CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI
BAGIAN 03
DEMIKIANLAH, sejak hari itu, Tek Hoat tinggal di dalam goa bersama Kong To Tek yang melayaninya dan yang selalu menjaga di luar goa di waktu Tek Hoat sedang berlatih ilmu silat. Untuk kedua kalinya, pemuda ini berganti nama, kini namanya Wan Keng In, biar pun hanya terhadap kakek gundul itu!
Dengan penuh ketekunan dia mempelajari semua ilmu yang berada di dalam dua kitab itu, dan melatih diri siang malam, kalau siang berlatih gerakan silatnya, kalau malam berlatih sinkang dan bersemedhi menurut petunjuk di dalam kitab-kitab itu. Dia melarang Kong To Tek untuk menimbulkan ribut di luaran, dan semua hartanya digunakan untuk persedian makan dan pakaian mereka berdua.
Kita tinggalkan dulu Tek Hoat yang tekun mempelajari ilmu yang mukjijat, ilmu yang amat hebat dan yang kelak akan menggegerkan dunia, menemukan secara kebetulan saja karena pembawa pusaka itu, Kong To Tek, telah menjadi gila dan tidak mengenal orang lagi, mengira Tek Hoat adalah Wan Keng In. Untuk melancarkan jalannya cerita, sebaiknya kalau kita kembali ke barat, ke daerah Kerajaan Bhutan, mengikuti pasukan Pemerintah Bhutan yang sibuk mencari rajanya yang terancam bahaya.
Karena mengkhawatirkan keselamatan rajanya, maka Panglima Jayin sendiri memimpin seribu orang prajurit, ditemani oleh panglima pengawal dari rombongan utusan kaisar, malam-malam berangkat juga meninggalkan kota raja. Pasukan sebanyak seribu orang itu berderap dalam sebuah barisan panjang keluar dari kota raja. Obor yang bernyala terang dibawa oleh para prajurit dan diangkat tinggi-tinggi itu dari jauh kelihatan seperti ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari untuk mengimbangi derap langkah kaki kuda yang cepat, maka dari jauh obor-obor itu menciptakan pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api merayap.
Barisan panjang itu naik turun bukit dan masuk keluar hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba dan pasukannya berhenti. Jauh di sebelah utara tampak banyak kunang-kunang bertebaran yang dapat diduga tentulah sebuah barisan lain.
“Agaknya itulah barisan musuh yang mengganggu raja,” kata Jayin perlahan kepada pengawal kaisar yang menunggang kuda di sebelahnya. “Bagaimana pendapatmu, Tan-ciangkun?”
“Kita harus berhati-hati. Musuh yang sudah menduga akan kedatangan kita tentu telah mengadakan persiapan dan jebakan. Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan, sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan kedudukan musuh.”
Panglima Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun. Dia mengangguk-angguk kemudian berkata, “Tan-ciangkun, karena sekarang kita bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku tidak berani menyerahkan penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi melakukan penyelidikan sendiri, dan harap Tan-ciangkun suka mengawani aku.”
“Tentu saja. Mari kita pergi.”
Jayin lalu menyerahkan pimpinan kepada wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda dari dia. Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh menyerbu saja ke depan menyerang musuh. Setelah memberikan nasehat dan perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal kaisar itu berangkat. Mereka menggunakan ilmu berlari cepat.
Kaki mereka yang berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah mereka terbang ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam gelap. Hanya bintang-bintang di langit saja yang menjadi penerangan bagi mereka, dengan cahayanya yang suram.
Tak lama kemudian, dua orang gagah itu tiba di tempat di mana terdapat api-api bernyala itu. Mereka tertegun ketika melihat bahwa obor yang ratusan banyaknya itu ternyata tidak dipegang orang! Bukan pasukan musuh yang memegang obor yang dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan obor-obor bambu yang gagangnya ditancapkan di atas tanah, dan ratusan buah obor yang bernyala ini mengurung sebuah rumah kecil dari tembok yang sederhana dan sunyi, sebuah rumah terpencil yang kelihatan terang oleh banyak obor itu.
“Hemmm, aneh sekali. Mari kita menyerbu ke dalam, kita periksa isi rumah itu,” kata Panglima Jayin.
“Ssttttt, hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik. Obor-obor itu teratur seperti bentuk barisan pat-kwa. Aku merasa curiga sekali. Ini bukanlah sembarang obor-obor saja, melainkan sebuah benteng! Ini tentulah buatan orang pandai. Kalau kita lancang masuk, kita akan terjebak, mungkin bisa masuk takkan bisa keluar lagi. Biarlah aku memeriksanya dulu.”
Panglima Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong Khi si jenggot panjang cepat melompat dan berlari mengelilingi benteng obor itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor itu merupakan benteng yang kokoh kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia sendiri akan sangsi untuk memasuki benteng obor ini, karena tentu banyak bahaya maut mengancamnya. Dia telah tiba kembali di tempat Panglima Jayin menantinya dengan hati tegang.
“Benar, sukar menembus benteng obor ini. Pula, kita harus berhati-hati. Kalau tidak sudah jelas dan penting, mengapa kita harus memasuki dan menyelidiki rumah itu? Kita tidak tahu jebakan apa yang menanti kita di sana...”
Tiba-tiba terdengar langkah orang, banyak sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan tubuh, Panglima Jayin sudah mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah siap menghadapi bahaya. Dan ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan Tibet yang ganas dan kasar, yang kini sedang menyerang kedua orang itu sambil berteriak-teriak.
Hujan senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu. Panglima Jayin mengamuk dengan pedangnya, sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya ditambah jenggotnya yang panjang. Akan tetapi jenggot ini tidak kalah hebatnya oleh pedang di tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang pengeroyok terdepan, roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot yang melecut-lecut!
Akan tetapi pihak pengeroyok terlalu besar jumlahnya dan mereka itu terdiri dari orang-orang kasar yang tidak takut mati. Bagaikan segerombolan serigala buas, kurang lebih seratus orang itu mengeroyok Jayin dan Tan Siong Khi maka setelah merobohkan belasan orang, kedua orang gagah ini mulai terdesak hebat, bahkan keduanya sudah terluka di pundak karena sambaran golok para pengeroyok.
“Jayin-ciangkun, terpaksa kita masuk ke benteng obor!” kata Tan-ciangkun dan dia mendahului meloncat masuk.
Ketika melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jeri dan tidak berani mengejar temannya, Panglima Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya terbakar, maka dengan hati-hati dia lalu menyelinap di antara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi.
Dengan hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata jalan menjadi buntu dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari obor-obor itu membuat mereka berkeringat, asap dari obor membuat napas menjadi sesak.
Para pengeroyok tadi sekarang menyerang mereka dari luar benteng obor dengan menggunakan anak panah! Tentu saja kedua orang gagah itu menjadi semakin sibuk! Baru barisan obor itu saja membuat mereka kewalahan dan tidak tahu ke mana harus melangkah, kini diserang lagi oleh hujan anak panah. Repotlah mereka mengelak dan karena tempat mereka berpijak terkurung obor dan sempit, terpaksa Tan Siong Khi menggunakan jenggot dan jubahnya yang dipegang di tangan kanan untuk menangkis, sedangkan Jayin menangkis dengan pedangnya. Keadaan mereka berbahaya sekali karena kalau penyerangan itu dilanjutkan, dalam waktu singkat mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh terjilat api, tentu mereka akan terbakar hidup-hidup!
Dalam keadaan yang sangat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara yang jelas sekali, seolah-olah orang yang bicara itu berada di dekat mereka, suara yang penuh wibawa dan halus tenang. “Ke kiri melalui tiga obor...!”
Mendengar suara ini, dua orang gagah itu saling pandang, kemudian mereka segera melangkah ke kiri sampai melalui tiga batang obor.
“Maju melalui sebatang obor...,” kembali terdengar suara itu. “Lalu ke kanan melalui empat batang obor...!”
Dituntun oleh suara itu, dua orang gagah itu bergerak sambil terus menangkisi anak panah. Suara itu terus menuntun mereka sampai akhirnya mereka dapat masuk makin jauh dan tidak ada lagi anak panah dapat mencapai mereka. Tak lama kemudian, suara yang memimpin itu membawa mereka tiba di depan pintu rumah di tengah-tengah kelilingan benteng obor!
Pintu rumah terbuka dan tampaklah panglima pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang mengawal raja berburu. “Masuklah cepat, dan untung kalian masih dapat tertolong.”
Dua orang itu cepat masuk dan daun pintu ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu memasuki rumah, dua orang gagah itu terkejut dan girang sekali melihat bahwa Raja Bhutan telah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dalam keadaan sehat dan selamat. Dan di depan raja itu berdiri seorang laki-laki yang aneh.
Laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya masih kelihatan segar tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam bersinar-sinar aneh penuh wibawa, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti orang biasa saja. Yang paling menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan dia berdiri bersandar pada sebatang tongkat butut. Juga sikapnya amat menyolok karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat kepada Raja Bhutan, melainkan bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di depan tubuh dan meja di belakangnya.
Melihat rajanya, dengan girang Jayin lalu menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun juga berlutut di depan Raja Bhutan.
“Hamba menghaturkan selamat bahwa paduka masih dalam keadaan selamat!” kata panglima itu dengan girang dan bersyukur.
“Berkat pertolongan orang gagah ini,” kata Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah laki-laki berkaki buntung itu. “Kami dan Panglima Sangita sudah dikepung musuh dalam rumah ini, dan Panglima Sangita mempertahankan diri mati-matian. Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul mundur musuh, kemudian membuat benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk ke sini. Bangkitlah kalian dan mari kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami dapat pulang ke kota raja.”
Setelah mendapat perkenan raja, kedua orang itu bangkit. “Sri baginda, sahabat ini adalah pengawal kaisar bernama Tan Siong Khi, dia datang bersama rombongan utusan kaisar.”
“Ahhh, sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan itu terpaksa ditunda karena kami tertahan di sini. Hal itulah yang membuat kami banyak pikiran dan ingin lekas dapat kembali ke kota raja.”
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh Tan Siong Khi yang begitu melihat pria buntung itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia melihat laki-laki itu, karena tadi dia berlutut menghadap Raja Bhutan.
“Harap taihiap sudi memaafkan saya yang terlambat tahu. Kiranya taihiap yang telah menyelamatkan raja!” Sikap Tan Siong Khi merendah dan juga penuh hormat dan kagum.
Laki-laki buntung itu menahan senyumnya, berkata halus, “Tan-ciangkun, apa perlunya segala kesungkanan ini? Raja Bhutan sendiri tidak memperkenankan kau berlutut, apa lagi hanya aku! Bangkitlah dan mari duduk membicarakan cara untuk menyelamatkan raja dari tempat ini.”
Raja Bhutan dan dua orang panglimanya tentu saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi adalah seorang berkedudukan tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar, juga menjadi pemimpin rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan. Tetapi pengawal itu berlutut di depan laki-laki buntung yang gagah perkasa ini!
Tentu saja mereka tidak tahu, karena laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti di Tiongkok. Dia bukan lain adalah Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han. Tentu saja bukan tidak ada sebabnya mengapa seorang pengawal kaisar sampai memberi penghormatan dengan berlutut.
Pendekar Siluman ini adalah mantu kaisar! Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar yang amat terkenal. Bahkan puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana, sekarang menjadi seorang puteri di kota raja, cucu kaisar dan telah menikah dengan seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, yaitu Panglima Han Wi Kong. Maka sepatutnyalah kalau pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini, bukan hanya karena kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, yang membuat Pengawal Tan tunduk dan kagum!
“Harap paduka rundingkan rencana penyelamatan paduka dengan tiga orang gagah ini, saya sendiri hendak meneliti keadaan di luar.” Tiba-tiba pendekar itu berkata dan terpincang-pincang dia menuju ke pintu, membuka pintu dan berdiri di samping pintu, termenung memandang keluar ke arah benteng obor yang dibuatnya.
Ketika melihat raja dan panglimanya dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong, akan tetapi sukarlah mengalahkan ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja dia tidak mau memihak dan membunuhi mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam sementara waktu, dia lalu membuat benteng obor itu.
Raja Bhutan lalu mengajak kedua panglimanya dan Tan-ciangkun untuk berunding.
“Betapa pun juga, besok hari kami harus sudah berada di kota raja. Urusan puteri kami amatlah penting, dan jika makin terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati kaisar. Ahh, salahku sendiri mengapa pergi berburu menghadapi urusan besar. Dan mengapa manusia-manusia biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!”
“Mereka itu jumlahnya lebih tiga ratus orang, mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka bersembunyi mengurung tempat ini,” kata Panglima Sangita yang berusia lima puluh tahun itu.
“Pasukan kita masih menanti agak jauh, dan sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok pagi-pagi. Kalau pasukan kita datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka,” berkata Panglima Jayin.
“Bagus kalau begitu!” kata raja. “Kita menanti sampai besok pagi.”
“Sayang sekali, obor-obor ini tidak akan dapat bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi juga padam karena kehabisan minyak,” tiba-tiba terdengar suara halus tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini pula yang tadi ‘menuntun’ Jayin dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu. Mereka terheran, kecuali Tan-ciangkun, betapa orang buntung itu dapat mendengarkan percakapan mereka, padahal dia sendiri jauh di ambang pintu depan dan kelihatan termenung memandang keluar.
“Ah, kalau begitu bagaimana?” Raja bertanya khawatir.
“Bagaimana kalau kita bertiga menerjang keluar, kemudian seorang di antara kita lari memanggil pasukan?” Jayin mengusulkan.
“Tidak baik,” kata Tan-ciangkun. “Kita bertiga tentu takkan dapat melawan mereka, dan kalau kita bertiga roboh, berarti sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andai kata kita bertiga dapat menyelamatkan diri, bagaimana dengan sri baginda?”
Kini semua mata yang diliputi kekhawatiran itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih berdiri membelakangi mereka.
“Taihiap, bagaimana baiknya?” Tiba-tiba sri baginda berkata kepada Pendekar Siluman. “Harap taihiap suka menolong kami, dan kelak hadiah apa yang taihiap minta tentu akan kami penuhi!”
Tan-ciangkun cepat memberi isyarat dengan gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini agaknya maklum akan kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi, “Maksud kami, kami tidak akan melupakan budi kebaikan taihiap yang amat berharga itu.”
Tubuh yang berkaki satu itu berputar dan sepasang mata yang lembut namun tajam sekali berkata, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung ucapan Raja Bhutan itu, “Dapatkah disebut perbuatan baik apa bila perbuatan itu dilakukan dengan pamrih sesuatu sebagai pendorongnya? Tidak ada pamrih baik atau buruk, yang ada hanya pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu, baik berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi baik dengan perbuatan baik. Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu dan munafik. Perbuatan barulah benar apa bila dilakukan tanpa disadari sebagai suatu perbuatan baik, tanpa dorongan kewajiban atau apa saja, melainkan wajar dan polos penuh kasih.”
Raja Bhutan tercengang, juga merasa terpukul. Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kebijaksanaan luar biasa!
“Taihiap, bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi calon besan kaisar kita?” Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.
“Kita menunggu sampai api obor padam.” Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang masuk dan kembali dia bersandar pada meja. “Dalam keadaan gelap, lebih mudah bagi kalian bertiga untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan berusaha untuk membawa sri baginda keluar.” Setelah berkata demikian Pendekar Siluman bersandar kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua matanya seolah-olah tidur sambil berdiri!
Melihat sikap ini, tidak ada yang berani menegur atau membantah. Raja mengangguk dan kedua orang panglima itu segera menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor kehabisan minyak dan padam seperti yang direncanakan Pendekar Siluman tadi.
Raja, Tan-ciangkun dan Pendekar Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini memang merupakan bangunan yang khusus dibangun di situ untuk tempat raja beristirahat apa bila sedang melakukan olah raga berburu binatang. Maka biar pun kecil, cukup kuat dan lengkap.
Keadaan menjadi tegang. Api unggun dalam tempat api yang bernyala di depan raja hampir padam dan raja tidak mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin. Tiba-tiba raja terkejut, juga Tan-ciangkun kaget menengok ketika tiba-tiba pintu luar dibuka oleh Panglima Sangita yang berteriak.
“Sudah ada di antara obor yang padam!”
Semua mata kini memandang kepada Pendekar Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang mereka semua, termasuk Raja Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu tenang itu menimbulkan harapan besar.
Dia menghadapi tiga orang gagah itu, dua Panglima Bhutan dan seorang pengawal kaisar, lalu berkata, “Kalian bertiga tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua obor di sebelah kiri pintu sudah kupadamkan semua, kalian boleh menerobos keluar ke arah kiri. Dalam keadaan gelap, pihak musuh tentu tidak berani sembarangan mengeroyok, khawatir mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk menyalakan obor, kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu bersatu merobohkan lawan, saling membantu dan saling melindungi, akan tetapi jangan sampai terpancing dan terlibat dalam pertandingan karena kalau obor sudah terpasang semua kalian semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah musuh terlalu banyak dan mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah.”
Tiga orang itu mengangguk, akan tetapi Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi hamba setia seperti dia, yang terpenting adalah keselamatan rajanya, “Bagaimana dengan sri baginda?”
“Sri baginda adalah bagianku untuk mengawalnya keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat pasukan kalian berada.”
Ucapan ini mengherankan mereka bertiga. Sikap pendekar ini demikian tenang, dan demikian pasti! Benarkah pendekar itu akan berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih dulu dari pada mereka?
“Sebelum kita mulai, aku hendak bertanya lebih dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku sedang mencari kedua orang puteraku yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau mendengar nama mereka di daerah Bhutan?”
Dua orang Panglima Bhutan itu saling pandang lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku hanya minta apa bila sewaktu waktu Ji-wi (anda berdua) mendengar mereka berada di sini, agar suka membujuk mereka untuk pulang ke Pulau Es dan menerima mereka sebagai sahabat.”
“Tentu saja, taihiap!” Tiba-tiba raja menjawab. “Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencari mereka.”
“Terima kasih.” Pendekar Siluman membungkuk, kemudian melanjutkan bertanya kepada Tan-ciangkun, “Apakah Tan-ciangkun juga tidak mendengar tentang mereka di sepanjang perjalanan?”
“Sayang sekali tidak, taihiap.”
Kembali pendekar itu menarik napas panjang. “Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai. Harap paduka juga ikut keluar dan selalu dekat dengan saya, sri baginda.”
Mereka berlima segera membuka pintu dan keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor yang padam, sebagian pula sudah hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang oleh nyala obor.
Sekilas tampak beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu menimbulkan ketegangan juga di pihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang tadi dan betapa pun mereka berusaha, mereka tidak mampu memasuki benteng obor, bahkan sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati terbakar. Kini obor mulai padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah itu jika semua obor sudah padam.
Orang yang berada di dalam rumah kecil itu amat penting bagi mereka. Kalau bisa menawan Raja Bhutan, tentu mereka dapat memaksa Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada mereka! Atau setidaknya, tentu mereka yang berada di Bhutan bersedia untuk menukar raja dengan harta dalam jumlah besar!
Tiga orang gagah itu terbelalak penuh kagum ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam tanah yang disambit-sambitkan, Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor di sebelah kiri. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian ini, melainkan cepat berlari maju ke depan dan menerjang keluar seperti yang dipesankan oleh Pendekar Siluman.
Dua orang Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun sudah mencabut sebatang bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap di antara bambu-bambu obor yang sudah padam. Tak lama kemudian terdengarlah ribut ribut di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu sudah tiba di seberang benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari kepungan musuh.
Suma Han Si Pendekar Super Sakti sudah memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan tanah pula. Kemudian dengan tenang dia berkata, “Harap paduka suka duduk di punggung saya.”
Tanpa ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul leher penolongnya dan digendong seperti seorang anak kecil. Kemudian Raja Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan oleh Pendekar Siluman melalui atas bambu-bambu obor itu.
Seperti juga tiga orang gagah itu, ketika tiba di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh orang-orang Mongol dan Tibet. Akan tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum sempat menyalakan obor, mudah saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan beberapa orang terdepan dengan tongkatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, melalui kepala mereka, bahkan kadang-kadang menginjak pundak seseorang dipakai sebagai landasan untuk meloncat lagi.
Gegerlah semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai ‘menghilang’ ini, dan tak lama kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos dari kepungan dan berlari cepat membawa Raja Bhutan ke pasukan Kerajaan Bhutan yang masih menanti kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap untuk menyerbu begitu malam berganti pagi.
Tentu saja kedatangan raja mereka itu disambut dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi raja sudah berseru keras, “Cepat serbu ke sana! Dua orang panglima dan Tan-ciangkun masih di sana dikeroyok musuh!”
Kemudian barisan segera membawa delapan ratus orang prajurit menyerbu, sedangkan yang dua ratus ditinggalkan untuk mengawal raja kembali ke kota raja. Dalam keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman telah lolos dan ketika raja mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali!
Setelah pagi tiba, pasukan kerajaan kembali dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat jumlah musuh dapat terbasmi dan mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima dan juga bersama Tan-ciangkun. Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan kembali ke kota raja. Raja bersyukur sekali akan tetapi dia juga merasa menyesal mengapa pendekar yang telah menyelamatkannya itu pergi tanpa pamit.
Diam-diam dia kagum sekali, berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan bertemu lagi dengan pendekar berkaki satu itu. Tan-ciangkun yang sudah tahu akan sifat dan watak Pendekar Super Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang menjadi bulan-bulan pertanyaan Raja Bhutan. Selama dalam perjalanan kembali ke kota raja, Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya mengenai diri Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar bahwa pendekar yang amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri!
Tentu saja Suma Han atau Pendekar Super Sakti tidak dapat menemukan kedua orang puteranya. Dia mencari terlampau jauh! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dua orang puteranya itu berada di Pulau Neraka, dan memang sesungguhnya dua orang pemuda tanggung itu pun tidak mempunyai niatan pergi ke Pulau Neraka. Menurut dugaan Nirahai dan Lulu, dua orang isterinya, juga dugaannya sendiri, dua orang anak itu tentu telah pergi ke kota raja di daratan besar untuk mencari Milana.
“Kalau begitu, biarlah mereka mencari pengalaman,” kata Pendekar Siluman kepada dua isterinya, karena sesungguhnya dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es, meninggalkan kedua orang isterinya tercinta, meninggalkan kehidupannya yang sudah tenteram di pulau itu, jauh dari pada segala keramaian dan keributan dunia ramai. Dia sudah merasa muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, di mana orang selalu mengejar keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan dalam pengejaran ini mereka tidak segan-segan untuk saling menyerang, saling membunuh antara sesama manusia.
“Mereka sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir enam belas tahun. Juga mereka sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu lagi kita mengkhawatirkan diri mereka seperti mengkhawatirkan anak kecil.”
“Akan tetapi, mereka ini masih hijau, masih belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan orang jahat, tentu mereka menghadapi mala petaka, sedangkan di daratan sana begitu banyaknya orang-orang jahat!” kata Nirahai.
“Dan banyak orang-orang golongan hitam yang mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka mengaku datang dari Pulau Es, tentu mereka akan dimusuhi banyak orang.” Lulu menyambung.
“Hemm, kalau tidak sekali waktu menghadapi bahaya, mana bisa matang?” Pendekar Super Sakti membantah.
Nirahai dan Lulu berkata hampir berbareng, keduanya cemberut, “Kalau tidak mau menyusul, biarlah aku yang pergi mencari!”
Suma Han menarik napas panjang. Takkan ada menangnya bagi dia kalau berdebat melawan kedua orang isterinya yang pandai bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak itu, kedua isterinya selalu taat, tunduk, dan mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepadanya seorang. Akan tetapi begitu mereka mempunyai anak, dia menjadi ‘orang ke dua’!
“Dan pula, sudah lama sekali engkau tidak menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali Milana kalau tidak pernah kau tengok? Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak kita itu di kota raja.” Suara Nirahai menggetar penuh keharuan dan Pendekar Super Sakti sudah khawatir kalau-kalau isterinya ini mencucurkan air mata.
“Baiklah, aku akan mencari dua orang anak bengal itu!” katanya cepat-cepat.
Berangkatlah Pendekar Super Sakti mencari dua orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota raja dan benar saja, seperti yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya, Milana menjerit dan menubruk ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil! Suma Han merasa terharu juga akan tetapi dia dapat menahan hatinya dan sambil mengelus rambut puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata, “Milana, mengapa kau menangis? Bukankah hidupmu bahagia di sini?”
Suaminya, Panglima Han Wi Kong setelah menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab, “Dia cukup bahagia, ayah, hanya tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di Pulau Es.”
“Hemm, seperti anak kecil saja kau, Milana.” Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap dengan puterinya dan mantunya. Dia menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai turunan, dan mendengar ini wajah kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja mereka tidak berani menceritakan rahasia hati mereka.
Sudah lama sekali mereka menjadi suami isteri pada lahirnya saja, padahal sebenarnya mereka tidak lagi tidur sekamar! Milana menyatakan terus terang bahwa dia tidak bisa juga untuk belajar mencinta suaminya dan dia pun rela kalau suaminya itu mengambil selir berapa saja yang dikehendakinya! Namun sampai sebegitu lama, suaminya tetap belum mau mempunyai selir, hal yang sungguh merupakan suatu keganjilan bagi kehidupan para bangsawan di masa itu.
“Ayah, mengapa tidak mengajak Kian Lee dan Kian Bu?” Milana bertanya untuk mengalihkan percakapan mengenai kehidupannya yang tidak menyenangkan hatinya itu.
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, “Hemmm..., justeru karena mereka berdua, bocah-bocah bengal itulah, maka kehidupanku yang sudah tenang tenteram terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru untuk mencari mereka yang minggat dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi ke sini mencarimu. Apakah mereka tidak ada datang ke sini?”
Milana dan suaminya menggelengkan kepala. “Tidak ada, ayah. Aihhh, ke mana mereka pergi? Ayah, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal di sini saja bersamaku. Setidaknya, untuk beberapa bulan...”
“Hal itu mudah diatur. Aku harus menemukan mereka lebih dulu. Aihhh, ke mana gerangan mereka? Menurut dugaan kami, tidak ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka datangi kecuali di sini. Jangan-jangan ada sesuatu yang menarik hati mereka...” Suma Han mengerutkan alisnya.
“Ah! Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan itu...!” Tiba-tiba Panglima Han Wi Kong berseru.
“Benar! Boleh jadi! Rombongan itu menarik perhatian memang,” kata Milana.
“Rombongan utusan ke Bhutan?” Suma Han bertanya.
“Pamanda kaisar akan berbesan dengan Raja Bhutan,” kata Milana menceritakan, “yaitu pangeran muda putera selir ke tiga dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima setahun yang lalu, dan rombongan utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke Bhutan untuk memboyong puteri Raja Bhutan yang cantik jelita bernama Syanti Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua minggu yang lalu.”
Suma Han mengangguk-angguk. Memang kaisar yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah lama meninggal dunia dan kedudukannya telah diganti oleh Pangran Putera Mahkota yang masih paman dari Milana. Kaisar ini merupakan kaisar ke dua dari Kerajaan Mancu.
Tiba-tiba Suma Han menepuk tangannya.
“Aihh...! Bhutan...? Bukankah dekat dengan Pegunungan Himalaya? Kian Lee paling senang mendengar ibunya bercerita tentang Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi pusat pertapaan manusia pandai, bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal di sana! Pernah anak itu ketika masih kecil menyatakan bahwa dia ingin sekali melihat sendiri seperti apa itu Pegunungan Himalaya. Mungkin juga kalau begitu. Mungkin mereka di jalan ketemu dengan rombongan utusan itu, mendengar bahwa mereka menuju ke Bhutan dekat Himalaya dan mereka berdua mendekati rombongan itu.”
“Bisa jadi begitu!” Panglima Han Wi Kong berseru. “Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun. Dia sudah mengenal gakhu (ayah mertua), kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku bahwa mereka itu putera Majikan Pulau Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan menerima mereka dengan kedua tangan terbuka.”
“Hemm, kalau begitu biarlah aku menyusul ke Bhutan,” kata Suma Han dengan tetap.
“Ayah, bolehkah aku ikut?” Tiba-tiba Milana berkata.
Suma Han memandang tajam. “Kau? Ikut? Ahhh, mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja yang suka merantau lagi seperti dulu, Milana.”
Milana menunduk. “Aku... aku ingin sekali seperti dulu...”
Suma Han mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi dengan puterinya ini? Apakah puterinya tidak mengalami kebahagiaan dalam pernikahannya? Aihhh, betapa hidup ini penuh dengan derita dan kekecewaan.
Dia menggeleng kepala. “Tidak, aku akan pergi sendiri. Aku pergi bukan untuk pesiar. Kelak adik-adikmu dan ibu-ibumu biar datang mengunjungimu di sini. Biarlah mereka di sini sampai beberapa bulan.”
Ucapan ini menghibur hati Milana. Akan tetapi ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari mengejar dan merangkul ayahnya di depan rumah yang seperti istana. “Ayah...”
“Eh, ada apakah, Milana?”
“Ayah...,” suaranya lirih sekali, agak gemetar dan parau, “Pernahkah ayah mendengar tentang... dia...?”
Suma Han memejamkan matanya. Dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang beracun. Dia menggeleng kepala tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan berbisik, “Aku tidak pernah mendengar... entah di mana... kau... kau tidak perlu lagi memikirkannya, anakku...”
Suma Han memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik, melompat pergi dan baru berani membuka kedua matanya yang menjadi basah. Dia tidak menengok akan tetapi dia pun tahu bahwa anaknya itu tadi mencucurkan air mata, terasa olehnya beberapa tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya itu hidup menderita! Pernikahannya yang dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia.
Anaknya masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin akibat cinta yang sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu kini menimpa pula diri puterinya? Kasihan Milana!
Demikianlah usaha Pendekar Super Sakti mencari kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke Negeri Bhutan. Namun perjalanannya itu tidak sia-sia karena biar pun dia tidak berhasil menemukan Kian Lee dan Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan yang terancam oleh musuh-musuhnya.
Sementara itu, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meringkuk di dalam kamar tahanan di Pulau Neraka. Mereka diperlakukan dengan baik, akan tetapi dijaga ketat dan kaki tangan mereka selalu terbelenggu dengan rantai baja yang kokoh kuat. Mereka dapat berjalan dan dapat makan sendiri, akan tetapi tentu saja tidak mungkin untuk melarikan diri dari pulau itu dengan kaki tangan menyeret rantai panjang itu.
Satu bulan sudah mereka ditahan. Pada suatu hari, selagi mereka menjemur diri di luar kamar tahanan, Kian Lee menyikut adiknya. “Lihat itu...!”
Mereka mendongak dan melihat tiga titik hitam yang berada di angkasa, makin lama makin besar dan setelah dapat tampak, ternyata dua titik putih dari satu titik hitam itu adalah dua ekor burung putih dan seekor burung hitam yang besar sekali.
“Ihh, burung apa itu begitu besar, Lee-ko?”
“Entahlah. Agaknya burung garuda seperti yang dulu pernah dimiliki ayah menurut cerita ayah.”
Melihat kakak beradik ini berbisik-bisik dan menunjuk ke atas, penjaga yang melihatnya tertawa. “Kalian mau tahu? Itulah seekor Hek-tiauw (Rajawali Hitam) tunggangan to-cu kami, dan yang dua ekor adalah Pek-tiauw yang masih muda dan menjadi peliharaannya. Mereka datang membawa daging manusia untuk kami, he-he!”
Sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring, tiga ekor rajawali itu turun ke dalam kebun di luar rumah-rumah di pulau itu dan kedua orang kakak beradik itu melihat betapa rajawali hitam yang amat besar itu mencengkeram punggung baju seorang laki-laki muda gemuk yang menggigil ketakutan. Laki-laki itu dilepas dan jatuh bergulingan di atas tanah, lalu berlutut dan minta-minta ampun.
Akan tetapi dua orang anggota Pulau Neraka telah melompat maju, menangkap dan membelenggunya, menyeretnya ke dalam untuk dihadapkan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kian Lee dan Kian Bu mendengar suara ketawa kakek raksasa ketua Pulau Neraka itu, kemudian melihat lagi tawanan itu diseret keluar.
Dengan mata terbelalak penuh kengerian, kedua orang pemuda remaja itu melihat tawanan itu ditelanjangi, digantung kedua tangannya dan dibelek perutnya dengan golok tajam dan dikeluarkan isi perutnya! Hampir mereka tak dapat bertahan menyaksikan kekejaman dan mendengar suara teriakan tawanan itu. Kemudian mereka berdua hampir muntah melihat mayat orang itu dipotong-potong, kemudian dimasak dan dipanggang!
“Lee-ko... aku... aku takut...” Suma Kian Bu berbisik, berdiri menggigil dan mukanya pucat sekali.
Suma Kian Lee juga berdebar ngeri, dan dia maklum bahwa kalau adiknya yang tak pernah mengenal takut itu kini menyatakan takut, maka keadaannya sudah gawat sekali.
“Bu-te... kita harus dapat meloloskan diri... sekarang juga...,” bisiknya sambil merangkul adiknya. Mereka berdua maklum bahwa nasib mereka juga besar kemungkinan akan sama dengan tawanan yang gemuk itu!
Kedua orang pemuda remaja itu menanti kesempatan baik dan ketika ketua Pulau Neraka sedang berpesta pora menikmati daging manusia sambil minum arak, kemudian sisanya dibagi-bagikan kepada para anak buahnya, mereka berdua menyelinap ke dalam kebun. Di situ mereka melihat tiga ekor burung rajawali sedang makan isi perut manusia! Dua ekor burung yang putih bulunya dan masih muda, memperebutkan usus yang panjang, saling tarik dan saling betot sambil mengeluarkan bunyi cecowetan.
“Bu-te, sekarang...!” bisik Suma Kian Lee dan keduanya lalu menghampiri dua ekor burung itu. Dengan gerakan yang amat gesit, keduanya mengerahkan ginkang mereka dan meloncat ke atas punggung burung yang tinggi.
Dua ekor burung rajawali putih itu terkejut, meronta karena mengira bahwa mereka diserang dan ditubruk musuh. Mereka berusaha untuk melemparkan orang yang berada di punggung mereka dan dalam kemarahan mereka, usus yang diperebutkan tadi sudah dilupakan lagi. Namun, kedua orang muda itu tetap mendekam di atas punggung mereka sambil merangkul leher burung dengan ketatnya.
“Rajawali, terbanglah!” Suma Kian Bu membentak. “Kalau tidak, kucabuti semua bulu lehermu!” Berkata demikian, pemuda bengal ini mencabuti beberapa helai bulu dari leher burung yang ditungganginya.
Burung itu menjerit kesakitan, mengembangkan sayapnya lalu terbang ke atas. Burung yang ditunggangi Suma Kian Lee yang juga kebingungan dan ketakutan, segera mencontoh perbuatan temannya dan terbang pula!
“Yahuuu...!” Suma Kian Bu bersorak kegirangan. “Lee-ko! Kita terbang seperti dewa...!” Teriaknya pula sambil menoleh ke arah rajawali kedua yang ditunggangi kakaknya.
“Hati-hati, Bu-te, lihat kita dikejar...!”
Kian Bu menoleh ke bawah dan benar saja. Dia melihat rajawali hitam sudah terbang pula ke atas dan di punggung burung besar itu duduk... Hek-tiauw Lo-mo! Kakek itu kelihatan marah sekali, menggerak-gerakkan kedua tangannya menyuruh dua orang muda itu kembali. Rajawali hitam yang ditungganginya juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti mengundang kedua orang temannya. Dua ekor rajawali putih itu bimbang dan tiba-tiba membalik dan terbang menghampiri rajawali hitam!
“Heiii, dua bocah yang bosan hidup! Kalian berani mencoba melarikan diri? Awas kau, sekali ini aku tak akan mengampuni kalian lagi. Kalian akan kupanggang hidup-hidup!”
Rajawali hitam itu sudah dekat sekali dan tiba-tiba rajawali putih yang ditunggangi Suma Kian Bu mengeluarkan pekik nyaring dan... menerjang rajawali hitam dengan ganasnya!
“Eh-eh, heiiitttt... kurang ajar!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah melihat rajawali putih itu mengabruk rajawali hitam yang ditungganginya.
Tetapi dari belakangnya, rajawali putih kedua yang ditunggangi Kian Lee juga datang menyerbu dengan ganas! Apakah yang terjadi? Mengapa kedua rajawali putih itu menyerang temannya sendiri?
Ternyata Kian Bu yang bengal itu menjadi khawatir sekali menyaksikan kedatangan rajawali hitam yang ditunggangi ketua Pulau Neraka yang menyeramkan itu. Dalam kegelisahannya, timbul akalnya dan dia kemudian mencabuti bulu di leher, bahkan mencengkeram leher rajawali yang ditungganginya.
Rajawali itu kesakitan dan marah-marah, sedemikian marahnya hingga dia mengamuk membabi buta. Karena tidak dapat membalas orang yang mendekam di punggungnya, dia lalu menumpahkan kemarahannya kepada rajawali hitam!
Ada pun Kian Lee yang mendekam di punggung rajawali putih kedua membisikan kata-kata halus kepada rajawali itu, minta kepada binatang itu agar menolongnya, “Rajawali yang baik, kau tolonglah kami berdua...”
Tentu saja rajawali yang ditungganginya itu tidak mengerti arti kata-kata Kian Lee, akan tetapi melihat temannya menerjang rajawali hitam, dia pun membantu dan menyerang dari belakang. Segera terjadi pertandingan yang seru dan mengerikan hati kakak beradik itu antara tiga ekor burung rajawali itu! Siapa tidak akan merasa ngeri kalau burung yang ditunggangi masing-masing itu menukik, menerjang, membalik dan membuat gerakan-gerakan yang luar biasa. Sekali saja mereka terjatuh, tentu mereka akan terbanting dari tempat yang luar biasa tingginya itu dan tubuh mereka akan remuk!
Hek-tiauw Lo-mo marah bukan main. Dia memaki-maki, tangannya ikut membantu rajawalinya memukul ke arah kedua ekor rajawali putih, akan tetapi karena gerakan rajawali yang ditungganginya membuat dia pun harus berpegang kuat-kuat, maka gerakannya tidak leluasa dan pukulannya meleset selalu.
“Bedebah! Keparat! Kalian berani melawan? Kusembelih kalian!” bentaknya berkali-kali akan tetapi akhirnya dia terpaksa harus menangkis karena keroyokan dua ekor rajawali putih yang masih muda dan kuat itu membuat rajawalinya sendiri kewalahan dan beberapa patukan dan cakaran kesasar menyerang dirinya!
Dia merasa menyesal mengapa tadi tergesa-gesa tidak membawa senjatanya. Tadinya dia sedang makan minum dan terkejut mendengar pekik rajawalinya, maka dia lari keluar tanpa membawa senjatanya ketika anak buahnya berteriak melapor bahwa dua orang pemuda tawanan itu lari. Pula, dia memandang rendah mereka, sama sekali tidak mengira bahwa dua ekor burung rajawali itu akan membalik dan melawannya!
Setelah terkena patukan beberapa kali dan kepalanya terluka berdarah, rajawali hitam menjadi panik dan jeri, dan akhirnya sambil berteriak panjang dia membalik dan pergi. Betapa pun Hek-tiauw Lo-mo membentak dan membujuknya, rajawali hitam itu tidak mau melanjutkan pengejarannya dan dua ekor rajawali putih sudah terbang lagi dengan kecepatan yang membuat kedua orang muda itu berpegang semakin erat.
Akan tetapi makin lama, mereka menjadi terbiasa dan tidak terlalu ngeri lagi, bahkan Suma Kian Bu sudah pula mulai bergembira dan bersorak-sorak.
“Aduhh... indahnya pemandangan di bawah. Lihat, Lee-ko, tuh di sana, pulau itu, aduh indahnya! Berwarna-warna, biru hijau kuning... dan pepohonan itu demikian kecil!”
Jarak antara kedua ekor rajawali itu memang tidak jauh dan sepasang rajawali itu memang amat akrab, maka mereka dapat saling bercakap-cakap, biar pun mereka harus berteriak agar dapat terdengar.
“Bu-te, kita harus kembali ke Pulau Es!” Kian Lee berteriak.
“Benar, Lee-ko, mari kita cari. Tentu akan lebih mudah mencari dari atas.”
Rajawali yang ditunggangi Kian Bu agaknya memang lebih nakal dari pada yang ditunggangi Kian Lee. Rajawali itu menukik ke bawah, kemudian terbang berputaran dengan kecepatan yang luar biasa. Kian Bu yang banyak akalnya mulai mempelajari cara menunggang burung raksasa ini. Dia mencoba dengan menarik bulu leher kanan. Kalau merasa leher kanannya sakit, terpaksa burung itu menggerakkan kepala ke kanan, ekornya mengimbanginya dan otomatis terbangnya membelok ke kanan.
Demikian pula kalau Kian Bu menarik bulu di leher kiri. Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Kian Bu dan mulailah dia ‘menyetir’ burungnya mencari Pulau Es. Burung yang ditunggangi Kian Lee selalu mengikuti ke mana terbangnya kawannya sehingga bagi Kian Lee tidak sukar lagi menentukan arah.
“Ah, di sana itu, Bu-te...!” Tiba-tiba Kian Lee berteriak ketika melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan berkilauan. Tentu saja belum pernah dia melihat Pulau Es dari angkasa, akan tetapi biasanya kalau dia sedang bermain di puncak bukit kecil di tengah pulau, dia melihat permukaan pulau yang rendah juga berwarna putih dan berkilau seperti itu.
“Benar, mari kita pulang, Lee-ko!” Kian Bu juga sudah melihat pulau itu dan dia memutar burungnya menuju ke sana.
Tak lama kemudian, kedua ekor burung rajawali itu terbang berputaran di atas pulau dan kedua orang anak itu berteriak-teriak kegirangan ketika mengenalnya. Memang benar pulau itu adalah tempat tinggal mereka, Pulau Es!
“Ayaaaaaaahhhhh...! Ibuuuuu...!” Suma Kian Bu berteriak-teriak dari atas.
Tak lama kemudian tampaklah Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya keluar dari dalam Istana Pulau Es dan ketiga orang itu memandang ke atas dengan penuh keheranan melihat sepasang rajawali itu berputaran di atas pulau.
“Kian Lee! Kian Bu!” Terdengar suara Pendekar Super Sakti melengking nyaring. “Lekas kalian turun...!”
Dua ekor burung itu tetap terbang berputaran dan betapa pun kedua orang muda itu berusaha, tetap saja sepasang rajawali itu tidak mau turun. Tentu saja mereka tidak mau turun di pulau yang asing karena mereka merasa takut.
“Ayah! Kami tidak dapat menyuruh mereka turun...!” Kian Lee berseru keras ke bawah.
“Kalian totok pangkal leher mereka di antara kedua sayap, dan tekan kepala mereka ke bawah!” Terdengar lagi Pendekar Super Sakti berseru.
Dua orang pemuda remaja itu mentaati perintah ayah mereka dan benar saja, setelah mereka menotok dan menekan kepala tunggangan masing-masing, dua ekor rajawali itu mengeluarkan lengking nyaring dan gerakan mereka menjadi lemah.
Pada saat itu Pendekar Super Sakti mengeluarkan suara melengking seperti suara burung-burung itu, akan tetapi lebih nyaring lagi sampai suara lengkingnya bergema di semua penjuru. Mendengar suara ini, sepasang rajawali itu kelihatan terkejut, kemudian menukik ke bawah dan terbang menghampiri Pendekar Super Sakti, hinggap di atas tanah depan pendekar itu dan kelihatan bingung dan takut-takut. Kian Lee dan Kian Bu cepat meloncat dari atas punggung sepasang rajawali.
“Kian Lee...!”
“Kian Bu...!”
Dan dua orang ibu itu lari menghampiri dan memeluk putera masing-masing dengan hati lega. Selama ini kedua orang ibu itu dicekam kegelisahan hebat karena putera mereka pergi sampai lama tanpa ada beritanya.
“Hemm, kalian pergi tanpa pamit sampai berbulan. Apa artinya perbuatan kalian itu?”
Suara Pendekar Super Sakti terdengar penuh wibawa, menyembunyikan kemarahan. Hal ini terasa sekali oleh kakak beradik itu, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka dan hampir berbareng kedua orang anak itu berkata, “Aku telah bersalah, ayah.”
“Hayo ceritanya semuanya, ke mana kalian pergi dan dengan maksud apa,” kata pula Pendekar Super Sakti dengan marah dan kedua orang isterinya hanya memandang dengan hati khawatir. Mereka pun tahu kalau suami mereka marah dan memang sudah sepantasnya karena kedua orang anak itu pergi tanpa pamit dan telah membuat hati orang tua mereka bingung dan gelisah.
Biar pun kalau berada di luar Kian Bu jauh lebih bengal dari pada kakaknya, namun menghadapi ayah mereka, Kian Bu paling takut, maka dia hanya menoleh kepada kakaknya, seolah-olah hendak menyerahkan semua jawaban kepada kakaknya. Kian Lee seperti biasanya selalu bersikap tenang, juga kini di depan ayah mereka yang dia tahu sedang marah, dia bersikap tenang sungguh pun jantungnya dicekam rasa jeri. Suaranya tenang dan jelas ketika dia mulai menceritakan ‘petualangan’ kakak beradik itu, betapa mereka berdua tadinya berniat mencari kakak mereka Milana yang berada di kota raja, akan tetapi betapa mereka tersesat jalan sampai tiba di Pulau Neraka.
Mendengar disebutnya Pulau Neraka, tiga orang suami isteri itu terkejut, terutama sekali Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. “Kalian sampai di Pulau Neraka?” serunya dengan alis berkerut. “Apa yang terjadi di sana?”
“Kami berdua tidak sengaja mendarat di Pulau Neraka.” Kian Lee melanjutkan, “dan di sana, kami dijadikan tawanan oleh ketuanya.”
“Hemmm, siapa ketua Pulau Neraka?” Suma Han bertanya.
Kian Lee lalu menceritakan tentang Hek-tiauw Lo-mo yang suka makan daging manusia dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
“Ah, agaknya pulau itu kini dikuasai oleh seorang biadab!” Nirahai berseru heran.
Mendengar suara ibunya, Kian Bu mulai berani membuka mulut. “Wah, dia mengerikan sekali, Ibu! Untung Lee-ko dan aku dapat melarikan diri dibantu oleh sepasang rajawali putih itu. Kami dikejar oleh ketua Pulau Neraka yang menunggang rajawali hitam, untung saja sepasang rajawali ini membela kami dan menerbangkan kami sampai ke sini!” Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika dikejar Hek-tiauw Lo-mo, ceritanya asyik sekali disertai gerakan kaki tangan sehingga Nirahai dan Lulu mendengarkan dengan tertarik.
“Biarlah kubebaskan dulu engkau dari belenggu itu!” Nirahai menghampiri Kian Bu sedangkan Lulu menghampiri Kian Lee. Mereka berniat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan anak-anak mereka dengan rantai besi panjang itu.
“Jangan buka belenggu itu!” Tiba-tiba Suma Han berkata.
Kedua orang isterinya terkejut dan menengok, memandang suami mereka. Dengan suara tenang namun penuh kepastian Suma Han berkata lagi, “Mereka adalah dua orang anak yang telah membikin bingung dan gelisah hati orang tua, juga telah mendatangkan kekacauan di Pulau Neraka tanpa sebab. Mereka harus dihukum dan sepantasnyalah belenggu-belenggu itu untuk mereka. Hayo kalian naik ke puncak dan bersemedhi di sana selama dua hari dua malam. Pergi!” Suma Han mendekati ke dua orang puteranya dan tangan kirinya menampar dua kali, mengenai punggung mereka.
“Bukk! Bukk!”
Kedua orang anak itu tersungkur, kemudian bangkit berdiri memandang ayah mereka dengan mata terbelalak, menggigit bibir, menahan nyeri, kemudian mereka saling pandang dan melangkah lebar menuju bagian yang paling tinggi di pulau itu, yang mereka sebut puncak.
Lulu dan Nirahai saling pandang dengan alis berkerut. Ketika kedua anak itu sudah tak tampak lagi, barulah Nirahai berkata, nadanya memprotes, “Mengapa mereka...?”
“Harus dihukum, biar mereka tahu dan kelak mereka akan memperhitungkan setiap tindakan mereka, tidak sembrono dan asal berani saja,” kata Pendekar Super Sakti dengan suara tegas sehingga kedua orang isterinya tidak berani membantah.
Mereka berdua hanya memandang dengan hati terharu melihat dua ekor rajawali itu mengeluarkan suara seperti orang menangis ketika memandang ke arah perginya dua orang muda itu. Kemudian sepasang rajawali itu terbang ke atas dan berputaran di atas Pulau Es.
Pada malam kedua diam-diam Lulu menyelinap ke puncak dan membawakan makanan dan minuman untuk mereka berdua. Ketika tiba di puncak, Lulu melihat bahwa sepasang rajawali ini seolah-olah sedang menjaga Kian Lee dan Kian Bu yang duduk bersila seperti patung, muka dan tubuh mereka penuh salju putih sehingga mereka seperti sudah berubah menjadi manusia salju.
Lulu harus mengurut dan mengguncang sampai lama dan barulah Kian Lee sadar dari semedhinya. Melihat ibunya, Kian Lee hanya menggelengkan kepalanya dan hendak memejamkan matanya kembali.
“Lee-ji, bangunlah dulu. Kau harus makan dan minum dulu, baru boleh bersemedhi lagi. Ingat, tubuhmu takkan kuat bertahan dan kau bisa terancam sakit. Juga adikmu Kian Bu.”
Karena dibujuk terus, akhirnya Kian Lee menurut, membangunkan adiknya dan kedua orang muda ini lalu makan dan minum sekadarnya untuk mengisi perut yang kosong dan menghangatkan tubuh. Setelah makan minum, mereka melanjutkan semedhi dan terpaksa Lulu meninggalkan mereka.
Pada keesokan harinya, dua hari dua malam telah lewat dan pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya telah berada di puncak. “Bangunlah kalian, masa hukuman telah habis!” Suma Han berseru dan suaranya yang disertai khikang kuat itu seolah-olah menembus keadaan dua orang muda yang sedang semedhi itu sehingga mereka terbangun dan cepat bangkit. Keduanya terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka.
Suma Han memandang kedua puteranya itu, lalu berkata dengan wajah berseri, “Sekarang, kerahkan hawa panas yang berputaran di tian-tan (pusar) kalian, dorong ke arah pergelangan tangan dan coba renggutkan belenggu itu agar patah.”
Dua orang muda itu menurut. Memang selama mereka bersemedhi, mereka terlindung oleh hawa panas yang berputaran di seluruh tubuh mereka, seperti keadaan mereka kalau berlatih sinkang di waktu hujan salju di Pulau Es. Kini mereka mengerahkan tenaga panas itu ke arah kedua lengan, mengerahkan sinkang dan merenggut.
“Krekk! Krekk!” Patahlah belenggu di kedua tangan mereka!
Lulu dan Nirahai girang sekali menyaksikan kemajuan putera-putera mereka, akan tetapi Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata lantang.
“Haiii...! Apakah selama dua hari dua malam ini kalian pernah berhenti bersemedhi, kemudian makan dan minum?”
Kakak beradik itu saling pandang, lalu menunduk. Berat rasa hati Kian Lee kalau harus mengaku bahwa ibunya telah membujuknya, dan untuk membohong dan mengatakan tidak pun dia tidak berani.
“Semalam aku datang dan menyuruh mereka makan dan minum,” tiba-tiba Lulu berkata. “Hati siapa yang akan tega menyaksikan anak-anaknya disiksa?”
Suma Han menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengepal-ngepal tangannya sendiri. “Aihhh... kelemahan hati wanita memang sering kali menimbulkan kegemparan dan juga kegagalan.”
Lulu memandang suaminya dan wajahnya berubah. “Eh... apa... maksudmu...?”
“Sebelum mengirim mereka ke puncak, aku telah membuka saluran hawa di tubuh mereka. Aku melihat bahwa mereka sedang dalam keadaan baik sekali, berhati besar dan baru saja mengalami ketegangan hebat. Pula, saatnya amat cocok untuk mereka melatih dan menerima kekuatan Inti Salju. Kalau tidak terganggu, kiranya saat ini mereka sudah berhasil mengumpulkan sinkang yang sepuluh kali lebih kuat dari pada sekarang!”
“Ohhhh...!” Lulu memegangi dahinya dengan penuh penyesalan. “Mengapa kau tidak bilang lebih dulu sebelumnya?”
“Tidak baik kalau diberi tahu lebih dulu, akan menimbulkan ketegangan dan harapan sehingga dapat menggagalkan latihan. Akan tetapi sudahlah, memang sudah demikian kenyataannya. Yang jelas sekarang mereka harus berlatih dengan giat sekali. Kian Lee, Kian Bu, kalian tahu betapa ilmu kepandaian kalian masih jauh dari pada mencukupi sehingga sekali merantau meninggalkan pulau, kalian menjadi tawanan orang dan hampir saja celaka. Mulai hari ini, kalian harus rajin berlatih dan sebelum sempurna ilmu kepandaian kalian, kalian tidak boleh meninggalkan pulau tanpa pamit. Tidak perlu memikirkan kakak kalian. Milana dalam keadaan selamat di kota raja dan kelak kalau ilmu kepandaian kalian sudah mencukupi, tentu kalian boleh mengunjunginya.”
Dua orang pemuda remaja itu mengangguk-angguk dan untuk menyatakan penyesalan mereka, mulai hari itu mereka seperti berlomba dalam kegiatan berlatih ilmu sehingga memperoleh kemajuan yang pesat. Ada pun sepasang rajawali putih dari Pulau Neraka itu menjadi kian jinak dan menjadi kesayangan mereka. Sering kali dua orang pemuda itu, juga ayah dan para ibu mereka, menunggangi rajawali sekedar untuk terbang di udara, di atas Pulau Es.
Beberapa bulan kemudian, barulah kedua orang pemuda itu maklum betapa mereka telah membikin repot ayah mereka ketika mereka pergi tanpa pamit. Baru mereka tahu akan hal ini ketika malam hari itu, setelah mereka semua makan malam, Pendekar Super Sakti menceritakan kepada putera-puteranya betapa dia mencari mereka sampai ke daratan besar, bahkan sampai ke Negara Bhutan, jauh di barat!
“Mengapa ayah menyusul sejauh itu ke Bhutan?” tanya Kian Bu dengan heran.
“Sebetulnya aku hanya menduga saja kalian ikut rombongan utusan dalam petualangan kalian, tetapi kalau tidak ada terjadi suatu hal, aku pun tidak akan menyusul sejauh itu.”
Pendekar itu lalu menceritakan betapa ketika dia mengunjungi puterinya, Milana, dari Han Wi Kong suami Milana, dia mendengar bahwa kaisar membutuhkan orang pandai untuk menyelidiki keadaan di barat, sekalian mengawal rombongan utusan yang kelak akan memboyong puteri. Hal ini karena ada kekhawatiran di istana bahwa kini di barat mulai timbul pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa dan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah mulai memperlihatkan permusuhan.
Mendengar ini, Suma Han lalu menghadap kaisar yang masih terhitung mertuanya sendiri itu dan dia menyanggupi untuk menjadi penyelidik. Karena itulah maka Pendekar Super Sakti ini bahkan mendahului rombongan utusan menuju ke Bhutan dan ketika mendahului rombongan itu, dia tahu bahwa kedua puteranya tidak ikut dalam rombongan. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Pendekar Super Sakti berhasil menyelamatkan Raja Bhutan dan ancaman bahaya kepungan para musuhnya.
Seperti biasanya kalau mendengarkan cerita-cerita ayahnya, sekarang mendengarkan pengalaman ayah mereka di Bhutan, kedua orang pemuda itu tertarik sekali dan hati mereka ingin sekali memperoleh kesempatan merantau ke daratan besar yang menurut cerita ayahnya merupakan tempat yang amat luar biasa, penuh ketegangan dan penuh keanehan itu. Keinginan ini mendorong semangat mereka untuk berlatih ilmu silat lebih giat lagi.
"Kong-lopek, mau apa kau? Jangan mengganggu, aku sedang mencoba membuat ramuan obat seperti yang ditulis dalam kitab oleh mendiang suhu Cui-beng Koai-ong...”
“Aiiih... kongcu! Jangan main-main dengan obat itu. Aku masih ingat, bukankah obat itu yang namanya obat perampas ingatan? Obat itu mengerikan sekali... masakah kongcu sendiri tidak ingat?”
Tentu saja Tek Hoat tidak mengerti dan tidak ingat apa-apa karena dia memang bukanlah Wan Keng In dan bahkan tidak pernah melihat orang yang kini dianggap gurunya, yaitu mendiang Cui-beng Koai-ong itu! Akan tetapi, pemuda yang amat cerdik ini tertawa dan berkata, “Tentu saja aku ingat, Kong-lopek. Mengapa engkau begitu bodoh? Ingatanku tentu lebih kuat dari pada ingatanmu!”
“Tentu saja... tentu saja, kongcu. Karena itu, harap jangan kongcu main-main dengan ramuan racun obat ini...”
“Hemmm, aku ingin mencoba kekuatan ingatanmu, Kong-lopek. Coba ceritakan, apa yang kau ingat dahulu sehingga kau menganggap obat ini begitu luar biasa dan amat menakutkan?”
Kakek yang ingatannya sudah tidak terlalu waras lagi itu menghela napas dan berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan memutar-mutar kedua bola matanya. “Hebat sekali obat itu... siapa yang bisa melupakan peristiwa yang terjadi di Pulau Neraka ketika itu? Bukankah engkau sendiri yang menerima obat buatan suhu-mu itu, kongcu? Bukankah obat itu telah memperlihatkan keampuhannya yang mukjijat? Puteri Pendekar Siluman sendiri... ahhh, dia sampai lupa daratan, hilang ingatannya karena kau beri minum obat beracun itu. Kemudian, lebih hebat lagi, murid Pendekar Siluman yang terkenal sebagai seorang wanita gagah perkasa dan kabarnya sudah kebal akan segala macam racun, bahkan dia telah menjadi murid susiok-mu Bu-tek Siauw-jin dan oleh susiok-mu telah diberi makan racun sehingga dia makin kebal racun, ternyata masih dikalahkan oleh suhu-mu! Nona yang kebal itu pun menjadi korban dari obat perampas ingatan yang amat mukjijat itu! Dan untuk itu, gurumu girang bukan main karena hal itu membuktikan bahwa dalam hal racun, gurumu lebih lihai dari pada susiok-mu.”
Mendengar ini, bukan main girangnya hati Tek Hoat. Kalau sampai puteri dan murid Pendekar Super Sakti dibuat tidak berdaya oleh ramuan obat beracun ini, tentu kelak akan berguna sekali baginya! Dia tertawa dan menepuk-nepuk pundak kakek gundul ini. “Ha-ha-ha-ha, kau ternyata masih dapat ingat semua itu, Kong-lopek! Justru karena khasiat obat itu, maka sekarang aku ingin sekali dapat membuat sendiri. Dahulu aku hanya menerima dari mendiang suhu, dan aku tidak pernah diajari membuat obat ini. Sekarang catatan pembuatan obat itu ada di kitab ini, maka aku ingin sekali mencoba membuatnya.”
Kong To Tek, kakek gundul bekas tokoh Pulau Neraka itu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang dan berkata, “Terserah kepadamu, kongcu. Tetapi aku merasa ngeri... hemm, obat itu hebat sekali dan amat berbahaya...” Dia lalu pergi meninggalkan pemuda yang disangkanya Wan Keng In majikan mudanya itu sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Tek Hoat tersenyum lebar dan melanjutkan pekerjaannya mempraktekkan pelajaran membuat obat perampas ingatan seperti yang dibacanya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong ini. Ini bukanlah sembarang obat! Selain membutuhkan ramuan bahan-bahan obat yang sukar dicari dan hanya bisa didapatkannya dengan bantuan Kong To Tek, juga harus dicampuri dengan rambut dan kuku orang mati yang hanya bisa dia dapatkan dengan menggali kuburan!
Selain itu, apa bila hendak mempergunakannya, mencampurkannya dalam makanan atau minuman orang yang hendak dirampas ingatannya, ada pula manteranya yang harus dibaca. Ternyata bahwa obat perampas ingatan ini bukan racun biasa, melainkan racun yang mengandung kekuatan mukjijat dari ilmu hitam!
Sampai hampir sebulan lamanya dia mempersiapkan ramuan obat perampas ingatan itu dan akhirnya dia berhasil. Dengan wajah berseri-seri dia lalu memandang bubukan berwarna putih yang berada di depannya.
“Terima kasih Cui-beng Koai-ong,” bisiknya sambil menengadah. “Aku telah mewarisi sebuah lagi dari pada ilmu-ilmu yang kau tinggalkan!”
Kemudian pemuda itu termenung. Obat mukjijat itu telah dibuatnya sesuai dengan yang ditulis dalam kitab. Akan tetapi bagaimana cara membuktikannya bahwa buatannya itu memang telah benar? Bagaimana cara membuktikannya bahwa obat perampas ingatan buatannya itu akan ampuh kalau dipergunakan? Jalan satu-satunya harus dicobakan kepada seseorang!
Akan tetapi kepada siapa? Berkelebatnya bayangan Kong To Tek di luar goa membuat dia tersenyum. Siapa lagi yang akan dicobanya untuk membuktikan kemanjuran obat itu kalau bukan Kong To Tek! Sambil tersenyum-senyum dia lalu membungkus dua macam obat itu, yang putih adalah obat perampas ingatan dan yang merah adalah obat penawarnya, dan dia membawa dua bungkusan itu ke dalam goa.
Obat merah dia campur dengan arak dan diminumnya sendiri, sedangkan yang putih dia masukkan ke dalam guci arak di mana masih ada sisa arak. Selama tinggal di dalam goa, Kong To Tek yang mencarikan segala keperluan mereka, termasuk arak wangi.
“Kong-lopek...!” Kemudian dia memanggil sambil menanti di depan goa, guci arak dan dua cawan kosong di tangannya.
Tak lama kemudian muncullah kakek gundul itu, pringas-pringis seperti biasanya. “Kau perlu apakah, kongcu?”
“Kong-lopek aku telah berhasil membuat obat perampas ingatan itu!” Tek Hoat berkata sambil tersenyum girang.
Namun Kong To Tek mengerutkan alisnya dan mendengus. “Uhhh, obat mengerikan seperti itu, untuk apakah kongcu?”
Tek Hoat tertawa. “Ha-ha-ha-ha, aku sudah dapat membuat rahasia peninggalan suhu, bukankah itu menggirangkan sekali? Kong-lopek, kita harus rayakan ini! Hayo temani aku minum arak untuk merayakan hasil baik ini!”
Dia menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong dan ternyata sisa arak itu hanya tepat dua cawan saja, lalu menyerahkan yang secawan kepada Kong To Tek. Tentu saja kakek ini menerima dengan girang tanpa curiga karena selain dia percaya penuh kepada orang yang dianggapnya Wan Keng In putera ketuanya itu, juga dia melihat bahwa pemuda itu juga minum dari cawan ke dua yang diisi dari guci yang sama.
“Terima kasih, lopek. Sekarang pergilah beristirahat, aku sendiri sudah lelah sekali.”
Kakek gundul itu mengangguk-angguk dan diam-diam Tek Hoat memperhatikan gerak-geriknya. Melihat betapa kakek itu berulang kali menguap tanda mengantuk, dia girang sekali. Cocok dengan tulisan dalam kitab. Orang yang terkena racun itu tentu akan merasa mengantuk sekali dan setelah orang itu tertidur, maka terjadilah perubahan pada ingatannya, racun itu bekerja dan kalau orang itu bangun, dia tidak akan ingat hal-hal yang telah lalu sama sekali!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tek Hoat sudah bangun dan menghampiri Kong To Tek yang masih tidur di bagian luar goa yang besar itu. Kakek gundul itu tidur mendengkur dengan keras sekali, tanda bahwa tidurnya amat pulas. Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak sabar lagi, mengguncang-guncang pundak kakek itu.
“Lopek! Kong-lopek, bangunlah...!”
“Hemmm... ahhh... masih mengantuk... ehhh, siapa kau...?” Kakek gundul itu membuka mata, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang ke kanan kiri, lalu kembali memandang lagi kepada Tek Hoat, kemudian meloncat bangun dengan kaget dan heran.
“Di mana aku...? Siapa kau ini orang muda...? Ah, mengapa aku bisa berada di sini?” Kakek itu kelihatan seperti orang bingung dan Tek Hoat tersenyum girang sekali. Sikap kakek itu saja jelas membuktikan bahwa obat perampas ingatan itu benar-benar amat manjur dan hebat!
“Lopek, apakah benar-benar engkau tidak ingat apa-apa lagi?”
“Orang muda, siapakah engkau? Dan aku... hemm... siapa pula aku dan di manakah tempat ini? Mengapa aku tidur di goa?”
Kini Tek Hoat tidak ragu-ragu lagi, akan tetapi untuk lebih yakin, dia sengaja menguji. “Lopek, masa engkau lupa akan namanya sendiri? Namamu adalah... Ang Tek Hoat, masa engkau lupa?”
Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. “Ang Tek Hoat...? Hmm, terdengar asing, tetapi mungkin itulah namaku. Ya, benar, namaku Ang Tek Hoat, dan engkau siapa, orang muda?”
Tek Hoat menahan ketawanya. “Aku? Namaku Kong To Tek!”
“Kong To Tek? Nama itu tidak asing bagiku. Hemm, kalau begitu tentu engkau sudah kukenal lama, Kong To Tek.”
Tek Hoat tertawa. “Tentu saja, lopek! Kita adalah sahabat-sahabat lama!”
Seharian itu Tek Hoat memperhatikan gerak-gerik Kong To Tek yang hanya duduk di depan goa sambil termenung, agaknya kebingungan dan wajahnya membayangkan keraguan hebat. Ternyata kakek ini sama sekali tidak ingat akan masa lalu, dan yang diketahuinya hanyalah bahwa dia bernama Ang Tek Hoat dan pemuda itu bernama Kong To Tek! Dia seolah-olah seorang yang sama sekali baru!
Setelah kini merasa yakin akan kemanjuran ramuan perampas ingatan itu, pada malam harinya, ketika mereka berdua makan, Tek Hoat mencampurkan obat penawar racun itu ke dalam minuman Kong To Tek. Seperti malam kemarin, kakek itu sehabis makan dan minum obat penawar, tertidur dengan nyenyaknya.
Ketika pada keesokan harinya mereka terbangun, Tek Hoat ingin menggoda Kong To Tek. Dia akan memberitahu bahwa kakek itu telah dijadikan kelinci percobaan dengan hasil baik sekali. “Eh, lopek Ang Tek Hoat, kau baru bangun?” tegurnya menggoda.
Akan tetapi, segera Tek Hoat meloncat bangun dan memandang tajam. Sikap kakek itu aneh sekali, lain dari biasanya. Matanya tidak bergerak liar lagi, bahkan mata itu kini memandang kepadanya penuh selidik dan suaranya terdengar penuh wibawa, “Orang muda, siapa engkau? Namaku bukanlah Ang Tek Hoat, melainkan Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka! Siapa engkau berani memasuki goa rahasia yang menjadi tempat persembunyianku ini?”
Tentu saja Tek Hoat kaget setengah mati. Dia meloncat keluar dan kini mereka saling berhadapan di bawah sinar matahari pagi, di depan goa besar itu.
“Kong-lopek, jangan main-main. Bukankah engkau sudah mengenalku? Aku adalah Wan Keng In...”
“Bohong...!” Tiba-tiba Kong To Tek membentak marah sekali. “Biar pun wajahmu mirip sekali dengan Wan-kongcu, akan tetapi engkau sama sekali bukan Wan Keng In! Engkau jauh lebih muda, dan kalau dia masih hidup, tentu dia patut menjadi ayahmu. Orang muda, jangan kau main-main dengan aku! Siapa kau? Hayo mengaku, dan mau apa engkau berada di sini?” Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat sekali. “Kau... kau... sudah lamakah berada di sini?”
“Aihhh, Kong-lopek, aku adalah Wan Keng In pewaris pusaka suhu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin...”
“Pedang itu...!” Kong To Tek menuding ke arah pedang Cui-beng kiam yang berada di punggung Tek Hoat. “Kembalikan! Pedang itu milikku, dan juga kitab-kitab pusaka... di mana kitab-kitab itu? Kau sudah mengambilnya pula? Keparat, hayo kembalikan!” Dia menubruk maju hendak merampas pedang, tetapi sebuah tendangan kaki dari samping membuat dia terjengkang.
“Aihhhh...! Engkau melawan? Engkau berani kepada Kong To Tek tokoh Pulau Neraka? Bocah, kau sudah bosan hidup!”
Tek Hoat menjadi terheran-heran dan bingung. Mengapa terjadi perubahan yang hebat pada diri kakek itu? Akhirnya dia dapat menduga sebabnya. Mungkin karena racun perampas ingatan itu. Setelah minum obat penawarnya, agaknya pikiran atau ingatan kakek itu malah sembuh sama sekali, pulih seperti dahulu ketika belum gila sehingga kakek itu teringat akan segala-galanya! Celaka, pikir Tek Hoat, kalau begini berbahaya sekali. Orang ini harus dibunuhnya!
“Bocah keparat, pencuri pusaka! Kau harus mampus!” Dan kakek gundul itu sudah menerjang dengan terkaman seperti seekor singa kelaparan.
“Engkaulah yang akan mampus, Kong To Tek!” Tek Hoat miringkan tubuh ke kiri dan dari kiri tangan kanannya menampar ke depan.
“Wuuuuttt... dessss...!”
“Aihhhh...!” Kong To Tek berteriak, karena sakit dan kaget melihat betapa pemuda yang dipandangnya rendah itu ternyata lihai sekali sehingga dua kali dia terjengkang. Tenaga sinkang yang menyambar dari tangan pemuda itu membuka kedua matanya sehingga dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian hebat.
“Bagus! Kiranya engkau seorang penjahat cilik!” Dia memaki dan kini Kong To Tek mulai mengerahkan tenaga dari pusarnya. Kepandaian kakek ini memang hebat.
Dahulu dia merupakan tokoh ke dua sesudah ketua di Pulau Neraka, dan ilmunya yang paling diandalkan adalah sinkang dari perut yang membuat perutnya mengeluarkan bunyi seperti katak tertimpa hujan, dan kalau dia sudah mengerahkan tenaga sinkang-nya ini, dari mulutnya menyambar uap beracun pula! Apa lagi setelah dia mempelajari kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dari gambar-gambarnya, latihan itu membuat dia makin kuat dan lihai!
“Wuuusssshh...!” Mulutnya menyemburkan uap putih ke arah muka Tek Hoat, tubuhnya merendah seperti berjongkok dan kedua kakinya lalu bergerak aneh ke depan sambil berjongkok, kemudian mendadak kedua lengannya bergerak melakukan serangan dari bawah dengan hebat dan hawa pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya ke arah Tek Hoat.
Kalau Tek Hoat belum melatih diri dengan ilmu-ilmu dari dalam kedua kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu selama hampir dua tahun ini, kiranya dengan ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo saja dia tidak akan mampu menandingi tokoh gundul dari Pulau Neraka ini. Akan tetapi selama hampir dua tahun ini, di dalam goa itu Tek Hoat telah tekun mempelajari ilmu-ilmu kesaktian yang amat hebat sehingga ilmu kepandaiannya menjadi hebat sekali, sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan dua tahun yang lalu. Namun, karena dia belum pernah mencoba ilmu-ilmu barunya, melihat serangan kakek gundul itu, dia terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri.
“Haiiiiittt...!”
Kong To Tek meloncat dari kedudukannya berjongkok tadi, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua lengannya bergerak-gerak, yang kanan menonjok ke arah ulu hati Tek Hoat sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala!
Akan tetapi kini Tek Hoat sudah siap sedia. Melihat datangnya serangan yang amat dahsyat itu, dia berlaku cepat, mengangkat tangan kanan menangkis ke atas sambil mengerahkan tenaga sinkang, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan, menerima pukulan tangan kanan lawan.
“Plak! Dessss...!”
Untuk ketiga kalinya tubuh Kong To Tek terdorong dan kemudian terjengkang! Kakek itu mendengus keras dan meloncat bangun lagi. Ternyata ujung mulutnya mengucurkan darah, tanda bahwa benturan tenaga dalam tadi sedemikian hebatnya sehingga dia mengalami luka di dalam tubuhnya!
Melihat hasil tangkisannya, besarlah hati Tek Hoat. Kini dia menghadapi terjangan lawan dengan pandang mata mengejek dan sama sekali tidak merasa jeri lagi karena dia telah memperoleh kepercayaan tebal kepada kepandaian sendiri. Ketika kakek itu menerjang dan menyerangnya bertubi-tubi, sambil tersenyum mengejek dia mengelak dan menangkis, kadang-kadang balas memukul. Tiap kali dia membalas, kakek gundul itu pasti terdorong oleh pukulannya yang biar pun tidak mengenai tubuh lawan, namun hawa pukulannya amatlah hebatnya, tidak kuat kakek itu menahannya.
“Kong To Tek, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!” bentak Tek Hoat dan tiba-tiba tampak sinar berkilauan ketika dia telah mencabut Cui-beng-kiam!
Melihat pedang ini, Kong To Tek kelihatan gentar, tetapi juga marah. Sambil menerjang maju, dia membentak, “Kembalikan Cui-beng-kiam kepadaku!”
Terjangannya dahsyat sekali karena dia menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat Liong-jiauw-pok-cu (Cakar Naga Menyambar Manusia). Kedua tangannya membentuk cakar dan bergerak-gerak mencengkeram untuk merampas pedang sedangkan dari perutnya terdengar bunyi berkokokan tanda bahwa dia mengerahkan sinkang-nya yang amat kuat, mulutnya mengeluarkan uap putih.
Melihat terjangan ini, Tek Hoat bergerak ke kanan kiri cepat sekali sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi banyak, dan dari kanan kiri menyambarlah gulungan sinar pedang Cui-beng-kiam yang ampuh.
“Singgggg...! Crak! Crokk!”
Terdengar suara pekik melengking dan Kong To Tek roboh terguling, kedua lengannya buntung sebatas siku terbabat pedang Cui-beng-kim yang ampuh!
Melihat tubuh itu berkelojotan dan bergulingan di atas tanah, Tek Hoat tersenyum untuk menekan perasaan hatinya yang menyesal. Bagaimana pun, kakek itu telah melakukan banyak kebaikan kepadanya!
“Hemmm, terpaksa aku membunuhmu, Kong-lopek. Hidupmu berbahaya bagiku setelah pulih kembali ingatanmu!”
Sambil meringis menahan rasa nyeri yang amat hebat, Kong To Tek bertanya, “Orang muda... siapakah engkau...?”
“Namaku Ang Tek Hoat. Secara kebetulan saja aku bertemu denganmu, lopek. Kau menyangka aku bernama Wan Keng In dan engkau menyerahkan pusaka para datuk Pulau Neraka kepadaku. Tentu saja aku tak dapat menolak datangnya keuntungan ini, dan sekarang pulih pula ingatanmu, maka kau berbahaya bagiku.”
“Aughhh... kau... kau... memang mirip sekali dengan Wan-kongcu... Ahhh, agaknya roh Wan Keng In memasuki dirimu... dan agaknya Wan-kongcu muncul kembali untuk bisa membalas musuh-musuhnya...”
“Siapa sih orang yang bernama Wan Keng In itu?” Tek Hoat bertanya, ingin juga dia mengetahui siapa orang yang katanya mirip dengan dia itu.
“Dia... dia bekas majikanku... dia adalah kongcu dari Pulau Neraka, putera ketua Pulau Neraka...”
Tek Hoat mengangguk-angguk kagum. “Dan siapa itu musuh-musuhnya?”
“Musuhnya adalah... Gak Bun Beng... dan... dan Tocu Pulau Es...”
Tek Hoat merasa terkejut bukan main mendengar disebutnya dua nama itu! Gak Bun Beng juga musuh besarnya! Dan... Tocu Pulau Es!
“Apakah kau maksudkan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
“Benar... dia... dia lihai...”
“Dan Gak Bun Beng, penjahat itu sudah dibunuh mati oleh ibuku!” kata pula Tek Hoat.
Kong To Tek membelalakkan mata. Darah bercucuran dari kedua lengan yang buntung itu. Mukanya pucat karena banyak kehilangan darah. Keadaannya sungguh mengerikan dan tubuhnya sudah mulai lemah. Namun agaknya dia terkejut mendengar pengakuan Tek Hoat itu dan dia bertanya. “Siapa... siapa ibumu...?”
Biar pun Tek Hoat tidak suka menceritakan keadaan keluarganya, akan tetapi melihat bahwa kakek ini tidak akan hidup lebih lama lagi, dia mengaku, “Ibuku... hemmm, ibuku seorang pendekar wanita puteri dari ketua Bu-tong-pai. Ayahku bernama Ang Thian Pa dan ibuku bernama Siok Bi...” Tek Hoat langsung menghentikan kata-katanya ketika melihat Kong To Tek bangkit duduk dan matanya terbelalak memandangnya.
Lengan tangan yang hanya tinggal sepotong itu bergerak ke atas, dan seolah-olah menuding sehingga Tek Hoat merasa ngeri juga. “Jadi kau... kau... kau anak Siok Bi...? Ahhh... ah, tidak salah lagi... kau... kau puteranya... auhhh!” Tubuh itu terguling.
“Apa katamu? Kong-lopek, apa maksudmu?” Tek Hoat mengguncang-guncang tubuh itu, akan tetapi Kong To Tek telah menjadi mayat.
Tek Hoat bangkit berdiri, lalu termenung. Apa yang dimaksudkan oleh kakek ini tadi? Agaknya kakek ini mengenal ibunya! Dan dia puteranya? Putera siapa? Sayang kakek itu sudah mati. Ah, mengapa dia memusingkan hal itu? Mungkin hanya igauan orang dalam sekarat. Jelas dari penuturan ibunya bahwa ayahnya bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahnya terbunuh oleh Gak Bun Beng, tetapi musuh besar itu telah dibunuh ibunya pula.
Pada hari itu juga, Tek Hoat meninggalkan mayat Kong To Tek dan goa di mana selama dua tahun dia melatih diri. Dia membawa Cui-beng-kiam dan dua buah kitab yang isinya telah dipelajarinya akan tetapi belum semua sempat dilatihnya karena memang amatlah sukar melatih ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab itu.
Dia akan pulang ke Lembah Huang-ho, ke Bukit Angsa di mana tinggal ibunya yang tentu sudah merindukannya. Dia akan menuturkan pertemuannya dengan Kong To Tek itu kepada ibunya dan barangkali ibunya akan dapat mengerti tentang sikap aneh kakek gundul itu sebelum mati.....
Karena adanya halangan yang hampir merupakan mala petaka dan yang menimpa diri Raja Bhutan, maka dengan alasan bahwa negaranya masih terancam bahaya dan puterinya masih terlalu muda, Raja Bhutan menyuruh rombongan kaisar pulang dengan surat permohonan kepada kaisar agar pernikahan puterinya itu diundur sampai dua tahun lagi!
Hal ini dilakukan Raja Bhutan yang mendengarkan kata-kata penasehatnya di istana. Pada waktu itu, ketahyulan masih amat kuatnya menguasai hati semua orang, bahkan keluarga kerajaan sendiri tidak terlolos dari pengaruh tahyul dan tradisi. Segala sesuatu dilakukan berdasarkan ‘perhitungan’ bulan bintang, dan segala peristiwa dianggap sebagai ‘tanda-tanda’ untuk menentukan sesuatu di masa depan.
Karena itu, pernikahan puteri raja tentu saja dilakukan atas dasar ‘perhitungan’ para ‘ahli nujum’ pula. Maka peristiwa yang hampir mencelakakan raja diperhitungkan dengan pernikahan puteri, dihitung pula hari kelahiran Puteri Syanti Dewi, kemudian diputuskan bahwa selama dua tahun mendatang merupakan hari-hari buruk bagi Raja Bhutan, maka tidak dibenarkan kalau mengawinkan puteri itu sebelum lewat dua tahun!
Kaisar menerima surat permohonan itu dan kemudian dapat menyetujuinya setelah dia mendengar akan peristiwa yang terjadi di Bhutan. Kaisar sendiri tidak terluput dari kepercayaan itu, apa lagi setelah para ahli nujumnya sendiri juga memperhitungkan bahwa memang kedatangan Puteri Bhutan dalam waktu dekat akan menimbulkan bahaya bagi kerajaan sendiri! Demikianlah, maka acara memboyong Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu diundur sampai dua tahun!
Terjadi perubahan besar dalam kehidupan Lu Ceng, atau Ceng Ceng. Semenjak pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi, dia diminta tinggal di dalam istana dan tentu saja dia dihormat pula oleh semua penghuni istana karena dia sekarang telah menjadi seorang puteri! Dia adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi, maka dengan sendirinya diapun menjadi seorang puteri istana! Bahkan Raja Bhutan telah menganugerahinya dengan nama baru, nama seorang puteri, yaitu Candra Dewi!
Biar pun dia telah dianggap seorang puteri istana, sikap Ceng Ceng masih biasa saja, bahkan dia pun hanya mau mengenakan pakaian puteri kalau ada upacara resmi saja. Untuk sehari-hari, dia tetap mengenakan pakaian yang ringkas seperti biasa, dan rambutnya yang panjang, dikuncir seperti kebiasaan gadis-gadis dusun! Setiap hari dia menemani Sang Puteri Syanti Dewi yang suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga mereka berdua berlatih bersama. Dari adik angkatnya ini sang puteri memperoleh banyak petunjuk karena memang tingkat kepandaian Ceng Ceng jauh lebih tinggi dari pada dia.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Apa lagi bagi Ceng Ceng yang selalu hidup gembira bersama Puteri Syanti Dewi dan para puteri lain di istana. Setiap hari, kalau tidak berlatih silat tentu berlatih tari-tarian, bernyanyi, bersenang-senang atau membaca kitab-kitab kuno berisi dongeng-dongeng indah. Dua tahun tak terasa telah lewat dan pada suatu hari, datanglah rombongan utusan kaisar yang sekali ini benar-benar hendak memboyong Sang Puteri Syanti Dewi!
Tidak ada lagi alasan bagi Raja Bhutan untuk menolak. Selama dua tahun ini, kaisar telah mengirim banyak bantuan, baik berupa pasukan mau pun perlengkapan untuk mengusir para gerombolan pemberontak sehingga Kerajaan Bhutan tidak begitu dirongrong lagi oleh mereka.
Pesta besar diadakan untuk menyambut rombongan ini dan kali ini, kembali rombongan itu dipimpin oleh Tan-ciangkun (Perwira Tan), yaitu Tan Siong Khi yang gagah perkasa dan memiliki jenggot panjang yang indah bentuknya!
Untuk menghormati para utusan kaisar, juga sekaligus merayakan hari diboyongnya Puteri Syanti Dewi yang sudah berusia delapan belas tahun, dan juga pesta perpisahan dengan sang puteri, maka malam hari itu selain diadakan pesta makan minum, juga diadakan pesta tari-tarian tradisionil dari para penari Bhutan.
Dalam pesta ini, Sang Puteri Syanti Dewi keluar pula, duduk di atas sebuah kursi yang khusus disediakan untuk keluarga raja. Tentu saja Ceng Ceng tidak mau ketinggalan dan dia menemani puteri yang telah menjadi kakak angkatnya itu. Akan tetapi, karena sekali ini dia akan bertemu dengan orang-orang dari kerajaan suku bangsanya sendiri, dia tidak mau mengenakan pakaian puteri Bhutan, dan hanya mengenakan pakaian biasa biar pun masih baru. Ceng Ceng atau Candra Dewi itu berdiri di dekat kursi Puteri Syanti Dewi sambil menonton pertunjukan tari-tarian.
Melihat wajah para utusan yang gagah perkasa, terutama sekali si jenggot panjang yang kini tampak makin gagah biar pun sudah makin tua, Ceng Ceng ingin sekali menyaksikan kepandaian mereka. Dia masih teringat betapa dahulu, dua tahun yang lalu, dia pernah mengadu kuncirnya dengan jenggot panjang itu dan merasa betapa rambutnya terjambak seperti akan copot rasanya!
Dan dia mendengar dari kakeknya bahwa si jenggot itu ternyata adalah seorang pengawal pribadi kaisar yang amat lihai! Kini, melihat mereka dan terutama sekali si jenggot panjang, timbul keinginan di hati Ceng Ceng.
“Kak Syanti...,” dia berbisik.
Syanti Dewi menengok. “Ada apakah, Candra?”
Dengan suara berbisik-bisik Ceng Ceng lalu mengajukan usulnya, yaitu agar sang puteri minta kepada ayahnya untuk membujuk para utusan yang gagah perkasa itu agar menghibur dan meramaikan pesta dengan pertunjukan ilmu silat mereka yang terkenal tinggi! Syanti Dewi memang suka sekali akan ilmu silat, maka mendengar usul adik angkatnya ini, dia cepat mengajukan permintaannya kepada raja.
Sebetulnya raja merasa agak enggan juga mengajukan permintaan agar para tamu memperlihatkan kelihaian mereka, akan tetapi karena tidak tega menolak keinginan puterinya yang akan pergi meninggalkannya itu, terpaksa dia menyuruh pengawalnya menghubungi Tan-ciangkun untuk menyampaikan permintaannya.
Tan Siong Khi bermata tajam. Dia melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada Syanti Dewi. Pengawal kaisar ini tentu saja masih ingat kepada nona yang disangkanya pengacau itu dan yang kini dia dengar telah menjadi adik angkat puteri yang akan diboyongnya ke Tiongkok. Maka diam-diam dia agak memperhatikan dan melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada sang puteri kemudian sang puteri bicara dengan Raja Bhutan. Setelah Raja Bhutan mengutus pengawal menghubunginya dan menyampaikan permintaan raja, tahulah Tan-ciangkun bahwa permintaan itu adalah gara-gara si gadis yang lihai dan bengal itu. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu berunding dengan para temannya, yaitu para perwira yang memiliki kepandaian tinggi.
Tidak lama kemudian suasana pesta menjadi makin meriah. Seorang demi seorang, majulah para Perwira Mancu Kerajaan Ceng untuk memperlihatkan kepandaian mereka bermain silat. Bermacam-macam senjata telah mereka pergunakan, dan rata-rata ilmu kepandaian mereka memang amat tinggi bagi para Perwira Bhutan sehingga tepuk tangan penuh kagum menyambut setiap permainan silat dari rombongan utusan itu.
Kemudian, sebagai orang terakhir, tiba giliran Tan-ciangkun sendiri. Pengawal kaisar yang lihai dan biar pun berpakaian biasa namun sesungguhnya dialah yang memimpin rombongan utusan itu, maju dengan kedua tangan kosong. Setelah dia memberi hormat dengan bertekuk lutut ke arah Raja Bhutan dan keluarganya, dia meloncat bangun, menggulung kedua lengan bajunya sehingga naik ke bawah siku. Kemudian dia mengangkat kedua tangan memberi hormat berkeliling, dan berkata dengan suara lantang.
“Maafkan kami yang telah berani memperlihatkan kepandaian yang dangkal, karena kami hanya memenuhi perintah sri baginda untuk ikut meramaikan pesta ini. Kami tahu bahwa di Bhutan terdapat banyak sekali orang pandai yang jauh melampaui tingkat kami. Saya sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa dan saya merasa agak sayang juga terpaksa harus menghentikan minum anggur Bhutan yang demikian lezatnya! Karena itu, saya harap cu-wi maafkan kalau saya hendak melanjutkan minum anggur yang lezat itu.” Setelah berkata demikian, kakek berjenggot panjang ini menggerakkan kepalanya.
“Wirrrr...!” Jenggotnya yang panjang itu menyambar ke depan, ke arah guci anggur yang tadi dihadapinya dan tiba-tiba anggur itu melayang ke atas, dilibat ujung jenggot yang panjang!
Guci itu diputar-putar di udara dan dipermainkan oleh jenggot panjang itu, kemudian, ujung jenggot melibat guci dan membawa guci itu menukik ke bawah sehingga anggur yang berada di dalam guci dan masih tinggal seperempat itu tertumpah ke bawah.
Kakek ini membuka mulutnya dan anggur itu persis memasuki mulutnya sehingga kelihatannya dia minum anggur dari guci dengan dilayani oleh jenggotnya! Bukan main hebatnya demonstrasi ini dan semua orang bertepuk tangan memuji! Ceng Ceng sendiri diam-diam juga merasa kagum karena biar pun memainkan guci dengan ujung rambut merupakan hal yang tidak begitu sukar, namun jenggot yang dapat tegak ‘memegang’ guci yang cukup berat itu membuktikan sinkang yang amat kuat!
Kini guci anggur itu sudah habis isinya, hanya tinggal menetes-netes memasuki mulut Tan-ciangkun, sedangkan lengan kanan yang tangannya terkepal itu menggigil, menandakan bahwa kakek itu mengerahkan tenaga sinkang yang kuat untuk membuat jenggotnya tegak kaku menahan guci, kemudian di bawah tepuk sorak memuji, kakek ini memainkan guci kosong dengan jenggotnya. Guci dilontarkan ke atas, tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit, kemudian ketika meluncur turun diterimanya lagi dengan ujung jenggot dan diputar-putar sampai kelihatannya menjadi banyak saking cepatnya.
Setelah Tan Siong Khi mengakhiri permainannya, semua orang lantas bertepuk tangan memuji. Baru jenggotnya saja sudah demikian kuat dan ampuh, apa lagi dengan kaki tangannya! Tan-ciangkun menjura ke sekeliling, kemudian memberi hormat kepada Raja Bhutan dan terdengar suaranya lantang, “Terima kasih hamba haturkan atas pujian sri baginda, padahal permainan hamba tidak ada artinya, apa lagi kalau dibandingkan dengan kepandaian tokoh-tokoh Bhutan yang lihai. Sekarang hamba mohon agar paduka sudi memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Bhutan untuk memperlihatkan kepandaian untuk memeriahkan pesta ini.”
Raja Bhutan mengangguk-angguk dan menoleh ke kanan kiri. Dia tahu bahwa para pengawalnya juga rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba Tan-ciangkun berkata lagi, “Hamba tahu bahwa nona yang menjadi adik angkat sang puteri memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!”
Memang sengaja Tan-ciangkun berkata demikian untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Kalau tidak gara-gara nona muda itu yang mengusulkan, tentu dia dan kawan-kawannya tidak harus memamerkan kepandaian seperti serombongan tukang jual obat atau penari silat di pasar-pasar!
Mendengar ini, Raja Bhutan cepat menengok ke arah Ceng Ceng sambil tersenyum lebar dan berkata, “Aih, sampai lupa aku! Candra Dewi, kau majulah dan perlihatkan kepandaianmu!”
Ceng Ceng terkejut sekali, tidak mengira bahwa dia diperintah raja untuk bersilat! Tentu saja dia tidak berani membantah. Dia sudah berlutut menyembah sambil mengeluarkan kata-kata kesanggupan dengan lirih, matanya melirik gemas kepada Tan-ciangkun yang hanya tersenyum. Kemudian dara itu melompat ke tengah ruangan, mencabut keluar sepasang pisau belati yang sebelumnya merupakan hui-to (golok terbang), yaitu senjata rahasia yang disabitkan, dan mulailah dia bersilat dengan sepasang belati itu.
Gerakannya indah sekali, cepat dan bertenaga sehingga para penonton menjadi kagum karena kelihatannya dara itu sedang menari-nari dengan indahnya, namun gulungan-gulungan kecil dari sinar putih yang seperti selendang kecil digerak-gerakkan itu mengandung cakar maut yang dapat membunuh lawan!
Tepuk sorak bergemuruh menyambut dengan kagum ketika Ceng Ceng sudah merubah permainannya, tepuk sorak yang disertai suara ketawa di sana-sini karena selain lucu juga luar biasa sekali permainan yang kini dilakukan oleh Ceng Ceng. Apa yang terjadi? Dara ini telah menggunakan kuncirnya yang sudah dibagi dua untuk bermain silat! Sepasang kuncirnya itu seolah-olah telah berubah menjadi dua ekor ular hitam yang hidup dan ujung kedua kuncir membelit hui-to kemudian dia bergerak-gerak dengan cepat, menggoyang kepalanya sehingga sepasang kuncir itu memainkan sepasang hui-to itu seperti tadi Tan-ciangkun memainkan jenggotnya. Tentu saja Ceng Ceng berbuat demikian untuk mengejeknya!
Setelah Ceng Ceng mengakhiri permainannya, tentu saja dia disambut dengan tepuk sorak gemuruh, juga Tan-ciangkun ikut bertepuk tangan sambil tersenyum karena dia pun ikut bangga. Betapa pun juga, dia tahu bahwa dara itu bukanlah Bangsa Bhutan, melainkan bangsanya sendiri dan ilmu silat yang dimainkan oleh Ceng Ceng itu adalah ilmu silat dari pedalaman. Dia sudah mendengar bahwa dara yang cantik jelita itu adalah cucu dari kakek Lu Kiong yang dahulu pernah memegang pekerjaan seperti dia, yaitu pernah menjadi pengawal kaisar puluhan tahun yang lalu.
Setelah beberapa orang perwira dan pengawal Raja Bhutan juga memperlihatkan ilmu kepandaian masing-masing, pesta itu berakhir sampai jauh malam, bahkan sudah lewat tengah malam. Semua orang pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Ceng Ceng mengawal kakak angkatnya masuk ke kamar pula. Semenjak menjadi adik angkat Syanti Dewi, Ceng Ceng tidur sekamar dengan puteri itu.
Menjelang pagi, Ceng Ceng terbangun oleh suara tangis. Bergegas dia bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan mencoba untuk melihat di dalam kamar yang telah digelapkan itu. Kiranya yang menangis adalah Syanti Dewi!
“Eh, enci Syanti... kau... kenapakah?” Ceng Ceng cepat meloncat turun dan menyalakan lilin di atas meja. Dilihatnya puteri itu menelungkup sambil menangis terisak-isak.
“Enci Syanti, mengapa kau menangis?” Kembali Ceng Ceng bertanya sambil duduk di pembaringan puteri itu dan mengusap pundaknya.
Puteri itu menengok, lalu bangkit berdiri merangkul Ceng Ceng sambil menangis makin sedih. “Adikku... aihhh... adikku Candra...!”
Ceng Ceng membiarkan puteri itu menangis di pundaknya sampai agak mereda, lalu dia berkata, “Kakakku yang baik, beginikah sikap seorang gagah? Biar pun kita wanita, namun kita menjunjung kegagahan dan tangis merupakan hal yang dipantang, kecuali kalau ada persoalan yang tak terpecahkan dan amat hebat. Apakah yang telah terjadi? Kalau ada persoalan, bicarakanlah denganku, dan marilah kita pecahkan bersama. Tidak ada di dunia ini persoalan yang tidak akan dapat kita pecahkan berdua, bukan?”
Putri itu menghapus air matanya dan memandang adik angkatnya. Tangisnya sudah reda dan melihat wajah adiknya menimbulkan kepercayaan dan hiburan besar baginya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali sebelum bicara, kemudian sambil memegang tangan adik angkatnya dia berkata, “Candra, hati siapa yang tak akan menjadi kecewa, penasaran dan duka? Tadi aku mendengar dari seorang pelayan yang memang kusuruh melakukan penyelidikan di antara rombongan utusan, dan aku mendengar berita yang sangat mengecewakan sebelum tidur tadi.”
“Berita apakah?”
“Berita keterangan tentang Pangeran Liong Khi Ong...”
“Aihhh, tentang calon suamimu?” Ceng Ceng menahan ketawanya. “Bukankah berita itu menggembirakan?”
“Siapa bilang menggembirakan? Ternyata ia adalah seorang laki-laki yang usianya telah lima puluh tahun... hu-huuukkk...” Putri itu menangis lagi.
Ceng Ceng merangkul dan menghiburnya. “Lima puluh tahun belum tua bagi seorang laki-laki, apa lagi kalau dia seorang pangeran,” dara ini mencoba menghibur sebisanya.
“Tapi... tapi... dia mempunyai banyak selir...,” kembali puteri itu terisak.
“Aihh, enci Syanti, apa anehnya tentang itu? Dia seorang pangeran, tentu saja banyak selirnya. Akan tetapi engkau akan menjadi isterinya, mengepalai semua selirnya.”
“Tapi... tapi... aku tidak suka, Candra. Aku merasa seolah-olah berangkat mati saja... kehilangan kebebasanku... menjadi budak belian!”
“Ihhhh...! Mengapa kau berkata begitu, enci Syanti?” Ceng Ceng berseru kaget.
“Mengapa tidak? Apa bedanya aku dengan budak belian? Aku dibeli, dibeli dengan kedudukan dan nama, aku kehilangan kebebasan, harus menurut menjadi isteri siapa saja! Aku... aku ingin menjadi isteri orang yang kupilih sendiri, adik Candra...!” Kembali puteri itu menjatuhkan diri menelungkup, memeluk bantal dan menangis.
Ceng Ceng duduk termenung. Dia dapat menyelami perasaan kakak angkatnya dan tak dapat membantah kebenaran kata-katanya. Memang kaum wanita sama dengan budak belian. Diharuskan menjadi isteri siapa saja, menjadi isteri seorang pria yang belum pernah dilihatnya. Apa bedanya dengan budak belian? Hanya diberi pakaian indah dan penghormatan, namun pada hakekatnya, nasib mereka dalam hal perjodohan tiada bedanya dengan budah belian! Diam-dian hatinya memberontak pula.
“Enci Syanti, kalau begitu, mengapa tidak engkau tolak saja?”
Puteri itu terkejut sekali, lalu bangkit duduk. Dia memandang adiknya, menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Dahulu, dua tahun yang lalu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan ini. Kuterima saja perintah ayah karena memang biasanya demikian, seorang puteri dikawinkan dan aku boleh disebut beruntung menjadi calon isteri seorang pangeran putera kaisar yang besar! Tetapi, setelah pernikahan diundur dua tahun, selama ini timbul penasaran di dalam hatiku mengapa aku harus menikah, mengikatkan hidupku selamanya dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat? Aku masih menghibur diri dengan anggapan bahwa seorang pangeran putera kaisar tentulah seorang pria yang gagah perkasa, tampan, muda dan pendeknya memenuhi impianku tentang seorang kekasih. Siapa tahu... berita itu... dia sudah tua dan banyak selirnya... hu-hu-huuukkk...”
Ceng Ceng menggaruk-garuk belakang telinganya, bingung. “Kalau begitu, bagaimana baiknya, enci Syanti? Kau tolak saja sekarang, bagaimana?”
“Ahhh, kau tidak tahu, adikku. Kalau aku menolak, tentu ayah akan memaksaku karena hal itu selain akan mencemarkan nama keluarga Kerajaan Bhutan, juga berbahaya sekali, dapat menyeret negara ke dalam perang.”
“Ohhhh...!” Ceng Ceng terkejut sekali. “Habis, bagaimana baiknya? Kalau begitu, mari kita... melarikan diri saja. Malam ini juga, biar aku menemanimu, enci...”
Mau tidak mau puteri itu tersenyum masam mendengar ajakan ini. Ajakan yang ugal-ugalan. Mana mungkin puteri raja minggat? Selain percuma karena tentu akan dapat ditangkap, juga amat memalukan. “Tidak bisa, adikku, tidak mungkin itu.”
“Habis bagaimana? Apakah kau akan menerima nasib begitu saja?”
“Apa boleh buat. Aku harus menerima nasib, akan tetapi hatiku tentu akan terhibur sekali kalau kau suka menemaniku ke Kerajaan Ceng di timur sana.”
“Tentu saja aku mau! Aku malah ingin sekali ke sana! Baik, aku akan menemanimu.”
“Akan tetapi, apakah kakekmu akan memperkenankan?”
“Dia harus menyetujui!” Ceng Ceng berkata cemberut. “Aku berasal dari timur sana, sudah sepatutnya kalau dia mengajakku kembali ke sana. Sekarang ada kesempatan baik. Aku ikut denganmu, enci Syanti!”
Demikianlah, keputusan diambil malam itu juga dan pada keesokan harinya, sang puteri memberi tahukan ayahandanya bahwa Candra Dewi akan ikut bersamanya ke timur. Raja Bhutan tak dapat menolak dan kakek Lu Kiong segera diberitahu tentang hal itu.
Kakek ini terkejut, akan tetapi dia pun tidak berani menghalangi kehendak sang puteri, bahkan diam-diam dia harus mengakui bahwa sudah sepatutnya kalau dia membiarkan cucunya itu kembali ke timur. Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan cucunya, dia lalu menyatakan hendak ikut mengawal rombongan sang puteri.
Tentu saja keputusan kakeknya ini menggirangkan hati Ceng Ceng, karena betapa pun juga dia merasa kasihan dan tidak tega kalau harus meninggalkan kakeknya yang sudah tua itu sendirian di Negara Bhutan.
Persiapan untuk keberangkatan Puteri Syanti Dewi dilakukan dan keadaan di istana sibuk sekali. Besok pagi-pagi rombongan yang memboyong puteri itu akan berangkat, pasukan istimewa yang khusus sebanyak lima ratus orang akan mengawal rombongan sampai perbatasan, di mana pasukan Kerajaan Ceng akan menyambut dan mengambil alih tugas pengawalan.
Barang-barang berharga milik sang puteri dikumpulkan sampai berpeti-peti banyaknya. Ceng Ceng sendiri memperoleh kesempatan untuk pulang ke rumah kakek, membantu kakeknya yang juga berkemas dan dibantu oleh murid-murid kakeknya. Wajah para murid itu kelihatan murung karena mereka tahu bahwa sekali ini gurunya pergi untuk tidak kembali lagi ke Bhutan, karena gurunya sudah amat tua.
Sementara itu, tanpa disangka-sangka, di pintu penjagaan benteng, yaitu di pintu gerbang besar, terjadi keributan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan berkuncir panjang, bertangan kosong, sedang ribut mulut dengan para penjaga. Dari pakaiannya mudah dikenal bahwa orang ini datang dari timur, seorang bangsa Han. Karena di kota raja Bhutan sedang ada kesibukan, maka tentu saja para penjaga itu menghadang orang yang tidak dikenal ini sambil menghardik, “Siapakah engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki kota raja?”
Laki-laki itu mengerutkan alisnya. “Hemm, begitukah sikap para penjaga kota raja di Bhutan? Seorang penduduk sini pun tidak akan mengalami gangguan, apa lagi seorang pendatang dari luar yang dapat disebut seorang tamu! Aku datang sebagai tamu, sebagai utusan dan aku ingin menghadap sri baginda!”
Namun kepala penjaga tertawa mengejek. Orang itu pakaiannya biasa saja, sama sekali bukan pakaian seorang berpangkat atau perwira, tentu saja dianggap menggelikan dan membohong ketika mengaku sebagai tamu dan utusan, dan bahkan menimbulkan kecurigaan. Orang begini hendak menghadap raja! Tentu berniat tidak baik, pikir kepala penjaga itu.
“Jangan main gila kau!” bentaknya. “Kau kira mudah saja menghadap sri baginda! Hayo cepat pergi, keluar dari tempat ini atau terpaksa akan kami tangkap sebagai mata-mata musuh!”
Orang itu memandang tajam dan tersenyum. “Kepala penjaga, jangan membuka mulut besar dan sembarangan. Lebih baik kau laporkan kepada atasanmu, kepada Panglima Jayin bahwa ada seorang tamu datang hendak bertemu! Kalau masih belum cukup meyakinkan, katakan bahwa yang datang membawa bunga suci!”
Ucapan ini, apa lagi kalimat terakhir, membuat kepala penjaga menjadi makin marah. Dia melangkah maju dan mendorong dada orang itu sambil berkata, “Engkau masih banyak membantah? Pergilah!”
Akan tetapi, kepala penjaga itu kaget sekali karena dia seperti mendorong sebuah gunung karang saja! Orang itu sama sekali tidak bergerak, maka dengan marah dia lalu memukul dada laki-laki berbaju hitam itu.
“Dukkk!” Bukan tubuh orang itu yang roboh terkena pukulan keras, sebaliknya kepala penjaga itu berteriak dan roboh terpelanting seperti dibanting saja!
“Kau berani melawan?” Dua orang penjaga menyerang dengan tombak mereka dari depan dan belakang.
Akan tetapi, dengan gerakan gesit sekali laki-laki berbaju hitam itu mengelak. Kedua tangannya bergerak menyambar tombak, tangan kiri menangkap tombak dari depan, tangan kanan menangkap tombak dari belakang dan sekali dia mengangkat, dua orang penjaga itu terangkat ke atas seolah-olah hanya seperti daun saja ringannya! Tentu saja mereka terkejut dan berteriak, akan tetapi tubuh mereka segera melayang ke depan dan jatuh terbanting cukup keras, membuat mereka hanya dapat bangkit duduk dengan kepala pening dan mata berkunang!
Para penjaga yang lain datang dan segera menyerang laki-laki yang lihai itu sehingga terjadilah pertandingan keroyokan di depan pintu gerbang. Laki-laki itu menghadapi mereka dengan tenang, hanya menggunakan kaki tangannya untuk menangkis dan merobohkan para pengeroyok tanpa melakukan pembunuhan. Beberapa orang penjaga sudah lari untuk melapor kepada Panglima Jayin.
“Tahan senjata, mundur semua!” Tiba-tiba terdengar suara Panglima Jayin yang sudah cepat datang ke tempat itu. Para penjaga mundur dan saling membantu karena mereka sudah menderita cidera tangan.
Panglima Jayin melangkah maju, berhadapan dengan laki-laki itu. Orang itu segera menjura dan merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dan saling jalin di depan dada, dengan ibu jari saling tindih. Melihat bentuk jari-jari tangan di depan dada ini, Panglima Jayin mengerutkan alisnya dan berkata, nadanya menegur, “Apakah Pek-lian-kauw telah mengalihkan permusuhannya kepada Negara Bhutan?” Pertanyaan ini mengandung teguran dan juga tantangan.
“Ah, ahhh... tidak sama sekali, harap tai-ciangkun suka maafkan. Saya hanya seorang utusan yang bertugas menyampaikan surat dari Raja Muda Tambolon untuk sri baginda di Bhutan.”
“Hemmm... apa lagi sekali ini? Setelah dua tahun yang lalu kalian mencoba hendak menawan raja kami?”
“Saya sendiri tidak tahu, hanya ditugaskan menyampaikan surat. Harap tai-ciangkun suka menghadapkan saya kepada sri baginda.”
“Tidak mungkin! Sri baginda sedang sibuk...”
“Ha-ha, dengan keberangkatan pengantin? Sayang sekali, puteri cantik harus diberikan sebagai hadiah kepada...”
“Tutup mulutmu! Apa hubungannya denganmu? Ayo lekas serahkan surat itu kepadaku, atau kau boleh pergi lagi!” Panglima Jayin membentak marah.
Orang itu tersenyum tenang saja. “Begitu pun baik. Pokoknya surat ini harus terbaca oleh sri baginda di Bhutan.”
Dia mengeluarkan sebuah sampul panjang dan sekali dia menggerakkan tangannya, surat itu melayang ke arah Panglima Jayin. Perwira tinggi besar ini menyambut dan terkejutlah dia ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat pada saat menerima surat yang disambitkan itu. Dari ini saja dia sudah tahu bahwa orang ini memiliki sinkang yang amat kuat dan dia bukanlah tandingan orang ini!
“Ha-ha-ha, tai-ciangkun aku mohon diri!”
“Haii, tunggu sebentar, sobat! Tidak kusangka bahwa Pek-lian-kauw berkeliaran sampai di tempat sejauh ini!” Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah muncul Tan Siong Khi yang telah meloncat ke depan dan menghadang orang berbaju hitam itu. Orang itu memandang tajam, kemudian mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya seperti orang mengejek.
Sedangkan Panglima Jayin cepat berkata. “Tan-ciangkun, harap jangan ganggu dia. Dia hanya seorang utusan yang menyampaikan surat!” Panglima ini tentu saja memegang peraturan umum bahwa seorang utusan sama sekali tidak boleh diganggu, maka dia menghalangi Tan Siong Khi melarang orang itu pergi.
“Sayang sekali...!” Tan Siong Khi berkata.
“Huhhh!” Laki-laki berjubah hitam itu mendengus lagi dan sekali meloncat, tubuhnya melayang tinggi.
“Enak saja kau pergi...!” Tan Siong Khi menggerakkan kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas, agaknya hendak menghadang tubuh orang itu yang sedang melayang.
Akan tetapi, tiba-tiba orang itu berseru keras dan tubuhnya yang sedang meloncat itu berjungkir balik tiga kali dan dapat meloncat lebih tinggi melampaui kepala Tan Siong Khi! Hebat dan indah sekali gerakan ini, membuktikan kemahiran ginkang yang luar biasa.
“Bukan main...!” Jayin berkata kepada Tan Siong Khi setelah orang itu pergi jauh. “Dia lihai sekali, kuat sinkang-nya dan lihai ginkang-nya, merupakan lawan yang lihai.”
Tan-ciangkun tertawa. “Akan tetapi dia pun tidak akan menganggap kita orang lemah!”
“Apa maksudmu, Tan-ciangkun?” tanya Jayin.
Tetapi Tan Siong Khi hanya tersenyum. Tadi ketika tubuh pesuruh Raja Muda Tambolon itu sedang melayang di atasnya, dia menggerakkan kepalanya dan jenggot panjangnya melayang dan menyambar ke atas, merobek celana di selangkangan kaki orang itu. Kalau dia mau, tentu saja bukan celana yang robek, melainkan bagian tubuh yang lebih penting lagi dan yang mematikan!
“Raja Muda Tambolon ini makin menggila saja,” katanya sambil berjalan memasuki pintu gerbang bersama Tan-ciangkun. “Dia telah menghimpun semua kekuatan mereka yang bermaksud memberontak kepada Kerajaan Ceng, yaitu orang-orang dari Tibet, Turki dan Mongol. Dia sendiri adalah peranakan Tibet dan Mongol, dan khabarnya memiliki ilmu kepandaian yang mukjijat. Entah apa maksudnya kali ini, dan anehnya mengapa yang menjadi utusan adalah orang Pek-lian-kauw.”
“Agaknya perkumpulan agama yang tersesat dan menjadi tukang berontak itu kena pula dibujukkan dan menjadi sekutunya,” kata Tan Siong Khi dan Jayin menganggukkan kepalanya.
Memang dugaan ini tidak meleset. Di perbatasan antara wilayah Kerajaan Ceng, yaitu di luar Sin-kiang, gerombolan ini berkumpul dan makin lama menjadi kekuatan yang cukup besar. Pada waktu itu, baik Tibet, Turki, Mongol dan semua raja muda yang menguasai wilayah-wilayah kecil masing-masing telah ditundukkan dan dihancurkan oleh Kerajaan Ceng. Namun, ada beberapa tokoh-tokoh mereka yang belum mau tunduk dan akhirnya mereka ini dapat dihimpun oleh Raja Muda Tambolon untuk bersekutu dan bersama-sama memperkuat diri dalam persiapan mereka menyerang Kerajaan Ceng dan merampas wilayah-wilayah mereka kembali.
Ketika Raja Bhutan membaca surat yang dibawa oleh Jayin, dia berkerut dan kelihatan gelisah. Akhirnya dia mengundang semua pembantu dan orang kepercayaannya untuk membicarakan hal itu. Bahkan Tan-ciangkun juga disuruh hadir karena Raja Bhutan tentu saja mengharapkan bantuan dan perlindungan dari Pemerintah Ceng yang akan menjadi besannya.
“Isi surat dari Tambolon ini membujuk agar Bhutan tidak melanjutkan hubungan kekeluargaan dengan Pemerintah Mancu, dan mereka mengajak kami untuk bersekutu. Kami memanggil kalian bukan untuk minta pendapat mengenai permintaan mereka itu, karena sudah jelas bahwa kami tidak akan menghentikan hubungan kekeluargaan kami dengan Kerajaan Ceng dan kami tidak sudi diajak bersekutu oleh kaum pemberontak bekas orang-orang pecundang dan pelarian itu. Akan tetapi perlu kita bicarakan tentang penjagaan dan pembelaan diri yang perlu kita adakan karena mereka tentu tidak akan tinggal diam setelah kami tidak menghiraukan permintaan mereka.”
Suasana menjadi hening, dan akhirnya terdengar Tan Siong Khi berkata, “Harap paduka bertenang hati. Hamba mengerti bahwa pemboyongan puteri paduka pasti akan mengalami gangguan dan halangan di jalan, mungkin akan dihadang oleh mereka, akan tetapi hamba dan para pengawal akan melindungi sang puteri dengan taruhan nyawa hamba sekalian!”
“Kami mengerti, Tan-ciangkun. Hanya perlu diadakan perubahan, karena bukan hanya rombongan itu yang mungkin akan diganggu, akan tetapi juga Bhutan mungkin akan diserang. Karena itu, kami rasa tidak baik kalau Panglima Jayin sendiri yang mengawal. Dia perlu untuk memperkuat pertahanan di sini. Namun, pengawalan harus diperkuat. Inilah yang membingungkan hati kami.”
“Harap paduka tidak gelisah,” akhirnya Panglima Jayin berkata. “Sudah dipersiapkan pasukan istimewa, lima ratus orang banyaknya dan hamba tidak perlu ikut karena sudah ada suhu Lu Kiong yang memperkuat pengawalan. Apa lagi ada Tan-ciangkun dan para pengawal dari rombongan pemboyong. Kiranya rombongan itu sudah terkawal cukup kuat, dan kalau mereka itu berani menyerang ke sini, kita pun telah siap untuk memukul hancur mereka! Para pemberontak itu tidak memiliki pasukan besar, kabarnya paling banyak dua ribu saja. Terlalu banyak pasukan merupakan bunuh diri bagi mereka karena tentu tidak akan kuat memberi ransum. Biarkan saja mereka datang, hamba bersumpah akan membasmi mereka sampai habis!”
Kata-kata penuh semangat dari Panglima Jayin ini melegakan hati sri baginda, dan mereka lalu merundingkan tentang keberangkatan sang puteri, dan tentu saja juga penjagaan-penjagaan yang perlu diadakan.
Sementara itu, Ceng Ceng yang sudah mendengar tentang kedatangan utusan pemberontak, berkata kepada Syanti Dewi, “Enci Syanti, betapa pun juga, kurasa jauh lebih baik menjadi isteri seorang Pangeran Kerajaan Ceng dari pada jatuh ke tangan pemberontak yang liar dan ganas itu. Bayangkan saja kalau kau dijodohkan dengan seorang raja pemberontak! Selalu akan hidup di medan perang, bahkan selalu menjadi orang pelarian, dan mereka itu tentu merupakan orang-orang ganas dan liar yang amat menyeramkan.”
Syanti Dewi mengangguk. “Aku akan menyesuaikan diri, adikku. Kurasa, apa pun yang akan terjadi atas diriku, aku masih akan terhibur oleh kehadiranmu di sampingku.”
Bunyi musik paduan suara terompet, tambur dan canang riuh gembira diseling ledakan-ledakan mercon mengantar dan mengiringkan keberangkatan rombongan Puteri Syanti Dewi sampai di luar pintu gerbang. Ketika rombongan sudah mulai meninggalkan kota raja, dari jauh masih terdengar suara riuh gembira ini di belakang mereka. Dari dalam jolinya, Syanti Dewi mengusap air matanya yang bercucuran. Betapa takkan pilu hatinya meninggalkan orang tua, keluarga dan tempat kelahirannya itu untuk selamanya? Sedikit sekali kemungkinan dia akan dapat berkunjung ke Bhutan setelah dia menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong!
Ceng Ceng yang berada sejoli dengan puteri itu menghiburnya. Berbeda dengan sang puteri, dara ini kelihatan gembira sekali, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Tentu saja dia girang karena memperoleh kesempatan untuk kembali ke negeri di mana dia dilahirkan, dan kepergiannya ini juga bersama kongkong-nya yang berada di luar bersama para pengawal.
Joli itu tidak dipikul, melainkan merupakan kereta kecil ditarik oleh empat ekor kuda. Beberapa orang pelayan wanita pribadi naik sebuah kereta ke dua, kemudian di sebelah belakang masih ada pula sebuah kereta besar penuh dengan peti-peti bawaan sang puteri. Para pengawal mengapit tiga buah kereta itu di depan, belakang, kanan dan kiri sehingga sang puteri terkurung rapat dan aman.
Pasukan itu megah dan gagah, dikepalai oleh panglima wakil Jayin dan ditemani oleh kakek Lu Kiong yang gagah perkasa, diiringkan pula oleh Tan Siong Khi dan teman-temannya. Mereka semua berkuda, dan di sepanjang perjalanan, rombongan ini menjadi tontonan yang mengagumkan dan mengherankan para penduduk dusun.
Dan untuk menenteramkan hati sang puteri, atas perintah panglima komandan pasukan, di sepanjang jalan para prajurit itu bersama-sama menyanyikan lagu-lagu ketentaraan yang terdengar megah dan gagah. Memang megah sekali menyaksikan rombongan ini. Bendera kebesaran berkibar-kibar tertiup angin, suara nyanyian lima ratus mulut itu menggegap gempita, diseling ringkik kuda.
Perjalanan selama berhari-hari dilakukan dengan aman dan selamat. Tidak tampak ada penghalang sedikit pun sampai mereka tiba di dekat perbatasan antara wilayah Bhutan dan Propinsi Tibet. Lima hari telah lewat dan memang perjalanan itu agak lambat sebab melalui Pegunungan Himalaya, dan pasukan Bhutan itu agaknya ogah-ogahan melepas puteri junjungan mereka sehingga memperlambat perjalanan. Betapa pun juga ada perasaan berat untuk melepas puteri itu ke daerah Ceng, karena setelah nanti bertemu dengan pasukan penjemput di daerah Tibet, pasukan Bhutan akan kembali ke Bhutan dan menyerahkan pengawalan itu kepada pasukan Ceng.
Pada hari kelima rombongan tiba di kaki gunung. Tampaklah padang pasir membentang luas di depan. Diduga bahwa pasukan penjemput sudah berada dekat, di balik gunung pasir di depan. Karena itu rombongan berhenti di hutan terakhir, sebab lebih baik menanti datangnya pasukan penjemput di daerah yang masih sejuk ini karena perjalanan selanjutnya akan melalui daerah pegunungan yang sukar dan berbatu-batu sampai lembah Sungai Brahmaputera di sebelah utara perbatasan Bhutan.
Pasukan dihentikan dan semua turun dari kuda masing-masing. Di hutan itu terdapat mata air yang jernih, airnya mengalir menjadi sebatang anak sungai kecil menuju ke utara dan agaknya anak sungai ini akan memuntahkan airnya di Sungai Brahmaputera. Tentu saja setibanya di sungai besar itu, airnya tidak sejernih ketika keluar dari mata airnya di hutan itu.
Mendengar dendang anak sungai itu, Sang Puteri Syanti Dewi turun dari jolinya dan ingin sekali membasuh mukanya dengan air yang jernih. Maka berjalanlah Syanti Dewi ditemani Ceng Ceng dan dikawal sendiri oleh panglima pasukan dan kakek Lu Kiong, menuju ke tengah hutan dari mana terdengar suara riak air sungai itu.
Dengan penuh ketekunan dia mempelajari semua ilmu yang berada di dalam dua kitab itu, dan melatih diri siang malam, kalau siang berlatih gerakan silatnya, kalau malam berlatih sinkang dan bersemedhi menurut petunjuk di dalam kitab-kitab itu. Dia melarang Kong To Tek untuk menimbulkan ribut di luaran, dan semua hartanya digunakan untuk persedian makan dan pakaian mereka berdua.
* * * * * *
Kita tinggalkan dulu Tek Hoat yang tekun mempelajari ilmu yang mukjijat, ilmu yang amat hebat dan yang kelak akan menggegerkan dunia, menemukan secara kebetulan saja karena pembawa pusaka itu, Kong To Tek, telah menjadi gila dan tidak mengenal orang lagi, mengira Tek Hoat adalah Wan Keng In. Untuk melancarkan jalannya cerita, sebaiknya kalau kita kembali ke barat, ke daerah Kerajaan Bhutan, mengikuti pasukan Pemerintah Bhutan yang sibuk mencari rajanya yang terancam bahaya.
Karena mengkhawatirkan keselamatan rajanya, maka Panglima Jayin sendiri memimpin seribu orang prajurit, ditemani oleh panglima pengawal dari rombongan utusan kaisar, malam-malam berangkat juga meninggalkan kota raja. Pasukan sebanyak seribu orang itu berderap dalam sebuah barisan panjang keluar dari kota raja. Obor yang bernyala terang dibawa oleh para prajurit dan diangkat tinggi-tinggi itu dari jauh kelihatan seperti ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari untuk mengimbangi derap langkah kaki kuda yang cepat, maka dari jauh obor-obor itu menciptakan pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api merayap.
Barisan panjang itu naik turun bukit dan masuk keluar hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba dan pasukannya berhenti. Jauh di sebelah utara tampak banyak kunang-kunang bertebaran yang dapat diduga tentulah sebuah barisan lain.
“Agaknya itulah barisan musuh yang mengganggu raja,” kata Jayin perlahan kepada pengawal kaisar yang menunggang kuda di sebelahnya. “Bagaimana pendapatmu, Tan-ciangkun?”
“Kita harus berhati-hati. Musuh yang sudah menduga akan kedatangan kita tentu telah mengadakan persiapan dan jebakan. Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan, sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan kedudukan musuh.”
Panglima Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun. Dia mengangguk-angguk kemudian berkata, “Tan-ciangkun, karena sekarang kita bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku tidak berani menyerahkan penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi melakukan penyelidikan sendiri, dan harap Tan-ciangkun suka mengawani aku.”
“Tentu saja. Mari kita pergi.”
Jayin lalu menyerahkan pimpinan kepada wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda dari dia. Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh menyerbu saja ke depan menyerang musuh. Setelah memberikan nasehat dan perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal kaisar itu berangkat. Mereka menggunakan ilmu berlari cepat.
Kaki mereka yang berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah mereka terbang ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam gelap. Hanya bintang-bintang di langit saja yang menjadi penerangan bagi mereka, dengan cahayanya yang suram.
Tak lama kemudian, dua orang gagah itu tiba di tempat di mana terdapat api-api bernyala itu. Mereka tertegun ketika melihat bahwa obor yang ratusan banyaknya itu ternyata tidak dipegang orang! Bukan pasukan musuh yang memegang obor yang dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan obor-obor bambu yang gagangnya ditancapkan di atas tanah, dan ratusan buah obor yang bernyala ini mengurung sebuah rumah kecil dari tembok yang sederhana dan sunyi, sebuah rumah terpencil yang kelihatan terang oleh banyak obor itu.
“Hemmm, aneh sekali. Mari kita menyerbu ke dalam, kita periksa isi rumah itu,” kata Panglima Jayin.
“Ssttttt, hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik. Obor-obor itu teratur seperti bentuk barisan pat-kwa. Aku merasa curiga sekali. Ini bukanlah sembarang obor-obor saja, melainkan sebuah benteng! Ini tentulah buatan orang pandai. Kalau kita lancang masuk, kita akan terjebak, mungkin bisa masuk takkan bisa keluar lagi. Biarlah aku memeriksanya dulu.”
Panglima Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong Khi si jenggot panjang cepat melompat dan berlari mengelilingi benteng obor itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor itu merupakan benteng yang kokoh kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia sendiri akan sangsi untuk memasuki benteng obor ini, karena tentu banyak bahaya maut mengancamnya. Dia telah tiba kembali di tempat Panglima Jayin menantinya dengan hati tegang.
“Benar, sukar menembus benteng obor ini. Pula, kita harus berhati-hati. Kalau tidak sudah jelas dan penting, mengapa kita harus memasuki dan menyelidiki rumah itu? Kita tidak tahu jebakan apa yang menanti kita di sana...”
Tiba-tiba terdengar langkah orang, banyak sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan tubuh, Panglima Jayin sudah mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah siap menghadapi bahaya. Dan ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan Tibet yang ganas dan kasar, yang kini sedang menyerang kedua orang itu sambil berteriak-teriak.
Hujan senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu. Panglima Jayin mengamuk dengan pedangnya, sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya ditambah jenggotnya yang panjang. Akan tetapi jenggot ini tidak kalah hebatnya oleh pedang di tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang pengeroyok terdepan, roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot yang melecut-lecut!
Akan tetapi pihak pengeroyok terlalu besar jumlahnya dan mereka itu terdiri dari orang-orang kasar yang tidak takut mati. Bagaikan segerombolan serigala buas, kurang lebih seratus orang itu mengeroyok Jayin dan Tan Siong Khi maka setelah merobohkan belasan orang, kedua orang gagah ini mulai terdesak hebat, bahkan keduanya sudah terluka di pundak karena sambaran golok para pengeroyok.
“Jayin-ciangkun, terpaksa kita masuk ke benteng obor!” kata Tan-ciangkun dan dia mendahului meloncat masuk.
Ketika melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jeri dan tidak berani mengejar temannya, Panglima Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya terbakar, maka dengan hati-hati dia lalu menyelinap di antara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi.
Dengan hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata jalan menjadi buntu dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari obor-obor itu membuat mereka berkeringat, asap dari obor membuat napas menjadi sesak.
Para pengeroyok tadi sekarang menyerang mereka dari luar benteng obor dengan menggunakan anak panah! Tentu saja kedua orang gagah itu menjadi semakin sibuk! Baru barisan obor itu saja membuat mereka kewalahan dan tidak tahu ke mana harus melangkah, kini diserang lagi oleh hujan anak panah. Repotlah mereka mengelak dan karena tempat mereka berpijak terkurung obor dan sempit, terpaksa Tan Siong Khi menggunakan jenggot dan jubahnya yang dipegang di tangan kanan untuk menangkis, sedangkan Jayin menangkis dengan pedangnya. Keadaan mereka berbahaya sekali karena kalau penyerangan itu dilanjutkan, dalam waktu singkat mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh terjilat api, tentu mereka akan terbakar hidup-hidup!
Dalam keadaan yang sangat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara yang jelas sekali, seolah-olah orang yang bicara itu berada di dekat mereka, suara yang penuh wibawa dan halus tenang. “Ke kiri melalui tiga obor...!”
Mendengar suara ini, dua orang gagah itu saling pandang, kemudian mereka segera melangkah ke kiri sampai melalui tiga batang obor.
“Maju melalui sebatang obor...,” kembali terdengar suara itu. “Lalu ke kanan melalui empat batang obor...!”
Dituntun oleh suara itu, dua orang gagah itu bergerak sambil terus menangkisi anak panah. Suara itu terus menuntun mereka sampai akhirnya mereka dapat masuk makin jauh dan tidak ada lagi anak panah dapat mencapai mereka. Tak lama kemudian, suara yang memimpin itu membawa mereka tiba di depan pintu rumah di tengah-tengah kelilingan benteng obor!
Pintu rumah terbuka dan tampaklah panglima pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang mengawal raja berburu. “Masuklah cepat, dan untung kalian masih dapat tertolong.”
Dua orang itu cepat masuk dan daun pintu ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu memasuki rumah, dua orang gagah itu terkejut dan girang sekali melihat bahwa Raja Bhutan telah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dalam keadaan sehat dan selamat. Dan di depan raja itu berdiri seorang laki-laki yang aneh.
Laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya masih kelihatan segar tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam bersinar-sinar aneh penuh wibawa, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti orang biasa saja. Yang paling menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan dia berdiri bersandar pada sebatang tongkat butut. Juga sikapnya amat menyolok karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat kepada Raja Bhutan, melainkan bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di depan tubuh dan meja di belakangnya.
Melihat rajanya, dengan girang Jayin lalu menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun juga berlutut di depan Raja Bhutan.
“Hamba menghaturkan selamat bahwa paduka masih dalam keadaan selamat!” kata panglima itu dengan girang dan bersyukur.
“Berkat pertolongan orang gagah ini,” kata Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah laki-laki berkaki buntung itu. “Kami dan Panglima Sangita sudah dikepung musuh dalam rumah ini, dan Panglima Sangita mempertahankan diri mati-matian. Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul mundur musuh, kemudian membuat benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk ke sini. Bangkitlah kalian dan mari kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami dapat pulang ke kota raja.”
Setelah mendapat perkenan raja, kedua orang itu bangkit. “Sri baginda, sahabat ini adalah pengawal kaisar bernama Tan Siong Khi, dia datang bersama rombongan utusan kaisar.”
“Ahhh, sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan itu terpaksa ditunda karena kami tertahan di sini. Hal itulah yang membuat kami banyak pikiran dan ingin lekas dapat kembali ke kota raja.”
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh Tan Siong Khi yang begitu melihat pria buntung itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia melihat laki-laki itu, karena tadi dia berlutut menghadap Raja Bhutan.
“Harap taihiap sudi memaafkan saya yang terlambat tahu. Kiranya taihiap yang telah menyelamatkan raja!” Sikap Tan Siong Khi merendah dan juga penuh hormat dan kagum.
Laki-laki buntung itu menahan senyumnya, berkata halus, “Tan-ciangkun, apa perlunya segala kesungkanan ini? Raja Bhutan sendiri tidak memperkenankan kau berlutut, apa lagi hanya aku! Bangkitlah dan mari duduk membicarakan cara untuk menyelamatkan raja dari tempat ini.”
Raja Bhutan dan dua orang panglimanya tentu saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi adalah seorang berkedudukan tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar, juga menjadi pemimpin rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan. Tetapi pengawal itu berlutut di depan laki-laki buntung yang gagah perkasa ini!
Tentu saja mereka tidak tahu, karena laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti di Tiongkok. Dia bukan lain adalah Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han. Tentu saja bukan tidak ada sebabnya mengapa seorang pengawal kaisar sampai memberi penghormatan dengan berlutut.
Pendekar Siluman ini adalah mantu kaisar! Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar yang amat terkenal. Bahkan puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana, sekarang menjadi seorang puteri di kota raja, cucu kaisar dan telah menikah dengan seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, yaitu Panglima Han Wi Kong. Maka sepatutnyalah kalau pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini, bukan hanya karena kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, yang membuat Pengawal Tan tunduk dan kagum!
“Harap paduka rundingkan rencana penyelamatan paduka dengan tiga orang gagah ini, saya sendiri hendak meneliti keadaan di luar.” Tiba-tiba pendekar itu berkata dan terpincang-pincang dia menuju ke pintu, membuka pintu dan berdiri di samping pintu, termenung memandang keluar ke arah benteng obor yang dibuatnya.
Ketika melihat raja dan panglimanya dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong, akan tetapi sukarlah mengalahkan ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja dia tidak mau memihak dan membunuhi mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam sementara waktu, dia lalu membuat benteng obor itu.
Raja Bhutan lalu mengajak kedua panglimanya dan Tan-ciangkun untuk berunding.
“Betapa pun juga, besok hari kami harus sudah berada di kota raja. Urusan puteri kami amatlah penting, dan jika makin terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati kaisar. Ahh, salahku sendiri mengapa pergi berburu menghadapi urusan besar. Dan mengapa manusia-manusia biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!”
“Mereka itu jumlahnya lebih tiga ratus orang, mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka bersembunyi mengurung tempat ini,” kata Panglima Sangita yang berusia lima puluh tahun itu.
“Pasukan kita masih menanti agak jauh, dan sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok pagi-pagi. Kalau pasukan kita datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka,” berkata Panglima Jayin.
“Bagus kalau begitu!” kata raja. “Kita menanti sampai besok pagi.”
“Sayang sekali, obor-obor ini tidak akan dapat bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi juga padam karena kehabisan minyak,” tiba-tiba terdengar suara halus tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini pula yang tadi ‘menuntun’ Jayin dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu. Mereka terheran, kecuali Tan-ciangkun, betapa orang buntung itu dapat mendengarkan percakapan mereka, padahal dia sendiri jauh di ambang pintu depan dan kelihatan termenung memandang keluar.
“Ah, kalau begitu bagaimana?” Raja bertanya khawatir.
“Bagaimana kalau kita bertiga menerjang keluar, kemudian seorang di antara kita lari memanggil pasukan?” Jayin mengusulkan.
“Tidak baik,” kata Tan-ciangkun. “Kita bertiga tentu takkan dapat melawan mereka, dan kalau kita bertiga roboh, berarti sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andai kata kita bertiga dapat menyelamatkan diri, bagaimana dengan sri baginda?”
Kini semua mata yang diliputi kekhawatiran itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih berdiri membelakangi mereka.
“Taihiap, bagaimana baiknya?” Tiba-tiba sri baginda berkata kepada Pendekar Siluman. “Harap taihiap suka menolong kami, dan kelak hadiah apa yang taihiap minta tentu akan kami penuhi!”
Tan-ciangkun cepat memberi isyarat dengan gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini agaknya maklum akan kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi, “Maksud kami, kami tidak akan melupakan budi kebaikan taihiap yang amat berharga itu.”
Tubuh yang berkaki satu itu berputar dan sepasang mata yang lembut namun tajam sekali berkata, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung ucapan Raja Bhutan itu, “Dapatkah disebut perbuatan baik apa bila perbuatan itu dilakukan dengan pamrih sesuatu sebagai pendorongnya? Tidak ada pamrih baik atau buruk, yang ada hanya pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu, baik berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi baik dengan perbuatan baik. Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu dan munafik. Perbuatan barulah benar apa bila dilakukan tanpa disadari sebagai suatu perbuatan baik, tanpa dorongan kewajiban atau apa saja, melainkan wajar dan polos penuh kasih.”
Raja Bhutan tercengang, juga merasa terpukul. Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kebijaksanaan luar biasa!
“Taihiap, bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi calon besan kaisar kita?” Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.
“Kita menunggu sampai api obor padam.” Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang masuk dan kembali dia bersandar pada meja. “Dalam keadaan gelap, lebih mudah bagi kalian bertiga untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan berusaha untuk membawa sri baginda keluar.” Setelah berkata demikian Pendekar Siluman bersandar kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua matanya seolah-olah tidur sambil berdiri!
Melihat sikap ini, tidak ada yang berani menegur atau membantah. Raja mengangguk dan kedua orang panglima itu segera menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor kehabisan minyak dan padam seperti yang direncanakan Pendekar Siluman tadi.
Raja, Tan-ciangkun dan Pendekar Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini memang merupakan bangunan yang khusus dibangun di situ untuk tempat raja beristirahat apa bila sedang melakukan olah raga berburu binatang. Maka biar pun kecil, cukup kuat dan lengkap.
Keadaan menjadi tegang. Api unggun dalam tempat api yang bernyala di depan raja hampir padam dan raja tidak mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin. Tiba-tiba raja terkejut, juga Tan-ciangkun kaget menengok ketika tiba-tiba pintu luar dibuka oleh Panglima Sangita yang berteriak.
“Sudah ada di antara obor yang padam!”
Semua mata kini memandang kepada Pendekar Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang mereka semua, termasuk Raja Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu tenang itu menimbulkan harapan besar.
Dia menghadapi tiga orang gagah itu, dua Panglima Bhutan dan seorang pengawal kaisar, lalu berkata, “Kalian bertiga tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua obor di sebelah kiri pintu sudah kupadamkan semua, kalian boleh menerobos keluar ke arah kiri. Dalam keadaan gelap, pihak musuh tentu tidak berani sembarangan mengeroyok, khawatir mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk menyalakan obor, kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu bersatu merobohkan lawan, saling membantu dan saling melindungi, akan tetapi jangan sampai terpancing dan terlibat dalam pertandingan karena kalau obor sudah terpasang semua kalian semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah musuh terlalu banyak dan mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah.”
Tiga orang itu mengangguk, akan tetapi Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi hamba setia seperti dia, yang terpenting adalah keselamatan rajanya, “Bagaimana dengan sri baginda?”
“Sri baginda adalah bagianku untuk mengawalnya keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat pasukan kalian berada.”
Ucapan ini mengherankan mereka bertiga. Sikap pendekar ini demikian tenang, dan demikian pasti! Benarkah pendekar itu akan berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih dulu dari pada mereka?
“Sebelum kita mulai, aku hendak bertanya lebih dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku sedang mencari kedua orang puteraku yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau mendengar nama mereka di daerah Bhutan?”
Dua orang Panglima Bhutan itu saling pandang lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku hanya minta apa bila sewaktu waktu Ji-wi (anda berdua) mendengar mereka berada di sini, agar suka membujuk mereka untuk pulang ke Pulau Es dan menerima mereka sebagai sahabat.”
“Tentu saja, taihiap!” Tiba-tiba raja menjawab. “Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencari mereka.”
“Terima kasih.” Pendekar Siluman membungkuk, kemudian melanjutkan bertanya kepada Tan-ciangkun, “Apakah Tan-ciangkun juga tidak mendengar tentang mereka di sepanjang perjalanan?”
“Sayang sekali tidak, taihiap.”
Kembali pendekar itu menarik napas panjang. “Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai. Harap paduka juga ikut keluar dan selalu dekat dengan saya, sri baginda.”
Mereka berlima segera membuka pintu dan keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor yang padam, sebagian pula sudah hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang oleh nyala obor.
Sekilas tampak beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu menimbulkan ketegangan juga di pihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang tadi dan betapa pun mereka berusaha, mereka tidak mampu memasuki benteng obor, bahkan sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati terbakar. Kini obor mulai padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah itu jika semua obor sudah padam.
Orang yang berada di dalam rumah kecil itu amat penting bagi mereka. Kalau bisa menawan Raja Bhutan, tentu mereka dapat memaksa Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada mereka! Atau setidaknya, tentu mereka yang berada di Bhutan bersedia untuk menukar raja dengan harta dalam jumlah besar!
Tiga orang gagah itu terbelalak penuh kagum ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam tanah yang disambit-sambitkan, Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor di sebelah kiri. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian ini, melainkan cepat berlari maju ke depan dan menerjang keluar seperti yang dipesankan oleh Pendekar Siluman.
Dua orang Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun sudah mencabut sebatang bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap di antara bambu-bambu obor yang sudah padam. Tak lama kemudian terdengarlah ribut ribut di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu sudah tiba di seberang benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari kepungan musuh.
Suma Han Si Pendekar Super Sakti sudah memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan tanah pula. Kemudian dengan tenang dia berkata, “Harap paduka suka duduk di punggung saya.”
Tanpa ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul leher penolongnya dan digendong seperti seorang anak kecil. Kemudian Raja Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan oleh Pendekar Siluman melalui atas bambu-bambu obor itu.
Seperti juga tiga orang gagah itu, ketika tiba di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh orang-orang Mongol dan Tibet. Akan tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum sempat menyalakan obor, mudah saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan beberapa orang terdepan dengan tongkatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, melalui kepala mereka, bahkan kadang-kadang menginjak pundak seseorang dipakai sebagai landasan untuk meloncat lagi.
Gegerlah semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai ‘menghilang’ ini, dan tak lama kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos dari kepungan dan berlari cepat membawa Raja Bhutan ke pasukan Kerajaan Bhutan yang masih menanti kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap untuk menyerbu begitu malam berganti pagi.
Tentu saja kedatangan raja mereka itu disambut dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi raja sudah berseru keras, “Cepat serbu ke sana! Dua orang panglima dan Tan-ciangkun masih di sana dikeroyok musuh!”
Kemudian barisan segera membawa delapan ratus orang prajurit menyerbu, sedangkan yang dua ratus ditinggalkan untuk mengawal raja kembali ke kota raja. Dalam keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman telah lolos dan ketika raja mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali!
Setelah pagi tiba, pasukan kerajaan kembali dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat jumlah musuh dapat terbasmi dan mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima dan juga bersama Tan-ciangkun. Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan kembali ke kota raja. Raja bersyukur sekali akan tetapi dia juga merasa menyesal mengapa pendekar yang telah menyelamatkannya itu pergi tanpa pamit.
Diam-diam dia kagum sekali, berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan bertemu lagi dengan pendekar berkaki satu itu. Tan-ciangkun yang sudah tahu akan sifat dan watak Pendekar Super Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang menjadi bulan-bulan pertanyaan Raja Bhutan. Selama dalam perjalanan kembali ke kota raja, Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya mengenai diri Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar bahwa pendekar yang amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri!
Tentu saja Suma Han atau Pendekar Super Sakti tidak dapat menemukan kedua orang puteranya. Dia mencari terlampau jauh! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dua orang puteranya itu berada di Pulau Neraka, dan memang sesungguhnya dua orang pemuda tanggung itu pun tidak mempunyai niatan pergi ke Pulau Neraka. Menurut dugaan Nirahai dan Lulu, dua orang isterinya, juga dugaannya sendiri, dua orang anak itu tentu telah pergi ke kota raja di daratan besar untuk mencari Milana.
“Kalau begitu, biarlah mereka mencari pengalaman,” kata Pendekar Siluman kepada dua isterinya, karena sesungguhnya dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es, meninggalkan kedua orang isterinya tercinta, meninggalkan kehidupannya yang sudah tenteram di pulau itu, jauh dari pada segala keramaian dan keributan dunia ramai. Dia sudah merasa muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, di mana orang selalu mengejar keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan dalam pengejaran ini mereka tidak segan-segan untuk saling menyerang, saling membunuh antara sesama manusia.
“Mereka sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir enam belas tahun. Juga mereka sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu lagi kita mengkhawatirkan diri mereka seperti mengkhawatirkan anak kecil.”
“Akan tetapi, mereka ini masih hijau, masih belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan orang jahat, tentu mereka menghadapi mala petaka, sedangkan di daratan sana begitu banyaknya orang-orang jahat!” kata Nirahai.
“Dan banyak orang-orang golongan hitam yang mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka mengaku datang dari Pulau Es, tentu mereka akan dimusuhi banyak orang.” Lulu menyambung.
“Hemm, kalau tidak sekali waktu menghadapi bahaya, mana bisa matang?” Pendekar Super Sakti membantah.
Nirahai dan Lulu berkata hampir berbareng, keduanya cemberut, “Kalau tidak mau menyusul, biarlah aku yang pergi mencari!”
Suma Han menarik napas panjang. Takkan ada menangnya bagi dia kalau berdebat melawan kedua orang isterinya yang pandai bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak itu, kedua isterinya selalu taat, tunduk, dan mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepadanya seorang. Akan tetapi begitu mereka mempunyai anak, dia menjadi ‘orang ke dua’!
“Dan pula, sudah lama sekali engkau tidak menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali Milana kalau tidak pernah kau tengok? Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak kita itu di kota raja.” Suara Nirahai menggetar penuh keharuan dan Pendekar Super Sakti sudah khawatir kalau-kalau isterinya ini mencucurkan air mata.
“Baiklah, aku akan mencari dua orang anak bengal itu!” katanya cepat-cepat.
Berangkatlah Pendekar Super Sakti mencari dua orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota raja dan benar saja, seperti yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya, Milana menjerit dan menubruk ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil! Suma Han merasa terharu juga akan tetapi dia dapat menahan hatinya dan sambil mengelus rambut puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata, “Milana, mengapa kau menangis? Bukankah hidupmu bahagia di sini?”
Suaminya, Panglima Han Wi Kong setelah menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab, “Dia cukup bahagia, ayah, hanya tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di Pulau Es.”
“Hemm, seperti anak kecil saja kau, Milana.” Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap dengan puterinya dan mantunya. Dia menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai turunan, dan mendengar ini wajah kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja mereka tidak berani menceritakan rahasia hati mereka.
Sudah lama sekali mereka menjadi suami isteri pada lahirnya saja, padahal sebenarnya mereka tidak lagi tidur sekamar! Milana menyatakan terus terang bahwa dia tidak bisa juga untuk belajar mencinta suaminya dan dia pun rela kalau suaminya itu mengambil selir berapa saja yang dikehendakinya! Namun sampai sebegitu lama, suaminya tetap belum mau mempunyai selir, hal yang sungguh merupakan suatu keganjilan bagi kehidupan para bangsawan di masa itu.
“Ayah, mengapa tidak mengajak Kian Lee dan Kian Bu?” Milana bertanya untuk mengalihkan percakapan mengenai kehidupannya yang tidak menyenangkan hatinya itu.
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, “Hemmm..., justeru karena mereka berdua, bocah-bocah bengal itulah, maka kehidupanku yang sudah tenang tenteram terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru untuk mencari mereka yang minggat dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi ke sini mencarimu. Apakah mereka tidak ada datang ke sini?”
Milana dan suaminya menggelengkan kepala. “Tidak ada, ayah. Aihhh, ke mana mereka pergi? Ayah, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal di sini saja bersamaku. Setidaknya, untuk beberapa bulan...”
“Hal itu mudah diatur. Aku harus menemukan mereka lebih dulu. Aihhh, ke mana gerangan mereka? Menurut dugaan kami, tidak ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka datangi kecuali di sini. Jangan-jangan ada sesuatu yang menarik hati mereka...” Suma Han mengerutkan alisnya.
“Ah! Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan itu...!” Tiba-tiba Panglima Han Wi Kong berseru.
“Benar! Boleh jadi! Rombongan itu menarik perhatian memang,” kata Milana.
“Rombongan utusan ke Bhutan?” Suma Han bertanya.
“Pamanda kaisar akan berbesan dengan Raja Bhutan,” kata Milana menceritakan, “yaitu pangeran muda putera selir ke tiga dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima setahun yang lalu, dan rombongan utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke Bhutan untuk memboyong puteri Raja Bhutan yang cantik jelita bernama Syanti Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua minggu yang lalu.”
Suma Han mengangguk-angguk. Memang kaisar yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah lama meninggal dunia dan kedudukannya telah diganti oleh Pangran Putera Mahkota yang masih paman dari Milana. Kaisar ini merupakan kaisar ke dua dari Kerajaan Mancu.
Tiba-tiba Suma Han menepuk tangannya.
“Aihh...! Bhutan...? Bukankah dekat dengan Pegunungan Himalaya? Kian Lee paling senang mendengar ibunya bercerita tentang Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi pusat pertapaan manusia pandai, bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal di sana! Pernah anak itu ketika masih kecil menyatakan bahwa dia ingin sekali melihat sendiri seperti apa itu Pegunungan Himalaya. Mungkin juga kalau begitu. Mungkin mereka di jalan ketemu dengan rombongan utusan itu, mendengar bahwa mereka menuju ke Bhutan dekat Himalaya dan mereka berdua mendekati rombongan itu.”
“Bisa jadi begitu!” Panglima Han Wi Kong berseru. “Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun. Dia sudah mengenal gakhu (ayah mertua), kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku bahwa mereka itu putera Majikan Pulau Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan menerima mereka dengan kedua tangan terbuka.”
“Hemm, kalau begitu biarlah aku menyusul ke Bhutan,” kata Suma Han dengan tetap.
“Ayah, bolehkah aku ikut?” Tiba-tiba Milana berkata.
Suma Han memandang tajam. “Kau? Ikut? Ahhh, mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja yang suka merantau lagi seperti dulu, Milana.”
Milana menunduk. “Aku... aku ingin sekali seperti dulu...”
Suma Han mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi dengan puterinya ini? Apakah puterinya tidak mengalami kebahagiaan dalam pernikahannya? Aihhh, betapa hidup ini penuh dengan derita dan kekecewaan.
Dia menggeleng kepala. “Tidak, aku akan pergi sendiri. Aku pergi bukan untuk pesiar. Kelak adik-adikmu dan ibu-ibumu biar datang mengunjungimu di sini. Biarlah mereka di sini sampai beberapa bulan.”
Ucapan ini menghibur hati Milana. Akan tetapi ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari mengejar dan merangkul ayahnya di depan rumah yang seperti istana. “Ayah...”
“Eh, ada apakah, Milana?”
“Ayah...,” suaranya lirih sekali, agak gemetar dan parau, “Pernahkah ayah mendengar tentang... dia...?”
Suma Han memejamkan matanya. Dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang beracun. Dia menggeleng kepala tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan berbisik, “Aku tidak pernah mendengar... entah di mana... kau... kau tidak perlu lagi memikirkannya, anakku...”
Suma Han memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik, melompat pergi dan baru berani membuka kedua matanya yang menjadi basah. Dia tidak menengok akan tetapi dia pun tahu bahwa anaknya itu tadi mencucurkan air mata, terasa olehnya beberapa tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya itu hidup menderita! Pernikahannya yang dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia.
Anaknya masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin akibat cinta yang sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu kini menimpa pula diri puterinya? Kasihan Milana!
Demikianlah usaha Pendekar Super Sakti mencari kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke Negeri Bhutan. Namun perjalanannya itu tidak sia-sia karena biar pun dia tidak berhasil menemukan Kian Lee dan Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan yang terancam oleh musuh-musuhnya.
* * * * * *
Sementara itu, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meringkuk di dalam kamar tahanan di Pulau Neraka. Mereka diperlakukan dengan baik, akan tetapi dijaga ketat dan kaki tangan mereka selalu terbelenggu dengan rantai baja yang kokoh kuat. Mereka dapat berjalan dan dapat makan sendiri, akan tetapi tentu saja tidak mungkin untuk melarikan diri dari pulau itu dengan kaki tangan menyeret rantai panjang itu.
Satu bulan sudah mereka ditahan. Pada suatu hari, selagi mereka menjemur diri di luar kamar tahanan, Kian Lee menyikut adiknya. “Lihat itu...!”
Mereka mendongak dan melihat tiga titik hitam yang berada di angkasa, makin lama makin besar dan setelah dapat tampak, ternyata dua titik putih dari satu titik hitam itu adalah dua ekor burung putih dan seekor burung hitam yang besar sekali.
“Ihh, burung apa itu begitu besar, Lee-ko?”
“Entahlah. Agaknya burung garuda seperti yang dulu pernah dimiliki ayah menurut cerita ayah.”
Melihat kakak beradik ini berbisik-bisik dan menunjuk ke atas, penjaga yang melihatnya tertawa. “Kalian mau tahu? Itulah seekor Hek-tiauw (Rajawali Hitam) tunggangan to-cu kami, dan yang dua ekor adalah Pek-tiauw yang masih muda dan menjadi peliharaannya. Mereka datang membawa daging manusia untuk kami, he-he!”
Sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring, tiga ekor rajawali itu turun ke dalam kebun di luar rumah-rumah di pulau itu dan kedua orang kakak beradik itu melihat betapa rajawali hitam yang amat besar itu mencengkeram punggung baju seorang laki-laki muda gemuk yang menggigil ketakutan. Laki-laki itu dilepas dan jatuh bergulingan di atas tanah, lalu berlutut dan minta-minta ampun.
Akan tetapi dua orang anggota Pulau Neraka telah melompat maju, menangkap dan membelenggunya, menyeretnya ke dalam untuk dihadapkan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kian Lee dan Kian Bu mendengar suara ketawa kakek raksasa ketua Pulau Neraka itu, kemudian melihat lagi tawanan itu diseret keluar.
Dengan mata terbelalak penuh kengerian, kedua orang pemuda remaja itu melihat tawanan itu ditelanjangi, digantung kedua tangannya dan dibelek perutnya dengan golok tajam dan dikeluarkan isi perutnya! Hampir mereka tak dapat bertahan menyaksikan kekejaman dan mendengar suara teriakan tawanan itu. Kemudian mereka berdua hampir muntah melihat mayat orang itu dipotong-potong, kemudian dimasak dan dipanggang!
“Lee-ko... aku... aku takut...” Suma Kian Bu berbisik, berdiri menggigil dan mukanya pucat sekali.
Suma Kian Lee juga berdebar ngeri, dan dia maklum bahwa kalau adiknya yang tak pernah mengenal takut itu kini menyatakan takut, maka keadaannya sudah gawat sekali.
“Bu-te... kita harus dapat meloloskan diri... sekarang juga...,” bisiknya sambil merangkul adiknya. Mereka berdua maklum bahwa nasib mereka juga besar kemungkinan akan sama dengan tawanan yang gemuk itu!
Kedua orang pemuda remaja itu menanti kesempatan baik dan ketika ketua Pulau Neraka sedang berpesta pora menikmati daging manusia sambil minum arak, kemudian sisanya dibagi-bagikan kepada para anak buahnya, mereka berdua menyelinap ke dalam kebun. Di situ mereka melihat tiga ekor burung rajawali sedang makan isi perut manusia! Dua ekor burung yang putih bulunya dan masih muda, memperebutkan usus yang panjang, saling tarik dan saling betot sambil mengeluarkan bunyi cecowetan.
“Bu-te, sekarang...!” bisik Suma Kian Lee dan keduanya lalu menghampiri dua ekor burung itu. Dengan gerakan yang amat gesit, keduanya mengerahkan ginkang mereka dan meloncat ke atas punggung burung yang tinggi.
Dua ekor burung rajawali putih itu terkejut, meronta karena mengira bahwa mereka diserang dan ditubruk musuh. Mereka berusaha untuk melemparkan orang yang berada di punggung mereka dan dalam kemarahan mereka, usus yang diperebutkan tadi sudah dilupakan lagi. Namun, kedua orang muda itu tetap mendekam di atas punggung mereka sambil merangkul leher burung dengan ketatnya.
“Rajawali, terbanglah!” Suma Kian Bu membentak. “Kalau tidak, kucabuti semua bulu lehermu!” Berkata demikian, pemuda bengal ini mencabuti beberapa helai bulu dari leher burung yang ditungganginya.
Burung itu menjerit kesakitan, mengembangkan sayapnya lalu terbang ke atas. Burung yang ditunggangi Suma Kian Lee yang juga kebingungan dan ketakutan, segera mencontoh perbuatan temannya dan terbang pula!
“Yahuuu...!” Suma Kian Bu bersorak kegirangan. “Lee-ko! Kita terbang seperti dewa...!” Teriaknya pula sambil menoleh ke arah rajawali kedua yang ditunggangi kakaknya.
“Hati-hati, Bu-te, lihat kita dikejar...!”
Kian Bu menoleh ke bawah dan benar saja. Dia melihat rajawali hitam sudah terbang pula ke atas dan di punggung burung besar itu duduk... Hek-tiauw Lo-mo! Kakek itu kelihatan marah sekali, menggerak-gerakkan kedua tangannya menyuruh dua orang muda itu kembali. Rajawali hitam yang ditungganginya juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti mengundang kedua orang temannya. Dua ekor rajawali putih itu bimbang dan tiba-tiba membalik dan terbang menghampiri rajawali hitam!
“Heiii, dua bocah yang bosan hidup! Kalian berani mencoba melarikan diri? Awas kau, sekali ini aku tak akan mengampuni kalian lagi. Kalian akan kupanggang hidup-hidup!”
Rajawali hitam itu sudah dekat sekali dan tiba-tiba rajawali putih yang ditunggangi Suma Kian Bu mengeluarkan pekik nyaring dan... menerjang rajawali hitam dengan ganasnya!
“Eh-eh, heiiitttt... kurang ajar!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah melihat rajawali putih itu mengabruk rajawali hitam yang ditungganginya.
Tetapi dari belakangnya, rajawali putih kedua yang ditunggangi Kian Lee juga datang menyerbu dengan ganas! Apakah yang terjadi? Mengapa kedua rajawali putih itu menyerang temannya sendiri?
Ternyata Kian Bu yang bengal itu menjadi khawatir sekali menyaksikan kedatangan rajawali hitam yang ditunggangi ketua Pulau Neraka yang menyeramkan itu. Dalam kegelisahannya, timbul akalnya dan dia kemudian mencabuti bulu di leher, bahkan mencengkeram leher rajawali yang ditungganginya.
Rajawali itu kesakitan dan marah-marah, sedemikian marahnya hingga dia mengamuk membabi buta. Karena tidak dapat membalas orang yang mendekam di punggungnya, dia lalu menumpahkan kemarahannya kepada rajawali hitam!
Ada pun Kian Lee yang mendekam di punggung rajawali putih kedua membisikan kata-kata halus kepada rajawali itu, minta kepada binatang itu agar menolongnya, “Rajawali yang baik, kau tolonglah kami berdua...”
Tentu saja rajawali yang ditungganginya itu tidak mengerti arti kata-kata Kian Lee, akan tetapi melihat temannya menerjang rajawali hitam, dia pun membantu dan menyerang dari belakang. Segera terjadi pertandingan yang seru dan mengerikan hati kakak beradik itu antara tiga ekor burung rajawali itu! Siapa tidak akan merasa ngeri kalau burung yang ditunggangi masing-masing itu menukik, menerjang, membalik dan membuat gerakan-gerakan yang luar biasa. Sekali saja mereka terjatuh, tentu mereka akan terbanting dari tempat yang luar biasa tingginya itu dan tubuh mereka akan remuk!
Hek-tiauw Lo-mo marah bukan main. Dia memaki-maki, tangannya ikut membantu rajawalinya memukul ke arah kedua ekor rajawali putih, akan tetapi karena gerakan rajawali yang ditungganginya membuat dia pun harus berpegang kuat-kuat, maka gerakannya tidak leluasa dan pukulannya meleset selalu.
“Bedebah! Keparat! Kalian berani melawan? Kusembelih kalian!” bentaknya berkali-kali akan tetapi akhirnya dia terpaksa harus menangkis karena keroyokan dua ekor rajawali putih yang masih muda dan kuat itu membuat rajawalinya sendiri kewalahan dan beberapa patukan dan cakaran kesasar menyerang dirinya!
Dia merasa menyesal mengapa tadi tergesa-gesa tidak membawa senjatanya. Tadinya dia sedang makan minum dan terkejut mendengar pekik rajawalinya, maka dia lari keluar tanpa membawa senjatanya ketika anak buahnya berteriak melapor bahwa dua orang pemuda tawanan itu lari. Pula, dia memandang rendah mereka, sama sekali tidak mengira bahwa dua ekor burung rajawali itu akan membalik dan melawannya!
Setelah terkena patukan beberapa kali dan kepalanya terluka berdarah, rajawali hitam menjadi panik dan jeri, dan akhirnya sambil berteriak panjang dia membalik dan pergi. Betapa pun Hek-tiauw Lo-mo membentak dan membujuknya, rajawali hitam itu tidak mau melanjutkan pengejarannya dan dua ekor rajawali putih sudah terbang lagi dengan kecepatan yang membuat kedua orang muda itu berpegang semakin erat.
Akan tetapi makin lama, mereka menjadi terbiasa dan tidak terlalu ngeri lagi, bahkan Suma Kian Bu sudah pula mulai bergembira dan bersorak-sorak.
“Aduhh... indahnya pemandangan di bawah. Lihat, Lee-ko, tuh di sana, pulau itu, aduh indahnya! Berwarna-warna, biru hijau kuning... dan pepohonan itu demikian kecil!”
Jarak antara kedua ekor rajawali itu memang tidak jauh dan sepasang rajawali itu memang amat akrab, maka mereka dapat saling bercakap-cakap, biar pun mereka harus berteriak agar dapat terdengar.
“Bu-te, kita harus kembali ke Pulau Es!” Kian Lee berteriak.
“Benar, Lee-ko, mari kita cari. Tentu akan lebih mudah mencari dari atas.”
Rajawali yang ditunggangi Kian Bu agaknya memang lebih nakal dari pada yang ditunggangi Kian Lee. Rajawali itu menukik ke bawah, kemudian terbang berputaran dengan kecepatan yang luar biasa. Kian Bu yang banyak akalnya mulai mempelajari cara menunggang burung raksasa ini. Dia mencoba dengan menarik bulu leher kanan. Kalau merasa leher kanannya sakit, terpaksa burung itu menggerakkan kepala ke kanan, ekornya mengimbanginya dan otomatis terbangnya membelok ke kanan.
Demikian pula kalau Kian Bu menarik bulu di leher kiri. Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Kian Bu dan mulailah dia ‘menyetir’ burungnya mencari Pulau Es. Burung yang ditunggangi Kian Lee selalu mengikuti ke mana terbangnya kawannya sehingga bagi Kian Lee tidak sukar lagi menentukan arah.
“Ah, di sana itu, Bu-te...!” Tiba-tiba Kian Lee berteriak ketika melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan berkilauan. Tentu saja belum pernah dia melihat Pulau Es dari angkasa, akan tetapi biasanya kalau dia sedang bermain di puncak bukit kecil di tengah pulau, dia melihat permukaan pulau yang rendah juga berwarna putih dan berkilau seperti itu.
“Benar, mari kita pulang, Lee-ko!” Kian Bu juga sudah melihat pulau itu dan dia memutar burungnya menuju ke sana.
Tak lama kemudian, kedua ekor burung rajawali itu terbang berputaran di atas pulau dan kedua orang anak itu berteriak-teriak kegirangan ketika mengenalnya. Memang benar pulau itu adalah tempat tinggal mereka, Pulau Es!
“Ayaaaaaaahhhhh...! Ibuuuuu...!” Suma Kian Bu berteriak-teriak dari atas.
Tak lama kemudian tampaklah Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya keluar dari dalam Istana Pulau Es dan ketiga orang itu memandang ke atas dengan penuh keheranan melihat sepasang rajawali itu berputaran di atas pulau.
“Kian Lee! Kian Bu!” Terdengar suara Pendekar Super Sakti melengking nyaring. “Lekas kalian turun...!”
Dua ekor burung itu tetap terbang berputaran dan betapa pun kedua orang muda itu berusaha, tetap saja sepasang rajawali itu tidak mau turun. Tentu saja mereka tidak mau turun di pulau yang asing karena mereka merasa takut.
“Ayah! Kami tidak dapat menyuruh mereka turun...!” Kian Lee berseru keras ke bawah.
“Kalian totok pangkal leher mereka di antara kedua sayap, dan tekan kepala mereka ke bawah!” Terdengar lagi Pendekar Super Sakti berseru.
Dua orang pemuda remaja itu mentaati perintah ayah mereka dan benar saja, setelah mereka menotok dan menekan kepala tunggangan masing-masing, dua ekor rajawali itu mengeluarkan lengking nyaring dan gerakan mereka menjadi lemah.
Pada saat itu Pendekar Super Sakti mengeluarkan suara melengking seperti suara burung-burung itu, akan tetapi lebih nyaring lagi sampai suara lengkingnya bergema di semua penjuru. Mendengar suara ini, sepasang rajawali itu kelihatan terkejut, kemudian menukik ke bawah dan terbang menghampiri Pendekar Super Sakti, hinggap di atas tanah depan pendekar itu dan kelihatan bingung dan takut-takut. Kian Lee dan Kian Bu cepat meloncat dari atas punggung sepasang rajawali.
“Kian Lee...!”
“Kian Bu...!”
Dan dua orang ibu itu lari menghampiri dan memeluk putera masing-masing dengan hati lega. Selama ini kedua orang ibu itu dicekam kegelisahan hebat karena putera mereka pergi sampai lama tanpa ada beritanya.
“Hemm, kalian pergi tanpa pamit sampai berbulan. Apa artinya perbuatan kalian itu?”
Suara Pendekar Super Sakti terdengar penuh wibawa, menyembunyikan kemarahan. Hal ini terasa sekali oleh kakak beradik itu, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka dan hampir berbareng kedua orang anak itu berkata, “Aku telah bersalah, ayah.”
“Hayo ceritanya semuanya, ke mana kalian pergi dan dengan maksud apa,” kata pula Pendekar Super Sakti dengan marah dan kedua orang isterinya hanya memandang dengan hati khawatir. Mereka pun tahu kalau suami mereka marah dan memang sudah sepantasnya karena kedua orang anak itu pergi tanpa pamit dan telah membuat hati orang tua mereka bingung dan gelisah.
Biar pun kalau berada di luar Kian Bu jauh lebih bengal dari pada kakaknya, namun menghadapi ayah mereka, Kian Bu paling takut, maka dia hanya menoleh kepada kakaknya, seolah-olah hendak menyerahkan semua jawaban kepada kakaknya. Kian Lee seperti biasanya selalu bersikap tenang, juga kini di depan ayah mereka yang dia tahu sedang marah, dia bersikap tenang sungguh pun jantungnya dicekam rasa jeri. Suaranya tenang dan jelas ketika dia mulai menceritakan ‘petualangan’ kakak beradik itu, betapa mereka berdua tadinya berniat mencari kakak mereka Milana yang berada di kota raja, akan tetapi betapa mereka tersesat jalan sampai tiba di Pulau Neraka.
Mendengar disebutnya Pulau Neraka, tiga orang suami isteri itu terkejut, terutama sekali Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. “Kalian sampai di Pulau Neraka?” serunya dengan alis berkerut. “Apa yang terjadi di sana?”
“Kami berdua tidak sengaja mendarat di Pulau Neraka.” Kian Lee melanjutkan, “dan di sana, kami dijadikan tawanan oleh ketuanya.”
“Hemmm, siapa ketua Pulau Neraka?” Suma Han bertanya.
Kian Lee lalu menceritakan tentang Hek-tiauw Lo-mo yang suka makan daging manusia dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
“Ah, agaknya pulau itu kini dikuasai oleh seorang biadab!” Nirahai berseru heran.
Mendengar suara ibunya, Kian Bu mulai berani membuka mulut. “Wah, dia mengerikan sekali, Ibu! Untung Lee-ko dan aku dapat melarikan diri dibantu oleh sepasang rajawali putih itu. Kami dikejar oleh ketua Pulau Neraka yang menunggang rajawali hitam, untung saja sepasang rajawali ini membela kami dan menerbangkan kami sampai ke sini!” Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika dikejar Hek-tiauw Lo-mo, ceritanya asyik sekali disertai gerakan kaki tangan sehingga Nirahai dan Lulu mendengarkan dengan tertarik.
“Biarlah kubebaskan dulu engkau dari belenggu itu!” Nirahai menghampiri Kian Bu sedangkan Lulu menghampiri Kian Lee. Mereka berniat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan anak-anak mereka dengan rantai besi panjang itu.
“Jangan buka belenggu itu!” Tiba-tiba Suma Han berkata.
Kedua orang isterinya terkejut dan menengok, memandang suami mereka. Dengan suara tenang namun penuh kepastian Suma Han berkata lagi, “Mereka adalah dua orang anak yang telah membikin bingung dan gelisah hati orang tua, juga telah mendatangkan kekacauan di Pulau Neraka tanpa sebab. Mereka harus dihukum dan sepantasnyalah belenggu-belenggu itu untuk mereka. Hayo kalian naik ke puncak dan bersemedhi di sana selama dua hari dua malam. Pergi!” Suma Han mendekati ke dua orang puteranya dan tangan kirinya menampar dua kali, mengenai punggung mereka.
“Bukk! Bukk!”
Kedua orang anak itu tersungkur, kemudian bangkit berdiri memandang ayah mereka dengan mata terbelalak, menggigit bibir, menahan nyeri, kemudian mereka saling pandang dan melangkah lebar menuju bagian yang paling tinggi di pulau itu, yang mereka sebut puncak.
Lulu dan Nirahai saling pandang dengan alis berkerut. Ketika kedua anak itu sudah tak tampak lagi, barulah Nirahai berkata, nadanya memprotes, “Mengapa mereka...?”
“Harus dihukum, biar mereka tahu dan kelak mereka akan memperhitungkan setiap tindakan mereka, tidak sembrono dan asal berani saja,” kata Pendekar Super Sakti dengan suara tegas sehingga kedua orang isterinya tidak berani membantah.
Mereka berdua hanya memandang dengan hati terharu melihat dua ekor rajawali itu mengeluarkan suara seperti orang menangis ketika memandang ke arah perginya dua orang muda itu. Kemudian sepasang rajawali itu terbang ke atas dan berputaran di atas Pulau Es.
Pada malam kedua diam-diam Lulu menyelinap ke puncak dan membawakan makanan dan minuman untuk mereka berdua. Ketika tiba di puncak, Lulu melihat bahwa sepasang rajawali ini seolah-olah sedang menjaga Kian Lee dan Kian Bu yang duduk bersila seperti patung, muka dan tubuh mereka penuh salju putih sehingga mereka seperti sudah berubah menjadi manusia salju.
Lulu harus mengurut dan mengguncang sampai lama dan barulah Kian Lee sadar dari semedhinya. Melihat ibunya, Kian Lee hanya menggelengkan kepalanya dan hendak memejamkan matanya kembali.
“Lee-ji, bangunlah dulu. Kau harus makan dan minum dulu, baru boleh bersemedhi lagi. Ingat, tubuhmu takkan kuat bertahan dan kau bisa terancam sakit. Juga adikmu Kian Bu.”
Karena dibujuk terus, akhirnya Kian Lee menurut, membangunkan adiknya dan kedua orang muda ini lalu makan dan minum sekadarnya untuk mengisi perut yang kosong dan menghangatkan tubuh. Setelah makan minum, mereka melanjutkan semedhi dan terpaksa Lulu meninggalkan mereka.
Pada keesokan harinya, dua hari dua malam telah lewat dan pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya telah berada di puncak. “Bangunlah kalian, masa hukuman telah habis!” Suma Han berseru dan suaranya yang disertai khikang kuat itu seolah-olah menembus keadaan dua orang muda yang sedang semedhi itu sehingga mereka terbangun dan cepat bangkit. Keduanya terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka.
Suma Han memandang kedua puteranya itu, lalu berkata dengan wajah berseri, “Sekarang, kerahkan hawa panas yang berputaran di tian-tan (pusar) kalian, dorong ke arah pergelangan tangan dan coba renggutkan belenggu itu agar patah.”
Dua orang muda itu menurut. Memang selama mereka bersemedhi, mereka terlindung oleh hawa panas yang berputaran di seluruh tubuh mereka, seperti keadaan mereka kalau berlatih sinkang di waktu hujan salju di Pulau Es. Kini mereka mengerahkan tenaga panas itu ke arah kedua lengan, mengerahkan sinkang dan merenggut.
“Krekk! Krekk!” Patahlah belenggu di kedua tangan mereka!
Lulu dan Nirahai girang sekali menyaksikan kemajuan putera-putera mereka, akan tetapi Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata lantang.
“Haiii...! Apakah selama dua hari dua malam ini kalian pernah berhenti bersemedhi, kemudian makan dan minum?”
Kakak beradik itu saling pandang, lalu menunduk. Berat rasa hati Kian Lee kalau harus mengaku bahwa ibunya telah membujuknya, dan untuk membohong dan mengatakan tidak pun dia tidak berani.
“Semalam aku datang dan menyuruh mereka makan dan minum,” tiba-tiba Lulu berkata. “Hati siapa yang akan tega menyaksikan anak-anaknya disiksa?”
Suma Han menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengepal-ngepal tangannya sendiri. “Aihhh... kelemahan hati wanita memang sering kali menimbulkan kegemparan dan juga kegagalan.”
Lulu memandang suaminya dan wajahnya berubah. “Eh... apa... maksudmu...?”
“Sebelum mengirim mereka ke puncak, aku telah membuka saluran hawa di tubuh mereka. Aku melihat bahwa mereka sedang dalam keadaan baik sekali, berhati besar dan baru saja mengalami ketegangan hebat. Pula, saatnya amat cocok untuk mereka melatih dan menerima kekuatan Inti Salju. Kalau tidak terganggu, kiranya saat ini mereka sudah berhasil mengumpulkan sinkang yang sepuluh kali lebih kuat dari pada sekarang!”
“Ohhhh...!” Lulu memegangi dahinya dengan penuh penyesalan. “Mengapa kau tidak bilang lebih dulu sebelumnya?”
“Tidak baik kalau diberi tahu lebih dulu, akan menimbulkan ketegangan dan harapan sehingga dapat menggagalkan latihan. Akan tetapi sudahlah, memang sudah demikian kenyataannya. Yang jelas sekarang mereka harus berlatih dengan giat sekali. Kian Lee, Kian Bu, kalian tahu betapa ilmu kepandaian kalian masih jauh dari pada mencukupi sehingga sekali merantau meninggalkan pulau, kalian menjadi tawanan orang dan hampir saja celaka. Mulai hari ini, kalian harus rajin berlatih dan sebelum sempurna ilmu kepandaian kalian, kalian tidak boleh meninggalkan pulau tanpa pamit. Tidak perlu memikirkan kakak kalian. Milana dalam keadaan selamat di kota raja dan kelak kalau ilmu kepandaian kalian sudah mencukupi, tentu kalian boleh mengunjunginya.”
Dua orang pemuda remaja itu mengangguk-angguk dan untuk menyatakan penyesalan mereka, mulai hari itu mereka seperti berlomba dalam kegiatan berlatih ilmu sehingga memperoleh kemajuan yang pesat. Ada pun sepasang rajawali putih dari Pulau Neraka itu menjadi kian jinak dan menjadi kesayangan mereka. Sering kali dua orang pemuda itu, juga ayah dan para ibu mereka, menunggangi rajawali sekedar untuk terbang di udara, di atas Pulau Es.
Beberapa bulan kemudian, barulah kedua orang pemuda itu maklum betapa mereka telah membikin repot ayah mereka ketika mereka pergi tanpa pamit. Baru mereka tahu akan hal ini ketika malam hari itu, setelah mereka semua makan malam, Pendekar Super Sakti menceritakan kepada putera-puteranya betapa dia mencari mereka sampai ke daratan besar, bahkan sampai ke Negara Bhutan, jauh di barat!
“Mengapa ayah menyusul sejauh itu ke Bhutan?” tanya Kian Bu dengan heran.
“Sebetulnya aku hanya menduga saja kalian ikut rombongan utusan dalam petualangan kalian, tetapi kalau tidak ada terjadi suatu hal, aku pun tidak akan menyusul sejauh itu.”
Pendekar itu lalu menceritakan betapa ketika dia mengunjungi puterinya, Milana, dari Han Wi Kong suami Milana, dia mendengar bahwa kaisar membutuhkan orang pandai untuk menyelidiki keadaan di barat, sekalian mengawal rombongan utusan yang kelak akan memboyong puteri. Hal ini karena ada kekhawatiran di istana bahwa kini di barat mulai timbul pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa dan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah mulai memperlihatkan permusuhan.
Mendengar ini, Suma Han lalu menghadap kaisar yang masih terhitung mertuanya sendiri itu dan dia menyanggupi untuk menjadi penyelidik. Karena itulah maka Pendekar Super Sakti ini bahkan mendahului rombongan utusan menuju ke Bhutan dan ketika mendahului rombongan itu, dia tahu bahwa kedua puteranya tidak ikut dalam rombongan. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Pendekar Super Sakti berhasil menyelamatkan Raja Bhutan dan ancaman bahaya kepungan para musuhnya.
Seperti biasanya kalau mendengarkan cerita-cerita ayahnya, sekarang mendengarkan pengalaman ayah mereka di Bhutan, kedua orang pemuda itu tertarik sekali dan hati mereka ingin sekali memperoleh kesempatan merantau ke daratan besar yang menurut cerita ayahnya merupakan tempat yang amat luar biasa, penuh ketegangan dan penuh keanehan itu. Keinginan ini mendorong semangat mereka untuk berlatih ilmu silat lebih giat lagi.
* * * * * *
"Kong-lopek, mau apa kau? Jangan mengganggu, aku sedang mencoba membuat ramuan obat seperti yang ditulis dalam kitab oleh mendiang suhu Cui-beng Koai-ong...”
“Aiiih... kongcu! Jangan main-main dengan obat itu. Aku masih ingat, bukankah obat itu yang namanya obat perampas ingatan? Obat itu mengerikan sekali... masakah kongcu sendiri tidak ingat?”
Tentu saja Tek Hoat tidak mengerti dan tidak ingat apa-apa karena dia memang bukanlah Wan Keng In dan bahkan tidak pernah melihat orang yang kini dianggap gurunya, yaitu mendiang Cui-beng Koai-ong itu! Akan tetapi, pemuda yang amat cerdik ini tertawa dan berkata, “Tentu saja aku ingat, Kong-lopek. Mengapa engkau begitu bodoh? Ingatanku tentu lebih kuat dari pada ingatanmu!”
“Tentu saja... tentu saja, kongcu. Karena itu, harap jangan kongcu main-main dengan ramuan racun obat ini...”
“Hemmm, aku ingin mencoba kekuatan ingatanmu, Kong-lopek. Coba ceritakan, apa yang kau ingat dahulu sehingga kau menganggap obat ini begitu luar biasa dan amat menakutkan?”
Kakek yang ingatannya sudah tidak terlalu waras lagi itu menghela napas dan berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan memutar-mutar kedua bola matanya. “Hebat sekali obat itu... siapa yang bisa melupakan peristiwa yang terjadi di Pulau Neraka ketika itu? Bukankah engkau sendiri yang menerima obat buatan suhu-mu itu, kongcu? Bukankah obat itu telah memperlihatkan keampuhannya yang mukjijat? Puteri Pendekar Siluman sendiri... ahhh, dia sampai lupa daratan, hilang ingatannya karena kau beri minum obat beracun itu. Kemudian, lebih hebat lagi, murid Pendekar Siluman yang terkenal sebagai seorang wanita gagah perkasa dan kabarnya sudah kebal akan segala macam racun, bahkan dia telah menjadi murid susiok-mu Bu-tek Siauw-jin dan oleh susiok-mu telah diberi makan racun sehingga dia makin kebal racun, ternyata masih dikalahkan oleh suhu-mu! Nona yang kebal itu pun menjadi korban dari obat perampas ingatan yang amat mukjijat itu! Dan untuk itu, gurumu girang bukan main karena hal itu membuktikan bahwa dalam hal racun, gurumu lebih lihai dari pada susiok-mu.”
Mendengar ini, bukan main girangnya hati Tek Hoat. Kalau sampai puteri dan murid Pendekar Super Sakti dibuat tidak berdaya oleh ramuan obat beracun ini, tentu kelak akan berguna sekali baginya! Dia tertawa dan menepuk-nepuk pundak kakek gundul ini. “Ha-ha-ha-ha, kau ternyata masih dapat ingat semua itu, Kong-lopek! Justru karena khasiat obat itu, maka sekarang aku ingin sekali dapat membuat sendiri. Dahulu aku hanya menerima dari mendiang suhu, dan aku tidak pernah diajari membuat obat ini. Sekarang catatan pembuatan obat itu ada di kitab ini, maka aku ingin sekali mencoba membuatnya.”
Kong To Tek, kakek gundul bekas tokoh Pulau Neraka itu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang dan berkata, “Terserah kepadamu, kongcu. Tetapi aku merasa ngeri... hemm, obat itu hebat sekali dan amat berbahaya...” Dia lalu pergi meninggalkan pemuda yang disangkanya Wan Keng In majikan mudanya itu sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Tek Hoat tersenyum lebar dan melanjutkan pekerjaannya mempraktekkan pelajaran membuat obat perampas ingatan seperti yang dibacanya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong ini. Ini bukanlah sembarang obat! Selain membutuhkan ramuan bahan-bahan obat yang sukar dicari dan hanya bisa didapatkannya dengan bantuan Kong To Tek, juga harus dicampuri dengan rambut dan kuku orang mati yang hanya bisa dia dapatkan dengan menggali kuburan!
Selain itu, apa bila hendak mempergunakannya, mencampurkannya dalam makanan atau minuman orang yang hendak dirampas ingatannya, ada pula manteranya yang harus dibaca. Ternyata bahwa obat perampas ingatan ini bukan racun biasa, melainkan racun yang mengandung kekuatan mukjijat dari ilmu hitam!
Sampai hampir sebulan lamanya dia mempersiapkan ramuan obat perampas ingatan itu dan akhirnya dia berhasil. Dengan wajah berseri-seri dia lalu memandang bubukan berwarna putih yang berada di depannya.
“Terima kasih Cui-beng Koai-ong,” bisiknya sambil menengadah. “Aku telah mewarisi sebuah lagi dari pada ilmu-ilmu yang kau tinggalkan!”
Kemudian pemuda itu termenung. Obat mukjijat itu telah dibuatnya sesuai dengan yang ditulis dalam kitab. Akan tetapi bagaimana cara membuktikannya bahwa buatannya itu memang telah benar? Bagaimana cara membuktikannya bahwa obat perampas ingatan buatannya itu akan ampuh kalau dipergunakan? Jalan satu-satunya harus dicobakan kepada seseorang!
Akan tetapi kepada siapa? Berkelebatnya bayangan Kong To Tek di luar goa membuat dia tersenyum. Siapa lagi yang akan dicobanya untuk membuktikan kemanjuran obat itu kalau bukan Kong To Tek! Sambil tersenyum-senyum dia lalu membungkus dua macam obat itu, yang putih adalah obat perampas ingatan dan yang merah adalah obat penawarnya, dan dia membawa dua bungkusan itu ke dalam goa.
Obat merah dia campur dengan arak dan diminumnya sendiri, sedangkan yang putih dia masukkan ke dalam guci arak di mana masih ada sisa arak. Selama tinggal di dalam goa, Kong To Tek yang mencarikan segala keperluan mereka, termasuk arak wangi.
“Kong-lopek...!” Kemudian dia memanggil sambil menanti di depan goa, guci arak dan dua cawan kosong di tangannya.
Tak lama kemudian muncullah kakek gundul itu, pringas-pringis seperti biasanya. “Kau perlu apakah, kongcu?”
“Kong-lopek aku telah berhasil membuat obat perampas ingatan itu!” Tek Hoat berkata sambil tersenyum girang.
Namun Kong To Tek mengerutkan alisnya dan mendengus. “Uhhh, obat mengerikan seperti itu, untuk apakah kongcu?”
Tek Hoat tertawa. “Ha-ha-ha-ha, aku sudah dapat membuat rahasia peninggalan suhu, bukankah itu menggirangkan sekali? Kong-lopek, kita harus rayakan ini! Hayo temani aku minum arak untuk merayakan hasil baik ini!”
Dia menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong dan ternyata sisa arak itu hanya tepat dua cawan saja, lalu menyerahkan yang secawan kepada Kong To Tek. Tentu saja kakek ini menerima dengan girang tanpa curiga karena selain dia percaya penuh kepada orang yang dianggapnya Wan Keng In putera ketuanya itu, juga dia melihat bahwa pemuda itu juga minum dari cawan ke dua yang diisi dari guci yang sama.
“Terima kasih, lopek. Sekarang pergilah beristirahat, aku sendiri sudah lelah sekali.”
Kakek gundul itu mengangguk-angguk dan diam-diam Tek Hoat memperhatikan gerak-geriknya. Melihat betapa kakek itu berulang kali menguap tanda mengantuk, dia girang sekali. Cocok dengan tulisan dalam kitab. Orang yang terkena racun itu tentu akan merasa mengantuk sekali dan setelah orang itu tertidur, maka terjadilah perubahan pada ingatannya, racun itu bekerja dan kalau orang itu bangun, dia tidak akan ingat hal-hal yang telah lalu sama sekali!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tek Hoat sudah bangun dan menghampiri Kong To Tek yang masih tidur di bagian luar goa yang besar itu. Kakek gundul itu tidur mendengkur dengan keras sekali, tanda bahwa tidurnya amat pulas. Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak sabar lagi, mengguncang-guncang pundak kakek itu.
“Lopek! Kong-lopek, bangunlah...!”
“Hemmm... ahhh... masih mengantuk... ehhh, siapa kau...?” Kakek gundul itu membuka mata, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang ke kanan kiri, lalu kembali memandang lagi kepada Tek Hoat, kemudian meloncat bangun dengan kaget dan heran.
“Di mana aku...? Siapa kau ini orang muda...? Ah, mengapa aku bisa berada di sini?” Kakek itu kelihatan seperti orang bingung dan Tek Hoat tersenyum girang sekali. Sikap kakek itu saja jelas membuktikan bahwa obat perampas ingatan itu benar-benar amat manjur dan hebat!
“Lopek, apakah benar-benar engkau tidak ingat apa-apa lagi?”
“Orang muda, siapakah engkau? Dan aku... hemm... siapa pula aku dan di manakah tempat ini? Mengapa aku tidur di goa?”
Kini Tek Hoat tidak ragu-ragu lagi, akan tetapi untuk lebih yakin, dia sengaja menguji. “Lopek, masa engkau lupa akan namanya sendiri? Namamu adalah... Ang Tek Hoat, masa engkau lupa?”
Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. “Ang Tek Hoat...? Hmm, terdengar asing, tetapi mungkin itulah namaku. Ya, benar, namaku Ang Tek Hoat, dan engkau siapa, orang muda?”
Tek Hoat menahan ketawanya. “Aku? Namaku Kong To Tek!”
“Kong To Tek? Nama itu tidak asing bagiku. Hemm, kalau begitu tentu engkau sudah kukenal lama, Kong To Tek.”
Tek Hoat tertawa. “Tentu saja, lopek! Kita adalah sahabat-sahabat lama!”
Seharian itu Tek Hoat memperhatikan gerak-gerik Kong To Tek yang hanya duduk di depan goa sambil termenung, agaknya kebingungan dan wajahnya membayangkan keraguan hebat. Ternyata kakek ini sama sekali tidak ingat akan masa lalu, dan yang diketahuinya hanyalah bahwa dia bernama Ang Tek Hoat dan pemuda itu bernama Kong To Tek! Dia seolah-olah seorang yang sama sekali baru!
Setelah kini merasa yakin akan kemanjuran ramuan perampas ingatan itu, pada malam harinya, ketika mereka berdua makan, Tek Hoat mencampurkan obat penawar racun itu ke dalam minuman Kong To Tek. Seperti malam kemarin, kakek itu sehabis makan dan minum obat penawar, tertidur dengan nyenyaknya.
Ketika pada keesokan harinya mereka terbangun, Tek Hoat ingin menggoda Kong To Tek. Dia akan memberitahu bahwa kakek itu telah dijadikan kelinci percobaan dengan hasil baik sekali. “Eh, lopek Ang Tek Hoat, kau baru bangun?” tegurnya menggoda.
Akan tetapi, segera Tek Hoat meloncat bangun dan memandang tajam. Sikap kakek itu aneh sekali, lain dari biasanya. Matanya tidak bergerak liar lagi, bahkan mata itu kini memandang kepadanya penuh selidik dan suaranya terdengar penuh wibawa, “Orang muda, siapa engkau? Namaku bukanlah Ang Tek Hoat, melainkan Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka! Siapa engkau berani memasuki goa rahasia yang menjadi tempat persembunyianku ini?”
Tentu saja Tek Hoat kaget setengah mati. Dia meloncat keluar dan kini mereka saling berhadapan di bawah sinar matahari pagi, di depan goa besar itu.
“Kong-lopek, jangan main-main. Bukankah engkau sudah mengenalku? Aku adalah Wan Keng In...”
“Bohong...!” Tiba-tiba Kong To Tek membentak marah sekali. “Biar pun wajahmu mirip sekali dengan Wan-kongcu, akan tetapi engkau sama sekali bukan Wan Keng In! Engkau jauh lebih muda, dan kalau dia masih hidup, tentu dia patut menjadi ayahmu. Orang muda, jangan kau main-main dengan aku! Siapa kau? Hayo mengaku, dan mau apa engkau berada di sini?” Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat sekali. “Kau... kau... sudah lamakah berada di sini?”
“Aihhh, Kong-lopek, aku adalah Wan Keng In pewaris pusaka suhu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin...”
“Pedang itu...!” Kong To Tek menuding ke arah pedang Cui-beng kiam yang berada di punggung Tek Hoat. “Kembalikan! Pedang itu milikku, dan juga kitab-kitab pusaka... di mana kitab-kitab itu? Kau sudah mengambilnya pula? Keparat, hayo kembalikan!” Dia menubruk maju hendak merampas pedang, tetapi sebuah tendangan kaki dari samping membuat dia terjengkang.
“Aihhhh...! Engkau melawan? Engkau berani kepada Kong To Tek tokoh Pulau Neraka? Bocah, kau sudah bosan hidup!”
Tek Hoat menjadi terheran-heran dan bingung. Mengapa terjadi perubahan yang hebat pada diri kakek itu? Akhirnya dia dapat menduga sebabnya. Mungkin karena racun perampas ingatan itu. Setelah minum obat penawarnya, agaknya pikiran atau ingatan kakek itu malah sembuh sama sekali, pulih seperti dahulu ketika belum gila sehingga kakek itu teringat akan segala-galanya! Celaka, pikir Tek Hoat, kalau begini berbahaya sekali. Orang ini harus dibunuhnya!
“Bocah keparat, pencuri pusaka! Kau harus mampus!” Dan kakek gundul itu sudah menerjang dengan terkaman seperti seekor singa kelaparan.
“Engkaulah yang akan mampus, Kong To Tek!” Tek Hoat miringkan tubuh ke kiri dan dari kiri tangan kanannya menampar ke depan.
“Wuuuuttt... dessss...!”
“Aihhhh...!” Kong To Tek berteriak, karena sakit dan kaget melihat betapa pemuda yang dipandangnya rendah itu ternyata lihai sekali sehingga dua kali dia terjengkang. Tenaga sinkang yang menyambar dari tangan pemuda itu membuka kedua matanya sehingga dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian hebat.
“Bagus! Kiranya engkau seorang penjahat cilik!” Dia memaki dan kini Kong To Tek mulai mengerahkan tenaga dari pusarnya. Kepandaian kakek ini memang hebat.
Dahulu dia merupakan tokoh ke dua sesudah ketua di Pulau Neraka, dan ilmunya yang paling diandalkan adalah sinkang dari perut yang membuat perutnya mengeluarkan bunyi seperti katak tertimpa hujan, dan kalau dia sudah mengerahkan tenaga sinkang-nya ini, dari mulutnya menyambar uap beracun pula! Apa lagi setelah dia mempelajari kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dari gambar-gambarnya, latihan itu membuat dia makin kuat dan lihai!
“Wuuusssshh...!” Mulutnya menyemburkan uap putih ke arah muka Tek Hoat, tubuhnya merendah seperti berjongkok dan kedua kakinya lalu bergerak aneh ke depan sambil berjongkok, kemudian mendadak kedua lengannya bergerak melakukan serangan dari bawah dengan hebat dan hawa pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya ke arah Tek Hoat.
Kalau Tek Hoat belum melatih diri dengan ilmu-ilmu dari dalam kedua kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu selama hampir dua tahun ini, kiranya dengan ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo saja dia tidak akan mampu menandingi tokoh gundul dari Pulau Neraka ini. Akan tetapi selama hampir dua tahun ini, di dalam goa itu Tek Hoat telah tekun mempelajari ilmu-ilmu kesaktian yang amat hebat sehingga ilmu kepandaiannya menjadi hebat sekali, sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan dua tahun yang lalu. Namun, karena dia belum pernah mencoba ilmu-ilmu barunya, melihat serangan kakek gundul itu, dia terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri.
“Haiiiiittt...!”
Kong To Tek meloncat dari kedudukannya berjongkok tadi, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua lengannya bergerak-gerak, yang kanan menonjok ke arah ulu hati Tek Hoat sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala!
Akan tetapi kini Tek Hoat sudah siap sedia. Melihat datangnya serangan yang amat dahsyat itu, dia berlaku cepat, mengangkat tangan kanan menangkis ke atas sambil mengerahkan tenaga sinkang, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan, menerima pukulan tangan kanan lawan.
“Plak! Dessss...!”
Untuk ketiga kalinya tubuh Kong To Tek terdorong dan kemudian terjengkang! Kakek itu mendengus keras dan meloncat bangun lagi. Ternyata ujung mulutnya mengucurkan darah, tanda bahwa benturan tenaga dalam tadi sedemikian hebatnya sehingga dia mengalami luka di dalam tubuhnya!
Melihat hasil tangkisannya, besarlah hati Tek Hoat. Kini dia menghadapi terjangan lawan dengan pandang mata mengejek dan sama sekali tidak merasa jeri lagi karena dia telah memperoleh kepercayaan tebal kepada kepandaian sendiri. Ketika kakek itu menerjang dan menyerangnya bertubi-tubi, sambil tersenyum mengejek dia mengelak dan menangkis, kadang-kadang balas memukul. Tiap kali dia membalas, kakek gundul itu pasti terdorong oleh pukulannya yang biar pun tidak mengenai tubuh lawan, namun hawa pukulannya amatlah hebatnya, tidak kuat kakek itu menahannya.
“Kong To Tek, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!” bentak Tek Hoat dan tiba-tiba tampak sinar berkilauan ketika dia telah mencabut Cui-beng-kiam!
Melihat pedang ini, Kong To Tek kelihatan gentar, tetapi juga marah. Sambil menerjang maju, dia membentak, “Kembalikan Cui-beng-kiam kepadaku!”
Terjangannya dahsyat sekali karena dia menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat Liong-jiauw-pok-cu (Cakar Naga Menyambar Manusia). Kedua tangannya membentuk cakar dan bergerak-gerak mencengkeram untuk merampas pedang sedangkan dari perutnya terdengar bunyi berkokokan tanda bahwa dia mengerahkan sinkang-nya yang amat kuat, mulutnya mengeluarkan uap putih.
Melihat terjangan ini, Tek Hoat bergerak ke kanan kiri cepat sekali sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi banyak, dan dari kanan kiri menyambarlah gulungan sinar pedang Cui-beng-kiam yang ampuh.
“Singgggg...! Crak! Crokk!”
Terdengar suara pekik melengking dan Kong To Tek roboh terguling, kedua lengannya buntung sebatas siku terbabat pedang Cui-beng-kim yang ampuh!
Melihat tubuh itu berkelojotan dan bergulingan di atas tanah, Tek Hoat tersenyum untuk menekan perasaan hatinya yang menyesal. Bagaimana pun, kakek itu telah melakukan banyak kebaikan kepadanya!
“Hemmm, terpaksa aku membunuhmu, Kong-lopek. Hidupmu berbahaya bagiku setelah pulih kembali ingatanmu!”
Sambil meringis menahan rasa nyeri yang amat hebat, Kong To Tek bertanya, “Orang muda... siapakah engkau...?”
“Namaku Ang Tek Hoat. Secara kebetulan saja aku bertemu denganmu, lopek. Kau menyangka aku bernama Wan Keng In dan engkau menyerahkan pusaka para datuk Pulau Neraka kepadaku. Tentu saja aku tak dapat menolak datangnya keuntungan ini, dan sekarang pulih pula ingatanmu, maka kau berbahaya bagiku.”
“Aughhh... kau... kau... memang mirip sekali dengan Wan-kongcu... Ahhh, agaknya roh Wan Keng In memasuki dirimu... dan agaknya Wan-kongcu muncul kembali untuk bisa membalas musuh-musuhnya...”
“Siapa sih orang yang bernama Wan Keng In itu?” Tek Hoat bertanya, ingin juga dia mengetahui siapa orang yang katanya mirip dengan dia itu.
“Dia... dia bekas majikanku... dia adalah kongcu dari Pulau Neraka, putera ketua Pulau Neraka...”
Tek Hoat mengangguk-angguk kagum. “Dan siapa itu musuh-musuhnya?”
“Musuhnya adalah... Gak Bun Beng... dan... dan Tocu Pulau Es...”
Tek Hoat merasa terkejut bukan main mendengar disebutnya dua nama itu! Gak Bun Beng juga musuh besarnya! Dan... Tocu Pulau Es!
“Apakah kau maksudkan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
“Benar... dia... dia lihai...”
“Dan Gak Bun Beng, penjahat itu sudah dibunuh mati oleh ibuku!” kata pula Tek Hoat.
Kong To Tek membelalakkan mata. Darah bercucuran dari kedua lengan yang buntung itu. Mukanya pucat karena banyak kehilangan darah. Keadaannya sungguh mengerikan dan tubuhnya sudah mulai lemah. Namun agaknya dia terkejut mendengar pengakuan Tek Hoat itu dan dia bertanya. “Siapa... siapa ibumu...?”
Biar pun Tek Hoat tidak suka menceritakan keadaan keluarganya, akan tetapi melihat bahwa kakek ini tidak akan hidup lebih lama lagi, dia mengaku, “Ibuku... hemmm, ibuku seorang pendekar wanita puteri dari ketua Bu-tong-pai. Ayahku bernama Ang Thian Pa dan ibuku bernama Siok Bi...” Tek Hoat langsung menghentikan kata-katanya ketika melihat Kong To Tek bangkit duduk dan matanya terbelalak memandangnya.
Lengan tangan yang hanya tinggal sepotong itu bergerak ke atas, dan seolah-olah menuding sehingga Tek Hoat merasa ngeri juga. “Jadi kau... kau... kau anak Siok Bi...? Ahhh... ah, tidak salah lagi... kau... kau puteranya... auhhh!” Tubuh itu terguling.
“Apa katamu? Kong-lopek, apa maksudmu?” Tek Hoat mengguncang-guncang tubuh itu, akan tetapi Kong To Tek telah menjadi mayat.
Tek Hoat bangkit berdiri, lalu termenung. Apa yang dimaksudkan oleh kakek ini tadi? Agaknya kakek ini mengenal ibunya! Dan dia puteranya? Putera siapa? Sayang kakek itu sudah mati. Ah, mengapa dia memusingkan hal itu? Mungkin hanya igauan orang dalam sekarat. Jelas dari penuturan ibunya bahwa ayahnya bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahnya terbunuh oleh Gak Bun Beng, tetapi musuh besar itu telah dibunuh ibunya pula.
Pada hari itu juga, Tek Hoat meninggalkan mayat Kong To Tek dan goa di mana selama dua tahun dia melatih diri. Dia membawa Cui-beng-kiam dan dua buah kitab yang isinya telah dipelajarinya akan tetapi belum semua sempat dilatihnya karena memang amatlah sukar melatih ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab itu.
Dia akan pulang ke Lembah Huang-ho, ke Bukit Angsa di mana tinggal ibunya yang tentu sudah merindukannya. Dia akan menuturkan pertemuannya dengan Kong To Tek itu kepada ibunya dan barangkali ibunya akan dapat mengerti tentang sikap aneh kakek gundul itu sebelum mati.....
* * * * * *
Karena adanya halangan yang hampir merupakan mala petaka dan yang menimpa diri Raja Bhutan, maka dengan alasan bahwa negaranya masih terancam bahaya dan puterinya masih terlalu muda, Raja Bhutan menyuruh rombongan kaisar pulang dengan surat permohonan kepada kaisar agar pernikahan puterinya itu diundur sampai dua tahun lagi!
Hal ini dilakukan Raja Bhutan yang mendengarkan kata-kata penasehatnya di istana. Pada waktu itu, ketahyulan masih amat kuatnya menguasai hati semua orang, bahkan keluarga kerajaan sendiri tidak terlolos dari pengaruh tahyul dan tradisi. Segala sesuatu dilakukan berdasarkan ‘perhitungan’ bulan bintang, dan segala peristiwa dianggap sebagai ‘tanda-tanda’ untuk menentukan sesuatu di masa depan.
Karena itu, pernikahan puteri raja tentu saja dilakukan atas dasar ‘perhitungan’ para ‘ahli nujum’ pula. Maka peristiwa yang hampir mencelakakan raja diperhitungkan dengan pernikahan puteri, dihitung pula hari kelahiran Puteri Syanti Dewi, kemudian diputuskan bahwa selama dua tahun mendatang merupakan hari-hari buruk bagi Raja Bhutan, maka tidak dibenarkan kalau mengawinkan puteri itu sebelum lewat dua tahun!
Kaisar menerima surat permohonan itu dan kemudian dapat menyetujuinya setelah dia mendengar akan peristiwa yang terjadi di Bhutan. Kaisar sendiri tidak terluput dari kepercayaan itu, apa lagi setelah para ahli nujumnya sendiri juga memperhitungkan bahwa memang kedatangan Puteri Bhutan dalam waktu dekat akan menimbulkan bahaya bagi kerajaan sendiri! Demikianlah, maka acara memboyong Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu diundur sampai dua tahun!
Terjadi perubahan besar dalam kehidupan Lu Ceng, atau Ceng Ceng. Semenjak pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi, dia diminta tinggal di dalam istana dan tentu saja dia dihormat pula oleh semua penghuni istana karena dia sekarang telah menjadi seorang puteri! Dia adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi, maka dengan sendirinya diapun menjadi seorang puteri istana! Bahkan Raja Bhutan telah menganugerahinya dengan nama baru, nama seorang puteri, yaitu Candra Dewi!
Biar pun dia telah dianggap seorang puteri istana, sikap Ceng Ceng masih biasa saja, bahkan dia pun hanya mau mengenakan pakaian puteri kalau ada upacara resmi saja. Untuk sehari-hari, dia tetap mengenakan pakaian yang ringkas seperti biasa, dan rambutnya yang panjang, dikuncir seperti kebiasaan gadis-gadis dusun! Setiap hari dia menemani Sang Puteri Syanti Dewi yang suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga mereka berdua berlatih bersama. Dari adik angkatnya ini sang puteri memperoleh banyak petunjuk karena memang tingkat kepandaian Ceng Ceng jauh lebih tinggi dari pada dia.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Apa lagi bagi Ceng Ceng yang selalu hidup gembira bersama Puteri Syanti Dewi dan para puteri lain di istana. Setiap hari, kalau tidak berlatih silat tentu berlatih tari-tarian, bernyanyi, bersenang-senang atau membaca kitab-kitab kuno berisi dongeng-dongeng indah. Dua tahun tak terasa telah lewat dan pada suatu hari, datanglah rombongan utusan kaisar yang sekali ini benar-benar hendak memboyong Sang Puteri Syanti Dewi!
Tidak ada lagi alasan bagi Raja Bhutan untuk menolak. Selama dua tahun ini, kaisar telah mengirim banyak bantuan, baik berupa pasukan mau pun perlengkapan untuk mengusir para gerombolan pemberontak sehingga Kerajaan Bhutan tidak begitu dirongrong lagi oleh mereka.
Pesta besar diadakan untuk menyambut rombongan ini dan kali ini, kembali rombongan itu dipimpin oleh Tan-ciangkun (Perwira Tan), yaitu Tan Siong Khi yang gagah perkasa dan memiliki jenggot panjang yang indah bentuknya!
Untuk menghormati para utusan kaisar, juga sekaligus merayakan hari diboyongnya Puteri Syanti Dewi yang sudah berusia delapan belas tahun, dan juga pesta perpisahan dengan sang puteri, maka malam hari itu selain diadakan pesta makan minum, juga diadakan pesta tari-tarian tradisionil dari para penari Bhutan.
Dalam pesta ini, Sang Puteri Syanti Dewi keluar pula, duduk di atas sebuah kursi yang khusus disediakan untuk keluarga raja. Tentu saja Ceng Ceng tidak mau ketinggalan dan dia menemani puteri yang telah menjadi kakak angkatnya itu. Akan tetapi, karena sekali ini dia akan bertemu dengan orang-orang dari kerajaan suku bangsanya sendiri, dia tidak mau mengenakan pakaian puteri Bhutan, dan hanya mengenakan pakaian biasa biar pun masih baru. Ceng Ceng atau Candra Dewi itu berdiri di dekat kursi Puteri Syanti Dewi sambil menonton pertunjukan tari-tarian.
Melihat wajah para utusan yang gagah perkasa, terutama sekali si jenggot panjang yang kini tampak makin gagah biar pun sudah makin tua, Ceng Ceng ingin sekali menyaksikan kepandaian mereka. Dia masih teringat betapa dahulu, dua tahun yang lalu, dia pernah mengadu kuncirnya dengan jenggot panjang itu dan merasa betapa rambutnya terjambak seperti akan copot rasanya!
Dan dia mendengar dari kakeknya bahwa si jenggot itu ternyata adalah seorang pengawal pribadi kaisar yang amat lihai! Kini, melihat mereka dan terutama sekali si jenggot panjang, timbul keinginan di hati Ceng Ceng.
“Kak Syanti...,” dia berbisik.
Syanti Dewi menengok. “Ada apakah, Candra?”
Dengan suara berbisik-bisik Ceng Ceng lalu mengajukan usulnya, yaitu agar sang puteri minta kepada ayahnya untuk membujuk para utusan yang gagah perkasa itu agar menghibur dan meramaikan pesta dengan pertunjukan ilmu silat mereka yang terkenal tinggi! Syanti Dewi memang suka sekali akan ilmu silat, maka mendengar usul adik angkatnya ini, dia cepat mengajukan permintaannya kepada raja.
Sebetulnya raja merasa agak enggan juga mengajukan permintaan agar para tamu memperlihatkan kelihaian mereka, akan tetapi karena tidak tega menolak keinginan puterinya yang akan pergi meninggalkannya itu, terpaksa dia menyuruh pengawalnya menghubungi Tan-ciangkun untuk menyampaikan permintaannya.
Tan Siong Khi bermata tajam. Dia melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada Syanti Dewi. Pengawal kaisar ini tentu saja masih ingat kepada nona yang disangkanya pengacau itu dan yang kini dia dengar telah menjadi adik angkat puteri yang akan diboyongnya ke Tiongkok. Maka diam-diam dia agak memperhatikan dan melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada sang puteri kemudian sang puteri bicara dengan Raja Bhutan. Setelah Raja Bhutan mengutus pengawal menghubunginya dan menyampaikan permintaan raja, tahulah Tan-ciangkun bahwa permintaan itu adalah gara-gara si gadis yang lihai dan bengal itu. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu berunding dengan para temannya, yaitu para perwira yang memiliki kepandaian tinggi.
Tidak lama kemudian suasana pesta menjadi makin meriah. Seorang demi seorang, majulah para Perwira Mancu Kerajaan Ceng untuk memperlihatkan kepandaian mereka bermain silat. Bermacam-macam senjata telah mereka pergunakan, dan rata-rata ilmu kepandaian mereka memang amat tinggi bagi para Perwira Bhutan sehingga tepuk tangan penuh kagum menyambut setiap permainan silat dari rombongan utusan itu.
Kemudian, sebagai orang terakhir, tiba giliran Tan-ciangkun sendiri. Pengawal kaisar yang lihai dan biar pun berpakaian biasa namun sesungguhnya dialah yang memimpin rombongan utusan itu, maju dengan kedua tangan kosong. Setelah dia memberi hormat dengan bertekuk lutut ke arah Raja Bhutan dan keluarganya, dia meloncat bangun, menggulung kedua lengan bajunya sehingga naik ke bawah siku. Kemudian dia mengangkat kedua tangan memberi hormat berkeliling, dan berkata dengan suara lantang.
“Maafkan kami yang telah berani memperlihatkan kepandaian yang dangkal, karena kami hanya memenuhi perintah sri baginda untuk ikut meramaikan pesta ini. Kami tahu bahwa di Bhutan terdapat banyak sekali orang pandai yang jauh melampaui tingkat kami. Saya sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa dan saya merasa agak sayang juga terpaksa harus menghentikan minum anggur Bhutan yang demikian lezatnya! Karena itu, saya harap cu-wi maafkan kalau saya hendak melanjutkan minum anggur yang lezat itu.” Setelah berkata demikian, kakek berjenggot panjang ini menggerakkan kepalanya.
“Wirrrr...!” Jenggotnya yang panjang itu menyambar ke depan, ke arah guci anggur yang tadi dihadapinya dan tiba-tiba anggur itu melayang ke atas, dilibat ujung jenggot yang panjang!
Guci itu diputar-putar di udara dan dipermainkan oleh jenggot panjang itu, kemudian, ujung jenggot melibat guci dan membawa guci itu menukik ke bawah sehingga anggur yang berada di dalam guci dan masih tinggal seperempat itu tertumpah ke bawah.
Kakek ini membuka mulutnya dan anggur itu persis memasuki mulutnya sehingga kelihatannya dia minum anggur dari guci dengan dilayani oleh jenggotnya! Bukan main hebatnya demonstrasi ini dan semua orang bertepuk tangan memuji! Ceng Ceng sendiri diam-diam juga merasa kagum karena biar pun memainkan guci dengan ujung rambut merupakan hal yang tidak begitu sukar, namun jenggot yang dapat tegak ‘memegang’ guci yang cukup berat itu membuktikan sinkang yang amat kuat!
Kini guci anggur itu sudah habis isinya, hanya tinggal menetes-netes memasuki mulut Tan-ciangkun, sedangkan lengan kanan yang tangannya terkepal itu menggigil, menandakan bahwa kakek itu mengerahkan tenaga sinkang yang kuat untuk membuat jenggotnya tegak kaku menahan guci, kemudian di bawah tepuk sorak memuji, kakek ini memainkan guci kosong dengan jenggotnya. Guci dilontarkan ke atas, tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit, kemudian ketika meluncur turun diterimanya lagi dengan ujung jenggot dan diputar-putar sampai kelihatannya menjadi banyak saking cepatnya.
Setelah Tan Siong Khi mengakhiri permainannya, semua orang lantas bertepuk tangan memuji. Baru jenggotnya saja sudah demikian kuat dan ampuh, apa lagi dengan kaki tangannya! Tan-ciangkun menjura ke sekeliling, kemudian memberi hormat kepada Raja Bhutan dan terdengar suaranya lantang, “Terima kasih hamba haturkan atas pujian sri baginda, padahal permainan hamba tidak ada artinya, apa lagi kalau dibandingkan dengan kepandaian tokoh-tokoh Bhutan yang lihai. Sekarang hamba mohon agar paduka sudi memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Bhutan untuk memperlihatkan kepandaian untuk memeriahkan pesta ini.”
Raja Bhutan mengangguk-angguk dan menoleh ke kanan kiri. Dia tahu bahwa para pengawalnya juga rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba Tan-ciangkun berkata lagi, “Hamba tahu bahwa nona yang menjadi adik angkat sang puteri memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!”
Memang sengaja Tan-ciangkun berkata demikian untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Kalau tidak gara-gara nona muda itu yang mengusulkan, tentu dia dan kawan-kawannya tidak harus memamerkan kepandaian seperti serombongan tukang jual obat atau penari silat di pasar-pasar!
Mendengar ini, Raja Bhutan cepat menengok ke arah Ceng Ceng sambil tersenyum lebar dan berkata, “Aih, sampai lupa aku! Candra Dewi, kau majulah dan perlihatkan kepandaianmu!”
Ceng Ceng terkejut sekali, tidak mengira bahwa dia diperintah raja untuk bersilat! Tentu saja dia tidak berani membantah. Dia sudah berlutut menyembah sambil mengeluarkan kata-kata kesanggupan dengan lirih, matanya melirik gemas kepada Tan-ciangkun yang hanya tersenyum. Kemudian dara itu melompat ke tengah ruangan, mencabut keluar sepasang pisau belati yang sebelumnya merupakan hui-to (golok terbang), yaitu senjata rahasia yang disabitkan, dan mulailah dia bersilat dengan sepasang belati itu.
Gerakannya indah sekali, cepat dan bertenaga sehingga para penonton menjadi kagum karena kelihatannya dara itu sedang menari-nari dengan indahnya, namun gulungan-gulungan kecil dari sinar putih yang seperti selendang kecil digerak-gerakkan itu mengandung cakar maut yang dapat membunuh lawan!
Tepuk sorak bergemuruh menyambut dengan kagum ketika Ceng Ceng sudah merubah permainannya, tepuk sorak yang disertai suara ketawa di sana-sini karena selain lucu juga luar biasa sekali permainan yang kini dilakukan oleh Ceng Ceng. Apa yang terjadi? Dara ini telah menggunakan kuncirnya yang sudah dibagi dua untuk bermain silat! Sepasang kuncirnya itu seolah-olah telah berubah menjadi dua ekor ular hitam yang hidup dan ujung kedua kuncir membelit hui-to kemudian dia bergerak-gerak dengan cepat, menggoyang kepalanya sehingga sepasang kuncir itu memainkan sepasang hui-to itu seperti tadi Tan-ciangkun memainkan jenggotnya. Tentu saja Ceng Ceng berbuat demikian untuk mengejeknya!
Setelah Ceng Ceng mengakhiri permainannya, tentu saja dia disambut dengan tepuk sorak gemuruh, juga Tan-ciangkun ikut bertepuk tangan sambil tersenyum karena dia pun ikut bangga. Betapa pun juga, dia tahu bahwa dara itu bukanlah Bangsa Bhutan, melainkan bangsanya sendiri dan ilmu silat yang dimainkan oleh Ceng Ceng itu adalah ilmu silat dari pedalaman. Dia sudah mendengar bahwa dara yang cantik jelita itu adalah cucu dari kakek Lu Kiong yang dahulu pernah memegang pekerjaan seperti dia, yaitu pernah menjadi pengawal kaisar puluhan tahun yang lalu.
Setelah beberapa orang perwira dan pengawal Raja Bhutan juga memperlihatkan ilmu kepandaian masing-masing, pesta itu berakhir sampai jauh malam, bahkan sudah lewat tengah malam. Semua orang pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Ceng Ceng mengawal kakak angkatnya masuk ke kamar pula. Semenjak menjadi adik angkat Syanti Dewi, Ceng Ceng tidur sekamar dengan puteri itu.
Menjelang pagi, Ceng Ceng terbangun oleh suara tangis. Bergegas dia bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan mencoba untuk melihat di dalam kamar yang telah digelapkan itu. Kiranya yang menangis adalah Syanti Dewi!
“Eh, enci Syanti... kau... kenapakah?” Ceng Ceng cepat meloncat turun dan menyalakan lilin di atas meja. Dilihatnya puteri itu menelungkup sambil menangis terisak-isak.
“Enci Syanti, mengapa kau menangis?” Kembali Ceng Ceng bertanya sambil duduk di pembaringan puteri itu dan mengusap pundaknya.
Puteri itu menengok, lalu bangkit berdiri merangkul Ceng Ceng sambil menangis makin sedih. “Adikku... aihhh... adikku Candra...!”
Ceng Ceng membiarkan puteri itu menangis di pundaknya sampai agak mereda, lalu dia berkata, “Kakakku yang baik, beginikah sikap seorang gagah? Biar pun kita wanita, namun kita menjunjung kegagahan dan tangis merupakan hal yang dipantang, kecuali kalau ada persoalan yang tak terpecahkan dan amat hebat. Apakah yang telah terjadi? Kalau ada persoalan, bicarakanlah denganku, dan marilah kita pecahkan bersama. Tidak ada di dunia ini persoalan yang tidak akan dapat kita pecahkan berdua, bukan?”
Putri itu menghapus air matanya dan memandang adik angkatnya. Tangisnya sudah reda dan melihat wajah adiknya menimbulkan kepercayaan dan hiburan besar baginya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali sebelum bicara, kemudian sambil memegang tangan adik angkatnya dia berkata, “Candra, hati siapa yang tak akan menjadi kecewa, penasaran dan duka? Tadi aku mendengar dari seorang pelayan yang memang kusuruh melakukan penyelidikan di antara rombongan utusan, dan aku mendengar berita yang sangat mengecewakan sebelum tidur tadi.”
“Berita apakah?”
“Berita keterangan tentang Pangeran Liong Khi Ong...”
“Aihhh, tentang calon suamimu?” Ceng Ceng menahan ketawanya. “Bukankah berita itu menggembirakan?”
“Siapa bilang menggembirakan? Ternyata ia adalah seorang laki-laki yang usianya telah lima puluh tahun... hu-huuukkk...” Putri itu menangis lagi.
Ceng Ceng merangkul dan menghiburnya. “Lima puluh tahun belum tua bagi seorang laki-laki, apa lagi kalau dia seorang pangeran,” dara ini mencoba menghibur sebisanya.
“Tapi... tapi... dia mempunyai banyak selir...,” kembali puteri itu terisak.
“Aihh, enci Syanti, apa anehnya tentang itu? Dia seorang pangeran, tentu saja banyak selirnya. Akan tetapi engkau akan menjadi isterinya, mengepalai semua selirnya.”
“Tapi... tapi... aku tidak suka, Candra. Aku merasa seolah-olah berangkat mati saja... kehilangan kebebasanku... menjadi budak belian!”
“Ihhhh...! Mengapa kau berkata begitu, enci Syanti?” Ceng Ceng berseru kaget.
“Mengapa tidak? Apa bedanya aku dengan budak belian? Aku dibeli, dibeli dengan kedudukan dan nama, aku kehilangan kebebasan, harus menurut menjadi isteri siapa saja! Aku... aku ingin menjadi isteri orang yang kupilih sendiri, adik Candra...!” Kembali puteri itu menjatuhkan diri menelungkup, memeluk bantal dan menangis.
Ceng Ceng duduk termenung. Dia dapat menyelami perasaan kakak angkatnya dan tak dapat membantah kebenaran kata-katanya. Memang kaum wanita sama dengan budak belian. Diharuskan menjadi isteri siapa saja, menjadi isteri seorang pria yang belum pernah dilihatnya. Apa bedanya dengan budak belian? Hanya diberi pakaian indah dan penghormatan, namun pada hakekatnya, nasib mereka dalam hal perjodohan tiada bedanya dengan budah belian! Diam-dian hatinya memberontak pula.
“Enci Syanti, kalau begitu, mengapa tidak engkau tolak saja?”
Puteri itu terkejut sekali, lalu bangkit duduk. Dia memandang adiknya, menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Dahulu, dua tahun yang lalu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan ini. Kuterima saja perintah ayah karena memang biasanya demikian, seorang puteri dikawinkan dan aku boleh disebut beruntung menjadi calon isteri seorang pangeran putera kaisar yang besar! Tetapi, setelah pernikahan diundur dua tahun, selama ini timbul penasaran di dalam hatiku mengapa aku harus menikah, mengikatkan hidupku selamanya dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat? Aku masih menghibur diri dengan anggapan bahwa seorang pangeran putera kaisar tentulah seorang pria yang gagah perkasa, tampan, muda dan pendeknya memenuhi impianku tentang seorang kekasih. Siapa tahu... berita itu... dia sudah tua dan banyak selirnya... hu-hu-huuukkk...”
Ceng Ceng menggaruk-garuk belakang telinganya, bingung. “Kalau begitu, bagaimana baiknya, enci Syanti? Kau tolak saja sekarang, bagaimana?”
“Ahhh, kau tidak tahu, adikku. Kalau aku menolak, tentu ayah akan memaksaku karena hal itu selain akan mencemarkan nama keluarga Kerajaan Bhutan, juga berbahaya sekali, dapat menyeret negara ke dalam perang.”
“Ohhhh...!” Ceng Ceng terkejut sekali. “Habis, bagaimana baiknya? Kalau begitu, mari kita... melarikan diri saja. Malam ini juga, biar aku menemanimu, enci...”
Mau tidak mau puteri itu tersenyum masam mendengar ajakan ini. Ajakan yang ugal-ugalan. Mana mungkin puteri raja minggat? Selain percuma karena tentu akan dapat ditangkap, juga amat memalukan. “Tidak bisa, adikku, tidak mungkin itu.”
“Habis bagaimana? Apakah kau akan menerima nasib begitu saja?”
“Apa boleh buat. Aku harus menerima nasib, akan tetapi hatiku tentu akan terhibur sekali kalau kau suka menemaniku ke Kerajaan Ceng di timur sana.”
“Tentu saja aku mau! Aku malah ingin sekali ke sana! Baik, aku akan menemanimu.”
“Akan tetapi, apakah kakekmu akan memperkenankan?”
“Dia harus menyetujui!” Ceng Ceng berkata cemberut. “Aku berasal dari timur sana, sudah sepatutnya kalau dia mengajakku kembali ke sana. Sekarang ada kesempatan baik. Aku ikut denganmu, enci Syanti!”
Demikianlah, keputusan diambil malam itu juga dan pada keesokan harinya, sang puteri memberi tahukan ayahandanya bahwa Candra Dewi akan ikut bersamanya ke timur. Raja Bhutan tak dapat menolak dan kakek Lu Kiong segera diberitahu tentang hal itu.
Kakek ini terkejut, akan tetapi dia pun tidak berani menghalangi kehendak sang puteri, bahkan diam-diam dia harus mengakui bahwa sudah sepatutnya kalau dia membiarkan cucunya itu kembali ke timur. Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan cucunya, dia lalu menyatakan hendak ikut mengawal rombongan sang puteri.
Tentu saja keputusan kakeknya ini menggirangkan hati Ceng Ceng, karena betapa pun juga dia merasa kasihan dan tidak tega kalau harus meninggalkan kakeknya yang sudah tua itu sendirian di Negara Bhutan.
Persiapan untuk keberangkatan Puteri Syanti Dewi dilakukan dan keadaan di istana sibuk sekali. Besok pagi-pagi rombongan yang memboyong puteri itu akan berangkat, pasukan istimewa yang khusus sebanyak lima ratus orang akan mengawal rombongan sampai perbatasan, di mana pasukan Kerajaan Ceng akan menyambut dan mengambil alih tugas pengawalan.
Barang-barang berharga milik sang puteri dikumpulkan sampai berpeti-peti banyaknya. Ceng Ceng sendiri memperoleh kesempatan untuk pulang ke rumah kakek, membantu kakeknya yang juga berkemas dan dibantu oleh murid-murid kakeknya. Wajah para murid itu kelihatan murung karena mereka tahu bahwa sekali ini gurunya pergi untuk tidak kembali lagi ke Bhutan, karena gurunya sudah amat tua.
Sementara itu, tanpa disangka-sangka, di pintu penjagaan benteng, yaitu di pintu gerbang besar, terjadi keributan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan berkuncir panjang, bertangan kosong, sedang ribut mulut dengan para penjaga. Dari pakaiannya mudah dikenal bahwa orang ini datang dari timur, seorang bangsa Han. Karena di kota raja Bhutan sedang ada kesibukan, maka tentu saja para penjaga itu menghadang orang yang tidak dikenal ini sambil menghardik, “Siapakah engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki kota raja?”
Laki-laki itu mengerutkan alisnya. “Hemm, begitukah sikap para penjaga kota raja di Bhutan? Seorang penduduk sini pun tidak akan mengalami gangguan, apa lagi seorang pendatang dari luar yang dapat disebut seorang tamu! Aku datang sebagai tamu, sebagai utusan dan aku ingin menghadap sri baginda!”
Namun kepala penjaga tertawa mengejek. Orang itu pakaiannya biasa saja, sama sekali bukan pakaian seorang berpangkat atau perwira, tentu saja dianggap menggelikan dan membohong ketika mengaku sebagai tamu dan utusan, dan bahkan menimbulkan kecurigaan. Orang begini hendak menghadap raja! Tentu berniat tidak baik, pikir kepala penjaga itu.
“Jangan main gila kau!” bentaknya. “Kau kira mudah saja menghadap sri baginda! Hayo cepat pergi, keluar dari tempat ini atau terpaksa akan kami tangkap sebagai mata-mata musuh!”
Orang itu memandang tajam dan tersenyum. “Kepala penjaga, jangan membuka mulut besar dan sembarangan. Lebih baik kau laporkan kepada atasanmu, kepada Panglima Jayin bahwa ada seorang tamu datang hendak bertemu! Kalau masih belum cukup meyakinkan, katakan bahwa yang datang membawa bunga suci!”
Ucapan ini, apa lagi kalimat terakhir, membuat kepala penjaga menjadi makin marah. Dia melangkah maju dan mendorong dada orang itu sambil berkata, “Engkau masih banyak membantah? Pergilah!”
Akan tetapi, kepala penjaga itu kaget sekali karena dia seperti mendorong sebuah gunung karang saja! Orang itu sama sekali tidak bergerak, maka dengan marah dia lalu memukul dada laki-laki berbaju hitam itu.
“Dukkk!” Bukan tubuh orang itu yang roboh terkena pukulan keras, sebaliknya kepala penjaga itu berteriak dan roboh terpelanting seperti dibanting saja!
“Kau berani melawan?” Dua orang penjaga menyerang dengan tombak mereka dari depan dan belakang.
Akan tetapi, dengan gerakan gesit sekali laki-laki berbaju hitam itu mengelak. Kedua tangannya bergerak menyambar tombak, tangan kiri menangkap tombak dari depan, tangan kanan menangkap tombak dari belakang dan sekali dia mengangkat, dua orang penjaga itu terangkat ke atas seolah-olah hanya seperti daun saja ringannya! Tentu saja mereka terkejut dan berteriak, akan tetapi tubuh mereka segera melayang ke depan dan jatuh terbanting cukup keras, membuat mereka hanya dapat bangkit duduk dengan kepala pening dan mata berkunang!
Para penjaga yang lain datang dan segera menyerang laki-laki yang lihai itu sehingga terjadilah pertandingan keroyokan di depan pintu gerbang. Laki-laki itu menghadapi mereka dengan tenang, hanya menggunakan kaki tangannya untuk menangkis dan merobohkan para pengeroyok tanpa melakukan pembunuhan. Beberapa orang penjaga sudah lari untuk melapor kepada Panglima Jayin.
“Tahan senjata, mundur semua!” Tiba-tiba terdengar suara Panglima Jayin yang sudah cepat datang ke tempat itu. Para penjaga mundur dan saling membantu karena mereka sudah menderita cidera tangan.
Panglima Jayin melangkah maju, berhadapan dengan laki-laki itu. Orang itu segera menjura dan merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dan saling jalin di depan dada, dengan ibu jari saling tindih. Melihat bentuk jari-jari tangan di depan dada ini, Panglima Jayin mengerutkan alisnya dan berkata, nadanya menegur, “Apakah Pek-lian-kauw telah mengalihkan permusuhannya kepada Negara Bhutan?” Pertanyaan ini mengandung teguran dan juga tantangan.
“Ah, ahhh... tidak sama sekali, harap tai-ciangkun suka maafkan. Saya hanya seorang utusan yang bertugas menyampaikan surat dari Raja Muda Tambolon untuk sri baginda di Bhutan.”
“Hemmm... apa lagi sekali ini? Setelah dua tahun yang lalu kalian mencoba hendak menawan raja kami?”
“Saya sendiri tidak tahu, hanya ditugaskan menyampaikan surat. Harap tai-ciangkun suka menghadapkan saya kepada sri baginda.”
“Tidak mungkin! Sri baginda sedang sibuk...”
“Ha-ha, dengan keberangkatan pengantin? Sayang sekali, puteri cantik harus diberikan sebagai hadiah kepada...”
“Tutup mulutmu! Apa hubungannya denganmu? Ayo lekas serahkan surat itu kepadaku, atau kau boleh pergi lagi!” Panglima Jayin membentak marah.
Orang itu tersenyum tenang saja. “Begitu pun baik. Pokoknya surat ini harus terbaca oleh sri baginda di Bhutan.”
Dia mengeluarkan sebuah sampul panjang dan sekali dia menggerakkan tangannya, surat itu melayang ke arah Panglima Jayin. Perwira tinggi besar ini menyambut dan terkejutlah dia ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat pada saat menerima surat yang disambitkan itu. Dari ini saja dia sudah tahu bahwa orang ini memiliki sinkang yang amat kuat dan dia bukanlah tandingan orang ini!
“Ha-ha-ha, tai-ciangkun aku mohon diri!”
“Haii, tunggu sebentar, sobat! Tidak kusangka bahwa Pek-lian-kauw berkeliaran sampai di tempat sejauh ini!” Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah muncul Tan Siong Khi yang telah meloncat ke depan dan menghadang orang berbaju hitam itu. Orang itu memandang tajam, kemudian mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya seperti orang mengejek.
Sedangkan Panglima Jayin cepat berkata. “Tan-ciangkun, harap jangan ganggu dia. Dia hanya seorang utusan yang menyampaikan surat!” Panglima ini tentu saja memegang peraturan umum bahwa seorang utusan sama sekali tidak boleh diganggu, maka dia menghalangi Tan Siong Khi melarang orang itu pergi.
“Sayang sekali...!” Tan Siong Khi berkata.
“Huhhh!” Laki-laki berjubah hitam itu mendengus lagi dan sekali meloncat, tubuhnya melayang tinggi.
“Enak saja kau pergi...!” Tan Siong Khi menggerakkan kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas, agaknya hendak menghadang tubuh orang itu yang sedang melayang.
Akan tetapi, tiba-tiba orang itu berseru keras dan tubuhnya yang sedang meloncat itu berjungkir balik tiga kali dan dapat meloncat lebih tinggi melampaui kepala Tan Siong Khi! Hebat dan indah sekali gerakan ini, membuktikan kemahiran ginkang yang luar biasa.
“Bukan main...!” Jayin berkata kepada Tan Siong Khi setelah orang itu pergi jauh. “Dia lihai sekali, kuat sinkang-nya dan lihai ginkang-nya, merupakan lawan yang lihai.”
Tan-ciangkun tertawa. “Akan tetapi dia pun tidak akan menganggap kita orang lemah!”
“Apa maksudmu, Tan-ciangkun?” tanya Jayin.
Tetapi Tan Siong Khi hanya tersenyum. Tadi ketika tubuh pesuruh Raja Muda Tambolon itu sedang melayang di atasnya, dia menggerakkan kepalanya dan jenggot panjangnya melayang dan menyambar ke atas, merobek celana di selangkangan kaki orang itu. Kalau dia mau, tentu saja bukan celana yang robek, melainkan bagian tubuh yang lebih penting lagi dan yang mematikan!
“Raja Muda Tambolon ini makin menggila saja,” katanya sambil berjalan memasuki pintu gerbang bersama Tan-ciangkun. “Dia telah menghimpun semua kekuatan mereka yang bermaksud memberontak kepada Kerajaan Ceng, yaitu orang-orang dari Tibet, Turki dan Mongol. Dia sendiri adalah peranakan Tibet dan Mongol, dan khabarnya memiliki ilmu kepandaian yang mukjijat. Entah apa maksudnya kali ini, dan anehnya mengapa yang menjadi utusan adalah orang Pek-lian-kauw.”
“Agaknya perkumpulan agama yang tersesat dan menjadi tukang berontak itu kena pula dibujukkan dan menjadi sekutunya,” kata Tan Siong Khi dan Jayin menganggukkan kepalanya.
Memang dugaan ini tidak meleset. Di perbatasan antara wilayah Kerajaan Ceng, yaitu di luar Sin-kiang, gerombolan ini berkumpul dan makin lama menjadi kekuatan yang cukup besar. Pada waktu itu, baik Tibet, Turki, Mongol dan semua raja muda yang menguasai wilayah-wilayah kecil masing-masing telah ditundukkan dan dihancurkan oleh Kerajaan Ceng. Namun, ada beberapa tokoh-tokoh mereka yang belum mau tunduk dan akhirnya mereka ini dapat dihimpun oleh Raja Muda Tambolon untuk bersekutu dan bersama-sama memperkuat diri dalam persiapan mereka menyerang Kerajaan Ceng dan merampas wilayah-wilayah mereka kembali.
Ketika Raja Bhutan membaca surat yang dibawa oleh Jayin, dia berkerut dan kelihatan gelisah. Akhirnya dia mengundang semua pembantu dan orang kepercayaannya untuk membicarakan hal itu. Bahkan Tan-ciangkun juga disuruh hadir karena Raja Bhutan tentu saja mengharapkan bantuan dan perlindungan dari Pemerintah Ceng yang akan menjadi besannya.
“Isi surat dari Tambolon ini membujuk agar Bhutan tidak melanjutkan hubungan kekeluargaan dengan Pemerintah Mancu, dan mereka mengajak kami untuk bersekutu. Kami memanggil kalian bukan untuk minta pendapat mengenai permintaan mereka itu, karena sudah jelas bahwa kami tidak akan menghentikan hubungan kekeluargaan kami dengan Kerajaan Ceng dan kami tidak sudi diajak bersekutu oleh kaum pemberontak bekas orang-orang pecundang dan pelarian itu. Akan tetapi perlu kita bicarakan tentang penjagaan dan pembelaan diri yang perlu kita adakan karena mereka tentu tidak akan tinggal diam setelah kami tidak menghiraukan permintaan mereka.”
Suasana menjadi hening, dan akhirnya terdengar Tan Siong Khi berkata, “Harap paduka bertenang hati. Hamba mengerti bahwa pemboyongan puteri paduka pasti akan mengalami gangguan dan halangan di jalan, mungkin akan dihadang oleh mereka, akan tetapi hamba dan para pengawal akan melindungi sang puteri dengan taruhan nyawa hamba sekalian!”
“Kami mengerti, Tan-ciangkun. Hanya perlu diadakan perubahan, karena bukan hanya rombongan itu yang mungkin akan diganggu, akan tetapi juga Bhutan mungkin akan diserang. Karena itu, kami rasa tidak baik kalau Panglima Jayin sendiri yang mengawal. Dia perlu untuk memperkuat pertahanan di sini. Namun, pengawalan harus diperkuat. Inilah yang membingungkan hati kami.”
“Harap paduka tidak gelisah,” akhirnya Panglima Jayin berkata. “Sudah dipersiapkan pasukan istimewa, lima ratus orang banyaknya dan hamba tidak perlu ikut karena sudah ada suhu Lu Kiong yang memperkuat pengawalan. Apa lagi ada Tan-ciangkun dan para pengawal dari rombongan pemboyong. Kiranya rombongan itu sudah terkawal cukup kuat, dan kalau mereka itu berani menyerang ke sini, kita pun telah siap untuk memukul hancur mereka! Para pemberontak itu tidak memiliki pasukan besar, kabarnya paling banyak dua ribu saja. Terlalu banyak pasukan merupakan bunuh diri bagi mereka karena tentu tidak akan kuat memberi ransum. Biarkan saja mereka datang, hamba bersumpah akan membasmi mereka sampai habis!”
Kata-kata penuh semangat dari Panglima Jayin ini melegakan hati sri baginda, dan mereka lalu merundingkan tentang keberangkatan sang puteri, dan tentu saja juga penjagaan-penjagaan yang perlu diadakan.
Sementara itu, Ceng Ceng yang sudah mendengar tentang kedatangan utusan pemberontak, berkata kepada Syanti Dewi, “Enci Syanti, betapa pun juga, kurasa jauh lebih baik menjadi isteri seorang Pangeran Kerajaan Ceng dari pada jatuh ke tangan pemberontak yang liar dan ganas itu. Bayangkan saja kalau kau dijodohkan dengan seorang raja pemberontak! Selalu akan hidup di medan perang, bahkan selalu menjadi orang pelarian, dan mereka itu tentu merupakan orang-orang ganas dan liar yang amat menyeramkan.”
Syanti Dewi mengangguk. “Aku akan menyesuaikan diri, adikku. Kurasa, apa pun yang akan terjadi atas diriku, aku masih akan terhibur oleh kehadiranmu di sampingku.”
Bunyi musik paduan suara terompet, tambur dan canang riuh gembira diseling ledakan-ledakan mercon mengantar dan mengiringkan keberangkatan rombongan Puteri Syanti Dewi sampai di luar pintu gerbang. Ketika rombongan sudah mulai meninggalkan kota raja, dari jauh masih terdengar suara riuh gembira ini di belakang mereka. Dari dalam jolinya, Syanti Dewi mengusap air matanya yang bercucuran. Betapa takkan pilu hatinya meninggalkan orang tua, keluarga dan tempat kelahirannya itu untuk selamanya? Sedikit sekali kemungkinan dia akan dapat berkunjung ke Bhutan setelah dia menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong!
Ceng Ceng yang berada sejoli dengan puteri itu menghiburnya. Berbeda dengan sang puteri, dara ini kelihatan gembira sekali, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Tentu saja dia girang karena memperoleh kesempatan untuk kembali ke negeri di mana dia dilahirkan, dan kepergiannya ini juga bersama kongkong-nya yang berada di luar bersama para pengawal.
Joli itu tidak dipikul, melainkan merupakan kereta kecil ditarik oleh empat ekor kuda. Beberapa orang pelayan wanita pribadi naik sebuah kereta ke dua, kemudian di sebelah belakang masih ada pula sebuah kereta besar penuh dengan peti-peti bawaan sang puteri. Para pengawal mengapit tiga buah kereta itu di depan, belakang, kanan dan kiri sehingga sang puteri terkurung rapat dan aman.
Pasukan itu megah dan gagah, dikepalai oleh panglima wakil Jayin dan ditemani oleh kakek Lu Kiong yang gagah perkasa, diiringkan pula oleh Tan Siong Khi dan teman-temannya. Mereka semua berkuda, dan di sepanjang perjalanan, rombongan ini menjadi tontonan yang mengagumkan dan mengherankan para penduduk dusun.
Dan untuk menenteramkan hati sang puteri, atas perintah panglima komandan pasukan, di sepanjang jalan para prajurit itu bersama-sama menyanyikan lagu-lagu ketentaraan yang terdengar megah dan gagah. Memang megah sekali menyaksikan rombongan ini. Bendera kebesaran berkibar-kibar tertiup angin, suara nyanyian lima ratus mulut itu menggegap gempita, diseling ringkik kuda.
Perjalanan selama berhari-hari dilakukan dengan aman dan selamat. Tidak tampak ada penghalang sedikit pun sampai mereka tiba di dekat perbatasan antara wilayah Bhutan dan Propinsi Tibet. Lima hari telah lewat dan memang perjalanan itu agak lambat sebab melalui Pegunungan Himalaya, dan pasukan Bhutan itu agaknya ogah-ogahan melepas puteri junjungan mereka sehingga memperlambat perjalanan. Betapa pun juga ada perasaan berat untuk melepas puteri itu ke daerah Ceng, karena setelah nanti bertemu dengan pasukan penjemput di daerah Tibet, pasukan Bhutan akan kembali ke Bhutan dan menyerahkan pengawalan itu kepada pasukan Ceng.
Pada hari kelima rombongan tiba di kaki gunung. Tampaklah padang pasir membentang luas di depan. Diduga bahwa pasukan penjemput sudah berada dekat, di balik gunung pasir di depan. Karena itu rombongan berhenti di hutan terakhir, sebab lebih baik menanti datangnya pasukan penjemput di daerah yang masih sejuk ini karena perjalanan selanjutnya akan melalui daerah pegunungan yang sukar dan berbatu-batu sampai lembah Sungai Brahmaputera di sebelah utara perbatasan Bhutan.
Pasukan dihentikan dan semua turun dari kuda masing-masing. Di hutan itu terdapat mata air yang jernih, airnya mengalir menjadi sebatang anak sungai kecil menuju ke utara dan agaknya anak sungai ini akan memuntahkan airnya di Sungai Brahmaputera. Tentu saja setibanya di sungai besar itu, airnya tidak sejernih ketika keluar dari mata airnya di hutan itu.
Mendengar dendang anak sungai itu, Sang Puteri Syanti Dewi turun dari jolinya dan ingin sekali membasuh mukanya dengan air yang jernih. Maka berjalanlah Syanti Dewi ditemani Ceng Ceng dan dikawal sendiri oleh panglima pasukan dan kakek Lu Kiong, menuju ke tengah hutan dari mana terdengar suara riak air sungai itu.