CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 20
Hatinya memaki, akan tetapi kesadarannya memperingatkannya bahwa tidak adil dan tidak tepatlah kalau dia memaki dan menyalahkan suheng-nya. Gak-suheng adalah seorang laki-laki sejati, pikirnya, tepat seperti yang dikatakan Syanti Dewi, dan suheng-nya itu tidak menerirna Syanti Dewi sehingga dara jelita ini merubah cintanya menjadi cinta seorang anak kepada ayahnya atau seorang murid kepada gurunya. Aih, betapa dia amat tidak berharga! Seorang yang sudah setengah tua seperti suheng-nya saja mampu merebut hati seorang dara seperti Syanti Dewi, mengapa dia yang jauh lebih muda tidak mampu? Apakah dia kurang tampan? Kurang gagah? Mungkin kurang jantan! Pikiran demi pikiran bergelombang dan mengaduk-aduk hati Kian Bu ketika dia kembali ke istana enci-nya.
Senja telah lewat, malam mulai tiba dan Kian Bu langsung menuju ke kamarnya, hampir tidak melihat dan tidak menjawab penghormatan para pengawal yang berjaga di depan istana enci-nya itu. Ketika memasuki kamarnya, langsung saja dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan, telentang dan menatap langit-langit kamar.
“Bu-te, bagaimana...?” Kian Lee mendekat, duduk di tepi pembaringan dan memandang wajah adiknya yang pucat dan tidak bersemangat itu.
Kian Bu tadi juga tidak melihat bahwa kakaknya termenung di dalam kamar itu, kini melihat kakaknya mendekatinya, dia bangkit dan mereka berdua duduk di tepi ranjang.
“Lee-ko... aku menyesal sekali tentang... Lu Ceng...” Kian Bu berkata dengan suara halus penuh iba.
Kian Lee menggeleng kepala. “Jangan kau pedulikan aku, Bu-te. Bagaimana dengan engkau? Sudahkah kau...”
“Sudah, dan dia... dia ternyata tidak cinta kepadaku, Lee-ko...”
“Ahhh...?” Kian Lee hampir tidak percaya dan dia menatap wajah adiknya penuh selidik.
“Dia sudah mencinta orang lain...”
“Hemmm...?”
“Dia mencinta Gak-suheng.”
“Hehhh...?!” Kian Lee mengeluarkan seruan heran dan kaget sambil meloncat turun. “Gak-suheng?”
Melihat wajah kakaknya seperti orang yang penasaran dan marah, Kian Bu cepat menjelaskan. “Dia telah berterus terang bahwa dia mencinta Gak-suheng, akan tetapi Gak-suheng tidak mencintanya sehingga dia merubah cintanya sebagai cinta anak terhadap ayah, atau murid terhadap guru...”
“Aahhhh... sungguh aneh, dan Gak-suheng baru saja pergi tanpa pamit.”
“Pergi ke mana? Mengapa tanpa pamit?”
“Entah, Enci Milana yang memberi tahu dan kulihat mata Enci Milana merah bekas tangis, mukanya pucat dan sinar matanya layu, mengandung kedukaan besar. Entah mengapa aku tidak tahu.”
“Hemm, mengapa tiba-tiba timbul peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan di antara kita bersaudara ini?” Kian Bu menunduk dan tertekan batinnya.
“Engkau tidak mengajak dia pergi dari istana untuk menghindarkan pernikahan itu?” Kian Lee bertanya.
“Dia tidak mau karena katanya aku melakukan itu karena cinta. Dia tak dapat membalas cintaku dan dia hanya minta agar aku menyampaikan permohonannya kepada Enci Milana supaya ditolong.”
Kian Lee merangkul adiknya. “Aih, adikku... mengapa kita semua gagal dalam bercinta? Mengapa kita harus menghadapi kekecewaan ini?”
“Lee-ko...”
Kakak beradik itu saling peluk dan memejamkan mata, karena pantang bagi kedua orang pemuda gagah perkasa ini untuk mencucurkan air mata kedukaan.
“Bu-te, kuatkan hatimu. Dan kau sampaikan nanti kepada Enci Milana bahwa aku pun terpaksa harus pergi lebih dulu, sekarang juga.”
Kian Bu memandang muka kakaknya yang muran dan tidak ada sinarnya itu. “Lee-ko... kau... kau tenggelam dalam kedukaan!”
“Tidak lagi, Bu-te, aku harus... dan kau juga, harus dapat mengatasi ini semua, jangan biarkan diri kita tenggelam oleh kegagalan cinta. Aku akan pergi mencari Hek-tiauw Lo-mo, harus kubalas jahanam itu yang telah memukul... Ceng Ceng dengan pukulan beracun sehingga mengancam keselamatan nyawanya.”
“Lee-ko, aku ikut...”
“Jangan Bu-te. Sebaiknya kita berpisah dulu. Kita masing-masing perlu waktu untuk mengembalikan ketenangan batin... dalam keadaan begini aku lebih suka menyendiri dulu, Bu-te. Sebetulnya sudah tadi aku hendak pergi, akan tetapi aku menanti kau kembali. Lihat, pakaianku pun sudah kusiapkan.” Kian Lee lalu mengambil buntalan pakaiannya dan setelah menepuk-nepuk pundak adiknya dengan mata merah karena menahan turunnya air mata, dia lalu pergi meninggalkan istana itu dengan cepat.
Kian Bu duduk termenung, merasa kasihan sekali kepada kakaknya dan aneh, begitu dia merasa kasihan kepada kakaknya, penderitaannya sendiri terlupa dan dadanya terasa ringan! Dia tidak tahu bahwa duka timbulnya dari pikiran, dari ingatan yang membayang-bayangkan segala kekecewaan dan segala macam hal yang terjadi dan yang tidak menyenangkan dirinya. Begitu ingatan ini tidak ada, begitu pikiran beralih ke lain hal, maka dengan sendirinya duka pun lenyap dan baru akan muncul lagi kalau ingatan kembali ditujukan kepada hal-hal yang mengecewakan atau tak menyenangkan tadi.
Jelaslah bahwa Si Pembuat Duka adalah pikiran kita sendiri. Segala peristiwa yang terjadi adalah suatu fakta yang wajar, tidak membawa duka mau pun suka, dan suka atau duka adalah hasil permainan pikiran kita sendiri. Maka, bebas dari pikiran berarti bebas pula dari duka! Bebas dari ingatan berarti bebas dari masa lalu, tidak mengingat ingat lagi hal-hal yang telah lalu atau telah terjadi, baik hal itu menguntungkan atau merugikan diri pribadi.
Kian Bu teringat akan suheng-nya yang katanya pergi tanpa pamit, dan akan enci-nya yang menurut kakaknya tadi seperti orang yang berduka, maka dia lalu bangkit dan keluar dari kamarnya, menuju ke kamar enci-nya. Pintu kamar itu tertutup dan dia mengetuknya.
“Siapa di luar?” terdengar suara Milana setelah agak lama Kian Bu mengetuk pintu kamar itu.
“Aku, Enci Milana.”
“Oh, Bu-te. Kau masuklah!”
Kian Bu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Dia melihat enci-nya sedang rebah di atas pembaringan dan di bawah sinar penerangan, dia melihat wajah enci-nya pucat seperti orang sakit.
“Enci Milana, kau kenapakah? Sakitkah?” Kian Bu menghampiri dan duduk di atas bangku dekat ranjang.
Milana bangkit duduk dan menggeleng kepala lemah. “Tidak, Bu-te. Engkau sudah kembali? Bagaimana dengan Syanti Dewi?”
Kian Bu menunduk. Tak disangkanya bahwa enci-nya juga agaknya sudah tahu bahwa dia tadi pergi mengunjungi Syanti Dewi, dan memang Milana mendengar akan hal ini dari Kian Lee.
“Dia... dia menyampaikan pesan untuk mohon pertolongan darimu, Enci, agar dia dapat keluar dari istana karena dia tidak suka akan keputusan pernikahannya itu.”
Milana memandang tajam dan tentu saja dia melihat wajah muram adiknya itu. Sampai lama mereka berdua diam saja, Milana memandang penuh selidik sedangkan Kian Bu lebih banyak menunduk.
“Bu-te, engkau... cinta kepada Syanti Dewi?”
Kian Bu makin menunduk, dia merasa malu dan juga sedih. Akhirnya dia mengangguk dan berkata, “Akan tetapi dia... dia tidak cinta padaku... dia mencinta orang lain...”
Milana diam-diam menarik napas panjang, maklumlah dia siapa yang dicinta oleh Puteri Bhutan itu. “Tenangkan hatimu, adikku. Kiraku sebaiknya begitulah, lebih baik mencinta namun tidak terbalas dan dengan demikian menginsyafkan kita, bahwa cinta kita salah alamat, dari pada saling mencinta akan tetapi tidak dapat berjodoh. Saling mencinta akan tetapi harus saling berpisah. Engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki kegagahan. Ditolak cintamu oleh seorang gadis tidak perlu menurunkan semangat dan merendahkan diri, bahkan kau harus berterima kasih dan bersyukur bahwa Syanti Dewi bersikap jujur kepadamu.”
Kian Bu mengangguk-angguk. Sedikit nasehat itu dirasakannya tepat sekali dan sudah merupakan obat yang manjur baginya.
“Enci Milana, aku mendengar dari Lee-ko bahwa Gak-suheng sudah pergi. Ke manakah dia dan mengapa tidak memberitahukan Lee-ko dan aku?”
“Entahlah... dia sudah pergi. Kau tahu orang aneh seperti dia...!”
Milana tidak mau banyak bicara tentang Bun Beng, juga memang dia tidak sanggup bicara banyak tentang pria itu karena hal ini hanya akan menusuk perasaannya saja.
“Enci, Lee-ko juga sudah pergi, dia minta agar aku memberitahukan kepadamu.”
“Ehhh?!” Milana terkejut. “Mengapa anak itu? Ke mana dia pergi?”
“Enci, agaknya kau tidak tahu. Sebetulnya... Lee-ko juga mengalami patah hati.”
“Heiii? Patah hati bagaimana?”
“Dia sesungguhnya amat mencintai Ceng Ceng, kemudian terdapat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakannya sendiri.”
“Aihhh...!” Milana terbelalak, diam-diam perasaannya makin tertusuk. Mengapa begini kebetulan? Mereka bertiga, anak-anak dari Pendekar Super Sakti, dalam waktu yang bersamaan semua menderita patah hati karena cinta gagal?
“Dia bilang hendak mencari Hek-tiauw Lo-mo yang telah melukai Ceng Ceng, hendak membalas dendam kepada kakek Pulau Neraka itu. Karena semua sudah pergi, aku pun akan pergi sekarang juga, Enci.”
“Eh, anak nakal! Engkau pula? Hendak ke mana kau?”
“Aku hendak menghibur hati dan pergi malam ini juga... mungkin aku terus kembali ke Pulau Es... atau ke mana saja, pokoknya jauh dari sini...”
Milana menarik napas panjang. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh adiknya ini yang setelah kekecewaannya dalam kegagalan cintanya kini ingin secepat mungkin pergi sejauh mungkin meninggalkan wanita yang menjadi sebab kepatahan hatinya itu.
“Kenapa tidak besok saja, Adikku...?”
“Tidak, Enci Milana. Sekarang juga aku pergi, dan harap sampaikan maafku kepada Ci-hu (kakak ipar)... selamat tinggal, Enci.” Dia kemudian berlari ke luar untuk mengambil pakaiannya dan malam itu juga dia pergi meninggalkan istana enci-nya.
Milana mengerutkan alis, termenung dan membayangkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya, mengikuti bayangan Gak Bun Beng yang pergi dalam keadaan patah hati dan semangatnya, dan bayangan Kian Lee dan Kian Bu yang juga mengalami kegagalan dalam cintanya. Tak terasa lagi, puteri yang cantik jelita dan gagah perkasa ini meruntuhkan air mata, terisak-isak menangis di atas pembaringannya.
Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, tiga orang laki-laki gagah perkasa itu semua patah hati dan menderita sengsara karena wanita. Betapa banyaknya peristiwa seperti itu terjadi di dunia ini, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang.
Sejak jaman dahulu, banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa laki-laki yang gagah perkasa, satria-satria dan pahlawan-pahlawan, pendekar-pendekar sakti yang sukar menemukan tandingan, akhirnya roboh oleh wanita! Banyak pula dalam sejarah tercatat betapa kaisar-kaisar, raja-raja besar, panglima-panglima dan pemimpin-pemimpin gemblengan, seorang demi seorang roboh tak berdaya di bawah telapak kaki halus seorang wanita. Bahkan di dalam dongeng-dongeng kuno dari bahasa apa pun, tentu terdapat peristiwa di mana para dewata yang memiliki kesaktian dan kekuatan, dapat pula roboh karena wanita. Siapa pula yang tidak mengenal cerita tentang manusia pertama, Adam yang juga runtuh karena bujuk rayu Hawa, seorang wanita pula?
Tetapi, benarkah demikian? Benarkah itu bahwa mereka, para pria yang jatuh itu, raja yang kehilangan tahtanya, pahlawan-pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya, pendekar-pendekar yang kehilangan kegagahannya, semua jatuh karena kesalahan wanita? Wanitakah yang bersalah sehingga kaum pria runtuh oleh kelembutan mereka?
Tidak! Kiranya tidaklah tepat kalau kita berpendapat demikian. Wanita pun banyak yang menjadi korban karena hubungannya dengan pria. Hampir semua wanita yang terperosok ke dalam lembah kehinaan, yang umumnya dinamakan pelacur, tentu akan dapat menceritakan riwayat masing-masing yang hampir semua adalah akibat dari perbuatan pria, atau menjadi korban hubungan mereka dengan pria. Juga dalam hal mereka ini, tidak dapat dipersalahkan kepada kaum pria.
Bukan wanita atau pria yang bersalah dengan terjadinya semua kegagalan hidup itu. Yang bersalah adalah yang disebut cinta antara pria dan wanita, yang sesungguhnya bukankah cinta sejati, melainkan cinta yang diciptakan oleh nafsu belaka. Cinta nafsu tentu saja menimbulkan bermacam peristiwa, yang menimbulkan kenikmatan dan kesenangan hebat, namun di lain saat bisa mendatangkan derita dan kedukaan yang hebat pula. Karena cinta nafsu adalah penonjolan dari diri pribadi dalam bentuk yang paling nyata, dan selama diri pribadi ditonjolkan, sudah pasti yang ada hanyalah suka dan duka, nikmat dan derita!
Tiada yang senikmat cinta sorgaloka turun ke dunia
membuai dan membius manusia!
Tiada yang selucu cinta
manusia menjadi badut-badut dibuatnya
segala kepalsuan dilakukannya!
Tiada yang secelaka cinta
mendatangkan derita tiada taranya
dunia berubah menjadi neraka!
Akan tetapi...,
tiada yang seindah cinta sejati
dalam tawa remaja puteri
Dalam sinar matahari pagi
yang terkandung dalam tangis bayi
dalam lautan danau dan sungai
dalam semua isi langit dan bumi
dalam segala yang hidup dan mati
Cinta mulia dan suci
tetap ADA dan kekal abadi
apa bila AKU TIADA lagi.....
“Apa kau bilang...?” Puteri Milana meloncat dengan kaget sekali mendengar laporan dari seorang pengawalnya dengan muka pucat bahwa suaminya, Han Wi Kong, sedang membuat huru-hara di istana Pangeran Liong Bin Ong dan kini sedang dikeroyok oleh para pengawal pangeran itu.
“Hamba... hamba dengar... Pangeran Liong Bin Ong telah dibunuhnya...”
Milana menahan jeritnya. Sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari depan pengawal yang melaporkan peristiwa hebat itu. Bagaikan bayangan siluman saja saking cepatnya, Milana berlari ke istana Pangeran Liong Bin Ong dan ketika dia melayang naik ke atas genteng istana itu, dia sudah mendengar suara ribut-ribut di bagian belakang istana. Cepat dia melayang turun.
Dua orang pengawal berteriak dan menghadang, tetapi dua kali tangannya bergerak, dua orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri seperti disambar petir. Milana terus lari ke dalam dan ketika dia tiba di tempat yang luas di ruangan belakang menuju ke pintu taman, dia terkejut bukan main. Pangeran Liong Bin Ong telah menggeletak di atas lantai dengan dada tertusuk pedang yang dia kenal sebagai pedang suaminya!
Pangeran tua itu mati dan melihat meja yang penuh hidangan, agaknya tadi pangeran itu sedang menjamu tamu yang agaknya suaminya itulah! Dan tak jauh dari situ dia melihat suaminya dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pengawal, dan di antaranya terdapat seorang kakek yang tidak berbaju. Kakek ini memegang sebatang gendewa besar dan kelihatan lihai sekali sungguh pun melihat pakaian dan sikapnya dia itu sepantasnyalah seorang pekerja di dapur atau tukang kebun di taman!
Han Wi Kong sudah luka-luka dan dengan gagah berani panglima ini membela diri dengan tangan kosong. Ketika dia melihat isterinya muncul di situ, dia terkejut sekali.
“Milana..., pergilah kau...!”
“Desss...!” Sebatang toya menghantam pundak panglima itu ketika dia menoleh kepada isterinya. Han Wi Kong terhuyung, kemudian dia meloncat ke arah Milana.
“Cepat... pergi dari sini... tiada jalan lain, aku membunuh pemberontak itu...”
“Wirrr-wirrr-wirrr...!”
“Awas panah...!” Milana menjerit kaget.
“Cep-cep-ceppp...! Aughhhh...!”
Tiga batang anak panah yang dilepas oleh kakek telanjang baju dari jarak dekat dengan gendewanya yang besar itu sudah menancap di lengan serta punggung Han Wi Kong. Panglima itu mengeluh, terbelalak karena dua batang anak panah yang menancap di punggung menancap dalam sekali, sedangkan lengannya tertembus sebatang anak panah.
“Milana... maafkan aku... lekas pergi... surat di atas mejaku... kau berikan dia...” Setelah berkata demikian, Han Wi Kong roboh terguling dan tewas di saat itu juga karena dua batang anak panah yang menancap di punggungnya itu menembus jantung.
“Aiiihhhh...!” Milana terbelalak memandang mayat suaminya sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan kanan. Kemudian dia mengangkat muka, memandang kakek telanjang itu dan para pengawal yang sudah maju menghampiri dan mengurungnya, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api, cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang nyaring dan menggetarkan semua pengawal, suara lengking mengerikan yang keluar dari mulut kecil Puteri Milana, dan tampak bayangan merah dari jubahnya yang lebar berkelebat ke depan. Para pengawal terkejut dan mengangkat senjata, namun terdengar suara keras dan empat orang di antara mereka terpental, terbentur pada dinding dan tewas seketika dengan kepala pecah!
Para pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dipelihara oleh Liong Bin Ong untuk mengawal dirinya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan pemberontak itu, maka biar pun mereka tahu akan kelihaian Puteri Milana, mereka menganggap puteri ini sebagai musuh majikannya. Bahkan laki-laki memegang gendewa itu adalah seorang tokoh hitam yang bekerja di situ menyamar sebagai tukang masak, padahal dia pun merupakan seorang pengawal dalam yang dipercaya dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Tadi sore Han Wi Kong datang secara baik-baik, resminya adalah untuk mengucapkan berduka cita atas kematian Pangeran Liong Khi Ong. Akan tetapi Liong Bin Ong yang cerdik itu menyambut ucapan duka cita itu dengan tertawa.
“Dia mati karena ulahnya sendiri. Siapa suruh dia memberontak terhadap pemerintah yang sah?” kata Liong Bin Ong. “Sudah sering aku memberi nasehat, akan tetapi tidak diturutnya. Sekarang dia tewas, itulah hukumannya, dan kita tidak perlu berduka cita!”
Untuk memperlihatkan bahwa dia ‘tidak ada hubungan’ dengan adiknya yang sudah memberontak itu, Liong Bin Ong memperlihatkan kegembiraan, bahkan dia kemudian menjamu makan kepada suami Puteri Milana yang diam-diam merupakan musuh besar dan lawan tangguhnya itu. Milana masih terhitung keponakan pangeran ini, maka Han Wi Kong juga masih merupakan keluarga dekat, yaitu mantu keponakan.
Mereka makan minum di ruangan belakang dan dijaga oleh dua belas orang pengawal kepercayaan Pangeran Liong Bi Ong. Akan tetapi, tanpa tersangka-sangka sama sekali, ketika tuan rumah dan tamu itu sudah minum sampai setengah mabok, tiba-tiba saja Han Wi Kong mencabut pedang dan menusuk pangeran tua itu dari depan, tepat mengenai dadanya sehingga Pangeran Liong Bin Ong roboh dan tewas seketika. Tentu saja peristiwa yang tidak tersangka-sangka ini tidak dapat dicegah oleh para pengawal yang lalu menjadi marah dan mengepung serta menyerang Han Wi Kong. Keributan ini terdengar dari luar sehingga sampai juga ke istana Puteri Milana sehingga seorang pengawal cepat melaporkan kepada puteri itu.
Kini Milana mengamuk. Kedukaan dan kemarahan bercampur menjadi satu membuat puteri ini menjadi luar biasa berbahayanya. Gelang di tangan kirinya yang terbuat dari emas itu telah berlepotan darah dan dalam waktu singkat saja, delapan orang pengawal telah roboh oleh wanita sakti ini. Kini tinggal empat orang pengawal bersama kakek telanjang baju yang masih melawannya, tetapi biar pun kakek itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan gendewa sebagai senjatanya itu amat kuat, namun sudah dua kali dia terhuyung kena diserempet hawa pukulan dari tangan lembut Puteri Milana.
“Serr-serr-serrr...!” Tiga batang anak panah meluncur, dilepas oleh kakek itu dari jarak dekat.
“Bedebah...!” Milana memaki karena panah-panah ini mengingatkan dia akan kematian suaminya. Cepat tangannya menyambar dan tiga batang anak panah itu telah dapat disambarnya di udara, kemudian dia memekik dan tiga batang anak panah itu balik dilontarkan dengan kecepatan kilat ke arah kakek itu.
Kakek itu terkejut sekali melihat betapa wanita itu dapat menangkap tiga batang anak panahnya dan kekagetannya inilah yang mencelakakan dia karena ketika dia melihat berkelebatnya tiga sinar kilat menyambarnya, dia kurang cepat mengelak sehingga sebatang di antara tiga anak panah itu menyambar tenggorokannya.
“Arrgghhhh...!” Kakek itu mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, kemudian dia menubruk dengan nekat, menggunakan gendewanya untuk melakukan serangan terakhir.
Namun, Milana sudah meloncat ke samping, kakinya menendang dan tubuh kakek itu roboh terjengkang, tewas seketika. Empat orang pengawal menjadi jeri, dan hendak lari, namun tahu-tahu ada bayangan berkelebat melewati mereka dan ketika mereka memandang, Puteri Milana sudah berdiri di depan mereka!
“Tidak ada yang kubiarkan hidup!” Milana membentak.
Begitu dia bergerak, kaki tangannya telah menyerang dan berturut-turut robohlah empat orang pengawal itu. Baru puas rasa hati Milana dan dia cepat meloncat ke dekat mayat suaminya, mencabuti tiga batang anak panah itu kemudian memanggul mayat itu dan meloncat pergi, terus melarikan diri ke dalam istananya sendiri.
Dia merebahkan mayat suaminya di atas pembaringan, teringat akan pesan suaminya dia menoleh ke atas meja. Benar saja, di situ terdapat dua buah sampul surat kuning yang ketika dibacanya, yang sebuah dialamatkan kepadanya dan yang sebuah lagi dialamatkan kepada Gak Bun Beng! Dengan jari-jari tangan gemetar Milana membuka sampul surat untuknya, membaca dengan muka pucat dan perlahan-lahan air matanya yang tadi tertahan oleh kemarahan mulai menetes-netes ke atas surat yang dibacanya, melunturkan tintanya.
Milana isteriku tercinta, Hanya ada satu jalan bagi kita semua, juga bagi keselamatan negara, yaitu aku harus membunuh Liong Bin Ong. Percayalah, aku bukan melakukan bunuh diri dengan membuta, melainkan sudah kupertimbangkan masak-masak, demi keselamatan negara dan terutama sekali demi kebahagiaan hidupmu. Kau bawalah suratku dan berikan kepada Gak Bun Beng, dia patut menerima cinta kasihmu.
Selamat tinggal.
Suamimu, juga sahabatmu,
Han Wi Kong
“Ahhhhhh...!” Milana menubruk ke pembaringan dan berlutut sambil menangis di depan mayat suaminya.
Dia maklum, dia pun mengerti mengapa suaminya melakukan perbuatan ini. Suaminya sudah tahu bahwa dalam membunuh Pangeran Liong Bin Ong, dia pasti akan tewas. Dan memang harus diakui bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan negara dari bahaya ancaman pangeran yang palsu hatinya itu, hanya dengan cara membunuhnya, karena Kaisar terlampau sayang dan terlampau percaya kepada saudaranya itu.
Dan Han Wi Kong telah sengaja melakukan itu untuk memberi kesempatan kepada dia dan Gak Bun Beng!
“Han Wi Kong, harap kau sudi mengampunkan aku. Di dunia ini aku tidak bisa menjadi isterimu, biarlah di dalam kehidupan lain kelak aku akan suka menjadi apa saja untuk melayanimu.”
Tiba-tiba para pengawal berlari masuk dan dengan terengah-engah melaporkan bahwa Perdana Menteri Su sendiri dengan para petugas keamanan istana telah datang, dan pasukan itu mendapat perintah, untuk menangkap Puteri Milana!
“Jangan melawan!” kata Milana.
Cepat dia menyimpan dua buah surat itu ke saku bajunya, kemudian dia menggunakan pit untuk membuat corat-coret di atas tembok kamar suaminya karena dia sudah tidak mempunyai waktu untuk menulis surat dengan baik-baik. Kemudian, secepatnya dia mengumpulkan beberapa perhiasan dan pakaian, membuntalnya dengan kain kuning, menyambar pedangnya dan mengikatkan pedang dan buntalan di pundak, kemudian dia meloncat melalui jendela kemar itu ketika mendengar derap kaki banyak orang mendatangi ke arah kamar itu.
Ketika Perdana Menteri Su dan para pasukan memasuki kamar, pembesar ini hanya melihat mayat Han Wi Kong dan coretan-coretan di atas tembok yang berbunyi:
Milana akan berterima kasih sekali kepada Perdana Menteri Su jika sudi mengurus jenazah Han Wi Kong dengan sepatutnya.
Tertanda :
Puteri Milana
Perdana Menteri Su menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Biar pun dia tadi terkejut sekali mendengar akan peristiwa pembunuhan Pangeran Liong Bin Ong, namun dia mengerti mengapa Han Wi Kong melakukan perbuatan nekat itu dan diam-diam dia bersyukur karena dibunuhnya Pangeran Liong Bin Ong itu terbebaslah negara dari ancaman bahaya besar.
Maka dia lalu menghampiri jenazah Han Wi Kong dan tanpa ragu-ragu lagi pembesar tinggi yang sudah tua ini menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sebagai penghormatan dan mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada Han Wi Kong yang disebutnya sebagai seorang pahlawan bangsa! Mudah saja dia akan membujuk Kaisar dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah pertikaian pribadi antara keluarga Milana dan Liong Bin Ong, sehingga dengan demikian Han Wi Kong tidak akan dianggap sebagai seorang musuh negara.
“Hei, mengapa kalian bengong saja?” Setelah dia berdiri lagi dia membentak pasukan yang dipimpin oleh seorang panglima itu. “Hayo lekas cari dan tangkap Puteri Milana!”
Pasukan itu kemudian lari cerai-berai. Hanya lagaknya saja Perdana Menteri Su berkata demikian, akan tetapi diam-diam dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara pasukan itu yang akan berani menyentuh ujung jubah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati.
Maka lenyaplah Puteri Milana dan berbareng dengan menghilangnya puteri ini dari kota raja, hilang pula Puteri Syanti Dewi dari kamarnya tanpa ada yang tahu ke mana Puteri Bhutan itu pergi. Hanya Perdana Menteri Su yang mengangguk-angguk dan menduga bahwa pasti Puteri Milana yang melakukan hal itu, sengaja mengajak Puteri Syanti Dewi lari dari istana karena tidak setuju Puteri Bhutan itu dikawinkan dengan Pangeran Yung Hwa.
Perdana Menteri Su merasa heran sekali dan tidak mengerti kenapa Milana melakukan hal itu. Maka didatanginyalah Pangeran Yung Hwa dan alangkah herannya pembesar yang bijaksana dan setia ini melihat Pangeran Yung Hwa justru kegirangan luar biasa mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah melarikan diri!
“Paman Menteri, saya girang sekali, ahhh, saya bersyukur sekali bahwa dia telah pergi, karena kalau tidak, tentu aku yang akan pergi lagi.”
“Ehh, kenapa begitu, Pangeran?”
“Aku tidak suka diharuskan menikah dengan puteri Bhutan.”
Perdana Menteri Su memandang heran dan mengerutkan alisnya. “Ingatlah, Pangeran Muda, dahulu engkau marah-marah dan melarikan diri dari istana karena permintaanmu untuk menikah dengan puteri Bhutan ditolak Sri Baginda. Sekarang keinginanmu itu dituruti, engkau malah menolak. Apa artinya ini?”
Pangeran Yung Hwa tersenyum. “Artinya, Paman, bahwa dulu itu cintaku adalah cinta yang mentah, cinta monyet, cinta kanak-kanak karena yang kucinta adalah bayangan seorang gadis yang muncul karena cerita-cerita indah tentang dirinya. Dahulu aku mencinta seorang dara yang belum pernah kulihat, cinta bayangan saja. Sekarang, saya telah tahu apa artinya cinta, saya telah mencinta seorang dara dari darah daging, bukan bayangan kosong belaka. Biar dia gadis biasa, aku cinta padanya dan setelah Syanti Dewi pergi, saya pun akan pergi untuk mencari dara yang saya cinta itu. Saya girang dapat terbebaskan dari Puteri Bhutan!” Pangeran Yung Hwa bergembira dan bersenandung!
Perdana Menteri Su meninggalkan pangeran itu sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh uban. Heran dia melihat ulah orang-orang muda dan makin kagum hati kakek itu menyaksikan kekuatan cinta yang menguasai hampir seluruh kehidupan manusia. Tanpa cinta, matahari akan kehilangan sinarnya, bunga-bunga akan kehilangan keharumannya dan madu akan kehilangan manisnya!
Dengan hati-hati dan cerdik, perdana menteri ini akhirnya dapat pula meredakan kemarahan Kaisar dan mengajukan alasan-alasan masuk akal bahwa peristiwa itu terjadi karena pertikaian pribadi antara keluarga Puteri Milana dan Pangeran Liong Bin Ong, sama sekali tidak menyangkut urusan negara, maka hendaknya Kaisar tidak mencampurinya. Ada pun tentang kehilangan Puteri Syanti Dewi, Perdana Menteri berjanji akan menyebar orang untuk mencarinya dan mengusulkan bahwa seyogianya urusan perjodohan itu ditunda saja.
“Dahulu Paduka melamar Puteri Bhutan untuk mendiang Pangeran Liong Khi Ong, dan kalau sekarang suami untuk Puteri itu ditukar tanpa mengadakan perundingan lebih dulu dengan Kerajaan Bhutan, hamba kira hal itu malah akan menanamkan sakit hati seolah-olah Paduka kurang menghargai Kerajaan Bhutan. Sebaiknya dinanti sampai ada kabar tentang puteri itu, baru mengajukan usul perubahan ikatan jodoh itu dengan Kerajaan Bhutan.”
Semua alasan yang kuat diajukan oleh Perdana Menteri Su dan akhirnya Kaisar dapat dibujuk sehingga tidak meributkan lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi itu. Malah Kaisar juga tidak keberatan ketika mendengar betapa Perdana Menteri Su mengurus jenazah Han Wi Kong dan menguburkan jenazah itu di dalam kuburan keluarga Kaisar tingkat dua, karena betapa pun juga, Han Wi Kong adalah mantu cucu dari kaisar sendiri. Maka terlaksanalah apa yang menjadi permohonan Milana kepada Perdana Menteri Su.
Duka timbul dari kecewa. Kecewa timbul dari tidak tercapainya nafsu keinginan. Nafsu keinginan adalah hasrat pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan dari si aku. Si aku timbul dari pikiran. Si aku adalah pikiran sendiri. Pikiran adalah ingatan yang mengenang masa lalu, ingin mengejar lagi kenangan baru yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan.
Kebahagiaan hidup, baru mungkin ada apa bila bebas dari nafsu keinginan, tidak lagi mencari-cari, tidak lagi mengejar sesuatu seperti yang kita inginkan. Bebas dari pikiran yang membanding-bandingkan, berambisi, berkhayal. Bebas dari si aku. Kebebasan ini menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu ini adalah indah dan sempurna, tidak ada kecualinya. Yang ada hanyalah kenyataannya, apa adanya dan ini adalah wajar dan mutlak.
Bukan suka bukan pula duka, bukan puas bukan pula kecewa, bukan nikmat dan bukan derita karena banding-membandingkan dan semua kebalikan-kebalikan ini adalah permainan pikiran yang memilih-milih sehingga timbullah konflik-konflik batin yang lalu meledak menjadi konflik-konflik lahir. Kebahagiaan terletak di atas segalanya itu, di atas dan bebas dari pikiran. Kekurangan dan kekecewaan hanya diderita oleh mereka yang tidak mengenal kecukupan. Maka hanya mereka yang tidak membutuhkan apa-apa lagi sajalah yang dapat menyentuh kebahagiaan.....
Hawa udara panas sekali. Terik mentari seolah-olah hendak membakar segala sesuatu di permukaan bumi. Sinar matahari yang langsung menimpa bumi, terpantul kembali menciptakan hawa yang gerah.
Seorang pemuda duduk di bawah sebatang pohon besar dalam hutan itu, membuka kancing bajunya dan meniupi leher dan dadanya. Pemuda ini berwajah tampan dan rambutnya mengkilap hitam, dikuncir panjang berjuntai di belakang pundak kanan. Pakaiannya sederhana, jubahnya yang hitam kebiruan lebar dan panjang, menutupi baju dan celana sehingga membuat dia makin kegerahan. Pemuda ini adalah Suma Kian Bu yang telah melakukan perantauan seorang diri, pergi dari kota raja di mana hatinya untuk pertama kali mengalami pecah berantakan akibat cinta gagal. Akan tetapi, karena dasar wataknya memang gembira, setelah merantau sebulan lebih, luka di hatinya itu hanya tinggal bekasnya saja, tidak terasa nyeri lagi.
“Uihhhh, panasnya...!” Dia mengeluh.
Hutan yang penuh pohon itu masih belum mampu melawan hawa panas yang datang dari gurun. Daerah sekitar hutan itu adalah daerah pegunungan yang diselang-seling padang rumput dan padang pasir. Tadi sebelum memasuki hutan, Kian Bu melewati padang pasir yang luar biasa panasnya. Matanya silau melihat sinar matahari menimpa pasir-pasir yang berkilauan, dan terasa benar olehnya hawa yang panas menyerangnya dari bawah. Maka ketika dia memasuki hutan itu, hawa terasa sejuk dan nyaman sehingga dia menjatuhkan diri di bawah pohon besar itu sambil meniupi lehernya.
Tubuhnya lelah sekali dan betapa nikmatnya duduk di bawah pohon, terlindung dari sengatan terik matahari. Angin sepoi-sepoi semilir meniupi muka dan lehernya, membuat matanya menjadi berat dan mengantuk. Betapa enak rasanya dilanda kantuk! Sudah pasti bahwa tidak ada yang lebih nikmat di dunia ini dari pada tidur bagi orang yang mengantuk, seperti juga makan bagi orang yang lapar dan minum bagi orang yang haus.
“Dukk...!” Kepalanya membentur batang pohon.
“Heh-heh-heh, pemalas!” Kian Bu mengomel sambil tertawa ketika dia tersadar karena ketika melenggut tadi, kepalanya terbanting ke belakang dan membentur batang pohon. Agaknya sudah tidak berbekas lagi kepatahan hati pemuda yang berwatak gembira ini.
Dia bangkit berdiri, memandang ke sekeliling. Hutan itu liar dan lebat, sunyi bukan main. Dia ingin sekali tidur barang sejenak, akan tetapi jangan-jangan ada binatang buas dan berbisa di hutan asing ini datang mengganggunya di waktu dia tertidur nyenyak. Maka dia lalu berdongak ke atas dan di lain saat pemuda yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah melesat ke atas pohon, memilih tempat yang enak di atas cabang pohon yang besar, duduk mepet di pangkal cabang, melingkar seperti seekor monyet dan tak lama kemudian pemuda ini sudah tertidur pulas!
Tidur merupakan berkat bagi tubuh manusia. Tidur dengan pikiran kosong tanpa mimpi, biar hanya sekejap saja, sudah sanggup memulihkan kesegaran tubuh, dan tidur pulas sejam saja sudah terasa amat lama. Sebaliknya, yang membuat tidur merupakan suatu kemalasan yang bahkan melelahkan adalah jika pikiran bekerja terus di waktu tidur sehingga timbul mimpi-mimpi buruk.
“Clekittt...!”
“Auwwww...!” Kian Bu terbangun dan cepat menggaruk-garuk pinggulnya.
“Sialan... semut merah!” gerutunya ketika dia merogoh ke balik celananya dan jari-jari tangannya menjepit seekor semut merah. Pinggulnya sudah bintul dan terasa sangat gatal. Kiranya semut itu menyelinap masuk melalui pakaiannya dan entah mengapa, menggigit pinggulnya.
“Huh, tentu semut betina!” gerutunya lagi. “Kalau jantan mana mau mencubit pinggul? Sialan!” Dia menggaruk-garuk pinggulnya, makin digaruk makin gatal.
Tiba-tiba dia berhenti menggaruk pinggul. Ada suara derap kaki kuda! Kiranya hutan liar ini bukannya tidak ada manusianya seperti yang dia kira semula. Makin lama makin jelas suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu dan tak lama kemudian dia melihat dua orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat dan bertubuh tegap-tegap dan kuat-kuat seperti tubuh orang-orang yang biasa hidup mengandalkan kekuatan tubuhnya. Di punggung mereka terselip golok telanjang yang mengkilap tajam. Ketika tiba di bawah pohon itu, mereka menahan kuda mereka. Dua ekor kuda itu meringkik dan mengangkat kaki depan, hidung mereka mendengus-dengus dan mulut mereka mengeluarkan busa.
“Sudah jelaskah bahwa dia itu mata-mata?” tanya yang bercambang tebal.
“Tidak salah lagi, dia mengejar kita dan kepandaiannya hebat. Kita harus cepat pulang dan melaporkan ini kepada pimpinan. Siapa tahu kita diikuti oleh pasukan musuh.”
“Baiknya kita berpencar di sini, dan kalau dapat terbebas dari dia, kita berkumpul di dusun Ma-cin,” kata pula yang bercambang tebal.
“Baik!”
Dua orang itu lalu berpisahan, yang seorang membalapkan kuda membelok ke kiri, dan yang seorang lagi ke kanan. Keadaan menjadi sunyi kembali setelah derap kaki kedua ekor kuda itu menghilang dan tak terdengar lagi. Sunyi yang menegangkan.
Kian Bu duduk di atas cabang pohon, bersembunyi di balik daun-daun lebar sambil termenung. Jelas bahwa dua orang itu adalah anggota suatu kelompok atau pasukan atau gerombolan. Perkumpulan apakah yang agaknya menguasai daerah ini? Siapa kedua orang itu dan siapa ketua mereka? Dan siapa pula orang-orang yang mereka bicarakan tadi, yang disangka mata-mata musuh? Dia menanti sampai lama karena mengira bahwa orang yang dibicarakan mereka berdua tadi, yang katanya mengejar mereka, tentu akan muncul pula. Akan tetapi, sampai satu jam lebih dia menanti, tidak juga tampak ada yang datang mengejar.
“Huh, pengejar yang lambat dan bodoh seperti itu mana akan mampu menyusul buruan?” Dia sudah mengomel karena merasa kesal juga menanti sebegitu lamanya di atas pohon, dan merasa mendongkol karena dia telah terganggu dari kenikmatan tidur siang terayun-ayun di cabang itu. Kini dia harus berjaga dengan penuh ketegangan, namun yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Siapa tidak menjadi gemas?
“Uuuhhh, pengejar tolol...!” Habis kesabarannya dan selagi dia hendak meloncat turun, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Sayup-sampai suaranya, akan tetapi makin lama makin jelas.
Suara seorang wanita bernyanyi. Merdu bukan main! Suara itu bening, halus dan pulen, terbawa angin semilir memasuki telinganya mendatangkan perasaan nyaman dan sedap! Kian Bu terbelalak heran. Suara wanita begitu merdu di hutan liar dan sunyi ini? Jangan-jangan suara siluman itu! Yang dinantikannya adalah seorang pengejar yang bengis, bukan orang yang suaranya mengalahkan biduanita yang pernah didengarnya bernyanyi di kota raja! Dan isi nyanyian itu! Dia mendengarkan penuh perhatian.
Pada usia delapan tahun
aku mencuri pandang di dalam cermin,
dan aku sudah dapat menghitami alis mataku!
Pada usia sepuluh
aku pergi ke pesta sincia
dengan baju baru berkembang bunga teratai!
Pada usia dua belas
aku belajar meniup suling,
hiasan kuku tak pernah lepas dari jari tanganku!
Pada usia empat belas
aku tak berani bertemu pria,
menduga-duga akan segera dijodohkan.
Pada usia lima belas
aku menangis di dalam musim bunga,
dan menyembunyikan mukaku di balik pintu taman...
Kian Bu tertegun. Tentu saja dia mengenal baik sajak nyanyian itu. Kian Bu telah diberi pelajaran sastra oleh ibunya dan banyak sajak-sajak ciptaan sastrawan-sastrawan kuno hafal olehnya. Dia ingat bahwa nyanyian itu diambil dari sajak ciptaan pujangga Li Shang Yin yang hidup di abad ke sembilan (812-858). Li Shang Yin terkenal dengan tulisan sajaknya, terutama sajak Tujuh Sajak Cinta dan yang dinyanyikan suara merdu itu adalah sajak ketiga!
Kian Bu menjadi penasaran karena sampai lama orangnya belum juga muncul. Kalau penyanyi itu berjalan kaki, tentu jalannya lambat sekali, apa lagi kalau naik kuda. Agaknya kudanya itu berjalan sambil makan rumput di sepanjang jalan! Akan tetapi, wanita dengan suara seperti itu tidak pantas kalau berjalan kaki atau naik kuda di hutan liar ini, pantasnya naik kereta. Akan tetapi dia tidak mendengar suara roda kereta!
Kian Bu merayap turun dari atas pohon. Kalau yang muncul seorang wanita bersuara semerdu ini, dia tidak perlu lagi bersembunyi. Sebaliknya malah, dia ingin menemui wanita itu dan melihat apakah orangnya juga seindah suaranya! Dengan tergesa-gesa dia merayap turun, lalu meloncat ke bawah.
“Heiiitttt... eihhhh...!” Kian Bu meloncat ke samping menghindarkan kakinya yang hampir menginjak sebuah kepala orang!
Dia memandang dengan mata terbelalak dan tengkuknya berdiri karena merasa seram. Kepala itu berambut panjang sudah putih semua, kepala yang kecil, kepala seorang tua renta, seorang kakek kurus yang sedang tidur mendengkur di bawah pohon, kepalanya berbantalkan akar pohon itu.
Kian Bu melongo. Bagaimana dan bila mana orang ini bisa berada di bawah pohon tanpa diketahuinya? Mustahil! Kalau sudah lama, pasti tampak oleh dua orang berkuda tadi. Kalau baru saja, bagaimana sampai dia tidak tahu? Jangan-jangan ini bukan orang, melainkan setan, iblis hutan yang menjaga hutan itu! Dan jangan-jangan suara merdu tadi itu pun suara peri atau siluman yang suka menjadi perempuan cantik. Dia bergidik, akan tetapi dilawannya dengan keyakinan bahwa menurut dongeng-dongeng mana pun juga, setan dan iblis tidak muncul di siang hari!
Dan sekarang masih siang. Kata yang empunya dongeng, semua makhluk halus takut akan sinar matahari. Bukan kalau begitu, bukan iblis! Kalau manusia, tentu luar biasa sekali kepandaian kakek ini! Kiranya hanya orang dengan kepandaian setingkat kakaknya atau dia sendiri yang akan mampu datang tanpa suara seperti itu! Kian Bu menjadi khawatir, dan melihat orang itu tidur mendengkur, dia lalu melayang lagi ke atas, sembunyi di dalam daun-daun sambil mengintai ke bawah. Kalau kakek itu berniat buruk kepadanya, tentu sudah dilakukannya dari tadi, tidak tidur mendengkur dulu di bawah pohon.
Kini terdengar bunyi kerincingan. Masih lirih tanda bahwa suara itu masih jauh akan tetapi suara kerincingan itu bening sekali. Tang-ting-tang-ting dan crang-cring-crang-cring seperti perak dipukul. Dan kini terdengar lagi suara wanita bernyanyi, suara yang merdu tadi, kini diiringi suara kerincingan tang-ting-tang-ting itu, seolah-olah yang-kim (kecapi) yang hanya mempunyai dua macam nada. Suaranya yang merdu itu kini bernada gembira dan jenaka.
Hujan musim rontok, hujan musim rontok!
Tiada bulan, tiada malam.
Berintik-rintik, bercucuran deras!
Lampunya padam, kasurnya dingin,
kesepian yang menjemukan.
Si Cantik Jelita berduka merana!
Angin barat semilir meniup bambu di jendela,
berhenti sebentar dan mulai lagi,
dua butir air mata seperti mutiara
bergantung di sepasang pipi dingin.
Betapa sering kakanda berjanji,
Apa bila angsa liar terbang datang...
Kakanda melanggar janji,
angsa liar telah datang,
namun kakanda tidak...
Saking kagumnya karena dia pun mengenal sajak indah ini, Kian Bu meloncat turun lagi, lupa bahwa di bawah itu ada orang tidur. Untung rambut putih itu tampak olehnya sehingga dia cepat berjungkir balik dan turun di balik pohon besar. Sialan, pikirnya. Kamu mengejek aku, ya! Dia baru saja mengalami kegagalan cinta dan sejak tadi suara itu bernyanyi tentang cinta gagal! Tapi kakek ini agaknya menanti yang bersuara itu.
Kian Bu menyelinap di balik batang pohon besar, tak jauh dari situ, menanti dan siap untuk membantu kalau kakek seperti setan ini nanti menyerang si penyanyi yang tentu saja seorang wanita... dan sepatutnya cantik pula. Suara seperti itu sepantasnya keluar dari bibir yang mungil, mulut yang basah kecil dan segar! Kalau tidak begitu, mau dia mempertaruhkan... kuncirnya!
Suara berkerincing tadi makin jelas dan dari balik tempat sembunyinya, Kian Bu memandang ke depan, sama sekali dia sudah lupa akan kehadiran kakek yang tadi tidur mendengkur di bawah pohon. Hatinya berdebar tegang karena ingin sekali dia melihat orang yang mempunyai suara indah itu.
Mula-mula yang tampak adalah kuda putih kecil seperti keledai muncul di tikungan jalan. Kuda itu mungkin keturunan keledai, pendek dan telinganya panjang seperti telinga keledai. Leher kuda itu dipasangi kalung yang terbuat dari kerincingan-kerincingan kecil itu sehingga selalu mengeluarkan bunyi ketika kuda setengah keledai itu berjalan. Akan tetapi, kuda atau keledai Kian Bu tidak peduli, yang penting adalah penunggangnya! Seorang dara remaja yang... aduhai! Cantik manis, jelita remaja, dengan bentuk tubuh yang meranum, duduk seenaknya di atas punggung keledai hingga Kian Bu mendengar hatinya berbisik, “Aku juga mau menjadi keledai itu!”
Dara itu memegang sebatang payung yang terbuka dan payung itu bergerak-gerak terkena angin, akan tetapi tetap dipertahankan menjaga mukanya yang manis itu dari sengatan sinar matahari.
Seperti orang terpesona, Kian Bu lupa bahwa dia harus bersembunyi. Tahu-tahu dia sudah melangkah keluar dari pohon besar itu, memandang kepada dara ayu beraksi dengan payungnya di atas keledai itu sambil tersenyum, memasang ‘senyum mautnya’ karena kini sudah pulih kembali Kian Bu, menjadi seperti Kian Bu yang dahulu, jenaka gembira dan paling suka berhadapan dengan wanita jelita!
“Selamat siang, Nona. Wahai... suaramu tadi, nyanyianmu tadi, hebat bukan main...” Kian Bu menegur ramah.
Dara itu menahan keledainya, berhenti di depan Kian Bu tanpa menurunkan payungnya, memandang penuh selidik, kemudian terdengar dia bertanya, suaranya serak-serak basah tidak seperti nyanyian yang bening tadi, akan tetapi malah terdengar makin menarik bagi ‘telinga keranjang’ Kian Bu.
“Apanya yang hebat? Apakah engkau mengerti nyanyian tadi?” Agaknya dara itu menduga bahwa Kian Bu hanyalah seorang pemuda gunung yang mencari kayu bakar di hutan itu.
“Kesemuanya hebat dan indah! Sajak ketiga dari Lagu Tujuh Cinta karangan Li Shang Yin di jaman Tong-tiauw itu hebat, akan tetapi sajak Yen Sian di jaman Sung-tiauw tadi pun indah. Dan terutama sekali... suaramu amat merdu, Nona...”
Dara itu membelalakkan matanya, dan sekali lagi tangannya bergerak....
“Treppp!” Payung itu telah tertutup. Sekali pinggangnya yang ramping dan pinggulnya yang melengkung itu bergerak, dia sudah meloncat turun dari punggung keledai.
Kian Bu makin kagum melihat gadis itu sudah berdiri. Kiranya bentuk tubuhnya juga hebat, seperti yang diduganya, setelah kini dara itu berdiri. Akan tetapi untuk memuji tubuh orang dia tidak berani, maka biar pun sepasang matanya memandang tubuh dara itu, mulutnya memuji keledai, “Keledaimu putih mulus dan bentuknya mempesona!”
“Apa, keledai? Buka matamu baik-baik, sobat. Engkau pandai mengenal sajak, akan tetapi tidak dapat mengenal binatang keramat!”
“Hahhh...?!” Kian Bu baru sekarang memandang keledai itu penuh perhatian karena disebutnya binatang keramat oleh dara itu. Dia mendekati dan melihat dengan teliti dari moncong sampai ke ekor, dari ujung telinga sampai ujung kaki, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang aneh pada binatang ‘keramat’ ini.
“Kau melihat sesuatu yang aneh?” dara itu bertanya.
Kian Bu menggeleng kepalanya. “Ini hanya seekor keledai biasa, hanya bulunya putih dan...”
“Engkaulah yang bodoh melebihi keledai!” Gadis itu mencela. “Ini bukanlah keledai melainkan seekor kuda.”
“Hah? Kuda? Memang mukanya tidak sebodoh keledai, akan tetapi telinganya panjang dan kakinya pendek...”
“Agaknya engkau seorang kutu buku yang hanya tahu tentang sajak,” gadis yang amat lincah dan galak itu mengomel. “Ini adalah keturunan dari kuda Han-hiat-po-ma (Kuda Keramat Berkeringat Darah) dan seekor keledai. Masih keturunan yang ketiga puluh sembilan dari kuda tunggangan Kaisar Jenghis Khan di jaman dahulu!”
“Ahhhh...!” Kian Bu mengangguk-angguk. “Tentu hebat sekali!”
“Tentu saja hebat!” Dara itu lalu mengalungkan gagang payung yang bengkok itu ke sebuah di antara telinga keledai itu dan... telinga itu menegang dapat menahan payung!
“Ha-ha, kiranya bisa juga dipakai sebagai tempat menyimpan payung!” Kian Bu tertawa.
“Kau menertawakan kuda keramat ini? Hemm, dasar engkau tolol. Tetapi sudahlah, aku mau bertanya padamu.”
“Tanya? Tanyalah!” Kian Bu tertarik sekali. Gadis remaja ini lincah, gembira dan jenaka, begitu bebas dan terbuka, akan tetapi juga memperlihatkan keberanian luar biasa, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis biasa.
“Aku mau bertanya, apakah engkau tadi melihat orang lewat di sini?”
“Orang lewat? Dua orang laki-laki penunggang kuda?”
“Ihhh, bukan! Siapa yang mencari laki-laki? Cihh!”
Kian Bu tersenyum, lalu dia teringat akan kakek yang mendengkur itu. Wah, sudah pasti kakek itu yang dicari. Gadis manis jenaka dengan keledai aneh ini pantasnya memang berkawan dengan kakek aneh itu. “Apakah kau mencari dia...?” Kian Bu menoleh dan menuding ke bawah pohon di mana dia tidur tadi.
“Ehhhh...? Heeee, ke mana dia...?” Kian Bu tertegun karena di bawah pohon itu tidak ada apa-apanya. Jangankan seorang kakek tidur, seekor cacing pun tidak nampak.
Kian Bu mencari-cari dengan pandang matanya, ke kanan kiri, ke atas bawah, depan belakang, akan tetapi tidak kelihatan lagi bayangan seorang kakek. “Wah, ke mana dia? Apakah aku mimpi...?”
Gadis itu juga menoleh ke kanan kiri dan dia tertawa geli melihat sikap Kian Bu yang kebingungan. Dia tertawa dengan manis sekali, mengeluarkan suara ketawa kecil yang merdu sambil menutupi mulut dengan tangan, akan tetapi karena jari-jari tangan yang dipakai menutupi mulut itu merenggang, jadi masih nampak deretan gigi putih seperti mutiara di balik belahan bibir merah.
“Hi-hi-hik, kau mencari apa?”
“Kakek tua renta...”
“Aku juga tidak butuh kakek-kakek! Yang kucari adalah seorang wanita!”
Kian Bu memandang dara itu. “Seorang wanita?”
“Ya, seorang wanita cantik sekali, pakaiannya indah menyala, mukanya bundar telur, dagunya runcing, matanya seperti bintang kejora, berkedip-kedip dan lirikannya tajam seperti gunting, hidungnya agak terlalu mancung, pipinya merah, bibirnya lebih merah lagi dan senyumnya manis melebihi madu lebah. Pakaiannya indah dan dari sutera mahal, jubahnya berwarna merah muda, ikat pinggangnya kuning dan celananya biru, rambutnya digelung ke atas seperti puteri istana. Hemm, pendeknya seorang wanita cantik dan kaya, dan dia amat genit, genit memikat hati. Kau melihat dia?”
Kian Bu melongo. Bukan karena penuturan itu, akan tetapi melongo mengikuti gerakan bibir yang tiada hentinya bergerak ketika bicara panjang lebar itu. Bibir yang gerakannya menggemaskan, mencas-mencos akan tetapi manis sehingga Kian Bu merasa seolah-olah pandang matanya melekat pada bibir itu, bibir bawah yang mempesona itu.
Gadis ini benar-benar genit menarik, dan dia masih dapat mengatakan orang lain genit memikat! Melihat usianya tentu tidak akan lebih dari lima belas tahun, seperti tersebut di dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi ‘bocah’ ini sudah pandai bicara, pandai mainkan bibir dan gerak bola mata, bahkan sudah pandai pula menilai wanita lain!
“Yang bagaimana sih yang disebut genit memikat itu?” Kian Bu menggoda, akan tetapi sikapnya seolah-olah dia mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu dengan wanita yang digambarkan oleh dara itu.
“Genit memikat saja kau tidak tahu? Waahh, sungguh bocah gunung yang terbelakang kau! Genit memikat adalah... aihh... bagaimana, ya?” Dara itu kelihatan tersipu, agaknya sukar juga baginya untuk memberi penjelasan. “Pendeknya sikap yang genit dan centil, yang mempunyai daya pikat, terhadap pria terutama. Masa kau tidak mengerti?”
Kian Bu yang merasa suka sekali kepada sikap dara ini, mulai menggodanya.
“Apakah kau maksudkan, genit memikat hati itu seperti sikap ini?” Kian Bu lalu bergaya, meliak-liukkan tubuhnya, melerok dan menjulurkan lidahnya seperti orang menakut-nakuti anak kecil. “Beginikah genit memikat?”
“Hi-hi-hik!” Dara itu tertawa geli, menggeleng kepalanya keras-keras. “Ahh, sama sekali bukan!”
“Apakah begini?” Kian Bu merubah gayanya, melotot cemberut seperti nenek-nenek marah.
“Bukan! Bukan...! Ihh, menakutkan begitu mana bisa disebut memikat?”
“Habis bagaimana? Coba kau beri contoh biar aku mengerti!”
Gadis itu menjadi gemas akan kebodohan pemuda itu. “Dasar engkau yang tolol! Nah, dengarkan baik-baik, dan lihat baik-baik, buka telinga dan matamu lebar-lebar. Wanita yang genit memikat itu adalah seorang wanita yang pandai bergaya palsu, tidak wajar, seperti seorang pemain sandiwara, kau pernah melihat wayang? Nah, dia selalu beraksi di depan pria untuk memikat hati pria itu, langkahnya dibuat-buat...”
Gadis itu lalu melangkah hilir-mudik di depan Kian Bu, lenggangnya dibuat-buat dan karena memang bentuk tubuhnya ramping dan lekuk-lengkungnya penuh dan padat dalam keranumannya, belum masak benar akan tetapi tubuhnya lunak dan lemas sekali, maka ketika dia melenggang dengan gaya dibuat-buat itu, pinggangnya berliuk seperti batang yang-liu tertiup angin, pinggulnya seperti dua benda hidup bergerak ke kanan kiri dan lehernya yang panjang menoleh kanan kiri!
“Selain lenggangnya menarik, dia pun menggerak-gerakkan bibirnya dan juga matanya menyambarkan kerling maut, seperti ini...”
Kian Bu berdiri bengong, matanya terbelalak, mulutnya ternganga sehingga jika banyak lalat di situ, mungkin mulutnya akan kemasukan lalat tanpa sempat dia sadari. Seluruh perhatiannya terbetot dan semangatnya terseret karena dia sudah terpikat benar-benar oleh peniruan sikap genit memikat dari gadis itu! Kini dia mengikuti gerak bibir yang mencap-mencep. Dasar bibirnya itu berbentuk bagus sekali, merah membasah, yang bawah penuh dan berkulit tipis seperti mudah sekali pecah, kadang-kadang digigit oleh giginya yang putih, kemudian dilepaskan lagi, dijebikan, pendeknya setiap gerak bibir itu menimbulkan kemanisan tersendiri. Semua ini ditambah oleh matanya yang bening itu mengerling penuh daya pikat sehingga Kian Bu merasa seolah-olah disedot dan ingin dia melangkah mendekati gadis itu, seperti besi ditarik semberani!
“Lenggang dan gerak bibir dan mata ini tentu saja ditambah dengan sentuhan-sentuhan memikat untuk menjatuhkan hati pria, begini contohnya...” Kini gadis yang melenggang hilir-mudik di depan Kian Bu itu mendekat dan sambil lewat kini telunjuknya bergerak, mencubit lengan, menowel dagu Kian Bu.
Hampir saja Kian Bu tidak kuat bertahan lagi. Bau sedap harum yang keluar dari dara itu ketika mendekat, sentuhan halus telunjuk ke dagunya yang mengirim getaran sampai ke ujung kaki dan ubun-ubun kepalanya, benar-benar membuat gadis itu amat menarik dan memikat. Hampir saja dia lupa diri dan memeluk dengan gemas. Akan tetapi tentu saja ditahannya keinginan ini dan dia makin bingung, makin melongo dan bengong terpesona.
Dara itu tertawa cekikikan dengan geli hati ketika melihat betapa pemuda tampan itu plonga-plongo seperti seorang tolol ketika melihat dia bergaya tadi.
“Eh, kau kenapa sih?”
Kian Bu sadar kembali dan dia tersenyum, mengusap kepalanya seolah-olah hendak mengusir kepeningan otaknya. “Wah, engkau hebat sekali, Nona. Ehh, sebetulnya siapa sih yang kau cari itu? Dan mengapa kau mencarinya?”
Gadis itu duduk di atas akar pohon, membiarkan kuda keramatnya itu terlepas begitu saja. Kian Bu juga duduk di depannya dan gadis itu memandang wajah Kian Bu penuh selidik, baru dia berkata, “Wajahmu mendatangkan kepercayaan di hatiku, tidak seperti wajah orang-orang yang kutemui sebelum ini.”
Kian Bu mengusap mukanya. “Wajahku kenapa sih?”
“Wajahmu seperti orang tolol... hi-hik, dan orang-orang tolol merupakan orang yang boleh dipercaya, tidak seperti orang-orang pintar yang biasanya terlalu pintar, akan tetapi kepintarannya itu hanya untuk menipu orang lain. Eh, siapa sih namamu? Kalau belum kenal, mana mungkin aku menceritakan keadaanku?”
“Aku Suma Kian Bu, dan kau...”
“Namaku Siang In, she Teng.”
“Teng Siang In, nama yang indah, seindah orangnya.”
“Hi-hik!”
“Kenapa kau tertawa, Siang In?”
“Kurasa kau agaknya berdaya-upaya untuk memuji-mujiku. Apakah engkau merupakan seorang yang genit memikat pula? Tentu saja dari golongan laki-laki! Biasanya laki-laki memikat wanita dengan pujian-pujian.”
“Wah, kau agaknya serba tahu saja. Siang In, aku suka bersahabat denganmu. Engkau seorang gadis yang jujur, pandai sastra, suaramu merdu, wajahmu cantik jelita, dan kau aneh sekali, sungguh menarik hatiku. Sekarang ceritakan, siapa yang kau cari itu?”
“Kian Bu, entah mengapa, begitu bertemu dengan engkau hatiku terus saja percaya penuh, seolah-olah sudah lama aku mengenalmu. Ehh, kau tadi bilang tentang orang di bawah pohon, yang kau cari-cari tadi. Siapakah dia?” Gadis itu tiba-tiba memandang dengan penuh kecurigaan ke kanan kiri.
“Aku pun heran sekali. Tadi aku melihat seorang kakek tua renta berada di bawah pohon, tertidur mendengkur, akan tetapi dalam sekejap mata saja lenyap seperti setan.”
“Ihhh... aku paling ngeri dengan segala setan!” Gadis itu ketakutan dan menggeser duduknya lebih dekat dengan Kian Bu. Tentu saja pemuda itu menjadi girang dan dia melanjutkan ceritanya.
“Tadi aku mengaso di atas pohon itu dan aku tidak melihat ada orang datang dekat... ehhh, tahu-tahu ada seorang kakek tua sekali tidur di bawah pohon, mendengkur dan kakek itu rambutnya sudah putih semua, tidak seperti manusia biasa. Aku sudah curiga karena kedatangannya yang tiba-tiba itu tidak lumrah, dan tadi... ehh, tahu-tahu dia lenyap begitu saja. Apa lagi kalau bukan iblis penunggu hutan ini...”
Gadis ini makin ketakutan, mepet dan memegang lengan Kian Bu. Akan tetapi betapa kagetnya hati Kian Bu melihat wajah gadis itu menjadi pucat sekali dan ada air mata di pipinya. Gadis itu menangis saking takutnya! Kian Bu menjadi menyesal sekali dan cepat dia meloncat berdiri sambil bertepuk tangan. “Ha-ha-ha, engkau kena kubohongi! Tidak ada setan tidak ada apa-apa!”
Dara itu cemberut. “Ihh, engkau sungguh nakal. Aku sampai hampir pingsan ketakutan. Kau bukan orang baik, kau suka bohong, aku tidak jadi berteman denganmu kalau begitu!” Gadis itu sudah bangkit berdiri dan hendak pergi menghampiri keledainya.
Kian Bu tertegun. Bocah ini benar aneh. Biar pun belum matang benar, akan tetapi juga bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi di samping kecantikannya, dan pandainya bergaya seperti orang dewasa, gadis ini takut pula kepada setan dan suka ngambek seperti anak kecil!
“Ah, Siang In, kau maafkanlah aku. Tadi aku hanya main-main, masa engkau menjadi marah? Maafkan aku.”
“Aku mau maafkan kalau kau berlutut dan menyebut aku nenek!” gadis itu berkata cemberut dan membanting-banting kaki kanannya.
Kian Bu hampir tertawa bergelak, akan tetapi untuk menyenangkan hati gadis remaja yang aneh itu, apa boleh buat dia lalu berlutut, mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan sambil menyebut, “Nenekku yang baik, kau ampunkan cucumu ini!”
“Hi-hi-hik!” Gadis itu terkekeh dan Kian Bu juga bangkit sambil tertawa-tawa.
Keduanya tertawa gembira dan duduk lagi di atas akar pohon. Aneh, Kian Bu merasa gembira sekali dan lenyaplah semua bayangan gelap dari masa lalu. Dia kini sudah lebih matang dan hati-hati, tidak mau gampang saja jatuh cinta. Dara ini merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.
“Siang In, sekarang kau ceritakan tentang dirimu dan kenapa engkau berada di tempat sunyi ini seorang diri dan siapa itu wanita genit memikat yang kau cari itu.”
Setelah bebas dari perasaan takut akan setan, sekarang sepasang pipi dara itu menjadi kemerahan lagi, bibirnya yang manis merekah penuh senyum dan matanya yang jeli besinar-sinar.
“Tidak ada apa-apanya yang menarik dalam riwayatku,” gadis itu memulai.
“Orangnya saja sudah sangat menarik, apa lagi riwayatnya.” Kian Bu berkata dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya.
“Eh, Twako... kau mau kan kusebut twako? Aku tidak mempunyai kakak laki-laki, maka biarlah engkau menjadi penggantinya. Kalau aku tidak merasa yakin bahwa engkau seorang yang baik, tentu aku curiga melihat sikapmu terlalu manis, pujian-pujianmu terlalu muluk itu. Sikapmu seperti laki-laki perayu wanita benar!”
“Aku hanya bilang sejujurnya, masa tidak boleh? Aku suka akan kembang indah harum, juga suka melihat dara secantik engkau. Apakah aku harus membohong mengatakan engkau gadis buruk?”
Siang In tertawa. “Akan tetapi sinar matamu kalau memandangku... hihhh, aku menjadi ngeri dibuatnya! Nah, aku mau bercerita tentang diriku. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi...”
“Aduh kasihan...!”
“Akan tetapi aku mempunyai seorang enci (kakak perempuan)...”
“Juga cantik jelita jelita seperti engkau?”
“Ihhh, Twako. Engkau mata keranjang benar!”
“Lho, mengapa mata keranjang? Itu pertanyaan wajar, kan? Masa aku harus bertanya apakah enci-mu itu tampan dan gagah, kan menjadi banci nanti!” Mereka berdua lalu tertawa-tawa lagi dan hutan yang biasanya sunyi itu kini bergema suara tertawa pemuda dan dara itu.
“Tentu saja enci-ku yang bernama Siang Hwa amat cantik melebihi aku yang buruk ini. Kami berdua tinggal di lereng gunung sana itu melanjutkan usaha mendiang Ayah, menanam obat-obatan yang kami jual ke kota dan sebagian kami bagi-bagikan kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan obat.”
“Aih, kiranya engkau ini ahli obat, ya? Lengkap benar kepandaianmu?”
“Lengkap apanya?”
“Coba kuhitung. Satu, engkau pandai memelihara kuda keramat, dua, engkau pandai meniru gaya wayang dan berperan sebagai wanita genit memikat, tiga, engkau pandai ilmu silat, dan empat, engkau pandai ilmu pengobatan!”
“Huhh, engkau hanya memuji kosong saja, kalau kudengarkan kepalaku bisa berubah menjadi segentong besarnya. Sudah, tak perlu memuji-muji, tapi dengarkan ceritaku. Mendiang ayahku barulah berani disebut ahli pengobatan karena beliau itu terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Yok-sian...”
“Ahhh...!” Kian Bu berteriak dan meloncat berdiri.
Teringat akan setan yang amat ditakuti, Siang In juga meloncat dan memandang ke kanan kiri.
“Ada apa?” Dia sudah memegang lengan pemuda itu lagi.
“Ohh, tidak ada apa-apa, aku hanya terkejut mendengar julukan ayahmu.”
“Huh, kekagetanmu membikin aku kaget.” Mereka duduk kembali di atas akar pohon.
“Apakah ayahmu itu Suheng dari kakek yang berjuluk Sin-ciang Yok-kwi?”
“Ehh, bagaimana engkau bisa mengenal julukan Susiok (Paman Guru)?”
“Wah, engkau yang kami caci-cari, ketemu sekarang orangnya!”
“Lho, kenapa mencari-cari aku?”
Kian Bu lalu menceritakan tentang ‘keponakannya’ yang terluka hebat oleh pukulan beracun dan menurut keterangan Sin-ciang Yok-kwi, seorang di antara mereka yang kiranya dapat mengobati gadis keponakannya itu adalah keturunan Yok-sian.
“Sayang, sekarang keponakanku itu sudah pergi entah ke mana sehingga biar pun aku berjumpa denganmu juga percuma.”
“Dan pula, aku juga tidak bisa mengobati. Aku hanya ahli mengenal buah, bunga, daun, dan akar obat. Yang mewarisi kepandaian Ayah adalah Enci Siang Hwa. Bu-twako, kalau kau terus-terusan mengganggu ceritaku, tidak akan habis-habis riwayatku.”
“Oh, teruskanlah.”
“Seperti kuceritakan tadi, kami hidup berdua saja. Aku tukang menanam tumbuh-tumbuhan obat, mencari dan memilih bibit-bibitnya dari hutan, dan enci yang menjual hasil tanaman itu ke kota. Pada beberapa hari yang lalu, aku sendirian saja di rumah, Enci sudah dua hari pergi ke kota menjual obat dan belum juga pulang, padahal biasanya tidak pernah bermalam. Lalu datang seorang wanita...”
“Genit pemikat...”
“Kok tahu?”
“Yang kau cari-cari itu tentu, siapa lagi!”
“Benar. Wanita cantik pesolek itu datang dan karena sikapnya manis budi, dan di lereng itu kami tidak mempunyai tetangga dan hari sudah malam, aku tidak keberatan ketika dia menyatakan hendak bermalam. Dia pandai bicara dan ramah sekali, sampai aku lalai dibuatnya dan pada keesokan harinya, Si Cantik Genit itu telah pergi sebelum aku bangun...”
“Wah engkau tentu pemalas dan bangunmu kesiangan!”
“Ngaco! Siapa bilang aku pemalas? Jam lima pagi aku sudah bangun, tidak mau keduluan ayam...”
“Makannya!”
“Ihh, kau menghina, ya? Kalau aku gembul makan, tentu tubuhku menjadi gendut. Nih, lihat, apa aku gendut?”
“Kau ramping! Habis, tidak mau keduluan apa oleh ayam?”
“Mandi.”
“Wah, tentu saja! Habis, ayam tidak pernah mandi, biar kau bangun jam sembilan dan mandi jam sepuluh juga tidak akan keduluan ayam. Sudahlah, lalu bagaimana?”
“Ya sudah habis. Wanita cantik genit memikat itu pergi dan aku kemudian melakukan pengejaran sampai di sini. Tadinya aku mencari di pegunungan itu tidak ketemu, lalu aku pulang menanti Enci kembali dari kota untuk melaporkan hal itu. Akan tetapi sampai lima hari Enci tidak pulang-pulang, aku khawatir Enci mendapatkan halangan biar pun dia pandai ilmu silat dan tidak sembarangan orang mampu mencelakainya. Aku lalu mengajak Pek-liong pergi mencari Enci dan perempuan maling kitab itu.”
“Pek-liong (Naga Putih)...?”
“Itulah dia Pek-liong.” Dara itu menuding ke arah keledai yang masih enak enak makan rumput. Kian Bu menahan gelinya. Keledai kecil itu dinamakan Naga Putih!
“Wah, kasihan sekali engkau, Siang In.”
“Sudah, aku tidak minta kasihanmu, sekarang kau ceritakan riwayatmu.”
“Riwayatku? Aku orang biasa saja...”
“Tidak, engkau luar biasa. Tidak ada pemuda gunung buta huruf yang mengenal sajak Li Shang Yin dan Yen Siang!”
“Habis, menurut penglihatanmu, aku orang apa?”
“Engkau tentu seorang pemuda kota, seorang sastrawan lemah yang terbuai khayal, agak berfilsafat dan engkau perayu wanita tapi tidak kurang ajar dan... sudahlah, kau ceritakan riwayatmu.”
“Riwayatku tidak ada apa-apanya. Namaku Suma Kian Bu dan aku sedang merantau untuk menghibur hati dan melihat keindahan alam. Aku suka akan kesunyian maka aku berada di hutan ini. Eh, sekarang kau hendak ke mana, Adik Siang In yang baik?”
Dara itu lupa bahwa penuturan riwayat Kian Bu itu sama sekali tidak lengkap, karena dia sudah terpikat oleh sikap dan pertanyaan yang ramah itu. “Aku hendak mencari enci-ku dan perempuan genit itu.”
“Ke mana?”
Dara itu mengerutkan alisnya. “Entahlah. Sampai di sini aku kehilangan jejak. Di dusun seberang gurun itu masih ada yang melihat Si Perempuan Genit menuju ke sini, maka aku mengejar. Kiranya bertemu dengan engkau, dan sialnya engkau tidak melihat perempuan itu.”
“Mari kubantu engkau mencari dia dan enci-mu.”
“Ke mana?”
“Ke mana saja, dan karena menurut penyelidikanmu wanita itu lewat ke jurusan ini, kita tentu akan dapat menemukan jejaknya lagi di luar dusun ini, asal kita dapat melewati dusun.”
“Aku pernah mencari daun-daun obat di hutan ini dan di sebelah barat hutan ini terdapat perkampungan.”
“Bagus sekali. Kalau begitu kita mencari ke sana. Hayo kita berangkat!”
Siang In kelihatan girang sekali. Dia mengambil payungnya dari telinga keledai karena biar pun keledai itu makan rumput, payung tadi masih saja tergantung di telinganya, kemudian menuntun keledainya.
“Kenapa tidak kau tunggangi?”
“Ahhh, tidak. Lebih enakan berjalan bersama engkau, Twako. Kalau hanya aku sendiri menunggang keledai dan kau jalan, tidak enak, ah!”
“Ditunggangi berdua pun kasihan, keledai kecil begitu.”
“Ih, jangan memandang rendah kuda keramatku, ya? Mau mencoba kekuatannya? Mari kau meloncat ke punggungnya,” Siang In menantang.
Karena ingin tahu, Kian Bu menurut dan naik ke punggung kuda atau keledai itu.
“Kau maju sedikit, beri tempat untukku!” Siang In berseru.
Kian Bu makin heran, akan tetapi dia menggeser ke depan dan tiba-tiba dia merasa betapa bagian belakang tubuhnya bersentuhan ketat dengan sesuatu yang lunak dan hangat. Tubuh dara itu yang sudah duduk di belakangnya! Dia merasa geli dan bulu tengkuknya berdiri semua sehingga dia tertawa-tawa.
“Apa cekikikan? Lihat betapa kuatnya kuda keramatku Pek-liong agar engkau tidak menghinanya lagi. Pek-liong, terbanglah!” Siang In mengeprak perut keledai itu dengan tumit kakinya.
Dan hampir saja Kian Bu berteriak saking kagetnya ketika tiba-tiba keledai itu meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali! Benar-benar cepat larinya, tidak kalah oleh kuda besar yang mana pun sehingga dia melihat pohon-pohonan berlari-lari di kanan kirinya dan telinganya mendengar desir angin! Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak merasa takut karena ilmunya berlari cepat tidak kalah cepatnya dengan larinya keledai ini, dan sebetulnya dia merasa nikmat dan senang sekali karena punggungnya beradu ketat dengan dada gadis itu ketika keledai berlari, akan tetapi karena dia ingin dianggap sebagai ‘sastrawan lemah’ maka dia sengaja berteriak-teriak ketakutan. Hmm.
Siang In menghentikan keledainya dan tertawa. “Bagaimana? Apakah kau masih berani menghina Pek-liong?” Dia melompat turun dan Kian Bu juga merosot turun. Dilihatnya keledai itu bernapas biasa saja sehingga diam-diam dia menjadi kagum juga.
“Wah, wah, sebentar lagi dia tentu benar-benar terbang. Agaknya kudamu ini memang penjelmaan naga putih, Adik Siang In.”
Gadis itu gembira sekali mendengar pujian ini dan mereka lalu melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bersendau-gurau dan tertawa-tawa, jika dilihat dari jauh seperti sepasang muda-mudi sedang bertamasya saja layaknya. Betapa indah hidup ini bagi orang-orang muda, maka kasihanlah orang-orang muda yang tak mampu menikmati keindahan hidup, bahkan terseret mencari-cari kesenangan hampa yang mengotorkan tubuh dan jiwa!
Dusun itu cukup besar dan ramai, menjadi tempat perhentian mereka yang melakukan perjalanan di perbatasan utara itu. Hari telah senja ketika Kian Bu dan Siang In tiba di dusun ini.
“Perutku lapar...” Siang In berkata sambil menekan perutnya.
“Sama...” Kian Bu menjawab. “Mari kita cari kedai makanan.”
Sambil menuntun Pek-liong, Kian Bu berjalan bersama Siang In memasuki dusun dan mencari-cari. Akhirnya mereka melihat sebuah kedai makanan dan Kian Bu segera mencancang keledai itu di luar kedai, kemudian mereka berdua masuk ke dalam kedai makanan yang penuh dengan orang makan minum itu. Di antara para tamu, Kian Bu mengenal dua orang penunggang kuda yang dilihatnya dari atas pohon di hutan tadi, maka dia lalu mengajak Siang In duduk di meja tak jauh dari mereka. Kian Bu memasang telinga dan mendengar percakapan bisik-bisik dua orang itu.
Ternyata mereka berdua ‘lolos’ dari kejaran mata-mata musuh dan menurut percakapan itu, kiranya mereka menduga adanya banyak mata-mata musuh yang berkeliaran di daerah itu dan yang agaknya menyelidiki keadaan.
“Kita harus cepat lapor kepada pimpinan.” Demikianlah kata Si Cambang Tebal yang segera menghentikan percakapan setelah melihat masuknya beberapa orang tamu lagi dan duduk di dekat mereka.
Tiba-tiba mereka kelihatan terkejut, bergegas bangkit, memanggil pelayan, membayar makanan yang belum habis mereka makan dan mereka berdua dengan sikap tergesa-gesa menyelinap keluar melalui pintu samping. Melihat sikap mereka, Kian Bu menjadi terheran-heran. Dia maklum bahwa pasti dua orang itu melihat sesuatu yang membuat mereka seperti ketakutan, maka otomatis dia lalu menengok ke arah pintu depan.
“Aahhhh...” Dia menahan seruannya dan bengong memandang ke luar.
Melihat sikap Kian Bu dan mendengar seruan kagum ini, Siang In juga cepat menengok dan memandang ke luar. Di luar warung, di seberang jalan, tampaklah seorang wanita yang cantik sekali, berpakaian menyala, rambutnya digelung tinggi ke atas. Wanita itu sedang memandang dan longak-longok mengulur leher, agaknya ada yang sedang dicari-carinya.
“Itu dia...!” Tiba-tiba Siang In menjerit, membuat Kian Bu tersentak kaget. Dengan cepat Siang In meloncat dan lari ke pintu kedai itu.
“Brussss...!”
Tanpa dapat dicegah lagi Siang In bertumbukan dengan seorang laki-laki setengah baya yang secara tiba-tiba masuk pintu kedai itu dan diiringkan oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan tegap. Karena Siang In tidak mengira ada orang masuk pada saat perhatiannya tercurah kepada wanita cantik yang berada di seberang jalan, dan pria itu pun agaknya tidak mengira akan ada orang lari ke luar, maka tumbukan antara mereka tak dapat dihindarkan lagi. Siang In terpelanting dan hampir roboh. Untung laki-laki setengah tua itu dengan gerakan cepat telah menyambar dan memegang lengan Siang In sehingga dara ini tidak sampai terbanting jatuh.
Laki-laki setengah tua itu tersenyum dan bertanya dengan sikap sopan dan suara halus sambil melepaskan pegangannya, “Maafkan saya, Nona. Untunglah tidak sampai jatuh. Apakah ada yang sakit...?”
Siang In membelalakkan matanya dan membentak marah, “Orang kurang ajar dari mana jalan nabrak-nabrak saja?”
Kian Bu sudah tiba di samping gadis itu, memegang lengannya dan berkata, “Sudahlah, engkau sendiri yang kurang hati-hati berlari ke luar. Paman ini tidak bersalah...” Kian Bu setengah menarik tangan Siang In.
Dara ini bersungut-sungut dan setelah mengirim lirikan marah kepada laki-laki setengah tua yang dengan tenang dan sabar tersenyum memandang, Siang In lalu melanjutkan langkahnya keluar dari kedai, pandang matanya mencari. Akan tetapi, wanita cantik tadi sudah tidak kelihatan lagi.
“Sialan! Orang buta tadi yang jadi gara-gara sampai dia hilang lagi!”
“Eh, orang buta mana?”
“Yang menabrak aku tadi, kalau matanya tidak buta, masa nabrak-nabrak?”
Kian Bu tersenyum. Biar pun sedang muring-muring, gadis ini makin cantik saja!
“Sudahlah, aku sendiri juga tidak tahu siapa yang menabrak tadi, dia atau engkau.”
“Dia! Si Buta itu! Aku harus menghajarnya!” Dia kembali memasuki pintu dan hampir saja menabrak seorang pelayan yang membawa baki dan sedang keluar. Untung Kian Bu sudah menarik lengannya, kalau tidak tentu terjadi tabrakan untuk kedua kalinya dan sekali ini berbahaya karena di atas baki terdapat bakmi kuah yang masih panas.
“Eh... Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona), mau ke mana? Ini pesanan kalian tadi... dua bakmi kuah dan...”
“Kau makan saja sendiri!” Siang In membentak dan membalikkan tubuhnya keluar dari kedai itu. Kian Bu melemparkan mata uang ke atas baki.
“Kami tidak jadi makan, ini uangnya,” katanya dan terus menyusul Siang In yang sudah pergi menuntun keledainya sambil cemberut.
“In-moi (Adik In), jangan marah ah...”
“Aku harus mencari dia! Si Tolol buta itu tadi menghalangiku!” Siang In cemberut dan melihat ke sana-sini mencari-cari.
“Dia siapa?”
“Si Genit!”
“Ohh...”
“Si Pemikat! Kau tidak lihat dia tadi?”
Kian Bu mengangguk. Kiranya wanita itukah yang dicari? Memang cantik, cantik sekali, akan tetapi dia belum melihat jelas benar. Agaknya wanita yang sudah matang, tidak seperti dara ini yang masih mentah, atau baru setengah matang, setengah dewasa setengah kanak-kanak, akan tetapi malah amat menarik hati.
Mereka lalu mencari sampai ke setiap sudut dusun itu, akan tetapi sia-sia belaka dan akhirnya Siang In berhenti di tepi jalan yang sunyi, duduk di atas rumput dan kelihatan marah dan kecewa sekali. Kian Bu lalu pergi membeli sepuluh butir kue bakpauw dan mereka makan bakpauw di tepi jalan. Lima butir bakpauw sudah cukup mengenyangkan perut, akan tetapi mencekik tenggorokan!
Karena malam tiba, mereka lalu mencari pondokan dan bermalam di dalam dua buah kamar sederhana di pondok dusun itu, setelah memesan mi-bakso dan minum teh hangat kemudian mandi. Pada keesokan harinya, agaknya Siang In sudah tidak cemberut lagi, akan tetapi pagi-pagi sekali dia sudah menggedor pintu kamar Kian Bu dan mengajak pemuda itu cepat-cepat berangkat melanjutkan perjalanan mencari pencuri kitab itu. Kian Bu gelagapan, terpaksa hanya sempat mencuci muka, kemudian sarapan dan berangkatlah mereka lagi keluar dari dusun itu sambil bertanya-tanya tentang wanita cantik yang rambutnya digelung tinggi.
Akhirnya, jejak yang mereka temukan dan ikuti membawa mereka ke sebuah dusun kecil di tepi sungai yang besar dan yang menjadi tapal batas dengan daerah liar di utara. Di seberang sungai itu sudah merupakan daerah liar yang tidak memperoleh penjagaan dari pasukan-pasukan pemerintah. Karena itu dusun ini cukup ramai karena menjadi tempat penyeberangan para pedagang. Banyak orang-orang suku Nomad dan liar yang menyeberang ke selatan untuk menjual rempah-rempah dan hasil sungai dan laut, sebaliknya para pedagang dari selatan banyak yang mengeduk keuntungan besar dengan membawa dagangan dan menyeberang ke utara, menjual atau menukar dagangan mereka dengan suku-suku asing di luar tapal batas.
Ketika Kian Bu dan Siang In tiba di tepi sungai, suasana di situ sudah sunyi. Waktu penyeberangan yang ramai adalah pagi dan sore, dan siang hari yang panas itu di tempat itu sudah sunyi dan hanya terdapat seorang penjaga perahu kosong yang duduk melenggut ngantuk.
“Dia tentu menyeberang. Kita menyeberang saja,” kata Siang In.
“Bagaimana dengan Pek-liong?”
“Kita tinggal saja.”
“Aih! Ditinggalkan? Sayang dong...!”
“Bu-twako, engkau masih belum mengenal kehebatan Pek-liong. Dia kutinggalkan akan tetapi dia bisa pulang sendiri. Itulah satu di antara kelihaiannya. Kau lihat!” Siang In lalu melepaskan kendali keledai itu, lalu berkata, “Pek-liong, kau pulanglah dan jaga rumah baik-baik! Hayo!”
Dia menepuk pantat kuda keledai itu tiga kali, dan binatang itu meringkik terus berlari congklang pergi dari tempat itu dengan cepat. Kian Bu melongo. Benar-benar hebat binatang itu. Kelihatannya saja seekor keledai bodoh, kiranya seekor binatang yang jinak dan cerdik!
Mereka lalu membangunkan tukang perahu yang mengantuk. Tukang perahu kelihatan ogah-ogahan menyambut mereka. Menyeberangkan dua orang saja tentu merugikan dirinya, karena biasanya perahunya itu menyeberangkan sedikitnya lima belas orang penumpang. Kalau dua orang itu mau membayar lebih...
“Sudahlah jangan khawatir, kami bayar dobel!” kata Kian Bu tak sabar.
Akan tetapi, dibayar dobel pun masih rugi dan dengan malas-malasan tukang perahu itu mendayung perahunya ke tengah. Belum jauh perahu meluncur, terdengar orang-orang berteriak memanggil dan ternyata di tepi sungai itu sudah berdiri lima orang laki-laki yang dikenal oleh Siang In dan Kian Bu sebagai laki-laki gagah yang ditabraknya di kedai bersama empat orang pengikutnya!
Tentu saja tukang perahu menjadi girang dan cepat mendayung kembali perahunya ke pinggir. “Tidak usah kembali, terus saja!” Siang In membentak.
“Aihh, Nona, kasihan mereka dan saya pun ingin penghasilan lebih,” bantah tukang perahu.
“Biarlah, In-moi. Mereka itu kelihatan orang-orang yang baik dan sopan. Masa urusan kecil begitu saja membuat engkau masih marah-marah terus? Kata Nenek, orang marah lekas tua!”
Siang In membanting-banting kaki, akan tetapi tidak berani marah lagi karena tidak mau menjadi lekas tua, hal yang amat dibuat ngeri oleh seluruh wanita di permukaan bumi ini!
Ketika lima orang itu naik ke perahu, laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu segera tersenyum dan menjura. “Aih, kiranya Ji-wi yang telah berada di perahu. Terima kasih atas kerelaan Ji-wi membiarkan perahu kembali lagi untuk membawa kami, dan harap Nona sudi memaafkan peristiwa di kedai tadi.”
Mau tidak mau Siang In pun harus mengakui bahwa pria setengah tua itu benar-benar sopan dan halus budi. Maka dia pun cepat meniru perbuatan Kian Bu untuk membalas penghormatan mereka, dan perahu meluncur terus ke tengah sungai karena layar telah dibentangkan dan angin bertiup keras.
Tiba-tiba tukang perahu kelihatan gugup dan wajahnya menjadi pucat. “Ahh, celaka...,” bisiknya.
Lima orang yang bersikap gagah itu bangkit berdiri, memandang ke arah dua buah perahu kecil yang meluncur cepat mendekati perahu mereka. “Siapa mereka?” tanya pria setengah tua yang usianya kira-kira empat puluh tahun dan berjenggot pendek itu.
“Mereka... mereka... bajak sungai...” tukang perahu berbisik. “Biasanya tidak pernah mengganggu...”
“Jangan takut!” Laki-laki berjenggot pendek berkata tenang, kemudian bersama empat orang temannya dia berdiri di kepala perahu, mencabut golok dan dengan golok terhunus mereka menanti dua buah perahu yang meluncur datang itu. Sikap mereka gagah sehingga Siang In menjadi kagum.
“Kiranya mereka itu pendekar-pendekar kang-ouw...,” bisiknya kepada Kian Bu yang hanya tersenyum saja dan sudah tentu dia pun diam-diam bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Setelah dua buah perahu yang membawa sepuluh orang tinggi besar dan kelihatan bersikap ganas itu mendekat, orang setengah tua yang berjenggot pendek itu berseru dengan suara nyaring dan berwibawa, “Kami bukanlah pedagang yang membawa banyak uang atau barang berharga, harap Cu-wi tidak mengganggu kami!”
Sepuluh orang itu memandang, kemudian dua perahu itu melempar jangkar dan mereka semua lalu terjun ke air dan menyelam! Tentu saja lima orang gagah itu memandang dengan heran, akan tetapi tukang perahu berseru lagi, “Celaka...!”
Sebelum semua penumpang tahu mengapa tukang perahu begitu ketakutan, tiba-tiba perahu itu bergerak dan miring, lalu bergoncang keras. Maka tahulah Kian Bu bahwa sepuluh orang bajak sungai itu menyelam dan dari bawah kini berusaha menggulingkan perahu.
“Ahhh, bagaimana ini, Bu-twako?” Siang In sudah memeluk Kian Bu dengan ketakutan dan menjerit setiap kali perahu miring. Gadis ini memiliki kepandaian silat lumayan dan seorang yang pemberani, akan tetapi karena dia tidak pandai renang, menghadapi air sungai yang bergelombang itu dia ngeri.
Para penumpang sama sekali tidak berdaya dan akhirnya perahu terbalik dan mereka semua terlempar ke air!
“Bu-twako...!” Siang In memeluk Kian Bu erat-erat sehingga membuat pemuda itu makin gelagapan.
Kian Bu yang sejak kecil tinggal di Pulau Es dan dekat dengan lautan, tentu saja pandai berenang akan tetapi dia bukan ahli dan berenang di air laut lebih ringan dari pada berenang di air sungai, maka ketika Siang In yang gelagapan itu saking takutnya memeluknya dengan ganas, Kian Bu juga menjadi repot sekali dan beberapa kali dia terpaksa minum air sungai.
Ternyata bahwa lima orang gagah itu pun tidak pandai berenang sehingga dalam waktu belasan menit saja, semua penumpang termasuk Kian Bu ditawan dalam keadaan pingsan dan dinaikkan ke dalam dua buah perahu kecil, terus dibawa pergi setelah masing-masing kedua tangan mereka dibelenggu. Tukang perahu itu menangis sambil memegangi pinggiran perahunya yang terguling. Dia rugi besar-besaran di hari itu, sungguh pun untung bahwa dia tidak dibunuh para bajak.
Ketika Kian Bu membuka matanya dan siuman, dia telah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang kuat dan dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya. Cepat dia menoleh ke kanan-kiri dan hatinya lega ketika dia melihat Siang In masih rebah di dekatnya, juga tangan dara ini terbelenggu dan biar pun Siang In masih pingsan, namun dara ini tidak mati. Demikian pula dengan lima orang gagah yang juga terbelenggu dan sudah mulai siuman.
Kian Bu menggerakkan kedua tangannya dan dengan jari-jari tangan dia mengurut perlahan tengkuk Siang In. Gadis itu mengeluh lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk, kemudian memandang kedua lengannya yang terbelenggu di depan tubuhnya.
“Aihhh... di mana kita?” Siang In bertanya dan memandang Kian Bu, lalu menoleh kepada lima orang lain yang juga sudah mulai siuman.
“Kita agaknya menjadi tawanan bajak-bajak itu,” kata Kian Bu.
Dia sudah memeriksa tali belenggunya, dan kalau mau, tentu dia dapat mematahkan belenggunya itu biar pun tali itu terbuat dari otot binatang yang amat kuat. Dia melihat lima orang itu mulai merenggut-renggut tangan mereka, namun hasilnya sia-sia. Kian Bu maklum bahwa tidak sembarangan orang akan dapat mematahkan belenggu ini, harus menggunakan sinkang tingkat tinggi. Maka dia pun dapat mengukur bahwa kepandaian lima orang itu, terutama pemimpin mereka yang berjenggot pendek, biar pun mungkin tinggi namun sinkang mereka belumlah begitu kuat.
“Tenang...!” Tiba-tiba Si Jenggot Pendek berkata. “Mereka menawan kita, berarti mereka tidak akan membunuh kita. Menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, apa lagi belenggu ini amat kuat. Kita harus tenang dan menanti keadaan.”
Siang In juga mencoba-coba untuk mematahkan belenggu, tetapi malah kulit lengannya yang menjadi nyeri. “Aih, Twako, bagaimana ini...?” keluhnya.
“Nona, harap jangan khawatir, kami akan melindungimu,” Si Jenggot Pendek berkata menghibur.
Siang In cemberut. “Huh, melindungi bagaimana? Kalian sendiri pun tidak berdaya.”
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke luar dari terali besi di atas pintu, lalu dia memberi isyarat kepada mereka semua untuk ikut melihat. Mereka kini bangkit semua dan memandang ke luar. Kiranya tempat itu merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikurung pagar tembok kuat, tampak dari tempat tahanan yang berada di tengah kampung itu.
Semua penduduk perkampungan itu agaknya sedang bersuka ria, sedang menghadapi suatu pesta yang sedang mereka rayakan. Ada yang membawa kertas-kertas berwarna, pajangan-pajangan dan orang-orang itu hilir-mudik sambil tersenyum-senyum, akan tetapi rata-rata mereka itu mempunyai wajah bengis, dan melihat dari pakaian mereka, baik yang perempuan mau pun yang laki-laki, mereka adalah orang-orang suku Nomad yang berkeliaran di daerah utara, terdiri dari campuran bermacam suku bangsa, akan tetapi sebagian besar adalah keturunan suku bangsa Mongol.
Sepasukan orang terdiri dari dua belas orang bersenjata golok besar datang ke tempat tahanan itu dan pintu besi dibuka dari luar. Kemudian tujuh orang tawanan itu digiring memasuki sebuah rumah besar dan terus ke ruangan samping rumah gedung besar itu. Di dalam sebuah ruangan telah menanti seorang laki-laki tua yang duduk di atas kursi.
Tujuh orang tawanan itu mengira bahwa tentu mereka akan dihadapkan kepada kepala bajak yang kejam dan bengis, dan Kian Bu yang sengaja tidak mematahkan belenggu untuk melihat perkembangan sebelum turun tangan, sudah siap untuk mengambil tindakan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia memandang dan mengenal orang yang duduk di atas kursi itu.
Pernah dia bertemu dengan orang ini di Koan-bun. Orang itu berpakaian sastrawan dan dia tahu bahwa orang itu adalah pengawal lihai dari Raja Tambolon, yaitu Yu Ci Pok yang berpakaian pelajar (siucai) di samping pengawal lain yang berpakaian petani dan bernama Liauw Kui! Akan tetapi perjumpaannya dengan Tambolon dan dua orang pengikutnya itu hanya sepintas saja maka kini Yu Ci Pok Si Siucai Maut itu tidak mengenalnya dan Kian Bu juga hanya menundukkan mukanya.
Memang tidak salah penglihatan Kian Bu, orang itu adalah Yu Ci Pok, pengawal Raja Tambolon, dan tempat itu adalah tempat yang dijadikan sarang oleh Raja Tambolon pada saat itu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Raja Tambolon gagal dalam merebut Koan-bun dan di kota itu pasukannya yang terdiri dari seribu orang malah hancur-lebur dan terbasmi, hampir tidak ada lagi sisanya. Tetapi, berkat kelihaiannya, dia dan dua orang pengawalnya berhasil menyelamatkan diri dan dia lalu lari ke utara.
Biar pun dia telah kehilangan pasukan, namun nama Raja Tambolon telah dikenal oleh para suku Nomad, maka tentu saja kemunculannya disambut dengan penuh penghormatan dan sebentar saja Raja Tambolon sudah dapat mengumpulkan kekuatan dan dia bahkan menjadi raja kecil di daerah perbatasan di seberang sungai dan kekuasaannya meliputi daerah yang cukup luas! Ada pun kedua orang pengawalnya itu kini diangkatnya menjadi menteri-menterinya karena dia sendiri menjadi raja kecil di situ. Para bajak sungai yang beroperasi di sepanjang sungai itu semua ditundukkannya dan menjadi anak buahnya!
Kian Bu melirik ke depan dan melihat bahwa sastrawan itu ditemui oleh dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua orang penunggang kuda yang dilihatnya di hutan itu. Kiranya dua orang itu adalah kaki tangan sastrawan pengawal Tambolon ini, pikirnya. Dia menduga bahwa pengawal Raja Tambolon ini telah berdikari dan menjadi kepala bajak. Tidak heran, karena memang orang itu lihai, pikirnya.
“Mereka berlima itulah!” Terdengar Si Kumis Tebal menerangkan kepada sastrawan itu. “Jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang dari Bhutan!”
Siucai itu memandang penuh perhatian, kemudian membentak kepada lima orang itu. “Benarkah kalian adalah keparat-keparat dari Bhutan?” Kerajaan Bhutan telah menjadi musuh-musuh dari Tambolon dan kaki tangannya.
Orang setengah tua itu mengangkat dadanya dan berkata, suaranya tabah dan nadanya memandang rendah, “Hemm, kiranya di sini pun terdapat kaki tangan Tambolon yang merajalela! Aku tahu bahwa engkau adalah Yu-siucai, pengawal Tambolon. Di manakah rajamu yang liar itu sekarang? Ha-ha-ha, aku mendengar akan kehancurannya di Koan-bun!”
Siucai itu terbelalak, memandang penuh perhatian dan bangkit dari kursinya, mendekati orang setengah tua itu, mengamat-amati, lalu membentak, “Keparat! Kiranya engkau adalah Panglima Jayin dari Bhutan!”
“Matamu masih awas, Yu-siucai!”
Siucai itu kembali duduk dan tertawa gembira, “Ha-ha-ha, siapa kira kita bisa menawan tokoh kedua dari Bhutan! Ahhh, tentu Tai-ong akan gembira sekali melihat mukamu, Jayin!” Dia lalu menoleh kepada dua orang itu. “Lekas kalian laporkan kepada Ong-ya bahwa lima orang tawanan dari Bhutan itu adalah Jayin dan empat orang pembantunya! Akan tetapi hati-hati, jangan ganggu Ong-ya yang sedang bergembira.”
Dua orang itu mengangguk dan pergi, wajah mereka tampak girang sebab mereka telah membuat jasa besar.
Yu-siucai lalu memandang Kian Bu dan Siang In. Gadis ini menundukkan mukanya, pakaiannya masih basah dan menempel ketat di tubuhnya sehingga lekuk-lengkung tubuhnya yang ranum itu nampak nyata.
“Kalian siapa?!” bentaknya.
“Maaf, Taijin (Pembesar)...” Kian Bu menjawab cepat, mendahului Siang In. “Saya bernama Teng Bu dan ini adik saya, Teng Siang In... kami berdua sedang menumpang perahu... tidak ada hubungan kami dengan mereka ini...” Kian Bu memperlihatkan sikap ketakutan, dan diam-diam Siang In melirik kepadanya, agak geli juga mendengar Kian Bu merubah namanya dan mengaku sebagai kakaknya dan membonceng she-nya (nama keturunan).
“Yu-siucai, dua orang ini memang hanya kebetulan saja menumpang perahu. Harap bebaskan mereka yang tidak bersalah apa-apa.”
“Hemm, keputusannya berada di tangan raja kami. Dan untung bahwa kini kami sedang mengadakan pesta pernikahan raja kami, kalau tidak, tentu kalian sudah menerima hukuman langsung.”
Panglima Jayin, tokoh Bhutan itu tertawa. Seperti telah kita kenal, panglima ini adalah murid dari Kakek Lu Kiong, kakek dari Ceng Ceng dan telah menjadi orang terkenal di Bhutan. Dia bersama empat orang pembantunya itu kini sedang bertugas untuk mencari Puteri Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, entah sudah berapa puluh kali aku mendengar Tambolon menikah!”
Siucai itu melompat ke depan, tangannya menampar.
“Plak-plak!”
Bibir Panglima Jayin pecah dan berdarah, namun dia masih berdiri tegak, memandang dengan mata menghina.
“Kalau bukan hari baik raja kami, aku tentu sudah membunuhmu!”
“Pengecut!” Tiba-tiba Siang In memaki dan matanya terbelalak memandang siucai itu. “Laki-laki macam apa engkau ini? Beraninya menghina orang yang terbelenggu. Hih, tak tahu malu! Buang saja pakaian pelajar itu, ganti pakaian penjahat!”
Siucai itu terkejut dan memandang kepada dara itu dengan muka merah, dan Panglima Jayin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Yu-siucai, dengarkan suara seorang dara sederhana yang jauh lebih gagah dari pada engkau. Ha-ha-ha! Terima kasih, Nona. Engkau sungguh patut dikagumi, dan aku akan mati gembira mengenangkan seorang dara yang gagah seperti engkau!”
Siang In tersenyum dan dia tidak takut lagi kini. Pada saat itu, dua orang tadi datang lagi dan berkata, “Pesta sudah dimulai, Yu-taijin diminta menghadiri pesta dan para tawanan diperbolehkan nonton dan ikut bersenang-senang sebelum diambil keputusan hukuman mereka. Demikian pesan Ong-ya.”
Yu-siucai mengangguk. “Hemm, sungguh kalian masih bernasib baik. Raja kami sedang bergembira dan tidak ada nafsu melihat darah musuh-musuhnya. Giring mereka ke sana!”
Kembali dua belas orang pasukan menggiring tujuh orang tawanan itu menuju ke ruangan besar dan luas di mana telah terdengar suara riuh rendah orang berpesta. Kiranya pada waktu itu Raja Tambolon sedang merayakan hari pernikahannya dan pesta besar dirayakan. Ruangan yang luas itu penuh dengan para tamu, akan tetapi tamu-tamu itu terdiri dari orang-orang yang kasar dan liar.
Suasana pesta di situ kacau-balau dan sama sekali tidak teratur dan sebagian sudah mabok. Dan hampir di setiap meja di ‘hias’ dengan perempuan-perempuan cantik yang bermacam-macam sikapnya. Ada yang genit dan agaknya sudah mahir melayani orang-orang besar itu, ada yang kelihatan berduka dan takut-takut, akan tetapi semuanya berpakaian mewah dan berbedak tebal. Mereka ini adalah wanita-wanita rampasan yang telah dijadikan alat hiburan secara paksa oleh Tambolon dan kaki tangannya, dan kini mereka dikerahkan untuk menemani dan menghibur para tamu!
Siang In memandang dengan cemas, dan diam-diam Kian Bu juga muak menyaksikan keadaan di situ. Tanpa aturan sama sekali! Ada yang berkeliaran ke sana-sini, dan ada yang mengadu kekuatan minum sampai ada yang muntah-muntah. Ada pula yang mengadu kekuatan pergelangan tangan, dirubung dan disoraki dengan bising, ada pula yang sedang menggeluti seorang wanita. Tawa dan kekeh terdengar memenuhi udara, bercampur dengan bau keringat dan arak dan mulut busuk! Di sudut kiri terdapat para pemain musik dan para penyanyi yang suaranya sudah mulai serak dan sumbang karena diloloh minuman keras oleh para tamu yang merubung tempat hiburan ini, agaknya mereka yang agak ‘nyeni’ atau yang suka akan seni musik!
Tujuh orang tawanan itu digiring masuk terus ke tempat Tambolon untuk menghadap raja itu. Akan tetapi Tambolon sedang sibuk dan ketika Yu-siucai mendekatinya dan berbisik, raja itu hanya menoleh sebentar ke arah tawanan, kemudian menggeleng kepala dan menyuruh semua menunggu karena dia sedang sibuk menonton adu gulat yang berlangsung di ruangan itu.
Memang adu gulat merupakan tontonan dan olahraga yang amat populer di daerah itu, dan Tambolon sendiri dahulu merupakan seorang ahli gulat nomor satu di daerahnya. Setelah dia belajar ilmu silat tinggi, tentu saja dia memandang rendah ilmu ini, akan tetapi dia masih suka menonton. Ramai sekali pertandingan adu gulat di gelanggang yang disediakan khusus itu dan banyak tamu yang suka akan tontonan ini mengepung tempat itu untuk menonton. Tambolon kini sudah tercurah seluruh perhatiannya kepada pertandingan itu lagi setelah tadi terganggu sebentar.
Kian Bu tetap memegang kedua tangan Siang In sehingga empat tangan mereka yang pergelangannya terbelenggu itu tidak pernah berpisah. Dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tempat itu penuh orang, hampir kesemuanya orang-orang asing dan hanya sedikit saja orang-orang Han yang juga merupakan orang-orang kasar dari golongan hitam. Banyak pula kepala-kepala suku yang mendapat tempat kehormatan akan tetapi juga kini bercampur menjadi satu menonton apa saja yang disukai mereka di dalam pesta awut-awutan itu.
Dari bentuk tubuh mereka yang tegap dan tinggi besar, dengan otot-otot yang membelit-belit seperti tali kuat, dapat dimengerti bahwa mereka itu rata-rata adalah orang-orang kasar, tukang-tukang berkelahi yang kuat dan berani. Kian Bu agak gentar hatinya mengingat bahwa dia harus melindungi Siang In. Dia lalu melirik ke arah lima orang tawanan dari Bhutan itu, dan kebetulan Panglima Jayin memandangnya. Mereka saling tersenyum dan Kian Bu kagum sekali. Panglima ini benar-benar amat gagah berani dan tenang. Dia menarik Siang In, mendekati panglima itu, lalu berbisik,
“Agaknya engkau mencari Syanti Dewi?”
Panglima Jayin terkejut sekali, terbelalak dan mengangguk.
“Dia berada di istana kaisar, di kota raja,” Kian Bu berbisik lagi lalu menjauh karena khawatir kalau didengar orang lain.
Panglima itu mengangguk-angguk dan terlihat girang. Panglima yang setia ini memang merasa girang sekali. Dia sendiri terancam bahaya, akan tetapi hal itu bukan apa-apa baginya dan mendengar bahwa puteri yang dicarinya sudah berada di tempat aman, di istana kaisar, tentu saja dia merasa lega dan girang.
Kini Kian Bu memperhatikan Tambolon. Raja itu kelihatan menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar dan matanya yang terbelalak lebar, mulut besar menyeringai dan kedua tangannya bergerak-gerak mengikuti gerakan kedua orang pegulat yang sedang bertanding. Raja itu kelihatan amat tertarik sehingga tak peduli akan keramaian di sekitarnya.
Di sebelah kirinya duduk pengantin perempuan yang selalu menundukkan mukanya yang tertutup tirai halus, dan kelihatan pengantin ini lesu dan lemas. Di belakang agak ke samping, berdiri seorang yang memakai pakaian perang dan Kian Bu mengenalnya sebagai pengawal Tambolon yang lihai, yaitu Si Petani Maut Liauw Kwi! Dan di sebelah pengantin perempuan, agak jauh dan menyendiri, seperti mengantuk dan malas, duduk seorang nenek tua yang berkulit kehitaman, memakai pakaian sutera hitam yang hanya dilibat-libatkan di seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke kepalanya.
Melihat sepasang mata nenek yang mengantuk itu, sinar mata yang tajam seperti sepasang mata ular, Kian Bu terkejut sekali. Dia dapat mengenal orang berilmu seperti yang pernah didengar dari ayahnya. Melihat sinar mata itu mungkin sekali nenek ini pandai ilmu sihir! Dan dugaannya berdasarkan penuturan ayahnya memang benar. Nenek itu adalah guru dari Tambolon, seorang yang datang dari Pegunungan Himalaya, dari daerah See-thian (India) yang tinggi ilmu silatnya dan mahir ilmu sihir!
Jantung Kian Bu berdebar. Keadaannya sulit dan berbahaya! Dia harus melindungi Siang In, dan terutama sekali dia harus berhati-hati menghadapi Tambolon, Petani Maut, Yu-siucai, dan nenek itu! Di samping itu masih ada ratusan orang liar yang kelihatan kuat-kuat. Baru dua orang pegulat yang sedang berlaga itu saja sudah amat hebat. Tubuh mereka yang telanjang dan hanya memakal cawat, seperti tubuh dua ekor gajah. Otot-otot mereka menggelembung dan mengeluarkan bunyi berkerotan ketika mereka mengadu kekuatan otot, berusaha untuk saling membanting. Benar-benar dia berada di tengah-tengah jagoan-jagoan yang tak boleh dipandang ringan!
Tiba-tiba Kian Bu tersentak kaget. Ada suara orang mendengkur di belakangnya. Di tengah-tengah orang hiruk-pikuk berpesta-pora ini, masih ada yang tidur mendengkur. Gila! Mendengkur? Dia bergidik dan teringat akan sesuatu, cepat menoleh dan... terbelalak dia memandang kepada seorang kakek berambut putih semua yang tidur mendengkur di atas sebuah kursi, tepat di belakangnya!
Tangan kakek itu masih memegang sebuah guci arak yang menetes-netes araknya. Agaknya dia mabok dan tertidur. Akan tetapi Kian Bu ingat benar bahwa di belakangnya tadi tidak ada apa-apa, tidak ada kursinya, apa lagi kakek yang tertidur mendengkur. Hatinya tergetar. Betapa lihainya kakek ini! Dengan hadirnya kakek ini sebagai lawan, makin beratlah keadaannya. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Tempat ini menjadi sarang orang-orang pandai.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dari mereka yang menonton adu gulat, setelah terdengar suara berdebuk keras. Kiranya seorang di antara pegulat itu dapat dibanting keras dan tentu saja kalah dengan tulang punggung remuk! Tambolon agaknya menjagoi sang pemenang, buktinya dia bersorak-sorak dan menjadi girang sekali.
“Si Bolohok menang! Ha-ha-ha, sudah kuduga. Kau lihat, isteriku, jagoanku menang. Hayo minum untuk kegembiraan ini!” Tambolon melihat pengantin wanita menggeleng kepala, akan tetapi dia memaksa, tangan kanan memegang cawan arak, tangan kiri membuka kerudung yang menutupi muka pengantin wanita. Kian Bu melihat wajah seorang wanita yang cantik!
“Enci Siang Hwa...!” Mendadak Siang In yang berdiri di sampingnya menjerit ketika kerudung muka pengantin wanita itu dibuka, dan dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, lari ke arah enci-nya yang juga sudah melihatnya.
“Adikku...!” Pengantin wanita juga menjerit dan menangis.
Jarak antara mereka agak jauh dan semua orang tercengang mendengar jerit dua orang gadis itu dan memandang bengong. Pengantin wanita dengan kerudung terbuka bangkit berdiri mengembangkan kedua tangan, sedangkan dara remaja yang terbelenggu kedua tangannya itu lari terhuyung menghampirinya sambil menangis juga.
Melihat ini, Yu Ci Pok yang semenjak tadi menjaga para tawanan, meloncat untuk menangkap Siang In. Akan tetapi, loncatannya gagal karena dia merasa seperti ada sesuatu yang mengait kakinya sehingga dia terperosok ke depan. Akan tetapi siucai ini memang lihai sekali, dengan berjungkir-balik dia dapat mematahkan bantingan itu dan tubuhnya mencelat ke depan. Dia berhasil menyambar lengan Siang In, akan tetapi karena gerakannya tidak wajar lagi oleh gangguan hebat tadi, tidak urung dia terhuyung dan menabrak meja di depan Tambolon sehingga meja itu terbalik dan arak serta hidangan makan tumpah semua. Tentu saja keadaan menjadi kacau dan geger!
“Siang In...!”
Pengantin wanita itu kini memegang tangan adiknya dan mereka berpelukan, namun Tambolon yang menjadi marah dengan gangguan itu, menarik tangan pengantinnya. Yu Ci Pok yang merasa kaget membikin terbalik meja junjungannya, lalu menyelinap di antara orang banyak untuk mencari orang yang telah menjegal kakinya tadi. Saking marahnya, siucai ini lupa akan para tawanannya.
Kian Bu yang memperhatikan semua itu, kini melihat betapa kakek yang tadi menjegal kaki Yu Ci Pok, kini dengan gerakan cepat menghampiri lima orang Bhutan dan begitu jari-jari tangannya meraba, belenggu-belenggu lima orang itu patah semua. Kakek itu menghampiri dia, mengulur tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua tangan Kian Bu dan... kakek itu terbelalak dan mengeluarkan suara “huhh!” ketika melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda itu menggerakkan kedua tangan dan belenggu itu patah-patah!
“Enci... kenapa engkau menjadi begitu...?”
“Adikku... aku... aku dipaksa...”
“Bocah lancang, kau bosan hidup!” Tambolon menjadi marah sekali dan mengangkat tangan hendak memukul Siang In.
Melihat ini, Kian Bu menjadi merah mata dan mukanya, darahnya naik dan perutnya pun terasa panas. Lengkingan yang tinggi dan nyaring mengejutkan semua orang dan turut menambah kekacauan keadaan, bahkan beberapa di antara orang-orang tinggi besar dan bertubuh kuat itu ada yang terguling dan menutupi telinganya, ada yang menekan dadanya karena suara melengking yang keluar dari mulut Kian Bu itu adalah pengerah khikang sakti dari Pulau Es, suara yang mengandung getaran hebat sehingga dapat memecahkan anak telinga dan melumpuhkan jantung!
Dengan kemarahan meluap, Kian Bu meloncat ke atas, melewati kepala banyak orang dan melesat ke arah Tambolon sambil menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sekuatnya. Tenaga Inti Salju yang amat hebat ini mendatangkan hawa dingin yang amat luar biasa sehingga beberapa orang yang tersentuh hawa ini menggigil kedinginan, sampai gigi mereka berkerutukan seperti orang menderita sakit demam!
Mendengar lengking tadi, Tambolon terkejut dan sudah mengurungkan pukulannya terhadap Siang In. Kini lebih kaget lagi melihat seorang pemuda melayang datang dan menghantam dengan pukulan yang membawa hawa dingin amat dahsyatnya itu.
Dari belakang raja itu, Petani Maut yang mengenal serangan dahsyat, sudah bergerak, meloncat ke depan, tangannya masih memegang sebuah guci arak penuh yang tadi hendak digunakan mengisi cawannya. Guci arak yang penuh itu kini dia pergunakan untuk menyambut hantaman Kian Bu yang dahsyat itu.
“Pyaaaarrrr...!”
Petani Maut terhuyung ke belakang dan menggigil kedinginan. Tambolon juga terbelalak melihat betapa guci itu pecah berkeping-keping dan araknya berhamburan ke mana-mana, sebagian menjadi butiran-butiran es karena beku oleh hawa mukjijat dari Swat-im Sinkang! Menyaksikan kelihaian pemuda ini, Tambolon cepat berteriak kepada para pembantunya untuk mengepung dan mengeroyok. Gegerlah keadaan pesta itu. Kian Bu mengamuk dikeroyok oleh banyak jagoan-jagoan kaki tangan Tambolon.
Panglima Bhutan dan empat orang pembantunya yang telah dibebaskan dari belenggu oleh kakek berambut putih tadi, kini juga mengamuk dan berusaha untuk mencari jalan keluar. Akan tetapi, tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh anak buah Tambolon sehingga seperti juga Kian Bu, mengamuklah Panglima Jayin bersama keempat orang pembantunya. Pertandingan hebat, mati-matian dan kacau terjadilah di tempat itu.
Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran. Para tamu yang sudah mabok ada yang ikut-ikut mengamuk, akan tetapi mereka ini roboh sendiri tanpa diserang karena berdiri pun mereka ini sudah tidak mampu tegak lagi. Ada pula tamu mabok yang enak-enak bernyanyi, ada yang memeluk wanita tanpa mempedulikan segala keributan itu. Pendeknya, tempat itu menjadi kacau-balau sama sekali.
Keributan menjadi makin kacau dan hebat, ketika ada minyak mengalir di bawah bangku dan meja yang berserakan dan tak lama kemudian minyak bakar ini disambar api yang dilepas oleh kakek berambut putih dengan membantingkan sebuah lentera ke atas lantai yang berminyak. Ruangan itu mulai dimakan api yang bernyala besar dan hawa menjadi panas bukan main. Gegerlah semua orang yang sedang bertempur itu. Amukan api yang hebat membuat mereka lupa akan pertempuran, lupa akan lawan karena api merupakan lawan dan bahaya yang lebih hebat lagi. Larilah semua orang berserabutan menuju ke pintu dan berjejal-jejal dalam usaha mereka untuk keluar dari pintu karena api yang menjilat minyak itu berkobar tinggi dan sudah menjilat atap!
Melihat bahaya maut dari api yang mengamuk ini, Tambolon cepat menoleh dan hendak menyambar ke arah pengantinnya. Ketika tangannya bergerak hendak menangkap lengan Teng Siang Hwa yang kini berpelukan dengan adiknya, dalam keadaan takut dan memandang ke arah pertempuran yang bubar oleh amukan api, Siang Hwa cepat mengelak dan gerakannya ini menyeret adiknya sehingga mereka terhuyung dan terpisah.
“Hayo cepat kita pergi dari ruangan ini!” Tambolon berseru dan kembali tangannya menyambar dan sekali ini agaknya Siang Hwa tidak akan dapat mengelak lagi.
“Dukkkk...!” Tambolon terkejut dan terhuyung. Ketika dia memandang, ternyata seorang kakek berambut putih telah berdiri di depannya.
Suara hiruk-pikuk terdengar dan ada bagian atap yang roboh termakan api. Sebatang balok kayu bernyala jatuh menimpa ke dekat mereka. Kakek itu menjadi terhalang dan tak dapat melindungi Siang Hwa. Namun melihat Tambolon yang melompat ke samping menghindarkan diri dari timpaan balok sambil berusaha menubruk pengantinnya, kakek itu menggerakkan tangan kanannya mendorong ke arah Tambolon. Itulah pukulan jarak jauh yang amat dahsyat. Tambolon kembali tertahan gerakannya dan merasa ada hawa menyambar dia kemudian menangkis.
Api makin membesar dan asap membuat mata Tambolon menjadi pedas dan panas. Maka dia lalu menubruk ke depan, tetapi karena dia melakukan ini dengan sebagian perhatian ditujukan kepada Si Kakek, dan matanya juga hampir terpejam karena panas dan pedas, dia salah tubruk dan yang tertangkap dan cepat ditotoknya itu bukannya Siang Hwa melainkan Siang In, adik Si Pengantin Wanita.
Akan tetapi Tambolon agaknya tidak peduli lagi dan cepat dia memanggul tubuh Siang In yang lemas tertotok itu di atas pundak kanannya dan dia meloncat dan lari dari ruangan yang terbakar itu melalui sebuah pintu rahasia.
Api mengamuk makin ganas dan makin banyak bagian atap ruangan itu yang ambruk. Sekarang mulailah penduduk perkampungan bajak atau anak buah Tambolon itu menggunakan air untuk mencoba memadamkan api yang mulai menjilat dan menjalar ke mana-mana. Asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu, menghalangi pandangan dan menyesakkan napas. Kekacauan ini memberi kesempatan baik sekali kepada Kian Bu dan lima orang Bhutan itu untuk melarikan diri karena semua orang lebih memperhatikan amukan api dari pada para tawanan itu.
Bahkan agaknya tidak ada lagi yang peduli akan tawanan-tawanan itu karena semua orang kini sibuk berusaha memadamkan api yang telah membakar habis ruangan pendopo tempat pesta tadi. Dengan suara gemuruh ambruklah ruangan pesta yang luar biasa itu, berikut bangunan-bangunan di dekatnya, terbakar menjadi arang dan abu. Akhirnya api dapat dipadamkan setelah puas menghabiskan tempat itu, dan tawanan telah lolos! Lenyap semua tawanan-tawanan itu dan juga pengantin wanita.
Tambolon marah-marah, mencak-mencak karena sekali ini dia menderita rugi besar. Sebagian bangunan gedungnya musnah, para tawanan lolos dan pengantinnya kabur! Beberapa orang anak buahnya ada yang tewas dimakan api, ada pula yang luka-luka. Setelah dia melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan, dia lalu berlari ke luar dan teringatlah dia akan gurunya, nenek dari India itu. Ke mana perginya gurunya itu? Mengapa tidak kelihatan keluar dari ruangan yang terbakar?
Tambolon keluar dan menenangkan para tamu yang cerai-berai itu, dan berkata, “Harap para tamu jangan pergi dulu, pesta akan dilanjutkan di taman bunga! Kebakaran ini tidak akan menghalangi kita bersenang-senang!”
Para tamu bersorak-sorai gembira dan semua menuju ke taman di mana mulai diatur oleh para anak buah Tambolon, sedangkan Tambolon sendiri bersama dua orang pengawalnya menuju ke puing bekas ruangan tadi untuk mencari nenek yang menjadi gurunya. Nenek itu amat lihai dan sakti, akan tetapi memang sudah agak pikun. Jangan-jangan gurunya itu keenakan melamun sehingga dimakan api, atau bisa jadi juga gurunya itu melakukan pengejaran terhadap para tawanan dengan pembantu mereka yang lihai, yaitu pemuda tampan itu dan Si Kakek berambut putih!
Tambolon dan dua orang pengawalnya menghadapi tumpukan abu dan kayu-kayu yang menjadi arang, yang berupa puing menggunung. Tiba-tiba terdengar suara terkekeh kekeh dan tumpukan debu arang dan kayu itu berhamburan dan muncullah Si Nenek guru Tambolon itu sambil tertawa-tawa dan dalam keadaan segar bugar, hanya kotor penuh debu.
Tidak ada luka, tidak ada yang terbakar pada tubuh nenek itu, dan sedikit pun tidak kelihatan dia kepanasan ketika dia melangkah dan menginjak sisa-sisa api yang masih membara itu dengan enaknya. Para anak buah Tambolon yang sejak nenek itu datang memandang rendah nenek tua renta itu dan hanya menghormatinya karena Tambolon mengakui sebagai gurunya, kini terbelalak memandang kagum dan ngeri. Nenek ini seperti bukan manusia biasa tampaknya!
Tambolon cepat menyongsongnya dan bertanya, “Subo (Ibu Guru) tidak apa-apa?”
Nenek itu tertawa, hanya mulutnya saja yang terbuka dan memperlihatkan lubang yang dalam dan tanpa ada giginya, hanya nampak gelap saja, tidak ada terdengar suara ketawa, “Aku sedang melamun, tahu-tahu atap runtuh dan aku tertimpa. Mana dia si bocah tua bangka itu?” Matanya yang kecil penuh keriput di seputarnya itu memandang ke kanan kiri, mencari-cari. “Mana bocah gila itu? Dia selalu mengikuti dan mengganggu aku!”
“Siapakah yang Subo cari?” Tambolon bertanya.
“Siapa lagi kalau bukan See-thian Hoat-su? Aku tahu betul bahwa tadi dia datang dan kau kira siapa yang menimbulkan kebakaran kalau bukan dia? Sayang aku tadi sedang melamun, kalau tidak sudah kutangkap dia!”
Tambolon terkejut mendengar nama See-thian Hoat-su itu. Dia belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi dia tahu bahwa See-thian Hoat-su adalah bekas suami gurunya ini. Menurut cerita yang pernah didengarnya, gurunya itu dahulu mempunyai seorang suami, seorang bangsa Han yang di waktu mudanya merantau ke India dan berguru kepada ayah nenek itu untuk belajar ilmu sihir. Nenek itu pun masih muda dan mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri. Akan tetapi makin tua makin tidak cocoklah mereka dan sering kali mereka bercekcok sampai bertanding ilmu.
Dalam hal ilmu silat, Si Suami lebih pandai, akan tetapi menghadapi ilmu sihir isterinya yang lebih lihai dari padanya, See-thian Hoat-su (Ahli Sihir dari Dunia Barat) ini merasa tobat sehingga akhirnya dia meninggalkan isterinya, kembali ke pedalaman. Nenek itu sendiri setelah amat terkenal dan disebut Durganini, seolah-olah dia adalah titisan atau penjelmaan Dewi Durga, isteri dari maha dewa yang menjadi kepala dari bangsa iblis! Tambolon berguru kepada Durganini setelah nenek itu berpisah dari suaminya.
Tambolon teringat akan kakek rambut putih yang dilihatnya muncul tiba-tiba di waktu keadaan kacau-balau tadi. “Ah, kakek rambut putih itukah See-thian Hoat-su?”
“Kalau dia muncul lagi, cepat beritahu agar dapat kucengkeram tengkuknya!” Nenek itu berkata sambil berjalan ke kamarnya dan meneriaki pelayan agar datang membawa air, memandikannya dan mengganti pakaiannya.
Pesta itu tetap dilanjutkan juga pada malam harinya. Para tamu dijamu lagi di ruangan belakang, tidak kalah meriahnya dengan sebelum terjadi keributan, dan kini pengantin wanita telah digantikan tempatnya oleh Siang In! Dara remaja ini tidak berdaya karena ditotok dan dipaksa duduk bersanding dengan Tambolon di dalam ruangan itu! Pesta berlangsung dengan penuh kegembiraan dan gila-gilaan.
Senja telah lewat, malam mulai tiba dan Kian Bu langsung menuju ke kamarnya, hampir tidak melihat dan tidak menjawab penghormatan para pengawal yang berjaga di depan istana enci-nya itu. Ketika memasuki kamarnya, langsung saja dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan, telentang dan menatap langit-langit kamar.
“Bu-te, bagaimana...?” Kian Lee mendekat, duduk di tepi pembaringan dan memandang wajah adiknya yang pucat dan tidak bersemangat itu.
Kian Bu tadi juga tidak melihat bahwa kakaknya termenung di dalam kamar itu, kini melihat kakaknya mendekatinya, dia bangkit dan mereka berdua duduk di tepi ranjang.
“Lee-ko... aku menyesal sekali tentang... Lu Ceng...” Kian Bu berkata dengan suara halus penuh iba.
Kian Lee menggeleng kepala. “Jangan kau pedulikan aku, Bu-te. Bagaimana dengan engkau? Sudahkah kau...”
“Sudah, dan dia... dia ternyata tidak cinta kepadaku, Lee-ko...”
“Ahhh...?” Kian Lee hampir tidak percaya dan dia menatap wajah adiknya penuh selidik.
“Dia sudah mencinta orang lain...”
“Hemmm...?”
“Dia mencinta Gak-suheng.”
“Hehhh...?!” Kian Lee mengeluarkan seruan heran dan kaget sambil meloncat turun. “Gak-suheng?”
Melihat wajah kakaknya seperti orang yang penasaran dan marah, Kian Bu cepat menjelaskan. “Dia telah berterus terang bahwa dia mencinta Gak-suheng, akan tetapi Gak-suheng tidak mencintanya sehingga dia merubah cintanya sebagai cinta anak terhadap ayah, atau murid terhadap guru...”
“Aahhhh... sungguh aneh, dan Gak-suheng baru saja pergi tanpa pamit.”
“Pergi ke mana? Mengapa tanpa pamit?”
“Entah, Enci Milana yang memberi tahu dan kulihat mata Enci Milana merah bekas tangis, mukanya pucat dan sinar matanya layu, mengandung kedukaan besar. Entah mengapa aku tidak tahu.”
“Hemm, mengapa tiba-tiba timbul peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan di antara kita bersaudara ini?” Kian Bu menunduk dan tertekan batinnya.
“Engkau tidak mengajak dia pergi dari istana untuk menghindarkan pernikahan itu?” Kian Lee bertanya.
“Dia tidak mau karena katanya aku melakukan itu karena cinta. Dia tak dapat membalas cintaku dan dia hanya minta agar aku menyampaikan permohonannya kepada Enci Milana supaya ditolong.”
Kian Lee merangkul adiknya. “Aih, adikku... mengapa kita semua gagal dalam bercinta? Mengapa kita harus menghadapi kekecewaan ini?”
“Lee-ko...”
Kakak beradik itu saling peluk dan memejamkan mata, karena pantang bagi kedua orang pemuda gagah perkasa ini untuk mencucurkan air mata kedukaan.
“Bu-te, kuatkan hatimu. Dan kau sampaikan nanti kepada Enci Milana bahwa aku pun terpaksa harus pergi lebih dulu, sekarang juga.”
Kian Bu memandang muka kakaknya yang muran dan tidak ada sinarnya itu. “Lee-ko... kau... kau tenggelam dalam kedukaan!”
“Tidak lagi, Bu-te, aku harus... dan kau juga, harus dapat mengatasi ini semua, jangan biarkan diri kita tenggelam oleh kegagalan cinta. Aku akan pergi mencari Hek-tiauw Lo-mo, harus kubalas jahanam itu yang telah memukul... Ceng Ceng dengan pukulan beracun sehingga mengancam keselamatan nyawanya.”
“Lee-ko, aku ikut...”
“Jangan Bu-te. Sebaiknya kita berpisah dulu. Kita masing-masing perlu waktu untuk mengembalikan ketenangan batin... dalam keadaan begini aku lebih suka menyendiri dulu, Bu-te. Sebetulnya sudah tadi aku hendak pergi, akan tetapi aku menanti kau kembali. Lihat, pakaianku pun sudah kusiapkan.” Kian Lee lalu mengambil buntalan pakaiannya dan setelah menepuk-nepuk pundak adiknya dengan mata merah karena menahan turunnya air mata, dia lalu pergi meninggalkan istana itu dengan cepat.
Kian Bu duduk termenung, merasa kasihan sekali kepada kakaknya dan aneh, begitu dia merasa kasihan kepada kakaknya, penderitaannya sendiri terlupa dan dadanya terasa ringan! Dia tidak tahu bahwa duka timbulnya dari pikiran, dari ingatan yang membayang-bayangkan segala kekecewaan dan segala macam hal yang terjadi dan yang tidak menyenangkan dirinya. Begitu ingatan ini tidak ada, begitu pikiran beralih ke lain hal, maka dengan sendirinya duka pun lenyap dan baru akan muncul lagi kalau ingatan kembali ditujukan kepada hal-hal yang mengecewakan atau tak menyenangkan tadi.
Jelaslah bahwa Si Pembuat Duka adalah pikiran kita sendiri. Segala peristiwa yang terjadi adalah suatu fakta yang wajar, tidak membawa duka mau pun suka, dan suka atau duka adalah hasil permainan pikiran kita sendiri. Maka, bebas dari pikiran berarti bebas pula dari duka! Bebas dari ingatan berarti bebas dari masa lalu, tidak mengingat ingat lagi hal-hal yang telah lalu atau telah terjadi, baik hal itu menguntungkan atau merugikan diri pribadi.
Kian Bu teringat akan suheng-nya yang katanya pergi tanpa pamit, dan akan enci-nya yang menurut kakaknya tadi seperti orang yang berduka, maka dia lalu bangkit dan keluar dari kamarnya, menuju ke kamar enci-nya. Pintu kamar itu tertutup dan dia mengetuknya.
“Siapa di luar?” terdengar suara Milana setelah agak lama Kian Bu mengetuk pintu kamar itu.
“Aku, Enci Milana.”
“Oh, Bu-te. Kau masuklah!”
Kian Bu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Dia melihat enci-nya sedang rebah di atas pembaringan dan di bawah sinar penerangan, dia melihat wajah enci-nya pucat seperti orang sakit.
“Enci Milana, kau kenapakah? Sakitkah?” Kian Bu menghampiri dan duduk di atas bangku dekat ranjang.
Milana bangkit duduk dan menggeleng kepala lemah. “Tidak, Bu-te. Engkau sudah kembali? Bagaimana dengan Syanti Dewi?”
Kian Bu menunduk. Tak disangkanya bahwa enci-nya juga agaknya sudah tahu bahwa dia tadi pergi mengunjungi Syanti Dewi, dan memang Milana mendengar akan hal ini dari Kian Lee.
“Dia... dia menyampaikan pesan untuk mohon pertolongan darimu, Enci, agar dia dapat keluar dari istana karena dia tidak suka akan keputusan pernikahannya itu.”
Milana memandang tajam dan tentu saja dia melihat wajah muram adiknya itu. Sampai lama mereka berdua diam saja, Milana memandang penuh selidik sedangkan Kian Bu lebih banyak menunduk.
“Bu-te, engkau... cinta kepada Syanti Dewi?”
Kian Bu makin menunduk, dia merasa malu dan juga sedih. Akhirnya dia mengangguk dan berkata, “Akan tetapi dia... dia tidak cinta padaku... dia mencinta orang lain...”
Milana diam-diam menarik napas panjang, maklumlah dia siapa yang dicinta oleh Puteri Bhutan itu. “Tenangkan hatimu, adikku. Kiraku sebaiknya begitulah, lebih baik mencinta namun tidak terbalas dan dengan demikian menginsyafkan kita, bahwa cinta kita salah alamat, dari pada saling mencinta akan tetapi tidak dapat berjodoh. Saling mencinta akan tetapi harus saling berpisah. Engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki kegagahan. Ditolak cintamu oleh seorang gadis tidak perlu menurunkan semangat dan merendahkan diri, bahkan kau harus berterima kasih dan bersyukur bahwa Syanti Dewi bersikap jujur kepadamu.”
Kian Bu mengangguk-angguk. Sedikit nasehat itu dirasakannya tepat sekali dan sudah merupakan obat yang manjur baginya.
“Enci Milana, aku mendengar dari Lee-ko bahwa Gak-suheng sudah pergi. Ke manakah dia dan mengapa tidak memberitahukan Lee-ko dan aku?”
“Entahlah... dia sudah pergi. Kau tahu orang aneh seperti dia...!”
Milana tidak mau banyak bicara tentang Bun Beng, juga memang dia tidak sanggup bicara banyak tentang pria itu karena hal ini hanya akan menusuk perasaannya saja.
“Enci, Lee-ko juga sudah pergi, dia minta agar aku memberitahukan kepadamu.”
“Ehhh?!” Milana terkejut. “Mengapa anak itu? Ke mana dia pergi?”
“Enci, agaknya kau tidak tahu. Sebetulnya... Lee-ko juga mengalami patah hati.”
“Heiii? Patah hati bagaimana?”
“Dia sesungguhnya amat mencintai Ceng Ceng, kemudian terdapat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakannya sendiri.”
“Aihhh...!” Milana terbelalak, diam-diam perasaannya makin tertusuk. Mengapa begini kebetulan? Mereka bertiga, anak-anak dari Pendekar Super Sakti, dalam waktu yang bersamaan semua menderita patah hati karena cinta gagal?
“Dia bilang hendak mencari Hek-tiauw Lo-mo yang telah melukai Ceng Ceng, hendak membalas dendam kepada kakek Pulau Neraka itu. Karena semua sudah pergi, aku pun akan pergi sekarang juga, Enci.”
“Eh, anak nakal! Engkau pula? Hendak ke mana kau?”
“Aku hendak menghibur hati dan pergi malam ini juga... mungkin aku terus kembali ke Pulau Es... atau ke mana saja, pokoknya jauh dari sini...”
Milana menarik napas panjang. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh adiknya ini yang setelah kekecewaannya dalam kegagalan cintanya kini ingin secepat mungkin pergi sejauh mungkin meninggalkan wanita yang menjadi sebab kepatahan hatinya itu.
“Kenapa tidak besok saja, Adikku...?”
“Tidak, Enci Milana. Sekarang juga aku pergi, dan harap sampaikan maafku kepada Ci-hu (kakak ipar)... selamat tinggal, Enci.” Dia kemudian berlari ke luar untuk mengambil pakaiannya dan malam itu juga dia pergi meninggalkan istana enci-nya.
Milana mengerutkan alis, termenung dan membayangkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya, mengikuti bayangan Gak Bun Beng yang pergi dalam keadaan patah hati dan semangatnya, dan bayangan Kian Lee dan Kian Bu yang juga mengalami kegagalan dalam cintanya. Tak terasa lagi, puteri yang cantik jelita dan gagah perkasa ini meruntuhkan air mata, terisak-isak menangis di atas pembaringannya.
Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, tiga orang laki-laki gagah perkasa itu semua patah hati dan menderita sengsara karena wanita. Betapa banyaknya peristiwa seperti itu terjadi di dunia ini, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang.
Sejak jaman dahulu, banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa laki-laki yang gagah perkasa, satria-satria dan pahlawan-pahlawan, pendekar-pendekar sakti yang sukar menemukan tandingan, akhirnya roboh oleh wanita! Banyak pula dalam sejarah tercatat betapa kaisar-kaisar, raja-raja besar, panglima-panglima dan pemimpin-pemimpin gemblengan, seorang demi seorang roboh tak berdaya di bawah telapak kaki halus seorang wanita. Bahkan di dalam dongeng-dongeng kuno dari bahasa apa pun, tentu terdapat peristiwa di mana para dewata yang memiliki kesaktian dan kekuatan, dapat pula roboh karena wanita. Siapa pula yang tidak mengenal cerita tentang manusia pertama, Adam yang juga runtuh karena bujuk rayu Hawa, seorang wanita pula?
Tetapi, benarkah demikian? Benarkah itu bahwa mereka, para pria yang jatuh itu, raja yang kehilangan tahtanya, pahlawan-pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya, pendekar-pendekar yang kehilangan kegagahannya, semua jatuh karena kesalahan wanita? Wanitakah yang bersalah sehingga kaum pria runtuh oleh kelembutan mereka?
Tidak! Kiranya tidaklah tepat kalau kita berpendapat demikian. Wanita pun banyak yang menjadi korban karena hubungannya dengan pria. Hampir semua wanita yang terperosok ke dalam lembah kehinaan, yang umumnya dinamakan pelacur, tentu akan dapat menceritakan riwayat masing-masing yang hampir semua adalah akibat dari perbuatan pria, atau menjadi korban hubungan mereka dengan pria. Juga dalam hal mereka ini, tidak dapat dipersalahkan kepada kaum pria.
Bukan wanita atau pria yang bersalah dengan terjadinya semua kegagalan hidup itu. Yang bersalah adalah yang disebut cinta antara pria dan wanita, yang sesungguhnya bukankah cinta sejati, melainkan cinta yang diciptakan oleh nafsu belaka. Cinta nafsu tentu saja menimbulkan bermacam peristiwa, yang menimbulkan kenikmatan dan kesenangan hebat, namun di lain saat bisa mendatangkan derita dan kedukaan yang hebat pula. Karena cinta nafsu adalah penonjolan dari diri pribadi dalam bentuk yang paling nyata, dan selama diri pribadi ditonjolkan, sudah pasti yang ada hanyalah suka dan duka, nikmat dan derita!
Tiada yang senikmat cinta sorgaloka turun ke dunia
membuai dan membius manusia!
Tiada yang selucu cinta
manusia menjadi badut-badut dibuatnya
segala kepalsuan dilakukannya!
Tiada yang secelaka cinta
mendatangkan derita tiada taranya
dunia berubah menjadi neraka!
Akan tetapi...,
tiada yang seindah cinta sejati
dalam tawa remaja puteri
Dalam sinar matahari pagi
yang terkandung dalam tangis bayi
dalam lautan danau dan sungai
dalam semua isi langit dan bumi
dalam segala yang hidup dan mati
Cinta mulia dan suci
tetap ADA dan kekal abadi
apa bila AKU TIADA lagi.....
********************
“Apa kau bilang...?” Puteri Milana meloncat dengan kaget sekali mendengar laporan dari seorang pengawalnya dengan muka pucat bahwa suaminya, Han Wi Kong, sedang membuat huru-hara di istana Pangeran Liong Bin Ong dan kini sedang dikeroyok oleh para pengawal pangeran itu.
“Hamba... hamba dengar... Pangeran Liong Bin Ong telah dibunuhnya...”
Milana menahan jeritnya. Sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari depan pengawal yang melaporkan peristiwa hebat itu. Bagaikan bayangan siluman saja saking cepatnya, Milana berlari ke istana Pangeran Liong Bin Ong dan ketika dia melayang naik ke atas genteng istana itu, dia sudah mendengar suara ribut-ribut di bagian belakang istana. Cepat dia melayang turun.
Dua orang pengawal berteriak dan menghadang, tetapi dua kali tangannya bergerak, dua orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri seperti disambar petir. Milana terus lari ke dalam dan ketika dia tiba di tempat yang luas di ruangan belakang menuju ke pintu taman, dia terkejut bukan main. Pangeran Liong Bin Ong telah menggeletak di atas lantai dengan dada tertusuk pedang yang dia kenal sebagai pedang suaminya!
Pangeran tua itu mati dan melihat meja yang penuh hidangan, agaknya tadi pangeran itu sedang menjamu tamu yang agaknya suaminya itulah! Dan tak jauh dari situ dia melihat suaminya dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pengawal, dan di antaranya terdapat seorang kakek yang tidak berbaju. Kakek ini memegang sebatang gendewa besar dan kelihatan lihai sekali sungguh pun melihat pakaian dan sikapnya dia itu sepantasnyalah seorang pekerja di dapur atau tukang kebun di taman!
Han Wi Kong sudah luka-luka dan dengan gagah berani panglima ini membela diri dengan tangan kosong. Ketika dia melihat isterinya muncul di situ, dia terkejut sekali.
“Milana..., pergilah kau...!”
“Desss...!” Sebatang toya menghantam pundak panglima itu ketika dia menoleh kepada isterinya. Han Wi Kong terhuyung, kemudian dia meloncat ke arah Milana.
“Cepat... pergi dari sini... tiada jalan lain, aku membunuh pemberontak itu...”
“Wirrr-wirrr-wirrr...!”
“Awas panah...!” Milana menjerit kaget.
“Cep-cep-ceppp...! Aughhhh...!”
Tiga batang anak panah yang dilepas oleh kakek telanjang baju dari jarak dekat dengan gendewanya yang besar itu sudah menancap di lengan serta punggung Han Wi Kong. Panglima itu mengeluh, terbelalak karena dua batang anak panah yang menancap di punggung menancap dalam sekali, sedangkan lengannya tertembus sebatang anak panah.
“Milana... maafkan aku... lekas pergi... surat di atas mejaku... kau berikan dia...” Setelah berkata demikian, Han Wi Kong roboh terguling dan tewas di saat itu juga karena dua batang anak panah yang menancap di punggungnya itu menembus jantung.
“Aiiihhhh...!” Milana terbelalak memandang mayat suaminya sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan kanan. Kemudian dia mengangkat muka, memandang kakek telanjang itu dan para pengawal yang sudah maju menghampiri dan mengurungnya, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api, cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang nyaring dan menggetarkan semua pengawal, suara lengking mengerikan yang keluar dari mulut kecil Puteri Milana, dan tampak bayangan merah dari jubahnya yang lebar berkelebat ke depan. Para pengawal terkejut dan mengangkat senjata, namun terdengar suara keras dan empat orang di antara mereka terpental, terbentur pada dinding dan tewas seketika dengan kepala pecah!
Para pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dipelihara oleh Liong Bin Ong untuk mengawal dirinya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan pemberontak itu, maka biar pun mereka tahu akan kelihaian Puteri Milana, mereka menganggap puteri ini sebagai musuh majikannya. Bahkan laki-laki memegang gendewa itu adalah seorang tokoh hitam yang bekerja di situ menyamar sebagai tukang masak, padahal dia pun merupakan seorang pengawal dalam yang dipercaya dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Tadi sore Han Wi Kong datang secara baik-baik, resminya adalah untuk mengucapkan berduka cita atas kematian Pangeran Liong Khi Ong. Akan tetapi Liong Bin Ong yang cerdik itu menyambut ucapan duka cita itu dengan tertawa.
“Dia mati karena ulahnya sendiri. Siapa suruh dia memberontak terhadap pemerintah yang sah?” kata Liong Bin Ong. “Sudah sering aku memberi nasehat, akan tetapi tidak diturutnya. Sekarang dia tewas, itulah hukumannya, dan kita tidak perlu berduka cita!”
Untuk memperlihatkan bahwa dia ‘tidak ada hubungan’ dengan adiknya yang sudah memberontak itu, Liong Bin Ong memperlihatkan kegembiraan, bahkan dia kemudian menjamu makan kepada suami Puteri Milana yang diam-diam merupakan musuh besar dan lawan tangguhnya itu. Milana masih terhitung keponakan pangeran ini, maka Han Wi Kong juga masih merupakan keluarga dekat, yaitu mantu keponakan.
Mereka makan minum di ruangan belakang dan dijaga oleh dua belas orang pengawal kepercayaan Pangeran Liong Bi Ong. Akan tetapi, tanpa tersangka-sangka sama sekali, ketika tuan rumah dan tamu itu sudah minum sampai setengah mabok, tiba-tiba saja Han Wi Kong mencabut pedang dan menusuk pangeran tua itu dari depan, tepat mengenai dadanya sehingga Pangeran Liong Bin Ong roboh dan tewas seketika. Tentu saja peristiwa yang tidak tersangka-sangka ini tidak dapat dicegah oleh para pengawal yang lalu menjadi marah dan mengepung serta menyerang Han Wi Kong. Keributan ini terdengar dari luar sehingga sampai juga ke istana Puteri Milana sehingga seorang pengawal cepat melaporkan kepada puteri itu.
Kini Milana mengamuk. Kedukaan dan kemarahan bercampur menjadi satu membuat puteri ini menjadi luar biasa berbahayanya. Gelang di tangan kirinya yang terbuat dari emas itu telah berlepotan darah dan dalam waktu singkat saja, delapan orang pengawal telah roboh oleh wanita sakti ini. Kini tinggal empat orang pengawal bersama kakek telanjang baju yang masih melawannya, tetapi biar pun kakek itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan gendewa sebagai senjatanya itu amat kuat, namun sudah dua kali dia terhuyung kena diserempet hawa pukulan dari tangan lembut Puteri Milana.
“Serr-serr-serrr...!” Tiga batang anak panah meluncur, dilepas oleh kakek itu dari jarak dekat.
“Bedebah...!” Milana memaki karena panah-panah ini mengingatkan dia akan kematian suaminya. Cepat tangannya menyambar dan tiga batang anak panah itu telah dapat disambarnya di udara, kemudian dia memekik dan tiga batang anak panah itu balik dilontarkan dengan kecepatan kilat ke arah kakek itu.
Kakek itu terkejut sekali melihat betapa wanita itu dapat menangkap tiga batang anak panahnya dan kekagetannya inilah yang mencelakakan dia karena ketika dia melihat berkelebatnya tiga sinar kilat menyambarnya, dia kurang cepat mengelak sehingga sebatang di antara tiga anak panah itu menyambar tenggorokannya.
“Arrgghhhh...!” Kakek itu mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, kemudian dia menubruk dengan nekat, menggunakan gendewanya untuk melakukan serangan terakhir.
Namun, Milana sudah meloncat ke samping, kakinya menendang dan tubuh kakek itu roboh terjengkang, tewas seketika. Empat orang pengawal menjadi jeri, dan hendak lari, namun tahu-tahu ada bayangan berkelebat melewati mereka dan ketika mereka memandang, Puteri Milana sudah berdiri di depan mereka!
“Tidak ada yang kubiarkan hidup!” Milana membentak.
Begitu dia bergerak, kaki tangannya telah menyerang dan berturut-turut robohlah empat orang pengawal itu. Baru puas rasa hati Milana dan dia cepat meloncat ke dekat mayat suaminya, mencabuti tiga batang anak panah itu kemudian memanggul mayat itu dan meloncat pergi, terus melarikan diri ke dalam istananya sendiri.
Dia merebahkan mayat suaminya di atas pembaringan, teringat akan pesan suaminya dia menoleh ke atas meja. Benar saja, di situ terdapat dua buah sampul surat kuning yang ketika dibacanya, yang sebuah dialamatkan kepadanya dan yang sebuah lagi dialamatkan kepada Gak Bun Beng! Dengan jari-jari tangan gemetar Milana membuka sampul surat untuknya, membaca dengan muka pucat dan perlahan-lahan air matanya yang tadi tertahan oleh kemarahan mulai menetes-netes ke atas surat yang dibacanya, melunturkan tintanya.
Milana isteriku tercinta, Hanya ada satu jalan bagi kita semua, juga bagi keselamatan negara, yaitu aku harus membunuh Liong Bin Ong. Percayalah, aku bukan melakukan bunuh diri dengan membuta, melainkan sudah kupertimbangkan masak-masak, demi keselamatan negara dan terutama sekali demi kebahagiaan hidupmu. Kau bawalah suratku dan berikan kepada Gak Bun Beng, dia patut menerima cinta kasihmu.
Selamat tinggal.
Suamimu, juga sahabatmu,
Han Wi Kong
“Ahhhhhh...!” Milana menubruk ke pembaringan dan berlutut sambil menangis di depan mayat suaminya.
Dia maklum, dia pun mengerti mengapa suaminya melakukan perbuatan ini. Suaminya sudah tahu bahwa dalam membunuh Pangeran Liong Bin Ong, dia pasti akan tewas. Dan memang harus diakui bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan negara dari bahaya ancaman pangeran yang palsu hatinya itu, hanya dengan cara membunuhnya, karena Kaisar terlampau sayang dan terlampau percaya kepada saudaranya itu.
Dan Han Wi Kong telah sengaja melakukan itu untuk memberi kesempatan kepada dia dan Gak Bun Beng!
“Han Wi Kong, harap kau sudi mengampunkan aku. Di dunia ini aku tidak bisa menjadi isterimu, biarlah di dalam kehidupan lain kelak aku akan suka menjadi apa saja untuk melayanimu.”
Tiba-tiba para pengawal berlari masuk dan dengan terengah-engah melaporkan bahwa Perdana Menteri Su sendiri dengan para petugas keamanan istana telah datang, dan pasukan itu mendapat perintah, untuk menangkap Puteri Milana!
“Jangan melawan!” kata Milana.
Cepat dia menyimpan dua buah surat itu ke saku bajunya, kemudian dia menggunakan pit untuk membuat corat-coret di atas tembok kamar suaminya karena dia sudah tidak mempunyai waktu untuk menulis surat dengan baik-baik. Kemudian, secepatnya dia mengumpulkan beberapa perhiasan dan pakaian, membuntalnya dengan kain kuning, menyambar pedangnya dan mengikatkan pedang dan buntalan di pundak, kemudian dia meloncat melalui jendela kemar itu ketika mendengar derap kaki banyak orang mendatangi ke arah kamar itu.
Ketika Perdana Menteri Su dan para pasukan memasuki kamar, pembesar ini hanya melihat mayat Han Wi Kong dan coretan-coretan di atas tembok yang berbunyi:
Milana akan berterima kasih sekali kepada Perdana Menteri Su jika sudi mengurus jenazah Han Wi Kong dengan sepatutnya.
Tertanda :
Puteri Milana
Perdana Menteri Su menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Biar pun dia tadi terkejut sekali mendengar akan peristiwa pembunuhan Pangeran Liong Bin Ong, namun dia mengerti mengapa Han Wi Kong melakukan perbuatan nekat itu dan diam-diam dia bersyukur karena dibunuhnya Pangeran Liong Bin Ong itu terbebaslah negara dari ancaman bahaya besar.
Maka dia lalu menghampiri jenazah Han Wi Kong dan tanpa ragu-ragu lagi pembesar tinggi yang sudah tua ini menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sebagai penghormatan dan mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada Han Wi Kong yang disebutnya sebagai seorang pahlawan bangsa! Mudah saja dia akan membujuk Kaisar dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah pertikaian pribadi antara keluarga Milana dan Liong Bin Ong, sehingga dengan demikian Han Wi Kong tidak akan dianggap sebagai seorang musuh negara.
“Hei, mengapa kalian bengong saja?” Setelah dia berdiri lagi dia membentak pasukan yang dipimpin oleh seorang panglima itu. “Hayo lekas cari dan tangkap Puteri Milana!”
Pasukan itu kemudian lari cerai-berai. Hanya lagaknya saja Perdana Menteri Su berkata demikian, akan tetapi diam-diam dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara pasukan itu yang akan berani menyentuh ujung jubah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati.
Maka lenyaplah Puteri Milana dan berbareng dengan menghilangnya puteri ini dari kota raja, hilang pula Puteri Syanti Dewi dari kamarnya tanpa ada yang tahu ke mana Puteri Bhutan itu pergi. Hanya Perdana Menteri Su yang mengangguk-angguk dan menduga bahwa pasti Puteri Milana yang melakukan hal itu, sengaja mengajak Puteri Syanti Dewi lari dari istana karena tidak setuju Puteri Bhutan itu dikawinkan dengan Pangeran Yung Hwa.
Perdana Menteri Su merasa heran sekali dan tidak mengerti kenapa Milana melakukan hal itu. Maka didatanginyalah Pangeran Yung Hwa dan alangkah herannya pembesar yang bijaksana dan setia ini melihat Pangeran Yung Hwa justru kegirangan luar biasa mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah melarikan diri!
“Paman Menteri, saya girang sekali, ahhh, saya bersyukur sekali bahwa dia telah pergi, karena kalau tidak, tentu aku yang akan pergi lagi.”
“Ehh, kenapa begitu, Pangeran?”
“Aku tidak suka diharuskan menikah dengan puteri Bhutan.”
Perdana Menteri Su memandang heran dan mengerutkan alisnya. “Ingatlah, Pangeran Muda, dahulu engkau marah-marah dan melarikan diri dari istana karena permintaanmu untuk menikah dengan puteri Bhutan ditolak Sri Baginda. Sekarang keinginanmu itu dituruti, engkau malah menolak. Apa artinya ini?”
Pangeran Yung Hwa tersenyum. “Artinya, Paman, bahwa dulu itu cintaku adalah cinta yang mentah, cinta monyet, cinta kanak-kanak karena yang kucinta adalah bayangan seorang gadis yang muncul karena cerita-cerita indah tentang dirinya. Dahulu aku mencinta seorang dara yang belum pernah kulihat, cinta bayangan saja. Sekarang, saya telah tahu apa artinya cinta, saya telah mencinta seorang dara dari darah daging, bukan bayangan kosong belaka. Biar dia gadis biasa, aku cinta padanya dan setelah Syanti Dewi pergi, saya pun akan pergi untuk mencari dara yang saya cinta itu. Saya girang dapat terbebaskan dari Puteri Bhutan!” Pangeran Yung Hwa bergembira dan bersenandung!
Perdana Menteri Su meninggalkan pangeran itu sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh uban. Heran dia melihat ulah orang-orang muda dan makin kagum hati kakek itu menyaksikan kekuatan cinta yang menguasai hampir seluruh kehidupan manusia. Tanpa cinta, matahari akan kehilangan sinarnya, bunga-bunga akan kehilangan keharumannya dan madu akan kehilangan manisnya!
Dengan hati-hati dan cerdik, perdana menteri ini akhirnya dapat pula meredakan kemarahan Kaisar dan mengajukan alasan-alasan masuk akal bahwa peristiwa itu terjadi karena pertikaian pribadi antara keluarga Puteri Milana dan Pangeran Liong Bin Ong, sama sekali tidak menyangkut urusan negara, maka hendaknya Kaisar tidak mencampurinya. Ada pun tentang kehilangan Puteri Syanti Dewi, Perdana Menteri berjanji akan menyebar orang untuk mencarinya dan mengusulkan bahwa seyogianya urusan perjodohan itu ditunda saja.
“Dahulu Paduka melamar Puteri Bhutan untuk mendiang Pangeran Liong Khi Ong, dan kalau sekarang suami untuk Puteri itu ditukar tanpa mengadakan perundingan lebih dulu dengan Kerajaan Bhutan, hamba kira hal itu malah akan menanamkan sakit hati seolah-olah Paduka kurang menghargai Kerajaan Bhutan. Sebaiknya dinanti sampai ada kabar tentang puteri itu, baru mengajukan usul perubahan ikatan jodoh itu dengan Kerajaan Bhutan.”
Semua alasan yang kuat diajukan oleh Perdana Menteri Su dan akhirnya Kaisar dapat dibujuk sehingga tidak meributkan lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi itu. Malah Kaisar juga tidak keberatan ketika mendengar betapa Perdana Menteri Su mengurus jenazah Han Wi Kong dan menguburkan jenazah itu di dalam kuburan keluarga Kaisar tingkat dua, karena betapa pun juga, Han Wi Kong adalah mantu cucu dari kaisar sendiri. Maka terlaksanalah apa yang menjadi permohonan Milana kepada Perdana Menteri Su.
Duka timbul dari kecewa. Kecewa timbul dari tidak tercapainya nafsu keinginan. Nafsu keinginan adalah hasrat pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan dari si aku. Si aku timbul dari pikiran. Si aku adalah pikiran sendiri. Pikiran adalah ingatan yang mengenang masa lalu, ingin mengejar lagi kenangan baru yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan.
Kebahagiaan hidup, baru mungkin ada apa bila bebas dari nafsu keinginan, tidak lagi mencari-cari, tidak lagi mengejar sesuatu seperti yang kita inginkan. Bebas dari pikiran yang membanding-bandingkan, berambisi, berkhayal. Bebas dari si aku. Kebebasan ini menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu ini adalah indah dan sempurna, tidak ada kecualinya. Yang ada hanyalah kenyataannya, apa adanya dan ini adalah wajar dan mutlak.
Bukan suka bukan pula duka, bukan puas bukan pula kecewa, bukan nikmat dan bukan derita karena banding-membandingkan dan semua kebalikan-kebalikan ini adalah permainan pikiran yang memilih-milih sehingga timbullah konflik-konflik batin yang lalu meledak menjadi konflik-konflik lahir. Kebahagiaan terletak di atas segalanya itu, di atas dan bebas dari pikiran. Kekurangan dan kekecewaan hanya diderita oleh mereka yang tidak mengenal kecukupan. Maka hanya mereka yang tidak membutuhkan apa-apa lagi sajalah yang dapat menyentuh kebahagiaan.....
********************
Hawa udara panas sekali. Terik mentari seolah-olah hendak membakar segala sesuatu di permukaan bumi. Sinar matahari yang langsung menimpa bumi, terpantul kembali menciptakan hawa yang gerah.
Seorang pemuda duduk di bawah sebatang pohon besar dalam hutan itu, membuka kancing bajunya dan meniupi leher dan dadanya. Pemuda ini berwajah tampan dan rambutnya mengkilap hitam, dikuncir panjang berjuntai di belakang pundak kanan. Pakaiannya sederhana, jubahnya yang hitam kebiruan lebar dan panjang, menutupi baju dan celana sehingga membuat dia makin kegerahan. Pemuda ini adalah Suma Kian Bu yang telah melakukan perantauan seorang diri, pergi dari kota raja di mana hatinya untuk pertama kali mengalami pecah berantakan akibat cinta gagal. Akan tetapi, karena dasar wataknya memang gembira, setelah merantau sebulan lebih, luka di hatinya itu hanya tinggal bekasnya saja, tidak terasa nyeri lagi.
“Uihhhh, panasnya...!” Dia mengeluh.
Hutan yang penuh pohon itu masih belum mampu melawan hawa panas yang datang dari gurun. Daerah sekitar hutan itu adalah daerah pegunungan yang diselang-seling padang rumput dan padang pasir. Tadi sebelum memasuki hutan, Kian Bu melewati padang pasir yang luar biasa panasnya. Matanya silau melihat sinar matahari menimpa pasir-pasir yang berkilauan, dan terasa benar olehnya hawa yang panas menyerangnya dari bawah. Maka ketika dia memasuki hutan itu, hawa terasa sejuk dan nyaman sehingga dia menjatuhkan diri di bawah pohon besar itu sambil meniupi lehernya.
Tubuhnya lelah sekali dan betapa nikmatnya duduk di bawah pohon, terlindung dari sengatan terik matahari. Angin sepoi-sepoi semilir meniupi muka dan lehernya, membuat matanya menjadi berat dan mengantuk. Betapa enak rasanya dilanda kantuk! Sudah pasti bahwa tidak ada yang lebih nikmat di dunia ini dari pada tidur bagi orang yang mengantuk, seperti juga makan bagi orang yang lapar dan minum bagi orang yang haus.
“Dukk...!” Kepalanya membentur batang pohon.
“Heh-heh-heh, pemalas!” Kian Bu mengomel sambil tertawa ketika dia tersadar karena ketika melenggut tadi, kepalanya terbanting ke belakang dan membentur batang pohon. Agaknya sudah tidak berbekas lagi kepatahan hati pemuda yang berwatak gembira ini.
Dia bangkit berdiri, memandang ke sekeliling. Hutan itu liar dan lebat, sunyi bukan main. Dia ingin sekali tidur barang sejenak, akan tetapi jangan-jangan ada binatang buas dan berbisa di hutan asing ini datang mengganggunya di waktu dia tertidur nyenyak. Maka dia lalu berdongak ke atas dan di lain saat pemuda yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah melesat ke atas pohon, memilih tempat yang enak di atas cabang pohon yang besar, duduk mepet di pangkal cabang, melingkar seperti seekor monyet dan tak lama kemudian pemuda ini sudah tertidur pulas!
Tidur merupakan berkat bagi tubuh manusia. Tidur dengan pikiran kosong tanpa mimpi, biar hanya sekejap saja, sudah sanggup memulihkan kesegaran tubuh, dan tidur pulas sejam saja sudah terasa amat lama. Sebaliknya, yang membuat tidur merupakan suatu kemalasan yang bahkan melelahkan adalah jika pikiran bekerja terus di waktu tidur sehingga timbul mimpi-mimpi buruk.
“Clekittt...!”
“Auwwww...!” Kian Bu terbangun dan cepat menggaruk-garuk pinggulnya.
“Sialan... semut merah!” gerutunya ketika dia merogoh ke balik celananya dan jari-jari tangannya menjepit seekor semut merah. Pinggulnya sudah bintul dan terasa sangat gatal. Kiranya semut itu menyelinap masuk melalui pakaiannya dan entah mengapa, menggigit pinggulnya.
“Huh, tentu semut betina!” gerutunya lagi. “Kalau jantan mana mau mencubit pinggul? Sialan!” Dia menggaruk-garuk pinggulnya, makin digaruk makin gatal.
Tiba-tiba dia berhenti menggaruk pinggul. Ada suara derap kaki kuda! Kiranya hutan liar ini bukannya tidak ada manusianya seperti yang dia kira semula. Makin lama makin jelas suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu dan tak lama kemudian dia melihat dua orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat dan bertubuh tegap-tegap dan kuat-kuat seperti tubuh orang-orang yang biasa hidup mengandalkan kekuatan tubuhnya. Di punggung mereka terselip golok telanjang yang mengkilap tajam. Ketika tiba di bawah pohon itu, mereka menahan kuda mereka. Dua ekor kuda itu meringkik dan mengangkat kaki depan, hidung mereka mendengus-dengus dan mulut mereka mengeluarkan busa.
“Sudah jelaskah bahwa dia itu mata-mata?” tanya yang bercambang tebal.
“Tidak salah lagi, dia mengejar kita dan kepandaiannya hebat. Kita harus cepat pulang dan melaporkan ini kepada pimpinan. Siapa tahu kita diikuti oleh pasukan musuh.”
“Baiknya kita berpencar di sini, dan kalau dapat terbebas dari dia, kita berkumpul di dusun Ma-cin,” kata pula yang bercambang tebal.
“Baik!”
Dua orang itu lalu berpisahan, yang seorang membalapkan kuda membelok ke kiri, dan yang seorang lagi ke kanan. Keadaan menjadi sunyi kembali setelah derap kaki kedua ekor kuda itu menghilang dan tak terdengar lagi. Sunyi yang menegangkan.
Kian Bu duduk di atas cabang pohon, bersembunyi di balik daun-daun lebar sambil termenung. Jelas bahwa dua orang itu adalah anggota suatu kelompok atau pasukan atau gerombolan. Perkumpulan apakah yang agaknya menguasai daerah ini? Siapa kedua orang itu dan siapa ketua mereka? Dan siapa pula orang-orang yang mereka bicarakan tadi, yang disangka mata-mata musuh? Dia menanti sampai lama karena mengira bahwa orang yang dibicarakan mereka berdua tadi, yang katanya mengejar mereka, tentu akan muncul pula. Akan tetapi, sampai satu jam lebih dia menanti, tidak juga tampak ada yang datang mengejar.
“Huh, pengejar yang lambat dan bodoh seperti itu mana akan mampu menyusul buruan?” Dia sudah mengomel karena merasa kesal juga menanti sebegitu lamanya di atas pohon, dan merasa mendongkol karena dia telah terganggu dari kenikmatan tidur siang terayun-ayun di cabang itu. Kini dia harus berjaga dengan penuh ketegangan, namun yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Siapa tidak menjadi gemas?
“Uuuhhh, pengejar tolol...!” Habis kesabarannya dan selagi dia hendak meloncat turun, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Sayup-sampai suaranya, akan tetapi makin lama makin jelas.
Suara seorang wanita bernyanyi. Merdu bukan main! Suara itu bening, halus dan pulen, terbawa angin semilir memasuki telinganya mendatangkan perasaan nyaman dan sedap! Kian Bu terbelalak heran. Suara wanita begitu merdu di hutan liar dan sunyi ini? Jangan-jangan suara siluman itu! Yang dinantikannya adalah seorang pengejar yang bengis, bukan orang yang suaranya mengalahkan biduanita yang pernah didengarnya bernyanyi di kota raja! Dan isi nyanyian itu! Dia mendengarkan penuh perhatian.
Pada usia delapan tahun
aku mencuri pandang di dalam cermin,
dan aku sudah dapat menghitami alis mataku!
Pada usia sepuluh
aku pergi ke pesta sincia
dengan baju baru berkembang bunga teratai!
Pada usia dua belas
aku belajar meniup suling,
hiasan kuku tak pernah lepas dari jari tanganku!
Pada usia empat belas
aku tak berani bertemu pria,
menduga-duga akan segera dijodohkan.
Pada usia lima belas
aku menangis di dalam musim bunga,
dan menyembunyikan mukaku di balik pintu taman...
Kian Bu tertegun. Tentu saja dia mengenal baik sajak nyanyian itu. Kian Bu telah diberi pelajaran sastra oleh ibunya dan banyak sajak-sajak ciptaan sastrawan-sastrawan kuno hafal olehnya. Dia ingat bahwa nyanyian itu diambil dari sajak ciptaan pujangga Li Shang Yin yang hidup di abad ke sembilan (812-858). Li Shang Yin terkenal dengan tulisan sajaknya, terutama sajak Tujuh Sajak Cinta dan yang dinyanyikan suara merdu itu adalah sajak ketiga!
Kian Bu menjadi penasaran karena sampai lama orangnya belum juga muncul. Kalau penyanyi itu berjalan kaki, tentu jalannya lambat sekali, apa lagi kalau naik kuda. Agaknya kudanya itu berjalan sambil makan rumput di sepanjang jalan! Akan tetapi, wanita dengan suara seperti itu tidak pantas kalau berjalan kaki atau naik kuda di hutan liar ini, pantasnya naik kereta. Akan tetapi dia tidak mendengar suara roda kereta!
Kian Bu merayap turun dari atas pohon. Kalau yang muncul seorang wanita bersuara semerdu ini, dia tidak perlu lagi bersembunyi. Sebaliknya malah, dia ingin menemui wanita itu dan melihat apakah orangnya juga seindah suaranya! Dengan tergesa-gesa dia merayap turun, lalu meloncat ke bawah.
“Heiiitttt... eihhhh...!” Kian Bu meloncat ke samping menghindarkan kakinya yang hampir menginjak sebuah kepala orang!
Dia memandang dengan mata terbelalak dan tengkuknya berdiri karena merasa seram. Kepala itu berambut panjang sudah putih semua, kepala yang kecil, kepala seorang tua renta, seorang kakek kurus yang sedang tidur mendengkur di bawah pohon, kepalanya berbantalkan akar pohon itu.
Kian Bu melongo. Bagaimana dan bila mana orang ini bisa berada di bawah pohon tanpa diketahuinya? Mustahil! Kalau sudah lama, pasti tampak oleh dua orang berkuda tadi. Kalau baru saja, bagaimana sampai dia tidak tahu? Jangan-jangan ini bukan orang, melainkan setan, iblis hutan yang menjaga hutan itu! Dan jangan-jangan suara merdu tadi itu pun suara peri atau siluman yang suka menjadi perempuan cantik. Dia bergidik, akan tetapi dilawannya dengan keyakinan bahwa menurut dongeng-dongeng mana pun juga, setan dan iblis tidak muncul di siang hari!
Dan sekarang masih siang. Kata yang empunya dongeng, semua makhluk halus takut akan sinar matahari. Bukan kalau begitu, bukan iblis! Kalau manusia, tentu luar biasa sekali kepandaian kakek ini! Kiranya hanya orang dengan kepandaian setingkat kakaknya atau dia sendiri yang akan mampu datang tanpa suara seperti itu! Kian Bu menjadi khawatir, dan melihat orang itu tidur mendengkur, dia lalu melayang lagi ke atas, sembunyi di dalam daun-daun sambil mengintai ke bawah. Kalau kakek itu berniat buruk kepadanya, tentu sudah dilakukannya dari tadi, tidak tidur mendengkur dulu di bawah pohon.
Kini terdengar bunyi kerincingan. Masih lirih tanda bahwa suara itu masih jauh akan tetapi suara kerincingan itu bening sekali. Tang-ting-tang-ting dan crang-cring-crang-cring seperti perak dipukul. Dan kini terdengar lagi suara wanita bernyanyi, suara yang merdu tadi, kini diiringi suara kerincingan tang-ting-tang-ting itu, seolah-olah yang-kim (kecapi) yang hanya mempunyai dua macam nada. Suaranya yang merdu itu kini bernada gembira dan jenaka.
Hujan musim rontok, hujan musim rontok!
Tiada bulan, tiada malam.
Berintik-rintik, bercucuran deras!
Lampunya padam, kasurnya dingin,
kesepian yang menjemukan.
Si Cantik Jelita berduka merana!
Angin barat semilir meniup bambu di jendela,
berhenti sebentar dan mulai lagi,
dua butir air mata seperti mutiara
bergantung di sepasang pipi dingin.
Betapa sering kakanda berjanji,
Apa bila angsa liar terbang datang...
Kakanda melanggar janji,
angsa liar telah datang,
namun kakanda tidak...
Saking kagumnya karena dia pun mengenal sajak indah ini, Kian Bu meloncat turun lagi, lupa bahwa di bawah itu ada orang tidur. Untung rambut putih itu tampak olehnya sehingga dia cepat berjungkir balik dan turun di balik pohon besar. Sialan, pikirnya. Kamu mengejek aku, ya! Dia baru saja mengalami kegagalan cinta dan sejak tadi suara itu bernyanyi tentang cinta gagal! Tapi kakek ini agaknya menanti yang bersuara itu.
Kian Bu menyelinap di balik batang pohon besar, tak jauh dari situ, menanti dan siap untuk membantu kalau kakek seperti setan ini nanti menyerang si penyanyi yang tentu saja seorang wanita... dan sepatutnya cantik pula. Suara seperti itu sepantasnya keluar dari bibir yang mungil, mulut yang basah kecil dan segar! Kalau tidak begitu, mau dia mempertaruhkan... kuncirnya!
Suara berkerincing tadi makin jelas dan dari balik tempat sembunyinya, Kian Bu memandang ke depan, sama sekali dia sudah lupa akan kehadiran kakek yang tadi tidur mendengkur di bawah pohon. Hatinya berdebar tegang karena ingin sekali dia melihat orang yang mempunyai suara indah itu.
Mula-mula yang tampak adalah kuda putih kecil seperti keledai muncul di tikungan jalan. Kuda itu mungkin keturunan keledai, pendek dan telinganya panjang seperti telinga keledai. Leher kuda itu dipasangi kalung yang terbuat dari kerincingan-kerincingan kecil itu sehingga selalu mengeluarkan bunyi ketika kuda setengah keledai itu berjalan. Akan tetapi, kuda atau keledai Kian Bu tidak peduli, yang penting adalah penunggangnya! Seorang dara remaja yang... aduhai! Cantik manis, jelita remaja, dengan bentuk tubuh yang meranum, duduk seenaknya di atas punggung keledai hingga Kian Bu mendengar hatinya berbisik, “Aku juga mau menjadi keledai itu!”
Dara itu memegang sebatang payung yang terbuka dan payung itu bergerak-gerak terkena angin, akan tetapi tetap dipertahankan menjaga mukanya yang manis itu dari sengatan sinar matahari.
Seperti orang terpesona, Kian Bu lupa bahwa dia harus bersembunyi. Tahu-tahu dia sudah melangkah keluar dari pohon besar itu, memandang kepada dara ayu beraksi dengan payungnya di atas keledai itu sambil tersenyum, memasang ‘senyum mautnya’ karena kini sudah pulih kembali Kian Bu, menjadi seperti Kian Bu yang dahulu, jenaka gembira dan paling suka berhadapan dengan wanita jelita!
“Selamat siang, Nona. Wahai... suaramu tadi, nyanyianmu tadi, hebat bukan main...” Kian Bu menegur ramah.
Dara itu menahan keledainya, berhenti di depan Kian Bu tanpa menurunkan payungnya, memandang penuh selidik, kemudian terdengar dia bertanya, suaranya serak-serak basah tidak seperti nyanyian yang bening tadi, akan tetapi malah terdengar makin menarik bagi ‘telinga keranjang’ Kian Bu.
“Apanya yang hebat? Apakah engkau mengerti nyanyian tadi?” Agaknya dara itu menduga bahwa Kian Bu hanyalah seorang pemuda gunung yang mencari kayu bakar di hutan itu.
“Kesemuanya hebat dan indah! Sajak ketiga dari Lagu Tujuh Cinta karangan Li Shang Yin di jaman Tong-tiauw itu hebat, akan tetapi sajak Yen Sian di jaman Sung-tiauw tadi pun indah. Dan terutama sekali... suaramu amat merdu, Nona...”
Dara itu membelalakkan matanya, dan sekali lagi tangannya bergerak....
“Treppp!” Payung itu telah tertutup. Sekali pinggangnya yang ramping dan pinggulnya yang melengkung itu bergerak, dia sudah meloncat turun dari punggung keledai.
Kian Bu makin kagum melihat gadis itu sudah berdiri. Kiranya bentuk tubuhnya juga hebat, seperti yang diduganya, setelah kini dara itu berdiri. Akan tetapi untuk memuji tubuh orang dia tidak berani, maka biar pun sepasang matanya memandang tubuh dara itu, mulutnya memuji keledai, “Keledaimu putih mulus dan bentuknya mempesona!”
“Apa, keledai? Buka matamu baik-baik, sobat. Engkau pandai mengenal sajak, akan tetapi tidak dapat mengenal binatang keramat!”
“Hahhh...?!” Kian Bu baru sekarang memandang keledai itu penuh perhatian karena disebutnya binatang keramat oleh dara itu. Dia mendekati dan melihat dengan teliti dari moncong sampai ke ekor, dari ujung telinga sampai ujung kaki, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang aneh pada binatang ‘keramat’ ini.
“Kau melihat sesuatu yang aneh?” dara itu bertanya.
Kian Bu menggeleng kepalanya. “Ini hanya seekor keledai biasa, hanya bulunya putih dan...”
“Engkaulah yang bodoh melebihi keledai!” Gadis itu mencela. “Ini bukanlah keledai melainkan seekor kuda.”
“Hah? Kuda? Memang mukanya tidak sebodoh keledai, akan tetapi telinganya panjang dan kakinya pendek...”
“Agaknya engkau seorang kutu buku yang hanya tahu tentang sajak,” gadis yang amat lincah dan galak itu mengomel. “Ini adalah keturunan dari kuda Han-hiat-po-ma (Kuda Keramat Berkeringat Darah) dan seekor keledai. Masih keturunan yang ketiga puluh sembilan dari kuda tunggangan Kaisar Jenghis Khan di jaman dahulu!”
“Ahhhh...!” Kian Bu mengangguk-angguk. “Tentu hebat sekali!”
“Tentu saja hebat!” Dara itu lalu mengalungkan gagang payung yang bengkok itu ke sebuah di antara telinga keledai itu dan... telinga itu menegang dapat menahan payung!
“Ha-ha, kiranya bisa juga dipakai sebagai tempat menyimpan payung!” Kian Bu tertawa.
“Kau menertawakan kuda keramat ini? Hemm, dasar engkau tolol. Tetapi sudahlah, aku mau bertanya padamu.”
“Tanya? Tanyalah!” Kian Bu tertarik sekali. Gadis remaja ini lincah, gembira dan jenaka, begitu bebas dan terbuka, akan tetapi juga memperlihatkan keberanian luar biasa, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis biasa.
“Aku mau bertanya, apakah engkau tadi melihat orang lewat di sini?”
“Orang lewat? Dua orang laki-laki penunggang kuda?”
“Ihhh, bukan! Siapa yang mencari laki-laki? Cihh!”
Kian Bu tersenyum, lalu dia teringat akan kakek yang mendengkur itu. Wah, sudah pasti kakek itu yang dicari. Gadis manis jenaka dengan keledai aneh ini pantasnya memang berkawan dengan kakek aneh itu. “Apakah kau mencari dia...?” Kian Bu menoleh dan menuding ke bawah pohon di mana dia tidur tadi.
“Ehhhh...? Heeee, ke mana dia...?” Kian Bu tertegun karena di bawah pohon itu tidak ada apa-apanya. Jangankan seorang kakek tidur, seekor cacing pun tidak nampak.
Kian Bu mencari-cari dengan pandang matanya, ke kanan kiri, ke atas bawah, depan belakang, akan tetapi tidak kelihatan lagi bayangan seorang kakek. “Wah, ke mana dia? Apakah aku mimpi...?”
Gadis itu juga menoleh ke kanan kiri dan dia tertawa geli melihat sikap Kian Bu yang kebingungan. Dia tertawa dengan manis sekali, mengeluarkan suara ketawa kecil yang merdu sambil menutupi mulut dengan tangan, akan tetapi karena jari-jari tangan yang dipakai menutupi mulut itu merenggang, jadi masih nampak deretan gigi putih seperti mutiara di balik belahan bibir merah.
“Hi-hi-hik, kau mencari apa?”
“Kakek tua renta...”
“Aku juga tidak butuh kakek-kakek! Yang kucari adalah seorang wanita!”
Kian Bu memandang dara itu. “Seorang wanita?”
“Ya, seorang wanita cantik sekali, pakaiannya indah menyala, mukanya bundar telur, dagunya runcing, matanya seperti bintang kejora, berkedip-kedip dan lirikannya tajam seperti gunting, hidungnya agak terlalu mancung, pipinya merah, bibirnya lebih merah lagi dan senyumnya manis melebihi madu lebah. Pakaiannya indah dan dari sutera mahal, jubahnya berwarna merah muda, ikat pinggangnya kuning dan celananya biru, rambutnya digelung ke atas seperti puteri istana. Hemm, pendeknya seorang wanita cantik dan kaya, dan dia amat genit, genit memikat hati. Kau melihat dia?”
Kian Bu melongo. Bukan karena penuturan itu, akan tetapi melongo mengikuti gerakan bibir yang tiada hentinya bergerak ketika bicara panjang lebar itu. Bibir yang gerakannya menggemaskan, mencas-mencos akan tetapi manis sehingga Kian Bu merasa seolah-olah pandang matanya melekat pada bibir itu, bibir bawah yang mempesona itu.
Gadis ini benar-benar genit menarik, dan dia masih dapat mengatakan orang lain genit memikat! Melihat usianya tentu tidak akan lebih dari lima belas tahun, seperti tersebut di dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi ‘bocah’ ini sudah pandai bicara, pandai mainkan bibir dan gerak bola mata, bahkan sudah pandai pula menilai wanita lain!
“Yang bagaimana sih yang disebut genit memikat itu?” Kian Bu menggoda, akan tetapi sikapnya seolah-olah dia mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu dengan wanita yang digambarkan oleh dara itu.
“Genit memikat saja kau tidak tahu? Waahh, sungguh bocah gunung yang terbelakang kau! Genit memikat adalah... aihh... bagaimana, ya?” Dara itu kelihatan tersipu, agaknya sukar juga baginya untuk memberi penjelasan. “Pendeknya sikap yang genit dan centil, yang mempunyai daya pikat, terhadap pria terutama. Masa kau tidak mengerti?”
Kian Bu yang merasa suka sekali kepada sikap dara ini, mulai menggodanya.
“Apakah kau maksudkan, genit memikat hati itu seperti sikap ini?” Kian Bu lalu bergaya, meliak-liukkan tubuhnya, melerok dan menjulurkan lidahnya seperti orang menakut-nakuti anak kecil. “Beginikah genit memikat?”
“Hi-hi-hik!” Dara itu tertawa geli, menggeleng kepalanya keras-keras. “Ahh, sama sekali bukan!”
“Apakah begini?” Kian Bu merubah gayanya, melotot cemberut seperti nenek-nenek marah.
“Bukan! Bukan...! Ihh, menakutkan begitu mana bisa disebut memikat?”
“Habis bagaimana? Coba kau beri contoh biar aku mengerti!”
Gadis itu menjadi gemas akan kebodohan pemuda itu. “Dasar engkau yang tolol! Nah, dengarkan baik-baik, dan lihat baik-baik, buka telinga dan matamu lebar-lebar. Wanita yang genit memikat itu adalah seorang wanita yang pandai bergaya palsu, tidak wajar, seperti seorang pemain sandiwara, kau pernah melihat wayang? Nah, dia selalu beraksi di depan pria untuk memikat hati pria itu, langkahnya dibuat-buat...”
Gadis itu lalu melangkah hilir-mudik di depan Kian Bu, lenggangnya dibuat-buat dan karena memang bentuk tubuhnya ramping dan lekuk-lengkungnya penuh dan padat dalam keranumannya, belum masak benar akan tetapi tubuhnya lunak dan lemas sekali, maka ketika dia melenggang dengan gaya dibuat-buat itu, pinggangnya berliuk seperti batang yang-liu tertiup angin, pinggulnya seperti dua benda hidup bergerak ke kanan kiri dan lehernya yang panjang menoleh kanan kiri!
“Selain lenggangnya menarik, dia pun menggerak-gerakkan bibirnya dan juga matanya menyambarkan kerling maut, seperti ini...”
Kian Bu berdiri bengong, matanya terbelalak, mulutnya ternganga sehingga jika banyak lalat di situ, mungkin mulutnya akan kemasukan lalat tanpa sempat dia sadari. Seluruh perhatiannya terbetot dan semangatnya terseret karena dia sudah terpikat benar-benar oleh peniruan sikap genit memikat dari gadis itu! Kini dia mengikuti gerak bibir yang mencap-mencep. Dasar bibirnya itu berbentuk bagus sekali, merah membasah, yang bawah penuh dan berkulit tipis seperti mudah sekali pecah, kadang-kadang digigit oleh giginya yang putih, kemudian dilepaskan lagi, dijebikan, pendeknya setiap gerak bibir itu menimbulkan kemanisan tersendiri. Semua ini ditambah oleh matanya yang bening itu mengerling penuh daya pikat sehingga Kian Bu merasa seolah-olah disedot dan ingin dia melangkah mendekati gadis itu, seperti besi ditarik semberani!
“Lenggang dan gerak bibir dan mata ini tentu saja ditambah dengan sentuhan-sentuhan memikat untuk menjatuhkan hati pria, begini contohnya...” Kini gadis yang melenggang hilir-mudik di depan Kian Bu itu mendekat dan sambil lewat kini telunjuknya bergerak, mencubit lengan, menowel dagu Kian Bu.
Hampir saja Kian Bu tidak kuat bertahan lagi. Bau sedap harum yang keluar dari dara itu ketika mendekat, sentuhan halus telunjuk ke dagunya yang mengirim getaran sampai ke ujung kaki dan ubun-ubun kepalanya, benar-benar membuat gadis itu amat menarik dan memikat. Hampir saja dia lupa diri dan memeluk dengan gemas. Akan tetapi tentu saja ditahannya keinginan ini dan dia makin bingung, makin melongo dan bengong terpesona.
Dara itu tertawa cekikikan dengan geli hati ketika melihat betapa pemuda tampan itu plonga-plongo seperti seorang tolol ketika melihat dia bergaya tadi.
“Eh, kau kenapa sih?”
Kian Bu sadar kembali dan dia tersenyum, mengusap kepalanya seolah-olah hendak mengusir kepeningan otaknya. “Wah, engkau hebat sekali, Nona. Ehh, sebetulnya siapa sih yang kau cari itu? Dan mengapa kau mencarinya?”
Gadis itu duduk di atas akar pohon, membiarkan kuda keramatnya itu terlepas begitu saja. Kian Bu juga duduk di depannya dan gadis itu memandang wajah Kian Bu penuh selidik, baru dia berkata, “Wajahmu mendatangkan kepercayaan di hatiku, tidak seperti wajah orang-orang yang kutemui sebelum ini.”
Kian Bu mengusap mukanya. “Wajahku kenapa sih?”
“Wajahmu seperti orang tolol... hi-hik, dan orang-orang tolol merupakan orang yang boleh dipercaya, tidak seperti orang-orang pintar yang biasanya terlalu pintar, akan tetapi kepintarannya itu hanya untuk menipu orang lain. Eh, siapa sih namamu? Kalau belum kenal, mana mungkin aku menceritakan keadaanku?”
“Aku Suma Kian Bu, dan kau...”
“Namaku Siang In, she Teng.”
“Teng Siang In, nama yang indah, seindah orangnya.”
“Hi-hik!”
“Kenapa kau tertawa, Siang In?”
“Kurasa kau agaknya berdaya-upaya untuk memuji-mujiku. Apakah engkau merupakan seorang yang genit memikat pula? Tentu saja dari golongan laki-laki! Biasanya laki-laki memikat wanita dengan pujian-pujian.”
“Wah, kau agaknya serba tahu saja. Siang In, aku suka bersahabat denganmu. Engkau seorang gadis yang jujur, pandai sastra, suaramu merdu, wajahmu cantik jelita, dan kau aneh sekali, sungguh menarik hatiku. Sekarang ceritakan, siapa yang kau cari itu?”
“Kian Bu, entah mengapa, begitu bertemu dengan engkau hatiku terus saja percaya penuh, seolah-olah sudah lama aku mengenalmu. Ehh, kau tadi bilang tentang orang di bawah pohon, yang kau cari-cari tadi. Siapakah dia?” Gadis itu tiba-tiba memandang dengan penuh kecurigaan ke kanan kiri.
“Aku pun heran sekali. Tadi aku melihat seorang kakek tua renta berada di bawah pohon, tertidur mendengkur, akan tetapi dalam sekejap mata saja lenyap seperti setan.”
“Ihhh... aku paling ngeri dengan segala setan!” Gadis itu ketakutan dan menggeser duduknya lebih dekat dengan Kian Bu. Tentu saja pemuda itu menjadi girang dan dia melanjutkan ceritanya.
“Tadi aku mengaso di atas pohon itu dan aku tidak melihat ada orang datang dekat... ehhh, tahu-tahu ada seorang kakek tua sekali tidur di bawah pohon, mendengkur dan kakek itu rambutnya sudah putih semua, tidak seperti manusia biasa. Aku sudah curiga karena kedatangannya yang tiba-tiba itu tidak lumrah, dan tadi... ehh, tahu-tahu dia lenyap begitu saja. Apa lagi kalau bukan iblis penunggu hutan ini...”
Gadis ini makin ketakutan, mepet dan memegang lengan Kian Bu. Akan tetapi betapa kagetnya hati Kian Bu melihat wajah gadis itu menjadi pucat sekali dan ada air mata di pipinya. Gadis itu menangis saking takutnya! Kian Bu menjadi menyesal sekali dan cepat dia meloncat berdiri sambil bertepuk tangan. “Ha-ha-ha, engkau kena kubohongi! Tidak ada setan tidak ada apa-apa!”
Dara itu cemberut. “Ihh, engkau sungguh nakal. Aku sampai hampir pingsan ketakutan. Kau bukan orang baik, kau suka bohong, aku tidak jadi berteman denganmu kalau begitu!” Gadis itu sudah bangkit berdiri dan hendak pergi menghampiri keledainya.
Kian Bu tertegun. Bocah ini benar aneh. Biar pun belum matang benar, akan tetapi juga bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi di samping kecantikannya, dan pandainya bergaya seperti orang dewasa, gadis ini takut pula kepada setan dan suka ngambek seperti anak kecil!
“Ah, Siang In, kau maafkanlah aku. Tadi aku hanya main-main, masa engkau menjadi marah? Maafkan aku.”
“Aku mau maafkan kalau kau berlutut dan menyebut aku nenek!” gadis itu berkata cemberut dan membanting-banting kaki kanannya.
Kian Bu hampir tertawa bergelak, akan tetapi untuk menyenangkan hati gadis remaja yang aneh itu, apa boleh buat dia lalu berlutut, mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan sambil menyebut, “Nenekku yang baik, kau ampunkan cucumu ini!”
“Hi-hi-hik!” Gadis itu terkekeh dan Kian Bu juga bangkit sambil tertawa-tawa.
Keduanya tertawa gembira dan duduk lagi di atas akar pohon. Aneh, Kian Bu merasa gembira sekali dan lenyaplah semua bayangan gelap dari masa lalu. Dia kini sudah lebih matang dan hati-hati, tidak mau gampang saja jatuh cinta. Dara ini merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.
“Siang In, sekarang kau ceritakan tentang dirimu dan kenapa engkau berada di tempat sunyi ini seorang diri dan siapa itu wanita genit memikat yang kau cari itu.”
Setelah bebas dari perasaan takut akan setan, sekarang sepasang pipi dara itu menjadi kemerahan lagi, bibirnya yang manis merekah penuh senyum dan matanya yang jeli besinar-sinar.
“Tidak ada apa-apanya yang menarik dalam riwayatku,” gadis itu memulai.
“Orangnya saja sudah sangat menarik, apa lagi riwayatnya.” Kian Bu berkata dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya.
“Eh, Twako... kau mau kan kusebut twako? Aku tidak mempunyai kakak laki-laki, maka biarlah engkau menjadi penggantinya. Kalau aku tidak merasa yakin bahwa engkau seorang yang baik, tentu aku curiga melihat sikapmu terlalu manis, pujian-pujianmu terlalu muluk itu. Sikapmu seperti laki-laki perayu wanita benar!”
“Aku hanya bilang sejujurnya, masa tidak boleh? Aku suka akan kembang indah harum, juga suka melihat dara secantik engkau. Apakah aku harus membohong mengatakan engkau gadis buruk?”
Siang In tertawa. “Akan tetapi sinar matamu kalau memandangku... hihhh, aku menjadi ngeri dibuatnya! Nah, aku mau bercerita tentang diriku. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi...”
“Aduh kasihan...!”
“Akan tetapi aku mempunyai seorang enci (kakak perempuan)...”
“Juga cantik jelita jelita seperti engkau?”
“Ihhh, Twako. Engkau mata keranjang benar!”
“Lho, mengapa mata keranjang? Itu pertanyaan wajar, kan? Masa aku harus bertanya apakah enci-mu itu tampan dan gagah, kan menjadi banci nanti!” Mereka berdua lalu tertawa-tawa lagi dan hutan yang biasanya sunyi itu kini bergema suara tertawa pemuda dan dara itu.
“Tentu saja enci-ku yang bernama Siang Hwa amat cantik melebihi aku yang buruk ini. Kami berdua tinggal di lereng gunung sana itu melanjutkan usaha mendiang Ayah, menanam obat-obatan yang kami jual ke kota dan sebagian kami bagi-bagikan kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan obat.”
“Aih, kiranya engkau ini ahli obat, ya? Lengkap benar kepandaianmu?”
“Lengkap apanya?”
“Coba kuhitung. Satu, engkau pandai memelihara kuda keramat, dua, engkau pandai meniru gaya wayang dan berperan sebagai wanita genit memikat, tiga, engkau pandai ilmu silat, dan empat, engkau pandai ilmu pengobatan!”
“Huhh, engkau hanya memuji kosong saja, kalau kudengarkan kepalaku bisa berubah menjadi segentong besarnya. Sudah, tak perlu memuji-muji, tapi dengarkan ceritaku. Mendiang ayahku barulah berani disebut ahli pengobatan karena beliau itu terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Yok-sian...”
“Ahhh...!” Kian Bu berteriak dan meloncat berdiri.
Teringat akan setan yang amat ditakuti, Siang In juga meloncat dan memandang ke kanan kiri.
“Ada apa?” Dia sudah memegang lengan pemuda itu lagi.
“Ohh, tidak ada apa-apa, aku hanya terkejut mendengar julukan ayahmu.”
“Huh, kekagetanmu membikin aku kaget.” Mereka duduk kembali di atas akar pohon.
“Apakah ayahmu itu Suheng dari kakek yang berjuluk Sin-ciang Yok-kwi?”
“Ehh, bagaimana engkau bisa mengenal julukan Susiok (Paman Guru)?”
“Wah, engkau yang kami caci-cari, ketemu sekarang orangnya!”
“Lho, kenapa mencari-cari aku?”
Kian Bu lalu menceritakan tentang ‘keponakannya’ yang terluka hebat oleh pukulan beracun dan menurut keterangan Sin-ciang Yok-kwi, seorang di antara mereka yang kiranya dapat mengobati gadis keponakannya itu adalah keturunan Yok-sian.
“Sayang, sekarang keponakanku itu sudah pergi entah ke mana sehingga biar pun aku berjumpa denganmu juga percuma.”
“Dan pula, aku juga tidak bisa mengobati. Aku hanya ahli mengenal buah, bunga, daun, dan akar obat. Yang mewarisi kepandaian Ayah adalah Enci Siang Hwa. Bu-twako, kalau kau terus-terusan mengganggu ceritaku, tidak akan habis-habis riwayatku.”
“Oh, teruskanlah.”
“Seperti kuceritakan tadi, kami hidup berdua saja. Aku tukang menanam tumbuh-tumbuhan obat, mencari dan memilih bibit-bibitnya dari hutan, dan enci yang menjual hasil tanaman itu ke kota. Pada beberapa hari yang lalu, aku sendirian saja di rumah, Enci sudah dua hari pergi ke kota menjual obat dan belum juga pulang, padahal biasanya tidak pernah bermalam. Lalu datang seorang wanita...”
“Genit pemikat...”
“Kok tahu?”
“Yang kau cari-cari itu tentu, siapa lagi!”
“Benar. Wanita cantik pesolek itu datang dan karena sikapnya manis budi, dan di lereng itu kami tidak mempunyai tetangga dan hari sudah malam, aku tidak keberatan ketika dia menyatakan hendak bermalam. Dia pandai bicara dan ramah sekali, sampai aku lalai dibuatnya dan pada keesokan harinya, Si Cantik Genit itu telah pergi sebelum aku bangun...”
“Wah engkau tentu pemalas dan bangunmu kesiangan!”
“Ngaco! Siapa bilang aku pemalas? Jam lima pagi aku sudah bangun, tidak mau keduluan ayam...”
“Makannya!”
“Ihh, kau menghina, ya? Kalau aku gembul makan, tentu tubuhku menjadi gendut. Nih, lihat, apa aku gendut?”
“Kau ramping! Habis, tidak mau keduluan apa oleh ayam?”
“Mandi.”
“Wah, tentu saja! Habis, ayam tidak pernah mandi, biar kau bangun jam sembilan dan mandi jam sepuluh juga tidak akan keduluan ayam. Sudahlah, lalu bagaimana?”
“Ya sudah habis. Wanita cantik genit memikat itu pergi dan aku kemudian melakukan pengejaran sampai di sini. Tadinya aku mencari di pegunungan itu tidak ketemu, lalu aku pulang menanti Enci kembali dari kota untuk melaporkan hal itu. Akan tetapi sampai lima hari Enci tidak pulang-pulang, aku khawatir Enci mendapatkan halangan biar pun dia pandai ilmu silat dan tidak sembarangan orang mampu mencelakainya. Aku lalu mengajak Pek-liong pergi mencari Enci dan perempuan maling kitab itu.”
“Pek-liong (Naga Putih)...?”
“Itulah dia Pek-liong.” Dara itu menuding ke arah keledai yang masih enak enak makan rumput. Kian Bu menahan gelinya. Keledai kecil itu dinamakan Naga Putih!
“Wah, kasihan sekali engkau, Siang In.”
“Sudah, aku tidak minta kasihanmu, sekarang kau ceritakan riwayatmu.”
“Riwayatku? Aku orang biasa saja...”
“Tidak, engkau luar biasa. Tidak ada pemuda gunung buta huruf yang mengenal sajak Li Shang Yin dan Yen Siang!”
“Habis, menurut penglihatanmu, aku orang apa?”
“Engkau tentu seorang pemuda kota, seorang sastrawan lemah yang terbuai khayal, agak berfilsafat dan engkau perayu wanita tapi tidak kurang ajar dan... sudahlah, kau ceritakan riwayatmu.”
“Riwayatku tidak ada apa-apanya. Namaku Suma Kian Bu dan aku sedang merantau untuk menghibur hati dan melihat keindahan alam. Aku suka akan kesunyian maka aku berada di hutan ini. Eh, sekarang kau hendak ke mana, Adik Siang In yang baik?”
Dara itu lupa bahwa penuturan riwayat Kian Bu itu sama sekali tidak lengkap, karena dia sudah terpikat oleh sikap dan pertanyaan yang ramah itu. “Aku hendak mencari enci-ku dan perempuan genit itu.”
“Ke mana?”
Dara itu mengerutkan alisnya. “Entahlah. Sampai di sini aku kehilangan jejak. Di dusun seberang gurun itu masih ada yang melihat Si Perempuan Genit menuju ke sini, maka aku mengejar. Kiranya bertemu dengan engkau, dan sialnya engkau tidak melihat perempuan itu.”
“Mari kubantu engkau mencari dia dan enci-mu.”
“Ke mana?”
“Ke mana saja, dan karena menurut penyelidikanmu wanita itu lewat ke jurusan ini, kita tentu akan dapat menemukan jejaknya lagi di luar dusun ini, asal kita dapat melewati dusun.”
“Aku pernah mencari daun-daun obat di hutan ini dan di sebelah barat hutan ini terdapat perkampungan.”
“Bagus sekali. Kalau begitu kita mencari ke sana. Hayo kita berangkat!”
Siang In kelihatan girang sekali. Dia mengambil payungnya dari telinga keledai karena biar pun keledai itu makan rumput, payung tadi masih saja tergantung di telinganya, kemudian menuntun keledainya.
“Kenapa tidak kau tunggangi?”
“Ahhh, tidak. Lebih enakan berjalan bersama engkau, Twako. Kalau hanya aku sendiri menunggang keledai dan kau jalan, tidak enak, ah!”
“Ditunggangi berdua pun kasihan, keledai kecil begitu.”
“Ih, jangan memandang rendah kuda keramatku, ya? Mau mencoba kekuatannya? Mari kau meloncat ke punggungnya,” Siang In menantang.
Karena ingin tahu, Kian Bu menurut dan naik ke punggung kuda atau keledai itu.
“Kau maju sedikit, beri tempat untukku!” Siang In berseru.
Kian Bu makin heran, akan tetapi dia menggeser ke depan dan tiba-tiba dia merasa betapa bagian belakang tubuhnya bersentuhan ketat dengan sesuatu yang lunak dan hangat. Tubuh dara itu yang sudah duduk di belakangnya! Dia merasa geli dan bulu tengkuknya berdiri semua sehingga dia tertawa-tawa.
“Apa cekikikan? Lihat betapa kuatnya kuda keramatku Pek-liong agar engkau tidak menghinanya lagi. Pek-liong, terbanglah!” Siang In mengeprak perut keledai itu dengan tumit kakinya.
Dan hampir saja Kian Bu berteriak saking kagetnya ketika tiba-tiba keledai itu meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali! Benar-benar cepat larinya, tidak kalah oleh kuda besar yang mana pun sehingga dia melihat pohon-pohonan berlari-lari di kanan kirinya dan telinganya mendengar desir angin! Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak merasa takut karena ilmunya berlari cepat tidak kalah cepatnya dengan larinya keledai ini, dan sebetulnya dia merasa nikmat dan senang sekali karena punggungnya beradu ketat dengan dada gadis itu ketika keledai berlari, akan tetapi karena dia ingin dianggap sebagai ‘sastrawan lemah’ maka dia sengaja berteriak-teriak ketakutan. Hmm.
Siang In menghentikan keledainya dan tertawa. “Bagaimana? Apakah kau masih berani menghina Pek-liong?” Dia melompat turun dan Kian Bu juga merosot turun. Dilihatnya keledai itu bernapas biasa saja sehingga diam-diam dia menjadi kagum juga.
“Wah, wah, sebentar lagi dia tentu benar-benar terbang. Agaknya kudamu ini memang penjelmaan naga putih, Adik Siang In.”
Gadis itu gembira sekali mendengar pujian ini dan mereka lalu melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bersendau-gurau dan tertawa-tawa, jika dilihat dari jauh seperti sepasang muda-mudi sedang bertamasya saja layaknya. Betapa indah hidup ini bagi orang-orang muda, maka kasihanlah orang-orang muda yang tak mampu menikmati keindahan hidup, bahkan terseret mencari-cari kesenangan hampa yang mengotorkan tubuh dan jiwa!
Dusun itu cukup besar dan ramai, menjadi tempat perhentian mereka yang melakukan perjalanan di perbatasan utara itu. Hari telah senja ketika Kian Bu dan Siang In tiba di dusun ini.
“Perutku lapar...” Siang In berkata sambil menekan perutnya.
“Sama...” Kian Bu menjawab. “Mari kita cari kedai makanan.”
Sambil menuntun Pek-liong, Kian Bu berjalan bersama Siang In memasuki dusun dan mencari-cari. Akhirnya mereka melihat sebuah kedai makanan dan Kian Bu segera mencancang keledai itu di luar kedai, kemudian mereka berdua masuk ke dalam kedai makanan yang penuh dengan orang makan minum itu. Di antara para tamu, Kian Bu mengenal dua orang penunggang kuda yang dilihatnya dari atas pohon di hutan tadi, maka dia lalu mengajak Siang In duduk di meja tak jauh dari mereka. Kian Bu memasang telinga dan mendengar percakapan bisik-bisik dua orang itu.
Ternyata mereka berdua ‘lolos’ dari kejaran mata-mata musuh dan menurut percakapan itu, kiranya mereka menduga adanya banyak mata-mata musuh yang berkeliaran di daerah itu dan yang agaknya menyelidiki keadaan.
“Kita harus cepat lapor kepada pimpinan.” Demikianlah kata Si Cambang Tebal yang segera menghentikan percakapan setelah melihat masuknya beberapa orang tamu lagi dan duduk di dekat mereka.
Tiba-tiba mereka kelihatan terkejut, bergegas bangkit, memanggil pelayan, membayar makanan yang belum habis mereka makan dan mereka berdua dengan sikap tergesa-gesa menyelinap keluar melalui pintu samping. Melihat sikap mereka, Kian Bu menjadi terheran-heran. Dia maklum bahwa pasti dua orang itu melihat sesuatu yang membuat mereka seperti ketakutan, maka otomatis dia lalu menengok ke arah pintu depan.
“Aahhhh...” Dia menahan seruannya dan bengong memandang ke luar.
Melihat sikap Kian Bu dan mendengar seruan kagum ini, Siang In juga cepat menengok dan memandang ke luar. Di luar warung, di seberang jalan, tampaklah seorang wanita yang cantik sekali, berpakaian menyala, rambutnya digelung tinggi ke atas. Wanita itu sedang memandang dan longak-longok mengulur leher, agaknya ada yang sedang dicari-carinya.
“Itu dia...!” Tiba-tiba Siang In menjerit, membuat Kian Bu tersentak kaget. Dengan cepat Siang In meloncat dan lari ke pintu kedai itu.
“Brussss...!”
Tanpa dapat dicegah lagi Siang In bertumbukan dengan seorang laki-laki setengah baya yang secara tiba-tiba masuk pintu kedai itu dan diiringkan oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan tegap. Karena Siang In tidak mengira ada orang masuk pada saat perhatiannya tercurah kepada wanita cantik yang berada di seberang jalan, dan pria itu pun agaknya tidak mengira akan ada orang lari ke luar, maka tumbukan antara mereka tak dapat dihindarkan lagi. Siang In terpelanting dan hampir roboh. Untung laki-laki setengah tua itu dengan gerakan cepat telah menyambar dan memegang lengan Siang In sehingga dara ini tidak sampai terbanting jatuh.
Laki-laki setengah tua itu tersenyum dan bertanya dengan sikap sopan dan suara halus sambil melepaskan pegangannya, “Maafkan saya, Nona. Untunglah tidak sampai jatuh. Apakah ada yang sakit...?”
Siang In membelalakkan matanya dan membentak marah, “Orang kurang ajar dari mana jalan nabrak-nabrak saja?”
Kian Bu sudah tiba di samping gadis itu, memegang lengannya dan berkata, “Sudahlah, engkau sendiri yang kurang hati-hati berlari ke luar. Paman ini tidak bersalah...” Kian Bu setengah menarik tangan Siang In.
Dara ini bersungut-sungut dan setelah mengirim lirikan marah kepada laki-laki setengah tua yang dengan tenang dan sabar tersenyum memandang, Siang In lalu melanjutkan langkahnya keluar dari kedai, pandang matanya mencari. Akan tetapi, wanita cantik tadi sudah tidak kelihatan lagi.
“Sialan! Orang buta tadi yang jadi gara-gara sampai dia hilang lagi!”
“Eh, orang buta mana?”
“Yang menabrak aku tadi, kalau matanya tidak buta, masa nabrak-nabrak?”
Kian Bu tersenyum. Biar pun sedang muring-muring, gadis ini makin cantik saja!
“Sudahlah, aku sendiri juga tidak tahu siapa yang menabrak tadi, dia atau engkau.”
“Dia! Si Buta itu! Aku harus menghajarnya!” Dia kembali memasuki pintu dan hampir saja menabrak seorang pelayan yang membawa baki dan sedang keluar. Untung Kian Bu sudah menarik lengannya, kalau tidak tentu terjadi tabrakan untuk kedua kalinya dan sekali ini berbahaya karena di atas baki terdapat bakmi kuah yang masih panas.
“Eh... Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona), mau ke mana? Ini pesanan kalian tadi... dua bakmi kuah dan...”
“Kau makan saja sendiri!” Siang In membentak dan membalikkan tubuhnya keluar dari kedai itu. Kian Bu melemparkan mata uang ke atas baki.
“Kami tidak jadi makan, ini uangnya,” katanya dan terus menyusul Siang In yang sudah pergi menuntun keledainya sambil cemberut.
“In-moi (Adik In), jangan marah ah...”
“Aku harus mencari dia! Si Tolol buta itu tadi menghalangiku!” Siang In cemberut dan melihat ke sana-sini mencari-cari.
“Dia siapa?”
“Si Genit!”
“Ohh...”
“Si Pemikat! Kau tidak lihat dia tadi?”
Kian Bu mengangguk. Kiranya wanita itukah yang dicari? Memang cantik, cantik sekali, akan tetapi dia belum melihat jelas benar. Agaknya wanita yang sudah matang, tidak seperti dara ini yang masih mentah, atau baru setengah matang, setengah dewasa setengah kanak-kanak, akan tetapi malah amat menarik hati.
Mereka lalu mencari sampai ke setiap sudut dusun itu, akan tetapi sia-sia belaka dan akhirnya Siang In berhenti di tepi jalan yang sunyi, duduk di atas rumput dan kelihatan marah dan kecewa sekali. Kian Bu lalu pergi membeli sepuluh butir kue bakpauw dan mereka makan bakpauw di tepi jalan. Lima butir bakpauw sudah cukup mengenyangkan perut, akan tetapi mencekik tenggorokan!
Karena malam tiba, mereka lalu mencari pondokan dan bermalam di dalam dua buah kamar sederhana di pondok dusun itu, setelah memesan mi-bakso dan minum teh hangat kemudian mandi. Pada keesokan harinya, agaknya Siang In sudah tidak cemberut lagi, akan tetapi pagi-pagi sekali dia sudah menggedor pintu kamar Kian Bu dan mengajak pemuda itu cepat-cepat berangkat melanjutkan perjalanan mencari pencuri kitab itu. Kian Bu gelagapan, terpaksa hanya sempat mencuci muka, kemudian sarapan dan berangkatlah mereka lagi keluar dari dusun itu sambil bertanya-tanya tentang wanita cantik yang rambutnya digelung tinggi.
Akhirnya, jejak yang mereka temukan dan ikuti membawa mereka ke sebuah dusun kecil di tepi sungai yang besar dan yang menjadi tapal batas dengan daerah liar di utara. Di seberang sungai itu sudah merupakan daerah liar yang tidak memperoleh penjagaan dari pasukan-pasukan pemerintah. Karena itu dusun ini cukup ramai karena menjadi tempat penyeberangan para pedagang. Banyak orang-orang suku Nomad dan liar yang menyeberang ke selatan untuk menjual rempah-rempah dan hasil sungai dan laut, sebaliknya para pedagang dari selatan banyak yang mengeduk keuntungan besar dengan membawa dagangan dan menyeberang ke utara, menjual atau menukar dagangan mereka dengan suku-suku asing di luar tapal batas.
Ketika Kian Bu dan Siang In tiba di tepi sungai, suasana di situ sudah sunyi. Waktu penyeberangan yang ramai adalah pagi dan sore, dan siang hari yang panas itu di tempat itu sudah sunyi dan hanya terdapat seorang penjaga perahu kosong yang duduk melenggut ngantuk.
“Dia tentu menyeberang. Kita menyeberang saja,” kata Siang In.
“Bagaimana dengan Pek-liong?”
“Kita tinggal saja.”
“Aih! Ditinggalkan? Sayang dong...!”
“Bu-twako, engkau masih belum mengenal kehebatan Pek-liong. Dia kutinggalkan akan tetapi dia bisa pulang sendiri. Itulah satu di antara kelihaiannya. Kau lihat!” Siang In lalu melepaskan kendali keledai itu, lalu berkata, “Pek-liong, kau pulanglah dan jaga rumah baik-baik! Hayo!”
Dia menepuk pantat kuda keledai itu tiga kali, dan binatang itu meringkik terus berlari congklang pergi dari tempat itu dengan cepat. Kian Bu melongo. Benar-benar hebat binatang itu. Kelihatannya saja seekor keledai bodoh, kiranya seekor binatang yang jinak dan cerdik!
Mereka lalu membangunkan tukang perahu yang mengantuk. Tukang perahu kelihatan ogah-ogahan menyambut mereka. Menyeberangkan dua orang saja tentu merugikan dirinya, karena biasanya perahunya itu menyeberangkan sedikitnya lima belas orang penumpang. Kalau dua orang itu mau membayar lebih...
“Sudahlah jangan khawatir, kami bayar dobel!” kata Kian Bu tak sabar.
Akan tetapi, dibayar dobel pun masih rugi dan dengan malas-malasan tukang perahu itu mendayung perahunya ke tengah. Belum jauh perahu meluncur, terdengar orang-orang berteriak memanggil dan ternyata di tepi sungai itu sudah berdiri lima orang laki-laki yang dikenal oleh Siang In dan Kian Bu sebagai laki-laki gagah yang ditabraknya di kedai bersama empat orang pengikutnya!
Tentu saja tukang perahu menjadi girang dan cepat mendayung kembali perahunya ke pinggir. “Tidak usah kembali, terus saja!” Siang In membentak.
“Aihh, Nona, kasihan mereka dan saya pun ingin penghasilan lebih,” bantah tukang perahu.
“Biarlah, In-moi. Mereka itu kelihatan orang-orang yang baik dan sopan. Masa urusan kecil begitu saja membuat engkau masih marah-marah terus? Kata Nenek, orang marah lekas tua!”
Siang In membanting-banting kaki, akan tetapi tidak berani marah lagi karena tidak mau menjadi lekas tua, hal yang amat dibuat ngeri oleh seluruh wanita di permukaan bumi ini!
Ketika lima orang itu naik ke perahu, laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu segera tersenyum dan menjura. “Aih, kiranya Ji-wi yang telah berada di perahu. Terima kasih atas kerelaan Ji-wi membiarkan perahu kembali lagi untuk membawa kami, dan harap Nona sudi memaafkan peristiwa di kedai tadi.”
Mau tidak mau Siang In pun harus mengakui bahwa pria setengah tua itu benar-benar sopan dan halus budi. Maka dia pun cepat meniru perbuatan Kian Bu untuk membalas penghormatan mereka, dan perahu meluncur terus ke tengah sungai karena layar telah dibentangkan dan angin bertiup keras.
Tiba-tiba tukang perahu kelihatan gugup dan wajahnya menjadi pucat. “Ahh, celaka...,” bisiknya.
Lima orang yang bersikap gagah itu bangkit berdiri, memandang ke arah dua buah perahu kecil yang meluncur cepat mendekati perahu mereka. “Siapa mereka?” tanya pria setengah tua yang usianya kira-kira empat puluh tahun dan berjenggot pendek itu.
“Mereka... mereka... bajak sungai...” tukang perahu berbisik. “Biasanya tidak pernah mengganggu...”
“Jangan takut!” Laki-laki berjenggot pendek berkata tenang, kemudian bersama empat orang temannya dia berdiri di kepala perahu, mencabut golok dan dengan golok terhunus mereka menanti dua buah perahu yang meluncur datang itu. Sikap mereka gagah sehingga Siang In menjadi kagum.
“Kiranya mereka itu pendekar-pendekar kang-ouw...,” bisiknya kepada Kian Bu yang hanya tersenyum saja dan sudah tentu dia pun diam-diam bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Setelah dua buah perahu yang membawa sepuluh orang tinggi besar dan kelihatan bersikap ganas itu mendekat, orang setengah tua yang berjenggot pendek itu berseru dengan suara nyaring dan berwibawa, “Kami bukanlah pedagang yang membawa banyak uang atau barang berharga, harap Cu-wi tidak mengganggu kami!”
Sepuluh orang itu memandang, kemudian dua perahu itu melempar jangkar dan mereka semua lalu terjun ke air dan menyelam! Tentu saja lima orang gagah itu memandang dengan heran, akan tetapi tukang perahu berseru lagi, “Celaka...!”
Sebelum semua penumpang tahu mengapa tukang perahu begitu ketakutan, tiba-tiba perahu itu bergerak dan miring, lalu bergoncang keras. Maka tahulah Kian Bu bahwa sepuluh orang bajak sungai itu menyelam dan dari bawah kini berusaha menggulingkan perahu.
“Ahhh, bagaimana ini, Bu-twako?” Siang In sudah memeluk Kian Bu dengan ketakutan dan menjerit setiap kali perahu miring. Gadis ini memiliki kepandaian silat lumayan dan seorang yang pemberani, akan tetapi karena dia tidak pandai renang, menghadapi air sungai yang bergelombang itu dia ngeri.
Para penumpang sama sekali tidak berdaya dan akhirnya perahu terbalik dan mereka semua terlempar ke air!
“Bu-twako...!” Siang In memeluk Kian Bu erat-erat sehingga membuat pemuda itu makin gelagapan.
Kian Bu yang sejak kecil tinggal di Pulau Es dan dekat dengan lautan, tentu saja pandai berenang akan tetapi dia bukan ahli dan berenang di air laut lebih ringan dari pada berenang di air sungai, maka ketika Siang In yang gelagapan itu saking takutnya memeluknya dengan ganas, Kian Bu juga menjadi repot sekali dan beberapa kali dia terpaksa minum air sungai.
Ternyata bahwa lima orang gagah itu pun tidak pandai berenang sehingga dalam waktu belasan menit saja, semua penumpang termasuk Kian Bu ditawan dalam keadaan pingsan dan dinaikkan ke dalam dua buah perahu kecil, terus dibawa pergi setelah masing-masing kedua tangan mereka dibelenggu. Tukang perahu itu menangis sambil memegangi pinggiran perahunya yang terguling. Dia rugi besar-besaran di hari itu, sungguh pun untung bahwa dia tidak dibunuh para bajak.
Ketika Kian Bu membuka matanya dan siuman, dia telah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang kuat dan dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya. Cepat dia menoleh ke kanan-kiri dan hatinya lega ketika dia melihat Siang In masih rebah di dekatnya, juga tangan dara ini terbelenggu dan biar pun Siang In masih pingsan, namun dara ini tidak mati. Demikian pula dengan lima orang gagah yang juga terbelenggu dan sudah mulai siuman.
Kian Bu menggerakkan kedua tangannya dan dengan jari-jari tangan dia mengurut perlahan tengkuk Siang In. Gadis itu mengeluh lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk, kemudian memandang kedua lengannya yang terbelenggu di depan tubuhnya.
“Aihhh... di mana kita?” Siang In bertanya dan memandang Kian Bu, lalu menoleh kepada lima orang lain yang juga sudah mulai siuman.
“Kita agaknya menjadi tawanan bajak-bajak itu,” kata Kian Bu.
Dia sudah memeriksa tali belenggunya, dan kalau mau, tentu dia dapat mematahkan belenggunya itu biar pun tali itu terbuat dari otot binatang yang amat kuat. Dia melihat lima orang itu mulai merenggut-renggut tangan mereka, namun hasilnya sia-sia. Kian Bu maklum bahwa tidak sembarangan orang akan dapat mematahkan belenggu ini, harus menggunakan sinkang tingkat tinggi. Maka dia pun dapat mengukur bahwa kepandaian lima orang itu, terutama pemimpin mereka yang berjenggot pendek, biar pun mungkin tinggi namun sinkang mereka belumlah begitu kuat.
“Tenang...!” Tiba-tiba Si Jenggot Pendek berkata. “Mereka menawan kita, berarti mereka tidak akan membunuh kita. Menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, apa lagi belenggu ini amat kuat. Kita harus tenang dan menanti keadaan.”
Siang In juga mencoba-coba untuk mematahkan belenggu, tetapi malah kulit lengannya yang menjadi nyeri. “Aih, Twako, bagaimana ini...?” keluhnya.
“Nona, harap jangan khawatir, kami akan melindungimu,” Si Jenggot Pendek berkata menghibur.
Siang In cemberut. “Huh, melindungi bagaimana? Kalian sendiri pun tidak berdaya.”
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke luar dari terali besi di atas pintu, lalu dia memberi isyarat kepada mereka semua untuk ikut melihat. Mereka kini bangkit semua dan memandang ke luar. Kiranya tempat itu merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikurung pagar tembok kuat, tampak dari tempat tahanan yang berada di tengah kampung itu.
Semua penduduk perkampungan itu agaknya sedang bersuka ria, sedang menghadapi suatu pesta yang sedang mereka rayakan. Ada yang membawa kertas-kertas berwarna, pajangan-pajangan dan orang-orang itu hilir-mudik sambil tersenyum-senyum, akan tetapi rata-rata mereka itu mempunyai wajah bengis, dan melihat dari pakaian mereka, baik yang perempuan mau pun yang laki-laki, mereka adalah orang-orang suku Nomad yang berkeliaran di daerah utara, terdiri dari campuran bermacam suku bangsa, akan tetapi sebagian besar adalah keturunan suku bangsa Mongol.
Sepasukan orang terdiri dari dua belas orang bersenjata golok besar datang ke tempat tahanan itu dan pintu besi dibuka dari luar. Kemudian tujuh orang tawanan itu digiring memasuki sebuah rumah besar dan terus ke ruangan samping rumah gedung besar itu. Di dalam sebuah ruangan telah menanti seorang laki-laki tua yang duduk di atas kursi.
Tujuh orang tawanan itu mengira bahwa tentu mereka akan dihadapkan kepada kepala bajak yang kejam dan bengis, dan Kian Bu yang sengaja tidak mematahkan belenggu untuk melihat perkembangan sebelum turun tangan, sudah siap untuk mengambil tindakan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia memandang dan mengenal orang yang duduk di atas kursi itu.
Pernah dia bertemu dengan orang ini di Koan-bun. Orang itu berpakaian sastrawan dan dia tahu bahwa orang itu adalah pengawal lihai dari Raja Tambolon, yaitu Yu Ci Pok yang berpakaian pelajar (siucai) di samping pengawal lain yang berpakaian petani dan bernama Liauw Kui! Akan tetapi perjumpaannya dengan Tambolon dan dua orang pengikutnya itu hanya sepintas saja maka kini Yu Ci Pok Si Siucai Maut itu tidak mengenalnya dan Kian Bu juga hanya menundukkan mukanya.
Memang tidak salah penglihatan Kian Bu, orang itu adalah Yu Ci Pok, pengawal Raja Tambolon, dan tempat itu adalah tempat yang dijadikan sarang oleh Raja Tambolon pada saat itu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Raja Tambolon gagal dalam merebut Koan-bun dan di kota itu pasukannya yang terdiri dari seribu orang malah hancur-lebur dan terbasmi, hampir tidak ada lagi sisanya. Tetapi, berkat kelihaiannya, dia dan dua orang pengawalnya berhasil menyelamatkan diri dan dia lalu lari ke utara.
Biar pun dia telah kehilangan pasukan, namun nama Raja Tambolon telah dikenal oleh para suku Nomad, maka tentu saja kemunculannya disambut dengan penuh penghormatan dan sebentar saja Raja Tambolon sudah dapat mengumpulkan kekuatan dan dia bahkan menjadi raja kecil di daerah perbatasan di seberang sungai dan kekuasaannya meliputi daerah yang cukup luas! Ada pun kedua orang pengawalnya itu kini diangkatnya menjadi menteri-menterinya karena dia sendiri menjadi raja kecil di situ. Para bajak sungai yang beroperasi di sepanjang sungai itu semua ditundukkannya dan menjadi anak buahnya!
Kian Bu melirik ke depan dan melihat bahwa sastrawan itu ditemui oleh dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua orang penunggang kuda yang dilihatnya di hutan itu. Kiranya dua orang itu adalah kaki tangan sastrawan pengawal Tambolon ini, pikirnya. Dia menduga bahwa pengawal Raja Tambolon ini telah berdikari dan menjadi kepala bajak. Tidak heran, karena memang orang itu lihai, pikirnya.
“Mereka berlima itulah!” Terdengar Si Kumis Tebal menerangkan kepada sastrawan itu. “Jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang dari Bhutan!”
Siucai itu memandang penuh perhatian, kemudian membentak kepada lima orang itu. “Benarkah kalian adalah keparat-keparat dari Bhutan?” Kerajaan Bhutan telah menjadi musuh-musuh dari Tambolon dan kaki tangannya.
Orang setengah tua itu mengangkat dadanya dan berkata, suaranya tabah dan nadanya memandang rendah, “Hemm, kiranya di sini pun terdapat kaki tangan Tambolon yang merajalela! Aku tahu bahwa engkau adalah Yu-siucai, pengawal Tambolon. Di manakah rajamu yang liar itu sekarang? Ha-ha-ha, aku mendengar akan kehancurannya di Koan-bun!”
Siucai itu terbelalak, memandang penuh perhatian dan bangkit dari kursinya, mendekati orang setengah tua itu, mengamat-amati, lalu membentak, “Keparat! Kiranya engkau adalah Panglima Jayin dari Bhutan!”
“Matamu masih awas, Yu-siucai!”
Siucai itu kembali duduk dan tertawa gembira, “Ha-ha-ha, siapa kira kita bisa menawan tokoh kedua dari Bhutan! Ahhh, tentu Tai-ong akan gembira sekali melihat mukamu, Jayin!” Dia lalu menoleh kepada dua orang itu. “Lekas kalian laporkan kepada Ong-ya bahwa lima orang tawanan dari Bhutan itu adalah Jayin dan empat orang pembantunya! Akan tetapi hati-hati, jangan ganggu Ong-ya yang sedang bergembira.”
Dua orang itu mengangguk dan pergi, wajah mereka tampak girang sebab mereka telah membuat jasa besar.
Yu-siucai lalu memandang Kian Bu dan Siang In. Gadis ini menundukkan mukanya, pakaiannya masih basah dan menempel ketat di tubuhnya sehingga lekuk-lengkung tubuhnya yang ranum itu nampak nyata.
“Kalian siapa?!” bentaknya.
“Maaf, Taijin (Pembesar)...” Kian Bu menjawab cepat, mendahului Siang In. “Saya bernama Teng Bu dan ini adik saya, Teng Siang In... kami berdua sedang menumpang perahu... tidak ada hubungan kami dengan mereka ini...” Kian Bu memperlihatkan sikap ketakutan, dan diam-diam Siang In melirik kepadanya, agak geli juga mendengar Kian Bu merubah namanya dan mengaku sebagai kakaknya dan membonceng she-nya (nama keturunan).
“Yu-siucai, dua orang ini memang hanya kebetulan saja menumpang perahu. Harap bebaskan mereka yang tidak bersalah apa-apa.”
“Hemm, keputusannya berada di tangan raja kami. Dan untung bahwa kini kami sedang mengadakan pesta pernikahan raja kami, kalau tidak, tentu kalian sudah menerima hukuman langsung.”
Panglima Jayin, tokoh Bhutan itu tertawa. Seperti telah kita kenal, panglima ini adalah murid dari Kakek Lu Kiong, kakek dari Ceng Ceng dan telah menjadi orang terkenal di Bhutan. Dia bersama empat orang pembantunya itu kini sedang bertugas untuk mencari Puteri Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, entah sudah berapa puluh kali aku mendengar Tambolon menikah!”
Siucai itu melompat ke depan, tangannya menampar.
“Plak-plak!”
Bibir Panglima Jayin pecah dan berdarah, namun dia masih berdiri tegak, memandang dengan mata menghina.
“Kalau bukan hari baik raja kami, aku tentu sudah membunuhmu!”
“Pengecut!” Tiba-tiba Siang In memaki dan matanya terbelalak memandang siucai itu. “Laki-laki macam apa engkau ini? Beraninya menghina orang yang terbelenggu. Hih, tak tahu malu! Buang saja pakaian pelajar itu, ganti pakaian penjahat!”
Siucai itu terkejut dan memandang kepada dara itu dengan muka merah, dan Panglima Jayin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Yu-siucai, dengarkan suara seorang dara sederhana yang jauh lebih gagah dari pada engkau. Ha-ha-ha! Terima kasih, Nona. Engkau sungguh patut dikagumi, dan aku akan mati gembira mengenangkan seorang dara yang gagah seperti engkau!”
Siang In tersenyum dan dia tidak takut lagi kini. Pada saat itu, dua orang tadi datang lagi dan berkata, “Pesta sudah dimulai, Yu-taijin diminta menghadiri pesta dan para tawanan diperbolehkan nonton dan ikut bersenang-senang sebelum diambil keputusan hukuman mereka. Demikian pesan Ong-ya.”
Yu-siucai mengangguk. “Hemm, sungguh kalian masih bernasib baik. Raja kami sedang bergembira dan tidak ada nafsu melihat darah musuh-musuhnya. Giring mereka ke sana!”
Kembali dua belas orang pasukan menggiring tujuh orang tawanan itu menuju ke ruangan besar dan luas di mana telah terdengar suara riuh rendah orang berpesta. Kiranya pada waktu itu Raja Tambolon sedang merayakan hari pernikahannya dan pesta besar dirayakan. Ruangan yang luas itu penuh dengan para tamu, akan tetapi tamu-tamu itu terdiri dari orang-orang yang kasar dan liar.
Suasana pesta di situ kacau-balau dan sama sekali tidak teratur dan sebagian sudah mabok. Dan hampir di setiap meja di ‘hias’ dengan perempuan-perempuan cantik yang bermacam-macam sikapnya. Ada yang genit dan agaknya sudah mahir melayani orang-orang besar itu, ada yang kelihatan berduka dan takut-takut, akan tetapi semuanya berpakaian mewah dan berbedak tebal. Mereka ini adalah wanita-wanita rampasan yang telah dijadikan alat hiburan secara paksa oleh Tambolon dan kaki tangannya, dan kini mereka dikerahkan untuk menemani dan menghibur para tamu!
Siang In memandang dengan cemas, dan diam-diam Kian Bu juga muak menyaksikan keadaan di situ. Tanpa aturan sama sekali! Ada yang berkeliaran ke sana-sini, dan ada yang mengadu kekuatan minum sampai ada yang muntah-muntah. Ada pula yang mengadu kekuatan pergelangan tangan, dirubung dan disoraki dengan bising, ada pula yang sedang menggeluti seorang wanita. Tawa dan kekeh terdengar memenuhi udara, bercampur dengan bau keringat dan arak dan mulut busuk! Di sudut kiri terdapat para pemain musik dan para penyanyi yang suaranya sudah mulai serak dan sumbang karena diloloh minuman keras oleh para tamu yang merubung tempat hiburan ini, agaknya mereka yang agak ‘nyeni’ atau yang suka akan seni musik!
Tujuh orang tawanan itu digiring masuk terus ke tempat Tambolon untuk menghadap raja itu. Akan tetapi Tambolon sedang sibuk dan ketika Yu-siucai mendekatinya dan berbisik, raja itu hanya menoleh sebentar ke arah tawanan, kemudian menggeleng kepala dan menyuruh semua menunggu karena dia sedang sibuk menonton adu gulat yang berlangsung di ruangan itu.
Memang adu gulat merupakan tontonan dan olahraga yang amat populer di daerah itu, dan Tambolon sendiri dahulu merupakan seorang ahli gulat nomor satu di daerahnya. Setelah dia belajar ilmu silat tinggi, tentu saja dia memandang rendah ilmu ini, akan tetapi dia masih suka menonton. Ramai sekali pertandingan adu gulat di gelanggang yang disediakan khusus itu dan banyak tamu yang suka akan tontonan ini mengepung tempat itu untuk menonton. Tambolon kini sudah tercurah seluruh perhatiannya kepada pertandingan itu lagi setelah tadi terganggu sebentar.
Kian Bu tetap memegang kedua tangan Siang In sehingga empat tangan mereka yang pergelangannya terbelenggu itu tidak pernah berpisah. Dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tempat itu penuh orang, hampir kesemuanya orang-orang asing dan hanya sedikit saja orang-orang Han yang juga merupakan orang-orang kasar dari golongan hitam. Banyak pula kepala-kepala suku yang mendapat tempat kehormatan akan tetapi juga kini bercampur menjadi satu menonton apa saja yang disukai mereka di dalam pesta awut-awutan itu.
Dari bentuk tubuh mereka yang tegap dan tinggi besar, dengan otot-otot yang membelit-belit seperti tali kuat, dapat dimengerti bahwa mereka itu rata-rata adalah orang-orang kasar, tukang-tukang berkelahi yang kuat dan berani. Kian Bu agak gentar hatinya mengingat bahwa dia harus melindungi Siang In. Dia lalu melirik ke arah lima orang tawanan dari Bhutan itu, dan kebetulan Panglima Jayin memandangnya. Mereka saling tersenyum dan Kian Bu kagum sekali. Panglima ini benar-benar amat gagah berani dan tenang. Dia menarik Siang In, mendekati panglima itu, lalu berbisik,
“Agaknya engkau mencari Syanti Dewi?”
Panglima Jayin terkejut sekali, terbelalak dan mengangguk.
“Dia berada di istana kaisar, di kota raja,” Kian Bu berbisik lagi lalu menjauh karena khawatir kalau didengar orang lain.
Panglima itu mengangguk-angguk dan terlihat girang. Panglima yang setia ini memang merasa girang sekali. Dia sendiri terancam bahaya, akan tetapi hal itu bukan apa-apa baginya dan mendengar bahwa puteri yang dicarinya sudah berada di tempat aman, di istana kaisar, tentu saja dia merasa lega dan girang.
Kini Kian Bu memperhatikan Tambolon. Raja itu kelihatan menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar dan matanya yang terbelalak lebar, mulut besar menyeringai dan kedua tangannya bergerak-gerak mengikuti gerakan kedua orang pegulat yang sedang bertanding. Raja itu kelihatan amat tertarik sehingga tak peduli akan keramaian di sekitarnya.
Di sebelah kirinya duduk pengantin perempuan yang selalu menundukkan mukanya yang tertutup tirai halus, dan kelihatan pengantin ini lesu dan lemas. Di belakang agak ke samping, berdiri seorang yang memakai pakaian perang dan Kian Bu mengenalnya sebagai pengawal Tambolon yang lihai, yaitu Si Petani Maut Liauw Kwi! Dan di sebelah pengantin perempuan, agak jauh dan menyendiri, seperti mengantuk dan malas, duduk seorang nenek tua yang berkulit kehitaman, memakai pakaian sutera hitam yang hanya dilibat-libatkan di seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke kepalanya.
Melihat sepasang mata nenek yang mengantuk itu, sinar mata yang tajam seperti sepasang mata ular, Kian Bu terkejut sekali. Dia dapat mengenal orang berilmu seperti yang pernah didengar dari ayahnya. Melihat sinar mata itu mungkin sekali nenek ini pandai ilmu sihir! Dan dugaannya berdasarkan penuturan ayahnya memang benar. Nenek itu adalah guru dari Tambolon, seorang yang datang dari Pegunungan Himalaya, dari daerah See-thian (India) yang tinggi ilmu silatnya dan mahir ilmu sihir!
Jantung Kian Bu berdebar. Keadaannya sulit dan berbahaya! Dia harus melindungi Siang In, dan terutama sekali dia harus berhati-hati menghadapi Tambolon, Petani Maut, Yu-siucai, dan nenek itu! Di samping itu masih ada ratusan orang liar yang kelihatan kuat-kuat. Baru dua orang pegulat yang sedang berlaga itu saja sudah amat hebat. Tubuh mereka yang telanjang dan hanya memakal cawat, seperti tubuh dua ekor gajah. Otot-otot mereka menggelembung dan mengeluarkan bunyi berkerotan ketika mereka mengadu kekuatan otot, berusaha untuk saling membanting. Benar-benar dia berada di tengah-tengah jagoan-jagoan yang tak boleh dipandang ringan!
Tiba-tiba Kian Bu tersentak kaget. Ada suara orang mendengkur di belakangnya. Di tengah-tengah orang hiruk-pikuk berpesta-pora ini, masih ada yang tidur mendengkur. Gila! Mendengkur? Dia bergidik dan teringat akan sesuatu, cepat menoleh dan... terbelalak dia memandang kepada seorang kakek berambut putih semua yang tidur mendengkur di atas sebuah kursi, tepat di belakangnya!
Tangan kakek itu masih memegang sebuah guci arak yang menetes-netes araknya. Agaknya dia mabok dan tertidur. Akan tetapi Kian Bu ingat benar bahwa di belakangnya tadi tidak ada apa-apa, tidak ada kursinya, apa lagi kakek yang tertidur mendengkur. Hatinya tergetar. Betapa lihainya kakek ini! Dengan hadirnya kakek ini sebagai lawan, makin beratlah keadaannya. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Tempat ini menjadi sarang orang-orang pandai.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dari mereka yang menonton adu gulat, setelah terdengar suara berdebuk keras. Kiranya seorang di antara pegulat itu dapat dibanting keras dan tentu saja kalah dengan tulang punggung remuk! Tambolon agaknya menjagoi sang pemenang, buktinya dia bersorak-sorak dan menjadi girang sekali.
“Si Bolohok menang! Ha-ha-ha, sudah kuduga. Kau lihat, isteriku, jagoanku menang. Hayo minum untuk kegembiraan ini!” Tambolon melihat pengantin wanita menggeleng kepala, akan tetapi dia memaksa, tangan kanan memegang cawan arak, tangan kiri membuka kerudung yang menutupi muka pengantin wanita. Kian Bu melihat wajah seorang wanita yang cantik!
“Enci Siang Hwa...!” Mendadak Siang In yang berdiri di sampingnya menjerit ketika kerudung muka pengantin wanita itu dibuka, dan dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, lari ke arah enci-nya yang juga sudah melihatnya.
“Adikku...!” Pengantin wanita juga menjerit dan menangis.
Jarak antara mereka agak jauh dan semua orang tercengang mendengar jerit dua orang gadis itu dan memandang bengong. Pengantin wanita dengan kerudung terbuka bangkit berdiri mengembangkan kedua tangan, sedangkan dara remaja yang terbelenggu kedua tangannya itu lari terhuyung menghampirinya sambil menangis juga.
Melihat ini, Yu Ci Pok yang semenjak tadi menjaga para tawanan, meloncat untuk menangkap Siang In. Akan tetapi, loncatannya gagal karena dia merasa seperti ada sesuatu yang mengait kakinya sehingga dia terperosok ke depan. Akan tetapi siucai ini memang lihai sekali, dengan berjungkir-balik dia dapat mematahkan bantingan itu dan tubuhnya mencelat ke depan. Dia berhasil menyambar lengan Siang In, akan tetapi karena gerakannya tidak wajar lagi oleh gangguan hebat tadi, tidak urung dia terhuyung dan menabrak meja di depan Tambolon sehingga meja itu terbalik dan arak serta hidangan makan tumpah semua. Tentu saja keadaan menjadi kacau dan geger!
“Siang In...!”
Pengantin wanita itu kini memegang tangan adiknya dan mereka berpelukan, namun Tambolon yang menjadi marah dengan gangguan itu, menarik tangan pengantinnya. Yu Ci Pok yang merasa kaget membikin terbalik meja junjungannya, lalu menyelinap di antara orang banyak untuk mencari orang yang telah menjegal kakinya tadi. Saking marahnya, siucai ini lupa akan para tawanannya.
Kian Bu yang memperhatikan semua itu, kini melihat betapa kakek yang tadi menjegal kaki Yu Ci Pok, kini dengan gerakan cepat menghampiri lima orang Bhutan dan begitu jari-jari tangannya meraba, belenggu-belenggu lima orang itu patah semua. Kakek itu menghampiri dia, mengulur tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua tangan Kian Bu dan... kakek itu terbelalak dan mengeluarkan suara “huhh!” ketika melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda itu menggerakkan kedua tangan dan belenggu itu patah-patah!
“Enci... kenapa engkau menjadi begitu...?”
“Adikku... aku... aku dipaksa...”
“Bocah lancang, kau bosan hidup!” Tambolon menjadi marah sekali dan mengangkat tangan hendak memukul Siang In.
Melihat ini, Kian Bu menjadi merah mata dan mukanya, darahnya naik dan perutnya pun terasa panas. Lengkingan yang tinggi dan nyaring mengejutkan semua orang dan turut menambah kekacauan keadaan, bahkan beberapa di antara orang-orang tinggi besar dan bertubuh kuat itu ada yang terguling dan menutupi telinganya, ada yang menekan dadanya karena suara melengking yang keluar dari mulut Kian Bu itu adalah pengerah khikang sakti dari Pulau Es, suara yang mengandung getaran hebat sehingga dapat memecahkan anak telinga dan melumpuhkan jantung!
Dengan kemarahan meluap, Kian Bu meloncat ke atas, melewati kepala banyak orang dan melesat ke arah Tambolon sambil menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sekuatnya. Tenaga Inti Salju yang amat hebat ini mendatangkan hawa dingin yang amat luar biasa sehingga beberapa orang yang tersentuh hawa ini menggigil kedinginan, sampai gigi mereka berkerutukan seperti orang menderita sakit demam!
Mendengar lengking tadi, Tambolon terkejut dan sudah mengurungkan pukulannya terhadap Siang In. Kini lebih kaget lagi melihat seorang pemuda melayang datang dan menghantam dengan pukulan yang membawa hawa dingin amat dahsyatnya itu.
Dari belakang raja itu, Petani Maut yang mengenal serangan dahsyat, sudah bergerak, meloncat ke depan, tangannya masih memegang sebuah guci arak penuh yang tadi hendak digunakan mengisi cawannya. Guci arak yang penuh itu kini dia pergunakan untuk menyambut hantaman Kian Bu yang dahsyat itu.
“Pyaaaarrrr...!”
Petani Maut terhuyung ke belakang dan menggigil kedinginan. Tambolon juga terbelalak melihat betapa guci itu pecah berkeping-keping dan araknya berhamburan ke mana-mana, sebagian menjadi butiran-butiran es karena beku oleh hawa mukjijat dari Swat-im Sinkang! Menyaksikan kelihaian pemuda ini, Tambolon cepat berteriak kepada para pembantunya untuk mengepung dan mengeroyok. Gegerlah keadaan pesta itu. Kian Bu mengamuk dikeroyok oleh banyak jagoan-jagoan kaki tangan Tambolon.
Panglima Bhutan dan empat orang pembantunya yang telah dibebaskan dari belenggu oleh kakek berambut putih tadi, kini juga mengamuk dan berusaha untuk mencari jalan keluar. Akan tetapi, tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh anak buah Tambolon sehingga seperti juga Kian Bu, mengamuklah Panglima Jayin bersama keempat orang pembantunya. Pertandingan hebat, mati-matian dan kacau terjadilah di tempat itu.
Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran. Para tamu yang sudah mabok ada yang ikut-ikut mengamuk, akan tetapi mereka ini roboh sendiri tanpa diserang karena berdiri pun mereka ini sudah tidak mampu tegak lagi. Ada pula tamu mabok yang enak-enak bernyanyi, ada yang memeluk wanita tanpa mempedulikan segala keributan itu. Pendeknya, tempat itu menjadi kacau-balau sama sekali.
Keributan menjadi makin kacau dan hebat, ketika ada minyak mengalir di bawah bangku dan meja yang berserakan dan tak lama kemudian minyak bakar ini disambar api yang dilepas oleh kakek berambut putih dengan membantingkan sebuah lentera ke atas lantai yang berminyak. Ruangan itu mulai dimakan api yang bernyala besar dan hawa menjadi panas bukan main. Gegerlah semua orang yang sedang bertempur itu. Amukan api yang hebat membuat mereka lupa akan pertempuran, lupa akan lawan karena api merupakan lawan dan bahaya yang lebih hebat lagi. Larilah semua orang berserabutan menuju ke pintu dan berjejal-jejal dalam usaha mereka untuk keluar dari pintu karena api yang menjilat minyak itu berkobar tinggi dan sudah menjilat atap!
Melihat bahaya maut dari api yang mengamuk ini, Tambolon cepat menoleh dan hendak menyambar ke arah pengantinnya. Ketika tangannya bergerak hendak menangkap lengan Teng Siang Hwa yang kini berpelukan dengan adiknya, dalam keadaan takut dan memandang ke arah pertempuran yang bubar oleh amukan api, Siang Hwa cepat mengelak dan gerakannya ini menyeret adiknya sehingga mereka terhuyung dan terpisah.
“Hayo cepat kita pergi dari ruangan ini!” Tambolon berseru dan kembali tangannya menyambar dan sekali ini agaknya Siang Hwa tidak akan dapat mengelak lagi.
“Dukkkk...!” Tambolon terkejut dan terhuyung. Ketika dia memandang, ternyata seorang kakek berambut putih telah berdiri di depannya.
Suara hiruk-pikuk terdengar dan ada bagian atap yang roboh termakan api. Sebatang balok kayu bernyala jatuh menimpa ke dekat mereka. Kakek itu menjadi terhalang dan tak dapat melindungi Siang Hwa. Namun melihat Tambolon yang melompat ke samping menghindarkan diri dari timpaan balok sambil berusaha menubruk pengantinnya, kakek itu menggerakkan tangan kanannya mendorong ke arah Tambolon. Itulah pukulan jarak jauh yang amat dahsyat. Tambolon kembali tertahan gerakannya dan merasa ada hawa menyambar dia kemudian menangkis.
Api makin membesar dan asap membuat mata Tambolon menjadi pedas dan panas. Maka dia lalu menubruk ke depan, tetapi karena dia melakukan ini dengan sebagian perhatian ditujukan kepada Si Kakek, dan matanya juga hampir terpejam karena panas dan pedas, dia salah tubruk dan yang tertangkap dan cepat ditotoknya itu bukannya Siang Hwa melainkan Siang In, adik Si Pengantin Wanita.
Akan tetapi Tambolon agaknya tidak peduli lagi dan cepat dia memanggul tubuh Siang In yang lemas tertotok itu di atas pundak kanannya dan dia meloncat dan lari dari ruangan yang terbakar itu melalui sebuah pintu rahasia.
Api mengamuk makin ganas dan makin banyak bagian atap ruangan itu yang ambruk. Sekarang mulailah penduduk perkampungan bajak atau anak buah Tambolon itu menggunakan air untuk mencoba memadamkan api yang mulai menjilat dan menjalar ke mana-mana. Asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu, menghalangi pandangan dan menyesakkan napas. Kekacauan ini memberi kesempatan baik sekali kepada Kian Bu dan lima orang Bhutan itu untuk melarikan diri karena semua orang lebih memperhatikan amukan api dari pada para tawanan itu.
Bahkan agaknya tidak ada lagi yang peduli akan tawanan-tawanan itu karena semua orang kini sibuk berusaha memadamkan api yang telah membakar habis ruangan pendopo tempat pesta tadi. Dengan suara gemuruh ambruklah ruangan pesta yang luar biasa itu, berikut bangunan-bangunan di dekatnya, terbakar menjadi arang dan abu. Akhirnya api dapat dipadamkan setelah puas menghabiskan tempat itu, dan tawanan telah lolos! Lenyap semua tawanan-tawanan itu dan juga pengantin wanita.
Tambolon marah-marah, mencak-mencak karena sekali ini dia menderita rugi besar. Sebagian bangunan gedungnya musnah, para tawanan lolos dan pengantinnya kabur! Beberapa orang anak buahnya ada yang tewas dimakan api, ada pula yang luka-luka. Setelah dia melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan, dia lalu berlari ke luar dan teringatlah dia akan gurunya, nenek dari India itu. Ke mana perginya gurunya itu? Mengapa tidak kelihatan keluar dari ruangan yang terbakar?
Tambolon keluar dan menenangkan para tamu yang cerai-berai itu, dan berkata, “Harap para tamu jangan pergi dulu, pesta akan dilanjutkan di taman bunga! Kebakaran ini tidak akan menghalangi kita bersenang-senang!”
Para tamu bersorak-sorai gembira dan semua menuju ke taman di mana mulai diatur oleh para anak buah Tambolon, sedangkan Tambolon sendiri bersama dua orang pengawalnya menuju ke puing bekas ruangan tadi untuk mencari nenek yang menjadi gurunya. Nenek itu amat lihai dan sakti, akan tetapi memang sudah agak pikun. Jangan-jangan gurunya itu keenakan melamun sehingga dimakan api, atau bisa jadi juga gurunya itu melakukan pengejaran terhadap para tawanan dengan pembantu mereka yang lihai, yaitu pemuda tampan itu dan Si Kakek berambut putih!
Tambolon dan dua orang pengawalnya menghadapi tumpukan abu dan kayu-kayu yang menjadi arang, yang berupa puing menggunung. Tiba-tiba terdengar suara terkekeh kekeh dan tumpukan debu arang dan kayu itu berhamburan dan muncullah Si Nenek guru Tambolon itu sambil tertawa-tawa dan dalam keadaan segar bugar, hanya kotor penuh debu.
Tidak ada luka, tidak ada yang terbakar pada tubuh nenek itu, dan sedikit pun tidak kelihatan dia kepanasan ketika dia melangkah dan menginjak sisa-sisa api yang masih membara itu dengan enaknya. Para anak buah Tambolon yang sejak nenek itu datang memandang rendah nenek tua renta itu dan hanya menghormatinya karena Tambolon mengakui sebagai gurunya, kini terbelalak memandang kagum dan ngeri. Nenek ini seperti bukan manusia biasa tampaknya!
Tambolon cepat menyongsongnya dan bertanya, “Subo (Ibu Guru) tidak apa-apa?”
Nenek itu tertawa, hanya mulutnya saja yang terbuka dan memperlihatkan lubang yang dalam dan tanpa ada giginya, hanya nampak gelap saja, tidak ada terdengar suara ketawa, “Aku sedang melamun, tahu-tahu atap runtuh dan aku tertimpa. Mana dia si bocah tua bangka itu?” Matanya yang kecil penuh keriput di seputarnya itu memandang ke kanan kiri, mencari-cari. “Mana bocah gila itu? Dia selalu mengikuti dan mengganggu aku!”
“Siapakah yang Subo cari?” Tambolon bertanya.
“Siapa lagi kalau bukan See-thian Hoat-su? Aku tahu betul bahwa tadi dia datang dan kau kira siapa yang menimbulkan kebakaran kalau bukan dia? Sayang aku tadi sedang melamun, kalau tidak sudah kutangkap dia!”
Tambolon terkejut mendengar nama See-thian Hoat-su itu. Dia belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi dia tahu bahwa See-thian Hoat-su adalah bekas suami gurunya ini. Menurut cerita yang pernah didengarnya, gurunya itu dahulu mempunyai seorang suami, seorang bangsa Han yang di waktu mudanya merantau ke India dan berguru kepada ayah nenek itu untuk belajar ilmu sihir. Nenek itu pun masih muda dan mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri. Akan tetapi makin tua makin tidak cocoklah mereka dan sering kali mereka bercekcok sampai bertanding ilmu.
Dalam hal ilmu silat, Si Suami lebih pandai, akan tetapi menghadapi ilmu sihir isterinya yang lebih lihai dari padanya, See-thian Hoat-su (Ahli Sihir dari Dunia Barat) ini merasa tobat sehingga akhirnya dia meninggalkan isterinya, kembali ke pedalaman. Nenek itu sendiri setelah amat terkenal dan disebut Durganini, seolah-olah dia adalah titisan atau penjelmaan Dewi Durga, isteri dari maha dewa yang menjadi kepala dari bangsa iblis! Tambolon berguru kepada Durganini setelah nenek itu berpisah dari suaminya.
Tambolon teringat akan kakek rambut putih yang dilihatnya muncul tiba-tiba di waktu keadaan kacau-balau tadi. “Ah, kakek rambut putih itukah See-thian Hoat-su?”
“Kalau dia muncul lagi, cepat beritahu agar dapat kucengkeram tengkuknya!” Nenek itu berkata sambil berjalan ke kamarnya dan meneriaki pelayan agar datang membawa air, memandikannya dan mengganti pakaiannya.
Pesta itu tetap dilanjutkan juga pada malam harinya. Para tamu dijamu lagi di ruangan belakang, tidak kalah meriahnya dengan sebelum terjadi keributan, dan kini pengantin wanita telah digantikan tempatnya oleh Siang In! Dara remaja ini tidak berdaya karena ditotok dan dipaksa duduk bersanding dengan Tambolon di dalam ruangan itu! Pesta berlangsung dengan penuh kegembiraan dan gila-gilaan.