi karena tindakan mereka demikian buas, terutama sekali dalam menghadapi para wanita yang mereka tawan, mereka itu demikian penuh nafsu sehingga sama sekali bukan kanak kanak lagi, maka para wanita itu merasa jijik dan juga takut. Kelihatannya saja mereka itu bertubuh kecil-kecil, namun kalau sudah menarik wanita-wanita itu ke kamar masing masing, mereka buas melebihi binatang liar!
Setelah disekap selama dua hari dua malam, lima orang gadis itu kelihatan jinak, akan tetapi sebetulnya mereka itu bukan jinak, melainkan sudah patah semangat mereka untuk melawan, penderitaan mereka sudah melampaui batas pertahanan sehingga mereka itu menjadi seperti boneka-boneka hidup yang berwajah pucat dan bergerak seperti dalam keadaan tidak sadar saja. Mereka menurut saja apa yang diperintahkan oleh para orang cebol itu, seperti mayat-mayat hidup.
“Ehh, Suheng, apakah engkau sekarang sudah menjadi pertapa betul-betul dan sudah menjauhkan diri dari wanita?”
“Ha-ha-ha, Suheng agaknya hendak menjadi dewa, maka tidak mau menjamah wanita!”
Mendengar kelakar para sute-nya itu, Su-ok tertawa bergelak. “Siapa mau menjadi pertapa atau dewa? Ha-ha-ha, aku masih suka akan semua kesenangan dunia, akan tetapi terus terang saja, aku bosan dengan perempuan, kecuali kalau... ehh, kalau ada seorang perawan yang benar-benar cantik molek. Katakanlah... ehh, puteri istana. Nah, kalau ada perawan istana, tentu saja aku tidak menampik. Akan tetapi segala macam perawan dusun? Huh, menghambur-hamburkan sumber tenaga saja! Padahal kita akan menghadapi lawan tangguh.”
Lima orang sute-nya menyeringai dan tangan kiri mereka segera meraih pinggang ramping dari tawanan masing-masing dan menarik tubuh wanita-wanita itu sehingga mereka terduduk di atas pangkuan lima orang cebol itu. Sambil menggunakan tangan kiri untuk menggerayangi tubuh-tubuh wanita itu yang hanya memejamkan mata dan menggeliat sedikit, lima orang cebol itu melanjutkan makan minum.
“Ha-ha-ha, Suheng mengapa kini menjadi demikian kecil hati? Menghadapi seorang lawan saja, apa sih beratnya? Biar pun lawan itu mempunyai nama menjulang setinggi langit seperti... apa yang kau katakan tadi, Pendekar Super Sakti? Biar pun namanya setinggi langit, menghadapi ilmu kami berlima yang baru kami ciptakan, tanggung dia akan terjungkal!”
“Benar, Suheng, tidak perlu khawatir. Selama Suheng pergi, kami tidak pernah lalai menggembleng diri, bahkan kami telah berhasil menciptakan kerja sama berlima yang merupakan barisan berlima dan kami namakan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin (Pasukan Lima Unsur Dari Malaikat Pembuka Jalan). Biar seorang lawan mempunyai kepandaian seperti dewa sekali pun, menghadapi tin kami tentu akan celaka dia!”
Mendengar ucapan para sute-nya itu, agak lega rasa hati Su-ok. Dia tahu bahwa masing-masing sute-nya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkatnya sendiri, dan mungkin setingkat dengan kepandaian Ngo-ok, maka kalau mereka berlima ini berhasil menciptakan barisan seperti itu, agaknya tentu amat lihai. Dia akan dapat membanggakan diri kalau sute-sute-nya ini berhasil mengalahkan Pendekar Super Sakti, dan siapa tahu, berkat kelihaian para sute-nya, kedudukannya dalam Im-kan Ngo-ok dapat naik!
“Tapi engkau hanya mau kalau mendapatkan perawan istana, wah, wah, jangkauanmu terlalu tinggi, Suheng! Puteri istana? Ha-ha-ha, untuk itu engkau harus lebih dulu menghadapi bala tentara kerajaan yang laksaan orang jumlahnya. Mana mungkin?”
Su-ok hanya tersenyum lebar karena pada saat itu dia memang tidak berselera untuk main-main dengan wanita. Mereka melanjutkan makan minum dan lima orang sute dari Su-ok itu mulai mabuk, mereka tertawa-tawa dan mereka makin buas mempermainkan wanita tawanan masing-masing secara terbuka sehingga lima orang wanita itu makin tersiksa, akan tetapi rintihan dan keluhan mereka hanya lirih saja karena mereka sudah tahu betapa tangis dan jerit tidak akan menolong keadaan mereka.
Malam makin larut dan tiba-tiba pintu ruangan kuil itu terbuka dari luar dan muncullah seorang cebol yang masuk dengan muka pucat. “Twako.... celaka... ada seorang musuh menyerbu!” katanya sambil memandang kepada Su-ok.
Su-ok bangkit berdiri, alisnya berkerut. “Hemmm, hanya ada seorang musuh saja, mengapa engkau begitu ribut?”
“Tapi... dia.... dia itu lihai bukan main... beberapa orang dari kami telah roboh...“
“Keparat! Siapa dia?” Su-ok marah sekali mendengar di antara saudaranya ada yang roboh.
“Entahlah... dia seorang wanita cantik... dan dia merobohkan A-chui yang berada dalam kamar seorang wanita... dan dua orang saudara kami lagi roboh ketika mengeroyoknya. Dia kini sedang dikepung, akan tetapi dia lihai sekali maka aku pergi mencari Twako...“
“Biarkan kami pergi, Suheng!” kata lima orang cebol itu yang sudah berdiri dan melepaskan wanita tawanan masing-masing. Su-ok mengangguk dan dengan cepat lima orang cebol itu meloncat keluar, diikuti oleh Su-ok.
Kagetlah hati Su-ok dan lima orang sute-nya ketika mereka tiba di tengah dusun, di pekarangan rumah kepala dusun yang diterangi oleh beberapa buah lampu gantung besar sehingga keadaan di situ cukup terang. Mereka melihat belasan orang saudara mereka mengeroyok seorang wanita cantik dan gerakan wanita itu sungguh membuat mereka terkejut setengah mati karena gerakan itu amat cepatnya seolah-olah tubuh wanita itu seperti seekor burung terbang saja! Dan sudah ada tiga orang saudara mereka yang roboh dan merintih kesakitan, tak mampu bangun lagi.
“Tahan...!” bentak seorang di antara lima orang sute dari Su-ok dengan suara nyaring. Dia ini adalah pimpinan dari lima orang cebol itu, tubuhnya juga kate seperti saudara saudaranya, namun mukanya penuh brewok, rambutnya juga tebal panjang, tidak seperti yang lain-lain karena sebagian besar dari orang-orang cebol itu seperti Su-ok, miskin rambut dan banyak yang botak!
Melihat munculnya Su-ok dan lima orang sute-nya, para orang cebol yang sudah kewalahan itu menjadi girang dan mereka mundur, membiarkan enam orang tokoh jagoan mereka turun tangan. Akan tetapi Su-ok yang ingin sekali menyaksikan kehebatan lima orang sute-nya dan yang kini mendapatkan kesempatan untuk menguji mereka sudah meloncat ke samping dan memberi isyarat kepada mereka semua untuk mundur sehingga kini lima orang sute-nya yang mengurung wanita cantik itu.
Dia memperhatikan dan merasa heran karena wanita ini belum pernah dilihatnya, akan tetapi wanita ini benar-benar amat cantik jelita dan anggun. Sebagai seorang yang bermata tajam dan banyak pengalaman, dia tahu bahwa wanita ini bukan seorang muda lagi sungguh pun amat cantik dan kelihatan muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun nampaknya, dan jelaslah bahwa wanita ini bukan seorang perawan. Akan tetapi dia merasa kagum karena tadi dia telah melihat gerakan ginkang yang amat luar biasa, dan dapat menduga bahwa wanita ini tentu seorang ahli ginkang yang lihai sekali. Selain cantik jelita, juga wanita itu memakai pakaian yang indah gemerlapan, dari sutera mahal, rambutnya digelung tinggi ke atas dan dihias dengan taburan permata. Seperti seorang puteri bangsawan saja!
Dugaan Su-ok tidaklah benar, sungguh pun wanita itu memang patut menjadi seorang puteri atau ratu istana! Dia itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, majikan dari Pulau Ular Emas! Tidaklah mengherankan kalau gerakannya amat cepat luar biasa, karena dia berjuluk Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) dan dia telah mewarisi ilmu ginkang yang amat hebat dari Kim Sim Nikouw.
Seperti telah kita ketahui, wanita ini hidup sebagai ratu di Kim-coa-to dan telah pula diceritakan bahwa selama beberapa bulan lamanya Puteri Bhutan Syanti Dewi tinggal di pulau itu dan menjadi murid wanita cantik ini dan Syanti Dewi akhirnya melarikan diri karena tidak tahan melihat kebiasaan aneh yang dianggap mengerikan dan menjijikkan dari gurunya dan juga Maya Dewi, nenek cantik yang memiliki ilmu mempercantik diri dan membikin wanita awet muda itu. Apa lagi ketika dia pun mulai terancam oleh mereka itu untuk diajak melakukan perbuatan yang dianggap mengerikan itu, yaitu permainan cinta antara wanita dengan wanita, maka Syanti Dewi lalu melarikan diri.
Ketika mengetahui bahwa puteri itu melarikan diri, Ouw Yan Hui terkejut bukan main, karena dia sudah benar-benar jatuh cinta kepada muridnya itu. Dia merasa menyesal telah membikin takut muridnya, dan dia merasa bahwa kalau dia harus berpisah dari Syanti Dewi, dia tentu akan merasa berduka selalu, maka wanita ini lalu melakukan pengejaran dan mencari-cari. Karena dia menduga bahwa muridnya itu tentu kembali ke Bhutan, maka dia pun tidak ragu-ragu melakukan perjalanan jauh sampai ke tapal batas negara Bhutan dan pada sore hari itu tibalah dia di dusun, di mana gerombolan orang cebol sedang membikin kekacauan.
Ketika mendengar jerit tangis wanita dari sebuah rumah, Ouw Yan Hui cepat menyerbu rumah itu dan melihat seorang laki-laki cebol sedang memperkosa seorang wanita, kemarahannya memuncak. Seperti kita ketahui, Ouw Yan Hui adalah seorang wanita yang membenci pria karena dia pernah dibikin patah hati oleh pria. Karena inilah maka dia lebih mendekati wanita dan melakukan praktek-praktek perjinahan antara sesama wanita. Maka, begitu melihat seorang wanita muda menjerit-jerit dan meronta-ronta dalam terkaman seorang laki-laki cebol yang buas itu, dia segera menerjang maju dan sekali tangkap dan renggut, dia dapat melepaskan laki-laki cebol itu dari wanita yang diperkosanya, kemudian melemparkan laki-laki cebol itu keluar.
Sebelum laki-laki itu sempat bangkit, Ouw Yan Hui yang bergerak ringan seperti burung terbang telah berada di sampingnya dan dengan penuh kebencian wanita ini lalu mengejar laki-laki cebol yang telanjang bulat itu dengan tendangan-tendangan kakinya. Laki-laki itu berusaha mengelak dan menangkis karena dia bukanlah orang lemah, namun setiap kali hendak bangkit, dia roboh lagi oleh tendangan-tendangan yang amat tepat dan amat keras datangnya. Akhirnya, laki-laki itu roboh pingsan setelah muntah darah dan seluruh tubuhnya penuh luka akibat tendangan-tendangan yang dilakukan dengan penuh kemarahan itu.
Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan besar. Dua orang cebol yang mendengar suara gaduh itu memburu keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati mereka melihat seorang wanita cantik sedang menyiksa seorang kawan mereka dengan tendangan-tendangan keras yang membuat kawan mereka terguling guling tanpa mampu melawan sama sekali, bahkan kawan mereka itu terkulai seperti mati.
“Dari mana datangnya siluman betina ini?” bentak seorang di antara mereka.
“A-khui, bunuh saja dia!” bentak orang kedua.
Dua orang cebol itu sudah menyerang Ouw Yan Hui dari kanan kiri dan wanita ini maklum bahwa orang-orang cebol di situ ternyata memiliki kepandaian yang hebat. Si cebol yang disiksanya tadi pun amat kuat sehingga tendangan-tendangannya akhirnya hanya membuat dia pingsan setelah muntah darah, tanda bahwa orang itu memiliki tenaga dalam yang kuat. Kini, serangan dua orang cebol ini amat hebat pula, biar pun mereka itu bertubuh kecil pendek, namun gerakan mereka gesit dan pukulan-pukulan mereka mengandung kekuatan besar.
Dia cepat mengelak dan begitu dia mengerahkan ginkang-nya, dua orang cebol itu berseru kaget karena mereka kehilangan bayangan lawan. Selagi mereka bingung, tiba tiba seorang dari mereka memekik keras dan terpelanting karena tengkuknya telah kena dihantam dengan tangan miring oleh Ouw Yan Hui sehingga dia terbanting dan pingsan seketika. Orang kedua menubruk, akan tetapi dengan lincahnya Ouw Yan Hui sudah mengelak dan lenyap lagi saking cepatnya gerakan tubuh wanita ini. Untuk kedua kalinya, wanita ini merobohkan lawan dengan pukulan dari belakang pada saat lawan bingung mencarinya.
Akan tetapi, kini datanglah belasan orang cebol mengeroyoknya! Ouw Yan Hui terkejut. Tak disangkanya di tempat itu demikian banyak terdapat orang-orang cebol yang lihai. Dia tidak takut, akan tetapi juga tidak berani memandang ringan, maka dengan mengandalkan ginkang-nya ia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sambil membalas setiap kali terbuka kesempatan. Dia dikeroyok banyak orang yang lihai, namun karena menang cepat, dia bahkan berhasil mengobrak-abrik mereka dan mendesak para pengeroyok yang menjadi kebingungan karena sebentar-sebentar wanita di tengah tengah mereka itu lenyap!
Dan pada saat itulah muncul Su-ok dan lima orang sute-nya. Kini lima orang sute dari Su-ok itu telah mengepung Ouw Yan Hui. Melihat sikap mereka, Ouw Yan Hui dapat menduga bahwa tentu mereka ini merupakan pimpinan-pimpinan dari orang-orang cebol itu, maka dia bersikap waspada, melihat betapa lima orang itu mengambil kedudukan di lima penjuru angin.
Si brewok yang mengepalai Khai-lo-sin Ngo-heng-tin itu menghadapi Ouw Yan Hui, memandang dengan penuh selidik dan diam-diam kagum akan kecantikan wanita yang telah matang ini, yang selain memiliki wajah yang cantik dan kulit muka yang halus, juga memiliki bentuk tubuh yang padat menggairahkan di balik pakaian indah itu.
Dia lalu berkata dengan suara angker, “Siapakah nama Toanio dan mengapa Toanio merobohkan tiga orang saudara kami?”
Pertanyaan ini biasa dilakukan apa bila dua orang atau dua pihak kang-ouw saling jumpa dan sebelum memulai pertandingan. Tetapi Ouw Yan Hui tersenyum mengejek karena dia masih marah dan jijik melihat si cebol memperkosa wanita tadi, maka tentu saja dia tidak sudi berkenalan dengan orang-orang ini.
“Siapakah namaku tidak perlu kalian ketahui dan aku pun tidak butuh mengenal nama kalian. Aku merobohkan orang bukan tanpa sebab. Si cebol jahanam itu memperkosa wanita, masih baik aku belum keburu bikin mampus binatang itu! Dan dua orang cebol lain roboh karena mereka menyerangku. Kalian sekarang mau apa?”
Bukan main marahnya lima orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu. Mereka memang tidak ternama, tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun suheng mereka adalah seorang di antara Im-kan Ngo-ok yang menurut suheng mereka merupakan datuk-datuk kaum sesat paling terkenal di dunia, dan wanita ini sama sekali tidak memandang mata kepada mereka!
“Perempuan sombong! Hayo lekas kau berlutut minta ampun, kemudian melayani kami berlima sampai kami puas, baru engkau masih ada harapan untuk hidup terus!” bentak si brewok yang mempunyai watak paling mata keranjang di antara mereka berlima.
Ouw Yan Hui memang pembenci pria, akan tetapi yang paling dibencinya adalah laki laki mata keranjang yang suka menghina wanita. Kini mendengar ucapan itu, kedua pipinya yang putih halus itu sudah menjadi merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berkilat dan kedua tangannya dikepal. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya berkelebat dan dia sudah menyerang si brewok dengan pukulan maut!
Cepat bukan main gerakan Ouw Yan Hui ini, sampai si brewok menjadi terkejut dan tidak melihat gerakan wanita itu, tahu-tahu tangan wanita itu sudah menusuk ke arah ulu hatinya. Serangan maut! Si brewok berteriak kaget dan cepat melempar tubuhnya ke belakang karena hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari cengkeraman maut itu. Dia melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan dan empat orang saudaranya sudah menyerbu dan menyerang Ouw Yan Hui sehingga wanita ini tidak mampu untuk terus mendesak si brewok yang sudah berloncatan bangun kembali dengan muka pucat dan keringat dingin bercucuran. Nyaris nyawanya melayang dalam gebrakan pertama itu!
Kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan Ouw Yan Hui memang cepat bukan main, akan tetapi kini dia menghadapi lima orang yang bergerak secara teratur dan terlatih baik sehingga seolah-olah dia menghadapi seorang lawan saja yang memiliki lima pasang tangan dan kaki, yang tentu saja dapat mengimbangi kecepatannya, bahkan mengatasinya! Betapa pun dia mengerahkan ginkang-nya, namun karena gerakan lima orang lawan itu seperti otomatis, terarah dan senada, payah juga wanita itu menghadapi penyerangan yang tiada hentinya, susul-menyusul dan sifatnya berubah-ubah itu.
Memang itulah kehebatan Ngo-heng-tin dari lima orang ini. Selain dapat bekerja sama dengan amat baiknya, saling membantu dan saling melindungi seperti dikemudikan oleh satu otak saja, juga mereka menggunakan tenaga yang berubah-ubah sesuai dengan sifat lima unsur (ngo-heng) dan karena mereka itu rata-rata telah memiliki sinkang yang amat kuat, maka mereka merupakan kesatuan lima tenaga yang amat hebat! Kalau melawan satu demi satu, jelas bahwa mereka berlima ini bukan tandingan Ouw Yan Hui yang lihai. Andai kata mau dibuat ukuran, tingkat kepandaian Ouw Yan Hui itu kurang lebih setingkat dengan kepandaian tiga di antara pengeroyoknya disatukan! Jadi, kalau dia dikeroyok tiga, barulah seimbang.
Dan andai kata lima orang itu tidak memiliki Khai-lo-sin Ngo-heng-tin yang membuat mereka bergerak seolah-olah dikendalikan oleh satu otak, kiranya juga tidak mungkin dapat mengalahkan Ouw Yan Hui. Akan tetapi, lima orang itu bergerak sedemikian rupa sehingga seolah-olah lima orang menjadi satu, dan ini terlalu kuat bagi Ouw Yan Hui. Dalam mengadu tenaga, lima orang itu selalu menyatukan tenaga sehingga kembali Ouw Yan kewalahan.
Betapa pun juga, berkat ginkang-nya yang memang luar biasa sekali, berkali-kali wanita itu dapat menghindarkan diri dari ancaman bahaya dan baru setelah lewat dua ratus jurus, akhirnya kakinya kena ditendang oleh si brewok, tepat mengenai sambungan lutut dan wanita itu jatuh berlutut dengan satu kaki dan sebelum dia mampu meloncat, lima orang itu telah menubruknya dan menotoknya, kemudian menelikungnya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi!
Lima orang itu tertawa dan si brewok berkata gemas, “Hemmm, mari kita kerjakan dia beramai-ramai, kita berpesta dan biar dia yang liar ini menjadi jinak. Ha-ha-ha, ingin aku melihat sikapnya kalau dia sudah kita paksa melayani kita berlima!” Empat orang saudaranya pun tertawa-tawa dan mereka hendak menyeret tubuh Ouw Yan Hui yang sudah tak mampu bergerak itu ke dalam kuil.
“Tahan, Sute!” Tiba-tiba Su-ok berseru dan dia meloncat dekat.
Lima orang sute-nya memandang kepadanya dan si brewok segera tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau tertarik kepadanya, Suheng? Bagus, dia ini agaknya memang puteri istana yang kau rindukan!”
Akan tetapi Su-ok menggeleng kepala. “Tidak, biar pun dia cukup cantik jelita dan pantas menjadi puteri istana, namun dia sudah terlalu tua dan dia bukan perawan seperti yang kuidamkan. Tidak, aku minta kepada kalian agar jangan mengganggunya lebih dulu. Kita pergunakan dia sebagai umpan.”
“Sebagai umpan? Apa maksudmu, Suheng?” Lima orang itu bertanya.
“Orang seperti dia yang demikian cantik dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu tidak datang sendiri. Biar kita tahan dia di kuil dan biarkan teman-temannya datang agar tidak kepalang kita membasmi mereka.”
Lima orang cebol itu tidak membantah, apa lagi karena mereka juga telah mempunyai wanita tawanan mereka yang lebih muda, biar pun tentu saja tidak ada yang mampu menandingi kecantikan Ouw Yan Hui yang luar biasa itu. Maka mereka menyerahkan wanita itu kepada Su-ok yang mengempitnya dan membawanya ke kuil, sedangkan para orang cebol lainnya segera merawat teman-teman mereka yang terluka oleh wanita cantik yang lihai itu.
Lima orang sute dari Su-ok kembali ke kamar masing-masing, sedangkan Su-ok sendiri lalu membawa Ouw Yan Hui ke dalam kuil, kemudian dia mengikat kedua tangan wanita itu kepada sebuah pilar besar di bagian belakang kuil, mempergunakan rantai yang amat besar dan kokoh kuat. Jangankan dalam keadaan lemas tertotok seperti itu, andai kata dalam keadaan sehat sekali pun, tidak mungkin bagi Ouw Yan Hui untuk dapat melepaskan dirinya dari belenggu. Kedua lengannya ditarik ke belakang, melingkari pilar besar dan kedua pergelangan tangannya dibelenggu rantai besi yang kokoh kuat. Dan tak jauh dari situ bersembunyi Su-ok pula yang mengintai dan menunggu kalau kalau ada datang kawan-kawan dari wanita cantik ini seperti yang disangkanya. Andai kata Ouw Yan Hui melakukan usaha untuk membebaskan diri sekali pun, sebelum berhasil tentu telah diketahui oleh Su-ok.
Ouw Yan Hui maklum bahwa dia berada dalam bahaya yang mengerikan. Namun, sebagai seorang wanita gagah, dia memandang bahaya dan kematian sebagai hal yang biasa saja dalam kehidupan, maka sedikit pun dia tidak merasa cemas atau takut. Dia menanti datangnya maut dengan mata terbuka, dan melihat bahwa dia dibelenggu di situ, dia masih melihat harapan untuk dapat lolos. Sebelum maut merenggut nyawanya, dia tidak akan putus asa, sungguh pun pada saat itu dia maklum bahwa dia sama sekali tidak berdaya melepaskan diri dan apa yang dapat dilakukannya hanya berdiri tegak dan diam, mencoba untuk mengumpulkan hawa murni lewat hidungnya untuk berusaha membebaskan totokan yang membuat tubuhnya lemas itu…..
Kakek itu melangkah satu-satu di daerah tandus itu, tubuhnya yang bongkok nampak semakin bongkok karena mukanya menunduk, seolah-olah dia meneliti setiap batu yang dilalui kakinya, atau seolah-olah dia menghitung setiap langkahnya. Keadaan kakek itu sungguh menyedihkan, dan janggallah melihat dia melakukan perjalanan di tempat yang liar dan sukar ini.
Melihat wajahnya, mudah diduga bahwa kakek ini sudah tua renta, dan keadaan tubuhnya yang tua itu cacat, punggungnya bongkok dan lengan kirinya buntung sebatas pundak! Pantasnya seorang tua renta yang cacat seperti itu tinggal di rumah saja, dilayani cucu-cucunya. Akan tetapi, kakek ini berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, melangkah satu-satu dengan tubuh bongkok dan tangan tunggalnya, hanya yang kanan saja itu memegang sebatang tongkat kayu yang agaknya dipergunakan untuk membantu menopang tubuhnya yang bongkok. Seorang kakek yang cacat dan lemah.
Kakek lemah? Orang akan kaget dan kecelik kalau tahu siapa adanya kakek ini. Sama sekali bukan kakek lemah sungguh pun nampaknya demikian, karena kakek ini bukan lain adalah Go-bi Bu Beng Lojin (Kakek Tanpa Nama Dari Go-bi), yaitu Si Dewa Bongkok! Dewa Bongkok sama sekali bukanlah seorang kakek lemah, sebaliknya malah. Dia adalah penghuni dari Istana Gurun Pasir, dan kesaktiannya sedemikian luar biasa sehingga dia dijuluki dewa!
Namanya amat terkenal, dan di daerah utara yang liar itu tidak ada seorang pun raja suku bangsa liar yang berani mengganggunya. Sedangkan di selatan, namanya terkenal sebagai seorang tokoh dongeng karena memang tidak sembarang orang dapat mengunjungi istana di gurun pasir itu. Namanya sejajar dengan nama majikan Pulau Es yang juga dikenal sebagai seorang tokoh dongeng. Akan tetapi, nama Go-bi Bu Beng Lojin masih jauh lebih dulu dikenal dalam dongeng dari pada nama majikan Pulau Es, karena memang Dewa Bongkok ini jauh lebih tua.
Tentu orang akan merasa heran mengapa kakek sakti yang dikenal sebagai tokoh dongeng dan tidak pernah menampakkan diri di dunia ramai itu sekarang melakukan perjalanan seorang diri? Apa lagi orang lain, bahkan kakek itu sendiri pun merasa heran! Hal ini terbukti dari gerutunya di sepanjang perjalanan di pagi hari itu.
“Hemmm, mana mungkin manusia hidup sendiri? Mana mungkin melepaskan diri dari segala sesuatu di dunia ini? Membebaskan diri dari pikirannya sendiri saja sudah merupakan hal yang amat sukar, apa lagi membebaskan diri dari segala sesuatu yang nampak. Uhhhhh, betapa lemahnya manusia... hemmm, sudah setua ini, setelah puluhan tahun tidak lagi menaruh khawatir sedikit pun juga atas diri sendiri lahir batin, sekarang mengkhawatirkan orang lain. Huhhh... memang manusia tidak mungkin bisa hidup sendirian saja. Manusia adalah bagian dari dunia dan kehidupan ini, tak mungkin melarikan diri...“
Tidaklah aneh kalau kakek itu menggerutu. Selama puluhan tahun lamanya dia hidup di Istana Gurun Pasir, menjauhi kehidupan ramai dan tidak pernah memikirkan tentang persoalan hidup lahiriah. Akan tetapi, semua itu berubah setelah dia mempunyai cucu! Yaitu, setelah muridnya, murid tunggal yang bernama Kao Kok Cu, yang berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir, bersama isterinya, mempunyai seorang anak.
Anak dari muridnya itulah yang membuat kakek ini merasa terikat! Timbul rasa kasih sayang yang tidak sewajarnya dan dia merasa lemah. Apa lagi ketika cucunya itu yang diberi nama Kao Cin Liong, diculik orang. Dia ikut merasa khawatir. Sudah berbulan bulan muridnya pergi meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencari Cin Liong yang lenyap diculik orang dan sampai sekarang tiada kabar beritanya. Akhirnya tidak dapat kakek ini menahan diri lagi dan pergilah dia meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi menyusul dan ikut mencari cucunya yang hilang!
Hanya kebetulan saja pada saat itu kalau ada orang melihat Dewa Bongkok berjalan seperti seorang kakek tua renta yang tapa daksa, berjalan melangkah satu-satu dengan lambat sekali. Akan tetapi ada kalanya dia berlari seperti terbang cepatnya sehingga tidak lagi dapat diikuti oleh pandang mata!
Memang bukan merupakan hal yang wajar kalau manusia ingin mengasingkan diri dan hidup sendirian saja di tempat sunyi, di puncak gunung, di dalam goa, menjauhi manusia lain dan tidak mempedulikan hal-hal yang terjadi di dunia! Ini hanya merupakan suatu pelarian saja, suatu pemaksaan diri yang berbahaya dan juga tidak ada gunanya sama sekali.
Kita tidak mungkin mengatasi dan menanggulangi sesuatu dengan jalan melarikan diri dari sesuatu itu. Memang kehidupan ini kejam, kadang-kadang membosankan, dan lebih banyak deritanya dari pada sukanya. Namun, kita tidak mungkin dapat mengakhiri semua itu dengan jalan melarikan diri ke tempat sunyi! Pelarian diri itu bukan lain hanyalah suatu bentuk pengejaran kesenangan juga!
Mungkin kalimat terakhir itu mengejutkan dan akan ditentang, maka sebaiknya mari kita membuka mata dan menyelidiki hal itu dengan seksama, jauh dari pendapat pribadi atau golongan, melainkan memandang keadaannya sebagaimana adanya. Kalau kita mengatakan bahwa kita pergi ‘bertapa’ ke gunung atau ke goa karena kita sudah tidak menginginkan apa-apa di dunia ini, bahwa kita sudah terbebas dari nafsu keinginan, benarkah perkataan kita itu?
Kalau memang kita sudah tidak menghendaki apa-apa, lalu mengapa kita bertapa di tempat sunyi? Bukankah pergi bertapa ke tempat sunyi, menjauhkan diri dari segala keramaian dan manusia lain, itu sudah merupakan suatu tindakan yang menunjukkan bahwa kita menghendaki sesuatu? Bahkan kita bosan dengan dunia ramai dan kita ingin tentram? Bukankah ini merupakan suatu keinginan pula, keinginan untuk ketenteraman diri pribadi, untuk kedamaian diri pribadi, yang bukan lain hanyalah merupakan wajah lain dari pada keinginan untuk kesenangan diri pribadi? Bukankah karena kita membayangkan bahwa tempat sepi, jauh dari manusia lain, itu akan menjauhkan kita dari kepusingan, jadi berarti mendekatkan kita kepada ketenteraman dan kedamaian yang kita anggap menyenangkan maka kita melakukan pertapaan itu?
Karena pada hakekatnya hanya merupakan pengejaran kesenangan belaka, biar pun diberi nama yang lebih agung seperti kesempurnaan, kedamaian, ketenteraman dan sebagainya, maka pada akhirnya, para pengejar kedamaian melalui tempat-tempat sunyi itu akan kecewa! Di sana pun, di tempat sunyi, di puncak gunung, di dalam goa, di tepi pantai, mereka akan ditelan kehampaan!
Mengapa demikian? Karena jelas bahwa segala pengejaran keinginan itu akan menuntun kita kepada kehampaan dan kekecewaan, kepada perbandingan dan selalu akan membuka mata kita bahwa apa yang kita bayang-bayangkan selagi mencari itu ternyata tidaklah seindah seperti yang dibayangkan! Akan timbul kebosanan, akan timbul keinginan untuk mencari dengan cara lain, yang dianggap lebih unggul, lebih agung, lebih mendalam dan seterusnya.
Mempelajari tentang hidup tidaklah mungkin tanpa kita terjun ke dalamnya! Dan hidup adalah hubungan antar manusia, hubungan antara manusia dengan benda-benda, antara manusia dengan pikiran-pikirannya. Segala persoalan yang kita namakan mengandung suka atau duka, bukanlah keluar dari si peristiwa itu sendiri, melainkan timbul dari pikiran. Pikiranlah yang membanding-bandingkan, pikiranlah yang menilai, lalu pikiran yang mengambil kesimpulan, memutuskan bahwa peristiwa ini merugikan lahir atau batin, karenanya mendatangkan duka, dan peristiwa itu menguntungkan lahir atau batin, karena mendatangkan suka.
Karena semua kesengsaraan timbul dari pikiran kita sendiri, maka benarkah itu kalau kita mencoba membebaskan diri dari keadaan lahiriah dengan jalan mengasingkan diri? Bukankah batin kita yang menjadi sumber segalanya? Selama hati dan pikiran (yaitu batin) kita masih sibuk dengan seribu satu macam persoalan, biar kita sembunyi di puncak gunung tertinggi sekali pun, kita masih akan mempunyai persoalan-persoalan, baik yang menyenangkan mau pun yang menyedihkan. Sebaliknya, kalau kita sudah bebas dari pikiran yang menjadi sumber suka-duka, biar pun kita berada di tengah tengah keramaian dunia, kita akan mengalami keadaan hidup yang lain sama sekali.
Dewa Bongkok adalah seorang pertapa semenjak dia masih muda. Dia sudah terbiasa dengan tempat sunyi. Akan tetapi, begitu dia mempunyai seorang cucu, demi sang cucu inilah maka dia kini meninggalkan tempat pertapaannya dan berkelana di dunia ramai untuk mencari cucunya. Dan kegelisahan mulai menggerogoti hatinya yang sudah tua.
Manusia memang amat lemah, selalu mengikatkan diri dengan apa yang disenanginya. Kita mengingatkan diri dengan isteri, anak, keluarga, harta benda, kedudukan, serta kepandaian dan sebagainya. Karena mengikatkan diri, karena kita merasa memiliki secara batiniah, maka yang kita senangi dan miliki itu melekat dalam batin, berakar. Dan karena berakar inilah maka setiap kali yang melekat itu diambil, baik melalui kematian, kehilangan atau pertentangan, batin kita menjadi sakit, dicabutnya sesuatu yang sudah berakar dalam batin kita itu mendatangkan luka berdarah!
Dapatkah kita hidup tanpa ikatan apa-apa? Dapatkah kita mempunyai, baik keluarga, harta benda dan sebagainya, dalam arti kata mempunyai secara lahiriah saja, tanpa memilikinya secara batiniah? Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tak acuh, bukan berarti kita harus tidak peduli. Sebaliknya malah. Cinta kasih bukan lagi cinta kasih kalau didasari nafsu ingin memiliki, ingin menguasai. Cinta kasih adalah kebebasan!
Dewa Bongkok melangkah satu-satu sambil termenung. Akan tetapi, ilmu kepandaian yang amat tinggi sudah mendarah daging pada diri kakek ini, bahkan dia telah memiliki kepekaan yang luar biasa, semacam indera ke enam yang dimiliki oleh setiap orang ahli apa pun di bidang masing-masing sehingga dia seperti melihat atau mendengar segala ketidak wajaran yang terjadi di sekelilingnya.
Memang setiap orang yang sudah ahli memiliki indera ke enam ini. Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi, indera ke enam ini berupa kewaspadaan terhadap segala macam bahaya yang mengancam, dari mana pun datangnya, sehingga indera ke enam ini bisa menjaganya di waktu dia tidur sekali pun! Bagi seorang pelukis, mungkin dengan indera ke enam itu dia melihat bentuk-bentuk, garis-garis, sifat-sifat dan perpaduan-perpaduan yang tidak dapat dilihat oleh orang awam, yang lalu dituangkannya di atas kanvas. Bagi seorang pengarang, mungkin dengan indera ke enam itu dia dapat menangkap segala sesuatu tentang lika-liku kehidupan manusia dan alam yang kemudian dituangkannya dalam karangannya.
Tiba-tiba Dewa Bongkok nampak seperti orang terkejut, mukanya yang tadi menunduk itu digerakkan menoleh ke kiri dan sekelebatan nampaklah olehnya bayangan orang amat cepatnya. Dan pada saat itu juga, Dewa Bongkok menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melesat seperti menghilang saja!
Siapakah bayangan orang yang berkelebat cepat itu? Dia ini juga seorang kakek, dan sungguh pun tidak setua Dewa Bongkok, namun usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun. Gerakannya gesit seperti terbang. Kakek ini berwajah menyeramkan, kurus seperti tengkorak, mukanya putih seperti kapur, tubuhnya tinggi kurus. Biar pun kini dia tidak lagi memakai pakaian hitam karena dia sedang menjadi buronan pemerintah seperti yang lain, namun orang-orang kang-ouw tentu akan mengenal siapa adanya kakek ini yang bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi!
Dialah ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, sarangnya yang kemudian dijadikan benteng para pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Liong Bian Cu itu. Setelah benteng itu dihancurkan oleh pihak pemerintah, dan semua tokohnya melarikan diri, Hek-hwa Lo-kwi juga ikut melarikan diri dan dia berganti pakaiannya yang biasanya berwarna hitam karena tidak ingin dikenal oleh orang-orang pemerintah yang dia tahu disebar untuk mencarinya.
Hek-hwa Lo-kwi berada di tempat itu, karena dia sudah berjanji dengan Hek-tiauw Lo-mo untuk saling bertemu di tempat itu untuk kemudian bersama-sama pergi ke gurun pasir. Mereka telah menerima undangan Twa-ok untuk membantu Im-kan Ngo-ok menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Super Sakti. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa di tempat itu, dia akan bertemu dengan Dewa Bongkok!
Seperti pernah diceritakan di bagian depan, Hek-hwa Lo-kwi ini dahulunya adalah seorang pelayan yang terkasih dari Dewa Bongkok, dan ketika itu dia bernama Thio Sek. Karena terbujuk oleh Hek-tiauw Lo-mo, juga karena dia ingin sekali memperoleh kitab rahasia dari majikannya yang akan menambah tingkat kepadaiannya, Thio Sek ini lalu melarikan diri bersama Hek-tiauw Lo-mo, setelah mereka berdua berhasil mencuri sebuah kitab yang akhirnya mereka perebutkan dan seorang memperoleh separuh.
Inilah sebabnya maka begitu dia melihat Dewa Bongkok, dia menjadi terkejut setengah mati. Walau pun kakek bongkok itu berada di tempat jauh, akan tetapi melihat bekas majikannya itu, Hek-hwa Lo-kwi cepat melarikan diri. Kalau ada manusia di dunia ini yang ditakutinya, dan padahal dia tidak takut kepada setan sekali pun, maka manusia itu adalah Dewa Bongkok.
Hatinya agak lega ketika dia melarikan diri jauh sekali dan tiba di tepi sebuah hutan. Dia menghentikan larinya, menarik napas panjang dan menghapus keringat dingin yang membasahi muka dan lehernya.
“Mau apa iblis tua itu di sini...?” tanyanya pada diri sendiri. Untung dia belum ketahuan dan dia dapat cepat melarikan diri! Kalau sampai berjumpa, hemmm... dia bergidik ketakutan.
Hutan di depan ialah tempat di mana dia telah berjanji untuk bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Maka dia mengibaskan lengan bajunya dan mulai melangkah maju ke depan. Tiba-tiba dia berhenti dan mukanya yang putih seperti kapur itu menjadi makin pucat sampai kehijauan, matanya terbelalak memandang ke depan dan kedua kakinya menggigil. Dewa Bongkok sudah berdiri di depannya, agak jauh di depannya, seolah olah menantinya dengan muka menunduk! Bagaimana mungkin ini? Bukankah tadi dia telah lari secepatnya dan jelas meninggalkan kakek itu sebelum kakek itu sempat melihatnya?
Akan tetapi dia tidak mau membuang waktu dengan berheran-heran, cepat dia sudah meloncat ke belakang, jauh, dan lari dari kakek yang mendatangkan rasa takut hebat dalam hatinya itu. Akan tetapi, begitu dia turun, dia melihat Dewa Bongkok sudah menanti di depannya! Dia cepat menoleh dan ternyata kakek yang tadi berdiri di tepi hutan sudah tidak ada, dan entah kapan kakek itu bergerak! Hek-hwa Lo-kwi makin ketakutan dan kembali dia membalikkan tubuh dan lari ke dalam hutan. Akan tetapi, kembali dia melihat Dewa Bongkok bersandar pada tongkatnya di dalam hutan, hanya kurang lebih dua puluh meter di depannya, tanpa memandangnya dan hanya menundukkan muka!
Mau rasanya Hek-hwa Lo-kwi menjerit dan menangis ketakutan. Tubuhnya sudah penuh dengan peluh. Dia akan lebih suka berjumpa dengan raja setan sendiri dari pada dengan bekas majikannya ini! Dengan menahan napas dia lalu meloncat ke atas pohon, dan berloncatan dari pohon ke pohon. Akan tetapi, setelah melewati lima batang pohon, terpaksa dia berhenti lagi karena di pohon sebelah depan telah menanti Dewa Bongkok yang duduk di atas cabang pohon di depannya itu.
Hek-hwa Lo-kwi menjadi makin panik, dan pada saat itu dia sempat melihat bayangan rekannya, Hek-tiauw Lo-mo, bersembunyi di balik sebatang pohon. Melihat ini, timbul harapannya. Ada kawan di sini dan hal ini agak membesarkan hatinya. Dia cepat melayang turun ke arah temannya itu. Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh bumi di dekat pohon di mana Hek-tiauw Lo-mo bersembunyi, dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Dewa Bongkok sudah berdiri tepat di depannya.
“Thio Sek, apakah engkau masih hendak lari lagi? Tiba-tiba Dewa Bongkok menegur dengan suara halus namun mengandung nada kereng yang membuat jantung Hek-hwa Lo-kwi tergetar hebat. Kedua kakinya menjadi lemas dan manusia iblis yang biasanya amat ditakuti orang itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Dewa Bongkok!
“Loya... ampunkan hamba...,“ Hek-hwa Lo-kwi berkata, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil. Memang sungguh aneh sekali kalau ada orang kang-ouw melihat keadaan manusia iblis ini. Seperti tidak masuk akal kalau orang seperti Hek-hwa Lo-kwi masih bisa ketakutan seperti itu!
Dewa Bongkok tersenyum dan biar pun wajah yang tua itu membayangkan kelembutan, namun sinar matanya yang mencorong seperti mata naga sakti itu sungguh penuh wibawa dan menyeramkan.
“Thio Sek, tak perlu bicara tentang pengampunan. Di mana adanya kitab yang kau curi itu?” terdengar Dewa Bongkok berkata dengar suara penuh teguran.
“Hamba... hamba... membagi dua kitab itu dengan Hek-tiauw Lo-mo...“
“Hemmm, lalu di mana sekarang kitab itu?”
“Bagian hamba... sudah hamba bakar karena hamba khawatir kalau sampai terjatuh ke tangan orang lain. Sedangkan bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo... hamba tidak tahu...“
Hek-hwa Lo-kwi mengangkat mukanya dan dia melihat betapa Hek-tiauw Lo-mo yang bersembunyi di balik batang pohon itu memberi semacam isyarat kepadanya. Dia dapat menangkap isyarat itu. Hek-tiauw Lo-mo mengajak dia menyerang Dewa Bongkok secara tiba-tiba dan bersama-sama pula. Jantungnya berdebar dan memang itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri!
“Harap Loya sudi mengampuni hamba... hamba mengaku salah... hamba telah mata gelap karena ingin memiliki kitab pelajaran yang tinggi...”
Dewa Bongkok adalah seorang manusia yang waspada, maka dia dapat melihat pula sikap tidak wajar dari bekas pelayannya itu, seperti ada sesuatu yang disembunyikan, maka dia membentak, “Hayo kau ceritakan semua apa yang akan kau lakukan dan mengapa pula kau berada di sini! Hukumanmu mencuri kitab itu tergantung dari kejujuranmu dalam menjawab pertanyaanku ini.”
Suara kakek bongkok itu angker dan sungguh menggetarkan perasaan Hek-hwa Lo-kwi yang memang sudah merasa jeri sekali. Dia merangkak maju lebih dekat, kemudian membenturkan dahinya di atas tanah. Perbuatan ini seolah-olah membuktikan bahwa dia benar-benar menyesal dan minta ampun, padahal dia melakukannya untuk dapat lebih mendekati kakek bongkok itu.
“Hamba... hamba memenuhi undangan Im-kan Ngo-ok...“ Dia berhenti, terkejut karena dalam rasa takutnya dia sampai membuka rahasia rencana Im-kan Ngo-ok.
Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara dan apa lagi mengingat akan isyarat Hek-tiauw Lo-mo tadi. Bukankah semua ini hanya untuk memancing perhatian Dewa Bongkok agar lebih mudah bagi mereka berdua untuk melancarkan serangan mendadak?
Dan Dewa Bongkok memang tertarik saat mendengar disebutnya nama Im-kan Ngo-ok itu. “Im-kan Ngo-ok mengundangmu? Ada perlu apakah?”
“Im-kan Ngo-ok mengadakan perjanjian dengan Pendekar Super Sakti untuk bertemu dan kemudian mengadu kepandaian di gurun pasir yang terletak di daratan Gunung Chang-pai-san. Im-kan Ngo-ok minta bantuan hamba untuk menghadapi lawan tangguh itu...“
Sekali ini Dewa Bongkok benar-benar terkejut. “Hemmm, kapankah diadakannya pertemuan itu?”
“Pada bulan purnama bulan depan...”
“Dan kau bermaksud membantu mereka menghadapi Pendekar Super Sakti?” bentak Dewa Bongkok.
Pada saat Dewa Bongkok membentak ini, Hek-tiauw Lo-mo dengan langkah hati-hati telah keluar dari balik batang pohon dan mendekati kakek bongkok itu. Betapa pun tinggi kepandaian seseorang, dan betapa pun tajam perasaannya, namun seorang manusia tidak mampu membagi-bagi kesibukan batinnya. Selagi dia bicara dengan marah, tentu saja kewaspadaan Dewa Bongkok berkurang, semua perhatian ditujukan kepada bekas pelayannya, dan juga ketajaman pendengarannya penuh oleh suara dari kata-katanya sendiri sehingga dia tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang.
Hek-hwa Lo-kwi melihat ini dan dia mengangkat kedua tangannya menyoja, berkata dengan suara menyesal, “Ampunkan hamba, Loya... hamba sebetulnya tidak berani akan tetapi...“
Dan pada saat itu, diam-diam Hek-hwa Lo-kwi sedang mengumpulkan tenaganya untuk mengerahkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Pek-hiat-hoat-lek! Kemudian, kedua tangan yang menyoja itu secepat kilat meluncur ke atas dan menghantam ke arah dada Dewa Bongkok! Pada saat yang sama, Hek-tiauw Lo-mo juga sudah menggerakkan tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka dia lantas melancarkan hantaman dengan pengerahan tenaga Hek-coa-tok-ciang.
“Blukkk! Desss...!”
Dua pukulan itu dengan tepatnya mengenai dada dan punggung Dewa Bongkok yang tidak sempat mengelak lagi karena datangnya pukulan dari depan dan belakang itu sama sekali tak disangkanya sehingga kakek tua renta ini hanya mampu mengerahkan sinkang-nya untuk menerima kedua pukulan itu. Akan tetapi, demikian hebatnya tenaga sinkang dari penghuni Istana Gurun Pasir ini sehingga begitu kedua pukulan itu mengenai punggung dan dadanya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terpental mundur, terjengkang dan mereka tewas dalam keadaan mengerikan, mata mereka membalik dan dari semua lubang di telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah! Ternyata bahwa pukulan mereka itu terbentur kepada hawa sinkang amat kuat sehingga tenaga mereka terpental, membalik kemudian menghantam mereka sendiri hingga mengakibatkan mereka tewas seketika!
Dewa Bongkok masih kelihatan berdiri tegak di tempat yang tadi, sama sekali tidak bergerak seolah-olah dua pukulan itu tidak terasa olehnya. Akan tetapi, kalau orang melihat mukanya, akan tahulah dia bahwa Dewa Bongkok menderita luka hebat. Muka yang tua itu pucat sekali dan di ujung kanan mulutnya nampak darah mengalir bertetes tetes.
Ternyata kakek sakti ini telah muntah darah! Pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang dilakukan dari jarak dekat itu terlampau dahsyat dan tidak terduga datangnya. Kalau bukan Dewa Bongkok yang terkena hantaman seperti itu, betapa pun lihainya, tentu akan tewas seketika.
Setelah berdiri sejenak seperti arca dengan kedua mata terpejam, mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat diri, akhirnya Dewa Bongkok membuka kedua matanya, menarik napas panjang dan menoleh ke arah mayat dua orang itu. Dengan gerakan perlahan dan menahan nyeri pada dadanya, kakek ini lalu mengumpulkan dahan-dahan yang cukup banyak, meletakkan dua buah mayat itu di atas dahan-dahan dan menutupinya dengan banyak dahan dan daun kering, kemudian membakarnya. Dia maklum bahwa ranting-ranting itu cukup banyak dan akan dapat membakar dua jenazah itu sampai habis. Setelah memandang sejenak, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, jalannya agak tersaruk-saruk dibantu oleh tongkatnya…..
Luka yang diderita oleh Go-bi Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok memang amat parah. Apa lagi ditambah dengan usianya yang sudah amat tua sehingga tentu saja daya tahan tubuh sudah tidak begitu kuat lagi, maka akibatnya dua pukulan dahsyat itu membuat kakek ini benar-benar menderita hebat.
Setelah berjalan perlahan-lahan sampai setengah hari meninggalkan hutan itu dan tiba di pegunungan yang penuh batu-batu dan sukar dijalani, kakek ini merasa tidak dapat menahan lagi dan duduklah dia bersila di atas batu besar untuk menghimpun kekuatan dan mengumpulkan hawa murni sebanyaknya guna mengobati luka yang dideritanya.
Dengan merasakan keadaan lukanya, kakek ini maklum bahwa sedikitnya dia harus beristirahat satu bulan untuk dapat memulihkan kembali kekuatannya, dan paling tidak selama tiga hari tiga malam dia harus duduk bersemedhi untuk menyelamatkan nyawanya. Dengan penghimpunan hawa murni selama tiga hari tiga malam terus menerus, barulah ada harapan luka di dalam dadanya itu dapat disembuhkan sehingga dia hanya tinggal menanti pulihnya kekuatannya saja. Kebetulan sekali tempat itu amat baik, sunyi dan bersih, hawanya murni sehingga tepat untuk dipakai menjadi tempat bersemedhi.
Dua hari dua malam sudah kakek ini duduk bersila di atas batu tanpa pernah bergerak. Dia seolah-olah sudah mati, atau sudah berubah menjadi arca batu, menjadi satu dengan batu besar yang didudukinya. Hanya ujung pakaiannya saja, jenggotnya atau sedikit rambut di sekeliling kepalanya yang kadang-kadang bergerak kalau ada angin kencang bertiup.
Pada hari ketiga itu, Dewa Bongkok sudah merasa betapa luka-luka di dalam dadanya telah banyak mendingan. Rasa nyeri di bagian kiri yang tadinya terasa paling hebat telah lenyap dan tinggal sedikit rasa nyeri di bagian kanan. Dalam sehari semalam ini tentu lukanya ini pun akan lenyap dan dia tinggal beristirahat saja untuk memulihkan kekuatannya selama sedikitnya sebulan.
Akan tetapi, pagi hari itu terjadi hal di luar perhitungan kakek sakti ini. Ketika dia masih tenggelam ke dalam semedhi, tiba-tiba muncul seorang wanita cantik yang memiliki gerakan ringan dan wanita ini telah sejak tadi memperhatikan Dewa Bongkok yang sedang bersemedhi. Wanita ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, Siluman Kucing yang cabul dan lihai itu!
Seperti juga suheng-nya, yaitu Hek-tiauw Lo-mo, dia pun telah menerima undangan dari Im-kan Ngo-ok untuk membantu mereka menghadapi Pendekar Super Sakti dan dia pun berjanji dengan suheng-nya untuk bertemu di dalam hutan itu. Akan tetapi, dasar Siluman Kucing ini tidak pernah dapat sembuh dari penyakitnya, yaitu gila laki-laki, di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang amat menarik hatinya. Dia lalu merayu pemuda ini dan memuaskan nafsunya sehingga dia lupa akan janjinya dan setelah dia, seperti biasanya, merasa bosan dan meninggalkan pemuda yang telah dibunuhnya pula itu, dia tiba di dalam hutan yang dijanjikan dalam keadaan terlambat dua hari!
Bukan hanya Yu Hwi saja yang dapat terserang semacam ‘penyakit’, yaitu kehilangan kebebasan dan kewajaran begitu dia ‘menempel’ kepada sesuatu yang lebih besar atau yang dianggap lebih besar dari pada dirinya sendiri. Yu Hwi tadinya adalah seorang dara yang bebas dan wajar, polos dan tidak berpura-pura, hidup lincah gembira tanpa adanya penghalang apa pun. Akan tetapi, begitu dia merasa bahwa dia adalah keturunan keluarga yang ‘besar’, maka dia menyamakan diri dengan kebesaran nama keluarga itu dan merasa dirinya besar pula, dan begitu dia merasa dirinya besar, lenyaplah kewajaran dan kebebasannya karena yang besar itu tentu mempunyai sifat sifat besar tersendiri pula! Bukan hanya Yu Hwi yang terserang penyakit itu, melainkan kita pada umumnya pun demikian!
Dapat kita lihat di dalam kehidupan kita sehari-hari kalau kita mau membuka mata melihat kanan kiri, depan belakang dan terutama sekali melihat ke dalam diri sendiri, melihat batin sendiri. Betapa kita hidup dalam alam kepalsuan! Betapa kita memaksa diri untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, semua itu hanya karena ingin ‘menyesuaikan diri’ dengan kesopanan, dengan kebudayaan, dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Padahal, apa yang dinamakan kesopanan itu sesungguhnya tidak sopan lagi kalau dilakukan dengan pura-pura, dengan paksaan. Apakah artinya senyum di bibir kalau di dalam hati kita mencibir atau menangis? Apakah artinya sikap sopan di lahir kalau di batin kita memandang rendah? Apakah gunanya sikap ramah dan suka kalau di dalam hati kita membenci?
Dan semua keadaan yang bertentangan ini terjadi setiap hari, setiap saat, di dalam kehidupan manusia di seluruh dunia! Kita kehilangan kewajaran, kehilangan kebebasan, karena kita INGIN DIANGGAP BAIK, kita ingin dianggap sopan, dianggap ramah, maka kita mengejar anggapan itu dengan menggunakan kedok palsu bernama kesopanan, keramahan, kebaikan dan selanjutnya! Betapa menyedihkan hal ini! Betapa munafik dan palsunya kita ini. Dapatkah kita hidup tanpa kepalsuan ini, dengan kesopanan yang tidak dibuat-buat, keramahan yang wajar dan tulus, senyum yang memancarkan cahaya kegembiraan dari hati, bukan sekedar usaha agar kita dianggap baik belaka? Dapatkah? Pertanyaan ini amat penting artinya bagi kita kalau kita ingin mengenal dan menyelidiki diri sendiri.
Biar pun sepasang mata Yu Hwi tidak menoleh, namun pendengaran telinganya dapat menangkap setiap gerakan dari orang yang memasuki ruangan itu. Langkah-langkah yang halus dan tetap, tidak tergesa-gesa, gerakan yang lembut.
“Suhu! Teecu girang sekali melihat kedatangan Suhu, dan teecu menghaturkan hormat kepada Suhu!” terdengar suara seorang pria dan hati dara itu tersentak kaget karena dia merasa seperti sudah mengenal suara itu dengan baik sekali.
Akan tetapi ‘kesopanan’ masih membuat dia memaksa diri menundukkan muka, sama sekali tidak berani mengerling ke arah pria yang kini berlutut tidak jauh di sebelah kiri bangku yang didudukinya itu. Dia hanya dapat melihat baju yang sederhana di pundak yang lebar.
Sai-cu Kai-ong cepat berdiri dari duduknya, menyentuh pundak pemuda itu untuk ditarik berdiri sambil tertawa. “Ha-ha-ha! Anak baik, bangkitlah dan perkenalkan calon isterimu yang sudah hilang selama belasan tahun…”
Mula-mula Yu Hwi hanya melirik dengan ujung matanya ketika melihat bayangan tubuh pemuda itu membalik dan menghadap kepadanya, tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika dia sudah mulai dapat memandang wajahnya.
“Kau…?!”
“Ahhhh….”
Walau pun dengan kata-kata yang berbeda, akan tetapi kedua orang ini berseru pada waktu yang bersamaan. Tidak mengherankan apabila dua orang ini sama-sama terkejut bukan main karena mereka sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa orang yang akan ditemuinya adalah yang kini sedang berada di hadapannya. Sejenak mereka hanya saling menatap dengan mata terbelalak, dan akhirnya Yu Hwi yang lebih dahulu mengeluarkan suara setengah berteriak.
“Ternyata kau adanya… laki-laki kurang ajar…!”
Setelah berkata demikian, gadis itu langsung membalikkan badan dan lari ke arah pintu, meninggalkan suara isak bercampur kemarahan. Dua orang kakek dan pemuda yang ternyata Kam Hong adanya, sekejap hanya bengong terlongong, tidak menduga bahwa kejadian akan berlangsung demikian.
Sai-cu Kai-ong yang sadar lebih dahulu kemudian berseru, “Siauw Hong, cepat kejar anak itu…!”
Seruan Sai-cu Kai-ong ini menyadarkan Sin-siauw Sengjin dan Kam Hong, dan bagai kuda dipecut, tanpa membuang waktu segera Kam Hong berkelebat ke arah pintu pula mengejar bayangan Yu Hwi yang sudah tidak nampak itu. Di dalam ruangan itu kini hanya tersisa dua orang kakek, Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin.
Sai-cu Kai-ong menarik napas, lalu dia berkata, “Aihhh, anak itu… dengan maksud baik kuajak ke sini untuk memperkenalkannya kepada Kam Hong. Eh, tidak tahunya mereka sudah saling mengenal, dan malah ada rahasia di antara mereka!” Kakek ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, lebih baik lagi,” kata Sin-siauw Sengjin. “Biarlah mereka saling berkenalan agar kelak mereka tidak menyalahkan kita kalau dalam perjodohan mereka terjadi ketegangan-ketegangan. Dan sebaiknya kalau Kam-kongcu yang mencari sendiri, karena dia telah menguasai ilmu-ilmu nenek moyangnya secara hampir sempurna. Sungguh hebat anak itu, ilmu-ilmu aneh yang selama puluhan tahun tak dapat aku kuasai, kini dia kuasai intinya. Agaknya dia mendapat petunjuk langsung dari arwah leluhur-leluhurnya.”
Ke manakah perginya Yu Hwi? Dan mengapa Kam Hong yang mengejarnya belum juga kembali setelah ditunggu selama semalam suntuk oleh dua orang kakek itu?
Pertanyaan ini juga mengganggu hati Kam Hong yang mencari sampai semalam suntuk tanpa hasil. Pemuda ini merasa khawatir bukan main. Padahal dia telah menggunakan ilmu ginkang-nya yang membuat dia dapat berlari seperti terbang cepatnya. Sudah dijelajahinya seluruh daerah itu, sudah dikejarnya ke empat penjuru, namun dia tidak berhasil menemukan jejak dara yang telah menggerakkan hatinya semenjak peristiwa pembukaan rahasia itu, dara yang ternyata adalah tunangannya, calon isterinya sendiri!
Berbagai perasaan mengaduk di hati Kam Hong. Diam-diam ada perasaan bahagia yang luar biasa oleh kenyataan bahwa tunangannya, calon isterinya yang dipilihkan oleh Sin-siauw Sengjin dan Sai-cu Kai-ong, adalah justeru gadis yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya itu! Akan tetapi, perasaan bahagia ini mulai berubah menjadi perasaan gelisah ketika dia tidak berhasil menyusul dan menemukan Yu Hwi. Padahal, dalam hal ilmu berlari cepat, dia menang jauh dibandingkan dengan dara itu. Tidak mungkin rasanya dara itu dapat berlari sedemikian cepatnya sehingga dia tidak mampu menyusulnya. Dia merasa cemas sekali karena menduga tentu telah terjadi sesuatu atas diri tunangannya itu.
Maka, Kam Hong kemudian mengambil keputusan untuk mencari terus sampai dia dapat menemukan Yu Hwi dan tidak akan pulang ke tempat tinggal Sin-siauw Sengjin sebelum dia dapat menemukan Yu Hwi.
Dan mengingat bahwa cerita ini masih panjang, dan akan terlalu panjang kalau harus mengikuti perjalanan Yu Hwi dan Kam Hong, maka terpaksa dua orang muda ini kita tinggalkan, dan cerita tentang mereka akan dapat diketahui dalam sebuah cerita terpisah yang akan terbit kemudian, merupakan sambungan atau juga cabang dari cerita Jodoh Sepasang Rajawali ini. Cerita tentang Kam Hong dan Yu Hwi akan merupakan sebuah cerita sendiri, karena keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan dari keluarga Raja Pengemis Yu itu akan mengalami hal-hal yang amat hebat. Dan kini kita mengikuti perjalanan tokoh-tokoh lainnya dari cerita ini, yaitu tokoh-tokoh utamanya. Sabar…..
********************
Tek Hoat rebah dengan kedua mata terpejam di atas pembaringan dalam kamar yang bersih dan indah itu. Orang yang sudah mengenalnya tentu akan terkejut sekali kalau melihat wajahnya pada saat itu. Wajahnya pucat dan kurus sekali sehingga sepasang alisnya yang tebal itu nampak lebih hitam lagi. Kerut-merut di antara kedua alisnya membayangkan kedukaan besar yang agaknya menindih perasaan pemuda perkasa ini. Rambutnya yang dikuncir itu agak awut-awutan dan tubuhnya tertutup selimut tebal.
Dua pelayan wanita muda yang cantik duduk di atas lantai, di depan pembaringan. Mereka adalah pelayan-pelayan yang menjaga, bergiliran dengan pelayan-pelayan lain. Pemuda yang sedang menderita sakit ini selalu dijaga secara bergilir dan pada saat saat tertentu pelayan menyuapkan obat dan makanan ke dalam mulut pemuda itu yang menerima segala perawatan tanpa pernah bicara atau membantah, bahkan jarang membuka mata. Dia hanya rebahan seperti orang tidur, kadang-kadang berbisik-bisik, kadang-kadang mengeluh bahkan tidak jarang ada pelayan melihat air mata berlinang dan menitik turun ke atas pipi yang pucat dan cekung itu.
Sebetulnya semua luka yang diderita oleh Tek Hoat akibat pertempuran menghadapi para pemberontak itu telah dapat disembuhkan sama sekali oleh ahli-ahli pengobatan Kerajaan Bhutan. Akan tetapi luka di hatinya yang sukar disembuhkan. Para tabib itu merasa khawatir juga. Pemuda itu kelihatan linglung tidak pernah dapat sadar sama sekali dan selalu murung, seperti orang yang putus harapan.
Para pelayan wanita itu, yang sebagian besar merupakan bekas pelayan-pelayan dari Puteri Syanti Dewi, merasa terharu kalau mendengar betapa dalam igauannya, pemuda itu sering kali menyebut-nyebut nama Syanti Dewi. Mereka semua tahu belaka bahwa pemuda ini adalah bekas tunangan sang puteri dan betapa pemuda ini pernah terusir dari Bhutan tanpa salah, betapa kemudian sang puteri juga lolos dari istana untuk mencari pemuda kekasihnya ini. Mereka tahu bahwa ada hubungan cinta kasih yang mendalam antara pemuda perkasa ini dan sang puteri, dan bahwa pemuda ini jatuh sakit seperti orang linglung karena menyangka bahwa sang puteri telah bermain gila dengan Mohinta, kemudian melihat sang puteri tewas tanpa mengetahuinya bahwa yang tewas dan bermain gila dengan Mohinta itu bukanlah Syanti Dewi yang asli!
Tiba-tiba terdengar suara pengawal di luar pintu kamar dan dua orang pelayan itu cepat berlutut. Raja Bhutan sendiri dengan dua orang tabib dan dikawal beberapa orang pengawal, diiringi pula oleh Panglima Jayin, memasuki kamar itu. Sang raja mendekati pembaringan, memandang wajah pemuda itu, lalu menarik napas panjang.
“Kasihan...,“ keluhnya, lalu dia menoleh kepada dua orang tabib tua itu. “Bagaimana harapannya?”
Dua orang tabib itu saling pandang, kelihatan was-was, kemudian seorang di antara mereka berkata, “Hamba berdua telah berdaya sekuat tenaga, Sri baginda. Hamba telah membersihkan darahnya sehingga tidak membahayakan keselamatan tubuhnya, akan tetapi... penyakitnya bukan menyerang badan, melainkan batin dan hal ini amat sukar diatasi dengan obat. Perasaan kecewa yang besar dan kedukaan yang hebat telah meracuni jantungnya.”
“Hemmm...“ Sang raja mengusap jenggotnya. “Kalian maksudkan ada hubungannya dengan sang puteri?”
Tabib itu mengangguk. “Kiranya begitulah. Melihat semua peristiwa yang terjadi atas diri wanita yang disangkanya sang puteri, terutama melihat wanita itu tewas, telah mendatangkan guncangan yang amat hebat.”
Raja Bhutan mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali. Kini telah terbukti bahwa pemuda ini amat gagah perkasa dan setia, memang patut sekali menjadi mantunya, dan pemuda ini amat mencinta Syanti Dewi. Dia merasa menyesal pernah berusaha memisahkan dua orang muda itu dan sekarang akibatnya, Syanti Dewi masih belum dapat ditemukan dan pemuda ini yang sudah dua kali berjasa terhadap Bhutan, kini rebah dalam keadaan sakit hebat.
“Bagaimana kalau dia diberi tahu bahwa Syanti Dewi masih hidup?” Akhirnya dia bertanya.
“Memang, guncangan itu kiranya dapat disembuhkan dengan guncangan lain yang amat berpengaruh terhadap batinnya, Sri baginda. Akan tetapi hamba juga khawatir kalau-kalau guncangan lain itu bahkan akan mengakibatkan hal yang lebih parah lagi.”
“Dapat menewaskannya...?”
“Mungkin saja.”
“Hemmm, kalau begitu amat berbahaya. Biarlah saja dulu, tak usah diberi tahu sampai kita berhasil menemukan Syanti Dewi. Panglima Jayin, bagaimana dengan usahamu menyelidiki sang puteri?”
Panglima Jayin memberi hormat. “Hamba sudah mengerahkan para penyelidik yang terpandai. Ada kabar baik, Sri Baginda. Ada kabar bahwa Sang Puteri Syanti Dewi diberitakan berada di sebuah pulau pada beberapa tahun yang lalu, akan tetapi beliau sudah meninggalkan pulau itu. Para penyelidik sedang melanjutkan penyelidikannya. Setidaknya hasil penyelidikan itu membuktikan bahwa sang puteri memang masih dalam keadaan sehat.”
Raja Bhutan itu mengangguk-angguk, lalu mengomel, “Itulah susahnya kalau wanita diberi pelajaran silat. Jayin, mulai sekarang umumkan di seluruh Bhutan bahwa dilarang mengajarkan ilnmu silat kepada kaum wanita!”
Panglima Jayin merasa geli oleh perintah ini, akan tetapi dengan wajah bersungguh-sungguh dia mengambil sikap tegak dan menjawab, “Baik, Sri baginda!”
Setelah memandang sekali lagi wajah pemuda itu, Raja Bhutan lalu keluar dari dalam kamar, diiringkan oleh Panglima Jayin, para tabib dan para pengawal. Dua orang pelayan tadi masih duduk di dalam kamar, di depan pembaringan setelah menutupkan kembali pintu kamar.
Tidak ada seorang pun yang melihatnya, juga Panglima Jayin yang lihai itu tidak dapat melihat betapa ada bayangan yang amat cepat berkelebat di atas genteng kamar itu. Bayangan itu berkelebat seperti setan saja saking cepatnya, demikian ringan seperti seekor kucing yang berlompatan di atas genteng.
Setelah rombongan raja meninggalkan kamar, bayangan yang amat ringan dan cepat gerakannya itu melayang turun lalu meloncat ke depan pintu kamar Tek Hoat. Dengan amat hati-hati sebuah tangan dengan jari-jari runcing kecil dan halus kulitnya itu membuka pintu mengintai ke dalam, kemudian, daun pintu kamar itu dibukanya dan secepat kilat tubuhnya melayang ke dalam. Gerakannya itu sedemikian ringannya sehingga sama sekali tidak menimbulkan suara apa-apa dan dua orang pelayan wanita yang duduk di atas lantai menghadapi pembaringan itu sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tidak menengok.
Tiba-tiba mereka itu mengeluh dan roboh terguling, pingsan dan tidak sempat melihat siapa orangnya yang menyerang mereka, bahkan tidak tahu apa yang terjadi karena serangan dengan totokan kedua tangan ke arah tengkuk yang membuat mereka pingsan itu demikian luar biasa cepatnya.
Bayangan itu bukan lain adalah Syanti Dewi! Seperti telah kita ketahui, puteri Bhutan yang cantik jetita ini telah melarikan diri dari Kim-coa-to karena jijik melihat kenyataan betapa gurunya, yaitu Ouw Yan Hui, dan Maya Dewi si nenek India ahli kecantikan itu melakukan perbuatan-perbuatan mengerikan, yaitu suka berjina dengan sesama wanita. Sang puteri melarikan diri dengan perahu dan kini dia telah berubah menjadi seorang wanita yang luar biasa cantiknya berkat ramuan obat yang diberikan oleh Maya Dewi. Di samping kecantikan yang luar biasa, bagaikan batu permata yang sudah digosok, dia pun kini memiliki kepandaian istimewa, terutama sekali ilmu ginkang yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang cepatnya!
Dengan kepandaiannya yang hebat itu, Syanti Dewi cepat menuju ke Bhutan. Dia sudah merasa rindu kepada kampung halaman, dan merasa berdosa telah meninggalkan ayah bundanya di Kerajaan Bhutan. Apa lagi ketika dia mendengar berita yang didapatnya di sepanjang jalan bahwa di Bhutan terjadi pemberontakan dan bahwa hampir saja Raja Bhutan menjadi korban, dia mempercepat perjalanannya menuju ke Bhutan. Setelah tiba di daerah Bhutan, berita yang didapatnya lebih mengejutkan hatinya karena berita ini menyatakan betapa dalam keadaan bahaya besar bagi ayahnya dan Kerajaan Bhutan itu, kernbali muncul Ang Tek Hoat sebagai pahlawan dan penolong! Akan tetapi, hatinya merasa gelisah bukan main ketika mendengar bahwa pemuda itu luka-luka parah dan kini rebah di istana dalam keadaan menderita sakit berat.
Syanti Dewi mendengar pula akan adanya wanita yang memalsu dirinya, dan betapa pemberontakan itu dipimpin oleh Mohinta yang telah tewas. Semua ini mendatangkan tanda tanya besar baginya sehingga dia tidak mau memasuki Bhutan secara terang terangan, melainkan memasuki daerah istana itu setelah malam tiba. Bahkan dia bersembunyi di atas genteng ketika melihat rombongan ayahnya memasuki kamar Tek Hoat, dan mendengarkan percakapan mereka tanpa diketahui seorang pun. Dengan kepandaiannya yang sekarang, hal ini dapat mudah dilakukannya karena semua gerakannya sedemikian ringan dan tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Setelah ayahnya dan rombongan ayahnya meninggalkan kamar itu, untuk sejenak dia berdiam dengan hati terguncang hebat. Apa yang didengarnya antara percakapan ayahnya dengan Panglima Jayin dan tabib-tabib tadi benar-benar amat mengejutkan dan mengharukan hatinya. Tek Hoat sakit parah dan mungkin tidak akan tertolong keselamatannya! Tek Hoat bukan parah karena luka-lukanya, tetapi karena mengira dia telah mati, belum tahu bahwa yang mati adalah wanita yang mertyamar sebagai dia!
“Tek Hoat...!” Setelah dia meluncur turun dan merobohkan dua orang pelayan sehingga mereka berdua itu roboh pingsan tanpa mengenalnya, Syanti Dewi berlari menghampiri dipan di mana tubuh Tek Hoat terbujur terlentang di atasnya.
“Tek Hoat...!” Dia berbisik, menubruk pemuda itu dan duduk di tepi pembaringan, lalu memandang wajah yang kurus pucat itu dengan hati penuh keharuan.
Dia merasa terharu karena betapa pun juga, Tek Hoat telah membuktikan kesetiaannya terhadap Bhutan dan cinta kasih yang mendalam kepada dirinya sendiri. Kekerasan hatinya yang pernah marah terhadap Tek Hoat yang meninggalkannya tanpa pamit itu melunak, akhirnya mencair bersama keluarnya air matanya dan bangkitlah rasa cintanya terhadap pemuda ini yang memang belum pernah padam.
Perasaan duka dan iba memang merupakan perasaan yang paling kuat untuk menggerakkan cinta kasih dalam batin seorang wanita! Betapa sering dan banyak terbukti bahwa seorang wanita yang menaruh iba dan merasa terharu, akan mudah sekali menyatakan cinta kasihnya.
Agaknya Puteri Bhutan itu juga tidak terkecuali dan pada saat itu, keharuan dan iba hati mempengaruhi batinnya dengan amat kuatnya sehingga hatinya yang memang sejak dahulu mencinta Tek Hoat, kini bagaikan api berkobar lagi.
“Tek Hoat, ahhh... Tek Hoat...!”
Dia meraba-raba pipi yang kurus itu, air matanya bertitik turun di sepanjang kedua pipinya, semua keangkuhan terbang pergi meninggalkan batinnya dan sang puteri yang cantik jelita seperti bidadari kahyangan ini merangkul, menunduk dan mencium ujung mulut Tek Hoat dengan sepenuh perasaan kasih sayangnya.
Getaran perasaan yang memuncak itu agaknya terasa pula oleh Tek Hoat yang sedang rebah tidur atau dalam keadaan setengah sadar. Dia membuka matanya yang sayu. Pandang mata yang sayu itu bertemu dengan sepasang mata yang amat dekat, sepasang mata bening yang basah air mata, wajah yang cantik, yang begitu dekat sehingga dia merasakan hembusan napas yang hangat, wajah yang selama ini membuat dia seperti bosan hidup, wajah Syanti Dewi yang telah meninggal dunia!
Tiba-tiba sepasang mata yang sayu itu terbelalak lebar, Tek Hoat tersentak kaget seperti melihat setan. Ada kekuatan gaib yang menibuat dia seperti kemasukan kilat, membuatnya bangkit duduk.
“Syanti Dewi...!” dia menjerit, akan tetapi jeritannya itu hanya keluar seperti bisikan halus saja. “Tak mungkin...! Tak mungkin...! Engkau telah... mati...!” Dengan sepasang mata tak pernah berkedip, masih terbelalak, Tek Hoat berkata dengan suara berbisik, dan dadanya bergelombang, napasnya terengah-engah.
Sambil tersenyum dengan mata basah air nata, Syanti Dewi mengulur kedua tangannya, memegang lengan pemuda itu dengan lembut sambil berkata, “Tidak, Tek Hoat, tidak... aku tidak mati...“ Sungguh mengharukan sekali wajah yang cantik itu, mulutnya tersenyum lebar sehingga nampak deretan giginya yang seperti mutiara, akan tetapi air matanya masih membasahi matanya dan menuruni pipinya.
Tetapi lahir batin Tek Hoat masih dalam keadaan belum sehat benar. Tiba-tiba saja dia mengibaskan kedua tangan dara itu dari lengannya, sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya bersungut-sungut dan kedua tangannya dikepal! Dia seperti melihat lagi bayangan Syanti Dewi bercumbu dengan Mohinta, mendengar kata-kata penuh rayuan dan kegenitan Syanti Dewi ketika bercumbu dalam kamar bersama pemberontak itu. Makin dikenang, makin hebatlah kemarahannya dan akhirnya meledak dengan keras dalam bentuk kata-kata yang parau penuh kebencian.
“Enyah engkau, perempuan lacur! Perempuan hina dan rendah tak tahu malu! Engkau mengotorkan negaramu, engkau mengotorkan cinta kasih kita, engkau mengotorkan bumi dengan kecabulanmu. Pergi!”
Syanti Dewi terhuyung ke belakang, memegangi pipinya seakan-akan baru menerima tamparan keras dari Tek Hoat dengan kata-kata itu. Wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak memandang wajah Tek Hoat dan air matanya makin deras bercucuran. Dia lalu memejamkan matanya, menggigit bibirnya agar jangan menjerit.
“Engkau telah berjinah dengan Mohinta! Berani kau menyentuhku setelah melakukan perbuatan keji dan kotor itu?” Setiap kata yang keluar dari rnulut Tek Hoat seolah-olah menghujam di ulu hati Syanti Dewi, menimbulkan keperihan yang amat hebat sehingga dia menjadi berduka sekali, kemudian kemarahan menguasai dirinya.
Tiba-tiba dia meloncat ke belakang. Mukanya berubah merah, matanya bersinar-sinar, dadanya bergelombang dan napasnya sesak, dengan kemarahan yang luar biasa dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Tek Hoat.
“Tutup mulutmu yang kotor, Tek Hoat! Engkau laki-laki tolol, keji dan jahat! Aku... aku... muak perutku melihat mukamu! Uhhhhh...!” Syanti Dewi menutupi mukanya menahan tangis, lalu sekali berkelebat dia sudah meloncat keluar kamar itu.
Sejenak Tek Hoat berdiri seperti patung. Mukanya sudah berubah pucat lagi, seperti mayat hidup. Baru dia sadar betapa dia sudah menghina puteri itu, memaki puteri itu, puteri yang selama ini tidak pernah dilupakannya, yang agaknya merupakan bayangan satu-satunya yang masih mampu menahan sehingga nyawanya masih enggan meninggalkan tubuhnya. Betapa dia mencinta wanita itu! Dan betapa dia telah menghinanya dengan kata-kata keji dan maki-makian! Semua itu kini nampak nyata.
“Syanti Dewi...!” Dia berteriak lantang dan cepat meloncat, terhuyung dan keluar dari kamar itu melalui jendela, kemudian melakukan pengejaran secepat mungkin, tidak lagi mempedulikan kepeningan yang mengganggu kepalanya dan yang membuat pandang matanya kabur.
“Dewi...! Syanti Dewi..., jangan tinggalkan aku...!” Berulang-ulang Tek Hoat berteriak sekuatnya ketika akhirnya dia dapat melihat bayangan wanita itu.
Setengah malam suntuk dia telah melakukan pengejaran, sampai bayangan wanita itu jauh meninggalkan Kota Raja Bhutan, naik turun bukit dan fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia dapat melihat Syanti Dewi masih berjalan cepat di sebelah depan.
“Syanti Dewi..., jangan tinggalkan aku...!” Dia berteriak sambil mengeluh dan terus berlari secepatnya.
Syanti Dewi yang tahu betapa Tek Hoat mengejarnya sejak semalam dan sengaja dia tidak mau berhenti, sambil menangis terus berjalan cepat, kini tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya, berdiri di tengah jalan hutan yang kecil itu, berdiri tegak, bahkan bertolak pinggang menanti datangnya pemuda itu.
“Ah, Dewi..., kau tunggu...!” Tek Hoat berkata lemah dan terhuyung-huyung sampai juga di depan dara itu.
“Siapa yang lari meninggalkan siapa? Tek Hoat, lupakah engkau betapa dulu engkau telah lari dari Bhutan tanpa pamit, meninggalkan aku begitu saja? Tidak tahukah engkau, atau pura-pura tidak tahu, betapa sampai mati-matian aku bersusah payah mencari-carimu, menempuh banyak bahaya dan penderitaan, semua kulakukan untuk dapat mencari dan menyusulmu? Beribu macam kesengsaraan kuderita demi untukmu seorang! Dan sekarang, setelah kita saling bertemu, apa yang kudapatkan? Hanya fitnah dari mulutmu yang keji, makian-makian dan kata-kata kotor! Aku muak! Aku tak sudi!” Syanti Dewi lalu menangis dan menutupi mukanya, terisak-isak dengan hati terasa perih sekali.
Tek Hoat berdiri bingung, tubuhnya bergoyang-goyang, kepalanya masih pening, akan tetapi pikirannya mulai berjalan, mulai sadar. Inilah Syanti Dewi yang asli, dan kalau Syanti Dewi ini masih hidup, jelas bahwa yang mati itu bukanlah Syanti Dewi! Dan kalau yang mati bukan Syanti Dewi, berarti yang berjinah dengan Mohinta tentu juga bukan Syanti Dewi. Dan yang mencoba membunuh Raja Bhutan tentu bukan yang berdiri di depannya ini pula!
“Syanti... Dewiku... aku... aku bingung..., aku melihat engkau berjinah dengan Mohinta, aku melihat engkau menyerang dan hendak membunuh Raja Bhutan ayahandamu sendiri, kemudian aku melihat engkau... engkau mati...!”
“Itulah karena matamu telah buta! Buta oleh cemburu! Tidak sadar bahwa engkau sendiri yang mengkhianati ikatan cinta kita, engkau pergi meninggalkan aku begitu saja! Engkau tidak tahu bahwa wanita itu adalah wanita lain yang dipergunakan oleh Mohinta untuk memalsu aku! Dan engkau telah memaki aku dengan kata-kata kotor, menghina diriku seperti belum pernah ada manusia berani menghinaku selama hidupku ini...“ Kembali Syanti Dewi menangis.
Mulai teranglah kini bagi Tek Hoat terhadap semua kenangan dan gambaran yang amat membingungkan hatinya itu dan makin jelaslah baginya betapa dia telah melakukan hal yang amat keji dan menyakitkan hati kekasihnya itu. “Dewi... ahhh, Dewi... aku telah bersalah besar, aku berdosa padamu, kau maafkanlah aku, Dewi, kau ampunkan aku...“
“Apa? Maaf? Ampun? Setelah apa yang kuderita selama setahun lebih, setelah apa yang kau katakan dengan kata-kata keji terhadap diriku? Tidak! Aku tak sudi merendah lagi, aku sudah cukup merangkak-rangkak dengan mencari-carimu selama ini! Aku tidak mau menyembah-nyembah lagi, aku tidak mau mendamba cintamu dengan mengemis! Tidak, kini sudah tiba masanya, tiba saatnya bahwa engkau yang harus benar-benar menunjukkan cintamu kepadaku. Engkau yang harus menyembah-nyembah, harus menderita kalau mau mendapatkan cintaku! Nah, dengar kau, Tek Hoat. Aku muak melihatmu, aku... ah, aku...“ Dia menutupi mukanya dan menangis makin keras sampai sesenggukan.
Wajah Tek Hoat menjadi pucat sekali, tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Dia tahu akan kesalahannya. Kata-katanya memang terlampau keji, padahal, kalau dia mengingatkan betapa wanita ini telah menderita hebat demi untuk mencarinya setelah dia meninggalkannya begitu saja! Ah, betapa besar dosanya.
”Syanti Dewi... Puteri... ampunkanlah hamba...!” Dia menangis sesenggukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Syanti Dewi, menyembah-nyembahnya dengan muka pucat dan air mata bercucuran.
Syanti Dewi terbelalak memandang kepada pemuda yang berlutut dan menyembah itu, mukanya membayangkan kekagetan hebat, menjadi pucat kemudian merah dan dia menjadi semakin marah. Dengan gemas dia membanting-banting kakinya.
“Uhhhhh! Laki-laki macam apakah engkau? Laki-laki lemah, laki-laki canggung, laki-laki cengeng! Uh, mual perutku melihatmu!” Dia terisak dan membalik, terus lari secepat kijang melompat.
“Syanti Dewi...!” Tek Hoat mengangkat muka, terbelalak memandang gadis itu yang lari. Dia pun cepat meloncat dan lari mengejar, akan tetapi terhuyung dan terguling roboh karena matanya gelap. Dia merangkak, bangkit lagi dan berlari lagi terhuyung mengejar Syanti Dewi yang sudah lari jauh di depan.
“Dewiiiii...! Tungguuuuu...., jangan tinggalkan aku...!”
Akan tetapi wanita itu tidak mau peduli, berlari makin cepat dan karena kini dia telah memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi, sebentar saja Tek Hoat tertinggal jauh dan akhirnya dia lenyap dari pandang mata pemuda itu yang masih terus lari mengejar dengan terhuyung-huyung dan akhirnya Tek Hoat merasa matanya gelap sehingga dia menabrak sebatang pohon dan terpelanting, pingsan!
Sunyi sekali di tempat itu setelah Syanti Dewi pergi dan Tek Hoat roboh pingsan. Sinar matahari pagi menimpa wajah pucat dari pemuda yang menggeletak terlentang tak sadarkan diri itu. Burung-burung berkicau saling bersahutan sambil berloncatan di atas dahan-dahan pohon. Mereka itu bernyanyi menyambut datangnya matahari ataukah mereka sedang membicarakan persoalan manusia yang hidupnya selalu penuh dengan duka dan sengsara itu?
Matahari telah naik semakin tinggi dan burung-burung telah meninggalkan pohon-pohon di hutan itu untuk bertebaran keempat penjuru mengikuti jalan sendiri-sendiri untuk mulai mencari makan ketika serombongan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Panglima Jayin memasuki hutan itu dan menemukan Tek Hoat yang masih menggeletak pingsan.
Panglima Jayin terharu dan girang dapat menemukan pemuda ini, lalu digotonglah pemuda itu dengan hati-hati, kembali ke istana di Kota Raja Bhutan. Panglima ini telah dengan cepat memimpin pasukan untuk mengikuti jejak Tek Hoat dan mencarinya setelah ada dayang yang menjenguk kamar sang pendekar dan melihat dua orang pelayan masih roboh tak bergerak karena tertotok dan pendekar itu lenyap dari atas pembaringan. Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Syanti Dewi, maka mereka semua, termasuk Panglima Jayin, menyangka bahwa Tek Hoat, dalam keadaan bingung dan belum sadar benar, telah menotok dua orang pelayan itu dan melarikan diri dari dalam kamarnya.
Ketika siuman dari pingsannya setelah dirawat oleh para tabib, Tek Hoat gelisah dan mulutnya memanggil-manggil Syanti Dewi. Melihat keadaan pemuda ini, sri baginda lalu mendesak kepada Panglima Jayin untuk menggiatkan kembali pencarian terhadap puterinya sampai dapat.
Guncangan batin yang hebat diderita oleh Tek Hoat sehingga untuk kedua kalinya dia rebah dan sakit, kadang-kadang berteriak-teriak memanggil Syanti Dewi seperti orang gila, kadang-kadang merenung dan menangis seorang diri seperti anak kecil. Dalam penderitaan ini, teringatlah dia akan semua perbuatannya sebelum dia berjumpa dengan Syanti Dewi dan dia merasa menyesal sekali. Agaknya dosa-dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu itulah yang kini berbuah dengan kesengsaraan batin yang amat hebat sebagai hukuman baginya…..
********************
Dia menjatuhkan dirinya yang sudah amat lelah itu ke atas rumput tebal di dalam hutan yang sunyi itu, di bawah sebatang pohon, menangis terisak-isak. Makin diingat, makin sakitlah rasa hatinya. Syanti Dewi menangis sampai mengguguk dan memijit-mijit betis kakinya yang terasa amat lelahnya. Dia tadi telah mengerahkan seluruh tenaga dan ilmunya berlari cepat, berlari terus sampai dia tidak kuat lagi dan akhirnya terpaksa menjatuhkan diri di situ.
“Tek Hoat...!” Nama ini keluar dari bibirnya seperti rintihan dan memang dia merintih karena jantungnya terasa perih dan nyeri.
Dia tidak merasa syak lagi bahwa dia amat mencinta pemuda itu. Akan tetapi, sikap Tek Hoat amat menyakitkan hatinya. Dia pun tahu bahwa Tek Hoat salah sangka, mengira wanita palsu yang menyamar seperti dia itu adalah dia yang sesungguhnya sehingga makian Tek Hoat bukan tidak beralasan. Namun, pengertian ini tidak cukup kuat untuk meredakan kemarahan dan sakit hatinya karena sambutan Tek Hoat itu sungguh menyakitkan hati.
Dia telah bertahun-tahun menderita karena pemuda itu, dia telah sengsara dan beberapa kali terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri dalam usahanya mencari kekasihnya. Dia telah berkorban lahir batin untuk Tek Hoat, akan tetapi pemuda itu malah memakinya dengan kata-kata keji! Hati siapa tidak akan menjadi panas karenanya? Makin diingatnya peristiwa tadi ketika Tek Hoat memakinya, makin marahlah hati Syanti Dewi dan makin membuyar pengertiannya bahwa pemuda itu melakukannya bukan tanpa sebab.
Marah, dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti ditimbulkan oleh kekecewaan karena merasa dirinya dirugikan, lahir mau pun batin. Dirinya itu pada hal-hal biasa adalah si aku, tetapi sering kali juga meluas sifatnya menjadi si kami, keluargaku, golonganku, bangsaku dan selanjutnya yang sesungguhnya tiada bedanya dengan si aku karena di dalam semua itu bersembunyi si aku yang menyamakan dirinya. Si aku ini selalu ingin senang, oleh karena itu kalau dia tidak dibikin senang, marahlah dia.
Dari pengalaman, atau pelajaran kebudayaan, atau pelajaran agama, kita mengenal akibat-akibat kemarahan yang mendatangkan kekerasan, permusuhan, kebencian dan kesengsaraan. Oleh karena ini maka timbullah daya upaya untuk melenyapkan kemarahan, atau setidaknya menekannya dan mengesampingkannya. Maka muncullah pelajaran untuk bersabar. Apakah ‘belajar sabar’ ini dapat membebaskan kita dari pada kemarahan? Kiranya hasil belajar sabar ini hanya untuk sementara saja. Belajar sabar berarti penekanan terhadap kemarahan dan biar pun kadang kala nampaknya berhasil, namun sesungguhnya kemenangan itu hanya sementara saja.
Api kemarahan itu masih ada, hanya ditutup secara paksa oleh kesabaran yang dilandasi pengetahuan bahwa kemarahan itu tidak baik. Api kemarahan itu masih belum padam, hanya nampaknya saja padam karena tertutup oleh kesabaran, seperti api dalam sekam, nampaknya tidak bernyala namun sebenarnya di sebelah dalam masih membara dan sewaktu-waktu akan dapat meledak dan menyala kembali! Belajar sabar menyeret kita ke dalam lingkaran setan, marah, ditekan kesabaran, marah lagi, bersabar lagi dan seterusnya seperti yang dapat kita lihat kenyataannya sehari-hari. Akhirnya, bukan api kemarahan yang padam, melainkan api semangat kita sendiri, membuat kita menjadi apatis, tak acuh, tidak peduli, atau sinis! Belajar sabar hanya pemulas, di sebelah dalam, batin, kita marah, akan tetapi di luar, lahir, kita sabar.
Setelah melihat kenyataan ini semua, tindakan apakah yang harus kita ambil dalam menanggulangi kemarahan dalam batin? Bagaimana pula kita harus melenyapkan kemarahan yang setiap saat muncul apa bila kita merasa diganggu dan dirugikan lahir batin?
Melakukan tindakan apa pun juga untuk melenyapkan kemarahan tidak akan berhasil membebaskan diri dari pada kemarahan. Kemarahan tidak dapat dilenyapkan oleh daya upaya. Kemarahan adalah si aku itu sendiri, satu di antara sifat si aku yang selalu ingin senang, maka kalau kesenangannya terganggu, tentu marah. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah mengenal aku, mengenal kemarahan, mengerti kemarahan dan hal ini hanya dapat terjadi apa bila kita mau menghadapi kemarahan tanpa ingin mengubah, tanpa ingin menekan atau melenyapkan!
Kalau kemarahan datang, yang membuat jantung berdebar panas, yang membuat napas terengah, muka merah dan mata mendelik, kalau kita merasa tidak senang lalu marah, kita menghadapi kemarahan itu seperti kenyataannya, kita mengamatinya, memandang dan mengamati saja penuh perhatian, penuh kewaspadaan tanpa pamrih apa-apa, tanpa ingin menguasai menekan atau melenyapkan. Kalau kita memandang dan mengamati dengan penuh perhatian tanpa perasaan atau keinginan apa-apa, berarti kita sadar waspada, maka semua akan nampak terang dan kemarahan akan musnah tanpa kita hilangkan atau tekan.
Hal ini tak mungkin dapat dimengerti tanpa penghayatan, tanpa pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari! Dan kalau kemarahan sudah lenyap sendiri, tanpa dilenyapkan, kalau api kemarahan sudah padam, bukan ditutup sekam, melainkan padam sama sekali, kalau di dalam batin sudah tidak ada lagi kemarahan, apa perlunya kita belajar sabar? Tidak dibutuhkan lagi apa yang dinamakan kesabaran itu.
Kemarahan dalam hati Syanti Dewi mendatangkan perasaan nelangsa, iba diri dan duka. Dia merasa hidupnya sengsara, penuh derita batin, dan tidak bahagia.
“Ahhh, betapa buruk nasibnya...,“ dia mengeluh di antara tangisnya. “Betapa jauh dari kebahagiaan...“
Gadis ini menghapus air matanya, lalu duduk bersandarkan batang pohon, termenung dengan hati sayu dan sepi. Mulailah Puteri Bhutan ini bertanya-tanya apakah sesungguhnya kebahagiaan hidup! Apakah yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Harta bendakah?
Dia adalah seorang puteri kerajaan yang tentu kaya raya, dan apa pun juga yang diinginkannya dalam bentuk benda, sudah pasti akan dapat dia peroleh. Dia memiliki harta benda berlimpahan, namun tetap tidak berbahagia. Jelas bukan dalam harta bendalah letaknya kebahagiaan! Lalu di mana? Apakah dalam kedudukan dan kemuliaan? Juga tidak, karena sebagai puteri raja yang dimanja, kedudukannya tinggi dan terhormat, kemuliaan selalu dirasakan semenjak dia kecil, namun semua itu akhirnya, seperti juga pada harta benda, mendatangkan kebosanan dan dia tetap tidak berbahagia. Apakah dalam petualangan hidup? Juga tidak. Hal itu pun hanya berlalu begitu saja, yang tinggal hanya kenangan hampa. Ataukah dalam cinta? Dia saling mencinta dengan Tek Hoat, akan tetapi selama ini lebih banyak dukanya dirasakan dari cintanya ini dari pada sukanya.
Memang kasihan sekali dara jelita puteri bangsawan ini. Wajahnya pucat dan basah air mata, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut seperti pakaiannya pula, sinar mata yang biasanya bening, jeli dan tajam itu kini sayu tak bercahaya, dan segala yang nampak oleh sepasang mata itu buruk dan membosankan belaka, seolah-olah matahari sudah kehilangan cahayanya. Dia terbenam dalam lautan duka yang makin mendahsyat oleh gelombang iba diri.
Memang kasihanlah Puteri Syanti Dewi atau siapa saja yang menganggap cinta kasih sebagai suatu hal yang harus menjadi sumber kesenangan menjadi suatu hal yang harus menjadi pemuas keinginan diri sendiri belaka, karena siapa saja yang beranggapan demikian sudah pasti akan menemui kegagalan dalam cinta, sudah pasti pada suatu waktu akan kecewa karena cinta kasih yang tadinya dianggap sebagai sumber kesenangan ternyata tidaklah seperti yang diharapkan semula. Setiap bentuk kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan, jelaslah bahwa hal itu berarti bahwa cinta kasih juga merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan! Kesenangan mempunyai kebalikannya, yaitu kedukaan. Maka, kalau kesenangan terluput, datanglah kekecewaan atau kedukaan.
Patutkah kalau kita menyamakan cinta kasih dengan kesenangan? Benarkah anggapan sementara orang bahwa cinta kasih adalah pemuasan birahi belaka? Tepatkah kalau cinta kasih mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian, dan kedukaan?
Tidaklah mungkin untuk menentukan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu. Cinta kasih bukanlah benda atau hal mati yang sudah dapat ditentukan sifatnya. Namun jelas bukan cinta kasih kalau mendatangkan duka! Dan pementingan mendatangkan duka, pengejaran kesenangan mendatangkan duka, jadi semua itu bukanlah cinta kasih!
Yang menimbulkan suka dan duka bukan cinta kasih. Yang masih dicengkeram suka duka tak mungkin mengenal bahagia. Cinta kasih atau bahagia tentu jauh lebih tinggi di atas alam suka duka!
Merasa betapa dirinya amat celaka dan bernasib buruk, Syanti Dewi merasa nelangsa dan iba diri. Semenjak menjadi murid Ouw Yan Hui, sedikit banyak watak dan sifat dingin keras dari tokoh wanita majikan Pulau Ular Emas itu menular kepadanya.
Tidak, pikirnya sambil mengepal tinju. Aku tidak akan membiarkan diri merendah lebih lama lagi! Dia tidak akan sudi merendah kepada Tek Hoat, betapa besar pun rasa cintanya kepada pemuda itu. Sudah tiba saatnya dia bersikap sebagai seorang puteri raja! Kini sudah tiba waktunya bagi Tek Hoat untuk menerima giliran, bersusah payah mencarinya, menderita karena dia, dan akhirnya bertekuk lutut padanya, membuktikan cinta kasihnya, kalau memang Tek Hoat benar cinta kepadanya!
Syanti Dewi terbangun dengan kaget karena dia seperti mendengar teriakan-teriakan suara Tek Hoat yang memanggil-manggilnya. Dia terloncat dan membelalakkan mata, memandang ke kanan kiri namun sunyi saja. Kiranya dia mimpi! Tanpa disadari, ketika melamun dengan hati penuh duka di bawah pohon tadi, dia tertidur saking lelahnya. Dan kini matahari telah condong ke barat, keadaan di dalam hutan itu sudah mulai remang-remang.
Perutnya terasa lapar bukan main. Syanti Dewi meneliti keadaan di sekeliling tempat itu. Hutan yang sunyi, bahkan suara burung pun tidak didengarnya, padahal pada saat seperti itu biasanya burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Jelas bahwa tempat ini tidak dihuni burung, dan ini berarti pula bahwa di tempat itu tidak terdapat pohon-pohon yang berbuah. Padahal perutnya amat lapar. Di hutan itu tidak dapat mengharapkan memperoleh makanan, dan dia pun tidak tahu mana dusun terdekat. Agaknya dia harus menahan rasa lapar di perutnya sampai lewat malam itu!
“Hemmm, pada hari dan malam pertama saja aku sudah harus menderita lagi karena ulah Tek Hoat!” Dia menggerutu sambil mengepal tinju dengan hati gemas.
Kalau tidak ada Tek Hoat yang bersikap menyakitkan hatinya, tentu saat itu dia berada di istana ayahnya, melepas rindunya kepada ayah bundanya dan mereka tentu sedang bercakap-cakap dengan gembira, menghadapi hidangan-hidangan yang amat lezat dan yang disukainya. Dia berjalan menyusup lebih dalam ke hutan itu, dengan harapan akan melihat rumah-rumah orang. Kalau ada dusun, dia tentu akan bisa mendapatkan makanan, baik secara meminta, membeli, atau mencuri sekali pun! Akan tetapi ternyata hutan itu kecil saja dan setelah dia menembus hutan itu, dia tiba di padang rumput yang luas!
Sialan, pikirnya memandang ke depan, pada padang rumput yang agaknya tidak bertepi itu. Angin senja ditiup dan permukaan padang rumput itu bergelombang, merupakan lautan hijau kemerahan karena bermandikan cahaya matahari senja. Bukan main indahnya pemandangan di saat itu, akan tetapi keindahan itu tidak nampak oleh mata Syanti Dewi karena dia sedang merasa jengkel dan duka, apa lagi rasa lapar di perutnya amat menyiksa.
Memang demikianlah keadaan hidup kita manusia ini. Keindahan dan kebahagiaan itu sudah ada di mana pun dan kapan pun. Akan tetapi keindahan itu tidak nampak dan kebahagiaan itu tidak terasa oleh kita apa bila batin kita penuh dengan masalah masalah kehidupan, penuh dengan pertentangan, kekhawatiran, kemarahan, keputus asaan, kebencian, yang kesemuanya itu mendatangkan duka.
Jelaslah bahwa keindahan dan kebahagiaan itu tidak dapat dicari diluar diri kita, karena sumber dari segalanya berada di dalam diri kita sendiri. Kalau batin kita sudah bebas dari segala pamrih, bebas dari segala macam keinginan memperoleh hal-hal yang tidak ada, maka akan nampaklah segala keindahan yang terbentang di hadapan kita, di mana pun dan bilamana pun, akan terasalah kebahagiaan dan cinta kasih! Hal hal seperti ini tidak mungkin dapat dimengerti kalau hanya dibicarakan sebagai teori hampa belaka, melainkan harus dihayati di dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri.
Makin besar penderitaannya, makin besar pula Syanti Dewi menimpakan kesalahannya kepada Tek Hoat. Makin besar pula kemarahannya kepada pemuda itu dan makin besar pula tekadnya untuk membiarkan Tek Hoat menderita sebelum dia mau ‘mengalah’. Dia sudah membuktikan cintanya terhadap Tek Hoat, maka kini dia pun menuntut agar pemuda itu membuktikan cintanya pula, dengan cara bersengsara untuknya! Aihhh, betapa sudah gilanya orang yang tercengkeram oleh cinta! Cinta yang sesungguhnya bukan lain hanyalah nafsu menyenangkan diri sendiri belaka, melalui orang lain!
Tiba-tiba Syanti Dewi mendengar suara gaduh dan dari depan nampak serombongan orang berlari-lari ketakutan ke arah hutan dari mana dia muncul.
Ahhh, ada orang! Hati puteri itu menjadi girang. Di mana ada orang tentu ada pula makanan! Akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya ketika melihat orang-orang itu semua dalam keadaan ketakutan dan dari pakaian mereka, dia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang dusun. Anehnya, di antara mereka terdapat pula orang orang yang agaknya memiliki kepandaian lumayan karena dapat berlari cepat dan gerak-gerik mereka jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang dusun!
Ketika orang-orang itu melihat Syanti Dewi di tepi hutan, mereka memandang dengan terheran-heran karena sungguh merupakan hal yang aneh melihat seorang dara yang sedemikian cantiknya, lebih mirip bidadari dari pada manusia, sendirian saja di tepi hutan pada waktu senja seperti itu! Orang-orang yang memang sedang panik dan ketakutan ini makin menjadi takut, mengira bahwa Syanti Dewi sudah pasti bukan manusia, karena kalau manusia, seorang gadis secantik jelita itu mana mungkin sendirian saja di senja hari di tepi hutan! Maka mereka menjadi pucat terbelalak, tidak tahu lagi harus lari ke mana.
Akan tetapi, beberapa orang yang kelihatan gagah perkasa itu, memandang kepada Syanti Dewi dengan kaget, kemudian mereka berseru girang dan lari menghampiri, terus langsung menjatuhkan diri di depan kaki dara bangsawan itu.
“Sang Puteri... tak disangka hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini..., mari hamba antarkan pulang dengan segera karena ada bahaya mengancam di dusun sana!”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Orang-orang ini telah mengenalnya dan hal itu tidak mengherankan karena daerah ini tidak jauh dari Kota Raja Bhutan.
“Siapakah kalian dan mengapa kalian berlari-lari seperti ini?” tanyanya tenang.
“Hamba berlima adalah pengawal-pengawal yang diutus oleh Panglima Jayin untuk mencari jejak Paduka. Hamba tadinya merupakan pasukan kecil terdiri dari dua belas orang. Ketika hamba sekalian tiba di dusun di luar padang rumput ini, hamba melihat serombongan orang kate yang aneh sedang mengacau di dusun. Sebagai prajurit prajurit Bhutan tentu saja hamba sekalian segera turun tangan menentang gerombolan itu, akan tetapi sungguh celaka, Sang Puteri...“
Melihat orang yang bercerita itu kelihatan berduka dan empat orang prajurit lainnya kelihatannya takut-takut dan menoleh ke arah belakang, Syanti Dewi mendesak, “Mengapa? Apa yang terjadi selanjutnya?”
Sementara, itu, orang-orang dusun yang ikut melarikan diri tadi kini pun sudah berlutut menghadap Syanti Dewi ketika mereka mendengar bahwa dara cantik jelita itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang amat terkenal itu. Mereka sudah mendengar bahwa sang puteri ini selain cantik jelita seperti bidadari, juga memiliki kepandaian tinggi, maka begitu melihat munculnya puteri jelita ini secara aneh di tepi hutan, apa lagi melihat lima orang yang lihai itu demikian menghormatinya, mereka pun menjadi girang dan timbul harapan dalam hati mereka yang gelisah dan putus asa.
“Sungguh celaka, Sang Puteri, gerombolan orang cebol itu lihai bukan main. Bukan saja hamba sekalian dipukul mundur, bahkan tujuh orang teman hamba tewas oleh mereka dan hamba berlima tentu akan tewas pula kalau tidak cepat melarikan diri untuk mencari bantuan. Hamba hendak melapor ke kota raja.”
“Hemmm, siapakah mereka itu? Dan apa yang mereka lakukan di dusun?” Syanti Dewi bertanya dengan marah.
“Hamba sendiri tidak tahu siapakah mereka. Menurut cerita para penghuni dusun, mula mula yang muncul hanya seorang kakek cebol yang aneh, yang tinggal di dalam kuil tua di dusun itu. Akan tetapi, munculnya kakek ini disusul kematian para hwesio di kuil itu yang jumlahnya hanya empat orang dan kuil itu sama sekali dikuasainya. Kemudian, berturut-turut bermunculan orang-orang cebol yang lihai dan ternyata dusun itu mereka jadikan semacam tempat pertemuan besar antara orang-orang cebol. Mereka lalu memaksa penduduk untuk melayani mereka, menyediakan makanan setiap hari untuk mereka, dan selain mereka menuntut makanan yang mahal-mahal, juga mereka mulai mengganggu wanita...!”
“Keparat!” Syanti Dewi mengepal tinju dengan marah.
“Penduduk dusun tidak ada yang berani melawan. Lalu hamba dua belas orang secara kebetulan lewat di dusun itu dalam usaha hamba mencari jejak Paduka, dan begitu mendengar laporan mereka, hamba lalu menyerbu ke kuil dan akibatnya, tujuh orang teman hamba tewas dan orang-orang cebol itu mengamuk, membunuhi orang-orang dusun karena menuduh penduduk dusun sengaja melapor kepada prajurit-prajurit kerajaan.”
“Hemmm, kalau begitu kalian boleh minta bantuan ke kota raja, dan aku sendiri akan menghadapi mereka.”
“Akan tetapi, mereka itu lihai bukan main...,“ prajurit itu berkata dengan khawatir.
“Aku tidak takut. Besok pagi-pagi aku akan ke sana, biar diantar oleh beberapa orang penghuni dusun, dan kalian sekarang juga boleh pergi ke kota raja mencari bala bantuan.”
Lima orang prajurit itu memberi hormat dan segera melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja, sedangkan Syanti Dewi mengajak para penghuni dusun itu bermalam di hutan sambil mendengarkan penuturan mereka. Juga dia tidak ragu-ragu untuk minta kepada mereka memasakkan makanan sekedarnya dari perbekalan mereka. Biar pun masakan yang dihidangkan dari perbekalan mereka itu adalah masakan sederhana sekali dari para penghuni dusun, namun nyatanya bagi Syanti Dewi, belum pernah dia makan selezat itu selama ini! Sambil mendengar penuturan orang-orang dusun sebangsanya itu, dia makan dengan lahap, tanpa mempedulikan tatapan mata penuh kagum dan hormat dari puluhan pasang mata penghuni dusun yang mengungsi itu. Nyammm….
Siapakah sebenarnya gerombolan orang cebol yang telah mengacau dalam dusun itu? Kakek cebol pertama yang memasuki dusun itu bukan lain ialah Su-ok Siauw-siang-cu, orang keempat dari Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akherat)!
Seperti telah kita ketahui, Twa-ok, Ji-ok, Su-ok, dan Ngo-ok telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti dan mereka berempat terdesak mundur. Karena merasa penasaran mereka itu lalu mengajukan tantangan kepada Pendekar Super Sakti untuk mengadakan pertemuan di gurun pasir yang berada di dataran Bukit Chang-pai-san dan tantangan itu diterima pula oleh Pendekar Super Sakti!
Tentu saja empat orang datuk kaum sesat itu cepat mengadakan persiapan untuk keluar sebagai pemenang dalam pertemuan itu, karena mereka maklum betapa lihainya Pendekar Super Sakti yang telah mengalahkan mereka berempat dan mereka mengambil keputusan untuk dapat menebus kekalahan dengan persiapan sebaik mungkin. Untuk persiapan inilah maka Su-ok, kakek cebol yang tingginya hanya satu seperempat meter itu meninggalkan rombongannya, pergi ke barat untuk minta bantuan dari saudara-saudaranya, yaitu sekumpulan orang cebol yang tinggal di sebuah lembah di lereng Pegunungan Himalaya, di sebelah timur batas Kerajaan Bhutan! Memang dari sinilah Su-ok berasal, dan di tempat ini dia mempunyai saudara-saudara seperguruan yang selain lihai-lihai, juga semua bertubuh cebol katai seperti dia!
Seperti juga Su-ok Siauw-siang-cu yang menjadi datuk kaum sesat, orang-orang cebol lihai yang menjadi saudara-saudaranya itu pun bukan termasuk golongan orang baik baik. Maka ketika mereka berkumpul di dusun yang dipilih oleh Su-ok sebagai tempat berkumpul itu, mereka berlaku sewenang-wenang, bukan hanya memaksa penduduk untuk memasakkan daging dan mencari arak untuk mereka berpesta-pora, akan tetapi bahkan mereka tak segan-segan untuk memaksa wanita-wanita muda untuk menemani mereka dan melayani mereka!
Daerah Pegunungan Himalaya memang merupakan daerah yang liar dan penuh rahasia aneh. Banyak bagian dari daerah ini yang masih belum pernah didatangi manusia karena selain liar dan amat luas, juga terlampau tinggi, penuh salju dan amat berbahaya dan sukar sekali didaki. Menurut dongeng, banyak daerah rahasia yang tersembunyi dan tidak pernah dapat dipijak kaki manusia dan di tempat-tempat rahasia ini tinggal mahluk-mahluk aneh, kabarnya menurut dongeng itu terdapat manusia-manusia salju yang berbulu putih dan tinggi besar seperti raksasa, ada pula manusia-manusia monyet, yaitu monyet-monyet besar yang bertubuh manusia atau manusia-manusia raksasa berwajah monyet, dan bahkan di Himalaya ini pula tempat tinggal para manusia dewa, pertapa-pertapa suci, dan sebagainya yang aneh-aneh lagi menurut khayal kelompok dan golongan masing-masing menurut kepercayaan masing-masing pula.
Dan orang-orang cebol ini merupakan segolongan manusia aneh pula yang bertempat tinggal di sebuah lereng Pegunungan Himalaya dan yang menjadi kampung halaman Su-ok. Di sini dia mempunyai saudara-saudara pula dan hampir semua orang cebol ini memiliki ilmu kepandaian yang aneh-aneh, bahkan di antara mereka ada lima orang yang menjadi sute-sute (adik-adik seperguruan) dari Su-ok, maka dapat dibayangkan betapa lihainya mereka itu setelah kini berkumpul menjadi satu di dusun itu! Pertemuan ini selain dimaksudkan oleh Su-ok untuk mencari bantuan saudara-saudaranya, juga merupakan semacam pertemuan dengan Su-ok yang lama tidak meninjau kampung halaman, dan merupakan pertemuan gembira yang dirayakan dengan pesta. Akan tetapi celakanya, orang-orang cebol itu yang hidup dalam keadaan miskin sederhana di lereng mereka, kini berpesta di dalam dusun dan memaksa penghuni dusun yang lemah untuk melayani mereka.
Karena khawatir kalau-kalau tidak akan mampu menghadapi Pendekar Super Sakti yang amat lihai, maka Su-ok bertugas untuk minta bantuan saudara-saudaranya, juga sekalian mengundang Sam-ok atau Koksu Nepal yang berada di Nepal, tidak begitu jauh dari tempat di mana dia berkumpul dengan saudara-saudaranya ini.
Sungguh patut dikasihani para penduduk dusun yang didatangi orang-orang cebol itu. Biar pun jumlah mereka hanya ada belasan orang, dan rata-rata bertubuh kecil pendek pula, namun setiap orang penduduk dusun yang coba-coba berani menentang, dengan sekali pukul saja roboh muntah darah! Maka, ketika mereka itu menculik beberapa orang wanita muda, yang menjadi suami wanita itu, atau ayah atau keluarga mereka, hanya mampu mengutuk dalam hati saja, dengan wajah pucat tangan terkepal mereka hanya dapat melihat betapa wanita-wanita itu diseret dan dibawa masuk ke dalam rumah-rumah terbesar di dusun itu yang untuk sementara waktu diduduki oleh para orang cebol.
Su-ok sendiri bersama lima orang sute-nya berpesta-pora dalam kuil, dilayani oleh lima orang gadis tercantik di dusun itu yang telah dipilih oleh lima orang sute-nya. Su-ok sendiri sudah sejak lama tidak lagi suka mengganggu wanita, dan hanya membiarkan lima orang sute-nya dan para saudara lain untuk memuaskan diri di dusun itu, sambil tersenyum melihat betapa wanita-wanita itu menjerit dan menangis, takut dan juga jijik melihat lagak orang-orang katai yang buas itu.
Akan tetapi, melihat betapa semua laki laki di dalam dusun itu tidak ada yang berani menentang, akhirnya wanita-wanita yang dipilih oleh gerombolan orang cebol itu terpaksa menerima nasib sambil menangis. Juga lima orang gadis yang kini melayani Su-ok dan lima orang sute-nya makan minum di dalam kuil, tidak lagi memperlihatkan sikap melawan, hanya melayani sambil bermuram durja, dengan pakaian dan rambut kusut, muka pucat dan air mata sudah mengering, kalau sekali-kali digoda oleh mereka dan tubuh mereka diraba, mereka itu hanya menunduk saja tanpa menolak akan tetapi juga tidak pernah mau tersenyum.
Keadaan lima orang sute dari Su-ok itu juga sama mengerikan seperti keadaan Su-ok Siauw-siang-cu sendiri. Melihat wajah mereka, jelaslah bahwa mereka itu adalah orang orang yang sudah berusia sedikitnya empat puluh tahun, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berwajah menyeramkan, sungguh pun tidak ada pula yang dapat disebut tampan. Akan tetapi, karena tubuh mereka itu pendek kecil, mereka itu nampak seperti anak-anak yang sudah tua!
Sebetulnya mereka itu nampak lebih lucu dari pada menakutkan. Akan tetapi karena tindakan mereka demikian buas, terutama sekali dalam menghadapi para wanita yang mereka tawan, mereka itu demikian penuh nafsu sehingga sama sekali bukan kanak kanak lagi, maka para wanita itu merasa jijik dan juga takut. Kelihatannya saja mereka itu bertubuh kecil-kecil, namun kalau sudah menarik wanita-wanita itu ke kamar masing masing, mereka buas melebihi binatang liar!
Setelah disekap selama dua hari dua malam, lima orang gadis itu kelihatan jinak, akan tetapi sebetulnya mereka itu bukan jinak, melainkan sudah patah semangat mereka untuk melawan, penderitaan mereka sudah melampaui batas pertahanan sehingga mereka itu menjadi seperti boneka-boneka hidup yang berwajah pucat dan bergerak seperti dalam keadaan tidak sadar saja. Mereka menurut saja apa yang diperintahkan oleh para orang cebol itu, seperti mayat-mayat hidup.
“Ehh, Suheng, apakah engkau sekarang sudah menjadi pertapa betul-betul dan sudah menjauhkan diri dari wanita?”
“Ha-ha-ha, Suheng agaknya hendak menjadi dewa, maka tidak mau menjamah wanita!”
Mendengar kelakar para sute-nya itu, Su-ok tertawa bergelak. “Siapa mau menjadi pertapa atau dewa? Ha-ha-ha, aku masih suka akan semua kesenangan dunia, akan tetapi terus terang saja, aku bosan dengan perempuan, kecuali kalau... ehh, kalau ada seorang perawan yang benar-benar cantik molek. Katakanlah... ehh, puteri istana. Nah, kalau ada perawan istana, tentu saja aku tidak menampik. Akan tetapi segala macam perawan dusun? Huh, menghambur-hamburkan sumber tenaga saja! Padahal kita akan menghadapi lawan tangguh.”
Lima orang sute-nya menyeringai dan tangan kiri mereka segera meraih pinggang ramping dari tawanan masing-masing dan menarik tubuh wanita-wanita itu sehingga mereka terduduk di atas pangkuan lima orang cebol itu. Sambil menggunakan tangan kiri untuk menggerayangi tubuh-tubuh wanita itu yang hanya memejamkan mata dan menggeliat sedikit, lima orang cebol itu melanjutkan makan minum.
“Ha-ha-ha, Suheng mengapa kini menjadi demikian kecil hati? Menghadapi seorang lawan saja, apa sih beratnya? Biar pun lawan itu mempunyai nama menjulang setinggi langit seperti... apa yang kau katakan tadi, Pendekar Super Sakti? Biar pun namanya setinggi langit, menghadapi ilmu kami berlima yang baru kami ciptakan, tanggung dia akan terjungkal!”
“Benar, Suheng, tidak perlu khawatir. Selama Suheng pergi, kami tidak pernah lalai menggembleng diri, bahkan kami telah berhasil menciptakan kerja sama berlima yang merupakan barisan berlima dan kami namakan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin (Pasukan Lima Unsur Dari Malaikat Pembuka Jalan). Biar seorang lawan mempunyai kepandaian seperti dewa sekali pun, menghadapi tin kami tentu akan celaka dia!”
Mendengar ucapan para sute-nya itu, agak lega rasa hati Su-ok. Dia tahu bahwa masing-masing sute-nya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkatnya sendiri, dan mungkin setingkat dengan kepandaian Ngo-ok, maka kalau mereka berlima ini berhasil menciptakan barisan seperti itu, agaknya tentu amat lihai. Dia akan dapat membanggakan diri kalau sute-sute-nya ini berhasil mengalahkan Pendekar Super Sakti, dan siapa tahu, berkat kelihaian para sute-nya, kedudukannya dalam Im-kan Ngo-ok dapat naik!
“Tapi engkau hanya mau kalau mendapatkan perawan istana, wah, wah, jangkauanmu terlalu tinggi, Suheng! Puteri istana? Ha-ha-ha, untuk itu engkau harus lebih dulu menghadapi bala tentara kerajaan yang laksaan orang jumlahnya. Mana mungkin?”
Su-ok hanya tersenyum lebar karena pada saat itu dia memang tidak berselera untuk main-main dengan wanita. Mereka melanjutkan makan minum dan lima orang sute dari Su-ok itu mulai mabuk, mereka tertawa-tawa dan mereka makin buas mempermainkan wanita tawanan masing-masing secara terbuka sehingga lima orang wanita itu makin tersiksa, akan tetapi rintihan dan keluhan mereka hanya lirih saja karena mereka sudah tahu betapa tangis dan jerit tidak akan menolong keadaan mereka.
Malam makin larut dan tiba-tiba pintu ruangan kuil itu terbuka dari luar dan muncullah seorang cebol yang masuk dengan muka pucat. “Twako.... celaka... ada seorang musuh menyerbu!” katanya sambil memandang kepada Su-ok.
Su-ok bangkit berdiri, alisnya berkerut. “Hemmm, hanya ada seorang musuh saja, mengapa engkau begitu ribut?”
“Tapi... dia.... dia itu lihai bukan main... beberapa orang dari kami telah roboh...“
“Keparat! Siapa dia?” Su-ok marah sekali mendengar di antara saudaranya ada yang roboh.
“Entahlah... dia seorang wanita cantik... dan dia merobohkan A-chui yang berada dalam kamar seorang wanita... dan dua orang saudara kami lagi roboh ketika mengeroyoknya. Dia kini sedang dikepung, akan tetapi dia lihai sekali maka aku pergi mencari Twako...“
“Biarkan kami pergi, Suheng!” kata lima orang cebol itu yang sudah berdiri dan melepaskan wanita tawanan masing-masing. Su-ok mengangguk dan dengan cepat lima orang cebol itu meloncat keluar, diikuti oleh Su-ok.
Kagetlah hati Su-ok dan lima orang sute-nya ketika mereka tiba di tengah dusun, di pekarangan rumah kepala dusun yang diterangi oleh beberapa buah lampu gantung besar sehingga keadaan di situ cukup terang. Mereka melihat belasan orang saudara mereka mengeroyok seorang wanita cantik dan gerakan wanita itu sungguh membuat mereka terkejut setengah mati karena gerakan itu amat cepatnya seolah-olah tubuh wanita itu seperti seekor burung terbang saja! Dan sudah ada tiga orang saudara mereka yang roboh dan merintih kesakitan, tak mampu bangun lagi.
“Tahan...!” bentak seorang di antara lima orang sute dari Su-ok dengan suara nyaring. Dia ini adalah pimpinan dari lima orang cebol itu, tubuhnya juga kate seperti saudara saudaranya, namun mukanya penuh brewok, rambutnya juga tebal panjang, tidak seperti yang lain-lain karena sebagian besar dari orang-orang cebol itu seperti Su-ok, miskin rambut dan banyak yang botak!
Melihat munculnya Su-ok dan lima orang sute-nya, para orang cebol yang sudah kewalahan itu menjadi girang dan mereka mundur, membiarkan enam orang tokoh jagoan mereka turun tangan. Akan tetapi Su-ok yang ingin sekali menyaksikan kehebatan lima orang sute-nya dan yang kini mendapatkan kesempatan untuk menguji mereka sudah meloncat ke samping dan memberi isyarat kepada mereka semua untuk mundur sehingga kini lima orang sute-nya yang mengurung wanita cantik itu.
Dia memperhatikan dan merasa heran karena wanita ini belum pernah dilihatnya, akan tetapi wanita ini benar-benar amat cantik jelita dan anggun. Sebagai seorang yang bermata tajam dan banyak pengalaman, dia tahu bahwa wanita ini bukan seorang muda lagi sungguh pun amat cantik dan kelihatan muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun nampaknya, dan jelaslah bahwa wanita ini bukan seorang perawan. Akan tetapi dia merasa kagum karena tadi dia telah melihat gerakan ginkang yang amat luar biasa, dan dapat menduga bahwa wanita ini tentu seorang ahli ginkang yang lihai sekali. Selain cantik jelita, juga wanita itu memakai pakaian yang indah gemerlapan, dari sutera mahal, rambutnya digelung tinggi ke atas dan dihias dengan taburan permata. Seperti seorang puteri bangsawan saja!
Dugaan Su-ok tidaklah benar, sungguh pun wanita itu memang patut menjadi seorang puteri atau ratu istana! Dia itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, majikan dari Pulau Ular Emas! Tidaklah mengherankan kalau gerakannya amat cepat luar biasa, karena dia berjuluk Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) dan dia telah mewarisi ilmu ginkang yang amat hebat dari Kim Sim Nikouw.
Seperti telah kita ketahui, wanita ini hidup sebagai ratu di Kim-coa-to dan telah pula diceritakan bahwa selama beberapa bulan lamanya Puteri Bhutan Syanti Dewi tinggal di pulau itu dan menjadi murid wanita cantik ini dan Syanti Dewi akhirnya melarikan diri karena tidak tahan melihat kebiasaan aneh yang dianggap mengerikan dan menjijikkan dari gurunya dan juga Maya Dewi, nenek cantik yang memiliki ilmu mempercantik diri dan membikin wanita awet muda itu. Apa lagi ketika dia pun mulai terancam oleh mereka itu untuk diajak melakukan perbuatan yang dianggap mengerikan itu, yaitu permainan cinta antara wanita dengan wanita, maka Syanti Dewi lalu melarikan diri.
Ketika mengetahui bahwa puteri itu melarikan diri, Ouw Yan Hui terkejut bukan main, karena dia sudah benar-benar jatuh cinta kepada muridnya itu. Dia merasa menyesal telah membikin takut muridnya, dan dia merasa bahwa kalau dia harus berpisah dari Syanti Dewi, dia tentu akan merasa berduka selalu, maka wanita ini lalu melakukan pengejaran dan mencari-cari. Karena dia menduga bahwa muridnya itu tentu kembali ke Bhutan, maka dia pun tidak ragu-ragu melakukan perjalanan jauh sampai ke tapal batas negara Bhutan dan pada sore hari itu tibalah dia di dusun, di mana gerombolan orang cebol sedang membikin kekacauan.
Ketika mendengar jerit tangis wanita dari sebuah rumah, Ouw Yan Hui cepat menyerbu rumah itu dan melihat seorang laki-laki cebol sedang memperkosa seorang wanita, kemarahannya memuncak. Seperti kita ketahui, Ouw Yan Hui adalah seorang wanita yang membenci pria karena dia pernah dibikin patah hati oleh pria. Karena inilah maka dia lebih mendekati wanita dan melakukan praktek-praktek perjinahan antara sesama wanita. Maka, begitu melihat seorang wanita muda menjerit-jerit dan meronta-ronta dalam terkaman seorang laki-laki cebol yang buas itu, dia segera menerjang maju dan sekali tangkap dan renggut, dia dapat melepaskan laki-laki cebol itu dari wanita yang diperkosanya, kemudian melemparkan laki-laki cebol itu keluar.
Sebelum laki-laki itu sempat bangkit, Ouw Yan Hui yang bergerak ringan seperti burung terbang telah berada di sampingnya dan dengan penuh kebencian wanita ini lalu mengejar laki-laki cebol yang telanjang bulat itu dengan tendangan-tendangan kakinya. Laki-laki itu berusaha mengelak dan menangkis karena dia bukanlah orang lemah, namun setiap kali hendak bangkit, dia roboh lagi oleh tendangan-tendangan yang amat tepat dan amat keras datangnya. Akhirnya, laki-laki itu roboh pingsan setelah muntah darah dan seluruh tubuhnya penuh luka akibat tendangan-tendangan yang dilakukan dengan penuh kemarahan itu.
Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan besar. Dua orang cebol yang mendengar suara gaduh itu memburu keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati mereka melihat seorang wanita cantik sedang menyiksa seorang kawan mereka dengan tendangan-tendangan keras yang membuat kawan mereka terguling guling tanpa mampu melawan sama sekali, bahkan kawan mereka itu terkulai seperti mati.
“Dari mana datangnya siluman betina ini?” bentak seorang di antara mereka.
“A-khui, bunuh saja dia!” bentak orang kedua.
Dua orang cebol itu sudah menyerang Ouw Yan Hui dari kanan kiri dan wanita ini maklum bahwa orang-orang cebol di situ ternyata memiliki kepandaian yang hebat. Si cebol yang disiksanya tadi pun amat kuat sehingga tendangan-tendangannya akhirnya hanya membuat dia pingsan setelah muntah darah, tanda bahwa orang itu memiliki tenaga dalam yang kuat. Kini, serangan dua orang cebol ini amat hebat pula, biar pun mereka itu bertubuh kecil pendek, namun gerakan mereka gesit dan pukulan-pukulan mereka mengandung kekuatan besar.
Dia cepat mengelak dan begitu dia mengerahkan ginkang-nya, dua orang cebol itu berseru kaget karena mereka kehilangan bayangan lawan. Selagi mereka bingung, tiba tiba seorang dari mereka memekik keras dan terpelanting karena tengkuknya telah kena dihantam dengan tangan miring oleh Ouw Yan Hui sehingga dia terbanting dan pingsan seketika. Orang kedua menubruk, akan tetapi dengan lincahnya Ouw Yan Hui sudah mengelak dan lenyap lagi saking cepatnya gerakan tubuh wanita ini. Untuk kedua kalinya, wanita ini merobohkan lawan dengan pukulan dari belakang pada saat lawan bingung mencarinya.
Akan tetapi, kini datanglah belasan orang cebol mengeroyoknya! Ouw Yan Hui terkejut. Tak disangkanya di tempat itu demikian banyak terdapat orang-orang cebol yang lihai. Dia tidak takut, akan tetapi juga tidak berani memandang ringan, maka dengan mengandalkan ginkang-nya ia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sambil membalas setiap kali terbuka kesempatan. Dia dikeroyok banyak orang yang lihai, namun karena menang cepat, dia bahkan berhasil mengobrak-abrik mereka dan mendesak para pengeroyok yang menjadi kebingungan karena sebentar-sebentar wanita di tengah tengah mereka itu lenyap!
Dan pada saat itulah muncul Su-ok dan lima orang sute-nya. Kini lima orang sute dari Su-ok itu telah mengepung Ouw Yan Hui. Melihat sikap mereka, Ouw Yan Hui dapat menduga bahwa tentu mereka ini merupakan pimpinan-pimpinan dari orang-orang cebol itu, maka dia bersikap waspada, melihat betapa lima orang itu mengambil kedudukan di lima penjuru angin.
Si brewok yang mengepalai Khai-lo-sin Ngo-heng-tin itu menghadapi Ouw Yan Hui, memandang dengan penuh selidik dan diam-diam kagum akan kecantikan wanita yang telah matang ini, yang selain memiliki wajah yang cantik dan kulit muka yang halus, juga memiliki bentuk tubuh yang padat menggairahkan di balik pakaian indah itu.
Dia lalu berkata dengan suara angker, “Siapakah nama Toanio dan mengapa Toanio merobohkan tiga orang saudara kami?”
Pertanyaan ini biasa dilakukan apa bila dua orang atau dua pihak kang-ouw saling jumpa dan sebelum memulai pertandingan. Tetapi Ouw Yan Hui tersenyum mengejek karena dia masih marah dan jijik melihat si cebol memperkosa wanita tadi, maka tentu saja dia tidak sudi berkenalan dengan orang-orang ini.
“Siapakah namaku tidak perlu kalian ketahui dan aku pun tidak butuh mengenal nama kalian. Aku merobohkan orang bukan tanpa sebab. Si cebol jahanam itu memperkosa wanita, masih baik aku belum keburu bikin mampus binatang itu! Dan dua orang cebol lain roboh karena mereka menyerangku. Kalian sekarang mau apa?”
Bukan main marahnya lima orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu. Mereka memang tidak ternama, tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun suheng mereka adalah seorang di antara Im-kan Ngo-ok yang menurut suheng mereka merupakan datuk-datuk kaum sesat paling terkenal di dunia, dan wanita ini sama sekali tidak memandang mata kepada mereka!
“Perempuan sombong! Hayo lekas kau berlutut minta ampun, kemudian melayani kami berlima sampai kami puas, baru engkau masih ada harapan untuk hidup terus!” bentak si brewok yang mempunyai watak paling mata keranjang di antara mereka berlima.
Ouw Yan Hui memang pembenci pria, akan tetapi yang paling dibencinya adalah laki laki mata keranjang yang suka menghina wanita. Kini mendengar ucapan itu, kedua pipinya yang putih halus itu sudah menjadi merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berkilat dan kedua tangannya dikepal. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya berkelebat dan dia sudah menyerang si brewok dengan pukulan maut!
Cepat bukan main gerakan Ouw Yan Hui ini, sampai si brewok menjadi terkejut dan tidak melihat gerakan wanita itu, tahu-tahu tangan wanita itu sudah menusuk ke arah ulu hatinya. Serangan maut! Si brewok berteriak kaget dan cepat melempar tubuhnya ke belakang karena hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari cengkeraman maut itu. Dia melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan dan empat orang saudaranya sudah menyerbu dan menyerang Ouw Yan Hui sehingga wanita ini tidak mampu untuk terus mendesak si brewok yang sudah berloncatan bangun kembali dengan muka pucat dan keringat dingin bercucuran. Nyaris nyawanya melayang dalam gebrakan pertama itu!
Kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan Ouw Yan Hui memang cepat bukan main, akan tetapi kini dia menghadapi lima orang yang bergerak secara teratur dan terlatih baik sehingga seolah-olah dia menghadapi seorang lawan saja yang memiliki lima pasang tangan dan kaki, yang tentu saja dapat mengimbangi kecepatannya, bahkan mengatasinya! Betapa pun dia mengerahkan ginkang-nya, namun karena gerakan lima orang lawan itu seperti otomatis, terarah dan senada, payah juga wanita itu menghadapi penyerangan yang tiada hentinya, susul-menyusul dan sifatnya berubah-ubah itu.
Memang itulah kehebatan Ngo-heng-tin dari lima orang ini. Selain dapat bekerja sama dengan amat baiknya, saling membantu dan saling melindungi seperti dikemudikan oleh satu otak saja, juga mereka menggunakan tenaga yang berubah-ubah sesuai dengan sifat lima unsur (ngo-heng) dan karena mereka itu rata-rata telah memiliki sinkang yang amat kuat, maka mereka merupakan kesatuan lima tenaga yang amat hebat! Kalau melawan satu demi satu, jelas bahwa mereka berlima ini bukan tandingan Ouw Yan Hui yang lihai. Andai kata mau dibuat ukuran, tingkat kepandaian Ouw Yan Hui itu kurang lebih setingkat dengan kepandaian tiga di antara pengeroyoknya disatukan! Jadi, kalau dia dikeroyok tiga, barulah seimbang.
Dan andai kata lima orang itu tidak memiliki Khai-lo-sin Ngo-heng-tin yang membuat mereka bergerak seolah-olah dikendalikan oleh satu otak, kiranya juga tidak mungkin dapat mengalahkan Ouw Yan Hui. Akan tetapi, lima orang itu bergerak sedemikian rupa sehingga seolah-olah lima orang menjadi satu, dan ini terlalu kuat bagi Ouw Yan Hui. Dalam mengadu tenaga, lima orang itu selalu menyatukan tenaga sehingga kembali Ouw Yan kewalahan.
Betapa pun juga, berkat ginkang-nya yang memang luar biasa sekali, berkali-kali wanita itu dapat menghindarkan diri dari ancaman bahaya dan baru setelah lewat dua ratus jurus, akhirnya kakinya kena ditendang oleh si brewok, tepat mengenai sambungan lutut dan wanita itu jatuh berlutut dengan satu kaki dan sebelum dia mampu meloncat, lima orang itu telah menubruknya dan menotoknya, kemudian menelikungnya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi!
Lima orang itu tertawa dan si brewok berkata gemas, “Hemmm, mari kita kerjakan dia beramai-ramai, kita berpesta dan biar dia yang liar ini menjadi jinak. Ha-ha-ha, ingin aku melihat sikapnya kalau dia sudah kita paksa melayani kita berlima!” Empat orang saudaranya pun tertawa-tawa dan mereka hendak menyeret tubuh Ouw Yan Hui yang sudah tak mampu bergerak itu ke dalam kuil.
“Tahan, Sute!” Tiba-tiba Su-ok berseru dan dia meloncat dekat.
Lima orang sute-nya memandang kepadanya dan si brewok segera tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau tertarik kepadanya, Suheng? Bagus, dia ini agaknya memang puteri istana yang kau rindukan!”
Akan tetapi Su-ok menggeleng kepala. “Tidak, biar pun dia cukup cantik jelita dan pantas menjadi puteri istana, namun dia sudah terlalu tua dan dia bukan perawan seperti yang kuidamkan. Tidak, aku minta kepada kalian agar jangan mengganggunya lebih dulu. Kita pergunakan dia sebagai umpan.”
“Sebagai umpan? Apa maksudmu, Suheng?” Lima orang itu bertanya.
“Orang seperti dia yang demikian cantik dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu tidak datang sendiri. Biar kita tahan dia di kuil dan biarkan teman-temannya datang agar tidak kepalang kita membasmi mereka.”
Lima orang cebol itu tidak membantah, apa lagi karena mereka juga telah mempunyai wanita tawanan mereka yang lebih muda, biar pun tentu saja tidak ada yang mampu menandingi kecantikan Ouw Yan Hui yang luar biasa itu. Maka mereka menyerahkan wanita itu kepada Su-ok yang mengempitnya dan membawanya ke kuil, sedangkan para orang cebol lainnya segera merawat teman-teman mereka yang terluka oleh wanita cantik yang lihai itu.
Lima orang sute dari Su-ok kembali ke kamar masing-masing, sedangkan Su-ok sendiri lalu membawa Ouw Yan Hui ke dalam kuil, kemudian dia mengikat kedua tangan wanita itu kepada sebuah pilar besar di bagian belakang kuil, mempergunakan rantai yang amat besar dan kokoh kuat. Jangankan dalam keadaan lemas tertotok seperti itu, andai kata dalam keadaan sehat sekali pun, tidak mungkin bagi Ouw Yan Hui untuk dapat melepaskan dirinya dari belenggu. Kedua lengannya ditarik ke belakang, melingkari pilar besar dan kedua pergelangan tangannya dibelenggu rantai besi yang kokoh kuat. Dan tak jauh dari situ bersembunyi Su-ok pula yang mengintai dan menunggu kalau kalau ada datang kawan-kawan dari wanita cantik ini seperti yang disangkanya. Andai kata Ouw Yan Hui melakukan usaha untuk membebaskan diri sekali pun, sebelum berhasil tentu telah diketahui oleh Su-ok.
Ouw Yan Hui maklum bahwa dia berada dalam bahaya yang mengerikan. Namun, sebagai seorang wanita gagah, dia memandang bahaya dan kematian sebagai hal yang biasa saja dalam kehidupan, maka sedikit pun dia tidak merasa cemas atau takut. Dia menanti datangnya maut dengan mata terbuka, dan melihat bahwa dia dibelenggu di situ, dia masih melihat harapan untuk dapat lolos. Sebelum maut merenggut nyawanya, dia tidak akan putus asa, sungguh pun pada saat itu dia maklum bahwa dia sama sekali tidak berdaya melepaskan diri dan apa yang dapat dilakukannya hanya berdiri tegak dan diam, mencoba untuk mengumpulkan hawa murni lewat hidungnya untuk berusaha membebaskan totokan yang membuat tubuhnya lemas itu…..
********************
Kakek itu melangkah satu-satu di daerah tandus itu, tubuhnya yang bongkok nampak semakin bongkok karena mukanya menunduk, seolah-olah dia meneliti setiap batu yang dilalui kakinya, atau seolah-olah dia menghitung setiap langkahnya. Keadaan kakek itu sungguh menyedihkan, dan janggallah melihat dia melakukan perjalanan di tempat yang liar dan sukar ini.
Melihat wajahnya, mudah diduga bahwa kakek ini sudah tua renta, dan keadaan tubuhnya yang tua itu cacat, punggungnya bongkok dan lengan kirinya buntung sebatas pundak! Pantasnya seorang tua renta yang cacat seperti itu tinggal di rumah saja, dilayani cucu-cucunya. Akan tetapi, kakek ini berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, melangkah satu-satu dengan tubuh bongkok dan tangan tunggalnya, hanya yang kanan saja itu memegang sebatang tongkat kayu yang agaknya dipergunakan untuk membantu menopang tubuhnya yang bongkok. Seorang kakek yang cacat dan lemah.
Kakek lemah? Orang akan kaget dan kecelik kalau tahu siapa adanya kakek ini. Sama sekali bukan kakek lemah sungguh pun nampaknya demikian, karena kakek ini bukan lain adalah Go-bi Bu Beng Lojin (Kakek Tanpa Nama Dari Go-bi), yaitu Si Dewa Bongkok! Dewa Bongkok sama sekali bukanlah seorang kakek lemah, sebaliknya malah. Dia adalah penghuni dari Istana Gurun Pasir, dan kesaktiannya sedemikian luar biasa sehingga dia dijuluki dewa!
Namanya amat terkenal, dan di daerah utara yang liar itu tidak ada seorang pun raja suku bangsa liar yang berani mengganggunya. Sedangkan di selatan, namanya terkenal sebagai seorang tokoh dongeng karena memang tidak sembarang orang dapat mengunjungi istana di gurun pasir itu. Namanya sejajar dengan nama majikan Pulau Es yang juga dikenal sebagai seorang tokoh dongeng. Akan tetapi, nama Go-bi Bu Beng Lojin masih jauh lebih dulu dikenal dalam dongeng dari pada nama majikan Pulau Es, karena memang Dewa Bongkok ini jauh lebih tua.
Tentu orang akan merasa heran mengapa kakek sakti yang dikenal sebagai tokoh dongeng dan tidak pernah menampakkan diri di dunia ramai itu sekarang melakukan perjalanan seorang diri? Apa lagi orang lain, bahkan kakek itu sendiri pun merasa heran! Hal ini terbukti dari gerutunya di sepanjang perjalanan di pagi hari itu.
“Hemmm, mana mungkin manusia hidup sendiri? Mana mungkin melepaskan diri dari segala sesuatu di dunia ini? Membebaskan diri dari pikirannya sendiri saja sudah merupakan hal yang amat sukar, apa lagi membebaskan diri dari segala sesuatu yang nampak. Uhhhhh, betapa lemahnya manusia... hemmm, sudah setua ini, setelah puluhan tahun tidak lagi menaruh khawatir sedikit pun juga atas diri sendiri lahir batin, sekarang mengkhawatirkan orang lain. Huhhh... memang manusia tidak mungkin bisa hidup sendirian saja. Manusia adalah bagian dari dunia dan kehidupan ini, tak mungkin melarikan diri...“
Tidaklah aneh kalau kakek itu menggerutu. Selama puluhan tahun lamanya dia hidup di Istana Gurun Pasir, menjauhi kehidupan ramai dan tidak pernah memikirkan tentang persoalan hidup lahiriah. Akan tetapi, semua itu berubah setelah dia mempunyai cucu! Yaitu, setelah muridnya, murid tunggal yang bernama Kao Kok Cu, yang berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir, bersama isterinya, mempunyai seorang anak.
Anak dari muridnya itulah yang membuat kakek ini merasa terikat! Timbul rasa kasih sayang yang tidak sewajarnya dan dia merasa lemah. Apa lagi ketika cucunya itu yang diberi nama Kao Cin Liong, diculik orang. Dia ikut merasa khawatir. Sudah berbulan bulan muridnya pergi meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencari Cin Liong yang lenyap diculik orang dan sampai sekarang tiada kabar beritanya. Akhirnya tidak dapat kakek ini menahan diri lagi dan pergilah dia meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi menyusul dan ikut mencari cucunya yang hilang!
Hanya kebetulan saja pada saat itu kalau ada orang melihat Dewa Bongkok berjalan seperti seorang kakek tua renta yang tapa daksa, berjalan melangkah satu-satu dengan lambat sekali. Akan tetapi ada kalanya dia berlari seperti terbang cepatnya sehingga tidak lagi dapat diikuti oleh pandang mata!
Memang bukan merupakan hal yang wajar kalau manusia ingin mengasingkan diri dan hidup sendirian saja di tempat sunyi, di puncak gunung, di dalam goa, menjauhi manusia lain dan tidak mempedulikan hal-hal yang terjadi di dunia! Ini hanya merupakan suatu pelarian saja, suatu pemaksaan diri yang berbahaya dan juga tidak ada gunanya sama sekali.
Kita tidak mungkin mengatasi dan menanggulangi sesuatu dengan jalan melarikan diri dari sesuatu itu. Memang kehidupan ini kejam, kadang-kadang membosankan, dan lebih banyak deritanya dari pada sukanya. Namun, kita tidak mungkin dapat mengakhiri semua itu dengan jalan melarikan diri ke tempat sunyi! Pelarian diri itu bukan lain hanyalah suatu bentuk pengejaran kesenangan juga!
Mungkin kalimat terakhir itu mengejutkan dan akan ditentang, maka sebaiknya mari kita membuka mata dan menyelidiki hal itu dengan seksama, jauh dari pendapat pribadi atau golongan, melainkan memandang keadaannya sebagaimana adanya. Kalau kita mengatakan bahwa kita pergi ‘bertapa’ ke gunung atau ke goa karena kita sudah tidak menginginkan apa-apa di dunia ini, bahwa kita sudah terbebas dari nafsu keinginan, benarkah perkataan kita itu?
Kalau memang kita sudah tidak menghendaki apa-apa, lalu mengapa kita bertapa di tempat sunyi? Bukankah pergi bertapa ke tempat sunyi, menjauhkan diri dari segala keramaian dan manusia lain, itu sudah merupakan suatu tindakan yang menunjukkan bahwa kita menghendaki sesuatu? Bahkan kita bosan dengan dunia ramai dan kita ingin tentram? Bukankah ini merupakan suatu keinginan pula, keinginan untuk ketenteraman diri pribadi, untuk kedamaian diri pribadi, yang bukan lain hanyalah merupakan wajah lain dari pada keinginan untuk kesenangan diri pribadi? Bukankah karena kita membayangkan bahwa tempat sepi, jauh dari manusia lain, itu akan menjauhkan kita dari kepusingan, jadi berarti mendekatkan kita kepada ketenteraman dan kedamaian yang kita anggap menyenangkan maka kita melakukan pertapaan itu?
Karena pada hakekatnya hanya merupakan pengejaran kesenangan belaka, biar pun diberi nama yang lebih agung seperti kesempurnaan, kedamaian, ketenteraman dan sebagainya, maka pada akhirnya, para pengejar kedamaian melalui tempat-tempat sunyi itu akan kecewa! Di sana pun, di tempat sunyi, di puncak gunung, di dalam goa, di tepi pantai, mereka akan ditelan kehampaan!
Mengapa demikian? Karena jelas bahwa segala pengejaran keinginan itu akan menuntun kita kepada kehampaan dan kekecewaan, kepada perbandingan dan selalu akan membuka mata kita bahwa apa yang kita bayang-bayangkan selagi mencari itu ternyata tidaklah seindah seperti yang dibayangkan! Akan timbul kebosanan, akan timbul keinginan untuk mencari dengan cara lain, yang dianggap lebih unggul, lebih agung, lebih mendalam dan seterusnya.
Mempelajari tentang hidup tidaklah mungkin tanpa kita terjun ke dalamnya! Dan hidup adalah hubungan antar manusia, hubungan antara manusia dengan benda-benda, antara manusia dengan pikiran-pikirannya. Segala persoalan yang kita namakan mengandung suka atau duka, bukanlah keluar dari si peristiwa itu sendiri, melainkan timbul dari pikiran. Pikiranlah yang membanding-bandingkan, pikiranlah yang menilai, lalu pikiran yang mengambil kesimpulan, memutuskan bahwa peristiwa ini merugikan lahir atau batin, karenanya mendatangkan duka, dan peristiwa itu menguntungkan lahir atau batin, karena mendatangkan suka.
Karena semua kesengsaraan timbul dari pikiran kita sendiri, maka benarkah itu kalau kita mencoba membebaskan diri dari keadaan lahiriah dengan jalan mengasingkan diri? Bukankah batin kita yang menjadi sumber segalanya? Selama hati dan pikiran (yaitu batin) kita masih sibuk dengan seribu satu macam persoalan, biar kita sembunyi di puncak gunung tertinggi sekali pun, kita masih akan mempunyai persoalan-persoalan, baik yang menyenangkan mau pun yang menyedihkan. Sebaliknya, kalau kita sudah bebas dari pikiran yang menjadi sumber suka-duka, biar pun kita berada di tengah tengah keramaian dunia, kita akan mengalami keadaan hidup yang lain sama sekali.
Dewa Bongkok adalah seorang pertapa semenjak dia masih muda. Dia sudah terbiasa dengan tempat sunyi. Akan tetapi, begitu dia mempunyai seorang cucu, demi sang cucu inilah maka dia kini meninggalkan tempat pertapaannya dan berkelana di dunia ramai untuk mencari cucunya. Dan kegelisahan mulai menggerogoti hatinya yang sudah tua.
Manusia memang amat lemah, selalu mengikatkan diri dengan apa yang disenanginya. Kita mengingatkan diri dengan isteri, anak, keluarga, harta benda, kedudukan, serta kepandaian dan sebagainya. Karena mengikatkan diri, karena kita merasa memiliki secara batiniah, maka yang kita senangi dan miliki itu melekat dalam batin, berakar. Dan karena berakar inilah maka setiap kali yang melekat itu diambil, baik melalui kematian, kehilangan atau pertentangan, batin kita menjadi sakit, dicabutnya sesuatu yang sudah berakar dalam batin kita itu mendatangkan luka berdarah!
Dapatkah kita hidup tanpa ikatan apa-apa? Dapatkah kita mempunyai, baik keluarga, harta benda dan sebagainya, dalam arti kata mempunyai secara lahiriah saja, tanpa memilikinya secara batiniah? Bukan berarti bahwa kita lalu menjadi tak acuh, bukan berarti kita harus tidak peduli. Sebaliknya malah. Cinta kasih bukan lagi cinta kasih kalau didasari nafsu ingin memiliki, ingin menguasai. Cinta kasih adalah kebebasan!
Dewa Bongkok melangkah satu-satu sambil termenung. Akan tetapi, ilmu kepandaian yang amat tinggi sudah mendarah daging pada diri kakek ini, bahkan dia telah memiliki kepekaan yang luar biasa, semacam indera ke enam yang dimiliki oleh setiap orang ahli apa pun di bidang masing-masing sehingga dia seperti melihat atau mendengar segala ketidak wajaran yang terjadi di sekelilingnya.
Memang setiap orang yang sudah ahli memiliki indera ke enam ini. Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi, indera ke enam ini berupa kewaspadaan terhadap segala macam bahaya yang mengancam, dari mana pun datangnya, sehingga indera ke enam ini bisa menjaganya di waktu dia tidur sekali pun! Bagi seorang pelukis, mungkin dengan indera ke enam itu dia melihat bentuk-bentuk, garis-garis, sifat-sifat dan perpaduan-perpaduan yang tidak dapat dilihat oleh orang awam, yang lalu dituangkannya di atas kanvas. Bagi seorang pengarang, mungkin dengan indera ke enam itu dia dapat menangkap segala sesuatu tentang lika-liku kehidupan manusia dan alam yang kemudian dituangkannya dalam karangannya.
Tiba-tiba Dewa Bongkok nampak seperti orang terkejut, mukanya yang tadi menunduk itu digerakkan menoleh ke kiri dan sekelebatan nampaklah olehnya bayangan orang amat cepatnya. Dan pada saat itu juga, Dewa Bongkok menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melesat seperti menghilang saja!
Siapakah bayangan orang yang berkelebat cepat itu? Dia ini juga seorang kakek, dan sungguh pun tidak setua Dewa Bongkok, namun usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun. Gerakannya gesit seperti terbang. Kakek ini berwajah menyeramkan, kurus seperti tengkorak, mukanya putih seperti kapur, tubuhnya tinggi kurus. Biar pun kini dia tidak lagi memakai pakaian hitam karena dia sedang menjadi buronan pemerintah seperti yang lain, namun orang-orang kang-ouw tentu akan mengenal siapa adanya kakek ini yang bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi!
Dialah ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, sarangnya yang kemudian dijadikan benteng para pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Liong Bian Cu itu. Setelah benteng itu dihancurkan oleh pihak pemerintah, dan semua tokohnya melarikan diri, Hek-hwa Lo-kwi juga ikut melarikan diri dan dia berganti pakaiannya yang biasanya berwarna hitam karena tidak ingin dikenal oleh orang-orang pemerintah yang dia tahu disebar untuk mencarinya.
Hek-hwa Lo-kwi berada di tempat itu, karena dia sudah berjanji dengan Hek-tiauw Lo-mo untuk saling bertemu di tempat itu untuk kemudian bersama-sama pergi ke gurun pasir. Mereka telah menerima undangan Twa-ok untuk membantu Im-kan Ngo-ok menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Super Sakti. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa di tempat itu, dia akan bertemu dengan Dewa Bongkok!
Seperti pernah diceritakan di bagian depan, Hek-hwa Lo-kwi ini dahulunya adalah seorang pelayan yang terkasih dari Dewa Bongkok, dan ketika itu dia bernama Thio Sek. Karena terbujuk oleh Hek-tiauw Lo-mo, juga karena dia ingin sekali memperoleh kitab rahasia dari majikannya yang akan menambah tingkat kepadaiannya, Thio Sek ini lalu melarikan diri bersama Hek-tiauw Lo-mo, setelah mereka berdua berhasil mencuri sebuah kitab yang akhirnya mereka perebutkan dan seorang memperoleh separuh.
Inilah sebabnya maka begitu dia melihat Dewa Bongkok, dia menjadi terkejut setengah mati. Walau pun kakek bongkok itu berada di tempat jauh, akan tetapi melihat bekas majikannya itu, Hek-hwa Lo-kwi cepat melarikan diri. Kalau ada manusia di dunia ini yang ditakutinya, dan padahal dia tidak takut kepada setan sekali pun, maka manusia itu adalah Dewa Bongkok.
Hatinya agak lega ketika dia melarikan diri jauh sekali dan tiba di tepi sebuah hutan. Dia menghentikan larinya, menarik napas panjang dan menghapus keringat dingin yang membasahi muka dan lehernya.
“Mau apa iblis tua itu di sini...?” tanyanya pada diri sendiri. Untung dia belum ketahuan dan dia dapat cepat melarikan diri! Kalau sampai berjumpa, hemmm... dia bergidik ketakutan.
Hutan di depan ialah tempat di mana dia telah berjanji untuk bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Maka dia mengibaskan lengan bajunya dan mulai melangkah maju ke depan. Tiba-tiba dia berhenti dan mukanya yang putih seperti kapur itu menjadi makin pucat sampai kehijauan, matanya terbelalak memandang ke depan dan kedua kakinya menggigil. Dewa Bongkok sudah berdiri di depannya, agak jauh di depannya, seolah olah menantinya dengan muka menunduk! Bagaimana mungkin ini? Bukankah tadi dia telah lari secepatnya dan jelas meninggalkan kakek itu sebelum kakek itu sempat melihatnya?
Akan tetapi dia tidak mau membuang waktu dengan berheran-heran, cepat dia sudah meloncat ke belakang, jauh, dan lari dari kakek yang mendatangkan rasa takut hebat dalam hatinya itu. Akan tetapi, begitu dia turun, dia melihat Dewa Bongkok sudah menanti di depannya! Dia cepat menoleh dan ternyata kakek yang tadi berdiri di tepi hutan sudah tidak ada, dan entah kapan kakek itu bergerak! Hek-hwa Lo-kwi makin ketakutan dan kembali dia membalikkan tubuh dan lari ke dalam hutan. Akan tetapi, kembali dia melihat Dewa Bongkok bersandar pada tongkatnya di dalam hutan, hanya kurang lebih dua puluh meter di depannya, tanpa memandangnya dan hanya menundukkan muka!
Mau rasanya Hek-hwa Lo-kwi menjerit dan menangis ketakutan. Tubuhnya sudah penuh dengan peluh. Dia akan lebih suka berjumpa dengan raja setan sendiri dari pada dengan bekas majikannya ini! Dengan menahan napas dia lalu meloncat ke atas pohon, dan berloncatan dari pohon ke pohon. Akan tetapi, setelah melewati lima batang pohon, terpaksa dia berhenti lagi karena di pohon sebelah depan telah menanti Dewa Bongkok yang duduk di atas cabang pohon di depannya itu.
Hek-hwa Lo-kwi menjadi makin panik, dan pada saat itu dia sempat melihat bayangan rekannya, Hek-tiauw Lo-mo, bersembunyi di balik sebatang pohon. Melihat ini, timbul harapannya. Ada kawan di sini dan hal ini agak membesarkan hatinya. Dia cepat melayang turun ke arah temannya itu. Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh bumi di dekat pohon di mana Hek-tiauw Lo-mo bersembunyi, dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Dewa Bongkok sudah berdiri tepat di depannya.
“Thio Sek, apakah engkau masih hendak lari lagi? Tiba-tiba Dewa Bongkok menegur dengan suara halus namun mengandung nada kereng yang membuat jantung Hek-hwa Lo-kwi tergetar hebat. Kedua kakinya menjadi lemas dan manusia iblis yang biasanya amat ditakuti orang itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Dewa Bongkok!
“Loya... ampunkan hamba...,“ Hek-hwa Lo-kwi berkata, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil. Memang sungguh aneh sekali kalau ada orang kang-ouw melihat keadaan manusia iblis ini. Seperti tidak masuk akal kalau orang seperti Hek-hwa Lo-kwi masih bisa ketakutan seperti itu!
Dewa Bongkok tersenyum dan biar pun wajah yang tua itu membayangkan kelembutan, namun sinar matanya yang mencorong seperti mata naga sakti itu sungguh penuh wibawa dan menyeramkan.
“Thio Sek, tak perlu bicara tentang pengampunan. Di mana adanya kitab yang kau curi itu?” terdengar Dewa Bongkok berkata dengar suara penuh teguran.
“Hamba... hamba... membagi dua kitab itu dengan Hek-tiauw Lo-mo...“
“Hemmm, lalu di mana sekarang kitab itu?”
“Bagian hamba... sudah hamba bakar karena hamba khawatir kalau sampai terjatuh ke tangan orang lain. Sedangkan bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo... hamba tidak tahu...“
Hek-hwa Lo-kwi mengangkat mukanya dan dia melihat betapa Hek-tiauw Lo-mo yang bersembunyi di balik batang pohon itu memberi semacam isyarat kepadanya. Dia dapat menangkap isyarat itu. Hek-tiauw Lo-mo mengajak dia menyerang Dewa Bongkok secara tiba-tiba dan bersama-sama pula. Jantungnya berdebar dan memang itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri!
“Harap Loya sudi mengampuni hamba... hamba mengaku salah... hamba telah mata gelap karena ingin memiliki kitab pelajaran yang tinggi...”
Dewa Bongkok adalah seorang manusia yang waspada, maka dia dapat melihat pula sikap tidak wajar dari bekas pelayannya itu, seperti ada sesuatu yang disembunyikan, maka dia membentak, “Hayo kau ceritakan semua apa yang akan kau lakukan dan mengapa pula kau berada di sini! Hukumanmu mencuri kitab itu tergantung dari kejujuranmu dalam menjawab pertanyaanku ini.”
Suara kakek bongkok itu angker dan sungguh menggetarkan perasaan Hek-hwa Lo-kwi yang memang sudah merasa jeri sekali. Dia merangkak maju lebih dekat, kemudian membenturkan dahinya di atas tanah. Perbuatan ini seolah-olah membuktikan bahwa dia benar-benar menyesal dan minta ampun, padahal dia melakukannya untuk dapat lebih mendekati kakek bongkok itu.
“Hamba... hamba memenuhi undangan Im-kan Ngo-ok...“ Dia berhenti, terkejut karena dalam rasa takutnya dia sampai membuka rahasia rencana Im-kan Ngo-ok.
Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara dan apa lagi mengingat akan isyarat Hek-tiauw Lo-mo tadi. Bukankah semua ini hanya untuk memancing perhatian Dewa Bongkok agar lebih mudah bagi mereka berdua untuk melancarkan serangan mendadak?
Dan Dewa Bongkok memang tertarik saat mendengar disebutnya nama Im-kan Ngo-ok itu. “Im-kan Ngo-ok mengundangmu? Ada perlu apakah?”
“Im-kan Ngo-ok mengadakan perjanjian dengan Pendekar Super Sakti untuk bertemu dan kemudian mengadu kepandaian di gurun pasir yang terletak di daratan Gunung Chang-pai-san. Im-kan Ngo-ok minta bantuan hamba untuk menghadapi lawan tangguh itu...“
Sekali ini Dewa Bongkok benar-benar terkejut. “Hemmm, kapankah diadakannya pertemuan itu?”
“Pada bulan purnama bulan depan...”
“Dan kau bermaksud membantu mereka menghadapi Pendekar Super Sakti?” bentak Dewa Bongkok.
Pada saat Dewa Bongkok membentak ini, Hek-tiauw Lo-mo dengan langkah hati-hati telah keluar dari balik batang pohon dan mendekati kakek bongkok itu. Betapa pun tinggi kepandaian seseorang, dan betapa pun tajam perasaannya, namun seorang manusia tidak mampu membagi-bagi kesibukan batinnya. Selagi dia bicara dengan marah, tentu saja kewaspadaan Dewa Bongkok berkurang, semua perhatian ditujukan kepada bekas pelayannya, dan juga ketajaman pendengarannya penuh oleh suara dari kata-katanya sendiri sehingga dia tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang.
Hek-hwa Lo-kwi melihat ini dan dia mengangkat kedua tangannya menyoja, berkata dengan suara menyesal, “Ampunkan hamba, Loya... hamba sebetulnya tidak berani akan tetapi...“
Dan pada saat itu, diam-diam Hek-hwa Lo-kwi sedang mengumpulkan tenaganya untuk mengerahkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Pek-hiat-hoat-lek! Kemudian, kedua tangan yang menyoja itu secepat kilat meluncur ke atas dan menghantam ke arah dada Dewa Bongkok! Pada saat yang sama, Hek-tiauw Lo-mo juga sudah menggerakkan tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka dia lantas melancarkan hantaman dengan pengerahan tenaga Hek-coa-tok-ciang.
“Blukkk! Desss...!”
Dua pukulan itu dengan tepatnya mengenai dada dan punggung Dewa Bongkok yang tidak sempat mengelak lagi karena datangnya pukulan dari depan dan belakang itu sama sekali tak disangkanya sehingga kakek tua renta ini hanya mampu mengerahkan sinkang-nya untuk menerima kedua pukulan itu. Akan tetapi, demikian hebatnya tenaga sinkang dari penghuni Istana Gurun Pasir ini sehingga begitu kedua pukulan itu mengenai punggung dan dadanya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terpental mundur, terjengkang dan mereka tewas dalam keadaan mengerikan, mata mereka membalik dan dari semua lubang di telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah! Ternyata bahwa pukulan mereka itu terbentur kepada hawa sinkang amat kuat sehingga tenaga mereka terpental, membalik kemudian menghantam mereka sendiri hingga mengakibatkan mereka tewas seketika!
Dewa Bongkok masih kelihatan berdiri tegak di tempat yang tadi, sama sekali tidak bergerak seolah-olah dua pukulan itu tidak terasa olehnya. Akan tetapi, kalau orang melihat mukanya, akan tahulah dia bahwa Dewa Bongkok menderita luka hebat. Muka yang tua itu pucat sekali dan di ujung kanan mulutnya nampak darah mengalir bertetes tetes.
Ternyata kakek sakti ini telah muntah darah! Pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang dilakukan dari jarak dekat itu terlampau dahsyat dan tidak terduga datangnya. Kalau bukan Dewa Bongkok yang terkena hantaman seperti itu, betapa pun lihainya, tentu akan tewas seketika.
Setelah berdiri sejenak seperti arca dengan kedua mata terpejam, mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat diri, akhirnya Dewa Bongkok membuka kedua matanya, menarik napas panjang dan menoleh ke arah mayat dua orang itu. Dengan gerakan perlahan dan menahan nyeri pada dadanya, kakek ini lalu mengumpulkan dahan-dahan yang cukup banyak, meletakkan dua buah mayat itu di atas dahan-dahan dan menutupinya dengan banyak dahan dan daun kering, kemudian membakarnya. Dia maklum bahwa ranting-ranting itu cukup banyak dan akan dapat membakar dua jenazah itu sampai habis. Setelah memandang sejenak, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, jalannya agak tersaruk-saruk dibantu oleh tongkatnya…..
********************
Luka yang diderita oleh Go-bi Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok memang amat parah. Apa lagi ditambah dengan usianya yang sudah amat tua sehingga tentu saja daya tahan tubuh sudah tidak begitu kuat lagi, maka akibatnya dua pukulan dahsyat itu membuat kakek ini benar-benar menderita hebat.
Setelah berjalan perlahan-lahan sampai setengah hari meninggalkan hutan itu dan tiba di pegunungan yang penuh batu-batu dan sukar dijalani, kakek ini merasa tidak dapat menahan lagi dan duduklah dia bersila di atas batu besar untuk menghimpun kekuatan dan mengumpulkan hawa murni sebanyaknya guna mengobati luka yang dideritanya.
Dengan merasakan keadaan lukanya, kakek ini maklum bahwa sedikitnya dia harus beristirahat satu bulan untuk dapat memulihkan kembali kekuatannya, dan paling tidak selama tiga hari tiga malam dia harus duduk bersemedhi untuk menyelamatkan nyawanya. Dengan penghimpunan hawa murni selama tiga hari tiga malam terus menerus, barulah ada harapan luka di dalam dadanya itu dapat disembuhkan sehingga dia hanya tinggal menanti pulihnya kekuatannya saja. Kebetulan sekali tempat itu amat baik, sunyi dan bersih, hawanya murni sehingga tepat untuk dipakai menjadi tempat bersemedhi.
Dua hari dua malam sudah kakek ini duduk bersila di atas batu tanpa pernah bergerak. Dia seolah-olah sudah mati, atau sudah berubah menjadi arca batu, menjadi satu dengan batu besar yang didudukinya. Hanya ujung pakaiannya saja, jenggotnya atau sedikit rambut di sekeliling kepalanya yang kadang-kadang bergerak kalau ada angin kencang bertiup.
Pada hari ketiga itu, Dewa Bongkok sudah merasa betapa luka-luka di dalam dadanya telah banyak mendingan. Rasa nyeri di bagian kiri yang tadinya terasa paling hebat telah lenyap dan tinggal sedikit rasa nyeri di bagian kanan. Dalam sehari semalam ini tentu lukanya ini pun akan lenyap dan dia tinggal beristirahat saja untuk memulihkan kekuatannya selama sedikitnya sebulan.
Akan tetapi, pagi hari itu terjadi hal di luar perhitungan kakek sakti ini. Ketika dia masih tenggelam ke dalam semedhi, tiba-tiba muncul seorang wanita cantik yang memiliki gerakan ringan dan wanita ini telah sejak tadi memperhatikan Dewa Bongkok yang sedang bersemedhi. Wanita ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, Siluman Kucing yang cabul dan lihai itu!
Seperti juga suheng-nya, yaitu Hek-tiauw Lo-mo, dia pun telah menerima undangan dari Im-kan Ngo-ok untuk membantu mereka menghadapi Pendekar Super Sakti dan dia pun berjanji dengan suheng-nya untuk bertemu di dalam hutan itu. Akan tetapi, dasar Siluman Kucing ini tidak pernah dapat sembuh dari penyakitnya, yaitu gila laki-laki, di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang amat menarik hatinya. Dia lalu merayu pemuda ini dan memuaskan nafsunya sehingga dia lupa akan janjinya dan setelah dia, seperti biasanya, merasa bosan dan meninggalkan pemuda yang telah dibunuhnya pula itu, dia tiba di dalam hutan yang dijanjikan dalam keadaan terlambat dua hari!