CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 08
Pada suatu pagi, Ceng Ceng dan pengawal Souw telah tiba di sebuah dusun di dekat tapal batas utara. “Kita sudah memasuki wilayah kekuasaan Jenderal Kao,” kata kata pegawal itu. “Oleh karena itu, boleh dikatakan kita tiba di daerah aman dan kau boleh menanggalkan penyamaranmu.”
Ceng Ceng merasa girang sekali. Dia merasa kurang leluasa dalam penyamarannya itu. Dibuangnya ‘kumis’ yang menarik perhatian para wanita di sepanjang perjalanan itu, dan diubahnya pakaiannya sehingga kini dia berubah menjadi seorang dara remaja yang cantik dan gagah, dengan kepala dilindungi sebuah caping lebar.
“Karena perjalanan ke utara, ke benteng di mana Jenderal Kao Liang berada merupakan perjalanan yang cukup sukar dan melelahkan, melalui daerah tandus, maka sebaiknya klta mengganti kuda di dusun ini.”
“Apakah di sini engkau juga mempunyai kawan-kawan, Souw-lopek?”
“Tidak, akan tetapi dusun ini terkenal sebagai tempat pusat perdagangan kuda. Banyak kuda Mongol yang baik dijual di dusun ini, dan kita hanya menukarkan kuda kita yang sudah lelah dengan menambah sedikit uang.”
Benar saja, setelah mereka memasuki dusun itu, di tengah-tengah dusun terdapat sebuah pasar kuda yang amat besar dan luas dan terdapat ratusan ekor kuda diperjual belikan di tempat ini.
“Kau bawa kuda kita ke bagian sana, bagian penjualan, dan aku akan memilih kuda-kuda baru di sebelah sini. Kalau aku yang menjual, karena aku laki-laki, harganya akan kurang tinggi.”
“Eh, mengapa begitu, Lopek (paman tua)?” tanya Ceng Ceng terheran.
Souw Kee It tersenyum. “Karena, biasanya para pencuri kuda adalah kaum pria. Jarang ada wanita, biar wanita kang-ouw sekali pun, mau mencuri kuda.”
“Wah, jadi kalau yang menjual disangka pencuri kuda, kudanya lalu ditawar murah-murahan? Mengapa ada orang yang mau membeli kuda curian?”
“Hemm, kau masih belum tahu akan ketamakan manusia di dunia ini, Nona. Curian atau bukan, asal mendatangkan keuntungan besar, tentu diterima dengan tangan terbuka. Sudahlah, kau yang menjual ke sana, berikan kalau ditawar kurang leblh dua ratus tail untuk dua ekor ini, kemudian kau bawa uangnya ke sini untuk membeli dua ekor kuda baru. Aku yang memilih, karena kalau tidak pandai memilih, bisa ditipu mentah-mentah oleh para pedagang kuda yang amat licik dan cerdik itu. Kuda sakit dibilang sehat, kuda tua dibilang muda.”
Ceng Ceng mengangguk, lalu menuntun dua ekor kuda itu menuju ke seberang di mana terdapat banyak tengkulak kuda sedang memeriksa kuda yang akan dijual. Begitu tiba di tempat itu, beberapa orang pedagang kuda sudah berlarian datang menyambut Ceng Ceng.
“Nona, kudamu sudah amat lelah, memang sepatutnya dijual segera!” kata seorang di antara mereka.
“Agaknya sudah melakukan perjalanan yang amat jauh, lihat tapal kakinya menipis dan urat pahanya menggembung!” kata orang kedua.
“Kalau tidak cepat dipelihara baik-baik bisa terkena penyakit,” kata orang ketiga.
Ceng Ceng membiarkan para tengkulak kuda itu ribut-ribut menurunkan nilai dua ekor kudanya. Kalau saja dia belum mendengarkan penjelasan Souw Kee It tentang siasat para pedagang kuda, tentu dia akan marah atau setidaknya akan merasa bimbang dan kecewa. Akan tetapi, sekarang dia hanya tersenyum, lalu berkata dengan lantang, “Kalian boleh menjelek-jelekkan dua ekor kudaku ini sesuka hati dan seenak perutmu, akan tetapi kalau tidak dua ratus tail, dua ekor kuda ini tidak akan kujual!”
“Ha-ha-ha, pintar sekali!” Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan memuji, perlahan saja namun cukup terdengar oleh Ceng Ceng, karena orang yang memuji itu berada dekat di tempat itu. Dia melirik dan melihat dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan, berdiri memandangnya penuh kagum. Kekaguman yang tidak disembunyikan. Terutama sekali pemuda kedua yang agaknya sedikit lebih muda, yang wajahnya berseri gembira.
Melihat Ceng Ceng melirik ke arahnya, pemuda ini lalu menggerakkan kepalanya sedikit sehingga kuncir rambutnya yang tebal itu bergerak melilit lehernya sendiri. Pemuda yang tercekik dan terlilit lehernya oleh rambutnya sendiri membuat gerakan seperti orang mendelik dan lidahnya terjulur, sambil berkata dengan nada mengejek kepada para pedagang kuda itu. “Hekkk... hekkk... mau mencekik malah tercekik... mampus..., kena batunya sekarang...”
“Bu-te, jangan kurang ajar...!” Pemuda pertama yang agak lebih tua dan yang sikapnya pendiam menegur dengan suara lirih.
Senang hati Ceng Ceng. Dia tidak menganggap pemuda itu kurang ajar karena dia tahu bahwa pemuda itu mengejek para pedagang kuda. Timbullah rasa persahabatan dalam hatinya dan dia menoleh kepada mereka, lalu tersenyum kecil, kemudian menghadapi para pedagang kuda.
“Bagaimana, apakah kalian mau membeli kudaku yang kelelahan, buruk, berpenyakitan ini? Dua ekor untuk dua ratus tail, tidak kurang sedikit pun juga!”
Para pedagang itu saling pandang, menggaruk-garuk kepala. Memang perkiraan Souw Kee It tadi sudah tepat. Dua ratus tail untuk dua ekor kuda pilihan itu tidaklah mahal, akan tetapi juga tidak terlalu murah. Memang harga ‘pasaran’. Melihat sikap nona muda itu demikian tegas, dan jelas tidak mungkin untuk dikelabui dengan aksi-aksi palsu, mereka tidak banyak bicara lagi lalu menghitung dua ratus tail perak, diserahkan kepada Ceng Ceng yang membungkusnya dengan kain lebar yang sudah disiapkan oleh Kee It sebelumnya. Kemudian dia meninggalkan tempat setelah melirik lagi kepada dua orang pemuda tadi.
“Lee-ko dia hebat sekali! Mari kita berkenalan...”
“Hushh, jangan kurang ajar di tempat umum begini. Kau bisa dimaki orang, Bu-te...”
“Tapi, dia tentu seorang gadis kang-ouw, dan tentu suka berkenalan. Apa sih jahatnya orang berkenalan?”
Dua orang muda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Seperti kita ketahui, kakak beradik ini setelah menyelamatkan rombongan hartawan yang diganggu oleh para tosu Pek-lian-kauw, melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan pada hari itu berhenti di dusun untuk membeli kuda.
Melihat adiknya nekat hendak mengikuti dara cantik jelita yang menjual kuda tadi, terpaksa Kian Lee mendampingi karena dia tidak ingin melihat adiknya membuat ribut di tempat ramai itu. Tiba-tiba Kian Lee memegang tangan adiknya, lalu dengan gerakan mukanya dia menunjuk ke depan.
Kian Bu juga sudah melihat seorang laki-laki kurus yang berada di belakang gadis itu. Jelas tampak oleh keduanya bahwa laki-laki itu tentulah seorang pencopet yang sedang mengincar buntalan uang yang berada di tangan kiri gadis itu.
Tiba-tiba, di tempat yang agak sepi, di tempat perbatasan antara bagian penjualan dan bagian pembelian kuda-kuda di pasar itu, laki-laki kurus tadi bergerak cepat sekali, tangannya meraba buntalan. Tampak pisau berkilau dan agaknya pencopet itu bukan ingin merebut semua buntalan melainkan hendak merobek buntalan dan mengambil uang dari dalamnya.
“Plakk...! Krekk...! Aduhhh...!” laki-laki itu memegangi lengannya yang patah tulangnya, sedangkan pisaunya terlempar entah ke mana.
Kiranya begitu ada gerakan orang, Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan kanannya sambil memutar tubuh, dan sekali dia menampar, pergelangan tangan laki-laki kurus yang memegang pisau itu menjadi patah tulangnya.
“Ampunkan saya... anak-anak saya kelaparan...” Orang itu berkata dengan muka pucat dan tubuh gemetar ketakutan karena kalau sampai semua orang turun tangan, dia akan menjadi mayat di tempat itu.
Ceng Ceng mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke depan orang itu. “Ambillah dan pergilah!”
Pencopet itu mengambil uang perak dengan tangan kiri, lalu mengangguk dan cepat menyelinap pergi. Melihat ini, Kian Lee dan Kiam Bu terbelalak kagum.
“Wah, kiranya seorang yang lihai!” Kian Bu hampir bersorak karena baru sekali ini dia melihat seorang dara cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu.
“Dia tentu seorang pendekar wanita dunia kang-ouw seperti yang sering diceritakan oleh Ibu, maka lebih baik kita jangan mengganggunya,” kata Kian Lee yang merasa kagum sekali.
Kian Bu bersungut-sungut kecewa. Apa lagi ketika melihat ada seorang laki-laki gagah setengah tua yang menghampiri gadis itu, kemudian mereka membeli dua ekor kuda, Kian Bu tidak berani melanjutkan niatnya menghampiri.
“Hemm, aku masih merasa penasaran, Lee-ko. Apa sih salahnya kalau aku hanya ingin berkenalan?”
“Adikku, harus kuakui bahwa engkau tidak bersalah. Akan tetapi, sejak kecil kita hidup di tempat terasing dari pergaulan umum, maka tentu saja kita berdua merasa bebas. Ketahuilah bahwa kehidupan umum di daerah daratan ini tidaklah bebas sama sekali, kehidupan manusia sudah dibelenggu dan diikat oleh segala macam peraturan, di antara peraturan-peraturan itu ialah bahwa menegur seorang wanita yang bukan keluarga dan bukan kenalannya merupakan perbuatan yang kurang ajar!”
“Aneh dan tidak adil! Kalau tidak lebih dulu menegur, mana bisa kenal? Pula apa sih jeleknya kalau hanya menegur untuk berkenalan saja? Nona itu tadi pun bercakap cakap dengan para pembeli kuda, padahal mereka pun belum saling mengenal.”
“Itu lain lagi namanya, kan ada keperluannya, jual beli kuda?”
“Wah, serba salah! Peraturan yang licik sekali. Baik buruknya kan tergantung dari niat yang terkandung di dalam perbuatan, bukan si perbuatan itu sendiri. Seorang pria menegur seorang wanita untuk berkenalan, masa tidak boleh? Peraturan macam apa itu?”
“Itu namanya peraturan kesusilaan, Adikku. Dan masih banyak lagi aturan-aturan antara pria dan wanita, apa lagi kalau kita sudah tiba di kota raja, sama sekali tidak boleh dilanggarnya.”
“Hemm, daratan begini luas akan tetapi seperti penjara saja!”
“Memang, kita manusia hidup seperti dalam penjara, dikurung dan dibelenggu oleh segala macam peraturan dan hukum. Akan tetapi, semua itu sudah menjadi kebiasaan umum, kalau dilanggar, kau akan dianggap liar dan kurang ajar, tidak tahu kesopanan dan lain sebagainya sehingga engkau akan dianggap jahat dan dimusuhi.”
“Konyol!” Kian Bu makin tidak puas dan makin penasaran.
Memang pemuda itu belum mau mengerti akan semua kebiasaan di dunia ‘sopan’ ini. Hidup di Pulau Es tentu saja merasa bebas, tidak terikat oleh peraturan apa pun karena mereka hanya hidup bersama ayah dan ibunya, sedangkan pertemuan yang kadang kala dengan para nelayan yang menjelajah di pulau-pulau agak jauh dari Pulau Es, juga merupakan pertemuan dengan orang-orang sederhana yang hidup wajar dan polos, tidak banyak terikat oleh segala macam peraturan.
Kini darah mudanya yang menuntut sehingga timbul daya tarik terhadap kaum wanita, tetapi menghadapi penghalang yang besar sekali dan dirasakannya amat mengganggu kebebasannya. Berbeda dengan Kian Lee yang sungguh pun keadaan hidupnya di Pulas Es tiada bedanya dengan Kian Bu, namun pemuda ini memperhatikan semua yang diceritakan tentang dunia ramai oleh ibunya, bahkan suka membaca-baca kitab tentang sejarah dan kehidupan di dunia ramai. Oleh karena itu biar pun dia baru sekali ini turun ke daratan besar, namun segala peraturan tidaklah terlalu mengejutkan hatinya dan dapat dihadapinya dengan tenang dan sabar.
Maka, Kian Bu hanya dapat memandang saja ketika melihat gadis yang mengagumkan hatinya itu meloncat ke atas kuda bersama kakek itu, lalu keduanya membalapkan kuda keluar dari dusun itu. Hatinya ingin sekali menegur, bertanya dan berkenalan, tetapi dia memaksa diri diam saja, hanya memandang dan makin tertarik hatinya ketika melihat betapa dara itu mengerling ke arah mereka sambil tersenyum manis!
“Siapakah mereka...?” Souw Kee It bertanya setelah mereka keluar dari dusun.
“Hi-hik-hik, pemuda-pemuda yang lucu.” Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan dua orang muda itu ketika dia menjual kuda.
“Hemm, mereka mencurigakan. Nona, kita harus berhati-hati.”
“Kau sendiri mengatakan bahwa ini daerah aman, Lopek.”
“Benar, memang tadinya kuanggap demikian. Akan tetapi di dalam pasar kuda tadi, aku melihat banyak mata yang memandang kepadaku secara sembunyi. Hal seperti itu sudah terlalu sering kualami sehingga aku dapat merasakannya. Juga, kalau aku tidak salah, aku melihat wajah seorang kakek yang menyelinap di antara banyak orang, padahal kalau aku tidak salah ingat, itu adalah wajah seorang tosu Pek-lian-kauw. Dan kabarnya Pek-lian-kauw juga sudah memasukkan tangan-tangan kotor ke dalam usaha pemberontakan ini.”
“Ihhh...!” Ceng Ceng menjadi kaget mendengar ini.
“Keadaan menjadi berbahaya kalau begini, Nona.” Souw Kee It mengerutkan alisnya dan menahan kudanya agar dia dapat menerangkan lebih jelas lagi. “Kalau sampai di dusun itu terdapat orang-orangnya pemberontak tanpa diketahui oleh Jenderal Kao, maka hal itu hanya berarti bahwa kaki tangan pemberontak sudah menyelundup ke utara. Mungkin saja di antara para pembantu Kao-goanswe sendiri ada yang sudah terpengaruh. Dan ini berbahaya bagi pertahanan di utara.”
“Habis, apa yang kini hendak kau lakukan, Lopek?” Ceng Ceng bertanya, khawatir juga mendengar suara orang tua itu yang amat serius.
Tiba-tiba kakek itu memandang ke depan dan matanya terbelalak, kemudian berkata, “Tenang, tidak usah khawatir, akan tetapi siap menghadapi mereka itu. Kurasa mereka bukan orang-orang yang mengandung niat baik...”
Ceng Ceng juga memandang ke depan dan tampaklah olehnya dua orang tosu dan dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua di antara para pembeli kuda tadi telah menghadang di depan. Kuda tunggangan empat orang itu ditambatkan pada pohon tak jauh dari situ dan jelaslah bahwa keempat orang ini memang sengaja menunggu dan menghadang mereka di tempat ini!
“Lopek, hajar saja mereka!” Ceng Ceng berteriak dengan gemas dan kedua tangannya sudah meraba sepasang pisau belati yang diselipkan di pinggangnya.
Memang mereka sudah bersiap sedia dan Souw Kee It telah memberikan dua batang pisau itu sebagaimana yang dipilihnya sendiri ketika pengawal itu menawarkan senjata apa yang paling digemarinya.
“Kau hadapi dua orang mata-mata yang menyamar sebagai pedagang kuda itu, dan biarlah aku yang menghadapi dua orang tosu Pek-lian-kauw itu,” bisik Souw Kee It.
Ceng Ceng mengangguk. Dengan tenang keduanya turun dari atas kuda, menambatkan kuda mereka di pohon lalu menghampiri empat orang yang mengawasi gerak-gerik mereka tanpa berkata-kata itu. Biar pun dia merasa amat gemas dan marah, namun Ceng Ceng tidak berani sembrono turun tangan, melainkan membiarkan pengawal itu yang bicara.
“Jiwi-totiang (bapak pendeta berdua) agaknya mempunyai keperluan denganku maka sengaja menanti di sini. Ada keperluan apakah?” Souw Kee It lantas bertanya sambil menghadapi kedua orang tosu itu.
Dua orang tosu itu tidak menjawab, melainkan membuat gerakan membuka jubah depan mereka, yang menutupi jubah di dalam dan tampaklah lukisan teratai putih di depan dada mereka. Tentu saja Souw Kee It sudah tahu sebelumnya bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw, akan tetapi dia berpura-pura kaget dan tidak mengerti.
“Kalau tidak salah, ji-wi adalah tosu dari Pek-lian-kauw. Ada keperluan apakah dengan kami paman dan keponakan?”
“Souw Kee It, tidak perlu kau berpura-pura lagi!” Tiba-tiba seorang di antara mereka, tosu yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata mengejek. “Dan tidak perlu lagi mengaku dia ini keponakanmu. Ketika dia masih menjadi pemuda berkumis, memang kami ragu-ragu. Souw Kee It, dan kau Nona! Hayo katakan di mana adanya Puteri Syanti Dewi!”
Souw Kee It terkejut juga. Demikian hebat gerakan para pemberontak ini sehingga mata-matanya tersebar ke mana-mana, bahkan perjalanannya bersama Ceng Ceng, penyamaran dara itu pun diketahui belaka oleh tosu-tosu ini. Yang tidak mereka ketahui, seperti yang dia sendiri pun belum mengetahui, adalah di mana adanya Putri Syanti Dewi. Hal ini melegakan hatinya, juga melegakan hati Ceng Ceng, karena berarti bahwa Syanti Dewi belum terjatuh ke tangan kaum pemberontak.
“Pemberontak hina dina!” bentak Souw Kee It dan tanpa banyak cakap lagi pengawal ini sudah meloncat ke depan, menerjang sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar terang.
Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu juga sudah mencabut pedang masing-masing dan menangkis sambil membalas dengan serangan dahsyat. Namun, mudah saja serangan mereka ditangkis oleh Souw Kee It dan melihat gerakan-gerakan mereka, hati pengawal kawakan ini menjadi lega karena dia yakin akan dapat mengatasi mereka.
Dia mengkhawatirkan Ceng Ceng yang juga sudah membentak nyaring dan menerjang maju, yang langsung disambut oleh dua orang pedagang kuda palsu itu dengan golok mereka. Terdengar suara nyaring berdencing berkali-kali ketika dua orang pedagang kuda palsu itu sibuk menangkis sinar terang dari sepasang belati di tangan Ceng Ceng yang menyambar-nyambar ganas ke arah mereka!
Tersenyumlah Souw Kee It menyaksikan sepak terjang dara dari Bhutan itu. Hebat dan lincah, sehingga dia maklum bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ceng Ceng. Hal ini membuat dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi dua orang tosu dari Pek-lian-kauw.
“Nona Lu, mari cepat robohkan mereka!” bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa para kaki tangan pemberontak ini mempunyai banyak kawan dan kalau mereka datang mengeroyok, keadaan akan menjadi berbahaya.
“Baik, Lopek!” Ceng Ceng memang tadinya ingin mempermainkan dua orang lawannya, kini mendengar seruan itu dia lalu memperhebat permainan sepasang pisau belatinya sehingga dua orang itu terdesak hebat!
Souw Kee It juga telah mengerahkan tenaga mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya bergulung-gulung sinarnya, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada dua orang pengeroyoknya yang main mundur terus. Terdengar bentakan keras dua kali dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu itu, roboh untuk tidak bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!
“Haiiitttttt...!” Ceng Ceng yang merasa penasaran memekik. Pisaunya menyambar dan berhasil merobek pipi kanan seorang lawan yang berteriak-teriak kesakitan.
“Aku mencari bantuan...!” Seorang di antara mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya yang robek pipinya.
“Lari ke mana?” Ceng Ceng membentak, tangan kirinya bergerak dan pisau belati yang kiri meluncur ke depan, mengejar lawan yang lari itu.
“Augghhh...!” Orang itu roboh dan pisau belati hanya tampak gagangnya saja menancap di punggungnya.
Orang kedua yang terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng telah menendang tepat mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya terlepas dan sebelum dia sempat mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah bersarang di dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan tewas tak lama kemudian.
Ceng Ceng mencabut dua batang pisaunya, membersihkan senjata itu di pakaian korbannya sambil mendengarkan pesan Souw Kee It, “Nona, sudah jelas bahwa pihak pemberontak telah mengetahui keadaan kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki tangan pemberontak telah menguasai pula daerah ini dan mungkin sekali sudah ada mata-mata yang menyelinap ke dalam pasukan penjaga tapal batas. Hal ini berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah seorang panglima yang amat setia, akan tetapi kalau dia dikelilingi pemberontak tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya. Sekali pertahanan di tapal batas ini bobol, bahaya utara akan membanjir ke selatan dan merupakan ancaman besar.”
“Jika begitu, kita cepat menghadap Jenderal Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek.”
Souw Kee It menggelengkan kepala. “Kita harus membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah barat sana yang bertugas sebagai seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan pergi ke sana untuk cepat memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan engkau, Nona, harap kau lanjutkan perjalanan ini ke utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini, engkau akan tiba di benteng di mana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri dan kau ceritakan segala yang kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai keadaan di ibu kota.”
Ceng Ceng mengangguk. “Baik, Lopek.”
Souw Kee It mengeluarkan sebuah benda dan memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Kau bawalah tek-pai ini sebagai pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri tidak memerlukannya karena Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari Jenderal Kao dan adalah bekas sahabatku ketika kami bersama bertugas di kota raja. Kalau kau menghadapi kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu akan menyelamatkanmu.”
Ceng Ceng menerima benda itu yang ternyata adalah sebuah tek-pai, yaitu sepotong bambu yang merupakan sebuah tanda bahwa pemegangnya telah diberi kuasa oleh pihak atasan. Biasanya, jika kaisar memberi kekuasaan kepada seseorang ponggawa untuk melakukan suatu pekerjaan penting, ponggawa ini diberi sebuah tek-pai. Akan tetapi tek-pai yang diserahkan oleh Souw Kee It kepada Ceng Ceng adalah tanda kuasa yang diberikan oleh Puteri Milana.
“Berangkatlah, Nona dan hati-hatilah di jalan. Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti tadi setelah Nona berada di dekat benteng pasukan Jenderal Kao.”
Mereka lalu berpisah dan Ceng Ceng lalu membalapkan kudanya menuju ke utara. Ada pun Souw Kee It sendiri juga lalu meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke kiri di mana dia tahu ada markas dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim. Pencegatan oleh tosu Pek-lian-kauw tadi terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima Kim, maka dia perlu sekali harus cepat memberi tahu bekas sahabatnya itu agar dapat mengadakan operasi pembersihan karena dia yakin bahwa tentu daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak.
Memang daerah yang merupakan front kedua ini dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao Liang, yaitu Panglima Kim Bouw Sin yang dahulu pernah menjadi pengawal kaisar, rekan dari Souw Kee It. Panglima Kim Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini bertubuh kecil tinggi, bermata tajam dan dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu perang, selain ahli pula dalam ilmu silat.
Dahulunya dia hanya seorang guru silat yang karena kepandaiannya yang tinggi maka banyak putera bangsawan menjadi muridnya di kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi pengawal dan memang orang she Kim ini amat rajin dan pandai pula mengambil hati bekas-bekas muridnya yang banyak terdapat di antara para pangeran sehingga akhirnya dia terus naik pangkat sampai menjadi wakil Jenderal Kao Liang dan mengepalai puluhan ribu prajurit di tapal batas utara.
Akan tetapi, kenaikan demi kenaikan yang membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia, kedudukan demi kedudukan yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah memadamkan api cita-cita yang selalu berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin. Tidak pernah membuat dia merasa puas dan cukup. Cita-cita atau ambisinya terus meningkat dan kedudukan wakil panglima komandan perbatasan masih jauh dari pada memuaskan hatinya yang penuh ambisi, karena di sana, jauh di tinggi, masih tampak kedudukan panglima, kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima tertinggi dan kaisar sendiri!
Ambisi ini yang lalu menyeretnya untuk diam-diam bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong dan biar pun secara terang-terangan dia menjadi wakil panglima di perbatasan utara, namun gelap-gelapan dia adalah pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong Bin Ong yang sudah siap melakukan gerakan besar di utara!
Seperti halnya Kim Bouw Sin, seperti pula dapat kita lihat dalam penghidupan manusia sehari-hari, betapa kita ini dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh cita-cita, oleh ambisi.
Cita-cita dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup dituntun oleh masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini, saat ini, tidak dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan saat ini karena mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu mementingkan tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena semua itu dituntun dan diatur demi mencapai tujuan!
Karena mementingkan tujuan, maka timbullah perb碌atan-perbuatan yang palsu, karena yang penting bukanlah caranya lagi, melainkan tujuannya. Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan menghalalkan secara cara! Maka terjadilah segala kepalsuan yang dapat kita lihat sehari-hari di dalam kehidupan kita.
Betapa demi tujuan mendapatkan keuntungan, kita tak segan-segan untuk mencapainya dengan cara apa pun, dengan judi, dengan korupsi, dengan menyuap, dengan penipuan dagang, dengan penyelundupan, dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan demi untuk satu tujuan, yaitu mencari keuntungan! Lebih hebat lagi adalah, demi tujuan mencapai kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam perang, bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang hanya merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!
Umumnya kita menganggap bahwa cita-cita atau ambisi mendatangkan kemajuan! Jika tidak bercita-cita, tak ada kemajuan, demikian kita berkata dan anggapan atau pendapat ini telah berakar di dalam hati dan pikiran. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata dan mempelajarinya, benarkah demikian? Benarkah ambisi mendatangkan kemajuan?
Kalau kita ukur kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu kemajuan? Apakah itu dapat dikatakan maju kalau menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap, karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kaya-raya kalau batinnya miskin? Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para hartawan dan semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!
Yang penting adalah sekarang ini! Saat ini! Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan cita-citanya! Kalau caranya atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biar pun tujuannya benar, kalau caranya tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak benar! Dari pada membiarkan pikiran melamun dan membayangkan tujuan atau cita-cita atau ambisi di masa depan, hal-hal yang belum ada dan hanya merupakan khayal belaka, marilah kita tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini, saat demi saat sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua kita lakukan dengan kesadaran sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga kita dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Dengan demikian akan timbul kewaspadaan, kita dapat melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita sendiri dan di luar diri kita.
Souw Kee It sama sekali tidak pernah mengira bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan menghadap bekas temannya yang telah menjadi wakil panglima perbatasan itu. Akan tetapi begitu dia menceritakan tentang pencegatan dua orang tosu Pek-llan-kauw dan dua orang kaki tangan pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika dia disergap, dikeroyok dan akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal kaisar yang gagah perkasa ini tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin!
Souw Kee It telah menceritakan betapa pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi telah tiba di utara dan bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki tangan pemberontak! Dan sekarang gadis itu telah menuju ke markas Jenderal Kao! Hal ini tentu saja menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawan-kawannya. Maka setelah menyingkirkan mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera memanggil semua sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat!
Yang hadir dalam perundingan itu selain Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang utusan Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala suku Mongol yang memusuhi pemerintah. Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk memperkuat kedudukannya dan memperkuat barisan kalau kelak tiba masanya bahwa pasukannya harus digerakkan ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan persekutuan dengan suku-suku liar di luar tembok besar dan telah mengadakan kontak dengan tiga orang kepala suku Mongol itu.
“Rahasia telah terbuka, mungkin sekarang Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu,” demikian antara lain Panglima Kim berkata kepada lima orang itu. “Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terlalu sembrono, turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain mereka gagal, juga tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Jenderal Kao.”
“Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak membahayakan,” kata seorang di antara tiga orang utusan Pengeran Liong Bin Ong, “karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya. Akan tetapi tidaklah demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) di sini. Jenderal Kao terkenal keras, dan sebagai bawahannya Ciangkun tentu dapat dia perlakukan sesuka hatinya.”
“Itulah yang memusingkan kepalaku!” Panglima Kim menghantam meja di depannya. “Kecuali kalau dia dapat disingkirkan lebih dulu, lebih pagi dari pada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat kita kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amat sukar dilakukan.”
“Bukankah Jenderal Kao gemar sekali melakukan penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang terkenal?” berkata seorang di antara utusan Pangeran Liong. “Bagaimana kalau digunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para pengawalnya itu dan kita sergap dia?”
Kim Bouw Sin mengangguk. “Memang ada rencana itu, tetapi kalau ketahuan bahwa dia tewas, tentu akan timbul kegemparan dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan menimbulkan keributan. Kecuali kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau... kalau dapat melenyapkannya tanpa menimbulkan jejak...”
Tiba-tiba seorang kepala suku Mongol yang kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri mulai menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan semua orang yang hadir. “Dapat sekarang!” Teriaknya sehingga semua orang memandangnya penuh perhatian. “Sumur maut! Tempat itu pasti dapat kita pergunakan untuk memancing dan menjebak Jenderal Kao!”
Enam orang itu segera bicara berbisik-bisik mengatur rencana, mereka menggunakan siasat keji untuk membunuh Jenderal Kao tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan bahwa jenderal itu terbunuh oleh suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah. Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan main, wajahnya berseri gembira, dalam hatinya dia merasa betapa dia dan sekutunya melalukan sesuatu yang cerdik dan yang benar!
Demikianlah keadaan batin orang yang telah diracuni oleh cita-cita. Demi tercapainya cita-cita itu, segala cara dianggapnya baik dan benar belaka. Yang baik dan yang benar hanya diukur dari keuntungan bagi diri pribadi. Yang menguntungkan diri sendiri, lahir mau pun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan pedoman hidup seperti ini di antara kita semua, herankah kita kalau dunia ini selalu kacau dan ribut, kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh dunia?
“Berhenti!” Tiba-tiba bermunculan prajurit-prajurit yang agaknya tadi bersembunyi di balik batu-batu gunung dan lebih dari dua puluh orang prajurit sudah mengepung Ceng Ceng yang cepat menahan kudanya.
Diam-diam Ceng Ceng menjadi kagum melihat sikap mereka yang galak dan berbaris rapi. Mudah diduga bahwa prajurit-prajurit ini merupakan anggota pasukan pilihan yang kuat. Akan tetapi di samping kekagumannya, dia pun merasa penasaran. Dia seorang wanita, tetapi pasukan ini memperlihatkan sikap demikian keras dan kaku. Wataknya yang nakal membuat dia ingin sekali menggoda para prajurit Jenderal Kao ini.
“Heiiii, kenapa kalian menyuruh aku berhenti?” teriaknya.
Seorang di antara mereka, komandannya yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar dan tegap, melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring, “Nona, kau sudah melanggar wilayah penjagaan kami. Kau tidak boleh terus dan harus kembali.”
Ceng Ceng tersenyum. “Aihhh, tanah, pasir dan gunung ini bukan kalian yang bikin, mengapa hendak melarang orang lewat? Bagaimana kalau aku tidak mau kembali dan hendak terus?”
“Terpaksa kau harus kami tangkap dan akan kami hadapkan kepada atasan kami untuk diperiksa.”
“Begitu mudah?” Ceng Geng tersenyum mengejek. “Coba tangkap aku kalau bisa!”
Para prajurit itu saling pandang, ada yang merasa penasaran dan marah menyaksikan lagak dara remaja itu, ada pula yang tersenyum geli, akan tetapi tidak ada seorang pun berani bergerak karena mereka menanti perintah komadan mereka.
“Nona, jangan bergurau. Kembalilah saja, atau turun dari kuda untuk kami hadapkan kepada atasan kami,” kata komandan tinggi besar itu dengan wajah sungguh-sungguh.
“Dan aku tidak bergurau, melainkan menantang kalian semua untuk menangkap aku kalau bisa!”
Merahlah wajah komandan itu. Dia merasa dipermainkan oleh anak perempuan ini di depan anak buahnya. “Tangkap dia!” teriaknya memberi aba-aba.
Setelah terdengar aba-aba ini, barulah para prajurit bergerak, mengulur tangan dan seolah-olah hendak berlomba menangkap atau menjamah tubuh dara remaja yang cantik manis dan menggemaskan hati itu!
Ceng Ceng tertawa, kakinya bergerak dan tubuhnya sudah mencelat dan melayang melalui atas kepala mereka. Bagaikan seekor burung saja gadis ini meloncat dari atas kudanya melalui kepala para prajurit dan turun ke atas tanah di luar kepungan sambil tertawa-tawa.
Ceng Ceng menggapai kepada para prajurit yang kini membalikkan tubuh memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Mari, mari! Siapa yang merasa ada kepandaian, boleh maju! Atau kalau kalian tidak tahu malu, boleh mengeroyok aku!”
Tentu saja para prajurit menjadi marah dan serentak bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba komandan tinggi besar itu berteriak, “Tahan!”
Serentak para prajurit menghentikan gerakan mereka dan berdiri tegak menanti perintah komandan mereka. Akan tetapi komandan itu melambaikan tangannya memberi isyarat agar mereka mundur, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Ceng Ceng. Sejenak dia memandang dara itu penuh perhatian dan kecurigaan, kemudian dia berkata, “Nona, sebetulnya siapakah engkau, ada keperluan apa datang ke tempat ini dan mengapa menantang kami?”
Ceng Ceng yang sudah kumat nakalnya dan memang sengaja hendak mempermainkan orang, tersenyum dan berkata, “Soal nama dan keperluan nanti saja. Sekarang karena aku dilarang melanjutkan perjalanan, aku tantang siapa saja di antara kalian. Kalau aku kalah, aku akan kembali tanpa banyak cerewet lagi, akan tetapi kalau aku menang, kalian harus membolehkan aku melanjutkan perjalananku...”
Komandan itu menggeleng-gelengkan kepala. “Peraturan di sini tidak boleh diubah oleh siapa pun juga, Nona. Siapa yang melanggar akan berhadapan dengan kami.”
“Aku tidak mau tunduk akan peraturan itu!”
“Kalau begitu terpaksa Nona akan kutangkap.”
“Cobalah!”
Akan tetapi kembali komandan itu ragu-ragu. “Aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak suka memukul wanita. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa kami telah berbulan-bulan bertugas di sini dan jauh dari wanita, maka jangan katakan aku kurang ajar kalau tangan-tanganku menjadi gatal.”
Para prajurit tertawa mendengar kelakar komandan mereka ini, dan wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa komandan itu bukan bermaksud untuk kurang ajar melainkan bicara sejujurnya, dia pun mejawab, “Tidak usah banyak sungkan, Ciangkun. Mari perlihatkan kepandaianmu.”
“Heiiiiitttt!” Komandan itu yang juga memiliki ilmu silat cukup tangguh sudah bergerak maju, menubruk dengan kedua lengannya dipentang lebar.
“Yaahhh!” Dengan lincahnya Ceng Ceng mengelak dan tubuhnya yang kecil ramping itu lolos dari bawah lengan kanan komandan itu, tidak lupa untuk menggerakkan tangan kiri menampar belakang pundak kanan.
“Plakkk!”
Tubuh komandan itu terhuyung-huyung dan wajahnya kelihatan kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa tubrukannya itu tidak hanya dapat dielakkan, malah dia kena ditampar, tamparan main-mainan saja karena kalau dara itu menghendaki, tamparan itu tentu dapat diubah menjadi pukulan yang berbahaya. Tahulah dia bahwa gadis ini memang berilmu tinggi sehinga dia berani berlagak seperti itu. Maka dia tidak menjadi sungkan-sungkan lagi dan sambil berteriak keras kini mulailah dia menyerang, bukan sekedar untuk mengalahkan.
Ceng Ceng yang memang hanya ingin mempermainkan, menggunakan ginkang-nya dan dengan amat lincah dia selalu dapat mengelak dari semua serangan lawan tanpa membalas karena dia memang tidak berniat untuk bermusuhan. Kemudian, ketika komandan itu menyerangnya dengan dahsyat, menggunakan lengan kanan untuk memukul ke arah lambung dan tangan kirinya mencengkeram pundak, Ceng Ceng mengelak dengan loncatan ke kanan sambil menggerakkan kepalanya.
“Plak! Plak!”
Komadan itu terkejut dan cepat meloncat mundur sambil terhuyung-huyung karena tadi dua helai kuncir dara itu dengan tepat telah menyambar dan mengenai leher dan dadanya. Melihat ini, para prajurit sudah bergerak maju hendak menolong dan membantu komandan mereka, akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang sambil berseru keras, “Tahan...!”
Komandan itu sudah mencabut pedangnya dan memandang dengan mata terbelalak marah. Ceng Ceng cepat menjura kepadanya dan berkata, “Harap Ciangkun maafkan. Sebetulnya saya hanya main-main saja. Saya hendak menghadap Jenderal Kao Liang, harap Ciangkun mengantar saya kepadanya.”
Komandan itu mengerutkan alis. Tentu saja dia menjadi makin curiga. Gadis ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kedatangannya demikian mencurigakan dan sekarang menyatakan ingin bertemu dengan Jenderal Kao Liang, tentu saja dia menjadi curiga sekali.
“Nona, terpaksa kami hanya bisa menghadapkan engkau sebagai seorang tangkapan.”
Ceng Ceng tersenyum, lalu merogoh saku mengeluarkan tek-pai yang diterimanya dari Pengawal Souw Kee It, menyodorkan tek-pai itu ke depan perwira komandan itu sambil berkata, “Apakah engkau masih mencurigai aku?”
Komandan itu segera memandang tek-pai, bambu kuasa itu dan setelah membaca dan mengenal tulisan di atas tek-pai, melihat cap kebesaran Puteri Milana sendiri, cepat dia menjatuhkan diri berlutut. Para prajuritnya terkejut dan biar pun mereka belum mengerti jelas, mereka pun cepat meniru perbuatan komandan mereka, berlutut.
“Harap Nona maafkan kami yang tidak mengenal Nona,” kata komandan itu.
“Aihhh, tidak apa-apa, Ciangkun. Salahku sendiri karena memang aku yang ingin main-main dengan pasukanmu yang begini perkasa. Nah, sekarang engkau antarkanlah aku menghadap Jenderal Kao Liang.”
“Baik, Nona.”
Komandan itu meninggalkan perintah kepada anak buahnya, dan dia sendiri kemudian mengantarkan Ceng Ceng memasuki benteng besar di mana terdapat penjagaan yang ketat dan mengagumkan hati Ceng Ceng. Dia maklum betapa akan sukarnya memasuki benteng yang terjaga kuat ini apa bila tidak diantarkan oleh komandan itu.
Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa itu menerima kedatangan Ceng Ceng dengan ramah, apa lagi ketika Ceng Ceng memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Puteri Milana dan menceritakan bahwa dia mewakili Perwira Pengawal Souw Kee It.
“Aihhh, sungguh patut dipuji seorang wanita muda seperti Nona mau menempuh segala kesukaran untuk membantu negara. Nona amat gagah perkasa! Silakan duduk di ruang dalam dan ceritakan semua tugas Nona datang menjumpai kami,” kata jenderal itu yang mengajak Ceng Ceng duduk di ruangan dalam.
Setelah minum teh yang disuguhkan, Ceng Ceng mulai dengan penuturannya. “Souw-ciangkun sekarang pergi ke benteng di barat sana untuk melaporkan bahwa daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak. Kami berdua telah dicegat oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan kaki tangannya. Menurut Souw-ciangkun, pemberontak yang sekarang sedang berusaha untuk menghimpun kekuatannya tidak hanya bergerak di barat, melainkan agaknya juga sudah mulai mengulur tangan kotor mereka di daerah perbatasan ini.”
Jenderal Kao Liang tertawa sambil mengangkat cawan arak dan minum arak dengan lahapnya. Dia kuat sekali minum dan tidak pernah menjadi mabuk. “Ha-ha-ha-ha, harap tenangkan hatimu, Nona. Pemberontak-pemberontak itu hanya besar mulut saja, akan tetapi tidak ada artinya. Bahkan baru-baru ini aku sendiri sudah melakukan pemeriksaan ke barat, memimpin operasi pembersihan membasmi para pemberontak yang berani mengganggu perbatasan barat. Kalau ada pemberontak yang berani muncul di daerah ini, tentu akan kusapu sampai bersih!”
Kembali dia tertawa bangga, lalu melanjutkan. “Sayang bahwa para penjahat itu berhasil mencegat rombongan Puteri Bhutan sehingga sang puteri kabarnya lenyap. Akan tetapi, Kerajaan Bhutan tentu mau bekerja sama dengan kami untuk membasmi pemberontak di sana yang sebetulnya hanya merupakan segerombolan orang liar dan biadab, di bawah pimpinan penjahat besar Tambolon.”
“Agaknya Tai-ciangkun belum tahu jelas akan keadaan yang lebih parah dan berbahaya dari pada yang Tai-ciangkun kira.” Ceng Ceng berkata, “Hendaknya diketahui bahwa saya adalah Lu Ceng, atau Candra Dewi, saudara angkat dengan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, dan saya pula yang menjadi pengawal pribadinya ketika diboyong ke kota raja.”
“Ehhh...?!” Jenderal itu terkejut juga dan kini memandang kepada Ceng Ceng penuh perhatian.
Ceng Ceng lalu menceritakan semua pengalamannya bersama Syanti Dewi yang kini entah berada di mana, akan tetapi yang menurut kabar diselamatkan oleh seorang nelayan dan pasti belum terjatuh ke tangan pemberontak. Kemudian dia menceritakan pula pertemuannya dengan Ang Tek Hoat yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong si pemberontak, menceritakan pula percakapan yang didengarnya antara Ang Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong.
Mendengar semua itu, barulah Jenderal Kao tidak memandang ringan lagi, bahkan dia menggebrak meja. “Celaka! Kiranya di kota raja sendiri telah penuh dengan manusia-manusia khianat! Kalau begitu, aku sendiri harus ke kota raja untuk memperingatkan kaisar dan berunding secara langsung dengan Puteri Milana yang bijaksana. Ahhh, pengkhianat-pengkhianat yang tak mengenal budi itu harus dibasmi secepat mungkin sebelum gerakan mereka menjadi besar!”
Pada saat itu pula seorang pengawal melangkah masuk dan memberi hormat kepada Jenderal Kao sambil berkata, “Kim-ciangkun datang dan mohon menghadap!”
“Ah, dia datang? Suruh cepat masuk!” kata jenderal itu.
Ketika Panglima Kim Bouw Sin memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepada Jenderal Kao, Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Panglima Kim adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, mukanya pucat dan matanya sipit sekali. Karena dia tahu bahwa panglima ini adalah sahabat baik Souw Kee It, maka begitu panglima itu duduk dia bertanya, “Kim-ciangkun, bukankah Souw-lopek sudah bertemu denganmu?”
Kim Bouw Sin memandang dara itu lalu tertawa. “Tentu Nona adalah Nona Lu Ceng dari Bhutan seperti yang diceritakan oleh Souw-sicu. Memang dia telah bertemu denganku, Nona. Bahkan kini dia membantu menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang kukirimkan untuk melakukan pembersihan ke dusun tempat jual kuda itu.”
“Hemmm, Kim-ciangkun! Mengapa urusan besar seperti itu kau serahkan saja kepada bawahanmu dan tidak kau pimpin sendiri? Kita harus segera mengadakan pembersihan, jangan sampai kaki tangan pemberontak memperlebar sayapnya di daerah ini!” Jenderal Kao menegur bawahannya.
Kim Bouw Sin cepat menghadapi atasannya itu dan berkata, “Memang sebenarnya harus saya sendiri yang memimpin operasi pembersihan itu. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih penting lagi dan yang harus saya laporkan sendiri kepada Goanswe.”
“Hemm... berita apakah yang begitu penting?”
“Para peyelidik kami mendapat keterangan bahwa pada hari besok, para kepala suku mengadakan pertemuan dan perundingan tidak jauh dari sini dan mereka itu akan menerima kujungan seorang kaki tangan pemberontak yang tentu akan melakukan pembujukan kepada para kepala suku untuk bersekutu dengan pihak pemberontak.”
Wajah Jenderal Kao berubah merah sekali dan dia menggebrak meja. “Bagaimana bisa ada kejadian seperti ini? Selama ini para kepala suku itu baik dengan kita!”
Dengan sikap agak ketakutan Kim-ciangkun berkata, “Akan tetapi, pihak pemberontak itu tentu telah berhasil membujuk mereka yang mata duitan dengan menyerahkan hadiah-hadiah. Kalau Goanswe mengijinkan, saya akan melakukan penyelidikan sendiri ke tempat itu.”
“Tidak! Hal ini terlalu penting sehingga harus aku sendiri yang melakukan penyelidikan. Di mana tempat itu?”
“Di sekitar sumur maut di tengah padang pasir.”
“Hemmm, di tempat terpencil dan mengerikan itu?” Jenderal Kao membelai jenggotnya, “Baik, biarlah aku akan menyelidikinya sendiri.”
“Kalau begitu baik sekali. Saya akan menyusul ke selatan, memimpin sendiri operasi pembersihan di dusun pasar kuda,” kata Kim Bouw Sin yang segera pamit dan keluar meninggalkan tempat itu.
Jenderal Kao lalu menyuruh seorang pengawal mengantar Ceng Ceng ke sebuah kamar tamu agar dara itu dapat beristirahat sambil menanti kembalinya Souw Kee It, karena dia sendiri sibuk mempersiapkan tiga belas orang pengawalnya dan mengatur rencana untuk menyelidiki sumur maut yang dijadikan tempat pertemuan para kepala suku itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jenderal Kao telah berangkat meninggalkan benteng itu. Seperti biasanya tiap kali dia mengadakan perondaan atau penyelidikan, dia hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang gagah perkasa dan setia.
Derap kaki kuda di luar itu membangunkan Ceng Ceng dari tidurnya. Dia membuka pintu kamar dan bertanya kepada pelayan, mendapat keterangan bahwa Jenderal Kao telah berangkat. Ceng Ceng lalu mandi, bertukar pakaian lalu keluar dari bangunan itu melihat-lihat. Tetapi baru saja dia keluar, tampak olehnya seorang laki-laki berpakaian perwira menengah berjalan dengan amat cepatnya sambil menengok ke kanan kiri.
Jelas nampak olehnya betapa orang itu seperti tergesa-gesa dan hati-hati sehingga timbullah kecurigaan hatinya. Apa lagi orang itu agaknya baru saja meninggalkan tempat di mana dia menginap, padahal dia sejak kemarin tidak pernah bertemu dengan orang itu, seolah-olah orang itu telah bersembunyi di situ.
Ketika melihat orang berpakaian perwira itu memasuki sebuah pondok, Ceng Ceng cepat menggunakan kepandaiannya untuk meloncat ke atas genteng dan tak lama kemudian dia sudah mengintai dan mendengarkan dari atas. Perwira itu telah bertemu dengan seorang perwira lain dan biar pun percakapan mereka hanya singkat saja, namun cukuplah bagi Ceng Ceng mengetahui siapa adanya mereka.
“Cepat kau pergi melaporkan Kim-ciangkun bahwa dia telah berangkat,” kata perwira yang dibayanginya tadi.
“Baik, dan kau mempersiapkan semua teman agar mengendalikan semua pasukan di sini,” kata orang kedua.
“Ya, setelah itu aku akan menyusul mereka untuk melihat apakah semua telah berjalan sesuai rencana. Sebaliknya, sebelum engkau berangkat kepada Kim-ciangkun, engkau yang menghubungi teman-teman di sini. Jangan lupa gadis itu, harus secepatnya dibikin tidak berdaya. Aku akan berangkat sekarang, khawatir kalau-kalau terjadi perubahan dan kegagalan di sana.”
Selanjutnya mereka berbisik-bisik dan Ceng Ceng cepat meloncat turun, menyelinap di depan pondok itu dan bersembunyi di tempat yang masih gelap. Percakapan yang didengarnya itu cukup baginya dan amat mengejutkan. Jelas bahwa kedua orang itu tentulah mata-mata pemberontak yang menyelinap dan berhasil menjadi perwira-perwira di situ, atau juga perwira-perwira yang telah dibujuk oleh pihak pemberontak. Yang amat mengejutkan hatinya adalah disebutnya Kim-ciangkun!
Agaknya Kim-ciangkun juga sekutu mereka! Jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan Souw Kee It yang belum juga muncul setelah pengawal itu pergi mengunjungi Kim-ciangkun. Kecurigaan besar timbul di dalam hatinya. Dia khawatir bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa diri pegawal itu. Akan tetapi Ceng Ceng maklum bahwa dia menghadapi orang yang memiliki pasukan besar, yang tidak mungkin dapat dilawannya begitu saja. Jalan satu-satunya adalah cepat melapor kepada Jenderal Kao yang telah pergi.
Dan orang berpakaian perwira itu agaknya akan menyusul rombongan Jenderal Kao untuk melihat apakah rencana mereka berjalan lancar. Ceng Ceng segera mengambil keputusan dan melihat perwira itu berkelebat ke luar, cepat dia membayangi dari jauh.
Perwira itu keluar dari benteng, naik kuda dan membalap ke arah utara! Ceng Ceng terpaksa menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi sebentar saja sudah tertinggal jauh dan akhirnya perwira berkuda yang dibayanginya itu lenyap. Untung baginya bahwa jejak tapak kaki kuda yang dikejarnya dapat dilihat jelas maka dia dapat terus melakukan pengejaran ke utara dengan melihat tapak kaki kuda perwira itu.
Sementara itu, Jenderal Kao Liang dan tiga belas orang pengawalnya telah sampai di daerah sumur maut. Dengan teliti jenderal itu bersama para pengawalnya memeriksa keadaan di sekitar itu, namun yang tampak hanyalah padang pasir yang luas, tidak kelihatan ada seorang pun manusia. Sumur maut yang berada di tengah-tengah padang pasir itu pun sunyi saja, hanya tampak dari jauh sebagai suatu lubang yang dikelilingi batu-batu besar yang berserakan. Tidak ada suara apa-apa, tidak ada gerakan apa-apa.
Jenderal Kao telah memecah pasukan pengawalnya menjadi empat untuk memeriksa di empat jurusan, namun mereka semua kembali dengan tangan hampa, karena memang tidak ada seorang pun manusia di sekitar daerah yang amat sunyi itu. Setelah menanti sampai lama namun tidak juga ada datang kepala-kepala suku seperti yang dikabarkan akan mengadakan pertemuan rahasia di situ, Jenderal Kao mulai menjadi penasaran dan curiga. Apakah berita itu hanya berita bohong belaka?
“Mari coba kita periksa sumur itu!” Akhirnya dia berkata dan bergeraklah rombongan ini mendekati sumur.
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring disusul suara derap kaki kuda. “Jangan mendekati sumur itu...!”
Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya Ceng Ceng yang datang menunggang kuda dengan cepat sekali dan dara itu yang tadi berteriak. Dara ini telah berhasil mengejar perwira berkuda ketika perwira itu turun dari kudanya setelah tiba dekat daerah sumur maut. Selagi perwira itu mengintai dari jauh, Ceng Ceng menyergapnya. Perwira itu berusaha melawan, namun dia bukanlah lawan dara perkasa dari Bhutan ini, dan dengan mudah Ceng Ceng berhasil merobohkannya.
Karena perwira itu tetap membungkam ketika Ceng Ceng berusaha membongkar rahasianya, akhirnya Ceng Ceng menotoknya lumpuh lalu menggunakan kuda perwira itu untuk membalap dan menyusul Jenderal Kao. Melihat keadaan yang amat sunyi di situ, dan melihat Jenderal Kao dan anak buahnya bergerak mendekati sumur, Ceng Ceng menjadi curiga dan khawatir, maka dia lalu berteriak memperingatkan jenderal itu.
Ketika Jenderal Kao Liang dan anak buahnya terkejut dan menengok, tepat pada saat itu mereka melihat anak panah berapi meluncur ke atas langit dari empat jurusan dan terdengar suara keras. Batu-batu di sekitar sumur maut itu terpental dan dari bawahnya berlompatan ke luar belasan orang, kemudian meluncurlah senjata-senjata rahasia dari tangan mereka, seperti hujan menyerang kepada Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya!
Mereka terkejut, namun sebagai orang-orang gagah yang sudah biasa menghadapi bahaya, mereka cepat mengelak dan mencabut senjata masing-masing. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih membalapkan kudanya, tiba-tiba berteriak kaget, kudanya terjungkal roboh karena perut kuda itu telah robek dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek yang tadinya bersembunyi di bawah pasir. Kakek kurus yang berjenggot pendek dan kuncir rambutnya melibat leher.
Dengan amat cekatan Ceng Ceng meloncat turun sewaktu kudanya terjungkal, akan tetapi tiba-tiba dia sudah diserang oleh kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan terbuka yang mendatangkan angin bersiutan, tanda bahwa kedua tangan kakek itu mengandung tenaga sinkang yang amat kuat! Ceng Ceng berteriak marah, mengelak dan sudah mencabut keluar sepasang pisau belatinya, membalas dengan serangan-serangan dahsyat.
Jenderal Kao dan anak buahnya juga sudah menghadapi serbuan lima belas orang yang tadi bersembunyi di dalam pasir di bawah batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi yang sengaja didatangkan dari selatan untuk membunuh Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya. Namun, jenderal yang gagah perkasa itu berteriak-terlak seperti seekor singa, mengamuk dengan hebat bersama tiga belas orang pengawalnya yang setia sehingga lima belas orang pembunuh bayaran itu menjadi kewalahan, bahkan terdesak hebat. Dua orang sudah roboh oleh pedang dan hantaman tangan jenderal perkasa itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari empat penjuru tampak pasukan datang berkuda. Biar pun jumlah mereka tidak banyak, namun setelah berkumpul, tidak kurang dari seratus orang anak buah suku bangsa liar mengepung tempat itu dan langsung menyerbu dan mengeroyok Jenderal Kao Liang dan anak buahnya!
Ceng Ceng menjadi terkejut bukan main. Kalau tadi dia merasa agak lega melihat betapa para penjahat hanya berjumlah belasan orang dan Jenderal Kao bersama anak buahnya adalah orang-orang pandai, sehingga tidak khawatir akan kalah, kini melihat datangnya seratus orang liar itu dia menjadi khawatir sekali. Kakek yang mendesaknya juga ternyata amat lihai.
“Haiiiiittttt...!” Ceng Ceng berteriak nyaring, kedua pisaunya menyambar dari kanan kiri, menyilang dengan gerakan berkelebat cepat seperti sambaran kilat.
Menghadapi serangan dahsyat dan bertubi-tubi ini, kakek itu lalu melompat mundur dan kesempatan ini digunakan oleh Ceng Ceng untuk lari menghampiri rombongan Jenderal Kao Liang.
Melihat gadis ini, Jenderal Kao tertawa, “Ha-ha-ha, kau hebat sekali, Nona! Benar-benar aku merasa kagum dan andai kata kita gagal membasmi mereka ini, melihat Nona yang begini gagah perkasa, benar-benar merupakan penglihatan terakhir yang akan menjadi bekal menyenangkan ke alam baka!”
Diam-diam Ceng Ceng kagum sekali.
“Hyaaaattt...! Ceppp...! Desss...!”
Dua orang Mongol roboh oleh pisau dan tendangan kakinya. Setelah merobohkan dua orang itu, sambil mengelak dan menangkis hujan golok dan tombak, Ceng Ceng masih sempat menjawab, “Kao-ciangkun, pembantumu itu, Kim-ciangkun, telah memberontak. Agaknya dia yang mengatur semua ini. Engkau dijebak....”
“Prakkk! Desss!” Dua orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah dan leher hampir putus terkena hantaman tangan kiri Jenderal Kao dan sambaran pedangnya.
“Hemmm, sudah kuduga! Keparat tak mengenal budi, pengkhianat hina itu! Mari kita basmi anjing-anjing ini, Nona. Baru kita cari dan hancurkan kepala manusia she Kim yang keparat itu!”
Kedua orang itu mengamuk, juga tiga belas orang pengawal setia. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Biar pun mereka berhasil merobohkan puluhan orang musuh, namun akhirnya, seorang demi seorang roboh dan tewaslah tiga belas orang pengawal Jenderal Kao yang gagah perkasa dan setia itu. Hanya tinggal jenderal itu bersama Ceng Ceng yang masih terus melakukan perlawanan gigih, bahu-membahu dan saling melindungi. Mereka berdua pun sudah mengalami luka-luka dan pakaian mereka sudah berlepotan darah, darah para pengeroyok yang mereka tewaskan dan darah mereka sendiri.
Sepasang mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali dia melirik ke arah Ceng Ceng. “Engkau hebat... wah, engkau hebat...! Hanya tinggal kita berdua yang masih hidup. Mari kita berlomba, siapa yang lebih banyak merobohkan lawan. Ha-ha-ha!”
Sambil tertawa-tawa jenderal itu memutar-mutar pedangnya dengan dahsyat sedangkan Ceng Ceng yang sudah lelah sekali itu pun menggerakkan kedua pisaunya untuk melindungi tubuhnya dan untuk mencari sasaran pada tubuh para pengeroyoknya yang masih bersisa tiga puluh orang lebih. Ternyata bahwa dalam perang kecil yang tidak seimbang ini, Ceng Ceng bersama Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya ini telah berhasil merobohkan tujuh puluh orang lebih!
Namun, kedua orang tua dan muda yang gagah perkasa itu sudah terlalu lelah dan terlalu banyak kehilangan darah yang keluar dari luka-luka mereka. Biar pun jenderal itu masih tertawa-tawa membesarkan hati Ceng Ceng, namun gerakannya sudah lemah dan serbuan hebat dari kakek tua yang melawan Ceng Ceng tadi, dibantu oleh empat orang yang cukup lihai, membuat tangkisan pedang Jenderal Kao kurang kuat dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya.
Pada saat itu terdengarlah suara melengking panjang dan nyaring sekali, seperti suara burung rajawali atau garuda yang sedang marah, datangnya dari arah selatan. Namun Ceng Ceng tak sempat memperhatikan suara melengking nyaring itu karena dia terkejut bukan main melihat Jenderal Kao terguling roboh di dekat Sumur Maut. Sebelum jenderal itu dapat bangkit kembali, dua orang menubruknya dan mengangkat tubuh jenderal itu, kemudian dilemparkan ke arah Sumur Maut yang siap untuk mencaplok apa saja yang memasukinya!
“Heiiiiittt...!”
Ceng Ceng menyambitkan dua batang pisaunya dan tepat sekali dua batang pisau itu menancap ke dalam lambung dua orang yang mengangkat tubuh Jenderal Kao, mereka roboh, akan tetapi tubuh jenderal itu sudah terlempar ke arah sumur!
Ceng Ceng berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke depan mendahului tubuh Jenderal Kao, lalu kakinya menendang dan tubuh jenderal yang tinggi besar itu berhasil dapat ditendangnya sehingga terpental keluar dari mulut sumur. Akan tetapi, hasil yang menyelamatkan nyawa Jenderal Kao ini ditebus dengan pengorbanan diri Ceng Ceng sendiri. Karena menendang tubuh berat dalam keadaan masih meloncat, tubuh dara perkasa itu terjengkang dan tepat terjatuh masuk ke dalam mulut Sumur Maut yang terbuka lebar, gelap dan mengerikan!
“Nona Ceng Ceng...!” Jenderal Kao menjerit. Akan tetapi sia-sia saja, tubuh dara itu telah lenyap dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam sumur.
“Keparat, kalian telah membunuhnya! Jahanam busuk, kalian harus mampus semua!”
Jenderal itu dengan suara serak karena menahan keperihan dan keharuan hatinya melihat Ceng Ceng yang menolongnya menjadi korban terjeblos ke dalam Sumur Maut, berteriak bagaikan seekor singa terluka, kemudian dengan kedua tangan kosong dia mengamuk seperti seekor naga marah. Hatinya terasa sakit bukan main. Dia merasa amat kagum melihat kegagahan Ceng Ceng, kekaguman yang menimbulkan rasa kasih kepada dara remaja itu.
Tiada yang dapat menimbulkan kekaguman pada hati jenderal yang keras ini kecuali kegagahan, dan apa yang diperlihatkan oleh Ceng Ceng benar-benar menimbulkan kesan mendalam di hati jenderal ini. Sekarang, dia melihat dara itu tewas, terjeblos ke dalam Sumur Maut dan hal ini terjadi karena gadis itu menyelamatkannya.
Tentu saja hal ini selain mendatangkan keharuan, juga membuat dia merasa sakit hati sekali, maka mengamuklah dia dengan nekat tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri! Pada saat itu, Kao Liang bukan lagi seorang jenderal yang selalu menggunakan siasat dalam perang, tetapi seorang pria yang sakit hati melihat orang yang dikagumi dan disayangnya seperti anak sendiri, tewas di depan matanya!
Biar pun tubuhnya sudah luka-luka, namun dengan kedua tangan kosong jenderal ini mengamuk dan robohlah berturut-turut enam orang pengeroyok terdekat. Akan tetapi, kini kakek lihai dan bebarapa orang temannya yang juga memiliki kepandaian tinggi mengurungnya dan mendesaknya dengan serangan senjata mereka secara bertubi-tubi sehingga Jenderal Kao terdesak hebat. Dalam belasan jurus saja panglima yang perkasa ini telah menderita luka-luka baru lagi. Dia sedikit pun tidak mengeluh, bahkan berteriak-teriak penuh kemarahan dan siap untuk mengadu nyawa.
Suara melengking nyaring terdengar dan keadaan menjadi kacau ketika tiba-tiba semua orang yang mengepung dan mendesak Jenderal Kao terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir. Para pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bercaping lebar, lalu menggunakan capingnya itu untuk mengamuk dan siapa pun yang terdekat pasti langsung roboh oleh tamparan capingnya itu! Senjata-senjata tajam beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya disusul robohnya para pengeroyok.
Melihat tiba-tiba muncul seorang yang demikian lihainya, maklumlah para kaki tangan pemberontak bahwa usaha mereka membunuh Jenderal Kao telah gagal. Timbul rasa gentar di hati mereka. Tanpa dikomando lagi, larilah sisa pemberontak itu meninggalkan gelanggang di mana berserakan teman-teman mereka yang menjadi korban amukan Ceng Ceng, Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya, dan yang terakhir laki-laki bercaping lebar itu.
Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng, pendekar yang sakti. Bersama Puteri Syanti Dewi, Gak Bun Beng tiba di tempat itu dan segera turun tangan menolong ketika melihat Jenderal Kao dikeroyok banyak orang dalam keadaan terluka. Tidak lama kemudian, Syanti Dewi muncul pula dan wajah puteri itu membayangkan kengerian menyaksikan banyak orang yang tewas dan terluka. Tempat itu bergelimang darah dan penuh dengan suara rintihan mereka yang terluka dan belum tewas.
Ketika melihat siapa yang telah menolongnya, Jenderal Kao menjadi girang dan cepat menghampiri Gak Bu Beng. “Aha, kiranya kalian pula yang muncul dan menyelamatkan aku dari ancaman maut! Bukankah engkau ini sahabat Gak Bun Beng yang pernah aku jumpai di barat?”
Gak Bun Beng menjura dan berkata, “Benar, Kao-taigoanswe, saya adalah Gak Bun Beng yang datang bersama anak saya dan secara kebetulan dapat membantu goanswe menghadapi para pemberontak itu.”
“Terima kasih... terima kasih, engkau memang gagah perkasa...” Tiba-tiba jenderal itu menghentikan kata-katanya, mendekati sumur dan melongok-longok ke dalam sumur, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
“Aihhhh... sungguh sangat kasihan... menyesal bahwa engkau tidak datang lebih pagi, Gak-enghiong (orang gagah she Gak). Sayang, dia seorang gadis yang luar biasa, gagah perkasa dan berbudi, penuh keberanian, muda, cantik dan pandai, terpaksa harus mengalami nasib begini mengerikan...” Dengan kepalan tangannya, jenderal itu mengusap dua butir air mata dari bawah matanya!
Bun Beng mengerutkan alisnya. “Apakah maksudmu, Taigoanswe? Siapakah yang kau bicarakan itu?”
“Engkau tidak tahu dan tentu tidak mengenalnya. Dia seorang dara perkasa dari barat, dari Bhutan...”
Tiba-tiba Syanti Dewi meloncat ke depan jenderal itu dan dengan suara penuh wibawa dia bertanya, “Siapa dia? Siapa dara itu? Cepat katakan padaku!”
Jenderal Kao memandang heran. Sejak pertemuan pertama dahulu dia sudah merasa heran mengapa anak dari orang she Gak ini demikian cantik dan halus, demikian agung sikapnya, dan jelas pula bukan orang Han. Kini, menyaksikan sikapnya ketika bertanya, mengingatkan dia akan sikap puteri-puteri istana saja! Namun, karena tidak enak terhadap Gak Bun Beng, dia menjawab juga.
“Nona itu bernama Lu Ceng...”
Syanti Dewi menjerit, matanya terbelalak memandang ke Sumur Maut itu. “Lu Ceng...? Candra Dewi...? Dan... dia... dia... di manakah dia...?”
Jenderal Kao semakin kaget. Dengan mata masih menatap wajah Syanti Dewi penuh selidik, dia menjawab, “Untuk menolongku, dia telah mengorbankan dirinya dan terjatuh ke dalam sumur maut ini.”
Kembali Syanti Dewi menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri berlutut di dekat sumur maut sambil menangis tersedu-sedu. Bun Beng juga terkejut karena dia telah mengenal nama Lu Ceng atau Candra Dewi dari Puteri Bhutan ini. Akan tetapi Jenderal Kao yang menjadi terkejut dan terheran-heran. Sambil menghadapi Bun Beng dia bertanya, “Gak-enghiong, apakah artinya ini?”
“Nona Lu Ceng adalah saudara angkat dari Puteri Syanti Dewi, dan terus terang saja, Tai-goanswe, yang menyamar sebagai anakku ini adalah Sang Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dikejar-kejar pemberontak.”
“Ahhh...!” Jenderal Kao terkejut bukan main.
Tentu saja dia sudah mendengar pula akan nama Syanti Dewi, puteri raja Bhutan yang akan dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong dan yang hilang di dalam perjalanan saat diboyong. Kiranya puteri ini masih dalam keadaan selamat, tertolong oleh pendekar yang bernama Gak Bun Beng ini.
“Kao-goanswe, sudah lamakah nona itu terjerumus ke dalam sumur?” Gak Bun Beng bertanya setelah sejenak memandang ke arah sumur itu.
“Baru saja,” jawab jenderal itu dengan suara serak karena dia menjadi makin terharu setelah melihat Puteri Bhutan itu menangisi kematian Ceng Ceng.
“Kalau begitu, biar saya mencoba untuk mencarinya!” Gak Bun Beng cepat lari mencari tali yang banyak terdapat di antara para korban suku Bangsa Mongol. Mereka itu sudah biasa membawa tali untuk keperluan di dalam perantauan mereka. Gak Bun Beng lalu menyambung-nyambung tali itu dan kembali lagi ke dekat sumur di mana Jenderal Kao menantinya dengan heran.
“Gak-enghiong, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya.
“Saya hendak mencarinya di dalam sumur, harap Goanswe suka memegangi tambang ini agar dapat menolong saya kalau di bawah sana terdapat bahaya.”
“Aihh, harap Gak-enghiong jangan melakukan ini!” Jenderal itu berseru kaget. “Sumur ini terkenal sebagai sumur maut dan siapa saja, apa saja yang masuk ke dalamnya, tidak pernah keluar lagi.”
“Betapa pun berbahayanya, saya akan mencoba untuk mencarinya dan setidaknya memeriksa di sebelah dalam. Siapa tahu kalau-kalau nona Lu masih dapat ditolong.”
“Paman... Paman Gak... benarkah saudaraku Candra Dewi masih dapat ditolong?”
“Mudah-mudahan saja.”
“Tapi... tapi Paman sendiri? Jangan-jangan akan terancam bahaya di bawah sana...” puteri itu bergidik ngeri. “Kalau berbahaya... harap jangan turun ke sana...” Dia bangkit, menghampiri Gak Bun Beng dan memegang tangan pendekar itu.
Gak Bun Beng tersenyum. “Tenangkanlah hatimu, Dewi. Di sini terdapat Kao-goanswe yang akan memegangi ujung tali. Andai kata aku terancam bahaya, pasti masih dapat ditolong.”
Akhirnya jenderal itu dan Syanti Dewi tidak membantah lagi, melainkan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan ketika mereka melihat betapa Gak Bun Beng mulai menuruni sumur yang kelihatan menganga hitam dan tidak dapat dilihat dasarnya itu. Jenderal Kao memegangi ujung tali dengan kuat, mengulur tali sedikit demi sedikit ketika Bun Beng sudah mulai menuruni sumur. Sebentar saja, dua orang itu tidak lagi melihat bayangan Bun Beng yang lenyap ditelan kegelapan yang hitam pekat di dalam sumur itu.
Syanti Dewi berlutut di tepi mulut sumur sambil memandang. Dua tangannya dirangkap di depan dada karena diam-diam dia berdoa demi keselamatan pendekar sakti itu dan demi tertolongnya Ceng Ceng.
“Aahhhhh...!” Tiba-tiba Jenderal Kao berseru kaget.
Wajahnya berubah dan cepat-cepat dia menarik tambang itu dengan kedua tangannya secepatnya. Tadi ketika dia mengulur tambang sampai hampir habis, tiba-tiba tambang itu menegang dan terasa berat, tidak bergerak lagi! Syanti Dewi memandang terbelalak dan pucat mukanya.
Biar pun sudah terluka, jenderal itu masih kuat sekali sehingga sebentar saja dia sudah dapat menarik keluar tubuh Gak Bun Beng dari dalam sumur, tubuh yang tergantung pada ujung tambang yang mengikat pinggangnya. Dan ternyata pendekar itu telah pingsan dengan muka pucat dan kulit muka serta leher dan kedua tangannya agak kehitaman!
“Paman...!” Syanti Dewi hendak menubruk tubuh pingsan yang kini direbahkan di atas tanah itu, akan tetapi Jenderal Kao cepat mencegahnya.
“Harap paduka mundur. Dia keracunan, biar kucoba menyadarkannya!”
Mendengar ini, Syanti Dewi yang gelisah sekali itu hanya dapat memandang dengan air mata bercucuran, sedangkan Jenderal Kao yang berpengalaman itu lalu menempelkan kedua telapak tangan di dada dan perut Gak Bun Beng, mengerahkan sinkang-nya membantu pendekar itu untuk dapat bernapas lagi dan mengusir hawa beracun dari dalam dadanya. Akhirnya Bun Beng dapat bernapas kembali dan mengeluh, lalu bangkit dan duduk, memegangi kepalanya yang terasa pening. Ketika dia membuka mata dan melihat Syanti Dewi menangis, dia berkata,
“Tenanglah, Dewi. Aku tidak apa-apa.” Kemudian kepada Jenderal Kao dia berkata, “Di bawah sana gelap sama sekali, dan dalamnya sukar diukur. Selagi masih tergantung, tiba-tiba ada tercium bau yang aneh dan napasku menjadi sesak, lalu tidak ingat apa-apa lagi.”
Jenderal itu mengangguk-angguk. “Itu tentulah gas yang keluar dari dalam bumi. Sudah jelaslah nasib nona Lu... kasihan dia...”
“Dia... dia... telah mati...” Syanti Dewi menangis lalu berlutut di tepi sumur.
Sejenak mereka bertiga memandang ke dalam sumur dan seperti mengheningkan cipta. Barulah mereka sadar ketika terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan dari benteng di bawah pimpinan seorang perwira yang setia terhadap Jedecal Kao. Perwira itu bernapas lega melihat atasannya selamat, kemudian menceritakan betapa wakil Panglima Kim telah melarikan diri begitu mendengar akan kegagalan rencananya. Juga dia melaporkan bahwa Pengawal Souw Kee It yang tadinya datang bersama Ceng Ceng ternyata telah dibunuh oleh Panglima Kim sendiri yang memimpin pemberontakan.
Jenderal Kao mengepal tinjunya. “Tak kusangka! Akan tetapi, aku bersumpah untuk menangkap dan menghukum jahanam she Kim itu!”
Dia mendendam hebat karena menganggap bahwa kematian Ceng Ceng adalah gara-gara pengkhianatan Kim Bouw Sin. Bahaya yang mengancam dirinya sendiri, yang hampir menewaskannya, tidak teringat lagi olehnya karena sebagai seorang panglima yang telah puluhan tahun berkecimpung di dalam ketenteraan, ancaman maut baginya merupakan hal yang biasa saja. Akan tetapi kematian Ceng Ceng, hal itu sukar untuk dapat dilupakan oleh jenderal perkasa ini.....
Jenderal Kao lalu mengajak Gak Bun Beng dan Puteri Syanti Dewi yang diliputi kedukaan itu ke bentengnya untuk diajak berunding. Bagaimanakah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi dapat datang di sumur maut dan berhasil menyelamatkan Jenderal Kao sungguh pun mereka agak terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita mundur dulu untuk mengikuti perjalanan dan pengalaman mereka yang hebat-hebat sampai mereka tiba di sumur maut itu.
Seperti kita ketahui, Gak Bun Beng melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi dengan susah payah, meninggalkan kota raja menuju ke timur karena pendekar sakti itu jatuh sakit keras setelah jantungnya terguncang hebat dalam perjumpaannya dengan Puteri Milana, kekasihnya yang kini telah menjadi isteri orang lain.
Perjalanan ke utara itu bukan main sukarnya bagi Syanti Dewi. Gak Bun Beng benar-benar terserang penyakit yang payah. Sakit luar dalam! Sakit badan karena mengalami pukulan-pukulan dahsyat dari Siang Lo-mo, iblis kembar yang amat lihai itu, dan sakit hatinya karena perjumpaannya dengan Milana membuat hati yang terluka itu pecah kembali!
Semua ini masih ditambah lagi oleh keharuan dan kegelisahan hatinya menyaksikan sikap Syanti Dewi kepadanya. Sikap seorang wanita muda yang membuat dia amat khawatir karena melihat gejala-gejala yang mencemaskan hatinya bahwa Puteri Bhutan itu telah jatuh cinta kepadanya! Hal ini membuat penyakit dalam di hatinya makin parah dan otomatis membuat dia makin berhutang budi kepada puteri itu karena makin parah sakitnya, makin tekun dan penuh ketelitian lagi sang puteri merawat dan menjaganya.
Luka yang diderita Bun Beng cukup parah, dan selama ini tidak diobati sama sekali, maka tentu saja keadaannya menjadi bertambah parah dan lemah. Andai kata hatinya tidak terluka sehebat itu, tentu dengan kepandaiannya yang tinggi, pendekar ini mampu mengobati luka dalam akibat pukulan sepasang iblis itu. Akan tetapi, keadaan hatinya membuat dia seolah-olah tidak peduli lagi akan penderitaan tubuhnya. Andai kata tidak ada Syanti Dewi, sudah tentu ia tidak mau melanjutkan perjalanan, dan akan menyerah kepada nasib dan bersembunyi di dalam hutan.
“Dewi, kau banyak mengalami kesengsaraan... aku membuat kau menjadi sengsara saja...”
“Paman, jangan berkata demikian.”
“Betapa pun juga, aku harus dapat membawamu menghadap Jenderal Kao Liang, baru akan tenang rasa hatiku akan tetapi... ahhh, kesehatanku makin memburuk, padahal perjalanan ini tidak boleh ditunda-tunda...”
“Jangan khawatir, Paman. Aku akan merawatmu...”
Akan tetapi keadaan Bun Beng makin memburuk sehingga pada suatu hari dia tidak kuat berjalan lagi! Pendekar ini maklum bahwa kalau sampai dia mati sebelum bertemu dengan Jenderal Kao Liang, keselamatan Syanti Dewi akan terancam karena dia harus hidup tanpa pengawal.
“Dewi, kau buatlah alat penyeret dari bambu... kita harus melanjutkan perjalanan...”
“Aduh, Paman... sakitmu semakin hari semakin bertambah parah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan? Marilah kita beristirahat dulu di hutan ini, biar aku yang merawat sampai Paman sembuh baru kita melanjutkan perjalanan ini.”
“Tidak! Harus dilanjutkan sampai tiba di benteng Jenderal Kao! Setelah tiba di sana, tentu aku akan mendapat perawatan dan pengobatan. Sebelum tiba di sana, bagaimana hatiku dapat tenteram?”
Sesungguhnya, Bun Beng ingin segera tiba di benteng Jenderal Kao adalah karena dia mengkhawatirkan keadaan Syanti Dewi, sama sekali bukan karena ingin memperoleh pengobatan. Terpaksa Syanti Dewi tidak berani membantah dan gadis ini lalu membuat alat penyeret dan melanjutkan perjalanan sambil menyeret tubuh pendekar itu yang rebah telentang di atas anyaman bambu yang menjadi alat penyeret itu.
Dapat dibayangkan betapa sukarnya dara itu melakukan perjalanan seperti ini. Padahal mereka melalui gunung-gunung dan daerah-daerah tandus, melalui jalan yang amat sukar. Seorang puteri raja yang biasanya hidup mewah dan segala dilayani, segala tersedia, sekarang harus melakukan perjalanan sambil menyeret orang sakit seperti itu, mencari makan di tengah jalan tandus dan merawat orang sakit. Dapat dibayangkan, betapa hebat penderitaannya.
Namun Syanti Dewi tidak pernah mengeluh dan selalu mendahulukan kepentingan Bun Beng dari pada kebutuhan dirinya sendiri. Dia kurang makan, kurang tidur, kelelahan sampai tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya agak pucat, kedua telapak tangannya yang memegang bambu seretan menjadi tebal dan kulit mata kakinya lecet-lecet!
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Syanti Dewi sudah menyeret tubuh Bun Beng keluar dari sebuah hutan di mana semalam mereka bermalam di bawah pohon besar, dan kini dara itu mendaki daerah pegunungan yang penuh batu karang sehingga pagi-pagi sudah berpeluh. Tanah pegunungan penuh batu itu jelas kelihatan tandus, pohon dan tetumbuhan tidak dapat hidup subur, apa lagi pada waktu itu telah tiba musim kering sehingga rumput-rumput pun menguning kering dan kehausan.
Ketika Syanti Dewi menuruni sebuah puncak batu karang dan tiba di sebuah tikungan, tampaklah olehnya di depan, sebuah dataran dan dari jauh kelihatan gerakan beberapa orang yang sedang bertempur.
“Paman Gak, ada orang bertempur di depan sana!” dara itu berkata sambil berhenti.
“Hadapkan aku ke sana, Dewi.” Bun Beng berkata lirih.
Syanti Dewi memutar alat penyeret itu sehingga Bun Beng dapat melihat ke depan. Setelah memandang sebentar, pendekar sakti yang sedang sakit itu berkata, “Jalan saja terus dan jangan pedulikan mereka, Dewi. Biar pun si kecil itu dikeroyok tiga, dia tidak akan kalah.”
Syanti Dewi melanjutkan perjalanannya, matanya memandang ke arah orang-orang yang bertempur dan merasa heran sekali. Yang bertanding adalah empat orang dan merupakan pertempuran berat sebelah dan tidak adil karena seorang di antara mereka, seorang kanak-kanak, dikeroyok oleh tiga orang dewasa! Panas juga hati Syanti Dewi menyaksikan betapa seorang anak kecil yang melihat tingginya tentu tidak akan lebih dari dua belas tahun usianya, yang hanya membawa sebatang ranting, dikeroyok oleh tiga orang tua yang gerakannya lihai bukan main. Akan tetapi anehnya, anak kecil itu sama sekali tidak kewalahan, bahkan dengan gerakan rantingnya yang amat cepat, yang dimainkan seperti sebatang pedang, anak itu berhasil mendesak tiga orang pengeroyoknya!
Karena Gak Bun Beng sudah menyuruhnya agar tidak mempedulikan mereka, maka ketika tiba di dataran itu, Syanti Dewi terus berjalan sambil menyeret tubuh pedekar yang sedang sakit itu, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan bahkan tidak menengok ke arah empat orang yang bertempur itu.
Akan tetapi, ketika tiga orang lihai yang sedang mengeroyok anak kecil itu melihat Bun Beng dan Syanti Dewi, mereka mengeluarkan seruan girang, meloncat ke belakang menjauhi anak kecil yang mereka keroyok, lalu lari menghampiri Syanti Dewi dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. Tentu saja Syanti Dewi menjadi terkejut dan heran melihat ini, bingung karena tidak tahu apa artinya semua itu. Otomatis dia berhenti.
“Dewi, hadapkan aku kepada mereka.” Bun Beng berkata lirih dan Syanti Dewi lalu memutar bambu penyeretnya sehingga pendekar itu rebah terlentang menghadapi tiga orang yang masih berlutut.
“Harap Lociapwe (orang tua yang gagah) sudi memaafkan kami bertiga yang tidak mengadakan penyambutan karena tidak tahu akan keadaan Locianpwe.” Seorang di antara mereka yang berkumis tebal, berkata dengan sikap dan suara amat menghormat.
Bun Beng mengerutkan alisnya. Dia mengerti bahwa orang-orang ini tentulah ‘salah alamat’ dan mengira dia seorang lain. Akan tetapi sebelum dia menjawab, dengan sekali gerakan kaki saja ‘anak kecil’ itu sudah meloncat dekat dan sekarang tampaklah oleh Syanti Dewi kenyataan yang sudah dilihat oleh Bun Beng dari jauh tadi bahwa ‘anak kecil’ itu sebetulnya bukanlah anak-anak lagi, melainkan seorang tua yang bertubuh kecll dan wajahnya kekanak-kanakan pula!
“Hei, kalian tiga orang Pek-san-pai (Perkumpulan Pegunungan Putih) yang pengecut! Hayo lanjutkan pertandingan kita, ataukah kalian hendak mengajukan orang mau mampus ini sebagai jago? Kalau benar demikian, hayo cepat maju dan lawanlah aku!”
Melihat orang tua bertubuh kanak-kanak yang bersifat sombong ini, Gak Bun Beng mengurungkan niatnya untuk mengaku bahwa tiga orang itu salah mengenai orang. Dia kini diam saja dan mendengarkan sambil melihat keadaan.
Tiga orang itu cepat menoleh dan berkata kepada si kecil, “Engkau orang tua adalah jago undangan Hek-san-pai (Perkumpulan Pegunugan Hitam), akan tetapi hari ini bukanlah saatnya kita bertanding. Engkau mendesak kami, sungguh ini melanggar peraturan! Saat hari pertandingan adalah besok, di Jembatan Angkasa, akan tetapi mengapa kau mendesak kami?”
“Ha-ha-ha-ha, katakan saja bahwa kalian takut! Pertandingan diadakan sekarang atau besok apa bedanya? Kalau kalian takut, lekas suruh ketua kalian maju, boleh juga kalau mengeroyok aku!”
Tiga orang itu kelihatan marah, tetapi juga tampak bahwa mereka itu memang merasa jeri menghadapi si kecil yang amat lihai itu, maka mereka kini memandang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh harapan. Melihat ini, Bun Beng dengan susah payah bangkit duduk di atas anyaman bambu itu, memandang kepada si kecil dan berkata, “Kalau aku boleh bertanya, benarkah sudah dijanjikan bahwa saat pertandingan adalah besok pagi di Jembatan Angkasa?”
Melihat sinar mata Bun Beng yang sangat tajam dan suaranya yang penuh wibawa, si kecil itu kelihatan menjadi ragu-ragu dan menjawab, “Benar, memang saatnya besok di Jembatan Angkasa, akan tetapi kalau sama beraninya, sekarang pun, di tempat ini pun kita dapat mengadu ilmu, mengukur kegagahan!” Sambil berkata demikian, orang tua yang seperti anak-anak itu memutar ranting di antara jari-jari tangannya sehingga lenyaplah ranting itu, berubah menjadi segulungan sinar hijau.
“Sobat,” Gak Bun Beng berkata dengan suara halus, akan tetapi sikapnya serius dan pandang matanya berwibawa, “seorang yang gagah perkasa tidak akan memamerkan kegagahannya, seorang yang mengerti tidak menonjolkan pengertiannya. Akan tetapi engkau terlalu mengandalkan kepandaianmu sehingga tidak lagi memandang kepada orang lain. Seorang yang jantan akan selalu memegang janji yang dihargainya lebih dari nyawa, tetapi engkau agaknya lebih suka melanggar janji antara dua partai. Kegagahan seseorang bukan diukur dari keberaniannya berkelahi, sebab sesungguhnya keberanian berkelahi yang nekat dan konyol hanyalah membuktikan bahwa dia dihantui rasa takut dan khawatir. Takut kalah, khawatir dianggap tidak gagah, khawatir tidak akan dipuji, khawatir tidak akan memperoleh nama besar, dan sebagainya lagi. Sobat yang baik, apakah engkau yang menurut percakapan tadi adalah seorang jago undangan dari Hek-san-pai, ingin disebut seorang yang nekat dan hanya berani karena merasa lebih kuat, dan seorang yang suka melanggar janji?”
Wajah si kecil itu sebentar pucat dan sebentar merah. Ranting yang di tangan kanannya menggigil, tangan kirinya yang kecil dikepal-kepal, matanya berapi dan sesungguhnya dia marah sekali. Tetapi karena apa yang diucapkan orang sakit itu tidak dapat dibantah kebenarannya, sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya dia membanting ranting di atas tanah, diinjaknya dan dia meludah di tanah, lalu berkata,
“Orang berpenyakitan! Aku menunggu kedatanganmu di atas Jembatan Angkasa besok. Hendak kulihat apakah kepandaianmu juga selihai mulutmu. Huhhh!” Dia membalikkan tubuhnya dan dengan beberapa kali loncatan saja si kecil itu sudah lenyap dari tempat itu.
Gak Bun Beng menarik napas panjang dan diam-diam merasa menyesal sekali karena kata-katanya yang dimaksudkan untuk menyadarkan orang bertubuh kecil itu, ternyata hanya mampu mengurungkan niat orang kecil itu untuk memaksa tiga orang lawannya berkelahi, akan tetapi bahkan mendatangkan rasa dendam di hati si orang kecil. Dia memandang kepada tiga orang yang masih berlutut di depannya, lalu bertanya, “Harap sam-wi (saudara bertiga) sudi menjelaskan, apakah sebenarnya yang telah terjadi di sini?”
Syanti Dewi merasa lega juga melihat bahwa pamannya berhasil mengusir orang kecil tadi tanpa pertandingan, maka dia pun kemudian duduk di atas tanah dekat pamannya, mendengarkan penuturan orang berkumis tebal yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) dari dua orang lainnya.
Di pegunungan itu tinggal dua orang kakak dan adik seperguruan yang berkepandaian tinggi. Namun karena guru mereka menurunkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan bakat masing-masing, timbullah rasa iri hati di dalam hati masing-masing, mengira bahwa guru mereka lebih sayang kepada saudara seperguruannya. Perasaan iri hati dan bersaing ini terus tumbuh dengan subur dan setelah guru mereka meninggal dunia, kedua orang kakak beradik ini berpisah.
Akhirnya si suheng (kakak seperguruan) tinggal di Hek-san (Gunung Hitam) sedangkan si sute (adik seperguruan) tinggal di Pek-san (Gunung Putih). Hek-san dan Pek-san sebetulnya masih di satu daerah pegunungan, hanya berbeda puncak yang berwarna hitam dan putih. Hek-san berwarna hitam karena batu karang hitam yang keras memenuhi puncak itu, sedangkan Pek-san berwarna putih karena puncaknya banyak mengandung batu kapur. Kedua orang lihai ini akhirnya menerima murid-murid dan berdirilah dua buah perkumpulan yang dinamakan menurut nama puncak masing-masing yaitu Hek-san-pai dan Pek-san-pai.
Persaingan atau permusuhan secara diam-diam itu berlangsung terus dan akhirnya meledak menjadi permusuhan terbuka karena mereka yang kini mempunyai banyak anggota itu membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari dan terutama sekali untuk keperluan sawah ladang mereka. Padahal air yang amat dibutuhkan itu hanya terdapat di bawah Jembatan Angkasa yang merupakan sumber yang tidak pernah kering. Terjadilah bentrokan-bentrokan kecil memperebutkan air, yang kemudian makin lama menjadi makin hebat sehingga kakak dan adik seperguruan itu sendiri turun tangan sendiri bertanding di atas jembatan gantung, disaksikan oleh para murid mereka!
Betapa pun juga, kedua orang ini masih ingat akan sumpah mereka di depan mendiang guru mereka bahwa mereka dilarang keras untuk saling membunuh, maka dalam pertandingan ini mereka berdua menjaga agar jangan sampai lawan yang masih saudara seperguruan sendiri itu tewas! Akhirnya, sang sute kalah dan menderita luka-luka. Karena dia tidak dibunuh, maka dia menaruh dendam dan menantang untuk bertanding lagi setahun kemudian.
Demikianlah, permusuhan yang aneh ini berlangsung terus sampai dua tiga keturunan mereka. Setiap tahun diadakan pertandingan di antara mereka, jago melawan jago untuk menentukan siapa yang unggul. Mereka yang menang dianggap menguasai mata air di bawah Jembatan Angkasa dan menentukan pembagian air untuk keperluan mereka sampai ada keputusan tahun depan dalam pertandingan mendatang!
“Dan hari pertandingan untuk tahun ini jatuh pada hari besok, Locianpwe,” si kumis tebal mengakhiri ceritanya. “Telah bertahun-tahun lamanya, karena ingin sekali mencapai kemenangan, kedua belah pihak tidak puas dengan jago golongan sendiri dan mulailah mendatangkan jago dari luar kalangan sendiri. Pada tahun ini, pihak Hek-san-pai telah mendatangkan jago orang yang bertubuh kecil tadi, yang berjuluk Sin-kiam Lo-thong (Anak Tua Pedang Sakti). Baru menggunakan ranting saja, kami bertiga murid-murid kepala Pek-san-pai tak dapat menandinginya, apa lagi kalau dia menggunakan pedang!”
“Hemm, lalu mengapa kalian yang tidak mengenalku begitu berjumpa telah memberi hormat berlebihan?”
“Biar pun belum pernah bertemu, kami tahu bahwa Locianpwe tentulah Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Tangan Sakti) dari puncak Ci-lan-kok (Lembah Bunga Cilan). Ketua atau guru kami telah mengundang Locianpwe, maka begitu Locianpwe muncul kami telah mengenal Locianpwe yang tahun ini diundang oleh suhu (guru) sebagai jagoan kami.”
Bun Beng tersenyum. Kiranya orang-orang ini telah salah menduganya sebagai seorang tokoh yang bernama Sin-ciang Yok-kwi dan yang dicalonkan sebagai jago pihak Pek-san-pai. Dia tidak ingin mencampuri urusan ini, akan tetapi karena melihat bahwa orang kecil tadi memang lihai dan tentu pihak Pek-san-pai akan kalah, dia ingin melihat perkembangan lebih jauh. Pula, timbul niat di hatinya untuk mengusahakan perdamaian di antara perkumpulan yang masih bersaudara itu.
“Aku bukan Sin-ciang Yok-kwi, akan tetapi aku kebetulan lewat dan biarlah aku akan menonton besok. Kalau Yok-kwi yang kalian tunggu ternyata tidak muncul, aku akan mengusahakan agar tidak ada pertumpahan darah.”
Tiga orang itu girang sekali. Biar pun mulut mereka tidak mengatakan sesuatu namun pandang mata mereka saling bertemu dan saling maklum. Bagi mereka, tidak salah lagi bahwa tentu orang sakti ini adalah Sin-ciang Yok-kwi! Ciri-cirinya sama! Biar pun mereka belum pernah jumpa dengan kakek setan obat itu, namun kabarnya Yok-kwi adalah seorang yang berpenyakitan dan yang sama sekali tidak pernah mau mengakui namanya sendiri, tidak mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi!
Tentu saja mereka tidak pernah dapat melihat Yok-kwi, karena kabarnya kakek yang tinggal sebagai pertapa di puncak Ci-lan-kok itu wataknya aneh luar biasa. Orang-orang sakit yang datang kepadanya, pasti sembuh. Akan tetapi orang waras yang berani datang, tentu akan dihajarnya sampai menjadi sakit! Karena itu tidak ada orang waras yang suka atau berani naik ke puncak Ci-lan-kok.
Bun Beng tak membantah ketika bersama Syanti Dewi dia diajak pergi ke puncak Pek-san-pai di mana dia disambut dengan segala kehormatan oleh ketua Pek-san-pai sendiri, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan gagah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketua Pek-san-pai mengajak rombongannya, juga Bun Beng dan Syanti Dewi, pergi ke Jembatan Angkasa. Empat orang anggota Pek-san-pai memanggul alat penyeret bambu di mana Bun Beng rebah diikuti oleh Syanti Dewi.
Jembatan Angkasa itu adalah bangunan batu karang hitam kuat yang menyambung satu tepi jurang dengan tepi yang lain, bentuknya seperti jembatan gantung! Jembatan buatan alam ini memang ajaib dan patut dinamakan Jembatan Angkasa karena orang yang melalui jembatan ini berada di tempat tinggi seperti terbang saja melalui tangga awan. Dan tepat di kolong jembatan batu ini terdapatlah sumber atau mata air yang dijadikan perebutan dan bahan pertentangan. Kini semua pihak telah berkumpul, pihak Hek-san-pai di ujung kiri Jembatan Angkasa dan pihak Pek-san-pai di ujung kanan. Seperti biasa pada setiap pertemuan pertandingan itu, sebelum masing-masing jago kedua belah pihak maju bertanding, terlebih dahulu dua orang ketua masing-masing perkumpulan maju dan bertemu di atas jembatan.
Ketua Pek-san-pai sudah mendaki jembatan dan disambut oleh ketua pihak Hek-san-pai yang masih terhitung suheng-nya sendiri. Keduanya bertemu, mengangkat tangan memberi hormat dan ketua Pek-san-pai berkata, “Apakah tahun ini Suheng sebagai ketua Hek-san-pai tetap tidak mau mengalah dan hendak menguasai mata air?”
Ketua Hek-san-pai yang mukanya seperti seekor orang hutan dan hidungnya pesek, tersenyum mengejek. “Tentu saja, Sute. Memang selamanya kami dari Hek-san-pai yang seharusnya menguasai mata air itu.”
“Hemm, kalau begitu, Suheng menantang untuk diadakan pertandingan?”
“Tentu saja! Kami sudah mempunyai jago kami, yaitu Sin-kiam Lo-thong!”
“Dan kami juga sudah mengundang jago kami, Sin-ciang Yok-kwi!”
Sin-kiam Lo-thong yang berdiri di ujung kiri jembatan sudah tertawa-tawa dan meraba-raba gagang pedangnya. Sementara itu, Syanti Dewi mendengarkan penjelasan seorang anggota Pek-san-pai tentang sebab permusuhan itu, tentang sumber mata air dan tentang aturan jalannya pertandingan yang ada pantangannya, yaitu tidak boleh membunuh lawan dan siapa yang roboh dianggap kalah dan kekalahan ini harus diterima oleh pihak partai yang menjagoi yang kalah itu.
“Pamanku itu bukanlah Sin-ciang Yok-kwi,” kata Syanti Dewi karena dia khawatir sekali melihat Bun Beng yang sedang sakit itu hendak disuruh bertanding.
Pemuda Pek-san-pai itu hanya tersenyum. “Tentu saja bukan...” katanya karena dia pun sudah mendengar bahwa Sin-ciang Yok-kwi tidak pernah mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi. “Akan tetapi tanpa bantuan locianpwe itu, pihak kami tentu akan kalah lagi. Sudah lima tahun berturut-turut pihak kami kalah selalu karena Hek-san-pai pandai mencari jago-jago yang lihai. Bahkan tahun ini, jagonya yang berdiri di sana itu amat lihai.” Pemuda itu menuding ke arah Sin-kiam Lo-thong yang tampak dari situ seperti seorang anak kecil yang berdiri di atas batu.
Oleh karena merasa tidak ada gunanya bersikeras menyangkal, akhirnya Syanti Dewi bertanya, “Di manakah tempat bertapa Sin-ciang Yok-kwi?”
Pemuda itu memandang kepadanya sambil tersenyum, seolah-olah dia menganggap dara ini main-main, akan tetapi dia tidak berani untuk tidak menjawab, maka dia lalu menunjuk ke arah sebuah puncak lain yang tidak berapa jauh dari Jembatan Angkasa itu. “Di puncak sana itulah tempat pertapaan tabib dewa itu.”
“Benarkah bahwa dia pandai mengobati segala macam penyakit?”
Pemuda itu mengangguk. “Sepanjang pendengaranku, belum pernah ada orang sakit yang tidak dapat disembuhkannya.”
Percakapan itu terpaksa dihentikan karena Syanti Dewi melihat betapa Gak Bun Beng, dengan langkah-langkah lemah dan terhuyung-huyung, sudah naik ke atas Jembatan Angkasa.
“Paman...!” Serunya lirih dan dia meninggalkan pemuda Pek-san-pai itu lari ke jembatan batu.
Gak Bun Beng berhenti, menengok dan memberi isyarat kepada Syanti Dewi agar tidak ikut naik. Dara itu tidak berani membantah, berdiri di kaki jembatan sambil memandang ke atas, mukanya pucat sekali dan pandang matanya penuh kekhawatiran.
Gak Bun Beng menghampiri dua orang ketua yang saling berdebat di atas Jembatan Angkasa itu. Melihat orang yang menderita sakit ini telah maju, Sin-kiam Lo-thong juga berlari-lari mendatangi dari ujung jembatan yang lain.
“Ha-ha-ha-ha, engkau yang disebut Sin-ciang Yok-kwi? Majulah kalau memang engkau dijadikan jago oleh Pek-san-pai, melawan aku Sin-kiam Lo-thong jago dari Hek-san-pai!” Kakek bertubuh kanak-kanak itu menantang.
Bun Beng sudah tiba di atas jembatan, berdiri tegak dan mengatur pernapasannya, kemudian berkata dengan suara halus namun kata-katanya mengejutkan semua orang, terutama ketua Pek-san-pai, “Cu-wi sekalian, memang aku datang dan melihat urusan ini timbul keinginan hatiku untuk mencampurinya. Akan tetapi, aku sama sekali tidak mewakili Pek-san-pai, tidak mewakili atau membantu kedua pihak, karena aku adalah pihak ketiga yang membutuhkan tempat dan sumber air ini!”
“Apa katamu...?” ketua Hek-san-pai membentak dengan mata melotot.
“Locianpwe... apa... apa artinya ini...?” Ketua Pek-san-pai juga bertanya heran.
“Keparat! Manusia berpenyakitan hampir mampus ini ternyata pengacau! Baik kubasmi dia!” Sin-kiam Lo-thong berteriak marah dan untuk memperlihatkan kelihaiannya dan mencari jasa, dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang Gak Bun Beng dengan tusukan kilat!
“Hmm...” Pendekar ini menggeram. Biar pun tubuhnya terasa lemah dan sebelah dalam dadanya nyeri, namun sekali dia mengerahkan sinkang, dia dapat mengelak cepat dan tangan kirinya menampar ke arah sinar pedang yang berkelebat.
“Krekkkk! Aughhhh...!”
Pedang itu kena dihantam tangan miring Gak Bun Beng dan patah menjadi dua potong, bahkan sebuah tusukan jari tangan kanan yang cepat mengenai jalan darah di pundak Sin-kiam Lo-thong, membuat kakek bertubuh kecil itu terjengkang dan roboh tak dapat bangun kembali karena sudah tertotok lumpuh!
“Bawa dia pergi...!” Bun Beng berseru ke arah anak buah Hek-san-pai yang cepat lari mendatangi, dan dua orang itu lalu menggotong pergi Sin-kiam Lo-thong yang masih lumpuh kaki tangannya.
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi Gak Bun Beng dengan alis berkerut. “Sebetulnya, apa kehendakmu?” ketua Hek-san-pai yang melihat jagonya roboh itu bertanya.
“Locianpwe, bukankah Locianpwe mewakili kami sehingga kini pihak Pek-san-pai yang menang?” tanya ketua Pek-san-pai penuh harap.
Gak Bun Beng memandang mereka dengan mulut tersenyum mengejek. “Aku tidak mewakili siapa-siapa. Sejak tadi sudah kukatakan bahwa aku mewakili diriku sendiri untuk memperebutkan tempat ini berikut sumber airnya.”
“Ahhh! Tetapi tempat ini adalah warisan dari nenek moyang kami kedua perkumpulan! Kami kakak beradik seperguruan saja yang berhak atas tempat ini!” bantah ketua Pek-san-pai yang merasa kecewa sekali.
Bun Beng memperlebar senyumnya. “Kakak beradik seperguruan macam apa kalian ini? Kalau kalian sudah memperebutkan tempat ini dan setiap tahun bertanding, biarlah aku juga memperebutkannya. Akan tetapi alangkah curangnya kalau untuk kepentingan sendiri harus mengundang jagoan-jagoan bayaran. Hayo, kalian kakak beradik yang membutuhkan tempat ini majulah bersama melawan aku. Kalau kalian kalah, tempat ini menjadi milikku dan untuk keperluan air, kalian boleh membeli atau menyewa dariku. Kalau aku yang kalah, nah, tempat ini menjadi milik kalian berdua, keperluan air kedua pihak tentu dapat dicukupi tanpa adanya permusuhan dan perebutan.”
Kedua orang saudara seperguruan yang sudah beberapa keturunan menjadi musuh karena air itu kini saling pandang. Mereka menjadi ragu-ragu dan penasaran. Urusan jembatan dan air adalah urusan dalam antara mereka sendiri, dan kini muncul orang luar yang hendak merampas tempat itu dan memaksakan diri untuk masuk ke dalam perebutan turun-temurun itu!
“Apakah kalian ini telah menjadi orang-orang yang demikian pengecut, beraninya hanya ribut antara saudara sendiri dan takut untuk menentang orang luar?” Bun Beng berkata lagi, nadanya amat menghina sehingga wajah kedua orang ketua itu menjadi merah.
“Siapa takut? Kami hanya menghormatimu karena nama besarmu sebagai Sin-ciang Yok-kwi...,” kata ketua Peksan-pai.
“Aku bukan Yok-kwi (Setan Obat) atau setan apa pun. Aku adalah Gak Bun Beng seorang perantau yang ingin memiliki jembatan dan sumber air ini. Kalau kalian takut, sudah saja kalian bayar sewa tahunan kepadaku untuk menggunakan air di sini. Kalau berani, majulah!”
“Keparat, tempat ini akan kami pertahankan dengan nyawa!” bentak ketua Hek-san-pai.
“Bagus, kalau begitu majulah kamu berdua. Tetapi, kalian harus ingat akan pertaruhan dan janjinya. Kalau aku menang, kalian menjadi penyewa tempat ini dan membayar kepadaku. Kalau aku yang kalah, kalian harus berdamai dan tidak lagi memperebutkan tempat ini, memakainya sebagai milik bersama.”
Dua orang ketua itu telah menjadi marah sekali. Dari kanan kiri mereka maju menyerang Bun Beng. Pendekar ini diam-diam merasa gembira karena siasatnya berhasil baik. Maka dia juga bergerak dan menangkis tanpa mengerahkan tenaganya karena tadi begitu dia mengerahkan sinkang ketika menghadapi Sin-kiam Lo-thong, dadanya terasa makin nyeri. Biar pun kini dia tidak mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi karena dia harus mengelak ke sana ke mari dan menangkisi pukulan-pukulan kedua orang ketua yang juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi itu, lama kelamaan Bun Beng merasa betapa kepalanya pening.
Akhirnya, pukulan ketua Hek-san-pai mengenai dadanya sedangkan pukulan ketua Pek-san-pai mengenai punggungnya. Bagi tubuh Bun Beng yang sudah memiliki daya tahan dan kekebalan luar biasa, pukulan-pukulan itu tidak berbahaya, namun cukup kuat untuk membuat kepalanya yang sudah pening menjadi makin pening, pandang matanya gelap dan robohlah dia dalam keadaan pingsan!
“Kalian manusia-manusia berhati kejam...!” Tiba-tiba Syanti Dewi berlari naik ke atas jembatan menudingkan telunjuknya ke arah muka kedua orang ketua itu dengan marah. “Butakah mata kalian?”
Kedua orang ketua itu terheran-heran. Tadinya mereka siap menghadapi dara ini karena mereka menyangka bahwa dara itu akan menuntut balas atas kekalahan Gak Bun Beng. Kini mereka saling pandang dan bingung.
“Sudah jelas bahwa paman Gak sengaja hendak memaksa kalian agar berdamai dan menghentikan permusuhan ini, permusuhan bersifat kanak-kanak yang memalukan! Paman Gak sengaja mengalah dan mengorbankan dirinya agar kalian menang dan bisa berdamai. Kalau tidak, apakah kiranya kalian berdua akan dapat menang menghadapi dia? Tidak kalian lihat tadi betapa dalam segebrakan saja dia mampu mengalahkan Sin-kiam Lo-thong? Buta! Kalian buta dan tidak mengenal budi!” Setelah berkata demikian, Syanti Dewi lalu berlutut dekat Gak Bun Beng.
Dua orang ketua itu terbelalak seperti disambar petir rasanya. Baru sekarang mereka mengerti. Mereka pun otomatis berlutut dekat tubuh Bun Beng yang masih pingsan.
“Maafkan kami, Nona. Biarlah kami menolong dan merawat locianpwe ini...,” kata ketua Pek-san-pai.
“Kami memang bodoh dan locianpwe ini telah memberi pelajaran hebat kepada kami dengan mengorbankan diri. Maafkan kami, Nona. Kami akan berusaha merawat dan mengobatinya.”
Syanti Dewi bangkit berdiri. “Apakah di antara kalian terdapat ahli pengobatan yang pandai?”
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian menggeleng kepala.
“Kalau begitu, tolong bawa paman Gak ke rumah, aku akan pergi menemui Sin-ciang Yok-kwi di Ci-lan-kok.”
Kembali kedua orang ketua itu tertegun. “Jadi... benarkah locianpwe ini bukan Sin-ciang Yok-kwi?”
“Kalian memang bodoh dan buta karena permusuhan picik ini. Dia adalah paman Gak Bun Beng yang sedang sakit dan kebetulan lewat di tempat ini. Aku mau pergi mencari Yok-kwi!”
Syanti Dewi sudah hendak lari ketika dua orang ketua itu berseru.
“Tahan dulu, Nona!”
“Ada apa lagi?”
“Sebaiknya kalau Gak-locianpwe ini dibawa saja ke puncak Ci-lan-kok menghadap dan mohon bantuan Sin-ciang Yok-kwi. Kalau Nona pergi ke sana mengundangnya, tentu beliau tidak mau, bahkan amat berbahaya bagi keselamatanmu.”
“Tidak! Paman Gak sedang menderita dan sakit berat, mana mungkin dibawa naik puncak? Aku akan mencarinya, menemuinya dan memintanya turun puncak mengobati paman Gak. Kalian rawat paman Gak baik-baik!” Tanpa menanti jawaban lagi Syanti Dewi lari meninggalkan jembatan itu, dia tidak mempedulikan peringatan dan cegahan kedua orang ketua itu.
Setelah mengadakan permufakatan, akhirnya Gak Bun Beng yang pingsan itu digotong ke tempat tinggal ketua Pek-san-pai dan selanjutnya kedua orang ketua yang masih terhitung kakak beradik seperguruan itu bersama-sama merawat Bun Beng dan nampak rukun sekali. Melihat ini, otomatis para anak murid atau anak buah mereka menjadi girang dan tanpa diperintah mereka itu pun menjadi rukun, berkelompok dan bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat lama baru saling berjumpa lagi.
Di puncak lembah Ci-lan-kok terdapat sebuah kuil tua yang sudah rusak. Kuil ini ratusan tahun yang lalu dihuni oleh para tosu yang bertapa di tempat itu, dan sekarang telah kosong tidak dipergunakan lagi. Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, kuil yang dikabarkan orang berhantu itu mendapatkan seorang penghuni baru yang amat aneh.
Seorang kakek bertongkat yang menderita sakit, tidak perah kelihatan sehat, akan tetapi hebatnya, kakek berpenyakitan ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam ilmu pengobatan. Mula-mula yang diobatinya adalah anak-anak penggembala kerbau yang sampai di lereng Ci-lan-kok, kemudian beberapa orang penebang kayu dan pemburu yang terluka. Lama kelamaan banyak orang sakit yang datang kepadanya. Memang hebat kepandaian kakek ini. Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya dan cara mengobatinya juga amat aneh.
Memang sebagian besar dari mereka yang datang minta obat kepadanya, diberi obat ramuan daun, bunga, buah dan akar-akaran. Akan tetapi ada kalanya dia menyuruh orang makan tanah, ada yang diludahi, ada yang ditampar pundak atau dadanya, ada yang ditotok, ada pula yang dipukul kepalanya dengan tongkat sampai benjol. Tetapi apa pun yang diberikan oleh tangannya atau dilakukan dengan tangannya, orang yang sakit menjadi sembuh kembali! Inilah sebabnya, biar pun dia tidak pernah menyebutkan namanya, dia segera memperoleh julukan Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti). Sikap dan wataknya memang aneh seperti setan, tapi tangannya dianggap sakti.
Dia disebut setan karena memang aneh wataknya. Orang yang menderita sakit, kalau menghadap kepadanya, tentu diobatinya biar pun secara luar biasa dan kadang-kadang menyakitkan hati. Akan tetapi orang waras yang berani menghadapinya sekedar ingin melihat dan mengenalnya, tentu akan diamuknya, menjadi korban pukulan tongkatnya sehingga orang yang waras itu akan lari lintang-pukang dengan kepala benjol-benjol dan tubuh sakit-sakit! Dan ternyata bahwa ilmu silat kakek itu juga hebat, karena banyak di antara mereka yang dihajar itu sendiri orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun yang sama sekali tidak berdaya menghadapi hajaran tongkat kakek berpenyakitan itu!
Pada hari itu, seperti biasa, Sin-ciang Yok-kwi duduk bersandar pada dinding di luar kuil, di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di depan kuil. Kakek ini duduk bersandar dengan mata masih mengantuk, memegang tongkatnya yang gagangnya bengkok dan yang dipakai menopang dagunya. Kelihatannya dia masih mengantuk dan lemas sekali, bahkan kadang-kadang terdengar dia mengeluh dan merintih seperti orang yang menderita penyakit berat. Kedua kakinya tidak bersepatu dan pakaiannya yang cukup bersih itu amat sederhana. Melihat wajahnya yang sudah penuh keriput, agaknya kakek ini tentu sudah ada enam puluh tahun usianya.
Matahari telah naik tinggi ketika dari lereng puncak Ci-lan-kok muncul belasan orang. Melihat keadaan mereka, jelas tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang menderita sakit. Ada yang terhuyung-huyung, ada yang dipapah, ada yang digotong dan ada yang mengerang dan terengah-engah. Ketika mereka melihat kakek yang mereka harapkan akan dapat menyembuhkan penderitaan mereka itu berada di luar kuil, mereka berhenti.
Biar pun mereka itu mengandung harapan untuk disembuhkan, namun nama kakek yang tersohor aneh dan galak ini membuat mereka takut dan seolah-olah ingin orang lain menghadap lebih dulu. Seperti serombongan orang yang menderita sakit gigi antri di depan kamar periksa dokter gigi! Ingin diobati namun ngeri membayangkan cara pengobatan yang menyiksa.
Seorang di antara mereka, yang masih berusia muda, mengangkat dadanya lalu dengan langkah lebar menghampiri kakek itu, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-ciang Yok-kwi yang masih memejamkan mata bersandar dinding butut.
“Locianpwe, saya mohon pertolongan Locianpwe untuk menyembuhkan penderitaan saya, sesak di dada dan lambung kiri...” Orang muda itu berkata sambil berlutut.
Perlahan-lahan mata itu terbuka, memandang tak acuh kepada pemuda yang berlutut di depannya. “Huh, kau habis berkelahi?” tiba-tiba bibir kakek itu bergerak dan pertanyaan penuh celaan ini membuat pemuda itu menundukkan mukanya.
“Benar, Locianpwe, akan tetapi saya tidak bersalah, saya...”
“Sudah berkelahi berarti bersalah! Kalau sudah berani berkelahi, terluka, tanggung saja sendiri!”
“Harap Locianpwe mengasihi saya... dada ini terasa sakit bukan main kalau bernapas...”
“Sudahlah! Engkau memang kurang mendapat pukulan!” Tiba-tiba tangan kiri kakek itu meraih ke depan, ujung kuncir rambut pemuda itu yang menggantung di depan telah dipegangnya dan ditariknya hingga kepala pemuda itu tertarik, tubuhnya membungkuk, lalu tongkat itu bergerak memukul punggung si pemuda.
“Dukkkk...! Uakkhh...!” Pemuda itu muntahkan darah dan roboh menelungkup di depan kaki Yok-kwi. Matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah. Dia marah sekali dan cepat dia bangkit duduk lalu meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
“Locianpwe...! Aihhh... dadaku... sudah tidak terasa sakit lagi...!”
Pemuda itu berloncat-loncatan dengan girangnya biar pun bibirnya masih berlepotan darah.
“Pergilah!” Kakek itu mengangkat tongkatnya hendak memukul dan pemuda itu lari dari tempat itu sambil tertawa-tawa girang.
Mereka yang menyaksikan cara pengobatan itu menjadi makin ngeri sehingga diam-diam mereka yang merasa bahwa penyakitnya tidak berat, segera meninggalkan tempat itu, menuruni puncak tidak berani berobat!
Kini yang berlutut di depan kakek itu adalah sepasang suami isteri. Usia mereka tiga puluh tahun lebih, si suami bertubuh gendut dan tiada hentinya mengusap keringat yang membasahi dahi dan lehernya, sedangkan isterinya yang cantik dan bertubuh montok cemberut karena suami itu kelihatannya jeri dan agaknya dipaksa menghadap Yok-kwi.
Dengan tarikan-tarikan tangannya, isteri itu terus mendesak agar si suami cepat bicara kepada Yok-kwi. Tapi suami itu kelihatan ketakutan dan sukar mengeluarkan kata-kata, keringatnya makin banyak. Maka terjadilah tarik-menarik tangan antara mereka di depan kakek yang sudah melenggut lagi itu. Akhirnya, setelah isteri itu mencubit lengan sang suami sekerasnya, si gendut itu berteriak kesakitan dan Yok-kwi membuka matanya memandang.
“Ada apa kalian ini?” tegurnya.
Laki-laki gemuk itu terkejut dan makin ketakutan, memberi hormat dengan memukul-mukulkan dahi ke atas tanah sambil berkata, “Mohon maaf, Locianpwe... saya... ehhh, kami... mohon obat kepada Locianpwe... agar kami berdua... dapat dikurniai anak...”
Sejenak kakek itu memandang kepada mereka bergantian, lalu bertanya kepada wanita itu, “Benarkah engkau ingin mempunyai anak?”
Dengan muka berubah merah sekali dan tanpa berani mengangkat mukanya, wanita itu menjawab lirih, “Benar... Locianpwe...”
Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas tanah di dekat si suami, membuat si gendut ini terkejut dan ketakutan. “Kalau ingin mempunyai anak kau harus tidur dengan laki-laki lain!”
Jawaban ini tentu saja mengejutkan suami isteri itu, dan menggelikan hati semua orang, namun tidak ada yang berani tertawa. Suami yang gendut itu membentur-benturkan dahinya di atas tanah, lalu berkata gagap, “Akan tetapi... Locianpwe, ini... ini adalah...”
“Pergi! Lekas! Atau kuketuk kepala kalian dengan tongkat ini!” bentak kakek itu marah-marah.
Si isteri lalu memegang tangan suaminya dan menariknya pergi dari situ. “Hayo cepat pergi...” bisiknya.
Suami gendut itu menurut, dan pergilah mereka, suara mereka masih terdengar karena mereka agaknya mulai cek-cok. “Kini kau tergesa-gesa hendak mencari pria lain, ya?” terdengar si suami mengomel.
“Cih! Kau yang tak becus!” isterinya membantah.
“Awas kau kalau tidur dengan laki-laki lain...!”
“Sshhhh, manusia tak tahu malu! Didengar orang, tahu tidak?”
Orang-orang yang berada di situ tersenyum geli juga mendengar percekcokan suami isteri itu dan diam-diam merasa heran akan sikap kakek yang sudah melenggut pula itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa dua kali pengobatan itu sudah membuktikan kelihaian Yok-kwi. Pemuda tadi telah disembuhkannya dengan cara pukulan sinkang yang sekaligus mengusir bahaya dari dalam tubuh si pemuda dan memunahkan akibat dari pukulan yang membuat pemuda itu mengalami cidera di dalam tubuhnya.
Ada pun kata-katanya kepada suami isteri itu memang atas dasar kenyataan bahwa menurut penglihatannya yang tidak ngawur, melainkan menurut perhitungan dan pengalaman, suami yang gendut itu memang tidak dapat memberikan benih keturunan kepada isterinya.
Jawaban itu mungkin terdengar tidak sopan dan bahkan agak kurang ajar, dan memang demikianlah watak aneh dari Yok-kwi, namun sebenarnya memang tepat, karena wanita yang bertubuh sehat dan montok itu pasti dapat memperoleh keturunan kalau tidur dengan pria lain yang normal, tidak seperti suaminya!
Setelah beberapa orang yang sakit diobati oleh Yok-kwi dengan cara-caranya yang istimewa, akhirnya tampak sepasang suami isteri berlutut menghadap kakek itu. Si suami yang bertubuh tinggi besar dan biar pun usianya sudah lima puluh tahun namun mukanya terpelihara bersih, pakaiannya pun rapi, berwajah pucat dan datang ke tempat itu dipapah oleh isterinya yang baru berusia tiga puluhan tahun, cantik dan bersikap genit penuh daya pikat.
“Locianpwe, mohon sudi mengobati suami saya yang menderita sakit sudah berbulan-bulan,” berkata si isteri sambil berlutut.
Kakek itu memandang laki-laki pucat itu sampai beberapa lama, kemudian mengerling ke arah si isteri lalu membentak, “Apa kau ingin membunuh suamimu?”
Isteri itu terkejut bukan main, demikian pula suaminya. “Apa... apa maksud Locianpwe?” isteri itu bertanya dengan gagap, sedangkan si suami memandang isterinya dengan alis berkerut.
“Kalau kau tidak ingin membunuh suamimu, tinggalkan dia kalau malam. Harus pindah kamar sampai tiga bulan lamanya!” Tiba-tiba tangan kanan kakek itu menyambar sebutir batu, melemparkan batu kecil ke atas pohon dan jatuhlah seekor burung, mati karena kepalanya disambar batu. “Masak ini dengan arak, tim yang empuk lalu makan habis. Setiap hari harus makan burung seperti ini dengan arak, sampai sebulan. Nah, kalian pergilah!”
Suami isteri itu tidak banyak cakap lagi, menerima bangkai burung dan menghaturkan terima kasih, cepat pergi dari tempat itu dengan muka merah. Di antara sisa mereka yang hendak berobat, ada yang tersenyum geli. Mereka pun berpikir, itulah resikonya seorang laki-laki tua mempunyai isteri muda sekali.
Ceng Ceng merasa girang sekali. Dia merasa kurang leluasa dalam penyamarannya itu. Dibuangnya ‘kumis’ yang menarik perhatian para wanita di sepanjang perjalanan itu, dan diubahnya pakaiannya sehingga kini dia berubah menjadi seorang dara remaja yang cantik dan gagah, dengan kepala dilindungi sebuah caping lebar.
“Karena perjalanan ke utara, ke benteng di mana Jenderal Kao Liang berada merupakan perjalanan yang cukup sukar dan melelahkan, melalui daerah tandus, maka sebaiknya klta mengganti kuda di dusun ini.”
“Apakah di sini engkau juga mempunyai kawan-kawan, Souw-lopek?”
“Tidak, akan tetapi dusun ini terkenal sebagai tempat pusat perdagangan kuda. Banyak kuda Mongol yang baik dijual di dusun ini, dan kita hanya menukarkan kuda kita yang sudah lelah dengan menambah sedikit uang.”
Benar saja, setelah mereka memasuki dusun itu, di tengah-tengah dusun terdapat sebuah pasar kuda yang amat besar dan luas dan terdapat ratusan ekor kuda diperjual belikan di tempat ini.
“Kau bawa kuda kita ke bagian sana, bagian penjualan, dan aku akan memilih kuda-kuda baru di sebelah sini. Kalau aku yang menjual, karena aku laki-laki, harganya akan kurang tinggi.”
“Eh, mengapa begitu, Lopek (paman tua)?” tanya Ceng Ceng terheran.
Souw Kee It tersenyum. “Karena, biasanya para pencuri kuda adalah kaum pria. Jarang ada wanita, biar wanita kang-ouw sekali pun, mau mencuri kuda.”
“Wah, jadi kalau yang menjual disangka pencuri kuda, kudanya lalu ditawar murah-murahan? Mengapa ada orang yang mau membeli kuda curian?”
“Hemm, kau masih belum tahu akan ketamakan manusia di dunia ini, Nona. Curian atau bukan, asal mendatangkan keuntungan besar, tentu diterima dengan tangan terbuka. Sudahlah, kau yang menjual ke sana, berikan kalau ditawar kurang leblh dua ratus tail untuk dua ekor ini, kemudian kau bawa uangnya ke sini untuk membeli dua ekor kuda baru. Aku yang memilih, karena kalau tidak pandai memilih, bisa ditipu mentah-mentah oleh para pedagang kuda yang amat licik dan cerdik itu. Kuda sakit dibilang sehat, kuda tua dibilang muda.”
Ceng Ceng mengangguk, lalu menuntun dua ekor kuda itu menuju ke seberang di mana terdapat banyak tengkulak kuda sedang memeriksa kuda yang akan dijual. Begitu tiba di tempat itu, beberapa orang pedagang kuda sudah berlarian datang menyambut Ceng Ceng.
“Nona, kudamu sudah amat lelah, memang sepatutnya dijual segera!” kata seorang di antara mereka.
“Agaknya sudah melakukan perjalanan yang amat jauh, lihat tapal kakinya menipis dan urat pahanya menggembung!” kata orang kedua.
“Kalau tidak cepat dipelihara baik-baik bisa terkena penyakit,” kata orang ketiga.
Ceng Ceng membiarkan para tengkulak kuda itu ribut-ribut menurunkan nilai dua ekor kudanya. Kalau saja dia belum mendengarkan penjelasan Souw Kee It tentang siasat para pedagang kuda, tentu dia akan marah atau setidaknya akan merasa bimbang dan kecewa. Akan tetapi, sekarang dia hanya tersenyum, lalu berkata dengan lantang, “Kalian boleh menjelek-jelekkan dua ekor kudaku ini sesuka hati dan seenak perutmu, akan tetapi kalau tidak dua ratus tail, dua ekor kuda ini tidak akan kujual!”
“Ha-ha-ha, pintar sekali!” Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan memuji, perlahan saja namun cukup terdengar oleh Ceng Ceng, karena orang yang memuji itu berada dekat di tempat itu. Dia melirik dan melihat dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan, berdiri memandangnya penuh kagum. Kekaguman yang tidak disembunyikan. Terutama sekali pemuda kedua yang agaknya sedikit lebih muda, yang wajahnya berseri gembira.
Melihat Ceng Ceng melirik ke arahnya, pemuda ini lalu menggerakkan kepalanya sedikit sehingga kuncir rambutnya yang tebal itu bergerak melilit lehernya sendiri. Pemuda yang tercekik dan terlilit lehernya oleh rambutnya sendiri membuat gerakan seperti orang mendelik dan lidahnya terjulur, sambil berkata dengan nada mengejek kepada para pedagang kuda itu. “Hekkk... hekkk... mau mencekik malah tercekik... mampus..., kena batunya sekarang...”
“Bu-te, jangan kurang ajar...!” Pemuda pertama yang agak lebih tua dan yang sikapnya pendiam menegur dengan suara lirih.
Senang hati Ceng Ceng. Dia tidak menganggap pemuda itu kurang ajar karena dia tahu bahwa pemuda itu mengejek para pedagang kuda. Timbullah rasa persahabatan dalam hatinya dan dia menoleh kepada mereka, lalu tersenyum kecil, kemudian menghadapi para pedagang kuda.
“Bagaimana, apakah kalian mau membeli kudaku yang kelelahan, buruk, berpenyakitan ini? Dua ekor untuk dua ratus tail, tidak kurang sedikit pun juga!”
Para pedagang itu saling pandang, menggaruk-garuk kepala. Memang perkiraan Souw Kee It tadi sudah tepat. Dua ratus tail untuk dua ekor kuda pilihan itu tidaklah mahal, akan tetapi juga tidak terlalu murah. Memang harga ‘pasaran’. Melihat sikap nona muda itu demikian tegas, dan jelas tidak mungkin untuk dikelabui dengan aksi-aksi palsu, mereka tidak banyak bicara lagi lalu menghitung dua ratus tail perak, diserahkan kepada Ceng Ceng yang membungkusnya dengan kain lebar yang sudah disiapkan oleh Kee It sebelumnya. Kemudian dia meninggalkan tempat setelah melirik lagi kepada dua orang pemuda tadi.
“Lee-ko dia hebat sekali! Mari kita berkenalan...”
“Hushh, jangan kurang ajar di tempat umum begini. Kau bisa dimaki orang, Bu-te...”
“Tapi, dia tentu seorang gadis kang-ouw, dan tentu suka berkenalan. Apa sih jahatnya orang berkenalan?”
Dua orang muda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Seperti kita ketahui, kakak beradik ini setelah menyelamatkan rombongan hartawan yang diganggu oleh para tosu Pek-lian-kauw, melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan pada hari itu berhenti di dusun untuk membeli kuda.
Melihat adiknya nekat hendak mengikuti dara cantik jelita yang menjual kuda tadi, terpaksa Kian Lee mendampingi karena dia tidak ingin melihat adiknya membuat ribut di tempat ramai itu. Tiba-tiba Kian Lee memegang tangan adiknya, lalu dengan gerakan mukanya dia menunjuk ke depan.
Kian Bu juga sudah melihat seorang laki-laki kurus yang berada di belakang gadis itu. Jelas tampak oleh keduanya bahwa laki-laki itu tentulah seorang pencopet yang sedang mengincar buntalan uang yang berada di tangan kiri gadis itu.
Tiba-tiba, di tempat yang agak sepi, di tempat perbatasan antara bagian penjualan dan bagian pembelian kuda-kuda di pasar itu, laki-laki kurus tadi bergerak cepat sekali, tangannya meraba buntalan. Tampak pisau berkilau dan agaknya pencopet itu bukan ingin merebut semua buntalan melainkan hendak merobek buntalan dan mengambil uang dari dalamnya.
“Plakk...! Krekk...! Aduhhh...!” laki-laki itu memegangi lengannya yang patah tulangnya, sedangkan pisaunya terlempar entah ke mana.
Kiranya begitu ada gerakan orang, Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan kanannya sambil memutar tubuh, dan sekali dia menampar, pergelangan tangan laki-laki kurus yang memegang pisau itu menjadi patah tulangnya.
“Ampunkan saya... anak-anak saya kelaparan...” Orang itu berkata dengan muka pucat dan tubuh gemetar ketakutan karena kalau sampai semua orang turun tangan, dia akan menjadi mayat di tempat itu.
Ceng Ceng mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke depan orang itu. “Ambillah dan pergilah!”
Pencopet itu mengambil uang perak dengan tangan kiri, lalu mengangguk dan cepat menyelinap pergi. Melihat ini, Kian Lee dan Kiam Bu terbelalak kagum.
“Wah, kiranya seorang yang lihai!” Kian Bu hampir bersorak karena baru sekali ini dia melihat seorang dara cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu.
“Dia tentu seorang pendekar wanita dunia kang-ouw seperti yang sering diceritakan oleh Ibu, maka lebih baik kita jangan mengganggunya,” kata Kian Lee yang merasa kagum sekali.
Kian Bu bersungut-sungut kecewa. Apa lagi ketika melihat ada seorang laki-laki gagah setengah tua yang menghampiri gadis itu, kemudian mereka membeli dua ekor kuda, Kian Bu tidak berani melanjutkan niatnya menghampiri.
“Hemm, aku masih merasa penasaran, Lee-ko. Apa sih salahnya kalau aku hanya ingin berkenalan?”
“Adikku, harus kuakui bahwa engkau tidak bersalah. Akan tetapi, sejak kecil kita hidup di tempat terasing dari pergaulan umum, maka tentu saja kita berdua merasa bebas. Ketahuilah bahwa kehidupan umum di daerah daratan ini tidaklah bebas sama sekali, kehidupan manusia sudah dibelenggu dan diikat oleh segala macam peraturan, di antara peraturan-peraturan itu ialah bahwa menegur seorang wanita yang bukan keluarga dan bukan kenalannya merupakan perbuatan yang kurang ajar!”
“Aneh dan tidak adil! Kalau tidak lebih dulu menegur, mana bisa kenal? Pula apa sih jeleknya kalau hanya menegur untuk berkenalan saja? Nona itu tadi pun bercakap cakap dengan para pembeli kuda, padahal mereka pun belum saling mengenal.”
“Itu lain lagi namanya, kan ada keperluannya, jual beli kuda?”
“Wah, serba salah! Peraturan yang licik sekali. Baik buruknya kan tergantung dari niat yang terkandung di dalam perbuatan, bukan si perbuatan itu sendiri. Seorang pria menegur seorang wanita untuk berkenalan, masa tidak boleh? Peraturan macam apa itu?”
“Itu namanya peraturan kesusilaan, Adikku. Dan masih banyak lagi aturan-aturan antara pria dan wanita, apa lagi kalau kita sudah tiba di kota raja, sama sekali tidak boleh dilanggarnya.”
“Hemm, daratan begini luas akan tetapi seperti penjara saja!”
“Memang, kita manusia hidup seperti dalam penjara, dikurung dan dibelenggu oleh segala macam peraturan dan hukum. Akan tetapi, semua itu sudah menjadi kebiasaan umum, kalau dilanggar, kau akan dianggap liar dan kurang ajar, tidak tahu kesopanan dan lain sebagainya sehingga engkau akan dianggap jahat dan dimusuhi.”
“Konyol!” Kian Bu makin tidak puas dan makin penasaran.
Memang pemuda itu belum mau mengerti akan semua kebiasaan di dunia ‘sopan’ ini. Hidup di Pulau Es tentu saja merasa bebas, tidak terikat oleh peraturan apa pun karena mereka hanya hidup bersama ayah dan ibunya, sedangkan pertemuan yang kadang kala dengan para nelayan yang menjelajah di pulau-pulau agak jauh dari Pulau Es, juga merupakan pertemuan dengan orang-orang sederhana yang hidup wajar dan polos, tidak banyak terikat oleh segala macam peraturan.
Kini darah mudanya yang menuntut sehingga timbul daya tarik terhadap kaum wanita, tetapi menghadapi penghalang yang besar sekali dan dirasakannya amat mengganggu kebebasannya. Berbeda dengan Kian Lee yang sungguh pun keadaan hidupnya di Pulas Es tiada bedanya dengan Kian Bu, namun pemuda ini memperhatikan semua yang diceritakan tentang dunia ramai oleh ibunya, bahkan suka membaca-baca kitab tentang sejarah dan kehidupan di dunia ramai. Oleh karena itu biar pun dia baru sekali ini turun ke daratan besar, namun segala peraturan tidaklah terlalu mengejutkan hatinya dan dapat dihadapinya dengan tenang dan sabar.
Maka, Kian Bu hanya dapat memandang saja ketika melihat gadis yang mengagumkan hatinya itu meloncat ke atas kuda bersama kakek itu, lalu keduanya membalapkan kuda keluar dari dusun itu. Hatinya ingin sekali menegur, bertanya dan berkenalan, tetapi dia memaksa diri diam saja, hanya memandang dan makin tertarik hatinya ketika melihat betapa dara itu mengerling ke arah mereka sambil tersenyum manis!
“Siapakah mereka...?” Souw Kee It bertanya setelah mereka keluar dari dusun.
“Hi-hik-hik, pemuda-pemuda yang lucu.” Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan dua orang muda itu ketika dia menjual kuda.
“Hemm, mereka mencurigakan. Nona, kita harus berhati-hati.”
“Kau sendiri mengatakan bahwa ini daerah aman, Lopek.”
“Benar, memang tadinya kuanggap demikian. Akan tetapi di dalam pasar kuda tadi, aku melihat banyak mata yang memandang kepadaku secara sembunyi. Hal seperti itu sudah terlalu sering kualami sehingga aku dapat merasakannya. Juga, kalau aku tidak salah, aku melihat wajah seorang kakek yang menyelinap di antara banyak orang, padahal kalau aku tidak salah ingat, itu adalah wajah seorang tosu Pek-lian-kauw. Dan kabarnya Pek-lian-kauw juga sudah memasukkan tangan-tangan kotor ke dalam usaha pemberontakan ini.”
“Ihhh...!” Ceng Ceng menjadi kaget mendengar ini.
“Keadaan menjadi berbahaya kalau begini, Nona.” Souw Kee It mengerutkan alisnya dan menahan kudanya agar dia dapat menerangkan lebih jelas lagi. “Kalau sampai di dusun itu terdapat orang-orangnya pemberontak tanpa diketahui oleh Jenderal Kao, maka hal itu hanya berarti bahwa kaki tangan pemberontak sudah menyelundup ke utara. Mungkin saja di antara para pembantu Kao-goanswe sendiri ada yang sudah terpengaruh. Dan ini berbahaya bagi pertahanan di utara.”
“Habis, apa yang kini hendak kau lakukan, Lopek?” Ceng Ceng bertanya, khawatir juga mendengar suara orang tua itu yang amat serius.
Tiba-tiba kakek itu memandang ke depan dan matanya terbelalak, kemudian berkata, “Tenang, tidak usah khawatir, akan tetapi siap menghadapi mereka itu. Kurasa mereka bukan orang-orang yang mengandung niat baik...”
Ceng Ceng juga memandang ke depan dan tampaklah olehnya dua orang tosu dan dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua di antara para pembeli kuda tadi telah menghadang di depan. Kuda tunggangan empat orang itu ditambatkan pada pohon tak jauh dari situ dan jelaslah bahwa keempat orang ini memang sengaja menunggu dan menghadang mereka di tempat ini!
“Lopek, hajar saja mereka!” Ceng Ceng berteriak dengan gemas dan kedua tangannya sudah meraba sepasang pisau belati yang diselipkan di pinggangnya.
Memang mereka sudah bersiap sedia dan Souw Kee It telah memberikan dua batang pisau itu sebagaimana yang dipilihnya sendiri ketika pengawal itu menawarkan senjata apa yang paling digemarinya.
“Kau hadapi dua orang mata-mata yang menyamar sebagai pedagang kuda itu, dan biarlah aku yang menghadapi dua orang tosu Pek-lian-kauw itu,” bisik Souw Kee It.
Ceng Ceng mengangguk. Dengan tenang keduanya turun dari atas kuda, menambatkan kuda mereka di pohon lalu menghampiri empat orang yang mengawasi gerak-gerik mereka tanpa berkata-kata itu. Biar pun dia merasa amat gemas dan marah, namun Ceng Ceng tidak berani sembrono turun tangan, melainkan membiarkan pengawal itu yang bicara.
“Jiwi-totiang (bapak pendeta berdua) agaknya mempunyai keperluan denganku maka sengaja menanti di sini. Ada keperluan apakah?” Souw Kee It lantas bertanya sambil menghadapi kedua orang tosu itu.
Dua orang tosu itu tidak menjawab, melainkan membuat gerakan membuka jubah depan mereka, yang menutupi jubah di dalam dan tampaklah lukisan teratai putih di depan dada mereka. Tentu saja Souw Kee It sudah tahu sebelumnya bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw, akan tetapi dia berpura-pura kaget dan tidak mengerti.
“Kalau tidak salah, ji-wi adalah tosu dari Pek-lian-kauw. Ada keperluan apakah dengan kami paman dan keponakan?”
“Souw Kee It, tidak perlu kau berpura-pura lagi!” Tiba-tiba seorang di antara mereka, tosu yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata mengejek. “Dan tidak perlu lagi mengaku dia ini keponakanmu. Ketika dia masih menjadi pemuda berkumis, memang kami ragu-ragu. Souw Kee It, dan kau Nona! Hayo katakan di mana adanya Puteri Syanti Dewi!”
Souw Kee It terkejut juga. Demikian hebat gerakan para pemberontak ini sehingga mata-matanya tersebar ke mana-mana, bahkan perjalanannya bersama Ceng Ceng, penyamaran dara itu pun diketahui belaka oleh tosu-tosu ini. Yang tidak mereka ketahui, seperti yang dia sendiri pun belum mengetahui, adalah di mana adanya Putri Syanti Dewi. Hal ini melegakan hatinya, juga melegakan hati Ceng Ceng, karena berarti bahwa Syanti Dewi belum terjatuh ke tangan kaum pemberontak.
“Pemberontak hina dina!” bentak Souw Kee It dan tanpa banyak cakap lagi pengawal ini sudah meloncat ke depan, menerjang sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar terang.
Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu juga sudah mencabut pedang masing-masing dan menangkis sambil membalas dengan serangan dahsyat. Namun, mudah saja serangan mereka ditangkis oleh Souw Kee It dan melihat gerakan-gerakan mereka, hati pengawal kawakan ini menjadi lega karena dia yakin akan dapat mengatasi mereka.
Dia mengkhawatirkan Ceng Ceng yang juga sudah membentak nyaring dan menerjang maju, yang langsung disambut oleh dua orang pedagang kuda palsu itu dengan golok mereka. Terdengar suara nyaring berdencing berkali-kali ketika dua orang pedagang kuda palsu itu sibuk menangkis sinar terang dari sepasang belati di tangan Ceng Ceng yang menyambar-nyambar ganas ke arah mereka!
Tersenyumlah Souw Kee It menyaksikan sepak terjang dara dari Bhutan itu. Hebat dan lincah, sehingga dia maklum bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ceng Ceng. Hal ini membuat dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi dua orang tosu dari Pek-lian-kauw.
“Nona Lu, mari cepat robohkan mereka!” bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa para kaki tangan pemberontak ini mempunyai banyak kawan dan kalau mereka datang mengeroyok, keadaan akan menjadi berbahaya.
“Baik, Lopek!” Ceng Ceng memang tadinya ingin mempermainkan dua orang lawannya, kini mendengar seruan itu dia lalu memperhebat permainan sepasang pisau belatinya sehingga dua orang itu terdesak hebat!
Souw Kee It juga telah mengerahkan tenaga mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya bergulung-gulung sinarnya, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada dua orang pengeroyoknya yang main mundur terus. Terdengar bentakan keras dua kali dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu itu, roboh untuk tidak bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!
“Haiiitttttt...!” Ceng Ceng yang merasa penasaran memekik. Pisaunya menyambar dan berhasil merobek pipi kanan seorang lawan yang berteriak-teriak kesakitan.
“Aku mencari bantuan...!” Seorang di antara mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya yang robek pipinya.
“Lari ke mana?” Ceng Ceng membentak, tangan kirinya bergerak dan pisau belati yang kiri meluncur ke depan, mengejar lawan yang lari itu.
“Augghhh...!” Orang itu roboh dan pisau belati hanya tampak gagangnya saja menancap di punggungnya.
Orang kedua yang terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng telah menendang tepat mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya terlepas dan sebelum dia sempat mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah bersarang di dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan tewas tak lama kemudian.
Ceng Ceng mencabut dua batang pisaunya, membersihkan senjata itu di pakaian korbannya sambil mendengarkan pesan Souw Kee It, “Nona, sudah jelas bahwa pihak pemberontak telah mengetahui keadaan kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki tangan pemberontak telah menguasai pula daerah ini dan mungkin sekali sudah ada mata-mata yang menyelinap ke dalam pasukan penjaga tapal batas. Hal ini berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah seorang panglima yang amat setia, akan tetapi kalau dia dikelilingi pemberontak tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya. Sekali pertahanan di tapal batas ini bobol, bahaya utara akan membanjir ke selatan dan merupakan ancaman besar.”
“Jika begitu, kita cepat menghadap Jenderal Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek.”
Souw Kee It menggelengkan kepala. “Kita harus membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah barat sana yang bertugas sebagai seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan pergi ke sana untuk cepat memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan engkau, Nona, harap kau lanjutkan perjalanan ini ke utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini, engkau akan tiba di benteng di mana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri dan kau ceritakan segala yang kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai keadaan di ibu kota.”
Ceng Ceng mengangguk. “Baik, Lopek.”
Souw Kee It mengeluarkan sebuah benda dan memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Kau bawalah tek-pai ini sebagai pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri tidak memerlukannya karena Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari Jenderal Kao dan adalah bekas sahabatku ketika kami bersama bertugas di kota raja. Kalau kau menghadapi kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu akan menyelamatkanmu.”
Ceng Ceng menerima benda itu yang ternyata adalah sebuah tek-pai, yaitu sepotong bambu yang merupakan sebuah tanda bahwa pemegangnya telah diberi kuasa oleh pihak atasan. Biasanya, jika kaisar memberi kekuasaan kepada seseorang ponggawa untuk melakukan suatu pekerjaan penting, ponggawa ini diberi sebuah tek-pai. Akan tetapi tek-pai yang diserahkan oleh Souw Kee It kepada Ceng Ceng adalah tanda kuasa yang diberikan oleh Puteri Milana.
“Berangkatlah, Nona dan hati-hatilah di jalan. Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti tadi setelah Nona berada di dekat benteng pasukan Jenderal Kao.”
Mereka lalu berpisah dan Ceng Ceng lalu membalapkan kudanya menuju ke utara. Ada pun Souw Kee It sendiri juga lalu meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke kiri di mana dia tahu ada markas dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim. Pencegatan oleh tosu Pek-lian-kauw tadi terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima Kim, maka dia perlu sekali harus cepat memberi tahu bekas sahabatnya itu agar dapat mengadakan operasi pembersihan karena dia yakin bahwa tentu daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak.
Memang daerah yang merupakan front kedua ini dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao Liang, yaitu Panglima Kim Bouw Sin yang dahulu pernah menjadi pengawal kaisar, rekan dari Souw Kee It. Panglima Kim Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini bertubuh kecil tinggi, bermata tajam dan dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu perang, selain ahli pula dalam ilmu silat.
Dahulunya dia hanya seorang guru silat yang karena kepandaiannya yang tinggi maka banyak putera bangsawan menjadi muridnya di kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi pengawal dan memang orang she Kim ini amat rajin dan pandai pula mengambil hati bekas-bekas muridnya yang banyak terdapat di antara para pangeran sehingga akhirnya dia terus naik pangkat sampai menjadi wakil Jenderal Kao Liang dan mengepalai puluhan ribu prajurit di tapal batas utara.
Akan tetapi, kenaikan demi kenaikan yang membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia, kedudukan demi kedudukan yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah memadamkan api cita-cita yang selalu berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin. Tidak pernah membuat dia merasa puas dan cukup. Cita-cita atau ambisinya terus meningkat dan kedudukan wakil panglima komandan perbatasan masih jauh dari pada memuaskan hatinya yang penuh ambisi, karena di sana, jauh di tinggi, masih tampak kedudukan panglima, kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima tertinggi dan kaisar sendiri!
Ambisi ini yang lalu menyeretnya untuk diam-diam bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong dan biar pun secara terang-terangan dia menjadi wakil panglima di perbatasan utara, namun gelap-gelapan dia adalah pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong Bin Ong yang sudah siap melakukan gerakan besar di utara!
Seperti halnya Kim Bouw Sin, seperti pula dapat kita lihat dalam penghidupan manusia sehari-hari, betapa kita ini dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh cita-cita, oleh ambisi.
Cita-cita dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup dituntun oleh masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini, saat ini, tidak dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan saat ini karena mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu mementingkan tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena semua itu dituntun dan diatur demi mencapai tujuan!
Karena mementingkan tujuan, maka timbullah perb碌atan-perbuatan yang palsu, karena yang penting bukanlah caranya lagi, melainkan tujuannya. Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan menghalalkan secara cara! Maka terjadilah segala kepalsuan yang dapat kita lihat sehari-hari di dalam kehidupan kita.
Betapa demi tujuan mendapatkan keuntungan, kita tak segan-segan untuk mencapainya dengan cara apa pun, dengan judi, dengan korupsi, dengan menyuap, dengan penipuan dagang, dengan penyelundupan, dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan demi untuk satu tujuan, yaitu mencari keuntungan! Lebih hebat lagi adalah, demi tujuan mencapai kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam perang, bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang hanya merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!
Umumnya kita menganggap bahwa cita-cita atau ambisi mendatangkan kemajuan! Jika tidak bercita-cita, tak ada kemajuan, demikian kita berkata dan anggapan atau pendapat ini telah berakar di dalam hati dan pikiran. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata dan mempelajarinya, benarkah demikian? Benarkah ambisi mendatangkan kemajuan?
Kalau kita ukur kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu kemajuan? Apakah itu dapat dikatakan maju kalau menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap, karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kaya-raya kalau batinnya miskin? Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para hartawan dan semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!
Yang penting adalah sekarang ini! Saat ini! Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan cita-citanya! Kalau caranya atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biar pun tujuannya benar, kalau caranya tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak benar! Dari pada membiarkan pikiran melamun dan membayangkan tujuan atau cita-cita atau ambisi di masa depan, hal-hal yang belum ada dan hanya merupakan khayal belaka, marilah kita tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini, saat demi saat sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua kita lakukan dengan kesadaran sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga kita dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Dengan demikian akan timbul kewaspadaan, kita dapat melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita sendiri dan di luar diri kita.
Souw Kee It sama sekali tidak pernah mengira bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan menghadap bekas temannya yang telah menjadi wakil panglima perbatasan itu. Akan tetapi begitu dia menceritakan tentang pencegatan dua orang tosu Pek-llan-kauw dan dua orang kaki tangan pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika dia disergap, dikeroyok dan akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal kaisar yang gagah perkasa ini tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin!
Souw Kee It telah menceritakan betapa pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi telah tiba di utara dan bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki tangan pemberontak! Dan sekarang gadis itu telah menuju ke markas Jenderal Kao! Hal ini tentu saja menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawan-kawannya. Maka setelah menyingkirkan mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera memanggil semua sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat!
Yang hadir dalam perundingan itu selain Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang utusan Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala suku Mongol yang memusuhi pemerintah. Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk memperkuat kedudukannya dan memperkuat barisan kalau kelak tiba masanya bahwa pasukannya harus digerakkan ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan persekutuan dengan suku-suku liar di luar tembok besar dan telah mengadakan kontak dengan tiga orang kepala suku Mongol itu.
“Rahasia telah terbuka, mungkin sekarang Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu,” demikian antara lain Panglima Kim berkata kepada lima orang itu. “Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terlalu sembrono, turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain mereka gagal, juga tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Jenderal Kao.”
“Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak membahayakan,” kata seorang di antara tiga orang utusan Pengeran Liong Bin Ong, “karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya. Akan tetapi tidaklah demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) di sini. Jenderal Kao terkenal keras, dan sebagai bawahannya Ciangkun tentu dapat dia perlakukan sesuka hatinya.”
“Itulah yang memusingkan kepalaku!” Panglima Kim menghantam meja di depannya. “Kecuali kalau dia dapat disingkirkan lebih dulu, lebih pagi dari pada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat kita kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amat sukar dilakukan.”
“Bukankah Jenderal Kao gemar sekali melakukan penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang terkenal?” berkata seorang di antara utusan Pangeran Liong. “Bagaimana kalau digunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para pengawalnya itu dan kita sergap dia?”
Kim Bouw Sin mengangguk. “Memang ada rencana itu, tetapi kalau ketahuan bahwa dia tewas, tentu akan timbul kegemparan dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan menimbulkan keributan. Kecuali kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau... kalau dapat melenyapkannya tanpa menimbulkan jejak...”
Tiba-tiba seorang kepala suku Mongol yang kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri mulai menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan semua orang yang hadir. “Dapat sekarang!” Teriaknya sehingga semua orang memandangnya penuh perhatian. “Sumur maut! Tempat itu pasti dapat kita pergunakan untuk memancing dan menjebak Jenderal Kao!”
Enam orang itu segera bicara berbisik-bisik mengatur rencana, mereka menggunakan siasat keji untuk membunuh Jenderal Kao tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan bahwa jenderal itu terbunuh oleh suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah. Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan main, wajahnya berseri gembira, dalam hatinya dia merasa betapa dia dan sekutunya melalukan sesuatu yang cerdik dan yang benar!
Demikianlah keadaan batin orang yang telah diracuni oleh cita-cita. Demi tercapainya cita-cita itu, segala cara dianggapnya baik dan benar belaka. Yang baik dan yang benar hanya diukur dari keuntungan bagi diri pribadi. Yang menguntungkan diri sendiri, lahir mau pun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan pedoman hidup seperti ini di antara kita semua, herankah kita kalau dunia ini selalu kacau dan ribut, kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh dunia?
********************
“Berhenti!” Tiba-tiba bermunculan prajurit-prajurit yang agaknya tadi bersembunyi di balik batu-batu gunung dan lebih dari dua puluh orang prajurit sudah mengepung Ceng Ceng yang cepat menahan kudanya.
Diam-diam Ceng Ceng menjadi kagum melihat sikap mereka yang galak dan berbaris rapi. Mudah diduga bahwa prajurit-prajurit ini merupakan anggota pasukan pilihan yang kuat. Akan tetapi di samping kekagumannya, dia pun merasa penasaran. Dia seorang wanita, tetapi pasukan ini memperlihatkan sikap demikian keras dan kaku. Wataknya yang nakal membuat dia ingin sekali menggoda para prajurit Jenderal Kao ini.
“Heiiii, kenapa kalian menyuruh aku berhenti?” teriaknya.
Seorang di antara mereka, komandannya yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar dan tegap, melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring, “Nona, kau sudah melanggar wilayah penjagaan kami. Kau tidak boleh terus dan harus kembali.”
Ceng Ceng tersenyum. “Aihhh, tanah, pasir dan gunung ini bukan kalian yang bikin, mengapa hendak melarang orang lewat? Bagaimana kalau aku tidak mau kembali dan hendak terus?”
“Terpaksa kau harus kami tangkap dan akan kami hadapkan kepada atasan kami untuk diperiksa.”
“Begitu mudah?” Ceng Geng tersenyum mengejek. “Coba tangkap aku kalau bisa!”
Para prajurit itu saling pandang, ada yang merasa penasaran dan marah menyaksikan lagak dara remaja itu, ada pula yang tersenyum geli, akan tetapi tidak ada seorang pun berani bergerak karena mereka menanti perintah komadan mereka.
“Nona, jangan bergurau. Kembalilah saja, atau turun dari kuda untuk kami hadapkan kepada atasan kami,” kata komandan tinggi besar itu dengan wajah sungguh-sungguh.
“Dan aku tidak bergurau, melainkan menantang kalian semua untuk menangkap aku kalau bisa!”
Merahlah wajah komandan itu. Dia merasa dipermainkan oleh anak perempuan ini di depan anak buahnya. “Tangkap dia!” teriaknya memberi aba-aba.
Setelah terdengar aba-aba ini, barulah para prajurit bergerak, mengulur tangan dan seolah-olah hendak berlomba menangkap atau menjamah tubuh dara remaja yang cantik manis dan menggemaskan hati itu!
Ceng Ceng tertawa, kakinya bergerak dan tubuhnya sudah mencelat dan melayang melalui atas kepala mereka. Bagaikan seekor burung saja gadis ini meloncat dari atas kudanya melalui kepala para prajurit dan turun ke atas tanah di luar kepungan sambil tertawa-tawa.
Ceng Ceng menggapai kepada para prajurit yang kini membalikkan tubuh memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Mari, mari! Siapa yang merasa ada kepandaian, boleh maju! Atau kalau kalian tidak tahu malu, boleh mengeroyok aku!”
Tentu saja para prajurit menjadi marah dan serentak bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba komandan tinggi besar itu berteriak, “Tahan!”
Serentak para prajurit menghentikan gerakan mereka dan berdiri tegak menanti perintah komandan mereka. Akan tetapi komandan itu melambaikan tangannya memberi isyarat agar mereka mundur, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Ceng Ceng. Sejenak dia memandang dara itu penuh perhatian dan kecurigaan, kemudian dia berkata, “Nona, sebetulnya siapakah engkau, ada keperluan apa datang ke tempat ini dan mengapa menantang kami?”
Ceng Ceng yang sudah kumat nakalnya dan memang sengaja hendak mempermainkan orang, tersenyum dan berkata, “Soal nama dan keperluan nanti saja. Sekarang karena aku dilarang melanjutkan perjalanan, aku tantang siapa saja di antara kalian. Kalau aku kalah, aku akan kembali tanpa banyak cerewet lagi, akan tetapi kalau aku menang, kalian harus membolehkan aku melanjutkan perjalananku...”
Komandan itu menggeleng-gelengkan kepala. “Peraturan di sini tidak boleh diubah oleh siapa pun juga, Nona. Siapa yang melanggar akan berhadapan dengan kami.”
“Aku tidak mau tunduk akan peraturan itu!”
“Kalau begitu terpaksa Nona akan kutangkap.”
“Cobalah!”
Akan tetapi kembali komandan itu ragu-ragu. “Aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak suka memukul wanita. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa kami telah berbulan-bulan bertugas di sini dan jauh dari wanita, maka jangan katakan aku kurang ajar kalau tangan-tanganku menjadi gatal.”
Para prajurit tertawa mendengar kelakar komandan mereka ini, dan wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa komandan itu bukan bermaksud untuk kurang ajar melainkan bicara sejujurnya, dia pun mejawab, “Tidak usah banyak sungkan, Ciangkun. Mari perlihatkan kepandaianmu.”
“Heiiiiitttt!” Komandan itu yang juga memiliki ilmu silat cukup tangguh sudah bergerak maju, menubruk dengan kedua lengannya dipentang lebar.
“Yaahhh!” Dengan lincahnya Ceng Ceng mengelak dan tubuhnya yang kecil ramping itu lolos dari bawah lengan kanan komandan itu, tidak lupa untuk menggerakkan tangan kiri menampar belakang pundak kanan.
“Plakkk!”
Tubuh komandan itu terhuyung-huyung dan wajahnya kelihatan kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa tubrukannya itu tidak hanya dapat dielakkan, malah dia kena ditampar, tamparan main-mainan saja karena kalau dara itu menghendaki, tamparan itu tentu dapat diubah menjadi pukulan yang berbahaya. Tahulah dia bahwa gadis ini memang berilmu tinggi sehinga dia berani berlagak seperti itu. Maka dia tidak menjadi sungkan-sungkan lagi dan sambil berteriak keras kini mulailah dia menyerang, bukan sekedar untuk mengalahkan.
Ceng Ceng yang memang hanya ingin mempermainkan, menggunakan ginkang-nya dan dengan amat lincah dia selalu dapat mengelak dari semua serangan lawan tanpa membalas karena dia memang tidak berniat untuk bermusuhan. Kemudian, ketika komandan itu menyerangnya dengan dahsyat, menggunakan lengan kanan untuk memukul ke arah lambung dan tangan kirinya mencengkeram pundak, Ceng Ceng mengelak dengan loncatan ke kanan sambil menggerakkan kepalanya.
“Plak! Plak!”
Komadan itu terkejut dan cepat meloncat mundur sambil terhuyung-huyung karena tadi dua helai kuncir dara itu dengan tepat telah menyambar dan mengenai leher dan dadanya. Melihat ini, para prajurit sudah bergerak maju hendak menolong dan membantu komandan mereka, akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang sambil berseru keras, “Tahan...!”
Komandan itu sudah mencabut pedangnya dan memandang dengan mata terbelalak marah. Ceng Ceng cepat menjura kepadanya dan berkata, “Harap Ciangkun maafkan. Sebetulnya saya hanya main-main saja. Saya hendak menghadap Jenderal Kao Liang, harap Ciangkun mengantar saya kepadanya.”
Komandan itu mengerutkan alis. Tentu saja dia menjadi makin curiga. Gadis ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kedatangannya demikian mencurigakan dan sekarang menyatakan ingin bertemu dengan Jenderal Kao Liang, tentu saja dia menjadi curiga sekali.
“Nona, terpaksa kami hanya bisa menghadapkan engkau sebagai seorang tangkapan.”
Ceng Ceng tersenyum, lalu merogoh saku mengeluarkan tek-pai yang diterimanya dari Pengawal Souw Kee It, menyodorkan tek-pai itu ke depan perwira komandan itu sambil berkata, “Apakah engkau masih mencurigai aku?”
Komandan itu segera memandang tek-pai, bambu kuasa itu dan setelah membaca dan mengenal tulisan di atas tek-pai, melihat cap kebesaran Puteri Milana sendiri, cepat dia menjatuhkan diri berlutut. Para prajuritnya terkejut dan biar pun mereka belum mengerti jelas, mereka pun cepat meniru perbuatan komandan mereka, berlutut.
“Harap Nona maafkan kami yang tidak mengenal Nona,” kata komandan itu.
“Aihhh, tidak apa-apa, Ciangkun. Salahku sendiri karena memang aku yang ingin main-main dengan pasukanmu yang begini perkasa. Nah, sekarang engkau antarkanlah aku menghadap Jenderal Kao Liang.”
“Baik, Nona.”
Komandan itu meninggalkan perintah kepada anak buahnya, dan dia sendiri kemudian mengantarkan Ceng Ceng memasuki benteng besar di mana terdapat penjagaan yang ketat dan mengagumkan hati Ceng Ceng. Dia maklum betapa akan sukarnya memasuki benteng yang terjaga kuat ini apa bila tidak diantarkan oleh komandan itu.
Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa itu menerima kedatangan Ceng Ceng dengan ramah, apa lagi ketika Ceng Ceng memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Puteri Milana dan menceritakan bahwa dia mewakili Perwira Pengawal Souw Kee It.
“Aihhh, sungguh patut dipuji seorang wanita muda seperti Nona mau menempuh segala kesukaran untuk membantu negara. Nona amat gagah perkasa! Silakan duduk di ruang dalam dan ceritakan semua tugas Nona datang menjumpai kami,” kata jenderal itu yang mengajak Ceng Ceng duduk di ruangan dalam.
Setelah minum teh yang disuguhkan, Ceng Ceng mulai dengan penuturannya. “Souw-ciangkun sekarang pergi ke benteng di barat sana untuk melaporkan bahwa daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak. Kami berdua telah dicegat oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan kaki tangannya. Menurut Souw-ciangkun, pemberontak yang sekarang sedang berusaha untuk menghimpun kekuatannya tidak hanya bergerak di barat, melainkan agaknya juga sudah mulai mengulur tangan kotor mereka di daerah perbatasan ini.”
Jenderal Kao Liang tertawa sambil mengangkat cawan arak dan minum arak dengan lahapnya. Dia kuat sekali minum dan tidak pernah menjadi mabuk. “Ha-ha-ha-ha, harap tenangkan hatimu, Nona. Pemberontak-pemberontak itu hanya besar mulut saja, akan tetapi tidak ada artinya. Bahkan baru-baru ini aku sendiri sudah melakukan pemeriksaan ke barat, memimpin operasi pembersihan membasmi para pemberontak yang berani mengganggu perbatasan barat. Kalau ada pemberontak yang berani muncul di daerah ini, tentu akan kusapu sampai bersih!”
Kembali dia tertawa bangga, lalu melanjutkan. “Sayang bahwa para penjahat itu berhasil mencegat rombongan Puteri Bhutan sehingga sang puteri kabarnya lenyap. Akan tetapi, Kerajaan Bhutan tentu mau bekerja sama dengan kami untuk membasmi pemberontak di sana yang sebetulnya hanya merupakan segerombolan orang liar dan biadab, di bawah pimpinan penjahat besar Tambolon.”
“Agaknya Tai-ciangkun belum tahu jelas akan keadaan yang lebih parah dan berbahaya dari pada yang Tai-ciangkun kira.” Ceng Ceng berkata, “Hendaknya diketahui bahwa saya adalah Lu Ceng, atau Candra Dewi, saudara angkat dengan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, dan saya pula yang menjadi pengawal pribadinya ketika diboyong ke kota raja.”
“Ehhh...?!” Jenderal itu terkejut juga dan kini memandang kepada Ceng Ceng penuh perhatian.
Ceng Ceng lalu menceritakan semua pengalamannya bersama Syanti Dewi yang kini entah berada di mana, akan tetapi yang menurut kabar diselamatkan oleh seorang nelayan dan pasti belum terjatuh ke tangan pemberontak. Kemudian dia menceritakan pula pertemuannya dengan Ang Tek Hoat yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong si pemberontak, menceritakan pula percakapan yang didengarnya antara Ang Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong.
Mendengar semua itu, barulah Jenderal Kao tidak memandang ringan lagi, bahkan dia menggebrak meja. “Celaka! Kiranya di kota raja sendiri telah penuh dengan manusia-manusia khianat! Kalau begitu, aku sendiri harus ke kota raja untuk memperingatkan kaisar dan berunding secara langsung dengan Puteri Milana yang bijaksana. Ahhh, pengkhianat-pengkhianat yang tak mengenal budi itu harus dibasmi secepat mungkin sebelum gerakan mereka menjadi besar!”
Pada saat itu pula seorang pengawal melangkah masuk dan memberi hormat kepada Jenderal Kao sambil berkata, “Kim-ciangkun datang dan mohon menghadap!”
“Ah, dia datang? Suruh cepat masuk!” kata jenderal itu.
Ketika Panglima Kim Bouw Sin memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepada Jenderal Kao, Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Panglima Kim adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, mukanya pucat dan matanya sipit sekali. Karena dia tahu bahwa panglima ini adalah sahabat baik Souw Kee It, maka begitu panglima itu duduk dia bertanya, “Kim-ciangkun, bukankah Souw-lopek sudah bertemu denganmu?”
Kim Bouw Sin memandang dara itu lalu tertawa. “Tentu Nona adalah Nona Lu Ceng dari Bhutan seperti yang diceritakan oleh Souw-sicu. Memang dia telah bertemu denganku, Nona. Bahkan kini dia membantu menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang kukirimkan untuk melakukan pembersihan ke dusun tempat jual kuda itu.”
“Hemmm, Kim-ciangkun! Mengapa urusan besar seperti itu kau serahkan saja kepada bawahanmu dan tidak kau pimpin sendiri? Kita harus segera mengadakan pembersihan, jangan sampai kaki tangan pemberontak memperlebar sayapnya di daerah ini!” Jenderal Kao menegur bawahannya.
Kim Bouw Sin cepat menghadapi atasannya itu dan berkata, “Memang sebenarnya harus saya sendiri yang memimpin operasi pembersihan itu. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih penting lagi dan yang harus saya laporkan sendiri kepada Goanswe.”
“Hemm... berita apakah yang begitu penting?”
“Para peyelidik kami mendapat keterangan bahwa pada hari besok, para kepala suku mengadakan pertemuan dan perundingan tidak jauh dari sini dan mereka itu akan menerima kujungan seorang kaki tangan pemberontak yang tentu akan melakukan pembujukan kepada para kepala suku untuk bersekutu dengan pihak pemberontak.”
Wajah Jenderal Kao berubah merah sekali dan dia menggebrak meja. “Bagaimana bisa ada kejadian seperti ini? Selama ini para kepala suku itu baik dengan kita!”
Dengan sikap agak ketakutan Kim-ciangkun berkata, “Akan tetapi, pihak pemberontak itu tentu telah berhasil membujuk mereka yang mata duitan dengan menyerahkan hadiah-hadiah. Kalau Goanswe mengijinkan, saya akan melakukan penyelidikan sendiri ke tempat itu.”
“Tidak! Hal ini terlalu penting sehingga harus aku sendiri yang melakukan penyelidikan. Di mana tempat itu?”
“Di sekitar sumur maut di tengah padang pasir.”
“Hemmm, di tempat terpencil dan mengerikan itu?” Jenderal Kao membelai jenggotnya, “Baik, biarlah aku akan menyelidikinya sendiri.”
“Kalau begitu baik sekali. Saya akan menyusul ke selatan, memimpin sendiri operasi pembersihan di dusun pasar kuda,” kata Kim Bouw Sin yang segera pamit dan keluar meninggalkan tempat itu.
Jenderal Kao lalu menyuruh seorang pengawal mengantar Ceng Ceng ke sebuah kamar tamu agar dara itu dapat beristirahat sambil menanti kembalinya Souw Kee It, karena dia sendiri sibuk mempersiapkan tiga belas orang pengawalnya dan mengatur rencana untuk menyelidiki sumur maut yang dijadikan tempat pertemuan para kepala suku itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jenderal Kao telah berangkat meninggalkan benteng itu. Seperti biasanya tiap kali dia mengadakan perondaan atau penyelidikan, dia hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang gagah perkasa dan setia.
Derap kaki kuda di luar itu membangunkan Ceng Ceng dari tidurnya. Dia membuka pintu kamar dan bertanya kepada pelayan, mendapat keterangan bahwa Jenderal Kao telah berangkat. Ceng Ceng lalu mandi, bertukar pakaian lalu keluar dari bangunan itu melihat-lihat. Tetapi baru saja dia keluar, tampak olehnya seorang laki-laki berpakaian perwira menengah berjalan dengan amat cepatnya sambil menengok ke kanan kiri.
Jelas nampak olehnya betapa orang itu seperti tergesa-gesa dan hati-hati sehingga timbullah kecurigaan hatinya. Apa lagi orang itu agaknya baru saja meninggalkan tempat di mana dia menginap, padahal dia sejak kemarin tidak pernah bertemu dengan orang itu, seolah-olah orang itu telah bersembunyi di situ.
Ketika melihat orang berpakaian perwira itu memasuki sebuah pondok, Ceng Ceng cepat menggunakan kepandaiannya untuk meloncat ke atas genteng dan tak lama kemudian dia sudah mengintai dan mendengarkan dari atas. Perwira itu telah bertemu dengan seorang perwira lain dan biar pun percakapan mereka hanya singkat saja, namun cukuplah bagi Ceng Ceng mengetahui siapa adanya mereka.
“Cepat kau pergi melaporkan Kim-ciangkun bahwa dia telah berangkat,” kata perwira yang dibayanginya tadi.
“Baik, dan kau mempersiapkan semua teman agar mengendalikan semua pasukan di sini,” kata orang kedua.
“Ya, setelah itu aku akan menyusul mereka untuk melihat apakah semua telah berjalan sesuai rencana. Sebaliknya, sebelum engkau berangkat kepada Kim-ciangkun, engkau yang menghubungi teman-teman di sini. Jangan lupa gadis itu, harus secepatnya dibikin tidak berdaya. Aku akan berangkat sekarang, khawatir kalau-kalau terjadi perubahan dan kegagalan di sana.”
Selanjutnya mereka berbisik-bisik dan Ceng Ceng cepat meloncat turun, menyelinap di depan pondok itu dan bersembunyi di tempat yang masih gelap. Percakapan yang didengarnya itu cukup baginya dan amat mengejutkan. Jelas bahwa kedua orang itu tentulah mata-mata pemberontak yang menyelinap dan berhasil menjadi perwira-perwira di situ, atau juga perwira-perwira yang telah dibujuk oleh pihak pemberontak. Yang amat mengejutkan hatinya adalah disebutnya Kim-ciangkun!
Agaknya Kim-ciangkun juga sekutu mereka! Jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan Souw Kee It yang belum juga muncul setelah pengawal itu pergi mengunjungi Kim-ciangkun. Kecurigaan besar timbul di dalam hatinya. Dia khawatir bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa diri pegawal itu. Akan tetapi Ceng Ceng maklum bahwa dia menghadapi orang yang memiliki pasukan besar, yang tidak mungkin dapat dilawannya begitu saja. Jalan satu-satunya adalah cepat melapor kepada Jenderal Kao yang telah pergi.
Dan orang berpakaian perwira itu agaknya akan menyusul rombongan Jenderal Kao untuk melihat apakah rencana mereka berjalan lancar. Ceng Ceng segera mengambil keputusan dan melihat perwira itu berkelebat ke luar, cepat dia membayangi dari jauh.
Perwira itu keluar dari benteng, naik kuda dan membalap ke arah utara! Ceng Ceng terpaksa menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi sebentar saja sudah tertinggal jauh dan akhirnya perwira berkuda yang dibayanginya itu lenyap. Untung baginya bahwa jejak tapak kaki kuda yang dikejarnya dapat dilihat jelas maka dia dapat terus melakukan pengejaran ke utara dengan melihat tapak kaki kuda perwira itu.
Sementara itu, Jenderal Kao Liang dan tiga belas orang pengawalnya telah sampai di daerah sumur maut. Dengan teliti jenderal itu bersama para pengawalnya memeriksa keadaan di sekitar itu, namun yang tampak hanyalah padang pasir yang luas, tidak kelihatan ada seorang pun manusia. Sumur maut yang berada di tengah-tengah padang pasir itu pun sunyi saja, hanya tampak dari jauh sebagai suatu lubang yang dikelilingi batu-batu besar yang berserakan. Tidak ada suara apa-apa, tidak ada gerakan apa-apa.
Jenderal Kao telah memecah pasukan pengawalnya menjadi empat untuk memeriksa di empat jurusan, namun mereka semua kembali dengan tangan hampa, karena memang tidak ada seorang pun manusia di sekitar daerah yang amat sunyi itu. Setelah menanti sampai lama namun tidak juga ada datang kepala-kepala suku seperti yang dikabarkan akan mengadakan pertemuan rahasia di situ, Jenderal Kao mulai menjadi penasaran dan curiga. Apakah berita itu hanya berita bohong belaka?
“Mari coba kita periksa sumur itu!” Akhirnya dia berkata dan bergeraklah rombongan ini mendekati sumur.
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring disusul suara derap kaki kuda. “Jangan mendekati sumur itu...!”
Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya Ceng Ceng yang datang menunggang kuda dengan cepat sekali dan dara itu yang tadi berteriak. Dara ini telah berhasil mengejar perwira berkuda ketika perwira itu turun dari kudanya setelah tiba dekat daerah sumur maut. Selagi perwira itu mengintai dari jauh, Ceng Ceng menyergapnya. Perwira itu berusaha melawan, namun dia bukanlah lawan dara perkasa dari Bhutan ini, dan dengan mudah Ceng Ceng berhasil merobohkannya.
Karena perwira itu tetap membungkam ketika Ceng Ceng berusaha membongkar rahasianya, akhirnya Ceng Ceng menotoknya lumpuh lalu menggunakan kuda perwira itu untuk membalap dan menyusul Jenderal Kao. Melihat keadaan yang amat sunyi di situ, dan melihat Jenderal Kao dan anak buahnya bergerak mendekati sumur, Ceng Ceng menjadi curiga dan khawatir, maka dia lalu berteriak memperingatkan jenderal itu.
Ketika Jenderal Kao Liang dan anak buahnya terkejut dan menengok, tepat pada saat itu mereka melihat anak panah berapi meluncur ke atas langit dari empat jurusan dan terdengar suara keras. Batu-batu di sekitar sumur maut itu terpental dan dari bawahnya berlompatan ke luar belasan orang, kemudian meluncurlah senjata-senjata rahasia dari tangan mereka, seperti hujan menyerang kepada Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya!
Mereka terkejut, namun sebagai orang-orang gagah yang sudah biasa menghadapi bahaya, mereka cepat mengelak dan mencabut senjata masing-masing. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih membalapkan kudanya, tiba-tiba berteriak kaget, kudanya terjungkal roboh karena perut kuda itu telah robek dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek yang tadinya bersembunyi di bawah pasir. Kakek kurus yang berjenggot pendek dan kuncir rambutnya melibat leher.
Dengan amat cekatan Ceng Ceng meloncat turun sewaktu kudanya terjungkal, akan tetapi tiba-tiba dia sudah diserang oleh kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan terbuka yang mendatangkan angin bersiutan, tanda bahwa kedua tangan kakek itu mengandung tenaga sinkang yang amat kuat! Ceng Ceng berteriak marah, mengelak dan sudah mencabut keluar sepasang pisau belatinya, membalas dengan serangan-serangan dahsyat.
Jenderal Kao dan anak buahnya juga sudah menghadapi serbuan lima belas orang yang tadi bersembunyi di dalam pasir di bawah batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi yang sengaja didatangkan dari selatan untuk membunuh Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya. Namun, jenderal yang gagah perkasa itu berteriak-terlak seperti seekor singa, mengamuk dengan hebat bersama tiga belas orang pengawalnya yang setia sehingga lima belas orang pembunuh bayaran itu menjadi kewalahan, bahkan terdesak hebat. Dua orang sudah roboh oleh pedang dan hantaman tangan jenderal perkasa itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari empat penjuru tampak pasukan datang berkuda. Biar pun jumlah mereka tidak banyak, namun setelah berkumpul, tidak kurang dari seratus orang anak buah suku bangsa liar mengepung tempat itu dan langsung menyerbu dan mengeroyok Jenderal Kao Liang dan anak buahnya!
Ceng Ceng menjadi terkejut bukan main. Kalau tadi dia merasa agak lega melihat betapa para penjahat hanya berjumlah belasan orang dan Jenderal Kao bersama anak buahnya adalah orang-orang pandai, sehingga tidak khawatir akan kalah, kini melihat datangnya seratus orang liar itu dia menjadi khawatir sekali. Kakek yang mendesaknya juga ternyata amat lihai.
“Haiiiiittttt...!” Ceng Ceng berteriak nyaring, kedua pisaunya menyambar dari kanan kiri, menyilang dengan gerakan berkelebat cepat seperti sambaran kilat.
Menghadapi serangan dahsyat dan bertubi-tubi ini, kakek itu lalu melompat mundur dan kesempatan ini digunakan oleh Ceng Ceng untuk lari menghampiri rombongan Jenderal Kao Liang.
Melihat gadis ini, Jenderal Kao tertawa, “Ha-ha-ha, kau hebat sekali, Nona! Benar-benar aku merasa kagum dan andai kata kita gagal membasmi mereka ini, melihat Nona yang begini gagah perkasa, benar-benar merupakan penglihatan terakhir yang akan menjadi bekal menyenangkan ke alam baka!”
Diam-diam Ceng Ceng kagum sekali.
“Hyaaaattt...! Ceppp...! Desss...!”
Dua orang Mongol roboh oleh pisau dan tendangan kakinya. Setelah merobohkan dua orang itu, sambil mengelak dan menangkis hujan golok dan tombak, Ceng Ceng masih sempat menjawab, “Kao-ciangkun, pembantumu itu, Kim-ciangkun, telah memberontak. Agaknya dia yang mengatur semua ini. Engkau dijebak....”
“Prakkk! Desss!” Dua orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah dan leher hampir putus terkena hantaman tangan kiri Jenderal Kao dan sambaran pedangnya.
“Hemmm, sudah kuduga! Keparat tak mengenal budi, pengkhianat hina itu! Mari kita basmi anjing-anjing ini, Nona. Baru kita cari dan hancurkan kepala manusia she Kim yang keparat itu!”
Kedua orang itu mengamuk, juga tiga belas orang pengawal setia. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Biar pun mereka berhasil merobohkan puluhan orang musuh, namun akhirnya, seorang demi seorang roboh dan tewaslah tiga belas orang pengawal Jenderal Kao yang gagah perkasa dan setia itu. Hanya tinggal jenderal itu bersama Ceng Ceng yang masih terus melakukan perlawanan gigih, bahu-membahu dan saling melindungi. Mereka berdua pun sudah mengalami luka-luka dan pakaian mereka sudah berlepotan darah, darah para pengeroyok yang mereka tewaskan dan darah mereka sendiri.
Sepasang mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali dia melirik ke arah Ceng Ceng. “Engkau hebat... wah, engkau hebat...! Hanya tinggal kita berdua yang masih hidup. Mari kita berlomba, siapa yang lebih banyak merobohkan lawan. Ha-ha-ha!”
Sambil tertawa-tawa jenderal itu memutar-mutar pedangnya dengan dahsyat sedangkan Ceng Ceng yang sudah lelah sekali itu pun menggerakkan kedua pisaunya untuk melindungi tubuhnya dan untuk mencari sasaran pada tubuh para pengeroyoknya yang masih bersisa tiga puluh orang lebih. Ternyata bahwa dalam perang kecil yang tidak seimbang ini, Ceng Ceng bersama Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya ini telah berhasil merobohkan tujuh puluh orang lebih!
Namun, kedua orang tua dan muda yang gagah perkasa itu sudah terlalu lelah dan terlalu banyak kehilangan darah yang keluar dari luka-luka mereka. Biar pun jenderal itu masih tertawa-tawa membesarkan hati Ceng Ceng, namun gerakannya sudah lemah dan serbuan hebat dari kakek tua yang melawan Ceng Ceng tadi, dibantu oleh empat orang yang cukup lihai, membuat tangkisan pedang Jenderal Kao kurang kuat dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya.
Pada saat itu terdengarlah suara melengking panjang dan nyaring sekali, seperti suara burung rajawali atau garuda yang sedang marah, datangnya dari arah selatan. Namun Ceng Ceng tak sempat memperhatikan suara melengking nyaring itu karena dia terkejut bukan main melihat Jenderal Kao terguling roboh di dekat Sumur Maut. Sebelum jenderal itu dapat bangkit kembali, dua orang menubruknya dan mengangkat tubuh jenderal itu, kemudian dilemparkan ke arah Sumur Maut yang siap untuk mencaplok apa saja yang memasukinya!
“Heiiiiittt...!”
Ceng Ceng menyambitkan dua batang pisaunya dan tepat sekali dua batang pisau itu menancap ke dalam lambung dua orang yang mengangkat tubuh Jenderal Kao, mereka roboh, akan tetapi tubuh jenderal itu sudah terlempar ke arah sumur!
Ceng Ceng berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke depan mendahului tubuh Jenderal Kao, lalu kakinya menendang dan tubuh jenderal yang tinggi besar itu berhasil dapat ditendangnya sehingga terpental keluar dari mulut sumur. Akan tetapi, hasil yang menyelamatkan nyawa Jenderal Kao ini ditebus dengan pengorbanan diri Ceng Ceng sendiri. Karena menendang tubuh berat dalam keadaan masih meloncat, tubuh dara perkasa itu terjengkang dan tepat terjatuh masuk ke dalam mulut Sumur Maut yang terbuka lebar, gelap dan mengerikan!
“Nona Ceng Ceng...!” Jenderal Kao menjerit. Akan tetapi sia-sia saja, tubuh dara itu telah lenyap dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam sumur.
“Keparat, kalian telah membunuhnya! Jahanam busuk, kalian harus mampus semua!”
Jenderal itu dengan suara serak karena menahan keperihan dan keharuan hatinya melihat Ceng Ceng yang menolongnya menjadi korban terjeblos ke dalam Sumur Maut, berteriak bagaikan seekor singa terluka, kemudian dengan kedua tangan kosong dia mengamuk seperti seekor naga marah. Hatinya terasa sakit bukan main. Dia merasa amat kagum melihat kegagahan Ceng Ceng, kekaguman yang menimbulkan rasa kasih kepada dara remaja itu.
Tiada yang dapat menimbulkan kekaguman pada hati jenderal yang keras ini kecuali kegagahan, dan apa yang diperlihatkan oleh Ceng Ceng benar-benar menimbulkan kesan mendalam di hati jenderal ini. Sekarang, dia melihat dara itu tewas, terjeblos ke dalam Sumur Maut dan hal ini terjadi karena gadis itu menyelamatkannya.
Tentu saja hal ini selain mendatangkan keharuan, juga membuat dia merasa sakit hati sekali, maka mengamuklah dia dengan nekat tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri! Pada saat itu, Kao Liang bukan lagi seorang jenderal yang selalu menggunakan siasat dalam perang, tetapi seorang pria yang sakit hati melihat orang yang dikagumi dan disayangnya seperti anak sendiri, tewas di depan matanya!
Biar pun tubuhnya sudah luka-luka, namun dengan kedua tangan kosong jenderal ini mengamuk dan robohlah berturut-turut enam orang pengeroyok terdekat. Akan tetapi, kini kakek lihai dan bebarapa orang temannya yang juga memiliki kepandaian tinggi mengurungnya dan mendesaknya dengan serangan senjata mereka secara bertubi-tubi sehingga Jenderal Kao terdesak hebat. Dalam belasan jurus saja panglima yang perkasa ini telah menderita luka-luka baru lagi. Dia sedikit pun tidak mengeluh, bahkan berteriak-teriak penuh kemarahan dan siap untuk mengadu nyawa.
Suara melengking nyaring terdengar dan keadaan menjadi kacau ketika tiba-tiba semua orang yang mengepung dan mendesak Jenderal Kao terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir. Para pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bercaping lebar, lalu menggunakan capingnya itu untuk mengamuk dan siapa pun yang terdekat pasti langsung roboh oleh tamparan capingnya itu! Senjata-senjata tajam beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya disusul robohnya para pengeroyok.
Melihat tiba-tiba muncul seorang yang demikian lihainya, maklumlah para kaki tangan pemberontak bahwa usaha mereka membunuh Jenderal Kao telah gagal. Timbul rasa gentar di hati mereka. Tanpa dikomando lagi, larilah sisa pemberontak itu meninggalkan gelanggang di mana berserakan teman-teman mereka yang menjadi korban amukan Ceng Ceng, Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya, dan yang terakhir laki-laki bercaping lebar itu.
Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng, pendekar yang sakti. Bersama Puteri Syanti Dewi, Gak Bun Beng tiba di tempat itu dan segera turun tangan menolong ketika melihat Jenderal Kao dikeroyok banyak orang dalam keadaan terluka. Tidak lama kemudian, Syanti Dewi muncul pula dan wajah puteri itu membayangkan kengerian menyaksikan banyak orang yang tewas dan terluka. Tempat itu bergelimang darah dan penuh dengan suara rintihan mereka yang terluka dan belum tewas.
Ketika melihat siapa yang telah menolongnya, Jenderal Kao menjadi girang dan cepat menghampiri Gak Bu Beng. “Aha, kiranya kalian pula yang muncul dan menyelamatkan aku dari ancaman maut! Bukankah engkau ini sahabat Gak Bun Beng yang pernah aku jumpai di barat?”
Gak Bun Beng menjura dan berkata, “Benar, Kao-taigoanswe, saya adalah Gak Bun Beng yang datang bersama anak saya dan secara kebetulan dapat membantu goanswe menghadapi para pemberontak itu.”
“Terima kasih... terima kasih, engkau memang gagah perkasa...” Tiba-tiba jenderal itu menghentikan kata-katanya, mendekati sumur dan melongok-longok ke dalam sumur, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
“Aihhhh... sungguh sangat kasihan... menyesal bahwa engkau tidak datang lebih pagi, Gak-enghiong (orang gagah she Gak). Sayang, dia seorang gadis yang luar biasa, gagah perkasa dan berbudi, penuh keberanian, muda, cantik dan pandai, terpaksa harus mengalami nasib begini mengerikan...” Dengan kepalan tangannya, jenderal itu mengusap dua butir air mata dari bawah matanya!
Bun Beng mengerutkan alisnya. “Apakah maksudmu, Taigoanswe? Siapakah yang kau bicarakan itu?”
“Engkau tidak tahu dan tentu tidak mengenalnya. Dia seorang dara perkasa dari barat, dari Bhutan...”
Tiba-tiba Syanti Dewi meloncat ke depan jenderal itu dan dengan suara penuh wibawa dia bertanya, “Siapa dia? Siapa dara itu? Cepat katakan padaku!”
Jenderal Kao memandang heran. Sejak pertemuan pertama dahulu dia sudah merasa heran mengapa anak dari orang she Gak ini demikian cantik dan halus, demikian agung sikapnya, dan jelas pula bukan orang Han. Kini, menyaksikan sikapnya ketika bertanya, mengingatkan dia akan sikap puteri-puteri istana saja! Namun, karena tidak enak terhadap Gak Bun Beng, dia menjawab juga.
“Nona itu bernama Lu Ceng...”
Syanti Dewi menjerit, matanya terbelalak memandang ke Sumur Maut itu. “Lu Ceng...? Candra Dewi...? Dan... dia... dia... di manakah dia...?”
Jenderal Kao semakin kaget. Dengan mata masih menatap wajah Syanti Dewi penuh selidik, dia menjawab, “Untuk menolongku, dia telah mengorbankan dirinya dan terjatuh ke dalam sumur maut ini.”
Kembali Syanti Dewi menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri berlutut di dekat sumur maut sambil menangis tersedu-sedu. Bun Beng juga terkejut karena dia telah mengenal nama Lu Ceng atau Candra Dewi dari Puteri Bhutan ini. Akan tetapi Jenderal Kao yang menjadi terkejut dan terheran-heran. Sambil menghadapi Bun Beng dia bertanya, “Gak-enghiong, apakah artinya ini?”
“Nona Lu Ceng adalah saudara angkat dari Puteri Syanti Dewi, dan terus terang saja, Tai-goanswe, yang menyamar sebagai anakku ini adalah Sang Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dikejar-kejar pemberontak.”
“Ahhh...!” Jenderal Kao terkejut bukan main.
Tentu saja dia sudah mendengar pula akan nama Syanti Dewi, puteri raja Bhutan yang akan dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong dan yang hilang di dalam perjalanan saat diboyong. Kiranya puteri ini masih dalam keadaan selamat, tertolong oleh pendekar yang bernama Gak Bun Beng ini.
“Kao-goanswe, sudah lamakah nona itu terjerumus ke dalam sumur?” Gak Bun Beng bertanya setelah sejenak memandang ke arah sumur itu.
“Baru saja,” jawab jenderal itu dengan suara serak karena dia menjadi makin terharu setelah melihat Puteri Bhutan itu menangisi kematian Ceng Ceng.
“Kalau begitu, biar saya mencoba untuk mencarinya!” Gak Bun Beng cepat lari mencari tali yang banyak terdapat di antara para korban suku Bangsa Mongol. Mereka itu sudah biasa membawa tali untuk keperluan di dalam perantauan mereka. Gak Bun Beng lalu menyambung-nyambung tali itu dan kembali lagi ke dekat sumur di mana Jenderal Kao menantinya dengan heran.
“Gak-enghiong, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya.
“Saya hendak mencarinya di dalam sumur, harap Goanswe suka memegangi tambang ini agar dapat menolong saya kalau di bawah sana terdapat bahaya.”
“Aihh, harap Gak-enghiong jangan melakukan ini!” Jenderal itu berseru kaget. “Sumur ini terkenal sebagai sumur maut dan siapa saja, apa saja yang masuk ke dalamnya, tidak pernah keluar lagi.”
“Betapa pun berbahayanya, saya akan mencoba untuk mencarinya dan setidaknya memeriksa di sebelah dalam. Siapa tahu kalau-kalau nona Lu masih dapat ditolong.”
“Paman... Paman Gak... benarkah saudaraku Candra Dewi masih dapat ditolong?”
“Mudah-mudahan saja.”
“Tapi... tapi Paman sendiri? Jangan-jangan akan terancam bahaya di bawah sana...” puteri itu bergidik ngeri. “Kalau berbahaya... harap jangan turun ke sana...” Dia bangkit, menghampiri Gak Bun Beng dan memegang tangan pendekar itu.
Gak Bun Beng tersenyum. “Tenangkanlah hatimu, Dewi. Di sini terdapat Kao-goanswe yang akan memegangi ujung tali. Andai kata aku terancam bahaya, pasti masih dapat ditolong.”
Akhirnya jenderal itu dan Syanti Dewi tidak membantah lagi, melainkan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan ketika mereka melihat betapa Gak Bun Beng mulai menuruni sumur yang kelihatan menganga hitam dan tidak dapat dilihat dasarnya itu. Jenderal Kao memegangi ujung tali dengan kuat, mengulur tali sedikit demi sedikit ketika Bun Beng sudah mulai menuruni sumur. Sebentar saja, dua orang itu tidak lagi melihat bayangan Bun Beng yang lenyap ditelan kegelapan yang hitam pekat di dalam sumur itu.
Syanti Dewi berlutut di tepi mulut sumur sambil memandang. Dua tangannya dirangkap di depan dada karena diam-diam dia berdoa demi keselamatan pendekar sakti itu dan demi tertolongnya Ceng Ceng.
“Aahhhhh...!” Tiba-tiba Jenderal Kao berseru kaget.
Wajahnya berubah dan cepat-cepat dia menarik tambang itu dengan kedua tangannya secepatnya. Tadi ketika dia mengulur tambang sampai hampir habis, tiba-tiba tambang itu menegang dan terasa berat, tidak bergerak lagi! Syanti Dewi memandang terbelalak dan pucat mukanya.
Biar pun sudah terluka, jenderal itu masih kuat sekali sehingga sebentar saja dia sudah dapat menarik keluar tubuh Gak Bun Beng dari dalam sumur, tubuh yang tergantung pada ujung tambang yang mengikat pinggangnya. Dan ternyata pendekar itu telah pingsan dengan muka pucat dan kulit muka serta leher dan kedua tangannya agak kehitaman!
“Paman...!” Syanti Dewi hendak menubruk tubuh pingsan yang kini direbahkan di atas tanah itu, akan tetapi Jenderal Kao cepat mencegahnya.
“Harap paduka mundur. Dia keracunan, biar kucoba menyadarkannya!”
Mendengar ini, Syanti Dewi yang gelisah sekali itu hanya dapat memandang dengan air mata bercucuran, sedangkan Jenderal Kao yang berpengalaman itu lalu menempelkan kedua telapak tangan di dada dan perut Gak Bun Beng, mengerahkan sinkang-nya membantu pendekar itu untuk dapat bernapas lagi dan mengusir hawa beracun dari dalam dadanya. Akhirnya Bun Beng dapat bernapas kembali dan mengeluh, lalu bangkit dan duduk, memegangi kepalanya yang terasa pening. Ketika dia membuka mata dan melihat Syanti Dewi menangis, dia berkata,
“Tenanglah, Dewi. Aku tidak apa-apa.” Kemudian kepada Jenderal Kao dia berkata, “Di bawah sana gelap sama sekali, dan dalamnya sukar diukur. Selagi masih tergantung, tiba-tiba ada tercium bau yang aneh dan napasku menjadi sesak, lalu tidak ingat apa-apa lagi.”
Jenderal itu mengangguk-angguk. “Itu tentulah gas yang keluar dari dalam bumi. Sudah jelaslah nasib nona Lu... kasihan dia...”
“Dia... dia... telah mati...” Syanti Dewi menangis lalu berlutut di tepi sumur.
Sejenak mereka bertiga memandang ke dalam sumur dan seperti mengheningkan cipta. Barulah mereka sadar ketika terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan dari benteng di bawah pimpinan seorang perwira yang setia terhadap Jedecal Kao. Perwira itu bernapas lega melihat atasannya selamat, kemudian menceritakan betapa wakil Panglima Kim telah melarikan diri begitu mendengar akan kegagalan rencananya. Juga dia melaporkan bahwa Pengawal Souw Kee It yang tadinya datang bersama Ceng Ceng ternyata telah dibunuh oleh Panglima Kim sendiri yang memimpin pemberontakan.
Jenderal Kao mengepal tinjunya. “Tak kusangka! Akan tetapi, aku bersumpah untuk menangkap dan menghukum jahanam she Kim itu!”
Dia mendendam hebat karena menganggap bahwa kematian Ceng Ceng adalah gara-gara pengkhianatan Kim Bouw Sin. Bahaya yang mengancam dirinya sendiri, yang hampir menewaskannya, tidak teringat lagi olehnya karena sebagai seorang panglima yang telah puluhan tahun berkecimpung di dalam ketenteraan, ancaman maut baginya merupakan hal yang biasa saja. Akan tetapi kematian Ceng Ceng, hal itu sukar untuk dapat dilupakan oleh jenderal perkasa ini.....
********************
Jenderal Kao lalu mengajak Gak Bun Beng dan Puteri Syanti Dewi yang diliputi kedukaan itu ke bentengnya untuk diajak berunding. Bagaimanakah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi dapat datang di sumur maut dan berhasil menyelamatkan Jenderal Kao sungguh pun mereka agak terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita mundur dulu untuk mengikuti perjalanan dan pengalaman mereka yang hebat-hebat sampai mereka tiba di sumur maut itu.
Seperti kita ketahui, Gak Bun Beng melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi dengan susah payah, meninggalkan kota raja menuju ke timur karena pendekar sakti itu jatuh sakit keras setelah jantungnya terguncang hebat dalam perjumpaannya dengan Puteri Milana, kekasihnya yang kini telah menjadi isteri orang lain.
Perjalanan ke utara itu bukan main sukarnya bagi Syanti Dewi. Gak Bun Beng benar-benar terserang penyakit yang payah. Sakit luar dalam! Sakit badan karena mengalami pukulan-pukulan dahsyat dari Siang Lo-mo, iblis kembar yang amat lihai itu, dan sakit hatinya karena perjumpaannya dengan Milana membuat hati yang terluka itu pecah kembali!
Semua ini masih ditambah lagi oleh keharuan dan kegelisahan hatinya menyaksikan sikap Syanti Dewi kepadanya. Sikap seorang wanita muda yang membuat dia amat khawatir karena melihat gejala-gejala yang mencemaskan hatinya bahwa Puteri Bhutan itu telah jatuh cinta kepadanya! Hal ini membuat penyakit dalam di hatinya makin parah dan otomatis membuat dia makin berhutang budi kepada puteri itu karena makin parah sakitnya, makin tekun dan penuh ketelitian lagi sang puteri merawat dan menjaganya.
Luka yang diderita Bun Beng cukup parah, dan selama ini tidak diobati sama sekali, maka tentu saja keadaannya menjadi bertambah parah dan lemah. Andai kata hatinya tidak terluka sehebat itu, tentu dengan kepandaiannya yang tinggi, pendekar ini mampu mengobati luka dalam akibat pukulan sepasang iblis itu. Akan tetapi, keadaan hatinya membuat dia seolah-olah tidak peduli lagi akan penderitaan tubuhnya. Andai kata tidak ada Syanti Dewi, sudah tentu ia tidak mau melanjutkan perjalanan, dan akan menyerah kepada nasib dan bersembunyi di dalam hutan.
“Dewi, kau banyak mengalami kesengsaraan... aku membuat kau menjadi sengsara saja...”
“Paman, jangan berkata demikian.”
“Betapa pun juga, aku harus dapat membawamu menghadap Jenderal Kao Liang, baru akan tenang rasa hatiku akan tetapi... ahhh, kesehatanku makin memburuk, padahal perjalanan ini tidak boleh ditunda-tunda...”
“Jangan khawatir, Paman. Aku akan merawatmu...”
Akan tetapi keadaan Bun Beng makin memburuk sehingga pada suatu hari dia tidak kuat berjalan lagi! Pendekar ini maklum bahwa kalau sampai dia mati sebelum bertemu dengan Jenderal Kao Liang, keselamatan Syanti Dewi akan terancam karena dia harus hidup tanpa pengawal.
“Dewi, kau buatlah alat penyeret dari bambu... kita harus melanjutkan perjalanan...”
“Aduh, Paman... sakitmu semakin hari semakin bertambah parah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan? Marilah kita beristirahat dulu di hutan ini, biar aku yang merawat sampai Paman sembuh baru kita melanjutkan perjalanan ini.”
“Tidak! Harus dilanjutkan sampai tiba di benteng Jenderal Kao! Setelah tiba di sana, tentu aku akan mendapat perawatan dan pengobatan. Sebelum tiba di sana, bagaimana hatiku dapat tenteram?”
Sesungguhnya, Bun Beng ingin segera tiba di benteng Jenderal Kao adalah karena dia mengkhawatirkan keadaan Syanti Dewi, sama sekali bukan karena ingin memperoleh pengobatan. Terpaksa Syanti Dewi tidak berani membantah dan gadis ini lalu membuat alat penyeret dan melanjutkan perjalanan sambil menyeret tubuh pendekar itu yang rebah telentang di atas anyaman bambu yang menjadi alat penyeret itu.
Dapat dibayangkan betapa sukarnya dara itu melakukan perjalanan seperti ini. Padahal mereka melalui gunung-gunung dan daerah-daerah tandus, melalui jalan yang amat sukar. Seorang puteri raja yang biasanya hidup mewah dan segala dilayani, segala tersedia, sekarang harus melakukan perjalanan sambil menyeret orang sakit seperti itu, mencari makan di tengah jalan tandus dan merawat orang sakit. Dapat dibayangkan, betapa hebat penderitaannya.
Namun Syanti Dewi tidak pernah mengeluh dan selalu mendahulukan kepentingan Bun Beng dari pada kebutuhan dirinya sendiri. Dia kurang makan, kurang tidur, kelelahan sampai tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya agak pucat, kedua telapak tangannya yang memegang bambu seretan menjadi tebal dan kulit mata kakinya lecet-lecet!
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Syanti Dewi sudah menyeret tubuh Bun Beng keluar dari sebuah hutan di mana semalam mereka bermalam di bawah pohon besar, dan kini dara itu mendaki daerah pegunungan yang penuh batu karang sehingga pagi-pagi sudah berpeluh. Tanah pegunungan penuh batu itu jelas kelihatan tandus, pohon dan tetumbuhan tidak dapat hidup subur, apa lagi pada waktu itu telah tiba musim kering sehingga rumput-rumput pun menguning kering dan kehausan.
Ketika Syanti Dewi menuruni sebuah puncak batu karang dan tiba di sebuah tikungan, tampaklah olehnya di depan, sebuah dataran dan dari jauh kelihatan gerakan beberapa orang yang sedang bertempur.
“Paman Gak, ada orang bertempur di depan sana!” dara itu berkata sambil berhenti.
“Hadapkan aku ke sana, Dewi.” Bun Beng berkata lirih.
Syanti Dewi memutar alat penyeret itu sehingga Bun Beng dapat melihat ke depan. Setelah memandang sebentar, pendekar sakti yang sedang sakit itu berkata, “Jalan saja terus dan jangan pedulikan mereka, Dewi. Biar pun si kecil itu dikeroyok tiga, dia tidak akan kalah.”
Syanti Dewi melanjutkan perjalanannya, matanya memandang ke arah orang-orang yang bertempur dan merasa heran sekali. Yang bertanding adalah empat orang dan merupakan pertempuran berat sebelah dan tidak adil karena seorang di antara mereka, seorang kanak-kanak, dikeroyok oleh tiga orang dewasa! Panas juga hati Syanti Dewi menyaksikan betapa seorang anak kecil yang melihat tingginya tentu tidak akan lebih dari dua belas tahun usianya, yang hanya membawa sebatang ranting, dikeroyok oleh tiga orang tua yang gerakannya lihai bukan main. Akan tetapi anehnya, anak kecil itu sama sekali tidak kewalahan, bahkan dengan gerakan rantingnya yang amat cepat, yang dimainkan seperti sebatang pedang, anak itu berhasil mendesak tiga orang pengeroyoknya!
Karena Gak Bun Beng sudah menyuruhnya agar tidak mempedulikan mereka, maka ketika tiba di dataran itu, Syanti Dewi terus berjalan sambil menyeret tubuh pedekar yang sedang sakit itu, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan bahkan tidak menengok ke arah empat orang yang bertempur itu.
Akan tetapi, ketika tiga orang lihai yang sedang mengeroyok anak kecil itu melihat Bun Beng dan Syanti Dewi, mereka mengeluarkan seruan girang, meloncat ke belakang menjauhi anak kecil yang mereka keroyok, lalu lari menghampiri Syanti Dewi dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. Tentu saja Syanti Dewi menjadi terkejut dan heran melihat ini, bingung karena tidak tahu apa artinya semua itu. Otomatis dia berhenti.
“Dewi, hadapkan aku kepada mereka.” Bun Beng berkata lirih dan Syanti Dewi lalu memutar bambu penyeretnya sehingga pendekar itu rebah terlentang menghadapi tiga orang yang masih berlutut.
“Harap Lociapwe (orang tua yang gagah) sudi memaafkan kami bertiga yang tidak mengadakan penyambutan karena tidak tahu akan keadaan Locianpwe.” Seorang di antara mereka yang berkumis tebal, berkata dengan sikap dan suara amat menghormat.
Bun Beng mengerutkan alisnya. Dia mengerti bahwa orang-orang ini tentulah ‘salah alamat’ dan mengira dia seorang lain. Akan tetapi sebelum dia menjawab, dengan sekali gerakan kaki saja ‘anak kecil’ itu sudah meloncat dekat dan sekarang tampaklah oleh Syanti Dewi kenyataan yang sudah dilihat oleh Bun Beng dari jauh tadi bahwa ‘anak kecil’ itu sebetulnya bukanlah anak-anak lagi, melainkan seorang tua yang bertubuh kecll dan wajahnya kekanak-kanakan pula!
“Hei, kalian tiga orang Pek-san-pai (Perkumpulan Pegunungan Putih) yang pengecut! Hayo lanjutkan pertandingan kita, ataukah kalian hendak mengajukan orang mau mampus ini sebagai jago? Kalau benar demikian, hayo cepat maju dan lawanlah aku!”
Melihat orang tua bertubuh kanak-kanak yang bersifat sombong ini, Gak Bun Beng mengurungkan niatnya untuk mengaku bahwa tiga orang itu salah mengenai orang. Dia kini diam saja dan mendengarkan sambil melihat keadaan.
Tiga orang itu cepat menoleh dan berkata kepada si kecil, “Engkau orang tua adalah jago undangan Hek-san-pai (Perkumpulan Pegunugan Hitam), akan tetapi hari ini bukanlah saatnya kita bertanding. Engkau mendesak kami, sungguh ini melanggar peraturan! Saat hari pertandingan adalah besok, di Jembatan Angkasa, akan tetapi mengapa kau mendesak kami?”
“Ha-ha-ha-ha, katakan saja bahwa kalian takut! Pertandingan diadakan sekarang atau besok apa bedanya? Kalau kalian takut, lekas suruh ketua kalian maju, boleh juga kalau mengeroyok aku!”
Tiga orang itu kelihatan marah, tetapi juga tampak bahwa mereka itu memang merasa jeri menghadapi si kecil yang amat lihai itu, maka mereka kini memandang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh harapan. Melihat ini, Bun Beng dengan susah payah bangkit duduk di atas anyaman bambu itu, memandang kepada si kecil dan berkata, “Kalau aku boleh bertanya, benarkah sudah dijanjikan bahwa saat pertandingan adalah besok pagi di Jembatan Angkasa?”
Melihat sinar mata Bun Beng yang sangat tajam dan suaranya yang penuh wibawa, si kecil itu kelihatan menjadi ragu-ragu dan menjawab, “Benar, memang saatnya besok di Jembatan Angkasa, akan tetapi kalau sama beraninya, sekarang pun, di tempat ini pun kita dapat mengadu ilmu, mengukur kegagahan!” Sambil berkata demikian, orang tua yang seperti anak-anak itu memutar ranting di antara jari-jari tangannya sehingga lenyaplah ranting itu, berubah menjadi segulungan sinar hijau.
“Sobat,” Gak Bun Beng berkata dengan suara halus, akan tetapi sikapnya serius dan pandang matanya berwibawa, “seorang yang gagah perkasa tidak akan memamerkan kegagahannya, seorang yang mengerti tidak menonjolkan pengertiannya. Akan tetapi engkau terlalu mengandalkan kepandaianmu sehingga tidak lagi memandang kepada orang lain. Seorang yang jantan akan selalu memegang janji yang dihargainya lebih dari nyawa, tetapi engkau agaknya lebih suka melanggar janji antara dua partai. Kegagahan seseorang bukan diukur dari keberaniannya berkelahi, sebab sesungguhnya keberanian berkelahi yang nekat dan konyol hanyalah membuktikan bahwa dia dihantui rasa takut dan khawatir. Takut kalah, khawatir dianggap tidak gagah, khawatir tidak akan dipuji, khawatir tidak akan memperoleh nama besar, dan sebagainya lagi. Sobat yang baik, apakah engkau yang menurut percakapan tadi adalah seorang jago undangan dari Hek-san-pai, ingin disebut seorang yang nekat dan hanya berani karena merasa lebih kuat, dan seorang yang suka melanggar janji?”
Wajah si kecil itu sebentar pucat dan sebentar merah. Ranting yang di tangan kanannya menggigil, tangan kirinya yang kecil dikepal-kepal, matanya berapi dan sesungguhnya dia marah sekali. Tetapi karena apa yang diucapkan orang sakit itu tidak dapat dibantah kebenarannya, sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya dia membanting ranting di atas tanah, diinjaknya dan dia meludah di tanah, lalu berkata,
“Orang berpenyakitan! Aku menunggu kedatanganmu di atas Jembatan Angkasa besok. Hendak kulihat apakah kepandaianmu juga selihai mulutmu. Huhhh!” Dia membalikkan tubuhnya dan dengan beberapa kali loncatan saja si kecil itu sudah lenyap dari tempat itu.
Gak Bun Beng menarik napas panjang dan diam-diam merasa menyesal sekali karena kata-katanya yang dimaksudkan untuk menyadarkan orang bertubuh kecil itu, ternyata hanya mampu mengurungkan niat orang kecil itu untuk memaksa tiga orang lawannya berkelahi, akan tetapi bahkan mendatangkan rasa dendam di hati si orang kecil. Dia memandang kepada tiga orang yang masih berlutut di depannya, lalu bertanya, “Harap sam-wi (saudara bertiga) sudi menjelaskan, apakah sebenarnya yang telah terjadi di sini?”
Syanti Dewi merasa lega juga melihat bahwa pamannya berhasil mengusir orang kecil tadi tanpa pertandingan, maka dia pun kemudian duduk di atas tanah dekat pamannya, mendengarkan penuturan orang berkumis tebal yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) dari dua orang lainnya.
Di pegunungan itu tinggal dua orang kakak dan adik seperguruan yang berkepandaian tinggi. Namun karena guru mereka menurunkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan bakat masing-masing, timbullah rasa iri hati di dalam hati masing-masing, mengira bahwa guru mereka lebih sayang kepada saudara seperguruannya. Perasaan iri hati dan bersaing ini terus tumbuh dengan subur dan setelah guru mereka meninggal dunia, kedua orang kakak beradik ini berpisah.
Akhirnya si suheng (kakak seperguruan) tinggal di Hek-san (Gunung Hitam) sedangkan si sute (adik seperguruan) tinggal di Pek-san (Gunung Putih). Hek-san dan Pek-san sebetulnya masih di satu daerah pegunungan, hanya berbeda puncak yang berwarna hitam dan putih. Hek-san berwarna hitam karena batu karang hitam yang keras memenuhi puncak itu, sedangkan Pek-san berwarna putih karena puncaknya banyak mengandung batu kapur. Kedua orang lihai ini akhirnya menerima murid-murid dan berdirilah dua buah perkumpulan yang dinamakan menurut nama puncak masing-masing yaitu Hek-san-pai dan Pek-san-pai.
Persaingan atau permusuhan secara diam-diam itu berlangsung terus dan akhirnya meledak menjadi permusuhan terbuka karena mereka yang kini mempunyai banyak anggota itu membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari dan terutama sekali untuk keperluan sawah ladang mereka. Padahal air yang amat dibutuhkan itu hanya terdapat di bawah Jembatan Angkasa yang merupakan sumber yang tidak pernah kering. Terjadilah bentrokan-bentrokan kecil memperebutkan air, yang kemudian makin lama menjadi makin hebat sehingga kakak dan adik seperguruan itu sendiri turun tangan sendiri bertanding di atas jembatan gantung, disaksikan oleh para murid mereka!
Betapa pun juga, kedua orang ini masih ingat akan sumpah mereka di depan mendiang guru mereka bahwa mereka dilarang keras untuk saling membunuh, maka dalam pertandingan ini mereka berdua menjaga agar jangan sampai lawan yang masih saudara seperguruan sendiri itu tewas! Akhirnya, sang sute kalah dan menderita luka-luka. Karena dia tidak dibunuh, maka dia menaruh dendam dan menantang untuk bertanding lagi setahun kemudian.
Demikianlah, permusuhan yang aneh ini berlangsung terus sampai dua tiga keturunan mereka. Setiap tahun diadakan pertandingan di antara mereka, jago melawan jago untuk menentukan siapa yang unggul. Mereka yang menang dianggap menguasai mata air di bawah Jembatan Angkasa dan menentukan pembagian air untuk keperluan mereka sampai ada keputusan tahun depan dalam pertandingan mendatang!
“Dan hari pertandingan untuk tahun ini jatuh pada hari besok, Locianpwe,” si kumis tebal mengakhiri ceritanya. “Telah bertahun-tahun lamanya, karena ingin sekali mencapai kemenangan, kedua belah pihak tidak puas dengan jago golongan sendiri dan mulailah mendatangkan jago dari luar kalangan sendiri. Pada tahun ini, pihak Hek-san-pai telah mendatangkan jago orang yang bertubuh kecil tadi, yang berjuluk Sin-kiam Lo-thong (Anak Tua Pedang Sakti). Baru menggunakan ranting saja, kami bertiga murid-murid kepala Pek-san-pai tak dapat menandinginya, apa lagi kalau dia menggunakan pedang!”
“Hemm, lalu mengapa kalian yang tidak mengenalku begitu berjumpa telah memberi hormat berlebihan?”
“Biar pun belum pernah bertemu, kami tahu bahwa Locianpwe tentulah Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Tangan Sakti) dari puncak Ci-lan-kok (Lembah Bunga Cilan). Ketua atau guru kami telah mengundang Locianpwe, maka begitu Locianpwe muncul kami telah mengenal Locianpwe yang tahun ini diundang oleh suhu (guru) sebagai jagoan kami.”
Bun Beng tersenyum. Kiranya orang-orang ini telah salah menduganya sebagai seorang tokoh yang bernama Sin-ciang Yok-kwi dan yang dicalonkan sebagai jago pihak Pek-san-pai. Dia tidak ingin mencampuri urusan ini, akan tetapi karena melihat bahwa orang kecil tadi memang lihai dan tentu pihak Pek-san-pai akan kalah, dia ingin melihat perkembangan lebih jauh. Pula, timbul niat di hatinya untuk mengusahakan perdamaian di antara perkumpulan yang masih bersaudara itu.
“Aku bukan Sin-ciang Yok-kwi, akan tetapi aku kebetulan lewat dan biarlah aku akan menonton besok. Kalau Yok-kwi yang kalian tunggu ternyata tidak muncul, aku akan mengusahakan agar tidak ada pertumpahan darah.”
Tiga orang itu girang sekali. Biar pun mulut mereka tidak mengatakan sesuatu namun pandang mata mereka saling bertemu dan saling maklum. Bagi mereka, tidak salah lagi bahwa tentu orang sakti ini adalah Sin-ciang Yok-kwi! Ciri-cirinya sama! Biar pun mereka belum pernah jumpa dengan kakek setan obat itu, namun kabarnya Yok-kwi adalah seorang yang berpenyakitan dan yang sama sekali tidak pernah mau mengakui namanya sendiri, tidak mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi!
Tentu saja mereka tidak pernah dapat melihat Yok-kwi, karena kabarnya kakek yang tinggal sebagai pertapa di puncak Ci-lan-kok itu wataknya aneh luar biasa. Orang-orang sakit yang datang kepadanya, pasti sembuh. Akan tetapi orang waras yang berani datang, tentu akan dihajarnya sampai menjadi sakit! Karena itu tidak ada orang waras yang suka atau berani naik ke puncak Ci-lan-kok.
Bun Beng tak membantah ketika bersama Syanti Dewi dia diajak pergi ke puncak Pek-san-pai di mana dia disambut dengan segala kehormatan oleh ketua Pek-san-pai sendiri, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan gagah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketua Pek-san-pai mengajak rombongannya, juga Bun Beng dan Syanti Dewi, pergi ke Jembatan Angkasa. Empat orang anggota Pek-san-pai memanggul alat penyeret bambu di mana Bun Beng rebah diikuti oleh Syanti Dewi.
Jembatan Angkasa itu adalah bangunan batu karang hitam kuat yang menyambung satu tepi jurang dengan tepi yang lain, bentuknya seperti jembatan gantung! Jembatan buatan alam ini memang ajaib dan patut dinamakan Jembatan Angkasa karena orang yang melalui jembatan ini berada di tempat tinggi seperti terbang saja melalui tangga awan. Dan tepat di kolong jembatan batu ini terdapatlah sumber atau mata air yang dijadikan perebutan dan bahan pertentangan. Kini semua pihak telah berkumpul, pihak Hek-san-pai di ujung kiri Jembatan Angkasa dan pihak Pek-san-pai di ujung kanan. Seperti biasa pada setiap pertemuan pertandingan itu, sebelum masing-masing jago kedua belah pihak maju bertanding, terlebih dahulu dua orang ketua masing-masing perkumpulan maju dan bertemu di atas jembatan.
Ketua Pek-san-pai sudah mendaki jembatan dan disambut oleh ketua pihak Hek-san-pai yang masih terhitung suheng-nya sendiri. Keduanya bertemu, mengangkat tangan memberi hormat dan ketua Pek-san-pai berkata, “Apakah tahun ini Suheng sebagai ketua Hek-san-pai tetap tidak mau mengalah dan hendak menguasai mata air?”
Ketua Hek-san-pai yang mukanya seperti seekor orang hutan dan hidungnya pesek, tersenyum mengejek. “Tentu saja, Sute. Memang selamanya kami dari Hek-san-pai yang seharusnya menguasai mata air itu.”
“Hemm, kalau begitu, Suheng menantang untuk diadakan pertandingan?”
“Tentu saja! Kami sudah mempunyai jago kami, yaitu Sin-kiam Lo-thong!”
“Dan kami juga sudah mengundang jago kami, Sin-ciang Yok-kwi!”
Sin-kiam Lo-thong yang berdiri di ujung kiri jembatan sudah tertawa-tawa dan meraba-raba gagang pedangnya. Sementara itu, Syanti Dewi mendengarkan penjelasan seorang anggota Pek-san-pai tentang sebab permusuhan itu, tentang sumber mata air dan tentang aturan jalannya pertandingan yang ada pantangannya, yaitu tidak boleh membunuh lawan dan siapa yang roboh dianggap kalah dan kekalahan ini harus diterima oleh pihak partai yang menjagoi yang kalah itu.
“Pamanku itu bukanlah Sin-ciang Yok-kwi,” kata Syanti Dewi karena dia khawatir sekali melihat Bun Beng yang sedang sakit itu hendak disuruh bertanding.
Pemuda Pek-san-pai itu hanya tersenyum. “Tentu saja bukan...” katanya karena dia pun sudah mendengar bahwa Sin-ciang Yok-kwi tidak pernah mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi. “Akan tetapi tanpa bantuan locianpwe itu, pihak kami tentu akan kalah lagi. Sudah lima tahun berturut-turut pihak kami kalah selalu karena Hek-san-pai pandai mencari jago-jago yang lihai. Bahkan tahun ini, jagonya yang berdiri di sana itu amat lihai.” Pemuda itu menuding ke arah Sin-kiam Lo-thong yang tampak dari situ seperti seorang anak kecil yang berdiri di atas batu.
Oleh karena merasa tidak ada gunanya bersikeras menyangkal, akhirnya Syanti Dewi bertanya, “Di manakah tempat bertapa Sin-ciang Yok-kwi?”
Pemuda itu memandang kepadanya sambil tersenyum, seolah-olah dia menganggap dara ini main-main, akan tetapi dia tidak berani untuk tidak menjawab, maka dia lalu menunjuk ke arah sebuah puncak lain yang tidak berapa jauh dari Jembatan Angkasa itu. “Di puncak sana itulah tempat pertapaan tabib dewa itu.”
“Benarkah bahwa dia pandai mengobati segala macam penyakit?”
Pemuda itu mengangguk. “Sepanjang pendengaranku, belum pernah ada orang sakit yang tidak dapat disembuhkannya.”
Percakapan itu terpaksa dihentikan karena Syanti Dewi melihat betapa Gak Bun Beng, dengan langkah-langkah lemah dan terhuyung-huyung, sudah naik ke atas Jembatan Angkasa.
“Paman...!” Serunya lirih dan dia meninggalkan pemuda Pek-san-pai itu lari ke jembatan batu.
Gak Bun Beng berhenti, menengok dan memberi isyarat kepada Syanti Dewi agar tidak ikut naik. Dara itu tidak berani membantah, berdiri di kaki jembatan sambil memandang ke atas, mukanya pucat sekali dan pandang matanya penuh kekhawatiran.
Gak Bun Beng menghampiri dua orang ketua yang saling berdebat di atas Jembatan Angkasa itu. Melihat orang yang menderita sakit ini telah maju, Sin-kiam Lo-thong juga berlari-lari mendatangi dari ujung jembatan yang lain.
“Ha-ha-ha-ha, engkau yang disebut Sin-ciang Yok-kwi? Majulah kalau memang engkau dijadikan jago oleh Pek-san-pai, melawan aku Sin-kiam Lo-thong jago dari Hek-san-pai!” Kakek bertubuh kanak-kanak itu menantang.
Bun Beng sudah tiba di atas jembatan, berdiri tegak dan mengatur pernapasannya, kemudian berkata dengan suara halus namun kata-katanya mengejutkan semua orang, terutama ketua Pek-san-pai, “Cu-wi sekalian, memang aku datang dan melihat urusan ini timbul keinginan hatiku untuk mencampurinya. Akan tetapi, aku sama sekali tidak mewakili Pek-san-pai, tidak mewakili atau membantu kedua pihak, karena aku adalah pihak ketiga yang membutuhkan tempat dan sumber air ini!”
“Apa katamu...?” ketua Hek-san-pai membentak dengan mata melotot.
“Locianpwe... apa... apa artinya ini...?” Ketua Pek-san-pai juga bertanya heran.
“Keparat! Manusia berpenyakitan hampir mampus ini ternyata pengacau! Baik kubasmi dia!” Sin-kiam Lo-thong berteriak marah dan untuk memperlihatkan kelihaiannya dan mencari jasa, dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang Gak Bun Beng dengan tusukan kilat!
“Hmm...” Pendekar ini menggeram. Biar pun tubuhnya terasa lemah dan sebelah dalam dadanya nyeri, namun sekali dia mengerahkan sinkang, dia dapat mengelak cepat dan tangan kirinya menampar ke arah sinar pedang yang berkelebat.
“Krekkkk! Aughhhh...!”
Pedang itu kena dihantam tangan miring Gak Bun Beng dan patah menjadi dua potong, bahkan sebuah tusukan jari tangan kanan yang cepat mengenai jalan darah di pundak Sin-kiam Lo-thong, membuat kakek bertubuh kecil itu terjengkang dan roboh tak dapat bangun kembali karena sudah tertotok lumpuh!
“Bawa dia pergi...!” Bun Beng berseru ke arah anak buah Hek-san-pai yang cepat lari mendatangi, dan dua orang itu lalu menggotong pergi Sin-kiam Lo-thong yang masih lumpuh kaki tangannya.
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi Gak Bun Beng dengan alis berkerut. “Sebetulnya, apa kehendakmu?” ketua Hek-san-pai yang melihat jagonya roboh itu bertanya.
“Locianpwe, bukankah Locianpwe mewakili kami sehingga kini pihak Pek-san-pai yang menang?” tanya ketua Pek-san-pai penuh harap.
Gak Bun Beng memandang mereka dengan mulut tersenyum mengejek. “Aku tidak mewakili siapa-siapa. Sejak tadi sudah kukatakan bahwa aku mewakili diriku sendiri untuk memperebutkan tempat ini berikut sumber airnya.”
“Ahhh! Tetapi tempat ini adalah warisan dari nenek moyang kami kedua perkumpulan! Kami kakak beradik seperguruan saja yang berhak atas tempat ini!” bantah ketua Pek-san-pai yang merasa kecewa sekali.
Bun Beng memperlebar senyumnya. “Kakak beradik seperguruan macam apa kalian ini? Kalau kalian sudah memperebutkan tempat ini dan setiap tahun bertanding, biarlah aku juga memperebutkannya. Akan tetapi alangkah curangnya kalau untuk kepentingan sendiri harus mengundang jagoan-jagoan bayaran. Hayo, kalian kakak beradik yang membutuhkan tempat ini majulah bersama melawan aku. Kalau kalian kalah, tempat ini menjadi milikku dan untuk keperluan air, kalian boleh membeli atau menyewa dariku. Kalau aku yang kalah, nah, tempat ini menjadi milik kalian berdua, keperluan air kedua pihak tentu dapat dicukupi tanpa adanya permusuhan dan perebutan.”
Kedua orang saudara seperguruan yang sudah beberapa keturunan menjadi musuh karena air itu kini saling pandang. Mereka menjadi ragu-ragu dan penasaran. Urusan jembatan dan air adalah urusan dalam antara mereka sendiri, dan kini muncul orang luar yang hendak merampas tempat itu dan memaksakan diri untuk masuk ke dalam perebutan turun-temurun itu!
“Apakah kalian ini telah menjadi orang-orang yang demikian pengecut, beraninya hanya ribut antara saudara sendiri dan takut untuk menentang orang luar?” Bun Beng berkata lagi, nadanya amat menghina sehingga wajah kedua orang ketua itu menjadi merah.
“Siapa takut? Kami hanya menghormatimu karena nama besarmu sebagai Sin-ciang Yok-kwi...,” kata ketua Peksan-pai.
“Aku bukan Yok-kwi (Setan Obat) atau setan apa pun. Aku adalah Gak Bun Beng seorang perantau yang ingin memiliki jembatan dan sumber air ini. Kalau kalian takut, sudah saja kalian bayar sewa tahunan kepadaku untuk menggunakan air di sini. Kalau berani, majulah!”
“Keparat, tempat ini akan kami pertahankan dengan nyawa!” bentak ketua Hek-san-pai.
“Bagus, kalau begitu majulah kamu berdua. Tetapi, kalian harus ingat akan pertaruhan dan janjinya. Kalau aku menang, kalian menjadi penyewa tempat ini dan membayar kepadaku. Kalau aku yang kalah, kalian harus berdamai dan tidak lagi memperebutkan tempat ini, memakainya sebagai milik bersama.”
Dua orang ketua itu telah menjadi marah sekali. Dari kanan kiri mereka maju menyerang Bun Beng. Pendekar ini diam-diam merasa gembira karena siasatnya berhasil baik. Maka dia juga bergerak dan menangkis tanpa mengerahkan tenaganya karena tadi begitu dia mengerahkan sinkang ketika menghadapi Sin-kiam Lo-thong, dadanya terasa makin nyeri. Biar pun kini dia tidak mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi karena dia harus mengelak ke sana ke mari dan menangkisi pukulan-pukulan kedua orang ketua yang juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi itu, lama kelamaan Bun Beng merasa betapa kepalanya pening.
Akhirnya, pukulan ketua Hek-san-pai mengenai dadanya sedangkan pukulan ketua Pek-san-pai mengenai punggungnya. Bagi tubuh Bun Beng yang sudah memiliki daya tahan dan kekebalan luar biasa, pukulan-pukulan itu tidak berbahaya, namun cukup kuat untuk membuat kepalanya yang sudah pening menjadi makin pening, pandang matanya gelap dan robohlah dia dalam keadaan pingsan!
“Kalian manusia-manusia berhati kejam...!” Tiba-tiba Syanti Dewi berlari naik ke atas jembatan menudingkan telunjuknya ke arah muka kedua orang ketua itu dengan marah. “Butakah mata kalian?”
Kedua orang ketua itu terheran-heran. Tadinya mereka siap menghadapi dara ini karena mereka menyangka bahwa dara itu akan menuntut balas atas kekalahan Gak Bun Beng. Kini mereka saling pandang dan bingung.
“Sudah jelas bahwa paman Gak sengaja hendak memaksa kalian agar berdamai dan menghentikan permusuhan ini, permusuhan bersifat kanak-kanak yang memalukan! Paman Gak sengaja mengalah dan mengorbankan dirinya agar kalian menang dan bisa berdamai. Kalau tidak, apakah kiranya kalian berdua akan dapat menang menghadapi dia? Tidak kalian lihat tadi betapa dalam segebrakan saja dia mampu mengalahkan Sin-kiam Lo-thong? Buta! Kalian buta dan tidak mengenal budi!” Setelah berkata demikian, Syanti Dewi lalu berlutut dekat Gak Bun Beng.
Dua orang ketua itu terbelalak seperti disambar petir rasanya. Baru sekarang mereka mengerti. Mereka pun otomatis berlutut dekat tubuh Bun Beng yang masih pingsan.
“Maafkan kami, Nona. Biarlah kami menolong dan merawat locianpwe ini...,” kata ketua Pek-san-pai.
“Kami memang bodoh dan locianpwe ini telah memberi pelajaran hebat kepada kami dengan mengorbankan diri. Maafkan kami, Nona. Kami akan berusaha merawat dan mengobatinya.”
Syanti Dewi bangkit berdiri. “Apakah di antara kalian terdapat ahli pengobatan yang pandai?”
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian menggeleng kepala.
“Kalau begitu, tolong bawa paman Gak ke rumah, aku akan pergi menemui Sin-ciang Yok-kwi di Ci-lan-kok.”
Kembali kedua orang ketua itu tertegun. “Jadi... benarkah locianpwe ini bukan Sin-ciang Yok-kwi?”
“Kalian memang bodoh dan buta karena permusuhan picik ini. Dia adalah paman Gak Bun Beng yang sedang sakit dan kebetulan lewat di tempat ini. Aku mau pergi mencari Yok-kwi!”
Syanti Dewi sudah hendak lari ketika dua orang ketua itu berseru.
“Tahan dulu, Nona!”
“Ada apa lagi?”
“Sebaiknya kalau Gak-locianpwe ini dibawa saja ke puncak Ci-lan-kok menghadap dan mohon bantuan Sin-ciang Yok-kwi. Kalau Nona pergi ke sana mengundangnya, tentu beliau tidak mau, bahkan amat berbahaya bagi keselamatanmu.”
“Tidak! Paman Gak sedang menderita dan sakit berat, mana mungkin dibawa naik puncak? Aku akan mencarinya, menemuinya dan memintanya turun puncak mengobati paman Gak. Kalian rawat paman Gak baik-baik!” Tanpa menanti jawaban lagi Syanti Dewi lari meninggalkan jembatan itu, dia tidak mempedulikan peringatan dan cegahan kedua orang ketua itu.
Setelah mengadakan permufakatan, akhirnya Gak Bun Beng yang pingsan itu digotong ke tempat tinggal ketua Pek-san-pai dan selanjutnya kedua orang ketua yang masih terhitung kakak beradik seperguruan itu bersama-sama merawat Bun Beng dan nampak rukun sekali. Melihat ini, otomatis para anak murid atau anak buah mereka menjadi girang dan tanpa diperintah mereka itu pun menjadi rukun, berkelompok dan bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat lama baru saling berjumpa lagi.
Di puncak lembah Ci-lan-kok terdapat sebuah kuil tua yang sudah rusak. Kuil ini ratusan tahun yang lalu dihuni oleh para tosu yang bertapa di tempat itu, dan sekarang telah kosong tidak dipergunakan lagi. Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, kuil yang dikabarkan orang berhantu itu mendapatkan seorang penghuni baru yang amat aneh.
Seorang kakek bertongkat yang menderita sakit, tidak perah kelihatan sehat, akan tetapi hebatnya, kakek berpenyakitan ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam ilmu pengobatan. Mula-mula yang diobatinya adalah anak-anak penggembala kerbau yang sampai di lereng Ci-lan-kok, kemudian beberapa orang penebang kayu dan pemburu yang terluka. Lama kelamaan banyak orang sakit yang datang kepadanya. Memang hebat kepandaian kakek ini. Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya dan cara mengobatinya juga amat aneh.
Memang sebagian besar dari mereka yang datang minta obat kepadanya, diberi obat ramuan daun, bunga, buah dan akar-akaran. Akan tetapi ada kalanya dia menyuruh orang makan tanah, ada yang diludahi, ada yang ditampar pundak atau dadanya, ada yang ditotok, ada pula yang dipukul kepalanya dengan tongkat sampai benjol. Tetapi apa pun yang diberikan oleh tangannya atau dilakukan dengan tangannya, orang yang sakit menjadi sembuh kembali! Inilah sebabnya, biar pun dia tidak pernah menyebutkan namanya, dia segera memperoleh julukan Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti). Sikap dan wataknya memang aneh seperti setan, tapi tangannya dianggap sakti.
Dia disebut setan karena memang aneh wataknya. Orang yang menderita sakit, kalau menghadap kepadanya, tentu diobatinya biar pun secara luar biasa dan kadang-kadang menyakitkan hati. Akan tetapi orang waras yang berani menghadapinya sekedar ingin melihat dan mengenalnya, tentu akan diamuknya, menjadi korban pukulan tongkatnya sehingga orang yang waras itu akan lari lintang-pukang dengan kepala benjol-benjol dan tubuh sakit-sakit! Dan ternyata bahwa ilmu silat kakek itu juga hebat, karena banyak di antara mereka yang dihajar itu sendiri orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun yang sama sekali tidak berdaya menghadapi hajaran tongkat kakek berpenyakitan itu!
Pada hari itu, seperti biasa, Sin-ciang Yok-kwi duduk bersandar pada dinding di luar kuil, di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di depan kuil. Kakek ini duduk bersandar dengan mata masih mengantuk, memegang tongkatnya yang gagangnya bengkok dan yang dipakai menopang dagunya. Kelihatannya dia masih mengantuk dan lemas sekali, bahkan kadang-kadang terdengar dia mengeluh dan merintih seperti orang yang menderita penyakit berat. Kedua kakinya tidak bersepatu dan pakaiannya yang cukup bersih itu amat sederhana. Melihat wajahnya yang sudah penuh keriput, agaknya kakek ini tentu sudah ada enam puluh tahun usianya.
Matahari telah naik tinggi ketika dari lereng puncak Ci-lan-kok muncul belasan orang. Melihat keadaan mereka, jelas tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang menderita sakit. Ada yang terhuyung-huyung, ada yang dipapah, ada yang digotong dan ada yang mengerang dan terengah-engah. Ketika mereka melihat kakek yang mereka harapkan akan dapat menyembuhkan penderitaan mereka itu berada di luar kuil, mereka berhenti.
Biar pun mereka itu mengandung harapan untuk disembuhkan, namun nama kakek yang tersohor aneh dan galak ini membuat mereka takut dan seolah-olah ingin orang lain menghadap lebih dulu. Seperti serombongan orang yang menderita sakit gigi antri di depan kamar periksa dokter gigi! Ingin diobati namun ngeri membayangkan cara pengobatan yang menyiksa.
Seorang di antara mereka, yang masih berusia muda, mengangkat dadanya lalu dengan langkah lebar menghampiri kakek itu, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-ciang Yok-kwi yang masih memejamkan mata bersandar dinding butut.
“Locianpwe, saya mohon pertolongan Locianpwe untuk menyembuhkan penderitaan saya, sesak di dada dan lambung kiri...” Orang muda itu berkata sambil berlutut.
Perlahan-lahan mata itu terbuka, memandang tak acuh kepada pemuda yang berlutut di depannya. “Huh, kau habis berkelahi?” tiba-tiba bibir kakek itu bergerak dan pertanyaan penuh celaan ini membuat pemuda itu menundukkan mukanya.
“Benar, Locianpwe, akan tetapi saya tidak bersalah, saya...”
“Sudah berkelahi berarti bersalah! Kalau sudah berani berkelahi, terluka, tanggung saja sendiri!”
“Harap Locianpwe mengasihi saya... dada ini terasa sakit bukan main kalau bernapas...”
“Sudahlah! Engkau memang kurang mendapat pukulan!” Tiba-tiba tangan kiri kakek itu meraih ke depan, ujung kuncir rambut pemuda itu yang menggantung di depan telah dipegangnya dan ditariknya hingga kepala pemuda itu tertarik, tubuhnya membungkuk, lalu tongkat itu bergerak memukul punggung si pemuda.
“Dukkkk...! Uakkhh...!” Pemuda itu muntahkan darah dan roboh menelungkup di depan kaki Yok-kwi. Matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah. Dia marah sekali dan cepat dia bangkit duduk lalu meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
“Locianpwe...! Aihhh... dadaku... sudah tidak terasa sakit lagi...!”
Pemuda itu berloncat-loncatan dengan girangnya biar pun bibirnya masih berlepotan darah.
“Pergilah!” Kakek itu mengangkat tongkatnya hendak memukul dan pemuda itu lari dari tempat itu sambil tertawa-tawa girang.
Mereka yang menyaksikan cara pengobatan itu menjadi makin ngeri sehingga diam-diam mereka yang merasa bahwa penyakitnya tidak berat, segera meninggalkan tempat itu, menuruni puncak tidak berani berobat!
Kini yang berlutut di depan kakek itu adalah sepasang suami isteri. Usia mereka tiga puluh tahun lebih, si suami bertubuh gendut dan tiada hentinya mengusap keringat yang membasahi dahi dan lehernya, sedangkan isterinya yang cantik dan bertubuh montok cemberut karena suami itu kelihatannya jeri dan agaknya dipaksa menghadap Yok-kwi.
Dengan tarikan-tarikan tangannya, isteri itu terus mendesak agar si suami cepat bicara kepada Yok-kwi. Tapi suami itu kelihatan ketakutan dan sukar mengeluarkan kata-kata, keringatnya makin banyak. Maka terjadilah tarik-menarik tangan antara mereka di depan kakek yang sudah melenggut lagi itu. Akhirnya, setelah isteri itu mencubit lengan sang suami sekerasnya, si gendut itu berteriak kesakitan dan Yok-kwi membuka matanya memandang.
“Ada apa kalian ini?” tegurnya.
Laki-laki gemuk itu terkejut dan makin ketakutan, memberi hormat dengan memukul-mukulkan dahi ke atas tanah sambil berkata, “Mohon maaf, Locianpwe... saya... ehhh, kami... mohon obat kepada Locianpwe... agar kami berdua... dapat dikurniai anak...”
Sejenak kakek itu memandang kepada mereka bergantian, lalu bertanya kepada wanita itu, “Benarkah engkau ingin mempunyai anak?”
Dengan muka berubah merah sekali dan tanpa berani mengangkat mukanya, wanita itu menjawab lirih, “Benar... Locianpwe...”
Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas tanah di dekat si suami, membuat si gendut ini terkejut dan ketakutan. “Kalau ingin mempunyai anak kau harus tidur dengan laki-laki lain!”
Jawaban ini tentu saja mengejutkan suami isteri itu, dan menggelikan hati semua orang, namun tidak ada yang berani tertawa. Suami yang gendut itu membentur-benturkan dahinya di atas tanah, lalu berkata gagap, “Akan tetapi... Locianpwe, ini... ini adalah...”
“Pergi! Lekas! Atau kuketuk kepala kalian dengan tongkat ini!” bentak kakek itu marah-marah.
Si isteri lalu memegang tangan suaminya dan menariknya pergi dari situ. “Hayo cepat pergi...” bisiknya.
Suami gendut itu menurut, dan pergilah mereka, suara mereka masih terdengar karena mereka agaknya mulai cek-cok. “Kini kau tergesa-gesa hendak mencari pria lain, ya?” terdengar si suami mengomel.
“Cih! Kau yang tak becus!” isterinya membantah.
“Awas kau kalau tidur dengan laki-laki lain...!”
“Sshhhh, manusia tak tahu malu! Didengar orang, tahu tidak?”
Orang-orang yang berada di situ tersenyum geli juga mendengar percekcokan suami isteri itu dan diam-diam merasa heran akan sikap kakek yang sudah melenggut pula itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa dua kali pengobatan itu sudah membuktikan kelihaian Yok-kwi. Pemuda tadi telah disembuhkannya dengan cara pukulan sinkang yang sekaligus mengusir bahaya dari dalam tubuh si pemuda dan memunahkan akibat dari pukulan yang membuat pemuda itu mengalami cidera di dalam tubuhnya.
Ada pun kata-katanya kepada suami isteri itu memang atas dasar kenyataan bahwa menurut penglihatannya yang tidak ngawur, melainkan menurut perhitungan dan pengalaman, suami yang gendut itu memang tidak dapat memberikan benih keturunan kepada isterinya.
Jawaban itu mungkin terdengar tidak sopan dan bahkan agak kurang ajar, dan memang demikianlah watak aneh dari Yok-kwi, namun sebenarnya memang tepat, karena wanita yang bertubuh sehat dan montok itu pasti dapat memperoleh keturunan kalau tidur dengan pria lain yang normal, tidak seperti suaminya!
Setelah beberapa orang yang sakit diobati oleh Yok-kwi dengan cara-caranya yang istimewa, akhirnya tampak sepasang suami isteri berlutut menghadap kakek itu. Si suami yang bertubuh tinggi besar dan biar pun usianya sudah lima puluh tahun namun mukanya terpelihara bersih, pakaiannya pun rapi, berwajah pucat dan datang ke tempat itu dipapah oleh isterinya yang baru berusia tiga puluhan tahun, cantik dan bersikap genit penuh daya pikat.
“Locianpwe, mohon sudi mengobati suami saya yang menderita sakit sudah berbulan-bulan,” berkata si isteri sambil berlutut.
Kakek itu memandang laki-laki pucat itu sampai beberapa lama, kemudian mengerling ke arah si isteri lalu membentak, “Apa kau ingin membunuh suamimu?”
Isteri itu terkejut bukan main, demikian pula suaminya. “Apa... apa maksud Locianpwe?” isteri itu bertanya dengan gagap, sedangkan si suami memandang isterinya dengan alis berkerut.
“Kalau kau tidak ingin membunuh suamimu, tinggalkan dia kalau malam. Harus pindah kamar sampai tiga bulan lamanya!” Tiba-tiba tangan kanan kakek itu menyambar sebutir batu, melemparkan batu kecil ke atas pohon dan jatuhlah seekor burung, mati karena kepalanya disambar batu. “Masak ini dengan arak, tim yang empuk lalu makan habis. Setiap hari harus makan burung seperti ini dengan arak, sampai sebulan. Nah, kalian pergilah!”
Suami isteri itu tidak banyak cakap lagi, menerima bangkai burung dan menghaturkan terima kasih, cepat pergi dari tempat itu dengan muka merah. Di antara sisa mereka yang hendak berobat, ada yang tersenyum geli. Mereka pun berpikir, itulah resikonya seorang laki-laki tua mempunyai isteri muda sekali.