CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 04
“Ah, badai datang....!” Cin Liong memperingatkan tiga orang muda itu dan diam-diam dia mengharapkan bahwa munculnya badai ini akan mengurungkan niat jahat para penjahat di atas empat buah perahu itu.
Akan tetapi, kiranya tidaklah demikian. Perahu mereka berguncang keras dan ternyata enam orang penjahat dari perahu terdekat telah berlompatan ke atas perahu mereka.
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu segera bergerak. Ceng Liong menyambut seorang penjahat dengan pukulan dua tangannya, membuat penjahat itu terjengkang dan terlempar keluar dari perahu. Ciang Bun juga merobohkan seorang lawan dengan sambaran pedangnya, sedangkan sepasang pedang Suma Hui merobohkan dua orang lain. Sisanya, dua orang lagi, disambut tendangan serta pukulan Cin Liong, terlempar keluar perahu!
Akan tetapi, kini Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok sendiri berlompatan dari perahu, terjatuh ke atas perahu yang terdekat. Terdengar Hek-i Mo-ong mengeluarkan aba-aba di antara deru suara angin dan air laut dan nampak banyak anak buahnya berloncatan ke air.
Cin Liong dan tiga orang muda itu siap-siap menyambut lawan. Akan tetapi, tiba-tiba perahu mereka terguncang hebat dan miring, bahkan hampir terbalik. Barulah Cin Liong mengerti bahwa penjahat-penjahat itu tadi berloncatan ke air untuk menggulingkan perahu kecil!
“Cepat, loncat ke perahu lawan!” teriaknya dan tiga orang muda itu pun mengerti.
Cin Liong sendiri sudah menyambar tubuh Ceng Liong dan dibawanya meloncat ke atas perahu terdekat. Ada angin dahsyat menyambar dan dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong sendiri telah menyambutnya dengan pukulan dahsyat yang amat berbahaya. Karena tubuhnya masih melayang di udara dan dia masih mengempit tubuh Ceng Liong, maka cepat dia melemparkan Ceng Liong ke atas geladak perahu dan barulah dia menangkis dengan lengan kanannya. Tangkisannya agak terlambat karena dia melemparkan tubuh paman cilik itu, maka biar pun dia masih dapat menangkis, namun pukulan itu meleset dan mengenai pangkal lengan kanannya.
“Dessss....!”
Hebat sekali benturan tenaga itu dan andai kata Ceng Liong masih berada dalam pondongan Cin Liong, besar kemungkinan anak itu akan terluka oleh getaran hawa pukulan dahsyat itu. Biar pun Cin Liong sendiri dapat menahan hantaman itu dengan agak terlambat, namun karena tubuhnya masih berada di udara di mana dia tidak mempunyai tempat berpijak dan bertahan, maka benturan tenaga dahsyat itu membuat tubuhnya terlempar jauh keluar dari perahu.
“Byuurrrrr....!”
Tubuh Cin Liong segera disambut gelombang lautan yang sudah makin mengganas itu. Bahkan para bajak laut yang ahli berenang dan yang tadi atas perintah Hek-i Mo-ong menggulingkan perahu kecil, kini tergesa-gesa naik lagi ke perahu melalui tali karena memang berbahaya sekali berada di air dalam keadaan badai mengamuk itu.
Apalagi Cin Liong yang kemampuannya di air terbatas sekali. Dia berusaha berenang mencapai tali dan kembali ke perahu besar untuk membantu tiga orang muda yang telah dikeroyok para anak buah penjahat itu. Akan tetapi gelombang air membuat dia terseret menjauh.
Tiba-tiba tangannya meraih sesuatu dan ternyata yang terpegang olehnya itu adalah ujung perahunya sendiri yang tadi terbalik. Cepat Cin Liong menggunakan kekuatan tangannya, menarik dirinya dan naik ke atas perahu yang telah membalik itu.
Akan tetapi perahu besar itu mendekat dan tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dibarengi bentakan nyaring. Cin Liong merasakan hawa pukulan yang dahsyat, maklum bahwa kembali dia diserang dari atas dengan hebatnya oleh seorang yang amat kuat, menggunakan sebatang dayung besi. Cepat dia melempar tubuhnya ke kiri.
“Byuurrr....!” Untuk kedua kalinya tubuhnya ditelan mulut gelombang yang menganga lebar.
“Darrrrrr....!” Perahu itu tertimpa dayung dan pecah menjadi beberapa potong!
Kiranya, penyerangnya adalah Hek-i Mo-ong sendiri yang kini tertawa bergelak. Suara ketawa ini takkan terlupa selamanya oleh Cin Liong yang sudah secara mati-matian berjuang kembali melawan ombak yang menyeretnya. Namun, sekali ini dia tidak kuasa mempertahankan diri dan terpaksa membiarkan ombak menyeretnya semakin jauh dari perahu-perahu besar di mana tiga orang keturunan Pulau Es itu sedang dikeroyok ketat.
Ketika melihat bayangan hitam terapung, kemudian dia meraih dan ternyata itu adalah sepotong kayu, pecahan dari perahunya. Dia hampir kehabisan tenaga dan napas, lalu menarik tubuhnya ke atas papan itu dan tergolek tak sadarkan diri di atas papan yang membawanya terapung-apung semakin jauh.
Ceng Liong mengamuk dengan mati-matian. Biar pun usianya baru sepuluh tahun, namun anak ini memang hebat bukan main. Tidak mengecewakan kalau dia menjadi cucu dalam Pendekar Super Sakti dan putera tunggal Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu, bahkan ibunya pun seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, selain ahli ilmu silat juga ahli sihir! Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh ayah bundanya, kemudian diasuh dan dibimbing oleh kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es, maka biar pun dia baru berusia sepuluh tahun, namun sukarlah dicari seorang dewasa yang akan mampu mengalahkannya.
Para penjahat itu tadinya tentu saja memandang ringan kepada Ceng Liong. Akan tetapi sikap memandang ringan ini harus ditebus dengan mahal ketika beberapa orang anggota penjahat terkena hantaman anak itu dan terjungkal ke lautan untuk tidak muncul kembali! Dan empat orang penjahat yang menubruknya, juga dapat dibikin terpental jatuh bangun. Barulah para penjahat itu sadar bahwa anak kecil ini bukanlah makanan lunak dan mereka pun tidak segan-segan dan tidak malu-malu lagi untuk mencabut senjata dan mengeroyok Ceng Liong dengan senjata golok atau pedang!
Namun, dengan ilmunya Sin-coa-kun, tubuh anak itu seperti telah berubah menjadi ular atau belut saking licinnya, melesat ke sana-sini di antara sambaran golok dan pedang, kemudian dengan tendangan-tendangan Soan-hong-kwi yang membuat kedua kakinya seperti baling-baling, dia berhasil membuat para pengeroyoknya kocar-kacir!
Betapa pun juga, dia hanyalah seorang anak berusia sepuluh tahun yang tenaganya masih lemah dan para pengeroyoknya adalah penjahat-penjahat yang kejam. Maka setelah dikepung oleh banyak orang, mulailah ada senjata yang menyerempet tubuhnya dan pakaiannya mulai koyak-koyak berdarah oleh luka-luka pada tubuhnya.
Biar pun demikian, anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh, juga semangatnya makin bernyala, amukannya semakin hebat. Ceng Liong dapat melihat dengan ujung matanya bahwa kedua orang kakaknya, yaitu Suma Hui dan juga Ciang Bun, telah terpisah darinya karena pengeroyokan banyak orang membuat mereka itu berloncatan ke atas perahu-perahu lain untuk mencari tempat yang luas dan untuk memecah-belah kekuatan para pengeroyok.
Sedangkan Cin Liong sudah tidak nampak lagi bayangannya sejak tadi. Kenyataan ini membuat Ceng Liong menjadi semakin nekat. Tadi dia melihat betapa Cin Liong terlempar keluar perahu dan kalau sampai sekarang pemuda itu tidak muncul, itu hanya berarti bahwa Cin Liong tentu telah tenggelam ke laut! Dan kedua orang kakaknya tidak mungkin membantunya karena keadaan mereka tentu tiada bedanya dengan dirinya sendiri, dikeroyok banyak lawan. Maka tahulah anak ini bahwa dia harus melawan mati-matian sampai titik darah terakhir!
“Majulah! Majulah kalian semua....!” Dia membentak sambil berloncatan ke sana ke mari dan membagi-bagi pukulan dan tendangan. “Keroyoklah aku! Inilah dia cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Majulah kalian, bedebah-bedebah busuk!”
Diam-diam semua pengeroyok merasa kagum hukan main. Anak ini memang luar biasa sekali. Pakaiannya telah penuh darah, tubuhnya telah luka-luka akan tetapi gerakannya masih demikian lincah, gesit dan tangkas, semangatnya masih bernyala-nyala dan sedikit pun tidak nampak dia gentar.
Karena badai mengamuk semakin ganas, maka para pengeroyok itu pun tidak dapat memusatkan pengeroyokan mereka, bahkan mereka yang berkelahi ini pun nampak lucu, kadang-kadang terguling roboh sendiri karena perahunya oleng. Juga Ceng Liong beberapa kali terguling roboh karena olengnya perahu.
Empat buah perahu itu sudah terpisah-pisah tidak karuan sehingga Ceng Liong tidak tahu di mana adanya kedua orang kakaknya. Tahunya hanyalah bahwa dia berada sendirian saja di antara pengeroyokan penjahat-penjahat di atas perahu itu.
Anehnya, secara tiba-tiba saja lautan menjadi tenang kembali dan cuaca tidak begitu gelap lagi, hujan pun hanya rintik-rintik saja. Kini Ceng Liong dikepung ketat lagi dan ketika anak ini meloncat ke kiri untuk mengelak dari sambaran golok, kakinya menginjak papan yang licin. Dia terpeleset dan kakinya terlibat tali layar.
Tiba-tiba ada yang menarik tali itu dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh anak itu lantas tergantung ke atas, dengan kedua kaki terbelit tali dan kepalanya di bawah. Dia terus meronta-ronta dan memaki-maki, ditertawakan oleh para anak buah penjahat.
“Anak bedebah ini telah membunuh banyak kawan kita. Bunuh saja dia!”
“Kita siksa dia! Enak benar dibunuh begitu saja!”
“Pakai dia sebagai umpan memancing ikan besar!”
“Cambuki dia sampai hancur daging-dagingnya!”
Ceng Liong sudah tidak dapat meronta-ronta lagi. Akan tetapi, dengan mata mendelik dia memandang kepada wajah-wajah kejam dan bengis yang merubungnya itu. Wajah-wajah yang menyeringai seperti setan-setan. Tetapi sedikit pun dia tidak takut. Bahkan ia masih mencoba menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram wajah-wajah itu sehingga para penjahat itu melangkah mundur.
“Siksalah! Cincanglah! Bunuhlah! Siapa takut mampus? Aku cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es tidak takut mati, tidak macam kalian ini iblis-iblis pengecut tak tahu malu!” Ceng Liong membentak dan memaki-maki.
Memang anak ini luar biasa sekali. Agaknya di dalam dirinya tidak terdapat rasa takut atau kelemahan sedikit pun juga. Ketika kakeknya dan dua orang neneknya meninggal, dalam keadaan berduka dia sama sekali tidak memperlihatkan kedukaannya, sama sekali tidak menangis. Dan kini, dalam cengkeraman maut yang mengerikan, ancaman siksaan yang menyeramkan, sedikit pun dia tidak kelihatan takut!
“Wah, dia malah memaki-maki kita! Perlu apa dibiarkan hidup lagi?” bentak seorang yang tadi pernah merasakan lezatnya tendangan kaki anak ini, yang membuat perutnya mulas dan sampai kini masih terasa nyerinya. Dia sudah menerjang dan membacokkan goloknya ke arah leher Ceng Liong.
Anak ini tidak dapat mengelak, akan tetapi dia tidak berkedip, memandang datangnya golok yang akan memenggal lehernya, sedikit pun tidak kelihatan takut.
“Plakkk!” Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.
“Lancang! Siapa suruh membunuhnya?” Hek-i Mo-ong membentak marah.
Dan sekali lagi dia menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menendang dan orang yang tadinya hendak membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika tubuhnya terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam karena tendangan tadi sudah membunuhnya! Memang demikianlah kehidupan di antara kaum sesat itu. Keras dan kejam, setiap kesalahan betapa pun kecilnya tentu akan dihukum secara keji. Hal ini membuat semua anak buah takut dan taat kepada pimpinannya.
Tetapi sikap Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua anak buahnya terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah terhadap musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa sekarang orang yang hendak membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong? Mereka semua memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran.
Hal ini dapat diketahui oleh Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong, memaksa muka anak itu menghadapinya dan dia menyeringai.
“Huh, siapa pun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang akan menyiksanya sampai mampus!”
Mendengar ucapan Raja Iblis ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan mereka pun tersenyum menyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman mereka tadi dibunuh, kiranya teman itu hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon korbannya.
Ceng Liong sendiri pun tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris melayang di bawah bacokan golok tadi kini malah telah diselamatkan oleh Hek-i Mo-ong, musuh besarnya! Sejenak dia menjadi bingung. Ia menganggap kakek raksasa ini sebagai musuh nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang yang paling sakti dalam rombongan musuh yang menyerbu Pulau Es, kakek ini jelas merupakan pemimpin mereka yang paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor satu ini telah menyelamatkan nyawanya.
Sejak kecil, orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan dalam batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi, memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin sekarang dia akan memusuhi, apa lagi mendendam, kepada orang yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut? Dia telah berhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong!
Kenyataan ini membuat anak itu tidak banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itu pun terkulai pingsan.
Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapatkan dirinya berada di sebuah bilik kecil dan kosong, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan tetapi, ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat berwarna merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka itu pun mengering.
Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan pada saat dia dikeroyok tadi. Tadi? Atau kemarin? Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.
Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, dia pun tahu bahwa dia masih berada di dalam perahu dan dia pun teringat bahwa dia telah menjadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia melihat hidangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Seketika dia merasa betapa tubuhnya lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang penting adalah menjaga kesehatannya, pikirnya. Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan melihat perkembangan untuk menentukan tindakan.
Ceng Liong lalu menyambar tempat air dan minum. Segar sekali rasanya, walau pun hanya air tawar dingin saja. Lalu dia pun mulai makan, tidak lahap dan tidak terlalu banyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang kosong.
Setelah selesai makan, dia pun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat kuat, tertutup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat tawanan! Dan dia pun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.
“Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, sekarang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong,” terdengar seorang di antara mereka mengomel.
“Hushh, perlu apa mengomel? Kita malah untung besar. Lihat saja teman-teman banyak yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan setelah berhasil menangkap gadis itu, Jai-hwa Siauw-ok malah lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!”
“Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik manis, heh-heh!”
“Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin kita itu!”
“Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!”
“Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja, lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?”
“Kenapa mesti ribut-ribut? Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong jauh lebih enak. Dia lebih berpengaruh, lebih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok.”
Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita yang sangat buruk. Agaknya enci-nya Suma Hui sudah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Walau pun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu enci-nya itu terancam bahaya yang mengerikan pula.
Akan tetapi, dia tidak begitu mengkhawatirkan Suma Hui karena bagaimana pun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang membuat dirinya khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong.
Mereka berdua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mampu menyelamatkan diri dari ancaman gelombang air laut dalam badai itu? Betapa pun lihainya kakaknya, Ciang Bun atau keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu tidak akan mampu berbuat banyak terhadap amukan air laut dalam badai.
“Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini? Bukankah dia bilang hendak menyiksanya sampai mati? Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi makan lagi! Apa sih maksudnya?”
“Hushh, perlu apa mencampuri? Tugas kita hanya mentaati perintah!”
“Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?” sambung suara lain. “Biasa, kalau hendak memotong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?”
“Ha-ha-ha, engkau benar!”
“Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti keberhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es, dan di depan para datuk itulah baru dia akan dibunuh.”
“Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembahyangan roh para kawan yang telah tewas di tangan keluarga Pulau Es selama ini.”
Ceng Liong merasa sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring, “Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan berisik! Aku mau tidur, tahu?”
Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.
“Bocah keparat!”
“Kurobek mulutnya!”
“Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi sepotong!”
Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdulikan mereka lagi dan dia pun mengusir segala kekhawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila dan tenggelam dalam semedhi…..
Beberapa hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu, karena yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan diri, mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Kuning ini berada di Propinsi Kiang-su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan terdapat pula rombongan orang yang membawa banyak kuda.
Hek-i Mo-ong lalu membawa Ceng Liong yang digandeng tangannya memasuki kereta yang segera dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda yang besar. Para anak buah, sebagian ditinggalkan di perahu-perahu itu dan sebagian pula menunggang kuda mengiringkan kereta. Kereta dan rombongan itu membalap ke arah barat.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan antara Propinsi Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat inilah yang telah terpilih untuk pertemuan para datuk itu…..
Siapakah adanya Hek-i Mo-ong? Para pembaca cerita Suling Emas Naga Siluman tentu telah mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seorang kakek raksasa yang bernama Phang Kui. Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar. Rambutnya putih semua sejak muda dan matanya agak kebiruan.
Dahulu pernah dia mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai perkumpulan sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang amat kejam dan jahat, merupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang. Belasan tahun lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal dengan sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam), Hek-i Mo-ong memimpin gerombolannya itu, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua pejabat setempat menjadi sekutunya.
Akan tetapi akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini menjadi isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi tangan kanannya itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri dan meninggalkan lereng Ci-lian-san.
Usahanya untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata gagal, bahkan Im-kan Ngo-ok tewas semua oleh para pendekar muda. Hancurlah semua impian Hek-i Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi.
Selama beberapa tahun dia menyembunyikan diri, tidak berani keluar dan bertapa sambil memperdalam ilmu-ilmunya. Biar pun dia sudah menjadi semakin tua, namun dia tidak pernah mampu menghilangkan dendamnya dan juga cita-citanya untuk menguasai dunia kang-ouw.
Kehancuran perkumpulan dan namanya membuat dia sakit hati dan dia mengambil keputusan untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, lalu menghimpun beberapa orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan suatu hal yang akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus dapat mengangkat namanya setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es!
Oleh karena para datuk kaum sesat memang menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh bebuyutan nomor satu, setelah melihat kesaktian Hek-i Mo-ong, ada empat orang datuk yang bersedia untuk membantunya. Mereka itu adalah Ngo-bwe Sai-kong yang akhirnya tewas di tangan nenek Lulu, kemudian Ulat Seribu yang tewas di tangan nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui ketua Eng-jiauw-pang yang tewas di tangan Cin Liong, dan Jai-hwa Siauw-ok yang merupakan satu-satunya pembantu yang dapat lolos dari Pulau Es dalam keadaan hidup.
Akan tetapi, biar pun dia dan sekutunya berhasil menewaskan dua orang nenek, isteri dari Pendekar Super Sakti, dia sendiri hampir saja tewas ketika berusaha membunuh Pendekar Super Sakti Suma Han dan terpaksa melarikan diri bersama-sama Jai-hwa Siauw-ok dan sisa anak buahnya. Dia dan sekutunya tidak lari terlalu jauh dan masih mengintai, maka dapat dibayangkan betapa girang rasa hatinya ketika melihat Pulau Es terbakar habis, dan melihat betapa empat orang muda itu melarikan diri dari Pulau Es.
Hek-i Mo-ong cepat mengajak orang-orangnya untuk menghadang dan akhirnya dia berhasil menawan cucu Pendekar Super Sakti, sedangkan Si Penjahat Cabul Jai-hwa Siauw-ok agaknya melarikan cucu perempuan majikan Pulau Es itu, sedangkan dua orang muda lain, seorang cucu laki-laki pendekar itu dan seorang putera Naga Sakti Gurun Pasir, telah tewas ditelan ombak!
“Betapa membanggakan hasil hasil besar itu,” pikirnya girang.
Keluarga Pulau Es telah dapat dibinasakannya, dan sebagai bukti dia membawa salah seorang cucu majikan Pulau Es sebagai tawanan! Dan Pulau Es itu sendiri telah hancur dan lenyap! Hasil ini akan mengangkat namanya, dan akan memudahkan dia untuk menjagoi dunia kang-ouw! Dan dia tahu betapa semua datuk kaum sesat yang tidak berani ikut atau merasa ragu-ragu membantunya, kini sedang menanti di bukit kecil itu seperti yang telah mereka janjikan, menanti untuk melihat apakah usaha besarnya yang menggemparkan dunia penjahat itu berhasil!
Meski dia kehilangan tiga orang rekan dan puluhan orang anak buah yang tewas dalam penyerbuan Pulau Es itu, namun dia berhasil menghancurkan keluarga Pulau Es dan menawan seorang cucunya. Dia mendongkol karena Jai-hwa Siauw-ok memisahkan diri melarikan cucu perempuan keluarga Suma, akan tetapi dia membiarkan saja karena perbuatan itu pun merupakan pukulan hebat terhadap nama keluarga Pulau Es dan merupakan bahan cerita yang baik baginya. Dia akan menceritakan kepada para tokoh kaum sesat bahwa seorang cucu perempuan keluarga yang tadinya amat ditakuti dunia hitam itu kini menjadi permainan Jai-hwa Siauw-ok yang sudah terkenal buas terhadap wanita yang telah dirampasnya!
Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan hatinya, yaitu kalau dia teringat akan pengalamannya ketika menyerang Pendekar Super Sakti Suma Han. Ternyata bahwa menghadapi pendekar itu, dia sama sekali tidak berdaya! Segala ilmu kepandaiannya seperti punah dan tiada gunanya! Padahal, selama beberapa tahun ini dia telah tekun bertapa untuk memperdalam ilmu silatnya dan memperkuat ilmu sihirnya. Ternyata kini bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya ketika dia menyerang kakek tua renta itu.
Mulailah dia kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri yang tadinya dia anggap sudah tidak ada tandingannya lagi. Dan musuh-musuhnya masih begitu banyak. Dan musuh-musuhnya bukanlah orang-orang lemah, walau pun kiranya tak mungkin sehebat Pendekar Super Sakti. Oleh karena itu, dia harus mengumpulkan rekan-rekannya untuk memperkuat kedudukannya.
Yang menyambut kedatangan Hek-i Mo-ong cukup banyak. Ada dua puluh orang lebih tokoh-tokoh dunia hitam bersama anak buah mereka sudah berkumpul di dalam hutan itu, tinggal di pondok-pondok dan kemah-kemah darurat. Kepala-kepala gerombolan ganas, ketua-ketua perkumpulan sesat, tokoh-tokoh perorangan dari bermacam-macam kalangan, kini semua telah berkumpul untuk mendengar bagaimana hasil usaha Hek-i Mo-ong yang bersama rekan-rekannya kabarnya pergi menyerbu Pulau Es.
Begitu kereta berhenti, Hek-i Mo-ong sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki yang mukanya agak pucat namun sepasang matanya memandang berani, muncul dari pintu kereta. Raja Iblis ini menggandeng tangan Ceng Liong dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diangkat ke atas menerima sambutan orang-orang dari golongan sesat itu sambil berkata dengan suara nyaring dan bernada gembira.
“Kawan-kawan sekalian, ketahuilah bahwa keluarga Pulau Es sudah kami binasakan, bahkan pulau itu sendiri telah habis dimakan api dan tenggelam! Dan semua penghuni Pulau Es telah dapat kami binasakan dan kami tawan.”
Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penjahat dari dunia hitam itu. Mereka adalah penjahat-penjahat yang sudah mengenal baik nama keluarga Pulau Es, bahkan sebagian besar di antara mereka pernah merasakan ampuhnya tangan keluarga itu. Memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga pendekar yang berilmu tinggi dan semenjak puluhan tahun telah menentang dunia kejahatan sehingga banyaklah kaum penjahat yang menaruh dendam sakit hati terhadap keluarga pendekar itu.
Siapakah yang tidak mengenal keluarga Pulau Es? Pendekar Super Sakti Suma Han sendiri pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmu silatnya yang amat tinggi. Bahkan di samping ilmu silatnya, dia pun terkenal sekali dengan ilmu sihirnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman! Juga kedua orang isteri pendekar sakti itu amat ditakuti oleh dunia penjahat. Terutama sekali Puteri Nirahai yang dahulu sering memimpin pasukan pemerintah sebagai seorang panglima wanita yang juga sudah banyak menghancurkan pemberontak-pemberontak dan gerombolan-gerombolan penjahat. Nama Lulu isteri ke dua dari pendekar itu pun pernah dikenal orang.
Selain sang pendekar sakti bersama kedua orang isterinya itu, juga keluarga mereka terkenal sebagai pendekar-pendekar yang sangat ditakuti dan dibenci oleh golongan hitam. Puteri mereka, yaitu Puteri Milana, puteri tunggal Suma Han dan Nirahai, juga merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, di samping suaminya yang lebih lihai lagi yaitu Gak Bun Beng.
Kedua orang putera dari Pendekar Super Sakti juga amat terkenal, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali Suma Kian Bu yang demikian lihai dan terkenalnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman Kecil oleh dunia penjahat karena persamaannya dengan Pendekar Siluman, ayahnya.
Kalau mantu pria keluarga itu, yaitu Gak Bun Beng, amat gagah perkasa, maka dua orang mantu wanita mereka tak kalah terkenalnya. Isteri Suma Kian Lee bernama Kim Hwee Li, seorang wanita perkasa yang bahkan pernah malang melintang sebagai seorang gadis dari dunia hitam yang murtad dan memalingkan mukanya menentang dunia kejahatan itu sendiri, maka tentu saja ia pun dianggap musuh oleh dunia penjahat.
Mantu wanita ke dua bernama Teng Siang In, juga seorang pendekar wanita, bahkan mantu ini memiliki ilmu sihir seperti ayah mertuanya, dan biar pun ilmu sihirnya tidak sehebat Pendekar Super Sakti, namun kalau ia pergunakan, cukup membuat repot lawannya. Demikianlah keadaan keluarga Suma itu yang dimusuhi oleh dunia hitam, maka tentu saja pengumuman Hek-i Mo-ong bahwa Pulau Es telah tenggelam dan keluarganya telah terbasmi disambut dengan sorak-sorai gembira.
Akan tetapi, yang menyambut dengan sorak-sorai itu hanyalah para penjahat dari tingkatan rendah saja. Para tokoh hitam yang hadir di situ, tidak dapat menerima begitu mudah saja keterangan Hek-i Mo-ong. Bagi mereka ini, mereka tahu benar betapa hebatnya keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bahkan mereka tidak berani maju ketika Hek-i Mo-ong mengajak mereka bersekutu untuk menyerbu pulau keramat itu.
“Mo-ong, bagaimana kami bisa yakin bahwa keluarga Pulau Es sudah dibinasakan? Engkau berangkat berlima dan pulang hanya sendirian saja. Mana buktinya bahwa usaha penyerbuan ke Pulau Es itu berhasil dengan baik?” terdengar seorang di antara para tokoh itu bertanya.
Pertanyaan ini segera didukung oleh banyak tokoh yang lainnya. Suara mereka saling susul-menyusul sehingga suasana menjadi riuh.
“Apa buktinya?”
“Ya, mana buktinya?”
“Kalian masih tidak percaya kepadaku?” Suara Hek-i Mo-ong terdengar lantang penuh kemarahan sehingga semua orang terkejut dan gentar, suara berisik tadi pun padam dan semua orang memandang kepada tokoh yang baru keluar dari kereta itu.
Melihat ini, dengan hati gembira Hek-i Mo-ong lalu tertawa. Seperti juga bentakannya tadi, suara ketawanya mengandung khikang yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ.
“Ha-ha-ha-ha! Kalian ingin bukti? Lihatlah baik-baik! Bocah ini adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti Suma Han.” Berkata demikian, dengan gerakan tiba-tiba Hek-i Mo-ong kemudian melontarkan tubuh Ceng Liong ke atas.
Tubuh itu terlempar ke udara. Ceng Liong merasa terkejut sekali, tetapi dia diam saja, bahkan lalu menarik kaki tangannya yang lelah dan lemah. Ketika tubuhnya meluncur turun, Hek-i Mo-ong menyambutnya dan melemparkannya kepada para pembantunya yang berada di belakangnya.
“Gantung kakinya di pohon itu agar semua orang dapat melihatnya!”
Dengan girang anak buahnya melakukan perintah ini. Akan tetapi mereka sudah kapok untuk berlancang tangan, sehingga tidak ada yang mengganggu Ceng Liong kecuali hanya menggantungnya di pohon dengan kepala di bawah, dengan mengikat kedua pergelangan kakinya seperti yang diperintahkan kepada mereka. Tidak ada tangan yang berani mengganggu, menampar pun tidak.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong sudah menuju ke tempat terbuka di mana terdapat batu-batu dan bangku-bangku kasar di mana para tokoh itu berkumpul. Maka berceritalah Hek-i Mo-ong tentang penyerbuannya ke Pulau Es.
Ceng Liong yang digantung pada kedua kakinya itu hanya mendengarkan saja dan dia mengambil keputusan untuk menghadapi kematian seperti cucu sejati dari Pendekar Super Sakti! Dia tidak pernah mengeluh dan diam-diam dia malah melakukan semedhi sambil tergantung seperti itu. Dia merasa betapa detik jantungnya menjadi aneh, apalagi ketika dia mengikuti jalan darahnya dan menghimpun hawa sakti di pusar.
Tiba-tiba saja, hawa sakti yang diterimanya dari kakeknya dua minggu yang lalu, kini berputar-putar dan mendatangkan kehangatan, akan tetapi kepalanya yang tadinya seperti berputar itu menjadi semakin ringan dan yang lebih aneh, panca inderanya menjadi amat tajam sehingga dengan mata terpejam, telinganya dapat mendengarkan suara dari jauh! Cerita Hek-i Mo-ong terdengar semua olehnya, demikian jelasnya, bahkan dia dapat menangkap tarikan napas dan detik jantung orang-orang yang duduk tidak lebih dari lima meter dari tempat dia tergantung!
Dua minggu yang lalu, pada suatu malam ketika dia tertidur, bagaikan mimpi saja dia merasa dibangunkan oleh kakeknya, kemudian digandeng oleh kakeknya dan diajak ke luar kamar. Malam itu tiada bulan namun langit amat cerah, membentang biru penuh dengan bintang-bintang yang gemerlapan amat indahnya. Kakeknya mengajaknya ke tepi pantai yang landai dan di situ kakeknya menyuruh dia duduk bersila berhadapan dengan kakeknya.
“Ceng Liong, aku akan memindahkan hawa sakti ke dalam pusarmu dan kelak dapat kau jadikan pusat pengerahan sinkang kalau engkau sudah pandai mengendalikannya. Sudah kulihat dan engkaulah yang tepat untuk mewarisinya. Akan tetapi ingat, kekuatan ini dapat menjadi dahsyat sekali dan jika disalah gunakan, kelak hanya akan memukul dirimu sendiri. Nah, ulurkan kedua lenganmu dan buka semua jalan darah, hentikan semua kesibukan dalam diri dan batinmu.”
Seperti dalam mimpi saja dia lalu menempelkan kedua tangannya pada telapak tangan kakeknya. Dan di malam yang teramat dingin itu, yang dapat membuat semua air membeku, dia merasakan kehangatan luar biasa memasuki tubuhnya melalui kedua tangannya, makin lama semakin panas sampai dia hampir tidak tahan lagi, kemudian perlahan-lahan menjadi dingin dan terus semakin dingin sampai dia merasakan seluruh darahnya membeku, kemudian berbalik menjadi panas lagi.
Dihantam serangan hawa panas dan dingin berganti-ganti ini, akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi. Setelah sadar, tahu-tahu dia telah berada di dalam air membeku, duduk bersila seperti semula, akan tetapi bukan di tempat semula melainkan telah terendam air beku sampai ke pinggangnya. Kakeknya juga duduk bersila di depannya.
“Kerahkan hawa panas dari pusar ke bawah untuk melawan dingin,” kakeknya berkata lirih namun suaranya mengandung daya pembangkit yang demikian kuatnya sehingga seolah-olah suara atau perintah itulah yang menggerakkan hawa di pusarnya.
Tiba-tiba Ceng Liong dapat merasa betapa hawa dingin yang menembus tulang-tulang di bagian bawah tubuhnya itu melenyap, dan terganti dengan hawa hangat yang amat menyenangkan! Akan tetapi, tubuhnya bagian atas berkeringat dan terasa panas sekali!
“Kerahkan sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Engkau gunakan pernapasan untuk mengatur pembagian hawa...,” kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya menyentuh dan menekan kedua pundaknya.
Mula-mula dia merasa betapa sukarnya membagi hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua, bagian bawah melawan dingin dan bagian atas melawan panas. Akan tetapi begitu kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur keseimbangan itu, seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang membimbingnya menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.
Semalam suntuk dia dilatih dan tanpa disadarinya, ia telah mewarisi sumber pembangkit tenaga sinkang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu ketika hawa sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan mendatangkan hal-hal aneh, mempertajam panca inderanya!
Setelah Hek-i Mo-ong selesai bercerita, menyombongkan hasil usahanya yang telah membakar Istana Pulau Es dan membinasakan keluarga Pulau Es, dia tertawa dan menutup ceritanya.
“Hua-ha-ha, hancurlah sudah musuh nomor satu kita semua! Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya itu telah tewas. Seorang cucunya, gadis cantik itu, tentu akan hancur pula karena terjatuh ke tangan Jai-hwa Siauw-ok! Siapa tidak tahu keganasan Siauw-ok terhadap wanita? Dan seorang cucu pria terjatuh ke laut, bersama jenderal muda musuh kita pula, putera Naga Sakti Gurun Pasir itu. Mereka berdua tak mungkin dapat hidup ditelan ombak badai itu. Tinggal yang seorang ini, cucu keluarga Pulau Es yang tidak kubunuh karena hendak kuperlihatkan kepada kalian semua. Ha-ha-ha!”
“Maaf, Mo-ong, kukira keadaannya belum begitu membesarkan hati sehingga kita boleh tergesa-gesa bergembira dengan hasil itu.”
Semua orang menoleh dan memandang kepada orang yang bicara. Begitu beraninya orang ini bicara yang sedikit banyak dapat merupakan celaan terhadap Mo-ong, atau mengecilkan arti pembinasaan Pulau Es itu.
Hek-i Mo-ong sendiri dengan perlahan menoleh dan membalikkan tubuh menghadapi orang yang bicara itu. Semua orang menghentikan suara mereka dan keadaan menjadi hening karena mereka semua ingin mendengar apa yang akan dibicarakan antara dua orang ini. Apalagi setelah semua orang melihat bahwa yang bicara itu adalah orang yang amat aneh, dan yang tadi tidak mereka lihat berada di situ. Agaknya orang ini, seperti setan saja, tahu-tahu muncul di situ dan berani mencela Hek-i Mo-ong.
Sebaliknya, begitu Hek-i Mo-ong melihat orang itu, alisnya yang berkerut itu membuyar dan wajahnya berseri, mulutnya tertawa ramah.
“Ha-ha-ha, tadinya kusangka siapa yang berani lancang mencelaku. Kiranya See-thian Coa-ong! Ha-ha-ha-ha, di antara sahabat sendiri, memang sebaiknya kalau kita bicara blak-blakan saja. Nah, jelaskan, kawan, mengapa kita tidak boleh bergembira dengan hasil baik ini?”
Banyak di antara mereka terkejut saat mendengar disebutnya nama See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) itu. Nama itu adalah nama seorang tokoh besar dunia persilatan yang termasuk orang aneh, tidak dapat dibilang berpihak pada kaum pendekar atau pun pendukung golongan sesat. Dia seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang berdiri bebas dalam keanehan mereka sendiri, tidak perduli akan golongan-golongan dan tidak mau mencampuri dalam arti kata tidak mau terlibat. Setelah kini mereka memandang penuh perhatian, diam-diam mereka dapat mengakui akan keanehan orang ini, keanehan yang mengerikan.
See-thian Coa-ong ini bukanlah seorang Han. Hal itu jelas nampak dari wajahnya dan kulitnya. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan tubuhnya hampir telanjang bulat. Hanya ada kain cawat penutup tubuhnya. Kulitnya kehitaman dan karena sangat kurus, maka nampak tinggi sekali. Kepalanya botak kelimis. Dua telinganya yang terlalu lebar itu dihias anting-anting perak.
Kedua pergelangan tangannya yang hanya kulit membungkus tulang itu terhias gelang-gelang perak. Di lehernya terdapat kalung, bukan kalung perak atau emas, melainkan kalung hidup, yaitu seekor ular kobra belang yang amat berbisa. Ular seperti ini kalau menggigit, kabarnya tidak ada obatnya lagi dan si korban langsung mati! Melihat ular ini saja, mereka yang mengenal kehebatan racunnya, sudah merasa ngeri dan mereka yang berdiri dekat sudah menggeser tempatnya menjauh. Ada bau harum amis datang dari kakek ini.
Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu masih ingat kepada kakek aneh ini. Kurang lebih sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, See-thian Coa-ong pernah muncul dan membimbing pendekar wanita Bu Ci Sian dalam ilmu menaklukkan ular-ular dan memperdalam ilmu silat pendekar itu. Kakek ini lalu menghilang karena memang dia seorang perantau yang biasa berkelana ke gunung-gunung, terutama di Pegunungan Himalaya.
See-thian Coa-ong adalah seorang Nepal yang bernama Nilagangga. Akan tetapi, sejak mudanya dia sudah sering kali datang ke daerah Tiongkok sehingga dia menguasai pula Bahasa Han, dan juga dia mengenal banyak tokoh-tokoh dunia kang-ouw. Banyak pula dia mendapatkan ilmu-ilmu silat dari daerah Sin-kiang dan di daerah Sin-kiang inilah dia dahulu berkenalan dengan Hek-i Mo-ong. Pada saat itu Hek-i Mo-ong masih memimpin perkumpulan Hek-i-mo di Sin-kiang. Itulah sebabnya mengapa peranakan Kozak ini bersikap ramah kepada Raja Ular itu.
“Hek-i Mo-ong, menurut ceritamu tadi, biar pun engkau telah berhasil membinasakan Pulau Es dan para penghuninya, akan tetapi engkau pun telah kehilangan banyak sekali kawan-kawanmu. Bahkan orang-orang yang lihai sekali seperti Ngo-bwe Sai-kong, Si Ulat Seribu, dan Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas dalam penyerbuan itu, belum lagi dihitung banyaknya anak buahmu. Dan untuk semua pengorbanan itu, engkau hanya dapat menewaskan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya, tiga orang yang sudah tua renta dan yang tanpa diserbu sekali pun akan mati sendiri tidak lama lagi. Apakah hal itu boleh dibuat gembira?”
Wajah Hek-i Mo-ong menjadi agak merah akan tetapi dia masih tersenyum lebar. “Aha, Coa-ong! Agaknya engkau lupa bahwa pengorbanan seperti itu jauh terlalu ringan dan murah dibandingkan dengan hasilnya. Bayangkan saja! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya! Dan Pulau Es juga terbakar habis. Belum lagi tiga orang cucu mereka tentu akan tewas, ditambah lagi Jenderal Muda Kao Cin Liong yang sudah banyak menimbulkan susah kepada kawan-kawan kita, terutama di barat.”
Kakek See-thian Coa-ong menghela napas panjang. “Baik, baiklah.... katakanlah bahwa hasilnya cukup besar. Akan tetapi apakah kita lalu dapat mengatakan bahwa kematian mereka itu akan membebaskan kalian dari lawan kalian? Mo-ong, apakah artinya hasil itu kalau engkau ingat bahwa di sana masih hidup keturunan Pulau Es yang amat lihai? Lupakah engkau pada Puteri Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan suaminya orang she Gak yang amat lihai itu? Dan lupakah engkau pada putera-putera Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee dan terutama sekali Suma Kian Bu Si Pendekar Siluman Kecil? Dan juga, kalau benar Jenderal Muda Kao Cin Liong tewas, engkau harus berani menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir! Dan.... ah, masih banyak lagi para pendekar sakti yang akan merupakan lawan berat bagimu, Hek-i Mo-ong. Lupakah engkau kepada keluarga Bu-taihiap yang kini tinggal di kota raja? Bu-taihiap dan isteri-isterinya saja sudah amat lihai, apalagi mantunya! Tentu engkau tidak akan melupakan Kam Hong yang dijuluki Pendekar Suling Emas itu, bukan? Juga keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Hemm, aku sendiri sebagai orang luar merasa amat khawatir akan masa depanmu, Hek-i Mo-ong!”
Wajah Hek-i Mo-ong yang tadinya merah itu kini menjadi agak pucat. Diingatkan kepada para pendekar sakti itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya kecut. Rasa gentar menyelinap di sanubarinya karena apa yang diucapkan oleh Raja Ular itu sama sekali tidak keliru. Mereka semua itu adalah orang-orang hebat dan harus diakuinya bahwa ketika menghadapi Pendekar Suling Emas Kam Hong dia terdesak hebat, dan nyaris tewas kalau tidak mempergunakan sihirnya untuk melarikan diri...
“Wah, bukan main....! Belum tentu dalam seratus tahun sekali ditemukan seorang anak seperti ini! Bahan yang luar biasa hehatnya, sungguh seorang anak ajaib, seorang dengan tubuh dewasa! Cukup pantas untuk menjadi tempat tinggal titisan Dalai Lama!”
Teriakan penuh kekaguman ini menarik perhatian semua orang. Bahkan Hek-i Mo-ong sendiri, yang tertegun mendengar ucapan See-thian Coa-ong tadi, menoleh dan dia melihat seorang kakek pengemis sedang memeriksa tubuh Ceng Liong yang tergantung jungkir balik. Kakek itu memutar-mutar tubuh itu, menyentuh sana-sini dan berulang ulang mengeluarkan pujiannya.
“Aih, tengkoraknya menandakan bahwa otaknya melebihi otak anak biasa, menjendol di sini, rata di sini.... ahh, dan telinga ini! Hemmm.... tulang yang kuat dan bersih, bukan main!”
Kakek itu tentu usianya tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan dilihat dari pakaiannya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pengemis. Pakaian yang tambal-tambalan kusut dan rambut awut-awutan. Tubuhnya tinggi kurus bagaikan orang yang selalu kekurangan makan. Matanya lebar kadang-kadang terbelalak. Ketiak kirinya mengempit sebatang tongkat bambu, dan di pinggangnya tergantung sebuah kantung butut yang berisi sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan dan sebuah mangkok retak.
Meski kakek ini nampak demikian miskin sederhana, namun Hek-i Mo-ong mengenalnya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang juga berdiri bebas seperti See-thian Coa-ong Nilagangga. Tokoh pengemis ini termasuk seorang tokoh ugal-ugalan yang aneh, tidak pernah berpihak sana-sini. Akan tetapi dia merupakan seorang tokoh yang terkenal sekali di daerah selatan.
Dialah Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Sun, seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan menganggap dunia inilah tempat tinggalnya, tanah menjadi lantainya, langit menjadi atapnya. Maka, walau pun dia ini merupakan seorang tokoh di daerah selatan, tidak aneh melihat dia kini tiba-tiba muncul di tempat yang jauh di utara.
Melihat kakek ini meraba-raba dan memuji-muji Ceng Liong, semua orang tertarik dan mereka mulai mendekati anak itu dan merubungnya.
“Darahnya murni dan ada hawa sinkang yang sangat luar biasa di dalam tubuhnya, berpusat di pusar dan mengalir di seluruh tubuh! Demi iblis, belum pernah aku melihat yang seperti ini!”
See-thian Coa-ong Nilagangga menjadi tertarik sekali dan dia pun mendekat. Kepala ular cobra yang melingkari lehernya itu terjulur dan hampir saja menyentuh muka Ceng Liong, akan tetapi anak ini sedikit pun tidak kelihatan takut, bahkan dengan sepasang matanya yang tajam dia memandang kepala ular itu dan sungguh aneh, ular itu nampak gelisah dan berusaha menjauhkan kepalanya saat See-thian Coa-ong mendekati Ceng Liong, seolah-olah ada sesuatu pada diri anak itu yang membuat binatang itu gelisah.
Segera terdengar seruan-seruan kagum dari See-thian Coa-ong dalam bahasa asing. Hek-i Mo-ong mengerti apa yang diucapkan oleh See-thian Coa-ong itu.
“Aihhh, Raja Cobra sampai takut terhadap anak ini! Bukan main....!” Dia meraba-raba kepala dan leher serta pundak Ceng Liong, lalu melanjutkan, “....memang hebat! Anak ini tubuhnya sekuat naga!”
Bagaikan dua orang kakek yang hendak membeli seekor ayam jago aduan, Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba dan memeriksa Ceng Liong, menekan perutnya, memijat dada dan pundak, membelai kaki tangan, melihat mata, hidung, mulut dan telinga, meraba tulang-tulangnya.
“Ha-ha-ha, Raja Ular, ternyata matamu tajam juga dapat mengenal seorang sin-tong (anak ajaib) yang bertulang dewa!” Kakek Pengemis itu tertawa.
“Siapa yang tidak mengenal senjata pusaka adalah seorang tolol dan buta! Dan anak ini lebih berharga dari pada sebuah senjata pusaka! Jika kuberi kepandaianku kepadanya, dia bisa menjadi sepuluh kali lebih pandai dari pada aku. Dia akan menjadi murid yang terbaik di dunia ini!”
“Eeiitt, eeitt, Coa-ong, enak saja kau bicara! Akulah orang pertama yang menemukan bakat anak ini dan akulah yang patut menjadi gurunya!” Koai-tung Sin-kai Bhak Sun berkata dengan nada suara tidak senang, juga tangannya mendorong ke arah See-thian Coa-ong. Biar pun tangan kanannya hanya mendorong biasa saja, namun keluarlah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah Raja Ular.
“Hemm, belum tentu dia suka menjadi muridmu, jembel tua!” jawab See-thian Coa-ong dan kakek ini pun menggerakkan lengan menangkis.
“Dukkk....!”
Orang-orang yang berada agak dekat dengan tempat itu merasakan betapa hebatnya getaran yang ditimbulkan oleh adu tenaga melalui lengan itu dan kedua orang kakek yang saling mengadu lengan itu pun tergetar mundur dua langkah, masing-masing terkejut melihat kekuatan lawan.
“Bocah itu cucu keluarga Pulau Es, harus dibunuh!”
Teriakan seorang di antara para tokoh kaum sesat yang mendendam kepada keluarga Pulau Es ini merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan dan dendam di antara kaum sesat hingga mereka pun berteriak-teriak, mencabut senjata dan menyerbu untuk membunuh Ceng Liong yang masih bergantung dengan jungkir balik.
Sejak tadi Ceng Liong membuka mata dan telinga, mendengar dan melihat dengan jelas segala yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak merasa terkejut mau pun bangga ketika Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba tubuhnya dan memuji-mujinya, karena kakek dan dua orang neneknya sendiri pernah mengatakan bahwa dia memiliki bakat yang baik sekali untuk ilmu silat. Justeru karena itulah maka mendiang kakeknya telah mewariskan hawa murni sumber tenaga sakti kepada dirinya.
Sekarang dia melihat gerakan kaum sesat itu dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Akan tetapi dia tidak merasa takut, hanya membayangkan kakek dan kedua orang neneknya seolah-olah dia sudah menikmati bayangan akan bertemu dan berkumpul lagi dengan mereka! Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun kini Ceng Liong menjadi penonton dari keributan itu.
“Tidak boleh! Benda pusaka tidak boleh dirusak!” See-thian Coa-ong membentak dan kakek ini menghadang penyerbuan para tokoh sesat itu.
“Siapa yang berani mengganggu calon muridku?” Koai-tung Sin-kai juga membentak dan berdiri menghadang, melindungi Ceng Liong.
“Dia musuh besar! Bunuh!”
“Semua keluarga Pulau Es harus dibasmi! Serbu....!”
Dan dua puluh orang lebih tokoh-tokoh sesat sudah menyerbu! See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai menyambut mereka dengan tendangan sehingga pertempuran yang seru pun terjadilah. Dua orang kakek itu memang amat lihai sehingga dalam beberapa gebrakan saja sudah ada empat orang tokoh sesat yang terjungkal roboh, terkena hantaman tangan Coa-ong dan kemplangan tongkat bambu Sin-kai. Akan tetapi, para pengeroyok itu pun rata-rata mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dua orang kakek itu mulai terdesak hebat.
Ceng Liong menonton semua ini dan dia pun melirik ke arah Hek-i Mo-ong. Sungguh mengherankan sekali sikap kakek ini. Dia hanya berdiri dengan sikap tenang, bahkan tersenyum mengejek melihat perkelahian antara teman sendiri itu. Sebenarnya, kakek ini masih terpengaruh oleh pujian-pujian yang dikeluarkan oleh dua mulut Sin-kai dan Coa-ong tadi dan diam-diam dia pun berpikir. Semua ucapan Coa-ong tadi tidak keliru.
Musuh-musuhnya masih sangat banyak dan mereka itu sakti-sakti. Apalagi Pendekar Suling Emas Kam Hong yang pernah mengalahkannya. Juga Naga Sakti Gurun Pasir, dan keluarga Bu-taihiap. Mungkinkah dia bisa mengalahkan mereka itu? Dan dia sudah semakin tua, dan murid-muridnya yang terpercaya sudah habis, tinggal murid-murid yang tidak ada artinya. Juga dia tidak mempunyai keturunan yang dapat membantunya, atau yang akan membalaskan kalau sampai dia kalah oleh musuh-musuhnya itu.
Anak itu merupakan seorang sin-tong, seorang anak ajaib. Dia pun sudah menduga akan hal itu dan kini dugaannya diperkuat oleh dua orang kakek itu. Kalau ilmunya diturunkan kepada seorang anak ajaib, tentu anak itu akan menjadi beberapa kali lipat lebih pandai dari padanya. Anak seperti itulah yang akan dapat membelanya dan membantunya kelak! Dan alangkah senang hatinya kalau dia dapat mendidik anak ini untuk kelak dipergunakan melawan keluarga Pulau Es. Dan dia tentu dapat menguasai anak ini melalui kekuatan sihirnya!
Hek-i Mo-ong menonton sambil tersenyum mengejek melihat betapa See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai kini repot sekali menghadapi pengeroyokan belasan orang tokoh sesat itu. Namun, mereka berdua mempertahankan diri dan para pengeroyok juga tidak berani terlalu dekat karena dua orang itu memang memiliki kepandaian yang lihai sekali.
“Pengkhianat-pengkhianat busuk!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan itu.
Tubuhnya sudah berkelebat ke depan, tombak Long-ge-pang di tangannya menyambar ke arah Koai-tung Sin-kai dan kipas merahnya menotok ke arah See-thian Coa-ong. Walau pun tombaknya ini bukan tombak pusaka asli seperti yang biasa dipergunakan karena tombak asli itu telah patah-patah ketika dia menyerang Pendekar Super Sakti, namun tombak biasa ini pun menjadi amat ampuh dan berbahaya karena digerakkan oleh tangannya yang amat kuat.
“Tranggg....!”
Tongkat bambu itu menangkis, sedangkan suara nyaring itu adalah suara tombak yang tertangkis. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya tenaga kakek pengemis yang membuat tongkat bambu itu menjadi keras dan kuat menangkis tombak baja. Akan tetapi akibatnya, tubuh kakek pengemis itu terpelanting dan nyaris kepalanya kena bacokan golok seorang tokoh sesat kalau dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya dan mengangkat tongkatnya menangkis, lalu meloncat bangun lagi.
“Brettttt....!”
Totokan gagang kipas merah yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong tadi dapat dielakkan oleh See-thian Coa-ong, akan tetapi tetap saja ujung cawatnya terobek sehingga cawat yang merupakan satu-satunya kain penutup tubuhnya itu hampir terlepas. Tentu saja See-thian Coa-ong terkejut dan cepat-cepat meloncat, menjauhi Hek-i Mo-ong sambil membereskan lagi cawatnya.
See-thian Coa-ong maklum bahwa dia tidak akan bisa menang melawan Hek-i Mo-ong, maka dia pun sudah meloncat jauh dan sambil lari meninggalkan tempat itu dia berkata, “Raja Iblis, silakan kalau engkau mau membunuh anak itu. Akan tetapi hal itu hanya membuktikan kebodohanmu!”
Koai-tung Sin-kai juga sudah menjauhkan diri. “Engkau akan menyesal jika membunuh sin-tong itu, Mo-ong! Betapa tololnya merusak benda pusaka!”
Dan dia pun segera melarikan diri, menyeret tongkat bambunya karena maklum bahwa jika melanjutkan usahanya melindungi anak yang amat dikaguminya itu, melawan Hek-i Mo-ong dan para tokoh sesat itu, sama artinya dengan bunuh diri.
“Bunuh bocah setan itu!” Kini para tokoh sesat maju menyerbu karena mereka marah melihat betapa teman-teman mereka ada yang roboh terluka parah oleh dua orang kakek tadi yang melindungi Ceng Liong.
“Bunuh keturunan Pulau Es!”
Enam orang tokoh sesat menerjang dengan senjata mereka, agaknya saking marah dan sakit hati, mereka itu tidak lagi mengenal malu dan melakukan pengeroyokan terhadap seorang anak kecil yang sudah tergantung tak berdaya. Agaknya sebelum mencincang tubuh anak itu mereka takkan merasa puas.
Seperti juga tadi, menghadapi serangan keenam orang ini, melihat berkelebatnya sinar senjata dari semua jurusan, Ceng Liong tetap membelalakkan matanya dengan penuh keberanian. Dia memang ingin menyambut kematian dengan mata terbuka, seperti yang sering dianjurkan oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai, bahwa seorang pendekar harus selalu tenang dan tabah, bahkan ketika menghadapi kematian sekali pun harus berani menyambut kematian dengan mata terbuka! Maka sekarang dia pun membelalakkan matanya, ingin mati dalam keadaan melek!
Akan tetapi dia melihat sinar terang berkelebatan di sekeliling dirinya dan melihat enam orang itu terpelanting ke kanan kiri. Senjata mereka terlempar setelah mengeluarkan bunyi nyaring. Mereka pun mengaduh-aduh karena tangkisan-tangkisan itu membuat mereka roboh dan terluka.
Kiranya, dalam keadaan yang teramat gawat bagi keselamatan Ceng Liong itu, Hek-i Mo-ong telah turun tangan menangkis dan langsung balas menyerang kepada enam orang itu sehingga mereka roboh terluka. Semua tokoh sesat tentu saja terkejut sekali dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan mata melotot.
“Dia ini tawananku, dia ini milikku! Siapa pun tak boleh mengganggunya dan yang boleh menentukan mati hidupmya hanyalah aku seorang!” Hek-i Mo-ong membentak sambil melintangkan tombak Long-ge-pang yang amat hebat itu.
“Tetapi, Mo-ong, engkau harus segera membunuh bocah keturunan Pulau Es ini agar kelak dia tidak akan menyusahkan kita!” terdengar beberapa orang tokoh memprotes.
“Dengarlah kalian semua, kawan-kawan!” Hek-i Mo-ong berteriak nyaring. “Akulah orang yang telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es dan berhasil. Tawanan ini adalah milikku dan akulah yang berhak menentukan apa yang akan kulakukan dengan dirinya!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar dia lalu menghampiri tubuh Ceng Liong yang masih tergantung jungkir balik itu.
Ceng Liong telah menyaksikan semua itu dan dia tahu bahwa sudah dua kali nyawanya tertolong oleh Hek-i Mo-ong. Dia teringat akan nasehat mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti Suma Han bahwa seorang manusia harus mengingat budi orang dan melupakan dendam. Maka ketika kakek iblis itu mendekat, pandang matanya terhadap kakek itu pun ramah.
Hal ini terasa benar oleh Hek-i Mo-ong, maka kakek ini lalu bertanya kasar, “Mau apa engkau memandangku dengan senyum-senyum?”
“Hek-i Mo-ong, aku berhutang nyawa dua kali padamu,” jawab Ceng Liong.
Orang seperti iblis ini mana memperdulikan tentang budi? Dia hanya mendengus dan tiba-tiba menggerakkan kipasnya dan gagang kipas itu menotok jalan darah di pundak kanan anak itu. Dia menotok bukan untuk membunuh melainkan hanya untuk menyiksa.
Totokan pada jalan darah itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan dia memang ingin memaksa anak ini melolong-lolong kesakitan. Sikap anak ini yang begitu keras dan berani dianggapnya sebagai tantangan dan dia ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia seoranglah yang akan mampu menundukkan anak ini.
“Tukkk....!”
Raja Iblis itu terkejut dan hampir saja dia berteriak kalau dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak orang. Dia menelan kekagetannya agar semua orang tidak tahu apa yang telah terjadi. Bagaimana dia tidak menjadi kaget sekali kalau jari tangannya ketika menotok pundak itu bertemu dengan hawa sinkang yang amat kuat, yang menolak tenaga totokannya, membuat pundak itu seperti dilindungi oleh kulit yang amat kuat dan kebal?
Akan tetapi Ceng Liong nampaknya tidak tahu akan hal ini! Memang sesungguhnyalah. Sumber tenaga sakti yang berada di tubuhnya telah bekerja sedemikian kuatnya ketika dia tergantung jungkir balik itu, yang membuat panca inderanya menjadi amat tajam dan peka, tetapi juga membuat tenaga sinkang di tubuhnya itu secara otomatis bergerak sendiri ketika tubuhnya diserang dan dapat melindunginya.
Dan semua ini terjadi di luar kesadaran Ceng Liong. Anak ini bahkan tidak tahu bahwa dirinya baru saja ditotok dan kakek iblis itu bermaksud untuk menyiksanya. Dia hanya merasa betapa pundaknya disentuh dan sentuhan ini malah dianggapnya sebagai sikap bersahabat dari kakek itu kepadanya.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong diam-diam berpikir. Semenjak dia tadi mendengar dan melihat See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai memuji-muji Ceng Liong, hatinya jadi tergerak. Dia pun melihat kenyataan, betapa banyaknya musuh yang amat lihai dan harus diakuinya bahwa seorang diri saja kiranya tak mungkin bagi dia untuk menandingi semua musuh-musuhnya itu.
Kalau saja dia bisa dibantu oleh seorang yang memiliki bakat seperti anak ini! Kalau saja anak ini dapat menjadi muridnya dan kelak membelanya! Juga, dengan adanya anak ini di tangannya, anak ini dapat menjadi semacam sandera, semacam perisai baginya apabila sewaktu-waktu dia didesak oleh keluarga Pulau Es. Dia harus dapat menguasai anak ini dengan sihirnya!
Maka dia pun segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan memandang wajah anak itu, berusaha menguasai pandang matanya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga memerintahkan anak itu untuk tidur. Akan tetapi, kembali dia mengalami hal yang amat aneh. Ada tenaga penolakan yang amat kuat sekali pada pandang mata anak itu dan dia merasa jantungnya tergetar hebat! Sedemikian hebatnya getaran itu sehingga cepat-cepat dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, karena kalau dilanjutkan, entah siapa yang akan celaka, dia ataukah anak itu!
Dia teringat bahwa anak ini adalah cucu dari Pendekar Siluman yang memiliki kekuatan sihir luar biasa, maka diam-diam dia merasa ngeri sendiri. Benar kata dua orang kakek tadi. Anak ini adalah seorang anak luar biasa dan kalau dapat menjadi muridnya, dia seperti mendapatkan sebuah senjata pusaka yang amat ampuh dan yang akan mampu melindunginya!
Ceng Liong sendiri tidak sadar bahwa kembali dia telah diserang dengan kekuatan sihir. Dia hanya merasa betapa tajamnya pandang mata kakek iblis itu. Akan tetapi hal ini dianggapnya sebagai hal yang patut dikagumi. Dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat lihai dan sakti, penuh wibawa, tak seperti tokoh-tokoh sesat lainnya. Biar pun dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang tokoh sesat, akan tetapi seorang tokoh yang tinggi tingkatnya, bukan manusia sembarangan saja.
“Mo-ong, sekali waktu aku pasti akan membalas budimu yang dua kali itu,” kata Ceng Liong lagi.
Sementara itu, semua tokoh sesat dan anak buahnya sudah mengepung tempat itu dan pada wajah mereka terbayang rasa penasaran. Mereka tadi ikut gembira mendengar akan terbasminya Pulau Es dan para penghuninya dan mereka sudah mengharapkan akan dapat melihat cucu dalam Pendekar Super Sakti itu disiksa di depan mata mereka sampai mati. Apalagi mengingat betapa anak ini telah menjadi sebab keributan dan perkelahian di antara mereka sendiri yang menjatuhkan banyak korban pula.
Yang lebih penasaran dan sakit hati adalah para tokoh dan anak buah Eng-jiauw-pang yang telah kehilangan ketua mereka yang tewas di tangan Kao Cin Liong ketika ketua mereka ikut menyerbu ke Pulau Es. Juga para tokoh dan anak buah Im-yang-pai karena ketua mereka, Ngo-bwe Sai-kong yang tewas oleh nenek Lulu di Pulau Es, merasa sakit hati dan mereka ingin melihat cucu Pendekar Super Sakti itu segera mati di depan mata mereka.
“Harap Mo-ong cepat menyiksa dan membunuhnya, terserah bagaimana pun caranya!”
Ucapan ini mendapat dukungan banyak orang dan keadaan menjadi bising kembali. Wajah orang-orang itu menjadi beringas dan sikap mereka mengancam ketika mereka semua memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.
Hek-i Mo-ong memandang kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang lantang, “Sobat-sobat semua! Aku mengundang kalian berkumpul di sini hanya untuk memberi tahukan kabar keberhasilan kami menyerbu Pulau Es. Sepatutnya kalian bergembira tentang itu dan berterima kasih kepadaku. Sekarang aku hendak pergi dulu, membawa bocah ini dan mengenai dia, serahkan saja kepadaku karena akulah yang berhak atas dirinya. Nah, sakarang aku akan pergi dan jangan kalian menggangguku lagi!”
Setelah berkata demikian, sekali renggut Hek-i Mo-ong telah mematahkan tali yang menggantung kaki anak itu dan memondong tubuh Ceng Liong, dibawanya berloncatan seperti terbang cepatnya. Para tokoh sesat itu tentu saja merasa penasaran dan tidak puas. Akan tetapi, siapakah yang berani menentang kehendak Hek-i Mo-ong, apalagi setelah iblis itu berhasil menghancurkan Pulau Es? Mereka bersungut-sungut kemudian bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.
Sementara itu, bagaikan terbang cepatnya, Hek-I Mo-ong berlari sambil memondong tubuh Ceng Liong. Anak ini tidak takut, akan tetapi diam-diam merasa heran melihat sikap Hek-i Mo-ong yang berubah-ubah itu. Dia tak tahu bagaimana jalan pikiran kakek iblis ini, tetapi dia ingat benar bahwa bagaimana pun juga, iblis ini telah menyelamatkan nyawanya sampai dua kali berturut-turut. Dia tahu bahwa tanpa campur tangan iblis ini, tentu dia telah tewas di tangan para penjahat yang haus darah.
Tiba-tiba, ketika kakek itu tiba di padang rumput yang amat sunyi, dia berhenti dan melemparkan tubuh Ceng Liong ke atas tanah. Anak itu cepat-cepat bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu.
“Hek-i Mo-ong, engkau hendak membawaku ke manakah?” tanyanya berani.
“Bocah yang berhati naga, siapakah namamu?”
“Namaku Suma Ceng Liong.”
Kakek itu mengangguk-angguk. Namanya berarti ‘Naga Hijau’ dan memang anak ini seperti seekor naga.
“Ceng Liong, apa maksudmu mengatakan bahwa engkau berhutang budi dan hendak membalas budi itu?”
“Engkau telah menolongku dua kali dan sekali waktu tentu aku akan membalas budimu itu.”
“Benarkah itu? Apakah engkau tidak menganggapku sebagai musuh?”
Ceng Liong mengerutkan alis. Dia teringat bahwa kakek ini bersama kawan-kawannya telah menyerbu Pulau Es, namun dia pun teringat akan wejangan mendiang kakeknya bahwa dia tidak boleh mendendam, maka dia pun menggelengkan kepalanya.
“Ceng Liong, tahukah engkau bahwa aku membawamu sebagai tawanan untuk kelak kubunuh?”
Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak percaya! Kalau engkau ingin melihat aku mati tentu engkau tidak akan menolongku dari tangan mereka yang ingin membunuhku!”
“Hemm, aku mencegah mereka karena aku tidak mau didahului. Sudahlah! Sekarang, engkau boleh memilih. Engkau menjadi muridku atau engkau mati sekarang juga. Hayo pilih!”
Ceng Liong tertawa, akan tetapi suara ketawanya itu hanya tiba-tiba saja dan mendadak pula ketawanya terhenti. Diam-diam Hek-i Mo-ong bergidik. Bocah ini memiliki sifat aneh, dingin dan keras bukan main.
“Hek-i Mo-ong, pertanyaanmu itu sungguh terdengar lucu. Betapa mudahnya memilih satu di antara dua itu. Yang satu adalah kematian yang tak mungkin dapat kuelakkan lagi kalau memang engkau hendak membunuhku, dan yang ke dua adalah hidup dan menjadi murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau. Tentu saja aku memilih menjadi muridmu.”
Hek-i Mo-ong mendengus untuk menutupi rasa gembiranya. “Bagus, kalau begitu mulai saat ini engkau menjadi muridku, murid tunggal karena aku sudah tidak mempunyai murid lagi.”
“Agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain. Hek-i Mo-ong, aku mau menjadi muridmu dan mempelajari ilmu-ilmu darimu, tetapi terus terang saja, aku tidak sudi mempelajari kejahatan-kejahatan dan kesesatan-kesesatan. Aku seorang keturunan pendekar dan aku tidak sudi menjadi orang jahat. Menurut wejangan mendiang kakekku, lebih baik mati sebagai manusia baik dari pada hidup sebagai manusia jahat.”
“Ha-ha-ha, engkau tahu apa tentang kebaikan dan kejahatan? Kebaikan atau kejahatan mana bisa dipelajari? Sudahlah, aku hanya mengajarkan ilmu-ilmuku agar tidak kubawa mati. Asal engkau belajar dengan tekun dan berhasil mewarisi ilmu-ilmuku dan engkau bersikap sebagai seorang murid yang berbakti, sudah cukup bagiku.”
“Akan tetapi, walau pun aku menerima pelajaran-pelajaran darimu dan aku juga menjadi muridmu, akan tetapi aku tidak mau menyebut suhu kepadamu.”
“Ehhh? Mengapa?” kakek itu membentak, penasaran.
“Aku adalah keturunan keluarga Pulau Es yang memiliki ilmu keturunan. Boleh saja aku mempelajari ilmu-ilmu lain untuk meluaskan pengetahuan, akan tetapi aku tidak boleh berguru kepada aliran lain,” jawab anak itu dengan suara mantap karena memang yang diucapkannya itu adalah ajaran ayah bundanya.
“Hemm, lantas engkau akan memanggil apa kepadaku?” tanya Hek-i Mo-ong semakin penasaran.
“Panggilan apa lagi? Tentu seperti orang-orang lain menyebutmu, Mo-ong.”
Biasanya, Hek-i Mo-ong sudah merasa bangga kalau disebut Mo-ong (Raja Iblis) karena bagi seorang tokoh sesat, makin seram panggilannya, makin banggalah hatinya. Akan tetapi kini hatinya terasa kecewa dan kecut juga mendengar betapa muridnya sendiri akan menyebutnya Mo-ong, bukan suhu.
“Dan engkau tidak akan berbakti sebagai murid, melainkan menganggapku sebagai musuh? Begitukah?” Dia sudah marah sekali dan andai kata anak itu mengangguk atau menyatakan benar demikian, mungkin saja dia sudah turun tangan terus membunuh cucu Pendekar Super Sakti itu.
Akan tetapi dengan tenang Ceng Liong mengelengkan kepalanya. “Sudah kukatakan bahwa aku hutang nyawa dua kali kepadamu, Mo-ong, dan kalau engkau mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku, berarti budimu akan bertambah besar. Dan aku bukanlah keturunan orang-orang yang suka melupakan budi atau yang membalas budi kebaikan dengan kejahatan. Tidak, aku tidak akan membiarkan budi-budimu tanpa terbalas.”
Hek-i Mo-ong termenung. Anak ini memang bukan bocah biasa. Ada dua keuntungan besar baginya kalau dia mengambil anak ini sebagai murid. Pertama, dia memiliki sandera yang amat berharga. Ke dua, dia memperoleh seorang murid yang tiada keduanya dan bukan tidak mungkin kalau murid inilah yang kelak menjunjung tinggi namanya dan bahkan melindunginya dari ancaman musuh-musuhnya. Teringat akan hal ini, dia lalu tertawa bergelak, menyambar tubuh anak itu dan dibawanya berlari cepat.
“Ha-ha-ha, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan mari kau ikut bersamaku ke barat!”
Demikianlah, sejak terjadinya penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan terbakar dan lenyapnya Pulau Es, terjadi perubahan besar sekali dalam kehidupan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Sebagai seorang keturunan keluarga yang terkenal sebagai keluarga pendekar-pendekar yang kenamaan, secara tiba-tiba saja dia menjadi murid seorang datuk kaum sesat nomor satu yang juga amat terkenal dalam kesesatannya. Sungguh anak ini telah pindah ke dalam keadaan yang sama sekali bertentangan dengan keadaannya semula, semenjak dia lahir sampai dia berusia sepuluh tahun itu…..
Ke manakah perginya Suma Hui, cucu perempuan Pendekar Super Sakti itu? Seperti kita ketahui, ketika perahu empat orang muda itu dikepung kemudian diserbu oleh para penjahat, mereka berempat melakukan perlawanan. Karena banyaknya penjahat yang mengepung, kemudian perahu mereka digulingkan, empat orang muda itu membela diri dengan terpaksa berpencar.
Suma Hui meloncat ke atas sebuah perahu lain di mana dara ini dihadapi oleh seorang tokoh jahat yang amat dibencinya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, tokoh sesat yang pernah bersikap kotor terhadap dirinya ketika para penjahat itu menyerbu Pulau Es.
“Heh-heh-heh, selamat bertemu, nona manis!” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh nafsu birahi. “Akhirnya engkau datang juga kepadaku, heh-heh-heh!”
“Iblis jahanam!” Suma Hui membentak.
Dan dengan kemarahan meluap dia sudah menerjang dengan sepasang pedangnya, menggunakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hebat itu. Akan tetapi, enam orang anak buah penjahat mengepungnya. Dan melihat munculnya seorang dara jelita, tanpa diperintah lagi enam orang penjahat ini telah berebut maju ingin menangkapnya. Mereka terlalu memandang rendah karena mereka adalah anggota-anggota penjahat yang ketika terjadi pertempuran di Pulau Es belum merasakan kelihaian nona ini. Dengan lancang mereka menyambut dan berusaha menangkap Suma Hui.
Namun mereka kecelik dan kelancangan mereka harus ditebus mahal ketika sepasang pedang di tangan dara itu berkelebatan dan empat orang di antara mereka roboh mandi darah, sedangkan yang dua orang hanya dapat terhindar dari bencana karena mereka cepat membuang diri ke belakang saja!
Tetapi, pada saat Suma Hui menggerakkan pedang mengamuk, Jai-hwa Siauw-ok telah menubruknya dari belakang. Dua kali orang ini menggerakkan jari tangan menotok. Ilmu yang dipergunakannya bukanlah ilmu sembarangan karena dia telah mempergunakan Kiam-ci (Jari Pedang), yaitu ilmu yang amat hebat dari mendiang gurunya.
Suma Hui hanya merasa betapa kedua pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum sehingga sambil menahan teriakannya, terpaksa dara ini membuka tangannya dan melepaskan sepasang pedangnya. Di lain saat, tubuhnya telah menjadi lemas tertotok dari belakang dan ia sudah dipondong oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Perahu terguncang hebat oleh badai dan Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menawan dara itu menjadi girang bukan main. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat menikmati hasilnya karena di situ terdapat Hek-i Mo-ong. Maka diam-diam dia lalu meluncurkan sebuah perahu sekoci dan membawa tubuh Suma Hui melompat ke dalam perahu kecil yang terus didayungnya menjauh dari amukan badai itu.
Suma Hui rebah di atas perahu kecil dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan. Ia tidak berani membuka kedua matanya karena ia merasa pening bukan main, bukan saja karena totokan, akan tetapi juga karena perahu kecil itu dipermainkan gelombang dahsyat, membuat tubuhnya terayun-ayun, terguncang dan ia pun mabok.
Setelah badai lewat dan perahu kecil itu telah jauh meninggalkan perahu-perahu besar lainnya, Jai-hwa Siauw-ok memasang layar perahu kecil dan dia memandang ke arah tubuh dara yang terlentang tak berdaya itu sambil tersenyum-senyum. Seorang dara yang amat cantik jelita dan bertubuh padat. Keturunan Pendekar Super Sakti, keturunan keluarga Pulau Es!
Bukan main bangga dan girang hatinya. Dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) dan menawan seorang gadis merupakan hal yang biasa baginya. Akan tetapi, sekali ini dia merasa luar biasa bangga dan girangnya karena yang ditawannya adalah seorang cucu perempuan dari keluarga Pulau Es! Inilah yang membuat peristiwa itu amat penting dan besar.
Dan dia pun tidak ingin memperkosa dara itu begitu saja seperti yang biasa dia lakukan terhadap tawanan-tawanan wanita yang disukainya. Tidak, dia akan memperlakukan dara ini secara lain! Dia ingin dara ini menyerahkan diri dengan suka rela agar dara ini dapat menjadi kekasihnya untuk kelak bisa dibanggakan kepada orang-orang sedunia kang-ouw! Betapa akan bangga hatinya jika ia dapat memamerkan kekasihnya sebagai seorang cucu perempuan keluarga Pulau Es!
Selain itu, dia pun tidak pernah mau memperkosa wanita yang berada dalam keadaan tertotok atau pingsan. Dia berwatak seperti seekor binatang buas yang merasa nikmat pada saat melihat korbannya meronta-ronta dan meraung-raung dalam permainan dan penyiksaannya.
Jai-hwa Siauw-ok ini di waktu mudanya bukanlah seorang jai-hwa-cat, walau pun dia tak dapat dibilang seorang yang berkelakuan baik. Namanya adalah Ouw Teng dan sejak muda dia memang seorang yang suka bermain-main dengan wanita. Sejak muda dia pun suka belajar ilmu silat, namun belum pernah dia menggunakan kepandaian silatnya untuk memaksa seorang wanita atau memperkosanya.
Dia berwajah tampan dan putera seorang kaya, maka dengan modal wajah ganteng dan kantong padat, mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita-wanita yang disukainya. Akan tetapi, semenjak dia menikah dan dalam waktu setahun setelah menikah dia menangkap basah isterinya yang berjinah dengan seorang pelayan pria dalam rumah mereka sendiri, wataknya pun berubah.
Dia membunuh isteri dan pelayan itu dan melarikan diri meninggalkan rumah, menjadi buronan yang berwajib. Kemudian dia pun bertemu dengan Ji-ok, nenek sakti yang menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ji-ok mengambilnya sebagai kekasih dan murid dan karena pandainya Ouw Teng merayu nenek yang tubuhnya masih seperti orang muda itu, dia dikasihi dan diberi pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi.
Bahkan Ji-ok mengajarkan ilmu-ilmu yang dicurinya dari saudara-saudaranya sehingga Ouw Teng dapat mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain, walau pun tak begitu sempurna karena hasil curian. Dan semenjak itulah dia menjadi seorang jai-hwa-cat yang amat kejam! Watak ini pula yang membuat Ji-ok makin suka padanya, karena memang begitulah seharusnya watak murid dari seorang tokoh sesat yang dianggap jahat seperti iblis!
Demikianlah riwayat singkat dari Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Kini usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia masih pesolek dan masih ganteng. Dan tentu saja kini ilmu-ilmunya sudah matang dan di antara lima tokoh jahat yang menyerbu Pulau Es, dia merupakan orang ke dua setelah Hek-i Mo-ong.
Dan ternyata hanya dia seoranglah di antara empat orang rekan Hek-i Mo-ong yang selamat dan terhindar dari kematian ketika mereka melakukan penyerbuan itu. Dan kini dia malah memperoleh hasil gemilang, yaitu dengan berhasilnya dia menawan cucu perempuan dari Pendekar Super Sakti.
Ketika siuman, Suma Hui menggerakkan kaki tangan hendak menggeliat, akan tetapi kaki dan tangannya tidak dapat digerakkan karena terbelenggu. Ia mengeluh lirih dan membuka matanya yang segera terbelalak pada waktu dia mendapatkan dirinya telah terbelenggu dan rebah terlentang di atas perahu kecil.
Ia pun teringat segalanya dan cepat menengok kepada pria yang duduk di dekatnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal pria itu yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikenalnya sebagai seorang di antara tokoh-tokoh penyerbu Pulau Es yang berwatak kasar dan juga kotor dan cabul.
“Aihhh, nona manis, engkau kini sudah sadar? Mari makanlah, minumlah....!” Jai-hwa Siauw-ok berkata dengan ramah sambil kedua tangannya meraih tempat makanan dan minuman. “Bukalah mulutmu, biar kusuapi engkau makan dan minum,” katanya.
Akan tetapi Suma Hui membuang muka.
“Marilah, nona....,” Siauw-ok mendekatkan sepotong daging ke mulut nona itu dengan sumpitnya.
Ketika dara itu tidak mau membuka mulutnya, Siauw-ok menggeser-geserkan daging itu di antara bibir Suma Hui. Perbuatan ini saja sudah membuat birahinya timbul dan dia pun tersenyum-senyum.
“Bukalah mulutmu, daging ini enak sekali....”
Tiba-tiba Suma Hui menggerakkan kaki dan tangan dengan pengerahan sinkang, akan tetapi ia mengeluh ketika merasa betapa kaki tangannya tidak bertenaga. Tahulah ia bahwa ia dalam keadaan tertotok.
“Mari, makanlah nona....”
“Tidak sudi!” Suma Hui membentak dan biar pun tubuhnya lemas, ia membuang muka dan menjauhkan mulutnya dari daging di ujung sumpit itu.
“Ahhh, jangan begitu, nona. Aku sama sekali tidak ingin melihat engkau mati kelaparan atau kehausan....”
“Engkau sudah menawanku dengan kecurangan, nah, kalau mau bunuh, kau bunuhlah! Siapa takut mati?” Suma Hui membentak.
“Membunuh engkau? Aihhh, sayang kalau dibunuh!” Siauw-ok menggoda.
“Kalau begitu, bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai mampus!” tantang Suma Hui.
“Ahh, nona manis. Aku cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau mati seperti tiga orang muda itu....”
Tentu saja Suma Hui terkejut bukan main mendengar ini. Ia memandang dengan muka pucat dan biar pun ia membenci orang ini dan tidak ingin bercakap dengan dia, akan tetapi kini terpaksa ia bertanya, “Apa.... apa yang telah terjadi dengan mereka....?”
Siauw-ok tersenyum, lalu mengacungkan daging di sumpit itu kembali. “Engkau makan dan minumlah lebih dulu, baru aku akan menceritakan tentang diri mereka.”
“Tidak sudi!” Suma Hui membuang muka dan cemberut.
Siauw-ok mengangkat kedua pundaknya dan dia pun makan minum sendirian sambil tersenyum-senyum. Dia merasa cukup berpengalaman untuk menundukkan gadis yang keras hati. Menundukkan seorang gadis yang keras hati harus pandai, pikirnya. Pandai mempergunakan muslihat kasar dan halus yang dicampur adukkan. Kadang-kadang halus merayu, kadang-kadang kasar mengancam dan kadang-kadang membiarkannya penasaran dan kecewa, kadang-kadang membiarkannya kegirangan.
Suma Hui merasa tersiksa bukan main. Ingin ia menjerit dan bertanya tentang nasib kedua orang adiknya dan Cin Liong. Tidak ada orang lain yang dapat ditanyainya kecuali laki-laki yang dibencinya ini. Ia pun melirik dan melihat laki-laki itu makan minum dengan tenangnya.
Bagaimana pun juga, ketika melihat orang makan dan minum sedemikian lahapnya, ia terpaksa menelan air liurnya. Harus diakuinya bahwa kerongkongannya kering dan haus sedangkan perutnya lapar sekali. Akan tetapi, ia akan mampu melupakan semua itu, mampu mempertahankan diri dan kalau perlu mati kelaparan atau kehausan.
Hanya, sukar baginya untuk dapat menahan keinginan tahunya tentang nasib Cin Liong dan terutama kedua oraag adiknyya. Makin ditahannya, makin hebat keinginan tahu itu mendesak dan akhirnya ia menoleh dan memandang kepada laki-laki itu.
“Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan adik-adikku? Katakanlah, tidak ada ruginya engkau menceritakannya kepadaku.”
Siauw-ok memandang wajah manis itu dan tersenyum, dalam hatinya bersorak karena merasa menang. “Tentu saja aku akan menceritakan padamu, nona. Aku tidak ingin melihat engkau sengsara, maka aku pun tidak ingin melihat engkau kelaparan. Nah, engkau makan minumlah dan aku akan menceritakan keadaan mereka.”
“Baik, lepaskan belenggu kedua tanganku dan totokanku, dan aku akan mau makan dan minum.”
“Aihh, mana mungkin aku sembrono seperti itu, nona? Engkau adalah cucu Pendekar Super Sakti. Aku tahu engkau memiliki kepandaian hebat dan aku tidak tahu kapan engkau akan dapat membebaskan totokanku itu. Jika kedua tanganmu tidak dibelenggu dan akhirnya totokan itu dapat kau punahkan, tentu aku celaka. Tidak, aku belum dapat melepaskan belenggumu dan biarlah aku yang menyuapkan makanan dan minuman padamu.”
Suma Hui sudah hendak memaki dan marah-marah lagi, akan tetapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya dan keinginan tahunya untuk mendengar tentang nasib adik-adiknya membuat dia akhirnya mengalah. Ketika sumpit yang membawa potongan daging itu didekatkan pada mulutnya, ia pun membuka mulut dan menyambutnya.
Tentu saja Siauw-ok merasa girang bukan main. Dia pun mulai bercerita, akan tetapi dia bercerita secara lambat-lambat sehingga terpaksa Suma Hui menerima makanan dan minuman yang cukup banyak untuk dapat mengikuti penuturan itu.
Setelah menceritakan jalannya pertempuran yang tidak begitu penting bagi Suma Hui, akhirnya Siauw-ok kemudian berkata, “Aku melihat betapa pemuda yang menurut Hek-i Mo-ong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir itu terlempar ke lautan. Laut sedang dilanda badai mengganas, maka biar seorang yang amat pandai bermain di air sekali pun tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari amukan badai seperti itu! Dia sudah pasti terseret ombak dan tenggelam atau disambut oleh ikan-ikan hiu yang ganas. Belum lagi bahayanya kalau dihempaskan oleh ombak ke tubuh perahu, tentu akan lumat-lumat tubuhnya. Pemuda itu sudah pasti tewas, hal ini tak dapat disangsikan lagi.”
Suma Hui membayangkan dengan hati penuh duka. Keponakannya itu adalah seorang yang gagah perkasa dan sudah banyak membela keluarga Pulau Es, tak disangkanya hidupnya akan berakhir secara demikian menyedihkan. Apalagi kalau ia teringat betapa ia pernah membalas segala pertolongan dan pembelaan pemuda itu dengan tamparan-tamparan yang diterima oleh pemuda itu dengan mengalah. Tanpa terasa lagi kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dengan kekerasan hatinya, dilawannya rasa duka itu sehingga ia dapat membendung keluarnya air matanya.
Siauw-ok adalah seorang lelaki yang telah berpengalaman. Dia dapat melihat kedukaan membayang di wajah yang ayu itu, dan melihat pula betapa dara itu menggunakan kekerasan hati membendung air matanya. Hatinya merasa panas oleh cemburu.
“Nona, apamukah pemuda putera Naga Sakti Gurun Pasir itu? Mengapa dia membela keluarga Pulau Es secara mati-matian ?” tanyanya penasaran.
Suma Hui tidak menjawab pertanyaan ini, dia hanya berkata, “Hemm, lihat saja nanti bangkitnya Naga Sakti Gurun Pasir untuk membalaskan kematian puteranya!”
Mendengar ucapan ini, bagaimana pun juga Siauw-ok bergidik ngeri. Dia belum pernah bertemu dengan Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dia sudah mendengar nama besar pendekar itu yang sejajar dengan keluarga Pulau Es!
“Ah, bukan aku yang membunuhnya....” Ucapan ini dihentikannya di tengah jalan karena dia sadar bahwa ucapan itu membayangkan rasa takutnya.
Maka dia pun lalu menyuapkan sepotong besar daging ke mulut itu dan melihat dengan penuh gairah betapa mulut yang kecil dengan bibir merah dan deretan gigi putih itu terbuka menerima daging, nampak bagian dalam mulutnya yang lebih merah lagi. Suma Hui mengunyah daging itu dengan perlahan.
“Dan bagaimana dengan kedua orang adikku?” tanyanya setelah daging itu agak lembut dikunyah.
“Ahhh, jadi dua orang pemuda cilik itu adalah adik-adikmu? Pantas mereka itu hebat-hebat....”
Kembali Suma Hui terpaksa menerima suapan makanan walau pun perutnya sudah merasa kenyang dan sebetulnya ingin sekali dia menyemburkan makanan itu ke muka Siauw-ok. Tetapi ia membutuhkan keterangan tentang adik-adiknya sehingga terpaksa ia menahan sabar.
“Nih, minumlah dulu,” kata Siauw-ok.
Dan Suma Hui juga menerima minuman air tawar yang disodorkan ke mulutnya. Bagai mana pun juga, makanan dan minuman itu membuat ia merasa tubuhnya menjadi segar kembali.
“Kedua adikmu itu.... sungguh sayang sekali, agaknya mereka pun tak mungkin dapat hidup, dan besar kemungkinan sekarang pun sudah tewas.”
“Mak.... maksudmu....?”
“Adikmu yang besar itu, seperti juga putera Naga Sakti Gurun Pasir, terlempar ke dalam lautan dan tentu saja dia pun tidak mungkin dapat terhindar dari cengkeraman maut. Sedangkan adikmu yang kecil, setan cilik yang luar biasa itu, mungkin dia ditangkap oleh Hek-i Mo-ong. Entah bagaimana jadinya dengan mereka aku tidak tahu karena aku lebih menyibukkan diri untuk menyelamatkanmu.”
Siauw-ok berhenti dan tersenyum ramah. “Coba pikir, di antara empat orang muda, hanya engkau seorang yang selamat, kuhindarkan dari bahaya maut, bahkan kujaga dan kusuapi makanan dan minuman. Bukankah aku orang baik sekali, manis?”
Suma Hui menyemburkan makanan yang masih tersisa di mulutnya, lalu membuang muka dan menangis! Baru sekarang ia dapat melemparkan semua rasa sebal, marah, dan duka di dalam hatinya. Terutama sekali perasaan duka karena gelisah mendengar akan nasib kedua orang adiknya, dan juga Cin Liong.
Tiba-tiba ia menghentikan tangisnya ketika merasa betapa rambut kepalanya dibelai orang. Rasanya seperti tiba-tiba ada ular menyusup ke balik bajunya. Ia terperanjat dan juga jijik bukan main, apalagi ketika merasa betapa jari-jari tangan itu bukan hanya membelai rambut, melainkan juga mengusap pipi, dagu dan lehernya. Dan sepasang mata itu! Memandangnya seperti mata seekor harimau yang hendak menerkam kelinci!
“Sudahlah, jangan menangis, nona manis. Ada aku di sini yang cinta padamu. Asal engkau suka menuruti segala kehendakku, engkau akan menjadi muridku yang terbaik dan hidupmu akan berbahagia....”
“Tutup mulutmu, iblis terkutuk!” Tiba-tiba Suma Hui memaki.
Ketika merasa bahwa tenaga atau pengaruh totokan pada tubuhnya mulai mengendur, ia lalu mengerahkan sinkangnya dan tiba-tiba ia menggerakkan kaki tangannya.
“Brettt! Brettt....!”
Tali pengikat kaki tangan dara itu putus semua, tidak kuat menahan pengerahan tenaga sinkang dari Suma Hui, tenaga asli dari keluarga Pulau Es...
Akan tetapi, kiranya tidaklah demikian. Perahu mereka berguncang keras dan ternyata enam orang penjahat dari perahu terdekat telah berlompatan ke atas perahu mereka.
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu segera bergerak. Ceng Liong menyambut seorang penjahat dengan pukulan dua tangannya, membuat penjahat itu terjengkang dan terlempar keluar dari perahu. Ciang Bun juga merobohkan seorang lawan dengan sambaran pedangnya, sedangkan sepasang pedang Suma Hui merobohkan dua orang lain. Sisanya, dua orang lagi, disambut tendangan serta pukulan Cin Liong, terlempar keluar perahu!
Akan tetapi, kini Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok sendiri berlompatan dari perahu, terjatuh ke atas perahu yang terdekat. Terdengar Hek-i Mo-ong mengeluarkan aba-aba di antara deru suara angin dan air laut dan nampak banyak anak buahnya berloncatan ke air.
Cin Liong dan tiga orang muda itu siap-siap menyambut lawan. Akan tetapi, tiba-tiba perahu mereka terguncang hebat dan miring, bahkan hampir terbalik. Barulah Cin Liong mengerti bahwa penjahat-penjahat itu tadi berloncatan ke air untuk menggulingkan perahu kecil!
“Cepat, loncat ke perahu lawan!” teriaknya dan tiga orang muda itu pun mengerti.
Cin Liong sendiri sudah menyambar tubuh Ceng Liong dan dibawanya meloncat ke atas perahu terdekat. Ada angin dahsyat menyambar dan dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong sendiri telah menyambutnya dengan pukulan dahsyat yang amat berbahaya. Karena tubuhnya masih melayang di udara dan dia masih mengempit tubuh Ceng Liong, maka cepat dia melemparkan Ceng Liong ke atas geladak perahu dan barulah dia menangkis dengan lengan kanannya. Tangkisannya agak terlambat karena dia melemparkan tubuh paman cilik itu, maka biar pun dia masih dapat menangkis, namun pukulan itu meleset dan mengenai pangkal lengan kanannya.
“Dessss....!”
Hebat sekali benturan tenaga itu dan andai kata Ceng Liong masih berada dalam pondongan Cin Liong, besar kemungkinan anak itu akan terluka oleh getaran hawa pukulan dahsyat itu. Biar pun Cin Liong sendiri dapat menahan hantaman itu dengan agak terlambat, namun karena tubuhnya masih berada di udara di mana dia tidak mempunyai tempat berpijak dan bertahan, maka benturan tenaga dahsyat itu membuat tubuhnya terlempar jauh keluar dari perahu.
“Byuurrrrr....!”
Tubuh Cin Liong segera disambut gelombang lautan yang sudah makin mengganas itu. Bahkan para bajak laut yang ahli berenang dan yang tadi atas perintah Hek-i Mo-ong menggulingkan perahu kecil, kini tergesa-gesa naik lagi ke perahu melalui tali karena memang berbahaya sekali berada di air dalam keadaan badai mengamuk itu.
Apalagi Cin Liong yang kemampuannya di air terbatas sekali. Dia berusaha berenang mencapai tali dan kembali ke perahu besar untuk membantu tiga orang muda yang telah dikeroyok para anak buah penjahat itu. Akan tetapi gelombang air membuat dia terseret menjauh.
Tiba-tiba tangannya meraih sesuatu dan ternyata yang terpegang olehnya itu adalah ujung perahunya sendiri yang tadi terbalik. Cepat Cin Liong menggunakan kekuatan tangannya, menarik dirinya dan naik ke atas perahu yang telah membalik itu.
Akan tetapi perahu besar itu mendekat dan tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dibarengi bentakan nyaring. Cin Liong merasakan hawa pukulan yang dahsyat, maklum bahwa kembali dia diserang dari atas dengan hebatnya oleh seorang yang amat kuat, menggunakan sebatang dayung besi. Cepat dia melempar tubuhnya ke kiri.
“Byuurrr....!” Untuk kedua kalinya tubuhnya ditelan mulut gelombang yang menganga lebar.
“Darrrrrr....!” Perahu itu tertimpa dayung dan pecah menjadi beberapa potong!
Kiranya, penyerangnya adalah Hek-i Mo-ong sendiri yang kini tertawa bergelak. Suara ketawa ini takkan terlupa selamanya oleh Cin Liong yang sudah secara mati-matian berjuang kembali melawan ombak yang menyeretnya. Namun, sekali ini dia tidak kuasa mempertahankan diri dan terpaksa membiarkan ombak menyeretnya semakin jauh dari perahu-perahu besar di mana tiga orang keturunan Pulau Es itu sedang dikeroyok ketat.
Ketika melihat bayangan hitam terapung, kemudian dia meraih dan ternyata itu adalah sepotong kayu, pecahan dari perahunya. Dia hampir kehabisan tenaga dan napas, lalu menarik tubuhnya ke atas papan itu dan tergolek tak sadarkan diri di atas papan yang membawanya terapung-apung semakin jauh.
Ceng Liong mengamuk dengan mati-matian. Biar pun usianya baru sepuluh tahun, namun anak ini memang hebat bukan main. Tidak mengecewakan kalau dia menjadi cucu dalam Pendekar Super Sakti dan putera tunggal Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu, bahkan ibunya pun seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, selain ahli ilmu silat juga ahli sihir! Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh ayah bundanya, kemudian diasuh dan dibimbing oleh kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es, maka biar pun dia baru berusia sepuluh tahun, namun sukarlah dicari seorang dewasa yang akan mampu mengalahkannya.
Para penjahat itu tadinya tentu saja memandang ringan kepada Ceng Liong. Akan tetapi sikap memandang ringan ini harus ditebus dengan mahal ketika beberapa orang anggota penjahat terkena hantaman anak itu dan terjungkal ke lautan untuk tidak muncul kembali! Dan empat orang penjahat yang menubruknya, juga dapat dibikin terpental jatuh bangun. Barulah para penjahat itu sadar bahwa anak kecil ini bukanlah makanan lunak dan mereka pun tidak segan-segan dan tidak malu-malu lagi untuk mencabut senjata dan mengeroyok Ceng Liong dengan senjata golok atau pedang!
Namun, dengan ilmunya Sin-coa-kun, tubuh anak itu seperti telah berubah menjadi ular atau belut saking licinnya, melesat ke sana-sini di antara sambaran golok dan pedang, kemudian dengan tendangan-tendangan Soan-hong-kwi yang membuat kedua kakinya seperti baling-baling, dia berhasil membuat para pengeroyoknya kocar-kacir!
Betapa pun juga, dia hanyalah seorang anak berusia sepuluh tahun yang tenaganya masih lemah dan para pengeroyoknya adalah penjahat-penjahat yang kejam. Maka setelah dikepung oleh banyak orang, mulailah ada senjata yang menyerempet tubuhnya dan pakaiannya mulai koyak-koyak berdarah oleh luka-luka pada tubuhnya.
Biar pun demikian, anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh, juga semangatnya makin bernyala, amukannya semakin hebat. Ceng Liong dapat melihat dengan ujung matanya bahwa kedua orang kakaknya, yaitu Suma Hui dan juga Ciang Bun, telah terpisah darinya karena pengeroyokan banyak orang membuat mereka itu berloncatan ke atas perahu-perahu lain untuk mencari tempat yang luas dan untuk memecah-belah kekuatan para pengeroyok.
Sedangkan Cin Liong sudah tidak nampak lagi bayangannya sejak tadi. Kenyataan ini membuat Ceng Liong menjadi semakin nekat. Tadi dia melihat betapa Cin Liong terlempar keluar perahu dan kalau sampai sekarang pemuda itu tidak muncul, itu hanya berarti bahwa Cin Liong tentu telah tenggelam ke laut! Dan kedua orang kakaknya tidak mungkin membantunya karena keadaan mereka tentu tiada bedanya dengan dirinya sendiri, dikeroyok banyak lawan. Maka tahulah anak ini bahwa dia harus melawan mati-matian sampai titik darah terakhir!
“Majulah! Majulah kalian semua....!” Dia membentak sambil berloncatan ke sana ke mari dan membagi-bagi pukulan dan tendangan. “Keroyoklah aku! Inilah dia cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Majulah kalian, bedebah-bedebah busuk!”
Diam-diam semua pengeroyok merasa kagum hukan main. Anak ini memang luar biasa sekali. Pakaiannya telah penuh darah, tubuhnya telah luka-luka akan tetapi gerakannya masih demikian lincah, gesit dan tangkas, semangatnya masih bernyala-nyala dan sedikit pun tidak nampak dia gentar.
Karena badai mengamuk semakin ganas, maka para pengeroyok itu pun tidak dapat memusatkan pengeroyokan mereka, bahkan mereka yang berkelahi ini pun nampak lucu, kadang-kadang terguling roboh sendiri karena perahunya oleng. Juga Ceng Liong beberapa kali terguling roboh karena olengnya perahu.
Empat buah perahu itu sudah terpisah-pisah tidak karuan sehingga Ceng Liong tidak tahu di mana adanya kedua orang kakaknya. Tahunya hanyalah bahwa dia berada sendirian saja di antara pengeroyokan penjahat-penjahat di atas perahu itu.
Anehnya, secara tiba-tiba saja lautan menjadi tenang kembali dan cuaca tidak begitu gelap lagi, hujan pun hanya rintik-rintik saja. Kini Ceng Liong dikepung ketat lagi dan ketika anak ini meloncat ke kiri untuk mengelak dari sambaran golok, kakinya menginjak papan yang licin. Dia terpeleset dan kakinya terlibat tali layar.
Tiba-tiba ada yang menarik tali itu dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh anak itu lantas tergantung ke atas, dengan kedua kaki terbelit tali dan kepalanya di bawah. Dia terus meronta-ronta dan memaki-maki, ditertawakan oleh para anak buah penjahat.
“Anak bedebah ini telah membunuh banyak kawan kita. Bunuh saja dia!”
“Kita siksa dia! Enak benar dibunuh begitu saja!”
“Pakai dia sebagai umpan memancing ikan besar!”
“Cambuki dia sampai hancur daging-dagingnya!”
Ceng Liong sudah tidak dapat meronta-ronta lagi. Akan tetapi, dengan mata mendelik dia memandang kepada wajah-wajah kejam dan bengis yang merubungnya itu. Wajah-wajah yang menyeringai seperti setan-setan. Tetapi sedikit pun dia tidak takut. Bahkan ia masih mencoba menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram wajah-wajah itu sehingga para penjahat itu melangkah mundur.
“Siksalah! Cincanglah! Bunuhlah! Siapa takut mampus? Aku cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es tidak takut mati, tidak macam kalian ini iblis-iblis pengecut tak tahu malu!” Ceng Liong membentak dan memaki-maki.
Memang anak ini luar biasa sekali. Agaknya di dalam dirinya tidak terdapat rasa takut atau kelemahan sedikit pun juga. Ketika kakeknya dan dua orang neneknya meninggal, dalam keadaan berduka dia sama sekali tidak memperlihatkan kedukaannya, sama sekali tidak menangis. Dan kini, dalam cengkeraman maut yang mengerikan, ancaman siksaan yang menyeramkan, sedikit pun dia tidak kelihatan takut!
“Wah, dia malah memaki-maki kita! Perlu apa dibiarkan hidup lagi?” bentak seorang yang tadi pernah merasakan lezatnya tendangan kaki anak ini, yang membuat perutnya mulas dan sampai kini masih terasa nyerinya. Dia sudah menerjang dan membacokkan goloknya ke arah leher Ceng Liong.
Anak ini tidak dapat mengelak, akan tetapi dia tidak berkedip, memandang datangnya golok yang akan memenggal lehernya, sedikit pun tidak kelihatan takut.
“Plakkk!” Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.
“Lancang! Siapa suruh membunuhnya?” Hek-i Mo-ong membentak marah.
Dan sekali lagi dia menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menendang dan orang yang tadinya hendak membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika tubuhnya terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam karena tendangan tadi sudah membunuhnya! Memang demikianlah kehidupan di antara kaum sesat itu. Keras dan kejam, setiap kesalahan betapa pun kecilnya tentu akan dihukum secara keji. Hal ini membuat semua anak buah takut dan taat kepada pimpinannya.
Tetapi sikap Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua anak buahnya terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah terhadap musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa sekarang orang yang hendak membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong? Mereka semua memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran.
Hal ini dapat diketahui oleh Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong, memaksa muka anak itu menghadapinya dan dia menyeringai.
“Huh, siapa pun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang akan menyiksanya sampai mampus!”
Mendengar ucapan Raja Iblis ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan mereka pun tersenyum menyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman mereka tadi dibunuh, kiranya teman itu hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon korbannya.
Ceng Liong sendiri pun tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris melayang di bawah bacokan golok tadi kini malah telah diselamatkan oleh Hek-i Mo-ong, musuh besarnya! Sejenak dia menjadi bingung. Ia menganggap kakek raksasa ini sebagai musuh nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang yang paling sakti dalam rombongan musuh yang menyerbu Pulau Es, kakek ini jelas merupakan pemimpin mereka yang paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor satu ini telah menyelamatkan nyawanya.
Sejak kecil, orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan dalam batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi, memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin sekarang dia akan memusuhi, apa lagi mendendam, kepada orang yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut? Dia telah berhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong!
Kenyataan ini membuat anak itu tidak banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itu pun terkulai pingsan.
Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapatkan dirinya berada di sebuah bilik kecil dan kosong, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan tetapi, ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat berwarna merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka itu pun mengering.
Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan pada saat dia dikeroyok tadi. Tadi? Atau kemarin? Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.
Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, dia pun tahu bahwa dia masih berada di dalam perahu dan dia pun teringat bahwa dia telah menjadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia melihat hidangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Seketika dia merasa betapa tubuhnya lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang penting adalah menjaga kesehatannya, pikirnya. Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan melihat perkembangan untuk menentukan tindakan.
Ceng Liong lalu menyambar tempat air dan minum. Segar sekali rasanya, walau pun hanya air tawar dingin saja. Lalu dia pun mulai makan, tidak lahap dan tidak terlalu banyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang kosong.
Setelah selesai makan, dia pun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat kuat, tertutup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat tawanan! Dan dia pun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.
“Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, sekarang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong,” terdengar seorang di antara mereka mengomel.
“Hushh, perlu apa mengomel? Kita malah untung besar. Lihat saja teman-teman banyak yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan setelah berhasil menangkap gadis itu, Jai-hwa Siauw-ok malah lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!”
“Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik manis, heh-heh!”
“Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin kita itu!”
“Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!”
“Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja, lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?”
“Kenapa mesti ribut-ribut? Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong jauh lebih enak. Dia lebih berpengaruh, lebih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok.”
Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita yang sangat buruk. Agaknya enci-nya Suma Hui sudah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Walau pun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu enci-nya itu terancam bahaya yang mengerikan pula.
Akan tetapi, dia tidak begitu mengkhawatirkan Suma Hui karena bagaimana pun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang membuat dirinya khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong.
Mereka berdua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mampu menyelamatkan diri dari ancaman gelombang air laut dalam badai itu? Betapa pun lihainya kakaknya, Ciang Bun atau keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu tidak akan mampu berbuat banyak terhadap amukan air laut dalam badai.
“Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini? Bukankah dia bilang hendak menyiksanya sampai mati? Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi makan lagi! Apa sih maksudnya?”
“Hushh, perlu apa mencampuri? Tugas kita hanya mentaati perintah!”
“Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?” sambung suara lain. “Biasa, kalau hendak memotong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?”
“Ha-ha-ha, engkau benar!”
“Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti keberhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es, dan di depan para datuk itulah baru dia akan dibunuh.”
“Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembahyangan roh para kawan yang telah tewas di tangan keluarga Pulau Es selama ini.”
Ceng Liong merasa sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring, “Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan berisik! Aku mau tidur, tahu?”
Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.
“Bocah keparat!”
“Kurobek mulutnya!”
“Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi sepotong!”
Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdulikan mereka lagi dan dia pun mengusir segala kekhawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila dan tenggelam dalam semedhi…..
********************
Beberapa hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu, karena yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan diri, mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Kuning ini berada di Propinsi Kiang-su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan terdapat pula rombongan orang yang membawa banyak kuda.
Hek-i Mo-ong lalu membawa Ceng Liong yang digandeng tangannya memasuki kereta yang segera dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda yang besar. Para anak buah, sebagian ditinggalkan di perahu-perahu itu dan sebagian pula menunggang kuda mengiringkan kereta. Kereta dan rombongan itu membalap ke arah barat.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan antara Propinsi Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat inilah yang telah terpilih untuk pertemuan para datuk itu…..
********************
Siapakah adanya Hek-i Mo-ong? Para pembaca cerita Suling Emas Naga Siluman tentu telah mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seorang kakek raksasa yang bernama Phang Kui. Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar. Rambutnya putih semua sejak muda dan matanya agak kebiruan.
Dahulu pernah dia mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai perkumpulan sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang amat kejam dan jahat, merupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang. Belasan tahun lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal dengan sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam), Hek-i Mo-ong memimpin gerombolannya itu, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua pejabat setempat menjadi sekutunya.
Akan tetapi akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini menjadi isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi tangan kanannya itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri dan meninggalkan lereng Ci-lian-san.
Usahanya untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata gagal, bahkan Im-kan Ngo-ok tewas semua oleh para pendekar muda. Hancurlah semua impian Hek-i Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi.
Selama beberapa tahun dia menyembunyikan diri, tidak berani keluar dan bertapa sambil memperdalam ilmu-ilmunya. Biar pun dia sudah menjadi semakin tua, namun dia tidak pernah mampu menghilangkan dendamnya dan juga cita-citanya untuk menguasai dunia kang-ouw.
Kehancuran perkumpulan dan namanya membuat dia sakit hati dan dia mengambil keputusan untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, lalu menghimpun beberapa orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan suatu hal yang akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus dapat mengangkat namanya setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es!
Oleh karena para datuk kaum sesat memang menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh bebuyutan nomor satu, setelah melihat kesaktian Hek-i Mo-ong, ada empat orang datuk yang bersedia untuk membantunya. Mereka itu adalah Ngo-bwe Sai-kong yang akhirnya tewas di tangan nenek Lulu, kemudian Ulat Seribu yang tewas di tangan nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui ketua Eng-jiauw-pang yang tewas di tangan Cin Liong, dan Jai-hwa Siauw-ok yang merupakan satu-satunya pembantu yang dapat lolos dari Pulau Es dalam keadaan hidup.
Akan tetapi, biar pun dia dan sekutunya berhasil menewaskan dua orang nenek, isteri dari Pendekar Super Sakti, dia sendiri hampir saja tewas ketika berusaha membunuh Pendekar Super Sakti Suma Han dan terpaksa melarikan diri bersama-sama Jai-hwa Siauw-ok dan sisa anak buahnya. Dia dan sekutunya tidak lari terlalu jauh dan masih mengintai, maka dapat dibayangkan betapa girang rasa hatinya ketika melihat Pulau Es terbakar habis, dan melihat betapa empat orang muda itu melarikan diri dari Pulau Es.
Hek-i Mo-ong cepat mengajak orang-orangnya untuk menghadang dan akhirnya dia berhasil menawan cucu Pendekar Super Sakti, sedangkan Si Penjahat Cabul Jai-hwa Siauw-ok agaknya melarikan cucu perempuan majikan Pulau Es itu, sedangkan dua orang muda lain, seorang cucu laki-laki pendekar itu dan seorang putera Naga Sakti Gurun Pasir, telah tewas ditelan ombak!
“Betapa membanggakan hasil hasil besar itu,” pikirnya girang.
Keluarga Pulau Es telah dapat dibinasakannya, dan sebagai bukti dia membawa salah seorang cucu majikan Pulau Es sebagai tawanan! Dan Pulau Es itu sendiri telah hancur dan lenyap! Hasil ini akan mengangkat namanya, dan akan memudahkan dia untuk menjagoi dunia kang-ouw! Dan dia tahu betapa semua datuk kaum sesat yang tidak berani ikut atau merasa ragu-ragu membantunya, kini sedang menanti di bukit kecil itu seperti yang telah mereka janjikan, menanti untuk melihat apakah usaha besarnya yang menggemparkan dunia penjahat itu berhasil!
Meski dia kehilangan tiga orang rekan dan puluhan orang anak buah yang tewas dalam penyerbuan Pulau Es itu, namun dia berhasil menghancurkan keluarga Pulau Es dan menawan seorang cucunya. Dia mendongkol karena Jai-hwa Siauw-ok memisahkan diri melarikan cucu perempuan keluarga Suma, akan tetapi dia membiarkan saja karena perbuatan itu pun merupakan pukulan hebat terhadap nama keluarga Pulau Es dan merupakan bahan cerita yang baik baginya. Dia akan menceritakan kepada para tokoh kaum sesat bahwa seorang cucu perempuan keluarga yang tadinya amat ditakuti dunia hitam itu kini menjadi permainan Jai-hwa Siauw-ok yang sudah terkenal buas terhadap wanita yang telah dirampasnya!
Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan hatinya, yaitu kalau dia teringat akan pengalamannya ketika menyerang Pendekar Super Sakti Suma Han. Ternyata bahwa menghadapi pendekar itu, dia sama sekali tidak berdaya! Segala ilmu kepandaiannya seperti punah dan tiada gunanya! Padahal, selama beberapa tahun ini dia telah tekun bertapa untuk memperdalam ilmu silatnya dan memperkuat ilmu sihirnya. Ternyata kini bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya ketika dia menyerang kakek tua renta itu.
Mulailah dia kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri yang tadinya dia anggap sudah tidak ada tandingannya lagi. Dan musuh-musuhnya masih begitu banyak. Dan musuh-musuhnya bukanlah orang-orang lemah, walau pun kiranya tak mungkin sehebat Pendekar Super Sakti. Oleh karena itu, dia harus mengumpulkan rekan-rekannya untuk memperkuat kedudukannya.
Yang menyambut kedatangan Hek-i Mo-ong cukup banyak. Ada dua puluh orang lebih tokoh-tokoh dunia hitam bersama anak buah mereka sudah berkumpul di dalam hutan itu, tinggal di pondok-pondok dan kemah-kemah darurat. Kepala-kepala gerombolan ganas, ketua-ketua perkumpulan sesat, tokoh-tokoh perorangan dari bermacam-macam kalangan, kini semua telah berkumpul untuk mendengar bagaimana hasil usaha Hek-i Mo-ong yang bersama rekan-rekannya kabarnya pergi menyerbu Pulau Es.
Begitu kereta berhenti, Hek-i Mo-ong sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki yang mukanya agak pucat namun sepasang matanya memandang berani, muncul dari pintu kereta. Raja Iblis ini menggandeng tangan Ceng Liong dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diangkat ke atas menerima sambutan orang-orang dari golongan sesat itu sambil berkata dengan suara nyaring dan bernada gembira.
“Kawan-kawan sekalian, ketahuilah bahwa keluarga Pulau Es sudah kami binasakan, bahkan pulau itu sendiri telah habis dimakan api dan tenggelam! Dan semua penghuni Pulau Es telah dapat kami binasakan dan kami tawan.”
Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penjahat dari dunia hitam itu. Mereka adalah penjahat-penjahat yang sudah mengenal baik nama keluarga Pulau Es, bahkan sebagian besar di antara mereka pernah merasakan ampuhnya tangan keluarga itu. Memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga pendekar yang berilmu tinggi dan semenjak puluhan tahun telah menentang dunia kejahatan sehingga banyaklah kaum penjahat yang menaruh dendam sakit hati terhadap keluarga pendekar itu.
Siapakah yang tidak mengenal keluarga Pulau Es? Pendekar Super Sakti Suma Han sendiri pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmu silatnya yang amat tinggi. Bahkan di samping ilmu silatnya, dia pun terkenal sekali dengan ilmu sihirnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman! Juga kedua orang isteri pendekar sakti itu amat ditakuti oleh dunia penjahat. Terutama sekali Puteri Nirahai yang dahulu sering memimpin pasukan pemerintah sebagai seorang panglima wanita yang juga sudah banyak menghancurkan pemberontak-pemberontak dan gerombolan-gerombolan penjahat. Nama Lulu isteri ke dua dari pendekar itu pun pernah dikenal orang.
Selain sang pendekar sakti bersama kedua orang isterinya itu, juga keluarga mereka terkenal sebagai pendekar-pendekar yang sangat ditakuti dan dibenci oleh golongan hitam. Puteri mereka, yaitu Puteri Milana, puteri tunggal Suma Han dan Nirahai, juga merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, di samping suaminya yang lebih lihai lagi yaitu Gak Bun Beng.
Kedua orang putera dari Pendekar Super Sakti juga amat terkenal, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali Suma Kian Bu yang demikian lihai dan terkenalnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman Kecil oleh dunia penjahat karena persamaannya dengan Pendekar Siluman, ayahnya.
Kalau mantu pria keluarga itu, yaitu Gak Bun Beng, amat gagah perkasa, maka dua orang mantu wanita mereka tak kalah terkenalnya. Isteri Suma Kian Lee bernama Kim Hwee Li, seorang wanita perkasa yang bahkan pernah malang melintang sebagai seorang gadis dari dunia hitam yang murtad dan memalingkan mukanya menentang dunia kejahatan itu sendiri, maka tentu saja ia pun dianggap musuh oleh dunia penjahat.
Mantu wanita ke dua bernama Teng Siang In, juga seorang pendekar wanita, bahkan mantu ini memiliki ilmu sihir seperti ayah mertuanya, dan biar pun ilmu sihirnya tidak sehebat Pendekar Super Sakti, namun kalau ia pergunakan, cukup membuat repot lawannya. Demikianlah keadaan keluarga Suma itu yang dimusuhi oleh dunia hitam, maka tentu saja pengumuman Hek-i Mo-ong bahwa Pulau Es telah tenggelam dan keluarganya telah terbasmi disambut dengan sorak-sorai gembira.
Akan tetapi, yang menyambut dengan sorak-sorai itu hanyalah para penjahat dari tingkatan rendah saja. Para tokoh hitam yang hadir di situ, tidak dapat menerima begitu mudah saja keterangan Hek-i Mo-ong. Bagi mereka ini, mereka tahu benar betapa hebatnya keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bahkan mereka tidak berani maju ketika Hek-i Mo-ong mengajak mereka bersekutu untuk menyerbu pulau keramat itu.
“Mo-ong, bagaimana kami bisa yakin bahwa keluarga Pulau Es sudah dibinasakan? Engkau berangkat berlima dan pulang hanya sendirian saja. Mana buktinya bahwa usaha penyerbuan ke Pulau Es itu berhasil dengan baik?” terdengar seorang di antara para tokoh itu bertanya.
Pertanyaan ini segera didukung oleh banyak tokoh yang lainnya. Suara mereka saling susul-menyusul sehingga suasana menjadi riuh.
“Apa buktinya?”
“Ya, mana buktinya?”
“Kalian masih tidak percaya kepadaku?” Suara Hek-i Mo-ong terdengar lantang penuh kemarahan sehingga semua orang terkejut dan gentar, suara berisik tadi pun padam dan semua orang memandang kepada tokoh yang baru keluar dari kereta itu.
Melihat ini, dengan hati gembira Hek-i Mo-ong lalu tertawa. Seperti juga bentakannya tadi, suara ketawanya mengandung khikang yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ.
“Ha-ha-ha-ha! Kalian ingin bukti? Lihatlah baik-baik! Bocah ini adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti Suma Han.” Berkata demikian, dengan gerakan tiba-tiba Hek-i Mo-ong kemudian melontarkan tubuh Ceng Liong ke atas.
Tubuh itu terlempar ke udara. Ceng Liong merasa terkejut sekali, tetapi dia diam saja, bahkan lalu menarik kaki tangannya yang lelah dan lemah. Ketika tubuhnya meluncur turun, Hek-i Mo-ong menyambutnya dan melemparkannya kepada para pembantunya yang berada di belakangnya.
“Gantung kakinya di pohon itu agar semua orang dapat melihatnya!”
Dengan girang anak buahnya melakukan perintah ini. Akan tetapi mereka sudah kapok untuk berlancang tangan, sehingga tidak ada yang mengganggu Ceng Liong kecuali hanya menggantungnya di pohon dengan kepala di bawah, dengan mengikat kedua pergelangan kakinya seperti yang diperintahkan kepada mereka. Tidak ada tangan yang berani mengganggu, menampar pun tidak.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong sudah menuju ke tempat terbuka di mana terdapat batu-batu dan bangku-bangku kasar di mana para tokoh itu berkumpul. Maka berceritalah Hek-i Mo-ong tentang penyerbuannya ke Pulau Es.
Ceng Liong yang digantung pada kedua kakinya itu hanya mendengarkan saja dan dia mengambil keputusan untuk menghadapi kematian seperti cucu sejati dari Pendekar Super Sakti! Dia tidak pernah mengeluh dan diam-diam dia malah melakukan semedhi sambil tergantung seperti itu. Dia merasa betapa detik jantungnya menjadi aneh, apalagi ketika dia mengikuti jalan darahnya dan menghimpun hawa sakti di pusar.
Tiba-tiba saja, hawa sakti yang diterimanya dari kakeknya dua minggu yang lalu, kini berputar-putar dan mendatangkan kehangatan, akan tetapi kepalanya yang tadinya seperti berputar itu menjadi semakin ringan dan yang lebih aneh, panca inderanya menjadi amat tajam sehingga dengan mata terpejam, telinganya dapat mendengarkan suara dari jauh! Cerita Hek-i Mo-ong terdengar semua olehnya, demikian jelasnya, bahkan dia dapat menangkap tarikan napas dan detik jantung orang-orang yang duduk tidak lebih dari lima meter dari tempat dia tergantung!
Dua minggu yang lalu, pada suatu malam ketika dia tertidur, bagaikan mimpi saja dia merasa dibangunkan oleh kakeknya, kemudian digandeng oleh kakeknya dan diajak ke luar kamar. Malam itu tiada bulan namun langit amat cerah, membentang biru penuh dengan bintang-bintang yang gemerlapan amat indahnya. Kakeknya mengajaknya ke tepi pantai yang landai dan di situ kakeknya menyuruh dia duduk bersila berhadapan dengan kakeknya.
“Ceng Liong, aku akan memindahkan hawa sakti ke dalam pusarmu dan kelak dapat kau jadikan pusat pengerahan sinkang kalau engkau sudah pandai mengendalikannya. Sudah kulihat dan engkaulah yang tepat untuk mewarisinya. Akan tetapi ingat, kekuatan ini dapat menjadi dahsyat sekali dan jika disalah gunakan, kelak hanya akan memukul dirimu sendiri. Nah, ulurkan kedua lenganmu dan buka semua jalan darah, hentikan semua kesibukan dalam diri dan batinmu.”
Seperti dalam mimpi saja dia lalu menempelkan kedua tangannya pada telapak tangan kakeknya. Dan di malam yang teramat dingin itu, yang dapat membuat semua air membeku, dia merasakan kehangatan luar biasa memasuki tubuhnya melalui kedua tangannya, makin lama semakin panas sampai dia hampir tidak tahan lagi, kemudian perlahan-lahan menjadi dingin dan terus semakin dingin sampai dia merasakan seluruh darahnya membeku, kemudian berbalik menjadi panas lagi.
Dihantam serangan hawa panas dan dingin berganti-ganti ini, akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi. Setelah sadar, tahu-tahu dia telah berada di dalam air membeku, duduk bersila seperti semula, akan tetapi bukan di tempat semula melainkan telah terendam air beku sampai ke pinggangnya. Kakeknya juga duduk bersila di depannya.
“Kerahkan hawa panas dari pusar ke bawah untuk melawan dingin,” kakeknya berkata lirih namun suaranya mengandung daya pembangkit yang demikian kuatnya sehingga seolah-olah suara atau perintah itulah yang menggerakkan hawa di pusarnya.
Tiba-tiba Ceng Liong dapat merasa betapa hawa dingin yang menembus tulang-tulang di bagian bawah tubuhnya itu melenyap, dan terganti dengan hawa hangat yang amat menyenangkan! Akan tetapi, tubuhnya bagian atas berkeringat dan terasa panas sekali!
“Kerahkan sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Engkau gunakan pernapasan untuk mengatur pembagian hawa...,” kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya menyentuh dan menekan kedua pundaknya.
Mula-mula dia merasa betapa sukarnya membagi hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua, bagian bawah melawan dingin dan bagian atas melawan panas. Akan tetapi begitu kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur keseimbangan itu, seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang membimbingnya menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.
Semalam suntuk dia dilatih dan tanpa disadarinya, ia telah mewarisi sumber pembangkit tenaga sinkang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu ketika hawa sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan mendatangkan hal-hal aneh, mempertajam panca inderanya!
Setelah Hek-i Mo-ong selesai bercerita, menyombongkan hasil usahanya yang telah membakar Istana Pulau Es dan membinasakan keluarga Pulau Es, dia tertawa dan menutup ceritanya.
“Hua-ha-ha, hancurlah sudah musuh nomor satu kita semua! Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya itu telah tewas. Seorang cucunya, gadis cantik itu, tentu akan hancur pula karena terjatuh ke tangan Jai-hwa Siauw-ok! Siapa tidak tahu keganasan Siauw-ok terhadap wanita? Dan seorang cucu pria terjatuh ke laut, bersama jenderal muda musuh kita pula, putera Naga Sakti Gurun Pasir itu. Mereka berdua tak mungkin dapat hidup ditelan ombak badai itu. Tinggal yang seorang ini, cucu keluarga Pulau Es yang tidak kubunuh karena hendak kuperlihatkan kepada kalian semua. Ha-ha-ha!”
“Maaf, Mo-ong, kukira keadaannya belum begitu membesarkan hati sehingga kita boleh tergesa-gesa bergembira dengan hasil itu.”
Semua orang menoleh dan memandang kepada orang yang bicara. Begitu beraninya orang ini bicara yang sedikit banyak dapat merupakan celaan terhadap Mo-ong, atau mengecilkan arti pembinasaan Pulau Es itu.
Hek-i Mo-ong sendiri dengan perlahan menoleh dan membalikkan tubuh menghadapi orang yang bicara itu. Semua orang menghentikan suara mereka dan keadaan menjadi hening karena mereka semua ingin mendengar apa yang akan dibicarakan antara dua orang ini. Apalagi setelah semua orang melihat bahwa yang bicara itu adalah orang yang amat aneh, dan yang tadi tidak mereka lihat berada di situ. Agaknya orang ini, seperti setan saja, tahu-tahu muncul di situ dan berani mencela Hek-i Mo-ong.
Sebaliknya, begitu Hek-i Mo-ong melihat orang itu, alisnya yang berkerut itu membuyar dan wajahnya berseri, mulutnya tertawa ramah.
“Ha-ha-ha, tadinya kusangka siapa yang berani lancang mencelaku. Kiranya See-thian Coa-ong! Ha-ha-ha-ha, di antara sahabat sendiri, memang sebaiknya kalau kita bicara blak-blakan saja. Nah, jelaskan, kawan, mengapa kita tidak boleh bergembira dengan hasil baik ini?”
Banyak di antara mereka terkejut saat mendengar disebutnya nama See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) itu. Nama itu adalah nama seorang tokoh besar dunia persilatan yang termasuk orang aneh, tidak dapat dibilang berpihak pada kaum pendekar atau pun pendukung golongan sesat. Dia seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang berdiri bebas dalam keanehan mereka sendiri, tidak perduli akan golongan-golongan dan tidak mau mencampuri dalam arti kata tidak mau terlibat. Setelah kini mereka memandang penuh perhatian, diam-diam mereka dapat mengakui akan keanehan orang ini, keanehan yang mengerikan.
See-thian Coa-ong ini bukanlah seorang Han. Hal itu jelas nampak dari wajahnya dan kulitnya. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan tubuhnya hampir telanjang bulat. Hanya ada kain cawat penutup tubuhnya. Kulitnya kehitaman dan karena sangat kurus, maka nampak tinggi sekali. Kepalanya botak kelimis. Dua telinganya yang terlalu lebar itu dihias anting-anting perak.
Kedua pergelangan tangannya yang hanya kulit membungkus tulang itu terhias gelang-gelang perak. Di lehernya terdapat kalung, bukan kalung perak atau emas, melainkan kalung hidup, yaitu seekor ular kobra belang yang amat berbisa. Ular seperti ini kalau menggigit, kabarnya tidak ada obatnya lagi dan si korban langsung mati! Melihat ular ini saja, mereka yang mengenal kehebatan racunnya, sudah merasa ngeri dan mereka yang berdiri dekat sudah menggeser tempatnya menjauh. Ada bau harum amis datang dari kakek ini.
Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu masih ingat kepada kakek aneh ini. Kurang lebih sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, See-thian Coa-ong pernah muncul dan membimbing pendekar wanita Bu Ci Sian dalam ilmu menaklukkan ular-ular dan memperdalam ilmu silat pendekar itu. Kakek ini lalu menghilang karena memang dia seorang perantau yang biasa berkelana ke gunung-gunung, terutama di Pegunungan Himalaya.
See-thian Coa-ong adalah seorang Nepal yang bernama Nilagangga. Akan tetapi, sejak mudanya dia sudah sering kali datang ke daerah Tiongkok sehingga dia menguasai pula Bahasa Han, dan juga dia mengenal banyak tokoh-tokoh dunia kang-ouw. Banyak pula dia mendapatkan ilmu-ilmu silat dari daerah Sin-kiang dan di daerah Sin-kiang inilah dia dahulu berkenalan dengan Hek-i Mo-ong. Pada saat itu Hek-i Mo-ong masih memimpin perkumpulan Hek-i-mo di Sin-kiang. Itulah sebabnya mengapa peranakan Kozak ini bersikap ramah kepada Raja Ular itu.
“Hek-i Mo-ong, menurut ceritamu tadi, biar pun engkau telah berhasil membinasakan Pulau Es dan para penghuninya, akan tetapi engkau pun telah kehilangan banyak sekali kawan-kawanmu. Bahkan orang-orang yang lihai sekali seperti Ngo-bwe Sai-kong, Si Ulat Seribu, dan Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas dalam penyerbuan itu, belum lagi dihitung banyaknya anak buahmu. Dan untuk semua pengorbanan itu, engkau hanya dapat menewaskan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya, tiga orang yang sudah tua renta dan yang tanpa diserbu sekali pun akan mati sendiri tidak lama lagi. Apakah hal itu boleh dibuat gembira?”
Wajah Hek-i Mo-ong menjadi agak merah akan tetapi dia masih tersenyum lebar. “Aha, Coa-ong! Agaknya engkau lupa bahwa pengorbanan seperti itu jauh terlalu ringan dan murah dibandingkan dengan hasilnya. Bayangkan saja! Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya! Dan Pulau Es juga terbakar habis. Belum lagi tiga orang cucu mereka tentu akan tewas, ditambah lagi Jenderal Muda Kao Cin Liong yang sudah banyak menimbulkan susah kepada kawan-kawan kita, terutama di barat.”
Kakek See-thian Coa-ong menghela napas panjang. “Baik, baiklah.... katakanlah bahwa hasilnya cukup besar. Akan tetapi apakah kita lalu dapat mengatakan bahwa kematian mereka itu akan membebaskan kalian dari lawan kalian? Mo-ong, apakah artinya hasil itu kalau engkau ingat bahwa di sana masih hidup keturunan Pulau Es yang amat lihai? Lupakah engkau pada Puteri Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan suaminya orang she Gak yang amat lihai itu? Dan lupakah engkau pada putera-putera Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee dan terutama sekali Suma Kian Bu Si Pendekar Siluman Kecil? Dan juga, kalau benar Jenderal Muda Kao Cin Liong tewas, engkau harus berani menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir! Dan.... ah, masih banyak lagi para pendekar sakti yang akan merupakan lawan berat bagimu, Hek-i Mo-ong. Lupakah engkau kepada keluarga Bu-taihiap yang kini tinggal di kota raja? Bu-taihiap dan isteri-isterinya saja sudah amat lihai, apalagi mantunya! Tentu engkau tidak akan melupakan Kam Hong yang dijuluki Pendekar Suling Emas itu, bukan? Juga keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Hemm, aku sendiri sebagai orang luar merasa amat khawatir akan masa depanmu, Hek-i Mo-ong!”
Wajah Hek-i Mo-ong yang tadinya merah itu kini menjadi agak pucat. Diingatkan kepada para pendekar sakti itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya kecut. Rasa gentar menyelinap di sanubarinya karena apa yang diucapkan oleh Raja Ular itu sama sekali tidak keliru. Mereka semua itu adalah orang-orang hebat dan harus diakuinya bahwa ketika menghadapi Pendekar Suling Emas Kam Hong dia terdesak hebat, dan nyaris tewas kalau tidak mempergunakan sihirnya untuk melarikan diri...
“Wah, bukan main....! Belum tentu dalam seratus tahun sekali ditemukan seorang anak seperti ini! Bahan yang luar biasa hehatnya, sungguh seorang anak ajaib, seorang dengan tubuh dewasa! Cukup pantas untuk menjadi tempat tinggal titisan Dalai Lama!”
Teriakan penuh kekaguman ini menarik perhatian semua orang. Bahkan Hek-i Mo-ong sendiri, yang tertegun mendengar ucapan See-thian Coa-ong tadi, menoleh dan dia melihat seorang kakek pengemis sedang memeriksa tubuh Ceng Liong yang tergantung jungkir balik. Kakek itu memutar-mutar tubuh itu, menyentuh sana-sini dan berulang ulang mengeluarkan pujiannya.
“Aih, tengkoraknya menandakan bahwa otaknya melebihi otak anak biasa, menjendol di sini, rata di sini.... ahh, dan telinga ini! Hemmm.... tulang yang kuat dan bersih, bukan main!”
Kakek itu tentu usianya tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan dilihat dari pakaiannya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pengemis. Pakaian yang tambal-tambalan kusut dan rambut awut-awutan. Tubuhnya tinggi kurus bagaikan orang yang selalu kekurangan makan. Matanya lebar kadang-kadang terbelalak. Ketiak kirinya mengempit sebatang tongkat bambu, dan di pinggangnya tergantung sebuah kantung butut yang berisi sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan dan sebuah mangkok retak.
Meski kakek ini nampak demikian miskin sederhana, namun Hek-i Mo-ong mengenalnya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang juga berdiri bebas seperti See-thian Coa-ong Nilagangga. Tokoh pengemis ini termasuk seorang tokoh ugal-ugalan yang aneh, tidak pernah berpihak sana-sini. Akan tetapi dia merupakan seorang tokoh yang terkenal sekali di daerah selatan.
Dialah Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Sun, seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan menganggap dunia inilah tempat tinggalnya, tanah menjadi lantainya, langit menjadi atapnya. Maka, walau pun dia ini merupakan seorang tokoh di daerah selatan, tidak aneh melihat dia kini tiba-tiba muncul di tempat yang jauh di utara.
Melihat kakek ini meraba-raba dan memuji-muji Ceng Liong, semua orang tertarik dan mereka mulai mendekati anak itu dan merubungnya.
“Darahnya murni dan ada hawa sinkang yang sangat luar biasa di dalam tubuhnya, berpusat di pusar dan mengalir di seluruh tubuh! Demi iblis, belum pernah aku melihat yang seperti ini!”
See-thian Coa-ong Nilagangga menjadi tertarik sekali dan dia pun mendekat. Kepala ular cobra yang melingkari lehernya itu terjulur dan hampir saja menyentuh muka Ceng Liong, akan tetapi anak ini sedikit pun tidak kelihatan takut, bahkan dengan sepasang matanya yang tajam dia memandang kepala ular itu dan sungguh aneh, ular itu nampak gelisah dan berusaha menjauhkan kepalanya saat See-thian Coa-ong mendekati Ceng Liong, seolah-olah ada sesuatu pada diri anak itu yang membuat binatang itu gelisah.
Segera terdengar seruan-seruan kagum dari See-thian Coa-ong dalam bahasa asing. Hek-i Mo-ong mengerti apa yang diucapkan oleh See-thian Coa-ong itu.
“Aihhh, Raja Cobra sampai takut terhadap anak ini! Bukan main....!” Dia meraba-raba kepala dan leher serta pundak Ceng Liong, lalu melanjutkan, “....memang hebat! Anak ini tubuhnya sekuat naga!”
Bagaikan dua orang kakek yang hendak membeli seekor ayam jago aduan, Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba dan memeriksa Ceng Liong, menekan perutnya, memijat dada dan pundak, membelai kaki tangan, melihat mata, hidung, mulut dan telinga, meraba tulang-tulangnya.
“Ha-ha-ha, Raja Ular, ternyata matamu tajam juga dapat mengenal seorang sin-tong (anak ajaib) yang bertulang dewa!” Kakek Pengemis itu tertawa.
“Siapa yang tidak mengenal senjata pusaka adalah seorang tolol dan buta! Dan anak ini lebih berharga dari pada sebuah senjata pusaka! Jika kuberi kepandaianku kepadanya, dia bisa menjadi sepuluh kali lebih pandai dari pada aku. Dia akan menjadi murid yang terbaik di dunia ini!”
“Eeiitt, eeitt, Coa-ong, enak saja kau bicara! Akulah orang pertama yang menemukan bakat anak ini dan akulah yang patut menjadi gurunya!” Koai-tung Sin-kai Bhak Sun berkata dengan nada suara tidak senang, juga tangannya mendorong ke arah See-thian Coa-ong. Biar pun tangan kanannya hanya mendorong biasa saja, namun keluarlah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah Raja Ular.
“Hemm, belum tentu dia suka menjadi muridmu, jembel tua!” jawab See-thian Coa-ong dan kakek ini pun menggerakkan lengan menangkis.
“Dukkk....!”
Orang-orang yang berada agak dekat dengan tempat itu merasakan betapa hebatnya getaran yang ditimbulkan oleh adu tenaga melalui lengan itu dan kedua orang kakek yang saling mengadu lengan itu pun tergetar mundur dua langkah, masing-masing terkejut melihat kekuatan lawan.
“Bocah itu cucu keluarga Pulau Es, harus dibunuh!”
Teriakan seorang di antara para tokoh kaum sesat yang mendendam kepada keluarga Pulau Es ini merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan dan dendam di antara kaum sesat hingga mereka pun berteriak-teriak, mencabut senjata dan menyerbu untuk membunuh Ceng Liong yang masih bergantung dengan jungkir balik.
Sejak tadi Ceng Liong membuka mata dan telinga, mendengar dan melihat dengan jelas segala yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak merasa terkejut mau pun bangga ketika Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba tubuhnya dan memuji-mujinya, karena kakek dan dua orang neneknya sendiri pernah mengatakan bahwa dia memiliki bakat yang baik sekali untuk ilmu silat. Justeru karena itulah maka mendiang kakeknya telah mewariskan hawa murni sumber tenaga sakti kepada dirinya.
Sekarang dia melihat gerakan kaum sesat itu dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Akan tetapi dia tidak merasa takut, hanya membayangkan kakek dan kedua orang neneknya seolah-olah dia sudah menikmati bayangan akan bertemu dan berkumpul lagi dengan mereka! Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun kini Ceng Liong menjadi penonton dari keributan itu.
“Tidak boleh! Benda pusaka tidak boleh dirusak!” See-thian Coa-ong membentak dan kakek ini menghadang penyerbuan para tokoh sesat itu.
“Siapa yang berani mengganggu calon muridku?” Koai-tung Sin-kai juga membentak dan berdiri menghadang, melindungi Ceng Liong.
“Dia musuh besar! Bunuh!”
“Semua keluarga Pulau Es harus dibasmi! Serbu....!”
Dan dua puluh orang lebih tokoh-tokoh sesat sudah menyerbu! See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai menyambut mereka dengan tendangan sehingga pertempuran yang seru pun terjadilah. Dua orang kakek itu memang amat lihai sehingga dalam beberapa gebrakan saja sudah ada empat orang tokoh sesat yang terjungkal roboh, terkena hantaman tangan Coa-ong dan kemplangan tongkat bambu Sin-kai. Akan tetapi, para pengeroyok itu pun rata-rata mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dua orang kakek itu mulai terdesak hebat.
Ceng Liong menonton semua ini dan dia pun melirik ke arah Hek-i Mo-ong. Sungguh mengherankan sekali sikap kakek ini. Dia hanya berdiri dengan sikap tenang, bahkan tersenyum mengejek melihat perkelahian antara teman sendiri itu. Sebenarnya, kakek ini masih terpengaruh oleh pujian-pujian yang dikeluarkan oleh dua mulut Sin-kai dan Coa-ong tadi dan diam-diam dia pun berpikir. Semua ucapan Coa-ong tadi tidak keliru.
Musuh-musuhnya masih sangat banyak dan mereka itu sakti-sakti. Apalagi Pendekar Suling Emas Kam Hong yang pernah mengalahkannya. Juga Naga Sakti Gurun Pasir, dan keluarga Bu-taihiap. Mungkinkah dia bisa mengalahkan mereka itu? Dan dia sudah semakin tua, dan murid-muridnya yang terpercaya sudah habis, tinggal murid-murid yang tidak ada artinya. Juga dia tidak mempunyai keturunan yang dapat membantunya, atau yang akan membalaskan kalau sampai dia kalah oleh musuh-musuhnya itu.
Anak itu merupakan seorang sin-tong, seorang anak ajaib. Dia pun sudah menduga akan hal itu dan kini dugaannya diperkuat oleh dua orang kakek itu. Kalau ilmunya diturunkan kepada seorang anak ajaib, tentu anak itu akan menjadi beberapa kali lipat lebih pandai dari padanya. Anak seperti itulah yang akan dapat membelanya dan membantunya kelak! Dan alangkah senang hatinya kalau dia dapat mendidik anak ini untuk kelak dipergunakan melawan keluarga Pulau Es. Dan dia tentu dapat menguasai anak ini melalui kekuatan sihirnya!
Hek-i Mo-ong menonton sambil tersenyum mengejek melihat betapa See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai kini repot sekali menghadapi pengeroyokan belasan orang tokoh sesat itu. Namun, mereka berdua mempertahankan diri dan para pengeroyok juga tidak berani terlalu dekat karena dua orang itu memang memiliki kepandaian yang lihai sekali.
“Pengkhianat-pengkhianat busuk!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan itu.
Tubuhnya sudah berkelebat ke depan, tombak Long-ge-pang di tangannya menyambar ke arah Koai-tung Sin-kai dan kipas merahnya menotok ke arah See-thian Coa-ong. Walau pun tombaknya ini bukan tombak pusaka asli seperti yang biasa dipergunakan karena tombak asli itu telah patah-patah ketika dia menyerang Pendekar Super Sakti, namun tombak biasa ini pun menjadi amat ampuh dan berbahaya karena digerakkan oleh tangannya yang amat kuat.
“Tranggg....!”
Tongkat bambu itu menangkis, sedangkan suara nyaring itu adalah suara tombak yang tertangkis. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya tenaga kakek pengemis yang membuat tongkat bambu itu menjadi keras dan kuat menangkis tombak baja. Akan tetapi akibatnya, tubuh kakek pengemis itu terpelanting dan nyaris kepalanya kena bacokan golok seorang tokoh sesat kalau dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya dan mengangkat tongkatnya menangkis, lalu meloncat bangun lagi.
“Brettttt....!”
Totokan gagang kipas merah yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong tadi dapat dielakkan oleh See-thian Coa-ong, akan tetapi tetap saja ujung cawatnya terobek sehingga cawat yang merupakan satu-satunya kain penutup tubuhnya itu hampir terlepas. Tentu saja See-thian Coa-ong terkejut dan cepat-cepat meloncat, menjauhi Hek-i Mo-ong sambil membereskan lagi cawatnya.
See-thian Coa-ong maklum bahwa dia tidak akan bisa menang melawan Hek-i Mo-ong, maka dia pun sudah meloncat jauh dan sambil lari meninggalkan tempat itu dia berkata, “Raja Iblis, silakan kalau engkau mau membunuh anak itu. Akan tetapi hal itu hanya membuktikan kebodohanmu!”
Koai-tung Sin-kai juga sudah menjauhkan diri. “Engkau akan menyesal jika membunuh sin-tong itu, Mo-ong! Betapa tololnya merusak benda pusaka!”
Dan dia pun segera melarikan diri, menyeret tongkat bambunya karena maklum bahwa jika melanjutkan usahanya melindungi anak yang amat dikaguminya itu, melawan Hek-i Mo-ong dan para tokoh sesat itu, sama artinya dengan bunuh diri.
“Bunuh bocah setan itu!” Kini para tokoh sesat maju menyerbu karena mereka marah melihat betapa teman-teman mereka ada yang roboh terluka parah oleh dua orang kakek tadi yang melindungi Ceng Liong.
“Bunuh keturunan Pulau Es!”
Enam orang tokoh sesat menerjang dengan senjata mereka, agaknya saking marah dan sakit hati, mereka itu tidak lagi mengenal malu dan melakukan pengeroyokan terhadap seorang anak kecil yang sudah tergantung tak berdaya. Agaknya sebelum mencincang tubuh anak itu mereka takkan merasa puas.
Seperti juga tadi, menghadapi serangan keenam orang ini, melihat berkelebatnya sinar senjata dari semua jurusan, Ceng Liong tetap membelalakkan matanya dengan penuh keberanian. Dia memang ingin menyambut kematian dengan mata terbuka, seperti yang sering dianjurkan oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai, bahwa seorang pendekar harus selalu tenang dan tabah, bahkan ketika menghadapi kematian sekali pun harus berani menyambut kematian dengan mata terbuka! Maka sekarang dia pun membelalakkan matanya, ingin mati dalam keadaan melek!
Akan tetapi dia melihat sinar terang berkelebatan di sekeliling dirinya dan melihat enam orang itu terpelanting ke kanan kiri. Senjata mereka terlempar setelah mengeluarkan bunyi nyaring. Mereka pun mengaduh-aduh karena tangkisan-tangkisan itu membuat mereka roboh dan terluka.
Kiranya, dalam keadaan yang teramat gawat bagi keselamatan Ceng Liong itu, Hek-i Mo-ong telah turun tangan menangkis dan langsung balas menyerang kepada enam orang itu sehingga mereka roboh terluka. Semua tokoh sesat tentu saja terkejut sekali dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan mata melotot.
“Dia ini tawananku, dia ini milikku! Siapa pun tak boleh mengganggunya dan yang boleh menentukan mati hidupmya hanyalah aku seorang!” Hek-i Mo-ong membentak sambil melintangkan tombak Long-ge-pang yang amat hebat itu.
“Tetapi, Mo-ong, engkau harus segera membunuh bocah keturunan Pulau Es ini agar kelak dia tidak akan menyusahkan kita!” terdengar beberapa orang tokoh memprotes.
“Dengarlah kalian semua, kawan-kawan!” Hek-i Mo-ong berteriak nyaring. “Akulah orang yang telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es dan berhasil. Tawanan ini adalah milikku dan akulah yang berhak menentukan apa yang akan kulakukan dengan dirinya!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar dia lalu menghampiri tubuh Ceng Liong yang masih tergantung jungkir balik itu.
Ceng Liong telah menyaksikan semua itu dan dia tahu bahwa sudah dua kali nyawanya tertolong oleh Hek-i Mo-ong. Dia teringat akan nasehat mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti Suma Han bahwa seorang manusia harus mengingat budi orang dan melupakan dendam. Maka ketika kakek iblis itu mendekat, pandang matanya terhadap kakek itu pun ramah.
Hal ini terasa benar oleh Hek-i Mo-ong, maka kakek ini lalu bertanya kasar, “Mau apa engkau memandangku dengan senyum-senyum?”
“Hek-i Mo-ong, aku berhutang nyawa dua kali padamu,” jawab Ceng Liong.
Orang seperti iblis ini mana memperdulikan tentang budi? Dia hanya mendengus dan tiba-tiba menggerakkan kipasnya dan gagang kipas itu menotok jalan darah di pundak kanan anak itu. Dia menotok bukan untuk membunuh melainkan hanya untuk menyiksa.
Totokan pada jalan darah itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan dia memang ingin memaksa anak ini melolong-lolong kesakitan. Sikap anak ini yang begitu keras dan berani dianggapnya sebagai tantangan dan dia ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia seoranglah yang akan mampu menundukkan anak ini.
“Tukkk....!”
Raja Iblis itu terkejut dan hampir saja dia berteriak kalau dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak orang. Dia menelan kekagetannya agar semua orang tidak tahu apa yang telah terjadi. Bagaimana dia tidak menjadi kaget sekali kalau jari tangannya ketika menotok pundak itu bertemu dengan hawa sinkang yang amat kuat, yang menolak tenaga totokannya, membuat pundak itu seperti dilindungi oleh kulit yang amat kuat dan kebal?
Akan tetapi Ceng Liong nampaknya tidak tahu akan hal ini! Memang sesungguhnyalah. Sumber tenaga sakti yang berada di tubuhnya telah bekerja sedemikian kuatnya ketika dia tergantung jungkir balik itu, yang membuat panca inderanya menjadi amat tajam dan peka, tetapi juga membuat tenaga sinkang di tubuhnya itu secara otomatis bergerak sendiri ketika tubuhnya diserang dan dapat melindunginya.
Dan semua ini terjadi di luar kesadaran Ceng Liong. Anak ini bahkan tidak tahu bahwa dirinya baru saja ditotok dan kakek iblis itu bermaksud untuk menyiksanya. Dia hanya merasa betapa pundaknya disentuh dan sentuhan ini malah dianggapnya sebagai sikap bersahabat dari kakek itu kepadanya.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong diam-diam berpikir. Semenjak dia tadi mendengar dan melihat See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai memuji-muji Ceng Liong, hatinya jadi tergerak. Dia pun melihat kenyataan, betapa banyaknya musuh yang amat lihai dan harus diakuinya bahwa seorang diri saja kiranya tak mungkin bagi dia untuk menandingi semua musuh-musuhnya itu.
Kalau saja dia bisa dibantu oleh seorang yang memiliki bakat seperti anak ini! Kalau saja anak ini dapat menjadi muridnya dan kelak membelanya! Juga, dengan adanya anak ini di tangannya, anak ini dapat menjadi semacam sandera, semacam perisai baginya apabila sewaktu-waktu dia didesak oleh keluarga Pulau Es. Dia harus dapat menguasai anak ini dengan sihirnya!
Maka dia pun segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan memandang wajah anak itu, berusaha menguasai pandang matanya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga memerintahkan anak itu untuk tidur. Akan tetapi, kembali dia mengalami hal yang amat aneh. Ada tenaga penolakan yang amat kuat sekali pada pandang mata anak itu dan dia merasa jantungnya tergetar hebat! Sedemikian hebatnya getaran itu sehingga cepat-cepat dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, karena kalau dilanjutkan, entah siapa yang akan celaka, dia ataukah anak itu!
Dia teringat bahwa anak ini adalah cucu dari Pendekar Siluman yang memiliki kekuatan sihir luar biasa, maka diam-diam dia merasa ngeri sendiri. Benar kata dua orang kakek tadi. Anak ini adalah seorang anak luar biasa dan kalau dapat menjadi muridnya, dia seperti mendapatkan sebuah senjata pusaka yang amat ampuh dan yang akan mampu melindunginya!
Ceng Liong sendiri tidak sadar bahwa kembali dia telah diserang dengan kekuatan sihir. Dia hanya merasa betapa tajamnya pandang mata kakek iblis itu. Akan tetapi hal ini dianggapnya sebagai hal yang patut dikagumi. Dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat lihai dan sakti, penuh wibawa, tak seperti tokoh-tokoh sesat lainnya. Biar pun dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang tokoh sesat, akan tetapi seorang tokoh yang tinggi tingkatnya, bukan manusia sembarangan saja.
“Mo-ong, sekali waktu aku pasti akan membalas budimu yang dua kali itu,” kata Ceng Liong lagi.
Sementara itu, semua tokoh sesat dan anak buahnya sudah mengepung tempat itu dan pada wajah mereka terbayang rasa penasaran. Mereka tadi ikut gembira mendengar akan terbasminya Pulau Es dan para penghuninya dan mereka sudah mengharapkan akan dapat melihat cucu dalam Pendekar Super Sakti itu disiksa di depan mata mereka sampai mati. Apalagi mengingat betapa anak ini telah menjadi sebab keributan dan perkelahian di antara mereka sendiri yang menjatuhkan banyak korban pula.
Yang lebih penasaran dan sakit hati adalah para tokoh dan anak buah Eng-jiauw-pang yang telah kehilangan ketua mereka yang tewas di tangan Kao Cin Liong ketika ketua mereka ikut menyerbu ke Pulau Es. Juga para tokoh dan anak buah Im-yang-pai karena ketua mereka, Ngo-bwe Sai-kong yang tewas oleh nenek Lulu di Pulau Es, merasa sakit hati dan mereka ingin melihat cucu Pendekar Super Sakti itu segera mati di depan mata mereka.
“Harap Mo-ong cepat menyiksa dan membunuhnya, terserah bagaimana pun caranya!”
Ucapan ini mendapat dukungan banyak orang dan keadaan menjadi bising kembali. Wajah orang-orang itu menjadi beringas dan sikap mereka mengancam ketika mereka semua memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.
Hek-i Mo-ong memandang kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang lantang, “Sobat-sobat semua! Aku mengundang kalian berkumpul di sini hanya untuk memberi tahukan kabar keberhasilan kami menyerbu Pulau Es. Sepatutnya kalian bergembira tentang itu dan berterima kasih kepadaku. Sekarang aku hendak pergi dulu, membawa bocah ini dan mengenai dia, serahkan saja kepadaku karena akulah yang berhak atas dirinya. Nah, sakarang aku akan pergi dan jangan kalian menggangguku lagi!”
Setelah berkata demikian, sekali renggut Hek-i Mo-ong telah mematahkan tali yang menggantung kaki anak itu dan memondong tubuh Ceng Liong, dibawanya berloncatan seperti terbang cepatnya. Para tokoh sesat itu tentu saja merasa penasaran dan tidak puas. Akan tetapi, siapakah yang berani menentang kehendak Hek-i Mo-ong, apalagi setelah iblis itu berhasil menghancurkan Pulau Es? Mereka bersungut-sungut kemudian bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.
Sementara itu, bagaikan terbang cepatnya, Hek-I Mo-ong berlari sambil memondong tubuh Ceng Liong. Anak ini tidak takut, akan tetapi diam-diam merasa heran melihat sikap Hek-i Mo-ong yang berubah-ubah itu. Dia tak tahu bagaimana jalan pikiran kakek iblis ini, tetapi dia ingat benar bahwa bagaimana pun juga, iblis ini telah menyelamatkan nyawanya sampai dua kali berturut-turut. Dia tahu bahwa tanpa campur tangan iblis ini, tentu dia telah tewas di tangan para penjahat yang haus darah.
Tiba-tiba, ketika kakek itu tiba di padang rumput yang amat sunyi, dia berhenti dan melemparkan tubuh Ceng Liong ke atas tanah. Anak itu cepat-cepat bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu.
“Hek-i Mo-ong, engkau hendak membawaku ke manakah?” tanyanya berani.
“Bocah yang berhati naga, siapakah namamu?”
“Namaku Suma Ceng Liong.”
Kakek itu mengangguk-angguk. Namanya berarti ‘Naga Hijau’ dan memang anak ini seperti seekor naga.
“Ceng Liong, apa maksudmu mengatakan bahwa engkau berhutang budi dan hendak membalas budi itu?”
“Engkau telah menolongku dua kali dan sekali waktu tentu aku akan membalas budimu itu.”
“Benarkah itu? Apakah engkau tidak menganggapku sebagai musuh?”
Ceng Liong mengerutkan alis. Dia teringat bahwa kakek ini bersama kawan-kawannya telah menyerbu Pulau Es, namun dia pun teringat akan wejangan mendiang kakeknya bahwa dia tidak boleh mendendam, maka dia pun menggelengkan kepalanya.
“Ceng Liong, tahukah engkau bahwa aku membawamu sebagai tawanan untuk kelak kubunuh?”
Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak percaya! Kalau engkau ingin melihat aku mati tentu engkau tidak akan menolongku dari tangan mereka yang ingin membunuhku!”
“Hemm, aku mencegah mereka karena aku tidak mau didahului. Sudahlah! Sekarang, engkau boleh memilih. Engkau menjadi muridku atau engkau mati sekarang juga. Hayo pilih!”
Ceng Liong tertawa, akan tetapi suara ketawanya itu hanya tiba-tiba saja dan mendadak pula ketawanya terhenti. Diam-diam Hek-i Mo-ong bergidik. Bocah ini memiliki sifat aneh, dingin dan keras bukan main.
“Hek-i Mo-ong, pertanyaanmu itu sungguh terdengar lucu. Betapa mudahnya memilih satu di antara dua itu. Yang satu adalah kematian yang tak mungkin dapat kuelakkan lagi kalau memang engkau hendak membunuhku, dan yang ke dua adalah hidup dan menjadi murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau. Tentu saja aku memilih menjadi muridmu.”
Hek-i Mo-ong mendengus untuk menutupi rasa gembiranya. “Bagus, kalau begitu mulai saat ini engkau menjadi muridku, murid tunggal karena aku sudah tidak mempunyai murid lagi.”
“Agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain. Hek-i Mo-ong, aku mau menjadi muridmu dan mempelajari ilmu-ilmu darimu, tetapi terus terang saja, aku tidak sudi mempelajari kejahatan-kejahatan dan kesesatan-kesesatan. Aku seorang keturunan pendekar dan aku tidak sudi menjadi orang jahat. Menurut wejangan mendiang kakekku, lebih baik mati sebagai manusia baik dari pada hidup sebagai manusia jahat.”
“Ha-ha-ha, engkau tahu apa tentang kebaikan dan kejahatan? Kebaikan atau kejahatan mana bisa dipelajari? Sudahlah, aku hanya mengajarkan ilmu-ilmuku agar tidak kubawa mati. Asal engkau belajar dengan tekun dan berhasil mewarisi ilmu-ilmuku dan engkau bersikap sebagai seorang murid yang berbakti, sudah cukup bagiku.”
“Akan tetapi, walau pun aku menerima pelajaran-pelajaran darimu dan aku juga menjadi muridmu, akan tetapi aku tidak mau menyebut suhu kepadamu.”
“Ehhh? Mengapa?” kakek itu membentak, penasaran.
“Aku adalah keturunan keluarga Pulau Es yang memiliki ilmu keturunan. Boleh saja aku mempelajari ilmu-ilmu lain untuk meluaskan pengetahuan, akan tetapi aku tidak boleh berguru kepada aliran lain,” jawab anak itu dengan suara mantap karena memang yang diucapkannya itu adalah ajaran ayah bundanya.
“Hemm, lantas engkau akan memanggil apa kepadaku?” tanya Hek-i Mo-ong semakin penasaran.
“Panggilan apa lagi? Tentu seperti orang-orang lain menyebutmu, Mo-ong.”
Biasanya, Hek-i Mo-ong sudah merasa bangga kalau disebut Mo-ong (Raja Iblis) karena bagi seorang tokoh sesat, makin seram panggilannya, makin banggalah hatinya. Akan tetapi kini hatinya terasa kecewa dan kecut juga mendengar betapa muridnya sendiri akan menyebutnya Mo-ong, bukan suhu.
“Dan engkau tidak akan berbakti sebagai murid, melainkan menganggapku sebagai musuh? Begitukah?” Dia sudah marah sekali dan andai kata anak itu mengangguk atau menyatakan benar demikian, mungkin saja dia sudah turun tangan terus membunuh cucu Pendekar Super Sakti itu.
Akan tetapi dengan tenang Ceng Liong mengelengkan kepalanya. “Sudah kukatakan bahwa aku hutang nyawa dua kali kepadamu, Mo-ong, dan kalau engkau mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku, berarti budimu akan bertambah besar. Dan aku bukanlah keturunan orang-orang yang suka melupakan budi atau yang membalas budi kebaikan dengan kejahatan. Tidak, aku tidak akan membiarkan budi-budimu tanpa terbalas.”
Hek-i Mo-ong termenung. Anak ini memang bukan bocah biasa. Ada dua keuntungan besar baginya kalau dia mengambil anak ini sebagai murid. Pertama, dia memiliki sandera yang amat berharga. Ke dua, dia memperoleh seorang murid yang tiada keduanya dan bukan tidak mungkin kalau murid inilah yang kelak menjunjung tinggi namanya dan bahkan melindunginya dari ancaman musuh-musuhnya. Teringat akan hal ini, dia lalu tertawa bergelak, menyambar tubuh anak itu dan dibawanya berlari cepat.
“Ha-ha-ha, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan mari kau ikut bersamaku ke barat!”
Demikianlah, sejak terjadinya penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan terbakar dan lenyapnya Pulau Es, terjadi perubahan besar sekali dalam kehidupan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Sebagai seorang keturunan keluarga yang terkenal sebagai keluarga pendekar-pendekar yang kenamaan, secara tiba-tiba saja dia menjadi murid seorang datuk kaum sesat nomor satu yang juga amat terkenal dalam kesesatannya. Sungguh anak ini telah pindah ke dalam keadaan yang sama sekali bertentangan dengan keadaannya semula, semenjak dia lahir sampai dia berusia sepuluh tahun itu…..
********************
Ke manakah perginya Suma Hui, cucu perempuan Pendekar Super Sakti itu? Seperti kita ketahui, ketika perahu empat orang muda itu dikepung kemudian diserbu oleh para penjahat, mereka berempat melakukan perlawanan. Karena banyaknya penjahat yang mengepung, kemudian perahu mereka digulingkan, empat orang muda itu membela diri dengan terpaksa berpencar.
Suma Hui meloncat ke atas sebuah perahu lain di mana dara ini dihadapi oleh seorang tokoh jahat yang amat dibencinya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, tokoh sesat yang pernah bersikap kotor terhadap dirinya ketika para penjahat itu menyerbu Pulau Es.
“Heh-heh-heh, selamat bertemu, nona manis!” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh nafsu birahi. “Akhirnya engkau datang juga kepadaku, heh-heh-heh!”
“Iblis jahanam!” Suma Hui membentak.
Dan dengan kemarahan meluap dia sudah menerjang dengan sepasang pedangnya, menggunakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hebat itu. Akan tetapi, enam orang anak buah penjahat mengepungnya. Dan melihat munculnya seorang dara jelita, tanpa diperintah lagi enam orang penjahat ini telah berebut maju ingin menangkapnya. Mereka terlalu memandang rendah karena mereka adalah anggota-anggota penjahat yang ketika terjadi pertempuran di Pulau Es belum merasakan kelihaian nona ini. Dengan lancang mereka menyambut dan berusaha menangkap Suma Hui.
Namun mereka kecelik dan kelancangan mereka harus ditebus mahal ketika sepasang pedang di tangan dara itu berkelebatan dan empat orang di antara mereka roboh mandi darah, sedangkan yang dua orang hanya dapat terhindar dari bencana karena mereka cepat membuang diri ke belakang saja!
Tetapi, pada saat Suma Hui menggerakkan pedang mengamuk, Jai-hwa Siauw-ok telah menubruknya dari belakang. Dua kali orang ini menggerakkan jari tangan menotok. Ilmu yang dipergunakannya bukanlah ilmu sembarangan karena dia telah mempergunakan Kiam-ci (Jari Pedang), yaitu ilmu yang amat hebat dari mendiang gurunya.
Suma Hui hanya merasa betapa kedua pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum sehingga sambil menahan teriakannya, terpaksa dara ini membuka tangannya dan melepaskan sepasang pedangnya. Di lain saat, tubuhnya telah menjadi lemas tertotok dari belakang dan ia sudah dipondong oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Perahu terguncang hebat oleh badai dan Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menawan dara itu menjadi girang bukan main. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat menikmati hasilnya karena di situ terdapat Hek-i Mo-ong. Maka diam-diam dia lalu meluncurkan sebuah perahu sekoci dan membawa tubuh Suma Hui melompat ke dalam perahu kecil yang terus didayungnya menjauh dari amukan badai itu.
Suma Hui rebah di atas perahu kecil dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan. Ia tidak berani membuka kedua matanya karena ia merasa pening bukan main, bukan saja karena totokan, akan tetapi juga karena perahu kecil itu dipermainkan gelombang dahsyat, membuat tubuhnya terayun-ayun, terguncang dan ia pun mabok.
Setelah badai lewat dan perahu kecil itu telah jauh meninggalkan perahu-perahu besar lainnya, Jai-hwa Siauw-ok memasang layar perahu kecil dan dia memandang ke arah tubuh dara yang terlentang tak berdaya itu sambil tersenyum-senyum. Seorang dara yang amat cantik jelita dan bertubuh padat. Keturunan Pendekar Super Sakti, keturunan keluarga Pulau Es!
Bukan main bangga dan girang hatinya. Dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) dan menawan seorang gadis merupakan hal yang biasa baginya. Akan tetapi, sekali ini dia merasa luar biasa bangga dan girangnya karena yang ditawannya adalah seorang cucu perempuan dari keluarga Pulau Es! Inilah yang membuat peristiwa itu amat penting dan besar.
Dan dia pun tidak ingin memperkosa dara itu begitu saja seperti yang biasa dia lakukan terhadap tawanan-tawanan wanita yang disukainya. Tidak, dia akan memperlakukan dara ini secara lain! Dia ingin dara ini menyerahkan diri dengan suka rela agar dara ini dapat menjadi kekasihnya untuk kelak bisa dibanggakan kepada orang-orang sedunia kang-ouw! Betapa akan bangga hatinya jika ia dapat memamerkan kekasihnya sebagai seorang cucu perempuan keluarga Pulau Es!
Selain itu, dia pun tidak pernah mau memperkosa wanita yang berada dalam keadaan tertotok atau pingsan. Dia berwatak seperti seekor binatang buas yang merasa nikmat pada saat melihat korbannya meronta-ronta dan meraung-raung dalam permainan dan penyiksaannya.
Jai-hwa Siauw-ok ini di waktu mudanya bukanlah seorang jai-hwa-cat, walau pun dia tak dapat dibilang seorang yang berkelakuan baik. Namanya adalah Ouw Teng dan sejak muda dia memang seorang yang suka bermain-main dengan wanita. Sejak muda dia pun suka belajar ilmu silat, namun belum pernah dia menggunakan kepandaian silatnya untuk memaksa seorang wanita atau memperkosanya.
Dia berwajah tampan dan putera seorang kaya, maka dengan modal wajah ganteng dan kantong padat, mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita-wanita yang disukainya. Akan tetapi, semenjak dia menikah dan dalam waktu setahun setelah menikah dia menangkap basah isterinya yang berjinah dengan seorang pelayan pria dalam rumah mereka sendiri, wataknya pun berubah.
Dia membunuh isteri dan pelayan itu dan melarikan diri meninggalkan rumah, menjadi buronan yang berwajib. Kemudian dia pun bertemu dengan Ji-ok, nenek sakti yang menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ji-ok mengambilnya sebagai kekasih dan murid dan karena pandainya Ouw Teng merayu nenek yang tubuhnya masih seperti orang muda itu, dia dikasihi dan diberi pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi.
Bahkan Ji-ok mengajarkan ilmu-ilmu yang dicurinya dari saudara-saudaranya sehingga Ouw Teng dapat mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain, walau pun tak begitu sempurna karena hasil curian. Dan semenjak itulah dia menjadi seorang jai-hwa-cat yang amat kejam! Watak ini pula yang membuat Ji-ok makin suka padanya, karena memang begitulah seharusnya watak murid dari seorang tokoh sesat yang dianggap jahat seperti iblis!
Demikianlah riwayat singkat dari Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Kini usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia masih pesolek dan masih ganteng. Dan tentu saja kini ilmu-ilmunya sudah matang dan di antara lima tokoh jahat yang menyerbu Pulau Es, dia merupakan orang ke dua setelah Hek-i Mo-ong.
Dan ternyata hanya dia seoranglah di antara empat orang rekan Hek-i Mo-ong yang selamat dan terhindar dari kematian ketika mereka melakukan penyerbuan itu. Dan kini dia malah memperoleh hasil gemilang, yaitu dengan berhasilnya dia menawan cucu perempuan dari Pendekar Super Sakti.
Ketika siuman, Suma Hui menggerakkan kaki tangan hendak menggeliat, akan tetapi kaki dan tangannya tidak dapat digerakkan karena terbelenggu. Ia mengeluh lirih dan membuka matanya yang segera terbelalak pada waktu dia mendapatkan dirinya telah terbelenggu dan rebah terlentang di atas perahu kecil.
Ia pun teringat segalanya dan cepat menengok kepada pria yang duduk di dekatnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal pria itu yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikenalnya sebagai seorang di antara tokoh-tokoh penyerbu Pulau Es yang berwatak kasar dan juga kotor dan cabul.
“Aihhh, nona manis, engkau kini sudah sadar? Mari makanlah, minumlah....!” Jai-hwa Siauw-ok berkata dengan ramah sambil kedua tangannya meraih tempat makanan dan minuman. “Bukalah mulutmu, biar kusuapi engkau makan dan minum,” katanya.
Akan tetapi Suma Hui membuang muka.
“Marilah, nona....,” Siauw-ok mendekatkan sepotong daging ke mulut nona itu dengan sumpitnya.
Ketika dara itu tidak mau membuka mulutnya, Siauw-ok menggeser-geserkan daging itu di antara bibir Suma Hui. Perbuatan ini saja sudah membuat birahinya timbul dan dia pun tersenyum-senyum.
“Bukalah mulutmu, daging ini enak sekali....”
Tiba-tiba Suma Hui menggerakkan kaki dan tangan dengan pengerahan sinkang, akan tetapi ia mengeluh ketika merasa betapa kaki tangannya tidak bertenaga. Tahulah ia bahwa ia dalam keadaan tertotok.
“Mari, makanlah nona....”
“Tidak sudi!” Suma Hui membentak dan biar pun tubuhnya lemas, ia membuang muka dan menjauhkan mulutnya dari daging di ujung sumpit itu.
“Ahhh, jangan begitu, nona. Aku sama sekali tidak ingin melihat engkau mati kelaparan atau kehausan....”
“Engkau sudah menawanku dengan kecurangan, nah, kalau mau bunuh, kau bunuhlah! Siapa takut mati?” Suma Hui membentak.
“Membunuh engkau? Aihhh, sayang kalau dibunuh!” Siauw-ok menggoda.
“Kalau begitu, bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai mampus!” tantang Suma Hui.
“Ahh, nona manis. Aku cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau mati seperti tiga orang muda itu....”
Tentu saja Suma Hui terkejut bukan main mendengar ini. Ia memandang dengan muka pucat dan biar pun ia membenci orang ini dan tidak ingin bercakap dengan dia, akan tetapi kini terpaksa ia bertanya, “Apa.... apa yang telah terjadi dengan mereka....?”
Siauw-ok tersenyum, lalu mengacungkan daging di sumpit itu kembali. “Engkau makan dan minumlah lebih dulu, baru aku akan menceritakan tentang diri mereka.”
“Tidak sudi!” Suma Hui membuang muka dan cemberut.
Siauw-ok mengangkat kedua pundaknya dan dia pun makan minum sendirian sambil tersenyum-senyum. Dia merasa cukup berpengalaman untuk menundukkan gadis yang keras hati. Menundukkan seorang gadis yang keras hati harus pandai, pikirnya. Pandai mempergunakan muslihat kasar dan halus yang dicampur adukkan. Kadang-kadang halus merayu, kadang-kadang kasar mengancam dan kadang-kadang membiarkannya penasaran dan kecewa, kadang-kadang membiarkannya kegirangan.
Suma Hui merasa tersiksa bukan main. Ingin ia menjerit dan bertanya tentang nasib kedua orang adiknya dan Cin Liong. Tidak ada orang lain yang dapat ditanyainya kecuali laki-laki yang dibencinya ini. Ia pun melirik dan melihat laki-laki itu makan minum dengan tenangnya.
Bagaimana pun juga, ketika melihat orang makan dan minum sedemikian lahapnya, ia terpaksa menelan air liurnya. Harus diakuinya bahwa kerongkongannya kering dan haus sedangkan perutnya lapar sekali. Akan tetapi, ia akan mampu melupakan semua itu, mampu mempertahankan diri dan kalau perlu mati kelaparan atau kehausan.
Hanya, sukar baginya untuk dapat menahan keinginan tahunya tentang nasib Cin Liong dan terutama kedua oraag adiknyya. Makin ditahannya, makin hebat keinginan tahu itu mendesak dan akhirnya ia menoleh dan memandang kepada laki-laki itu.
“Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan adik-adikku? Katakanlah, tidak ada ruginya engkau menceritakannya kepadaku.”
Siauw-ok memandang wajah manis itu dan tersenyum, dalam hatinya bersorak karena merasa menang. “Tentu saja aku akan menceritakan padamu, nona. Aku tidak ingin melihat engkau sengsara, maka aku pun tidak ingin melihat engkau kelaparan. Nah, engkau makan minumlah dan aku akan menceritakan keadaan mereka.”
“Baik, lepaskan belenggu kedua tanganku dan totokanku, dan aku akan mau makan dan minum.”
“Aihh, mana mungkin aku sembrono seperti itu, nona? Engkau adalah cucu Pendekar Super Sakti. Aku tahu engkau memiliki kepandaian hebat dan aku tidak tahu kapan engkau akan dapat membebaskan totokanku itu. Jika kedua tanganmu tidak dibelenggu dan akhirnya totokan itu dapat kau punahkan, tentu aku celaka. Tidak, aku belum dapat melepaskan belenggumu dan biarlah aku yang menyuapkan makanan dan minuman padamu.”
Suma Hui sudah hendak memaki dan marah-marah lagi, akan tetapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya dan keinginan tahunya untuk mendengar tentang nasib adik-adiknya membuat dia akhirnya mengalah. Ketika sumpit yang membawa potongan daging itu didekatkan pada mulutnya, ia pun membuka mulut dan menyambutnya.
Tentu saja Siauw-ok merasa girang bukan main. Dia pun mulai bercerita, akan tetapi dia bercerita secara lambat-lambat sehingga terpaksa Suma Hui menerima makanan dan minuman yang cukup banyak untuk dapat mengikuti penuturan itu.
Setelah menceritakan jalannya pertempuran yang tidak begitu penting bagi Suma Hui, akhirnya Siauw-ok kemudian berkata, “Aku melihat betapa pemuda yang menurut Hek-i Mo-ong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir itu terlempar ke lautan. Laut sedang dilanda badai mengganas, maka biar seorang yang amat pandai bermain di air sekali pun tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari amukan badai seperti itu! Dia sudah pasti terseret ombak dan tenggelam atau disambut oleh ikan-ikan hiu yang ganas. Belum lagi bahayanya kalau dihempaskan oleh ombak ke tubuh perahu, tentu akan lumat-lumat tubuhnya. Pemuda itu sudah pasti tewas, hal ini tak dapat disangsikan lagi.”
Suma Hui membayangkan dengan hati penuh duka. Keponakannya itu adalah seorang yang gagah perkasa dan sudah banyak membela keluarga Pulau Es, tak disangkanya hidupnya akan berakhir secara demikian menyedihkan. Apalagi kalau ia teringat betapa ia pernah membalas segala pertolongan dan pembelaan pemuda itu dengan tamparan-tamparan yang diterima oleh pemuda itu dengan mengalah. Tanpa terasa lagi kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dengan kekerasan hatinya, dilawannya rasa duka itu sehingga ia dapat membendung keluarnya air matanya.
Siauw-ok adalah seorang lelaki yang telah berpengalaman. Dia dapat melihat kedukaan membayang di wajah yang ayu itu, dan melihat pula betapa dara itu menggunakan kekerasan hati membendung air matanya. Hatinya merasa panas oleh cemburu.
“Nona, apamukah pemuda putera Naga Sakti Gurun Pasir itu? Mengapa dia membela keluarga Pulau Es secara mati-matian ?” tanyanya penasaran.
Suma Hui tidak menjawab pertanyaan ini, dia hanya berkata, “Hemm, lihat saja nanti bangkitnya Naga Sakti Gurun Pasir untuk membalaskan kematian puteranya!”
Mendengar ucapan ini, bagaimana pun juga Siauw-ok bergidik ngeri. Dia belum pernah bertemu dengan Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dia sudah mendengar nama besar pendekar itu yang sejajar dengan keluarga Pulau Es!
“Ah, bukan aku yang membunuhnya....” Ucapan ini dihentikannya di tengah jalan karena dia sadar bahwa ucapan itu membayangkan rasa takutnya.
Maka dia pun lalu menyuapkan sepotong besar daging ke mulut itu dan melihat dengan penuh gairah betapa mulut yang kecil dengan bibir merah dan deretan gigi putih itu terbuka menerima daging, nampak bagian dalam mulutnya yang lebih merah lagi. Suma Hui mengunyah daging itu dengan perlahan.
“Dan bagaimana dengan kedua orang adikku?” tanyanya setelah daging itu agak lembut dikunyah.
“Ahhh, jadi dua orang pemuda cilik itu adalah adik-adikmu? Pantas mereka itu hebat-hebat....”
Kembali Suma Hui terpaksa menerima suapan makanan walau pun perutnya sudah merasa kenyang dan sebetulnya ingin sekali dia menyemburkan makanan itu ke muka Siauw-ok. Tetapi ia membutuhkan keterangan tentang adik-adiknya sehingga terpaksa ia menahan sabar.
“Nih, minumlah dulu,” kata Siauw-ok.
Dan Suma Hui juga menerima minuman air tawar yang disodorkan ke mulutnya. Bagai mana pun juga, makanan dan minuman itu membuat ia merasa tubuhnya menjadi segar kembali.
“Kedua adikmu itu.... sungguh sayang sekali, agaknya mereka pun tak mungkin dapat hidup, dan besar kemungkinan sekarang pun sudah tewas.”
“Mak.... maksudmu....?”
“Adikmu yang besar itu, seperti juga putera Naga Sakti Gurun Pasir, terlempar ke dalam lautan dan tentu saja dia pun tidak mungkin dapat terhindar dari cengkeraman maut. Sedangkan adikmu yang kecil, setan cilik yang luar biasa itu, mungkin dia ditangkap oleh Hek-i Mo-ong. Entah bagaimana jadinya dengan mereka aku tidak tahu karena aku lebih menyibukkan diri untuk menyelamatkanmu.”
Siauw-ok berhenti dan tersenyum ramah. “Coba pikir, di antara empat orang muda, hanya engkau seorang yang selamat, kuhindarkan dari bahaya maut, bahkan kujaga dan kusuapi makanan dan minuman. Bukankah aku orang baik sekali, manis?”
Suma Hui menyemburkan makanan yang masih tersisa di mulutnya, lalu membuang muka dan menangis! Baru sekarang ia dapat melemparkan semua rasa sebal, marah, dan duka di dalam hatinya. Terutama sekali perasaan duka karena gelisah mendengar akan nasib kedua orang adiknya, dan juga Cin Liong.
Tiba-tiba ia menghentikan tangisnya ketika merasa betapa rambut kepalanya dibelai orang. Rasanya seperti tiba-tiba ada ular menyusup ke balik bajunya. Ia terperanjat dan juga jijik bukan main, apalagi ketika merasa betapa jari-jari tangan itu bukan hanya membelai rambut, melainkan juga mengusap pipi, dagu dan lehernya. Dan sepasang mata itu! Memandangnya seperti mata seekor harimau yang hendak menerkam kelinci!
“Sudahlah, jangan menangis, nona manis. Ada aku di sini yang cinta padamu. Asal engkau suka menuruti segala kehendakku, engkau akan menjadi muridku yang terbaik dan hidupmu akan berbahagia....”
“Tutup mulutmu, iblis terkutuk!” Tiba-tiba Suma Hui memaki.
Ketika merasa bahwa tenaga atau pengaruh totokan pada tubuhnya mulai mengendur, ia lalu mengerahkan sinkangnya dan tiba-tiba ia menggerakkan kaki tangannya.
“Brettt! Brettt....!”
Tali pengikat kaki tangan dara itu putus semua, tidak kuat menahan pengerahan tenaga sinkang dari Suma Hui, tenaga asli dari keluarga Pulau Es...