CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 03
A-hui kemudian menjura ke arah Kam Hong. "Kepandaian Taihiap sungguh hebat, kami mengaku kalah. Kami adalah utusan-utusan dari Sam-thai-houw, kami dikenal sebagai Su-bi Mo-li (Empat Iblis Cantik). Agar kami dapat menyampaikan pelaporan kami kepada Sam-thai-houw (Ibu Suri ke Tiga), maka harap Taihiap sudi memberitahukan nama dan..."
"Kalian sudah melihat suling emas, nah, cukup dan pergilah!" kata Kam Hong dan sekali menggerakkan kedua tangannya, suling emas dan kipas sudah lenyap di balik bajunya.
“Suling Emas?” Kembali A-hui tergagap dan kemudian dia memberi isyarat, mengajak teman-temannya pergi dari situ setelah menjura ke arah Kam Hong.
“Enaknya pergi begitu saja!” Siauw Goat berteriak dan dia sudah mengepal salju dan dilontarkannya bola salju itu ke arah A-hui.
A-hui menoleh, kebetulan dia bertemu pandang mata dengan Kam Hong dan dia tidak berani mengelak.
“Plokkk!”
Bola salju mengenai mukanya sehingga berlepotan salju. Dia hanya mengusap salju itu dan membalikkan tubuh, pergi bersama teman-temannya dengan muka menunduk.
“Paman, kenapa engkau tidak membunuh mereka?” Siauw Goat menegur Kam Hong.
Tetapi Kam Hong tidak menjawab, melainkan balas bertanya, “Apa maksudmu dengan menyebut-nyebut Pendekar Siluman Kecil tadi?”
“Aku tidak mengenalnya! Dia itulah yang menyombong, mengatakan bahwa di dunia ini Pendekar Siluman Kecil merupakan jagoan nomor satu! Panas perutku mendengarnya maka aku menantang Pendekar Siluman Kecil untuk diadu denganmu!”
Kam Hong memandang kepada Sim Hong Bu, pemuda cilik yang bermata tajam dan bertubuh kekar kuat itu. Melihat sinar mata yang demikian tajam penuh kejujuran dan keterbukaan, diam-diam Kam Hong merasa kagum dan suka. “Saudara cilik, apakah engkau mengenal Pendekar Siluman Kecil?”
Sim Hong Bu mengangguk bangga. “Dia adalah bintang penolong kami semua di daerah perbatasan Ho-nam.”
Sim Tek yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar besar, lalu melangkah maju dan memberi hormat. “Harap Taihiap sudi memaafkan kami. Saya adalah Sim Tek dan ini keponakan saya Sim Hong Bu. Kalau dia memuji-muji Pendekar Siluman Kecil, bukan maksudnya untuk merendahkan Taihiap. Kalau tidak ada Taihiap datang menolong, tentu kami dan Nona cilik ini sudah mati di tangan mereka, oleh karena itu, terimalah hormat dan terima kasih kami, Taihiap.”
Kam Hong menggerakkan tangan seperti menangkis sesuatu, seakan-akan pernyataan terima kasih orang membuat dia merasa terpukul dan tidak enak sekali, “Sudahlah! Siauw Goat, mari kita memeriksa para piauwsu itu.”
Mendengar ini Siauw Goat teringat akan nasib para piauwsu, maka dia lalu mengangguk dan dengan cepat Kam Hong menyambar dan memondongnya karena Siauw Goat telah merasa lelah sekali dan sukar untuk menggerakkan tubuh saking lelah dan dingin dan juga laparnya. Dengan beberapa lompatan saja lenyaplah Kam Hong dari depan kedua orang pemburu itu yang memandang dengan melongo penuh kagum.
“Paman, dia itu lihai sekali. Entah siapa lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil,” kata pula Sim Hong Bu penuh kagum.
Pamannya menghela napas panjang. “Hong Bu, lain kali harap jangan engkau lancang menyebutkan nama Pendekar Siluman Kecil. Untung bahwa pendekar sastrawan itu agaknya mengenal baik Pendekar Siluman Kecil. Kalau kita bertemu dengan seorang di antara musuh-musuhnya, tentu kita akan mendapatkan kesusahan.”
Akan tetapi Hong Bu yang selalu merasa kagum kepada orang-orang yang berilmu tinggi seperti tidak mendengar teguran pamannya, dan dia berkata dengan pandang mata melamun, “Sayang kita tidak mengetahui nama dan julukannya.”
“Melihat senjata suling yang luar biasa itu, sepatutnya dia dikenal dengan julukan Suling Emas. Buktinya wanita-wanita lihai itu pun terkejut melihat suling emas dari tangannya, sungguh pun kipasnya itu juga luar biasa sekali. Sudahlah, mari kita pergi dari tempat berbahaya ini. Kita pergi ke sini untuk menyelidiki tentang Yeti, bukan untuk mencari permusuhan dengan siapa pun.”
Keduanya lalu pergi, melangkah lebar-lebar dan meninggalkan tapak kaki di atas tanah yang tertutup salju tebal. Sementara itu, Siauw Goat berdiri memandang dengan wajah pucat kepada mayat-mayat yang berserakan di tempat itu. Mayat-mayat para piauwsu. Akan tetapi dia dan Kam Hong tidak dapat menemukan mayat Lauw Sek sehingga mereka merasa heran sekali.
“Ke mana perginya Lauw-pek?” Siauw Goat bertanya dengan suara khawatir.
“Aneh sekali.... tidak mungkin dia dapat terhindar dari tangan maut iblis-iblis betina itu. Akan tetapi, jelas dia tidak terdapat di antara mayat-mayat ini. Biar kukubur mereka ini....“
Kam Hong lalu menggali lubang dan mengubur semua mayat itu dalam beberapa buah lubang yang dibuatnya di tempat itu. Setelah selesai, hari pun sudah menjelang senja dan dia mengajak Siauw Goat pergi dari situ.
“Ke mana kita hendak pergi, Paman Kam?”
“Hemmm, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tertentu dan engkau.... ke manakah rombongan piauwsu itu hendak membawamu?”
“Menurut kata Lauw-pek, aku akan diantarkannya ke puncak Ginung Kongmaa La....”
“Hemm, ada keperluan apa pergi ke gunung itu?”
Gadis cilik itu memandang tajam, kemudian menarik napas panjang. “Lauw-pek tadinya memesan kepadaku agar tidak membicarakan hal ini kepada siapa pun juga, akan tetapi aku percaya kepadamu, Paman. Aku hendak diajaknya ke sana untuk mencari orang tuaku, sesuai dengan pesanan mendiang Kongkong kepada Lauw-piauwsu.”
Diam-diam Kam Hong amat terkejut. Sungguh mengherankan mendengar bahwa orang tua gadis cilik ini berada di tempat seperti itu, di sebuah gunung yang amat sunyi dan berbahaya! Dan sikap mendiang Kakek Kun sungguh penuh rahasia.
“Siapakah nama orang tuamu, Siauw Goat?”
Kembali sepasang mata yang bening itu menatap tajam, seperti orang yang meragu, tetapi akhirnya dia menjawab juga. "Engkau sudah menceritakan nama dan rahasiamu kepadaku, Paman, biarlah aku menceritakan rahasiaku juga. Akan tetapi yang kuketahui hanya sedikit. Agaknya Lauw-piauwsu lebih tahu dari pada aku karena dialah yang menerima pesanan terakhir dari mendiang Kakekku. Semenjak aku dapat ingat, aku sudah hidup bersama Kongkong, aku tidak ingat lagi bagaimana rupanya Ayah Bundaku. Kongkong dan aku hidup di sebuah dusun kecil di Pegunungan Kao-li-kung-san sebagai petani. Kongkong melatih ilmu baca tulis dan silat kepadaku. Pada suatu hari, datang dua orang kakek aneh yang kemudian berkelahi dengan kongkong. Kongkong lalu berhasil mengusir mereka, akan tetapi ternyata Kongkong menderita luka dalam yang hebat. Dengan tergesa-gesa Kongkong pada hari itu juga mengajakku pergi, katanya hendak mencari orang tuaku di Gunung Kongmaa La di daerah Himalaya Aku tahu bahwa dia masih menderita luka hebat dan akhirnya..." Gadis cilik itu berhenti, menunduk dan mengerutkan alisnya. Dua butir air mata berlinang turun, akan tetapi dia tidak terisak atau menangis sama sekali.
Kam Hong juga mengerti, maka dia tidak mau bertanya lagi tentang kakek itu. “Jangan khawatir, Siauw Goat. Karena engkau sekarang sebatang kara, juga aku melakukan perjalanan sendirian saja, biarlah aku yang menggantikan Lauw-piauwsu mengantarmu sampai di Kongmaa La mencari orang tuamu. Akan tetapi siapakah nama orang tuamu?”
Gadis cilik itu menggeleng kepala. “Kongkong tidak memberitahukan kepadaku. Kalau aku mendesaknya, dia hanya bilang bahwa kalau aku sudah bertemu dengan mereka aku akan mengerti dan mendengar semua itu. Aku hanya tahu bahwa Ayahku seorang she Bu....” Gadis cilik itu memejamkan mata dan nampak berduka karena betapa pun juga hatinya merasa perih bahwa dia tak mengenal orang tuanya, baik nama lengkapnya mau pun wajahnya.
“Hemm, kalau begitu engkau she Bu?”
“Ya, namaku sebenarnya adalah Bu Ci Sian! Aku disebut Goat oleh Kongkong hanya untuk menggunakan nama sebutan palsu saja. Kata Kongkong wajahku mengingatkan dia akan bulan purnama, maka aku disebutnya Goat (Bulan)....“
“Ah, Kongkong-mu sungguh seorang yang amat aneh, dan engkau.... memang wajahmu seperti bulan purnama.... akan tetapi Kakekmu menyebut dirinya Kakek Kun, siapakah namanya yang lengkap?”
“Namanya.... biarlah kulanggar pantangannya karena dia sudah meninggal adalah Bu Thai Kun....”
“Ahhh! Kau maksudkan Kiu-bwe Sin-eng (Garuda Sakti Ekor Sembilan) Bu Thai Kun?” Kam Hong bertanya dengan kaget karena dia pernah mendengar nama besar ini yang pernah menggemparkan dunia selatan.
“Hemm, kau mengenal Kakekku!” Siauw Goat atau lebih tepat mulai sekarang kita sebut nama aslinya saja, Ci Sian, berseru girang dan bangga.
“Hanya mengenal nama julukannya saja, pantas dia lihai.”
“Ayahku lebih lihai! Begitu kata mendiang Kongkong. Biar pun dia tidak memberitahukan kepadaku, akan tetapi melihat betapa Kongkong terluka oleh dua orang kakek aneh itu lalu mengajakku mencari Ayah Ibu, tentu agaknya Kongkong hendak minta orang tuaku turun tangan menghajar dua orang kakek aneh itu.”
Kam Hong teringat bahwa kakek itu pernah mengatakan kepadanya bahwa dia hendak pergi mencari musuhnya! Dia tidak dapat menduga siapa gerangan ayah dari anak ini, dan karena Ci Sian sendiri pun tidak tahu, maka dia bertanya apakah Ci Sian mengenal nama dua orang kakek aneh yang melukai kongkong-nya.
“Namanya? Aku tidak diberitahu oleh Kongkong, akan tetapi ketika Kongkong bertengkar dengan mereka, kudengar Kongkong menyebut mereka itu Sam-ok dan Ngo-ok.”
Bukan main kagetnya hati Kam Hong mendengar ini. Tentu saja dia tahu persis siapa itu Sam-ok dan Ngo-ok, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akhirat), lima orang yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat yang ilmu kepandaiannya amat tinggi!
Kini dia dapat menduga bahwa tentu dua orang kakek jahat itu sengaja melukai kakek gadis cilik ini dan setelah dia merasa yakin bahwa Kiu-bwe Sin-eng telah menderita luka parah, mereka sengaja meninggalkannya agar kelak kakek itu pergi memanggil putera dan mantunya yang agaknya bersembunyi di Pegunungan Himalaya itu! Ahhh, dia mulai dapat mengerti.
Karena dia sendiri sudah melihat tingkat kepandaian Kiu-bwe Sin-eng dan agaknya kalau dibandingkan dengan Sam-ok dan Ngo-ok, apalagi kalau harus dikeroyok dua, betapa pun lihainya, Bu Thai Kun masih belum dapat menandingi mereka! Kalau dua orang datuk sesat itu menghendaki, tentu mereka dapat membunuhnya, tidak perlu pergi seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, yaitu terusir oleh kakeknya biar pun kakeknya menderita luka parah. Memang sudah pasti ada rahasia terselubung di balik semua ini yang tidak diketahui oleh Ci Sian. Namun mendengar bahwa keluarga anak ini dimusuhi oleh Sam-ok dan Ngo-ok saja sudah cukup bagi Kam Hong untuk berpihak kepadanya dan melindunginya.
“Baiklah, Siauw.... ehh, Ci Sian. Setelah kita saling mengenal keadaan masing-masing, marilah engkau kuantar mencari orang tuamu, aku juga ingin mencari jejak isteriku, kalau-kalau dapat kutemukan di daerah ini. Sekarang malam hampir tiba, kita sebaiknya beristirahat dan makan. Engkau nampak lelah dan lapar.”
Ci Sian menurut saja. Mereka lalu menemukan sebuah goa di mana mereka melewatkan malam dan Ci Sian bersama Kam Hong makan roti kering yang mereka kumpulkan dari bekal para piauwsu yang banyak terdapat di tempat perkelahian itu dan yang mereka bawa sekadarnya untuk bekal.
Sudah tiga hari tiga malam Kam Hong dan Ci Sian melakukan perjalanan yang amat sukar, menempuh bukit-bukit salju dan jurang-jurang yang amat curam. Malam itu pun mereka telah tiba di dekat Kongmaa La, di Lembah Arun yang luas.
Mereka melewatkan malam di dataran tinggi dan malam demikian indahnya sehingga Kam Hong terpesona, meninggalkan goa di mana dia telah membuat api unggun, keluar dan duduk di dataran tinggi sambil meniup sulingnya. Suara suling emas itu menembus kesunyian malam, melengking naik turun akan tetapi sama sekali tidak mengganggu keheningan. Bahkan sebaliknya, suara suling beralun naik turun itu bahkan membuat keheningan menjadi semakin syahdu, semakin terasa keheningan itu, semakin indah dan penuh rahasia.
Setelah berhenti menyuling, Kam Hong menoleh. Dia sudah mendengar langkah kaki ringan dari Ci Sian. Gadis cilik ini sudah semakin akrab dengannya. Selama dalam perjalanan, Kam Hong merasakan benar kehadiran gadis cilik itu dan mengertilah dia mengapa Kakek Bu Thai Kun menyebutnya Bulan! Memang dara cilik seperti bulan purnama yang selain cantik jelita juga mendatangkan kegembiraan dalam hati siapa pun karena dia lincah, gembira dan berseri-seri.
“Paman Kam, suara sulingmu indah sekali....” Ci Sian berkata sambil duduk di dekat Kam Hong, di atas rumput.
“Ah, hanya untuk iseng saja, Ci Sian.” kata Kam Hong sederhana, akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa pujian yang keluar dari mulut gadis cilik ini dapat membuat hatinya terasa begitu enak dan nyaman!
“Mainkan lagi, Paman....“ Ci Sian meminta dan gadis itu duduknya mendekat, bahkan bersandar ke bahu Kam Hong.
Memang sudah biasa dia bersikap kadang-kadang manja seperti itu, dan tidak jarang pula Kam Hong menggandengnya kalau melewati tempat sukar, bahkan memondongnya kalau harus berloncatan lewat jurang-jurang yang curam. Oleh karena itu, gadis cilik ini seperti menganggap Kam Hong sebagai pamannya sendiri, dan dia tidak ragu-ragu untuk merangkul atau memegang lengan pemuda itu.
“Baik, kumainkan lagu yang paling kusukai, dengarlah baik-baik,” kata Kam Hong dan pemuda itu lalu meniup lagi sulingnya.
Ci Sian lalu merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kam Hong yang duduk bersila. Suasana kembali menjadi penuh pesona yang mukjijat dalam keheningan yang terisi suara suling yang merdu itu. Setelah Kam Hong akhirnya menghentikan tiupan sulingnya, seolah-olah suara suling itu masih bergema dan mengalun di udara.
“Paman, engkau pantas benar berjuluk Suling Emas, tidak hanya sulingmu merupakan senjata ampuh, akan tetapi juga dapat mengeluarkan bunyi yang demikian indahnya.”
Kam Hong tidak menjawab, jantungnya berdebar tidak karuan, seluruh tubuhnya seperti kemasukan kilat yang membuatnya gemetar. Terjadi perang hebat di dalam batinnya, terdapat dorongan aneh yang membuat dia ingin merangkul gadis cilik itu, ingin memeluk dan mendekapnya, akan tetapi kesadarannya melawan dan menolak.
“Paman.... kau.... kau kenapa....?” Ci Sian bangkit duduk dan memandang wajah yang matanya dipejamkan itu. Di bawah sinar bulan remang-remang wajah itu nampak putih pucat.
Kam Hong cepat sadar kembali, lalu memegang tangan Ci Sian dan menariknya bangkit berdiri. “Tidak apa-apa, hayo kita mengaso, kembali ke goa.”
Malam itu Kam Hong gelisah dan tidak dapat memejamkan matanya. Alisnya berkerut dan berkali-kali bibirnya bergerak memanggil nama yang selalu menjadi kenangannya, “Hwi-moi.... Hwi-moi....”
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka kini mulai mendaki lereng Kongmaa La. Salju turun dengan cukup deras, membuat tanah penuh dengan salju tebal sehingga langkah-langkah kaki mereka amat berat dan meninggalkan tapak yang dalam. Tiba-tiba Kam Hong memegang tangan Ci Sian dan berhenti. Gadis cilik itu memandang dan bergidik. Di depan mereka terdapat mayat seorang laki-laki dalam keadaan mengerikan. Kaki tangannya terpisah, dan tubuh itu seperti dicabik-cabik. Darah berceceran di atas salju yang putih.
“Bukankah itu korban Yeti lagi, Paman....?” Ci Sian bertanya dengan suara lirih dan agak gemetar.
Tiba-tiba, seperti menjawab pertanyaan itu, dari atas sana, dari puncak yang bersalju itu terdengar lengkingan yang dahsyat sekali. Lengkingan itu seperti menggetarkan seluruh lembah. Kam Hong menarik tangan Ci Sian untuk melanjutkan perjalanan. Gadis cilik itu merasa semakin dingin karena kengerian. Dua tangannya yang sudah memakai sarung tangan tebal itu menutupkan kain bulu tebal untuk melindungi mukanya. Jalan semakin sukar dan tiba-tiba Kam Hong memondongnya. Pendekar ini lalu berloncatan ke depan, mendaki gunung itu dengan cepat sekali.
Setelah melewati sebuah puncak kecil dan jalan agak menurun, kembali mereka berhenti dan kini Ci Sian memeluk pinggang Kam Hong, menggigil ketakutan. Apa yang mereka lihat memang amat mengerikan. Dataran puncak yang putih bersih itu dibasahi oleh genangan darah merah yang berceceran dari belasan mayat-mayat yang sudah tidak karuan lagi macamnya. Bukan hanya bagian tubuh yang putus-putus dan robek-robek, juga usus-usus berhamburan keluar, seperti habis dikoyak-koyak!
Kam Hong melihat di antara hujan salju itu sesosok bayangan berkelebatan di sebelah depan. Dia lalu menggandeng tangan Ci Sian dan melangkah maju terus dengan hati hati. Angin semakin kencang dan salju beterbangan dan berhamburan memukul muka mereka, membuat mereka agak sukar bernapas.
Tiba-tiba terdengar jeritan yang menyayat hati disertai geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang mereka injak. Di sebelah depan nampak belasan orang berlari-lari turun dari puncak di depan. Belasan orang itu tentu orang-orang pandai, hal ini dapat dilihat dari gerakan mereka yang lincah dan ringan, akan tetapi ketika berpapasan dengan Kam Hong, jelas kelihatan mereka itu sedang dilanda ketakutan yang amat hebat. Mereka itu lari tunggang langgang dan agaknya kepanikan membuat mereka sama sekali tidak peduli atau mungkin juga tidak melihat kepada Kam Hong dan Ci Sian. Ada di antara mereka yang luka-luka dan pakaian mereka itu merah oleh darah mereka.
Kam Hong bersikap waspada. Dengan hati-hati dia menggandeng tangan Ci Sian, terus melangkah maju di antara pohon-pohon yang sudah tidak berdaun lagi, yang sudah menjadi pohon putih karena tertutup salju. Tiba-tiba terdengar lengkingan dahsyat seperti tadi dan ada angin menyambar, salju berhamburan dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seekor makhluk yang amat menakutkan, Ci Sian menjerit dan gadis cilik yang biasanya tidak pernah mengenal takut itu sekali ini terhuyung ke belakang dan akhirnya dia menumbuk sebatang pohon, setengah lumpuh dia memeluk pohon itu sambil menengok dan memandang kepada makhluk itu dengan muka pucat ketakutan.
Namun Kam Hong menghadapi makhluk itu dengan sikap tenang dan penuh perhatian. Dia melihat bahwa makhluk itu tinggi besar, tingginya tentu dua meter lebih, kedua lengan tangannya yang tertutup bulu itu besar-besar dan nampak amat kuatnya. Bulu bulu yang menutupi tubuh itu pendek kasar, berwarna merah coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Rambut di kedua pundak paling tebal dan panjang.
Mukanya tidak berambut seperti muka monyet atau muka beruang atau juga mirip muka manusia, hidungnya pesek, mulutnya lebar dengan gigi besar-besar. Kepalanya seperti kerucut agak meruncing ke atas. Kedua lengan yang amat kuat dan besar itu panjang sampai ke lutut. Dan makhluk ini tidak berekor. Anehnya, pada paha kanannya nampak sebatang pedang yang menancap dan menembus, pedang yang berkilauan.
Makhluk itu juga memandang Kam Hong dengan sepasang matanya yang mencorong. Mulutnya bergerak sedikit dan dari kerongkongannya keluarlah suara geraman yang dahsyat. Kedua tangannya bergerak-gerak, jari-jari tangan yang besar dengan kuku panjang kuat dan agak melengkung seperti kuku harimau itu juga bergerak-gerak seperti hendak mencengkeram.
Kam Hong mengukur dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa makhluk ini tentu memiliki kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Buktinya banyak sudah orang yang dibunuhnya dengan ganas, dicabik-cabik, dan bahkan orang-orang yang melarikan diri tadi dia lihat rata-rata memiliki ginkang yang cukup tinggi, namun mereka itu lari ketakutan, tanda bahwa mereka tidak kuat menanggulangi amukan makhluk ini.
Makhluk ini ganas sekali, lebih baik mendahuluinya dari pada harus mempertahankan diri diserang oleh makhluk buas ini. Dia tahu bahwa serangan-serangan seorang ahli silat adalah teratur dan karenanya dapat dihadapinya dengan baik karena dia memiliki dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi serangan makhluk buas seperti ini tentu ganas dan tidak teratur, mengandalkan kekuatan yang luar biasa dan naluri yang amat peka. Aku harus mendahuluinya, pikirnya dan tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dengan cepatnya. Baju bulunya yang lebar itu berkibar dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada makhluk itu dengan pengerahan tenaganya.
“Dukkk!”
Pukulan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh makhluk itu tergetar dan terdorong ke belakang, akan tetapi anehnya, makhluk itu tidak roboh terjengkang, sebaliknya Kam Hong merasa betapa pukulannya itu seperti bertemu dengan gunung baja yang amat kuat!
Tiba-tiba makhluk itu mengeluarkan gerengan dahsyat dan secepat kilat tangan kirinya menyambar ke arah muka Kam Hong! Pemuda ini sejenak tadi tertegun, akan tetapi tidak kehilangan kecepatannya untuk menarik tubuh ke belakang sehingga tamparan kuku kuku tajam itu hanya mengenai angin belaka. Diam-diam Kam Hong merasa terheran heran.
Kalau makhluk ini merupakan seekor binatang buas, tentu hanya memiliki tenaga otot kasar saja. Akan tetapi bagaimana mungkin dapat menahan pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan sinkang amat kuat yang akan membobolkan semua pertahanan tenaga kasar? Hanya lawan yang memiliki tenaga sinkang kuat saja yang akan mampu bertahan. Apakah makhluk ini memiliki tenaga sakti pula?
Akan tetapi lawannya tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk memikirkan hal aneh itu karena kini dengan gerengan-gerengan buas, agaknya marah, makhluk itu sudah menerjang lagi. Dan kembali Kam Hong yang berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan kuku-kuku tajam itu terkejut dan heran. Makhluk itu mampu bergerak dengan luar biasa ringannya!
Ini hanya gerakan dari ilmu ginkang yang sudah masak, pikirnya. Mungkinkah makhluk yang seperti binatang ini selain memiliki sinkang yang kuat juga memiliki ilmu meringankan diri? Bergidik rasa hati Kam Hong saking ngerinya. Apakah dia bertemu siluman? Ataukah semacam makhluk sakti seperti Kauw Cee Thian atau Sun Go Kong itu raja kera di dalam dongeng See-yu? Jangan-jangan makhluk ini, seperti Sun Go Kong, dapat menghilang pula, pikirnya ngeri.
Akan tetapi, hampir saja dadanya kena dicengkeram saat Kam Hong dalam lamunannya menjadi agak kurang cepat mengelak.
“Brettt!” Sedikit bajunya robek oleh cengkeraman itu!
Cepat Kam Hong mencabut suling emasnya! Dia tidak mau mempergunakan kipasnya. Makhluk itu terlalu kuat untuk dihadapi dengan kipasnya, dan dia khawatir selain tidak ada gunanya juga kipasnya akan rusak. Maka kini dia membalas dengan totokan-totokan yang dilakukan dengan sulingnya.
Akan tetapi makhluk itu pandai sekali mengelak. Nalurinya demikian tajamnya sehingga mengatasi semua kesigapan gerak seorang ahli silat mana pun. Setiap totokan suling itu dapat dielakkan, dan kalau sekali dua kali suling itu mengenai sasaran, maka kenanya itu meleset karena gerakan makhluk itu terlalu cepat, dan agaknya makhluk itu memiliki kekebalan luar biasa sehingga tusukan suling yang dapat menghancurkan batu karang itu baginya seperti tubuh yang dipijit tangan dengan jari halus saja! Sedikit pun tidak terasa agaknya!
Kam Hong merasa penasaran. Dikerahkan seluruh tenaganya, dan dia mengeluarkan gerakan-gerakan yang terhebat dari ilmu-ilmu simpanannya. Bahkan ilmu-ilmu yang telah diwarisinya dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suling Emas, dimainkannya untuk menundukkan makhluk ini. Akan tetapi, makhluk itu benar-benar selain kebal kulitnya, juga memiliki tenaga dahsyat dan kecepatan yang membingungkan pendekar ini. Kaki makhluk itu sudah tertancap pedang, namun gerakan-gerakannya masih secepat itu.
Suling di tangan Kam Hong sampai mengeluarkan suara seperti ditiup saja ketika dia mainkan dengan cepatnya, dan makhluk itu agaknya menjadi semakin marah.
“Singgg....!”
Suling Kam Hong bergerak meluncur ke arah mata makhluk itu. Makhluk yang disebut Yeti itu menundukkan kepala sehingga meluncur di atas kepalanya.
“Wuuuttt.... dessss!”
Tangan kiri Kam Hong dengan miring dan amat kerasnya memenggal ke arah leher. Akan tetapi tangan itu meleset dan mengenai pundak, dan makhluk itu hanya bergoyang sedikit saja! Bahkan tangan kanannya meraih ke depan dan pada waktu Kam Hong menangkisnya dengan suling, dia terjengkang karena dorongan tenaga yang amat kuat! Kakinya menginjak salju yang longsor dan jatuhlah pemuda itu terjengkang di atas salju.
Sambil menggereng makhluk itu menubruk dengan seluruh bobot tubuhnya yang berat, kedua tangan dan kedua kakinya ditekuk mencengkeram, agaknya dia hendak langsung mencengkeram dan merobek-robek tubuh lawan. Tetapi Kam Hong telah menggulingkan tubuhnya cepat sekali ke kiri dan sulingnya bergerak ke depan, menusuk mata. Makhluk itu luput menubruk, akan tetapi masih dapat menggunakan lengannya yang panjang menyampok suling. Kam Hong meloncat dengan cepat sekali sebelum makhluk itu sempat bangun dan sulingnya diayun sekuat tenaga.
“Takkkk!!” Suling itu menghantam kepala akan tetapi.... ternyata kepala itu pun terlindung kekebalan dan suling itu membalik seperti mengenai kepala baja, terpental dan Kam Hong merasakan telapak tangannya panas.
Akan tetapi senjata suling emas itu adalah sebuah senjata pusaka yang ampuh, maka walau pun di luarnya tidak nampak bahwa pukulan itu mendatangkan akibat yang hebat bagi Yeti, akan tetapi ternyata makhluk itu terhuyung juga ke belakang. Hal ini agaknya membuat Yeti menjadi marah dan setelah dia dapat mengatur lagi keseimbangan tubuhnya, dia memandang Kam Hong dengan mata merah, kemudian dari mulutnya terdengar teriakan yang menggetarkan jantung, kemudian dia pun bergerak maju lebih cepat dan lebih dahsyat lagi dari pada tadi!
Kam Hong menjadi semakin repot. Bukan hanya kecepatan dan kekuatan makhluk itu yang membuatnya kewalahan, akan tetapi juga hujan salju yang mendatangkan rasa dingin dan menghalangi pandangan matanya dan juga pernapasannya. Akan tetapi sebaliknya, makhluk itu nampaknya sama sekali tidak terganggu oleh salju, bahkan makin deras salju turun, membuat dia agaknya menjadi semakin lincah!
Terjangan dahsyat dari Yeti itu kini bukan merupakan cengkeraman seperti tadi akan tetapi merupakan hantaman dengan kedua tangannya yang besar dan lengan yang panjang itu menghantam seperti tongkat besar, menyambar dari kanan kiri. Bukan seperti gerakan silat akan tetapi karena didorong oleh tenaga yang amat besar maka berbahaya bukan main!
Kam Hong meloncat ke belakang, akan tetapi Yeti menubruk lebih cepat lagi dan tangan kanannya menyambar dari sebelah kiri Kam Hong, sedangkan tangan kiri makhluk itu mencengkeram ke arah perut! Kam Hong tidak sempat mengelak lagi, maka dia lalu menangkis dengan sulingnya ke arah tangan kiri yang mencengkeram, sedangkan hantaman tangan kanan Yeti itu ditangkisnya dengan lengan kirinya yang diangkat ke atas.
“Desss! Dukkk!”
Akibat dari adu tenaga ini, tubuh Yeti terhuyung kembali ke belakang akan tetapi tubuh Kam Hong terpental dan terguling-guling! Ini saja sudah menjadi bukti bahwa Kam Hong benar-benar kalah kuat dalam hal tenaga. Celakanya, pada saat itu, kembali kaki Kam Hong menginjak tumpukan salju yang lunak sehingga dia tergelincir dan bergulingan jatuh dari lereng salju.
Yeti itu menggeram dan meloncat begitu saja dari atas untuk mengejar Kam Hong yang masih bergulingan! Melihat ini, Ci Sian menjerit penuh kengerian dan dia pun menjadi nekat, berlari dan meloncat turun pula untuk mengejar Kam Hong dan kalau perlu membela pemuda itu! Akan tetapi, karena tempat itu tinggi sekali, maka dia tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan gadis cilik ini pun jatuh dan terguling-guling di sepanjang lereng salju, seperti Kam Hong!
Yeti itu telah tiba lebih dulu dan cepat sekali dia menubruk dan tahu-tahu dia telah menggunakan kedua tangannya yang kuat untuk memegang kedua lengan Kam Hong! Pendekar ini merasa betapa pergelangan tangannya seperti dijepit oleh baja-baja yang amat kuat, dan betapa pun dia berusaha untuk melepaskan diri, namun sia-sia belaka. Sulingnya terlepas dan dia sudah hampir putus harapan. Dengan tenaganya yang dahsyat tentu Yeti itu akan mencabik-cabik tubuhnya pula. Kekalahan dan putus asa membuat Kam Hong tidak melawan lagi, hanya dia mengerahkan tenaga untuk menahan jika makhluk itu hendak menarik putus kedua lengannya.
Tiba-tiba pada saat yang amat genting dan berbahaya bagi nyawa Kam Hong itu, angin bertiup kencang sekali dan terdengarlah suara bergemuruh dari atas. Tanah bersalju yang berada di bawah kaki Kam Hong itu tergetar dan bergoyang-goyang. Yeti dan Kam Hong menoleh dan melihat ke arah suara gemuruh itu. Mendadak Yeti mengeluarkan suara melengking dahsyat dan dia melemparkan Kam Hong ke samping, lalu dengan sikap amat ketakutan dia meloncat ke kanan, terus berloncatan dengan kecepatan seperti terbang meninggalkan tempat itu!
Kam Hong terpelanting, akan tetapi dia tidak mempedulikan hal ini karena dia terus memandang ke arah puncak gunung penuh salju itu. Suara makin bergemuruh dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa sebagian dari puncak itu longsor dan kini salju menimpa turun seperti air bah, diikuti batu-batu es yang amat besar menggelundung ke bawah, ke arah tempat itu!
“Ci Sian....!” teriaknya dan dia melihat gadis cilik itu merangkak-rangkak karena Ci Sian juga baru saja dapat mengatasi kepeningannya karena bergulingan dari atas tadi.
Dengan jantung berdebar tegang dan tubuh agak gemetar karena cemas Kam Hong meloncat, menghampiri Ci Sian, menyambar tubuh gadis cilik itu, dipondongnya dan dia pun cepat meloncat ke kanan karena untuk lari sudah kekurangan waktu. Kedua kakinya berhasil mencapai lereng bukit, akan tetapi ketika kedua kakinya menginjak salju, yang diinjaknya runtuh ke bawah dan ternyata bukit itu pun ikut bergerak longsor terbawa dari atas!
Kam Hong tak dapat menguasai dirinya. Dengan Ci Sian masih dipondongnya dia melayang turun bersama salju dan potongan-potongan es, merasa tubuhnya terpukul dari sana sini, dan dia masih mencoba untuk melindungi Ci Sian yang menjerit-jerit ketakutan itu dengan kedua lengan dan badannya. Mereka terbanting dan Kam Hong tidak ingat apa-apa lagi…..
Runtuhnya sebagian tumpukan es dan salju di puncak gunung itu selain mendatangkan suara gemuruh yang hiruk-pikuk seolah-olah dunia hendak kiamat, juga menimbulkan debu salju yang mengebul sampai tinggi dan turun seperti embun. Banyak batu-batu dan pohon-pohon gundul yang tertutup salju dilanda arus salju dan batu-batu es ke bawah kemudian memasuki dan memenuhi jurang-jurang yang curam di bawah kaki gunung.
Mati hidup manusia merupakan hal yang wajar. Dan seperti segala sesuatu di alam maya pada ini, di dalam kewajaran terkandung rahasia-rahasia kegaiban yang amat luar biasa dan mentakjubkan. Kegaiban yang sama sekali tak dapat terselami oleh pikiran.
Segala sesuatu yang terjadi di dalam alam raya ini, dari beraraknya awan, berputaran dunia, tumbuhnya pohon-pohon, kehidupan segala makhluk, semua adalah berjalan dengan wajar dan oleh karenanya mengandung ketertiban yang amat indah. Di dalam segala kewajaran yang penuh kegaiban itu termasuk juga kehidupan dan kematian. Wajar, karenanya gaib.
Menurut jalan pikiran, orang yang sudah terlanda berton-ton salju dan es yang runtuh ke bawah, seperti yang dialami oleh Kam Hong dan Ci Sian, tentu tidak mungkin dapat terluput dari kematian. Namun kenyataannya tidaklah demikian! Secara ‘kebetulan’ mereka itu berada di lereng, bukan di dasar kaki gunung, sehingga salju yang longsor itu hanya lewat saja di atas mereka. Dan ‘kebetulan’ pula Kam Hong dan Ci Sian lebih dulu teruruk oleh bukit kecil yang runtuh sehingga mereka seperti terlindung dan biar pun keduanya pingsan karena dilalui oleh longsoran salju dan balok-balok es sebesar itu, namun mereka tidak sampai tewas. Lebih ‘kebetulan’ lagi bahwa kepala mereka tidak sampai terpendam salju, karena kalau hal ini terjadi, dalam keadaan pingsan itu tentu mereka takkan mampu bernapas dan akan tewas juga.
Lama setelah salju yang longsor itu sudah lewat dan keadaan menjadi sunyi kembali, angin yang tadi bertiup kencang itu agaknya sudah lewat dan tidak ada sedikit pun angin bergerak, Kam Hong siuman dari pingsannya. Dia mendapatkan dirinya rebah miring, dari pinggang ke bawah terpendam salju. Ada bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau bunting di sekitar tempat itu, dan dia merasa heran mengapa dia masih dapat hidup, padahal tertimpa satu saja di antara batu-batu es besar itu, tentu tubuhnya akan remuk.
Kepalanya masih pening dan ketika dia membuka matanya, dia melihat sekelilingnya seperti berputaran. Tetapi dia dapat melihat Ci Sian menggeletak di dekatnya, telentang dan juga dalam keadaan pingsan. Muka yang manis itu kini kelihatan pucat, matanya terpejam dan kulit antara kedua alisnya masih berkerut tanda bahwa dara itu mengalami ketakutan hebat.
Kam Hong melihat pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya luka-luka ringan, akan tetapi yang jelas, dia masih hidup! Hawanya dingin sekali. Mereka berdua terbujur di antara batu-batu es yang bening dan berkilauan amat aneh dan indahnya, memantulkan cahaya matahari tertutup halimun. Kalau dia membayangkan betapa dia telah hampir dikoyak koyak Yeti, kemudian dijatuhi puncak yang longsor seperti itu dan kini masih hidup, juga Ci Sian masih hidup, sungguh hampir tak dapat dia mempercayainya.
Sejenak seluruh perasaannya membubung ke atas atau ke mana saja di mana Tuhan berada dan batinnya membisikkan puji syukur yang mendalam. Kemudian ia membuka matanya dan menoleh ke arah Ci Sian. Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan anak itu telah mati. Pikiran ini mendatangkan tenaga di tubuhnya yang terasa lemah dan dia menarik kedua kakinya dari urukan salju. Akan tetapi ketika dia bangkit, dia berteriak kesakitan dan terduduk kembali, tangannya memegangi paha kirinya. Dia memandang dan melihat celana kirinya robek dan penuh darah. Ternyata di dekat pergelangan kaki kirinya telah patah tulangnya!
Agaknya teriakan kesakitan dari Kam Hong tadi membantu Ci Sian memperoleh kembali kesadarannya. Gadis cilik ini membuka mata dan dia mengeluh kagum melihat betapa dunia di sekelilingnya sedemikian indahnya. Seperti dalam mimpi! Dia terpesona dan terheran-heran, mengucek kedua matanya dengan punggung tangannya di mana sarung tangannya robek. Pandang matanya silau oleh kilatan balok-balok es di sekitar tempat itu. Sudah matikah aku? Inikah alam baka? Demikian hatinya berbisik karena dia teringat akan dongeng tentang alam baka. Memang melihat sekitarnya dikelilingi benda-benda yang berkilauan itu dia merasa seperti berada di alam lain.
Akan tetapi suara keluhan membuat dia menengok dan barulah dia sadar ketika melihat Kam Hong duduk sambil memegangi kaki kirinya, wajahnya menyeringai kesakitan. Dia merangkak bangkit dan ternyata gadis cilik ini tidak terluka apa-apa, kecuali pakaiannya yang robek di sana-sini dan kulit tubuhnya ada yang lecet-lecet sedikit. Dia terhuyung menghampiri Kam Hong dan.... tiba-tiba dia menjerit, mukanya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar.
Kam Hong terkejut, sedetik lupa akan rasa nyeri di kakinya. “Eh, ada apakah, Ci Sian?” tanyanya khawatir.
Gadis cilik itu tak menjawab, mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya telunjuk kanannya yang menuding, telunjuk yang menggigil. Kam Hong menoleh ke arah kirinya dan baru sekarang dia memandang ke kiri karena tadi Ci Sian berada di sebelah kanannya sehingga semua perhatiannya tertuju ke sebelah kanannya. Ketika dia menoleh dan melihat apa yang ditunjuk oleh gadis cilik itu, hampir saja dia pun menjerit seperti Ci Sian. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
Tidak jauh di sebelah kirinya, agak ke belakangnya di mana terdapat sebuah batu es, sebongkah balok es yang besarnya seperti gajah, ternyata di sebelah dalam bongkahan batu es yang amat bening ini terdapat sesosok tubuh manusia yang masih utuh, lengkap dengan pakaiannya, nampaknya seperti sedang tidur saja di dalam bongkahan es itu, terbungkus es bening yang seolah-olah menjadi petinya!
“Jangan takut, dia.... dia.... hanya sepotong jenazah....,“ kata Kam Hong, namun biar pun mulutnya menghibur seperti itu, suaranya sendiri gemetar, setengah karena rasa nyeri di kakinya, setengah lagi karena memang dia sendiri merasa seram!
Ci Sian menghampiri peti es itu. Dengan terbelalak dia memperhatikan tubuh manusia dalam es itu. Sungguh mengerikan. Wajah laki-laki setengah tua itu seperti masih hidup saja. Matanya setengah terbuka, bola matanya masih berkilau karena dilapisi es yang berkilauan. Mukanya masih agak kemerahan. Muka yang tampan dan gagah, akan tetapi mulutnya itu ditarik seperti orang yang merasa berduka. Pakaiannya aneh, dan Ci Sian teringat akan gambar-gambar manusia jaman dahulu. Pakaian yang amat kuno sekali, mungkin sudah ribuan tahun usianya! Akan tetapi pakaian itu, seperti juga tubuh itu, masih utuh dan sama sekali tidak kelihatan lapuk atau rusak.
Yang menarik hati Ci Sian adalah pada saat dia melihat kedua tangan mayat itu yang dirangkap di depan dada dan kedua tangan itu dengan jari-jari tangan yang kelihatannya memegang dengan hati-hati dan erat-erat, memegang sebuah boneka kecil, yang kurang lebih dua puluh senti panjangnya. Boneka itu telanjang, dan di tubuh boneka yang putih itu nampak guratan-guratan dan huruf-huruf kecil yang terukir secara aneh.
Karena tertariknya dan keadaan mayat dalam es ini, Ci Sian seperti melupakan Kam Hong. Baru setelah dia mendengar pemuda itu mengeluh, dia menengok dan melihat Kam Hong merobek celana kirinya dan membuka kaki yang berdarah itu, dia terkejut dan cepat menghampiri.
“Ehh, kakimu kenapa, Paman?” tanyanya sambil berlutut dan memandang khawatir.
“Agaknya tulangnya patah, Ci Sian. Biar kubersihkan darahnya.... auhhh....“ Pemuda itu menggigit bibir menahan nyeri.
“Biar aku yang membersihkannya, Paman. Engkau canggung benar dan dua tanganmu takkan mencapai kakimu yang dilonjorkan.”
Ci Sian lalu membersihkan luka itu, menggunakan sapu tangannya. Darahnya sudah membeku, dan dengan hati ngeri dia melihat bahwa di atas pergelangan kaki kiri itu kulitnya pecah dan melihat bentuk kaki itu mudah diduga bahwa memang tulangnya patah.
“Ah, agaknya memang patah tulangnya. Habis bagaimana baiknya, Paman?”
Kam Hong mengeluarkan buntalan dari balik jubahnya yang robek-robek, membuka buntalan dan mengeluarkan sebuah botol kecil terisi obat bubuk hijau.
“Ci Sian, aku sendiri tak mungkin menarik kakiku, maka kau bantulah aku menarik kakiku agar tulangnya yang patah itu dapat bertemu kembali. Kemudian kau pergunakan obat penyambung tulang ini, campur dengan salju dan paramkan di sekitar kaki yang patah, kemudian balut dengan kuat-kuat.”
“Baik, Paman.”
Ci Sian, atas petunjuk Kam Hong, lalu mencari enam batang kayu, sepanjang lima belas senti, kayu dari ranting yang cukup kuat, kemudian dia mencampur isi botol itu dengan salju cair dan dia membuat balut dari lapisan baju bulunya yang tebal, kain pembalut yang cukup panjang.
“Sekarang kau duduklah di depan kakiku, pegang kakiku dengan kedua tangan dan kerahkan tenagamu untuk menarik sekuatnya. Jangan lepaskan sebelum aku beri tanda, dan kalau aku sudah memberi tanda, engkau lepaskan perlahan-lahan agar tulang itu dapat bertemu kembali dengan bagian atas. Mengerti?”
Ci Sian merasa ngeri, maklum bahwa sastrawan itu sedang menderita nyeri yang amat hebat, maka dia mengangguk dengan yakin sambil menelan ludah. Lalu dia duduk di depan kaki kiri yang patah tulangnya itu, mempergunakan kedua tumit kakinya untuk mencari tempat menahan tubuhnya, kemudian dia memegang kaki sastrawan itu di bawah pergelangan kaki.
“Nah, mulai tarik!” kata Kam Hong yang sudah mengerahkan tenaga untuk menahan kakinya.
Ci Sian menarik sekuatnya, sedikit demi sedikit. Dia melakukan ini sambil memandang kaki itu, kemudian dia mengangkat muka memandang wajah Kam Hong. Hampir saja dia melepaskan kaki itu ketika melihat betapa wajah sastrawan itu jelas memperlihatkan penderitaan hebat! Sastrawan itu menggigit bibirnya, kedua tangan memegangi paha kaki kiri bertahan, matanya setengah terpejam dan di dahinya timbul keringat, padahal hawanya demikian dingin! Ci Sian mengerahkan tenaga menarik terus sampai terasa olehnya pergelangan kaki yang ditariknya itu mengeluarkan bunyi krek-krek!
“Le.... pas.... perlahan.... lahan....“ terdengar Kam Hong berkata dengan terengah-engah. Ci Sian mengendurkan tenaganya sedikit demi sedikit dan tulang yang patah itu pun dapat bertemu kembali.
“Lekas, beri obat itu.... dan pasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan balut!”
Ci Sian melakukan semua itu dengan cekatan, terdorong oleh rasa khawatirnya dan rasa kasihan kepada sastrawan ini. Semua obat bubuk hijau yang sudah dicampur dengan salju cair itu diparamkan di seputar luka, lalu dia memasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan mulai membalut. Atas petunjuk Kam Hong, dia membalut dengan pengerahan tenaga sehingga kaki itu terjepit dan tidak akan berubah lagi letak tulangnya. Setelah selesai, Kam Hong menarik napas lega dan mengusap keringat di dahi dengan ujung jubahnya.
“Terima kasih.... Ci Sian.... kaki itu akan tersambung kembali tulangnya dalam waktu beberapa hari saja.”
Ci Sian memandang wajah itu. Mereka saling pandang dan Ci Sian melihat wajah itu agak pucat, akan tetapi tersenyum! Baru sekarang dia melihat sastrawan yang biasanya muram itu tersenyum, senyum yang bebas dan wajar, tidak seperti biasanya kalau sastrawan itu tersenyum maka senyumnya itu senyum masam!
“Paman Kam, kalau mau bicara tentang terima kasih, akulah yang harus berterima kasih kepadamu! Engkau telah menumpuk budi, dan kalau tidak ada engkau, agaknya sudah berkali-kali aku mati!”
“Mana mungkin orang mati berkali-kali? Dia itu sekali mati sampai seribu tahun tak dapat bangun lagi untuk mati kembali!” Kam Hong menuding kepada mayat dalam es itu.
Ci Sian cepat menoleh. Baru dia teringat akan mayat yang aneh itu sekarang setelah Kam Hong bicara tentang itu. Segera dia mendekatinya lagi dan memeriksa dengan teliti dari segala jurusan.
“Dia seperti masih hidup saja, Paman!” teriaknya penuh gairah dan kegembiraan. “Sungguh ajaib! Bagaimana mendadak di tempat seperti ini muncul mayat yang kuno ini dalam balok es? Dan boneka di tangannya itu.... sungguh indah sekali....!”
Kam Hong menjadi tertarik sekali melihat sikap Ci Sian. Dengan menggunakan kekuatan kedua tangannya bertopang pada batu menonjol tertutup salju, dia bangkit berdiri di atas satu kaki. Kebetulan dia berdiri di tempat yang agak tinggi dan sebelum dia menghampiri Ci Sian, tanpa disengajanya dia melihat ke sekeliling tempat itu. Matanya terbelalak dan dia mengeluarkan seruan kaget yang membuat Ci Sian melompat dan menghampirinya, karena gadis ini mengira tentu pendekar itu melihat hal yang lebih aneh lagi dari pada mayat dalam balok es itu.
“Ada apakah, Paman?” tanyanya dengan cemas dan dia sudah memegang lengan Kam Hong sambil melihat pula ke sekeliling. Dan ia pun melihat apa yang membuat pendekar sakti itu terkejut, dan dia sendiri terbelalak.
“Wah, tempat ini dikelilingi jurang....!” Dan gadis tanggung itu lalu melepaskan lengan Kam Hong, berlari-lari untuk memeriksa sekeliling tempat mereka itu.
“Hati-hati, Ci Sian, jangan sampai jatuh. Awas salju longsor!” Kam Hong memperingatkan dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki saja dia pun mengejar untuk melindungi dara itu.
Mereka memeriksa sekeliling tempat itu dan memang tempat itu kini merupakan tempat yang terpencil. Akibat longsor hebat itu, tempat ini menjadi terkurung oleh jurang-jurang yang amat curam dan agaknya tidak mungkin dapat dituruni, apalagi dengan sebelah kaki patah tulangnya seperti Kam Hong. Mereka terjebak dalam tempat yang agaknya tidak ada jalan keluarnya!
“Wah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan, Paman?”
“Tenanglah, Ci Sian. Andai kata tempat ini tidak terkurung, tetap saja kita tidak dapat melanjutkan perjalanan sebelum tulang kakiku tersambung dan sembuh kembali. Lebih baik kita mencari tempat untuk tinggal selama beberapa hari ini di sekitar sini.”
“Aku mau melihat mayat aneh itu dan bonekanya!” kata Ci Sian yang dalam waktu singkat sudah dapat melupakan kembali kecemasan dan berlari-larian dia kembali ke tempat di mana mereka menemukan jenazah itu.
Mau tidak mau Kam Hong tersenyum. Melakukan perjalanan dengan seorang anak perempuan yang tidak cengeng seperti Ci Sian memang menyenangkan. Anak itu tabah dan tidak mudah putus asa, berbakat untuk menjadi seorang pendekar wanita. Maka dia pun segera mengejarnya, karena dia pun tertarik sekali untuk menyelidiki keadaan mayat yang memakai pakaian kuno sekali itu.
Sekarang baru teringat dia akan suling emasnya. Hatinya gelisah sekali dan dia tidak jadi menghampiri Ci Sian, melainkan mencari-cari sambil berloncatan. Tentu sulingnya itu terlepas ketika dia tertimpa salju dan es-es balokan besar yang longsor dari atas. Tiba tiba dia melihat sinar menyilaukan di tepi jurang. Cepat dia berloncatan ke sana dan giranglah hatinya karena sinar itu ternyata adalah ujung sulingnya yang tersembul keluar dari timbunan salju! Cepat diambilnya pusaka itu, diperiksanya dan ternyata tidak rusak sama sekali. Dengan hati lapang dan girang diselipkannya suling itu ditempat semula, yaitu di balik jubahnya, di ikat pinggang dekat kipasnya. Baru dia menghampiri Ci Sian yang agaknya sedang terpesona oleh jenazah dalam bongkahan es besar itu.
Memang jenazah itu aneh sekali. Wajah jenazah itu seperti wajah orang hidup saja, pakaiannya yang masih rapi dan seperti baru. Juga boneka yang dipegang oleh jenazah itu merupakan boneka anak kecil yang montok dan sehat, tersenyum lebar seperti muka yang ramah dan suci dari arca Ji-lai-hud. Melihat jenazah terlantar seperti itu, dan melihat keadaan pakaiannya, model pakaian itu, Kam Hong menaksir bahwa jenazah itu tentu sudah terlantar dan terbungkus es selama sedikitnya seribu tahun, timbul rasa kasihan dalam hati Kam Hong.
“Kita harus mengubur jenazah itu dengan baik, Ci Sian. Kasihan dia dibiarkan terlantar seperti itu.”
Akan tetapi Ci Sian seolah-olah tidak mendengar ucapan Kam Hong itu. Begitu asyiknya dia mengamati boneka di tangan mayat itu sehingga dia mendekatkan mukanya sampai hidungnya yang mancung kecil itu menyentuh balok es yang menjadi peti mayat itu. Tiba tiba dia berseru dan matanya dilebar-lebarkan untuk dapat memandang lebih jelas lagi, “Paman, lihat....! Ada tulisannya pada dahi boneka itu!”
“Ahh, benarkah?” Kam Hong bertanya dan dia pun mendekat, lalu memandang dengan cermat ke arah boneka. Akhirnya dia berkata, “Benar, itu tentu huruf-huruf yang ditulis, akan tetapi terlampau kecil untuk dapat dibaca melalui es ini. Es membuat huruf-huruf itu kabur dan tak dapat dibaca dari luar.”
“Kalau begitu, apakah Paman tidak dapat memecahkan balok es ini?”
“Ahh, untuk apa, Ci Sian? Kita tidak boleh mengganggu jenazah manusia!”
“Untuk dapat membaca tulisan itu, Paman. Siapa tahu tulisan itu merupakan pesan untuk kita atau siapa saja yang menemukan jenazah ini!”
Kam Hong tertarik. Bukan tidak mungkin apa yang diucapkan gadis cilik itu. Kalau tidak mengandung maksud tertentu, mengapa dahi boneka diberi tulisan huruf-huruf amat kecilnya? Dia memandang kembali wajah dan pakaian mayat itu, kemudian dia seperti memperoleh firasat bahwa mayat itu adalah jenazah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Maka dia lalu berkata kepada jenazah itu, “Locianpwe, harap maafkan teecu yang berani lancang memecahkan balok es. Teecu berjanji akan mengubur jenazah Locianpwe baik-baik.”
Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Kam Hong menaruh telapak tangannya pada balok es itu, mula-mula di atas kedua kaki jenazah. Dia mengerahkan sinkangnya menekan.
“Krekk… krekk…,” terdengar suara dan balok itu pun pecah di bagian bawah!
Ci Sian hampir bersorak. “Engkau hebat sekali, Paman!”
Siauw Hong atau Kam Hong hanya tersenyum, lalu memecah balok es di bagian atas. Terdengar suara agak keras dan balok es itu kini terbelah menjadi dua dan mayat itu pun nampak! Sungguh aneh, tidak ada bau busuk keluar dari mayat itu! Kalau mayat itu tidak sampai rusak selama ribuan atau ratusan tahun, hal itu tidaklah aneh karena mayat itu terbungkus es dan selalu terbenam dalam tempat yang suhunya teramat dinginnya. Akan tetapi kalau kulit itu sama sekali tidak rusak dan tidak mengeluarkan bau busuk, hal ini adalah suatu keanehan dan tentu ada rahasia tertentu tersembunyi di balik kenyataan ini, pikir Kam Hong. Dia menduga bahwa tentu sesudah mati mayat ini diberi semacam obat yang luar biasa, yang membuat selain mayat itu tidak rusak selamanya, juga tidak mengeluarkan bau busuk.
Setelah peti es itu terbuka dan kini mayat tidak lagi tertutup es, tulisan huruf-huruf kecil di atas dahi boneka itu dapat dibaca, sungguh pun untuk itu Kam Hong dan Ci Sian terpaksa harus mendekatkan mata mereka kepada boneka itu. Tulisan itu bergaya kuno, baik coretannya mau pun susunan kalimatnya, akan tetapi agaknya Ci Sian terdidik baik sekali dalam hal sastra, karena ternyata dia mampu juga membaca dan mengerti artinya, membuat Kam Hong merasa kagum juga.
‘Aku mohon agar boneka ini dibakar agar pusaka keramat yang mengandung pelajaran dahsyat ini tidak terjatuh ke dalam tangan orang jahat.’
“Aihh, sungguh sayang sekali jika boneka ini dibakar!” Ci Sian berseru dan memandang kepada wajah jenazah itu seolah-olah jenazah itu seorang yang masih hidup. “Kenapa engkau meninggalkan pesan yang demikian aneh dan gila? Kalau memang ingin melenyapkan boneka indah ini, kenapa tidak dulu-dulu kau bakar sendiri?”
Biar pun ucapan Ci Sian itu keluar dari sifatnya yang keras, bengal dan tidak mau tunduk kepada siapa pun juga, akan tetapi Kam Hong seperti disadarkan akan sesuatu yang memang aneh sekali. Memang ucapan Ci Sian itu benar belaka. Mengapa bersusah payah menulis huruf-huruf kecil di dahi boneka itu kalau memang hendak melenyapkan boneka itu? Kenapa tidak langsung saja dibakar dari pada menanti sampai ribuan tahun agar ditemukan orang dan dibakar oleh orang itu? Bukankah langsung saja dibakar jauh lebih mudah dari pada membuat tulisaan huruf kecil-kecil itu? Tentu ada rahasianya di balik semua ini.
“Ci Sian, siapa pun adanya Locianpwe ini, beliau tidak minta kita menemukannya. Meski kita juga tidak sengaja mencarinya, tetapi kita toh telah bertemu dengan beliau. Maka ini namanya jodoh. Dan pesanan orang yang sudah mati merupakan perintah keramat yang harus dipenuhi, apalagi Locianpwe ini sampai memohon dan permintaannya itu pun tidak sukar. Mari kita bakar boneka ini seperti yang dipesankan.”
Ci Sian mengerutkan alisnya. “Terlalu! Itu namanya mempermainkan perasaan orang! Kenapa boneka yang indah ini dibawa mati, dibiarkan terlihat orang? Membiarkan orang merasa suka lalu menyuruh orang itu membakarnya, sungguh merupakan perbuatan yang kejam sekali. Wah, jenazah orang ini dahulu di waktu hidupnya tentu membuat banyak dosa, Paman. Sampai sudah ribuan tahun menjadi mayat pun masih melakukan perbuatan kejam! Jangan dibakar saja, Paman, aku ingin melihat dia bisa apa!”
“Hemmm, tidak boleh begitu, Ci Sian. Pesan Locianpwe ini tentu mengandung maksud yang amat penting. Siapa tahu boneka ini yang disebutnya benda keramat benar-benar mengandung pelajaran yang mukjijat dan kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah dunia ini akan menjadi semakin kacau?”
“Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau bukanlah orang jahat, Paman! Mungkin aku masih layak disebut orang jahat, akan tetapi engkau sama sekali bukan orang jahat! Engkau seorang pendekar yang budiman. Kalau memang boneka ini mengandung pelajaran tinggi, bukankah akan berguna sekali kalau dipelajari olehmu? Memang orang ini mempermainkan dan memperolok orang saja! Pantas dia tersiksa, sampai sudah mati pun tidak dapat sempurna.”
“Hushhh, sudahlah Ci Sian. Engkau tidak tahu. Seorang Locianpwe melakukan hal-hal yang aneh bukan tidak mengandung maksud yang tersembunyi. Siapa tahu ilmu yang terkandung dalam boneka itu mempunyai pengaruh dan daya yang aneh sehingga siapa pun yang mempelajarinya akan berubah menjadi tersesat dan jahat. Biarkan aku yang membakarnya.”
“Sesukamulah!” kata Ci Sian agak marah. “Kau bakarlah boneka tak berguna itu. Aku sendiri lebih senang membakar sesuatu yang lebih berguna bagi perutku yang lapar ini.” Setelah berkata demikian, gadis cilik ini meninggalkan Kam Hong karena dia melihat banyak sekali burung-burung yang berbulu putih dengan kepala hitam beterbangan dan ada yang hinggap di tepi jurang dari tempat yang kini seolah-olah menjadi semacam pulau kecil itu. Pulau yang dikelilingi jurang curam, bukan dikelilingi laut.
Matahari telah condong ke barat ketika Kam Hong akhirnya berhasil membuat api. Tidak mudah membuat api di tempat dingin itu. Akan tetapi pendekar ini memang menyimpan batu api, bahan bakar dan dengan mengumpulkan kayu-kayu ranting yang terbawa longsor dan membersihkannya, akhirnya dengan susah payah dapat juga dia membuat api dan membakar boneka itu.
Selagi dia membakar boneka itu, Ci Sian datang membawa dua ekor burung yang gemuk. Burung itu bentuknya seperti bebek, besarnya mirip ayam dan setelah dibubuti semua bulunya, tiada bedanya dengan bebek.
“Seorang seekor, Paman. Paman tentu lapar, bukan?” katanya sambil memandang ke arah boneka yang dibakar itu dengan mulut cemberut. “Bukankah jauh lebih berguna membakar bebek-bebek ini?”
Kam Hong tersenyum. “Engkau pandai sekali, Ci Sian. Di tempat seperti ini engkau bisa mencari makanan.”
Kam Hong membakar boneka dan Ci Sian membakar dua ekor burung. Daging burung sudah matang, akan tetapi boneka itu tidak juga hancur! Hanya gosong saja! Padahal pakaian yang dipakai boneka itu sudah hancur sama sekali. Boneka kecil itu sekarang telanjang, akan tetapi tubuhnya masih utuh!
"Sungguh ajaib. Boneka apa ini, dibakar tidak rusak?" Ci Sian menjadi tertarik dan sambil makan daging burung mereka lalu menambah kayu bakar memperbesar api untuk terus membakar boneka itu sampai hancur.
Sinar api menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Sinar api itu terpantul oleh bongkahan es yang besar-besar itu, dan timbullah beraneka warna gemilang seperti pelangi di mana-mana. Mereka merasa aneh, seolah-olah mereka berada di dalam dunia lain, atau dalam dunia mimpi anak-anak yang amat luar biasa. Seperti berada di dalam ruangan penuh dengan cermin. Bayangan mereka berdua nampak di mana-mana, akan tetapi bayangan-bayangan itu menjadi aneh bentuknya seperti ada ratusan buah cermin palsu mengelilingi mereka, ada yang membuat mereka menjadi berbentuk gemuk sekali, ada yang membuat mereka menjadi tinggi kurus dengan muka pletat-pletot lucu sekali. Dua ekor burung panggang sudah mereka makan habis, akan tetapi boneka itu masih tetap utuh!
“Hentikan saja, Paman. Engkau sudah membakarnya sejak tadi. Kakek itu memang agaknya sengaja mempermainkan kita. Lebih baik kita mengaso, sebentar lagi akan gelap. Tadi aku melihat di sebelah sana terdapat sebuah goa yang cukup besar untuk kita berlindung dari angin dan beritirahat.”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Walau pun nampaknya benar ucapan Ci Sian itu, akan tetapi dia tidak percaya bahwa orang seperti locianpwe itu sengaja mempermainkan orang dengan bonekanya. “Ci Sian, biarlah engkau pergi istirahat dulu di sana. Aku akan melanjutkan membakar boneka ini.”
Dengan marah Ci Sian bangkit berdiri, lalu dia menuding-nuding ke arah mayat yang sekarang rebah di atas tanah tertutup salju itu sambil berkata. “Awas kau, kalau kau yang menyiksa Paman Kam ini kemudian tidak memberi sesuatu kepadanya sebagai balasan, engkau tentu akan kukutuk habis-habisan!”
“Ci Sian....!” Kam Hong mencela, akan tetapi gadis cilik itu sudah meloncat dan lari meninggalkannya.
Kam Hong merasa penasaran sekali dan menghabiskan kayu yang disediakannya tadi untuk membakar boneka itu. Akan tetapi sampai api padam kehabisan bahan bakar, boneka itu tetap utuh saja sedangkan cuaca mulai gelap sekarang.
“Maaf, Locianpwe. Bukan maksud teecu tidak mau mentaati perintah Locianpwe, akan tetapi agaknya boneka ini memang tidak dapat terbakar,” katanya.
Dia mengambil boneka yang sudah telanjang karena pakaiannya sudah hancur menjadi abu itu, dan yang gosong kehitaman, meletakkannya kembali ke dalam tangan jenazah yang masih rebah telentang, kemudian sambil berloncatan dengan satu kaki Kam Hong pergi menyusul Ci Sian. Dia harus bersama gadis cilik itu untuk tetap dapat melindungi dan menjaganya. Kam Hong mendapatkan Ci Sian meringkuk di dalam goa, agaknya merasa kedinginan.
Melihat bayangan yang dipantulkan oleh sinar terakhir dari matahari yang sedikit demi sedikit mulai bersembunyi di balik bukit salju, bayangan Kam Hong berdiri di depan goa, Ci Sian segera menyambutnya dengan pertanyaan. “Sudah hancurkah dia?”
“Belum, sampai apinya padam boneka itu masih tetap utuh.”
“Huh! Lalu kau apakan dia?”
“Kukembalikan kepada Locianpwe itu.”
“Sudah kukatakan, Paman. Jenazah itu adalah mayat seorang badut dulunya, atau orang yang memang jahat dan suka mempermainkan orang lain.”
“Biar besok akan kubakar kembali jenazah itu bersama bonekanya.”
Tidak ada jawaban, akan tetapi Kam Hong mendengar suara Ci Sian kedinginan. Dia lalu memasuki goa dan duduk di dekat gadis yang merebahkan diri miring itu. Dia melihat Ci Sian meringkuk bulat menarik kaki tangannya dan agak menggigil.
“Kau merasa kedinginan?”
“Tentu saja.... uhhh.... Paman, bagaimana kalau kita tidak dapat keluar dari sini? Kalau begini terus aku akan menjadi seperti badut itu!” Ci Sian menggigil. “Sayang aku tidak dapat memikirkan sesuatu yang baik untuk meninggalkan permainan seperti dia untuk mempermainkan orang!”
“Hushh, jangan bicara seperti itu, Ci Sian. Nah, duduklah bersila, aku akan membuat tubuhmu menjadi hangat. Mulai sekarang engkau harus menuruti petunjukku, aku akan mengajarmu bagaimana untuk mengerahkan hawa murni di dalam tubuh agar kau dapat melawan dingin.”
Ci Sian menjadi girang sekali dan dengan taat dia lalu bangkit duduk dan bersila. Kam Hong juga duduk bersila, dengan hati-hati menggerakkan kakinya yang patah tulangnya, kemudian dia menempelkan telapak tangan kanannya di atas punggung gadis cilik itu.
“Dengarkan baik-baik,” bisiknya. “Engkau sudah diajari mendiang Kakekmu tentang jalan darah, nah, kalau aku menyebutkan jalan darah tertentu, engkau harus mencoba untuk membuka jalan darah itu dengan mengerahkan tenaga dari hawa murni dalam tubuhmu. Aku akan mendorongnya dengan tenagaku....”
Tak lama kemudian Ci Sian merasa ada hawa yang amat kuat dan hangat masuk melalui punggungnya. Dia menjadi girang sekali dan dengan tekun dia mulai mempelajari ilmu ini, mendengarkan petunjuk-petunjuk dari Kam Hong dan akhirnya dia dapat membuat tubuhnya menjadi hangat, sama sekali tidak lagi menderita oleh serangan hawa dingin dari luar tubuhnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Sian sudah keluar dari goa. Kam Hong masih duduk bersemedhi setengah tidur. Pendekar itu tidak tahu berapa lama Ci Sian pergi, akan tetapi ketika dia sudah bangun, dia melihat Ci Sian sudah membuat api unggun dan dara itu sedang membakar atau memanggang sesuatu yang sedap baunya. Kiranya Ci Sian sudah pandai membuat api dengan batu api dan bahan bakarnya, dan ketika Kam Hong mendekat, ternyata gadis cilik itu sedang memanggang daging, entah daging apa!
“Heii, dari mana engkau memperoleh daging itu? Daging apakah itu?”
Ci Sian tertawa dan mengangkat kulit yang berbulu putih ke atas. “Entah binatang apa, macamnya seperti kelinci, gemuk sekali, Paman, dan baunya sedap, ya?”
Melihat kulit berbulu putih itu Kam Hong menahan ketawanya dan tidak mau memberi tahu kepada Ci Sian bahwa yang sedang dipanggangnya itu adalah daging tikus salju! Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, daging tikus pun baik saja untuk pengisi perut, dari pada kelaparan.
“Paman, aneh sekali. Ketika tadi aku lewat di dekat jenazah itu dan melihat boneka hangus itu, ternyata pada tubuh boneka itu pun ada huruf-hurufnya.”
“Ehhh....? Apa bunyinya?”
“Entah aku tidak membacanya. Aku tahu pasti huruf-huruf itu merupakan siasat baru dari badut itu untuk mempermainkan kita. Aku lebih tertarik mengejar kelinci ini dari pada membaca tulisan tiada gunanya itu.”
Malam tadi Kam Hong memang sudah sangat tertarik untuk mencari tahu rahasia dari jenazah itu. Dia tidak percaya akan kelakar Ci Sian bahwa jenazah itu dahulunya adalah seorang badut yang sengaja hendak meninggalkan lelucon untuk mempermainkan orang lain. Tentu ada rahasia yang tersembunyi dan terkandung di dalam semua pesan yang ditinggalkan oleh jenazah itu. Apakah dia yang keliru mengartikan pesan itu? Ah, tidak mungkin. Kalimat-kalimat pada dahi boneka itu tidak bisa diartikan lain.
Mungkin orang lain akan merasa sayang kepada boneka itu. Ci Sian tidak rela boneka itu dibakar, akan tetapi anak perempuan itu hanya menyayangkan keindahan boneka itu saja, merasa sayang bahwa benda mainan yang demikian bagusnya dibakar! Akan tetapi orang lain, terutama orang-orang kang-ouw, setelah melihat tulisan yang menyebutkan bahwa boneka itu merupakan benda keramat yang mengandung pelajaran dahsyat, pasti akan menyimpannya dan berusaha untuk mencari rahasia pelajaran dahsyat itu.
Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal seperti itu. Dia adalah keturunan Suling Emas, dan dia sendiri sudah memiliki kepandaian peninggalan nenek moyangnya yang tinggi dan hebat, perlu apa dia menginginkan kepandaian lain? Juga, dia tidak sudi melanggar pesan orang yang sudah mati.
Kini, mendengar bahwa boneka yang dibakar sekian lamanya tetap utuh itu ada huruf hurufnya, Kam Hong menjadi tertarik sekali. Tanpa berkata apa pun dia kemudian meninggalkan Ci Sian yang masih sibuk memanggang daging ‘kelinci’ sambil mengomel karena di situ tidak terdapat bumbu masak, dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki, Kam Hong menuju ke tempat jenazah itu. Dia melihat jenazah itu masih rebah telentang seperti malam tadi, boneka itu masih terletak di atas dadanya, di antara tangannya seperti yang dia letakkan semalam, lalu dia mengamati boneka yang gosong itu.
Benar! Ada huruf-huruf pada tubuh boneka itu! Agaknya huruf-huruf itu timbul setelah boneka itu terbakar! Sungguh aneh akan tetapi nyata! Dia tahu benar bahwa ketika dia membakar boneka itu, tidak terdapat huruf apa pun pada tubuh boneka, kecuali pada dahinya itu. Cepat dia mengambil boneka gosong itu dan membersihkan angus dari tubuh boneka yang masih utuh.
Bukan main girang hatinya ketika melihat bahwa huruf-huruf yang timbul setelah boneka dibakar itu merupakan kalimat yang urut dan dapat dibaca dengan mudah. Dia bersihkan seluruh tubuh boneka, kemudian mulai membaca dengan jantung berdebar tegang dan tertarik sekali. Makin lama, sepasang matanya makin terbelalak, mukanya pucat dan tangan yang memegang boneka itu menggigil. Lalu dia menggoyang-goyang kepala dan mengejap-ngejapkan kedua matanya seolah-olah tak percaya akan apa yang dibacanya, lalu dibacanya lagi huruf-huruf yang tersusun rapi dari atas ke bawah di tubuh boneka itu.
Mau membakar boneka pertanda jujur dan tidak tamak akan pusaka orang lain. Berarti berjodoh untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Fa Sian sendiri pun tidak berhasil membujukku menyerahkan ilmu ini, kecuali hanya suling emas buatanku. Akan tetapi suling itu tanpa ilmu sejati, apa artinya? Muridku, rendamlah boneka itu dalam air, dan pergunakan airnya untuk memandikan jenazahku. Kemudian, pelajari semua ilmu yang ada padaku dengan hati yang besih. Tunggui aku selama tiga hari tiga malam, baru boleh engkau menguburku. Mulai saat ini engkaulah muridku dan ahli warisku.
SULING EMAS
Dapat dibayangkan mengapa Kam Hong menjadi terbelalak lalu bengong seperti orang kehilangan ingatan saking bengong, heran dan kagetnya. Jenazah yang meninggalkan pesan itu menamakan dirinya sendiri Suling Emas! Padahal, bukankah Suling Emas itu adalah Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Bu Song dan juga merupakan nenek moyangnya? Apakah.... apakah jenazah ini jenazah nenek moyangnya itu, jenazah Suling Emas Kam Bu Song?
Ah, tidak bisa jadi! Nenek moyangnya itu meninggal dunia di utara, bukan di Pegunungan Himalaya. Dan lagi pula, tulisan itu menyebutkan bahwa penulisnya yang bernama Suling Emas itu hidup di jaman Pendeta Fa Sian yang amat sakti itu hidup pada jaman sesudah Dinasti Cin atau pada kurang lebih tahun empat ratus, jadi sudah seribu empat ratus tahun kurang lebih. Sedangkan nenek moyangnya itu, Pendekar Suling Emas Kam Bu Song hidup dalam tahun sembilan ratus lebih. Jadi ada selislh lima ratus tahunan antara penulis surat ini dan nenek moyangnya yang berjuluk Suling Emas itu. Penulis atau jenazah ini jauh lebih tua.
Tetapi, jenazah ini menyebut-nyebut tentang suling emas. Suling emas yang dikatakan buatannya itu diberikan kepada Pendeta Fa Sian yang masyhur itu, pendeta yang amat sakti dan yang terkenal menjelajah sampai jauh ke luar Cina. Pendeta Fa Sian ini terkenal di seluruh dunia karena dia telah mencatat semua perjalanannya sehingga catatannya itu merupakan catatan sejarah yang amat penting. Ada hubungan apakah antara jenazah ini dengan nenek moyangnya, Kam Bu Song? Dan ada hubungan apakah antara suling emas buatan jenazah ini yang diberikan kepada Pendeta Fa Sian itu dengan suling emas peninggalan nenek moyangnya yang sekarang terselip di ikat pinggangnya?
Sampai bagaimana pun juga, Kam Hong tidak mungkin dapat menyelidiki pesoalan itu tanpa bahan-bahan. Tak ada hal yang lebih ajaib dari pada hal yang telah terjadi secara ‘kebetulan’. Dia tidak tahu bahwa memang suling emas yang berada di pinggangnya itu adalah buatan jenazah inilah! Kurang lebih seribu empat ratus tahun yang lalu! Dan memang pencipta ilmu-ilmu suling emas yang sejati adalah kakek yang kini membujur di depannya sebagai jenazah ini. Entah sudah berpindah tangan berapa puluh kali ketika suling emas itu terjatuh ke dalam tangan pendekar Kam Bu Song.
Seperti dapat dibaca dalam cerita SULING EMAS, pendekar Kam Bu Song memperoleh suling itu di Pulau Pek-coa-to, dari tangan sastrawan terkenal Ciu Bun. Dan dia juga memperoleh kitab terisi sajak-sajak yang menjadi pelengkap suling emas itu dari tangan sastrawan besar Ciu Gwan Liong, adik sastrawan Ciu Bun itu. Kedua orang sastrawan besar she Ciu ini menerima kitab sajak dan suling emas itu dari seorang tokoh manusia sakti yang dianggap dewa, yaitu Bu Kek Siansu! Mungkin saja BU KEK SIANSU menerima suling emas itu dari orang lain, ataukah dari Pendeta Fa Sian sendiri?
Tidak ada yang mengetahui karena memang apa pun boleh saja dan mungkin saja terjadi pada dua orang tokoh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu, yaitu Pendeta Fa Sian dan Bu Kek Siansu! Kakek pembuat suling emas itu telah lenyap dari dunia selama seribu empat ratus tahun, dan kini secara kebetulan yang amat aneh sekali, kakek itu, dengan jasad yang masih utuh, telah berhadapan dengan ahli waris suling emas buatannya itu, ahli waris yang terakhir dan yang memegang suling emas itu!
Bagaikan orang yang kehilangan ingatan Kam Hong masih memegangi boneka itu dan entah sudah berapa kall dia membaca tulisan itu, ketika Ci Sian datang membawa panggang daging kelincinya dengan wajah berseri.
“Paman, sarapan dulu! Ehh, mengapa engkau melamun? Lelucon apa lagi yang ditulis oleh badut kuno itu?”
Suara bening merdu ini menyeret Kam Hong kembali ke alam kenyataan. Dia menoleh, tersenyum dan menaruh kembali boneka gosong itu ke atas dada jenazah, kemudian menghampiri Ci Sian sambil berkata. “Ada perintah baru dari Locianpwe ini. Baiklah kita sarapan, dan nanti akan kuceritakan kepadamu suatu keanehan yang benar-benar ajaib sekali, Ci Sian.”
Mereka lalu makan panggang daging tikus salju itu yang terasa sedap karena memang di situ tidak ada apa-apa lagi untuk dijadikan perbandingan. Setelah makan dan minum air cairan es, dan mencuci tangan, barulah Kam Hong menceritakan tentang tulisan pada boneka gosong itu. Ci Sian mendengarkan dengan ragu-ragu karena dia sudah curiga saja kalau-kalau pamannya ini akan menjadi korban lelucon permainan yang ditinggalkan oleh jenazah badut itu! Akan tetapi ketika dia mendengar tentang suling emas, membuat dia mengerutkan alisnya dan terheran-heran.
“Suling Emas? Paman Kam, bukankah engkau juga memiliki suling emas itu?”
Kam Hong mengangguk dan mencabut sulingnya. Nampak sinar keemasan berkilat dan pendekar ini mengangkat sulingnya ke atas. “Bukan hanya memiliki suling pusaka ini, Ci Sian, bahkan kepadamu aku tidak perlu merahasiakan bahwa aku adalah keturunan terakhir dari Pendekar Sakti Suling Emas.”
“Ahhh....!”
“Kenapa?”
“Aku pernah mendengar dari mendiang Kongkong, kiraku hanya nama dalam dongeng saja....“
“Bukan dongeng, Ci Sian. Pendekar Suling Emas bernama Kam Bu Song dan menjadi nenek moyangku. Maka dapat kau mengerti betapa anehnya penemuan ini! Locianpwe ini, seperti dapat kita baca pada pesanannya, memakai nama Suling Emas dan bahkan mengaku dialah pembuat suling emas! Membuat aku berpikir-pikir apakah hubungan Locianpwe ini dengan nenek moyangku? Dan apakah suling emas buatannya yang dimaksudkan ini adalah suling yang kini menjadi milikku ini?”
Ci Sian yang merasa tertarik sekali ikut pula membaca huruf-huruf pada tubuh boneka itu, yang kembali dibaca oleh Kam Hong untuk ke sekian kalinya. Setelah ikut membaca, Ci Sian berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, tidak lagi memandang rendah kepada jenazah itu.
“Paman, mengapa tidak kau taati perintahnya? Ternyata dia tidak main-main! Mungkin suling emas yang diberikan olehnya kepada Pendeta Fa Sian itulah yang terjatuh ke tangan nenek moyangmu dan sekarang menjadi milikmu. Akan tetapi ilmu yang disebut sebutnya itu, sepatutnya kau pelajari. Kini engkau telah menjadi murid dari Locianpwe ini, Paman! Engkau memang berjodoh dengan dia. Buktinya, engkaulah yang berkeras ingin membakar boneka itu. Kalau aku, aku tadinya merasa sayang, dan kalau menurut aku tentu boneka itu tidak akan pernah kubakar.”
Kam Hong mengangguk. “Memang benar ucapanmu, Ci Sian. Aku juga hendak mentaati perintahnya.”
Kam Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenazah yang rebah telentang itu, kemudian berkata, “Teecu Kam Hong, hendak melaksanakan perintah Locianpwe, harap Locianpwe memberi berkah.”
Setelah memberi hormat, dia lalu merendam boneka gosong itu dalam air. Kemudian, air rendaman itu dipergunakan untuk memandikan jenazah. Ci Sian yang merasa agak ngeri dan jijik, menjauh. Apalagi karena dia mengerti bahwa dia adalah orang luar dan tidak berhak ikut-ikut.
Setelah memandikan jenazah itu dan membereskan kembali pakaian jenazah itu, Kam Hong berpendapat bahwa tidak baik membiarkan jenazah itu di tempat terbuka, maka dia lalu memondong jenazah itu dan dibawanya masuk ke dalam goa lebih kecil yang berada di sebelah kanan goa tempat dia dan Ci Sian bermalam. Goa ini juga diliputi es dan salju, jadi merupakan ‘peti es’ yang lebih besar lagi.
“Ci Sian, aku harus mentaati perintah Locianpwe ini yang aku percaya adalah pembuat suling emas ini, sehingga dengan demikian agaknya beliau ini justru merupakan pencipta suling emas dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan pusaka itu. Maka beliau ini masih terhitung nenek moyang perguruanku yang pertama! Maka, harap kau tidak mengganggu selama tiga hari tiga malam ini, karena aku hendak menjaganya seperti yang sudah diperintahkannya itu.”
Ci Sian mengerutkan alisnya, agak cemberut karena dia merasa betapa beratnya kalau dia selama tiga hari tiga malam harus sendirian saja, tetapi dia pun sudah membaca sendiri pesan itu maka dia mengangguk dan berkata, “Baiklah, Paman. Itu urusan keluargamu. Aku akan menangkap burung, kelinci dan mencoba-coba untuk mencari jalan keluar dari tempat ini.”
“Akan tetapi hati-hatilah, Ci Sian. Dan engkau berteriaklah kalau terjadi sesuatu. Biar pun aku sedang menjaga jenazah, kalau engkau terancam sesuatu tentu aku akan datang menolongmu.”
Lenyaplah rasa tidak enak di dalam hati Ci Sian. Dia kini tidak cemberut lagi, bahkan tersenyum manis sekali. Baru dari ucapan itu saja dia sudah maklum bahwa sebetulnya, pada dasarnya, Kam Hong masih lebih sayang kepadanya dari pada kepada mayat itu!
“Bagaimana dengan makan dan minummu selama tiga hari itu, Paman?”
Kam Hong tersenyum. “Kalau engkau memperoleh sesuatu, kau taruh saja bagianku di dekatku tanpa bicara. Kalau aku lapar atau haus tentu akan kumakan dan kuminum.”
“Baik, Paman,” kata Ci Sian lalu dia pergi meninggalkan Kam Hong yang duduk bersila seorang diri di dekat jenazah.
Setelah dia memandikan mayat itu, dia tadinya mengira tentu akan timbul petunjuk baru, namun ternyata tidak terjadi apa-apa sehingga dia merasa heran. Pikirannya dikerahkan untuk menduga-duga, di mana kiranya mayat ini menyimpan ilmunya yang katanya dalam pesan terakhir itu agar dipelajarinya dengan hati bersih. Apakah tersembunyi di dalam tubuhnya? Akan tetapi, ketika memandikan tubuh itu, dia tidak melihat sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk.
Kini, untuk menggeledah badan mayat itu, dia merasa tidak berani karena betapa pun juga, dia mempunyai perasaan menghormat terhadap jenazah orang yang selain telah mengangkatnya sebagai murid, juga diduganya merupakan nenek moyang perguruan Suling Emas itu. Dia tahu bahwa keadaan jenazah ini memang penuh rahasia, dan agaknya pengasuhnya sendiri, Sin-siauw Sengjin, yang merupakan keturunan pengasuh kepercayaan nenek moyangnya dan bahkan yang menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu nenek moyangnya yang kemudian diturunkan kepadanya, agaknya juga tidak akan dapat memecahkan rahasia jenazah ini.
Sampai tiga hari tiga malam lamanya Kam Hong menjaga jenazah itu, tepat seperti yang diperintahkan oleh tulisan jenazah itu pada boneka. Selama tiga hari tiga malam itu, dia sama sekali tidak pernah makan panggang daging yang setiap hari dihidangkan oleh Ci Sian. Bukankah jenazah itu memesan agar dia mempelajari ilmu-ilmunya dengan hati yang bersih? Dan untuk menjaga agar Ci Sian tidak kecewa atau menyesal, Kam Hong mengubur panggang daging itu di bawah salju, seolah-olah dia telah menghabiskan semua hidangan gadis itu.
Pada hari ke empat, dia sudah merasa sangat yakin bahwa jenazah itu memang tidak meninggalkan suatu petunjuk apa pun, maka dia pun mengambil keputusan untuk menguburnya. Pagi hari ia berlutut didekat tubuh yang rebah telentang itu sambil berkata. “Locianpwe, teecu telah memenuhi perintah Locianpwe, maka perkenankan hari ini teecu mengubur jenazah....“
Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat sesuatu pada kuku-kuku jari tangan yang terletak di atas dada memegang boneka gosong itu. Pada kuku-kuku itu nampak ada huruf-hurufnya! Padahal pada hari-hari sebelumnya huruf-huruf itu belum ada! Hal ini dia ketahui benar karena dia sudah memeriksa seluruh bagian tubuh yang nampak, dan ketika dia memandikan jenazah itu pun dia melihat bahwa pada kuku yang panjang terpelihara itu tidak ada apa-apanya. Bagaimana kini dapat timbul huruf-huruf itu? Akan tetapi pikirannya yang cerdas itu segera dapat menangkap rahasianya. Tentu huruf-huruf itu ditulis oleh tinta istimewa yang bara timbul setelah tiga hari sesudah dicuci dengan air rendaman boneka gosong itu! Cepat diteliti dan dibacanya huruf-huruf itu dari kuku ibu jari sampai kuku kelingking.
Muridku, salurkan tenaga ‘Yang’ ke badanku agar aku tidak kedinginan.
Sungguh aneh, pikir Kam Hong. Mana mungkin jenazah merasa kedinginan? Memang aneh-aneh saja pesan dari jenazah ini, dan pantaslah kalau Ci Sian menganggapnya seorang badut yang suka mempermainkan orang, biar telah mati sekali pun. Akan tetapi, karena ada rasa hormat yang mendalam terhadap jenazah itu, Kam Hong tidak merasa ragu-ragu lagi. Dia meletakkan kedua tangannya ke atas dada jenazah itu, kemudian dia mengerahkan tenaga ‘Yang’ yaitu tenaga sinkang yang mendatangkan hawa panas dan disalurkannya ke dalam tubuh itu melalui dada. Tubuh jenazah yang tadinya dingin itu perlahan-lahan menjadi hangat, makin lama menjadi semakin panas.
Pada saat itu, seperti biasanya Ci Sian datang membawa hidangan panggang daging burung. Karena sekarang sudah hari keempat, maka Ci Sian pun berani memasuki goa mendekati Kam Hong, terheran-heran melihat betapa Kam Hong mengerahkan sinkang disalurkan kepada tubuh jenazah itu. Apa yang hendak dilakukan oleh pendekar ini? Dia merasa heran dan juga ngeri. Bagaimana kalau mayat itu tiba-tiba dapat bangkit dan hidup kembali? Meremang bulu tengkuknya memikirkan kemungkinan yang tak masuk akal ini. Akan tetapi mengapa Kam Hong mengerahkan sinkang ke dalam tubuh mayat itu sampai tubuhnya gemetaran. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang membuat menjerit.
“Heiii! Ada huruf-huruf timbul di punggung tangannya!”
Kam Hong juga melihat hal itu dan dia menjadi terkejut. Tentu saja dia menghentikan pengerahan sinkang-nya dan sempat membaca sedikit tulisan pada punggung lengan tangan itu yang ternyata berisi catatan-catatan pelajaran ilmu yang aneh. Akan tetapi, baru sedikit dia membaca, huruf-huruf itu sudah memudar dan lenyap kembali. Padahal tadi amat jelas, yaitu ketika dia masih mengerahkan sinkang-nya. Maka dicobanya lagi. Begitu dia mengerahkan tenaga ‘Yang’, huruf-huruf itu timbul kembali dengan jelasnya.
Sekarang mengertilah Kam Hong. Dia lalu membuka jubah jenazah itu setelah memberi hormat, dan begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka pada dada, perut, dan lengan jenazah itu terdapat huruf-huruf yang disusun rapi, dimulai dari dada dekat leher terus menurun. Akan tetapi, untuk mengerahkan sinkang sambil mempelajari huruf-huruf itu sungguh merupakan hal yang tidak mungkin. Maka dia lalu mencari akal.
“Ci Sian, kini engkau harus membantuku. Tanpa bekerja sama, tidak mungkin aku dapat mempelajari ilmu yang diwariskan oleh Locianpwe ini. Memang sesungguhnya beliau ini adalah nenek moyang perguruanku, pembuat suling emas ini.”
“Bagaimana engkau bisa tahu, Paman?”
“Lihat, sedikit tulisan yang sampai kubaca tadi menyebutkan tentang pelajaran meniup suling!”
“Wah, untuk apa pelajaran meniup suling, Paman?”
“Aku ingin mempelajarinya. Maukah engkau membantuku, Ci Sian?”
“Tentu saja. Akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu?”
“Aku akan mengerahkan sinkang dan ketika huruf-huruf itu timbul, engkau mencatatnya dari permulaan dekat leher ke bawah.”
“Hemm, dengan apa aku harus menulis? Tidak ada alat tulis....“
Akan tetapi Ci Sian menghentikan kata-katanya karena dari balik jubahnya Kam Hong mengeluarkan alat tulis berikut tinta keringnya.
“Kau kira aku berpakaian sastrawan ini hanya untuk aksi saja? Aku selalu membawa alat tulis ke mana pun aku pergi. Dan engkau dapat menuliskannya di sini.” Kam Hong merobek sebagian dari baju dalamnya dan menyerahkan baju dalam berwarna kuning muda itu kepada Ci Sian.
Ci Sian menggosok tinta bak (tinta kering) dan mempersiapkan alat tulisnya. Kemudian mulailah mereka bekerja sama, Kam Hong menyalurkan sinkang-nya ke dalam tubuh jenazah itu dan Ci Sian lalu mencatat semua huruf yang timbul. Ternyata huruf-huruf itu memang aneh sekali. Makin kuat Kam Hong mengerahkan sinkang-nya, makin jelas pula huruf-huruf itu timbul, akan tetapi begitu Kam Hong mengurangi tenaganya, maka huruf huruf itu pun menyuram!
Mereka bekerja sama dengan tekun. Akan tetapi, sering kali mereka terpaksa harus berhenti karena Kam Hong harus beristirahat dahulu untuk mengumpulkan tenaga yang terus-menerus dikerahkan itu. Sampai selama tiga hari barulah habis semua tulisan yang terdapat pada dada, perut dan lengan itu ditulis Ci Sian. Ternyata di bagian punggung tidak terdapat tulisan, dan tulisan itu terus menurun sampai ke pusar dan bawah pusar! Akan tetapi, ketika mereka sudah mengutip tulisan itu sampai ke pusar, Kam Hong mau pun Ci Sian tidak melanjutkan lebih ke bawah lagi.
“Paman, kalau engkau hendak membuka celana itu aku tidak mau melanjutkan dan biar kau tulis saja sendiri!” katanya.
“Ahhh, aku pun tidak mau melakukan hal itu, Ci Sian. Aku menghormati Guruku, tidak mungkin akan melakukan hal tidak sopan terhadap beliau, biar diupah pelajaran yang bagaimana hebat sekali pun.”
Maka berhentilah mereka. Kam Hong yang kelelahan itu lalu bersemedhi mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaga sinkang-nya yang selama tiga hari ini terus menerus dikerahkannya itu, sedangkan Ci Sian lalu menyusun tulisannya itu agar teratur. Kalau saja keduanya tahu bahwa sikap mereka yang sopan terhadap jenazah itu ternyata malah menyelamatkan mereka, atau setidaknya menyelamatkan Kam Hong! Kiranya, locianpwe yang luar biasa saktinya itu, memang sebelum mati telah memperhitungkan segala-galanya.
Di dalam tempat-tempat terlarang itu memang ada dibuatnya tulisan-tulisan, akan tetapi tulisan-tulisan di tempat terlarang ini mengandung pelajaran-pelajaran menyesatkan yang hanya dapat menyeret orang yang mempelajarinya ke jurang kesesatan! Jadi locianpwe itu telah memperhitungkan dengan cermat sekali, memberi ganjaran kepada penemu mayatnya yang berwatak baik, sebaliknya memberi hukuman kepada penemu mayatnya yang berwatak buruk! Hanya orang-orang kurang menghormat, tidak sopan dan serakah akan ilmu sajalah yang akan membuka celana untuk menuliskan huruf-huruf di bagian tubuh yang terlarang itu!
Setelah tenaga sinkang-nya pulih kembali, mulailah Kam Hong membaca catatan-catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu. Memang kurang tersusun baik, akan tetapi akhirnya Kam Hong dapat menyusunnya kembali dan dia menjadi girang sekali. Ternyata catatan catatan itu mengandung dua macam pelajaran.
Pelajaran pertama adalah pelajaran cara meniup suling! Akan tetapi bukan sembarangan meniup suling, melainkan meniup suling dengan mempergunakan khikang dan sinkang yang amat aneh dan tinggi. Menurut catatan itu, kalau orang berhasil mempelajari cara meniup suling menurut pelajaran ini, maka dia akan dapat meniup suling yang semua lubangnya ditutup, dimulai satu demi satu, sampai akhirnya bahkan dia akan mampu meniup suling tanpa suling! Memang aneh dan gila! Akan tetapi bukan tidak mungkin.
Kalau tingkat khikang dan sinkang yang dimiliki sudah setinggi itu, dia akan mampu mengeluarkan hawa tiupan melalui tenggorokkannya sendiri tanpa suling dan akan dapat mengeluarkan bunyi seindah suara suling yang berlagu! Dan kalau sudah setinggi ini tingkatnya, kiranya di dunia ini akan jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandingi sinkang dan khikangnya sehingga pantaslah disebut Pendekar Suling Emas yang sejati!
Pelajaran ke dua mengandung pelajaran gerakan ilmu pedang yang hanya terdiri dari delapan belas jurus. Ilmu pedang ini tidak begitu baik kalau dimainkan dengan pedang, melainkan baru tepat kalau dimainkan dengan suling emas! Dan nama ilmu ini adalah Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)!
Giranglah hati Kam Hong dan sambil menanti sembuhnya tulang kakinya yang patah, mulailah dia berlatih meniup suling! Kadang-kadang Ci Sian mentertawakan pendekar ini. Kalau meniup suling dengan cara biasa, pendekar ini mampu meniup lagu-lagu indah yang mempesona. Bahkan Ci Sian sendiri menjadi kagum mendengarnya. Akan tetapi sekarang dia belajar meniup bagai seorang anak kecil yang belum pandai meniup suling. Suaranya tidak karuan.
Tentu saja demikian karena dia meniup dengan menurut pelajaran dalam catatan itu, yaitu setiap lubang harus dapat dipergunakan untuk meniupkan suara bermacam-macam not! Dan untuk menguasai ini tidaklah mudah, karena dia harus dapat mengatur tenaga khikang sedemikian rupa sehingga sesuai benar dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menciptakan not itu. Mulailah Kam Hong belajar dengan amat tekunnya, Ci Sian sendiri yang menjadi pencatat dari ilmu-ilmu itu sama sekali tidak mengerti, karena dasar ilmu silatnya masih terlampau rendah kalau harus mengerti ilmu-ilmu yang amat tinggi itu.
Ci Sian, kadang-kadang dibantu oleh Kam Hong yang sudah mulai dapat menggunakan kakinya yang patah tulangnya, akan tetapi terpincang-pincang, sering kali mencari-cari jalan keluar, namun mereka terpaksa harus melihat kenyataan bahwa tempat itu benar benar dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam sekali sehingga seolah-olah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk keluar dari tempat itu. Ci Sian hampir menangis melihat kenyataan ini.
“Haruskah kita hidup terus di sini, sampai mati menjadi orang-orang terasing di tempat dingin ini?” keluhnya.
“Sabarlah, Ci Sian. Tunggu sampai kakiku sembuh sama sekali. Aku akan mencari jalan keluar dan aku akan menuruni jurang itu untuk memeriksa kemungkinan keluar dari tempat ini. Jangan khawatir. Sementara ini, untungnya di sini engkau bisa mendapatkan burung dan.... ehh, kelinci itu untuk makan, bukan?”
“Aih, bosan aku! Setiap hari makan daging burung dan kelinci tanpa bumbu! Lama-lama kita bisa berubah menjadi binatang buas!”
Betapa pun juga, Ci Sian bukanlah seorang anak perempuan cengeng yang hanya suka mengeluh. Dia sudah menjadi lincah gembira kembali dan dia pun membuang waktu luangnya untuk berlatih ilmu silat atas petunjuk dari Kam Hong sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat…..
Kita tinggalkan dulu dua orang anak manusia yang terpencil di tempat sunyi dan dingin itu dan mari kita mengikuti perjalanan Sim Hong Bu dan pamannya Sim Tek. Seperti telah kita ketahui, dua orang paman dan keponakan yang merupakan pemburu-pemburu yang gagah perkasa ini telah menolong Ci Sian akan tetapi sebaliknya mereka malah terancam bahaya maut dan baru selamat setelah Kam Hong turun tangan. Mereka berdua kagum bukan main menyaksikan kelihaian pendekar yang memegang kipas dan suling emas itu. Diam-diam Sim Hong Bu merasa kecewa bahwa ia tak dapat berkenalan lebih jauh dengan gadis cilik yang pemberani dan dengan pendekar yang begitu perkasa.
Dua orang pemburu ini melanjutkan perjalanan. Ketika mereka melihat adanya banyak mayat berserakan di mana-mana dalam keadaan terluka parah dan mengerikan, timbul keraguan dalam hati Sim Hong Bu yang biasanya tabah itu.
“Paman, di mana-mana selalu terdapat bekas amukan binatang buas seperti yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Kalau benar ini semua adalah perbuatan Yeti seperti yang dikabarkan orang selama ini, sungguh amat berbahaya sekali kalau kita bertemu dengan dia. Apakah perlu perjalanan ini kita lanjutkan?” tanyanya sambil membantu pamannya mengubur setiap mayat yang mereka temukan di jalan.
“Hong Bu, engkau tentu mengerti dan dapat merasakan desir darah dan tuntutan hati seorang pemburu! Setelah melihat seekor binatang yang begini buasnya, yang bukan hanya amat menarik akan tetapi juga telah membunuh banyak manusia, bagaimana mungkin kita dapat kembali sebelum berusaha menangkap atau membunuhnya!”
“Aku mengerti, Paman, akan tetapi yang kita buru sekali ini adalah makhluk yang luar biasa kuat dan kejamnya melebihi setan! Apa mungkin kita akan mampu menangkapnya apalagi membunuhnya kalau sekian banyaknya orang kang-ouw saja juga tidak mampu, bahkan menjadi korban dan mati konyol di bawah kebuasannya?”
“Kalau pun tidak mungkin menangkap atau membunuh, baru melihatnya saja pun sudah merupakan suatu kebanggaan besar bagi seorang pemburu sejati! Pemburu manakah di dunia ini yang sudah dapat melihat, bertemu dan berhadapan muka dengan Yeti? Belum ada, dan aku mengharapkan untuk menjadi pemburu pertama yang mengalaminya!”
Hong Bu tidak membantah lagi. Dia dapat merasakan hasrat itu di dalam hatinya, hasrat seorang pemburu yang seperti juga setiap orang pemburu atau penangkap ikan, selalu rindu akan kebanggaan bercerita tentang keanehan binatang yang diburunya. Semakin ganas binatang itu, semakin buas dan semakin berbahaya, akan makin banggalah untuk menceritakan pengalamannya! Ia pun terus mengikuti pamannya tanpa membantah lagi, bertekad untuk menghadapi segala kemungkinan bersama pamannya tanpa mengenal takut.
Paman dan keponakan ini tidak tahu bahwa di balik puncak yang menjulang di depan mereka, yang akan mereka lewati siang hari itu, sedang terjadi hal yang lebih hebat dan mengerikan lagi. Di antara para orang kang-ouw yang ramai-ramai mendatangi Himalaya, tertarik akan berita tentang pedang pusaka yang diperebutkan itu, terdapat lima orang murid-murid Kun-lun-pai. Mereka berlima ini tidak ada hubungannya dengan tiga orang tokoh Kun-lun yang pernah diceritakan dalam awal cerita ini, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti, dan Hui-siang-kiam Ciok Kam yang terluka, biar pun tiga orang tosu itu pun datang dari Pegunungan Kun-lun-san. Sama sekali tidak ada hubungannya, karena lima orang ini adalah murid dari partai persilatan besar Kun-lun-pai yang berpusat di pegunungan Kun-lun-san.
Mereka adalah murid-murid kelas atau tingkat dua, yang bagi dunia kang-ouw sudah merupakan tingkat yang lumayan dan mereka telah memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Mereka terdiri dua orang pemuda dan tiga orang gadis yang kesemuanya memiliki sikap yang gagah perkasa. Yang pertama bernama Tan Coan, merupakan orang pertama dan tertua, usianya dua puluh lima tahun dan merupakan pemimpin rombongan mereka itu. Orang ke dua adalah seorang pria pula, bernama Lim Sun berusia dua puluh tiga tahun. Orang ke tiga adalah adiknya yang bernama Lim Siang, seorang gadis berusia dua puluh tahun. Yang ke empat dan ke lima juga wanita, kakak beradik bernama Tio Gin Bwee berusia delapan belas tahun dan Tio Ang Bwee berusia enam belas tahun.
Lima orang murid Kun-lun-pai ini pun tertarik oleh berita tentang pedang pusaka yang dilarikan pencuri dari istana dan kabarnya dibawa ke daerah Himalaya. Kebetulan mereka berada di Pegunungan Kun-lun-san, maka mereka minta perkenan dari para pimpinan Kun-lun-pai untuk pergi ke Himalaya, sekedar untuk meluaskan pandangan, menambah pengetahuan dan kalau mungkin mendapatkan kembali pedang pusaka kerajaan itu untuk berbakti kepada negara. Para pimpinan Kun-lun-pai merasa khawatir, akan tetapi karena lima orang muda itu mendesak, akhirnya para tosu Kun-lun-pai memberi ijin dengan pesan agar mereka tidak melayani orang-orang kang-ouw dan tidak menimbulkan perkelahian dan permusuhan, melainkan hanya sekedar untuk menambah pengalaman belaka.
Demikianlah, ketika lima orang murid Kun-lun-pai ini tiba di daerah bersalju, tiba-tiba mereka bertemu dengan tiga orang tua aneh yang memandang kepada tiga orang gadis muda itu sambil tertawa-tawa. Lima orang murid Kun-lun-pai itu tidak mengenal mereka ini, tidak tahu bahwa mereka itu adalah tiga orang tokoh kaum sesat yang amat terkenal dan lihai sekali. Mereka itu adalah bekas para pembantu dari tokoh sesat Hwa-i-kongcu Tang Hun, Ketua Liong-sim-pang yang kemudian bergabung dengan pemberontak Pangeran Nepal dan kemudian tewas di tangan pendekar yang terkenal Suma Kian Bu atau lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Siluman Kecil.
Tiga orang aneh ini adalah orang-orang yang sudah biasa berkecimpung dalam dunia kejahatan. Yang pertama berpakaian seperti seorang tosu, usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus berwajah bengis. Orang kedua adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, usianya sebaya dengan tosu tadi, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam. Kalau Hak Im Cu terkenal dengan ginkang-nya yang hebat, orang ke dua ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Selaksa Kati), tenaganya sebesar gajah dan dia adalah seorang yang memiliki sinkang kuat sekali dan kedua kepalan tangannya merupakan senjata ampuh. Orang ketiga adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, usianya juga sebaya, kepalanya gundul tetapi dia bukanlah seorang hwesio. Tubuhnya pendek gemuk, tidak sesuai dengan keahliannya, yaitu ahli bermain dalam air dan memiliki tenaga dalam yang kuat pula. Orang ketiga ini suka tertawa-tawa, dan tangannya memegang sebatang dayung yang kini dipergunakan sebagai tongkat.
Sesungguhnya, sebelum mereka bertiga ini menghambakan diri kepada ketua Liong-sim-pang, walau pun mereka itu termasuk tokoh-tokoh kaum sesat, namun mereka bertiga tidak atau jarang sekali menggoda wanita. Akan tetapi, semenjak mereka menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang selalu menghibur mereka dengan wanita-wanita cantik, ketiga kakek ini berubah menjadi orang-orang yang haus akan pemuasan nafsu berahi mereka yang bangkit karena kebiasaan di Liong-sim-pang itu.
Maka, kini ketika mereka melihat ada tiga orang gadis muda yang manis-manis, bertemu dengan mereka di tempat sunyi, tentu saja mereka menjadi tertarik karena pikiran mereka sudah membayangkan pengalaman-pengalaman lalu dengan wanita-wanita muda dan membayangkan betapa akan senangnya kalau mereka mendapatkan teman seorang satu di tempat yang sunyi dan berhawa dingin itu!
Demikianlah timbulnya nafsu berahi atau nafsu apa pun juga yang menguasai hati dan pikiran, menguasai batin kita setiap saat dan yang kemudian menjadi pendorong dari setiap perbuatan kita dalam hidup ini. Pikiranlah sumbernya. Pikiran yang bekerja mengenangkan segala kesenangan yang pernah dialami. Pikiran yang merupakan gudang dari pengalaman dan ingatan.
Kalau mata kita tertarik dan suka melihat segala sesuatu yang indah, setangkai bunga yang indah warnanya, awan berarak di langit, tamasya alam terbentang luas di depan kita, matahari senja yang menakjubkan, wajah seorang wanita yang cantik manis, semua rasa suka memandang itu adalah wajar, karena mata kita sudah dibentuk sejak kecil untuk menilai apa yang dinamakan indah dan apa yang buruk itu.
Kalau yang ada hanya memandang saja, maka hal itu wajar dan tidak terjadi konflik. Akan tetapi sayang, setiap kali kita memandang, pikiran yang penuh dengan ingatan ini selalu campur tangan. Pikiran yang mendambakan kesenangan ini lalu membayangkan kembali segala kesenangan yang pernah dialami atau pernah didengarnya, kemudian membayangkan hal-hal yang menimbulkan nafsu. Mata melihat wanita cantik jelita dan terjadi daya tarik, timbul semacam dorongan untuk memandang keindahan yang terdapat pada wajah itu. Kalau yang ada hanya memandang saja, maka setelah wanita itu lewat dan lenyap, habislah saja sampai di situ. Tetapi kalau pikiran memasukinya, kemudian membayangkan betapa akan senangnya kalau dapat bercinta dengannya dan sebagainya, maka timbullah nafsu berahi!
Pikiran adalah sumber segala konflik. Pikiran menjadi tempat bertumpuknya kenangan akan hal-hal yang telah lalu, yang pernah kita alami dan selalu pikiran mengejar kesenangan atau lebih tepat lagi, mengejar pengulangan kesenangan yang lalu dengan menciptakan kesenangan yang ingin dialami di masa mendatang, dan selalu karenanya menolak dan menghindarkan ketidak senangan. Oleh karena keinginan untuk mengejar kesenangan inilah maka kemudian timbul perbuatan-perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran, perbuatan-perbuatan jahat yang merugikan orang lain dan diri sendiri.
Setelah melihat semua ini, dapatkah kita membebaskan diri dari pencampur tanganan pikiran? Bisakah kita memandang atau mendengar saja penuh perhatian, tanpa adanya pikiran yang membandingkan, mempertimbangkan lalu memutuskan baik buruknya atau senang susahnya? Dapatkah pikiran berhenti mengoceh dan menghidupkan kembali hal-hal yang telah lalu?
Tentu saja bukan berarti bahwa kita hidup tanpa pikiran! Hal itu sama sekali tidaklah mungkin! Pikiran adalah alat yang amat dibutuhkan untuk hidup, atau untuk melengkapi hidup ini. Tanpa pikiran, tanpa ingatan tentu saja kita tidak akan dapat pulang ke rumah, tidak akan dapat melakukan pekerjaan, tidak akan dapat menghitung, membaca dan sebagainya lagi. Pikiran amatlah penting bagi kita, yaitu dalam soal-soal teknis saja. Dalam soal-soal keperluan lahiriah saja.
Akan tetapi begitu pikiran penuh ingatan memasuki batin, mengusik hubungan antara kita dengan manusia lain, akan terjadilah konflik. Dalam komunikasi antara kita dengan manusia lain, dengan benda, dengan batin, sebenarnya tidak dibutuhkan pikiran yang menilai berdasarkan ingatan masa lalu.
Melihat sikap tiga orang kakek yang jelas membayangkan bahwa mereka itu adalah tokoh-tokoh berilmu, sebagai orang-orang muda yang tahu aturan kang-ouw, lima orang murid Kun-lun-pai itu lalu berhenti melangkah dan menjura kepada tiga orang kakek itu dengan sikap hormat. Tan Coan sebagai yang tertua dan pemimpin rombongan, lalu melangkah maju.
“Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Gagah), selamat berjumpa dan silakan Sam-wi lewat.” Mereka lalu berdiri di tepi jalan untuk membiarkan mereka lewat lebih dulu.
Tiga orang kakek itu saling pandang dan Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biasanya terus menyeringai dan tertawa-tawa itu berkata. “Aha, kalian adalah orang-orang muda yang tahu aturan dan menyenangkan sekali. Siapakah kalian?”
“Kami berlima adalah murid-murid Kun-lun-pai....“
“Wah-wah-wah, murid-murid Kun-lun-pai juga berkeliaran sampai ke sini? Apakah kalian juga ingin pula memperebutkan pedang keramat Koai-liong-po-kiam?” berkata Hak Im Cu dengan nada suara mengejek.
Diam-diam Tan Coan terkejut dan tidak senang melihat sikap mereka dan mendengar ucapan-ucapan yang nadanya mengejek itu. Sikap mereka tidak menghormat Kun-lun-pai itu saja sudah dapat menimbulkan dugaan bahwa mereka ini adalah orang-orang dari golongan hitam! Kaum bersih, di mana juga dia berada, tentu akan menghormati Kun-lun-pai yang merupakan sebuah di antara partai-partai persilatan besar. Akan tetapi dia menahan kesabaran dan menjura sambil berkata, suaranya tetap tenang dan halus.
“Kami mendengar tentang pokiam itu, akan tetapi kami hanya datang untuk melihat dan mendengar, meluaskan pengalaman kami yang dangkal. Harap Sam-wi Locianpwe tidak mentertawakan kami yang bodoh.”
“Huhh, orang-orang Kun-lun-pai selamanya sombong dan tinggi hati!” Tiba-tiba Ban-kin-kwi Kwan Ok mencela, suaranya berat dan memang dia pernah menaruh dendam karena pernah dia dikalahkan oleh seorang tosu Kun-lun-pai beberapa tahun yang lalu.
Akan tetapi Hai-liong-ong Ciok Gu To yang masih tersenyum sambil memandangi tiga orang gadis itu, masih bicara dengan ramah. “Orang-orang muda, ketahuilah bahwa tempat ini amat berbahaya! Ada Yeti mengamuk dan sudah banyak sekali orang kang-ouw yang tewas.”
“Oleh karena itu...” sambung Hak Im Cu, “tidak baik bagi nona-nona ini untuk melakukan perjalanan sendiri! Kalian dua orang pemuda boleh saja berjalan sendiri, akan tetapi biarlah tiga orang nona ini melanjutkan perjalanan bersama dengan kami. Kami akan menjaga dan melindungi keselamatan kalian, Nona-nona manis!”
“Bagus! Seorang satu, itu baru adil namanya,” kata pula Ciok Gu Tosu sambil tertawa bergelak. “Marilah, Nona-nona, kalian akan melakukan perjalanan yang menyenangkan, selain akan aman juga tidak akan kedinginan lagi, ha-ha-ha!”
Lima orang murid Kun-lun-pai itu terkejut bukan main. Muka mereka sudah berubah merah sekali dan sinar mata mereka bernyala karena marah. Mereka memang telah diperingatkan oleh guru mereka agar tidak bermusuhan dan agar jangan berkelahi, akan tetapi kalau berhadapan dengan tiga orang kurang ajar semacam tiga orang kakek ini, apakah mereka juga harus bersahabat? Bagaimana pun juga, mereka adalah orang-orang muda gemblengan, maka Tan Coan bisa menyabarkan adik-adik seperguruannya dengan pandang matanya, kemudian dia menjura lagi dan berkata kepada tiga orang kakek itu, nada suaranya masih halus namun penuh ketegasan.
“Kiranya Sam-wi adalah orang-orang yang merupakan tokoh besar di dunia kang-ouw, maka agaknya sengaja Sam-wi hendak menggoda kami orang-orang muda dari Kun-lun-pai! Akan tetapi para pemimpin dan guru-guru kami telah berpesan kepada kami agar kami tidak berlaku kurang ajar dan tidak mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Oleh karena itu, harap Sam-wi menaruh kasihan kepada kami dan membiarkan kami pergi melanjutkan perjalanan kami.”
“Heh, bocah yang bermulut manis! Kalau engkau mau pergi bersama temanmu pemuda yang satunya lagi itu, lekaslah minggat dan menggelinding pergi! Akan tetapi tinggalkan tiga orang gadis manis itu untuk menemani kami!” bentak Ban-kin-kwi Kwan Ok dengan bentakan keras.
Tak mungkin kini mereka berlima dapat menahan kemarahan mereka yang memuncak oleh ucapan yang amat menghina ini. Sekarang jelaslah bagi mereka bahwa mereka berhadapan dengan tokoh-tokoh golongan hitam yang jahat sekali. Lim Sun yang lebih muda dan lebih berdarah panas itu lalu maju membentak. “Siapakah kalian bertiga yang bersikap seperti memusuhi Kun-lun-pai?” bentaknya dengan melotot.
Hak Im Cu tertawa menyambut pertanyaan ini. “Ha-ha-ha, memang sebaiknya kami memperkenalkan diri agar kalian berdua tidak mati penasaran dan agar ketiga orang gadis itu akan merasa lebih senang karena telah kami pilih sebagai teman-teman seperjalanan di tempat dingin ini. Dengarlah baik-baik, Pinto adalah Hak Im Cu, dia itu adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, sedangkan Si Gundul itu adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To! Nah, sudah jelaskah?”
Lima orang muda Kun-lun-pai itu memang belum banyak pengalaman di dalam dunia kang-ouw, apalagi dunia penjahat, maka tentu saja nama-nama itu asing bagi mereka.
“Sekali lagi kami harap Sam-wi tidak menanam permusuhan dengan kami orang-orang muda yang tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga dan membiarkan kami pergi,” Tan Coan berkata lagi, sungguh pun nada suaranya tidak sehormat tadi, akan tetapi juga tidak kasar dan dia sudah memberi tanda kepada adik-adik seperguruannya untuk meninggalkan tempat itu.
“Haiiiit, tahan dulu!” bentak Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biar pun tubuhnya pendek gemuk akan tetapi dapat bergerak gesit sekali karena tahu-tahu dia sudah berkelebat dan menghadang di depan mereka berlima. “Tulikah kalian? Yang dua laki-laki boleh minggat, akan tetapi yang tiga wanita harus tinggal!”
“Manusia jahat!” bentak Tio Ang Bwee, murid perempuan Kun-lun-pai yang baru berusia enam belas tahun itu dan dia sudah menyerang dengan menggunakan pedangnya yang dicabut secepatnya.
“Ha-ha-ha, engkau memilih aku sayang? Aha, engkau tidak salah pilih!” Si Pendek Gendut yang berkepala gundul ini tertawa dan dengan tenang saja dia mengelak dari sambaran pedang Tio Ang Bwee. Sementara itu, empat orang murid Kun-lun-pai yang lain sudah mencabut pedang dan mereka pun menerjang maju.
Hak Im Cu dan Ban-kin-kwi Kwan Ok menyambut mereka dengan tertawa mengejek. Dan memang sesungguhnya tingkat kepandaian murid-murid kelas dua dari Kun-lun-pai ini masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tiga orang tokoh sesat itu. Tanpa mengerahkan banyak tenaga, lewat belasan jurus saja lima orang muda itu sudah terdesak hebat dan akhirnya Tan Coan dan Lim Sun roboh oleh pedang Hak Im Cu dan senjata dayung di tangan Hai-liong-ong Ciok Gu To, sedangkan tiga orang gadis itu telah roboh tertotok!
Sambil tertawa-tawa tiga orang kakek yang kejam seperti binatang buas itu telah memilih masing-masing seorang gadis, mengangkat dan memondong mereka itu sambil terkekeh dan hendak membawa mereka pergi. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang lain. Melihat dua orang ini, tiga orang kakek itu terkejut bukan main dan wajah mereka berubah pucat.
Yang baru muncul ini adalah dua orang kakek lain yang amat luar biasa. Yang seorang amat pendek, jauh lebih pendek gendut dibandingkan dengan Hai-liong-ong Ciok Gu To, karena Si Pendek yang berkepala gundul dan berpakaian seperti hwesio ini tingginya tidak lebih dari satu seperempat meter! Dia berdiri di situ sambil tertawa ha-ha-ha-ha seperti orang gendeng akan tetapi sepasang matanya mencorong menyeramkan.
Orang kedua tidak kalah anehnya. Sebagai kebalikan dari Si Gendut Pendek, orang kedua ini berpakaian tosu, kurus sekali dan tingginya sampai dua setengah meter, dua kali lebih tinggi dari pada Si Pendek. Kalau Si Gendut Pendek itu berwajah riang gembira, Si Tinggi Kurus ini mukanya sedih seperti orang menangis, sepasang matanya sipit seperti terpejam.
Tentu saja tiga orang kakek jahat itu terkejut seperti melihat setan, karena memang dua orang di depan mereka itu seperti manusia-manusia setan yang terkenal sebagai manusia-manusia yang paling jahat di kolong langit! Mereka itu adalah orang ke empat dan ke lima dari sekelompok orang-orang sakti jahat yang terkenal dengan julukan Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Si Pendek itu adalah Su-ok (Jahat ke Empat) Siauw-siang-cu, sedangkan Si Jangkung itu adalah Ngo-ok (Jahat ke Lima) Toat-beng Sian-su!
Para pembaca cerita Jodoh Sepasang Rajawali tentu sudah mengenal mereka ini karena mereka adalah tokoh-tokoh utama yang memimpin pemberontakan Pangeran Nepal terhadap Kerajaan Ceng beberapa tahun yang lampau. Dan karena tiga orang kakek jahat itu tadinya menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang juga bersekutu dengan pemberontak tentu saja mereka bertiga mengenal siapa adanya dua orang aneh ini.
Hak Im Cu dan dua orang kawannya cepat melepaskan tubuh tiga orang gadis Kun-lun-pai itu dan menjura dengan sikap hormat sekali kepada Su-ok dan Ngo-ok. “Sungguh tidak mengira akan bertemu dengan Ji-wi Locianpwe di sini!” kata Hak Im Cu. Orang seperti Hak Im Cu sampai menyebut Locianpwe terhadap mereka berdua, sungguh merupakan penghormatan yang amat besar.
“Selamat berjumpa, apakah selama ini Ji-wi Locianpwe baik-baik saja?” Ban-kin-kwi Kwan Ok juga menyapa dengan ramah.
“Kami menghaturkan hormat kepada Ji-wi Locianpwe!” kata pula Hai-liong-ong Ciok Gu To.
Akan tetapi Su-ok dan Ngo-ok tidak menjawab. Su-ok hanya tetap ha-ha-he-he menyeramkan, sedangkan Ngo-ok yang cemberut itu memandang kepada tubuh tiga orang gadis muda yang tak dapat bergerak karena tertotok itu.
Akhirnya Su-ok menoleh kepada Ngo-ok dan melihat betapa mata yang sipit itu ditujukan ke arah tiga orang gadis Kun-lun-pai itu, Su-ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kalau engkau menghendaki mereka, tiga ekor anjing tua ini harus dibunuh dulu.”
Ngo-ok mengangguk. “Untuk apa kalau tidak dibunuh!” katanya.
Hak Im Cu dan dua orang kawannya terkejut bukan main. “Ji-wi Locianpwe mengapa berkata demikian? Kalau Locianpwe menghendaki mereka, biarlah kami mengalah dan menghaturkan mereka kepada Locianpwe dengan senang hati.”
“Ha-ha, anjing-anjing tua pengecut. Sudah berani naik ke sini mengapa takut mati? Hayo majulah, bagaimana pun juga kami harus membunuh kalian.”
Tiga orang tokoh sesat itu makin ketakutan sampai wajah mereka berubah pucat. “Locianpwe sungguh tidak adil!” Ban-kim-kwi Kwan Ok berkata. “Kami bertiga adalah sahabat-sahabat yang tidak pernah mengganggu Locianpwe, bahkan dengan hormat kami mempersembahkan tiga orang gadis ini kalau Locianpwe menghendaki. Mengapa hendak membunuh kami?”
“Siapa bilang kita bersahabat?” Ngo-ok mendengus dan matanya terbuka sedikit, sikapnya sungguh mengerikan.
“Locianpwe, bukankah kita pernah bersama-sama membantu Pangeran Nepal? Bukankah kita adalah orang-orang sendiri dan karena itu bersahabat?” Hak Im Cu berkata.
“Ha-ha-ha!” Si Pendek Gendut Suok tertawa mengejek. “Memang ketika itu kalian menguntungkan, maka bersahabat. Sekarang, kalian merupakan saingan kami dalam mencari dan memperebutkan Koai-liong-pokiam, maka kalian adalah saingan kami atau musuh dan harus dibunuh. Lain dulu lain pula sekarang! Dulu menguntungkan maka sahabat, sekarang merugikan maka musuh!”
Sungguh pendapat yang sama sekali mau enak sendiri saja! Akan tetapi, benarkah sikap Su-ok dan Ngo-ok itu aneh dan jahat? Lupakah kita bahwa kita sendiri pun dengan diselubungi oleh segala sopan santun dan kebudayaan, pada hakekatnya mempunyai perhitungan dan pandangan yang tidak jauh bedanya dengan sikap dua orang manusia iblis itu?
Sebaiknya kalau kita meneliti dan memandang diri sendiri, mengenal diri sendiri. Coba kita renungkan dan pandang dengan sejujurnya, mengapa kita mempunyai sahabat-sahabat dan mengapa pula kita mempunyai musuh-musuh?
Bukankah orang yang kita anggap sahabat itu adalah orang yang kita pandang akan menguntungkan kita, baik keuntungan lahir mau pun batin?
Dan sebaliknya bukankah orang yang kita anggap musuh itu adalah orang yang kita pandang merugikan lahir mau pun batin?
Dan orang yang sekarang kita anggap sahabat, kalau pada suatu hari dia itu merugikan kita lahir atau batin, apakah dia masih kita anggap sahabat, ataukah lalu kita anggap sebagai musuh?
Berapa banyaknya orang yang kini kita anggap musuh itu dahulu pernah menjadi sahabat kita?
Ahhh, kehidupan kita penuh dengan penilaian yang didasarkan untung rugi bagi kita sendiri, oleh karena itulah maka kita memisah-misahkan orang-orang lain sebagai yang disuka dan yang tidak disuka, sebagai sahabat atau musuh. Bukankah pada dasarnya kita, yang masih mempunyai sahabat dan musuh, tidak jauh beda pandangan kita dengan Su-ok dan Ngo-ok?
Tiga orang kakek itu sendiri adalah tokoh-tokoh jahat dan kejam. Baru saja mereka memperlihatkan watak mereka yang kejam, dengan membunuh dua orang pemuda Kun Lun Pai yang tidak berdosa dan hendak memaksa tiga orang gadis Kun Lun Pai untuk melayani mereka. Maka, kini melihat sikap Su-ok dan Ngo-ok, maklumlah mereka bahwa tidak ada jalan lain bagi mereka selain membela diri mati-matian.
"Kalian sudah melihat suling emas, nah, cukup dan pergilah!" kata Kam Hong dan sekali menggerakkan kedua tangannya, suling emas dan kipas sudah lenyap di balik bajunya.
“Suling Emas?” Kembali A-hui tergagap dan kemudian dia memberi isyarat, mengajak teman-temannya pergi dari situ setelah menjura ke arah Kam Hong.
“Enaknya pergi begitu saja!” Siauw Goat berteriak dan dia sudah mengepal salju dan dilontarkannya bola salju itu ke arah A-hui.
A-hui menoleh, kebetulan dia bertemu pandang mata dengan Kam Hong dan dia tidak berani mengelak.
“Plokkk!”
Bola salju mengenai mukanya sehingga berlepotan salju. Dia hanya mengusap salju itu dan membalikkan tubuh, pergi bersama teman-temannya dengan muka menunduk.
“Paman, kenapa engkau tidak membunuh mereka?” Siauw Goat menegur Kam Hong.
Tetapi Kam Hong tidak menjawab, melainkan balas bertanya, “Apa maksudmu dengan menyebut-nyebut Pendekar Siluman Kecil tadi?”
“Aku tidak mengenalnya! Dia itulah yang menyombong, mengatakan bahwa di dunia ini Pendekar Siluman Kecil merupakan jagoan nomor satu! Panas perutku mendengarnya maka aku menantang Pendekar Siluman Kecil untuk diadu denganmu!”
Kam Hong memandang kepada Sim Hong Bu, pemuda cilik yang bermata tajam dan bertubuh kekar kuat itu. Melihat sinar mata yang demikian tajam penuh kejujuran dan keterbukaan, diam-diam Kam Hong merasa kagum dan suka. “Saudara cilik, apakah engkau mengenal Pendekar Siluman Kecil?”
Sim Hong Bu mengangguk bangga. “Dia adalah bintang penolong kami semua di daerah perbatasan Ho-nam.”
Sim Tek yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar besar, lalu melangkah maju dan memberi hormat. “Harap Taihiap sudi memaafkan kami. Saya adalah Sim Tek dan ini keponakan saya Sim Hong Bu. Kalau dia memuji-muji Pendekar Siluman Kecil, bukan maksudnya untuk merendahkan Taihiap. Kalau tidak ada Taihiap datang menolong, tentu kami dan Nona cilik ini sudah mati di tangan mereka, oleh karena itu, terimalah hormat dan terima kasih kami, Taihiap.”
Kam Hong menggerakkan tangan seperti menangkis sesuatu, seakan-akan pernyataan terima kasih orang membuat dia merasa terpukul dan tidak enak sekali, “Sudahlah! Siauw Goat, mari kita memeriksa para piauwsu itu.”
Mendengar ini Siauw Goat teringat akan nasib para piauwsu, maka dia lalu mengangguk dan dengan cepat Kam Hong menyambar dan memondongnya karena Siauw Goat telah merasa lelah sekali dan sukar untuk menggerakkan tubuh saking lelah dan dingin dan juga laparnya. Dengan beberapa lompatan saja lenyaplah Kam Hong dari depan kedua orang pemburu itu yang memandang dengan melongo penuh kagum.
“Paman, dia itu lihai sekali. Entah siapa lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil,” kata pula Sim Hong Bu penuh kagum.
Pamannya menghela napas panjang. “Hong Bu, lain kali harap jangan engkau lancang menyebutkan nama Pendekar Siluman Kecil. Untung bahwa pendekar sastrawan itu agaknya mengenal baik Pendekar Siluman Kecil. Kalau kita bertemu dengan seorang di antara musuh-musuhnya, tentu kita akan mendapatkan kesusahan.”
Akan tetapi Hong Bu yang selalu merasa kagum kepada orang-orang yang berilmu tinggi seperti tidak mendengar teguran pamannya, dan dia berkata dengan pandang mata melamun, “Sayang kita tidak mengetahui nama dan julukannya.”
“Melihat senjata suling yang luar biasa itu, sepatutnya dia dikenal dengan julukan Suling Emas. Buktinya wanita-wanita lihai itu pun terkejut melihat suling emas dari tangannya, sungguh pun kipasnya itu juga luar biasa sekali. Sudahlah, mari kita pergi dari tempat berbahaya ini. Kita pergi ke sini untuk menyelidiki tentang Yeti, bukan untuk mencari permusuhan dengan siapa pun.”
Keduanya lalu pergi, melangkah lebar-lebar dan meninggalkan tapak kaki di atas tanah yang tertutup salju tebal. Sementara itu, Siauw Goat berdiri memandang dengan wajah pucat kepada mayat-mayat yang berserakan di tempat itu. Mayat-mayat para piauwsu. Akan tetapi dia dan Kam Hong tidak dapat menemukan mayat Lauw Sek sehingga mereka merasa heran sekali.
“Ke mana perginya Lauw-pek?” Siauw Goat bertanya dengan suara khawatir.
“Aneh sekali.... tidak mungkin dia dapat terhindar dari tangan maut iblis-iblis betina itu. Akan tetapi, jelas dia tidak terdapat di antara mayat-mayat ini. Biar kukubur mereka ini....“
Kam Hong lalu menggali lubang dan mengubur semua mayat itu dalam beberapa buah lubang yang dibuatnya di tempat itu. Setelah selesai, hari pun sudah menjelang senja dan dia mengajak Siauw Goat pergi dari situ.
“Ke mana kita hendak pergi, Paman Kam?”
“Hemmm, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tertentu dan engkau.... ke manakah rombongan piauwsu itu hendak membawamu?”
“Menurut kata Lauw-pek, aku akan diantarkannya ke puncak Ginung Kongmaa La....”
“Hemm, ada keperluan apa pergi ke gunung itu?”
Gadis cilik itu memandang tajam, kemudian menarik napas panjang. “Lauw-pek tadinya memesan kepadaku agar tidak membicarakan hal ini kepada siapa pun juga, akan tetapi aku percaya kepadamu, Paman. Aku hendak diajaknya ke sana untuk mencari orang tuaku, sesuai dengan pesanan mendiang Kongkong kepada Lauw-piauwsu.”
Diam-diam Kam Hong amat terkejut. Sungguh mengherankan mendengar bahwa orang tua gadis cilik ini berada di tempat seperti itu, di sebuah gunung yang amat sunyi dan berbahaya! Dan sikap mendiang Kakek Kun sungguh penuh rahasia.
“Siapakah nama orang tuamu, Siauw Goat?”
Kembali sepasang mata yang bening itu menatap tajam, seperti orang yang meragu, tetapi akhirnya dia menjawab juga. "Engkau sudah menceritakan nama dan rahasiamu kepadaku, Paman, biarlah aku menceritakan rahasiaku juga. Akan tetapi yang kuketahui hanya sedikit. Agaknya Lauw-piauwsu lebih tahu dari pada aku karena dialah yang menerima pesanan terakhir dari mendiang Kakekku. Semenjak aku dapat ingat, aku sudah hidup bersama Kongkong, aku tidak ingat lagi bagaimana rupanya Ayah Bundaku. Kongkong dan aku hidup di sebuah dusun kecil di Pegunungan Kao-li-kung-san sebagai petani. Kongkong melatih ilmu baca tulis dan silat kepadaku. Pada suatu hari, datang dua orang kakek aneh yang kemudian berkelahi dengan kongkong. Kongkong lalu berhasil mengusir mereka, akan tetapi ternyata Kongkong menderita luka dalam yang hebat. Dengan tergesa-gesa Kongkong pada hari itu juga mengajakku pergi, katanya hendak mencari orang tuaku di Gunung Kongmaa La di daerah Himalaya Aku tahu bahwa dia masih menderita luka hebat dan akhirnya..." Gadis cilik itu berhenti, menunduk dan mengerutkan alisnya. Dua butir air mata berlinang turun, akan tetapi dia tidak terisak atau menangis sama sekali.
Kam Hong juga mengerti, maka dia tidak mau bertanya lagi tentang kakek itu. “Jangan khawatir, Siauw Goat. Karena engkau sekarang sebatang kara, juga aku melakukan perjalanan sendirian saja, biarlah aku yang menggantikan Lauw-piauwsu mengantarmu sampai di Kongmaa La mencari orang tuamu. Akan tetapi siapakah nama orang tuamu?”
Gadis cilik itu menggeleng kepala. “Kongkong tidak memberitahukan kepadaku. Kalau aku mendesaknya, dia hanya bilang bahwa kalau aku sudah bertemu dengan mereka aku akan mengerti dan mendengar semua itu. Aku hanya tahu bahwa Ayahku seorang she Bu....” Gadis cilik itu memejamkan mata dan nampak berduka karena betapa pun juga hatinya merasa perih bahwa dia tak mengenal orang tuanya, baik nama lengkapnya mau pun wajahnya.
“Hemm, kalau begitu engkau she Bu?”
“Ya, namaku sebenarnya adalah Bu Ci Sian! Aku disebut Goat oleh Kongkong hanya untuk menggunakan nama sebutan palsu saja. Kata Kongkong wajahku mengingatkan dia akan bulan purnama, maka aku disebutnya Goat (Bulan)....“
“Ah, Kongkong-mu sungguh seorang yang amat aneh, dan engkau.... memang wajahmu seperti bulan purnama.... akan tetapi Kakekmu menyebut dirinya Kakek Kun, siapakah namanya yang lengkap?”
“Namanya.... biarlah kulanggar pantangannya karena dia sudah meninggal adalah Bu Thai Kun....”
“Ahhh! Kau maksudkan Kiu-bwe Sin-eng (Garuda Sakti Ekor Sembilan) Bu Thai Kun?” Kam Hong bertanya dengan kaget karena dia pernah mendengar nama besar ini yang pernah menggemparkan dunia selatan.
“Hemm, kau mengenal Kakekku!” Siauw Goat atau lebih tepat mulai sekarang kita sebut nama aslinya saja, Ci Sian, berseru girang dan bangga.
“Hanya mengenal nama julukannya saja, pantas dia lihai.”
“Ayahku lebih lihai! Begitu kata mendiang Kongkong. Biar pun dia tidak memberitahukan kepadaku, akan tetapi melihat betapa Kongkong terluka oleh dua orang kakek aneh itu lalu mengajakku mencari Ayah Ibu, tentu agaknya Kongkong hendak minta orang tuaku turun tangan menghajar dua orang kakek aneh itu.”
Kam Hong teringat bahwa kakek itu pernah mengatakan kepadanya bahwa dia hendak pergi mencari musuhnya! Dia tidak dapat menduga siapa gerangan ayah dari anak ini, dan karena Ci Sian sendiri pun tidak tahu, maka dia bertanya apakah Ci Sian mengenal nama dua orang kakek aneh yang melukai kongkong-nya.
“Namanya? Aku tidak diberitahu oleh Kongkong, akan tetapi ketika Kongkong bertengkar dengan mereka, kudengar Kongkong menyebut mereka itu Sam-ok dan Ngo-ok.”
Bukan main kagetnya hati Kam Hong mendengar ini. Tentu saja dia tahu persis siapa itu Sam-ok dan Ngo-ok, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akhirat), lima orang yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat yang ilmu kepandaiannya amat tinggi!
Kini dia dapat menduga bahwa tentu dua orang kakek jahat itu sengaja melukai kakek gadis cilik ini dan setelah dia merasa yakin bahwa Kiu-bwe Sin-eng telah menderita luka parah, mereka sengaja meninggalkannya agar kelak kakek itu pergi memanggil putera dan mantunya yang agaknya bersembunyi di Pegunungan Himalaya itu! Ahhh, dia mulai dapat mengerti.
Karena dia sendiri sudah melihat tingkat kepandaian Kiu-bwe Sin-eng dan agaknya kalau dibandingkan dengan Sam-ok dan Ngo-ok, apalagi kalau harus dikeroyok dua, betapa pun lihainya, Bu Thai Kun masih belum dapat menandingi mereka! Kalau dua orang datuk sesat itu menghendaki, tentu mereka dapat membunuhnya, tidak perlu pergi seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, yaitu terusir oleh kakeknya biar pun kakeknya menderita luka parah. Memang sudah pasti ada rahasia terselubung di balik semua ini yang tidak diketahui oleh Ci Sian. Namun mendengar bahwa keluarga anak ini dimusuhi oleh Sam-ok dan Ngo-ok saja sudah cukup bagi Kam Hong untuk berpihak kepadanya dan melindunginya.
“Baiklah, Siauw.... ehh, Ci Sian. Setelah kita saling mengenal keadaan masing-masing, marilah engkau kuantar mencari orang tuamu, aku juga ingin mencari jejak isteriku, kalau-kalau dapat kutemukan di daerah ini. Sekarang malam hampir tiba, kita sebaiknya beristirahat dan makan. Engkau nampak lelah dan lapar.”
Ci Sian menurut saja. Mereka lalu menemukan sebuah goa di mana mereka melewatkan malam dan Ci Sian bersama Kam Hong makan roti kering yang mereka kumpulkan dari bekal para piauwsu yang banyak terdapat di tempat perkelahian itu dan yang mereka bawa sekadarnya untuk bekal.
Sudah tiga hari tiga malam Kam Hong dan Ci Sian melakukan perjalanan yang amat sukar, menempuh bukit-bukit salju dan jurang-jurang yang amat curam. Malam itu pun mereka telah tiba di dekat Kongmaa La, di Lembah Arun yang luas.
Mereka melewatkan malam di dataran tinggi dan malam demikian indahnya sehingga Kam Hong terpesona, meninggalkan goa di mana dia telah membuat api unggun, keluar dan duduk di dataran tinggi sambil meniup sulingnya. Suara suling emas itu menembus kesunyian malam, melengking naik turun akan tetapi sama sekali tidak mengganggu keheningan. Bahkan sebaliknya, suara suling beralun naik turun itu bahkan membuat keheningan menjadi semakin syahdu, semakin terasa keheningan itu, semakin indah dan penuh rahasia.
Setelah berhenti menyuling, Kam Hong menoleh. Dia sudah mendengar langkah kaki ringan dari Ci Sian. Gadis cilik ini sudah semakin akrab dengannya. Selama dalam perjalanan, Kam Hong merasakan benar kehadiran gadis cilik itu dan mengertilah dia mengapa Kakek Bu Thai Kun menyebutnya Bulan! Memang dara cilik seperti bulan purnama yang selain cantik jelita juga mendatangkan kegembiraan dalam hati siapa pun karena dia lincah, gembira dan berseri-seri.
“Paman Kam, suara sulingmu indah sekali....” Ci Sian berkata sambil duduk di dekat Kam Hong, di atas rumput.
“Ah, hanya untuk iseng saja, Ci Sian.” kata Kam Hong sederhana, akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa pujian yang keluar dari mulut gadis cilik ini dapat membuat hatinya terasa begitu enak dan nyaman!
“Mainkan lagi, Paman....“ Ci Sian meminta dan gadis itu duduknya mendekat, bahkan bersandar ke bahu Kam Hong.
Memang sudah biasa dia bersikap kadang-kadang manja seperti itu, dan tidak jarang pula Kam Hong menggandengnya kalau melewati tempat sukar, bahkan memondongnya kalau harus berloncatan lewat jurang-jurang yang curam. Oleh karena itu, gadis cilik ini seperti menganggap Kam Hong sebagai pamannya sendiri, dan dia tidak ragu-ragu untuk merangkul atau memegang lengan pemuda itu.
“Baik, kumainkan lagu yang paling kusukai, dengarlah baik-baik,” kata Kam Hong dan pemuda itu lalu meniup lagi sulingnya.
Ci Sian lalu merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kam Hong yang duduk bersila. Suasana kembali menjadi penuh pesona yang mukjijat dalam keheningan yang terisi suara suling yang merdu itu. Setelah Kam Hong akhirnya menghentikan tiupan sulingnya, seolah-olah suara suling itu masih bergema dan mengalun di udara.
“Paman, engkau pantas benar berjuluk Suling Emas, tidak hanya sulingmu merupakan senjata ampuh, akan tetapi juga dapat mengeluarkan bunyi yang demikian indahnya.”
Kam Hong tidak menjawab, jantungnya berdebar tidak karuan, seluruh tubuhnya seperti kemasukan kilat yang membuatnya gemetar. Terjadi perang hebat di dalam batinnya, terdapat dorongan aneh yang membuat dia ingin merangkul gadis cilik itu, ingin memeluk dan mendekapnya, akan tetapi kesadarannya melawan dan menolak.
“Paman.... kau.... kau kenapa....?” Ci Sian bangkit duduk dan memandang wajah yang matanya dipejamkan itu. Di bawah sinar bulan remang-remang wajah itu nampak putih pucat.
Kam Hong cepat sadar kembali, lalu memegang tangan Ci Sian dan menariknya bangkit berdiri. “Tidak apa-apa, hayo kita mengaso, kembali ke goa.”
Malam itu Kam Hong gelisah dan tidak dapat memejamkan matanya. Alisnya berkerut dan berkali-kali bibirnya bergerak memanggil nama yang selalu menjadi kenangannya, “Hwi-moi.... Hwi-moi....”
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka kini mulai mendaki lereng Kongmaa La. Salju turun dengan cukup deras, membuat tanah penuh dengan salju tebal sehingga langkah-langkah kaki mereka amat berat dan meninggalkan tapak yang dalam. Tiba-tiba Kam Hong memegang tangan Ci Sian dan berhenti. Gadis cilik itu memandang dan bergidik. Di depan mereka terdapat mayat seorang laki-laki dalam keadaan mengerikan. Kaki tangannya terpisah, dan tubuh itu seperti dicabik-cabik. Darah berceceran di atas salju yang putih.
“Bukankah itu korban Yeti lagi, Paman....?” Ci Sian bertanya dengan suara lirih dan agak gemetar.
Tiba-tiba, seperti menjawab pertanyaan itu, dari atas sana, dari puncak yang bersalju itu terdengar lengkingan yang dahsyat sekali. Lengkingan itu seperti menggetarkan seluruh lembah. Kam Hong menarik tangan Ci Sian untuk melanjutkan perjalanan. Gadis cilik itu merasa semakin dingin karena kengerian. Dua tangannya yang sudah memakai sarung tangan tebal itu menutupkan kain bulu tebal untuk melindungi mukanya. Jalan semakin sukar dan tiba-tiba Kam Hong memondongnya. Pendekar ini lalu berloncatan ke depan, mendaki gunung itu dengan cepat sekali.
Setelah melewati sebuah puncak kecil dan jalan agak menurun, kembali mereka berhenti dan kini Ci Sian memeluk pinggang Kam Hong, menggigil ketakutan. Apa yang mereka lihat memang amat mengerikan. Dataran puncak yang putih bersih itu dibasahi oleh genangan darah merah yang berceceran dari belasan mayat-mayat yang sudah tidak karuan lagi macamnya. Bukan hanya bagian tubuh yang putus-putus dan robek-robek, juga usus-usus berhamburan keluar, seperti habis dikoyak-koyak!
Kam Hong melihat di antara hujan salju itu sesosok bayangan berkelebatan di sebelah depan. Dia lalu menggandeng tangan Ci Sian dan melangkah maju terus dengan hati hati. Angin semakin kencang dan salju beterbangan dan berhamburan memukul muka mereka, membuat mereka agak sukar bernapas.
Tiba-tiba terdengar jeritan yang menyayat hati disertai geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang mereka injak. Di sebelah depan nampak belasan orang berlari-lari turun dari puncak di depan. Belasan orang itu tentu orang-orang pandai, hal ini dapat dilihat dari gerakan mereka yang lincah dan ringan, akan tetapi ketika berpapasan dengan Kam Hong, jelas kelihatan mereka itu sedang dilanda ketakutan yang amat hebat. Mereka itu lari tunggang langgang dan agaknya kepanikan membuat mereka sama sekali tidak peduli atau mungkin juga tidak melihat kepada Kam Hong dan Ci Sian. Ada di antara mereka yang luka-luka dan pakaian mereka itu merah oleh darah mereka.
Kam Hong bersikap waspada. Dengan hati-hati dia menggandeng tangan Ci Sian, terus melangkah maju di antara pohon-pohon yang sudah tidak berdaun lagi, yang sudah menjadi pohon putih karena tertutup salju. Tiba-tiba terdengar lengkingan dahsyat seperti tadi dan ada angin menyambar, salju berhamburan dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seekor makhluk yang amat menakutkan, Ci Sian menjerit dan gadis cilik yang biasanya tidak pernah mengenal takut itu sekali ini terhuyung ke belakang dan akhirnya dia menumbuk sebatang pohon, setengah lumpuh dia memeluk pohon itu sambil menengok dan memandang kepada makhluk itu dengan muka pucat ketakutan.
Namun Kam Hong menghadapi makhluk itu dengan sikap tenang dan penuh perhatian. Dia melihat bahwa makhluk itu tinggi besar, tingginya tentu dua meter lebih, kedua lengan tangannya yang tertutup bulu itu besar-besar dan nampak amat kuatnya. Bulu bulu yang menutupi tubuh itu pendek kasar, berwarna merah coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Rambut di kedua pundak paling tebal dan panjang.
Mukanya tidak berambut seperti muka monyet atau muka beruang atau juga mirip muka manusia, hidungnya pesek, mulutnya lebar dengan gigi besar-besar. Kepalanya seperti kerucut agak meruncing ke atas. Kedua lengan yang amat kuat dan besar itu panjang sampai ke lutut. Dan makhluk ini tidak berekor. Anehnya, pada paha kanannya nampak sebatang pedang yang menancap dan menembus, pedang yang berkilauan.
Makhluk itu juga memandang Kam Hong dengan sepasang matanya yang mencorong. Mulutnya bergerak sedikit dan dari kerongkongannya keluarlah suara geraman yang dahsyat. Kedua tangannya bergerak-gerak, jari-jari tangan yang besar dengan kuku panjang kuat dan agak melengkung seperti kuku harimau itu juga bergerak-gerak seperti hendak mencengkeram.
Kam Hong mengukur dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa makhluk ini tentu memiliki kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Buktinya banyak sudah orang yang dibunuhnya dengan ganas, dicabik-cabik, dan bahkan orang-orang yang melarikan diri tadi dia lihat rata-rata memiliki ginkang yang cukup tinggi, namun mereka itu lari ketakutan, tanda bahwa mereka tidak kuat menanggulangi amukan makhluk ini.
Makhluk ini ganas sekali, lebih baik mendahuluinya dari pada harus mempertahankan diri diserang oleh makhluk buas ini. Dia tahu bahwa serangan-serangan seorang ahli silat adalah teratur dan karenanya dapat dihadapinya dengan baik karena dia memiliki dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi serangan makhluk buas seperti ini tentu ganas dan tidak teratur, mengandalkan kekuatan yang luar biasa dan naluri yang amat peka. Aku harus mendahuluinya, pikirnya dan tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dengan cepatnya. Baju bulunya yang lebar itu berkibar dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada makhluk itu dengan pengerahan tenaganya.
“Dukkk!”
Pukulan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh makhluk itu tergetar dan terdorong ke belakang, akan tetapi anehnya, makhluk itu tidak roboh terjengkang, sebaliknya Kam Hong merasa betapa pukulannya itu seperti bertemu dengan gunung baja yang amat kuat!
Tiba-tiba makhluk itu mengeluarkan gerengan dahsyat dan secepat kilat tangan kirinya menyambar ke arah muka Kam Hong! Pemuda ini sejenak tadi tertegun, akan tetapi tidak kehilangan kecepatannya untuk menarik tubuh ke belakang sehingga tamparan kuku kuku tajam itu hanya mengenai angin belaka. Diam-diam Kam Hong merasa terheran heran.
Kalau makhluk ini merupakan seekor binatang buas, tentu hanya memiliki tenaga otot kasar saja. Akan tetapi bagaimana mungkin dapat menahan pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan sinkang amat kuat yang akan membobolkan semua pertahanan tenaga kasar? Hanya lawan yang memiliki tenaga sinkang kuat saja yang akan mampu bertahan. Apakah makhluk ini memiliki tenaga sakti pula?
Akan tetapi lawannya tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk memikirkan hal aneh itu karena kini dengan gerengan-gerengan buas, agaknya marah, makhluk itu sudah menerjang lagi. Dan kembali Kam Hong yang berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan kuku-kuku tajam itu terkejut dan heran. Makhluk itu mampu bergerak dengan luar biasa ringannya!
Ini hanya gerakan dari ilmu ginkang yang sudah masak, pikirnya. Mungkinkah makhluk yang seperti binatang ini selain memiliki sinkang yang kuat juga memiliki ilmu meringankan diri? Bergidik rasa hati Kam Hong saking ngerinya. Apakah dia bertemu siluman? Ataukah semacam makhluk sakti seperti Kauw Cee Thian atau Sun Go Kong itu raja kera di dalam dongeng See-yu? Jangan-jangan makhluk ini, seperti Sun Go Kong, dapat menghilang pula, pikirnya ngeri.
Akan tetapi, hampir saja dadanya kena dicengkeram saat Kam Hong dalam lamunannya menjadi agak kurang cepat mengelak.
“Brettt!” Sedikit bajunya robek oleh cengkeraman itu!
Cepat Kam Hong mencabut suling emasnya! Dia tidak mau mempergunakan kipasnya. Makhluk itu terlalu kuat untuk dihadapi dengan kipasnya, dan dia khawatir selain tidak ada gunanya juga kipasnya akan rusak. Maka kini dia membalas dengan totokan-totokan yang dilakukan dengan sulingnya.
Akan tetapi makhluk itu pandai sekali mengelak. Nalurinya demikian tajamnya sehingga mengatasi semua kesigapan gerak seorang ahli silat mana pun. Setiap totokan suling itu dapat dielakkan, dan kalau sekali dua kali suling itu mengenai sasaran, maka kenanya itu meleset karena gerakan makhluk itu terlalu cepat, dan agaknya makhluk itu memiliki kekebalan luar biasa sehingga tusukan suling yang dapat menghancurkan batu karang itu baginya seperti tubuh yang dipijit tangan dengan jari halus saja! Sedikit pun tidak terasa agaknya!
Kam Hong merasa penasaran. Dikerahkan seluruh tenaganya, dan dia mengeluarkan gerakan-gerakan yang terhebat dari ilmu-ilmu simpanannya. Bahkan ilmu-ilmu yang telah diwarisinya dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suling Emas, dimainkannya untuk menundukkan makhluk ini. Akan tetapi, makhluk itu benar-benar selain kebal kulitnya, juga memiliki tenaga dahsyat dan kecepatan yang membingungkan pendekar ini. Kaki makhluk itu sudah tertancap pedang, namun gerakan-gerakannya masih secepat itu.
Suling di tangan Kam Hong sampai mengeluarkan suara seperti ditiup saja ketika dia mainkan dengan cepatnya, dan makhluk itu agaknya menjadi semakin marah.
“Singgg....!”
Suling Kam Hong bergerak meluncur ke arah mata makhluk itu. Makhluk yang disebut Yeti itu menundukkan kepala sehingga meluncur di atas kepalanya.
“Wuuuttt.... dessss!”
Tangan kiri Kam Hong dengan miring dan amat kerasnya memenggal ke arah leher. Akan tetapi tangan itu meleset dan mengenai pundak, dan makhluk itu hanya bergoyang sedikit saja! Bahkan tangan kanannya meraih ke depan dan pada waktu Kam Hong menangkisnya dengan suling, dia terjengkang karena dorongan tenaga yang amat kuat! Kakinya menginjak salju yang longsor dan jatuhlah pemuda itu terjengkang di atas salju.
Sambil menggereng makhluk itu menubruk dengan seluruh bobot tubuhnya yang berat, kedua tangan dan kedua kakinya ditekuk mencengkeram, agaknya dia hendak langsung mencengkeram dan merobek-robek tubuh lawan. Tetapi Kam Hong telah menggulingkan tubuhnya cepat sekali ke kiri dan sulingnya bergerak ke depan, menusuk mata. Makhluk itu luput menubruk, akan tetapi masih dapat menggunakan lengannya yang panjang menyampok suling. Kam Hong meloncat dengan cepat sekali sebelum makhluk itu sempat bangun dan sulingnya diayun sekuat tenaga.
“Takkkk!!” Suling itu menghantam kepala akan tetapi.... ternyata kepala itu pun terlindung kekebalan dan suling itu membalik seperti mengenai kepala baja, terpental dan Kam Hong merasakan telapak tangannya panas.
Akan tetapi senjata suling emas itu adalah sebuah senjata pusaka yang ampuh, maka walau pun di luarnya tidak nampak bahwa pukulan itu mendatangkan akibat yang hebat bagi Yeti, akan tetapi ternyata makhluk itu terhuyung juga ke belakang. Hal ini agaknya membuat Yeti menjadi marah dan setelah dia dapat mengatur lagi keseimbangan tubuhnya, dia memandang Kam Hong dengan mata merah, kemudian dari mulutnya terdengar teriakan yang menggetarkan jantung, kemudian dia pun bergerak maju lebih cepat dan lebih dahsyat lagi dari pada tadi!
Kam Hong menjadi semakin repot. Bukan hanya kecepatan dan kekuatan makhluk itu yang membuatnya kewalahan, akan tetapi juga hujan salju yang mendatangkan rasa dingin dan menghalangi pandangan matanya dan juga pernapasannya. Akan tetapi sebaliknya, makhluk itu nampaknya sama sekali tidak terganggu oleh salju, bahkan makin deras salju turun, membuat dia agaknya menjadi semakin lincah!
Terjangan dahsyat dari Yeti itu kini bukan merupakan cengkeraman seperti tadi akan tetapi merupakan hantaman dengan kedua tangannya yang besar dan lengan yang panjang itu menghantam seperti tongkat besar, menyambar dari kanan kiri. Bukan seperti gerakan silat akan tetapi karena didorong oleh tenaga yang amat besar maka berbahaya bukan main!
Kam Hong meloncat ke belakang, akan tetapi Yeti menubruk lebih cepat lagi dan tangan kanannya menyambar dari sebelah kiri Kam Hong, sedangkan tangan kiri makhluk itu mencengkeram ke arah perut! Kam Hong tidak sempat mengelak lagi, maka dia lalu menangkis dengan sulingnya ke arah tangan kiri yang mencengkeram, sedangkan hantaman tangan kanan Yeti itu ditangkisnya dengan lengan kirinya yang diangkat ke atas.
“Desss! Dukkk!”
Akibat dari adu tenaga ini, tubuh Yeti terhuyung kembali ke belakang akan tetapi tubuh Kam Hong terpental dan terguling-guling! Ini saja sudah menjadi bukti bahwa Kam Hong benar-benar kalah kuat dalam hal tenaga. Celakanya, pada saat itu, kembali kaki Kam Hong menginjak tumpukan salju yang lunak sehingga dia tergelincir dan bergulingan jatuh dari lereng salju.
Yeti itu menggeram dan meloncat begitu saja dari atas untuk mengejar Kam Hong yang masih bergulingan! Melihat ini, Ci Sian menjerit penuh kengerian dan dia pun menjadi nekat, berlari dan meloncat turun pula untuk mengejar Kam Hong dan kalau perlu membela pemuda itu! Akan tetapi, karena tempat itu tinggi sekali, maka dia tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan gadis cilik ini pun jatuh dan terguling-guling di sepanjang lereng salju, seperti Kam Hong!
Yeti itu telah tiba lebih dulu dan cepat sekali dia menubruk dan tahu-tahu dia telah menggunakan kedua tangannya yang kuat untuk memegang kedua lengan Kam Hong! Pendekar ini merasa betapa pergelangan tangannya seperti dijepit oleh baja-baja yang amat kuat, dan betapa pun dia berusaha untuk melepaskan diri, namun sia-sia belaka. Sulingnya terlepas dan dia sudah hampir putus harapan. Dengan tenaganya yang dahsyat tentu Yeti itu akan mencabik-cabik tubuhnya pula. Kekalahan dan putus asa membuat Kam Hong tidak melawan lagi, hanya dia mengerahkan tenaga untuk menahan jika makhluk itu hendak menarik putus kedua lengannya.
Tiba-tiba pada saat yang amat genting dan berbahaya bagi nyawa Kam Hong itu, angin bertiup kencang sekali dan terdengarlah suara bergemuruh dari atas. Tanah bersalju yang berada di bawah kaki Kam Hong itu tergetar dan bergoyang-goyang. Yeti dan Kam Hong menoleh dan melihat ke arah suara gemuruh itu. Mendadak Yeti mengeluarkan suara melengking dahsyat dan dia melemparkan Kam Hong ke samping, lalu dengan sikap amat ketakutan dia meloncat ke kanan, terus berloncatan dengan kecepatan seperti terbang meninggalkan tempat itu!
Kam Hong terpelanting, akan tetapi dia tidak mempedulikan hal ini karena dia terus memandang ke arah puncak gunung penuh salju itu. Suara makin bergemuruh dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa sebagian dari puncak itu longsor dan kini salju menimpa turun seperti air bah, diikuti batu-batu es yang amat besar menggelundung ke bawah, ke arah tempat itu!
“Ci Sian....!” teriaknya dan dia melihat gadis cilik itu merangkak-rangkak karena Ci Sian juga baru saja dapat mengatasi kepeningannya karena bergulingan dari atas tadi.
Dengan jantung berdebar tegang dan tubuh agak gemetar karena cemas Kam Hong meloncat, menghampiri Ci Sian, menyambar tubuh gadis cilik itu, dipondongnya dan dia pun cepat meloncat ke kanan karena untuk lari sudah kekurangan waktu. Kedua kakinya berhasil mencapai lereng bukit, akan tetapi ketika kedua kakinya menginjak salju, yang diinjaknya runtuh ke bawah dan ternyata bukit itu pun ikut bergerak longsor terbawa dari atas!
Kam Hong tak dapat menguasai dirinya. Dengan Ci Sian masih dipondongnya dia melayang turun bersama salju dan potongan-potongan es, merasa tubuhnya terpukul dari sana sini, dan dia masih mencoba untuk melindungi Ci Sian yang menjerit-jerit ketakutan itu dengan kedua lengan dan badannya. Mereka terbanting dan Kam Hong tidak ingat apa-apa lagi…..
********************
Runtuhnya sebagian tumpukan es dan salju di puncak gunung itu selain mendatangkan suara gemuruh yang hiruk-pikuk seolah-olah dunia hendak kiamat, juga menimbulkan debu salju yang mengebul sampai tinggi dan turun seperti embun. Banyak batu-batu dan pohon-pohon gundul yang tertutup salju dilanda arus salju dan batu-batu es ke bawah kemudian memasuki dan memenuhi jurang-jurang yang curam di bawah kaki gunung.
Mati hidup manusia merupakan hal yang wajar. Dan seperti segala sesuatu di alam maya pada ini, di dalam kewajaran terkandung rahasia-rahasia kegaiban yang amat luar biasa dan mentakjubkan. Kegaiban yang sama sekali tak dapat terselami oleh pikiran.
Segala sesuatu yang terjadi di dalam alam raya ini, dari beraraknya awan, berputaran dunia, tumbuhnya pohon-pohon, kehidupan segala makhluk, semua adalah berjalan dengan wajar dan oleh karenanya mengandung ketertiban yang amat indah. Di dalam segala kewajaran yang penuh kegaiban itu termasuk juga kehidupan dan kematian. Wajar, karenanya gaib.
Menurut jalan pikiran, orang yang sudah terlanda berton-ton salju dan es yang runtuh ke bawah, seperti yang dialami oleh Kam Hong dan Ci Sian, tentu tidak mungkin dapat terluput dari kematian. Namun kenyataannya tidaklah demikian! Secara ‘kebetulan’ mereka itu berada di lereng, bukan di dasar kaki gunung, sehingga salju yang longsor itu hanya lewat saja di atas mereka. Dan ‘kebetulan’ pula Kam Hong dan Ci Sian lebih dulu teruruk oleh bukit kecil yang runtuh sehingga mereka seperti terlindung dan biar pun keduanya pingsan karena dilalui oleh longsoran salju dan balok-balok es sebesar itu, namun mereka tidak sampai tewas. Lebih ‘kebetulan’ lagi bahwa kepala mereka tidak sampai terpendam salju, karena kalau hal ini terjadi, dalam keadaan pingsan itu tentu mereka takkan mampu bernapas dan akan tewas juga.
Lama setelah salju yang longsor itu sudah lewat dan keadaan menjadi sunyi kembali, angin yang tadi bertiup kencang itu agaknya sudah lewat dan tidak ada sedikit pun angin bergerak, Kam Hong siuman dari pingsannya. Dia mendapatkan dirinya rebah miring, dari pinggang ke bawah terpendam salju. Ada bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau bunting di sekitar tempat itu, dan dia merasa heran mengapa dia masih dapat hidup, padahal tertimpa satu saja di antara batu-batu es besar itu, tentu tubuhnya akan remuk.
Kepalanya masih pening dan ketika dia membuka matanya, dia melihat sekelilingnya seperti berputaran. Tetapi dia dapat melihat Ci Sian menggeletak di dekatnya, telentang dan juga dalam keadaan pingsan. Muka yang manis itu kini kelihatan pucat, matanya terpejam dan kulit antara kedua alisnya masih berkerut tanda bahwa dara itu mengalami ketakutan hebat.
Kam Hong melihat pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya luka-luka ringan, akan tetapi yang jelas, dia masih hidup! Hawanya dingin sekali. Mereka berdua terbujur di antara batu-batu es yang bening dan berkilauan amat aneh dan indahnya, memantulkan cahaya matahari tertutup halimun. Kalau dia membayangkan betapa dia telah hampir dikoyak koyak Yeti, kemudian dijatuhi puncak yang longsor seperti itu dan kini masih hidup, juga Ci Sian masih hidup, sungguh hampir tak dapat dia mempercayainya.
Sejenak seluruh perasaannya membubung ke atas atau ke mana saja di mana Tuhan berada dan batinnya membisikkan puji syukur yang mendalam. Kemudian ia membuka matanya dan menoleh ke arah Ci Sian. Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan anak itu telah mati. Pikiran ini mendatangkan tenaga di tubuhnya yang terasa lemah dan dia menarik kedua kakinya dari urukan salju. Akan tetapi ketika dia bangkit, dia berteriak kesakitan dan terduduk kembali, tangannya memegangi paha kirinya. Dia memandang dan melihat celana kirinya robek dan penuh darah. Ternyata di dekat pergelangan kaki kirinya telah patah tulangnya!
Agaknya teriakan kesakitan dari Kam Hong tadi membantu Ci Sian memperoleh kembali kesadarannya. Gadis cilik ini membuka mata dan dia mengeluh kagum melihat betapa dunia di sekelilingnya sedemikian indahnya. Seperti dalam mimpi! Dia terpesona dan terheran-heran, mengucek kedua matanya dengan punggung tangannya di mana sarung tangannya robek. Pandang matanya silau oleh kilatan balok-balok es di sekitar tempat itu. Sudah matikah aku? Inikah alam baka? Demikian hatinya berbisik karena dia teringat akan dongeng tentang alam baka. Memang melihat sekitarnya dikelilingi benda-benda yang berkilauan itu dia merasa seperti berada di alam lain.
Akan tetapi suara keluhan membuat dia menengok dan barulah dia sadar ketika melihat Kam Hong duduk sambil memegangi kaki kirinya, wajahnya menyeringai kesakitan. Dia merangkak bangkit dan ternyata gadis cilik ini tidak terluka apa-apa, kecuali pakaiannya yang robek di sana-sini dan kulit tubuhnya ada yang lecet-lecet sedikit. Dia terhuyung menghampiri Kam Hong dan.... tiba-tiba dia menjerit, mukanya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar.
Kam Hong terkejut, sedetik lupa akan rasa nyeri di kakinya. “Eh, ada apakah, Ci Sian?” tanyanya khawatir.
Gadis cilik itu tak menjawab, mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya telunjuk kanannya yang menuding, telunjuk yang menggigil. Kam Hong menoleh ke arah kirinya dan baru sekarang dia memandang ke kiri karena tadi Ci Sian berada di sebelah kanannya sehingga semua perhatiannya tertuju ke sebelah kanannya. Ketika dia menoleh dan melihat apa yang ditunjuk oleh gadis cilik itu, hampir saja dia pun menjerit seperti Ci Sian. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
Tidak jauh di sebelah kirinya, agak ke belakangnya di mana terdapat sebuah batu es, sebongkah balok es yang besarnya seperti gajah, ternyata di sebelah dalam bongkahan batu es yang amat bening ini terdapat sesosok tubuh manusia yang masih utuh, lengkap dengan pakaiannya, nampaknya seperti sedang tidur saja di dalam bongkahan es itu, terbungkus es bening yang seolah-olah menjadi petinya!
“Jangan takut, dia.... dia.... hanya sepotong jenazah....,“ kata Kam Hong, namun biar pun mulutnya menghibur seperti itu, suaranya sendiri gemetar, setengah karena rasa nyeri di kakinya, setengah lagi karena memang dia sendiri merasa seram!
Ci Sian menghampiri peti es itu. Dengan terbelalak dia memperhatikan tubuh manusia dalam es itu. Sungguh mengerikan. Wajah laki-laki setengah tua itu seperti masih hidup saja. Matanya setengah terbuka, bola matanya masih berkilau karena dilapisi es yang berkilauan. Mukanya masih agak kemerahan. Muka yang tampan dan gagah, akan tetapi mulutnya itu ditarik seperti orang yang merasa berduka. Pakaiannya aneh, dan Ci Sian teringat akan gambar-gambar manusia jaman dahulu. Pakaian yang amat kuno sekali, mungkin sudah ribuan tahun usianya! Akan tetapi pakaian itu, seperti juga tubuh itu, masih utuh dan sama sekali tidak kelihatan lapuk atau rusak.
Yang menarik hati Ci Sian adalah pada saat dia melihat kedua tangan mayat itu yang dirangkap di depan dada dan kedua tangan itu dengan jari-jari tangan yang kelihatannya memegang dengan hati-hati dan erat-erat, memegang sebuah boneka kecil, yang kurang lebih dua puluh senti panjangnya. Boneka itu telanjang, dan di tubuh boneka yang putih itu nampak guratan-guratan dan huruf-huruf kecil yang terukir secara aneh.
Karena tertariknya dan keadaan mayat dalam es ini, Ci Sian seperti melupakan Kam Hong. Baru setelah dia mendengar pemuda itu mengeluh, dia menengok dan melihat Kam Hong merobek celana kirinya dan membuka kaki yang berdarah itu, dia terkejut dan cepat menghampiri.
“Ehh, kakimu kenapa, Paman?” tanyanya sambil berlutut dan memandang khawatir.
“Agaknya tulangnya patah, Ci Sian. Biar kubersihkan darahnya.... auhhh....“ Pemuda itu menggigit bibir menahan nyeri.
“Biar aku yang membersihkannya, Paman. Engkau canggung benar dan dua tanganmu takkan mencapai kakimu yang dilonjorkan.”
Ci Sian lalu membersihkan luka itu, menggunakan sapu tangannya. Darahnya sudah membeku, dan dengan hati ngeri dia melihat bahwa di atas pergelangan kaki kiri itu kulitnya pecah dan melihat bentuk kaki itu mudah diduga bahwa memang tulangnya patah.
“Ah, agaknya memang patah tulangnya. Habis bagaimana baiknya, Paman?”
Kam Hong mengeluarkan buntalan dari balik jubahnya yang robek-robek, membuka buntalan dan mengeluarkan sebuah botol kecil terisi obat bubuk hijau.
“Ci Sian, aku sendiri tak mungkin menarik kakiku, maka kau bantulah aku menarik kakiku agar tulangnya yang patah itu dapat bertemu kembali. Kemudian kau pergunakan obat penyambung tulang ini, campur dengan salju dan paramkan di sekitar kaki yang patah, kemudian balut dengan kuat-kuat.”
“Baik, Paman.”
Ci Sian, atas petunjuk Kam Hong, lalu mencari enam batang kayu, sepanjang lima belas senti, kayu dari ranting yang cukup kuat, kemudian dia mencampur isi botol itu dengan salju cair dan dia membuat balut dari lapisan baju bulunya yang tebal, kain pembalut yang cukup panjang.
“Sekarang kau duduklah di depan kakiku, pegang kakiku dengan kedua tangan dan kerahkan tenagamu untuk menarik sekuatnya. Jangan lepaskan sebelum aku beri tanda, dan kalau aku sudah memberi tanda, engkau lepaskan perlahan-lahan agar tulang itu dapat bertemu kembali dengan bagian atas. Mengerti?”
Ci Sian merasa ngeri, maklum bahwa sastrawan itu sedang menderita nyeri yang amat hebat, maka dia mengangguk dengan yakin sambil menelan ludah. Lalu dia duduk di depan kaki kiri yang patah tulangnya itu, mempergunakan kedua tumit kakinya untuk mencari tempat menahan tubuhnya, kemudian dia memegang kaki sastrawan itu di bawah pergelangan kaki.
“Nah, mulai tarik!” kata Kam Hong yang sudah mengerahkan tenaga untuk menahan kakinya.
Ci Sian menarik sekuatnya, sedikit demi sedikit. Dia melakukan ini sambil memandang kaki itu, kemudian dia mengangkat muka memandang wajah Kam Hong. Hampir saja dia melepaskan kaki itu ketika melihat betapa wajah sastrawan itu jelas memperlihatkan penderitaan hebat! Sastrawan itu menggigit bibirnya, kedua tangan memegangi paha kaki kiri bertahan, matanya setengah terpejam dan di dahinya timbul keringat, padahal hawanya demikian dingin! Ci Sian mengerahkan tenaga menarik terus sampai terasa olehnya pergelangan kaki yang ditariknya itu mengeluarkan bunyi krek-krek!
“Le.... pas.... perlahan.... lahan....“ terdengar Kam Hong berkata dengan terengah-engah. Ci Sian mengendurkan tenaganya sedikit demi sedikit dan tulang yang patah itu pun dapat bertemu kembali.
“Lekas, beri obat itu.... dan pasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan balut!”
Ci Sian melakukan semua itu dengan cekatan, terdorong oleh rasa khawatirnya dan rasa kasihan kepada sastrawan ini. Semua obat bubuk hijau yang sudah dicampur dengan salju cair itu diparamkan di seputar luka, lalu dia memasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan mulai membalut. Atas petunjuk Kam Hong, dia membalut dengan pengerahan tenaga sehingga kaki itu terjepit dan tidak akan berubah lagi letak tulangnya. Setelah selesai, Kam Hong menarik napas lega dan mengusap keringat di dahi dengan ujung jubahnya.
“Terima kasih.... Ci Sian.... kaki itu akan tersambung kembali tulangnya dalam waktu beberapa hari saja.”
Ci Sian memandang wajah itu. Mereka saling pandang dan Ci Sian melihat wajah itu agak pucat, akan tetapi tersenyum! Baru sekarang dia melihat sastrawan yang biasanya muram itu tersenyum, senyum yang bebas dan wajar, tidak seperti biasanya kalau sastrawan itu tersenyum maka senyumnya itu senyum masam!
“Paman Kam, kalau mau bicara tentang terima kasih, akulah yang harus berterima kasih kepadamu! Engkau telah menumpuk budi, dan kalau tidak ada engkau, agaknya sudah berkali-kali aku mati!”
“Mana mungkin orang mati berkali-kali? Dia itu sekali mati sampai seribu tahun tak dapat bangun lagi untuk mati kembali!” Kam Hong menuding kepada mayat dalam es itu.
Ci Sian cepat menoleh. Baru dia teringat akan mayat yang aneh itu sekarang setelah Kam Hong bicara tentang itu. Segera dia mendekatinya lagi dan memeriksa dengan teliti dari segala jurusan.
“Dia seperti masih hidup saja, Paman!” teriaknya penuh gairah dan kegembiraan. “Sungguh ajaib! Bagaimana mendadak di tempat seperti ini muncul mayat yang kuno ini dalam balok es? Dan boneka di tangannya itu.... sungguh indah sekali....!”
Kam Hong menjadi tertarik sekali melihat sikap Ci Sian. Dengan menggunakan kekuatan kedua tangannya bertopang pada batu menonjol tertutup salju, dia bangkit berdiri di atas satu kaki. Kebetulan dia berdiri di tempat yang agak tinggi dan sebelum dia menghampiri Ci Sian, tanpa disengajanya dia melihat ke sekeliling tempat itu. Matanya terbelalak dan dia mengeluarkan seruan kaget yang membuat Ci Sian melompat dan menghampirinya, karena gadis ini mengira tentu pendekar itu melihat hal yang lebih aneh lagi dari pada mayat dalam balok es itu.
“Ada apakah, Paman?” tanyanya dengan cemas dan dia sudah memegang lengan Kam Hong sambil melihat pula ke sekeliling. Dan ia pun melihat apa yang membuat pendekar sakti itu terkejut, dan dia sendiri terbelalak.
“Wah, tempat ini dikelilingi jurang....!” Dan gadis tanggung itu lalu melepaskan lengan Kam Hong, berlari-lari untuk memeriksa sekeliling tempat mereka itu.
“Hati-hati, Ci Sian, jangan sampai jatuh. Awas salju longsor!” Kam Hong memperingatkan dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki saja dia pun mengejar untuk melindungi dara itu.
Mereka memeriksa sekeliling tempat itu dan memang tempat itu kini merupakan tempat yang terpencil. Akibat longsor hebat itu, tempat ini menjadi terkurung oleh jurang-jurang yang amat curam dan agaknya tidak mungkin dapat dituruni, apalagi dengan sebelah kaki patah tulangnya seperti Kam Hong. Mereka terjebak dalam tempat yang agaknya tidak ada jalan keluarnya!
“Wah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan, Paman?”
“Tenanglah, Ci Sian. Andai kata tempat ini tidak terkurung, tetap saja kita tidak dapat melanjutkan perjalanan sebelum tulang kakiku tersambung dan sembuh kembali. Lebih baik kita mencari tempat untuk tinggal selama beberapa hari ini di sekitar sini.”
“Aku mau melihat mayat aneh itu dan bonekanya!” kata Ci Sian yang dalam waktu singkat sudah dapat melupakan kembali kecemasan dan berlari-larian dia kembali ke tempat di mana mereka menemukan jenazah itu.
Mau tidak mau Kam Hong tersenyum. Melakukan perjalanan dengan seorang anak perempuan yang tidak cengeng seperti Ci Sian memang menyenangkan. Anak itu tabah dan tidak mudah putus asa, berbakat untuk menjadi seorang pendekar wanita. Maka dia pun segera mengejarnya, karena dia pun tertarik sekali untuk menyelidiki keadaan mayat yang memakai pakaian kuno sekali itu.
Sekarang baru teringat dia akan suling emasnya. Hatinya gelisah sekali dan dia tidak jadi menghampiri Ci Sian, melainkan mencari-cari sambil berloncatan. Tentu sulingnya itu terlepas ketika dia tertimpa salju dan es-es balokan besar yang longsor dari atas. Tiba tiba dia melihat sinar menyilaukan di tepi jurang. Cepat dia berloncatan ke sana dan giranglah hatinya karena sinar itu ternyata adalah ujung sulingnya yang tersembul keluar dari timbunan salju! Cepat diambilnya pusaka itu, diperiksanya dan ternyata tidak rusak sama sekali. Dengan hati lapang dan girang diselipkannya suling itu ditempat semula, yaitu di balik jubahnya, di ikat pinggang dekat kipasnya. Baru dia menghampiri Ci Sian yang agaknya sedang terpesona oleh jenazah dalam bongkahan es besar itu.
Memang jenazah itu aneh sekali. Wajah jenazah itu seperti wajah orang hidup saja, pakaiannya yang masih rapi dan seperti baru. Juga boneka yang dipegang oleh jenazah itu merupakan boneka anak kecil yang montok dan sehat, tersenyum lebar seperti muka yang ramah dan suci dari arca Ji-lai-hud. Melihat jenazah terlantar seperti itu, dan melihat keadaan pakaiannya, model pakaian itu, Kam Hong menaksir bahwa jenazah itu tentu sudah terlantar dan terbungkus es selama sedikitnya seribu tahun, timbul rasa kasihan dalam hati Kam Hong.
“Kita harus mengubur jenazah itu dengan baik, Ci Sian. Kasihan dia dibiarkan terlantar seperti itu.”
Akan tetapi Ci Sian seolah-olah tidak mendengar ucapan Kam Hong itu. Begitu asyiknya dia mengamati boneka di tangan mayat itu sehingga dia mendekatkan mukanya sampai hidungnya yang mancung kecil itu menyentuh balok es yang menjadi peti mayat itu. Tiba tiba dia berseru dan matanya dilebar-lebarkan untuk dapat memandang lebih jelas lagi, “Paman, lihat....! Ada tulisannya pada dahi boneka itu!”
“Ahh, benarkah?” Kam Hong bertanya dan dia pun mendekat, lalu memandang dengan cermat ke arah boneka. Akhirnya dia berkata, “Benar, itu tentu huruf-huruf yang ditulis, akan tetapi terlampau kecil untuk dapat dibaca melalui es ini. Es membuat huruf-huruf itu kabur dan tak dapat dibaca dari luar.”
“Kalau begitu, apakah Paman tidak dapat memecahkan balok es ini?”
“Ahh, untuk apa, Ci Sian? Kita tidak boleh mengganggu jenazah manusia!”
“Untuk dapat membaca tulisan itu, Paman. Siapa tahu tulisan itu merupakan pesan untuk kita atau siapa saja yang menemukan jenazah ini!”
Kam Hong tertarik. Bukan tidak mungkin apa yang diucapkan gadis cilik itu. Kalau tidak mengandung maksud tertentu, mengapa dahi boneka diberi tulisan huruf-huruf amat kecilnya? Dia memandang kembali wajah dan pakaian mayat itu, kemudian dia seperti memperoleh firasat bahwa mayat itu adalah jenazah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Maka dia lalu berkata kepada jenazah itu, “Locianpwe, harap maafkan teecu yang berani lancang memecahkan balok es. Teecu berjanji akan mengubur jenazah Locianpwe baik-baik.”
Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Kam Hong menaruh telapak tangannya pada balok es itu, mula-mula di atas kedua kaki jenazah. Dia mengerahkan sinkangnya menekan.
“Krekk… krekk…,” terdengar suara dan balok itu pun pecah di bagian bawah!
Ci Sian hampir bersorak. “Engkau hebat sekali, Paman!”
Siauw Hong atau Kam Hong hanya tersenyum, lalu memecah balok es di bagian atas. Terdengar suara agak keras dan balok es itu kini terbelah menjadi dua dan mayat itu pun nampak! Sungguh aneh, tidak ada bau busuk keluar dari mayat itu! Kalau mayat itu tidak sampai rusak selama ribuan atau ratusan tahun, hal itu tidaklah aneh karena mayat itu terbungkus es dan selalu terbenam dalam tempat yang suhunya teramat dinginnya. Akan tetapi kalau kulit itu sama sekali tidak rusak dan tidak mengeluarkan bau busuk, hal ini adalah suatu keanehan dan tentu ada rahasia tertentu tersembunyi di balik kenyataan ini, pikir Kam Hong. Dia menduga bahwa tentu sesudah mati mayat ini diberi semacam obat yang luar biasa, yang membuat selain mayat itu tidak rusak selamanya, juga tidak mengeluarkan bau busuk.
Setelah peti es itu terbuka dan kini mayat tidak lagi tertutup es, tulisan huruf-huruf kecil di atas dahi boneka itu dapat dibaca, sungguh pun untuk itu Kam Hong dan Ci Sian terpaksa harus mendekatkan mata mereka kepada boneka itu. Tulisan itu bergaya kuno, baik coretannya mau pun susunan kalimatnya, akan tetapi agaknya Ci Sian terdidik baik sekali dalam hal sastra, karena ternyata dia mampu juga membaca dan mengerti artinya, membuat Kam Hong merasa kagum juga.
‘Aku mohon agar boneka ini dibakar agar pusaka keramat yang mengandung pelajaran dahsyat ini tidak terjatuh ke dalam tangan orang jahat.’
“Aihh, sungguh sayang sekali jika boneka ini dibakar!” Ci Sian berseru dan memandang kepada wajah jenazah itu seolah-olah jenazah itu seorang yang masih hidup. “Kenapa engkau meninggalkan pesan yang demikian aneh dan gila? Kalau memang ingin melenyapkan boneka indah ini, kenapa tidak dulu-dulu kau bakar sendiri?”
Biar pun ucapan Ci Sian itu keluar dari sifatnya yang keras, bengal dan tidak mau tunduk kepada siapa pun juga, akan tetapi Kam Hong seperti disadarkan akan sesuatu yang memang aneh sekali. Memang ucapan Ci Sian itu benar belaka. Mengapa bersusah payah menulis huruf-huruf kecil di dahi boneka itu kalau memang hendak melenyapkan boneka itu? Kenapa tidak langsung saja dibakar dari pada menanti sampai ribuan tahun agar ditemukan orang dan dibakar oleh orang itu? Bukankah langsung saja dibakar jauh lebih mudah dari pada membuat tulisaan huruf kecil-kecil itu? Tentu ada rahasianya di balik semua ini.
“Ci Sian, siapa pun adanya Locianpwe ini, beliau tidak minta kita menemukannya. Meski kita juga tidak sengaja mencarinya, tetapi kita toh telah bertemu dengan beliau. Maka ini namanya jodoh. Dan pesanan orang yang sudah mati merupakan perintah keramat yang harus dipenuhi, apalagi Locianpwe ini sampai memohon dan permintaannya itu pun tidak sukar. Mari kita bakar boneka ini seperti yang dipesankan.”
Ci Sian mengerutkan alisnya. “Terlalu! Itu namanya mempermainkan perasaan orang! Kenapa boneka yang indah ini dibawa mati, dibiarkan terlihat orang? Membiarkan orang merasa suka lalu menyuruh orang itu membakarnya, sungguh merupakan perbuatan yang kejam sekali. Wah, jenazah orang ini dahulu di waktu hidupnya tentu membuat banyak dosa, Paman. Sampai sudah ribuan tahun menjadi mayat pun masih melakukan perbuatan kejam! Jangan dibakar saja, Paman, aku ingin melihat dia bisa apa!”
“Hemmm, tidak boleh begitu, Ci Sian. Pesan Locianpwe ini tentu mengandung maksud yang amat penting. Siapa tahu boneka ini yang disebutnya benda keramat benar-benar mengandung pelajaran yang mukjijat dan kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah dunia ini akan menjadi semakin kacau?”
“Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau bukanlah orang jahat, Paman! Mungkin aku masih layak disebut orang jahat, akan tetapi engkau sama sekali bukan orang jahat! Engkau seorang pendekar yang budiman. Kalau memang boneka ini mengandung pelajaran tinggi, bukankah akan berguna sekali kalau dipelajari olehmu? Memang orang ini mempermainkan dan memperolok orang saja! Pantas dia tersiksa, sampai sudah mati pun tidak dapat sempurna.”
“Hushhh, sudahlah Ci Sian. Engkau tidak tahu. Seorang Locianpwe melakukan hal-hal yang aneh bukan tidak mengandung maksud yang tersembunyi. Siapa tahu ilmu yang terkandung dalam boneka itu mempunyai pengaruh dan daya yang aneh sehingga siapa pun yang mempelajarinya akan berubah menjadi tersesat dan jahat. Biarkan aku yang membakarnya.”
“Sesukamulah!” kata Ci Sian agak marah. “Kau bakarlah boneka tak berguna itu. Aku sendiri lebih senang membakar sesuatu yang lebih berguna bagi perutku yang lapar ini.” Setelah berkata demikian, gadis cilik ini meninggalkan Kam Hong karena dia melihat banyak sekali burung-burung yang berbulu putih dengan kepala hitam beterbangan dan ada yang hinggap di tepi jurang dari tempat yang kini seolah-olah menjadi semacam pulau kecil itu. Pulau yang dikelilingi jurang curam, bukan dikelilingi laut.
Matahari telah condong ke barat ketika Kam Hong akhirnya berhasil membuat api. Tidak mudah membuat api di tempat dingin itu. Akan tetapi pendekar ini memang menyimpan batu api, bahan bakar dan dengan mengumpulkan kayu-kayu ranting yang terbawa longsor dan membersihkannya, akhirnya dengan susah payah dapat juga dia membuat api dan membakar boneka itu.
Selagi dia membakar boneka itu, Ci Sian datang membawa dua ekor burung yang gemuk. Burung itu bentuknya seperti bebek, besarnya mirip ayam dan setelah dibubuti semua bulunya, tiada bedanya dengan bebek.
“Seorang seekor, Paman. Paman tentu lapar, bukan?” katanya sambil memandang ke arah boneka yang dibakar itu dengan mulut cemberut. “Bukankah jauh lebih berguna membakar bebek-bebek ini?”
Kam Hong tersenyum. “Engkau pandai sekali, Ci Sian. Di tempat seperti ini engkau bisa mencari makanan.”
Kam Hong membakar boneka dan Ci Sian membakar dua ekor burung. Daging burung sudah matang, akan tetapi boneka itu tidak juga hancur! Hanya gosong saja! Padahal pakaian yang dipakai boneka itu sudah hancur sama sekali. Boneka kecil itu sekarang telanjang, akan tetapi tubuhnya masih utuh!
"Sungguh ajaib. Boneka apa ini, dibakar tidak rusak?" Ci Sian menjadi tertarik dan sambil makan daging burung mereka lalu menambah kayu bakar memperbesar api untuk terus membakar boneka itu sampai hancur.
Sinar api menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Sinar api itu terpantul oleh bongkahan es yang besar-besar itu, dan timbullah beraneka warna gemilang seperti pelangi di mana-mana. Mereka merasa aneh, seolah-olah mereka berada di dalam dunia lain, atau dalam dunia mimpi anak-anak yang amat luar biasa. Seperti berada di dalam ruangan penuh dengan cermin. Bayangan mereka berdua nampak di mana-mana, akan tetapi bayangan-bayangan itu menjadi aneh bentuknya seperti ada ratusan buah cermin palsu mengelilingi mereka, ada yang membuat mereka menjadi berbentuk gemuk sekali, ada yang membuat mereka menjadi tinggi kurus dengan muka pletat-pletot lucu sekali. Dua ekor burung panggang sudah mereka makan habis, akan tetapi boneka itu masih tetap utuh!
“Hentikan saja, Paman. Engkau sudah membakarnya sejak tadi. Kakek itu memang agaknya sengaja mempermainkan kita. Lebih baik kita mengaso, sebentar lagi akan gelap. Tadi aku melihat di sebelah sana terdapat sebuah goa yang cukup besar untuk kita berlindung dari angin dan beritirahat.”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Walau pun nampaknya benar ucapan Ci Sian itu, akan tetapi dia tidak percaya bahwa orang seperti locianpwe itu sengaja mempermainkan orang dengan bonekanya. “Ci Sian, biarlah engkau pergi istirahat dulu di sana. Aku akan melanjutkan membakar boneka ini.”
Dengan marah Ci Sian bangkit berdiri, lalu dia menuding-nuding ke arah mayat yang sekarang rebah di atas tanah tertutup salju itu sambil berkata. “Awas kau, kalau kau yang menyiksa Paman Kam ini kemudian tidak memberi sesuatu kepadanya sebagai balasan, engkau tentu akan kukutuk habis-habisan!”
“Ci Sian....!” Kam Hong mencela, akan tetapi gadis cilik itu sudah meloncat dan lari meninggalkannya.
Kam Hong merasa penasaran sekali dan menghabiskan kayu yang disediakannya tadi untuk membakar boneka itu. Akan tetapi sampai api padam kehabisan bahan bakar, boneka itu tetap utuh saja sedangkan cuaca mulai gelap sekarang.
“Maaf, Locianpwe. Bukan maksud teecu tidak mau mentaati perintah Locianpwe, akan tetapi agaknya boneka ini memang tidak dapat terbakar,” katanya.
Dia mengambil boneka yang sudah telanjang karena pakaiannya sudah hancur menjadi abu itu, dan yang gosong kehitaman, meletakkannya kembali ke dalam tangan jenazah yang masih rebah telentang, kemudian sambil berloncatan dengan satu kaki Kam Hong pergi menyusul Ci Sian. Dia harus bersama gadis cilik itu untuk tetap dapat melindungi dan menjaganya. Kam Hong mendapatkan Ci Sian meringkuk di dalam goa, agaknya merasa kedinginan.
Melihat bayangan yang dipantulkan oleh sinar terakhir dari matahari yang sedikit demi sedikit mulai bersembunyi di balik bukit salju, bayangan Kam Hong berdiri di depan goa, Ci Sian segera menyambutnya dengan pertanyaan. “Sudah hancurkah dia?”
“Belum, sampai apinya padam boneka itu masih tetap utuh.”
“Huh! Lalu kau apakan dia?”
“Kukembalikan kepada Locianpwe itu.”
“Sudah kukatakan, Paman. Jenazah itu adalah mayat seorang badut dulunya, atau orang yang memang jahat dan suka mempermainkan orang lain.”
“Biar besok akan kubakar kembali jenazah itu bersama bonekanya.”
Tidak ada jawaban, akan tetapi Kam Hong mendengar suara Ci Sian kedinginan. Dia lalu memasuki goa dan duduk di dekat gadis yang merebahkan diri miring itu. Dia melihat Ci Sian meringkuk bulat menarik kaki tangannya dan agak menggigil.
“Kau merasa kedinginan?”
“Tentu saja.... uhhh.... Paman, bagaimana kalau kita tidak dapat keluar dari sini? Kalau begini terus aku akan menjadi seperti badut itu!” Ci Sian menggigil. “Sayang aku tidak dapat memikirkan sesuatu yang baik untuk meninggalkan permainan seperti dia untuk mempermainkan orang!”
“Hushh, jangan bicara seperti itu, Ci Sian. Nah, duduklah bersila, aku akan membuat tubuhmu menjadi hangat. Mulai sekarang engkau harus menuruti petunjukku, aku akan mengajarmu bagaimana untuk mengerahkan hawa murni di dalam tubuh agar kau dapat melawan dingin.”
Ci Sian menjadi girang sekali dan dengan taat dia lalu bangkit duduk dan bersila. Kam Hong juga duduk bersila, dengan hati-hati menggerakkan kakinya yang patah tulangnya, kemudian dia menempelkan telapak tangan kanannya di atas punggung gadis cilik itu.
“Dengarkan baik-baik,” bisiknya. “Engkau sudah diajari mendiang Kakekmu tentang jalan darah, nah, kalau aku menyebutkan jalan darah tertentu, engkau harus mencoba untuk membuka jalan darah itu dengan mengerahkan tenaga dari hawa murni dalam tubuhmu. Aku akan mendorongnya dengan tenagaku....”
Tak lama kemudian Ci Sian merasa ada hawa yang amat kuat dan hangat masuk melalui punggungnya. Dia menjadi girang sekali dan dengan tekun dia mulai mempelajari ilmu ini, mendengarkan petunjuk-petunjuk dari Kam Hong dan akhirnya dia dapat membuat tubuhnya menjadi hangat, sama sekali tidak lagi menderita oleh serangan hawa dingin dari luar tubuhnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Sian sudah keluar dari goa. Kam Hong masih duduk bersemedhi setengah tidur. Pendekar itu tidak tahu berapa lama Ci Sian pergi, akan tetapi ketika dia sudah bangun, dia melihat Ci Sian sudah membuat api unggun dan dara itu sedang membakar atau memanggang sesuatu yang sedap baunya. Kiranya Ci Sian sudah pandai membuat api dengan batu api dan bahan bakarnya, dan ketika Kam Hong mendekat, ternyata gadis cilik itu sedang memanggang daging, entah daging apa!
“Heii, dari mana engkau memperoleh daging itu? Daging apakah itu?”
Ci Sian tertawa dan mengangkat kulit yang berbulu putih ke atas. “Entah binatang apa, macamnya seperti kelinci, gemuk sekali, Paman, dan baunya sedap, ya?”
Melihat kulit berbulu putih itu Kam Hong menahan ketawanya dan tidak mau memberi tahu kepada Ci Sian bahwa yang sedang dipanggangnya itu adalah daging tikus salju! Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, daging tikus pun baik saja untuk pengisi perut, dari pada kelaparan.
“Paman, aneh sekali. Ketika tadi aku lewat di dekat jenazah itu dan melihat boneka hangus itu, ternyata pada tubuh boneka itu pun ada huruf-hurufnya.”
“Ehhh....? Apa bunyinya?”
“Entah aku tidak membacanya. Aku tahu pasti huruf-huruf itu merupakan siasat baru dari badut itu untuk mempermainkan kita. Aku lebih tertarik mengejar kelinci ini dari pada membaca tulisan tiada gunanya itu.”
Malam tadi Kam Hong memang sudah sangat tertarik untuk mencari tahu rahasia dari jenazah itu. Dia tidak percaya akan kelakar Ci Sian bahwa jenazah itu dahulunya adalah seorang badut yang sengaja hendak meninggalkan lelucon untuk mempermainkan orang lain. Tentu ada rahasia yang tersembunyi dan terkandung di dalam semua pesan yang ditinggalkan oleh jenazah itu. Apakah dia yang keliru mengartikan pesan itu? Ah, tidak mungkin. Kalimat-kalimat pada dahi boneka itu tidak bisa diartikan lain.
Mungkin orang lain akan merasa sayang kepada boneka itu. Ci Sian tidak rela boneka itu dibakar, akan tetapi anak perempuan itu hanya menyayangkan keindahan boneka itu saja, merasa sayang bahwa benda mainan yang demikian bagusnya dibakar! Akan tetapi orang lain, terutama orang-orang kang-ouw, setelah melihat tulisan yang menyebutkan bahwa boneka itu merupakan benda keramat yang mengandung pelajaran dahsyat, pasti akan menyimpannya dan berusaha untuk mencari rahasia pelajaran dahsyat itu.
Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal seperti itu. Dia adalah keturunan Suling Emas, dan dia sendiri sudah memiliki kepandaian peninggalan nenek moyangnya yang tinggi dan hebat, perlu apa dia menginginkan kepandaian lain? Juga, dia tidak sudi melanggar pesan orang yang sudah mati.
Kini, mendengar bahwa boneka yang dibakar sekian lamanya tetap utuh itu ada huruf hurufnya, Kam Hong menjadi tertarik sekali. Tanpa berkata apa pun dia kemudian meninggalkan Ci Sian yang masih sibuk memanggang daging ‘kelinci’ sambil mengomel karena di situ tidak terdapat bumbu masak, dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki, Kam Hong menuju ke tempat jenazah itu. Dia melihat jenazah itu masih rebah telentang seperti malam tadi, boneka itu masih terletak di atas dadanya, di antara tangannya seperti yang dia letakkan semalam, lalu dia mengamati boneka yang gosong itu.
Benar! Ada huruf-huruf pada tubuh boneka itu! Agaknya huruf-huruf itu timbul setelah boneka itu terbakar! Sungguh aneh akan tetapi nyata! Dia tahu benar bahwa ketika dia membakar boneka itu, tidak terdapat huruf apa pun pada tubuh boneka, kecuali pada dahinya itu. Cepat dia mengambil boneka gosong itu dan membersihkan angus dari tubuh boneka yang masih utuh.
Bukan main girang hatinya ketika melihat bahwa huruf-huruf yang timbul setelah boneka dibakar itu merupakan kalimat yang urut dan dapat dibaca dengan mudah. Dia bersihkan seluruh tubuh boneka, kemudian mulai membaca dengan jantung berdebar tegang dan tertarik sekali. Makin lama, sepasang matanya makin terbelalak, mukanya pucat dan tangan yang memegang boneka itu menggigil. Lalu dia menggoyang-goyang kepala dan mengejap-ngejapkan kedua matanya seolah-olah tak percaya akan apa yang dibacanya, lalu dibacanya lagi huruf-huruf yang tersusun rapi dari atas ke bawah di tubuh boneka itu.
Mau membakar boneka pertanda jujur dan tidak tamak akan pusaka orang lain. Berarti berjodoh untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Fa Sian sendiri pun tidak berhasil membujukku menyerahkan ilmu ini, kecuali hanya suling emas buatanku. Akan tetapi suling itu tanpa ilmu sejati, apa artinya? Muridku, rendamlah boneka itu dalam air, dan pergunakan airnya untuk memandikan jenazahku. Kemudian, pelajari semua ilmu yang ada padaku dengan hati yang besih. Tunggui aku selama tiga hari tiga malam, baru boleh engkau menguburku. Mulai saat ini engkaulah muridku dan ahli warisku.
SULING EMAS
Dapat dibayangkan mengapa Kam Hong menjadi terbelalak lalu bengong seperti orang kehilangan ingatan saking bengong, heran dan kagetnya. Jenazah yang meninggalkan pesan itu menamakan dirinya sendiri Suling Emas! Padahal, bukankah Suling Emas itu adalah Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Bu Song dan juga merupakan nenek moyangnya? Apakah.... apakah jenazah ini jenazah nenek moyangnya itu, jenazah Suling Emas Kam Bu Song?
Ah, tidak bisa jadi! Nenek moyangnya itu meninggal dunia di utara, bukan di Pegunungan Himalaya. Dan lagi pula, tulisan itu menyebutkan bahwa penulisnya yang bernama Suling Emas itu hidup di jaman Pendeta Fa Sian yang amat sakti itu hidup pada jaman sesudah Dinasti Cin atau pada kurang lebih tahun empat ratus, jadi sudah seribu empat ratus tahun kurang lebih. Sedangkan nenek moyangnya itu, Pendekar Suling Emas Kam Bu Song hidup dalam tahun sembilan ratus lebih. Jadi ada selislh lima ratus tahunan antara penulis surat ini dan nenek moyangnya yang berjuluk Suling Emas itu. Penulis atau jenazah ini jauh lebih tua.
Tetapi, jenazah ini menyebut-nyebut tentang suling emas. Suling emas yang dikatakan buatannya itu diberikan kepada Pendeta Fa Sian yang masyhur itu, pendeta yang amat sakti dan yang terkenal menjelajah sampai jauh ke luar Cina. Pendeta Fa Sian ini terkenal di seluruh dunia karena dia telah mencatat semua perjalanannya sehingga catatannya itu merupakan catatan sejarah yang amat penting. Ada hubungan apakah antara jenazah ini dengan nenek moyangnya, Kam Bu Song? Dan ada hubungan apakah antara suling emas buatan jenazah ini yang diberikan kepada Pendeta Fa Sian itu dengan suling emas peninggalan nenek moyangnya yang sekarang terselip di ikat pinggangnya?
Sampai bagaimana pun juga, Kam Hong tidak mungkin dapat menyelidiki pesoalan itu tanpa bahan-bahan. Tak ada hal yang lebih ajaib dari pada hal yang telah terjadi secara ‘kebetulan’. Dia tidak tahu bahwa memang suling emas yang berada di pinggangnya itu adalah buatan jenazah inilah! Kurang lebih seribu empat ratus tahun yang lalu! Dan memang pencipta ilmu-ilmu suling emas yang sejati adalah kakek yang kini membujur di depannya sebagai jenazah ini. Entah sudah berpindah tangan berapa puluh kali ketika suling emas itu terjatuh ke dalam tangan pendekar Kam Bu Song.
Seperti dapat dibaca dalam cerita SULING EMAS, pendekar Kam Bu Song memperoleh suling itu di Pulau Pek-coa-to, dari tangan sastrawan terkenal Ciu Bun. Dan dia juga memperoleh kitab terisi sajak-sajak yang menjadi pelengkap suling emas itu dari tangan sastrawan besar Ciu Gwan Liong, adik sastrawan Ciu Bun itu. Kedua orang sastrawan besar she Ciu ini menerima kitab sajak dan suling emas itu dari seorang tokoh manusia sakti yang dianggap dewa, yaitu Bu Kek Siansu! Mungkin saja BU KEK SIANSU menerima suling emas itu dari orang lain, ataukah dari Pendeta Fa Sian sendiri?
Tidak ada yang mengetahui karena memang apa pun boleh saja dan mungkin saja terjadi pada dua orang tokoh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu, yaitu Pendeta Fa Sian dan Bu Kek Siansu! Kakek pembuat suling emas itu telah lenyap dari dunia selama seribu empat ratus tahun, dan kini secara kebetulan yang amat aneh sekali, kakek itu, dengan jasad yang masih utuh, telah berhadapan dengan ahli waris suling emas buatannya itu, ahli waris yang terakhir dan yang memegang suling emas itu!
Bagaikan orang yang kehilangan ingatan Kam Hong masih memegangi boneka itu dan entah sudah berapa kall dia membaca tulisan itu, ketika Ci Sian datang membawa panggang daging kelincinya dengan wajah berseri.
“Paman, sarapan dulu! Ehh, mengapa engkau melamun? Lelucon apa lagi yang ditulis oleh badut kuno itu?”
Suara bening merdu ini menyeret Kam Hong kembali ke alam kenyataan. Dia menoleh, tersenyum dan menaruh kembali boneka gosong itu ke atas dada jenazah, kemudian menghampiri Ci Sian sambil berkata. “Ada perintah baru dari Locianpwe ini. Baiklah kita sarapan, dan nanti akan kuceritakan kepadamu suatu keanehan yang benar-benar ajaib sekali, Ci Sian.”
Mereka lalu makan panggang daging tikus salju itu yang terasa sedap karena memang di situ tidak ada apa-apa lagi untuk dijadikan perbandingan. Setelah makan dan minum air cairan es, dan mencuci tangan, barulah Kam Hong menceritakan tentang tulisan pada boneka gosong itu. Ci Sian mendengarkan dengan ragu-ragu karena dia sudah curiga saja kalau-kalau pamannya ini akan menjadi korban lelucon permainan yang ditinggalkan oleh jenazah badut itu! Akan tetapi ketika dia mendengar tentang suling emas, membuat dia mengerutkan alisnya dan terheran-heran.
“Suling Emas? Paman Kam, bukankah engkau juga memiliki suling emas itu?”
Kam Hong mengangguk dan mencabut sulingnya. Nampak sinar keemasan berkilat dan pendekar ini mengangkat sulingnya ke atas. “Bukan hanya memiliki suling pusaka ini, Ci Sian, bahkan kepadamu aku tidak perlu merahasiakan bahwa aku adalah keturunan terakhir dari Pendekar Sakti Suling Emas.”
“Ahhh....!”
“Kenapa?”
“Aku pernah mendengar dari mendiang Kongkong, kiraku hanya nama dalam dongeng saja....“
“Bukan dongeng, Ci Sian. Pendekar Suling Emas bernama Kam Bu Song dan menjadi nenek moyangku. Maka dapat kau mengerti betapa anehnya penemuan ini! Locianpwe ini, seperti dapat kita baca pada pesanannya, memakai nama Suling Emas dan bahkan mengaku dialah pembuat suling emas! Membuat aku berpikir-pikir apakah hubungan Locianpwe ini dengan nenek moyangku? Dan apakah suling emas buatannya yang dimaksudkan ini adalah suling yang kini menjadi milikku ini?”
Ci Sian yang merasa tertarik sekali ikut pula membaca huruf-huruf pada tubuh boneka itu, yang kembali dibaca oleh Kam Hong untuk ke sekian kalinya. Setelah ikut membaca, Ci Sian berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, tidak lagi memandang rendah kepada jenazah itu.
“Paman, mengapa tidak kau taati perintahnya? Ternyata dia tidak main-main! Mungkin suling emas yang diberikan olehnya kepada Pendeta Fa Sian itulah yang terjatuh ke tangan nenek moyangmu dan sekarang menjadi milikmu. Akan tetapi ilmu yang disebut sebutnya itu, sepatutnya kau pelajari. Kini engkau telah menjadi murid dari Locianpwe ini, Paman! Engkau memang berjodoh dengan dia. Buktinya, engkaulah yang berkeras ingin membakar boneka itu. Kalau aku, aku tadinya merasa sayang, dan kalau menurut aku tentu boneka itu tidak akan pernah kubakar.”
Kam Hong mengangguk. “Memang benar ucapanmu, Ci Sian. Aku juga hendak mentaati perintahnya.”
Kam Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenazah yang rebah telentang itu, kemudian berkata, “Teecu Kam Hong, hendak melaksanakan perintah Locianpwe, harap Locianpwe memberi berkah.”
Setelah memberi hormat, dia lalu merendam boneka gosong itu dalam air. Kemudian, air rendaman itu dipergunakan untuk memandikan jenazah. Ci Sian yang merasa agak ngeri dan jijik, menjauh. Apalagi karena dia mengerti bahwa dia adalah orang luar dan tidak berhak ikut-ikut.
Setelah memandikan jenazah itu dan membereskan kembali pakaian jenazah itu, Kam Hong berpendapat bahwa tidak baik membiarkan jenazah itu di tempat terbuka, maka dia lalu memondong jenazah itu dan dibawanya masuk ke dalam goa lebih kecil yang berada di sebelah kanan goa tempat dia dan Ci Sian bermalam. Goa ini juga diliputi es dan salju, jadi merupakan ‘peti es’ yang lebih besar lagi.
“Ci Sian, aku harus mentaati perintah Locianpwe ini yang aku percaya adalah pembuat suling emas ini, sehingga dengan demikian agaknya beliau ini justru merupakan pencipta suling emas dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan pusaka itu. Maka beliau ini masih terhitung nenek moyang perguruanku yang pertama! Maka, harap kau tidak mengganggu selama tiga hari tiga malam ini, karena aku hendak menjaganya seperti yang sudah diperintahkannya itu.”
Ci Sian mengerutkan alisnya, agak cemberut karena dia merasa betapa beratnya kalau dia selama tiga hari tiga malam harus sendirian saja, tetapi dia pun sudah membaca sendiri pesan itu maka dia mengangguk dan berkata, “Baiklah, Paman. Itu urusan keluargamu. Aku akan menangkap burung, kelinci dan mencoba-coba untuk mencari jalan keluar dari tempat ini.”
“Akan tetapi hati-hatilah, Ci Sian. Dan engkau berteriaklah kalau terjadi sesuatu. Biar pun aku sedang menjaga jenazah, kalau engkau terancam sesuatu tentu aku akan datang menolongmu.”
Lenyaplah rasa tidak enak di dalam hati Ci Sian. Dia kini tidak cemberut lagi, bahkan tersenyum manis sekali. Baru dari ucapan itu saja dia sudah maklum bahwa sebetulnya, pada dasarnya, Kam Hong masih lebih sayang kepadanya dari pada kepada mayat itu!
“Bagaimana dengan makan dan minummu selama tiga hari itu, Paman?”
Kam Hong tersenyum. “Kalau engkau memperoleh sesuatu, kau taruh saja bagianku di dekatku tanpa bicara. Kalau aku lapar atau haus tentu akan kumakan dan kuminum.”
“Baik, Paman,” kata Ci Sian lalu dia pergi meninggalkan Kam Hong yang duduk bersila seorang diri di dekat jenazah.
Setelah dia memandikan mayat itu, dia tadinya mengira tentu akan timbul petunjuk baru, namun ternyata tidak terjadi apa-apa sehingga dia merasa heran. Pikirannya dikerahkan untuk menduga-duga, di mana kiranya mayat ini menyimpan ilmunya yang katanya dalam pesan terakhir itu agar dipelajarinya dengan hati bersih. Apakah tersembunyi di dalam tubuhnya? Akan tetapi, ketika memandikan tubuh itu, dia tidak melihat sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk.
Kini, untuk menggeledah badan mayat itu, dia merasa tidak berani karena betapa pun juga, dia mempunyai perasaan menghormat terhadap jenazah orang yang selain telah mengangkatnya sebagai murid, juga diduganya merupakan nenek moyang perguruan Suling Emas itu. Dia tahu bahwa keadaan jenazah ini memang penuh rahasia, dan agaknya pengasuhnya sendiri, Sin-siauw Sengjin, yang merupakan keturunan pengasuh kepercayaan nenek moyangnya dan bahkan yang menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu nenek moyangnya yang kemudian diturunkan kepadanya, agaknya juga tidak akan dapat memecahkan rahasia jenazah ini.
Sampai tiga hari tiga malam lamanya Kam Hong menjaga jenazah itu, tepat seperti yang diperintahkan oleh tulisan jenazah itu pada boneka. Selama tiga hari tiga malam itu, dia sama sekali tidak pernah makan panggang daging yang setiap hari dihidangkan oleh Ci Sian. Bukankah jenazah itu memesan agar dia mempelajari ilmu-ilmunya dengan hati yang bersih? Dan untuk menjaga agar Ci Sian tidak kecewa atau menyesal, Kam Hong mengubur panggang daging itu di bawah salju, seolah-olah dia telah menghabiskan semua hidangan gadis itu.
Pada hari ke empat, dia sudah merasa sangat yakin bahwa jenazah itu memang tidak meninggalkan suatu petunjuk apa pun, maka dia pun mengambil keputusan untuk menguburnya. Pagi hari ia berlutut didekat tubuh yang rebah telentang itu sambil berkata. “Locianpwe, teecu telah memenuhi perintah Locianpwe, maka perkenankan hari ini teecu mengubur jenazah....“
Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat sesuatu pada kuku-kuku jari tangan yang terletak di atas dada memegang boneka gosong itu. Pada kuku-kuku itu nampak ada huruf-hurufnya! Padahal pada hari-hari sebelumnya huruf-huruf itu belum ada! Hal ini dia ketahui benar karena dia sudah memeriksa seluruh bagian tubuh yang nampak, dan ketika dia memandikan jenazah itu pun dia melihat bahwa pada kuku yang panjang terpelihara itu tidak ada apa-apanya. Bagaimana kini dapat timbul huruf-huruf itu? Akan tetapi pikirannya yang cerdas itu segera dapat menangkap rahasianya. Tentu huruf-huruf itu ditulis oleh tinta istimewa yang bara timbul setelah tiga hari sesudah dicuci dengan air rendaman boneka gosong itu! Cepat diteliti dan dibacanya huruf-huruf itu dari kuku ibu jari sampai kuku kelingking.
Muridku, salurkan tenaga ‘Yang’ ke badanku agar aku tidak kedinginan.
Sungguh aneh, pikir Kam Hong. Mana mungkin jenazah merasa kedinginan? Memang aneh-aneh saja pesan dari jenazah ini, dan pantaslah kalau Ci Sian menganggapnya seorang badut yang suka mempermainkan orang, biar telah mati sekali pun. Akan tetapi, karena ada rasa hormat yang mendalam terhadap jenazah itu, Kam Hong tidak merasa ragu-ragu lagi. Dia meletakkan kedua tangannya ke atas dada jenazah itu, kemudian dia mengerahkan tenaga ‘Yang’ yaitu tenaga sinkang yang mendatangkan hawa panas dan disalurkannya ke dalam tubuh itu melalui dada. Tubuh jenazah yang tadinya dingin itu perlahan-lahan menjadi hangat, makin lama menjadi semakin panas.
Pada saat itu, seperti biasanya Ci Sian datang membawa hidangan panggang daging burung. Karena sekarang sudah hari keempat, maka Ci Sian pun berani memasuki goa mendekati Kam Hong, terheran-heran melihat betapa Kam Hong mengerahkan sinkang disalurkan kepada tubuh jenazah itu. Apa yang hendak dilakukan oleh pendekar ini? Dia merasa heran dan juga ngeri. Bagaimana kalau mayat itu tiba-tiba dapat bangkit dan hidup kembali? Meremang bulu tengkuknya memikirkan kemungkinan yang tak masuk akal ini. Akan tetapi mengapa Kam Hong mengerahkan sinkang ke dalam tubuh mayat itu sampai tubuhnya gemetaran. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang membuat menjerit.
“Heiii! Ada huruf-huruf timbul di punggung tangannya!”
Kam Hong juga melihat hal itu dan dia menjadi terkejut. Tentu saja dia menghentikan pengerahan sinkang-nya dan sempat membaca sedikit tulisan pada punggung lengan tangan itu yang ternyata berisi catatan-catatan pelajaran ilmu yang aneh. Akan tetapi, baru sedikit dia membaca, huruf-huruf itu sudah memudar dan lenyap kembali. Padahal tadi amat jelas, yaitu ketika dia masih mengerahkan sinkang-nya. Maka dicobanya lagi. Begitu dia mengerahkan tenaga ‘Yang’, huruf-huruf itu timbul kembali dengan jelasnya.
Sekarang mengertilah Kam Hong. Dia lalu membuka jubah jenazah itu setelah memberi hormat, dan begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka pada dada, perut, dan lengan jenazah itu terdapat huruf-huruf yang disusun rapi, dimulai dari dada dekat leher terus menurun. Akan tetapi, untuk mengerahkan sinkang sambil mempelajari huruf-huruf itu sungguh merupakan hal yang tidak mungkin. Maka dia lalu mencari akal.
“Ci Sian, kini engkau harus membantuku. Tanpa bekerja sama, tidak mungkin aku dapat mempelajari ilmu yang diwariskan oleh Locianpwe ini. Memang sesungguhnya beliau ini adalah nenek moyang perguruanku, pembuat suling emas ini.”
“Bagaimana engkau bisa tahu, Paman?”
“Lihat, sedikit tulisan yang sampai kubaca tadi menyebutkan tentang pelajaran meniup suling!”
“Wah, untuk apa pelajaran meniup suling, Paman?”
“Aku ingin mempelajarinya. Maukah engkau membantuku, Ci Sian?”
“Tentu saja. Akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu?”
“Aku akan mengerahkan sinkang dan ketika huruf-huruf itu timbul, engkau mencatatnya dari permulaan dekat leher ke bawah.”
“Hemm, dengan apa aku harus menulis? Tidak ada alat tulis....“
Akan tetapi Ci Sian menghentikan kata-katanya karena dari balik jubahnya Kam Hong mengeluarkan alat tulis berikut tinta keringnya.
“Kau kira aku berpakaian sastrawan ini hanya untuk aksi saja? Aku selalu membawa alat tulis ke mana pun aku pergi. Dan engkau dapat menuliskannya di sini.” Kam Hong merobek sebagian dari baju dalamnya dan menyerahkan baju dalam berwarna kuning muda itu kepada Ci Sian.
Ci Sian menggosok tinta bak (tinta kering) dan mempersiapkan alat tulisnya. Kemudian mulailah mereka bekerja sama, Kam Hong menyalurkan sinkang-nya ke dalam tubuh jenazah itu dan Ci Sian lalu mencatat semua huruf yang timbul. Ternyata huruf-huruf itu memang aneh sekali. Makin kuat Kam Hong mengerahkan sinkang-nya, makin jelas pula huruf-huruf itu timbul, akan tetapi begitu Kam Hong mengurangi tenaganya, maka huruf huruf itu pun menyuram!
Mereka bekerja sama dengan tekun. Akan tetapi, sering kali mereka terpaksa harus berhenti karena Kam Hong harus beristirahat dahulu untuk mengumpulkan tenaga yang terus-menerus dikerahkan itu. Sampai selama tiga hari barulah habis semua tulisan yang terdapat pada dada, perut dan lengan itu ditulis Ci Sian. Ternyata di bagian punggung tidak terdapat tulisan, dan tulisan itu terus menurun sampai ke pusar dan bawah pusar! Akan tetapi, ketika mereka sudah mengutip tulisan itu sampai ke pusar, Kam Hong mau pun Ci Sian tidak melanjutkan lebih ke bawah lagi.
“Paman, kalau engkau hendak membuka celana itu aku tidak mau melanjutkan dan biar kau tulis saja sendiri!” katanya.
“Ahhh, aku pun tidak mau melakukan hal itu, Ci Sian. Aku menghormati Guruku, tidak mungkin akan melakukan hal tidak sopan terhadap beliau, biar diupah pelajaran yang bagaimana hebat sekali pun.”
Maka berhentilah mereka. Kam Hong yang kelelahan itu lalu bersemedhi mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaga sinkang-nya yang selama tiga hari ini terus menerus dikerahkannya itu, sedangkan Ci Sian lalu menyusun tulisannya itu agar teratur. Kalau saja keduanya tahu bahwa sikap mereka yang sopan terhadap jenazah itu ternyata malah menyelamatkan mereka, atau setidaknya menyelamatkan Kam Hong! Kiranya, locianpwe yang luar biasa saktinya itu, memang sebelum mati telah memperhitungkan segala-galanya.
Di dalam tempat-tempat terlarang itu memang ada dibuatnya tulisan-tulisan, akan tetapi tulisan-tulisan di tempat terlarang ini mengandung pelajaran-pelajaran menyesatkan yang hanya dapat menyeret orang yang mempelajarinya ke jurang kesesatan! Jadi locianpwe itu telah memperhitungkan dengan cermat sekali, memberi ganjaran kepada penemu mayatnya yang berwatak baik, sebaliknya memberi hukuman kepada penemu mayatnya yang berwatak buruk! Hanya orang-orang kurang menghormat, tidak sopan dan serakah akan ilmu sajalah yang akan membuka celana untuk menuliskan huruf-huruf di bagian tubuh yang terlarang itu!
Setelah tenaga sinkang-nya pulih kembali, mulailah Kam Hong membaca catatan-catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu. Memang kurang tersusun baik, akan tetapi akhirnya Kam Hong dapat menyusunnya kembali dan dia menjadi girang sekali. Ternyata catatan catatan itu mengandung dua macam pelajaran.
Pelajaran pertama adalah pelajaran cara meniup suling! Akan tetapi bukan sembarangan meniup suling, melainkan meniup suling dengan mempergunakan khikang dan sinkang yang amat aneh dan tinggi. Menurut catatan itu, kalau orang berhasil mempelajari cara meniup suling menurut pelajaran ini, maka dia akan dapat meniup suling yang semua lubangnya ditutup, dimulai satu demi satu, sampai akhirnya bahkan dia akan mampu meniup suling tanpa suling! Memang aneh dan gila! Akan tetapi bukan tidak mungkin.
Kalau tingkat khikang dan sinkang yang dimiliki sudah setinggi itu, dia akan mampu mengeluarkan hawa tiupan melalui tenggorokkannya sendiri tanpa suling dan akan dapat mengeluarkan bunyi seindah suara suling yang berlagu! Dan kalau sudah setinggi ini tingkatnya, kiranya di dunia ini akan jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandingi sinkang dan khikangnya sehingga pantaslah disebut Pendekar Suling Emas yang sejati!
Pelajaran ke dua mengandung pelajaran gerakan ilmu pedang yang hanya terdiri dari delapan belas jurus. Ilmu pedang ini tidak begitu baik kalau dimainkan dengan pedang, melainkan baru tepat kalau dimainkan dengan suling emas! Dan nama ilmu ini adalah Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)!
Giranglah hati Kam Hong dan sambil menanti sembuhnya tulang kakinya yang patah, mulailah dia berlatih meniup suling! Kadang-kadang Ci Sian mentertawakan pendekar ini. Kalau meniup suling dengan cara biasa, pendekar ini mampu meniup lagu-lagu indah yang mempesona. Bahkan Ci Sian sendiri menjadi kagum mendengarnya. Akan tetapi sekarang dia belajar meniup bagai seorang anak kecil yang belum pandai meniup suling. Suaranya tidak karuan.
Tentu saja demikian karena dia meniup dengan menurut pelajaran dalam catatan itu, yaitu setiap lubang harus dapat dipergunakan untuk meniupkan suara bermacam-macam not! Dan untuk menguasai ini tidaklah mudah, karena dia harus dapat mengatur tenaga khikang sedemikian rupa sehingga sesuai benar dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menciptakan not itu. Mulailah Kam Hong belajar dengan amat tekunnya, Ci Sian sendiri yang menjadi pencatat dari ilmu-ilmu itu sama sekali tidak mengerti, karena dasar ilmu silatnya masih terlampau rendah kalau harus mengerti ilmu-ilmu yang amat tinggi itu.
Ci Sian, kadang-kadang dibantu oleh Kam Hong yang sudah mulai dapat menggunakan kakinya yang patah tulangnya, akan tetapi terpincang-pincang, sering kali mencari-cari jalan keluar, namun mereka terpaksa harus melihat kenyataan bahwa tempat itu benar benar dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam sekali sehingga seolah-olah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk keluar dari tempat itu. Ci Sian hampir menangis melihat kenyataan ini.
“Haruskah kita hidup terus di sini, sampai mati menjadi orang-orang terasing di tempat dingin ini?” keluhnya.
“Sabarlah, Ci Sian. Tunggu sampai kakiku sembuh sama sekali. Aku akan mencari jalan keluar dan aku akan menuruni jurang itu untuk memeriksa kemungkinan keluar dari tempat ini. Jangan khawatir. Sementara ini, untungnya di sini engkau bisa mendapatkan burung dan.... ehh, kelinci itu untuk makan, bukan?”
“Aih, bosan aku! Setiap hari makan daging burung dan kelinci tanpa bumbu! Lama-lama kita bisa berubah menjadi binatang buas!”
Betapa pun juga, Ci Sian bukanlah seorang anak perempuan cengeng yang hanya suka mengeluh. Dia sudah menjadi lincah gembira kembali dan dia pun membuang waktu luangnya untuk berlatih ilmu silat atas petunjuk dari Kam Hong sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat…..
********************
Kita tinggalkan dulu dua orang anak manusia yang terpencil di tempat sunyi dan dingin itu dan mari kita mengikuti perjalanan Sim Hong Bu dan pamannya Sim Tek. Seperti telah kita ketahui, dua orang paman dan keponakan yang merupakan pemburu-pemburu yang gagah perkasa ini telah menolong Ci Sian akan tetapi sebaliknya mereka malah terancam bahaya maut dan baru selamat setelah Kam Hong turun tangan. Mereka berdua kagum bukan main menyaksikan kelihaian pendekar yang memegang kipas dan suling emas itu. Diam-diam Sim Hong Bu merasa kecewa bahwa ia tak dapat berkenalan lebih jauh dengan gadis cilik yang pemberani dan dengan pendekar yang begitu perkasa.
Dua orang pemburu ini melanjutkan perjalanan. Ketika mereka melihat adanya banyak mayat berserakan di mana-mana dalam keadaan terluka parah dan mengerikan, timbul keraguan dalam hati Sim Hong Bu yang biasanya tabah itu.
“Paman, di mana-mana selalu terdapat bekas amukan binatang buas seperti yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Kalau benar ini semua adalah perbuatan Yeti seperti yang dikabarkan orang selama ini, sungguh amat berbahaya sekali kalau kita bertemu dengan dia. Apakah perlu perjalanan ini kita lanjutkan?” tanyanya sambil membantu pamannya mengubur setiap mayat yang mereka temukan di jalan.
“Hong Bu, engkau tentu mengerti dan dapat merasakan desir darah dan tuntutan hati seorang pemburu! Setelah melihat seekor binatang yang begini buasnya, yang bukan hanya amat menarik akan tetapi juga telah membunuh banyak manusia, bagaimana mungkin kita dapat kembali sebelum berusaha menangkap atau membunuhnya!”
“Aku mengerti, Paman, akan tetapi yang kita buru sekali ini adalah makhluk yang luar biasa kuat dan kejamnya melebihi setan! Apa mungkin kita akan mampu menangkapnya apalagi membunuhnya kalau sekian banyaknya orang kang-ouw saja juga tidak mampu, bahkan menjadi korban dan mati konyol di bawah kebuasannya?”
“Kalau pun tidak mungkin menangkap atau membunuh, baru melihatnya saja pun sudah merupakan suatu kebanggaan besar bagi seorang pemburu sejati! Pemburu manakah di dunia ini yang sudah dapat melihat, bertemu dan berhadapan muka dengan Yeti? Belum ada, dan aku mengharapkan untuk menjadi pemburu pertama yang mengalaminya!”
Hong Bu tidak membantah lagi. Dia dapat merasakan hasrat itu di dalam hatinya, hasrat seorang pemburu yang seperti juga setiap orang pemburu atau penangkap ikan, selalu rindu akan kebanggaan bercerita tentang keanehan binatang yang diburunya. Semakin ganas binatang itu, semakin buas dan semakin berbahaya, akan makin banggalah untuk menceritakan pengalamannya! Ia pun terus mengikuti pamannya tanpa membantah lagi, bertekad untuk menghadapi segala kemungkinan bersama pamannya tanpa mengenal takut.
Paman dan keponakan ini tidak tahu bahwa di balik puncak yang menjulang di depan mereka, yang akan mereka lewati siang hari itu, sedang terjadi hal yang lebih hebat dan mengerikan lagi. Di antara para orang kang-ouw yang ramai-ramai mendatangi Himalaya, tertarik akan berita tentang pedang pusaka yang diperebutkan itu, terdapat lima orang murid-murid Kun-lun-pai. Mereka berlima ini tidak ada hubungannya dengan tiga orang tokoh Kun-lun yang pernah diceritakan dalam awal cerita ini, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti, dan Hui-siang-kiam Ciok Kam yang terluka, biar pun tiga orang tosu itu pun datang dari Pegunungan Kun-lun-san. Sama sekali tidak ada hubungannya, karena lima orang ini adalah murid dari partai persilatan besar Kun-lun-pai yang berpusat di pegunungan Kun-lun-san.
Mereka adalah murid-murid kelas atau tingkat dua, yang bagi dunia kang-ouw sudah merupakan tingkat yang lumayan dan mereka telah memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Mereka terdiri dua orang pemuda dan tiga orang gadis yang kesemuanya memiliki sikap yang gagah perkasa. Yang pertama bernama Tan Coan, merupakan orang pertama dan tertua, usianya dua puluh lima tahun dan merupakan pemimpin rombongan mereka itu. Orang ke dua adalah seorang pria pula, bernama Lim Sun berusia dua puluh tiga tahun. Orang ke tiga adalah adiknya yang bernama Lim Siang, seorang gadis berusia dua puluh tahun. Yang ke empat dan ke lima juga wanita, kakak beradik bernama Tio Gin Bwee berusia delapan belas tahun dan Tio Ang Bwee berusia enam belas tahun.
Lima orang murid Kun-lun-pai ini pun tertarik oleh berita tentang pedang pusaka yang dilarikan pencuri dari istana dan kabarnya dibawa ke daerah Himalaya. Kebetulan mereka berada di Pegunungan Kun-lun-san, maka mereka minta perkenan dari para pimpinan Kun-lun-pai untuk pergi ke Himalaya, sekedar untuk meluaskan pandangan, menambah pengetahuan dan kalau mungkin mendapatkan kembali pedang pusaka kerajaan itu untuk berbakti kepada negara. Para pimpinan Kun-lun-pai merasa khawatir, akan tetapi karena lima orang muda itu mendesak, akhirnya para tosu Kun-lun-pai memberi ijin dengan pesan agar mereka tidak melayani orang-orang kang-ouw dan tidak menimbulkan perkelahian dan permusuhan, melainkan hanya sekedar untuk menambah pengalaman belaka.
Demikianlah, ketika lima orang murid Kun-lun-pai ini tiba di daerah bersalju, tiba-tiba mereka bertemu dengan tiga orang tua aneh yang memandang kepada tiga orang gadis muda itu sambil tertawa-tawa. Lima orang murid Kun-lun-pai itu tidak mengenal mereka ini, tidak tahu bahwa mereka itu adalah tiga orang tokoh kaum sesat yang amat terkenal dan lihai sekali. Mereka itu adalah bekas para pembantu dari tokoh sesat Hwa-i-kongcu Tang Hun, Ketua Liong-sim-pang yang kemudian bergabung dengan pemberontak Pangeran Nepal dan kemudian tewas di tangan pendekar yang terkenal Suma Kian Bu atau lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Siluman Kecil.
Tiga orang aneh ini adalah orang-orang yang sudah biasa berkecimpung dalam dunia kejahatan. Yang pertama berpakaian seperti seorang tosu, usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus berwajah bengis. Orang kedua adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, usianya sebaya dengan tosu tadi, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam. Kalau Hak Im Cu terkenal dengan ginkang-nya yang hebat, orang ke dua ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Selaksa Kati), tenaganya sebesar gajah dan dia adalah seorang yang memiliki sinkang kuat sekali dan kedua kepalan tangannya merupakan senjata ampuh. Orang ketiga adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, usianya juga sebaya, kepalanya gundul tetapi dia bukanlah seorang hwesio. Tubuhnya pendek gemuk, tidak sesuai dengan keahliannya, yaitu ahli bermain dalam air dan memiliki tenaga dalam yang kuat pula. Orang ketiga ini suka tertawa-tawa, dan tangannya memegang sebatang dayung yang kini dipergunakan sebagai tongkat.
Sesungguhnya, sebelum mereka bertiga ini menghambakan diri kepada ketua Liong-sim-pang, walau pun mereka itu termasuk tokoh-tokoh kaum sesat, namun mereka bertiga tidak atau jarang sekali menggoda wanita. Akan tetapi, semenjak mereka menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang selalu menghibur mereka dengan wanita-wanita cantik, ketiga kakek ini berubah menjadi orang-orang yang haus akan pemuasan nafsu berahi mereka yang bangkit karena kebiasaan di Liong-sim-pang itu.
Maka, kini ketika mereka melihat ada tiga orang gadis muda yang manis-manis, bertemu dengan mereka di tempat sunyi, tentu saja mereka menjadi tertarik karena pikiran mereka sudah membayangkan pengalaman-pengalaman lalu dengan wanita-wanita muda dan membayangkan betapa akan senangnya kalau mereka mendapatkan teman seorang satu di tempat yang sunyi dan berhawa dingin itu!
Demikianlah timbulnya nafsu berahi atau nafsu apa pun juga yang menguasai hati dan pikiran, menguasai batin kita setiap saat dan yang kemudian menjadi pendorong dari setiap perbuatan kita dalam hidup ini. Pikiranlah sumbernya. Pikiran yang bekerja mengenangkan segala kesenangan yang pernah dialami. Pikiran yang merupakan gudang dari pengalaman dan ingatan.
Kalau mata kita tertarik dan suka melihat segala sesuatu yang indah, setangkai bunga yang indah warnanya, awan berarak di langit, tamasya alam terbentang luas di depan kita, matahari senja yang menakjubkan, wajah seorang wanita yang cantik manis, semua rasa suka memandang itu adalah wajar, karena mata kita sudah dibentuk sejak kecil untuk menilai apa yang dinamakan indah dan apa yang buruk itu.
Kalau yang ada hanya memandang saja, maka hal itu wajar dan tidak terjadi konflik. Akan tetapi sayang, setiap kali kita memandang, pikiran yang penuh dengan ingatan ini selalu campur tangan. Pikiran yang mendambakan kesenangan ini lalu membayangkan kembali segala kesenangan yang pernah dialami atau pernah didengarnya, kemudian membayangkan hal-hal yang menimbulkan nafsu. Mata melihat wanita cantik jelita dan terjadi daya tarik, timbul semacam dorongan untuk memandang keindahan yang terdapat pada wajah itu. Kalau yang ada hanya memandang saja, maka setelah wanita itu lewat dan lenyap, habislah saja sampai di situ. Tetapi kalau pikiran memasukinya, kemudian membayangkan betapa akan senangnya kalau dapat bercinta dengannya dan sebagainya, maka timbullah nafsu berahi!
Pikiran adalah sumber segala konflik. Pikiran menjadi tempat bertumpuknya kenangan akan hal-hal yang telah lalu, yang pernah kita alami dan selalu pikiran mengejar kesenangan atau lebih tepat lagi, mengejar pengulangan kesenangan yang lalu dengan menciptakan kesenangan yang ingin dialami di masa mendatang, dan selalu karenanya menolak dan menghindarkan ketidak senangan. Oleh karena keinginan untuk mengejar kesenangan inilah maka kemudian timbul perbuatan-perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran, perbuatan-perbuatan jahat yang merugikan orang lain dan diri sendiri.
Setelah melihat semua ini, dapatkah kita membebaskan diri dari pencampur tanganan pikiran? Bisakah kita memandang atau mendengar saja penuh perhatian, tanpa adanya pikiran yang membandingkan, mempertimbangkan lalu memutuskan baik buruknya atau senang susahnya? Dapatkah pikiran berhenti mengoceh dan menghidupkan kembali hal-hal yang telah lalu?
Tentu saja bukan berarti bahwa kita hidup tanpa pikiran! Hal itu sama sekali tidaklah mungkin! Pikiran adalah alat yang amat dibutuhkan untuk hidup, atau untuk melengkapi hidup ini. Tanpa pikiran, tanpa ingatan tentu saja kita tidak akan dapat pulang ke rumah, tidak akan dapat melakukan pekerjaan, tidak akan dapat menghitung, membaca dan sebagainya lagi. Pikiran amatlah penting bagi kita, yaitu dalam soal-soal teknis saja. Dalam soal-soal keperluan lahiriah saja.
Akan tetapi begitu pikiran penuh ingatan memasuki batin, mengusik hubungan antara kita dengan manusia lain, akan terjadilah konflik. Dalam komunikasi antara kita dengan manusia lain, dengan benda, dengan batin, sebenarnya tidak dibutuhkan pikiran yang menilai berdasarkan ingatan masa lalu.
Melihat sikap tiga orang kakek yang jelas membayangkan bahwa mereka itu adalah tokoh-tokoh berilmu, sebagai orang-orang muda yang tahu aturan kang-ouw, lima orang murid Kun-lun-pai itu lalu berhenti melangkah dan menjura kepada tiga orang kakek itu dengan sikap hormat. Tan Coan sebagai yang tertua dan pemimpin rombongan, lalu melangkah maju.
“Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Gagah), selamat berjumpa dan silakan Sam-wi lewat.” Mereka lalu berdiri di tepi jalan untuk membiarkan mereka lewat lebih dulu.
Tiga orang kakek itu saling pandang dan Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biasanya terus menyeringai dan tertawa-tawa itu berkata. “Aha, kalian adalah orang-orang muda yang tahu aturan dan menyenangkan sekali. Siapakah kalian?”
“Kami berlima adalah murid-murid Kun-lun-pai....“
“Wah-wah-wah, murid-murid Kun-lun-pai juga berkeliaran sampai ke sini? Apakah kalian juga ingin pula memperebutkan pedang keramat Koai-liong-po-kiam?” berkata Hak Im Cu dengan nada suara mengejek.
Diam-diam Tan Coan terkejut dan tidak senang melihat sikap mereka dan mendengar ucapan-ucapan yang nadanya mengejek itu. Sikap mereka tidak menghormat Kun-lun-pai itu saja sudah dapat menimbulkan dugaan bahwa mereka ini adalah orang-orang dari golongan hitam! Kaum bersih, di mana juga dia berada, tentu akan menghormati Kun-lun-pai yang merupakan sebuah di antara partai-partai persilatan besar. Akan tetapi dia menahan kesabaran dan menjura sambil berkata, suaranya tetap tenang dan halus.
“Kami mendengar tentang pokiam itu, akan tetapi kami hanya datang untuk melihat dan mendengar, meluaskan pengalaman kami yang dangkal. Harap Sam-wi Locianpwe tidak mentertawakan kami yang bodoh.”
“Huhh, orang-orang Kun-lun-pai selamanya sombong dan tinggi hati!” Tiba-tiba Ban-kin-kwi Kwan Ok mencela, suaranya berat dan memang dia pernah menaruh dendam karena pernah dia dikalahkan oleh seorang tosu Kun-lun-pai beberapa tahun yang lalu.
Akan tetapi Hai-liong-ong Ciok Gu To yang masih tersenyum sambil memandangi tiga orang gadis itu, masih bicara dengan ramah. “Orang-orang muda, ketahuilah bahwa tempat ini amat berbahaya! Ada Yeti mengamuk dan sudah banyak sekali orang kang-ouw yang tewas.”
“Oleh karena itu...” sambung Hak Im Cu, “tidak baik bagi nona-nona ini untuk melakukan perjalanan sendiri! Kalian dua orang pemuda boleh saja berjalan sendiri, akan tetapi biarlah tiga orang nona ini melanjutkan perjalanan bersama dengan kami. Kami akan menjaga dan melindungi keselamatan kalian, Nona-nona manis!”
“Bagus! Seorang satu, itu baru adil namanya,” kata pula Ciok Gu Tosu sambil tertawa bergelak. “Marilah, Nona-nona, kalian akan melakukan perjalanan yang menyenangkan, selain akan aman juga tidak akan kedinginan lagi, ha-ha-ha!”
Lima orang murid Kun-lun-pai itu terkejut bukan main. Muka mereka sudah berubah merah sekali dan sinar mata mereka bernyala karena marah. Mereka memang telah diperingatkan oleh guru mereka agar tidak bermusuhan dan agar jangan berkelahi, akan tetapi kalau berhadapan dengan tiga orang kurang ajar semacam tiga orang kakek ini, apakah mereka juga harus bersahabat? Bagaimana pun juga, mereka adalah orang-orang muda gemblengan, maka Tan Coan bisa menyabarkan adik-adik seperguruannya dengan pandang matanya, kemudian dia menjura lagi dan berkata kepada tiga orang kakek itu, nada suaranya masih halus namun penuh ketegasan.
“Kiranya Sam-wi adalah orang-orang yang merupakan tokoh besar di dunia kang-ouw, maka agaknya sengaja Sam-wi hendak menggoda kami orang-orang muda dari Kun-lun-pai! Akan tetapi para pemimpin dan guru-guru kami telah berpesan kepada kami agar kami tidak berlaku kurang ajar dan tidak mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Oleh karena itu, harap Sam-wi menaruh kasihan kepada kami dan membiarkan kami pergi melanjutkan perjalanan kami.”
“Heh, bocah yang bermulut manis! Kalau engkau mau pergi bersama temanmu pemuda yang satunya lagi itu, lekaslah minggat dan menggelinding pergi! Akan tetapi tinggalkan tiga orang gadis manis itu untuk menemani kami!” bentak Ban-kin-kwi Kwan Ok dengan bentakan keras.
Tak mungkin kini mereka berlima dapat menahan kemarahan mereka yang memuncak oleh ucapan yang amat menghina ini. Sekarang jelaslah bagi mereka bahwa mereka berhadapan dengan tokoh-tokoh golongan hitam yang jahat sekali. Lim Sun yang lebih muda dan lebih berdarah panas itu lalu maju membentak. “Siapakah kalian bertiga yang bersikap seperti memusuhi Kun-lun-pai?” bentaknya dengan melotot.
Hak Im Cu tertawa menyambut pertanyaan ini. “Ha-ha-ha, memang sebaiknya kami memperkenalkan diri agar kalian berdua tidak mati penasaran dan agar ketiga orang gadis itu akan merasa lebih senang karena telah kami pilih sebagai teman-teman seperjalanan di tempat dingin ini. Dengarlah baik-baik, Pinto adalah Hak Im Cu, dia itu adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, sedangkan Si Gundul itu adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To! Nah, sudah jelaskah?”
Lima orang muda Kun-lun-pai itu memang belum banyak pengalaman di dalam dunia kang-ouw, apalagi dunia penjahat, maka tentu saja nama-nama itu asing bagi mereka.
“Sekali lagi kami harap Sam-wi tidak menanam permusuhan dengan kami orang-orang muda yang tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga dan membiarkan kami pergi,” Tan Coan berkata lagi, sungguh pun nada suaranya tidak sehormat tadi, akan tetapi juga tidak kasar dan dia sudah memberi tanda kepada adik-adik seperguruannya untuk meninggalkan tempat itu.
“Haiiiit, tahan dulu!” bentak Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biar pun tubuhnya pendek gemuk akan tetapi dapat bergerak gesit sekali karena tahu-tahu dia sudah berkelebat dan menghadang di depan mereka berlima. “Tulikah kalian? Yang dua laki-laki boleh minggat, akan tetapi yang tiga wanita harus tinggal!”
“Manusia jahat!” bentak Tio Ang Bwee, murid perempuan Kun-lun-pai yang baru berusia enam belas tahun itu dan dia sudah menyerang dengan menggunakan pedangnya yang dicabut secepatnya.
“Ha-ha-ha, engkau memilih aku sayang? Aha, engkau tidak salah pilih!” Si Pendek Gendut yang berkepala gundul ini tertawa dan dengan tenang saja dia mengelak dari sambaran pedang Tio Ang Bwee. Sementara itu, empat orang murid Kun-lun-pai yang lain sudah mencabut pedang dan mereka pun menerjang maju.
Hak Im Cu dan Ban-kin-kwi Kwan Ok menyambut mereka dengan tertawa mengejek. Dan memang sesungguhnya tingkat kepandaian murid-murid kelas dua dari Kun-lun-pai ini masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tiga orang tokoh sesat itu. Tanpa mengerahkan banyak tenaga, lewat belasan jurus saja lima orang muda itu sudah terdesak hebat dan akhirnya Tan Coan dan Lim Sun roboh oleh pedang Hak Im Cu dan senjata dayung di tangan Hai-liong-ong Ciok Gu To, sedangkan tiga orang gadis itu telah roboh tertotok!
Sambil tertawa-tawa tiga orang kakek yang kejam seperti binatang buas itu telah memilih masing-masing seorang gadis, mengangkat dan memondong mereka itu sambil terkekeh dan hendak membawa mereka pergi. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang lain. Melihat dua orang ini, tiga orang kakek itu terkejut bukan main dan wajah mereka berubah pucat.
Yang baru muncul ini adalah dua orang kakek lain yang amat luar biasa. Yang seorang amat pendek, jauh lebih pendek gendut dibandingkan dengan Hai-liong-ong Ciok Gu To, karena Si Pendek yang berkepala gundul dan berpakaian seperti hwesio ini tingginya tidak lebih dari satu seperempat meter! Dia berdiri di situ sambil tertawa ha-ha-ha-ha seperti orang gendeng akan tetapi sepasang matanya mencorong menyeramkan.
Orang kedua tidak kalah anehnya. Sebagai kebalikan dari Si Gendut Pendek, orang kedua ini berpakaian tosu, kurus sekali dan tingginya sampai dua setengah meter, dua kali lebih tinggi dari pada Si Pendek. Kalau Si Gendut Pendek itu berwajah riang gembira, Si Tinggi Kurus ini mukanya sedih seperti orang menangis, sepasang matanya sipit seperti terpejam.
Tentu saja tiga orang kakek jahat itu terkejut seperti melihat setan, karena memang dua orang di depan mereka itu seperti manusia-manusia setan yang terkenal sebagai manusia-manusia yang paling jahat di kolong langit! Mereka itu adalah orang ke empat dan ke lima dari sekelompok orang-orang sakti jahat yang terkenal dengan julukan Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Si Pendek itu adalah Su-ok (Jahat ke Empat) Siauw-siang-cu, sedangkan Si Jangkung itu adalah Ngo-ok (Jahat ke Lima) Toat-beng Sian-su!
Para pembaca cerita Jodoh Sepasang Rajawali tentu sudah mengenal mereka ini karena mereka adalah tokoh-tokoh utama yang memimpin pemberontakan Pangeran Nepal terhadap Kerajaan Ceng beberapa tahun yang lampau. Dan karena tiga orang kakek jahat itu tadinya menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang juga bersekutu dengan pemberontak tentu saja mereka bertiga mengenal siapa adanya dua orang aneh ini.
Hak Im Cu dan dua orang kawannya cepat melepaskan tubuh tiga orang gadis Kun-lun-pai itu dan menjura dengan sikap hormat sekali kepada Su-ok dan Ngo-ok. “Sungguh tidak mengira akan bertemu dengan Ji-wi Locianpwe di sini!” kata Hak Im Cu. Orang seperti Hak Im Cu sampai menyebut Locianpwe terhadap mereka berdua, sungguh merupakan penghormatan yang amat besar.
“Selamat berjumpa, apakah selama ini Ji-wi Locianpwe baik-baik saja?” Ban-kin-kwi Kwan Ok juga menyapa dengan ramah.
“Kami menghaturkan hormat kepada Ji-wi Locianpwe!” kata pula Hai-liong-ong Ciok Gu To.
Akan tetapi Su-ok dan Ngo-ok tidak menjawab. Su-ok hanya tetap ha-ha-he-he menyeramkan, sedangkan Ngo-ok yang cemberut itu memandang kepada tubuh tiga orang gadis muda yang tak dapat bergerak karena tertotok itu.
Akhirnya Su-ok menoleh kepada Ngo-ok dan melihat betapa mata yang sipit itu ditujukan ke arah tiga orang gadis Kun-lun-pai itu, Su-ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kalau engkau menghendaki mereka, tiga ekor anjing tua ini harus dibunuh dulu.”
Ngo-ok mengangguk. “Untuk apa kalau tidak dibunuh!” katanya.
Hak Im Cu dan dua orang kawannya terkejut bukan main. “Ji-wi Locianpwe mengapa berkata demikian? Kalau Locianpwe menghendaki mereka, biarlah kami mengalah dan menghaturkan mereka kepada Locianpwe dengan senang hati.”
“Ha-ha, anjing-anjing tua pengecut. Sudah berani naik ke sini mengapa takut mati? Hayo majulah, bagaimana pun juga kami harus membunuh kalian.”
Tiga orang tokoh sesat itu makin ketakutan sampai wajah mereka berubah pucat. “Locianpwe sungguh tidak adil!” Ban-kim-kwi Kwan Ok berkata. “Kami bertiga adalah sahabat-sahabat yang tidak pernah mengganggu Locianpwe, bahkan dengan hormat kami mempersembahkan tiga orang gadis ini kalau Locianpwe menghendaki. Mengapa hendak membunuh kami?”
“Siapa bilang kita bersahabat?” Ngo-ok mendengus dan matanya terbuka sedikit, sikapnya sungguh mengerikan.
“Locianpwe, bukankah kita pernah bersama-sama membantu Pangeran Nepal? Bukankah kita adalah orang-orang sendiri dan karena itu bersahabat?” Hak Im Cu berkata.
“Ha-ha-ha!” Si Pendek Gendut Suok tertawa mengejek. “Memang ketika itu kalian menguntungkan, maka bersahabat. Sekarang, kalian merupakan saingan kami dalam mencari dan memperebutkan Koai-liong-pokiam, maka kalian adalah saingan kami atau musuh dan harus dibunuh. Lain dulu lain pula sekarang! Dulu menguntungkan maka sahabat, sekarang merugikan maka musuh!”
Sungguh pendapat yang sama sekali mau enak sendiri saja! Akan tetapi, benarkah sikap Su-ok dan Ngo-ok itu aneh dan jahat? Lupakah kita bahwa kita sendiri pun dengan diselubungi oleh segala sopan santun dan kebudayaan, pada hakekatnya mempunyai perhitungan dan pandangan yang tidak jauh bedanya dengan sikap dua orang manusia iblis itu?
Sebaiknya kalau kita meneliti dan memandang diri sendiri, mengenal diri sendiri. Coba kita renungkan dan pandang dengan sejujurnya, mengapa kita mempunyai sahabat-sahabat dan mengapa pula kita mempunyai musuh-musuh?
Bukankah orang yang kita anggap sahabat itu adalah orang yang kita pandang akan menguntungkan kita, baik keuntungan lahir mau pun batin?
Dan sebaliknya bukankah orang yang kita anggap musuh itu adalah orang yang kita pandang merugikan lahir mau pun batin?
Dan orang yang sekarang kita anggap sahabat, kalau pada suatu hari dia itu merugikan kita lahir atau batin, apakah dia masih kita anggap sahabat, ataukah lalu kita anggap sebagai musuh?
Berapa banyaknya orang yang kini kita anggap musuh itu dahulu pernah menjadi sahabat kita?
Ahhh, kehidupan kita penuh dengan penilaian yang didasarkan untung rugi bagi kita sendiri, oleh karena itulah maka kita memisah-misahkan orang-orang lain sebagai yang disuka dan yang tidak disuka, sebagai sahabat atau musuh. Bukankah pada dasarnya kita, yang masih mempunyai sahabat dan musuh, tidak jauh beda pandangan kita dengan Su-ok dan Ngo-ok?
Tiga orang kakek itu sendiri adalah tokoh-tokoh jahat dan kejam. Baru saja mereka memperlihatkan watak mereka yang kejam, dengan membunuh dua orang pemuda Kun Lun Pai yang tidak berdosa dan hendak memaksa tiga orang gadis Kun Lun Pai untuk melayani mereka. Maka, kini melihat sikap Su-ok dan Ngo-ok, maklumlah mereka bahwa tidak ada jalan lain bagi mereka selain membela diri mati-matian.