Suling Emas Naga Siluman Jilid 07

Suling emas naga siluman Jilid 07
Sonny Ogawa
CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 07
Senang sekali Syanti Dewi bercakap-cakap dengan sastrawan itu. Setiap kata-katanya mengandung makna mendalam. Maka mulailah dia dilukis. Dia cuma diminta duduk dan bercakap-cakap seperti biasa saja, dan kakek itu setelah menerima sehelai kain putih yang bersih dan kuat, lalu mulai melukisnya, sambil omong-omong pula! Maka Syanti Dewi tidak lelah dan hanya duduk santai saja seperti biasa kalau dia bercakap-cakap.

Banyak hal yang dibicarakan. Syanti Dewi teringat akan pengakuan kakek itu yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu dan seorang perantau yang menikmati keindahan alam semesta.

“Kau tentu miskin sekali, Paman?”

Kakek itu terbelalak memandang Sang Puteri lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, justru sebaliknya, Nona. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling kaya di dunia ini! Segala keindahan di dunia ini adalah untukku! Aku dapat menikmati alam semesta di mana pun juga, tanpa memilikinya. Sekali orang memiliki sesuatu, maka berarti bahwa dia sesungguhnya telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya itu!”

“Ehh, apa pula maksudmu, Paman?”

“Jelas sekali. Begitu kita memiliki sesuatu, maka yang kita miliki itu akan kehilangan keindahannya karena kita telah terjangkit penyakit tamak, ingin memiliki yang lebih dari yang telah kita punyai. Memiliki hanya menimbulkan sengketa, persaingan, perebutan, iri hati. Dan siapa yang memiliki, dialah yang akan kehilangan dan agar jangan sampai kehilangan itu, kalau perlu dia akan menjaganya dengan taruhan segala kebahagiaan, bahkan nyawanya. Bukankah demikian?”

“Jadi, kau tidak memiliki apa-apa, Paman?”

“Ha-ha-ha, justru karena aku tidak memiliki apa-apa, maka segala sesuatu ini adalah untukku belaka!”

Syanti Dewi masih belum mengerti betul akan inti dari semua kata-kata sastrawan itu. Mendadak timbul pikirannya bahwa orang aneh seperti Pouw Toan ini tentu banyak pengalamannya di dunia kang-ouw dan mengenal banyak orang sakti.

“Paman Pouw, apakah Paman mengenal seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng dan isterinya yang bernama Puteri Milana?” Dia memancing.

“Ah, tentu saja! Kami adalah sahabat-sahabat baik dan sungguh menggembirakan kalau bicara dengan Gak-taihiap dan keluarganya! Dia tinggal di Puncak Telaga Warna yang indah di Pegunungan Beng-san.”

“Tentu Paman mengenal pula keluarga Majikan Pulau Es, kalau begitu?”

Kakek itu menarik napas panjang. “Memang aku tahu, akan tetapi seorang sastrawan macam aku ini mana mungkin bisa berdekatan dengan mereka? Terlalu jauh.... terlalu tinggi, dan aku tidak mampu membawa perahu mencapai Pulau Es. Tentu pendekar sakti itu, Suma Han Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, kini telah tua dan tidak pernah kudengar beritanya di dunia kang-ouw. Bahkan putera-puteranya pun tidak terdengar beritanya. Agaknya sekarang semua pendekar sedang menikmati ketenangan hidup di tempat masing-masing, sungguh pun belum lama ini terjadi geger di dunia kang-ouw karena lenyapnya Pedang Pusaka Naga Siluman dari istana kaisar.”

Dengan singkat namun jelas sastrawan itu lalu bercerita sekedarnya tentang pedang pusaka yang kabarnya dilarikan maling sakti ke Pegunungan Himalaya itu dan betapa banyak orang kang-ouw melakukan pengejaran ke sana untuk memperebutkan pedang pusaka keramat itu.

“Akan tetapi, kurasa pendekar-pendekar sakti seperti keluarga istana Pulau Es itu tidak akan merendahkan diri memperebutkan pedang pusaka itu,” tambahnya.

Syanti Dewi mendengarkan dengan hati tertarik. Kemudian, pertanyaan inti yang sejak tadi berada di ujung lidahnya, diajukan dengan suara yang dibikin setenang mungkin, “Paman Pouw, pernahkan Paman mendengar atau bertemu dengan seorang tokoh Kang-ouw yang berjuluk Si Jari Maut?”

Sastrawan itu mengerutkan alisnya, kemudian menggeleng kepalanya. “Aku belum pernah bertemu muka, akan tetapi aku sudah banyak mendengar tentang tokoh muda itu. Akan tetapi menurut berita terakhir, pendekar muda yang terkenal dan bahkan kabarnya masih anak keluarga penghuni Istana Pulau Es itu kini menjadi gila....“

“Ehhh....?” Syanti Dewi hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangan.

“Atau menurut kabar, keadaannya seperti orang kehilangan ingatan, pakaiannya seperti pengemis, rambut dan brewoknya tidak terpelihara dan dia sering kali tertawa dan menangis. Memang aneh sekali tokoh itu.... heiii, kenapa....?” Sastrawan itu terkejut melihat Syanti Dewi mendadak menutup muka dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu!

Sejenak sastrawan itu termangu, akan tetapi dia lalu mengangguk-angguk maklum. Dihubungkannya bunyi sajak tulisan puteri itu dan sikapnya sekarang ketika mendengar tentang pendekar muda berjuluk Si Jari Maut itu, dan mengertilah dia bahwa tentu ada hubungan cinta yang gagal atau patah antara dara ini dan Si Jari Maut itu. Sebagai seorang yang bijaksana dia tidak ingin mengganggu dan membiarkan dara itu menangis melampiaskan duka yang agaknya sudah terlalu lama ditahan-tahannya itu dan dia enak-enak saja melanjutkan dan menyelesaikan lukisannya.

Memang lapanglah rasa dada Syanti Dewi setelah menangis, sungguh pun kini dia merasa seluruh tubuhnya lemah dan hatinya penuh dengan haru dan iba terhadap kekasihnya yang dikabarkan menjadi berubah ingatan itu! Dia mengusap air matanya dan memandang kepada sastrawan itu dengan mata merah.

“Maafkan sikapku, Paman, tetapi aku ingin beristirahat dan tak dapat menemanimu lebih lama lagi....“

“Tidak mengapa, Nona. Lukisan ini sudah rampung dan terimalah lukisan ini sebagai persembahan dan terima kasihku bahwa Nona telah sudi menerimaku serta memberi kesempatan kepadaku untuk menikmati kecantikanmu dan sungguh pertemuan ini tidak akan terlupakan selama hidupku.” Dia menyerahkan lukisan itu kepada Syanti Dewi.

Syanti Dewi menerima lukisan itu dan dia terkejut dan kagum. Lukisan itu tidaklah dapat dibilang indah, dalam arti kata indah menurut keinginannya dilukis secantik mungkin, akan tetapi beberapa goresan-goresan itu amat kuatnya mencerminkan segala bentuk dan sifat-sifat, bukan hanya lahiriah akan tetapi juga batiniah. Melihat lukisan itu dia merasa seolah-olah melihat dirinya sendiri dibalik cermin dalam keadaan yang sewajarnya tanpa ditutup hiasan apa pun, wajahnya ‘telanjang’ sama sekali dalam lukisan itu dan nampaklah bayangan-bayangan duka yang mendalam! Tiba-tiba dia teringat kepada Tek Hoat dan dengan jari-jari gemetar dia mengembalikan lukisan itu.

“Paman Pouw, terima kasih atas pemberianmu. Akan tetapi, kuharap engkau kalau kebetulan bertemu dengan dia sudilah kau memberikan lukisan ini kepadanya, siapa tahu dapat menolongnya....“ Suaranya gemetar dan makin lirih.

Tanpa perlu disebut namanya pun kakek yang bijaksana itu sudah tahu siapa yang dimaksudkan, maka dia menerima lukisan itu, digulungnya dan dia lalu bangkit berdiri. “Baiklah, mudah-mudahan saja aku dapat berjumpa dengan dia. Nah, selamat tinggal, Nona dan terima kasih atas keramahanmu telah sudi menyambut aku sebagai seorang tamu.”

“Aku merasa girang sekali dapat berkenalan dengan seorang seperti engkau, Paman Pouw. Selamat jalan.... mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu lagi.”

Pouw Toan lalu meninggalkan ruangan tamu itu, tapi tiba-tiba dia teringat akan penjaga berkumis, maka dia berhenti, menoleh sambil tersenyum dan berkata, “Nona, penjaga berkumis tebal itu menerima pukulan gara-gara kedatanganku, harap kau suka ingat kepadanya.”

Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Maka pergilah Pouw Toan. Benar saja, baru dia tiba di luar istana, dia sudah disambut oleh penjaga itu yang memandangnya penuh perhatian dengan sinar matanya yang mengandung pertanyaan.

“Siocia-mu tentu akan memperhatikan nasibmu,” kata Pouw Toan sehingga giranglah penjaga itu. Dengan ramah dia lalu mengantar Pouw Toan kembali ke perahunya dan tidak lama kemudian perahu yang didayung perlahan-lahan oleh sastrawan tua itu pun meninggalkan Kim-coa-to.

Sementara itu, Syanti Dewi memanggil penjaga dan memesan bahwa hari itu dia tidak mau menerima tamu lagi.

“Tapi, Siocia! Ouw-kongcu dan Ang-kongcu sudah sejak tadi menunggu!” penjaga itu berkata. Dia yang sudah sering kali menerima hadiah dari dua orang pemuda itu tentu saja mencoba untuk membujuk nona majikannya untuk mau menerima dua orang pemuda itu.

Pemuda she Ouw adalah pemuda hartawan yang kaya-raya, sedangkan pemuda she Ang adalah sahabatnya, putera seorang pembesar. Pemuda hartawan dan bangsawan itu datang dari seberang, dari daratan dengan menggunakan sebuah perahu besar yang mewah milik Ouw-kongcu.

“Biar siapa pun juga yang datang, aku tidak akan menemui mereka. Katakan bahwa aku sedang tidak enak badan dan tidak dapat menemui tamu.” Setelah berkata demikian, Syanti Dewi pergi ke kamarnya, mengunci pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, kedua matanya menatap langit-langit dan membayangkan keadaan Tek Hoat yang menyedihkan.

Timbul keinginan besar di dalam hatinya untuk pergi sendiri, meninggalkan pulau dan mencari Ang Tek Hoat, menghiburnya, mengobatinya. Akan tetapi, dia membayangkan pengalamannya yang lalu dan dia mengeraskan hati. Dia harus melihat sikap Tek Hoat lebih dulu, harus melihat pemuda itu datang ke pulau ini, baru dia akan mengambil keputusan apakah dia menganggap baik untuk melanjutkan hubungan cinta mereka yang telah putus. Dia tidak mau menderita lagi, tidak mau bertepuk tangan sebelah. Dia hanya mendengar keadaan pemuda itu yang menyedihkan, akan tetapi dia belum melihat sendiri bagaimana sikap Tek Hoat sekarang terhadap dirinya.

Dua orang pemuda yang menerima kabar bahwa Syanti Dewi tidak dapat menerima mereka karena dia tidak enak badan, tidak menjadi marah sungguh pun mereka kecewa sekali. Mereka tidak putus asa dan mereka juga tidak mau pulang, hanya menanti di perahu itu sampai Syanti Dewi sembuh. Bahkan mereka mengirim buah-buah dan makanan-makanan lain yang mereka bawa dari daratan, mereka berikan kepada Sang Puteri yang katanya sedang sakit itu melalui para pelayan yang tentu saja mau menyampaikan semua itu karena menerima hadiah-hadiah!

Syanti Dewi membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan dan makin diingat, makin beratlah duka menindih hatinya. Dia merasa amat sengsara dan tidak bahagia dalam cintanya, namun dia pun merasa pula betapa cintanya terhadap Tek Hoat selama ini tidak pernah mati, sungguh pun dia mencoba dengan segala daya upaya untuk menyatakan kepada diri sendiri bahwa hubungan cinta mereka telah putus! Maka, teringat akan semua itu, tak tertahankan lagi puteri ini menangis seorang diri di dalam kamarnya, menangis sesenggukan dan menyembunyikan mukanya dalam himpitan bantal yang telah menjadi basah oleh air matanya.

Betapa menyedihkan melihat kehidupan begini penuh dengan duka dan penderitaan, kekecewaan dan penyesalan, kesengsaraan dan hanya kadang saja diseling sedikit sekali suka yang hanya kadang-kadang muncul seperti berkelebatnya kilat sejenak saja di antara awan gelap kedukaan. Apakah duka itu dan dari mana timbulnya?

Jelaslah bahwa duka pun bukan merupakan hal di luar diri kita. Duka tidak terpisah dari kita sendiri dan kita sendirilah pencipta duka! Kita merasa berduka karena iba diri, dan iba diri timbul kalau si aku merasa kecewa karena dirampas apa yang menjadi sumber kesenangannya. Karena merasa di jauhkan dari kesenangan yang mendatangkan nikmat lahir mau pun batin, maka si aku merasa iba kepada dirinya sendiri.

Pikiran, tumpukan ingatan dan kenangan, gudang dari pengalaman-pengalaman masa lalu, mengenangkan semua hal-hal yang menimpa diri dan memperdalam perasaan iba diri itu. Pikiran seperti berubah menjadi tangan iblis yang meremas-remas perasaan hati, maka terlahirlah duka! Tanpa adanya pikiran yang mengenang-ngenang segala hal yang menimbulkan iba diri, maka tidak akan ada duka. Biasanya, kalau duka timbul, kita lalu melarikan diri pada hiburan dan sebagainya untuk melupakannya.

Akan tetapi, hal ini biasanya hanya berhasil untuk sementara saja, karena si duka itu masih ada. Sekali waktu kalau pikiran mengenang-ngenang, akan datang lagi duka itu. Sebaliknya, kalau kita waspada menghadapi perasaan yang kita namakan duka itu, mempelajarinya, tak lari darinya melainkan mengamatinya tanpa ingin melenyapkannya, maka duka itu sendiri akan lenyap seperti awan tertiup angin. Justru usaha-usaha dan keinginan untuk menghilangkan duka itulah yang menjadi kekuatan si duka untuk terus menegakkan dirinya!

Bicara tentang duka tidaklah lengkap kalau kita juga tidak bicara tentang suka atau kesenangan, karena kesenangan tak terpisahkan dari kesusahan, ada suka tentu ada duka! Justru pengejaran kesenangan inilah yang merupakan sebab utama dari lahirnya duka! Sekali mengenal dan mengejar kesenangan, berarti kita berkenalan dengan duka, karena duka muncul kalau kesenangan dijauhkan dari kita! Kesenangan mendatangkan pengikatan. Kita ingin mengikatkan diri dengan kesenangan, maka sekali yang menyenangkan itu dicabut dari kita, akan menyakitkan dan menimbulkan duka.

Kesenanganlah yang membius kita sehingga kita mati-matian mengejarnya, dan dalam pengejaran inilah timbulnya segala macam perbuatan yang kita namakan jahat. Dan kesenangan ini pun merupakan hasil karya dari pikiran, yaitu si aku yang mengenang dan mengingat-ingat. Pikiran mengunyah dan mengingat-ingat, membayangkan segala pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, maka timbul keinginan untuk mengejar bayangan itu!

Kita tak pernah waspada sehingga seperti tidak melihat bahwa yang kita kejar-kejar itu, bayangan yang nampaknya amat nikmat dan menyenangkan itu, setelah tercapai ternyata tidaklah seindah atau senikmat ketika dibayangkan, dan pikiran sudah mengejar kesenangan lain yang lebih hebat atau kita anggap lebih nikmat lagi!

Maka terperosoklah kita ke dalam lingkaran setan dari pengejaran kesenangan yang tiada habisnya. Kita tidak mau melihat bahwa di akhir sana pasti terdapat dua kemungkinan, yaitu kecewa dan duka kalau gagal, dan bosan yang membawa duka lagi kalau berhasil, dan rasa takut kalau kehilangan.

Dalam duka baru kita ingat kepada Tuhan, minta ampun, minta bantuan dan sebagainya dan semua ini wajar, timbul dari rasa iba diri. Dalam bersenang-senang kita lupa kepada Tuhan, karena pementingan diri yang berlebihan, mengejar kenikmatan diri sendiri.

Semua ini bukanlah berarti bahwa kita harus menjauhi atau menolak kenikmatan hidup. Sama sekali tidak! Kita berhak menikmati hidup, berhak sepenuhnya! Akan tetapi, pengejaran terhadap kesenangan itulah yang menyesatkan! Ini merupakan kenyataan, bukan teori atau pendapat kosong belaka. Kita harus waspada dan sadar akan kenyataan ini, karena kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan diri sendiri akan mendatangkan tindakan langsung tersendiri yang akan melenyapkan semua itu…..

********************

Seperti telah tercatat dalam sejarah, Kaisar Kang Hsi (1663-1722) sebagai kaisar dari Dinasti Ceng atau bangsa Mancu yang besar dan jaya telah berhasil mengembangkan kekuasaan kerajaan itu sehingga terkenal sampai di luar negeri. Akan tetapi semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dunia dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar Yung Ceng, kekuasaan atau pengaruh itu mulai menyuram. Kaisar Yung Ceng telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Ceng, namun dia tidak dapat mencapai keadaan seperti ketika kekuasaan berada di tangan Kaisar Kang Hsi.

Hal ini adalah karena banyaknya terjadi pertentangan di dalam keluarga kaisar sendiri sejak Kaisar Kang Hsi meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya pemberontakan di tempat-tempat yang jauh dari kota raja sehingga tentu saja peristiwa-peristiwa ini melemahkan keadaan Kerajaan Ceng diwaktu itu.

Pemberontakan terjadi di mana-mana, berupa pemberontakan kecil-kecilan yang cukup merongrong kewibawaan pemerintah. Terutama sekali karena di sebelah dalam istana sendiri terdapat pertentangan yang digolakkan oleh seorang selir dari Kang Shi yang disebut Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri ke Tiga. Sam-thaihouw ini tentu saja masih mempunyai pengaruh yang besar, dan terutama sekali karena di antara pembesar militer banyak yang membantu atau mendukungnya.

Tentu saja pembesar-pembesar itu adalah mereka yang selain masih terhitung keluarga dengan Ibu Suri ke Tiga ini, juga yang pernah banyak menerima budi dari ibu suri ini, bahkan yang memperoleh kedudukan tinggi karena jasa ibu suri. Kaisar sendiri tahu akan sepak terjang Ibu suri yang kadang-kadang bertindak sewenang-wenang terhadap para pembesar yang menentangnya dan dianggap musuhnya. Akan tetapi Kaisar Yung Ceng memiliki kelemahan, yaitu tidak berani banyak bertindak terhadap keluarga angkatan tua. Dia terlalu ‘berbakti’ terhadap angkatan tua, hal yang sesungguhnya hanya menunjukkan kelemahannya.

Bahkan pada akhir-akhir ini, secara terang-terangan Sam-thaihouw yang merasa sakit hati dan menaruh dendam kepada keluarga puteri Nirahai yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti di Istana Pulau Es, memusuhi keluarga itu dan mengumpulkan orang-orang kang-ouw yang pandai dan sakti dalam usahanya untuk membalas dendam kepada keluarga itu dan juga kepada para pembesar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang dianggap memusuhinya. Maka sering kali terjadi pembunuhan yang aneh dan keji di malam hari terhadap ‘musuh’ Sam-thaihouw, pembunuhan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Hal ini selain menggegerkan kota raja, juga menggegerkan dunia kang-ouw dan nama Sam-thaihouw sebentar saja disebut-sebut dan terkenal di antara orang-orang kang-ouw sebagai seorang yang amat berbahaya dan ditakuti.

Kegawatan memuncak dan kemerosotan pengaruh Kerajaan Ceng terasa paling rendah ketika terjadi pencurian pedang pusaka keramat dari gudang pusaka keraton! Sungguh hal ini merupakan tamparan bagi istana. Gudang pusaka merupakan tempat yang terjaga dengan amat ketat, akan tetapi ada sebatang pedang pusaka yang berada di dalamnya dicuri orang tanpa ada yang mengetahuinyal Peristiwa ini disimpulkan oleh para golongan yang menentang pemerintah sebagai bukti-bukti kelemahan, maka semakin beranilah mereka memperlihatkan sikap menentang!

Para pembesar mulai gelisah melihat kelemahan pemerintah. Banyak pembesar setia yang menasehati kaisar untuk mengambil tindakan dan bertangan besi, bukan hanya terhadap pemberontak, akan tetapi juga terhadap keluarga istana sendiri. Namun, Kaisar tetap tidak berani sembarangan bertindak terhadap Sam-thaihouw, maka hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan pembesar. Mereka mulai memasang mata mencari-cari orang yang kiranya dapat mereka harapkan untuk dapat menolong kerajaan. Dan orang itu bukan lain hanyalah Pangeran Kian Liong!

Pangeran ini terkenal sebagai seorang pemuda yang amat bijaksana, pandai dalam ilmu sastra dan sering kali pangeran ini menyamar sebagai rakyat biasa untuk menyelidiki kehidupan rakyat, mendengarkan keluh-kesah mereka, kritik-kritik dan usul-usul mereka untuk kemudian dia lanjutkan dengan tindakan-tindakan yang tepat untuk merubah keadaan yang memberatkan rakyat jelata. Karena ini, nama Pangeran Kian Liong segera terkenal sebagai seorang pangeran muda yang budiman dan juga kalau perlu dapat bertangan besi terhadap pembesar-pembesar yang korup dan menindas rakyat.

Sam-thaihouw tidak suka kepada pangeran ini, akan tetapi dia dan kaki tangannya tidak berani sembarangan bertindak terhadapnya, karena selain pangeran ini merupakan pangeran yang mempunyai harapan menggantikan kaisar, juga diam-diam pangeran ini selalu dilindungi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi! Memang luar biasa sekali! Banyak tokoh-tokoh besar dan partai-partai persilatan, tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan berilmu, bekerja sama melakukan penjagaan dan pengamatan siang malam atas diri pangeran ini sehingga ke mana pun pangeran ini pergi, selalu pasti ada tokoh-tokoh sakti yang mengawasi dan menjaganya, melindunginya tanpa diketahui oleh Si Pangeran itu sendiri!

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau para pembesar yang setia kini menujukan pandang mata mereka kepada Pangeran Kian Liong dengan penuh harapan, sungguh pun pangeran itu sendiri tidak memperlihatkan ambisi apa-apa kecuali sebagai seorang pangeran yang selalu bersikap melindungi rakyat yang tertindas.

Empat lima tahun telah lewat semenjak terjadi keributan di Pegunungan Himalaya oleh karena orang-orang kang-ouw memperebutkan Pedang Pusaka Naga Siluman. Dan pada waktu itu, berhubung dengan kelemahan kaisar di kota raja, di bagian barat mulai lagi timbul keributan-keributan, yaitu di negara bagian Tibet yang pernah ditundukkan dan dikuasai oleh pasukan pemerintah Ceng ketika masih berada di bawah pimpinan mendiang Kaisar Kang Hsi.

Terdapat kabar bahwa mulai berdatangan mata-mata dan berkelompok-kelompok pasukan kecil dari luar Tibet yang memasuki daerah itu, dan kabarnya pasukan-pasukan Tibet kewalahan menghadapi gangguan-gangguan kecil ini. Pasukan-pasukan itu datang dari arah barat dan selatan, dari arah Negara Nepal dan mungkin juga dari India…..

********************

Pada suatu pagi yang cerah, dengan sinar matahari mulai nampak di bagian yang dingin dari dunia itu, yaitu di kaki Pegunungan Himalaya yang berada di bagian paling timur dan utara, nampak seorang dara remaja menuruni lereng dengan sikap yang gembira dan lenggang seenaknya.

Dara ini bertubuh ramping padat, caranya melangkahkan kaki seperti seekor rusa, demikian ringannya namun di balik pakaiannya yang sederhana itu nampak tubuh yang padat berisi dan mengandung tenaga yang kuat. Wajahnya manis sekali, wajah yang amat cerah, secerah matahari pagi.
< br> Sepasang mata dan mulutnya membayangkan kesegaran, sesegar embun yang bergantung pada pucuk-pucuk daun, dan kulitnya yang nampak pada muka, leher dan tangannya mulus halus putih, seputih salju yang masih tersisa di puncak gunung yang nampak dari kejauhan.

Dara cantik manis ini baru berusia kurang lebih enam belas tahun, seorang dara remaja yang baru menanjak dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar. Kedua pipinya yang halus itu kemerahan seperti buah tomat mulai masak, dan bibirnya yang menyungging senyum dikulum itu nampak merah delima membayangkan kesegaran tubuh yang sehat. Meski pakaiannya terbuat dari pada kain kasar saja dan potongannya pun sederhana dan kasar, akan tetapi tidak mengurangi kecantikan dara itu, bahkan kesederhanaan pakaian itu lebih menonjolkan kejelitaannya yang wajar dan asli.

Dara itu sama sekali tidak memakai perhiasan, akan tetapi dari jauh dia nampak seperti memakai sebuah gelang emas yang cukup besar, sebesar jari tangannya, gelang emas berbentuk seekor ular yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Akan tetapi, kalau didekati, orang akan melihat bahwa ‘gelang emas’ itu bergerak-gerak, dari mulut ular itu keluar lidah hitam menjilat-jilat keluar masuk dan baru orang akan tahu bahwa gelang itu adalah seekor ular asli, seekor ular hidup! Dan memang sesungguhnyalah. Ular itu seekor ular hidup yang memiliki sisik indah sekali, kuning keemasan, dengan mata kecil merah dan lidah yang hitam!

Melihat seorang dara remaja dengan pakaian biasa yang tipis, bukan pakaian bulu yang melindungi tubuh dari dingin, melakukan perjalanan seorang diri serta seenaknya saja menuruni lereng Pegunungan Himalaya yang terkenal dingin sekali itu, sungguh sudah merupakan hal yang aneh. Apalagi melihat gelang ular emas hidup itu! Melihat dua hal ini saja, mudah diduga bahwa di balik kelembutan seorang dara remaja yang cantik manis ini tentu terdapat kekuatan yang hebat, membayangkan seorang dara perkasa yang tidak jarang muncul di dunia kang-ouw pada waktu itu. Dugaan ini memang tidak keliru karena dara ini bukan lain adalah Bu Ci Sian!

Seperti kita ketahui, Bu Ci Sian adalah seorang dara yang sejak muda sekali telah mengalami hal-hal yang amat hebat, yaitu ketika kita mula-mula melihat dia bersama mendiang kakeknya, yang sebetulnya adalah seorang tokoh besar selatan berjulukan Kiu-bwe Sin-eng bernama Bu Thai Kun, melakukan perjalanan di Pegunungan Himalaya dan mengalami banyak hal-hal yang hebat.

Akan tetapi, Bu Ci Sian yang pada pagi hari yang cerah itu menuruni lereng bukit sama sekali tidak dapat disamakan dengan dara cilik yang kita kenal empat tahun yang lalu itu. Biar pun pada waktu itu Ci Sian telah merupakan seorang gadis cilik yang penuh keberanian dan memiliki dasar-dasar ilmu silat, tetapi dibandingkan dengan sekarang, keadaannya sudah jauh lebih hebat. Sekarang dia merupakan seorang dara remaja yang berilmu tinggi setelah digembleng secara hebat dan tekun sekali oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong Nilagangga!

Seperti kita ketahui, dara ini terpisah dari pendekar Suling Emas Kam Hong dan setelah ditolong oleh See-thian Coa-ong, akhirnya dia menjadi murid kakek sakti perantau dari Nepal ini dan dibawa ke sebuah puncak bukit yang sunyi di mana dia menggembleng muridnya dengan berbagai ilmu silat yang aneh-aneh, di antaranya juga mengajarkan ilmu menaklukkan ular-ular kepada muridnya itu. Ci Sian yang memang suka sekali akan ilmu silat, belajar dengan tekun sekali setiap hari, sungguh pun dia merasa amat kesepian di tempat sunyi itu dan hatinya selalu terkenang kepada Kam Hong dan ayah bundanya yang sedang dicarinya.

Setelah belajar siang malam selama empat tahun dan merasa bahwa dia telah memiliki ilmu yang cukup untuk dapat diandalkan dalam mencari Kam Hong atau ayah bundanya sendirian saja, Ci Sian lalu menyatakan kepada gurunya bahwa dia ingin pergi turun gunung untuk mencari Kam Hong dan mencari ayah bundanya.

“Ci Sian, engkau baru saja belajar empat tahun, dan sungguh pun hampir semua ilmuku telah kuajarkan kepadamu, akan tetapi engkau harus melatih dan mematangkan lagi selama setahun. Aku telah berjanji kepada Cui-beng Sian-li untuk mempertandingkan murid kami, yaitu engkau melawan muridnya. Maka engkau harus menanti setahun lagi.”

“Suhu, yang berjanji adalah Suhu, dan aku bukanlah seekor ayam aduan. Mengapa selalu Suhu membuat janji-janji aneh seperti anak-anak itu? Jangan layani dia. Aku harus turun gunung untuk mencari Paman Kam Hong atau ayah bundaku, dan kurasa dengan kepandaian yang kupelajari dari Suhu ini sudah cukup untuk bekal perjalananku mencari mereka.”

“Muridku, di dunia ini aku hanya mempunyai engkau seorang. Kalau bukan engkau yang menjaga namaku, habis siapa lagi? Kalau setahun kemudian engkau tidak mau menandingi murid Cui-beng Sian-li, bukankah nama See-thian Coa-ong akan menjadi bahan ejekan para penghuni Lembah Suling Emas dan kemudian menjadi bahan tertawaan seluruh dunia kang-ouw?”

Ci Sian menarik napas panjang. “Kukira Suhu sudah tidak butuh apa-apa, ternyata masih membutuhkan nama besar! Begini saja, Suhu. Waktu berlatih yang setahun ini akan dapat kulakukan dalam perjalanan mencari orang tuaku. Dan perjanjian antara Suhu dan Cui-beng Sian-li itu hanya perjanjian untuk mempertandingkan murid Suhu dan muridnya, akan tetapi bukan janji bahwa aku akan datang mencari muridnya! Jadi, perjanjian itu berlaku juga untuk dia, dan muridnyalah yang harus pergi mencari aku! Nah, kalau sewaktu-waktu dia datang, Suhu katakan saja bahwa aku menanti-nantinya dan dia boleh mencariku sampai dapat!”

Menghadapi kebandelan Ci Sian, See-thian Coa-ong tak berdaya, apalagi memang dia amat sayang kepada muridnya itu dan maklum betapa tersiksanya dara remaja seperti Ci Sian untuk hidup terasing di tempat seperti itu bersama dia. Anak itu dapat bertahan hidup seperti pertapa kesepian di tempat itu selama empat tahun sudah merupakan hal yang amat mengagumkan, dan dia pun tahu bahwa dasar ilmu kepandaian Ci Sian sudah lebih dari cukup untuk dipakai menjaga diri, maka akhirnya dia pun tidak menahan lebih lanjut dan memperbolehkan dara itu turun gunung!

Demikianlah, pada pagi hari itu, dengan wajah yang cerah dan semangat yang bernyala-nyala, Ci Sian menuruni bukit dan tentu saja dia merasa seolah-olah seperti seekor burung yang baru saja terlepas dari sangkar di mana dia tekun mempelajari ilmu selama empat tahun dan di mana dia sering kali menahan-nahan rasa rindunya akan dunia luar! Kini dia merasa bebas! Dan kegembiraan mendebarkan jantungnya kalau dia teringat akan kemungkinan bertemu dengan Kam Hong! Baru sekarang dia merasa betapa rindunya dia kepada pendekar itu!

Dan dia pun harus mencari Toat-beng Hui-to Lauw Sek, yaitu Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana dia akan dapat mencari ayah bundanya, karena dia tahu bahwa piauwsu itulah yang telah menerima pesan terakhir dari mendiang kongkong-nya tentang tempat ayah bundanya. Dan kalau dia sudah tahu tempat itu, dia akan mencari ayah bundanya sampai dapat. Apalagi kalau dia dapat bertemu dengan Kam Hong dan minta bantuan pendekar itu, dia yakin pasti akan berhasil menemukan ayah bundanya. Dengan bayangan-bayangan ini dalam benaknya, Ci Sian menuruni bukit dengan hati riang dan penuh harapan.

Akan tetapi, setelah belasan hari dia mencari-cari di sekitar tempat di mana dia terpisah dari Kam Hong, dia tidak dapat menemukan pendekar itu. Bahkan tempat di mana dia dan Kam Hong terasing ketika terjadi longsor itu, kini telah berubah pula dan tiada jejak Kam Hong di situ. Dia mulai menyusuri jalan di mana dia dan Kam Hong melalui ketika mereka berdua meninggalkan Lhagat. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari Lauw-piauwsu ke kota Lhagat.

Betapa kagetnya saat dia tiba di daerah Lhagat, dia melihat banyak orang berbondong-bondong mengungsi dan meninggalkan daerah itu. Dari para pengungsi ini tahulah Ci Sian bahwa Lhagat, kota yang berada di perbatasan antara Tibet, Nepal dan India itu, yang menjadi tempat pemberhentian para pedagang dan orang-orang yang melakukan perjalanan dari atau ke tempat-tempat tersebut, sekarang telah diduduki oleh pasukan-pasukan asing yang menyerbu dari selatan!

Itu adalah pasukan yang amat kuat dari Nepal! Pasukan itu bentrok dan bertempur dengan pasukan Tibet, memperebutkan daerah Lhagat dan akhirnya pasukan Tibet dipukul mundur dan Lhagat pun diduduki oleh pasukan Nepal yang memang bermaksud untuk terus menyerbu ke utara dan timur, tentu saja hendak menundukkan Tibet untuk terus menggempur Tiongkok. Menurut cerita para pengungsi, berkali-kali pihak tentara Tibet kena digempur dan menderita kekalahan, mundur dan dikejar musuh memasuki daerah Tibet.

Ketika Ci Sian mendengar betapa banyak orang-orang Tibet dan orang dari pedalaman telah ditawan oleh pasukan Nepal, apalagi sesudah mendengar keterangan bahwa Lauw-piauwsu yang dicari-carinya itu mungkin saja ikut tertawan, dia lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Lhagat! Semua pengungsi memberi nasehat agar dia jangan mendekati Lhagat, apalagi seorang wanita muda cantik seperti dia. Namun, tentu saja Ci Sian tidak mempedulikan semua peringatan ini dan dengan cepat dia melakukan perjalanan menuju ke kota yang sudah diduduki musuh itu.

Setelah sampai dekat Lhagat, dia bertemu dengan serombongan pengungsi lagi yang membawa berita terakhir dari kota Lhagat. Dari mereka ini, dia mendengar berita yang lebih hangat, berita terakhir tentang apa yang terjadi di daerah itu. Kiranya, menurut penuturan para pengungsi ini yang terdiri dari orang-orang lelaki yang nampaknya kuat karena mereka adalah para pemuda Lhagat yang tadinya ikut pula mempertahankan kampung halaman mereka dari penyerbu asing, pada waktu itu kedudukan pasukan Nepal semakin kuat dengan datangnya bala bantuan lagi dari Nepal.

Pasukan itu bahkan telah berhasil menggagalkan bantuan pasukan Kerajaan Ceng yang kini telah terperangkap, terkepung di lembah sebelah timur Lhagat! Ketika mendengar akan penyerbuan pasukan Nepal ke daerah Tibet, Kaisar Kerajaan Ceng cepat-cepat mengirim pasukan yang terdiri dari lima ribu orang untuk membantu pasukan Tibet yang menjadi negara taklukan Kerajaan Ceng, dan untuk mengusir pasukan Nepal itu.

Akan tetapi, sungguh di luar perhitungan Pemerintah Ceng bahwa kali ini Nepal bersungguh-sungguh dalam serbuan mereka itu sehingga belum juga pasukan itu berhasil menyerbu untuk merampas kembali Lhagat, mereka telah terkepung ketika mereka sedang beristirahat di lembah gunung. Pihak musuh yang mengepung berjumlah tiga empat kali lebih banyak, maka pasukan Ceng itu tidak berhasil membobolkan kepungan dan hanya mampu bertahan saja.

Berkali-kali pasukan Nepal yang mengurung itu menyerbu ke atas, mencoba hendak menghancurkan musuh, akan tetapi ternyata dalam waktu singkat, komandan pasukan yang pandai dari barisan Ceng telah dapat menyusun benteng pertahanan yang kokoh kuat. Oleh karena itu, kini pasukan Nepal hanya mengurung ketat, hendak membiarkan pihak musuh mati kelaparan! Sudah setengah bulan pasukan yang terjebak itu dikepung, dan karena pihak Nepal maklum bahwa sewaktu-waktu dapat datang bala bantuan dari Kerajaan Ceng, maka penjagaan di sekitar daerah itu dilakukan dengan amat ketat.

Setiap orang yang lewat di daerah itu tentu digeledah dan diperiksa, kalau-kalau ada terselip mata-mata dari pihak musuh. Di mana-mana terdapat tentara Nepal dan seperti biasa yang terjadi dalam setiap huru-hara, dalam setiap peperangan, maka di daerah pegunungan itu pun terjadi pula hal-hal yang mengerikan setiap hari. Perampokan, perkosaan, pembunuhan, terjadi setiap saat. Manusia kehilangan peri kemanusiaannya. Yang nampak hanyalah angkara murka dan di mana-mana manusia dicekam rasa takut yang hebat.

Biar pun dia masih belum dewasa benar, baru berusia hampir tujuh belas tahun, namun Ci Sian adalah seorang anak yang tergembleng oleh keadaan dan memang pada dasarnya dia cerdik. Dia mengenal bahaya, maka dia pun mengambil jalan-jalan melalui hutan-hutan. Dia sudah mengenal daerah ini karena ketika dia berada di Lhagat beberapa tahun yang lalu, dia sering pergi berburu ke hutan-hutan. Oleh karena itu, dalam penyelidikannya untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu, dia pun menyelinap-nyelinap di antara pohon-pohon di hutan dan tidak berani sembarangan memperlihatkan dirinya kepada pasukan Nepal yang berjaga di mana-mana.

Ketika dia mencoba menyelidiki keadaan pasukan pemerintah Ceng yang terkurung di lembah gunung kecil itu, dia terkejut bukan main. Gunung kecil atau bukit di mana pasukan itu terkurung telah dikelilingi pasukan Nepal yang bersembunyi dan yang telah mempersiapkan segala macam jebakan dan barisan pendam dengan anak panah selalu siap di tangan. Pendeknya, kalau pasukan di lembah itu berani mencoba-coba untuk membobolkan kurungan itu, mereka pasti akan dihancurkan!

Diam-diam Ci Sian mencari akal bagaimana kiranya cara pasukan itu akan dapat diselamatkan. Dia teringat akan cerita kakeknya dahulu tentang kepahlawanan, tentang kegagahan para pendekar pada jaman dahulu, tentang perbuatan-perbuatan yang menggemparkan karena gagah perkasanya. Ingatan-ingatan itu mendorongnya untuk melakukan sesuatu guna menolong pasukan yang terkurung, di samping dorongan rasa bahwa sudah menjadi tugasnya untuk menolong pasukan bangsanya yang terkurung tanpa berdaya itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin seorang dara remaja seperti dia, seorang diri saja, akan mampu menyelamatkan lima ribu orang tentara yang sudah terkurung tak berdaya itu? Apa dayanya menghadapi puluhan ribu pasukan Nepal?

Pagi hari itu, Ci Sian berjalan di dalam hutan sambil termenung. Sudah beberapa hari lamanya dia mencari-cari akal, namun dia tetap tidak dapat menemukan siasat yang baik bagaimana dia akan dapat menolong pasukan pemerintah yang terkurung musuh itu. Hatinya menjadi kesal dan dia makin merindukan Kam Hong karena dia percaya bahwa kalau Kam Hong berada di sampingnya, tentu pendekar itu akan dapat mencari siasat untuk menolong pasukan yang terkepung rapat itu.

Tiba-tiba dara itu berkelebat lenyap dan dia sudah menyelinap ke belakang sebatang pohon besar. Gerakannya memang cepat bukan main, seolah dia pandai menghilang saja. Dia mendengar suara ringkik kuda disusul suara kaki kuda dan suara manusia mendatangi dari depan!

Tak lama kemudian nampak rombongan orang berkuda itu. Yang paling depan adalah seorang gadis yang cantik, usianya tentu hanya lebih satu dua tahun dibandingkan dengan dia. Seorang gadis yang berbentuk tubuh ramping agak kecil, wajahnya bulat telur dan cantik manis, terutama dagunya yang runcing. Melihat pakaiannya, gadis ini adalah seorang Han, akan tetapi dua losin tentara yang mengawalnya itu jelas bukanlah tentara kerajaan, melainkan tentara Nepal!

Ci Sian bersembunyi dan tidak berani menampakkan diri, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada seorang gadis bangsanya yang kini dikawal oleh pasukan Nepal! Kini kuda yang ditungganggi gadis cantik itu, yang berbulu hitam dan bertubuh tinggi besar, seekor kuda yang amat baik, telah tiba di dekat pohon di belakang mana Ci Sian bersembunyi. Kuda hitam itu tiba-tiba meringkik mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, mendengus-dengus ke arah pohon besar itu!

Jelas bahwa kuda itu bukan kuda sembarangan, dan agaknya seekor kuda yang amat terlatih, seperti seekor anjing yang cerdik, begitu mencium bau seorang asing kemudian memperingatkan majikannya! Dan gadis cantik itu agaknya pun tahu akan ulah kudanya itu, dapat menduga bahwa di belakang pohon tentu ada seorang asing atau ada seekor binatang berbahaya.

“Keluarlah!” bentaknya dan begitu tangan kirinya bergerak, sebatang piauw kecil yang memakai ronce merah di gagangnya melucur ke arah belakang batang pohon itu!

Ci Sian terkejut bukan main. Kehadirannya telah diketahui orang, maka dia pun cepat mengelak dari ancaman pisau dan dengan tenang dia lalu keluar dari balik pohon itu sambil memandang dengan sinar mata marah namun penuh ketabahan.

“Orang kejam!” dia membentak sambil menatap wajah gadis cantik itu. “Apa salahku maka kau datang-datang menyerangku dengan senjata rahasiamu?”

Gadis cantik itu tercengang keheranan. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa yang mengejutkan kudanya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Juga dua losin pengawalnya semua mengeluarkan seruan kaget dan heran. Mana mungkin ada seorang dara seperti itu berkeliaran di daerah ini tanpa pernah dapat nampak oleh penjaga? Kini semua mata memandang Ci Sian dengan penuh kecurigaan.

Sudah tersiar berita di kalangan para tentara Nepal bahwa Kerajaan Ceng ada mengirim seorang penyelidik yang sakti dari kota raja menuju ke tempat itu, tentu saja dalam usaha untuk menolong pasukan kerajaan yang terkepung itu. Maka setiap orang asing dicurigai, apalagi orang-orang Han. Biar pun Ci Sian hanya merupakan seorang dara remaja, namun mereka semua tahu bahwa wanita-wanita Han, biar pun masih muda, tak boleh dipandang ringan karena di antara mereka banyak yang merupakan seorang ahli silat yang amat lihai.

Gadis cantik itu sendiri adalah seorang wanita yang agaknya berkepandaian tinggi, hal ini terbukti dari sambitannya dengan pisau kecil tadi. Kini gadis itu pun memandang dengan penuh curiga kepada Ci Sian, walau pun mulutnya sekarang tersenyum dan dia menjawab, “Salahmu sendiri! Orang baik-baik tidak bersembunyi-sembunyi seperti seorang pencuri, dan kudaku ini selalu marah kalau melihat orang yang memiliki niat buruk di dalam hatinya.”

Kemudian dia menggerakkan cambuk kudanya ke atas hingga terdengar suara ledakan nyaring, lalu melanjutkan. “Engkau tentu seorang mata-mata, karena engkau berniat buruk maka engkau merasa takut dan bersembunyi!”

“Siapa yang takut? Apa yang perlu ditakuti?” Ci Sian mengejek. “Aku tidak takut, dan tadi aku bersembunyi hanya karena enggan bertemu dengan pasukan yang kabarnya merupakan orang-orang jahat yang suka merampok, memperkosa, dan membunuh.”

Gadis cantik itu mengerutkan alisnya dan memandang marah. “Siapa bilang pasukan kami begitu jahat?”

Ci Sian tersenyum pahit. “Uhh, masih pura-pura bertanya lagi? Apakah matamu buta, apakah telingamu juga tuli sehingga engkau tidak melihat atau mendengar ratap tangis rakyat di sini? Jangan pura-pura bodoh!”

Wajah yang cantik itu berubah marah. “Bocah bermulut lancang! Dalam setiap peperangan tentu saja jatuh korban, itu sudah jamak! Akan tetapi jangan mengira bahwa kami membiarkan para pasukan melakukan kejahatan, apalagi perkosaan! Soal menyita barang musuh, atau membunuh musuh, sudah wajar.”

“Wajar kalau yang disita itu barang musuh dan kalau yang dibunuh nyawa musuh, sesama tentara. Akan tetapi kalau rakyat yang tidak tahu apa-apa yang diganggu, dirampok, dibunuh, wanita-wanita diperkosa, lalu apa bedanya tentaramu itu dengan orang-orang biadab?”

“Bocah sombong bermulut besar!” Gadis itu memaki dengan marah sekali. “Kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu di sini?”

“Mengapa tidak? Apa kau kira aku takut menghadapi beberapa gelintir anjing-anjing pengawalmu ini?”

Para pengawal sudah marah sekali mendengar ini dan mereka sudah gatal-gatal tangan akan tetapi mereka tidak berani bergerak sebelum menerima perintah dan agaknya mereka itu tidak berani mendahului gadis cantik yang mereka kawal itu.

“Hemmm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian juga maka berani bersikap lancang. Beranikah engkau melawanku?”

“Kau?” Ci Sian sengaja mengejek dan memandang rendah. “Biar ada sepuluh orang seperti engkau aku tidak akan mundur selangkah pun!”

Diam-diam gadis itu di samping kemarahannya, juga kagum menyaksikan sikap Ci Sian yang sedemikian tabahnya. Dia meloncat turun dari atas kudanya, diturut oleh semua pengawalnya yang menambatkan kuda-kuda itu pada batang pohon, kemudian mereka membentuk sebuah lingkaran panjang, mengelilinginya dan agaknya para pasukan itu gembira dapat menyaksikan dua orang gadis cantik yang hendak mengadu ilmu itu. Ci Sian mengikuti gerak-gerik mereka itu dengan sikap gagah dan tenang. Kemudian, gadis cantik itu menghampirinya di tengah-tengah lingkaran.

“Singgg!” Gadis cantik Itu sudah mencabut sebatang pedang dari pinggangnya dan sambil melintangkan pedang di dada, dia berkata, “Nah, kau keluarkanlah senjatamu!”

Akan tetapi Ci Sian memang tak pernah memegang senjata, bahkan gelang ular hidup tadi pun telah dilepaskannya dan dibiarkannya merayap pergi ketika dia keluar dari tempat sembunyinya. Dia tersenyum dan memandang calon lawan itu. “Aku tak pernah membawa senjata. Akan tetapi jangan dikira aku takut kalau engkau membawa pisau dapur itu!”

Mendengar ejekan ini, tentu saja gadis itu menjadi marah. Dan menyarungkan kembali pedangnya, melepaskan tali ikatan sarung pedang dan melemparkan pedang dengan sarungnya kepada seorang pengawal. “Lihat, aku telah melepaskan pedangku, kita sama-sama tidak bersenjata. Nah, kau sambutlah seranganku ini” Tiba-tiba gadis cantik itu menyerang dengan pukulan yang amat cepat.

Diam-diam Ci Sian terkejut melihat betapa cepatnya gadis ini bergerak dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli ginkang yang berkepandaian cukup tinggi. Di samping itu, juga sikap gadis itu yang menyingkirkan pedangnya membuat dia senang dan berkuranglah kebenciannya. Gadis ini betapa pun juga telah membuktikan kegagahannya dan tidak mau menghadapi lawan bertangan kosong dengan pedang di tangan!

Maka dia pun cepat mengelak dan membalas. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang dara yang sama cantiknya ini, ditonton oleh para pengawal yang merasa yakin bahwa nona mereka akan menang karena mereka tahu bahwa nona mereka itu memiliki kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka sendiri!

Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang membuat semua pengawal menjadi bengong. Dara remaja itu ternyata bukan hanya dapat mengimbangi nona mereka, bahkan perkelahian itu terjadi amat seru dan cepat, membuat mata mereka berkunang dan sukar bagi mereka untuk mengikuti gerakan dua orang dara itu yang seolah-olah menjadi dua bayangan yang menjadi satu! Dan lebih hebat lagi, kini nona mereka mulai terdesak dan mundur terus sambil mengelak atau menangkis serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya itu!

“Serbuuuu....!” Melihat nona mereka terdesak, kepala pasukan segera memberi aba-aba dan dua puluh empat orang pengawal itu sudah bergerak memperketat kepungan dan hendak mengeroyok Ci Sian. Tangan mereka sudah meraba gagang senjata karena mereka itu merasa ragu sendiri apakah mereka harus mengeluarkan senjata kalau hanya mengeroyok seorang dara remaja saja!

Di lain pihak, ketika melihat betapa para pengawal itu bergerak maju, Ci Sian lalu mempercepat gerakannya, tubuhnya mencelat ke samping dan dari samping tangannya menampar ke arah pundak lawannya. Gerakannya itu demikian aneh dan cepatnya sehingga biar pun lawannya dengan cepat pula mengelak, tetap saja pundaknya kena diserempet oleh telapak tangan Ci Sian.

“Plakk!” Tubuh wanita cantik itu terpelanting dan dia tentu terbanting roboh kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah.

Ci Sian menggosok-gosok kedua telapak tangannya, lalu dari tenggorokannya keluar suara melengking tinggi yang membuat para pengawal itu tersentak kaget dan tidak ada yang bergerak saking heran dan kagetnya karena tiba-tiba saja ada getaran aneh pada telinga mereka, getaran yang seperti menembus jantung!

Sejenak keadaan menjadi sunyi sekali dan mendadak terdengar suara hiruk-pikuk ketika kuda-kuda mereka yang ditambat pada batang pohon-pohon itu meringkik dan meronta-ronta, kemudian memberontak dan terlepas dari ikatan lalu melarikan diri dengan panik! Semua pengawal terkejut dan bingung, akan tetapi segera terdengar suara mendesis-desis dan dari empat penjuru datanglah ratusan ekor ular menuju ke arah Ci Sian! Kiranya ular-ular inilah yang tadi membuat semua kuda lari ketakutan.

Kini ular-ular itu telah berkumpul, ratusan ekor banyaknya, besar kecil dengan macam-macam warna, di sekeliling kaki Ci Sian, bahkan seekor ular emas yang kecil kini merayap naik malalui kaki Ci Sian dan terus ke atas. Ci Sian memegangnya dan memakai ular emas itu di lengan tangan kirinya seperti gelang. Ular itu melingkar di situ, persis sebuah gelang emas yang berkilauan!

Setelah itu Ci Sian menggerakkan bibirnya, dan terdengarlah suara melengking lain dan kini ular-ular itu bergerak menyerang ke arah para pengawal! Gegerlah para pengawal itu diserang oleh ratusan ekor, ular yang sebagian besar adalah ular-ular beracun! Wanita cantik tadi kini sudah bangkit dan dia pun menjadi terkejut dan jijik bukan main, akan tetapi aneh sekali, tidak ada ular yang merayap ke arahnya. Semua ular merayap ke arah dua puluh empat orang pengawal itu.

Terjadilah pemandangan yang lucu dan juga mengerikan. Para pengawal itu ketakutan, dan mereka berusaha untuk menghalau ular-ular itu dengan golok mereka, akan tetapi karena banyaknya ular-ular itu, mereka menjadi ngeri dan bingung. Memang ada beberapa ekor yang mati kena bacokan, akan tetapi hampir semua pengawal telah kena digigit, bahkan ada seorang pengawal gendut yang roboh karena tubuhnya dililit oleh seekor ular berwarna hitam!

Tepat pada saat itu terdengar suara gaduh dan muncullah seorang wanita cantik yang dikawal oleh sedikitnya seratus orang prajurit! Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh lima tahun, wajahnya cantik, hidungnya mancung dan bentuk tubuhnya masih padat dan ramping. Dari pakaiannya saja mudah diketahui bahwa dia adalah seorang panglima wanita, dengan pakaian panglima yang dilindungi oleh lapisan baja di sana-sini, dengan wajah cantik yang bengis dan sepasang mata yang tajam penuh semangat!

Wajah wanita ini pun membuktikan bahwa dia adalah seorang wanita berbangsa Nepal, namun rambutnya disanggul ke atas seperti model sanggul puteri-puteri bangsa Mancu! Rombongan ini datang berkuda dan kini dengan gerakan yang amat cekatan wanita itu meloncat turun dari atas kudanya dan dengan alis berkerut dia memandang ke arah dua puluh empat orang pengawal yang masih repot menghadapi amukan ular-ular itu, kemudian dia menoleh dan memandang kepada gadis cantik yang masih berdiri dalam keadaan kaget dan ngeri, kemudian menoleh ke arah Ci Sian dan sepasang matanya seperti mengeluarkan sinar berapi.

Wanita itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan nampaklah sinar bercahaya keluar dari batu hijau yang dipegangnya itu. Lalu, dengan tangan kirinya dia menyebar bubuk putih ke arah ular-ular itu dan.... ular-ular yang tadinya mengamuk itu seketika diam tak bergerak liar lagi, hanya menggeliat-geliat seperti lumpuh! Wanita itu lalu memandang kepada Ci Sian, kemudian mengangkat tangannya sambil membentak, “Bunuh siluman ular ini!”

Para prajurit yang seratus orang banyaknya itu sudah mengeluarkan busur dan anak panah, siap untuk menghujankan anak panah kepada Ci Sian.

“Tahan, Ibu....!” Tiba-tiba gadis cantik itu berseru dan dia pun meloncat ke dekat Ci Sian sehingga tentu saja para prajurit tidak berani melepaskan anak panah, takut kalau mengenai puteri panglima mereka itu.

“Siok Lan, siluman ular ini telah mengganggumu dan merobohkan para pengawal, apa lagi yang kau lakukan ini?”

“Tidak, Ibu. Akulah yang mula-mula membuat dia terpaksa melawan. Kami berjumpa di sini dan aku menantangnya berkelahi. Aku hampir kalah dan para pengawalku, tanpa kuperintah, maju hendak mengeroyok, maka dia lalu memanggil ular-ularnya. Bukan salahnya, Ibu, maka harap kau suka ampunkan dia.”

Panglima wanita yang gagah perkasa itu mengerutkan alis, kelihatan meragu sejenak, akan tetapi setelah lama beradu pandang mata dengan puterinya, agaknya karena sayangnya kepada puterinya, dia mengalah, “Hemm, baiklah, akan tetapi kalau dia kelak memperlihatkan sikap tidak semestinya, aku akan membunuhnya!”

Gadis yang bernama Siok Lan itu kelihatan girang sekali. Dia memegang tangan Ci Sian sambil tersenyum dan berbisik, “Lekas kau haturkan terima kasih kepada Ibuku,” dan dia mengguncang tangan Ci Sian.

Melihat sikap gadis bekas lawannya ini demikian baik, dan karena melihat terbukanya kesempatan baginya untuk menyelidiki keadaan pasukan Nepal dan mencari Lauw-piauwsu, maka Ci Sian yang sebetulnya tidak mengenal takut itu lalu mengangguk ke arah panglima itu.

“Terima kasih, Bibi.”

Akan tetapi panglima wanita itu bersikap tidak peduli.

“Siapa namamu?” Siok Lan berbisik.

“Namaku Ci Sian,” jawab Ci Sian tanpa menyebutkan nama keturunannya karena dia tidak ingin membuka atau memperkenalkan nama orang tuanya yang dirahasiakan.

“Ci Sian, lekas kau usir ular-ularmu itu,” Siok Lan berkata, nadanya penuh permintaan.

Ci Sian memandang ke arah ular-ular itu. Dia tahu bahwa wanita perkasa itu tadi telah menyebar garam yang membuat ular-ularnya menjadi jinak dan lumpuh, juga amat menderita. Maka dia kemudian mengeluarkan sapu tangannya, dan beberapa kali dia mengebut ke arah ular-ular itu dengan pengerahan sinkang. Bubuk putih yang mengena tubuh ular dan yang tersebar di sekeliling ular itu terkena kebutan saputangannya lalu beterbangan ke mana-mana.

Melihat ini, panglima wanita itu nampak terkejut sekali, tetapi dia hanya mengerutkan alis dan tidak berkata apa-apa, sungguh pun dia tahu bahwa dara penaluk ular itu sungguh-sungguh amat lihai ilmu kepandaiannya. Ular-ular itu tidak menderita lagi setelah semua bubuk putih diterbangkan bersih dari tempat itu, dan begitu Ci Sian mengeluarkan suara melengking halus, ular-ular itu lalu bergerak pergi dari tempat itu, meninggalkan beberapa ekor ular yang telah mati dalam pertempuran tadi, bagaikan sekumpulan pasukan pulang dari medan perang meninggalkan mayat kawan-kawan mereka!

“Terima kasih, Ci Sian, kau baik sekali. Sekarang kau obatilah pengawal-pengawalku yang luka oleh gigitan ular-ular berbisa itu,” kata pula Siok Lan. Ci Sian memandang ke arah dua puluh empat orang pengawal yang mengerang-erang kesakitan itu dan dia pun mengangguk, lalu menghampiri.

“Tidak perlu, aku bisa mengobati mereka!” Tiba-tiba wanita perkasa itu berkata, nada suaranya tidak senang. “Siok Lan, apa sih sukarnya menolong mereka? Kau gunakan batu bintang hijau ini untuk menyedot racun dari tubuh mereka!” kata Sang Ibu dan tangannya bergerak. Batu berkilauan itu melayang ke arah Siok Lan yang menyambut dan menerimanya dengan cekatan sekali, menggunakan tangan kanannya.

Dia pun menoleh kepada Ci Sian sambil tersenyum. “Adik Ci Sian, kau lihatlah betapa lihainya ibuku!”

Dan dia pun menghampiri para pengawal itu, menempelkan sebentar batu hijau itu pada luka dan sungguh menakjubkan sekali, dalam waktu beberapa detik saja semua racun telah disedot oleh batu bintang hijau itu dan mereka semua tertolong, hanya menderita luka kecil bekas gigitan yang tentu saja tidak ada artinya lagi karena racunnya telah lenyap.

Tentu saja Ci Sian memandang dengan kagum dan diam-diam dia juga heran atas kelihaian wanita yang menjadi ibu Siok Lan itu. Ketika mengembalikan batu hijau itu kepada ibunya, Siok Lan berkata, suaranya mengandung kemanjaan, “Ibu, aku suka bersahabat dengan Adik Ci Sian yang lihai ini, aku akan mengajaknya menjadi tamu di tempat tinggal kita. Boleh bukan?”

Panglima itu mengerutkan alisnya, lalu mengerling ke arah Ci Sian sambil berkata singkat. “Sesukamulah, akan tetapi jangan suruh dia main-main dengan ular lagi, aku tidak akan mau mengampuninya lain kali!” Setelah berkata demikian, dengan cekatan sekali walau pun dia berpakaian perang, wanita itu meloncat ke atas punggung kudanya dan memberi tanda kepada pasukannya untuk pergi dari situ.

Siok Lan tersenyum memandang kepada Ci Sian. “Ibuku hebat, bukan?”

Ci Sian mengangguk, bukan hanya untuk menyenangkan hati sahabat barunya ini, melainkan sesungguhnya dia pun menganggap wanita tadi hebat! Dan dia merasa suka kepada Siok Lan, karena dia melihat hal-hal yang baik pada diri gadis ini. Pertama, Siok Lan tidak mau melawannya yang bertangan kosong dengan senjata, hal ini sudah membuktikan kegagahannya, dan ke dua, Siok Lan malah mintakan ampun baginya kepada ibunya, yang tentu saja bermaksud menyelamatkannya dari bahaya maut, sungguh pun dia sendiri tadi sama sekali tidak takut menghadapi ancaman hujan anak panah. Dan hal itu saja sudah membuat Siok Lan patut menjadi sahabatnya, di samping keuntungan baginya untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu.

Setelah menyuruh para pengawalnya mengumpulkan kembali kuda yang tadi melarikan diri karena takut ular, Siok Lan lalu mengajak Ci Sian berkuda menuju ke Lhagat. Dia memberi seekor kuda kepada Ci Sian dan mengajak dara itu mendahului para pengawal menuju ke Lhagat, karena pengawal-pengawalnya selain masih luka dan kaget juga terpaksa mereka boncengan karena tak semua kuda dapat mereka kumpulkan kembali.

Hal ini saja sudah menimbulkan rasa suka dalam hati Ci Sian. Sudah jelas bahwa Siok Lan merupakan bekas lawan yang tidak mampu menandinginya, dan kalau saja dia menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat mencelakakan puteri panglima itu, apalagi kalau melakukan perjalanan berdua. Akan tetapi Siok Lan mengajak dia melakukan perjalanan bersama, berdua saja, hal ini menunjukkan betapa Siok Lan sudah percaya sepenuhnya kepadanya!

Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota Lhagat tentu saja Ci Sian dapat memasuki kota itu dengan mudah, bahkan ketika dia dan Siok Lan lewat berkuda, para penjaga cepat memberi hormat yang tentu saja ditujukan kepada puteri panglima itu.

Siok Lan membawa sahabat barunya itu ke dalam gedung besar yang tadinya menjadi tempat tinggal kepala daerah Lhagat. Kini, setelah pasukan Nepal menguasai Lhagat, kota itu menjadi semacam benteng dan gedung itu dipakai oleh panglima bala tentara Nepal yang melakukan penyerbuan ke daerah Tibet, yaitu panglima wanita yang kebetulan bertemu dengan Ci Sian itu, ialah ibu dari gadis cantik bersama Siok Lan.

Setelah tinggal di dalam gedung di kota Lhagat itu sebagai tamu dan sahabat Siok Lan, kemudian mereka berdua bercakap-cakap panjang lebar, barulah Ci Sian mengerti mengapa Siok Lan suka kepadanya dan ingin bersahabat dengannya. Kiranya Siok Lan adalah seorang gadis peranakan, ibunya seorang puteri Nepal sedangkan ayahnya seorang berbangsa Han yang menurut Siok Lan adalah seorang pendekar besar yang tak pernah dilihatnya dan juga Ibunya tidak pernah menyebut siapa nama pendekar itu.

“Aku hanya diberi nama bangsamu di samping nama Nepal, yaitu Siok Lan, dan aku sendiri tidak tahu siapa nama she (nama keturunan) Ayah kandungku itu,” kata gadis itu dengan nada kesal. “Ibu amat keras hati dan tidak pernah mau bercerita tentang Ayah kandungku. Bahkan ketika Ayah tiriku masih hidup, dia pun tidak pernah mau bercerita tentang Ayahku yang sebenarnya.”

“Ayah tirimu....?” Ci Sian bertanya, heran dan juga tertarik.

Siok Lan memegang tangan Ci Sian dan menarik napas panjang. “Ibu melarang aku bercerita tentang ini, dan aku pun tidak pernah bicara kepada orang lain tentang riwayat kami ini, akan tetapi aku suka kepadamu dan kau sudah kuanggap adik sendiri, Ci Sian. Dengarlah Ibuku adalah seorang wanita perkasa, akan tetapi bukan bangsawan, melainkan puteri seorang pendeta yang sejak kecil mempelajari ilmu-ilmu silat. Ibu menikah dengan seorang pangeran Nepal, dan karena ibu pandai ilmu perang, maka dia lalu menduduki pangkat dalam kemiliteran. Ketika aku terlahir dan sudah agak besar, aku hanya tahu bahwa Ibu adalah isteri pangeran Nepal. Akan tetapi aku sejak kecil memakai pakaian anak bangsa Han. Kemudian Ibu mengatakan bahwa pangeran yang menjadi suaminya itu adalah Ayah tiriku, sedangkan Ayah kandungku adalah seorang pendekar Han. Hanya itulah! Ibu tidak mengatakan siapa pendekar itu dan apakah dia masih hidup....”

Siok Lan tampak berduka, kemudian melanjutkan. “Karena wajahku adalah wajah wanita Han, juga kulitku, maka aku merasa terasing dan tidak mempunyai teman. Aku tekun belajar ilmu silat dari Ibu, akan tetapi aku tidak pernah hidup bahagia di kalangan Istana Nepal. Ada bisik-bisik bahwa aku adalah anak haram, bahwa aku adalah berdarah bangsa lain dan sebagainya. Maka, ketika Ibu memimpin tentara menyerbu Tibet, aku ikut! Dan aku pun ikut bertempur! Dan di sini aku bertemu dengan engkau, betapa menyenangkan hati!”

Ci Sian yang kini mengerti mengapa gadis itu suka bersahabat dengan dia, yang dianggap merupakan orang sebangsa, dan pula juga sama-sama suka ilmu silat, bahkan puteri panglima itu agaknya kagum akan ilmu silatnya yang lebih tinggi, lalu bertanya sambil lalu, “Akan tetapi mengapa tentara Nepal menyerbu ke sini?” dan dengan hati-hati ditambahnya, “Dan mengapa pula pasukan Kerajaan Ceng kabarnya dikurung di lembah?”

Sepasang mata itu nampak bercahaya penuh semangat, seperti mata ibunya yang menjadi pangllma itu. “Tentu saja! Sejak dahulu Tibet memiliki hubungan batin yang erat dengan Nepal, dan boleh dibilang Tibet merupakan daerah yang tunduk kepada Nepal. Akan tetapi semenjak Tibet diduduki dan ditaklukkan oleh Kerajaan Ceng di timur, sikap Tibet tidak bersahabat, bahkan sering memusuhi Nepal. Kedudukan Nepal agak kacau oleh seorang koksu yang ternyata seorang jahat yang hendak memberontak, maka selama itu kami diam saja. Kini, setelah kami dapat menghimpun kekuatan, di bawah pimpinan Ibuku kami menyerbu untuk menghajar orang-orang Tibet. Ehhh, tahu-tahu pasukan Kerajaan Mancu di negerimu itu mencampuri, tentu saja kami tidak tinggal diam.”

Mendengar ini, Ci Sian yang tidak ingin mencampuri urusan perang, juga yang tidak tahu apa-apa tentang politik, diam saja. Bahkan dia berpura-pura menaruh simpati karena dia ingin memperoleh kepercayaan agar dia mendapat kesempatan menyelidiki dan mencari Lauw-piauwsu, satu-satunya orang yang agaknya dapat menunjukkan di mana adanya ayah kandungnya.

Kota Lhagat memang sudah mulai ramai dan biasa kembali setelah kini perang tidak lagi terjadi di daerah itu. Pasukan Tibet telah didesak mundur terus sampai jauh masuk ke daerah Tibet sendiri, sedangkan pasukan yang tidak berapa kuat itu masih menanti-nanti bantuan dari timur, dari Kerajaan Ceng...

suling emas naga siluman jilid 07


Sementara itu, pasukan Ceng yang dikurung di lembah bukit juga tak mampu menyerbu ke luar, maka keadaan untuk sementara dapat dikatakan tenang, sungguh pun sewaktu-waktu diharapkan akan meledak pertempuran besar lagi, baik dari pasukan yang terkurung itu kalau menyerbu ke luar kepungan mau pun kalau datang bala bantuan dari Kerajaan Ceng. Sementara itu, panglima wanita itu telah mendatangkan bala bantuan pula dari Nepal untuk sewaktu-waktu mengadakan pukulan terakhir, menyerbu sampai ke ibu kota Tibet.

Karena keadaan menjadi tenang kembali, kota Lhagat mulai ramai, para pedagang mulai berani berdagang, para pemburu mulai lagi bekerja dan para petani mulai lagi berladang. Juga ternyata sekarang oleh Ci Sian betapa sebenarnya Siok Lan tidak membohong, bahwa ibu gadis itu amat keras terhadap pasukan-pasukannya dan setiap kali terdapat gangguan pasukan yang menyeleweng atau pun melakukan kejahatan, terutama perkosaan, tentu akan dihukum berat. Namun, tentu saja kadang-kadang sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran. Maklum dalam keadaan perang di mana hawa napsu merajalela menguasai hati semua manusia.

Ketika dia ditanya oleh Siok Lan, Ci Sian juga hanya mengatakan bahwa namanya Ci Sian bahwa dia pun tidak pernah melihat ayah bundanya dan bahwa dia tadinya ikut dengan kakeknya dan kakeknya itu tewas ketika mereka mengadakan perantauan di daerah Himalaya. Diceritakannya bahwa dia bertemu dengan Yeti dan kemudian dia berguru kepada seorang pertapa aneh yang berjuluk See-thian Coa-ong.

Mendengar disebutnya nama ini, Siok Lan berseru girang, “Ahh, sudah kuduga bahwa engkau tentu murid pertapa aneh itu! Tentu Ibu pun sudah menduganya, maka dia mau mengampunimu!”

“Ehh, kau mengenal Guruku?”

“Siapa tidak pernah mendengar nama See-thian Coa-ong? Dia itu orang Nepal, akan tetapi kata Ibu, sejak muda dia pergi merantau dan bertapa di daerah Himalaya. Ilmu kepandaiannya hebat sekali, kata Ibu, dan agaknya, Ibu mengingat dialah maka Ibu bersikap lunak terhadapmu, Ci Sian. Kalau tidak demikian, kiranya engkau tentu telah dibunuhnya. Ibu keras sekali terhadap musuh. Ceritakan kepadaku tentang orang aneh itu, Adikku, kabarnya dia itu.... ehh, kawin dengan ular?”

Ci Sian tertawa. “Mana ada manusia kawin dengan ular, Enci Lian? Suhu itu manusia biasa, hanya dia suka bertapa dan mempelajari ilmu, dan kesukaannya yang lain adalah mengadu ilmu, ilmu apa saja! Memang dia ahli menjinakkan ular, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia kawin dengan ular!”

“Soal ilmu perularan ini di Nepal tidak asing lagi, Adik Sian. Akan tetapi aku sendiri selalu takut, ngeri dan jijik terhadap ular. Bukankah binatang itu jahat dan berbahaya sekali?”

“Tidak lebih jahat dan berbahaya dari pada manusia, Enci Lian.”

“Mengapa kau berkata demikian?”

“Ular tidak pernah pura-pura. Sebagai sahabat dia setia dan sebagai musuh dia jujur dan tidak curang seperti manusia.”

Mereka lalu bicara tentang ilmu silat dan dengan sejujurnya karena dia pun mulai merasa suka kepada Siok Lan, Ci Sian memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada teman barunya ini sehingga hubungan mereka semakin akrab.

Setelah tinggal selama beberapa hari di Lhagat, Ci Sian mendengar berita yang amat menggelisahkan semua orang, terutama sekali golongan atas, para pimpinan pasukan Nepal, yaitu bahwa ada seorang tokoh besar, seorang jenderal yang berilmu tinggi dari Kerajaan Ceng hendak datang melakukan penyelidikan ke Lhagat dengan tugas untuk menolong dan membebaskan pasukan Ceng yang terkepung di lembah itu. Bahkan Siok Lan membuka rahasia siasat ibunya yang menjadi panglima bahwa pengepungan pasukan itu memang sengaja dilakukan untuk memancing datangnya tokoh-tokoh Kerajaan Ceng untuk kemudian ditangkap dan dijadikan sandera untuk memaksa Kerajaan Ceng menarik mundur semua pasukannya dan tidak melakukan ‘campur tangan’ terhadap gerakan Nepal untuk menyerbu dan menguasai Tibet.

Ci Sian mulai dipercaya oleh Siok Lan, bahkan panglima wanita yang bernama Puteri Nandini, ibu Siok Lan itu juga tidak begitu memperhatikan Ci Sian yang dianggapnya hanya seorang dara kang-ouw yang baru turun dari perguruannya, apalagi ketika dia mendengar dari puterinya bahwa Ci Sian adalah murid See-thian Coa-ong seperti yang memang telah diduganya semula ketika dia melihat dara itu pandai menguasai ular-ular.

Begitu sukanya Siok Lan kepada sahabat barunya ini, dan begitu percayanya sehingga tidak jarang Ci Sian diajak oleh puteri panglima itu melakukan perondaan di sekitar Lhagat untuk meneliti keadaan dalam tugasnya membantu pekerjaan ibunya. Pada suatu senja, kedua orang dara remaja itu melakukan perondaan dan seperti biasa kalau melakukan perodaan seperti itu, mereka menggunakan ilmu kepandaian mereka, berloncatan ke atas genteng-ganteng rumah untuk melihat kalau-kalau ada penjahat beraksi, atau untuk mendengar-dengarkan kalau-kalau mereka akan dapat menangkap rahasia apakah Jenderal Ceng atau tokoh pandai pihak musuh sudah ada yang menyelundup ke dalam kota Lhagat.

Selagi dia menggunakan ginkang dengan cepat berkelebat di atas genteng-genteng rumah, tiba-tiba Ci Sian berhenti karena telinganya menangkap rintihan atau keluhan wanita yang sedang ketakutan, di antaranya tangis seorang bayi! Melihat Ci Sian berhenti lalu mendekati sahabatnya yang berdiri di atas genteng dan kemudian dia mengikuti Ci Sian yang meloncat ke atas genteng rumah di sebelah kiri, lalu keduanya berjongkok di atas sebuah kamar rumah dari mana terdengar keluhan dan tangis bayi itu.

“Kalau engkau tetap keras kepala dan menolak, bayimu ini akan kukirim ke neraka lebih dulu!” terdengar suara bentakan tertahan, agaknya orang yang membentak itu pun tidak ingin membuat gaduh.

“Jangan.... ohh, jangan bunuh anakku....“ terdengar suara seorang wanita sambil terisak ketakutan.

Ci Sian cepat membuka genteng dan mereka berdua mengintai ke dalam. Apa yang mereka lihat di sebelah dalam kamar itu membuat keduanya terbelalak dengan muka berubah merah dan pandang mata penuh kemarahan! Seorang laki-laki tinggi besar bermuka bengis, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang perwira rendahan dari pasukan Nepal, sedang mencengkeram baju seorang anak kecil berusia kurang dari setahun, mengangkat anak itu dengan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya yang memegang sebatang golok besar itu diancamkan ke leher anak itu yang seolah-olah hendak disembelihnya!

Anak itu meronta-ronta lemah dan menangis. Seorang wanita muda, paling banyak dua puluh dua tahun usianya, berwajah cukup manis dan bertubuh montok karena masih menyusui, berlutut dengan air mata bercucuran dan dua tangan menyembah-nyembah minta diampuni.

“Engkau masih menolak kehendakku?” bentak laki-laki itu bengis.

“Aku mau.... ahhh, aku mau.... lepaskan anakku....“ Wanita itu menangis sambil dengan tangan gemetar mulai menanggalkan bajunya.

Melihat ini, perwira rendahan itu tertawa, melemparkan anak itu ke atas pembaringan, menancapkan goloknya di atas meja dan dengan buas dia menubruk wanita itu lalu memeluk dan menciuminya penuh nafsu. Wanita itu, demi keselamatan anaknya, hanya merintih dan menangis, tidak berani menolak atau melawan lagi.

Tentu saja Ci Sian dan Siok Lan marah bukan main. Akan tetapi sebelum dua orang dara ini mampu melakukan sesuatu, tiba-tiba jendela kamar itu jebol dan dari luar melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali. Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pria berpakaian prajurit Nepal, akan tetapi wajah orang ini tidak dapat nampak jelas dari atas genteng.

Perwira yang sedang menciumi wanita itu dan tangannya mulai merobeki pakaian korbannya terkejut dan kelihatan marah. Namun, sebelum dia mampu mengeluarkan suara, tangan kiri prajurit itu bergerak dan terdengar suara benda pecah ketika tangan itu menampar dan mengenai kepala perwira itu! Tubuh perwira itu terpelanting dan tewas seketika! Wanita itu terbelalak ketakutan, lalu menghamplri anaknya yang masih menangis, mendekap anaknya sambil menangis sesenggukan.

Prajurit yang tubuhnya tidak seberapa besar itu mengeluarkan sekantung uang dan menaruh kantung itu ke atas meja. Terdengar suaranya lembut, suara dalam bahasa daerah yang tidak kaku. “Jangan takut, aku akan menyingkirkan mayat. Sebaiknya engkau bawa pindah anakmu dari Lhagat, dan uang ini dapat kau pergunakan untuk biaya.”

Setelah berkata demikian, prajurit itu memondong tubuh yang sudah tewas itu, lalu meloncat dengan gerakan yang amat tangkas keluar kamar melalui jendela. Akan tetapi sebelum ia melompat itu, dia menengadah ke atas, seolah-olah dapat memandang dua orang dara yang berada di atas genteng! Wajahnya tidak dapat nampak jelas, akan tetapi Ci Sian terkejut sekali melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, mengingatkan dia akan mata dari pendekar sakti Suling Emas atau Kam Hong!

“Lekas.... kita kejar dia! Dia mencurigakan sekali, aku mau tahu siapa prajurit itu!” Bisik Siok Lan dan kedua orang dara ini cepat melayang turun dari genteng dan ketika mereka melihat tubuh prajurit yang memanggul mayat itu berlari cepat, mereka segera mengejarnya.

Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa prajurit itu dapat berlari cepat sekali! Mereka berdua sudah mengerahkan seluruh ginkang mereka, namun tetap saja dalam waktu singkat prajurit itu telah lenyap, seolah-olah dapat terbang atau pandai menghilang! Tentu saja kedua orang dara ini menjadi penasaran.

Mereka adalah dua orang dara yang memiliki kepandaian silat tinggi, sedangkan yang dikejar hanya seorang prajurit biasa, yang malah sedang memanggul tubuh perwira yang tewas itu, namun ternyata mereka tidak mampu mengejarnya! Dengan penasaran sekali Siok Lan mengajak Ci Sian mencari-cari, namun hasilnya nihil. Prajurit yang memanggul mayat itu lenyap. Bahkan setelah Siok Lan memerintahkan pasukan untuk membantunya, tetap saja tidak dapat menemukan prajurit itu. Akhirnya mereka merasa putus harapan dan duduk beristirahat dengan hati mengandung penuh penasaran.

“Dia itu pasti seorang mata-mata,” kata Siok Lan. “Tidak mungkin ada seorang prajurit biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti itu!”

“Memang dia lihai sekali,” Ci Sian membenarkan. “Cara dia dengan hanya sekali tampar membunuh perwira itu dan ketika dia melarikan diri. Betapa pun, kita tetap harus mengaguminya, karena dia telah menolong wanita yang sengsara itu.”

Siok Lan mengerutkan alisnya. “Dia lancang! Dia telah membunuh seorang perwira pasukan kami dan dia tidak berhak!”

“Akan tetapi, Enci Lan, engkau tidak adil! Bukankah perwira itu cabul dan jahat sekali? Andai kata orang itu tak membunuhnya, aku sendiri tentu turun tangan membunuhnya!” Ci Sian yang berwatak jujur itu berkata terus terang.

“Memang aku sendiri pun sudah ingin turun tangan. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa penjahat itu adalah seorang perwira, maka dia tunduk kepada hukum dan disiplin. Mengapa harus orang lain yang menghukumnya, apalagi kalau orang lain itu agaknya adalah mata-mata musuh?”

“Betapa pun juga, sekarang terbukti lagi bahwa orang-orangmu jahat-jahat, Enci Lan. Perwira itu sungguh berhati binatang, bahkan seperti iblis jahatnya, patut sekali dia dibunuh sampai sepuluh kali!”

Siok Lan menarik napas panjang. “Aahh, begitulah perang. Menurut ilmu perang yang kupelajari dari Ibuku, memang perang selalu mendatangkan akibat-akibat seperti itu! Pasukan yang berada dalam perang selalu terancam nyawanya, penuh dengan dendam dan rasa takut, penuh dengan kebencian terhadap musuh. Hal ini baik sekali untuk semangat pasukan. Lagi pula mereka itu jauh dari keluarga, jauh dari isteri sehingga rata-rata menjadi lemah kalau melihat wanita. Nah, semua itu mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan seperti yang kita lihat, Adik Sian.”

“Jadi, menurut anggapanmu, perbuatan itu tidak salah dan sudah sepatutnya? Apakah engkau tidak membayangkan bagaimana seandainya engkau yang menjadi wanita itu, Enci yang baik?” Biar pun nada suaranya halus, namun penuh ejekan dan kemarahan.

Siok Lan tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. “Simpan kemarahanmu, Adik Ci Sian. Aku tadi sudah bilang bahwa aku sendiri akan membunuhnya kalau tidak didahului oleh mata-mata itu! Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya, bukan melindunginya atau membelanya. Oleh karena itu, Ibu mengeluarkan peraturan keras dan disiplin. Akan tetapi, sudah tentu saja kadang-kadang terjadi pelanggaran oleh orang-orang yang lemah batinnya dan dan hal ini adalah lumrah. Kurasa di seluruh dunia pun terjadi hal-hal yang sama di waktu terjadi perang. Akan tetapi, jangan karena ada satu dua orang tentara yang dikuasai nafsu itu melakukan pelanggaran lalu engkau memberi cap bahwa semua pasukan Nepal seperti itu! Buktinya, aku sendiri adalah puteri panglima pasukan Nepal yang berkuasa di sini, akan tetapi aku menentang keras perbuatan jahat itu.”

Kini mengertilah Ci Sian dan dia pun mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa kagum karena biar pun usia Siok Lan masih muda, paling banyak setahun lebih tua dari padanya, namun sudah memiliki pengetahuan yang luas.

“Sekarang, apa yang hendak kau lakukan, Enci Lan?”

“Aku akan segera melaporkan kepada Ibu. Prajurit itu sangat mencurigakan dan melihat kelihaiannya, tentu dia seorang tokoh besar Kerajaan Ceng, atau.... siapa tahu, dia malah jenderal yang diberitakan akan datang ke sini itu....” Lalu dia menghela napas panjang dan berkata, “sayang.... kita tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.”

“Ahh, kurasa tidak mungkin dia seorang tokoh besar, apalagi jenderal. Biar pun aku juga tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pria yang masih muda, atau setidaknya, belum tua benar.”

Siok Lan mengangguk. “Apa anehnya seorang jenderal perkasa dan tokoh besar yang masih muda? Ibuku sendiri seorang wanita, dan belum tua benar, namun dia telah dipercaya untuk memimpin pasukan yang menyerbu ke sini dan menjadi panglima.”

Tiba-tiba datang seorang perwira melapor bahwa ada seorang prajurit yang sikapnya mencurigakan kelihatan di luar kota Lhagat. Mendengar ini, Siok Lan dan Ci Sian lupa akan kelelahan tubuh mereka yang semalam suntuk tidak tidur itu dan cepat mereka lalu pergi ke tempat yang ditunjukkan itu.

Ketika mereka mengintai, memang benar ada seorang prajurit yang berjalan perlahan sambil menundukkan kepala. Karena mereka melihat dari jauh, dari belakang, maka mereka pun tidak tahu apakah benar prajurit itu yang mereka lihat semalam. Akan tetapi, menurut laporan penyelidik, prajurit itu baru saja mengubur mayat di lereng bukit itu, maka tidak salah lagi tentulah prajurit itu yang telah membunuh perwira dan yang mereka kejar-kejar.

“Mari kejar dia!” Siok Lan berseru dan Ci Sian sudah melompat keluar dari balik pohon dan mengerahkan ginkang untuk mengejar.

Karena memang kepandaian Ci Sian lebih tinggi setingkat, maka dia yang lebih dulu lari dan Siok Lan mengejar di belakangnya. Tiba-tiba prajurit itu menoleh. Sejenak saja, dan kembali Ci Sian melihat sinar mata mencorong, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi. Itulah orang yang mereka cari-cari. Mereka berdua mengejar terus, akan tetapi kini prajurit itu pun melarikan diri, sedemikian cepat larinya sehingga sebentar saja dua orang dara perkasa itu telah kehilangan jejaknya!

“Keparat! Dia menghilang lagi!” Siok Lan memaki sambil mengepal tinju ketika mereka berdua tiba di luar sebuah hutan dan tidak tahu ke mana lenyapnya prajurit yang mereka kejar itu. “Mari kita mencari terus!”

Ci Sian juga merasa penasaran. Tentu saja dia tidak mempunyai keinginan seperti Siok Lan yaitu menangkap atau menyerang prajurit itu. Akan tetapi dia ingin sekali bertemu dan melihat wajah prajurit itu dan mengetahui apakah benar dia itu adalah mata-mata Kerajaan Ceng, terutama apakah benar dugaan Siok Lan bahwa dia itu adalah seorang tokoh besar atau jenderal yang didesas-desuskan itu. Maka mereka lalu melakukan pengejaran dan Siok Lan yang sejak kecil diajar ilmu perang dan sudah berpengalaman itu dapat mengikuti jejak orang itu dengan melihat daun-daun kering yang berserakan atau jejak-jejak yang halus di atas tanah.

Menjelang tengah hari, tibalah mereka di tepi sungai. Siok Lan yang menjadi pemburu jejak itu berlari di depan sedangkan Ci Sian mengikuti dari belakang. Di tepi sungai itu nampak sebuah perahu dan seorang pengail ikan sedang duduk di ujung perahu memegang joran pancing. Mereka cepat berlari menghampiri dan melihat bahwa pengail itu adalah seorang pemuda remaja yang sedang tekun memancing. Wajah pemuda itu sebetulnya tampan, akan tetapi ketika menoleh kepada mereka, nampak betapa sepasang matanya itu juling dan mulutnya agak menyerong, ujung kiri ke bawah dan ujung kanan ke atas. Cacat pada mata dan mulut ini tentu saja membuat wajahnya yang berkulit putih itu dan berbentuk tampan itu menjadi buruk dan menggelikan.

“Heeii, apakah engkau melihat seorang prajurit lewat di sini?” Siok Lan bertanya dengan napas agak terengah-engah karena dia tadi berlari-lari.

Pemuda itu memandang dengan mata julingnya, lalu menjawab agak bersungut-sungut. “Kalian ini mengganggu saja! Ikan-ikan pada lari mendengar kalian membikin bising. Sejak pagi aku tidak melihat seorang pun kecuali kalian dan sungguh sialan ikan-ikan yang sudah mulai mendekati umpan kini beterbangan pergi lagi!”

“Kalau ikan-ikan dapat terbang, kepalamu pun dapat kubikin terbang!” Siok Lan yang merasa kecewa dan gemas itu mengomel, tangan kanannya menghantam ujung batu di tepi sungai itu.

“Krakkk!” Ujung batu itu pecah berantakan terkena tamparan tangannya yang berkulit halus itu.

Pengail itu melongo dan mukanya menjadi semakin buruk, apalagi kini tangan kirinya mengusap dahi dan ternyata tangannya itu kotor sehingga mukanya menjadi coreng moreng.

“Am.... ampunkan.... saya....,” katanya gemetar dan joran pancing di tangannya itu kini menggigil seperti kalau umpannya disambar ikan.

“Nah, jangan main-main sekarang. Katakan apakah engkau tidak melihat seorang laki-laki lewat di sini? Seorang yang berpakaian prajurit?”

“Ti.... tidak.... tidak ada.... tidak ada orang lain....”

“Berani sumpah?”

“Saya berani sumpah.... tidak ada orang lain di sini.... kecuali saya sendiri, Nona....”

Dengan hati mengkal Siok Lan lalu melanjutkan pengejarannya, menyusuri tepi sungai itu. Dia tidak melihat betapa Ci Sian tersenyum geli dan sekali lagi Ci Sian menoleh ke arah pengail itu yang melanjutkan pekerjaannya dengan tekun.

Setelah lewat tengah hari dan sama sekali tidak menemukan jejak prajurit itu, dengan hati kecewa dan penasaran sekali Siok Lan lalu mengajak Ci Sian pergi dari situ dan ketika mereka lewat di tepi sungai yang tadi, perahu Si Pengail itu sudah tidak nampak lagi. Agaknya Si Pengail merasa jemu karena tidak berhasil dan pindah ke tempat lain.

Siok Lan mengajak Ci Sian menemui ibunya dan melaporkan semua peristiwa tentang prajurit aneh yang membunuh perwira itu. Panglima Nandini marah sekali. Cepat dia memanggil pembantunya dan memerintahkan agar memperkeras tindakan terhadap anak buah yang melakukan kejahatan, dan juga agar lebih memperketat penjagaan dan menambah penyelidik untuk menangkap mata-mata yang menyamar sebagai prajurit itu dan untuk menangkap setiap orang mata-mata yang berani menyusup ke Lhagat.

Ci Sian diam-diam merasa kagum sekali kepada mata-mata yang menyamar sebagai prajurit itu dan dia mengambil keputusan untuk ikut menyelidiki, bukan sekali-kali untuk melaporkan atau mencelakakan mata-mata itu, melainkan untuk belajar kenal karena dia tahu bahwa mata-mata itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dan dia pun sudah dapat mendengar bahwa Lauw-piauwsu sekarang mendekam di penjara sebagai seorang tawanan penting karena ternyata Lauw-piauwsu sudah ikut pula menentang penyerbuan pasukan Nepal, dan malah telah memimpin orang-orang untuk melakukan perlawanan ketika pasukan Nepal menyerbu Lhagat. Oleh karena itulah maka dia dianggap musuh dan kini ditahan dalam penjara yang dijaga ketat sehingga sukarlah bagi Ci Sian untuk dapat menolongnya. Mengharapkan pertolongan dari Siok Lan dia belum berani, karena melihat betapa Lauw-piauwsu dianggap musuh maka jangan-jangan dia sendiri malah akan dicurigai. Maka dia menanti saat baik untuk dapat menyelamatkan piauwsu itu.

Beberapa hari telah lewat tanpa ada peristiwa penting dan mata-mata yang menyamar sebagai prajurit itu agaknya telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Karena tidak terjadi peristiwa penting, maka keadaan di Lhagat kembali menjadi tenang sehingga orang-orang berani melanjutkan pekerjaan sehari-hari dengan tenteram.

Siok Lan dan Ci Sian setiap hari masih saja meronda, namun tidak pernah memergoki sesuatu yang mencurigakan. Pada suatu pagi, Siok Lan menyatakan kepada Ci Sian bahwa dia akan pergi menyelidiki serombongan pemburu yang kabarnya sedang melakukan perburuan di sebelah bukit yang penuh dengan hutan-hutan lebat di mana banyak terdapat binatang-binatang buruan. Mendengar ini, Ci Sian menjadi gembira. Dia membutuhkan hiburan dan pergantian keadaan, dan memang dia sendiri pun suka berburu.

Siok Lan yang sudah dipesan oleh ibunya agar berhati-hati, telah mempersiapkan sepasukan pengawal. Akan tetapi dia ingin bebas bersama Ci Sian, maka dia hanya memerintahkan para pengawal untuk menyusul ke bukit itu, sedangkan dia sendiri bersama Ci Sian telah mendahului naik kuda dan membalapkan kuda mereka keluar dari Lhagat menuju ke bukit itu, sebuah bukit yang tidak jauh letaknya dari bukit di mana terdapat lembah tempat pasukan musuh dikurung.

Siok Lan adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh ibunya sendiri, dengan ilmu silat dan ilmu perang sehingga dia memiliki keberanian yang tidak kalah oleh laki-laki yang gagah perkasa. Apalagi kini ada Ci Sian di sampingnya, yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari padanya dan boleh diandalkan, maka tentu saja dia menjadi semakin berani. Dengan membalapkan kuda, dua orang dara itu tiba di kaki bukit dan memandang ke atas. Bukit itu memang penuh dengan hutan dan terkenal sebagai bukit yang dihuni oleh banyak binatang buas, menjadi tempat yang baik sekali bagi para pemburu, di samping, tentu saja, juga amat berbahaya karena di situ masih banyak terdapat harimau-harimau yang besar dan ganas.

“Mari, Adik Sian!” Siok Lan berkata dengan gembira dan dia sudah membedal kudanya naik ke bukit memasuki hutan lebat.

Ci Sian juga menjadi gembira sekali dan dengan cepat dia mengikuti sahabatnya itu. Ternyata hutan itu selain lebat sekali, juga jalannya kecil melalui jurang-jurang yang curam. Namun, karena Siok Lan adalah seorang ahli menunggang kuda, maka dia tidak takut dan membalapkan kudanya menyusup di antara pohon-pohon, melompati semak belukar dan berlari cepat di tepi jurang yang mengerikan.

“Heii, Enci Lan, hati-hatilah!” Beberapa kali Ci Sian memperingatkan sahabatnya yang dianggap bersikap lengah di tempatnya berbahaya seperti itu.

Namun Siok Lan hanya menjawab dengan suara ketawa panjang dan terpaksa Ci Sian juga membedal kudanya untuk mengikuti karena dia tidak mau kalau sampai terpisah dari sahabatnya itu di tempat yang asing ini.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang disusul auman menggetarkan jantung dan dari balik semak-semak belukar keluarlah seekor harimau yang luar biasa besar. Kuda yang ditunggangi Siok Lan terkejut dan ketakutan, meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meronta dan membedal ke depan!

“Enci Lan, lompatlah....!” Ci Sian berseru kaget, cepat mengejar dengan membalapkan kudanya dan tidak mempedulikan harimau yang masih menggeram dahsyat itu. Namun Siok Lan tidak mau melompat turun, berusaha menguasai kudanya yang kabur dan panik penuh rasa takut itu.

Seekor kuda yang sudah ketakutan amatlah berbahaya kalau ditunggangi. Kuda yang panik itu berlari dengan kacau dan tidak melihat lagi rintangan di depannya. Memang sebaiknya kalau dapat melompat turun dari atas punggung seekor kuda yang lari ketakutan seperti itu. Akan tetapi Siok Lan adalah seorang dara yang keras hati. Sejak kecil dia sudah mahir menunggang kuda, maka kini pun dia tidak mau mengalah dan dia merasa sanggup untuk menguasai kembali kudanya yang kabur ketakutan itu. Dengan menarik kendali kuda dia hendak mengekang dan memaksa kudanya untuk berhenti. Kuda itu meringkik dan berdiri di atas kedua kaki belakang, mendengus dan meringkik marah karena rasa nyeri pada mulutnya, kemudian begitu kendali itu mengendur, dan meloncat ke depan dan tentu saja tubuhnya melayang turun karena di depannya adalah jurang!

“Enci Lan....!” Ci Sian menjerit ketika melihat betapa kuda itu bersama Siok Lan terjatuh ke dalam jurang!

Akan tetapi pada saat itu, dari tepi jurang sebelah kiri menyambar sinar hitam kecil dari seuntai tali yang meluncur dengan amat cepatnya ke bawah, ke arah tubuh Siok Lan yang melayang di atas punggung kudanya dan disusul teriakan seorang laki-laki yang nyaring. “Cepat tangkap tali ini!”

Tali itu ternyata merupakan laso yang meluncur cepat sekali dan tahu-tahu sudah melaso tubuh Siok Lan dari atas. Kalau dara itu tidak cepat menangkap tali yang menjiratnya, tentu lehernya akan terjirat dan sentakan itu tentu membahayakan nyawanya. Untung baginya, dia mendengar teriakan itu dan cepat dia melepaskan kendali kuda dan menangkap tali yang menjirat tubuhnya, maka ketika luncuran tubuhnya tertahan oleh laso itu, lehernya tidak terjerat dan dia dapat menahan dengan kekuatan kedua tangannya! Kini tubuhnya tergantung pada tali laso itu.

Ci Sian sudah melompat turun dan berlari menghampiri pemuda yang memegang ujung tali di mana Siok Lan bergantung di bawah sana. Tanpa diminta, tanpa mengeluarkan kata-kata, dia pun membantu pemuda itu menarik tali perlahan-lahan dan akhirnya tubuh Siok Lan dapat ditarik keluar dari dalam jurang, sementara kudanya masih terus meluncur turun dan terdengar suara gedebukan mengerikan ketika akhirnya tubuh kuda itu menimpa dasar jurang tentu saja hancur dan tewas!

Siok Lan agak menggigil ketika dia dapat ditarik ke tepi jurang. Sejenak dia memandang ke dasar jurang, kemudian menoleh kepada pemuda itu. Dia tercengang karena pemuda itu ternyata adalah seorang pemuda tampan dan gagah, biar pun pakaiannya biasa dan kasar saja dan sikapnya amat sederhana. Seorang pemuda dusun atau seorang pemuda pemburu.

“Terima kasih, engkau telah menyelamatkan nyawaku,” kata Siok Lan kepada pemuda itu yang kelihatan tersipu malu.

“Ahh, hanya kebetulan saja aku dapat menyelamatkanmu, Nona. Aku girang bahwa engkau demikian cekatan dapat menangkap tali lasoku,” kata pemuda itu sederhana.

“Kepandaianmu hebat sekali!” kata Ci Sian memuji.

Pemuda itu memandang kepada Ci Sian, kemudian menunduk dan memandang tali laso di tangannya, lalu menjawab dengan sikap wajar, “Tali laso ini? Ahhh, Nona, aku adalah seorang pemburu dan akhir-akhir ini banyak pedagang yang membutuhkan binatang-binatang hidup, maka kami para pemburu hanya mempelajari ilmu melempar laso untuk dapat menangkap binatang hutan hidup-hidup. Baru saja aku sedang mengintai dan membayangi seekor kijang untuk kutangkap dengan laso ini ketika aku melihat Nona ini terjatuh dengan kudanya ke dalam jurang.”

“Jadi engkau adalah seorang di antara para pemburu yang sedang memburu binatang di bukit ini?” Siok Lan bertanya sambil memandang tajam.

“Benar, Nona. Kami berkemah di puncak bukit. Aku she Liong bernama Cin.... dan sungguh amat mengherankan bertemu dengan dua orang dara remaja di tempat seperti ini. Tidak tahu siapakah Ji-wi dan hendak ke mana....?”

“Enci ini adalah puteri panglima pasukan Nepal....”

Siok Lan cepat memandang kepada Ci Sian penuh teguran, akan tetapi Ci Sian sudah terlanjur bicara sehingga dia tak dapat mencegah lagi sahabatnya itu memperkenalkan dirinya. Sementara itu, pemuda pemburu itu nampak terkejut dan cepat-cepat dia menjura dengan hormat.

“Ahh, harap Nona sudi memaafkan, karena tidak mengerti....“

“Sudahlah, engkau telah menyelamatkan aku dan aku berterima kasih kepadamu. Sekarang antarkan kami ke perkemahan para pemburu, aku ingin melihat keadaan mereka,” kata Siok Lan.

Mereka bertiga lalu menyusup-nyusup di antara pohon-pohon menuju ke perkemahan itu. Kuda tunggangan Ci Sian dituntun oleh pemburu muda itu. Akhirnya tibalah mereka di perkemahan para pemburu. Ternyata di situ berkumpul tujuh belas orang pemburu yang semua terdiri dari laki-laki yang kasar dan kuat. Akan tetapi begitu mendengar dari Liong Cin bahwa Siok Lan adalah puteri panglima pasukan Nepal, para pemburu itu bersikap hormat.

Melihat keadaan mereka yang betul-betul tengah memburu binatang, dengan hasil-hasil buruan, mati atau hidup, dikumpulkan di perkemahan mereka. Siok Lan percaya dan tidak menaruh curiga. Setelah menerima hidangan mereka yang berupa panggang daging-daging binatang buruan, Siok Lan dan Ci Sian berpamit. Mereka diantar oleh Liong Cin dan seekor kuda diberikan oleh mereka kepada Siok Lan. Ketika hendak berpisah, Siok Lan melepaskan seuntai kalung dari lehernya, sebuah kalung dengan hiasan bunga teratai emas dihias permata, dan menyerahkan kalung itu kepada Liong Cin.

“Sebagai tanda terima kasihku atas budi pertolonganmu tadi, terimalah kalungku ini,” katanya singkat.

Liong Cin menerimanya dan Siok Lan lalu membedal kudanya meninggalkan pemuda itu, diikuti oleh Ci Sian, dan dipandang oleh Liong Cin yang masih berdiri bengong dengan kalung itu di tangannya.

“Ehhh, Enci Lan, dia itu gagah dan tampan, ya?” kata Ci Sian ketika dia berhasil menjajarkan kudanya di samping kuda Siok Lan.

“Apa? Siapa?” Siok Lan nampak terkejut karena agaknya dia sedang melamun.

“Aihh, siapa yang kau beri hadiah?” Ci Sian menggoda.

“Hushh! Aku memberi hadiah karena dia telah menyelamatkan nyawaku! Itu merupakan suatu kenyataan dan bukankah sudah sepatutnya kalau aku kemudian memberi hadiah kepadanya? Jangan kau mengira yang bukan-bukan!”

“Ihh, siapa yang mengira bukan-bukan? Aku pun hanya mengatakan yang sebenarnya. Bukankah dia memang tampan dan dia gagah karena sudah menolongmu? Kau kira aku menyangka apakah Enci Lan?”

Siok Lan cemberut dan membalapkan kudanya. Ci sian mengejar sambil tertawa.

“Enci Lan, jangan marah dong! hanya mau bilang bahwa dia tentu senang sekali memiliki kalung yang biasa kau pakai di lehermu.”

Siok Lan menahan kudanya, lalu menoleh, memandang kepada sahabatnya itu. “Ehh, apa maksudmu?”

Ci Sian tertawa. “Maksudku engkau tahu sendiri, hi-hik!”

“Ehh, anak nakal! Engkau genit, ya? Kucubit bibirmu....!” Siok Lan meraih dengan tangannya untuk mencubit, Ci Sian mengelak dan melarikan kudanya, dikejar oleh Siok Lan.

Kedua orang dara itu berkejaran sambil bersendau-gurau, tertawa-tawa dan akhirnya mereka memasuki kota Lhagat dengan selamat. Siok Lan memberi laporan kepada ibunya tentang para pemburu yang dikatakannya adalah pemburu-pemburu tulen dan orang baik-baik. Para pengawal yang terpaksa balik kembali ketika mereka bertemu dengan dua orang dara yang berkejaran itu, tidak melihat apa-apa.

Atas pesan Siok Lan, Ci Sian juga tidak mau bicara tentang pemburu muda yang telah menyelamatkan sahabatnya itu kepada orang lain. Siok Lan sendiri hanya secara singkat menceritakan kepada ibunya bahwa kudanya kaget melihat harimau dan membawanya terjun ke jurang, akan tetapi seorang di antara para pemburu itu telah menyelamatkannya dengan menggunakan tali laso. Mendengar ini, Puteri Nandini terkejut juga, akan tetapi akhirnya dia mengangguk-angguk dengan alis berkerut.

“Lain kali kau harus hati-hati. Dan bagaimana pun juga, kita harus menyuruh penyelidik mengamat-amati para pemburu itu. Seorang pemburu mampu menolong dengan laso seperti itu, cukup aneh dan mencurigakan.”

“Ah, Ibu terlalu curiga kepada semua orang pandai. Kalau memang dia itu berniat buruk dan kalau dia itu mata-mata musuh, tentu dia sudah mengenalku dan mana mungkin mata-mata musuh mau menyelamatkan puteri panglima musuhnya?” Ucapan ini dapat diterima oleh panglima wanita itu, maka kecurigaannya terhadap para pemburu itu pun banyak berkurang.

Sunyi sekali malam itu, akan tetapi para penjaga berjaga-jaga penuh kewaspadaan di sekeliling bukit yang terkurung itu. Baru kemarin pagi, ketika matahari baru timbul, ada penjaga-penjaga di bagian barat bukit itu melihat adanya bayangan-bayangan orang berkelebat dan bagai beterbangan saja cepatnya naik ke atas bukit. Mereka tidak tahu bagaimana ada orang-orang mampu menyusup melalui penjagaan mereka.

Ataukah bayangan sosok tubuh itu bukan bayangan manusia? Para penjaga sudah menghujankan anak panah ke arah bayangan-bayangan itu, akan tetapi tak ada yang berhasil. Anak-anak panah itu seperti mengenai bayangan-bayangan saja! Oleh karena itu, malam ini juga diadakan penjagaan ketat setelah terjadinya peristiwa itu.

Pasukan yang bertugas menjaga dengan anak panah di tangan telah siap dan setiap beberapa jam sekali pasukan ini diganti agar mereka tidak sampai kelelahan dan kurang waspada. Menjelang tengah malam, dari atas bukit nampak ada cahaya berkedip dan cahaya ini lalu meluncur turun ke bukit. Melihat ini, para penjaga sudah siap menyambut karena tidak mungkin ada cahaya turun tanpa dibawa orang. Setelah agak dekat, dari jauh para penjaga dapat melihat bahwa cahaya itu adalah sebatang obor yang bernyala. Hal ini menimbulkan keyakinan dalam hati mereka bahwa memang ada orang yang berlari turun membawa obor itu.

“Siap....!” bisik komandan pasukan panah.

Para penjaga itu sudah mencabut anak panah dan menyiapkan anak panah pada busur masing-masing. Kini dari cahaya obor itu dapat nampak bahwa yang melarikan obor memang benar seorang manusia yang bergerak ringan dan cepat sekali.

“Berhenti!” Tiba-tiba komandan jaga membentak.

Akan tetapi, pembawa obor itu malah melemparkan obornya ke arah para penjaga. Tentu saja keadaan menjadi geger.

“Serang!” Komandan memberi aba-aba dan puluhan batang anak panah meluncur ke arah tempat di mana orang tadi nampak.

Setelah melemparkan obornya, tentu saja keadaan di mana orang itu berdiri menjadi gelap dan tidak nampak lagi orang itu. Kiranya orang itu, yang memiliki gerakan amat gesitnya, telah menyelinap ke dalam kegelapan malam, menjauhi penerangan yang ada di tempat penjagaan, dan dapat menyusup pergi selagi para penjaga menjadi panik.

Akan tetapi karena bayangan itu telah lenyap, para penjaga tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan penjagaan semakin ketat agar jangan ada lagi orang dari atas bukit yang terkurung itu dapat meloloskan diri. Sementara itu, bayangan tadi dengan sangat cepat telah berlari seperti terbang saja di antara pohon-pohon dan menuju ke kota Lhagat!

Dan malam itu terjadi geger di gedung yang menjadi tempat tinggal Sang Panglima, yaitu Puteri Nandini! Tanpa dilihat oleh seorang pun penjaga yang menjaga gedung itu dengan ketat, sesosok bayangan manusia menyelinap dan memasuki kamar kerja Sang Panglima wanita itu, dan setelah menggeledah sepuasnya, baru dia meloncat keluar sambil membawa beberapa buah benda yang amat penting.

Kebetulan sekali pada saat itu Puteri Nandini sedang melakukan ronda dan telinganya yang amat tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar ini. Dengan gesit, seperti seekor burung walet saja, panglima ini yang memakai pakaian biasa karena dia hanya meronda di gedung tempat tinggalnya sendiri, meloncat ke atas genteng. Sungguh kebetulan sekali, pada saat itu maling yang memasuki kamar kerjanya itu baru saja melayang naik.

“Berhenti!” bentak Puteri Nandini.

Akan tetapi bayangan itu hendak meloncat pergi dan sekali menggerakkan tangan, panglima ini sudah menyerang bayangan itu dengan lemparan senjata rahasianya yang amat berbahaya, yaitu segenggam jarum yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh batang. Jarum-jarum halus itu menyambar seperti anak-anak panah kecil, lembut sekali sehingga tidak nampak, hanya sinarnya saja berkelebat, dan seluruh tubuh maling itu telah dijadikan sasaran, dari mata sampai ke lutut kaki! Akan tetapi, betapa kaget hati Sang Panglima ketika dengan amat mudahnya, bayangan itu meloncat ke samping dan dengan kebutan lengan baju, jarum-jarumnya runtuh semua ke atas genteng!

“Mata-mata busuk, menyerahlah engkau atau mati!” bentak Puteri Nandini.

Kini dia menyerang dengan tubrukan seperti seekor harimau betina. Tubuhnya meloncat ke depan, kedua lengannya terbentang dan kedua tangannya sudah bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher, dan yang kiri menusuk dengan totokan ke arah lambung. Sungguh serangan ini hebat bukan main dan amat berbahaya!

Akan tetapi, orang itu sungguh lihai bukan main. Biar pun menghadapi serangan yang amat berbahaya ini, dia bersikap tenang saja, tangan kirinya masih tetap memegang benda-benda yang diambilnya dari dalam kamar itu, yaitu sebuah gulungan kertas dan beberapa buah buku.

“Plak! Plak!”

Dua kali tangannya menangkis dan akibatnya tubuh panglima itu terpental! Tentu saja Puteri Nandini terkejut. Keadaan di atas genteng demikian gelapnya sehingga dia tidak dapat melihat wajah orang itu, hanya dapat menduga bahwa lawannya ini adalah seorang pria yang perawakannya sedang dan tegap, akan tetapi dia tidak dapat mengatakan apakah pria ini tua ataukah muda.

Pada saat dia terhuyung oleh tangkisan yang amat kuat itu, dari bawah melayang naik beberapa orang perwira pengawal yang berkepandaian cukup tangguh, di antara mereka ada yang membawa obor. Melihat ini, orang itu melompat jauh ke depan dan sekali loncat saja dia telah turun ke atas tanah, jauh di samping gedung itu.

Bukan main kagetnya hati Sang Panglima menyaksikan kehebatan ginkang dari orang itu. Maka dia pun cepat meloncat turun sambil berteriak. “Cepat kejar!”

Sambil mengejar, Puteri Nandini mencabut pedangnya. Dia merasa menyesal mengapa tadi memandang rendah lawannya. Kalau saja dari tadi dia mencabut pedang, tentu setidaknya dia dapat mendesak dan mengurung, tidak memberi kesempatan kepada maling itu untuk dapat meloloskan diri.

Dan memang ginkang orang itu hebat sekali. Walau pun Sang Puteri dan para perwira pengawal mengejar mati-matian, tetap saja mereka tertinggal jauh dan sebentar saja orang itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Dan betapa pun para penjaga telah melakukan penjagaan ketat pada pintu-pintu gerbang dan para pengawal juga sudah melakukan pencarian di seluruh kota Lhagat, semua itu sia-sia belaka.

Bayangan yang memasuki gedung panglima itu lenyap dan bersama dia, lenyap pula beberapa buah benda yang penting dari dalam kamar kerja Puteri Nandini. Benda-benda itu adalah sebuah peta dari kota Lhagat dan sekelilingnya, termasuk peta yang amat jelas dan terperinci dari bukit di mana terdapat lembah yang menjadi tempat pasukan Ceng yang terkepung. Ada pula buku-buku, catatan Sang Panglima tentang penyerbuannya dan rencana-rencana penyerbuan ke Tibet selanjutnya. Dan dengan lenyapnya semua itu, tentu saja Puteri Nandini menjadi marah bukan main dan dia terpaksa akan diharuskan merubah semua rencana penyerbuannya!

Setelah terjadi peristiwa itu, desas-desus tentang jenderal sakti dari pihak musuh menjadi semakin santer. Betapa pun Sang Panglima mencoba untuk merahasiakan kehilangan benda-benda yang amat penting itu, namun berita bahwa ada seorang mata mata musuh menyerbu gedung dan lalu dapat lolos, padahal Sang Panglima sendiri yang mengejarnya, membuat geger semua orang dan menggetarkan hati para perwira Nepal.

Desas-desus ini bukan hanya membikin gentar hati orang-orang Nepal, akan tetapi juga membesarkan hati orang-orang Tibet dan penduduk kota Lhagat yang mengharapkan terusirnya pasukan Nepal dari situ. Mereka yang telah dirugikan, dirampok, dibunuh sanak keluarganya, atau diperkosa isteri dan anaknya, diam-diam amat mengharapkan pasukan Tibet atau pasukan Ceng dapat menghancurkan pihak musuh yang mereka benci itu.

Bahkan di antara para penghuni tetap kota Lhagat itu terdapat pula orang-orang jahat yang dahulunya menjadi jagoan-jagoan di situ dan yang hidupnya dari memeras kanan kiri mengandalkan keberanian dan kelihaian mereka, dan setelah Lhagat diduduki pasukan Nepal mereka itu kehilangan pengaruh dan sumber penghasilan. Mereka ini pun menaruh dendam kepada tentara asing itu, dan kini mereka pun mulai nampak berani karena mereka percaya bahwa jenderal sakti dari Kerajaan Ceng itu agaknya muncul! Orang-orang seperti ini beranggapan bahwa munculnya jenderal sakti itu seolah-olah hendak membantu dan melindungi mereka!

Betapa banyaknya kita melihat di sekitar kita keadaan seperti ini. Dengan jelas kita melihat, semenjak dulu seperti yang kita baca dalam catatan sejarah, sampai sekarang ini pun, orang-orang yang sesungguhnya melakukan perbuatan-perbuatan sesat setiap harinya, memeras, menipu, mengandalkan kekuasaan dan kedudukan, mengandalkan harta kekayaan, mengandalkan kepintaran, melakukan penindasan sewenang-wenang. Yang berkedudukan tinggi menekan yang lebih rendah, yang lebih rendah menekan yang rendah lagi, dan selanjutnya. Hukum rimba berlaku di mana-mana. Siapa kuasa dia menang dan dia benar!

Akan tetapi anehnya, kita semua masing-masing merasa bahwa kita benar! Kita saling memperebutkan pahala dan jasa! Kita masing-masing merasa bahwa kitalah orang terbaik, orang paling berguna, paling patriot dan sebagainya. Beginilah akibat dan hasilnya kalau kita tidak belajar mengenal diri sendiri. Segala sesuatu mengenai diri kita, yang kita ingat hanyalah segi-segi baiknya saja, sebaliknya segala sesuatu mengenai diri orang lain hanya kita ingat segi-segi buruknya belaka.

Kalau saja kita masing-masing belajar mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri dan tidak membiarkan mata kita menilai orang-orang lain, tentu akan nampak jelas betapa buruk dan kotornya kita ini masing-masing. Dan hanya kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat inilah yang mungkin sekali dapat mengadakan perubahan dalam diri kita masing-masing. Dan kalau kita sendiri sudah berubah, barulah dapat diharapkan masyarakat, bangsa, dunia akan berubah keadaan kehidupannya, tidak seperti sekarang ini di mana permusuhan, kebencian, dendam, iri hati, dan perang merajalela.

Karena sesungguhnya keadaan dunia tak dapat dipisahkan dari keadaan alam batin kita masing-masing. Kitalah yang membuat dunia seperti keadaannya pada saat ini, kita masing-masinglah yang bertanggung jawab untuk itu. Oleh karena itu, harus terdapat perubahan pada diri kita, pada batin kita masing-masing
.

Seorang di antara mereka yang biasa mempergunakan keberanian dan kepandaian untuk memeras orang lain adalah seorang jagoan yang bernama Su Khi. Mungkin karena dia ini masih peranakan Mancu, dan pada waktu itu bangsa Mancu dianggap sebagai bangsa besar karena berhasil menguasai seluruh Tiongkok, maka dia merasa angkuh dan lebih tinggi dari pada orang lain. Hal ini ditambah lagi dengan kepandaian silatnya yang membuat dia dijuluki Toa-to Hui-houw (Harimau Terbang Bergolok Besar), maka membuat Su Khi menjadi besar kepala dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih gagah dari pada dia.

Ketika pasukan Nepal menyerbu dan menguasai Lhagat, Su Khi yang selain jahat dan sewenang-wenang juga amat cerdik ini, hanya bersembunyi, tidak ikut melawan. Dia tahu bahwa tiada gunanya melawan pasukan yang besar sekali jumlahnya! Maka dia pun selamat dan tidak dimusuhi oleh pasukan Nepal! Akan tetapi diam-diam tentu saja dia amat benci kepada pasukan Nepal yang dianggap amat merugikannya, membuat dia tidak berani berkutik dan kehilangan nama besar dan sumber hasilnya.

Kini, semenjak munculnya penyerbuan gedung panglima dan santernya desas-desus tentang jenderal sakti, bahkan dikabarkan orang bahwa jenderal itu telah siap untuk merebut Lhagat, Su Khi mulai beraksi. Mulailah dia keluar dan mengganggu penduduk, minta apa saja yang dikehendakinya dengan ancaman, seperti dulu sebelum pasukan Nepal datang.

Akan tetapi Su Khi tidak tahu bahwa perbuatannya itu menimbulkan keluhan penduduk yang lalu terdengar oleh Ci Sian! Gadis ini menjadi marah sekali, apalagi ketika dia mendengar bahwa Su Khi bukan hanya ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya, tetapi juga karena Su Khi pandai menyogok para penjaga keamanan dan membagikan barang rampasannya kepada para penjaga sehingga dia seperti terlidung oleh para penjaga Nepal.

Pagi hari itu, ketika seperti biasa Toa-to Hui-houw Su Khi sedang menjalankan aksinya, menggoda seorang dara remaja anak seorang pemilik warung nasi dan minta dilayani untuk sarapan dengan memilih makanan yang paling enak, tiba-tiba Ci Sian muncul di depan warung itu sambil membentak, “Si Keparat yang bernama Su Khi itu di mana? Hayo keluar!”

Su Khi terkejut mendengar bentakan ini, dan terheran-heran ketika melihat bahwa yang menegurnya hanyalah seorang dara remaja yang cantik sekali. Dia belum pernah bertemu dengan Ci Sian dan tidak tahu siapa adanya dara ini. Maka tentu saja dia marah sekali dimaki keparat oleh seorang dara remaja seperti itu di depan banyak orang. Dia, seorang ‘patriot’ yang terlindung pula oleh para penjaga Nepal, kini dihina seorang gadis, malah seorang yang masih amat muda, seperti kanak-kanak.

Cepat dia keluar dari warung itu setelah melepaskan lengan perawan cilik yang tadi dia pegang, kemudian sambil menyambar golok besar yang selalu dibawanya, dia berjalan keluar dengan sikap mengancam dan golok besarnya kemudian diamang-amangkan untuk menakut-nakuti anak perempuan itu. Namun Ci Sian memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan bibir tersenyum mengejek.

“Engkaukah yang telah berani berlancang mulut memaki Toa-to Hui-houw Su Khi tadi?” Dia membentak setelah berhadapan dengan Ci Sian, memandang dara itu dari atas sampai ke bawah dan diam-diam dia terpesona oleh kecantikan dara itu.

“Benar!” jawab Ci Sian. “Apakah engkau yang bernama Su Khi itu?”

“Betul, akulah Toa-to Hui-houw Su Khi!” Dia membolak-balik goloknya sehingga nampak sinar berkilauan ketika cahaya matahari pagi menimpa permukaan golok.

“Tukang pukul jahanam yang suka menghina penduduk dan memeras orang-orang lemah dengan mengandalkan golok penyembelih babi itu? Kaukah itu?”

Wajah Su Khi menjadi merah sekali, matanya melotot dan alisnya yang tebal bergerak-gerak, hidungnya mendengus-dengus penuh kemarahan. “Kau.... kau.... bocah bosan hidup! Berani engkau memakiku? Hemmm.... akan kubunuh engkau....! Tidak, akan kutelanjangi engkau di depan umum, kemudian engkau harus melayani aku sampai engkau bertobat!”

Berkata demikian, dia menubruk maju, tangan kirinya yang besar itu mencengkeram ke arah dada Ci Sian, maksudnya untuk merenggut baju itu agar terlepas. Akan tetapi, dengan setengah langkah ke belakang, Ci Sian sudah dapat mengelaknya dan sekali tangan kiri dara itu menyambar ke depan.

“Plokkk!” terdengar suara dan tubuh besar itu terpelanting roboh!

Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini terkejut dan bengong, akan tetapi mereka semua lalu tersenyum girang melihat betapa dara jelita itu dengan mudah mampu menghajar jagoan sombong ini.

Su Khi terbelalak dan merangkak bangun, meraba pipi kanannya yang menjadi bengkak terkena tamparan tadi. Dia tadi merasa seperti disambar petir, maka terkejutlah dia, dan dia pun tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang dara yang memiliki kepandaian silat tinggi! Pantas saja dara itu berani memakinya, kiranya mengandalkan ilmu silat pikirnya.

“Perempuan setan! Berani engkau melawan aku, ya? Benar-benar engkau bosan hidup, dan sekarang, aku tidak akan mau mengampunimu lagi!” Berkata demikian, Su Khi lalu menggerakkan goloknya dan sekarang dia menubruk dan membacok dengan goloknya, serangan yang dimaksudkan membunuh dara itu dengan satu kali bacok!

Hemm, manusia ini memang kejam luar biasa, pikir Ci Sian. Dia maklum bahwa tadi pun orang itu sungguh-sungguh hendak menelanjanginya, dan tentu akan melaksanakan ancamannya kalau mampu. Sekarang pun menyerang dengan niat membunuh. Manusia seperti ini memang tidak layak dibiarkan hidup, hanya akan membahayakan kehidupan orang lain saja.

Maka begitu melihat lawan membacok, dia cepat menghindar dan dia pun maklum bahwa orang ini seperti gentong kosong, hanya nyaring suaranya saja, karena sesungguhnya hanya mengandalkan ilmu silat kasar dan tenaga besar belaka. Maka, biar pun golok itu setelah luput membacok terus menyambar-nyambar dengan ganasnya, dengan mudahnya Ci Sian dapat mengelak ke kanan kiri, kadang-kadang melompat tinggi menghindarkan golok yang membabat kaki, sambil tersenyum-senyum.

Sementara itu, banyak penduduk berdatangan ke tempat itu dan melihat perkelahian yang mereka anggap mengerikan itu, karena mereka merasa ngeri membayangkan betapa golok besar tajam itu akan membabat tubuh dara remaja itu. Sekali sambar saja pinggang ramping itu tentu akan putus!

“Perempuan setan, bocah hina, mampuslah!” Su Khi membacok lagi dan ketika Ci Sian mengelak, dia melanjutkan dengan babatan pada paha dara itu, Ci Sian melompat tinggi ke atas, kaki kirinya bergerak menendang dengan kecepatan yang sukar dapat diikuti pandang mata lawan.

“Plokk!” Dagu yang kuat itu bertemu ujung sepatu. Kepala Su Khi seperti terlempar ke belakang dan tubuhnya terjengkang.

“Brukkk!” Dia terbanting roboh dan di antara para penonton ada yang tertawa, akan tetapi cepat-cepat ditutupinya mulutnya dengan tangan.

Su Khi bangkit dan mukanya sebentar pucat sebentar merah, dari ujung bibirnya terus mengalir darah karena bibirnya pecah tergigit sendiri ketika dagunya tertendang tadi, napasnya terengah-engah dan hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau gila.

“Kau.... kau.... siapa kau dan mengapa engkau memusuhi aku?” dia akhirnya bertanya karena dia tahu bahwa anak perempuan itu sungguh bukan orang sembarangan.

Ci Sian tersenyum. “Orang macam engkau tidak patut mengenal aku, ketahuilah bahwa kalau engkau berjuluk Harimau Terbang, aku adalah seorang ahli pembunuh harimau busuk yang mengganggu ketenteraman penduduk di sini.”

Pada saat itu, karena terjadi keributan, dari jauh datang sekelompok penjaga yang terdiri dari belasan orang. Melihat ini, bangkit kembali keberanian Su Khi karena dia merasa yakin akan mendapat bantuan dari para penjaga yang sudah biasa disogoknya itu, maka dia lalu membentak, dengan suara nyaring karena memang dimaksudkan agar terdengar oleh para penjaga yang berlarian mendatangi itu.

“Siluman betina! Engkau tentu mata-mata jahat!” Dan dia pun lalu menyerang kembali dengan ganas.

Marahlah hati Ci Sian. Tadi dia bermaksud memberi hajaran saja, akan tetapi melihat lagak orang ini yang agaknya mengandalkan para penjaga itu, dia makin menjadi muak dan begitu golok berkelebat, dia mengelak dan tangannya menyusup masuk melalui bawah sinar golok.

“Kekkk!” Tubuh tinggi besar itu terbungkuk dan roboh menelungkup, goloknya terlepas dari tangannya.

Ci Sian menginjakkan kaki kanannya di atas punggung di bawah tengkuk Su Khi dan jagoan itu tak dapat berkutik lagi! Dia merasa seolah-olah punggungnya tertindih benda yang beratnya ratusan kati, membuatnya sukar dapat bernapas dan ia hanya mengeluh terengah-engah seperti babi terhimpit. Dan pada saat itu, belasan orang penjaga sudah datang mendekat dan mereka telah mencabut golok masing-masing, serta dengan sikap mengancam mereka mendekati Ci Sian.

“Kalian mau apa?” bentak Ci Sian menatap para penjaga itu dengan marah.

“Kau mata-mata....?!” Para penjaga membentak, “Lepaskan dia, dia adalah sahabat kami!”

“Huh, siapa tidak mendengar bahwa kalian sudah makan sogokan dari jahanam ini?” Ci Sian balas membentak.

Kepala pasukan lalu membentak marah. “Serang! Tangkap dia!”

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring, “Tahan!” dan di situ telah muncul Siok Lan yang menatap para penjaga dengan muka merah dan mata marah. Wanita cantik ini berdiri dengan sikap tenang dan menyilangkan kedua lengan di atas dadanya, lalu berkata dengan lantang, “Siapa yang hendak menyerang dan menangkap sahabatku ini?”

Para penjaga terkejut ketika melihat munculnya Siok Lan. Kepala penjaga itu dengan golok di tangan menunjuk kepada Ci Sian, “Maaf, tapi dia.... dia itu.... telah menganiaya Su Khi....“

“Hemm, kalian menjadi kaki tangan penjahat ini, ya?” bentak Siok Lan dan wanita ini menyambung sambil berteriak nyaring. “Hayo berlutut, kalian manusia-manusia busuk!”

Empat belas orang penjaga itu terkejut bukan main. Cepat-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut. Siok Lan mengangkat tangan kanan ke atas dan muncullah beberapa orang pengawal. “Mereka ini telah biasa makan suap dari penjahat, maka sudah sepatutnya diberi hukuman. Cambuk mereka masing-masing sepuluh kali dan komandan mereka lima belas kali!”

Tentu saja empat belas orang penjaga itu menjadi ketakutan, akan tetapi mereka tidak berani membangkang. Lima orang pengawal lalu membuka baju mereka dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi cambuk meledak-ledak ketika lima orang pengawal itu menjatuhkan hukuman itu, di tempat terbuka dan terlihat oleh semua orang. Darah mengalir dari kulit-kulit punggung yang pecah-pecah dan terdengar rintihan-rintihan kesakitan. Setelah hukuman itu dijalankan, Siok Lan berkata kepada Ci Sian.

“Adik Sian, kau lepaskan jahanam itu.”

Ci Sian melepaskan injakan kakinya dan Su Khi lalu merangkak bangun dengan mulut merah karena dia tadi sampai muntah darah.

“Sekarang kuserahkan jahanam itu kepada kalian dan boleh kalian perbuat sesuka hati kalian terhadap dia. Awas, sekali lagi kalian makan suapan, aku akan minta kepada Ibu agar kalian dihukum penggal kepala!” kata Siok Lan.

Empat belas penjaga itu menghaturkan terima kasih, kemudian seperti serigala-serigala kelaparan mereka lalu menangkap Su Khi.

“Tidak.... tidak.... jangan.... ampunkan aku....!” Orang itu berteriak-teriak dan meronta-ronta.

Namun empat belas orang yang telah menerima hukuman yang sangat nyeri itu kini menimpakan semua dendam mereka kepada Su Khi. Tidak lama kemudian, di luar kota, Su Khi ditelanjangi dan dicambuki oleh empat belas orang itu sampai kulit tubuhnya pecah-pecah dan dia tewas dalam keadaan mengerikan...


SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 08


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.