CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SEPASANG PEDANG IBLIS
BAGIAN 19
Melihat hal ini, Si Muka pucat segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mundur. Tentu saja keselamatan komandan pasukan yang menjadi utusan Koksu lebih penting, dan kini dia yakin bahwa pemuda yang mengacau itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, terlampau tinggi untuk mereka tandingi dan kalau mereka melanjutkan pertandingan dan pengeroyokan dengan jalan kekerasan, akibatnya akan berbahaya sekali.
"Mundur... hentikan pertandingan!" teriak Si Kurus dengan suara nyaring, kemudian dia melangkah maju menghadapi Bun Beng, menjura dan berkata,
"Orang muda she Gak! Engkau tadi mengaku bukan mata-mata dan tidak memusuhi kami, mengapa engkau membikin kacau dan menangkap seorang panglima dari kota raja?"
Bun Beng membelalakkan matanya lalu tertawa bergelak, nadanya mengejek, "Ha-ha-ha! Kalau ada maling teriak maling, hal itu amat lucu dan dapat dimengerti karena Si Maling ingin menyelamatkan diri. Namun kalau ada pemberontak teriak pemberontak, hal ini sudah tidak lucu lagi, malah menyebalkan! Aku bukan seorang penjilat Kaisar, juga bukan seorang pemberontak. Bukan aku yang mengacau di sini, melainkan kalian sendiri yang memaksaku bertanding!"
Si Kurus bermuka pucat itu kembali menjura. "Jika begitu, kami menerima salah, harap engkau suka membebaskan panglima yang menjadi tamu kami."
"Panglima ini harganya tentu lebih mahal dari seekor kuda," kata pula Bun Beng.
"Seekor kuda...?" Si Kurus memandang tajam.
"Ya, seekor kuda yang paling baik di antara semua kuda di sini."
Mengertilah Si Kurus. Dia lalu memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk segera mengeluarkan kuda tunggangannya sendiri, seekor kuda berbulu putih yang benar-benar bagus dan kuat, merupakan kuda pilihan.
"Nah, ini kudaku sendiri, pakailah kalau engkau memerlukannya," katanya.
Bun Beng tertawa, melepaskan Si Perwira dan sekali meloncat dia telah berada di atas punggung kuda. Dia sengaja berbuat demikian, karena dia ingin melihat sikap mereka itu. Begitu melihat perwira itu dilepaskan, terjadi gerakan-gerakan seolah-olah mereka hendak maju lagi menerjang Bun Beng yang bersikap tenang di atas punggung kudanya. Akan tetapi Si Kurus bermuka pucat mengangkat tangan kanan ke atas dan membentak,
"Jangan bergerak! Biarkan Gak-kongcu lewat dan keluar dari sini tanpa gangguan!"
Bun Beng melarikan kudanya dan menoleh ke arah Si Kurus sambil berkata, "Terima kasih. Pemberontak atau bukan, engkau masih mempunyai sifat kegagahan!" Kudanya lari terus keluar dari pintu pagar tanpa ada yang merintanginya, dan pemuda ini melanjutkan perjalanan menuju ke selatan, ke kota raja.....
******************
"Haiiiiii...! Maharya pendeta palsu tukang tipu! Hayo keluar kau jangan sembunyi saja! Terimalah jawaban teka-tekimu. Hayo keluar, jika tidak, kucabut nanti bulu jenggotmu!"
Yang berteriak-teriak ini adalah Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek cebol yang keluar dari tempat tahanannya bersama Kwi Hong. Dara jelita ini bersikap tenang, berjalan di samping gurunya. Dia tidak pedulikan gurunya yang berteriak-teriak karena dia sudah maklum akan watak dan sifat gurunya yang aneh dan tidak lumrah manusia. Dia sendiri tentu saja tidak khawatir keluar dari tempat tahanan, apa lagi bersama gurunya yang sakti, sungguh pun dia maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya karena mereka berada di tempat kediaman Koksu, berada di dalam sarang harimau.
Ada beberapa orang penjaga yang bingung tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, berlagak hendak mencegah dua orang tahanan ini keluar. Yang berani menghadang hanya empat orang penjaga. Mereka melintangkan tombak menghadang dan berkata,
"Tanpa perkenan Koksu kalian tidak boleh keluar...!"
Empat kali Kwi Hong menggerakkan tubuhnya, dan....
“Krekkk! Plakkk!” Empat kali terdengar suara dan empat batang tombak patah-patah disusul tubuh empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri!
Ada pun kakek cebol itu masih berteriak-teriak memanggil nama Maharya, seolah-olah tidak melihat muridnya merobohkan empat orang penghalang tadi. "Maharya pendeta palsu! Di mana engkau? Koksu, suruh pembantumu Si Pendeta konyol itu keluar...!"
"Ser-serr-serrr...!"
Tampak sinar menyambar dari kanan kiri dan depan. Dengan tenang sekali Kwi Hong menggerak-gerakkan kedua lengan bajunya seperti yang dilakukan oleh gurunya dan belasan batang anak panah yang menyambar ke arah mereka itu runtuh ke bawah.
"Ha-ha! Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, beginikah seorang Koksu negara menghadapi tamu?" Bu-tek Siauw-jin tertawa mengejek, sedangkan Kwi Hong memandang ke depan dan kanan kiri dengan alis berkerut marah.
Daun pintu besar yang menembus ruangan belakang gedung Koksu tiba-tiba terbuka dan muncullah Bhong-koksu bersama Maharya beserta belasan orang panglima yang menjadi kaki tangan dan sekutu Koksu itu, diiringkan pula oleh sepasukan tentara yang berjumlah lima puluh orang lebih bersenjata lengkap!
"Heh-heh-heh, Siauw-jin. Engkau adalah seorang hukuman, tanpa ijin Koksu berani membobol penjara dan merobohkan penjaga. Sungguh tidak tahu aturan!" Maharya berkata sambil tertawa mengejek.
Bu-tek Siauw-jin memandang dengan mata melotot. "Siapa jadi orang hukuman? Kami menjadi tamu! Dan teka-tekimu yang palsu itu mudah saja menjawabnya! Maharya, lekas kau ambil pisau penyembelih babi, lekas!"
Karena nada suara kakek cebol itu mendesak dan disertai pengerahan tenaga sinkang, maka mempunyai wibawa yang kuat sekali sehingga Maharya yang menjadi ahli sihir itu pun sampai terpengaruh dan otomatis bertanya heran, "Pisau penyembelih babi? Untuk apa?"
"Ha-ha-ha-ha! Untuk memotong ujung hidungmu yang terlalu panjang itu! Bukankah sudah begitu perjanjian antara kita? Kalau aku bisa menjawab teka-tekimu, engkau harus memotong ujung hidungmu, kemudian engkau, Koksu dan pendeta Tibet... eh, mana Si Gendut itu, mengapa tidak ikut pula menyongsongku? Dan jangan lupa, Pulau Es dan Pulau Neraka juga harus dibangun kembali!"
"Siauw-jin, kematian sudah berada di depan mata, engkau masih berani bersombong. Orang macam engkau tak mungkin dapat menjawab pertanyaanku itu..."
"Apa? Pertanyaan licik yang penuh akal bulus dan palsu itu siapa yang tidak dapat menjawabnya? Dengar baik-baik, Maharya. Aku Sejati yang kau tanyakan itu adalah Aku Sejati yang palsu, khayalan pikiranmu sendiri yang kotor itu, yang hanya meniru-niru dari orang lain yang sebetulnya juga tidak tahu apa-apa. Semua itu palsu, sepalsu hati dan pikiranmu, Maharya!"
"Ihhh, engkau gila...!" Maharya membentak dengan muka merah.
"Paman guru, perlu apa buang waktu melayani orang gila ini?" Tiba-tiba Koksu berkata sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan mengeluarkan cambuk merah dengan tangan kiri, kemudian mengangkat cambuk ke atas sebagai aba-aba. Para panglima melihat ini, lalu mencabut senjata mereka dan semua anak buah pasukan tentara pengawal juga siap dengan senjata masing-masing.
"Suhu, teecu rasa tidak perlu lagi melayani mereka ini!" Kwi Hong juga berkata dan tampaklah sinar berkilat mengerikan ketika dara itu sudah mencabut keluar pedang Li-mo-kiam!
"Serbu...!" Bhong-koksu mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah pasukan pengawal dipimpin oleh belasan orang panglima itu.
Memang Koksu telah siap untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin dan karena dia tahu betapa lihainya kakek itu bersama muridnya yang memegang pedang mukjizat, maka dia sendiri pun telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang pusaka yang jarang dia pergunakan karena biasanya, dengan sebatang pecut merahnya saja Koksu ini sudah sukar menemukan tanding.
"Ha-ha-ha, pendeta palsu, Koksu pengecut!" Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa ketika melihat pasukan pengawal itu menyerbu.
Namun Kwi Hong tidak seperti gurunya. Dara ini sudah berkelebat ke depan didahului sinar pedangnya yang menyilaukan mata. Para pengawal yang belum mengenal dara dan pedangnya yang mukjizat itu menerjang dengan senjata tombak, golok atau pedang.
"Singgg... trang-trang-krek-krek-krekkk...!"
Tombak, golok dan pedang beterbangan di udara dalam keadaan patah-patah, disusul pekik kaget dan kesakitan, pekik kematian dari mulut lima orang pengawal yang tak dapat menghindarkan diri dari sambaran sinar pedang Li-mo-kiam!
Melihat ini terkejutlah semua anak buah pasukan. Mereka mengurung dan mengeroyok lebih hati-hati, dipimpin oleh belasan orang panglima yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Karena maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh memandang ringan pengeroyok yang jumlahnya amat banyak itu, Kwi Hong tidak bertindak sembrono, dan hanya berdiri di tengah-tengah, pedang melintang depan dada, tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang indah itu saja yang bergerak, mengerling ke kanan kiri menanti gerakan lawan.
Dua belas orang panglima yang menjadi kaki tangan Bhong-koksu, yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, dengan hati-hati mengurung Kwi Hong dan di belakang mereka bergerak, siap siaga dengan pengurungan yang amat nekat.
Tiba-tiba terdengar seorang panglima tertua mengeluarkan seruan sebagai aba-aba. Puluhan anak buah mereka bersama dua belas orang panglima itu serentak menerjang Kwi Hong, dibantu oleh anak buah mereka dari belakang. Kembali tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap bersembunyi di balik sinar pedang yang amat menyilaukan mata, seperti kilat menyambar-nyambar. Dia berhasil mematahkan beberapa batang senjata lawan, namun karena dua belas orang panglima itu memang sudah maklum akan keampuhan pedang di tangan gadis itu, mereka bersikap hati-hati dan tidak mau mengadu senjata sehingga yang menjadi korban hanya senjata para pengawal yang berani menyerang terlalu dekat.
Betapa pun juga, Kwi Hong tidak dapat mencurahkan perhatian untuk merobohkan lawan di depan karena dia dikepung ketat dan senjata-senjata lawan datang bagaikan hujan di sekeliling tubuhnya, sedangkan tangan yang menggerakkan senjata-senjata itu pun tangan terlatih dan cukup kuat dan cepat.
Sementara itu Maharya yang bersenjata sebatang tombak bulan sabit, senjata barunya setelah dia meninggalkan senjatanya yang dahulu berupa ular putih hidup dan sarung tangan emas, sudah menerjang maju melawan Bu-tek Siauw-jin dibantu oleh Koksu yang bersenjatakan pedang di tangan kanan dan cambuk di tangan kiri.
"Ha-ha-ha, kalian ini tiada lebih hanyalah tukang-tukang keroyok yang menjijikkan!" Bu-tek Siauw-jin tertawa mengejek, akan tetapi dia harus cepat-cepat menghindar dan mengebutkan lengan bajunya karena ujung tombak bulan sabit itu telah menyambar ganas ke arah lehernya, disusul tusukan pedang Bhong-koksu ke arah ulu hatinya dan sambaran cambuk ke arah ubun-ubun kepalanya.
"Tarrrrr...!" Sambaran cambuk yang datang terakhir itu tidak dielakkan dan ditangkis, melainkan diterima begitu saja oleh ubun-ubun kepalanya, akan tetapi akibatnya, ujung cambuk itu membalik dan telapak tangan Bhong-koksu lecet-lecet!
"Serang lima tempat dari mata ke bawah!" Maharya berseru, dan kini Bhong-koksu menerjang lagi membantu paman gurunya, menujukan serangan-serangannya ke arah kedua mata, tenggorokan, pusar, dan bawah pusar!
"Heh-heh-heh, Maharya pendeta palsu, dukun lepus! Mari-mari kita main-main sebentar!" Setelah berkata demikian, kakek pendek itu membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Dua telapak tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat, kadang-kadang mengandung hawa panas, kadang-kadang dingin sehingga Maharya mau pun Bhong-koksu berlaku hati-hati dan tidak berani menghadapi langsung pukulan-pukulan itu, melainkan mengelak sambil mengirim serangan-serangan balasan dari samping. Dalam hal ini, hanya cambuk di tangan kiri Bhong-koksu saja yang lebih berguna karena cambuk itu cukup panjang untuk mengirim serangan dari jarak jauh. Sedangkan tubuh Maharya menyambar-nyambar, menggunakan kesempatan setiap Bu-tek Siauw-jin mengelak dari sambaran cambuk, menerjang dengan tombak bulan sabitnya.
Bu-tek Siauw-jin masih tertawa-tawa dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja. Memang kakek aneh dari Pulau Neraka ini sudah puluhan tahun meninggalkan senjata, dan hal ini pun tidaklah aneh kalau diingat bahwa dengan kaki tangannya dia sudah cukup kuat menghadapi serangan lawan. Betapa pun juga, menghadapi pengeroyokan dua orang sakti seperti Maharya dan Bhong-koksu, kakek cebol ini repot juga dan biar pun mulutnya tertawa-tawa, dia harus memeras keringat untuk menghindarkan diri dari hujan serangan maut itu.
Tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat dari Maharya, dan mungkin tidak ada dua tingkat dari kepandaian Bhong-koksu. Untung bagi kakek cebol Pulau Neraka ini bahwa dia kebal terhadap ilmu sihir biar pun dia sendiri tidak suka mempelajari ilmu itu sehingga kekuatan ilmu sihir yang dimiliki Maharya tidak ada artinya kalau ditujukan terhadap Bu-tek Siauw-jin dan di samping ini dia menang jauh dalam hal kekuatan sinkang, maka dia dapat menahan tekanan dua orang itu dengan tenaga sinkang-nya.
Dibandingkan dengan gurunya, keadaan Kwi Hong jelas lebih payah. Dua belas orang panglima itu berkepandaian tinggi, dan andai kata hanya mereka yang mengeroyok, kiranya Kwi Hong akan mampu menandingi dan mengatasi mereka. Akan tetapi, di samping dua belas orang panglima itu, masih terdapat puluhan, bahkan kini ratusan orang tentara pengawal yang mengepungnya! Hal ini membuat dia lelah sekali setelah berhasil merobohkan tiga puluh orang lebih! Tetap saja dia masih terkepung ketat karena yang datang jauh lebih banyak dari pada yang roboh.
Sekarang enam orang panglima yang melihat betapa Kwi Hong sudah terkepung ketat, meninggalkan pimpinan pengeroyokan kepada enam orang temannya dan mereka sendiri lalu membantu Bhong-koksu menyerbu Bu-tek Siauw-jin.
"He-he-he, bagus...! Majulah semua, maju yang banyak agar lebih menggembirakan!"
Bu-tek Siauw-jin tertawa dan tiba-tiba tubuhnya roboh menelungkup ke depan, lalu berputar dan tahu-tahu kedua kakinya menendang ke belakang, inilah ilmu yang baru, Si Jangkrik menyentik atau Si Kuda menyepak yang didapatkan ketika dia mengadu jangkrik. Serangan ini amat tiba-tiba dan tidak terduga oleh Maharya dan Bhong-koksu, sehingga biar pun mereka berdua cepat menghindar, tetap saja angin tendangan kedua kaki itu menyambar ke arah muka mereka dan celakanya tapak kaki itu berlepotan tanah sehingga muka mereka terkena tanah dan lumpur!
Pada detik-detik berikutnya terdengar jerit nyaring dan dua orang panglima roboh tewas terkena tendangan kaki yang kekuatannya tidak kalah oleh sepakan lima ekor kuda itu! Andai kata Maharya atau Bhong-koksu yang terkena sepakan itu, tentu paling hebat tubuh mereka akan terlempar. Akan tetapi dua orang panglima yang tingkat sinkang-nya kalah jauh itu, begitu terkena sepakan pada dada mereka, seketika tewas dengan tulang-tulang iga remuk dan jantung tergetar pecah!
"Tar-tar-tar-tarrr...!" Cambuk panjang di tangan Bhong-koksu melecut seperti halilintar menyambar-nyambar ke arah kepala Bu-tek Siauw-jin.
"Aihhh... wuuutttt!"
Ujung cambuk itu terkena sambaran tangan Si Kakek cebol dan dicengkeramnya. Tentu saja Bhong-koksu mempertahankan senjatanya itu dan mereka bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan yang ulet dan dapat mulur itu meregang dan tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin melepaskan ujung cambuk. Terdengar suara nyaring dan ujung cambuk ini menyambar ke arah muka Bhong-koksu sendiri! Bhong-koksu kaget bukan main, melepaskan gagang cambuk dan menundukkan muka merendahkan tubuh.
"Aduhhhh...! Aduhhhh...!" Dua orang panglima pembantu yang berdiri di belakangnya berteriak dan roboh, merintih-rintih karena yang seorang kepalanya benjol besar dihantam gagang cambuk sedangkan orang kedua kulit dadanya robek disambar ujung cambuk.
Dengan kemarahan meluap Bhong-koksu sekarang menerjang maju dengan hanya menggunakan pedangnya, sedangkan Maharya juga mendesak dengan tombak bulan sabitnya.
"Kwi Hong, kau larilah!" Tiba-tiba tubuh kakek cebol itu berkelebat melewati di atas kepala Bhong-koksu dan Maharya, sambil berteriak ke arah muridnya yang terdesak hebat dan terkurung ketat. Akan tetapi, begitu tubuhnya tepat berada di atas kedua orang musuhnya terdengar suara memberobot disusul bau yang cukup membikin Bhong-koksu dan Maharya merasa muak hendak muntah!
"Tidak, Suhu. Kita hajar mampus semua anjing ini!" Kwi Hong yang tahu-tahu melihat gurunya sudah berada di sampingnya dan dengan mudah mendorong-dorong roboh beberapa orang pengeroyok, membantah.
"Hushh, musuh terlampau kuat dan banyak. Buat apa mati konyol di sini? Heran sekali pamanmu, Pendekar Siluman itu. Ke mana saja dia minggat dan kenapa membiarkan kita dikeroyok tanpa membantu? Hayo kau pergi cari pamanmu, minta bantuannya!"
"Suhu yang harus pergi!"
"Hushhh, aku masih belum kenyang main-main di sini. Pula, perutku mules ingin buang air besar. Lekas kau pergi keluar dari sini, cari pamanmu sampai dapat dan katakan, kalau dia tidak mau membantu aku, kelak aku pun tidak sudi membantunya kalau dia membutuhkan tenaga bantuan. Hayo!"
"Tapi, Suhu sendiri..."
"Ihhhhh, anak bandel! Sungguh tolol sekali aku mengapa mengambil murid engkau perawan bandel ini. Pergi, atau minta kugaplok?"
Kwi Hong maklum bahwa gurunya berwatak sinting, maka bukanlah tidak mungkin kalau dia benar-benar akan digaploknya. Dia masih penasaran melihat Bhong-koksu dan Maharya belum roboh, tetapi dia mengerti juga kalau pertandingan ini dilanjutkan, dia tentu akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan kalah.
"Baik, Suhu. Hati-hati menjaga dirimu, Suhu!"
"Weh-weh! Kau kira aku anak kecil, ya? Pakai ditinggali pesanan segala. Pergilah, aku membuka jalan!"
Kakek itu lalu menerjang ke depan, kedua lengannya bergerak dan setiap kedua lengan dikembangkan dan didorongkan, tentu pihak pengeroyok bubar dan terhuyung ke kanan kiri, membuka jalan. Kwi Hong berkelebat ke depan, tubuhnya dilindungi sinar pedang Li-mo-kiam sehingga senjata-senjata rahasia dan anak panah yang berusaha mencegah dia lari, runtuh semua dan tak lama kemudian lenyaplah dia keluar dari tempat itu.
Kini kemarahan Bhong-koksu dilimpahkan seluruhnya kepada Bu-tek Siauw-jin. "Kakek tua bangka keparat! Kalau belum memenggal lehermu dengan pedangku, aku Im-kan Seng-jin takkan mau sudah!"
"Singg... siuuutt...!" Hampir berbareng, pedang di tangan Bhong-koksu menyambar dari kanan dan tombak bulan sabit di tangan Maharya menyambar dari kiri.
Namun, tiba-tiba tubuh cebol itu roboh ke atas tanah. Dua orang lawannya terkejut dan terpaksa menahan serangan dan bersikap waspada karena mengira bahwa si cebol itu tentu akan menggunakan jurus tendangan menyepak yang lihai tadi. Akan tetapi mereka kecele karena Si Cebol tua renta itu sama sekali tidak menendang, melainkan terus menggelundung menuju ke belakang dan keluar dari pintu memasuki taman.
"Kejar...!"
"Tangkap...!"
"Bunuh...!"
Teriakan-teriakan nyaring ini keluar dari mulut para panglima dan pengawal, namun yang berkelebat lebih dulu melakukan pengejaran adalah Bhong-koksu dan Maharya. Mereka mengejar ke dalam taman yang besar dan indah itu, akan tetapi tidak tampak bayangan Bu-tek Siauw-jin.
"Celaka, jangan-jangan dia telah berhasil melarikan diri...." Bhong-koksu berkata.
"Belum tentu, kalau dia melompat keluar dari taman tentu kita tadi melihatnya," kata Maharya sambil mencari terus ke seluruh taman.
Para panglima dan pasukan pengawal yang ikut mengejar telah tiba di situ pula, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang melihat bayangan kakek cebol yang lihai itu.
"Heiiii, kalian mencari apa? Aku berada di sini!"
Semua orang memandang dan kiranya kakek yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, duduk ongkang-ongkang di atas dahan dalam keadaan telanjang bulat, tampak pakaiannya tergantung di cabang pohon.
Tentu saja Bhong-koksu dan Maharya marah sekali dan mereka sudah berlari menghampiri pohon yang berdiri di tepi telaga di dalam taman.
"Aku gerah sekali, lelah melayani kalian. Aku mau mandi lebih dulu nanti kita lanjutkan lagi." Setelah berkata demikian, tubuh kakek cebol itu melayang ke bawah dan terjun ke dalam air telaga.
"Byuuurrr!" Air muncrat tinggi dan sampai lama tubuh itu tenggelam. Ketika dia muncul lagi yang tampak hanya kepala sebatas dada. Kiranya telaga itu tidak dalam dan di dasarnya terdapat tanah lumpur sehingga ketika terjun tadi sebagian tubuh Bu-tek Siauw-jin terbenam ke dalam lumpur. Tentu saja muka dan kepalanya penuh lumpur ketika dia tersembul keluar sambil megap-megap!
"Siauw-jin, engkau akan mampus dalam keadaan yang lebih rendah dari pada seorang siauw-jin (manusia hina). Engkau akan mampus seperti seekor anjing yang bangkainya hanyut di air!" Maharya berseru dan kini semua orang telah mengurung telaga itu dengan senjata disiapkan.
Bu-tek Siauw-jin yang gelagapan tadi kini sudah mencuci kepala dan mukanya dengan air. Air telaga itu jernih sekali, dan di situ terdapat banyak ikan emas peliharaan Koksu. Sambil menyembur-nyemburkan air dari mulut dan menggosok kedua matanya, Bu-tek Siauw-jin memandang kepada Koksu dan Maharya, terkekeh gembira mempermainkan dan mengejek.
"Ha-ha-ha, sejak jaman dahulu, belum pernah kerajaan memiliki seorang Koksu segagah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, mengerahkan pasukan pengawal dan anjing peliharaan Maharya pendeta palsu untuk mengeroyok seekor anjing yang sedang mandi! Eh, Bhong-koksu dan Maharya, tahukah engkau mengapa aku harus mandi dulu?"
Maharya yang sudah banyak pengalamannya dan maklum akan kelihaian kakek cebol itu menahan gejolak kemarahan hatinya. Maka dia pun tersenyum lebar, sungguh pun senyumnya agak pahit, kemudian berkata, "Tentu saja aku tahu, Siauw-jin. Memang tepat sekali kalau engkau mandi lebih dulu agar tubuhmu bersih, karena setelah mati tidak akan ada yang sudi membersihkan mayatmu. Biarlah engkau mati dalam keadaan bersih tubuhmu, kami sabar menantimu di sini."
Jawaban itu dikeluarkan dengan suara yang halus dan ramah, namun sebetulnya merupakan ejekan yang menyakitkan hati.
"Bukan! Bukan begitu! Jawabanmu ngawur dan memang sejak dahulu aku tahu engkau seorang manusia tolol dan berkedok pendeta biar dianggap suci dan pintar, Maharya! Akan tetapi engkau tidak bisa mengelabui aku! Engkau bertapa di puncak gunung-gunung bukan untuk membersihkan batin melainkan untuk memupuk ilmu agar dapat kau pergunakan untuk merebut kemuliaan di dunia ramai! Engkau memakai cawat dan pakaian sederhana, makan seadanya, memamerkan hidup sederhana, bukan untuk mempertajam pandang mata batin melainkan kau pakai untuk kedok agar lebih mudah engkau menipu orang, seperti seekor serigala berkedok bulu domba. Mau tahu mengapa aku mandi? Karena sudah terlalu lama aku bertanding dengan kalian, dan terlalu banyak kotoran kalian mengotori tubuhku. Maka itu harus membersihkan dulu tubuhku agar tidak sampai keracunan oleh kotoran dari kalian tadi, ha-ha-ha!"
Bhong-koksu marah bukan main. Dia melambaikan tangan kiri memberi aba-aba dan mulailah para panglima dan anak buah mereka menyerang kakek cebol yang sedang mandi itu dengan senjata rahasia. Beterbanganlah anak panah, piauw (pisau terbang), peluru besi, paku dan lain-lain ke arah tubuh Bu-tek Siauw-jin. Sambil tertawa kakek itu mengelak ke kanan kiri kemudian tenggelam.
Karena pergerakannya, tentu saja air menjadi keruh dan tubuhnya tidak tampak. Tahu-tahu dia telah muncul jauh dari tempat sasaran dan kedua tangannya digerak-gerakkan menyambit ke daratan. Berhamburanlah air keruh, lumpur dan batu-batu kecil ke arah para pengurungnya! Bahkan ada dua buah benda kekuningan menyambar ke arah muka Koksu dan Maharya. Dua orang ini cepat mengelak dan dua buah benda itu dengan tepat mengenai muka dua orang panglima yang berada di belakang Koksu dan Maharya.
"Plok! Plok! Uuhhhgg... hak... haek-haek...!"
Dua orang panglima itu muntah-muntah karena dua ‘benda’ yang mengenai mulut dan hidung mereka itu adalah tahi (kotoran manusia) yang lembek, lunak dan masih hangat! Kiranya kakek cebol itu bukan hanya mandi, melainkan juga membuang air besar! Kiranya dia tadi tidak membohong ketika menyuruh muridnya pergi dan dia ingin membuang air besar lebih dulu. Pantas saja dia merendam tubuh bertelanjang bulat dan ketika ia membuang air besar diam-diam ditampungnya kotoran dengan tangan dan kini dipergunakan untuk membalas serangan senjata rahasia lawan dengan ‘senjata rahasia’ yang luar biasa itu!
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar anjing yang suka makan tahi!" Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi terpaksa harus slulup (menyelam) kembali karena dari pihak pengurungnya telah datang anak panah seperti hujan menyerang dirinya.
Terjadilah main kucing-kucingan antara kakek cebol dan para pengurungnya. Kalau dihujani serangan, dia menyelam, lalu timbul di lain bagian sambil membalas dengan sambitan batu-batu dan lumpur. Agaknya permainan ini mendatangkan kegembiraan besar di hati Bu-tek Siauw-jin, apa lagi ketika dia berhasil mengotori pakaian Koksu dan sorban di kepala Maharya dengan lumpur, membuat dua orang sakti itu memaki-maki dan menyumpah-nyumpah. Kakek cebol tertawa bergelak, mengejek ke kanan kiri sambil menjulurkan lidah.
"Ambil minyak! Kita bakar permukaan telaga!" Tiba-tiba Bhong-koksu mengeluarkan perintah.
Perintahnya ini hanya gertakan saja, akan tetapi cukup membuat Bu-tek Siauw-jin terkejut dan khawatir. "Wah, itu licik sekali namanya! Biar kulawan kalian lagi di atas daratan kalau begitu!"
Akan tetapi Bhong-koksu, Maharya dan para panglima beserta anak buah mereka telah menanti di tepi telaga, membuat kakek itu sukar mendarat dan terpaksa ke tengah telaga kembali sambil memaki-maki.
"Kalian cacing-cacing busuk, pengecut licik, tak tahu malu, ya?"
"Singgg... cuppp...! Wirrrr!"
Maharya dan Bhong-koksu terbelalak memandang gagang pedang yang tergetar di atas tanah di depan mereka itu, sebatang pedang yang tadi meluncur dari atas lalu menancap di atas tanah di depan mereka. Pada detik berikutnya, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka, dekat pedang di atas tanah tadi, telah berdiri seorang wanita bertubuh tinggi langsing dan mukanya berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!
"Pa... paduka...?" Bhong-koksu berseru, lupa diri dan menyebut paduka kepada Ketua Thian-liong-pang yang dikenalnya sebagai puteri kaisar, Nirahai.
"Aihhh, Ketua Thian-liong-pang hendak memberontak?" Maharya juga berseru.
"Bhong Ji Kun manusia rendah budi, pengkhianat dan pemberontak hina! Engkaulah yang hendak mengkhianati kaisar, hendak memberontak dan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet dibantu orang-orang Nepal, hendak menjatuhkan kaisar dan diperalat Pangeran Yauw Ki Ong yang hendak merebut tahta kerajaan. Berlututlah engkau pengkhianat busuk agar kutangkap dan kuhadapkan kaisar!" Ketua Thian-liong-pang atau Puteri Nirahai itu membentak dengan suaranya yang nyaring.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bhong-koksu dan semua panglima yang menjadi kaki tangannya mendengar betapa rahasia mereka telah terbuka. Untuk menyembunyikan rasa khawatirnya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa.
"Ha-ha-ha! Engkau puteri buronan, puteri pelarian yang telah mencemarkan nama kerajaan, berpura-pura hendak bersikap seperti seorang setiawan. Kebetulan sekali, Nirahai, engkau menjadi musuh kerajaan dan hadapilah kematianmu di ujung pedangku sendiri!" Bhong-koksu melintangkan pedang di depan alisnya sedangkan Maharya telah menggerakkan senjata tombak bulan sabitnya.
"Haiii... engkaukah Ketua Thian-liong-pang? Gagah perkasa benar engkau, akan tetapi aku Bu-tek Siauw-jin tidak minta bantuanmu! Menghadapi coro-coro kecoa bau itu aku belum membutuhkan bantuanmu!" Bu-tek Siauw-jin berteriak-teriak dari tengah telaga, kemudian meloncat ke darat dekat Ketua Thian-liong-pang.
Nirahai, wanita berkerudung itu secepat kilat telah menyambar pedangnya yang tadi dilontarkan menancap tanah, ketika ia melirik ke kiri dari balik kerudungnya, mukanya menjadi merah padam melihat betapa kakek cebol di sebelahnya itu bertelanjang bulat!
"Kakek sinting, pergilah!" bentaknya ketus. "Aku tidak butuh bantuanmu!"
Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya, menghadapi Nirahai dan bertolak pinggang, lupa sama sekali betapa lucu sikapnya, bertolak pinggang membusungkan dada tipis dan sama sekali tidak berpakaian! "Wah-wah-weh-weh! Siapa yang membantu dan siapa yang dibantu? Sebelum kau muncul aku sudah mereka keroyok sampai kelelahan dan terpaksa aku mandi dan buang air dulu. Engkau mau dibantu atau tidak, aku terpaksa harus menggempur mereka ini, terutama si botak Koksu dan si palsu Maharya!"
Maharya, Bhong-koksu, dan lima orang panglima sudah menerjang maju, tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bhong-koksu yang menganggap bahwa Nirahai lebih berbahaya, bukan ilmunya karena mungkin Si Kakek cebol itu lebih sakti, melainkan berbahaya karena Nirahai telah mengetahui rahasianya, sudah cepat-cepat menerjang Nirahai dengan pedangnya. Pedang itu dengan gerakan cepat membabat leher Nirahai, ketika dielakkan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut yang dapat ditangkis pula oleh pedang Nirahai, akan tetapi pedang di tangan Koksu yang seperti hidup, tahu-tahu sudah membabat ke arah kedua kaki lawan!
Nirahai maklum bahwa lawannya bukan orang sembarangan, melainkan seorang ahli silat tinggi yang sakti, maka cepat tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya ditarik ke atas menghindarkan babatan pedang, namun kaki itu tidak hanya mengelak saja, melainkan dari atas mengirim tendangan beruntun ke arah dada dan muka lawan!
"Wuuut! Wuuutt!"
Bhong-koksu berseru kaget dan nyaris dagunya tercium ujung sepatu lawan kalau saja dia tidak cepat-cepat mencelat mundur dan keadaannya yang terdesak itu tertolong oleh majunya tiga orang panglima pembantunya yang mengurung dan menyerang Nirahai sehingga wanita berkerudung itu tidak dapat mendesak Bhong-koksu yang dibencinya.
Biar pun dihadapi tiga orang panglima yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, Nirahai masih dapat mencelat melalui mereka dan pedangnya menyambar ke arah Maharya yang berada di tempat lebih dekat dengannya dari pada Bhong-koksu yang melompat mundur tadi. Dia sengaja menyerang pendeta ini karena dia maklum bahwa di antara para pembantu Bhong-koksu, pendeta inilah yang paling berbahaya.
Pedangnya yang berkelebat seperti halilintar menyambar itu mengejutkan Maharya yang cepat menggerakkan tombak bulan sabitnya sambil membentak, "Robohlah!"
Tangkisan Maharya dengan tombaknya mengenai pedang Nirahai, menimbulkan bunyi nyaring sekali, dan bentakannya tadi mengandung pengaruh mukjizat ilmu sihirnya, namun selain Nirahai telah memiliki sinkang yang amat kuat, juga muka wanita ini terlindung kerudung sehingga sinar mata Maharya yang penuh kekuasaan mukjizat itu tidak mempengaruhinya. Namun, tetap saja bentakan itu mendatangkan getaran hebat bagi Nirahai yang cepat mengerahkan sinkang melindungi jantungnya. Lebih hebat lagi, tangkisan tombak kepada pedang itu disambung dengan meluncurnya tiga batang jarum yang keluar dari leher tombak menyambar ke arah Nirahai!
"Pendeta curang...!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak dan tiga batang jarum beracun itu runtuh semua oleh sambitan Si Kakek cebol ini yang menggunakan lumpur! Sambitan ini menyelamatkan Nirahai sungguh pun belum tentu wanita perkasa ini akan menjadi korban jarum andai kata tidak dibantu Bu-tek Siauw-jin, akan tetapi baju Nirahai terkena noda sedikit lumpur.
"Singgg... wuuusss... hayyaaa...!"
Bu-tek Siauw-jin menggulingkan tubuhnya ketika tiba-tiba pedang Nirahai menyambar ke arah lehernya! "Wah-wah-wah, Ketua Thian-liong-pang benar ganas! Diberi madu membalas racun! Ditolong malah membalas dengan niat membunuh!"
"Siapa membutuhkan pertolonganmu? Engkau mengganggu saja!"
"Weh-weh, sombongnya! Kalau tidak kubantu, apa engkau kira akan mampu menang melawan mereka ini?"
"Aku tidak sudi dibantu orang gila tak tahu malu. Hayo berpakaian dulu kau, kakek tua bangka tak bermalu, baru nanti kita bicara tentang bantuan!" Nirahai terpaksa sudah meninggalkan Bu-tek Siauw-jin lagi untuk mengamuk dengan pedangnya karena Bhong-koksu dan Maharya sudah menerjangnya lagi. Suara pedangnya menangkis senjata mereka dan senjata para panglima terdengar nyaring berdenting dan bertubi-tubi kemudian terdengar teriakan dua orang pengawal yang roboh terkena sambaran sinar pedang wanita berkerudung yang sakti itu.
Bu-tek Siauw-jin yang merasa penasaran karena tidak boleh ikut bertanding, sambil mengomel meloncat ke atas pohon menyambar pakaiannya dan karena tergesa-gesa mengenakan pakaiannya beberapa kali dia memakai pakaian dengan terbalik! Akhirnya selesai juga dia berpakaian.
"Thian-liong-pangcu! Lihatlah, aku sudah sopan sekarang, sudah berpakaian, uhh-uhh! Pikiran gila yang menganggap bahwa berpakaian tanda sopan! Hayoh kita berlomba, siapa lebih banyak merobohkan cacing-cacing tanah ini!"
Dari atas, tubuh yang cebol itu melayang turun, berputar-putar seperti gerakan seekor anak burung belajar terbang dan akhirnya tubuh cebol itu menyambar dari atas ke arah kepala Maharya. Memang pendeta inilah yang dicarinya! Begitu Bu-tek Siauw-jin menyambar, kakek cebol ini menggunakan tangan kiri menyambar lengan yang memegang tombak bulan sabit, tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, kedua kaki menendang bergantian ke arah punggung dan lambung sedangkan mulutnya masih mengeluarkan suara "cuhhh!" meludah ke arah tengkuk Maharya!
Diserang secara luar biasa itu, Maharya gelagapan. Dia dapat menyelamatkan diri dengan memutar senjatanya melindungi kepala dan membuang tubuh ke bawah lalu bergulingan, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengelak dari air ludah yang berubah menjadi hujan kecil menimpa sebagian dagunya!
"Siauw-jin manusia kotor!" Dia membentak setelah mencelat berdiri sambil menyerang ganas, dibantu oleh beberapa orang panglima.
Bu-tek Siauw-jin maklum akan kelihaian Maharya dan para pembantunya, cepat dia menggerakkan kaki tangan untuk mengelak dan menangkis, mulutnya tertawa-tawa mengomel. "Heh-heh, kau kira engkau ini manusia bersih? Mana yang lebih baik, kotor luarnya tapi bersih dalamnya dibandingkan dengan engkau yang bersih luarnya kotor dalamnya? Heh-heh-heh! Aku memang Bu-tek Siauw-jin, namaku saja sudah manusia rendah, apanya yang aneh kalau aku kotor! Engkau adalah seorang pendeta, baik pakaian mau pun namamu menunjukkan bahwa engkau pendeta, akan tetapi sepak terjangmu sama sekali berlawanan!"
"Mampuslah!" Maharya membentak dan senjatanya yang ampuh itu sudah menyambar dan tampak sinar kilat berkelebat.
Namun dengan tubuhnya yang cebol, Bu-tek Siauw-jin dapat mencelat ke kiri, kakinya menendang sebatang golok di tangan seorang pengawal yang coba menyerangnya. Pengawal itu terhuyung ke depan, diterima oleh pinggul kakek cebol yang digerakkan ke samping.
"Desss! Augghh...!" Tubuh pengawal yang kena disenggol pinggul kakek itu terlempar dan menabrak dua orang temannya sendiri sehingga mereka bertiga jatuh terguling-guling.
Hanya Maharya dan Bhong-koksu saja yang masih dapat menandingi amukan Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai secara berdepan, sedangkan para panglima dan anak buah mereka yang banyak jumlahnya itu hanya berteriak-teriak dan membantu mengurung serta menyerang kalau ada kesempatan, dari kanan kiri atau belakang, karena amukan kakek cebol dan wanita berkerudung itu benar-benar amat dahsyat dan sudah banyak jatuh korban di antara para pengawal yang berani menyerang terlampau dekat.
Memang kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Maharya masih kalah tinggi oleh Bu-tek Siauw-jin, sedangkan Bhong-koksu pun masih kalah setingkat oleh Nirahai yang pada tahun-tahun lalu memperoleh kemajuan banyak sekali berkat mengambil inti sari ilmu-ilmu silat tinggi dari partai-partai lain.
Akan tetapi, dengan bantuan pengeroyokan banyak anak buah mereka, sedangkan para panglima yang membantu juga memiliki kepandaian lumayan, maka kakek cebol dan wanita berkerudung itu terkurung ketat dan belum juga mampu merobohkan Maharya dan Bhong-koksu. Tiba-tiba muncul belasan orang Tibet dan Mongol yang memiliki gerakan cepat dan jelas bahwa tingkat mereka lebih tinggi dari pada kepandaian para panglima. Mereka adalah bala bantuan yang didatangkan oleh seorang panglima dan kini mereka langsung menerjang maju mengeroyok Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai!
Terpaksa dua orang yang terkurung itu kini saling membantu dengan beradu punggung saling membelakangi. Bu-tek Siauw-jin sudah mandi keringat. Kakek ini telah merampas sebatang toya dan melindungi tubuhnya dengan toya itu sampai senjata itu remuk, lalu dirampasnya sebatang golok untuk melanjutkan gerakannya melindungi tubuh sendiri dari serangan yang datang bagaikan hujan lebatnya.
"Kita harus segera keluar dari sini," tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata kepada Nirahai di belakangnya.
"Hemmm, apakah engkau takut?" Nirahai balas bertanya dan ujung sepatu kirinya berhasil merobohkan seorang Nepal, dengan menendang pusar orang itu sehingga roboh berkejotan untuk tak dapat bangun kembali.
"Siapa takut? Yang terlalu adalah Pendekar Super Sakti, sampai sekarang pun tidak muncul batang hidungnya. Terlalu ini namanya! Aku sendiri yang disuruh menghadapi cacing-cacing ini!"
"Aku tidak butuh bantuan dia atau siapa juga!" Mendengar disebutnya Pendekar Super Sakti, Nirahai marah. "Kalau kau takut, pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu."
"Eh-eh, benar-benar kau wanita sombong dan galak! Untung bukan isteriku!"
Nirahai terbelalak di balik kerudungnya dan memutar pedangnya menangkis serangan yang datang bertubi-tubi sehingga tampak bunga api berpijar menyusul suara berdencing nyaring.
"Apa kau bilang? Mengapa untung?"
"Punya isteri galak macam engkau benar-benar mendatangkan neraka dunia!" Bu-tek Siauw-jin berkata lagi. "Sudah dibantu, tidak menerima malah bicara galak dan sombong. Eh, Thian-liong-pang-cu, aku menganjurkan kita keluar dari sini bukan karena takut melainkan aku khawatir saat ini perkumpulanmu sedang dihancurkan oleh mereka!"
"Apa...?"
"Bodoh! Apakah engkau melihat pembantu-pembantu mereka itu lengkap? Engkau kena dipancing di sini, kalau kau tidak cepat-cepat keluar menolong perkumpulanmu, akan habislah Thian-liong-pang!"
Karena percakapan itu dilakukan dengan suara keras, tentu saja terdengar oleh Bhong-koksu yang tertawa bergelak,
"Si Cebol busuk ini benar-benar pandai! Memang sekarang Thian-liong-pang sedang kami gempur habis, ha-ha-ha!"
"Singgg... tranggg...!"
Bhong-koksu terkejut dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang. Serangan Nirahai tadi benar-benar hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga saking marahnya sehingga tangkisan Bhong-koksu membuat kakek ini terpental dan hampir saja pundaknya tercium pedang lawan. Para pembantunya, orang-orang Tibet dan Mongol yang lihai segera mengurungnya kembali.
Kini dua orang sakti itu mengamuk lagi, akan tetapi kalau tadi mengamuk untuk membunuh lawan sebanyaknya, kini mereka mengamuk untuk membuka jalan darah dan keluar dari tempat itu, keluar dari taman istana Koksu untuk menyelamatkan Thian-liong-pang. Tentu saja Nirahai yang mempunyai keinginan ini, sedangkan Bu-tek Siauw-jin sama sekali tidak peduli akan nasib Thian-liong-pang karena dia sendiri ingin mencari muridnya di samping sudah lelah sekali bertempur sejak tadi. Sudah bosan dia dan ingin menyusul muridnya, ingin bertemu dengan Pendekar Super Sakti yang dikagumi akan tetapi yang juga menimbulkan kemendongkolan hatinya karena sampai sekian lamanya pendekar itu tidak muncul juga membantunya!
Ada pun Bhong-koksu dan Maharya yang maklum bahwa dua orang itu berusaha keluar dari kepungan, berkali-kali meneriakkan aba-aba untuk mengepung lebih ketat lagi sehingga terjadilah pertandingan yang lebih hebat dan mati-matian.....
******************
Dugaan Bu-tek Siauw-jin memang benar. Biar pun kakek cebol ini kelihatan sinting dan ketolol-tololan, namun dia adalah seorang yang sudah berpengalaman dan berada di tempat itu selama beberapa hari, mendengar percakapan-percakapan antara Koksu dan Nirahai, percakapan-percakapan yang dilakukan para pengawal ketika dia dan muridnya ditahan, sudah cukup baginya untuk mengerti duduknya perkara.
Dugaannya bahwa Thian-liong-pang diserang selagi ketuanya mengamuk di taman, memang tepat sekali. Hal ini memang sudah direncanakan oleh Bhong-koksu yang menganggap bahwa kalau Thian-liong-pang belum dihancurkan lebih dahulu, tentu perkumpulan yang amat kuat itu akan menjadi penghalang bagi pemberontakan yang diaturnya bersama Pangeran Yauw Ki Ong karena Nirahai tentu akan memimpin perkumpulannya itu untuk membela ayahnya kaisar.
Pada saat Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk di taman istana koksu, sepasukan tentara dipimpin oleh Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong panglima tinggi besar tangan kanan Koksu, dan beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi dibantu pula oleh orang-orang yang menjadi jagoan-jagoan dari Nepal dan Tibet, menyerbu markas besar Thian-liong-pang di luar kota raja.
Karena puteri Ketua Thian-liong-pang, Milana sudah mengetahui akan rahasia Bhong-koksu dengan persekutuan pemberontaknya, maka begitu ibunya pergi meninggalkan markas untuk membuat perhitungan dengan Koksu, dara jelita ini telah mengadakan persiapan. Penjagaan dilakukan dengan ketat dan dibantu oleh para tokoh Thian-liong-pang, yaitu Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok Si Kakek Muka Singa, dan para pembantu lainnya.
Jumlah anak buah Thian-liong-pang bersama para pemimpinnya yang berkumpul di tempat itu masih ada kurang lebih seratus orang. Mereka semua siap sedia menanti perintah dari puteri ketua mereka dan di lain pihak Milana juga menanti kembalinya ibunya dengan hati penuh ketegangan karena dia maklum bahwa pasti akan terjadi sesuatu yang hebat berhubungan dengan pemberontakan yang diatur oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu itu.
Karena persiapan yang telah diadakan oleh Milana dan para tokoh Thian-liong-pang inilah, maka ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan pengawal yang dipimpin oleh Thian Tok Lama, terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat. Pihak Thian-liong-pang mengadakan perlawanan mati-matian dan karena rata-rata anggota Thian-liong-pang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, maka biar pun pasukan tentara lebih besar dan lebih kuat, tidak mudah bagi mereka untuk menumpas Thian-liong-pang tanpa jatuh banyak korban di pihak tentara.
Betapa pun juga, ilmu kepandaian Thian Tok Lama amat lihai dan betapa pun para tokoh Thian-liong-pang membela diri mati-matian, tak seorang pun di antara mereka yang mampu menandingi pendeta Lama dari Tibet yang kosen ini. Agaknya hanya Milana seoranglah yang hampir dapat mengimbanginya, tetapi pada saat penyerbuan terjadi, Milana telah dikepung dan dikeroyok oleh lima orang Nepal serta dua orang Tibet pembantu Thian Tok Lama.
Lama itu sendiri memimpin orang-orangnya menyerbu ke dalam dan mengamuk, ditahan oleh Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok. Terjadilah pertandingan dahsyat di sebelah luar dan dalam markas Thian-liong-pang. Pertandingan mati-matian yang berlangsung sampai setengah hari lebih!
Betapa gigih para tokoh Thian-liong-pang mempertahankan diri, tanpa adanya ketua mereka di situ, akhirnya mereka itu runtuh juga. Seorang demi seorang roboh dan tewas, mula-mula Tang Wi Siang tewas oleh Thian Tok Lama, kemudian Lui-hong Sin-ciang Chie Kang bahkan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok juga terluka parah dan hanya karena di situ tidak ada ketuanya maka kakek ini memaksa diri untuk lari, bukan karena dia takut mati, melainkan agar kelak dia dapat melaporkan kepada ketuanya, apa lagi setelah dilihatnya betapa puteri ketuanya tertawan oleh Thian Tok Lama.
Hanya beberapa orang saja yang berhasil lolos dari maut dalam penyerbuan itu, dan seperti juga Sai-cu Lo-mo, para anggota Thian-liong-pang yang berhasil lolos dan melarikan diri itu menderita luka-luka parah.
Karena telah dapat menghancurkan Thian-liong-pang dan terutama sekali dapat menawan Milana, Thian Tok Lama tidak melakukan pengejaran terhadap sisa orang Thian-liong-pang. Hari telah menjadi sore dan dia hendak cepat-cepat membawa Milana sebagai tawanan ke kota raja. Dara itu merupakan seorang tawanan penting sekali, karena dengan adanya dara itu sebagai sandera, tentu Ketua Thian-liong-pang tidak akan mampu berbuat hal-hal yang akan merugikan persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan Bhong-koksu.
Berangkatlah sisa pasukan pengawal yang tinggal separuh itu meninggalkan markas Thian-liong-pang yang telah terbasmi dan telah mereka bakar, menuju ke kota raja. Milana dengan kedua tangan terbelenggu, menjadi tawanan dan dinaikkan ke atas punggung seekor kuda, digiring di tengah-tengah mereka dan dikawal sendiri oleh Panglima Bhe Ti Kong, Thian Tok Lama dan para pembantunya.
Yang menjadi pelopor di depan adalah jagoan-jagoan Nepal yang bersorban dan rata-rata bertubuh tinggi besar. Mereka merasa bangga karena dalam kemenangan ini mereka melihat tanda yang baik bahwa persekutuan mereka akan berhasil, dan kalau kaisar berhasil dijatuhkan, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi bukan hanya dari kaisar baru, akan tetapi terutama dari raja-raja mereka sendiri karena Pangeran Yauw Ki Ong sudah menjanjikan persahabatan, bukan penaklukan seperti sekarang, baik kepada Nepal, Mongol mau pun Tibet.
Karena hari sudah hampir gelap dan perjalanan melalui sebuah hutan besar, maka pasukan itu melakukan perjalanan cepat. Terdengar suara derap kaki kuda mereka bergema di dalam hutan dan pasukan yang berjalan kaki mengikuti dari belakang setengah berlari. Sembilan orang jagoan Nepal yang merasa berjasa dan bergembira tidak dapat menahan kegembiraan hati mereka dan terdengarlah suara mereka bernyanyi-nyanyi dalam bahasa Nepal ketika mereka membedal kuda tunggangan mereka mendahului pasukan karena memang mereka menjadi pelopor. Aneh dan janggal sekali suara mereka itu, suara asing yang bergema di sepanjang hutan yang dilalui pasukan itu.
Kadang-kadang suara nyanyi hiruk pikuk panjang pendek itu diseling suara ketawa dan teriakan-teriakan mereka bersendau gurau. Semua ini diperhatikan dan didengarkan oleh Milana yang duduk dengan sikap tenang di atas kudanya. Dara perkasa ini merasa berduka mengingat akan kehancuran Thian-liong-pang dan kematian tokoh perkumpulan ibunya. Namun sedikit pun dia tidak merasa gelisah atau takut. Hanya terpaksa dia ditawan. Akan tetapi setiap saat ia siap untuk melawan dan memberontak jika terdapat kesempatan. Satu-satunya hal yang dikhawatirkannya hanyalah keadaan ibunya. Ibunya belum tahu akan mala petaka yang menimpa Thian-liong-pang dan dia tidak tahu di mana adanya ibunya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ibunya juga terancam bahaya besar yang direncanakan oleh Koksu dan kaki tangannya.
Dengan sikap angkuh dan agung Milana mengerling kepada Panglima Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama dan yang menunggang kuda di dekatnya. Panglima itu menjadi orang kepercayaan Koksu dan kedua orang ini, terutama Thian Tok Lama yang mengawal dan menjaganya. Kalau saja tidak ada pendeta Tibet itu, agaknya masih ada harapan baginya untuk meloloskan diri. Akan tetapi pendeta gundul itu benar-benar amat lihai.
"Tidak enakkah dudukmu, Nona? Menyesal sekali, terpaksa kami membelenggu kedua tanganmu," terdengar Panglima Bhe Ti Kong berkata.
Milana tidak menjawab, juga tidak menoleh sama sekali, melainkan tetap duduk tegak memandang ke depan seolah-olah tidak mendengar suara panglima itu. Betapa pun juga, dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, malah lebih jelas lagi, puteri dari Puteri Nirahai! Dia adalah cucu kaisar! Kedudukannya jauh lebih tinggi dari pada kedudukan seorang panglima pembantu Koksu. Dengan pikiran ini, Milana dapat duduk dengan tegak dan sikap agung dan sikap ini terasa sekali oleh Bhe Ti Kong mau pun Thian Tok Lama.
"Hemm, tiada gunanya bersikeras. Hanya orang bodoh dan tidak bijaksana saja yang tidak mampu menghadapi kekalahan dan berkeras kepala." Kembali Bhe Ti Kong berkata karena dia pun tahu bahwa dara jelita dan perkasa itu adalah cucu kaisar, merupakan seorang tawanan yang amat penting dan membuat dia merasa tidak enak sendiri.
Milana tersenyum mengejek, mengerling dan berkata, "Perlu apa banyak cerewet? Tunggulah saja kalau sampai kalian terjatuh ke tangan ibuku!"
Sebelum Bhe Ti Kong atau Thian Tok Lama menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan di sebelah depan. Sampai tiga kali terdengar jerit mengerikan itu, jerit memanjang, jerit orang yang ketakutan, jerit kematian. Setelah gema suara jerit itu lenyap, yang terdengar hanya derap kaki kuda dan suasana menjadi menyeramkan dan menegangkan sekali.
"Harap Ciangkun menjaga dia baik-baik, pinceng akan mengadakan pengawalan di belakang. Kumpulkan semua tenaga untuk mengawal dia," kata Thian Tok Lama.
Bhe Ti Kong mengangguk, kemudian memanggil para panglima dan jagoan-jagoan Nepal. Pasukan itu bergerak maju, Milana di tengah-tengah mereka, dijaga ketat.
"Apakah yang terjadi? Siapa yang menjerit tadi?" Bhe Ti Kong bertanya.
Para pelopor, jagoan-jagoan Nepal itu mengangkat bahu. "Kawan-kawan yang berada di depan tentu akan dapat memberi keterangan nanti," kata mereka. Mereka adalah tiga orang di antara sembilan jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Ada pun yang enam orang lain telah mendahului gerakan pasukan sebagai pelopor dan pembuka jalan, juga sebagai pengawas agar jalan yang akan mereka lalui aman.
Milana tetap duduk tegak di atas kudanya dengan tenang. Dikurung di tengah-tengah antara para panglima dan jagoan Nepal, kudanya lari mencongklang, membuat tubuhnya terayun-ayun mengikuti gerakan kuda, dan rambut dara yang panjang itu berkibar. Mereka memasuki bagian hutan yang lebat dan keadaan sudah mulai suram dan agak gelap.
"Haiii...! Lihat di depan itu...!" Tiba-tiba Bhe Ti Kong berteriak, disusul seruan-seruan kaget para jagoan Nepal yang cepat membalapkan kuda mereka menuju ke depan di mana tampak sesosok tubuh orang bersorban membujur di atas tanah.
Milana memandang dengan jantung berdebar. Dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa orang yang rebah di atas tanah di tengah jalan itu tentulah seorang di antara jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi. Dugaannya memang tepat. Setelah mereka datang dekat dan para jagoan Nepal bersama Panglima Bhe Ti Kong meloncat turun dari kuda memeriksa, ternyata bahwa tubuh itu adalah mayat seorang di antara para jagoan Nepal yang mendahului jalan, rebah telentang dan tewas dengan sebatang pisau, pisaunya sendiri yang menjadi kebanggaan para jagoan Nepal itu, menancap di tenggorokannya!
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda membalap dari arah depan dan belakang. Hampir berbareng dua orang penunggang kuda itu tiba di situ. Yang datang dari belakang adalah Thian Tok Lama yang telah mendengar akan kematian seorang pembantunya dari Nepal, ada pun yang datang dari depan adalah seorang jagoan Nepal lain yang bermuka pucat dan yang begitu datang melapor dengan suara terengah-engah kepada Thian Tok Lama, "Celaka... di depan ada lagi tiga orang teman yang tewas...!"
Thian Tok Lama terkejut dan marah sekali. Sambil mengeluarkan suara menggereng keras dia melayang turun dari atas punggung kudanya, berdiri dan memandang ke depan, mulutnya mengeluarkan suara yang nyaring melengking sampai bergema di seluruh hutan.
"Pinceng Thian Tok Lama memimpin pasukan khusus dari Koksu, siapakah begitu berani mati mengganggu kami dan membunuh empat orang anggota pengawal pasukan kami?"
Semua orang diam dengan hati tegang membuka mata dan telinga menanti jawaban dan keadaan di hutan itu sunyi sekali, sunyi dan menyeramkan. Sampai dua kali Thian Tok Lama mengulang teriakannya namun belum juga ada jawaban.
Suara Milana yang tertawa mengejek memecahkan kesunyian yang menyeramkan itu. "Hem, mengapa kalian begini ketakutan?" Dara itu mengejek, hanya untuk memperolok orang-orang yang dibencinya itu.
Dia sendiri tidak tahu siapa pembunuh orang-orang Nepal itu, tidak dapat menduga apakah pembunuh itu kawan ataukah lawan. Melihat caranya membunuh jagoan-jagoan Nepal yang lihai jelas dapat diduga bahwa pembunuhnya tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi dia yakin bukan ibunya yang melakukan hal itu. Cara yang dipergunakan ibunya selalu terbuka, tidak suka ibunya membunuh lawan secara menggelap macam itu. Ibunya adalah seorang gagah perkasa sejati sedangkan cara yang dipergunakan pembunuh ini menyeramkan penuh rahasia.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, seolah-olah menyambut atau menjawab pertanyaan mengejek dari Milana tadi.
"Kalau Nona Milana tidak segera dibebaskan, sebentar lagi bukan hanya para pelopor yang tewas, melainkan seluruh pasukan! Berani melawan dan menghina tunanganku, berarti bosan hidup!"
Diam-diam Milana terkejut dan kecewa sekali mendengar suara yang dikenalnya itu. Dia merasa gelisah. Tahulah dia bahwa yang membunuh orang-orang Nepal itu adalah pemuda Pulau Neraka yang amat dibencinya itu, dibenci akan tetapi juga ditakutinya. Namun tentu saja dara jelita ini tidak memperlihatkan rasa khawatirnya dan masih tetap bersikap biasa dan tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang membuat dia merasa khawatir.
Tentu saja Thian Tok Lama menjadi marah sekali. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa orang yang mengeluarkan kata-kata sombong itu, akan tetapi dia menduga bahwa tentulah orang itu berniat merampas tawanan. Satu-satunya orang yang ditakutinya di dunia ini hanyalah Pendekar Super Sakti, dan biar pun dia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang juga amat lihai dan mungkin saja ketua itu tiba-tiba muncul untuk menolong puterinya, namun dengan bantuan para jagoan-jagoan Nepal dan pasukannya yang kuat, dia merasa cukup kuat menghadapi bekas puteri kaisar itu.
"Siapa berani main-main dengan pinceng? Harap suka keluar untuk bicara!" Kembali Thian Tok Lama mengeluarkan seruan dengan pengerahan khikang hingga suaranya mengandung getaran berpengaruh.
"Blarrr...!" Sebuah ledakan keras mengejutkan semua orang. Tempat itu menjadi gelap tertutup asap hitam. Seorang panglima yang berlaku waspada cepat meloncat dekat kuda yang diduduki Milana untuk menjaga jangan sampai dalam keadaan gelap itu tawanan yang penting ini dilarikan orang.
"Pasukan tenang, jangan gugup dan mudah dikacau orang. Asap ini sama sekali tidak berbahaya...!" Thian Tok Lama berseru ketika ia mendapat kenyataan bahwa asap hitam itu tidak mengandung racun.
Sedangkan dia sendiri diam-diam bergerak di dalam asap, memasang mata untuk mencari musuh yang melepas asap hitam tebal. Akan tetapi tidak tampak ada gerakan sesuatu, maka dia pun hanya berdiri dan bersikap waspada karena untuk bergerak di dalam selimutan asap gelap itu benar-benar merupakan bahaya, salah-salah bisa menyerang anak buah sendiri.
"Wir-wir-wirr-wirrr...!" Asap hitam membuyar tertiup angin yang menyambar-nyambar sehingga tak lama kemudian tempat di sekitar itu tidak begitu gelap lagi. Asap hitam mulai menipis.
Thian Tok Lama memandang dengan mata terbelalak, kaget bukan main melihat bahwa angin yang menyambar-nyambar mengusir asap hitam itu keluar dari gerakan kedua lengan seorang pemuda tampan yang tahu-tahu telah berdiri di dekat kuda yang ditunggangi Milana, sedangkan seorang panglima tua yang tadi mendekati dan menjaga tawanan telah menggeletak tak bernyawa di kaki kudanya sendiri.
"Keparat, siapa engkau...?" Thian Tok Lama sudah menggerakkan tangan dan siap menyerang.
Pemuda itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan terdengar suaranya tertawa. Thian Tok Lama terasa seram. Pemuda itu tertawa, atau lebih tepat memperdengarkan suara tertawa, akan tetapi mulut dan matanya tidak tertawa, hanya bibirnya bergerak sedikit. Persis mayat tertawa!
"Ha-ha-ha-ha, pendeta Lama. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan sembrono menggerakkan tangan menyerang!"
Sikap dan kata-kata pemuda itu membuat Thian Tok Lama ragu-ragu dan curiga. Dia tidak tahu siapakah pemuda aneh ini, kawan ataukah lawan karena keadaan masih agak gelap, bukan hanya gelap oleh asap, akan tetapi karena senja mulai datang dan tempat itu penuh dengan pohon-pohon besar. Akan tetapi ada sesuatu yang seolah-olah membisikkan kewaspadaan kepadanya, maka sekarang dia melangkah maju dan memandang penuh perhatian.
Tiba-tiba pendeta Lama itu terkejut. Kini dia mengenal pemuda itu, seorang pemuda yang masih remaja, akan tetapi yang memiliki sikap aneh luar biasa. Pemuda tampan yang mempunyai mata seperti mata iblis, mukanya agak pucat dan gerak-geriknya membayangkan ketinggian hati yang tidak lumrah. Pemuda dari Pulau Neraka yang pernah muncul di padang tandus ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan dan pertandingan! Hatinya menjadi agak lega. Pemuda ini bukan tokoh Thian-liong-pang, dan sebagai seorang tokoh Pulau Neraka, pasti sekali bukan sahabat Thian-liong-pang, sungguh pun dia dan pasukannya tidak dapat mengharapkan sikap baik dari penghuni Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah itu.
"Orang muda, kalau pinceng tidak salah mengenal orang, engkau adalah orang yang pernah muncul sebagai tokoh Pulau Neraka, benarkah?"
Mendengar ucapan Thian Tok Lama itu, para panglima dan jagoan Nepal terkejut, dan diam-diam mereka bersiap-siap dengan pasukan mereka mengurung pemuda itu. Sedangkan Milana yang diam-diam merasa cemas juga, tetap bersikap dingin dan tidak mau mengacuhkan mereka semua, duduk diam dan tegak di atas kudanya, memandang kejauhan.
Pemuda itu adalah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka. Pemuda yang tergila-gila kepada Milana itu, mendengar pertanyaan Thian Tok Lama tersenyum dingin dan hanya mengangguk dan memandang rendah, sama sekali tidak menjawab karena dia sudah menoleh lagi kepada Milana dengan pandang mata penuh kemesraan!
Melihat sikap pemuda itu, diam-diam Thian Tok Lama mendongkol sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai dan aneh, akan tetapi dia sendiri bukanlah seorang biasa yang mudah merasa gentar menghadapi lawan semuda itu! Apa lagi melihat bahwa pemuda itu hanya seorang diri, tidak ditemani dua orang kakek seperti setan yang pernah menggegerkan pertemuan yang diadakan Thian-liong-pang. Dengan adanya pasukan dan para pembantunya, tentu saja dia tidak takut menghadapi pemuda yang masih amat muda itu.
"Orang muda, pinceng harap engkau tidak begitu nekat untuk menentang pasukan pemerintah! Apakah engkau yang telah lancang membunuh orang-orang kami itu?" Kembali Thian Tok Lama bertanya.
Dengan sikap acuh tak acuh, Wan Keng In memaksa mukanya mengalihkan pandang mata dari wajah Milana yang jelita kepada wajah Thian Tok Lama yang gemuk. Cuping hidungnya yang tipis bergerak, mengeluarkan dengus menghina, lalu ia berkata, "Thian Tok Lama, tak perlu menggertak aku dengan nama pasukan pemerintah. Aku tahu ini pasukan apa, dan tahu pula apa yang akan dilakukan oleh Koksu bersama Pangeran Yauw Ki Ong. Ha-ha-ha, apa kau kira aku tak melihat betapa kalian membasmi Thian-liong-pang? Sungguh bagus...!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Thian Tok Lama mendengar ucapan itu, dan semua anggota pasukan sudah meraba senjata. Akan tetapi karena pendeta Lama itu belum memberi aba-aba, mereka semua hanya bersiap-siap menghadapi pemuda yang mendatangkan suasana menyeramkan itu.
"Orang muda, di pihak siapakah engkau berdiri?" Thian Tok Lama memancing, tidak mau berpura-pura lagi karena maklum bahwa dia menghadapi orang luar biasa.
"Tentu saja di pihakku sendiri, tolol!" Wan Keng In menjawab. "Kalian membasmi Thian-liong-pang bukan urusanku karena Ketua Thian-liong-pang berani menghina dan menolak pinanganku. Tetapi engkau telah berani menawan dan menghina tunanganku ini, hemm..., benar-benar tak boleh dibiarkan begitu saja. Kalau Koksu tidak minta maaf kepada Nona Milana, aku akan membasmi dia dan semua kaki tangannya!"
"Manusia sombong...!" Bhe Ti Kong berseru marah sekali.
Panglima ini adalah seorang yang tangguh, kasar dan setia kepada Koksu. Sudah banyak dia melihat orang pandai namun orang-orang pandai tunduk dan takut kepada Koksu, maka kini melihat seorang pemuda bersikap demikian angkuh, dan melihat sikap Thian Tok Lama yang dianggapnya terlalu merendahkan kedudukan dan wibawa Koksu, dia menjadi marah sekali.
Sambil membentak demikian, Bhe Ti Kong sudah menerjang maju, meloncat turun dari kudanya dan langsung menyerang pemuda itu dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sebuah tombak cagak yang bergagang pendek. Gerakan panglima ini kuat sekali, dan bagaikan seekor burung rajawali dia menyambar dari atas, langsung tombaknya melakukan gerakan serangan beruntun sampai tiga kali ke arah kepala, leher, dan dada Wan Keng In.
"Plak-plak-plak... bressss...!"
Enak saja Wan Keng In menyambut serangan-serangan itu. Tanpa menggeser kedua kakinya yang masih berdiri terpentang lebar, dengan sikap acuh tak acuh, dia tadi menggerakkan tangan kiri, menyampok ke arah tombak setiap kali ujung tombak itu menyambar. Tiga kali ia menangkis dan yang terakhir kalinya disusul dengan dorongan yang membuat tubuh Panglima Bhe Ti Kong terbanting ke atas tanah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, para jagoan Nepal dan para panglima terkejut dan sudah mencabut senjata masing-masing, bergerak hendak mengeroyok.
"Tahan...!" Thian Tok Lama mengangkat tangan ke atas sehingga pasukannya tidak berani maju, hanya menoleh dan memandang kepadanya penuh pertanyaan. Thian Tok Lama melangkah maju menghadapi Wan Keng In yang tersenyum mengejek.
"Orang muda, engkau siapakah dan apa kehendakmu? Berikan penjelasan sebelum kami terlanjur turun tangan yang akan mendatangkan penyesalan karena kami akan lebih suka menarikmu sebagai sahabat. Pada waktu ini, Koksu membutuhkan bantuan banyak orang pandai dan kalau engkau suka membantunya, pinceng yakin bahwa kelak engkau akan memperoleh kemuliaan."
Pendeta itu memang cerdik sekali. Biar pun dia tidak takut terhadap pemuda ini, akan tetapi kalau sampai terjadi bentrokan, tentu akan jatuh banyak korban di antara pembantu-pembantunya melihat pemuda itu telah mengalahkan Bhe Ti Kong secara lihai bukan main, dalam segebrakan saja. Apa lagi kalau diingat bahwa siapa tahu, muncul pula dua orang kakek setan yang mengerikan itu! Maka, jauh lebih baik membujuk pemuda ini, karena kalau dia berhasil menarik pemuda lihai ini sebagai sekutu, tentu Koksu akan menjadi girang bukan main dan akan memujinya.
Wan Keng In mengeluarkan suara mendengus marah. "Huhhh! Kau kira aku ini orang macam apa yang membutuhkan anugerah Koksu? Kalau Koksu sendiri mau datang ke sini dan minta maaf kepada Nona Milana, kemudian mengundang aku, barulah aku akan pikir-pikir tentang kerja sama yang kau sebut-sebut itu."
Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian Tok Lama mendengar ucapan yang amat sombong itu! Namun, sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda dari Pulau Neraka ini adalah seorang anak manja yang sejak kecil memperoleh pendidikan kesaktian tinggi sehingga terlalu percaya kepada kepandaian sendiri, juga karena ada yang diandalkan. Maka dia bersikap sabar, bahkan tersenyum dan berkata,
"Ha-ha-ha, tenaga seorang pandai memang amat mahal! Seorang pemimpin yang bijaksana tidak akan segan-segan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan orang pandai. Menteri Kiang Cu Ge pun baru mau mengabdi kepada kaisar setelah kaisar datang sendiri mengundangnya. Pantas saja kalau Sicu (Orang Muda Gagah) mencontoh perbuatannya. Namun, sebelum terbukti cukup berharga untuk diundang sendiri oleh Koksu, Sicu harus lebih dulu diuji kepandaiannya. Pinceng adalah seorang pembantu Koksu yang telah memperoleh kepercayaan, biarlah pinceng memberanikan diri untuk menguji kepandaian Sicu, kalau Sicu suka memperkenalkan nama."
Mendengar ucapan dan melihat sikap menghormat ini, Wan Keng In yang biasanya dimanja menjadi bangga sekali. Pendeta itu adalah tangan kanan Koksu Negara, dan sudah menyamakannya dengan Kiang Cu Ge, tokoh manusia dewa dalam sejarah lama (cerita Hong-sin-pong) yang dipuja semua manusia karena kebijaksanaannya sehingga sekalian setan dan iblis di neraka pun tunduk kepadanya!
"Thian Tok Lama, aku Wan Keng In pun bukanlah seorang yang tidak tahu siapa yang pada waktu ini patut dibantu. Aku tadi membunuh orang-orangmu karena aku marah melihat kekasih dan tunanganku ditawan. Kalau engkau hendak mengujiku, silakan, akan tetapi jangan menyesal kalau engkau tewas dalam pertandingan ini!" Benar-benar ucapan yang amat sombong, akan tetapi pada saat itu Wan Keng In sudah mencabut pedangnya yang membuat Thian Tok Lama terbelalak kaget dan ngeri. Pedang di tangan pemuda itu mengeluarkan sinar maut yang berkilat-kilat.
"Aihh... bukankah Lam-mo-kiam di tanganmu itu, Sicu?"
Wan Keng In memandang pedangnya dan mengangguk bangga.
"Wan-sicu, pinceng percaya bahwa Sicu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarlah tidak perlu lagi pinceng menguji dan marilah Sicu langsung ikut bersama pinceng pergi menghadap Koksu." Gentar juga pendeta ini melihat Lam-mo-kiam.
Wan Keng In masih melintangkan pedangnya di depan dada, alisnya berkerut, lalu dia menjawab, "Dengan dua syarat!"
"Katakanlah, pinceng yakin Koksu akan dapat memenuhi syarat Sicu."
"Pertama, Nona Milana ini adalah kekasih dan tunanganku, tidak boleh diganggu dan bahkan harus disyahkan menjadi isteriku. Kedua, aku menjadi pembantu langsung dari Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, dan hanya mau menjadi bawahan orang yang dapat mengalahkan kepandaianku!"
Diam-diam Thian Tok Lama tertawa dalam hatinya. Orang muda ini benar-benar sombong dan berkepala dingin! Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. "Koksu adalah seorang yang ahli dalam memilih pembantu, kalau sudah bertemu dengan Wan-sicu dan menyaksikan kelihaian Sicu, tentu akan suka memberikan kedudukan yang tinggi. Tentang Nona ini... ehhh...!"
Tiba-tiba Thian Tok Lama tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat betapa kuda yang ditunggangi Milana itu mendadak meloncat ke depan dan kabur! Kiranya ketika tadi Milana mendengar percakapan di antara mereka dan melihat perkembangan yang tidak menguntungkan baginya, dara ini menjadi makin cemas.
Tadinya dia mengharap akan terjadi bentrokan antara pihak Thian Tok Lama dan Wan Keng In sehingga dalam kekacauan itu dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Akan tetapi dengan kecewa dan mendongkol dia melihat perkembangan yang jauh berbeda. Kedua orang itu bahkan bersekutu, maka habislah harapannya untuk melihat mereka bertanding. Karena tidak melihat jalan lain, dan merasa ngeri membayangkan terjatuh ke tangan pemuda gila itu, dia lalu berusaha mengaburkan kudanya sambil mengerahkan tenaga sehingga belenggu kedua tangannya putus.
"Ha-ha, tidak perlu khawatir, aku akan menangkapnya kembali. Heiii, manisku, engkau hendak pergi ke mana? Jangan tinggalkan aku, kekasih...!" Wan Keng In berseru dan tubuhnya sudah meluncur ke depan cepat sekali.
Milana maklum bahwa dia harus melawan mati-matian, maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangannya dan bekas tali yang tadi membelenggu tangannya, kini meluncur menjadi sinar hitam menyambut tubuh Wan Keng In yang mengejarnya.
"Ha-ha-ha, engkau mau main-main denganku?" Wan Keng In tertawa, tangan kiri menyambut tali itu. Menangkap ujungnya dan terus disentakkan ke atas, tangan kanan dipukulkan ke depan ke arah tubuh belakang kuda yang membalap.
Kuda yang ditunggangi Milana mengeluarkan suara meringkik keras dan roboh berkelojotan terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Wan Keng In, sedangkan tubuh dara itu terlempar ke atas ketika tali yang dipergunakan menyerang pemuda itu tadi tertangkap oleh Keng In dan disentakkan ke atas. Pemuda itu benar-benar hebat sekali ilmu kepandaiannya dan kini dia sudah meloncat ke depan untuk menyambut tubuh Milana yang terlempar ke atas.
"Ehhhh...?" Wan Keng In terbelalak heran dan memandang ke atas.
Dia merasa kecelik karena tubuh dara yang dinantikan itu sama sekali tidak kelihatan melayang turun, bahkan ketika ia menarik lagi tali yang dicengkeramnya, tali itu putus dan hampir menghantam mukanya sendiri. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika melihat bahwa kini Milana telah duduk di atas dahan pohon tinggi, berhadapan dengan seorang pemuda dan mereka asyik bercakap-cakap!
Thian Tok Lama dan para panglima serta jagoan-jagoan Nepal sudah memburu ke bawah pohon, dan kini mereka itu mengurung pohon bahkan pasukan lalu dikerahkan untuk menjaga di sekeliling pohon supaya gadis tawanan itu jangan sampai dapat meloloskan diri.
"Milana, manisku, turunlah engkau!" Wan Keng In berkata halus, dan dia pun belum mengenal siapa adanya laki-laki muda yang bercakap-cakap dengan dara itu.
Akan tetapi baik Milana mau pun pemuda di atas pohon itu tidak mempedulikannya, tidak mempedulikan mereka yang mengurung pohon karena mereka berdua itu sedang saling berbantah. Melihat sikap mereka itu, mau tak mau Wan Keng In mendengarkan percakapan mereka. Dia merasa heran dan marah bukan main!
Pemuda yang berada di atas itu bukan lain adalah Gak Bun Beng! Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda sakti ini meninggalkan markas pasukan istimewa pembantu para pemberontak di perbatasan utara, kemudian dia menuju ke kota raja. Tanpa disengaja, secara kebetulan sekali di dalam hutan itu dia melihat pasukan yang dipimpin Thian Tok Lama sedang diganggu oleh Wan Keng In.
Tentu saja Bun Beng menjadi terkejut sekali dan girang melihat musuh-musuh besarnya, terutama sekali Thian Tok Lama dan Bhe Ti Kong, dua orang di antara mereka yang dahulu mengeroyok dan membunuh gurunya, Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi ia tercengang melihat Wan Keng In dan ia segera mengenal pemuda Pulau Neraka yang amat lihai itu.
Timbul kemarahannya karena ia teringat betapa dia pernah dikalahkan dan dihina oleh pemuda iblis itu, bahkan pedang Lam-mo-kiam telah dirampas oleh pemuda Pulau Neraka yang semenjak kecil sudah amat jahat itu. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut sekali adalah ketika ia melihat Milana duduk di atas punggung kuda sebagai seorang tawanan! Bertemu dengan semua ini, Bun Beng bersikap hati-hati.
Tentu saja paling utama dia harus menolong Milana, dara jelita yang telah melepas budi banyak sekali kepadanya. Namun dia maklum bahwa bukanlah hal yang mudah untuk menolong Milana dari tangan pasukan yang kuat dan dipimpin orang-orang pandai itu, apa lagi di situ terdapat pemuda Pulau Neraka. Karena inilah dia bersabar dan bersembunyi sambil mengintai dan mendengarkan mereka.
Mula-mula dia pun merasa heran ketika mendengar percakapan antara Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan seperti juga Milana, diam-diam dia mengharapkan kedua pihak ini akan bertanding sehingga dia mendapat banyak kesempatan untuk menolong dara itu. Akan tetapi betapa kecewanya ketika akhirnya pemuda Pulau Neraka itu dapat terbujuk dan bahkan bersekutu, maka terpaksa dia siap untuk menggunakan kekerasan menyelamatkan Milana. Pada saat itulah Milana merenggut tali belenggunya dan berusaha mengaburkan kuda.
Melihat Milana dikejar Wan Keng In, kudanya dirobohkan dan dara itu sendiri terlempar ke atas, Bun Beng cepat melayang ke atas pohon besar dan menyambar lengan dara itu. Bagaikan dalam mimpi Milana melihat Bun Beng di depannya, di atas dahan pohon tinggi sehingga untuk beberapa lamanya dara ini hanya bisa terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan kedua pipinya berubah merah sekali, jantungnya berdebar.
"Kau...?" Hanya demikian dia dapat mengeluarkan suara.
"Nona, syukur sekali secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Serahkan mereka itu kepadaku, akan tetapi engkau harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Berbahaya sekali di sini."
Milana menggeleng kepala keras-keras. "Membiarkan engkau menghadapi mereka sendiri dan aku lari? Tidak! Aku akan membantumu melawan mereka!"
"Aahhh, jumlah mereka terlalu banyak dan kulihat orang-orang pandai di antara mereka. Harap engkau suka menurut, Nona. Sungguh berbahaya sekali kalau memaksa diri melawan."
"Hemm, Gak-twako. Kau bilang berbahaya bagiku kalau melawan, habis engkau sendiri?"
"Nona..."
"Gak-twako, begini sombongkah engkau? Sejak dahulu?"
Bun Beng gelagapan ditegur seperti itu dan dia memandang dengan mata terbelalak lebar. "Sombong! Aku...?"
"Apa kau tidak suka bersahabat denganku?"
"Tentu saja, aku..."
"Sudah mengenal sejak dahulu, mengapa engkau masih selalu sungkan dan menyebut aku nona? Namaku Milana dan engkau tahu ini, bukan?"
"Habis... habis...?"
"Aku tidak mau kau sebut nona! Nah, sebut namaku atau adik, atau... sudah jangan mengenal aku lagi kalau kau begini angkuh!"
"Eh... ohh... Nona... eh, Adik Milana! Jangan main-main begini...!" Bun Beng menegur, terheran-heran mengapa dalam keadaan terancam seperti itu dara yang dahulu bersikap halus dan lemah lembut itu meributkan soal sebutan!
"Gak-twako, tidak girangkah engkau bertemu denganku?"
Bun Beng makin bingung sehingga memandang dengan alis berkerut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan dara ini keracunan, atau telah bingungkah pikirannya? Ia mengangguk.
"Aku... aku girang sekali, Twako tidak tahu engkau betapa girangku... dan ahhh... kau... kau tolonglah aku, Twako...!" Tiba-tiba Milana terisak menangis dan ketika dengan kaget Bun Beng menyentuh lengannya, dara itu memeluknya dan menangis terisak-isak, menyembunyikan muka di dadanya!
Tentu saja Bun Beng menjadi bengong! Dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Milana telah menderita guncangan batin yang cukup hebat, menderita tekanan batin yang ditahan-tahannya semenjak dia melihat Thian-liong-pang terbasmi, pembantu-pembantu ibunya gugur dan dia sendiri menjadi tawanan. Dara itu tentu saja berduka sekali melihat perkumpulan ibunya hancur, melihat Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang dan yang lain-lain roboh dan tewas, dan kemudian dia sendiri menjadi tawanan, bahkan kemudian terjatuh ke tangan Wan Keng In pemuda yang mengerikan, sedangkan dia belum tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya.
Dalam keadaan hampir putus asa itu, secara tiba-tiba, secara tidak terduga-duga, di atas pohon, muncul Gak Bun Beng, orang yang selama ini dirindukannya! Inilah sebabnya mengapa dara itu bersikap demikian aneh, seperti orang mabok atau seperti orang yang berubah ingatannya dan kini dia menangis tersedu-sedu, teringat akan semua kedukaannya dan hanya mengharapkan bantuan orang yang amat dipercayanya ini.
Tentu saja Bun Beng salah sangka. Apakah dara ini telah berubah menjadi seorang yang amat penakut dan menangis menghadapi ancaman bahaya? Jantungnya berdebar tidak karuan. Dara yang menangis di dadanya itu membuat dia merasa betapa dekatnya wajah jelita itu yang menempel di dadanya, terasa olehnya kehangatan air mata membasahi kulit dada dan tercium olehnya harum rambut Milana.
"Nona... eh, Moi-moi (Adik)... hentikan tangismu. Jangan takut, aku akan melindungimu dari mereka itu, percayalah..."
"Keparat, mampuslah engkau!" Tiba-tiba seorang panglima meloncat ke atas dan menggerakkan goloknya membacok Bun Beng.
"Prakk..., bresss...!"
Tubuh panglima itu terlempar dan terbanting roboh ke atas tanah oleh tangkisan Bun Beng.
"Aku tidak takut... ah, Twako... kau tidak tahu... mereka telah membasmi Thian-liong-pang... Bibi Tang Wi Siang dan para paman... mereka telah tewas..."
Terkejutlah Bun Beng. Dia sudah tahu bahwa para pemberontak yang dipimpin Koksu memusuhi Thian-liong-pang, akan tetapi tidak disangkanya pasukan ini demikian mudah membasmi Thian-liong-pang.
"Mana mungkin? Di mana ibumu?" Dia tidak dapat percaya Thian Tok Lama dan kawan-kawannya itu dapat menandingi Ketua Thian-liong-pang yang demikian sakti.
"Ibu tidak ada, mungkin di kota raja. Kami melawan mati-matian, akan tetapi percuma, dan aku tertawan..."
Bun Beng mengangguk-angguk dan tiba-tiba dia melakukan gerakan menampar ke bawah.
"Desss...!"
Dahan di mana Bun Beng berjongkok itu tergetar hebat, akan tetapi tubuh Wan Keng In yang tadi meloncat dan memukul juga terdorong kembali ke bawah saat pukulannya tertangkis oleh Bun Beng. Diam-diam Bun Beng terkejut. Pemuda Pulau Neraka itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya! Di lain pihak Wan Keng In yang belum mengenal Bun Beng karena di dalam pohon sudah mulai gelap, lebih kaget lagi melihat ada orang yang mampu menangkis pukulannya bahkan membuat tubuhnya seperti dibanting ke bawah dengan kekuatan dahsyat!
"Milana," Bun Beng berbisik, tidak bersikap sungkan lagi. "Sekarang tak banyak waktu lagi. Mereka itu benar-benar lihai dan jumlahnya banyak. Kalau kita berdua melawan, mungkin engkau akan tertangkap lagi atau terluka. Engkau harus lari lebih dulu. Tunggu setelah aku mengamuk di bawah, engkau melompat jauh dari tempat ini, melalui pohon-pohon dan menghilang dalam gelap. Bawa pedang ini..."
"Tidak! Aku akan melawan, bertanding di sampingmu sampai mati..."
Bun Beng merasa lehernya seperti dicekik mendengar ini. "A... apa...?"
"Gak-twako, apa masih perlu aku menjelaskan lagi? Tidak cukupkah ketika dahulu aku membela dan melindungimu ketika kau terluka?"
Gemetar seluruh tubuh Bun Beng, tangannya menggigil ketika ia memegang tangan Milana. "Tidak cukup...? Duhai... terlalu cukup, terlalu banyak... bahkan itulah yang menyiksa hatiku. Milana... betapa aku berani menyatakan kekurang-ajaran ini? Akan tetapi..., ahhh, kata-katamu tadi... Milana, orang yang paling kumuliakan di dunia ini karena baik budimu, yang paling kucinta di dunia ini... maafkan aku... akan tetapi aku cinta padamu... dan... dan kau bilang ingin bertanding di sampingku sampai mati...? Benarkah pendengaranku?"
"Singg...! Krekkk... plakkk! Aduhhh...!"
Tubuh seorang jagoan Nepal yang tadi menyerang dengan tombaknya terpelanting, tombaknya patah dan kepalanya pecah oleh pukulan Bun Beng yang menangkis dan memukul tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Milana.
Sepasang mata itu basah air mata, akan tetapi bibir yang gemetar tersenyum. "Gak-twako, mengapa baru sekarang kau menyatakan isi hatimu yang sejak dahulu tampak membayang dalam pandang matamu?"
"Milana... betapa aku berani... kau... seorang dara mulia, puteri Ketua Thian-liong-pang, puteri Pendekar Super Sakti yang kumuliakan, malah cucu kaisar sendiri! Ya Tuhan, betapa beraniku menyatakan cinta! Kalau tidak mendengar ucapanmu tadi... perasaan hatiku akan kusimpan sebagai rahasia sampai mati."
"Terima kasih, Twako. Sekarang aku tidak ragu-ragu lagi! Aku puas, aku bahagia. Apa pun yang akan terjadi, biar orang sedunia menentangnya, aku akan selalu berbahagia di sampingmu, hidup atau mati. Marilah, Twako. Mari kita menerjang ke bawah, kita lolos dan selamat berdua atau mati bersama!"
"Tidak...! Seribu kali tidak! Setelah aku tahu bahwa harapan hidupku tidak sia-sia, setelah aku tahu bahwa engkau pun mencintaku, mana mungkin aku membiarkan engkau terancam bahaya? Tidak! Milana, dengarlah baik-baik. Lihat pedang ini. Ini adalah Hok-mo-kiam yang sudah dapat kurampas kembali. Bawalah pedang ini, cari ibumu di kota raja dan serahkan pedang ini kepada ayahmu, Pendekar Super Sakti. Dengan pedang ini engkau akan dapat melindungi dirimu. Aku akan hadapi mereka di bawah itu... hemmm... akan kuhajar cacing-cacing busuk yang telah berani menghina dewi pujaan hatiku!"
"Tidak, Twako..."
"Husshhh, demi cinta kita, taatilah aku sekali ini saja, sayang! Aku tidak akan dapat memaafkan engkau, memaafkan aku sendiri atau siapa juga kalau sampai engkau ikut turun dan menderita celaka. Nah, aku terjun, siaplah meloncat dan lari. Sampai jumpa, sayang!" Tanpa menanti jawaban, Bun Beng yang hampir bersorak saking gembira hatinya itu turun. Dia hanya mendengar suara Milana terisak, akan tetapi hatinya lega ketika dia mulai merobohkan beberapa orang pengawal dan memandang ke atas, pohon itu telah kosong dan bayangan Milana telah lenyap.
"Thian Tok Lama pendeta palsu!" Dia membentak ketika melihat kakek itu membuat gerakan hendak melakukan pengejaran kepada Milana. Sebuah pukulan kilat yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang mengejutkan pendeta itu, apa lagi ketika dia mengelak sambil menangkis, tetap saja hawa pukulan dari tangan Bun Beng membuatnya terpelanting.
"Wan Keng In, tikus Pulau Neraka, hendak ke mana kau?" Bun Beng sudah meloncat ke depan, menerjang Wan Keng In yang kelihatan ragu-ragu dan agaknya mencari-cari Milana yang lenyap.
Diterjang secara hebat oleh Bun Beng, Wan Keng In terpaksa melayaninya. Dengan penasaran dan marah Keng In mengerahkan tenaganya, menyambut pukulan Bun Beng ke arah dadanya itu dengan dorongan telapak tangannya pula.
"Dessss...!"
Kalau tadi mereka saling mengadu lengan di atas pohon, kini mereka mengadu kedua telapak tangan yang saling bertumbukan. Akibatnya, tubuh Wan Keng In terlempar ke belakang sampai lima meter lebih! Makin pucat wajah Wan Keng In dan biar pun dia tidak terluka, namun dia terkejut setengah mati dan barulah kini sepasang matanya memandang dengan sinar berkilat-kilat ke arah Bun Beng. Betapa hatinya tidak sangat terkejut. Di dalam dunia ini, kiranya hanya ada dua orang, gurunya sendiri dan paman gurunya, dua kakek setan Pulau Neraka, yang dapat membuatnya terlempar seperti itu!
Pekik melengking yang menyeramkan keluar dari dada pemuda Pulau Neraka itu ketika dia meloncat ke depan lalu membentak,
"Jahanam! Siapa engkau?"
"Plak-plak-dess-dess!"
Empat orang anggota pasukan terpelanting ke kanan kiri dan tak dapat bangkit kembali terkena hantaman kaki tangan Bun Beng yang merasa betapa tubuhnya ringan dan enak sekali, seringan dan seenak hatinya yang gembira bukan main. Pemuda ini mengerling ke kanan kiri, tertawa ketika melihat para pengawal tidak berani maju dan hanya mengurung dari jarak jauh.
Dengan tenang dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Wan Keng In, tersenyum mengejek dan memandang dengan sinar mata berseri. Dunia seolah-olah berubah bagi hati Bun Beng dan biar pun dia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya, dia tetap gembira. Tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, tidak ada kekhawatiran dan semua orang kelihatan menggembirakan. Agaknya wajahnya yang berseri itu membuat semua orang terheran-heran dan curiga, sedangkan Wan Keng In mulai mengingat-ingat siapa gerangan pemuda tampan yang wajahnya berseri-seri tertimpa cahaya obor yang dinyalakan oleh beberapa orang pengawal. Dia merasa seperti mengenal wajah itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan.
Selain kebahagiaan karena cinta kasihnya terbalas oleh Milana, hal yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya atau diharapkannya itu, membuat hatinya sangat riang gembira, juga Bun Beng sengaja hendak memancing perhatian mereka agar Milana mendapat kesempatan untuk melarikan diri jauh-jauh. Kalau Milana sudah selamat, dan pedang Hok-mo-kiam sudah dapat dibawa pergi dara itu untuk diberikan kepada yang berhak, yaitu ayah dara itu, Pendekar Super Sakti, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang menyusahkan hatinya! Dia sendiri akan menghadapi bahaya apa pun juga dengan hati ringan.
"Wan Keng In, engkau bocah setan ini makin jahat dan tersesat saja. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau terlepas sebelum memberi hajaran kepadamu! Dan Thian Tok Lama agaknya masih melanjutkan kejahatan-kejahatannya. Sudah lama aku menanti kesempatan ini, untuk bertemu denganmu dan membalas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."
Ucapan Bun Beng itu agaknya menyadarkan dua orang ini dan teringatlah mereka kini. Disebutnya nama Siauw Lam Hwesio sebagai guru mengingatkan Thian Tok Lama akan murid kakek tokoh Siauw-lim-pai itu, Gak Bun Beng yang pernah dan sempat dilihatnya pula ketika pemuda itu membantu Pulau Es pada waktu pasukan pemerintah membasmi pulau itu. Ada pun Wan Keng In sekarang teringat akan pemuda yang telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, pemuda bernama Gak Bun Beng yang tadinya dia pandang rendah akan tetapi yang sekarang mampu membuatnya terlempar sampai lima meter!
"Manusia she Gak keparat!" Wan Keng In memaki.
"Gak Bun Beng, engkau anak haram dari Setan Botak Gak Liat yang kurang ajar itu...!"
"Wuuuuttt... plakkk!"
Untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat itu tubuh Thian Tok Lama terpelanting saat dia tergopoh-gopoh menangkis pukulan Bun Beng yang marah sekali mendengar makian dan penghinaan itu. Akan tetapi dia tidak dapat mendesak musuh besarnya itu karena Wan Keng In sudah menyerangnya dengan pukulan-pukulan maut. Pukulan pemuda Pulau Neraka ini dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, akan tetapi dari setiap ujung jari keluar hawa pukulan beracun yang amat dahsyat.
Bun Beng maklum akan kelihaian Keng In, maka dia sudah cepat mencelat ke kiri menghindarkan serangan sambil menerima tusukan tombak dan golok dari dua orang Nepal, membetot dua buah senjata itu sambil menendang. Dua orang Nepal itu mengaduh dan tubuh mereka terjengkang. Dua orang pengawal yang menerjang maju, roboh oleh tombak dan golok yang dirampas Bun Beng dan disambitkan menyambut terjangan mereka.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Bun Beng mengamuk seperti seekor burung garuda, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah pasukan. Tentu saja mereka itu merupakan lawan lunak bagi pemuda sakti ini dan dalam waktu beberapa menit saja sudah ada belasan orang tentara pengawal roboh termasuk beberapa orang Nepal dan panglima.
Melihat sepak terjang Bun Beng yang demikian hebat, Thian Tok Lama dan Wan Keng In menjadi penasaran sekali. Pendeta Lama itu mengeluarkan senjatanya, sebatang golok melengkung yang mengeluarkan sinar hijau, sedangkan Wan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam. Mereka ini, dibantu oleh Bhe Ti Kong dan sisa para panglima serta jagoan Nepal lain, mengurung Bun Beng. Ada pun anak buah pasukan yang juga membentuk pengepungan ketat di sebelah luar, siap pula dengan senjata di tangan sedangkan di empat penjuru, delapan orang memegang obor untuk menerangi tempat yang mulai terselimut malam gelap.
"Kok-kok-kok heeehhhh!" Perut gendut Thian Tok Lama mengeluarkan suara berkokok, kemudian menyusul bentakannya dia menyerang maju, tangan kiri memukul, tangan kanan menggerakkan goloknya dengan cepat dan kuat sekali.
"Singgg... syet-syet-syettt...!"
Sinar hijau menyambar-nyambar dan bergulung-gulung ke arah tubuh Bun Beng yang tidak berani memandang rendah. Cepat dia menggerakkan tubuhnya mencelat ke kanan kiri dan belakang. Betapa pun cepat serangan Thian Tok Lama, gerakan Bun Beng lebih cepat lagi sehingga gulungan sinar golok berwarna kehijauan itu tak pernah dapat mendekati sasaran.
"Hyaaattt... singgg... cing-cing...!"
"Hemmm...!" Bun Beng mengeluarkan suara kaget.
Cepat dia melempar tubuhnya ke belakang dengan kecepatan kilat ketika melihat sinar kilat menyambar ganas dengan kecepatan seperti halilintar dan sinar itu mengandung hawa menyeramkan sekali sehingga dia sendiri merasa ngeri, tengkuknya terasa dingin. Melihat berkelebatnya sinar kilat yang menyilaukan mata, tahulah dia bahwa Wan Keng In telah turun tangan menyerangnya dengan menggunakan pedang Lam-mo-kiam. Maka dia tidak berani berlaku lambat, begitu melempar tubuh ke belakang, dia berjungkir balik dan melanjutkan dengan meloncat jauh ke kanan.
"Syuuuuutttt... singggg!"
Bun Beng menelan ludah. Bukan main hebatnya Lam-mo-kiam. Biar pun dia sudah bergerak cepat sekali, masih saja dia tadi nyaris tergores punggungnya. Namun dia tidak sempat memikirkan hal itu karena begitu dia terhindar dari bahaya serangan Keng In, serentak dua orang panglima dan dua jagoan Nepal telah menyerangnya dengan berbareng. Dua orang Nepal yang bersorban itu menyerangnya dengan senjata mereka yang membuat mereka ditakuti, yaitu pisau belati yang kecil namun amat runcing dan tajam, dua buah banyaknya dipegang setengah bersembunyi di balik lengan kanan kiri.
Serangan dari depan oleh dua orang Nepal itu amat cepat, gerakan mereka aneh dan kecepatan mereka menjadi hebat karena lengan mereka panjang. Dalam sedetik itu, dua orang ini menyerang secara berbareng dan empat buah pisau belati menyambar ke arah leher, ulu hati, perut dan lambung! Dalam setengah detik berikutnya, menyambar pula sebatang golok besar di tangan seorang panglima brewok, berlomba cepat dengan tombak gagang pendek di tangan Bhe Ti Kong yang menghujani ke arah punggung Bun Beng!
"Heiiittt!" Bun Beng berseru keras sekali.
Tubuhnya membuat gerakan berpusing, demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata oleh lawan, akan tetapi tahu-tahu jari-jari tangannya secara berturut-turut telah mengetuk terlepas sambungan siku kedua tangan orang Nepal, merampas golok besar dan menangkis tombak gagang pendek Bhe Ti Kong dengan golok itu setelah merobohkan pemilik golok dengan tendangan.
"Tranggg...!"
Bhe Ti Kong berseru kaget. Cepat ia menarik kembali tombaknya, memutar senjatanya untuk melindungi tubuh. Dua kali dia berhasil menangkis dan harus bergulingan dan jatuh bangun, terus dikejar sinar golok rampasan Bun Beng yang mengenal panglima ini sebagai musuh besarnya dan yang mendesak untuk membunuhnya.
"Singgggg...!" Sinar kilat pedang Lam-mo-kiam sudah menyambar lagi menyelamatkan nyawa Bhe Ti Kong.
"Cringgg!" Bun Beng yang tadinya mendesak Bhe Ti Kong terkejut melihat sinar kilat, terpaksa membuang diri sambil menangkis dengan golok rampasan, akan tetapi sekali bertemu dengan Lam-mo-kiam, golok besar itu patah menjadi dua potong!
"Trangg-tranggg...!"
Kembali Bun Beng yang baru meloncat bangun itu menangkis dengan golok buntungnya, menangkis serangan golok Thian Tok Lama yang sudah membantu Keng In mengeroyoknya pula. Biar hanya mempergunakan golok buntung, namun tangkisan ini membuat Thian Tok Lama terhuyung.
Bun Beng menyambitkan golok buntungnya kepada Wan Keng In ketika melihat pemuda itu sudah menerjang lagi. Biar pun hanya disambitkan, namun golok buntung itu meluncur dengan kekuatan dahsyat sehingga Keng In tidak berani bersikap sembrono dan cepat menggerakkan Lam-mo-kiam untuk menangkis. Golok buntung itu runtuh dan patah-patah. Tetapi, ketika Keng In menangkis sambitan golok buntung, kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk menerjang ke kiri, merobohkan empat orang panglima dan orang Nepal, dan merampas sebatang tombak lagi. Gerakannya kuat dan cepat sekali sehingga ketika Wan Keng In dan Thian Tok Lama menyerangnya lagi, dia sudah dapat menghadapi mereka dengan tombak di tangan!
Akan tetapi, dengan adanya Keng In yang bersenjata Lam-mo-kiam, Bun Beng benar-benar kewalahan. Sekali bertemu, tombak rampasannya patah-patah lagi dan hampir saja dia termakan sinar pedang Lam-mo-kiam yang amat ampuh. Untung baginya bahwa jumlah pengeroyok amat banyak sehingga dia dapat menerjang dan menyelinap di antara para pengeroyok. Hal ini membuat Keng In merasa agak sukar untuk menekannya, dan pemuda Pulau Neraka itu dibantu oleh Thian Tok Lama selalu mengejar-ngejar Bun Beng yang mengamuk di antara para panglima, orang Nepal, dan pasukan pengawal.
Betapa pun dia mencobanya, Wan Keng In dan Thian Tok Lama tidak memberi kesempatan sedikit pun juga kepada Bun Beng untuk dapat melarikan diri. Pemuda itu dikepung ketat dan terpaksa dia mengamuk, merobohkan dan menewaskan banyak sekali anak buah pasukan, sedangkan keselamatannya selalu terancam dan berkali-kali nyaris saja terluka oleh Lam-mo-kiam dan golok di tangan Thian Tok Lama.
Telah lebih dari dua puluh orang anak buah pasukan roboh, lebih setengah jumlah panglima dan jagoan Nepal tewas, dan pertandingan itu telah berjalan sampai hampir tengah malam! Bun Beng berhasil sebegitu jauh menyelamatkan diri dari ancaman Lam-mo-kiam, akan tetapi karena pengeroyokan ketat dan untuk menghindarkan luka senjata, terpaksa dia menerima hantaman tangan kiri Thian Tok Lama sampai dua kali dan tamparan tangan kiri Wan Keng In satu kali.
Tamparan pemuda Pulau Neraka itu hebat bukan main, membuat dada yang terkena tamparan terasa seperti akan pecah dan napas menjadi sesak. Bun Beng maklum bahwa isi dadanya terguncang dan bahwa pukulan Wan Keng In mengandung racun. Dia tidak takut akan pukulan beracun karena tubuhnya sudah kebal oleh jamur-jamur beracun, akan tetapi guncangan itu membuat tenaganya berkurang.
Keadaannya amat berbahaya. Dia tidak takut mati, tetapi dia akan merasa kecewa kalau belum berhasil membalas kematian gurunya. Karena itu, dia mencurahkan perhatian dan kepandaiannya untuk memilih sasaran, yaitu Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama, dua di antara para pembunuh gurunya.
"Thian Tok Lama, bersiaplah kau menyusul Thai Li Lama...!" Tiba-tiba dia berseru ketika melihat lowongan.
Secepat kilat dia menubruk maju, menendang sebatang pedang yang menyambar dari samping, mengelak dari tusukan Lam-mo-kiam, kemudian menggunakan tangan kanan mencengkeram golok Thian Tok Lama. Pendeta itu terkejut sekali, bukan hanya karena tahu bahwa yang membunuh saudaranya itu adalah pemuda ini, akan tetapi terutama sekali melihat betapa dengan tangan kosong pemuda lihai itu berani menangkap dan mencengkeram goloknya! Dia berusaha menarik golok untuk melukai tangan Bun Beng, akan tetapi tiba-tiba Bun Beng sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke arah kepalanya!
Hebat bukan main serangan ini dan kalau tamparan ini mengenai sasaran, tak dapat disangsikan lagi nyawa Thian Tok Lama tentu akan melayang. Akan tetapi pada saat itu, sebuah pukulan yang keras dari tangan kiri Wan Keng In mengenai tengkuk Bun Beng pada saat yang amat tepat.
"Desss...!"
Berbareng jatuhnya pukulan Keng In pada tengkuk Bun Beng dengan tamparan, tangan Bun Beng yang menyeleweng tidak jadi mengenai kepala melainkan hanya menghantam pundak Thian Tok Lama. Biar pun menyeleweng, namun cukup membuat pendeta itu terpelanting dan muntah darah! Akan tetapi hantaman yang keras dari Keng In itu pun membuat Bun Beng terjengkang!
Bhe Ti Kong menubruk dengan tombaknya, menusuk ke arah ulu hati Bun Beng dengan tombak gagang pendeknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merasa yakin bahwa sekali ini dia tentu berhasil membunuh pemuda yang berbahaya ini, apa lagi melihat pemuda itu telah terpukul dan mulutnya menyemburkan darah seperti yang dialami Thian Tok Lama.
Tombak itu meluncur tepat ke arah ulu hati Bun Beng. Pemuda ini tak dapat mengelak lagi, maka terpaksa dia memasang kedua telapak tangan ke depan dada dan begitu ujung tombak menyentuh telapak tangannya, dia membuat gerakan menyentak sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Pengerahan tenaga ini membuat dadanya terasa nyeri bukan main, pandang matanya berkunang dan darah makin banyak keluar dari mulutnya, tetapi tombak itu membalik secara tiba-tiba, menyambut dada Panglima Bhe Ti Kong yang terdorong ke depan.
"Crappp.... auggghhh...!"
Bun Beng menjadi gelap mata dan pingsan, tidak tahu bahwa tubuh Bhe Ti Kong menimpa tubuhnya dan betapa darah yang membanjir keluar muncrat-muncrat dari dada musuhnya itu menyiram tubuhnya. Panglima itu berkelojotan dan tewas dengan dada tertembus tombaknya sendiri.
"Tahan, Wan-sicu. Jangan bunuh dia...!" Thian Tok Lama mencegah ketika melihat Wan Keng In mengelebatkan Lam-mo-kiam untuk membunuh Bun Beng.
Wan Keng In menoleh, menahan pedang dan mengerutkan alisnya. "Manusia macam dia perlu apa dibiarkan hidup? Dia membuat Milana hilang dan sudah mendatangkan banyak korban...!" Kembali Lam-mo-kiam bergerak.
"Jangan, Wan-sicu! Dia adalah seorang tawanan penting sekali! Dialah yang telah merampas Hok-mo-kiam. Dia yang melepaskan puteri Ketua Thian-liong-pang! Terlalu enak bagi dia kalau dibunuh begitu saja, dan dia perlu diseret di depan Koksu untuk meringankan kesalahan kita..."
"Hmm..." Wan Keng In menyimpan pedangnya, akan tetapi dia lalu mengayun tangan kanannya ke arah punggung tubuh Bun Beng yang rebah miring.
"Desss!"
Pukulan itu hebat sekali dan Wan Keng In mengomel. "Biar pun nyawanya rangkap, pukulanku ini akan mencabut nyawanya dalam waktu dua puluh empat jam."
Thian Tok Lama juga terluka di dalam tubuh, namun tidak membahayakan nyawanya. Dia lalu turun tangan sendiri, menelikung dan membelit-belit tubuh Bun Beng dengan tali yang amat kuat, lalu mengikat tubuh pemuda yang masih pingsan itu di atas punggung kuda.
"Dia telah kuberi pukulan Toat-beng-tok-ci (Jari Beracun Pencabut Nyawa). Jangankan untuk melawan, dibiarkan pun dia akan mampus sebelum malam besok." Wan Keng In mencela melihat betapa pendeta itu bersusah payah membelenggu tubuh yang dia tahu sudah takkan mampu melawan lagi itu.
"Kita tidak boleh gagal lagi membawa dia ke kota raja, Wan-sicu." Thian Tok Lama membantah dan Wan Keng In mendengus, mengangkat pundak dan sikapnya menjadi murung karena dia marah-marah dan kecewa telah kehilangan Milana. Betapa pun juga, dia harus ikut dan bertemu dengan Koksu. Setelah dia menyaksikan sendiri betapa lihainya Bun Beng, diam-diam pemuda ini merasa jeri juga.
Bukan terhadap Bun Beng yang tinggal menanti maut itu, akan tetapi baru Bun Beng sudah demikian lihainya, apa lagi ibu Milana Si Ketua Thian-liong-pang, belum lagi Pendekar Super Sakti! Maka dia harus bersikap cerdik dan harus dapat mencari kawan, dan agaknya kedudukannya akan kuat sekali kalau dia dapat bersekutu dengan Koksu yang selain memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar, juga mempunyai banyak orang pandai itu.
Dengan murung dan tergesa-gesa, membawa teman-teman yang terluka, mereka pergi keluar dari hutan menuju ke kota raja. Kuda yang membawa tubuh Bun Beng yang kaki tangannya ditelikung dan diikat di atas punggung binatang itu, berada di tengah-tengah dan dikawal sendiri oleh Thian Tok Lama dan Wan Keng In. Kini mereka siap dengan senjata di tangan memegang senjata masing-masing dan bersikap waspada. Baik Wan Keng In mau pun Thian Tok Lama sudah mengambil keputusan untuk pertama-tama menggerakkan senjata membunuh Bun Beng apabila terjadi suatu gangguan di tengah perjalanan ini.
Bun Beng membuka matanya. Ketika ia merasa betapa tubuhnya tergantung di atas punggung kuda, bergoyang-goyang dan kaki tangannya terbelenggu, dia teringat semua dan tersenyum! Tubuhnya lemah dan tak bertenaga, sakit-sakit, akan tetapi hatinya riang! Teringat dia akan Milana dan rasa bahagia di hatinya masih mengatasi semua kesengsaraan yang diderita tubuhnya. Milana mencintanya! Puteri Pendekar Super Sakti cinta kepadanya! Bukan main! Cucu kaisar sendiri! Dan dia hanyalah seorang anak haram, keturunan seorang tokoh sesat yang dikutuk dunia! Apalah artinya siksa dan mati setelah menghadapi kenyataan yang berbahagia itu? Dan dia telah berhasil menyelamatkan Milana. Dara itu telah bebas! Dia akan menyambut kematian atau apa pun juga dengan senyum bahagia!
Ia mengerling ke arah kiri dan melihat Thian Tok Lama duduk di atas seekor kuda, memegang sebatang golok. Hemmm, sayang. Dia belum berhasil membunuh pendeta ini, juga belum berhasil membalas Bhong-koksu atas kematian gurunya. Baru Thai Li Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang telah menebus kematian gurunya.
Bun Beng mencoba mengerahkan sinkang-nya. Hawa panas di pusarnya segera menjawab pengerahannya, akan tetapi tiba-tiba dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, tak tertahankan! Tahulah dia bahwa dadanya terluka dan punggungnya menderita lebih hebat lagi! Darah mengalir dari dalam leher ke mulutnya dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka akibat pukulan yang mungkin membawa maut.
Tentu perbuatan Wan Keng In atau Thian Tok Lama. Agaknya lebih tepat kalau dia menduga pemuda Pulau Neraka itulah yang memukulnya. Luka di tulang punggung ini bukan pukulan biasa, dan kiranya hanya pemuda itulah yang dapat melakukan pukulan sekeji ini. Dia menghela napas panjang. Tidak ada harapan untuk menggunakan saat terakhir itu mencoba melepaskan diri dan membunuh Thian Tok Lama. Kalau dia melanjutkan pengerahan sinkang-nya tentu dia akan mati sebelum sempat bergerak!
Dia tidak putus asa. Mereka telah menawannya, dan biar pun agaknya ketika dia pingsan dia menderita pukulan gelap yang amat membahayakan nyawanya, namun pada saat itu dia belum mati dan selama dia belum mati dia tidak akan kehabisan harapan. Mereka belum membunuhnya, berarti bahwa dia masih mempunyai harapan untuk dapat menyelamatkan diri. Bun Beng tidak berusaha lagi untuk mengerahkan tenaga, bahkan dia lalu melemaskan tubuhnya agar dapat bergantung pada punggung kuda dengan enak.
Rombongan itu melalui hutan terakhir yang penuh dengan pohon bambu. Daerah ini memang terkenal dengan pohon bambu yang bermacam warna dan bentuknya. Hati Thian Tok Lama terasa lega karena kota raja sudah dekat. Tembok kota raja yang tinggi sudah tampak dari tempat tinggi itu, merupakan bayangan hitam memanjang yang tertimpa sinar bintang-bintang di langit yang remang-remang.
Angin malam mempermainkan daun-daun bambu, menimbulkan rasa berkelisik. Tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan dan serta merta terjadilah kekacauan ketika rombongan itu diserang oleh daun-daun bambu yang datang bagaikan anak panah atau senjata rahasia piauw yang runcing. Tadinya mereka mengira bahwa daun-daun bambu itu rontok oleh angin besar, akan tetapi setelah daun-daun bambu ini menancap dan melukai kulit daging, barulah mereka terkejut dan menjadi kacau! Kekacauan menjadi-jadi ketika sampai batang-batang bambu yang panjang tiba-tiba meliuk dan menyerang mereka, seolah-olah rumpun bambu itu menjadi hidup dan digerakkan oleh setan-setan menyerang rombongan itu. Terdengar suara berdebuk disusul robohnya orang susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu dihantam oleh batang bambu.
Thian Tok Lama dan Wan Keng In cepat dapat menduga bahwa amukan pohon-pohon dan daun-daun bambu itu tentulah perbuatan musuh yang lihai. Akan tetapi pada saat mereka menggerakkan senjata hendak membunuh Bun Beng, tiba-tiba sebatang pohon bambu yang besar dan panjang terbang menyerang mereka, berikut cabang-cabang dan daun-daunnya.
Tentu saja keduanya menjadi terhalang dan mereka menggerakkan senjata membabat runtuh batang bambu itu. Akan tetapi kuda yang membawa tubuh Bun Beng sudah meringkik keras, terlempar dan roboh dengan perut tertembus batang bambu, sedang Bun Beng sendiri yang tadinya menelungkup di atas punggung kuda, melintang, sudah lenyap!
"Tawanan lenyap!"
"Kejar...!"
"Tangkap pengacau!"
Teriakan-teriakan para panglima itu menambah kekacauan dan di antara suara hiruk-pikuk mereka terdengarlah suara terkekeh menyeramkan, suara yang terdengar makin menjauh dan akhirnya lenyap.
"Tidak perlu dikejar, percuma saja karena dialah yang datang menolong Bun Beng," kata Wan Keng In yang menjadi lemas tubuhnya ketika mendengar suara ketawa itu.
Thian Tok Lama menahan kudanya. "Siapakah dia?"
Wan Keng In menarik napas panjang. "Siapa lagi kalau bukan Bu-tek Siauw-jin? Kalau dia muncul dan ikut-ikut, kita takkan mampu menghadapinya. Dan setelah dia muncul, orang satu-satunya yang dapat melawannya hanyalah guruku. Karena itu, aku tidak akan ikut bersamamu ke kota raja, Thian Tok Lama. Aku harus mencari guruku, minta bantuannya untuk menghadapi tua bangka cebol itu. Sampai jumpa!" Tanpa menanti jawaban, Wan Keng In yang merasa jeri mendengar suara ketawa susioknya, Bu-tek Siauw-jin, berkelebat dan lenyap dari depan Thian Tok Lama.
Pendeta Tibet ini menarik napas berulang-ulang, menggeleng kepala dan dengan hati risau terpaksa memimpin sisa pasukannya yang ketakutan itu ke kota raja. Memang dia telah berhasil membasmi Thian-liong-pang akan tetapi pasukannya pun rusak, tawanan lenyap dan banyak panglima tewas, termasuk pembantu kepercayaan Koksu, Panglima Bhe Ti Kong.
Sementara itu, jauh dari situ, di dalam hutan yang gelap, Bu-tek Siauw-jin berjalan seorang diri sambil memanggul sebatang bambu panjang dan di ujung bambu itu terpikul tubuh Bun Beng yang masih terbelenggu kaki tangannya.....
Sementara itu, di dalam istana kaisar sendiri terjadilah hal yang amat hebat dan penting. Kaisar sendiri yang sibuk dengan urusan pemerintahan, dalam usahanya untuk mendatangkan kemakmuran kepada rakyat agar pemerintahannya, pemerintah penjajah, mendapat kesan baik di hati rakyat, sama sekali tidak menduga bahwa di antara para pembantunya yang paling dipercaya sedang mengatur pemberontakan untuk menjatuhkannya.
Kaisar Kang Hsi memang seorang kaisar yang pandai. Akan tetapi, sebagai seorang manusia biasa yang tak lepas dari pada kekurangan, Kaisar yang menjadi pembangun dasar-dasar kekuatan pemerintah Mancu ini mempunyai kelemahan terhadap wanita. Banyak sekali selirnya dan banyak pula anaknya. Karena terlalu banyak inilah maka terjadi perebutan dan iri hati, dan Pangeran Yauw Ki Ong adalah seorang di antara putera-puteranya dari selir yang demi cita-cita dan kemurkaannya tidak segan-segan melakukan pengkhianatan dan mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menggulingkan ayahnya sendiri!
Selir yang ratusan orang jumlahnya masih belum memuaskan hati Kaisar yang selalu haus akan wanita muda yang baru. Kelemahan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh mereka yang ingin menjilat dan mencari kedudukan lebih tinggi. Mereka selalu mengincar dara-dara muda yang cantik jelita untuk digunakan sebagai ‘persembahan’, dan tentu saja dengan harapan akan mendapatkan balas jasa.
Kelemahan Kaisar ini menciptakan pembantu-pembantu yang palsu dan di samping ini, juga menimbulkan persaingan dan pertentangan di kalangan para selir itu sendiri. Mereka adalah wanita-wanita cantik yang masih muda. Dengan adanya terlalu banyak selir, sudah pasti mereka menderita dan tentu saja akibatnya memungkinkan terjadinya pelanggaran dan ketidak setiaan. Untuk mengatasi hal ini, para selir itu dikurung dan dijaga keras oleh pengawal-pengawal yang semua terdiri dari thaikam (manusia kebiri). Penjagaan dan pengawasan keras ini mendatangkan penderitaan lahir batin bagi wanita-wanita muda itu sehingga mereka merupakan segolongan orang yang mudah dihasut untuk membenci Kaisar yang mereka anggap sebagai orang yang menyiksa mereka dan membuat hidup merupakan kesunyian dan kesengsaraan bagi mereka.
Malam hari itu, para selir yang seperti biasanya melewatkan malam sunyi dengan celoteh, saling berbisik mempercakapkan Kaisar dengan hati penuh iri, karena malam hari itu, semenjak sore hari, Kaisar telah mengeram dirinya di dalam kamar bersama seorang selir baru! Seorang dara yang kabarnya cantik sekali dan baru malam hari itu mendapat tugas kehormatan melayani Kaisar, seorang dara istimewa karena dara ini adalah persembahan dari Koksu sendiri! Menurut berita yang didengar sebagian para selir yang tidak melihat sendiri, mendengar penuturan para thaikam penjaga, dara itu selain muda remaja, juga memiliki kecantikan yang luar biasa, bermata agak kebiruan, hidungnya mancung dan kulitnya putih kemerahan, seorang dara asing dari see-thian (dunia barat)!
Sebagai persembahan dari Koksu sendiri, tentu saja dara itu mempunyai kedudukan istimewa. Para thaikam tidak berani bersikap kurang hormat karena takut kepada Koksu, bahkan para selir yang biasanya suka mengeluarkan perasaan iri mereka terhadap selir lain dengan berani, sekarang hanya berani mempercakapkan selir baru ini dengan bisik-bisik. Semua orang di istana, bahkan para selir dan para pelayan sekali pun, tahu belaka akan kekuasaan Koksu yang ditakuti!
Malam itu memang istimewa. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh para selir dan para thaikam yang bertugas jaga, melainkan terutama sekali oleh Kaisar sendiri. Semenjak Kaisar menerima gadis persembahan Koksu yang datang menghadap pagi hari itu, Kaisar merasakan sesuatu yang lain dari pada biasa. Belum pernah dia melihat kecantikan seorang dara seperti dara peranakan Nepal ini. Kecantikan yang khas, dan yang sekaligus menjatuhkan rasa sayang dan membangkitkan gairah di hati Kaisar itu. Terangsang oleh gairah ingin cepat-cepat berdua saja dengan Si Jelita ini, Kaisar menunda semua urusan, dan baru saja matahari mengundurkan diri Kaisar sudah memasuki kamar peraduannya yang istimewa dan memerintahkan Si Juwita datang menghadap dan melayaninya.
Kamar ini luas sekali, berbau harum dan dindingnya yang berwarna hijau muda dihias bunga-bunga dan lukisan-lukisan indah. Lantainya dari batu pualam yang jernih dan satu-satunya perabot kamar itu hanyalah kasur-kasur tebal yang memenuhi bagian tengah, ditilami kain berbulu yang halus dan hangat, dengan bantal-bantal terhias sarung sutera bersulam indah.
Kaisar telah duduk setengah rebah di atas kasur ketika Thaikam kepala membuka pintu kamar. Thaikam berlutut di luar pintu dan tampak seorang dara yang bertubuh tinggi ramping dengan langkah gontai dan lemah lembut. Setelah dara itu memasuki kamar, daun pintu tertutup lagi di belakangnya dan terdengar langkah-langkah halus Thaikam kepala meninggalkan depan pintu disusul suaranya berbisik-bisik mengatur penjagaan. Seperti biasa, setiap kali Kaisar bermalam di kamar ini, di empat penjuru luar kamar selalu dijaga oleh pengawal-pengawal thaikam yang berkepandaian tinggi, di samping pelayan-pelayan wanita yang berlutut di luar kamar, diam tak bergerak seperti arca akan tetapi siap untuk memasuki kamar apabila tenaga dan pelayanan mereka dibutuhkan...
"Mundur... hentikan pertandingan!" teriak Si Kurus dengan suara nyaring, kemudian dia melangkah maju menghadapi Bun Beng, menjura dan berkata,
"Orang muda she Gak! Engkau tadi mengaku bukan mata-mata dan tidak memusuhi kami, mengapa engkau membikin kacau dan menangkap seorang panglima dari kota raja?"
Bun Beng membelalakkan matanya lalu tertawa bergelak, nadanya mengejek, "Ha-ha-ha! Kalau ada maling teriak maling, hal itu amat lucu dan dapat dimengerti karena Si Maling ingin menyelamatkan diri. Namun kalau ada pemberontak teriak pemberontak, hal ini sudah tidak lucu lagi, malah menyebalkan! Aku bukan seorang penjilat Kaisar, juga bukan seorang pemberontak. Bukan aku yang mengacau di sini, melainkan kalian sendiri yang memaksaku bertanding!"
Si Kurus bermuka pucat itu kembali menjura. "Jika begitu, kami menerima salah, harap engkau suka membebaskan panglima yang menjadi tamu kami."
"Panglima ini harganya tentu lebih mahal dari seekor kuda," kata pula Bun Beng.
"Seekor kuda...?" Si Kurus memandang tajam.
"Ya, seekor kuda yang paling baik di antara semua kuda di sini."
Mengertilah Si Kurus. Dia lalu memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk segera mengeluarkan kuda tunggangannya sendiri, seekor kuda berbulu putih yang benar-benar bagus dan kuat, merupakan kuda pilihan.
"Nah, ini kudaku sendiri, pakailah kalau engkau memerlukannya," katanya.
Bun Beng tertawa, melepaskan Si Perwira dan sekali meloncat dia telah berada di atas punggung kuda. Dia sengaja berbuat demikian, karena dia ingin melihat sikap mereka itu. Begitu melihat perwira itu dilepaskan, terjadi gerakan-gerakan seolah-olah mereka hendak maju lagi menerjang Bun Beng yang bersikap tenang di atas punggung kudanya. Akan tetapi Si Kurus bermuka pucat mengangkat tangan kanan ke atas dan membentak,
"Jangan bergerak! Biarkan Gak-kongcu lewat dan keluar dari sini tanpa gangguan!"
Bun Beng melarikan kudanya dan menoleh ke arah Si Kurus sambil berkata, "Terima kasih. Pemberontak atau bukan, engkau masih mempunyai sifat kegagahan!" Kudanya lari terus keluar dari pintu pagar tanpa ada yang merintanginya, dan pemuda ini melanjutkan perjalanan menuju ke selatan, ke kota raja.....
"Haiiiiii...! Maharya pendeta palsu tukang tipu! Hayo keluar kau jangan sembunyi saja! Terimalah jawaban teka-tekimu. Hayo keluar, jika tidak, kucabut nanti bulu jenggotmu!"
Yang berteriak-teriak ini adalah Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek cebol yang keluar dari tempat tahanannya bersama Kwi Hong. Dara jelita ini bersikap tenang, berjalan di samping gurunya. Dia tidak pedulikan gurunya yang berteriak-teriak karena dia sudah maklum akan watak dan sifat gurunya yang aneh dan tidak lumrah manusia. Dia sendiri tentu saja tidak khawatir keluar dari tempat tahanan, apa lagi bersama gurunya yang sakti, sungguh pun dia maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya karena mereka berada di tempat kediaman Koksu, berada di dalam sarang harimau.
Ada beberapa orang penjaga yang bingung tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, berlagak hendak mencegah dua orang tahanan ini keluar. Yang berani menghadang hanya empat orang penjaga. Mereka melintangkan tombak menghadang dan berkata,
"Tanpa perkenan Koksu kalian tidak boleh keluar...!"
Empat kali Kwi Hong menggerakkan tubuhnya, dan....
“Krekkk! Plakkk!” Empat kali terdengar suara dan empat batang tombak patah-patah disusul tubuh empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri!
Ada pun kakek cebol itu masih berteriak-teriak memanggil nama Maharya, seolah-olah tidak melihat muridnya merobohkan empat orang penghalang tadi. "Maharya pendeta palsu! Di mana engkau? Koksu, suruh pembantumu Si Pendeta konyol itu keluar...!"
"Ser-serr-serrr...!"
Tampak sinar menyambar dari kanan kiri dan depan. Dengan tenang sekali Kwi Hong menggerak-gerakkan kedua lengan bajunya seperti yang dilakukan oleh gurunya dan belasan batang anak panah yang menyambar ke arah mereka itu runtuh ke bawah.
"Ha-ha! Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, beginikah seorang Koksu negara menghadapi tamu?" Bu-tek Siauw-jin tertawa mengejek, sedangkan Kwi Hong memandang ke depan dan kanan kiri dengan alis berkerut marah.
Daun pintu besar yang menembus ruangan belakang gedung Koksu tiba-tiba terbuka dan muncullah Bhong-koksu bersama Maharya beserta belasan orang panglima yang menjadi kaki tangan dan sekutu Koksu itu, diiringkan pula oleh sepasukan tentara yang berjumlah lima puluh orang lebih bersenjata lengkap!
"Heh-heh-heh, Siauw-jin. Engkau adalah seorang hukuman, tanpa ijin Koksu berani membobol penjara dan merobohkan penjaga. Sungguh tidak tahu aturan!" Maharya berkata sambil tertawa mengejek.
Bu-tek Siauw-jin memandang dengan mata melotot. "Siapa jadi orang hukuman? Kami menjadi tamu! Dan teka-tekimu yang palsu itu mudah saja menjawabnya! Maharya, lekas kau ambil pisau penyembelih babi, lekas!"
Karena nada suara kakek cebol itu mendesak dan disertai pengerahan tenaga sinkang, maka mempunyai wibawa yang kuat sekali sehingga Maharya yang menjadi ahli sihir itu pun sampai terpengaruh dan otomatis bertanya heran, "Pisau penyembelih babi? Untuk apa?"
"Ha-ha-ha-ha! Untuk memotong ujung hidungmu yang terlalu panjang itu! Bukankah sudah begitu perjanjian antara kita? Kalau aku bisa menjawab teka-tekimu, engkau harus memotong ujung hidungmu, kemudian engkau, Koksu dan pendeta Tibet... eh, mana Si Gendut itu, mengapa tidak ikut pula menyongsongku? Dan jangan lupa, Pulau Es dan Pulau Neraka juga harus dibangun kembali!"
"Siauw-jin, kematian sudah berada di depan mata, engkau masih berani bersombong. Orang macam engkau tak mungkin dapat menjawab pertanyaanku itu..."
"Apa? Pertanyaan licik yang penuh akal bulus dan palsu itu siapa yang tidak dapat menjawabnya? Dengar baik-baik, Maharya. Aku Sejati yang kau tanyakan itu adalah Aku Sejati yang palsu, khayalan pikiranmu sendiri yang kotor itu, yang hanya meniru-niru dari orang lain yang sebetulnya juga tidak tahu apa-apa. Semua itu palsu, sepalsu hati dan pikiranmu, Maharya!"
"Ihhh, engkau gila...!" Maharya membentak dengan muka merah.
"Paman guru, perlu apa buang waktu melayani orang gila ini?" Tiba-tiba Koksu berkata sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan mengeluarkan cambuk merah dengan tangan kiri, kemudian mengangkat cambuk ke atas sebagai aba-aba. Para panglima melihat ini, lalu mencabut senjata mereka dan semua anak buah pasukan tentara pengawal juga siap dengan senjata masing-masing.
"Suhu, teecu rasa tidak perlu lagi melayani mereka ini!" Kwi Hong juga berkata dan tampaklah sinar berkilat mengerikan ketika dara itu sudah mencabut keluar pedang Li-mo-kiam!
"Serbu...!" Bhong-koksu mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah pasukan pengawal dipimpin oleh belasan orang panglima itu.
Memang Koksu telah siap untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin dan karena dia tahu betapa lihainya kakek itu bersama muridnya yang memegang pedang mukjizat, maka dia sendiri pun telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang pusaka yang jarang dia pergunakan karena biasanya, dengan sebatang pecut merahnya saja Koksu ini sudah sukar menemukan tanding.
"Ha-ha-ha, pendeta palsu, Koksu pengecut!" Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa ketika melihat pasukan pengawal itu menyerbu.
Namun Kwi Hong tidak seperti gurunya. Dara ini sudah berkelebat ke depan didahului sinar pedangnya yang menyilaukan mata. Para pengawal yang belum mengenal dara dan pedangnya yang mukjizat itu menerjang dengan senjata tombak, golok atau pedang.
"Singgg... trang-trang-krek-krek-krekkk...!"
Tombak, golok dan pedang beterbangan di udara dalam keadaan patah-patah, disusul pekik kaget dan kesakitan, pekik kematian dari mulut lima orang pengawal yang tak dapat menghindarkan diri dari sambaran sinar pedang Li-mo-kiam!
Melihat ini terkejutlah semua anak buah pasukan. Mereka mengurung dan mengeroyok lebih hati-hati, dipimpin oleh belasan orang panglima yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Karena maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh memandang ringan pengeroyok yang jumlahnya amat banyak itu, Kwi Hong tidak bertindak sembrono, dan hanya berdiri di tengah-tengah, pedang melintang depan dada, tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang indah itu saja yang bergerak, mengerling ke kanan kiri menanti gerakan lawan.
Dua belas orang panglima yang menjadi kaki tangan Bhong-koksu, yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, dengan hati-hati mengurung Kwi Hong dan di belakang mereka bergerak, siap siaga dengan pengurungan yang amat nekat.
Tiba-tiba terdengar seorang panglima tertua mengeluarkan seruan sebagai aba-aba. Puluhan anak buah mereka bersama dua belas orang panglima itu serentak menerjang Kwi Hong, dibantu oleh anak buah mereka dari belakang. Kembali tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap bersembunyi di balik sinar pedang yang amat menyilaukan mata, seperti kilat menyambar-nyambar. Dia berhasil mematahkan beberapa batang senjata lawan, namun karena dua belas orang panglima itu memang sudah maklum akan keampuhan pedang di tangan gadis itu, mereka bersikap hati-hati dan tidak mau mengadu senjata sehingga yang menjadi korban hanya senjata para pengawal yang berani menyerang terlalu dekat.
Betapa pun juga, Kwi Hong tidak dapat mencurahkan perhatian untuk merobohkan lawan di depan karena dia dikepung ketat dan senjata-senjata lawan datang bagaikan hujan di sekeliling tubuhnya, sedangkan tangan yang menggerakkan senjata-senjata itu pun tangan terlatih dan cukup kuat dan cepat.
Sementara itu Maharya yang bersenjata sebatang tombak bulan sabit, senjata barunya setelah dia meninggalkan senjatanya yang dahulu berupa ular putih hidup dan sarung tangan emas, sudah menerjang maju melawan Bu-tek Siauw-jin dibantu oleh Koksu yang bersenjatakan pedang di tangan kanan dan cambuk di tangan kiri.
"Ha-ha-ha, kalian ini tiada lebih hanyalah tukang-tukang keroyok yang menjijikkan!" Bu-tek Siauw-jin tertawa mengejek, akan tetapi dia harus cepat-cepat menghindar dan mengebutkan lengan bajunya karena ujung tombak bulan sabit itu telah menyambar ganas ke arah lehernya, disusul tusukan pedang Bhong-koksu ke arah ulu hatinya dan sambaran cambuk ke arah ubun-ubun kepalanya.
"Tarrrrr...!" Sambaran cambuk yang datang terakhir itu tidak dielakkan dan ditangkis, melainkan diterima begitu saja oleh ubun-ubun kepalanya, akan tetapi akibatnya, ujung cambuk itu membalik dan telapak tangan Bhong-koksu lecet-lecet!
"Serang lima tempat dari mata ke bawah!" Maharya berseru, dan kini Bhong-koksu menerjang lagi membantu paman gurunya, menujukan serangan-serangannya ke arah kedua mata, tenggorokan, pusar, dan bawah pusar!
"Heh-heh-heh, Maharya pendeta palsu, dukun lepus! Mari-mari kita main-main sebentar!" Setelah berkata demikian, kakek pendek itu membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Dua telapak tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat, kadang-kadang mengandung hawa panas, kadang-kadang dingin sehingga Maharya mau pun Bhong-koksu berlaku hati-hati dan tidak berani menghadapi langsung pukulan-pukulan itu, melainkan mengelak sambil mengirim serangan-serangan balasan dari samping. Dalam hal ini, hanya cambuk di tangan kiri Bhong-koksu saja yang lebih berguna karena cambuk itu cukup panjang untuk mengirim serangan dari jarak jauh. Sedangkan tubuh Maharya menyambar-nyambar, menggunakan kesempatan setiap Bu-tek Siauw-jin mengelak dari sambaran cambuk, menerjang dengan tombak bulan sabitnya.
Bu-tek Siauw-jin masih tertawa-tawa dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja. Memang kakek aneh dari Pulau Neraka ini sudah puluhan tahun meninggalkan senjata, dan hal ini pun tidaklah aneh kalau diingat bahwa dengan kaki tangannya dia sudah cukup kuat menghadapi serangan lawan. Betapa pun juga, menghadapi pengeroyokan dua orang sakti seperti Maharya dan Bhong-koksu, kakek cebol ini repot juga dan biar pun mulutnya tertawa-tawa, dia harus memeras keringat untuk menghindarkan diri dari hujan serangan maut itu.
Tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat dari Maharya, dan mungkin tidak ada dua tingkat dari kepandaian Bhong-koksu. Untung bagi kakek cebol Pulau Neraka ini bahwa dia kebal terhadap ilmu sihir biar pun dia sendiri tidak suka mempelajari ilmu itu sehingga kekuatan ilmu sihir yang dimiliki Maharya tidak ada artinya kalau ditujukan terhadap Bu-tek Siauw-jin dan di samping ini dia menang jauh dalam hal kekuatan sinkang, maka dia dapat menahan tekanan dua orang itu dengan tenaga sinkang-nya.
Dibandingkan dengan gurunya, keadaan Kwi Hong jelas lebih payah. Dua belas orang panglima itu berkepandaian tinggi, dan andai kata hanya mereka yang mengeroyok, kiranya Kwi Hong akan mampu menandingi dan mengatasi mereka. Akan tetapi, di samping dua belas orang panglima itu, masih terdapat puluhan, bahkan kini ratusan orang tentara pengawal yang mengepungnya! Hal ini membuat dia lelah sekali setelah berhasil merobohkan tiga puluh orang lebih! Tetap saja dia masih terkepung ketat karena yang datang jauh lebih banyak dari pada yang roboh.
Sekarang enam orang panglima yang melihat betapa Kwi Hong sudah terkepung ketat, meninggalkan pimpinan pengeroyokan kepada enam orang temannya dan mereka sendiri lalu membantu Bhong-koksu menyerbu Bu-tek Siauw-jin.
"He-he-he, bagus...! Majulah semua, maju yang banyak agar lebih menggembirakan!"
Bu-tek Siauw-jin tertawa dan tiba-tiba tubuhnya roboh menelungkup ke depan, lalu berputar dan tahu-tahu kedua kakinya menendang ke belakang, inilah ilmu yang baru, Si Jangkrik menyentik atau Si Kuda menyepak yang didapatkan ketika dia mengadu jangkrik. Serangan ini amat tiba-tiba dan tidak terduga oleh Maharya dan Bhong-koksu, sehingga biar pun mereka berdua cepat menghindar, tetap saja angin tendangan kedua kaki itu menyambar ke arah muka mereka dan celakanya tapak kaki itu berlepotan tanah sehingga muka mereka terkena tanah dan lumpur!
Pada detik-detik berikutnya terdengar jerit nyaring dan dua orang panglima roboh tewas terkena tendangan kaki yang kekuatannya tidak kalah oleh sepakan lima ekor kuda itu! Andai kata Maharya atau Bhong-koksu yang terkena sepakan itu, tentu paling hebat tubuh mereka akan terlempar. Akan tetapi dua orang panglima yang tingkat sinkang-nya kalah jauh itu, begitu terkena sepakan pada dada mereka, seketika tewas dengan tulang-tulang iga remuk dan jantung tergetar pecah!
"Tar-tar-tar-tarrr...!" Cambuk panjang di tangan Bhong-koksu melecut seperti halilintar menyambar-nyambar ke arah kepala Bu-tek Siauw-jin.
"Aihhh... wuuutttt!"
Ujung cambuk itu terkena sambaran tangan Si Kakek cebol dan dicengkeramnya. Tentu saja Bhong-koksu mempertahankan senjatanya itu dan mereka bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan yang ulet dan dapat mulur itu meregang dan tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin melepaskan ujung cambuk. Terdengar suara nyaring dan ujung cambuk ini menyambar ke arah muka Bhong-koksu sendiri! Bhong-koksu kaget bukan main, melepaskan gagang cambuk dan menundukkan muka merendahkan tubuh.
"Aduhhhh...! Aduhhhh...!" Dua orang panglima pembantu yang berdiri di belakangnya berteriak dan roboh, merintih-rintih karena yang seorang kepalanya benjol besar dihantam gagang cambuk sedangkan orang kedua kulit dadanya robek disambar ujung cambuk.
Dengan kemarahan meluap Bhong-koksu sekarang menerjang maju dengan hanya menggunakan pedangnya, sedangkan Maharya juga mendesak dengan tombak bulan sabitnya.
"Kwi Hong, kau larilah!" Tiba-tiba tubuh kakek cebol itu berkelebat melewati di atas kepala Bhong-koksu dan Maharya, sambil berteriak ke arah muridnya yang terdesak hebat dan terkurung ketat. Akan tetapi, begitu tubuhnya tepat berada di atas kedua orang musuhnya terdengar suara memberobot disusul bau yang cukup membikin Bhong-koksu dan Maharya merasa muak hendak muntah!
"Tidak, Suhu. Kita hajar mampus semua anjing ini!" Kwi Hong yang tahu-tahu melihat gurunya sudah berada di sampingnya dan dengan mudah mendorong-dorong roboh beberapa orang pengeroyok, membantah.
"Hushh, musuh terlampau kuat dan banyak. Buat apa mati konyol di sini? Heran sekali pamanmu, Pendekar Siluman itu. Ke mana saja dia minggat dan kenapa membiarkan kita dikeroyok tanpa membantu? Hayo kau pergi cari pamanmu, minta bantuannya!"
"Suhu yang harus pergi!"
"Hushhh, aku masih belum kenyang main-main di sini. Pula, perutku mules ingin buang air besar. Lekas kau pergi keluar dari sini, cari pamanmu sampai dapat dan katakan, kalau dia tidak mau membantu aku, kelak aku pun tidak sudi membantunya kalau dia membutuhkan tenaga bantuan. Hayo!"
"Tapi, Suhu sendiri..."
"Ihhhhh, anak bandel! Sungguh tolol sekali aku mengapa mengambil murid engkau perawan bandel ini. Pergi, atau minta kugaplok?"
Kwi Hong maklum bahwa gurunya berwatak sinting, maka bukanlah tidak mungkin kalau dia benar-benar akan digaploknya. Dia masih penasaran melihat Bhong-koksu dan Maharya belum roboh, tetapi dia mengerti juga kalau pertandingan ini dilanjutkan, dia tentu akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan kalah.
"Baik, Suhu. Hati-hati menjaga dirimu, Suhu!"
"Weh-weh! Kau kira aku anak kecil, ya? Pakai ditinggali pesanan segala. Pergilah, aku membuka jalan!"
Kakek itu lalu menerjang ke depan, kedua lengannya bergerak dan setiap kedua lengan dikembangkan dan didorongkan, tentu pihak pengeroyok bubar dan terhuyung ke kanan kiri, membuka jalan. Kwi Hong berkelebat ke depan, tubuhnya dilindungi sinar pedang Li-mo-kiam sehingga senjata-senjata rahasia dan anak panah yang berusaha mencegah dia lari, runtuh semua dan tak lama kemudian lenyaplah dia keluar dari tempat itu.
Kini kemarahan Bhong-koksu dilimpahkan seluruhnya kepada Bu-tek Siauw-jin. "Kakek tua bangka keparat! Kalau belum memenggal lehermu dengan pedangku, aku Im-kan Seng-jin takkan mau sudah!"
"Singg... siuuutt...!" Hampir berbareng, pedang di tangan Bhong-koksu menyambar dari kanan dan tombak bulan sabit di tangan Maharya menyambar dari kiri.
Namun, tiba-tiba tubuh cebol itu roboh ke atas tanah. Dua orang lawannya terkejut dan terpaksa menahan serangan dan bersikap waspada karena mengira bahwa si cebol itu tentu akan menggunakan jurus tendangan menyepak yang lihai tadi. Akan tetapi mereka kecele karena Si Cebol tua renta itu sama sekali tidak menendang, melainkan terus menggelundung menuju ke belakang dan keluar dari pintu memasuki taman.
"Kejar...!"
"Tangkap...!"
"Bunuh...!"
Teriakan-teriakan nyaring ini keluar dari mulut para panglima dan pengawal, namun yang berkelebat lebih dulu melakukan pengejaran adalah Bhong-koksu dan Maharya. Mereka mengejar ke dalam taman yang besar dan indah itu, akan tetapi tidak tampak bayangan Bu-tek Siauw-jin.
"Celaka, jangan-jangan dia telah berhasil melarikan diri...." Bhong-koksu berkata.
"Belum tentu, kalau dia melompat keluar dari taman tentu kita tadi melihatnya," kata Maharya sambil mencari terus ke seluruh taman.
Para panglima dan pasukan pengawal yang ikut mengejar telah tiba di situ pula, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang melihat bayangan kakek cebol yang lihai itu.
"Heiiii, kalian mencari apa? Aku berada di sini!"
Semua orang memandang dan kiranya kakek yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, duduk ongkang-ongkang di atas dahan dalam keadaan telanjang bulat, tampak pakaiannya tergantung di cabang pohon.
Tentu saja Bhong-koksu dan Maharya marah sekali dan mereka sudah berlari menghampiri pohon yang berdiri di tepi telaga di dalam taman.
"Aku gerah sekali, lelah melayani kalian. Aku mau mandi lebih dulu nanti kita lanjutkan lagi." Setelah berkata demikian, tubuh kakek cebol itu melayang ke bawah dan terjun ke dalam air telaga.
"Byuuurrr!" Air muncrat tinggi dan sampai lama tubuh itu tenggelam. Ketika dia muncul lagi yang tampak hanya kepala sebatas dada. Kiranya telaga itu tidak dalam dan di dasarnya terdapat tanah lumpur sehingga ketika terjun tadi sebagian tubuh Bu-tek Siauw-jin terbenam ke dalam lumpur. Tentu saja muka dan kepalanya penuh lumpur ketika dia tersembul keluar sambil megap-megap!
"Siauw-jin, engkau akan mampus dalam keadaan yang lebih rendah dari pada seorang siauw-jin (manusia hina). Engkau akan mampus seperti seekor anjing yang bangkainya hanyut di air!" Maharya berseru dan kini semua orang telah mengurung telaga itu dengan senjata disiapkan.
Bu-tek Siauw-jin yang gelagapan tadi kini sudah mencuci kepala dan mukanya dengan air. Air telaga itu jernih sekali, dan di situ terdapat banyak ikan emas peliharaan Koksu. Sambil menyembur-nyemburkan air dari mulut dan menggosok kedua matanya, Bu-tek Siauw-jin memandang kepada Koksu dan Maharya, terkekeh gembira mempermainkan dan mengejek.
"Ha-ha-ha, sejak jaman dahulu, belum pernah kerajaan memiliki seorang Koksu segagah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, mengerahkan pasukan pengawal dan anjing peliharaan Maharya pendeta palsu untuk mengeroyok seekor anjing yang sedang mandi! Eh, Bhong-koksu dan Maharya, tahukah engkau mengapa aku harus mandi dulu?"
Maharya yang sudah banyak pengalamannya dan maklum akan kelihaian kakek cebol itu menahan gejolak kemarahan hatinya. Maka dia pun tersenyum lebar, sungguh pun senyumnya agak pahit, kemudian berkata, "Tentu saja aku tahu, Siauw-jin. Memang tepat sekali kalau engkau mandi lebih dulu agar tubuhmu bersih, karena setelah mati tidak akan ada yang sudi membersihkan mayatmu. Biarlah engkau mati dalam keadaan bersih tubuhmu, kami sabar menantimu di sini."
Jawaban itu dikeluarkan dengan suara yang halus dan ramah, namun sebetulnya merupakan ejekan yang menyakitkan hati.
"Bukan! Bukan begitu! Jawabanmu ngawur dan memang sejak dahulu aku tahu engkau seorang manusia tolol dan berkedok pendeta biar dianggap suci dan pintar, Maharya! Akan tetapi engkau tidak bisa mengelabui aku! Engkau bertapa di puncak gunung-gunung bukan untuk membersihkan batin melainkan untuk memupuk ilmu agar dapat kau pergunakan untuk merebut kemuliaan di dunia ramai! Engkau memakai cawat dan pakaian sederhana, makan seadanya, memamerkan hidup sederhana, bukan untuk mempertajam pandang mata batin melainkan kau pakai untuk kedok agar lebih mudah engkau menipu orang, seperti seekor serigala berkedok bulu domba. Mau tahu mengapa aku mandi? Karena sudah terlalu lama aku bertanding dengan kalian, dan terlalu banyak kotoran kalian mengotori tubuhku. Maka itu harus membersihkan dulu tubuhku agar tidak sampai keracunan oleh kotoran dari kalian tadi, ha-ha-ha!"
Bhong-koksu marah bukan main. Dia melambaikan tangan kiri memberi aba-aba dan mulailah para panglima dan anak buah mereka menyerang kakek cebol yang sedang mandi itu dengan senjata rahasia. Beterbanganlah anak panah, piauw (pisau terbang), peluru besi, paku dan lain-lain ke arah tubuh Bu-tek Siauw-jin. Sambil tertawa kakek itu mengelak ke kanan kiri kemudian tenggelam.
Karena pergerakannya, tentu saja air menjadi keruh dan tubuhnya tidak tampak. Tahu-tahu dia telah muncul jauh dari tempat sasaran dan kedua tangannya digerak-gerakkan menyambit ke daratan. Berhamburanlah air keruh, lumpur dan batu-batu kecil ke arah para pengurungnya! Bahkan ada dua buah benda kekuningan menyambar ke arah muka Koksu dan Maharya. Dua orang ini cepat mengelak dan dua buah benda itu dengan tepat mengenai muka dua orang panglima yang berada di belakang Koksu dan Maharya.
"Plok! Plok! Uuhhhgg... hak... haek-haek...!"
Dua orang panglima itu muntah-muntah karena dua ‘benda’ yang mengenai mulut dan hidung mereka itu adalah tahi (kotoran manusia) yang lembek, lunak dan masih hangat! Kiranya kakek cebol itu bukan hanya mandi, melainkan juga membuang air besar! Kiranya dia tadi tidak membohong ketika menyuruh muridnya pergi dan dia ingin membuang air besar lebih dulu. Pantas saja dia merendam tubuh bertelanjang bulat dan ketika ia membuang air besar diam-diam ditampungnya kotoran dengan tangan dan kini dipergunakan untuk membalas serangan senjata rahasia lawan dengan ‘senjata rahasia’ yang luar biasa itu!
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar anjing yang suka makan tahi!" Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi terpaksa harus slulup (menyelam) kembali karena dari pihak pengurungnya telah datang anak panah seperti hujan menyerang dirinya.
Terjadilah main kucing-kucingan antara kakek cebol dan para pengurungnya. Kalau dihujani serangan, dia menyelam, lalu timbul di lain bagian sambil membalas dengan sambitan batu-batu dan lumpur. Agaknya permainan ini mendatangkan kegembiraan besar di hati Bu-tek Siauw-jin, apa lagi ketika dia berhasil mengotori pakaian Koksu dan sorban di kepala Maharya dengan lumpur, membuat dua orang sakti itu memaki-maki dan menyumpah-nyumpah. Kakek cebol tertawa bergelak, mengejek ke kanan kiri sambil menjulurkan lidah.
"Ambil minyak! Kita bakar permukaan telaga!" Tiba-tiba Bhong-koksu mengeluarkan perintah.
Perintahnya ini hanya gertakan saja, akan tetapi cukup membuat Bu-tek Siauw-jin terkejut dan khawatir. "Wah, itu licik sekali namanya! Biar kulawan kalian lagi di atas daratan kalau begitu!"
Akan tetapi Bhong-koksu, Maharya dan para panglima beserta anak buah mereka telah menanti di tepi telaga, membuat kakek itu sukar mendarat dan terpaksa ke tengah telaga kembali sambil memaki-maki.
"Kalian cacing-cacing busuk, pengecut licik, tak tahu malu, ya?"
"Singgg... cuppp...! Wirrrr!"
Maharya dan Bhong-koksu terbelalak memandang gagang pedang yang tergetar di atas tanah di depan mereka itu, sebatang pedang yang tadi meluncur dari atas lalu menancap di atas tanah di depan mereka. Pada detik berikutnya, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka, dekat pedang di atas tanah tadi, telah berdiri seorang wanita bertubuh tinggi langsing dan mukanya berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!
"Pa... paduka...?" Bhong-koksu berseru, lupa diri dan menyebut paduka kepada Ketua Thian-liong-pang yang dikenalnya sebagai puteri kaisar, Nirahai.
"Aihhh, Ketua Thian-liong-pang hendak memberontak?" Maharya juga berseru.
"Bhong Ji Kun manusia rendah budi, pengkhianat dan pemberontak hina! Engkaulah yang hendak mengkhianati kaisar, hendak memberontak dan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet dibantu orang-orang Nepal, hendak menjatuhkan kaisar dan diperalat Pangeran Yauw Ki Ong yang hendak merebut tahta kerajaan. Berlututlah engkau pengkhianat busuk agar kutangkap dan kuhadapkan kaisar!" Ketua Thian-liong-pang atau Puteri Nirahai itu membentak dengan suaranya yang nyaring.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bhong-koksu dan semua panglima yang menjadi kaki tangannya mendengar betapa rahasia mereka telah terbuka. Untuk menyembunyikan rasa khawatirnya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa.
"Ha-ha-ha! Engkau puteri buronan, puteri pelarian yang telah mencemarkan nama kerajaan, berpura-pura hendak bersikap seperti seorang setiawan. Kebetulan sekali, Nirahai, engkau menjadi musuh kerajaan dan hadapilah kematianmu di ujung pedangku sendiri!" Bhong-koksu melintangkan pedang di depan alisnya sedangkan Maharya telah menggerakkan senjata tombak bulan sabitnya.
"Haiii... engkaukah Ketua Thian-liong-pang? Gagah perkasa benar engkau, akan tetapi aku Bu-tek Siauw-jin tidak minta bantuanmu! Menghadapi coro-coro kecoa bau itu aku belum membutuhkan bantuanmu!" Bu-tek Siauw-jin berteriak-teriak dari tengah telaga, kemudian meloncat ke darat dekat Ketua Thian-liong-pang.
Nirahai, wanita berkerudung itu secepat kilat telah menyambar pedangnya yang tadi dilontarkan menancap tanah, ketika ia melirik ke kiri dari balik kerudungnya, mukanya menjadi merah padam melihat betapa kakek cebol di sebelahnya itu bertelanjang bulat!
"Kakek sinting, pergilah!" bentaknya ketus. "Aku tidak butuh bantuanmu!"
Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya, menghadapi Nirahai dan bertolak pinggang, lupa sama sekali betapa lucu sikapnya, bertolak pinggang membusungkan dada tipis dan sama sekali tidak berpakaian! "Wah-wah-weh-weh! Siapa yang membantu dan siapa yang dibantu? Sebelum kau muncul aku sudah mereka keroyok sampai kelelahan dan terpaksa aku mandi dan buang air dulu. Engkau mau dibantu atau tidak, aku terpaksa harus menggempur mereka ini, terutama si botak Koksu dan si palsu Maharya!"
Maharya, Bhong-koksu, dan lima orang panglima sudah menerjang maju, tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bhong-koksu yang menganggap bahwa Nirahai lebih berbahaya, bukan ilmunya karena mungkin Si Kakek cebol itu lebih sakti, melainkan berbahaya karena Nirahai telah mengetahui rahasianya, sudah cepat-cepat menerjang Nirahai dengan pedangnya. Pedang itu dengan gerakan cepat membabat leher Nirahai, ketika dielakkan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut yang dapat ditangkis pula oleh pedang Nirahai, akan tetapi pedang di tangan Koksu yang seperti hidup, tahu-tahu sudah membabat ke arah kedua kaki lawan!
Nirahai maklum bahwa lawannya bukan orang sembarangan, melainkan seorang ahli silat tinggi yang sakti, maka cepat tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya ditarik ke atas menghindarkan babatan pedang, namun kaki itu tidak hanya mengelak saja, melainkan dari atas mengirim tendangan beruntun ke arah dada dan muka lawan!
"Wuuut! Wuuutt!"
Bhong-koksu berseru kaget dan nyaris dagunya tercium ujung sepatu lawan kalau saja dia tidak cepat-cepat mencelat mundur dan keadaannya yang terdesak itu tertolong oleh majunya tiga orang panglima pembantunya yang mengurung dan menyerang Nirahai sehingga wanita berkerudung itu tidak dapat mendesak Bhong-koksu yang dibencinya.
Biar pun dihadapi tiga orang panglima yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, Nirahai masih dapat mencelat melalui mereka dan pedangnya menyambar ke arah Maharya yang berada di tempat lebih dekat dengannya dari pada Bhong-koksu yang melompat mundur tadi. Dia sengaja menyerang pendeta ini karena dia maklum bahwa di antara para pembantu Bhong-koksu, pendeta inilah yang paling berbahaya.
Pedangnya yang berkelebat seperti halilintar menyambar itu mengejutkan Maharya yang cepat menggerakkan tombak bulan sabitnya sambil membentak, "Robohlah!"
Tangkisan Maharya dengan tombaknya mengenai pedang Nirahai, menimbulkan bunyi nyaring sekali, dan bentakannya tadi mengandung pengaruh mukjizat ilmu sihirnya, namun selain Nirahai telah memiliki sinkang yang amat kuat, juga muka wanita ini terlindung kerudung sehingga sinar mata Maharya yang penuh kekuasaan mukjizat itu tidak mempengaruhinya. Namun, tetap saja bentakan itu mendatangkan getaran hebat bagi Nirahai yang cepat mengerahkan sinkang melindungi jantungnya. Lebih hebat lagi, tangkisan tombak kepada pedang itu disambung dengan meluncurnya tiga batang jarum yang keluar dari leher tombak menyambar ke arah Nirahai!
"Pendeta curang...!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak dan tiga batang jarum beracun itu runtuh semua oleh sambitan Si Kakek cebol ini yang menggunakan lumpur! Sambitan ini menyelamatkan Nirahai sungguh pun belum tentu wanita perkasa ini akan menjadi korban jarum andai kata tidak dibantu Bu-tek Siauw-jin, akan tetapi baju Nirahai terkena noda sedikit lumpur.
"Singgg... wuuusss... hayyaaa...!"
Bu-tek Siauw-jin menggulingkan tubuhnya ketika tiba-tiba pedang Nirahai menyambar ke arah lehernya! "Wah-wah-wah, Ketua Thian-liong-pang benar ganas! Diberi madu membalas racun! Ditolong malah membalas dengan niat membunuh!"
"Siapa membutuhkan pertolonganmu? Engkau mengganggu saja!"
"Weh-weh, sombongnya! Kalau tidak kubantu, apa engkau kira akan mampu menang melawan mereka ini?"
"Aku tidak sudi dibantu orang gila tak tahu malu. Hayo berpakaian dulu kau, kakek tua bangka tak bermalu, baru nanti kita bicara tentang bantuan!" Nirahai terpaksa sudah meninggalkan Bu-tek Siauw-jin lagi untuk mengamuk dengan pedangnya karena Bhong-koksu dan Maharya sudah menerjangnya lagi. Suara pedangnya menangkis senjata mereka dan senjata para panglima terdengar nyaring berdenting dan bertubi-tubi kemudian terdengar teriakan dua orang pengawal yang roboh terkena sambaran sinar pedang wanita berkerudung yang sakti itu.
Bu-tek Siauw-jin yang merasa penasaran karena tidak boleh ikut bertanding, sambil mengomel meloncat ke atas pohon menyambar pakaiannya dan karena tergesa-gesa mengenakan pakaiannya beberapa kali dia memakai pakaian dengan terbalik! Akhirnya selesai juga dia berpakaian.
"Thian-liong-pangcu! Lihatlah, aku sudah sopan sekarang, sudah berpakaian, uhh-uhh! Pikiran gila yang menganggap bahwa berpakaian tanda sopan! Hayoh kita berlomba, siapa lebih banyak merobohkan cacing-cacing tanah ini!"
Dari atas, tubuh yang cebol itu melayang turun, berputar-putar seperti gerakan seekor anak burung belajar terbang dan akhirnya tubuh cebol itu menyambar dari atas ke arah kepala Maharya. Memang pendeta inilah yang dicarinya! Begitu Bu-tek Siauw-jin menyambar, kakek cebol ini menggunakan tangan kiri menyambar lengan yang memegang tombak bulan sabit, tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, kedua kaki menendang bergantian ke arah punggung dan lambung sedangkan mulutnya masih mengeluarkan suara "cuhhh!" meludah ke arah tengkuk Maharya!
Diserang secara luar biasa itu, Maharya gelagapan. Dia dapat menyelamatkan diri dengan memutar senjatanya melindungi kepala dan membuang tubuh ke bawah lalu bergulingan, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengelak dari air ludah yang berubah menjadi hujan kecil menimpa sebagian dagunya!
"Siauw-jin manusia kotor!" Dia membentak setelah mencelat berdiri sambil menyerang ganas, dibantu oleh beberapa orang panglima.
Bu-tek Siauw-jin maklum akan kelihaian Maharya dan para pembantunya, cepat dia menggerakkan kaki tangan untuk mengelak dan menangkis, mulutnya tertawa-tawa mengomel. "Heh-heh, kau kira engkau ini manusia bersih? Mana yang lebih baik, kotor luarnya tapi bersih dalamnya dibandingkan dengan engkau yang bersih luarnya kotor dalamnya? Heh-heh-heh! Aku memang Bu-tek Siauw-jin, namaku saja sudah manusia rendah, apanya yang aneh kalau aku kotor! Engkau adalah seorang pendeta, baik pakaian mau pun namamu menunjukkan bahwa engkau pendeta, akan tetapi sepak terjangmu sama sekali berlawanan!"
"Mampuslah!" Maharya membentak dan senjatanya yang ampuh itu sudah menyambar dan tampak sinar kilat berkelebat.
Namun dengan tubuhnya yang cebol, Bu-tek Siauw-jin dapat mencelat ke kiri, kakinya menendang sebatang golok di tangan seorang pengawal yang coba menyerangnya. Pengawal itu terhuyung ke depan, diterima oleh pinggul kakek cebol yang digerakkan ke samping.
"Desss! Augghh...!" Tubuh pengawal yang kena disenggol pinggul kakek itu terlempar dan menabrak dua orang temannya sendiri sehingga mereka bertiga jatuh terguling-guling.
Hanya Maharya dan Bhong-koksu saja yang masih dapat menandingi amukan Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai secara berdepan, sedangkan para panglima dan anak buah mereka yang banyak jumlahnya itu hanya berteriak-teriak dan membantu mengurung serta menyerang kalau ada kesempatan, dari kanan kiri atau belakang, karena amukan kakek cebol dan wanita berkerudung itu benar-benar amat dahsyat dan sudah banyak jatuh korban di antara para pengawal yang berani menyerang terlampau dekat.
Memang kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Maharya masih kalah tinggi oleh Bu-tek Siauw-jin, sedangkan Bhong-koksu pun masih kalah setingkat oleh Nirahai yang pada tahun-tahun lalu memperoleh kemajuan banyak sekali berkat mengambil inti sari ilmu-ilmu silat tinggi dari partai-partai lain.
Akan tetapi, dengan bantuan pengeroyokan banyak anak buah mereka, sedangkan para panglima yang membantu juga memiliki kepandaian lumayan, maka kakek cebol dan wanita berkerudung itu terkurung ketat dan belum juga mampu merobohkan Maharya dan Bhong-koksu. Tiba-tiba muncul belasan orang Tibet dan Mongol yang memiliki gerakan cepat dan jelas bahwa tingkat mereka lebih tinggi dari pada kepandaian para panglima. Mereka adalah bala bantuan yang didatangkan oleh seorang panglima dan kini mereka langsung menerjang maju mengeroyok Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai!
Terpaksa dua orang yang terkurung itu kini saling membantu dengan beradu punggung saling membelakangi. Bu-tek Siauw-jin sudah mandi keringat. Kakek ini telah merampas sebatang toya dan melindungi tubuhnya dengan toya itu sampai senjata itu remuk, lalu dirampasnya sebatang golok untuk melanjutkan gerakannya melindungi tubuh sendiri dari serangan yang datang bagaikan hujan lebatnya.
"Kita harus segera keluar dari sini," tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata kepada Nirahai di belakangnya.
"Hemmm, apakah engkau takut?" Nirahai balas bertanya dan ujung sepatu kirinya berhasil merobohkan seorang Nepal, dengan menendang pusar orang itu sehingga roboh berkejotan untuk tak dapat bangun kembali.
"Siapa takut? Yang terlalu adalah Pendekar Super Sakti, sampai sekarang pun tidak muncul batang hidungnya. Terlalu ini namanya! Aku sendiri yang disuruh menghadapi cacing-cacing ini!"
"Aku tidak butuh bantuan dia atau siapa juga!" Mendengar disebutnya Pendekar Super Sakti, Nirahai marah. "Kalau kau takut, pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu."
"Eh-eh, benar-benar kau wanita sombong dan galak! Untung bukan isteriku!"
Nirahai terbelalak di balik kerudungnya dan memutar pedangnya menangkis serangan yang datang bertubi-tubi sehingga tampak bunga api berpijar menyusul suara berdencing nyaring.
"Apa kau bilang? Mengapa untung?"
"Punya isteri galak macam engkau benar-benar mendatangkan neraka dunia!" Bu-tek Siauw-jin berkata lagi. "Sudah dibantu, tidak menerima malah bicara galak dan sombong. Eh, Thian-liong-pang-cu, aku menganjurkan kita keluar dari sini bukan karena takut melainkan aku khawatir saat ini perkumpulanmu sedang dihancurkan oleh mereka!"
"Apa...?"
"Bodoh! Apakah engkau melihat pembantu-pembantu mereka itu lengkap? Engkau kena dipancing di sini, kalau kau tidak cepat-cepat keluar menolong perkumpulanmu, akan habislah Thian-liong-pang!"
Karena percakapan itu dilakukan dengan suara keras, tentu saja terdengar oleh Bhong-koksu yang tertawa bergelak,
"Si Cebol busuk ini benar-benar pandai! Memang sekarang Thian-liong-pang sedang kami gempur habis, ha-ha-ha!"
"Singgg... tranggg...!"
Bhong-koksu terkejut dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang. Serangan Nirahai tadi benar-benar hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga saking marahnya sehingga tangkisan Bhong-koksu membuat kakek ini terpental dan hampir saja pundaknya tercium pedang lawan. Para pembantunya, orang-orang Tibet dan Mongol yang lihai segera mengurungnya kembali.
Kini dua orang sakti itu mengamuk lagi, akan tetapi kalau tadi mengamuk untuk membunuh lawan sebanyaknya, kini mereka mengamuk untuk membuka jalan darah dan keluar dari tempat itu, keluar dari taman istana Koksu untuk menyelamatkan Thian-liong-pang. Tentu saja Nirahai yang mempunyai keinginan ini, sedangkan Bu-tek Siauw-jin sama sekali tidak peduli akan nasib Thian-liong-pang karena dia sendiri ingin mencari muridnya di samping sudah lelah sekali bertempur sejak tadi. Sudah bosan dia dan ingin menyusul muridnya, ingin bertemu dengan Pendekar Super Sakti yang dikagumi akan tetapi yang juga menimbulkan kemendongkolan hatinya karena sampai sekian lamanya pendekar itu tidak muncul juga membantunya!
Ada pun Bhong-koksu dan Maharya yang maklum bahwa dua orang itu berusaha keluar dari kepungan, berkali-kali meneriakkan aba-aba untuk mengepung lebih ketat lagi sehingga terjadilah pertandingan yang lebih hebat dan mati-matian.....
Dugaan Bu-tek Siauw-jin memang benar. Biar pun kakek cebol ini kelihatan sinting dan ketolol-tololan, namun dia adalah seorang yang sudah berpengalaman dan berada di tempat itu selama beberapa hari, mendengar percakapan-percakapan antara Koksu dan Nirahai, percakapan-percakapan yang dilakukan para pengawal ketika dia dan muridnya ditahan, sudah cukup baginya untuk mengerti duduknya perkara.
Dugaannya bahwa Thian-liong-pang diserang selagi ketuanya mengamuk di taman, memang tepat sekali. Hal ini memang sudah direncanakan oleh Bhong-koksu yang menganggap bahwa kalau Thian-liong-pang belum dihancurkan lebih dahulu, tentu perkumpulan yang amat kuat itu akan menjadi penghalang bagi pemberontakan yang diaturnya bersama Pangeran Yauw Ki Ong karena Nirahai tentu akan memimpin perkumpulannya itu untuk membela ayahnya kaisar.
Pada saat Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk di taman istana koksu, sepasukan tentara dipimpin oleh Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong panglima tinggi besar tangan kanan Koksu, dan beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi dibantu pula oleh orang-orang yang menjadi jagoan-jagoan dari Nepal dan Tibet, menyerbu markas besar Thian-liong-pang di luar kota raja.
Karena puteri Ketua Thian-liong-pang, Milana sudah mengetahui akan rahasia Bhong-koksu dengan persekutuan pemberontaknya, maka begitu ibunya pergi meninggalkan markas untuk membuat perhitungan dengan Koksu, dara jelita ini telah mengadakan persiapan. Penjagaan dilakukan dengan ketat dan dibantu oleh para tokoh Thian-liong-pang, yaitu Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok Si Kakek Muka Singa, dan para pembantu lainnya.
Jumlah anak buah Thian-liong-pang bersama para pemimpinnya yang berkumpul di tempat itu masih ada kurang lebih seratus orang. Mereka semua siap sedia menanti perintah dari puteri ketua mereka dan di lain pihak Milana juga menanti kembalinya ibunya dengan hati penuh ketegangan karena dia maklum bahwa pasti akan terjadi sesuatu yang hebat berhubungan dengan pemberontakan yang diatur oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu itu.
Karena persiapan yang telah diadakan oleh Milana dan para tokoh Thian-liong-pang inilah, maka ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan pengawal yang dipimpin oleh Thian Tok Lama, terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat. Pihak Thian-liong-pang mengadakan perlawanan mati-matian dan karena rata-rata anggota Thian-liong-pang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, maka biar pun pasukan tentara lebih besar dan lebih kuat, tidak mudah bagi mereka untuk menumpas Thian-liong-pang tanpa jatuh banyak korban di pihak tentara.
Betapa pun juga, ilmu kepandaian Thian Tok Lama amat lihai dan betapa pun para tokoh Thian-liong-pang membela diri mati-matian, tak seorang pun di antara mereka yang mampu menandingi pendeta Lama dari Tibet yang kosen ini. Agaknya hanya Milana seoranglah yang hampir dapat mengimbanginya, tetapi pada saat penyerbuan terjadi, Milana telah dikepung dan dikeroyok oleh lima orang Nepal serta dua orang Tibet pembantu Thian Tok Lama.
Lama itu sendiri memimpin orang-orangnya menyerbu ke dalam dan mengamuk, ditahan oleh Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok. Terjadilah pertandingan dahsyat di sebelah luar dan dalam markas Thian-liong-pang. Pertandingan mati-matian yang berlangsung sampai setengah hari lebih!
Betapa gigih para tokoh Thian-liong-pang mempertahankan diri, tanpa adanya ketua mereka di situ, akhirnya mereka itu runtuh juga. Seorang demi seorang roboh dan tewas, mula-mula Tang Wi Siang tewas oleh Thian Tok Lama, kemudian Lui-hong Sin-ciang Chie Kang bahkan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok juga terluka parah dan hanya karena di situ tidak ada ketuanya maka kakek ini memaksa diri untuk lari, bukan karena dia takut mati, melainkan agar kelak dia dapat melaporkan kepada ketuanya, apa lagi setelah dilihatnya betapa puteri ketuanya tertawan oleh Thian Tok Lama.
Hanya beberapa orang saja yang berhasil lolos dari maut dalam penyerbuan itu, dan seperti juga Sai-cu Lo-mo, para anggota Thian-liong-pang yang berhasil lolos dan melarikan diri itu menderita luka-luka parah.
Karena telah dapat menghancurkan Thian-liong-pang dan terutama sekali dapat menawan Milana, Thian Tok Lama tidak melakukan pengejaran terhadap sisa orang Thian-liong-pang. Hari telah menjadi sore dan dia hendak cepat-cepat membawa Milana sebagai tawanan ke kota raja. Dara itu merupakan seorang tawanan penting sekali, karena dengan adanya dara itu sebagai sandera, tentu Ketua Thian-liong-pang tidak akan mampu berbuat hal-hal yang akan merugikan persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan Bhong-koksu.
Berangkatlah sisa pasukan pengawal yang tinggal separuh itu meninggalkan markas Thian-liong-pang yang telah terbasmi dan telah mereka bakar, menuju ke kota raja. Milana dengan kedua tangan terbelenggu, menjadi tawanan dan dinaikkan ke atas punggung seekor kuda, digiring di tengah-tengah mereka dan dikawal sendiri oleh Panglima Bhe Ti Kong, Thian Tok Lama dan para pembantunya.
Yang menjadi pelopor di depan adalah jagoan-jagoan Nepal yang bersorban dan rata-rata bertubuh tinggi besar. Mereka merasa bangga karena dalam kemenangan ini mereka melihat tanda yang baik bahwa persekutuan mereka akan berhasil, dan kalau kaisar berhasil dijatuhkan, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi bukan hanya dari kaisar baru, akan tetapi terutama dari raja-raja mereka sendiri karena Pangeran Yauw Ki Ong sudah menjanjikan persahabatan, bukan penaklukan seperti sekarang, baik kepada Nepal, Mongol mau pun Tibet.
Karena hari sudah hampir gelap dan perjalanan melalui sebuah hutan besar, maka pasukan itu melakukan perjalanan cepat. Terdengar suara derap kaki kuda mereka bergema di dalam hutan dan pasukan yang berjalan kaki mengikuti dari belakang setengah berlari. Sembilan orang jagoan Nepal yang merasa berjasa dan bergembira tidak dapat menahan kegembiraan hati mereka dan terdengarlah suara mereka bernyanyi-nyanyi dalam bahasa Nepal ketika mereka membedal kuda tunggangan mereka mendahului pasukan karena memang mereka menjadi pelopor. Aneh dan janggal sekali suara mereka itu, suara asing yang bergema di sepanjang hutan yang dilalui pasukan itu.
Kadang-kadang suara nyanyi hiruk pikuk panjang pendek itu diseling suara ketawa dan teriakan-teriakan mereka bersendau gurau. Semua ini diperhatikan dan didengarkan oleh Milana yang duduk dengan sikap tenang di atas kudanya. Dara perkasa ini merasa berduka mengingat akan kehancuran Thian-liong-pang dan kematian tokoh perkumpulan ibunya. Namun sedikit pun dia tidak merasa gelisah atau takut. Hanya terpaksa dia ditawan. Akan tetapi setiap saat ia siap untuk melawan dan memberontak jika terdapat kesempatan. Satu-satunya hal yang dikhawatirkannya hanyalah keadaan ibunya. Ibunya belum tahu akan mala petaka yang menimpa Thian-liong-pang dan dia tidak tahu di mana adanya ibunya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ibunya juga terancam bahaya besar yang direncanakan oleh Koksu dan kaki tangannya.
Dengan sikap angkuh dan agung Milana mengerling kepada Panglima Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama dan yang menunggang kuda di dekatnya. Panglima itu menjadi orang kepercayaan Koksu dan kedua orang ini, terutama Thian Tok Lama yang mengawal dan menjaganya. Kalau saja tidak ada pendeta Tibet itu, agaknya masih ada harapan baginya untuk meloloskan diri. Akan tetapi pendeta gundul itu benar-benar amat lihai.
"Tidak enakkah dudukmu, Nona? Menyesal sekali, terpaksa kami membelenggu kedua tanganmu," terdengar Panglima Bhe Ti Kong berkata.
Milana tidak menjawab, juga tidak menoleh sama sekali, melainkan tetap duduk tegak memandang ke depan seolah-olah tidak mendengar suara panglima itu. Betapa pun juga, dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, malah lebih jelas lagi, puteri dari Puteri Nirahai! Dia adalah cucu kaisar! Kedudukannya jauh lebih tinggi dari pada kedudukan seorang panglima pembantu Koksu. Dengan pikiran ini, Milana dapat duduk dengan tegak dan sikap agung dan sikap ini terasa sekali oleh Bhe Ti Kong mau pun Thian Tok Lama.
"Hemm, tiada gunanya bersikeras. Hanya orang bodoh dan tidak bijaksana saja yang tidak mampu menghadapi kekalahan dan berkeras kepala." Kembali Bhe Ti Kong berkata karena dia pun tahu bahwa dara jelita dan perkasa itu adalah cucu kaisar, merupakan seorang tawanan yang amat penting dan membuat dia merasa tidak enak sendiri.
Milana tersenyum mengejek, mengerling dan berkata, "Perlu apa banyak cerewet? Tunggulah saja kalau sampai kalian terjatuh ke tangan ibuku!"
Sebelum Bhe Ti Kong atau Thian Tok Lama menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan di sebelah depan. Sampai tiga kali terdengar jerit mengerikan itu, jerit memanjang, jerit orang yang ketakutan, jerit kematian. Setelah gema suara jerit itu lenyap, yang terdengar hanya derap kaki kuda dan suasana menjadi menyeramkan dan menegangkan sekali.
"Harap Ciangkun menjaga dia baik-baik, pinceng akan mengadakan pengawalan di belakang. Kumpulkan semua tenaga untuk mengawal dia," kata Thian Tok Lama.
Bhe Ti Kong mengangguk, kemudian memanggil para panglima dan jagoan-jagoan Nepal. Pasukan itu bergerak maju, Milana di tengah-tengah mereka, dijaga ketat.
"Apakah yang terjadi? Siapa yang menjerit tadi?" Bhe Ti Kong bertanya.
Para pelopor, jagoan-jagoan Nepal itu mengangkat bahu. "Kawan-kawan yang berada di depan tentu akan dapat memberi keterangan nanti," kata mereka. Mereka adalah tiga orang di antara sembilan jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Ada pun yang enam orang lain telah mendahului gerakan pasukan sebagai pelopor dan pembuka jalan, juga sebagai pengawas agar jalan yang akan mereka lalui aman.
Milana tetap duduk tegak di atas kudanya dengan tenang. Dikurung di tengah-tengah antara para panglima dan jagoan Nepal, kudanya lari mencongklang, membuat tubuhnya terayun-ayun mengikuti gerakan kuda, dan rambut dara yang panjang itu berkibar. Mereka memasuki bagian hutan yang lebat dan keadaan sudah mulai suram dan agak gelap.
"Haiii...! Lihat di depan itu...!" Tiba-tiba Bhe Ti Kong berteriak, disusul seruan-seruan kaget para jagoan Nepal yang cepat membalapkan kuda mereka menuju ke depan di mana tampak sesosok tubuh orang bersorban membujur di atas tanah.
Milana memandang dengan jantung berdebar. Dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa orang yang rebah di atas tanah di tengah jalan itu tentulah seorang di antara jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi. Dugaannya memang tepat. Setelah mereka datang dekat dan para jagoan Nepal bersama Panglima Bhe Ti Kong meloncat turun dari kuda memeriksa, ternyata bahwa tubuh itu adalah mayat seorang di antara para jagoan Nepal yang mendahului jalan, rebah telentang dan tewas dengan sebatang pisau, pisaunya sendiri yang menjadi kebanggaan para jagoan Nepal itu, menancap di tenggorokannya!
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda membalap dari arah depan dan belakang. Hampir berbareng dua orang penunggang kuda itu tiba di situ. Yang datang dari belakang adalah Thian Tok Lama yang telah mendengar akan kematian seorang pembantunya dari Nepal, ada pun yang datang dari depan adalah seorang jagoan Nepal lain yang bermuka pucat dan yang begitu datang melapor dengan suara terengah-engah kepada Thian Tok Lama, "Celaka... di depan ada lagi tiga orang teman yang tewas...!"
Thian Tok Lama terkejut dan marah sekali. Sambil mengeluarkan suara menggereng keras dia melayang turun dari atas punggung kudanya, berdiri dan memandang ke depan, mulutnya mengeluarkan suara yang nyaring melengking sampai bergema di seluruh hutan.
"Pinceng Thian Tok Lama memimpin pasukan khusus dari Koksu, siapakah begitu berani mati mengganggu kami dan membunuh empat orang anggota pengawal pasukan kami?"
Semua orang diam dengan hati tegang membuka mata dan telinga menanti jawaban dan keadaan di hutan itu sunyi sekali, sunyi dan menyeramkan. Sampai dua kali Thian Tok Lama mengulang teriakannya namun belum juga ada jawaban.
Suara Milana yang tertawa mengejek memecahkan kesunyian yang menyeramkan itu. "Hem, mengapa kalian begini ketakutan?" Dara itu mengejek, hanya untuk memperolok orang-orang yang dibencinya itu.
Dia sendiri tidak tahu siapa pembunuh orang-orang Nepal itu, tidak dapat menduga apakah pembunuh itu kawan ataukah lawan. Melihat caranya membunuh jagoan-jagoan Nepal yang lihai jelas dapat diduga bahwa pembunuhnya tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi dia yakin bukan ibunya yang melakukan hal itu. Cara yang dipergunakan ibunya selalu terbuka, tidak suka ibunya membunuh lawan secara menggelap macam itu. Ibunya adalah seorang gagah perkasa sejati sedangkan cara yang dipergunakan pembunuh ini menyeramkan penuh rahasia.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, seolah-olah menyambut atau menjawab pertanyaan mengejek dari Milana tadi.
"Kalau Nona Milana tidak segera dibebaskan, sebentar lagi bukan hanya para pelopor yang tewas, melainkan seluruh pasukan! Berani melawan dan menghina tunanganku, berarti bosan hidup!"
Diam-diam Milana terkejut dan kecewa sekali mendengar suara yang dikenalnya itu. Dia merasa gelisah. Tahulah dia bahwa yang membunuh orang-orang Nepal itu adalah pemuda Pulau Neraka yang amat dibencinya itu, dibenci akan tetapi juga ditakutinya. Namun tentu saja dara jelita ini tidak memperlihatkan rasa khawatirnya dan masih tetap bersikap biasa dan tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang membuat dia merasa khawatir.
Tentu saja Thian Tok Lama menjadi marah sekali. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa orang yang mengeluarkan kata-kata sombong itu, akan tetapi dia menduga bahwa tentulah orang itu berniat merampas tawanan. Satu-satunya orang yang ditakutinya di dunia ini hanyalah Pendekar Super Sakti, dan biar pun dia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang juga amat lihai dan mungkin saja ketua itu tiba-tiba muncul untuk menolong puterinya, namun dengan bantuan para jagoan-jagoan Nepal dan pasukannya yang kuat, dia merasa cukup kuat menghadapi bekas puteri kaisar itu.
"Siapa berani main-main dengan pinceng? Harap suka keluar untuk bicara!" Kembali Thian Tok Lama mengeluarkan seruan dengan pengerahan khikang hingga suaranya mengandung getaran berpengaruh.
"Blarrr...!" Sebuah ledakan keras mengejutkan semua orang. Tempat itu menjadi gelap tertutup asap hitam. Seorang panglima yang berlaku waspada cepat meloncat dekat kuda yang diduduki Milana untuk menjaga jangan sampai dalam keadaan gelap itu tawanan yang penting ini dilarikan orang.
"Pasukan tenang, jangan gugup dan mudah dikacau orang. Asap ini sama sekali tidak berbahaya...!" Thian Tok Lama berseru ketika ia mendapat kenyataan bahwa asap hitam itu tidak mengandung racun.
Sedangkan dia sendiri diam-diam bergerak di dalam asap, memasang mata untuk mencari musuh yang melepas asap hitam tebal. Akan tetapi tidak tampak ada gerakan sesuatu, maka dia pun hanya berdiri dan bersikap waspada karena untuk bergerak di dalam selimutan asap gelap itu benar-benar merupakan bahaya, salah-salah bisa menyerang anak buah sendiri.
"Wir-wir-wirr-wirrr...!" Asap hitam membuyar tertiup angin yang menyambar-nyambar sehingga tak lama kemudian tempat di sekitar itu tidak begitu gelap lagi. Asap hitam mulai menipis.
Thian Tok Lama memandang dengan mata terbelalak, kaget bukan main melihat bahwa angin yang menyambar-nyambar mengusir asap hitam itu keluar dari gerakan kedua lengan seorang pemuda tampan yang tahu-tahu telah berdiri di dekat kuda yang ditunggangi Milana, sedangkan seorang panglima tua yang tadi mendekati dan menjaga tawanan telah menggeletak tak bernyawa di kaki kudanya sendiri.
"Keparat, siapa engkau...?" Thian Tok Lama sudah menggerakkan tangan dan siap menyerang.
Pemuda itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan terdengar suaranya tertawa. Thian Tok Lama terasa seram. Pemuda itu tertawa, atau lebih tepat memperdengarkan suara tertawa, akan tetapi mulut dan matanya tidak tertawa, hanya bibirnya bergerak sedikit. Persis mayat tertawa!
"Ha-ha-ha-ha, pendeta Lama. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan sembrono menggerakkan tangan menyerang!"
Sikap dan kata-kata pemuda itu membuat Thian Tok Lama ragu-ragu dan curiga. Dia tidak tahu siapakah pemuda aneh ini, kawan ataukah lawan karena keadaan masih agak gelap, bukan hanya gelap oleh asap, akan tetapi karena senja mulai datang dan tempat itu penuh dengan pohon-pohon besar. Akan tetapi ada sesuatu yang seolah-olah membisikkan kewaspadaan kepadanya, maka sekarang dia melangkah maju dan memandang penuh perhatian.
Tiba-tiba pendeta Lama itu terkejut. Kini dia mengenal pemuda itu, seorang pemuda yang masih remaja, akan tetapi yang memiliki sikap aneh luar biasa. Pemuda tampan yang mempunyai mata seperti mata iblis, mukanya agak pucat dan gerak-geriknya membayangkan ketinggian hati yang tidak lumrah. Pemuda dari Pulau Neraka yang pernah muncul di padang tandus ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan dan pertandingan! Hatinya menjadi agak lega. Pemuda ini bukan tokoh Thian-liong-pang, dan sebagai seorang tokoh Pulau Neraka, pasti sekali bukan sahabat Thian-liong-pang, sungguh pun dia dan pasukannya tidak dapat mengharapkan sikap baik dari penghuni Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah itu.
"Orang muda, kalau pinceng tidak salah mengenal orang, engkau adalah orang yang pernah muncul sebagai tokoh Pulau Neraka, benarkah?"
Mendengar ucapan Thian Tok Lama itu, para panglima dan jagoan Nepal terkejut, dan diam-diam mereka bersiap-siap dengan pasukan mereka mengurung pemuda itu. Sedangkan Milana yang diam-diam merasa cemas juga, tetap bersikap dingin dan tidak mau mengacuhkan mereka semua, duduk diam dan tegak di atas kudanya, memandang kejauhan.
Pemuda itu adalah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka. Pemuda yang tergila-gila kepada Milana itu, mendengar pertanyaan Thian Tok Lama tersenyum dingin dan hanya mengangguk dan memandang rendah, sama sekali tidak menjawab karena dia sudah menoleh lagi kepada Milana dengan pandang mata penuh kemesraan!
Melihat sikap pemuda itu, diam-diam Thian Tok Lama mendongkol sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai dan aneh, akan tetapi dia sendiri bukanlah seorang biasa yang mudah merasa gentar menghadapi lawan semuda itu! Apa lagi melihat bahwa pemuda itu hanya seorang diri, tidak ditemani dua orang kakek seperti setan yang pernah menggegerkan pertemuan yang diadakan Thian-liong-pang. Dengan adanya pasukan dan para pembantunya, tentu saja dia tidak takut menghadapi pemuda yang masih amat muda itu.
"Orang muda, pinceng harap engkau tidak begitu nekat untuk menentang pasukan pemerintah! Apakah engkau yang telah lancang membunuh orang-orang kami itu?" Kembali Thian Tok Lama bertanya.
Dengan sikap acuh tak acuh, Wan Keng In memaksa mukanya mengalihkan pandang mata dari wajah Milana yang jelita kepada wajah Thian Tok Lama yang gemuk. Cuping hidungnya yang tipis bergerak, mengeluarkan dengus menghina, lalu ia berkata, "Thian Tok Lama, tak perlu menggertak aku dengan nama pasukan pemerintah. Aku tahu ini pasukan apa, dan tahu pula apa yang akan dilakukan oleh Koksu bersama Pangeran Yauw Ki Ong. Ha-ha-ha, apa kau kira aku tak melihat betapa kalian membasmi Thian-liong-pang? Sungguh bagus...!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Thian Tok Lama mendengar ucapan itu, dan semua anggota pasukan sudah meraba senjata. Akan tetapi karena pendeta Lama itu belum memberi aba-aba, mereka semua hanya bersiap-siap menghadapi pemuda yang mendatangkan suasana menyeramkan itu.
"Orang muda, di pihak siapakah engkau berdiri?" Thian Tok Lama memancing, tidak mau berpura-pura lagi karena maklum bahwa dia menghadapi orang luar biasa.
"Tentu saja di pihakku sendiri, tolol!" Wan Keng In menjawab. "Kalian membasmi Thian-liong-pang bukan urusanku karena Ketua Thian-liong-pang berani menghina dan menolak pinanganku. Tetapi engkau telah berani menawan dan menghina tunanganku ini, hemm..., benar-benar tak boleh dibiarkan begitu saja. Kalau Koksu tidak minta maaf kepada Nona Milana, aku akan membasmi dia dan semua kaki tangannya!"
"Manusia sombong...!" Bhe Ti Kong berseru marah sekali.
Panglima ini adalah seorang yang tangguh, kasar dan setia kepada Koksu. Sudah banyak dia melihat orang pandai namun orang-orang pandai tunduk dan takut kepada Koksu, maka kini melihat seorang pemuda bersikap demikian angkuh, dan melihat sikap Thian Tok Lama yang dianggapnya terlalu merendahkan kedudukan dan wibawa Koksu, dia menjadi marah sekali.
Sambil membentak demikian, Bhe Ti Kong sudah menerjang maju, meloncat turun dari kudanya dan langsung menyerang pemuda itu dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sebuah tombak cagak yang bergagang pendek. Gerakan panglima ini kuat sekali, dan bagaikan seekor burung rajawali dia menyambar dari atas, langsung tombaknya melakukan gerakan serangan beruntun sampai tiga kali ke arah kepala, leher, dan dada Wan Keng In.
"Plak-plak-plak... bressss...!"
Enak saja Wan Keng In menyambut serangan-serangan itu. Tanpa menggeser kedua kakinya yang masih berdiri terpentang lebar, dengan sikap acuh tak acuh, dia tadi menggerakkan tangan kiri, menyampok ke arah tombak setiap kali ujung tombak itu menyambar. Tiga kali ia menangkis dan yang terakhir kalinya disusul dengan dorongan yang membuat tubuh Panglima Bhe Ti Kong terbanting ke atas tanah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, para jagoan Nepal dan para panglima terkejut dan sudah mencabut senjata masing-masing, bergerak hendak mengeroyok.
"Tahan...!" Thian Tok Lama mengangkat tangan ke atas sehingga pasukannya tidak berani maju, hanya menoleh dan memandang kepadanya penuh pertanyaan. Thian Tok Lama melangkah maju menghadapi Wan Keng In yang tersenyum mengejek.
"Orang muda, engkau siapakah dan apa kehendakmu? Berikan penjelasan sebelum kami terlanjur turun tangan yang akan mendatangkan penyesalan karena kami akan lebih suka menarikmu sebagai sahabat. Pada waktu ini, Koksu membutuhkan bantuan banyak orang pandai dan kalau engkau suka membantunya, pinceng yakin bahwa kelak engkau akan memperoleh kemuliaan."
Pendeta itu memang cerdik sekali. Biar pun dia tidak takut terhadap pemuda ini, akan tetapi kalau sampai terjadi bentrokan, tentu akan jatuh banyak korban di antara pembantu-pembantunya melihat pemuda itu telah mengalahkan Bhe Ti Kong secara lihai bukan main, dalam segebrakan saja. Apa lagi kalau diingat bahwa siapa tahu, muncul pula dua orang kakek setan yang mengerikan itu! Maka, jauh lebih baik membujuk pemuda ini, karena kalau dia berhasil menarik pemuda lihai ini sebagai sekutu, tentu Koksu akan menjadi girang bukan main dan akan memujinya.
Wan Keng In mengeluarkan suara mendengus marah. "Huhhh! Kau kira aku ini orang macam apa yang membutuhkan anugerah Koksu? Kalau Koksu sendiri mau datang ke sini dan minta maaf kepada Nona Milana, kemudian mengundang aku, barulah aku akan pikir-pikir tentang kerja sama yang kau sebut-sebut itu."
Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian Tok Lama mendengar ucapan yang amat sombong itu! Namun, sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda dari Pulau Neraka ini adalah seorang anak manja yang sejak kecil memperoleh pendidikan kesaktian tinggi sehingga terlalu percaya kepada kepandaian sendiri, juga karena ada yang diandalkan. Maka dia bersikap sabar, bahkan tersenyum dan berkata,
"Ha-ha-ha, tenaga seorang pandai memang amat mahal! Seorang pemimpin yang bijaksana tidak akan segan-segan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan orang pandai. Menteri Kiang Cu Ge pun baru mau mengabdi kepada kaisar setelah kaisar datang sendiri mengundangnya. Pantas saja kalau Sicu (Orang Muda Gagah) mencontoh perbuatannya. Namun, sebelum terbukti cukup berharga untuk diundang sendiri oleh Koksu, Sicu harus lebih dulu diuji kepandaiannya. Pinceng adalah seorang pembantu Koksu yang telah memperoleh kepercayaan, biarlah pinceng memberanikan diri untuk menguji kepandaian Sicu, kalau Sicu suka memperkenalkan nama."
Mendengar ucapan dan melihat sikap menghormat ini, Wan Keng In yang biasanya dimanja menjadi bangga sekali. Pendeta itu adalah tangan kanan Koksu Negara, dan sudah menyamakannya dengan Kiang Cu Ge, tokoh manusia dewa dalam sejarah lama (cerita Hong-sin-pong) yang dipuja semua manusia karena kebijaksanaannya sehingga sekalian setan dan iblis di neraka pun tunduk kepadanya!
"Thian Tok Lama, aku Wan Keng In pun bukanlah seorang yang tidak tahu siapa yang pada waktu ini patut dibantu. Aku tadi membunuh orang-orangmu karena aku marah melihat kekasih dan tunanganku ditawan. Kalau engkau hendak mengujiku, silakan, akan tetapi jangan menyesal kalau engkau tewas dalam pertandingan ini!" Benar-benar ucapan yang amat sombong, akan tetapi pada saat itu Wan Keng In sudah mencabut pedangnya yang membuat Thian Tok Lama terbelalak kaget dan ngeri. Pedang di tangan pemuda itu mengeluarkan sinar maut yang berkilat-kilat.
"Aihh... bukankah Lam-mo-kiam di tanganmu itu, Sicu?"
Wan Keng In memandang pedangnya dan mengangguk bangga.
"Wan-sicu, pinceng percaya bahwa Sicu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarlah tidak perlu lagi pinceng menguji dan marilah Sicu langsung ikut bersama pinceng pergi menghadap Koksu." Gentar juga pendeta ini melihat Lam-mo-kiam.
Wan Keng In masih melintangkan pedangnya di depan dada, alisnya berkerut, lalu dia menjawab, "Dengan dua syarat!"
"Katakanlah, pinceng yakin Koksu akan dapat memenuhi syarat Sicu."
"Pertama, Nona Milana ini adalah kekasih dan tunanganku, tidak boleh diganggu dan bahkan harus disyahkan menjadi isteriku. Kedua, aku menjadi pembantu langsung dari Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, dan hanya mau menjadi bawahan orang yang dapat mengalahkan kepandaianku!"
Diam-diam Thian Tok Lama tertawa dalam hatinya. Orang muda ini benar-benar sombong dan berkepala dingin! Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. "Koksu adalah seorang yang ahli dalam memilih pembantu, kalau sudah bertemu dengan Wan-sicu dan menyaksikan kelihaian Sicu, tentu akan suka memberikan kedudukan yang tinggi. Tentang Nona ini... ehhh...!"
Tiba-tiba Thian Tok Lama tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat betapa kuda yang ditunggangi Milana itu mendadak meloncat ke depan dan kabur! Kiranya ketika tadi Milana mendengar percakapan di antara mereka dan melihat perkembangan yang tidak menguntungkan baginya, dara ini menjadi makin cemas.
Tadinya dia mengharap akan terjadi bentrokan antara pihak Thian Tok Lama dan Wan Keng In sehingga dalam kekacauan itu dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Akan tetapi dengan kecewa dan mendongkol dia melihat perkembangan yang jauh berbeda. Kedua orang itu bahkan bersekutu, maka habislah harapannya untuk melihat mereka bertanding. Karena tidak melihat jalan lain, dan merasa ngeri membayangkan terjatuh ke tangan pemuda gila itu, dia lalu berusaha mengaburkan kudanya sambil mengerahkan tenaga sehingga belenggu kedua tangannya putus.
"Ha-ha, tidak perlu khawatir, aku akan menangkapnya kembali. Heiii, manisku, engkau hendak pergi ke mana? Jangan tinggalkan aku, kekasih...!" Wan Keng In berseru dan tubuhnya sudah meluncur ke depan cepat sekali.
Milana maklum bahwa dia harus melawan mati-matian, maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangannya dan bekas tali yang tadi membelenggu tangannya, kini meluncur menjadi sinar hitam menyambut tubuh Wan Keng In yang mengejarnya.
"Ha-ha-ha, engkau mau main-main denganku?" Wan Keng In tertawa, tangan kiri menyambut tali itu. Menangkap ujungnya dan terus disentakkan ke atas, tangan kanan dipukulkan ke depan ke arah tubuh belakang kuda yang membalap.
Kuda yang ditunggangi Milana mengeluarkan suara meringkik keras dan roboh berkelojotan terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Wan Keng In, sedangkan tubuh dara itu terlempar ke atas ketika tali yang dipergunakan menyerang pemuda itu tadi tertangkap oleh Keng In dan disentakkan ke atas. Pemuda itu benar-benar hebat sekali ilmu kepandaiannya dan kini dia sudah meloncat ke depan untuk menyambut tubuh Milana yang terlempar ke atas.
"Ehhhh...?" Wan Keng In terbelalak heran dan memandang ke atas.
Dia merasa kecelik karena tubuh dara yang dinantikan itu sama sekali tidak kelihatan melayang turun, bahkan ketika ia menarik lagi tali yang dicengkeramnya, tali itu putus dan hampir menghantam mukanya sendiri. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika melihat bahwa kini Milana telah duduk di atas dahan pohon tinggi, berhadapan dengan seorang pemuda dan mereka asyik bercakap-cakap!
Thian Tok Lama dan para panglima serta jagoan-jagoan Nepal sudah memburu ke bawah pohon, dan kini mereka itu mengurung pohon bahkan pasukan lalu dikerahkan untuk menjaga di sekeliling pohon supaya gadis tawanan itu jangan sampai dapat meloloskan diri.
"Milana, manisku, turunlah engkau!" Wan Keng In berkata halus, dan dia pun belum mengenal siapa adanya laki-laki muda yang bercakap-cakap dengan dara itu.
Akan tetapi baik Milana mau pun pemuda di atas pohon itu tidak mempedulikannya, tidak mempedulikan mereka yang mengurung pohon karena mereka berdua itu sedang saling berbantah. Melihat sikap mereka itu, mau tak mau Wan Keng In mendengarkan percakapan mereka. Dia merasa heran dan marah bukan main!
Pemuda yang berada di atas itu bukan lain adalah Gak Bun Beng! Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda sakti ini meninggalkan markas pasukan istimewa pembantu para pemberontak di perbatasan utara, kemudian dia menuju ke kota raja. Tanpa disengaja, secara kebetulan sekali di dalam hutan itu dia melihat pasukan yang dipimpin Thian Tok Lama sedang diganggu oleh Wan Keng In.
Tentu saja Bun Beng menjadi terkejut sekali dan girang melihat musuh-musuh besarnya, terutama sekali Thian Tok Lama dan Bhe Ti Kong, dua orang di antara mereka yang dahulu mengeroyok dan membunuh gurunya, Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi ia tercengang melihat Wan Keng In dan ia segera mengenal pemuda Pulau Neraka yang amat lihai itu.
Timbul kemarahannya karena ia teringat betapa dia pernah dikalahkan dan dihina oleh pemuda iblis itu, bahkan pedang Lam-mo-kiam telah dirampas oleh pemuda Pulau Neraka yang semenjak kecil sudah amat jahat itu. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut sekali adalah ketika ia melihat Milana duduk di atas punggung kuda sebagai seorang tawanan! Bertemu dengan semua ini, Bun Beng bersikap hati-hati.
Tentu saja paling utama dia harus menolong Milana, dara jelita yang telah melepas budi banyak sekali kepadanya. Namun dia maklum bahwa bukanlah hal yang mudah untuk menolong Milana dari tangan pasukan yang kuat dan dipimpin orang-orang pandai itu, apa lagi di situ terdapat pemuda Pulau Neraka. Karena inilah dia bersabar dan bersembunyi sambil mengintai dan mendengarkan mereka.
Mula-mula dia pun merasa heran ketika mendengar percakapan antara Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan seperti juga Milana, diam-diam dia mengharapkan kedua pihak ini akan bertanding sehingga dia mendapat banyak kesempatan untuk menolong dara itu. Akan tetapi betapa kecewanya ketika akhirnya pemuda Pulau Neraka itu dapat terbujuk dan bahkan bersekutu, maka terpaksa dia siap untuk menggunakan kekerasan menyelamatkan Milana. Pada saat itulah Milana merenggut tali belenggunya dan berusaha mengaburkan kuda.
Melihat Milana dikejar Wan Keng In, kudanya dirobohkan dan dara itu sendiri terlempar ke atas, Bun Beng cepat melayang ke atas pohon besar dan menyambar lengan dara itu. Bagaikan dalam mimpi Milana melihat Bun Beng di depannya, di atas dahan pohon tinggi sehingga untuk beberapa lamanya dara ini hanya bisa terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan kedua pipinya berubah merah sekali, jantungnya berdebar.
"Kau...?" Hanya demikian dia dapat mengeluarkan suara.
"Nona, syukur sekali secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Serahkan mereka itu kepadaku, akan tetapi engkau harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Berbahaya sekali di sini."
Milana menggeleng kepala keras-keras. "Membiarkan engkau menghadapi mereka sendiri dan aku lari? Tidak! Aku akan membantumu melawan mereka!"
"Aahhh, jumlah mereka terlalu banyak dan kulihat orang-orang pandai di antara mereka. Harap engkau suka menurut, Nona. Sungguh berbahaya sekali kalau memaksa diri melawan."
"Hemm, Gak-twako. Kau bilang berbahaya bagiku kalau melawan, habis engkau sendiri?"
"Nona..."
"Gak-twako, begini sombongkah engkau? Sejak dahulu?"
Bun Beng gelagapan ditegur seperti itu dan dia memandang dengan mata terbelalak lebar. "Sombong! Aku...?"
"Apa kau tidak suka bersahabat denganku?"
"Tentu saja, aku..."
"Sudah mengenal sejak dahulu, mengapa engkau masih selalu sungkan dan menyebut aku nona? Namaku Milana dan engkau tahu ini, bukan?"
"Habis... habis...?"
"Aku tidak mau kau sebut nona! Nah, sebut namaku atau adik, atau... sudah jangan mengenal aku lagi kalau kau begini angkuh!"
"Eh... ohh... Nona... eh, Adik Milana! Jangan main-main begini...!" Bun Beng menegur, terheran-heran mengapa dalam keadaan terancam seperti itu dara yang dahulu bersikap halus dan lemah lembut itu meributkan soal sebutan!
"Gak-twako, tidak girangkah engkau bertemu denganku?"
Bun Beng makin bingung sehingga memandang dengan alis berkerut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan dara ini keracunan, atau telah bingungkah pikirannya? Ia mengangguk.
"Aku... aku girang sekali, Twako tidak tahu engkau betapa girangku... dan ahhh... kau... kau tolonglah aku, Twako...!" Tiba-tiba Milana terisak menangis dan ketika dengan kaget Bun Beng menyentuh lengannya, dara itu memeluknya dan menangis terisak-isak, menyembunyikan muka di dadanya!
Tentu saja Bun Beng menjadi bengong! Dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Milana telah menderita guncangan batin yang cukup hebat, menderita tekanan batin yang ditahan-tahannya semenjak dia melihat Thian-liong-pang terbasmi, pembantu-pembantu ibunya gugur dan dia sendiri menjadi tawanan. Dara itu tentu saja berduka sekali melihat perkumpulan ibunya hancur, melihat Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang dan yang lain-lain roboh dan tewas, dan kemudian dia sendiri menjadi tawanan, bahkan kemudian terjatuh ke tangan Wan Keng In pemuda yang mengerikan, sedangkan dia belum tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya.
Dalam keadaan hampir putus asa itu, secara tiba-tiba, secara tidak terduga-duga, di atas pohon, muncul Gak Bun Beng, orang yang selama ini dirindukannya! Inilah sebabnya mengapa dara itu bersikap demikian aneh, seperti orang mabok atau seperti orang yang berubah ingatannya dan kini dia menangis tersedu-sedu, teringat akan semua kedukaannya dan hanya mengharapkan bantuan orang yang amat dipercayanya ini.
Tentu saja Bun Beng salah sangka. Apakah dara ini telah berubah menjadi seorang yang amat penakut dan menangis menghadapi ancaman bahaya? Jantungnya berdebar tidak karuan. Dara yang menangis di dadanya itu membuat dia merasa betapa dekatnya wajah jelita itu yang menempel di dadanya, terasa olehnya kehangatan air mata membasahi kulit dada dan tercium olehnya harum rambut Milana.
"Nona... eh, Moi-moi (Adik)... hentikan tangismu. Jangan takut, aku akan melindungimu dari mereka itu, percayalah..."
"Keparat, mampuslah engkau!" Tiba-tiba seorang panglima meloncat ke atas dan menggerakkan goloknya membacok Bun Beng.
"Prakk..., bresss...!"
Tubuh panglima itu terlempar dan terbanting roboh ke atas tanah oleh tangkisan Bun Beng.
"Aku tidak takut... ah, Twako... kau tidak tahu... mereka telah membasmi Thian-liong-pang... Bibi Tang Wi Siang dan para paman... mereka telah tewas..."
Terkejutlah Bun Beng. Dia sudah tahu bahwa para pemberontak yang dipimpin Koksu memusuhi Thian-liong-pang, akan tetapi tidak disangkanya pasukan ini demikian mudah membasmi Thian-liong-pang.
"Mana mungkin? Di mana ibumu?" Dia tidak dapat percaya Thian Tok Lama dan kawan-kawannya itu dapat menandingi Ketua Thian-liong-pang yang demikian sakti.
"Ibu tidak ada, mungkin di kota raja. Kami melawan mati-matian, akan tetapi percuma, dan aku tertawan..."
Bun Beng mengangguk-angguk dan tiba-tiba dia melakukan gerakan menampar ke bawah.
"Desss...!"
Dahan di mana Bun Beng berjongkok itu tergetar hebat, akan tetapi tubuh Wan Keng In yang tadi meloncat dan memukul juga terdorong kembali ke bawah saat pukulannya tertangkis oleh Bun Beng. Diam-diam Bun Beng terkejut. Pemuda Pulau Neraka itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya! Di lain pihak Wan Keng In yang belum mengenal Bun Beng karena di dalam pohon sudah mulai gelap, lebih kaget lagi melihat ada orang yang mampu menangkis pukulannya bahkan membuat tubuhnya seperti dibanting ke bawah dengan kekuatan dahsyat!
"Milana," Bun Beng berbisik, tidak bersikap sungkan lagi. "Sekarang tak banyak waktu lagi. Mereka itu benar-benar lihai dan jumlahnya banyak. Kalau kita berdua melawan, mungkin engkau akan tertangkap lagi atau terluka. Engkau harus lari lebih dulu. Tunggu setelah aku mengamuk di bawah, engkau melompat jauh dari tempat ini, melalui pohon-pohon dan menghilang dalam gelap. Bawa pedang ini..."
"Tidak! Aku akan melawan, bertanding di sampingmu sampai mati..."
Bun Beng merasa lehernya seperti dicekik mendengar ini. "A... apa...?"
"Gak-twako, apa masih perlu aku menjelaskan lagi? Tidak cukupkah ketika dahulu aku membela dan melindungimu ketika kau terluka?"
Gemetar seluruh tubuh Bun Beng, tangannya menggigil ketika ia memegang tangan Milana. "Tidak cukup...? Duhai... terlalu cukup, terlalu banyak... bahkan itulah yang menyiksa hatiku. Milana... betapa aku berani menyatakan kekurang-ajaran ini? Akan tetapi..., ahhh, kata-katamu tadi... Milana, orang yang paling kumuliakan di dunia ini karena baik budimu, yang paling kucinta di dunia ini... maafkan aku... akan tetapi aku cinta padamu... dan... dan kau bilang ingin bertanding di sampingku sampai mati...? Benarkah pendengaranku?"
"Singg...! Krekkk... plakkk! Aduhhh...!"
Tubuh seorang jagoan Nepal yang tadi menyerang dengan tombaknya terpelanting, tombaknya patah dan kepalanya pecah oleh pukulan Bun Beng yang menangkis dan memukul tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Milana.
Sepasang mata itu basah air mata, akan tetapi bibir yang gemetar tersenyum. "Gak-twako, mengapa baru sekarang kau menyatakan isi hatimu yang sejak dahulu tampak membayang dalam pandang matamu?"
"Milana... betapa aku berani... kau... seorang dara mulia, puteri Ketua Thian-liong-pang, puteri Pendekar Super Sakti yang kumuliakan, malah cucu kaisar sendiri! Ya Tuhan, betapa beraniku menyatakan cinta! Kalau tidak mendengar ucapanmu tadi... perasaan hatiku akan kusimpan sebagai rahasia sampai mati."
"Terima kasih, Twako. Sekarang aku tidak ragu-ragu lagi! Aku puas, aku bahagia. Apa pun yang akan terjadi, biar orang sedunia menentangnya, aku akan selalu berbahagia di sampingmu, hidup atau mati. Marilah, Twako. Mari kita menerjang ke bawah, kita lolos dan selamat berdua atau mati bersama!"
"Tidak...! Seribu kali tidak! Setelah aku tahu bahwa harapan hidupku tidak sia-sia, setelah aku tahu bahwa engkau pun mencintaku, mana mungkin aku membiarkan engkau terancam bahaya? Tidak! Milana, dengarlah baik-baik. Lihat pedang ini. Ini adalah Hok-mo-kiam yang sudah dapat kurampas kembali. Bawalah pedang ini, cari ibumu di kota raja dan serahkan pedang ini kepada ayahmu, Pendekar Super Sakti. Dengan pedang ini engkau akan dapat melindungi dirimu. Aku akan hadapi mereka di bawah itu... hemmm... akan kuhajar cacing-cacing busuk yang telah berani menghina dewi pujaan hatiku!"
"Tidak, Twako..."
"Husshhh, demi cinta kita, taatilah aku sekali ini saja, sayang! Aku tidak akan dapat memaafkan engkau, memaafkan aku sendiri atau siapa juga kalau sampai engkau ikut turun dan menderita celaka. Nah, aku terjun, siaplah meloncat dan lari. Sampai jumpa, sayang!" Tanpa menanti jawaban, Bun Beng yang hampir bersorak saking gembira hatinya itu turun. Dia hanya mendengar suara Milana terisak, akan tetapi hatinya lega ketika dia mulai merobohkan beberapa orang pengawal dan memandang ke atas, pohon itu telah kosong dan bayangan Milana telah lenyap.
"Thian Tok Lama pendeta palsu!" Dia membentak ketika melihat kakek itu membuat gerakan hendak melakukan pengejaran kepada Milana. Sebuah pukulan kilat yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang mengejutkan pendeta itu, apa lagi ketika dia mengelak sambil menangkis, tetap saja hawa pukulan dari tangan Bun Beng membuatnya terpelanting.
"Wan Keng In, tikus Pulau Neraka, hendak ke mana kau?" Bun Beng sudah meloncat ke depan, menerjang Wan Keng In yang kelihatan ragu-ragu dan agaknya mencari-cari Milana yang lenyap.
Diterjang secara hebat oleh Bun Beng, Wan Keng In terpaksa melayaninya. Dengan penasaran dan marah Keng In mengerahkan tenaganya, menyambut pukulan Bun Beng ke arah dadanya itu dengan dorongan telapak tangannya pula.
"Dessss...!"
Kalau tadi mereka saling mengadu lengan di atas pohon, kini mereka mengadu kedua telapak tangan yang saling bertumbukan. Akibatnya, tubuh Wan Keng In terlempar ke belakang sampai lima meter lebih! Makin pucat wajah Wan Keng In dan biar pun dia tidak terluka, namun dia terkejut setengah mati dan barulah kini sepasang matanya memandang dengan sinar berkilat-kilat ke arah Bun Beng. Betapa hatinya tidak sangat terkejut. Di dalam dunia ini, kiranya hanya ada dua orang, gurunya sendiri dan paman gurunya, dua kakek setan Pulau Neraka, yang dapat membuatnya terlempar seperti itu!
Pekik melengking yang menyeramkan keluar dari dada pemuda Pulau Neraka itu ketika dia meloncat ke depan lalu membentak,
"Jahanam! Siapa engkau?"
"Plak-plak-dess-dess!"
Empat orang anggota pasukan terpelanting ke kanan kiri dan tak dapat bangkit kembali terkena hantaman kaki tangan Bun Beng yang merasa betapa tubuhnya ringan dan enak sekali, seringan dan seenak hatinya yang gembira bukan main. Pemuda ini mengerling ke kanan kiri, tertawa ketika melihat para pengawal tidak berani maju dan hanya mengurung dari jarak jauh.
Dengan tenang dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Wan Keng In, tersenyum mengejek dan memandang dengan sinar mata berseri. Dunia seolah-olah berubah bagi hati Bun Beng dan biar pun dia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya, dia tetap gembira. Tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, tidak ada kekhawatiran dan semua orang kelihatan menggembirakan. Agaknya wajahnya yang berseri itu membuat semua orang terheran-heran dan curiga, sedangkan Wan Keng In mulai mengingat-ingat siapa gerangan pemuda tampan yang wajahnya berseri-seri tertimpa cahaya obor yang dinyalakan oleh beberapa orang pengawal. Dia merasa seperti mengenal wajah itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan.
Selain kebahagiaan karena cinta kasihnya terbalas oleh Milana, hal yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya atau diharapkannya itu, membuat hatinya sangat riang gembira, juga Bun Beng sengaja hendak memancing perhatian mereka agar Milana mendapat kesempatan untuk melarikan diri jauh-jauh. Kalau Milana sudah selamat, dan pedang Hok-mo-kiam sudah dapat dibawa pergi dara itu untuk diberikan kepada yang berhak, yaitu ayah dara itu, Pendekar Super Sakti, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang menyusahkan hatinya! Dia sendiri akan menghadapi bahaya apa pun juga dengan hati ringan.
"Wan Keng In, engkau bocah setan ini makin jahat dan tersesat saja. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau terlepas sebelum memberi hajaran kepadamu! Dan Thian Tok Lama agaknya masih melanjutkan kejahatan-kejahatannya. Sudah lama aku menanti kesempatan ini, untuk bertemu denganmu dan membalas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."
Ucapan Bun Beng itu agaknya menyadarkan dua orang ini dan teringatlah mereka kini. Disebutnya nama Siauw Lam Hwesio sebagai guru mengingatkan Thian Tok Lama akan murid kakek tokoh Siauw-lim-pai itu, Gak Bun Beng yang pernah dan sempat dilihatnya pula ketika pemuda itu membantu Pulau Es pada waktu pasukan pemerintah membasmi pulau itu. Ada pun Wan Keng In sekarang teringat akan pemuda yang telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, pemuda bernama Gak Bun Beng yang tadinya dia pandang rendah akan tetapi yang sekarang mampu membuatnya terlempar sampai lima meter!
"Manusia she Gak keparat!" Wan Keng In memaki.
"Gak Bun Beng, engkau anak haram dari Setan Botak Gak Liat yang kurang ajar itu...!"
"Wuuuuttt... plakkk!"
Untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat itu tubuh Thian Tok Lama terpelanting saat dia tergopoh-gopoh menangkis pukulan Bun Beng yang marah sekali mendengar makian dan penghinaan itu. Akan tetapi dia tidak dapat mendesak musuh besarnya itu karena Wan Keng In sudah menyerangnya dengan pukulan-pukulan maut. Pukulan pemuda Pulau Neraka ini dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, akan tetapi dari setiap ujung jari keluar hawa pukulan beracun yang amat dahsyat.
Bun Beng maklum akan kelihaian Keng In, maka dia sudah cepat mencelat ke kiri menghindarkan serangan sambil menerima tusukan tombak dan golok dari dua orang Nepal, membetot dua buah senjata itu sambil menendang. Dua orang Nepal itu mengaduh dan tubuh mereka terjengkang. Dua orang pengawal yang menerjang maju, roboh oleh tombak dan golok yang dirampas Bun Beng dan disambitkan menyambut terjangan mereka.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Bun Beng mengamuk seperti seekor burung garuda, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah pasukan. Tentu saja mereka itu merupakan lawan lunak bagi pemuda sakti ini dan dalam waktu beberapa menit saja sudah ada belasan orang tentara pengawal roboh termasuk beberapa orang Nepal dan panglima.
Melihat sepak terjang Bun Beng yang demikian hebat, Thian Tok Lama dan Wan Keng In menjadi penasaran sekali. Pendeta Lama itu mengeluarkan senjatanya, sebatang golok melengkung yang mengeluarkan sinar hijau, sedangkan Wan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam. Mereka ini, dibantu oleh Bhe Ti Kong dan sisa para panglima serta jagoan Nepal lain, mengurung Bun Beng. Ada pun anak buah pasukan yang juga membentuk pengepungan ketat di sebelah luar, siap pula dengan senjata di tangan sedangkan di empat penjuru, delapan orang memegang obor untuk menerangi tempat yang mulai terselimut malam gelap.
"Kok-kok-kok heeehhhh!" Perut gendut Thian Tok Lama mengeluarkan suara berkokok, kemudian menyusul bentakannya dia menyerang maju, tangan kiri memukul, tangan kanan menggerakkan goloknya dengan cepat dan kuat sekali.
"Singgg... syet-syet-syettt...!"
Sinar hijau menyambar-nyambar dan bergulung-gulung ke arah tubuh Bun Beng yang tidak berani memandang rendah. Cepat dia menggerakkan tubuhnya mencelat ke kanan kiri dan belakang. Betapa pun cepat serangan Thian Tok Lama, gerakan Bun Beng lebih cepat lagi sehingga gulungan sinar golok berwarna kehijauan itu tak pernah dapat mendekati sasaran.
"Hyaaattt... singgg... cing-cing...!"
"Hemmm...!" Bun Beng mengeluarkan suara kaget.
Cepat dia melempar tubuhnya ke belakang dengan kecepatan kilat ketika melihat sinar kilat menyambar ganas dengan kecepatan seperti halilintar dan sinar itu mengandung hawa menyeramkan sekali sehingga dia sendiri merasa ngeri, tengkuknya terasa dingin. Melihat berkelebatnya sinar kilat yang menyilaukan mata, tahulah dia bahwa Wan Keng In telah turun tangan menyerangnya dengan menggunakan pedang Lam-mo-kiam. Maka dia tidak berani berlaku lambat, begitu melempar tubuh ke belakang, dia berjungkir balik dan melanjutkan dengan meloncat jauh ke kanan.
"Syuuuuutttt... singggg!"
Bun Beng menelan ludah. Bukan main hebatnya Lam-mo-kiam. Biar pun dia sudah bergerak cepat sekali, masih saja dia tadi nyaris tergores punggungnya. Namun dia tidak sempat memikirkan hal itu karena begitu dia terhindar dari bahaya serangan Keng In, serentak dua orang panglima dan dua jagoan Nepal telah menyerangnya dengan berbareng. Dua orang Nepal yang bersorban itu menyerangnya dengan senjata mereka yang membuat mereka ditakuti, yaitu pisau belati yang kecil namun amat runcing dan tajam, dua buah banyaknya dipegang setengah bersembunyi di balik lengan kanan kiri.
Serangan dari depan oleh dua orang Nepal itu amat cepat, gerakan mereka aneh dan kecepatan mereka menjadi hebat karena lengan mereka panjang. Dalam sedetik itu, dua orang ini menyerang secara berbareng dan empat buah pisau belati menyambar ke arah leher, ulu hati, perut dan lambung! Dalam setengah detik berikutnya, menyambar pula sebatang golok besar di tangan seorang panglima brewok, berlomba cepat dengan tombak gagang pendek di tangan Bhe Ti Kong yang menghujani ke arah punggung Bun Beng!
"Heiiittt!" Bun Beng berseru keras sekali.
Tubuhnya membuat gerakan berpusing, demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata oleh lawan, akan tetapi tahu-tahu jari-jari tangannya secara berturut-turut telah mengetuk terlepas sambungan siku kedua tangan orang Nepal, merampas golok besar dan menangkis tombak gagang pendek Bhe Ti Kong dengan golok itu setelah merobohkan pemilik golok dengan tendangan.
"Tranggg...!"
Bhe Ti Kong berseru kaget. Cepat ia menarik kembali tombaknya, memutar senjatanya untuk melindungi tubuh. Dua kali dia berhasil menangkis dan harus bergulingan dan jatuh bangun, terus dikejar sinar golok rampasan Bun Beng yang mengenal panglima ini sebagai musuh besarnya dan yang mendesak untuk membunuhnya.
"Singgggg...!" Sinar kilat pedang Lam-mo-kiam sudah menyambar lagi menyelamatkan nyawa Bhe Ti Kong.
"Cringgg!" Bun Beng yang tadinya mendesak Bhe Ti Kong terkejut melihat sinar kilat, terpaksa membuang diri sambil menangkis dengan golok rampasan, akan tetapi sekali bertemu dengan Lam-mo-kiam, golok besar itu patah menjadi dua potong!
"Trangg-tranggg...!"
Kembali Bun Beng yang baru meloncat bangun itu menangkis dengan golok buntungnya, menangkis serangan golok Thian Tok Lama yang sudah membantu Keng In mengeroyoknya pula. Biar hanya mempergunakan golok buntung, namun tangkisan ini membuat Thian Tok Lama terhuyung.
Bun Beng menyambitkan golok buntungnya kepada Wan Keng In ketika melihat pemuda itu sudah menerjang lagi. Biar pun hanya disambitkan, namun golok buntung itu meluncur dengan kekuatan dahsyat sehingga Keng In tidak berani bersikap sembrono dan cepat menggerakkan Lam-mo-kiam untuk menangkis. Golok buntung itu runtuh dan patah-patah. Tetapi, ketika Keng In menangkis sambitan golok buntung, kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk menerjang ke kiri, merobohkan empat orang panglima dan orang Nepal, dan merampas sebatang tombak lagi. Gerakannya kuat dan cepat sekali sehingga ketika Wan Keng In dan Thian Tok Lama menyerangnya lagi, dia sudah dapat menghadapi mereka dengan tombak di tangan!
Akan tetapi, dengan adanya Keng In yang bersenjata Lam-mo-kiam, Bun Beng benar-benar kewalahan. Sekali bertemu, tombak rampasannya patah-patah lagi dan hampir saja dia termakan sinar pedang Lam-mo-kiam yang amat ampuh. Untung baginya bahwa jumlah pengeroyok amat banyak sehingga dia dapat menerjang dan menyelinap di antara para pengeroyok. Hal ini membuat Keng In merasa agak sukar untuk menekannya, dan pemuda Pulau Neraka itu dibantu oleh Thian Tok Lama selalu mengejar-ngejar Bun Beng yang mengamuk di antara para panglima, orang Nepal, dan pasukan pengawal.
Betapa pun dia mencobanya, Wan Keng In dan Thian Tok Lama tidak memberi kesempatan sedikit pun juga kepada Bun Beng untuk dapat melarikan diri. Pemuda itu dikepung ketat dan terpaksa dia mengamuk, merobohkan dan menewaskan banyak sekali anak buah pasukan, sedangkan keselamatannya selalu terancam dan berkali-kali nyaris saja terluka oleh Lam-mo-kiam dan golok di tangan Thian Tok Lama.
Telah lebih dari dua puluh orang anak buah pasukan roboh, lebih setengah jumlah panglima dan jagoan Nepal tewas, dan pertandingan itu telah berjalan sampai hampir tengah malam! Bun Beng berhasil sebegitu jauh menyelamatkan diri dari ancaman Lam-mo-kiam, akan tetapi karena pengeroyokan ketat dan untuk menghindarkan luka senjata, terpaksa dia menerima hantaman tangan kiri Thian Tok Lama sampai dua kali dan tamparan tangan kiri Wan Keng In satu kali.
Tamparan pemuda Pulau Neraka itu hebat bukan main, membuat dada yang terkena tamparan terasa seperti akan pecah dan napas menjadi sesak. Bun Beng maklum bahwa isi dadanya terguncang dan bahwa pukulan Wan Keng In mengandung racun. Dia tidak takut akan pukulan beracun karena tubuhnya sudah kebal oleh jamur-jamur beracun, akan tetapi guncangan itu membuat tenaganya berkurang.
Keadaannya amat berbahaya. Dia tidak takut mati, tetapi dia akan merasa kecewa kalau belum berhasil membalas kematian gurunya. Karena itu, dia mencurahkan perhatian dan kepandaiannya untuk memilih sasaran, yaitu Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama, dua di antara para pembunuh gurunya.
"Thian Tok Lama, bersiaplah kau menyusul Thai Li Lama...!" Tiba-tiba dia berseru ketika melihat lowongan.
Secepat kilat dia menubruk maju, menendang sebatang pedang yang menyambar dari samping, mengelak dari tusukan Lam-mo-kiam, kemudian menggunakan tangan kanan mencengkeram golok Thian Tok Lama. Pendeta itu terkejut sekali, bukan hanya karena tahu bahwa yang membunuh saudaranya itu adalah pemuda ini, akan tetapi terutama sekali melihat betapa dengan tangan kosong pemuda lihai itu berani menangkap dan mencengkeram goloknya! Dia berusaha menarik golok untuk melukai tangan Bun Beng, akan tetapi tiba-tiba Bun Beng sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke arah kepalanya!
Hebat bukan main serangan ini dan kalau tamparan ini mengenai sasaran, tak dapat disangsikan lagi nyawa Thian Tok Lama tentu akan melayang. Akan tetapi pada saat itu, sebuah pukulan yang keras dari tangan kiri Wan Keng In mengenai tengkuk Bun Beng pada saat yang amat tepat.
"Desss...!"
Berbareng jatuhnya pukulan Keng In pada tengkuk Bun Beng dengan tamparan, tangan Bun Beng yang menyeleweng tidak jadi mengenai kepala melainkan hanya menghantam pundak Thian Tok Lama. Biar pun menyeleweng, namun cukup membuat pendeta itu terpelanting dan muntah darah! Akan tetapi hantaman yang keras dari Keng In itu pun membuat Bun Beng terjengkang!
Bhe Ti Kong menubruk dengan tombaknya, menusuk ke arah ulu hati Bun Beng dengan tombak gagang pendeknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merasa yakin bahwa sekali ini dia tentu berhasil membunuh pemuda yang berbahaya ini, apa lagi melihat pemuda itu telah terpukul dan mulutnya menyemburkan darah seperti yang dialami Thian Tok Lama.
Tombak itu meluncur tepat ke arah ulu hati Bun Beng. Pemuda ini tak dapat mengelak lagi, maka terpaksa dia memasang kedua telapak tangan ke depan dada dan begitu ujung tombak menyentuh telapak tangannya, dia membuat gerakan menyentak sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Pengerahan tenaga ini membuat dadanya terasa nyeri bukan main, pandang matanya berkunang dan darah makin banyak keluar dari mulutnya, tetapi tombak itu membalik secara tiba-tiba, menyambut dada Panglima Bhe Ti Kong yang terdorong ke depan.
"Crappp.... auggghhh...!"
Bun Beng menjadi gelap mata dan pingsan, tidak tahu bahwa tubuh Bhe Ti Kong menimpa tubuhnya dan betapa darah yang membanjir keluar muncrat-muncrat dari dada musuhnya itu menyiram tubuhnya. Panglima itu berkelojotan dan tewas dengan dada tertembus tombaknya sendiri.
"Tahan, Wan-sicu. Jangan bunuh dia...!" Thian Tok Lama mencegah ketika melihat Wan Keng In mengelebatkan Lam-mo-kiam untuk membunuh Bun Beng.
Wan Keng In menoleh, menahan pedang dan mengerutkan alisnya. "Manusia macam dia perlu apa dibiarkan hidup? Dia membuat Milana hilang dan sudah mendatangkan banyak korban...!" Kembali Lam-mo-kiam bergerak.
"Jangan, Wan-sicu! Dia adalah seorang tawanan penting sekali! Dialah yang telah merampas Hok-mo-kiam. Dia yang melepaskan puteri Ketua Thian-liong-pang! Terlalu enak bagi dia kalau dibunuh begitu saja, dan dia perlu diseret di depan Koksu untuk meringankan kesalahan kita..."
"Hmm..." Wan Keng In menyimpan pedangnya, akan tetapi dia lalu mengayun tangan kanannya ke arah punggung tubuh Bun Beng yang rebah miring.
"Desss!"
Pukulan itu hebat sekali dan Wan Keng In mengomel. "Biar pun nyawanya rangkap, pukulanku ini akan mencabut nyawanya dalam waktu dua puluh empat jam."
Thian Tok Lama juga terluka di dalam tubuh, namun tidak membahayakan nyawanya. Dia lalu turun tangan sendiri, menelikung dan membelit-belit tubuh Bun Beng dengan tali yang amat kuat, lalu mengikat tubuh pemuda yang masih pingsan itu di atas punggung kuda.
"Dia telah kuberi pukulan Toat-beng-tok-ci (Jari Beracun Pencabut Nyawa). Jangankan untuk melawan, dibiarkan pun dia akan mampus sebelum malam besok." Wan Keng In mencela melihat betapa pendeta itu bersusah payah membelenggu tubuh yang dia tahu sudah takkan mampu melawan lagi itu.
"Kita tidak boleh gagal lagi membawa dia ke kota raja, Wan-sicu." Thian Tok Lama membantah dan Wan Keng In mendengus, mengangkat pundak dan sikapnya menjadi murung karena dia marah-marah dan kecewa telah kehilangan Milana. Betapa pun juga, dia harus ikut dan bertemu dengan Koksu. Setelah dia menyaksikan sendiri betapa lihainya Bun Beng, diam-diam pemuda ini merasa jeri juga.
Bukan terhadap Bun Beng yang tinggal menanti maut itu, akan tetapi baru Bun Beng sudah demikian lihainya, apa lagi ibu Milana Si Ketua Thian-liong-pang, belum lagi Pendekar Super Sakti! Maka dia harus bersikap cerdik dan harus dapat mencari kawan, dan agaknya kedudukannya akan kuat sekali kalau dia dapat bersekutu dengan Koksu yang selain memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar, juga mempunyai banyak orang pandai itu.
Dengan murung dan tergesa-gesa, membawa teman-teman yang terluka, mereka pergi keluar dari hutan menuju ke kota raja. Kuda yang membawa tubuh Bun Beng yang kaki tangannya ditelikung dan diikat di atas punggung binatang itu, berada di tengah-tengah dan dikawal sendiri oleh Thian Tok Lama dan Wan Keng In. Kini mereka siap dengan senjata di tangan memegang senjata masing-masing dan bersikap waspada. Baik Wan Keng In mau pun Thian Tok Lama sudah mengambil keputusan untuk pertama-tama menggerakkan senjata membunuh Bun Beng apabila terjadi suatu gangguan di tengah perjalanan ini.
Bun Beng membuka matanya. Ketika ia merasa betapa tubuhnya tergantung di atas punggung kuda, bergoyang-goyang dan kaki tangannya terbelenggu, dia teringat semua dan tersenyum! Tubuhnya lemah dan tak bertenaga, sakit-sakit, akan tetapi hatinya riang! Teringat dia akan Milana dan rasa bahagia di hatinya masih mengatasi semua kesengsaraan yang diderita tubuhnya. Milana mencintanya! Puteri Pendekar Super Sakti cinta kepadanya! Bukan main! Cucu kaisar sendiri! Dan dia hanyalah seorang anak haram, keturunan seorang tokoh sesat yang dikutuk dunia! Apalah artinya siksa dan mati setelah menghadapi kenyataan yang berbahagia itu? Dan dia telah berhasil menyelamatkan Milana. Dara itu telah bebas! Dia akan menyambut kematian atau apa pun juga dengan senyum bahagia!
Ia mengerling ke arah kiri dan melihat Thian Tok Lama duduk di atas seekor kuda, memegang sebatang golok. Hemmm, sayang. Dia belum berhasil membunuh pendeta ini, juga belum berhasil membalas Bhong-koksu atas kematian gurunya. Baru Thai Li Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang telah menebus kematian gurunya.
Bun Beng mencoba mengerahkan sinkang-nya. Hawa panas di pusarnya segera menjawab pengerahannya, akan tetapi tiba-tiba dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, tak tertahankan! Tahulah dia bahwa dadanya terluka dan punggungnya menderita lebih hebat lagi! Darah mengalir dari dalam leher ke mulutnya dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka akibat pukulan yang mungkin membawa maut.
Tentu perbuatan Wan Keng In atau Thian Tok Lama. Agaknya lebih tepat kalau dia menduga pemuda Pulau Neraka itulah yang memukulnya. Luka di tulang punggung ini bukan pukulan biasa, dan kiranya hanya pemuda itulah yang dapat melakukan pukulan sekeji ini. Dia menghela napas panjang. Tidak ada harapan untuk menggunakan saat terakhir itu mencoba melepaskan diri dan membunuh Thian Tok Lama. Kalau dia melanjutkan pengerahan sinkang-nya tentu dia akan mati sebelum sempat bergerak!
Dia tidak putus asa. Mereka telah menawannya, dan biar pun agaknya ketika dia pingsan dia menderita pukulan gelap yang amat membahayakan nyawanya, namun pada saat itu dia belum mati dan selama dia belum mati dia tidak akan kehabisan harapan. Mereka belum membunuhnya, berarti bahwa dia masih mempunyai harapan untuk dapat menyelamatkan diri. Bun Beng tidak berusaha lagi untuk mengerahkan tenaga, bahkan dia lalu melemaskan tubuhnya agar dapat bergantung pada punggung kuda dengan enak.
Rombongan itu melalui hutan terakhir yang penuh dengan pohon bambu. Daerah ini memang terkenal dengan pohon bambu yang bermacam warna dan bentuknya. Hati Thian Tok Lama terasa lega karena kota raja sudah dekat. Tembok kota raja yang tinggi sudah tampak dari tempat tinggi itu, merupakan bayangan hitam memanjang yang tertimpa sinar bintang-bintang di langit yang remang-remang.
Angin malam mempermainkan daun-daun bambu, menimbulkan rasa berkelisik. Tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan dan serta merta terjadilah kekacauan ketika rombongan itu diserang oleh daun-daun bambu yang datang bagaikan anak panah atau senjata rahasia piauw yang runcing. Tadinya mereka mengira bahwa daun-daun bambu itu rontok oleh angin besar, akan tetapi setelah daun-daun bambu ini menancap dan melukai kulit daging, barulah mereka terkejut dan menjadi kacau! Kekacauan menjadi-jadi ketika sampai batang-batang bambu yang panjang tiba-tiba meliuk dan menyerang mereka, seolah-olah rumpun bambu itu menjadi hidup dan digerakkan oleh setan-setan menyerang rombongan itu. Terdengar suara berdebuk disusul robohnya orang susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu dihantam oleh batang bambu.
Thian Tok Lama dan Wan Keng In cepat dapat menduga bahwa amukan pohon-pohon dan daun-daun bambu itu tentulah perbuatan musuh yang lihai. Akan tetapi pada saat mereka menggerakkan senjata hendak membunuh Bun Beng, tiba-tiba sebatang pohon bambu yang besar dan panjang terbang menyerang mereka, berikut cabang-cabang dan daun-daunnya.
Tentu saja keduanya menjadi terhalang dan mereka menggerakkan senjata membabat runtuh batang bambu itu. Akan tetapi kuda yang membawa tubuh Bun Beng sudah meringkik keras, terlempar dan roboh dengan perut tertembus batang bambu, sedang Bun Beng sendiri yang tadinya menelungkup di atas punggung kuda, melintang, sudah lenyap!
"Tawanan lenyap!"
"Kejar...!"
"Tangkap pengacau!"
Teriakan-teriakan para panglima itu menambah kekacauan dan di antara suara hiruk-pikuk mereka terdengarlah suara terkekeh menyeramkan, suara yang terdengar makin menjauh dan akhirnya lenyap.
"Tidak perlu dikejar, percuma saja karena dialah yang datang menolong Bun Beng," kata Wan Keng In yang menjadi lemas tubuhnya ketika mendengar suara ketawa itu.
Thian Tok Lama menahan kudanya. "Siapakah dia?"
Wan Keng In menarik napas panjang. "Siapa lagi kalau bukan Bu-tek Siauw-jin? Kalau dia muncul dan ikut-ikut, kita takkan mampu menghadapinya. Dan setelah dia muncul, orang satu-satunya yang dapat melawannya hanyalah guruku. Karena itu, aku tidak akan ikut bersamamu ke kota raja, Thian Tok Lama. Aku harus mencari guruku, minta bantuannya untuk menghadapi tua bangka cebol itu. Sampai jumpa!" Tanpa menanti jawaban, Wan Keng In yang merasa jeri mendengar suara ketawa susioknya, Bu-tek Siauw-jin, berkelebat dan lenyap dari depan Thian Tok Lama.
Pendeta Tibet ini menarik napas berulang-ulang, menggeleng kepala dan dengan hati risau terpaksa memimpin sisa pasukannya yang ketakutan itu ke kota raja. Memang dia telah berhasil membasmi Thian-liong-pang akan tetapi pasukannya pun rusak, tawanan lenyap dan banyak panglima tewas, termasuk pembantu kepercayaan Koksu, Panglima Bhe Ti Kong.
Sementara itu, jauh dari situ, di dalam hutan yang gelap, Bu-tek Siauw-jin berjalan seorang diri sambil memanggul sebatang bambu panjang dan di ujung bambu itu terpikul tubuh Bun Beng yang masih terbelenggu kaki tangannya.....
********************
Sementara itu, di dalam istana kaisar sendiri terjadilah hal yang amat hebat dan penting. Kaisar sendiri yang sibuk dengan urusan pemerintahan, dalam usahanya untuk mendatangkan kemakmuran kepada rakyat agar pemerintahannya, pemerintah penjajah, mendapat kesan baik di hati rakyat, sama sekali tidak menduga bahwa di antara para pembantunya yang paling dipercaya sedang mengatur pemberontakan untuk menjatuhkannya.
Kaisar Kang Hsi memang seorang kaisar yang pandai. Akan tetapi, sebagai seorang manusia biasa yang tak lepas dari pada kekurangan, Kaisar yang menjadi pembangun dasar-dasar kekuatan pemerintah Mancu ini mempunyai kelemahan terhadap wanita. Banyak sekali selirnya dan banyak pula anaknya. Karena terlalu banyak inilah maka terjadi perebutan dan iri hati, dan Pangeran Yauw Ki Ong adalah seorang di antara putera-puteranya dari selir yang demi cita-cita dan kemurkaannya tidak segan-segan melakukan pengkhianatan dan mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menggulingkan ayahnya sendiri!
Selir yang ratusan orang jumlahnya masih belum memuaskan hati Kaisar yang selalu haus akan wanita muda yang baru. Kelemahan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh mereka yang ingin menjilat dan mencari kedudukan lebih tinggi. Mereka selalu mengincar dara-dara muda yang cantik jelita untuk digunakan sebagai ‘persembahan’, dan tentu saja dengan harapan akan mendapatkan balas jasa.
Kelemahan Kaisar ini menciptakan pembantu-pembantu yang palsu dan di samping ini, juga menimbulkan persaingan dan pertentangan di kalangan para selir itu sendiri. Mereka adalah wanita-wanita cantik yang masih muda. Dengan adanya terlalu banyak selir, sudah pasti mereka menderita dan tentu saja akibatnya memungkinkan terjadinya pelanggaran dan ketidak setiaan. Untuk mengatasi hal ini, para selir itu dikurung dan dijaga keras oleh pengawal-pengawal yang semua terdiri dari thaikam (manusia kebiri). Penjagaan dan pengawasan keras ini mendatangkan penderitaan lahir batin bagi wanita-wanita muda itu sehingga mereka merupakan segolongan orang yang mudah dihasut untuk membenci Kaisar yang mereka anggap sebagai orang yang menyiksa mereka dan membuat hidup merupakan kesunyian dan kesengsaraan bagi mereka.
Malam hari itu, para selir yang seperti biasanya melewatkan malam sunyi dengan celoteh, saling berbisik mempercakapkan Kaisar dengan hati penuh iri, karena malam hari itu, semenjak sore hari, Kaisar telah mengeram dirinya di dalam kamar bersama seorang selir baru! Seorang dara yang kabarnya cantik sekali dan baru malam hari itu mendapat tugas kehormatan melayani Kaisar, seorang dara istimewa karena dara ini adalah persembahan dari Koksu sendiri! Menurut berita yang didengar sebagian para selir yang tidak melihat sendiri, mendengar penuturan para thaikam penjaga, dara itu selain muda remaja, juga memiliki kecantikan yang luar biasa, bermata agak kebiruan, hidungnya mancung dan kulitnya putih kemerahan, seorang dara asing dari see-thian (dunia barat)!
Sebagai persembahan dari Koksu sendiri, tentu saja dara itu mempunyai kedudukan istimewa. Para thaikam tidak berani bersikap kurang hormat karena takut kepada Koksu, bahkan para selir yang biasanya suka mengeluarkan perasaan iri mereka terhadap selir lain dengan berani, sekarang hanya berani mempercakapkan selir baru ini dengan bisik-bisik. Semua orang di istana, bahkan para selir dan para pelayan sekali pun, tahu belaka akan kekuasaan Koksu yang ditakuti!
Malam itu memang istimewa. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh para selir dan para thaikam yang bertugas jaga, melainkan terutama sekali oleh Kaisar sendiri. Semenjak Kaisar menerima gadis persembahan Koksu yang datang menghadap pagi hari itu, Kaisar merasakan sesuatu yang lain dari pada biasa. Belum pernah dia melihat kecantikan seorang dara seperti dara peranakan Nepal ini. Kecantikan yang khas, dan yang sekaligus menjatuhkan rasa sayang dan membangkitkan gairah di hati Kaisar itu. Terangsang oleh gairah ingin cepat-cepat berdua saja dengan Si Jelita ini, Kaisar menunda semua urusan, dan baru saja matahari mengundurkan diri Kaisar sudah memasuki kamar peraduannya yang istimewa dan memerintahkan Si Juwita datang menghadap dan melayaninya.
Kamar ini luas sekali, berbau harum dan dindingnya yang berwarna hijau muda dihias bunga-bunga dan lukisan-lukisan indah. Lantainya dari batu pualam yang jernih dan satu-satunya perabot kamar itu hanyalah kasur-kasur tebal yang memenuhi bagian tengah, ditilami kain berbulu yang halus dan hangat, dengan bantal-bantal terhias sarung sutera bersulam indah.
Kaisar telah duduk setengah rebah di atas kasur ketika Thaikam kepala membuka pintu kamar. Thaikam berlutut di luar pintu dan tampak seorang dara yang bertubuh tinggi ramping dengan langkah gontai dan lemah lembut. Setelah dara itu memasuki kamar, daun pintu tertutup lagi di belakangnya dan terdengar langkah-langkah halus Thaikam kepala meninggalkan depan pintu disusul suaranya berbisik-bisik mengatur penjagaan. Seperti biasa, setiap kali Kaisar bermalam di kamar ini, di empat penjuru luar kamar selalu dijaga oleh pengawal-pengawal thaikam yang berkepandaian tinggi, di samping pelayan-pelayan wanita yang berlutut di luar kamar, diam tak bergerak seperti arca akan tetapi siap untuk memasuki kamar apabila tenaga dan pelayanan mereka dibutuhkan...