Suling Emas Naga Siluman Jilid 06

Suling emas naga siluman jilid 06
Sonny Ogawa
CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 06
"Baiklah, Coa-ong. Aku akan membantumu."

Kakek itu menjadi girang sekali, wajahnya yang berkulit hitam itu berseri dan dia lalu menggandeng tangan Ci Sian sambil berkata, “Kalau begitu, hayolah kita berangkat sekarang. Ingin sekali aku melihat wajah Cui-beng Sian-li ketika mendengarkan aku menebak teka-tekinya!”

“Cui-beng Sian-li? Itulah julukan lawanmu?” tanya Ci Sian, diam-diam dia bergidik ngeri karena julukan itu sungguh menyeramkan. Dewi Pengejar Arwah! Tentu saja orangnya mengerikan juga!

“Ya, dan dia lihai sekali. Sebetulnya dia adalah warga dari penghuni Lembah Gunung Suling Emas, akan tetapi semenjak suaminya meninggal, dia kini tinggal di Lereng Batu Merah tidak jauh dari lembah itu, hanya di sebelah bawahnya. Seperti juga Lembah Gunung Suling Emas, Lereng Batu Merah itu pun sukar didatangi manusia dari luar, kecuali mereka yang sudah tahu jalannya.”

“Dan engkau tahu jalannya, Coa-ong?”

“Tentu saja!”

Maka berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu. Menurut keterangan See-thian Coa-ong, tempat tinggal lawannya itu, yaitu Lereng Batu Merah, sebetulnya tidak jauh dari situ, masih merupakan satu daerah gunung, akan tetapi karena terjadi longsor, terpaksa mereka harus mengambil jalan memutar yang amat jauh!

Kini See-thian Coa-ong tidak bertelanjang lagi. Kalau tadinya dia hanya bercawat ketika untuk pertama kali Ci Sian melihatnya, kini kakek itu telah mengambil pakaiannya yang disimpan di dalam goa. Sesungguhnya bukan pakaian, hanya kain kuning panjang yang dilibat-libatkannya di tubuhnya, sebelah pundaknya dan dari pinggang ke bawah sampai ke lutut, seperti pakaian para pendeta pada umumnya. Ular panjang besar yang telah menolong Ci Sian itu ditinggalkan.

“Tanggalkan saja jubahmu itu. Aku akan mengajarkan ilmu untuk membuat tubuhmu hangat dan tahan menghadapi hawa yang bagaimana dingin pun,” berkata See-thian Coa-ong kepada Ci Sian.

Mantel bulu itu memang sudah kotor, maka mendengar bahwa dia akan diajari ilmu yang aneh itu, Ci Sian merasa girang. Dia percaya penuh karena dia sudah melihat sendiri betapa kakek itu dalam keadaan hampir telanjang di dalam hawa udara yang sedemikian dinginnya.

Demikianlah, mereka melakukan perjalanan dan di waktu mereka beristirahat, See-thian Coa-ong memberi petunjuk kepada Ci Sian untuk mengerahkan hawa murni dan membuat tubuhnya terasa hangat biar pun berada dalam hawa udara yang amat dingin.

Tentu saja ilmu ini tidak mudah karena sesungguhnya membutuhkan tenaga sinkang yang amat kuat, akan tetapi kakek itu membantu Ci Sian dan menempelkan telapak tangannya yang panjang dan lebar ini ke punggung Ci Sian, maka dara remaja ini pun dapat dengan cepat menguasai hawa murni yang mengalir di tubuhnya.

Pada suatu pagi, ketika mereka sedang mendaki lereng, tiba-tiba mereka melihat serombongan orang turun dari puncak. See-thian Coa-ong cepat menarik tangan Ci Sian dan diajaknya dara itu bersembunyi di balik batu besar. Akan tetapi Ci Sian dapat mengenal wanita yang berjalan di depan bersama dua orang anak laki-laki itu. Wanita itu bukan lain adalah A-ciu, wanita baju hijau dari rombongan empat wanita bertandu yang pernah dia pukuli dengan bantuan Kam Hong!

Dia tidak mungkin salah mengenalnya biar pun dari jauh, karena di belakang wanita itu terdapat orang-orang yang memikul tiga buah tandu. Tentu tiga buah tandu itu berisi tiga orang wanita lainnya, pikir Ci Sian. Akan tetapi yang amat menarik perhatiannya adalah keadaan dua orang anak laki-laki itu. Mereka itu sebaya dengan dia, dan lucunya, dua orang anak laki-laki itu serupa benar, baik pakaiannya, wajahnya mau pun gerak-geriknya. Mudah saja diduga bahwa mereka tentulah dua orang anak kembar.

Akan tetapi, Ci Sian tidak merasa lucu karena dia melihat betapa dua orang anak laki-laki itu berjalan dengan kedua lengan di belakang tubuh, tanda bahwa mereka itu tidak bebas, terbelenggu kedua lengan mereka! Mereka itu tentu ditawan oleh wanita-wanita jahat itu. Teringatlah Ci Sian akan pertanyaan wanita-wanita itu di depan warung dahulu. Mereka bertanya-tanya tentang dua orang pemuda remaja kembar! Tentu itulah mereka yang ditanyakan dan kini agaknya mereka telah tertangkap dan menjadi tawanan.

Oleh karena hatinya merasa sangat tidak suka kepada empat orang wanita itu yang dianggapnya jahat, maka biar pun dia tidak mengenal dua orang pemuda tanggung itu, hati Ci Sian condong berpihak kepada dua orang pemuda yang menjadi tawanan itu dan dia mengambil keputusan untuk menolong mereka dari tangan wanita-wanita itu.

Akan tetapi dia pun maklum bahwa empat orang wanita itu lihai bukan main. Dia pernah dapat mempermainkan mereka hanya karena pertolongan Kam Hong dan kini pendekar sakti itu tidak berada di situ. Yang ada hanya See-thian Coa-ong. Maka dia lalu menyentuh lengan kakek itu dan berkata dengan suara berbisik.

“Coa-ong, sekarang engkau harus membantuku, baru aku nanti membantu menghadapi lawanmu.”

“Membantu apa, Ci Sian? Tanpa kau minta sekali pun, kalau memang diperlukan aku tentu membantumu. Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik yang saling membantu?”

Girang hati Ci Sian mendengar ini. “Coa-ong, wanita itu dan tiga orang temannya yang berada di dalam tandu adalah wanita-wanita jahat sekali, akan tetapi mereka juga lihai. Dan aku pernah bentrok dengan mereka, maka sekarang aku hendak membebaskan dua orang pemuda yang mereka tawan itu. Engkau mau membantuku, bukan?”

“Siapakah dua orang pemuda kembar itu? Apa kau mengenal mereka?”

“Tidak, melihat pun baru sekarang.”

See-thian Coa-ong menghela napas. “Ahh, Ci Sian, mengapa engkau mencari penyakit? Bukankah engkau merupakan seorang anak yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw? Mengapa harus mencampuri urusan orang lain?”

“Coa-ong, mana kita dapat terlepas dari urusan orang lain? Engkau menyelamatkan aku, dan sekarang aku ikut denganmu untuk menghadapi lawanmu. Bukankah itu berarti bahwa engkau dan aku telah mencampuri urusan orang lain? Hayo, engkau mau membantuku atau kau ingin melihat aku mati di tangan mereka?”

“Baiklah.... baiklah.... akan tetapi aku tidak mau kalau engkau menyuruhku membunuh orang.”

“Siapa mau bunuh siapa? Aku hanya ingin menolong dua orang pemuda yang tertawan itu,” kata Ci Sian.

Sementara itu, rombongan yang menuruni puncak telah tiba di dekat dengan mereka. Memang benar dugaan Ci Sian. Wanita yang berjalan di depan itu adalah A-ciu, wanita baju hijau yang cantik dan berwajah bengis. Wanita itu membawa sebatang pedang yang tergantung di belakang pundaknya, berjalan dengan langkah gagah mendahului di depan dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan dan yang melangkah tenang berdampingan dengan kedua lengan terbelenggu di belakang tubuh, lalu diikuti oleh tiga buah tandu yang masing-masing dipakai oleh empat orang.

Siapakah adanya dua orang anak laki-laki kembar itu? Usia mereka kurang lebih dua belas tahun, pakaian mereka sederhana dan wajah mereka tampan, sikap mereka tenang sekali. Wajah dua orang ini serupa benar, sukar membedakan satu dari yang lain, wajah yang membayangkan kegagahan dan rambut kepala mereka yang hitam gemuk itu dikuncir ke belakang punggung. Melihat sikap mereka, biar pun mereka itu masih remaja dan mereka menjadi tawanan, dibelenggu kedua tangan mereka, akan tetapi mereka nampak begitu tenang. Hal ini saja sudah jelas menunjukkan adanya kegagahan dalam diri mereka.

Dan memang demikianlah. Dua orang anak laki-laki kembar ini memang bukan sembarang anak. Mereka adalah putera-putera dari pendekar sakti Gak Bun Beng dan pendekar wanita yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan terkenal sebagai puteri istana, juga seorang panglima wanita yang disamakan dengan nama Hwan Lee Hwa di jaman cerita Sie Jin Kwie Ceng Tang. Wanita yang menjadi ibu mereka ini bukan lain adalah Puteri Milana, keponakan dari kaisar!

Gak Bun Beng dan Puteri Milana, suami isteri yang keduanya memiliki nama besar di dunia kang-ouw itu, telah lama mengundurkan diri dan hidup aman tenteram di puncak Telaga Warna, di Pegunungan Beng-san, di mana mereka hidup saling mencinta dan rukun bersama dua orang putera kembar mereka yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Di dalam bagian-bagian terdahulu dari rangkaian cerita ini, yaitu di dalam kisah-kisah Sepasang Pedang Iblis, Kisah Sepasang Rajawali, serta pula Jodoh Rajawali, pasangan pendekar sakti ini muncul dengan ilmu-ilmu mereka yang menggemparkan.

Bagaimanakah tahu-tahu dua orang saudara kembar itu, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yang tinggal di puncak Pegunungan Beng-san dapat berada di Pegunungan Himalaya dan menjadi tawanan Su-bi Mo-li?

Su-bi Mo-li adalah empat orang wanita cantik yang lihai sekali karena mereka itu adalah murid-murid gemblengan dari Im-kan Ngo-ok! Mereka berempat oleh guru-guru mereka sengaja diperbantukan kepada Sam-thaihouw yang diam-diam mengadakan hubungan dengan kelima Ngo-ok. Ketika mendengar dari para mata-mata yang disebarnya bahwa dua orang putera dari Puteri Milana itu meninggalkan rumah orang tua mereka untuk ikut beramai-ramai berkunjung ke Himalaya, Sam-thaihouw cepat memerintahkan Su-bi Mo-li untuk melakukan pengejaran dan berusaha menawan dua orang kakak beradik kembar itu, untuk melampiaskan kebenciannya terhadap Puteri Milana! Mengapa Ibu Suri ke Tiga ini membenci Puteri Milana dan karena tidak berdaya terhadap puteri itu kini hendak melampiaskan dendamnya kepada kedua orang putera dari Puteri Milana?

Sam-thaihouw adalah satu-satunya selir yang masih hidup dari mendiang Kaisar Kang Hsi. Sebagai selir mendiang ayahnya, maka tentu saja kaisar yang sekarang, yaitu Kaisar Yung Ceng, tetap menghormati ibu tiri itu, satu-satunya di antara para selir ayahnya yang masih hidup, dan memberinya kedudukah sebagai Sam-thaihouw atau Ibu Suri ke Tiga dan menempati sebuah istana yang cukup mewah.

Pada waktu Sam-thaihouw ini masih muda, pernah terjalin cinta asmara antara selir ini dengan mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yaitu pangeran yang pernah memberontak itu. Mereka mengadakan perjinahan di luar tahunya mendiang Kaisar Kang Hsi. Maka ketika pemberontakan dari kekasihnya itu gagal dan Pangeran Liong Khi Ong bersama saudaranya, yaitu Pangeran Liong Bin Ong, tewas, diam-diam Sam-thaihouw merasa berduka sekali. Maka lalu ditimpakanlah semua rasa benci dan sakit hatinya kepada keturunan Puteri Nirahai atau keturunan dari Pendekar Super Sakti. Terutama sekali kepada Puteri Milana yang berjasa pula memberantas pemberontakan kekasihnya itu.

Kini, setelah selir kaisar ini menjadi tua, satu-satunya nafsu yang berkobar di dalam dadanya hanyalah membalas dendam dan membasmi keturunan Pendekar Super Sakti atau keturunan Milana, kalau tak mungkin menghancurkan kehidupan puteri itu sendiri. Inilah sebabnya mengapa Sam-thaihouw mengadakan kontak dengan Im-kan Ngo-ok melalui orang-orang kepercayaannya, dan ini pula yang menjadi sebab mengapa Su-bi Mo-li menjadi pembantu-pembantunya dan kini empat orang wanita cantik yang lihai itu bersusah payah pergi ke Himalaya untuk mengejar dua orang putera kembar dari Puteri Milana ketika mereka mendengar bahwa dua orang anak kembar itu ikut beramai-ramai ke Himalaya mencari pedang pusaka yang hilang dari istana.

Sungguh tak terduga oleh Su-bi Mo-li betapa di daerah Himalaya itu mereka berempat harus kehilangan muka ketika mereka bentrok dengan Kam Hong yang ternyata adalah keturunan Pendekar Suling Emas yang amat lihai! Akan tetapi, rasa penasaran dan kecewa ini terobatlah ketika mereka akhirnya dapat menemukan di mana adanya dua orang pemuda tanggung yang kembar itu! Mereka menemukan Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang sedang berkeliaran di dalam sebuah hutan dalam keadaan bingung dan tersesat jalan! Memang kedua orang anak ini dengan keberanian luar biasa telah meninggalkan rumah orang tua mereka tanpa pamit untuk ‘mencari pengalaman’ di daerah Himalaya yang luas itu.

Su-bi Mo-li tidak perlu mempergunakan kekerasan. Ketika melihat mereka dikurung oleh empat orang wanita lihai yang mengaku utusan Sam-thaihouw yang minta kepada mereka berdua agar ikut untuk menghadap ke kota raja, dua orang anak muda itu menyerah tanpa perlawanan. Mereka berdua bukan merasa takut. Sama sekali tidak. Sejak kecil mereka telah digembleng oleh ayah bunda mereka sehingga mereka tidak pernah mengenal takut, dan biar pun keduanya baru berusia sekitar tiga belas tahun, namun mereka telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang hebat.

Tetapi, mereka takut kepada ayah bunda mereka yang selalu menekankan agar mereka berdua tidak mencari permusuhan di dunia kang-ouw dan agar tidak menimbulkan keributan. Sekarang mendengar bahwa Su-bi Mo-li adalah utusan Sam-thaihouw yang ‘memanggil’ mereka, maka kedua orang anak kembar ini menyerah dan bahkan tidak membantah ketika A-ciu membelenggu kedua tangan mereka ke belakang dengan alasan agar ‘jangan lari.’

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong bukanlah anak-anak yang bodoh, mereka menyerah bukan hanya untuk menghindarkan bentrokan dan keributan, akan tetapi juga mereka percaya penuh bahwa jika mereka dibawa ke kota raja, apalagi ke istana, mereka akan selamat dan tidak akan ada yang berani mengganggunya!

Bukankah Kaisar masih terhitung paman mereka sendiri, masih keluarga dengan ibu mereka? Dan siapakah yang tak mengenal Puteri Milana, ibu mereka? Siapa yang akan berani mengganggu mereka, putera dari Puteri Milana yang terkenal? Mereka tidak tahu tentang Sam-thai-houw!

Ketika rombongan ini tiba ditempat Ci Sian dan See-thian Coa-ong bersembunyi, tiba-tiba Ci Sian meloncat keluar dari balik batu besar, mengembangkan kedua lengannya dan dengan suara yang lantang dia membentak.

“Su-bi Mo-li! Kalian masih berani melakukan kejahatan dan menawan dua orang bocah itu? Hayo kalian bebaskan mereka!”

A-ciu tentu saja segera mengenal dara remaja itu dan wajahnya tiba-tiba berubah pucat. Cepat dia menoleh kearah dua orang pemuda tanggung itu. Akan tetapi dua orang pemuda kembar itu hanya saling lirik dan bersikap biasa saja, sikap yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal dara cilik yang menghadang itu. A-ciu juga menoleh ke kanan kiri, merasa ngeri karena mengira bahwa tentu dara itu muncul bersama dengan Suling Emas, sastrawan muda yang membuat dia dan tiga orang suci-nya tak berdaya.

Melihat A-ciu hanya bengong dan memandang ke kanan kiri, Ci Sian membentak lagi dengan marah. “Heii, apakah engkau sudah menjadi tuli? Hayo kau bebaskan dua orang bocah itu! Apa engkau ingin kugampar lagi mukamu sampai bengkak-bengkak?”

Ucapan itu mengingatkan kepada A-ciu akan penghinaan yang diterimanya dari dara remaja ini. Sepasang mata wanita cantik itu lantas berkilat seperti mengeluarkan api dan dengan menahan rasa marah karena dia masih takut pada Kam Hong, dia berkata, suaranya nyaring, “Bocah setan! Hayo suruh Pendekar Suling Emas keluar bicara dengan kami, jangan engkau mengacau di sini! Aku percaya bahwa Pendekar Suling Emas tidak akan selancangmu mencampuri urusan kami yang tiada sangkut-pautnya dengan dia!”

Ci Sian juga seorang yang amat cerdik. Melihat sikap A-ciu itu, dia pun tahu bahwa wanita itu masih merasa gentar kepada Kam Hong, maka dia tersenyum. Biar pun Kam Hong tidak bersamanya, namun dia tidak merasa takut kepada wanita itu, mengingat bahwa See-thian Coa-ong berada di belakang batu besar, siap untuk melindunginya.

“Hemm, Paman Kam tidak datang bersamaku, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau boleh membangkang terhadap perintahku. Ayo kau bebaskan dua orang bocah itu.”

Mendengar ucapan ini, tentu saja A-ciu menjadi girang bukan main. “Bagus! Sekarang bersiaplah engkau untuk mampus, bocah setan!” teriaknya dan dia sudah mencabut pedangnya. Walau pun tanpa pedang juga dengan mudah dia akan mampu membunuh Ci Sian, namun saking marahnya, dia menghunus pedangnya dan siap menerjang dara remaja itu.

Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi lengking nyaring yang tinggi sekali, sedemikian tinggi suara itu sehingga amat halus menggetarkan jantung! A-ciu menahan gerakannya. Hatinya memang masih gentar terhadap Kam Hong dan kalau memang pendekar itu berada di situ, sampai bagaimana pun dia tidak akan berani menyentuh Ci Sian. Maka, mendengar lengking yang tak wajar ini, wajahnya berubah dan jantungnya berdebar. Siapa tahu kalau-kalau bocah setan itu menipu dan membohong, pikirnya dan dia menoleh ke kanan kiri.

Mendadak terdengar suara mendesis-desis, dan bermunculanlah ular-ular dari segala jurusan datang ke tempat itu.

“Ular....! Ular....!” Para pemikul tandu berteriak-teriak ketakutan karena amat banyaklah binatang-binatang itu bermunculan dari segala tempat. Ular-ular berukuran besar kecil dan bermacam-macam warnanya.

Dan ular-ular itu seperti digerakkan atau dikendalikan oleh suara melengking tinggi itu kemudian langsung menyerang kepada A-ciu dan para anggota rombongan itu! A-ciu mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang. Ci Sian juga tertawa dan sekali meloncat dia telah menghampiri dua orang anak laki-laki yang tertawan itu.

“Kalian jangan bergerak keluar dari sini!” katanya dan dengan telunjuk tangan kanannya dia menggurat tanah di sekeliling dua orang pemuda tanggung itu.

Sungguh ajaib, ratusan ekor ular yang berkeliaran di situ, tidak seekor pun yang berani melanggar garis bulat yang mengelilingi Si Kembar itu!

Keadaan rombongan itu menjadi kacau balau. Karena takutnya dan jijiknya, para pemikul tandu itu melepaskan tandu-tandu mereka dan berlompatanlah tiga orang wanita dari dalam tiga buah tandu yang dilepaskan itu. Su-bi Mo-li tentu saja merasa jijik dan mereka berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri dari serbuan ular-ular itu yang makin banyak berdatangan ke tempat itu! Akan tetapi, dua belas orang pemikul tandu itu kurang gesit gerakan mereka dan dalam waktu singkat mereka itu sudah tergigit ular dan mereka berteriak-teriak ketakutan.

Su-bi Mo-li tidak tahu siapa yang memanggil ular secara luar biasa ini, akan tetapi mereka maklum bahwa di belakang dara cilik yang bengal itu terdapat seorang sakti yang membantu. Tidak nampak Pendekar Suling Emas membantu, akan tetapi kini muncul seorang aneh lain yang dapat memanggil datang ular-ular demikian banyaknya!

Apalagi melihat betapa dara cilik itu mampu menyelamatkan dua orang tawanan mereka dengan menggurat tanah dengan telunjuk dan ular-ular itu sama sekali tidak berani menghampiri kedua orang pemuda itu, maklumlah Su-bi Mo li bahwa orang sakti pemanggil ular itu tentu ada hubungan baik dengan dara cilik itu yang ternyata juga menguasai ilmu menaklukkan ular. Karena mereka berempat masih jeri dan belum hilang rasa takutnya terhadap Kam Hong maka kini melihat dua belas orang pemikul tandu itu roboh semua, mereka menjadi semakin jeri dan dengan cepat mereka lalu berloncatan meninggalkan tempat itu mempergunakan ginkang!

Setelah mereka pergi, barulah See-thian Coa-ong muncul. Kakek ini memang tidak mau menanam bibit permusuhan, maka dia tadi hanya menggerakkan ular-ularnya tanpa muncul sendiri. Kini dia sudah mengusir ular-ularnya yang merubung tubuh dua belas orang pemikul tandu, dan beberapa kali tangannya mengusap tubuh orang-orang itu yang tadi kelihatan seperti sudah mati atau pingsan. Sungguh aneh, begitu kena diusap oleh tangan kakek Raja Ular ini dua belas orang itu dapat bergerak kembali lalu bangkit.

“Pergilah kalian dengan tenang,” kata See-thian Coa-ong dan dua belas orang itu lalu mengangguk hormat, lalu pergi dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat yang mengerikan itu.

Sementara itu, Ci Sian sudah menghampiri Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong berdua yang masih berdiri di dalam lingkaran. Ci Sian tersenyum ramah dan berkata. “Kalian sudah terbebas dari bahaya, biarlah kubukakan belenggu kedua tangan kalian.”

“Jangan sentuh aku!” tiba-tiba Gak Jit Kong berseru, alisnya berkerut dan sinar matanya memancarkan kemarahan.

“Engkau siluman ular!” bentak Gak Goat Kong.

Ci Sian terkejut dan melangkah mundur, matanya memandang terbelalak dan mukanya berubah merah. Dua orang bocah kembar yang telah diselamatkannya itu sekarang malah menghinanya! Akan tetapi, dia makin menjadi terkejut melihat dua orang anak laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan tangan mereka dan belenggu-belenggu itu putus semua, kemudian pada saat berikutnya, tubuh kedua orang anak kembar itu bergerak dan mereka sudah meloncat jauh dan tinggi melewati semua ular dan mereka lalu berlari sangat cepatnya menuju ke arah perginya Su-bi Mo-li dan dua belas orang pemikul tandu tadi!

Tentu saja Ci Sian menjadi bengong. Dia terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kiranya dua pemuda tanggung tadi bukan sembarangan, tetapi memiliki kepandaian yang cukup hebat, bahkan jauh lebih lihai dari pada dia sendiri. Ketika mematahkan belenggu, ketika meloncat, jelas nampak betapa tinggi ilmu kepandaian mereka! Akan tetapi mengapa mereka tidak memberontak dan melawan ketika dijadikan tawanan? Dan kenapa mereka itu justru marah-marah kepadanya yang telah berusaha menolong mereka?

Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli di belakangnya. Ci Sian menengok dan melihat bahwa yang tertawa adalah See-thian Coa-ong.

“Kenapa kau malah tertawa?” Ci Sian bertanya dengan suara seperti membentak sebab hatinya terasa semakin mengkal.

“Ha-ha-ha, Ci Sian. Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kita tidak perlu mencampuri urusan orang lain? Kau lihat, karena engkau mencampuri urusan mereka, maka engkau hanya merasa kecewa saja. Dua orang pemuda kembar itu bukan orang sembarangan, dan tentu ada sebabnya mengapa mereka mau saja ditawan oleh wanita-wanita itu. Dan empat orang wanita itu pun lihai-lihai sekali.”

“Akan tetapi bocah-bocah tak kenal budi dan kurang ajar itu malah memaki aku siluman ular!” Ci Sian berseru dengan hati panas dan dia mengepal tinju, sekarang kemarahannya bukan lagi ditujukan kepada Su-bi Mo-li, melainkan kepada dua orang pemuda tanggung kembar itu!

Memang demikianlah. Kemarahan yang mendatangkan kebencian itu merupakan api dalam batin yang tidak dapat dilenyapkan dengan jalan menutup-nutupinya dengan kesabaran atau dengan mencoba untuk melupakan melalui hiburan-hiburan. Kalau kita marah kepada seseorang, kepada isteri atau suami umpamanya, kemudian kita sabar-sabarkan dengan alasan-alasan yang kita buat sendiri, memang dapat kita menjadi sabar dan tenang. Akan tetapi, api kemarahan itu sendiri belum padam, masih bernyala di dalam batin, hanya tidak berkobar-kobar, tidak meledak karena ditutup oleh kesabaran yang kita ciptakan melalui pertimbangan-pertimbangan dan akal budi. Seperti api dalam sekam.

Kalau mendapatkan ketika, maka api kemarahan yang masih bernyala itu akan berkobar lagi, akan meledak lagi dalam kemarahan yang mengambil sasaran lain, mungkin kita lalu akan marah-marah kepada anak kita, kepada pembantu kita, kepada teman dan sebagainya! Maka kita akan terperosok dalam lingkaran setan yang tiada berkeputusan, marah lagi, bersabar lagi, marah lagi, bersabar lagi dan seterusnya, melakukan perang terhadap kemarahan yang pada hakekatnya adalah diri kita sendiri. Terjadilah konflik di dalam batin yang terus-menerus antara keadaan kita yang marah dan keinginan kita untuk tidak marah!

Akan terjadi hal yang sama sekali berbeda jikalau di waktu kemarahan timbul kita hanya mengamatinya saja! Mengamati tanpa penilaian buruk atau baik, tanpa menyalahkan atau membenarkan. Ini berarti tanpa adanya aku atau sesuatu yang mengamati, karena begitu ada si aku yang mengamati, sudah pasti timbul penilaian dari si aku. Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, mengamati dan menyelidiki kemarahan itu, mengikuti segala gerak-geriknya penuh perhatian. Yang ada hanya PERHATIAN saja, tanpa ada yang memperhatikan. Dan pengamatan tanpa si aku yang mengamati inilah yang akan melenyapkan atau memadamkan api kemarahan itu, tanpa ada unsur kesengajaan atau daya upaya untuk memadamkan!

Dari manakah timbulnya kebencian?

Kalau kita semua membuka mata memandang, akan nampak jelas bahwa benci timbul karena si aku merasa dirugikan, baik dirugikan secara lahiriah, misalnya dirugikan uang, kedudukan, nama dan sebagainya, mau pun dirugikan secara batiniah, seperti dihina, dibikin malu dan sebagainya. Karena merasa dirugikan, maka timbullah kemarahan yang melahirkan kebencian. Kebencian ini seperti racun menggerogoti batin kita, menuntut adanya pembalasan, ingin mencelakakan orang yang kita benci, menimbulkan perasaan sadis yang dapat dipuaskan oleh penderitaan dia yang kita benci sehingga tidak jarang mendatangkan perbuatan-perbuatan kejam yang kita lakukan terhadap orang yang kita benci demi untuk memuaskan dendam!

Kebencian ini dipupuk oleh pikiran yang bekerja dan yang sibuk terus, mengoceh, menilai, mendorong, menarik, mengendalikan. Kadang-kadang pikiran membenarkan kebencian dengan berbagai dalih, kadang-kadang pula menyalahkan. Terjadilah konflik batin ini yang memboroskan energi batin. Pemborosan energi batin ini memupuk dan memberi kelangsungan kepada kebencian itu, karena pikiran bekerja terus mengingat dan menghidupkan segala hal yang terjadi, yang merugikan kita dan mendatangkan kebencian itu. Padahal kebencian itu adalah aku sendiri, kebencian adalah pikiran itu sendiri! Pikiran menciptakan aku dan karena aku dirugikan, timbullah benci. Jadi benci dan aku tidaklah terpisah.

Kalau pikiran tidak bekerja untuk menilai, kalau yang ada hanya pengamatan terhadap kebencian itu, berarti pikiran menjadi hening, pengamatan tanpa penilaian terhadap kebencian, maka kebencian akan kehilangan daya gerak, akan kehilangan pupuk, kehilangan kelangsungan yang dihidupkan oleh pikiran yang menilai-nilai. Dan kalau sudah begitu, maka kemarahan, kebencian akan lenyap dengan sendirinya, seperti api yang kehabisan bahan bakar. Pikiran yang mengingat-ingat dan menilai-nilai itulah yang merupakan bahan bakar.

Baik kebencian itu merupakan kebencian perorangan, kebencian demi bangsa, demi suku dan sebagainya, pada hakekatnya adalah sama, karena di situ tentu terkandung si aku yang merasa dirugikan. Si aku dapat berkembang menjadi bangsaku, agamaku, sukuku, keluargaku, dan selanjutnya
.

Kembali See-thian Coa-ong tertawa mendengar gadis cilik itu marah-marah. “Mengapa marah? Engkau muncul di antara ratusan ekor ular, tentu dua orang muda kembar itu mengira bahwa engkau adalah siluman ular!”

“Ah, kalau begitu, Coa-ong, aku tidak sudi belajar ilmu ular!” kata Ci Sian dan dia pun lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil menggosok kedua matanya! Hatinya sakit sekali dimaki orang sebagai siluman ular tadi!

See-thian Coa-ong tersenyum lebar. “Aihhh, Ci Sian, mengapa engkau mempedulikan amat segala pendapat orang lain? Disebut Raja Ular seperti aku, atau Siluman Ular, atau sebutan apa pun, apakah artinya? Itu hanya sebutan yang diucapkan oleh bibir saja, hanya kata-kata kosong. Yang penting adalah perbuatan kita dalam hidup. Apa artinya disebut dewa kalau tindakannya lebih jahat dari pada setan? Sebaliknya, apa salahnya dimaki orang sebagai iblis kalau hidupnya melalui jalan benar?”

Seorang anak perempuan yang biasa dimanja seperti Ci Sian, mana dapat menangkap ucapan seperti itu?

“Pula, kalau tidak ada sahabat-sahabat ular tadi yang membantu, apa kau kira empat orang wanita itu mau melarikan diri meninggalkan engkau?”

Ci Sian sadar kembali dan dia dapat melihat betapa pentingnya kepandaian menguasai ular-ular itu yang sewaktu-waktu dapat dipakai membela diri dan melindungi keselamatannya dari gangguan orang-orang jahat! Maka dia berhenti menangis. “Su-bi Mo-li itu jahat sekali. Mereka pernah mengaku kepada Paman Kam bahwa mereka adalah utusan dari Sam-thaihouw. Entah siapa Sam-thaihouw itu.”

See-thian Coa-ong juga tidak mengerti dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka. Ci Sian tidak dapat mengingat lagi jalan yang amat sukar dan berkeliling itu. Melalui celah-celah jurang yang amat curam, menuruni tebing dan mendaki bukit-bukit. Kalau bukan orang yang sudah benar-benar hafal akan jalan di situ, tidak akan mungkin dapat mengunjungi tempat ini. Agaknya See-thian Coa-ong sudah hafal akan jalan di situ dan beberapa hari kemudian, setelah mengelilingi sebuah gunung besar, barulah mereka tiba di perbatasan tempat yang hendak dikunjungi kakek itu.

“Nah, inilah perbatasan yang berada di sebelah bawah Lembah Suling Emas. Di atas sana itulah lembah gunung itu, dan kalau tak tahu jalan rahasia menuju ke sana, jangan harap dapat mengunjunginya. Kecuali menyeberangi jurang yang harus menggunakan jembatan tambang yang hanya dapat dipasang atas kehendak tuan rumah. Wanita yang menjadi lawanku itu tinggal di bawah sini. Hati-hati, jangan sembrono, kita sudah memasuki daerah kekuasaannya.”

“Daerah kekuasaan yang kau sebut Cui-beng Sian-li?” tanya Ci Sian berbisik dan kakek itu mengangguk.

Mereka maju terus di sepanjang dinding gunung yang amat tinggi. Ketika mereka menikung, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berkelahi. Dari jauh sudah nampak bahwa yang berkelahi itu adalah seorang gadis cantik jelita melawan seorang pemuda tanggung yang berpakaian pemburu, memegang busur dengan tangan kiri dan di punggungnya tergantung tempat anak panah. Biar pun pemuda tanggung itu kelihatan kuat dan mempergunakan senjata busur di tangan kiri untuk melawan, namun ternyata dia terdesak hebat oleh pukulan-pukulan wanita cantik itu yang menggunakan kedua tangannya yang dibuka dan dimiringkan, membacok-bacok seperti dua batang pedang atau golok. Dan See-thian Coa-ong terkejut bukan main melihat betapa sambaran tangan wanita cantik itu mengeluarkan suara bercuitan, tanda bahwa sinkang-nya telah kuat sekali!

Sementara itu, setelah tiba dekat dan dapat melihat mereka dengan jelas, Ci Sian segera mengenal pemuda pemburu itu sebagai pemburu muda yang dahulu pernah menolongnya saat dia hendak dibunuh oleh Su-bi Mo-li! Maka, tanpa diminta, dia sudah meloncat ke depan dan membentak sambil menyerang wanita cantik itu. Baru saja dia marah-marah kepada Su-bi Mo-li dan wanita itu pun cantik, usianya tentu sudah dua puluh lima tahun, biar pun jauh lebih cantik dibandingkan Su-bi Mo-li, akan tetapi ada persamaannya, yaitu seorang wanita dewasa yang cantik.

“Perempuan jahat, jangan kau ganggu sahabatku!” Sambil berteriak demikian Ci Sian sudah menerjang maju dan memukul wanita itu kalang-kabut.

Tentu saja wanita itu menjadi terkejut, akan tetapi dia tersenyum mengejek melihat bahwa serangan Ci Sian itu biasa saja dan tidak berbahaya. Dengan mudahnya wanita cantik itu mengelak dan sebelum Ci Sian menyerang lagi, pemuda tanggung itu sudah berseru kepadanya sambil melompat keluar dari kalangan pertandingan.

“Ehh, Nona, harap jangan salah sangka! Kami hanya saling menguji kepandaian, bukan berkelahi!”

Mendengar ini tentu saja Ci Sian juga tidak melanjutkan serangannya dan dia lalu memandang dengan heran. Siapakah dua orang itu dan mengapa mereka berada di tempat sunyi itu dan mengadu ilmu silat?

Ci Sian tidak keliru mengenal orang. Memang pemuda tanggung itu adalah Sim Hong Bu, pemuda pemburu yang kini telah menjadi murid keluarga Cu di Lembah Suling Emas itu. Dan baru sekarang dia bertemu dengan wanita cantik yang mengadu ilmu silat dengan dia, dan belum dikenalnya benar sungguh pun tadi wanita itu telah sempat memperkenalkan diri.

Setelah tinggal di Lembah Suling Emas, mulailah Hong Bu berlatih ilmu silat, yaitu dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu di bawah pimpinan Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu yang merupakan Ji-suhu dan Sam-suhu baginya, yaitu guru ke dua dan guru ke tiga. Akan tetapi pemuda tanggung ini tidak pernah melupakan kesenangan memburu binatang yang telah menjadi pekerjaannya semenjak dia kecil, maka di waktu terluang dia selalu membawa busur dan anak panah untuk memburu binatang di sekitar lembah, dan hasil buruannya lalu diserahkan kepada pekerja di dapur untuk dimasak dan untuk hidangan sekeluarga Cu. Pada pagi hari itu, ketika dia berburu dan tiba di perbatasan lembah yang hanya dapat ditempuh melalui jalan rahasia yang hanya dikenal oleh orang-orang Lembah Suling Emas, dan yang telah diberitahukan kepadanya pula, tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu!

Keduanya terkejut. Hong Bu segera menjadi curiga karena menurut para gurunya, tidak boleh ada orang luar memasuki daerah Lembah Suling Emas. Lagi pula, daerah itu merupakan daerah rahasia yang tidak dikenal orang luar, bagaimana tahu-tahu ada wanita cantik muncul di situ?

“Siapa engkau?” tegurnya. “Berani benar engkau memasuki daerah Lembah Suling Emas tanpa ijin!”

Wanita cantik itu juga kelihatan terkejut dan heran, apalagi melihat sikap pemuda tanggung itu seperti seorang pemburu, maka dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang pemburu yang salah jalan. Yang membuat dia terheran-heran adalah teguran pemuda itu, seolah-olah pemuda itu berhak mengatur orang lain yang berada di tempat itu! Wanita itu tersenyum mengejek. “Ehh, bocah lancang. Engkaulah yang lancang berani memasuki daerah terlarang ini. Siapa engkau?”

Melihat sikap ini dan mendengar pertanyaan itu, Hong Bu menjadi ragu-ragu. Dia belum lama menjadi penghuni lembah itu dan belum mengenal betul semua anggota keluarga majikan lembah. Siapa tahu kalau-kalau wanita cantik ini juga merupakan seorang anggota keluarga, atau seorang murid, atau seorang pelayan! Maka dia pun bersikap halus dan cepat-cepat memperkenalkan diri. “Aku adalah murid dari majikan lembah ini.”

Wanita itu tersenyum lebar dan nampak cantik sekali, akan tetapi sikapnya memandang rendah. “Aih, kiranya engkaukah yang datang bersama Yeti itu? Subo telah bercerita tentang dirimu. Bukankah engkau yang bernama Sim Hong Bu itu?”

“Benar....” Hong Bu menjadi semakin ragu karena dia yakin bahwa wanita ini tentu keluarga atau murid dari lembah itu. “Dan.... siapakah engkau, Cici?”

“Aku? Engkau harus menyebut Suci (Kakak Seperguruan) kepadaku. Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu adalah Subo-ku.”

Hong Bu terkejut mendengar ini, dan juga merasa heran. Toaso dari para gurunya itu, yang dia harus menyebut Supek-bo, adalah seorang wanita yang masih kelihatan muda dan cantik. Muridnya ini juga seorang wanita dewasa yang cantik, dan kalau Supek-bo itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun muridnya ini tentu sudah ada dua puluh lima tahun. Pantasnya mereka itu adalah kakak beradik, bukan guru dan murid! Akan tetapi dia segera memberi hormat.

“Ah, harap Suci maafkan, karena aku belum mengenal semua keluarga, maka aku tidak tahu bahwa Suci adalah murid dari Supek-bo.”

Wanita itu tertawa. “Tidak apa, Sute. Aku pun belum lama menjadi murid Subo. Engkau sungguh beruntung bisa menjadi murid Lembah Suling Emas, bahkan menurut Subo, engkau akan mewarisi pedang Koai-liong-pokiam. Entah bagaimana sih lihaimu maka engkau dipilih? Sute, kita adalah orang sendiri. Aku adalah Suci-mu dan namaku adalah Yu Hwi. Jangan engkau sungkan, mari kita berlatih sebentar karena aku ingin sekali mengukur sampai di mana kepandaian silatmu.”

“Ahh, aku belum belajar apa-apa, Suci....“ Hong Bu berkata.

Akan tetapi wanita itu mendesak dengan kata-kata yang tegas. “Sute, murid Lembah Suling Emas tidak boleh bersikap lemah. Apalagi aku hanya ingin mengujimu, apa salahnya? Hayo, kau sambut ini!” Dan wanita itu lalu menyerangnya.

Hong Bu terkejut sekali karena gerakan wanita itu sungguh amat lihai. Maka dia cepat mengelak dan terpaksa dia melayani suci-nya itu. Namun, biar pun dia menggunakan busurnya sebagai senjata, tetap saja dia terdesak hebat.

Tentu saja, karena wanita itu adalah Yu Hwi, yang dulu pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Ang-siocia! Para pembaca kisah Jodoh Rajawali tentu masih mengenal wanita lihai ini. Yu Hwi adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek yang semenjak kecil diculik dan diambil murid oleh Hek-sin Touw-ong, raja maling yang luar biasa lihainya itu.

Seperti telah diceritakan dalam kisah Jodoh Rajawali, dara cantik lincah Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia dan suka mengenakan pakaian merah muda ini, melarikan diri dari depan kakeknya ketika dia diberitahu dan diperkenalkan kepada tunangannya sejak kecil yang bukan lain adalah Kam Hong! Dia merasa malu, dan juga cinta kasihnya terhadap Pendekar Siluman Kecil membuat dia merasa kecewa, sungguh pun harus diakuinya bahwa Kam Hong tidak kalah tampan dan gagah dibandingkan dengan Pendekar Siluman Kecil. Dara yang keras hati ini melarikan diri dan tidak pernah kembali lagi. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, perbuatannya itu membuat Kam Hong, calon suaminya yang telah dijodohkan dengan dia sejak mereka berdua masih kecil, merana dan pendekar ini mencari-carinya selama lima tahun tanpa hasil!

Dan memang dugaan dan harapan Kam Hong itu tidak kosong belaka. Ramai-ramai orang kang-ouw yang menuju ke Himalaya memang menarik juga hati Yu Hwi. Yu Hwi adalah seorang dara murid Si Raja Maling, dan dalam hal permalingan memang dia lihai bukan main. Mendengar bahwa ada orang mencuri pedang pusaka dari istana dan membawanya lari ke Himalaya, hatinya amat tertarik dan dia pun ikut pula melakukan pengejaran dan pencarian. Ingin dia melihat siapa malingnya yang demikian berani dan lihai, dan ingin dia menguji sampai di mana kepandaian maling itu! Juga, dia tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang menggegerkan dunia kang-ouw dan yang telah menarik hati semua orang kang-ouw untuk ikut-ikutan memperebutkannya itu.

Akhirnya, dalam perantauannya ke Himalaya di mana dia tidak pernah berjumpa dengan orang-orang yang mencarinya, yaitu tunangannya, Kam Hong, dan kakeknya, Sai-cu Kai-ong, dia malah tiba di perbatasan Lembah Suling Emas itu tanpa disengaja dia memasuki daerah tempat tinggal Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu di kaki gunung, di bawah lembah itu!

Di tempat ini bertemulah Yu Hwi dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Pada saat mendengar bahwa dara cilik itu adalah murid Hek-sin Touw-ong yang hendak mencari pencuri pedang pusaka, Cui-beng Sian-li tertarik dan menguji kepandaiannya. Yu Hwi tekejut bukan main, dan juga kagum karena ternyata kepandaian pencuri ini jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri, bahkan masih lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian gurunya, Si Raja Maling! Maka tunduklah hati dara yang keras ini dan dia pun mengangkat guru kepada Cui-beng Sian-li yang juga merasa suka kepada Yu Hwi.

Demikianlah sedikit riwayat dari Yu Hwi yang kini bertemu sute-nya, karena keduanya adalah para murid-murid dari para tokoh Lembah Suling Emas dan dalam kesempatan itu, Yu Hwi sengaja menguji kepandaian sute-nya yang dilihat oleh Ci Sian sehingga gadis cilik ini turun tangan hendak membantu Hong Bu.

Kini Yu Hwi yang berdiri di samping Hong Bu memandang kepada Ci Sian dan kepada See-thian Coa-ong dengan alis berkerut. “Sute, engkau kenal mereka?” tanyanya tanpa menoleh kepada Hong Bu.

“Aku tidak mengenal kakek itu, Suci, namun Nona ini pernah kujumpai di pegunungan salju.”

Lega rasa hati Yu Hwi. Kiranya dua orang yang datang ini bukan keluarga atau sahabat sute-nya. Maka setelah memandang penuh perhatian, dia dapat menduga bahwa kakek gundul botak yang datang bersama gadis cilik itu tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka ia pun menghadapi kakek itu dan berkata dengan suara tegas.

“Kalian berdua telah memasuki daerah kami yang terlarang. Kalau hal itu kalian lakukan tanpa sengaja, harap kalian segera pergi lagi secepatnya meninggalkan tempat ini. Kalau disengaja, harap katakan apa keperluan kalian datang ke sini dan siapa adanya kalian berdua!”

See-thian Coa-ong tersenyum ramah. “Memang kami sengaja mendatangi tempat ini. Aku adalah See-thian Coa-ong, hendak berjumpa dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu.”

Terkejutlah Yu Hwi mendengar ini dan dia menjadi semakin curiga. “Sute, harap kau pulang dulu, tidak baik kalau sampai Subo melihatmu di sini.”

Hong Bu mengangguk. “Baiklah, aku pergi dulu, Suci.”

Dan dia pun lalu menoleh kepada Ci Sian. Sejenak mereka berpandangan. Kedua orang muda remaja ini semenjak bertemu memang merasa saling suka, bahkan begitu berjumpa mereka telah bekerja sama menghadapi Su-bi Mo-li, maka rasanya sekarang tidak enak dalam hati Hong Bu bahwa mereka bertemu lagi dalam waktu sesingkat itu, tanpa ada kesempatan untuk bicara panjang lebar.

“Nona, kuharap keadaanmu akan baik selalu,” akhirnya Hong Bu berkata.

“Terima kasih, kuharap engkau pun begitu pula,” jawab Ci Sian.

“Sute, pergilah....,“ desak Yu Hwi, mengingat akan pentingnya urusan yang dihadapinya.

Kakek ini jelas bukan orang Han, melainkan seorang Nepal atau India, maka kini datang mencari subo-nya, tentu ada urusan yang amat gawat. Apalagi melihat keadaan kakek itu yang menunjukkan tanda-tanda seorang yang berilmu tinggi.

Hong Bu mengangguk dan membalikkan tubuhnya, akan tetapi teringat bahwa dia belum berkenalan dengan gadis cilik itu, maka dia membalik lagi dan berkata cepat, “Namaku Sim Hong Bu.”

Ci Sian tersenyum. “Dan namaku Bu Ci Sian.”

Kini Hong Bu membalikkan tubuhnya. “Sampai jumpa!” katanya.

Dia pun berlari cepat meninggalkan tempat itu, menghilang di balik batu-batu besar. Dia harus melalui jalan rahasia untuk kembali ke daerah Lembah Suling Emas di atas sana, jalan rahasia terowongan yang hanya diketahui oleh para penghuni Lembah Suling Emas saja.

Sementara itu, Yu Hwi lalu berkata kepada See-thian Coa-ong. “Guruku tidak begitu mudah ditemui, dan dia tidak suka diganggu.”

“Aihhh, Nona, agaknya Nona belum berada di sini tiga tahun yang lalu sehingga tidak mengenalku. Aku dan Gurumu sudah berjanji untuk sewaktu-waktu bertemu di sini, maka harap kau beritahukan kepada Cui-beng Sian-li bahwa aku See-thian Coa-ong datang untuk memenuhi janji dan untuk menebak teka-tekinya.”

Tentu saja Yu Hwi yang belum pernah mendengar dari subo-nya tentang hal itu merasa heran sekali. “Menebak teka-teki....?”

Selagi dia meragu, mendadak terdengar suara bisikan halus terbawa angin memasuki telinganya, “Yu Hwi, antarkan tamu-tamu itu ke dalam taman, aku menanti di sini!”

“Baik, Subo,” kata Yu Hwi dan dia pun terkejut sendiri karena maklum bahwa suara gurunya itu dikirim melalui ilmu mengirim suara dari jauh dan yang mendengar bisikan itu adalah dia seorang.

Namun suara itu sedemikian jelasnya sehingga seolah-olah gurunya itu berada di sampingnya dan bicara kepadanya! Demikian hebat kekuatan khikang dari subo-nya itu. Karena merasa malu bicara seperti kepada diri sendiri atau kepada bayangan yang tidak nampak, Yu Hwi cepat berkata kepada kakek itu, “Subo minta kepada kalian untuk menghadap kepadanya di taman. Silakan!” Dan Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnya tanpa menanti jawaban, lalu melangkah pergi.

“Hebat memang ilmu Coan-im-jip-bit dari Cui-beng Sian-li,” kata kakek itu.

Kembali Yu Hwi terkejut dan menduga-duga apakah kakek itu juga dapat mendengar bisikan subo-nya? Agaknya tidak mungkin, karena sepanjang pengetahuannya ilmu itu kalau dipergunakan hanya dapat didengar oleh orang yang ditujunya. Dia menoleh dan melihat kakek itu bersama gadis tanggung mengikutinya.

Yang dimaksudkan taman oleh Cui-beng Sian-li dan muridnya itu adalah sebuah tempat terbuka yang memang indah sekali. Di situ penuh dengan pohon, akan tetapi karena ketika itu musim dingin sedang hebat-hebatnya, maka semua pohon telah kehilangan daunnya, yang tinggal hanya batang dan cabang berikut rantingnya yang kini penuh dengan salju dan es yang menggantikan tempat daun dan bunga. Dan di sana-sini nampak batu-batu terselaput es yang aneh-aneh bentuknya. Semua itu berkilauan dan memantulkan cahaya yang beraneka warna sehingga memang benar-benar merupakan taman yang luar biasa aneh dan indahnya.

Di tengah taman itu terdapat sebuah kupel, yaitu bangunan tak berdinding, di mana terdapat sebuah meja batu berikut bangku-bangkunya yang mengelilingi meja itu, juga terbuat dari batu-batu dan jumlahnya ada delapan buah, cocok dengan meja yang bentuknya segi delapan itu. Dan di atas sebuah di antara bangku-bangku itu nampak duduk seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu.

“Subo, teecu sudah mengantar tamu-tamu datang,” kata Yu Hwi yang lalu berdiri di belakang subo-nya.

Wanita cantik itu memutar tubuh dan memandang kepada See-thian Coa-ong, lalu memandang kepada Ci Sian. Wajah yang cantik itu nampak suram seolah-olah sedang dibayangi kedukaan atau kepahitan hidup. Akan tetapi dia tersenyum ketika bertemu pandang dengan See-thian Coa-ong.

“Duduklah, See-thian Coa-ong,” katanya lembut.

“Terima kasih, Cui-beng Sian-li,” jawab kakek itu yang segera duduk menghadapi nyonya rumah, terhalang meja.

Ci Sian yang tidak dipersilakan duduk tidak mau duduk dan hanya berdiri di belakang kakek itu, seperti yang dilakukan oleh Yu Hwi. Gadis cilik ini memperhatikan nyonya itu dengan kagum. Tidak disangkanya bahwa di tempat sunyi seperti ini, tempat yang terpencil dari keramaian dunia, dia dapat bertemu dengan dua orang wanita cantik seperti guru dan murid ini. Dan sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa yang menjadi musuh kakek itu, yang namanya begitu menyeramkan, ternyata adalah seorang wanita yang cantik jelita! Padahal tadinya dia membayangkan bahwa nama itu tentu dimiliki seorang wanita yang amat menyeramkan.

“Engkau sungguh merupakan seorang kakek yang keras hati, Coa-ong. Tidak kusangka bahwa kekalahanmu dulu itu benar-benar kau tebus dengan mengasingkan diri sampai sekarang dalam goa itu. Tiga tahun lamanya! Bukan main!”

“Hemmm, Sian-li. Seandainya ketika itu engkau yang kalah, apakah engkau juga tidak akan menjalani hukuman seperti yang kita pertaruhkan bersama?”

Wanita itu tersenyum pahit. “Aku ragu-ragu apakah aku akan mampu setekun engkau memegang janji yang kita buat dalam keadaan marah itu, Coa-ong. Sudahlah, buktinya engkau kalah dan engkau baru tiga tahun bertapa di dalam goa itu. Masih kurang dua tahun lagi. Kenapa engkau sudah keluar dan mencariku?”

“Karena sekarang aku sudah mendapat jawaban teka-tekimu!”

“Ahh, benarkah? Hemm.... tidak mungkin!”

“Coba dengarlah, Cui-beng Sian-li. Akan tetapi apakah janji pertaruhan itu sekarang masih berlaku?”

“Tentu saja.”

“Jadi, kalau jawabanku keliru, aku harus melanjutkan bertapa di dalam goa itu dua tahun lagi, dan kalau benar engkau tidak boleh keluar dari tempat ini selama dua tahun.”

“Ya, begitulah, karena yang lima tahun itu telah lewat tiga tahun.”

Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Sekali tersesat di daerah Lembah Suling Emas, aku mengalami hal-hal yang amat menarik. Nah, dengarlah. Teka-tekimu dahulu itu merupakan pertanyaan begini: Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita? Bukankah begitu pertanyaanmu?”

“Tepat sekali. Nah, kalau memang engkau tahu jawabannya, jawablah.” Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menantang.

“Cui-beng Sian-li, perbedaannya adalah begini. Pria adalah Yang dan wanita adalah Im. Pria adalah kasar dan kuat, wanita adalah lembut dan lemah. Cinta seorang pria bersifat ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memanjakan, ingin memiliki! Sebaliknya cinta wanita bersifat ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin disenangkan, ingin dimiliki! Yang lembut mengalahkan yang keras, yang lemah menundukkan yang kuat. Bukankah begitu jawabannya?”

Wajah yang cantik itu tiba-tiba menjadi merah, lalu menjadi pucat, kemudian tiba-tiba saja dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis! Melihat gurunya menangis demikian sedihnya, Yu Hwi terkejut dan marah. Cepat dia melompat dan menyerang kakek itu sambil membentak.

“Kakek iblis, berani engkau membikin susah Guruku?!”

Serangan Yu Hwi tentu saja hebat bukan main. Biar pun baru beberapa bulan dia menjadi murid Cui-beng Sian-li dan baru menerima sedikit petunjuk, akan tetapi oleh karena sebelumnya memang kepandaiannya sudah tinggi, maka begitu menggerakkan Ilmu Kiam-to Sin-ciang, terdengar suara bercuitan dan menyambarlah angin yang amat tajam ke arah kakek tinggi kurus hitam itu!

See-thian Coa-ong maklum akan kelihaian dara itu, maka dia pun sudah mencelat mundur dari bangkunya dan begitu Yu Hwi melancarkan pukulan maut bertubi-tubi dan kedua lengannya itu seperti berubah menjadi pedang tajam yang menyambar-nyambar, kakek ini hanya mengelak dan kadang-kadang saja menangkis dengan lengannya yang hitam panjang.

“Hemmm, beginikah sikap orang yang kalah taruhan?” See-thian Coa-ong mendengus dan tiba-tiba terdengar suara melengking keluar dari dada melalui kerongkongannya dan tidak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan datanglah ratusan ekor ular ke tempat itu dari segenap jurusan!

Yu Hwi merasa terkejut sekali akan tetapi tentu saja dia tidak takut. Sebelum dia turun tangan membunuh ular-ular itu, terdengar gurunya membentak.“Yu Hwi, jangan lancang kau. Mundurlah.”

Yu Hwi tidak berani membangkang dan dia menghentikan gerakannya, lalu meloncat ke belakang gurunya. Cun Ciu sudah menghapus air matanya dengan sapu tangan sutera, kemudian berkata kepada kakek itu. “Coa-ong, maafkanlah muridku. Simpan kembali ular-ularmu yang menjijikkan itu.”

See-thian Coa-ong tertawa dan ratusan ekor ular itu tiba-tiba membalik dan merayap pergi dari situ. Sebentar saja tempat itu menjadi bersih dan hening, tidak terdengar suara mendesis seperti tadi dan bau amis dari ular-ular beracun telah lenyap pula.

“Ha-ha, aku sudah terlalu tua untuk menggunakan kekerasan, maka terpaksa minta bantuan ular-ular yang menjadi sahabatku itu untuk menakut-nakuti,” kata kakek itu.

“Hemm, siapa takut kepada ular-ularmu, Coa-ong? Dan kalau engkau melawan dengan ilmu silatmu, mana mungkin muridku mampu bertahan terhadapmu? Sudahlah, engkau datang bukan untuk mengadu ilmu silat, tetapi untuk menebak teka-teki dan ternyata engkau menang. Jawabanmu benar, Coa-ong. Akan tetapi, engkau seorang pria yang selalu tidak pernah berhubungan dengan wanita, bagaimana engkau mampu menjawab dengan begitu tepat?” tanya Cui-beng Sian-li sambil mengusap kedua matanya yang agak merah.

“Ha-ha, sungguh mati aku tadinya sama sekali tidak mampu menjawab dan jangankan harus bertapa dua tahun lagi, biar dua puluh tahun lagi aku pasti tidak akan mampu menjawab kalau tidak bertemu dengan muridku ini. Muridku ini, Bu Ci Sian, yang telah membantuku menjawab teka-tekimu.”

Tang Cun Ciu memandang tajam kepada gadis cilik itu yang juga menatapnya dengan pandang mata tidak kalah tajamnya. “Hemm, Coa-ong, muridmu itu sebenarnya masih terlalu kecil untuk dapat menyelami perasaan wanita jatuh cinta. Akan tetapi dia memiliki kecerdasan hebat.”

“Aku bukan murid See-thian Coa-ong!” tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring.

Tang Cun Ciu memandang dengan heran sekali. Dia melihat Ci Sian berdiri tegak dengan sepasang mata berapi dan tiba-tiba dia seperti melihat seorang lain dalam diri gadis cilik itu.

“Kau.... kau she Bu? Ahhh, tidak salah lagi, engkau tentu anaknya!” Cui-beng Sian-li berkata lirih dan sepasang matanya terbelalak. “Engkau.... engkau tentu puteri Bu-tai hiap!” Tiba-tiba dia meloncat ke depan, mukanya pucat sekali. “Engkau.... serupa benar dengan ibumu dan karena itu engkau harus mampus!”

“Wuuuuttt....!”

Hebat bukan main tamparan yang dilakukan oleh Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu ke arah kepala Ci Sian itu. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan agaknya nyawa gadis cilik itu takkan dapat tertolong lagi dari ancaman maut.

“Syuuuut.... dessss!”

Kedua orang sakti itu terhuyung ke belakang dan See-thian Coa-ong tersenyum pahit sambil berkata, “Cui-beng Sian-li, apakah kita harus mulai mengadu kepandaian lagi seperti tiga tahun yang lalu? Apakah engkau hendak menodai nama Lembah Suling Emas dengan membunuh seorang anak-anak yang tidak berdosa apa pun kepadamu?”

Ucapan itu membuat Cui-beng Sian-li tersadar dan dia pun menarik napas panjang, lengan tangannya masih tergetar hebat oleh tangkisan kakek itu tadi. “Ahhh.... aku telah lupa diri....! Aku menyesal, Coa-ong, dan sebagai hukumanku, aku akan menceritakan kepadamu segala peristiwa yang menimpa diriku dan kenapa aku bersedih mendengar jawaban teka-tekimu dan mengapa aku hendak membunuh Nona cilik ini.”

Tanpa mempedulikan bahwa yang mendengar ceritanya bukan hanya seorang kakek itu, tetapi juga Yu Hwi dan Ci Sian, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu lalu menceritakan riwayatnya yang seharusnya merupakan rahasia bagi seorang wanita, akan tetapi kini dia ceritakan kepada orang lain tanpa malu-malu, seolah-olah hendak membuka rahasia kebusukannya sendiri! Memang aneh-aneh watak dari orang-orang dunia persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi itu!

Tang Cun Ciu adalah seorang wanita cantik yang sejak kecil telah memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi karena dia berguru kepada para pertapa di sepanjang perbatasan Tibet. Bahkan akhirnya di dalam usia tujuh belas tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik dan lihai berjumpa dengan Cu San Bu, seorang pendekar dan tokoh besar dari keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas. Cu San Bu seketika jatuh cinta kepada dara yang cantik manis ini dan akhirnya mereka menikah.

Kalau Cu San Bu tergila-gila karena kecantikan Cun Ciu, sebaliknya Tang Cun Ciu tertarik sekali kepada Cu San Bu karena kelihaian pendekar ini yang merupakan saudara tertua dari keluarga Cu. Padahal, usia mereka berselisih lima belas tahun! Kalau Tang Cun Ciu merupakan seorang dara remaja berusia tujuh belas tahun, adalah suaminya itu telah berusia tiga puluh dua tahun!

Setelah menjadi isteri Cu San Bu, Tang Cun Ciu yang amat suka mempelajari ilmu silat itu memperoleh kemajuan hebat sekali. Suaminya yang amat mencinta itu mengajarkan ilmunya kepada isterinya sehingga dalam waktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Tang Cun Ciu sudah sedemikian hebatnya sehingga tidak berselisih jauh sekali dari para kakak beradik Cu itu sehingga dia diterima sebagai seorang tokoh Lembah Suling Emas pula.

Akan tetapi, mungkin karena perbedaan usia yang terlalu banyak, atau karena memang watak mereka pun berbeda, Cu San Bu adalah seorang pendekar yang lebih bayak menahan nafsu-nafsunya dan lebih banyak bersemedhi, tapi sebaliknya Tang Cun Ciu adalah seorang wanita yang berdarah panas, maka dalam pernikahan itu Tang Cun Ciu merasa kecewa dan banyak menderita tekanan batin!

Suaminya itu terlalu dingin baginya sehingga sering kali dia merasa tersiksa oleh gairah nafsunya sendiri yang tidak terpuaskan karena suaminya hanya teramat jarang mau menggaulinya. Dan karena ketidak serasian ini agaknya maka biar pun sudah menikah bertahun-tahun mereka berdua tidak mendapatkan keturunan.

Makin dewasa usia Tang Cun Ciu, semakin tersiksalah dia karena suaminya menjadi semakin tua dan semakin dingin dalam hubungan jasmani. Ketika dia berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dan bagaikan bunga sedang mekar-mekarnya dan sedang panas-panasnya gejolak birahinya, suaminya yang baru berusia empat puluh dua tahun itu sudah jarang mau mendekatinya!

Keadaan seperti ini agaknya tidak akan menimbulkan apa-apa dan lambat laun Tang Cun Ciu tentu akan terbiasa dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kalau saja tidak muncul sepasang suami isteri pendekar yang datang bertamu di Lembah Suling Emas. Mereka ini adalah sepasang pendekar yang berusia sekitar tiga puluhan tahun. Pendekar itu dikenal sebagai Bu-taihiap, dan isterinya seorang wanita yang cantik dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bu-taihiap sudah mengenal Cu San Bu, kakak tertua di antara saudara-saudara Cu itu yang memang merupakan satu-satunya orang yang sering kali keluar dari Lembah Suling Emas dan banyak merantau.

Mereka, suami isteri itu, diterima sebagai seorang sahabat, bahkan mereka ditahan untuk tinggal di lembah itu selama mereka belum menemukan tempat yang baik untuk bertapa. Memang suami isteri itu datang ke Pegunungan Himalaya untuk bertapa dan mempelajari ilmu yang baru saja mereka dapatkan. Pada waktu itulah terjadi godaan yang amat hebat menggerogoti hati Tang Cun Ciu yang selalu kehausan cinta asmara itu! Wajah Bu-taihiap yang tampan, tubuhnya yang gagah, amat menarik hatinya dan mulailah terdapat sinar-sinar cinta asmara berkilatan dari pandang mata dan dari senyumnya terhadap sahabat suaminya itu! Hayoo!

suling emas naga siluman jilid 06


Dan Bu-taihiap walau pun dia merupakan seorang pendekar sakti yang selain berilmu tinggi juga berbatin kuat, tetap saja masih seorang manusia biasa, seorang manusia laki-laki yang masih muda dan akhirnya dia pun tidak kuat menghadapi godaan sinar-sinar cinta asmara yang dikobarkan oleh Tang Cun Ciu yang kehausan kasih sayang dan mendambakan belaian pria itu. Apa yang tak dapat dihindarkan lagi pun terjadilah. Terjadilah hubungan yang biasanya dinamakan perjinahan antara Tang Cun Ciu dan Bu-taihiap!

Setelah menderita tekanan batin selama bertahun-tahun di samping suaminya yang kurang memenuhi kebutuhan jasmani dan perasaannya, dan sekarang bertemu dengan seorang pria muda yang berdarah panas serta tidak kalah besar gelora birahinya dibandingkan dengan dirinya sendiri, tentu saja Tang Cun Ciu bagaikan seorang yang telah lama kehausan bertemu dengan sumber air yang segar. Tidak puas-puasnya dia meneguk air yang menyegarkan itu, tidak peduli lagi bahwa yang diminumnya adalah air terlarang, Lupa dia bahwa dia menjadi isteri pria lain dan bahwa pria yang dipeluknya penuh kobaran api cinta asmara yang menggelora dan panas itu adalah suami dari seorang wanita lain!

Dan tidak aneh pula kalau pada suatu hari mereka tertangkap basah! Semua orang di tempat itu, termasuk suami Tang Cun Ciu dan isteri Bu-taihiap, adalah orang-orang lihai yang berkepandaian tinggi, maka tentu tidak mudah dikelabui dan akhirnya perbuatan mereka berdua itu ketahuan! Namun, sebagai seorang pendekar besar yang tidak lagi dimabok birahi dan mudah dikuasai amarah, Cu San Bu tidak menimbulkan keributan.

Bu-taihiap merasa malu sendiri. Kalau seandainya suami wanita itu marah-marah dan menyerangnya, dia tidak akan merasa demikian terpukul dan malu seperti sekarang ini. Sikap Cu San Bu yang diam seperti orang tidak marah itu lebih menyakitkan hati bagi Bu-taihiap, karena membuat dia kelihatan semakin rendah saja! Maka dia pun berpamit dan pergi meninggalkan Lembah Suling Emas bersama isterinya dan semenjak itu tidak pernah nampak lagi atau terdengar beritanya.

Bercerita sampai di sini, Tang Cun Ciu memejamkan kedua matanya dan diam sampai beberapa lama. Ketika dia membuka lagi matanya, kedua mata yang jernih tajam itu agak basah. Dia menarik napas panjang. Dadanya yang masih membusung penuh itu naik turun.

“Sampai sekarang pun aku tak pernah dapat melupakan dia! Aku mencintai mendiang suamiku, hatiku mencinta suamiku yang amat baik kepadaku, akan tetapi tubuhku rindu kepada Bu-taihiap.”

Diam-diam muridnya sendiri, Yu Hwi, menjadi merah mukanya mendengar cerita subo-nya dan mendengar pengakuan itu. Pengakuan terang-terangan dan yang menurut pendapat dan pandangan umum merupakan pengakuan tidak tahu malu dari seorang isteri!

Wanita itu melanjutkan ceritanya…..

Biar pun pada lahirnya Cu San Bu diam saja seolah-olah perbuatan isterinya yang berjinah dengan tamunya itu tidak melukai hatinya, namun sesungguhnya dia merasa tertikam batinnya. Dia amat mencintai isterinya, tetapi cintanya tidak terlalu condong kepada nafsu birahi. Ia tak menyesal karena merasa dirugikan, hanya merasa menyesal mengapa isterinya melakukan perbuatan yang begitu rendah dan memalukan. Yang lebih memberatkan perasaan batin pendekar ini adalah sikap adik-adiknya.

Cu San Bu adalah seorang anak angkat dari ayah ketiga orang saudara Cu. Biar pun dia sudah dianggap anak sendiri dan memakai she Cu, namun tiga orang adiknya itu tahu bahwa dia bukanlah darah daging keluarga Cu. Biasanya memang sikap Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu kepadanya biasa saja, tetap menganggapnya sebagai kakak sendiri, kakak terbesar yang selain paling lihai ilmunya, juga dapat mereka hormati karena sikap dan perbuatan Cu San Bu yang gagah perkasa dan baik, yang selalu menjunjung tinggi nama keluarga Cu. Akan tetapi, setelah peristiwa perjinahan antara Tang Cun Ciu dan Bu-taihiap, sikap tiga orang pendekar itu berubah sama sekali!

Tiga orang kakak beradik Cu itu diam-diam merasa terhina dan marah sekali oleh perbuatan Toaso mereka. Menurut pendapat mereka, dosa Toaso mereka itu terlampau besar dan biar pun twako mereka tidak menganggapnya sebagai dosa, akan tetapi mereka berpendapat bahwa Toaso mereka itu telah menodai nama dan kehormatan semua anggota keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas! Maka, sikap twako mereka yang mendiamkan saja perbuatan hina dan rendah itu, membuat mereka diam-diam merasa penasaran dan membenci twako mereka!

Inilah yang membuat Cu San Bu menderita tekanan batin dan akhirnya pendekar ini jatuh sakit! Penyakit yang sukar diobati karena bersumber dari batin yang tertekan. Akhirnya, pendekar ini meninggal dunia dalam usia baru empat puluh tahun lebih! Dan sebelum mati, dia sempat meninggalkan pesan atau permintaan terakhir kepada tiga orang adiknya itu agar mereka suka memaafkan Tang Cun Ciu dan agar wanita itu tetap diperlakukan sebagai Toaso mereka, sebagai keluarga mereka. Permintaan yang amat berat bagi Cu Han Bu dan dua orang adiknya, akan tetapi karena merupakan pesan terakhir, mereka tidak tega untuk menentang atau menolaknya.

“Mereka bertiga menerima pesan suamiku, dengan syarat bahwa aku harus tinggal di luar Lembah Suling Emas, dan demikianlah, aku memilih tempat ini, di kaki gunung dan di sebelah bawah dari lembah itu.” Tang Cun Ciu mengakhiri ceritanya yang sangat menarik perhatian tiga orang pendengarnya.

Akan tetapi kakek berkulit hitam itu, yang meski selama hidupnya belum pernah terjerat oleh perangkap-perangkap cinta asmara akan tetapi pandangannya sudah sedemikian waspada sehingga cerita yang didengarnya itu tidak menggerakkan hatinya karena dianggapnya wajar dan tidak aneh, lalu bertanya, nadanya penasaran, “Hemm, ceritamu mungkin menyedihkan, Cui-beng Sian-li, akan tetapi apa hubungannya itu dengan teka-tekimu?”

“Tiga tahun yang lalu, aku mendapat tugas untuk menghadapimu, dan karena dalam ilmu silat kita seimbang dan sukar untuk menentukan siapa kalah siapa menang, maka timbul niatku untuk membuka perasaan hatiku yang penasaran terhadap adik-adik suamiku itu melalui teka-teki ini. Nah, itulah sebabnya maka aku mengajukan teka-teki kepadamu, dengan harapan selain engkau tidak akan mampu menebaknya, juga tiga orang adik suamiku itu agar memikirkan pula tentang sifat-sifat cinta pria dan wanita. Sebagai isteri mendiang suamiku yang sungguh kucinta karena kebaikannya, sebagai seorang wanita, aku membutuhkan kasih sayang yang diperlihatkan, butuh dimanjakan, butuh dicinta dengan mesra, dengan lembut, butuh disenangkan dan dipuja. Akan tetapi sikap suamiku yang dingin itu mendatangkan perasaan kepadaku seolah-olah aku tidak dibutuhkannya lagi, tidak dicinta lagi. Seorang wanita, dari yang muda sampai yang tua sekali pun, baru percaya akan cinta kasih seorang pria jika pria itu memperlihatkannya dengan bukti dalam sikapnya. Dan wanita yang dilimpahi kemesraan baru akan percaya bahwa dia memang dicintai, maka anehkah kalau aku menyerahkan segala-galanya? Suamiku bersikap dingin, sebaliknya Bu-taihiap bersikap mesra sekali kepadaku, maka anehkah kalau aku menyerahkan diri kepadanya untuk memuaskan kehausanku?”

Makin lama makin merah dan jengah rasa hati Yu Hwi mendengarkan kata-kata gurunya itu. Sebagai seorang wanita dewasa, tentu saja dia mengerti semua yang dibicarakan. Sedangkan Ci Sian hanya mendengarkan dengan bengong, walau pun dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak begitu mengerti tentang urusan cinta-mencinta itu.

“Akan tetapi, apa pula hubungannya orang she Bu itu dengan aku?” Tiba-tiba Ci Sian bertanya, suaranya lantang dan mengejutkan Cui-beng Sian-li yang tidak menyangka-nyangka akan datang pertanyaan dari bocah itu. Dia memandang wajah Ci Sian dan alisnya berkerut, pandangannya menjadi tajam dan tidak senang.

“Mukamu sama benar dengan isteri Bu-taihiap! Dan engkau she Bu pula, maka aku menduga bahwa engkau tentulah puteri mereka!”

Ci Sian adalah seorang yang cerdik. Dia tahu bahwa dugaan itu mungkin saja benar karena bukankah ayah bundanya juga berada di Himalaya seperti yang diceritakan oleh kakeknya, dan bahwa ayah bundanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi? Akan tetapi, karena tiada bukti dan semua itu hanya dugaan saja, lebih baik kalau dia tidak mengakui hal itu, karena mengakuinya berarti hanya akan menimbulkan permusuhan dari wanita yang lihai ini.

“Hemm, biar pun aku she Bu, akan tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa aku adalah puteri mereka, karena itu, jangan engkau sembarangan saja menduga-duga dan secara sewenang-wenang hendak membunuhku,” kata Ci Sian, suaranya bernada teguran sehingga Tang Cun Ciu merasa terpukul dan malu.

Untuk menutupi rasa malunya ditegur oleh anak-anak, dia lalu berkata kepada See-thian Coa-ong. “Ehh, Coa-ong, engkau sekarang mempunyai seorang murid yang agaknya akan menjadi orang yang lihai, biar pun sekarang yang lihai hanya baru mulutnya saja! Pertandingan antara kita sudah selesai, maka marilah kita pertandingkan murid-murid kita dalam waktu lima tahun lagi. Engkau boleh menggembleng muridmu she Bu ini, dan aku akan membimbing muridku Yu Hwi, dan kita pertandingkan mereka....”

“Yu Hwi....?” Tiba-tiba Ci Sian berseru dan dia kini mencurahkan perhatiannya kepada murid Cui-beng Sian-li itu, memandang tajam karena baru kini dia tertarik sedangkan semenjak tadi perhatiannya dicurahkan seluruhnya kepada Cui-beng Sian-li. Dia mulai melangkah maju mendekati Yu Hwi yang juga memandangnya penuh perhatian, diam-diam Ci Sian harus mengakui bahwa Yu Hwi memiliki wajah yang manis sekali, bentuk tubuh yang ramping padat, kulit yang putih kuning halus mulus. Pendeknya, wanita itu amat cantik menarik dan memang pantas sekali kalau menjadi isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.

“Ada apa dengan engkau?!” Yu Hwi membentak ketika melihat Ci Sian memandangnya sedemikian rupa setelah tadi mengucapkan namanya.

“Yu Hwi....? Mengapa engkau meninggalkan Kam Hong....?” Karena tiba-tiba timbul rasa iba kepada pendekar itu dan teringat akan cerita Kam Hong bahwa isteri pendekar itu yang bernama Yu Hwi telah lari meninggalkannya, maka kini Ci Sian mengucapkan kata-kata itu dengan nada suara menegur dan mencela.

Mendengar ucapan ini, wajah Yu Hwi seketika berubah pucat dan matanya terbelalak memandang Ci Sian. Sejenak dia tidak mampu berkata-kata, kemudian setelah dia menekan perasaannya yang terguncang, dia lalu berkata, suaranya terdengar seperti membentak marah. “Apa.... maksudmu....?”

“Bukankah engkau yang bernama Yu Hwi, isteri yang telah meninggalkan suamimu yang bernama Kam Hong?”

Kini wajah Yu Hwi berubah merah sekali. “Bocah setan bermulut lancang! Aku tidak pernah menikah dengan siapa pun juga! Pula, kau peduli apa dengan urusanku?”

“Hemm, aku tidak tahu engkau sudah menikah atau belum. Akan tetapi agaknya engkau tentulah Yu Hwi yang dicari-cari oleh Paman Kam Hong. Tentu saja aku peduli karena Paman Kam Hong menderita sengsara karena mencari-carimu. Kiranya engkau menjadi murid Bibi Cui-beng Sian-li. Wah, memang cocok. Gurunya seorang wanita yang telah mengkhianati suami, sedangkan muridnya seorang wanita yang telah minggat dari suaminya. Keduanya telah menghancurkan hati dan kehidupan pria-pria yang mencintai mereka.”

“Keparat!”

“Jahanam bermulut lancang!”

Guru dan murid itu bergerak cepat, akan tetapi See-thian Coa-ong yang lebih dekat dengan Ci Sian sudah menyambar tubuh anak perempuan itu dan meloncat jauh dari tempat itu.

“Cui-beng Sian-li, di antara kita sudah tidak terdapat urusan lagi, biarkan kami pergi dari sini!” teriak kakek itu tanpa menghentikan loncatan-loncatannya dan ternyata wanita itu bersama muridnya pun tidak melakukan pengejaran.

Setelah kakek itu pergi jauh, Cui-beng Sian-li memandang pada muridnya dan dengan pandang mata tajam dia bertanya. “Yu Hwi, benarkah engkau minggat dari suamimu?”

“Tidak Subo, bocah itu bicara yang bukan-bukan. Yang benar, aku melarikan diri karena hendak dijodohkan dengan seorang pemuda yang bukan pilihanku sendiri.”

“Dan pemuda itu bernama Hong?”

Yu Hwi mengangguk, kemudian dia menceritakan persoalannya dengan Kam Hong. Dia menceritakan dengan singkat akan tetapi juga terus terang, mengingat bahwa gurunya tadi pun telah bercerita dengan terus terang tanpa menyembunyikan perbuatan dan perasaan hatinya sendiri.

“Sebetulnya, teecu jatuh cinta kepada seorang pendekar yang amat teecu kagumi, akan tetapi pendekar itu agaknya tidak membalas cinta teecu. Dan tanpa teecu ketahui, ternyata sejak kecil teecu telah ditunangkan dengan seorang pemuda lain. Setelah kakek teecu memberitahu tentang pertunangan itu, maka ketika dipertemukan dengan tunangan itu yang juga telah teecu kenal sebelumnya, teecu merasa malu, dan juga kecewa dan teecu pergi melarikan diri sampai sekarang. Sudah lima tahun lebih lamanya, dan siapa kira, pemuda itu ternyata masih mencari-cari teecu seperti yang dikatakan oleh bocah setan tadi.”

Hening sejenak setelah Yu Hwi menceritakan riwayatnya secara singkat. Kemudian Cun Ciu menarik napas panjang. “Yaah, demikianlah nasib kita kaum wanita. Tidak suka dijodohkan dengan pria pilihan orang-orang tua, disalahkan. Lari untuk menentukan nasib sendiri pun disalahkan. Disia-siakan cintanya sehingga kehausan dan mencari hiburan pelepas dahaga dengan pria lain pun disalahkan. Coba yang melakukan semua itu kaum pria, tentu tidak akan ada yang menyalahkan karena hal itu sudah dianggap biasa saja. Betapa tidak adilnya dunia ini terhadap kaum wanita!”

“Akan tetapi, sungguh Kam Hong itu tidak tahu diri!” Yu Hwi berkata. “Teecu tidak menyangka bahwa dia masih terus mencari teecu. Mau apa dia? Apakah hendak memaksa teecu menjadi isterinya berdasarkan ikatan jodoh yang dilakukan oleh orang-orang tua kami itu? Teecu harus pergi menemuinya dan menjelaskan bahwa teecu tidak suka menjadi isterinya!”

“Ingat, Yu hwi. Gurumu ini telah kalah bertaruh dengan See-thian Coa-ong. Dia sendiri telah mengorbankan waktunya sampai tiga tahun bertapa dalam goa. Dan setelah dia dapat menebak teka-teki sehingga aku kalah, sudah sepantasnya kalau aku pun memenuhi janji. Aku harus tinggal di sini dua tahun dan sama sekali tidak boleh keluar meninggalkan tempat ini sebelum dua tahun. Dan engkau baru saja menjadi muridku. Engkau harus pula belajar menemaniku di sini sampai sedikitnya dua tahun.”

Yu Hwi tidak berani membantah dan dia pun lalu mengikuti subo-nya kembali ke pondok kecil mungil yang dlbangun oleh keluarga Cu di tempat itu untuk Toaso mereka. Biar pun Tang Cun Ciu tidak diperbolehkan lagi tinggal di Lembah Suling Emas, akan tetapi dia tetap diaku sebagai keluarga dan setiap waktu boleh saja mengunjungi lembah melalui jalan rahasia terowongan yang hanya dikenal oleh keluarga mereka…..

********************

Kita tinggalkan dulu Yu Hwi yang tekun belajar di bawah bimbingan Cui-beng Sian-li yang lihai, dan membiarkan dulu Bu Ci Sian yang ikut bersama See-thian Coa-ong untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi pula. Marilah kita beralih ke bagian lain dari daratan Tiongkok, meninggalkan daerah Pegunungan Himalaya dan pergi ke sebelah timur meninggalkan daratan, menyeberang laut untuk melihat keadaan di sebuah pulau kecil yang hanya beberapa mil jauhnya dari daratan. Dengan mempergunakan sebuah perahu layar, kalau angin baik, dalam waktu seperempat jam saja orang sudah akan dapat sampai ke pulau itu. Pulau ini disebut Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) karena menurut kabar di pulau kecil ini terdapat sejenis ular yang berwarna kuning keemasan dan sangat berbahaya karena gigitannya mengandung bisa yang mematikan.

Akan tetapi bukan ular-ular kecil berwarna kuning emas inilah yang membuat para nelayan dan pelancong tidak berani mengunjungi Pulau Kim-coa-to itu. Pulau itu sudah belasan tahun terkenal sebagai pulau yang berbahaya karena pulau itu ditinggali oleh seorang wanita yang hidup sebagai seorang ratu di atas pulau kosong itu. Di atas pulau itu dibangun sebuah bangunan seperti istana kecil dan karena wanita yang hidup seperti ratu itu selain memiliki kecantikan luar biasa juga memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat, maka tidak ada orang berani lancang mendekati pulau itu, kecuali kalau hendak berkunjung dengan keperluan yang penting.

Pemilik pulau itu, wanita yang hidup seperti ratu, terkenal sekali dengan julukannya, yaitu Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan) dan semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa Bu-eng-kwi ini adalah seorang wanita yang memiliki ilmu ginkang yang amat luar biasa, tidak pernah ada yang mampu menandinginya. Karena ilmu ginkang-nya yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat terbang atau menghilang itu, tentu saja dia merupakan lawan yang amat berbahaya.

Bu-eng-kwi bernama Ouw Yan Hui, seorang wanita yang sesungguhnya sudah berusia empat puluh enam tahun atau lebih. Akan tetapi kalau orang bertemu dengan dia, tak mungkin mau percaya bahwa wanita cantik itu sudah berusia mendekati setengah abad! Wajahnya masih cantik manis, kulit mukanya masih halus tanpa keriput sedikit pun, pinggangnya masih ramping dan tubuhnya masih padat. Orang akan menaksir usianya tidak akan lebih dari tiga puluh dua tahun saja!

Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang janda. Karena suaminya menyeleweng, maka dibunuhnya suaminya itu dan semenjak itu hatinya patah dan dia menjadi seorang wanita pembenci pria, atau setidaknya dia mempunyai kesan yang amat buruk terhadap pria di dalam hatinya. Dia tidak pernah menikah lagi dan bahkan tidak pernah lagi mendekati pria yang amat dibencinya. Hatinya menjadi keras dan kejam terhadap pria.

Akan tetapi sebagai seorang manusia yang terbuat dari pada darah daging dan memiliki hawa nafsu, maka tentu saja dia kadang-kadang terserang oleh gairah nafsu. Hal ini membuat dia mulai mendekati sesama kelamin dan mencari pelepasan nafsu birahinya dengan wanita lain! Dan untuk mencari teman atau lawan dalam kebutuhan ini, mudah saja baginya karena selain cantik, dia pun amat kaya raya sehingga mudah saja dia memilih di antara para pelayannya yang muda-muda dan cantik-cantik yang bertugas menemani dan melayani kebutuhan jasmaninya itu di waktu malam. Demikianlah, dari seorang wanita yang memiliki gairah birahi yang normal, karena patah hati dan benci kepada pria yang pernah menyakitkan hatinya, Ouw Yan Hui berubah menjadi seorang wanita yang suka bermain cinta dengan wanita lain, atau yang kita biasa namakan wanita lesbian.

Karena sikapnya yang benci kepada pria inilah yang membuat para pria tidak berani mendekatinya, biar pun dia, dalam usia tuanya, masih cantik menarik. Dan Pulau Ular Emas itu pun dijauhi orang karena dunia kang-ouw sudah tahu bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui adalah seorang wanita pembenci pria yang amat berbahaya. Akan tetapi, sejak kurang lebih lima tahun terakhir ini Pulau Kim-coa-to menjadi bahan percakapan orang dan mulailah orang-orang kang-ouw mendekatinya.

Di situ terdapat suatu daya tarik yang amat luar biasa, yang terdapat dalam diri seorang dara yang luar biasa cantik jelita! Dara ini menjadi murid Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sejak enam tahun yang lalu, biar pun Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui merupakan seorang wanita yang amat cantik, akan tetapi jika dibandingkan dengan muridnya ini, dia seolah-olah merupakan sebuah bintang yang mulai pudar karena jauhnya dibandingkan dengan bulan purnama yang gilang-gemilang!

Memang kekuasaan Tuhan telah demikian bermurah hati kepada dara ini sehingga dia dikarunia kecantikan yang sukar dicari bandingnya di seluruh jagat! Wajahnya gemilang, rambutnya hitam gemuk dan panjang berombak, digelung seperti model sanggul puteri istana, dihias taburan permata yang berkilauan, semerbak harum oleh sari kembang.

Sepasang matanya yang lebar itu amat jernih dan tajam, seolah dapat mengeluarkan ribuan sinar yang menyaingi permata di atas kepalanya, berkeredepan amat indahnya, dihias bulu mata yang panjang lentik dan lebat sehingga bulu mata itu membentuk garis hitam melingkari matanya, seperti dilukis saja. Sepasang alisnya yang asli itu seperti lukisan pula, demikian indah, panjang melengkung dan kecil hitam, rambut alisnya halus dan rebah teratur dengan rapinya sehingga setiap helai bulu alis itu seperti memiliki kemanisannya sendiri. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya tipis dan bentuknya patut, sesuai dengan mulutnya yang kecil namun dengan bibir yang penuh dan selalu kemerahan, merah asli karena sehat, merah basah dan bentuknya seperti gendewa terpentang. Dagunya meruncing menambah manis.

Luar biasa memang dara yang cantik jelita ini. Usianya sudah ada dua puluh enam tahun, akan tetapi dia lebih pantas dinamakan dara remaja berusia delapan belas tahun! Hanya sikap gadis ini, caranya memandang dan caranya bicara menghadapi orang, menunjukkan kematangannya sebagai seorang wanita yang sudah dewasa. Demikian cantik jelita, demikian manis, anggun dan agung bagaikan seorang puteri istana! Dan memang sesungguhnyalah, murid dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang puteri asli, seorang puteri kerajaan. Dia adalah Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan!

Dalam cerita kisah sepasang rajawali dan jodoh rajawali sudah diceritakan dengan jelas tentang Puteri Bhutan ini. Sang Puteri ini mempunyai pertalian cinta kasih yang amat mendalam dengan pendekar muda perkasa yang berjuluk Si Jari Maut, yaitu Ang Tek Hoat atau lebih tepat kalau disebut Wan Tek Hoat karena pendekar ini adalah keturunan dari Wan Keng In, putera kandung dari Lulu yang kini menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es.

Cinta kasih antara mereka berdua mengalami lika-liku yang amat rumit dan perjodohan antara mereka berdua telah mengalami halangan-halangan yang sangat hebat sehingga sampai beberapa kali mereka berdua itu saling terpisah. Sudah bertahun-tahun lamanya Sang Puteri ini mengalami kehidupan penuh bahaya dan sengsara demi kekasihnya, saat dia mencari kekasihnya dan merantau di dunia yang penuh kekejaman ini seorang diri saja.

Pada pertemuan antara mereka yang terakhir kalinya, kembali hati Sang Puteri ini tertusuk oleh sikap kekasihnya yang mencurigainya, yang sempat menuduhnya sebagai seorang anak yang hendak memberontak dan berkhianat terhadap ayahnya sendiri, yaitu Sang Raja Bhutan. Padahal, yang melakukan perbuatan itu adalah seorang wanita lain yang dipergunakan oleh kaum pemberontak untuk menyamar sebagai dirinya.

Perlakuan yang diperlihatkan Tek Hoat ini begitu menyakitkan hatinya, sehingga dia meninggalkan pemuda kekasihnya itu dan mengambil keputusan untuk membiarkan Tek Hoat merana dan sengsara. Dia tidak akan mau kembali kepada pemuda itu sebelum Tek Hoat datang mencarinya dan minta ampun kepadanya! Semua ini diceritakan di dalam cerita jodoh rajawali.

Puteri Syanti Dewi lalu melarikan diri ke tempat tinggal subo-nya, atau gurunya, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Tentu saja, sebagai seorang wanita lesbian, yang selera seksuilnya sudah berubah seperti selera seorang pria, Ouw Yan Hui seperti tergila-gila melihat kecantikan Syanti Dewi dan keindahan lekuk-lengkung tubuhnya. Namun, Syanti Dewi adalah seorang wanita seratus prosen, oleh karena itu, dia tidak sudi melakukan permainan cinta yang tidak wajar itu. Bahkan ketika seorang nenek yang masih cantik, guru dari Ouw Yan Hui dalam hal awet muda yang bernama Maya Dewi, seorang wanita India, hendak mendekap dan membelainya, mengajak bermain cinta, Syanti Dewi lalu melarikan diri dari pulau itu!

Karena Ouw Yan Hui benar-benar amat mencinta Syanti Dewi, maka setelah Syanti Dewi mau kembali ke Kim-coa-to, dia berjanji bahwa dia tidak akan lagi mengganggu muridnya itu. Hanya dengan janji inilah Syanti Dewi mau kembali dan tinggal di pulau itu setelah dia melarikan diri dari Ang Tek Hoat. Dan pada waktu itu, Maya Dewi telah meninggalkan pulau itu untuk kembali ke negaranya sendiri, meninggalkan ilmu yang membuat Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi seolah-olah kebal terhadap usia tua dan menjadi tetap awet muda!

Sampai bertahun-tahun Syanti Dewi tinggal bersama gurunya di pulau itu, mempelajari ilmu ginkang yang amat tinggi dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sehingga kini Syanti Dewi merupakan seorang wanita ke dua yang memiliki ginkang amat hebatnya. Ouw Yan Hui amat bangga dengan muridnya yang dikasihinya seperti anak atau adik sendiri ini, dan mereka hidup rukun serta saling menyayangi di pulau itu bagaikan seorang ratu dan seorang puteri.

Namun, semenjak nama Syanti Dewi dikenal, pulau itu sering kali menerima kunjungan tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal atau bangsawan-bangsawan tinggi, atau hartawan-hartawan yang semua ingin mempersembahkan milik mereka demi untuk menundukkan hati Syanti Dewi, puteri yang seperti bidadari cantiknya itu! Nama Syanti Dewi menjadi buah bibir setiap orang pria dan setiap orang yang pernah melihat senyumnya, tak mungkin dapat melupakannya lagi, bahkan senyum manis itu selalu membayang di depan mata. Wajah jelita itu selalu menjadi kembang mimpi dan banyaklah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan, dan hartawan-hartawan besar yang tergila-gila kepada Syanti Dewi.

Meski karena kegagalan cintanya dengan Ang Tek Hoat, Syanti Dewi berubah menjadi agak keras hati terhadap pria, namun dia bukanlah pembenci pria seperti gurunya. Oleh karena itu, dia tidak menolak perkenalan dengan para pria tingkat atas itu, bahkan menyambut mereka sebagai sahabat-sahabat dengan sikap manis. Akan tetapi, setiap pernyataan cinta, setiap sanjungan, setiap pujaan, setiap pinangan, selalu ditolaknya dengan halus sehingga tidak menyinggung yang ditolaknya, bahkan membuat mereka semakin tergila-gila! Pendeknya, semenjak beberapa tahun ini, nama Syanti Dewi terkenal sekali di sepanjang pantai timur, bahkan sampai jauh ke pedalaman dan akhirnya nama itu terdengar pula sampai ke istana kaisar!

Tentu saja Ouw Yan Hui sendiri tidak sudi menemui para pria itu, akan tetapi dia juga tidak tega untuk melarang muridnya menerima kunjungan para pria tingkat atas itu, dan jika Syanti Dewi dikelilingi pria-pria muda yang rupawan dan seolah-olah berebut untuk menundukkan hati puteri juwita ini, Ouw Yan Hui yang merasa sebal lalu mencurahkan semua ketidak senangan hatinya dengan hiburan yang biasa dilakukannya, yaitu dia lari ke dalam pelukan lembut wanita-wanita pelayan yang biasa menjadi kekasihnya!

Pulau Ular Emas kini seolah-olah menjadi ramai akan kunjungan perahu-perahu besar yang mewah dan indah. Para pemuda yang tergila-gila itu ada yang mendatangkan ahli-ahli bermain musik, penari dan penyanyi-penyanyi yang kenamaan untuk mengadakan hiburan di tempat itu, yang tentu saja kesemuanya ditujukan untuk menarik hati Syanti Dewi. Juga di dalam gudang-gudang istana Ouw Yang Hui bertumpuk banyak barang-barang hadiah yang berharga, yang seolah-olah dilimpahkan tanpa mengenal hitungan oleh para pemuda itu di depan kaki Syanti Dewi. Namun sang puteri itu hanya membalas dengan senyum manis, senyum yang demikian gemilangnya sehingga untuk sebuah senyum kiranya setiap orang pemuda rela untuk bertekuk lutut!

Saking terkenalnya nama Syanti Dewi, sampai-sampai para sastrawan tertarik untuk mengunjungi pulau itu dan di antara mereka terdapat seorang sastrawan ahli lukis dan ahli sajak yang bernama Pouw Toan. Sastrawan ini sudah berusia lima puluh tahun, dan ketika perahu kecilnya mendarat di Kim-coa-to, para penjaga memandangnya penuh curiga. Biasanya, yang melakukan pendaratan dan kunjungan di pulau itu hanyalah pemuda-pemuda yang rupawan dan gagah perkasa, yang datang membawa kesan yang nampak dari sikap mereka yang gagah perkasa dari seorang ahli silat, atau dari perahu mereka yang mewah dan pakaian mereka yang indah dari seorang hartawan, atau dari pengawal-pengawal dan sikap angkuh seorang bangsawan. Akan tetapi kakek ini berperahu kecil, berpakaian sederhana, dan sudah tua lagi. Apa yang diharapkan dari seorang kakek seperti itu? Maka, seorang di antara para penjaga yang diadakan oleh Syanti Dewi setelah tempat itu sering dikunjungi orang, cepat menghampiri dan menegur.

“Lopek, mau apakah engkau mendaratkan perahumu di sini? Dilarang untuk mencari ikan ditepi pulau ini!”

Kakek Pouw Toan tersenyum. Harus diakui bahwa kakek berusia lima puluh tahun ini pernah menjadi seorang pria yang tampan sekali, dan hal ini nampak jelas ketika dia tersenyum.

“Sahabat, seperti juga para pendatang lain, aku ingin sekali berjumpa dengan Nona Syanti Dewi.”

Beberapa orang penjaga sudah mendekati tempat itu dan mereka tertawa mendengar kata-kata ini. Biar pun pria ini tampan, akan tetapi dia sudah tua dan miskin! Mau apa hendak bertemu dengan Siocia, pikir mereka.

“Ehh, orang tua. Siocia kami tidak pernah menerima kunjungan orang-orang tua! Yang menjadi tamu-tamunya adalah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan atau pemuda-pemuda hartawan. Lebih baik engkau lekas pergi dari sini, kalau sampai Toanio majikan pulau ini mendengar tentang kedatanganmu, tentu dia akan marah dan nyawamu tidak akan tertolong lagi.”

Yang dimaksudkan oleh para penjaga dengan toanio itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Kalau Syanti Dewi yang mereka sebut siocia itu merupakan seorang yang amat mereka sayang dan hormati karena sikapnya yang ramah-tamah dan lemah lembut terhadap semua orang, sebaliknya Ouw Yan Hui amat mereka takuti karena memang wanita ini selalu bersikap dingin dan galak terhadap para pria, termasuk para penjaga itu.

Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, dunia memang penuh kepalsuan. Penghargaan terhadap manusia dinilai dari lahirnya, bukan batinnya. Sahabat, kalian bermaksud baik, maka aku berterima kasih atas nasehat kalian. Akan tetapi, aku mempunyai suatu hal yang perlu kusampaikan kepada Nona Syanti Dewi. Maukah engkau menyampaikan hal ini kepadanya?” Tanpa menanti jawaban, kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kipas yang permukaannya terbuat dari kertas putih bersih. Lalu dia mengeluarkan alat tulis dan dengan gerakan yang cekatan sekali dia mencorat-coret di atas kipas itu.

Para penjaga memandang dan melongo penuh kekaguman ketika melihat betapa corat-coret itu merupakan tulisan huruf-huruf yang amat indah dan dilihat dari jauh merupakan sebuah petak rumput dengan bunga-bunganya mencuat di sana-sini. Dan bukan hanya huruf-hurufnya yang indah, akan tetapi bahkan huruf-huruf itu tersusun merupakan sebuah sajak yang rapi pula!

“Nah, inilah pesanku itu, harap kalian suka menyampaikan kepada Siocia kalian.”

Seorang di antara para penjaga itu, yang berkumis lebat, mengerutkan alisnya dan menghampiri sambil bertolak pinggang, lalu membentak, “Ehhh, engkau ini tua bangka tidak tahu diri! Bercerminlah dulu sebelum engkau berani menulis surat cinta kepada Siocia! Lagakmu seperti seorang pemuda saja, pakai hendak mengirim surat cinta kepada Siocia!” Bentakan ini disambut suara ketawa penjaga lainnya.

Kakek itu juga tersenyum, kemudian dengan alat tulisnya dia mencorat-coret di atas ujung perahunya. Semua orang memandang terpesona dan kembali mereka terbelalak memandang corat-coret yang agaknya dilakukan secara sembarangan itu ternyata telah membentuk wajah penjaga berkumis lebat itu, mirip sekali sehingga sekali pandang saja semua orang mengenal wajah Si Kumis Lebat, lengkap dengan kumisnya yang pada gambar di atas papan perahu itu bahkan nampak lebih menyeramkan dari pada aslinya.

Sastrawan tua itu tersenyum ketika dia mengangkat muka memandang kepada penjaga berkumis yang menegurnya tadi, sambil berkata, “Nah, sudah kucatat baik-baik gambar wajahmu agar mudah kulaporkan kelak kepada penghuni pulau ini siapa di antara para penjaga yang bersikap kasar terhadap seorang tamu.”

Mendengar ini, tiba-tiba wajah penjaga berkumis tebal itu berubah ketakutan. Memang siapakah yang tidak takut membayangkan bahwa jangan-jangan sastrawan sederhana ini adalah seorang kenalan baik Toanio dan kalau betul demikian halnya dan kakek ini melaporkan kepada Toanio, dia tentu akan celaka! Maka cepat Si Kumis Tebal itu menjura kepada sastrawan itu sambil berkata, “Harap Tuan sudi memaafkan kelakar kami tadi.... dan kalau Tuan menghendaki, biarlah saya menyampaikan pesan Tuan kepada Siocia....“

“Nah, itu baru seorang petugas yang baik, seorang penjaga yang gagah perkasa seperti harimau!” kata sastrawan itu dan kembali dengan alat tulisnya dia mencorat-coret ke arah lukisan wajah penjaga itu dan semua orang memandang kagum karena kini lukisan itu berubah menjadi kepala seekor harimau yang bagus sekali!

Penjaga berkumis lebat itu tidak berani main-main lagi, cepat diterimanya kipas yang sudah ditulisi itu dengan hormat sambil berkata, “Saya akan menyampaikan kipas ini kepada Siocia.”

“Dan aku akan menanti balasannya di sini,” kata sastrawan itu sambil mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci arak, kemudian duduklah dia di kepala perahunya sambil makan roti, minum arak dan bersenandung kecil, kelihatannya riang dan gembira sekali.

Pada pagi hari itu, Syanti Dewi sedang duduk di dalam taman bunga bersama gurunya yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, menghadapi sarapan pagi di dalam taman yang indah itu, dilayani oleh para pelayan yang cantik muda dan berpakaian bersih rapi. Taman itu memang indah sekali, dibangun oleh Syanti Dewi sendiri yang mendatangkan berbagai macam bunga dari daratan untuk ditanam di pulau itu. Mereka duduk di bangunan kecil di tepi danau buatan yang penuh dengan ikan-ikan emas beraneka macam dan warna, yang nampak berenang ke sana kemari di dalam air yang amat jernih itu. Jembatan-jembatan kecil dicat indah dan nyeni menambah semarak pemandangan di taman dan batang-batang pohon yang-liu yang lentik itu menari-nari tertiup angin pagi yang lembut.

“Dewi.” kata Ouw Yan Hui dengan halus. Dia selalu menyebut Dewi kepada muridnya itu, dan tak pernah dia bosan untuk memandang wajah yang jelita itu.

Ouw Yan Hui biasanya bersikap dingin dan kasar angkuh kepada orang lain, akan tetapi terhadap Syanti Dewi dia bersikap lembut dan manis budi. “Kabarnya hari ini pangeran akan datang mengunjungi pulau kita, benarkah?”

“Benar, Enci Hui.” Syanti Dewi biasa menyebut gurunya itu Enci dan hubungan mereka memang lebih mirip antara kakak dan adik dari pada guru dan murid. “Kemarin seorang pengawalnya telah menyampaikan berita itu.”

“Dewi, sahabatmu itu adalah seorang pangeran mahkota yang kelak akan menjadi kaisar! Dan kulihat hubungan antara kalian demikian akrab. Hemm, dari pada engkau dikelilingi begitu banyak pria muda, apakah tidak lebih baik kalau menentukan pilihanmu sekarang juga? Dan kurasa, sudah paling tepatlah kalau engkau memilih pangeran itu. Bayangkan saja kelak engkau menjadi permaisuri dan....“

“Enci Hui, harap jangan sebut-sebut tentang hal itu!” Syanti Dewi memotong dengan alis agak berkerut, meski wajahnya masih tetap berseri dan senyumnya masih membayang di bibirnya yang merah basah dan sudah begitu segar nampaknya di pagi hari itu.

Kini Ouw Yan Hui yang memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sinar matanya serius. “Dewi, marilah kita bicara dari hati ke hati secara terbuka saja karena yang kita akan bicarakan ini menyangkut masa depan dari kehidupanmu. Tidak perlu kusebutkan lagi karena engkau sudah mengenalku, bahwa aku pribadi tidak sudi berdekatan dengan pria, apalagi menjadi isteri. Akan tetapi engkau lain lagi. Engkau menentang sikap hidupku dan engkau mengatakan bahwa sekali waktu engkau tentu akan menjadi isteri seorang pria. Nah, usiamu sudah dua puluh enam tahun dan selagi sekarang terbuka kesempatan yang amat baik ini, mengapa engkau masih hendak bertahan? Kalau memang engkau suka hidup sebagai isteri orang, sekaranglah saatnya dan pangeran mahkota itulah orangnya yang patut menjadi suamimu. Bayangkan, kelak engkau menjadi permaisuri. Hemm, bahkan aku sendiri pun yang tidak suka kepada pria akan ikut merasa bangga disebut seorang kakak angkat dari permaisuri!”

“Enci, lupakah kau bahwa aku selalu menganggap perjodohan itu hanya mungkin apa bila terdapat cinta kasih disitu? Apakah kau kira aku akan serendah itu, menikah dengan seorang pria hanya berdasarkan kedudukan belaka? Ingat, di Bhutan aku pun adalah seorang puteri tunggal Raja Bhutan!”

“Hemm, apa artinya kedudukanmu di Bhutan kalau dibandingkan dengan menjadi permaisuri kaisar? Dewi, apa artinya cinta kasih? Apa kau kira ada cinta kasih dalam hati seorang pria? Huh, aku tidak percaya itu! Pria hanya mempunyai nafsu birahi, nafsu binatang, dan selalu hanya ingin memuaskan nafsunya terhadap wanita, selalu ingin mempermainkan wanita sampai akhirnya dia menjadi bosan dan mencari wanita baru yang lain! Kalau engkau dapat menjadi permaisuri dari sebuah pernikahan, tidak peduli Kaisar yang menjadi suamimu itu kelak mengumpulkan seribu orang selir, tetap saja engkau sudah memperoleh kedudukan dan kekuasaan tertinggi bagi seorang wanita, dan....“

“Cukup, Enci. Aku tidak mau lagi bicara tentang itu! Kau tahu, Pangeran Kian Liong hanya menjadi sahabat baikku, kami saling cocok dan saling suka, saling menghormat, sama sekali tidak ada perasaan seperti yang kau maksudkan itu....”

“Hi-hi-hik, kau kira aku ini anak kecil, Dewi? Aku bisa melihat jelas betapa pada sinar matanya terdapat kekaguman dan gairah birahi....“

“Usianya baru delapan belas tahun, aku jauh lebih tua....“

“Apa salahnya? Melihat wajahmu, engkau lebih pantas dikatakan baru berusia delapan belas tahun! Dan perbedaan usia itu malah akan membuat engkau lebih mudah untuk mengatasinya.”

“Sudahlah, kau tahu, Enci. Aku tidak akan menikah dengan siapa pun juga, betapa pun kaya raya dan berkuasanya pria itu, kecuali dengan pria yang kucinta.”

“Tek Hoat itu lagi, ya? Betapa bodohnya engkau....”

“Tidak! Dia sudah kuhapus dari dalam lubuk hatiku. Setelah bertahun-tahun ini dia tidak muncul, aku mulai percaya bahwa dia memang berhati palsu!”

Ouw Yan Hui tertawa lagi. “Bukan hanya dia, semua laki-laki di dunia ini berhati palsu! Karena itu aku lebih suka berdekatan dengan sesama wanita yang memiliki kelembutan, baik jasmani mau pun rohaninya. Dunia ini seharusnya dikuasai wanita dan semua pria sebaiknya dibinasakan saja!”

Pada saat mereka berdua tertawa santai terbebas dari percakapan tentang hal yang mendatangkan kenangan tidak menyenangkan dalam hati Syanti Dewi itu, muncullah penjaga berkumis lebat. Melihat bahwa Siocia berada di dalam taman bersama Toanio, wajahnya menjadi pucat dan cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut ketika Ouw Yan Hui menoleh dan memandang kepadanya.

“Harap Toanio sudi mengampuni saya yang berani lancang masuk ke sini, karena saya tidak tahu bahwa Toanio di sini.”

Syanti Dewi yang maklum akan tabiat gurunya yang membenci kaum pria dan mudah menjatuhkan tangan kejam terhadap pria yang bersalah sedikit saja, cepat berdiri menghampiri pria penjaga itu dan bertanya dengan sikap ramah, mendahului Ouw Yan Hui yang sudah memandang dengan alis berkerut kepada pria berkumis lebat itu.

“Ada keperluan apakah engkau datang ke sini?”

“Maaf, Siocia. Di pantai pulau ada seorang sastrawan berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermaksud berjumpa dengan Siocia....”

“Siapa dia? Apa keperluannya?” tanya Syanti Dewi.

“Usir dia pergi!” bentak Ouw Yan Hui, suaranya melengking marah hingga mengejutkan Si Penjaga berkumis tebal yang masih berlutut.

“Saya.... sudah berusaha mengusirnya.... akan tetapi dia menuliskan sesuatu di atas kipas ini dan minta untuk disampaikan kepada Siocia....“ Cepat-cepat dia mengeluarkan kipas itu dari saku bajunya.

“Keparat, berani kau....?”

Penjaga itu terkejut bukan main karena yang nampak hanya berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu dia merasa kepalanya seperti disambar petir dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Saat dia merangkak bangkit duduk, dengan kedua tangan dia cepat-cepat memegangi kepalanya untuk memastikan apakah kepalanya tidak copot dan masih menempel pada lehernya! Ternyata di dalam kemarahannya tadi Ouw Yan Hui sudah menendangnya, dan dengan sama cepatnya Syanti Dewi telah mengambil kipas itu dan selanjutnya nona yang jelita ini menyabarkan gurunya.

“Enci, dia hanya petugas, harap ampuni dia,” kata Syanti Dewi yang segera membuka kipas itu dan membacanya. Sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar, mulut yang manis sekali itu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia membaca sajak yang ditulis dengan huruf-huruf biasa yang amat indahnya itu.

Kembang indah jelita nan cantik menarik
datangnya kumbang-kumbang beterbangan
membuat banyak tangan ingin memetik
banyak pria berlomba bersaing!
Aku, sastrawan tua pengagum segala nan indah
hanya ingin menikmati dengan pandangan mata
sebelum kembang jelita dilayukan usia!
Kasihan kumbang, belum kenyang madu tertusuk duri!
Kasihan kembang, habis madu layu sendiri!


“Di mana dia sekarang?” Syanti Dewi bertanya kepada penjaga yang masih berlutut dan mandi keringat karena ketakutan itu. Kumisnya nampak miring dan sama sekali tidak membayangkan kegalakan lagi.

“Dia.... menanti.... di dalam perahunya, Siocia,” jawabnya dengan lirih dan matanya mengerling ketakutan ke arah Ouw Yan Hui.

“Kau persilakan dia menanti di ruangan tamu, aku akan menemuinya,” kata Syanti Dewi dengan halus. “Nah, pergilah!”

Penjaga itu merasa lega sekali. Cepat dia bangkit dan memberi hormat, kemudian dengan penuh penghormatan dia menjura ke arah Ouw Yan Hui. “Terima kasih atas pengampunan Toanio....“ Dan pergilah dia dengan cepat-cepat meninggalkan taman indah akan tetapi baginya seperti neraka menakutkan itu.

“Enci, dia itu hanya seorang sastrawan tua yang tulisannya indah syairnya bagus sekali. Aku mau menemuinya.”

Ouw Yan Hui bangkit berdiri, sejenak memandang kepada puteri itu, lalu membuang muka dan mendengus. “Huhh! Segala tua bangka menjemukan....!” Dan dia pun pergi meninggalkan Syanti Dewi dengan wajah cemberut.

Syanti Dewi yang sudah mengenal watak gurunya itu hanya tersenyum saja. Gurunya itu memang tidak suka kepada pria, akan tetapi dia tahu bahwa wanita itu amat sayang kepadanya dan tidak akan merintangi kehendaknya. Maka dia pun cepat-cepat pergi meninggalkan taman untuk memasuki bangunan seperti istana itu.

“Siapa namamu?” begitu bertemu dengan sastrawan tua yang masih menanti di perahu itu, penjaga berkumis membentak. Dia masih merasa marah karena telah dihadiahi tendangan oleh toanio dan karena hal ini adalah gara-gara munculnya sastrawan ini maka dia menjadi marah kepada sastrawan itu.

Sastrawan tua itu tersenyum dan membungkuk. “Namaku Pouw Toan, hanya seorang sastrawan perantau. Bagaimana, apakah Nonamu telah menerima pesanku dalam kipas?”

“Dengarlah, orang she Pouw!” kata penjaga itu dengan mata merah serta telunjuknya menuding ke arah hidung sastrawan itu. “Kalau engkau tidak menceritakan yang baik-baik tentang aku di depan Siocia agar aku mendapat hadiah, ingat, kalau engkau kembali tentu akan kubikin lukisan di mukamu dengan kedua kepalan tanganku ini!” Dia mengamangkan tinjunya yang besar kepada sastrawan itu. “Gara-gara kedatanganmu aku telah kena marah oleh Toanio!”

Sastrawan itu tersenyum, “Aiihhh, kiranya aku telah menyusahkanmu, sobat. Jangan khawatir, setelah aku berhasil bertemu dengan Siocia-mu, kalau pulang aku tentu akan memberi hadiah kepadamu. Nah, sekarang antarkan aku kepada Siocia-mu.”

Penjaga itu lalu mengantarkan Pouw Toan menuju ke ruangan tamu di samping istana yang megah itu. “Kau tunggu di sini, demikian pesan Siocia tadi,” kata Si Penjaga lalu meninggalkan Pouw Toan seorang diri di dalam ruangan tamu yang luas itu.

Pouw Toan memeriksa keadaan kamar tamu yang cukup luas itu dengan hati tertarik. Sebagai seorang sastrawan, tentu saja dia kagum sekali melihat ruangan tamu yang dihias dengan amat menyenangkan itu, dengan warna-warna sejuk pada dinding yang digantungi lukisan-lukisan indah. Akan tetapi dia tertarik sekali akan serangkaian tulisan indah di sudut ruangan, dan dia berdiri seperti patung di depan tulisan ini, dengan alis berkerut dan dia masih berdiri seperti itu ketika Syanti Dewi muncul dari dalam pintu yang tertutup tirai hijau muda.

Melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun berdiri di depan tulisan itu dengan alis berkerut dan agaknya tertarik sekali sehingga tidak melihat dia muncul, Syanti Dewi tersenyum. Dia tertarik melihat pria yang tidak seperti para pengunjungnya yang lain itu. Biasanya, di kamar tamu ini dia menerima kunjungan orang-orang muda yang menarik dan dengan pakaian serba indah seolah-olah bergaya dan bersaing. Tapi pria ini sudah setengah tua dan pakaiannya sederhana saja, seperti pakaian orang yang miskin.

“Pamankah yang ingin bertemu dengan aku?” Syanti Dewi akhirnya menegur karena pria itu seperti terpesona oleh tulisan-tulisan di dinding.

Pouw Toan menengok dan sejenak dia terbelalak memandang dara yang berdiri tak jauh di depannya. Sudah banyak dia mendengar nama puteri yang berada di Kim-coa-to ini sehingga amat menarik hatinya dan membuatnya datang singgah di pulau itu untuk menyaksikan sendiri seperti apa puteri yang dikabarkan orang seperti bidadari dari sorga itu. Dan setelah kini dia berhadapan, dia terpesona dan tercengang karena dia seolah-olah melihat Kwan Im Pouwsat sendiri berdiri di depannya. Kecantikan dara ini sungguh jauh melampaui apa yang didengarnya dalam berita angin itu. Kecantikan yang luar biasa sekali! Sepasang matanya seperti orang dahaga bertemu dengan air jernih, menghirup dan meneguk keindahan di depannya itu sepuasnya!

“Nona, yang dikabarkan sebagai bidadari Kim-coa-to dan bernama Syanti Dewi itu?”

Syanti Dewi mengangguk dan tersenyum. Dia merasa aneh sekali. Sudah biasa dia disanjung dan dipuji oleh bibir-bibir para pria muda, bahkan dengan kata-kata sanjungan yang berlebihan, tetapi anehnya, ucapan yang keluar dari mulut kakek ini membuat dia merasa senang, bangga dan jantungnya berdebar. Mengapa?

Mungkin karena kata-kata dan sikap pria ini begitu jujur, bukan seperti sanjungan para muda yang penuh dengan lagak dan jelas membayangkan pamrih bersembunyi di balik sanjungan itu. Akan tetapi pria ini tidak demikian.

“Ah, Paman, berita itu hanya isapan jempol belaka. Mana mungkin seorang manusia biasa seperti aku dibandingkan dengan seorang bidadari?”

Kakek itu menarik napas panjang, masih terpesona. “Kau keliru! Engkau malah melebihi yang dibayangkan orang, engkau lebih dari seorang bidadari! Engkau tahu, seorang bidadari hanya suatu gambaran yang tanpa cacat, sebaliknya engkau adalah seorang manusia berikut cacat-cacatnya, karena itu jauh lebih mempesona dari pada sekedar gambaran kosong belaka!”

Heran sekali, ucapan ini jelas-jelas mengandung pujian yang disertai celaan tentang kecantikannya, akan tetapi Syanti Dewi malah merasa girang! Dia merasa kembali menjadi manusia biasa bertemu dengan kakek ini.

“Silakan duduk, Paman dan katakanlah apa cacat-cacatku? Engkau tentu tahu bahwa sebagai manusia biasa, aku pun tidak pandai melihat cacat-cacat sendiri sungguh pun aku pandai melihat cacat-cacat lain orang.”

Kakek itu duduk dan mengangguk-angguk. “Hemm, selain kecantikan engkau memiliki kebijaksanaan pula, Nona. Cacat-cacatmu ialah bahwa di balik kecantikanmu itu engkau mengandung kedukaan yang mendalam yang kau coba sembunyikan di balik senyum manis dan sinar mata yang seindah bintang. Dan selain kedukaan ini, juga engkau menaruh dendam besar, hal itulah yang merusak kecantikanmu. Akan tetapi cacat-cacat itu malah menghidupkanmu, bukan hanya sekedar gambar bidadari, melainkan seorang manusia berikut kelebihan dan kekurangannya. Sayang cacat-cacatmu itulah yang kini menciptakan kepedihan dalam hidupmu, Nona.”

Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan memandang tajam penuh selidik, karena merasa tepatnya ucapan itu. “Engkau seorang ahli peramal?”

“Ha-ha-ha!” Melihat kakek itu tertawa, Syanti Dewi merasa makin tertarik karena ketawa itu begitu wajar sehingga dia pun ikut tertawa dan bergembira, seperti sinar matahari memasuki ruangan itu yang biasanya lembab oleh sikap Ouw Yan Hui yang selalu muram dan dingin. “Nona, segala peramal itu hanya omong kosong belaka. Aku dapat membaca keadaan batinmu dari wajahmu, bukankah wajah adalah cermin dari keadaan hati seseorang?”

“Paman, siapakah engkau?”

“Namaku Pouw Toan, aku seorang sastrawan tua yang tidak tinggal di tempat tertentu, selalu merantau untuk menikmati keindahan alam semesta.”

“Paman Pouw, ketika aku memasuki ruangan ini, kulihat engkau amat memperhatikan tulisan di dinding itu. Mengapa?” Syanti Dewi memandang karena tulisan di dinding itu yang sebetulnya adalah buatannya sendiri! “Apakah tulisan itu buruk?”

Pouw Toan menoleh ke arah tulisan itu. “Buruk? Tidak, tulisan wanita itu cukup halus dan indah, akan tetapi bunyi tulisannya itulah yang palsu dan buruk!”

Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan penasaran. “Ahh, aku menganggap tulisan itu benar dan baik, mengapa kau katakan palsu dan buruk? Kurasa engkau bukanlah termasuk orang yang hanya pandai mencela tanpa dapat mengemukakan alasannya.”

“Tentu saja! Coba kubaca tulisan itu!” Dia lalu bangkit berdiri, menghadapi tulisan itu lalu membaca dengan suara latang dan iramanya bagus seperti bernyanyi.

Cinta membutakan mata menulikan telinga
pedih perih nyeri merobek-robek hati,
Akan tetapi mengapa seluruh raga dan jiwa
selalu mendambakan cinta?


Pouw Toan kemudian membalikkan tubuhnya menghadapi Syanti Dewi yang diam-diam merasa terharu mendengar cara kakek itu membacakan sajaknya, demikian indah terdengar dan belum pernah selamanya dia mendengar ada orang mampu membaca sajaknya dengan irama sedemikian cocok, tepat dan indahnya. Hatinya seperti merasa tersentuh dan keharuan membuat kedua matanya terasa panas dan basah air mata karena mendengar suara kakek itu hatinya terasa seperti terobek-robek mengenangkan nasib dirinya dalam cinta yang gagal.

“Isi sajak ini sangat buruk dan palsu, harus diubah sama sekali karena hanya akan mendatangkan kedukaan dan keharuan, dan sama sekali mengandung gambaran yang sama sekali salah tentang cinta kasih!” kakek itu berkata-kata, nada suaranya penuh rasa penasaran. Perasaannya ini seperti yang dirasakan oleh seorang pelukis melihat lukisan yang buruk, atau seorang ahli musik mendengarkan musik yang sumbang.

Syanti Dewi sudah dapat menguasai perasaannya lagi yang kini menjadi penasaran. Kakek itu dapat membaca sajaknya sedemikian indah penuh perasaan, akan tetapi mengapa malah mencela habis-habisan? Timbul keinginan tahunya.

“Paman Pouw, kalau begitu, cobalah kau ubah sajak itu bagaimana baiknya.”

Kakek itu menggeleng kepalanya. “Kau kira aku ini orang macam apa Nona. Aku tidak berani selancang itu. Mengubahnya tanpa ijin berarti menghina penulisnya!”

Syanti Dewi tersenyum. “Jangan khawatir, Paman, aku telah memberi ijin dan akulah penulisnya.”

“Ahh....!” Kakek itu nampak tercengang akan tetapi tidak minta maaf! Dan hal ini makin menarik hati Syanti Dewi karena kakek itu ternyata selain jujur, juga tidak mempunyai sifat penjilat seperti semua pemuda yang pernah mengunjunginya.

“Di atas meja di sudut sana itu ada kotak terisi alat-alat tulis, harap kau suka berbaik hati untuk membetulkan dan merubahnya, Paman.”

Akan tetapi Pouw Toan sudah mengeluarkan alat tulisnya sendiri dari saku bajunya yang besar. “Seorang pendekar tak pernah terpisah dari pedangnya, dan seorang sastrawan tak pernah berpisah dari alat tulisnya. Kalau Nona sudah mengijinkan, nah, biar kurubah tulisan ini!”

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggosok bak dan mendekati kain yang terisi tulisan indah dari Syanti Dewi, kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia menggerakkan alat tulisnya di atas kain putih itu. Mula-mula dia mencoret huruf-huruf itu dengan coretan dari atas ke bawah, coretan kasar namun tarikannya mengandung tenaga yang halus sehingga coretan itu nampak ‘hidup’, sama sekali tidak membuat buruk tulisan itu, bahkan seperti menjadi bayangan yang menghiasinya! Kemudian, di tempat yang masih kosong dia menuliskan beberapa buah huruf, dilakukan dengan cepat akan tetapi huruf-huruf yang tercipta di situ sungguh amat indah dan hidup membuat Syanti Dewi terbelalak memandang penuh kagum. Sajak baru yang dibuat di samping sajak lama yang dihias coretan itu singkat-singkat sekali, setiap baris hanya terdiri dari satu huruf saja!

Api....?
Asap....!
Abu....!
Cinta....?
Kepuasan....!
Kesenangan....!
Akhirnya....?
Kecewa....!
Sengsara....!
Benci....!
Aku ada Cinta tiada!


Setelah selesai menuliskan sajak yang terdiri dari huruf-huruf singkat itu, Pouw Toan menyimpan kembali alat tulisnya, sedangkan Syanti Dewi masih menatap tulisan itu dan membacanya berkali-kali. Hanya sebuah huruf setiap baris, akan tetapi huruf-huruf itu demikian jelas menusuk perasaan, mendatangkan kesan mendalam dan menimbulkan pengertian yang lengkap. Namun dia masih penasaran!

“Akan tetapi, Paman Pouw. Kenapa orang mencinta tak boleh mengharapkan kepuasan dan kesenangan? Bukankah kita mencinta dikarenakan tertarik oleh suatu kebaikan tertentu?”

Mereka sudah duduk kembali saling berhadapan, menghadapi poci dan cawan teh harum yang dihidangkan oleh pelayan yang sudah disuruh pergi lagi oleh Syanti Dewi.

Pouw Toan menghirup teh harum kental itu, lalu menjawab, “Mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan merupakan cinta yang hanya ingin menyenangkan diri sendiri. Dasarnya adalah ingin menyenangkan diri sendiri melalui sesuatu yang menarik dan dianggap kebaikan itu. Kebaikan itu boleh saja merupakan wajah tampan menarik, atau harta berlimpah-limpah, atau kedudukan tinggi, dan semua itu dianggap menarik dan menyenangkan....”

“Tetapi bisa saja kebaikan itu berupa sifat-sifat baik dari orang yang dicinta, kegagahan misalnya, kebijaksanaan atau sifat-sifat budiman....,“ bantah Syanti Dewi.

“Tiada bedanya. Sifat-sifat yang dianggap baik dan akan mendatangkan kesenangan, kebanggaan dan sebagainya. Akan tetapi kita lupa bahwa setiap orang manusia itu kalau sudah dinilai, sudah pasti mengandung dua sifat bertentangan, ada baik tentu ada buruknya. Mencinta dengan dasar ketampanan, padahal ketampanan itu dapat pudar, dapat lenyap dan dapat berkurang menurut suasana hati yang memandangnya. Kalau ketampanannya sudah pudar, lalu ke mana perginya cinta? Dengan dasar kekayaan, kedudukan, kejantanan atau apa saja pun sama pula, begitu yang menjadi pendorong cinta itu pudar atau lenyap maka cintanya turut lenyap. Dan harus diingat lagi bahwa hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan itu hanya dianggap demikian karena belum tercapai oleh kita, akan tetapi apabila sudah berada di tangan kita, biasanya muncul penyakit bosan dan segala keindahan itu sudah tidak nampak sebaik sebelum terdapat!”

Syanti Dewi memejamkan mata. Di dalam kepala yang berbentuk indah itu, otaknya sedang bekerja keras sekali. Nampaklah olehnya betapa kadang-kadang dia menjadi benci sekali kepada Tek Hoat kalau dia mengingat akan sikap-sikap Tek Hoat yang tidak menyenangkan hatinya, cintanya berubah benci! Nampak jelas olehnya betapa kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya baik dan menyenangkan, cintanya berkobar-kobar, tetapi sebaliknya kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya buruk dan tidak menyenangkan, cintanya melayu dan muncullah kebencian.

Dia membuka mata dengan penuh kengerian di dalam hatinya. Seperti itukah cintanya terhadap Tek Hoat? Hanya berdasarkan menyenangkan dirinya sendiri? Dia bergidik!

“Paman Pouw.... Paman.... katakanlah, kalau begitu.... apa dan bagaimana cinta kasih itu?” Suaranya lirih seperti memohon, pandang matanya sayu.

Sejenak sastrawan itu terpesona. Belum pernah dia melihat kelembutan dan kecantikan seperti ini. “Nona... ehh... aku memohon padamu... bolehkah aku melukis wajahmu....?” Dia pun berbisik.

Sikap kakek ini membuat Syanti Dewi tersenyum dan keharuannya pun membuyar. Sikap dan bisikan kakek itu mirip dengan sikap para muda, hanya perbedaannya yang teramat besar, kalau pemuda-pemuda itu membujuknya untuk dilayani atau dibalas cinta mereka, kakek ini sebaliknya membujuk untuk diperbolehkan melukis wajahnya!

“Tentu saja, Paman, Akan tetapi lebih dulu aku minta Paman menjawab pertanyaanku tadi.”

“Apa dan bagaimana cinta kasih itu? Ahh, Nona, mana mungkin manusia biasa macam kita dapat menggambarkan bagaimana adanya cinta kasih itu? Sama dengan harus menggambarkan bagaimana adanya Tuhan itu! Yang penting bagi kita, Nona, adalah kita tahu apa sesungguhnya yang bukan cinta itu! Selama ada si aku yang ingin disenangkan melalui orang yang kita cinta, maka mana mungkin ada cinta kasih? Yang ada tentulah hanya kekecewaan, kedukaan, kebencian dan permusuhan belaka!”

Syanti Dewi tidak berani bicara lagi tentang cinta. Kini baru terbuka matanya, betapa sesungguhnya cinta kasih merupakan hal yang amat agung dan pelik, yang tidak mudah dibicarakan dan dipikirkan begitu saja. Yang biasa kita pikirkan dan bayangkan adalah cinta yang sesungguhnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri kita dengan menggunakan sampul yang kita namakan cinta!


SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 07


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.