CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI
BAGIAN 05
PADA tengah hari, tibalah mereka di tepi sebuah sungai! Girang hati mereka karena ternyata nasehat penolong yang berpantun itu ternyata cocok! Mereka tidak mengenal daerah itu dan tidak tahu sungai apakah itu, akan tetapi mereka tahu bahwa mereka sudah berada di daerah yang aman. Mereka harus menyeberangi sungai itu dan melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, tempat ini sunyi sekali. Sungai itu mengalir tenang melalui hutan-hutan dan pegunungan.
Sungai itu adalah Sungai Nu-kiang (Salween) yang bermata air di Gunung Thangla, mengalir ke selatan memasuki Negara Birma. Tanpa sepengetahuan mereka, dua dara itu telah tiba di kaki Pegunungan Heng-toan-san. Tentu saja lembah Sungai Nu-kiang di pegunungan ini amat sunyi sehingga sukarlah bagi mereka untuk mencari perahu agar dapat menyeberang. Tempat itu jauh sekali dari perkampungan nelayan.
Akan tetapi, setelah mereka menyusuri sungai sampai jauh, dari jauh nampak sebuah perahu kecil di pinggir sungai, sebuah perahu kosong! “Di sana ada perahu, adik Candra!” Syanti Dewi berkata girang sambil menuding ke depan.
Ceng Ceng juga sudah melihatnya dan gadis ini memegang tangan kakak angkatnya sambil berkata, “Enci Syanti, karena kita, terutama engkau, adalah orang-orang pelarian yang sedang dikejar-kejar musuh, maka kurasa sebaiknya mulai saat ini engkau jangan menggunakan nama Syanti Dewi sebelum kita selamat di kota raja Kerajaan Ceng.”
Syanti Dewi mengangguk-angguk. “Engkau benar juga, adikku. Lalu nama apakah yang sebaiknya kupergunakan?”
“Bagaimana jika namamu menjadi Sian Cu? She-nya boleh memakai she-ku, yaitu she Lu.”
“Lu Sian Cu? Nama yang bagus sekali!” Syanti Dewi atau Sian Cu berkata girang.
“Dengan nama ini, kalau sekali waktu aku lupa dan menyebutmu enci Syanti, biarlah disangka menyebutmu Sian-ci (kakak Sian). Dan seperti engkau tahu, namaku adalah Lu Ceng. Kita berdua kini mengaku sebagai gadis dari daerah perbatasan yang lari mengungsi ke timur.”
“Baiklah, adik... Ceng. Ah, hampir aku menyebutmu Candra yang bagiku terdengar lebih manis.”
“Nah, mari kita dekati perahu itu. Heran sekali, ke mana tukang perahunya?” Mereka melangkah lagi mendekati perahu dan setelah tiba di dekat tempat di mana perahu itu tertambat di tepi sungai, tampak seorang laki-laki sedang tidur di atas tanah, berbantal batu yang dilandasi kedua tangannya. Laki-laki itu tidur nyenyak, terdengar suara dengkurnya yang keras.
Ceng Ceng dan Syanti Dewi atau kini lebih baik disebut nama barunya yaitu Sian Cu, mendekati tukang perahu yang sedang tertidur nyenyak itu dan memandang penuh perhatian. Dia seorang laki-laki bertubuh sedang, cukup tegap dan tampak kuat karena agaknya biasa bekerja berat, pakaiannya bersih akan tetapi telah terhias beberapa tambalan di dekat lutut dan siku, pakaian sederhana seorang petani atau nelayan, semodel dengan yang dipakai dua orang gadis itu. Sukar ditaksir usia orang itu. Melihat bentuk mukanya, dia kelihatan masih muda sekali, akan tetapi kumis dan jenggotnya yang hitam gemuk dan liar tak terpelihara membuat muka itu kelihatan lebih tua. Model seorang nelayan bodoh yang sederhana dan biasa hidup keras dan sukar!
Ceng Ceng menggunakan ujung bajunya yang lebar untuk mengusap keringat dari dahi ke lehernya. Rambutnya agak awut-awutan dan karena dia tidak memakai caping lagi, benda itu telah hancur ketika dipakai melawan musuh yang lihai di malam hari yang lalu itu, mukanya yang putih halus dan cerah itu agak coklat kemerahan oleh sinar matahari.
“Hei, tukang perahu...!” Ceng Ceng berseru memanggil laki-laki yang sedang tertidur nyenyak itu.
Si tukang perahu tetap tidur mendengkur, sedikit pun tidak bergerak, juga dengkurnya tidak berubah, tanda bahwa teriakan Ceng Ceng itu sama sekali tidak mengganggu tidurnya.
“Paman tukang perahu...!” Ceng Ceng berteriak lebih nyaring lagi.
Sekarang suara mendekur itu berubah agak perlahan, dan kumis liar di bawah hidung itu bergerak-gerak lucu, akan tetapi kumis itu diam lagi dan dengkurnya kini menjadi bertambah keras! Ceng Ceng yang berwatak keras itu mulai jengkel hatinya.
“Heii, tukang perahu yang malas! Bangunlah...!” Dia berteriak nyaring dan mengomel, “Wah celaka, bertemu seorang pemalas seperti kerbau!”
Tukang perahu itu menggerakkan kedua kakinya, menarik kedua tangan dari bawah kepala, mulutnya komat-kamit akan tetapi kedua matanya masih terpejam dan terdengar dia bicara dengan suara ngelindur. “...aduhh... siluman rase... ahhh... siluman ular...”
Dan dia lalu membalikkan tubuh, membelakangi dua orang dara itu, tidur mendengkur lagi lebih keras. Ceng Ceng membanting kaki kanannya, mukanya merah dan matanya terbelalak marah.
“Kurang ajar! Babi pemalas! Tidak bangun malah memaki-maki orang!”
“Sabarlah, Ceng-moi. Dia tidak memaki, dia sedang tidur dan tentu mimpi.”
“Biar pun sedang mimpi, jelas ia memaki kita. Dia menyebut siluman rase, siluman ular, bukankah itu memaki namanya? Di dongeng mana pun juga, siluman rase dan siluman ular selalu menjadi seorang wanita!”
“Tapi jelas dia tidak sengaja, dia sedang tidur.”
“Kalau dia sengaja, tentu sudah kupatahkan semua giginya!” Ceng Ceng berkata lagi, mendongkol sekali. Kakinya mencongkel tanah pasir di depannya dan beterbanganlah pasir dan tanah mengenai kepala dan leher tukang perahu itu.
Tukang perahu itu terdengar mengeluh, kemudian tubuhnya bergerak dan dia sudah terlentang lagi seperti tadi, kedua tangan ditaruh di bawah kepalanya dan dia sudah tidur lagi mendengkur, hanya bedanya, kalau tadi mulutnya tertutup, kini bibirnya terbuka sehingga tampak di bawah kumis liar itu deretan giginya yang putih dan kuat, seolah-olah tukang perahu itu menantang dan memperlihatkan giginya untuk dipatahkan oleh Ceng Ceng! Ceng Ceng yang sedang marah itu makin gemas.
“Tukang perahu yang malas seperti kerbau dan babi!” teriaknya lagi. “Hayo bangun, atau... kulemparkan kau ke dalam sungai!”
Tukang perahu itu tetap tidur.
“Enci, mari kita pakai saja perahu itu!”
“Eh, jangan Ceng-moi. Tak baik mencuri barang orang lain,” kata Sian Cu.
“Kalau begitu, biar kulempar mukanya dengan batu supaya si pemalas itu bangun!”
“Sttt, jangan begitu, Ceng-moi. Kasihan dia, lihat tidurnya begitu nyenyak, siapa tahu semalam dia tidak tidur! Orang yang terlalu lelah, orang yang terlalu sedih, tentu dapat tidur seperti pingsan saja. Pula, kita berdua tidak pandai mengemudikan perahu, tanpa dia, bagaimana kita bisa menyeberang? Siapa tahu, dia bisa mengantarkan kita sampai ke kota yang berdekatan. Tentu dia lebih mengenal daerah ini.”
Ceng Ceng menahan kemarahannya dan kembali dia berteriak, “Tukang perahu malas dan tolol! Lekas bangun, kita hendak menyewa perahumu!”
Kini tukang perahu itu menghentikan suara dengkurnya, sepasang matanya bergerak gerak lalu kelopak matanya terbuka. Dua orang dara itu kaget melihat sepasang mata yang bersinar tajam sekali, tetapi tukang perahu itu mengejapkan matanya beberapa kali seperti belum sadar benar.
“Paman, bangunlah. Kami hendak menyewa perahumu itu!” kata Sian Cu sambil menuding ke arah perahu. Suaranya lunak dan halus dan memang puteri ini memiliki watak yang jauh lebih halus dari pada Ceng Ceng yang keras hati dan jujur.
Tukang perahu itu mengeluh dan bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan ketika dia menurunkan kedua tangan memandang dua orang gadis itu, tiba-tiba dia melompat berdiri dengan mata terbelalak, tubuhnya menggigil dan dia menudingkan telunjuknya kepada Ceng Ceng dan Sian Cu sambil berteriak ketakutan. “Siluman... ehhh, siluman... jangan ganggu aku...!”
“Monyet tua...!” Ceng Ceng sudah bergerak hendak memukul, akan tetapi lengannya dipegang oleh Sian Cu yang tersenyum melihat kemarahan Ceng Ceng. Dengan sabar dia menghadapi tukang perahu yang masih ketakutan itu.
“Paman, engkau tenanglah. Kami bukan siluman, melainkan dua orang gadis yang ingin menyewa perahumu.”
Tukang perahu itu mengangkat kedua tangannya di depan dada dan mulutnya masih komat-kamit, terdengar suaranya. “Aduh... selamat... selamat... selamat..., Tuhan masih melindungi aku...! Maafkan, ji-wi kouwnio (kedua nona), tadinya aku mengira bahwa ji-wi adalah siluman-siluman yang semalam kudengar suaranya yang amat mengerikan! Hiihhh...!” Tukang perahu itu menggerakkan kedua pundaknya dan otomatis Ceng Ceng dan Sian Cu juga bergidik, teringat akan pengalamannya semalam.
“Engkau mendengar apakah, paman?” Sian Cu bertanya.
“Semalam... hiihhh, aku tidak dapat tidur sama sekali. Tadinya aku mengira bahwa aku akan mati dicekiknya, suara aneh-aneh terdengar dari hutan itu, seolah-olah semua penghuninya, siluman dan iblis, sedang berpesta pora. Huh, untung aku masih hidup, aku ingin tidur sampai kenyang. Harap nona berdua jangan menggangguku.” Tukang perahu itu kembali merebahkan diri, siap untuk melanjutkan tidurnya.
“Eh-ehhh... jangan tidur lagi, engkau!” Ceng Ceng membentak. “Kami ingin menyewa perahumu!”
Tukang perahu itu bangkit, akan tetapi tidak berdiri, hanya duduk sambil memandang kepada Ceng Ceng. “Nona, melihat pakaianmu, engkau tentu seorang gadis dusun biasa, akan tetapi sikapmu seperti seorang puteri pembesar tinggi saja!”
“Cerewet kau! Siapa aku, tak perlu kau pedulikan! Kami ingin menyewa perahumu, berapa pun akan kami bayar!” Dia mengeluarkan dua potong uang perak dari saku bajunya dan memperlihatkannya kepada si tukang perahu, dengan keyakinan bahwa sinar perak yang berkilauan itu tentu akan melenyapkan kantuk tukang perahu itu.
Akan tetapi, betapa menjengkelkan sikap tukang perahu itu yang memandang tak acuh, lalu berkata, “Aku tidak menyewakan perahuku.” Dan dia sudah hendak merebahkan dirinya lagi.
“Paman, tolonglah kami. Kami ingin menyeberang, tolong seberangkan kami dan kami akan membayar secukupnya kepadamu.”
Tukang perahu itu memandang Sian Cu, lalu melirik kepada Ceng Ceng yang masih mendelik marah. “Aku tidak menyewakan perahuku, juga aku tidak butuh uang.”
“Kau manusia sombong...!” Ceng Ceng berteriak.
Akan tetapi Sian Cu sudah memegang tangan dara itu dan berkatalah dia dengan suara halus kepada si tukang perahu, “Paman tukang perahu, kalau begitu, anggaplah kami tidak menyewa perahumu, hanya minta tolong kepadamu. Aku percaya bahwa paman tentu akan suka menolong dua orang gadis yang tidak berdaya. Kami melarikan diri mengungsi dari daerah perang dan kami ingin melanjutkan perjalanan menyeberang sungai.”
Suara yang halus dan sopan dari Sian Cu membuat tukang perahu itu kelihatan jadi sungkan juga. Dengan ogah-ogahan dia bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan menguap beberapa kali, lalu memandang ke arah seberang sungai. “Kalian hendak menyeberang? Mau ke mana menyeberang?”
“Kami hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi terhalang sungai ini, maka kami hendak menyeberang,” kata pula Sian Cu mendahului Ceng Ceng yang kelihatannya sudah tidak sabar menyaksikan sikap si tukang perahu.
“Menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan? Aihhh, apakah kalian mencari mati?”
“Apa katamu?” Ceng Ceng sudah membentak lagi.
“Hemm, kau galak sekali, nona. Aku bilang bahwa kalian menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan mengungsi, berarti kalian mencari mati. Di seberang sana hanya terdapat hutan-hutan yang liar dan tak terbatas luasnya, gurun-gurun pasir yang tak bertepi, dan pegunungan yang sukar sekali dilalui manusia selain penuh dengan binatang-binatang buas dan siluman-siluman jahat! Dan kalian hendak menyeberang ke sana? Eh-ehh...!” Dia lalu memandang tajam kepada dua orang gadis itu, pandang mata penuh selidik. “Benar-benarkah... eh... kalian ini manusia, bukan siluman-siluman?”
“Mulut busuk!” Ceng Ceng membentak marah, tidak membiarkan Sian Cu mencegahnya lagi karena dia sudah marah bukan main. “Kalau kami berdua siluman, maka engkau adalah siluman babi Ti Pat Kai!”
Tukang perahu itu melongo, kemudian tertawa. “Ha-ha-ha, kau pandai juga membadut, nona! Masa yang begini dikatakan Ti Pat Kai!” Ti Pat Kai adalah tokoh dalam cerita See-yu-ki, seorang siluman babi yang terkenal, pelahap, dan mata keranjang!
“Paman, harap jangan main-main. Kami berdua sudah melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan, bahkan semalam kami tidak tidur sebentar pun. Sekarang kami ingin melanjutkan perjalanan. Terus terang saja, kami berniat pergi ke Kota Raja Kerajaan Ceng“
“Wahhhh...? Mimpikah aku? Ataukah benar-benar kalian dua orang gadis dusun ini hendak pergi ke kota raja? Tahukah kalian berapa jauhnya kota raja itu? Kalian harus melalui sedikitnya enam propinsi dan ratusan kota! Mengapa kalian dua orang gadis dusun di perbatasan hendak pergi ke tempat sejauh itu?”
“Kami berdua hanya ingin menyeberang, dan engkau begini cerewet! Tukang perahu macam apa sih engkau ini?” Ceng Ceng sudah membentak lagi.
Namun Sian Cu segera berkata, tidak memberi kesempatan kepada si tukang perahu untuk menanggapi kegalakan Ceng Ceng, “Kami mempunyai seorang bibi di sana. Paman, kalau benar di seberang merupakan daerah yang amat berbahaya dan sukar dilalui maka kami harap kau suka menolong kami dan memberi tahu jalan mana yang harus kami tempuh agar kami dapat sampai ke kota raja dengan selamat.”
Tukang perahu itu menggaruk-garuk belakang telinganya. “Terus terang saja, aku sendiri belum pernah pergi ke kota raja. Akan tetapi menurut keterangan yang kuperoleh, jalan satu-satunya ke kota raja hanya menggunakan jalan air, menurutkan aliran Sungai Besar Yang-ce-kiang sampai ke kota besar Wu-han, kemudian melalui jalan darat ke utara sampai Sungai Huang-ho dan mengambil jalan air lagi menurutkan aliran Sungai Huang-ho ke timur sampai ke kota besar Cin-an, baru menggunakan jalan darat ke utara menuju ke kota raja. Akan tetapi letaknya amat jauh dan kiranya akan menggunakan waktu berbulan!”
Ceng Ceng sudah mengerutkan alisnya. Turun semangatnya mendengar keterangan yang membentangkan kesukaran perjalan itu, akan tetapi Sian Cu berkata, “Terima kasih, paman. Engkau baik sekali dan kami akan menggunakan petunjuk itu untuk melanjutkan perjalanan. Lalu bagaimana kita dapat mencapai Sungai Yang-ce-kiang?”
“Dari tempat ini dapat berperahu mengikuti aliran sungai sampai ke dusun Kiu-teng, dari sana terdapat jalan menuju ke Sungai Lan-cang (Mekong), menyeberangi Sungai Lan-cang dan melalui jalan darat ke timur akan mencapai Sungai Yang-ce-kiang.”
“Ah, terima kasih. Kuharap paman sudi membawa kami ke dusun Kiu-teng.”
“Hemmm...”
“Kami akan membayar sewanya, berapa saja yang kau minta, paman.”
“Sikapmu halus dan baik sekali, nona. Siapakah namamu?”
“Namaku Lu Sian Cu, paman,” jawab Sian Cu sambil menunduk supaya tidak tampak perubahan air mukanya.
“Baiklah, Sian Cu. Aku suka mengantarkan engkau ke Kiu-teng yang jaraknya cukup jauh dari sini, makan waktu hampir sehari semalam. Akan tetapi dia itu siapa namanya?” Dia menuding kepada Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng sudah marah memandang dengan mata mendelik, akan tetapi dia didahului oleh Sian Cu.
“Dia adalah adikku, namanya Lu Ceng.”
“Aku hanya mau menyeberangkanmu ke Kiu-teng, nona Sian Cu, bahkan tanpa dibayar apa pun. Tetapi dia itu, hemm... Lu Ceng terlalu galak dan sikapnya tak menyenangkan, maka...”
“Cerewet! Kalau engkau tidak mau aku pun tidak membutuhkan bantuanmu, manusia sombong! Kalau aku melemparmu ke dalam sungai dan membawa perahumu, kau mau bisa apa?”
“Ceng-moi, jangan begitu...!” Sian Cu membujuk adik angkatnya, lalu berkata kepada si tukang perahu. “Paman, kau maafkan adikku yang masih kekanak-kanakan. Kalau aku pergi, dia pun harus ada di sampingku. Harap kau suka memaafkan dan membawa kami berdua ke Kiu-teng.”
Tukang perahu itu bersungut-sungut. “Baiklah, akan tetapi hanya dengan satu janji.”
“Janji apa?” Sian Cu bertanya dan Ceng Ceng sudah siap, kalau si tukang perahu minta janji yang kurang ajar, tentu akan dihantamnya dan dilemparkannya ke sungai!
“Bagimu engkau tidak usah melakukan sesuatu, tidak usah membayar sesuatu. Akan tetapi nona Ceng ini, dia harus menurut perintahku, dia harus membantuku kalau aku perlu bantuannya mendayung perahu atau mengatur layar, dan dia pun harus menanak nasi, air, atau memanggang ikan untukku setiap kali kukehendaki.”
“Setan... kau kira aku siapa...?”
“Adik Ceng, mengapa ribut-ribut? Bukankah permintaannya itu sudah semestinya? Dia mau menolong kita, apakah sebaliknya kita tidak mau menolong dia hanya dengan pekerjaan ringan seperti itu?”
Dengan menggigit bibir saking gemasnya, Ceng Ceng berkata singkat. “Baiklah!”
Tukang perahu itu tertawa. “Nah, silahkan naik ke perahu. Perahu ini kecil dan tentu saja kurang enak, jangan nanti kalian menyalahkan aku.” Sambil berkata demikian, tukang perahu mengambil buntalannya dan menaruhnya di kepala perahu agar ruangan tengah yang terlindung anyaman bambu itu dapat dipakai oleh kedua orang gadis itu.
Mereka memasuki perahu dan meluncurlah perahu itu ke tengah sungai didayung oleh si tukang perahu yang mulai dengan gayanya yang terang-terangan hendak menghukum Ceng Ceng yang dianggapnya galak itu. “Ehhh, nona Ceng, kau masaklah air, itu cereknya, itu batu api, teh di sana... dan beras ada di ujung sana, masak nasi untuk kita bertiga. Aku akan memancing ikan untuk lauknya.”
Ceng Ceng mendelik, akan tetapi jawilan jari tangan Syanti Dewi membuat dia tidak membantah dan dengan bersungut-sungut dia mengerjakan perintah tukang perahu itu. Awas saja kau, pikirnya geram. Nanti kalau kami tidak membutuhkan lagi perahumu, akan kutampar mukamu dan kucabuti kumis dan jenggotmu. Biarlah sekarang dia mengalah. Melakukan pekerjaan yang diperintahkan seorang tukang perahu miskin yang kurang ajar. Sialan!
Akan tetapi tukang perahu itu ternyata pandai sekali mengail. Sebentar saja dia telah mendapatkan dua ekor ikan yang sebesar betis. Dia melontarkan ikan-ikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Bersihkan ikan-ikan itu, beri bumbu. Garam dan lain-lain bumbu ada di poci sebelah kiri itu, dekat kakimu, lalu panggang di atas arang membara. Awas, jangan sampai api menyala, nanti hangus dan tidak enak!”
Lagakmu, Ceng Ceng memaki di dalam hatinya. Kau kira aku tidak tahu caranya masak dan memanggang ikan? Akan tetapi karena dia dan enci-nya membutuhkan perahu itu, bukan hanya perahu itu akan tetapi tukang perahunya karena mereka berdua tidak tahu bagaimana caranya mengemudikan perahu, dia menahan kemarahannya dan mulai melakukan pekerjaan tanpa banyak mengeluarkan suara.
Ceng Ceng adalah seorang dara yang sejak kecil digembleng ilmu silat oleh kakeknya. Wataknya keras, pemberani dan di samping ini, juga harus diakui bahwa dia terlalu dimanja oleh kongkong-nya. Selama tinggal bersama kongkong-nya yang merupakan seorang guru terhormat, dia diperlakukan dengan hormat oleh semua orang. Terutama sekali setelah dia menjadi adik angkat Puteri Syanti Dewi, derajatnya naik dan dia makin dihormati. Tidak pernah ada orang yang berani memandang rendah kepadanya, karena kedudukannya dan juga karena orang maklum akan kelihaiannya. Akan tetapi sekarang, dia bukan saja dipandang rendah, bahkan diperintah oleh si tukang perahu seperti seorang pelayan saja layaknya!
Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan mengkal rasa hatinya sehingga ketika mereka bertiga makan, hanya si tukang perahu dan Sian Cu yang dapat menikmatinya sedangkan Ceng Ceng tidak dapat menikmati makanan itu karena hatinya mendongkol sekali. Sikap tukang perahu itu benar-benar menggemaskan hatinya. Setiap gerak-geriknya seolah mengejeknya, setiap kata-katanya seakan menyindirnya! Mulut yang cengar-cengir itu, dengan kumis yang bergerak-gerak, seperti selalu mentertawakan padanya! Bedebah benar!
Akan tetapi, melihat sikap Sian Cu yang selalu bersabar, Ceng Ceng dapat menahan kemarahannya dan ditambah oleh kelelahan tubuhnya karena malam tadi sama sekali tidak tidur, malam hari itu dia dapat tidur nyenyak bersama Sian Cu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali suara tukang perahu itu sudah berteriak-teriak membangunkan mereka.
“Nona Ceng, bangun! Sudah siang!” teriaknya. Suaranya nyaring dan bukan hanya Ceng Ceng yang bangun, juga Sian Cu.
“Siapa bilang sudah siang?” Ceng Ceng bersungut-sungut ketika melihat bahwa hari masih pagi sekali, sungguh pun malam memang telah lewat dan sinar matahari mulai mengusir kegelapan.
“Hanya seorang pemalas saja yang mengatakan bahwa sekarang belum siang!” kata tukang perahu. “Aku jelas bukan pemalas karena biasanya pada waktu seperti ini aku sudah bangun tidur dan memasak air dan bubur untuk sarapan pagi.”
Ceng Ceng hendak membantah, akan tetapi Sian Cu berbisik, “Kemarin kau memaki dia malas.” Teringat akan kejadian itu, Ceng Ceng diam saja dan mengerjakan apa yang diperintahkan tukang perahu itu.
Tiba-tiba tukang perahu berkata, “Harap kalian tenang, ada kesukaran di depan!”
Dengan kaget Ceng Ceng dan Sian Cu melihat bahwa di sebelah depan tampak dua buah perahu hitam yang ditumpangi masing-masing oleh lima orang, di antara mereka tampak dua orang tosu tua yang bersikap kereng!
“Siapa mereka? Mau apa?” Ceng Ceng bertanya lirih.
“Sstttt... harap kalian diam dan serahkan saja kepadaku menghadapi mereka.” Tukang perahu menjawab dan ketenangan sikapnya membuat dua orang dara itu menjadi heran.
Andai kata mereka itu adalah bajak-bajak sungai yang banyak mereka dengar, sungguh pun hal itu menyangsikan karena di antara mereka terdapat dua orang tosu, maka sikap tukang perahu itu terlampau tenang! Sepantasnya, tukang perahu itu tentu akan menjadi panik dan ketakutan, tidak seperti saat ini, bersikap seolah-olah penuh keyakinan dia akan dapat mengatasi keadaan.
Ceng Ceng memberi tanda dengan kedipan mata kepada Sian Cu, dan puteri ini yang mengerti bahwa dialah yang mungkin menjadi incaran musuh, segera menyembunyikan diri di dalam perahu. Sedangkan dia melirik penuh perhatian dan kewaspadaan. Hatinya berdebar tegang melihat betapa dua buah perahu itu dipalangkan di tengah sungai, agaknya sengaja menghadang perahu yang ditungganginya.
“Haii, tukang perahu!” Terdengar suara bentakan dari dua buah perahu itu. “Hendak ke mana?”
“Kami hendak ke Kiu-teng!” Terdengar jawaban tukang perahu yang ramah dan tetap gembira.
“Bersama siapa? Membawa apa?” Kembali terdengar pertanyaan yang kereng dan berwibawa itu, dan ternyata yang bertanya adalah seorang di antara dua orang tosu yang duduk di dalam perahu pertama.
Tukang perahu itu menoleh ke arah Ceng Ceng yang sedang memasak bubur, lalu berkata, “Bersama isteriku! Kami tidak membawa apa-apa, hendak mencari ikan dan menjualnya ke Kiu-teng!”
Hampir saja Ceng Ceng meloncat dan memaki-maki! Dia diaku sebagai isteri si tukang perahu jahanam itu! Akan tetapi ketika dia menoleh dan sudah siap untuk meloncat, dia melihat Sian Cu memberi isyarat kepadanya dengan jari tangan di depan mulut yang menyuruhnya diam, bahkan Sian Cu lalu menyelimuti dirinya dengan tikar yang berada di dalam perahu. Tentu kakak angkatnya itu hendak menolong si tukang perahu yang sudah menyatakan bahwa tukang perahu itu hanya bersama dengan isterinya!
Ketika Ceng Ceng menengok lagi, tentu saja wajahnya nampak oleh orang-orang di dalam kedua perahu itu, dan terdengarlah suara ketawa lalu seorang di antara mereka yang bermata lebar berseru sambil tertawa, “Haiiii, isterimu cantik sekali, tukang perahu! Boleh aku menyewanya?”
“Perahuku tidak disewakan!”
“Heh, tolol! Bukan perahumu, tetapi isterimu yang kusewa! Berapa sewanya semalam?” Terdengar suara ketawa dari kedua perahu itu.
Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan di hati Ceng Ceng. Namun melihat bahwa kakak angkatnya sudah bersembunyi, dia tidak tega mengganggu, lagi pula ia pun ingin sekali mendengar apa yang menjadi jawaban tukang perahu gila itu.
“Hemm, berapa kau berani bayar, kawan?”
Benar gila! Ceng Ceng mengepal tinju dan sudah siap untuk menghajar mereka semua. Kedua telinganya mengeluarkan bunyi mengiang-ngiang saking marahnya.
“Ha-ha-ha-ha! Nah, kau terimalah uang panjarnya dahulu, dan kalau kau menolak, ini tambahnya!” Dari dalam sebuah di antara dua perahu itu melayang benda ke dalam perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan ternyata sekantung kecil uang tembaga dan sebatang toya baja yang dilontarkan ke depan kaki tukang perahu itu.
Ceng Ceng melirik dengan sudut matanya. Jelas bahwa orang-orang kasar itu memberi uang dan disertai ancaman karena toya itu berarti ancaman kalau permintaan itu ditolak.
Si tukang perahu mengambil kantung, membuka untuk melihat isinya yang hanya uang tembaga, juga dia memegang toya dan melihat-lihat benda itu seperti lagi menimbang-nimbang. Kemudian dia berkata, “Wah, penawarannya masih jauh berkurang, sobat! Bagaimana kalau ditambah nyawamu?” Dia lalu melontarkan kembali kantung uang dan toya.
Ceng Ceng terkejut. Betapa beraninya si tukang perahu! Dan dia melihat betapa semua orang di kedua perahu itu merubung dan melihat toya dan kantung uang, seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada kedua benda itu. Terdengar teriakan lirih dari rombongan itu, “Si Jari Maut!”
Makin heran lagi hati Ceng Ceng ketika dia melihat dua orang tosu itu bangkit berdiri di perahu mereka dan seorang di antara keduanya menjura dengan membentuk tanda jari-jari tangan depan dada sambil berkata. “Harap sudi memaafkan kelakar anak buah kami dan persilakan lewat disertai salam persahabatan kami!”
Si tukang perahu hanya tersenyum, lalu menggunakan dayungnya untuk meluncurkan perahunya lewat di antara kedua perahu yang telah minggir itu, melempar senyum mengejek ke arah mereka, dan kemudian berkata ke dalam perahu, “Nona Sian Cu, keluarlah, tidak ada bahaya lagi sekarang.”
Ceng Ceng langsung membanting panci terisi bubur panas. Dia meloncat bangun dan menudingkan telunjuknya kepada si tukang perahu. “Keparat, mulutmu busuk sekali! Berani kau mengatakan aku sebagai isterimu? Phuahh, tidak tahu diri, tukang perahu jembel busuk!”
Si tukang perahu mengangkat hidungnya. “Hemm, gadis dusun yang galak! Andai kata benar kau adalah isteriku, maka engkaulah yang untung dan aku yang rugi besar!”
“Jahanam...!” Ceng Ceng tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia telah menerjang untuk menampar pipi orang itu. Biar kurontokkan giginya, pikirnya dengan marah.
“Wuuuttttt...!”
Tamparan yang dilakukan dengan cepat sekali dan disertai tenaga sinkang yang kuat itu hanya mengenai angin. Terkejutlah Ceng Ceng karena tidak disangkanya sama sekali bahwa tukang perahu itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, dapat mengelak dari tamparannya. Padahal tamparan itu dilakukan secara tidak terduga dan cepat sekali sehingga jaranglah ada yang dapat mengelakkan begitu mudah! Dia menjadi penasaran sekali dan menerjang lagi, kini tidak lagi menampar, melainkan memukul secara bertubi-tubi dengan kedua tangannya!
“Wuuut-wuuut-wuuut-wuuutt...!”
Semua pukulannya adalah jurus-jurus pilihan dan disertai tenaga sinkang yang amat kuat, namun semuanya dapat dielakkan secara mudah oleh si tukang perahu!
“Ceng-moi, jangan...!” Sian Cu berseru.
“Biar!” Ceng Ceng membantah dengan marah. “Dia kurang ajar, harus kupukul manusia jahanam ini!”
“Eh-eh-ehhh, beginikah engkau membalas budi orang?” Tukang perahu itu tersenyum sambil mengejek. “Ditolong balasnya memukul? Ini namanya diberi air susu dibalas dengan air tuba! Benar-benar gadis galak yang tidak mengenal budi!”
“Setan sungai kau!” Sekarang Ceng Ceng menubruk maju, kakinya menendang dan tangannya menyusul dengan tusukan jari tangannya ke arah perut tukang perahu.
“Wuuutttttt... dukkk!” Tubuh Ceng Ceng terhuyung ketika orang itu terpaksa menangkis tusukan tangannya. Akan tetapi hal itu justru membuat Ceng Ceng makin marah dan dia menerjang lagi.
“Adik Ceng, jangan...!”
“Biarlah, enci. Dia kurang ajar sekali. Dia tentunya manusia busuk!” Dia meloncat dan mengirim pukulan yang amat berbahaya karena dia telah menggunakan jurus pilihan dari ilmu silat kongkong-nya.
Pukulan itu bersiut datang ke arah lambung tukang perahu, akan tetapi tiba-tiba tubuh tukang perahu bergerak dan ternyata dia telah meloncati lewat bilik perahu ke bagian belakang perahu!
“Mau lari ke mana kau!” Ceng Ceng mengejar, juga meloncati bilik itu dan dari atas dia sudah mencengkeram dengan kedua tangannya.
Tapi si tukang perahu itu dengan tersenyum-senyum menyelinap ke bawah, menerobos melalui bilik perahu, dikejar dan memutari tiang layar sambil tertawa-tawa. Sementara itu, semua pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh Ceng Ceng dengan kemarahan meluap-luap itu sama sekali tidak ada hasilnya!
“Ceng-moi... tahan dulu...!” Sian Cu sibuk memegang tangan Ceng Ceng dan berusaha menahan gadis yang marah itu mengamuk.
“Enci, apakah kau tadi tidak mendengar omongan busuknya? Kalau aku tidak dapat memukul pecah mulutnya, aku tidak akan puas!” Dia menarik lengannya secara tiba-tiba sehingga pegangan Sian Cu terlepas dan kembali dia menendang sambil meloncat. Tendangan terbang yang berbahaya sekali, mengarah tenggorokan si tukang perahu.
“Heiiittt... tendangan hebat!” Si tukang perahu mengelak sambil memuji dengan suara mengejek.
“Mampuslah...!” Ceng Ceng membalikkan tubuhnya saat tendangannya tidak mengenai sasaran, sambil membalik, tubuhnya maju dan tangannya yang dikepal menghantam dada.
“Eiiiiihhhh... hebat, wahhh luput! Sayang sekali...!” Kembali si tukang perahu mengejek dan berhasil mengelak.
Dapat dibayangkan betapa jengkel hati Ceng Ceng. Perahu bergerak-gerak miring dan dia sudah menyerang bertubi-tubi, namun tidak berhasil sama sekali. Biar pun kini dia maklum bahwa tukang perahu itu ternyata lihai, namun kemarahannya membuat dia tidak mengenal takut. Hatinya tidak akan terasa puas sebelum dia berhasil merobohkan orang yang dibencinya itu.
“Adik Ceng... ahhh, jangan! Lihat, perahu sudah miring... kita bisa celaka...!”
Memang benar teriakan Sian Cu ini. Gerakan-gerakan dua orang yang berkejar-kejaran seperti tikus dengan kucing ini membuat perahu kehilangan arah dan miring-miring.
“Ha-ha-ha, biarkanlah, nona Sian Cu. Kalau perahu terbalik, baru nona galak itu tahu rasa. Kau jangan khawatir, tentu akan kutolong, tapi dia... biar kembung perutnya terisi penuh air, ha-ha-ha!”
“Jahanam busuk...!” Ceng Ceng hampir menangis dan kini dia mengeluarkan sepasang belatinya. “Engkau harus mampus di tanganku!”
“Adik Ceng...!”
Ceng Ceng yang sudah ‘mata gelap’ saking marahnya itu menyerang dengan dahsyat sekali, tidak peduli akan perahu yang miring. Melihat datangnya dua sinar terang yang menyambarnya, tukang perahu secara tiba-tiba merendahkan tubuh berjongkok dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa kedua tangannya lemas karena secara lihai dan tak tersangka sama sekali, dari bawah menyambar jari-jari tangan tukang perahu itu memapaki gerakan tangannya dan pergelangan tangannya telah ditotok sehingga tangannya yang lumpuh tak mampu lagi memegang sepasang belatinya dan dengan gerakan kilat, sepasang senjatanya itu telah dibuang ke dalam sungai oleh si tukang perahu. Sambil tertawa tukang perahu itu meloncat lagi melewati bilik dan berada di ujung perahu yang lain sambil menyeringai lebar.
“Heh-heh, kau boleh terjun keluar mengejar pisau-pisau dapur itu!”
Kemarahan yang memuncak membuat Ceng Ceng tidak sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi dia jengkel sekali, merasa terhina dan ingin dia menangis dan menjerit-jerit! Dia telah dibikin malu, dihina, dibuat tidak berdaya dan sepasang senjatanya dibuang begitu saja ke dalam sungai!
Tiba-tiba timbul akalnya untuk membalas dendam! Ia menubruk ke depan, disambarnya dayung, dua batang dayung dari perahu itu, bukan dipergunakan untuk senjata, tetapi dayung yang dua buah itu dilemparnya jauh-jauh keluar dari perahu, ke tengah sungai! Kemudian disambarnya tali layar, direnggutnya sampai putus dan dibuangnya pula, lalu dirobeknya layar.
“Heiiiii... jangan...! Wah-wah, celaka... kau benar-benar liar!” Tukang perahu berteriak-teriak, mengangkat kedua tangannya untuk mencegah dan kelihatan bingung sekali.
Melihat ini, terobatlah hati Ceng Ceng yang panas dan sakit, akan tetapi dia belum juga puas. Dia melihat buntalan si tukang perahu, maka cepat buntalan itu disambarnya pula.
“Jangan itu...!” Tukang perahu berteriak dan meloncat dengan kecepatan seperti burung terbang, melewati bilik dan tangannya diulur untuk merampas buntalan. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek Ceng Ceng sudah melemparkan buntalan itu sampai jauh ke tengah sungai.
“Byuurrr...!”
“Wah, celaka...!” Tukang perahu berteriak dan dia pun meloncat ke dalam air mengejar buntalannya yang dibuang.
“Byuurr...!” Air muncrat ke atas dan tukang perahu lenyap, menyelam untuk mengejar buntalan yang sudah tenggelam. Tubuh tukang perahu terseret air yang mengalir cepat.
Ceng Ceng melongo, mukanya agak pucat. Melihat tukang perahu itu lenyap ditelan air, dia kaget dan merasa khawatir sekali. Kekhawatiran yang menimbulkan penyesalan. Jangan-jangan tukang perahu itu akan mati terseret arus yang kencang, pikirnya. Buntalan itu tentu amat penting baginya. Mungkin segala harta milik tukang perahu yang miskin itu berada di dalam buntalan, maka tentu saja dia mati-matian mempertahankan miliknya dan jangan-jangan dia mengorbankan nyawa dalam mengejar buntalan.
“Ceng-moi... celaka... perahunya hanyut dan miring...!” Terdengar jerit Sian Cu.
Ceng Ceng baru tersadar dan dia mendekati enci-nya. Segera dia pun menjadi bingung. Perahu terseret dan terbawa arus yang kuat sekali dan karena perahu itu kehilangan kemudi, maka dipermainkan air oleng ke kanan kiri. Ditambah lagi kepanikan mereka yang berdiri di perahu, menjaga keseimbangan badan ketika perahu oleng, malah menambah miring perahu. Kedua orang dara itu menjadi makin bingung!
“Bagaimana, Ceng-moi? Bagaimana kita harus menahan perahu? Mana dayungnya?” Sian Cu menjerit-jerit ngeri karena dia tidak pandai renang.
“Dayungnya...?” Ceng Ceng terkejut.
Dayung, tali layar, semua telah dibuangnya, bahkan layarnya telah dirobek-robeknya! Dia tidak mampu menjawab, dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan perahu dan mereka berdua. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, Ceng Ceng hanya merangkul dan melindungi Sian Cu dengan lengannya sambil berpegang erat-erat pada tiang layar yang terbuat dari bambu itu.
“Jangan bergerak-gerak, enci. Tenang saja agar perahu hanyut dengan tenang!”
Kedua orang dara itu tak bergerak dan benar saja, perahu itu tidak lagi miring-miring, akan tetapi setengahnya telah terendam air dan kini hanyut dengan kecepatan yang mengerikan. Untung bahwa bagian sungai itu tidak dalam dan tidak ada batu-batu menonjol sehingga perahu mereka dapat hanyut terus, tidak menabrak batu yang tentu akan membuat perahu tenggelam. Karena menghadapi bahaya maut yang mengerikan ini, kedua orang dara itu sudah lupa lagi kepada tukang perahu yang tadi meloncat ke air.
Perahu hanyut dengan cepat dan memasuki sebuah dusun yang besar dan ramai. Di tempat ini banyak sekali perahu berada di sungai dan begitu perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu datang dengan cepatnya, gegerlah para nelayan di situ. Perahu-perahu yang berada di tengah dan sedang didayung seenaknya cepat-cepat didayung minggir.
“Minggir...! Perahu hanyut...!”
“Celaka...! Krakkkk...!”
“Braaakkkk! Krakkkk...!”
Terdengar teriakan-teriakan dan dua buah perahu yang tidak keburu minggir telah ditabrak oleh perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam, berikut perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu!
“Ceng-moi...!” Terdengar Sian Cu menjerit sebelum tubuhnya tenggelam.
“Enci Syanti!” Ceng Ceng juga menjerit.
Biar pun belum pernah belajar berenang, namun dara itu telah mendengar bagaimana caranya berenang. Dia lalu menggerak-gerakkan kedua lengannya sambil menendang-nendangkan kakinya sehingga tubuhnya tidak tenggelam, namun karena gerakannya ngawur, tubuhnya segera terseret oleh arus deras.
Orang-orang di situ masih panik dan bingung karena peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, maka tidak ada yang melihat gadis yang hanyut terbawa air yang kencang itu. Mereka yang tadinya duduk di dalam perahu yang pertama tertabrak, sebanyak lima orang, sudah berenang dan berusaha membalikkan perahu mereka. Ada pun perahu kedua yang tenggelam, tidak tampak timbul kembali, juga penumpangnya, seorang laki-Iaki setengah tua, tidak kelihatan muncul di permukaan air.
Tiba-tiba terdengar banyak orang berteriak-teriak keheranan. Siapa tidak akan menjadi keheranan dan kagum sekali ketika melihat perahu kedua yang tenggelam tadi, tiba-tiba saja muncul. Seperti bersayap, perahu itu tahu-tahu telah ‘terbang’ di atas permukaan air dan terus mendarat! Di atas perahu itu tampak seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian basah kuyup memegang dayung panjang di tangan kanan dan mengempit tubuh Syanti Dewi di tangan kiri, berdiri dan mengatur keseimbangan perahu yang meluncur itu dengan tubuhnya. Setelah perahu itu mendarat di atas pasir, setelah tadi ‘terbang’ melalui beberapa buah perahu lainnya, laki-laki itu meloncat dari perahu, terus berjalan pergi dengan cepat sambil memondong Syanti Dewi atau Sian Cu yang masih pingsan!
Tentu saja semua orang terheran-heran, apa lagi setelah mereka berusaha mengejar. Laki-laki itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Ramailah orang membicarakan orang yang aneh itu. Dari keterangan beberapa orang yang mengenal laki-laki aneh itu, ternyata bahwa laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu baru dua bulan lebih tiba di Kiu-teng, yaitu dusun di mana terjadi peristiwa hebat dan aneh itu tadi. Laki-laki itu sering kali duduk di dalam perahu, termenung, kadang-kadang mengangkut barang dagangan menyeberang atau ke tempat lain yang tidak begitu jauh.
Orang itu pendiam, jarang sekali bicara akan tetapi karena pandang matanya dan tutur bahasanya yang jarang itu selalu manis budi, semua orang suka kepadanya. Dalam menerima biaya pengangkutan, orang itu pun tidak cerewet sehingga mulai memperoleh banyak langganan. Anehnya, mereka yang mengenal orang itu, mereka sering kali melihat orang itu mengajak anak-anak kecil untuk bermain-main, mengajar mereka berenang, bernyanyi dan bermain-main. Lebih mengherankan lagi, orang itu hampir selalu menghabiskan uang hasil pekerjaannya untuk menyenangkan hati anak kecil itu, bahkan beberapa kali dia membelikan pakaian untuk anak-anak yang miskin.
“Siapa namanya?” tanya seorang.
“Dia tentu seorang pendekar sakti yang menyamar!”
“Mungkin dia seorang dewa! Kalau manusia, mana mampu menerbangkan perahu?”
Orang yang mengenal laki-laki aneh itu menggelengkan kepalanya. “Itulah anehnya. Dia tidak pernah mau mengaku siapa namanya, hanya mengatakan bahwa dia she Gak, sehingga aku pun hanya menyebutnya Gak-twako (kakak Gak). Anehnya, sikapnya biasa dan sederhana saja. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu!” Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh takjub.
Bagi yang mengenal laki-laki setengah tua itu tentu tidak akan heran menyaksikan kesaktiannya, karena orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Para pembaca cerita Sepasang Pedang Iblis tentu tidak akan pernah melupakan nama ini! Pada waktu itu, di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, Gak Bun Beng masih muda, seorang pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa karena pemuda ini telah banyak mewarisi ilmu silat yang tinggi sekali. Selain ketika masih kanak-kanak dia menjadi murid seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai, ketika menjelang dewasa dia secara kebetulan mewarisi ilmu kesaktian peninggalan seorang manusia dewa yang bernama Koai Lojin. Bukan itu saja, bahkan pernah dia menerima warisan ilmu dari kakek sakti Bu-tek Siauw-jin datuk Pulau Neraka, dan pernah pula menerima pendidikan sinkang dari Pendekar Super Sakti!
Di waktu dia masih muda saja dia telah memiliki kesaktian-kesaktian luar biasa itu, di antaranya adalah ilmu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit), Tenaga Sakti Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin, gabungan tenaga sinkang Swat-im-sinkang dan Hui-yang-sinkang dari Pendekar Super Sakti, di samping ilmu silat-ilmu silat lainnya yang kesemuanya bertingkat tinggi!
Hanya sayang, pemuda tampan dan gagah perkasa itu malang nasibnya hingga banyak mengalami kesengsaraan, bahkan pertalian cinta kasihnya dengan Milana, puteri sulung Pendekar Super Sakti, telah gagal dan putus! Pada akhir cerita Sepasang Pedang Iblis, pemuda Gak Bun Beng yang mengunjungi Pulau Es berpamit kepada Pendekar Super Sakti, berpisah dari bekas kekasihnya, Milana, dan lalu pergi tanpa meninggalkan jejak. Semenjak itu, sampai belasan tahun, namanya tidak pernah lagi terdengar di dunia kang-ouw.
Gak Bun Beng menganggap bahwa nasib hidupnya itu sudah sewajarnya. Kalau dia melihat keadaan riwayatnya, dia bahkan menganggap dirinya masih beruntung karena tidak sampai terjerumus menjadi seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, yang bernama Gak Liat dan dia sendiri dilahirkan di dunia karena kejahatan ayahnya yang memperkosa seorang pendekar wanita Siauw-lim-pai!
Dia seorang anak haram, keturunan seorang ayah yang jahat seperti iblis! Mengingat itu semua, Gak Bun Beng tak pernah menyesali nasibnya dan dia malah menyembunyikan diri, hidup di antara rakyat miskin sederhana, merantau ke pelbagai tempat dan diam-diam tentu saja memperdalam ilmu-ilmunya.
Akhirnya, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia tiba di dusun Kiu-teng itu dan hidup sebagai seorang tukang perahu yang sederhana. Di tempat ini pun, seperti di lain-lain tempat, dia tidak pernah memperkenalkan namanya kecuali hanya she-nya, sehingga oleh tukang perahu lain yang mengenalnya, dia hanya dikenal sebagai Gak-twako, seorang tukang perahu yang hidup sederhana dan pendiam, penyayang kanak-kanak.
Ketika pada hari itu Gak Bun Beng sedang melamun sambil duduk menanti pesanan orang yang akan menyewa perahunya, tiba-tiba perahunya menjadi korban tabrakan perahu yang hanyut itu hingga terguling dan tenggelam. Bun Beng tidak mempedulikan dirinya sendiri, pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah teriakan-teriakan dua orang gadis yang ikut tenggelam bersama perahu yang hanyut itu.
Ketika dia mendengar seorang di antara dua orang gadis itu menyebut nama ‘enci Syanti’, dia menjadi heran sekali. Nama itu terang bukan nama gadis Han! Tentu saja Bun Beng bermaksud menolong mereka, akan tetapi dia bukanlah seorang yang amat ahli dalam ilmu renang, maka dia hanya dapat menolong gadis terdekat. Setelah dia dapat meraih gadis yang pingsan itu dan mulai tenggelam lagi, Bun Beng menggunakan kepandaiannya menyelamatkan perahunya.
Dengan kekuatan yang dahsyat dia menggunakan dayungnya sebagai alat menekan sehingga perahunya meluncur ke atas sedemikian kuatnya sehingga melampaui perahu lain dan dapat mendarat di atas pasir. Karena keadaan yang memaksanya itu, tanpa sengaja dia mengeluarkan kepandaiannya dan barulah dia teringat akan hal ini setelah perahunya mendarat.
Dia menyesali kelengahannya dan terpaksa dia harus meninggalkan perahunya dari tempat itu karena kalau tidak, berarti dia membuka rahasianya yang selama belasan tahun ini disimpannya rapat-rapat. Hanya satu hal membuat dia kecewa, yaitu dia tidak dapat menolong gadis kedua yang telah hanyut terbawa arus air yang amat kuat. Dia tahu bahwa mengejarnya tidak akan ada gunanya dan gadis itu tentu tewas, kecuali kalau ada pertolongan yang tak tersangka-sangka.
Bun Beng membawa Syanti Dewi ke dalam kuil tua yang kosong di tengah hutan, di sebelah timur dusun Kiu-teng dan di lembah Sungai Nu-kiang, merebahkan tubuh yang pingsan itu di atas lantai, kemudian mengeluarkan air dalam perut dara itu, mengurut beberapa jalan darah sampai dara itu mengeluh dan siuman.
“Ahhhhh...!” Syanti Dewi mengeluh dan bergerak, lalu membuka kedua matanya.
Bun Beng memandang wajah itu dan di sudut hatinya terharu. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah gadis asing yang memiliki kecantikan khas agak mirip dengan Milana, bekas kekasihnya yang memiliki darah Mancu bangsawan, karena Milana adalah cucu Kaisar Mancu!
Ketika Syanti Dewi mendapat kenyataan bahwa dia rebah dalam kamar tua dari tembok yang sudah retak-retak, di atas lantai yang kotor, kemudian melihat seorang laki-laki berusia kurang dari empat puluh tahun berjongkok tidak jauh darinya, dia terkejut dan cepat bangkit duduk. Kenyataan pertama adalah bahwa pakaiannya basah kuyup, maka teringatlah dia akan peristiwa yang mengerikan itu, ketika perahu yang hanyut itu tenggelam membawa dia dan Ceng Ceng tenggelam pula.
“Di... di mana aku? Siapakah paman...?”
Biar pun ucapannya itu dikeluarkan dalam keadaan bingung dan terkejut, namun jelas terdengar kehalusan budi bahasa gadis itu.
“Tenanglah, nona. Engkau telah dapat terbebas dari bahaya tenggelam di sungai dan aku adalah seorang tukang perahu yang kebetulan melihat engkau tenggelam bersama perahu hanyut itu,” kata Bun Beng dengan suara halus menghibur.
Tiba-tiba sepasang mata dara itu terbelalak dan dia bertanya, “Bagaimana dengan Ceng-moi? Di mana Ceng-moi...?”
“Engkau maksudkan gadis kedua yang turut terguling dan tenggelam dengan perahu hanyut itu?” Bun Beng bertanya.
“Benar... kami berdua di perahu itu... bagaimana dengan Ceng-moi? Di manakah dia...? Ceng-moi...!” Syanti Dewi menjerit, memanggil nama adik angkatnya penuh khawatir.
Bun Beng menggelengkan kepalanya dan menghela napas. “Menyesal sekali bahwa tenagaku terbatas, aku hanya berhasil menyelamatkanmu, nona. Ada pun nona kedua itu... aku melihat sendiri dia terseret dan hanyut oleh arus sungai yang amat deras dan kuat...”
Makin terbelalak sepasang mata itu, dan wajah Syanti Dewi langsung menjadi pucat sekali. “Paman...! Kau... maksudkan... dia... Ceng-moi...?”
Bun Beng mengangguk. “Kalau tidak terjadi hal yang luar biasa, aku khawatir sekali bahwa dia akan tewas. Air itu deras sekali dan amat dalam.”
“Ceng-moi...!” Syanti Dewi menjerit lalu menangis sesenggukan, menutupi muka dengan kedua tangannya.
Bun Beng memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia diam saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, hanya tangis yang merupakan obat terbaik bagi dara ini.
“Ceng-moi... aihhh... Candra adikku, bagaimana aku bisa hidup tanpa kau? Bagaimana aku berani melanjutkan perjalanan tanpa engkau...? Adik Candra... tega benar engkau meninggalkan aku... hu-hu-huhhhh, lalu aku bagaimana...?”
Mendengar wanita muda itu menyebut gadis kedua dengan nama Ceng-moi dan juga adik Candra, Bun Beng merasa heran. Akan tetapi kerut di alisnya mendalam dan tiba-tiba dia berkata, suaranya penuh nada teguran, “Nona, tidak kusangka bahwa hatimu kejam dan engkau mementingkan dirimu sendiri saja!”
Mendengar teguran aneh ini, tentu saja Syanti Dewi terkejut dan merasa amat heran sehingga sejenak dia lupa akan tangisnya, mengangkat muka yang pucat dan basah dengan mata merah, memandang tukang perahu itu sambil bertanya dengan suara tergagap, “Paman... apa... apa maksudnya...? Aku kejam..., terhadap siapa...?”
“Terhadap siapa lagi kalau bukan terhadap adikmu itu?”
“Paman!” Syanti Dewi bertanya dengan suara keras karena penasaran. “Apa maksudmu dengan kata-kata itu? Aku kejam terhadap adik Ceng Ceng?”
Bun Beng menarik napas panjang. “Ahhh, aku sampai lupa bahwa engkau pun hanya seorang gadis yang tentu saja takkan berbeda dengan seluruh manusia di dusun ini, hidupnya penuh dengan keakuan yang selalu mementingkan diri sendiri. Akan tetapi, coba engkau sadarilah, nona. Engkau menangis dan berduka ini, terus terang saja, yang engkau tangisi dan dukakan ini karena adikmu itu mungkin mati, ataukah engkau menangis dan berduka karena engkau ditinggalkan oleh dia yang kau sandari? Engkau menangisi dia ataukah engkau menangisi dirimu sendiri?”
Syanti Dewi terkejut bukan main! Ucapan itu terdengar seperti halilintar menyambar di tengah hari terik, dan memasuki hatinya seperti setetes air dingin sekali di waktu panas. Sejenak dia melongo dan tercengang, hanya dapat memandang orang itu tanpa mampu berkata-kata, dan otomatis tangisnya pun berhenti!
Bun Beng lalu membuat api unggun tanpa berkata-kata, lalu keluar dari dalam kamar kuil tua dan berkata dari luar kamar, “Sekarang yang terpenting menjaga jangan sampai engkau jatuh sakit. Tanggalkanlah semua pakaianmu dan lemparkan keluar agar dapat kujemur sampai kering. Sementara menanti pakaian kering, kau duduklah di dekat api unggun. Dan engkau tidak perlu khawatir, nona. Di tempat ini tidak orang lain kecuali kita berdua, dan aku akan menjaga di luar kuil.”
Teguran atas tangisnya tadi masih menghujam di ulu hatinya, masih berkesan dalam sekali di hatinya, maka seperti dalam mimpi, dengan mata masih tertuju ke arah pintu dari mana laki-laki itu tadi keluar, tanpa ragu-ragu Syanti Dewi menanggalkan semua pakaiannya satu demi satu, lalu menggulung semua pakaian itu dan melempar keluar pintu.
Hanya tampak sebagian lengan tangan menyambar gulungan pakaian itu, lalu lenyap. Syanti Dewi duduk mendekati api unggun, menutupi dadanya dengan rambutnya yang dilepas kuncirnya. Dia duduk termenung, terheran-heran memikirkan laki-laki aneh yang ucapannya menusuk hatinya dengan tepat sekali, membuat tangisnya terhenti seketika karena dia kini malu sendiri kalau harus menangis, karena tak dapat dibantahnya bahwa tangisnya tadi terutama sekali karena merasa khawatir dan iba kepada dirinya sendiri, bukan kepada Ceng Ceng! Dia menangis karena ditinggalkan.
Karena DIA yang ditinggalkan, karena DIA kehilangan kawan baik, karena DIA kini menghadapi masa depan di istana kerajaan asing seorang diri saja! Kini dia termenung dan merasa heran tiada habisnya karena sedikit ucapan itu menggugah kesadarannya, membuat dia melihat kepalsuan dalam liku-liku kehidupan manusia. Apakah semua tangis yang dikucurkan, semua perkabungan jika ada kematian kesemuanya itu seperti tangisnya tadi juga, semua itu palsu, belaka dan yang menangis itu sesungguhnya hanya menangisi dirinya sendiri saja, bukan menangis demi yang mati?
Bun Beng memeras pakaian gadis itu sampai hampir kering sehingga dijemur sebentar saja pakaian itu sudah kering betul. Pakaian itu digulungnya dan dari luar kamar kuil itu dia berkata, “Nona, pakaianmu sudah kering semua. Terimalah dan segera pakai kembali pakaianmu!” Gulungan pakaian itu dia lemparkan ke dalam dan kembali hanya sebagian lengannya saja yang tampak.
Syanti Dewi merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Cepat dia mengenakan kembali pakaiannya. Di dalam hatinya dia bersyukur kepada Thian bahwa setelah kehilangan Ceng Ceng, kini dia bertemu dengan orang yang demikian baik budinya, seorang laki-laki yang bukan hanya telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi juga yang secara aneh telah menyadarkan batinnya dan kini bersikap demikian sopan kepadanya!
“Aku sudah berpakaian, paman. Harap suka masuk agar kita dapat bicara,” katanya.
Bun Beng melangkah masuk, dan kembali mereka duduk saling berhadapan di atas lantai. Tanpa malu-malu Syanti Dewi kini menatap laki-laki itu dan terkejutlah dia karena baru sekarang tampak olehnya bahwa orang yang berada di depannya jelas bukanlah seorang tukang perahu biasa! Sinar mata laki-laki itu demikian tajam dan berwibawa, namun mengandung kehalusan pandang mata yang penuh kasih sayang dan iba hati.
Wajah itu sangat tampan dan kulitnya halus, kumis dan jenggotnya terpelihara. Seluruh tubuhnya membayangkan perawatan dan kebersihan, bahkan kuku-kuku jari tangannya pun terawat seperti tangan seorang sastrawan, pakaiannya sederhana namun bersih pula. Bukan seorang tukang perahu biasa, agaknya seorang sastrawan yang menyamar sebagai rakyat jelata! Di lain pihak, Bun Beng yang memperhatikan wajah gadis itu juga dapat menduga bahwa gadis ini selain asing karena nama dan bentuk mukanya, juga tentu seorang gadis terpelajar tinggi.
“Nona siapakah?” Bun Beng bertanya singkat.
“Namaku Lu Sian Cu. Boleh aku mengetahui namamu, paman?”
“Sebut saja aku paman Gak. Akan tetapi kuharap engkau tidak merahasiakan namamu karena aku telah mendengar gadis kedua itu meneriakkan namamu, yaitu Syanti.”
Syanti Dewi tercengang dan maklum bahwa tiada gunanya untuk membohong kepada orang yang jelas beriktikad baik terhadap dirinya itu. “Memang Lu Sian Cu adalah nama baruku, paman. Nama yang kupakai dalam perjalanan bersama adikku itu. Nama asliku adalah Syanti Dewi...” Dara itu berhenti untuk melihat reaksi pada wajah laki-laki itu. Namanya adalah nama puteri Kerajaan Bhutan, tentu laki-laki itu akan menjadi terkejut mendengarnya.
Namun tidak ada reaksi apa-apa pada wajah laki-laki itu, dan memang Bun Beng tidak pernah mendengar nama ini. Selama belasan tahun dia tidak mau mencampuri urusan dunia, tidak pula memperhatikan segala peristiwa yang terjadi mengenai pemerintah dan kerajaan mana pun juga!
“Engkau dari suku bangsa apakah, nona?”
Kini tahulah Syanti Dewi bahwa laki-laki ini memang tidak mengenal namanya sama sekali! Hal ini agak mengherankan hatinya, karena daerah ini belum jauh dari Bhutan. Memang namanya yang tidak dikenal orang, ataukah laki-laki ini yang bodoh?
“Aku berbangsa Bhutan...!”
“Ahhh... dan engkau bersama adikmu datang dari Bhutan berdua saja? Hendak ke manakah dan mengapa kalian hanya pergi berdua? Kuharap kau suka menceritakan semua kepadaku agar aku menjadi jelas ke mana aku selanjutnya harus mengantarmu.”
Bukan main girang dan lega rasa hati Syanti Dewi. Benar-benar dia telah ditemukan oleh Thian dengan orang ini yang demikian baik hati! Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada Bun Beng, yang kemudian dibalas oleh laki-laki itu dengan semestinya.
“Paman, aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, dan lebih banyak terima kasih lagi bahwa paman akan sudi melanjutkan pertolongan paman itu untuk mengantar aku sampai ke tempat tujuan. Akan tetapi, hal itu berarti bahwa aku akan membuat paman repot sekali!”
“Ah, tidak ada kerepotan apa-apa, nona. Dan aku pun bukan menolong, tetapi sudah sewajarnyalah kalau aku menolong seorang gadis muda yang kini hanya melakukan perjalanan seorang diri saja.”
“Tapi perjalananku amat jauh, paman.”
“Hemm, sejauh manakah?”
“Sampai ke kota raja Kerajaan Ceng.”
“Hehhh...?” Bun Beng menjadi kaget, juga sama sekali tidak menyangkanya bahwa gadis ini berniat pergi ke kota raja! Akan tetapi dia menduga bahwa tentu ada urusan yang luar biasa pentingnya, maka segera dia berkata, “Memang jauh sekali ke sana, akan tetapi kalau memang perlu, aku bersedia mengantarmu ke sana, nona.”
Kebaikan yang dianggapnya berlebihan ini membuat Syanti Dewi meragu. “Akan tetapi, paman... kabarnya perjalanan ke sana harus menghabiskan waktu berbulan, bagaimana paman dapat meninggalkan keluarga paman...?”
Bun Beng tersenyum dan Syanti Dewi makin kagum. Laki-laki ini tampan dan gagah, juga giginya yang tampak sekilas itu terawat baik, tidak seperti gigi sebagian besar tukang perahu atau orang-orang dusun yang dijumpainya.
“Jangan khawatir, nona. Aku hidup seorang diri di dunia ini, tiada handai taulan, tiada sanak keluarga, tiada rumah tangga. Tetapi, karena perjalanan itu jauh sekali, maka aku tadi mengatakan bahwa kalau perlu, baru aku bersedia mengantarmu. Maka harus dilihat keperluannya dulu. Kalau saja engkau mau menceritakan semua riwayatmu kepadaku, mengapa engkau hendak ke kota raja, dan bagaimana engkau dan adikmu itu sampai terbawa perahu hanyut. Kalau kuanggap memang sepatutnya engkau ke kota raja, tentu akan kuantar.”
Kembali sang puteri menatap wajah Bun Beng sampai beberapa lama, seolah-olah hendak menyelidiki keadaan hati orang itu, kemudian dia berkata, “Paman Gak, terus terang saja kukatakan bahwa riwayatku merupakan rahasia besar yang menyangkut negara, bahkan menyangkut juga mati hidupku. Sekali aku keliru menceritakannya kepada orang yang tidak dapat dipercaya, celakalah aku.”
“Aku tidak perlu membujuk agar engkau mau mempercayaiku, nona. Hanya saja, untuk mengantarmu ke tempat yang demikian jauhnya, aku harus memperoleh kepastian dulu akan alasannya.”
“Aku sudah percaya kepadamu, paman Gak. Kalau engkau bukan orang yang dapat dipercaya, agaknya aku telah mati atau mungkin bernasib lebih buruk lagi. Baiklah, aku akan menceritakan semua keadaanku. Pertama-tama, aku adalah Puteri Syanti Dewi, puteri dari Raja Bhutan.”
Puteri itu berhenti, hendak melihat reaksi wajah orang itu. Namun, tidak ada reaksi apa-apa, seolah-olah orang she Gak itu menganggap seorang puteri raja sama saja dengan seorang gadis dusun anak petani atau nelayan! Hal ini sedikit banyak mendatangkan kekecewaan di dalam hati Syanti Dewi, dan dia cepat melanjutkan, “Dan aku adalah calon mantu Kaisar Ceng!”
Akan tetapi, Bun Beng tidak kelihatan kaget, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang tajam, seolah-olah hendak menjenguk isi hati dara itu. Syanti Dewi menghela napas. Dia kecele kalau ingin melihat wajah orang itu berubah kaget. Agaknya urusan yang menyangkut nama segala raja di raja tidak menggetarkan sedikit pun juga di hati orang itu.
“Rombongan utusan kaisar telah menjemputku di Bhutan, Gak-sioksiok (paman Gak) dan dalam rombongan yang dikawal oleh lima ratus orang pasukan Bhutan itu aku ditemani oleh Ceng-moi.”
“Adikmu yang bernama Candra itu?”
“Dia hanya adik angkat, nama aslinya adalah Lu Ceng, dan nama barunya Candra Dewi, jadi keadaannya berbalik dengan diriku. Dia seorang gadis Han yang memiliki ilmu silat yang lihai sekali.”
Bun Beng mengangguk-angguk, hatinya senang juga mendengar seorang puteri raja mau mengangkat saudara dengan seorang gadis biasa, hal yang membuktikan bahwa puteri yang ditolongnya ini adalah seorang wanita yang berbudi baik!
Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak berangkat dari istana Bhutan sampai mereka diserbu pasukan musuh yang amat besar jumlahnya. Diceritakannya betapa dia bersama Ceng Ceng, dikawal oleh kakek gadis itu, terpaksa menyamar dan melarikan diri karena gelagatnya tidak baik. Betapa kakek itu tewas dalam membelanya dan kemudian dia bersama adik angkatnya itu melarikan diri berdua, mengalami segala kesengsaraan sampai akhirnya terbawa perahu yang hanyut, dan dia tertolong oleh paman Gak itu.
“Demikianlah, paman. Sungguh tidak saya sangka bahwa kalau demikian buruk nasib Ceng-moi. Kasihan sekali dia... demi keselamatanku, dia dan kakeknya sampai harus mengorbankan nyawa.”
“Hemmm, kita belum yakin benar bahwa nona Ceng itu akan tewas. Akan tetapi, tukang perahu yang membawa kalian itu sungguh menarik. Benarkah bahwa dia itu memiliki kepandaian yang hebat?”
“Dia memang lihai sekali. Hal ini baru kami ketahui setelah adik Ceng marah-marah dan menyerangnya. Ternyata ia memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada kepandaian Ceng-moi yang sudah amat lihai itu. Dan baru saya dapat menduga bahwa para pencegat dalam dua buah perahu itu tentulah jeri terhadap dia, entah mengapa, bahkan ada yang membisikkan nama julukan Si Jari Maut.”
Bun Beng mengangguk-angguk. Tidak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan urusan sebesar ini! Yang ditolongnya adalah puteri Raja Bhutan, calon mantu kaisar! Dan ternyata di daerah barat terjadi pemberontakan yang besar pula. Dia tidak ingin terseret ke dalam urusan apa pun juga, tetapi setelah secara kebetulan dia menolong puteri ini, tidak mungkin pula dia membiarkannya saja pergi seorang diri yang tentu merupakan hal yang amat berbahaya sekali.
“Ketika engkau masih bersama nona Ceng, ke manakah tujuan kalian melarikan diri?”
“Kami hanya mentaati pesan kakek dari Ceng-moi, yaitu disuruh melarikan diri ke kota raja Kerajaan Ceng dan menemui seorang puteri kaisar di sana.”
“Puteri kaisar?” Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang.
“Ya, namanya Puteri Milana...”
Bun Beng menelan seruan kagetnya, tetapi dia tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang menjadi merah. Perubahan pada wajah ini tampak pula oleh Syanti Dewi yang cepat bertanya, “Ada apakah, paman?”
“Tidak... tak ada apa-apa,” jawab Bun Beng yang segera bangkit berdiri dan termenung sejenak. Kemudian dia berkata, “Sebelum kita berangkat ke kota raja yang jauh itu, mari kita mencoba untuk mencari adikmu itu. Siapa tahu dia dapat menyelamatkan diri...”
Keduanya lalu menyusuri Sungai Nu-kiang, namun sampai puluhan li jauhnya, mereka tidak melihat ada tanda-tanda bahwa Ceng Ceng mendarat, akan tetapi juga tidak ada melihat mayat gadis itu. Akhirnya, terpaksa Bun Beng mengajak dara itu menghentikan usaha mereka mencari Ceng Ceng dan mulailah dia mengantarkan dara itu ke kota raja, sebuah perjalanan yang amat jauh sekali dan akan memakan waktu berbulan.
"Kau tidak boleh melakukan hal seperti itu, Bu-te! Engkau bisa disangka hendak berbuat kurang patut!"
Mendengar teguran kakaknya itu, Kian Bu tersenyum lebar, “Ahhh, Lee-ko. Peduli apa dengan persangkaan kosong? Buktinya yang penting, dan engkau tentu tahu betul bahwa aku sama sekali tidak ingin melakukan sesuatu yang kurang patut! Aku hanya ingin berkenalan dan mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik. Apa salahnya itu?”
Mau tidak mau Kian Lee tertawa. Memang adiknya ini bengal sekali dan bagi yang tidak mengenalnya betul, tentu perbuatannya akan dianggap sebagai perbuatan kurang ajar dan melanggar susila.
Seminggu yang lalu, adiknya itu sudah mempraktekkan kebengalannya. Ketika melihat sebuah joli digotong angin nakal menyingkapkan tirai memperlihatkan bahwa yang berada di dalam joli itu duduk seorang gadis cantik, tanpa ragu-ragu sama sekali Kian Bu mengejar joli, membuka tirai dan berseru girang, “Haiii, nona Liem...! Engkau hendak ke manakah?”
Tentu saja empat orang penggotong joli mengira bahwa pemuda tampan itu memang kenalan atau anggota keluarga si nona cantik yang mereka gotong, dan baru mereka tahu bukan demikian halnya ketika terdengar nona itu menjawab dengan nada heran dan marah, “Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!”
“Eh, ehh, Liem-siocia. Masa lupa lagi kepadaku? Aku Suma...”
“Aku tidak kenal orang she Suma. Dan aku bukan she Liem, aku she Kiem!” nona itu membentak pula, sedangkan tukang joli terpaksa berhenti dan memberi kesempatan kepada muda-mudi itu untuk bercakap-cakap.
Suma Kian Bu pura-pura kaget. “Aihhh... maaf, maafkanlah aku, Kiem-siocia. Kau mirip benar dengan Liem-siocia yang... cantik. Kalau begitu perkenalkanlah, aku... Suma Kian Bu...”
“Tukang joli, hayo jalan terus!” Nona itu berkata marah dan menutupkan tirai joli.
Ketika joli itu sudah berjalan jauh, Suma Kian Bu hanya tertawa-tawa mendengarkan teguran kakaknya. “Salah-salah kau bisa disangka jai-hwa-cat, penjahat tukang perkosa wanita!” Suma Kian Lee mengakhiri tegurannya.
Sekarang baru sepekan kemudian, sudah kumat pula penyakit Suma Kian Bu dan pemuda ini menyatakan hendak ‘belajar kenal’ dengan seorang puteri yang naik joli. Melihat betapa joli itu tertutup rapat tanda bahwa penumpangnya adalah seorang wanita muda yang tidak mau memperlihatkan diri, Kian Lee mencegah adiknya.
“Biarlah, kalau begitu besok pagi aku akan mencegat dia di depan kelenteng,” kata Kian Bu. “Aku penasaran kalau belum melihatnya. Menurut pemilik warung dekat kelenteng, sudah beberapa hari ini nona itu setiap pagi pergi ke kelenteng dan kabarnya cantik sekali.”
“Huhh, mata keranjang kau!” Kian Lee berkata. “Biarlah besok kau keluar sendiri, aku tidak sudi melihat kau berbuat ceriwis terhadap wanita!”
Seperti telah diceritakan di bagian depan, kakak beradik dari Pulau Es ini mulai dengan perantauan mereka. Dengan perahu mereka meninggalkan Pulau Es dan berkat petunjuk peta yang dibuat oleh Pendekar Super Sakti, ayah mereka, kali ini tanpa banyak kesulitan mereka dapat mencapai daratan besar. Mereka lalu mulai melakukan perjalanan yang amat jauh itu, menuju ke kota raja untuk menemui kakak mereka, yaltu Puteri Milana. Akan tetapi karena baru kali itu mereka merantau, mereka tidak tergesa-gesa dan di setiap tempat yang menyenangkan hati, mereka berhenti sampai dua tiga hari. Bekal mereka cukup banyak sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal uang untuk biaya makan dan penginapan.
Tidak dapat terlalu disalahkan kalau dua orang pemuda itu terpesona menyaksikan tamasya alam yang amat indah, yang tidak dapat mereka lihat di Pulau Es, melihat kota-kota besar dan dusun-dusun yang ramai, apa lagi terpesona melihat gadis-gadis cantik yang selama hidup belum pernah mereka lihat. Hanya bedanya, kalau Kian Lee tetap bersikap tenang-tenang saja, adalah Kian Bu yang seperti cacing kepanasan dan setiap kali bertemu gadis cantik, ingin sekali dia berkenalan! Dorongan hasrat yang wajar saja, sama sekali tidak terkandung nafsu birahi atau keinginan yang tidak patut!
Mereka terpaksa bermalam satu malam lagi di rumah penginapan di kota itu karena Kian Bu yang rewel tidak mau melanjutkan perjalanannya sebelum sempat ‘berkenalan’ dengan nona dalam joli yang setiap pagi pergi ke kelenteng, dengan menggunakan ‘siasatnya’ yang hanya dapat diciptakan otak seorang pemuda yang memang memiliki watak urakan (ugal-ugalan) tapi tidak kurang ajar.
Besoknya, pagi-pagi sekali Kian Bu sudah menanti di tepi jalan, dekat kelenteng. Dia tinggalkan kakaknya yang masih tidur di atas pembaringan dalam kamar penginapan. Jantungnya berdebar tegang dan sebentar-sebentar dia tersenyum membayangkan betapa dia akan dapat berhadapan dengan gadis cantik dalam joli dan dapat bercakap-cakap! Siapa tahu, kalau awak sedang untung, dia akan mendapatkan tanggapan baik dan akan dapat bersahabat, sungguh pun dia hanya ingin melihat kata-kata ramah dan senyum manis ditujukan kepadanya, lain tidak!
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia melihat joli yang dinanti-nantikannya dari jauh. Tidak salah lagi, tentu dia, pikirnya. Tidak ada joli lain yang digotong menuju ke kelenteng!
“Hendak ke mana, lopek?” tanyanya kepada penggotong joli terdekat.
Penggotong joli itu melirik tanpa menoleh dan menjawab singkat, “Ke kelenteng.”
Kian Bu kemudian menghampiri joil dan berteriaklah dia dengan suara girang sambil tangannya menyingkap tirai. “Haiii, kiranya nona Thio... hahhhh...?!” Matanya terbelalak ketika melihat bahwa yang berada di dalam joli itu ternyata adalah Suma Kian Lee, kakaknya sendiri!
Joli dihentikan, Kian Lee meloncat keluar dan tertawa, mentertawakan adiknya yang membanting-banting kaki dan bersungut-sungut karena empat orang penggotong joli sudah tertawa, demikian pula beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu di tepi jalan.
“Lee-ko, engkau sungguh terlalu...!” Kian Bu berkata, akan tetapi dia tidak membantah ketika tangannya ditarik oleh kakaknya, diajak kembali ke penginapan untuk mengambil buntalan mereka.
“Bu-te, kalau tidak begitu engkau tidak akan bertobat. Kau tidak boleh melakukan hal itu, karena biar pun aku yakin bahwa engkau tidak berniat kurang ajar, namun engkau membuat seorang gadis merasa malu dan terhina. Salah-salah engkau akan terlibat dalam perkelahian, padahal ayah sudah berpesan keras-keras bahwa kita tidak boleh mencari gara-gara di dalam perjalanan!”
“Sudahlah, sudahlah, aku memang bersalah besar!”
“Engkau tidak salah besar, Bu-te, akan tetapi engkau terlalu jahil dan kenakalanmu itu dapat mengakibatkan urusan besar. Engkau suka mengganggu gadis, padahal engkau tidak tahu dia siapa, anak siapa, dan engkau mendatangkan rasa terhina dan malu kepadanya. Padahal semua itu kau lakukan hanya untuk main-main, bukan karena memang engkau sungguh tertarik dan suka kepadanya.”
“Kalau begitu, andai kata aku tertarik benar-benar kepada seorang gadis, aku boleh... ehhh, belajar kenal dengannya?”
“Tentu saja boleh, asal caranya tidak kurang ajar dan sewajarnya. Bukan dengan cara urakan menegur orang di jalan pura-pura kenal macam yang kau lakukan itu!”
Wajah tampan dari Kian Bu berseri gembira, lenyap sudah kemengkalan hatinya karena penipuan kakaknya tadi. Memang demikianlah watak Kian Bu. Lincah, kocak, nakal, periang, mudah marah dan mudah tertawa lagi. “Bagus! Kalau begitu aku akan mencari akal lain yang lebih baik.“ Dia melihat kakaknya melotot dan cepat menyambung, “yaitu kalau aku sudah tertarik benar-benar kepada seorang gadis.”
“Kau memang mata keranjang dan nakal!” Kakaknya mengomel.
“Ehh, Lee-ko, apakah kau tidak tertarik dan suka melihat gadis cantik? Mereka itu begitu cantik, begitu manis. Suaranya begitu halus merdu, lirikan dan senyumannya semanis madu, gerak-geriknya amat menyenangkan. Aku tidak percaya kalau tidak suka pula menyaksikan seorang gadis cantik.”
“Biar pun suka, akan tetapi tidak boleh diutarakan secara kasar seperti kelakuanmu.”
“Horeee! Jadi kau pun suka, koko? Bagus, kalau begitu bukan aku sendiri yang suka melihat gadis cantik! Ehhh, engkau lebih suka yang bagaimana, koko? Aku suka gadis yang lincah, yang kocak pandang matanya, yang murah senyumnya, yang pandai bergaul, seperti lagak seekor burung murai yang tak pernah diam dan selalu berkicau meriah dan merdu.”
Di dalam hatinya, Kian Lee merasa tidak senang dan malu harus bicara tentang wanita, akan tetapi hanya untuk melawan dan mencela adiknya, dia menjawab juga, “Sama sekali tidak seperti engkau, aku lebih suka kepada seorang dara yang sopan santun, pendiam, dan menyembuyikan keramahan di balik kesopanan dan kesusilaan.”
“Wah-wah-wah, kalau begitu engkau lebih baik memilih sebuah patung saja, Lee-ko! Ha-ha-ha!”
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan. Aku muak mendengar obrolanmu tentang wanita.”
Demikianlah, kakak beradik yang wataknya berbeda seperti bumi dengan langit ini tidak pernah rukun di dalam perjalanan, dalam arti kata, rukun dalam sifat mereka. Mereka selalu tidak sependapat mengenai cara hidup, apa lagi kalau ada hubungannya dengan pergaulan dan wanita. Mereka hanya rukun dan saling membela mati-matian kalau ada urusan yang langsung mengenai diri mereka. Kian Lee amat mencinta dan membela adiknya, mendahulukan keperluan adiknya dari pada keperluannya sendiri. Sebaliknya Kian Bu amat mencinta kakaknya dan amat patuh, sungguh pun pada lahirnya dia suka membantah, dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih atas segala kebaikan yang dilimpahkan kakaknya kepadanya.
Watak Suma Kian Bu di samping keriangan dan kelincahannya, juga amat romantis. Dia menikmati keindahan alam dengan cara terbuka, dengan wajah berseri, mata bercahaya dan mulut tiada hentinya mengeluarkan puji-pujian, mengagumi bunga-bunga yang indah, suka akan makanan enak, suka mendengarkan nyanyian merdu, suka akan pakaian-pakaian indah, suka mempersolek diri, suka bernyanyi-nyanyi dan tentu saja suka sekali melihat dara cantik!
Sungguh merupakan kebalikan dari sifat Suma Kian Lee yang pendiam, tidak suka bicara kalau tidak penting, biar pun suka mengagumi keindahan, namun rasa sukanya itu dipendam dalam batin saja, berpakaian sederhana tidak mengutamakan keindahan melainkan yang enak dipakai, mengutamakan kesusilaan dan sopan-santun yang bukan paksaan melainkan timbul dari watak aslinya yang menghargai orang lain.
Betapa pun juga, perangai Kian Bu yang riang gembira itu kadang-kadang menular kepadanya sehingga kalau selagi senang hatinya mendengar Kian Bu bernyanyi-nyanyi, dia ikut pula bersenandung sungguh pun tidak bernyanyi dengan nyaring mengeluarkan semua kegembiraan hatinya melalui nyanyian seperti adiknya itu. Apa lagi sikap adiknya yang amat suka akan wanita cantik, kadang-kadang membuatnya termenung dan dia harus mengakui diam-diam bahwa tidak ada kecantikan bunga dan keindahan alam yang melebihi wajah seorang dara, tidak ada suara merdu yang melebihi suara seorang dara!
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah dusun dan karena kemalaman mereka bermalam di sebuah penginapan kecil dan sedang duduk di serambi sambil minum arak hangat, tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta yang dikawal oleh rombongan piauwsu berhenti di depan rumah penginapan itu. Kepala pengawal mendekati kereta dan menyingkap tirai, sedangkan pembantu-pembantunya menahan kuda yang berbusa mulutnya. Agaknya empat ekor kuda itu sudah bekerja berat, lari melalui jarak jauh sehari itu.
Tiba-tiba ujung kaki Kian Bu menyentuh betis kakaknya sebagai isyarat. Kian Lee mengangkat mata melirik adiknya dan menoleh ketika melihat adiknya memandang ke arah kereta. Pintu kereta terbuka, tirai disingkapkan dan turunlah seorang gadis berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita seperti seorang bidadari turun dari kahyangan. Gerak-geriknya begitu halus gemulai ketika dia turun dari kereta dibantu oleh seorang wanita setengah tua dan seorang laki-laki setengah tua yang agaknya adalah ayah bundanya.
Sejenak dara itu berdiri di serambi depan ketika ayahnya bicara dengan pengurus penginapan minta disediakan kamar bagi mereka, kemudian bersama ayah bundanya dara itu memasuki penginapan dan lenyap di dalam kamar. Sibuklah para piauwsu menurunkan barang-barang, dan kereta kemudian ditarik ke sebelah belakang rumah penginapan itu. Jika dihitung dengan kusirnya, semua terdapat sebelas orang piauwsu yang kelihatannya tangkas dan kuat.
Melihat dara tadi menunduk saja, sedikit pun tak pernah melirik kepada mereka, melihat sikap yang amat sopan santun dari gadis itu, padahal ia mengharapkan kerlingan dan senyum, Kian Bu merasa kecewa dan tidak puas. Akan tetapi ketika dia memandang kakaknya, dia melihat kakaknya itu termenung, mukanya agak merah dan kedua tangan kakaknya mempermainkan cawan arak yang telah kosong, agaknya kakaknya itu lagi termenung-menung.
Kian Bu tersenyum. Baru sekarang dia melihat kakaknya termenung setelah melihat seorang dara! Maka segera dia menangkap tangan kakaknya sambil berkata, “Lee-ko, bagaimana?”
Kian Lee mengangkat muka memandang. Melihat sinar mata adiknya yang jelas-jelas menggodanya, mukanya menjadi semakin merah, “Bagaimana apanya?” Dia justru balik bertanya, setengah membentak.
Kian Bu menggerakkan kepalanya ke arah belakang rumah penginapan. “Dia tadi, hebat bukan?”
Kian Lee tidak menjawab segera, melainkan menunduk dan berkata lirih, “Hebat atau tidak, ada sangkut paut apa dengan kita? Jangan kau memikirkan yang bukan-bukan!”
“Ahhh, tidak. Bagiku sih, dia seperti patung hidup! Melirik sedikit pun tidak, tersenyum sedikit pun tidak, bicara sepatah kata pun tidak!”
“Itu tandanya dia seorang dara terpelajar, sopan dan menjaga harga diri tinggi-tinggi, bukan seorang perempuan genit!”
“Hi-hik, aku tahu bahwa dara model inilah yang akan menarik hatimu, koko. Mengapa tidak mengajak dia berkenalan? Eh, secara sopan maksudku?”
Kian Lee memandang adiknya dengan mata melotot. “Mau apa kau? Jangan main gila kau, Bu-te!”
“Ah, tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kalau engkau tertarik kepada dara itu, apa salahnya kalau kau berkenalan dengan dia? Hanya berkenalan, apa sih buruknya? Kalau tidak berkenalan, bagaimana bisa mengerti cocok atau tidak?”
“Aku bukan laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu gadis yang tidak kukenal.”
“Siapa bilang mengganggu? Aihh, koko, engkau benar-benar selalu berprasangka buruk dan tidak percaya kepada adikmu ini. Dan engkau ini selalu hendak berpura-pura, dan bersikap palsu.”
“Hemm, apa lagi ini maksudnya? Jangan kau kurang ajar kepadaku!”
“Koko merasa suka kepada seseorang, akan tetapi pada lahirnya pura-pura dingin, bukankah ini pura-pura namanya? Hati ingin berkenalan, akan tetapi mulut bicara lain, bukankah itu palsu?”
“Kian Bu, engkau masih kanak-kanak, akan tetapi lidahmu tajam. Hati-hati kau, kalau kau bicara seperti itu dengan orang lain, tentu engkau akan mudah sekali menanam permusuhan. Memang kuakui bahwa sikap dan keadaan dara tadi menimbulkan kagum di dalam hatiku, akan tetapi apa yang harus kulakukan? Aku bukanlah seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar seperti engkau!”
“Bagus...!” Kian Bu meloncat bangun dan merangkul kakaknya. “Lee-ko, aku hanya ingin mendengar pengakuanmu bahwa kau tertarik kepadanya. Kita bukanlah orang-orang rendah yang suka melakukan hal-hal tidak patut, akan tetapi tanpa siasat, mana mungkin kau berkenalan dengan dara itu? Aku sudah mempunyai suatu rencana, kalau siasat ini dilakukan, engkau tentu akan berkenalan dengan dia dan bahkan dipandang tinggi dan hormat!” Pemuda tanggung ini lalu berbisik-bisik di dekat telinga kakaknya.
Wajah Suma Kian Lee yang tampan sebentar merah sebentar pucat, dia menggeleng-geleng kepala, akan tetapi akhirnya dia berkata lirih, “Berbahaya sekali siasatmu yang nakal itu, Bu-te!”
“Alaaaa... kau maksudkan piauwsu-piauwsu itu? Serahkan padaku, beres. Dan aku pun bukan ingin memperpanjang pertempuran dengan mereka. Aku hanya menjadi penculik, kau lalu muncul. Habis perkara. Yang penting, dia akan berhutang budi kepadamu dan tentu saja menjadi kenalan. Tidak ada apa-apa yang jahat, bukan?”
“Akan tetapi, kalau kau melukai seorang pun...”
“Koko, engkau anggap aku ini orang macam apa? Aku bukan penculik tulen, bukan pula perampok, mau apa aku melukai orang? Percayalah kepadaku, kelak engkau akan berterima kasih kepadaku kalau sudah menjadi sahabatnya, koko!”
Terpaksa Kian Lee tersenyum dan dengan gerakan gemas seperti hendak menampar kepala adiknya. Kian Bu meloncat menjauh, lalu tertawa-tawa dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik ini pun sudah memasuki kamar mereka dan tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee telah dibangunkan oleh Kian Bu. Seperti biasa setiap pagi, mereka duduk bersila dan bersiulian sebentar, latihan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sekali saja tidak melakukannya terasa kurang enak. Kemudian mereka mandi dan membayar biaya penyewaan kamar lalu berangkat, akan tetapi setibanya di luar dusun, mereka berhenti.
Setelah matahari menumpahkan cahayanya di permukaan bumi, tampak oleh mereka yang dinanti-nanti sejak tadi, yaitu kereta berkuda empat yang dikawal oleh sepuluh orang piauwsu dan seorang kusir. Mereka membiarkan rombongan itu lewat, kemudian mereka membayangi dari jauh.
Biar pun rombongan itu terdiri dari kereta ditarik kuda dan dikawal oleh sepuluh orang piauwsu berkuda, namun tidaklah sukar bagi dua orang muda itu membayangi mereka. Kakak beradik ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kesaktian yang tinggi dan ilmu berlari mereka luar biasa.
Rombongan memasuki sebuah hutan. “Saudara-saudara, hati-hati dan waspadalah, di depan adalah hutan yang cukup besar!” berkata kepala piauwsu yang bermuka merah. Sepuluh orang itu lalu melarikan kuda mereka mengurung kereta, tiga di depan, tiga di belakang, dan masing-masing dua di kanan kiri.
Tiba-tiba para piauwsu itu terkejut sekali ketika melihat sesosok bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar, langsung menimpa atap kereta dan terdengar kain robek disusul jerit nona yang berada di dalam kereta, lalu tampak pula bayangan itu meloncat turun dari kereta sambil memondong tubuh nona itu yang menjerit-jerit dan meronta ronta.
“Tolong...! Penculik...! Tolong Bi Hwa...!” Nyonya dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari kereta yang sudah dihentikan oleh kusir, menangis dan berteriak-teriak.
Para piauwsu sudah cepat bergerak. Enam orang melakukan pengejaran kepada Suma Kian Bu yang berlari cepat memondong tubuh dara itu sedangkan yang empat orang lagi tetap menjaga kereta.
“Kejar! Tangkap penjahat...!” Teriak kepala piauwsu yang memimpin teman-temannya mengejar. Tetapi mereka segera terpaksa turun dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari ketika melihat penculik itu membawa dara itu menyusup-nyusup ke dalam semak-semak tebal.
“Lepaskan aku...! Lepaskan...!” Bi Hwa, dara itu meronta sambil memukul-mukul ke arah dada muka dan kepala Suma Kian Bu.
Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja. “Tenanglah sayang, diamlah manis... aku takkan mengganggumu...!”
Namun Bi Hwa masih meronta-ronta. Meremang seluruh bulu badannya melihat dirinya dipondong dan dibawa lari dengan begitu hati-hati oleh pemuda yang amat tampan ini. Di dalam hatinya yang dilanda kaget dan takut, timbul keheranan mengapa pemuda yang masih amat muda dan amat tampan ini menjadi penjahat!
Tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang menghadang di depan sambil membentak, “Penculik, lepaskan dia!”
Suma Kian Bu yang melihat kakaknya sudah muncul, pura-pura membentak marah, “Engkau pendekar, jangan mencampuri urusanku!”
Suma Kian Lee menerjang ke depan, dan beberapa lamanya kakak beradik itu pukul-memukul, akhirnya sebuah pukulan mengenai kepala Suma Kian Bu yang terhuyung dan roboh. Tentu Bi Hwa ikut pula terbanting kalau saja tidak cepat ditahan oleh Suma Kian Lee. Sejenak Bi Hwa berdiri dengan muka pucat memandang kepada Suma Kian Lee yang telah menolongnya, kemudian menoleh dan memandang Suma Kian Bu yang rebah miring dengan muka pucat seperti telah menjadi mayat!
Kian Lee diam-diam menyesalkan siasat adiknya ini karena jelas tampak betapa gadis itu kaget dan takut. Dia menanti ucapan terima kasih dan sudah bersiap untuk segera mengantarkan dara itu kembali ke kereta dan orang tuanya. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakak beradik itu.
Si dara jelita yang menoleh dan memandang Kian Bu tiba-tiba terisak, kemudian lari... menghampiri Kian Bu, berlutut di dekat tubuh pemuda ini.
“Aihhh, kau... kau telah membunuhnya...! Kau telah membunuhnya...!” Dia menuding ke arah Kian Lee, kemudian mengangkat kepala Kian Bu, memangkunya dan mengusap-usap kepalanya seperti hendak mencari bagian mana dari kepala itu yang pecah dan membuat pemuda ini tewas. “Aduh kasihan sekali engkau...,” bisik Bi Hwa.
Kian Lee berdiri dengan muka pucat. Dan Kian Bu lupa akan permainan sandiwaranya, dia begitu terheran-heran sehingga lupa bahwa dia telah ‘mati’. Dia membuka matanya dan memandang dengan melongo.
“Syukur, kau belum mati... ahhh, aku girang sekali... di manakah yang terluka ?” Bi Hwa bertanya.
Kian Bu menggeleng kepala dan menuding ke arah Kian Lee. “Kau... kau harus cepat menghaturkan terima kasih kepadanya. Dialah penolongmu “
“Dia kejam, memukulmu sampai hampir mati!” Bi Hwa membantah.
“Tapi aku adalah penculikmu, dialah yang menolongmu... lekas kau hampiri dia...,” Kian Bu makin bingung dan merenggutkan dirinya yang masih dipeluk dara itu.
Pada saat itu terdengar bentakan. “Penculik busuk, hendak lari ke mana kau?” Dan muncullah enam orang piauwsu dengan pedang atau golok di tangan masing-masing.
Melihat ini, Kian Lee meloncat dan berkata, “Bu-te, pergi... !”
Terbirit-birit Kian Bu lalu meloncat dan melarikan diri mengejar kakaknya. Sampai jauh sekali mereka berlari, dan terengah-engah mereka berhenti di dalam hutan kecil yang terpisah jauh dari hutan di mana mereka tadi main sandiwara itu.
Tentu saja mereka terengah-engah, bukan karena telah lari cepat dan jauh, melainkan karena sejak tadi hati mereka penuh ketegangan ketika bersandiwara yang kemudian ternyata gagal total itu! Si gadis manis bukan berterima kasih kepada Kian Lee yang ‘menolongnya’ melainkan justru menaruh iba kepada Kian Bu ‘si penculik’! Benar-benar merupakan kebalikan dari apa yang mereka inginkan, dan hampir saja rahasia mereka terbuka ketika para piauwsu itu datang.
“Kau...!” Kian Lee menggerakkan tangan hampir menampar muka adiknya, akan tetapi ditahannya dan dia menarik napas panjang.
“Lee-ko, jangan salahkan aku! Dialah yang salah, gadis tidak tahu terima kasih itu, gadis tidak mengenal budi itu!”
“Diam! Jangan memaki dia! Justeru perbuatannya tadi menambah tingkatnya dalam pandanganku! Dia adalah seorang yang berbudi mulia, mendahulukan rasa iba hatinya terhadap orang yang tertindas. Karena melihat kau kupukul dan mengira engkau tewas, maka dia melupakan semua urusan pribadinya dan menjatuhkan rasa iba hatinya kepadamu. Bukankah itu menandakan bahwa dia seorang yang baik budi?”
Suma Kian Bu kian melongo. Kakaknya ini malah lebih aneh dari pada gadis tadi. Dia menggerakkan pundaknya dan diam-diam berjanji dalam dirinya untuk berhati-hati, agar lain kali jangan mengecewakan hati kakaknya.
“Siasatku tadi memang kurang sempurna, koko. Mestinya, begitu terpukul, aku pura-pura kalah dan melarikan diri, bukan pura-pura terpukul mati. Kalau aku kalah dan lari, tentu perhatiannya tertuju kepadamu.”
“Sudahlah, salah kita sendiri. Kita bermain sandiwara, bertindak palsu dengan tujuan mempermainkan kepercayan hati seorang gadis, maka cara yang tidak baik itu tentu saja mendatangkan hasil tidak baik pula.”
“Aihhh, koko, jangan begitu. Aku telah bersungguh-sungguh membantumu, dan engkau belum pernah membantuku.”
“Hemm, aku memang telah hutang budi kepadamu. Baik, akan kubalas seperti yang kau lakukan kepadaku, hanya hasilnya terserah engkau yang menanggung jawab semua.”
“Tentu saja. Akan tetapi siasatnya harus diperbaiki. Setelah engkau kuserang, engkau pura-pura kalah dan meninggalkan gadis itu untuk berterima kasih kepadaku.”
“Hemmmm...” Kian Lee hanya menggumam mengkal.
Saat yang dijanjikan oleh Kian Lee kepada adiknya itu tiba ketika perjalanan mereka sudah tiba di pegunungan yang menjadi tapal batas Propinsi Hopei. Perjalanan naik turun gunung dan melalui hutan-hutan besar, hanya jarang saja mereka menjumpai pedusunan atau kota. Pada suatu hari, selagi mereka berjalan perlahan di bawah pohon-pohon yang rindang yang amat sejuk karena terlindung dari sinar matahari, mereka bertemu dengan serombongan orang yang terdiri dari dua buah kereta dan dua losin piauwsu. Rombongan yang cukup besar dan kereta itu merupakan kereta mewah, kudanya pun besar-besar sehingga mudah saja diduga bahwa penumpangnya tentulah sebangsa bangsawan atau hartawan.
“Nah, besar kemungkinan di dalamnya ada gadisnya, koko,” bisik Kian Bu.
Kakaknya cemberut. “Apakah di dalam kepalamu itu isinya hanya bayangan gadis-gadis cantik?” bentaknya.
“Alaaaaaa..., koko. Kalau kau begini terus, sampai kapan kau hendak membalas budi?”
“Wah, kau memang sangat cerewet dan selalu ingat kalau mengutangkan sesuatu!” cela kakaknya.
“Dan kau terlalu sabar kalau disuruh membayar hutang!” Adiknya menggoda sehingga Kian Lee kewalahan.
“Kau lihat sendiri, dua buah kereta itu tertutup, mana kita bisa tahu apakah di dalamnya ada gadisnya atau tidak?”
“Ha-ha-ha, apa sih sukarnya untuk mengetahui hal itu?” Tangan Kian Bu bergerak dan tampak oleh Kian Lee sinar-sinar hitam kecil menyambar ke depan.
Adiknya telah menggunakan tanah liat untuk menyambit ke arah kuda yang menarik kereta. Terdengar ringkik keras dan empat ekor kuda yang terkena timpukan tanah liat tepat di bawah telinganya itu meringkik dan meronta berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja kusirnya cepat membentak dan menarik kendali. Rombongan terhenti dan semua piauwsu bertanya sehingga ributlah keadaan di situ.
Dua buah kereta itu tersingkap dari dalam. Ada kepala-kepala orang menjenguk dan bertanya apa yang terjadi dan mengapa ada ribut-ribut di luar, bahkan orang-orang yang menumpang dalam kereta yang kudanya meringkik itu menjadi agak panik karena keretanya bergoyang-goyang. Kesempatan itu digunakan oleh Kian Bu untuk mengintai dan betapa girangnya ketika melihat bahwa di kereta kedua, kereta yang besar dan mewah, terdapat tiga orang penumpang yaitu seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah tanda hartawan, usianya kurang lebih empat puluh tahun, seorang wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan seorang gadis cantik manis yang berusia paling banyak sembilan belas tahun! Seorang gadis cantik dan bajunya merah, manis sekali! Juga Kian Lee melihat ini dan diam-diam dia memuji kecerdikan adiknya.
Bocah itu ada saja akalnya! Akan tetapi sekali ini ‘tugasnya’ lebih berat dari pada yang dilakukan adiknya sebulan yang lalu. Jumlah pengawal ada dua losin orang, dan di antara mereka banyak yang membawa busur, juga sikap mereka lebih gagah dari pada sepuluh orang dahulu itu. Akan tetapi apa boleh buat, kalau dia belum ‘membayar hutang’, adiknya tentu akan rewel terus. Dia hanya akan menjaga agar adiknya jangan bertindak lebih jauh dari sekedar belajar kenal dengan gadis itu!
“Baiklah, kini aku akan membayar hutangku. Kau tunggu di luar hutan ini di sebelah kiri sana,” katanya tanpa banyak cakap lagi.
Kian Bu memegang tangan kakaknya. “Terima kasih, koko!”
Kian Lee merenggut tangannya. “Pergilah!”
Kian Bu tertawa dan meloncat pergi dengan girang sekali. Mau tidak mau, Kian Lee menggeleng kepala dan menarik napas panjang melihat adiknya berloncatan seperti anak kecil berlari sambil berjingkrakan itu. Adiknya itu benar-benar seperti anak kecil, akan tetapi begitu besar hasratnya untuk berkenalan dengan gadis-gadis cantik!
Dia cepat berlari mengejar rombongan yang sudah bergerak lagi itu. Sebentar saja dia sudah dapat menyusul. Kian Lee tidak mau menimbulkan keributan seperti yang biasa dilakukan adiknya, maka dia sengaja mendahului rombongan lalu berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangan. “Harap cu-wi berhenti dulu!”
Melihat ada seorang pemuda berkelebat cepat sekali kemudian berdiri menghadang di tengah jalan, dua kereta lalu dihentikan dan dua losin piauwsu itu cepat menjaga kereta. Pemimpinnya, yaitu seorang piauwsu tua yang berjenggot putih, bersama belasan orang pembantunya menghadapi Kian Lee.
“Kau siapakah dan mau apa menahan rombongan kami?” bentak si jenggot putih.
Akan tetapi Kian Lee tidak mau melayaninya, melainkan melangkah lebar ke arah kereta kedua. Dia segera dikurung, akan tetapi dia berjalan terus menuju ke kereta sambil berkata, “Aku mau bicara dengan mereka! Yang berada di dalam kereta!”
Melihat pemuda tampan ini berpakaian pantas dan tidak membawa senjata, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar, maka para piauwsu ragu-ragu untuk menurunkan tangan besi, dan kereta itu disingkap dari dalam, muncul wajah tiga orang itu.
Kian Lee yang melihat jelas bahwa di dalamnya memang terdapat seorang gadis cantik berbaju merah, segera berkata, “Aku hanya mau mengajak pergi dia itu!” berkata demikian tubuhnya meloncat cepat sekali ke depan, dan tahu-tahu semua orang melihat dia sudah melesat pergi dan lari memondong tubuh gadis berbaju merah yang berteriak teriak. “Tolong... toloooonggg...!”
Beberapa orang piauwsu memasang anak panah pada busurnya.
“Hati-hati, jangan salah sasaran. Arahkan kepada kakinya!”
Belasan batang anak panah melesat mengejar Kian Lee, akan tetapi dengan meloncat-loncat, pemuda itu dengan mudah menghindarkan kakinya dari sambaran anak panah dan mempercepat larinya. Biar pun para piauwsu melakukan pengejaran secepatnya, namun sebentar saja Kian Lee sudah lenyap dari depan mereka.
“Lepaskan aku...! Tolonggg...!”
“Diamlah, aku hanya menculikmu!” Kian Lee menahan kata-katanya karena hampir saja dia bilang ‘Sebentar lagi kau akan tertolong!’
Karena cepatnya dia berlari, tak lama kemudian dia sudah keluar dari hutan itu dan tiba-tiba Kian Bu meloncat keluar menghadang. “Heiiii, perampok! Penculik! Lekas lepaskan gadis manis ini kalau kau tidak ingin kupukul mampus!”
Keduanya segera bertanding menurut rencana dan Kian Lee yang terdesak segera melepaskan gadis itu, menerima beberapa kali pukulan lalu melarikan diri dari situ dengan cepatnya. Dari jauh dia menyelinap dan mengintai ke arah dua orang itu. Dia kagum melihat betapa gadis itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kian Bu sambil menangis.
“Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada kongcu yang telah menyelamatkan nyawa saya...,” kata gadis itu dengan suara merdu.
Kian Bu tersenyum. “Ah, tidak mengapa, nona. Urusan kecil saja itu. Tak perlu berterima kasih. Saya sudah merasa girang kalau nona sudi menjadi sabahat saya.”
Gadis itu kemudian bangkit berdiri karena tangannya ditarik oleh Kian Bu. Dari tempat sembunyinya jelas tampak oleh Kian Lee betapa gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya mengerling tajam ke arah Kian Bu, dan sikapnya amat memikat. “Tentu saja, kongcu. Engkau adalah penolongku, apa pun yang kongcu kehendaki dariku, tentu akan kulakukan untuk membalas budi...”
Kalau saja yang menerima kata-kata ini bukan seorang pemuda tanggung yang masih hijau seperti Kian Bu, tentu dapat menangkap arti di balik kata-kata memikat ini. Akan tetapi dasar dia masih mentah, Kian Bu hanya tersenyum girang dan berkata, “Terima kasih, aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, apa lagi bisa menjadi sahabatmu. Nona, namaku adalah Suma Kian Bu, dan nona siapakah?”
“Namaku...?” Gadis itu terlihat malu-malu dan mengerling tajam disertai senyum simpul. “Aku... Cia Hong Ciauw...”
“Namamu manis sekali, seperti orangnya,” kata Kian Bu.
Ucapan yang keluar dari mulut Kian Bu ini sebenarnya hanyalah ucapan jujur saja dan bukan merupakan sanjungan atau bujuk rayu, melainkan diucapkan karena memang sesungguhnya dia menganggap nama itu manis dan orangnya pun manis! Akan tetapi, wajah gadis itu menjadi merah sekali, malah lebih merah dari bajunya, tersenyumlah dia dengan penuh daya pikat, matanya mengerling, dan dari lehernya keluar suara seperti seekor kucing dibelai.
“Ihiiikk... kongcu bisa saja memuji orang, membikin aku malu saja...” Dan tiba-tiba gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada Kian Bu.
“Lhoh...! Ehhh...! Bagaimana ini...? Wah, jangan...!” Kian Bu menjadi bingung, tubuhnya menjadi kaku dan meremang semua, seolah-olah ada ribuan ekor ulat yang merubung tubuhnya.
Dan pada saat itulah muncul kakek dari dalam kereta bersama para piauwsu.
“Hong Ciauw...!” Kakek itu membentak marah.
Gadis itu lalu melepaskan rangkulannya, terkejut dan mundur, akan tetapi masih sempat melempar senyum dan kerling manis ke arah Kian Bu, lalu berkata, “Dia ini adalah in-kong (tuan penolong) Suma Kian Bu. Kalau tidak ditolongnya, tentu aku tadi sudah mati di tangan penculik kejam...”
Melihat kakek itu melotot marah, Kian Bu tahu bahwa keadaan tak menguntungkannya. Ayah itu tentu marah melihat anaknya merangkul seorang pemuda!
“Eh, maaf... aku... eh, aku hanya menolong puterimu tanpa pamrih sesuatu...”
“Puteri siapa? Dia adalah bini mudaku!” bentak kakek itu.
Sepasang mata Kian Bu makin lama makin lebar sampai menjadi bulat dan tidak dapat lebih lebar lagi, mulutnya juga terbuka sampai lama. Untung di tempat itu tidak banyak lalat! Akhirnya, tanpa mengeluarkan suara bah atau buh, dia membalikkan kedua kakinya dan lari lintang pukang seperti dikejar hantu! Tentu saja para piauwsu yang melihat ini menjadi terheran-heran, apa lagi mendapat cerita nyonya muda itu bahwa pemuda tadi telah menolongnya dari tangan penculik yang amat lihai tadi. Benar-benar seorang pemuda yang aneh, pikir mereka, aneh dan berilmu amat tinggi karena dengan beberapa loncatan saja, bayangan pemuda itu melesat dan lenyap.
Kian Bu berlari terus dengan cepat, merasa seolah-olah gadis manis itu mengejarnya, hendak merangkulnya, hendak menciumnya. Dia bergidik berkali-kali, menggerakkan kedua pundak dan tengkuknya terasa dingin dan ngeri, larinya makin cepat seolah-olah setan gadis itu berada dekat sekali di belakangnya.
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan mendengar suara ketawa ini tahulah Kian Bu bahwa memang ada orang di belakangnya, bukan setan bukan pula siluman, melainkan kakaknya sendiri. Maka dia kemudian berhenti dan terengah-engah memandang wajah kakaknya yang tertawa-tawa dengan gelinya. Baru sekarang dia melihat kakaknya tertawa demikian enak sampai memegang perutnya.
“Ha-ha-ha-ha...! Dia bini mudanya... ha-ha-ha-ha, dan kau dirangkulnya, ha-ha-ha-ha...!” Kian Lee yang tidak biasa tertawa-tawa seperti itu, kini tidak dapat menahan kegelian hatinya.
“Koko, kau... kejam!” Kian Bu membentak dan suara tertawa terhenti.
Dengan mulut masih tersenyum lebar menahan geli hatinya, Kian Lee berkata, “Nah, kau rasakan sekarang, Bu-te. Tidak benarkah kata-kataku bahwa cara yang tidak baik hanya akan menghasilkan ketidak baikan pula? Karena pertolonganmu tadi hanya sandiwara dan pura-pura belaka, hanya palsu, maka hasilnya hanya menimbulkan cemburu seorang suami yang melihat bini mudanya bermain gila dengan orang lain.”
“Huh! Sialan perempuan itu...!” Kian Bu membanting kaki dengan gemas. “Aku tidak akan melakukan hal itu lagi! Tidak lagi!”
“Sudahlah, Bu-te, sekali waktu ada gunanya juga pelajaran pahit seperti ini bagi kita. Nah, marilah sekarang kita cepat mengejar mereka dan membayangi dari jauh.”
“Hehh...?” Kian Bu memandang kakaknya dengan mata lebar. “Perlu apa membayangi? Aku tidak butuh berkenalan dengan perempuan itu!”
“Sekarang bukan urusan berkenalan dengan wanita, Bu-te. Ketahuilah, ketika tadi aku melarikan diri dan mengintai, aku melihat berkelebatnya tiga orang tosu dan aku segera membayangi mereka. Aku sempat menangkap percakapan mereka yang menyatakan bahwa mereka akan turun tangan terhadap rombongan itu malam ini di kuil tua.”
“Eh, siapa mereka itu?”
“Aku tidak tahu, akan tetapi melihat gerakan-gerakan mereka, kalau benar mereka turun tangan mengganggu, para piauwsu itu bukanlah tandingan mereka. Maka kita harus membayangi dan kalau perlu menolong mereka, Bu-te. Sekali ini bukan menolong pura-pura, bukan main sandiwara, melainkan main betul-betulan karena ada pihak yang terancam bahaya.”
“Baik, koko. Akan tetapi kuharap ada penculik sungguhan yang melarikan perempuan itu dan jangan harap aku akan menolong dia. Agaknya orang seperti dia itu memang selalu mengharapkan dibawa pergi penculik!” Kian Bu mengomel.
“Hushh, jangan sentimen, Bu-te! Dia patut dimaafkan karena memang sukarlah mencari seorang penolong pemuda istimewa seperti engkau.”
“Wah, kau tiada habisnya mengejekku, koko!” Suma Kian Bu mengomel dengan suara merengek. “Awas, kalau lain kali engkau yang kecelik, aku pun akan mentertawakanmu juga!”
Dua orang kakak beradik itu menggunakan ilmu berlari cepat, tetapi karena rombongan itu dibalapkan semenjak mengalami gangguan kakak beradik itu, maka setelah hampir malam baru mereka dapat menyusul rombongan itu yang telah berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar hutan. Kuil ini adalah kuil Buddha yang sudah amat tua, sebagian besar bangunan itu sudah runtuh dan agaknya dibuat sebagai tempat perhentian oleh para pendeta Buddha di jaman dahulu ketika mereka mulai dengan penyebaran Agama Buddha sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kini kuil kuno dan rusak itu tentu saja tidak dipergunakan lagi oleh para pendeta dan hanya dipergunakan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu untuk sekedar beristirahat atau kadang-kadang juga bermalam.
Agaknya rombongan yang dilindungi oleh dua losin piauwsu itu memang sudah merencanakan untuk bermalam di tempat itu dan merasa aman karena ada dua losin piauwsu yang mengawal. Akan tetapi, peristiwa penculikan nyonya muda di siang hari tadi, yang dilakukan oleh seorang pemuda dan entah bagaimana nasib nyonya muda itu kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda lain, membuat para piauwsu bersikap waspada, hati-hati dan juga agak cemas. Baru ada seorang perampok saja yang turun tangan, penjahat itu sudah berhasil menculik wanita di hadapan hidung mereka tanpa mereka dapat menangkapnya!
Setelah hartawan itu dan dua orang isterinya turun dari kereta, menempati ruangan kuil yang sudah dibersihkan dan dihangatkan dengan api unggun, duduk di dekat api di atas tikar, para piauwsu yang berjaga-jaga tentu saja membicarakan peristiwa siang tadi. Juga di antara hartawan dan dua orang isterinya terjadi percakapan mengenai peristiwa itu. Terutama si hartawan yang mengomel tak kunjung henti.
“Baru sejenak saja jauh dari sampingku, engkau sudah main gila dengan laki-laki lain,” kata si hartawan kepada bini mudanya.
“Sudah berapa puluh kali kau mengatakan hal itu!” jawab si bini muda dengan berani. “Sampai bosan aku mendengarnya! Engkau tidak terancam bahaya maut, maka bicara sih mudah! Aku yang terancam bahaya maut oleh penculik yang ganas dan kejam sekali itu, setelah ditolong orang, tentu saja aku amat senang dan berterima kasih. Dia masih amat muda, sepatutnya menjadi adikku, kalau aku menyatakan terima kasihku dengan merangkulnya, apakah itu merupakan kejahatan besar?”
“Kalau aku tidak keburu muncul, entah macam apa lagi bentuk terima kasihmu itu, kau perempuan rendah...!”
“Sudahlah, sudahlah...!” Isteri pertama mencela. “Di tengah perjalanan ini, di tempat berbahaya dan di mana bahaya sewaktu-waktu masih selalu mengancam kita, mengapa ribut-ribut mengenai urusan yang telah lewat? Terdengar para piauwsu pun hanya akan menimbulkan rasa malu.”
Setelah ketiga orang itu dengan bersungut-sungut tidur di dekat api dan tidak lagi ribut mulut, para piauwsu yang berjaga-jaga lalu membicarakan peristiwa siang tadi sambil berbisik-bislk. Di antara mereka, Can Si Hok si kepala piauwsu sendiri, juga ikut bercakap-cakap.
“Nasib kita masih baik sehingga ada saja muncul seorang penolong hingga penculikan itu dapat digagalkan,” kata seorang di antara mereka.
“Penculik itu mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Keroyokan anak panah itu dapat dielakkannya semua tanpa menoleh, padahal dia sedang memondong orang dan sedang berlari. Sayang.dia keburu lari sehingga kita tidak sempat mencoba sampai di mana kepandaian ilmu silatnya. Kelihatannya masih muda sekali.”
“Akan tetapi, jelas bahwa kepandaian penolong itu pun lebih hebat,” bantah yang lain. “Buktinya dapat menolong dan mengusir si penculik. Penolong itu pun masih amat muda. Dari cara dia melarikan diri, jelas bahwa ginkang-nya pun amat luar biasa, seperti terbang saja.”
Can Si Hok, si kepala pengawal yang berjenggot putih menarik napas panjang dan berkata, “Kawan-kawan, malam ini harap kalian waspada dan lebih baik kalau tidak seorang pun di antara kita tertidur. Penjagaan di luar kuil harus dilakukan dengan ketat, perondaan di sekitar kuil dilakukan dengan bergiliran. Aku khawatir akan terjadi lagi hal yang tak kita inginkan. Munculnya dua orang tadi, baik si penculik mau pun si penolong, merupakan hal yang amat luar biasa. Selama ini belum pernah pula mendengar di dunia kang-ouw muncul dua jago muda yang sedemikian lihainya. Baiknya, kalau yang seorang jahat, yang seorang baik dan suka menolong. Mudah-mudahan tugas kita sekali ini tidak akan gagal.”
Penjagaan diperketat dan Can Si Hok sendiri ikut melakukan perondaan. Kelihatannya aman dan tidak terjadi sesuatu di tempat yang amat sunyi itu. Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian, karena tidak jauh dari kuil itu terjadi hal-hal yang tentu akan menggegerkan para piauwsu kalau saja mereka mengetahuinya.
Tiga sosok bayangan yang gerakannya gesit bukan main, bagaikan setan-setan saja layaknya, bergerak di antara pohon-pohon mendekati kuil. Setelah dekat dengan kuil mereka mengintai dari balik pohon besar ke arah empat orang penjaga yang menjaga di pojok kuil.
“Kita bunuh saja mereka berempat itu, lalu menyerbu ke dalam,” berbisik seorang di antara mereka.
“Biarlah pinto yang menyelinap ke dalam mencari benda itu, kalian berdua bikin ribut di luar untuk memancing perhatian semua piauwsu. Yang agak lumayan kepandaiannya hanyalah Can-piauwsu itu saja, yang lain-lainnya tidak perlu dikhawatirkan.”
“Baik, akan tetapi bagaimana dengan hartawan itu?” tanya tosu yang ada tahi lalat besar di dagu kanannya, “Dan kedua orang wanita itu?”
“Bereskan saja mereka, hartawan itu adalah seorang yang pelit!” kata tosu kedua.
“Ah, wanita muda itu sayang kalau dibunuh. Dia manis,” kata si tahi lalat.
“Hushhhh... jangan ribut-ribut, kita bergerak sekarang dan... heiii... hujankah...?”
Memang ada air menyiram mereka dari atas pohon besar itu. Tadinya mereka mengira bahwa hujan turun tanpa tersangka-sangka, akan tetapi hidung ketiga orang tosu itu kembang kempis. Mereka meraba-raba air hujan yang menimpa kepala, dan kemudian mendekatkan jari ke depan hidung.
“Mengapa baunya begini?”
“Seperti air kencing!”
Dan ‘hujan’ pun berhenti yang berarti memang tidak hujan sama sekali, melainkan ada orang mengencingi mereka dari atas pohon itu.
“Keparat!” Mereka memaki dan secepat kilat tubuh mereka sudah mencelat ke atas, ke dalam pohon. Mereka berlompatan dan mencari-cari, akan tetapi tidak ada seorang pun di pohon itu! Terpaksa mereka turun lagi dan berbisik-bisik penuh ketegangan.
“Apa yang terjadi?”
“Tentu hanya seekor monyet, siapa lagi?”
“Akan tetapi, biar pun monyet, bagaimana bisa bergerak secepat itu seperti pandai menghilang saja?”
“Kita harus bekerja cepat,” kata tosu bertahi lalat. “Sudah dikabarkan orang bahwa kelenteng kuno ini menjadi tempat keramat. Yang dapat menggoda kita seperti tadi tentu hanya setan saja!”
Ketiganya menjadi tegang. Mereka percaya bahwa setanlah yang menggoda mereka, karena kalau manusia atau binatang, tak mungkin dapat lari dari mereka sedemikian cepatnya. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin dapat dipermainkan, dan kalau yang berada di atas pohon tadi manusia atau binatang sudah pasti mereka akan dapat menangkapnya.
“Marilah kita mulai bergerak,” kata tosu pertama. “Ji-sute (adik seperguruan kedua), kau menyelinap dari kanan, dan kau sam-sute, kau dari kiri. Setelah kalian menyergap keempat orang itu, pinto akan masuk melalui pintu samping yang kelihatan dari sini itu dan selanjutnya kalian harus dapat memancing mereka semua keluar agar leluasa pinto bergerak ke dalam.”
“Baik, suheng,” kata kedua orang tosu itu yang segera berpencar ke kiri dan ke kanan.
“Heiii... aduhhh!” Tak lama kemudian terdengar tosu yang berlari ke kiri terjungkal dan menahan teriakan makiannya.
Mereka berkumpul, kini di tempat tosu itu jatuh.
“Mengapa kau, sam-sute?”
“Tersandung batu! Sialan!”
“Engkau? Dapat tersandung batu? Sungguh aneh.”
“Entahlah, batu itu seperti ada tangannya memegang dan menjegal kakiku. Eh, mana batu jahanam itu?” Dia meraba-raba dan tidak menemukan batu itu. “Aneh sekali, batu itu besar sekali ketika aku menyandungnya, mengapa sekarang menghilang?”
“Ah, sungguh heran, sekali mengapa mendadak engkau menjadi penakut dan gugup sehingga jatuh sendiri, sam-sute. Apakah cerita tentang setan membuat kau penakut?” cela tosu tertua.
“Biarlah empat orang itu kubereskan sendiri, nanti sam-sute menyusul kalau aku sudah memancing mereka keluar,” kata orang kedua yang segera meloncat ke depan dengan sigap. Dua orang temannya melihat dia meloncat ke atas, akan tetapi betapa kaget rasa hati mereka karena tidak melihat temannya itu turun lagi, seolah-olah menghilang begitu saja!
Tosu tertua dan sam-sute-nya yang tadi tersandung batu ajaib itu lantas terbelalak memandang. “Eh, ke mana dia?” tanya sute-nya. “Mana ji-suheng?”
Tosu tertua juga bingung karena sute-nya itu benar-benar lenyap tak menimbulkan bekas. “Ji-sute...!” bisiknya memanggil.
Tiba-tiba terdengar jawaban agak jauh di belakang mereka, akan tetapi bukan jawaban panggilan itu melainkan suara “ceekkk... ceekkk...” seperti orang yang lehernya dicekik! Cepat mereka berdua melompat dan lari ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat saudara yang dicari-cari itu sedang ‘menggantung’ diri di sebuah dahan, tubuhnya berkelojotan, lehernya mengeluarkan suara tercekik dan dia digantung dengan sabuknya sendiri sehingga celananya merosot turun terkumpul di kaki dan karena tosu bertahi lalat itu sudah ‘biasa’ tidak memakai pakaian dalam, tentu saja dia menjadi telanjang bulat di tubuh bagian bawahnya, menimbulkan penglihatan yang lucu sekali!
Kedua orang tosu itu cepat meloncat dan melepaskan sabuk itu dari dahan pohon dan membawa turun saudara mereka yang sudah melotot matanya, terjulur lidahnya dan kebiruan mukanya itu! Mereka segera menjadi sibuk, yang seorang menggosok-gosok leher bekas terjirat itu, kemudian yang kedua membenarkan celana dan mengikatkan lagi sabuknya pada pinggang.
Setelah siuman, tosu ketiga bertanya, “Ji-suheng, mengapa begitu pendek pikiranmu? Mengapa kau hendak membunuh diri dan mengapa pula membunuh diri saja menanti saat seperti ini? Aihh, ji-suheng, kalau kau mati dengan membunuh diri, nyawamu akan melayang ke neraka siksaan!”
“Bunuh diri hidungmu itu!” Si tahi lalat memaki dan bangkit duduk, menggosok-gosok lehernya dan menggoyang-goyangkan kepalanya. “Iblis yang melakukan ini!”
“Ji-sute, coba ceritakan, apakah yang terjadi tadi?” Tanya tosu tertua setelah dia tadi meloncat ke atas pohon menyelidiki, akan tetapi juga tidak menemukan orang di situ.
Tosu bertahi lalat menghela napas lalu bergidik. “Kalian melihat sendiri aku meloncat. Tahu-tahu rambutku ditangkap orang dari atas dan sebelum aku sempat berteriak, jalan darah di leher ditotok membuat aku tak dapat bersuara, dan aku lalu... digantung di dahan itu.”
“Tidak mungkin!” Tosu pertama membantah.
“Mungkin saja!” Tosu ketiga mencela.
“Buktinya dia sudah tergantung di sana, kecuali kalau dia menggantung diri sendiri. Ji-suheng, berterus teranglah, apakah kau benar-benar tidak mencoba membunuh diri? Jangan putus asa, biarlah wanita di kuil itu untukmu, aku tanggung ini!”
“Sam-sute, sekali lagi kau bicara tentang bunuh diri, lehermu yang akan kucekik!” Si tahi lalat berkata marah dan mendongkol.
“Ji-sute, pinto sukar untuk percaya. Walau pun andai kata benar ada orang menangkap rambutmu dari atas dan menotok jalan darahmu di leher sehingga engkau tidak dapat berteriak, akan tetapi kedua tangan masih bebas. Dengan itu kau dapat...”
“Kalau diceritakan memang aneh, suheng, maka tadi kukatakan bahwa setan sajalah yang dapat melakukan itu. Aku sudah melawan tentu saja, dan tangan kiriku ini sudah menampar lambungnya, bahkan aku yakin benar tangan kananku sudah menotok jalan darahnya di pinggang. Akan tetapi aku seolah-olah menampar dan menotok tubuh... mayat saja. Begitu dingin dan sama sekali tidak ada hasilnya, hihhh...!” Dia bergidik dan kedua orang saudaranya ikut merasa ngeri.
“Aihhh... benar-benarkah ada setan di sini...?” Tosu pertama berkata sambil menoleh ke kanan kiri, sedangkan tosu ketiga menggosok-gosok tengkuknya yang terasa tebal.
Tiba-tiba si tahi lalat berkata, “Ahh, bukan, suheng. Teringat aku sekarang! Bukan setan karena aku mendengar dia tertawa, disusul suara yang terdengar jelas akan tetapi agak jauh.”
“Suara bagaimana?”
“Suara seorang laki-laki berkata: ‘Koko, dia telanjang, ha-ha-ha’, begitulah, sekarang aku teringat benar tentu ada dua orang di pohon itu yang mempermainkan aku.”
Tosu pertama mengelus jenggotnya. “Hemm... setan atau manusia, jelas bahwa mereka itu lihai sekali dan agaknya hendak merintangi tindakan kita. Bodoh sekali kalau kita berlaku nekat. Biarlah kita anggap saja kita gagal malam ini, dan kita tangguhkan dulu sampai besok. Kita harus membawa bantuan kalau begini, siapa tahu diam-diam ada orang pandai yang melindungi rombongan itu.”
Dua orang adiknya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Beberapa kali si tahi lalat menoleh ke belakang, dia masih merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi.
Tentu saja mudah diduga bahwa yang melakukan gangguan itu adalah Kian Lee dan Kian Bu. Dan mudah pula diduga bahwa yang mengencingi kepala tiga orang tosu itu dan menyamar sebagai batu lalu menjegal kaki adalah Kian Bu. Sedangkan yang menggantung si tahi lalat adalah Kian Lee, dibantu oleh adiknya yang melepaskan sabuk dan membuat tali gantungan di dahan.
Setelah tiga orang tosu itu pergi, Kian Lee yang telah turun ke bawah bersama adiknya, berkata, “Ingat, Bu-te. Ayah sudah berpesan agar kita tidak menanam permusuhan dengan siapa pun. Urusan antara tosu-tosu itu dengan rombongan hartawan adalah urusan mereka yang sama sekali kita tidak ketahui sebab-sebabnya. Kita tidak boleh membantu satu pihak, hanya saja kita harus turun tangan kalau ada pihak yang akan melakukan kejahatan.”
Kian Bu menggangguk. “Si tahi lalat suka kepada perempuan itu. Kalau dia menculik si perempuan itu, aku tidak akan mencegahnya.”
“Hushh! Menculik sungguh-sungguh merupakan kejahatan yang harus kita cegah. Kita lihat saja besok, agaknya mereka hendak merampas sesuatu dari rombongan itu.”
“Bagaimana kalau besok terjadi pertempuran, koko?”
“Kita lihat saja dari jauh. Pertempuran di antara mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Tentu saja kita tidak dapat membantu siapa pun, dan kita tidak dapat pula mencegah pertempuran yang adil. Hanya kalau melihat ketidak adilan, baru kita harus turun tangan seperti yang dipesankan ayah.”
“Wah, sukar, Lee-ko!”
“Apanya yang sukar?”
“Tentang keadilan itu, atau lebih tepat ketidak adilan itu. Bagaimana menentukannya mana yang adil dan mana yang tidak? Yang tidak adil bagimu belum tentu tidak adil bagiku dan sebaliknya, demikian pula dengan orang lain!”
“Hemmm, Bu-te, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang mengabdi untuk kebenaran dan keadilan harus waspada akan kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang didasari kepentingan diri pribadi tentu saja palsu! Akan tetapi, mudah saja melihat kenyataan akan penindasan dan kejahatan yang dilakukan orang, dan itulah ketidak adilan. Kalau kau belum mengerti benar, maka harus belajar, adikku. Yang terpenting, seperti pesan ayah, harus diingat dan diketahui bahwa segala sesuatu untuk perbuatan yang dilakukan demi kepentingan diri pribadi, demi keuntungan lahir batin diri pribadi, tidak benar kalau dipertahankan sebagai kebenaran atau keadilan.“
“Wah-wah, kuliahmu membikin aku pusing, koko. Kita sama lihat sajalah besok kalau benar-benar terjadi. Tentu ramai!”
Dua orang kakak beradik itu lalu memilih sebatang pohon besar yang enak dipakai tidur, yang tidak ada semut-semutnya tentu saja dan mereka tidur di dalam selimut daun-daun pohon itu sampai pagi. Kalau rombongan piauwsu itu sama sekali tak ada yang tidur semenit pun, maka dua orang kakak beradik itu tidur dengan nyenyaknya.
Mereka tidak khawatir jatuh karena tubuh dan syaraf mereka yang sudah terlatih sejak kecil itu akan selalu siap menjaga segala macam bahaya yang mengancam tubuh mereka.
Sungai itu adalah Sungai Nu-kiang (Salween) yang bermata air di Gunung Thangla, mengalir ke selatan memasuki Negara Birma. Tanpa sepengetahuan mereka, dua dara itu telah tiba di kaki Pegunungan Heng-toan-san. Tentu saja lembah Sungai Nu-kiang di pegunungan ini amat sunyi sehingga sukarlah bagi mereka untuk mencari perahu agar dapat menyeberang. Tempat itu jauh sekali dari perkampungan nelayan.
Akan tetapi, setelah mereka menyusuri sungai sampai jauh, dari jauh nampak sebuah perahu kecil di pinggir sungai, sebuah perahu kosong! “Di sana ada perahu, adik Candra!” Syanti Dewi berkata girang sambil menuding ke depan.
Ceng Ceng juga sudah melihatnya dan gadis ini memegang tangan kakak angkatnya sambil berkata, “Enci Syanti, karena kita, terutama engkau, adalah orang-orang pelarian yang sedang dikejar-kejar musuh, maka kurasa sebaiknya mulai saat ini engkau jangan menggunakan nama Syanti Dewi sebelum kita selamat di kota raja Kerajaan Ceng.”
Syanti Dewi mengangguk-angguk. “Engkau benar juga, adikku. Lalu nama apakah yang sebaiknya kupergunakan?”
“Bagaimana jika namamu menjadi Sian Cu? She-nya boleh memakai she-ku, yaitu she Lu.”
“Lu Sian Cu? Nama yang bagus sekali!” Syanti Dewi atau Sian Cu berkata girang.
“Dengan nama ini, kalau sekali waktu aku lupa dan menyebutmu enci Syanti, biarlah disangka menyebutmu Sian-ci (kakak Sian). Dan seperti engkau tahu, namaku adalah Lu Ceng. Kita berdua kini mengaku sebagai gadis dari daerah perbatasan yang lari mengungsi ke timur.”
“Baiklah, adik... Ceng. Ah, hampir aku menyebutmu Candra yang bagiku terdengar lebih manis.”
“Nah, mari kita dekati perahu itu. Heran sekali, ke mana tukang perahunya?” Mereka melangkah lagi mendekati perahu dan setelah tiba di dekat tempat di mana perahu itu tertambat di tepi sungai, tampak seorang laki-laki sedang tidur di atas tanah, berbantal batu yang dilandasi kedua tangannya. Laki-laki itu tidur nyenyak, terdengar suara dengkurnya yang keras.
Ceng Ceng dan Syanti Dewi atau kini lebih baik disebut nama barunya yaitu Sian Cu, mendekati tukang perahu yang sedang tertidur nyenyak itu dan memandang penuh perhatian. Dia seorang laki-laki bertubuh sedang, cukup tegap dan tampak kuat karena agaknya biasa bekerja berat, pakaiannya bersih akan tetapi telah terhias beberapa tambalan di dekat lutut dan siku, pakaian sederhana seorang petani atau nelayan, semodel dengan yang dipakai dua orang gadis itu. Sukar ditaksir usia orang itu. Melihat bentuk mukanya, dia kelihatan masih muda sekali, akan tetapi kumis dan jenggotnya yang hitam gemuk dan liar tak terpelihara membuat muka itu kelihatan lebih tua. Model seorang nelayan bodoh yang sederhana dan biasa hidup keras dan sukar!
Ceng Ceng menggunakan ujung bajunya yang lebar untuk mengusap keringat dari dahi ke lehernya. Rambutnya agak awut-awutan dan karena dia tidak memakai caping lagi, benda itu telah hancur ketika dipakai melawan musuh yang lihai di malam hari yang lalu itu, mukanya yang putih halus dan cerah itu agak coklat kemerahan oleh sinar matahari.
“Hei, tukang perahu...!” Ceng Ceng berseru memanggil laki-laki yang sedang tertidur nyenyak itu.
Si tukang perahu tetap tidur mendengkur, sedikit pun tidak bergerak, juga dengkurnya tidak berubah, tanda bahwa teriakan Ceng Ceng itu sama sekali tidak mengganggu tidurnya.
“Paman tukang perahu...!” Ceng Ceng berteriak lebih nyaring lagi.
Sekarang suara mendekur itu berubah agak perlahan, dan kumis liar di bawah hidung itu bergerak-gerak lucu, akan tetapi kumis itu diam lagi dan dengkurnya kini menjadi bertambah keras! Ceng Ceng yang berwatak keras itu mulai jengkel hatinya.
“Heii, tukang perahu yang malas! Bangunlah...!” Dia berteriak nyaring dan mengomel, “Wah celaka, bertemu seorang pemalas seperti kerbau!”
Tukang perahu itu menggerakkan kedua kakinya, menarik kedua tangan dari bawah kepala, mulutnya komat-kamit akan tetapi kedua matanya masih terpejam dan terdengar dia bicara dengan suara ngelindur. “...aduhh... siluman rase... ahhh... siluman ular...”
Dan dia lalu membalikkan tubuh, membelakangi dua orang dara itu, tidur mendengkur lagi lebih keras. Ceng Ceng membanting kaki kanannya, mukanya merah dan matanya terbelalak marah.
“Kurang ajar! Babi pemalas! Tidak bangun malah memaki-maki orang!”
“Sabarlah, Ceng-moi. Dia tidak memaki, dia sedang tidur dan tentu mimpi.”
“Biar pun sedang mimpi, jelas ia memaki kita. Dia menyebut siluman rase, siluman ular, bukankah itu memaki namanya? Di dongeng mana pun juga, siluman rase dan siluman ular selalu menjadi seorang wanita!”
“Tapi jelas dia tidak sengaja, dia sedang tidur.”
“Kalau dia sengaja, tentu sudah kupatahkan semua giginya!” Ceng Ceng berkata lagi, mendongkol sekali. Kakinya mencongkel tanah pasir di depannya dan beterbanganlah pasir dan tanah mengenai kepala dan leher tukang perahu itu.
Tukang perahu itu terdengar mengeluh, kemudian tubuhnya bergerak dan dia sudah terlentang lagi seperti tadi, kedua tangan ditaruh di bawah kepalanya dan dia sudah tidur lagi mendengkur, hanya bedanya, kalau tadi mulutnya tertutup, kini bibirnya terbuka sehingga tampak di bawah kumis liar itu deretan giginya yang putih dan kuat, seolah-olah tukang perahu itu menantang dan memperlihatkan giginya untuk dipatahkan oleh Ceng Ceng! Ceng Ceng yang sedang marah itu makin gemas.
“Tukang perahu yang malas seperti kerbau dan babi!” teriaknya lagi. “Hayo bangun, atau... kulemparkan kau ke dalam sungai!”
Tukang perahu itu tetap tidur.
“Enci, mari kita pakai saja perahu itu!”
“Eh, jangan Ceng-moi. Tak baik mencuri barang orang lain,” kata Sian Cu.
“Kalau begitu, biar kulempar mukanya dengan batu supaya si pemalas itu bangun!”
“Sttt, jangan begitu, Ceng-moi. Kasihan dia, lihat tidurnya begitu nyenyak, siapa tahu semalam dia tidak tidur! Orang yang terlalu lelah, orang yang terlalu sedih, tentu dapat tidur seperti pingsan saja. Pula, kita berdua tidak pandai mengemudikan perahu, tanpa dia, bagaimana kita bisa menyeberang? Siapa tahu, dia bisa mengantarkan kita sampai ke kota yang berdekatan. Tentu dia lebih mengenal daerah ini.”
Ceng Ceng menahan kemarahannya dan kembali dia berteriak, “Tukang perahu malas dan tolol! Lekas bangun, kita hendak menyewa perahumu!”
Kini tukang perahu itu menghentikan suara dengkurnya, sepasang matanya bergerak gerak lalu kelopak matanya terbuka. Dua orang dara itu kaget melihat sepasang mata yang bersinar tajam sekali, tetapi tukang perahu itu mengejapkan matanya beberapa kali seperti belum sadar benar.
“Paman, bangunlah. Kami hendak menyewa perahumu itu!” kata Sian Cu sambil menuding ke arah perahu. Suaranya lunak dan halus dan memang puteri ini memiliki watak yang jauh lebih halus dari pada Ceng Ceng yang keras hati dan jujur.
Tukang perahu itu mengeluh dan bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan ketika dia menurunkan kedua tangan memandang dua orang gadis itu, tiba-tiba dia melompat berdiri dengan mata terbelalak, tubuhnya menggigil dan dia menudingkan telunjuknya kepada Ceng Ceng dan Sian Cu sambil berteriak ketakutan. “Siluman... ehhh, siluman... jangan ganggu aku...!”
“Monyet tua...!” Ceng Ceng sudah bergerak hendak memukul, akan tetapi lengannya dipegang oleh Sian Cu yang tersenyum melihat kemarahan Ceng Ceng. Dengan sabar dia menghadapi tukang perahu yang masih ketakutan itu.
“Paman, engkau tenanglah. Kami bukan siluman, melainkan dua orang gadis yang ingin menyewa perahumu.”
Tukang perahu itu mengangkat kedua tangannya di depan dada dan mulutnya masih komat-kamit, terdengar suaranya. “Aduh... selamat... selamat... selamat..., Tuhan masih melindungi aku...! Maafkan, ji-wi kouwnio (kedua nona), tadinya aku mengira bahwa ji-wi adalah siluman-siluman yang semalam kudengar suaranya yang amat mengerikan! Hiihhh...!” Tukang perahu itu menggerakkan kedua pundaknya dan otomatis Ceng Ceng dan Sian Cu juga bergidik, teringat akan pengalamannya semalam.
“Engkau mendengar apakah, paman?” Sian Cu bertanya.
“Semalam... hiihhh, aku tidak dapat tidur sama sekali. Tadinya aku mengira bahwa aku akan mati dicekiknya, suara aneh-aneh terdengar dari hutan itu, seolah-olah semua penghuninya, siluman dan iblis, sedang berpesta pora. Huh, untung aku masih hidup, aku ingin tidur sampai kenyang. Harap nona berdua jangan menggangguku.” Tukang perahu itu kembali merebahkan diri, siap untuk melanjutkan tidurnya.
“Eh-ehhh... jangan tidur lagi, engkau!” Ceng Ceng membentak. “Kami ingin menyewa perahumu!”
Tukang perahu itu bangkit, akan tetapi tidak berdiri, hanya duduk sambil memandang kepada Ceng Ceng. “Nona, melihat pakaianmu, engkau tentu seorang gadis dusun biasa, akan tetapi sikapmu seperti seorang puteri pembesar tinggi saja!”
“Cerewet kau! Siapa aku, tak perlu kau pedulikan! Kami ingin menyewa perahumu, berapa pun akan kami bayar!” Dia mengeluarkan dua potong uang perak dari saku bajunya dan memperlihatkannya kepada si tukang perahu, dengan keyakinan bahwa sinar perak yang berkilauan itu tentu akan melenyapkan kantuk tukang perahu itu.
Akan tetapi, betapa menjengkelkan sikap tukang perahu itu yang memandang tak acuh, lalu berkata, “Aku tidak menyewakan perahuku.” Dan dia sudah hendak merebahkan dirinya lagi.
“Paman, tolonglah kami. Kami ingin menyeberang, tolong seberangkan kami dan kami akan membayar secukupnya kepadamu.”
Tukang perahu itu memandang Sian Cu, lalu melirik kepada Ceng Ceng yang masih mendelik marah. “Aku tidak menyewakan perahuku, juga aku tidak butuh uang.”
“Kau manusia sombong...!” Ceng Ceng berteriak.
Akan tetapi Sian Cu sudah memegang tangan dara itu dan berkatalah dia dengan suara halus kepada si tukang perahu, “Paman tukang perahu, kalau begitu, anggaplah kami tidak menyewa perahumu, hanya minta tolong kepadamu. Aku percaya bahwa paman tentu akan suka menolong dua orang gadis yang tidak berdaya. Kami melarikan diri mengungsi dari daerah perang dan kami ingin melanjutkan perjalanan menyeberang sungai.”
Suara yang halus dan sopan dari Sian Cu membuat tukang perahu itu kelihatan jadi sungkan juga. Dengan ogah-ogahan dia bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan menguap beberapa kali, lalu memandang ke arah seberang sungai. “Kalian hendak menyeberang? Mau ke mana menyeberang?”
“Kami hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi terhalang sungai ini, maka kami hendak menyeberang,” kata pula Sian Cu mendahului Ceng Ceng yang kelihatannya sudah tidak sabar menyaksikan sikap si tukang perahu.
“Menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan? Aihhh, apakah kalian mencari mati?”
“Apa katamu?” Ceng Ceng sudah membentak lagi.
“Hemm, kau galak sekali, nona. Aku bilang bahwa kalian menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan mengungsi, berarti kalian mencari mati. Di seberang sana hanya terdapat hutan-hutan yang liar dan tak terbatas luasnya, gurun-gurun pasir yang tak bertepi, dan pegunungan yang sukar sekali dilalui manusia selain penuh dengan binatang-binatang buas dan siluman-siluman jahat! Dan kalian hendak menyeberang ke sana? Eh-ehh...!” Dia lalu memandang tajam kepada dua orang gadis itu, pandang mata penuh selidik. “Benar-benarkah... eh... kalian ini manusia, bukan siluman-siluman?”
“Mulut busuk!” Ceng Ceng membentak marah, tidak membiarkan Sian Cu mencegahnya lagi karena dia sudah marah bukan main. “Kalau kami berdua siluman, maka engkau adalah siluman babi Ti Pat Kai!”
Tukang perahu itu melongo, kemudian tertawa. “Ha-ha-ha, kau pandai juga membadut, nona! Masa yang begini dikatakan Ti Pat Kai!” Ti Pat Kai adalah tokoh dalam cerita See-yu-ki, seorang siluman babi yang terkenal, pelahap, dan mata keranjang!
“Paman, harap jangan main-main. Kami berdua sudah melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan, bahkan semalam kami tidak tidur sebentar pun. Sekarang kami ingin melanjutkan perjalanan. Terus terang saja, kami berniat pergi ke Kota Raja Kerajaan Ceng“
“Wahhhh...? Mimpikah aku? Ataukah benar-benar kalian dua orang gadis dusun ini hendak pergi ke kota raja? Tahukah kalian berapa jauhnya kota raja itu? Kalian harus melalui sedikitnya enam propinsi dan ratusan kota! Mengapa kalian dua orang gadis dusun di perbatasan hendak pergi ke tempat sejauh itu?”
“Kami berdua hanya ingin menyeberang, dan engkau begini cerewet! Tukang perahu macam apa sih engkau ini?” Ceng Ceng sudah membentak lagi.
Namun Sian Cu segera berkata, tidak memberi kesempatan kepada si tukang perahu untuk menanggapi kegalakan Ceng Ceng, “Kami mempunyai seorang bibi di sana. Paman, kalau benar di seberang merupakan daerah yang amat berbahaya dan sukar dilalui maka kami harap kau suka menolong kami dan memberi tahu jalan mana yang harus kami tempuh agar kami dapat sampai ke kota raja dengan selamat.”
Tukang perahu itu menggaruk-garuk belakang telinganya. “Terus terang saja, aku sendiri belum pernah pergi ke kota raja. Akan tetapi menurut keterangan yang kuperoleh, jalan satu-satunya ke kota raja hanya menggunakan jalan air, menurutkan aliran Sungai Besar Yang-ce-kiang sampai ke kota besar Wu-han, kemudian melalui jalan darat ke utara sampai Sungai Huang-ho dan mengambil jalan air lagi menurutkan aliran Sungai Huang-ho ke timur sampai ke kota besar Cin-an, baru menggunakan jalan darat ke utara menuju ke kota raja. Akan tetapi letaknya amat jauh dan kiranya akan menggunakan waktu berbulan!”
Ceng Ceng sudah mengerutkan alisnya. Turun semangatnya mendengar keterangan yang membentangkan kesukaran perjalan itu, akan tetapi Sian Cu berkata, “Terima kasih, paman. Engkau baik sekali dan kami akan menggunakan petunjuk itu untuk melanjutkan perjalanan. Lalu bagaimana kita dapat mencapai Sungai Yang-ce-kiang?”
“Dari tempat ini dapat berperahu mengikuti aliran sungai sampai ke dusun Kiu-teng, dari sana terdapat jalan menuju ke Sungai Lan-cang (Mekong), menyeberangi Sungai Lan-cang dan melalui jalan darat ke timur akan mencapai Sungai Yang-ce-kiang.”
“Ah, terima kasih. Kuharap paman sudi membawa kami ke dusun Kiu-teng.”
“Hemmm...”
“Kami akan membayar sewanya, berapa saja yang kau minta, paman.”
“Sikapmu halus dan baik sekali, nona. Siapakah namamu?”
“Namaku Lu Sian Cu, paman,” jawab Sian Cu sambil menunduk supaya tidak tampak perubahan air mukanya.
“Baiklah, Sian Cu. Aku suka mengantarkan engkau ke Kiu-teng yang jaraknya cukup jauh dari sini, makan waktu hampir sehari semalam. Akan tetapi dia itu siapa namanya?” Dia menuding kepada Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng sudah marah memandang dengan mata mendelik, akan tetapi dia didahului oleh Sian Cu.
“Dia adalah adikku, namanya Lu Ceng.”
“Aku hanya mau menyeberangkanmu ke Kiu-teng, nona Sian Cu, bahkan tanpa dibayar apa pun. Tetapi dia itu, hemm... Lu Ceng terlalu galak dan sikapnya tak menyenangkan, maka...”
“Cerewet! Kalau engkau tidak mau aku pun tidak membutuhkan bantuanmu, manusia sombong! Kalau aku melemparmu ke dalam sungai dan membawa perahumu, kau mau bisa apa?”
“Ceng-moi, jangan begitu...!” Sian Cu membujuk adik angkatnya, lalu berkata kepada si tukang perahu. “Paman, kau maafkan adikku yang masih kekanak-kanakan. Kalau aku pergi, dia pun harus ada di sampingku. Harap kau suka memaafkan dan membawa kami berdua ke Kiu-teng.”
Tukang perahu itu bersungut-sungut. “Baiklah, akan tetapi hanya dengan satu janji.”
“Janji apa?” Sian Cu bertanya dan Ceng Ceng sudah siap, kalau si tukang perahu minta janji yang kurang ajar, tentu akan dihantamnya dan dilemparkannya ke sungai!
“Bagimu engkau tidak usah melakukan sesuatu, tidak usah membayar sesuatu. Akan tetapi nona Ceng ini, dia harus menurut perintahku, dia harus membantuku kalau aku perlu bantuannya mendayung perahu atau mengatur layar, dan dia pun harus menanak nasi, air, atau memanggang ikan untukku setiap kali kukehendaki.”
“Setan... kau kira aku siapa...?”
“Adik Ceng, mengapa ribut-ribut? Bukankah permintaannya itu sudah semestinya? Dia mau menolong kita, apakah sebaliknya kita tidak mau menolong dia hanya dengan pekerjaan ringan seperti itu?”
Dengan menggigit bibir saking gemasnya, Ceng Ceng berkata singkat. “Baiklah!”
Tukang perahu itu tertawa. “Nah, silahkan naik ke perahu. Perahu ini kecil dan tentu saja kurang enak, jangan nanti kalian menyalahkan aku.” Sambil berkata demikian, tukang perahu mengambil buntalannya dan menaruhnya di kepala perahu agar ruangan tengah yang terlindung anyaman bambu itu dapat dipakai oleh kedua orang gadis itu.
Mereka memasuki perahu dan meluncurlah perahu itu ke tengah sungai didayung oleh si tukang perahu yang mulai dengan gayanya yang terang-terangan hendak menghukum Ceng Ceng yang dianggapnya galak itu. “Ehhh, nona Ceng, kau masaklah air, itu cereknya, itu batu api, teh di sana... dan beras ada di ujung sana, masak nasi untuk kita bertiga. Aku akan memancing ikan untuk lauknya.”
Ceng Ceng mendelik, akan tetapi jawilan jari tangan Syanti Dewi membuat dia tidak membantah dan dengan bersungut-sungut dia mengerjakan perintah tukang perahu itu. Awas saja kau, pikirnya geram. Nanti kalau kami tidak membutuhkan lagi perahumu, akan kutampar mukamu dan kucabuti kumis dan jenggotmu. Biarlah sekarang dia mengalah. Melakukan pekerjaan yang diperintahkan seorang tukang perahu miskin yang kurang ajar. Sialan!
Akan tetapi tukang perahu itu ternyata pandai sekali mengail. Sebentar saja dia telah mendapatkan dua ekor ikan yang sebesar betis. Dia melontarkan ikan-ikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Bersihkan ikan-ikan itu, beri bumbu. Garam dan lain-lain bumbu ada di poci sebelah kiri itu, dekat kakimu, lalu panggang di atas arang membara. Awas, jangan sampai api menyala, nanti hangus dan tidak enak!”
Lagakmu, Ceng Ceng memaki di dalam hatinya. Kau kira aku tidak tahu caranya masak dan memanggang ikan? Akan tetapi karena dia dan enci-nya membutuhkan perahu itu, bukan hanya perahu itu akan tetapi tukang perahunya karena mereka berdua tidak tahu bagaimana caranya mengemudikan perahu, dia menahan kemarahannya dan mulai melakukan pekerjaan tanpa banyak mengeluarkan suara.
Ceng Ceng adalah seorang dara yang sejak kecil digembleng ilmu silat oleh kakeknya. Wataknya keras, pemberani dan di samping ini, juga harus diakui bahwa dia terlalu dimanja oleh kongkong-nya. Selama tinggal bersama kongkong-nya yang merupakan seorang guru terhormat, dia diperlakukan dengan hormat oleh semua orang. Terutama sekali setelah dia menjadi adik angkat Puteri Syanti Dewi, derajatnya naik dan dia makin dihormati. Tidak pernah ada orang yang berani memandang rendah kepadanya, karena kedudukannya dan juga karena orang maklum akan kelihaiannya. Akan tetapi sekarang, dia bukan saja dipandang rendah, bahkan diperintah oleh si tukang perahu seperti seorang pelayan saja layaknya!
Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan mengkal rasa hatinya sehingga ketika mereka bertiga makan, hanya si tukang perahu dan Sian Cu yang dapat menikmatinya sedangkan Ceng Ceng tidak dapat menikmati makanan itu karena hatinya mendongkol sekali. Sikap tukang perahu itu benar-benar menggemaskan hatinya. Setiap gerak-geriknya seolah mengejeknya, setiap kata-katanya seakan menyindirnya! Mulut yang cengar-cengir itu, dengan kumis yang bergerak-gerak, seperti selalu mentertawakan padanya! Bedebah benar!
Akan tetapi, melihat sikap Sian Cu yang selalu bersabar, Ceng Ceng dapat menahan kemarahannya dan ditambah oleh kelelahan tubuhnya karena malam tadi sama sekali tidak tidur, malam hari itu dia dapat tidur nyenyak bersama Sian Cu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali suara tukang perahu itu sudah berteriak-teriak membangunkan mereka.
“Nona Ceng, bangun! Sudah siang!” teriaknya. Suaranya nyaring dan bukan hanya Ceng Ceng yang bangun, juga Sian Cu.
“Siapa bilang sudah siang?” Ceng Ceng bersungut-sungut ketika melihat bahwa hari masih pagi sekali, sungguh pun malam memang telah lewat dan sinar matahari mulai mengusir kegelapan.
“Hanya seorang pemalas saja yang mengatakan bahwa sekarang belum siang!” kata tukang perahu. “Aku jelas bukan pemalas karena biasanya pada waktu seperti ini aku sudah bangun tidur dan memasak air dan bubur untuk sarapan pagi.”
Ceng Ceng hendak membantah, akan tetapi Sian Cu berbisik, “Kemarin kau memaki dia malas.” Teringat akan kejadian itu, Ceng Ceng diam saja dan mengerjakan apa yang diperintahkan tukang perahu itu.
Tiba-tiba tukang perahu berkata, “Harap kalian tenang, ada kesukaran di depan!”
Dengan kaget Ceng Ceng dan Sian Cu melihat bahwa di sebelah depan tampak dua buah perahu hitam yang ditumpangi masing-masing oleh lima orang, di antara mereka tampak dua orang tosu tua yang bersikap kereng!
“Siapa mereka? Mau apa?” Ceng Ceng bertanya lirih.
“Sstttt... harap kalian diam dan serahkan saja kepadaku menghadapi mereka.” Tukang perahu menjawab dan ketenangan sikapnya membuat dua orang dara itu menjadi heran.
Andai kata mereka itu adalah bajak-bajak sungai yang banyak mereka dengar, sungguh pun hal itu menyangsikan karena di antara mereka terdapat dua orang tosu, maka sikap tukang perahu itu terlampau tenang! Sepantasnya, tukang perahu itu tentu akan menjadi panik dan ketakutan, tidak seperti saat ini, bersikap seolah-olah penuh keyakinan dia akan dapat mengatasi keadaan.
Ceng Ceng memberi tanda dengan kedipan mata kepada Sian Cu, dan puteri ini yang mengerti bahwa dialah yang mungkin menjadi incaran musuh, segera menyembunyikan diri di dalam perahu. Sedangkan dia melirik penuh perhatian dan kewaspadaan. Hatinya berdebar tegang melihat betapa dua buah perahu itu dipalangkan di tengah sungai, agaknya sengaja menghadang perahu yang ditungganginya.
“Haii, tukang perahu!” Terdengar suara bentakan dari dua buah perahu itu. “Hendak ke mana?”
“Kami hendak ke Kiu-teng!” Terdengar jawaban tukang perahu yang ramah dan tetap gembira.
“Bersama siapa? Membawa apa?” Kembali terdengar pertanyaan yang kereng dan berwibawa itu, dan ternyata yang bertanya adalah seorang di antara dua orang tosu yang duduk di dalam perahu pertama.
Tukang perahu itu menoleh ke arah Ceng Ceng yang sedang memasak bubur, lalu berkata, “Bersama isteriku! Kami tidak membawa apa-apa, hendak mencari ikan dan menjualnya ke Kiu-teng!”
Hampir saja Ceng Ceng meloncat dan memaki-maki! Dia diaku sebagai isteri si tukang perahu jahanam itu! Akan tetapi ketika dia menoleh dan sudah siap untuk meloncat, dia melihat Sian Cu memberi isyarat kepadanya dengan jari tangan di depan mulut yang menyuruhnya diam, bahkan Sian Cu lalu menyelimuti dirinya dengan tikar yang berada di dalam perahu. Tentu kakak angkatnya itu hendak menolong si tukang perahu yang sudah menyatakan bahwa tukang perahu itu hanya bersama dengan isterinya!
Ketika Ceng Ceng menengok lagi, tentu saja wajahnya nampak oleh orang-orang di dalam kedua perahu itu, dan terdengarlah suara ketawa lalu seorang di antara mereka yang bermata lebar berseru sambil tertawa, “Haiiii, isterimu cantik sekali, tukang perahu! Boleh aku menyewanya?”
“Perahuku tidak disewakan!”
“Heh, tolol! Bukan perahumu, tetapi isterimu yang kusewa! Berapa sewanya semalam?” Terdengar suara ketawa dari kedua perahu itu.
Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan di hati Ceng Ceng. Namun melihat bahwa kakak angkatnya sudah bersembunyi, dia tidak tega mengganggu, lagi pula ia pun ingin sekali mendengar apa yang menjadi jawaban tukang perahu gila itu.
“Hemm, berapa kau berani bayar, kawan?”
Benar gila! Ceng Ceng mengepal tinju dan sudah siap untuk menghajar mereka semua. Kedua telinganya mengeluarkan bunyi mengiang-ngiang saking marahnya.
“Ha-ha-ha-ha! Nah, kau terimalah uang panjarnya dahulu, dan kalau kau menolak, ini tambahnya!” Dari dalam sebuah di antara dua perahu itu melayang benda ke dalam perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan ternyata sekantung kecil uang tembaga dan sebatang toya baja yang dilontarkan ke depan kaki tukang perahu itu.
Ceng Ceng melirik dengan sudut matanya. Jelas bahwa orang-orang kasar itu memberi uang dan disertai ancaman karena toya itu berarti ancaman kalau permintaan itu ditolak.
Si tukang perahu mengambil kantung, membuka untuk melihat isinya yang hanya uang tembaga, juga dia memegang toya dan melihat-lihat benda itu seperti lagi menimbang-nimbang. Kemudian dia berkata, “Wah, penawarannya masih jauh berkurang, sobat! Bagaimana kalau ditambah nyawamu?” Dia lalu melontarkan kembali kantung uang dan toya.
Ceng Ceng terkejut. Betapa beraninya si tukang perahu! Dan dia melihat betapa semua orang di kedua perahu itu merubung dan melihat toya dan kantung uang, seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada kedua benda itu. Terdengar teriakan lirih dari rombongan itu, “Si Jari Maut!”
Makin heran lagi hati Ceng Ceng ketika dia melihat dua orang tosu itu bangkit berdiri di perahu mereka dan seorang di antara keduanya menjura dengan membentuk tanda jari-jari tangan depan dada sambil berkata. “Harap sudi memaafkan kelakar anak buah kami dan persilakan lewat disertai salam persahabatan kami!”
Si tukang perahu hanya tersenyum, lalu menggunakan dayungnya untuk meluncurkan perahunya lewat di antara kedua perahu yang telah minggir itu, melempar senyum mengejek ke arah mereka, dan kemudian berkata ke dalam perahu, “Nona Sian Cu, keluarlah, tidak ada bahaya lagi sekarang.”
Ceng Ceng langsung membanting panci terisi bubur panas. Dia meloncat bangun dan menudingkan telunjuknya kepada si tukang perahu. “Keparat, mulutmu busuk sekali! Berani kau mengatakan aku sebagai isterimu? Phuahh, tidak tahu diri, tukang perahu jembel busuk!”
Si tukang perahu mengangkat hidungnya. “Hemm, gadis dusun yang galak! Andai kata benar kau adalah isteriku, maka engkaulah yang untung dan aku yang rugi besar!”
“Jahanam...!” Ceng Ceng tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia telah menerjang untuk menampar pipi orang itu. Biar kurontokkan giginya, pikirnya dengan marah.
“Wuuuttttt...!”
Tamparan yang dilakukan dengan cepat sekali dan disertai tenaga sinkang yang kuat itu hanya mengenai angin. Terkejutlah Ceng Ceng karena tidak disangkanya sama sekali bahwa tukang perahu itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, dapat mengelak dari tamparannya. Padahal tamparan itu dilakukan secara tidak terduga dan cepat sekali sehingga jaranglah ada yang dapat mengelakkan begitu mudah! Dia menjadi penasaran sekali dan menerjang lagi, kini tidak lagi menampar, melainkan memukul secara bertubi-tubi dengan kedua tangannya!
“Wuuut-wuuut-wuuut-wuuutt...!”
Semua pukulannya adalah jurus-jurus pilihan dan disertai tenaga sinkang yang amat kuat, namun semuanya dapat dielakkan secara mudah oleh si tukang perahu!
“Ceng-moi, jangan...!” Sian Cu berseru.
“Biar!” Ceng Ceng membantah dengan marah. “Dia kurang ajar, harus kupukul manusia jahanam ini!”
“Eh-eh-ehhh, beginikah engkau membalas budi orang?” Tukang perahu itu tersenyum sambil mengejek. “Ditolong balasnya memukul? Ini namanya diberi air susu dibalas dengan air tuba! Benar-benar gadis galak yang tidak mengenal budi!”
“Setan sungai kau!” Sekarang Ceng Ceng menubruk maju, kakinya menendang dan tangannya menyusul dengan tusukan jari tangannya ke arah perut tukang perahu.
“Wuuutttttt... dukkk!” Tubuh Ceng Ceng terhuyung ketika orang itu terpaksa menangkis tusukan tangannya. Akan tetapi hal itu justru membuat Ceng Ceng makin marah dan dia menerjang lagi.
“Adik Ceng, jangan...!”
“Biarlah, enci. Dia kurang ajar sekali. Dia tentunya manusia busuk!” Dia meloncat dan mengirim pukulan yang amat berbahaya karena dia telah menggunakan jurus pilihan dari ilmu silat kongkong-nya.
Pukulan itu bersiut datang ke arah lambung tukang perahu, akan tetapi tiba-tiba tubuh tukang perahu bergerak dan ternyata dia telah meloncati lewat bilik perahu ke bagian belakang perahu!
“Mau lari ke mana kau!” Ceng Ceng mengejar, juga meloncati bilik itu dan dari atas dia sudah mencengkeram dengan kedua tangannya.
Tapi si tukang perahu itu dengan tersenyum-senyum menyelinap ke bawah, menerobos melalui bilik perahu, dikejar dan memutari tiang layar sambil tertawa-tawa. Sementara itu, semua pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh Ceng Ceng dengan kemarahan meluap-luap itu sama sekali tidak ada hasilnya!
“Ceng-moi... tahan dulu...!” Sian Cu sibuk memegang tangan Ceng Ceng dan berusaha menahan gadis yang marah itu mengamuk.
“Enci, apakah kau tadi tidak mendengar omongan busuknya? Kalau aku tidak dapat memukul pecah mulutnya, aku tidak akan puas!” Dia menarik lengannya secara tiba-tiba sehingga pegangan Sian Cu terlepas dan kembali dia menendang sambil meloncat. Tendangan terbang yang berbahaya sekali, mengarah tenggorokan si tukang perahu.
“Heiiittt... tendangan hebat!” Si tukang perahu mengelak sambil memuji dengan suara mengejek.
“Mampuslah...!” Ceng Ceng membalikkan tubuhnya saat tendangannya tidak mengenai sasaran, sambil membalik, tubuhnya maju dan tangannya yang dikepal menghantam dada.
“Eiiiiihhhh... hebat, wahhh luput! Sayang sekali...!” Kembali si tukang perahu mengejek dan berhasil mengelak.
Dapat dibayangkan betapa jengkel hati Ceng Ceng. Perahu bergerak-gerak miring dan dia sudah menyerang bertubi-tubi, namun tidak berhasil sama sekali. Biar pun kini dia maklum bahwa tukang perahu itu ternyata lihai, namun kemarahannya membuat dia tidak mengenal takut. Hatinya tidak akan terasa puas sebelum dia berhasil merobohkan orang yang dibencinya itu.
“Adik Ceng... ahhh, jangan! Lihat, perahu sudah miring... kita bisa celaka...!”
Memang benar teriakan Sian Cu ini. Gerakan-gerakan dua orang yang berkejar-kejaran seperti tikus dengan kucing ini membuat perahu kehilangan arah dan miring-miring.
“Ha-ha-ha, biarkanlah, nona Sian Cu. Kalau perahu terbalik, baru nona galak itu tahu rasa. Kau jangan khawatir, tentu akan kutolong, tapi dia... biar kembung perutnya terisi penuh air, ha-ha-ha!”
“Jahanam busuk...!” Ceng Ceng hampir menangis dan kini dia mengeluarkan sepasang belatinya. “Engkau harus mampus di tanganku!”
“Adik Ceng...!”
Ceng Ceng yang sudah ‘mata gelap’ saking marahnya itu menyerang dengan dahsyat sekali, tidak peduli akan perahu yang miring. Melihat datangnya dua sinar terang yang menyambarnya, tukang perahu secara tiba-tiba merendahkan tubuh berjongkok dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa kedua tangannya lemas karena secara lihai dan tak tersangka sama sekali, dari bawah menyambar jari-jari tangan tukang perahu itu memapaki gerakan tangannya dan pergelangan tangannya telah ditotok sehingga tangannya yang lumpuh tak mampu lagi memegang sepasang belatinya dan dengan gerakan kilat, sepasang senjatanya itu telah dibuang ke dalam sungai oleh si tukang perahu. Sambil tertawa tukang perahu itu meloncat lagi melewati bilik dan berada di ujung perahu yang lain sambil menyeringai lebar.
“Heh-heh, kau boleh terjun keluar mengejar pisau-pisau dapur itu!”
Kemarahan yang memuncak membuat Ceng Ceng tidak sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi dia jengkel sekali, merasa terhina dan ingin dia menangis dan menjerit-jerit! Dia telah dibikin malu, dihina, dibuat tidak berdaya dan sepasang senjatanya dibuang begitu saja ke dalam sungai!
Tiba-tiba timbul akalnya untuk membalas dendam! Ia menubruk ke depan, disambarnya dayung, dua batang dayung dari perahu itu, bukan dipergunakan untuk senjata, tetapi dayung yang dua buah itu dilemparnya jauh-jauh keluar dari perahu, ke tengah sungai! Kemudian disambarnya tali layar, direnggutnya sampai putus dan dibuangnya pula, lalu dirobeknya layar.
“Heiiiii... jangan...! Wah-wah, celaka... kau benar-benar liar!” Tukang perahu berteriak-teriak, mengangkat kedua tangannya untuk mencegah dan kelihatan bingung sekali.
Melihat ini, terobatlah hati Ceng Ceng yang panas dan sakit, akan tetapi dia belum juga puas. Dia melihat buntalan si tukang perahu, maka cepat buntalan itu disambarnya pula.
“Jangan itu...!” Tukang perahu berteriak dan meloncat dengan kecepatan seperti burung terbang, melewati bilik dan tangannya diulur untuk merampas buntalan. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek Ceng Ceng sudah melemparkan buntalan itu sampai jauh ke tengah sungai.
“Byuurrr...!”
“Wah, celaka...!” Tukang perahu berteriak dan dia pun meloncat ke dalam air mengejar buntalannya yang dibuang.
“Byuurr...!” Air muncrat ke atas dan tukang perahu lenyap, menyelam untuk mengejar buntalan yang sudah tenggelam. Tubuh tukang perahu terseret air yang mengalir cepat.
Ceng Ceng melongo, mukanya agak pucat. Melihat tukang perahu itu lenyap ditelan air, dia kaget dan merasa khawatir sekali. Kekhawatiran yang menimbulkan penyesalan. Jangan-jangan tukang perahu itu akan mati terseret arus yang kencang, pikirnya. Buntalan itu tentu amat penting baginya. Mungkin segala harta milik tukang perahu yang miskin itu berada di dalam buntalan, maka tentu saja dia mati-matian mempertahankan miliknya dan jangan-jangan dia mengorbankan nyawa dalam mengejar buntalan.
“Ceng-moi... celaka... perahunya hanyut dan miring...!” Terdengar jerit Sian Cu.
Ceng Ceng baru tersadar dan dia mendekati enci-nya. Segera dia pun menjadi bingung. Perahu terseret dan terbawa arus yang kuat sekali dan karena perahu itu kehilangan kemudi, maka dipermainkan air oleng ke kanan kiri. Ditambah lagi kepanikan mereka yang berdiri di perahu, menjaga keseimbangan badan ketika perahu oleng, malah menambah miring perahu. Kedua orang dara itu menjadi makin bingung!
“Bagaimana, Ceng-moi? Bagaimana kita harus menahan perahu? Mana dayungnya?” Sian Cu menjerit-jerit ngeri karena dia tidak pandai renang.
“Dayungnya...?” Ceng Ceng terkejut.
Dayung, tali layar, semua telah dibuangnya, bahkan layarnya telah dirobek-robeknya! Dia tidak mampu menjawab, dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan perahu dan mereka berdua. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, Ceng Ceng hanya merangkul dan melindungi Sian Cu dengan lengannya sambil berpegang erat-erat pada tiang layar yang terbuat dari bambu itu.
“Jangan bergerak-gerak, enci. Tenang saja agar perahu hanyut dengan tenang!”
Kedua orang dara itu tak bergerak dan benar saja, perahu itu tidak lagi miring-miring, akan tetapi setengahnya telah terendam air dan kini hanyut dengan kecepatan yang mengerikan. Untung bahwa bagian sungai itu tidak dalam dan tidak ada batu-batu menonjol sehingga perahu mereka dapat hanyut terus, tidak menabrak batu yang tentu akan membuat perahu tenggelam. Karena menghadapi bahaya maut yang mengerikan ini, kedua orang dara itu sudah lupa lagi kepada tukang perahu yang tadi meloncat ke air.
Perahu hanyut dengan cepat dan memasuki sebuah dusun yang besar dan ramai. Di tempat ini banyak sekali perahu berada di sungai dan begitu perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu datang dengan cepatnya, gegerlah para nelayan di situ. Perahu-perahu yang berada di tengah dan sedang didayung seenaknya cepat-cepat didayung minggir.
“Minggir...! Perahu hanyut...!”
“Celaka...! Krakkkk...!”
“Braaakkkk! Krakkkk...!”
Terdengar teriakan-teriakan dan dua buah perahu yang tidak keburu minggir telah ditabrak oleh perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam, berikut perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu!
“Ceng-moi...!” Terdengar Sian Cu menjerit sebelum tubuhnya tenggelam.
“Enci Syanti!” Ceng Ceng juga menjerit.
Biar pun belum pernah belajar berenang, namun dara itu telah mendengar bagaimana caranya berenang. Dia lalu menggerak-gerakkan kedua lengannya sambil menendang-nendangkan kakinya sehingga tubuhnya tidak tenggelam, namun karena gerakannya ngawur, tubuhnya segera terseret oleh arus deras.
Orang-orang di situ masih panik dan bingung karena peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, maka tidak ada yang melihat gadis yang hanyut terbawa air yang kencang itu. Mereka yang tadinya duduk di dalam perahu yang pertama tertabrak, sebanyak lima orang, sudah berenang dan berusaha membalikkan perahu mereka. Ada pun perahu kedua yang tenggelam, tidak tampak timbul kembali, juga penumpangnya, seorang laki-Iaki setengah tua, tidak kelihatan muncul di permukaan air.
Tiba-tiba terdengar banyak orang berteriak-teriak keheranan. Siapa tidak akan menjadi keheranan dan kagum sekali ketika melihat perahu kedua yang tenggelam tadi, tiba-tiba saja muncul. Seperti bersayap, perahu itu tahu-tahu telah ‘terbang’ di atas permukaan air dan terus mendarat! Di atas perahu itu tampak seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian basah kuyup memegang dayung panjang di tangan kanan dan mengempit tubuh Syanti Dewi di tangan kiri, berdiri dan mengatur keseimbangan perahu yang meluncur itu dengan tubuhnya. Setelah perahu itu mendarat di atas pasir, setelah tadi ‘terbang’ melalui beberapa buah perahu lainnya, laki-laki itu meloncat dari perahu, terus berjalan pergi dengan cepat sambil memondong Syanti Dewi atau Sian Cu yang masih pingsan!
Tentu saja semua orang terheran-heran, apa lagi setelah mereka berusaha mengejar. Laki-laki itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Ramailah orang membicarakan orang yang aneh itu. Dari keterangan beberapa orang yang mengenal laki-laki aneh itu, ternyata bahwa laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu baru dua bulan lebih tiba di Kiu-teng, yaitu dusun di mana terjadi peristiwa hebat dan aneh itu tadi. Laki-laki itu sering kali duduk di dalam perahu, termenung, kadang-kadang mengangkut barang dagangan menyeberang atau ke tempat lain yang tidak begitu jauh.
Orang itu pendiam, jarang sekali bicara akan tetapi karena pandang matanya dan tutur bahasanya yang jarang itu selalu manis budi, semua orang suka kepadanya. Dalam menerima biaya pengangkutan, orang itu pun tidak cerewet sehingga mulai memperoleh banyak langganan. Anehnya, mereka yang mengenal orang itu, mereka sering kali melihat orang itu mengajak anak-anak kecil untuk bermain-main, mengajar mereka berenang, bernyanyi dan bermain-main. Lebih mengherankan lagi, orang itu hampir selalu menghabiskan uang hasil pekerjaannya untuk menyenangkan hati anak kecil itu, bahkan beberapa kali dia membelikan pakaian untuk anak-anak yang miskin.
“Siapa namanya?” tanya seorang.
“Dia tentu seorang pendekar sakti yang menyamar!”
“Mungkin dia seorang dewa! Kalau manusia, mana mampu menerbangkan perahu?”
Orang yang mengenal laki-laki aneh itu menggelengkan kepalanya. “Itulah anehnya. Dia tidak pernah mau mengaku siapa namanya, hanya mengatakan bahwa dia she Gak, sehingga aku pun hanya menyebutnya Gak-twako (kakak Gak). Anehnya, sikapnya biasa dan sederhana saja. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu!” Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh takjub.
Bagi yang mengenal laki-laki setengah tua itu tentu tidak akan heran menyaksikan kesaktiannya, karena orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Para pembaca cerita Sepasang Pedang Iblis tentu tidak akan pernah melupakan nama ini! Pada waktu itu, di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, Gak Bun Beng masih muda, seorang pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa karena pemuda ini telah banyak mewarisi ilmu silat yang tinggi sekali. Selain ketika masih kanak-kanak dia menjadi murid seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai, ketika menjelang dewasa dia secara kebetulan mewarisi ilmu kesaktian peninggalan seorang manusia dewa yang bernama Koai Lojin. Bukan itu saja, bahkan pernah dia menerima warisan ilmu dari kakek sakti Bu-tek Siauw-jin datuk Pulau Neraka, dan pernah pula menerima pendidikan sinkang dari Pendekar Super Sakti!
Di waktu dia masih muda saja dia telah memiliki kesaktian-kesaktian luar biasa itu, di antaranya adalah ilmu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit), Tenaga Sakti Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin, gabungan tenaga sinkang Swat-im-sinkang dan Hui-yang-sinkang dari Pendekar Super Sakti, di samping ilmu silat-ilmu silat lainnya yang kesemuanya bertingkat tinggi!
Hanya sayang, pemuda tampan dan gagah perkasa itu malang nasibnya hingga banyak mengalami kesengsaraan, bahkan pertalian cinta kasihnya dengan Milana, puteri sulung Pendekar Super Sakti, telah gagal dan putus! Pada akhir cerita Sepasang Pedang Iblis, pemuda Gak Bun Beng yang mengunjungi Pulau Es berpamit kepada Pendekar Super Sakti, berpisah dari bekas kekasihnya, Milana, dan lalu pergi tanpa meninggalkan jejak. Semenjak itu, sampai belasan tahun, namanya tidak pernah lagi terdengar di dunia kang-ouw.
Gak Bun Beng menganggap bahwa nasib hidupnya itu sudah sewajarnya. Kalau dia melihat keadaan riwayatnya, dia bahkan menganggap dirinya masih beruntung karena tidak sampai terjerumus menjadi seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, yang bernama Gak Liat dan dia sendiri dilahirkan di dunia karena kejahatan ayahnya yang memperkosa seorang pendekar wanita Siauw-lim-pai!
Dia seorang anak haram, keturunan seorang ayah yang jahat seperti iblis! Mengingat itu semua, Gak Bun Beng tak pernah menyesali nasibnya dan dia malah menyembunyikan diri, hidup di antara rakyat miskin sederhana, merantau ke pelbagai tempat dan diam-diam tentu saja memperdalam ilmu-ilmunya.
Akhirnya, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia tiba di dusun Kiu-teng itu dan hidup sebagai seorang tukang perahu yang sederhana. Di tempat ini pun, seperti di lain-lain tempat, dia tidak pernah memperkenalkan namanya kecuali hanya she-nya, sehingga oleh tukang perahu lain yang mengenalnya, dia hanya dikenal sebagai Gak-twako, seorang tukang perahu yang hidup sederhana dan pendiam, penyayang kanak-kanak.
Ketika pada hari itu Gak Bun Beng sedang melamun sambil duduk menanti pesanan orang yang akan menyewa perahunya, tiba-tiba perahunya menjadi korban tabrakan perahu yang hanyut itu hingga terguling dan tenggelam. Bun Beng tidak mempedulikan dirinya sendiri, pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah teriakan-teriakan dua orang gadis yang ikut tenggelam bersama perahu yang hanyut itu.
Ketika dia mendengar seorang di antara dua orang gadis itu menyebut nama ‘enci Syanti’, dia menjadi heran sekali. Nama itu terang bukan nama gadis Han! Tentu saja Bun Beng bermaksud menolong mereka, akan tetapi dia bukanlah seorang yang amat ahli dalam ilmu renang, maka dia hanya dapat menolong gadis terdekat. Setelah dia dapat meraih gadis yang pingsan itu dan mulai tenggelam lagi, Bun Beng menggunakan kepandaiannya menyelamatkan perahunya.
Dengan kekuatan yang dahsyat dia menggunakan dayungnya sebagai alat menekan sehingga perahunya meluncur ke atas sedemikian kuatnya sehingga melampaui perahu lain dan dapat mendarat di atas pasir. Karena keadaan yang memaksanya itu, tanpa sengaja dia mengeluarkan kepandaiannya dan barulah dia teringat akan hal ini setelah perahunya mendarat.
Dia menyesali kelengahannya dan terpaksa dia harus meninggalkan perahunya dari tempat itu karena kalau tidak, berarti dia membuka rahasianya yang selama belasan tahun ini disimpannya rapat-rapat. Hanya satu hal membuat dia kecewa, yaitu dia tidak dapat menolong gadis kedua yang telah hanyut terbawa arus air yang amat kuat. Dia tahu bahwa mengejarnya tidak akan ada gunanya dan gadis itu tentu tewas, kecuali kalau ada pertolongan yang tak tersangka-sangka.
Bun Beng membawa Syanti Dewi ke dalam kuil tua yang kosong di tengah hutan, di sebelah timur dusun Kiu-teng dan di lembah Sungai Nu-kiang, merebahkan tubuh yang pingsan itu di atas lantai, kemudian mengeluarkan air dalam perut dara itu, mengurut beberapa jalan darah sampai dara itu mengeluh dan siuman.
“Ahhhhh...!” Syanti Dewi mengeluh dan bergerak, lalu membuka kedua matanya.
Bun Beng memandang wajah itu dan di sudut hatinya terharu. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah gadis asing yang memiliki kecantikan khas agak mirip dengan Milana, bekas kekasihnya yang memiliki darah Mancu bangsawan, karena Milana adalah cucu Kaisar Mancu!
Ketika Syanti Dewi mendapat kenyataan bahwa dia rebah dalam kamar tua dari tembok yang sudah retak-retak, di atas lantai yang kotor, kemudian melihat seorang laki-laki berusia kurang dari empat puluh tahun berjongkok tidak jauh darinya, dia terkejut dan cepat bangkit duduk. Kenyataan pertama adalah bahwa pakaiannya basah kuyup, maka teringatlah dia akan peristiwa yang mengerikan itu, ketika perahu yang hanyut itu tenggelam membawa dia dan Ceng Ceng tenggelam pula.
“Di... di mana aku? Siapakah paman...?”
Biar pun ucapannya itu dikeluarkan dalam keadaan bingung dan terkejut, namun jelas terdengar kehalusan budi bahasa gadis itu.
“Tenanglah, nona. Engkau telah dapat terbebas dari bahaya tenggelam di sungai dan aku adalah seorang tukang perahu yang kebetulan melihat engkau tenggelam bersama perahu hanyut itu,” kata Bun Beng dengan suara halus menghibur.
Tiba-tiba sepasang mata dara itu terbelalak dan dia bertanya, “Bagaimana dengan Ceng-moi? Di mana Ceng-moi...?”
“Engkau maksudkan gadis kedua yang turut terguling dan tenggelam dengan perahu hanyut itu?” Bun Beng bertanya.
“Benar... kami berdua di perahu itu... bagaimana dengan Ceng-moi? Di manakah dia...? Ceng-moi...!” Syanti Dewi menjerit, memanggil nama adik angkatnya penuh khawatir.
Bun Beng menggelengkan kepalanya dan menghela napas. “Menyesal sekali bahwa tenagaku terbatas, aku hanya berhasil menyelamatkanmu, nona. Ada pun nona kedua itu... aku melihat sendiri dia terseret dan hanyut oleh arus sungai yang amat deras dan kuat...”
Makin terbelalak sepasang mata itu, dan wajah Syanti Dewi langsung menjadi pucat sekali. “Paman...! Kau... maksudkan... dia... Ceng-moi...?”
Bun Beng mengangguk. “Kalau tidak terjadi hal yang luar biasa, aku khawatir sekali bahwa dia akan tewas. Air itu deras sekali dan amat dalam.”
“Ceng-moi...!” Syanti Dewi menjerit lalu menangis sesenggukan, menutupi muka dengan kedua tangannya.
Bun Beng memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia diam saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, hanya tangis yang merupakan obat terbaik bagi dara ini.
“Ceng-moi... aihhh... Candra adikku, bagaimana aku bisa hidup tanpa kau? Bagaimana aku berani melanjutkan perjalanan tanpa engkau...? Adik Candra... tega benar engkau meninggalkan aku... hu-hu-huhhhh, lalu aku bagaimana...?”
Mendengar wanita muda itu menyebut gadis kedua dengan nama Ceng-moi dan juga adik Candra, Bun Beng merasa heran. Akan tetapi kerut di alisnya mendalam dan tiba-tiba dia berkata, suaranya penuh nada teguran, “Nona, tidak kusangka bahwa hatimu kejam dan engkau mementingkan dirimu sendiri saja!”
Mendengar teguran aneh ini, tentu saja Syanti Dewi terkejut dan merasa amat heran sehingga sejenak dia lupa akan tangisnya, mengangkat muka yang pucat dan basah dengan mata merah, memandang tukang perahu itu sambil bertanya dengan suara tergagap, “Paman... apa... apa maksudnya...? Aku kejam..., terhadap siapa...?”
“Terhadap siapa lagi kalau bukan terhadap adikmu itu?”
“Paman!” Syanti Dewi bertanya dengan suara keras karena penasaran. “Apa maksudmu dengan kata-kata itu? Aku kejam terhadap adik Ceng Ceng?”
Bun Beng menarik napas panjang. “Ahhh, aku sampai lupa bahwa engkau pun hanya seorang gadis yang tentu saja takkan berbeda dengan seluruh manusia di dusun ini, hidupnya penuh dengan keakuan yang selalu mementingkan diri sendiri. Akan tetapi, coba engkau sadarilah, nona. Engkau menangis dan berduka ini, terus terang saja, yang engkau tangisi dan dukakan ini karena adikmu itu mungkin mati, ataukah engkau menangis dan berduka karena engkau ditinggalkan oleh dia yang kau sandari? Engkau menangisi dia ataukah engkau menangisi dirimu sendiri?”
Syanti Dewi terkejut bukan main! Ucapan itu terdengar seperti halilintar menyambar di tengah hari terik, dan memasuki hatinya seperti setetes air dingin sekali di waktu panas. Sejenak dia melongo dan tercengang, hanya dapat memandang orang itu tanpa mampu berkata-kata, dan otomatis tangisnya pun berhenti!
Bun Beng lalu membuat api unggun tanpa berkata-kata, lalu keluar dari dalam kamar kuil tua dan berkata dari luar kamar, “Sekarang yang terpenting menjaga jangan sampai engkau jatuh sakit. Tanggalkanlah semua pakaianmu dan lemparkan keluar agar dapat kujemur sampai kering. Sementara menanti pakaian kering, kau duduklah di dekat api unggun. Dan engkau tidak perlu khawatir, nona. Di tempat ini tidak orang lain kecuali kita berdua, dan aku akan menjaga di luar kuil.”
Teguran atas tangisnya tadi masih menghujam di ulu hatinya, masih berkesan dalam sekali di hatinya, maka seperti dalam mimpi, dengan mata masih tertuju ke arah pintu dari mana laki-laki itu tadi keluar, tanpa ragu-ragu Syanti Dewi menanggalkan semua pakaiannya satu demi satu, lalu menggulung semua pakaian itu dan melempar keluar pintu.
Hanya tampak sebagian lengan tangan menyambar gulungan pakaian itu, lalu lenyap. Syanti Dewi duduk mendekati api unggun, menutupi dadanya dengan rambutnya yang dilepas kuncirnya. Dia duduk termenung, terheran-heran memikirkan laki-laki aneh yang ucapannya menusuk hatinya dengan tepat sekali, membuat tangisnya terhenti seketika karena dia kini malu sendiri kalau harus menangis, karena tak dapat dibantahnya bahwa tangisnya tadi terutama sekali karena merasa khawatir dan iba kepada dirinya sendiri, bukan kepada Ceng Ceng! Dia menangis karena ditinggalkan.
Karena DIA yang ditinggalkan, karena DIA kehilangan kawan baik, karena DIA kini menghadapi masa depan di istana kerajaan asing seorang diri saja! Kini dia termenung dan merasa heran tiada habisnya karena sedikit ucapan itu menggugah kesadarannya, membuat dia melihat kepalsuan dalam liku-liku kehidupan manusia. Apakah semua tangis yang dikucurkan, semua perkabungan jika ada kematian kesemuanya itu seperti tangisnya tadi juga, semua itu palsu, belaka dan yang menangis itu sesungguhnya hanya menangisi dirinya sendiri saja, bukan menangis demi yang mati?
Bun Beng memeras pakaian gadis itu sampai hampir kering sehingga dijemur sebentar saja pakaian itu sudah kering betul. Pakaian itu digulungnya dan dari luar kamar kuil itu dia berkata, “Nona, pakaianmu sudah kering semua. Terimalah dan segera pakai kembali pakaianmu!” Gulungan pakaian itu dia lemparkan ke dalam dan kembali hanya sebagian lengannya saja yang tampak.
Syanti Dewi merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Cepat dia mengenakan kembali pakaiannya. Di dalam hatinya dia bersyukur kepada Thian bahwa setelah kehilangan Ceng Ceng, kini dia bertemu dengan orang yang demikian baik budinya, seorang laki-laki yang bukan hanya telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi juga yang secara aneh telah menyadarkan batinnya dan kini bersikap demikian sopan kepadanya!
“Aku sudah berpakaian, paman. Harap suka masuk agar kita dapat bicara,” katanya.
Bun Beng melangkah masuk, dan kembali mereka duduk saling berhadapan di atas lantai. Tanpa malu-malu Syanti Dewi kini menatap laki-laki itu dan terkejutlah dia karena baru sekarang tampak olehnya bahwa orang yang berada di depannya jelas bukanlah seorang tukang perahu biasa! Sinar mata laki-laki itu demikian tajam dan berwibawa, namun mengandung kehalusan pandang mata yang penuh kasih sayang dan iba hati.
Wajah itu sangat tampan dan kulitnya halus, kumis dan jenggotnya terpelihara. Seluruh tubuhnya membayangkan perawatan dan kebersihan, bahkan kuku-kuku jari tangannya pun terawat seperti tangan seorang sastrawan, pakaiannya sederhana namun bersih pula. Bukan seorang tukang perahu biasa, agaknya seorang sastrawan yang menyamar sebagai rakyat jelata! Di lain pihak, Bun Beng yang memperhatikan wajah gadis itu juga dapat menduga bahwa gadis ini selain asing karena nama dan bentuk mukanya, juga tentu seorang gadis terpelajar tinggi.
“Nona siapakah?” Bun Beng bertanya singkat.
“Namaku Lu Sian Cu. Boleh aku mengetahui namamu, paman?”
“Sebut saja aku paman Gak. Akan tetapi kuharap engkau tidak merahasiakan namamu karena aku telah mendengar gadis kedua itu meneriakkan namamu, yaitu Syanti.”
Syanti Dewi tercengang dan maklum bahwa tiada gunanya untuk membohong kepada orang yang jelas beriktikad baik terhadap dirinya itu. “Memang Lu Sian Cu adalah nama baruku, paman. Nama yang kupakai dalam perjalanan bersama adikku itu. Nama asliku adalah Syanti Dewi...” Dara itu berhenti untuk melihat reaksi pada wajah laki-laki itu. Namanya adalah nama puteri Kerajaan Bhutan, tentu laki-laki itu akan menjadi terkejut mendengarnya.
Namun tidak ada reaksi apa-apa pada wajah laki-laki itu, dan memang Bun Beng tidak pernah mendengar nama ini. Selama belasan tahun dia tidak mau mencampuri urusan dunia, tidak pula memperhatikan segala peristiwa yang terjadi mengenai pemerintah dan kerajaan mana pun juga!
“Engkau dari suku bangsa apakah, nona?”
Kini tahulah Syanti Dewi bahwa laki-laki ini memang tidak mengenal namanya sama sekali! Hal ini agak mengherankan hatinya, karena daerah ini belum jauh dari Bhutan. Memang namanya yang tidak dikenal orang, ataukah laki-laki ini yang bodoh?
“Aku berbangsa Bhutan...!”
“Ahhh... dan engkau bersama adikmu datang dari Bhutan berdua saja? Hendak ke manakah dan mengapa kalian hanya pergi berdua? Kuharap kau suka menceritakan semua kepadaku agar aku menjadi jelas ke mana aku selanjutnya harus mengantarmu.”
Bukan main girang dan lega rasa hati Syanti Dewi. Benar-benar dia telah ditemukan oleh Thian dengan orang ini yang demikian baik hati! Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada Bun Beng, yang kemudian dibalas oleh laki-laki itu dengan semestinya.
“Paman, aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, dan lebih banyak terima kasih lagi bahwa paman akan sudi melanjutkan pertolongan paman itu untuk mengantar aku sampai ke tempat tujuan. Akan tetapi, hal itu berarti bahwa aku akan membuat paman repot sekali!”
“Ah, tidak ada kerepotan apa-apa, nona. Dan aku pun bukan menolong, tetapi sudah sewajarnyalah kalau aku menolong seorang gadis muda yang kini hanya melakukan perjalanan seorang diri saja.”
“Tapi perjalananku amat jauh, paman.”
“Hemm, sejauh manakah?”
“Sampai ke kota raja Kerajaan Ceng.”
“Hehhh...?” Bun Beng menjadi kaget, juga sama sekali tidak menyangkanya bahwa gadis ini berniat pergi ke kota raja! Akan tetapi dia menduga bahwa tentu ada urusan yang luar biasa pentingnya, maka segera dia berkata, “Memang jauh sekali ke sana, akan tetapi kalau memang perlu, aku bersedia mengantarmu ke sana, nona.”
Kebaikan yang dianggapnya berlebihan ini membuat Syanti Dewi meragu. “Akan tetapi, paman... kabarnya perjalanan ke sana harus menghabiskan waktu berbulan, bagaimana paman dapat meninggalkan keluarga paman...?”
Bun Beng tersenyum dan Syanti Dewi makin kagum. Laki-laki ini tampan dan gagah, juga giginya yang tampak sekilas itu terawat baik, tidak seperti gigi sebagian besar tukang perahu atau orang-orang dusun yang dijumpainya.
“Jangan khawatir, nona. Aku hidup seorang diri di dunia ini, tiada handai taulan, tiada sanak keluarga, tiada rumah tangga. Tetapi, karena perjalanan itu jauh sekali, maka aku tadi mengatakan bahwa kalau perlu, baru aku bersedia mengantarmu. Maka harus dilihat keperluannya dulu. Kalau saja engkau mau menceritakan semua riwayatmu kepadaku, mengapa engkau hendak ke kota raja, dan bagaimana engkau dan adikmu itu sampai terbawa perahu hanyut. Kalau kuanggap memang sepatutnya engkau ke kota raja, tentu akan kuantar.”
Kembali sang puteri menatap wajah Bun Beng sampai beberapa lama, seolah-olah hendak menyelidiki keadaan hati orang itu, kemudian dia berkata, “Paman Gak, terus terang saja kukatakan bahwa riwayatku merupakan rahasia besar yang menyangkut negara, bahkan menyangkut juga mati hidupku. Sekali aku keliru menceritakannya kepada orang yang tidak dapat dipercaya, celakalah aku.”
“Aku tidak perlu membujuk agar engkau mau mempercayaiku, nona. Hanya saja, untuk mengantarmu ke tempat yang demikian jauhnya, aku harus memperoleh kepastian dulu akan alasannya.”
“Aku sudah percaya kepadamu, paman Gak. Kalau engkau bukan orang yang dapat dipercaya, agaknya aku telah mati atau mungkin bernasib lebih buruk lagi. Baiklah, aku akan menceritakan semua keadaanku. Pertama-tama, aku adalah Puteri Syanti Dewi, puteri dari Raja Bhutan.”
Puteri itu berhenti, hendak melihat reaksi wajah orang itu. Namun, tidak ada reaksi apa-apa, seolah-olah orang she Gak itu menganggap seorang puteri raja sama saja dengan seorang gadis dusun anak petani atau nelayan! Hal ini sedikit banyak mendatangkan kekecewaan di dalam hati Syanti Dewi, dan dia cepat melanjutkan, “Dan aku adalah calon mantu Kaisar Ceng!”
Akan tetapi, Bun Beng tidak kelihatan kaget, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang tajam, seolah-olah hendak menjenguk isi hati dara itu. Syanti Dewi menghela napas. Dia kecele kalau ingin melihat wajah orang itu berubah kaget. Agaknya urusan yang menyangkut nama segala raja di raja tidak menggetarkan sedikit pun juga di hati orang itu.
“Rombongan utusan kaisar telah menjemputku di Bhutan, Gak-sioksiok (paman Gak) dan dalam rombongan yang dikawal oleh lima ratus orang pasukan Bhutan itu aku ditemani oleh Ceng-moi.”
“Adikmu yang bernama Candra itu?”
“Dia hanya adik angkat, nama aslinya adalah Lu Ceng, dan nama barunya Candra Dewi, jadi keadaannya berbalik dengan diriku. Dia seorang gadis Han yang memiliki ilmu silat yang lihai sekali.”
Bun Beng mengangguk-angguk, hatinya senang juga mendengar seorang puteri raja mau mengangkat saudara dengan seorang gadis biasa, hal yang membuktikan bahwa puteri yang ditolongnya ini adalah seorang wanita yang berbudi baik!
Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak berangkat dari istana Bhutan sampai mereka diserbu pasukan musuh yang amat besar jumlahnya. Diceritakannya betapa dia bersama Ceng Ceng, dikawal oleh kakek gadis itu, terpaksa menyamar dan melarikan diri karena gelagatnya tidak baik. Betapa kakek itu tewas dalam membelanya dan kemudian dia bersama adik angkatnya itu melarikan diri berdua, mengalami segala kesengsaraan sampai akhirnya terbawa perahu yang hanyut, dan dia tertolong oleh paman Gak itu.
“Demikianlah, paman. Sungguh tidak saya sangka bahwa kalau demikian buruk nasib Ceng-moi. Kasihan sekali dia... demi keselamatanku, dia dan kakeknya sampai harus mengorbankan nyawa.”
“Hemmm, kita belum yakin benar bahwa nona Ceng itu akan tewas. Akan tetapi, tukang perahu yang membawa kalian itu sungguh menarik. Benarkah bahwa dia itu memiliki kepandaian yang hebat?”
“Dia memang lihai sekali. Hal ini baru kami ketahui setelah adik Ceng marah-marah dan menyerangnya. Ternyata ia memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada kepandaian Ceng-moi yang sudah amat lihai itu. Dan baru saya dapat menduga bahwa para pencegat dalam dua buah perahu itu tentulah jeri terhadap dia, entah mengapa, bahkan ada yang membisikkan nama julukan Si Jari Maut.”
Bun Beng mengangguk-angguk. Tidak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan urusan sebesar ini! Yang ditolongnya adalah puteri Raja Bhutan, calon mantu kaisar! Dan ternyata di daerah barat terjadi pemberontakan yang besar pula. Dia tidak ingin terseret ke dalam urusan apa pun juga, tetapi setelah secara kebetulan dia menolong puteri ini, tidak mungkin pula dia membiarkannya saja pergi seorang diri yang tentu merupakan hal yang amat berbahaya sekali.
“Ketika engkau masih bersama nona Ceng, ke manakah tujuan kalian melarikan diri?”
“Kami hanya mentaati pesan kakek dari Ceng-moi, yaitu disuruh melarikan diri ke kota raja Kerajaan Ceng dan menemui seorang puteri kaisar di sana.”
“Puteri kaisar?” Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang.
“Ya, namanya Puteri Milana...”
Bun Beng menelan seruan kagetnya, tetapi dia tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang menjadi merah. Perubahan pada wajah ini tampak pula oleh Syanti Dewi yang cepat bertanya, “Ada apakah, paman?”
“Tidak... tak ada apa-apa,” jawab Bun Beng yang segera bangkit berdiri dan termenung sejenak. Kemudian dia berkata, “Sebelum kita berangkat ke kota raja yang jauh itu, mari kita mencoba untuk mencari adikmu itu. Siapa tahu dia dapat menyelamatkan diri...”
Keduanya lalu menyusuri Sungai Nu-kiang, namun sampai puluhan li jauhnya, mereka tidak melihat ada tanda-tanda bahwa Ceng Ceng mendarat, akan tetapi juga tidak ada melihat mayat gadis itu. Akhirnya, terpaksa Bun Beng mengajak dara itu menghentikan usaha mereka mencari Ceng Ceng dan mulailah dia mengantarkan dara itu ke kota raja, sebuah perjalanan yang amat jauh sekali dan akan memakan waktu berbulan.
* * * * * *
"Kau tidak boleh melakukan hal seperti itu, Bu-te! Engkau bisa disangka hendak berbuat kurang patut!"
Mendengar teguran kakaknya itu, Kian Bu tersenyum lebar, “Ahhh, Lee-ko. Peduli apa dengan persangkaan kosong? Buktinya yang penting, dan engkau tentu tahu betul bahwa aku sama sekali tidak ingin melakukan sesuatu yang kurang patut! Aku hanya ingin berkenalan dan mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik. Apa salahnya itu?”
Mau tidak mau Kian Lee tertawa. Memang adiknya ini bengal sekali dan bagi yang tidak mengenalnya betul, tentu perbuatannya akan dianggap sebagai perbuatan kurang ajar dan melanggar susila.
Seminggu yang lalu, adiknya itu sudah mempraktekkan kebengalannya. Ketika melihat sebuah joli digotong angin nakal menyingkapkan tirai memperlihatkan bahwa yang berada di dalam joli itu duduk seorang gadis cantik, tanpa ragu-ragu sama sekali Kian Bu mengejar joli, membuka tirai dan berseru girang, “Haiii, nona Liem...! Engkau hendak ke manakah?”
Tentu saja empat orang penggotong joli mengira bahwa pemuda tampan itu memang kenalan atau anggota keluarga si nona cantik yang mereka gotong, dan baru mereka tahu bukan demikian halnya ketika terdengar nona itu menjawab dengan nada heran dan marah, “Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!”
“Eh, ehh, Liem-siocia. Masa lupa lagi kepadaku? Aku Suma...”
“Aku tidak kenal orang she Suma. Dan aku bukan she Liem, aku she Kiem!” nona itu membentak pula, sedangkan tukang joli terpaksa berhenti dan memberi kesempatan kepada muda-mudi itu untuk bercakap-cakap.
Suma Kian Bu pura-pura kaget. “Aihhh... maaf, maafkanlah aku, Kiem-siocia. Kau mirip benar dengan Liem-siocia yang... cantik. Kalau begitu perkenalkanlah, aku... Suma Kian Bu...”
“Tukang joli, hayo jalan terus!” Nona itu berkata marah dan menutupkan tirai joli.
Ketika joli itu sudah berjalan jauh, Suma Kian Bu hanya tertawa-tawa mendengarkan teguran kakaknya. “Salah-salah kau bisa disangka jai-hwa-cat, penjahat tukang perkosa wanita!” Suma Kian Lee mengakhiri tegurannya.
Sekarang baru sepekan kemudian, sudah kumat pula penyakit Suma Kian Bu dan pemuda ini menyatakan hendak ‘belajar kenal’ dengan seorang puteri yang naik joli. Melihat betapa joli itu tertutup rapat tanda bahwa penumpangnya adalah seorang wanita muda yang tidak mau memperlihatkan diri, Kian Lee mencegah adiknya.
“Biarlah, kalau begitu besok pagi aku akan mencegat dia di depan kelenteng,” kata Kian Bu. “Aku penasaran kalau belum melihatnya. Menurut pemilik warung dekat kelenteng, sudah beberapa hari ini nona itu setiap pagi pergi ke kelenteng dan kabarnya cantik sekali.”
“Huhh, mata keranjang kau!” Kian Lee berkata. “Biarlah besok kau keluar sendiri, aku tidak sudi melihat kau berbuat ceriwis terhadap wanita!”
Seperti telah diceritakan di bagian depan, kakak beradik dari Pulau Es ini mulai dengan perantauan mereka. Dengan perahu mereka meninggalkan Pulau Es dan berkat petunjuk peta yang dibuat oleh Pendekar Super Sakti, ayah mereka, kali ini tanpa banyak kesulitan mereka dapat mencapai daratan besar. Mereka lalu mulai melakukan perjalanan yang amat jauh itu, menuju ke kota raja untuk menemui kakak mereka, yaltu Puteri Milana. Akan tetapi karena baru kali itu mereka merantau, mereka tidak tergesa-gesa dan di setiap tempat yang menyenangkan hati, mereka berhenti sampai dua tiga hari. Bekal mereka cukup banyak sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal uang untuk biaya makan dan penginapan.
Tidak dapat terlalu disalahkan kalau dua orang pemuda itu terpesona menyaksikan tamasya alam yang amat indah, yang tidak dapat mereka lihat di Pulau Es, melihat kota-kota besar dan dusun-dusun yang ramai, apa lagi terpesona melihat gadis-gadis cantik yang selama hidup belum pernah mereka lihat. Hanya bedanya, kalau Kian Lee tetap bersikap tenang-tenang saja, adalah Kian Bu yang seperti cacing kepanasan dan setiap kali bertemu gadis cantik, ingin sekali dia berkenalan! Dorongan hasrat yang wajar saja, sama sekali tidak terkandung nafsu birahi atau keinginan yang tidak patut!
Mereka terpaksa bermalam satu malam lagi di rumah penginapan di kota itu karena Kian Bu yang rewel tidak mau melanjutkan perjalanannya sebelum sempat ‘berkenalan’ dengan nona dalam joli yang setiap pagi pergi ke kelenteng, dengan menggunakan ‘siasatnya’ yang hanya dapat diciptakan otak seorang pemuda yang memang memiliki watak urakan (ugal-ugalan) tapi tidak kurang ajar.
Besoknya, pagi-pagi sekali Kian Bu sudah menanti di tepi jalan, dekat kelenteng. Dia tinggalkan kakaknya yang masih tidur di atas pembaringan dalam kamar penginapan. Jantungnya berdebar tegang dan sebentar-sebentar dia tersenyum membayangkan betapa dia akan dapat berhadapan dengan gadis cantik dalam joli dan dapat bercakap-cakap! Siapa tahu, kalau awak sedang untung, dia akan mendapatkan tanggapan baik dan akan dapat bersahabat, sungguh pun dia hanya ingin melihat kata-kata ramah dan senyum manis ditujukan kepadanya, lain tidak!
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia melihat joli yang dinanti-nantikannya dari jauh. Tidak salah lagi, tentu dia, pikirnya. Tidak ada joli lain yang digotong menuju ke kelenteng!
“Hendak ke mana, lopek?” tanyanya kepada penggotong joli terdekat.
Penggotong joli itu melirik tanpa menoleh dan menjawab singkat, “Ke kelenteng.”
Kian Bu kemudian menghampiri joil dan berteriaklah dia dengan suara girang sambil tangannya menyingkap tirai. “Haiii, kiranya nona Thio... hahhhh...?!” Matanya terbelalak ketika melihat bahwa yang berada di dalam joli itu ternyata adalah Suma Kian Lee, kakaknya sendiri!
Joli dihentikan, Kian Lee meloncat keluar dan tertawa, mentertawakan adiknya yang membanting-banting kaki dan bersungut-sungut karena empat orang penggotong joli sudah tertawa, demikian pula beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu di tepi jalan.
“Lee-ko, engkau sungguh terlalu...!” Kian Bu berkata, akan tetapi dia tidak membantah ketika tangannya ditarik oleh kakaknya, diajak kembali ke penginapan untuk mengambil buntalan mereka.
“Bu-te, kalau tidak begitu engkau tidak akan bertobat. Kau tidak boleh melakukan hal itu, karena biar pun aku yakin bahwa engkau tidak berniat kurang ajar, namun engkau membuat seorang gadis merasa malu dan terhina. Salah-salah engkau akan terlibat dalam perkelahian, padahal ayah sudah berpesan keras-keras bahwa kita tidak boleh mencari gara-gara di dalam perjalanan!”
“Sudahlah, sudahlah, aku memang bersalah besar!”
“Engkau tidak salah besar, Bu-te, akan tetapi engkau terlalu jahil dan kenakalanmu itu dapat mengakibatkan urusan besar. Engkau suka mengganggu gadis, padahal engkau tidak tahu dia siapa, anak siapa, dan engkau mendatangkan rasa terhina dan malu kepadanya. Padahal semua itu kau lakukan hanya untuk main-main, bukan karena memang engkau sungguh tertarik dan suka kepadanya.”
“Kalau begitu, andai kata aku tertarik benar-benar kepada seorang gadis, aku boleh... ehhh, belajar kenal dengannya?”
“Tentu saja boleh, asal caranya tidak kurang ajar dan sewajarnya. Bukan dengan cara urakan menegur orang di jalan pura-pura kenal macam yang kau lakukan itu!”
Wajah tampan dari Kian Bu berseri gembira, lenyap sudah kemengkalan hatinya karena penipuan kakaknya tadi. Memang demikianlah watak Kian Bu. Lincah, kocak, nakal, periang, mudah marah dan mudah tertawa lagi. “Bagus! Kalau begitu aku akan mencari akal lain yang lebih baik.“ Dia melihat kakaknya melotot dan cepat menyambung, “yaitu kalau aku sudah tertarik benar-benar kepada seorang gadis.”
“Kau memang mata keranjang dan nakal!” Kakaknya mengomel.
“Ehh, Lee-ko, apakah kau tidak tertarik dan suka melihat gadis cantik? Mereka itu begitu cantik, begitu manis. Suaranya begitu halus merdu, lirikan dan senyumannya semanis madu, gerak-geriknya amat menyenangkan. Aku tidak percaya kalau tidak suka pula menyaksikan seorang gadis cantik.”
“Biar pun suka, akan tetapi tidak boleh diutarakan secara kasar seperti kelakuanmu.”
“Horeee! Jadi kau pun suka, koko? Bagus, kalau begitu bukan aku sendiri yang suka melihat gadis cantik! Ehhh, engkau lebih suka yang bagaimana, koko? Aku suka gadis yang lincah, yang kocak pandang matanya, yang murah senyumnya, yang pandai bergaul, seperti lagak seekor burung murai yang tak pernah diam dan selalu berkicau meriah dan merdu.”
Di dalam hatinya, Kian Lee merasa tidak senang dan malu harus bicara tentang wanita, akan tetapi hanya untuk melawan dan mencela adiknya, dia menjawab juga, “Sama sekali tidak seperti engkau, aku lebih suka kepada seorang dara yang sopan santun, pendiam, dan menyembuyikan keramahan di balik kesopanan dan kesusilaan.”
“Wah-wah-wah, kalau begitu engkau lebih baik memilih sebuah patung saja, Lee-ko! Ha-ha-ha!”
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan. Aku muak mendengar obrolanmu tentang wanita.”
Demikianlah, kakak beradik yang wataknya berbeda seperti bumi dengan langit ini tidak pernah rukun di dalam perjalanan, dalam arti kata, rukun dalam sifat mereka. Mereka selalu tidak sependapat mengenai cara hidup, apa lagi kalau ada hubungannya dengan pergaulan dan wanita. Mereka hanya rukun dan saling membela mati-matian kalau ada urusan yang langsung mengenai diri mereka. Kian Lee amat mencinta dan membela adiknya, mendahulukan keperluan adiknya dari pada keperluannya sendiri. Sebaliknya Kian Bu amat mencinta kakaknya dan amat patuh, sungguh pun pada lahirnya dia suka membantah, dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih atas segala kebaikan yang dilimpahkan kakaknya kepadanya.
Watak Suma Kian Bu di samping keriangan dan kelincahannya, juga amat romantis. Dia menikmati keindahan alam dengan cara terbuka, dengan wajah berseri, mata bercahaya dan mulut tiada hentinya mengeluarkan puji-pujian, mengagumi bunga-bunga yang indah, suka akan makanan enak, suka mendengarkan nyanyian merdu, suka akan pakaian-pakaian indah, suka mempersolek diri, suka bernyanyi-nyanyi dan tentu saja suka sekali melihat dara cantik!
Sungguh merupakan kebalikan dari sifat Suma Kian Lee yang pendiam, tidak suka bicara kalau tidak penting, biar pun suka mengagumi keindahan, namun rasa sukanya itu dipendam dalam batin saja, berpakaian sederhana tidak mengutamakan keindahan melainkan yang enak dipakai, mengutamakan kesusilaan dan sopan-santun yang bukan paksaan melainkan timbul dari watak aslinya yang menghargai orang lain.
Betapa pun juga, perangai Kian Bu yang riang gembira itu kadang-kadang menular kepadanya sehingga kalau selagi senang hatinya mendengar Kian Bu bernyanyi-nyanyi, dia ikut pula bersenandung sungguh pun tidak bernyanyi dengan nyaring mengeluarkan semua kegembiraan hatinya melalui nyanyian seperti adiknya itu. Apa lagi sikap adiknya yang amat suka akan wanita cantik, kadang-kadang membuatnya termenung dan dia harus mengakui diam-diam bahwa tidak ada kecantikan bunga dan keindahan alam yang melebihi wajah seorang dara, tidak ada suara merdu yang melebihi suara seorang dara!
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah dusun dan karena kemalaman mereka bermalam di sebuah penginapan kecil dan sedang duduk di serambi sambil minum arak hangat, tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta yang dikawal oleh rombongan piauwsu berhenti di depan rumah penginapan itu. Kepala pengawal mendekati kereta dan menyingkap tirai, sedangkan pembantu-pembantunya menahan kuda yang berbusa mulutnya. Agaknya empat ekor kuda itu sudah bekerja berat, lari melalui jarak jauh sehari itu.
Tiba-tiba ujung kaki Kian Bu menyentuh betis kakaknya sebagai isyarat. Kian Lee mengangkat mata melirik adiknya dan menoleh ketika melihat adiknya memandang ke arah kereta. Pintu kereta terbuka, tirai disingkapkan dan turunlah seorang gadis berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita seperti seorang bidadari turun dari kahyangan. Gerak-geriknya begitu halus gemulai ketika dia turun dari kereta dibantu oleh seorang wanita setengah tua dan seorang laki-laki setengah tua yang agaknya adalah ayah bundanya.
Sejenak dara itu berdiri di serambi depan ketika ayahnya bicara dengan pengurus penginapan minta disediakan kamar bagi mereka, kemudian bersama ayah bundanya dara itu memasuki penginapan dan lenyap di dalam kamar. Sibuklah para piauwsu menurunkan barang-barang, dan kereta kemudian ditarik ke sebelah belakang rumah penginapan itu. Jika dihitung dengan kusirnya, semua terdapat sebelas orang piauwsu yang kelihatannya tangkas dan kuat.
Melihat dara tadi menunduk saja, sedikit pun tak pernah melirik kepada mereka, melihat sikap yang amat sopan santun dari gadis itu, padahal ia mengharapkan kerlingan dan senyum, Kian Bu merasa kecewa dan tidak puas. Akan tetapi ketika dia memandang kakaknya, dia melihat kakaknya itu termenung, mukanya agak merah dan kedua tangan kakaknya mempermainkan cawan arak yang telah kosong, agaknya kakaknya itu lagi termenung-menung.
Kian Bu tersenyum. Baru sekarang dia melihat kakaknya termenung setelah melihat seorang dara! Maka segera dia menangkap tangan kakaknya sambil berkata, “Lee-ko, bagaimana?”
Kian Lee mengangkat muka memandang. Melihat sinar mata adiknya yang jelas-jelas menggodanya, mukanya menjadi semakin merah, “Bagaimana apanya?” Dia justru balik bertanya, setengah membentak.
Kian Bu menggerakkan kepalanya ke arah belakang rumah penginapan. “Dia tadi, hebat bukan?”
Kian Lee tidak menjawab segera, melainkan menunduk dan berkata lirih, “Hebat atau tidak, ada sangkut paut apa dengan kita? Jangan kau memikirkan yang bukan-bukan!”
“Ahhh, tidak. Bagiku sih, dia seperti patung hidup! Melirik sedikit pun tidak, tersenyum sedikit pun tidak, bicara sepatah kata pun tidak!”
“Itu tandanya dia seorang dara terpelajar, sopan dan menjaga harga diri tinggi-tinggi, bukan seorang perempuan genit!”
“Hi-hik, aku tahu bahwa dara model inilah yang akan menarik hatimu, koko. Mengapa tidak mengajak dia berkenalan? Eh, secara sopan maksudku?”
Kian Lee memandang adiknya dengan mata melotot. “Mau apa kau? Jangan main gila kau, Bu-te!”
“Ah, tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kalau engkau tertarik kepada dara itu, apa salahnya kalau kau berkenalan dengan dia? Hanya berkenalan, apa sih buruknya? Kalau tidak berkenalan, bagaimana bisa mengerti cocok atau tidak?”
“Aku bukan laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu gadis yang tidak kukenal.”
“Siapa bilang mengganggu? Aihh, koko, engkau benar-benar selalu berprasangka buruk dan tidak percaya kepada adikmu ini. Dan engkau ini selalu hendak berpura-pura, dan bersikap palsu.”
“Hemm, apa lagi ini maksudnya? Jangan kau kurang ajar kepadaku!”
“Koko merasa suka kepada seseorang, akan tetapi pada lahirnya pura-pura dingin, bukankah ini pura-pura namanya? Hati ingin berkenalan, akan tetapi mulut bicara lain, bukankah itu palsu?”
“Kian Bu, engkau masih kanak-kanak, akan tetapi lidahmu tajam. Hati-hati kau, kalau kau bicara seperti itu dengan orang lain, tentu engkau akan mudah sekali menanam permusuhan. Memang kuakui bahwa sikap dan keadaan dara tadi menimbulkan kagum di dalam hatiku, akan tetapi apa yang harus kulakukan? Aku bukanlah seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar seperti engkau!”
“Bagus...!” Kian Bu meloncat bangun dan merangkul kakaknya. “Lee-ko, aku hanya ingin mendengar pengakuanmu bahwa kau tertarik kepadanya. Kita bukanlah orang-orang rendah yang suka melakukan hal-hal tidak patut, akan tetapi tanpa siasat, mana mungkin kau berkenalan dengan dara itu? Aku sudah mempunyai suatu rencana, kalau siasat ini dilakukan, engkau tentu akan berkenalan dengan dia dan bahkan dipandang tinggi dan hormat!” Pemuda tanggung ini lalu berbisik-bisik di dekat telinga kakaknya.
Wajah Suma Kian Lee yang tampan sebentar merah sebentar pucat, dia menggeleng-geleng kepala, akan tetapi akhirnya dia berkata lirih, “Berbahaya sekali siasatmu yang nakal itu, Bu-te!”
“Alaaaa... kau maksudkan piauwsu-piauwsu itu? Serahkan padaku, beres. Dan aku pun bukan ingin memperpanjang pertempuran dengan mereka. Aku hanya menjadi penculik, kau lalu muncul. Habis perkara. Yang penting, dia akan berhutang budi kepadamu dan tentu saja menjadi kenalan. Tidak ada apa-apa yang jahat, bukan?”
“Akan tetapi, kalau kau melukai seorang pun...”
“Koko, engkau anggap aku ini orang macam apa? Aku bukan penculik tulen, bukan pula perampok, mau apa aku melukai orang? Percayalah kepadaku, kelak engkau akan berterima kasih kepadaku kalau sudah menjadi sahabatnya, koko!”
Terpaksa Kian Lee tersenyum dan dengan gerakan gemas seperti hendak menampar kepala adiknya. Kian Bu meloncat menjauh, lalu tertawa-tawa dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik ini pun sudah memasuki kamar mereka dan tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee telah dibangunkan oleh Kian Bu. Seperti biasa setiap pagi, mereka duduk bersila dan bersiulian sebentar, latihan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sekali saja tidak melakukannya terasa kurang enak. Kemudian mereka mandi dan membayar biaya penyewaan kamar lalu berangkat, akan tetapi setibanya di luar dusun, mereka berhenti.
Setelah matahari menumpahkan cahayanya di permukaan bumi, tampak oleh mereka yang dinanti-nanti sejak tadi, yaitu kereta berkuda empat yang dikawal oleh sepuluh orang piauwsu dan seorang kusir. Mereka membiarkan rombongan itu lewat, kemudian mereka membayangi dari jauh.
Biar pun rombongan itu terdiri dari kereta ditarik kuda dan dikawal oleh sepuluh orang piauwsu berkuda, namun tidaklah sukar bagi dua orang muda itu membayangi mereka. Kakak beradik ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kesaktian yang tinggi dan ilmu berlari mereka luar biasa.
Rombongan memasuki sebuah hutan. “Saudara-saudara, hati-hati dan waspadalah, di depan adalah hutan yang cukup besar!” berkata kepala piauwsu yang bermuka merah. Sepuluh orang itu lalu melarikan kuda mereka mengurung kereta, tiga di depan, tiga di belakang, dan masing-masing dua di kanan kiri.
Tiba-tiba para piauwsu itu terkejut sekali ketika melihat sesosok bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar, langsung menimpa atap kereta dan terdengar kain robek disusul jerit nona yang berada di dalam kereta, lalu tampak pula bayangan itu meloncat turun dari kereta sambil memondong tubuh nona itu yang menjerit-jerit dan meronta ronta.
“Tolong...! Penculik...! Tolong Bi Hwa...!” Nyonya dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari kereta yang sudah dihentikan oleh kusir, menangis dan berteriak-teriak.
Para piauwsu sudah cepat bergerak. Enam orang melakukan pengejaran kepada Suma Kian Bu yang berlari cepat memondong tubuh dara itu sedangkan yang empat orang lagi tetap menjaga kereta.
“Kejar! Tangkap penjahat...!” Teriak kepala piauwsu yang memimpin teman-temannya mengejar. Tetapi mereka segera terpaksa turun dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari ketika melihat penculik itu membawa dara itu menyusup-nyusup ke dalam semak-semak tebal.
“Lepaskan aku...! Lepaskan...!” Bi Hwa, dara itu meronta sambil memukul-mukul ke arah dada muka dan kepala Suma Kian Bu.
Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja. “Tenanglah sayang, diamlah manis... aku takkan mengganggumu...!”
Namun Bi Hwa masih meronta-ronta. Meremang seluruh bulu badannya melihat dirinya dipondong dan dibawa lari dengan begitu hati-hati oleh pemuda yang amat tampan ini. Di dalam hatinya yang dilanda kaget dan takut, timbul keheranan mengapa pemuda yang masih amat muda dan amat tampan ini menjadi penjahat!
Tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang menghadang di depan sambil membentak, “Penculik, lepaskan dia!”
Suma Kian Bu yang melihat kakaknya sudah muncul, pura-pura membentak marah, “Engkau pendekar, jangan mencampuri urusanku!”
Suma Kian Lee menerjang ke depan, dan beberapa lamanya kakak beradik itu pukul-memukul, akhirnya sebuah pukulan mengenai kepala Suma Kian Bu yang terhuyung dan roboh. Tentu Bi Hwa ikut pula terbanting kalau saja tidak cepat ditahan oleh Suma Kian Lee. Sejenak Bi Hwa berdiri dengan muka pucat memandang kepada Suma Kian Lee yang telah menolongnya, kemudian menoleh dan memandang Suma Kian Bu yang rebah miring dengan muka pucat seperti telah menjadi mayat!
Kian Lee diam-diam menyesalkan siasat adiknya ini karena jelas tampak betapa gadis itu kaget dan takut. Dia menanti ucapan terima kasih dan sudah bersiap untuk segera mengantarkan dara itu kembali ke kereta dan orang tuanya. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakak beradik itu.
Si dara jelita yang menoleh dan memandang Kian Bu tiba-tiba terisak, kemudian lari... menghampiri Kian Bu, berlutut di dekat tubuh pemuda ini.
“Aihhh, kau... kau telah membunuhnya...! Kau telah membunuhnya...!” Dia menuding ke arah Kian Lee, kemudian mengangkat kepala Kian Bu, memangkunya dan mengusap-usap kepalanya seperti hendak mencari bagian mana dari kepala itu yang pecah dan membuat pemuda ini tewas. “Aduh kasihan sekali engkau...,” bisik Bi Hwa.
Kian Lee berdiri dengan muka pucat. Dan Kian Bu lupa akan permainan sandiwaranya, dia begitu terheran-heran sehingga lupa bahwa dia telah ‘mati’. Dia membuka matanya dan memandang dengan melongo.
“Syukur, kau belum mati... ahhh, aku girang sekali... di manakah yang terluka ?” Bi Hwa bertanya.
Kian Bu menggeleng kepala dan menuding ke arah Kian Lee. “Kau... kau harus cepat menghaturkan terima kasih kepadanya. Dialah penolongmu “
“Dia kejam, memukulmu sampai hampir mati!” Bi Hwa membantah.
“Tapi aku adalah penculikmu, dialah yang menolongmu... lekas kau hampiri dia...,” Kian Bu makin bingung dan merenggutkan dirinya yang masih dipeluk dara itu.
Pada saat itu terdengar bentakan. “Penculik busuk, hendak lari ke mana kau?” Dan muncullah enam orang piauwsu dengan pedang atau golok di tangan masing-masing.
Melihat ini, Kian Lee meloncat dan berkata, “Bu-te, pergi... !”
Terbirit-birit Kian Bu lalu meloncat dan melarikan diri mengejar kakaknya. Sampai jauh sekali mereka berlari, dan terengah-engah mereka berhenti di dalam hutan kecil yang terpisah jauh dari hutan di mana mereka tadi main sandiwara itu.
Tentu saja mereka terengah-engah, bukan karena telah lari cepat dan jauh, melainkan karena sejak tadi hati mereka penuh ketegangan ketika bersandiwara yang kemudian ternyata gagal total itu! Si gadis manis bukan berterima kasih kepada Kian Lee yang ‘menolongnya’ melainkan justru menaruh iba kepada Kian Bu ‘si penculik’! Benar-benar merupakan kebalikan dari apa yang mereka inginkan, dan hampir saja rahasia mereka terbuka ketika para piauwsu itu datang.
“Kau...!” Kian Lee menggerakkan tangan hampir menampar muka adiknya, akan tetapi ditahannya dan dia menarik napas panjang.
“Lee-ko, jangan salahkan aku! Dialah yang salah, gadis tidak tahu terima kasih itu, gadis tidak mengenal budi itu!”
“Diam! Jangan memaki dia! Justeru perbuatannya tadi menambah tingkatnya dalam pandanganku! Dia adalah seorang yang berbudi mulia, mendahulukan rasa iba hatinya terhadap orang yang tertindas. Karena melihat kau kupukul dan mengira engkau tewas, maka dia melupakan semua urusan pribadinya dan menjatuhkan rasa iba hatinya kepadamu. Bukankah itu menandakan bahwa dia seorang yang baik budi?”
Suma Kian Bu kian melongo. Kakaknya ini malah lebih aneh dari pada gadis tadi. Dia menggerakkan pundaknya dan diam-diam berjanji dalam dirinya untuk berhati-hati, agar lain kali jangan mengecewakan hati kakaknya.
“Siasatku tadi memang kurang sempurna, koko. Mestinya, begitu terpukul, aku pura-pura kalah dan melarikan diri, bukan pura-pura terpukul mati. Kalau aku kalah dan lari, tentu perhatiannya tertuju kepadamu.”
“Sudahlah, salah kita sendiri. Kita bermain sandiwara, bertindak palsu dengan tujuan mempermainkan kepercayan hati seorang gadis, maka cara yang tidak baik itu tentu saja mendatangkan hasil tidak baik pula.”
“Aihhh, koko, jangan begitu. Aku telah bersungguh-sungguh membantumu, dan engkau belum pernah membantuku.”
“Hemm, aku memang telah hutang budi kepadamu. Baik, akan kubalas seperti yang kau lakukan kepadaku, hanya hasilnya terserah engkau yang menanggung jawab semua.”
“Tentu saja. Akan tetapi siasatnya harus diperbaiki. Setelah engkau kuserang, engkau pura-pura kalah dan meninggalkan gadis itu untuk berterima kasih kepadaku.”
“Hemmmm...” Kian Lee hanya menggumam mengkal.
Saat yang dijanjikan oleh Kian Lee kepada adiknya itu tiba ketika perjalanan mereka sudah tiba di pegunungan yang menjadi tapal batas Propinsi Hopei. Perjalanan naik turun gunung dan melalui hutan-hutan besar, hanya jarang saja mereka menjumpai pedusunan atau kota. Pada suatu hari, selagi mereka berjalan perlahan di bawah pohon-pohon yang rindang yang amat sejuk karena terlindung dari sinar matahari, mereka bertemu dengan serombongan orang yang terdiri dari dua buah kereta dan dua losin piauwsu. Rombongan yang cukup besar dan kereta itu merupakan kereta mewah, kudanya pun besar-besar sehingga mudah saja diduga bahwa penumpangnya tentulah sebangsa bangsawan atau hartawan.
“Nah, besar kemungkinan di dalamnya ada gadisnya, koko,” bisik Kian Bu.
Kakaknya cemberut. “Apakah di dalam kepalamu itu isinya hanya bayangan gadis-gadis cantik?” bentaknya.
“Alaaaaaa..., koko. Kalau kau begini terus, sampai kapan kau hendak membalas budi?”
“Wah, kau memang sangat cerewet dan selalu ingat kalau mengutangkan sesuatu!” cela kakaknya.
“Dan kau terlalu sabar kalau disuruh membayar hutang!” Adiknya menggoda sehingga Kian Lee kewalahan.
“Kau lihat sendiri, dua buah kereta itu tertutup, mana kita bisa tahu apakah di dalamnya ada gadisnya atau tidak?”
“Ha-ha-ha, apa sih sukarnya untuk mengetahui hal itu?” Tangan Kian Bu bergerak dan tampak oleh Kian Lee sinar-sinar hitam kecil menyambar ke depan.
Adiknya telah menggunakan tanah liat untuk menyambit ke arah kuda yang menarik kereta. Terdengar ringkik keras dan empat ekor kuda yang terkena timpukan tanah liat tepat di bawah telinganya itu meringkik dan meronta berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja kusirnya cepat membentak dan menarik kendali. Rombongan terhenti dan semua piauwsu bertanya sehingga ributlah keadaan di situ.
Dua buah kereta itu tersingkap dari dalam. Ada kepala-kepala orang menjenguk dan bertanya apa yang terjadi dan mengapa ada ribut-ribut di luar, bahkan orang-orang yang menumpang dalam kereta yang kudanya meringkik itu menjadi agak panik karena keretanya bergoyang-goyang. Kesempatan itu digunakan oleh Kian Bu untuk mengintai dan betapa girangnya ketika melihat bahwa di kereta kedua, kereta yang besar dan mewah, terdapat tiga orang penumpang yaitu seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah tanda hartawan, usianya kurang lebih empat puluh tahun, seorang wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan seorang gadis cantik manis yang berusia paling banyak sembilan belas tahun! Seorang gadis cantik dan bajunya merah, manis sekali! Juga Kian Lee melihat ini dan diam-diam dia memuji kecerdikan adiknya.
Bocah itu ada saja akalnya! Akan tetapi sekali ini ‘tugasnya’ lebih berat dari pada yang dilakukan adiknya sebulan yang lalu. Jumlah pengawal ada dua losin orang, dan di antara mereka banyak yang membawa busur, juga sikap mereka lebih gagah dari pada sepuluh orang dahulu itu. Akan tetapi apa boleh buat, kalau dia belum ‘membayar hutang’, adiknya tentu akan rewel terus. Dia hanya akan menjaga agar adiknya jangan bertindak lebih jauh dari sekedar belajar kenal dengan gadis itu!
“Baiklah, kini aku akan membayar hutangku. Kau tunggu di luar hutan ini di sebelah kiri sana,” katanya tanpa banyak cakap lagi.
Kian Bu memegang tangan kakaknya. “Terima kasih, koko!”
Kian Lee merenggut tangannya. “Pergilah!”
Kian Bu tertawa dan meloncat pergi dengan girang sekali. Mau tidak mau, Kian Lee menggeleng kepala dan menarik napas panjang melihat adiknya berloncatan seperti anak kecil berlari sambil berjingkrakan itu. Adiknya itu benar-benar seperti anak kecil, akan tetapi begitu besar hasratnya untuk berkenalan dengan gadis-gadis cantik!
Dia cepat berlari mengejar rombongan yang sudah bergerak lagi itu. Sebentar saja dia sudah dapat menyusul. Kian Lee tidak mau menimbulkan keributan seperti yang biasa dilakukan adiknya, maka dia sengaja mendahului rombongan lalu berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangan. “Harap cu-wi berhenti dulu!”
Melihat ada seorang pemuda berkelebat cepat sekali kemudian berdiri menghadang di tengah jalan, dua kereta lalu dihentikan dan dua losin piauwsu itu cepat menjaga kereta. Pemimpinnya, yaitu seorang piauwsu tua yang berjenggot putih, bersama belasan orang pembantunya menghadapi Kian Lee.
“Kau siapakah dan mau apa menahan rombongan kami?” bentak si jenggot putih.
Akan tetapi Kian Lee tidak mau melayaninya, melainkan melangkah lebar ke arah kereta kedua. Dia segera dikurung, akan tetapi dia berjalan terus menuju ke kereta sambil berkata, “Aku mau bicara dengan mereka! Yang berada di dalam kereta!”
Melihat pemuda tampan ini berpakaian pantas dan tidak membawa senjata, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar, maka para piauwsu ragu-ragu untuk menurunkan tangan besi, dan kereta itu disingkap dari dalam, muncul wajah tiga orang itu.
Kian Lee yang melihat jelas bahwa di dalamnya memang terdapat seorang gadis cantik berbaju merah, segera berkata, “Aku hanya mau mengajak pergi dia itu!” berkata demikian tubuhnya meloncat cepat sekali ke depan, dan tahu-tahu semua orang melihat dia sudah melesat pergi dan lari memondong tubuh gadis berbaju merah yang berteriak teriak. “Tolong... toloooonggg...!”
Beberapa orang piauwsu memasang anak panah pada busurnya.
“Hati-hati, jangan salah sasaran. Arahkan kepada kakinya!”
Belasan batang anak panah melesat mengejar Kian Lee, akan tetapi dengan meloncat-loncat, pemuda itu dengan mudah menghindarkan kakinya dari sambaran anak panah dan mempercepat larinya. Biar pun para piauwsu melakukan pengejaran secepatnya, namun sebentar saja Kian Lee sudah lenyap dari depan mereka.
“Lepaskan aku...! Tolonggg...!”
“Diamlah, aku hanya menculikmu!” Kian Lee menahan kata-katanya karena hampir saja dia bilang ‘Sebentar lagi kau akan tertolong!’
Karena cepatnya dia berlari, tak lama kemudian dia sudah keluar dari hutan itu dan tiba-tiba Kian Bu meloncat keluar menghadang. “Heiiii, perampok! Penculik! Lekas lepaskan gadis manis ini kalau kau tidak ingin kupukul mampus!”
Keduanya segera bertanding menurut rencana dan Kian Lee yang terdesak segera melepaskan gadis itu, menerima beberapa kali pukulan lalu melarikan diri dari situ dengan cepatnya. Dari jauh dia menyelinap dan mengintai ke arah dua orang itu. Dia kagum melihat betapa gadis itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kian Bu sambil menangis.
“Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada kongcu yang telah menyelamatkan nyawa saya...,” kata gadis itu dengan suara merdu.
Kian Bu tersenyum. “Ah, tidak mengapa, nona. Urusan kecil saja itu. Tak perlu berterima kasih. Saya sudah merasa girang kalau nona sudi menjadi sabahat saya.”
Gadis itu kemudian bangkit berdiri karena tangannya ditarik oleh Kian Bu. Dari tempat sembunyinya jelas tampak oleh Kian Lee betapa gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya mengerling tajam ke arah Kian Bu, dan sikapnya amat memikat. “Tentu saja, kongcu. Engkau adalah penolongku, apa pun yang kongcu kehendaki dariku, tentu akan kulakukan untuk membalas budi...”
Kalau saja yang menerima kata-kata ini bukan seorang pemuda tanggung yang masih hijau seperti Kian Bu, tentu dapat menangkap arti di balik kata-kata memikat ini. Akan tetapi dasar dia masih mentah, Kian Bu hanya tersenyum girang dan berkata, “Terima kasih, aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, apa lagi bisa menjadi sahabatmu. Nona, namaku adalah Suma Kian Bu, dan nona siapakah?”
“Namaku...?” Gadis itu terlihat malu-malu dan mengerling tajam disertai senyum simpul. “Aku... Cia Hong Ciauw...”
“Namamu manis sekali, seperti orangnya,” kata Kian Bu.
Ucapan yang keluar dari mulut Kian Bu ini sebenarnya hanyalah ucapan jujur saja dan bukan merupakan sanjungan atau bujuk rayu, melainkan diucapkan karena memang sesungguhnya dia menganggap nama itu manis dan orangnya pun manis! Akan tetapi, wajah gadis itu menjadi merah sekali, malah lebih merah dari bajunya, tersenyumlah dia dengan penuh daya pikat, matanya mengerling, dan dari lehernya keluar suara seperti seekor kucing dibelai.
“Ihiiikk... kongcu bisa saja memuji orang, membikin aku malu saja...” Dan tiba-tiba gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada Kian Bu.
“Lhoh...! Ehhh...! Bagaimana ini...? Wah, jangan...!” Kian Bu menjadi bingung, tubuhnya menjadi kaku dan meremang semua, seolah-olah ada ribuan ekor ulat yang merubung tubuhnya.
Dan pada saat itulah muncul kakek dari dalam kereta bersama para piauwsu.
“Hong Ciauw...!” Kakek itu membentak marah.
Gadis itu lalu melepaskan rangkulannya, terkejut dan mundur, akan tetapi masih sempat melempar senyum dan kerling manis ke arah Kian Bu, lalu berkata, “Dia ini adalah in-kong (tuan penolong) Suma Kian Bu. Kalau tidak ditolongnya, tentu aku tadi sudah mati di tangan penculik kejam...”
Melihat kakek itu melotot marah, Kian Bu tahu bahwa keadaan tak menguntungkannya. Ayah itu tentu marah melihat anaknya merangkul seorang pemuda!
“Eh, maaf... aku... eh, aku hanya menolong puterimu tanpa pamrih sesuatu...”
“Puteri siapa? Dia adalah bini mudaku!” bentak kakek itu.
Sepasang mata Kian Bu makin lama makin lebar sampai menjadi bulat dan tidak dapat lebih lebar lagi, mulutnya juga terbuka sampai lama. Untung di tempat itu tidak banyak lalat! Akhirnya, tanpa mengeluarkan suara bah atau buh, dia membalikkan kedua kakinya dan lari lintang pukang seperti dikejar hantu! Tentu saja para piauwsu yang melihat ini menjadi terheran-heran, apa lagi mendapat cerita nyonya muda itu bahwa pemuda tadi telah menolongnya dari tangan penculik yang amat lihai tadi. Benar-benar seorang pemuda yang aneh, pikir mereka, aneh dan berilmu amat tinggi karena dengan beberapa loncatan saja, bayangan pemuda itu melesat dan lenyap.
Kian Bu berlari terus dengan cepat, merasa seolah-olah gadis manis itu mengejarnya, hendak merangkulnya, hendak menciumnya. Dia bergidik berkali-kali, menggerakkan kedua pundak dan tengkuknya terasa dingin dan ngeri, larinya makin cepat seolah-olah setan gadis itu berada dekat sekali di belakangnya.
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan mendengar suara ketawa ini tahulah Kian Bu bahwa memang ada orang di belakangnya, bukan setan bukan pula siluman, melainkan kakaknya sendiri. Maka dia kemudian berhenti dan terengah-engah memandang wajah kakaknya yang tertawa-tawa dengan gelinya. Baru sekarang dia melihat kakaknya tertawa demikian enak sampai memegang perutnya.
“Ha-ha-ha-ha...! Dia bini mudanya... ha-ha-ha-ha, dan kau dirangkulnya, ha-ha-ha-ha...!” Kian Lee yang tidak biasa tertawa-tawa seperti itu, kini tidak dapat menahan kegelian hatinya.
“Koko, kau... kejam!” Kian Bu membentak dan suara tertawa terhenti.
Dengan mulut masih tersenyum lebar menahan geli hatinya, Kian Lee berkata, “Nah, kau rasakan sekarang, Bu-te. Tidak benarkah kata-kataku bahwa cara yang tidak baik hanya akan menghasilkan ketidak baikan pula? Karena pertolonganmu tadi hanya sandiwara dan pura-pura belaka, hanya palsu, maka hasilnya hanya menimbulkan cemburu seorang suami yang melihat bini mudanya bermain gila dengan orang lain.”
“Huh! Sialan perempuan itu...!” Kian Bu membanting kaki dengan gemas. “Aku tidak akan melakukan hal itu lagi! Tidak lagi!”
“Sudahlah, Bu-te, sekali waktu ada gunanya juga pelajaran pahit seperti ini bagi kita. Nah, marilah sekarang kita cepat mengejar mereka dan membayangi dari jauh.”
“Hehh...?” Kian Bu memandang kakaknya dengan mata lebar. “Perlu apa membayangi? Aku tidak butuh berkenalan dengan perempuan itu!”
“Sekarang bukan urusan berkenalan dengan wanita, Bu-te. Ketahuilah, ketika tadi aku melarikan diri dan mengintai, aku melihat berkelebatnya tiga orang tosu dan aku segera membayangi mereka. Aku sempat menangkap percakapan mereka yang menyatakan bahwa mereka akan turun tangan terhadap rombongan itu malam ini di kuil tua.”
“Eh, siapa mereka itu?”
“Aku tidak tahu, akan tetapi melihat gerakan-gerakan mereka, kalau benar mereka turun tangan mengganggu, para piauwsu itu bukanlah tandingan mereka. Maka kita harus membayangi dan kalau perlu menolong mereka, Bu-te. Sekali ini bukan menolong pura-pura, bukan main sandiwara, melainkan main betul-betulan karena ada pihak yang terancam bahaya.”
“Baik, koko. Akan tetapi kuharap ada penculik sungguhan yang melarikan perempuan itu dan jangan harap aku akan menolong dia. Agaknya orang seperti dia itu memang selalu mengharapkan dibawa pergi penculik!” Kian Bu mengomel.
“Hushh, jangan sentimen, Bu-te! Dia patut dimaafkan karena memang sukarlah mencari seorang penolong pemuda istimewa seperti engkau.”
“Wah, kau tiada habisnya mengejekku, koko!” Suma Kian Bu mengomel dengan suara merengek. “Awas, kalau lain kali engkau yang kecelik, aku pun akan mentertawakanmu juga!”
Dua orang kakak beradik itu menggunakan ilmu berlari cepat, tetapi karena rombongan itu dibalapkan semenjak mengalami gangguan kakak beradik itu, maka setelah hampir malam baru mereka dapat menyusul rombongan itu yang telah berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar hutan. Kuil ini adalah kuil Buddha yang sudah amat tua, sebagian besar bangunan itu sudah runtuh dan agaknya dibuat sebagai tempat perhentian oleh para pendeta Buddha di jaman dahulu ketika mereka mulai dengan penyebaran Agama Buddha sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kini kuil kuno dan rusak itu tentu saja tidak dipergunakan lagi oleh para pendeta dan hanya dipergunakan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu untuk sekedar beristirahat atau kadang-kadang juga bermalam.
Agaknya rombongan yang dilindungi oleh dua losin piauwsu itu memang sudah merencanakan untuk bermalam di tempat itu dan merasa aman karena ada dua losin piauwsu yang mengawal. Akan tetapi, peristiwa penculikan nyonya muda di siang hari tadi, yang dilakukan oleh seorang pemuda dan entah bagaimana nasib nyonya muda itu kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda lain, membuat para piauwsu bersikap waspada, hati-hati dan juga agak cemas. Baru ada seorang perampok saja yang turun tangan, penjahat itu sudah berhasil menculik wanita di hadapan hidung mereka tanpa mereka dapat menangkapnya!
Setelah hartawan itu dan dua orang isterinya turun dari kereta, menempati ruangan kuil yang sudah dibersihkan dan dihangatkan dengan api unggun, duduk di dekat api di atas tikar, para piauwsu yang berjaga-jaga tentu saja membicarakan peristiwa siang tadi. Juga di antara hartawan dan dua orang isterinya terjadi percakapan mengenai peristiwa itu. Terutama si hartawan yang mengomel tak kunjung henti.
“Baru sejenak saja jauh dari sampingku, engkau sudah main gila dengan laki-laki lain,” kata si hartawan kepada bini mudanya.
“Sudah berapa puluh kali kau mengatakan hal itu!” jawab si bini muda dengan berani. “Sampai bosan aku mendengarnya! Engkau tidak terancam bahaya maut, maka bicara sih mudah! Aku yang terancam bahaya maut oleh penculik yang ganas dan kejam sekali itu, setelah ditolong orang, tentu saja aku amat senang dan berterima kasih. Dia masih amat muda, sepatutnya menjadi adikku, kalau aku menyatakan terima kasihku dengan merangkulnya, apakah itu merupakan kejahatan besar?”
“Kalau aku tidak keburu muncul, entah macam apa lagi bentuk terima kasihmu itu, kau perempuan rendah...!”
“Sudahlah, sudahlah...!” Isteri pertama mencela. “Di tengah perjalanan ini, di tempat berbahaya dan di mana bahaya sewaktu-waktu masih selalu mengancam kita, mengapa ribut-ribut mengenai urusan yang telah lewat? Terdengar para piauwsu pun hanya akan menimbulkan rasa malu.”
Setelah ketiga orang itu dengan bersungut-sungut tidur di dekat api dan tidak lagi ribut mulut, para piauwsu yang berjaga-jaga lalu membicarakan peristiwa siang tadi sambil berbisik-bislk. Di antara mereka, Can Si Hok si kepala piauwsu sendiri, juga ikut bercakap-cakap.
“Nasib kita masih baik sehingga ada saja muncul seorang penolong hingga penculikan itu dapat digagalkan,” kata seorang di antara mereka.
“Penculik itu mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Keroyokan anak panah itu dapat dielakkannya semua tanpa menoleh, padahal dia sedang memondong orang dan sedang berlari. Sayang.dia keburu lari sehingga kita tidak sempat mencoba sampai di mana kepandaian ilmu silatnya. Kelihatannya masih muda sekali.”
“Akan tetapi, jelas bahwa kepandaian penolong itu pun lebih hebat,” bantah yang lain. “Buktinya dapat menolong dan mengusir si penculik. Penolong itu pun masih amat muda. Dari cara dia melarikan diri, jelas bahwa ginkang-nya pun amat luar biasa, seperti terbang saja.”
Can Si Hok, si kepala pengawal yang berjenggot putih menarik napas panjang dan berkata, “Kawan-kawan, malam ini harap kalian waspada dan lebih baik kalau tidak seorang pun di antara kita tertidur. Penjagaan di luar kuil harus dilakukan dengan ketat, perondaan di sekitar kuil dilakukan dengan bergiliran. Aku khawatir akan terjadi lagi hal yang tak kita inginkan. Munculnya dua orang tadi, baik si penculik mau pun si penolong, merupakan hal yang amat luar biasa. Selama ini belum pernah pula mendengar di dunia kang-ouw muncul dua jago muda yang sedemikian lihainya. Baiknya, kalau yang seorang jahat, yang seorang baik dan suka menolong. Mudah-mudahan tugas kita sekali ini tidak akan gagal.”
Penjagaan diperketat dan Can Si Hok sendiri ikut melakukan perondaan. Kelihatannya aman dan tidak terjadi sesuatu di tempat yang amat sunyi itu. Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian, karena tidak jauh dari kuil itu terjadi hal-hal yang tentu akan menggegerkan para piauwsu kalau saja mereka mengetahuinya.
Tiga sosok bayangan yang gerakannya gesit bukan main, bagaikan setan-setan saja layaknya, bergerak di antara pohon-pohon mendekati kuil. Setelah dekat dengan kuil mereka mengintai dari balik pohon besar ke arah empat orang penjaga yang menjaga di pojok kuil.
“Kita bunuh saja mereka berempat itu, lalu menyerbu ke dalam,” berbisik seorang di antara mereka.
“Biarlah pinto yang menyelinap ke dalam mencari benda itu, kalian berdua bikin ribut di luar untuk memancing perhatian semua piauwsu. Yang agak lumayan kepandaiannya hanyalah Can-piauwsu itu saja, yang lain-lainnya tidak perlu dikhawatirkan.”
“Baik, akan tetapi bagaimana dengan hartawan itu?” tanya tosu yang ada tahi lalat besar di dagu kanannya, “Dan kedua orang wanita itu?”
“Bereskan saja mereka, hartawan itu adalah seorang yang pelit!” kata tosu kedua.
“Ah, wanita muda itu sayang kalau dibunuh. Dia manis,” kata si tahi lalat.
“Hushhhh... jangan ribut-ribut, kita bergerak sekarang dan... heiii... hujankah...?”
Memang ada air menyiram mereka dari atas pohon besar itu. Tadinya mereka mengira bahwa hujan turun tanpa tersangka-sangka, akan tetapi hidung ketiga orang tosu itu kembang kempis. Mereka meraba-raba air hujan yang menimpa kepala, dan kemudian mendekatkan jari ke depan hidung.
“Mengapa baunya begini?”
“Seperti air kencing!”
Dan ‘hujan’ pun berhenti yang berarti memang tidak hujan sama sekali, melainkan ada orang mengencingi mereka dari atas pohon itu.
“Keparat!” Mereka memaki dan secepat kilat tubuh mereka sudah mencelat ke atas, ke dalam pohon. Mereka berlompatan dan mencari-cari, akan tetapi tidak ada seorang pun di pohon itu! Terpaksa mereka turun lagi dan berbisik-bisik penuh ketegangan.
“Apa yang terjadi?”
“Tentu hanya seekor monyet, siapa lagi?”
“Akan tetapi, biar pun monyet, bagaimana bisa bergerak secepat itu seperti pandai menghilang saja?”
“Kita harus bekerja cepat,” kata tosu bertahi lalat. “Sudah dikabarkan orang bahwa kelenteng kuno ini menjadi tempat keramat. Yang dapat menggoda kita seperti tadi tentu hanya setan saja!”
Ketiganya menjadi tegang. Mereka percaya bahwa setanlah yang menggoda mereka, karena kalau manusia atau binatang, tak mungkin dapat lari dari mereka sedemikian cepatnya. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin dapat dipermainkan, dan kalau yang berada di atas pohon tadi manusia atau binatang sudah pasti mereka akan dapat menangkapnya.
“Marilah kita mulai bergerak,” kata tosu pertama. “Ji-sute (adik seperguruan kedua), kau menyelinap dari kanan, dan kau sam-sute, kau dari kiri. Setelah kalian menyergap keempat orang itu, pinto akan masuk melalui pintu samping yang kelihatan dari sini itu dan selanjutnya kalian harus dapat memancing mereka semua keluar agar leluasa pinto bergerak ke dalam.”
“Baik, suheng,” kata kedua orang tosu itu yang segera berpencar ke kiri dan ke kanan.
“Heiii... aduhhh!” Tak lama kemudian terdengar tosu yang berlari ke kiri terjungkal dan menahan teriakan makiannya.
Mereka berkumpul, kini di tempat tosu itu jatuh.
“Mengapa kau, sam-sute?”
“Tersandung batu! Sialan!”
“Engkau? Dapat tersandung batu? Sungguh aneh.”
“Entahlah, batu itu seperti ada tangannya memegang dan menjegal kakiku. Eh, mana batu jahanam itu?” Dia meraba-raba dan tidak menemukan batu itu. “Aneh sekali, batu itu besar sekali ketika aku menyandungnya, mengapa sekarang menghilang?”
“Ah, sungguh heran, sekali mengapa mendadak engkau menjadi penakut dan gugup sehingga jatuh sendiri, sam-sute. Apakah cerita tentang setan membuat kau penakut?” cela tosu tertua.
“Biarlah empat orang itu kubereskan sendiri, nanti sam-sute menyusul kalau aku sudah memancing mereka keluar,” kata orang kedua yang segera meloncat ke depan dengan sigap. Dua orang temannya melihat dia meloncat ke atas, akan tetapi betapa kaget rasa hati mereka karena tidak melihat temannya itu turun lagi, seolah-olah menghilang begitu saja!
Tosu tertua dan sam-sute-nya yang tadi tersandung batu ajaib itu lantas terbelalak memandang. “Eh, ke mana dia?” tanya sute-nya. “Mana ji-suheng?”
Tosu tertua juga bingung karena sute-nya itu benar-benar lenyap tak menimbulkan bekas. “Ji-sute...!” bisiknya memanggil.
Tiba-tiba terdengar jawaban agak jauh di belakang mereka, akan tetapi bukan jawaban panggilan itu melainkan suara “ceekkk... ceekkk...” seperti orang yang lehernya dicekik! Cepat mereka berdua melompat dan lari ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat saudara yang dicari-cari itu sedang ‘menggantung’ diri di sebuah dahan, tubuhnya berkelojotan, lehernya mengeluarkan suara tercekik dan dia digantung dengan sabuknya sendiri sehingga celananya merosot turun terkumpul di kaki dan karena tosu bertahi lalat itu sudah ‘biasa’ tidak memakai pakaian dalam, tentu saja dia menjadi telanjang bulat di tubuh bagian bawahnya, menimbulkan penglihatan yang lucu sekali!
Kedua orang tosu itu cepat meloncat dan melepaskan sabuk itu dari dahan pohon dan membawa turun saudara mereka yang sudah melotot matanya, terjulur lidahnya dan kebiruan mukanya itu! Mereka segera menjadi sibuk, yang seorang menggosok-gosok leher bekas terjirat itu, kemudian yang kedua membenarkan celana dan mengikatkan lagi sabuknya pada pinggang.
Setelah siuman, tosu ketiga bertanya, “Ji-suheng, mengapa begitu pendek pikiranmu? Mengapa kau hendak membunuh diri dan mengapa pula membunuh diri saja menanti saat seperti ini? Aihh, ji-suheng, kalau kau mati dengan membunuh diri, nyawamu akan melayang ke neraka siksaan!”
“Bunuh diri hidungmu itu!” Si tahi lalat memaki dan bangkit duduk, menggosok-gosok lehernya dan menggoyang-goyangkan kepalanya. “Iblis yang melakukan ini!”
“Ji-sute, coba ceritakan, apakah yang terjadi tadi?” Tanya tosu tertua setelah dia tadi meloncat ke atas pohon menyelidiki, akan tetapi juga tidak menemukan orang di situ.
Tosu bertahi lalat menghela napas lalu bergidik. “Kalian melihat sendiri aku meloncat. Tahu-tahu rambutku ditangkap orang dari atas dan sebelum aku sempat berteriak, jalan darah di leher ditotok membuat aku tak dapat bersuara, dan aku lalu... digantung di dahan itu.”
“Tidak mungkin!” Tosu pertama membantah.
“Mungkin saja!” Tosu ketiga mencela.
“Buktinya dia sudah tergantung di sana, kecuali kalau dia menggantung diri sendiri. Ji-suheng, berterus teranglah, apakah kau benar-benar tidak mencoba membunuh diri? Jangan putus asa, biarlah wanita di kuil itu untukmu, aku tanggung ini!”
“Sam-sute, sekali lagi kau bicara tentang bunuh diri, lehermu yang akan kucekik!” Si tahi lalat berkata marah dan mendongkol.
“Ji-sute, pinto sukar untuk percaya. Walau pun andai kata benar ada orang menangkap rambutmu dari atas dan menotok jalan darahmu di leher sehingga engkau tidak dapat berteriak, akan tetapi kedua tangan masih bebas. Dengan itu kau dapat...”
“Kalau diceritakan memang aneh, suheng, maka tadi kukatakan bahwa setan sajalah yang dapat melakukan itu. Aku sudah melawan tentu saja, dan tangan kiriku ini sudah menampar lambungnya, bahkan aku yakin benar tangan kananku sudah menotok jalan darahnya di pinggang. Akan tetapi aku seolah-olah menampar dan menotok tubuh... mayat saja. Begitu dingin dan sama sekali tidak ada hasilnya, hihhh...!” Dia bergidik dan kedua orang saudaranya ikut merasa ngeri.
“Aihhh... benar-benarkah ada setan di sini...?” Tosu pertama berkata sambil menoleh ke kanan kiri, sedangkan tosu ketiga menggosok-gosok tengkuknya yang terasa tebal.
Tiba-tiba si tahi lalat berkata, “Ahh, bukan, suheng. Teringat aku sekarang! Bukan setan karena aku mendengar dia tertawa, disusul suara yang terdengar jelas akan tetapi agak jauh.”
“Suara bagaimana?”
“Suara seorang laki-laki berkata: ‘Koko, dia telanjang, ha-ha-ha’, begitulah, sekarang aku teringat benar tentu ada dua orang di pohon itu yang mempermainkan aku.”
Tosu pertama mengelus jenggotnya. “Hemm... setan atau manusia, jelas bahwa mereka itu lihai sekali dan agaknya hendak merintangi tindakan kita. Bodoh sekali kalau kita berlaku nekat. Biarlah kita anggap saja kita gagal malam ini, dan kita tangguhkan dulu sampai besok. Kita harus membawa bantuan kalau begini, siapa tahu diam-diam ada orang pandai yang melindungi rombongan itu.”
Dua orang adiknya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Beberapa kali si tahi lalat menoleh ke belakang, dia masih merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi.
Tentu saja mudah diduga bahwa yang melakukan gangguan itu adalah Kian Lee dan Kian Bu. Dan mudah pula diduga bahwa yang mengencingi kepala tiga orang tosu itu dan menyamar sebagai batu lalu menjegal kaki adalah Kian Bu. Sedangkan yang menggantung si tahi lalat adalah Kian Lee, dibantu oleh adiknya yang melepaskan sabuk dan membuat tali gantungan di dahan.
Setelah tiga orang tosu itu pergi, Kian Lee yang telah turun ke bawah bersama adiknya, berkata, “Ingat, Bu-te. Ayah sudah berpesan agar kita tidak menanam permusuhan dengan siapa pun. Urusan antara tosu-tosu itu dengan rombongan hartawan adalah urusan mereka yang sama sekali kita tidak ketahui sebab-sebabnya. Kita tidak boleh membantu satu pihak, hanya saja kita harus turun tangan kalau ada pihak yang akan melakukan kejahatan.”
Kian Bu menggangguk. “Si tahi lalat suka kepada perempuan itu. Kalau dia menculik si perempuan itu, aku tidak akan mencegahnya.”
“Hushh! Menculik sungguh-sungguh merupakan kejahatan yang harus kita cegah. Kita lihat saja besok, agaknya mereka hendak merampas sesuatu dari rombongan itu.”
“Bagaimana kalau besok terjadi pertempuran, koko?”
“Kita lihat saja dari jauh. Pertempuran di antara mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Tentu saja kita tidak dapat membantu siapa pun, dan kita tidak dapat pula mencegah pertempuran yang adil. Hanya kalau melihat ketidak adilan, baru kita harus turun tangan seperti yang dipesankan ayah.”
“Wah, sukar, Lee-ko!”
“Apanya yang sukar?”
“Tentang keadilan itu, atau lebih tepat ketidak adilan itu. Bagaimana menentukannya mana yang adil dan mana yang tidak? Yang tidak adil bagimu belum tentu tidak adil bagiku dan sebaliknya, demikian pula dengan orang lain!”
“Hemmm, Bu-te, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang mengabdi untuk kebenaran dan keadilan harus waspada akan kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang didasari kepentingan diri pribadi tentu saja palsu! Akan tetapi, mudah saja melihat kenyataan akan penindasan dan kejahatan yang dilakukan orang, dan itulah ketidak adilan. Kalau kau belum mengerti benar, maka harus belajar, adikku. Yang terpenting, seperti pesan ayah, harus diingat dan diketahui bahwa segala sesuatu untuk perbuatan yang dilakukan demi kepentingan diri pribadi, demi keuntungan lahir batin diri pribadi, tidak benar kalau dipertahankan sebagai kebenaran atau keadilan.“
“Wah-wah, kuliahmu membikin aku pusing, koko. Kita sama lihat sajalah besok kalau benar-benar terjadi. Tentu ramai!”
Dua orang kakak beradik itu lalu memilih sebatang pohon besar yang enak dipakai tidur, yang tidak ada semut-semutnya tentu saja dan mereka tidur di dalam selimut daun-daun pohon itu sampai pagi. Kalau rombongan piauwsu itu sama sekali tak ada yang tidur semenit pun, maka dua orang kakak beradik itu tidur dengan nyenyaknya.
Mereka tidak khawatir jatuh karena tubuh dan syaraf mereka yang sudah terlatih sejak kecil itu akan selalu siap menjaga segala macam bahaya yang mengancam tubuh mereka.