CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SEPASANG PEDANG IBLIS
BAGIAN 24
Setelah dia menerima gemblengan Bu-tek Siauw-jin dan memegang Li-mo-kiam, tidak takut lagi dia berhadapan dengan pemuda iblis itu atau gurunya sekali pun, atau siapa saja. Dengan pikiran ini pergilah Kwi Hong meninggalkan kota raja, kembali ke utara dan kini tujuan perjalanan hanya satu, yaitu ke Pulau Neraka! Dia maklum bahwa tidaklah mudah mencari Pulau Neraka akan tetapi dia pernah dibawa oleh bibi Lulu ke pulau itu, dan dapat mengira-ngirakan di sebelah mana letak Pulau Neraka.
Giam Kwi Hong melakukan perjalanan cepat, melalui pegunungan dan hutan-hutan yang sunyi. Pada suatu pagi, ketika dia keluar dari sebuah hutan, dia melihat dari jauh orang-orang sedang bertempur. Tiga orang yang bersenjata tongkat hitam melawan lima orang bersenjata toya panjang. Biar pun ilmu tongkat tiga orang itu aneh dan cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan lima orang yang juga memiliki ilmu toya yang mirip-mirip aliran Siauw-lim-pai, mereka bertiga terdesak hebat.
Kwi Hong tidak mempedulikan urusan orang lain, akan tetapi melihat betapa pertandingan itu tidak adil dan berat sebelah, tiga orang dikeroyok lima, dia cepat meloncat ke tengah arena pertandingan sambil berseru, "Tahan...!"
Delapan orang itu yang melihat bahwa yang melerai mereka hanya seorang gadis muda, tentu saja tidak mau berhenti bertanding, bahkan dua orang Pek-eng-pang yang merasa bahwa gadis itu mengganggu pihak mereka yang sudah hampir menang, mengira bahwa gadis itu tentu hendak membantu lawan. Dengan marah mereka menggerakkan toya mereka dan membentak, "Pergi kau!"
"Sing...! Trak-trakkk!" Dua batang toya itu patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam.
"Berhenti dan jangan bertempur kataku!" Kwi Hong membentak, mengelebatkan pedangnya.
Dua orang pemegang toya, yaitu orang-orang dari perkumpulan Pek-eng-pang, terkejut dan terbelalak memandang toya yang sudah buntung di tangan mereka. Toya mereka terbuat dari baja murni yang kuat, mengapa bertemu dengan pedang di tangan gadis itu seolah-olah berubah seperti sebatang bambu saja.
"Siapa kau?" Seorang di antara lima orang Pek-eng-pang yang menjadi pemimpin mereka berkata. Orang ini berpakaian seperti jubah pendeta, rambutnya digelung melengkung ke atas. "Mengapa kau berani mencampuri urusan kami?"
"Aku siapa bukan soal, yang jelas kalian adalah orang-orang tak tahu malu dan pengecut, mengeroyok dengan jumlah lebih besar. Karena itu, aku tidak senang dan kalian harus berhenti bertempur. Kalian boleh bertempur kalau satu lawan satu, atau tiga lawan tiga."
"Perempuan muda yang sombong! Berani sekali kau menghina kami dari Pek-eng-pang, ya? Apakah kau sudah bosan hidup?" Orang yang dandanannya seperti seorang saikong itu membentak.
"Bukan aku yang bosan hidup, akan tetapi kalian!" bentak Kwi Hong yang sudah marah sekali, pedang Li-mo-kiam di tangannya sudah menggetar.
"Siluman betina, kau boleh bantu tikus tikus Koai-tung-pang ini kalau sudah bosan hidup!" Orang itu berkata dan memberi isyarat kepada empat orang kawannya.
"Tidak perlu dengan mereka, aku sendiri sudah cukup untuk melenyapkan kalian orang-orang sombong!" Kwi Hong bergerak cepat sekali, pedangnya berubah menjadi kilat menyambar-nyambar.
Lima orang itu terkejut dan cepat mereka menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, seperti juga tadi, begitu bertemu dengan Li-mo-kiam, toya mereka patah-patah dan sekali ini Li-mo-kiam tidak hanya berhenti sampai di situ saja, melainkan menyambar ganas ke depan. Terdengar jerit lima kali disusul robohnya lima batang tubuh para anggota Pek-eng-pang dan tewas seketika karena leher mereka ditembus pedang Li-mo-kiam yang ganas dan ampuh!
Melihat dara itu berdiri tegak memandang pedang Li-mo-kiam di tangan, pedang yang kembali sudah minum darah lima orang akan tetapi yang agaknya semua darah disedotnya habis karena di permukaan pedang itu sama sekali tidak tampak noda darah, tidak ada setetes pun, tiga orang anggota Koai-tung-pang menggigil kakinya.
"Mo-kiam Lihiap..." Mereka bertiga berbisik dan menjatuhkan diri berlutut. "Kami menghaturkan terima kasih atas bantuan Lihiap," kata seorang di antara mereka.
Kwi Hong tersenyum sedikit dan menyimpan pedangnya. "Kalian sudah mengenalku?"
"Baru sekarang kami bertemu dengan Lihiap, akan tetapi nama besar Mo-kiam Lihiap siapakah yang tidak mengenalnya. Harap Lihiap tidak kepalang menolong kami. Kami adalah anggota-anggota Koai-tung-pang di Bukit Serigala, sudah lama kami selalu diganggu oleh pihak Pek-eng-pang yang jauh lebih besar dari perkumpulan kami. Kalau mendengar bahwa ada lima orang anggota mereka tewas, tentu mereka akan ke sini dan kami akan celaka."
"Lima orang telah mati semua, bagaimana mereka tahu?"
"Lihiap tidak mengerti. Di samping lima orang ini, tadi masih ada seorang lagi yang bersembunyi dan melihat-lihat keadaan. Mereka selalu begitu, melepas mata-mata melakukan penyelidikan. Kini orang itu tentu telah melapor dan kami pasti akan celaka, mungkin perkumpulan kami akan diserbu! Kini mereka mendapat alasan yang kuat, lima orang anggota mereka tewas, sungguh hebat sekali..." Pemimpin tiga orang itu berkata dengan suara gemetar mengandung rasa takut.
"Hemmm, kalian mengira bahwa aku membunuh mereka karena aku membantu kalian? Sama sekali bukan. Aku tak mau mencampuri urusan kalian yang tiada sangkut pautnya dengan aku! Aku tadi melerai bukan untuk membantu kalian, melainkan karena tidak suka melihat perkelahian yang berat sebelah. Dan, aku membunuh karena mereka menghinaku. Sudahlah!" Sebelum tiga orang anggota Koai-tung-pang itu sempat membantah, tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Tiga orang itu saling pandang dengan muka pucat. "Celaka...!" kata pemimpin mereka, "Kalau begini, kita akan celaka. Lebih baik dia tadi tidak muncul, paling hebat kita hanya dirobohkan oleh orang-orang Pek-eng-pang dan mereka tentu tidak akan membunuh kita. Sekarang, keadaan lain lagi, bukan hanya kita akan celaka, bahkan seluruh Koai-tung-pang tentu akan dihancurkan oleh Pek-eng-pang."
"Lebih baik kita melapor kepada Pangcu (Ketua)!" usul seorang di antara mereka. Tergesa-gesa mereka lalu berlari pergi, meninggalkan lima buah mayat itu untuk cepat-cepat melaporkan kepada ketua mereka di lereng Bukit Serigala yang tidak jauh dari tempat itu.
Kwi Hong sudah melanjutkan perjalanannya dengan cepat, tidak mempedulikan dan sudah melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya ketikar melihat debu mengepul dari depan dan muncullah sepuluh orang berlari-lari cepat mendatangi. Mereka dikepalai oleh seorang saikong berjubah lebar yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sepuluh orang itu semua memegang sebatang toya panjang dan melihat ini Kwi Hong dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Pek-eng-pang, kawan-kawan dari lima orang yang dibunuhnya tadi. Sinar matanya menjadi berkilat berbahaya karena dara ini telah menjadi marah sekali.
"Dia inilah orangnya!" Seorang di antara mereka menuding, agaknya orang inilah yang tadi menjadi mata-mata dan yang menyaksikan ketika lima orang anggota mereka itu tewas oleh pedang Li-mo-kiam di tangan Kwi Hong.
Mereka sudah tiba di depan Kwi Hong dan saikong itu membentak marah, "Nona, benarkah engkau telah membunuh mati lima orang anggota kami?"
"Kalau benar demikian, kalian mau apakah?"
Saikong itu menjadi makin marah, toya di tangannya sudah bergerak seolah-olah dia hendak menyerang. "Hemmmm, engkau benar-benar seorang wanita muda yang sombong sekali. Kalau benar demikian, mengapa kau membunuh para anggota kami?"
"Mereka telah menghinaku, tentu saja kubunuh."
"Perempuan rendah, kau sungguh kejam. Siluman betina yang harus dienyahkan dari muka bumi!" Saikong itu berteriak dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka menyerbu dengan toya mereka sambil mengurung Kwi Hong.
"Awas pedangnya tajam sekali!" teriak orang yang tadi mengintai dan melihat betapa toya kawan-kawannya patah semua bertemu dengan pedang.
Akan tetapi teriakannya terlambat karena sudah ada dua batang toya yang patah bertemu pedang, bahkan pedang itu terus membacok ke depan dan dua orang anggota terpelanting mandi darah!
"Kurung dan serang! Jangan adukan senjata!" Saikong itu berseru dan dia sendiri menerjang dengan hebatnya. Gerakan saikong ini memang hebat, tenaganya besar dan permainan toyanya adalah permainan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan ilmu silat lain dari golongan hitam.
Kwi Hong bersikap tenang dan terpaksa dia harus mengelak ke sana ke mari karena datangnya senjata lawan seperti hujan. Mereka berlaku cerdik, mengeroyoknya dari jarak jauh, tidak mau mengadu senjata dan mengandalkan toya mereka yang panjang untuk menyerang dari segenap penjuru.
Tiba-tiba tampak datang delapan orang yang kesemuanya memegang tongkat hitam. Itulah rombongan Koai-tung-pang yang juga dipimpin oleh ketuanya. Begitu tiba di situ dan melihat gadis perkasa itu dikeroyok orang-orang Pek-eng-pang sedangkan dua orang di antara mereka telah roboh, Ketua Koai-tung-pang berseru,
"Pek-eng-pangcu (Ketua Pek-eng-pang) dia itu adalah Mo-kiam Lihiap, musuh kita bersama. Mari kami bantu kalian!"
Kini delapan orang Koai-tung-pang itu serentak maju dan mengeroyok Kwi Hong. Tentu saja gadis ini menjadi marah sekali. "Bagus! Majulah orang-orang pengkhianat dan pengecut!" Dia begitu marahnya sehingga dialah yang menerjang maju ke orang-orang Koai-tung-pang, mengelebatkan pedangnya dan menggunakan ginkang-nya.
"Singgg-trang-trang-trakk!"
Tiga batang tongkat patah-patah dan dua orang anggota Koai-tung-pang roboh dan tewas seketika oleh babatan pedang Li-mo-kiam. Namun teman-temannya mengurung ketat. Kini masih ada delapan orang Pek-eng-pang dan enam orang Koai-tung-pang yang mengurung, menyerang dari jarak jauh dan selalu menarik senjata mereka kalau sinar pedang Li-mo-kiam berkelebat. Menghadapi pengeroyokan ini, biar pun tidak terdesak, Kwi Hong merasa repot juga.
"Wuuuttt... singgg... aughhh...!"
Teriakan saling susul terdengar ketika ada sinar kilat menyambar dari luar kepungan, disusul robohnya dua orang anggota Pek-eng-pang. Pengepungan menjadi kacau dan mereka cepat membalik. Kiranya di situ telah berdiri seorang pemuda tampan yang memegang sebatang pedang yang serupa dengan pedang yang berada di tangan Kwi Hong, hanya agak lebih panjang.
"Nona Kwi Hong, jangan khawatir, aku membantumu!"
Biar pun Kwi Hong terheran melihat Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu bersikap membantunya, namun dia memang tidak senang kepada pemuda itu, dan membentak, "Aku tidak butuh bantuanmu!"
"Ha-ha-ha, betapa pun juga, aku mau membantumu. Nanti saja kita bicara, sekarang mari kita berlomba membasmi cacing-cacing ini, kita lihat siapa yang lebih hebat antara murid Cui-beng Koai-ong dan murid Bu-tek Siauw-jin!"
"Boleh kau coba! Li-mo-kiam ini tidak akan kalah oleh Lam-mo-kiam itu!" jawab Kwi Hong yang segera mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk merobohkan para pengeroyok.
Wan Keng In tidak mau kalah, pedang Lam-mo-kiam di tangannya berkelebatan bagai naga sakti mengamuk. Yang celaka adalah para pengeroyok itu. Baru mengeroyok gadis pemegang Li-mo-kiam saja sudah payah, kini ditambah lagi pemuda lihai yang membawa Lam-mo-kiam, Sepasang Pedang Iblis itu mengamuk dan seolah-olah hidup di tangan pemuda dan gadis itu. Darah berceceran dan muncrat dari tubuh yang hampir putus, mayat berserakan dan tak lama kemudian, habislah semua pengeroyok termasuk ketua kedua buah perkumpulan itu. Tinggal Kwi Hong dan Keng In yang berdiri memandang pedang mereka yang sedikit pun tidak bernoda darah biar pun Sepasang Pedang Iblis itu telah minum darah belasan orang!
"Ha-ha-ha! Engkau tidak kecewa menjadi murid Susiok!" Keng In memuji dan bukan pujian kosong karena dia betul-betul merasa kagum. Diam-diam dia ingin sekali membuktikan apakah gadis murid susiok-nya ini akan mampu menandinginya.
Di lain pihak, Kwi Hong juga heran melihat sikap Keng In yang lain dari dahulu. Dahulu pemuda iblis itu selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa kini membantunya dan bersikap ramah. Dia tidak peduli akan ini semua dan segera teringat akan pesan Lulu. Dengan pedang Li-mo-kiam masih di tangan, para korban pedang itu masih berserakan di sekitar kakinya dan darah masih bercucuran, dia berkata,
"Wan Keng In, kebetulan sekali kita saling bertemu di sini. Aku membawa pesan dari ibumu untukmu."
Berkerut alis Keng In mendengar ini. Dia juga sedang terheran memikirkan ke mana perginya ibunya, sungguh pun hal itu tidak menyusahkan hatinya benar.
"Di mana kau berjumpa dengan ibuku? Dan apa yang dipesannya? Eh, Nona. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara di tempat lain, tidak di antara bangkai-bangkai yang menjijikkan ini?"
"Terserah kepadamu," jawab Kwi Hong singkat.
Keng In kemudian meloncat dan berlari ke dalam hutan di sebelah kiri, dan Kwi Hong menyusulnya. Kini mereka berhadapan di bawah sebatang pohon yang besar.
"Nah, di sini kan lebih enak. Akan tetapi mengapa kau tidak menyimpan pedangmu?"
Kwi Hong memandang pedang yang masih dipegangnya. "Hmm, menghadapi engkau yang memegang pedang terhunus, lebih baik aku tidak menyimpan pedangku."
Keng In mengangkat alisnya, memandang pedang Lam-mo-kiam di tangannya dan tertawa. "Ha-ha, aku sampai lupa. Agaknya kau curiga kepadaku." Dia menyarungkan pedangnya dan diturut pula oleh Kwi Hong.
"Aku bertemu dengan ibumu di Pulau Es..."
"Apa? Ibuku di Pulau Es?" Keng In benar-benar terkejut sekali karena tidak disangka-sangkanya bahwa ibunya mau pergi ke Pulau Es.
"Benar, tidak itu saja. Malah sekarang Bibi Lulu telah menjadi isteri Paman Suma Han bersama Bibi Nirahai. Mereka bertiga tinggal di Pulau Es sebagai suami isteri."
Dapat dibayangkan betapa kaget hati pemuda itu. Kaget, malu, kecewa dan marah. Akhirnya ibunya tunduk juga kepada pria yang belasan tahun lamanya membikin sengsara hatinya. Ingin dia marah-marah, ingin dia memaki-maki ibunya. Namun Keng In sekarang telah menjadi seorang pemuda yang cerdik dan tidak mau memperlihatkan perasaan hatinya. Dia hanya menunduk sejenak, kemudian ketika dia mengangkat muka lagi, wajahnya sudah biasa dan tenang kembali.
"Apakah pesan Ibu kepadamu untukku?"
Kwi Hong benar-benar tercengang. Sikap Keng In telah berubah sama sekali, jauh bedanya dengan dahulu. Dahulu pemuda itu seperti iblis, akan tetapi kini bersikap biasa dan bahkan ramah.
"Bibi Lulu hanya berpesan kepadaku, kalau aku bertemu denganmu agar membujukmu supaya engkau suka menyusul ibumu di Pulau Es. Hanya begitulah pesannya."
Keng In tersenyum, dan Kwi Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan sekali, apa lagi kalau tersenyum seperti itu.
"Tentu saja aku harus menyusul Ibu, dan aku harus memberi hormat kepada Ayah tiriku yang sudah lama kukenal nama besarnya itu. Ah, kalau begitu lebih girang hatiku bahwa tadi aku menolongmu. Sekarang kita bukan orang lain lagi. Engkau adalah keponakan Pendekar Super Sakti, juga muridnya, sedangkan aku adalah anak tirinya. Bukankah dengan demikian kita masih dapat dikatakan saudara misan? Apa lagi kalau diingat bahwa engkau adalah juga murid Susiok Bu-tek Siauw-jin, berarti kita adalah saudara misan seperguruan pula. Enci Giam Kwi Hong, kau terimalah hormatku dan maafkan segala kesalahanku yang lalu."
Kwi Hong tercengang dan juga menjadi girang. Ternyata pemuda ini sudah berubah menjadi seorang yang baik, tidak seperti dahulu, jahat seperti iblis. Dia tersenyum dan membalas penghormatan Keng In sambil berkata, "Aku juga girang sekali bahwa engkau bersikap baik, Wan Keng In. Dan memang sudah sepatutnya engkau menjadi adikku. Masih teringat olehku ketika masih kecil dahulu, ketika aku ditawan ibumu. Nakalmu bukan main..."
"Wah, Enci Kwi Hong, apakah kau tidak mau melupakan hal yang lalu. Biarlah aku minta ampun kepadamu." Dan pemuda itu benar-benar menjatuhkan diri berlutut di atas tanah depan kaki Kwi Hong!
"Ihhh! Jangan begitu, Adikku!" Kwi Hong tertawa, membangunkan Keng In dan mereka berdua lalu duduk di bawah pohon, di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah.
"Enci Kwi Hong, bagaimana engkau sampai tiba di tempat ini! Tentu bukan untuk mencari aku di sini!"
Berat rasa hati Kwi Hong untuk mengaku bahwa dia tadinya hendak mencari Milana dan Bun Beng, bahkan agak malu pula dia mengatakan bahwa dia hendak ke Pulau Neraka mencari gurunya, karena bukankah Pulau Neraka adalah milik pemuda ini? Maka dia menjawab, "Aku hendak mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan semua pembantunya."
Keng In mengerutkan alisnya. "Hemmm... mencari mereka ada keperluan apakah, Enci Kwi Hong?"
"Aku mau bunuh mereka!"
"Ehh! Ada apa? Mereka itu lihai-lihai sekali! Kenapa kau hendak membunuh mereka?"
"Mereka itu terutama Bhong Ji Kun, ketika masih menjadi pemberontak, telah menipu aku sehingga aku terpikat bersekutu dengan mereka. Dengan terjadinya hal itu, aku telah melakukan kesalahan besar terhadap pamanku."
"Hemmm, begitukah? Mereka pun pernah membujuk aku. Memang mereka harus dibunuh dan aku akan membantumu, Enci Hong! Bahkan aku dapat membawamu kepada beberapa orang di antara mereka."
"Apa? Benarkah itu, Keng In?"
"Benar, aku tidak membohong. Beberapa hari yang lalu aku melihat beberapa orang anak buah Bhong-koksu itu di dekat pantai Lautan Po-hai, dan agaknya mereka itu bersembunyi di tempat sunyi itu."
Berseri wajah Kwi Hong. "Benarkah? Bagus, mari kau antar aku ke tempat itu, Keng In. Tentu saja mereka itu harus bersembunyi karena mereka adalah pemberontak yang dikejar-kejar pemerintah."
"Mari, Enci Hong. Tapi engkau benar-benar sudah tidak benci lagi kepadaku, bukan? Sudah kau maafkan kesalahanku terhadapmu yang sudah-sudah?"
Kalau memikirkan apa yang telah dilakukan oleh pemuda ini di masa lalu, memang sukar untuk melupakannya. Akan tetapi manusia tidak selamanya baik atau buruk, karena keadaan manusia itu selalu berubah, pikirnya. Sekarang pemuda ini kelihatan berubah sekali, mungkin hal ini juga terdorong oleh keadaan ibunya yang sudah menjadi isteri Pendekar Super Sakti. Apa lagi pemuda itu jelas ingin membantunya, tentu tidak mempunyai niat buruk.
"Aku tidak lagi memikirkan hal yang lalu, Keng In. Aku percaya kepadamu."
Wajah yang tampan itu berseri girang dan berangkatlah Kwi Hong mengikuti Keng In menuju ke pantai Lautan Po-hai yang tidak berapa jauh, hanya memakan perjalanan beberapa hari saja dari situ.
* * * * * *
Seperti telah disaksikan oleh Suma Han dan kedua orang isterinya, di sebelah selatan Pulau Es terjadi badai yang hebat. Ketika itu perahu besar yang ditumpangi oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan teman-temannya sedang berlayar ke selatan. Bekas Koksu ini dan teman-temannya telah menderita kekalahan total dan kegagalan yang bertubi-tubi sehingga pelayaran itu dilakukan dengan wajah murung dan hati kesal.
Usaha pemberontakan mereka dengan mengangkat Pangeran Yauw Ki Ong gagal sama sekali, dan pangeran itu ternyata mempunyai hati khianat sehingga terpaksa dibunuh oleh Bhong Ji Kun. Setelah tidak ada lagi pangeran itu, tentu saja mereka tidak memiliki pegangan untuk memberontak. Bahkan di Pulau Es mereka mengalami pukulan hebat lagi, semua dikalahkan mutlak oleh Pendekar Super Sakti sehingga mereka mendapatkan pengampunan dan diusir dari pulau sebagai orang-orang yang kalah. Seperti anjing setelah mengalami gebukan-gebukan! Bagi orang-orang yang terkenal di dunia persilatan seperti mereka itu, tidak ada yang lebih memalukan dan merendahkan dari pada diampuni lawan setelah mereka kalah!
Memang mereka sedang sial. Usaha pemberontakan gagal sama sekali, disusul dengan kekalahan pribadi menghadapi Majikan Pulau Es. Kini selagi mereka bingung ke mana harus pergi dengan perahu mereka karena amat berbahaya untuk mendarat setelah mereka menjadi orang-orang pelarian, tiba-tiba saja badai datang mengamuk dan menyerang perahu mereka!
Perahu itu sebetulnya sudah merupakan sebuah perahu besar menurut ukuran perahu umumnya. Akan tetapi, setelah badai mengamuk menimbulkan gelombang-gelombang setinggi anak bukit, perahu itu tak lebih seperti sebuah mangkuk kecil di tengah telaga. Dan tenaga orang-orang yang biasanya dianggap orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertenaga besar, kini tiada bedanya seperti tenaga semut-semut saja menghadapi tenaga air laut yang digerakkan badai. Perahu dilempar ke sana-sini, dilontarkan ke atas dan diseret kembali ke bawah, diputar-putar dan akhirnya perahu itu pecah berkeping-keping!
Bhong Ji Kun dan anak buahnya tentu saja dalam keadaan seperti itu hanya dapat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Mereka tidak dapat saling melihat ketika perahu itu pecah berantakan dan mereka terlempar ke lautan yang sedang marah itu. Barulah mereka saling dapat melihat ketika badai telah lewat ke timur dan lautan di bagian itu agak tenang dan ternyata bahwa yang berhasil mencengkeram sebagian tubuh perahu yang pecah, yang hanya merupakan beberapa potong papan besar bersambung-sambung, hanya ada lima orang saja.
Dalam keadaan hampir pingsan, lima orang ini naik ke atas papan-papan bersambung itu, terengah-engah. Mereka ini adalah Gozan, orang Mongol yang bertubuh tinggi besar itu, Liong Khek, Si Muka Pucat bertubuh kurus yang bersenjata pancing. Thai-lek-gu, Si Pendek Gendut bekas jagal babi yang bersenjata sepasang golok, dan dua orang Mongol yang tadinya adalah juru-juru mudi perahu itu.
Berkat pengalaman dan keprigelan dua orang bekas juru mudi inilah, maka pecahan perahu yang kini ditumpangi mereka berlima itu akhirnya dapat keluar dari daerah badai, kemudian dengan susah payah mereka mendayung mempergunakan papan yang berapung, untuk menggerakkan perahu istimewa ini ke darat. Dan mereka berhasil setelah melalui perjuangan mati hidup selama beberapa hari. Mereka berhasil mendarat di tempat sunyi, di pantai Lautan Po-hai dalam keadaan tenaga habis dan hampir mati kelaparan!
Kini mereka sudah hampir dua pekan berada di goa-goa pantai Lautan Po-hai. Tenaga mereka sudah pulih dan pada siang hari itu ketiga orang bekas pembantu Koksu bercakap-cakap di depan goa sedangkan dua orang bekas juru mudi kini bertugas sebagai pelayan, memanggang ikan yang mereka tangkap di tepi laut.
"Sudah lama kita menanti di sini, dan Im-kan Seng-jin belum juga muncul," kata Liong Khek yang sebagai orang terlihai di antara mereka berlima tentu saja otomatis menjadi pemimpin mereka.
"Dalam badai seperti itu, biar pun memiliki kepandaian selihai dia, kiranya takkan banyak berdaya," Thai-lek-gu berkata menggeleng-gelengkan kepala, masih ngeri kalau mengenangkan peristiwa itu. Dia tidak dapat berenang sama sekali, maka dapat dibayangkan betapa takutnya ketika itu, hanya untung oleh ombak dia dilemparkan ke dekat pecahan perahu sehingga dapat menyelamatkan diri.
"Agaknya dia dan yang lain-lain sudah mati ditelan ikan," kata Gozan. "Lebih baik kita tinggalkan saja dia. Tempat ini pun masih berbahaya. Kalau sampai ada nelayan yang melihat kita dan melaporkan, kita akan celaka. Aku sudah khawatir sekali ketika beberapa hari yang lalu ada perahu kecil meluncur cepat di lautan itu."
"Tak usah khawatir," Liong Khek berkata, "Perahu kecil itu hanya ditumpangi seorang, dan dia agaknya tidak memperhatikan ke sini. Pula, dia sudah pergi beberapa hari yang lalu, kalau memang dia melaporkan, kiranya pada hari itu juga sudah ada pasukan yang datang hendak menangkap kita. Akan tetapi, andai kata demikian, kita takut apa kalau hanya menghadapi pasukan-pasukan biasa?"
"Sekarang lebih baik kita lanjutkan rencana kita," kata pula Gozan. "Kita dapat pergi ke Mongol melalui dua jalan. Pertama melalui jalan barat, melintasi Propinsi Liao-ning dan melalui Pegunungan Tai-hang-san sebelah utara. Akan tetapi jalan ini berbahaya karena tentu kita akan bertemu dengan para penjaga yang menjaga di Tembok Besar. Jalan kedua adalah melalui sepanjang Sungai Yalu dan kemudian terus ke barat melalui Mancu."
"Melalui Mancu? Gila, bukankah di sana pusatnya bangsa yang menjajah sekarang?"
"Justeru karena itulah maka kita takkan diperhatikan, karena tidak akan ada yang mengira bahwa kita berani lewat di sana. Di sana banyak terdapat orang Mongol, maka bagiku aman, juga banyak terdapat orang Han. Dengan menyamar, kita mudah saja melalui Mancu, kemudian ke barat dan menyelinap ke Mongol." Gozan yang sudah hafal akan seluk-beluk daerahnya itu menggambarkan keadaan dengan coretan-coretan di atas tanah depan kakinya.
"Kalau begitu, besok pagi-pagi kita berangkat pergi!" kata Liong Khek sambil menarik napas panjang.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu, "Tidak usah besok, sekarang pun kalian akan pergi ke neraka!"
Tampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwi Hong dan Keng In! Pemuda itu tersenyum-senyum saja dan berdiri di pinggiran dengan kedua tangan bersedekap (terlipat di dada).
Mendengar ucapan Kwi Hong dan ketika mereka mengenal dara ini, tiga orang itu sudah meloncat berdiri. "Nona, apa kehendakmu dan apa artinya kata-katamu itu?" Liong Khek bertanya, dan mukanya berubah pucat.
"Aku datang untuk membunuh kalian! Mana dia Si Keparat Bhong Ji Kun? Suruh dia keluar!"
"Dia... mungkin sudah mati. Perahu kami pecah dihantam badai dan yang dapat menyelamatkan diri hanya kami berlima. Nona, kami telah dilepaskan pergi oleh paman Nona. Kami telah dimaafkan..."
"Mungkin Paman memaafkan, akan tetapi aku tidak! Penghinaan dan tipuan yang kalian lakukan kepadaku hanya dapat ditebus dengan darah!" Sambil berkata demikian Kwi Hong sudah mencabut pedangnya.
"Singggg...!" Kilat berkelebat ketika pedang Li-mo-kiam dihunus.
Tiga orang itu menjadi kaget sekali. Liong Khek menoleh dan menghadapi Keng In yang masih berdiri tenang dan tersenyum-senyum. "Wan-taihiap engkau adalah bekas sekutu kami. Harap kau suka membantu kami dan menyuruh nona ini agar tidak memaksa kami bertanding."
Wan Keng In tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ini orang-orang yang tak dapat dipercaya dan berwatak pengecut, maka kalian memang sudah sepatutnya dibunuh. Akan tetapi karena kalian berhutang kepada Enci Kwi Hong, biarlah dia yang akan menagihnya. Aku hanya akan melenyapkan dua orang tiada guna itu!"
Tiba-tiba tangannya bergerak, tampak sinar berkelebat ketika pedang Lam-mo-kiam dicabut dan tubuhnya hanya berkelebat sebentar lalu dia sudah berdiri lagi di tempat tadi, pedangnya sudah disarungkan kembali, akan tetapi dua orang pelayan bekas juru mudi yang tadinya berjongkok dekat perapian karena terganggu pekerjaan mereka memanggang ikan itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh, lehernya putus disambar sinar pedang Lam-mo-kiam!
Tiga orang itu kaget bukan main dan tahulah mereka bahwa jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah melawan! Melihat sikap pemuda Pulau Neraka yang mereka tahu lihai luar biasa itu, mereka hanya mengharapkan pemuda itu benar-benar memegang kata-katanya dan tidak akan ikut campur, membiarkan dara itu seorang diri saja melawan mereka. Kalau begini halnya, mereka masih ada harapan.
Biar pun mereka juga maklum bahwa murid dan keponakan Pendekar Super Sakti ini lihai sekali, namun mereka bertiga masa kalah melawan seorang gadis muda? Apa lagi mereka itu telah siap dengan senjata mereka. Gozan yang tak pernah bersenjata itu mengandalkan kedua tangan dan kakinya dan ilmu gulat disamping ilmu silatnya. Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Besar) pun ketika berhasil menyelamatkan diri, sepasang golok penyembelih babinya masih tergantung di punggung. Ada pun Liong Khek sendiri yang kehilangan senjatanya, telah mencuri sebuah pancing dari nelayan di Pantai Po-hai dan sudah membuat senjata pancing baru. Biar pun tidak sekuat buatannya sendiri dahulu, namun cukup untuk dipergunakan karena memang keistimewaannya adalah mempermainkan senjata aneh ini.
Melihat betapa dua orang itu sudah mengeluarkan senjata masing-masing, dan Gozan telah berdiri memasang kuda-kuda dengan dua lengan dikembangkan seperti seorang yang kerinduan siap memeluk kekasihnya, Kwi Hong menggerakkan pedangnya dan membentak, "Bersiaplah untuk mampus!"
Akan tetapi Liong Khek dan Thai-lek-gu sudah mendahului menggerakkan senjata mereka. Sepasang golok Si Gendut Pendek itu menyambar dahsyat dari kanan kiri, dan terdengar suara bersiut nyaring ketika tali pancing itu melecut udara dan mata kailnya membalik, menyambar tengkuk Kwi Hong dari belakang.
Kwi Hong maklum akan kelihaian para lawannya, makin dia cepat memutar pedang menangkis sepasang golok sambil merendahkan tubuh dan menyelinap ke kiri untuk menghindarkan sambaran mata kail. Si Gendut Pendek itu mengenal Li-mo-kiam, cepat menarik kedua goloknya dan memutar golok itu untuk melanjutkan serangannya, yang kiri menusuk dada, yang kanan menyerampang kaki. Juga Liong Khek sudah menggerakkan tali pancingnya.
Kwi Hong tadi meloncat ke kiri untuk menjauhi Gozan. Biar pun orang Mongol itu bertangan kosong, akan tetapi dia maklum akan kelihaian orang ini dengan kedua tangannya. Sekali kena dipegang orang itu, sukarlah untuk dapat lolos lagi. Karena itu dia selalu bergerak menjauhinya agar jangan sampai Gozan mendapat kesempatan menyergapnya dari belakang.
Keng In hanya berdiri tersenyum. Melihat wajah pemuda ini, sukar untuk mengetahui apa yang tersembunyi di balik dada dan di balik dahi itu. Akan tetapi yang sudah jelas, matanya bergerak mengikuti gerak-gerik Kwi Hong, penuh kagum, dan kadang-kadang mata itu dengan liarnya melayang ke arah dada, pinggang, kaki dan wajah yang cantik dari gadis itu.
Pertandingan itu berjalan seru dan biar pun dikeroyok tiga, Kwi Hong tetap saja dapat mendesak. Hal ini bukan hanya karena tingkat ilmunya memang jauh lebih tinggi, akan tetapi terutama sekali karena tiga orang itu jeri menghadapi keampuhan Li-mo-kiam yang dahsyat dan mengandung hawa mukjizat itu. Betapa pun juga, tidaklah terlampau mudah bagi Kwi Hong untuk merobohkan mereka, karena tiga orang itu bertanding untuk mempertahankan nyawa mereka!
Lima puluh jurus telah lewat dan masih belum ada di antara mereka yang terluka, kecuali golok kiri Thai-lek-gu patah ujungnya terbabat Li-mo-kiam. Karena maklum bahwa kalau mereka hanya mempertahankan diri saja, lambat laun tentu mereka akan menjadi korban Li-mo-kiam, maka tiga orang itu pun berusaha untuk membalas dan merobohkan gadis yang perkasa itu. Pendeknya, pertandingan itu bagi mereka hanya berarti membunuh atau dibunuh!
Pada saat untuk kesekian kalinya sepasang golok Thai-lek-gu menyambar, Kwi Hong berusaha menangkis dan mematahkan golok dan Si Gendut itu memang hanya mengacau untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya. Melihat dara itu menggerakkan pedang menghalau golok-golok yang mengancamnya, Liong Khek menggerakkan pancingnya yang kini diulur panjang untuk melibat pinggang dan leher dara itu!
Kwi Hong memang sudah menanti hal ini terjadi karena dia merasa penasaran dan kehilangan sabar setelah sekian lamanya belum juga dapat merobohkan mereka. Begitu tali pancing melecut udara dan menyambar, Kwi Hong menggerakkan tangan kirinya menangkap tali pancing! Liong Khek berseru girang, dan seruan ini merupakan aba-aba bagi kedua orang temannya. Sepasang golok itu menyerang dari kanan kiri, sedangkan Gozan menubruk dari belakang!
Kwi Hong mengerahkan sinkang, menarik tali pancing dengan tangan kiri. Ketika sepasang golok menyambar, kembali dia memutar pedang dan melepas tali pancing dengan tiba-tiba sehingga mata kail itu meluncur ke arah pemiliknya! Tentu saja Liong Khek dapat menyelamatkan diri dan pada saat pedang Kwi Hong berhenti bergerak karena dua batang golok itu ditarik kembali pada saat yang sama, mata kail itu sudah menyambar ke arah mukanya dan sepasang golok sudah menjepit pedang, sedangkan Gozan menubruk dari belakang, tahu-tahu kedua tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang!
Kwi Hong tidak menjadi gugup. Dia merendahkan tubuh dan dimiringkan, akan tetapi dia tidak mengira bahwa gerakan Gozan memang cepat sekali dan tahu-tahu elakan itu masih belum cukup untuk menghindarkan kedua tangan Gozan dan kini tangan kanan raksasa Mongol itu sudah meraih pinggang Kwi Hong dan lengannya merangkul ketat! Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Pedang yang terjepit sepasang golok itu dia betot sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi.
“Krakkk!” terdengar suara ketika sepasang golok itu patah-patah dan pedangnya terus membabat ke belakang.
"Crokkkk! Aughhhh...!" Tubuh Gozan terguling, lengan kanannya putus sebatas pundak akan tetapi lengan yang besar itu masih melingkari pinggang dan jari-jari tangannya masih mencengkeram baju gadis itu!
"Ihhhh!" Kwi Hong bergidik, merenggut lengan itu dengan tangan kirinya, kemudian membuangnya ke samping.
"Brettt!" Baju di bagian perutnya terobek oleh jari-jari tangan itu. Untung pakaian dalam hanya ikut terobek sedikit sehingga hanya sedikit bagian kulit perutnya yang putih bersih itu tampak!
Sambil menutupi bagian robek dengan tangan kiri, Kwi Hong membalikkan tubuh dan pedangnya berkelebat merupakan gulungan sinar pedang yang bagai kilat menyambar di waktu hujan. Tampak darah muncrat dan terdengar pekik-pekik mengerikan ketika tubuh Gozan dan tubuh Thai-lek-gu hampir berbareng roboh dengan pinggang hampir terpotong!
Liong Khek menjadi pucat. Maklum bahwa dia tidak dapat melarikan diri, dia menjadi nekat. Mata kailnya menyambar dengan gerakan berputaran, mata kail meluncur turun menyerang ke arah mata Kwi Hong! Dan pada saat berikutnya, dia sendiri telah menubruk dan mengirim pukulan dengan pengerahan sinkang ke arah dada dara itu.
"Heiiittt...! Blessss! Aduhhh...!"
Dengan kecepatan mengagumkan Kwi Hong telah merubah kedudukannya menjadi setengah berjongkok sehingga mata kail itu tidak mengenai sasaran, lalu dari bawah pedangnya meluncur dan amblas memasuki perut Liong Khek sampai menembus punggung dan secepat kilat tubuh dara itu sudah meloncat ke belakang sambil menarik kembali pedangnya hingga darah yang muncrat itu tidak sampai mengenai pakaiannya. Liong Khek terhuyung lalu roboh menelungkup tanpa bersambat lagi.
Terdengar orang bertepuk tangan. "Bagus sekali! Kau sungguh hebat Enci Hong!"
Mulutnya memuji akan tetapi matanya mengincar ke arah sebagian perut yang tidak tertutup tadi! Kwi Hong segera menutupi perutnya, mengeluarkan selembar sapu tangan sutera dan menggunakan sapu tangan itu untuk diikat dan menutupi bagian yang robek.
Kwi Hong menyarungkan pedangnya, memandang tiga buah mayat musuhnya dan dia berlutut, menutupi mukanya, terisak sedikit lalu membuka pula kedua tangan yang menutupi muka dan... tertawa!
"Kau hebat, Enci Hong. Tentu kau sudah puas sekarang?"
"Masih belum! Mereka ini hanya kaki tangannya, yang menjadi musuh besar utama adalah Bhong Ji Kun!"
"Akan tetapi agaknya kau kalah duluan oleh badai. Menurut penuturan mereka tadi, perahu mereka pecah oleh badai dan hanya mereka yang selamat."
Kwi Hong bangkit berdiri, menarik napas panjang. "Sayang sekali kalau begitu."
"Aku tahu bahwa kau mendendam sakit hati hebat, karena itu tadi aku tidak mau turun tangan membantu. Tentu saja aku yakin kau akan menang. Kalau aku membantumu tentu kau akan kecewa."
Kwi Hong tersenyum kepadanya. "Terima kasih, Keng In. Engkau baik sekali. Dan melihat engkau begitu baik, benar-benar menimbulkan rasa kasihan di hatiku."
"Eh, kasihan kepadaku, Enci Hong?" Keng In benar-benar merasa heran. "Mengapa engkau merasa kasihan kepadaku?"
Mereka bicara sambil berjalan pergi meninggalkan mayat-mayat itu. Agaknya mereka berjalan asal menjauhi mayat-mayat itu saja, tanpa tujuan tertentu, berjalan sepanjang pantai laut.
Tiba-tiba Kwi Hong menoleh kepada pemuda itu. "Keng In, bukankah engkau mencinta Milana?"
Keng In terkejut, mengira bahwa Kwi Hong tahu bahwa dia menculik Milana, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya. "Dugaanmu benar, Enci Hong. Aku mencinta Milana, akan tetapi keadaannya menjadi rusak dan kacau sekarang ini. Milana adalah puteri ayah tiriku, bagaimana mungkin...?"
"Bukan hanya itu saja." Kwi Hong menghela napas.
Gadis itu merasa hidup sebatang kara, setelah dia menganggap bahwa pamannya dan semua orang membencinya, dan tadinya harapannya tertumpah kepada Bu-tek Siuw-jin. Kini, sebelum bertemu dengan gurunya itu dia bertemu dengan Keng In yang bersikap baik, maka dia tidak ingat apa-apa lagi dan mendapatkan seorang yang dapat dia ceritakan segalanya untuk menumpahkan semua kedukaan dan kekecewaannya.
"Bukan itu saja, akan tetapi kini Milana lenyap, kabarnya diculik orang..."
"Ehhh...?" Keng In terkejut, benar-benar terkejut bukan pura-pura. Hanya kalau Kwi Hong mengira dia terkejut mendengar dara yang dicintanya hilang, adalah sebenarnya Keng In sendiri terkejut bukan karena itu, melainkan karena mengira bahwa Kwi Hong benar-benar telah tahu bahwa dia penculiknya! "Diculik... siapa...?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Tadinya kusangka engkau, tetapi melihat perubahan pada dirimu, tentu bukan kau yang melakukan perbuatan keji itu. Akan tetapi, juga bukan karena Milana diculik orang itu yang membuat aku kasihan kepadamu, Keng In."
Dapat dibayangkan betapa lega hati Keng In. "Eh, ada apakah lagi yang lebih hebat dari berita hilangnya Milana itu?"
"Ada yang lebih hebat, dan lebih menyedihkan untukmu, juga untukku..., bahwa Milana telah ditunangkan dengan Gak Bun Beng."
Berita ini benar-benar merupakan pukulan hebat bagi Keng In! Di dalam hatinya seolah-olah ada api membakar dan kalau tadinya dia hanya cemburu karena Milana mencinta Bun Beng, kini cemburu itu makin berkobar karena dara yang dicintanya itu ternyata telah dijodohkan dengan pemuda yang makin dibencinya itu. Akan tetapi dia memang hebat. Semuda itu dia telah pandai menguasai dirinya sendiri sehingga dia hanya menunduk saja, tidak tampak marahnya hanya kelihatan seperti orang yang berduka.
Sampai lama mereka tidak berkata-kata, hanya melangkah terus perlahan-lahan di sepanjang pantai yang dijilati lidah-lidah ombak yang membuih.
"Enci Hong... kau tadi bilang bahwa hal itu juga menyedihkan hatimu. Mengapa?"
"Tidak mengertikah engkau? Seperti juga engkau, aku mencinta orang yang bukan dijodohkan denganku..."
Keng In menoleh dan menatap tajam pada wajah yang menunduk itu. "Kau... kau juga mencinta Bun Beng?"
Kwi Hong mengangguk tanpa menoleh hingga ia tidak melihat betapa sinar kemarahan membuat wajah tampan itu menjadi menakutkan. Akan tetapi hanya sebentar, karena segera terdengar kata-kata Keng In, halus dan seperti suara orang yang benar-benar berniat jujur dan baik. "Betapa pun juga, Enci Hong. Engkau adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti, aku adalah anak tirinya. Kiranya sudah menjadi tugas kewajiban kita untuk mencari siapa penculik Milana dan ke mana dia dibawa pergi."
Sekarang Kwi Hong menoleh dengan pandang mata terheran-heran. "Kau...? Hendak mencari dan menolong Milana? Ahhh, betapa baik hatimu. Sungguh tak kusangka! Kau membikin aku merasa malu, Keng In. Aku sendiri tadinya sudah tidak peduli karena kedukaan dan kekecewaanku. Kau benar, kita harus mencari dia, harus mencari Bun Beng. Biar pun hati kita dihancurkan, dipatahkan, namun kita harus menemukan mereka dan menyuruh mereka kembali ke Pulau Es."
"Kalau begitu marilah kita mencari mereka, Enci Hong! Lihat, Sepasang Pedang Iblis berada di tangan kita! Ha-ha-ha, Siang-mo-kiam telah menggegerkan dunia. Sekali ini pun akan menggegerkan dunia, akan tetapi dengan cara lain! Kita akan bekerja sama, bahu-membahu menumpas musuh-musuh kita!"
Tentu saja Kwi Hong terbawa oleh kegembiraan Keng In yang mencabut Lam-mo-kiam dan mengangkatnya tinggi-tinggi itu. Ia tidak mengartikan lain dengan sebutan ‘musuh-musuh kita’ maka dia pun mencabut Li-mo-kiam, mengangkatnya di atas kepala dan dengan wajah berseri berseru, "Siang-mo-kiam akan menggegerkan dunia dan musuh-musuh kita akan tertumpas habis!"
Siang hari itu mereka berhenti di dalam sebuah hutan. Keng In menurunkan bangkai kijang yang tadi diburu dan dibunuhnya. Kwi Hong sudah mempersiapkan bumbu-bumbu yang tadi mereka beli di dusun terakhir di luar hutan. Keng In memilih daging-daging yang lunak dan memberikannya kepada Kwi Hong yang melumurinya dengan bumbu yang sudah diaduk dengan air, kemudian daging-daging itu mulai mereka bakar di atas api unggun.
"Sayang tidak ada nasi," kata Kwi Hong.
"Makan daging saja asal cukup banyak juga kenyang. Dan aku masih mempunyai simpanan arak," kata Keng In.
Maka makanlah keduanya. Kwi Hong makan dengan lahap karena hatinya senang. Dia merasa mendapatkan teman seperjalanan yang menyenangkan dalam diri Keng In. Dia merasa seolah-olah Keng In memang sejak dahulu adiknya sendiri! Dan ajakan Keng In untuk mencari Milana dan Bun Beng menimbulkan semangat kembali, tidak seperti sebelum ini, acuh tak acuh. Dunia masih lebar dan bukan hanya Bun Beng seorang laki-laki di dunia ini, sungguh pun sukarlah menemukan keduanya!
Setelah perutnya penuh dengan daging bakar yang harum dan gurih, dan kepalanya agak ringan oleh arak Keng In yang benar-benar keras, harum dan tua itu, Kwi Hong duduk menyandarkan punggungnya di bawah pohon besar. Tempat itu teduh sekali, melindunginya dari panas matahari. Angin bertiup dan Kwi Hong yang kelelahan dan kekenyangan itu seperti dikipasi, tanpa disadari lagi dia telah tertidur sambil menyandar batang pohon!
Malam hampir tiba ketika Kwi Hong mengeluh dan membuka matanya. "Auggghhh... kepalaku pening..."
Keng In segera mendekati dan berlutut di depan Kwi Hong. Dara itu membuka mata, memandang heran. "Di mana aku...? Kau... kau...?"
"Enci Hong, kau kenapakah? Aku Keng In. Kau kenapa...?"
"Ahh, Keng In... hampir aku lupa kepadamu... entah, kepalaku pening... aku bingung..."
"Tenanglah, Enci Hong dan jangan khawatir, aku membawa obat untukmu. Rebahlah dan minum obat ini..." Keng In mengeluarkan sebotol obat cair yang berbau harum, memberi gadis itu minum obat ini.
Kwi Hong yang berada dalam keadaan setengah ingat itu tidak membantah, dengan penuh kepercayaan dia minum obat itu, kemudian karena kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, dia tidur lagi dan tak lama kemudian dia menjadi pulas.
Melihat dara itu sudah tidur dengan nyenyak, Keng In tersenyum lebar dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh, kemudian dia menyimpan sisa obat yang masih banyak, membesarkan api unggun dan rebah di atas rumput untuk mengaso. Sukar baginya untuk bisa tidur pulas karena pikirannya penuh oleh pengalaman hari itu. Yang selalu terbayang olehnya adalah wajah Bun Beng, dibayangkannya dengan kemarahan dan kebencian besar. Milana mencinta Bun Beng, dan Kwi Hong juga mencinta Bun Beng! Semua orang mencinta Bun Beng dan membencinya!
Biarlah dia akan menjadi Gak Bun Beng. Dia akan makan dan menikmati kembangnya, biarlah Bun Beng yang terkena durinya! Dia melirik ke arah Kwi Hong. Obat yang diberikannya tadi akan memperkuat obat yang terdahulu, yang berada di dalam araknya, dan obat itu membutuhkan waktu beberapa lama untuk bekerja dengan baik. Masih banyak waktu untuk bersenang-senang, pikirnya dan sambil tersenyum karena hatinya lega, maka tidurlah Keng In.
Pada keesokan harinya, menjelang pagi, Kwi Hong terbangun. Dia mengejap-ejapkan kedua matanya, lalu menggosok-gosok matanya, mengerutkan alisnya. Di mana dia dan mengapa dia berada di hutan? Cuaca remang-remang dan keadaan sekelilingnya hanya diterangi oleh sinar api unggun. Dia bangkit duduk dan tiba-tiba terdengar suara orang memanggil.
"Kwi Hong...!"
Kwi Hong menoleh ke kanan dan otomatis tubuhnya bersiap siaga. Biar pun dia tidak ingat apa-apa lagi namun ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya itu menggerakkan tubuh tanpa membutuhkan ingatan lagi!
Melihat munculnya seorang laki-laki muda yang memakai sebuah caping (topi) bundar, dia membentak sambil meloncat berdiri, "Siapa kau?"
Pemuda bercaping bundar itu terbelalak heran. "Kwi Hong, lupakah engkau kepadaku, kepada laki-laki yang kau cinta dan yang mencintamu? Kau lihatlah wajahku, lihatlah capingku, apakah kau tidak ingat kepadaku lagi?"
Kwi Hong tercengang keheranan, mengerahkan ingatannya untuk mengenal siapa pemuda ini, akan tetapi percuma saja. Ada bayangan di balik otaknya bahwa dia memang mengenal pemuda ini dan merasa suka kepada wajah yang tampan itu, akan tetapi tidak ingat lagi.
"Aku tidak tahu... aku tidak ingat... siapakah engkau...?"
"Kwi Hong, dewiku tersayang. Aku adalah Gak Bun Beng, kekasihmu!"
Mendengar nama Gak Bun Beng ini, Kwi Hong menjadi lemas. "Bun... Bun Beng?! Ahhh, Bun Beng...!" Dan dia menangis sambil jatuh terduduk.
Pemuda itu cepat berlutut di depannya, melingkarkan lengan ke lehernya, memeluknya dengan mesra. Biar pun pada waktu itu ingatan Kwi Hong sudah lenyap sama sekali sehingga dia tidak lagi dapat mengingat bagaimana wajah Bun Beng, akan tetapi mendengar nama itu sudah cukup menggerakkan hatinya, nama yang takkan pernah terlupa olehnya.
Otomatis, karena hatinya amat tertekan tadinya sebelum dia kehilangan ingatan, dan kini seolah-olah memperoleh obat penawar yang menyejukkan, kedua lengannya balas memeluk pemuda itu. Mereka berpelukan dan Kwi Hong terisak penuh rasa girang dan lega. Pemuda itu memegang dagunya, mengangkat muka, dan ketika pemuda itu menciumnya, mencium pipinya, hidungnya, mulutnya, Kwi Hong hanya mengeluarkan suara rintihan terharu dan memejamkan kedua matanya!
Sebelum kehilangan ingatannya, Kwi Hong merasa betapa hatinya hancur, terutama sekali karena Bun Beng yang dicintanya itu dijodohkan dengan Milana. Habis harapannya untuk dapat berjodoh dengan pemuda yang dicintanya itu, dan telah ada kenyataan bahwa pemuda yang dicintanya itu takkan dapat diraih olehnya, maka cintanya terhadap pemuda itu seolah-olah bertambah, dan dia merasa rindu sekali kepada Gak Bun Beng. Oleh karena itulah, kerinduan yang masih mencengkeram bawah sadarnya, kini timbul ketika pemuda yang dicintanya itu telah memeluk dan menciumnya. Tanpa dorongan rasa rindu yang hebat itu kiranya dia tidak akan menerimanya begitu saja pencurahan kasih sayang dari seorang pria terhadapnya, keadaan yang sama sekali masih asing baginya ini. Tapi sekarang Kwi Hong sama sekali tidak memberontak bahkan di luar kesadarannya, hidung dan bibirnya bergerak membalas ciuman pemuda itu dengan gairah yang meluap-luap.
"Kwi Hong... ahhh, Kwi Hong... kekasihku... hanya engkaulah wanita yang kucinta...!" Laki-laki itu berbisik sambil memperketat dekapannya dan membawa Kwi Hong rebah di atas rumput.
"Bun Beng... ohhh, Bun Beng...!" Kwi Hong memejamkan matanya dan sama sekali tidak peduli lagi akan apa yang dilakukan oleh pemuda yang dicintanya itu terhadap dirinya.
Dia menyerah bulat-bulat, menyerahkan hati dan tubuhnya dengan penuh kerelaan, bahkan dia membantu penyerahan itu karena dia pun membutuhkan kasih sayang pemuda ini. Maka terjadilah hal yang tak dapat dielakkan lagi dalam keadaan seperti itu. Hanya pohon-pohon, kabut pagi, dan burung-burung yang baru keluar dari sarangnya saja yang menjadi saksi akan pencurahan cinta birahi yang berlangsung pada pagi hari di bawah pohon besar itu. Pencurahan nafsu birahi yang terjadi atas kehendak kedua pihak, dengan suka rela, sungguh pun Kwi Hong melakukannya dalam keadaan hilang ingatan dan hanya merasa yakin bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada orang yang dicintanya, Gak Bun Beng, dan tidak akan merasa menyesal akan apa pun yang menjadi akibatnya.
Ada pun pemuda itu, yang mudah saja diduga bukan Gak Bun Beng sesungguhnya melainkan Wan Keng In, mula-mula menggunakan siasat ini, merampas ingatan Kwi Hong dengan obat pemberian gurunya, kemudian menyamar sebagai Bun Beng, bukan semata-mata untuk menikmati kemesraan tanpa perkosaan bersama Kwi Hong yang cantik dan yang dikaguminya, melainkan didasari oleh niat untuk menghancurkan hidup Bun Beng! Keng In ingin menanam kesan mendalam di hati Kwi Hong bahwa gadis itu telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Beng, dan hal ini tentu saja kelak akan menjadi penghalang bagi Bun Beng untuk melanjutkan perjodohahnya dengan Milana! Akan tetapi, bukan sampai di situ saja rencananya untuk menjebloskan nama baik Bun Beng ke pecomberan.
Setelah mencurahkan kasih sayangnya kepada pemuda yang dicintanya, pengalaman pertama selama hidupnya yang baru sekarang dialami akan tetapi sama sekali tidak disesalkannya itu, Kwi Hong tertidur lagi kelelahan dan kepuasan. Ketika dia bangun lagi, pemuda bertopi bundar itu telah berada di sisinya. Kwi Hong menggeliat, seperti seekor kucing manja, membuka mata dan merangkulkan kedua tangan ke leher laki-laki yang telah duduk di dekatnya, menarik muka yang dicintanya itu dan kembali mereka berciuman.
"Hemmm..., Bun Beng... aku merasa berbahagia sekali...!"
Keng In tertawa dan menarik tangan Kwi Hong bangun. "Hayo bangunlah, kita mandi di telaga dekat sini, kemudian melanjutkan perjalanan."
"Eh, ke mana?" Kwi Hong bertanya sambil tersenyum manis, membetulkan pakaiannya yang awut-awutan seperti juga rambutnya, akan tetapi yang bahkan menambah keaslian kecantikannya.
"Ke mana lagi, sayang? Bukanlah kita telah menjadi suami isteri, biar pun belum resmi? Aku adalah suamimu, maka kau harus ikut bersamaku."
Kwi Hong menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tidak ingat lagi... di mana rumahmu... akan tetapi aku tidak peduli, Bun Beng. Bersama denganmu, aku akan selalu merasa bahagia, biar kau bawa ke neraka sekali pun!"
Keng In merangkul dan kembali mereka berciuman. "Kwi Hong... pujaan hatiku... kalau aku membawamu, bukan ke neraka, melainkan ke sorga. Aku... aku cinta padamu, Kwi Hong...!" Kalimat terakhir ini menggetarkan jantung Keng In karena dia merasa betapa ucapan itu tidak dibuat-buat seperti kalimat yang lain! Dia benar-benar merasa jatuh cinta kepada Kwi Hong!
Sudah beberapa kali dia berhubungan dengan wanita, baik dengan perkosaan mau pun dengan suka rela karena kenakalannya, akan tetapi semua itu hanyalah peristiwa badani saja. Anehnya, setelah apa yang terjadi, setelah merasa sampai ke dasar dirinya betapa Kwi Hong benar-benar menyerahkan segala-galanya dengan kasih sayang yang mesra, agaknya kasih sayang dara itu mencekam perasaannya dan menggugah cintanya pula!
Sambil tertawa-tawa bahagia, mereka berdua mandi di air telaga yang jernih. Mereka mandi dengan telanjang bebas karena di dalam hutan itu sunyi tidak ada orang lain lagi. Dalam kesempatan ini, sambil berendam di dalam air jernih, kembali kedua insan itu mencurahkan perasaan mereka dan mengulangi perbuatan mereka di bawah pohon tadi. Bagi dua orang yang sedang dimabok asmara, seperti sepasang pengantin baru, agaknya keduanya tidak pernah merasa puas akan permainan cinta ini.
Keng In yang cerdik itu kini malah merasa khawatir kalau-kalau Kwi Hong sadar dan ingatannya kembali lagi, lalu menolak cintanya! Dia mulai merasa khawatir kalau dia akan kehilangan Kwi Hong yang dicintanya ini! Sungguh keadaan menjadi terbalik sama sekali! Karena itu, setiap hari dia selalu mencampurkan obat perampas ingatan ke dalam minuman atau makanan Kwi Hong dan mereka melakukan perjalanan cepat, hanya diseling dengan makan, tidur, dan bermain cinta.
Keng In ingin cepat-cepat mengajak Kwi Hong ke Pulau Neraka, di mana dia ingin menjalankan siasatnya selanjutnya untuk merusak hubungan antara Bun Beng dan Milana. Selain itu, juga obat yang dibawanya tidak banyak. Kalau sampal obat itu habis sebelum mereka tiba di Pulau Neraka, tentu akan berbahaya sekali. Kwi Hong akan sadar kembali dan dia akan menghadapi kesulitan besar. Maha besar.
* * * * * *
Biar pun Milana masih dapat mempertahankan harga dirinya dan menolak dengan keras ajakan Keng In yang menyamar Gak Bun Beng untuk bermain cinta, namun dara ini merasa berduka sekali. Sepanjang ingatannya, kekasihnya yang bernama Gak Bun Beng itu adalah seorang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan. Akan tetapi siapa kira begitu datang pemuda yang dirindukannya itu hendak melakukan pelanggaran yang amat merendahkan dirinya! Sepeninggal Bun Beng malam itu, dia menangis dan berduka.
Biar pun dia terbebas dari bahaya itu, namun Milana masih tetap menjadi seorang yang seperti boneka hidup di Pulau Neraka. Dia masih belum ingat apa-apa karena sebelum pergi Keng In telah memesan kepada anak buahnya yang dipimpin oleh tokoh Pulau Neraka, Si Gundul Kong To Tek untuk setiap hari memberi obat perampas ingatan itu dicampurkan dalam makanan yang disuguhkan kepada Milana.
Pada suatu pagi, Milana duduk termenung seorang diri di belakang pondoknya di Pulau Neraka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa malam tadi, Giam Kwi Hong keponakan dan murid ayahnya telah mendarat di Pulau Neraka bersama Wan Keng In! Andai kata dia melihat mereka mendarat, tentu dia akan menganggap Keng In yang memakai caping itu adalah Bun Beng yang selama ini dia pikirkan dengan hati risau, dan dia tentu tidak akan mengenal lagi Kwi Hong yang keadaannya sama dengan dia.
Tiba-tiba muncul Kong To Tek. Biar pun dia tidak mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kong To Tek bukan merupakan orang asing bagi Milana, karena Si Gundul inilah yang melayani segala kebutuhannya. Pernah dia bertanya kepada Kong To Tek, ke mana perginya Gak Bun Beng yang selama itu belum datang, dan dijawab bahwa pemuda itu sedang pergi, akan tetapi tak lama tentu kembali.
"Nona, Gak Bun Beng telah kembali ke pulau ini," Kong To Tek berkata kepada Milana sambil menyeringai. "Dan Nona diharapkan menemuinya di sana."
Terjadi perang di dalam pikiran Milana. Tetapi akhirnya, cinta kasih yang sebetulnya tak pernah padam di dalam hatinya itu menang dan dia mengangguk. "Di mana dia?"
"Di dalam pondok kuning dekat pantai timur, Nona."
Milana lalu berjalan cepat menuju ke pantai timur. Dia sudah hafal akan keadaan di Pulau Neraka dan sebentar saja dia telah tiba di pondok itu. Akan tetapi sunyi saja di luar pondok dan ketika dia mendekat, terdengar olehnya suara orang berbicara dan tertawa, suara seorang laki-laki dan seorang wanita yang bersendau-gurau dan bercintaan. Dia terheran-heran, lalu mengintai dari jendela dari kamar tunggal pondok kecil itu.
Kamar itu terang sekali dan tampak jelas olehnya segala yang terjadi di dalam kamar. Dia melihat pemuda bertopi bundar, Gak Bun Beng yang dicintanya, sedang bermain cinta dengan seorang wanita cantik, seorang wanita yang seperti telah dikenalnya akan tetapi dia lupa lagi siapa wanita itu. Melihat adegan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya itu, melihat betapa pria satu-satunya yang dicintanya bermain gila dengan seorang wanita lain, tak tertahan lagi Milana mengeluarkan suara isak tertahan, membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu!
Dari dalam kamar di pondok kuning itu, biar pun dia sedang berkasih-kasihan dengan mesra bersama Kwi Hong, Keng In yang sudah mengatur siasat itu maklum bahwa siasatnya berhasil dan dia mendengar isak tertahan tadi. Diam-diam dia tersenyum bangga ketika menciumi Kwi Hong. Mampuslah kau, Bun Beng, pikirnya. Milana tentu takkan sudi melanjutkan perjodohannya dengan Bun Beng setelah terjadi dua hal itu. Pertama, Bun Beng hendak merayunya dan mengajaknya berzina, kedua, Bun Beng telah bermain cinta dengan wanita lain!
Setelah berhasil, dia akan membebaskan Milana. Biarlah Milana kembali ke daratan dengan bekal kebencian yang meluap kepada Bun Beng! Dan dia sendiri... dia sudah puas dengan Kwi Hong. Hanya ada satu yang masih amat membingungkan dan menggelisahkan hati Keng In. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Kwi Hong. Tidak mungkin kalau selamanya dia harus membuat Kwi Hong kehilangan ingatannya seperti sekarang ini. Obat itu adalah racun yang berbahaya, kalau terus menerus diberikan, menurut gurunya, bisa membuat gadis itu menjadi gila betul-betul! Akan tetapi, kalau ingatannya kembali dan Kwi Hong mendapat kenyataan bahwa dia telah menyerahkan dirinya bukan kepada Bun Beng, tapi kepada Keng In, apa yang akan terjadi? Apakah Kwi Hong mau menerima nasib? Bagaimana kalau tidak? Dia takut kehilangan wanita yang dicintanya!
Keng In mengusir rasa gelisahnya. Setelah kedua orang itu puas berkasih-kasihan dan Kwi Hong tertidur di kamar itu, Keng In segera meninggalkan pondok. Masih ada sedikit lagi yang harus dia lakukan sebelum dia membebaskan Milana. Cepat ia pergi ke pondok Milana, memakai caping lebar.
Milana sedang duduk menangis di dalam pondok itu. Ketika mengengar ada orang datang dia menoleh. Melihat bahwa yang datang adalah Bun Beng, dia bangkit berdiri.
"Manusia hina! Gak Bun Beng, hayo kau keluar dari sini!"
Keng In membelalakkan mata dan kelihatan terkejut. "Milana... kekasihku, mengapa kau marah-marah kepadaku?"
"Jahanam, jangan menyebut kekasih kepadaku! Engkau pernah merayuku, hal itu masih dapat dimaafkan. Namun apa yang telah kau lakukan di dalam pondok kuning bersama perempuan lacur itu?"
"Milana! Perempuan lacur yang mana kau maksudkan? Aku datang bersama Giam Kwi Hong! Masa kau tidak mengenal Giam Kwi Hong?" Keng In sengaja menekankan nama ini ke dalam ingatan Milana.
"Aku tidak kenal segala Giam Kwi Hong. Yang kulihat adalah bahwa perempuan tak tahu malu di kamar itu bermain gila denganmu. Aku tidak sudi lagi melihat tampangmu. Pergi!"
"Milana! Dia itu bukan perempuan lacur, kalau dia cinta kepadaku, apakah aku harus menolak? Gak Bun Beng bukan laki-laki yang suka menolak cinta seorang wanita. Giam Kwi Hong adalah murid dan keponakan ayahmu sendiri. Masa kau lupa?"
Milana kelihatan bingung. Ayahnya? Siapa ayahnya? Giam Kwi Hong? Seperti pernah dia mendengar nama ini. Murid dan keponakan ayahnya?
"Siapa? Ayahku...?"
"Ayahmu Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!"
Disebutnya nama ini seolah-olah merupakan guntur di siang hari memasuki telinga Milana. Inilah kesalahan Keng In. Nama Suma Han sebagai Pendekar Super Sakti telah berakar dalam ingatan Milana yang menjadi puterinya, maka begitu disebut nama ini, biar pun segala hal yang terjadi masih belum diingatnya, namun yang jelas dia tahu bahwa Bun Beng telah menghina ayahnya karena berjina dengan murid dan keponakan ayahnya itu! Ini saja sudah cukup baginya.
"Keparat, kau telah menghina ayahku!" Tiba-tiba kaki Milana menendang dan sebuah bangku melayang ke arah muka Keng In.
"Haiii!" Keng In memukul bangku itu.
"Brakk!" Bangku pecah berantakan akan tetapi Milana sudah menerjang maju dengan pukulan tangannya. Keng In kaget sekali, tidak mengira bahwa Milana menyerangnya dengan marah seperti itu. Dia cepat mengelak dan meloncat keluar, di hatinya dia tertawa girang. Milana sudah mulai membenci Gak Bun Beng! Karena tidak ingin melayani Milana yang mengamuk itu, Keng In cepat berlari kembali ke pondok kuning.
Akan tetapi tiba-tiba dia berhenti dan berdiri terpukau ketika melihat Kwi Hong sudah berdiri di depan pondok dengan pedang Li-mo-kiam di tangan dan mukanya merah, sepasang matanya berkilat! Keng In terperanjat, dan bulu tengkuknya meremang. Sepasang mata yang marah itu ditujukan kepadanya. Apakah karena dia tidak memakai caping bundar yang terlempar jauh ketika dia diserang Milana tadi? Ah, tidak mungkin! Kwi Hong sudah menganggapnya Bun Beng, pakai caping atau pun tidak! Akan tetapi mengapa?
"Wan Keng In! Aku tahu bahwa kau yang menculik Milana. Hayo serahkan Milana padaku!" Kwi Hong berseru dan mengelebatkan Li-mo-kiam di tangannya.
Keng In terbelalak. Jelas bahwa dara itu adalah Kwi Hong, wanita yang selama hampir dua pekan ini setiap hari berenang dalam lautan cinta yang mesra dengan dia! Dan wanita ini selalu menganggapnya Gak Bun Beng. Kenapa kini tiba-tiba menyebutnya Wan Keng In? Sudah sadarkah dia? Tak mungkin! Tadi sebelum pergi, dia sudah menyediakan minuman bercampur obat untuk Kwi Hong!
Memang amat mengherankan bagi yang tidak melihat apa yang terjadi dengan diri Kwi Hong ketika Keng In pergi tadi. Baru saja Keng In pergi dan Kwi Hong masih tidur pulas dengan wajah membayangkan senyum kepuasan, sesosok tubuh yang pendek menyelinap ke dalam kamar itu, membuang isi cawan minuman dan menukarnya dengan benda cair yang dituangkan dari guci arak yang dibawanya. Bayangan itu lalu menyelinap keluar lagi setelah dia mengguncang kaki Kwi Hong yang lalu terbangun.
Kwi Hong memandang ke kanan kiri, melihat cawan di atas meja.
"Bun Beng...?" Dia memanggil akan tetapi tidak ada jawaban. Diambilnya cawan itu dan diminumnya. Tiba-tiba dia berteriak kaget, meloncat bangun akan tetapi terbanting jatuh lagi ke atas dipan itu dan jatuh pingsan!
Bayangan pendek yang bukan lain adalah seorang kakek tua renta, Bu-tek Siauw-jin, masuk ke kamar itu dan menggeleng kepala sambil mengeluarkan suara "ck-ck-ckk!" Dengan perlahan dia lalu mengurut-urut punggung muridnya itu, di sepanjang tulang punggung dari bawah sampai ke tengkuk.
Kwi Hong siuman, bangkit duduk dan menggoyang-goyang kepalanya. "Aihhh, di mana aku...?"
"Kwi Hong..."
Dia menoleh, terkejut melihat gurunya telah berdiri di kamar itu. Cepat dia meloncat turun dan berlutut, membetulkan pakaiannya yang tidak karuan.
"Suhu! Apa artinya ini? Di mana teecu? Dan... dan... Bun Beng..." Gadis ini telah pulih kembali ingatannya berkat obat yang diberikan Bu-tek Siauw-jin dan urutan tangannya tadi. Dia teringat akan semua yang dialaminya dengan Bun Beng maka dia terkejut melihat gurunya dan tidak melihat kekasihnya di situ.
"Kwi Hong," suara Bu-tek Siauw-jin tidak seperti biasanya, kini terdengar tegas dan sama sekali tidak tampak senda-guraunya, bahkan alisnya yang putih itu berkerut. "Kau agaknya tidak tahu bahwa kau berada di Pulau Neraka."
"Ehhh...? Apa teecu mimpi...?" Ada rasa kecewa di hatinya. Kalau hanya mimpi, jadi semua pengalamannya yang luar biasa dengan Bun Beng itu pun hanya mimpi?
"Tidak, kau tidak mimpi. Akan tetapi ketahuilah bahwa Milana diculik oleh Wan Keng In, dan kau harus menolongnya keluar dari sini. Awas, dia datang!" Kakek itu berkelebat dan lenyap.
Mendengar nama Wan Keng In disebut sebagai penculik Milana, Kwi Hong menjadi terkejut. Kini teringatlah dia betapa Wan Keng In telah membantunya membunuh tiga orang musuhnya, membantu memberi tahu tempat mereka dan betapa dia melakukan perjalanan bersama Wan Keng In. Akan tetapi dia lupa lagi di mana dan bagaimana dia berpisah dan Wan Keng In kemudian bertemu Bun Beng. Di mana sekarang Bun Beng? Betapa pun juga, mendengar perintah gurunya, cepat dia membereskan pakaiannya, menyambar Li-mo-kiam dan menanti di luar. Begitu dia mengenal Wan Keng In yang datang, dia segera menegurnya.
"Enci Kwi Hong... kau... kau... bagaimana bisa tahu?"
"Tak perlu kau ketahui, pendeknya aku tahu bahwa kau menculik Milana dan aku minta kau segera membebaskannya agar dapat secepatnya pergi keluar dari Pulau Neraka ini bersamaku. Selain itu, kalau kau berani menjebak Gak Bun Beng, terpaksa aku takkan memandang persahabatan kita lagi. Di mana dia?"
Keng In menahan ketawanya, hatinya girang. Kiranya gadis ini masih belum tahu bahwa Gak Bun Beng yang selama belasan hari ini mabuk dalam peluk ciumnya, adalah dia sendiri!
"Oohhh dia? Begini, Enci Kwi Hong. Dulu ketika kau melakukan perjalanan bersamaku, di tengah jalan aku bertemu dia dan... dan..., aku mendengar bahwa Milana diculik orang maka aku titipkan kau kepadanya dan aku sendiri lalu mencari Milana, berhasil dan kubawa ke sini... ada pun... ada pun dia itu..."
Keng In menjadi bingung sekali, bukan hanya karena Kwi Hong secara mendadak kembali pulih ingatannya, akan tetapi juga karena urusan menjadi berbalik arah! Kini dia tidak ingin gadis ini pergi meninggalkannya! Maka dia menekan hatinya dan mengambil keputusan untuk terang-terangan saja karena kalau tidak tentu Kwi Hong juga segera pergi meninggalkan dia!
"Begini, Kwi Hong... dengarlah baik-baik dan tenangkan hatimu. Kita sama tahu bahwa Milana dan Bun Beng saling mencinta, bahkan mereka telah dijodohkan menjadi calon suami isteri. Engkau mencinta Bun Beng dan aku mencinta Milana, akan tetapi cinta kita keduanya gagal. Karena itu, setelah aku melihatmu, aku merasa kasihan, dan... dan kita berdua yang gagal dalam cinta kasih ini bukanlah telah saling menemukan? Aku akan bebaskan Milana, biar dia mencari Bun Beng dan menikah. Aku... aku akan berbahagia sekali hidup selamanya di sampingmu, Kwi Hong."
Muka Kwi Hong berubah pucat. Ada firasat tidak enak menyelubungi hatinya. Dia mulai mengingat-ingat. Cerita Keng In yang pertama tadi tidak masuk akal sama sekali. Pengakuan yang kedua lebih cocok.
"Wan Keng In, jangan main gila kau! Apa maksudmu? Di mana Bun Beng?"
Dengan nada suara sedih penuh kekhawatiran, Keng In menjawab, "Bun Beng tidak ada, Kwi Hong. Yang ada hanya Keng In. Bun Beng adalah milik Milana, akan tetapi Keng In adalah milikmu seperti engkau milikku, Kwi Hong."
Wajah itu menjadi makin pucat, jantungnya berdebar tegang, dan hatinya penuh tanda tanya. "Apa...? Apa maksudmu?"
"Kwi Hong, engkau dan aku adalah sama-sama orang yang tidak disukai orang lain, tidak ada yang mencinta, dan gagal dalam cinta. Engkau dan aku yang menguasai Sepasang Pedang Iblis. Kita berdua dengan Sepasang Pedang Iblis di tangan akan menjagoi seluruh dunia. Kalau kita berdua maju, siapa yang akan dapat menandingi kita? Bahkan pamanmu, Pendekar Super Sakti sendiri belum tentu akan mampu menangkan kita berdua. Kita sudah jodoh, Kwi Hong, dan aku cinta padamu."
"Apa...? Kau gila, Keng In!"
"Kita berdua telah gila, akan tetapi dalam kegilaan itu kita dapat sepaham, dan kita akan senasib sependeritaan. Kwi Hong, engkau isteriku, engkau telah menjadi isteriku, selama dua pekan ini... bukankah kita berdua telah saling mencurahkan cinta kasih, demikian nikmat, demikian mesra... Ahhh, Kwi Hong, dapatkah kau melupakan semua itu? Haruskah hubungan semesra dan sebahagia itu dihentikan untuk mengejar yang tak mungkin didapat?
Kini wajah Kwi Hong menjadi merah sekali, air matanya bercucuran. "Kau... jadi kau... kau yang selama ini... kusangka Bun Beng...?"
"Terpaksa aku menyamar sebagai Bun Beng, karena aku ingin mendapatkan dirimu, cintamu, tanpa perkosaan..."
Terdengar jerit melengking disusul dengan berkelebatnya Li-mo-kiam ketika Kwi Hong menyerang Keng In. Pemuda ini cepat-cepat menangkis dengan Lam-mo-kiam dan bertandinglah mereka. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut mereka, karena keduanya maklum bahwa siapa lengah dia binasa. Sepasang Pedang Iblis itu kini benar-benar beradu kekuatan dan keampuhan yang sama besarnya, digerakkan oleh dua orang muda yang sama lihainya pula. Setelah kini Kwi Hong digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin, maka dia dapat mengimbangi kelihaian Keng In, karena dengan sinkang yang dilatihnya di Pulau Es digabung dengan sinkang tenaga Inti Bumi yang belum dikuasainya benar, dia kini memiliki tenaga sakti yang mukjizat!
Tiba-tiba terdengarlah bentakan nyaring. "Gak Bun Beng manusia hina! Aku harus membunuhmu!"
Sebuah caping meluncur ke arah Keng In yang sedang bertanding melawan Kwi Hong. Itu adalah capingnya yang tadi tertinggal di pondok, yang terlepas ketika dia diserang Milana dan kini oleh gadis itu dilemparkan dengan pengerahan sinkang kepadanya. Tidak boleh dipandang ringan caping yang dilemparkan oleh Milana ini. Karena sambitannya mengandung sinkang, maka caping itu meluncur dan berputar seperti sebuah cakram baja yang kalau mengenai leher mungkin akan dapat membuat putus leher itu.
Akan tetapi tentu saja Keng In yang lihai tidak menjadi gentar, bahkan menggunakan tangan kirinya menyambar capingnya itu dan dipakainya lagi! Dia melakukan ini bukan semata-mata hendak bergurau atau memandang rendah Kwi Hong, melainkan untuk menyakinkan hati Milana yang menganggapnya Bun Beng itu.
Milana yang marah itu tidak peduli mengapa Gak Bun Beng berkelahi melawan wanita yang dijadikan teman bercinta tadi dan yang menurut ucapan Bun Beng adalah Giam Kwi Hong murid ayahnya! Dia sudah marah sekali kepada Bun Beng. Pertama, karena Bun Beng sudah mengecewakan hatinya dengan tingkah lakunya yang buruk. Kedua, karena Bun Beng telah merusak kehormatan ayahnya dengan berjinah bersama murid ayahnya.
Dengan kemarahan meluap Milana sudah melolos sabuk suteranya. Karena dia tidak mempunyai senjata, kini dia gunakan sabuk itu untuk menyerang Bun Beng. Memang senjata ini merupakan senjata ampuh bagi Milana, maka begitu sabuknya meluncur ke udara mengeluarkan ledakan-ledakan kecil kemudian menyambar turun ke arah Keng In, pemuda itu terkejut bukan main dan cepat-cepat dia harus meloncat ke kanan untuk mengelak sambil mengelebatkan pedangnya menyambar ujung sabuk. Akan tetapi sabuk adalah benda lemas, apa lagi berada di tangan seorang ahli, sabuk itu seperti seekor ular hidup dapat mengelit serangan, dan kalau mengenai pedang, dapat menjadi lunak sehingga lenyaplah daya ketajaman pedang Lam-mo-kiam.
Kwi Hong bingung sekali melihat keadaan Milana. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu Milana juga tidak sadar, entah karena apa, seperti dia sendiri yang mengira pemuda ini Gak Bun Beng sehingga dia mau... digauli dan menyerahkan tubuhnya sampai belasan hari lamanya! Teringat akan ini, hampir saja dia menjerit-jerit menangis dan kemarahannya tersalur ke pedang Li-mo-kiam yang mengamuk dahsyat.
Bantuan Milana itu ternyata membuat Keng In merasa terdesak juga, akan tetapi pemuda ini dapat mempertahankan dirinya dengan baik. Baginya, melawan kedua orang wanita cantik itu benar-benar merupakan hal yang tidak menyenangkan. Yang dibenci adalah Bun Beng, dan biar pun dia sudah ‘meloncati’ Milana, namun di lubuk hatinya masih terdapat cinta kasih yang mendalam sehingga dia tidak suka untuk melukai dara ini. Ada pun terhadap Kwi Hong yang sudah menjadi ‘isterinya’ juga tumbuh cinta yang mesra, dan tentu saja dia pun tidak mau melukai, apa lagi membunuh Kwi Hong. Padahal, kedua orang dara itu menyerang sungguh-sungguh untuk membunuhnya.
"Huhhh... gadis-gadis liar...!" Seruan ini disusul menyambarnya angin dahsyat yang membuat Milana dan Kwi Hong terhuyung ke belakang.
"Suhu, jangan...!" Keng In berseru ketika melihat gurunya Cui-beng Koai-ong muncul dan telah menyerang dua orang dara itu dengan dorongan dari jarak jauh.
Akan tetapi kakek itu tidak peduli, sambil bersungut-sungut seperti seorang kakek yang marah karena diganggu tidurnya, dia meloncat ke depan seperti terbang saja dan kedua tangannya kembali mengirim hantaman dari jarak jauh, kini dengan pengerahan tenaga sakti yang luar blasa.
"Suhu...!" Keng In kembali berteriak kaget.
"Dessss!" Tubuh kedua orang kakek itu terpental ke belakang ketika pukulan dahsyat Cui-beng Koai-ong bertemu dengan dorongan tangkisan yang dilakukan oleh Bu-tek Siauw-jin yang muncul secara tiba-tiba di tempat itu.
Melihat gurunya sudah muncul menghadapi kakek mayat hidup yang mengerikan itu, Kwi Hong sudah menyerang Keng In lagi. Juga Milana melanjutkan penyerangannya kepada Keng In yang tetap dianggapnya Gak Bun Beng itu. Kini Keng In benar-benar merasa khawatir sekali, khawatir dan bingung.
"Haiii, mundur kalian, jangan bantu aku!" Dia membentak Kong To Tek dan teman-temannya, sisa para anggota Pulau Neraka yang sudah maju mengurung hendak membantu pemuda ini menghadapi dua orang gadis yang mengamuk itu.
Tentu saja para anggota Pulau Neraka tidak berani maju, dan melihat betapa Cui-beng Koai-ong sudah bertanding melawan Bu-tek Siauw-jin, mereka pun hanya saling pandang dengan bingung. Membantu dua orang kakek yang saling bertanding ini mereka tidak berani, karena keduanya merupakan datuk Pulau Neraka, membantu Keng In dibentak. Mereka hanya dapat berdiri menonton dengan wajah tegang dan hati bingung.
Akan tetapi yang paling bingung adalah Wan Keng In. Dia tidak mengira sama sekali bahwa akan begini jadinya. Siasatnya yang telah dilaksanakan dengan serapi-rapinya telah rusak berantakan dan semua ini adalah gara-gara kakek pendek sinting yang kini bertanding melawan gurunya itu. Keng In memiliki kecerdikan yang luar biasa sekali. Sambil menahan serangan Kwi Hong dan Milana dengan Lam-mo-kiam di tangannya dan menggunakan kelincahannya berkelebatan ke sana-sini, otaknya mulai bekerja dan mempertimbang-timbangkan keadaan.
Kalau pertandingan itu dilanjutkan dan gurunya menang atas kakek pendek, gurunya yang sudah ‘kumat’ kemarahannya itu tentu tidak mau sudah kalau belum membunuh Kwi Hong dan Milana! Hal ini sama sekali tidak dikehendakinya karena dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu mencegah gurunya yang berwatak aneh luar biasa itu. Sebaliknya, kalau gurunya kalah, dan hal ini mungkin saja mengingat bahwa susiok-nya Si Pendek Sinting itu memang memiliki kepandaian yang hebat sekali, jika gurunya kalah tentu dia akan terus didesak oleh dua orang wanita ini. Kalau mereka dibantu oleh Bu-tek Siauw-jin, bagaimana dia akan dapat meloloskan diri? Dan semua anak buah Pulau Neraka tentu tidak akan ada yang berani membantunya menghadapi Bu-tek Siauw-jin.
Sungguh celaka, pikirnya. Setelah dua kakek kakak beradik seperguruan itu bertanding sendiri, keadaan menjadi berbahaya baginya. Gurunya menang pun celaka, gurunya kalah lebih celaka lagi! Inilah namanya urusan yang benar-benar tidak beres! Kalau tidak cepat-cepat mengambil tindakan yang tepat selagi gurunya dan susiok-nya (paman gurunya) masih berhantam, tentu akan terlambat. Tiada jalan lain, dia harus dapat memancing dua orang gadis ini keluar dari pulau sebelum kedua orang kakek sinting itu saling bunuh!
Dengan kecerdikan yang dapat membuat dia memperhitungkannya secara tepat ini, Keng In lalu memutar pedangnya membuat gulungan sinar yang menyilaukan mata, kemudian menggunakan kesempatan selagi dua orang dara itu melangkah mundur, dia meloncat dan melarikan diri!
"Manusia hina hendak lari ke mana kau?" Milana mengejar.
"Urusan di antara kita belum beres!" Kwi Hong juga meloncat dan mengejar.
Keng In lari ke tempat perahu di mana terdapat beberapa buah perahu dan memang dia sengaja melakukan ini agar bukan dia seorang yang dapat keluar dari pulau, melainkan juga dua orang dara itu. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi pantai, pada saat itu tampak sebuah perahu kecil dari mana meloncat ke luar seorang laki-laki yang juga memakai caping bundar. Gak Bun Beng! Melihat munculnya pemuda ini, diam-diam Keng In terkejut dan mengeluh sendiri. Sungguh sialan dia hari ini!
Sementara itu, ketika Bun Beng yang baru datang melihat Milana, bukan main lega dan girang hatinya. Dia tidak mempedulikan apa-apa lagi dan langsung saja menghadang Milana, mengembangkan kedua lengannya dan berkata, "Milana... terima kasih kepada Tuhan... engkau masih dalam keadaan selamat...."
"Kau...? Kau...?" Milana memandang bengong, sebentar kepada Bun Beng, kemudian memandang Keng In yang juga bercaping bundar dan yang sudah lari terus dan kini hanya dikejar Kwi Hong seorang.
"Milana, kekasihku... aku Bun Beng, lupakah kau...? Apa yang telah terjadi, Milana?" Bun Beng mendekat lalu memeluk dengan kaget dan heran melihat kekasihnya itu tak mengenalnya.
"Dessss!" Sebuah pukulan tangan kanan Milana mengenai dada Bun Beng. Dara itu serta merta memukul begitu mendengar nama Bun Beng.
"Aihhh mengapa, Milana?" Bun Beng terjengkang.
Biar pun secara otomatis sinkang-nya sudah melindungi dada ketika pukulan tiba, namun karena pukulan itu tidak tersangka-sangka, ditambah lagi hatinya yang remuk melihat kekasihnya seperti tidak mengenalnya, bahkan membenci dan memukulnya, Bun Beng terpukul dan sejenak memandang nanar.
Memang Milana masih dipengaruhi obat perampas ingatan. Gadis ini sendiri bingung ketika di depannya ada ‘Bun Beng’ lagi padahal Bun Beng sedang dikejar. Maka tanpa banyak cakap lagi dia menghantam orang yang mengaku Bun Beng ini. Baginya, yang teringat hanyalah bahwa nama Gak Bun Beng adalah nama yang dibencinya, karena orang itu telah mengkhianati cintanya! Setelah memukul, Milana berlari lagi mengejar Bun Beng pertama yang sudah meloncat ke atas sebuah perahu dan mendayung perahu ke tengah lautan. Kwi Hong juga sudah mendorong perahu kecil. Melihat ini, Milana meloncat jauh dan bagaikan seekor burung walet dia sudah tiba di atas perahu Kwi Hong yang sudah mulai meluncur itu.
Melihat Milana, Kwi Hong lantas berkata, "Milana, kau kembalilah. Dia itu Bun Beng kekasihmu, sedangkan yang di depan itu..."
"Tutup mulut dan mari kita kejar jahanam Gak Bun Beng itu!"
"Akan tetapi, Milana..."
"Aku tidak sudi bicara lagi tentang urusanmu. Kau mencintanya, bukan? Aku tidak peduli biar kau seribu kali mencinta Bun Beng!"
"Aih, Milana... aku... aku tidak ada apa-apa dengan Bun Beng..."
Milana memandang dengan penuh kemarahan. "Apa kau kira mataku ini sudah buta? Kau mau menyangkal bahwa kau berjinah dengan laki-laki di depan itu?" Dia menuding ke arah perahu yang ditumpangi Keng In.
Kwi Hong terisak, duduk di perahu dan menangis. Apa yang harus dijawabnya? Tak mungkin dia menyangkal. Agaknya Milana sudah melihat sendiri ketika dia bermain cinta dengan Keng In di pondok kuning, Keng In yang disangkanya Bun Beng! Kata-kata Milana menghancurkan hatinya dan betapa pun keras watak gadis ini, karena merasa betapa dia telah terperosok ke jurang kehinaan, dia menangis terisak-isak.
Milana juga menjatuhkan diri duduk di atas langkan perahu di depan Kwi Hong. Gadis itu adalah murid ayahnya, Giam Kwi Hong. Kini mulai samar-samar dia mengingat bahwa ayahnya memang mempunyai seorang keponakan yang menjadi muridnya sendiri. Dan Bun Beng yang mengaku cinta kepadanya, yang juga dicintanya itu, di depan matanya sendiri telah berjinah dengan gadis ini! Hal ini menusuk perasaannya dan Milana juga menangis.
Dua orang gadis itu menangis, membiarkan perahu mereka digerak-gerakkan ombak. Kemudian keduanya teringat akan Keng In atau yang disangka Bun Beng oleh Milana, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mendayung perahu dan mengembangkan layar, melakukan pengejaran kepada perahu Keng In yang sudah amat jauh, tinggal menjadi titik hitam di depan itu.
Sementara itu, Bun Beng yang merasa terheran-heran menyaksikan sikap Milana, tidak melakukan pengejaran karena dia melihat Milana sudah bersama Kwi Hong, tidak perlu dikhawatirkan sama sekali menghadapi Keng In. Buktinya Keng In telah melarikan diri dikejar dua orang dara itu. Kalau dia mengejar Milana, tentu akan timbul salah sangka yang makin besar. Biarlah dia akan menyelidikinya kelak, apa yang menyebabkan Milana marah-marah dan memukulnya seperti itu setelah tadinya dara itu seolah-olah tidak mengenalnya lagi.
Tiba-tiba muncul beberapa belas orang yang mukanya beraneka warna dan langsung mereka itu mengeroyoknya dengan pelbagai senjata di tangan mereka! Bun Beng mengenal mereka sebagai para penghuni Pulau Neraka yang dipimpin oleh dua orang tokoh yang dikenalnya pula karena dua orang itu dahulu pernah dijumpai dan bahkan dikalahkannya, ketika mereka mengacau di Thian-liong-pang dan dia menyamar sebagai ketua Thian-liong-pang.
Dua orang yang memimpin delapan belas sisa anak buah Pulau Neraka itu bukan lain adalah Kong To Tek yang kepalanya gundul dan mukanya merah muda, pendek dan gendut. Orang kedua adalah Chi Song yang juga gendut akan tetapi tinggi besar, juga mukanya merah muda. Melihat dia diserbu dan dikeroyok, Bun Beng meloncat jauh tinggi melampaui kepala mereka yang berada di belakangnya, kemudian turun ke atas tanah sambil berseru, "Tahan senjata! Aku datang bukan sebagai musuh!"
"Kami mengenalmu. Engkau adalah Gak Bun Beng, musuh besar tuan muda Wan Keng In. Wan-kongcu sudah memesan bahwa jika bertemu dengan engkau, kami harus membunuhmu!" kata Kong To Tek Si Kepala Gundul. Teman-temannya sudah mengurung Bun Beng lagi dengan sikap mengancam.
Bun Beng mengangkat tangan ke atas dan berkata nyaring, "Kalian ini apakah tidak dapat membedakan kawan atau lawan? Aku datang untuk menemui Wan Keng In dan Nona Milana, bukan sebagai musuh karena Wan Keng In sekarang telah menjadi anggota keluarga Pulau Es. Kulihat mereka tadi berkejaran, apakah sesungguhnya yang terjadi di pulau ini?"
"Tidak perlu banyak bicara! Kawan-kawan, serbu...!"
Kong To Tek dan Chi Song sudah menerjang maju memelopori teman-temannya dan begitu maju keduanya telah menggunakan pukulan-pukulan maut mereka. Kong To Tek Si Gendut pendek gundul ini adalah seorang ahli pukulan beracun yang dilakukan dengan tubuh merendah seperti berjongkok, perutnya mengeluarkan bunyi kok-kok dan mulutnya mengeluarkan uap hitam ketika dia memukul ke arah perut Bun Beng. Pemuda ini sudah mengenal ilmu Si Gundul ini, akan tetapi dia diam saja, tidak mengelak atau menangkis. Hanya ketika pukulan mengenai perutnya, ia mengerahkan sinkang-nya.
"Capppp!"
Tangan beracun itu memasuki perut, tersedot sampai sebatas pergelangan tangan dan tidak dapat dicabut kembali! Kong To Tek memekik kesakitan karena selain tangannya terasa panas sekali, juga hawa beracun itu seperti tertolak dan menyerang dirinya sendiri melalui lengannya yang tersedot ke dalam perut pemuda itu.
"Haiiiittt!" Chi Song memekik dan tubuhnya sudah mencelat ke depan, seperti terbang dia mengirim sebuah tendangan ke arah kepala Bun Beng.
Tentu saja pemuda ini tidak membiarkan kepalanya ditendang, dan dengan tangan kiri dia menampar, mengenai tulang kering betis kaki yang menendang.
"Krekkk!"
Tubuh Chi Song terpelanting dan dia mengaduh-aduh karena tulang kering kakinya patah. Pada saat itu, tubuh Kong To Tek terpental ke belakang. Kiranya Bun Beng telah melepaskan tangan yang disedot perutnya tadi sambil menendang. Kong To Tek terbanting dekat Chi Song dan dia pun mengaduh-aduh karena lengannya seperti dibakar dan dalam keadaan lumpuh!
Para anak buah Pulau Neraka terkejut dan marah melihat betapa dua orang pemimpin mereka roboh. Mereka adalah orang-orang yang tak mengenal takut, maka sambil berteriak-teriak mereka lari menyerbu.
Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan melengking, sedemikian hebat teriak yang mengandung khikang kuat sekali itu sehingga belasan orang Pulau Neraka itu bergelimpangan dan seperti lumpuh sesaat karena getaran suara itu. Bun Beng sendiri cepat mengerahkan sinkang-nya karena lengkingan dahsyat itu benar-benar luar biasa sekali. Dia tidak lagi mempedulikan para anak buah Pulau Neraka dan cepat dia melompat dan lari ke arah suara melengking yang luar biasa tadi.
Ketika dia tiba di tengah pulau, dan tiba di tempat dari mana suara lengkingan dahsyat tadi terdengar, dia berdiri terpukau di tempatnya dan tidak bergerak memandang peristiwa hebat yang sedang berlangsung di depan. Ternyata bahwa kakek pendek yang sakti, yang bersama-sama Pendekar Super Sakti telah menurunkan ilmu tinggi kepadanya, yaitu kakek Bu-tek Siauw-jin yang berkali-kali telah menolongnya, sedang bertanding melawan seorang kakek yang lebih tua dan yang mengerikan sekali, seperti seorang mayat hidup, namun yang kesaktiannya tak kalah oleh Si Kakek Pendek yang sinting!
Dan memang pertandingan antara kakak beradik seperguruan itu hebat bukan main. Selama ini, mereka tidak pernah bentrok, karena biar pun keduanya adalah datuk-datuk Pulau Neraka, namun keduanya mempunyai kesenangan yang berbeda. Bu-tek Siauw-jin adalah seorang petualang dan perantau, jarang berada di Pulau Neraka, sedangkan Cui-beng Koai-ong adalah seorang yang suka bertapa, terutama bertapa di bawah tanah-tanah kuburan bersama kerangka dan mayat-mayat. Dengan cara masing-masing, keduanya menambah ilmu mereka sehingga tidak lumrah manusia lagi. Mereka memang saling tidak menyukai, akan tetapi karena keduanya tahu bahwa masing-masing memiliki kepandaian hebat, mereka saling merasa segan untuk bentrok, apa lagi karena mereka masih saudara seperguruan.
Pertentangan dalam batin mereka baru timbul setelah Cui-beng Koai-ong mengambil Wan Keng In sebagai murid. Bu-tek Siauw-jin juga melakukan perbuatan tandingan, mengambil Kwi Hong sebagai murid pula! Bahkan lebih dari itu, dia berkenan menurunkan ilmu sinkang-nya Tenaga Inti Bumi kepada Gak Bun Beng. Padahal hal-hal itu merupakan pantangan bagi datuk-datuk Pulau Neraka itu. Puncak pertentangan itu terjadi ketika Bu-tek Siauw-jin melihat suheng-nya itu hendak membunuh Kwi Hong, maka dia muncul dan melawan. Andai kata Kwi Hong terbunuh dalam pertandingan melawan Wan Keng In umpamanya, kiranya kakek pendek ini tidak akan mau turut campur.
Pertandingan antara mereka memang hebat dan menyeramkan. Tadi mereka bertempur menggunakan ilmu silat masing-masing, saling serang dengan gerakan cepat sehingga bayangan mereka menjadi satu, sukar dibedakan lagi. Namun, sampai seratus jurus belum juga ada yang dapat menang. Keduanya menjadi penasaran dan mengeluarkan pekik melengking dahsyat untuk mempengaruhi lawan, pekik yang saking hebatnya sampai membuat para anak buah Pulau Neraka terguling dan yang menarik perhatian Bun Beng tadi.
Setelah mengeluarkan pekik itu, kini keduanya berdiri tak berpindah dari tempat mereka dan kalau ditonton oleh yang tidak mengerti tentu akan membuat orang tertawa geli. Kedua orang kakek itu berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga meter, dan mereka itu menggerak-gerakkan kedua tangan dengan gerakan memukul dan menangkis, padahal tangan mereka itu saling berjauhan dan tanpa ditangkis pun pukulan itu tidak akan mengenai badan.
Akan tetapi, Bun Beng yang melihatnya menjadi kagum dan juga terkejut karena pukulan-pukulan jarak jauh mereka itu sedemikian hebatnya sehingga angin pukulannya sampai terasa oleh dia yang berdiri agak jauh! Tentu saja Bun Beng tidak berani melerai atau mencampuri, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.
Kini tampak kakek mayat hidup itu memukul dengan kedua lengan didorongkan ke depan dengan dahsyat sekali. Bu-tek Siauw-jin juga mendorongkan kedua lengannya ke depan, menyambut serangan suheng-nya itu. Bun Beng seperti merasa tergetar dan tahu betapa di saat itu, dua tenaga raksasa mukjizat yang amat kuat saling bertemu di udara, di antara kedua orang kakek itu. Tampak betapa keduanya agak tergetar dan bergoyang-goyang tubuh mereka. Kedua lengan mereka tetap dilonjorkan saling dorong dan tubuh mereka tidak bergerak.
Perlahan-lahan tampak uap mengepul dari kepala kedua kakek itu, dan dengan hati kaget Bun Beng melihat betapa muka Bu-tek Siauw-jin penuh dengan peluh yang besar-besar menetes turun, akan tetapi wajah kakek pendek ini tetap berseri, mulutnya tersenyum. Ada pun kakek mayat hidup itu wajahnya keruh dan penuh kemarahan, akan tetapi tidak tampak peluh di mukanya walau pun uap yang mengepul dari kepalanya sama tebalnya dengan uap yang mengepul dari kepala sute-nya.
Pertandingan mengadu tenaga sakti ini benar-benar amat menegangkan hati Bun Beng sendiri sehingga tanpa disadarinya, tubuhnya juga mengeluarkan banyak keringat! Dia tidak mempedulikan Kong To Tek dan Chi Song bersama teman-teman mereka yang sudah tiba di situ pula. Mereka itu sebagai ahli-ahli silat tahu apa artinya keadaan kedua orang kakek itu, dan mereka memandang dengan hati tegang, tidak bergerak bahkan ada yang menahan napas.
Bun Beng yang sudah memiliki sinkang tinggi, dapat menduga bahwa kakek pendek itu terdesak hebat, napasnya sudah mulai memburu dan agaknya akan kalah dalam pertandingan ini. Akan tetapi, Si Mayat Hidup itu pun harus mengerahkan segenap tenaganya dan andai kata kakek cebol itu roboh, agaknya Si Mayat Hidup pun tidak akan terhindar dari luka dalam yang parah. Maka dia menjadi makin tegang. Dia tidak berani mencampuri, apa lagi karena dalam keadaan seperti itu, kalau dia mencampuri, selain berbahaya bagi dirinya sendiri, juga berbahaya bagi kedua orang kakek itu. Sedikit saja perhatian mereka teralih, mereka bisa tewas seketika terpukul oleh getaran hawa sakti yang bukan main dahsyatnya.
Tiba-tiba kakek yang seperti mayat hidup itu mengeluarkan suara menggereng dari perutnya dan darah merah menyembur keluar dari mulut, akan tetapi pengerahan tenaga terakhir ini membuat Bu-tek Siauw-jin tak mampu bertahan lagi dan dia roboh terjengkang! Si kakek mayat hidup mengeluarkan suara ketawa aneh, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur turun menginjak ke arah tubuh sute-nya.
Bu-tek Siauw-jin juga mengeluarkan suara ketawa, kelihatan tangannya bergerak menghantam, menyambut kaki yang menginjaknya. Keduanya memekik hebat dan roboh terbanting, dada Bu-tek Siauw-jin pecah oleh injakan kaki kiri sedangkan kaki kanan Cui-beng Koai-ong hancur oleh pukulan sute-nya.
"Heh-heh... mampus kau, sute... heh-heh... aughhh..." Cui-beng Koai-ong terkekeh dan menuding ke arah sute-nya.
"Ha-ha... Suheng... kau yang melayat atau aku yang melayat, nih...?" Bu-tek Siauw-jin juga tertawa sambil menuding ke arah suheng-nya.
Cui-beng Koai-ong tertawa lagi lalu terkulai dan seperti juga sute-nya, kakek ini tewas seketika. Kakek mayat hidup itu telah memiliki kekebalan yang luar biasa, akan tetapi kelemahannya adalah pada telapak kakinya, maka begitu kakinya dipukul hancur, nyawanya melayang. Kakak beradik seperguruan yang keduanya memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu ternyata tewas dalam pertandingan antara mereka sendiri, sebuah pertandingan yang menggetarkan jantung Bun Beng.
Pemuda itu meloncat dekat, sekali pandang saja dia maklum bahwa keduanya telah tewas. Dia berlutut dekat mayat Bu-tek Siauw-jin, mengheningkan cipta sebentar sebagai penghormatan terakhir, kemudian dia bangkit berdiri memutar tubuh lalu pergi dari situ. Anak buah Pulau Neraka hendak menyerbunya, akan tetapi dia membentak, "Mau apa lagi kalian? Lebih baik urus jenazah kedua orang kakek ini!"
Sikap dan ucapan yang nyaring itu membuat mereka ragu-ragu, apa lagi karena kedua orang pemimpin mereka, Kong To Tek dan Chi Song, sudah tidak mampu bertanding lagi. Mereka hanya dapat memandang kepergian Bun Beng seperti sekumpulan serigala yang berniat mengeroyok akan tetapi ditindih rasa jeri.
* * * * * *
Perahu yang ditumpangi Milana dan Kwi Hong tidak mampu mengejar perahu Wan Keng In sehingga akhirnya mereka itu tertinggal jauh. Ketika kedua orang dara ini mencapai tepi pantai dan mendarat, Keng in sudah tidak tampak lagi.
"Milana, dengarlah kata-kataku baik-baik. Entah apa yang telah terjadi denganmu, agaknya engkau masih belum menguasai ingatanmu, engkau masih belum sadar. Orang yang kita kejar tadi bukanlah Gak Bun Beng. Dia adalah Wan Keng In, manusia jahat yang harus kita bunuh!"
"Bohong! Aku tahu bahwa engkau mencinta Bun Beng, dan aku melihat dengan mata sendiri bahwa kau... kau telah..."
"Milana, aku sama sekali tidak melakukan sesuatu dengan Bun Beng. Ketahuilah, kau dan Gak Bun Beng telah dijodohkan, dan kini ayahmu minta agar engkau suka kembali ke Pulau Es bersama Bun Beng..."
"Kwi Hong! Tak perlu engkau membujuk aku dengan segala kebohonganmu! Coba jawab, apa engkau mencinta Wan Keng In?"
"Tidak! Aku akan bunuh keparat jahanam itu!"
"Nah, engkau membenci Keng In, dan engkau mencinta Bun Beng. Sekarang katakan, dengan siapa engkau di dalam pondok itu?"
"Dengan... dengan..." Kwi Hong bingung dan gugup sekali.
Maklumlah dia bahwa dia telah masuk perangkap. Kalau dia menjawab bahwa laki-laki dengan siapa dia bermain cinta di dalam pondok itu adalah Keng In, tentu hal ini berlawanan dengan pengakuannya bahwa dia membenci dan akan membunuh Keng In. Tentu saja Milana yang ingatannya belum pulih itu menyangka bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng.
"Sudahlah, Kwi Hong, aku sudah melihatnya sendiri, tidak perlu kau membohong lagi. Engkau mencinta Bun Beng, bahkan engkau telah menyerahkan dirimu kepadanya, aku tidak peduli lagi!" Milana hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Kwi Hong memegang lengannya dan membujuk,
"Milana, apa pun yang terjadi, marilah kita ke Pulau Es. Biar nanti ayahmu yang memutuskan segalanya. Engkau masih belum sadar..."
Milana merenggutkan lengannya terlepas dari pegangan Kwi Hong. "Cukup! Aku tidak sudi lagi bicara denganmu, perempuan tak tahu malu!" Milana lalu melompat dan pergi meninggalkan Kwi Hong.
Kwi Hong menjatuhkan diri berlutut di atas pasir pantai, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Dia menangis! "Bedebah kau, Wan Keng In. Aku bersumpah, tak akan berhenti sebelum dapat membunuhmu!" Dia bangkit berdiri dan melangkah dengan terhuyung ke depan, seluruh tubuh terasa lemas karena batin yang tertekan kedukaan.
Milana juga lari secepatnya dengan air mata bercucuran. Hatinya remuk redam mengingat akan hubungan cinta kasihnya yang hancur. Perlakuan Bun Beng terhadap dirinya di Pulau Neraka, ketika pemuda yang menjadi pujaan hatinya itu hendak merayunya dan mengajaknya bermain cinta, masih dapat dimaafkannya biar pun hal itu mengecewakan hatinya. Masih dapat dimaafkan karena mungkin saking rindu dan cintanya, pemuda itu tidak dapat menahan gairah hatinya yang dikuasai nafsu birahinya pada waktu itu. Akan tetapi, melihat Bun Beng berjinah dengan Giam Kwi Hong, bagaimana dia dapat memaafkannya? Apa lagi mendengar dari mulut Kwi Hong bahwa dia dijodohkan ayahnya dengan Bun Beng. Siapa sudi menjadi isteri seorang laki-laki mata keranjang seperti itu?
Beberapa hari kemudian setelah melakukan perjalanan tanpa tujuan, perlahan-lahan ingatan Milana kembali karena pengaruh obat beracun itu sedikit demi sedikit lenyap setelah dia terbebas dari Pulau Neraka dan tidak diberi racun setiap hari seperti biasa. Karena kembalinya ingatannya itu sedikit demi sedikit, Milana tidak merasa akan hal ini. Dia hanya mulai teringat akan keadaan dahulu satu demi satu, ingat akan Kaisar yang menjadi kakeknya di kota raja, akan semua orang yang dikenalnya. Semua ingatannya pulih, hanya satu hal yang tidak semestinya, yaitu tentang Bun Beng. Bun Beng sekarang bukanlah Bun Beng dahulu lagi, sekarang menjadi seorang laki-laki yang dibencinya.
Karena ini, dia tidak mau kembali ke Pulau Es. Dia mendengar dari Kwi Hong bahwa dia dijodohkan dengan Bun Beng oleh ayah bundanya, dan dia tidak akan mau menerimanya. Kalau dia kembali ke Pulau Es, tentu akan terjadi hal yang tidak menyenangkan karena urusan itu. Maka dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja, menghadap kakeknya dan tinggal di istana sebagai puteri Kaisar yang hidup mulia dan terhormat. Dan dia akan mencoba untuk melupakan Bun Beng!
Pada suatu siang selagi Milana berjalan cepat melalui pegunungan di sebelah utara kota raja, tiba-tiba muncul belasan orang laki-laki yang rambutnya digelung ke atas. Mereka itu kelihatan bersikap gagah, dan tidak kasar, akan tetapi jelas bahwa mereka sengaja menghadang di jalan dan pemimpin mereka, seorang laki-laki tinggi kurus berjenggot dan berkumis tipis, mengangkat tangan ke atas menyuruh dara itu berhenti.
"Nona harap berhenti dulu!"
Milana mengerutkan alis dan dia bertanya, "Kalian ini siapa dan mau apa menghadang orang lewat?"
Si Tinggi Kurus menjawab, "Kami adalah orang-orang Tiong-gi-pang (Perkumpulan Orang Jujur dan Berbudi) yang mengharapkan sumbangan dari semua orang lewat di sini. Harap Nona sudi meninggalkan sekedar sumbangan sebelum Nona melanjutkan perjalanan."
Milana marah sekali. "Kalian perampok?"
Orang itu menggeleng kepala dan para anak buahnya bersikap tidak senang dengan sebutan itu. "Kami sama sekali bukan perampok, bahkan kami pembasmi para perampok yang tadinya banyak berkeliaran di tempat ini mengganggu orang-orang lewat. Akan tetapi perkumpulan kami membutuhkan biaya-biaya dan dari siapa lagi kalau tidak dari sumbangan para dermawan yang lewat? Nona seorang wanita muda melakukan perjalanan seorang diri, tentu Nona seorang kang-ouw dan sudah maklum akan hal ini. Maka harap Nona tidak bersikap pelit. Kami tanggung bahwa dari sini sampai kota raja, tidak akan ada seorang pun perampok yang berani mengganggumu, Nona."
Tentu saja Milana mengerti dan mengenal perkumpulan seperti itu. Dia adalah puteri bekas Ketua Thian-liong-pang, tentu saja tahu akan segala peristiwa dunia kang-ouw. Perkumpulan seperti mereka yang menamakan diri Tiong-gi-pang ini adalah perkumpulan yang biasa diejek dengan perampok-perampok halus. Mereka sebetulnya adalah orang-orang gagah yang bersatu untuk menghadapi dunia hitam para perampok, maling dan lain-lain.
Tetapi karena mereka itu tidak mempunyai penghasilan tetap dan perkumpulan mereka tentu saja membutuhkan biaya, maka mereka mengambil cara ini untuk menutup kebutuhan mereka yang bersahaja, yaitu dengan jalan ‘memungut sumbangan’ dari para orang lewat di daerah yang telah mereka ‘bersihkan’ itu. Akan tetapi pada waktu itu, hati dan pikiran Milana sedang dilanda kekecewaan dan kemarahan karena Bun Beng, maka menghadapi hal yang biasanya akan dianggap wajar dan dihadapinya dengan penuh pengertian itu, kini menimbulkan kemarahannya.
"Bilang saja perampok, pakai memutar-mutar omongan segala. Kalau kalian minta sumbangan kepadaku, aku hanya membawa kaki tanganku yang bisa membagi pukulan dan tendangan! Entah kalian mau atau tidak menerima sumbangan ini!"
Dua belas orang itu adalah laki-laki gagah, tentu saja mereka menjadi marah sekali mendengar ucapan gadis ini yang amat merendahkan mereka. Betapa pun juga, mereka merasa segan untuk turun tangan mengeroyok seorang wanita muda, dan hanya pimpinan mereka yang tinggi kurus itu melangkah maju, matanya terbelalak marah ketika dia membentak,
"Bocah perempuan sombong! Mungkin kau memiliki sedikit kepandaian silat, akan tetapi hal itu amat tidak baik bagimu, membuatmu sombong sekali mengira di dunia ini tidak ada yang dapat melawanmu! Hemm, kalau memang engkau hanya bisa memberi pukulan dan tendangan, biarlah aku menerima sumbanganmu itu!"
"Kalau begitu, terimalah ini!" Milana yang sedang risau hatinya itu segera menerjang maju dan mengirim pukulan-pukulan dengan kecepatan luar biasa.
Biar pun Si laki-laki Tinggi Kurus itu berusaha menangkis dan mengelak, namun dia bukanlah lawan dara yang memiliki ilmu silat tinggi itu. Pukulan bertubi-tubi dari Milana membuatnya terdesak tak mampu membalas serangan, akhirnya mengenai sasaran, pundaknya tertampar dan laki-laki itu terpelanting!
Melihat ini kawan-kawannya terkejut, penasaran dan marah sekali. Tanpa dikomando lagi mereka menyerbu, namun tak seorang pun di antara mereka yang menggunakan senjata. Niat mereka hanya untuk menangkap gadis galak itu dan menghadapkannya kepada ketua mereka. Melihat ini, Milana mengamuk, akan tetapi dia pun mengerti bahwa pengeroyoknya itu bukanlah orang-orang jahat kejam karena mereka itu tidak ada yang menggunakan senjata. Maka dia pun hanya memukul dan menendang dengan tenaga terbatas agar tidak kesalahan tangan membunuh mereka.
Para pengeroyok itu terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa lihainya gadis muda itu. Beberapa orang yang maju lebih dulu sudah terpelanting ke kanan kiri dan mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lengan atau kakinya. Pada saat itu Milana melihat munculnya rombongan orang yang jumlahnya lebih banyak lagi, datang berlari-larian ke tempat itu. Hatinya menjadi gemas, dan dia sudah siap untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua!
Tiba-tiba beberapa orang di antara rombongan yang baru datang itu berseru. "Berhenti semua...! Dia adalah Nona Milana, puteri Ketua Thian-liong-pang!"
Mendengar seruan ini, para pengeroyok terkejut dan mundur. Milana juga berhenti mengamuk dan memandang mereka yang baru datang itu. Di antara orang-orang ini dia mengenal beberapa anggota Thian-liong-pang! Lima orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Milana sambil berkata,
"Harap Nona suka memaafkan kami dan teman-teman kami, karena tidak tahu maka berani bersikap kurang ajar kepada Nona."
"Hemm, apa artinya ini? Kenapa kalian menjadi anggota gerombolan ini?" tanya Milana dengan alis berkerut.
"Harap Nona tidak salah duga. Perkumpulan Tiong-gi-pang bukanlah gerombolan perampok... dan perkumpulan ini didirikan oleh Bhok Toan Kok Pangcu (Ketua)."
"Haii...? Sai-cu Lo-mo...?"
"Marilah Nona, kuantar menjumpai Pangcu. Ceritanya panjang dan sebaiknya Nona mendengar dari Pangcu sendiri."
Berdebar jantung Milana. Semua pembantu ibunya telah tewas ketika Thian-liong-pang diserbu kaki tangan Koksu. Kiranya Sai-cu Lo-mo dapat menyelamatkan diri dan kini kakek ini selain masih hidup, juga sudah menjadi ketua sebuah perkumpulan. Dia mengangguk lalu mengikuti rombongan itu memasuki hutan, dipandang penuh kagum oleh anggota-anggota perkumpulan Tiong-gi-pang yang bukan bekas anggota Thian-liong-pang.
Di dalam hutan di lereng bukit itu terdapat bangunan pondok-pondok sederhana dan inilah pusat perkumpulan Tiong-gi-pang yang jumlahnya kurang lebih lima puluh orang itu. Ketika Milana berhadapan dengan Sai-cu Lo-mo, gadis ini tidak dapat menahan kesedihan dan keharuannya. Dia menubruk Sai-cu Lo-mo sambil menangis.
"Bhok-kongkong (Kakek Bhok)...!" Dia menangis di pundak kakek yang mengelus-elus kepalanya itu.
Kakek itu duduk di kursi, kedua kakinya telah lumpuh akibat luka-lukanya ketika Thian-liong-pang diserbu oleh anak buah Koksu.
"Nona Milana... aihhh, Nona..." Sai-cu Lo-mo juga mengejap-ngejapkan mata menahan air matanya. Akan tetapi kakek ini dapat menekan perasaannya, lalu menuntun nona itu memasuki pondok. "Mari kita duduk dan bicara, Nona. Kita harus masih bersukur bahwa para pemberontak itu dapat dihancurkan oleh ibumu, dan biar pun Thian-liong-pang sudah hancur lebur, namun namanya masih tetap baik sebagai pembela negara. Mari duduk dan ceritakanlah. Saya mendengar bahwa Nona terculik. Saya telah mengerahkan semua anak buah perkumpulan ini untuk membantu dan menyelidiki keadaanmu, namun sia-sia. Apa lagi terdengar berita bahwa engkau diculik orang Pulau Neraka, betulkah ini? Di antara kami tidak ada seorang pun yang tahu di mana letaknya Pulau Neraka itu."
Milana menghapus air matanya, kemudian dia menceritakan kepada pembantu ibunya yang setia itu tentang semua pengalamannya. Betapa dia diculik oleh Wan Keng In, akan tetapi berhasil mempertahankan kehormatannya sungguh pun dia tidak berdaya untuk keluar dari Pulau Neraka. Betapa kemudian muncul Giam Kwi Hong dan bersama keponakan dan murid ayahnya itu dia berhasil mendesak Keng In sehingga pemuda itu melarikan diri, sedangkan guru pemuda itu dilawan oleh kakek pendek yang menjadi guru Kwi Hong. Kemudian, kembali dia terisak menangis ketika menceritakan kelakuan Gak Bun Beng kepadanya.
"Menurut kata Enci Kwi Hong, oleh ayahku telah dijodohkan dengan dia, Kek. Akan tetapi... aku tidak sudi menjadi isteri manusia rendah itu! Dia tidak saja berusaha untuk menyeret aku ke dalam perjinahan yang kotor, tetapi dia juga berjinah dengan Giam Kwi Hong..." Milana menangis lagi.
Dapat dibayangkan betapa marah, duka dan kecewa hati kakek itu. Gak Bun Beng adalah cucu keponakannya, karena ibu pemuda itu, Bhok Khim, yang dahulu diperkosa oleh Gak Liat Si Iblis Botak sehingga melahirkan Bun Beng adalah keponakannya. Dan dia pernah melamar Milana untuk Bun Beng, yang ditolak oleh ibu Milana dan yang membuat dia mundur teratur ketika mendengar bahwa ibu Milana bukan saja puteri Kaisar, akan tetapi ayah Milana adalah Pendekar Super Sakti! Dan sekarang, Pendekar Super Sakti bahkan telah menjodohkan puterinya itu dengan Gak Bun Beng, akan tetapi agaknya Bun Beng telah berubah, telah menjadi seorang pemuda berwatak kotor!
"Nona, apakah yang kau ceritakan kepadaku benar terjadi? Menurut penglihatanku, Bun Beng bukanlah seorang berwatak bejat..."
"Kalau aku tidak mengalami sendiri dibujuk rayu olehnya, kalau aku tidak melihat sendiri dia berjinah dengan Kwi Hong, aku sendiri tentu tidak percaya, Kek. Akan tetapi aku mengalami sendiri dan melihat sendiri..." Kembali dia terisak dan menutupi mukanya.
"Sudahlah, Nona. Kalau kelak bertemu dengannya, aku sendiri akan menegur dan menghajarnya. Biar pun dia lihai, dia adalah cucu keponakanku, dan biarlah aku mati dalam tangannya kalau dia tidak dapat disadarkan. Sekarang, Nona hendak pergi ke mana?"
"Aku hendak mencari ibu..."
"Beliau tidak lagi berada di kota raja, Nona. Kalau tidak salah dugaanku, dia tentu ikut bersama ayahmu ke Pulau Es."
Giam Kwi Hong melakukan perjalanan cepat, melalui pegunungan dan hutan-hutan yang sunyi. Pada suatu pagi, ketika dia keluar dari sebuah hutan, dia melihat dari jauh orang-orang sedang bertempur. Tiga orang yang bersenjata tongkat hitam melawan lima orang bersenjata toya panjang. Biar pun ilmu tongkat tiga orang itu aneh dan cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan lima orang yang juga memiliki ilmu toya yang mirip-mirip aliran Siauw-lim-pai, mereka bertiga terdesak hebat.
Kwi Hong tidak mempedulikan urusan orang lain, akan tetapi melihat betapa pertandingan itu tidak adil dan berat sebelah, tiga orang dikeroyok lima, dia cepat meloncat ke tengah arena pertandingan sambil berseru, "Tahan...!"
Delapan orang itu yang melihat bahwa yang melerai mereka hanya seorang gadis muda, tentu saja tidak mau berhenti bertanding, bahkan dua orang Pek-eng-pang yang merasa bahwa gadis itu mengganggu pihak mereka yang sudah hampir menang, mengira bahwa gadis itu tentu hendak membantu lawan. Dengan marah mereka menggerakkan toya mereka dan membentak, "Pergi kau!"
"Sing...! Trak-trakkk!" Dua batang toya itu patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam.
"Berhenti dan jangan bertempur kataku!" Kwi Hong membentak, mengelebatkan pedangnya.
Dua orang pemegang toya, yaitu orang-orang dari perkumpulan Pek-eng-pang, terkejut dan terbelalak memandang toya yang sudah buntung di tangan mereka. Toya mereka terbuat dari baja murni yang kuat, mengapa bertemu dengan pedang di tangan gadis itu seolah-olah berubah seperti sebatang bambu saja.
"Siapa kau?" Seorang di antara lima orang Pek-eng-pang yang menjadi pemimpin mereka berkata. Orang ini berpakaian seperti jubah pendeta, rambutnya digelung melengkung ke atas. "Mengapa kau berani mencampuri urusan kami?"
"Aku siapa bukan soal, yang jelas kalian adalah orang-orang tak tahu malu dan pengecut, mengeroyok dengan jumlah lebih besar. Karena itu, aku tidak senang dan kalian harus berhenti bertempur. Kalian boleh bertempur kalau satu lawan satu, atau tiga lawan tiga."
"Perempuan muda yang sombong! Berani sekali kau menghina kami dari Pek-eng-pang, ya? Apakah kau sudah bosan hidup?" Orang yang dandanannya seperti seorang saikong itu membentak.
"Bukan aku yang bosan hidup, akan tetapi kalian!" bentak Kwi Hong yang sudah marah sekali, pedang Li-mo-kiam di tangannya sudah menggetar.
"Siluman betina, kau boleh bantu tikus tikus Koai-tung-pang ini kalau sudah bosan hidup!" Orang itu berkata dan memberi isyarat kepada empat orang kawannya.
"Tidak perlu dengan mereka, aku sendiri sudah cukup untuk melenyapkan kalian orang-orang sombong!" Kwi Hong bergerak cepat sekali, pedangnya berubah menjadi kilat menyambar-nyambar.
Lima orang itu terkejut dan cepat mereka menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, seperti juga tadi, begitu bertemu dengan Li-mo-kiam, toya mereka patah-patah dan sekali ini Li-mo-kiam tidak hanya berhenti sampai di situ saja, melainkan menyambar ganas ke depan. Terdengar jerit lima kali disusul robohnya lima batang tubuh para anggota Pek-eng-pang dan tewas seketika karena leher mereka ditembus pedang Li-mo-kiam yang ganas dan ampuh!
Melihat dara itu berdiri tegak memandang pedang Li-mo-kiam di tangan, pedang yang kembali sudah minum darah lima orang akan tetapi yang agaknya semua darah disedotnya habis karena di permukaan pedang itu sama sekali tidak tampak noda darah, tidak ada setetes pun, tiga orang anggota Koai-tung-pang menggigil kakinya.
"Mo-kiam Lihiap..." Mereka bertiga berbisik dan menjatuhkan diri berlutut. "Kami menghaturkan terima kasih atas bantuan Lihiap," kata seorang di antara mereka.
Kwi Hong tersenyum sedikit dan menyimpan pedangnya. "Kalian sudah mengenalku?"
"Baru sekarang kami bertemu dengan Lihiap, akan tetapi nama besar Mo-kiam Lihiap siapakah yang tidak mengenalnya. Harap Lihiap tidak kepalang menolong kami. Kami adalah anggota-anggota Koai-tung-pang di Bukit Serigala, sudah lama kami selalu diganggu oleh pihak Pek-eng-pang yang jauh lebih besar dari perkumpulan kami. Kalau mendengar bahwa ada lima orang anggota mereka tewas, tentu mereka akan ke sini dan kami akan celaka."
"Lima orang telah mati semua, bagaimana mereka tahu?"
"Lihiap tidak mengerti. Di samping lima orang ini, tadi masih ada seorang lagi yang bersembunyi dan melihat-lihat keadaan. Mereka selalu begitu, melepas mata-mata melakukan penyelidikan. Kini orang itu tentu telah melapor dan kami pasti akan celaka, mungkin perkumpulan kami akan diserbu! Kini mereka mendapat alasan yang kuat, lima orang anggota mereka tewas, sungguh hebat sekali..." Pemimpin tiga orang itu berkata dengan suara gemetar mengandung rasa takut.
"Hemmm, kalian mengira bahwa aku membunuh mereka karena aku membantu kalian? Sama sekali bukan. Aku tak mau mencampuri urusan kalian yang tiada sangkut pautnya dengan aku! Aku tadi melerai bukan untuk membantu kalian, melainkan karena tidak suka melihat perkelahian yang berat sebelah. Dan, aku membunuh karena mereka menghinaku. Sudahlah!" Sebelum tiga orang anggota Koai-tung-pang itu sempat membantah, tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Tiga orang itu saling pandang dengan muka pucat. "Celaka...!" kata pemimpin mereka, "Kalau begini, kita akan celaka. Lebih baik dia tadi tidak muncul, paling hebat kita hanya dirobohkan oleh orang-orang Pek-eng-pang dan mereka tentu tidak akan membunuh kita. Sekarang, keadaan lain lagi, bukan hanya kita akan celaka, bahkan seluruh Koai-tung-pang tentu akan dihancurkan oleh Pek-eng-pang."
"Lebih baik kita melapor kepada Pangcu (Ketua)!" usul seorang di antara mereka. Tergesa-gesa mereka lalu berlari pergi, meninggalkan lima buah mayat itu untuk cepat-cepat melaporkan kepada ketua mereka di lereng Bukit Serigala yang tidak jauh dari tempat itu.
Kwi Hong sudah melanjutkan perjalanannya dengan cepat, tidak mempedulikan dan sudah melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya ketikar melihat debu mengepul dari depan dan muncullah sepuluh orang berlari-lari cepat mendatangi. Mereka dikepalai oleh seorang saikong berjubah lebar yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sepuluh orang itu semua memegang sebatang toya panjang dan melihat ini Kwi Hong dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Pek-eng-pang, kawan-kawan dari lima orang yang dibunuhnya tadi. Sinar matanya menjadi berkilat berbahaya karena dara ini telah menjadi marah sekali.
"Dia inilah orangnya!" Seorang di antara mereka menuding, agaknya orang inilah yang tadi menjadi mata-mata dan yang menyaksikan ketika lima orang anggota mereka itu tewas oleh pedang Li-mo-kiam di tangan Kwi Hong.
Mereka sudah tiba di depan Kwi Hong dan saikong itu membentak marah, "Nona, benarkah engkau telah membunuh mati lima orang anggota kami?"
"Kalau benar demikian, kalian mau apakah?"
Saikong itu menjadi makin marah, toya di tangannya sudah bergerak seolah-olah dia hendak menyerang. "Hemmmm, engkau benar-benar seorang wanita muda yang sombong sekali. Kalau benar demikian, mengapa kau membunuh para anggota kami?"
"Mereka telah menghinaku, tentu saja kubunuh."
"Perempuan rendah, kau sungguh kejam. Siluman betina yang harus dienyahkan dari muka bumi!" Saikong itu berteriak dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka menyerbu dengan toya mereka sambil mengurung Kwi Hong.
"Awas pedangnya tajam sekali!" teriak orang yang tadi mengintai dan melihat betapa toya kawan-kawannya patah semua bertemu dengan pedang.
Akan tetapi teriakannya terlambat karena sudah ada dua batang toya yang patah bertemu pedang, bahkan pedang itu terus membacok ke depan dan dua orang anggota terpelanting mandi darah!
"Kurung dan serang! Jangan adukan senjata!" Saikong itu berseru dan dia sendiri menerjang dengan hebatnya. Gerakan saikong ini memang hebat, tenaganya besar dan permainan toyanya adalah permainan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan ilmu silat lain dari golongan hitam.
Kwi Hong bersikap tenang dan terpaksa dia harus mengelak ke sana ke mari karena datangnya senjata lawan seperti hujan. Mereka berlaku cerdik, mengeroyoknya dari jarak jauh, tidak mau mengadu senjata dan mengandalkan toya mereka yang panjang untuk menyerang dari segenap penjuru.
Tiba-tiba tampak datang delapan orang yang kesemuanya memegang tongkat hitam. Itulah rombongan Koai-tung-pang yang juga dipimpin oleh ketuanya. Begitu tiba di situ dan melihat gadis perkasa itu dikeroyok orang-orang Pek-eng-pang sedangkan dua orang di antara mereka telah roboh, Ketua Koai-tung-pang berseru,
"Pek-eng-pangcu (Ketua Pek-eng-pang) dia itu adalah Mo-kiam Lihiap, musuh kita bersama. Mari kami bantu kalian!"
Kini delapan orang Koai-tung-pang itu serentak maju dan mengeroyok Kwi Hong. Tentu saja gadis ini menjadi marah sekali. "Bagus! Majulah orang-orang pengkhianat dan pengecut!" Dia begitu marahnya sehingga dialah yang menerjang maju ke orang-orang Koai-tung-pang, mengelebatkan pedangnya dan menggunakan ginkang-nya.
"Singgg-trang-trang-trakk!"
Tiga batang tongkat patah-patah dan dua orang anggota Koai-tung-pang roboh dan tewas seketika oleh babatan pedang Li-mo-kiam. Namun teman-temannya mengurung ketat. Kini masih ada delapan orang Pek-eng-pang dan enam orang Koai-tung-pang yang mengurung, menyerang dari jarak jauh dan selalu menarik senjata mereka kalau sinar pedang Li-mo-kiam berkelebat. Menghadapi pengeroyokan ini, biar pun tidak terdesak, Kwi Hong merasa repot juga.
"Wuuuttt... singgg... aughhh...!"
Teriakan saling susul terdengar ketika ada sinar kilat menyambar dari luar kepungan, disusul robohnya dua orang anggota Pek-eng-pang. Pengepungan menjadi kacau dan mereka cepat membalik. Kiranya di situ telah berdiri seorang pemuda tampan yang memegang sebatang pedang yang serupa dengan pedang yang berada di tangan Kwi Hong, hanya agak lebih panjang.
"Nona Kwi Hong, jangan khawatir, aku membantumu!"
Biar pun Kwi Hong terheran melihat Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu bersikap membantunya, namun dia memang tidak senang kepada pemuda itu, dan membentak, "Aku tidak butuh bantuanmu!"
"Ha-ha-ha, betapa pun juga, aku mau membantumu. Nanti saja kita bicara, sekarang mari kita berlomba membasmi cacing-cacing ini, kita lihat siapa yang lebih hebat antara murid Cui-beng Koai-ong dan murid Bu-tek Siauw-jin!"
"Boleh kau coba! Li-mo-kiam ini tidak akan kalah oleh Lam-mo-kiam itu!" jawab Kwi Hong yang segera mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk merobohkan para pengeroyok.
Wan Keng In tidak mau kalah, pedang Lam-mo-kiam di tangannya berkelebatan bagai naga sakti mengamuk. Yang celaka adalah para pengeroyok itu. Baru mengeroyok gadis pemegang Li-mo-kiam saja sudah payah, kini ditambah lagi pemuda lihai yang membawa Lam-mo-kiam, Sepasang Pedang Iblis itu mengamuk dan seolah-olah hidup di tangan pemuda dan gadis itu. Darah berceceran dan muncrat dari tubuh yang hampir putus, mayat berserakan dan tak lama kemudian, habislah semua pengeroyok termasuk ketua kedua buah perkumpulan itu. Tinggal Kwi Hong dan Keng In yang berdiri memandang pedang mereka yang sedikit pun tidak bernoda darah biar pun Sepasang Pedang Iblis itu telah minum darah belasan orang!
"Ha-ha-ha! Engkau tidak kecewa menjadi murid Susiok!" Keng In memuji dan bukan pujian kosong karena dia betul-betul merasa kagum. Diam-diam dia ingin sekali membuktikan apakah gadis murid susiok-nya ini akan mampu menandinginya.
Di lain pihak, Kwi Hong juga heran melihat sikap Keng In yang lain dari dahulu. Dahulu pemuda iblis itu selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa kini membantunya dan bersikap ramah. Dia tidak peduli akan ini semua dan segera teringat akan pesan Lulu. Dengan pedang Li-mo-kiam masih di tangan, para korban pedang itu masih berserakan di sekitar kakinya dan darah masih bercucuran, dia berkata,
"Wan Keng In, kebetulan sekali kita saling bertemu di sini. Aku membawa pesan dari ibumu untukmu."
Berkerut alis Keng In mendengar ini. Dia juga sedang terheran memikirkan ke mana perginya ibunya, sungguh pun hal itu tidak menyusahkan hatinya benar.
"Di mana kau berjumpa dengan ibuku? Dan apa yang dipesannya? Eh, Nona. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara di tempat lain, tidak di antara bangkai-bangkai yang menjijikkan ini?"
"Terserah kepadamu," jawab Kwi Hong singkat.
Keng In kemudian meloncat dan berlari ke dalam hutan di sebelah kiri, dan Kwi Hong menyusulnya. Kini mereka berhadapan di bawah sebatang pohon yang besar.
"Nah, di sini kan lebih enak. Akan tetapi mengapa kau tidak menyimpan pedangmu?"
Kwi Hong memandang pedang yang masih dipegangnya. "Hmm, menghadapi engkau yang memegang pedang terhunus, lebih baik aku tidak menyimpan pedangku."
Keng In mengangkat alisnya, memandang pedang Lam-mo-kiam di tangannya dan tertawa. "Ha-ha, aku sampai lupa. Agaknya kau curiga kepadaku." Dia menyarungkan pedangnya dan diturut pula oleh Kwi Hong.
"Aku bertemu dengan ibumu di Pulau Es..."
"Apa? Ibuku di Pulau Es?" Keng In benar-benar terkejut sekali karena tidak disangka-sangkanya bahwa ibunya mau pergi ke Pulau Es.
"Benar, tidak itu saja. Malah sekarang Bibi Lulu telah menjadi isteri Paman Suma Han bersama Bibi Nirahai. Mereka bertiga tinggal di Pulau Es sebagai suami isteri."
Dapat dibayangkan betapa kaget hati pemuda itu. Kaget, malu, kecewa dan marah. Akhirnya ibunya tunduk juga kepada pria yang belasan tahun lamanya membikin sengsara hatinya. Ingin dia marah-marah, ingin dia memaki-maki ibunya. Namun Keng In sekarang telah menjadi seorang pemuda yang cerdik dan tidak mau memperlihatkan perasaan hatinya. Dia hanya menunduk sejenak, kemudian ketika dia mengangkat muka lagi, wajahnya sudah biasa dan tenang kembali.
"Apakah pesan Ibu kepadamu untukku?"
Kwi Hong benar-benar tercengang. Sikap Keng In telah berubah sama sekali, jauh bedanya dengan dahulu. Dahulu pemuda itu seperti iblis, akan tetapi kini bersikap biasa dan bahkan ramah.
"Bibi Lulu hanya berpesan kepadaku, kalau aku bertemu denganmu agar membujukmu supaya engkau suka menyusul ibumu di Pulau Es. Hanya begitulah pesannya."
Keng In tersenyum, dan Kwi Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan sekali, apa lagi kalau tersenyum seperti itu.
"Tentu saja aku harus menyusul Ibu, dan aku harus memberi hormat kepada Ayah tiriku yang sudah lama kukenal nama besarnya itu. Ah, kalau begitu lebih girang hatiku bahwa tadi aku menolongmu. Sekarang kita bukan orang lain lagi. Engkau adalah keponakan Pendekar Super Sakti, juga muridnya, sedangkan aku adalah anak tirinya. Bukankah dengan demikian kita masih dapat dikatakan saudara misan? Apa lagi kalau diingat bahwa engkau adalah juga murid Susiok Bu-tek Siauw-jin, berarti kita adalah saudara misan seperguruan pula. Enci Giam Kwi Hong, kau terimalah hormatku dan maafkan segala kesalahanku yang lalu."
Kwi Hong tercengang dan juga menjadi girang. Ternyata pemuda ini sudah berubah menjadi seorang yang baik, tidak seperti dahulu, jahat seperti iblis. Dia tersenyum dan membalas penghormatan Keng In sambil berkata, "Aku juga girang sekali bahwa engkau bersikap baik, Wan Keng In. Dan memang sudah sepatutnya engkau menjadi adikku. Masih teringat olehku ketika masih kecil dahulu, ketika aku ditawan ibumu. Nakalmu bukan main..."
"Wah, Enci Kwi Hong, apakah kau tidak mau melupakan hal yang lalu. Biarlah aku minta ampun kepadamu." Dan pemuda itu benar-benar menjatuhkan diri berlutut di atas tanah depan kaki Kwi Hong!
"Ihhh! Jangan begitu, Adikku!" Kwi Hong tertawa, membangunkan Keng In dan mereka berdua lalu duduk di bawah pohon, di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah.
"Enci Kwi Hong, bagaimana engkau sampai tiba di tempat ini! Tentu bukan untuk mencari aku di sini!"
Berat rasa hati Kwi Hong untuk mengaku bahwa dia tadinya hendak mencari Milana dan Bun Beng, bahkan agak malu pula dia mengatakan bahwa dia hendak ke Pulau Neraka mencari gurunya, karena bukankah Pulau Neraka adalah milik pemuda ini? Maka dia menjawab, "Aku hendak mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan semua pembantunya."
Keng In mengerutkan alisnya. "Hemmm... mencari mereka ada keperluan apakah, Enci Kwi Hong?"
"Aku mau bunuh mereka!"
"Ehh! Ada apa? Mereka itu lihai-lihai sekali! Kenapa kau hendak membunuh mereka?"
"Mereka itu terutama Bhong Ji Kun, ketika masih menjadi pemberontak, telah menipu aku sehingga aku terpikat bersekutu dengan mereka. Dengan terjadinya hal itu, aku telah melakukan kesalahan besar terhadap pamanku."
"Hemmm, begitukah? Mereka pun pernah membujuk aku. Memang mereka harus dibunuh dan aku akan membantumu, Enci Hong! Bahkan aku dapat membawamu kepada beberapa orang di antara mereka."
"Apa? Benarkah itu, Keng In?"
"Benar, aku tidak membohong. Beberapa hari yang lalu aku melihat beberapa orang anak buah Bhong-koksu itu di dekat pantai Lautan Po-hai, dan agaknya mereka itu bersembunyi di tempat sunyi itu."
Berseri wajah Kwi Hong. "Benarkah? Bagus, mari kau antar aku ke tempat itu, Keng In. Tentu saja mereka itu harus bersembunyi karena mereka adalah pemberontak yang dikejar-kejar pemerintah."
"Mari, Enci Hong. Tapi engkau benar-benar sudah tidak benci lagi kepadaku, bukan? Sudah kau maafkan kesalahanku terhadapmu yang sudah-sudah?"
Kalau memikirkan apa yang telah dilakukan oleh pemuda ini di masa lalu, memang sukar untuk melupakannya. Akan tetapi manusia tidak selamanya baik atau buruk, karena keadaan manusia itu selalu berubah, pikirnya. Sekarang pemuda ini kelihatan berubah sekali, mungkin hal ini juga terdorong oleh keadaan ibunya yang sudah menjadi isteri Pendekar Super Sakti. Apa lagi pemuda itu jelas ingin membantunya, tentu tidak mempunyai niat buruk.
"Aku tidak lagi memikirkan hal yang lalu, Keng In. Aku percaya kepadamu."
Wajah yang tampan itu berseri girang dan berangkatlah Kwi Hong mengikuti Keng In menuju ke pantai Lautan Po-hai yang tidak berapa jauh, hanya memakan perjalanan beberapa hari saja dari situ.
Seperti telah disaksikan oleh Suma Han dan kedua orang isterinya, di sebelah selatan Pulau Es terjadi badai yang hebat. Ketika itu perahu besar yang ditumpangi oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan teman-temannya sedang berlayar ke selatan. Bekas Koksu ini dan teman-temannya telah menderita kekalahan total dan kegagalan yang bertubi-tubi sehingga pelayaran itu dilakukan dengan wajah murung dan hati kesal.
Usaha pemberontakan mereka dengan mengangkat Pangeran Yauw Ki Ong gagal sama sekali, dan pangeran itu ternyata mempunyai hati khianat sehingga terpaksa dibunuh oleh Bhong Ji Kun. Setelah tidak ada lagi pangeran itu, tentu saja mereka tidak memiliki pegangan untuk memberontak. Bahkan di Pulau Es mereka mengalami pukulan hebat lagi, semua dikalahkan mutlak oleh Pendekar Super Sakti sehingga mereka mendapatkan pengampunan dan diusir dari pulau sebagai orang-orang yang kalah. Seperti anjing setelah mengalami gebukan-gebukan! Bagi orang-orang yang terkenal di dunia persilatan seperti mereka itu, tidak ada yang lebih memalukan dan merendahkan dari pada diampuni lawan setelah mereka kalah!
Memang mereka sedang sial. Usaha pemberontakan gagal sama sekali, disusul dengan kekalahan pribadi menghadapi Majikan Pulau Es. Kini selagi mereka bingung ke mana harus pergi dengan perahu mereka karena amat berbahaya untuk mendarat setelah mereka menjadi orang-orang pelarian, tiba-tiba saja badai datang mengamuk dan menyerang perahu mereka!
Perahu itu sebetulnya sudah merupakan sebuah perahu besar menurut ukuran perahu umumnya. Akan tetapi, setelah badai mengamuk menimbulkan gelombang-gelombang setinggi anak bukit, perahu itu tak lebih seperti sebuah mangkuk kecil di tengah telaga. Dan tenaga orang-orang yang biasanya dianggap orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertenaga besar, kini tiada bedanya seperti tenaga semut-semut saja menghadapi tenaga air laut yang digerakkan badai. Perahu dilempar ke sana-sini, dilontarkan ke atas dan diseret kembali ke bawah, diputar-putar dan akhirnya perahu itu pecah berkeping-keping!
Bhong Ji Kun dan anak buahnya tentu saja dalam keadaan seperti itu hanya dapat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Mereka tidak dapat saling melihat ketika perahu itu pecah berantakan dan mereka terlempar ke lautan yang sedang marah itu. Barulah mereka saling dapat melihat ketika badai telah lewat ke timur dan lautan di bagian itu agak tenang dan ternyata bahwa yang berhasil mencengkeram sebagian tubuh perahu yang pecah, yang hanya merupakan beberapa potong papan besar bersambung-sambung, hanya ada lima orang saja.
Dalam keadaan hampir pingsan, lima orang ini naik ke atas papan-papan bersambung itu, terengah-engah. Mereka ini adalah Gozan, orang Mongol yang bertubuh tinggi besar itu, Liong Khek, Si Muka Pucat bertubuh kurus yang bersenjata pancing. Thai-lek-gu, Si Pendek Gendut bekas jagal babi yang bersenjata sepasang golok, dan dua orang Mongol yang tadinya adalah juru-juru mudi perahu itu.
Berkat pengalaman dan keprigelan dua orang bekas juru mudi inilah, maka pecahan perahu yang kini ditumpangi mereka berlima itu akhirnya dapat keluar dari daerah badai, kemudian dengan susah payah mereka mendayung mempergunakan papan yang berapung, untuk menggerakkan perahu istimewa ini ke darat. Dan mereka berhasil setelah melalui perjuangan mati hidup selama beberapa hari. Mereka berhasil mendarat di tempat sunyi, di pantai Lautan Po-hai dalam keadaan tenaga habis dan hampir mati kelaparan!
Kini mereka sudah hampir dua pekan berada di goa-goa pantai Lautan Po-hai. Tenaga mereka sudah pulih dan pada siang hari itu ketiga orang bekas pembantu Koksu bercakap-cakap di depan goa sedangkan dua orang bekas juru mudi kini bertugas sebagai pelayan, memanggang ikan yang mereka tangkap di tepi laut.
"Sudah lama kita menanti di sini, dan Im-kan Seng-jin belum juga muncul," kata Liong Khek yang sebagai orang terlihai di antara mereka berlima tentu saja otomatis menjadi pemimpin mereka.
"Dalam badai seperti itu, biar pun memiliki kepandaian selihai dia, kiranya takkan banyak berdaya," Thai-lek-gu berkata menggeleng-gelengkan kepala, masih ngeri kalau mengenangkan peristiwa itu. Dia tidak dapat berenang sama sekali, maka dapat dibayangkan betapa takutnya ketika itu, hanya untung oleh ombak dia dilemparkan ke dekat pecahan perahu sehingga dapat menyelamatkan diri.
"Agaknya dia dan yang lain-lain sudah mati ditelan ikan," kata Gozan. "Lebih baik kita tinggalkan saja dia. Tempat ini pun masih berbahaya. Kalau sampai ada nelayan yang melihat kita dan melaporkan, kita akan celaka. Aku sudah khawatir sekali ketika beberapa hari yang lalu ada perahu kecil meluncur cepat di lautan itu."
"Tak usah khawatir," Liong Khek berkata, "Perahu kecil itu hanya ditumpangi seorang, dan dia agaknya tidak memperhatikan ke sini. Pula, dia sudah pergi beberapa hari yang lalu, kalau memang dia melaporkan, kiranya pada hari itu juga sudah ada pasukan yang datang hendak menangkap kita. Akan tetapi, andai kata demikian, kita takut apa kalau hanya menghadapi pasukan-pasukan biasa?"
"Sekarang lebih baik kita lanjutkan rencana kita," kata pula Gozan. "Kita dapat pergi ke Mongol melalui dua jalan. Pertama melalui jalan barat, melintasi Propinsi Liao-ning dan melalui Pegunungan Tai-hang-san sebelah utara. Akan tetapi jalan ini berbahaya karena tentu kita akan bertemu dengan para penjaga yang menjaga di Tembok Besar. Jalan kedua adalah melalui sepanjang Sungai Yalu dan kemudian terus ke barat melalui Mancu."
"Melalui Mancu? Gila, bukankah di sana pusatnya bangsa yang menjajah sekarang?"
"Justeru karena itulah maka kita takkan diperhatikan, karena tidak akan ada yang mengira bahwa kita berani lewat di sana. Di sana banyak terdapat orang Mongol, maka bagiku aman, juga banyak terdapat orang Han. Dengan menyamar, kita mudah saja melalui Mancu, kemudian ke barat dan menyelinap ke Mongol." Gozan yang sudah hafal akan seluk-beluk daerahnya itu menggambarkan keadaan dengan coretan-coretan di atas tanah depan kakinya.
"Kalau begitu, besok pagi-pagi kita berangkat pergi!" kata Liong Khek sambil menarik napas panjang.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu, "Tidak usah besok, sekarang pun kalian akan pergi ke neraka!"
Tampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwi Hong dan Keng In! Pemuda itu tersenyum-senyum saja dan berdiri di pinggiran dengan kedua tangan bersedekap (terlipat di dada).
Mendengar ucapan Kwi Hong dan ketika mereka mengenal dara ini, tiga orang itu sudah meloncat berdiri. "Nona, apa kehendakmu dan apa artinya kata-katamu itu?" Liong Khek bertanya, dan mukanya berubah pucat.
"Aku datang untuk membunuh kalian! Mana dia Si Keparat Bhong Ji Kun? Suruh dia keluar!"
"Dia... mungkin sudah mati. Perahu kami pecah dihantam badai dan yang dapat menyelamatkan diri hanya kami berlima. Nona, kami telah dilepaskan pergi oleh paman Nona. Kami telah dimaafkan..."
"Mungkin Paman memaafkan, akan tetapi aku tidak! Penghinaan dan tipuan yang kalian lakukan kepadaku hanya dapat ditebus dengan darah!" Sambil berkata demikian Kwi Hong sudah mencabut pedangnya.
"Singggg...!" Kilat berkelebat ketika pedang Li-mo-kiam dihunus.
Tiga orang itu menjadi kaget sekali. Liong Khek menoleh dan menghadapi Keng In yang masih berdiri tenang dan tersenyum-senyum. "Wan-taihiap engkau adalah bekas sekutu kami. Harap kau suka membantu kami dan menyuruh nona ini agar tidak memaksa kami bertanding."
Wan Keng In tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ini orang-orang yang tak dapat dipercaya dan berwatak pengecut, maka kalian memang sudah sepatutnya dibunuh. Akan tetapi karena kalian berhutang kepada Enci Kwi Hong, biarlah dia yang akan menagihnya. Aku hanya akan melenyapkan dua orang tiada guna itu!"
Tiba-tiba tangannya bergerak, tampak sinar berkelebat ketika pedang Lam-mo-kiam dicabut dan tubuhnya hanya berkelebat sebentar lalu dia sudah berdiri lagi di tempat tadi, pedangnya sudah disarungkan kembali, akan tetapi dua orang pelayan bekas juru mudi yang tadinya berjongkok dekat perapian karena terganggu pekerjaan mereka memanggang ikan itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh, lehernya putus disambar sinar pedang Lam-mo-kiam!
Tiga orang itu kaget bukan main dan tahulah mereka bahwa jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah melawan! Melihat sikap pemuda Pulau Neraka yang mereka tahu lihai luar biasa itu, mereka hanya mengharapkan pemuda itu benar-benar memegang kata-katanya dan tidak akan ikut campur, membiarkan dara itu seorang diri saja melawan mereka. Kalau begini halnya, mereka masih ada harapan.
Biar pun mereka juga maklum bahwa murid dan keponakan Pendekar Super Sakti ini lihai sekali, namun mereka bertiga masa kalah melawan seorang gadis muda? Apa lagi mereka itu telah siap dengan senjata mereka. Gozan yang tak pernah bersenjata itu mengandalkan kedua tangan dan kakinya dan ilmu gulat disamping ilmu silatnya. Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Besar) pun ketika berhasil menyelamatkan diri, sepasang golok penyembelih babinya masih tergantung di punggung. Ada pun Liong Khek sendiri yang kehilangan senjatanya, telah mencuri sebuah pancing dari nelayan di Pantai Po-hai dan sudah membuat senjata pancing baru. Biar pun tidak sekuat buatannya sendiri dahulu, namun cukup untuk dipergunakan karena memang keistimewaannya adalah mempermainkan senjata aneh ini.
Melihat betapa dua orang itu sudah mengeluarkan senjata masing-masing, dan Gozan telah berdiri memasang kuda-kuda dengan dua lengan dikembangkan seperti seorang yang kerinduan siap memeluk kekasihnya, Kwi Hong menggerakkan pedangnya dan membentak, "Bersiaplah untuk mampus!"
Akan tetapi Liong Khek dan Thai-lek-gu sudah mendahului menggerakkan senjata mereka. Sepasang golok Si Gendut Pendek itu menyambar dahsyat dari kanan kiri, dan terdengar suara bersiut nyaring ketika tali pancing itu melecut udara dan mata kailnya membalik, menyambar tengkuk Kwi Hong dari belakang.
Kwi Hong maklum akan kelihaian para lawannya, makin dia cepat memutar pedang menangkis sepasang golok sambil merendahkan tubuh dan menyelinap ke kiri untuk menghindarkan sambaran mata kail. Si Gendut Pendek itu mengenal Li-mo-kiam, cepat menarik kedua goloknya dan memutar golok itu untuk melanjutkan serangannya, yang kiri menusuk dada, yang kanan menyerampang kaki. Juga Liong Khek sudah menggerakkan tali pancingnya.
Kwi Hong tadi meloncat ke kiri untuk menjauhi Gozan. Biar pun orang Mongol itu bertangan kosong, akan tetapi dia maklum akan kelihaian orang ini dengan kedua tangannya. Sekali kena dipegang orang itu, sukarlah untuk dapat lolos lagi. Karena itu dia selalu bergerak menjauhinya agar jangan sampai Gozan mendapat kesempatan menyergapnya dari belakang.
Keng In hanya berdiri tersenyum. Melihat wajah pemuda ini, sukar untuk mengetahui apa yang tersembunyi di balik dada dan di balik dahi itu. Akan tetapi yang sudah jelas, matanya bergerak mengikuti gerak-gerik Kwi Hong, penuh kagum, dan kadang-kadang mata itu dengan liarnya melayang ke arah dada, pinggang, kaki dan wajah yang cantik dari gadis itu.
Pertandingan itu berjalan seru dan biar pun dikeroyok tiga, Kwi Hong tetap saja dapat mendesak. Hal ini bukan hanya karena tingkat ilmunya memang jauh lebih tinggi, akan tetapi terutama sekali karena tiga orang itu jeri menghadapi keampuhan Li-mo-kiam yang dahsyat dan mengandung hawa mukjizat itu. Betapa pun juga, tidaklah terlampau mudah bagi Kwi Hong untuk merobohkan mereka, karena tiga orang itu bertanding untuk mempertahankan nyawa mereka!
Lima puluh jurus telah lewat dan masih belum ada di antara mereka yang terluka, kecuali golok kiri Thai-lek-gu patah ujungnya terbabat Li-mo-kiam. Karena maklum bahwa kalau mereka hanya mempertahankan diri saja, lambat laun tentu mereka akan menjadi korban Li-mo-kiam, maka tiga orang itu pun berusaha untuk membalas dan merobohkan gadis yang perkasa itu. Pendeknya, pertandingan itu bagi mereka hanya berarti membunuh atau dibunuh!
Pada saat untuk kesekian kalinya sepasang golok Thai-lek-gu menyambar, Kwi Hong berusaha menangkis dan mematahkan golok dan Si Gendut itu memang hanya mengacau untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya. Melihat dara itu menggerakkan pedang menghalau golok-golok yang mengancamnya, Liong Khek menggerakkan pancingnya yang kini diulur panjang untuk melibat pinggang dan leher dara itu!
Kwi Hong memang sudah menanti hal ini terjadi karena dia merasa penasaran dan kehilangan sabar setelah sekian lamanya belum juga dapat merobohkan mereka. Begitu tali pancing melecut udara dan menyambar, Kwi Hong menggerakkan tangan kirinya menangkap tali pancing! Liong Khek berseru girang, dan seruan ini merupakan aba-aba bagi kedua orang temannya. Sepasang golok itu menyerang dari kanan kiri, sedangkan Gozan menubruk dari belakang!
Kwi Hong mengerahkan sinkang, menarik tali pancing dengan tangan kiri. Ketika sepasang golok menyambar, kembali dia memutar pedang dan melepas tali pancing dengan tiba-tiba sehingga mata kail itu meluncur ke arah pemiliknya! Tentu saja Liong Khek dapat menyelamatkan diri dan pada saat pedang Kwi Hong berhenti bergerak karena dua batang golok itu ditarik kembali pada saat yang sama, mata kail itu sudah menyambar ke arah mukanya dan sepasang golok sudah menjepit pedang, sedangkan Gozan menubruk dari belakang, tahu-tahu kedua tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang!
Kwi Hong tidak menjadi gugup. Dia merendahkan tubuh dan dimiringkan, akan tetapi dia tidak mengira bahwa gerakan Gozan memang cepat sekali dan tahu-tahu elakan itu masih belum cukup untuk menghindarkan kedua tangan Gozan dan kini tangan kanan raksasa Mongol itu sudah meraih pinggang Kwi Hong dan lengannya merangkul ketat! Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Pedang yang terjepit sepasang golok itu dia betot sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi.
“Krakkk!” terdengar suara ketika sepasang golok itu patah-patah dan pedangnya terus membabat ke belakang.
"Crokkkk! Aughhhh...!" Tubuh Gozan terguling, lengan kanannya putus sebatas pundak akan tetapi lengan yang besar itu masih melingkari pinggang dan jari-jari tangannya masih mencengkeram baju gadis itu!
"Ihhhh!" Kwi Hong bergidik, merenggut lengan itu dengan tangan kirinya, kemudian membuangnya ke samping.
"Brettt!" Baju di bagian perutnya terobek oleh jari-jari tangan itu. Untung pakaian dalam hanya ikut terobek sedikit sehingga hanya sedikit bagian kulit perutnya yang putih bersih itu tampak!
Sambil menutupi bagian robek dengan tangan kiri, Kwi Hong membalikkan tubuh dan pedangnya berkelebat merupakan gulungan sinar pedang yang bagai kilat menyambar di waktu hujan. Tampak darah muncrat dan terdengar pekik-pekik mengerikan ketika tubuh Gozan dan tubuh Thai-lek-gu hampir berbareng roboh dengan pinggang hampir terpotong!
Liong Khek menjadi pucat. Maklum bahwa dia tidak dapat melarikan diri, dia menjadi nekat. Mata kailnya menyambar dengan gerakan berputaran, mata kail meluncur turun menyerang ke arah mata Kwi Hong! Dan pada saat berikutnya, dia sendiri telah menubruk dan mengirim pukulan dengan pengerahan sinkang ke arah dada dara itu.
"Heiiittt...! Blessss! Aduhhh...!"
Dengan kecepatan mengagumkan Kwi Hong telah merubah kedudukannya menjadi setengah berjongkok sehingga mata kail itu tidak mengenai sasaran, lalu dari bawah pedangnya meluncur dan amblas memasuki perut Liong Khek sampai menembus punggung dan secepat kilat tubuh dara itu sudah meloncat ke belakang sambil menarik kembali pedangnya hingga darah yang muncrat itu tidak sampai mengenai pakaiannya. Liong Khek terhuyung lalu roboh menelungkup tanpa bersambat lagi.
Terdengar orang bertepuk tangan. "Bagus sekali! Kau sungguh hebat Enci Hong!"
Mulutnya memuji akan tetapi matanya mengincar ke arah sebagian perut yang tidak tertutup tadi! Kwi Hong segera menutupi perutnya, mengeluarkan selembar sapu tangan sutera dan menggunakan sapu tangan itu untuk diikat dan menutupi bagian yang robek.
Kwi Hong menyarungkan pedangnya, memandang tiga buah mayat musuhnya dan dia berlutut, menutupi mukanya, terisak sedikit lalu membuka pula kedua tangan yang menutupi muka dan... tertawa!
"Kau hebat, Enci Hong. Tentu kau sudah puas sekarang?"
"Masih belum! Mereka ini hanya kaki tangannya, yang menjadi musuh besar utama adalah Bhong Ji Kun!"
"Akan tetapi agaknya kau kalah duluan oleh badai. Menurut penuturan mereka tadi, perahu mereka pecah oleh badai dan hanya mereka yang selamat."
Kwi Hong bangkit berdiri, menarik napas panjang. "Sayang sekali kalau begitu."
"Aku tahu bahwa kau mendendam sakit hati hebat, karena itu tadi aku tidak mau turun tangan membantu. Tentu saja aku yakin kau akan menang. Kalau aku membantumu tentu kau akan kecewa."
Kwi Hong tersenyum kepadanya. "Terima kasih, Keng In. Engkau baik sekali. Dan melihat engkau begitu baik, benar-benar menimbulkan rasa kasihan di hatiku."
"Eh, kasihan kepadaku, Enci Hong?" Keng In benar-benar merasa heran. "Mengapa engkau merasa kasihan kepadaku?"
Mereka bicara sambil berjalan pergi meninggalkan mayat-mayat itu. Agaknya mereka berjalan asal menjauhi mayat-mayat itu saja, tanpa tujuan tertentu, berjalan sepanjang pantai laut.
Tiba-tiba Kwi Hong menoleh kepada pemuda itu. "Keng In, bukankah engkau mencinta Milana?"
Keng In terkejut, mengira bahwa Kwi Hong tahu bahwa dia menculik Milana, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya. "Dugaanmu benar, Enci Hong. Aku mencinta Milana, akan tetapi keadaannya menjadi rusak dan kacau sekarang ini. Milana adalah puteri ayah tiriku, bagaimana mungkin...?"
"Bukan hanya itu saja." Kwi Hong menghela napas.
Gadis itu merasa hidup sebatang kara, setelah dia menganggap bahwa pamannya dan semua orang membencinya, dan tadinya harapannya tertumpah kepada Bu-tek Siuw-jin. Kini, sebelum bertemu dengan gurunya itu dia bertemu dengan Keng In yang bersikap baik, maka dia tidak ingat apa-apa lagi dan mendapatkan seorang yang dapat dia ceritakan segalanya untuk menumpahkan semua kedukaan dan kekecewaannya.
"Bukan itu saja, akan tetapi kini Milana lenyap, kabarnya diculik orang..."
"Ehhh...?" Keng In terkejut, benar-benar terkejut bukan pura-pura. Hanya kalau Kwi Hong mengira dia terkejut mendengar dara yang dicintanya hilang, adalah sebenarnya Keng In sendiri terkejut bukan karena itu, melainkan karena mengira bahwa Kwi Hong benar-benar telah tahu bahwa dia penculiknya! "Diculik... siapa...?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Tadinya kusangka engkau, tetapi melihat perubahan pada dirimu, tentu bukan kau yang melakukan perbuatan keji itu. Akan tetapi, juga bukan karena Milana diculik orang itu yang membuat aku kasihan kepadamu, Keng In."
Dapat dibayangkan betapa lega hati Keng In. "Eh, ada apakah lagi yang lebih hebat dari berita hilangnya Milana itu?"
"Ada yang lebih hebat, dan lebih menyedihkan untukmu, juga untukku..., bahwa Milana telah ditunangkan dengan Gak Bun Beng."
Berita ini benar-benar merupakan pukulan hebat bagi Keng In! Di dalam hatinya seolah-olah ada api membakar dan kalau tadinya dia hanya cemburu karena Milana mencinta Bun Beng, kini cemburu itu makin berkobar karena dara yang dicintanya itu ternyata telah dijodohkan dengan pemuda yang makin dibencinya itu. Akan tetapi dia memang hebat. Semuda itu dia telah pandai menguasai dirinya sendiri sehingga dia hanya menunduk saja, tidak tampak marahnya hanya kelihatan seperti orang yang berduka.
Sampai lama mereka tidak berkata-kata, hanya melangkah terus perlahan-lahan di sepanjang pantai yang dijilati lidah-lidah ombak yang membuih.
"Enci Hong... kau tadi bilang bahwa hal itu juga menyedihkan hatimu. Mengapa?"
"Tidak mengertikah engkau? Seperti juga engkau, aku mencinta orang yang bukan dijodohkan denganku..."
Keng In menoleh dan menatap tajam pada wajah yang menunduk itu. "Kau... kau juga mencinta Bun Beng?"
Kwi Hong mengangguk tanpa menoleh hingga ia tidak melihat betapa sinar kemarahan membuat wajah tampan itu menjadi menakutkan. Akan tetapi hanya sebentar, karena segera terdengar kata-kata Keng In, halus dan seperti suara orang yang benar-benar berniat jujur dan baik. "Betapa pun juga, Enci Hong. Engkau adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti, aku adalah anak tirinya. Kiranya sudah menjadi tugas kewajiban kita untuk mencari siapa penculik Milana dan ke mana dia dibawa pergi."
Sekarang Kwi Hong menoleh dengan pandang mata terheran-heran. "Kau...? Hendak mencari dan menolong Milana? Ahhh, betapa baik hatimu. Sungguh tak kusangka! Kau membikin aku merasa malu, Keng In. Aku sendiri tadinya sudah tidak peduli karena kedukaan dan kekecewaanku. Kau benar, kita harus mencari dia, harus mencari Bun Beng. Biar pun hati kita dihancurkan, dipatahkan, namun kita harus menemukan mereka dan menyuruh mereka kembali ke Pulau Es."
"Kalau begitu marilah kita mencari mereka, Enci Hong! Lihat, Sepasang Pedang Iblis berada di tangan kita! Ha-ha-ha, Siang-mo-kiam telah menggegerkan dunia. Sekali ini pun akan menggegerkan dunia, akan tetapi dengan cara lain! Kita akan bekerja sama, bahu-membahu menumpas musuh-musuh kita!"
Tentu saja Kwi Hong terbawa oleh kegembiraan Keng In yang mencabut Lam-mo-kiam dan mengangkatnya tinggi-tinggi itu. Ia tidak mengartikan lain dengan sebutan ‘musuh-musuh kita’ maka dia pun mencabut Li-mo-kiam, mengangkatnya di atas kepala dan dengan wajah berseri berseru, "Siang-mo-kiam akan menggegerkan dunia dan musuh-musuh kita akan tertumpas habis!"
Siang hari itu mereka berhenti di dalam sebuah hutan. Keng In menurunkan bangkai kijang yang tadi diburu dan dibunuhnya. Kwi Hong sudah mempersiapkan bumbu-bumbu yang tadi mereka beli di dusun terakhir di luar hutan. Keng In memilih daging-daging yang lunak dan memberikannya kepada Kwi Hong yang melumurinya dengan bumbu yang sudah diaduk dengan air, kemudian daging-daging itu mulai mereka bakar di atas api unggun.
"Sayang tidak ada nasi," kata Kwi Hong.
"Makan daging saja asal cukup banyak juga kenyang. Dan aku masih mempunyai simpanan arak," kata Keng In.
Maka makanlah keduanya. Kwi Hong makan dengan lahap karena hatinya senang. Dia merasa mendapatkan teman seperjalanan yang menyenangkan dalam diri Keng In. Dia merasa seolah-olah Keng In memang sejak dahulu adiknya sendiri! Dan ajakan Keng In untuk mencari Milana dan Bun Beng menimbulkan semangat kembali, tidak seperti sebelum ini, acuh tak acuh. Dunia masih lebar dan bukan hanya Bun Beng seorang laki-laki di dunia ini, sungguh pun sukarlah menemukan keduanya!
Setelah perutnya penuh dengan daging bakar yang harum dan gurih, dan kepalanya agak ringan oleh arak Keng In yang benar-benar keras, harum dan tua itu, Kwi Hong duduk menyandarkan punggungnya di bawah pohon besar. Tempat itu teduh sekali, melindunginya dari panas matahari. Angin bertiup dan Kwi Hong yang kelelahan dan kekenyangan itu seperti dikipasi, tanpa disadari lagi dia telah tertidur sambil menyandar batang pohon!
Malam hampir tiba ketika Kwi Hong mengeluh dan membuka matanya. "Auggghhh... kepalaku pening..."
Keng In segera mendekati dan berlutut di depan Kwi Hong. Dara itu membuka mata, memandang heran. "Di mana aku...? Kau... kau...?"
"Enci Hong, kau kenapakah? Aku Keng In. Kau kenapa...?"
"Ahh, Keng In... hampir aku lupa kepadamu... entah, kepalaku pening... aku bingung..."
"Tenanglah, Enci Hong dan jangan khawatir, aku membawa obat untukmu. Rebahlah dan minum obat ini..." Keng In mengeluarkan sebotol obat cair yang berbau harum, memberi gadis itu minum obat ini.
Kwi Hong yang berada dalam keadaan setengah ingat itu tidak membantah, dengan penuh kepercayaan dia minum obat itu, kemudian karena kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, dia tidur lagi dan tak lama kemudian dia menjadi pulas.
Melihat dara itu sudah tidur dengan nyenyak, Keng In tersenyum lebar dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh, kemudian dia menyimpan sisa obat yang masih banyak, membesarkan api unggun dan rebah di atas rumput untuk mengaso. Sukar baginya untuk bisa tidur pulas karena pikirannya penuh oleh pengalaman hari itu. Yang selalu terbayang olehnya adalah wajah Bun Beng, dibayangkannya dengan kemarahan dan kebencian besar. Milana mencinta Bun Beng, dan Kwi Hong juga mencinta Bun Beng! Semua orang mencinta Bun Beng dan membencinya!
Biarlah dia akan menjadi Gak Bun Beng. Dia akan makan dan menikmati kembangnya, biarlah Bun Beng yang terkena durinya! Dia melirik ke arah Kwi Hong. Obat yang diberikannya tadi akan memperkuat obat yang terdahulu, yang berada di dalam araknya, dan obat itu membutuhkan waktu beberapa lama untuk bekerja dengan baik. Masih banyak waktu untuk bersenang-senang, pikirnya dan sambil tersenyum karena hatinya lega, maka tidurlah Keng In.
Pada keesokan harinya, menjelang pagi, Kwi Hong terbangun. Dia mengejap-ejapkan kedua matanya, lalu menggosok-gosok matanya, mengerutkan alisnya. Di mana dia dan mengapa dia berada di hutan? Cuaca remang-remang dan keadaan sekelilingnya hanya diterangi oleh sinar api unggun. Dia bangkit duduk dan tiba-tiba terdengar suara orang memanggil.
"Kwi Hong...!"
Kwi Hong menoleh ke kanan dan otomatis tubuhnya bersiap siaga. Biar pun dia tidak ingat apa-apa lagi namun ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya itu menggerakkan tubuh tanpa membutuhkan ingatan lagi!
Melihat munculnya seorang laki-laki muda yang memakai sebuah caping (topi) bundar, dia membentak sambil meloncat berdiri, "Siapa kau?"
Pemuda bercaping bundar itu terbelalak heran. "Kwi Hong, lupakah engkau kepadaku, kepada laki-laki yang kau cinta dan yang mencintamu? Kau lihatlah wajahku, lihatlah capingku, apakah kau tidak ingat kepadaku lagi?"
Kwi Hong tercengang keheranan, mengerahkan ingatannya untuk mengenal siapa pemuda ini, akan tetapi percuma saja. Ada bayangan di balik otaknya bahwa dia memang mengenal pemuda ini dan merasa suka kepada wajah yang tampan itu, akan tetapi tidak ingat lagi.
"Aku tidak tahu... aku tidak ingat... siapakah engkau...?"
"Kwi Hong, dewiku tersayang. Aku adalah Gak Bun Beng, kekasihmu!"
Mendengar nama Gak Bun Beng ini, Kwi Hong menjadi lemas. "Bun... Bun Beng?! Ahhh, Bun Beng...!" Dan dia menangis sambil jatuh terduduk.
Pemuda itu cepat berlutut di depannya, melingkarkan lengan ke lehernya, memeluknya dengan mesra. Biar pun pada waktu itu ingatan Kwi Hong sudah lenyap sama sekali sehingga dia tidak lagi dapat mengingat bagaimana wajah Bun Beng, akan tetapi mendengar nama itu sudah cukup menggerakkan hatinya, nama yang takkan pernah terlupa olehnya.
Otomatis, karena hatinya amat tertekan tadinya sebelum dia kehilangan ingatan, dan kini seolah-olah memperoleh obat penawar yang menyejukkan, kedua lengannya balas memeluk pemuda itu. Mereka berpelukan dan Kwi Hong terisak penuh rasa girang dan lega. Pemuda itu memegang dagunya, mengangkat muka, dan ketika pemuda itu menciumnya, mencium pipinya, hidungnya, mulutnya, Kwi Hong hanya mengeluarkan suara rintihan terharu dan memejamkan kedua matanya!
Sebelum kehilangan ingatannya, Kwi Hong merasa betapa hatinya hancur, terutama sekali karena Bun Beng yang dicintanya itu dijodohkan dengan Milana. Habis harapannya untuk dapat berjodoh dengan pemuda yang dicintanya itu, dan telah ada kenyataan bahwa pemuda yang dicintanya itu takkan dapat diraih olehnya, maka cintanya terhadap pemuda itu seolah-olah bertambah, dan dia merasa rindu sekali kepada Gak Bun Beng. Oleh karena itulah, kerinduan yang masih mencengkeram bawah sadarnya, kini timbul ketika pemuda yang dicintanya itu telah memeluk dan menciumnya. Tanpa dorongan rasa rindu yang hebat itu kiranya dia tidak akan menerimanya begitu saja pencurahan kasih sayang dari seorang pria terhadapnya, keadaan yang sama sekali masih asing baginya ini. Tapi sekarang Kwi Hong sama sekali tidak memberontak bahkan di luar kesadarannya, hidung dan bibirnya bergerak membalas ciuman pemuda itu dengan gairah yang meluap-luap.
"Kwi Hong... ahhh, Kwi Hong... kekasihku... hanya engkaulah wanita yang kucinta...!" Laki-laki itu berbisik sambil memperketat dekapannya dan membawa Kwi Hong rebah di atas rumput.
"Bun Beng... ohhh, Bun Beng...!" Kwi Hong memejamkan matanya dan sama sekali tidak peduli lagi akan apa yang dilakukan oleh pemuda yang dicintanya itu terhadap dirinya.
Dia menyerah bulat-bulat, menyerahkan hati dan tubuhnya dengan penuh kerelaan, bahkan dia membantu penyerahan itu karena dia pun membutuhkan kasih sayang pemuda ini. Maka terjadilah hal yang tak dapat dielakkan lagi dalam keadaan seperti itu. Hanya pohon-pohon, kabut pagi, dan burung-burung yang baru keluar dari sarangnya saja yang menjadi saksi akan pencurahan cinta birahi yang berlangsung pada pagi hari di bawah pohon besar itu. Pencurahan nafsu birahi yang terjadi atas kehendak kedua pihak, dengan suka rela, sungguh pun Kwi Hong melakukannya dalam keadaan hilang ingatan dan hanya merasa yakin bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada orang yang dicintanya, Gak Bun Beng, dan tidak akan merasa menyesal akan apa pun yang menjadi akibatnya.
Ada pun pemuda itu, yang mudah saja diduga bukan Gak Bun Beng sesungguhnya melainkan Wan Keng In, mula-mula menggunakan siasat ini, merampas ingatan Kwi Hong dengan obat pemberian gurunya, kemudian menyamar sebagai Bun Beng, bukan semata-mata untuk menikmati kemesraan tanpa perkosaan bersama Kwi Hong yang cantik dan yang dikaguminya, melainkan didasari oleh niat untuk menghancurkan hidup Bun Beng! Keng In ingin menanam kesan mendalam di hati Kwi Hong bahwa gadis itu telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Beng, dan hal ini tentu saja kelak akan menjadi penghalang bagi Bun Beng untuk melanjutkan perjodohahnya dengan Milana! Akan tetapi, bukan sampai di situ saja rencananya untuk menjebloskan nama baik Bun Beng ke pecomberan.
Setelah mencurahkan kasih sayangnya kepada pemuda yang dicintanya, pengalaman pertama selama hidupnya yang baru sekarang dialami akan tetapi sama sekali tidak disesalkannya itu, Kwi Hong tertidur lagi kelelahan dan kepuasan. Ketika dia bangun lagi, pemuda bertopi bundar itu telah berada di sisinya. Kwi Hong menggeliat, seperti seekor kucing manja, membuka mata dan merangkulkan kedua tangan ke leher laki-laki yang telah duduk di dekatnya, menarik muka yang dicintanya itu dan kembali mereka berciuman.
"Hemmm..., Bun Beng... aku merasa berbahagia sekali...!"
Keng In tertawa dan menarik tangan Kwi Hong bangun. "Hayo bangunlah, kita mandi di telaga dekat sini, kemudian melanjutkan perjalanan."
"Eh, ke mana?" Kwi Hong bertanya sambil tersenyum manis, membetulkan pakaiannya yang awut-awutan seperti juga rambutnya, akan tetapi yang bahkan menambah keaslian kecantikannya.
"Ke mana lagi, sayang? Bukanlah kita telah menjadi suami isteri, biar pun belum resmi? Aku adalah suamimu, maka kau harus ikut bersamaku."
Kwi Hong menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tidak ingat lagi... di mana rumahmu... akan tetapi aku tidak peduli, Bun Beng. Bersama denganmu, aku akan selalu merasa bahagia, biar kau bawa ke neraka sekali pun!"
Keng In merangkul dan kembali mereka berciuman. "Kwi Hong... pujaan hatiku... kalau aku membawamu, bukan ke neraka, melainkan ke sorga. Aku... aku cinta padamu, Kwi Hong...!" Kalimat terakhir ini menggetarkan jantung Keng In karena dia merasa betapa ucapan itu tidak dibuat-buat seperti kalimat yang lain! Dia benar-benar merasa jatuh cinta kepada Kwi Hong!
Sudah beberapa kali dia berhubungan dengan wanita, baik dengan perkosaan mau pun dengan suka rela karena kenakalannya, akan tetapi semua itu hanyalah peristiwa badani saja. Anehnya, setelah apa yang terjadi, setelah merasa sampai ke dasar dirinya betapa Kwi Hong benar-benar menyerahkan segala-galanya dengan kasih sayang yang mesra, agaknya kasih sayang dara itu mencekam perasaannya dan menggugah cintanya pula!
Sambil tertawa-tawa bahagia, mereka berdua mandi di air telaga yang jernih. Mereka mandi dengan telanjang bebas karena di dalam hutan itu sunyi tidak ada orang lain lagi. Dalam kesempatan ini, sambil berendam di dalam air jernih, kembali kedua insan itu mencurahkan perasaan mereka dan mengulangi perbuatan mereka di bawah pohon tadi. Bagi dua orang yang sedang dimabok asmara, seperti sepasang pengantin baru, agaknya keduanya tidak pernah merasa puas akan permainan cinta ini.
Keng In yang cerdik itu kini malah merasa khawatir kalau-kalau Kwi Hong sadar dan ingatannya kembali lagi, lalu menolak cintanya! Dia mulai merasa khawatir kalau dia akan kehilangan Kwi Hong yang dicintanya ini! Sungguh keadaan menjadi terbalik sama sekali! Karena itu, setiap hari dia selalu mencampurkan obat perampas ingatan ke dalam minuman atau makanan Kwi Hong dan mereka melakukan perjalanan cepat, hanya diseling dengan makan, tidur, dan bermain cinta.
Keng In ingin cepat-cepat mengajak Kwi Hong ke Pulau Neraka, di mana dia ingin menjalankan siasatnya selanjutnya untuk merusak hubungan antara Bun Beng dan Milana. Selain itu, juga obat yang dibawanya tidak banyak. Kalau sampal obat itu habis sebelum mereka tiba di Pulau Neraka, tentu akan berbahaya sekali. Kwi Hong akan sadar kembali dan dia akan menghadapi kesulitan besar. Maha besar.
Biar pun Milana masih dapat mempertahankan harga dirinya dan menolak dengan keras ajakan Keng In yang menyamar Gak Bun Beng untuk bermain cinta, namun dara ini merasa berduka sekali. Sepanjang ingatannya, kekasihnya yang bernama Gak Bun Beng itu adalah seorang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan. Akan tetapi siapa kira begitu datang pemuda yang dirindukannya itu hendak melakukan pelanggaran yang amat merendahkan dirinya! Sepeninggal Bun Beng malam itu, dia menangis dan berduka.
Biar pun dia terbebas dari bahaya itu, namun Milana masih tetap menjadi seorang yang seperti boneka hidup di Pulau Neraka. Dia masih belum ingat apa-apa karena sebelum pergi Keng In telah memesan kepada anak buahnya yang dipimpin oleh tokoh Pulau Neraka, Si Gundul Kong To Tek untuk setiap hari memberi obat perampas ingatan itu dicampurkan dalam makanan yang disuguhkan kepada Milana.
Pada suatu pagi, Milana duduk termenung seorang diri di belakang pondoknya di Pulau Neraka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa malam tadi, Giam Kwi Hong keponakan dan murid ayahnya telah mendarat di Pulau Neraka bersama Wan Keng In! Andai kata dia melihat mereka mendarat, tentu dia akan menganggap Keng In yang memakai caping itu adalah Bun Beng yang selama ini dia pikirkan dengan hati risau, dan dia tentu tidak akan mengenal lagi Kwi Hong yang keadaannya sama dengan dia.
Tiba-tiba muncul Kong To Tek. Biar pun dia tidak mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kong To Tek bukan merupakan orang asing bagi Milana, karena Si Gundul inilah yang melayani segala kebutuhannya. Pernah dia bertanya kepada Kong To Tek, ke mana perginya Gak Bun Beng yang selama itu belum datang, dan dijawab bahwa pemuda itu sedang pergi, akan tetapi tak lama tentu kembali.
"Nona, Gak Bun Beng telah kembali ke pulau ini," Kong To Tek berkata kepada Milana sambil menyeringai. "Dan Nona diharapkan menemuinya di sana."
Terjadi perang di dalam pikiran Milana. Tetapi akhirnya, cinta kasih yang sebetulnya tak pernah padam di dalam hatinya itu menang dan dia mengangguk. "Di mana dia?"
"Di dalam pondok kuning dekat pantai timur, Nona."
Milana lalu berjalan cepat menuju ke pantai timur. Dia sudah hafal akan keadaan di Pulau Neraka dan sebentar saja dia telah tiba di pondok itu. Akan tetapi sunyi saja di luar pondok dan ketika dia mendekat, terdengar olehnya suara orang berbicara dan tertawa, suara seorang laki-laki dan seorang wanita yang bersendau-gurau dan bercintaan. Dia terheran-heran, lalu mengintai dari jendela dari kamar tunggal pondok kecil itu.
Kamar itu terang sekali dan tampak jelas olehnya segala yang terjadi di dalam kamar. Dia melihat pemuda bertopi bundar, Gak Bun Beng yang dicintanya, sedang bermain cinta dengan seorang wanita cantik, seorang wanita yang seperti telah dikenalnya akan tetapi dia lupa lagi siapa wanita itu. Melihat adegan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya itu, melihat betapa pria satu-satunya yang dicintanya bermain gila dengan seorang wanita lain, tak tertahan lagi Milana mengeluarkan suara isak tertahan, membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu!
Dari dalam kamar di pondok kuning itu, biar pun dia sedang berkasih-kasihan dengan mesra bersama Kwi Hong, Keng In yang sudah mengatur siasat itu maklum bahwa siasatnya berhasil dan dia mendengar isak tertahan tadi. Diam-diam dia tersenyum bangga ketika menciumi Kwi Hong. Mampuslah kau, Bun Beng, pikirnya. Milana tentu takkan sudi melanjutkan perjodohannya dengan Bun Beng setelah terjadi dua hal itu. Pertama, Bun Beng hendak merayunya dan mengajaknya berzina, kedua, Bun Beng telah bermain cinta dengan wanita lain!
Setelah berhasil, dia akan membebaskan Milana. Biarlah Milana kembali ke daratan dengan bekal kebencian yang meluap kepada Bun Beng! Dan dia sendiri... dia sudah puas dengan Kwi Hong. Hanya ada satu yang masih amat membingungkan dan menggelisahkan hati Keng In. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Kwi Hong. Tidak mungkin kalau selamanya dia harus membuat Kwi Hong kehilangan ingatannya seperti sekarang ini. Obat itu adalah racun yang berbahaya, kalau terus menerus diberikan, menurut gurunya, bisa membuat gadis itu menjadi gila betul-betul! Akan tetapi, kalau ingatannya kembali dan Kwi Hong mendapat kenyataan bahwa dia telah menyerahkan dirinya bukan kepada Bun Beng, tapi kepada Keng In, apa yang akan terjadi? Apakah Kwi Hong mau menerima nasib? Bagaimana kalau tidak? Dia takut kehilangan wanita yang dicintanya!
Keng In mengusir rasa gelisahnya. Setelah kedua orang itu puas berkasih-kasihan dan Kwi Hong tertidur di kamar itu, Keng In segera meninggalkan pondok. Masih ada sedikit lagi yang harus dia lakukan sebelum dia membebaskan Milana. Cepat ia pergi ke pondok Milana, memakai caping lebar.
Milana sedang duduk menangis di dalam pondok itu. Ketika mengengar ada orang datang dia menoleh. Melihat bahwa yang datang adalah Bun Beng, dia bangkit berdiri.
"Manusia hina! Gak Bun Beng, hayo kau keluar dari sini!"
Keng In membelalakkan mata dan kelihatan terkejut. "Milana... kekasihku, mengapa kau marah-marah kepadaku?"
"Jahanam, jangan menyebut kekasih kepadaku! Engkau pernah merayuku, hal itu masih dapat dimaafkan. Namun apa yang telah kau lakukan di dalam pondok kuning bersama perempuan lacur itu?"
"Milana! Perempuan lacur yang mana kau maksudkan? Aku datang bersama Giam Kwi Hong! Masa kau tidak mengenal Giam Kwi Hong?" Keng In sengaja menekankan nama ini ke dalam ingatan Milana.
"Aku tidak kenal segala Giam Kwi Hong. Yang kulihat adalah bahwa perempuan tak tahu malu di kamar itu bermain gila denganmu. Aku tidak sudi lagi melihat tampangmu. Pergi!"
"Milana! Dia itu bukan perempuan lacur, kalau dia cinta kepadaku, apakah aku harus menolak? Gak Bun Beng bukan laki-laki yang suka menolak cinta seorang wanita. Giam Kwi Hong adalah murid dan keponakan ayahmu sendiri. Masa kau lupa?"
Milana kelihatan bingung. Ayahnya? Siapa ayahnya? Giam Kwi Hong? Seperti pernah dia mendengar nama ini. Murid dan keponakan ayahnya?
"Siapa? Ayahku...?"
"Ayahmu Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!"
Disebutnya nama ini seolah-olah merupakan guntur di siang hari memasuki telinga Milana. Inilah kesalahan Keng In. Nama Suma Han sebagai Pendekar Super Sakti telah berakar dalam ingatan Milana yang menjadi puterinya, maka begitu disebut nama ini, biar pun segala hal yang terjadi masih belum diingatnya, namun yang jelas dia tahu bahwa Bun Beng telah menghina ayahnya karena berjina dengan murid dan keponakan ayahnya itu! Ini saja sudah cukup baginya.
"Keparat, kau telah menghina ayahku!" Tiba-tiba kaki Milana menendang dan sebuah bangku melayang ke arah muka Keng In.
"Haiii!" Keng In memukul bangku itu.
"Brakk!" Bangku pecah berantakan akan tetapi Milana sudah menerjang maju dengan pukulan tangannya. Keng In kaget sekali, tidak mengira bahwa Milana menyerangnya dengan marah seperti itu. Dia cepat mengelak dan meloncat keluar, di hatinya dia tertawa girang. Milana sudah mulai membenci Gak Bun Beng! Karena tidak ingin melayani Milana yang mengamuk itu, Keng In cepat berlari kembali ke pondok kuning.
Akan tetapi tiba-tiba dia berhenti dan berdiri terpukau ketika melihat Kwi Hong sudah berdiri di depan pondok dengan pedang Li-mo-kiam di tangan dan mukanya merah, sepasang matanya berkilat! Keng In terperanjat, dan bulu tengkuknya meremang. Sepasang mata yang marah itu ditujukan kepadanya. Apakah karena dia tidak memakai caping bundar yang terlempar jauh ketika dia diserang Milana tadi? Ah, tidak mungkin! Kwi Hong sudah menganggapnya Bun Beng, pakai caping atau pun tidak! Akan tetapi mengapa?
"Wan Keng In! Aku tahu bahwa kau yang menculik Milana. Hayo serahkan Milana padaku!" Kwi Hong berseru dan mengelebatkan Li-mo-kiam di tangannya.
Keng In terbelalak. Jelas bahwa dara itu adalah Kwi Hong, wanita yang selama hampir dua pekan ini setiap hari berenang dalam lautan cinta yang mesra dengan dia! Dan wanita ini selalu menganggapnya Gak Bun Beng. Kenapa kini tiba-tiba menyebutnya Wan Keng In? Sudah sadarkah dia? Tak mungkin! Tadi sebelum pergi, dia sudah menyediakan minuman bercampur obat untuk Kwi Hong!
Memang amat mengherankan bagi yang tidak melihat apa yang terjadi dengan diri Kwi Hong ketika Keng In pergi tadi. Baru saja Keng In pergi dan Kwi Hong masih tidur pulas dengan wajah membayangkan senyum kepuasan, sesosok tubuh yang pendek menyelinap ke dalam kamar itu, membuang isi cawan minuman dan menukarnya dengan benda cair yang dituangkan dari guci arak yang dibawanya. Bayangan itu lalu menyelinap keluar lagi setelah dia mengguncang kaki Kwi Hong yang lalu terbangun.
Kwi Hong memandang ke kanan kiri, melihat cawan di atas meja.
"Bun Beng...?" Dia memanggil akan tetapi tidak ada jawaban. Diambilnya cawan itu dan diminumnya. Tiba-tiba dia berteriak kaget, meloncat bangun akan tetapi terbanting jatuh lagi ke atas dipan itu dan jatuh pingsan!
Bayangan pendek yang bukan lain adalah seorang kakek tua renta, Bu-tek Siauw-jin, masuk ke kamar itu dan menggeleng kepala sambil mengeluarkan suara "ck-ck-ckk!" Dengan perlahan dia lalu mengurut-urut punggung muridnya itu, di sepanjang tulang punggung dari bawah sampai ke tengkuk.
Kwi Hong siuman, bangkit duduk dan menggoyang-goyang kepalanya. "Aihhh, di mana aku...?"
"Kwi Hong..."
Dia menoleh, terkejut melihat gurunya telah berdiri di kamar itu. Cepat dia meloncat turun dan berlutut, membetulkan pakaiannya yang tidak karuan.
"Suhu! Apa artinya ini? Di mana teecu? Dan... dan... Bun Beng..." Gadis ini telah pulih kembali ingatannya berkat obat yang diberikan Bu-tek Siauw-jin dan urutan tangannya tadi. Dia teringat akan semua yang dialaminya dengan Bun Beng maka dia terkejut melihat gurunya dan tidak melihat kekasihnya di situ.
"Kwi Hong," suara Bu-tek Siauw-jin tidak seperti biasanya, kini terdengar tegas dan sama sekali tidak tampak senda-guraunya, bahkan alisnya yang putih itu berkerut. "Kau agaknya tidak tahu bahwa kau berada di Pulau Neraka."
"Ehhh...? Apa teecu mimpi...?" Ada rasa kecewa di hatinya. Kalau hanya mimpi, jadi semua pengalamannya yang luar biasa dengan Bun Beng itu pun hanya mimpi?
"Tidak, kau tidak mimpi. Akan tetapi ketahuilah bahwa Milana diculik oleh Wan Keng In, dan kau harus menolongnya keluar dari sini. Awas, dia datang!" Kakek itu berkelebat dan lenyap.
Mendengar nama Wan Keng In disebut sebagai penculik Milana, Kwi Hong menjadi terkejut. Kini teringatlah dia betapa Wan Keng In telah membantunya membunuh tiga orang musuhnya, membantu memberi tahu tempat mereka dan betapa dia melakukan perjalanan bersama Wan Keng In. Akan tetapi dia lupa lagi di mana dan bagaimana dia berpisah dan Wan Keng In kemudian bertemu Bun Beng. Di mana sekarang Bun Beng? Betapa pun juga, mendengar perintah gurunya, cepat dia membereskan pakaiannya, menyambar Li-mo-kiam dan menanti di luar. Begitu dia mengenal Wan Keng In yang datang, dia segera menegurnya.
"Enci Kwi Hong... kau... kau... bagaimana bisa tahu?"
"Tak perlu kau ketahui, pendeknya aku tahu bahwa kau menculik Milana dan aku minta kau segera membebaskannya agar dapat secepatnya pergi keluar dari Pulau Neraka ini bersamaku. Selain itu, kalau kau berani menjebak Gak Bun Beng, terpaksa aku takkan memandang persahabatan kita lagi. Di mana dia?"
Keng In menahan ketawanya, hatinya girang. Kiranya gadis ini masih belum tahu bahwa Gak Bun Beng yang selama belasan hari ini mabuk dalam peluk ciumnya, adalah dia sendiri!
"Oohhh dia? Begini, Enci Kwi Hong. Dulu ketika kau melakukan perjalanan bersamaku, di tengah jalan aku bertemu dia dan... dan..., aku mendengar bahwa Milana diculik orang maka aku titipkan kau kepadanya dan aku sendiri lalu mencari Milana, berhasil dan kubawa ke sini... ada pun... ada pun dia itu..."
Keng In menjadi bingung sekali, bukan hanya karena Kwi Hong secara mendadak kembali pulih ingatannya, akan tetapi juga karena urusan menjadi berbalik arah! Kini dia tidak ingin gadis ini pergi meninggalkannya! Maka dia menekan hatinya dan mengambil keputusan untuk terang-terangan saja karena kalau tidak tentu Kwi Hong juga segera pergi meninggalkan dia!
"Begini, Kwi Hong... dengarlah baik-baik dan tenangkan hatimu. Kita sama tahu bahwa Milana dan Bun Beng saling mencinta, bahkan mereka telah dijodohkan menjadi calon suami isteri. Engkau mencinta Bun Beng dan aku mencinta Milana, akan tetapi cinta kita keduanya gagal. Karena itu, setelah aku melihatmu, aku merasa kasihan, dan... dan kita berdua yang gagal dalam cinta kasih ini bukanlah telah saling menemukan? Aku akan bebaskan Milana, biar dia mencari Bun Beng dan menikah. Aku... aku akan berbahagia sekali hidup selamanya di sampingmu, Kwi Hong."
Muka Kwi Hong berubah pucat. Ada firasat tidak enak menyelubungi hatinya. Dia mulai mengingat-ingat. Cerita Keng In yang pertama tadi tidak masuk akal sama sekali. Pengakuan yang kedua lebih cocok.
"Wan Keng In, jangan main gila kau! Apa maksudmu? Di mana Bun Beng?"
Dengan nada suara sedih penuh kekhawatiran, Keng In menjawab, "Bun Beng tidak ada, Kwi Hong. Yang ada hanya Keng In. Bun Beng adalah milik Milana, akan tetapi Keng In adalah milikmu seperti engkau milikku, Kwi Hong."
Wajah itu menjadi makin pucat, jantungnya berdebar tegang, dan hatinya penuh tanda tanya. "Apa...? Apa maksudmu?"
"Kwi Hong, engkau dan aku adalah sama-sama orang yang tidak disukai orang lain, tidak ada yang mencinta, dan gagal dalam cinta. Engkau dan aku yang menguasai Sepasang Pedang Iblis. Kita berdua dengan Sepasang Pedang Iblis di tangan akan menjagoi seluruh dunia. Kalau kita berdua maju, siapa yang akan dapat menandingi kita? Bahkan pamanmu, Pendekar Super Sakti sendiri belum tentu akan mampu menangkan kita berdua. Kita sudah jodoh, Kwi Hong, dan aku cinta padamu."
"Apa...? Kau gila, Keng In!"
"Kita berdua telah gila, akan tetapi dalam kegilaan itu kita dapat sepaham, dan kita akan senasib sependeritaan. Kwi Hong, engkau isteriku, engkau telah menjadi isteriku, selama dua pekan ini... bukankah kita berdua telah saling mencurahkan cinta kasih, demikian nikmat, demikian mesra... Ahhh, Kwi Hong, dapatkah kau melupakan semua itu? Haruskah hubungan semesra dan sebahagia itu dihentikan untuk mengejar yang tak mungkin didapat?
Kini wajah Kwi Hong menjadi merah sekali, air matanya bercucuran. "Kau... jadi kau... kau yang selama ini... kusangka Bun Beng...?"
"Terpaksa aku menyamar sebagai Bun Beng, karena aku ingin mendapatkan dirimu, cintamu, tanpa perkosaan..."
Terdengar jerit melengking disusul dengan berkelebatnya Li-mo-kiam ketika Kwi Hong menyerang Keng In. Pemuda ini cepat-cepat menangkis dengan Lam-mo-kiam dan bertandinglah mereka. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut mereka, karena keduanya maklum bahwa siapa lengah dia binasa. Sepasang Pedang Iblis itu kini benar-benar beradu kekuatan dan keampuhan yang sama besarnya, digerakkan oleh dua orang muda yang sama lihainya pula. Setelah kini Kwi Hong digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin, maka dia dapat mengimbangi kelihaian Keng In, karena dengan sinkang yang dilatihnya di Pulau Es digabung dengan sinkang tenaga Inti Bumi yang belum dikuasainya benar, dia kini memiliki tenaga sakti yang mukjizat!
Tiba-tiba terdengarlah bentakan nyaring. "Gak Bun Beng manusia hina! Aku harus membunuhmu!"
Sebuah caping meluncur ke arah Keng In yang sedang bertanding melawan Kwi Hong. Itu adalah capingnya yang tadi tertinggal di pondok, yang terlepas ketika dia diserang Milana dan kini oleh gadis itu dilemparkan dengan pengerahan sinkang kepadanya. Tidak boleh dipandang ringan caping yang dilemparkan oleh Milana ini. Karena sambitannya mengandung sinkang, maka caping itu meluncur dan berputar seperti sebuah cakram baja yang kalau mengenai leher mungkin akan dapat membuat putus leher itu.
Akan tetapi tentu saja Keng In yang lihai tidak menjadi gentar, bahkan menggunakan tangan kirinya menyambar capingnya itu dan dipakainya lagi! Dia melakukan ini bukan semata-mata hendak bergurau atau memandang rendah Kwi Hong, melainkan untuk menyakinkan hati Milana yang menganggapnya Bun Beng itu.
Milana yang marah itu tidak peduli mengapa Gak Bun Beng berkelahi melawan wanita yang dijadikan teman bercinta tadi dan yang menurut ucapan Bun Beng adalah Giam Kwi Hong murid ayahnya! Dia sudah marah sekali kepada Bun Beng. Pertama, karena Bun Beng sudah mengecewakan hatinya dengan tingkah lakunya yang buruk. Kedua, karena Bun Beng telah merusak kehormatan ayahnya dengan berjinah bersama murid ayahnya.
Dengan kemarahan meluap Milana sudah melolos sabuk suteranya. Karena dia tidak mempunyai senjata, kini dia gunakan sabuk itu untuk menyerang Bun Beng. Memang senjata ini merupakan senjata ampuh bagi Milana, maka begitu sabuknya meluncur ke udara mengeluarkan ledakan-ledakan kecil kemudian menyambar turun ke arah Keng In, pemuda itu terkejut bukan main dan cepat-cepat dia harus meloncat ke kanan untuk mengelak sambil mengelebatkan pedangnya menyambar ujung sabuk. Akan tetapi sabuk adalah benda lemas, apa lagi berada di tangan seorang ahli, sabuk itu seperti seekor ular hidup dapat mengelit serangan, dan kalau mengenai pedang, dapat menjadi lunak sehingga lenyaplah daya ketajaman pedang Lam-mo-kiam.
Kwi Hong bingung sekali melihat keadaan Milana. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu Milana juga tidak sadar, entah karena apa, seperti dia sendiri yang mengira pemuda ini Gak Bun Beng sehingga dia mau... digauli dan menyerahkan tubuhnya sampai belasan hari lamanya! Teringat akan ini, hampir saja dia menjerit-jerit menangis dan kemarahannya tersalur ke pedang Li-mo-kiam yang mengamuk dahsyat.
Bantuan Milana itu ternyata membuat Keng In merasa terdesak juga, akan tetapi pemuda ini dapat mempertahankan dirinya dengan baik. Baginya, melawan kedua orang wanita cantik itu benar-benar merupakan hal yang tidak menyenangkan. Yang dibenci adalah Bun Beng, dan biar pun dia sudah ‘meloncati’ Milana, namun di lubuk hatinya masih terdapat cinta kasih yang mendalam sehingga dia tidak suka untuk melukai dara ini. Ada pun terhadap Kwi Hong yang sudah menjadi ‘isterinya’ juga tumbuh cinta yang mesra, dan tentu saja dia pun tidak mau melukai, apa lagi membunuh Kwi Hong. Padahal, kedua orang dara itu menyerang sungguh-sungguh untuk membunuhnya.
"Huhhh... gadis-gadis liar...!" Seruan ini disusul menyambarnya angin dahsyat yang membuat Milana dan Kwi Hong terhuyung ke belakang.
"Suhu, jangan...!" Keng In berseru ketika melihat gurunya Cui-beng Koai-ong muncul dan telah menyerang dua orang dara itu dengan dorongan dari jarak jauh.
Akan tetapi kakek itu tidak peduli, sambil bersungut-sungut seperti seorang kakek yang marah karena diganggu tidurnya, dia meloncat ke depan seperti terbang saja dan kedua tangannya kembali mengirim hantaman dari jarak jauh, kini dengan pengerahan tenaga sakti yang luar blasa.
"Suhu...!" Keng In kembali berteriak kaget.
"Dessss!" Tubuh kedua orang kakek itu terpental ke belakang ketika pukulan dahsyat Cui-beng Koai-ong bertemu dengan dorongan tangkisan yang dilakukan oleh Bu-tek Siauw-jin yang muncul secara tiba-tiba di tempat itu.
Melihat gurunya sudah muncul menghadapi kakek mayat hidup yang mengerikan itu, Kwi Hong sudah menyerang Keng In lagi. Juga Milana melanjutkan penyerangannya kepada Keng In yang tetap dianggapnya Gak Bun Beng itu. Kini Keng In benar-benar merasa khawatir sekali, khawatir dan bingung.
"Haiii, mundur kalian, jangan bantu aku!" Dia membentak Kong To Tek dan teman-temannya, sisa para anggota Pulau Neraka yang sudah maju mengurung hendak membantu pemuda ini menghadapi dua orang gadis yang mengamuk itu.
Tentu saja para anggota Pulau Neraka tidak berani maju, dan melihat betapa Cui-beng Koai-ong sudah bertanding melawan Bu-tek Siauw-jin, mereka pun hanya saling pandang dengan bingung. Membantu dua orang kakek yang saling bertanding ini mereka tidak berani, karena keduanya merupakan datuk Pulau Neraka, membantu Keng In dibentak. Mereka hanya dapat berdiri menonton dengan wajah tegang dan hati bingung.
Akan tetapi yang paling bingung adalah Wan Keng In. Dia tidak mengira sama sekali bahwa akan begini jadinya. Siasatnya yang telah dilaksanakan dengan serapi-rapinya telah rusak berantakan dan semua ini adalah gara-gara kakek pendek sinting yang kini bertanding melawan gurunya itu. Keng In memiliki kecerdikan yang luar biasa sekali. Sambil menahan serangan Kwi Hong dan Milana dengan Lam-mo-kiam di tangannya dan menggunakan kelincahannya berkelebatan ke sana-sini, otaknya mulai bekerja dan mempertimbang-timbangkan keadaan.
Kalau pertandingan itu dilanjutkan dan gurunya menang atas kakek pendek, gurunya yang sudah ‘kumat’ kemarahannya itu tentu tidak mau sudah kalau belum membunuh Kwi Hong dan Milana! Hal ini sama sekali tidak dikehendakinya karena dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu mencegah gurunya yang berwatak aneh luar biasa itu. Sebaliknya, kalau gurunya kalah, dan hal ini mungkin saja mengingat bahwa susiok-nya Si Pendek Sinting itu memang memiliki kepandaian yang hebat sekali, jika gurunya kalah tentu dia akan terus didesak oleh dua orang wanita ini. Kalau mereka dibantu oleh Bu-tek Siauw-jin, bagaimana dia akan dapat meloloskan diri? Dan semua anak buah Pulau Neraka tentu tidak akan ada yang berani membantunya menghadapi Bu-tek Siauw-jin.
Sungguh celaka, pikirnya. Setelah dua kakek kakak beradik seperguruan itu bertanding sendiri, keadaan menjadi berbahaya baginya. Gurunya menang pun celaka, gurunya kalah lebih celaka lagi! Inilah namanya urusan yang benar-benar tidak beres! Kalau tidak cepat-cepat mengambil tindakan yang tepat selagi gurunya dan susiok-nya (paman gurunya) masih berhantam, tentu akan terlambat. Tiada jalan lain, dia harus dapat memancing dua orang gadis ini keluar dari pulau sebelum kedua orang kakek sinting itu saling bunuh!
Dengan kecerdikan yang dapat membuat dia memperhitungkannya secara tepat ini, Keng In lalu memutar pedangnya membuat gulungan sinar yang menyilaukan mata, kemudian menggunakan kesempatan selagi dua orang dara itu melangkah mundur, dia meloncat dan melarikan diri!
"Manusia hina hendak lari ke mana kau?" Milana mengejar.
"Urusan di antara kita belum beres!" Kwi Hong juga meloncat dan mengejar.
Keng In lari ke tempat perahu di mana terdapat beberapa buah perahu dan memang dia sengaja melakukan ini agar bukan dia seorang yang dapat keluar dari pulau, melainkan juga dua orang dara itu. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi pantai, pada saat itu tampak sebuah perahu kecil dari mana meloncat ke luar seorang laki-laki yang juga memakai caping bundar. Gak Bun Beng! Melihat munculnya pemuda ini, diam-diam Keng In terkejut dan mengeluh sendiri. Sungguh sialan dia hari ini!
Sementara itu, ketika Bun Beng yang baru datang melihat Milana, bukan main lega dan girang hatinya. Dia tidak mempedulikan apa-apa lagi dan langsung saja menghadang Milana, mengembangkan kedua lengannya dan berkata, "Milana... terima kasih kepada Tuhan... engkau masih dalam keadaan selamat...."
"Kau...? Kau...?" Milana memandang bengong, sebentar kepada Bun Beng, kemudian memandang Keng In yang juga bercaping bundar dan yang sudah lari terus dan kini hanya dikejar Kwi Hong seorang.
"Milana, kekasihku... aku Bun Beng, lupakah kau...? Apa yang telah terjadi, Milana?" Bun Beng mendekat lalu memeluk dengan kaget dan heran melihat kekasihnya itu tak mengenalnya.
"Dessss!" Sebuah pukulan tangan kanan Milana mengenai dada Bun Beng. Dara itu serta merta memukul begitu mendengar nama Bun Beng.
"Aihhh mengapa, Milana?" Bun Beng terjengkang.
Biar pun secara otomatis sinkang-nya sudah melindungi dada ketika pukulan tiba, namun karena pukulan itu tidak tersangka-sangka, ditambah lagi hatinya yang remuk melihat kekasihnya seperti tidak mengenalnya, bahkan membenci dan memukulnya, Bun Beng terpukul dan sejenak memandang nanar.
Memang Milana masih dipengaruhi obat perampas ingatan. Gadis ini sendiri bingung ketika di depannya ada ‘Bun Beng’ lagi padahal Bun Beng sedang dikejar. Maka tanpa banyak cakap lagi dia menghantam orang yang mengaku Bun Beng ini. Baginya, yang teringat hanyalah bahwa nama Gak Bun Beng adalah nama yang dibencinya, karena orang itu telah mengkhianati cintanya! Setelah memukul, Milana berlari lagi mengejar Bun Beng pertama yang sudah meloncat ke atas sebuah perahu dan mendayung perahu ke tengah lautan. Kwi Hong juga sudah mendorong perahu kecil. Melihat ini, Milana meloncat jauh dan bagaikan seekor burung walet dia sudah tiba di atas perahu Kwi Hong yang sudah mulai meluncur itu.
Melihat Milana, Kwi Hong lantas berkata, "Milana, kau kembalilah. Dia itu Bun Beng kekasihmu, sedangkan yang di depan itu..."
"Tutup mulut dan mari kita kejar jahanam Gak Bun Beng itu!"
"Akan tetapi, Milana..."
"Aku tidak sudi bicara lagi tentang urusanmu. Kau mencintanya, bukan? Aku tidak peduli biar kau seribu kali mencinta Bun Beng!"
"Aih, Milana... aku... aku tidak ada apa-apa dengan Bun Beng..."
Milana memandang dengan penuh kemarahan. "Apa kau kira mataku ini sudah buta? Kau mau menyangkal bahwa kau berjinah dengan laki-laki di depan itu?" Dia menuding ke arah perahu yang ditumpangi Keng In.
Kwi Hong terisak, duduk di perahu dan menangis. Apa yang harus dijawabnya? Tak mungkin dia menyangkal. Agaknya Milana sudah melihat sendiri ketika dia bermain cinta dengan Keng In di pondok kuning, Keng In yang disangkanya Bun Beng! Kata-kata Milana menghancurkan hatinya dan betapa pun keras watak gadis ini, karena merasa betapa dia telah terperosok ke jurang kehinaan, dia menangis terisak-isak.
Milana juga menjatuhkan diri duduk di atas langkan perahu di depan Kwi Hong. Gadis itu adalah murid ayahnya, Giam Kwi Hong. Kini mulai samar-samar dia mengingat bahwa ayahnya memang mempunyai seorang keponakan yang menjadi muridnya sendiri. Dan Bun Beng yang mengaku cinta kepadanya, yang juga dicintanya itu, di depan matanya sendiri telah berjinah dengan gadis ini! Hal ini menusuk perasaannya dan Milana juga menangis.
Dua orang gadis itu menangis, membiarkan perahu mereka digerak-gerakkan ombak. Kemudian keduanya teringat akan Keng In atau yang disangka Bun Beng oleh Milana, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mendayung perahu dan mengembangkan layar, melakukan pengejaran kepada perahu Keng In yang sudah amat jauh, tinggal menjadi titik hitam di depan itu.
Sementara itu, Bun Beng yang merasa terheran-heran menyaksikan sikap Milana, tidak melakukan pengejaran karena dia melihat Milana sudah bersama Kwi Hong, tidak perlu dikhawatirkan sama sekali menghadapi Keng In. Buktinya Keng In telah melarikan diri dikejar dua orang dara itu. Kalau dia mengejar Milana, tentu akan timbul salah sangka yang makin besar. Biarlah dia akan menyelidikinya kelak, apa yang menyebabkan Milana marah-marah dan memukulnya seperti itu setelah tadinya dara itu seolah-olah tidak mengenalnya lagi.
Tiba-tiba muncul beberapa belas orang yang mukanya beraneka warna dan langsung mereka itu mengeroyoknya dengan pelbagai senjata di tangan mereka! Bun Beng mengenal mereka sebagai para penghuni Pulau Neraka yang dipimpin oleh dua orang tokoh yang dikenalnya pula karena dua orang itu dahulu pernah dijumpai dan bahkan dikalahkannya, ketika mereka mengacau di Thian-liong-pang dan dia menyamar sebagai ketua Thian-liong-pang.
Dua orang yang memimpin delapan belas sisa anak buah Pulau Neraka itu bukan lain adalah Kong To Tek yang kepalanya gundul dan mukanya merah muda, pendek dan gendut. Orang kedua adalah Chi Song yang juga gendut akan tetapi tinggi besar, juga mukanya merah muda. Melihat dia diserbu dan dikeroyok, Bun Beng meloncat jauh tinggi melampaui kepala mereka yang berada di belakangnya, kemudian turun ke atas tanah sambil berseru, "Tahan senjata! Aku datang bukan sebagai musuh!"
"Kami mengenalmu. Engkau adalah Gak Bun Beng, musuh besar tuan muda Wan Keng In. Wan-kongcu sudah memesan bahwa jika bertemu dengan engkau, kami harus membunuhmu!" kata Kong To Tek Si Kepala Gundul. Teman-temannya sudah mengurung Bun Beng lagi dengan sikap mengancam.
Bun Beng mengangkat tangan ke atas dan berkata nyaring, "Kalian ini apakah tidak dapat membedakan kawan atau lawan? Aku datang untuk menemui Wan Keng In dan Nona Milana, bukan sebagai musuh karena Wan Keng In sekarang telah menjadi anggota keluarga Pulau Es. Kulihat mereka tadi berkejaran, apakah sesungguhnya yang terjadi di pulau ini?"
"Tidak perlu banyak bicara! Kawan-kawan, serbu...!"
Kong To Tek dan Chi Song sudah menerjang maju memelopori teman-temannya dan begitu maju keduanya telah menggunakan pukulan-pukulan maut mereka. Kong To Tek Si Gendut pendek gundul ini adalah seorang ahli pukulan beracun yang dilakukan dengan tubuh merendah seperti berjongkok, perutnya mengeluarkan bunyi kok-kok dan mulutnya mengeluarkan uap hitam ketika dia memukul ke arah perut Bun Beng. Pemuda ini sudah mengenal ilmu Si Gundul ini, akan tetapi dia diam saja, tidak mengelak atau menangkis. Hanya ketika pukulan mengenai perutnya, ia mengerahkan sinkang-nya.
"Capppp!"
Tangan beracun itu memasuki perut, tersedot sampai sebatas pergelangan tangan dan tidak dapat dicabut kembali! Kong To Tek memekik kesakitan karena selain tangannya terasa panas sekali, juga hawa beracun itu seperti tertolak dan menyerang dirinya sendiri melalui lengannya yang tersedot ke dalam perut pemuda itu.
"Haiiiittt!" Chi Song memekik dan tubuhnya sudah mencelat ke depan, seperti terbang dia mengirim sebuah tendangan ke arah kepala Bun Beng.
Tentu saja pemuda ini tidak membiarkan kepalanya ditendang, dan dengan tangan kiri dia menampar, mengenai tulang kering betis kaki yang menendang.
"Krekkk!"
Tubuh Chi Song terpelanting dan dia mengaduh-aduh karena tulang kering kakinya patah. Pada saat itu, tubuh Kong To Tek terpental ke belakang. Kiranya Bun Beng telah melepaskan tangan yang disedot perutnya tadi sambil menendang. Kong To Tek terbanting dekat Chi Song dan dia pun mengaduh-aduh karena lengannya seperti dibakar dan dalam keadaan lumpuh!
Para anak buah Pulau Neraka terkejut dan marah melihat betapa dua orang pemimpin mereka roboh. Mereka adalah orang-orang yang tak mengenal takut, maka sambil berteriak-teriak mereka lari menyerbu.
Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan melengking, sedemikian hebat teriak yang mengandung khikang kuat sekali itu sehingga belasan orang Pulau Neraka itu bergelimpangan dan seperti lumpuh sesaat karena getaran suara itu. Bun Beng sendiri cepat mengerahkan sinkang-nya karena lengkingan dahsyat itu benar-benar luar biasa sekali. Dia tidak lagi mempedulikan para anak buah Pulau Neraka dan cepat dia melompat dan lari ke arah suara melengking yang luar biasa tadi.
Ketika dia tiba di tengah pulau, dan tiba di tempat dari mana suara lengkingan dahsyat tadi terdengar, dia berdiri terpukau di tempatnya dan tidak bergerak memandang peristiwa hebat yang sedang berlangsung di depan. Ternyata bahwa kakek pendek yang sakti, yang bersama-sama Pendekar Super Sakti telah menurunkan ilmu tinggi kepadanya, yaitu kakek Bu-tek Siauw-jin yang berkali-kali telah menolongnya, sedang bertanding melawan seorang kakek yang lebih tua dan yang mengerikan sekali, seperti seorang mayat hidup, namun yang kesaktiannya tak kalah oleh Si Kakek Pendek yang sinting!
Dan memang pertandingan antara kakak beradik seperguruan itu hebat bukan main. Selama ini, mereka tidak pernah bentrok, karena biar pun keduanya adalah datuk-datuk Pulau Neraka, namun keduanya mempunyai kesenangan yang berbeda. Bu-tek Siauw-jin adalah seorang petualang dan perantau, jarang berada di Pulau Neraka, sedangkan Cui-beng Koai-ong adalah seorang yang suka bertapa, terutama bertapa di bawah tanah-tanah kuburan bersama kerangka dan mayat-mayat. Dengan cara masing-masing, keduanya menambah ilmu mereka sehingga tidak lumrah manusia lagi. Mereka memang saling tidak menyukai, akan tetapi karena keduanya tahu bahwa masing-masing memiliki kepandaian hebat, mereka saling merasa segan untuk bentrok, apa lagi karena mereka masih saudara seperguruan.
Pertentangan dalam batin mereka baru timbul setelah Cui-beng Koai-ong mengambil Wan Keng In sebagai murid. Bu-tek Siauw-jin juga melakukan perbuatan tandingan, mengambil Kwi Hong sebagai murid pula! Bahkan lebih dari itu, dia berkenan menurunkan ilmu sinkang-nya Tenaga Inti Bumi kepada Gak Bun Beng. Padahal hal-hal itu merupakan pantangan bagi datuk-datuk Pulau Neraka itu. Puncak pertentangan itu terjadi ketika Bu-tek Siauw-jin melihat suheng-nya itu hendak membunuh Kwi Hong, maka dia muncul dan melawan. Andai kata Kwi Hong terbunuh dalam pertandingan melawan Wan Keng In umpamanya, kiranya kakek pendek ini tidak akan mau turut campur.
Pertandingan antara mereka memang hebat dan menyeramkan. Tadi mereka bertempur menggunakan ilmu silat masing-masing, saling serang dengan gerakan cepat sehingga bayangan mereka menjadi satu, sukar dibedakan lagi. Namun, sampai seratus jurus belum juga ada yang dapat menang. Keduanya menjadi penasaran dan mengeluarkan pekik melengking dahsyat untuk mempengaruhi lawan, pekik yang saking hebatnya sampai membuat para anak buah Pulau Neraka terguling dan yang menarik perhatian Bun Beng tadi.
Setelah mengeluarkan pekik itu, kini keduanya berdiri tak berpindah dari tempat mereka dan kalau ditonton oleh yang tidak mengerti tentu akan membuat orang tertawa geli. Kedua orang kakek itu berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga meter, dan mereka itu menggerak-gerakkan kedua tangan dengan gerakan memukul dan menangkis, padahal tangan mereka itu saling berjauhan dan tanpa ditangkis pun pukulan itu tidak akan mengenai badan.
Akan tetapi, Bun Beng yang melihatnya menjadi kagum dan juga terkejut karena pukulan-pukulan jarak jauh mereka itu sedemikian hebatnya sehingga angin pukulannya sampai terasa oleh dia yang berdiri agak jauh! Tentu saja Bun Beng tidak berani melerai atau mencampuri, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.
Kini tampak kakek mayat hidup itu memukul dengan kedua lengan didorongkan ke depan dengan dahsyat sekali. Bu-tek Siauw-jin juga mendorongkan kedua lengannya ke depan, menyambut serangan suheng-nya itu. Bun Beng seperti merasa tergetar dan tahu betapa di saat itu, dua tenaga raksasa mukjizat yang amat kuat saling bertemu di udara, di antara kedua orang kakek itu. Tampak betapa keduanya agak tergetar dan bergoyang-goyang tubuh mereka. Kedua lengan mereka tetap dilonjorkan saling dorong dan tubuh mereka tidak bergerak.
Perlahan-lahan tampak uap mengepul dari kepala kedua kakek itu, dan dengan hati kaget Bun Beng melihat betapa muka Bu-tek Siauw-jin penuh dengan peluh yang besar-besar menetes turun, akan tetapi wajah kakek pendek ini tetap berseri, mulutnya tersenyum. Ada pun kakek mayat hidup itu wajahnya keruh dan penuh kemarahan, akan tetapi tidak tampak peluh di mukanya walau pun uap yang mengepul dari kepalanya sama tebalnya dengan uap yang mengepul dari kepala sute-nya.
Pertandingan mengadu tenaga sakti ini benar-benar amat menegangkan hati Bun Beng sendiri sehingga tanpa disadarinya, tubuhnya juga mengeluarkan banyak keringat! Dia tidak mempedulikan Kong To Tek dan Chi Song bersama teman-teman mereka yang sudah tiba di situ pula. Mereka itu sebagai ahli-ahli silat tahu apa artinya keadaan kedua orang kakek itu, dan mereka memandang dengan hati tegang, tidak bergerak bahkan ada yang menahan napas.
Bun Beng yang sudah memiliki sinkang tinggi, dapat menduga bahwa kakek pendek itu terdesak hebat, napasnya sudah mulai memburu dan agaknya akan kalah dalam pertandingan ini. Akan tetapi, Si Mayat Hidup itu pun harus mengerahkan segenap tenaganya dan andai kata kakek cebol itu roboh, agaknya Si Mayat Hidup pun tidak akan terhindar dari luka dalam yang parah. Maka dia menjadi makin tegang. Dia tidak berani mencampuri, apa lagi karena dalam keadaan seperti itu, kalau dia mencampuri, selain berbahaya bagi dirinya sendiri, juga berbahaya bagi kedua orang kakek itu. Sedikit saja perhatian mereka teralih, mereka bisa tewas seketika terpukul oleh getaran hawa sakti yang bukan main dahsyatnya.
Tiba-tiba kakek yang seperti mayat hidup itu mengeluarkan suara menggereng dari perutnya dan darah merah menyembur keluar dari mulut, akan tetapi pengerahan tenaga terakhir ini membuat Bu-tek Siauw-jin tak mampu bertahan lagi dan dia roboh terjengkang! Si kakek mayat hidup mengeluarkan suara ketawa aneh, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur turun menginjak ke arah tubuh sute-nya.
Bu-tek Siauw-jin juga mengeluarkan suara ketawa, kelihatan tangannya bergerak menghantam, menyambut kaki yang menginjaknya. Keduanya memekik hebat dan roboh terbanting, dada Bu-tek Siauw-jin pecah oleh injakan kaki kiri sedangkan kaki kanan Cui-beng Koai-ong hancur oleh pukulan sute-nya.
"Heh-heh... mampus kau, sute... heh-heh... aughhh..." Cui-beng Koai-ong terkekeh dan menuding ke arah sute-nya.
"Ha-ha... Suheng... kau yang melayat atau aku yang melayat, nih...?" Bu-tek Siauw-jin juga tertawa sambil menuding ke arah suheng-nya.
Cui-beng Koai-ong tertawa lagi lalu terkulai dan seperti juga sute-nya, kakek ini tewas seketika. Kakek mayat hidup itu telah memiliki kekebalan yang luar biasa, akan tetapi kelemahannya adalah pada telapak kakinya, maka begitu kakinya dipukul hancur, nyawanya melayang. Kakak beradik seperguruan yang keduanya memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu ternyata tewas dalam pertandingan antara mereka sendiri, sebuah pertandingan yang menggetarkan jantung Bun Beng.
Pemuda itu meloncat dekat, sekali pandang saja dia maklum bahwa keduanya telah tewas. Dia berlutut dekat mayat Bu-tek Siauw-jin, mengheningkan cipta sebentar sebagai penghormatan terakhir, kemudian dia bangkit berdiri memutar tubuh lalu pergi dari situ. Anak buah Pulau Neraka hendak menyerbunya, akan tetapi dia membentak, "Mau apa lagi kalian? Lebih baik urus jenazah kedua orang kakek ini!"
Sikap dan ucapan yang nyaring itu membuat mereka ragu-ragu, apa lagi karena kedua orang pemimpin mereka, Kong To Tek dan Chi Song, sudah tidak mampu bertanding lagi. Mereka hanya dapat memandang kepergian Bun Beng seperti sekumpulan serigala yang berniat mengeroyok akan tetapi ditindih rasa jeri.
Perahu yang ditumpangi Milana dan Kwi Hong tidak mampu mengejar perahu Wan Keng In sehingga akhirnya mereka itu tertinggal jauh. Ketika kedua orang dara ini mencapai tepi pantai dan mendarat, Keng in sudah tidak tampak lagi.
"Milana, dengarlah kata-kataku baik-baik. Entah apa yang telah terjadi denganmu, agaknya engkau masih belum menguasai ingatanmu, engkau masih belum sadar. Orang yang kita kejar tadi bukanlah Gak Bun Beng. Dia adalah Wan Keng In, manusia jahat yang harus kita bunuh!"
"Bohong! Aku tahu bahwa engkau mencinta Bun Beng, dan aku melihat dengan mata sendiri bahwa kau... kau telah..."
"Milana, aku sama sekali tidak melakukan sesuatu dengan Bun Beng. Ketahuilah, kau dan Gak Bun Beng telah dijodohkan, dan kini ayahmu minta agar engkau suka kembali ke Pulau Es bersama Bun Beng..."
"Kwi Hong! Tak perlu engkau membujuk aku dengan segala kebohonganmu! Coba jawab, apa engkau mencinta Wan Keng In?"
"Tidak! Aku akan bunuh keparat jahanam itu!"
"Nah, engkau membenci Keng In, dan engkau mencinta Bun Beng. Sekarang katakan, dengan siapa engkau di dalam pondok itu?"
"Dengan... dengan..." Kwi Hong bingung dan gugup sekali.
Maklumlah dia bahwa dia telah masuk perangkap. Kalau dia menjawab bahwa laki-laki dengan siapa dia bermain cinta di dalam pondok itu adalah Keng In, tentu hal ini berlawanan dengan pengakuannya bahwa dia membenci dan akan membunuh Keng In. Tentu saja Milana yang ingatannya belum pulih itu menyangka bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng.
"Sudahlah, Kwi Hong, aku sudah melihatnya sendiri, tidak perlu kau membohong lagi. Engkau mencinta Bun Beng, bahkan engkau telah menyerahkan dirimu kepadanya, aku tidak peduli lagi!" Milana hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Kwi Hong memegang lengannya dan membujuk,
"Milana, apa pun yang terjadi, marilah kita ke Pulau Es. Biar nanti ayahmu yang memutuskan segalanya. Engkau masih belum sadar..."
Milana merenggutkan lengannya terlepas dari pegangan Kwi Hong. "Cukup! Aku tidak sudi lagi bicara denganmu, perempuan tak tahu malu!" Milana lalu melompat dan pergi meninggalkan Kwi Hong.
Kwi Hong menjatuhkan diri berlutut di atas pasir pantai, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Dia menangis! "Bedebah kau, Wan Keng In. Aku bersumpah, tak akan berhenti sebelum dapat membunuhmu!" Dia bangkit berdiri dan melangkah dengan terhuyung ke depan, seluruh tubuh terasa lemas karena batin yang tertekan kedukaan.
Milana juga lari secepatnya dengan air mata bercucuran. Hatinya remuk redam mengingat akan hubungan cinta kasihnya yang hancur. Perlakuan Bun Beng terhadap dirinya di Pulau Neraka, ketika pemuda yang menjadi pujaan hatinya itu hendak merayunya dan mengajaknya bermain cinta, masih dapat dimaafkannya biar pun hal itu mengecewakan hatinya. Masih dapat dimaafkan karena mungkin saking rindu dan cintanya, pemuda itu tidak dapat menahan gairah hatinya yang dikuasai nafsu birahinya pada waktu itu. Akan tetapi, melihat Bun Beng berjinah dengan Giam Kwi Hong, bagaimana dia dapat memaafkannya? Apa lagi mendengar dari mulut Kwi Hong bahwa dia dijodohkan ayahnya dengan Bun Beng. Siapa sudi menjadi isteri seorang laki-laki mata keranjang seperti itu?
Beberapa hari kemudian setelah melakukan perjalanan tanpa tujuan, perlahan-lahan ingatan Milana kembali karena pengaruh obat beracun itu sedikit demi sedikit lenyap setelah dia terbebas dari Pulau Neraka dan tidak diberi racun setiap hari seperti biasa. Karena kembalinya ingatannya itu sedikit demi sedikit, Milana tidak merasa akan hal ini. Dia hanya mulai teringat akan keadaan dahulu satu demi satu, ingat akan Kaisar yang menjadi kakeknya di kota raja, akan semua orang yang dikenalnya. Semua ingatannya pulih, hanya satu hal yang tidak semestinya, yaitu tentang Bun Beng. Bun Beng sekarang bukanlah Bun Beng dahulu lagi, sekarang menjadi seorang laki-laki yang dibencinya.
Karena ini, dia tidak mau kembali ke Pulau Es. Dia mendengar dari Kwi Hong bahwa dia dijodohkan dengan Bun Beng oleh ayah bundanya, dan dia tidak akan mau menerimanya. Kalau dia kembali ke Pulau Es, tentu akan terjadi hal yang tidak menyenangkan karena urusan itu. Maka dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja, menghadap kakeknya dan tinggal di istana sebagai puteri Kaisar yang hidup mulia dan terhormat. Dan dia akan mencoba untuk melupakan Bun Beng!
Pada suatu siang selagi Milana berjalan cepat melalui pegunungan di sebelah utara kota raja, tiba-tiba muncul belasan orang laki-laki yang rambutnya digelung ke atas. Mereka itu kelihatan bersikap gagah, dan tidak kasar, akan tetapi jelas bahwa mereka sengaja menghadang di jalan dan pemimpin mereka, seorang laki-laki tinggi kurus berjenggot dan berkumis tipis, mengangkat tangan ke atas menyuruh dara itu berhenti.
"Nona harap berhenti dulu!"
Milana mengerutkan alis dan dia bertanya, "Kalian ini siapa dan mau apa menghadang orang lewat?"
Si Tinggi Kurus menjawab, "Kami adalah orang-orang Tiong-gi-pang (Perkumpulan Orang Jujur dan Berbudi) yang mengharapkan sumbangan dari semua orang lewat di sini. Harap Nona sudi meninggalkan sekedar sumbangan sebelum Nona melanjutkan perjalanan."
Milana marah sekali. "Kalian perampok?"
Orang itu menggeleng kepala dan para anak buahnya bersikap tidak senang dengan sebutan itu. "Kami sama sekali bukan perampok, bahkan kami pembasmi para perampok yang tadinya banyak berkeliaran di tempat ini mengganggu orang-orang lewat. Akan tetapi perkumpulan kami membutuhkan biaya-biaya dan dari siapa lagi kalau tidak dari sumbangan para dermawan yang lewat? Nona seorang wanita muda melakukan perjalanan seorang diri, tentu Nona seorang kang-ouw dan sudah maklum akan hal ini. Maka harap Nona tidak bersikap pelit. Kami tanggung bahwa dari sini sampai kota raja, tidak akan ada seorang pun perampok yang berani mengganggumu, Nona."
Tentu saja Milana mengerti dan mengenal perkumpulan seperti itu. Dia adalah puteri bekas Ketua Thian-liong-pang, tentu saja tahu akan segala peristiwa dunia kang-ouw. Perkumpulan seperti mereka yang menamakan diri Tiong-gi-pang ini adalah perkumpulan yang biasa diejek dengan perampok-perampok halus. Mereka sebetulnya adalah orang-orang gagah yang bersatu untuk menghadapi dunia hitam para perampok, maling dan lain-lain.
Tetapi karena mereka itu tidak mempunyai penghasilan tetap dan perkumpulan mereka tentu saja membutuhkan biaya, maka mereka mengambil cara ini untuk menutup kebutuhan mereka yang bersahaja, yaitu dengan jalan ‘memungut sumbangan’ dari para orang lewat di daerah yang telah mereka ‘bersihkan’ itu. Akan tetapi pada waktu itu, hati dan pikiran Milana sedang dilanda kekecewaan dan kemarahan karena Bun Beng, maka menghadapi hal yang biasanya akan dianggap wajar dan dihadapinya dengan penuh pengertian itu, kini menimbulkan kemarahannya.
"Bilang saja perampok, pakai memutar-mutar omongan segala. Kalau kalian minta sumbangan kepadaku, aku hanya membawa kaki tanganku yang bisa membagi pukulan dan tendangan! Entah kalian mau atau tidak menerima sumbangan ini!"
Dua belas orang itu adalah laki-laki gagah, tentu saja mereka menjadi marah sekali mendengar ucapan gadis ini yang amat merendahkan mereka. Betapa pun juga, mereka merasa segan untuk turun tangan mengeroyok seorang wanita muda, dan hanya pimpinan mereka yang tinggi kurus itu melangkah maju, matanya terbelalak marah ketika dia membentak,
"Bocah perempuan sombong! Mungkin kau memiliki sedikit kepandaian silat, akan tetapi hal itu amat tidak baik bagimu, membuatmu sombong sekali mengira di dunia ini tidak ada yang dapat melawanmu! Hemm, kalau memang engkau hanya bisa memberi pukulan dan tendangan, biarlah aku menerima sumbanganmu itu!"
"Kalau begitu, terimalah ini!" Milana yang sedang risau hatinya itu segera menerjang maju dan mengirim pukulan-pukulan dengan kecepatan luar biasa.
Biar pun Si laki-laki Tinggi Kurus itu berusaha menangkis dan mengelak, namun dia bukanlah lawan dara yang memiliki ilmu silat tinggi itu. Pukulan bertubi-tubi dari Milana membuatnya terdesak tak mampu membalas serangan, akhirnya mengenai sasaran, pundaknya tertampar dan laki-laki itu terpelanting!
Melihat ini kawan-kawannya terkejut, penasaran dan marah sekali. Tanpa dikomando lagi mereka menyerbu, namun tak seorang pun di antara mereka yang menggunakan senjata. Niat mereka hanya untuk menangkap gadis galak itu dan menghadapkannya kepada ketua mereka. Melihat ini, Milana mengamuk, akan tetapi dia pun mengerti bahwa pengeroyoknya itu bukanlah orang-orang jahat kejam karena mereka itu tidak ada yang menggunakan senjata. Maka dia pun hanya memukul dan menendang dengan tenaga terbatas agar tidak kesalahan tangan membunuh mereka.
Para pengeroyok itu terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa lihainya gadis muda itu. Beberapa orang yang maju lebih dulu sudah terpelanting ke kanan kiri dan mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lengan atau kakinya. Pada saat itu Milana melihat munculnya rombongan orang yang jumlahnya lebih banyak lagi, datang berlari-larian ke tempat itu. Hatinya menjadi gemas, dan dia sudah siap untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua!
Tiba-tiba beberapa orang di antara rombongan yang baru datang itu berseru. "Berhenti semua...! Dia adalah Nona Milana, puteri Ketua Thian-liong-pang!"
Mendengar seruan ini, para pengeroyok terkejut dan mundur. Milana juga berhenti mengamuk dan memandang mereka yang baru datang itu. Di antara orang-orang ini dia mengenal beberapa anggota Thian-liong-pang! Lima orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Milana sambil berkata,
"Harap Nona suka memaafkan kami dan teman-teman kami, karena tidak tahu maka berani bersikap kurang ajar kepada Nona."
"Hemm, apa artinya ini? Kenapa kalian menjadi anggota gerombolan ini?" tanya Milana dengan alis berkerut.
"Harap Nona tidak salah duga. Perkumpulan Tiong-gi-pang bukanlah gerombolan perampok... dan perkumpulan ini didirikan oleh Bhok Toan Kok Pangcu (Ketua)."
"Haii...? Sai-cu Lo-mo...?"
"Marilah Nona, kuantar menjumpai Pangcu. Ceritanya panjang dan sebaiknya Nona mendengar dari Pangcu sendiri."
Berdebar jantung Milana. Semua pembantu ibunya telah tewas ketika Thian-liong-pang diserbu kaki tangan Koksu. Kiranya Sai-cu Lo-mo dapat menyelamatkan diri dan kini kakek ini selain masih hidup, juga sudah menjadi ketua sebuah perkumpulan. Dia mengangguk lalu mengikuti rombongan itu memasuki hutan, dipandang penuh kagum oleh anggota-anggota perkumpulan Tiong-gi-pang yang bukan bekas anggota Thian-liong-pang.
Di dalam hutan di lereng bukit itu terdapat bangunan pondok-pondok sederhana dan inilah pusat perkumpulan Tiong-gi-pang yang jumlahnya kurang lebih lima puluh orang itu. Ketika Milana berhadapan dengan Sai-cu Lo-mo, gadis ini tidak dapat menahan kesedihan dan keharuannya. Dia menubruk Sai-cu Lo-mo sambil menangis.
"Bhok-kongkong (Kakek Bhok)...!" Dia menangis di pundak kakek yang mengelus-elus kepalanya itu.
Kakek itu duduk di kursi, kedua kakinya telah lumpuh akibat luka-lukanya ketika Thian-liong-pang diserbu oleh anak buah Koksu.
"Nona Milana... aihhh, Nona..." Sai-cu Lo-mo juga mengejap-ngejapkan mata menahan air matanya. Akan tetapi kakek ini dapat menekan perasaannya, lalu menuntun nona itu memasuki pondok. "Mari kita duduk dan bicara, Nona. Kita harus masih bersukur bahwa para pemberontak itu dapat dihancurkan oleh ibumu, dan biar pun Thian-liong-pang sudah hancur lebur, namun namanya masih tetap baik sebagai pembela negara. Mari duduk dan ceritakanlah. Saya mendengar bahwa Nona terculik. Saya telah mengerahkan semua anak buah perkumpulan ini untuk membantu dan menyelidiki keadaanmu, namun sia-sia. Apa lagi terdengar berita bahwa engkau diculik orang Pulau Neraka, betulkah ini? Di antara kami tidak ada seorang pun yang tahu di mana letaknya Pulau Neraka itu."
Milana menghapus air matanya, kemudian dia menceritakan kepada pembantu ibunya yang setia itu tentang semua pengalamannya. Betapa dia diculik oleh Wan Keng In, akan tetapi berhasil mempertahankan kehormatannya sungguh pun dia tidak berdaya untuk keluar dari Pulau Neraka. Betapa kemudian muncul Giam Kwi Hong dan bersama keponakan dan murid ayahnya itu dia berhasil mendesak Keng In sehingga pemuda itu melarikan diri, sedangkan guru pemuda itu dilawan oleh kakek pendek yang menjadi guru Kwi Hong. Kemudian, kembali dia terisak menangis ketika menceritakan kelakuan Gak Bun Beng kepadanya.
"Menurut kata Enci Kwi Hong, oleh ayahku telah dijodohkan dengan dia, Kek. Akan tetapi... aku tidak sudi menjadi isteri manusia rendah itu! Dia tidak saja berusaha untuk menyeret aku ke dalam perjinahan yang kotor, tetapi dia juga berjinah dengan Giam Kwi Hong..." Milana menangis lagi.
Dapat dibayangkan betapa marah, duka dan kecewa hati kakek itu. Gak Bun Beng adalah cucu keponakannya, karena ibu pemuda itu, Bhok Khim, yang dahulu diperkosa oleh Gak Liat Si Iblis Botak sehingga melahirkan Bun Beng adalah keponakannya. Dan dia pernah melamar Milana untuk Bun Beng, yang ditolak oleh ibu Milana dan yang membuat dia mundur teratur ketika mendengar bahwa ibu Milana bukan saja puteri Kaisar, akan tetapi ayah Milana adalah Pendekar Super Sakti! Dan sekarang, Pendekar Super Sakti bahkan telah menjodohkan puterinya itu dengan Gak Bun Beng, akan tetapi agaknya Bun Beng telah berubah, telah menjadi seorang pemuda berwatak kotor!
"Nona, apakah yang kau ceritakan kepadaku benar terjadi? Menurut penglihatanku, Bun Beng bukanlah seorang berwatak bejat..."
"Kalau aku tidak mengalami sendiri dibujuk rayu olehnya, kalau aku tidak melihat sendiri dia berjinah dengan Kwi Hong, aku sendiri tentu tidak percaya, Kek. Akan tetapi aku mengalami sendiri dan melihat sendiri..." Kembali dia terisak dan menutupi mukanya.
"Sudahlah, Nona. Kalau kelak bertemu dengannya, aku sendiri akan menegur dan menghajarnya. Biar pun dia lihai, dia adalah cucu keponakanku, dan biarlah aku mati dalam tangannya kalau dia tidak dapat disadarkan. Sekarang, Nona hendak pergi ke mana?"
"Aku hendak mencari ibu..."
"Beliau tidak lagi berada di kota raja, Nona. Kalau tidak salah dugaanku, dia tentu ikut bersama ayahmu ke Pulau Es."