Kisah Sepasang Rajawali Jilid 09

Cerita silat online karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 09
Akhirnya semua orang telah menerima giliran berobat dan yang terakhir sekali seorang dara cantik jelita berlutut di depan kakek itu. Yok-kwi memandang dengan alis berkerut kepada Syanti Dewi, kemudian berkata galak, “Kau tidak sakit! Kalau kau lekas menikah tentu akan terobat rindu di hatimu terhadap pria yang kau cinta! Hayo pergi, kalau bukan seorang anak perempuan, sudah kupukul kepalamu!”

Syanti Dewi sudah mendengar akan watak aneh dari kakek ini, bahkan tadi dia telah menyaksikan cara-cara kakek ini mengobati orang. Biar pun dia merasa gentar juga, namun demi keselamatan Bun Beng, dia tidak akan mundur dan bahkan dia telah memperoleh akal untuk mengundang kakek ini agar suka mengobati Gak Bun Beng. Betapa pun juga, kata-kata kakek itu mengejutkan hatinya dan membuat dia sejenak termenung dengan muka berubah merah. Dia rindu terhadap pria yang dicintanya?

“Hayo pergi...!” Kakek itu membentak dan bangkit berdiri karena dia ingin masuk ke dalam kuil kembali setelah semua orang itu pergi.

“Maaf, Locianpwe. Memang saya tidak sakit. Kedatangan saya ini untuk menyaksikan sendiri kabar yang saya dengar tentang kepandaian Locianpwe yang katanya setinggi langit. Akan tetapi saya kecewa melihat cara Locianpwe mengobati orang tadi. Apa lagi melihat keadaan Locianpwe sendiri jelas bukan orang waras dan menderita sakit hebat, saya makin tidak percaya.”

Yok-kwi memandang Syanti Dewi dengan alis berkerut dan mata terbelalak penuh kemarahan. Sebagai orang yang berpengalaman dan tajam penglihatannya, dia sekali pandang saya sudah mengenal orang. Dia tahu bahwa wanita muda ini bukan orang sembarangan, gerak-geriknya halus, kata-katanya teratur dan sopan, sikapnya agung. Jelas bukanlah wanita sembarangan. Namun mengapa ucapannya seolah-olah sengaja hendak menghina dan merendahkannya?

“Nona, aku tidak tahu engkau siapa dan apa perlumu datang ke tempat ini. Akan tetapi ketahuilah, biar pun aku tidak biasa membuat propaganda seperti tukang jual obat di pasar, aku menantang semua penyakit di dunia ini! Orang yang menderita penyakit apa pun, selama dia belum mampus, tentu dapat kuobati sampai sembuh!” Suara kakek itu kereng dan marah sekali karena kelemahannya telah disinggung oleh Syanti Dewi dan memang inilah tujuan dara yang cerdik itu.

Syanti Dewi adalah seorang wanita yang sejak kecil dididik dengan kebudayaan tinggi dan kesopanan dalam istana sehingga otomatis dia memiliki sifat dan sikap yang amat halus. Akan tetapi di balik ini semua terdapat kecerdikan luar biasa. Maka melihat sikap dan watak kakek Yok-kwi, dia sudah lantas dapat mengambil sikap yang tepat agar keinginannya terkabul dan pancingannya berhasil untuk menarik kakek ini agar pergi mengobati Gak Bun Beng.

“Mungkin saja ucapan Locianpwe itu benar, tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa Locianpwe tidak hanya menjual kecap? Buktinya, kalau Locianpwe dapat mengobati semua penyakit asal orangnya belum mati, mengapa Locianpwe tidak bisa mengobati diri sendiri yang menderita sakit berat?”

Kakek itu makin marah. “Bocah lancang mulut! Tentu saja aku tidak bisa mengobati diriku sendiri. Orang bisa saja melihat kesalahan orang lain dengan amat jelasnya, akan tetapi melihat kesalahan sendiri tidak mungkin! Orang bisa saja melihat keburukan dan cacat cela orang lain dengan amat mudah, akan tetapi tidak mungkin melihat keburukan diri sendiri. Mudah saja untuk menasehati orang lain, akan tetapi tidak bisa menasehati diri sendiri. Maka, apa salahnya kalau aku mampu mengobati orang lain akan tetapi tidak mampu mengobati diriku sendiri? Apa pedulimu dengan itu semua?”

Diam-diam, biar pun merasa gentar hatinya, Syanti Dewi makin girang karena makin marah kakek ini, makin mudahlah memancingnya untuk pergi turun puncak mengobati Bun Beng yang amat dia khawatirkan keselamatannya itu.

Syanti Dewi sengaja tersenyum mengejek, kemudian berkata, “Locianpwe, harap jangan marah dulu. Kedatanganku ini memang sengaja hendak melihat kelihaian Locianpwe karena saya amat tertarik sekali. Keadaan Locianpwe sama benar dengan keadaan pamanku. Pamanku juga seorang yang amat ahli dalam ilmu pengobatan, tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya, dan saya percaya dia masih lebih pandai dari pada Locianpwe, sedikitnya tentu tingkatnya lebih tinggi satu dua tingkat! Akan tetapi celakanya seperti Locianpwe pula, dia juga menderita penyakit yang dia tidak mampu obati sendiri. Maka saya sengaja datang untuk menantang Locianpwe mengadu ilmu dengan pamanku itu yang kini berada di rumah ketua Pek-san-pai.”

“Tidak sudi! Kau hanya memancing agar aku mengobati dia! Huh, setelah kau bersikap kurang ajar, masih mengharapkan aku menyembuhkan pamanmu? Dia tentu seorang undangan dari pihak Pek-san-pai untuk menghadapi jagoan Hek-san-pai, bukan? Huh, aku sudah tahu semua tentang mereka. Pergilah dan biar pamanmu mampus! Aku tidak sudi mengobatinya!”

Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati Syanti Dewi. Sudah bersusah payah dia berlagak dan menggunakan muslihat, namun tetap tidak berhasil. Betapa pun juga, dia tidak putus harapan dan menyembunyikan perasaan hatinya. Kakek yang tadinya girang melihat dara itu terpukul dan mengharapkan dara itu akan menangis, menjadi terkejut melihat dara itu kini tersenyum lagi, bahkan berkata nyaring dengan nada penuh ejekan,

“Locianpwe, kalau kau takut, katakan saja takut! Pamanku bukanlah orang undangan Pek-san-pai mau pun Hek-san-pai. Pamanku seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi. Dia bukan hanya tidak memihak, malah dia berhasil mendamaikan Pek-san-pai dan Hek-san-pai sehingga mulai sekarang tidak akan ada lagi perang di antara mereka. Pamanku berhasil mendamaikan dan menginsyafkan mereka. Tetapi melihat pamanku sakit dan Locianpwe juga sakit dan memiliki keadaan yang sama, maka aku sengaja datang menantang Locianpwe untuk mengadu kepandaian.”

“Apa...?” Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas sebongkah batu dan batu itu pecah berhamburan dan bunga api berpijar. Syanti Dewi terkejut sekali melihat kakek itu marah-marah. “Pamanmu telah mendamaikan mereka? Celaka tiga belas! Pamanmu jahat bukan main! Pamanmu dengki dan jahat!”

Biar pun dia takut, namun mendengar Gak Bun Beng dimaki-maki, Syanti Dewi menjadi marah. “Harap Locianpwe tidak sembarangan memaki orang! Pamanku adalah seorang pendekar sakti yang budiman, yang telah mengakurkan kedua belah pihak yang masih bersaudara seperguruan itu dari permusuhan. Mengapa Locianpwe malah memakinya jahat dan dengki?”

“Bodoh...! Bodoh...! Mengapa aku sampai susah payah tinggal di sini, mendekati Hek-san-pai dan Pek-san-pai kalau tidak ada permusuhan tahunan itu? Permusuhan itu menimbulkan banyak korban yang terluka, baik yang ringan mau pun yang berat. Sekarang, pamanmu lancang dan dengki, menghentikan permusuhan dan berarti tidak akan ada pertempuran lagi. Bukankah itu berarti aku akan kehabisan langganan orang yang sakit terluka?”

Mengertilah kini Syanti Dewi dan makin heran dia akan jalan pikiran kakek yang aneh ini. Pandangan kakek itu benar-benar aneh dan menyeleweng dari umum, tidak lumrah. Syanti dewi kembali tersenyum. “Memang agaknya pamanku sengaja berbuat demikian, namun Locianpwe akan dapat berbuat apa? Dalam ilmu pengobatan pun, Locianpwe akan kalah. Aku berani tanggung bahwa pamanku pasti akan sanggup menyembuhkan penyakit yang diderita Locianpwe.”

“Omong kosong!”

“Marilah kita buktikan saja! Mari, jikalau Locianpwe berani ikut bersama saya, dan coba Locianpwe mengobati pamanku, kemudian baru pamanku akan mengobati Locianpwe. Hendak kulihat siapa di antara kalian yang lebih sakti!”

Terbakar juga hati Yok-kwi oleh sikap dan kata-kata Syanti Dewi. “Baik! Aku pasti akan datang mengusir penyakitnya, tetapi kalau dia tidak mampu menyembuhkan penyakitku, dia akan kubunuh dan mungkin kau juga.”

“Boleh, itu taruhanku!” jawab Syanti Dewi girang dan dara ini berlari cepat turun dari puncak, diikuti oleh Yok-kwi yang berjalan dibantu tongkatnya.

Ketua Pek-san-pai dan ketua Hek-san-pai yang masih berada di situ menyambut dengan heran dan girang, juga kagum melihat bahwa Syanti Dewi benar-benar berhasil mengajak Yok-kwi turun puncak. Karena nama besar Yok-kwi yang berwatak aneh itu, semua orang memandang dengan segan dan takut, bahkan mereka tidak berani marah ketika kakek itu memasuki pondok tanpa membalas penghormatan mereka, bahkan tak mengacuhkan mereka yang dianggapnya seperti arca saja. Dia langsung mengikuti Syanti Dewi memasuki ruangan besar di mana tubuh Bun Beng yang tadinya pingsan itu dibaringkan.

“Paman...!” Syanti Dewi lari menghampiri pembaringan itu dan Bun Beng yang sudah siuman mengangkat muka, tersenyum kepada Syanti Dewi.

“Dewi, apa yang kau lakukan? Ke mana kau pergi...?”

“Aku mengundang Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Nah, ini dia sudah datang.”

Bun Beng menengok dan kedua orang sakti itu saling bertemu pandang. Diam-diam Bun Beng terkejut melihat kakek aneh itu, sebab dia dapat melihat sinar aneh dari wajah kakek bertongkat itu.

Sebelum Bun Beng sempat membuka mulutnya, Yok-kwi yang sudah marah sekali dan memandang rendah kepadanya, sudah melangkah maju dan berkata, “Keponakanmu ini menyombongkan kepandaianmu dan menantangku untuk menandingimu tentang ilmu pengobatan. Biarlah kuobati kau lebih dulu, baru kemudian kau mengobati aku, kalau kau mampu!”

Tanpa menanti jawaban, Yok-kwi lalu berdiri tegak, matanya terpejam, pernapasannya seperti terhenti seketika. Kalau Syanti Dewi dan yang lain-lain memandang heran, adalah Bun Beng yang memandang kagum karena dia maklum bahwa kakek itu telah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk mengumpulkan tenaga murni. Kemudian, Yok-kwi membuka matanya yang kini mengeluarkan cahaya berkilat, dan tongkatnya sudah bergerak mengetuk-ngetuk dan menotok-notok seluruh tubuh Bun Beng, dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala! Tentu saja Syanti Dewi terkejut dan khawatir, akan tetapi melihat Bun Beng tersenyum saja hatinya menjadi lega.

“Ahhhh...!” Sin-ciang Yok-kwi tiba-tiba berseru kaget ketika dengan tangan kirinya dia menekan-nekan dada dan perut Bun Beng.

Yang mengejutkan hatinya itu adalah karena dia merasa betapa dari dalam pusar orang yang sakit itu keluar tenaga sakti yang amat kuat, yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, namun kedua macam inti tenaga Yang dan Im itu luar biasa kuatnya. Tahulah dia bahwa dara itu tidak berbohong dan memang orang yang sakit ini bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Maka dia pun tidak berani main-main lalu memeriksa keadaan Gak Bun Beng lebih teliti lagi.

Orang-orang yang melihat cara kakek itu memeriksa orang sakit, biar pun hati mereka gentar terhadap kakek aneh yang galak itu, namun mereka merasa geli di dalam hati mereka. Sin-ciang Yok-kwi memang luar biasa. Dia memeriksa tubuh Bun Beng bukan hanya dengan mengetuk sana-sini dengan tongkatnya, memijat sana-sini dengan tangannya, juga dia menggunakan hidungnya untuk mencium-cium sana-sini dengan cuping hidung kembang kempis, malah akhirnya dia menjilat keringat di leher Gak Bun Beng, lalu menggerak-gerakkan mulut dan matanya terpejam seperti tingkah seorang yang mencicipi masakan apakah cukup asinnya!

“Aihhh, luka dalam dadanya memang hebat dan akan mematikan orang yang bertubuh kuat sekali pun. Akan tetapi dia dapat bertahan, sungguh luar biasa!” Akhirnya dia berkata, “Bagi dia, luka itu tidak membahayakan, yang lebih hebat adalah keruhnya hati dan pikiran. Akan tetapi, aku bukan seorang ahli pengobatan yang pandai kalau tidak mampu menyembuhkan penyakit macam ini saja!” Kakek itu lalu menuliskan resep yang terdiri dari bahan yang aneh-aneh, sungguh pun tidak sukar untuk dicari. Di antara banyak daun, buah, bunga dan akar pohon dan tetumbuhan, juga terdapat arang kayu dan tujuh ekor kutu rambut dalam resep itu!

“Beri dia minum ini pasti sembuh. Sepekan kemudian aku menanti dia di puncak Ci-lan-kok!” kata kakek itu lalu pergi dari situ menyeret tongkatnya tanpa mempedulikan ucapan-ucapan terima kasih dari Syanti Dewi dan dua orang ketua perkumpulan.

Akan tetapi tentu saja Syanti Dewi tidak mempedulikan sikap kakek aneh itu karena dia sudah cepat-cepat mempersiapkan obat seperti yang tertulis dalam resep. Dengan bantuan dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, akhirnya dalam hari itu juga terkumpullah semua bahan resep yang lalu dimasak oleh Syanti Dewi sampai airnya tinggal semangkuk, lalu setelah dingin diminumkan kepada Gak Bun Beng.

Pendekar itu masih berada dalam keadaan setengah pingsan, hanya teringat sedikit saja apa yang terjadi. Akan tetapi setelah minum obat itu, sinar mukanya yang tadinya pucat kekuningan berubah menjadi agak merah. Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi, dibantu dua orang ketua, merawat dan meminumkan obat menurut resep Sin-ciang Yok-kwi dan dalam waktu lima hari saja Gak Bun Beng sudah sembuh sama sekali!

Pada pagi hari ke enam, ketika pendekar ini terbangun dengan tubuh yang ringan dan nyaman, masuklah kedua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, bersama Syanti Dewi.

“Paman, kau sudah sembuh...!” Syanti Dewi langsung berseru girang sambil duduk di tepi pembaringan.

“Hemm, berkat perawatanmu yang baik, Dewi.”

“Juga berkat bantuan kedua orang Paman Ketua, Paman Gak.”

“Ahhh, kalau begitu aku berhutang budi kepada Ji-wi (Kalian berdua),” kata Gak Bun Beng kepada kedua orang itu sambil mengangkat kedua tangan yang dirapatkan itu di depan dada.

“Ah, Taihiap... justru kamilah yang harusnya berterima kasih,” dua orang itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Gak Bun Beng.

Pendekar ini terkejut dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat bangun mereka itu. “Jangan begitu, mari duduk dan kita bicara dengan baik,” kata Gak Bun Beng dan setelah mereka duduk di atas bangku-bangku dalam kamar itu, Bun Beng berkata lagi. “Syukur bahwa kalian sudah sadar dan dapat hidup rukun sebagai saudara seperguruan.”

Keduanya menjura. “Kami telah sadar berkat bantuan Taihiap. Memang selama puluhan tahun kami berdua hidup sebagai musuh. Sungguh memalukan sekali. Sekarang kami insyaf dan kami akan berusaha menjadi orang-orang baik.”

Gak Bun Beng menghela napas panjang. “Ji-wi harus mengerti bahwa kebaikan tidak dapat diusahakan. Yang penting adalah menginsyafi dan menyadari akan keburukan kita sehingga semua keburukan itu hilang. Sumber air itu adalah pemberian alam, untuk siapa saja yang membutuhkan, cukup banyak. Mengapa harus diperebutkan? Lebih baik diusahakan agar airnya dapat mengalir di tempat-tempat yang membutuhkannya.”

Dua orang ketua itu mengangguk-angguk. Akan tetapi, sungguh sayang bahwa mereka itu kurang memperhatikan sehingga tidak dapat menangkap arti dari kata-kata Gak Bun Beng yang pertama kali tadi seperti juga manusia pada umumnya tidak pernah sadar akan keadaan dirinya sendiri seperti apa adanya. Mata ini tidak pernah dipergunakan untuk memandang keadaan diri sendiri sehingga mengenal diri pribadi saat demi saat, tetapi dipakai untuk merenung jauh ke depan, memandang, melihat dan menjangkau hal-hal yang belum menjadi kenyataan.

Dua orang itu berjanji akan berusaha menjadi orang-orang baik!

Dapatkah kebaikan itu diusahakan dan dipelajari? Kebaikan barulah sejati kalau menjadi sifat, seperti harum pada bunga. Kebaikan yang telah berada dalam diri manusia menuntun semua gerak-gerik perbuatan si manusia itu sehingga segala yang dilakukan pun tentu baik tanpa disadari lagi bahwa itu adalah kebaikan. Sebaliknya, kebaikan yang dipelajari, dilatih dan diusahakan, hanyalah akan menjadi pengetahuan belaka dan kalau pun ada perbuatan yang dianggap baik oleh orang yang memaksakan kebaikan dalam perbuatannya, maka kebaikan itu hanyalah menjadi suatu cara untuk mencapai suatu tujuan, dan karenanya menjadi kebaikan palsu. Seperti kedok belaka.

Kalau kita melakukan sesuatu yang kita anggap suatu kebaikan, tentu tersembunyi pamrih tertentu, baik pamrih lahir mau pun batin di balik perbuatan yang kita lakukan itu. Kebaikan yang diusahakan, yang berpamrih, bukanlah kebaikan namanya, melainkan palsu, hanya merupakan cara atau jembatan untuk memperoleh yang dipamrihkan tadi.

Kebaikan seperti itu serupa dengan seorang anak yang menyapu lantai dengan tekun dan bersih, namun pekerjaannya itu dilakukan karena dia mengingat bahwa ibunya akan memujinya, ayahnya tidak akan memarahinya kalau dia menyapu dengan baik. Baginya yang penting bukanlah menyapu lantai dengan bersih, melainkan ingin dipuji ibunya dan agar tidak dimarahi ayahnya. Sungguh jauh bedanya dengan kalau anak itu menyapu lantai dengan bersih karena memang dia cinta akan pekerjaannya itu, karena dia memang suka melakukan pekerjaan itu tanpa pamrih apa-apa, bahkan dia tidak ingat lagi bahwa dia melakukan itu!

Kebaikan adalah suatu sifat. Tidak dapat diusahakan atau dilatih. Yang penting adalah mengenal diri sendiri, membuka mata memandang keadaan diri sendiri. Kalau kita ingin menjadi orang baik, hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa kita tidak baik, bukan? Dari pada mengejar kebaikan, lebih baik kita menyadari akan ketidak baikan kita, akan kekotoran kita. Kesadaran dengan pengertian mendalam ini akan menghentikan segala ketidak baikan dan kekotoran itu, dan kalau sudah tidak ada ketidak baikan lagi di dalam diri kita, perlukah kita berusaha menjadi baik? Kalau sudah tidak ada kekotoran di dalam diri kita, perlukah kita mencari kebersihan? Tidak perlu lagi, karena baik dan bersih itu sudah menjadi sifat setelah kejahatan dan kekotoran lenyap
.

“Aku hanya ingat secara samar-samar tentang seorang kakek yang mengobatiku. Dia datang bersamamu, Dewi. Siapakah dia?” Bun Beng bertanya kepada Syanti Dewi.

“Memang, dia adalah Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Dialah yang mengobati Paman sampai sembuh. Akan tetapi dia itu orang gila, wataknya aneh dan mengerikan. Hanya dengan susah payah dan dengan akal saja aku berhasil mengajak dia ke sini untuk mengobati Paman.”

“Aihhh, kalau begitu aku harus mengunjungi kakek itu dan menghaturkan terima kasih kepadanya.” Bun Beng berkata sambil bangkit berdiri.

“Saya kira tidak usah, Paman. Jangan-jangan dia malah akan menimbulkan keributan baru!” Syanti Dewi lalu menceritakan akalnya menantang Sin-ciang Yok-kwi yang akan ‘diadu’ dalam hal kesaktian dengan pamannya, akal yang digunakan untuk memancing Kakek Setan Obat itu agar mau mengobati Bun Beng.

Mendengar penuturan Puteri Bhutan itu, hati Bun Beng jadi terharu sekali. Puteri yang berwatak halus itu sampai rela memaksa diri menjadi seorang pembohong dan penipu besar hanya karena ingin menolongnya! Kemudian dia memegang tangan puteri itu dan berkata, “Jangan khawatir, kita tetap harus pergi ke Ci-lan-kok. Ji-wi, kami akan pergi sekarang. Mari, Dewi!”

Kedua orang ketua itu tidak dapat mencegah dan mereka bersama anak buah mereka hanya memandang dengan khawatir ketika melihat dua orang itu mendaki puncak Ci-lan-kok untuk menemui Sin-ciang Yok-kwi yang mereka takuti. Di tengah perjalanan menuju ke puncak itu, Syanti Dewi berkata, “Paman, perlukah kita menjumpainya? Aku telah membohonginya dan mengatakan bahwa Paman adalah seorang ahli pengobatan pula. Tentu dia akan marah-marah dan aku takut kalau-kalau hal ini akan menimbulkan sesuatu yang tidak menyenangkan, Paman.”

“Tenanglah, Dewi. Aku memang bukan seorang ahli pengobatan, namun aku melihat sesuatu ketika dia memeriksaku. Samar-samar aku masih ingat bahwa tubuh kakek itu mengeluarkan hawa beracun yang amat berbahaya. Kalau benar demikian, aku harus menolongnya.”

Syanti Dewi terkejut. “Begitukah? Ahhh, kalau demikian, memang seharusnya Paman menolongnya!”

Gak Bun Beng menghentikan langkahnya dan memandang dara itu penuh kagum. Makin lama dia mengenal Puteri Bhutan ini, makin kagumlah hatinya, makin menonjol dan tampak olehnya sifat-sifat baik dara ini, makin jelas pula tampak olehnya kasih sayang bersinar keluar dari dalam hati dara itu melalui sinar matanya dan senyumnya, dalam kata-katanya. Dan makin gelisahlah dia!

“Syanti Dewi, engkau baik sekali. Selama ini... ahhh, takkan terlupakan selama hidupku, kau sudah bersusah payah untukku, merawatku, membawaku lari dari kota raja melalui perjalanan yang sukar, membawa aku yang sedang sakit, kemudian mempertaruhkan nyawa memancing seorang aneh seperti Sin-ciang Yok-kwi untuk mengobatiku...”

“Sshhhh..., cukuplah, Paman. Di antara kita, kalau mau bicara tentang kebaikan, takkan ada habisnya karena siapakah yang menyelamatkan nyawaku, siapa yang selama ini kugantungi harapanku, yang menjadi pelindungku, menjadi pembelaku? Apa yang telah kulakukan untuk Paman tidak ada artinya sama sekali dan memang sudah seharusnya. Kita hanya berdua, kalau kita tidak saling bantu, habis bagaimana? Pula... yang penting sekarang ini, asal Paman sudah sembuh kembali, aku sudah merasa girang bukan main. Soal-soal lain tidak perlu dibicarakan lagi, Paman.”

Mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan saling bertaut sampai lama. Akhirnya Gak Bun Beng perlahan-lahan membuang muka, memejamkan mata seolah-olah tidak tahan dia melihat sinar mata penuh kasih yang ditujukan kepadanya dari sepasang mata yang bening indah itu! Aku harus menjauhkan diri darinya, harus dan secepat mungkin, demikian suara hatinya. Kalau dilanjutkan begini, berbahayalah aku! Akan tetapi Milana pun telah menjadi isteri orang lain, tentu saja tidak berhak mencampuri urusannya!

“Kau kenapa, Paman?” Syanti Dewi mendekat dan memegang tangan Bun Beng karena merasa khawatir sekali melihat Bun Beng memejamkan mata dan mengerutkan kening.

Bun Beng membuka matanya kembali, mata yang agak basah. “Tidak apa-apa, Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan kita menemui Sin-ciang Yok-kwi.”

Ketika mereka tiba di depan kuil kuno, ternyata Sin-ciang Yok-kwi sudah menanti di depan kuil, duduk di atas batu besar dan memandang kepada Bun Beng dengan penuh perhatian. Gak Bun Beng cepat menghampiri dan bersama Syanti Dewi dia menjura kepada kakek itu.

“Ha-ha-ha, bocah nakal! Apa kau masih tidak percaya akan kemampuanku mengobati? Sekarang pamanmu telah sembuh, bukan?”

“Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Sebenarnya sejak dahulu pun saya tidak pernah meragukan kepandaian Locianpwe,” jawab Syanti Dewi.

“Ha-ha-ha, memang kau nakal dan kau sengaja memancingku. Heiiii, Gak Bun Beng! Apakah kau datang untuk memperlihatkan kepandaianmu? Apakah benar kau pandai mengobati?”

Melihat sikap yang kasar dan terbuka dari kakek itu, Gak Bun Beng tersenyum dan sambil memandang wajah kakek itu dia berkata, “Sin-ciang Yok-kwi, terus terang saja bahwa keponakanku ini berbohong kepadamu. Aku bukan ahli pengobatan, dan aku berterima kasih kepadamu bahwa kau telah menyembuhkan penyakitku. Akan tetapi, ketika engkau memeriksaku, aku mendapat kenyataan bahwa ada hawa beracun keluar dari dadamu. Kalau engkau memang tidak keberatan, aku suka untuk mengeluarkan hawa beracun dari tubuhmu.”

Kakek itu kelihatan terkejut, kemudian membuka kancing bajunya di depan dada. “Nah, kau boleh memeriksa!”

Bun Beng melangkah dekat, menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada kakek itu. Terkejutlah dia! Benar-benar terdapat hawa mukjijat dalam dada kakek itu yang sangat kuat dan aneh, yang tak dapat dikendalikan oleh kakek itu sehingga menjadi penyakit yang hebat.

“Tidak salah!” serunya. “Ada hawa beracun yang kuat di dalam tubuhmu, Sin-ciang Yok-kwi. Tetapi karena bukan tabib, aku tidak tahu mengapa bisa demikian dan mengapa pula sampai berlarut-larut kau diamkan saja!”

“Engkau hebat,” Yok-kwi berkata. “Biar pun engkau tidak tahu akan ilmu pengobatan, namun dengan rabaan tangan yang penuh dengan sinkang engkau sudah dapat mengetahui keadaanku yang tak kuketahui sendiri! Sekarang mengertilah aku. Dahulu, karena terlampau ingin menguasai ilmu pengobatan terhadap segala macam racun, aku sengaja menelan bermacam-macam racun, dan lalu kuobati sendiri. Semua obatku bisa menolong memunahkan racun itu, akan tetapi agaknya hawa racun dan obat yang memunahkannya telah berkumpul sedikit demi sedikit dalam tubuhku tanpa kurasakan sehingga kini tidak dapat kukeluarkan lagi. Kalau aku mengerahkan kekuatan sinkang, tentu perlindungan di tubuhku kurang kuat dan hawa itu akan membunuhku. Untung selama ini aku tidak bertanding melawan musuh kuat, karena pengerahan sinkang yang kuat tentu akan membunuhku sendiri. Hemm... kau sudah menemukan penyakitku, biar pun tidak ada obatnya, aku tidak akan penasaran lagi andai kata penyakit ini akan mencabut nyawaku.”

“Tidak, Sin-ciang Yok-kwi. Hawa itu masih dapat diusir dari dalam tubuhmu. Aku akan membantumu.”

“Tapi... hal itu membutuhkan tenaga yang amat kuat...”

“Akan kucoba. Duduklah bersila dan marilah kita mulai. Dengan kekuatan kita berdua, mustahil hawa itu tidak akan dapat terusir keluar.”

Sejenak kakek itu menatap wajah Bun Beng, kemudian bertanya, “Gak Bun Beng, aku tidak pernah mendengar namamu sebagai seorang tokoh besar. Dari partai manakah engkau?”

Gak Bun Beng tersenyum den menggeleng kepala. “Bukan dari partai mana pun juga. Apa sih bedanya itu? Mari, silakan.”

Sin-ciang Yok-kwi lalu melempar tongkatnya ke samping dan duduk bersila di atas tanah. Bun Beng juga segera duduk bersila di depan kakek itu, meluruskan kedua lengannya ke depan sehingga kedua tangannya menempel pada dada kakek itu. Syanti Dewi hanya menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia mengharapkan pendekar sakti itu akan mampu menyembuhkan kakek itu, akan tetapi di samping ini dia juga khawatir karena biar pun ilmu silatnya sendiri belum tinggi akan tetapi dia pernah mendengar betapa menyembuhkan orang dengan menggunakan sinkang itu sangat melelahkan. Dia khawatir kalau-kalau Gak Bun Beng yang baru saja sembuh akan kehabisan tenaga dan jatuh sakit lagi.

Sin-ciang Yok-kwi terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari kedua tangan Bun Beng keluar hawa yang amat panas, mula-mula hanya hangat akan tetapi makin lama makin panas menyerap ke dalam dadanya. Dia mengikutinya, juga dengan pengerahan sinkang-nya, membuat tubuhnya menjadi panas sampai mengepulkan uap! Hawa panas yang masuk dari kedua telapak tangan Bun Beng itu amat kuatnya, terasa bergerak berputaran di dalam dadanya, hampir tak tertahankan panasnya sampai kakek ini mengeluarkan keringat dan napasnya mulai terengah-engah.

Bun Beng melihat ini, maka dia lalu mengurangi tenaga Hwi-yang Sinkang (Hawa Sakti Inti Api) sehingga rasa panas yang menyerang Yok-kwi mulai berkurang dan makin lama makin dingin, akan tetapi tidak berhenti menjadi normal karena terus menjadi makin dingin sampai luar biasa sekali.

Kembali Yok-kwi terkejut dan kagum. Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga dalam dan memiliki sinkang yang kuat. Akan tetapi menghadapi hawa dingin yang keluar dari sepasang telapak tangan orang itu, dia tidak mampu mengikutinya terus dan tubuhnya segera menggigil kedinginan. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng telah mengganti tenaga Hwi-yang Sinkang tadi menjadi Swat-im Sinkang (Hawa Sakti Inti Salju)! Dua tenaga sinkang yang bertentangan dan yang hanya dimiliki oleh penghuni Pulau Es.

Syanti Dewi memandang dengan bingung dan heran, juga khawatir! Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi. Dia hanya melihat betapa kakek yang sakti itu tadinya menjadi merah mukanya, mengeluarkan banyak keringat dan tubuhnya beruap, napasnya agak terengah-engah, akan tetapi sekarang keadaannya berubah, mukanya menjadi pucat dan agak kebiruan, tubuhnya menggigil dan napasnya makin terengah-engah!

Dengan kekuatan sinkang-nya yang hebat, perlahan-lahan Bun Beng mendorong keluar hawa mukjijat yang mengeram di dalam dada dan perut kakek itu dan mulailah tampak uap hitam membubung keluar dari mulut, hidung dan tubuh atas kakek itu! Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dia melanjutkan pengerahan Swat-im Sinkang, kakek itu tentu tidak akan dapat bertahan, maka melihat betapa hawa beracun itu sudah mulai keluar, dia merubah lagi pengerahan sinkang-nya dan kini dia mengerahkan Tenaga Sakti Inti Bumi yang halus dan lunak namun menyembunyikan kekuatan yang dahsyat pula.

Uap menghitam yang membubung keluar itu semakin menipis, kemudian kakek itu mengeluarkan keluhan panjang dan tubuhnya terguling roboh, tepat pada saat Bun Beng lebih dulu menarik kembali tenaganya. Pendekar ini cepat memejamkan matanya, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya yang diperas keluar dari tubuhnya yang masih lemah tadi.

Syanti Dewi memandang dengan hati gelisah. Dia melihat Yok-kwi terguling roboh dan tidak bangun kembali, sedangkan Gak Bun Beng masih duduk bersila dengan muka pucat. Dan kakek kecil pendek yang tadi menyerang dengan lemparan senjata rahasia hingga merobohkan Yok-kwi telah berdiri di belakang Gak Bun Beng. Sambil mulutnya menyeringai, Sin-kiam Lo-thong, bekas jagoan panggilan pihak Hek-san-pai, sekarang mencabut pedangnya dan menghampiri Gak Bun Beng!

Munculnya kakek bertubuh kanak-kanak ini memang mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Tadi ketika Gak Bun Beng dan Yok-kwi keduanya sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pengobatan itu, kakek ini muncul dan langsung saja menyerang Yok-kwi dengan jarum merah. Oleh karena tidak menyangka dan terkena jarum tepat pada lehernya, kakek itu langsung roboh terguling dan pingsan, sedangkan Gak Bun Beng yang sedang mengerahkan Tenaga Inti Bumi secara tiba-tiba mengalami kekagetan dan menarik kembali tenaganya secara serentak, membuat tubuhnya yang masih lemah itu mengalami goncangan hebat sehingga dia terpaksa harus menghimpun hawa murni, kalau tidak jantungnya bisa pecah!

Sin-kiam Lo-thong tersenyum girang. Dia menganggap bahwa Yok-kwi tentu telah tewas karena lehernya sudah kemasukan jarum merahnya, sedangkan sebagai seorang ahli dia maklum akan keadaan Gak Bun Beng, maka dengan cepat dia sudah menghampiri pendekar itu dengan pedang terhunus.

“Manusia keji...!” Syanti Dewi menjerit dan cepat dia menyambar batu sebesar kepala, menyambitkan batu itu sekuat tenaganya ke arah Sin-kiam Lo-thong yang sudah berada dekat sekali di belakang Gak Bun Beng.

Sin-kiam Lo-thong mengangkat lengan kirinya menangkis batu yang menyambarnya itu.

“Prakkk!” Batu itu hancur berkeping-keping dan Sin-kiam Lo-thong sudah menggerakkan tangan kanannya, pedangnya membacok ke arah leher Gak Bun Beng.

“Ohhh... jangan...!” Syanti Dewi menjerit dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.

“Singgg...!”

Pedang di tangan Sin-kiam Lo-thong berkelebat menjadi sinar terang yang menyambar ke arah leher Gak Bun Beng. Syanti Dewi memejamkan mata membayangkan betapa leher pendekar itu akan terbabat putus!

“Takkk! Aughhh...!”

Mendengar pekik ini, Syanti Dewi membuka matanya. Dia terbelalak keheranan namun juga kegirangan melihat bahwa Gak Bun Beng masih tetap saja duduk seperti tadi, bersila dan lehernya masih utuh! Sebaliknya, Sin-kiam Lo-thong terlempar ke belakang, pedangnya terlepas dari pegangan dan kini kakek bertubuh kanak-kanak itu merangkak hendak bangun dengan muka pucat dan ketakutan.

Kiranya seluruh tubuh Gak Bun Beng pada saat itu masih terlindung hawa sinkang Inti Bumi sehingga ketika pedang itu menyambar tengkuk, otomatis tenaga sakti itu melindungi dan tidak hanya membuat pedang itu tidak melukai tengkuk, bahkan reaksi dari tenaga sakti itu membuat pedang terlempar dari tangan Lo-thong dan kakek itu sendiri terpukul hawa mukjijat itu dan terlempar ke belakang!

Betapa kagetnya ketika Lo-thong melihat bahwa kini Yok-kwi telah bangun dan sedang menghampirinya dengan mata melotot penuh kemarahan. Disangkanya Yok-kwi telah tewas. Tidak mungkin orang yang sudah ditembusi jarum merah lehernya masih dapat hidup! Dan memang Yok-kwi juga masih tertolong oleh hawa sinkang yang dikerahkan Gak Bun Beng ketika mengobatinya tadi.

Hawa sinkang yang amat kuat itu sedang berputar-putar di seluruh tubuhnya, maka ketika jarum merah menyambar dan mengenai lehernya, otomatis hawa sinkang itu melindunginya, membuat lehernya kebal sehingga jarum merah itu tidak terus masuk, melainkan hanya menancap setengahnya saja. Jadi Yok-kwi tadi pingsan bukan karena jarum merah, melainkan karena ditariknya Tenaga Inti Bumi oleh Bun Beng secara tiba-tiba. Perubahan mendadak itulah yang membuat dia pingsan. Akan tetapi dia pingsan hanya sebentar. Ketika siuman dan mencabut jarum dari lehernya, dia melihat Lo-thong terlempar dan kini dia menghampiri kakek kecil itu dengan penuh kemarahan.

Sin-kiam Lo-thong meloncat dan hendak melarikan diri, akan tetapi Yok-kwi membentak, “Pemberontak hina, hendak lari ke mana kau?”

Tangannya bergerak dan jarum merah itu menyambar. Lo-thong lalu memekik nyaring, roboh dan berkelojotan karena jarumnya sendiri telah menembus ke dalam kepalanya melalui tengkuk!

“Paman...!” Syanti Dewi menghampiri Bun Beng dan berlutut, mukanya masih pucat akan tetapi bibirnya tersenyum tanda girang.

Bun Beng membuka kedua matanya, tersenyum kepada Syanti Dewi, kemudian berdiri dan menengok. Alisnya berkerut ketika dia melihat Lo-thong berkelojotan dalam sekarat.

“Yok-kwi, kenapa engkau membunuhnya?”

“Dia layak dibunuh dua kali!” jawab kakek itu.

“Kenapa?”

“Pertama, dia tadi hendak membunuh kita berdua. Kedua kalinya, dia adalah seorang anggota pemberontak laknat, kaki tangan Pek-lian-kauw.”

“Hemm...!” Gak Bun Beng tidak berkata apa-apa lagi, melainkan memandang kepada tubuh kecil yang sudah tidak bergerak lagi itu sambil menarik napas panjang.

Yok-kwi menghampirinya dan menjura. “Gak-taihiap, selain amat berterima kasih bahwa engkau telah dapat menyembuhkanku, juga aku merasa amat kagum akan kesaktian Taihiap. Jika sekiranya kakimu buntung sebelah, tentu engkau inilah yang patut menjadi Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Tocu dari Pulau Es yang terkenal.”

Gak Bun Beng tersenyum. “Beliau adalah guruku.”

Kakek itu terbelalak, lalu tertawa dan kembali menjura dengan hormat. “Ha-ha-ha-ha, kiranya begitu? Ah, maafkan aku yang tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Sungguh beruntung sekali aku dapat berjumpa dan bersahabat dengan seorang murid Pendekar Super Sakti. Gak-taihiap, namaku adalah Kwan Siok, nama yang puluhan tahun kusembunyikan sehingga orang menyebutku Yok-kwi. Dan aku datang ke sini bukan hanya untuk mengasingkan diri dan menguji kepandaian dengan mendekati dua perkumpulan yang saling bermusuhan, akan tetapi juga diam-diam aku memperhatikan keadaan para pemberontak yang mulai meluaskan pengaruhnya di perbatasan ini. Diam-diam aku membantu untuk membalas budi kepada Puteri Milana...”

Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ketika melihat Bun Beng memandangnya dengan mata bersinar-sinar kaget. Akan tetapi ketika Bun Beng merasa betapa jari-jari tangan Syanti Dewi mencengkeram lengannya, dia dapat menenangkan hatinya. Sambil tersenyum dia berkata, “Budi apakah yang kau terima dari puteri yang gagah perkasa dan terkenal itu?”

Yok-kwi menjura lagi. “Maaf, tentu Taihiap mengenal baik Puteri Milana. Bukankah dia itu puteri dari Pendekar Super Sakti? Sebagai murid pendekar itu maka kau...”

“Tentu saja, dia terhitung sumoi-ku sendiri. Nah, katakanlah, budi apa yang kau terima darinya?”

“Ketika aku dikepung oleh musuh-musuhku, yaitu para tokoh Pek-lian-kauw yang sudah puluhan tahun menjadi musuhku, dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya maut Puteri Milana lewat dan menolongku. Sekarang, kota raja sedang ribut dengan adanya pertentangan antara para pengeran, dan adanya usaha-usaha pemberontakan. Melihat Sang Puteri itu sibuk menangani sendiri untuk mengamankan kota raja, diam-diam aku membantu dengan mengamat-amati keadaan di sini.”

Gak Bun Beng mengangguk-angguk. “Aihhh, kiranya engkau juga seorang yang berjiwa patriot, Kwan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah she Kwan).”

“Gak-taihiap, jangan menyebutku enghiong. Karena orang sudah memberiku nama Yok-kwi, biarlah kupakai terus nama itu. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa Taihiap dan Nona ini sampai tiba di tempat sejauh ini?”

“Kami hendak pergi menjumpai Jenderal Kao Liang, untuk menceritakan keadaan di kota raja. Dan Nona ini...” Gak Bun Beng ragu-ragu.

Yok-kwi tertawa. “Ha-ha-ha, dia tentu saja adalah Sang Puteri dari Bhutan!”

Syanti Dewi mengeluarkan seruan tertahan dan Bun Beng memandang tajam penuh kecurigaan kepada kakek itu. “Yok-kwi, bagaimana kau bisa tahu?”

“Mudah saja, Taihiap. Aku sudah mendengar akan Puteri Bhutan yang lenyap di tengah perjalanan dan kabar terakhir bahwa mungkin puteri itu tertolong oleh seorang sakti ketika hanyut di sungai. Sekarang, melihat Taihiap muncul di sini hendak menjumpai Jenderal Kao yang setia, bersama seorang dara yang sikap dan wibawanya seperti puteri, juga yang jelas adalah seorang dara berkebangsaan tanah barat, mudah saja menduga-duga.”

“Kau memang cerdik sekali, Yok-kwi. Memang benar, dia adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan.”

Yok-kwi menjura kepada Syanti Dewi. “Harap Paduka sudi memaafkan segala kekurang ajaran saya.”

Syanti Dewi menghampiri Yok-kwi dan memegang tangan kakek itu. “Aihhh, Locianpwe terlalu merendah. Sayalah yang harus minta maaf karena telah berani mempermainkan Locianpwe.”

Yok-kwi tertawa bergelak sambil meraba jenggotnya, “Mempermainkan saya? Ha-ha-ha, kalau tidak ada Paduka, agaknya aku Si Tua Bangka masih tetap menjadi orang yang berpenyakitan.”

“Akan tetapi Paman Gak juga tentu belum sembuh.”

Mereka tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang segolongan.

“Kami akan segera melanjutkan perjalanan kami ke benteng Jenderal Kao di utara,” kata Bun Beng.

“Tidak jauh lagi, Taihiap. Dari sini ke utara, lewat bukit di depan itu lalu membelok ke timur. Saya masih akan tetap tinggal di sini dan siap setiap saat untuk membantu, biar pun sesungguhnya saya sudah muak berurusan dengan dunia ramai yang penuh kepalsuan.”

Mereka lalu berpisah, dan Gak Bun Beng yang sudah sembuh sama sekali itu dapat melakukan perjalanan cepat bersama Syanti Dewi. Akan tetapi, baru saja turun dari puncak Ci-lan-kok, mereka dihadang oleh orang-orang Hek-san-pai dan Pek-san-pai yang menyediakan dua ekor kuda untuk mereka. Ketika Bun Beng menceritakan tentang Sin-kiam Lo-thong, Ketua Hek-san-pai menjadi pucat wajahnya.

“Aahhh... celaka, siapa tahu bahwa dia seorang pengkhianat? Inilah akibatnya kalau bermusuhan dengan keluarga sendiri. Dia datang dan menawarkan diri menjadi jago. Melihat kelihaiannya, saya menerimanya. Ahhh, Taihiap, biarlah yang sudah dilupakan saja. Semenjak sekarang, kami dari Hek-san-pai dan Pek-san-pai siap untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontak setiap saat kami diperlukan.”

Gak Bun Beng dan Syanti Dewi berpisah dari mereka, melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Akan tetapi karena tidak mengenal jalan di daerah yang sunyi itu, mereka salah jalan dan tanpa disengaja keduanya malah tiba di daerah sumur maut di mana Gak Bun Beng berhasil menolong dan menyelamatkan Jenderal Kao Liang dari pengeroyokan para pemberontak.

Demikianlah, seperti telah diceritakan di bagian depan, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi muncul di tempat itu, agak terlambat sehingga biar pun pendekar sakti itu berhasil menolong Jenderal Kao, namun dia tidak berhasil menyelamatkan Ceng Ceng yang terlempar ke dalam sumur maut. Biar pun kemudian pendekar itu mencoba untuk menyelidiki dengan turun ke sumur melalui tambang, sia-sia belaka bahkan hampir saja dia celaka kena diserang gas beracun di dalam sumur.

Maka dengan penuh duka, terutama sekali Syanti Dewi yang masih menangis, Jenderal Kao mengajak mereka berdua pergi ke bentengnya. Setelah tiba di dalam benteng, pertama-tama Jenderal Kao memerintahkan pasukannya untuk menyerbu benteng pembantunya, yaitu panglima Kim Bouw Sin dan menangkap Panglima itu.

Gak Bun Beng mengkhawatirkan bahwa akan terjadi perang saudara antara pasukan pemerintah sendiri dan hal ini akan merugikan sekali. Maka dia lalu berkata kepada Jenderal Kao, “Jika Goanswe tidak berkeberatan, ijinkan saya untuk pergi menyelundup ke benteng itu dan menangkap Panglima Kim si pemberontak itu. Kalau dia dan kaki tangannya sudah ditangkap dan dilumpuhkan, tentu pasukannya yang tidak tahu apa-apa itu akan menyerah. Tenaga pasukan itu masih amat dibutuhkan, bukan? Perang terbuka antara saudara sendiri hanya akan melemahkan kedudukan pertahanan di perbatasan ini.”

Kao Liang memandang dengan wajah berseri. “Tepat sekali. Aku memang sudah punya rencana demikian, hanya tidak berani minta bantuanmu karena engkau bukan anak buah kami, Taihiap. Dan untuk menyuruh orang lain, kiranya tidak ada di antara anak buahku yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi sehingga diharapkan akan berhasil menangkap pengkhianat itu tanpa menimbulkan perang saudara. Kalau Gak-taihiap bersedia, kita akan bersama menangkapnya, dan biarlah pasukanku hanya mengurung saja.”

Jenderal Kao dan Bun Beng lalu mengatur rencana siasat mereka untuk menangkap Kim Bouw Sin dan kaki tangannya tanpa menimbulkan perang saudara. Sementara itu Syanti Dewi dipersilakan untuk mengaso dan tinggal di dalam sebuah kamar serta dilayani dengan hormat, dianggap sebagai seorang tamu agung.

********************

Bagaimanakah keadaan Ceng Ceng? Benarkah seperti dugaan Jenderal Kao, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi bahwa dara perkasa itu tewas di dalam sumur yang mengandung gas beracun dan sukar diukur dalamnya itu? Untuk mengetahui keadaan Ceng Ceng, sebaiknya kita mengikuti semua pengalamannya.

Dara perkasa itu terkejut bukan main dan merasa ngeri ketika dia menyelamatkan Jenderal Kao Liang dengan menendang tubuh pembesar itu sehingga terpental keluar dari lubang sumur, dia sendiri terdorong dan terjerumus ke dalam lubang tanpa dapat dicegah lagi! Dia merasa ngeri dan ketika tubuhnya melewati bagian yang ada gasnya, dia tak dapat bernapas dan pingsan. Kalau saja dia lebih lama berada di bagian itu, tentu dia akan tewas oleh gas beracun.

Akan tetapi, ternyata bahwa gas itu keluar dari dinding sumur, bukan dari dasar sumur, maka setelah tubuhnya yang melayang ke bawah itu melewati sumber gas, di sebelah bawah tidak ada gas beracun ini dan dia selamat, biar pun masih dalam keadaan pingsan dan masih terus melayang ke bawah, ke dalam sumur yang seperti tidak ada dasarnya itu.

Dalam keadaan pingsan meluncur ke bawah, tentu tubuhnya akan hancur lebur kalau terbanting ke dasar sumur itu. Akan tetapi, tidak jauh dari dasar sumur yang merupakan lantai batu keras, tiba-tiba tubuh Ceng Ceng terhenti dan tertahan oleh sesuatu. Kiranya dia telah ditangkap oleh seekor ular besar! Ular ini besarnya melebihi paha seorang dewasa dan panjangnya lima meter lebih!

Dengan ekornya, ular itu telah ‘menangkap’ tubuh Ceng Ceng, membelit pinggang dara itu dengan ekornya sehingga Ceng Ceng tidak sampai terbanting mati di dasar sumur. Memang sudah menjadi kebiasaan ular besar ini untuk menangkap binatang apa saja yang kebetulan jatuh dari atas, yang kemudian menjadi mangsanya. Kini, memperoleh korban seorang manusia, ular itu mulai mendekatkan kepalanya kepada Ceng Ceng, dan tubuhnya melingkari batu dinding yang menonjol. Matanya berkilat-kilat, lidahnya keluar masuk dan agaknya dia sudah mengilar sekali melihat calon mangsanya.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis tajam dari bawah, suara mendesis yang membuat ular itu tampak terkejut dan menoleh ke bawah. Kembali terdengar suara mendesis-desis penuh kemarahan dari mulut seorang nenek yang duduk mendeprok di atas lantai sumur itu. Mula-mula ular besar itu meragu, akan tetapi kemudian dengan perlahan dia merayap turun setelah menggigit punggung baju Ceng Ceng yang masih pingsan, membawa gadis ini turun menghampiri nenek yang duduk di bawah itu.

Setelah tiba di depannya, nenek itu berkata, “Lepaskan dia!”

Ular itu melepaskan gigitannya sehingga tubuh Ceng Ceng menggeletak di atas lantai batu, kemudian mengangkat kepalanya dan mendesis-desis seperti ragu-ragu.

“Pergi...!” Nenek itu menjerit lagi, tangan kirinya diangkat ke atas dan seperti seekor anjing jinak yang dibentak majikannya, ular besar itu mengeluarkan suara berkokok lalu merayap pergi, naik lagi ke atas.

Ceng Ceng mengeluh, membuka matanya dan cepat meloncat bangun, berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Cahaya dari atas mendatangkan penerangan yang cukup dan ketika dia menengok ke atas, dia seperti melihat benda bulat yang bercahaya di dalam tempat gelap ini. Kemudian ia teringat dan tahu bahwa benda bulat bercahaya itu adalah mulut sumur yang demikian tingginya seperti sebuah matahari yang aneh.

Matanya mulai terbiasa dengan keadaan remang-remang itu dan dia menggigil teringat betapa tubuhnya terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya. Akan tetapi mengapa dia tidak mati? Mengapa tubuhnya tidak hancur, bahkan luka pun tidak, hanya terasa agak sakit di pinggangnya? Mendadak ia meloncat mundur ketika melihat gerakan di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit saking ngerinya. Tadi dia tidak melihat apa-apa karena memang tempat itu agak gelap dan di lantai dasar sumur itu yang kelihatan hanya warna hitam belaka. Kini baru terlihat olehnya bahwa di depannya, duduk di atas lantai, terdapat seorang manusia yang keadaannya amat aneh dan mengerikan!

Ceng Ceng mengerahkan kekuatan pandang matanya agar dapat melihat lebih jelas lagi. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena ia tidak tahu apakah makhluk yang berada di depannya ini. Manusia ataukah setan? Muka yang amat pucat dan kurus, hanya tengkorak terbungkus kulit, rambutnya panjang riap-riapan, tubuhnya kurus kering terbungkus kain lapuk, kedua kakinya ditekuk di bawah dan kini dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sepasang mata yang berkilauan dalam gelap seperti mata kucing dan mulut yang tak bergigi lagi itu menyeringai aneh, amat mengerikan hati Ceng Ceng, apa lagi ketika dia melihat betapa nenek itu merangkak mendekatinya dengan menggunakan kedua siku lengannya, mengesot karena kedua kaki itu ternyata lumpuh. Makhluk ini lebih menyerupai binatang aneh atau setan dari pada seorang manusia.

“Heh-heh-heh, kau cantik, cantik dan muda...!” Nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi mengejutkan hati dan Ceng Ceng merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin.

“Kau... siapakah...?” Walau pun tergagap, akhirnya dara itu dapat juga mengeluarkan suara melalui kerongkongannya yang terasa kering. “Dan... bagaimanakah aku dapat... selamat tiba di sini...?” Dia memandang ke atas, ke arah ‘matahari’ yang tinggi itu dan bergidik. Tidak mungkin manusia dapat hidup setelah terjatuh dari tempat setinggi itu, pikirnya.

“Heh-heh, kalau tidak ada Siauw-liong (Naga Kecil) itu, tubuhmu tentu sudah hancur di lantai batu ini, heh-heh!” Nenek itu berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya ke atas.

Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk dan hampir dia menjerit. Otomatis dia meloncat ke belakang ketika dia melihat ular besar yang tadinya tak tampak olehnya itu, melingkar di dinding sumur dan memandang ke bawah dengan mata berkilat-kilat. Seekor ular yang besar dan panjang sekali, yang disebut Naga Kecil oleh nenek itu! Bagaimana ular besar itu dapat menolongnya? Pinggangnya terasa sakit, tentu pernah dililit oleh tubuh ular itu. Ceng Ceng bergidik ngeri.

“Dan sekarang engkau tentu sudah aman di dalam perutnya kalau saja tidak ada Ban-tok Mo-li, heh-heh-heh!”

“Ban-tok Mo-li...?” Ceng Ceng bertanya heran. Dia memang tidak pernah mendengar nama julukan Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun).

“Ya, Ban-tok Mo-li Ciang Si, aku sendiri, heh-heh. Ular Siauw-liong itu menyambarmu ketika tubuhmu melayang turun, sebelum dia mengirimmu ke dalam perutnya, aku telah mencegahnya.”

Sekarang mengertilah Ceng Ceng apa yang telah terjadi dengan dirinya. Betapa pun menjijikkan dan menakutkan keadaannya, dia menduga bahwa nenek yang bernama Ban-tok Mo-li ini tentulah seorang yang memiliki kepandaian amat hebat dan tadi telah menolongnya, maka dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.

“Banyak terima kasih teecu haturkan kepada Locianpwe yang telah menolong teecu dari cengkeraman maut.”

“He-he-heh-heh, aku senang menolongmu, aku senang bertemu denganmu. Siapakah namamu?”

“Nama teecu (murid) adalah Lu Ceng.”

“Engkau dapat tiba di sini dengan selamat, ini namanya jodoh! Lu Ceng, mari pergi ke tempat tinggalku. Kau lihat, aku tidak bisa jalan. Maukah engkau menggendongku kalau memang benar kau berterima kasih kepadaku?”

Ceng Ceng bergidik, akan tetapi dia menekan perasaannya dan mengangguk. Namun ketika dia hendak membungkuk untuk mengangkat tubuh nenek yang kedua kakinya lumpuh itu, tiba-tiba secepat kilat tubuh itu melesat ke atas dan tahu-tahu telah berada di punggungnya! Dia terkejut bukan main menyaksikan kelincahan luar biasa ini.

“Heh-heh, kau gendonglah aku lewat terowongan itu.” Nenek itu menuding ke depan.

Ceng Ceng lalu menggendong nenek itu melalui terowongan yang gelap sekali. Kalau tak ada nenek itu yang memberi petunjuk, tentu dia akan menabrak dinding. Untungnya nenek itu sudah hafal benar akan jalan terowongan gelap ini. Dia selalu mengingatkan Ceng Ceng, membelok ke kiri, ke kanan, merendahkan tubuh agar tidak terbentur kepalanya dan sebagainya. Setelah melalui terowongan yang berliku-liku dan gelap itu sepanjang ratusan meter, akhirnya tampak cahaya terang dan keluarlah Ceng Ceng dari terowongan, memasuki sebuah goa yang menghadapi jurang amat curamnya.

“Heh-heh-heh-heh, di goa sinilah aku tinggal,” kata nenek itu, masih tetap duduk di atas punggung Ceng Ceng.

Dara ini melangkah ke depan, ke pinggir jurang di depan goa, menengok ke bawah dan bergidik ngeri. Jurang itu selain curam tak mungkin dituruni, juga tidak nampak dasarnya karena terhalang oleh uap halimun saking dalamnya! Menengok ke kanan kiri goa, juga merupakan dinding batu yang curam dan tegak lurus, licin dan tidak mungkin dijadikan jalan untuk meninggalkan tempat itu. Dia benar-benar telah terjebak ke dalam tempat yang benar-benar terputus hubungannya dengan dunia ramai!

“Heh-heh-heh, kau mencari jalan keluar? Tidak mungkin, Lu Ceng. Aku sendiri sudah dua puluh tahun lebih berada di sini, tidak menemukan jalan keluar. Jalan satu-satunya hanyalah melalui mulut sumur itu, dan tidak mungkin ada manusia dapat naik melalui jalan itu karena dinding sumur itu banyak mengeluarkan gas beracun. Dan menuruni tebing-tebing jurang di sini, sama saja dengan membunuh diri. Engkau sudah berjodoh denganku untuk menemaniku selama hidupmu di tempat ini, anak manis.”

“Tidak! Tidak mungkin...!” Ceng Ceng menjerit. “Harap Locianpwe turun, teecu hendak mencari jalan keluar.”

Melihat dara itu hendak menurunkannya, tiba-tiba nenek itu berkata, “Tidak, aku tidak mau turun lagi selamanya dari punggungmu, heh-heh-heh!”

Ceng Ceng menjadi terkejut sekali, terkejut dan marah. Kedua tangannya sudah hendak bergerak menangkap tubuh nenek itu dan memaksanya turun, akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa jari-jari tangan nenek itu menyentuh ubun-ubun kepalanya.

“Jangan bergerak! Kalau bergerak, kepalamu akan kuhancurkan!” bentak nenek itu, suaranya mendesis-desis seperti ular marah. “Aku sudah terlalu lama hidup tanpa kaki, merayap seperti ular. Aku ingin hidup wajar, ingin melihat dunia ramai dan tak mungkin kulakukan tanpa kaki. Sekarang aku sudah mendapatkan kedua kaki, kakimu, dan aku tidak akan melepaskannya lagi!”

“Locianpwe... gila...!” Ceng Ceng berseru, matanya terbelalak. Ngeri dia membayangkan bahwa untuk selamanya nenek itu tidak mau turun dari punggungnya!

“Heh-heh, aku ahli racun yang nomor satu di dunia ini. Ingat, julukanku adalah Ban-tok (Selaksa Racun), dan memang aku mengenal selaksa racun yang terdapat di dunia ini. Aku bisa menggunakan ilmuku untuk menanam tubuhku ini di punggungmu, melekat untuk selamanya dan kedua kakimu menjadi pengganti kedua kakiku yang lumpuh, ha-ha-ha!”

Bukan main ngeri dan jijiknya rasa hati Ceng Ceng. Dia telah diselamatkan oleh seorang nenek gila, seorang nenek yang berwatak seperti iblis. Kiranya masih lebih baik mati dari pada harus hidup seperti itu, selamanya menggendong nenek ini, siang malam, di waktu dia makan, di waktu tidur, mandi dan lain-lain. Selamanya! Mana mungkin? Lebih baik mati!

Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi agaknya nenek tua renta ini masih sayang akan hidupnya, masih suka hidup. Dara itu tersenyum dan dengan langkah seenaknya dia mendekati tebing jurang, kemudian berkata, “Baiklah, Locianpwe. Kalau begitu mari kita mampus bersama!”

“Heiii...! Apa... apa maksudmu...?” Nenek itu menjerit sambil memandang ke bawah, ke dalam jurang yang tertutup kabut tebal itu.

“Locianpwe lebih suka hidup, akan tetapi aku lebih suka mati. Kita meloncat ke bawah, mungkin di bawah sana terdapat air yang akan menelan dan membuat kita mati tenggelam, mungkin juga batu-batu runcing tajam seperti pedang yang akan menerima tubuh kita sampai hancur berkeping-keping, atau batu keras yang menerima tubuh kita sampai gepeng. Mari kita mampus bersama!”

“Heiii, jangan...! Apa kau gila...? Dua puluh tahun aku bersusah-payah mempertahankan hidupku, masa sekarang akan kau akhiri begitu saja. Biarkan aku turun...!”

Akan tetapi kini Ceng Ceng menggunakan kedua tangannya memegang erat-erat dua kaki yang lumpuh itu. “Tidak, aku tidak akan menurunkanmu, aku akan mengajakmu mampus bersama, untuk menjadi temanku pergi ke neraka menerima siksaan di sana!”

“Lepaskan... aihhh... aku tidak mau mati... belum mau mati...!” Kini nenek itu merengek dan hampir menangis.

Ceng Ceng tersenyum geli. Biar pun dia telah terjebak ke tempat mengerikan itu, namun pada saat itu dia lupa akan kesengsaraannya dan dia gembira dapat mempermainkan nenek yang seperti iblis ini.

“Aku hanya mau menurunkan Locianpwe dan tidak akan meloncat ke bawah kalau Locianpwe suka berjanji untuk mengangkat murid kepada teecu dan menurunkan semua ilmu kepandaian Locianpwe kepada teecu.”

“Baik, aku berjanji... lekas mundur jauhi tebing ini... hihhh...!”

Ceng Ceng melompat mundur, melepaskan kedua kaki nenek itu dan Ban-tok Mo-li meloncat turun. Mereka berhadapan dan kembali Ceng Ceng merasa ngeri dan jijik, akan tetapi juga kasihan menyaksikan nenek itu menelungkup seperti seekor kadal.

“Kau... kau bocah nakal dan cerdik, hi-hik! Kau memang pantas menjadi muridku, Lu Ceng. Aku memang membutuhkan teman di sini, dan kalau kau menjadi muridku, berarti kita tidak akan saling berpisah pula, Nah, mulai saat ini kau menjadi muridku.”

Karena tidak ada pilihan lain dan agaknya dia harus pula mengandalkan kepandaian nenek ini untuk dapat keluar, selain itu juga dia ingin memperdalam ilmunya agar dia kelak dapat mencari sendiri jalan keluar kalau nenek itu tidak mau membantunya, Ceng Ceng lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, “Teecu Lu Ceng menghaturkan terima kasih kepada Subo (Ibu Guru).”

“Heh-heh-heh, engkau tidak tahu betapa beruntungnya kau hari ini, Lu Ceng. Engkau tak tahu siapakah Ban-tok Mo-li Ciang Si yang kau angkat menjadi guru ini. Aku sendiri mungkin tidak terkenal, akan tetapi suheng-ku adalah seorang di antara tokoh-tokoh nomor satu dari Pulau Neraka. Suheng-ku Bu-tek Siauw-jin (Manusia Hina Tanpa Tanding) adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang suka merantau dan dari Suheng itu aku memperoleh banyak ilmu mukjijat. Hi-hik, kau beruntung sekali.”

Mulai hari itu Ceng Ceng berdiam di tempat terasing ini bersama gurunya dan di dalam penyelidikannya, tempat itu benar-benar terputus dari dunia luar. Untung bahwa di dalam terowongan terdapat sumber air yang terus menetes dari dinding batu, dan untuk menyambung hidup, selama puluhan tahun gurunya hanya makan daun-daun dari tanaman yang merambat di tepi jurang di luar goa, jamur-jamur yang banyak tumbuh di dalam terowongan, ribuan macam banyaknya, dan akar-akar tumbuhan yang terpendam di dalam tanah di goa dan di luar goa.

Akan tetapi Ceng Ceng tidak mau meniru gurunya yang kadang-kadang makan cacing dan binatang dalam tanah lainnya. Dia merasa jijik dan karena dia tidak lumpuh seperti gurunya, akhirnya dia berhasil juga menyambit jatuh burung-burung yang kebetulan terbang di tempat tinggi itu.

Setelah berhari-hari tinggal dengan Ban-tok Mo-li Ciang Si, dia mendengar penuturan gurunya. Ceng Ceng memperoleh kenyataan bahwa gurunya itu memang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.

Tidak saja ilmu silatnya luar biasa, akan tetapi terutama sekali gurunya adalah seorang ahli besar dalam soal racun. Berkat latihannya yang tekun selama beberapa puluh tahun, gurunya telah menguasai semua racun. Seluruh tubuh gurunya mengandung racun yang dapat digunakan untuk membunuh lawan. Dari tamparan tangannya, sampai jari kukunya, sabetan rambutnya, gigitan mulut yang tak bergigi lagi, sampai ludahnya mengandung racun yang cukup berbahaya dan dapat membunuh lawan!

Biar pun pada waktu itu dia belum melihat kemungkinan untuk dapat bebas dari neraka itu, namun Ceng Ceng tidak putus asa dan tidak mau membenamkan dirinya dalam kedukaan atau keputus asaan yang menggelisahkan. Dia tetap gembira, merasa yakin bahwa pada suatu saat kalau ilmu kepandaiannya sudah tinggi, dia pasti akan dapat keluar dari tempat itu. Pikiran inilah yang membuatnya tetap gembira dan bahkan membuatnya makin tekun mempelajari ilmu dari nenek luar biasa itu.



Pada suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak Ceng Ceng berada di tempat itu, sehabis latihan pagi, Ceng Ceng memberanikan dirinya bertanya kepada gurunya, “Subo, bagaimanakah Subo sampai dapat berada di tempat ini, dan bagaimana pula Subo yang berilmu tinggi sampai dapat menderita penyakit lumpuh kedua kaki Subo?”

Pada saat itu, Ban-tok Mo-li Ciang Si sedang menggelung rambutnya. Semenjak Ceng Ceng berada di situ, melihat kebersihan muridnya yang setiap hari mandi dan mencuci pakaian, dia terbawa oleh kebiasaan ini dan mulailah dia mau mengurus tubuh dan pakaiannya. Pakaiannya kini bersih, dicucikan oleh muridnya dan rambutnya pun bersih dan disanggul, tidak seperti biasanya terurai dan kotor, membuatnya kelihatan seperti kuntilanak. Mendengar pertanyaan muridnya itu, mukanya yang pucat menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar marah.

“Kalau yang mengajukan pertanyaan itu orang lain, tentu akan kubunuh seketika juga karena pertanyaan itu mengingatkan aku akan hal-hal yang tidak menyenangkan. Akan tetapi karena kau adalah muridku, sebaiknya kau tahu karena hanya engkaulah yang kuharapkan kelak akan dapat membalaskan penderitaanku ini kepada mereka itu.”

“Mereka siapakah, Subo? Dan apa yang mereka lakukan kepadamu?”

“Ahhh...” Nenek itu menarik napas panjang. “Mungkin hari ini atau besok mereka akan datang ke sini untuk menagih janji, mengambil kitab catatanku tentang racun...”

Ceng Ceng cepat menekan jantungnya yang berdebar-debar keras penuh ketegangan. Mereka akan datang ke tempat itu? Hal ini membuktikan bahwa terdapat jalan untuk memasuki tempat ini dan berarti ada pula jalan keluarnya!

Biar pun dia tidak mengatakan sesuatu, gurunya dapat menduga jalan pikirannya dan gurunya berkata, “Percuma saja, Lu Ceng. Sudah hampir dua puluh tahun aku berada di sini dan apakah kau kira aku selama itu tidak berusaha menemukan jalan keluar itu? Akan tetapi aku tidak berhasil. Jalan rahasia itu hanyalah diketahui oleh mereka berdua, karena memang tempat ini adalah milik mereka, dulu adalah tempat pertapaan mereka.”

“Siapakah mereka?”

“Mereka adalah dua orang iblis berwajah manusia yang terkenal dengan julukan Siang Lo-mo (Sepasang Iblis Tua), dua orang kembar yang amat jahat.”

“Mengapa mereka menganiaya Subo?”

Nenek itu kembali menarik napas panjang. “Dua puluh tahun yang lalu mereka bertemu denganku dan hanya setelah mereka maju mengeroyok saja aku terpaksa harus kalah. Mengetahui bahwa aku memiliki ilmu yang tinggi tentang racun, mereka memaksaku untuk membuatkan kitab cacatan tentang selaksa racun. Tentu aku tidak sudi, biar pun mereka memaksaku. Akan tetapi, mereka berdua amat keji, dengan marah mereka lalu menghancurkan tulang-tulang kedua kakiku.”

“Aihhh...!” Ceng Ceng menjerit ngeri.

“Kemudian mereka membawa aku yang pingsan ke dalam tempat ini. Ketika aku sadar, mereka mengancam akan datang membunuhku jika aku tak mau memenuhi permintaan mereka. Aku tetap menolak dan hingga kini mereka belum juga membunuhku. Karena sudah tahu bahwa tidak dapat keluar dari sini, aku memperdalam ilmuku tentang racun dan aku bersiap untuk membunuh mereka. Paling akhir mereka mengancam bahwa mereka akan datang untuk yang terakhir, kalau aku tidak memberikan catatan racun, mereka tentu benar-benar akan membunuhku. Hari yang dijanjikan itu adalah hari ini atau besok pagi. Akan tetapi, aku sudah siap menghadapi mereka dan mereka akan mampus, hi-hi-hi...!”

“Maksud Subo, Subo hendak melawan dan akan dapat mengalahkan mereka?”

“Tidak, kalau melawan terang-terangan, tak mungkin dapat menangkan dua tua bangka kembar itu. Akan tetapi sudah bertahun-tahun aku merencanakan akal, mari kau lihat saja dan bantu aku membuat persiapan!”

Ceng Ceng mengikuti subo-nya memasuki goa dan sesampainya di mulut terowongan yang berada di sebelah dalam goa, nenek itu kemudian berhenti dan mengeluarkan bunyi mendesis-desis dan diseling suara melengking.

“Subo memanggil Siauw-liong (Naga Kecil)?” bertanya Ceng Ceng yang sudah pernah mendengar subo-nya memanggil ular besar itu. Selama sebulan di tempat itu baru pagi hari ini dia merasakan ketegangan hebat setelah mendengar bahwa tempat itu akan kedatangan musuh yang lihai, bukan hanya tegang karena musuh itu melainkan karena harapannya bahwa dia akan dapat menemukan jalan keluar yang dirahasiakan oleh sepasang kakek iblis itu.

Tak lama kemudian, terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ular besar yang merayap dari dalam terowongan. Nenek itu juga merayap dekat, lalu memegang leher dan perut ular dengan kedua tangan. Dengan gerakan tiba-tiba dia melemparkan ular itu ke atas, ke arah batu menonjol di atas goa. Ular itu menggunakan ekornya melibat batu dan berdiam di situ tak berani bergerak lagi, melingkari batu.

Setelah melihat ular itu di tempat seperti yang dikehendakinya, Ban-tok Mo-li tertawa, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, membuka bungkusan yang ternyata berisi bubuk berwarna hitam. Ditaburkannya bubuk itu di sepanjang jalan terowongan di mulut goa sebelah dalam. Tidak ada tampak bekasnya, namun lantai yang ditaburi bubuk sambil mengesot mundur itu, mulai dari mulut terowongan sampai ke dalam sejauh tiga meter lebih telah terlapis dengan bubuk hitam.

“Ha-ha-ha, nanti kau akan melihat mereka bergelimpangan, Lu Ceng.” Nenek itu tertawa sambil mengantongi lagi kertas pembungkus racun hitam tadi.

“Apakah Subo pasti akan berhasil?” Ceng Ceng bertanya ragu, mengingat akan cerita gurunya betapa lihai kedua orang kakek itu.

“Hi-hi-hik, tentu saja! Racun itu tidak tampak sama sekali, tetapi sekali menyentuhnya, biar memakai sepatu sekali pun, yang menginjaknya akan roboh dan tewas. Andai kata kakek kembar iblis busuk itu mampu melewatinya, tentu Siauw-liong yang girang melihat kedatangan korban akan menyerang mereka. Serangan ini tentu akan membuat mereka meloncat mundur lagi dan mau tidak mau akan menginjak racun hitam. Heh-heh-heh!”

“Kalau gagal bagaimana, Subo?”

“Hemm, gagal? Aku sudah siap dengan jarum-jarumku yang akan kusebar dari sebelah luar goa. Dan engkau selama ini sudah berlatih melempar jarum beracun dan pasir beracun, kau bantu aku menyerang dari samping kiri.”

“Baik, Subo.”

“Nah, kita siap sekarang.”

Nenek itu lalu mengesot ke sebelah kanan mulut goa, bersembunyi di balik batu besar. Ceng Ceng juga melompat ke samping kiri mulut goa, bersiap dengan pasir dan jarum merah beracun yang sudah dikantonginya. Jantungnya berdebar tegang. Yang menjadi perhatian sepenuhnya adalah kemungkinan baginya untuk menemukan jalan rahasia keluar dari tempat itu! Kalau selama sebulan ini dia kurang giat mencari jalan keluar adalah karena dia sudah putus harapan untuk dapat menemukan jalan keluar, karena dia tidak tahu bahwa memang terdapat jalan rahasia. Kini, setelah mendengar cerita gurunya, timbul semangatnya. Kalau orang lain mampu keluar masuk tempat ini, mengapa dia tidak?

Menanti merupakan pekerjaan yang paling melelahkan. Apa lagi dalam suasana di mana ketegangan mencekam hati seperti pada saat itu. Sejak pagi Ceng Ceng menanti bersama subo-nya, di kanan kiri mulut goa, bersembunyi sambil mengintai ke sebelah dalam terowongan yang hitam pekat. Apa lagi dia sebagai manusia yang dipermainkan pikiran dan khayal pikirannya sendiri, sedangkan ular besar itu pun mulai kelihatan gelisah akan tetapi tidak berani merayap turun karena takut sekali kepada nenek itu. Hanya kepalanya saja digoyang-goyang ke kanan kiri, matanya melirik-lirik dan lidahnya berkali-kali dijulurkan keluar sambil mengeluarkan suara mendesis-desis. Setiap kali dia mendesis, nenek itu mendesis-desis keras dan ular itu terdiam.

Ceng Ceng sudah hampir tidak kuat lagi menahan. Dia adalah seorang dara yang lincah gembira, mana dia dapat bertahan untuk diam saja seperti arca selama berjam-jam? Matahari telah naik tinggi dan sudah lebih dari tiga jam mereka menanti di situ. Akan tetapi baru saja dia hendak membuka mulut mengajak subo-nya bicara, nenek itu sudah menggerakkan tangan memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan suara. Ceng Ceng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Dengan amat jelas terdengarlah suara orang tertawa, jauh dari sebelah dalam terowongan itu!

“Ha-ha-ha! Ban-tok Mo-li nenek ular yang buruk! Keluarlah kau..., kami datang menagih janji! Ha-ha-ha-ha!”

Ceng Ceng merasa ngeri. Baru suaranya saja sudah membayangkan bahwa orang yang tertawa itu mempunyai kekejaman luar biasa!

Keadaan menjadi sunyi sekali dan amat menyeramkan setelah suara tertawa dan kata-kata itu habis gemanya. Dara itu melirik ke arah subo-nya dan melihat betapa nenek itu juga tegang, memandang ke dalam goa sambil mengintai dari balik batu besar, jarum-jarum hitam di kedua tangannya. Ceng Ceng juga mempersiapkan jarum merah di tangan kanan dan pasir di tangan kiri. Pasir yang digenggamnya itu bukanlah pasir biasa melainkan pasir yang didapat di lantai goa itu dan yang sudah direndam dalam racun oleh subo-nya. Dia sendiri sudah menggunakan obat pemunahnya sehingga tidak berbahaya baginya, namun lawan yang terkena pasir ini, sedikit saja lecet kulitnya tentu akan terancam bahaya maut karena dari luka itu racun pasir akan meracuni semua jalan darahnya!

Tiba-tiba tampak bayangan dua orang di sebelah dalam terowongan. Karena di dalam terowongan itu memang gelap sekali, maka yang tampak hanya bayangannya saja. Tetapi dengan jantung berdebar Ceng Ceng merasa pasti bahwa bayangan itu tentulah sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, musuh dari gurunya. Apakah mereka itu akan menginjak lantai yang beracun? Ataukah akan meloncati tempat itu? Akan tetapi kini dia mengerti akan siasat gurunya.

Gurunya mengajak dia bersembunyi, dan hal ini merupakan jebakan dan pancingan. Kalau tidak kelihatan ada orang di situ, tentu dua orang kakek itu akan berhati-hati dan akan maju perlahan-lahan, tidak berani sembarangan meloncat begitu saja, khawatir akan terjebak. Dan karena hati-hatinya, tentu dua orang kakek itu akan menginjak lantai yang sudah dipasangi racun dan yang tidak nampak sama sekali.

Ceng Ceng melihat dua orang atau dua bayangan itu bergerak melangkah maju, dan dia melihat pula betapa Siauw-liong, ular besar itu sudah mulai menjulurkan kepalanya ke bawah, agaknya dengan air liur membasahi lidahnya binatang itu sudah siap mencaplok korban yang akan menjadi mangsanya itu.

Setapak demi setapak dan bayangan orang itu melangkah maju, makin mendekati lantai beracun, dan makin berdebar pula rasa jantung Ceng Ceng. Mereka itu makin dekat dan tiba-tiba terdengar jerit melengking. Kedua orang itu roboh tepat di atas lantai beracun. Mereka roboh begitu kaki mereka menyentuh lantai itu!

Bukan main ngeri, kagum dan juga girangnya hati Ceng Ceng karena melihat dua orang musuh tangguh dari gurunya itu dapat dirobohkan sedemikian mudahnya. Dia hendak meloncat keluar, tetapi mengurungkan niatnya ini ketika dia menoleh ke arah gurunya. Dia melihat gurunya itu dengan muka pucat dan pandang mata gelisah memberi isyarat agar tetap bersembunyi. Bahkan gurunya kini siap untuk melemparkan jarum-jarumnya ke depan!

Selagi Ceng Ceng terheran-heran dan bingung melihat sikap gurunya, tiba-tiba terdengar suara dua orang tertawa-tawa dan dari dalam terowongan berkelebatlah dua sosok bayangan orang. Sambil tertawa-tawa dua orang itu meloncat ke depan, menginjak punggung dua orang pertama yang masih menelungkup di atas lantai beracun, lalu dari punggung itu mereka meloncat ke depan dan barulah tampak oleh Ceng Ceng bahwa yang meloncat hanya satu orang sedangkan orang kedua duduk di atas pundak orang pertama. Orang pertama yang berada di bawah itu memakai sepatu kulit tebal dan orang kedua yang duduk di atas pundak orang pertama itu tidak bersepatu, bahkan tidak berpakaian kecuali hanya sepotong cawat!

Tiba-tiba ular besar tadi menyerang ke bawah.

“Heh-heh-heh!” Orang yang tidak berpakaian dan hanya bercawat itu terkekeh. “Masih adakah permainanmu yang lain lagi, Nenek Buruk?” bentaknya dan kedua tangannya bergerak cepat.

Dengan jari-jari tangan kurus panjang disodokkan ke arah kepala ular, jari-jari tangan itu telah menembus kulit ular seperti pisau-pisau runcing masuk ke dalam kepala dan leher ular besar itu! Darah muncrat-muncrat dan tubuh ular itu melorot turun, mencoba untuk membelit dua orang tadi.

Pada saat itu, Ban-tok Mo-li sudah menggerakkan kedua tangannya bergantian dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah dua orang kakek itu, disusul sinar-sinar merah dari jarum-jarum Ceng Ceng dan sinar putih dari pasir beracunnya. Namun, sambil tertawa kakek yang telanjang itu sudah memutar-mutar bangkai ular besar sehingga semua serangan jarum dan pasir mengenai tubuh ular, membuat ular itu mati seketika dan tidak berkelojotan lagi. Kakek telanjang membuang bangkai ular dan melompat turun, kemudian kedua orang kakek itu melompat keluar mulut goa.

Sekarang Ceng Ceng dapat memandang dengan jelas. Wajah kedua orang kakek itu bentuknya sama benar dan jelas bahwa mereka adalah orang kembar. Akan tetapi kesamaan ini lenyap oleh perbedaan-perbedaan lain yang amat mencolok.

Kakek pertama memakai pakaian lengkap dan serba baru, dari sepatu kulit sampai baju bulunya yang amat indah, mukanya pun berwarna pucat putih seperti kapur dan mukanya serius. Melihat baju mantel bulu dan penutup kepala bulu halus yang mahal itu pantasnya dia adalah seorang hartawan besar yang mengenakan pakaian untuk musim salju dan agaknya dia terus merasa kedinginan!

Ada pun kakek kedua sama sekali tidak memakai pakaian kecuali cawat atau celana pendek sekali itu, tubuhnya yang kurus itu seperti selalu terasa gerah dan mukanya pun kemerahan seperti dipanggang! Kakek inilah yang tertawa-tawa dan sikapnya seperti orang gembira biar pun wajahnya yang merah itu kelihatan menyeramkan seperti orang mabuk atau orang yang marah.

“Heh-heh-heh-heh, Ban-tok Mo-li, kau kira kami hanyalah orang-orang bodoh? Untung kami menemukan dua orang di atas sana dan untung pula ada ular besar. Heh-heh!” kata kakek bermuka merah.

“Ban-tok Mo-li, cepat kau berikan kitab catatan racun kepada kami!” Kakek muka putih menyambung.

Si Muka Putih ini berjuluk Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Utara) sedangkan Si Muka Merah adalah adik kembarnya, berjuluk Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Selatan). Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, kedua orang kakek kembar ini lebih terkenal dengan sebutan Siang Lo-mo (Iblis Tua Kembar) dan pernah menyerbu ke Pulau Es memusuhi Pendekar Super Sakti, namun dikalahkan oleh pendekar itu dan kedua orang isterinya yang sakti.

Mereka ini berasal dari Formosa (Taiwan) dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Si Muka Putih Pak-thian Lo-mo itu memiliki Im-kang yang amat kuat sehingga tubuhnya kedinginan terus, maka dia selalu memakai pakaian tebal. Sebaliknya, Si Muka Merah Lam-thian Lo-mo adalah seorang ahli Yang-kang sehingga tubuhnya yang kurus itu selalu telanjang karena dia merasa gerah terus.

“Aku tidak akan menyerahkan kitab apa pun kepada kalian dua manusia iblis!” Ban-tok Mo-li memekik marah, matanya memandang dengan sinar berapi penuh kebencian.

“Kau bosan hidup!” Pak-thian Lo-mo membentak marah.

“Heh-heh-heh, siapa takut mampus? Kalian majulah, hendak kulihat siapa di antara kita yang akan mampus lebih dulu!” nenek itu menantang sambil tertawa mengejek.

“Singgg...!” Pak-thian Lo-mo sudah melolos sabuknya yang panjang berupa pecut baja yang mengerikan.

“Eihhh, Pak-heng (Kakak Pak), perlahan dulu. Jangan mudah dibujuk oleh nenek busuk ini. Keenakan kalau dia dibunuh begitu saja, ha-ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo mencegah kakak kembarnya. “Jika dia berkeras tidak mau memberikan catatan itu memang sudah selayaknya dia mampus, akan tetapi harus mati perlahan-lahan dan kita siksa dulu sepuasnya!”

Agaknya Pak-thian Lo-mo yang amat menginginkan pengetahuan tentang segala jenis racun itu mengerti akan akal adik kembarnya, maka dia hanya bersungut-sungut sambil menyimpan kembali senjatanya yang ampuh.

“Ban-tok Mo-li dengarlah,” kata Lam-thian Lo-mo sambil tertawa. “Telah puluhan tahun engkau hidup seperti ular, kedua kakimu lumpuh, akan tetapi engkau masih dapat menggunakan kedua lenganmu untuk mengesot dan merangkak. Sekarang, kalau kau tidak mau menyerahkan catatan itu, kami akan melumpuhkan kedua lenganmu pula. Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat merayap maju, apakah akan berlenggak-lenggok seperti ular, ha-ha-ha!”

“Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo. Siapa tidak mengetahui kelicikan kalian manusia iblis yang sudah mau mampus?” nenek itu balas mengejek. “Kalian takut mendekati aku, karena begitu mendekat, kalian tentu akan mampus, maka kalian menggertak. Hendak kulihat bagaimana kalian hendak membuntungi atau melumpuhkan kedua tanganku ini, hi-hi-hik. Majulah!”

Dua orang kakek itu saling pandang. Memang apa yang diucapkan oleh nenek ini benar. Mereka berdua maklum betapa nenek ini setelah lumpuh kedua kakinya, selama dua puluh tahun di dalam goa, memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan lawan yang amat berbahaya, seolah-olah keadaan di sekeliling nenek itu beracun!

“Pak-heng, memang kau benar. Nenek busuk ini harus dihajar. Disangkanya kita tidak bisa menghajarnya dari jarak jauh!” kata Si Muka Merah.

“Memang dia harus dihajar sampai mampus!” jawab Si Muka Putih. “Lam-te, mari kita serang dia dengan batu dari jauh, baru kita menggunakan senjata.”

Pada saat itu, Ceng Ceng sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat ke depan sambil berseru, “Dua orang kakek berhati kejam!”

“Lu Ceng, jangan...!” Ban-tok Mo-li berteriak, akan tetapi terlambat sebab dara itu sudah menyerang kepada dua orang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangannya.

“Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-li sudah mempunyai seorang pembantu yang nekat!” Lam-thian Lo-mo tertawa mengejek ketika dia bersama kakaknya dengan mudahnya mengelak dari serangan-serangan Ceng Ceng yang marah sekali.

“Sepasang manusia iblis keji! Kalian telah menyiksa Subo, telah membuat hidup Subo amat sengsara, dan kalian masih saja mendesak dan mengganggunya!” Ceng Ceng memaki-maki sambil menyerang lagi dengan ganas. Namun semua serangannya gagal karena dua orang kakek itu amat mudah mengelaknya tanpa banyak bergerak.

Melihat betapa Ceng Ceng membelanya mati-matian, nenek itu menjadi tercengang dan terheran-heran. Tadinya dia adalah seorang pembenci manusia, siapa pun dibencinya dan dimusuhinya karena dia seperti merasa bukan manusia lagi. Juga terhadap Ceng Ceng sebetulnya dia benci, hanya karena dia enggan kehilangan dara itu yang telah datang di tempat itu dan dapat menjadi temannya, bahkan dapat pula kelak dipaksa untuk mengajaknya keluar, maka dia tidak membunuh Ceng Ceng bahkan menerimanya sebagai murid.

Akan tetapi sekarang, melihat betapa dara itu membelanya mati-matian, dengan nekat melawan dua orang kakek itu, timbul perasaan terharu dan sayang kepada Ceng Ceng, maka tentu saja dia menjadi amat khawatir melihat betapa Ceng Ceng menyerang dua orang kakek yang tentu saja sama sekali bukan lawan muridnya itu.

“Lu Ceng muridku..., jangan...! Kau mundurlah dan biar aku yang menghadapi mereka!” Nenek itu berteriak-teriak sambil mengesot maju.

Dua orang kakek kembar itu adalah orang-orang yang cerdik. Sebetulnya mereka tidak ingin benar membunuh nenek itu karena memang tidak mempunyai permusuhan apa-apa. Yang penting bagi mereka adalah kepandaian nenek itu tentang racun, dan semua penyiksaan dan ancaman yang mereka lakukan terhadap Ban-tok Mo-li semata-mata karena ingin memaksa nenek itu menyerahkan catatan tentang racun. Kalau sampai mereka membunuh nenek itu tentu karena kecewa dan marah akan kekerasan hati nenek itu.

Kini mereka dapat melihat sikap Ban-tok Mo-li, dan mendengar dalam suara nenek itu terkandung rasa sayang kepada gadis yang menjadi muridnya itu, maka sekaligus mereka telah dapat menentukan sikap dan akal mereka. Memang ada pertalian batin yang aneh di antara dua orang kembar ini, kadang-kadang tanpa kata-kata mereka sudah dapat mengerti isi hati masing-masing.

Lam-thian Lo-mo tertawa bergelak, lalu tubuhnya bergerak membalas serangan Ceng Ceng. Dara ini terkejut bukan main menyaksikan serangan yang teramat dahsyat itu. Lengan telanjang itu menyerangnya dengan berbareng, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya, yang kiri mencengkeram ke arah dadanya dengan jari-jari terbuka.

Dia cepat meloncat ke belakang sambil menggerakkan kedua tangan menangkis, akan tetapi tiba-tiba ada hawa dingin menyambar dari arah belakang dan sebelum dia sempat mengelak, kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh kedua tangan Pak-thian Lo-mo! Ceng Ceng meronta-ronta, akan tetapi Lam-thian Lomo tertawa-tawa dan sudah menyambar ke bawah dan di lain saat tubuh dara itu sudah tergantung dan terlentang seperti seekor rusa ditangkap dan hendak disembelih.

Kedua tangannya dipegang oleh Pak-thian Lo-mo sedangkan kedua kakinya dipegang oleh Lam-thian Lo-mo. Ceng Ceng hanya meronta-ronta memaki-maki, akan tetapi tidak berdaya melepaskan diri dari pegangan dua orang kakek itu. Jika mereka menghendaki, betapa mudahnya bagi mereka untuk membunuh dara itu.

“Lu Ceng...!” Ban-tok Mo-li menjerit ketika melihat muridnya tertawan. “Siang Lo-mo, keparat busuk! Lepaskan muridku!”

“Ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo tertawa dan bersama kakak kembarnya dia menghampiri tepi jurang depan goa. “Ban-tok Mo-li, kau lihatlah dulu muridmu yang cantik jelita dan muda belia ini terbang ke bawah sana agar tubuhnya hancur lebur di dasar jurang yang tak tampak dari sini, dengar saja jeritnya yang melengking nanti agar dapat kau nikmati sebelum kau pun mampus pula di tangan kami. Ha-ha-ha!” Bersama kakak kembarnya, Lam-thian Lo-mo mengayun-ayun tubuh dara itu dan siap untuk melepaskan pegangan dan melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.

“Tunggu...! Tahan...! Kalian menghendaki catatan racun? Sudah kubuatkan...!” Nenek itu menjerit penuh kegelisahan melihat tubuh muridnya sudah hampir dilemparkan ke jurang.

“Ha-ha-ha-ha, siapa percaya omonganmu, nenek busuk?” Lam-thian Lo-mo mengejek.

“Bedebah! Ini kitabnya! Sudah aku siapkan!” Nenek itu merogoh pinggangnya untuk mengeluarkan sejilid kitab kecil bersampul hitam.

“Bagus! Berikan itu kepada kami, maka kami akan membebaskan muridmu,” kata pula Lam-thian Lo-mo, girang bukan main karena isi kitab itu akan membuat mereka berdua bertambah lihai.

“Lemparkan dia kepadaku dan aku akan melemparkan kitab ini kepadamu!” nenek itu kini menahan diri karena melihat betapa musuh amat menginginkan kitab itu.

“Baik, aku akan melemparkannya kepadamu. Akan tetapi kau juga harus melemparkan kitab itu kepadaku.” Lam-thian Lo-mo berkata.

“Nanti dulu, Lam-te!” Pak-thian berkata tenang. “Jangan sampai kita dapat ditipu nenek busuk itu! Peganglah tangan gadis ini!”

Lam-thian Lo-mo memegang kedua pergelangan kaki Ceng Ceng dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya kini menggantikan kakak kembarnya memegangi kedua pergelangan tangan gadis itu. Kuat sekali kedua tangan kakek kurus bermuka merah ini sehingga Ceng Ceng merasa betapa kedua kaki tangannya seperti dijepit alat dari baja dalam genggaman jari-jari tangan kakek itu.

Pak-thian Lo-mo mengeluarkan sepasang sarung tangan putih, kemudian memakainya. Setelah itu baru dia berkata, “Nah, sekarang pertukaran boleh dilakukan, Lam-te.”

“Ha-ha-ha, kau benar cerdik, Pak-heng. Aku sampai lupa bahwa tentu kitab itu penuh dengan racun berbahaya pula!” Dia memandang nenek itu yang kelihatan marah-marah.

“Ban-tok Mo-li, lagi-lagi siasatmu tidak berhasil, ha-ha-ha! Hayo lempar kitab itu kepada Pak-heng dan aku akan melemparkan dara ini kepadamu!”

“Keparat, iblis busuk!” Nenek itu memaki dan melemparkan kitab hitam kepada Pak-thian Lo-mo pada saat Lam-thian Lo-mo melemparkan tubuh Ceng Ceng kepadanya.

Tubuh Ceng Ceng tentu akan terbanting jika saja kedua tangan subo-nya tidak menarik dan menyangganya agar dara itu duduk di sebelahnya dan segera dapat dilindunginya. Sementara itu, Pak-thian Lo-mo sudah membalik-balik kitab kecil dan wajahnya yang serius itu kini berseri melihat catatan racun-racun dengan obat pemunahnya. Dia mengangguk kepada adik kembarnya dan keduanya lalu melompat jauh melewati kepala Ceng Ceng dan Ban-tok Mo-li, melompati pula lantai beracun seperti tadi, yaitu Lam-thian Lo-mo, di atas pundak kakak kembarnya yang meloncat dan menginjak mayat dua orang tadi sebagai batu loncatan, kemudian keduanya menghilang di dalam terowongan gelap.

Ceng Ceng sudah bangkit berdiri hendak mengejar, akan tetapi tangannya dipegang oleh nenek itu. “Kau mau apa?”

“Subo, aku hendak membayangi mereka untuk mencari jalan keluar mereka.”

“Sssttt... percuma. Mereka bergerak cepat sekali dan kalau sampai ketahuan bahwa kau membayangi mereka, tentu kau akan mereka bunuh.”

Ceng Ceng mengurungkan niatnya, tetapi diam-diam dia mengingat semua peristiwa tadi, tentang kemunculan mereka, suara mereka ketika pertama kali datang, agar dia dapat menyelidiki dan mengira-ngira dari mana kiranya mereka itu datang ke dalam terowongan. Dia menyangka bahwa sudah pasti di dalam terowongan yang gelap itu terdapat sebuah pintu rahasia yang menghubungkan tempat itu dengan dunia luar.

“Jangan mengharapkan yang bukan-bukan, muridku. Selama betahun-tahun aku telah menyelidiki seluruh tempat itu, telah memeriksa seluruh terowongan, namun tak berhasil menemukan. Sekarang lebih baik kau tekun belajar agar dapat menguasai semua ilmu-ilmuku sehingga kelak kalau mereka berdua datang, kau akan mampu merobohkan mereka dan memaksa mereka mengantarmu keluar dari sini.”

“Apakah mereka akan datang lagi setelah berhasil merampas kitab?”

Nenek itu menyeringai lalu tertawa. “Heh-heh-heh-heh, mereka mengira aku ini orang macam apa? Sudah kuatur sebelumnya dan biar pun racun yang kuoleskan pada kitab itu tidak berhasil karena kecerdikan Pak-thian Lo-mo, tetapi aku sengaja membuat obat ramuan pemunah satu di antara racun yang paling jahat secara keliru. Kalau mereka kelak mendapat kenyataan itu, apa lagi kalau mereka membutuhkan obat pemunah, tentu mereka akan turun lagi ke sini! Dan sementara itu, engkau tentu sudah pandai dan dapat kita bersama membunuh mereka...”

“Membunuh...?”

“Maksudku, membunuh setelah mereka kita paksa membawa kita keluar.” Nenek itu cepat menyambung.

Ceng Ceng boleh jadi cerdik, namun dia tidak mampu melawan kecerdikan nenek itu sehingga tidak dapat menduga isi hati nenek itu yang sebenarnya. Nenek itu sama sekali sudah tidak mempunyai keinginan untuk keluar dari tempat itu. Apa gunanya keluar kalau dia sudah menjadi seorang manusia tak berguna seperti itu? Hanya akan mendatangkan penghinaan dan rasa malu. Akan tetapi dia ingin melihat muridnya ini berkepandaian tinggi agar kelak dapat membalaskan sakit hatinya, dapat membunuh dua orang kakek itu. Soal mereka akan dapat keluar dari tempat itu atau tidak, sama sekali tidak dipedulikannya.

Ceng Ceng yang tidak melihat jalan lain lalu menghibur diri dengan belajar secara tekun sekali sehingga dia memperoleh kemajuan pesat dan perlahan-lahan dia pun mulai memasukkan sari-sari racun yang terdapat di antara jamur-jamur yang tumbuh di terowongan dan makin lama dia makin berbahaya karena mulailah dia menjadi seorang ‘manusia beracun’ seperti ibu gurunya, sehingga setiap tendangan, setiap pukulan, setiap tamparan atau cengkeraman, mengandung racun hebat. Bahkan dia mulai melatih ilmu sinkang beracun untuk membuat setiap anggota tubuhnya, sampai ke ludah-ludahnya mengandung racun yang berbahaya.....

********************

Pertentangan antara para pangeran yang dipelopori oleh dua Pangeran Tua Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong di satu pihak dan Perdana Menteri Su yang setia kepada Kaisar, sungguh pun merupakan pertentangan yang tidak terang-terangan, namun telah mendatangkan keadaan yang panas dan kacau di kota raja. Namun, berkat ketrampilan dan kegagahan Puteri Milana dan pasukan-pasukan yang dipimpin olehnya sebagai bantuan terhadap tugas suaminya, yaitu Perwira Pengawal Han Wi Kong, keadaan di kota raja dapat dibikln tenteram dan aman. Kedua orang Pangeran Liong tidak berani membuat huru-hara di kota raja karena mereka tahu bahwa pihak Menteri Su dan Puteri Milana yang tentu saja bekerja sama itu hanya menanti sampai ditemukan bukti-bukti pemberontakan mereka untuk dapat turun tangan menentang mereka secara terang-terangan.

Sebagai adik-adik dari Kaisar, tentu saja kedua orang Pangeran Liong ini mempunyai pengaruh yang cukup besar. Tanpa adanya bukti penyelewengan mereka, Kaisar sendiri tidak dapat mengambil tindakan secara begitu saja. Dan mereka cukup cerdik untuk menghapus semua bekas dan bukti pemberontakan mereka, karena mereka memiliki pembantu-pembantu yang amat pandai, orang-orang berilmu tinggi yang mewakili mereka melakukan hubungan dengan luar kota raja.

Pada hari itu, kota raja kelihatan ramai dan banyak pembesar keluar dari gedung masing-masing untuk mengunjungi Istana Pangeran Liong Bin Ong yang merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh! Diadakan perayaan besar-besaran di dalam istana pangeran tua ini dan tentu saja para bangsawan dan keluarga kerajaan datang semua memenuhi undangan ini. Bahkan Perdana Menteri Su dan Puteri Milana sendiri, merasa tidak enak kalau tidak menghadiri pesta itu, di mana mereka diundang dan termasuk tamu-tamu kehormatan! Bahkan Kaisar sendiri mengirim hadiah ulang tahun dan mewakilkan kehadirannya dan ucapan selamatnya kepada Perdana Menteri Su.

Gedung istana yang besar dan megah itu dipajang meriah dan karena jumlah tamu amat banyak, maka yang datang terlambat terpaksa dipersilakan duduk di kursi-kursi yang diatur di luar ruangan depan, yaitu di dalam taman dan di samping kiri ruangan itu, taman yang sudah dihias dan dirubah menjadi ruangan tamu dengan penerangan cukup dan terlindung tenda-tenda besar.

Sejak siang tadi sampai malam, bunyi alat musik tidak pernah berhenti, dan bau arak wangi sampai dapat tercium oleh penduduk yang berdiri menonton pesta di luar pagar di tepi jalan raya depan istana pangeran itu. Karena pesta itu diadakan di waktu malam, maka para tamu datang berbondong-bondong mulai sore dan setelah keadaan menjadi gelap dan tempat pesta itu diterangi oleh banyak sekali lampu penerangan, tempat itu telah penuh dengan para tamu. Juga di luar pagar penuh dengan penduduk yang turut menonton, sebagian besar anak-anak.

Mereka ini tidak hanya ingin mendengarkan musik dan menonton orang pesta, akan tetapi juga ingin sekali melihat orang-orang besar dan bangsawan-bangsawan istana yang pada malam hari itu berkumpul di situ, padahal biasanya amat sukar bagi rakyat untuk menyaksikan mereka. Mereka memperhatikan para penyambut tamu yang meneriakkan nama tamu yang terhormat sebagai laporan kepada pihak tuan rumah yang menyambut di ruangan agar pihak tuan rumah tahu siapa yang telah datang di pintu gerbang dan mempersiapkan sambutan sesuai dengan kedudukan para tamu terhormat itu.

Sejak tadi, pihak penyambut tamu di depan tiada hentinya meneriakkan nama-nama para bangsawan yang datang berbondong, dari pejabat militer yang tentu berkedudukan panglima sampai kepada pembesar yang merupakan orang-orang penting dalam pemerintahan. Setiap ada nama bangsawan disebut, orang-orang yang berkerumun di luar memanjangkan leher untuk melihat bagaimana bentuk orangnya, karena banyak yang sudah mereka dengar namanya namun belum pernah melihat orangnya.

“Yang terhormat Perwira Pengawal Han Wi Kong bersama isteri, Yang Mulia Puteri Milana...!”

Seruan ini disambut oleh suara gaduh dan bahkan ada suara tepuk tangan di antara para penonton di luar pagar. Siapakah yang tidak mengenal nama Puteri Milana? Bagi penghuni kota raja, besar kecil semua mengenal nama ini dan merasa kagum serta berterima kasih karena puteri inilah yang selalu menentang para pengacau dan puteri ini yang selalu siap melindungi rakyat apa bila terjadi penindasan dari pihak pemerintah atau alat pemerintah yang menyalah gunakan kekuasaannya.

“Hidup Yang Mulia Puteri Milana...!” Terdengar seruan di antara para penonton itu dan bahkan anak-anak yang berada di situ berebut tempat untuk dapat melihat dengan lebih jelas wajah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati itu. Di antara para penonton ini, terdapat dua orang pemuda yang juga memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri kepada puteri yang baru saja turun dari kereta bersama suaminya, seorang perwira yang tampan dan gagah itu.

Perwira itu adalah Han Wi Kong, seorang pria berusia hampir empat puluh tahun yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan pendiam, berpakaian sebagai seorang perwira pengawal dengan sebatang pedang tergantung di pinggangnya. Dengan sikap amat menyayang dan menghormat dia membantu isterinya turun dari kereta. Begitu turun dan mendengar sambutan rakyat yang menonton, Puteri Milana menoleh keluar dan mengangkat tangan melambai sambil tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak dapat merubah wajahnya yang agak pucat dan dingin.

Puteri ini memang cantik jelita. Biar pun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih ramping seperti seorang dara belasan tahun. Pakaiannya indah namun sederhana bahkan rambutnya pun tidak dihias dengan emas permata. Pakaiannya lebih menyerupai pakaian seorang pendekar wanita yang sering melakukan perjalanan jauh, ringkas dan sederhana dari pada pakaian seorang puteri cucu kaisar dan isteri perwira.

Sehelai mantel berwarna ungu yang lebar menutupi pakaiannya dan menyembunyikan sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya. Warna ungu mantelnya itu cocok sekali dengan warna pakaiannya yang serba kuning dan dengan tenang dia melangkah di samping suaminya, mukanya diangkat dan matanya lurus memandang ke depan, sikapnya tenang sekali padahal semua orang dapat menduga dan dia sendiri tahu bahwa dia memasuki goa macan!

Pangeran Liong Bin Ong menyambut Puteri Milana dan suaminya dengan penuh kehormatan dan dengan wajah berseri dan mulut tersenyum lebar. Lalu setelah mereka saling memberi hormat seperti yang semestinya karena pangeran itu masih terhitung paman kakeknya sendiri, Puteri Milana lalu diantar duduk di tempat kehormatan di mana telah duduk Perdana Menteri Su yang menyambut puteri itu dengan pandang mata penuh arti dan mulut tersenyum.

Setelah duduk di kursi yang disediakan untuknya, Milana lalu memandang ke seluruh ruangan itu penuh perhatian. Dia memperoleh kenyataan bahwa pihak tuan rumah telah mengatur sedemikian rupa sehingga golongan yang memihak Kaisar berada di satu kelompok, ada pun para bangsawan yang diragukan kesetiaannya duduk tersebar mengelilingi kelompok itu. Kini seolah-olah kelompok yang setia kepada Kaisar telah dikurung! Namun dia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada hal yang perlu dirisaukan.

“Wah, Enci (Kakak) Milana hebat sekali, ya?” Seorang di antara kedua pemuda yang berada di antara para penonton berkata sambil menyiku lengan pemuda kedua.

“Memang dia hebat! Mengapa kita tidak menghadap dia, Bu-te?” kata Suma Kian Lee kepada Suma Kian Bu yang kelihatan girang dan bangga sekali melihat kakaknya.

Dua orang pemuda Pulau Es itu baru saja tiba di kota raja siang tadi dan sebagai dua orang pemuda yang belum pernah melihat kota besar dan seindah itu, mereka menjadi kagum dan berkeliling kota, mengagumi segala keindahan yang amat luar biasa itu. Akhirnya mereka terbawa oleh arus orang yang menuju ke depan istana Pangeran Liong Bin Ong yang sedang mengadakan perayaan itu dan mereka ikut pula menonton.

“Lee-ko, Ibu telah berpesan kepadaku agar aku pandai-pandai membawa diri di kota raja, jangan bersikap liar dan tidak sopan, karena hal itu akan memalukan Enci Milana sebagai seorang puteri istana. Aku tidak berani memanggilnya di tempat ini, Koko.”

“Kau benar, Bu-te. Memang tidak pantas, apa lagi pakaian kita sudah kotor begini. Enci Milana dihormati sedemikian rupa dan dikagumi rakyat, kalau kita menegurnya dan semua orang mendengar bahwa kita adalah adik-adiknya, tentu akan menimbulkan keributan dan akan memalukan Enci Milana. Kita menonton saja di sini dan nanti kalau dia pulang, kita ikuti dan kita menghadap di tempat tinggalnya.”

Kian Bu mengangguk dan kedua orang muda itu lalu menonton ke dalam, bercampur dengan anak-anak dan orang-orang lain. Tentu saja perhatian mereka selalu tertuju kepada Puteri Milana yang tempat duduk kelompoknya agak tinggi sehingga dapat terlihat dari luar.

Sementara itu, sambil kadang-kadang mengangkat cawan arak mengajak para tamunya minum, diam-diam Pangeran Liong Bin Ong tersenyum memandang ke arah kelompok yang duduk di bagian kehormatan. Mereka yang memusuhiku berada di situ, pikirnya melamun.

Terutama sekali Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, musuh besar dan penghalang utamanya. Jika pada saat itu dia mengerahkan kaki tangannya dan berhasil membunuh mereka, alangkah baiknya! Akan tetapi tentu saja hal itu akan menimbulkan geger! Sebaiknya digunakan siasat seperti yang telah diaturnya dengan para pembantunya. Betapa pun hatinya menyesal mengapa dia tidak dapat membunuh mereka semua itu selagi kesempatan terbuka begini lebar. Sekali dia mengerahkan para pengawal dan pembantunya, mereka yang kini terkurung itu tentu tidak akan mampu lolos!

Tiba-tiba seorang pengawalnya menghampiri pangeran tua ini, memberi hormat dan menyerahkan sepucuk surat tanpa berkata-kata. Pangeran Liong Bin Ong menerima surat itu dan memberi isyarat agar pengawalnya mundur, kemudian sambil tersenyum dibacanya surat kecil itu. Mendadak mukanya berubah agak pucat ketika dia membaca surat laporan dari kepala pengawal yang sudah disuruhnya melakukan penjagaan dan penyelidikan. Tulisan pengawalnya itu adalah seperti berikut:

Menurut hasil penyelidikan, orang-orangnya Puteri Milana sudah menyelinap di antara para tamu, para penabuh musik dan di antara para penonton. Bahkan pasukan istimewa Perwira Han Wi Kong melakukan baris pendam mengurung istana ini.

Pangeran Liong Bin Ong mengusap peluh dengan sapu tangannya. Untung bahwa semua rencananya membunuh kelompok di tempat kehormatan itu hanya merupakan lamunan kosong belaka. Kalau dilaksanakan, sebelum hal itu terjadi, tentu dia sudah ditangkap dan istana itu diserbu!

Bukan main cerdiknya Puteri Milana dan dia mengerling ke arah puteri itu dan suaminya dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu saja para penjaganya tidak melihat baris pendam yang telah diatur oleh Han Wi Kong. Tentu para anggota pasukan istimewa itu telah melakukan pengurungan dengan bersembunyi, hanya siap sewaktu-waktu untuk menyerbu dan melindungi junjungan mereka!

Pangeran Liong Bin Ong masih memandang pada Milana dan suaminya dengan penuh kemarahan dan kebencian. Tetapi karena pada saat itu hidangan sedang dikeluarkan, ia menahan sabar dan bahkan dengan muka dimanis-maniskan dia berdiri dari kursinya, menghampiri para tamu terhormat sambil terbongkok-bongkok dan mempersilakan mereka menikmati hidangan yang dikeluarkan. Mulailah para tamu makan minum sambil bercakap-cakap dan di bagian para tamu yang kebagian tempat duduk di dalam taman, tampak Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ikut pula makan minum dengan lahapnya di sebuah meja!

Ternyata Suma Kian Bu tidak dapat menahan keinginan hatinya ketika dia melihat para tamu mulai makan minum. Bau arak wangi dan masakan yang masih mengepulkan uap, membuat perutnya yang sudah lapar itu menjadi makin lapar, maka dia menyentuh lengan kakaknya dan memberi isyarat dengan kepala, kemudian tanpa menanti jawaban Suma Kian Lee yang mengerutkan alisnya, Suma Kian Bu pergi keluar dari rombongan para penonton yang memandang orang makan sambil menelan air liur itu.

Kian Bu mengajak Kian Lee ke bagian yang sunyi, kemudian mereka menggunakan waktu semua penonton memandang ke dalam, seperti dua ekor burung rajawali mereka meloncati pagar tembok dan menyusup melalui tempat gelap, akhirnya mereka dapat menyelinap masuk dan duduk di kursi paling belakang dari rombongan tamu yang kebagian tempat di taman!

Mereka bersikap biasa-biasa saja ketika para pelayan datang membawa hidangan dan mengangguk dengan sikap angkuh seolah-olah mereka juga tamu-tamu kehormatan ketika para pelayan menaruh hidangan dan memandang hidangan-hidangan dan arak yang telah diatur di atas meja itu dengan sikap angkuh dan acuh tak acuh, dengan pandangan yang jelas menyatakan bahwa mereka telah ‘biasa’ dengan hidangan seperti itu, seperti sikap orang-orang muda bangsawan dan kaya raya.

Akan tetapi begitu para pelayan itu meninggalkan meja mereka untuk melayani para tamu lain, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu segera menyerbu hidangan-hidangan itu dan makan dengan lahapnya karena memang perut mereka sudah lapar dan selamanya mereka belum pernah makan hidangan mahal selezat itu.

Sementara itu, Pangeran Liong Bin Ong sudah memutar otaknya. Rencananya gagal total. Tadinya dia dan anak buahnya telah merencanakan siasat keji untuk membasmi musuh-musuhnya. Rencana ini adalah memancing keributan hingga terjadi pertempuran seolah-olah pihak pemberontak mengacaukan pestanya dan di dalam kekacauan ini dia akan mengerahkan kaki tangannya yang lihai untuk membunuh Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, sedangkan dia telah merencanakan untuk membiarkan dirinya ‘diculik’ oleh pengacau.

Hal ini diatur untuk membuktikan kebersihannya, sehingga selain musuh-musuh yang diseganinya, Perdana Menteri Su dan Puteri Milana dapat ditewaskan, juga Kaisar akan kehilangan kecurigaannya terhadap dirinya. Tentu saja yang ‘menculiknya’ adalah kaki tangannya sendiri dan dia akan mencari akal untuk dapat lolos dari tawanan para penculik, kalau perlu dengan tuntutan penebusan kepada pihak istana.

Akan tetapi, siapa kira, Panglima Han Wi Kong, atau lebih tepat lagi Puteri Milana, karena dia menduga keras bahwa puteri itulah yang mengatur semua ini, agaknya telah mencium rahasia itu atau juga telah menduga akan terjadinya sesuatu yang tidak wajar sehingga istana itu dikepung oleh pasukan terpendam sehingga tentu saja rencananya gagal karena kalau dilanjutkan, tentu saja akan ketahuan bahwa dialah yang mengatur kekacauan itu.

Sambil bersungut-sungut Liong Bin Ong memberi isyarat kepada seorang yang berdiri sebagai penjaga di sudut ruangan. Orang ini sebetulnya adalah kepala pengawalnya yang sejak tadi terus memandang ke arah majikannya setelah dia menyuruh seorang pengawal menyerahkan laporan tertulisnya. Melihat kepala pengawal itu memandang kepadanya, Pangeran Liong Bin Ong lalu mengangkat tangan kanannya ke atas, dan menekuk semua jari tangannya kecuali jari tengah dan telunjuk. Ini merupakan isyarat rahasia bahwa dia menghendaki agar ‘siasat kedua’ dijalankan, karena siasat pertama gagal total. Memang, sebagai seorang ahli siasat, Pangeran Liong Bin Ong dan anak buahnya sudah mengatur rencana secara lengkap, yaitu telah merencanakan siasat cadangan untuk merubah rencana kalau yang pertama gagal.

Rencana ini akan mempergunakan siasat kedua, tidak lagi untuk membunuh Perdana Menteri Su dan Puteri Milana. Tak mungkin lagi dilakukan rencana pembunuhan setelah Puteri Milana dengan cerdiknya mengatur barisan pendam mengurung istana, bahkan menyelundupkan pengawal-pengawalnya ke dalam para tamu, para penonton bahkan ahli-ahli musik yang sedang menghibur para tamu.

Akan tetapi siasat kedua dapat dijalankan, yaitu untuk membuat pihak Puteri Milana malu di depan para tamu bangsawan, yaitu dengan jalan mengadu kepandaian antara jago-jago yang telah dipersiapkan oleh Pangeran Liong Bin Ong sebelumnya, dan pihak tamu kehormatan yang akan ditantang dengan jalan halus.

Kalau sampai berhasil memancing kemarahan Puteri Milana dan puteri yang perkasa itu turun tangan sendiri, itulah yang diharapkan karena hal itu berarti bahwa siasat mereka berhasil. Kalau Sang Puteri maju, maka hanya ada dua kerugian di pihak Puteri Milana. Kalau Sang Puteri kalah, jelas hal ini yang dikehendaki Pangeran Liong Bin Ong, apa lagi kalau dalam pertandingan itu Puteri Milana sampai dapat ditewaskan.

Andai kata sebaliknya, karena puteri itu memang amat lihai, setidaknya puteri itu telah merendahkan diri melayani jagoan-jagoan, dan merendahkan derajatnya sebagai puteri cucu Kaisar dan tentu hal ini akan mudah dijadikan bahan menghasut Kaisar agar Kaisar yang tua itu membenci cucunya yang dianggap mencemarkan kehormatan keluarga kerajaan!

Setelah semua tamu selesai makan, Pangeran Liong Bin Ong diam-diam lalu memberi isyarat. Tidak lama kemudian, dari rombongan tamu yang berada di dalam taman, berdirilah dua orang, yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan kelihatan kasar dan kuat sekali, sedangkan orang kedua tinggi kurus dengan muka kuning mata sipit, langkahnya gontai seperti orang lemah.

Kedua orang ini seperti orang mabuk berjalan menuju ke tempat kehormatan, kemudian menjatuhkan diri berlutut di atas lantai di tengah ruangan yang memang telah disiapkan untuk menjadi tempat gelanggang adu kepandaian di mana hanya terdapat meja besar tempat menyimpan semua hadiah dan sumbangan. Dua orang itu menghadap kepada Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus yang berkata dengan suara melengking nyaring sehingga terdengar oleh semua yang hadir, terutama sekali oleh mereka yang duduk di panggung kehormatan karena kedua orang itu berlutut menghadap ke situ.

“Mohon paduka sudi mengampunkan kami berdua. Namun kami berdua menagih janji paduka untuk menguji kami di depan para tamu yang mulia agar dapat memutuskan apakah kami patut menjadi pengawal pribadi paduka yang dapat dipercaya.”

Semua orang tentu saja memandang dan selain merasa heran juga berkhawatir melihat keberanian dua orang itu mengganggu pesta dan tentu Pangeran Liong Bin Ong akan marah sekali. Tetapi pangeran itu hanya memandang dengan tersenyum, sedangkan yang menjadi marah adalah Pangeran Liong Khi Ong yang tadi mendekati kakaknya, tak lama setelah pengawal mengantar surat. Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dari kursinya dan sambil menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu dia membentak.

“Manusia-manusia kurang ajar! Berani kalian mengganggu pesta dengan bicara tentang pekerjaan?” Pangeran Liong Khi Ong sudah menoleh kepada pengawal untuk memberi perintah menangkap mereka, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong memegang lengan adiknya itu dan berkata nyaring sehingga semua tamu mendengar suaranya,

“Jangan persalahkan mereka! Memang aku sudah berjanji kepada mereka untuk menguji mereka dalam pesta ini!” Kemudian Pangeran Liong Bin Ong bangkit berdiri dan menghadapi para tamu di bagian kehormatan sambil berkata, “Cu-wi sekalian yang mulia. Di dalam keadaan terancam oleh pengacauan-pengacauan para pemberontak suku bangsa di luar tapal batas, kita perlu sekali menghimpun tenaga untuk menjadi pengawal-pengawal dan melindungi kita.”

Puteri Mllana dan Perdana Menteri Su saling bertukar pandang, dan Puteri Milana menahan senyum mengejek. Betapa tak tahu malu pangeran tua yang menjadi paman kakeknya itu. Biar pun belum ada bukti, sudah terang bahwa kedua orang Pangeran Liong itulah yang mengandalkan semua pemberontak suku bangsa, sekarang masih berani bicara seperti itu!

“Kedua orang saudara dari dunia kang-ouw ini sudah mendengar bahwa kami sedang membutuhkan tenaga pengawal-pengawal yang sakti. Kemarin dulu mereka datang menghadap kami dan melamar pekerjaan menjadi pengawal pribadi. Karena kami sedang menghadapi perayaan, maka kami memutuskan untuk menguji mereka pada saat pesta ini, sekalian untuk memeriahkan suasana pesta. Karena kami mengerti bahwa pada saat inilah terkumpul semua tokoh gagah perkasa yang tentu akan sudi turun tangan membantu kami untuk menguji mereka berdua apakah benar mereka memiliki kepandaian dan patut menjadi pengawal pribadi kami. Yang tinggi besar bermuka hitam ini adalah Yauw Siu, seorang jagoan dari Pantai Po-hai!”

Si Muka Hitam bangkit berdiri dan dengan mengerahkan tenaga membuat otot-otot lengan dan lehernya tampak menggembung. Dia membungkuk dan memberi hormat keempat penjuru.

“Yang tinggi kurus bermuka kuning adalah Sun Giam, jagoan dari pegunungan selatan,” kata pula Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus juga memberi hormat keempat penjuru.

“Silakan jika di antara Cu-wi ada yang suka membantu kami untuk menguji kedua orang calon pengawal ini!” Pangeran Liong Bin Ong menutup kata-katanya lalu duduk kembali.

Suasana menjadi sunyi sekali. Biar pun terdengarnya seperti seorang yang minta bantuan menguji dan sekaligus memeriahkan suasana pesta, namun bagi mereka yang diam-diam menentang pangeran ini, jelas terasa bahwa pangeran itu mengajukan dua orang jagoannya untuk menantang! Betapa pun, di antara para tamu kehormatan tidak ada yang sudi untuk memenuhi tantangan ini, karena mereka tidak sudi merendahkan diri melawan orang-orang yang dianggapnya rendah itu.

Kesunyian yang mencekam sekali dan tampak Puteri Milana menahan senyum, girang bahwa pancingan pangeran tua itu tidak berhasil. Dua orang jagoan yang kini masih berdiri itu memandang ke sekeliling, dan kelihatan bingung karena tidak ada yang menyambut tantangan Pangeran Liong Bin Ong.

Timbullah kesombongan dalam hati Yauw Siu yang mengira bahwa diamnya para tamu ini adalah karena mereka gentar kepadanya! Maka sambil mengangkat dada dia berkata nyaring setelah tertawa, “Ha-ha-ha, harap para orang gagah yang hadir di sini tidak khawatir karena saya Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin Tiat-liong (Naga Besar Bermuka Hitam) tidak perlu membunuh dalam pi-bu (mengadu kepandaian)!”

Tiba-tiba tampak seorang pembesar bangkit dari kursinya, pembesar ini gemuk dan dia adalah seorang pembesar sastrawan yang berwenang memeriksa hasil ujian para calon sastrawan, seorang pembesar yang mata duitan dan tentu saja suka makan sogokan para calon sastrawan yang mengikuti ujian. Sambil tersenyum pembesar ini menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong dan berkata, “Harap paduka maafkan saya. Melihat bahwa tidak ada orang yang suka membantu paduka untuk menguji kedua orang calon pengawal itu, bagaimana kalau saya mengajukan lima orang pengawal pribadi saya? Kedua orang itu kelihatan gagah perkasa dan tentu lihai sekali, maka tidak tahu apakah mereka berani menghadapi lima orang pengawal saya.”

Sebelum Pangeran Liong Bin Ong menjawab, Yauw Siu si Muka Hitam sudah cepat menjawab, “Boleh sekali! Silakan lima orang itu maju berbareng dan akan saya tandingi sendiri, tidak perlu Saudara Sun Giam turun tangan!”

Jawaban ini memancing suara berisik dari para tamu yang menganggap orang muka hitam itu sombong sekali. Namun Pangeran Liong Bin Ong melambaikan tangan dan mengangguk tanda setuju. Pembesar itu lalu menggapai ke belakang, maka muncullah lima orang pengawalnya yang berpakaian seragam biru, lima orang berusia tiga puluhan tahun dan kesemuanya bertubuh tegap dan gagah. Setelah menjura dengan penuh hormat kepada semua yang hadir, lima orang itu melangkah maju menghadapi Yauw Siu, sedangkan Sun Giam sambil menyeringai sudah mundur dan duduk di atas lantai di pinggiran.

Yauw Siu sudah menghadapi lima orang gagah itu sambil tersenyum lebar, kemudian terdengar dia bertanya, “Sebelum kita mulai, bolehkah saya bertanya Ngo-wi (Anda Berlima) ini murid-murid dari partai manakah?”

Pertanyaan itu sungguh terdengar menantang dan tinggi hati, akan tetapi seorang di antara lima orang pengawal itu menjawab, “Kami adalah murid-murid dari Gak-bukoan (Perguruan Silat Gak) di Seng-kun.”

“Ahhh! Ha-ha-ha, jadi Ngo-wi adalah murid-murid dari Gak-kauwsu? Bagus sekali! Aku sudah mengenal baik guru kalian itu dan tahu bahwa guru kalian mengandalkan ilmu menghimpun tenaga yang amat kuat di kedua lengannya dan terkenal dengan Ilmu Pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Halilintar), bukan?”

Lima orang itu mengangguk dan Si Muka Hitam melanjutkan, “Kalau begitu, biarlah kalian menguji tenagaku dan sebaliknya aku akan menguji apakah benar-benar kalian telah mempelajari ilmu secara baik-baik dari Gak-kauwsu.” Dia memberi isyarat kepada Sun Giam dan orang tinggi kurus ini melemparkan segulung tali yang besar dan kuat kepada temannya.

Yauw Siu lalu menyerahkan tali itu kepada lima orang pengawal sambil berkata, “Harap Ngo-wi suka mengikat kedua kaki dan tangan, juga pinggangku, kemudian Ngo-wi di satu pihak menarik dan aku di lain pihak mempertahankan. Dengan demikian kita mengadu tenaga satu lawan lima. Bukankah ini menarik sekali dan mengingat akan hubungan di antara kita, tidak perlu ada yang sampai roboh terluka atau tewas?” Si Muka Hitam yang sombong itu ternyata pandai bicara dan pandai pula berlagak hingga menarik perhatian para tamu.

“Bagus! Itu adil sekali! Hayo kalian cepat lakukan!” dari tempat duduknya, pembesar sastrawan itu bertepuk tangan gembira. Tentu saja hatinya menjadi lega dan dia mengharapkan kemenangan lima orang pengawalnya karena pertandingan yang ditentukan oleh Si Muka Hitam sendiri itu menguntungkan pihaknya.

Lima orang itu cepat memenuhi permintaan Yauw Siu. Pergelangan kaki, tangan, juga pinggang Si Muka Hitam itu diikat dengan tali, kemudian mereka berlima memegang ujung tali di depan Si Muka Hitam. Semua tamu menonton dengan gembira, bahkan di antara para pembesar itu kini sibuk bertaruh sehingga keadaan menjadi berisik dan gembira. Dua orang pangeran tua saling pandang dan tersenyum-senyum, kadang-kadang mereka melirik ke arah Perdana Menteri Su dan Puteri Milana yang kelihatan masih tenang-tenang saja.

“Siap...! Tarik...!” Tiba-tiba Yauw Siu berteriak nyaring dan lima orang pengawal itu telah mengerahkan tenaganya menarik tali yang mengikat tubuh Si Muka Hitam.

Yauw Siu berdiri dengan tegak, mengerahkan tenaganya sehingga mukanya berubah menjadi makin hitam. Urat-urat yang tampak di lengan dan leher yang tidak tertutup pakaian itu menggembung besar, matanya melotot dan betapa pun lima orang lawannya membetot dan mengerahkan tenaga sekuatnya, tetap saja tubuh Si Tinggi Besar itu tidak bergoyang sedikit pun!

“Tahan...!” Yauw Siu memekik keras dan kedua tangannya digerakkan ke belakang.

Dua orang pengawal yang memegang kedua ujung tali yang mengikat tangannya itu terhuyung ke depan. Kembali Yauw Siu berseru dan kedua kakinya melangkah mundur, juga mengakibatkan dua orang pengawal lain terbawa dan terhuyung, kemudian dia mengeluarkan bentakan keras, tubuhnya meloncat ke belakang dan lima orang itu jatuh tertelungkup dan terseret!

Tepuk tangan dan sorak memuji bergemuruh menyambut kemenangan Yauw Siu ini, yang sambil tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang besar dan kuat untuk memutus-mutuskan tali yang mengikat kedua kaki, tangan dan pinggangnya. Kembali demonstrasi tenaga yang amat kuat ini memancing tepuk tangan gemuruh. Yauw Siu mengangguk dan membungkuk keempat penjuru menerima sambutan dan pujian itu.

Sun Giam meloncat ke depan dan memberi isyarat kepada temannya untuk mundur. Si Muka Hitam lalu mundur dan duduk di pinggiran, di atas lantai, sedangkan Sun Giam sendiri membantu lima orang itu berdiri, menggulung tali dan melemparnya kepada temannya. Kemudian Sun Giam berkata, ditujukan kepada pembesar sastrawan yang bersungut-sungut menyaksikan kekalahan lima orang pengawalnya.

“Apakah Taijin mengijinkan kalau saya menghadapi mereka ini dalam ilmu silat untuk menguji saya?”

Wajah pembesar itu berseri. Kini terbuka lagi kesempatan untuk membersihkan dan menebus kekalahan tadi. Dia tahu bahwa lima orang pengawalnya adalah ahli-ahli ilmu silat, maka sambil mengangguk dia berkata, “Baik, kami setuju sekali!”

Sun Giam kini berkata, ditujukan kepada semua hadirin, “Tadi sahabat saya, Yauw Siu, telah memperlihatkan kekuatan tubuhnya yang dahsyat. Kalau hanya tenaga dua puluh lima orang biasa saja kiranya dia masih akan mampu menandinginya. Akan tetapi, dia belum memperlihatkan ilmu silatnya dan karena dia telah mengeluarkan tenaga, biarlah saya yang akan menghadapi lima orang murid perguruan Gak-bukoan ini.”

Lalu sambil menghadapi mereka, Si Muka Kuning ini berkata pula, “Harap Ngo-wi suka mendemonstrasikan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu yang telah terkenal itu dan sekaligus maju menyerang saya.”

Lima orang yang sudah kalah dalam adu tenaga itu, kini mengepung Si Muka Kuning. Kemudian terdengar seorang di antara mereka mengeluarkan aba-aba, maka serentak menyeranglah mereka dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan lemas dan lincah Si Tinggi Kurus itu dapat mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan kedua tangannya menyampok setiap pukulan yang tidak sempat dielakkannya.

Tampaklah pemandangan yang mengagumkan di mana Sun Giam menggunakan kelincahannya dikeroyok lima orang itu. Jelas tampak oleh mata para ahli yang duduk di situ bahwa Si Tinggi Kurus ini memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya, maka sengaja hanya mengelak dan menangkis, padahal jelas mudah dilihat betapa tingkatnya jauh lebih tinggi dari pada para pengeroyoknya.

“Ngo-wi, awas...!” Tiba-tiba ia berkata halus, lalu kaki tangannya bergerak dengan cepat sekali dan berturut-turut terdengar kelima orang itu memekik disusul robohnya tubuh mereka di atas lantai karena totokan jari-jari tangan dan tendangan kaki Sun Giam.

Kembali terdengarlah sorak dan tepuk tangan memuji yang disambut oleh Sun Giam dengan membungkuk ke empat penjuru. Seperti dua orang yang memang sudah biasa berdemonstrasi dan menjual kepandaian di depan umum, kini Yauw Siu dan Sun Giam sudah berdiri mengangkat tangan ke atas, memberi kesempatan kepada lima orang pengawal itu mengundurkan diri dan setelah pujian agak mereda.

Terdengar Yauw Siu berkata dengan suaranya yang lantang, “Sahabatku Sun Giam telah memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi kami berdua masih belum puas karena apa yang kami perlihatkan tadi tidak ada harganya dan tentu belum memuaskan hati junjungan kami Pangeran Liong Bin Ong. Oleh karena itu kami mohon dengan hormat sudilah kiranya para tokoh besar yang hadir di sini suka turun tangan menguji kami. Lima orang pengawal tadi, biar pun kepandaiannya cukup hebat, namun masih jauh di bawah tingkat kami!”

Hening sampai lama setelah Si Muka Hitam ini bicara. Melihat bahwa tiada sambutan, Sun Giam membuka mulutnya, “Kami berdua mendengar sebelum memasuki kota raja bahwa kota raja menjadi pusat orang pandai, menjadi pusat para pengawal berilmu tinggi. Sungguh kami tidak percaya kalau sekarang tidak ada yang berani menghadapi kami!”

Ucapan ini mulai memanaskan hati para tamu yang merasa memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika Han Wi Kong yang mukanya menjadi merah karena marah hendak bangkit. Puteri Milana, isterinya yang duduk di sampingnya, mencegah dengan pandangan matanya. Puteri ini masih kelihatan tenang-tenang saja karena dia sedang memutar otak mencari tahu atau menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik semua ini, yang dia yakin tentu diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong. Dia tidak mau sampai terpancing oleh pangeran yang cerdik itu, maka dia menyabarkan suaminya yang mulai marah melihat sikap dan mendengar kata-kata kedua orang jagoan Pangeran Liong Bin Ong itu.

Sebagian para pengawal yang hadir di tempat itu dalam melaksanakan tugas mengawal para pembesar militer dan sipil, biar pun merasa marah dan penasaran, namun mereka ini tidak berani lancang turun tangan di dalam perjamuan orang-orang besar seperti itu tanpa perintah dari junjungan masing-masing. Sedangkan para pembesar jarang pula yang berani memerintahkan pengawalnya untuk menghadapi dua orang jagoan itu.

Mereka yang memang terpengaruh oleh Pangeran Liong Bin Ong tentu saja tidak suka menentang, sedangkan mereka yang berpihak Kaisar dan diam-diam tidak suka kepada pangeran ini, juga tidak berani menyuruh pengawal mereka setelah Sun Giam membuka mulutnya setengah menantang para pengawal kota raja. Mereka merasa segan juga untuk menentang pangeran ini secara terang-terangan, mengingat akan pengaruh dua orang pangeran itu.

Melihat betapa tidak ada sambutan sama sekali, Yauw Siu dan Sun Giam yang memang sudah menerima tugas dari Pangeran Liong Bin Ong untuk memanaskan suasana dan untuk menujukan tantangan kepada Puteri Milana secara halus, lalu saling pandang dan Yauw Siu bangkit berdiri, menghadap ruangan kehormatan dan berkata lantang, “Kami berdua belum lama meninggalkan tempat pertapaan, saya meninggalkan pantai laut dan Sahabat Sun Giam meninggalkan pegunungan. Namun, kami telah mendengar akan kehebatan ilmu kepandaian para tokoh di kota raja, maka kami sengaja datang ke kota raja untuk mencari pekerjaan agar kepandaian kami dapat digunakan demi kepentingan kerajaan! Apakah sekarang tidak ada orang gagah yang sudi menguji kami? Ataukah benar seperti dugaan Sahabat Sun Giam tadi bahwa orang-orang di kota raja agak penakut?”

“Manusia busuk...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah bayangan orang. Tahu-tahu di depan kedua orang jagoan itu telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, pakaiannya preman, jenggotnya panjang sekali dan wajahnya angker, mengandung wibawa.

“Di jaman kekacauan merajalela dan banyak manusia tak berbudi memberontak, muncul kalian yang bermulut besar! Kalau hanya menghadapi kalian berdua saja, tidak perlu orang-orang gagah di kota raja turun tangan. Aku Tan Siong Khi, cukuplah kiranya menghadapi orang-orang macam kalian yang bermulut besar!” Orang ini memang Tan Siong Khi, pengawal Kaisar yang gagah perkasa, yang telah kita kenal karena dialah yang memimpin rombongan penjemput Puteri Raja Bhutan!

Namun sebelum dua orang jagoan itu sempat membuka mulut, tiba-tiba Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya kepada Tan Siong Khi sambil berkata, “Bukankah engkau Pengawal Tan Siong Khi yang sudah gagal melaksanakan tugas mengawal Puteri Bhutan sehingga puteri itu telah lenyap tanpa diketahui ke mana perginya?”

“Keparat! Berani engkau muncul di sini setelah engkau melakukan dosa dan kelalaian besar itu? Kebodohan dan kelalaianmu menyebabkan Sang Puteri lenyap tak diketahui masih hidup atau sudah mati. Dan kau berani malam ini datang ke sini dan berlagak menjadi jagoan? Kenapa kegagahanmu tidak kau perlihatkan ketika rombonganmu dihadang musuh? Mengapa Sang Puteri yang kau kawal sampai lenyap sedangkan kau masih hidup? Aku sendiri akan minta kepada Sri Baginda untuk menjatuhkan hukuman seberatnya kepadamu!”

Semua tamu memandang dengan hati tegang. Semua mengenal pula siapa adanya Tan Siong Khi, seorang pengawal kepercayaan Kaisar, bahkan kini menjadi pembantu dari Puteri Milana dalam mengamankan kota raja. Mereka semua telah mendengar pula akan kegagalan pengawal itu menjemput Puteri Bhutan, calon isteri Pangeran Liong Khi Ong. Maka sepantasnyalah kalau pangeran itu, yang urung menjadi pengantin, yang kehilangan calon isterinya marah-marah kepada pengawal ini.

“Mengapa kau berani datang ke sini? Hayo pergi...! Pergi kau...!”

Tan Siong Khi yang kelihatan tenang itu menoleh ke arah Perdana Menteri Su dan Putri Milana. Dia melihat kedua orang pembesar itu mengangguk kepadanya dan memberi isyarat agar supaya dia pergi. Sebetulnya munculnya Tan Siong Khi di tempat itu adalah karena dia ditugaskan oleh Kaisar untuk mengawal Perdana Menteri Su yang malam itu juga mewakili Kaisar, berarti dia menjadi pengawal utusan Kaisar. Akan tetapi, sebagai seorang pengawal setia yang telah berpengalaman dan berpemandangan luas, di tempat umum itu dia tidak mau membela diri dengan menyebut nama perdana menteri, karena dia tidak mau menjadi penyebab terjadinya keributan atau perasaan tidak enak.

Setelah menerima isyarat, dia kemudian menjura kepada Pangeran Liong Khi Ong dan berkata, “Baik, hamba dengan langkah lebar meninggalkan tempat pesta melalui pintu gerbang depan.”

Keadaan menjadi sunyi sekali setelah pengawal itu pergi. Peristiwa tadi menimbulkan ketegangan. Tiba-tiba suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara tertawa dari Yauw Siu. Dia sudah bangkit berdiri dan berkata, “Sungguh menyesal sekali bahwa Pengawal Tan Siong Khi tadi kiranya seorang yang telah melakukan dosa dan kelalaian besar dan sepatutnya dia dihukum. Kalau tidak agaknya dia memiliki sedikit kepandaian untuk diperlihatkan agar kami berdua dapat diuji. Harap Cu-wi yang merasa memiliki ilmu kepandaian sudi maju sebagai penggantinya. Kami maklum bahwa di antara Cu-wi banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi jangan khawatir bahwa kami akan celaka. Kami takkan mengecewakan Cu-wi. Selama kami merantau, kami belum pernah dikalahkan orang. Bahkan kami tadinya merencanakan untuk mencari Pulau Es...”

Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun suara ini menembus semua kegaduhan dan memasuki telinga Yauw Siu seperti jarum-jarum menusuk. “Mau apa kalian mencari Pulau Es?”

Yauw Siu terkejut sekali, cepat menoleh ke arah Puteri Milana yang telah mengajukan pertanyaan itu. Melihat sepasang mata yang amat tajam itu, diam-diam dia menjadi gentar juga. Tentu saja Yauw Siu dan Sun Giam maklum siapa adanya puteri cantik dan agung itu.


BERSAMBUNG KE JILID 10


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.