CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 06
Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan buas, para penjahat maju menyerang. Seorang penjahat yang memegang sebatang tombak panjang menubruk dan menusuk ke arah perut Suma Kian Bu.
Pendekar ini tidak bergerak dari tempat dia berdiri, melainkan menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap ujung tombak dengan mudah dan sekali betot, orang itu terbawa mendekat. Begitu kedua tangan pendekar sakti ini bergerak, tombak panjang itu seperti benda lunak saja dilibat-libatkan pada tubuh pemiliknya sehingga penjahat itu terbelit tombaknya sendiri, tidak mampu bergerak seperti ayam ditelikung.
“Plakkk!”
Tangan pendekar sakti itu menampar dan tubuh penjahat yang sudah tidak mampu bergerak itu terlempar keluar dari perahu, jatuh menimpa air yang muncrat tinggi dan tubuh itu pun tenggelam karena dibebani tombak dan kedua lengannya tidak mampu bergerak!
Orang pertama yang menyerang Teng Siang In ialah seorang penjahat berperut gendut dengan kepala botak. Dia memegang ruyung besar. Orang inilah yang tadi menggebuk punggung wanita nelayan itu. Sekarang, dengan ruyung yang besar dan berat itu dia menyerang kepada Teng Siang In. Nyonya pendekar ini pun tak bergerak dari tempat ia berdiri, tetapi sepasang matanya yang tajam berpengaruh itu menatap ke arah wajah si gendut, mulutnya yang manis berkemak-kemik dan telunjuk kanannya menuding.
Terjadilah keanehan yang luar biasa dan membuat para anak buah perahu itu bengong terlongong. Si gendut berkepala botak itu tiba-tiba berhenti menyerang, melotot dan ruyung yang dipegang oleh tangan kanannya itu tiba-tiba saja digerakkan memukuli kepalanya sendiri yang botak. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok disusul keluhan dan teriakannya dan kepala botak itu sebentar saja bocor semua, berdarah dan benjol-benjol.
Tangan kiri orang itu berusaha mencegah tangan kanan, akan tetapi tetap saja tangan kanan itu menggerakkan ruyung, makin lama semakin keras menghantami kepalanya sendiri. Orang itu kebingungan, ketakutan dan kesakitan, berlari ke tepi perahu akan tetapi ruyung di tangannya masih saja terus memukulinya, dan pada pukulan terakhir terdengar suara keras.
“Prakkk!”
Dia pun terguling keluar dari perahu, menimpa permukaan air dan tenggelam karena pukulan terakhir tadi agaknya telah membuat kepala botaknya retak-retak! Melihat ini, mulailah para anak buah perahu percaya akan kehehatan sepasang pendekar itu dan mereka pun bersorak gembira.
Penjahat ke dua yang menyerang Suma Kian Bu adalah seorang penjahat tinggi kurus yang bersenjata sebatang golok. Melihat betapa kawannya dilempar ke telaga oleh pendekar itu, dia berseru marah dan goloknya lalu ditusukkan ke depan, ke arah perut pendekar itu. Seperti tadi, Suma Kian Bu tetap tidak bergerak dari tempatnya melainkan menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah golok yang segera menyeleweng arahnya dan pemegangnya terhuyung. Namun, penjahat itu membalik dan kembali menusukkan goloknya dari samping ke arah lambung.
Kian Bu menggunakan dua jari tangan menangkap atau menjepit ujung golok dan sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara nyaring dan golok itu pun patah menjadi dua! Sebelum penjahat itu hilang kagetnya, Kian Bu menggerakkan tangannya dan patahan golok yang dijepitnya itu menyambar dan langsung amblas memasuki perut si penjahat yang terbelalak dan berteriak keras. Kian Bu menangkap punggung bajunya dan sekali tangannya bergerak, tubuh penjahat itu menyusul temannya terlempar ke air telaga, terus tenggelam oleh karena patahan golok yang terbenam dalam perutnya itu telah merenggut nyawanya.
Penjahat ke empat yang menyerang Teng Siang In juga mengalami nasib yang sama buruknya. Dia menggunakan sebatang pedang yang diputar-putar ke atas kepala dan ketika dia menerjang maju, Siang In berkata halus, “Monyet busuk, engkau bermain-main dengan seekor ular apakah tidak takut digigit?”
Bagi para anak buah perahu yang enak nonton perkelahian aneh itu, terjadilah suatu pemandangan yang aneh luar biasa. Mereka melihat betapa penjahat berpedang yang menyerang nyonya pendekar itu tiba-tiba menjerit, memandangi pedangnya di tangan yang diangkat tinggi-tinggi, matanya terbelalak ketakutan dan berkali-kali dia menjerit seolah-olah melihat pedangnya sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan!
Dan memang sesungguhnya demikian. Seperti tadi ketika menghadapi lawan pertama, nyonya pendekar ini tidak mau mengotorkan tangan menandinginya dengan ilmu silat, tetapi sudah menggunakan ilmu sihirnya. Yang pertama tadi, ia membuat si penjahat memukuli kepala sendiri dengan ruyung sampai remuk. Kini, ia menyihir lawan membuat si lawan itu tiba-tiba saja melihat pedangnya yang berada di tangan itu berubah menjadi seekor ular besar ganas yang menyembur-nyembur dan hendak menggigit hidungnya. Tentu saja dia menjadi ketakutan dan panik melihat ular yang dipegangnya sendiri pada ekornya itu. Selagi dia masih kebingungan, sebuah sepatu runcing menyambar ke arah pusarnya.
“Dukkk!”
“Ahhhh….”
Penjahat itu berteriak, matanya mendelik dan tubuhnya terlempar keluar perahu, lalu menimpa air telaga mengikuti teman-temannya ke neraka!
Si raksasa tinggi besar yang menjadi pimpinan lima orang itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa empat orang temannya tewas dalam keadaan demikian aneh, dan tak disangkanya bahwa mereka itu demikian mudahnya jatuh oleh sepasang pendekar setengah tua ini. Matanya terbelalak memandang kepada suami isteri itu bergantian kemudian dia mengkirik dan membalikkan tubuh, lalu lari hendak meloncat keluar dari perahu yang mengerikan hatinya itu.
“Eh, ehhh, nanti dulu! Berikan dulu golok itu padaku!” Teng Siang In berkata halus.
Akan tetapi sungguh aneh sekali, raksasa itu menghentikan langkahnya, membalik dan menghampiri Siang In, menyerahkan golok besar itu seperti seorang anak penurut yang taat sekali! Siang In menerima golok dan orang itu terbelalak, seolah-olah terkejut dan terheran melihat kelakuannya sendiri dan seperti baru sadar, dia lalu membalik dan lari.
Tubuhnya melayang keluar dari perahu ketika dia meloncat. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan sebatang golok terbang menyambar ke arah leher penjahat itu. Nampak darah muncrat dan ketika tubuh raksasa itu menimpa air, ternyata kepalanya telah terpisah dari badannya oleh goloknya sendiri yang tadi dilontarkan oleh Teng Siang In.
Para anak buah perahu itu bersorak, tetapi mereka juga bergidik ngeri menyaksikan betapa suami isteri ini membunuh lima orang penjahat itu dengan sadis. Mengapa suami isteri pendekar ini menjadi demikian kejam dan sadis terhadap para penjahat? Bukan hanya karena para penjahat itu memang merupakan orang-orang berbahaya yang sudah berani mencoba untuk membunuh kaisar, namun terutama sekali karena telah terjadi perubahan besar di dalam batin suami isteri pendekar ini yang tentu saja mempengaruhi tindakan mereka.
Hal ini terjadi sejak mereka berdua mendengar dari Cin Liong dan Suma Hui tentang terculiknya putera tunggal mereka, Ceng Liong, oleh Hek-i Mo-ong dan terutama sekali mendengar bahwa ayah bunda mereka dan Pulau Es telah terbunuh dan terbasmi oleh datuk-datuk sesat itu. Sejak itu, mereka berdua merasa sakit hati sekali, mendendam kepada dunia penjahat yang membuat mereka sampai hati melakukan kekejaman tadi.
Dendam membuat kita menjadi kejam. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan melihat sendiri keadaan batin kita. Dendam melahirkan kebencian dan kebencian inilah yang memungkinkan perbuatan kejam karena kebencian membuat kita ingin melihat yang kita benci itu menderita sehebat mungkin!
Sekali diracuni dendam, hati seorang pendekar seperti Suma Kian Bu atau Teng Siang In sekali pun, akan berubah menjadi sadis dan kejam, tentu saja kejam terhadap mereka yang menimbulkan dendam itu. Dan kebencian merupakan suatu penyakit.
Jangan dikira bahwa setelah orang yang dibencinya lenyap, lalu kebencian itu pun akan berakhir atau lenyap dengan sendirinya. Kebencian itu akan tetap ada di batin, tinggal menanti bahan bakarnya saja untuk dapat berkobar lagi. Tentu sekali waktu akan muncul bahan bakar itu yang berupa orang atau golongan yang akan dibencinya lagi. Karena kebencian adalah penonjolan ke-akuan yang paling parah, kebencian timbul karena si aku merasa dirugikan sehingga timbul dendam dan benci yang membuat si aku ingin sekali melihat yang dibenci itu menderita dan ‘terbalas’.
Setelah menghajar kelima orang penjahat itu, Kian Bu dan Siang In membalik dan menghadapi kaisar.
Akan tetapi kaisar muda itu memangku tubuh yang sudah lunglai itu sambil menangis dan menciuminya! Kemudian terdengar Kaisar Kian Liong yang sudah mengenal baik suami isteri pendekar itu berkata, “Suma-taihiap, tolonglah…. tolong selamatkan nyawa kekasihku ini....”
Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan Siang In terkejut, cepat menghampiri, berlutut dan memeriksa keadaan wanita itu. Akan tetapi mereka hanya dapat saling pandang setelah mengadakan pemeriksaan. Keduanya maklum bahwa nyawa wanita itu tidak mungkin dapat diselamatkan lagi.
Bagian dalam tubuhnya luka hebat oleh pukulan keras, dan juga lambungnya terluka parah oleh bacokan senjata tajam. Belum lagi seluruh tubuhnya yang terhias luka-luka yang cukup dalam dan parah. Mereka berdua memandang dengan hati iba dan diam-diam mereka pun heran mendengar betapa kaisar menyebut wanita nelayan itu kekasih.
Memang sesungguhnyalah bahwa wanita itu adalah seorang gadis yang semenjak lama menjadi kekasih hati Kaisar Kian Liong, yaitu sejak kaisar ini masih menjadi seorang pangeran.
Beberapa tahun yang lalu, orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang mendendam kepada Kaisar Yung Ceng, menyerbu istana. Di antara mereka terdapat seorang murid Siauw-lim-pai wanita yang bernama Souw Li Hwa yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun. Ia pun mendendam pada kaisar yang masih terhitung susiok-nya sendiri karena gurunya menderita sengsara ketika isteri gurunya itu pada suatu hari diperkosa oleh kaisar!
Souw Li Hwa ikut rombongan para hwesio Siauw-lim-pai untuk membalas dendam dan menyerbu istana. Akan tetapi, orang-orang Siauw-lim-pai itu roboh dan tewas semua kecuali Souw Li Hwa yang berhasil melarikan diri. Di dalam istana ini, selagi dikejar-kejar, Souw Li Hwa bertemu dengan Pangeran Kian Liong yang segera menolongnya, menyembunyikannya, bahkan mengawalnya keluar istana sampai selamat.
Ternyata sang pangeran itu sudah jatuh cinta kepada Souw Li Hwa. Sebelum berpisah, pangeran itu memberikan sebuah cincin dan sang pangeran berjanji bahwa kelak dia akan berjodoh dengan Souw Li Hwa setelah menjadi kaisar. Peristiwa ini diceritakan dengan jelas dalam cerita Suling Emas dan Naga Siluman.
Souw Li Hwa masih sadar dan gadis ini pun melihat sikap sepasang suami isteri itu. Ia pun maklum bahwa dirinya tak mungkin dapat ditolong lagi, maka ia pun berkata lemah, “Sudahlah.... sri baginda.... hamba.... hamba tak mungkin dapat hidup....”
“Li Hwa.... ah, Li Hwa, kenapa selama ini engkau tidak datang kepadaku? Ini.... ah, ini cincinku masih kau bawa.... tapi kenapa engkau tak pernah muncul....?” Kaisar muda itu menarik sebuah tali yang tergantung pada leher Li Hwa, ternyata cincin pemberiannya tergantung pada tali itu.
“Sri baginda.... hamba hanya seorang.... rendah.... mana berani hamba.... mengganggu seorang…. mulia seperti paduka....?”
“Ahhh, Li Hwa kekasihku. Akulah yang bersalah, aku sudah melupakanmu.... terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sampai aku terlupa padamu.... padahal, cintaku padamu tak pernah padam. Li Hwa, kau maafkan aku....”
“Sudahlah, sri baginda.... hamba merasa bahagia.... pada saat terakhir.... masih dapat berjumpa dengan paduka.... masih dapat membela paduka.... ahhh, hamba puas.... ternyata paduka masih mencinta....” Gadis itu menghentikan kata-katanya, napasnya terengah-engah.
Melihat wajah itu makin memucat dan tubuh yang dipangkunya makin lemas terkulai, Kaisar Kian Liong menjadi panik. “Taihiap.... ahhh, tolonglah dia....”
Namun Kian Bu dan isterinya hanya menarik napas panjang. “Luka-lukanya terlampau parah, sri baginda.”
Jawaban ini cukup bagi Kian Liong. Dia merangkul dan menciumi muka yang pucat itu sambil menangis. “Li Hwa.... ahhh, Li Hwa, jangan mati.... mari hidup di sampingku sebagai isteri tercinta....”
Souw Li Hwa membuka kembali matanya dan kini sepasang matanya bersinar layu, walau pun bibirnya mengarah senyum dan wajahnya berseri. “Sri baginda.... kekasih hamba.... hamba rela mati.... hamba.... berterima kasih.... hamba cinta....” Dan ia pun terkulai karena nyawanya telah melayang.
“Li Hwa....!”
“Sri baginda, ia telah tiada....” Siang In berkata halus dan mengambil mayat itu dari pangkuan kaisar.
Kaisar Kian Liong memejamkan matanya dan sejenak dia duduk seperti itu, air matanya turun dari kedua mata yang dipejamkan, dan dia menguatkan hatinya. Kemudian dia membuka mata, bangkit berdiri dan melihat betapa para pengawal, sepasukan besar yang tadinya berjaga di tepi telaga, sudah tiba di situ menggunakan perahu mereka, dia cepat memberi perintah, “Tangkap semua penjahat-penjahat itu dan beri hukuman berat kepada mereka!”
Menerima perintah dari kaisar yang berduka dan marah ini, para pengawal menjadi bingung, tetapi mereka segera turun tangan, ada yang meloncat ke air dan menyelam, mencari lima orang penyerbu tadi. Akan tetapi, mereka hanya mampu menangkap lima mayat saja karena lima orang penjahat tadi telah mati semua.
Suma Kian Bu dan isterinya mengawal Kaisar Kian Liong kembali ke istana di kota raja, dan jenazah Souw Li Hwa juga diangkut ke kota raja di mana kaisar menganugerahi pangkat selir pertama kepada wanita yang telah mati itu. Jenazahnya dikubur dengan upacara kebesaran dan dibuatkan nisan yang besar dan megah.
Setelah ikut menghadiri upacara pemakaman sebagai penghormatan kepada Souw Li Hwa, suami isteri Suma Kian Bu mohon diri meninggalkan istana dan mereka pun mulai melakukan penyelidikan di kota raja tentang diri Hek-i Mo-ong yang telah menculik dan melarikan putera mereka. Namun, tidak ada orang yang mendengar tentang datuk itu dan tentu saja hal ini makin menggelisahkan hati suami isteri itu. Mereka makin giat menyelidiki dan mengambil keputusan tidak akan berhenti mencari sebelum mereka berhasil menemukan putera mereka.
Peralihan dari kehidupan ke kematian merupakan rahasia besar yang mentakjubkan. Kalau memang kematian sadah saatnya tiba, maka ada saja yang menjadi lantaran dan kematian itu tak dapat ditolak dengan cara bagaimana pun juga. Betapa pun pandainya manusia, namun semua harus tunduk terhadap hukum alam ini, ialah kehidupan tentu berakhir dengan kematian dan tidak ada kekuasaan yang dapat mencegahnya atau memperpanjang waktu tibanya kematian.
Jika sudah tiba saatnya, biar hendak bersembunyi di lubang semut, tetap saja kematian datang menjemput. Sebaliknya, kalau saat kematian belum tiba, biar kita berada di bawah ancaman maut yang bagaimana hebat pun, yang nampaknya tidak mungkin kita dapat keluar dengan selamat, namun ada saja lantarannya yang membuat kita terluput dari pada cengkeraman maut dan masih dapat hidup terus.
Sudah terlalu banyak contoh-contoh mengenai kematian yang datang tiba-tiba tanpa tersangka-sangka. Banyak pula cerita tentang orang-orang yang selamat dan luput dari kematian padahal sudah terkurung maut dan agaknya tak ada harapan untuk lolos lagi.
Ada orang yang semenjak mudanya menjadi prajurit sampai tua, puluhan tahun berada dalam kepungan maut, setiap saat mungkin saja maut merenggut nyawanya, namun ternyata dia selamat, terluka pun tidak, sampai dia mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai prajurit karena sudah bosan atau lelah. Pulang ke kampung, tergigit seekor nyamuk saja bisa mendatangkan penyakit yang akan menyeretnya ke lubang kubur!
Inikah yang disebut nasib? Terserah. Nasib hanya sebuah kata yang muncul karena kita kehabisan akal untuk dapat mengerti. Dan ada atau tidak adanya yang disebut nasib, yang penting kita harus selalu menjaga diri, bukan karena takut mati, melainkan untuk memelihara badan dan batin kita agar tetap sehat dan jauh dari bencana.
Dilihat keadaannya, ketika perahu yang ditumpangi para cucu penghuni Pulau Es itu terguling dan mereka disambut oleh badai yang mengamuk, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan mati semua. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian.
Ceng Liong yang terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat yang kejam dan jahat, ternyata tidak terbunuh, bahkan dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai muridnya! Suma Hui dan Cin Liong ternyata juga tidak tewas walau pun Suma Hui telah dilarikan oleh seorang penjahat cabul yang kejam dan Cin Liong diombang-ambingkan ombak yang membadai. Demikian pula dengan Suma Ciang Bun. Pemuda ini tidak tewas ditelan badai seperti yang dikhawatirkau saudara-saudaranya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, seperti juga Cin Liong, Ciang Bun terlempar keluar perahu dan disambut oleh air laut bergelombang. Seorang ahli renang yang bagaimana pandai pun tidak akan mungkin dapat melawan gelombang dahsyat dalam badai itu. Apalagi Ciang Bun yang kepandaiannya di dalam air terbatas.
Dia mencoba untuk berenang mendekati perahu, akan tetapi tubuhnya terseret makin menjauh dari perahu. Dia berusaha mempertahankan dirinya agar tidak minum terlalu banyak air laut. Tubuhnya terbawa ombak, diangkat tinggi-tinggi sampai dia merasa diterbangkan ke langit, lalu dihempaskan ke bawah, dalam sekali dan hanya berkat tubuhnya yang terisi tenaga sinkang kuat saja maka isi perutnya tidak sampai remuk ketika dia berkali-kali dibanting oleh gelombang.
Bagaimana pun juga, tenaga manusia adalah terbatas. Ketika Ciang Bun sudah hampir tidak kuat bertahan lagi, dalam kegelapan tangan kirinya bertemu dengan sepotong papan kayu. Bagaikan bertemu dengan pusaka, tangan kirinya itu mencengkeram kuat-kuat dan dipeluknya papan kayu itu. Dia bergantung dalam keadaan setengah pingsan, membiarkan dirinya dibawa ke mana pun juga oleh papan kayu yang dipermainkan gelombang membadai itu.
Kalau memang belum tiba saatnya untuk mati, dalam ancaman maut, di tengah lautan bergelora yang sedang dilanda badai itu, tiba-tiba ada saja muncul sepotong papan kayu yang menjadi lantaran sehingga memungkinkan Ciang Bun terlepas dan lolos dari cengkeraman maut.
Untung bagi Ciang Bun bahwa agaknya nalurinya timbul pada saat yang gawat itu. Kalau tidak demikian, agaknya tentu dalam keadaan setengah sadar itu dia sudah melepaskan cengkeramannya pada papan kayu itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang menggerakkan pemuda ini sehingga tanpa disadarinya, kedua tangannya tidak pernah melepaskan papan kayu itu.
Air lautan tidak mengganas lagi, bahkan amat tenang dan kegelapan telah terganti sinar cerah matahari pagi ketika Ciang Bun sadar betul dari keadaan setengah pingsan itu. Dia teringat bahwa dia terapung-apung di tengah lautan, maka rasa gentar menyentuh hatinya dan cepat-cepat dia menarik tubuhnya ke atas dan dengan sudah payah dia duduk di atas papan kayu yang tidak berapa besar itu. Dia menggigil karena merasa dingin. Cepat-cepat pemuda ini mengerahkan Hwi-yang Sinkang untuk melawan hawa dingin dan sebentar saja tubuhnya sudah terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi berbareng dengan itu, muncul pula rasa lelah, lapar dan mengantuk.
Di samping perasaan yang bercampur aduk ini, dia pun teringat kepada Cin Liong, Ceng Liong dan Suma Hui. Pertama-tama dia membayangkan wajah Ceng Liong dan hatinya merasa berduka sekali karena dia khawatir kalau-kalau adik keponakannya itu tewas. Kemudian, wajah Cin Liong terbayang dan dia pun merasa kasihan sekali kepada pemuda perkasa yang telah banyak berjasa terhadap keluarganya itu. Baru kemudian dia teringat kepada enci-nya, Suma Hui dan kesedihannya bertambah.
Sejak mereka tinggal bersama di Pulau Es, Ciang Bun merasa lebih dekat dengan Ceng Liong dari pada dengan enci-nya, bahkan dalam setiap percakapan dan perbantahan dia selalu membela kepada Ceng Liong. Kemudian, ketika muncul Cin Liong jenderal muda yang gagah perkasa itu, timbul rasa kagum yang mendalam di hati pemuda itu.
Memang akhir-akhir ini terjadi suatu perubahan dalam batin Ciang Bun, perubahan yang dia sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Ketika dia masih kecil, perasaannya biasa saja, akan tetapi semenjak dia menjadi remaja, semenjak dia tinggal di Pulau Es dan hidup bertiga dengan Ceng Liong beserta Suma Hui, tanpa disadarinya timbul suatu perubahan.
Dia merasa suka sekali untuk berdekatan dengan Ceng Liong, bahkan ketika Cin Liong muncul, ada daya tarik yang luar biasa pada diri jenderal muda itu baginya, yang membuat dia kadang-kadang merasa malu dan bingung. Selain ini, juga dia ingin selalu kelihatan rapi dan elok seperti enci-nya. Padahal Suma Hui sendiri termasuk dara yang sederhana sehingga dalam hal berpakaian, Ciang Bun lebih rapi dari pada kakaknya.
Apakah gejala ini timbul karena semenjak kecil dia hanya berdua saja dengan enci-nya sebagai saudara kandung yang tunggal? Selalu berdekatan dengan kakak wanita sehingga dia meniru-niru enci-nya dan mempunyai ciri-ciri seperti seorang wanita? Dia sendiri tidak sadar dan juga tidak tahu, akan tetapi yang diketahuinya hanyalah bahwa setelah menginjak usia lima belas tahun, dia merasa tertarik sekali kepada lelaki dan menyukai wajah dan bentuk tubuh laki-laki yang jantan.
“Aduh, lapar sekali perutku....!” Ciang Bun mengeluh, mengusir renungan memedihkan tentang saudara-saudaranya yang tidak diketahuinya bagaimana keadaannya itu, masih hidup atau sudah mati.
Mendadak dia mendengar suara orang, teriakan-teriakan gembira. Cepat dia menoleh dan alangkah girangnya ketika dia melihat adanya dua orang muda sebaya dengan dia yang sedang bermain-main di atas air lautan yang tenang. Dan Ciang Bun tertegun, terbelalak, juga mengkirik melihat betapa dua orang muda remaja itu, seorang pria dan seorang lagi wanita, sedang berlari-larian di atas air lautan!
Bukan manusia, pikirnya. Mana mungkin ada manusia pandai berlari-larian di atas air? Walau pun dia pernah menyaksikan mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, melakukan hal ini untuk beberapa detik lamanya. Akan tetapi dua orang muda-mudi itu bermain-main, berloncatan dan berlarian sambil tertawa-tawa!
“Kalau bukan sebangsa dewa lautan, tentu peri atau siluman....,” bisik Ciang Bun dalam hatinya dan tentu saja dia merasa tengkuknya meremang. Dia mengucek matanya akan tetapi ketika membuka mata dan memandang lagi, pemuda dan dara itu masih ada, bahkan kini mereka mendekat ke arahnya.
“Heii, lihat....! Ada bekas-bekas perahu pecah!” teriak si dara.
“Benar, tentu ada perahu pecah dan tenggelam semalam, dilanda badai. Jangan-jangan para penumpangnya tewas semua.... haiii, lihat, apa itu? Bukankah dia manusia di atas papan itu?”
“Benar, koko! Seorang pemuda dan dia masih hidup!” teriak si dara dan mereka lalu menggerakkan tubuh dan meluncur mendekati Ciang Bun.
Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia tahu bahwa kedua orang itu sama sekali bukan berlari di atas air, melainkan menggunakan alas kaki kayu yang panjang runcing dan mereka itu berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, dan dengan menggerakkan kedua lengan ke belakang dan mengayun tubuh ke depan, alas kaki yang seperti dua perahu kecil itu meluncur ke depan!
Akan tetapi, untuk dapat mengatur keseimbangan tubuh di atas dua perahu kecil itu dan untuk dapat bergerak demikian leluasa, tentu membutuhkan keringanan tubuh dan latihan yang hebat, juga tenaga sinkang amat diperlukan ketika mengayun tubuh ke depan. Jelaslah bahwa dua orang muda itu bukan orang-orang sembarangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kagum dalam hati Ciang Bun. Akan tetapi bukan itu saja yang membuatnya bengong terlongong. Dua orang itu kelihatan demikian eloknya!
Yang perempuan berusia sekitar lima belas tahun, tubuhnya yang ramping dan ranum itu amat indah. Ciang Bun kagum sekali akan keindahan tubuh dara yang mengingatkan dia akan keindahan tubuh enci-nya. Akan tetapi wajah dara itu baginya jauh melampaui enci-nya dalam hal kecantikan. Seraut wajah yang cantik jelita dan manis sekali, dengan sepasang mata yang seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang amat manis.
Akan tetapi, hanya sebentar saja sepasang mata Ciang Bun menatap dan mengagumi wajah dan tubuh dara itu, yang hanya mengenakan pakaian pendek dan ringkas dan basah karena air lautan sehingga pakaian itu menempel ketat pada tuhuhnya, mencetak tubuh yang menggairahkan itu. Namun, semua itu hanya lewat tanpa meninggalkan kesan mendalam di hati Ciang Bun.
Kini dia terpesona, ya, amat terpesona memandang ke arah pemuda yang meluncur di samping dara itu. Pemuda itu berusia dua tiga tahun lebih tua darinya, sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun dan pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut yang terbuat dari kulit harimau.
Wajahnya yang agak kecoklatan karena kulitnya terbakar sinar matahari, nampak amat gagah dan tampan, sepasang matanya juga mencorong seperti bintang, hidungnya mancung dan mulutnya juga manis seperti mulut si dara, hanya dagu pemuda ini membayangkan kejantanan yang membuat Ciang Bun benar-benar terpesona. Apalagi tubuh yang telanjang bagian atas itu, nampak demikian gagah, tegap, bidang dan mengandung kekuatan yang mentakjubkan.
Baru sekarang Ciang Bun melihat bentuk tubuh yang demikian tegap dan gagahnya. Tanpa disadarinya, jantungnya berdegup aneh, hatinya tertarik sekali dan tiba-tiba saja dia merasa sungkan dan malu-malu.
“Eh, apa yang kau lihat? Apakah engkau belum pernah melihat orang?” Tiba-tiba gadis remaja itu bertanya sambil terkekeh kocak.
Pemuda yang bertelanjang baju hanya memandang sambil tersenyum ramah. Bukan pertanyaan dara itu yang membuat Ciang Bun gugup, melainkan tatapan mata dan senyuman pemuda itu.
“Aku.... aku.... ahh, aku belum pernah melihat orang-orang yang bermain-main di atas lautan seperti kalian ini....”
“Hi-hi-hik....!” Dara itu tertawa terkekeh geli.
“Ha-ha-ha-ha....!” Pemuda itu pun tertawa.
Sikap mereka demikian gembira, suara ketawa mereka demikian bebas sehingga Ciang Bun yang biasanya pendiam dan serius, terseret oleh kegembiraan mereka dan dia sama sekali tidak merasa tersinggung karena dua orang itu sama sekali tidak seperti mentertawakannya. Maka dia pun ikut pula tertawa ha-ha-he-heh walau pun dia tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tertawakan.
“Ha-ha-ha-ha!” Dia tertawa.
Melihat pemuda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan muka mengandung keheranan dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa mereka makin keras.
Ketawa itu seperti tangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut akan semakin keras, akan tetapi akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan tubuh mereka, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki. Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh mereka goyah dan mereka pun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan terpelanting.
“Byuurrrr....!” Air muncrat tinggi.
“Heiii....!” Si pemuda berteriak dan dia pun terpelanting dan jatuh pula.
Air muncrat semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli sekali. Dia pun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.
Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya bahkan terhenti sama sekali. Matanya terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali!
Dua orang yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam? Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air.
Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat dia merasa mukanya panas karena malu. Dua orang muda yang disangkanya tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya, agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlomba!
Tahulah dia bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka dia pun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadi menahan napas. Dengan mengandalkan sinkang-nya, memang dia dapat bertahan lebih lama dari pada orang biasa.
Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air sangat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut itu.
Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya! Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapnya papan itu dan dia pun naik kembali ke atasnya, duduk terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya.
Dia memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir. Kedua orang muda itu sudah demikian lamanya berada di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sinkang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak melihat perahu di sekeliling tempat itu.
Kembali Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka? Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!
Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu. Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.
“Nih, sobat, kau bawakan ikan-ikanku!” kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk.
Ciang Bun memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandingkan dengan dia sendiri kalau berenang, walau pun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan itu menggelepar dan meronta.
Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu. Si dara juga berenang mendekat dan empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan dipegang oleh Ciang Bun.
“Kalau begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai pulau,” kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. “Engkau tentu sudah lapar sekali, bukan?”
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan dia pun mengangguk.
“Ke pulau? Pulau manakah?”
“Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan.”
Ciang Bun terkejut. “Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?”
“Heii, orang muda aneh, apa yang kau ketahui tentang Pulau Nelayan kami?” gadis itu bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.
Ciang Bun mengangguk. “Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....”
Dua orang muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.
“Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yaug mengetahui rahasia daerah lautan ini?” tanya pemuda ganteng itu.
“Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”
“Aihhh....!” Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh rasa hormat dan kagum. “Kiranya engkau ini adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?” kata pemuda itu.
“Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....,” sambung si dara sambil terbelalak memandang wajah Ciang Bun.
“Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!” Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana.
“Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!” kata pemuda itu.
Ciang Bun memandang, mukanya berubah merah. “Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.”
“Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas tahun.”
“Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,” kata Ciang Bun ramah.
“Bun-hiante....!” Lee Siang menyebut girang.
“Bun-koko....!” Dara itu pun menyebut dengan sikap agak malu-malu, namun ia pun tersenyum dan wajahnya yang manis itu berseri.
“Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?” tanya Ciang Bun.
“Hi-hik!” Lee Hiang tertawa. “Bukankah sekarang engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?”
“Kereta? Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?”
Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang memalukan.
“Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!”
Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali, agaknya pemuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.
“Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!” Lee Siang berkelakar menyebut papan itu kereta.
Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Kedua orang kakak beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke depan. Tubuh kedua orang muda itu pun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki Ciang Bun ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.
“Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?” Ciang Bun bertanya.
“Apa katamu, Bun-hiante?” Tanpa menghentikan gerakan tubuhnya Lee Siang balas bertanya sambil menoleh.
Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia sekali lagi mengulang pertanyaannya, kali ini mengerahkan khikangnya sehingga suaranya dapat menembus tiupan angin dari depan.
“Heiii! Khikang-mu kuat bukan main, hiante!” Lee Siang memuji.
Pemuda ini tidak perlu berteriak keras karena suaranya bahkan terbawa angin dan mudah ditangkap oleh Ciang Bun yang berada di belakangnya.
“Kami bermain jauh dari pulau karena kami ingin menangkap ikan-ikan itu yang hanya terdapat di daerah tadi. Setiap hari kami makan daging ikan, maka harus berganti-ganti agar tidak bosan.”
“Ikan-ikan yang kami tangkap itu adalah ikan sirip emas, selain lezat juga besar khasiatnya untuk memulihkan tenaga dan menghilangkan lelah. Sengaja kami tangkap untukmu, Bun-twako!” berkata pula Lee Hiang.
“Ahh, kalian sungguh baik sekali. Dan ilmu kalian dalam air amat luar biasa, membuat aku kagum bukan main.”
“Engkau pun hebat, Bun-hiante. Engkau mampu melawan badai sampai selamat, dan dalam keadaan lelah engkau masih menyelam dan mencoba untuk mencari kami. Itu saja sudah menunjukkan bahwa engkau pantas menjadi majikan Pulau Es!” kata Lee Siang.
Wajah Ciang Bun menjadi merah. Kiranya mereka tadi melihatku, pikirnya. Kini dia pun tidak merasa heran lagi mengapa papan kayu yang sudah hanyut itu tiba-tiba saja dapat membalik dan meluncur ke arahnya. Kiranya merekalah yang membuatnya.
Tak lama kemudian nampaklah sebuah pulau. Kiranya pulau itu tidak jauh dari situ, hanya di daerah ini keluar kabut yang seolah-olah menyelimuti pulau dan tidak tampak dari jarak agak jauh. Sebuah pulau kecil yang tidak begitu subur, walau pun ada juga tumbuh-tumbuhan di situ. Apa lagi karena tiga penghuninya memang sengaja mengolah tanah di pulau itu dan menanam sayur-sayuran yang berguna bagi mereka.
Mereka disambut oleh seorang kakek yang berdiri di pantai. Kakek ini berpakaian sederhana serba hitam. Usianya sekitar enam puluh lima tahun dan kulit mukanya juga coklat seperti kulit muka Lee Siang karena banyak terbakar sinar matahari. Tangan kirinya membawa sebatang dayung besi yang sesungguhnya merupakan senjatanya yang ampuh.
Wajah yang penuh kerut-merut itu berseri ketika melihat datangnya dua orang cucunya yang tercinta. Akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat dua orang cucunya itu datang bersama seorang pemuda tampan.
Tidak pernah ada orang luar boleh memasuki pulaunya selama ini dan kedua orang cucunya juga tahu bahwa dia tidak menghendaki ada orang luar berkunjung ke pulau itu. Kenapa sekarang mereka itu lancang pulang membawa seorang tamu?
Begitu tiga orang muda itu mendarat, kakek ini segera menegur cucunya, “Lee Siang dan Lee Hiang, kenapa kalian pulang bersama seorang asing?”
Lee Siang memandang agak gelisah, akan tetapi Lee Hiang segera berlari menghampiri kakeknya dan memegang lengan kakek itu. Memang Lee Hiang itu agak manja dan kakeknya amat sayang kepadanya.
“Kong-kong jangan marah dulu. Kami berani membawanya ke sini karena pertama, dia terapung-apung di tengah lautan, dan kedua, dia ini adalah Suma Ciang Bun, cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es.”
“Ahhh….!” Seperti juga kedua cucunya tadi, ketika mendengar disebutnya nama itu, kakek ini juga terkejut sekali dan sikap galaknya serta merta lenyap.
“Jadi Kongcu (tuan muda) ini cucu dari Suma-locianpwe? Tapi…. tapi kulihat Pulau Es terbakar kemarin malam….” Dia memandang ke timur dengan sikap termenung.
“Memang benar, kong-kong. Menurut cerita Bun-ko, katanya Suma-locianpwe bersama dua orang isterinya telah tewas dan pulau terbakar. Bun-twako dan saudara-saudaranya naik perahu menjauh pulau, akan tetapi di tengah pelayaran mereka diserang musuh dan perahunya pecah.”
Mendengar ini tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah timur.
“Ahh, siapa menduga bahwa Suma-locianpwe bertiga mengalami nasib seperti itu. Semoga arwah beliau bertiga memperoleh tempat yang penuh damai.”
Lalu kakek itu bangkit dan menghampiri Ciang Bun, merangkulnya. “Suma-kongcu, mari kita ke pondok dan ceritakanlah semua yang terjadi kepadaku. Kakekmu itu adalah junjunganku pula. Dahulu, sebelum burung-burung rajawali di Pulau Es mati semua, kakekmu kadang-kadang suka datang ke pulau ini menunggang burung rajawali. Akan tetapi semenjak burung-burung itu tidak ada, kabarnya mati semua, Suma-locianpwe tidak pernah datang dan akhirnya pulau ini dilanda badai hebat dan putuslah hubungan antara kakekmu dan pulau ini.”
Mereka lalu pergi membawa empat ekor ikan itu ke sebuah pondok di tengah pulau itu. Pondok itu terbuat dari kayu dan batu karang, namun cukup kokoh kuat dan cukup besar, dengan tiga buah kamar dan di sebelah dalamnya sangat bersih dan terawat sehingga menyenangkan untuk ditempati.
Setelah tiba di pondok, Ciang Bun diberi pakaian oleh Lee Siang dan segera berganti pakaian. Biar pun agak kebesaran, namun kering dan enak dipakai. Setelah berganti pakaian, tiga orang itu sibuk di dapur untuk masak ikan dan mempersiapkan makan. Lee Siang dan Lee Hiang tadinya mencegah, akan tetapi Ciang Bun memaksa untuk membantu hingga akhirnya mereka masak-masak sambil bercakap-cakap. Sementara itu, kakek itu masih termenung memikirkan nasib Pulau Es di dalam ruangan sebelah dalam.
Setelah makanan siap, mereka pun makan minum. Hidangannya sederhana saja, hanya nasi dengan masakan daging ikan sirip emas dan beberapa macam sayur sederhana. Akan tetapi karena perutnya lapar sekali, Ciang Bun makan dengan lahapnya. Sikap tuan rumah yang baik dan ramah membuat dia tidak malu-malu lagi dan memang benar ucapan Lee Hiang tadi, daging ikan sirip emas itu lezat sekali.
Setelah makan, barulah mereka bercakap-cakap di ruangan depan sambil melepaskan pandangan mata ke arah pantai, ke sebelah timur yang menjadi arah letaknya Pulau Es.
Ciang Bun sudah percaya benar kepada mereka ini, terutama percaya kepada Lee Siang dan Lee Hiang, maka dia pun menceritakan segala yang terjadi di Pulau Es, sejak penyerbuan datuk-datuk kaum sesat, sampai munculnya Kao Cin Liong, jenderal muda yang banyak berjasa membantu keluarga kakeknya, kemudian tentang tewasnya kedua neneknya dan kematian kakeknya yang penuh rahasia itu. Kemudian diceritakan pula ketika perahu mereka diserang oleh gerombolan datuk jahat sehingga dia terlempar ke lautan yang sedang diamuk badai, terpisah dari tiga orang muda lainnya.
Kakek dan dua cucunya itu mendengarkan dengan amat tertarik dan mereka ikut merasa marah dan penasaran kepada datuk jahat yang kejam itu. Kakek itu mendengar tanpa pernah mengganggu dan setelah Ciang Bun selesai bercerita, barulah dia menarik napas panjang penuh penyesalan, lalu berkata, “Suma-kongcu….”
Akan tetapi Ciang Bun cepat memotong, “Harap locianpwe jangan menyebut kongcu kepadaku….”
Kakek itu tersenyum sedih. “Kakekmu adalah seorang pendekar sakti yang kujunjung tinggi, dan dua orang nenekmu itu, yang seorang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, dan yang seorang lagi masih berdarah keluarga kaisar! Sudah semestinya kalau aku menyebutmu kongcu.”
Ciang Bun termenung. Kakek ini biar pun sederhana, namun memiliki kemauan yang teguh dan akan percuma sajalah kalau dibantahnya. “Terserah padamu, locianpwe,” katanya.
“Suma-kongcu, apakah engkau mengenal datuk-datuk kaum sesat yang menyerbu Pulau Es itu?”
“Jenderal muda Kao Cin Liong yang terhitung keponakanku itu mengenal seorang di antara mereka, yaitu pemimpin yang berjuluk Hek-I Mo-ong Phang Kui….”
Kakek itu meloncat berdiri dari bangkunya dan wajahnya berubah, matanya terbelalak. “Ahh…. pantas saja kalau begitu!”
“Apa maksudmu, locianpwe?”
“Tadinya aku sudah merasa terheran-heran dan hampir tidak percaya mendengar ceritamu bahwa keluarga Pulau Es dapat dikalahkan dan ditewaskan oleh musuh, walau pun Suma-locianpwe sendiri tidak turun tangan. Kiranya yang memimpin gerombolan itu adalah Hek-I Mo-ong! Aku mengenal nama itu! Seorang datuk yang kabarnya memiliki kesaktian yang amat tinggi, juga memiliki sihir kuat. Aku tidak merasa penasaran lagi, apa lagi mendengar bahwa di antara mereka banyak yang roboh oleh kedua orang nenekmu yang sakti.”
“Kalau saja Bun-ko sudah lebih dewasa, tentu semua penjahat itu akan mati sebelum mereka berhasil membasmi Pulau Es!” kata Liu Lee Hiang sambil mengepal tinju.
“Suma-kongcu, namaku adalah Liu Ek Soan. Apakah kakekmu sewaktu masih hidup tidak pernah menyebut namaku?” kakek itu bertanya kepada Ciang Bun.
Ciang Bun menggeleng kepala. “Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dan disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya telah habis.”
Kakek yang bernama Liu Ek Soan itu mengangguk-angguk. “Mungkin begitu dan memang aku sendiri pun masih merasa heran, kenapa di antara seratus lebih penghuni pulau ini, hanya aku dan dua orang cucuku ini yang selamat secara aneh.”
Kakek Liu Ek Soan lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, pada suatu malam, tanpa diduga-duga badai yang amat dahsyat mengamuk di daerah itu. Belum pernah ada badai sehebat itu dan Pulau Nelayan yang datar itu dilanda badai. Air laut naik tinggi ke pulau, menyapu seluruh pulau dan menyeret apa saja yang berada di pulau itu.
Habis binasalah seluruh penghuni pulau itu. Rumah-rumah mereka pun terseret bersih dan pulau itu menjadi gundul dan kosong sama sekali. Akan tetapi, Liu Ek Soan yang menjadi ketua pulau itu, orang yang terpandai di antara semua penghuni Pulau Nelayan, berhasil menyelamatkan diri walau pun dia sendiri terseret sampai jauh sekali ke tengah lautan.
Dalam keadaan setengah mati, Liu Ek Soan berhasil kembali ke pulau itu, berduka dan ngeri menyaksikan keadaan pulau. Seluruh keluarga dan tetangganya habis musnah. Tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan juga girang hatinya ketika pada keesokan harinya muncul sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua orang cucunya, yaitu Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun dan empat tahun.
Kiranya dua orang kakak beradik ini, pada sore harinya sebelum badai datang, telah berperahu dan mencari ikan, akhirnya tertahan di sebuah pulau kosong kecil dan tidak berani pulang karena ombak mulai bergelora. Malam itu, sambil menangis keduanya berangkulan di tengah pulau kosong.
Badai mengamuk hebat, akan tetapi pulau kosong itu merupakan bukit dan air laut tidak sampai menyapu permukaan bukit. Baru pada keesokan harinya ketika laut tenang kembali, keduanya turun dari atas bukit menuju pantai di mana mereka tidak melihat lagi perahu mereka.
Dua orang anak-anak itu sudah biasa dengan lautan, bahkan sebelum mereka mampu berjalan kaki, mereka sudah pandai berenang! Maka ketika mereka melihat ada perahu kosong lain terapung-apung agak jauh dari pantai, Lee Siang lalu meloncat ke air, berenang dan menuju ke perahu itu. Dia tidak tahu bahwa itu adalah satu di antara perahu-perahu dari Pulau Nelayan yang tersapu air laut dalam amukan badai semalam.
Didayungnya perahu ke pantai dan bersama adiknya dia lalu pulang ke Pulau Nelayan. Dan di pulau ini mereka mendapatkan sisa bencana itu, seluruh permukaan pulau sudah menjadi gundul dan hanya ada seorang manusia di situ yang menyambut mereka, yaitu kakek mereka, Liu Ek Soan yang merangkul mereka sambil menangis sesenggukan. Ayah bunda mereka, paman-paman dan bibi mereka, saudara-saudara misan mereka, para tetangga, semua habis lenyap ditelan gelombang samudera mengganas.
“Demikianlah, kongcu. Kami bertiga selamat dan agaknya tidak ada seorang pun yang tahu akan hal ini. Aku lalu merawat dan mendidik kedua orang cucuku ini, kami hidup sederhana dan cukup bahagia di pulau kami.”
Ciang Bun memandang kagum. “Dan berkat pendidikan locianpwe, kini Siang-twako dan Hiang-siauwmoi menjadi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.”
“Ahhh, Suma-kongcu terlalu memuji. Dalam hal ilmu silat, mana mungkin kami dapat dibandingkan dengan kongcu sebagai cucu Suma-locianpwe di Pulau Es? Kami hanya mempelajari sedikit ilmu dalam air.”
“Itulah yang amat mengagumkan hatiku. Mereka berdua ini dapat bergerak di air seperti ikan saja, begitu kuat menyelam lama dan dapat bergerak di permukaan air sedemikian gesit dan ringannya. Sungguh mengagumkan dan aku ingin sekali mempelajari ilmu itu.”
“Bun-ko, kenapa engkau tidak tinggal di sini bersama kami dan belajar bersama kami?” tiba-tiba Lee Hiang berkata dengan sinar mata berseri.
“Benar, dan kong-kong tentu akan suka sekali mengajarkan ilmu dalam air kepadamu, Bun-hiante!” Lee Siang menyambung.
Pemuda ini pun suka sekali kepada Ciang Bun yang tampan gagah dan pendiam itu, apalagi mengingat bahwa selama mereka hidup di pulau itu, jarang mereka bertemu dengan manusia lain, apalagi bersahabat. Dua orang muda itu rindu akan persahabatan dan munculnya Ciang Bun merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan hati mereka.
Lain lagi yang dipikirkan kakek Liu Ek Soan. Tadi Ciang Bun menuturkan keadaannya dan kakek ini amat tertarik. Pemuda gagah ini adalah cucu Pendekar Super Sakti, putera Suma Kian Lee, keturunan Pendekar Super Sakti dan Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. Pemuda ini adalah keturunan pendekar besar dan alangkah baiknya, alangkah akan bangga dan puas rasa hatinya kalau cucunya yang terkasih, Liu Lee Hiang, dapat berjodoh dengan pemuda ini!
Dia akan berbesan dengan keluarga Pulau Es. Hebat! Dan hal itu bukan tidak mungkin terjadi kalau pemuda ini belajar di Pulau Nelayan. Cucunya itu cukup cantik manis dan usia mereka sebaya, hubungan mereka yang baru sehari itu sudah nampak demikian akrab. Mengapa tidak?
“Tentu saja aku akan merasa gembira sekali dapat membimbing Suma-kongcu dalam ilmu bergerak di air,” katanya dengan wajah berseri. “Dan untuk itu sebaiknya kalau Suma-kongcu sementara waktu tinggal di sini bersama kami. Bagaimana pendapatmu, kongcu?”
Suma Ciang Bun memandang kepada Lee Siang. Dia merasa suka sekali kepada pemuda ini dan rasanya dia akan merasa kehilangan sekali kalau sampai berpisah dari pemuda hebat itu. Dan dia pun suka kepada Lee Hiang, sedangkan kakek itu pun amat baik dan mengenal keluarga Pulau Es. Kalau dia memiliki ilmu dalam air seperti mereka, agaknya dia tidak perlu takut lagi menghadapi amukan badai seperti semalam.
“Baiklah, locianpwe. Aku akan senang sekali tinggal di sini untuk sementara waktu dan mempelajari ilmu itu.”
“Tetapi, harap kongcu jangan menyebut locianpwe atau suhu kepadaku, sungguh aku merasa malu kalau kau sebut begitu, terlalu tinggi bagiku....”
“Lalu aku harus menyebut bagaimana?”
Kakek itu tertawa dan sekali menggerakkan tangan kanan, dayungnya menancap di atas tanah batu karang itu sampai seperempatnya lebih. Ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki tenaga sinkang yang kuat! “Ha-ha-ha, engkau sebaya dengan dua orang cucuku, bagaimana kalau engkau pun menyebut kakek kepadaku?”
Ciang Bun menjadi girang sekali “Baik, Liu-kong-kong, akan tetapi karena kong-kong menyebut nama mereka begitu saja, maka kepadaku juga sebaiknya kalau kong-kong menyebut namaku tanpa pakai embel-embel kongcu segala macam.”
“Ha-ha-ha, baik sekali, baik sekali, Ciang Bun, engkau sungguh seorang anak yang baik dan pantas menjadi cucu Majikan Pulau Es.”
Demikianlah, mulai hari itu, Ciang Bun tinggal di Pulau Nelayan bersama Liu Ek Soan, Lee Siang dan Liu Lee Hiang. Dengan tekun dia mempelajari ilmu dalam air, dibimbing dengan penuh perhatian oleh Liu Ek Soan, dan dibantu pula oleh Lee Siang dan Lee Hiang. Seperti yang diidam-idamkan oleh kakek itu, pergaulan antara cucu keluarga Pulau Es dan cucunya berjalan lancar dan mereka Nampak akrab sekali.
Bahkan pada bulan-bulan berikutnya, pandangan kakek yang sudah berpengalaman ini dapat melihat dengan jelas bahwa cucunya perempuan, Lee Hiang, telah jatuh hati pada Ciang Bun! Akan tetapi kakek ini merasa ragu apakah cucu Pendekar Super Sakti itu juga ‘ada hati’ kepada dara itu.
Ciang Bun orangnya pendiam dan sukar menjenguk hatinya. Sikapnya pada Lee Hiang memang baik dan ramah, tetapi tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemuda ini tertarik kepada dara yang sedang manis-manisnya bagaikan bunga sedang mekar semerbak itu. Sikap Ciang Bun biasa saja, bahkan nampaknya pemuda ini lebih akrab dan lebih dekat dengan Lee Siang dari pada Lee Hiang!
“Bun-koko, mari kita latihan menyelam dan mencoba untuk menangkap belut laut yang lincah itu. Dasar-dasar ilmu bergerak dalam air telah kau pelajari dari kong-kong, hanya tinggal mematangkan latihan saja,” kata Lee Hiang yang berdiri di atas perahu kecil itu bersama Ciang Bun, sedangkan Lee Siang melatih diri dengan alas kaki kayunya.
Dia berlatih membuat lompatan-lompatan jauh dan nampaknya pemuda ini sudah mahir sekali. Sejak tadi Ciang Bun yang sudah agak letih berlatih itu duduk di atas perahu memandang ke arah Lee Siang penuh kagum.
Mendengar ajakan dara itu, dia mengangguk. “Baiklah, siauw-moi. Akan tetapi belut itu terlalu cepat dan gesit untukku. Lagi pula, tubuhnya sangat licin sehingga sukar untuk ditangkap.”
“Aku akan membantumu, koko. Memang belut itu sukar ditangkap dan aku sendiri pun tanpa dibantu takkan dapat menangkapnya. Dia harus dihadang dari depan belakang, dan dalam kebingungan dia baru dapat ditangkap sebab jika bingung dia menyusupkan kepalanya ke dalam lumpur sehingga kita tinggal menangkap ekornya saja. Tapi dia merupakan bahan latihan bergerak dalam air yang baik sekali.”
“Baiklah, mari!” kata Ciang Bun yang sudah bergerak hendak meloncat ke air.
Akan tetapi lengannya dipegang oleh jari-jari tangan halus itu. Dia menoleh dan dua pasang mata saling bertemu. Sepasang mata Lee Hiang penuh kemesraan, akan tetapi mata Ciang Bun memandang biasa saja, agak heran.
“Ada apakah, Hiang-moi?”
“Engkau lupa penutup telingamu,” kata dara itu yang tiba-tiba wajahnya berubah merah karena pertemuan pandang mata itu amat berkesan di hatinya yang menjadi berdebar penuh ketegangan aneh.
“Ahh, engkau benar. Pelupa sekali aku!” kata Ciang Bun.
Dia pun memasang alat pelindung telinganya. Untuk melakukan penyelaman sampai lama di dalam lautan, telinga perlu dilindungi dan ditutup agar tidak rusak oleh tekanan air. Setelah itu, kedua orang itu lalu meloncat ke air dan menyelam. Bagaikan dua ekor ikan saja, mereka menyelam dan berenang di dalam air.
Ciang Bun hanya mengenakan sebuah celana pendek yang ringkas dan tubuh bagian atasnya telanjang. Kulitnya putih halus mengkilat ketika tubuhnya meluncur di dalam air itu. Kini dia telah pandai menyelam dan berenang dalam air, melawan tekanan air dan gerakan ombak. Memang pada dasarnya dia memiliki sinkang yang amat kuat, maka setelah diberi petunjuk oleh kakek Liu, sebentar saja dia telah menguasai ilmu itu dan berkat sinkang-nya, dia malah lebih kuat menahan napas dibandingkan dengan kakak beradik Liu itu! Hanya dia belum dapat memiliki kelincahan seperti mereka karena kalah biasa dan kalah latihan.
Juga pandang mata Lee Hiang di dalam air lebih tajam dan awas dibandingkan Ciang Bun. Hal ini pun karena kebiasaan dan latihan. Mereka berdua mencari-cari dan Lee Hiang menjadi penunjuk jalan.
Tiba-tiba dara itu memberi isyarat dan menuding ke depan. Nampak seekor belut merah berenang perlahan di depan. Dari isyarat tangannya, Lee Hiang menyatakan bahwa dara itu hendak menghadang dari depan dan ia menyuruh Ciang Bun menghadang dari belakang. Ciang Bun memberi isyarat bahwa dia telah mengerti.
Dara itu lalu mempercepat gerakannya, meluncur dan mengambil jalan memutar untuk mendahului belut itu, kemudian membalik dan menghadang di depan! Belut itu panjang, ada satu meter panjangnya dan sebesar lengan dara itu. Melihat ada mahluk aneh menghadang, belut itu cepat membalikkan tubuhnya. Akan tetapi Ciang Bun mendatangi dan mengembangkan kedua lengannya, jari-jari tangannya terbuka dan siap untuk menangkap kalau belut itu lewat di dekatnya.
Melihat ini, belut itu kembali membalik dan paniklah dia ketika melihat di depan dan belakangnya ada mahluk besar yang hendak menangkapnya. Dia meluncur ke kiri, akan tetapi Lee Hiang sudah mendahuluinya dan menyambar dengan tangan kanan. Belut itu mengelak dan membalik, akan tetapi sudah ada pula Ciang Bun yang menyergapnya. Secepat kilat, Ciang Bun mencengkeram dan dia berhasil menangkap belut itu pada perutnya.
Belut itu meronta dan membelit hendak menggigit, tapi Lee Hiang sudah menangkapnya pula, tepat pada lehernya. Karena belut itu kuat dan tubuhnya mengeluarkan lendir yang licin, dua orang muda itu dengan susah payah mempertahankan agar belut itu tidak terlepas kembali.
Dalam pergumulan ini, tanpa disengaja tubuh mereka saling merapat dan tahu-tahu lengan Ciang Bun sudah melingkari pinggang Lee Hiang dan lengan dara itu merangkul lehernya. Kemudian tiba-tiba saja mulut Lee Hiang sudah bertemu dengan mulut Ciang Bun.
“Ihhh....!” Pemuda itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menggigil dan dia pun melepaskan tubuh belut itu dan mendorong tubuh Lee Hiang! Belut itu terlepas dan melarikan diri, sedangkan pelukan mereka pun terlepas.
Ciang Bun berenang ke atas dengan jantung berdebar, sedangkan Lee Hiang juga berenang menyusulnya. Tiba-tiba Lee Hiang terkejut sekali melihat sinar putih meluncur dari arah kiri. Sekali pandang saja tahulah apa benda itu, akan tetapi Ciang Bun yang masih belum mengenal benar keadaan di lautan itu, melihat adanya seekor belut putih yang panjangnya ada satu meter akan tetapi lebih kecil dari pada yang tadi, timbul kegembiraannya dan cepat dia menyambar dan menangkap belut itu.
“Pratttt!” Belut itu mengelak dan tiba-tiba mencambukkan dirinya ke lengan Ciang Bun.
Pemuda itu tersentak kaget dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya seperti dibakar dari dalam dan pandang matanya gelap, dia lunglai tak sadarkan diri. Melihat ini, Lee Hiang cepat menyambarnya, menarik tangannya dan dibawanya berenang naik. Setelah dia menyembulkan kepala di permukaan air dan menarik kepala Ciang Bun yang pingsan itu dengan menjambak rambutnya, dia melihat kakaknya duduk di dalam perahu dan beristirahat.
“Siang-ko....! Cepat.... Bun-ko dilecut belut petir! Tolongggg....!”
Mendengar ini dan melihat Ciang Bun yang pingsan, Lee Siang cepat meloncat dan berenang menghampiri, membantu adiknya membawa Ciang Bun naik ke dalam perahu kecil mereka. Melihat Ciang Bun rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan dan napas nampaknya berhenti sama sekali, matanya terbelalak dan tidak bersinar lagi, Lee Hiang menjerit dan menubruk tubuh itu dan menangis.
“Bun-ko....! Bun-ko.... ah, Bun-ko, jangan mati.... jangan tinggalkan aku, Bun-ko....!” Ia menangis sesenggukan.
Tangan Lee Siang yang kuat menariknya dan terdengar suara pemuda itu yang kereng, “Hiang-moi, kong-kong tentu akan memukulmu kalau melihat sikapmu yang cengeng ini! Tenanglah dan aku akan mencoba menolongnya seperti yang pernah diajarkan oleh kong-kong.”
Lee Hiang melepaskan rangkulannya, dan duduk agak menjauh, akan tetapi ia belum berhenti menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama Ciang Bun. Sementara itu, Lee Siang segera memeriksa nadi lengan Ciang Bun dan dengan lega mendapat kenyataan bahwa urat nadi itu masih berdetak, walau pun lemah sekali. Kalau tidak cepat ditolong, tentu urat nadi itu akau berhenti berdetak pula.
Maka tanpa ragu-ragu dia lalu mengangkat kepala Ciang Bun dengan menaruh tangan kiri pada bawah tengkuk, membuka mulut Ciang Bun, menggunakan tangan kanan menutup lubang hidung pemuda itu dan merapatkan mulutnya ke mulut Ciang Bun yang terbuka. Maka ditiupnyalah sekuat tenaga ke dalam mulut Ciang Bun.
Dada Ciang Bun bergerak mekar. Ketika tiupan dihentikan dan Lee Siang melepaskan ‘ciumannya’, dada itu mengempis lagi. Akan tetapi pernapasan Ciang Bun belum juga berjalan. Lee Siang mengulangi tiupannya itu sampai berkali-kali. Akhirnya pernapasan Ciang Bun mulai berjalan, mula-mula amat lemah akan tetapi sudah berjalan kembali, melegakan hati Lee Siang yang menghentikan usahanya.
“Bun-koko.... sadarlah, jangan mati.... aku.... aku cinta padamu, Bun-ko!”
Suara inilah yang pertama-tama terdengar oleh Ciang Bun. Ia telah sadar kembali akan tetapi belum membuka matanya, bahkan kini hampir tidak berani membuka matanya ketika mendengar suara Lee Hiang itu. Lee Hiang menangis! Dan bilang cinta padanya! Hatinya merasa tegang dan tidak enak sekali. Lalu dia teringat akan pengalamannya tadi.
Dia berhasil menangkap belut bersama Lee Hiang, akan tetapi dara itu menciumnya! Mencium mulutnya! Dan ketika dia berenang hendak naik, dia melihat seekor belut putih yang hendak ditangkapnya. Lalu tiba-tiba dia merasa dirinya seperti dibakar dan tidak ingat apa-apa lagi.
Ciang Bun membuka mata, melihat Lee Hiang masih menangis dan melihat Lee Siang merangkulnya. Jantungnya berdebar senang. Begitu senang dia karena rangkulan Lee Siang ini! Akan tetapi dia juga merasa malu dan sungkan, lalu bangkit duduk dan bertanya, “Apakah yang terjadi? Di mana.... ehh, belut itu....?”
Lee Hiang memegang tangan kirinya dengan kedua tangan meremas-remas tangan itu. Ciang Bun merasa semakin tidak enak dan ingin menarik tangannya, akan tetapi takut kalau-kalau menyinggung perasaan Lee Hiang, maka didiamkannya saja.
“Bun-ko, tahukah engkau bahwa engkau tadi nyaris tewas sehingga aku menjadi amat khawatir?”
Ciang Bun memandang wajah yang manis itu, yang kini sudah tersenyum akan tetapi pipinya masih basah, bukan hanya basah air laut melainkan juga air mata. “Apa yang terjadi?”
“Belut putih yang kau tangkap itu adalah belut beracun yang amat jahat, namanya belut petir. Belut itu tidak menggigit, melainkan melecut dengan ekor dan tubuhnya yang mengandung kekuatan membakar seperti petir. Biasanya, orang yang terkena lecutan belut itu tentu akan mati. Dia tidak pernah menyerang kalau tidak diserang lebih dulu dan karena engkau hendak menangkapnya, maka dia menyerangmu. Ahhh, kukira tadi engkau sudah.... sudah.... mati, koko. Untung ada Siang-ko yang pernah belajar cara menyembuhkan orang yang belum mati dilecut binatang itu.”
Lee Siang juga menyambung. “Dan untung sekali bahwa engkau memiliki sinkang yang amat kuat, hiante. Lecutan belut itu mengandung kekuatan membakar yang amat hebat, seperti orang kalau disambar petir. Karena jantungmu amat kuat berkat sinkang-mu, maka hanya pernapasanmu saja yang terhenti, akan tetapi jantungmu masih berdetak lemah. Aku hanya tinggal membantu pernapasanmu saja.”
“Membantu pernapasan?” Ciang Bun bertanya heran.
“Ya, membantu agar pernapasanmu pulih dan bekerja kembali karena tadinya terhenti oleh guncangan hebat akibat lecutan belut petir itu. Kalau jantungmu berhenti, baru aku akan membantu gerakan jantungmu dengan totokan dan pijatan yang kuat. Hal itu amat berbahaya karena mungkin saja dapat mematahkan beberapa ujung tulang igamu! Syukur engkau selamat berkat kekuatan sinkang-mu.”
Ciang Bun memandang dengan rasa kagum. “Ahh, kalau begitu aku berhutang nyawa kepadamu, twako.”
Lee Siang menggerakkan tangan dengan jengah “Aihhh, mengapa engkau begitu sungkan? Sudah sepatutnya kalau aku yang tahu sedikit akan cara pengobatan itu menolongmu.”
“Aku pun ingin belajar ilmu itu, twako. Siapa tahu, lain kali aku perlu menolong seorang di antara kalian, atau orang lain.” Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan, “Bagaimana sih cara pengobatan itu? Apa menggunakan obat? Bagaimana engkau bisa membantu pernapasan orang lain bekerja kembali setelah napas itu berhenti? Apakah dengan totokan-totokan tertentu?”
“Tidak, melainkan dengan cara meniupkan hawa ke dalam paru-parumu melalui mulut,” jawab Lee Siang.
“Ehhh....? Bagaimana caranya? Coba kau beri contoh, twako, bagaimana cara engkau menolongku tadi?”
Mendadak saja Lee Siang kelihatan jengah dan malu-malu, sedangkan Lee Hiang tersenyum-senyum aneh.
“Hei, kalian kenapa?”
“Pengobatan itu dilakukan dengan cara mencium....,” dara itu berkata jenaka.
“Ehhh? Jangan main-main, siauw-moi, aku sungguh ingin belajar dan ingin tahu cara pengobatan yang aneh akan tetapi dapat menyelamatkan nyawa manusia ini.”
“Siang-koko, kenapa tidak kau beri contoh saja dia ini. Biar puas hatinya,” Lee Hiang menggoda.
Lee Siang menghela napas. “Baiklah, hiante. Kau rebahlah seperti tadi ketika engkau pingsan.”
Setelah Ciang Bun merebahkan diri terlentang, pemuda itu berkata. “Mula-mula engkau periksa pernapasan dan detik nadinya. Engkau tadi dalam keadaan pingsan. Napasmu terhenti sama sekali, akan tetapi detik nadimu masih berdenyut walau pun lemah. Itu berarti bahwa paru-parumu berhenti bekerja akan tetapi jantungmu masih bekerja. Lalu aku mengangkat lehermu begini, maksudnya supaya lubang kerongkonganmu terbuka lebar. Lalu aku menutupi kedua lubang hidungmu dan meniupkan hawa ke dalam paru-parumu begini….”
Biar pun sungkan untuk mengajari pemuda itu, Lee Siang lalu menutup mulut Ciang Bun yang dibukanya itu dengan mulutnya sendiri dan dia pun meniup keras-keras!
Ciang Bun terbelalak, akan tetapi jantungnya berdebar dan suatu perasaan yang amat mesra merayapi seluruh tubuhnya. Tidak seperti ketika Lee Hiang menciumnya di dalam air tadi, kini dia merasa senang sekali beradu mulut dengan Lee Siang! Akan tetapi dia terbatuk-batuk ketika pemuda itu meniupkan hawa dengan kuat ke dalam paru-parunya. Hal ini terjadi karena ia terkejut dan tentu saja timbul perlawanan dari kerongkongannya.
Lee Hiang memandang dan tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Lee Siang tersenyum saja. “Nah, usaha itu kau ulangi terus sampai si korban dapat bernapas sendiri, atau sampai paru-paru itu bekerja kembali, hiante. Sedangkan kalau nadinya sudah tidak berdenyut lagi yang berarti jantungnya terhenti karena guncangan hebat itu, engkau totok dia di sini.” Dia meraba dua jalan darah di pungung dan atas lambung dan menambahkan, “Kemudian engkau tekan dan pijit arah jantung dari dada depan, dan ini mungkin saja akan mematahkan ujung tulang iga, akan tetapi hal itu tidak berbahaya. Usaha ini adalah untuk meughimpit dan mendorong jantung agar jantung yang bekerja seperti pompa itu dapat bergerak dan bekerja kembali.”
Akan tetapi perhatian Ciang Bun sudah kurang dapat dipusatkan. Jantungnya berdebar keras ketika dia memandang Lee Siang, terutama memandang ke arah mulut itu, ke arah bibir yang baru saja menempel pada bibirnya. Mukanya menjadi merah sekali dan kakak beradik itu tentu saja mengira bahwa merahnya muka itu karena tersedak ketika ditiup tadi.
“Bun-ko, kau belajarlah yang baik agar lain kali kalau aku yang menjadi korban belut petir, engkau sudah dapat menolongku,” kata Lee Hiang dengan wajah berseri dan bibir tersenyum nakal.
“Ehhh, bocah nakal! Mengapa engkau jadi ingin benar ditolong Bun-hiante?” kakaknya menggoda.
“Aku memang lebih senang dicium oleh Bun-ko dari pada oleh orang lain!” jawab Lee Hiang dengan polos dan jujur.
Kakak dara itu tertawa. “Ha-ha-ha, agaknya engkau sungguh jatuh cinta mati-matian kepada Bun-hiante. Bagaimana dengan engkau, Bun-te?”
Ciang Bun menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan dia mengerutkan alisnya. Kakak beradik ini sungguh terlalu terbuka dan polos, bicara soal cinta begitu saja dan dara ini menyatakan keinginan diciumnya, menyatakan cintanya begitu terang-terangan, sedangkan kakaknya tak menegurnya bahkan membantu dan mendorongnya bicara tentang cinta. Dia sendiri tentu saja merasa malu dan jengah, dan tidak dapat menjawab sama sekali.
Melihat ini, kakak beradik itu hanya tersenyum, bahkan Lee Siang lalu tertawa keras. “Ha-ha-ha, Bun-hiante nampak malu-malu, jangan sampai kita membuat dia bingung, Hiang-moi. Marilah kita pulang agar kong-kong tidak mengharap cemas.”
Mereka berperahu kembali ke pulau dan Ciang Bun menjadi termenung seorang diri, memikirkan keadaan dua orang kakak beradik ini, juga memikirkan keadaan batinnya sendiri yang mengalami gejolak amat hebatnya, membuat matanya terbuka dan dia melihat hal-hal aneh terjadi pada dirinya yang membuatnya cemas dan gelisah.
Tentu saja kepolosan dan kejujuran kakak beradik itu membuat Ciang Bun terkejut dan heran bukan main, bahkan ada kesan di hatinya bahwa mereka itu tidak sopan!
Apakah soal cinta, bahkan soal sex, merupakan hal yang tidak patut untuk dibicarakan secara terbuka? Benarkah bahwa membicarakan hal itu secara jujur merupakan hal yang ‘tidak sopan’? Tentu saja tidak sopan kalau diukur dari ukuran kesopanan umum, tidak susila jika dipandang dari kacamata kesusilaan umum. Akan tetapi bagaimanakah sesungguhnya?
Mengapa tata kesusilaan kita mengharamkan kejujuran terhadap dua hal ini, terutama perihal sex? Bukankah cinta dan sex merupakan hal-hal yang erat kaitannya dengan kehidupan, bahkan merupakan kenyataan yang tidak mungkin dapat dihindarkan oleh setiap orang manusia sehingga merupakan suatu kewajaran dalam hidup? Mengapa lalu diharamkan pengertian tentang itu sehingga kita menjauhkan anak-anak dari pengertian tentang hal itu?
Tak perlu dibantah lagi bahwa membicarakan cinta dan sex dengan maksud untuk bicara cabul, untuk main-main, adalah hal yang sama sekali tidak patut. Membicarakan apa pun juga, jika pamrihnya hanya untuk main-main dan mengandung dasar pemikiran dan bayangan kotor atau cabul, jelas tiada manfaatnya, bahkan merusakkan kejernihan batin. Akan tetapi, bagaimana kalau membicarakannya tanpa dasar kotor seperti itu, melainkan bicara seperti kita membicarakan sesuatu yang tidak terpisah dari pada kehidupan itu sendiri?
Pandangan tradisionil nenek moyang kita memang sengaja mengharamkan percakapan tentang cinta dan sex sebagai sesuatu yang memalukan, tentu saja pada mulanya dimaksudkan untuk membuat kita malu untuk melanggarnya. Akan tetapi, pandangan macam ini lalu menimbulkan suatu pandangan yang tidak menguntungkan terhadap sex, seolah-olah sex merupakan suatu perbuatan yang tidak pantas, memalukan, dan membongkar sesuatu yang kotor yang kita lakukan! Inilah yang menyebabkan semua orang menutup mulut tentang sex dan merahasiakan perasaan cintanya terhadap orang berlainan kelamin, hanya karena sudah tumbuh dalam batinnya pendapat tradisionil itu.
Sudah tiba saatnya bagi kita untuk mengubah pandangan yang keliru ini. Kita harus berani membuka mata bahwa persoalan cinta dan sex adalah persoalan hidup yang menyangkut kehidupan setiap orang manusia. Setiap orang anak pada saatnya pasti akan memasuki tahap ini dan dari pada mereka memasukinya dengan membuta, dari pada mereka memperoleh keterangan-keterangan yang menyesatkan tentang cinta dan sex dari orang lain, dari pada mereka memperoleh pengertian melalui percakapan-percakapan yang berdasarkan pandangan cabul dan kotor, alangkah baiknya kalau mereka, anak-anak itu mendengarnya dari orang tua atau pendidikan sendiri, dengan cara yang terbuka dan jujur, tanpa didasari kecabulan.
Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang sejak kecil hidup di pulau kosong bersama kakeknya, dan mereka itu hanya sekali waktu saja bertemu dengan orang-orang lain jika kebetulan mereka ikut kakek mereka untuk berbelanja ke daratan besar atau ke pulau-pulau lain. Mereka mendapatkan pendidikan bun (tulisan) dan bu (silat) dari kakek mereka sendiri.
Akan tetapi kakek mereka cukup bijaksana untuk memberi pengertian kepada mereka tentang cinta antara pria dan wanita dan tentang hubungan antara pria dan wanita, walau pun secara sederhana. Kemudian, dengan menyaksikan hubungan-hubungan kelamin antara binatang-binatang di sekitar tempat itu, antara ikan-ikan, burung-burung dan binatang hutan yang mereka dapatkan di kepulauan lain, kedua orang kakak beradik ini tumbuh dengan pengertian tentang cinta dan sex secara wajar.
Mereka tahu bahwa hubungan itu antara kakak dan adik adalah hal yang tidak baik, tak wajar dan menurut kakek mereka, berbahaya bagi kesehatan mereka, maka mereka menganggapnya sebagai hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Pengertian ini membuat cinta mereka sebagai kakak beradik tidak dipengaruhi birahi sama sekali. Namun, mereka sudah biasa untuk bicara tentang cinta, bahkan tentang sex, secara terbuka dan tanpa malu-malu, seperti kalau mereka bicara tentang penderitaan lapar dan haus, dan tentang kenikmatan makan dan minum. Keterus terangan inilah yang membuat Ciang Bun menjadi terkejut, heran dan juga malu dan canggung.
Malam itu Ciang Bun tak dapat memejamkan matanya. Selama tiga bulan ini dia tinggal di pulau itu dan merasa betah sekali karena tiga orang penghuni pulau itu amat baik kepadanya. Dia tidur sekamar dengan Lee Siang. Akan tetapi malam ini dia gelisah! Dia merasa akan datangnya sesuatu yang mungkin akan merubah seluruh kehidupannya.
Peristiwa siang tadi sungguh mendatangkan kesan yang amat mendalam, ketika dia dicium Lee Hiang, lalu ketika Lee Siang ‘menciumnya’ untuk mengajarnya melakukan pertolongan kepada korban lecutan belut petir. Akhirnya ketika tanpa malu-malu lagi Lee Hiang menyatakan cintanya kepadanya, bahkan diperkuat oleh ucapan-ucapan Lee Siang!
Lee Hiang jatuh cinta padanya! Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dia sudah banyak mendengar dan membaca tentang cinta, antara pria dan wanita ini. Akan tetapi, mengapa dia merasa bingung? Apakah dia tidak mencinta Lee Hiang? Dia suka sekali pada Lee Hiang yang jenaka dan cantik manis, lincah dan merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.
Akan tetapi, terus terang saja dia sama sekali tidak merasa tertarik atau terangsang oleh Lee Hiang, bahkan ketika dara itu menciumnya di dalam air, dia merasa terkejut, malu dan tidak senang! Sebaliknya, ketika Lee Siang mengajarkan cara pertolongan itu dan beradu mulut dengan dia, dia merasa begitu terangsang dan senang, begitu nyaman dan.... dia sendiri tidak tahu perasaan apa lagi yang mengaduk hatinya. Pendeknya dia merasa mesra dan senang sekali!
Kini teringatlah dia betapa setiap malam, kalau Lee Siang sudah tidur nyenyak, sering kali dia duduk dan memandangi wajah dan tubuh temannya itu dengan perasaan yang luar biasa. Dan setelah teringat akan semua itu, teringat pula akan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya ketika pemuda itu ‘menciumnya’.
Ciang Bun merasa terkejut, bingung dan gelisah. Kini dia melihat kenyataan aneh dan mengejutkan yang berada dalam batinnya, yaitu bahwa dia sama sekali tidak pernah tertarik kepada kaum wanita! Memang dia dapat melihat keindahan tubuh wanita dan kecantikan wajah wanita, akan tetapi semua itu sama sekali tidak menimbulkan gairah, sama sekali tidak mendatangkan kemesraan dan tidak mempunyai daya tarik baginya.
Sebaliknya, dia sangat tertarik kepada Ceng Liong, kepada Kao Cin Liong dan kini dia arnat tertarik kepada Lee Siang! Bahkan ketika pemuda itu ‘menciumnya’, dia merasa amat senang. Bangkit rangsangan gairahnya, terasa amat mesra dan menyenangkan.
“Ya Tuhan....!” Ciang Bun berseru di dalam hatinya sendiri ketika dia melihat kenyataan ini.
Birahinya tidak dapat terangsang oleh wanita, melainkan oleh pria! Dengan bingung dan gelisah melihat kenyataan yang amat membedakan antara dirinya dengan kaum pria pada umumnya ini, Ciang Bun lalu menutupi muka dengan kedua tangannya dan dia pun menangis!
Tiba-tiba dua buah tangan yang kuat dengan lembut memegang pundaknya dan Lee Siang bertanya halus, “Bun-te, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis?”
Dalam keadaan sedang berduka, pertanyaan seorang yang disayang dapat menambah keharuan hati. Ciang Bun juga demikian. Dirangkul pundaknya dan ditanya dengan suara penuh kekhawatiran itu, air matanya makin deras mengalir dan dia pun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di atas dada yang bidang itu.
Diam-diam Lee Siang merasa heran dan kasihan sekali. Heran melihat bagaimana pemuda yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat gagah perkasa ini dapat bersikap begini lemah, menangis seperti seorang wanita cengeng. Akan tetapi dia juga merasa kasihan melihat kedukaan Ciang Bun dan mengira bahwa tentu pemuda ini menangisi nasib keluarganya, yaitu kematian kakek dan para neneknya di Pulau Es dan kehilangan saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana nasibnya itu.
Maka, karena merasa iba, ketika merasa betapa Ciang Bun merangkul dan menangis di dadanya, dia pun mendekapnya dan mengelus rambutnya untuk menghibur. Hal ini justru membuat Ciang Bun menjadi semakin terharu dan dia mengangkat mukanya yang basah, memandang kepada Lee Siang. Melihat wajah yang tampan itu memandang penuh kekhawatiran, Ciang Bun kembali merangkul.
“Siang-twako.... ahhh, Siang-twako....” keluhnya.
Lee Siang memeluk. “Bun-te, adikku yang baik, kau tenangkanlah hatimu, kuatkanlah hatimu....”
Dalam rangkulan pemuda itu, Ciang Bun merasa demikian senang dan terhibur, akan tetapi dia teringat akan janggalnya perasaannya sendiri ini. Teringat bahwa dia pun seorang pria, maka dia pun kembali diingatkan akan keadaannya yang luar biasa itu, keadaan yang membuatnya berduka dan menangis. Maka dia pun meronta dan sekali merenggutkan tubuhnya, dia telah terlepas dari pelukan Lee Siang.
“Tidak.... tidak.... jangan....!” Dan dia pun meloncat dan berlari keluar dari kamar, terus keluar dari pondok itu.
“Bun-hiante....!” Lee Siang tadi terpental ketika pemuda itu meronta, dan dia memanggil dengan khawatir, akan tetapi melihat pemuda itu lari keluar, dia tidak berani mengejar, takut kalau-kalau akan membuat Ciang Bun menjadi marah dan tersinggung hatinya.
Lee Siang keluar dari dalam kamarnya, lalu menghampiri kamar adiknya. Dia berpikir bahwa dalam keadaan seperti itu, orang yang paling tepat untuk menghibur hati Ciang Bun hanyalah Lee Hiang. Adiknya itu mencinta Ciang Bun dan dia pun hampir merasa yakin bahwa pemuda itu tentu membalas cinta ini. Adiknya amat cantik manis, dan hubungan antara mereka itu pun nampak demikian akrabnya.
Lee Hiang belum tidur dan dara ini terkejut sekali ketika mendengar cerita kakaknya bahwa Ciang Bun berduka dan menangis dan kini keluar dari dalam pondok.
“Agaknya dia teringat akan keluarga Pulau Es dan dilanda duka yang amat besar sampai dia lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Sudah kucoba menghiburnya akan tetapi gagal, malah dia lari keluar pondok. Adikku, kalau memang engkau mencintanya, engkau harus dapat menghibur hatinya. Kasihan sekali dia.”
“Baik, koko, akan kuusahakan agar dia terhibur. Kasihan Bun-ko.” Dan Lee Hiang pun lalu keluar dari dalam pondok mencari pemuda yang dicintanya itu.
Ciang Bun duduk termenung di tepi laut, menghadap ke timur di mana nampak bulan mengambang di atas air. Indah bukan main. Akan tetapi tiada keindahan baginya di saat itu. Bahkan keindahan itu menambah keharuan hatinya, karena dia teringat akan Pulau Es, teringat akan keluarga kakeknya yang binasa.
Tetapi semua kenangan itu ditelan oleh gelombang kesedihannya karena kenyataan yang dihadapinya. Aku seorang manusia yang tidak lumrah, pikirnya. Akan tetapi, tiba-tiba darah pendekar di tubuhnya memberontak. Dia tidak boleh bersikap lemah! Ibunya tentu akan marah-marah dan mentertawakannya. Ibunya adalah seorang pendekar wanita yang amat keras hati, yang kuat dan sama sekali tidak lemah, bahkan ibunya membenci kelemahan.
Ketika dia masih kecil, kalau dia terjatuh atau mengalami nyeri dan menangis, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa tangis hanya pantas bagi seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Tangis hanya tanda iba diri dan kelemahan batin, demikian kata ibunya.
Ciang Bun yang duduk di atas pantai berpasir itu mengepal tinju. Kenapa dia begini lemah? Kenapa dia tidak berani menghadapi kenyataan ini dan melawannya? Dia tahu bahwa perasaannya yang berlainan dengan laki-laki biasa ini, yang condong untuk lebih menyukai pria dari pada wanita, adalah sesuatu yang tidak lumrah dan dia harus dapat melawan dan menundukkannya. Akan diperlihatkannya bahwa dia adalah seorang laki-laki sejati!
“Bun-koko....! Ehh, Bun-ko, engkau sedang mengapa di situ?”
Ciang Bun menoleh. Lee Hiang telah berdiri di situ, di belakangnya. Cahaya bulan yang baru tersembul dari permukaan air itu menyorotkan cahaya kemerahan dan menimpa kepala dara itu, membuat wajah itu berada di dalam cahaya kemerahan yang indah. Seorang dara yang cantik manis dengan tubuh yang sedang ranum padat dan nampak menggairahkan. Mengapa dia tidak tertarik? Bodoh! Demikian Ciang Bun mencela diri sendiri dan dia pun bangkit berdiri.
“Hiang-moi....,” katanya perlahan.
“Bun-ko.... ah, Bun-ko, engkau membikin aku khawatir sekali. Siang-koko bilang bahwa engkau berduka dan keluar dari pondok. Aku mencari-carimu dan melihat engkau duduk termenung di sini.” Dara itu menghampiri dan merangkul pinggang pemuda itu dengan mesra, mengangkat mukanya memandang. “Bun-koko, janganlah berduka, Bun-ko, ada Lee Hiang di sini yang akan ikut memikul semua kedukaanmu....” Bukan main lembut dan mesranya sikap dan ucapan dara itu.
Aku seorang laki-laki sejati, demikian Ciang Bun menguatkan hatinya dan dia memaksa diri, memeluk tubuh dara itu. “Hiang-moi, engkau seorang dara yang baik sekali.”
“Bun-ko....!” Lee Hiang berkata girang dan mempererat dekapannya pada pinggang pemuda itu.
Aku harus memperlihatkan kejantananku, pikir Ciang Bun dan dia pun mempererat rangkulannya. Ketika wajah dara itu terangkat ke atas, menengadah dan memandang kepadanya dengan sinar mata lembut, dengan mulut setengah terbuka, Ciang Bun lalu menundukkan mukanya dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri, mencium bibir yang menantang itu.
Ciuman itu membuat tubuh Lee Hiang menggigil dan rintihan halus mendesah keluar dari kerongkongannya. Bagi Ciang Bun sendiri, terjadi hal yang sungguh membuatnya ngeri. Mulut yang panas itu, bibir yang lunak lembut itu, ketika bertemu dengan bibirnya dalam sebuah ciuman mesra, mendatangkan rasa muak!
Bukan, bukan kelembutan seorang wanita yang dia dambakan, sama sekali bukan. Dia merindukan kejantanan seorang pria, mulut yaug kuat akan tetapi lembut, bukan lunak menyerah macam mulut wanita ini. Dia tidak tahan lagi dan cepat dia merenggutkan dirinya, melepaskan pelukan.
“Tidak....! Tidak....! Jangan....!” Dan dia pun, seperti tadi ketika meninggalkan Lee Siang, melarikan diri meninggalkan Lee Hiang yang berdiri bengong dengan wajah berohah pucat dan mata terbelalak.
“Bun-koko....!” Ia berteriak dan mengejar.
Sesosok bayangan lain muncul dan ikut mengejar Ciang Bun. Bayangan ini adalah Lee Siang. Pemuda ini tadi mengintai dan ikut bergembira melihat betapa adiknya dan Ciang Bun berciuman di pantai. Akan tetapi, dia ikut terkejut melihat perubahan pada diri Ciang Bun dan ketika Ciang Bun melarikan diri dan dikejar oleh adiknya, dia pun ikut mengejar dengan hati khawatir.
Ciang Bun berdiri di tepi pantai utara, berdiri seperti arca memandang jauh ke depan, tanpa bergerak sama sekali, wajahnya pucat dan matanya sayu.
“Bun-koko....!”
“Bun-hiante....!”
Dia membalik, memandang kepada dua orang kakak beradik itu dengan muka pucat dan dia pun menghardik, “Pergilah kalian! Jangan dekati aku....! Pergiiii....!”
Terdengar Lee Hiang terisak dan Lee Siang menahan napas saking kagetnya melihat sikap pemuda yang mereka sayang itu. Ciang Bun biasanya bersikap ramah dan halus, akan tetapi mengapa sekarang begitu berubah sikapnya, menjadi kasar dan seperti orang yang marah sekali?
Akan tetapi Lee Siang mempunyai pandangan yang jauh dan bijaksana. Dia memegang lengan adiknya dan berkata lirih, “Baiklah, kami pergi, kami hanya ingin menghiburmu, Bun-te. Marilah, adikku!” Dia pun setengah menyeret tubuh Lee Hiang meninggalkan Ciang Bun sendirian.
Sejenak Ciang Bun masih berdiri tegak dengan sikap marah seperti tadi, memandang ke arah dua sosok bayangan yang pergi dengan lemas itu. Kemudian, terasalah seluruh tubuhnya lemas seperti dilolosi urat-uratnya dan dia pun terkulai, jatuh berlutut di atas pasir.
“Ya Tuhan, ampunilah hamba....!” Dia mengeluh dengan hati penuh penyesalan.
Dan semalam itu dia duduk bersila di pantai, tidak pernah beranjak dari tempat itu. Dia bingung sekali. Ketika berada dalam pelukan Lee Siang, terjadi perang dalam batinnya. Perasaannya senang akan tetapi pikirannya menentang. Sebaliknya, saat dia memeluk dan mencium Lee Hiang, pikirannya mendorong akan tetapi perasaannya menentang keras. Dia menjadi bingung, menyesal dan berduka.
Liu Ek Soan menerima laporan tentang keadaan Ciang Bun dari dua orang cucunya. Kakek ini menarik napas panjang. “Keturunan keluarga Pulau Es sudah tentu memiliki keanehan-keanehan watak yang tidak kita mengerti. Biarkanlah saja, jangan ganggu. Besok baru aku akan bicara dengannya.”
Pada keesokan harinya kakek itu menghampiri Ciang Bun yang masih duduk bersila di tepi pantai dan menegur halus, “Ciang Bun, sepagi ini engkau sudah berada di sini dan kelihatan susah hatimu, anak baik?”
Ciang Bun menoleh lalu berkata dengan sedih, “Liu-kong-kong, hari ini aku mohon diri darimu. Aku akan pergi untuk mencari saudara-saudaraku yang terpisah dariku atau aku akan pulang dan melaporkan semua hal itu kepada orang tuaku.”
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian menarik napas panjang. “Kami akan merasa kehilangan, Ciang Bun. Akan tetapi bagaimana lagi, memang sepatutnya kalau engkau melaporkan semua yang terjadi kepada orang tuamu. Sudah tiga bulan lebih engkau di sini. Semua dasar ilmu dalam air telah engkau kuasai, tinggal melatih dan memahirkan saja. Akan tetapi ada suatu hal yang amat penting yang ingin kubicarakan denganmu, anak baik.”
“Hal apakah itu, kong-kong?”
“Tentang engkau dan Lee Hiang! Anak itu telah mengaku kepadaku bahwa ia amat mencintamu dan engkau pun tentu tahu akan hal ini. Maka, jika kiranya engkau dan orang tuamu tidak menganggap kami terlalu rendah, aku ingin sekali menjodohkan Lee Hiang denganmu.”
Ciang Bun menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat akan kebaikan kakek ini dan dua orang cucunya, tentu dia akan menolak keras pada saat itu juga. Akan tetapi dia tidak tega untuk menyinggung perasaan kakek ini, maka dia pun cepat berkata,
“Aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal perjodohan, Liu-kong-kong. Pula, soal perjodohan tergantung kepada ayah bundaku. Aku sendiri tak dapat membicarakannya.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Memang benar sekali ucapanmu itu. Pada suatu hari aku tentu akan menghadap orang tuamu di Thian-cin untuk membicarakan urusan ini. Aku hanya memberi tahu kepadamu agar engkau mengetahuinya lebih dulu. Namun, kalau engkau hendak pergi mencari saudara-saudaramu atau menuju ke daratan besar, biarlah Lee Siang dan Lee Hiang mengantar dan menemanimu.”
“Tidak, Liu-kong-kong, tidak usah! Aku akan pergi sendiri. Aku tahu bahwa letak daratan berada di barat dan sekarang, setelah aku menerima pelajaran tentang ilmu dalam air darimu, aku tidak lagi takut menghadapi badai.”
Kakek itu tidak dapat membantah lagi dan ketika Lee Siang dan Lee Hiang diberi tahu, mereka berdua segera datang menemui Ciang Bun. Begitu melihat mereka, Ciang Bun segera berkata, suaranya penuh penyesalan. “Siang-twako dan Hiang-moi, harap kalian berdua sudi maafkan sikapku semalam....”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bun-te. Antara kita sendiri, mana perlu sungkan dan maaf? Hanya aku menyesal bahwa kami tidak dapat menghibur hatimu yang sedang duka.”
“Sudahlah, semua itu karena kebodohanku sendiri, twako.” Ciang Bun menghela napas.
“Bun-koko.... benarkah engkau.... engkau hendak pergi?” Lee Hiang bertanya, suaranya mengandung kedukaan, tidak seperti biasa suaranya selalu lincah jenaka.
Ciang Bun memandang wajah dara itu dan diam-diam dia merasa kasihan kepada dara yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia merasa yakin bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih Lee Hiang atau wanita yang mana pun juga di dunia ini. Cintanya terhadap Lee Hiang hanya cinta seperti seorang kakak terhadap adiknya, atau paling-paling seperti cinta seorang sahabat saja, cinta tanpa daya tarik dan gairah.
“Benar, siauw-moi, aku harus pergi melaporkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayah bundaku.”
“Kau pergi.... untuk selamanya.... dan tidak akan kembali lagi ke sini....?”
“Ah, kenapa engkau berkata demikian, adikku?” Ciang Bun berkata ramah. “Selagi kita masih hidup, tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi.”
“Tapi, kapan, koko....? Ahhh, aku tentu akan merasa kehilangan sekali.... hidup akan terasa hampa dan tidak menyenangkan tanpa engkau di pulau ini. Aku akan merana dan berduka.... ah, Bun-ko yang tercinta, bagaimana engkau tega meninggalkan aku? Aku ikut....!” Dan Lee Hiang memandang dengan air mata mulai membasahi kedua matanya.
Ciang Bun merasa kasihan sekali. Dia maju menghampiri dan memegang kedua tangan dara itu, sikap dan perasaannya seperti seorang kakak terhadap adiknya tersayang.
“Adikku yang baik, jangan menangis. Engkau bukan seorang dara yang cengeng dan engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat melupakan engkau, Siang-twako, dan juga Liu-kong-kong. Kelak kita pasti akan bertemu kembali.”
Lee Hiang sesenggukan dan menangis di atas dada Ciang Bun. Pemuda ini sekarang tak lagi merasa canggung karena dia menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang menghibur adiknya yang tersayang. Dielusnya rambut kepala dara itu dan dihiburnya dengan kata-kata halus sampai akhirnya Lee Hiang terhibur dan berhenti menangis.
“Bun-ko, kalau sampai lama engkau tidak datang, aku tentu akan pergi menyusul dan mencarimu!” katanya.
“Aihh, moi-moi, jangan bodoh. Kong-kong tentu akan menguruskan perjodohan kalian!” kata Lee Siang, tidak tahu betapa ucapannya itu menusuk perasaan Ciang Bun dan membuat pemuda itu merasa amat tidak tenang hatinya.
Akhirnya, Ciang Bun berangkat naik sebuah perahu, dibekali perlengkapan secukupnya oleh kakek Liu, berikut petunjuk yang jelas arah mana yang harus ditempuhnya untuk mencapai pantai daratan besar.
“Angin bertiup dengan baiknya dan udara amat baik, kalau tidak keliru perhitunganku, dalam waktu dua hari semalam engkau akan mencapai daratan, Ciang Bun,” kata kakek itu.
Dengan diantar oleh lambaian tangan dan tatapan mata tiga orang pulau itu, berikut air mata yang menetes-netes turun dari kedua mata Lee Hiang, berangkatlah Ciang Bun dan dia pun memandang ke arah pulau itu sampai lambat-laun tiga buah titik di atas pulau yang makin mengecil itu tidak dapat nampak lagi. Perahunya meluncur cepat ketika layarnya terkembang penuh.
Sambil mengemudikan perahu, pemuda ini termenung. Terjadi keadaan yang sangat bertentangan antara lahir dan batinnya. Matanya melihat betapa perahunya meluncur cepat menuju ke arah tertentu, demikian lancar dan penuh harapan. Akan tetapi mata batinnya melihat betapa masa depan kehidupannya tak menentu dan suram. Keadaan ini membuat mulutnya bergerak, perasaan dan pikirannya menciptakan sebuah sajak keluhan.
Perahuku meluncur laju
menuju arah tertentu
angin kencang layar terkembang
di depan terang cemerlang!
Namun betapa suram jalan hidupku
hati gelisah tak menentu
gelap pekat meraba-raba
tak tahu harus ke mana?
Pendekar ini tidak bergerak dari tempat dia berdiri, melainkan menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap ujung tombak dengan mudah dan sekali betot, orang itu terbawa mendekat. Begitu kedua tangan pendekar sakti ini bergerak, tombak panjang itu seperti benda lunak saja dilibat-libatkan pada tubuh pemiliknya sehingga penjahat itu terbelit tombaknya sendiri, tidak mampu bergerak seperti ayam ditelikung.
“Plakkk!”
Tangan pendekar sakti itu menampar dan tubuh penjahat yang sudah tidak mampu bergerak itu terlempar keluar dari perahu, jatuh menimpa air yang muncrat tinggi dan tubuh itu pun tenggelam karena dibebani tombak dan kedua lengannya tidak mampu bergerak!
Orang pertama yang menyerang Teng Siang In ialah seorang penjahat berperut gendut dengan kepala botak. Dia memegang ruyung besar. Orang inilah yang tadi menggebuk punggung wanita nelayan itu. Sekarang, dengan ruyung yang besar dan berat itu dia menyerang kepada Teng Siang In. Nyonya pendekar ini pun tak bergerak dari tempat ia berdiri, tetapi sepasang matanya yang tajam berpengaruh itu menatap ke arah wajah si gendut, mulutnya yang manis berkemak-kemik dan telunjuk kanannya menuding.
Terjadilah keanehan yang luar biasa dan membuat para anak buah perahu itu bengong terlongong. Si gendut berkepala botak itu tiba-tiba berhenti menyerang, melotot dan ruyung yang dipegang oleh tangan kanannya itu tiba-tiba saja digerakkan memukuli kepalanya sendiri yang botak. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok disusul keluhan dan teriakannya dan kepala botak itu sebentar saja bocor semua, berdarah dan benjol-benjol.
Tangan kiri orang itu berusaha mencegah tangan kanan, akan tetapi tetap saja tangan kanan itu menggerakkan ruyung, makin lama semakin keras menghantami kepalanya sendiri. Orang itu kebingungan, ketakutan dan kesakitan, berlari ke tepi perahu akan tetapi ruyung di tangannya masih saja terus memukulinya, dan pada pukulan terakhir terdengar suara keras.
“Prakkk!”
Dia pun terguling keluar dari perahu, menimpa permukaan air dan tenggelam karena pukulan terakhir tadi agaknya telah membuat kepala botaknya retak-retak! Melihat ini, mulailah para anak buah perahu percaya akan kehehatan sepasang pendekar itu dan mereka pun bersorak gembira.
Penjahat ke dua yang menyerang Suma Kian Bu adalah seorang penjahat tinggi kurus yang bersenjata sebatang golok. Melihat betapa kawannya dilempar ke telaga oleh pendekar itu, dia berseru marah dan goloknya lalu ditusukkan ke depan, ke arah perut pendekar itu. Seperti tadi, Suma Kian Bu tetap tidak bergerak dari tempatnya melainkan menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah golok yang segera menyeleweng arahnya dan pemegangnya terhuyung. Namun, penjahat itu membalik dan kembali menusukkan goloknya dari samping ke arah lambung.
Kian Bu menggunakan dua jari tangan menangkap atau menjepit ujung golok dan sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara nyaring dan golok itu pun patah menjadi dua! Sebelum penjahat itu hilang kagetnya, Kian Bu menggerakkan tangannya dan patahan golok yang dijepitnya itu menyambar dan langsung amblas memasuki perut si penjahat yang terbelalak dan berteriak keras. Kian Bu menangkap punggung bajunya dan sekali tangannya bergerak, tubuh penjahat itu menyusul temannya terlempar ke air telaga, terus tenggelam oleh karena patahan golok yang terbenam dalam perutnya itu telah merenggut nyawanya.
Penjahat ke empat yang menyerang Teng Siang In juga mengalami nasib yang sama buruknya. Dia menggunakan sebatang pedang yang diputar-putar ke atas kepala dan ketika dia menerjang maju, Siang In berkata halus, “Monyet busuk, engkau bermain-main dengan seekor ular apakah tidak takut digigit?”
Bagi para anak buah perahu yang enak nonton perkelahian aneh itu, terjadilah suatu pemandangan yang aneh luar biasa. Mereka melihat betapa penjahat berpedang yang menyerang nyonya pendekar itu tiba-tiba menjerit, memandangi pedangnya di tangan yang diangkat tinggi-tinggi, matanya terbelalak ketakutan dan berkali-kali dia menjerit seolah-olah melihat pedangnya sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan!
Dan memang sesungguhnya demikian. Seperti tadi ketika menghadapi lawan pertama, nyonya pendekar ini tidak mau mengotorkan tangan menandinginya dengan ilmu silat, tetapi sudah menggunakan ilmu sihirnya. Yang pertama tadi, ia membuat si penjahat memukuli kepala sendiri dengan ruyung sampai remuk. Kini, ia menyihir lawan membuat si lawan itu tiba-tiba saja melihat pedangnya yang berada di tangan itu berubah menjadi seekor ular besar ganas yang menyembur-nyembur dan hendak menggigit hidungnya. Tentu saja dia menjadi ketakutan dan panik melihat ular yang dipegangnya sendiri pada ekornya itu. Selagi dia masih kebingungan, sebuah sepatu runcing menyambar ke arah pusarnya.
“Dukkk!”
“Ahhhh….”
Penjahat itu berteriak, matanya mendelik dan tubuhnya terlempar keluar perahu, lalu menimpa air telaga mengikuti teman-temannya ke neraka!
Si raksasa tinggi besar yang menjadi pimpinan lima orang itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa empat orang temannya tewas dalam keadaan demikian aneh, dan tak disangkanya bahwa mereka itu demikian mudahnya jatuh oleh sepasang pendekar setengah tua ini. Matanya terbelalak memandang kepada suami isteri itu bergantian kemudian dia mengkirik dan membalikkan tubuh, lalu lari hendak meloncat keluar dari perahu yang mengerikan hatinya itu.
“Eh, ehhh, nanti dulu! Berikan dulu golok itu padaku!” Teng Siang In berkata halus.
Akan tetapi sungguh aneh sekali, raksasa itu menghentikan langkahnya, membalik dan menghampiri Siang In, menyerahkan golok besar itu seperti seorang anak penurut yang taat sekali! Siang In menerima golok dan orang itu terbelalak, seolah-olah terkejut dan terheran melihat kelakuannya sendiri dan seperti baru sadar, dia lalu membalik dan lari.
Tubuhnya melayang keluar dari perahu ketika dia meloncat. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan sebatang golok terbang menyambar ke arah leher penjahat itu. Nampak darah muncrat dan ketika tubuh raksasa itu menimpa air, ternyata kepalanya telah terpisah dari badannya oleh goloknya sendiri yang tadi dilontarkan oleh Teng Siang In.
Para anak buah perahu itu bersorak, tetapi mereka juga bergidik ngeri menyaksikan betapa suami isteri ini membunuh lima orang penjahat itu dengan sadis. Mengapa suami isteri pendekar ini menjadi demikian kejam dan sadis terhadap para penjahat? Bukan hanya karena para penjahat itu memang merupakan orang-orang berbahaya yang sudah berani mencoba untuk membunuh kaisar, namun terutama sekali karena telah terjadi perubahan besar di dalam batin suami isteri pendekar ini yang tentu saja mempengaruhi tindakan mereka.
Hal ini terjadi sejak mereka berdua mendengar dari Cin Liong dan Suma Hui tentang terculiknya putera tunggal mereka, Ceng Liong, oleh Hek-i Mo-ong dan terutama sekali mendengar bahwa ayah bunda mereka dan Pulau Es telah terbunuh dan terbasmi oleh datuk-datuk sesat itu. Sejak itu, mereka berdua merasa sakit hati sekali, mendendam kepada dunia penjahat yang membuat mereka sampai hati melakukan kekejaman tadi.
Dendam membuat kita menjadi kejam. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan melihat sendiri keadaan batin kita. Dendam melahirkan kebencian dan kebencian inilah yang memungkinkan perbuatan kejam karena kebencian membuat kita ingin melihat yang kita benci itu menderita sehebat mungkin!
Sekali diracuni dendam, hati seorang pendekar seperti Suma Kian Bu atau Teng Siang In sekali pun, akan berubah menjadi sadis dan kejam, tentu saja kejam terhadap mereka yang menimbulkan dendam itu. Dan kebencian merupakan suatu penyakit.
Jangan dikira bahwa setelah orang yang dibencinya lenyap, lalu kebencian itu pun akan berakhir atau lenyap dengan sendirinya. Kebencian itu akan tetap ada di batin, tinggal menanti bahan bakarnya saja untuk dapat berkobar lagi. Tentu sekali waktu akan muncul bahan bakar itu yang berupa orang atau golongan yang akan dibencinya lagi. Karena kebencian adalah penonjolan ke-akuan yang paling parah, kebencian timbul karena si aku merasa dirugikan sehingga timbul dendam dan benci yang membuat si aku ingin sekali melihat yang dibenci itu menderita dan ‘terbalas’.
Setelah menghajar kelima orang penjahat itu, Kian Bu dan Siang In membalik dan menghadapi kaisar.
Akan tetapi kaisar muda itu memangku tubuh yang sudah lunglai itu sambil menangis dan menciuminya! Kemudian terdengar Kaisar Kian Liong yang sudah mengenal baik suami isteri pendekar itu berkata, “Suma-taihiap, tolonglah…. tolong selamatkan nyawa kekasihku ini....”
Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan Siang In terkejut, cepat menghampiri, berlutut dan memeriksa keadaan wanita itu. Akan tetapi mereka hanya dapat saling pandang setelah mengadakan pemeriksaan. Keduanya maklum bahwa nyawa wanita itu tidak mungkin dapat diselamatkan lagi.
Bagian dalam tubuhnya luka hebat oleh pukulan keras, dan juga lambungnya terluka parah oleh bacokan senjata tajam. Belum lagi seluruh tubuhnya yang terhias luka-luka yang cukup dalam dan parah. Mereka berdua memandang dengan hati iba dan diam-diam mereka pun heran mendengar betapa kaisar menyebut wanita nelayan itu kekasih.
Memang sesungguhnyalah bahwa wanita itu adalah seorang gadis yang semenjak lama menjadi kekasih hati Kaisar Kian Liong, yaitu sejak kaisar ini masih menjadi seorang pangeran.
Beberapa tahun yang lalu, orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang mendendam kepada Kaisar Yung Ceng, menyerbu istana. Di antara mereka terdapat seorang murid Siauw-lim-pai wanita yang bernama Souw Li Hwa yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun. Ia pun mendendam pada kaisar yang masih terhitung susiok-nya sendiri karena gurunya menderita sengsara ketika isteri gurunya itu pada suatu hari diperkosa oleh kaisar!
Souw Li Hwa ikut rombongan para hwesio Siauw-lim-pai untuk membalas dendam dan menyerbu istana. Akan tetapi, orang-orang Siauw-lim-pai itu roboh dan tewas semua kecuali Souw Li Hwa yang berhasil melarikan diri. Di dalam istana ini, selagi dikejar-kejar, Souw Li Hwa bertemu dengan Pangeran Kian Liong yang segera menolongnya, menyembunyikannya, bahkan mengawalnya keluar istana sampai selamat.
Ternyata sang pangeran itu sudah jatuh cinta kepada Souw Li Hwa. Sebelum berpisah, pangeran itu memberikan sebuah cincin dan sang pangeran berjanji bahwa kelak dia akan berjodoh dengan Souw Li Hwa setelah menjadi kaisar. Peristiwa ini diceritakan dengan jelas dalam cerita Suling Emas dan Naga Siluman.
Souw Li Hwa masih sadar dan gadis ini pun melihat sikap sepasang suami isteri itu. Ia pun maklum bahwa dirinya tak mungkin dapat ditolong lagi, maka ia pun berkata lemah, “Sudahlah.... sri baginda.... hamba.... hamba tak mungkin dapat hidup....”
“Li Hwa.... ah, Li Hwa, kenapa selama ini engkau tidak datang kepadaku? Ini.... ah, ini cincinku masih kau bawa.... tapi kenapa engkau tak pernah muncul....?” Kaisar muda itu menarik sebuah tali yang tergantung pada leher Li Hwa, ternyata cincin pemberiannya tergantung pada tali itu.
“Sri baginda.... hamba hanya seorang.... rendah.... mana berani hamba.... mengganggu seorang…. mulia seperti paduka....?”
“Ahhh, Li Hwa kekasihku. Akulah yang bersalah, aku sudah melupakanmu.... terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sampai aku terlupa padamu.... padahal, cintaku padamu tak pernah padam. Li Hwa, kau maafkan aku....”
“Sudahlah, sri baginda.... hamba merasa bahagia.... pada saat terakhir.... masih dapat berjumpa dengan paduka.... masih dapat membela paduka.... ahhh, hamba puas.... ternyata paduka masih mencinta....” Gadis itu menghentikan kata-katanya, napasnya terengah-engah.
Melihat wajah itu makin memucat dan tubuh yang dipangkunya makin lemas terkulai, Kaisar Kian Liong menjadi panik. “Taihiap.... ahhh, tolonglah dia....”
Namun Kian Bu dan isterinya hanya menarik napas panjang. “Luka-lukanya terlampau parah, sri baginda.”
Jawaban ini cukup bagi Kian Liong. Dia merangkul dan menciumi muka yang pucat itu sambil menangis. “Li Hwa.... ahhh, Li Hwa, jangan mati.... mari hidup di sampingku sebagai isteri tercinta....”
Souw Li Hwa membuka kembali matanya dan kini sepasang matanya bersinar layu, walau pun bibirnya mengarah senyum dan wajahnya berseri. “Sri baginda.... kekasih hamba.... hamba rela mati.... hamba.... berterima kasih.... hamba cinta....” Dan ia pun terkulai karena nyawanya telah melayang.
“Li Hwa....!”
“Sri baginda, ia telah tiada....” Siang In berkata halus dan mengambil mayat itu dari pangkuan kaisar.
Kaisar Kian Liong memejamkan matanya dan sejenak dia duduk seperti itu, air matanya turun dari kedua mata yang dipejamkan, dan dia menguatkan hatinya. Kemudian dia membuka mata, bangkit berdiri dan melihat betapa para pengawal, sepasukan besar yang tadinya berjaga di tepi telaga, sudah tiba di situ menggunakan perahu mereka, dia cepat memberi perintah, “Tangkap semua penjahat-penjahat itu dan beri hukuman berat kepada mereka!”
Menerima perintah dari kaisar yang berduka dan marah ini, para pengawal menjadi bingung, tetapi mereka segera turun tangan, ada yang meloncat ke air dan menyelam, mencari lima orang penyerbu tadi. Akan tetapi, mereka hanya mampu menangkap lima mayat saja karena lima orang penjahat tadi telah mati semua.
Suma Kian Bu dan isterinya mengawal Kaisar Kian Liong kembali ke istana di kota raja, dan jenazah Souw Li Hwa juga diangkut ke kota raja di mana kaisar menganugerahi pangkat selir pertama kepada wanita yang telah mati itu. Jenazahnya dikubur dengan upacara kebesaran dan dibuatkan nisan yang besar dan megah.
Setelah ikut menghadiri upacara pemakaman sebagai penghormatan kepada Souw Li Hwa, suami isteri Suma Kian Bu mohon diri meninggalkan istana dan mereka pun mulai melakukan penyelidikan di kota raja tentang diri Hek-i Mo-ong yang telah menculik dan melarikan putera mereka. Namun, tidak ada orang yang mendengar tentang datuk itu dan tentu saja hal ini makin menggelisahkan hati suami isteri itu. Mereka makin giat menyelidiki dan mengambil keputusan tidak akan berhenti mencari sebelum mereka berhasil menemukan putera mereka.
********************
Peralihan dari kehidupan ke kematian merupakan rahasia besar yang mentakjubkan. Kalau memang kematian sadah saatnya tiba, maka ada saja yang menjadi lantaran dan kematian itu tak dapat ditolak dengan cara bagaimana pun juga. Betapa pun pandainya manusia, namun semua harus tunduk terhadap hukum alam ini, ialah kehidupan tentu berakhir dengan kematian dan tidak ada kekuasaan yang dapat mencegahnya atau memperpanjang waktu tibanya kematian.
Jika sudah tiba saatnya, biar hendak bersembunyi di lubang semut, tetap saja kematian datang menjemput. Sebaliknya, kalau saat kematian belum tiba, biar kita berada di bawah ancaman maut yang bagaimana hebat pun, yang nampaknya tidak mungkin kita dapat keluar dengan selamat, namun ada saja lantarannya yang membuat kita terluput dari pada cengkeraman maut dan masih dapat hidup terus.
Sudah terlalu banyak contoh-contoh mengenai kematian yang datang tiba-tiba tanpa tersangka-sangka. Banyak pula cerita tentang orang-orang yang selamat dan luput dari kematian padahal sudah terkurung maut dan agaknya tak ada harapan untuk lolos lagi.
Ada orang yang semenjak mudanya menjadi prajurit sampai tua, puluhan tahun berada dalam kepungan maut, setiap saat mungkin saja maut merenggut nyawanya, namun ternyata dia selamat, terluka pun tidak, sampai dia mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai prajurit karena sudah bosan atau lelah. Pulang ke kampung, tergigit seekor nyamuk saja bisa mendatangkan penyakit yang akan menyeretnya ke lubang kubur!
Inikah yang disebut nasib? Terserah. Nasib hanya sebuah kata yang muncul karena kita kehabisan akal untuk dapat mengerti. Dan ada atau tidak adanya yang disebut nasib, yang penting kita harus selalu menjaga diri, bukan karena takut mati, melainkan untuk memelihara badan dan batin kita agar tetap sehat dan jauh dari bencana.
Dilihat keadaannya, ketika perahu yang ditumpangi para cucu penghuni Pulau Es itu terguling dan mereka disambut oleh badai yang mengamuk, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan mati semua. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian.
Ceng Liong yang terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat yang kejam dan jahat, ternyata tidak terbunuh, bahkan dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai muridnya! Suma Hui dan Cin Liong ternyata juga tidak tewas walau pun Suma Hui telah dilarikan oleh seorang penjahat cabul yang kejam dan Cin Liong diombang-ambingkan ombak yang membadai. Demikian pula dengan Suma Ciang Bun. Pemuda ini tidak tewas ditelan badai seperti yang dikhawatirkau saudara-saudaranya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, seperti juga Cin Liong, Ciang Bun terlempar keluar perahu dan disambut oleh air laut bergelombang. Seorang ahli renang yang bagaimana pandai pun tidak akan mungkin dapat melawan gelombang dahsyat dalam badai itu. Apalagi Ciang Bun yang kepandaiannya di dalam air terbatas.
Dia mencoba untuk berenang mendekati perahu, akan tetapi tubuhnya terseret makin menjauh dari perahu. Dia berusaha mempertahankan dirinya agar tidak minum terlalu banyak air laut. Tubuhnya terbawa ombak, diangkat tinggi-tinggi sampai dia merasa diterbangkan ke langit, lalu dihempaskan ke bawah, dalam sekali dan hanya berkat tubuhnya yang terisi tenaga sinkang kuat saja maka isi perutnya tidak sampai remuk ketika dia berkali-kali dibanting oleh gelombang.
Bagaimana pun juga, tenaga manusia adalah terbatas. Ketika Ciang Bun sudah hampir tidak kuat bertahan lagi, dalam kegelapan tangan kirinya bertemu dengan sepotong papan kayu. Bagaikan bertemu dengan pusaka, tangan kirinya itu mencengkeram kuat-kuat dan dipeluknya papan kayu itu. Dia bergantung dalam keadaan setengah pingsan, membiarkan dirinya dibawa ke mana pun juga oleh papan kayu yang dipermainkan gelombang membadai itu.
Kalau memang belum tiba saatnya untuk mati, dalam ancaman maut, di tengah lautan bergelora yang sedang dilanda badai itu, tiba-tiba ada saja muncul sepotong papan kayu yang menjadi lantaran sehingga memungkinkan Ciang Bun terlepas dan lolos dari cengkeraman maut.
Untung bagi Ciang Bun bahwa agaknya nalurinya timbul pada saat yang gawat itu. Kalau tidak demikian, agaknya tentu dalam keadaan setengah sadar itu dia sudah melepaskan cengkeramannya pada papan kayu itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang menggerakkan pemuda ini sehingga tanpa disadarinya, kedua tangannya tidak pernah melepaskan papan kayu itu.
Air lautan tidak mengganas lagi, bahkan amat tenang dan kegelapan telah terganti sinar cerah matahari pagi ketika Ciang Bun sadar betul dari keadaan setengah pingsan itu. Dia teringat bahwa dia terapung-apung di tengah lautan, maka rasa gentar menyentuh hatinya dan cepat-cepat dia menarik tubuhnya ke atas dan dengan sudah payah dia duduk di atas papan kayu yang tidak berapa besar itu. Dia menggigil karena merasa dingin. Cepat-cepat pemuda ini mengerahkan Hwi-yang Sinkang untuk melawan hawa dingin dan sebentar saja tubuhnya sudah terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi berbareng dengan itu, muncul pula rasa lelah, lapar dan mengantuk.
Di samping perasaan yang bercampur aduk ini, dia pun teringat kepada Cin Liong, Ceng Liong dan Suma Hui. Pertama-tama dia membayangkan wajah Ceng Liong dan hatinya merasa berduka sekali karena dia khawatir kalau-kalau adik keponakannya itu tewas. Kemudian, wajah Cin Liong terbayang dan dia pun merasa kasihan sekali kepada pemuda perkasa yang telah banyak berjasa terhadap keluarganya itu. Baru kemudian dia teringat kepada enci-nya, Suma Hui dan kesedihannya bertambah.
Sejak mereka tinggal bersama di Pulau Es, Ciang Bun merasa lebih dekat dengan Ceng Liong dari pada dengan enci-nya, bahkan dalam setiap percakapan dan perbantahan dia selalu membela kepada Ceng Liong. Kemudian, ketika muncul Cin Liong jenderal muda yang gagah perkasa itu, timbul rasa kagum yang mendalam di hati pemuda itu.
Memang akhir-akhir ini terjadi suatu perubahan dalam batin Ciang Bun, perubahan yang dia sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Ketika dia masih kecil, perasaannya biasa saja, akan tetapi semenjak dia menjadi remaja, semenjak dia tinggal di Pulau Es dan hidup bertiga dengan Ceng Liong beserta Suma Hui, tanpa disadarinya timbul suatu perubahan.
Dia merasa suka sekali untuk berdekatan dengan Ceng Liong, bahkan ketika Cin Liong muncul, ada daya tarik yang luar biasa pada diri jenderal muda itu baginya, yang membuat dia kadang-kadang merasa malu dan bingung. Selain ini, juga dia ingin selalu kelihatan rapi dan elok seperti enci-nya. Padahal Suma Hui sendiri termasuk dara yang sederhana sehingga dalam hal berpakaian, Ciang Bun lebih rapi dari pada kakaknya.
Apakah gejala ini timbul karena semenjak kecil dia hanya berdua saja dengan enci-nya sebagai saudara kandung yang tunggal? Selalu berdekatan dengan kakak wanita sehingga dia meniru-niru enci-nya dan mempunyai ciri-ciri seperti seorang wanita? Dia sendiri tidak sadar dan juga tidak tahu, akan tetapi yang diketahuinya hanyalah bahwa setelah menginjak usia lima belas tahun, dia merasa tertarik sekali kepada lelaki dan menyukai wajah dan bentuk tubuh laki-laki yang jantan.
“Aduh, lapar sekali perutku....!” Ciang Bun mengeluh, mengusir renungan memedihkan tentang saudara-saudaranya yang tidak diketahuinya bagaimana keadaannya itu, masih hidup atau sudah mati.
Mendadak dia mendengar suara orang, teriakan-teriakan gembira. Cepat dia menoleh dan alangkah girangnya ketika dia melihat adanya dua orang muda sebaya dengan dia yang sedang bermain-main di atas air lautan yang tenang. Dan Ciang Bun tertegun, terbelalak, juga mengkirik melihat betapa dua orang muda remaja itu, seorang pria dan seorang lagi wanita, sedang berlari-larian di atas air lautan!
Bukan manusia, pikirnya. Mana mungkin ada manusia pandai berlari-larian di atas air? Walau pun dia pernah menyaksikan mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, melakukan hal ini untuk beberapa detik lamanya. Akan tetapi dua orang muda-mudi itu bermain-main, berloncatan dan berlarian sambil tertawa-tawa!
“Kalau bukan sebangsa dewa lautan, tentu peri atau siluman....,” bisik Ciang Bun dalam hatinya dan tentu saja dia merasa tengkuknya meremang. Dia mengucek matanya akan tetapi ketika membuka mata dan memandang lagi, pemuda dan dara itu masih ada, bahkan kini mereka mendekat ke arahnya.
“Heii, lihat....! Ada bekas-bekas perahu pecah!” teriak si dara.
“Benar, tentu ada perahu pecah dan tenggelam semalam, dilanda badai. Jangan-jangan para penumpangnya tewas semua.... haiii, lihat, apa itu? Bukankah dia manusia di atas papan itu?”
“Benar, koko! Seorang pemuda dan dia masih hidup!” teriak si dara dan mereka lalu menggerakkan tubuh dan meluncur mendekati Ciang Bun.
Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia tahu bahwa kedua orang itu sama sekali bukan berlari di atas air, melainkan menggunakan alas kaki kayu yang panjang runcing dan mereka itu berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, dan dengan menggerakkan kedua lengan ke belakang dan mengayun tubuh ke depan, alas kaki yang seperti dua perahu kecil itu meluncur ke depan!
Akan tetapi, untuk dapat mengatur keseimbangan tubuh di atas dua perahu kecil itu dan untuk dapat bergerak demikian leluasa, tentu membutuhkan keringanan tubuh dan latihan yang hebat, juga tenaga sinkang amat diperlukan ketika mengayun tubuh ke depan. Jelaslah bahwa dua orang muda itu bukan orang-orang sembarangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kagum dalam hati Ciang Bun. Akan tetapi bukan itu saja yang membuatnya bengong terlongong. Dua orang itu kelihatan demikian eloknya!
Yang perempuan berusia sekitar lima belas tahun, tubuhnya yang ramping dan ranum itu amat indah. Ciang Bun kagum sekali akan keindahan tubuh dara yang mengingatkan dia akan keindahan tubuh enci-nya. Akan tetapi wajah dara itu baginya jauh melampaui enci-nya dalam hal kecantikan. Seraut wajah yang cantik jelita dan manis sekali, dengan sepasang mata yang seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang amat manis.
Akan tetapi, hanya sebentar saja sepasang mata Ciang Bun menatap dan mengagumi wajah dan tubuh dara itu, yang hanya mengenakan pakaian pendek dan ringkas dan basah karena air lautan sehingga pakaian itu menempel ketat pada tuhuhnya, mencetak tubuh yang menggairahkan itu. Namun, semua itu hanya lewat tanpa meninggalkan kesan mendalam di hati Ciang Bun.
Kini dia terpesona, ya, amat terpesona memandang ke arah pemuda yang meluncur di samping dara itu. Pemuda itu berusia dua tiga tahun lebih tua darinya, sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun dan pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut yang terbuat dari kulit harimau.
Wajahnya yang agak kecoklatan karena kulitnya terbakar sinar matahari, nampak amat gagah dan tampan, sepasang matanya juga mencorong seperti bintang, hidungnya mancung dan mulutnya juga manis seperti mulut si dara, hanya dagu pemuda ini membayangkan kejantanan yang membuat Ciang Bun benar-benar terpesona. Apalagi tubuh yang telanjang bagian atas itu, nampak demikian gagah, tegap, bidang dan mengandung kekuatan yang mentakjubkan.
Baru sekarang Ciang Bun melihat bentuk tubuh yang demikian tegap dan gagahnya. Tanpa disadarinya, jantungnya berdegup aneh, hatinya tertarik sekali dan tiba-tiba saja dia merasa sungkan dan malu-malu.
“Eh, apa yang kau lihat? Apakah engkau belum pernah melihat orang?” Tiba-tiba gadis remaja itu bertanya sambil terkekeh kocak.
Pemuda yang bertelanjang baju hanya memandang sambil tersenyum ramah. Bukan pertanyaan dara itu yang membuat Ciang Bun gugup, melainkan tatapan mata dan senyuman pemuda itu.
“Aku.... aku.... ahh, aku belum pernah melihat orang-orang yang bermain-main di atas lautan seperti kalian ini....”
“Hi-hi-hik....!” Dara itu tertawa terkekeh geli.
“Ha-ha-ha-ha....!” Pemuda itu pun tertawa.
Sikap mereka demikian gembira, suara ketawa mereka demikian bebas sehingga Ciang Bun yang biasanya pendiam dan serius, terseret oleh kegembiraan mereka dan dia sama sekali tidak merasa tersinggung karena dua orang itu sama sekali tidak seperti mentertawakannya. Maka dia pun ikut pula tertawa ha-ha-he-heh walau pun dia tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tertawakan.
“Ha-ha-ha-ha!” Dia tertawa.
Melihat pemuda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan muka mengandung keheranan dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa mereka makin keras.
Ketawa itu seperti tangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut akan semakin keras, akan tetapi akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan tubuh mereka, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki. Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh mereka goyah dan mereka pun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan terpelanting.
“Byuurrrr....!” Air muncrat tinggi.
“Heiii....!” Si pemuda berteriak dan dia pun terpelanting dan jatuh pula.
Air muncrat semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli sekali. Dia pun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.
Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya bahkan terhenti sama sekali. Matanya terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali!
Dua orang yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam? Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air.
Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat dia merasa mukanya panas karena malu. Dua orang muda yang disangkanya tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya, agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlomba!
Tahulah dia bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka dia pun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadi menahan napas. Dengan mengandalkan sinkang-nya, memang dia dapat bertahan lebih lama dari pada orang biasa.
Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air sangat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut itu.
Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya! Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapnya papan itu dan dia pun naik kembali ke atasnya, duduk terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya.
Dia memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir. Kedua orang muda itu sudah demikian lamanya berada di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sinkang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak melihat perahu di sekeliling tempat itu.
Kembali Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka? Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!
Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu. Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.
“Nih, sobat, kau bawakan ikan-ikanku!” kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk.
Ciang Bun memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandingkan dengan dia sendiri kalau berenang, walau pun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan itu menggelepar dan meronta.
Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu. Si dara juga berenang mendekat dan empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan dipegang oleh Ciang Bun.
“Kalau begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai pulau,” kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. “Engkau tentu sudah lapar sekali, bukan?”
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan dia pun mengangguk.
“Ke pulau? Pulau manakah?”
“Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan.”
Ciang Bun terkejut. “Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?”
“Heii, orang muda aneh, apa yang kau ketahui tentang Pulau Nelayan kami?” gadis itu bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.
Ciang Bun mengangguk. “Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....”
Dua orang muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.
“Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yaug mengetahui rahasia daerah lautan ini?” tanya pemuda ganteng itu.
“Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”
“Aihhh....!” Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh rasa hormat dan kagum. “Kiranya engkau ini adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?” kata pemuda itu.
“Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....,” sambung si dara sambil terbelalak memandang wajah Ciang Bun.
“Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!” Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana.
“Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!” kata pemuda itu.
Ciang Bun memandang, mukanya berubah merah. “Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.”
“Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas tahun.”
“Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,” kata Ciang Bun ramah.
“Bun-hiante....!” Lee Siang menyebut girang.
“Bun-koko....!” Dara itu pun menyebut dengan sikap agak malu-malu, namun ia pun tersenyum dan wajahnya yang manis itu berseri.
“Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?” tanya Ciang Bun.
“Hi-hik!” Lee Hiang tertawa. “Bukankah sekarang engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?”
“Kereta? Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?”
Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang memalukan.
“Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!”
Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali, agaknya pemuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.
“Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!” Lee Siang berkelakar menyebut papan itu kereta.
Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Kedua orang kakak beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke depan. Tubuh kedua orang muda itu pun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki Ciang Bun ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.
“Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?” Ciang Bun bertanya.
“Apa katamu, Bun-hiante?” Tanpa menghentikan gerakan tubuhnya Lee Siang balas bertanya sambil menoleh.
Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia sekali lagi mengulang pertanyaannya, kali ini mengerahkan khikangnya sehingga suaranya dapat menembus tiupan angin dari depan.
“Heiii! Khikang-mu kuat bukan main, hiante!” Lee Siang memuji.
Pemuda ini tidak perlu berteriak keras karena suaranya bahkan terbawa angin dan mudah ditangkap oleh Ciang Bun yang berada di belakangnya.
“Kami bermain jauh dari pulau karena kami ingin menangkap ikan-ikan itu yang hanya terdapat di daerah tadi. Setiap hari kami makan daging ikan, maka harus berganti-ganti agar tidak bosan.”
“Ikan-ikan yang kami tangkap itu adalah ikan sirip emas, selain lezat juga besar khasiatnya untuk memulihkan tenaga dan menghilangkan lelah. Sengaja kami tangkap untukmu, Bun-twako!” berkata pula Lee Hiang.
“Ahh, kalian sungguh baik sekali. Dan ilmu kalian dalam air amat luar biasa, membuat aku kagum bukan main.”
“Engkau pun hebat, Bun-hiante. Engkau mampu melawan badai sampai selamat, dan dalam keadaan lelah engkau masih menyelam dan mencoba untuk mencari kami. Itu saja sudah menunjukkan bahwa engkau pantas menjadi majikan Pulau Es!” kata Lee Siang.
Wajah Ciang Bun menjadi merah. Kiranya mereka tadi melihatku, pikirnya. Kini dia pun tidak merasa heran lagi mengapa papan kayu yang sudah hanyut itu tiba-tiba saja dapat membalik dan meluncur ke arahnya. Kiranya merekalah yang membuatnya.
Tak lama kemudian nampaklah sebuah pulau. Kiranya pulau itu tidak jauh dari situ, hanya di daerah ini keluar kabut yang seolah-olah menyelimuti pulau dan tidak tampak dari jarak agak jauh. Sebuah pulau kecil yang tidak begitu subur, walau pun ada juga tumbuh-tumbuhan di situ. Apa lagi karena tiga penghuninya memang sengaja mengolah tanah di pulau itu dan menanam sayur-sayuran yang berguna bagi mereka.
Mereka disambut oleh seorang kakek yang berdiri di pantai. Kakek ini berpakaian sederhana serba hitam. Usianya sekitar enam puluh lima tahun dan kulit mukanya juga coklat seperti kulit muka Lee Siang karena banyak terbakar sinar matahari. Tangan kirinya membawa sebatang dayung besi yang sesungguhnya merupakan senjatanya yang ampuh.
Wajah yang penuh kerut-merut itu berseri ketika melihat datangnya dua orang cucunya yang tercinta. Akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat dua orang cucunya itu datang bersama seorang pemuda tampan.
Tidak pernah ada orang luar boleh memasuki pulaunya selama ini dan kedua orang cucunya juga tahu bahwa dia tidak menghendaki ada orang luar berkunjung ke pulau itu. Kenapa sekarang mereka itu lancang pulang membawa seorang tamu?
Begitu tiga orang muda itu mendarat, kakek ini segera menegur cucunya, “Lee Siang dan Lee Hiang, kenapa kalian pulang bersama seorang asing?”
Lee Siang memandang agak gelisah, akan tetapi Lee Hiang segera berlari menghampiri kakeknya dan memegang lengan kakek itu. Memang Lee Hiang itu agak manja dan kakeknya amat sayang kepadanya.
“Kong-kong jangan marah dulu. Kami berani membawanya ke sini karena pertama, dia terapung-apung di tengah lautan, dan kedua, dia ini adalah Suma Ciang Bun, cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es.”
“Ahhh….!” Seperti juga kedua cucunya tadi, ketika mendengar disebutnya nama itu, kakek ini juga terkejut sekali dan sikap galaknya serta merta lenyap.
“Jadi Kongcu (tuan muda) ini cucu dari Suma-locianpwe? Tapi…. tapi kulihat Pulau Es terbakar kemarin malam….” Dia memandang ke timur dengan sikap termenung.
“Memang benar, kong-kong. Menurut cerita Bun-ko, katanya Suma-locianpwe bersama dua orang isterinya telah tewas dan pulau terbakar. Bun-twako dan saudara-saudaranya naik perahu menjauh pulau, akan tetapi di tengah pelayaran mereka diserang musuh dan perahunya pecah.”
Mendengar ini tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah timur.
“Ahh, siapa menduga bahwa Suma-locianpwe bertiga mengalami nasib seperti itu. Semoga arwah beliau bertiga memperoleh tempat yang penuh damai.”
Lalu kakek itu bangkit dan menghampiri Ciang Bun, merangkulnya. “Suma-kongcu, mari kita ke pondok dan ceritakanlah semua yang terjadi kepadaku. Kakekmu itu adalah junjunganku pula. Dahulu, sebelum burung-burung rajawali di Pulau Es mati semua, kakekmu kadang-kadang suka datang ke pulau ini menunggang burung rajawali. Akan tetapi semenjak burung-burung itu tidak ada, kabarnya mati semua, Suma-locianpwe tidak pernah datang dan akhirnya pulau ini dilanda badai hebat dan putuslah hubungan antara kakekmu dan pulau ini.”
Mereka lalu pergi membawa empat ekor ikan itu ke sebuah pondok di tengah pulau itu. Pondok itu terbuat dari kayu dan batu karang, namun cukup kokoh kuat dan cukup besar, dengan tiga buah kamar dan di sebelah dalamnya sangat bersih dan terawat sehingga menyenangkan untuk ditempati.
Setelah tiba di pondok, Ciang Bun diberi pakaian oleh Lee Siang dan segera berganti pakaian. Biar pun agak kebesaran, namun kering dan enak dipakai. Setelah berganti pakaian, tiga orang itu sibuk di dapur untuk masak ikan dan mempersiapkan makan. Lee Siang dan Lee Hiang tadinya mencegah, akan tetapi Ciang Bun memaksa untuk membantu hingga akhirnya mereka masak-masak sambil bercakap-cakap. Sementara itu, kakek itu masih termenung memikirkan nasib Pulau Es di dalam ruangan sebelah dalam.
Setelah makanan siap, mereka pun makan minum. Hidangannya sederhana saja, hanya nasi dengan masakan daging ikan sirip emas dan beberapa macam sayur sederhana. Akan tetapi karena perutnya lapar sekali, Ciang Bun makan dengan lahapnya. Sikap tuan rumah yang baik dan ramah membuat dia tidak malu-malu lagi dan memang benar ucapan Lee Hiang tadi, daging ikan sirip emas itu lezat sekali.
Setelah makan, barulah mereka bercakap-cakap di ruangan depan sambil melepaskan pandangan mata ke arah pantai, ke sebelah timur yang menjadi arah letaknya Pulau Es.
Ciang Bun sudah percaya benar kepada mereka ini, terutama percaya kepada Lee Siang dan Lee Hiang, maka dia pun menceritakan segala yang terjadi di Pulau Es, sejak penyerbuan datuk-datuk kaum sesat, sampai munculnya Kao Cin Liong, jenderal muda yang banyak berjasa membantu keluarga kakeknya, kemudian tentang tewasnya kedua neneknya dan kematian kakeknya yang penuh rahasia itu. Kemudian diceritakan pula ketika perahu mereka diserang oleh gerombolan datuk jahat sehingga dia terlempar ke lautan yang sedang diamuk badai, terpisah dari tiga orang muda lainnya.
Kakek dan dua cucunya itu mendengarkan dengan amat tertarik dan mereka ikut merasa marah dan penasaran kepada datuk jahat yang kejam itu. Kakek itu mendengar tanpa pernah mengganggu dan setelah Ciang Bun selesai bercerita, barulah dia menarik napas panjang penuh penyesalan, lalu berkata, “Suma-kongcu….”
Akan tetapi Ciang Bun cepat memotong, “Harap locianpwe jangan menyebut kongcu kepadaku….”
Kakek itu tersenyum sedih. “Kakekmu adalah seorang pendekar sakti yang kujunjung tinggi, dan dua orang nenekmu itu, yang seorang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, dan yang seorang lagi masih berdarah keluarga kaisar! Sudah semestinya kalau aku menyebutmu kongcu.”
Ciang Bun termenung. Kakek ini biar pun sederhana, namun memiliki kemauan yang teguh dan akan percuma sajalah kalau dibantahnya. “Terserah padamu, locianpwe,” katanya.
“Suma-kongcu, apakah engkau mengenal datuk-datuk kaum sesat yang menyerbu Pulau Es itu?”
“Jenderal muda Kao Cin Liong yang terhitung keponakanku itu mengenal seorang di antara mereka, yaitu pemimpin yang berjuluk Hek-I Mo-ong Phang Kui….”
Kakek itu meloncat berdiri dari bangkunya dan wajahnya berubah, matanya terbelalak. “Ahh…. pantas saja kalau begitu!”
“Apa maksudmu, locianpwe?”
“Tadinya aku sudah merasa terheran-heran dan hampir tidak percaya mendengar ceritamu bahwa keluarga Pulau Es dapat dikalahkan dan ditewaskan oleh musuh, walau pun Suma-locianpwe sendiri tidak turun tangan. Kiranya yang memimpin gerombolan itu adalah Hek-I Mo-ong! Aku mengenal nama itu! Seorang datuk yang kabarnya memiliki kesaktian yang amat tinggi, juga memiliki sihir kuat. Aku tidak merasa penasaran lagi, apa lagi mendengar bahwa di antara mereka banyak yang roboh oleh kedua orang nenekmu yang sakti.”
“Kalau saja Bun-ko sudah lebih dewasa, tentu semua penjahat itu akan mati sebelum mereka berhasil membasmi Pulau Es!” kata Liu Lee Hiang sambil mengepal tinju.
“Suma-kongcu, namaku adalah Liu Ek Soan. Apakah kakekmu sewaktu masih hidup tidak pernah menyebut namaku?” kakek itu bertanya kepada Ciang Bun.
Ciang Bun menggeleng kepala. “Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dan disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya telah habis.”
Kakek yang bernama Liu Ek Soan itu mengangguk-angguk. “Mungkin begitu dan memang aku sendiri pun masih merasa heran, kenapa di antara seratus lebih penghuni pulau ini, hanya aku dan dua orang cucuku ini yang selamat secara aneh.”
Kakek Liu Ek Soan lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, pada suatu malam, tanpa diduga-duga badai yang amat dahsyat mengamuk di daerah itu. Belum pernah ada badai sehebat itu dan Pulau Nelayan yang datar itu dilanda badai. Air laut naik tinggi ke pulau, menyapu seluruh pulau dan menyeret apa saja yang berada di pulau itu.
Habis binasalah seluruh penghuni pulau itu. Rumah-rumah mereka pun terseret bersih dan pulau itu menjadi gundul dan kosong sama sekali. Akan tetapi, Liu Ek Soan yang menjadi ketua pulau itu, orang yang terpandai di antara semua penghuni Pulau Nelayan, berhasil menyelamatkan diri walau pun dia sendiri terseret sampai jauh sekali ke tengah lautan.
Dalam keadaan setengah mati, Liu Ek Soan berhasil kembali ke pulau itu, berduka dan ngeri menyaksikan keadaan pulau. Seluruh keluarga dan tetangganya habis musnah. Tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan juga girang hatinya ketika pada keesokan harinya muncul sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua orang cucunya, yaitu Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun dan empat tahun.
Kiranya dua orang kakak beradik ini, pada sore harinya sebelum badai datang, telah berperahu dan mencari ikan, akhirnya tertahan di sebuah pulau kosong kecil dan tidak berani pulang karena ombak mulai bergelora. Malam itu, sambil menangis keduanya berangkulan di tengah pulau kosong.
Badai mengamuk hebat, akan tetapi pulau kosong itu merupakan bukit dan air laut tidak sampai menyapu permukaan bukit. Baru pada keesokan harinya ketika laut tenang kembali, keduanya turun dari atas bukit menuju pantai di mana mereka tidak melihat lagi perahu mereka.
Dua orang anak-anak itu sudah biasa dengan lautan, bahkan sebelum mereka mampu berjalan kaki, mereka sudah pandai berenang! Maka ketika mereka melihat ada perahu kosong lain terapung-apung agak jauh dari pantai, Lee Siang lalu meloncat ke air, berenang dan menuju ke perahu itu. Dia tidak tahu bahwa itu adalah satu di antara perahu-perahu dari Pulau Nelayan yang tersapu air laut dalam amukan badai semalam.
Didayungnya perahu ke pantai dan bersama adiknya dia lalu pulang ke Pulau Nelayan. Dan di pulau ini mereka mendapatkan sisa bencana itu, seluruh permukaan pulau sudah menjadi gundul dan hanya ada seorang manusia di situ yang menyambut mereka, yaitu kakek mereka, Liu Ek Soan yang merangkul mereka sambil menangis sesenggukan. Ayah bunda mereka, paman-paman dan bibi mereka, saudara-saudara misan mereka, para tetangga, semua habis lenyap ditelan gelombang samudera mengganas.
“Demikianlah, kongcu. Kami bertiga selamat dan agaknya tidak ada seorang pun yang tahu akan hal ini. Aku lalu merawat dan mendidik kedua orang cucuku ini, kami hidup sederhana dan cukup bahagia di pulau kami.”
Ciang Bun memandang kagum. “Dan berkat pendidikan locianpwe, kini Siang-twako dan Hiang-siauwmoi menjadi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.”
“Ahhh, Suma-kongcu terlalu memuji. Dalam hal ilmu silat, mana mungkin kami dapat dibandingkan dengan kongcu sebagai cucu Suma-locianpwe di Pulau Es? Kami hanya mempelajari sedikit ilmu dalam air.”
“Itulah yang amat mengagumkan hatiku. Mereka berdua ini dapat bergerak di air seperti ikan saja, begitu kuat menyelam lama dan dapat bergerak di permukaan air sedemikian gesit dan ringannya. Sungguh mengagumkan dan aku ingin sekali mempelajari ilmu itu.”
“Bun-ko, kenapa engkau tidak tinggal di sini bersama kami dan belajar bersama kami?” tiba-tiba Lee Hiang berkata dengan sinar mata berseri.
“Benar, dan kong-kong tentu akan suka sekali mengajarkan ilmu dalam air kepadamu, Bun-hiante!” Lee Siang menyambung.
Pemuda ini pun suka sekali kepada Ciang Bun yang tampan gagah dan pendiam itu, apalagi mengingat bahwa selama mereka hidup di pulau itu, jarang mereka bertemu dengan manusia lain, apalagi bersahabat. Dua orang muda itu rindu akan persahabatan dan munculnya Ciang Bun merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan hati mereka.
Lain lagi yang dipikirkan kakek Liu Ek Soan. Tadi Ciang Bun menuturkan keadaannya dan kakek ini amat tertarik. Pemuda gagah ini adalah cucu Pendekar Super Sakti, putera Suma Kian Lee, keturunan Pendekar Super Sakti dan Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. Pemuda ini adalah keturunan pendekar besar dan alangkah baiknya, alangkah akan bangga dan puas rasa hatinya kalau cucunya yang terkasih, Liu Lee Hiang, dapat berjodoh dengan pemuda ini!
Dia akan berbesan dengan keluarga Pulau Es. Hebat! Dan hal itu bukan tidak mungkin terjadi kalau pemuda ini belajar di Pulau Nelayan. Cucunya itu cukup cantik manis dan usia mereka sebaya, hubungan mereka yang baru sehari itu sudah nampak demikian akrab. Mengapa tidak?
“Tentu saja aku akan merasa gembira sekali dapat membimbing Suma-kongcu dalam ilmu bergerak di air,” katanya dengan wajah berseri. “Dan untuk itu sebaiknya kalau Suma-kongcu sementara waktu tinggal di sini bersama kami. Bagaimana pendapatmu, kongcu?”
Suma Ciang Bun memandang kepada Lee Siang. Dia merasa suka sekali kepada pemuda ini dan rasanya dia akan merasa kehilangan sekali kalau sampai berpisah dari pemuda hebat itu. Dan dia pun suka kepada Lee Hiang, sedangkan kakek itu pun amat baik dan mengenal keluarga Pulau Es. Kalau dia memiliki ilmu dalam air seperti mereka, agaknya dia tidak perlu takut lagi menghadapi amukan badai seperti semalam.
“Baiklah, locianpwe. Aku akan senang sekali tinggal di sini untuk sementara waktu dan mempelajari ilmu itu.”
“Tetapi, harap kongcu jangan menyebut locianpwe atau suhu kepadaku, sungguh aku merasa malu kalau kau sebut begitu, terlalu tinggi bagiku....”
“Lalu aku harus menyebut bagaimana?”
Kakek itu tertawa dan sekali menggerakkan tangan kanan, dayungnya menancap di atas tanah batu karang itu sampai seperempatnya lebih. Ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki tenaga sinkang yang kuat! “Ha-ha-ha, engkau sebaya dengan dua orang cucuku, bagaimana kalau engkau pun menyebut kakek kepadaku?”
Ciang Bun menjadi girang sekali “Baik, Liu-kong-kong, akan tetapi karena kong-kong menyebut nama mereka begitu saja, maka kepadaku juga sebaiknya kalau kong-kong menyebut namaku tanpa pakai embel-embel kongcu segala macam.”
“Ha-ha-ha, baik sekali, baik sekali, Ciang Bun, engkau sungguh seorang anak yang baik dan pantas menjadi cucu Majikan Pulau Es.”
Demikianlah, mulai hari itu, Ciang Bun tinggal di Pulau Nelayan bersama Liu Ek Soan, Lee Siang dan Liu Lee Hiang. Dengan tekun dia mempelajari ilmu dalam air, dibimbing dengan penuh perhatian oleh Liu Ek Soan, dan dibantu pula oleh Lee Siang dan Lee Hiang. Seperti yang diidam-idamkan oleh kakek itu, pergaulan antara cucu keluarga Pulau Es dan cucunya berjalan lancar dan mereka Nampak akrab sekali.
Bahkan pada bulan-bulan berikutnya, pandangan kakek yang sudah berpengalaman ini dapat melihat dengan jelas bahwa cucunya perempuan, Lee Hiang, telah jatuh hati pada Ciang Bun! Akan tetapi kakek ini merasa ragu apakah cucu Pendekar Super Sakti itu juga ‘ada hati’ kepada dara itu.
Ciang Bun orangnya pendiam dan sukar menjenguk hatinya. Sikapnya pada Lee Hiang memang baik dan ramah, tetapi tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemuda ini tertarik kepada dara yang sedang manis-manisnya bagaikan bunga sedang mekar semerbak itu. Sikap Ciang Bun biasa saja, bahkan nampaknya pemuda ini lebih akrab dan lebih dekat dengan Lee Siang dari pada Lee Hiang!
********************
“Bun-koko, mari kita latihan menyelam dan mencoba untuk menangkap belut laut yang lincah itu. Dasar-dasar ilmu bergerak dalam air telah kau pelajari dari kong-kong, hanya tinggal mematangkan latihan saja,” kata Lee Hiang yang berdiri di atas perahu kecil itu bersama Ciang Bun, sedangkan Lee Siang melatih diri dengan alas kaki kayunya.
Dia berlatih membuat lompatan-lompatan jauh dan nampaknya pemuda ini sudah mahir sekali. Sejak tadi Ciang Bun yang sudah agak letih berlatih itu duduk di atas perahu memandang ke arah Lee Siang penuh kagum.
Mendengar ajakan dara itu, dia mengangguk. “Baiklah, siauw-moi. Akan tetapi belut itu terlalu cepat dan gesit untukku. Lagi pula, tubuhnya sangat licin sehingga sukar untuk ditangkap.”
“Aku akan membantumu, koko. Memang belut itu sukar ditangkap dan aku sendiri pun tanpa dibantu takkan dapat menangkapnya. Dia harus dihadang dari depan belakang, dan dalam kebingungan dia baru dapat ditangkap sebab jika bingung dia menyusupkan kepalanya ke dalam lumpur sehingga kita tinggal menangkap ekornya saja. Tapi dia merupakan bahan latihan bergerak dalam air yang baik sekali.”
“Baiklah, mari!” kata Ciang Bun yang sudah bergerak hendak meloncat ke air.
Akan tetapi lengannya dipegang oleh jari-jari tangan halus itu. Dia menoleh dan dua pasang mata saling bertemu. Sepasang mata Lee Hiang penuh kemesraan, akan tetapi mata Ciang Bun memandang biasa saja, agak heran.
“Ada apakah, Hiang-moi?”
“Engkau lupa penutup telingamu,” kata dara itu yang tiba-tiba wajahnya berubah merah karena pertemuan pandang mata itu amat berkesan di hatinya yang menjadi berdebar penuh ketegangan aneh.
“Ahh, engkau benar. Pelupa sekali aku!” kata Ciang Bun.
Dia pun memasang alat pelindung telinganya. Untuk melakukan penyelaman sampai lama di dalam lautan, telinga perlu dilindungi dan ditutup agar tidak rusak oleh tekanan air. Setelah itu, kedua orang itu lalu meloncat ke air dan menyelam. Bagaikan dua ekor ikan saja, mereka menyelam dan berenang di dalam air.
Ciang Bun hanya mengenakan sebuah celana pendek yang ringkas dan tubuh bagian atasnya telanjang. Kulitnya putih halus mengkilat ketika tubuhnya meluncur di dalam air itu. Kini dia telah pandai menyelam dan berenang dalam air, melawan tekanan air dan gerakan ombak. Memang pada dasarnya dia memiliki sinkang yang amat kuat, maka setelah diberi petunjuk oleh kakek Liu, sebentar saja dia telah menguasai ilmu itu dan berkat sinkang-nya, dia malah lebih kuat menahan napas dibandingkan dengan kakak beradik Liu itu! Hanya dia belum dapat memiliki kelincahan seperti mereka karena kalah biasa dan kalah latihan.
Juga pandang mata Lee Hiang di dalam air lebih tajam dan awas dibandingkan Ciang Bun. Hal ini pun karena kebiasaan dan latihan. Mereka berdua mencari-cari dan Lee Hiang menjadi penunjuk jalan.
Tiba-tiba dara itu memberi isyarat dan menuding ke depan. Nampak seekor belut merah berenang perlahan di depan. Dari isyarat tangannya, Lee Hiang menyatakan bahwa dara itu hendak menghadang dari depan dan ia menyuruh Ciang Bun menghadang dari belakang. Ciang Bun memberi isyarat bahwa dia telah mengerti.
Dara itu lalu mempercepat gerakannya, meluncur dan mengambil jalan memutar untuk mendahului belut itu, kemudian membalik dan menghadang di depan! Belut itu panjang, ada satu meter panjangnya dan sebesar lengan dara itu. Melihat ada mahluk aneh menghadang, belut itu cepat membalikkan tubuhnya. Akan tetapi Ciang Bun mendatangi dan mengembangkan kedua lengannya, jari-jari tangannya terbuka dan siap untuk menangkap kalau belut itu lewat di dekatnya.
Melihat ini, belut itu kembali membalik dan paniklah dia ketika melihat di depan dan belakangnya ada mahluk besar yang hendak menangkapnya. Dia meluncur ke kiri, akan tetapi Lee Hiang sudah mendahuluinya dan menyambar dengan tangan kanan. Belut itu mengelak dan membalik, akan tetapi sudah ada pula Ciang Bun yang menyergapnya. Secepat kilat, Ciang Bun mencengkeram dan dia berhasil menangkap belut itu pada perutnya.
Belut itu meronta dan membelit hendak menggigit, tapi Lee Hiang sudah menangkapnya pula, tepat pada lehernya. Karena belut itu kuat dan tubuhnya mengeluarkan lendir yang licin, dua orang muda itu dengan susah payah mempertahankan agar belut itu tidak terlepas kembali.
Dalam pergumulan ini, tanpa disengaja tubuh mereka saling merapat dan tahu-tahu lengan Ciang Bun sudah melingkari pinggang Lee Hiang dan lengan dara itu merangkul lehernya. Kemudian tiba-tiba saja mulut Lee Hiang sudah bertemu dengan mulut Ciang Bun.
“Ihhh....!” Pemuda itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menggigil dan dia pun melepaskan tubuh belut itu dan mendorong tubuh Lee Hiang! Belut itu terlepas dan melarikan diri, sedangkan pelukan mereka pun terlepas.
Ciang Bun berenang ke atas dengan jantung berdebar, sedangkan Lee Hiang juga berenang menyusulnya. Tiba-tiba Lee Hiang terkejut sekali melihat sinar putih meluncur dari arah kiri. Sekali pandang saja tahulah apa benda itu, akan tetapi Ciang Bun yang masih belum mengenal benar keadaan di lautan itu, melihat adanya seekor belut putih yang panjangnya ada satu meter akan tetapi lebih kecil dari pada yang tadi, timbul kegembiraannya dan cepat dia menyambar dan menangkap belut itu.
“Pratttt!” Belut itu mengelak dan tiba-tiba mencambukkan dirinya ke lengan Ciang Bun.
Pemuda itu tersentak kaget dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya seperti dibakar dari dalam dan pandang matanya gelap, dia lunglai tak sadarkan diri. Melihat ini, Lee Hiang cepat menyambarnya, menarik tangannya dan dibawanya berenang naik. Setelah dia menyembulkan kepala di permukaan air dan menarik kepala Ciang Bun yang pingsan itu dengan menjambak rambutnya, dia melihat kakaknya duduk di dalam perahu dan beristirahat.
“Siang-ko....! Cepat.... Bun-ko dilecut belut petir! Tolongggg....!”
Mendengar ini dan melihat Ciang Bun yang pingsan, Lee Siang cepat meloncat dan berenang menghampiri, membantu adiknya membawa Ciang Bun naik ke dalam perahu kecil mereka. Melihat Ciang Bun rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan dan napas nampaknya berhenti sama sekali, matanya terbelalak dan tidak bersinar lagi, Lee Hiang menjerit dan menubruk tubuh itu dan menangis.
“Bun-ko....! Bun-ko.... ah, Bun-ko, jangan mati.... jangan tinggalkan aku, Bun-ko....!” Ia menangis sesenggukan.
Tangan Lee Siang yang kuat menariknya dan terdengar suara pemuda itu yang kereng, “Hiang-moi, kong-kong tentu akan memukulmu kalau melihat sikapmu yang cengeng ini! Tenanglah dan aku akan mencoba menolongnya seperti yang pernah diajarkan oleh kong-kong.”
Lee Hiang melepaskan rangkulannya, dan duduk agak menjauh, akan tetapi ia belum berhenti menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama Ciang Bun. Sementara itu, Lee Siang segera memeriksa nadi lengan Ciang Bun dan dengan lega mendapat kenyataan bahwa urat nadi itu masih berdetak, walau pun lemah sekali. Kalau tidak cepat ditolong, tentu urat nadi itu akau berhenti berdetak pula.
Maka tanpa ragu-ragu dia lalu mengangkat kepala Ciang Bun dengan menaruh tangan kiri pada bawah tengkuk, membuka mulut Ciang Bun, menggunakan tangan kanan menutup lubang hidung pemuda itu dan merapatkan mulutnya ke mulut Ciang Bun yang terbuka. Maka ditiupnyalah sekuat tenaga ke dalam mulut Ciang Bun.
Dada Ciang Bun bergerak mekar. Ketika tiupan dihentikan dan Lee Siang melepaskan ‘ciumannya’, dada itu mengempis lagi. Akan tetapi pernapasan Ciang Bun belum juga berjalan. Lee Siang mengulangi tiupannya itu sampai berkali-kali. Akhirnya pernapasan Ciang Bun mulai berjalan, mula-mula amat lemah akan tetapi sudah berjalan kembali, melegakan hati Lee Siang yang menghentikan usahanya.
“Bun-koko.... sadarlah, jangan mati.... aku.... aku cinta padamu, Bun-ko!”
Suara inilah yang pertama-tama terdengar oleh Ciang Bun. Ia telah sadar kembali akan tetapi belum membuka matanya, bahkan kini hampir tidak berani membuka matanya ketika mendengar suara Lee Hiang itu. Lee Hiang menangis! Dan bilang cinta padanya! Hatinya merasa tegang dan tidak enak sekali. Lalu dia teringat akan pengalamannya tadi.
Dia berhasil menangkap belut bersama Lee Hiang, akan tetapi dara itu menciumnya! Mencium mulutnya! Dan ketika dia berenang hendak naik, dia melihat seekor belut putih yang hendak ditangkapnya. Lalu tiba-tiba dia merasa dirinya seperti dibakar dan tidak ingat apa-apa lagi.
Ciang Bun membuka mata, melihat Lee Hiang masih menangis dan melihat Lee Siang merangkulnya. Jantungnya berdebar senang. Begitu senang dia karena rangkulan Lee Siang ini! Akan tetapi dia juga merasa malu dan sungkan, lalu bangkit duduk dan bertanya, “Apakah yang terjadi? Di mana.... ehh, belut itu....?”
Lee Hiang memegang tangan kirinya dengan kedua tangan meremas-remas tangan itu. Ciang Bun merasa semakin tidak enak dan ingin menarik tangannya, akan tetapi takut kalau-kalau menyinggung perasaan Lee Hiang, maka didiamkannya saja.
“Bun-ko, tahukah engkau bahwa engkau tadi nyaris tewas sehingga aku menjadi amat khawatir?”
Ciang Bun memandang wajah yang manis itu, yang kini sudah tersenyum akan tetapi pipinya masih basah, bukan hanya basah air laut melainkan juga air mata. “Apa yang terjadi?”
“Belut putih yang kau tangkap itu adalah belut beracun yang amat jahat, namanya belut petir. Belut itu tidak menggigit, melainkan melecut dengan ekor dan tubuhnya yang mengandung kekuatan membakar seperti petir. Biasanya, orang yang terkena lecutan belut itu tentu akan mati. Dia tidak pernah menyerang kalau tidak diserang lebih dulu dan karena engkau hendak menangkapnya, maka dia menyerangmu. Ahhh, kukira tadi engkau sudah.... sudah.... mati, koko. Untung ada Siang-ko yang pernah belajar cara menyembuhkan orang yang belum mati dilecut binatang itu.”
Lee Siang juga menyambung. “Dan untung sekali bahwa engkau memiliki sinkang yang amat kuat, hiante. Lecutan belut itu mengandung kekuatan membakar yang amat hebat, seperti orang kalau disambar petir. Karena jantungmu amat kuat berkat sinkang-mu, maka hanya pernapasanmu saja yang terhenti, akan tetapi jantungmu masih berdetak lemah. Aku hanya tinggal membantu pernapasanmu saja.”
“Membantu pernapasan?” Ciang Bun bertanya heran.
“Ya, membantu agar pernapasanmu pulih dan bekerja kembali karena tadinya terhenti oleh guncangan hebat akibat lecutan belut petir itu. Kalau jantungmu berhenti, baru aku akan membantu gerakan jantungmu dengan totokan dan pijatan yang kuat. Hal itu amat berbahaya karena mungkin saja dapat mematahkan beberapa ujung tulang igamu! Syukur engkau selamat berkat kekuatan sinkang-mu.”
Ciang Bun memandang dengan rasa kagum. “Ahh, kalau begitu aku berhutang nyawa kepadamu, twako.”
Lee Siang menggerakkan tangan dengan jengah “Aihhh, mengapa engkau begitu sungkan? Sudah sepatutnya kalau aku yang tahu sedikit akan cara pengobatan itu menolongmu.”
“Aku pun ingin belajar ilmu itu, twako. Siapa tahu, lain kali aku perlu menolong seorang di antara kalian, atau orang lain.” Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan, “Bagaimana sih cara pengobatan itu? Apa menggunakan obat? Bagaimana engkau bisa membantu pernapasan orang lain bekerja kembali setelah napas itu berhenti? Apakah dengan totokan-totokan tertentu?”
“Tidak, melainkan dengan cara meniupkan hawa ke dalam paru-parumu melalui mulut,” jawab Lee Siang.
“Ehhh....? Bagaimana caranya? Coba kau beri contoh, twako, bagaimana cara engkau menolongku tadi?”
Mendadak saja Lee Siang kelihatan jengah dan malu-malu, sedangkan Lee Hiang tersenyum-senyum aneh.
“Hei, kalian kenapa?”
“Pengobatan itu dilakukan dengan cara mencium....,” dara itu berkata jenaka.
“Ehhh? Jangan main-main, siauw-moi, aku sungguh ingin belajar dan ingin tahu cara pengobatan yang aneh akan tetapi dapat menyelamatkan nyawa manusia ini.”
“Siang-koko, kenapa tidak kau beri contoh saja dia ini. Biar puas hatinya,” Lee Hiang menggoda.
Lee Siang menghela napas. “Baiklah, hiante. Kau rebahlah seperti tadi ketika engkau pingsan.”
Setelah Ciang Bun merebahkan diri terlentang, pemuda itu berkata. “Mula-mula engkau periksa pernapasan dan detik nadinya. Engkau tadi dalam keadaan pingsan. Napasmu terhenti sama sekali, akan tetapi detik nadimu masih berdenyut walau pun lemah. Itu berarti bahwa paru-parumu berhenti bekerja akan tetapi jantungmu masih bekerja. Lalu aku mengangkat lehermu begini, maksudnya supaya lubang kerongkonganmu terbuka lebar. Lalu aku menutupi kedua lubang hidungmu dan meniupkan hawa ke dalam paru-parumu begini….”
Biar pun sungkan untuk mengajari pemuda itu, Lee Siang lalu menutup mulut Ciang Bun yang dibukanya itu dengan mulutnya sendiri dan dia pun meniup keras-keras!
Ciang Bun terbelalak, akan tetapi jantungnya berdebar dan suatu perasaan yang amat mesra merayapi seluruh tubuhnya. Tidak seperti ketika Lee Hiang menciumnya di dalam air tadi, kini dia merasa senang sekali beradu mulut dengan Lee Siang! Akan tetapi dia terbatuk-batuk ketika pemuda itu meniupkan hawa dengan kuat ke dalam paru-parunya. Hal ini terjadi karena ia terkejut dan tentu saja timbul perlawanan dari kerongkongannya.
Lee Hiang memandang dan tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Lee Siang tersenyum saja. “Nah, usaha itu kau ulangi terus sampai si korban dapat bernapas sendiri, atau sampai paru-paru itu bekerja kembali, hiante. Sedangkan kalau nadinya sudah tidak berdenyut lagi yang berarti jantungnya terhenti karena guncangan hebat itu, engkau totok dia di sini.” Dia meraba dua jalan darah di pungung dan atas lambung dan menambahkan, “Kemudian engkau tekan dan pijit arah jantung dari dada depan, dan ini mungkin saja akan mematahkan ujung tulang iga, akan tetapi hal itu tidak berbahaya. Usaha ini adalah untuk meughimpit dan mendorong jantung agar jantung yang bekerja seperti pompa itu dapat bergerak dan bekerja kembali.”
Akan tetapi perhatian Ciang Bun sudah kurang dapat dipusatkan. Jantungnya berdebar keras ketika dia memandang Lee Siang, terutama memandang ke arah mulut itu, ke arah bibir yang baru saja menempel pada bibirnya. Mukanya menjadi merah sekali dan kakak beradik itu tentu saja mengira bahwa merahnya muka itu karena tersedak ketika ditiup tadi.
“Bun-ko, kau belajarlah yang baik agar lain kali kalau aku yang menjadi korban belut petir, engkau sudah dapat menolongku,” kata Lee Hiang dengan wajah berseri dan bibir tersenyum nakal.
“Ehhh, bocah nakal! Mengapa engkau jadi ingin benar ditolong Bun-hiante?” kakaknya menggoda.
“Aku memang lebih senang dicium oleh Bun-ko dari pada oleh orang lain!” jawab Lee Hiang dengan polos dan jujur.
Kakak dara itu tertawa. “Ha-ha-ha, agaknya engkau sungguh jatuh cinta mati-matian kepada Bun-hiante. Bagaimana dengan engkau, Bun-te?”
Ciang Bun menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan dia mengerutkan alisnya. Kakak beradik ini sungguh terlalu terbuka dan polos, bicara soal cinta begitu saja dan dara ini menyatakan keinginan diciumnya, menyatakan cintanya begitu terang-terangan, sedangkan kakaknya tak menegurnya bahkan membantu dan mendorongnya bicara tentang cinta. Dia sendiri tentu saja merasa malu dan jengah, dan tidak dapat menjawab sama sekali.
Melihat ini, kakak beradik itu hanya tersenyum, bahkan Lee Siang lalu tertawa keras. “Ha-ha-ha, Bun-hiante nampak malu-malu, jangan sampai kita membuat dia bingung, Hiang-moi. Marilah kita pulang agar kong-kong tidak mengharap cemas.”
Mereka berperahu kembali ke pulau dan Ciang Bun menjadi termenung seorang diri, memikirkan keadaan dua orang kakak beradik ini, juga memikirkan keadaan batinnya sendiri yang mengalami gejolak amat hebatnya, membuat matanya terbuka dan dia melihat hal-hal aneh terjadi pada dirinya yang membuatnya cemas dan gelisah.
Tentu saja kepolosan dan kejujuran kakak beradik itu membuat Ciang Bun terkejut dan heran bukan main, bahkan ada kesan di hatinya bahwa mereka itu tidak sopan!
Apakah soal cinta, bahkan soal sex, merupakan hal yang tidak patut untuk dibicarakan secara terbuka? Benarkah bahwa membicarakan hal itu secara jujur merupakan hal yang ‘tidak sopan’? Tentu saja tidak sopan kalau diukur dari ukuran kesopanan umum, tidak susila jika dipandang dari kacamata kesusilaan umum. Akan tetapi bagaimanakah sesungguhnya?
Mengapa tata kesusilaan kita mengharamkan kejujuran terhadap dua hal ini, terutama perihal sex? Bukankah cinta dan sex merupakan hal-hal yang erat kaitannya dengan kehidupan, bahkan merupakan kenyataan yang tidak mungkin dapat dihindarkan oleh setiap orang manusia sehingga merupakan suatu kewajaran dalam hidup? Mengapa lalu diharamkan pengertian tentang itu sehingga kita menjauhkan anak-anak dari pengertian tentang hal itu?
Tak perlu dibantah lagi bahwa membicarakan cinta dan sex dengan maksud untuk bicara cabul, untuk main-main, adalah hal yang sama sekali tidak patut. Membicarakan apa pun juga, jika pamrihnya hanya untuk main-main dan mengandung dasar pemikiran dan bayangan kotor atau cabul, jelas tiada manfaatnya, bahkan merusakkan kejernihan batin. Akan tetapi, bagaimana kalau membicarakannya tanpa dasar kotor seperti itu, melainkan bicara seperti kita membicarakan sesuatu yang tidak terpisah dari pada kehidupan itu sendiri?
Pandangan tradisionil nenek moyang kita memang sengaja mengharamkan percakapan tentang cinta dan sex sebagai sesuatu yang memalukan, tentu saja pada mulanya dimaksudkan untuk membuat kita malu untuk melanggarnya. Akan tetapi, pandangan macam ini lalu menimbulkan suatu pandangan yang tidak menguntungkan terhadap sex, seolah-olah sex merupakan suatu perbuatan yang tidak pantas, memalukan, dan membongkar sesuatu yang kotor yang kita lakukan! Inilah yang menyebabkan semua orang menutup mulut tentang sex dan merahasiakan perasaan cintanya terhadap orang berlainan kelamin, hanya karena sudah tumbuh dalam batinnya pendapat tradisionil itu.
Sudah tiba saatnya bagi kita untuk mengubah pandangan yang keliru ini. Kita harus berani membuka mata bahwa persoalan cinta dan sex adalah persoalan hidup yang menyangkut kehidupan setiap orang manusia. Setiap orang anak pada saatnya pasti akan memasuki tahap ini dan dari pada mereka memasukinya dengan membuta, dari pada mereka memperoleh keterangan-keterangan yang menyesatkan tentang cinta dan sex dari orang lain, dari pada mereka memperoleh pengertian melalui percakapan-percakapan yang berdasarkan pandangan cabul dan kotor, alangkah baiknya kalau mereka, anak-anak itu mendengarnya dari orang tua atau pendidikan sendiri, dengan cara yang terbuka dan jujur, tanpa didasari kecabulan.
Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang sejak kecil hidup di pulau kosong bersama kakeknya, dan mereka itu hanya sekali waktu saja bertemu dengan orang-orang lain jika kebetulan mereka ikut kakek mereka untuk berbelanja ke daratan besar atau ke pulau-pulau lain. Mereka mendapatkan pendidikan bun (tulisan) dan bu (silat) dari kakek mereka sendiri.
Akan tetapi kakek mereka cukup bijaksana untuk memberi pengertian kepada mereka tentang cinta antara pria dan wanita dan tentang hubungan antara pria dan wanita, walau pun secara sederhana. Kemudian, dengan menyaksikan hubungan-hubungan kelamin antara binatang-binatang di sekitar tempat itu, antara ikan-ikan, burung-burung dan binatang hutan yang mereka dapatkan di kepulauan lain, kedua orang kakak beradik ini tumbuh dengan pengertian tentang cinta dan sex secara wajar.
Mereka tahu bahwa hubungan itu antara kakak dan adik adalah hal yang tidak baik, tak wajar dan menurut kakek mereka, berbahaya bagi kesehatan mereka, maka mereka menganggapnya sebagai hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Pengertian ini membuat cinta mereka sebagai kakak beradik tidak dipengaruhi birahi sama sekali. Namun, mereka sudah biasa untuk bicara tentang cinta, bahkan tentang sex, secara terbuka dan tanpa malu-malu, seperti kalau mereka bicara tentang penderitaan lapar dan haus, dan tentang kenikmatan makan dan minum. Keterus terangan inilah yang membuat Ciang Bun menjadi terkejut, heran dan juga malu dan canggung.
Malam itu Ciang Bun tak dapat memejamkan matanya. Selama tiga bulan ini dia tinggal di pulau itu dan merasa betah sekali karena tiga orang penghuni pulau itu amat baik kepadanya. Dia tidur sekamar dengan Lee Siang. Akan tetapi malam ini dia gelisah! Dia merasa akan datangnya sesuatu yang mungkin akan merubah seluruh kehidupannya.
Peristiwa siang tadi sungguh mendatangkan kesan yang amat mendalam, ketika dia dicium Lee Hiang, lalu ketika Lee Siang ‘menciumnya’ untuk mengajarnya melakukan pertolongan kepada korban lecutan belut petir. Akhirnya ketika tanpa malu-malu lagi Lee Hiang menyatakan cintanya kepadanya, bahkan diperkuat oleh ucapan-ucapan Lee Siang!
Lee Hiang jatuh cinta padanya! Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dia sudah banyak mendengar dan membaca tentang cinta, antara pria dan wanita ini. Akan tetapi, mengapa dia merasa bingung? Apakah dia tidak mencinta Lee Hiang? Dia suka sekali pada Lee Hiang yang jenaka dan cantik manis, lincah dan merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.
Akan tetapi, terus terang saja dia sama sekali tidak merasa tertarik atau terangsang oleh Lee Hiang, bahkan ketika dara itu menciumnya di dalam air, dia merasa terkejut, malu dan tidak senang! Sebaliknya, ketika Lee Siang mengajarkan cara pertolongan itu dan beradu mulut dengan dia, dia merasa begitu terangsang dan senang, begitu nyaman dan.... dia sendiri tidak tahu perasaan apa lagi yang mengaduk hatinya. Pendeknya dia merasa mesra dan senang sekali!
Kini teringatlah dia betapa setiap malam, kalau Lee Siang sudah tidur nyenyak, sering kali dia duduk dan memandangi wajah dan tubuh temannya itu dengan perasaan yang luar biasa. Dan setelah teringat akan semua itu, teringat pula akan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya ketika pemuda itu ‘menciumnya’.
Ciang Bun merasa terkejut, bingung dan gelisah. Kini dia melihat kenyataan aneh dan mengejutkan yang berada dalam batinnya, yaitu bahwa dia sama sekali tidak pernah tertarik kepada kaum wanita! Memang dia dapat melihat keindahan tubuh wanita dan kecantikan wajah wanita, akan tetapi semua itu sama sekali tidak menimbulkan gairah, sama sekali tidak mendatangkan kemesraan dan tidak mempunyai daya tarik baginya.
Sebaliknya, dia sangat tertarik kepada Ceng Liong, kepada Kao Cin Liong dan kini dia arnat tertarik kepada Lee Siang! Bahkan ketika pemuda itu ‘menciumnya’, dia merasa amat senang. Bangkit rangsangan gairahnya, terasa amat mesra dan menyenangkan.
“Ya Tuhan....!” Ciang Bun berseru di dalam hatinya sendiri ketika dia melihat kenyataan ini.
Birahinya tidak dapat terangsang oleh wanita, melainkan oleh pria! Dengan bingung dan gelisah melihat kenyataan yang amat membedakan antara dirinya dengan kaum pria pada umumnya ini, Ciang Bun lalu menutupi muka dengan kedua tangannya dan dia pun menangis!
Tiba-tiba dua buah tangan yang kuat dengan lembut memegang pundaknya dan Lee Siang bertanya halus, “Bun-te, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis?”
Dalam keadaan sedang berduka, pertanyaan seorang yang disayang dapat menambah keharuan hati. Ciang Bun juga demikian. Dirangkul pundaknya dan ditanya dengan suara penuh kekhawatiran itu, air matanya makin deras mengalir dan dia pun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di atas dada yang bidang itu.
Diam-diam Lee Siang merasa heran dan kasihan sekali. Heran melihat bagaimana pemuda yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat gagah perkasa ini dapat bersikap begini lemah, menangis seperti seorang wanita cengeng. Akan tetapi dia juga merasa kasihan melihat kedukaan Ciang Bun dan mengira bahwa tentu pemuda ini menangisi nasib keluarganya, yaitu kematian kakek dan para neneknya di Pulau Es dan kehilangan saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana nasibnya itu.
Maka, karena merasa iba, ketika merasa betapa Ciang Bun merangkul dan menangis di dadanya, dia pun mendekapnya dan mengelus rambutnya untuk menghibur. Hal ini justru membuat Ciang Bun menjadi semakin terharu dan dia mengangkat mukanya yang basah, memandang kepada Lee Siang. Melihat wajah yang tampan itu memandang penuh kekhawatiran, Ciang Bun kembali merangkul.
“Siang-twako.... ahhh, Siang-twako....” keluhnya.
Lee Siang memeluk. “Bun-te, adikku yang baik, kau tenangkanlah hatimu, kuatkanlah hatimu....”
Dalam rangkulan pemuda itu, Ciang Bun merasa demikian senang dan terhibur, akan tetapi dia teringat akan janggalnya perasaannya sendiri ini. Teringat bahwa dia pun seorang pria, maka dia pun kembali diingatkan akan keadaannya yang luar biasa itu, keadaan yang membuatnya berduka dan menangis. Maka dia pun meronta dan sekali merenggutkan tubuhnya, dia telah terlepas dari pelukan Lee Siang.
“Tidak.... tidak.... jangan....!” Dan dia pun meloncat dan berlari keluar dari kamar, terus keluar dari pondok itu.
“Bun-hiante....!” Lee Siang tadi terpental ketika pemuda itu meronta, dan dia memanggil dengan khawatir, akan tetapi melihat pemuda itu lari keluar, dia tidak berani mengejar, takut kalau-kalau akan membuat Ciang Bun menjadi marah dan tersinggung hatinya.
Lee Siang keluar dari dalam kamarnya, lalu menghampiri kamar adiknya. Dia berpikir bahwa dalam keadaan seperti itu, orang yang paling tepat untuk menghibur hati Ciang Bun hanyalah Lee Hiang. Adiknya itu mencinta Ciang Bun dan dia pun hampir merasa yakin bahwa pemuda itu tentu membalas cinta ini. Adiknya amat cantik manis, dan hubungan antara mereka itu pun nampak demikian akrabnya.
Lee Hiang belum tidur dan dara ini terkejut sekali ketika mendengar cerita kakaknya bahwa Ciang Bun berduka dan menangis dan kini keluar dari dalam pondok.
“Agaknya dia teringat akan keluarga Pulau Es dan dilanda duka yang amat besar sampai dia lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Sudah kucoba menghiburnya akan tetapi gagal, malah dia lari keluar pondok. Adikku, kalau memang engkau mencintanya, engkau harus dapat menghibur hatinya. Kasihan sekali dia.”
“Baik, koko, akan kuusahakan agar dia terhibur. Kasihan Bun-ko.” Dan Lee Hiang pun lalu keluar dari dalam pondok mencari pemuda yang dicintanya itu.
Ciang Bun duduk termenung di tepi laut, menghadap ke timur di mana nampak bulan mengambang di atas air. Indah bukan main. Akan tetapi tiada keindahan baginya di saat itu. Bahkan keindahan itu menambah keharuan hatinya, karena dia teringat akan Pulau Es, teringat akan keluarga kakeknya yang binasa.
Tetapi semua kenangan itu ditelan oleh gelombang kesedihannya karena kenyataan yang dihadapinya. Aku seorang manusia yang tidak lumrah, pikirnya. Akan tetapi, tiba-tiba darah pendekar di tubuhnya memberontak. Dia tidak boleh bersikap lemah! Ibunya tentu akan marah-marah dan mentertawakannya. Ibunya adalah seorang pendekar wanita yang amat keras hati, yang kuat dan sama sekali tidak lemah, bahkan ibunya membenci kelemahan.
Ketika dia masih kecil, kalau dia terjatuh atau mengalami nyeri dan menangis, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa tangis hanya pantas bagi seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Tangis hanya tanda iba diri dan kelemahan batin, demikian kata ibunya.
Ciang Bun yang duduk di atas pantai berpasir itu mengepal tinju. Kenapa dia begini lemah? Kenapa dia tidak berani menghadapi kenyataan ini dan melawannya? Dia tahu bahwa perasaannya yang berlainan dengan laki-laki biasa ini, yang condong untuk lebih menyukai pria dari pada wanita, adalah sesuatu yang tidak lumrah dan dia harus dapat melawan dan menundukkannya. Akan diperlihatkannya bahwa dia adalah seorang laki-laki sejati!
“Bun-koko....! Ehh, Bun-ko, engkau sedang mengapa di situ?”
Ciang Bun menoleh. Lee Hiang telah berdiri di situ, di belakangnya. Cahaya bulan yang baru tersembul dari permukaan air itu menyorotkan cahaya kemerahan dan menimpa kepala dara itu, membuat wajah itu berada di dalam cahaya kemerahan yang indah. Seorang dara yang cantik manis dengan tubuh yang sedang ranum padat dan nampak menggairahkan. Mengapa dia tidak tertarik? Bodoh! Demikian Ciang Bun mencela diri sendiri dan dia pun bangkit berdiri.
“Hiang-moi....,” katanya perlahan.
“Bun-ko.... ah, Bun-ko, engkau membikin aku khawatir sekali. Siang-koko bilang bahwa engkau berduka dan keluar dari pondok. Aku mencari-carimu dan melihat engkau duduk termenung di sini.” Dara itu menghampiri dan merangkul pinggang pemuda itu dengan mesra, mengangkat mukanya memandang. “Bun-koko, janganlah berduka, Bun-ko, ada Lee Hiang di sini yang akan ikut memikul semua kedukaanmu....” Bukan main lembut dan mesranya sikap dan ucapan dara itu.
Aku seorang laki-laki sejati, demikian Ciang Bun menguatkan hatinya dan dia memaksa diri, memeluk tubuh dara itu. “Hiang-moi, engkau seorang dara yang baik sekali.”
“Bun-ko....!” Lee Hiang berkata girang dan mempererat dekapannya pada pinggang pemuda itu.
Aku harus memperlihatkan kejantananku, pikir Ciang Bun dan dia pun mempererat rangkulannya. Ketika wajah dara itu terangkat ke atas, menengadah dan memandang kepadanya dengan sinar mata lembut, dengan mulut setengah terbuka, Ciang Bun lalu menundukkan mukanya dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri, mencium bibir yang menantang itu.
Ciuman itu membuat tubuh Lee Hiang menggigil dan rintihan halus mendesah keluar dari kerongkongannya. Bagi Ciang Bun sendiri, terjadi hal yang sungguh membuatnya ngeri. Mulut yang panas itu, bibir yang lunak lembut itu, ketika bertemu dengan bibirnya dalam sebuah ciuman mesra, mendatangkan rasa muak!
Bukan, bukan kelembutan seorang wanita yang dia dambakan, sama sekali bukan. Dia merindukan kejantanan seorang pria, mulut yaug kuat akan tetapi lembut, bukan lunak menyerah macam mulut wanita ini. Dia tidak tahan lagi dan cepat dia merenggutkan dirinya, melepaskan pelukan.
“Tidak....! Tidak....! Jangan....!” Dan dia pun, seperti tadi ketika meninggalkan Lee Siang, melarikan diri meninggalkan Lee Hiang yang berdiri bengong dengan wajah berohah pucat dan mata terbelalak.
“Bun-koko....!” Ia berteriak dan mengejar.
Sesosok bayangan lain muncul dan ikut mengejar Ciang Bun. Bayangan ini adalah Lee Siang. Pemuda ini tadi mengintai dan ikut bergembira melihat betapa adiknya dan Ciang Bun berciuman di pantai. Akan tetapi, dia ikut terkejut melihat perubahan pada diri Ciang Bun dan ketika Ciang Bun melarikan diri dan dikejar oleh adiknya, dia pun ikut mengejar dengan hati khawatir.
Ciang Bun berdiri di tepi pantai utara, berdiri seperti arca memandang jauh ke depan, tanpa bergerak sama sekali, wajahnya pucat dan matanya sayu.
“Bun-koko....!”
“Bun-hiante....!”
Dia membalik, memandang kepada dua orang kakak beradik itu dengan muka pucat dan dia pun menghardik, “Pergilah kalian! Jangan dekati aku....! Pergiiii....!”
Terdengar Lee Hiang terisak dan Lee Siang menahan napas saking kagetnya melihat sikap pemuda yang mereka sayang itu. Ciang Bun biasanya bersikap ramah dan halus, akan tetapi mengapa sekarang begitu berubah sikapnya, menjadi kasar dan seperti orang yang marah sekali?
Akan tetapi Lee Siang mempunyai pandangan yang jauh dan bijaksana. Dia memegang lengan adiknya dan berkata lirih, “Baiklah, kami pergi, kami hanya ingin menghiburmu, Bun-te. Marilah, adikku!” Dia pun setengah menyeret tubuh Lee Hiang meninggalkan Ciang Bun sendirian.
Sejenak Ciang Bun masih berdiri tegak dengan sikap marah seperti tadi, memandang ke arah dua sosok bayangan yang pergi dengan lemas itu. Kemudian, terasalah seluruh tubuhnya lemas seperti dilolosi urat-uratnya dan dia pun terkulai, jatuh berlutut di atas pasir.
“Ya Tuhan, ampunilah hamba....!” Dia mengeluh dengan hati penuh penyesalan.
Dan semalam itu dia duduk bersila di pantai, tidak pernah beranjak dari tempat itu. Dia bingung sekali. Ketika berada dalam pelukan Lee Siang, terjadi perang dalam batinnya. Perasaannya senang akan tetapi pikirannya menentang. Sebaliknya, saat dia memeluk dan mencium Lee Hiang, pikirannya mendorong akan tetapi perasaannya menentang keras. Dia menjadi bingung, menyesal dan berduka.
Liu Ek Soan menerima laporan tentang keadaan Ciang Bun dari dua orang cucunya. Kakek ini menarik napas panjang. “Keturunan keluarga Pulau Es sudah tentu memiliki keanehan-keanehan watak yang tidak kita mengerti. Biarkanlah saja, jangan ganggu. Besok baru aku akan bicara dengannya.”
Pada keesokan harinya kakek itu menghampiri Ciang Bun yang masih duduk bersila di tepi pantai dan menegur halus, “Ciang Bun, sepagi ini engkau sudah berada di sini dan kelihatan susah hatimu, anak baik?”
Ciang Bun menoleh lalu berkata dengan sedih, “Liu-kong-kong, hari ini aku mohon diri darimu. Aku akan pergi untuk mencari saudara-saudaraku yang terpisah dariku atau aku akan pulang dan melaporkan semua hal itu kepada orang tuaku.”
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian menarik napas panjang. “Kami akan merasa kehilangan, Ciang Bun. Akan tetapi bagaimana lagi, memang sepatutnya kalau engkau melaporkan semua yang terjadi kepada orang tuamu. Sudah tiga bulan lebih engkau di sini. Semua dasar ilmu dalam air telah engkau kuasai, tinggal melatih dan memahirkan saja. Akan tetapi ada suatu hal yang amat penting yang ingin kubicarakan denganmu, anak baik.”
“Hal apakah itu, kong-kong?”
“Tentang engkau dan Lee Hiang! Anak itu telah mengaku kepadaku bahwa ia amat mencintamu dan engkau pun tentu tahu akan hal ini. Maka, jika kiranya engkau dan orang tuamu tidak menganggap kami terlalu rendah, aku ingin sekali menjodohkan Lee Hiang denganmu.”
Ciang Bun menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat akan kebaikan kakek ini dan dua orang cucunya, tentu dia akan menolak keras pada saat itu juga. Akan tetapi dia tidak tega untuk menyinggung perasaan kakek ini, maka dia pun cepat berkata,
“Aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal perjodohan, Liu-kong-kong. Pula, soal perjodohan tergantung kepada ayah bundaku. Aku sendiri tak dapat membicarakannya.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Memang benar sekali ucapanmu itu. Pada suatu hari aku tentu akan menghadap orang tuamu di Thian-cin untuk membicarakan urusan ini. Aku hanya memberi tahu kepadamu agar engkau mengetahuinya lebih dulu. Namun, kalau engkau hendak pergi mencari saudara-saudaramu atau menuju ke daratan besar, biarlah Lee Siang dan Lee Hiang mengantar dan menemanimu.”
“Tidak, Liu-kong-kong, tidak usah! Aku akan pergi sendiri. Aku tahu bahwa letak daratan berada di barat dan sekarang, setelah aku menerima pelajaran tentang ilmu dalam air darimu, aku tidak lagi takut menghadapi badai.”
Kakek itu tidak dapat membantah lagi dan ketika Lee Siang dan Lee Hiang diberi tahu, mereka berdua segera datang menemui Ciang Bun. Begitu melihat mereka, Ciang Bun segera berkata, suaranya penuh penyesalan. “Siang-twako dan Hiang-moi, harap kalian berdua sudi maafkan sikapku semalam....”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bun-te. Antara kita sendiri, mana perlu sungkan dan maaf? Hanya aku menyesal bahwa kami tidak dapat menghibur hatimu yang sedang duka.”
“Sudahlah, semua itu karena kebodohanku sendiri, twako.” Ciang Bun menghela napas.
“Bun-koko.... benarkah engkau.... engkau hendak pergi?” Lee Hiang bertanya, suaranya mengandung kedukaan, tidak seperti biasa suaranya selalu lincah jenaka.
Ciang Bun memandang wajah dara itu dan diam-diam dia merasa kasihan kepada dara yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia merasa yakin bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih Lee Hiang atau wanita yang mana pun juga di dunia ini. Cintanya terhadap Lee Hiang hanya cinta seperti seorang kakak terhadap adiknya, atau paling-paling seperti cinta seorang sahabat saja, cinta tanpa daya tarik dan gairah.
“Benar, siauw-moi, aku harus pergi melaporkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayah bundaku.”
“Kau pergi.... untuk selamanya.... dan tidak akan kembali lagi ke sini....?”
“Ah, kenapa engkau berkata demikian, adikku?” Ciang Bun berkata ramah. “Selagi kita masih hidup, tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi.”
“Tapi, kapan, koko....? Ahhh, aku tentu akan merasa kehilangan sekali.... hidup akan terasa hampa dan tidak menyenangkan tanpa engkau di pulau ini. Aku akan merana dan berduka.... ah, Bun-ko yang tercinta, bagaimana engkau tega meninggalkan aku? Aku ikut....!” Dan Lee Hiang memandang dengan air mata mulai membasahi kedua matanya.
Ciang Bun merasa kasihan sekali. Dia maju menghampiri dan memegang kedua tangan dara itu, sikap dan perasaannya seperti seorang kakak terhadap adiknya tersayang.
“Adikku yang baik, jangan menangis. Engkau bukan seorang dara yang cengeng dan engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat melupakan engkau, Siang-twako, dan juga Liu-kong-kong. Kelak kita pasti akan bertemu kembali.”
Lee Hiang sesenggukan dan menangis di atas dada Ciang Bun. Pemuda ini sekarang tak lagi merasa canggung karena dia menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang menghibur adiknya yang tersayang. Dielusnya rambut kepala dara itu dan dihiburnya dengan kata-kata halus sampai akhirnya Lee Hiang terhibur dan berhenti menangis.
“Bun-ko, kalau sampai lama engkau tidak datang, aku tentu akan pergi menyusul dan mencarimu!” katanya.
“Aihh, moi-moi, jangan bodoh. Kong-kong tentu akan menguruskan perjodohan kalian!” kata Lee Siang, tidak tahu betapa ucapannya itu menusuk perasaan Ciang Bun dan membuat pemuda itu merasa amat tidak tenang hatinya.
Akhirnya, Ciang Bun berangkat naik sebuah perahu, dibekali perlengkapan secukupnya oleh kakek Liu, berikut petunjuk yang jelas arah mana yang harus ditempuhnya untuk mencapai pantai daratan besar.
“Angin bertiup dengan baiknya dan udara amat baik, kalau tidak keliru perhitunganku, dalam waktu dua hari semalam engkau akan mencapai daratan, Ciang Bun,” kata kakek itu.
Dengan diantar oleh lambaian tangan dan tatapan mata tiga orang pulau itu, berikut air mata yang menetes-netes turun dari kedua mata Lee Hiang, berangkatlah Ciang Bun dan dia pun memandang ke arah pulau itu sampai lambat-laun tiga buah titik di atas pulau yang makin mengecil itu tidak dapat nampak lagi. Perahunya meluncur cepat ketika layarnya terkembang penuh.
Sambil mengemudikan perahu, pemuda ini termenung. Terjadi keadaan yang sangat bertentangan antara lahir dan batinnya. Matanya melihat betapa perahunya meluncur cepat menuju ke arah tertentu, demikian lancar dan penuh harapan. Akan tetapi mata batinnya melihat betapa masa depan kehidupannya tak menentu dan suram. Keadaan ini membuat mulutnya bergerak, perasaan dan pikirannya menciptakan sebuah sajak keluhan.
Perahuku meluncur laju
menuju arah tertentu
angin kencang layar terkembang
di depan terang cemerlang!
Namun betapa suram jalan hidupku
hati gelisah tak menentu
gelap pekat meraba-raba
tak tahu harus ke mana?