Sepasang Pedang Iblis Jilid 26

Cerita silat online karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SEPASANG PEDANG IBLIS

BAGIAN 26

DUA ORANG gadis, Siok Bi dan Kim Bwee, berdiri tegak di pinggir jurang, muka mereka pucat sekali. Setelah kini orang yang memperkosa itu terlempar ke dalam jurang dan sudah mesti tewas, hati mereka tidak karuan rasanya. Ada rasa duka, ada rasa sunyi, dan rasa ngeri bagaimana mereka harus menempuh hidup selanjutnya! Hasrat mereka sekarang hanya untuk pulang, untuk menyembunyikan diri!

"Adik Milana, sekarang aku mau pulang!" Siok Bi berkata dengan suara mengandung isak, kemudian dia membalikkan tubuh dan lari pergi meninggalkan tempat itu.

"Aku pun pergi, adik Milana!" Kim Bwee juga berkata, suaranya lirih seperti orang berduka. Gadis ini pun segera lari pergi setelah sekali lagi dia melempar pandang ke arah jurang dengan sinar mata sayu penuh duka.

Milana sendiri sedang tertekan batinnya, maka dia hanya mengangguk. Pandang matanya masih ditujukan ke arah jurang dengan sinar mata kosong.

Wan Keng In terbatuk-batuk untuk menyadarkan keadaan Milana. "Milana, manusia jahat itu telah tewas dan aku menyesal sekali bahwa Kwi Hong ikut tewas, akan tetapi agaknya lebih baik begitu untuk dia setelah dia terbujuk oleh manusia hina she Gak itu. Marilah kita sekarang pergi ke Pulau Es menemui ayahmu dan ibuku."

Milana terdesak kaget. "Ke... ke... Pulau Es...? Setelah terjadi hal ini?"

Sai-cu Lo-mo berloncatan maju. Kedua mata kakek ini masih basah oleh air matanya yang bertitik ketika melihat betapa Bun Beng tadi meloncat ke dalam jurang. Semenjak pertandingan itu dimulai, dia merasa terharu sekali dan betapa pun juga, dia tidak bisa membenci cucu keponakannya itu. Apa pun yang dituduhkan orang kepada cucunya itu, namun dengan mata kepala sendiri dia melihat betapa Bun Beng adalah seorang laki-laki sejati, yang tidak mau melukai Milana dan dua orang gadis lainnya, bahkan yang dalam saat terakhir berusaha menolong Kwi Hong yang terlempar ke dalam jurang! Dia dapat menduga bahwa seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dan kegagahan seperti Bun Beng, tidak mungkin membunuh diri, dan perbuatannya meloncat ke dalam jurang tadi tentu dengan maksud untuk menolong Kwi Hong.

"Nona Milana, memang sebaiknya kalau Nona pergi menghadap orang tua Nona dan menceritakan semua peristiwa yang terjadi ini." Ucapan Sai-cu Lo-mo ini mengandung harapan agar Pendekar Super Sakti sendiri yang akan menangani urusan ini, dan yang akan menentukan apakah hukuman yang dijatuhkan atas diri Bun Beng ini benar. Biar pun Bun Beng sudah tewas, akan tetapi namanya perlu dibersihkan, kalau memang hal itu mungkin.

Milana memandang Sai-cu Lo-mo dan dua titik air mata menetes ke arah pipinya.

"Kakek, aku... aku takut kepada Ayah..."

"Mengapa takut, Nona? Ceritakan saja apa yang telah terjadi."

"Bagaimana aku tidak akan takut? Enci Kwi Hong adalah keponakan dan murid Ayah..."

Wan Keng In berkata, "Milana, sudah kukatakan tadi bahwa kematian Kwi Hong bukanlah karena senjata kita, melainkan karena tergelincir ke dalam jurang."

"Aku baru mau pergi kalau engkau ikut pula pergi, Bhok-kongkong."

Sai-cu Lo-mo mengangguk-angguk. "Baiklah, aku yang akan menjadi saksi agar engkau tidak dimarahi ayah bundamu Nona."

Maka berangkatlah empat orang itu, Milana, Sai-cu Lo-mo, Wan Keng In dan Koai-san-jin, ke utara untuk pergi ke Pulau Es.

* * * * * *

Tubuh Suma Han Pendekar Super Sakti kini menjadi agak gemuk dan mukanya kelihatan segar berseri. Dia benar-benar merasa seperti hidup baru bersama dua orang isterinya di Pulau Es. Biar pun mereka seolah-olah hidup mengasingkan diri dari dunia ramai, namun hidup mereka penuh dengan cinta kasih di antara mereka! Memang, kalau hati sudah penuh cinta kasih, orang tidak membutuhkan apa-apa lagi, dan kalau hati selalu aman tenteram tubuh pun menjadi sehat! Juga di wajah kedua orang wanita cantik itu, Nirahai dan Lulu, membayang kebahagiaan yang membuat wajah mereka berseri dan segar kemerahan kedua pipinya seperti wajah dua orang gadis muda saja!

Siang hari itu, Suma Han dan kedua orang isterinya berdiri di tepi pantai Pulau Es sebelah barat, memandang ke arah sebuah perahu yang meluncur cepat menuju ke Pulau Es, setelah perahu agak dekat dan mereka dapat mengenal dua di antara empat orang yang berada di dalam perahu, Nirahai dan Lulu berseru girang.

"Milana...!"

"Keng In...!"

Suma Han diam saja dan pendekar ini merasa hatinya terusik oleh sesuatu yang tidak menyenangkan. Dia tidak melihat Bun Beng dan Kwi Hong.

"Siapakah dua orang kakek itu?" Dia berkata perlahan seolah-olah bertanya kepada diri sendiri.

"Seorang di antara mereka adalah Sai-cu Lo-mo, bekas pembantuku," kata Nirahai. "Kakek muka buruk itu entah siapa."

Lulu juga tidak mengenal kakek muka buruk yang tadinya dia kira Cui-beng Koai-ong, akan tetapi setelah perahu makin mendekat ternyata bukan. Setelah perahu menempel di pulau, empat orang itu melompat ke darat, Keng In segera lari dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Lulu sambil berseru, "Ibu...!"

Bukan main girangnya hati ibu yang seolah-olah menemukan kembali anaknya ini ketika menyaksikan sikap Keng In. Dia memeluknya dengan air matanya bercucuran. Milana juga dipeluk oleh Nirahai, akan tetapi dara ini menangis dan menyembunyikan mukanya di dada ibunya.

Sai-cu Lo-mo melompat maju, kemudian duduk menghadapi Nirahai dan Suma Han dan berkata, "Harap Taihiap dan Pangcu sudi memaafkan saya yang berani lancang mendatangi Pulau Es."

Nirahai menjawab. "Tidak mengapa Lo-mo. Kenapa kedua kakimu?"

Sai-cu Lo-mo tersenyum. "Akibat penyerbuan yang lalu, Pangcu."

"Totiang siapakah?" Suma Han bertanya sambil memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik kepada Koai-san-jin yang masih berdiri sambil menundukkan mukanya.

Wan Keng In segera menjawab, "Dia adalah Koai-san-jin, seorang pertapa yang telah banyak menolong dan membantu kami, terutama sekali ketika menghadapi Si Jahat Gak Bun Beng."

Terkejutlah Suma Han, Lulu, dan Nirahai mendengar kata-kata yang menyebut Gak Bun Beng penjahat ini.

"Keng In! Apa maksud kata-katamu ini?" Lulu memegang pundak puteranya sambil memandang tajam. Juga Nirahai dan Suma Han menatap wajah pemuda itu.

"Ibu, aku hanya membantu adik Milana, harap tanyakan kepadanya saja."

Tiga orang penghuni Pulau Es itu kini semua menoleh dan memandang kepada Milana yang masih menangis, bahkan kini dara itu menangis makin sedih sambil berlutut di atas salju.

Suma Han yang dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal-hal yang hebat sekali, lalu berkata, "Mari kita semua masuk ke istana dan bicara di sana."

Tanpa berkata-kata, pergilah mereka semua ke istana di tengah pulau, dan Sai-cu Lo-mo berloncatan menggunakan kedua tangannya, dipandang dengan penuh iba oleh Nirahai, "Nanti akan kucoba mengobati kedua kakimu, Lo-mo," katanya lirih dan kakek itu hanya mengangguk dan tersenyum penuh terima kasih.

Setelah tiba di ruangan dalam Istana Pulau Es dan mereka telah mengambil tempat duduk, Suma Han lalu berkata kepada Milana, "Sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi." Dia berhenti sebentar dan mengerling ke arah Keng In dan Koai-san-jin yang hanya duduk sambil menunduk, kemudian disambungnya, "Dan di mana adanya Gak Bun Beng dan Giam Kwi Hong?"

Milana turun dari tempat duduknya dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya, menangis lagi. "Ayah, ampunkan saya..."

Suma Han menarik napas panjang dan menyentuh rambut kepala puterinya itu.

"Milana, bersikaplah tenang dan ceritakan semua."

"Enci Kwi Hong dan... dan... Bun Beng telah tewas, Ayah..."

Terdengar seruan kaget dari mulut Nirahai dan Lulu, dan kalau saja Suma Han tidak memiliki kekuatan batin yang luar biasa, dia pun tentu akan terkejut bukan main mendengar berita hebat ini. Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, yang terdengar hanya isak Milana.

"Ayah... Ibu... semua telah saya ceritakan kepada Sai-cu Lo-mo, harap Bhok-kongkong saja yang mewakili saya menceritakan kepada Ayah dan Ibu..."

Suma Han dan Nirahai menoleh kepada kakek lumpuh itu dan Nirahai mengangguk sambil berkata, "Lo-mo, ceritakanlah apa yang telah terjadi."

Sai-cu Lo-mo segera menceritakan dengan singkat dan jelas, mengulang penuturan Milana kepadanya, betapa Milana bertemu dengan anak buah Tiong-gi-pang, kemudian bertemu dengan dia dan betapa dara itu menceritakan semua kejahatan yang dilakukan Gak Bun Beng di Pulau Neraka, merayu dan mengajak berjinah dara itu yang ditolaknya, kemudian betapa Milana menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa Bun Beng berjinah dengan Kwi Hong.

Kemudian dia menceritakan munculnya dua orang dara yang juga menjadi korban perkosaan Gak Bun Beng dan betapa ketiga orang dara itu, kemudian dibantu oleh Wan Keng In dan Koai-san-jin, berhasil mengepung Bun Beng yang bersembunyi di dalam goa. Akhirnya dia menceritakan peristiwa yang disaksikannya sendiri ketika Kwi Hong membantu Bun Beng sehingga akhirnya kedua orang itu terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam dan diduga tentu sudah tewas.

"Sungguh tidak kusangka...!" Terdengar Lulu memberi komentar setelah mendengar penuturan singkat kakek lumpuh itu.

"Untung engkau masih dapat menjaga kehormatanmu, Milana!" Nirahai memeluk anaknya.

Suma Han duduk seperti arca, kemudian menarik napas panjang. Penuturan itu sungguh tak disangkanya sama sekali, dan andai kata bukan kakek lumpuh itu yang mewakili Milana, agaknya akan sukar dapat dipercaya. Mungkinkah Bun Beng berubah menjadi sejahat itu? Dan Kwi Hong? Anak yang dididiknya sejak kecil?

"Ibu, aku mendengar bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Gak Liat datuk kaum sesat yang jahat seperti iblis. Tidaklah aneh kalau dia pun mewarisi watak ayahnya...."

Wan Keng In menghentikan kata-katanya ketika sinar mata Suma Han menyambar seperti kilat ke arahnya. Sinar mata Pendekar Super Sakti itu seolah-olah halilintar menyambar dan agaknya pendekar itu dapat menjenguk dan membaca semua yang terkandung di dalam hatinya!

"Keng In, engkau adalah anakku juga dan aku ayahmu. Hayo ceritakan, mengapa Milana sampai berada di Pulau Neraka?"

Ditanya begini, seketika wajah Wan Keng In menjadi pucat. Melihat keadaan pemuda itu, Milana yang merasa bahwa Keng In kini telah berubah menjadi baik, bahkan telah membantunya mati-matian ketika menghadapi Bun Beng, segera berkata, "Ayah, karena tidak betah berada di istana di kota raja, saya pergi keluar, dan bertemu dengan dia. Saya menerima ajakannya untuk pergi ke Pulau Neraka."

Suma Han memandang wajah dara itu, Milana cepat menunduk karena dia pun tidak tahan melihat sinar mata yang seolah-olah menembus dadanya itu. Lulu maklum betapa dahulu puteranya amat nakal, maka dia membentak, "Keng In! Hayo kau ceritakan dengan terus terang. Seorang jantan harus berani mengakui segala kesesatannya dan pengakuan itu sudah merupakan langkah pertama ke arah perbaikan!"

Mendengar ini, Suma Han memandang Lulu dengan senyum di bibir dan mengangguk-angguk. Wan Keng In segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayah tirinya itu dan berkata, "Tidak saya sangkal bahwa saya pernah jatuh cinta kepada Adik Milana. Akan tetapi setelah saya mendengar bahwa dia adalah saudara tiri saya, cinta itu berubah menjadi cinta seorang kakak, maka saya membantunya untuk mencari dan menghadapi Gak Bun Beng. Harap Ayah sudi mengampuni semua kesalahan saya."

Kembali pendekar besar itu menarik napas panjang. "Sudahlah..." katanya untuk menutupi rasa perih di dalam hatinya karena kematian Kwi Hong yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Kemudian dia menoleh kepada Sai-cu Lo-mo dan Koai-san-jin.

"Lo-mo, sebagai bekas pembantu isteri saya, bukanlah orang luar dan saya mengucapkan terima kasih atas segala bantuanmu. Juga kepada Koai-san-jin Totiang, sebagai seorang tamu kami, saya menghaturkan terima kasih. Ji-wi (Anda Berdua) kami persilakan untuk tinggal di sini selama tiga hari, setelah itu akan kami antar kembali ke darat."

Dua orang kakek itu menghaturkan terima kasih dan mereka masing-masing memperoleh sebuah kamar di dalam Istana Pulau Es itu sebagai tamu-tamu. Akan tetapi karena di istana kuno itu tidak terdapat pelayan, maka tentu saja penyambutan pihak penghuni istana juga amat bersahaja. Betapa pun juga Nirahai dan Lulu yang masing-masing merasa amat berbahagia karena anak mereka telah datang dengan selamat, mempersiapkan perjamuan makan dan membuat masakan-masakan dari bahan yang memang banyak disediakan di pulau itu, kemudian di malam hari itu, sebagai perayaan kembalinya anak-anak mereka, mereka menjamu dua orang tamu itu dengan masakan dan arak.

Ketika sore hari tadi, selagi Nirahai, Milana dan Lulu sibuk di dapur mempersiapkan masakan, diam-diam Wan Keng In pergi ke dalam kamar Koai-san-jin dan mereka berdua bicara dengan bisik-bisik, kelihatan serius sekali. Kurang lebih satu jam lamanya dua orang ini bicara bisik-bisik, kemudian Wan Keng In meninggalkan kamar itu dan pergi ke dapur untuk membantu tiga orang wanita yang sibuk mempersiapkan masakan-masakan.

Malam itu perjamuan sederhana dilakukan dengan cukup meriah. Bahkan Suma Han kelihatan gembira dan berseri wajahnya. Agaknya pendekar ini telah melupakan kedukaan hatinya karena kematian Kwi Hong, dan agaknya melihat kedua orang isterinya bergembira, dia pun ikut gembira. Setelah perjamuan selesai yang dilanjutkan dengan omong-omong, mereka semua pergi beristirahat di kamar masing masing. Sebentar saja keadaan menjadi sunyi, agaknya semua orang kebanyakan minum arak sehingga dapat segera tidur dengan nyenyak.

Akan tetapi, pada keesokan harinya, terjadilah hal yang amat luar biasa. Pendekar Super Sakti Suma Han, Nirahai, Lulu, Milana dan Sai-cu Lo-mo keluar dari kamar dan berjalan dengan sinar mata kosong! Sai-cu Lo-mo juga berloncatan dengan alis berkerut dan mata bingung, mulutnya tiada hentinya bertanya. "Di mana aku? Apa yang terjadi? Di mana ini?"

Keluarga Pendekar Super Sakti, kecuali Wan Keng In, juga saling pandang dengan mata kosong seolah-olah tidak saling mengenal lagi. Mereka lalu duduk di atas kursi dan termenung! Mereka telah kehilangan ingatan!

Wan Keng In dan Koai-san-jin saling memandang dan tersenyum lebar, membuat wajah Wan Keng In makin tampan akan tetapi wajah kakek itu menjadi makin buruk!

"Bagus sekali, Wan-taihiap! Racun perampas ingatan itu benar-benar mengagumkan sekali!" Koai-san-jin berkata memuji.

"Racun ini adalah buatan Suhu Cui-beng Koai-ong, tentu saja hebat!" Keng In berkata, "Sekarang, apa yang hendak kau lakukan terhadap mereka, Bhong-koksu?"

"Heh-heh-heh, aku sudah bukan Koksu lagi, melainkan seorang tua bertubuh rusak seperti setan yang hanya ingin melaksanakan pembalasan dendamku. Serahkan saja Pendekar Siluman dan Puteri Nirahai kepadaku, Wan-taihiap, yang lain-lain terserah kepadamu."

"Bagus, memang begitulah kehendakku. Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan terhadap diri mereka berdua. Aku akan membawa ibuku dan Milana ke Pulau Neraka."

"Dan Si Lumpuh Sai-cu Lo-mo..."

"Dia? Ha-ha-ha, orang sudah lumpuh begitu untuk apa? Bunuh saja atau tinggalkan sendiri di sini!"

Mereka berdua tertawa bergelak, gembira karena mereka telah berhasil menundukkan pendekar yang paling hebat di dunia ini. Pendekar Super Sakti bersama isteri-isterinya yang sakti! Sambil tersenyum-senyum mereka berdua lalu memasuki ruangan di mana Suma Han, Nirahai, Lulu, Milana dan Sai-cu Lo-mo duduk di kursi dengan sinar mata kosong.

"Suma Han dan Puteri Nirahai, marilah kalian ikut bersamaku. Ada urusan penting sekali yang akan kusampaikan kepadamu!" berkata Koai-san-jin kepada Suma Han dan Nirahai. Kedua orang ini memandang kepada kakek buruk itu dengan bingung dan biar pun mereka bangkit berdiri, namun agaknya mereka ragu-ragu.

"Lihat, aku adalah Koai-san-jin, sahabat baik kalian! Mari kalian ikut bersamaku untuk mengambil pusaka Pulau Es yang disimpan di sana!" Kakek itu menuding ke luar.

"Pusaka Pulau Es...?" Suma Han menggumam.

Kkemudian dia melangkah bersama Nirahai mengikuti kakek muka buruk yang mendahului mereka keluar dari istana menuju ke bagian yang paling tinggi dari pulau itu, di sebuah tebing di pantai yang amat curam. Suami pendekar itu mengikuti kakek muka buruk dengan gerakan seperti mayat-mayat hidup!

* * * * * *




Kita tinggalkan dulu keadaan Pulau Es yang menegangkan karena bahaya maut yang mengancam keluarga Pendekar Super Sakti, dan mari kita melihat bagaimana dengan keadaan Giam Kwi Hong dan Gak Bun Beng, dua orang muda yang terjungkal ke dalam jurang yang amat curam itu. Benarkah dugaan Milana bahwa karena cintanya kepada Kwi Hong, Gak Bun Beng sengaja meloncat untuk membunuh diri mengikuti kematian Kwi Hong? Tentu saja sama sekali tidak begitu!

Ketika Bun Beng yang sudah terluka itu melihat Kwi Hong datang menolongnya dan membelanya, dia merasa terharu dan berterima kasih sekali kepada nona ini. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat Kwi Hong terdesak hebat dan biar pun dia sudah berteriak memberi peringatan, namun terlambat dan tubuh dara itu terjengkang masuk ke dalam jurang yang amat curam. Bun Beng cepat melompat dan terjun ke dalam jurang dengan niat untuk sedapat mungkin menolong gadis itu.

Lompatan Bun Beng yang amat cepat itu membuat ia berhasil menyusul tubuh Kwi Hong. Dengan lengan kirinya dia menyambar tubuh itu dan berhasil merangkul pinggang gadis yang sudah menjadi hampir pingsan karena merasa ngeri terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam itu. Kini tubuh keduanya meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mengerikan, Kwi Hong menjadi pingsan ketika pandang matanya menjadi gelap oleh kabut yang menyambutnya di waktu tubuh mereka meluncur ke bawah. Akan tetapi, gadis ini tetap memegang gagang Li-mo-kiam dengan erat dan seolah-olah tangan kanannya menjadi kaku mencengkeram gagang pedangnya.

Biar pun lengan kirinya memeluk pinggang Kwi Hong dan lengan kanannya sudah setengah lumpuh oleh luka besar di pangkal lengan, namun tangan kanan Bun Beng masih tetap memegang Hok-mo-kiam dan pikirannya masih terang. Dia maklum bahwa kalau dia tidak mampu menahan luncuran tubuh mereka berdua, mereka tentu akan terbanting ke dasar jurang yang amat dalam dan tidak mungkin lagi dia menyelamatkan nyawa Kwi Hong atau nyawanya sendiri. Betapa pun kuatnya, tubuhnya dan tubuh Kwi Hong tentu akan terbanting remuk. Maka mulailah dia menggerak-gerakkan pedang di tangan kanannya, menusuk ke kanan kiri secara ngawur karena kanan kirinya gelap bukan main.

Kalau belum tiba saatnya untuk mati, betapa pun hebat bahaya mengancam nyawa seseorang, ada saja jalannya untuk menyelamatkan diri. Bun Beng yang menusuk-nusukkan pedangnya itu, tiba-tiba mengerahkan tenaga karena pedangnya menusuk benda keras di sebelah kanannya dan mukanya terasa perih seperti dicambuk. Cepat dia mengumpulkan tenaga di lengan kanannya dan menggerakkan kedua kakinya untuk menahan luncuran tubuh. Lengannya terasa seperti akan terlepas dari pundak, nyeri bukan main sampai mulutnya mengeluarkan teriakan merintih panjang ketika cengkeraman pada gagang pedangnya itu menghentikan luncuran tubuhnya yang diganduli tubuh Kwi Hong.

Ketika ia sudah dapat mengatasi rasa nyeri yang seolah-olah merobek seluruh tubuhnya, Bun Beng melihat bahwa tubuhnya berada di dalam sebuah pohon yang tumbuh di dinding jurang dan pedang Hok-mo-kiam tadi secara kebetulan sekali telah dapat menancap di batang pohon itu. Timbul seketika harapannya untuk hidup. Dia mengangkat tubuh yang tadi dikempitnya itu ke atas pundak, menggunakan tangan kirinya untuk mengambil pedang Li-mo-kiam yang masih tergenggam oleh tangan kanan dara itu, kemudian dia mencari dahan yang cukup besar untuk duduk dan mengatur napas. Pedang Hok-mo-kiam dia biarkan menancap dan menembus batang pohon itu, bahkan kini dia menancapkan Li-mo-kiam di dahan agar jangan jatuh ke bawah.

Ketika dia memandang ke bawah, dia memejamkan matanya penuh kengerian. Kini tampak dasar jurang itu yang merupakan sungai atau bekas sungai dangkal, penuh dengan batu-batu yang besar. Tentu tubuhnya dan tubuh Kwi Hong akan hancur kalau jatuh ke bawah sana! Memandang ke atas hanya tampak awan menutupi puncak tebing jurang. Akan tetapi dinding jurang itu ternyata banyak ditumbuhi pohon-pohon kecil dan batu-batu menonjol sehingga memungkinkan orang untuk memanjat ke atas!

Bun Beng memangku Kwi Hong yang masih pingsan. Tak lama kemudian dara itu mengeluh panjang dan membuka matanya. Sebelum dia bergerak, Bun Beng cepat memegang kedua lengannya dan berkata, "Kwi Hong, jangan bergerak! Kita masih hidup, tertolong oleh pohon yang tumbuh di dinding jurang ini. Tenanglah, kita masih mempunyai harapan besar untuk keluar dari bahaya!"

Kwi Hong membelalakkan mata, memegang dahan pohon dan menekan perasaannya yang ngeri kalau dia teringat betapa tadi dia terjerumus ke dalam jurang! Tahulah dia begitu melihat Bun Beng bahwa pemuda ini yang menolongnya!

Ia memandang ke bawah dan seperti yang dilakukan Bun Beng tadi, dia memejamkan mata, kemudian memandang ke atas, lalu kembali memandang Bun Beng dan menarik napas panjang. Dengan suara halus ia berkata, "Kembali engkau telah menyelamatkan nyawaku. Aku melihat engkau tadi meloncat mengejarku. Gak Bun Beng, mengapa engkau rela mempertaruhkan nyawamu untuk menolongku?" Sepasang mata itu menatap wajah Bun Beng dengan penuh perhatian, dengan tajam sekali seolah-olah hendak membuka dada menjenguk isi hati pemuda itu.

"Ahhh, mengapa engkau masih bertanya, Kwi Hong? Tentu saja aku akan menolong siapa yang terancam bahaya. Engkau sendiri tanpa mempedulikan lawan yang lihai dan banyak jumlahnya telah membela aku di atas tadi."

Kwi Hong lalu menarik napas panjang, kemudian berkata, suaranya bernada sedih, "Tentu saja begitu... mengapa aku menyangka yang bukan-bukan? Tentu saja engkau menolongku bukan karena engkau... cinta padaku..." Gadis itu memejamkan kedua matanya dan mengerutkan alisnya.

Bun Beng menyentuh lengannya, "Kwi Hong... apa artinya kata-katamu itu?"

Tanpa membuka matanya Kwi Hong menjawab lirih, "Artinya, Bun Beng... bahwa sejak dahulu aku jatuh cinta kepadamu biar pun aku maklum bahwa hal ini tidak mungkin dilanjutkan, bahwa engkau mencinta Milana dan... aku pun menjadi korban cintaku yang sepihak itu..."

Kwi Hong lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa dia telah tertipu oleh rombongan Koksu sehingga membantu mereka dan setelah para pemberontak kalah, dia bahkan mengajak Koksu dan kaki tangannya itu ke Pulau Es! Betapa kemudian pamannya datang bersama kedua orang isteri pamannya, Puteri Nirahai dan Lulu, dan betapa Koksu dan kaki tangannya dapat dikalahkan oleh pamannya dan diusir dari Pulau Es. Kemudian dia disuruh oleh pamannya untuk mendari Bun Beng dan Milana.

"Engkau... engkau telah dijodohkan dengan Milana..."

Bun Beng termenung. "Akan tetapi... mengapa Milana bersikap seperti itu?"

"Agaknya aku mengerti apa yang telah terjadi," Kwi Hong menarik napas panjang "Semua gara-gara Si Jahanam Wan Keng In. Orang itu benar-benar amat jahat sekali, melebihi iblis!"

Dia lalu menceritakan betapa ia mendengar bahwa Milana diculik orang. Dia menduga bahwa tentu Wan Keng In yang menculiknya, maka dia menyusul ke Pulau Neraka.

"Kembali aku tertipu oleh Wan Keng In, dan... dan... di Pulau Neraka... aihh..." Tiba-tiba Kwi Hong menangis tersedu-sedu, teringat betapa dia telah menyerahkan diri dengan suka rela, penuh kemesraan, penuh kehangatan dan kebahagiaan kepada Wan Keng In yang disangkanya adalah Gak Bun Beng!

"Kenapa Kwi Hong? Apa yang terjadi...?"

Diceritakanlah semua secara terus terang oleh Kwi Hong, betapa di tengah jalan dia diberi racun perampas ingatan oleh Keng In, kemudian betapa pemuda Pulau Neraka itu menyamar sebagai Bun Beng dan merayunya sehingga dia menyerahkan diri dan kehormatannya!

"Tadinya aku tidak tahu sama sekali bahwa ingatanku telah hilang sehingga aku menganggap bahwa orang yang bersamaku pergi ke Pulau Neraka adalah... engkau... dan setelah tiba di Pulau Neraka, baru aku sadar namun... sudah terlambat...! Aku melihat Milana juga terampas ingatannya, Milana melihat betapa aku ber... bermain cinta, berjinah dengan... Gak Bun Beng yang sebetulnya adalah Wan Keng In... semua telah diatur oleh Keng In agar Milana membencimu! Ketika Keng In muncul yang disangka engkau oleh Milana, Milana menyerangnya. Dia lari ketika kau datang... kami mengejar dan berpisah di daratan..."

Bun Beng bengong memandang Kwi Hong. Melihat Kwi Hong menangis lagi terisak-isak, menjadi terharu sekali dan merangkul pundak gadis itu.

"Kwi Hong... mengapa kau lakukan itu...? Mengapa kau begitu mudah menyerahkan diri kepada seorang pria, biar pun kau mengira pria itu aku orangnya?"

Kwi Hong mengangkat mukanya yang merah dan basah air mata. "Karena aku cinta kepadamu, Bun Beng. Karena aku tahu bahwa tidak mungkin menjadi isterimu karena kau telah dijodohkan dengan Milana. Maka aku rela menyerahkan diriku kepadamu... biar pun tidak usah menjadi isterimu... akan tetapi... ya Tuhan, kiranya bukan engkau itu, melainkan Si Jahanam Keng In." Tiba-tiba matanya terbelalak lebar dan berseru penuh semangat, "Aku harus membunuhnya! Harus!"

Bun Beng menundukkan mukanya. Mengertilah dia sekarang. Dengan menggunakan obat racun perampas ingatan, Wan Keng In telah memperkosa Kwi Hong, kemudian dia pun meracuni Milana sehingga dara itu kehilangan ingatannya pula, maka mudah saja Milana tertipu ketika melihat Keng In dan Kwi Hong bermain cinta, mengira bahwa Keng In adalah dia sendiri sehingga Milana membencinya setengah mati!

Dan dia dapat menduga sekarang bahwa yang membunuh suami isteri di pinggir telaga setelah memperkosa isteri itu, tentu bukan lain adalah Wan Keng In pula! Juga yang memperkosa Lu Kim Bwee dan menggunakan namanya, tentu pemuda itu yang agaknya amat membencinya dan sengaja memalsukan namanya untuk merusak nama baiknya. Hanya dia tidak mengerti mengapa Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai itu pun ikut membencinya? Dan kakek bermuka buruk itu? Semua ini adalah siasat Wan Keng In. Mengapa Wan Keng In demikian membencinya?

"Sungguh heran sekali, mengapa dia begitu membenciku? Mengapa sejak dahulu Wan Keng In memusuhi aku dan kini berusaha mati-matian untuk merusak namaku?"

"Apakah engkau belum dapat mengerti Bun Beng? Dia membencimu karena cemburu. Dia jatuh cinta kepada Milana, sebaliknya Milana tidak melayaninya karena Milana cinta kepadamu. Itulah sebabnya."

Bun Beng menggeleng-geleng kepalanya dan seperti berkata kepada diri sendiri dia berkata. "Cinta...! Betapa ganjil orang yang terkena penyakit ini! Wan Keng In rela melakukan perbuatan yang amat keji, memperkosa, membunuh, untuk merusak namaku gara-gara cemburu dan katanya dia mencinta! Engkau sendiri sampai rela menyerahkan diri dan kehormatan, juga oleh karena cinta! Milana sekarang sangat membenciku, siap untuk membunuhku dengan tangannya sendiri, juga gara-gara benci yang timbul dari cinta! Benarkah semua itu adalah cinta? Begitu buruk, begitu keji dan hinakah cinta yang diagung-agungkan itu? Atau semua itu sesungguhnya hanya nafsu belaka yang memakai kedok cinta sehingga bukanlah cinta yang sesungguhnya?"

"Gak Bun Beng, engkau sendiri, bukankah kau mencinta Milana?" Kwi Hong bertanya karena ucapan-ucapan orang yang dicintanya itu benar-benar mendatangkan kesan di dasar hatinya.

Bun Beng menarik napas panjang. "Setelah menyaksikan semua peristiwa yang terjadi karena perasaan apa yang disebut cinta, semua kekacauan, pertentangan, permusuhan, penderitaan, yang timbul karena hal yang dinamakan cinta itu, aku sendiri menjadi bingung dan tidak berani mengatakan apakah aku benar-benar cinta kepada Milana atau kepada siapa pun juga. Aku merasa ngeri kalau ternyata kemudian bahwa cintaku kepada Milana ternyata sama saja nilainya seperti cinta-cinta mereka itu! Betapa mengerikan! Aku akan merasa jijik kepada diriku sendiri kalau cintaku hanya seperti itu! Kwi Hong, aku tidak tahu lagi! Sudahlah, tak perlu kita tenggelam lebih dalam membicarakan urusan cinta yang sulit ini. Yang membuat aku tidak mengerti, mengapa puteri Ketua Bu-tong-pai ikut-ikutan memusuhi aku? Dan pula kakek muka buruk itu...!"

"Aku sendiri tidak tahu mengapa gadis-gadis itu memusuhimu. Agaknya juga menjadi korban Wan Keng In yang menggunakan namamu. Akan tetapi kakek itu... hemmm, apakah engkau tak dapat menduganya dia siapa?"

"Siapakah dia?"

"Aku berani bertaruh bahwa dia itu tentu Bhong Ji Kun!"

"Koksu...?" Bun Beng terbelalak, kemudian mengingat-ingat dan mengangguk. "Kau benar! Sekarang aku ingat akan gerakan-gerakannya! Tetapi mukanya... mengapa jadi seperti itu?"

"Ketika Koksu dan anak buahnya diusir oleh paman meninggalkan Pulau Es, mereka menggunakan perahu besar mereka ke selatan. Agaknya perahu mereka diserang badai, dan dengan bantuan Wan Keng In sehingga aku makin mudah terbujuk dan tertipu olehnya, aku berhasil membunuh tiga orang pembantunya yang berhasil menyelamatkan diri di pantai Po-hai. Aku tidak melihat Koksu di antara mereka, agaknya Koksu pun berhasil menyelamatkan diri di tempat lain, akan tetapi... dalam keadaan rusak mukanya seperti itu."

Bun Beng memandang Kwi Hong dengan muka membayangkan kekhawatiran. "Dan Milana berada bersama Keng In dan Koksu!"

"Memang berbahaya sekali. Kalau tidak segera mendapat pertolongan, tentu Milana akan celaka," kata Kwi Hong.

"Kalau begitu kita tunggu apa lagi Kwi Hong, mari kita mencoba memanjat ke atas dengan bantuan pedang kita."

Kwi Hong mengangguk, akan tetapi sebelum Bun Beng mulai merayap membuka jalan, dia memegang lengan pemuda itu. "Pundakmu terluka parah..."

"Tidak apa, aku dapat bertahan."

"Bun Beng..."

"Ada apa, Kwi Hong?"

"Tadinya aku sudah bersumpah di dalam hatiku sendiri bahwa aku tidak akan kembali ke Pulau Es. Sekarang, bersamamu dan melihat perkembangannya, mau tak mau aku harus kembali ke sana karena aku dapat menduga bahwa tentu Keng In melanjutkan siasatnya dan mengajak Milana ke Pulau Es. Karena itu, Bun Beng, maukah engkau berjanji...?"

Bun Beng mengerutkan alis. Gadis ini telah mengalami hal yang amat menyedihkan. "Katakanlah, aku akan memenuhi permintaanmu, Kwi Hong."

"Aku tahu bahwa tidak mungkin aku menjadi jodohmu, karena itu, aku hanya minta agar kelak, baik aku dalam keadaan hidup atau sudah mati, sukakah engkau berjanji akan... akan selalu ingat kepadaku, dan tidak akan melupakan aku?"

Bun Beng merasa jantungnya seperti ditusuk. Gadis yang telah tertimpa malapetaka hebat ini yang agaknya sudah tidak mempunyai gairah hidup, tidak memiliki harapan apa-apa lagi di dunia dan kebahagiaannya sudah hancur, agaknya menjadi seperti seorang anak kecil! Dengan penuh keharuan dia memegang kedua tangan dara itu. Lalu menunduk dan mencium dahi Kwi Hong sambil berbisik, "Aku berjanji, Kwi Hong, bahwa aku akan mengingatmu selalu. Mana mungkin aku dapat melupakanmu, Kwi Hong?"

Terdengar sedu sedan naik dari dada gadis itu, tetapi dia tersenyum, wajahnya berseri dan matanya berkejap-kejap untuk mengusir dua butir air mata yang mengganggu penglihatannya. "Engkau baik sekali, Bun Beng. Terima kasih...! Nah, mari kita lekas memanjat naik, tunggu apa lagi?" Dalam suara Kwi Hong kini terkandung kegairahan yang aneh, seolah-olah janji yang diberikan oleh Bun Beng untuk selalu mengingatnya menjadi semacam obat dalam kegelapan yang dihadapinya!

Maka merayap dan memanjatlah kedua orang itu ke atas dengan hati-hati sekali, berpegang pada akar-akar dan batang-batang pohon dan batu-batu menonjol, dibantu oleh pedang mereka yang dapat ditancapkan pada dinding jurang sehingga dapat dipergunakan sebagai pegangan. Karena keduanya telah memiliki ginkang yang tinggi, dan di tangan mereka terdapat sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, maka biar pun amat lambat, perlahan-lahan mereka dapat naik juga meninggalkan pohon penolong mereka itu untuk menuju ke puncak tebing dari mana mereka tadi meluncur jatuh.

* * * * * *


Tebing di atas pantai Pulau Es itu teramat curam. Dari tepi tebing itu kalau orang menjenguk ke bawah akan tampak gelombang memecah di batu-batu karang yang meruncing seperti barisan tombak. Dan dalamnya tebing ini tidak kurang dari seribu kaki. Gelombang air laut yang memecah batu karang itu dari atas hanya kelihatan seperti mainan kanak-kanak saja.

Suma Han dan Nirahai berdiri di tepi tebing itu tanpa bergerak, seperti dua buah arca batu, menghadap ke laut. Namun, kakek bermuka setan, Koa-san-jin, biar pun memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak berani mendorong mereka dari belakang, karena dia maklum bahwa biar pun kedua orang suami isteri itu dalam keadaan hilang ingatan, namun mereka itu masih tidak kehilangan ilmu kepandaian mereka yang sudah mendarah daging dan kalau sampai gagal, tentu dia akan menghadapi kesulitan besar.

Tanpa bicara, dikeluarkannya dua gulung tali yang panjang sekali yang memang sudah dipersiapkan lebih dahulu untuk melaksanakan siasat yang sudah direncanakannya bersama Keng In. Ujung kedua tali diikatkannya pada batu karang yang berada di puncak tebing, kemudian kedua tali itu dilepas gulungannya dan dilempar ke bawah tebing. Kedua tali yang panjang itu kurang lebih hanya tiga ratus kaki panjangnya, tampak tergantung di bawah dan bergoyang-goyang terbawa angin.

"Suma Han dan Nirahai, kalian adalah majikan-majikan Pulau Es. Pusaka-pusaka milik Pulau Es berada di dinding tebing ini, kira-kira tiga ratus kaki dalamnya dari atas, tersembunyi di dalam sebuah goa. Sekarang turunlah kalian melalui tali-tali itu dan bawa peti berisi pusaka-pusaka itu ke atas sini."

"Pusaka...?" Suma Han berkata meragu.

"Majikan Pulau Es...?" Nirahai juga berkata dan mengerutkan alisnya.

"Lekas kalian menuruni tali itu, kalau tidak, tentu pusaka itu akan diambil orang lain yang akan memanjat dari bawah sana. Aku akan menjaga di atas dan menjamin agar tidak ada orang yang mengganggu pekerjaan kalian."

"Kau... kau siapakah...?"

"Ha-ha-ha-ha, aku adalah sahabat baik kalian. Namaku Bhong Ji Kun!" Kakek itu yang sebetulnya memang bekas Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dengan amat berani memperkenalkan namanya. Mengapa harus tidak berani? Sekarang dia tidak perlu menyembunyikan dirinya lagi, karena tetap saja Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai tidak akan mengenal nama lamanya itu.

Suma Han dan Nirahai mengangguk dan keduanya lalu meloncat, menyambar tali dan mulai merayap turun melalui tali-tali itu. Bhong Ji Kun yang sudah berjongkok di tebing dan menjenguk ke bawah, tersenyum lebar. Makin jauh kedua orang itu merayap, senyumnya makin melebar dan akhirnya dia tertawa bergelak, menggunakan sebatang golok di tangan kanan untuk membacok tali yang tergantung ke bawah. Dan dua buah tali itu putus dan lenyap ke bawah tebing.

"Ha-ha-ha! Puas hatiku sekarang, telah dapat membalas dendam kepada Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, ha-ha-ha!" Sekali lagi dia menjenguk dan tidak melihat dua orang korbannya karena terlalu dalam, tampak olehnya dua helai tali itu seperti benang kecil di antara gulungan ombak. Dia tertawa lagi kemudian berlari-lari menuju ke istana Pulau Es.

Ketika dia tiba di istana tua itu, dia melihat Keng In sedang sibuk berkemas, membawa barang-barang berharga yang dapat dia temukan di istana itu ke dalam sebuah perahu. Milana dan Lulu berdiri bengong, seperti dua orang anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

"Ibu, Milana, ini adalah..."

"Bhong Ji Kun, sahabat baik, heh-heh!" Bekas koksu itu menyambung dan Keng In juga tertawa karena dia tahu bahwa kini sudah ‘aman’ untuk memperkenalkan kakek itu.

Lulu dan Milana memandang kepada kakek bermuka buruk itu, pada wajah mereka membayang perasaan ngeri.

"Bagaimana? Sudah bereskah mereka?" Keng In bertanya.

Bhong Ji Kun tersenyum menyeringai puas. "Sudah, berkat kecerdikanmu, Wan-taihiap. Terima kasih! Mereka sudah terbanting ke bawah tebing, heh-heh!"

"Hemm, tidak kau bereskan dengan kedua tangan sendiri? Apakah sudah kau lihat benar bahwa mereka itu sudah tewas?" Keng In mengerutkan alisnya karena biar pun yakin bahwa Pendekar Siluman dan Puteri Nirahai tak berdaya oleh racun perampas ingatan, namun kedua orang itu terlampau lihai untuk dipandang rendah begitu saja.

"Jangan khawatir. Mereka sedang bergantung di tali dan kedua tali itu kuputus dengan golokku sendiri. Kulihat tali itu sudah berada di antara ombak di bawah. Mereka tentu tak dapat terbang menghindarkan maut."

"Hemm, betapa pun juga, mari kita lekas pergi dari tempat ini, Seng-jin. Aku merasa ngeri berada di tempat ini terlalu lama."

"Aahhh, Wan-taihiap. Takut apa lagi sih? Setelah Pendekar Siluman dan Puteri Nirahai mati..."

"Bhong Ji Kun pemberontak keparat! Kau bilang apa?" Tiba-tiba tampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri Giam Kwi Hong dan Gak Bun Beng!

Bekas Koksu itu terkejut sekali ketika mendengar bentakan Bun Beng ini. Rahasianya sudah diketahui orang, dan dia terkejut melihat pemuda dan gadis yang sudah terjerumus ke dalam jurang sedemikian dalamnya, ternyata belum mati dan tahu-tahu muncul di tempat itu, juga Wan Keng In berdiri memandang dengan mata terbelalak dan bulu tengkuk bangun berdiri saking seramnya. Apakah dia melihat roh penasaran dari dua orang itu?

Akan tetapi berkelebatnya sinar pedang Hok-mo-kiam di tangan Bun Beng dan pedang Li-mo-kiam di tangan Kwi Hong membuktikan bahwa dia tidak berhadapan dengan setan penasaran sehingga cepat Keng In mencabut Lam-mo-kiam sambil melompat mundur, sedangkan Bhong Ji Kun yang diserang oleh Bun Beng juga sudah meloncat ke belakang menyambar tongkatnya yang ujungnya sudah buntung dan yang tadi ia tancapkan di atas tanah.

Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring yang amat dahsyat dan ada angin menyambar ke arah Bun Beng dan Kwi Hong. Dua orang muda ini terkejut bukan main, cepat mereka menarik kembali pedang dan meloncat mundur.

Dua bayangan berkelebat dan... di situ sudah berdiri Suma Han dan Nirahai dengan sikap sangat angker! Suma Han menghampiri Milana dan Lulu, menggunakan telapak tangannya mengusap kepala kedua orang itu dan bagaikan orang baru sadar dari tidur, Lulu memandang ke sekeliling dengan heran, sedangkan Milana juga mengeluh.

"Ehh... apa yang telah terjadi...?"

Sementara itu, kedua kaki Bhong Ji Kun menggigil dan matanya melotot seperti akan terloncat keluar dari pelupuk matanya. Ketika Keng In memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan, kakek ini hanya menggeleng-geleng kepala seperti orang bodoh, mulutnya ternganga, dan dia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun saking bingung dan herannya.

Tentu saja, baik Keng In mau pun Bhong Ji Kun sama sekali tidak tahu bahwa semua kejadian di pagi hari itu adalah hasil dari ilmu sihir Pendekar Super Sakti! Tidaklah mudah untuk menipu seorang berilmu tinggi seperti Suma Han! Pendekar ini sudah menaruh curiga dan berlaku hati-hati sekali.

Ketika mereka makan minum, pendekar ini telah menggunakan sihirnya sehingga dalam pandangan Wan Keng In dan kakek muka buruk, dia dan Nirahai ikut pula makan minum, padahal dia dan isterinya itu sama sekali tidak menjamah makanan dan minuman dalam perjamuan itu.

Suma Han sengaja membiarkan Lulu, Milana dan Sai-cu Lo-mo ikut makan minum agar tidak mencurigakan kedua orang yang dicurigai itu. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hatinya ketika pada keesokan harinya dia melihat Milana, Lulu dan Sai-cu Lo-mo menjadi seperti boneka-boneka hidup, kehilangan ingatan mereka!

Maka dia dan Nirahai lalu bersandiwara, pura-pura berada dalam keadaan lupa ingatan seperti yang lain dan menurut saja ketika kakek muka buruk mengajak mereka ke atas tebing di pantai yang berbahaya itu.

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bukanlah seorang bodoh, dan sekiranya dia tidak mudah merasa girang dan yakin akan berhasilnya obat racun perampas ingatan dari Pulau Neraka, agaknya dia pun tidak begitu mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir yang dipergunakan Suma Han.

Ketika berada di puncak tebing, Suma Han kembali mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga dalam pandangan bekas Koksu itu, dia dan isterinya benar-benar menuruni tali yang kemudian dibikin putus oleh kakek muka buruk itu! Padahal yang menuruni tali itu hanyalah bayangan kosong belaka! Dan Suma Han bersama Nirahai terkejut bukan main ketika kakek itu mengaku bahwa dia sebenarnya adalah Bhong Ji Kun!

Tahulah mereka bahwa kakek ini berhasil menyelamatkan diri dari serangan badai sehingga mukanya rusak, kemudian kembali membonceng Wan Keng In untuk menuntut balas! Suma Han mencegah Nirahai yang sudah marah sekali dan hendak turun tangan menyerang itu, karena ia tidak menghendaki dia sendiri atau kedua orang isterinya melakukan penyerangan atau pembunuhan lagi.

Diam-diam mereka mengikuti Bhong Ji Kun ke istana dan mereka melihat munculnya Bun Beng dan Kwi Hong yang langsung menyerang Bhong Ji Kun dan Wan Keng In. Melihat munculnya Bun Beng dan Kwi Hong dada Suma Han terasa panas. Tentu saja dia percaya penuh akan penuturan Milana dan dalam pandangan matanya, Bun Beng merupakan seorang yang tidak kalah busuknya dibandingkan dengan bekas Koksu itu!

Maka dia cepat mencegah Bun Beng dan Kwi Hong turun tangan menyerang, dan setelah memandang mereka bergantian dengan sinar mata penuh kemarahan seperti dua bara api yang membakar, tanpa mempedulikan lagi kepada Bhong Ji Kun, Suma Han membentak.

"Gak Bun Beng! Ke sini engkau!"

Mendengar suara Pendekar Super Sakti yang dijunjungnya tinggi itu, Bun Beng segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu.

"Cabut Hok-mo-kiam!"

Tanpa ragu-ragu Bun Beng mencabut pedang itu dan tampak sinar berkilat. Tadi ketika melihat Suma Han dan Nirahai muncul, dia sudah menyarungkan kembali pedangnya.

"Gak Bun Beng, sekarang pergunakan pedang itu untuk membunuh diri! Ataukah harus aku yang mengotorkan tangan membunuh?"

Bun Beng terkejut bukan main. Dia memandang kepada Nirahai, akan tetapi wanita itu pun memandangnya penuh kebencian. Juga Lulu memandang kepadanya dengan bayangan jijik di mukanya, sedangkan Milana sama sekali tidak mempedulikannya!

"Semenjak kecil saya telah banyak berhutang budi kepada Suma Locianpwe, maka kalau sekarang Locianpwe menghendaki nyawa saya yang tidak berharga, mana saya berani menolak?" Sekali lagi dia memandang ke arah Milana dan Hok-mo-kiam lantas digerakkan ke arah lehernya.

"Trangggg...!" Bunga api berpijar ketika Li-mo-kiam menangkis pedang Hok-mo-kiam itu.

"Paman, sungguh tidak adil ini!" Teriak Kwi Hong sambil berlutut di samping Bun Beng.

"Hemmm, bocah hina yang mencemarkan nama keluarga! Engkau hendak membela kekasihmu?"

"Paman, dengarkan dulu cerita saya! Kalau sudah mendengarkan, mau bunuh Bun Beng, mau bunuh saya, terserah! Saya tidak takut mati, Bun Beng pun tidak takut mati, akan tetapi saya akan mati penasaran melihat Paman melakukan sesuatu yang tidak adil sama sekali!"

Wan Keng In bersama Bhong Ji Kun yang maklum bahwa penuturan Kwi Hong akan mencelakakan mereka segera maju.

"Mereka ini orang-orang jahat yang tak berhak hidup lagi!" Wan Keng In dan Bhong Ji Kun sudah menerjang ke arah Bun Beng dan Kwi Hong yang masih berlutut.

"Diam kalian! Jangan bergerak!" Pada saat itu, di tubuh Pendekar Super Sakti sedang penuh dengan hawa amarah yang membuat tenaga saktinya timbul dan kuat bukan main. Bentakannya seketika membuat Keng In dan Bhong Ji Kun tak mampu bergerak lagi, seperti arca-arca, atau seperti orang tertotok dalam keadaan kaku!

"Coba bicaralah, memang tidak boleh orang mati penasaran!" kata Suma Han kepada Kwi Hong, mulai tertarik menyaksikan sikap Kwi Hong dan Bun Beng dibandingkan dengan sikap Wan Keng In dan Bhong Ji Kun.

"Paman dan kedua Bibi tentu telah mendengar penuturan adik Milana dan Paman Sai-cu Lo-mo. Mereka berdua itu hanya menjadi korban penipuan keji yang ditujukan untuk menjatuhkan fitnah kotor kepada nama Gak Bun Beng. Terutama sekali adik Milana yang menjadi korban penipuan keji. Sejak dia diculik oleh Wan Keng In dan dibawa ke Pulau Neraka, adik Milana telah diberi obat racun perampas ingatan sehingga dia tidak sadar bahwa dia ditipu oleh Keng In. Wan Keng In menyamar sebagai Gak Bun Beng melakukan perkosaan-perkosaan atas nama Gak Bun Beng sehingga menipu dua orang nona Ang dan Lu."

"Enci Kwi Hong, percuma saja engkau membelanya. Aku tahu bahwa engkau adalah kekasihnya, tentu saja mati-matian engkau hendak membelanya. Mataku melihat sendiri ketika kalian..."

"Adik Milana, Paman dan kedua Bibi. Harap mendengarkan dengan sabar. Memang tidak salah bahwa adik Milana yang sengaja ditipu oleh Keng In menyaksikan saya ber... jinah dengan orang yang dianggapnya Gak Bun Beng, padahal orang itu adalah Wan Keng In sendiri! Adik Milana berada dalam keadaan lupa ingatan, tentu saja dia tidak mengenal Wan Keng In yang mengaku bernama Gak Bun Beng."

"Hemmm, kalau engkau mengerti begitu jelas, mengapa engkau melakukan hubungan gelap dan kotor dengan Wan Keng In?" Suma Han membentak.

"Saya mengaku salah. Saya pun telah tertipu olehnya, ingatan saya hilang oleh racun obatnya, dan dia mengaku Bun Beng, maka saya... saya mengira dia Bun Beng, maka saya... saya... ah, Paman. Saya sudah melakukan semua penuturan dan agar jelas harap dengarkan pengalaman saya...."

Dengan cepat dan singkat tetapi jelas, Kwi Hong menceritakan semua pengalamannya ketika dia ditugaskan mencari Milana. Setelah selesai dia menangis dan berkata, "Sekarang terserah kepada Paman, mau bunuh lekas bunuh. Apa artinya hidup saya setelah semuanya dirusak oleh Wan Keng In?"

Wajah Milana menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada Bun Beng. Setelah dia kini dalam keadaan sadar, lapat-lapat dia dapat mengingat semua pengalamannya di Pulau Neraka, ketika dia diculik, ketika dia hampir membunuh Wan Keng In sampai tiba-tiba muncul Gak Bun Beng, di pulau itu, hal yang kalau dipikirkan memang tidak masuk akal. Betapa mungkin Bun Beng tiba-tiba muncul dan merayunya tanpa diketahui Keng In dan guru pemuda itu? Betapa mungkin pula Bun Beng dan Kwi Hong muncul berdua di Pulau Neraka hanya untuk bermain cinta di pondok agar kelihatan olehnya? Benar-benar tak masuk di akal.

Teringat akan semua itu, dia menjerit lirih, "Oohhh... Dia benar...! Enci Kwi Hong benar! Sekarang, sekarang teringat olehku...! Ah, Ayah... Ibu... sekarang aku sadar... bukan Bun Beng yang bersalah akan tetapi Wan Keng In...! Ah, aku telah berdosa besar...!" Sambil menangis Milana meloncat ke atas genteng Istana dan dicabutnya pedangnya.

Sebelum lain orang bergerak, tahu-tahu Bun Beng juga sudah meloncat mengejar. Pada saat Milana menggerakkan pedang hendak membacok leher sendiri, Bun Beng menepuk lengan kanan Milana dari belakang dan pedang itu terlepas.

"Adik Milana, jangan begitu...!"

Milana berlutut di atas genteng, menangis terisak-isak, "Aku berdosa... aku berdosa..."

"Milana! Turun kau!" Suma Han membentak.

Sambil menangis, Milana meloncat turun dan berlutut di depan ayah dan ibunya.

"Benarkah semua cerita Kwi Hong tadi?"

"Agaknya demikian... ya benar Ayah..., aku diculik Keng In, hampir diperkosanya tetapi aku masih dapat mempertahankan diriku..." Sambil terisak dia menceritakan semua pengalamannya. Setelah Milana selesai bercerita, dia menangis sesenggukan.

"Anak murtad, jahanam keparat!"

Tiba-tiba Lulu memaki dan tubuhnya sudah melesat ke arah Keng In, tangannya menampar kepala puteranya itu dan air matanya bercucuran.

"Plak!" Tangan itu ditangkis Suma Han yang sudah mengejar. "Lulu, isteriku yang baik, mundurlah. Kita tidak perlu mengotorkan tangan, apa lagi dia itu puteramu sendiri."

Sambil menangis dan menutupi mukanya Lulu mundur lagi.

Nirahai juga membentak. "Bhong Ji Kun engkau harus mampus!"

"Nirahai, tidak perlu...! Kita menonton saja!"

Pada saat itu, Bhong Ji Kun dan Wan Keng In sudah dapat bergerak kembali. Mereka tadi telah mendengarkan semua dan kini dalam keadaan nekat mereka lalu menerjang maju. Wan Keng In disambut oleh Kwi Hong, sedangkan Bhong Ji Kun dihadapi oleh Bun Beng.

"Wan Keng In, aku sudah bersumpah untuk membunuh dan membalas penghinaanmu yang telah memperkosa diriku!" Kwi Hong berteriak. "Engkau atau aku harus mati untuk melunaskan perhitungan antara kita."

Wan Keng In tidak menjawab. Pemuda ini bingung dan gentar bukan main. Ibunya tak dapat diharapkan bantuannya, dan di situ terdapat Nirahai dan Suma Han, dua orang yang malah memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada ibunya! Karena gentar dan ketakutan, maka kelebihan kepandaiannya atas tingkat Kwi Hong tidaklah menonjol sekali, apa lagi karena Kwi Hong kini telah mewarisi ilmu dan tenaga Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin.

Pertandingan antara Bun Beng dan bekas Koksu juga amat seru, akan tetapi segera tampak betapa bekas Koksu itu terdesak hebat. Koksu ini sudah mengenal keampuhan Hok-mo-kiam, maka dia bersikap hati-hati, tidak mau mengadukan tongkatnya yang sudah buntung ujungnya oleh Hok-mo-kiam dahulu. Karena ini, juga karena memang tingkatnya tidak mampu menandingi tingkat Bun Beng yang sudah amat tinggi, dia terdesak dan akhirnya dia bertanding sambil berloncatan menjauh, mencari jalan untuk melarikan diri! Bun Beng terus mengejar sehingga akhirnya kakek itu lari sampai di puncak tebing di mana dia tadi ‘membunuh’ Suma Han dan Nirahai dan di sini dia tidak dapat lari lagi, terpaksa membela diri mati-matian.

"Bhong Ji Kun, dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, dan hukuman yang kau derita ketika badai menyerangmu, agaknya tidak membikin kau bertobat!" Bun Beng memperhebat permainan pedangnya.

"Crokkk!"

Ujung tongkat di tangan bekas Koksu itu terbabat buntung dan pedang masih terus menyambar lehernya. Terpaksa Koksu pemberontak itu menangkis lagi karena tidak sempat mengelak.

"Krakkk!"

Kini tongkat itu patah di tengah dan ujung Hok-mo-kiam masih merobek bibir kakek itu sehingga giginya rontok semua!

Wajah Bhong Ji Kun menjadi pucat sekali. Dia menyesal mengapa dia tidak dapat menggunakan senjatanya yang lama, yaitu pecut kuda yang lemas. Senjata itu lebih dapat bertahan kalau dipergunakan untuk menghadapi sebatang pedang pusaka seperti Hok-mo-kiam.

"Gak Bun Beng, marilah kita mati bersama!" Tiba-tiba kakek itu menubruk, tubuhnya melayang seperti seekor burung garuda menyambar mangsanya.

Pada saat itu Bun Beng berdiri di tepi tebing, membelakangi tebing. Melihat serangan dahsyat yang amat membahayakan dirinya itu, Bun Beng cepat meloncat ke kiri dan ketika tubuh lawan menyambar di sampingnya, pedangnya dikelebatkan. Terdengar teriakan mengerikan ketika kedua tangan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun terbabat buntung sebatas pergelangan tangan, dan kedua tangan itu terlempar ke bawah tebing menyusul tubuhnya yang sudah terdorong ke depan masuk ke bawah tebing karena gagal menyerang tadi.

Suara pekik mengerikan itu masih bergema. Bun Beng menyarungkan Hok-mo-kiam dan menghela napas panjang, kemudian dia berlari turun dari puncak tebing, kembali ke depan Istana Pulau Es.

Pertandingan antara Kwi Hong dan Keng In luar biasa ramainya. Kwi Hong bertanding dengan nekat karena memang dia hendak mengadu nyawa, membunuh atau dibunuh! Sebaliknya, Keng In merasa bingung sekali, seperti seekor tikus yang sudah tersudut, tiada jalan lari lagi. Menang atau kalah dalam pertandingan melawan Kwi Hong, dia akan tetap celaka! Maka dia pun melawan mati-matian sehingga Sepasang Pedang Iblis itu seolah-olah dua ekor naga yang sedang memperebutkan mustika, gulungan sinarnya saling belit, saling tekan dan saling tindih menyelimuti bayangan mereka!

Sinar pedang dari Sepasang Pedang Iblis itu amat menyilaukan mata, seperti halilintar menyambar-nyambar sehingga Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya memandang dengan takjub di samping ketegangan, kegelisahan, dan kedukaan yang melanda hati mereka.

Milana masih berlutut, tetapi kini dengan muka pucat dia pun menonton pertandingan. Ingin sekali dia membantu Kwi Hong, ingin dia membunuh Wan Keng In yang menjadi biang keladi dari semua ini, akan tetapi tentu saja dia takut bergerak, takut kepada ayahnya dan ibunya. Wajah Lulu yang kini semenjak dia tinggal di Pulau Es menjadi biasa lagi, tampak pucat. Juga Suma Han sendiri dan Nirahai berubah air mukanya, penuh ketegangan.

Tiba-tiba Kwi Hong terpelanting ketika pedang mereka saling bertemu dan kaki Keng In berhasil menendang lututnya. Keng In menubruk dengan pedangnya.

"Keng In...! Jangan...!" Lulu berteriak dan hendak meloncat dan mencegah puteranya, namun lengannya dipegang oleh Suma Han yang melarang isterinya itu mencampuri.

Keng In sama sekali tidak mengira bahwa lawannya telah memiliki tenaga Inti Bumi. Begitu tubuhnya bagian belakang menyentuh bumi, Kwi Hong memperoleh tenaga yang dahsyat sekali. Tiba-tiba tubuhnya itu mencelat ke atas menyambut serangan Keng In dengan tusukan Li-mo-kiam.

"Cresss! Cresss!"

Lulu menjerit dan menutupi mukanya saat melihat darah muncrat dari perut puteranya, sedangkan Milana juga menutupi muka melihat darah muncrat pula dari dada Kwi Hong. Kedua orang itu terguling. Perut Keng In masih menjadi sarung pedang Li-mo-kiam, sedangkan dada Kwi Hong tertembus pedang Lam-mo-kiam.

Hampir saja Lulu pingsan, akan tetapi dia merasa lehernya dirangkul orang. Ketika dia mendengar bisikan halus, "Ingat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa..." Lulu terisak.

Terbayanglah wanita ini ketika dahulu bersama Suma Han dia menyaksikan kematian dua orang yang memegang Sepasang Pedang Iblis, kematian yang persis seperti yang dialami oleh Wan Keng In dan Giam Kwi Hong. Hanya bedanya, kalau kedua orang suheng dan sumoi itu tewas dalam keadaan saling mencinta, maka Keng In dan Kwi Hong tewas dalam keadaan saling membenci!

"Keng In...!" Lulu mengeluh, lari menghampiri, berlutut di dekat mayat puteranya dan menangis.

"Enci Kwi Hong... !" Milana juga berlutut dekat mayat Kwi Hong, menangis terisak-isak dengan hati penuh rasa iba. Suma Han, Nirahai, Sai-cu Lo-mo, dan Gak Bun Beng yang sudah kembali ke tempat itu hanya memandang dengan hati terharu.

Bun Beng berdiri seperti arca. Perasaannya menjadi tak karuan, pikirannya melayang-layang. Beginikah akibat cinta? Wan Keng In dan Kwi Hong tewas gara-gara cinta? Ataukah nafsu belaka? Dan bagaimana dengan perasaan yang tadinya dia anggap cinta antara dia dan Milana? Apakah cinta antara mereka itu pun kelak hanya akan mendatangkan derita dan duka?

"Suma-locianpwe, harap sudi menerima kembali Hok-mo-kiam," katanya sambil berlutut di depan Suma Han, menyerahkan pedang Hok-mo-kiam dengan sarungnya. "Teecu bersumpah tidak akan menggunakan pedang atau senjata apa pun juga lagi. Senjata merupakan benda yang jahat, hanya menimbulkan banjir darah dan kematian, permusuhan dan kebencian."

Suma Han menerima senjata itu, kemudian dengan tangan kirinya dia menyentuh rambut kepala Bun Beng, katanya perlahan dan halus, "Gak Bun Beng, ayah bundamu boleh merasa bangga dan tenang di alam baka kalau mereka dapat menyaksikan sepak terjangmu. Tidak benarlah kata orang bahwa anak akan mewarisi watak orang tuanya, kini terbukti pada dirimu dan pada Wan Keng In." Dia menarik napas panjang. "Siapa mengira... Wan Keng In... ibunya demikian jujur... ayahnya demikian gagah... dan engkau..."

"Saya hanya seorang anak haram, Ayah saya seorang datuk kaum sesat, Locianpwe. Saya mohon diri, Suma-locianpwe dan maafkan semua kesalahan saya."

"Bun Beng, engkau hendak ke mana?" Nirahai menegur, "Engkau masih ada urusan dengan kami... maksudku, dengan Milana..."

Bun Beng cepat memberi hormat sambil berlutut. "Harap Ji-wi Locianpwe sudi memberi ampun kepada saya. Setelah mengalami semua itu, saya berpendapat bahwa saya tidaklah patut menjadi calon jodoh adik Milana! Kalau dilanjutkan, kelak hanya akan menjadi tekanan batin bagi adik Milana. Tidak, Ji-wi Locianpwe, bukan sekali-kali saya menolak, melainkan saya telah kehilangan gairah berjodoh setelah melihat semua peristiwa yang menimpa kita semua. Saya kira Ji-wi Locianpwe akan mengerti dan sudi mengampunkan saya."

Ada dua titik air mata membasahi mata Pendekar Super Sakti. Dia mengerti. Dia tahu betapa pemuda ini sebetulnya mencinta Milana, akan tetapi melihat semua akibat yang amat pahit dari apa yang disebut cinta, pemuda ini merasa kasihan dan khawatir kalau kelak ikatan jodoh itu hanya akan menyengsarakan penghidupan Milana! Karenanya, sebelum terlanjur, pemuda ini merasa lebih baik mengundurkan diri! Suma Han hanya mengangguk dan matanya membasah ketika dia memandang bayangan pemuda itu yang berjalan perlahan menuju ke pantai.

Suma Han lalu mengalihkan perhatiannya kepada Lulu yang masih menangis. Dia melangkah maju, menyentuh pundak isterinya itu dan menarik berdiri. Dirangkulnya Lulu dan dia berkata, "Lulu, cobalah renungkan secara mendalam. Bukankah peristiwa ini menjadi jalan keluar yang terbaik bagi puteramu, bagimu, dan bagi kita semua? Bayangkan apa akan jadinya dengan kita dan puteramu kalau dia tidak tewas, kalau dia masih melanjutkan cara hidupnya seperti yang lalu. Bayangkan betapa kita akan merasa cemas dan prihatin, engkau akan selalu berduka, apa lagi melihat Kwi Hong selalu akan memusuhinya. Sekali ini, Sepasang Pedang Iblis bekerja cepat, sudah saling menyudahi riwayat permusuhan mereka sebelum berlarut-larut."

Lulu menggigit bibirnya, menelan semua kata-kata yang tak terucapkan, lalu ia hanya menangis dan menyembunyikan mukanya di dada suaminya. Dia maklum bahwa puteranya telah menyeleweng dari pada jalan benar, dan dialah yang bersalah, dia yang terlalu memanjakannya dan puteranya menjadi rusak karena berada di Pulau Neraka!

"Milana, bangkitlah!" Suma Han berkata kepada puterinya.

Milana bangun dan menghapus air matanya. "Milana, engkau tentu telah merasa akan kesalahanmu. Akan tetapi kesalahanmu itu bukan kau sengaja, maka tidak perlu lagi disesalkan. Engkau harus kembali ke kota raja, engkau harus belajar menjadi seorang keturunan bangsawan yang baik, tinggal di istana Kaisar seperti yang lalu."

"Tapi, Ayah..."

"Diam, dan jangan membantah!" Suma Han membentak, "Kehidupan sebagai seorang perawan kang-ouw sudah banyak menyeretmu dalam kekacauan dan kesengsaraan. Aku akan mencoba mengobati Sai-cu Lo-mo, kemudian setelah dia sembuh, engkau bersama dia harus meninggalkan Pulau Es, dan kau hidup sebagai seorang puteri cucu Kaisar di kota raja. Tentang perjodohanmu, biar kuserahkan pada kebijaksanaan Kaisar."

"Ayah...! Ibu...!"

Dengan mengeraskan hatinya Nirahai berkata, "Ayahmu benar, Milana. Lihat ibumu. Betapa banyak penderitaan yang telah kualami setelah aku meninggalkan istana kakekmu Kaisar. Baru sekarang ibumu mendapatkan kebahagiaan bersama ayahmu dan bibimu. Engkau harus menjadi penggantiku, membantu kakekmu dan berjasa bagi negara dan kerajaan. Tentu saja sewaktu-waktu engkau boleh datang menjenguk orang tuamu di Pulau Es."

Tanpa bertanya, Milana maklum bahwa ikatan jodoh antara dia dan Bun Beng telah dibatalkan. Hal ini agak melegakan hatinya. Dia memang mencinta Bun Beng, akan tetapi setelah terjadi semua itu, bagaimana mungkin dia akan dapat memandang muka Bun Beng lagi? Apa lagi sebagai suaminya? Maka dia hanya dapat menangis dan mengangguk-angguk.

Setelah jenazah Kwi Hong dan Keng In dimakamkan di Pulau Es, Suma Han dan kedua orang isterinya berusaha mengobati kelumpuhan kedua kaki Sai-cu Lo-mo, tetapi ternyata tidak berhasil karena kakek itu sudah tua, sukar sekali menyambung tulang-tulangnya dan membetulkan urat-uratnya. Terpaksa Suma Han menghentikan usahanya mengobati dan sebagai gantinya dia menurunkan ilmu-ilmu tinggi yang sesuai untuk dikuasai seorang yang lumpuh kedua kakinya seperti Sai-cu Lo-mo!

Sampai hampir enam bulan kakek itu berlatih dengan tekun dan akhirnya dia meninggalkan Pulau Es bersama Milana yang menangis tersedu-sedu. Pedang Hok-mo-kiam diberikan kepada Milana oleh Pendekar Super Sakti, sedangkan Sepasang Pedang Iblis tetap berada di Pulau Es karena pendekar itu khawatir kalau-kalau sepasang pedang itu akan terjatuh ke tangan orang lain dan menimbulkan peristiwa-peristiwa hebat lagi.


T A M A T

SERI SELANJUTNYA KISAH SEPASANG RAJAWALI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.