Empat orang pelayan wanita yang muda dan masih gadis malam itu menjaga di luar kamar, tubuh mereka yang duduk bersimpuh itu tak bergerak, akan tetapi mata mereka kadang-kadang mengerling liar ke arah kamar dan jantung mereka berdebar penuh ketegangan. Biar pun mata mereka tidak mungkin menembus dinding kamar untuk menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar.
Akan tetapi dinding itu terbuat dari papan kayu tipis halus sehingga telinga mereka dapat mendengar semua suara dari dalam kamar. Suara yang lirih sekali pun, seperti berkereseknya pakaian atau tarikan napas panjang, dapat terdengar jelas.
Dara itu benar-benar cantik luar biasa. Kedua kakinya tidak bersepatu, telanjang dan bersih, tampak putih kemerahan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera longgar, pakaian tidur yang khusus dibuat untuk selir-selir kaisar, hanya merupakan kain sutera tipis menyelimuti tubuh dan membayangkan bentuk tubuh yang padat menggairahkan, penuh lekuk lengkung yang menantang.
Ketika dara itu tiba di depan pembaringan yang hanya kasur terletak di atas lantai, dia menjatuhkan diri berlutut, menelungkup sehingga kedua lengannya rebah di atas lantai di depan kepalanya, pangkal kedua lengan menutupi muka, rambutnya tergerai lepas di atas lantai. Kulit leher yang putih kemerahan dan halus membayang dari celah-celah rambut yang tersibak, dan sebagian lengan yang dilonjorkan keluar dari selimutan sutera, tampak putih bersih dan halus bagaikan lilin diraut!
Kaisar terpesona. Tubuh yang muda dan sempurna, tidak terlalu besar tidak terlalu kecil, tidak terlalu tinggi atau pendek. Cuping hidungnya bergerak mencium keharuman yang keluar dari rambut dan leher agak terbuka penutupnya itu, dan dengan suara agak gemetar Kaisar berkata halus, "Bangunlah...!"
Tubuh yang berlutut setengah menelungkup di atas lantai batu pualam dan yang tadi tidak bergerak-gerak itu menggigil sedikit, lalu kedua lengan diangkat, dan tubuh itu bangkit duduk. Wajahnya tampak cantik jelita dan segar kemerahan kedua pipinya, mulut yang amat manis bentuknya membentuk senyum malu, senyum ditahan yang membuat bibir itu gemetar halus, kedua mata yang lebar setengah terpejam dengan pandangan menunduk sehingga bulu mata yang lentik panjang membentuk bayang-bayang di atas pipi, leher yang panjang itu tampak jelas, kepalanya agak dimiringkan.
Kaisar makin terpesona, kini dia duduk dan mengembangkan kedua lengannya sehingga pakaian tidurnya terbuka memperlihatkan dada yang bidang dan perut yang mulai menggendut.
"Juwita sayang... jangan takut dan malu, ke sinilah...," kembali Kaisar berbisik.
Muka itu makin menunduk, bibirnya merekah dan tampak deretan gigi seputih mutiara menggigit sebelah dalam bibir bawah, kemudian dara itu bergerak maju dengan menggunakan kedua lututnya, menghampiri Kaisar. Begitu tiba dekat, Kaisar sudah menerkamnya dengan pelukan penuh gairah.
Para thaikam yang menjaga di luar kamar itu mendengarkan suara di dalam kamar dengan wajah tidak berubah sama sekali. Mereka sudah terbiasa dan keadaan mereka sebagai orang kebiri telah melenyapkan pula perasaan halus mereka. Mereka berdiri berjaga dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan.
Akan tetapi yang amat tersiksa adalah gadis-gadis pelayan yang terpaksa memejamkan mata dan menggigit bibir mendengarkan segala kemesraan yang berlangsung di dalam kamar Kaisar. Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah. Kaisar seperti mabuk dalam nafsunya sehingga kehilangan kewaspadaan, tidak mendengar kegaduhan yang terjadi di luar kamarnya.
Padahal, terdengar bentakan tertahan sebelum para pengawal thaikam itu roboh tewas, dan seorang di antara para gadis pelayan sempat menjerit kecil sebelum dia roboh pula seperti teman-temannya. Kaisar yang tergila-gila kepada dara bermata biru itu, yang mabok dalam buaian nafsunya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa di luar kamarnya darah berlepotan membanjiri lantai.
Bukan hanya ini saja kelengahannya, bahkan dia juga tidak tahu betapa dara yang membuatnya seperti gila, yang sempat mengeluarkan rintihan merayu, dengan kedua lengan yang halus dan jari-jari tangan yang membalas belaiannya, juga merupakan maut yang siap mencabut nyawanya!
Tanpa terlihat oleh Kaisar, dua buah jari tangan yang halus meruncing dan indah itu kini telah menjepit sebatang jarum dan jari-jari tangan yang mengandung tenaga kuat itu siap untuk menusukkan jarum ke dalam otak di kepala Kaisar melalui pusat di tengkuk!
Tiba-tiba tampak sinar berkelebat dari arah pintu kamar. Dara dalam pelukan Kaisar itu tiba-tiba mengeluarkan suara menjerit nyaring lalu tubuhnya berkelojotan dalam sekarat!
Tentu saja Kaisar menjadi terkejut sekali, serta-merta meloncat, menyambar pakaiannya dan membalikkan tubuh memandang ke arah pintu. Pintu telah terbuka dan di tengah pintu tampak seorang wanita setengah tua yang cantik, gagah dan mengerikan karena mukanya yang cantik itu putih seperti kapur! Wanita itu segera menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar!
Kaisar yang terkejut sekali itu dapat menguasai diri dan membentak marah, "Siapa engkau sungguh berani mati sekali! Pengawal...!"
"Hendaknya Paduka ketahui bahwa semua pengawal dan pelayan telah terbunuh dan nyaris Paduka juga terancam maut di tangan perempuan itu." Wanita bermuka putih itu berkata tanpa mengangkat muka dan dengan sikap hormat, akan tetapi juga dingin.
Kaisar yang sudah bangkit berdiri itu membalik dan memandang ke arah dara yang tadi membuatnya mabok dan lupa segala. Tubuh yang mulus dan indah itu masih membujur telentang di atas kasur, dengan sikap menggairahkan, akan tetapi kini sudah tidak bergerak lagi, sudah tidak bernyawa dengan pelipis terluka mengeluarkan darah. Akan tetapi bukan tubuh itu dan bukan luka itu yang membuat Kaisar terbelalak, melainkan jari tangan yang menjepit sebatang jarum hitam!
"Apa... apa yang telah terjadi...?" Kaisar bertanya tergagap karena merasa heran dan tidak mengerti.
"Harap Sri Baginda mengampunkan hamba yang bertindak lancang ini. Persekutuan pemberontak telah merencanakan ini semua, dipimpin oleh Koksu. Perempuan ini adalah seorang kaki tangan Koksu yang bertugas merayu dan membunuh Paduka dengan tusukan jarum beracun. Sedangkan para thaikam pengawal di bagian istana ini telah dibunuh oleh kaki tangan pemberontak. Karena tadi melihat betapa perempuan ini hampir saja membunuh Paduka, terpaksa hamba tidak sempat memberi tahu dan turun tangan membunuhnya."
"Apa...?! Pemberontak? Koksu?! Heii, wanita, jangan engkau lancang bicara! Dosamu sungguh besar...!"
Tepat pada saat itu pula muncul dua orang bersorban di belakang wanita itu. Mereka menggerakkan tangan dan dua batang pisau terbang meluncur ke dalam kamar. Wanita itu berseru, tubuhnya mencelat ke depan dan sekali sambar dia telah berhasil menangkap dua batang pisau yang menyerang Kaisar, kemudian dengan kecepatan kilat dia telah menyambitkan pisau-pisau rampasan itu ke belakangnya. Dua orang Nepal itu memekik dan roboh terjengkang dengan dada tertusuk pisau mereka sendiri!
Kini barulah Kaisar yakin akan kebenaran kata-kata wanita aneh itu. "Aihhhh... lekas ceritakan dengan singkat, apa yang terjadi!"
"Hamba bernama Lulu dan secara kebetulan saja hamba tahu akan persekutuan busuk ini. Pemberontakan direncanakan oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu beserta kaki tangan mereka, bahkan di perbatasan utara telah dipersiapkan tentara pemberontak gabungan, dibantu orang-orang Nepal, Mongol dan Tibet. Hamba tidak tahu banyak, akan tetapi untung hamba tidak terlambat ketika Paduka terancam..."
"Hemm, jasamu cukup dan kami berterima kasih kepadamu. Lulu namamu? Engkau wanita Mancu? Seperti pernah aku mendengar nama ini. Lulu, sekarang kuperintahkan engkau untuk membasmi para pembunuh di istana puteri ini. Kuberi kekuasaan penuh kepadamu."
"Akan tetapi Paduka? Hamba harus menjaga Paduka..."
"Aku akan kembali ke istana melalui jalan rahasia di dalam kamar ini. Jangan khawatir, sebentar lagi pengawal-pengawalku akan membantumu sehingga tidak seorang pun pembunuh akan lolos. Lakukanlah perintahku!"
Wanita itu yang bukan lain adalah Lulu atau bekas Ketua Pulau Neraka, memberi hormat lalu berkelebat keluar dari kamar itu. Kaisar memandang ke arah tubuh jelita yang kini telentang menjadi mayat, menghela napas panjang penuh penyesalan, lalu menghilang di balik sebuah pintu rahasia yang muncul ketika Kaisar menekan tombol di sudut kamar.
Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung walet Lulu meloncat keluar dari dalam kamar. Sambaran senjata rahasia membuat dia waspada, tubuhnya mengelak dan sekali meloncat dia telah naik ke atas sebuah meja. Dari belakang muncullah empat orang bersorban yang bersenjata golok melengkung. Golok mereka itu berlepotan darah dan dengan ganas mereka menyerang Lulu.
"Sing-sing... crak-crakkkk!" Meja di mana Lulu tadi berdiri pecah-pecah tertimpa senjata tajam, akan tetapi Lulu sendiri sudah lenyap dari situ dan tahu-tahu telah berada di belakang dua orang Nepal itu, membalas serangan dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
Dua orang Nepal itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan jagoan-jagoan pilihan yang bertugas membantu dan mengawal wanita yang akan membunuh Kaisar. Mereka ini terdiri dari dua belas orang Nepal dan tiga orang Han, dan semua thaikam yang menjaga di istana bagian puteri ini telah mereka bunuh. Tamparan Lulu dapat mereka elakkan, bahkan mereka memutar tubuh sambil menyerang lagi dengan golok.
Akan tetapi yang mereka hadapi adalah Lulu, bekas Ketua Pulau Neraka yang memiliki kesaktian luar biasa. Biar pun tamparan-tamparannya luput, melihat dua orang Nepal itu balas menyerang dengan golok, Lulu sama sekali tidak mengelak, bahkan kedua tangannya mengembang menyambut golok-golok itu.
"Trak-trakkkkkk!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati kedua orang Nepal itu melihat golok mereka dapat dicengkeram dan patah-patah oleh jari-jari tangan yang kecil halus itu, akan tetapi sebelum mereka sempat melanjutkan rasa kaget, keduanya sudah roboh dengan urat-urat leher putus terkena ‘bacokan’ kedua tangan Lulu!
"Hati-hati, kepung dia...!" Tiba-tiba terdengar bentakan seorang Nepal yang berdiri di sudut.
Orang ini berbeda dengan yang lain, tidak membawa senjata, bahkan agaknya dia sedang asyik minum arak dari sebuah guci yang didapatnya di istana itu. Kemudian terdengar dia bicara dalam bahasa Nepal, dan orang-orang bersorban dibantu oleh tiga orang Han yang gerakannya ringan gesit kini mengurung Lulu dengan gerakan teratur. Agaknya kakek Nepal yang minum arak itu tahu akan kelihaian Lulu dan sudah mengatur anak buahnya untuk mengurung dan membentuk barisan!
Lulu berdiri di tengah-tengah ruangan yang luas. Dia diam tak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak mengerling ke kanan kiri mengikuti gerak-gerik para pengurungnya. Dia melihat betapa mereka itu membentuk garis pat-kwa dan mulai mengeluarkan suara seperti bernyanyi atau berdoa!
Mula-mula Lulu memandang rendah, sungguh pun dia bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa bergerak, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika suara nyanyian itu makin lama makin tidak enak sekali memasuki telinganya, seperti menusuk-nusuk dan dia mulai menjadi pening!
Yang paling nyaring suaranya adalah orang Nepal yang tidak ikut mengurung, yaitu kakek Nepal yang masih memegang guci arak dan kini kakek itu berada di loteng, menonton ke bawah sambil bernyanyi-nyanyi memimpin anak buahnya! Lulu tidak tahu bahwa mereka itu mempergunakan ilmu hitam untuk menundukkannya.
Tak tertahankan lagi kepeningan kepalanya dan Lulu terpaksa memejamkan matanya. Pada saat itu, terdengar aba-aba dari atas loteng dan tiga di antara orang-orang Nepal menubruk maju dan menggerakkan senjata mereka. Seorang bersenjata golok, seorang menusuk dengan pisau-pisau belati di kedua tangan, dan orang ketiga menghantamkan sebuah ruyung!
Lulu merasa pening dan telinganya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia merasa akan datangnya serangan. Dengan kemarahan meluap-luap, wanita sakti ini mengeluarkan jerit melengking yang tidak lumrah suara manusia, seperti suara iblis saja. Dia tidak mengelak, melainkan langsung menubruk maju menyambut serangan-serangan itu dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke depan!
Tanpa disengaja, Lulu telah membuyarkan pengaruh suara nyanyian yang mengandung ilmu hitam itu, yaitu ketika dia menjerit dengan pengerahan khikang saking marah tadi. Akibat dari terjangannya yang dahsysat, senjata-senjata tiga orang itu terpental ke belakang, seorang Nepal kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri Lulu sehingga jari-jari tangan wanita itu menancap masuk dan merobek dada, seorang lagi terlempar oleh tamparan yang mengenai kepala, sedangkan orang ketiga langsung terhuyung-huyung mundur ketakutan!
Lulu melemparkan orang yang dicengkeram dadanya, kemudian cepat meloncat ke belakang melampaui kepala para pengurungnya karena pada saat itu sudah datang pula senjata-senjata para pengeroyok menyerangnya seperti hujan lebat! Loncatan Lulu yang amat gesit ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh para pengurungnya, demikian cepat laksana kilat menyambar gerakan Lulu dan tahu-tahu wanita itu telah berada di atas sebuah meja!
Orang-orang Nepal itu cepat mengurung lagi dan serentak maju menyerang, akan tetapi kini Lulu yang sudah marah mulai mengamuk dan wanita perkasa ini tidak pernah meninggalkan meja dan meja itu bergerak menerjang ke kanan kiri, melayang-layang menggantikan kaki wanita perkasa itu!
Terjadilah pertempuran yang aneh dan hebat sekali. Karena dia selalu berada di atas meja, tidak mudah bagi pengeroyok untuk menyerangnya tanpa terancam bahaya pukulan-pukulan mengandung hawa sinkang yang dilancarkan Lulu dari atas meja, membuat mereka tak berani mendekat karena siapa yang terlalu dekat, kalau tidak terpelanting oleh pukulan jarak jauh, tentu roboh oleh sambaran jarum-jarum rahasia yang dilepas oleh bekas Ketua Pulau Neraka itu.
Betapa pun juga, karena rata-rata orang-orang Nepal itu memiliki kepandaian tinggi, Lulu juga tidak berani bersikap sembrono dan memandang rendah. Ia selalu membuat mejanya melayang ke luar dari kepungan setiap kali para pengeroyoknya berusaha untuk mengepungnya. Ketika dia berhasil merobohkan empat orang pula dan pihak pengeroyok mulai menggunakan pisau-pisau terbang, tiba-tiba meja itu melayang ke atas loteng!
Kakek Nepal yang tadinya minum arak dan memandang rendah karena yakin bahwa kepungan anak buahnya tentu akan merobohkan wanita itu, menjadi kaget dan penasaran sekali. Ditenggaknya arak dari guci, kemudian dia bergerak meloncat menyambut Lulu yang melayang bersama mejanya ke atas loteng, dan disemburkanlah arak dari mulutnya ke arah Lulu.
Wanita ini mengerti bahwa ada serangan dari belakang. Mejanya berputar dan ia menghadapi kakek Nepal itu. Melihat ada gumpalan seperti uap hitam kemerahan menyerangnya, Lulu cepat menggerakkan tangan mendorong sambil mengerahkan sinkang. Uap arak itu membuyar, akan tetapi Lulu terkejut bukan main melihat betapa uap itu seolah-olah hidup, terpecah-pecah dan seperti serombongan ular terbang, terus menyerang ke arah mukanya! Dan pada saat itu, kakek Nepal sudah melontarkan guci yang kosong ke arah meja yang diinjaknya.
"Desssss!"
Lulu lebih memperhatikan serangan uap aneh ke arah mukanya, maka dia meloncat ke atas meninggalkan mejanya yang pecah berantakan dihantam guci, kemudian di udara dia berjungkir balik, melayang ke arah kakek Nepal melampaui gumpalan uap tadi, langsung menghantam dengan Ilmu Pukulan Toat-beng Bian-kun!
Kakek Nepal itu sesungguhnya hanya kuat ilmu hitamnya dan dia terlalu memandang rendah Lulu, tidak tahu bahwa wanita itu adalah bekas Ketua Pulau Neraka yang tersohor. Melihat wanita itu dapat menghindarkan serangan uap araknya dan kini melayang sambil memukulnya dengan dorongan telapak tangan yang membawa angin pukulan halus, dia terkekeh, lalu melonjorkan tangan menyambut pukulan tangan Lulu dengan niat menangkap tangan wanita itu!
"Plakkk!"
Telapak tangan kakek itu bertemu dengan telapak tangan Lulu, dan kakek itu terkekeh makin girang ketika merasa betapa telapak tangan itu halus, lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga sinkang yang kuat. Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu bahwa Pukulan Toat-beng Bian-kun adalah semacam pukulan halus yang amat berbahaya.
Lulu memperoleh ilmu pukulan mukjizat ini dari Nenek Maya yang sakti, dan setelah dia tinggal di Pulau Neraka, pukulan ini diperhebat dengan hawa beracun. Jangankan baru kakek Nepal ini yang tidak berapa tinggi ilmunya, biar orang-orang terkuat di dunia kang-ouw jaranglah kiranya yang akan kuat menerima pukulan ini secara terbuka seperti itu.
Suara ketawanya tiba-tiba berubah menjadi pekik mengerikan, tubuhnya seketika kaku seperti kemasukan api halilintar dan begitu tangan kiri Lulu menyusul dengan tamparan mengenai kepalanya, kedua telapak tangan yang saling menempel tadi terlepas, tubuh kakek Nepal terjengkang dan dia sudah tewas dengan muka berubah hitam!
Gegerlah orang-orang Nepal melihat betapa pemimpin mereka tewas. Mereka tadinya berloncatan mengejar ke atas loteng dan kini Lulu mengamuk, merobohkan tiga orang lagi. Sementara itu di antara mereka ada yang sudah melihat wanita yang ditugaskan membunuh Kaisar menggeletak tanpa nyawa di dalam kamar peraduan, maka maklumlah mereka bahwa usaha mereka gagal sama sekali. Mulailah mereka menjadi panik dan berusaha untuk melarikan diri.
Akan tetapi, Lulu yang telah menerima perintah kaisar, tidak membiarkan mereka lolos. Dia selalu berkelebat menyerang dan merobohkan lawan yang hendak melarikan diri dan tidak lama kemudian, muncullah pasukan pengawal yang dipimpin oleh Kaisar sendiri dari pintu samping! Pasukan pembunuh menjadi makin kacau, mereka melawan mati-matian akan tetapi akhirnya mereka roboh semua seorang demi seorang!
Pada saat itu telah menjelang fajar dan beberapa detik setelah orang terakhir pasukan pembunuh roboh, daun jendela ruangan itu pecah dan dua sosok tubuh melayang masuk ke ruangan itu. Lulu memandang kaget saat mengenal bahwa yang baru masuk melalui jendela ini bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang si wanita berkerudung bersama dara jelita Milana. Kedua orang itu memegang pedang terhunus!
"Tangkap Ketua Thian-liong-pang, sekutu pemberontak!" Tiba-tiba kaisar membentak marah.
Dia sudah mendengar akan kerja sama antara Koksu dan Thian-liong-pang yang tadinya dia setujui saja karena dia percaya kepada Koksu. Tetapi setelah kini ternyata Koksu memberontak, tentu saja Thian-liong-pang juga merupakan pemberontak, dan agaknya Ketua Thian-liong-pang inilah yang memimpin pasukan pembunuh. Kaisar hanya menerima laporan Koksu tentang Ketua Thian-liong-pang yang katanya amat lihai dan seorang wanita berkerudung yang penuh rahasia.
Mendengar bentakan kaisar ini, lima orang pengawal menerjang maju dengan senjata terhunus, mengurung dan hendak menyerang.
"Jangan lancang!" Nirahai, wanita berkerudung itu membentak sambil menggerakkan tangan kiri dan lima orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri! Melihat ini para pengawal terkejut dan Kaisar sendiri pun kaget sekali.
"Biarkan hamba yang menghadapinya!" Lulu berkata lantang, sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan Nirahai. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan dan tempat yang jauh berlainan dari yang pertama, dua orang wanita sakti ini saling berhadapan!
Bagaimanakah Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu dapat muncul secara tiba-tiba di situ bersama puterinya? Telah kita ketahui, Nirahai bersama Bu-tek Siauw-jin menghadapi pengeroyokan Bhong-koksu dan Maharya yang dibantu oleh banyak sekali perwira dan pengawal yang kuat. Pertandingan hebat itu terjadi di dalam taman di istana Koksu dibantu oleh Maharya dan banyak tokoh Tibet dan Mongol yang lihai sekali, namun Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk dan merobohkan banyak orang dalam usaha mereka membobol keluar dari kepungan.
Tadinya Nirahai berniat akan mengamuk terus sampai dia berhasil membunuh Bhong-koksu yang telah memberontak kepada Kaisar dan bersekutu untuk membunuhnya dan menghancurkan Thian-liong-pang. Akan tetapi ketika mendengar betapa pada saat itu Koksu telah mengirim pasukan untuk menyerbu Thian-liong-pang, dia menjadi khawatir sekali dan bersama dengan Bu-tek Siauw-jin yang sudah bosan bertempur, dia membuka jalan darah untuk keluar dari kepungan.
Kepandaian Ketua Thian-liong-pang ini, terutama dengan adanya Bu-tek Siauw-jin kakek aneh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, membuat kepungan Bhong-koksu dan kaki tangannya kurang kuat dan akhirnya, setelah merobohkan banyak lawan, dua orang sakti itu berhasil membobol kepungan dan melarikan diri ke luar dari taman di belakang istana Koksu.
Mereka lari berpencar. Nirahai langsung menuju keluar dari kota raja untuk pergi ke markasnya, sedangkan Bu-tek Siauw-jin keluar pula dari kota raja untuk mencari jejak muridnya. Baru saja Nirahai keluar dari tembok kota raja, dia bertemu dengan Milana yang berlari-lari.
"Milana...!" dia memanggil dengan hati merasa tidak enak. Puterinya bertugas menjaga di markas dan kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin Milana berani meninggalkan markas Thian-liong-pang.
"Ibu...!" Melihat ibunya, Milana terus saja menangis sehingga hati Nirahai makin tidak enak lagi.
"Apa yang terjadi?" Nirahai bertanya sambil memeluk pundak puterinya yang menangis terisak-isak.
Dengan suara terputus-putus Milana lalu menceritakan penyerbuan pasukan Koksu yang dipimpin Thian Tok Lama sehingga tokoh-tokoh Thian-liong-pang tewas semua, anak buah mereka pun sebagian besar tewas dan hanya sedikit saja yang kiranya dapat melarikan diri. Mendengar penuturan ini Nirahai marah bukan main.
"Anjing pengkhianat Bhong Ji Kun...!" Dia memaki dan mengepal tinju.
"Kita harus membalaskan kematian Bibi Wi Siang dan yang lain-lain, Ibu." Milana berkata penuh sakit hati.
"Bagaimana engkau dapat lolos?" Tiba-tiba Nirahai bertanya.
Milana lalu meceritakan betapa dia dijadikan tawanan dan ditolong oleh Gak Bun Beng. "Dia memaksa aku melarikan diri dan memberikan pedang Hok-mo-kiam ini untuk diserahkan kepada Ayah."
"Hemmm..., anak itu memang baik sekali. Sungguh tidak disangka. Milana, sekarang juga kita harus menghadap Kaisar. Agaknya sudah tiba saatnya aku kembali kepada kerajaan, membantu kerajaan dan membasmi Koksu pengkhianat itu dan kaki tangannya."
Demikianlah, ibu dan anak itu dengan cepat malam itu juga pergi ke istana dan tiba di istana menjelang pagi. Sebagai bekas puteri kaisar, tentu saja dengan mudah Nirahai dapat menyelundup ke istana dan langsung menuju ke bangunan istana bagian puteri karena di waktu larut malam seperti itu dia tidak berani mengganggu Kaisar.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia bersama Milana melihat keributan di istana bagian ini, melihat banyak thaikam menggeletak tewas dan banyak pula orang-orang bersorban tewas, bahkan di ruangan dalam masih terjadi pertempuran dan teriakan-teriakan para pengawal kaisar yang membantu Lulu membunuh orang-orang Nepal.
Ketika mendengar bentakan Kaisar yang menganggapnya sebagai sekutu Koksu dan perintah Kaisar untuk membunuhnya, Nirahai berdiri tegak dan dia mendorong roboh lima orang pengawal yang menyerangnya. Kini Lulu berdiri di depannya dengan sikap menantang!
"Hemm, sungguh tidak kusangka kita akan saling bertemu lagi di sini, Thian-liong-pangcu! Lebih-lebih lagi tidak kusangka bahwa engkau begitu keji dan palsu, bersekutu dengan pemberontak untuk membunuh Kaisar! Setelah berada di depan Sri Baginda, engkau masih banyak berlagak. Orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!" Lulu berkata, dan diam-diam dia merasa tidak suka kepada wanita berkerudung yang telah mengancam puteranya dan yang telah menolak pinangannya itu.
"Kurung para pemberontak! Jangan biarkan mereka lolos!" Kaisar berseru lagi ketika dari pintu-pintu ruangan itu bermunculan pengawal-pengawal yang mendengar akan peristiwa di istana bagian puteri dan cepat memimpin pasukan untuk membantu. Kini tempat itu penuh dengan pasukan pengawal dan semua pintu dijaga ketat sehingga tidak ada jalan keluar lagi bagi Nirahai dan Milana.
"Pemberontak rendah, bersiaplah untuk mati!" Lulu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menyerang Nirahai dengan pukulan-pukulan dahsyat. Karena dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang yang sakti, maka begitu menyerang, Lulu telah mainkan jurus dari Ilmu Silat Sakti Hong-in-bun-hoat dan tenaga pukulannya adalah Ilmu Toat-beng-bian-kun!
"Plak! Plak! Heiiiittt!"
Lulu melancat ke belakang setelah berseru nyaring, penuh keheranan karena Ketua Thian-liong-pang itu menangkis dan menghadapi serangannya dengan ilmu silat dan tenaga pukulan yang sama!
"Aihh, ternyata betul kabar yang tersiar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah pencuri ilmu yang tak tahu malu!" bentak Lulu dengan penuh kemarahan.
"Lulu, betapa bodohnya engkau!" Tiba-tiba suara di balik kerudung ini berubah halus dan Lulu tersentak kaget.
"Kau... kau... siapakah...?"
Pada saat itu Milana telah menjatuhkan diri, berlutut menghadap kepada Kaisar sambil menangis dan berkata, "Mohon Sri Baginda sudi mengampunkan hamba dan ibu hamba...! Thian-liong-pang sama sekali bukan pemberontak, bahkan sebaliknya. Thian-liong-pang selalu membantu kerajaan! Karena itulah, baru saja kemarin, Thian-liong-pang diserbu dan dihancurkan oleh pasukan pemberontak Koksu pengkhianat. Para pembantu Ibu tewas semua dan hamba sendiri pun nyaris tewas... harap Paduka sudi mengampunkan ibu dan Ibu... Ibu... selamanya... setia kepada Paduka..."
Milana tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu. Baru sekarang ini dia bertemu dengan Kaisar yang sebetulnya masih kakeknya sendiri! Dia menangis bukan karena takut melihat ancaman terhadap ibunya dan dia, tetapi merasa berduka dan terharu.
Lulu juga mendengar ucapan ini. Dia ragu-ragu dan memandang wanita berkerudung itu dengan bingung. Sekarang wanita berkerudung itu pun menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar dan terdengar suaranya lantang.
"Sesungguhnyalah apa yang dikatakan oleh puteri hamba Milana itu. Semenjak dahulu, hamba adalah puteri Paduka yang setia..." Nirahai merenggut kerudung yang menutupi mukanya dan tampaklah wajah yang cantik agung dan diliputi penderitaan batin itu.
"Suci (Kakak Seperguruan)...!" Lulu menjerit saking kagetnya karena sedikit pun tidak pernah diduganya bahwa Ketua Thian-liong-pang, ibu Milana, adalah Nirahai!
"Nirahai...!" Kaisar juga berseru girang, lalu melangkah maju. "Aihhh... jadi engkaukah yang selama ini menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan gadis ini... dia anakmu...?"
Nirahai menggandeng tangan Milana, dibawa menghadap kemudian berlutut di depan Kaisar. "Harap Paduka sudi mengampunkan hamba, Milana adalah anak hamba dan...”
"...dan dia cucuku! Ahhhhh!" Sang Kaisar menyentuh kepala Milana dengan ujung jari tangannya. "Nirahai, sukurlah bahwa engkau sudah kembali. Sekarang, aku serahkan seluruh pengawal. Seperti dahulu, pimpinlah mereka membersihkan pemberontak-pemberontak laknat itu! Tangkap Yauw Ki Ong dan Bhong Ji Kun, seret mereka ke pengadilan! Dan... wanita bernama Lulu ini, siapakah dia? Sumoi-mu?"
"Dia adalah Lulu, Sumoi hamba dan... dialah bekas Ketua Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan kerajaan." Nirahai berkata dan Lulu sudah menjatuhkan diri berlutut.
Kaisar mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang. "Hemmm..., semua adalah gara-gara perbuatan Bhong Ji Kun yang khianat. Dialah yang melaporkan kepadaku bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan kekuatan-kekuatan berbahaya dan perlu dibasmi, dan aku selalu percaya kepadanya. Apa lagi karena aku mengira bahwa engkau berada di Pulau Es... ahh, benar-benar menyesal sekali aku, telah mendengar bujukan Si Palsu itu."
"Baik Thian-liong-pang, Pulau Es, dan Pulau Neraka tidak pernah memusuhi kerajaan!" Nirahai berkata dan Lulu hanya menundukkan mukanya karena dia benar-benar menjadi bingung sekali setelah mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Nirahai. Jadi puteranya, Wan Keng In, tergila-gila kepada anak Nirahai? Dan anak Nirahai berarti anak... Han-koko, pikirnya terharu dan terkejut, karena bukankah suci-nya itu pernah menjadi isteri Suma Han Si Pendekar Super Sakti?
"Si keparat Bhong Ji Kun yang berdosa. Nirahai, dan engkau Lulu, aku menyerahkan tugas dan kekuasaan kepada kalian berdua untuk membasmi pemberontak. Setelah itu barulah kita bicara. Nah, terimalah pedangku sebagai lambang kekuasaan tertinggi!"
Kaisar meloloskan pedang yang sarungnya bertahtakan naga dan burung Hong, menyerahkan pedang itu kepada Nirahai yang menerimanya sambil berlutut. Kemudian, dikawal oleh pengawal-pengawal pribadinya, Kaisar mengundurkan diri dan Nirahai lalu mengajak Lulu dan Milana untuk mengatur pasukan bersama para panglima istana yang kini menganggap Nirahai sebagai kepala mereka. Para panglima yang tua tentu saja masih mengenal Nirahai dan mereka girang sekali mendapatkan pimpinan wanita sakti ini karena yang mereka lawan adalah Koksu yang dibantu oleh banyak orang lihai.
Akan tetapi, ketika Nirahai yang dibantu oleh Lulu mengerahkan pasukan untuk membikin pembersihan, ternyata bahwa Pangeran Yauw Ki Ong, Bhong-koksu dan semua pembantunya, diam-diam telah lolos dari kota raja dan melarikan diri ke utara untuk bergabung dengan sekutu mereka dan membentuk barisan untuk menyerang kerajaan secara terbuka!
Dengan penuh rasa penasaran, Nirahai lalu mengerahkan pasukan, melakukan pengejaran ke utara, tetap dibantu oleh Lulu. Ada pun Milana tidak ikut membantu ibunya karena dara ini bersikeras untuk mencari ayahnya, menyerahkan pedang Hok-mo-kiam dan juga diam-diam dara ini mengkhawatirkan keadaan Bun Beng yang sama sekali tidak dia ketahui bagaimana nasibnya.
Berangkatlah pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Nirahai, menuju ke perbatasan utara untuk mengejar para pemberontak. Semangat pasukan itu besar sekali karena mereka menaruh kepercayaan penuh kepada Puteri Nirahai yang dahulu pun telah amat terkenal sebagai seorang pemimpin yang pandai dan gagah perkasa. Apa lagi karena Puteri Nirahai adalah puteri kaisar sendiri!
********************
Tubuh Bun Beng terayun-ayun di ujung bambu yang dipikul Bu-tek Siauw-jin. Pemuda ini maklum bahwa dia tadi telah ditolong oleh kakek pendek yang luar biasa ini. Dia tidak tahu siapa kakek ini, dan di dalam gelap tadi dia tidak dapat memperhatikan wajahnya.
Kini bulan sepotong menimpakan cahaya yang cukup terang, akan tetapi dia tergantung di ujung bambu seperti seekor binatang buruan, seperti seekor kijang atau babi hutan yang tertangkap, kaki dan tangannya masih terbelenggu dan tergantung di belakang tubuhnya.
Dari tempat ia bergantung, dia hanya dapat melihat punggung tubuh yang pendek dengan rambut riap-riapan, langkah-langkah kedua kaki kecil pendek dengan gerak pinggul yang lucu, seperti menari-nari!
"Heh-heh-heh, tentu akan terjadi perang lagi. Tentu debu-debu jalanan akan mengebul kotor dilanda barisan bala tentara yang berbaris. Ramai! Ramai!" Kakek cebol itu lalu mengayun langkah pendek-pendek, berlenggang meniru gerakan pasukan berbaris. Bambu panjang yang dipanggulnya, bergerak naik turun dan dipegang seperti tentara memanggul tombak, mulutnya meniru aba-aba komandan pasukan, "Tu-wa! Tu-wa! Tu-wa!"
Diam-diam Bun Beng mendongkol sekali. Karena ayunan itu, tentu saja tubuhnya ikut terangguk-angguk di ujung bambu, membuat kepalanya menjadi makin pening! Celaka, pikirnya, kakek cebol ini agaknya sudah terlalu tua dan pikun sehingga berubah seperti kanak-kanak, atau memang otaknya agak miring!
Sulit diduga apa yang akan menimpa dirinya yang terjatuh ke dalam tangan seorang kakek gila yang sakti, sedangkan dia menderita luka dalam yang amat parah sehingga jangankan menggunakan tenaga dan kepandaiannya, bahkan melepaskan diri dari belenggu kaki tangannya saja dia tidak sanggup. Setiap pengerahan sinkang akan mempercepat nyawanya melayang. Maka dia pun tidak bergerak dan tidak bersuara, hanya menyerahkan nasibnya di tangan kakek cebol yang aneh itu.
Memang kalau orang belum tiba saat-nya tewas, ada saja penolongnya seperti halnya Bun Beng. Dia sudah terancam maut di tangan Thian Tok Lama dan Wan Keng In, menjadi tawanan dan tiada harapan baginya untuk meloloskan diri. Sungguh kebetulan sekali, ketika dia menolong Milana, berhasil membebaskan dara itu dan dia sendiri mengamuk, ada sepasang mata yang menonton semua itu dengan penuh rasa kagum.
Sepasang mata itu adalah mata Bu-tek Siauw-jin yang sedang mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Kalau saja Bu-tek Siauw-jin tidak menyaksikan semua peristiwa ketika Bun Beng menyelamatkan Milana di atas pohon, agaknya kakek ini tidak mau mencampuri urusan, apa lagi menolong Gak Bun Beng yang sama sekali tidak dikenalnya.
Bukan hanya sikap dan kata-kata Bun Beng yang menggerakkan hati kakek itu, menimbulkan kekaguman dan rasa suka, tetapi terutama sekali ketika ia menyaksikan dengan penuh keheranan betapa Gak Bun Beng mampu menghadapi Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan dengan bantuan pasukan yang mengeroyoknya. Dia menyaksikan betapa ilmu kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, dan seandainya pemuda itu tidak menghadapi pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, agaknya belum tentu pasukan itu dapat menawannya.
Sebagai seorang sakti, Bu-tek Siauw-jin terheran-heran dan ingin sekali tahu dari mana pemuda itu memperoleh kepandaian yang demikian tinggi, maka ia mengambil keputusan untuk menculik Bun Beng. Bukan semata-mata karena dia tertarik dan kagum kepada Bun Beng, juga sebagian terdorong oleh rasa tidak sukanya kepada Wan Keng In, murid suheng-nya itu!
Setelah kini Bun Beng dapat diculiknya, dia menjadi bingung sendiri, tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap pemuda itu, maka dipanggulnya seperti seekor babi hutan yang tertangkap, dibawa melanjutkan mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Apa lagi ketika matanya yang tajam mendapat kenyataan bahwa pemuda yang ditolongnya itu menderita luka pukulan yang amat hebat, dan untuk menyembuhkannya bukan merupakan hal yang mudah. Biarlah kuserahkan dia ke pada Pendekar Super Sakti, pikir kakek itu.
Ketika Bun Beng dan Milana bercakap-cakap tentang cinta mereka di atas pohon, kakek ini mencuri dengar, maka dia tahu bahwa pemuda yang dipanggulnya ini saling mencinta dengan puteri Pendekar Super Sakti. Calon mantu! Tentu pendekar itu akan girang kalau dia memberi ‘hadiah’ calon mantunya ini!
Bu-tek Siauw-jin memang pandai sekali mengikuti jejak orang. Setelah tiba di balik bukit kecil di mana terdapat tumpukan batu-batu gunung tampaklah olehnya Pendekar Super Sakti berdiri tegak dengan kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkatnya dan wajahnya diangkat memandang ke arah bulan sepotong, diam tak bergerak seperti arca!
Rambutnya yang panjang putih itu tertimpa sinar bulan pucat, menjadi makin mengkilat putih seperti perak. Lengan kanannya menyilang depan dada, berpegang pada lengan kiri. Hanya ujung rambutnya yang putih panjang itu saja bergerak sedikit tertiup angin malam.
"Brukkkk!"
Bambu itu dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun Beng terbanting ke atas tanah. Akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah keras benar dan tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga hanya pundak dan pangkal pahanya saja yang terbanting. Ia tetap berbaring miring dan dapat melihat kakek cebol itu berjalan menghampiri Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak bergerak seolah-olah suara kedatangan kakek itu tidak terdengar olehnya, atau kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya sama sekali.
Sebetulnya kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat ia kagumi. Namun betapa kecewa hatinya ketika ia menghampiri pendekar kaki buntung itu, ia melihat Suma Han sama sekali tidak peduli kepadanya dan pendekar itu ternyata sedang termenung memandang bulan dengan air muka penuh duka!
Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepala, berjalan hilir-mudik di depan pendekar itu sambil menaruh kedua tangan di punggungnya. Kadang-kadang dia berhenti di depan pendekar itu, menatap wajahnya dan melihat reaksi satu-satunya pendekar itu hanya berulang kali menghela napas panjang, kembali ia menggeleng-geleng kepala dan berjalan hilir-mudik lagi.
Biar pun dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang rebah miring itu memandang dengan bengong. Kakek cebol itu agaknya benar-benar sinting! Akan tetapi mengapa Pendekar Super Sakti diam saja? Apakah mereka telah saling mengenal? Tadinya dia merasa tegang, tertarik sekali karena pasti akan ramai bukan main kalau sampai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu bertanding ilmu melawan Pendekar Siluman!
Akan tetapi, sungguh sama sekali tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu bersikap luar biasa sekali. Pendekar kaki buntung itu tetap berdiri tegak sedangkan kakek cebol itu berjalan hilir-mudik sambil menggeleng-geleng kepala. Hal ini berlangsung sampai sejam lebih! Benar-benar sinting mereka itu!
Akhirnya terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak didengar, akan tetapi kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han.
Sekali hidup, siapa minta?
Segala macam peristiwa menimbulkan suka duka, salah siapa?
Apa pun yang terjadi tak mungkin dirubah
Tiada hubungan dengan suka duka, mengapa susah?
Kakek bulan pun tidak selalu sempurna, mengapa kecewa?
Tuhan tidak mengharuskan setan, tidak memaksa tawa atau tangis!
Yang senang memang bodoh, tapi yang berduka lebih tolol lagi!
Kini tubuh Suma Han mulai bergerak. Terdengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan muka memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya. "Hemm, Bu-tek Siauw-jin. Yang menonton memang berbeda dengan yang merasakan! Memang amat mudah mencela, semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi bagi yang merasakannya sendiri barulah dapat menilai akan ringan beratnya."
Kakek itu tertawa. "Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Ehhh, Pendekar Siluman, engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat dari pada bulan itu. Tentu engkau merasa betapa berat penanggungan derita hatimu setelah kau rasakan. Kalau begitu, mengapa dirasakan?"
"Karena aku ada pikiran."
"Siapa menyuruh engkau memikirkan sampai engkau menderita susah?"
"Tidak ada yang menyuruh."
"Nah, jika begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempunyai pikiran, apakah tepat kalau pikiran itu kita pergunakan untuk selalu memikirkan hal-hal yang menimbulkan duka? Dari pada pikiran dipergunakan secara keliru seperti itu, jauh lebih baik digunakan untuk memikirkan kenapa kita sampai berduka! Sebab sesungguhnya, suka mau pun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri itulah!"
"Bu-tek Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas dari pada pengaruh Im dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup, memberi isi kepada hidup, tanpa mengenal duka, bagaimana kita dapat mengenal suka?" Suma Han menjawab setelah menghela napas panjang.
"Ha-ha-ha-ha, Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil ketakutan, kiranya hanyalah seorang manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh Im dan Yang. Sungguh mengherankan sekali, engkau yang membuka hati dan pikiranku di dalam kamar tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku, ternyata kau sendiri tidak tahu akan api itu dan masih tinggal terbuai di alam mimpi dalam tidur nyenyak. Ternyata engkau yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang terikat oleh keadaan dari luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan kenangan masa lampau. Sungguh kasihan!"
Tentu saja Suma Han menjadi penasaran sekali. "Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!" dan pendekar ini menjatuhkan tubuhnya duduk bersila di atas sebuah batu.
"Aku hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali membuktikan kelemahanmu. Engkau tak mau membuka mata melihat keadaan diriku, tak mau mengerti melainkan menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu menyesatkan." Kakek itu pun menggerakkan tubuhnya dan....
"Bruukkk!" dia sudah duduk pula di atas sebongkah batu besar tak jauh di depan Suma Han.
Sejenak keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring, mendengarkan dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin dia menyaksikan, bahkan mengharapkan terjadinya perang tanding di antara dua orang yang memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi dia kecewa! Ternyata kedua orang itu mulai bertanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang hidup.
Namun, makin didengar, makin tertariklah hati Bun Beng karena yang dipercakapkan dua orang aneh itu adalah hal-hal mengenai rahasia hidup dan makin didengar, makin terbukalah mata batin pemuda ini sehingga dia merasa seolah-olah tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.
"Bu-tek Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!" Suma Han menyerang dengan suara mengejek. "Kau seolah-olah memandang rendah kepada pikiran yang kau katakan selalu menyesatkan. Tanpa pikiran bagaimanakah manusia dapat hidup?"
"Aku tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga aku selama ini, kita manusia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak hidup dikemudikan oleh pikiran. Coba buka mata batinmu dan mari kita jenguk kita lihat keadaan kita ini, keadaan pikiran kita. Memang hidup membutuhkan tenaga pikiran untuk mengingat-ingat dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk menyelesaikan segala macam urusan lahiriah. Pikiran perlu pula untuk mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun terbatas kepada urusan lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup menjadi rusak karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh pikiran!"
"Trakkk!" Ujung batu yang diduduki Suma Han dicuwil oleh tangan Si Pendekar yang mencengkeramnya. "Siauw-jin, siapa sudi bicara main-main denganmu? Hati-hatilah engkau bicara, jangan mencoba mengusik hatiku yang sedang tidak senang. Aku tidak ingin kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah bersikap baik kepada keponakanku!"
"Nah, itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri, Suma-taihiap. Kalau sampai engkau turun tangan dan berhasil membunuhku, bukanlah aku yang mengusik hatimu, melainkan pikiranmu sendiri. Pikiran memang menjadi biang keladi segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan cerdiknya menipu diri sendiri. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?"
"Seperti kukatakan tadi, suka mau pun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri, karena itu, sebagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu ini, mengapa mau saja diperbudak oleh pikiran?"
"Bu-tek Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikaruniai pikiran, mengapa tidak akan kupergunakan?"
"Ha-ha-ha, siapa yang mengaruniaimu? Dan siapakah itu yang kau sebut aku yang mempunyai pikiran? Pendekar Super Sakti, dengarlah baik-baik segala yang hendak kukemukakan, karena semua kesadaran ini kudapat setelah mendengar petunjukmu di dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong terbuka, tanpa penilaian, tanpa kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud memberi pelajaran kepadamu, bukan bermaksud mengurui. Sama sekali tidak karena engkau jauh lebih pandai dari pada aku. Maukah engkau mendengarkan?"
"Bicaralah, kakek aneh."
"Pikiran adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. Dengan sendirinya pikiran menciptakan Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan, menghindarkan hal yang tidak menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau sudah begini, bagaimana tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak akan timbul iri, dendam, benci dan sengsara?"
"Nanti dulu!" kata Suma Han nyaring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima ucapan tadi yang meresap di dalam diri mereka. "Coba jelaskan lagi, bagaimana pikiran mula-mula mengemudikan dan menguasai kita."
"Kita melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Takkan terjadi akibat sesuatu yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran lalu masuk dan mengacaunya. Pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu mengenai kembang itu, dan karena pikiran berputar dengan pusatnya Si Aku yang diciptakannya, maka timbullah nafsu keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya, dan untuk mengambilnya sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah kekacauan yang akan terus berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang, disusul percekcokan dan lain-lain."
"Aku dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin. Memang agaknya tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan pengalaman masa lalu yang memisah-misahkan kesenangan dan penderitaan. Hal-hal yang menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal yang sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat yaitu Si Aku, sehingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan Si Aku dijauhi. Ini menimbulkan pertentangan-pertentangan. Benar sekali! Akan tetapi, apa hubungannya dengan iri?"
"Karena nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat yang menyenangkan dimiliki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang menimbulkan iri tentulah hanya yang menyenangkan saja."
"Bagaimana dengan dendam dan benci?"
"Dendam menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian ini pun ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan hal-hal tidak menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebencian kepada seseorang akan melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak menyenangkan dirinya itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang. Pikiran berupa ingatan atau kenangan memperkuat ini dan menimbulkan dendam kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan."
Suma Han duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya, menyentuh kesadarannya, namun keadaan dirinya yang semenjak kecil sudah terisi oleh pengaruh Im dan Yang itu membuyarkan kembali kekuatan pemersatu yang timbul dari pengertian itu, dan tubuhnya bergoyang-goyang kembali.
"Apa hubungannya semua itu dengan kedukaanku, Bu-tek Siauw-jin?"
"Kedukaan? Hemmmm... kedukaanmu?"
Kakek itu diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, seolah-olah ada sesuatu yang membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di kamar tahanan itu, belum menyerap benar di sanubarinya sehingga dia harus membuka mata batin lebar-lebar dan menghilangkan segala penghalang yang menutupi dirinya sendiri selama ini. Maka pertanyaan itupun membuatnya ragu-ragu. Akan tetapi kemudian dia menjawab lancar.
"Sebelumnya maafkan kalau kata-kataku ini kau anggap tidak tepat. Aku pun hanya seorang pencari yang baru saja mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka di hati? Bagaimana timbulnya dan dari mana timbulnya? Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang telah lalu. Sebuah pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan keinginan hatiku dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbulnya duka, bukan? Dan bagaimana kedukaan timbul? Tentu saja kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan hal yang lalu itu. Jadi, sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah permainan pikiran yang menggali masa lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekan-tekankan sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian, Suma-taihiap?"
Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah menjadi gelap dan dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan tetapi telinganya dapat menangkap semua percakapan. Kini kedua orang itu berhenti bicara, sampai lama keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat dalam, kesunyian yang amat suci dan bersih, kesunyian yang mencakup segala apa di dunia ini. Bun Beng merasa seolah-olah dia hidup di dunia yang baru.
Sunyi melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran. Suara daun gemerisik ditiup angin, suara jangkrik dan belalang yang mulai berdendang menyambut malam, suara burung kemalaman yang terbang lewat mencicit bingung mencari sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan pula merusak kesunyian, melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri.
Dia rebah di atas tanah, dua orang sakti yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau tanah yang sedap, rasa pegal di kedua lengannya dan kakinya yang terikat, rasa di kepalanya yang minta digaruk, semua ini menjadi bagian dari kesunyian yang luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu, tidak ada kemarin dan esok, tidak ada bagaimana dan mengapa!
Dua orang sakti itu masih terus berdebat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan tentu saja dalam kesempatan ini, Suma Han membongkar semua pengetahuan filsafat yang dimilikinya, untuk melawan ucapan kakek yang selalu mengemukakan fakta apa adanya, bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru, melainkan sebagai hasil pandangan mata batin yang terbuka lebar, tidak lagi digelapkan atau dibikin suram oleh segala pendapat dan pelajaran hafalan yang telah lalu.
Bun Beng hanya kadang-kadang saja mendengarkan karena dia merasa betapa dada dan lehernya nyeri bukan main. Teringatlah dia bahwa dia telah terkena pukulan beracun yang amat jahat dari Wan Keng In. Dia berusaha melepaskan ikatan tangan kakinya. Kalau menggunakan sinkang, tentu sekali renggut saja akan putus ikatan kaki tangannya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus, juga nyawanya mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan beracun itu tidak memungkinkan dia mengerahkan sinkang.
Bun Beng perlahan-lahan menggulingkan tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian dia mulai menggosok-gosokkan tali pengikat tangannya di belakang tubuh itu kepada pinggiran batu yang tajam. Karena tidak berani mengerahkan tenaga dalam, Bun Beng bekerja perlahan-lahan, hanya mengandalkan tenaga luar.
Tekun sekali dia mengerjakan semua ini sehingga hanya kalau dia berhenti mengaso saja dia dapat mendengar percakapan dua orang itu sekarang. Baginya, lebih penting melepaskan ikatan kaki tangannya yang kalau dibiarkan dapat membuat jalan darahnya terganggu sekali.
Karena pekerjaan yang lambat dan makan waktu ini, maka setelah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan kaki dan tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan jalan darah pada pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu. Terdengar pula olehnya kedua orang sakti itu masih berdebat!
"Memang enak saja menjadi orang seperti engkau yang tidak dilanda penderitaan batin seperti yang kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang hidup karena memang agaknya hidupmu berjalan lancar tanpa gangguan! Akan tetapi, aku? Terhadap orang seperti engkau tidak perlu aku menyembunyikannya lagi. Kau dengarlah dan coba pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka selama hidupku?"
Pendekar Super Sakti yang sedang tenggelam dalam kedukaan hebat itu kemudian membuka semua rahasia hatinya kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa disengaja, Bun Beng ikut pula mendengarkan, tetapi sebagian dari rahasia itu memang sudah diketahui oleh pemuda ini. Akan tetapi, mendengar penuturan semua itu dia pun terkejut, terheran dan merasa terharu sekali. Tak disangkanya bahwa pendekar besar yang dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu adalah seorang yang telah dilanda kepahitan hidup yang demikian hebatnya!
"Tanpa kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena aku hendak mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksanya untuk menikah dengan orang lain! Kemudian aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang mengorbankan kedudukannya sebagai puteri kaisar dan panglima besar untuk menjadi isteriku.
"Namun, hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku karena kami tidak sepaham mengenai jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan aku hidup merana, hatiku terobek oleh dua perasaan cinta kasih, terhadap adik angkatku dan terhadap isteriku. Aku berusaha mengubur semua kedukaan di Pulau Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih terus mempermainkan diriku, memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua!
"Adik angkatku yang telah berputera seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang gugur dalam perang karena patah hati, dan ternyata adik angkatku itu pun menderita karena cintanya kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia karena dia menjadi Ketua Pulau Neraka.
"Ada pun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang anak perempuan, anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba pikir, menghadapi semua ini, bagaimana aku dapat bertahan untuk tidak berduka?"
Sejenak keadaan sunyi, yang terdengar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang sakti itu. Setelah agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan "Wahh, aku sendiri selamanya tidak berani berurusan dengan wanita, Taihiap. Menurut dongeng, wanita adalah satu-satunya makhluk yang dapat menguasai pria, satu-satunya makhluk yang paling aneh dan sukar dimengerti. Katanya, hanya wanita yang sanggup menciptakan surga dunia mau pun neraka dunia bagi seorang pria, dan jatuh bangunnya seorang pria banyak tergantung kepada seorang wanita.
"Memang sekarang kusadari bahwa segalanya tergantung kepada kita sendiri, kepada pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau membayangkan betapa daya tarik seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan pengaruhnya, akan dapat menghancurkan dan menjatuhkan segala pertahanan hati seorang pria. Sehingga kini seorang gagah perkasa seperti engkau pun roboh dan merana karena wanita, apa lagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu! Hukkh, ngeri aku memikirkannya! Apakah... apakah mereka itu masih mencintamu, Taihiap?"
"Agaknya demikianlah."
"Dan engkau pun mencinta mereka?"
"Sejak dahulu sampai saat ini."
"Huhhh, alangkah mengerikan! Cinta! Celaka, pikiranku buntu, Taihiap. Aku tidak bisa mempertimbangkannya, apa lagi memberi nasihat yang harus kau lakukan!"
Kembali sunyi senyap karena kedua orang sakti itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, memikirkan jalan apa yang terbaik untuk menghadapi dua orang wanita yang menghancurkan hidup pendekar kaki satu itu.
Tiba-tiba terdengar suara lantang dan nyaring, "Seorang isteri harus dalam keadaan apa pun juga ikut dengan suaminya! Seorang kekasih harus setia dan ikut ke mana juga kekasihnya pergi. Seorang laki-laki sejati harus tidak lari dari pada pertanggungan jawabnya dan tidak mengingkari perasaan hatinya sendiri!"
Dua orang sakti itu terkejut dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin telah berdiri di depan Bun Beng yang masih duduk bersila di atas tanah.
"Ahhh, engkau bisa membebaskan diri dari ikatanmu?" Bu-tek Siauw-jin bertanya heran dan agaknya baru kakek ini teringat kepada pemuda yang diculiknya.
"Ah, engkau terluka hebat, nyawamu terancam maut!" Suma Han berseru kaget.
Gak Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu. "Harap Suma-taihiap sudi memaafkan saya yang mengganggu, dan terima kasih saya aturkan kepada Bu-tek Siauw-jin Locian-pwe yang telah menolong saya."
"Engkau... Gak Bun Beng!" Kini Suma Han berseru setelah mengenal wajah pemuda itu di bawah cuaca yang masih remang-remang.
"Ha-ha-ha, sudah tahu namaku Siauw-jin (Manusia Hina) masih menyebut locianpwe (orang tua gagah) pula. Engkau ini mengangkat atau membanting?"
Bun Beng tak dapat membantah kata-kata kakek sinting itu, maka dia diam saja, dan kakek itu melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada Suma Han.
"Tahukah engkau mengapa aku menolongnya, Pendekar Siluman? Setelah engkau ceritakan padaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterimu, maka aku menolong pemuda ini karena pemuda ini telah menyelamatkan puterimu. Tadinya aku tidak tahu bahwa dara itu puterimu. Hemm, sungguh kebetulan sekali."
"Milana? Mengapa dia?" Suma Han bertanya kepada Bun Beng.
Bun Beng lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa di dalam hutan ia melihat Milana menjadi tawanan Wan Keng In dan Thian Tok Lama yang memimpin pasukan menghancurkan Thian-liong-pang. Betapa ia telah berhasil pula mengembalikan pedang Hok-mo-kiam kepada Milana untuk diserahkan kepada Pendekar Super Sakti.
"Sukur bahwa puteri Taihiap telah dapat saya bujuk supaya melarikan diri membawa Hok-mo-kiam. Saya menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Wan Keng In dengan Lam-mo-kiam di tangannya, dan Thian Tok Lama. Akhirnya saya roboh dan sebelum tertolong oleh Locianpwe ini, Wan Keng In telah memukul saya dengan pukulan beracun."
"He-heh-heh, agaknya dia telah memukulmu dengan Toat-beng-ci-tok, dan siapa yang menderita pukulan ini, dalam waktu dua puluh empat jam akan tewas. Bocah setan itu telah memiliki kepandaian tinggi dan tenaganya pun hebat. Nyawamu terancam, Gak Bun Beng," kata Bu-tek Siauw-jin setelah memeriksa sebentar.
"Tidak, dia harus diobati sampai sembuh. Jasanya terhadapku sudah terlampau besar sehingga aku rela mengorbankan nyawaku untuknya. Dia telah menyelamatkan Milana, telah mengembalikan Hok-mo-kiam, dan... dan terutama sekali ucapannya tadi telah membuka mata batinku, telah mendatangkan ketegasan dalam hatiku hingga lenyaplah segala duka nestapa yang tolol selama ini. Bu-tek Siauw-jin, kau harus membantuku mengobati sampai sembuh, kalau tidak, aku akan menuntut engkau yang lancang berani mengambil keponakan dan muridku sebagai muridmu," kata Suma Han.
"Wah-wah, ini namanya pemerasan. Apa boleh buat, aku memang suka kepada anak ini. Dan kalau kuingat bisik-bisiknya dengan dara itu di atas pohon."
Bun Beng terbelalak dan seperti melotot kepada kakek itu yang tertawa dan sudah duduk bersila di depannya, menempelkan kedua tangan pada dada Bun Beng dan berkata, "Kau kerahkan Im-kang di punggungnya, Pendekar Siluman. Aku tahu cara mengobati pukulan Toat-beng-ci-tok dari suheng-ku yang amat keji ini."
Suma Han sudah bersila pula di belakang Bun Beng, menempelkan tangan kirinya dan mengerahkan Im-kang. Mula-mula keadaan Bun Beng tersiksa bukan main. Hawa yang amat dingin menyerangnya dari belakang, seolah-olah membuat seluruh darah di tubuhnya membeku dan hawa yang panas dan mengeluarkan bau amis menyerangnya dari depan.
Kadang-kadang keadaan tubuhnya seperti separuh dibakar dan separuh direndam es, lalu kedua hawa itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, membuat dia hampir pingsan. Akan tetapi lambat laun terjadi hal yang aneh, kedua hawa itu seolah-olah menghentikan pertandingan mereka, bersatu dan menimbulkan rasa hangat yang amat nyaman.
Rasa nyaman ini mendesak rasa nyeri dari dada dan leher, dan tak dapat ditahannya lagi, Bun Beng memuntahkan darah hitam tiga kali. Baiknya dia masih teringat untuk miringkan mukanya sehingga darah hitam yang keluar dari mulut tidak sampai mengenai tubuh kakek yang bersila di depannya.
Ternyata pengobatan yang hanya dilakukan kurang lebih dua jam itu telah berhasil baik. Kakek itu dan Suma Han melepaskan tangan dan keduanya duduk bersila untuk memulihkan tenaga masing-masing. Bun Beng maklum akan keadaan dirinya yang telah tertolong, maka dia tetap berlutut di depan mereka tanpa berani bergerak menanti sampai mereka menyelesaikan pemulihan tenaga mereka yang makan waktu kurang lebih dua jam.
Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya kedua orang sakti itu membuka mata. Melihat betapa Bun Beng masih berlutut di depan mereka, Suma Han diam-diam kagum sekali. Tidak disangkanya bahwa putera Si Datuk Sesat Gak Liat ini telah menjadi seorang yang benar-benar patut dipuji. Seorang pemuda yang tampan, gagah, dan berbudi agung, juga seorang yang ingat akan budi orang.
Dia teringat akan Kwi Hong dan memang ada niat di hatinya untuk menjodohkan keponakannya itu dengan pemuda ini. Namun dia teringat akan ucapan Bu-tek Siauw-jin tentang bisik-bisik antara puterinya, Milana, dengan Bun Beng, maka hatinya menjadi bimbang.
"Bangkitlah, Bun Beng. Engkau telah sembuh," katanya perlahan.
Bun Beng memberi hormat kepada mereka. "Pertolongan Ji-wi seolah-olah telah memberi nyawa baru kepada saya, tak tahu bagaimana saya harus membalas budi yang amat besar itu."
"Ha-ha-ha-ha, untuk membalas, engkau harus menerima dan mempelajari ilmu kami berdua sekarang juga. Kalau engkau tidak mau atau tidak bisa, kami terpaksa akan minta kembali nyawa yang kau bilang kami berikan kepadamu tadi."
Ucapan ini hanya merupakan kelakar saja dari Si Kakek Sinting, akan tetapi Bun Beng menerima dengan sungguh-sungguh. "Teecu sanggup menerimanya dan memenuhi syaratnya."
Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin saling pandang dan keduanya mengangguk. Mereka berdua semalam suntuk telah berdebat tentang kebatinan, mengemukakan pegangan masing-masing. Suma Han telah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang berdasarkan Im dan Yang, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menandinginya dengan Ilmu Tunggal, yaitu yang mempersatukan dua tenaga bertentangan itu sehingga menjadi satu, tidak seperti Suma Han yang mempergunakan kedua-duanya.
Kini mereka telah merasakan sendiri betapa tenaga sinkang mereka yang berdasarkan ilmu-ilmu itu, ketika dipergunakan untuk menyembuhkan Bun Beng ternyata dapat digabungkan menjadi satu! Biar pun tidak saling mengutarakan isi hati dengan kata-kata, keduanya sudah maklum bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, memiliki tenaga sinkang yang hebat dan agaknya hanya pemuda inilah yang sanggup menerima gabungan ilmu mereka!
"Bun Beng, kami berdua telah sepakat untuk menurunkan inti tenaga kami kepadamu. Tentu saja gabungan inti tenaga sakti kami itu baru akan dapat dipergunakan dengan hasil baik dalam sebuah gerakan ilmu silat yang tinggi. Karena itu, coba kau mainkan ilmu silat tertinggi yang kau miliki."
Bun Beng masih muda, akan tetapi dia telah mempelajari bermacam ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Baginya, ilmu silat tertinggi yang pernah dipelajarinya adalah ilmu silat yang dia ‘curi’ dari tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, yaitu Ilmu Silat Lo-thian-kiam-sut. Ilmu itu adalah ilmu yang dicurinya dari Ketua Thian-liong-pang yang ternyata adalah isteri Pendekar Super Sakti ini. Kalau sampai diketahui oleh pendekar ini, apakah tidak berbahaya baginya?
Tentu ia dianggap pencuri! Tetapi jika tidak dimainkannya, berarti ia menyembunyikan sesuatu dan membohong kepada dua orang gurunya yang baru ini! Dia mengambil keputusan nekat. Dia tidak sengaja mencuri! Pula, Ilmu Lo-thian-kiam-ysut itu mirip dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang ia temukan di dalam goa bersama Sepasang Pedang Iblis, dan ia mempelajarinya tanpa sengaja mencuri!
"Ilmu itu adalah ilmu pedang, akan tetapi teecu tidak mempunyai pedang," jawabnya lirih.
"Kau boleh memakai tongkatku ini!" kata Suma Han.
Bun Beng menerima tongkat itu dengan jari-jari gemetar. Betapa dia tidak akan terharu, bangga, dan gembira hatinya? Dia diperbolehkan menggunakan senjata Pendekar Super Sakti! Setelah menerima tongkat butut itu, dengan penuh keharuan dia mencium tongkat itu, lalu memberi hormat kepada kedua orang itu dan mulailah dia meloncat bangun dan mainkan Ilmu Pedang Lo-thian-kiam-sut.
Gerakannya gesit dan ringan bukan main sehingga bagi pandang mata biasa, tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar yang dibentuk oleh tongkat itu. Angin yang berdesir menyambar dari gerakan tongkat membuktikan betapa sinkang dari pemuda itu sudah amat kuat.
Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin memandang dan melongo. Kadang-kadang mereka saling pandang, kadang-kadang menarik napas panjang dan menggelengkan kepala saking kagumnya. Bun Beng bersilat sebaik mungkin, dengan penuh ketekunan.
Ketika selesai, dia meloncat turun dari jurus terakhir yang dihabiskan dengan gerak meloncat tinggi sambil memutar pedang yang diwakili tongkat itu, tongkat yang ternyata cocok sekali digunakan sebagai pedang, kemudian dengan hormat menyerahkan tongkat kembali kepada pemiliknya. Napasnya biasa saja, hanya mukanya menjadi merah sekali karena pengerahan tenaga yang cukup melelahkan.
"Ha-ha-ha, dan orang seperti engkau ini kuambil sebagai murid? Ha-ha-ha, aku benar-benar Siauw-jin yang tidak memandang orang! Bocah, ilmu kepandaianmu ini, ilmu pedang aneh yang baru kau perlihatkan, kiranya sudah cukup untuk membuat aku orang tua menjadi mati kutu!"
Bun Beng menjura, "Harap Locianpwe memaafkan teecu, tidak menertawakan teecu yang bodoh dan teecu mohon petunjuk."
"Ahhh, aku tidak main-main. Ilmu pedangmu tadi hebat, kalau ditambah gabungan inti tenaga sakti kami... wah... agaknya suheng-ku Cui-beng Koai-ong sendiri harus tunduk kepadamu!"
"Gak Bun Beng, dari mana kau peroleh ilmu pedang tadi?" Tiba-tiba terdengar suara Suma Han, suaranya tegas dan pandang matanya membuat Bun Beng mengkirik karena seolah-olah dia merasa betapa sinar mata pendekar itu menembus jantungnya!
"Maafkan, teecu mendapatkannya secara tidak sengaja, dari sebuah kitab dan ilmu ini bernama Lo-thian Kiam-sut, hampir sama dasarnya dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang pernah teecu dapatkan pula dalam sebuah goa. Akan tetapi, Ilmu Lo-thian Kiam-sut ini teecu pelajari secara sembunyi dan... dan... mencuri..."
Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, namun Suma Han kecewa sekali dan dia berkata, "Mencuri? Dari siapa?"
"Dari Ketua Thian-liong-pang."
"Heh...?!" Kedua orang sakti itu terbelalak dan bahkan Bu-tek Siauw-jin sendiri kaget karena tidak menyangka sama sekali.
Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut dan tanpa menyembunyikan sesuatu dia lalu menceritakan semua pengalamannya sampai dia mempelajari ilmu yang luar biasa, ilmu yang oleh Nirahai sendiri tidak dapat dimainkan itu. Mendengar ini, kembali Bu-tek Siauw-jin tertawa kagum, sedangkan Suma Han menghela napas panjang dan berkata,
"Dia tersesat, mencuri ilmu-ilmu orang lain, sedangkan ilmu tertinggi tidak dapat dipelajarinya, bahkan terjatuh ke tangan orang lain. Ini namanya pembalasan! Gak Bun Beng, tahukah engkau, bahwa setelah engkau memiliki Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut ini, sebetulnya engkau terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri? Melihat dasar gerakanmu aku yakin bahwa kitab itu adalah peninggalan Suhu Koai-lojin."
"Ahhhh...!" Bun Beng terbelalak penuh kaget dan kagum. "Teecu... teecu... mana berani...?"
Suma Han tersenyum. Dia merasa makin suka kepada Bun Beng. Jelas bahwa pemuda ini memiliki watak baik, dan ternyata memiliki kepandaian yang hebat pula, hal yang tidaklah mengherankan kalau wataknya demikian sederhana dan merendah.
"Tidak mengapalah, Bun Beng. Tidak ada bedanya apakah engkau menjadi sute-ku, ataukah muridku, ataukah hanya sahabat saja. Apa artinya segala sebutan kosong? Sekarang yang penting, engkau harus benar-benar mengerahkan seluruh ketekunan dan semangatmu, mencurahkan seluruh perhatian untuk menerima gabungan inti tenaga sakti dari kami berdua, hal yang tak mungkin ditemukan oleh orang lain di dunia ini."
Mulailah kedua orang sakti itu melatih Bun Beng. Pendekar Super Sakti menurunkan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, dua inti tenaga panas dan tenaga dingin, sedangkan Kakek Bu-tek Siauw-jin menurunkan sinkang dari Pulau Neraka yang telah merubah warna muka semua tokoh Pulau Neraka!
Karena pada diri Bun Beng sudah terdapat tenaga sinkang yang mukjizat dari jamur-jamur berwarna yang dimakannya ketika dia berada di dalam goa di bawah tanah tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, maka Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi yang mukjizat dari Bu-tek Siauw-jin ini tidak mempengaruhi warna mukanya.
Bun Beng yang amat tekun, cerdas dan memang berbakat luar biasa sekali itu, melatih diri siang malam tanpa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari saja untuk mewarisi ilmu gabungan dari dua orang manusia sakti itu! Melihat hasil ini, makin kagumlah Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk kepada Bun Beng bagaimana untuk memanfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai ilmu tangan kosong atau dengan menggunakan senjata lain.
Biar pun Suma Han sendiri tidak pernah mempelajari ilmu ini, namun karena dasarnya sama dengan ilmu-ilmu yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan Koai-lojin, ditambah pengetahuannya yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk yang amat berharga itu.
Pada hari ke empat, saat Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan kosong, menggunakan tenaga sakti sehingga terdengar suara bercuitan akibat menyambarnya hawa pukulannya yang mengerikan, Suma Han yang berdiri agak jauh bersama Bu-tek Siauw-jin, berkata,
"Dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa."
"Ha-ha-ha, tidak mungkin ada lawannya lagi!" Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggotnya, menyesal mengapa pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Dia pun telah mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak dapat menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari pamannya, juga bakat dara itu kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Beng.
"Bu-tek Siauw-jin, sekarang aku hendak pergi."
Kakek itu menoleh ke kiri, memandang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh dan berduka lagi, bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia tidak berani lama-lama menentangnya itu keluar sinar yang penuh harapan dan gairah hidup yang besar!
"Ke mana kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula. Perkenalanku denganmu ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau rasanya aku menganggap kau sebagai guru karena engkaulah yang telah membuka mata batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma-taihiap."
Suma Han menarik napas panjang. "Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang polos sederhana itu malah lebih mudah menerima penerangan kebenaran sehingga aku tertinggal jauh. Telah kukatakan, ucapan pemuda yang menjadi murid kita itulah yang membuat aku berterima kasih sekali, yang membuka mataku, menyadarkan aku betapa tololnya selama belasan tahun ini aku telah menempuh hidup. Karena ucapannya itulah aku harus segera pergi menyusul mereka."
"Lulu dan Puteri Nirahai?" kakek itu bertanya.
Suma Han mengangguk. "Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat dipecahkan oleh pikiran yang penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang hanya dapat melamun dan merasa diri terlalu pandai, terlalu bersih. Hanya pikiran yang sederhana, tidak melayang-layang di angkasa khayal, yang dapat menghadapi kenyataan saja yang akan dapat menyelami dan memecahkan serta mengatasi persoalan, seperti yang diucapkan Bun Beng empat hari yang lalu itu. Aku hendak menyusul mereka sekarang juga. Harap kau orang tua yang baik suka mencari Kwi Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan kubangun kembali bersama mereka."
Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa. "Engkau masih belum setua aku, Suma-taihiap, segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai jumpa pula. Ingin aku bertemu kembali denganmu kelak, di Pulau Es, di samping mereka yang kau cinta."
Akan tetapi tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih tertawa-tawa dan mengangguk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah mempedulikan dunia ramai, hidup seperti orang sinting dan tidak sudi mempedulikan dirinya sendiri, apa lagi orang lain. Kini bertemu dengan Suma Han, dia tertarik sekali, merasa suka sekali dan kagum sehingga perasaan ini membangkitkan gairah hidupnya kembali.
Bun Beng berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan berkata,
"Kemanakah perginya Suma-taihiap tadi, Locianpwe?"
Biar pun dia tadi berlatih tekun, namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara berkelebatnya tubuh pendekar itu. Dia tetap menyebut Locianpwe kepada Bu-tek Siauw-jin dan taihiap kepada Suma Han, karena kedua orang sakti ini, yang hanya menurunkan tenaga inti mereka, tidak mau dianggap guru.
"Dia sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan sekali dia, merana selama belasan tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru tentang hidup dan pandangan hidup, tentu dia akan dapat berbahagia bersama mereka itu. Sekarang kita pun harus pergi, Bun Beng."
"Ke mana, Locianpwe?"
"Kau bantu aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah ke mana perginya bocah nakal itu!"
Menurutkan kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena dia pun tidak tahu ke mana perginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota raja, maka kebetulan sekali kalau kakek ini hendak mengajaknya ke kota raja. Tentu saja dia tidak berani menolak setelah mendengar penuturan kakek itu bahwa Kwi Hong adalah muridnya!
Berangkatlah kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja. Dengan bekal kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng bisa mengimbangi gerakan kaki Bu-tek Siauw-jin yang amat cepat larinya.
Akan tetapi, ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, keadaan di sana sudah sepi. Para pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Koksu yang memberontak itu, telah melarikan diri setelah komplotan yang hendak membunuh Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai. Kini bahkan kedua orang wanita perkasa itu diserahi pimpinan barisan urtuk melakukan pengejaran dan membasmi pasukan-pasukan pemberontak yang sudah dikumpulkan di perbatasan utara.
Bu-tek Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima. Dia menyelundup ke dalam istana mencari-cari, bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas kamar tahanan kalau-kalau murid-nya masih ‘terselip’ di situ, namun sia-sia belaka karena Kwi Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya gadis itu.
Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan menyelidiki tentang Milana, dara yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat menerangkan ke mana adanya dara itu, bahkan tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, hampir semua orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah kembali ke istana, dan bahwa kini puteri perkasa itu memimpin pasukan besar untuk mengejar dan membasmi pemberontak. Mendengar ini, Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu ikut bersama ibunya untuk membantu. Maka dia pun mengajak Bu-tek Siauw-jin untuk melakukan pengejaran ke utara.
"Teecu tahu di mana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi Hong juga ikut ke sana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak," kata Bun Beng.
Kakek itu menggeleng kepala. "Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Ulah mereka mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara manusia itu kau katakan tontonan? Benar-benar dunia sudah tua, ataukah manusianya yang tolol semua? Hayolah!" Mereka kembali meninggalkan kota raja menuju ke utara.
Apakah yang telah terjadi dengan Milana? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara itu tidak ikut bersama dengan ibunya untuk mengejar pemberontak ke utara, melainkan ditinggalkan di kota raja. Tadinya Puteri Nirahai menyuruh puterinya itu mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan kembali Hok-mo-kiam, akan tetapi ketika dia menerima tugas berat dari Kaisar untuk membasmi pemberontak yang dia tahu dipimpin oleh banyak orang sakti, terpaksa dia meminjam Hok-mo-kiam dari tangan anaknya.
"Biarlah pedang ini kupinjam lebih dulu untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu," pesannya kepada Milana. "Engkau tunggu saja di sini, kalau bertemu dengan ayahmu, ceritakan semuanya dan minta bantuannya untuk menghadapi para pemberontak yang lihai. Juga, kalau engkau bertemu dengan Gak Bun Beng lagi, suruh dia membantu kami di utara. Kami membutuhkan bantuan banyak orang pandai untuk menghadapi para pimpinan pemberontak yang merupakan gabungan orang-orang sakti dari Mongol, Nepal, dan orang Han sendiri."
Setelah menjadi seorang panglima kembali, kini berubah sikap Nirahai, yang terpenting baginya pada saat itu adalah tugasnya. Maka sama sekali terlupalah urusan pribadi, sehingga dia tidak malu-malu untuk memesan Milana minta bantuan Suma Han. Semua demi tugas kerajaan, dan memang beginilah sifat seorang panglima yang baik.
Akan tetapi, nasib buruk menimpa diri Milana. Hati dara ini sudah diliputi kegembiraan besar, bukan hanya kegembiraan kalau dia teringat kepada Gak Bun Beng, pemuda yang dicintanya dan yang juga mencintanya, akan tetapi juga karena adanya harapan yang timbul di hatinya tentang ayah dan bundanya. Kalau mereka itu dapat bersatu kembali, alangkah bahagianya hidup ini, apa lagi di sana ada... Bun Beng!
Dua hari Milana menanti di kota raja. Sebagai seorang cucu Sri Baginda Kaisar yang diakui, apa lagi sebagai puteri dari Panglima Puteri Nirahai, dia amat dihormat dan mendapatkan sebuah kamar yang indah di lingkungan istana, bagian puteri. Namun, darah petualangannya sebagai seorang bekas puteri Ketua Thian-liong-pang, yang sudah biasa bebas merdeka di alam terbuka, tentu saja Milana tidak dapat tahan lama tinggal di lingkungan tertutup itu.
Segera dia telah mengenakan pakaian ringkasnya lagi sebagai seorang pendekar, dan melayang keluar dari lingkungan istana bagian puteri itu untuk ke luar dan melakukan penyelidikan kalau-kalau dapat berjumpa dengan ayahnya atau dengan Bun Beng.
Akan tetapi, bukan Pendekar Super Sakti atau Gak Bun Beng yang dijumpai ketika pada sore hari itu dia menyelinap keluar dari istana, melainkan seorang yang amat dibenci dan ditakutinya. Wan Keng In!
Baru saja Milana meloncat turun dari atas pagar tembok, tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda tampan itu berdiri dengan senyum mengejek di depannya, dan di sebelah pemuda itu berdiri seorang kakek yang amat mengerikan, kakek kurus kering seperti mayat hidup, yang matanya seperti mata boneka tidak bergerak sama sekali. Kakek ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong!
"Sayur di gunung garam di laut, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu menjadi satu, menjadi masakan yang lezat! Ha-ha-ha-ha, adik Milana yang manis, kekasihku yang cantik, calon isteriku tercinta. Dengan penuh rindu aku datang hendak menjemputmu di dalam istana, kiranya engkau telah tidak sabar lagi dan keluar menyambutku. Terima kasih!"
"Manusia iblis! Hayo pergi dari sini! Kalau tidak, akan kukerahkan semua pengawal untuk membunuhmu!" Milana mengancam, namun jantungnya berdebar tegang dan penuh rasa ngeri.
"Hemm, sudah kudengar berita bahwa ibumu, Ketua Thian-liong-pang itu, ternyata adalah Puteri Nirahai dan kini menjadi panglima. Kebetulan sekali, lebih cocok kau menjadi isteriku, engkau cucu Kaisar, dan aku... calon raja di Pulau Neraka. Marilah manis." Tangan Wan Keng In meraih hendak menangkap pinggang ramping dara itu.
Tentu saja Milana tidak sudi membiarkan tubuhnya dipeluk. Dia mencelat ke kanan sambil menggerakkan tangan kiri yang tadi diam-diam sudah mempersiapkan segenggam Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi). Sinar merah menyambar ke arah dada dan perut Wan Keng In dan agaknya pemuda ini tidak tahu bahwa dirinya diserang, karena dia tidak mengelak, tidak pula menangkis.
Hal ini menggirangkan hati Milana karena dia merasa yakin bahwa tentu akan mengenai sasaran dan merobohkan lawannya. Kegirangannya menjadikan kelengahan. Dara ini menjerit ketika pemuda ini melanjutkan tubrukannya, tidak peduli sama sekali akan jarum-jarum yang menembus pakaian mengenai dada dan perutnya, tahu-tahu pinggang Milana telah dipeluknya dan di lain saat tubuh Milana telah menjadi lemas karena ditotoknya!
Sambil tertawa, Wan Keng In mencabut jarum-jarum yang menancap di bajunya, sama sekali tidak melukai kulitnya yang kebal, kemudian memondong tubuh Milana dan dibawanya lari bersama gurunya yang sejak tadi diam saja tidak mengeluarkan suara.
"Haiii! Berhenti...!" Dua orang penjaga istana, pengawal yang menjaga di luar tembok, datang berlari setelah mendengar teriakan Milana. Ketika mereka melihat siapa yang dipondong dan dibawa lari, mereka terkejut dan marah sekali. Ada penjahat menculik cucu Kaisar yang baru dan cantik, puteri dari Panglima Nirahai!
Mereka berdua melupakan keadaan bahwa orang yang dapat menculik puteri itu tentu memiliki ilmu kepandaian hebat. Dengan tombak di tangan mereka berteriak dan mengejar. Wan Keng In dan gurunya belum lari jauh. Karena dua orang pengawal itu melihat Si Kakek berlari di sebelah belakang, otomatis mereka mengerjakan tombak mereka, menusuk ke punggung kakek itu yang agaknya tidak mempedulikan sama sekali.
"Crot! Crot!"
Dua batang tombak itu menusuk ke punggung, agaknya menembus ke dalam, akan tetapi kakek itu tidak roboh, bahkan tiba-tiba tombak itu meluncur ke belakang seperti anak panah, gagang tombak menembus dada dua orang pengawal itu yang roboh seketika, berkelojotan dengan sinar mata penuh keheranan dan kekagetan. Mereka mati dalam keadaan terheran-heran melihat orang yang telah mereka tusuk dan tembus punggungnya itu tidak apa-apa, malah mereka sendiri yang menjadi korban senjata masing-masing.
"Jahanam, lepaskan aku!" Milana meronta-ronta, akan tetapi Keng In hanya tertawa-tawa saja, seolah-olah dia merasa senang sekali dara itu meronta dan menggeliat dalam pondongannya, membuat dia merasa betul bahwa yang dipondongnya adalah benar-benar dara yang dicintanya, yang membuatnya tergila-gila, dara yang hidupnya dan yang selamanya akan menjadi sisihannya, menjadi permaisurinya di Pulau Neraka!
Beberapa orang pengawal terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Mereka segera membunyikan tanda bahaya, sebagian melakukan pengejaran yang sia-sia, sebagian lagi segera melaporkan kepada panglima pengawal di dalam istana. Panglima itu terkejut, terpaksa dengan gemetar melaporkan penculikan atas diri Puteri Milana ini kepada Kaisar.
Tentu saja Kaisar menjadi marah. Baru saja dia mendapatkan kembali puterinya bersama cucunya, dan kini selagi puterinya itu melaksanakan tugas berat membasmi pemberontak, cucunya diculik orang! Dengan suara keras Kaisar memerintahkan kepada panglimanya untuk mengerahkan pasukannya melakukan pengejaran dan membebaskan kembali cucunya.
Akan tetapi sebagai Kaisar yang berpengalaman dia pun maklum bahwa penculik itu tentulah bukan orang biasa, dan sewaktu puterinya yang lihai, dan juga Lulu, pergi memimpin pasukan, kiranya di istana tidak ada orang yang boleh diandalkan memiliki kepandaian tinggi menghadapi penculik itu. Maka segera ditambahkannya,
"Cari Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es. Kalau dia bisa mengembalikan cucu kami, akan kami ampunkan semua dosanya. Umumkan hari ini!"
Panglima mundur dan sibuk melaksanakan perintah Kaisar itu. Akan tetapi mana mungkin mengejar penculik-penculik yang berkepandaian setinggi yang dimiliki Wan Keng In dan gurunya. Sia-sia saja para pasukan pengawal mencari ke sana ke mari. Juga sia-sia saja mereka mencari Pendekar Super Sakti, karena ketika pendekar ini selesai melatih Bun Beng dan datang ke kota raja, dia mendengar akan tugas membasmi pemberotak yang dilakukan Nirahai dan Lulu, maka dia bergegas menyusul ke utara!
Demikianlah, tentu saja sia-sia Bun Beng mencari Milana, dan peristiwa itu memang dirahasiakan oleh Kaisar yang diam-diam berusaha keras untuk dapat membebaskan cucunya kembali dari tangan para penculiknya agar tidak sampai terdengar oleh Puteri Nirahai, puterinya yang keras hati ini. Kalau sampai terdengar oleh Puteri Nirahai, siapa tahu akan akibatnya. Mungkin saja puterinya itu akan meninggalkan tugasnya membasmi pemberontak.....
Dan ke manakah perginya Giam Kwi Hong? Telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong berhasil keluar dari kamar tahanan bersama gurunya yang baru, Bu-tek Siauw-jin. Setelah mempelajari ilmu, terutama sekali setelah memperoleh tenaga sakti Inti Bumi ditambah dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya, Kwi Hong sekarang menjadi seorang yang luar biasa lihainya.
Namun sayang sekali, pengaruh tenaga sakti liar dari Pulau Neraka itu mempengaruhi pula wataknya, dan agaknya pengaruh ini datang dari tenaga sakti itu dan dari pedang Li-mo-kiam di tangannya, karena memang pedang itu bukanlah pedang sembarangan, melainkan sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis yang telah menghirup banyak darah manusia tak berdosa, dan dibuatnya pun secara mukjizat dan kejam!
Setelah berhasil keluar dari kepungan para jagoan yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan Maharya yang lihai, Kwi Hong menurut petunjuk suhu-nya, pergi hendak mencari pamannya, Pendekar Super Sakti. Namun usahanya tidak berhasil, bahkan dia mendengar akan keributan di istana dan betapa Koksu berhasil melarikan diri keluar dari kota raja.
Kwi Hong yang masih merasa penasaran itu cepat mengejar pula keluar dari kota raja dan dia berhasil mendapatkan jejak Pangeran Yauw Ki Ong, pangeran Mancu yang berusaha memberontak dibantu Koksu. Pangeran ini sedang melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja sebelah utara, dikawal oleh Koksu, Maharya dan beberapa orang panglima yang setia kepada mereka, termasuk beberapa orang tokoh Mongol dan Nepal.
Hati dara ini tadi belum merasa puas. Ketika dia dikepung oleh Koksu, Maharya dan lain-lain bersama gurunya, dia mengamuk dan merobohkan banyak perwira pengawal kaki tangan Koksu dengan pedangnya. Dia merasa gembira sekali melihat darah muncrat setiap kali pedang berkelebat, maka dia agak menyesal dan kecewa ketika gurunya menyuruhnya melarikan diri dari kepungan.
Dia amat membenci Koksu dan Maharya, yang dianggap musuh-musuh besar pamannya. Kini, selagi dia sendirian, tidak ada gurunya yang melarangnya, kebetulan sekali dia dapat menyusul rombongan musuh ini, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik untuk memuaskan hati dan pedangnya!
Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong melakukan perjalanan yang penuh kelesuan, sungguh pun dengan tergesa-gesa. Mereka telah mengalami pukulan hebat, dan hanya karena di situ ada Koksu yang pandai menghiburnya dengan janji-janji muluk bahwa pasukan mereka akan dikerahkan untuk langsung memerangi Kaisar, maka Pangeran Yauw tidak putus asa.
Pangeran ini telah kehilangan segala kemewahan hidup dan kemuliaan, bahkan tidak sempat membawa pergi selir-selirnya yang muda-muda, harta bendanya yang berlimpah, dan kini menjadi seorang pelarian yang harus melakukan perjalanan melarikan diri tanpa berhenti selama dua hari dua malam!
Pada malam ketiga, Pangeran Yauw setengah memaksa Koksu untuk menghentikan perjalanan. Dia sudah merasa terlalu lelah, bahkan isterinya sudah beberapa kali jatuh pingsan saking kelelahan. Juga roda-roda kereta perlu dibetulkan karena hampir copot. Melihat bahwa pengejaran tidak ada, atau mungkin juga masih jauh, dan tempat penjagaan pasukan-pasukan mereka yang pertama sudah dekat, Koksu tidak keberatan dan beristirahatlah mereka di sebuah dusun.
Penduduk dusun yang belum tahu akan keributan yang terjadi di kota raja, menyambut rombongan ini penuh penghormatan. Terhibur juga hati Pangeran Yauw dan rombongannya karena dapat melepaskan lelah malam hari itu, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali perjalanan dilanjutkan dalam keadaan tubuh mereka lebih segar.
Akan tetapi, baru saja rombongan keluar dari dusun dan tiba di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang pengawal yang menunggang kuda paling depan roboh dengan tubuh hampir putus menjadi dua potong terbabat kilatan pedang di tangan seorang dara yang cantik namun sepak terjangnya ganas bukan main.
Koksu dan Maharya bersama para panglima pembantu mereka cepat melarikan kuda ke depan dan di sana mereka melihat seorang gadis dengan sebatang pedang yang berkilat sinarnya menyilaukan mata di tangan, berdiri dengan sikap gagah penuh tantangan.
Dara itu bukan lain adalah Giam Kwi Hong! Melihat dara itu, terkejut hati Koksu dan Maharya, karena mereka menyangka bahwa munculnya dara perkasa itu tentulah bersama kakek sinting yang mereka takuti, Bu-tek Siauw-jin!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara melengking tertawa penuh ejekan yang sengaja dia keluarkan untuk memancing keluar Bu-tek Siauw-jin, "Siauw-jin manusia rendah dan hina, tua bangka cebol mau mampus, keluarlah jangan bersembunyi di belakang celana murid perempuanmu!"
Sepasang mata Kwi Hong mengeluarkan sinar berapi karena marahnya mendengar ucapan menghina Maharya yang ditujukan kepada gurunya. "Maharya pendeta iblis!" pedangnya menuding ke depan dan sinar berkilat menyilaukan mata keluar dari ujung pedang itu, membuat semua orang bergidik ngeri melihatnya. "Suhu tidak berada di sini, tidak perlu engkau membuka mulut mengeluarkan hawa busuk memaki Suhu! Aku datang sendiri untuk membunuh engkau yang menghina Suhu, dan membunuh Koksu yang telah membasmi Pulau Es. Kalian berdua adalah manusia-manusia berakhlak bejat, dan aku mewakili pamanku untuk membasmi kalian!"
Pangeran Yauw Ki Ong menjenguk keluar dari keretanya. Melihat gadis itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh gairah. Gadis itu luar biasa cantiknya! Dan dia telah kehilangan begitu banyak selir muda yang cantik. Kalau bisa mendapatkan gadis ini, terhiburlah dia oleh kehilangan semua selirnya itu.
"Seng-jin, siapakah dia?" bisiknya kepada Koksu setelah dia turun dan mendekati.
"Dia bernama Giam Kwi Hong, keponakan Majikan Pulau Es dan kini agaknya menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, setan bangkotan Pulau Neraka. Dia lihai, terutama pedangnya, akan tetapi harap Ong-ya tidak perlu khawatir. Tanpa gurunya, mudah bagi saya untuk menundukkan dan membunuhnya."
"Jangan dibunuh. Kalau kita dapat menariknya sebagai sekutu, bukankah baik sekali? Tentu membuka kemungkinan untuk menarik pamannya, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es, untuk membantu kita pula menghadapi Kaisar."
Sepasang mata Koksu itu bersinar-sinar dan sekaligus dia dapat memikirkan akal yang amat baik, sesuai dengan usul pangeran yang dianggapnya tepat sekali ini. Cepat dia mengeluarkan ucapan dalam bahasa India yang ditujukan kepada paman gurunya, Maharya. Pendeta itu mengangguk-angguk, tertawa dan melangkah maju bersama Koksu menghampiri Kwi Hong.
"Bagus, majulah kalian berdua, agar mudah bagiku untuk membunuh kalian sekaligus dengan pedangku!" Kwi Hong membentak, siap dengan pedangnya.
"Sabarlah, Nona. Kami hendak membicarakan urusan penting dengan Nona. Sabarlah, sebab sesungguhnya di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu." Tiba-tiba Maharya mengeluarkan kata-kata dengan lambat namun jelas, keluarnya satu-satu dan setiap ucapan mengeluarkan getaran hebat dari ilmu hitamnya untuk mempengaruhi gadis itu.
Gelombang getaran hebat menyambar ke arah Kwi Hong dan terasa benar oleh dara ini, membuatnya agak pening dan tubuhnya bergoyang-goyang. Akan tetapi, dengan pengerahan sinkang-nya dia dapat berdiri tegak kembali dan memandang dengan mata penuh kemarahan. Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, terdengar suara Koksu lemah lembut,
"Nona, harap maafkan kalau kami pernah menyerangmu karena Nona berada bersama dengan Bu-tek Siauw-jin. Setelah kami mengetahui bahwa Nona bukan menyeberang kepada Pulau Neraka, melainkan masih keponakan Majikan Pulau Es, maka sadarlah kami bahwa Nona bukanlah musuh, melainkan teman senasib dan seperjuangan dengan kami."
"Tidak perlu mengeluarkan kata-kata membujuk yang kosong!" Kwi Hong masih dapat mempertahankan diri terhadap getaran yang terus dikerahkan oleh Maharya untuk mempengaruhi dirinya dan pikirannya. "Memang aku keponakan Majikan Pulau Es, dan aku tidak akan pernah lupa betapa kalian memimpin pasukan menghancurkan Pulau Es, membunuh banyak orang kami, bahkan telah menawanku dengan akal jahat!"
"Aihhh, harap Nona jangan terburu nafsu. Pada waktu itu kami hanyalah petugas-petugas saja dari Kaisar. Kaisar yang memusuhi Pulau Es. Kaisar membenci Pendekar Siluman pamanmu itu karena pamanmu pernah mencemarkan nama baik kerajaan. Kami hanya ditugaskan untuk menyerang Pulau Es. Kalau mau bicara tentang biang keladinya, hanyalah Kaisar sendiri yang bertanggung jawab! Kami sudah merasa menyesal sekali mengapa dahulu kami menurut saja akan perintah Kaisar lalim itu! Karena kelalimannya maka kami memberontak! Kita semua telah dibikin sakit hati oleh Kaisar lalim itu, Nona. Karena itu, apa perlunya antara kita bermusuhan sendiri, sedangkan kita semua dikejar-kejar oleh pasukan Kaisar yang dipimpin oleh Majikan Pulau Neraka dan oleh Ketua Thian-liong-pang? Mereka menggunakan kesempatan ini untuk merangkul Kaisar, untuk menghancurkan kita, ya, kita, karena Pulau Es menjadi musuh besar mereka!"
Hati Kwi Hong mulai tergerak, sebagian karena ucapan-ucapan Koksu, tetapi terutama sekali oleh gelombang getaran ilmu hitam Maharya yang mukjizat. Dia menjadi ragu-ragu sekali. "Hemmm... begitukah? Paman memang tidak pernah mau dekat dengan kerajaan..."
"Tentu saja. Pamanmu juga seorang pelarian, seperti kami. Dari pada antara kita yang senasib ini terjadi permusuhan, bukankah jauh lebih baik jika kita bersatu menghadapi Kaisar lalim dan membalas dendam kita bersama?"
Pengaruh ilmu sihir yang dikerahkan oleh Maharya telah melumpuhkan semua daya tahan Kwi Hong, dan kini dia mendengarkan ucapan Koksu dengan penuh perhatian, alisnya berkerut dan tangannya yang memegang pedang Li-mo-kiam tidak menegang lagi. Kemudian dia mengangguk-angguk dan berkata, masih agak meragu,
"Mana mungkin kita melawan pasukan pemerintah?"
"Ha-ha!" Maharya kini berkata dengan suaranya yang menggetar. "Jangan Nona ragu-ragu, karena kami telah membuat persiapan. Marilah Nona ikut bersama kami dan menyaksikan sendiri persiapan kami dengan pasukan kami yang amat kuat. Kalau Nona membantu kami, apa lagi kalau kita bersama dapat bergabung dengan Majikan Pulau Es, apa sukarnya menghancurkan kekuasaan Kaisar lalim itu?"
Kwi Hong teringat. Pamannya menjadi pelarian, bersembunyi dan mengasingkan diri di Pulau Es, bahkan kemudian pulau itu dihancurkan oleh pemerintah. Memang harus dia akui bahwa pemerintah telah memusuhi pamannya dan telah melakukan hal-hal yang menyakitkan batin.
"Baiklah," dia menyarungkan pedang Li-mo-kiam. "Aku suka bekerja sama dengan kalian, untuk menghukum Kaisar lalim!"
Pangeran Yauw Ki Ong segera maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada. "Kami merasa berterima kasih, bersyukur, dan bergirang hati sekali mendengar keputusan Lihiap (Pendekar Wanita) yang bijaksana. Selamat datang dan selamat berjuang bersama-sama, Lihiap. Percayalah, kami Pangeran Yauw Ki Ong yang tidak sudi menyaksikan kelaliman Paman Kaisar menindas rakyat. Setelah kami berhasil menduduki singasana, tidak akan pernah dapat melupakan jasa Lihiap yang amat berharga ini!"
Ucapan itu dikeluarkan dengan sikap halus dan sopan, disertai pandang mata kagum dan senyum menggerakkan kumis tipis pangeran itu yang dimaksudkan untuk menundukkan hati perawan cantik perkasa itu. Namun, Kwi Hong hanya balas menghormat dan seujung rambut sekali pun tidak pernah merasa tertarik kepada aksi Si Pangeran ini.
Seekor kuda yang terpilih disediakan untuk Kwi Hong dan tak lama kemudian, dara ini telah menunggang kuda di antara rombongan itu, menjadi sekutu mereka dan bersama-sama mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke utara di mana terdapat gabungan pasukan anak buah Koksu, orang-orang Nepal dan orang-orang Mongol.
Demikianlah, tentu saja sia-sia bagi Bu-tek Siauw-jin untuk mencari muridnya itu di kota raja. Dia dan Bun Beng hanya menduga bahwa karena di utara ada ‘keramaian’, yaitu pengejaran yang dilakukan pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Puteri Nirahai terhadap para pemberontak, agaknya Kwi Hong pun tentu akan menonton keramaian ke sana.
Dugaan ini membuat keduanya tidak betah tinggal terlalu lama di kota raja dan segera mereka pun melakukan perjalanan cepat menyusul ke utara. Di sepanjang perjalanan, tiada hentinya Bun Beng memperdalam ilmunya yang baru, terutama sekali permainan Ilmu Silat Pedang Lo-thian Kiam-sut yang dilakukan dengan tangan kosong dengan pengerahan tenaga gabungan yang dia latih dari Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin.
Rombongan yang diikuti Kwi Hong itu setelah tiba di Tembok Besar di sebelah utara Peking, lalu menyusuri sepanjang tembok yang besar dan panjang itu menuju ke timur. Kiranya pasukan gabungan para pemberontak itu bersembunyi di dekat gunung-gunung dan jurang-jurang yang amat curam. Memang tempat ini amat tersembunyi dan juga liar sehingga pasukan penjaga kerajaan pun hanya beberapa hari sekali saja meronda di bagian ini.
Akan tetapi pada waktu itu, semua pasukan di sekitar daerah ini yang melakukan penjagaan di tapal batas Tembok Besar adalah pasukan anak buah Koksu yang memang sudah diatur sebelumnya. Karena ini pula maka mudah bagi orang-orang Nepal dan Mongol untuk menyelundup masuk melalui Tembok Besar di mana terjaga oleh kaki tangan Koksu sendiri.
Di sekitar Tembok Besar di lembah Sungai Luan itu telah dibangun pondok-pondok darurat yang dijadikan markas oleh pasukan gabungan pemberontak ini. Bahkan para jagoan yang tadinya menanti di sebelah utara kota raja, di daerah sumber minyak di mana Bun Beng pernah mengamuk, setelah usaha mereka membunuh Kaisar gagal.
Sisa para jagoan ini pun sudah melarikan diri dan berkumpul menjadi satu di lembah Sungai Luan ini, untuk memperkuat pasukan pemberontak. Kekuatan mereka terdiri dari kurang lebih lima ratus orang, dan merupakan gabungan pasukan Mongol, Nepal dan pasukan pengawal Koksu yang rata-rata merupakan prajurit-prajurit pilihan.
Pangeran Yauw Ki Ong yang tergila-gila oleh kecantikan Kwi Hong, bersikap amat manis terhadap nona ini. Pangeran yang sudah banyak pengalaman dengan usianya yang mendekati empat puluh tahun itu tidak mau melakukan tindakan yang tergesa-gesa dan sembrono terhadap Kwi Hong karena dia maklum bahwa nona ini bukan seorang wanita sembarangan.
Dia ingin menguasai tubuh Kwi Hong, akan tetapi bukan hanya tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya yang cantik saja, juga terutama sekali ilmu kepandaiannya yang tinggi. Kalau dia dapat meraih dara ini menjadi selirnya yang tercinta, maka dia sekaligus mendapatkan seorang penghibur yang cantik jelita dan seorang pengawal pribadi yang boleh diandalkan!
Dia maklum bahwa dengan bantuan Koksu dan Maharya, setelah dara ini dapat dibujuk bergabung, dengan mudah dia dapat menggunakan kekerasan atau dengan pengaruh ilmu sihir Maharya untuk menggagahi tubuh dara ini secara paksa. Namun hal ini sama sekali tidak dikehendakinya.
Setelah tiba di markas mereka yang berada di lembah Sungai Luan, di atas puncak Pegunungan Merak Merah, rombongan ini beristirahat. Pada keesokan harinya mereka berkumpul, yaitu Pangeran Yauw, Koksu, Maharya, Thian Tok Lama, Kwi Hong, dan para panglima tinggi, untuk mengatur siasat menghadapi pemerintah yang ingin mereka gulingkan. Akhirnya diambil keputusan untuk selain melakukan penjagaan ketat, juga untuk mengirim utusan mata-mata dan para penyelidik untuk mengetahui gerak-gerik musuh di selatan.
Selesai berunding, Pangeran Yauw mengajak Kwi Hong untuk berburu di bawah puncak dengan pasukan pengawal.
"Lihiap tentu belum mengenal daerah ini," katanya manis. "Di sini banyak sekali terdapat rusa kesturi yang mempunyai dedes yang amat harum baunya."
Kwi Hong tertarik sekali. "Pangeran, apakah dedes itu?"
Sang Pangeran tersenyum penuh gaya. Sambil menggerak-gerakkan tangan untuk menimbulkan kesan lebih mendalam, dia menjawab, "Dedes adalah semacam peluh yang keluar dari tubuh belakang rusa kesturi, dan merupakan bahan wangi-wangian yang amat berharga dan sukar dicari bandingnya dalam hal keharumannya, dan tidak sembarang waktu seekor rusa kesturi mengeluarkan peluh dedes ini. Peluh ini hanya keluar di waktu seekor rusa kesturi datang birahinya dan keluarnya dedes yang menyiarkan bau harum itu adalah daya penarik untuk mengundang seekor lawan kelaminnya untuk... hemmm... untuk bermain cinta."
Biar pun pangeran itu sudah bicara dengan hati-hati sekali, namun tetap saja wajah Kwi Hong menjadi merah sekali mendengar penuturan itu. Sejenak Pangeran Yauw terpesona. Betapa cantiknya ketika sepasang pipi Kwi Hong berubah merah seperti itu! Andai kata dia sendiri seekor rusa kesturi, di saat itu tentulah dia akan mengeluarkan peluh dedes yang tidak kepalang tanggung banyaknya!
"Di samping rusa kesturi ini, juga terdapat rusa-rusa muda yang tanduknya merupakan bahan obat kuat yang amat mujarab. Obat lok-jiong (tanduk menjangan muda) amat mahal dan tanduk itu dapat membuat tubuh menjadi sehat segar dan usia menjadi panjang. Selain binatang-binatang itu kita manfaatkan tanduknya dan dedesnya, juga dagingnya sedap bukan main, lunak gurih dan menghangatkan tubuh. Di samping ini, masih terdapat binatang-binatang lain dan tanam-tanaman yang belum pernah Nona saksikan sebelumnya. Marilah kita berburu, saya tanggung Nona akan merasa puas dan gembira sekali."
Dan pangeran itu memang tidak berbohong. Pemandangan alam di Pegunungan Merak Merah itu benar-benar amat indah, dan banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dengan bunga-bunga beraneka warna yang belum pernah dikenal Kwi Hong. Bermacam batang bambu yang aneh-aneh dan bagus sekali tumbuh di daerah ini.
Setelah berburu selama setengah hari, Kwi Hong dan Pangeran Yauw berhasil memanah roboh dua ekor rusa yang gemuk dan muda, dan kebetulan sekali dari dua ekor rusa ini terdapat dedesnya dan dari yang kedua terdapat tanduknya yang muda dan panjang.
Sore hari itu, Pangeran Yauw mengundang Kwi Hong untuk duduk di tepi Sungai Luan, di dalam taman alam yang amat sejuk dan indah, menghadapi meja penuh hidangan arak dan bermacam masakan daging rusa yang lezat! Dalam kegembiraannya, Kwi Hong yang menganggap bahwa pangeran itu adalah seorang bangsawan yang sopan dan ramah, sama sekali tidak menaruh curiga dan makan minum bersama pangeran itu, bahkan tertawa memuji ketika Sang Pangeran menuliskan beberapa baris sajak. Kiranya pangeran bangsa Mancu ini pandai pula dalam hal kesusastraan.
Setelah mereka makan cukup kenyang dan minum arak yang cukup memanaskan tubuh, Pangeran Yauw memanggil pelayan pribadinya dan menyuruh mengambil arak simpanannya. Arak di dalam sebuah guci batu giok biru itu ditaruh di atas meja.
"Giam-lihiap, ini adalah arak simpanan yang saya dapatkan di selatan. Arak yang amat luar biasa, sudah tua sekali. Harap Lihiap sudi menerima penghormatan kami dengan tiga cawan arak ini!" Sambil tersenyum Pangeran Yauw menuangkan secawan arak dari guci arak batu giok itu. Arak itu berwarna merah kekuningan, amat harum baunya dan ketika berada di dalam cawan, kelihatan seperti air emas.
"Kami namakan arak ini arak emas. Silakan minum, Lihiap!"
Kwi Hong merasa sudah terlalu banyak minum akan tetapi dia merasa tidak enak untuk menolak. Diminumnya arak dari cawan itu bersama dengan pangeran yang juga mengangkat cawannya. Arak itu memang enak sekali, manis dan harum, akan tetapi juga amat keras sehingga Kwi Hong merasa betapa hawa panas naik ke kepalanya, membuat ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut.
"Masih dua cawan lagi, Lihiap," kata Sang Pangeran gembira sambil menuangkan lagi arak ke dalam cawan Kwi Hong yang kosong.
"Maaf, Ong-ya. Saya sudah minum terlalu banyak. Tidak kuat lagi..." Kwi Hong menundukkan mukanya dan mengatur napas untuk menghilangkan rasa pening di kepalanya.
"Aihhh, apakah penghormatan kami yang hanya tiga cawan tak dapat Lihiap terima?" Pangeran itu berkata dengan suara ringan, tanda bahwa dia pun agak mabok.
"Bukan begitu, Ong-ya. Tentu saja saya tidak berani menolak kebaikan Ong-ya, akan tetapi saya benar-benar telah agak pening, maka dua cawan arak ini... biarlah saya minum perlahan-lahan..."
Pangeran itu tersenyum ramah lagi dan mengangguk-angguk. "Aku percaya seorang gagah seperti Lihiap tak akan mengecewakan hatiku. Biarlah guci arak ini kutinggalkan saja di sini, harap Lihiap nanti suka menerima dua cawan arak kehormatan dariku lagi, bahkan boleh menghabiskan arak ini kalau suka. Sisanya berikut guci araknya boleh Lihiap kembalikan nanti, aku menanti di kamar... aku mempunyai sebuah benda yang amat berharga, hendak kuserahkan kepada Lihiap sebagai hadiah." Setelah berkata demikian, pangeran itu meninggalkan Kwi Hong dengan langkah kaki agak terhuyung-huyung, langkah seorang mabok.
Kwi Hong menjadi lega hatinya. Harus diakuinya bahwa pangeran itu bersikap amat baik kepadanya. Memang dia tidak bermaksud menolak minum dua cawan arak lagi, akan tetapi ia hanya takut kalau dua cawan itu diminumnya sekaligus, dia akan menjadi mabok betul-betul. Kalau dibiarkannya minum sendiri perlahan-lahan, kiranya tidak apa-apa. Dia mengangkat guci arak itu dan dipandangnya di bawah sinar lampu merah yang dipasang di taman alam itu. Sebuah guci arak giok yang amat indah. Dia tersenyum, meletakkan guci ke atas meja, kemudian memandang cawan arak wangi.
Cawan yang kedua! Ketika tangannya bergerak ke arah cawan, hendak diangkat dan diminumnya arak itu sedikit demi sedikit, tiba-tiba dara itu menaruh cawan araknya cepat ke atas meja dan gerakan cepat ini membuat arak sedikit tumpah, sedangkan tangan kirinya menyambar benda hitam yang meluncur ke arah dirinya. Melihat bahwa benda itu adalah sebuah batu hitam kecil dan ada sehelai kertas diikat pada batu, dia menjadi curiga dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke arah datangnya batu tadi.
Akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu, dan ketika dia melanjutkan pencariannya keluar dari taman alam itu, dia hanya melihat lima orang tukang kuda sedang bekerja keras menyikat tubuh kuda-kuda tunggangan pangeran dan para pembesar lainnya. Tentu saja Kwi Hong tidak mau menanyakan sesuatu kepada mereka ini dan dia kembali ke dalam taman. Di bawah sinar lampu merah, dia melihat tulisan di atas kertas itu. Hanya beberapa huruf yang ditulis dengan tergesa-gesa agaknya. JANGAN DIMINUM ARAK PERANGSANG ITU!
Kwi Hong mengerutkan alisnya, meremas hancur kertas itu dan membuangnya sambil memandang ke arah cawan arak dan guci yang masih terletak di atas meja. Dia merasa penasaran karena sungguh tidak mengerti. Apa artinya arak perangsang? Jelas bukan arak beracun, sebab jika beracun, tentu dia sudah roboh. Pula, mengapa pangeran akan meracuninya?
Pangeran itu dan semua pembantunya merupakan sekutunya untuk menghadapi Kaisar! Tak mungkin mereka itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya. Akan tetapi, apa maksud Si Penulis surat aneh ini? Dan siapa orangnya? Diukur dari tenaga lemparan batu kecil tadi, orang itu memiliki kepandaian biasa saja!
Biar pun Kwi Hong tidak mempedulikan isi tulisan itu dan dia pun tidak takut kalau-kalau dia diracuni, namun kegembiraannya lenyap dan dia tidak mau lagi minum arak. Arak yang sudah berada di dalam cawan itu dia tuangkan kembali ke dalam guci, kemudian dia membawa guci batu giok itu menuju pondok besar tempat peristirahatan Pangeran Yauw Ki Ong.
Setelah penjaga mempersilakan masuk seperti yang dikehendaki pangeran, Kwi Hong memasuki pondok. Alisnya berkerut dan hatinya tidak senang sekali ketika ia melihat pangeran itu dengan pakaian setengah telanjang roboh telentang di atas pembaringan dan dikeroyok oleh dua orang wanita cantik yang menggosok tubuhnya dengan minyak, sedangkan orang kedua memijat tubuhnya.
"Ha-ha, engkau telah datang menyusulku, Lihiap? Harap kau taruh saja guci itu di atas meja dan duduklah. Duduklah di kursi itu, atau di pinggir pembaringan ini, nanti akan kuambilkan sebuah hiasan rambut burung Hong dari batu giok yang amat indah, hendak kuhadiahkan untukmu."
Karena sikap pangeran ini masih ramah dan tidak menonjolkan kekurang ajaran, maka Kwi Hong yang agak pening oleh arak itu masih tidak merasa. Dia masih terlalu jujur untuk dapat mengenal kegenitan seorang laki-laki yang hendak menjatuhkannya, maka setelah meletakkan guci itu di atas meja dia menjura dan berkata,
"Saya hendak mengaso, Pangeran, dan tidak berniat melanjutkan percakapan kita. Soal hadiah, saya tidak membutuhkannya dan kalau Ong-ya hendak memberikan kepadaku, besok masih banyak waktu. Selamat malam dan maafkan saya." Tanpa menanti jawaban dara itu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pangeran itu yang menjadi kecewa sekali.
Pangeran Yauw mendorong dua orang pelayannya dan meloncat turun, menyambar guci arak, membuka tutupnya dan mengintai isinya. Dia kecewa sekali dan maklum bahwa calon korbannya itu tidak minum lagi. Biar pun secawan dari arak emas ini sudah cukup untuk merobohkan seorang wanita yang bagaimana keras hati dan dingin sekali pun, namun agaknya masih kurang kuat untuk menundukkan Kwi Hong! Obat perangsang itu belum cukup kuat untuk mempengaruhi Kwi Hong yang masih bersih, hanya membuat dara itu bingung saja!
Pangeran Yauw maklum bahwa dia tidak boleh terburu nafsu, dan dia akan mencari kesempatan lain untuk melampiaskan niatnya. Dia tersenyum mengusir kekecewaannya, kemudian merangkul dua orang pelayannya itu sebagai penghibur dan pengganti diri Kwi Hong yang tadinya ia harapkan malam itu akan terjatuh ke dalam pelukannya.
Selagi Pangeran Yauw Ki Ong tenggelam ke dalam hiburan kedua orang pelayan wanita muda itu, dan Kwi Hong ke dalam kenyenyakan tidur tanpa mimpi akibat hawa arak, dan Koksu bersama para pembantunya yang berilmu tinggi juga beristirahat dengan hati tenteram karena percaya akan ketatnya penjagaan anak buah mereka, tampaklah dua sosok bayangan tubuh orang yang berkelebat dan bergerak seperti setan di dekat markas para pemberontak ini.
Di dalam kegelapan malam muda itu memang dua sosok bayangan yang berkelebatan di sekitar tempat itu amat mengerikan. Gerakan mereka cepat laksana gerakan iblis sendiri, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang terdengar suara ketawa menyeramkan. Karena bulan belum muncul, sukar untuk menentukan bentuk dua sosok bayangan itu...