CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 29
Kini pimpinan rombongan, diikuti oleh semua anak buahnya berlutut di depan Pendekar Super Sakti.
“Pendekar besar... siapakah yang datang menunggang burung dewa tadi? Apakah dia itu golongan dewa atau golongan iblis?” tanya pimpinan rombongan yang paling pandai berbahasa Han dari pada yang lain.
Suma Han tersenyum. “Kalau dikatakan bahwa dia itu iblis memang lebih cocok,” jawabnya.
“Ahhh, kalau begitu paduka adalah seorang dewa!” Ucapan ini disusul oleh sikap yang amat menghormat, mereka berlutut dan menyembah-nyembah.
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Suma Han.
Oleh karena mereka merasa dibantu oleh dewa, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Bhutan yang sedang dikurung oleh pasukan-pasukan Tambolon dengan gembira.....
Puteri Milana, Gak Bun Beng, Panglima Jayin dan para panglima lainnya malam itu mengadakan perundingan. Bentrokan dengan pihak musuh secara terbuka ternyata tidak menguntungkan mereka. Biar pun dalam perang pertama kali itu kalau dihitung jatuhnya korban, mereka dapat dikata menang karena jumlah musuh yang menjadi korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tentara mereka, akan tetapi robohnya para korban di pihak mereka itu berarti berkurangnya jumlah mereka sehingga pertahanan mereka menjadi makin lemah, sedangkan pihak musuh yang mengurung di luar tentu saja dapat menyusun kembali kekuatan dengan mendatangkan bala bantuan dari luar!
Mereka semua merasa bingung dan kehabisan akal. Akan tetapi Puteri Milana yang sudah biasa dengan siasat perang, dalam keadaan segawat itu tidak menjadi putus asa dan dia berkata, “Kalau mengandalkan perang terbuka, jumlah kita yang belum tentu ada separuh jumlah mereka pasti akan menderita kerugian besar. Maka sebaiknya kita menggunakan siasat, menyerang mereka dari luar.”
“Menyerang mereka dari luar?” tanya Jayin bingung. “Apa yang paduka maksudkan?”
“Sepasukan pengawal pilihan yang dipimpin oleh Sangita dan Tek Hoat telah menanti saat baik di luar dan mereka tentu akan bergerak setelah kita beri tanda lagi. Kalau kita menyelundupkan pasukan-pasukan keluar, kemudian menyerang mereka dari berbagai jurusan, tentu mereka akan menjadi kacau-balau. Benteng kita cukup kuat, dan tidak perlu dijaga terlalu banyak tentara. Kalau banyak terjadi penyerangan oleh pihak kita dari luar, tentu mereka menyangka bahwa penyerang-penyerang dari luar itu adalah bala bantuan yang datang dari berbagai pihak dan hal ini pasti akan melemahkan semangat mereka. Barisan yang dipimpin Tambolon bukan merupakan suatu suku bangsa yang bersatu, melainkan dari banyak suku bangsa. Sekali semangat mereka dipatahkan, mereka tentu akan cerai-berai.”
Semua orang tidak ada yang dapat membantah siasat yang dikemukakan oleh Milana.
“Biar aku yang memimpin pasukan menyelundup dan menerobos keluar dari kepungan musuh,” kata Bun Beng.
Milana mengangguk. “Memang penerobosan keluar ini saya percayakan kepadamu, Gak-suheng. Kita memilih bagian yang paling lemah dijaga musuh, yaitu di bagian barat karena kini bagian selatan sudah diperkuat, kemudian setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, harus dapat berpencar menjadi pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh perwira masing-masing, kemudian mencari tempat persembunyian yang baik di empat penjuru dan mengadakan serangan-serangan gangguan di waktu malam agar pihak musuh tak dapat beristirahat dan mengalami kekacauan.”
Puteri Milana lalu mengemukakan rencana siasatnya, didengarkan penuh perhatian oleh para pembantunya. Sampai lewat tengah malam mereka berunding dan mengatur persiapan karena menurut rencana mereka, pada malam itu juga, menjelang pagi sehingga keadaan para penjaga pihak musuh sedang lelah-lelahnya, mereka akan melakukan penyelundupan atau penerobosan keluar itu.
Semua pasukan yang jumlahnya empat ribu orang, yang kemudian akan dipecah menjadi empat kelompok, sudah siap di pintu gerbang barat, menanti saat dibukanya pintu gerbang dan menanti isyarat yang akan diberikan oleh Sang Puteri Milana sendiri. Pasukan itu dipimpin oleh Gak Bun Beng yang berpakaian biasa, bahkan banyak sekali, sebagian besar di antara anak buah pasukan, mengenakan pakaian biasa seperti yang telah diatur dalam rencana siasat Puteri Milana sehingga oleh pihak musuh akan disangka bahwa pasukan-pasukan itu adalah bala bantuan dari luar.
Akan tetapi sebelum isyarat diberikan oleh Puteri Milana, mendadak terdengar suara gaduh di luar tembok. Penjaga segera datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar tembok benteng, di sebelah timur terjadi kekacauan di pihak musuh dan nampak api berkobar seperti terjadi kebakaran besar dan terdengar teriakan-teriakan dan tanda-tanda persiapan dan perang!
Peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangka ini membuat Puteri Milana terpaksa menunda gerakan penerobosan itu. “Kita harus tahu lebih dulu apa artinya peristiwa itu,” katanya kepada Gak Bun Beng. “Penerobosan dapat ditunda sampai besok malam... aku khawatir kalau-kalau Tek Hoat melakukan sesuatu di luar rencana.”
Semua orang berkumpul di atas benteng, memandang ke tempat terjadinya kebakaran dan melihat perang yang hanya mereka ketahui dari suaranya saja. Akan tetapi tidak lama kemudian, sinar matahari pagi menerangi keadaan di bawah dan tidak jauh dari tembok benteng, pandang mata Bun Beng dan Milana melihat seorang laki-laki yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak tentara musuh. Biar pun dari atas menara masih agak jauh tempat pertempuran itu, dan orang-orang yang bertempur itu kelihatan kecil-kecil saja, namun melihat gerakan silat orang yang dikepung di tengah-tengah itu membuat Bun Beng terkejut bukan main.
“Dia Tek Hoat...!” serunya.
“Eh, benarkah?” tanya Milana.
“Aku tidak lupa gerakan silatnya!”
“Hemm, seperti yang kukhawatirkan. Anak itu lancang sekali."
"Dan terlalu berani. Lihat, kemungkinan semua pasukannya sudah terbasmi habis. Yang bertanding hanya tinggal dia seorang diri. Aku harus menolongnya. Milana, harap kau perintahkan penjaga pintu gerbang untuk bersiap menolongku masuk..., aku harus menolongnya.”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi...”
“Gak-taihiap, itu terlalu berbahaya.” Sri Baginda yang juga ikut pula meninjau keadaan keributan di bawah itu berkata, “Lebih baik suruh sepasukan pengawal untuk keluar membantunya.”
“Kita tak boleh kehilangan banyak anggota pasukan, Sri Baginda. Saya dapat menolong dia. Sumoi, aku pergi!”
Dengan cekatan Gak Bun Beng lalu meloncat turun dari atas menara itu ke tembok tingkat yang lebih rendah, kemudian terus dia berloncatan dengan gerakan berjungkir-balik, cepat sekali sehingga sukar bagi mata biasa untuk mengikuti gerakan tubuhnya yang seolah-olah terbang itu dan tak lama kemudian dia telah tiba di atas tanah di luar tembok benteng. Segera terdengar teriakan-teriakan dan anak-anak panah meluncur dari berbagai jurusan.
Akan tetapi Puteri Milana yang mengikuti gerakan kekasihnya dengan penuh perhatian itu telah memerintahkan barisan panah untuk menyerang dan melindungi Bun Beng yang meruntuhkan semua anak panah dengan gerakan kedua lengannya, kemudian pendekar ini terus berloncatan maju ke arah Tek Hoat yang dikepung oleh banyak musuh. Puteri Milana sendiri cepat turun dan mengatur pasukan penjaga pintu gerbang untuk bersiap-siap melindungi Bun Beng dan Tek Hoat jika mereka nanti sudah mundur sampai di pintu gerbang.
Dugaan Bun Beng memang tepat sekali. Menjelang pagi hari itu, atau lebih tepat lewat tengah malam, Tek Hoat telah memimpin pasukannya untuk mengacau dan membakar perkemahan Tambolon dan mengamuk. Mula-mula Panglima Sangita tidak setuju akan niat pemuda itu.
“Kita harus menanti isyarat dari Puteri Milana,” kata panglima itu. “Sungguh tidak baik kalau bertindak sendiri tanpa menanti perintah atasan.”
“Ciangkun, keadaan musuh makin kuat saja dan pihak musuh dengan mudah dapat memperkuat kedudukan dengan mendatangkan bala bantuan dari suku-suku bangsa liar. Akan tetapi kota raja terkurung dan dari mana diharapkan bantuan? Jalan satu-satunya hanyalah mengacaukan keadaan mereka, menyerbu di tengah malam selagi mereka tidak menyangka, melakukan pembakaran perkemahan mereka sebanyaknya dan kita menyergap di dalam kegelapan malam. Pembakaran-pembakaran yang kita lakukan merupakan pertanda bagi para pasukan kota raja untuk bertindak pula. Aku tidak tahan kalau harus terus berdiam diri menyaksikan kota raja dikurung dan diancam bahaya.”
Demikianlah Tek Hoat bicara penuh semangat, didengarkan oleh semua pasukan yang segera menyatakan persetujuan dan kegembiraan mereka. Pasukan itu adalah pasukan pilihan yang gagah perkasa, maka mereka pun merasa gelisah harus bersembunyi dan diam saja menyaksikan kota raja dikepung pihak musuh. Akhirnya Sangita, yang juga merupakan seorang panglima setia dan gagah perkasa, menyetujui dan setelah lewat tengah malam, mulailah mereka bergerak menyerbu dan membakar perkemahan pihak musuh.
Tentu saja pasukan Tambolon menjadi terkejut. Datangnya serbuan itu sangat tidak mereka sangka dan sepak-terjang Tek Hoat dan Sangita bersama pasukannya amat hebat, sehingga mereka kalang kabut dan banyak terjatuh korban di pihak musuh. Perang mati-matian dan hebat sekali di dalam gelap terjadilah, namun tentu saja pihak penyerbu lebih diuntungkan karena mereka sudah memperhitungkan segala-galanya, sedangkan pihak pasukan Tambolon yang terkejut dan panik itu tidak tahu sampai di mana kekuatan pihak penyerbu sehingga banyak di antara mereka yang saling serang antara kawan sendiri.
Tetapi Tambolon yang menjadi marah oleh gangguan dari luar ini telah mengumpulkan pasukan besar dan mengurung hutan itu sehingga pasukan pengawal pimpinan Sangita dan Tek Hoat itu kini tidak mempunyai jalan mundur lagi. Terpaksa mereka mengamuk dengan mati-matian dan biar pun mereka telah merobohkan banyak sekali jumlah lawan, setiap orang prajurit paling sedikit membunuh lima orang musuh, namun setelah pagi tiba mereka terkurung, terhimpit dan mulailah mereka berjatuhan satu demi satu karena kelelahan dan terlalu banyak musuh yang mengeroyok. Sangita yang sudah tua mengamuk dengan sepasang goloknya seperti seekor singa tua.
Entah berapa puluh orang musuh menjadi korban sepasang goloknya, tetapi akhirnya dia pun roboh di bawah serangan puluhan senjata sehingga tubuhnya menjadi hancur lebur, kematian yang amat gagah dari seorang prajurit, akan tetapi juga kematian yang amat menyedihkan.
Serbuan dan pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya ini benar-benar berhasil baik, selain membunuh banyak sekali musuh, juga membikin mereka panik, kacau dan menurun semangat mereka. Akan tetapi, pasukan itu sendiri pun terbasmi, roboh satu demi satu sampai akhirnya tinggal Tek Hoat sendiri yang masih mengamuk.
Tak terhitung banyaknya lawan yang roboh oleh pemuda perkasa ini. Pedang rampasan di tangannya sudah menjadi merah sampai ke gagangnya oleh darah musuh, akan tetapi dia sendiri pun tidak terhindar dari luka-luka yang dideritanya karena hujan senjata musuh. Dengan pakaian compang-camping, tubuh luka-luka dan berlumuran darah sendiri bercampur dengan darah lawan, pemuda ini masih mengamuk hebat ketika Bun Beng muncul.
Betapa pun gagahnya pemuda ini, menghadapi jumlah musuh yang amat banyak, yang roboh sepuluh datang dua puluh, yang seperti gelombang samudera hebatnya, dapat dipastikan bahwa melihat dari luka-lukanya, tak lama lagi Tek Hoat tentu akan roboh pula seperti Sangita kalau pertandingan itu dilanjutkan.
“Plak-plak-desss...!”
Enam orang di antara para pengeroyok Tek Hoat segera terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir ketika Gak Bun Beng menyerbu. Tek Hoat mengerling ke arah Bun Beng dan melanjutkan amukannya dengan pedang rampasannya.
“Tek Hoat, mari kita mundur ke pintu gerbang...!” Bun Beng berteriak sambil bergerak merobohkan dua orang pengeroyok lagi.
“Tidak bisa!” Tek Hoat menjawab tegas. “Semua anak buahku telah tewas, aku harus melawan sampai titik darah terakhir membela mereka!”
Pedangnya yang tadinya sudah agak lemah gerakannya karena kelelahan itu seperti memperoleh tenaga baru, berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang sekaligus merobohkan enam orang lawan!
"Tidak ada gunanya, musuh terlampau banyak...,” Bun Beng membujuk.
“Kalau kau takut, kembalilah!” Tek Hoat berteriak marah.
Bun Beng menarik napas panjang. Pemuda ini berhati keras sekali dan membujuknya tidak akan ada gunanya. Akan tetapi membiarkan dia mati pun sayang sekali. Pemuda ini gagah perkasa dan tidak memalukan menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti, dan biar pun pernah melakukan penyelewengan, namun pemuda inilah yang kelak akan dapat menjunjung tinggi nama ayahnya yang tersesat.
“Kalau begitu biarlah kita mati bersama!” Gak Bun Beng berkata dan dia pun mengamuk di dekat Tek Hoat.
Hatinya pun lega melihat pemuda itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya dan bahwa pemuda itu sudah lelah sekali, hampir kehabisan tenaga dan menjadi lemah karena luka-lukanya yang amat banyak itu. Diam-diam Bun Beng merasa terharu dan dapat menyelami hati pemuda ini. Tentu pemuda ini merasa malu dan menyesal akan semua penyelewengannya dan kini hendak menebus semua itu dengan darah dan nyawanya!
Dia bertempur makin dekat dengan Tek Hoat. Pada saat Tek Hoat lengah karena harus menghadapi serbuan dari depan dan kanan kiri, tiba-tiba Gak Bun Beng menggunakan totokan satu jari dengan pengerahan tenaga sinkang-nya yang amat kuat. Biar pun Tek Hoat memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi, dalam keadaan lengah tak mungkin dia akan dapat menahan totokan dahsyat ini.
Dia mengeluh, tubuhnya lemas dan pedangnya terlepas dari tangannya. Bun Beng menyambar tubuhnya terus dipanggulnya, kemudian menyambar pedang lalu meloncat ke belakang. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga setiap senjata lawan yang menyerangnya tentu patah-patah, dan banyak pula musuh roboh. Kehebatan pendekar ini membuat jeri para prajurit musuh.
“Tangkap dia! Kejar! Kurung...!” Tambolon berteriak sambil berlari cepat mengejar, dan kini dia sendiri ikut menyerang.
Akan tetapi, tangkisan pedang itu yang digerakkan oleh lengan tangan Bun Beng yang luar biasa kuatnya, membuat golok besar di tangan Tambolon menyeleweng. Raja liar ini terkejut dan jeri, akan tetapi dia masih memimpin orang-orangnya untuk mengepung dan selalu mengejar apa bila Bun Beng meloncat makin mendekati pintu gerbang.
“Hujani anak panah!” Tambolon berteriak.
Teriakan ini melegakan hati Bun Beng. Dia tidak khawatir akan keroyokan anak panah dan sambil berlari mendekati pintu gerbang, dia memutar pedangnya. Semua anak panah runtuh dan dia terus berlari, dikejar oleh Tambolon dan anak buahnya sampai ke pintu gerbang.
Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dan terdengar aba-aba yang nyaring dari Puteri Milana, maka hujanlah anak panah dan batu dari atas benteng, juga Puteri Milana sendiri menyambut kedatangan Gak Bun Beng itu dengan pedang di tangan melindunginya. Akhirnya pendekar itu berhasil memasuki pintu gerbang sambil memondong Tek Hoat, dan pintu gerbang ditutup kembali, tentara Tambolon dipaksa mundur oleh hujan anak panah dari atas benteng.
Puteri Milana girang sekali dan di depan Sri Baginda dia memuji-muji Ang Tek Hoat. Serbuan pemuda itu dengan pasukannya secara nekat, membunuh banyak musuh dan menurunkan semangat mereka, benar-benar amat menguntungkan karena di dalam keributan tadi, Puteri Milana dapat melaksanakan siasatnya dengan baik sekali, berhasil menyelundupkan keluar empat ribu orang pasukan, hanya ada sedikit perubahan, yaitu Gak Bun Beng terpaksa tidak ikut karena pendekar ini tadi menyelamatkan Tek Hoat. Tempatnya digantikan oleh Panglima Jayin yang sudah berhasil pula membawa keluar pasukannya, kemudian memecahnya menjadi empat bagian dan mereka berpencar keempat penjuru, bersembunyi di hutan-hutan sambil menanti isyarat selanjutnya.
Puteri Syanti Dewi yang mendengar akan keadaan Tek Hoat, cepat berlari ke luar dan sambil menangis melihat tubuh pemuda itu penuh luka yang berlumuran darah, dia lalu memaksa ayahnya untuk mengijinkan dia sendiri merawat pemuda yang disebutnya sebagai penolongnya dan penyelamat nyawanya. Sri Baginda maklum akan keadaan hati puterinya, karena dia sendiri pun kagum dan suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa itu, yang dengan semangat luar biasa membela Bhutan, bahkan dengan rela hampir mengorbankan nyawa. Seluruh prajurit Bhutan membicarakan kegagahan Tek Hoat ini dan memuji-muji.
Pihak musuh benar-benar mengalami kerugian hebat sekali. Pembakaran-pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya mengakibatkan kebakaran besar dan baru dapat dipadamkan setelah malam terganti pagi sampai hampir siang. Hampir semua peralatan dan ransum perang rusak oleh kebakaran itu. Banyak pula yang tewas oleh penyerbuan tiba-tiba itu, banyak juga yang terluka oleh amukan api.
Yang lebih merugikan lagi, peristiwa itu kemudian mendatangkan rasa panik di antara mereka sehingga menurunkan semangat juang mereka sungguh pun Tambolon sendiri sudah berusaha membangunkan semangat mereka dan mengatakan bahwa setelah mengumpulkan kekuatan dan mendatangkan bala bantuan yang akan memakan waktu satu minggu, mereka akan melakukan serangan besar dan menduduki kota raja Bhutan!
Dengan berdiri di atas panggung sehingga tampak oleh para pimpinan suku dan para pembantunya, Tambolon mengajak gurunya, Nenek Durganini yang baru muncul, dan berkata dengan lantang, “Kita memang telah disergap di waktu malam dan mengalami sedikit kerugian. Tetapi tunggu sampai satu minggu, kita akan melakukan pembalasan! Jangan khawatir, di dalam tembok benteng itu terdapat harta berlimpahan, dan wanita-wanita yang cantik untuk kalian semua. Dan jangan takut menghadapi Puteri Mancu dan para pembantunya, karena sekarang kita dibantu oleh guruku sendiri yang menguasai ilmu gaib.”
Durganini terkekeh, kedua tangannya bergerak-gerak, mulutnya ternganga dan semua orang memandang takjub dan ngeri ketika dari kedua tangan dan dari mulut nenek itu keluar api berkobar-kobar! Tak lama kemudian nenek itu ‘menelan’ kembali semua api itu dan Tambolon berkata, “Lihat betapa guruku akan dapat membakar seluruh kota raja Bhutan dengan api mukjijat dari mulutnya. Dan guruku dapat pula menutup matahari menimbulkan kegelapan!”
Nenek itu lalu mengangkat kedua lengan ke atas, berkemak-kemik diikuti oleh semua mata orang-orang yang menonton dari bawah. Dan mulailah cuaca menjadi gelap, makin lama makin gelap. Semua orang menjadi panik, ada yang menjerit-jerit dan ada yang berlutut dan minta-minta ampun kepada nenek yang memiliki ilmu seperti dewa itu! Nenek itu menyudahi permainan sihirnya dan dengan cara ini, Tambolon berusaha membangkitkan kembali semangat para pembantunya yang terdiri dari bermacam suku bangsa liar itu.
Perawatan yang penuh ketekunan dan kemesraan dari Syanti Dewi membuat hati Tek Hoat menjadi terharu sekali. Berkat pengobatan dari Gak Bun Beng dan Puteri Milana yang pandai, dalam waktu tiga hari saja sembuhlah Tek Hoat.
“Dewi... aku... sungguh berhutang budi padamu...” Pagi hari itu Tek Hoat yang sudah duduk di atas pembaringan, berkata dengan suara tergetar karena terharu. Pagi-pagi sekali dia sudah mandi dan merasa tubuhnya segar, kesehatannya sudah pulih kembali, dan sepagi itu, Syanti Dewi sudah memasuki kamarnya dengan membawa sarapan dan minuman panas.
"Jangan berkata demikian, Tek Hoat. Engkau tahu bahwa aku melakukan semua ini dengan hati tulus ikhlas, dengan rela dan tidak ada budi di antara kita...”
“Dewi, baru membolehkan aku menyebut namamu saja sudah merupakan kehormatan tiada taranya bagiku. Engkau seorang puteri raja, sedangkan aku... aku...”
“Engkau seorang pahlawan Bhutan! Semua prajurit dan rakyat menyanjungmu atas pembelaanmu terhadap Bhutan, Tek Hoat. Dan aku belum mengucapkan terima kasih atas jasamu.” Syanti Dewi tersenyum dan Tek Hoat memandang silau.
“Tidak, Dewi..., ketahuilah bahwa dahulu aku...”
“Sudah kau ceritakan padaku, Tek Hoat. Engkau penjahat keji katamu. Akan tetapi aku tak peduli apa adanya engkau dahulu... yang penting bagiku adalah apa adanya engkau sekarang ini, Tek Hoat. Bagiku... engkaulah satu-satunya pria yang paling mulia, paling gagah, paling rendah hati... dan di kereta itu... kalau saja semua yang kudengar dari mulutmu itu benar...”
“Tentu saja benar! Aku cinta padamu, demi Tuhan... aku cinta padamu, akan tetapi aku pun tahu akan keadaan diriku. Tidak! Engkau terlalu agung dan aku terlalu rendah... mencium ujung sepatumu pun masih terlalu terhormat bagiku...”
“Ihhh, jangan berkata demikian, Tek Hoat... perih hatiku mendengarnya. Aku tidak ingin melihat engkau terus merendah, karena... engkaulah satu-satunya pria...” Syanti Dewi menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi merah sekali.
Tek Hoat membelalakkan matanya. Dia sudah merasakan kemesraan dan getaran cinta kasih puteri ini, akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena dianggapnya tidak masuk akal.
“...ya...? Lalu bagaimana..., Dewi?” Suara Tek Hoat gemetar dan jantungnya berdebar seperti akan meledak.
“...engkau satu-satunya pria yang... kucinta, Tek Hoat...”
“Ahh...!” Tek Hoat meloncat ke dekat jendela, membelakangi Syanti Dewi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang meloncat keluar.
“Tek Hoat...! Ada apakah...?” Syanti Dewi mengejar dan memegang lengan pemuda itu.
Tek Hoat membalik, mereka saling berpegang tangan, saling pandang dan melihat dua butir air mata di bawah mata pemuda itu, Syanti Dewi tersenyum lalu tertarik menangis!
“Kau... kau menangis...?” bisiknya di antara isaknya.
Tek Hoat mengangguk, menggigit bibir sendiri lalu berbisik, “Tangis bahagia... tetapi mungkinkah ini...?”
Syanti Dewi tidak menjawab melainkan kedua lengannya lalu merangkul leher Tek Hoat dan dia membenamkan mukanya di dada pemuda itu yang memeluknya, memeluknya dengan ketat seolah-olah dia hendak menanamkan tubuh puteri itu di dalam dadanya sehingga mereka tidak akan terpisah lagi, agar tubuh puteri itu menjadi satu dengan tubuhnya.
Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk dan tak bergerak, dengan seluruh tubuh mengalirkan getaran-getaran kasih yang hanya dapat dirasakan oleh mereka berdua. Mereka lupa akan segala hal, bahkan Tek Hoat yang mempunyai pendengaran terlatih itu tidak mendengar ketika ada orang memasuki kamar itu. Suara berdehem dari Sri Baginda mengejutkan mereka. Tek Hoat melepaskan rangkulannya, kemudian menjatuhkan diri berlutut sambil memejamkan mata, sadar akan dosanya, sedangkan Syanti Dewi berlari dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.
“Ayah... kami... kami berdua saling mencinta...” bisik Syanti Dewi seolah-olah hendak melindungi kekasihnya.
Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Aku sudah menduganya dan aku amat girang mendengar ini, Anakku. Dia memang pantas menjadi pelindungmu selama hidup dan engkau, Tek Hoat. Sadarkah engkau betapa engkau telah kejatuhan bulan, menerima kurnia yang tak terbilang besarnya karena telah menjadi pilihan hati Syanti Dewi?”
“Hamba... hamba... akan mempertaruhkan nyawa untuk melindunginya dan membikin dia bahagia...” kata Tek Hoat lirih.
Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. “Engkau telah memperlihatkan pembelaanmu terhadap kerajaan, akan tetapi hendaknya engkau ingat bahwa kini kota raja kita masih terkurung oleh musuh, dan selama bahaya ini belum dapat dihalau, pantaskah kalau kita memikirkan tentang urusan dan kesenangan pribadi?”
Ang Tek Hoat terkejut bukan main, dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menyadari sepenuhnya betapa marah sebetulnya hati orang tua ini melihat puterinya bermain asmara sedangkan negara masih terancam bahaya.
“Harap paduka mengampunkan hamba... sekarang juga hamba akan menyerbu ke luar!” Tek Hoat memberi hormat dan cepat bangkit lalu berlari keluar dari kamarnya.
“Tek Hoat...!” Syanti Dewi menjerit.
“Orang muda, rundingkan segalanya dengan Puteri Milana!” Sri Baginda juga berteriak, kemudian dia merangkul puterinya dan berbisik, “Dia gagah perkasa, kita lihat saja apakah dia patut menjadi mantu Kerajaan Bhutan, Anakku.”
Sementara itu, Tek Hoat sudah berlari ke dalam ruangan besar di mana Milana, Gak Bun Beng dan panglima lainnya sudah hadir dan sedang mengadakan perundingan. Kedatangan Tek Hoat diterima gembira oleh Milana dan Bun Beng.
“Ahhh, kau sudah sehat kembali, Tek Hoat? Bagus! Memang kami amat membutuhkan bantuanmu, dan malam nanti kita harus bergerak.”
Tek Hoat lalu duduk dan ikut mendengarkan rencana siasat yang diatur oleh Puteri Milana. Diam-diam dia merasa makin kagum kepada puteri ini dan berdebar jantungnya kalau dia teringat akan cerita tentang dirinya. Ayahnya, manusia iblis yang memperkosa ibunya, adalah kakak tiri dari puteri ini!
“Kini Panglima Jayin sudah mengatur pasukan yang berhasil menerobos keluar itu, mengambil kedudukan di empat penjuru dan sudah mempelajari kedudukan musuh. Dengan penyergapan dari empat penjuru, musuh tentu dapat dibikin kacau dan biar pun jumlah kita kalah banyak, akan tetapi kita menang semangat dan menang perhitungan. Malam nanti cuaca amat gelap dan dingin, sedangkan bala bantuan dari para musuh belum tiba. Gak-suheng akan membawa pasukan, menyerbu keluar melalui pintu gerbang timur, dan Tek Hoat memimpin pasukan menyerbu keluar melalui pintu gerbang selatan. Aku sendiri akan memimpin pasukan inti kemudian menyerbu keluar melalui pintu gerbang utara yang menjadi pusat barisan musuh. Serbuan kalian harus diarahkan ke utara dan selagi perang berlangsung, kita akan memberi tanda kepada pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Panglima Jayin agar bergerak dari luar dan menyerang bagian belakang pihak musuh.”
Setelah membagi-bagi tugas, maka bersiaplah mereka dengan pasukan masing-masing, dibantu oleh para perwira tinggi dan para pendeta Buddha yang memiliki kepandaian silat. Memang sudah diperhitungkan oleh Puteri Milana. Malam itu gelap karena tidak ada bulan, bahkan bintang-bintang di langit hanya nampak sedikit karena tertutup oleh awan. Hawa udara amat dinginnya sehingga para penjaga pihak musuh terkantuk-kantuk di udara terbuka.
Lewat tengah malam, menjelang pagi di waktu hawa sedang dingin-dinginnya dan semua orang sedang mengantuk-ngantuknya, mendadak terdengar bunyi terompet melengking nyaring di pintu gerbang selatan. Pintu gerbang terbuka dan menyerbulah pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, menyerbu ke tempat pihak musuh yang sudah diketahui sebelumnya.
Tentu saja pihak musuh menjadi panik karena baru saja terbangun dari tidur dan tahu-tahu perkemahan mereka dibakar lawan. Dengan pakaian tidak karuan, bahkan ada yang masih telanjang dan setengah telanjang, mereka berlarian keluar dari kemah untuk menghadapi amukan pasukan Bhutan yang berada dalam keadaan bersemangat dan segar.
Pula, pertempuran yang terjadi di tempat gelap itu dilakukan dengan baik sekali oleh pasukan Bhutan. Mereka dapat mengenal teman-teman sendiri melalui isyarat bentakan ‘houw’ yang berarti ‘harimau’ sehingga biar pun bertanding di dalam gelap, mereka dapat saling mengenal kawan sendiri dan dapat bekerja sama dengan baik. Teriakan-teriakan ‘houw’ terdengar di mana-mana disusul pekik kebingungan dan robohnya para anggota tentara musuh yang tentu saja menjadi panik dan ada yang saling serang di antara kawan sendiri di dalam gelap.
Pada saat yang hampir bersamaan, di pintu gerbang timur, pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng juga mengadakan penyerbuan yang sama. Pasukan ini menggunakan isyarat bentakan ‘liong’ (naga) untuk saling mengenal kawan sendiri dalam pertempuran keroyokan dalam gelap itu. Seperti juga Tek Hoat yang memimpin pasukannya dengan penuh keberanian dan yang sepak-terjangnya menggiriskan hati musuh, demikian juga Gak Bun Beng mengamuk seperti seekor naga sakti.
Selagi pihak musuh yang panik mulai dapat diatur kembali oleh Tambolon serta para pembantunya, tiba-tiba di udara yang gelap kelihatan sinar merah meluncur di angkasa. Empat kali sinar merah itu meluncur dan tiba-tiba terdengar bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai dari mana-mana, dari empat penjuru dan menyerbulah pasukan-pasukan yang bersembunyi di dalam hutan-hutan, yaitu pasukan-pasukan yang tiga hari yang lalu telah menyelundup keluar di bawah pimpinan Panglima Jayin. Kejadian ini benar-benar mengejutkan hati Tambolon karena tahu-tahu barisannya diserang dari belakang dan di empat penjuru pula!
Pelepas anak panah api merah sebagai isyarat itu adalah Puteri Milana sendiri yang kini memimpin pasukan inti yang paling besar jumlahnya, keluar dari pintu gerbang utara disertai bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai bergemuruh, lalu menyerbu keluar. Maka kacau-balaulah pasukan musuh karena seolah-olah mereka menghadapi lawan dari depan, belakang, kanan dan kiri! Apa lagi pihak Bhutan menyerang di malam gelap, dengan gerakan yang begitu teratur sehingga pihak Tambolon menyangka bahwa bala bantuan untuk Bhutan datang dari empat penjuru.
Memang siasat yang dilaksanakan oleh Puteri Milana itu hebat sekali. Semacam perang gerilya yang diperhitungkan dengan masak-masak sehingga biar pun jumlah tentara Bhutan jauh lebih kecil, namun sekali pukul ini membuat pasukan-pasukan Tambolon yang jauh lebih banyak itu menjadi kacau-balau dan kocar-kacir.
Hal ini adalah karena Tambolon terlalu mengandalkan jumlah besar pasukannya, akan tetapi pasukan-pasukan itu terdiri dari bermacam suku bangsa sehingga tentu saja tidak ada persatuan yang kompak. Mereka ini hanya mengandalkan keberanian dan tenaga kasar saja, maka menghadapi siasat yang cerdik itu mereka menjadi panik dan banyak di antara mereka yang menjadi korban dalam perang yang terjadi di malam gelap, hanya diterangi oleh berkobarnya api yang membakar perkemahan-perkemahan mereka.
Akan tetapi, Tambolon dan para pembantunya dengan nekat melakukan perlawanan mati-matian sehingga pertempuran itu berlangsung sampai hari menjadi terang. Kini nampaklah pertempuran itu. Di mana-mana mayat anggota pasukan-pasukan Tambolon berserakan, api masih berkobar dan pihak musuh yang tadinya mengepung di selatan telah dapat didesak oleh Tek Hoat sehingga mereka mundur ke arah timur kota raja di mana mereka menggabungkan diri dengan pasukan di timur yang juga telah mengalami hantaman dahsyat dari pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng dan pasukan yang menyerbu dari luar.
Kini pasukan ‘harimau’ yang dipimpin Tek Hoat bergabung dengan sisa pasukan yang menyerbu dari belakang musuh, bersatu dengan pasukan timur dan terjadilah perang yang amat besar di mana Tek Hoat dan Gak Bun Beng berkelahi bahu-membahu dan sepak-terjang dua orang ini memang hebat sekali, menggiriskan pihak lawan. Biar pun mereka tidak memegang senjata, namun kedua tangan dan kaki mereka merupakan senjata-senjata yang amat ampuhnya.
Pada saat perang sedang hebat-hebatnya, tiba-tiba saja udara menjadi gelap, makin lama makin gelap sehingga menggelisahkan pasukan Bhutan, apa lagi karena agaknya pihak musuh tidak merasakan kegelapan itu.
“Ini tidak wajar! Perbuatan sihir...!” Beberapa orang pendeta Buddha yang membantu pasukan Kerajaan Bhutan berseru dan mereka itu segera duduk bersila untuk melawan pengaruh sihir itu.
Namun pengaruh itu terlampau kuat sehingga mereka tidak mampu menandinginya dan kini bahkan banyak anak buah pasukan Bhutan yang merasa ngeri oleh karena mereka melihat awan hitam datang bergulung-gulung dan dari awan itu muncul naga-naga yang menyemburkan api! Tentu saja perasaan ngeri dan takut itu membuat mereka kurang waspada dan banyak di antara mereka yang roboh oleh babatan senjata lawan.
Gak Bun Beng dan Tek Hoat juga merasakan pengaruh mukjijat ini. “Celaka, agaknya musuh menggunakan ilmu hitam!” kata Bun Beng yang sudah berpengalaman, namun dia merasa tidak berdaya karena dia tidak menguasai ilmu itu.
“Tentu nenek iblis Durganini!” Tek Hoat berseru. “Gak-taihiap, biar aku mencari nenek iblis itu. Kalau dia dapat dibinasakan, tentu lenyap pengaruh mukjijat ini!” Sebelum Bun Beng menjawab, pemuda yang perkasa ini sudah melompat dan merobohkan setiap orang penghalang. Bun Beng merasa khawatir karena maklum betapa lihainya nenek yang kabarnya adalah guru dari Tambolon dan memiliki kepandaian yang amat hebat itu, maka dia pun lalu mengejar bayangan Tek Hoat yang mengamuk dan menuju ke utara.
Dugaan Tek Hoat memang tepat sekali. Melihat keadaan pasukannya kocar-kacir dan terancam kemusnahan, Tambolon menjadi bingung dan jengkel karena tidak melihat gurunya. Maka dia lalu mencari sendiri dan melihat nenek yang pikun itu masih enak-enak tidur mendengkur di dalam perkemahan, dia setengah menyeret gurunya itu untuk disuruh membantu.
Nenek yang terganggu tidurnya itu mengomel, akan tetapi dia memenuhi permintaan muridnya, mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya dan menciptakan awan hitam yang mengandung banyak naga siluman sehingga pihak musuh menjadi panik dan ketakutan. Akan tetapi, selagi nenek ini berdiri dengan kedua lengan bersilang di depan dada, di depannya mengepul seikat dupa yang dibakar, mulutnya berkemak-kemik dan asap hio membubung tinggi menciptakan pemandangan yang aneh itu, tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki satu.
Kakek ini bukan lain adalah Pendekar Super Sakti Suma Han yang datang bersama Ceng Ceng dan rombongan penggembala liar yang hendak membantu ‘perjuangan’ Raja Tambolon. Kebetulan sekali begitu memasuki daerah pertempuran, Pendekar Super Sakti melihat gejala yang tidak wajar yang ditimbulkan oleh ilmu sihir Nenek Durganini. Tentu saja Suma Han terkejut bukan main.
“Nona, kau tunggu dulu di sini...” katanya dan sebelum Ceng Ceng sempat menjawab kakek berkaki satu itu sudah berkelebat dan kemudian lenyap di antara banyak orang yang sedang bertanding.
Ceng Ceng berdiri bengong dan tentu saja dia segera membantu pasukan Bhutan yang mudah dikenalnya dari pakaiannya. Melihat gadis asing ini tahu-tahu mengamuk dan membantu mereka, para prajurit Bhutan menjadi girang dan mereka bertanding dengan penuh semangat.
Dengan kecepatan kilat karena gerak Ilmu Soan-hong-lui-kun, Pendekar Super Sakti kini tiba di depan Nenek Durganini yang masih mengerahkan ilmunya. Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya, tidak senang melihat nenek itu menggunakan ilmu hitam dalam perang. Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke depan, ke arah dupa yang mengepulkan asap itu.
“Blaaarrr...!”
Tampak sinar kilat dan tempat dupa itu hancur berantakan, apinya berhamburan dan seketika itu juga lenyaplah awan gelap yang mengandung naga-naga siluman.
Nenek Durganini terkejut bukan main dan cepat dia memandang ke depan. Ketika dia melihat seorang laki-laki berusia kurang dari enam puluh tahun, berkaki satu, berdiri tegak bersandar pada tongkat bututnya, laki-laki yang memiliki sepasang mata yang tajam dan seperti dua buah bintang amat berwibawa, dia menjadi marah.
“Heh-heh, manusia lancang. Berani engkau menentang Durganini? Lihat betapa api neraka membasmi orang-orang Bhutan!” Nenek itu menudingkan telunjuknya ke atas dan dari telunjuknya itu menyambar kilat ke atas yang berubah menjadi api berkobar dan api ini mengejar orang-orang Bhutan yang tentu saja lari ketakutan karena ada lidah-lidah api yang ‘hidup’ mengejar-ngejar mereka.
“Hemmm, mengapa engkau begitu kejam?” Suma Han berseru dan menggerakkan tangannya ke atas. “Apa artinya api menghadapi air?” Tiba-tiba saja dari atas turun hujan lebat dan padamlah lidah-lidah api itu!
Orang-orang Bhutan tidak melihat mengapa awan gelap yang mengandung naga-naga siluman tadi lenyap, tidak mengerti pula mengapa ada hujan turun memadamkan lidah-lidah api, akan tetapi hal ini membuat mereka bergembira dan bersorak-sorailah mereka. Suara sorak-sorai yang menggegap-gempita itu membuat Nenek Durganini menjadi makin marah karena dia merasa seolah-olah dia yang ditertawai!
“Keparat, siapa engkau?” tanyanya kepada Suma Han sambil mengerahkan tenaga di dalam pandang matanya untuk menguasai orang yang kakinya buntung sebelah itu.
“Namaku Suma Han,” jawab Pendekar Super Sakti dengan tenang sekali dan dia pun menentang pandang mata itu dengan sikap tenang dan penuh kesabaran.
Nenek yang berpakaian serba hitam itu mengeluarkan suara melengking tinggi. “Engkau berani menentang Durganini, berarti engkau sudah bosan hidup!” Sambil berkata demikian, dia melontarkan tongkat hitamnya ke atas dan tongkat itu berubah menjadi Nenek Durganini kedua yang menerjang ke depan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau.
Suma Han memandang tajam, lalu melontarkan tongkatnya pula yang juga berubah menjadi bayangan dirinya. Maka bertempurlah dua bayangan itu dengan hebatnya di udara! Orang-orang yang sedang bertanding di tempat itu, baik anak buah Tambolon mau pun orang-orang Bhutan, berhenti bertempur karena mereka melihat peristiwa yang amat luar biasa itu. Mereka melihat nenek berpakaian hitam itu berdiri berhadapan dalam jarak enam tujuh meter dari seorang kakek berkaki satu.
Keduanya berdiri tak bergerak, akan tetapi di atas udara, di antara mereka, nampak dua batang tongkat bergerak sendiri dan saling serang seolah-olah kedua batang tongkat itu bernyawa! Suma Han menjadi terkejut dan kagum. Tahulah dia bahwa dia bertemu dengan seorang ahli sihir yang amat kuat tenaga batinnya, maka maklumlah dia bahwa kalau hanya mengandalkan kekuatan sihir, mungkin dia akan kalah. Akan tetapi sebelum dia bergerak untuk menggunakan kepandaian silatnya, tiba-tiba muncul See-thian Hoat-su dan gadis remaja yang menjadi muridnya itu.
“Pendekar Siluman, dia itu isteriku, harap kau maafkan dia!” kata kakek ini yang sudah meloncat ke dekat Nenek Durganini.
Nenek itu memang kalah dalam hal ilmu silat terhadap bekas suaminya ini, dan karena dia sedang mencurahkan seluruh tenaga sihirnya untuk menghadapi kakek berkaki tunggal yang ternyata merupakan lawan yang tangguh dalam ilmu sihir, maka dia tidak mampu melawan lagi ketika bekas suaminya itu menotoknya dan dia roboh lalu dipanggul oleh bekas suaminya itu.
Suma Han sudah menarik kembali tongkatnya. See-thian Hoat-su tertawa dan berkata kepadanya, “Kalau tidak ada engkau yang membantu, sukar aku menundukkan isteriku yang binal. Terima kasih dan sampai jumpa, Pendekar Siluman!” See-thian Hoat-su lalu memegang tangan muridnya. “Hayo kita pergi, Siang In.”
“Ouhhh... Suhu, aku ingin ikut main-main dalam keramaian ini.”
“Bukkk!” kakinya sudah menyambar dan tepat menendang pantat seorang anak buah Tambolon sehingga orang itu berjingkrak-jingkrak dan mengaduh-aduh karena tulang di antara pinggulnya remuk terkena tendangan Siang In. Kemudian dara ini meloncat dengan elakan manis, ketika seorang lawan menusuknya dengan tombak, kemudian membalik dan menuding ke arah orang itu.
“Eihhh, mengapa engkau memegang ular?”
Orang itu tiba-tiba terbelalak karena tombak di tangannya itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor ular! Sebelum dia sadar bahwa dia menjadi permainan seorang gadis yang baru saja mempelajari ilmu sihir, Siang In sambil tertawa sudah menampar kepalanya. Dia berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja jari-jari tangan yang kecil halus itu mengenai pelipisnya, membuat dia berputaran tujuh keliling dan dunia menjadi gelap baginya.
Seorang lain dengan golok di tangan menyerangnya marah sekali. “Hei, lihat, siapa aku? Aku adalah ibumu!” Siang In berteriak dan orang itu menahan goloknya, terbelalak memandangnya karena bagi pandang matanya, gadis remaja cantik itu tiba-tiba berubah menjadi ibunya yang telah mati beberapa tahun yang lalu.
“Dukkk!”
Orang yang sedang bengong terlongong itu tentu saja tidak dapat mengelak lagi ketika kepalan tangan Siang In menonjok lambungnya. Dia terpelanting sambil memegangi perutnya yang menjadi mulas, agaknya usus buntunya yang terkena hantaman kepalan tangan yang kecil namun kuat itu. Melihat hasil ilmu sihir yang baru saja dipelajari dari gurunya itu, Siang In menjadi gembira bukan main hingga dia menjadi kurang waspada.
“Bocah setan, mau lari ke mana kau?” Tiba-tiba ada dua buah lengan yang panjang, kuat dan berbulu meringkusnya dari belakang.
Siang In berusaha meronta, namun orang itu kuat sekali sehingga usahanya sia-sia belaka. Rasa takut membuat dia kehilangan kekuatan sihir yang baru saja dilatihnya itu. Akan tetapi dasar Siang In seorang yang cerdik, biar pun dia tahu bahwa ilmu sihirnya takkan dapat menolongnya, dia tidak menjadi khawatir, bahkan dia lalu tersenyum manis sekali dan mengangkat mukanya sehingga mukanya dapat terlihat oleh orang tinggi besar yang meringkusnya. Orang itu menunduk dan terpesona oleh kecantikan wajah yang tersenyum luar biasa manisnya itu.
“Aihh... kamu benar-benar jantan dan kuat sekali... akan tetapi pelukanmu terlalu kuat... menyakitkan...,” kata Siang In dengan lagak yang amat genit karena dia telah meniru lagak Si Siluman Kucing atau Mauw Siauw Mo-li seperti yang pernah dia pamerkan kepada Suma Kian Bu. Mulutnya tersenyum agak terbuka, matanya mengerling tajam penuh daya pikat dan biar pun dia menyandarkan kepalanya di dada orang itu, diam-diam dia melangkah maju.
Laki-laki itu benar-benar terpesona dan otomatis dia melonggarkan ringkusannya. Daya tarik yang keluar dari sikap dan kecantikan wajah Siang In kiranya tidak kalah hebat dan kuatnya dari pada ilmu sihirnya, maka orang itu seperti kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu betapa tiba-tiba kaki Siang In yang kecil itu membuat gerakan seperti seekor kuda menyepak ke belakang.
“Bukkk... aughhhh... adouuuuhhh...” Laki-laki itu mendekap bawah perutnya yang kena dihantam tumit kaki Siang In dan mengaduh-aduh setengah berjongkok.
Siang In mengayun kakinya lagi menendang, mengenai dagunya dan orang itu roboh terjengkang, akan tetapi masih memegangi alat kelaminnya yang kena disepak dan yang rasanya kiut-miut menusuk tulang, terasa sampai ke ubun-ubun!
“Bocah nakal, hayo kita pergi!” See-thian Hoat-su kini berhasil memegang pergelangan tangan muridnya dan membawanya loncat berkelebat dan lenyap dari situ membawa murid dan bekas isterinya.
Pendekar Super Sakti menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum menyaksikan keadaan kakek, bekas isterinya, dan muridnya itu. Dia tidak lagi bergerak, akan tetapi mereka yang bertempur di sekelilingnya tidak ada yang berani mengganggunya.
Sementara itu, Ceng Ceng yang tentu saja mempunyai rasa setia kawan dengan Bhutan, sudah mengamuk sampai terpisah agak jauh dari Pendekar Super Sakti, dan dia pun tidak tahu apa yang telah terjadi antara Pendekar Super Sakti dengan Nenek Durganini, karena pihak musuh sudah mengepungnya ketika melihat betapa lihainya dara ini yang telah merobohkan banyak lawan.
Tiba-tiba terjadi keributan tak jauh dari situ. Ketika Ceng Ceng menengok, dia melihat Tek Hoat yang juga mengamuk dan merobohkan setiap orang anak buah Tambolon yang berdekatan dengannya. Begitu melihat pemuda ini, timbul kemarahan hebat di hati Ceng Ceng. Teringat dia betapa oleh pemuda ini dia telah diserahkan kepada Tambolon sebagai penukar Syanti Dewi, betapa dia telah ditipu oleh Tek Hoat.
“Jahanam keparat!” Dia memaki dan meninggalkan musuh-musuhnya, lalu lari dan tiba-tiba saja dia menyerang Tek Hoat.
Serangan itu demikian dahsyat karena kemarahan di hati Ceng Ceng secara otomatis menggerakkan tenaga sinkang mukjijat di dalam tubuhnya yang timbul dari khasiat anak ular naga. Angin pukulan yang amat hebat menyambar dan Tek Hoat menjadi terkejut bukan main karena ketika dia menangkis, dia masih terhuyung ke belakang! Akan tetapi ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Ceng Ceng, dia memandang rendah dan juga menjadi marah.
“Hemm, kiranya engkau telah diperalat oleh Si Keparat Tambolon pula?” teriaknya dan melihat Ceng Ceng menyerang lagi, dia cepat mengelak dan balas menyerang! Diam-diam Tek Hoat terkejut melihat kemajuan hebat dalam gerakan Ceng Ceng. Dia tidak tahu bahwa selama ini Ceng Ceng telah menerima petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan dan telah memiliki sinkang mukjijat dari anak ular naga.
Maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan para prajurit kedua pihak tidak ada yang berani mendekati karena gerakan dua orang itu mendatangkan hawa pukulan yang bersiutan dan dari jauh saja mereka hampir tidak dapat menahan.
Betapa pun juga, tingkat kepandaian Tek Hoat masih jauh di atas tingkat Ceng Ceng, dan mulailah Tek Hoat mendesaknya. Akan tetapi, sejak dahulu, ada perasaan aneh di dalam hati pemuda ini terhadap Ceng Ceng, rasa suka yang aneh, maka sekarang pun dia merasa tidak tega untuk merobohkan Ceng Ceng.
“Ceng Ceng, kau mundurlah dan jangan tolol membela Tambolon!” beberapa kali Tek Hoat berseru kepadanya.
Ceng Ceng maklum bahwa Tek Hoat membela Bhutan dan salah menduga dia menjadi kaki tangan Tambolon. Akan tetapi dia tidak peduli. Dengan Tek Hoat dia mempunyai urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Bhutan atau Tambolon, dan dia tidak mau membela diri dari tuduhan itu. Dia tidak takut mati, bahkan kalau dia tidak dapat menangkap Tek Hoat, biarlah dia mati menyusul Topeng Setan. Coba kalau ada Topeng Setan di sisinya, Tek Hoat ini tentu tidak berani banyak lagak terhadap dirinya! Teringat akan Topeng Setan, hatinya berduka sekali dan dia menjadi makin nekat!
Tek Hoat merasa kewalahan juga ketika Ceng Ceng menyerangnya lebih hebat dan lebih nekat, seolah-olah dara itu tidak mempedulikan keselamatan dirinya sendiri. “Ceng Ceng, jangan bodoh kau, mundurlah! Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu!”
“Sombong, keparat keji! Siapa takut mampus?” Ceng Ceng membentak marah sekali, lalu menerjang lagi seperti seekor singa betina menghantam kepala Tek Hoat dengan tangan kanannya.
“Plakkkk...!”
Tek Hoat cepat menyambar pergelangan tangan Ceng Ceng. Ketika tangan kiri Ceng Ceng menampar, dia cepat menangkis sedemikian kuatnya sehingga pasangan kuda-kuda kaki Ceng Ceng tergempur. Kesempatan itu digunakan oleh Tek Hoat yang masih memegang lengan Ceng Ceng dengan tangan kirinya untuk menghantamkan tangan kanannya yang terbuka dan yang mengandung penyaluran sinkang Inti Bumi ke arah kepala Ceng Ceng. Hantaman ini kalau mengenai kepala dara itu tentu akan langsung menghancurkannya dan membinasakan, karena tenaga yang terkandung amat kuatnya, cukup kuat untuk membikin remuk batu karang.
“Tek Hoat, jangan...!” Seruan Gak Bun Beng ini dibarengi dengan dorongan tangan kiri sehingga ada hawa pukulan menyentuh punggung Tek Hoat.
Pemuda ini terkejut sekali, sekaligus dia pun sadar akan apa yang akan dilakukannya terhadap dara yang sebetulnya amat disukanya itu, bahkan andai kata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi, besar sekali kemungkinannya dia akan jatuh cinta kepada Ceng Ceng. Dan sekarang, karena desakan Ceng Ceng yang telah nekat, hampir saja ia membunuh gadis ini! Dia cepat meloncat mundur dan melepaskan pegangannya sehingga Ceng Ceng terhuyung-huyung.
“Tek Hoat, apakah kau sudah gila?” Gak Bun Beng membentaknya. “Tidak tahukah engkau, Ceng Ceng, bahwa kalian sebetulnya adalah saudara-saudara seayah?”
Akan tetapi ucapan itu hampir tidak kedengaran karena pada saat itu Ceng Ceng sudah memaki-maki Tek Hoat, “Manusia sombong, manusia curang dan jahat. Kalau... kalau Paman Topeng Setan tidak mati... kalau dia ada... kau tidak akan berani menjual lagak...!” Dan segera dara ini menangis terisak-isak karena dia teringat kepada Topeng Setan yang begitu baik, yang jauh sekali bedanya dengan Tek Hoat ini!
Akan tetapi Tek Hoat mendengar ucapan Gak Bun Beng tadi dan dia berseru, “Apa...? Dia... Ceng Ceng ini... saudaraku sendiri?”
Mendengar ini, Ceng Ceng terbelalak, lalu berjebi. “Huh, aku saudaramu? Siapa bilang? Tak sudi aku mempunyai saudara macam engkau!”
“Ceng Ceng, janganlah engkau berkata demikian. Tek Hoat ini pun putera dari ayah kandungmu, Wan Keng In, hanya bedanya, kalau ibumu adalah Lu Kim Bwee, ibu Tek Hoat adalah Ang Siok Bi. Kalian masih kakak beradik, seayah.”
Tek Hoat menjadi bengong. “Pantas...” bisiknya lirih. “Pantas aku mempunyai perasaan yang aneh terhadap dia... aku suka sekali padanya...”
“Hah, kau suka tetapi baru saja engkau hendak membunuhku?” Ceng Ceng berseru marah. “Kakak macam apakah kau ini?”
“Ceng Ceng..., maafkan aku... karena engkau begitu nekat dan kepandaianmu hebat sekali sehingga amat berbahaya...”
“Sudahlah, nanti kita bicara. Musuh masih banyak,” kata Gak Bun Beng yang sudah cepat melerai mereka. “Ceng Ceng, bagaimana kau bisa tiba di sini?”
“Saya datang bersama Locianpwe Pendekar Super Sakti.”
“Ahhh...?” Gak Bun Beng terkejut dan berseru girang. “Di mana beliau?”
Ketika Ceng Ceng menunjuk dengan jarinya ke arah perginya Pendekar Super Sakti, Bun Beng cepat pergi untuk mencari gurunya sambil berkata, “Tek Hoat, kau harus melindungi adikmu itu.”
Setelah Gak Bun Beng pergi, dua orang muda itu saling pandang, Tek Hoat tersenyum dan wajahnya berseri karena sungguh girang hatinya mendengar bahwa gadis yang amat disukanya ini ternyata adalah adiknya! Akan tetapi Ceng Ceng tetap cemberut, masih panas hatinya teringat betapa tadi hampir saja dia dibunuh oleh Tek Hoat.
“Ceng Ceng, engkau... engkau adikku...”
“Huh, belum tentu! Ibu kita berlainan, siapa tahu kalau-kalau aku yang lahir lebih dulu dari pada engkau. Mungkin aku malah enci-mu!”
“Adik atau enci, pokoknya kita bersaudara, dan aku girang sekali. Ehh, Ceng Ceng, aku tahu bahwa sejak kecil engkau di Bhutan, marilah kita berlomba untuk membunuh Tambolon!”
Ceng Ceng hanya mengangguk karena untuk membunuh musuh besar itu, tentu saja dia tidak dapat membantah.
“Hayo ikut dengan aku!” Tek Hoat cepat merobohkan dua orang sambil meloncat, diikuti oleh Ceng Ceng yang juga membuka jalan sambil merobohkan anak buah Tambolon.
Mereka mencari-cari dan akhirnya mereka dapat melihat Tambolon sedang mengamuk, dikeroyok oleh Panglima Jayin dan beberapa orang perwira Bhutan, akan tetapi mereka ini terdesak hebat oleh Tambolon yang mengamuk dengan kemarahan meluap-luap karena gurunya telah dilarikan oleh Kakek See-thian Hoat-su dan pasukannya telah kocar-kacir. Raja liar itu kini menggunakan senjata golok gagang panjang dan sepak-terjangnya dahsyat sekali.
“Ciangkun, minggirlah, biar kami berdua yang akan menghadapinya!” Tek Hoat berseru.
Melihat pemuda ini, Panglima Jayin menjadi girang dan langsung memerintahkan para pembantunya untuk mundur. Akan tetapi dia melihat Ceng Ceng dan dengan girang sekali dia berseru, “Sumoi...!”
Seperti kita ketahui, Panglima Jayin ini adalah murid dari mendiang kakek Lu Kiong dan sejak dahulu dia memanggil Ceng Ceng sumoi.
“Suheng, biarlah aku menghadapi raja liar itu.” Ceng Ceng berkata sambil melompat ke depan.
Panglima Jayin tentu saja meragu dan khawatir sekali karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian sumoi-nya ini tidak jauh dengan tingkatnya, bahkan dia masih lebih tinggi sedikit. Akan tetapi melihat loncatan Ceng Ceng yang seperti burung walet terbang itu, dia terkejut dan girang, maklum bahwa sumoi-nya itu tidak boleh dibandingkan dengan sumoi-nya di waktu belum meninggalkan Bhutan dahulu.
Melihat majunya Tek Hoat dan Ceng Ceng, Tambolon terkejut bukan main karena dia maklum akan kelihaian pemuda itu, dan teringat pula betapa dahulu nona ini pernah membebaskan diri dengan memperlihatkan tenaga mukjijat, dia pun maklum bahwa nona yang telah memperoleh khasiat dari anak ular naga ini telah memiliki tenaga sakti yang juga amat hebat. Akan tetapi karena dia sendiri percaya penuh akan dirinya sendiri, juga agar tidak menurunkan semangat anak buahnya, dia tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya bergerak....
“Kraakkk!” terdengar bunyi dan gagang goloknya yang panjang itu telah dipatahkannya sehingga berubah menjadi sebatang golok gagang biasa. Kemudian tangan kirinya meraba pinggangnya.
“Singggg...!” tercabutlah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar yang mukjijat dan menyeramkan.
“Ha-ha-ha, bocah perempuan setan! Engkau akan mampus di ujung pedangmu sendiri!”
Ceng Ceng terkejut dan marah ketika mengenal Ban-tok-kiam, yaitu pedang pemberian Ban-tok Mo-li yang telah dirampas dari tangannya oleh raja liar itu.
“Tambolon keparat! Aku harus membunuhmu!” Ceng Ceng yang sudah nekat itu segera menubruk ke depan dengan tangan kosong, mengirim pukulan yang dahsyat. Tambolon menggerakkan pedang itu memapaki.
“Ceng Ceng, hati-hatilah...!” Tek Hoat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang nekat itu dan cepat dia pun mengirim pukulan dahsyat ke arah Tambolon. Terpaksa Raja liar ini menggunakan goloknya menyambut serangan Tek Hoat.
Tentu saja Ceng Ceng tidak membiarkan dirinya dimakan pedangnya sendiri begitu saja. Tubuhnya sudah cepat mengelak dan dari bawah kakinya menyambar ganas ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi Tambolon dapat menarik tangannya dan pada saat itu, Tek Hoat yang sudah mengelak pula telah menghantam dengan pukulan jarak jauh.
“Dessss...!”
Tambolon terpaksa menerima hawa pukulan itu dengan bahunya dan dia terhuyung. Bukan main kagetnya dan kini dia menggerakkan pedang dan golok itu, diputar-putar sehingga tampaklah dua sinar yang saling membelit dan bergulung-gulung mengelilingi tubuhnya.
"Taihiap, pakailah ini! Sumoi, pakailah senjata ini!” Tiba-tiba terdengar Panglima Jayin berseru dan dua batang pedang melayang ke arah Tek Hoat dan Ceng Ceng yang cepat menyambarnya.
Ceng Ceng girang melihat pedang di tangannya karena dia mengenal pedang mendiang kakeknya yang dihadiahkan kepada suheng-nya itu, sedangkan pedang yang diberikan kepada Tek Hoat itu pun merupakan pedang pusaka Bhutan karena pedang itu adalah pedang kebesaran tanda pangkat Jayin yang diterimanya dari rajanya. Biar pun kedua pedang itu tidak dapat dibandingkan dengan Ban-tok-kiam yang mukjijat dan beracun, akan tetapi keduanya terhitung pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan.
Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, Tek Hoat dan Ceng Ceng cukup cerdik untuk mengenal keampuhan pedang Ban-tok-kiam, maka mereka tidak mau mengadu pedang mereka dengan Ban-tok-kiam, tetapi ketika golok di tangan kanan Tambolon menyambar, seperti telah bersepakat lebih dulu, pemuda dan gadis itu menggerakkan pedang yang menggunting dari kanan kiri.
“Krekkk!” Patahlah golok itu dan Tambolon terpaksa meloncat mundur sambil memutar Ban-tok-kiam di tangan kirinya.
Ceng Ceng meloncat dan mengejar, diikuti oleh Tek Hoat. Keduanya mengurung dan menghimpit sehingga biar pun tangannya memegang pedang yang ampuh, tetap saja Tambolon terdesak hebat dan mulai merasa cemas.
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring. Muncullah dua orang lawan tangguh, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut, dua orang pengawal pribadi dari Tambolon. Si Petani Maut telah memutar batang pikulannya dan Yu Ci Pok sudah menggerakkan siang-koan-pit secara hebat.
Melihat hal ini, tentu saja Jayin dan teman-temannya tidak tinggal diam, akan tetapi mereka didahului oleh bentakan halus nyaring, “Harap kalian minggir!”
Panglima Jayin terkejut dan girang ketika mengenali Puteri Milana. Kiranya panglima yang memimpin seluruh pertahanan Bhutan itu sendiri yang berkenan turun tangan menghadapi dua orang lihai ini.
“Bibi Milana...!” Ceng Ceng berseru girang melihat Milana.
Milana yang sudah menggerakkan pedangnya menyambut sinar pikulan dan siang-koan-pit itu, tersenyum kepada Ceng Ceng. “Engkau membantu saudaramu? Bagus!”
Ang Tek Hoat juga girang melihat puteri ini, karena hal itu hanya menandakan bahwa pasukan mereka telah menang. Kalau tidak, tentu puteri ini tidak sempat turun tangan sendiri.
“Ceng Ceng, kau bantulah Sang Puteri!” katanya.
“Hushh, Sang Puteri itu adalah bibi kita, tolol. Ayah kita adalah juga kakak tirinya.” Ceng Ceng menegur, akan tetapi dia tetap mendesak Tambolon.
“Kepala batu! Aku tidak suka kau bantu! Aku ingin menghadapi Tambolon sendiri!” Tek Hoat berseru karena dia maklum bahwa betapa pun juga, masih amat berbahaya bagi Ceng Ceng untuk menghadapi Tambolon yang amat lihai itu.
Puteri Milana mengerti akan isi hati Tek Hoat, maka melihat bahwa pemuda itu cukup tangguh untuk menghadapi Tambolon, dia berkata, “Ceng Ceng, kau bantulah aku. Aku sudah lelah.”
Mendengar ini, tentu saja Ceng Ceng meloncat seperti kilat dan dia sudah menerjang Yu Ci Pok dan mendesak siucai ini dengan gerakan pedangnya yang mengandung tenaga mukjijat sehingga tangkisan siucai itu membuat tangannya tergetar dan siucai itu pun terkejut bukan main.
Pertandingan terpecah menjadi tiga dan kini tempat itu dikurung oleh pasukan Bhutan yang ingin menonton pertandingan hebat ini, juga Jayin dan teman-temannya ikut pula menonton karena kini pihak musuh sudah kocar-kacir dan kemenangan sudah di depan mata. Keadaan tidak berbahaya lagi maka ‘tontonan’ yang demikian hebatnya tidak akan mereka lepaskan begitu saja.
Tanpa diketahui orang lain, Milana berbisik kepada Ceng Ceng, “Jangan robohkan lawan, biar mereka semua ini dirobohkan oleh saudaramu yang akan menjadi calon mantu Raja Bhutan.”
Mendengar ini, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, jantungnya berdebar dan diam-diam dia merasa terharu sekali. Kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi akan menjadi isteri Tek Hoat! Dan Tek Hoat adalah saudaranya, satu ayah! Dia tidak lagi mampu menjawab, hanya mengangguk dan bersama Puteri Milana dia melayani lawannya seperti main-main saja. Kalau mereka mau, apa lagi Puteri Milana yang menghadapi Si Petani Maut, tentu dengan amat mudahnya mereka mengalahkan lawan mereka itu.
Yang bertanding secara sungguh-sungguh dan mati-matian adalah Tek Hoat. Hebat sekali pemuda ini menyerang dan mendesak Raja Liar Tambolon. Raja liar ini pun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena dia maklum bahwa dia tersudut dan tidak dapat melarikan diri lagi. Jalan satu-satunya hanya mempertahankan diri sampai saat terakhir dan kalau mungkin membunuh musuh sebanyaknya. Akan tetapi pemuda ini terlalu tangguh baginya.
Setelah bertanding hampir seratus jurus, Tambolon makin terdesak dan mukanya sudah basah oleh keringat. Baiknya dia memiliki pedang Ban-tok-kiam, karena kalau tidak demikian, tentu sudah tadi dia roboh oleh pemuda yang luar biasa ilmu silatnya ini. Tiba-tiba ketika kakinya menendang, ujung kakinya dapat menyerempet paha Tek Hoat dan pemuda itu lantas terguling jatuh. Semua orang menjerit, kecuali Puteri Milana yang berpemandangan tajam dan yang melayani Si Petani Maut sambil menonton!
“Pendekar besar... siapakah yang datang menunggang burung dewa tadi? Apakah dia itu golongan dewa atau golongan iblis?” tanya pimpinan rombongan yang paling pandai berbahasa Han dari pada yang lain.
Suma Han tersenyum. “Kalau dikatakan bahwa dia itu iblis memang lebih cocok,” jawabnya.
“Ahhh, kalau begitu paduka adalah seorang dewa!” Ucapan ini disusul oleh sikap yang amat menghormat, mereka berlutut dan menyembah-nyembah.
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Suma Han.
Oleh karena mereka merasa dibantu oleh dewa, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Bhutan yang sedang dikurung oleh pasukan-pasukan Tambolon dengan gembira.....
********************
Puteri Milana, Gak Bun Beng, Panglima Jayin dan para panglima lainnya malam itu mengadakan perundingan. Bentrokan dengan pihak musuh secara terbuka ternyata tidak menguntungkan mereka. Biar pun dalam perang pertama kali itu kalau dihitung jatuhnya korban, mereka dapat dikata menang karena jumlah musuh yang menjadi korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tentara mereka, akan tetapi robohnya para korban di pihak mereka itu berarti berkurangnya jumlah mereka sehingga pertahanan mereka menjadi makin lemah, sedangkan pihak musuh yang mengurung di luar tentu saja dapat menyusun kembali kekuatan dengan mendatangkan bala bantuan dari luar!
Mereka semua merasa bingung dan kehabisan akal. Akan tetapi Puteri Milana yang sudah biasa dengan siasat perang, dalam keadaan segawat itu tidak menjadi putus asa dan dia berkata, “Kalau mengandalkan perang terbuka, jumlah kita yang belum tentu ada separuh jumlah mereka pasti akan menderita kerugian besar. Maka sebaiknya kita menggunakan siasat, menyerang mereka dari luar.”
“Menyerang mereka dari luar?” tanya Jayin bingung. “Apa yang paduka maksudkan?”
“Sepasukan pengawal pilihan yang dipimpin oleh Sangita dan Tek Hoat telah menanti saat baik di luar dan mereka tentu akan bergerak setelah kita beri tanda lagi. Kalau kita menyelundupkan pasukan-pasukan keluar, kemudian menyerang mereka dari berbagai jurusan, tentu mereka akan menjadi kacau-balau. Benteng kita cukup kuat, dan tidak perlu dijaga terlalu banyak tentara. Kalau banyak terjadi penyerangan oleh pihak kita dari luar, tentu mereka menyangka bahwa penyerang-penyerang dari luar itu adalah bala bantuan yang datang dari berbagai pihak dan hal ini pasti akan melemahkan semangat mereka. Barisan yang dipimpin Tambolon bukan merupakan suatu suku bangsa yang bersatu, melainkan dari banyak suku bangsa. Sekali semangat mereka dipatahkan, mereka tentu akan cerai-berai.”
Semua orang tidak ada yang dapat membantah siasat yang dikemukakan oleh Milana.
“Biar aku yang memimpin pasukan menyelundup dan menerobos keluar dari kepungan musuh,” kata Bun Beng.
Milana mengangguk. “Memang penerobosan keluar ini saya percayakan kepadamu, Gak-suheng. Kita memilih bagian yang paling lemah dijaga musuh, yaitu di bagian barat karena kini bagian selatan sudah diperkuat, kemudian setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, harus dapat berpencar menjadi pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh perwira masing-masing, kemudian mencari tempat persembunyian yang baik di empat penjuru dan mengadakan serangan-serangan gangguan di waktu malam agar pihak musuh tak dapat beristirahat dan mengalami kekacauan.”
Puteri Milana lalu mengemukakan rencana siasatnya, didengarkan penuh perhatian oleh para pembantunya. Sampai lewat tengah malam mereka berunding dan mengatur persiapan karena menurut rencana mereka, pada malam itu juga, menjelang pagi sehingga keadaan para penjaga pihak musuh sedang lelah-lelahnya, mereka akan melakukan penyelundupan atau penerobosan keluar itu.
Semua pasukan yang jumlahnya empat ribu orang, yang kemudian akan dipecah menjadi empat kelompok, sudah siap di pintu gerbang barat, menanti saat dibukanya pintu gerbang dan menanti isyarat yang akan diberikan oleh Sang Puteri Milana sendiri. Pasukan itu dipimpin oleh Gak Bun Beng yang berpakaian biasa, bahkan banyak sekali, sebagian besar di antara anak buah pasukan, mengenakan pakaian biasa seperti yang telah diatur dalam rencana siasat Puteri Milana sehingga oleh pihak musuh akan disangka bahwa pasukan-pasukan itu adalah bala bantuan dari luar.
Akan tetapi sebelum isyarat diberikan oleh Puteri Milana, mendadak terdengar suara gaduh di luar tembok. Penjaga segera datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar tembok benteng, di sebelah timur terjadi kekacauan di pihak musuh dan nampak api berkobar seperti terjadi kebakaran besar dan terdengar teriakan-teriakan dan tanda-tanda persiapan dan perang!
Peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangka ini membuat Puteri Milana terpaksa menunda gerakan penerobosan itu. “Kita harus tahu lebih dulu apa artinya peristiwa itu,” katanya kepada Gak Bun Beng. “Penerobosan dapat ditunda sampai besok malam... aku khawatir kalau-kalau Tek Hoat melakukan sesuatu di luar rencana.”
Semua orang berkumpul di atas benteng, memandang ke tempat terjadinya kebakaran dan melihat perang yang hanya mereka ketahui dari suaranya saja. Akan tetapi tidak lama kemudian, sinar matahari pagi menerangi keadaan di bawah dan tidak jauh dari tembok benteng, pandang mata Bun Beng dan Milana melihat seorang laki-laki yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak tentara musuh. Biar pun dari atas menara masih agak jauh tempat pertempuran itu, dan orang-orang yang bertempur itu kelihatan kecil-kecil saja, namun melihat gerakan silat orang yang dikepung di tengah-tengah itu membuat Bun Beng terkejut bukan main.
“Dia Tek Hoat...!” serunya.
“Eh, benarkah?” tanya Milana.
“Aku tidak lupa gerakan silatnya!”
“Hemm, seperti yang kukhawatirkan. Anak itu lancang sekali."
"Dan terlalu berani. Lihat, kemungkinan semua pasukannya sudah terbasmi habis. Yang bertanding hanya tinggal dia seorang diri. Aku harus menolongnya. Milana, harap kau perintahkan penjaga pintu gerbang untuk bersiap menolongku masuk..., aku harus menolongnya.”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi...”
“Gak-taihiap, itu terlalu berbahaya.” Sri Baginda yang juga ikut pula meninjau keadaan keributan di bawah itu berkata, “Lebih baik suruh sepasukan pengawal untuk keluar membantunya.”
“Kita tak boleh kehilangan banyak anggota pasukan, Sri Baginda. Saya dapat menolong dia. Sumoi, aku pergi!”
Dengan cekatan Gak Bun Beng lalu meloncat turun dari atas menara itu ke tembok tingkat yang lebih rendah, kemudian terus dia berloncatan dengan gerakan berjungkir-balik, cepat sekali sehingga sukar bagi mata biasa untuk mengikuti gerakan tubuhnya yang seolah-olah terbang itu dan tak lama kemudian dia telah tiba di atas tanah di luar tembok benteng. Segera terdengar teriakan-teriakan dan anak-anak panah meluncur dari berbagai jurusan.
Akan tetapi Puteri Milana yang mengikuti gerakan kekasihnya dengan penuh perhatian itu telah memerintahkan barisan panah untuk menyerang dan melindungi Bun Beng yang meruntuhkan semua anak panah dengan gerakan kedua lengannya, kemudian pendekar ini terus berloncatan maju ke arah Tek Hoat yang dikepung oleh banyak musuh. Puteri Milana sendiri cepat turun dan mengatur pasukan penjaga pintu gerbang untuk bersiap-siap melindungi Bun Beng dan Tek Hoat jika mereka nanti sudah mundur sampai di pintu gerbang.
Dugaan Bun Beng memang tepat sekali. Menjelang pagi hari itu, atau lebih tepat lewat tengah malam, Tek Hoat telah memimpin pasukannya untuk mengacau dan membakar perkemahan Tambolon dan mengamuk. Mula-mula Panglima Sangita tidak setuju akan niat pemuda itu.
“Kita harus menanti isyarat dari Puteri Milana,” kata panglima itu. “Sungguh tidak baik kalau bertindak sendiri tanpa menanti perintah atasan.”
“Ciangkun, keadaan musuh makin kuat saja dan pihak musuh dengan mudah dapat memperkuat kedudukan dengan mendatangkan bala bantuan dari suku-suku bangsa liar. Akan tetapi kota raja terkurung dan dari mana diharapkan bantuan? Jalan satu-satunya hanyalah mengacaukan keadaan mereka, menyerbu di tengah malam selagi mereka tidak menyangka, melakukan pembakaran perkemahan mereka sebanyaknya dan kita menyergap di dalam kegelapan malam. Pembakaran-pembakaran yang kita lakukan merupakan pertanda bagi para pasukan kota raja untuk bertindak pula. Aku tidak tahan kalau harus terus berdiam diri menyaksikan kota raja dikurung dan diancam bahaya.”
Demikianlah Tek Hoat bicara penuh semangat, didengarkan oleh semua pasukan yang segera menyatakan persetujuan dan kegembiraan mereka. Pasukan itu adalah pasukan pilihan yang gagah perkasa, maka mereka pun merasa gelisah harus bersembunyi dan diam saja menyaksikan kota raja dikepung pihak musuh. Akhirnya Sangita, yang juga merupakan seorang panglima setia dan gagah perkasa, menyetujui dan setelah lewat tengah malam, mulailah mereka bergerak menyerbu dan membakar perkemahan pihak musuh.
Tentu saja pasukan Tambolon menjadi terkejut. Datangnya serbuan itu sangat tidak mereka sangka dan sepak-terjang Tek Hoat dan Sangita bersama pasukannya amat hebat, sehingga mereka kalang kabut dan banyak terjatuh korban di pihak musuh. Perang mati-matian dan hebat sekali di dalam gelap terjadilah, namun tentu saja pihak penyerbu lebih diuntungkan karena mereka sudah memperhitungkan segala-galanya, sedangkan pihak pasukan Tambolon yang terkejut dan panik itu tidak tahu sampai di mana kekuatan pihak penyerbu sehingga banyak di antara mereka yang saling serang antara kawan sendiri.
Tetapi Tambolon yang menjadi marah oleh gangguan dari luar ini telah mengumpulkan pasukan besar dan mengurung hutan itu sehingga pasukan pengawal pimpinan Sangita dan Tek Hoat itu kini tidak mempunyai jalan mundur lagi. Terpaksa mereka mengamuk dengan mati-matian dan biar pun mereka telah merobohkan banyak sekali jumlah lawan, setiap orang prajurit paling sedikit membunuh lima orang musuh, namun setelah pagi tiba mereka terkurung, terhimpit dan mulailah mereka berjatuhan satu demi satu karena kelelahan dan terlalu banyak musuh yang mengeroyok. Sangita yang sudah tua mengamuk dengan sepasang goloknya seperti seekor singa tua.
Entah berapa puluh orang musuh menjadi korban sepasang goloknya, tetapi akhirnya dia pun roboh di bawah serangan puluhan senjata sehingga tubuhnya menjadi hancur lebur, kematian yang amat gagah dari seorang prajurit, akan tetapi juga kematian yang amat menyedihkan.
Serbuan dan pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya ini benar-benar berhasil baik, selain membunuh banyak sekali musuh, juga membikin mereka panik, kacau dan menurun semangat mereka. Akan tetapi, pasukan itu sendiri pun terbasmi, roboh satu demi satu sampai akhirnya tinggal Tek Hoat sendiri yang masih mengamuk.
Tak terhitung banyaknya lawan yang roboh oleh pemuda perkasa ini. Pedang rampasan di tangannya sudah menjadi merah sampai ke gagangnya oleh darah musuh, akan tetapi dia sendiri pun tidak terhindar dari luka-luka yang dideritanya karena hujan senjata musuh. Dengan pakaian compang-camping, tubuh luka-luka dan berlumuran darah sendiri bercampur dengan darah lawan, pemuda ini masih mengamuk hebat ketika Bun Beng muncul.
Betapa pun gagahnya pemuda ini, menghadapi jumlah musuh yang amat banyak, yang roboh sepuluh datang dua puluh, yang seperti gelombang samudera hebatnya, dapat dipastikan bahwa melihat dari luka-lukanya, tak lama lagi Tek Hoat tentu akan roboh pula seperti Sangita kalau pertandingan itu dilanjutkan.
“Plak-plak-desss...!”
Enam orang di antara para pengeroyok Tek Hoat segera terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir ketika Gak Bun Beng menyerbu. Tek Hoat mengerling ke arah Bun Beng dan melanjutkan amukannya dengan pedang rampasannya.
“Tek Hoat, mari kita mundur ke pintu gerbang...!” Bun Beng berteriak sambil bergerak merobohkan dua orang pengeroyok lagi.
“Tidak bisa!” Tek Hoat menjawab tegas. “Semua anak buahku telah tewas, aku harus melawan sampai titik darah terakhir membela mereka!”
Pedangnya yang tadinya sudah agak lemah gerakannya karena kelelahan itu seperti memperoleh tenaga baru, berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang sekaligus merobohkan enam orang lawan!
"Tidak ada gunanya, musuh terlampau banyak...,” Bun Beng membujuk.
“Kalau kau takut, kembalilah!” Tek Hoat berteriak marah.
Bun Beng menarik napas panjang. Pemuda ini berhati keras sekali dan membujuknya tidak akan ada gunanya. Akan tetapi membiarkan dia mati pun sayang sekali. Pemuda ini gagah perkasa dan tidak memalukan menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti, dan biar pun pernah melakukan penyelewengan, namun pemuda inilah yang kelak akan dapat menjunjung tinggi nama ayahnya yang tersesat.
“Kalau begitu biarlah kita mati bersama!” Gak Bun Beng berkata dan dia pun mengamuk di dekat Tek Hoat.
Hatinya pun lega melihat pemuda itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya dan bahwa pemuda itu sudah lelah sekali, hampir kehabisan tenaga dan menjadi lemah karena luka-lukanya yang amat banyak itu. Diam-diam Bun Beng merasa terharu dan dapat menyelami hati pemuda ini. Tentu pemuda ini merasa malu dan menyesal akan semua penyelewengannya dan kini hendak menebus semua itu dengan darah dan nyawanya!
Dia bertempur makin dekat dengan Tek Hoat. Pada saat Tek Hoat lengah karena harus menghadapi serbuan dari depan dan kanan kiri, tiba-tiba Gak Bun Beng menggunakan totokan satu jari dengan pengerahan tenaga sinkang-nya yang amat kuat. Biar pun Tek Hoat memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi, dalam keadaan lengah tak mungkin dia akan dapat menahan totokan dahsyat ini.
Dia mengeluh, tubuhnya lemas dan pedangnya terlepas dari tangannya. Bun Beng menyambar tubuhnya terus dipanggulnya, kemudian menyambar pedang lalu meloncat ke belakang. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga setiap senjata lawan yang menyerangnya tentu patah-patah, dan banyak pula musuh roboh. Kehebatan pendekar ini membuat jeri para prajurit musuh.
“Tangkap dia! Kejar! Kurung...!” Tambolon berteriak sambil berlari cepat mengejar, dan kini dia sendiri ikut menyerang.
Akan tetapi, tangkisan pedang itu yang digerakkan oleh lengan tangan Bun Beng yang luar biasa kuatnya, membuat golok besar di tangan Tambolon menyeleweng. Raja liar ini terkejut dan jeri, akan tetapi dia masih memimpin orang-orangnya untuk mengepung dan selalu mengejar apa bila Bun Beng meloncat makin mendekati pintu gerbang.
“Hujani anak panah!” Tambolon berteriak.
Teriakan ini melegakan hati Bun Beng. Dia tidak khawatir akan keroyokan anak panah dan sambil berlari mendekati pintu gerbang, dia memutar pedangnya. Semua anak panah runtuh dan dia terus berlari, dikejar oleh Tambolon dan anak buahnya sampai ke pintu gerbang.
Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dan terdengar aba-aba yang nyaring dari Puteri Milana, maka hujanlah anak panah dan batu dari atas benteng, juga Puteri Milana sendiri menyambut kedatangan Gak Bun Beng itu dengan pedang di tangan melindunginya. Akhirnya pendekar itu berhasil memasuki pintu gerbang sambil memondong Tek Hoat, dan pintu gerbang ditutup kembali, tentara Tambolon dipaksa mundur oleh hujan anak panah dari atas benteng.
Puteri Milana girang sekali dan di depan Sri Baginda dia memuji-muji Ang Tek Hoat. Serbuan pemuda itu dengan pasukannya secara nekat, membunuh banyak musuh dan menurunkan semangat mereka, benar-benar amat menguntungkan karena di dalam keributan tadi, Puteri Milana dapat melaksanakan siasatnya dengan baik sekali, berhasil menyelundupkan keluar empat ribu orang pasukan, hanya ada sedikit perubahan, yaitu Gak Bun Beng terpaksa tidak ikut karena pendekar ini tadi menyelamatkan Tek Hoat. Tempatnya digantikan oleh Panglima Jayin yang sudah berhasil pula membawa keluar pasukannya, kemudian memecahnya menjadi empat bagian dan mereka berpencar keempat penjuru, bersembunyi di hutan-hutan sambil menanti isyarat selanjutnya.
Puteri Syanti Dewi yang mendengar akan keadaan Tek Hoat, cepat berlari ke luar dan sambil menangis melihat tubuh pemuda itu penuh luka yang berlumuran darah, dia lalu memaksa ayahnya untuk mengijinkan dia sendiri merawat pemuda yang disebutnya sebagai penolongnya dan penyelamat nyawanya. Sri Baginda maklum akan keadaan hati puterinya, karena dia sendiri pun kagum dan suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa itu, yang dengan semangat luar biasa membela Bhutan, bahkan dengan rela hampir mengorbankan nyawa. Seluruh prajurit Bhutan membicarakan kegagahan Tek Hoat ini dan memuji-muji.
Pihak musuh benar-benar mengalami kerugian hebat sekali. Pembakaran-pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya mengakibatkan kebakaran besar dan baru dapat dipadamkan setelah malam terganti pagi sampai hampir siang. Hampir semua peralatan dan ransum perang rusak oleh kebakaran itu. Banyak pula yang tewas oleh penyerbuan tiba-tiba itu, banyak juga yang terluka oleh amukan api.
Yang lebih merugikan lagi, peristiwa itu kemudian mendatangkan rasa panik di antara mereka sehingga menurunkan semangat juang mereka sungguh pun Tambolon sendiri sudah berusaha membangunkan semangat mereka dan mengatakan bahwa setelah mengumpulkan kekuatan dan mendatangkan bala bantuan yang akan memakan waktu satu minggu, mereka akan melakukan serangan besar dan menduduki kota raja Bhutan!
Dengan berdiri di atas panggung sehingga tampak oleh para pimpinan suku dan para pembantunya, Tambolon mengajak gurunya, Nenek Durganini yang baru muncul, dan berkata dengan lantang, “Kita memang telah disergap di waktu malam dan mengalami sedikit kerugian. Tetapi tunggu sampai satu minggu, kita akan melakukan pembalasan! Jangan khawatir, di dalam tembok benteng itu terdapat harta berlimpahan, dan wanita-wanita yang cantik untuk kalian semua. Dan jangan takut menghadapi Puteri Mancu dan para pembantunya, karena sekarang kita dibantu oleh guruku sendiri yang menguasai ilmu gaib.”
Durganini terkekeh, kedua tangannya bergerak-gerak, mulutnya ternganga dan semua orang memandang takjub dan ngeri ketika dari kedua tangan dan dari mulut nenek itu keluar api berkobar-kobar! Tak lama kemudian nenek itu ‘menelan’ kembali semua api itu dan Tambolon berkata, “Lihat betapa guruku akan dapat membakar seluruh kota raja Bhutan dengan api mukjijat dari mulutnya. Dan guruku dapat pula menutup matahari menimbulkan kegelapan!”
Nenek itu lalu mengangkat kedua lengan ke atas, berkemak-kemik diikuti oleh semua mata orang-orang yang menonton dari bawah. Dan mulailah cuaca menjadi gelap, makin lama makin gelap. Semua orang menjadi panik, ada yang menjerit-jerit dan ada yang berlutut dan minta-minta ampun kepada nenek yang memiliki ilmu seperti dewa itu! Nenek itu menyudahi permainan sihirnya dan dengan cara ini, Tambolon berusaha membangkitkan kembali semangat para pembantunya yang terdiri dari bermacam suku bangsa liar itu.
Perawatan yang penuh ketekunan dan kemesraan dari Syanti Dewi membuat hati Tek Hoat menjadi terharu sekali. Berkat pengobatan dari Gak Bun Beng dan Puteri Milana yang pandai, dalam waktu tiga hari saja sembuhlah Tek Hoat.
“Dewi... aku... sungguh berhutang budi padamu...” Pagi hari itu Tek Hoat yang sudah duduk di atas pembaringan, berkata dengan suara tergetar karena terharu. Pagi-pagi sekali dia sudah mandi dan merasa tubuhnya segar, kesehatannya sudah pulih kembali, dan sepagi itu, Syanti Dewi sudah memasuki kamarnya dengan membawa sarapan dan minuman panas.
"Jangan berkata demikian, Tek Hoat. Engkau tahu bahwa aku melakukan semua ini dengan hati tulus ikhlas, dengan rela dan tidak ada budi di antara kita...”
“Dewi, baru membolehkan aku menyebut namamu saja sudah merupakan kehormatan tiada taranya bagiku. Engkau seorang puteri raja, sedangkan aku... aku...”
“Engkau seorang pahlawan Bhutan! Semua prajurit dan rakyat menyanjungmu atas pembelaanmu terhadap Bhutan, Tek Hoat. Dan aku belum mengucapkan terima kasih atas jasamu.” Syanti Dewi tersenyum dan Tek Hoat memandang silau.
“Tidak, Dewi..., ketahuilah bahwa dahulu aku...”
“Sudah kau ceritakan padaku, Tek Hoat. Engkau penjahat keji katamu. Akan tetapi aku tak peduli apa adanya engkau dahulu... yang penting bagiku adalah apa adanya engkau sekarang ini, Tek Hoat. Bagiku... engkaulah satu-satunya pria yang paling mulia, paling gagah, paling rendah hati... dan di kereta itu... kalau saja semua yang kudengar dari mulutmu itu benar...”
“Tentu saja benar! Aku cinta padamu, demi Tuhan... aku cinta padamu, akan tetapi aku pun tahu akan keadaan diriku. Tidak! Engkau terlalu agung dan aku terlalu rendah... mencium ujung sepatumu pun masih terlalu terhormat bagiku...”
“Ihhh, jangan berkata demikian, Tek Hoat... perih hatiku mendengarnya. Aku tidak ingin melihat engkau terus merendah, karena... engkaulah satu-satunya pria...” Syanti Dewi menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi merah sekali.
Tek Hoat membelalakkan matanya. Dia sudah merasakan kemesraan dan getaran cinta kasih puteri ini, akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena dianggapnya tidak masuk akal.
“...ya...? Lalu bagaimana..., Dewi?” Suara Tek Hoat gemetar dan jantungnya berdebar seperti akan meledak.
“...engkau satu-satunya pria yang... kucinta, Tek Hoat...”
“Ahh...!” Tek Hoat meloncat ke dekat jendela, membelakangi Syanti Dewi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang meloncat keluar.
“Tek Hoat...! Ada apakah...?” Syanti Dewi mengejar dan memegang lengan pemuda itu.
Tek Hoat membalik, mereka saling berpegang tangan, saling pandang dan melihat dua butir air mata di bawah mata pemuda itu, Syanti Dewi tersenyum lalu tertarik menangis!
“Kau... kau menangis...?” bisiknya di antara isaknya.
Tek Hoat mengangguk, menggigit bibir sendiri lalu berbisik, “Tangis bahagia... tetapi mungkinkah ini...?”
Syanti Dewi tidak menjawab melainkan kedua lengannya lalu merangkul leher Tek Hoat dan dia membenamkan mukanya di dada pemuda itu yang memeluknya, memeluknya dengan ketat seolah-olah dia hendak menanamkan tubuh puteri itu di dalam dadanya sehingga mereka tidak akan terpisah lagi, agar tubuh puteri itu menjadi satu dengan tubuhnya.
Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk dan tak bergerak, dengan seluruh tubuh mengalirkan getaran-getaran kasih yang hanya dapat dirasakan oleh mereka berdua. Mereka lupa akan segala hal, bahkan Tek Hoat yang mempunyai pendengaran terlatih itu tidak mendengar ketika ada orang memasuki kamar itu. Suara berdehem dari Sri Baginda mengejutkan mereka. Tek Hoat melepaskan rangkulannya, kemudian menjatuhkan diri berlutut sambil memejamkan mata, sadar akan dosanya, sedangkan Syanti Dewi berlari dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.
“Ayah... kami... kami berdua saling mencinta...” bisik Syanti Dewi seolah-olah hendak melindungi kekasihnya.
Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Aku sudah menduganya dan aku amat girang mendengar ini, Anakku. Dia memang pantas menjadi pelindungmu selama hidup dan engkau, Tek Hoat. Sadarkah engkau betapa engkau telah kejatuhan bulan, menerima kurnia yang tak terbilang besarnya karena telah menjadi pilihan hati Syanti Dewi?”
“Hamba... hamba... akan mempertaruhkan nyawa untuk melindunginya dan membikin dia bahagia...” kata Tek Hoat lirih.
Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. “Engkau telah memperlihatkan pembelaanmu terhadap kerajaan, akan tetapi hendaknya engkau ingat bahwa kini kota raja kita masih terkurung oleh musuh, dan selama bahaya ini belum dapat dihalau, pantaskah kalau kita memikirkan tentang urusan dan kesenangan pribadi?”
Ang Tek Hoat terkejut bukan main, dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menyadari sepenuhnya betapa marah sebetulnya hati orang tua ini melihat puterinya bermain asmara sedangkan negara masih terancam bahaya.
“Harap paduka mengampunkan hamba... sekarang juga hamba akan menyerbu ke luar!” Tek Hoat memberi hormat dan cepat bangkit lalu berlari keluar dari kamarnya.
“Tek Hoat...!” Syanti Dewi menjerit.
“Orang muda, rundingkan segalanya dengan Puteri Milana!” Sri Baginda juga berteriak, kemudian dia merangkul puterinya dan berbisik, “Dia gagah perkasa, kita lihat saja apakah dia patut menjadi mantu Kerajaan Bhutan, Anakku.”
Sementara itu, Tek Hoat sudah berlari ke dalam ruangan besar di mana Milana, Gak Bun Beng dan panglima lainnya sudah hadir dan sedang mengadakan perundingan. Kedatangan Tek Hoat diterima gembira oleh Milana dan Bun Beng.
“Ahhh, kau sudah sehat kembali, Tek Hoat? Bagus! Memang kami amat membutuhkan bantuanmu, dan malam nanti kita harus bergerak.”
Tek Hoat lalu duduk dan ikut mendengarkan rencana siasat yang diatur oleh Puteri Milana. Diam-diam dia merasa makin kagum kepada puteri ini dan berdebar jantungnya kalau dia teringat akan cerita tentang dirinya. Ayahnya, manusia iblis yang memperkosa ibunya, adalah kakak tiri dari puteri ini!
“Kini Panglima Jayin sudah mengatur pasukan yang berhasil menerobos keluar itu, mengambil kedudukan di empat penjuru dan sudah mempelajari kedudukan musuh. Dengan penyergapan dari empat penjuru, musuh tentu dapat dibikin kacau dan biar pun jumlah kita kalah banyak, akan tetapi kita menang semangat dan menang perhitungan. Malam nanti cuaca amat gelap dan dingin, sedangkan bala bantuan dari para musuh belum tiba. Gak-suheng akan membawa pasukan, menyerbu keluar melalui pintu gerbang timur, dan Tek Hoat memimpin pasukan menyerbu keluar melalui pintu gerbang selatan. Aku sendiri akan memimpin pasukan inti kemudian menyerbu keluar melalui pintu gerbang utara yang menjadi pusat barisan musuh. Serbuan kalian harus diarahkan ke utara dan selagi perang berlangsung, kita akan memberi tanda kepada pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Panglima Jayin agar bergerak dari luar dan menyerang bagian belakang pihak musuh.”
Setelah membagi-bagi tugas, maka bersiaplah mereka dengan pasukan masing-masing, dibantu oleh para perwira tinggi dan para pendeta Buddha yang memiliki kepandaian silat. Memang sudah diperhitungkan oleh Puteri Milana. Malam itu gelap karena tidak ada bulan, bahkan bintang-bintang di langit hanya nampak sedikit karena tertutup oleh awan. Hawa udara amat dinginnya sehingga para penjaga pihak musuh terkantuk-kantuk di udara terbuka.
Lewat tengah malam, menjelang pagi di waktu hawa sedang dingin-dinginnya dan semua orang sedang mengantuk-ngantuknya, mendadak terdengar bunyi terompet melengking nyaring di pintu gerbang selatan. Pintu gerbang terbuka dan menyerbulah pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, menyerbu ke tempat pihak musuh yang sudah diketahui sebelumnya.
Tentu saja pihak musuh menjadi panik karena baru saja terbangun dari tidur dan tahu-tahu perkemahan mereka dibakar lawan. Dengan pakaian tidak karuan, bahkan ada yang masih telanjang dan setengah telanjang, mereka berlarian keluar dari kemah untuk menghadapi amukan pasukan Bhutan yang berada dalam keadaan bersemangat dan segar.
Pula, pertempuran yang terjadi di tempat gelap itu dilakukan dengan baik sekali oleh pasukan Bhutan. Mereka dapat mengenal teman-teman sendiri melalui isyarat bentakan ‘houw’ yang berarti ‘harimau’ sehingga biar pun bertanding di dalam gelap, mereka dapat saling mengenal kawan sendiri dan dapat bekerja sama dengan baik. Teriakan-teriakan ‘houw’ terdengar di mana-mana disusul pekik kebingungan dan robohnya para anggota tentara musuh yang tentu saja menjadi panik dan ada yang saling serang di antara kawan sendiri di dalam gelap.
Pada saat yang hampir bersamaan, di pintu gerbang timur, pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng juga mengadakan penyerbuan yang sama. Pasukan ini menggunakan isyarat bentakan ‘liong’ (naga) untuk saling mengenal kawan sendiri dalam pertempuran keroyokan dalam gelap itu. Seperti juga Tek Hoat yang memimpin pasukannya dengan penuh keberanian dan yang sepak-terjangnya menggiriskan hati musuh, demikian juga Gak Bun Beng mengamuk seperti seekor naga sakti.
Selagi pihak musuh yang panik mulai dapat diatur kembali oleh Tambolon serta para pembantunya, tiba-tiba di udara yang gelap kelihatan sinar merah meluncur di angkasa. Empat kali sinar merah itu meluncur dan tiba-tiba terdengar bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai dari mana-mana, dari empat penjuru dan menyerbulah pasukan-pasukan yang bersembunyi di dalam hutan-hutan, yaitu pasukan-pasukan yang tiga hari yang lalu telah menyelundup keluar di bawah pimpinan Panglima Jayin. Kejadian ini benar-benar mengejutkan hati Tambolon karena tahu-tahu barisannya diserang dari belakang dan di empat penjuru pula!
Pelepas anak panah api merah sebagai isyarat itu adalah Puteri Milana sendiri yang kini memimpin pasukan inti yang paling besar jumlahnya, keluar dari pintu gerbang utara disertai bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai bergemuruh, lalu menyerbu keluar. Maka kacau-balaulah pasukan musuh karena seolah-olah mereka menghadapi lawan dari depan, belakang, kanan dan kiri! Apa lagi pihak Bhutan menyerang di malam gelap, dengan gerakan yang begitu teratur sehingga pihak Tambolon menyangka bahwa bala bantuan untuk Bhutan datang dari empat penjuru.
Memang siasat yang dilaksanakan oleh Puteri Milana itu hebat sekali. Semacam perang gerilya yang diperhitungkan dengan masak-masak sehingga biar pun jumlah tentara Bhutan jauh lebih kecil, namun sekali pukul ini membuat pasukan-pasukan Tambolon yang jauh lebih banyak itu menjadi kacau-balau dan kocar-kacir.
Hal ini adalah karena Tambolon terlalu mengandalkan jumlah besar pasukannya, akan tetapi pasukan-pasukan itu terdiri dari bermacam suku bangsa sehingga tentu saja tidak ada persatuan yang kompak. Mereka ini hanya mengandalkan keberanian dan tenaga kasar saja, maka menghadapi siasat yang cerdik itu mereka menjadi panik dan banyak di antara mereka yang menjadi korban dalam perang yang terjadi di malam gelap, hanya diterangi oleh berkobarnya api yang membakar perkemahan-perkemahan mereka.
Akan tetapi, Tambolon dan para pembantunya dengan nekat melakukan perlawanan mati-matian sehingga pertempuran itu berlangsung sampai hari menjadi terang. Kini nampaklah pertempuran itu. Di mana-mana mayat anggota pasukan-pasukan Tambolon berserakan, api masih berkobar dan pihak musuh yang tadinya mengepung di selatan telah dapat didesak oleh Tek Hoat sehingga mereka mundur ke arah timur kota raja di mana mereka menggabungkan diri dengan pasukan di timur yang juga telah mengalami hantaman dahsyat dari pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng dan pasukan yang menyerbu dari luar.
Kini pasukan ‘harimau’ yang dipimpin Tek Hoat bergabung dengan sisa pasukan yang menyerbu dari belakang musuh, bersatu dengan pasukan timur dan terjadilah perang yang amat besar di mana Tek Hoat dan Gak Bun Beng berkelahi bahu-membahu dan sepak-terjang dua orang ini memang hebat sekali, menggiriskan pihak lawan. Biar pun mereka tidak memegang senjata, namun kedua tangan dan kaki mereka merupakan senjata-senjata yang amat ampuhnya.
Pada saat perang sedang hebat-hebatnya, tiba-tiba saja udara menjadi gelap, makin lama makin gelap sehingga menggelisahkan pasukan Bhutan, apa lagi karena agaknya pihak musuh tidak merasakan kegelapan itu.
“Ini tidak wajar! Perbuatan sihir...!” Beberapa orang pendeta Buddha yang membantu pasukan Kerajaan Bhutan berseru dan mereka itu segera duduk bersila untuk melawan pengaruh sihir itu.
Namun pengaruh itu terlampau kuat sehingga mereka tidak mampu menandinginya dan kini bahkan banyak anak buah pasukan Bhutan yang merasa ngeri oleh karena mereka melihat awan hitam datang bergulung-gulung dan dari awan itu muncul naga-naga yang menyemburkan api! Tentu saja perasaan ngeri dan takut itu membuat mereka kurang waspada dan banyak di antara mereka yang roboh oleh babatan senjata lawan.
Gak Bun Beng dan Tek Hoat juga merasakan pengaruh mukjijat ini. “Celaka, agaknya musuh menggunakan ilmu hitam!” kata Bun Beng yang sudah berpengalaman, namun dia merasa tidak berdaya karena dia tidak menguasai ilmu itu.
“Tentu nenek iblis Durganini!” Tek Hoat berseru. “Gak-taihiap, biar aku mencari nenek iblis itu. Kalau dia dapat dibinasakan, tentu lenyap pengaruh mukjijat ini!” Sebelum Bun Beng menjawab, pemuda yang perkasa ini sudah melompat dan merobohkan setiap orang penghalang. Bun Beng merasa khawatir karena maklum betapa lihainya nenek yang kabarnya adalah guru dari Tambolon dan memiliki kepandaian yang amat hebat itu, maka dia pun lalu mengejar bayangan Tek Hoat yang mengamuk dan menuju ke utara.
Dugaan Tek Hoat memang tepat sekali. Melihat keadaan pasukannya kocar-kacir dan terancam kemusnahan, Tambolon menjadi bingung dan jengkel karena tidak melihat gurunya. Maka dia lalu mencari sendiri dan melihat nenek yang pikun itu masih enak-enak tidur mendengkur di dalam perkemahan, dia setengah menyeret gurunya itu untuk disuruh membantu.
Nenek yang terganggu tidurnya itu mengomel, akan tetapi dia memenuhi permintaan muridnya, mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya dan menciptakan awan hitam yang mengandung banyak naga siluman sehingga pihak musuh menjadi panik dan ketakutan. Akan tetapi, selagi nenek ini berdiri dengan kedua lengan bersilang di depan dada, di depannya mengepul seikat dupa yang dibakar, mulutnya berkemak-kemik dan asap hio membubung tinggi menciptakan pemandangan yang aneh itu, tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki satu.
Kakek ini bukan lain adalah Pendekar Super Sakti Suma Han yang datang bersama Ceng Ceng dan rombongan penggembala liar yang hendak membantu ‘perjuangan’ Raja Tambolon. Kebetulan sekali begitu memasuki daerah pertempuran, Pendekar Super Sakti melihat gejala yang tidak wajar yang ditimbulkan oleh ilmu sihir Nenek Durganini. Tentu saja Suma Han terkejut bukan main.
“Nona, kau tunggu dulu di sini...” katanya dan sebelum Ceng Ceng sempat menjawab kakek berkaki satu itu sudah berkelebat dan kemudian lenyap di antara banyak orang yang sedang bertanding.
Ceng Ceng berdiri bengong dan tentu saja dia segera membantu pasukan Bhutan yang mudah dikenalnya dari pakaiannya. Melihat gadis asing ini tahu-tahu mengamuk dan membantu mereka, para prajurit Bhutan menjadi girang dan mereka bertanding dengan penuh semangat.
Dengan kecepatan kilat karena gerak Ilmu Soan-hong-lui-kun, Pendekar Super Sakti kini tiba di depan Nenek Durganini yang masih mengerahkan ilmunya. Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya, tidak senang melihat nenek itu menggunakan ilmu hitam dalam perang. Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke depan, ke arah dupa yang mengepulkan asap itu.
“Blaaarrr...!”
Tampak sinar kilat dan tempat dupa itu hancur berantakan, apinya berhamburan dan seketika itu juga lenyaplah awan gelap yang mengandung naga-naga siluman.
Nenek Durganini terkejut bukan main dan cepat dia memandang ke depan. Ketika dia melihat seorang laki-laki berusia kurang dari enam puluh tahun, berkaki satu, berdiri tegak bersandar pada tongkat bututnya, laki-laki yang memiliki sepasang mata yang tajam dan seperti dua buah bintang amat berwibawa, dia menjadi marah.
“Heh-heh, manusia lancang. Berani engkau menentang Durganini? Lihat betapa api neraka membasmi orang-orang Bhutan!” Nenek itu menudingkan telunjuknya ke atas dan dari telunjuknya itu menyambar kilat ke atas yang berubah menjadi api berkobar dan api ini mengejar orang-orang Bhutan yang tentu saja lari ketakutan karena ada lidah-lidah api yang ‘hidup’ mengejar-ngejar mereka.
“Hemmm, mengapa engkau begitu kejam?” Suma Han berseru dan menggerakkan tangannya ke atas. “Apa artinya api menghadapi air?” Tiba-tiba saja dari atas turun hujan lebat dan padamlah lidah-lidah api itu!
Orang-orang Bhutan tidak melihat mengapa awan gelap yang mengandung naga-naga siluman tadi lenyap, tidak mengerti pula mengapa ada hujan turun memadamkan lidah-lidah api, akan tetapi hal ini membuat mereka bergembira dan bersorak-sorailah mereka. Suara sorak-sorai yang menggegap-gempita itu membuat Nenek Durganini menjadi makin marah karena dia merasa seolah-olah dia yang ditertawai!
“Keparat, siapa engkau?” tanyanya kepada Suma Han sambil mengerahkan tenaga di dalam pandang matanya untuk menguasai orang yang kakinya buntung sebelah itu.
“Namaku Suma Han,” jawab Pendekar Super Sakti dengan tenang sekali dan dia pun menentang pandang mata itu dengan sikap tenang dan penuh kesabaran.
Nenek yang berpakaian serba hitam itu mengeluarkan suara melengking tinggi. “Engkau berani menentang Durganini, berarti engkau sudah bosan hidup!” Sambil berkata demikian, dia melontarkan tongkat hitamnya ke atas dan tongkat itu berubah menjadi Nenek Durganini kedua yang menerjang ke depan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau.
Suma Han memandang tajam, lalu melontarkan tongkatnya pula yang juga berubah menjadi bayangan dirinya. Maka bertempurlah dua bayangan itu dengan hebatnya di udara! Orang-orang yang sedang bertanding di tempat itu, baik anak buah Tambolon mau pun orang-orang Bhutan, berhenti bertempur karena mereka melihat peristiwa yang amat luar biasa itu. Mereka melihat nenek berpakaian hitam itu berdiri berhadapan dalam jarak enam tujuh meter dari seorang kakek berkaki satu.
Keduanya berdiri tak bergerak, akan tetapi di atas udara, di antara mereka, nampak dua batang tongkat bergerak sendiri dan saling serang seolah-olah kedua batang tongkat itu bernyawa! Suma Han menjadi terkejut dan kagum. Tahulah dia bahwa dia bertemu dengan seorang ahli sihir yang amat kuat tenaga batinnya, maka maklumlah dia bahwa kalau hanya mengandalkan kekuatan sihir, mungkin dia akan kalah. Akan tetapi sebelum dia bergerak untuk menggunakan kepandaian silatnya, tiba-tiba muncul See-thian Hoat-su dan gadis remaja yang menjadi muridnya itu.
“Pendekar Siluman, dia itu isteriku, harap kau maafkan dia!” kata kakek ini yang sudah meloncat ke dekat Nenek Durganini.
Nenek itu memang kalah dalam hal ilmu silat terhadap bekas suaminya ini, dan karena dia sedang mencurahkan seluruh tenaga sihirnya untuk menghadapi kakek berkaki tunggal yang ternyata merupakan lawan yang tangguh dalam ilmu sihir, maka dia tidak mampu melawan lagi ketika bekas suaminya itu menotoknya dan dia roboh lalu dipanggul oleh bekas suaminya itu.
Suma Han sudah menarik kembali tongkatnya. See-thian Hoat-su tertawa dan berkata kepadanya, “Kalau tidak ada engkau yang membantu, sukar aku menundukkan isteriku yang binal. Terima kasih dan sampai jumpa, Pendekar Siluman!” See-thian Hoat-su lalu memegang tangan muridnya. “Hayo kita pergi, Siang In.”
“Ouhhh... Suhu, aku ingin ikut main-main dalam keramaian ini.”
“Bukkk!” kakinya sudah menyambar dan tepat menendang pantat seorang anak buah Tambolon sehingga orang itu berjingkrak-jingkrak dan mengaduh-aduh karena tulang di antara pinggulnya remuk terkena tendangan Siang In. Kemudian dara ini meloncat dengan elakan manis, ketika seorang lawan menusuknya dengan tombak, kemudian membalik dan menuding ke arah orang itu.
“Eihhh, mengapa engkau memegang ular?”
Orang itu tiba-tiba terbelalak karena tombak di tangannya itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor ular! Sebelum dia sadar bahwa dia menjadi permainan seorang gadis yang baru saja mempelajari ilmu sihir, Siang In sambil tertawa sudah menampar kepalanya. Dia berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja jari-jari tangan yang kecil halus itu mengenai pelipisnya, membuat dia berputaran tujuh keliling dan dunia menjadi gelap baginya.
Seorang lain dengan golok di tangan menyerangnya marah sekali. “Hei, lihat, siapa aku? Aku adalah ibumu!” Siang In berteriak dan orang itu menahan goloknya, terbelalak memandangnya karena bagi pandang matanya, gadis remaja cantik itu tiba-tiba berubah menjadi ibunya yang telah mati beberapa tahun yang lalu.
“Dukkk!”
Orang yang sedang bengong terlongong itu tentu saja tidak dapat mengelak lagi ketika kepalan tangan Siang In menonjok lambungnya. Dia terpelanting sambil memegangi perutnya yang menjadi mulas, agaknya usus buntunya yang terkena hantaman kepalan tangan yang kecil namun kuat itu. Melihat hasil ilmu sihir yang baru saja dipelajari dari gurunya itu, Siang In menjadi gembira bukan main hingga dia menjadi kurang waspada.
“Bocah setan, mau lari ke mana kau?” Tiba-tiba ada dua buah lengan yang panjang, kuat dan berbulu meringkusnya dari belakang.
Siang In berusaha meronta, namun orang itu kuat sekali sehingga usahanya sia-sia belaka. Rasa takut membuat dia kehilangan kekuatan sihir yang baru saja dilatihnya itu. Akan tetapi dasar Siang In seorang yang cerdik, biar pun dia tahu bahwa ilmu sihirnya takkan dapat menolongnya, dia tidak menjadi khawatir, bahkan dia lalu tersenyum manis sekali dan mengangkat mukanya sehingga mukanya dapat terlihat oleh orang tinggi besar yang meringkusnya. Orang itu menunduk dan terpesona oleh kecantikan wajah yang tersenyum luar biasa manisnya itu.
“Aihh... kamu benar-benar jantan dan kuat sekali... akan tetapi pelukanmu terlalu kuat... menyakitkan...,” kata Siang In dengan lagak yang amat genit karena dia telah meniru lagak Si Siluman Kucing atau Mauw Siauw Mo-li seperti yang pernah dia pamerkan kepada Suma Kian Bu. Mulutnya tersenyum agak terbuka, matanya mengerling tajam penuh daya pikat dan biar pun dia menyandarkan kepalanya di dada orang itu, diam-diam dia melangkah maju.
Laki-laki itu benar-benar terpesona dan otomatis dia melonggarkan ringkusannya. Daya tarik yang keluar dari sikap dan kecantikan wajah Siang In kiranya tidak kalah hebat dan kuatnya dari pada ilmu sihirnya, maka orang itu seperti kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu betapa tiba-tiba kaki Siang In yang kecil itu membuat gerakan seperti seekor kuda menyepak ke belakang.
“Bukkk... aughhhh... adouuuuhhh...” Laki-laki itu mendekap bawah perutnya yang kena dihantam tumit kaki Siang In dan mengaduh-aduh setengah berjongkok.
Siang In mengayun kakinya lagi menendang, mengenai dagunya dan orang itu roboh terjengkang, akan tetapi masih memegangi alat kelaminnya yang kena disepak dan yang rasanya kiut-miut menusuk tulang, terasa sampai ke ubun-ubun!
“Bocah nakal, hayo kita pergi!” See-thian Hoat-su kini berhasil memegang pergelangan tangan muridnya dan membawanya loncat berkelebat dan lenyap dari situ membawa murid dan bekas isterinya.
Pendekar Super Sakti menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum menyaksikan keadaan kakek, bekas isterinya, dan muridnya itu. Dia tidak lagi bergerak, akan tetapi mereka yang bertempur di sekelilingnya tidak ada yang berani mengganggunya.
Sementara itu, Ceng Ceng yang tentu saja mempunyai rasa setia kawan dengan Bhutan, sudah mengamuk sampai terpisah agak jauh dari Pendekar Super Sakti, dan dia pun tidak tahu apa yang telah terjadi antara Pendekar Super Sakti dengan Nenek Durganini, karena pihak musuh sudah mengepungnya ketika melihat betapa lihainya dara ini yang telah merobohkan banyak lawan.
Tiba-tiba terjadi keributan tak jauh dari situ. Ketika Ceng Ceng menengok, dia melihat Tek Hoat yang juga mengamuk dan merobohkan setiap orang anak buah Tambolon yang berdekatan dengannya. Begitu melihat pemuda ini, timbul kemarahan hebat di hati Ceng Ceng. Teringat dia betapa oleh pemuda ini dia telah diserahkan kepada Tambolon sebagai penukar Syanti Dewi, betapa dia telah ditipu oleh Tek Hoat.
“Jahanam keparat!” Dia memaki dan meninggalkan musuh-musuhnya, lalu lari dan tiba-tiba saja dia menyerang Tek Hoat.
Serangan itu demikian dahsyat karena kemarahan di hati Ceng Ceng secara otomatis menggerakkan tenaga sinkang mukjijat di dalam tubuhnya yang timbul dari khasiat anak ular naga. Angin pukulan yang amat hebat menyambar dan Tek Hoat menjadi terkejut bukan main karena ketika dia menangkis, dia masih terhuyung ke belakang! Akan tetapi ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Ceng Ceng, dia memandang rendah dan juga menjadi marah.
“Hemm, kiranya engkau telah diperalat oleh Si Keparat Tambolon pula?” teriaknya dan melihat Ceng Ceng menyerang lagi, dia cepat mengelak dan balas menyerang! Diam-diam Tek Hoat terkejut melihat kemajuan hebat dalam gerakan Ceng Ceng. Dia tidak tahu bahwa selama ini Ceng Ceng telah menerima petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan dan telah memiliki sinkang mukjijat dari anak ular naga.
Maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan para prajurit kedua pihak tidak ada yang berani mendekati karena gerakan dua orang itu mendatangkan hawa pukulan yang bersiutan dan dari jauh saja mereka hampir tidak dapat menahan.
Betapa pun juga, tingkat kepandaian Tek Hoat masih jauh di atas tingkat Ceng Ceng, dan mulailah Tek Hoat mendesaknya. Akan tetapi, sejak dahulu, ada perasaan aneh di dalam hati pemuda ini terhadap Ceng Ceng, rasa suka yang aneh, maka sekarang pun dia merasa tidak tega untuk merobohkan Ceng Ceng.
“Ceng Ceng, kau mundurlah dan jangan tolol membela Tambolon!” beberapa kali Tek Hoat berseru kepadanya.
Ceng Ceng maklum bahwa Tek Hoat membela Bhutan dan salah menduga dia menjadi kaki tangan Tambolon. Akan tetapi dia tidak peduli. Dengan Tek Hoat dia mempunyai urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Bhutan atau Tambolon, dan dia tidak mau membela diri dari tuduhan itu. Dia tidak takut mati, bahkan kalau dia tidak dapat menangkap Tek Hoat, biarlah dia mati menyusul Topeng Setan. Coba kalau ada Topeng Setan di sisinya, Tek Hoat ini tentu tidak berani banyak lagak terhadap dirinya! Teringat akan Topeng Setan, hatinya berduka sekali dan dia menjadi makin nekat!
Tek Hoat merasa kewalahan juga ketika Ceng Ceng menyerangnya lebih hebat dan lebih nekat, seolah-olah dara itu tidak mempedulikan keselamatan dirinya sendiri. “Ceng Ceng, jangan bodoh kau, mundurlah! Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu!”
“Sombong, keparat keji! Siapa takut mampus?” Ceng Ceng membentak marah sekali, lalu menerjang lagi seperti seekor singa betina menghantam kepala Tek Hoat dengan tangan kanannya.
“Plakkkk...!”
Tek Hoat cepat menyambar pergelangan tangan Ceng Ceng. Ketika tangan kiri Ceng Ceng menampar, dia cepat menangkis sedemikian kuatnya sehingga pasangan kuda-kuda kaki Ceng Ceng tergempur. Kesempatan itu digunakan oleh Tek Hoat yang masih memegang lengan Ceng Ceng dengan tangan kirinya untuk menghantamkan tangan kanannya yang terbuka dan yang mengandung penyaluran sinkang Inti Bumi ke arah kepala Ceng Ceng. Hantaman ini kalau mengenai kepala dara itu tentu akan langsung menghancurkannya dan membinasakan, karena tenaga yang terkandung amat kuatnya, cukup kuat untuk membikin remuk batu karang.
“Tek Hoat, jangan...!” Seruan Gak Bun Beng ini dibarengi dengan dorongan tangan kiri sehingga ada hawa pukulan menyentuh punggung Tek Hoat.
Pemuda ini terkejut sekali, sekaligus dia pun sadar akan apa yang akan dilakukannya terhadap dara yang sebetulnya amat disukanya itu, bahkan andai kata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi, besar sekali kemungkinannya dia akan jatuh cinta kepada Ceng Ceng. Dan sekarang, karena desakan Ceng Ceng yang telah nekat, hampir saja ia membunuh gadis ini! Dia cepat meloncat mundur dan melepaskan pegangannya sehingga Ceng Ceng terhuyung-huyung.
“Tek Hoat, apakah kau sudah gila?” Gak Bun Beng membentaknya. “Tidak tahukah engkau, Ceng Ceng, bahwa kalian sebetulnya adalah saudara-saudara seayah?”
Akan tetapi ucapan itu hampir tidak kedengaran karena pada saat itu Ceng Ceng sudah memaki-maki Tek Hoat, “Manusia sombong, manusia curang dan jahat. Kalau... kalau Paman Topeng Setan tidak mati... kalau dia ada... kau tidak akan berani menjual lagak...!” Dan segera dara ini menangis terisak-isak karena dia teringat kepada Topeng Setan yang begitu baik, yang jauh sekali bedanya dengan Tek Hoat ini!
Akan tetapi Tek Hoat mendengar ucapan Gak Bun Beng tadi dan dia berseru, “Apa...? Dia... Ceng Ceng ini... saudaraku sendiri?”
Mendengar ini, Ceng Ceng terbelalak, lalu berjebi. “Huh, aku saudaramu? Siapa bilang? Tak sudi aku mempunyai saudara macam engkau!”
“Ceng Ceng, janganlah engkau berkata demikian. Tek Hoat ini pun putera dari ayah kandungmu, Wan Keng In, hanya bedanya, kalau ibumu adalah Lu Kim Bwee, ibu Tek Hoat adalah Ang Siok Bi. Kalian masih kakak beradik, seayah.”
Tek Hoat menjadi bengong. “Pantas...” bisiknya lirih. “Pantas aku mempunyai perasaan yang aneh terhadap dia... aku suka sekali padanya...”
“Hah, kau suka tetapi baru saja engkau hendak membunuhku?” Ceng Ceng berseru marah. “Kakak macam apakah kau ini?”
“Ceng Ceng..., maafkan aku... karena engkau begitu nekat dan kepandaianmu hebat sekali sehingga amat berbahaya...”
“Sudahlah, nanti kita bicara. Musuh masih banyak,” kata Gak Bun Beng yang sudah cepat melerai mereka. “Ceng Ceng, bagaimana kau bisa tiba di sini?”
“Saya datang bersama Locianpwe Pendekar Super Sakti.”
“Ahhh...?” Gak Bun Beng terkejut dan berseru girang. “Di mana beliau?”
Ketika Ceng Ceng menunjuk dengan jarinya ke arah perginya Pendekar Super Sakti, Bun Beng cepat pergi untuk mencari gurunya sambil berkata, “Tek Hoat, kau harus melindungi adikmu itu.”
Setelah Gak Bun Beng pergi, dua orang muda itu saling pandang, Tek Hoat tersenyum dan wajahnya berseri karena sungguh girang hatinya mendengar bahwa gadis yang amat disukanya ini ternyata adalah adiknya! Akan tetapi Ceng Ceng tetap cemberut, masih panas hatinya teringat betapa tadi hampir saja dia dibunuh oleh Tek Hoat.
“Ceng Ceng, engkau... engkau adikku...”
“Huh, belum tentu! Ibu kita berlainan, siapa tahu kalau-kalau aku yang lahir lebih dulu dari pada engkau. Mungkin aku malah enci-mu!”
“Adik atau enci, pokoknya kita bersaudara, dan aku girang sekali. Ehh, Ceng Ceng, aku tahu bahwa sejak kecil engkau di Bhutan, marilah kita berlomba untuk membunuh Tambolon!”
Ceng Ceng hanya mengangguk karena untuk membunuh musuh besar itu, tentu saja dia tidak dapat membantah.
“Hayo ikut dengan aku!” Tek Hoat cepat merobohkan dua orang sambil meloncat, diikuti oleh Ceng Ceng yang juga membuka jalan sambil merobohkan anak buah Tambolon.
Mereka mencari-cari dan akhirnya mereka dapat melihat Tambolon sedang mengamuk, dikeroyok oleh Panglima Jayin dan beberapa orang perwira Bhutan, akan tetapi mereka ini terdesak hebat oleh Tambolon yang mengamuk dengan kemarahan meluap-luap karena gurunya telah dilarikan oleh Kakek See-thian Hoat-su dan pasukannya telah kocar-kacir. Raja liar itu kini menggunakan senjata golok gagang panjang dan sepak-terjangnya dahsyat sekali.
“Ciangkun, minggirlah, biar kami berdua yang akan menghadapinya!” Tek Hoat berseru.
Melihat pemuda ini, Panglima Jayin menjadi girang dan langsung memerintahkan para pembantunya untuk mundur. Akan tetapi dia melihat Ceng Ceng dan dengan girang sekali dia berseru, “Sumoi...!”
Seperti kita ketahui, Panglima Jayin ini adalah murid dari mendiang kakek Lu Kiong dan sejak dahulu dia memanggil Ceng Ceng sumoi.
“Suheng, biarlah aku menghadapi raja liar itu.” Ceng Ceng berkata sambil melompat ke depan.
Panglima Jayin tentu saja meragu dan khawatir sekali karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian sumoi-nya ini tidak jauh dengan tingkatnya, bahkan dia masih lebih tinggi sedikit. Akan tetapi melihat loncatan Ceng Ceng yang seperti burung walet terbang itu, dia terkejut dan girang, maklum bahwa sumoi-nya itu tidak boleh dibandingkan dengan sumoi-nya di waktu belum meninggalkan Bhutan dahulu.
Melihat majunya Tek Hoat dan Ceng Ceng, Tambolon terkejut bukan main karena dia maklum akan kelihaian pemuda itu, dan teringat pula betapa dahulu nona ini pernah membebaskan diri dengan memperlihatkan tenaga mukjijat, dia pun maklum bahwa nona yang telah memperoleh khasiat dari anak ular naga ini telah memiliki tenaga sakti yang juga amat hebat. Akan tetapi karena dia sendiri percaya penuh akan dirinya sendiri, juga agar tidak menurunkan semangat anak buahnya, dia tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya bergerak....
“Kraakkk!” terdengar bunyi dan gagang goloknya yang panjang itu telah dipatahkannya sehingga berubah menjadi sebatang golok gagang biasa. Kemudian tangan kirinya meraba pinggangnya.
“Singggg...!” tercabutlah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar yang mukjijat dan menyeramkan.
“Ha-ha-ha, bocah perempuan setan! Engkau akan mampus di ujung pedangmu sendiri!”
Ceng Ceng terkejut dan marah ketika mengenal Ban-tok-kiam, yaitu pedang pemberian Ban-tok Mo-li yang telah dirampas dari tangannya oleh raja liar itu.
“Tambolon keparat! Aku harus membunuhmu!” Ceng Ceng yang sudah nekat itu segera menubruk ke depan dengan tangan kosong, mengirim pukulan yang dahsyat. Tambolon menggerakkan pedang itu memapaki.
“Ceng Ceng, hati-hatilah...!” Tek Hoat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang nekat itu dan cepat dia pun mengirim pukulan dahsyat ke arah Tambolon. Terpaksa Raja liar ini menggunakan goloknya menyambut serangan Tek Hoat.
Tentu saja Ceng Ceng tidak membiarkan dirinya dimakan pedangnya sendiri begitu saja. Tubuhnya sudah cepat mengelak dan dari bawah kakinya menyambar ganas ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi Tambolon dapat menarik tangannya dan pada saat itu, Tek Hoat yang sudah mengelak pula telah menghantam dengan pukulan jarak jauh.
“Dessss...!”
Tambolon terpaksa menerima hawa pukulan itu dengan bahunya dan dia terhuyung. Bukan main kagetnya dan kini dia menggerakkan pedang dan golok itu, diputar-putar sehingga tampaklah dua sinar yang saling membelit dan bergulung-gulung mengelilingi tubuhnya.
"Taihiap, pakailah ini! Sumoi, pakailah senjata ini!” Tiba-tiba terdengar Panglima Jayin berseru dan dua batang pedang melayang ke arah Tek Hoat dan Ceng Ceng yang cepat menyambarnya.
Ceng Ceng girang melihat pedang di tangannya karena dia mengenal pedang mendiang kakeknya yang dihadiahkan kepada suheng-nya itu, sedangkan pedang yang diberikan kepada Tek Hoat itu pun merupakan pedang pusaka Bhutan karena pedang itu adalah pedang kebesaran tanda pangkat Jayin yang diterimanya dari rajanya. Biar pun kedua pedang itu tidak dapat dibandingkan dengan Ban-tok-kiam yang mukjijat dan beracun, akan tetapi keduanya terhitung pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan.
Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, Tek Hoat dan Ceng Ceng cukup cerdik untuk mengenal keampuhan pedang Ban-tok-kiam, maka mereka tidak mau mengadu pedang mereka dengan Ban-tok-kiam, tetapi ketika golok di tangan kanan Tambolon menyambar, seperti telah bersepakat lebih dulu, pemuda dan gadis itu menggerakkan pedang yang menggunting dari kanan kiri.
“Krekkk!” Patahlah golok itu dan Tambolon terpaksa meloncat mundur sambil memutar Ban-tok-kiam di tangan kirinya.
Ceng Ceng meloncat dan mengejar, diikuti oleh Tek Hoat. Keduanya mengurung dan menghimpit sehingga biar pun tangannya memegang pedang yang ampuh, tetap saja Tambolon terdesak hebat dan mulai merasa cemas.
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring. Muncullah dua orang lawan tangguh, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut, dua orang pengawal pribadi dari Tambolon. Si Petani Maut telah memutar batang pikulannya dan Yu Ci Pok sudah menggerakkan siang-koan-pit secara hebat.
Melihat hal ini, tentu saja Jayin dan teman-temannya tidak tinggal diam, akan tetapi mereka didahului oleh bentakan halus nyaring, “Harap kalian minggir!”
Panglima Jayin terkejut dan girang ketika mengenali Puteri Milana. Kiranya panglima yang memimpin seluruh pertahanan Bhutan itu sendiri yang berkenan turun tangan menghadapi dua orang lihai ini.
“Bibi Milana...!” Ceng Ceng berseru girang melihat Milana.
Milana yang sudah menggerakkan pedangnya menyambut sinar pikulan dan siang-koan-pit itu, tersenyum kepada Ceng Ceng. “Engkau membantu saudaramu? Bagus!”
Ang Tek Hoat juga girang melihat puteri ini, karena hal itu hanya menandakan bahwa pasukan mereka telah menang. Kalau tidak, tentu puteri ini tidak sempat turun tangan sendiri.
“Ceng Ceng, kau bantulah Sang Puteri!” katanya.
“Hushh, Sang Puteri itu adalah bibi kita, tolol. Ayah kita adalah juga kakak tirinya.” Ceng Ceng menegur, akan tetapi dia tetap mendesak Tambolon.
“Kepala batu! Aku tidak suka kau bantu! Aku ingin menghadapi Tambolon sendiri!” Tek Hoat berseru karena dia maklum bahwa betapa pun juga, masih amat berbahaya bagi Ceng Ceng untuk menghadapi Tambolon yang amat lihai itu.
Puteri Milana mengerti akan isi hati Tek Hoat, maka melihat bahwa pemuda itu cukup tangguh untuk menghadapi Tambolon, dia berkata, “Ceng Ceng, kau bantulah aku. Aku sudah lelah.”
Mendengar ini, tentu saja Ceng Ceng meloncat seperti kilat dan dia sudah menerjang Yu Ci Pok dan mendesak siucai ini dengan gerakan pedangnya yang mengandung tenaga mukjijat sehingga tangkisan siucai itu membuat tangannya tergetar dan siucai itu pun terkejut bukan main.
Pertandingan terpecah menjadi tiga dan kini tempat itu dikurung oleh pasukan Bhutan yang ingin menonton pertandingan hebat ini, juga Jayin dan teman-temannya ikut pula menonton karena kini pihak musuh sudah kocar-kacir dan kemenangan sudah di depan mata. Keadaan tidak berbahaya lagi maka ‘tontonan’ yang demikian hebatnya tidak akan mereka lepaskan begitu saja.
Tanpa diketahui orang lain, Milana berbisik kepada Ceng Ceng, “Jangan robohkan lawan, biar mereka semua ini dirobohkan oleh saudaramu yang akan menjadi calon mantu Raja Bhutan.”
Mendengar ini, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, jantungnya berdebar dan diam-diam dia merasa terharu sekali. Kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi akan menjadi isteri Tek Hoat! Dan Tek Hoat adalah saudaranya, satu ayah! Dia tidak lagi mampu menjawab, hanya mengangguk dan bersama Puteri Milana dia melayani lawannya seperti main-main saja. Kalau mereka mau, apa lagi Puteri Milana yang menghadapi Si Petani Maut, tentu dengan amat mudahnya mereka mengalahkan lawan mereka itu.
Yang bertanding secara sungguh-sungguh dan mati-matian adalah Tek Hoat. Hebat sekali pemuda ini menyerang dan mendesak Raja Liar Tambolon. Raja liar ini pun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena dia maklum bahwa dia tersudut dan tidak dapat melarikan diri lagi. Jalan satu-satunya hanya mempertahankan diri sampai saat terakhir dan kalau mungkin membunuh musuh sebanyaknya. Akan tetapi pemuda ini terlalu tangguh baginya.
Setelah bertanding hampir seratus jurus, Tambolon makin terdesak dan mukanya sudah basah oleh keringat. Baiknya dia memiliki pedang Ban-tok-kiam, karena kalau tidak demikian, tentu sudah tadi dia roboh oleh pemuda yang luar biasa ilmu silatnya ini. Tiba-tiba ketika kakinya menendang, ujung kakinya dapat menyerempet paha Tek Hoat dan pemuda itu lantas terguling jatuh. Semua orang menjerit, kecuali Puteri Milana yang berpemandangan tajam dan yang melayani Si Petani Maut sambil menonton!