CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 11
Hek-i Mo-ong merasa bangga sekali memperoleh kepercayaan ini. Dia sudah merasa menjadi ‘koksu’ dari Gubernur Yong Ki Pok. Dia menerima tanda kuasa dari sang gubernur, juga bekal emas yang cukup banyak. Dan untuk melakukan tugas dengan hasil baik, dia harus menyamar. Tak mungkin kalau dia bertindak sebagai Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang sudah terkenal sekali itu.
Untung baginya, hanya namanya saja yang terkenal. Hek-i Mo-ong adalah nama julukan yang terkenal sekali di dunia kang-ouw, bahkan sampai jauh ke timur, dikenal oleh semua golongan, baik golongan para pendekar ataupun penjahat, golongan putih mau pun hitam. Akan tetapi, jarang ada orang yang mengenal mukanya.
Dia bukan sembarang kaum sesat, melainkan seorang datuk yang tidak sembarangan dapat ditemui orang. Karena ini, maka dengan menyamar dan menyembunyikan nama julukannya, dia akan dapat melaksanakan tugas itu dengan mudah.
Dalam penyamarannya, Hek-i Mo-ong tidak meninggalkan warna hitam pakaiannya. Memang sejak dahulu dia suka memakai pakaian serba hitam. Akan tetapi, sekarang pakaiannya yang berwarna hitam itu dibentuk seperti pakaian yang biasa dipergunakan oleh sinshe tukang obat. Dan dia pun menyuruh Ceng Liong untuk mengganti sebutan Mo-ong dengan sebutan kakek.
“Kita akan melakukan perjalanan rahasia, melaksanakan tugas penting sekali. Maka kita harus menyamar. Aku akan menyamar sebagai seorang ahli obat dan tukang sulap, dan engkau adalah cucuku, juga pembantuku. Ingat, namaku adalah Phang Kui, aku adalah kakekmu dan pekerjaanku tukang obat dan tukang sulap. Engkau tetap bernama Ceng Liong, akan tetapi demi keselamatan sendiri, lebih baik engkau jangan menyebutkan nama keturunanmu. Nama keturunan Suma terlalu menyolok dan kalau engkau mau menyebut nama keturunan juga, engkau boleh saja memakai nama keturunanku, yaitu Phang. Mengertikah engkau, Ceng Liong?”
“Baik, kong-kong,” jawab anak yang cerdik itu sehingga gurunya tertawa senang disebut kong-kong. “Dan sekarang kita hendak berangkat ke manakah? Apakah langsung ke Bhutan? Atau ke Himalaya?” Anak itu mendengarkan ketika gurunya bicara dengan gubernur, maka dia pun mengerti akan tugas gurunya.
Akan tetapi Hek-i Mo-ong menggeleng kepala. “Tidak, kita akan berangkat dulu ke kota Ceng-tu di Se-cuan.”
Karena Ceng Liong tidak mengerti, dia pun tidak banyak bertanya lagi dan berangkatlah guru dan murid itu menuju ke Propinsi Se-cuan. Kenapa mereka hendak ke Se-cuan? Hek-i Mo-ong adalah seorang yang sangat cerdik dan kepergiannya ke Se-cuan sudah diperhitungkannya dengan masak, termasuk ke dalam rencananya untuk melaksanakan tugas itu sebaik mungkin.
Gubernur Se-cuan adalah seorang pangeran. Dia adalah Pangeran Yung Hwa, saudara dari mendiang Kaisar Yung Ceng, ayah Kaisar Kian Liong yang sekarang. Pangeran Yung Hwa ini pernah menentang kaisar yang dahulu, maka sebagai hukumannya dia dibuang secara halus dengan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Se-cuan.
Hek-i Mo-ong tahu riwayat Gubernur Se-cuan, yaitu Pangeran Yung Hwa yang sekarang telah berusia empat puluh dua tahun ini. Ia sudah tahu pula bahwa Pangeran Yung Hwa yang menjadi Gubernur Se-cuan ini kenal baik dengan keluarga Raja Bhutan, maka gubernur ini dapat diharapkan bantuannya. Apalagi karena peristiwa pembuangannya itu sedikit banyak tentu menimbulkan dendam di hatinya.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, sebuah gerobak kuda sederhana memasuki kota Ceng-tu yang ramai. Kereta yang sederhana itu menarik perhatian karena kudanya diberi rumbai-rumbai dengan kertas-kertas berwarna, dan di dinding kereta terdapat tulisan besar menyolok SINSHE PHANG, AHLI OBAT, RAMAL, DAN SULAP.
Di atas tempat duduk kusir itu duduk seorang anak berusia sepuluh tahun lebih yang tubuhnya tegap, wajahnya tampan dan mulutnya selalu tersenyum-senyum memandang ke kanan kiri, sinar matanya tajam dan penuh keberanian. Anak ini pandai sekali mengendalikan kuda besar yang menarik kereta, dan dia tersenyum-senyum kepada semua orang yang memperhatikan kereta itu.
Hek-i Mo-ong sendiri yang kini berganti sebutan menjadi Sinshe Phang, sedang tidur melenggut di dalam kereta. Namanya yang asli memang Phang Kui, akan tetapi di dunia kang-ouw dia tidak dikenal dengan nama itu, bahkan tidak ada orang mengenal nama aslinya. Karena itu, dia berani mempergunakan nama aslinya dengan tenang.
Ketika terbangun dan melihat bahwa mereka telah memasuki kota Ceng-tu, Sinshe Phang menyuruh Ceng Liong yang kini disebutnya sebagai cucunya itu untuk langsung pergi ke pusat kota. Di dekat pasar mereka menghentikan kereta dan tidak lama kemudian terdengarlah suara tambur dan canang dipukul oleh kakek dan cucunya ini. Orang-orang berdatangan dan sebentar saja para penonton disuguhi tontonan sulap yang amat menarik. Kakek itu pandai sekali bermain sulap dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia memang seorang ahli sihir. Dengan permainan sulapnya, dia berhasil menarik banyak penonton.
Kemudian dia pun mendemonstrasikan kemahirannya mengobati orang. Sakit gigi, sakit pening, sakit perut, semua disembuhkannya dengan cepat di tempat itu juga. Bagai mana pun juga, seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong tentu saja pandai dalam hal ilmu pengobatan, apalagi hanya untuk menyembuhkan penyakit yang remeh dan ringan.
Ada pula yang tertarik dan minta diramal nasibnya. Semua biaya pengobatan atau pun meramal itu ditarik dengan tarip ringan sekali sehingga banyak orang yang merasa puas dan sebentar saja nama Sinshe Phang terkenal di kota Ceng-tu itu.
Kakek dan cucunya itu mondok di kamar sebuah rumah penginapan sederhana dan setiap hari mereka membuka pertunjukan di dekat pasar. Dalam waktu beberapa hari saja, terkenallah namanya, bahkan sampai ke gedung gubernuran. Tersiar berita bahwa Ceng-tu kedatangan seorang sinshe yang amat pandai dan lagi taripnya amat murah.
Pada suatu pagi, tiga hari kemudian, ketika Sinshe Phang dan Ceng Liong sedang sibuk melayani para peminat, kakek itu memeriksa dan Ceng Liong yang mempersiapkan obatnya, datanglah sebuah kereta ke tempat itu. Sebuah kereta yang mewah dan dari jauh saja sudah nampak bahwa kereta itu bukan kereta sembarangan, melainkan kereta seorang pembesar. Kereta itu dikawal oleh selosin pasukan pengawal.
Sebelum kereta dekat, Sinshe Phang sudah bertanya kepada seorang penonton yang dijawabnya bahwa yang datang itu adalah kereta gubernur! Tentu saja Sinshe Phang menjadi girang sekali. Cepat ditulisnya beberapa huruf di atas kertas tanpa dilihat orang lain dan diberikan kertas tulisan itu kepada Ceng Liong. Anak ini membacanya dan mengangguk sambil meremas hancur kertas tulisan itu. Gurunya sedang merencanakan sesuatu yang amat bagus! Dan dia pun sudah siap membantunya.
Kini kereta mewah itu berhenti di dekat tempat Sinshe Phang membuka prakteknya. Para pengawal memerintahkan penonton membuka jalan agar penghuni kereta dapat menyaksikan pertunjukan yang diperlihatkan oleh Sinshe Phang. Pintu dan jendela kereta dibuka dan nampaklah seorang wanita cantik berusia tiga puluhan tahun, berpakaian mewah. Di sebelahnya duduk pula seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun, dengan pakaian mewah dan rambutnya dikuncir dua, manis sekali.
Orang-orang yang mengenal wanita itu saling berbisik. Itulah seorang isteri muda Gubernur Yung Hwa, seorang di antara selir-selirnya yang paling disayangnya, yang datang menonton pertunjukan Sinshe Phang bersama puterinya. Memang wanita ini mendengar tentang keahlian Sinshe Phang. Sudah lama ia menderita pening-pening pada kepalanya dan sudah banyak ia makan obat, akan tetapi tidak juga peningnya hilang. Maka, mendengar akan kepandaian Sinshe Phang, ia ingin menyaksikan sendiri, kemudian kalau hatinya yakin, ia pun akan minta pengobatan.
Sinshe Phang pura-pura tidak melihat bahwa ada wanita cantik selir gubernur yang memperhatikannya dan ikut menonton dari dalam kereta itu. Akan tetapi diam-diam dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya, bermain sulap yang amat menggembirakan anak perempuan di dalam kereta itu. Bahkan saat dia menyulap sepotong batu berubah menjadi seekor burung dara yang terbang melayang ke udara, anak perempuan itu bertepuk tangan dan bersorak, “Bagus! Bagus....!”
Akan tetapi ibu anak itu lebih memperhatikan cara Sinshe Phang menyembuhkan beberapa orang yang datang berobat, terutama sekali orang yang menderita penyakit kepala pening. Melihat betapa Sinshe Phang kadang-kadang mempergunakan jari-jari tangannya menekan di sana-sini bagian kepala, atau menggunakan sebuah jarum emas menusuk beberapa tempat tanpa yang ditusuk itu mengeluh nyeri atau mengeluarkan darah, kemudian melihat orang-orang itu dapat disembuhkan seketika, nyonya itu merasa tertarik sekali.
Pada saat itu, para pengawal juga menonton dengan hati tertarik dan kadang-kadang mereka itu tertawa melihat Sinshe Phang bermain sulap sambil melucu. Juga kusir kereta itu duduk santai, tidak lagi memperdulikan dua ekor kudanya yang sudah diberi makanan di depannya.
Biar pun para pengawal itu juga merupakan orang-orang yang tahu ilmu silat, akan tetapi gerakan Sinshe Phang sedemikian cepatnya sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang melihatnya ketika tiba-tiba saja dari jari-jari tangannya meluncur dua butir batu kecil yang dengan tepatnya menghantam dan melukai pantat dua ekor kuda yang sedang makan itu.
Tiba-tiba dua ekor binatang itu meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meloncat ke depan. Kereta itu tertarik keras dan kusir yang sedang enak-enak duduk miring itu terlempar keluar, terpental dari tempat duduknya dan terbanting ke atas tanah. Para pengawal terkejut bukan main melihat dua ekor kuda itu kabur.
Beberapa orang penonton bahkan ada yang tertabrak dan jatuh tunggang-langgang dan orang-orang berteriak-teriak ketakutan karena dua ekor kuda itu membalap tanpa ada yang mengendalikan. Akan tetapi, ketika kusir kereta tadi terpelanting, ada bayangan kecil yang dengan cekatan telah melompat ke atas tempat duduk kusir. Bayangan ini adalah seorang anak kecil dan semua orang mengenalnya sebagai cucu Sinshe Phang. Sementara itu, terdengar jerit-jerit ketakutan dari dalam kereta.
Ceng Liong yang sudah diberi isyarat oleh gurunya memang sudan siap siaga. Maka ketika dia melihat gurunya mempergunakan ilmu melempar batu-batu kecil dengan sentilan jari tangan, dia sudah mendekati kereta. Begitu kuda kabur dan kusir terlempar keluar, dia sudah meloncat dengan cekatan sekali dan berhasil mencapai tempat duduk kusir.
Dia segera menyambar tali kendali kuda, akan tetapi karena tali kendaraan itu sebagian terlepas dan berada di punggung kuda, dengan penuh keberanian anak ini lalu meloncat turun ke atas punggung seekor kuda. Anak ini menarik kendali sambil mengeluarkan bujukan-bujukan untuk menghentikan dua ekor kuda itu. Sedangkan para pengnwal kini sudah memburu, ada yang naik kuda, ada yang berlarian.
Akan tetapi, dalam jarak ratusan meter, ketika para pengawal dapat menyusul, kereta itu telah berhenti dan dua ekor kuda itu telah dikuasai oleh Ceng Liong yang masih duduk di atas punggung seekor di antara dua kuda itu. Kereta itu selamat dan dua orang penghuninya juga selamat!
Melihat ini, semua orang bersorak gembira dan bertepuk tangan. Mereka memuji Ceng Liong yang dianggap seorang anak yang amat sigap dan berani. Anak perempuan itu menangis terisak-isak didekap oleh ibunya yang mukanya juga berubah pucat sekali. Melihat betapa yang menolong menghentikan dua ekor kuda yang kabur itu adalah anak kecil cucu Sinshe Phang, ibu muda itu segera membimbing anaknya turun dari kereta yang sudah dibawa kembali ke tempat semula oleh Ceng Liong.
“Sinshe, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan cucumu,” katanya.
Phang-sinshe cepat memberi hormat dan mengangguk-angguk. “Ahh, toanio, kebetulan saja cucu saya dapat bertindak cepat. Thian yang telah melindungi toanio dan siocia,” kata Sinshe Phang dengan sikap seolah-olah dia seorang beribadah yang sudah biasa memalingkan mukanya kepada Tuhan!
“Engkau anak yang baik sekali!” kata nyonya muda itu kepada Ceng Liong.
Anak ini pun menjura tanpa berkata apa-apa, matanya memandang tajam kepada anak perempuan yang masih nampak ketakutan itu. Biar pun ketakutan dan bekas menangis, anak ini amat cantik dan manis.
“Ibu, apakah yang menghentikan kuda tadi dia ini?” Anak perempuan itu menuding ke arah Ceng Liong.
“Benar, Kui Lan. Dialah yang telah menyelamatkan kita. Anak baik, siapakah namamu?”
Ceng Liong menjadi malu juga karena sikap yang amat menghargai itu, apalagi di situ banyak orang yang menyaksikan dan semua orang memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan memuji.
“Ha-ha, kenapa kau diam saja, Ceng Liong? Maaf, toanio. Dia anak pemalu sekali. Cucu saya ini namanya Ceng Liong.”
“Kui Lan, hayo ucapkan terima kasih kepada Ceng Liong,” perintah ibunya yang selalu mendidik puterinya untuk bersikap baik.
Kui Lan melangkah mendekati Ceng Liong. Wajah yang manis itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang lebar itu memandang penuh perhatian. “Ceng Liong, aku kagum padamu dan terima kasih atas pertolonganmu. Namaku Yung Kui Lan, dan ayahku adalah gubernur dari kota ini.”
Ceng Liong hanya mengangguk-angguk saja sambil menatap wajah yang manis itu. Nyonya muda itu lalu menggunakan kesempatan ini untuk mengundang Sinshe Phang ikut bersamanya ke gedung gubernuran.
“Kami ingin minta pertolongan sinshe mengobati suatu penyakit,” demikian tambahnya.
Sinshe Phang menyembunyikan kegembiraan hatinya. Inilah yang dinanti-nanti sampai dia mau bersusah payah ‘membuka praktek’ di pasar itu. Tak pernah disangkanya pintu gubernuran akan sedemikian mudahnya terbuka baginya.
“Saya merasa terhormat sekali untuk dapat mengobati keluarga toanio yang sakit,” katanya dan dia pun cepat menyuruh cucunya berkemas.
Tidak lama kemudian, kereta nyonya itu telah berjalan kembali. Sekali ini bukan hanya diiringkan sepasukan pengawal, akan tetapi juga diiringkan sebuah gerobak kuda yang telah mulai dikenal baik di kota itu. Di sepanjang perjalanan, orang-orang membicarakan keberanian bocah yang mengendalikan kuda itu. Semua orang tahu bahwa tentu sinshe itu diundang ke gubernuran untuk mengobati orang sakit dan tentu akan menerima hadiah besar dari gubernur sendiri karena telah menyelamatkan selir dan puterinya dari bahaya.
Begitu tiba di gedung gubernuran, Gubernur Yung Hwa yang menerima laporan tentang kereta selirnya yang kabur dan diselamatkan oleh cucu Sinshe Phang, menjadi terkejut akan tetapi juga girang. Dia lalu minta kepada selirnya untuk memanggil sinshe itu menghadap. Ketika bertemu dengan kakek yang tinggi besar itu, dan melihat cucunya yang tampan dan gagah, Gubernur Yung Hwa merasa suka sekali. Dia mengucapkan terima kasih dan memuji Ceng Liong.
“Hamba merasa terhormat sekali dapat memperoleh kesempatan untuk mengobati keluarga paduka yang sakit. Hamba sudah siap untuk mengobatinya,” Sinshe Phang berkata dengan sikap merendahkan diri.
“Sinshe, yang sakit adalah aku sendiri,” tiba-tiba selir itu berkata sambil tersenyum ramah. “Apakah engkau bisa menolongku?”
Sinshe Phang menjura. “Mudah-mudahan hamba akan dapat menolong. Tidak tahu sakit apakah yang diderita oleh toanio?”
“Sudah lama sekali kepalaku sering pening, berdenyut-denyut dan mata berkunang-kunang. Sudah beberapa orang tabib dipanggil dan banyak sudah kumakan obat, akan tetapi penyakit itu tidak lenyap, hanya berkurang sedikit saja.”
Sinshe Phang mengangguk-angguk. “Maaf, hamba harus memeriksa lebih dulu sebelum menentukan penyakit dan obatnya.”
Gubernur Yung Hwa yang amat mencinta isterinya itu berkata, “Mari, silakan masuk ke kamar, Sinshe Phang.”
Sinshe Phang menghaturkan terima kasih, “Ceng Liong, engkau menanti saja di sini dan bersikaplah yang baik.”
“Biar Kui Lan menemaninya,” kata nyonya itu.
Dan Kui Lan yang memang merasa kagum dan suka kepada Ceng Liong lalu menarik tangan Ceng Liong dan mengajaknya untuk pergi ke taman. Ceng Liong menurut saja walau pun dia merasa sungkan dan juga malu.
Melihat sikap anak laki-laki itu, sang gubernur menggeleng-geleng kepala. “Cucumu itu kelak tentu menjadi orang yang gagah.”
Sambil mengikuti suami isteri itu memasuki kamar, Sinshe Phang menjawab, “Ahhh, seorang seperti hamba mana mungkin dapat mempunyai seorang cucu yang gagah?”
Sang gubernur tertawa. “Aha, jangan kira aku tidak tahu, Phang-sinshe! Seorang yang kabarnya pandai bermain sulap, dan pandai mengobati seperti engkau ini, tentu seorang kang-ouw yang lihai. Apalagi mendengar betapa cucumu dapat menyelamatkan isteri dan anakku, tentu dia pun telah kau gembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi!”
Diam-diam Sinshe Phang memuji ketajaman mata gubernur ini. Bagaimana pun juga, gubernur ini dahulunya seorang pangeran, bahkan masih paman dari kaisar yang sekarang, maka tentu banyak tahu tentang dunia kang-ouw. Aku harus berhati-hati, pikir kakek itu.
Setelah berada di dalam kamar, dengan disaksikan oleh Gubernur Yung Hwa, Sinshe Phang memeriksa denyut nadi lengan selir itu, kemudian memeriksa beberapa bagian kepala dan lehernya. Segera dia mengetahui bahwa penyakit yang diderita oleh nyonya itu tidaklah begitu berat, maka dengan keahliannya pengobatan tusuk jarum, dengan mudah dia dapat menghilangkan penyakit itu.
Tentu saja gubernur dan selirnya merasa berterima kasih dan girang sekali. Gubernur Yung Hwa lalu menjamunya. Mereka makan minum berdua saja sambil bercakap-cakap karena Ceng Liong diajak makan sendiri oleh Kui Lan yang sekarang telah bersahabat dengannya.
“Ceng Liong, aku hampir tidak percaya bahwa engkau hanyalah cucu seorang penjual obat.” Di waktu bermain-main Kui Lan berkata.
Ceng Liong memandang tajam. Anak ini boleh juga, pikirnya, memiliki kecerdikan.
“Kenapa engkau berkata demikian, nona?”
“Sedangkan anak laki-laki putera para pembesar saja biasanya bersikap sombong dan kasar, padahal tidak pandai apa-apa. Akan tetapi engkau ini gagah berani dan tangkas, kulihat pandai dan bukan seperti anak dusun, akan tetapi sikapmu pendiam dan pandai merendahkan diri, ramah dan mengenal aturan. Tidak, engkau bukanlah anak dusun. Engkau pantasnya anak bangsawan atau hartawan besar!”
Ceng Liong tertawa. “Aih, nona jangan main-main. Sudah jelas kakekku adalah seorang ahli pengobatan, ahli ramal dan sulap. Dan aku cucunya.”
Kui Lan menarik napas panjang. “Sukar dipercaya! Dan di mana rumahmu? Di mana rumah kakekmu itu?”
“Di mana saja, nona. Dunia ini adalah rumahku, langit atapku, bumi lantaiku. Kalau dikecilkan, gerobak itulah pondok kami. Di mana adanya gerobak kami, di situlah kami tinggal. Kami adalah perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, nona, seperti burung-burung di udara, mau hinggap di pohon mana pun bebas!”
Sepasang mata yang bening itu berseri memandang wajah tampan Ceng Liong. “Ihhh, bicaramu juga seperti orang bersyair! Betapa senangnya hidup seperti burung, bebas melayang ke mana-mana, tidak terhalang sangkar. Aku seperti burung dalam sangkar!”
“Nona adalah puteri seorang bangsawan tinggi yang beruntung, mana mungkin bisa dibandingkan dengan aku?”
“Aku suka padamu, Ceng Liong. Engkau tidak seperti anak-anak lain. Selamanya aku tidak akan melupakanmu, tidak akan lupa ketika engkau menghentikan kuda dengan menunggangi kuda yang sedang kabur itu. Ihhh, masih ngeri kalau aku mengingatnya.”
Ceng Liong lalu diajak makan, terpisah dari kakeknya yang juga sedang makan minum dengan Gubernur Yung Hwa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sinshe Phang untuk berkenalan dan menjajagi hati bangsawan itu. Maka dengan hati-hati dan halus dia pun membawa percakapan menuju ke kota raja dan istana, membicarakan keadaan negara.
“Engkau banyak melakukan perantauan, Phang-sinshe. Bagaimana keadaan di timur dan selatan? Apakah kehidupan rakyat baik dan keamanan pun baik?” Gubernur itu bertanya demikian karena dia juga sudah mendengar bahwa terjadi pergerakan dan pergolakan di barat dan utara.
Kakek itu mengerutkan alis, bersikap pura-pura sedang keberatan untuk menyatakan pendapatnya.
Sang gubernur melihat ini, maka sambil tersenyum lalu menyambung, “Harap engkau jangan khawatir, Phang-sinshe. Aku bertanya dengan jujur, maka engkau pun boleh menyatakan sejujurnya bagaimana keadaan di sana. Kita ini sedang mengobrol sebagai dua orang teman, bukan pemeriksaan seorang pejabat terhadap terdakwa!” Gubernur itu tertawa dan Phang-sinshe juga ikut tersenyum lega.
“Terus terang saja, taijin. Keadaan di daerah-daerah di timur juga tidaklah begitu baik. Banyak rakyat yang hidup kekurangan dan merasa tidak puas, dan di sana-sini terdapat gejala pergerakan menentang pemerintah.”
Gubernur itu menghela napas. “Sudah kuduga demikian. Setiap pemerintahan tidak mungkin dapat memuaskan hati seluruh rakyat. Sudah tentu ada saja fihak yang merasa tidak puas. Ketika mendiang Kaisar Yung Ceng yang memegang kendali pemerintahan, banyak fihak yang menentang, hal itu tidaklah terlalu mengherankan mengingat akan sifat-sifatnya yang keras dan kadang-kadang penuh kelaliman. Akan tetapi, sekarang kendali pemerintahan dipegang oleh Kaisar Kian Liong yang halus budi dan bijaksana. Bagaimana pun juga, tak mungkin beliau dapat memuaskan hati semua orang. Memang demikian keadaan di dunia ini, tidak ada yang sempurna.”
Mendengar ucapan ini, diam-diam Sinshe Phang terkejut. Dia tidak melihat sedikit pun rasa dendam dalam ucapan itu.
“Bagaimanakah pendapat paduka tentang pergolakan-pergolakan yang sedang terjadi di mana-mana?”
Gubernur itu mengerutkan alisnya. “Orang yang merasa penasaran tentulah mereka yang merasa dirugikan. Dan melihat kenyataan betapa bijaksana Kaisar Kian Liong, maka yang merasa dirugikan sehingga penasaran dan memusuhinya tentulah orang-orang yang tidak bijaksana! Mereka yang ambisius dan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi. Mereka itu tidak tahu bahwa andai kata kekuasaan tertinggi berada di tangan orang lain, tidak seperti Kaisar Kian Liong, maka keadaan negara tentu menjadi lebih kacau dan sengsara.”
Sekarang yakinlah Sinshe Phang bahwa tidak mungkin orang dengan pendirian seperti gubernur ini dapat ditarik menjadi sekutu. Bahkan berbahaya sekali untuk membocorkan rahasianya kepada seorang seperti gubernur ini. Bagaimana pun juga, dia harus dapat menarik keuntungan dalam perjumpaannya dengan Gubernur Yung Hwa supaya tidak percuma semua jerih payah yang telah diperhitungkan dan direncanakannya.
“Bagaimana pun juga, hamba sendiri tidak pernah mau melibatkan diri dalam urusan negara. Hamba adalah seorang rakyat dan hamba paling suka merantau sampai ke daerah yang terpencil. Dapat berhubungan dengan rakyat jelata, dari yang paling tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah, melalui pengobatan dan hiburan permainan sulap, hamba sudah merasa cukup puas.”
“Sinshe adalah seorang yang bijaksana dan dapat menolong orang-orang lain, sungguh kehidupan itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan panjang usia. Kami mengharap agar engkau dapat lama-lama tinggal di kota ini dan silakan menempati gedung kami dan sinshe akan kami anggap sebagai tamu terhormat.”
Sinshe Phang bangkit berdiri dan menjura dengan hormat. “Taijin sudah melimpahkan kebaikan kepada hamba, mana hamba berani mengganggu lebih lama lagi? Hamba telah mempunyai rencana, yaitu besok pagi hamba dan cucu hamba akan melanjutkan perjalanan hamba dalam perantauan ini.”
Gubernur itu nampak kecewa. “Ahh, mengapa begitu tergesa-gesa?”
“Hamba tanggung bahwa toanio sudah sembuh sama sekali dan peningnya tidak akan dapat kambuh kembali. Hamba memang sudah merencanakan untuk pesiar merantau ke Bhutan....” Dia menghentikan kata-katanya dan dengan cermat memandang wajah gubernur itu, walau pun nampaknya seperti sambil lalu. Dan dengan girang dia melihat betapa wajah itu berseri.
“Ke Bhutan....? Ahh, apakah sinshe mempunyai keperluan di negara yang jauh itu?”
“Hamba pernah mengenal seorang pertapa yang hamba jumpai di daerah Himalaya dan dia pun seorang ahli pengobatan yang kini kabarnya tinggal di Bhutan. Selain menemui sahabat itu, juga hamba telah lama sekali mendengar akan kemakmuran dan keindahan negara Bhutan dan ingin sekali melihatnya. Hanya satu hal yang hamba khawatirkan.”
“Apakah itu, Phang-sinshe?”
“Hamba adalah seorang asing di Bhutan, selain sahabat itu tidak mempunyai kenalan. Sebelum hamba berhasil bertemu dengan sahabat itu, hamba khawatir kalau-kalau dicurigai dan akan menemui halangan di negara asing itu.”
“Ahhh, jangan khawatir, Phang-sinshe! Aku mengenal baik seorang yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar di sana dan kalau engkau membawa surat dariku, aku tanggung takkan ada yang mengganggumu di Bhutan sana.”
Bukan main girangnya hati kakek itu. “Terima kasih banyak atas kebaikan hati taijin.”
Gubernur itu lalu membuat sehelai surat pernyataan di mana dikatakannya bahwa Sinshe Phang adalah seorang sahabat baiknya dan para pejabat setempat diminta untuk membantunya dalam segala hal. Surat itu ditanda tanganinya dan dibubuhi cap kebesarannya.
Setelah berhasil memperoleh surat yang amat berguna baginya ini, dan diberi bekal pula sekantung emas, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah Sinshe Phang dan Ceng Liong bersama gerobak kuda mereka. Kui Lan sendiri mengantar keberangkatan itu sampai di pekarangan luar gedung gubernuran dan anak perempuan itu menangis ketika melihat Ceng Liong menggerakkan kuda memberangkatkan kereta dan melambaikan tangan kepadanya…..
Biar pun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil saja, akan tetapi karena Bhutan memiliki banyak daerah pertanian yang subur, peternakan yang sehat dan terutama sekali karena kerajaan ini berada dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai, tidak pernah melakukan perang, baik dengan negara tetangga mau pun antara suku dan bangsa sendiri, maka rakyatnya dapat dikatakan hidup serba kecukupan dan tenang.
Kerajaan Bhutan tidak dapat dilepaskan dari Himalaya karena kerajaan ini berada di antara puncak-puncak pegunungan yang amat besar ini. Bhutan merupakan daerah di Himalaya yang bersuhu dingin, berhawa sejuk dan bertanah subur. Kerajaan ini beserta rakyatnya mempertahankan tradisi kehidupan nenek moyang mereka. Pada umumnya rakyatnya beragama Buddha yang bercampur dengan Agama Hindu kuno.
Raja Badur Syah yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun itu memerintah dengan adil dan bijaksana. Raja Badur ini menerima mahkota dari Puteri Syanti Dewi yang tadinya menjadi puteri mahkota. Sang puteri ini tak mau menjadi ratu karena memang ia ingin bebas dari pada ikatan, hidup berbahagia bersama suami tercinta, yaitu pendekar sakti Wan Tek Hoat dan seorang anak mereka yang mereka beri nama Wan Hong Bwee alias Gangga Dewi. Puteri tunggal ini berusia sembilan tahun dan bukan saja menjadi cahaya dalam kehidupan ayah bundanya, akan tetapi juga menjadi kesayangan semua orang, baik di dalam istana mau pun di luar istana.
Walau pun Wan Tek Hoat dan isterinya tidak memangku suatu jabatan tertentu, tetapi pendekar ini disebut pangeran. Dia bersama isterinya merupakan penasehat-penasehat utama dari Raja Badur Syah. Bahkan dapat dikata bahwa keamanan Kerajaan Bhutan itu berkat adanya pendekar sakti dan isterinya ini.
Mereka yang mempunyai pikiran buruk dan niat jahat merasa sungkan terhadap suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini. Para penjahat merasa jeri. Pendeknya, Wan Tek Hoat dan isterinya menjadi tokoh-tokoh penting di Bhutan, yang ditakuti lawan dan disegani kawan.
Tidak mungkin ada yang sempurna di dunia ini. Setiap ada yang menganggapnya baik, tentu akan bertemu dengan fihak lain yang menganggapnya tidak baik. Ini tergantung dari pada si penilai yang mendasarkan pandangannya atas perhitungan untung rugi. Baik buruk hanyalah penilaian banyak fihak yang pada dasarnya selalu ditunggangi oleh perhitungan untung rugi inilah.
Kalau Kerajaan Bhutan dipandang baik oleh satu fihak, tentu saja karena dianggap menguntungkan bagi fihak itu, tentu ada pula fihak lain yang menganggapnya tidak baik sebab merasa dirugikan. Mereka yang diam-diam menganggapnya tidak baik, tentu saja tidak berani berterang karena terutama sekali adanya wibawa dari Wan Tek Hoat dan isterinya, adalah mereka yang merasa tidak puas.
Sudah jamak di satu pemerintahan negara mana pun juga, di antara orang-orang yang merasa diri sendiri besar atau dianggap sebagai orang-orang penting, yakni tokoh-tokoh pemerintahan, ada yang merasa tidak puas dengan pemerintahan yang berkuasa pada saat itu. Ketidak puasan ini mungkin saja karena mereka merasa tidak memperoleh kedudukan yang sesuai dengan harapan mereka, atau karena tidak cocok dengan politik pemerintahan, akan tetapi sebagian besar yang merasa tidak suka adalah mereka yang merasa dirugikan, baik lahir mau pun batin. Tidak mungkin ada suatu pemerintahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan semua fihak yang masing-masing mempunyai keinginan sendiri-sendiri dan kadang-kadang keinginan-keinginan itu saling bertentangan.
Demikian pula dengan keadaan di Bhutan. Di antara pejabat tinggi atau rendah yang merasa puas dan menjadi pegawai-pegawai yang setia dan jujur, tentu saja terdapat pula pembesar-pembesar yang merasa tidak puas dan diam-diam dalam hati mereka menentang kebijaksanaan yang diambil oleh Raja Bhutan. Mereka ini terutama sekali menentang kebijaksanaan pemerintah yang lebih condong bersahabat dengan Kaisar Kerajaan Ceng dan yang menentang gerakan Nepal.
Mereka akan merasa lebih senang kalau Bhutan bersahabat dengan Nepal, yang selain menjadi negara tetangga dekat, juga memiliki kebudayaan dan agama yang masih serumpun. Akan tetapi karena di Bhutan terdapat Wan Tek Hoat, seorang Bangsa Han yang telah banyak berjasa terhadap Bhutan, dan yang menjadi penasehat nomor satu dari raja, tentu saja mereka yang pro Nepal dan menentang Kerajaan Ceng itu tidak berani mengeluarkan isi hati mereka secara berterang.
Pada suatu siang yang cukup terang, suatu keadaan yang amat menyenangkan bagi daerah Bhutan yang dingin itu, nampak seorang anak perempuan yang cantik dan lincah berloncatan di antara semak-semak belukar dalam sebuah hutan liar di lereng bukit. Anak perempuan ini usianya sembilan tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing dan kedua tulang pipinya menonjol berwarna merah segar. Mulutnya kecil mungil dengan bibir yang penuh dan merah, sepasang matanya bersinar-sinar, lebar dan terang. Dua kuncirnya yang gemuk dan panjang itu ikut melambai-lambai ketika ia berloncatan.
Anak ini sungguh cantik, gerakannya amat lincah, wajahnya selalu berseri dan matanya membayangkan kejenakaan dan kegembiraan. Tangan kirinya memegang busur kecil, tangan kanannya memegang anak panah, sedangkan di punggungnya masih terdapat beberapa batang anak panah cadangan. Tidaklah terlalu mengherankan kalau anak perempuan berusia sembilan tahun ini sedemikian lincah dan sigap gerakannya karena ia adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri tunggal dari pendekar sakti Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.
Semenjak kecil, baru saja dapat berjalan, ayahnya telah menggemblengnya sehingga meski usianya baru sembilan tahun, tetapi Hong Bwee telah memiliiki tubuh yang sehat dan kuat, gerakan yang gesit dan nyali yang besar. Apalagi anak ini memang gemar berburu, pekerjaan yang umum di daerah Bhutan. Sudah sering kali anak ini mengikuti rombongan para pemburu untuk berburu rusa dan binatang-binatang hutan. Ia sudah pandai mempergunakan anak panahnya, juga pandai menggunakan pedang kecil yang tergantung di pinggang itu.
“Heiii, tuan puteri.... perlahan dulu....!” Terdengar suara seorang wanita menegur dari belakang.
“Di dalam hutan mana ada puteri-puteri segala macam?” Hong Bwee mengomel tanpa menghentikan kedua kakinya yang berloncatan dengan sigap di antara semak-semak belukar.
“Nona.... nona Hong Bwee, kalau nona berlari-larian seperti itu, tentu rusa-rusa kabur dan burung-burung terbang menjauh!” teriak suara wanita ke dua.
Mendengar ini, Hong Bwee menghentikan larinya, kemudian menoleh sambil tersenyum melihat dua orang wanita cantik yang berpakaian ringkas seperti para pemburu berlari-lari mengejarnya. Dua orang wanita itu adalah para pengawalnya karena pada siang hari ini Hong Bwee hendak berburu sendiri, hanya ditemani dua orang pengawal itu. Tentu saja kedua orang wanita itu bukan wanita sembarangan, melainkan pengawal-pengawal yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi.
Sebagai puteri tunggal suami isteri yang berkedudukan tinggi, atau lebih tepat memiliki wibawa dan pengaruh yang besar sekali di istana, dan beribu seorang puteri bekas puteri mahkota, watak Hong Bwee sungguh aneh. Ia tidak manja atau besar kepala, bahkan kalau berada di luar istana, ia ingin bebas dari segala macam peraturan yang mengikatnya, ingin hidup seperti anak-anak lainnya dan karena itulah, tadi ia menegur seorang pengawalnya yang menyebut tuan puteri. Ia lebih suka disebut nona begitu saja sehingga tidak semua orang tahu bahwa ia seorang puteri dari istana.
“Sungguh sialan benar kita hari ini.” Anak itu mengomel. “Sampai begini siang dan sudah berjalan sangat jauh, belum juga bertemu dengan seekor pun rusa atau binatang lain!”
“Nona, sebaiknya kita segera kembali ke kota. Kita telah hampir sampai di perbatasan!” seorang pengawal yang alisnya tebal memperingatkan.
“Tidak, kita belum memperoleh seekor pun binatang buruan, bagaimana bisa kembali? Aku akan malu kalau pulang tidak membawa hasil,” bantah Hong Bwee.
“Itu mudah diatur, nona. Kita bisa singgah di rumah pemburu istana, membeli dua ekor rusa gemuk dan....”
“Tak tahu malu!” Hong Bwee memotong ucapan pengawal yang hidungnya mancung itu. “Pemburu macam apa itu? Curang dan rendah, tidak memperoleh buruan lalu membeli di pasar, mengakui binatang belian itu sebagai hasil buruan. Huh, tidak saja, ya? Aku mau mencari terus ke bukit di depan itu. Kelihatan rimbun hutannya!”
“Ihhh.... jangan ke sana!” seru pengawal beralis tebal.
“Kenapa?”
“Bukit itu tidak termasuk wilayah kita dan pula.... ada kabar bahwa akhir-akhir ini ada beruang-beruang hitam yang ganas berkeliaran di sana!”
“Aku tidak takut!”
“Tapi.... tapi beruang hitam itu bisa ganas sekali dan amat berbahaya.”
Hong Bwee memandang kepada dua orang pengawalnya sambil bertolak pinggang, sepasang alisnya dikerutkan. “Hemm, pengawal-pengawal macam apa yang sekarang ini menemaniku? Kalau kalian takut, pulanglah dan aku akan pergi sendiri. Aku tidak akan pulang sebelum memanggul binatang hasil buruanku dan aku akan bangga sekali kalau dapat menyeret pulang bangkai seekor beruang yang menjadi korban anak panah atau pedangku!”
Setelah berkata demikian, anak itu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya. Kemarahannya telah hilang dan ia berlari-lari sambil bersenandung gembira. Dua orang pengawal itu saling pandang, lalu mengangkat pundak dan keduanya kemudian cepat mengikuti anak yang berada di bawah perlindungan mereka.
Ketika mereka tiba di kaki bukit depan itu, tiba-tiba Hong Bwee memberi isyarat ke belakang. Dua orang pengawal itu memandang ke depan dan merasa girang sekali melihat bahwa tidak jauh dari situ terdapat sekumpulan rusa sedang makan rumput. Bagus, pikir mereka, kalau nona kecil itu sudah berhasil merobohkan seekor rusa, tentu tidak perlu lagi mereka mendatangi bukit yang berbahaya di depan itu. Mereka pun cepat mempersiapkan busur dan anak panah. Angin bertiup ke arah depan, maka mereka dapat berindap-indap menghampiri rusa-rusa itu dengan aman.
Dua orang pengawal itu agaknya sudah mengenal baik watak Hong Bwee. Jika mereka mendahului menggunakan anak panah merobohkan rusa, tentu anak itu akan marah. Maka mereka pun menanti sampai anak itu melepas anak panah. Setelah mereka bertiga berindap-indap mendekati, menyelinap di antara semak-semak belukar sebagai pemburu-pemburu yang berpengalaman, Hong Bwee nampak membidikkan anak panah dari balik semak-semak.
Ia berada di depan dan kini ia dapat melihat jelas binatang-binatang itu, melihat mata mereka yang bening, tanduk mereka yang bagus dan telinga mereka bergerak-gerak. Ia harus berhati-hati karena maklum betapa tajamnya daya tangkap telinga binatang itu. Ia membidik dengan hati-hati ke arah seekor rusa jantan yang paling gagah, besar dan tegap di antara kelompok rusa itu.
Akan tetapi, tiba-tiba rusa itu mengeluarkan suara aneh, lalu menghampiri seekor rusa betina, mencium-cium dengan moncongnya seperti orang mencumbu. Rusa betina ini pun indah dan rusa ini pun senang dicumbu. Mendadak wajah anak itu berubah merah. Ia tahu apa artinya ketika rusa jantan itu mengangkat tubuh depannya di belakang rusa betina.
Rasa jengah membuat Hong Bwee tiba-tiba menjadi marah. Ia tidak memperdulikan keadaan dua ekor rusa itu dan membidikkan anak panahnya ke arah leher rusa jantan yang nampak menjulang tinggi.
“Wuuuutt.... singggg.... ceppp!”
Rusa jantan mengeluarkan pekik yang nyaring dan panjang, tubuhnya meloncat turun dan dalam sekejap mata saja, semua rusa terkejut dan berlompatan melarikan diri dari tempat itu. Pekik rusa jantan yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan ini tentu merupakan pekik peringatan bagi mereka. Rusa betina yang dicumbu tadi pun sudah menghilang. Rusa jantan yang terkena anak panah di lehernya itu terhuyung, akan tetapi segera meloncat dan melarikan diri naik ke bukit.
Sejenak dua orang pengawal wanita itu tertegun. Mereka terkejut dan khawatir sekali ketika melihat kenyataan bahwa nona mereka telah menyerang rusa jantan yang sedang bermain cinta dengan rusa betina. Nona mereka ternyata telah melakukan dua macam kesalahan. Kesalahan pertama adalah pelanggaran kepercayaan tradisionil di antara para pemburu, yaitu menyerang rusa yang sedang berkasih-kasihan. Dan kesalahan ke dua adalah menyerang rusa pemimpin kelompok dengan anak panah sekecil itu.
Orang-orang Bhutan mengenal dongeng yang berasal dari India tentang raja yang telah memanah dan melukai seekor rusa jantan yang sedang berkasih-kasihan dengan betinanya. Rusa jantan itu dalam keadaan sekarat menyumpahi si raja yang telah mengganggu mereka yang sedang bermain asmara, yaitu bahwa kalau raja itu berani mendekati dan bermain cinta dengan isteri-isterinya, dia akan kena kutuk dan tewas.
Raja ini agaknya memandang rendah kutuk yang dilontarkan oleh rusa itu. Setibanya di rumah, dia disambut oleh isteri-isterinya yang cantik. Dia lupa akan kutuk itu dan bermain cinta dengan mereka. Dia pun kena kutuk dan roboh tewas.
Dongeng ini menjadi peringatan bagi para pemburu di Bhutan agar tidak sekali-kali mengganggu rusa atau binatang lain yang sedang bermain asmara, dari burung sampai binatang buruan lain yang besar-besar. Dan sekarang, Hong Bwee telah melanggar pantangan itu! Dan kesalahan ke dua adalah kesalahan yang bodoh. Seekor rusa jantan sekuat itu mana dapat dirobohkan oleh sebatang anak panah, walau pun bidikannya tepat mengenai leher? Kalau tepat menembus jantung, barulah rusa itu akan roboh seketika.
Akan tetapi pada saat itu, Hong Bwee sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan mengejar rusa yang sudah terluka dan kabur naik ke bukit yang penuh hutan lebat itu.
“Nona, jangan kejar....!” teriak mereka, akan tetapi melihat anak itu sama sekali tidak perduli dan terus lari memasuki hutan, terpaksa mereka pun mengejar secepat mungkin.
Ketika akhirnya kedua orang pengawal itu dapat menyusul Hong Bwee, tiba-tiba mereka menghentikan langkah dan memandang terbelalak ke depan. Rusa merupakan binatang yang dapat berlari paling cepat. Larinya sambil berlompatan tinggi sehingga sukarlah bagi Hong Bwee untuk dapat menyusulnya.
Ketika anak ini berlari sambil berloncatan memasuki hutan, ia kehilangan jejak rusa itu dan tiba-tiba saja ia sudah berhadapan dengan seekor beruang hitam betina yang amat besar, yang berada di situ bersama seekor beruang hitam kecil, anaknya yang baru sebesar anjing. Binatang itu nampaknya juga kaget ketika tiba-tiba bertemu dengan Hong Bwee.
Kini Hong Bwee telah menarik busurnya dan membidikkan anak panah yang sudah siap itu ke arah si beruang kecil. Wajah anak ini berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar. Ia berhadapan dengan beruang dan mendapat kesempatan merobohkan seekor beruang! Hanya kegembiraan ini sajalah yang memenuhi pikirannya pada saat itu, yang membuat ia lupa akan bahaya yang mungkin mengancamnya.
“Prattt.... wirrrr.... ceppp....!”
Anak panah itu menyambar dan anak beruang itu pun roboh terguling, menguik-nguik dan bergulingan di atas tanah. Pada saat itulah kedua orang pengawal itu datang dan mereka terbelalak berdiri di belakang Hong Bwee, wajah mereka pucat dan khawatir sekali.
Kekhawatiran mereka itu segera terbukti. Beruang betina itu mengeluarkan gerengan dahsyat yang seolah-olah menggetarkan bumi, lalu menerjang ke depan. Sejak tadi Hong Bwee yang gembira melihat betapa anak panahnya berhasil merobohkan anak beruang kecil, sudah mempersiapkan anak panah lagi. Kini, melihat beruang besar lari maju, dengan tabah ia pun lalu menyambut dengan lepasan anak panahnya.
Anak panah itu meluncur dan menyambar ke arah beruang betina. Namun ketika anak panah itu mengenai pundak beruang itu, anak panah meleset dan hanya mendatangkan luka kecil saja. Kulit beruang itu dilindungi bulu yang kuat! Dua orang pengawal juga cepat melepaskan anak panah mereka, akan tetapi beruang itu tiba-tiba berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan kini dua kaki depannya digerak-gerakkan ke depan, menyampok runtuh anak panah yang menyambar, kemudian dia pun menyerang dan menubruk ke depan.
“Nona, cepat lari....!” teriak seorang pengawal sambil menarik lengan Hong Bwee ke belakang. Dua orang pengawal itu mencabut pedang mereka dan menyambut serangan beruang itu dengan pedang di tangan.
Akan tetapi beruang itu sungguh kuat luar biasa. Dia berani menyambut dan menangkis pedang dengan kedua lengan telanjang. Lengannya dilindungi bulu yang kuat dan pedang-pedang tajam itu hanya mampu melukai sedikit saja. Sebaliknya, begitu kedua tangannya menyambar dan menangkis, dua batang pedang itu terlempar dan terlepas dari tangan dua orang wanita pengawal itu.
Beruang itu menerjang terus. Tamparan-tamparan dua tangannya tak dapat dihindarkan oleh wanita-wanita pengawal itu yang mencoba untuk menangkis. Akan tetapi, begitu lengan mereka bertemu dengan tangan bercakar itu, terdengar bunyi tulang patah dan tubuh mereka terbanting keras ke kanan kiri, membuat mereka tidak mampu bangkit kembali. Mereka hanya mengeluh kesakitan sambil memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketika melihat binatang yang sudah menjadi semakin buas karena kemarahan itu menerjang ke arah Hong Bwee...
Akan tetapi anak ini pun bukan sembarangan bocah. Walau pun ia hanya merupakan seorang anak perempuan yang usianya belum genap sepuluh tahun, namun ia sejak kecil telah mengalami gemblengan lahir batin oleh ayahnya yang sakti sehingga biar pun ia melihat dua orang pengawalnya sudah roboh dan kini beruang itu menyerangnya, ia masih dapat bersikap tenang dan tidak gugup sama sekali.
Dengan sigapnya Hong Bwee meloncat ke kiri, jauh dari jangkauan cakar itu sambil melolos pedangnya. Dia tahu bahwa menyerang beruang itu sama dengan mencari celaka karena beruang itu amat kuat dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh dua orang pengawalnya tadi. Mereka itu mudah celaka dan roboh karena kesalahan sendiri berani menyerang lawan yang demikian kuatnya.
Kini Hong Bwee tidak mau menyerang, hanya menanti dengan pedang di tangan dan waspada terhadap keadaan di sekitarnya. Ia mundur sampai di depan sebatang pohon, sebisa mungkin hendak memancing agar binatang itu menjauhi dua orang pengawalnya yang sudah terluka. Karena kalau binatang itu kini menyerang mereka, tentu mereka akan tewas dalam keadaan mengerikan, mungkin akan dicabik-cabik oleh binatang yang sedang marah itu.
Karena tubrukannya yang pertama tidak berhasil, beruang itu mengeluarkan gerengan dahsyat saking marahnya. Agaknya, naluri yang peka dari binatang itu membuat ia tahu siapa yang membunuh anaknya dan kini diserangnya Hong Bwee dengan kemarahan memuncak. Anak itu yang berdiri di depan sebatang pohon, kembali mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya, menusuk ke arah muka beruang itu.
“Braaakkk....!” Pohon itu tumbang dilanda tubuh beruang yang menubruk sekuat tenaga tadi.
Dilemparkannya pohon itu dan dia membalik. Hong Bwee sudah siap dengan busurnya. Ketika beruang itu membalik, anak itu melepas tiga batang anak panah berturut-turut dan tiga batang anak panah itu bertubi-tubi menyambar ke arah mata beruang!
Beruang itu menggerak-gerakkan kedua tangannya, berusaha menangkap anak panah. Akan tetapi dia hanya berhasil meruntuhkan dua batang, sedangkan yang sebatang lagi menyerempet tepi matanya, menimbulkan luka yang cukup membuat sebelah matanya perih dan tidak dapat dibuka lagi. Tentu saja dia menjadi semakin marah. Diserangnya Hong Bwee bertubi-tubi. Anak itu meloncat ke sana-sini dan pada saat ia kehabisan tempat untuk mengelak, ia menangkis dengan pedangnya.
“Trakkk!” Pedang itu terlempar jauh dan tubuh Hong Bwee terguling.
Ketika itu beruang yang sudah marah menubruk ke depan. Anak itu hanya terbelalak, maklum bahwa ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Pada saat yang amat berbahaya bagi Hong Bwee, nampak sesosok tubuh kecil menyambar ke depan dan dua buah kaki meluncur cepat menghantam dada beruang yang berdiri di atas kedua kaki belakang dan hendak menubruk Hong Bwee.
“Bukkkkk....!” Tendangan yang merupakan tendangan terbang itu tepat mengenai dada beruang.
Binatang itu tidak terjengkang, tapi terhuyung ke belakang dan sebaliknya anak laki-laki yang melakukan tendangan luar biasa itu terpental dan hanya dengan berjungkir balik dia mampu menghindarkan dirinya terbanting. Bagaimana pun juga, dia telah berhasil menyelamatkan Hong Bwee karena anak perempuan ini memperoleh kesempatan untuk bangkit berdiri dan menjauh.
Anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun lebih itu adalah Suma Ceng Liong. Sejak tadi dia datang bersama Hek-i Mo-ong Phang Kui dan keduanya melihat dengan jelas betapa seorang anak perempuan dengan gagah beraninya melakukan perlawanan terhadap amukan seekor beruang betina yang besar. Bahkan dengan anak panahnya, anak perempuan itu sempat melukai tepi mata binatang itu, padahal dua orang wanita pengawalnya telah terluka dan tidak berdaya membantunya.
Ceng Liong memandang kagum bukan main dan Hek-i Mo-ong juga menonton sambil tersenyum, sedikit pun tidak mempunyai keinginan membantu anak perempuan kecil yang sedang diancam oleh beruang buas. Bahkan diam-diam ada rasa tegang yang amat menggembirakan hatinya. Ketegangan mendebarkan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang kejam seperti dia membayangkan betapa tubuh anak perempuan yang lunak lembut itu nanti akan dicabik-cabik oleh tangan binatang buas yang amat kuat itu.
Akan tetapi, ketika melihat anak perempuan itu roboh dan terancam bahaya maut, bangkitlah jiwa kependekaran di dalam hati Ceng Liong. Tanpa memperdulikan gurunya yang diam saja, dia sudah meloncat ke depan dan menendang dada binatang itu untuk menyelamatkan Hong Bwee.
Pada saat itu pula terdengar suara berdengung. Itulah suara terompet tanduk rusa yang ditiup orang. Mendengar ini, Hong Bwee memasang kedua tangan di depan mulut, membentuk corong kemudian mengeluarkan pekik melengking. Tidak lama kemudian berkelebat datang seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dengan pandang matanya yang mencorong tajam, pria ini memandang ke arah Hong Bwee, kemudian Ceng Liong dan akhirnya ke arah kakek berpakaian petani serba hitam itu.
“Ayah, beruang itu berbahaya sekali!” teriak Hong Bwee yang menjadi girang melihat ayahnya datang.
Sementara itu, beruang yang marah itu sekarang sudah menggereng. Tadi agaknya dia bingung dan ragu, mana yang harus diserangnya, anak perempuan itu ataukah anak laki-laki yang baru saja membuat dadanya terasa sesak dan nyeri itu. Tetapi sebelum dia bergerak, Wan Tek Hoat, ayah Hong Bwee, sudah mendahuluinya, menyerangnya dua kali dengan sambaran kedua tangan. Gerakan Wan Tek Hoat cepat sekali. Beruang itu terlalu lamban untuk dapat mengelak atau sempat menangkis, dan tahu-tahu secara beruntun, kedua telapak tangan Tek Hoat telah menyambar dan tepat mengenai dada, kemudian kepalanya.
“Plakkk! Plakkk!”
Nampaknya hanya tamparan biasa saja yang mengenai dada dan kepala beruang itu, namun akibatnya sungguh hebat. Beruang itu meraung dan sempoyongan, mencoba untuk meloncat ke depan membalas serangan, akan tetapi dia terpelanting, roboh dan berkelojotan lalu mati!
Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong Phang Kui terkejut bukan main. Sebagai seorang datuk kaum sesat, tentu saja dia mengenal pukulan sakti yang amat ampuh. Dapat merobohkan beruang sebesar itu hanya dengan dua kali tamparan merupakan bukti bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli yang amat tangguh. Apalagi ketika dia melirik dan melihat betapa di dada dan kepala beruang yang penuh bulu itu nampak tanda telapak jari tangan dan di bagian itu, bulu-bulunya rontok seperti terbakar dan tanda telapak jari tangan itu nampak nyata.
Maka dia pun segera dapat menduga siapa adanya laki-laki berusia kurang dari lima puluh tahun yang gagah perkasa ini. Bukankah di Bhutan, seperti telah didengarnya, terdapat seorang Han yang kini menjadi pangeran, suami Puteri Syanti Dewi bernama Wan Tek Hoat yang pernah dijuluki Si Jari Maut? Agaknya inilah orangnya, pikirnya dengan gembira sekali. Pertemuan yang sungguh amat menguntungkan dia!
“Ayah....! Kau hebat....!” Hong Bwee meloncat menghampiri beruang yang mati itu dan memandang kepada ayahnya dengan wajah berseri.
“Hong Bwee, engkau terluka....!” kata Tek Hoat sambil meraih puterinya.
Ternyata anak peremnpuan itu terluka di dekat pundaknya, di pangkal lengan kanan. Luka ini terjadi ketika pedangnya tertangkis dan pedang yang mencelat itu sempat melukai pundaknya sendiri. Untunglah ia cepat-cepat melepaskan pedang dan menarik lengannya sehingga lengannya tidak sampai patah-patah tulangnya bertemu dengan tangan beruang.
“Ayah, anak laki-laki itulah yang tadi menyelamatkan aku dari terkaman beruang,” kata Hong Bwee yang agaknya tidak memperdulikan luka di pundaknya.
Agaknya baru sekarang Tek Hoat teringat kepada anak laki-laki dan kakek itu. Dia lalu menoleh, memandang Ceng Liong penuh perhatian, melihat bahwa anak ini sungguh merupakan seorang anak laki-laki yang memiliki sifat-sifat kegagahan yang membayang pada wajahnya, pandang matanya dan sikapnya.
Kemudian dia memandang kepada kakek itu. Seorang kakek yang berpakaian petani serba hitam, sederhana, namun ada sesuatu yang membuat Tek Hoat menduga bahwa kakek ini pasti bukan orang sembarangan. Entah nampak pada sinar mata yang tajam berwibawa itu, atau pada sikapnya yang terlampau tenang itu.
“Dua pengawalku telah roboh terluka oleh beruang. Aku mempertahankan diri dengan pedang dan anak panah, akan tetapi aku pun roboh dan tentu aku sudah diterkam oleh binatang itu kalau anak laki-laki ini tidak muncul. Dia berani meloncat dan menendang dada beruang dengan kedua kaki! Gaya terjangannya itu indah dan hebat sekali, ayah!”
Hong Bwee memang luar biasa. Dalam keadaan terancam bahaya maut mengerikan tadi, ternyata ia masih sempat memperhatikan gaya terjangan Ceng Liong ketika anak laki-laki itu menyerang beruang.
Mendengar penuturan puterinya, Tek Hoat segera menjura kepada kakek berpakaian petani hitam itu. Dia tahu bahwa di Himalaya berkeliaran banyak sekali pertapa-pertapa dan orang-orang tua yang sakti, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu kakek ini seorang yang sakti pula bersama muridnya.
“Kami menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan locianpwe dan adik kecil ini atas bantuan yang diberikan sehingga anak perempuan kami terhindar dari malapetaka.”
Hek-i Mo-ong cepat membalas penghormatan itu. “Aih, taihiap sungguh membuat saya malu dengan sebutan locianpwe! Taihiap yang demikian perkasa, dapat membunuh beruang buas hanya dengan tangan kosong, sungguh amat mengagumkan dan belum pernah saya melihat kegagahan seperti itu. Saya hanyalah seorang tukang obat dan tukang sulap murahan saja, merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan taihiap. Perkenalkan, saya adalah Phang Kui atau biasa disebut Phang-sinshe. Saya melihat nona kecil yang gagah perkasa ini terluka pundaknya, dan juga dua orang nona itu luka-luka dan patah tulang lengannya. Kalau boleh, biarlah saya mengobati mereka.”
Tentu saja Tek Hoat mengangguk, mengijinkan dengan hati girang. Ketika dia bersama para pemburu mencari-cari anak perempuannya, dia tidak membawa perlengkapan obat.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Phang-sinshe cepat turun tangan. Mula-mula dia memeriksa dan mengobati luka di pundak Hong Bwee. Setelah diobati, barulah anak perempuan ini merasakan keperihan lukanya. Akan tetapi dia tidak pernah mengeluh, hanya menggigit bibirnya, membuat Ceng Liong menjadi semakin kagum saja. Setelah itu Phang-sinshe lalu mengobati dua orang wanita pengawal itu dan sebagai seorang ahli silat yang pandai, Tek Hoat dapat melihat bahwa kakek ini memang ahli dalam hal pengobatan dan menyambung tulang patah. Maka dia pun merasa semakin girang.
Pada waktu itu, selosin pemburu yang semuanya terdiri dari pengawal-pengawal istana, sudah tiba di situ, membawa kuda yang besar-besar. Tek Hoat bercakap-cakap dengan Phang-sinshe yang menceritakan bahwa dia memang memiliki kesenangan merantau, dan sekarang sedang merantau ke daerah Himalaya.
“Saya mendengar bahwa Himalaya merupakan daerah yang penuh dengan ahli-ahli yang memiliki kepandaian tinggi, maka saya ingin meluaskan pengetahuan saya dalam ilmu pengobatan. Tanpa saya sadari, saya memasuki daerah Bhutan.”
“Apakah anak itu murid sinshe?” tanya Tek Hoat sambil menunjuk kepada Ceng Liong yang bercakap-cakap dengan Hong Bwee tak jauh dari situ.
“Benar, namanya Ceng Liong dan dia itu dapat dikata murid atau juga pembantu saya.”
“Namaku Wan Tek Hoat dan aku tinggal di Kota Raja Bhutan....”
Kakek itu memperlihatkan muka terkejut. Sambil terbongkok-bongkok memberi hormat dia berkata, “Ahhh.... saya sudah pernah mendengar bahwa di Bhutan terdapat seorang pangeran yang berasal dari Bangsa Han, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali dan menjadi suami dari puteri mahkota Bhutan. Apakah... apakah... taihiap orangnya?”
Tek Hoat tersenyum. Tidak mengherankan jika dalam perantauannya di Himalaya kakek ini mendengar tentang dirinya. Pernikahannya dengan Syanti Dewi memang pernah menghebohkan daerah itu. Dia mengangguk.
“Tidak salah, Phang-sinshe. Aku adalah pangeran itu, dan ia itu adalah anakku, puteri tunggal kami yang bernama Wan Hong Bwee atau juga Puteri Gangga Dewi.”
“Ahh, kalau begitu harap maafkan bahwa saya bersikap kurang hormat,” Phang-sinshe segera memberi hormat.
Akan tetapi Tek Hoat cepat membalas. “Harap jangan terlalu sungkan, Phang-sinshe. Muridmu telah menyelamatkan puteriku, dan engkau sudah mengobati puteriku dan dua orang pengawalnya. Kalau engkau suka, kami persilakan engkau dan muridmu untuk ikut kami ke istana dan menjadi tamu kehormatan kami.”
Pucuk dicinta ulam tiba! Memang kedatangan Phang-sinshe ke Bhutan adalah untuk melakukan penyelidikan dan untuk mempengaruhi negara kecil itu. Dia sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat memasuki kerajaan itu tanpa menimbulkan kecurigaan dan bagaimana dia dapat menghubungi kalangan atas di negara itu. Dan kini, tanpa disengaja, muridnya telah menolong puteri pendekar sakti Wan Tek Hoat yang memiliki pengaruh dan wibawa besar di istana sebagai keluarga istana. Dan kini, pendekar itu mengundang dia dan muridnya untuk menjadi tamu agung di istana!
“Ahh, terima kasih, Wan-taihiap, terima kasih!” katanya berulang-ulang sambil memberi hormat. “Semenjak lama saya mendengar tentang keindahan Negara Bhutan dan sudah lama saya ingin menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Kini taihiap mengundang saya berkunjung ke sana, tentu saja saya merasa girang dan berterima kasih sekali!”
Ketika Hong Bwee mendengar bahwa Ceng Liong dan gurunya menerima undangan ayahnya untuk berkunjung ke istana, anak ini menjadi girang sekali dan bersorak. Ia tadi telah bercakap-cakap dan berkenalan dengan Ceng Liong. Kini ia menarik tangan anak laki-laki itu.
“Mari Ceng Liong, mari kita berangkat lebih dahulu! Ayah, kami ingin menunggang Si Putih!”
Tek Hoat hanya tertawa karena sebelum dia menjawab, puterinya itu telah mengajak Ceng Liong meloncat ke atas punggung kuda putih miliknya yang merupakan kuda pilihan paling besar di Bhutan. Dengan cekatan Hong Bwee meloncat ke atas punggung kuda, lalu menggapai Ceng Liong untuk meloncat di belakangnya.
Bagaimana pun juga, Ceng Liong adalah seorang anak yang baru berusia hampir sebelas tahun, maka melihat betapa Hong Bwee memperlihatkan kesigapannya, dia pun tidak mau kalah. Dengan mengenjotkan kakinya ke tanah, tubuhnya melayang ke atas dan dengan lunaknya dia dapat duduk tepat di belakang anak perempuan itu.
Gerakannya memang ringan dan indah sehingga diam-diam Tek Hoat memuji. Juga pendekar ini suka sekali melihat betapa anak laki-laki itu duduknya agak menjauh dari tubuh Hong Bwee, tidak mau menyentuh atau mepet dan ini hanya dapat diartikan bahwa anak laki-laki itu mempunyai kesopanan tinggi. Melihat Ceng Liong telah duduk di belakangnya, Hong Bwee membalapkan kudanya dan kembali Tek Hoat kagum melihat betapa tubuh anak laki-laki itu, tanpa berpegangan, dapat duduk tegak di atas punggung kuda agak di bagian belakang yang melengkung.
Seekor kuda diserahkan kepada Phang-sinshe dan rombongan itu kemudian berangkat meninggalkan bukit menuju ke Kota Raja Bhutan. Rombongan itu di sepanjang jalan, ketika melewati dusun-dusun, disambut oleh para penduduk dengan gembira. Pendekar Wan Tek Hoat yang dikenal sebagai pangeran yang dihormati itu memang dikenal baik oleh penduduk.
Apalagi melihat betapa rombongan pengawal membawa hasil buruan berupa seekor beruang hitam besar dan anaknya, rakyat lalu menyambut sambil mengeluarkan pujian. Diam-diam Phang Kui memperhatikan hal ini dan tahulah dia bahwa Wan Tek Hoat merupakan tokoh penting dan dicinta oleh rakyat Bhutan.
Ketika rombongan sudah tiba di istana, kakek itu pun mengagumi keindahan istana tua itu. Suasananya tertib dan tenteram, dan wajah-wajah yang dijumpainya di kota raja, dari jalan-jalan raya sampai ke para petugas istana, nampak gembira, tanda bahwa negara itu dapat dikatakan cukup makmur.
Wan Tek Hoat memang tinggal di lingkungan istana, yaitu di bagian bangunan sebelah kanan. Pendekar ini langsung mengajak Phang-shinshe untuk memasuki gedungnya dan di ruangan dalam mereka berdua melihat betapa dengan lagak yang lincah jenaka, Hong Bwee sedang bercerita kepada ibunya tentang semua pengalamannya yang hebat dan Ceng Liong berada pula di situ, duduk di atas sebuah kursi dengan sikap canggung di depan ibu anak perempuan itu.
Diam-diam Phang-sinshe memperhatikan wanita yang diajak bicara oleh Hong Bwee dan kagumlah dia. Wanita itu sukar ditaksir usianya. Melihat kecantikan wajahnya dan kepadatan tubuhnya, tentu baru berusia sekitar tiga puluhan. Akan tetapi, dia sudah mendengar akan puteri mahkota Bhutan ini hampir tiga puluh tahun yang lalu ketika puteri ini dengan perantauannya ke timur terlibat dengan urusan-urusan penting di dunia kang-ouw. Menurut taksirannya berdasarkan hal itu, puteri itu tentu usianya sudah empat puluh tahun lebih, tetapi kenyataannya, puteri ini sedemikian cantiknya sehingga nampak belasan tahun lebih muda.
Memang sesungguhnya, Syanti Dewi pada waktu itu telah berusia empat puluh enam tahun! Memang, setelah ia menikah, dari gurunya, juga sahabatnya yang paling dekat dengannya, yaitu Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) Ouw Yan Hui, ia telah menerima obat penawar dari ramuan yang membuatnya awet muda.
Seperti diceritakan dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’, Syanti Dewi dulu pernah mendapat obat yang membuatnya awet muda dan kecantikannya menjadi cemerlang! Memang ia seorang wanita yang memiliki kecantikan yang luar biasa, akan tetapi berkat obat yang didapatnya dari Maya Dewi, guru dalam ilmu kecantikan dari Ouw Yan Hui, kecantikannya pada waktu itu menjadi tidak wajar. Sebelum menikah dengan Wan Tek Hoat, ia telah menerima obat penawar atau pemunah sehingga kecantikannya menjadi wajar lagi. Kini, walau pun ia sudah tidak memakai obat pembuat awet muda, berkat kecantikannya yang memang luar biasa dan kepandaiannya berhias, puteri ini masih nampak muda sekali.
Dengan ramah Tek Hoat lalu memperkenalkan tamunya pada Syanti Dewi yang segera mengucapkan selamat datang dan juga ucapan terima kasih kepada kakek itu. Lalu Phang-sinshe dan Ceng Liong dipersilakan menempati sebuah kamar dalam lingkungan istana itu sebagai tamu agung atau tamu yang dihormati.
Sebagai seorang tuan rumah yang baik dan yang berterima kasih, ketika tamunya menyatakan keinginannya untuk menghadap raja dan berkenalan dengan para pejabat tinggi, Tek Hoat lalu mengajaknya menghadap Raja Badur Syah, juga berkenalan dengan para pejabat tinggi, para menteri dan panglima di Bhutan. Maka dikenallah nama Sinshe Phang Kui sebagai seorang ahli pengobatan dan sulap yang selain pandai, juga yang menjadi sahabat baik dan tamu terhormat dari keluarga Pangeran Wan Tek Hoat.
Berkat ‘nasib’ baik ditambah dengan kecerdikannya, akhirnya Phang-sinshe berhasil menghubungi para pembesar yang mempunyai ambisi besar, berkenalan pula dengan para pejabat yang benar-benar setia dan jujur. Bahkan pada suatu hari, setelah sepekan dia berada di Bhutan, dia bertemu dengan seorang perwira muda yang bertubuh tinggi besar, berdarah bangsawan atau pendeta. Dia sedang duduk di kamarnya pada saat pengawal melaporkan bahwa ada seorang perwira muda mohon untuk bertemu.
Memang pada waktu itu, banyak juga para pejabat tinggi dan sedang minta pertolongan sinshe itu untuk menyembuhkan suatu penyakit, maka kunjungan perwira muda tinggi besar ini pun diterima dengan ramah oleh Phang-sinshe. Tamu itu dipersilakan duduk dan mereka duduk berhadapan terhalang meja.
“Maafkan kalau saya mengganggu. Phang-sinshe yang mulia. Saya bernama Brahmani dan saya ingin minta pertolongan sinshe yang pandai.”
Diam-diam Phang-sinshe mengamati tamunya. Seorang muda raksasa yang bertubuh kuat dan sehat, sedikit pun tidak menunjukkan adanya gejala atau gangguan penyakit. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya.
“Ciangkun menderita penyakit apakah?”
Brahmani tersenyum. “Saya ingin minta bantuan dalam hal lain, bukan untuk mengobati penyakit.”
“Bantuan dalam hal lain? Apakah itu? Ciangkun membingungkan saya.” Phang-sinshe memandang tajam penuh selidik. Orang ini nampaknya cerdik sekali, dia harus waspada agar rahasianya jangan sampai terbuka.
“Saya mendengar bahwa sinshe adalah orang yang banyak merantau dan sudah amat berpengalaman, dan sebelum tiba di Bhutan tentu telah menjelajah daerah-daerah utara dan timur. Tentu saja sinshe sudah banyak mengenal orang-orang pandai, bukan?”
Oleh karena belum mengerti ke mana arah tujuan percakapan itu, Phang Kui hanya mengangguk dan terus memasang sikap mendengarkan dan tutup mulut.
“Begini, Phang-sinshe, saya ingin sekali mengetahui apakah sinshe mengenal seorang tokoh besar yang bernama....” Perwira itu celingukan dan setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, melanjutkan, “Hek-i Mo-ong?”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kakek itu mendengar nama julukannya yang dirahasiakan itu disebut! Dia menatap tajam untuk beberapa lamanya, tanpa perubahan sedikit pun pada air mukanya dan dia pun bertanya perlahan-lahan, “Aku memang banyak merantau dan banyak mengenal orang. Akan tetapi sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, aku ingin tahu ada hubungan apakah ciangkun dengan dia? Apakah ciangkun temannya ataukah musuhnya?”
Berkata demikian, diam-diam Hek-i Mo-ong alias Phang-sinshe telah mempersiapkan diri. Kalau perlu, untuk menjaga rahasianya, dia akan membunuh orang ini. Kalau dia turun tangan, menggunakan serangan maut yang cepat, siapa yang akan melihat atau mengetahuinya?
Brahmani juga bersikap hati-hati sekali, tapi karena dia sudah memperoleh keterangan dari atasannya tentang kakek ini, dia bersikap tenang dan sambil tersenyum dia pun berkata, “Sinshe, harap jangan menaruh curiga. Ketahuilah bahwa aku mendengar mengenai dia dari saudara Siwananda dan dari beliau itulah saya mengetahui akan kedatangan sinshe di Bhutan ini.”
Phang-sinshe mengangguk-angguk. “Hemm, apa buktinya?”
Brahmani lalu menggambarkan tentang pertemuan puncak antara Hek-i Mo-ong, Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, yang menghadap Gubernur Yong Ki Pok dan dapat menceritakan jalannya pertemuan itu, apa yang dirundingkan dan akhirnya berkata, “Aku pun mendengar dari atasanku bahwa sinshe akan datang ke Bhutan dan aku telah siap-siap untuk melakukan hubungan dengan sinshe. Akan tetapi melihat betapa sinshe selalu amat akrab dengan Pangeran Wan Tek Hoat dan para sahabatnya, aku menjadi takut dan ragu-ragu, sehingga baru sekarang berani mendekati sinshe.”
Sekarang Hek-i Mo-ong tidak ragu-ragu lagi. Kiranya Brahmani ini adalah anak buah Siwananda, Koksu Nepal itu. Tentu perwira muda ini seorang mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup bahkan menduduki pangkat perwira di Bhutan! Dia merasa girang sekali dan mereka lalu bercakap-cakap dengan baik.
Dari Brahmani, Phang-sinshe memperoleh keterangan dan gambaran tentang keadaan di Bhutan yang terjadi secara rahasia. Yaitu tentang pangeran-pangeran dan menteri-menteri yang merasa tidak puas dengan kekuasaan Raja Badur Syah, para pejabat tinggi yang berambisi dan yang telah menjadi sekutu rahasia dari Nepal! Bahkan sudah ada panglima-panglima yang terpengaruh dan mereka ini sudah makan suap yang besar dari Nepal, sudah berjanji bahwa kalau saatnya tiba, mereka akan menggerakkan pasukannya yang berada di bawah bimbingan mereka untuk membantu Nepal!
Tentu saja hati Phang-sinshe menjadi girang bukan main. “Kalau persiapannya sudah begitu masak, kenapa tidak cepat-cepat dilaksanakan? Bukankah kalau Bhutan sudah jatuh, penyerbuan ke Tibet menjadi lebih sederhana dan mudah?” tanyanya.
Brahmani menarik napas panjang. “Ada dua hal yang penting sehingga persiapan kami tertunda-tunda. Pertama dengan adanya Pangeran Wan Tek Hoat yang amat ditaati dan dicinta rakyat, bahkan oleh pasukan-pasukan Bhutan, membuat pemberontakan atau penyerbuan tidaklah semudah itu. Dengan adanya dia, bahkan pasukan-pasukan para panglima yang sudah menjadi sahabat kita itu pun akan enggan melakukan perlawanan terhadap pendekar itu. Dan ke dua, kami tengah menanti perintah dari koksu kami. Kami menerima perintah untuk menghubungi sinshe sebab satu-satunya cara untuk membuat lemah pimpinan Bhutan adalah kalau Pangeran Wan Tek Hoat dienyahkan dari sini.”
Mereka lalu kasak-kusuk mengatur siasat, bagaimana sebaiknya untuk melumpuhkan Raja Badur Syah dan para pembantunya, agar Bhutan dengan mudah dapat diduduki oleh pasukan Nepal untuk maksud penyeberangan mereka ke Tibet dan ke timur…..
“Ceng Liong, mari kita berlomba menangkap kelinci itu!” Hong Bwee berteriak sambil melompat ke depan ketika dia melihat seekor kelinci lari menyusup ke dalam semak-semak.
Melihat kelincahan anak perempuan itu, Ceng Liong tersenyum. Usianya sendiri baru sebelas tahun, akan tetapi dia merasa seperti sudah dewasa ketika berhadapan dengan Hong Bwee yang lincah jenaka. Kini, melihat keriangan anak itu, timbul kegembiraannya dan dia lupa bahwa dia seharusnya bersikap dewasa dan ‘matang’ di depan gadis cilik ini.
“Baik, yang kalah nanti mendapat ekornya saja!” dia pun berseru dan mengejar.
Oleh karena kelinci itu menyusup ke dalam semak-semak berduri, mereka tidak berani menyusul dan hanya menggebrak dari luar semak-semak. Kelinci itu meloncat dan lari, dikejar oleh mereka berdua sambil tertawa-tawa. Akan tetapi ternyata kelinci itu gesit sekali, kalau saja berlari terus di tempat terbuka tentu sudah tertangkap. Akan tetapi tidak, binatang ini menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar sehingga sukar sekali ditangkap.
Lebih dari dua jam mereka mengejar-ngejar tanpa hasil, sampai napas Hong Bwee terengah-engah dan keringat membasahi leher bajunya. Keadaannya sama dengan kelinci itu yang setiap kali berhasil menyusup ke dalam semak-semak dan bersembunyi, napasnya megap-megap hampir putus dan seluruh tubuhnya menggigil.
Ceng Liong menjadi gemas karena merasa kasihan kepada gadis cilik yang kelelahan itu. Diambilnya dua potong batu dan dengan sebuah batu dia menyambit ke tengah semak-semak belukar di mana kelinci itu bersembunyi. Kelinci itu meloncat keluar, dekat sekali dengan Hong Bwee yang segera berseru girang dan menubruknya. Akan tetapi, kelinci mengelak dan anak itu terpeleset, jatuh terpelanting.
“Aduhhh....!”
Berbareng dengan sambatnya anak itu, kelinci yang lari tadi tiba-tiba juga terpelanting dan diam tak bergerak, kepalanya retak oleh batu yang dilontarkan Ceng Liong karena marah melihat Hong Bwee terjatuh tadi.
“Engkau tidak apa-apa?” Ceng Liong membantu gadis itu bangkit.
Hong Bwee menggeleng kepala. Hanya bajunya yang agak kotor terkena bagian tanah basah dan juga lengan dekat siku terluka oleh batu.
“Aku sudah menangkapnya untukmu!” kata Ceng Liong menuding ke depan.
Hong Bwee memandang dan terbelalak, kemudian lari menghampiri bangkai binatang itu. Diangkatnya bangkai itu dan didekapnya, dan gadis itu membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Liong dengan mata basah sambil mencela.
“Ceng Liong, engkau amat kejam!” Lalu diusapnya bulu kelinci itu. “Kelinci yang malang, engkau telah menjadi korban kekejaman orang....”
Tentu saja Ceng Liong menjadi penasaran mendengar dirinya dituduh kejam. Dengan langkah lebar dia menghampiri gadis itu. “Nona, mengapa engkau mengatakan aku kejam?” Di dalam hatinya dia mengomel. Dia sudah membantu menangkap kelinci itu, tidak memperoleh pujian dan terima kasih, malah dimaki kejam!
“Ehh, nona, kita mengejar kelinci sejak tadi. Setelah aku membantumu menangkapnya, engkau mengatakan kejam. Bagaimana sih ini?”
Akan tetapi Hong Bwee tak menjawab, hanya mengerling tajam dan mulutnya cemberut. Ia lalu berjongkok, meletakkan bangkai kelinci itu hati-hati ke atas tanah, kemudian ia menggali lubang dalam tanah, menggunakan pedangnya. Semua ini dilakukan dengan mulut masih bersungut-sungut dan mata masih merah menahan tangis. Melihat nona kecil itu masih marah, Ceng Liong hanya berdiri dan memandang saja. Akhirnya gadis cilik itu menghentikan pekerjaannya dan dengan sikap penuh khidmat ia mengubur bangkai kelinci itu.
Ceng Liong membelalakkan kedua matanya, terheran-heran. Akan tetapi dia diam saja. Baru setelah gadis cilik itu menimbuni lubang dengan tanah setelah meletakkan bangkai itu di dalamnya, Ceng Liong bertanya, hati-hati akan tapi tidak luput dari nada mengejek karena hatinya juga panas melihat dia dipersalahkan dan kelinci yang dirobohkannya itu malah dikubur!
“Apakah nona hendak menyembahyanginya? Sayang, kita tidak membawa dupa....”
Hong Bwee tidak menjawab, akan tetapi kerlingan matanya yang tajam menyambar, membuat Ceng Liong terdiam. Dia seorang anak yang biasanya gembira dan jenaka, juga nakal, akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja dia seperti menjadi jinak oleh kerling mata gadis cilik puteri Bhutan itu. Dan dia pun makin heran, sampai terbelalak ketika melihat betapa gadis itu kini berlutut di depan kuburan kelinci, lalu menyembah dan mulutnya berkemak-kemik seperti orang membaca doa!
Akhirnya gadis cilik itu selesai dengan ‘upacara’ sembahyang itu dan duduk di atas akar pohon. Mukanya yang cantik itu masih kemerahan, mulutnya masih agak cemberut walau pun sinar matanya tidak semarah tadi. Akan tetapi pandang matanya kepada Ceng Liong hanya melalui kerlingan, tidak langsung.
Ceng Liong yang merasa penasaran juga duduk di atas batu depan gadis cilik itu. Dia menekan perasaannya supaya suaranya tidak terdengar marah. “Nona, sungguh aku merasa penasaran dan tidak mengerti sama sekali mengapa engkau marah-marah kepadaku. Kenapa pula engkau mengubur bangkai kelinci dan bahkan berdoa di depan kuburannya? Apa artinya semua ini?”
Kini Hong Bwee memandang dan alisnya berkerut. “Engkau kejam! Kenapa engkau membunuhnya?”
“Tapi.... bukankah engkau yang mengajak kita memburu kelinci itu, nona?”
“Memang, tapi bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk menangkapnya. Aku ingin memelihara dan menjinakkannya, untuk diajak bermain-main. Akan tetapi engkau telah membunuhnya. Aku tadi berdoa mintakan ampun atas kekejaman dan kelancanganmu!”
Kini Ceng Liong yang terbelalak memandang gadis cilik itu. Minta ampun kepada kelinci yang terbunuh? Apa-apaan ini?
“Tetapi, nona. Bukankah nona sendiri seorang pemburu yang sudah membunuh entah berapa banyak binatang? Pada waktu kita bertemu untuk pertama kalinya, engkau pun membunuh anak beruang, bahkan juga mencoba untuk membunuh induknya. Binatang buruan memang untuk dibunuh!”
“Membunuh dan membunuh ada banyak macam dan perbedaannya! Membunuh harus ada alasannya dan engkau tadi membunuh tanpa alasan! Engkau tidak tahu aturannya membunuh!”
“Wah, membunuh tapi pakai aturan?” Ceng Liong melongo dan melirik ke atas. “Nona, tolong beritahu kepadaku bagaimana sih aturan-aturannya?” Dia merasa lucu dan geli, akan tetapi juga heran dan ingin tahu.
“Engkau banyak merantau akan tetapi bodoh,” kata gadis cilik itu bersungut-sungut. “Nah, kau dengarkan baik-baik ajaran-ajaran yang kudapat dari ayah ibuku dan kaum cendekiawan di Bhutan. Kalau kita terancam bahaya, untuk mempertahankan nyawa dan keselamatan diri, tentu saja kita harus merobohkan atau membunuh lawan yang mengancam keselamatan kita itu, baik dia binatang atau pun manusia. Pembunuhan ini namanya bukan pembunuhan, melainkan usaha bela diri dan ini benar adanya.” Gadis itu berhenti sebentar memandang dan Ceng Liong mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Ada lagi pembunuhan ke dua. Kalau kita membutuhkan daging binatang misalnya, maka sudah benarlah kalau kita membunuhnya, baik untuk mengenyangkan perut atau untuk memuaskan selera. Akan tetapi ada pembunuhan ke tiga yang dipantang oleh bangsa kami, yaitu membunuh tanpa alasan, hanya untuk menyenangkan hati saja. Dan ini dosa besar namanya, kekejaman yang akan mendatangkan kutuk bagi diri kita. Dan engkau tadi membunuh kelinci tanpa dua alasan itu. Kelinci itu bukan musuh kita, tidak mengancam keselamatan kita, juga kita tidak membutuhkannya sebagai santapan. Dan engkau membunuhnya seperti pembunuhan yang ke tiga tadi, kejam dan kelinci itu mati sia-sia!”
Ceng Liong terbelalak. Masuk akal juga ucapan gadis cilik ini, bijaksana juga aturan dari bangsa ini. Dia sendiri sudah melihat banyak orang membunuhi binatang tanpa alasan itu, hanya untuk kesenangan hati. Bahkan kaisar sendiri kalau berburu hanya untuk bersenang-senang, hasil buruannya tidak dimakan, tapi dilemparkan dan dibuang begitu saja.
“Tapi, nona....” Dia membantah, bermaksud untuk ‘meringankan’ dosanya. “Ketika aku merobohkannya tadi, aku mengira bahwa engkau malah hendak menangkapnya dan membunuhnya, hendak makan dagingnya.”
“Benarkah itu?” Hong Bwee memandang tajam.
Sinar mata lembut akan tetapi tajam itu seakan-akan berubah menjadi ujung pedang yang ditodongkan ke depan dadanya sehingga otomatis Ceng Liong menarik tubuh atas ke belakang menjauh.
“Tentu saja benar.”
“Kalau begitu, engkau tidak berdosa. Dan aku sudah mintakan ampun kepada kelinci itu untuk dosamu yang kukira membunuh dengan kejam. Akan tetapi sudahlah, berdoa pun baik saja. Kalau lain kali hendak membunuh sesuatu, beritahu dulu aku, ya?”
Sekarang wajah yang manis itu telah menjadi terang dan berseri kembali. Senyumnya mengembang lagi, seperti matahari baru muncul di ufuk timur setelah bumi dicekam kegelapan yang menyedihkan.
Melihat ini, Ceng Liong juga ikut bergembira dan dia pun tersenyum. “Maaf, karena tidak tahu dan salah sangka, aku telah membuatmu berduka, nona.”
“Hi-hi-hik, kalau sudah mengaku salah tentu tidak akan menolak kalau didenda atau dihukum, bukan?”
Ceng Liong mengangkat dadanya. “Tentu saja! Seorang pendekar tidak akan takut mempertanggung jawabkan perbuatannya!”
“Nah, terlepas sekarang! Engkau seorang pendekar!”
Ceng Liong merasa telah terlanjur bicara, maka dengan tersipu-sipu berkata, “Ahh, aku hanya murid Phang-sinshe, hanya bisa mempelajari pengobatan, itu pun masih dangkal, paling-paling aku hanya bisa mengobati orang menderita penyakit kudis, dan tentang ilmu sulap, wah, ada beberapa macam yang kupelajari.”
“Bohong! Engkau tentu pandai silat. Buktinya engkau mampu melakukan perjalanan sampai ke Bhutan, begitu jauhnya....”
“Ahh, engkau hanya menduga saja, nona.”
“Ceng Liong, aku bernama Hong Bwee, atau Gangga Dewi, jangan panggil nona-nona segala macam!”
“Habis, nona adalah seorang puteri istana, bagaimana aku berani....”
“Nah, itu malah sudah berani membantah. Aku memerintahkan engkau mulai sekarang menyebut namaku saja, tanpa embel-embel nona.”
“Baik, non.... ehh…. Hong Bwee.”
Nona kecil itu tersenyum geli. “Sekarang dendanya atas dosamu tadi. Engkau harus memperlihatkan kepandaianmu kepadaku!”
“Nona.... ehhh, engkau tidak berpenyakit kudis. Hong Bwee, bagaimana aku dapat membuktikan kepandaianku mengobati?”
“Bukan itu, yang satunya lagi.”
“Ohh, main sulap? Baiklah, kau lihat batu kecil ini, kugenggam di tangan kanan! Nah, sekarang batu di tangan kanan itu akan kusulap agar pindah ke tangan kiri. Hip-hup-hah!”
Ceng Liong membuat gerakan dengan kedua lengannya, diputar-putar sehingga sedikit mengaburkan pandang mata Hong Bwee. Tentu saja dia tidak pandai sulap, karena ilmu sulap gurunya adalah ilmu sihir dan dia belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi dengan kecepatan gerak tangannya, dia dapat memindahkan batu itu dari tangan kanan ke tangan kiri tanpa dapat terlihat oleh Hong Bwee.
“Lihat batu ini!” Dan ketika dia membuka tangan kiri, di situ nampak batu yang tadi tergenggam di tangan kanan. Dan ketika dia membuka tangan kanan, ternyata di situ terdapat sehelai daun hijau.
“Ah, tidak aneh! Biar pun aku tidak dapat mengikuti gerakanmu, aku tahu bahwa engkau tadi memindahkan batu dan menyambar sehelai daun. Itu hanya dapat dipakai menipu kanak-kanak saja! Bukan kepandaian itu yang kumaksudkan.”
“Habis, yang mana lagi? Aku tidak bisa apa-apa.”
“Jangan engkau membantah hukuman. Aku menghukummu agar sekarang juga engkau mempertunjukkan ilmu silatmu.”
“Aku tidak bisa....”
“Bohong, nah aku akan mengujimu!” Tiba-tiba gadis cilik itu sudah meloncat sambil memukulkan tinjunya ke arah dada Ceng Liong.
Tentu saja, sebagai anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, dengan otomatis tubuh Ceng Liong bergerak mengelak. Hong Bwee menyerang terus dengan pukulan, tendangan dan tamparan, bahkan ia mempergunakan pula cengkeraman-cengkeraman kedua tangannya. Gerakannya cepat dan teratur baik sekali, berkat ilmu silat yang dipelajarinya dari Wan Tek Hoat.
Melihat gerakan gadis ini mainkan Pat-mo Sin-kun yang dikenalnya, Ceng Liong menjadi kagum. Dia pun tahu bahwa ayah gadis ini, seperti yang pernah dituturkan oleh ayahnya kepadanya, masih terhitung cucu keponakan dari ayahnya sendiri, keponakan tiri, masih agak jauh huhungan darah antara dia dengan Wan Tek Hoat, bahkan sama sekali tidak ada hubungan darah. Dia mendengar bahwa Wan Tek Hoat adalah anak kandung dari seorang yang menjadi anak kandung nenek Lulu, dengan demikian, Wan Tek Hoat adalah keponakan ayahnya dan gadis cilik ini masih terhitung keponakannya sendiri, atau keponakan tiri dari Suma Ciang Bun dan Suma Hui. Gadis cilik ini adalah cucu buyut nenek Lulu.
Agaknya Hong Bwee memang sungguh-sungguh ingin menguji ilmu silat pemuda itu dan ia mendesak terus, mengirim serangan bertubi-tubi.
Diam-diam Ceng Liong harus mengakui bahwa anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat dan terutama sekali amat cekatan dan gerakannya cepat. Maka dia pun tidak berani main-main lagi karena kalau dia lengah, tentu dia akan kena pukul dan dia tidak mau hal ini sampai terjadi. Harga dirinya sebagai laki-laki akan turun kalau sampai dia terkena pukulan atau tendangan yang bertubi-tubi itu.
Maka dia pun segera mainkan Sin-coa-kun, satu-satunya ilmu keluarga Pulau Es yang sudah dilatihnya dengan matang. Ilmu-ilmu lain hanya baru dipelajari teorinya saja dan dia kurang latihan. Akan tetapi, Sin-coa-kun yang telah dilatihnya dengan matang itu cukup hebat.
Kini keadaannya terbalik. Begitu Ceng Liong menangkis dan balas menyerang, repotlah Hong Bwee. Ia terdesak terus sampai terpaksa menggunakan langkah-langkah mundur. Hal ini membuatnya penasaran. Sejak kecil Hong Bwee memang memiliki watak keras dan tidak mau kalah kalau berlatih silat. Ceng Liong hanya sebaya dengannya, paling-paling setahun lebih tua dan hanya seorang tukang obat perantau. Tidak mungkin kalau ia harus kalah dalam ilmu silat oleh anak laki-laki ini.
“Heiiiiittt....!”
Tiba-tiba saja gadis cilik itu menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang dikuncir hitam tebal panjang yang tadi tergantung di belakang tengkuk, kini menyambar ke depan, ujungnya yang seperti moncong ular mematuk ke arah hidung Ceng Liong.
“Ehhh....!” Ceng Liong terkejut sekali dan biar pun dia sudah menarik tubuh atasnya ke belakang, tetap saja ujung kuncir itu masih menampar pipinya.
“Plakk!” Ceng Liong melompat mundur dan mengusap pipinya yang terasa panas.
“Sudahlah, engkau yang menang,” katanya.
Wajah Hong Bwee menjadi kemerahan. “Tidak.... sebetulnya tadi aku yang kalah. Kau maafkan aku, Ceng Liong.”
Pada saat itu muncullah enam orang, semuanya memakai topeng yang menutupi muka mereka dari hidung ke bawah sehingga sukar untuk mengenal wajah mereka. Mereka mengurung dua orang anak itu dengan sikap menyeramkan.
Melihat keadaan mereka yang bertopeng dan bersikap galak, tahulah Ceng Liong bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai niat buruk maka dia pun sudah siap siaga untuk melawan, menyelamatkan diri sendiri dan juga Hong Bwee. Biar pun masih kecil, Ceng Liong sudah memiliki kecerdikan dan pandai menarik kesimpulan, maka dia pun menduga bahwa mereka ini datang untuk mengganggu Hong Bwee sebagai puteri istana, bukan dia yang hanya seorang anak asing di situ dan tidak mempunyai harga untuk diganggu.
Dugaannya memang tepat karena seorang di antara mereka menghampiri Hong Bwee dan berkata dalam bahasa Bhutan, “Anak baik, engkau ikutlah kami baik-baik agar kami tidak usah mempergunakan kekerasan terhadap anak kecil.” Tanpa menanti jawaban, orang yang bertubuh jangkung kurus ini langsung menggerakkan lengannya hendak menangkap pundak Hong Bwee.
“Siapa kau, manusia jahat?” Hong Bwee membentak marah sambil mengelak.
Gerakan gadis cilik ini memang lincah, maka terkaman itu pun luput. Orang bertopeng itu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya membayangkan kemarahan. Dia pun lalu menubruk lagi, sekali ini dengan kasar dan lebih cepat.
“Plakkk!”
Hong Bwee menangkis sambil mengelak lagi dan untuk kedua kalinya tubrukan itu tidak berhasil. Orang tadi kini marah sekali dan menyerang dengan tamparan dan tendangan, akan tetapi Hong Bwee melawan dengan gagah. Melihat kawannya sukar menangkap anak perempuan itu, orang ke dua membantu. Akan tetapi baru saja dia menubruk ke depan, dari samping datang sambaran angin. Orang ke dua itu terkejut dan berusaha membalik sambil memutar lengan, akan tetapi dia terlambat.
“Desss....!”
Lambungnya kena ditendang Ceng Liong, tendangan Soan-hong-twi yang keras sekali karena tanpa disadarinya, sumber tenaga saktinya bergerak dan tersalur ke kakinya yang menendang. Orang itu terlempar sampai tiga meter jauhnya dan terbanting roboh!
Ceng Liong hendak mengamuk untuk melindungi Hong Bwee, akan tetapi pada saat itu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar sudah meloncat menghadangnya. Ceng Liong yang marah itu langsung saja mengirim tendangan, menyambut lawan yang menghadangnya ini. Namun terkejutlah dia ketika orang ini dengan mudah mengelak dari tendangan-tendangannya yang dilakukan secara berantai itu. Maklumlah dia bahwa orang ini lihai sekali, maka dia pun segera mengeluarkan Ilmu Silat Sin-coa-kun dan mendesak.
Orang yang menjadi lawannya itu hanya menangkis atau mengelak saja, akan tetapi diam-diam memancing Ceng Liong makin menjauhi sang puteri yang kini dikeroyok oleh empat orang bertopeng! Tentu saja hanya dalam waktu singkat sang puteri telah dapat diringkus dan dibawa pergi.
“Ceng Liong.... Ceng Liong.... tolonggg....!”
Akan tetapi seorang di antara mereka membungkamnya dan mengikatkan sapu tangan di depan mulut anak perempuan itu sehingga tidak lagi mampu berteriak.
Ceng Liong marah sekali dan memperhebat serangannya. Akan tetapi lawannya benar-benar amat tangguh dan biar pun lawannya belum pernah membalas serangannya, dia pun sudah tahu bahwa orang ini bukan tandingannya.
“Ceng Liong, hentikan perlawananmu.”
“Mo-ong....!” Ceng Liong berseru heran sekali dan memandang kepada wajah yang kini sudah tidak tertutup lagi oleh topeng itu. “Apa artinya semua ini? Mengapa Hong Bwee ditawan....?”
“Sabarlah dan mari dengarkan keteranganku. Mereka tidak akan mengganggu nona Hong Bwee. Mereka....”
“Mereka itu siapa?”
“Mereka adalah kawan-kawan kita sendiri. Kau tentu masih ingat akan pembicaraanku waktu itu dengan Gubernur Yong, bukan? Nah, usahaku datang ke Bhutan adalah untuk mengumpulkan dan menghubungi teman-teman sehaluan, untuk membantu penyerbuan tentara Nepal ke Tibet. Dan aku sudah berhasil mengadakan hubungan dengan mereka. Satu-satunya penghalang bagi teman-teman itu untuk membantu Nepal, atau paling tidak jangan mencampuri urusan Nepal kalau menyerbu ke Tibet, hanyalah keberadaan pendekar Wan Tek Hoat yang disegani orang di sini. Maka, jalan satu-satunya untuk membuat pendekar itu sibuk dan tidak mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet, hanyalah dengan menculik anak satu-satunya itu. Jika Nepal sudah berhasil menduduki Tibet, barulah kita kembalikan puteri itu kepada orang tuanya.”
Selagi gurunya bicara, Ceng Liong memutar otak. Tak mungkin dia menentang gurunya ini dengan kekerasan. Dia seorang diri mana mampu menentangnya? Maka dia pun mengangguk-angguk seperti menyatakan setuju, padahal di dalam hatinya, dia sama sekali tidak senang akan siasat keji ini.
“Siasat itu bagus sekali,” dia berkata dan gurunya tersenyum lebar.
“Kami sengaja membiarkan engkau tadi membantu sang puteri, bahkan merobohkan seorang penculik dengan tendanganmu. Engkau hebat, muridku. Dengan demikian, tentu sang puteri menganggap bahwa engkau benar-benar seorang kawan yang setia, dan dengan sendirinya tidak akan ada yang mencurigai aku bercampur tangan dalam penculikan ini.”
“Akan tetapi, bagaimana pun juga, aku minta agar nona Hong Bwee tidak diganggu. Kasihan, dia seorang anak yang baik, sikapnya baik sekali terhadap kita, juga orang tuanya pun sangat baik terhadap kita. Apakah budi mereka itu harus kita balas dengan kejahatan?”
“Ha-ha-ha-ha, muridku yang baik, apakah engkau sudah melupakan pelajaran akan kenyataan hidup yang sudah berkali-kali kau lihat dan kau dengar dariku? Kalau engkau ingin maju dalam hidupmu, jangan hiraukan tentang budi. Melepas budi atau menerima budi hanyalah watak orang-orang lemah dan kita sama sekali tidak lemah! Yang terpenting adalah hasil baik dan menguntungkan untuk kita. Itu saja! Kalau mau bicara tentang budi, maka adanya hanya merupakan balas-membalas yang kekanak-kanakan. Pertama, mereka hutang budi kepada kita karena engkau menolong puteri mereka, kemudian kini keadaannya berbalik karena kita membutuhkan bantuan puteri mereka, untuk memaksa orang tuanya agar jangan menghalangi rencana kita. Bisa repot hidup ini kalau terikat oleh hutang-pihutang budi. Mana kita bisa maju kalau begitu?”
Ceng Liong mengerutkan alisnya. Dalam hatinya, dia sama sekali tidak bisa menyetujui pendapat orang-orang golongan hitam seperti yang dikemukakan gurunya ini. Akan tetapi, selagi Hong Bwee berada di tangan gurunya dan sekutunya, dia harus bersikap cerdik dan tidak menentang, sehingga dia akan dapat leluasa bergerak untuk berusaha menyelamatkan Hong Bwee. Dia tidak perduli akan urusan negara, tidak bermaksud untuk menolong atau membantu Bhutan, akan tetapi bagaimana pun juga, dia harus menolong Hong Bwee...
Untung baginya, hanya namanya saja yang terkenal. Hek-i Mo-ong adalah nama julukan yang terkenal sekali di dunia kang-ouw, bahkan sampai jauh ke timur, dikenal oleh semua golongan, baik golongan para pendekar ataupun penjahat, golongan putih mau pun hitam. Akan tetapi, jarang ada orang yang mengenal mukanya.
Dia bukan sembarang kaum sesat, melainkan seorang datuk yang tidak sembarangan dapat ditemui orang. Karena ini, maka dengan menyamar dan menyembunyikan nama julukannya, dia akan dapat melaksanakan tugas itu dengan mudah.
Dalam penyamarannya, Hek-i Mo-ong tidak meninggalkan warna hitam pakaiannya. Memang sejak dahulu dia suka memakai pakaian serba hitam. Akan tetapi, sekarang pakaiannya yang berwarna hitam itu dibentuk seperti pakaian yang biasa dipergunakan oleh sinshe tukang obat. Dan dia pun menyuruh Ceng Liong untuk mengganti sebutan Mo-ong dengan sebutan kakek.
“Kita akan melakukan perjalanan rahasia, melaksanakan tugas penting sekali. Maka kita harus menyamar. Aku akan menyamar sebagai seorang ahli obat dan tukang sulap, dan engkau adalah cucuku, juga pembantuku. Ingat, namaku adalah Phang Kui, aku adalah kakekmu dan pekerjaanku tukang obat dan tukang sulap. Engkau tetap bernama Ceng Liong, akan tetapi demi keselamatan sendiri, lebih baik engkau jangan menyebutkan nama keturunanmu. Nama keturunan Suma terlalu menyolok dan kalau engkau mau menyebut nama keturunan juga, engkau boleh saja memakai nama keturunanku, yaitu Phang. Mengertikah engkau, Ceng Liong?”
“Baik, kong-kong,” jawab anak yang cerdik itu sehingga gurunya tertawa senang disebut kong-kong. “Dan sekarang kita hendak berangkat ke manakah? Apakah langsung ke Bhutan? Atau ke Himalaya?” Anak itu mendengarkan ketika gurunya bicara dengan gubernur, maka dia pun mengerti akan tugas gurunya.
Akan tetapi Hek-i Mo-ong menggeleng kepala. “Tidak, kita akan berangkat dulu ke kota Ceng-tu di Se-cuan.”
Karena Ceng Liong tidak mengerti, dia pun tidak banyak bertanya lagi dan berangkatlah guru dan murid itu menuju ke Propinsi Se-cuan. Kenapa mereka hendak ke Se-cuan? Hek-i Mo-ong adalah seorang yang sangat cerdik dan kepergiannya ke Se-cuan sudah diperhitungkannya dengan masak, termasuk ke dalam rencananya untuk melaksanakan tugas itu sebaik mungkin.
Gubernur Se-cuan adalah seorang pangeran. Dia adalah Pangeran Yung Hwa, saudara dari mendiang Kaisar Yung Ceng, ayah Kaisar Kian Liong yang sekarang. Pangeran Yung Hwa ini pernah menentang kaisar yang dahulu, maka sebagai hukumannya dia dibuang secara halus dengan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Se-cuan.
Hek-i Mo-ong tahu riwayat Gubernur Se-cuan, yaitu Pangeran Yung Hwa yang sekarang telah berusia empat puluh dua tahun ini. Ia sudah tahu pula bahwa Pangeran Yung Hwa yang menjadi Gubernur Se-cuan ini kenal baik dengan keluarga Raja Bhutan, maka gubernur ini dapat diharapkan bantuannya. Apalagi karena peristiwa pembuangannya itu sedikit banyak tentu menimbulkan dendam di hatinya.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, sebuah gerobak kuda sederhana memasuki kota Ceng-tu yang ramai. Kereta yang sederhana itu menarik perhatian karena kudanya diberi rumbai-rumbai dengan kertas-kertas berwarna, dan di dinding kereta terdapat tulisan besar menyolok SINSHE PHANG, AHLI OBAT, RAMAL, DAN SULAP.
Di atas tempat duduk kusir itu duduk seorang anak berusia sepuluh tahun lebih yang tubuhnya tegap, wajahnya tampan dan mulutnya selalu tersenyum-senyum memandang ke kanan kiri, sinar matanya tajam dan penuh keberanian. Anak ini pandai sekali mengendalikan kuda besar yang menarik kereta, dan dia tersenyum-senyum kepada semua orang yang memperhatikan kereta itu.
Hek-i Mo-ong sendiri yang kini berganti sebutan menjadi Sinshe Phang, sedang tidur melenggut di dalam kereta. Namanya yang asli memang Phang Kui, akan tetapi di dunia kang-ouw dia tidak dikenal dengan nama itu, bahkan tidak ada orang mengenal nama aslinya. Karena itu, dia berani mempergunakan nama aslinya dengan tenang.
Ketika terbangun dan melihat bahwa mereka telah memasuki kota Ceng-tu, Sinshe Phang menyuruh Ceng Liong yang kini disebutnya sebagai cucunya itu untuk langsung pergi ke pusat kota. Di dekat pasar mereka menghentikan kereta dan tidak lama kemudian terdengarlah suara tambur dan canang dipukul oleh kakek dan cucunya ini. Orang-orang berdatangan dan sebentar saja para penonton disuguhi tontonan sulap yang amat menarik. Kakek itu pandai sekali bermain sulap dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia memang seorang ahli sihir. Dengan permainan sulapnya, dia berhasil menarik banyak penonton.
Kemudian dia pun mendemonstrasikan kemahirannya mengobati orang. Sakit gigi, sakit pening, sakit perut, semua disembuhkannya dengan cepat di tempat itu juga. Bagai mana pun juga, seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong tentu saja pandai dalam hal ilmu pengobatan, apalagi hanya untuk menyembuhkan penyakit yang remeh dan ringan.
Ada pula yang tertarik dan minta diramal nasibnya. Semua biaya pengobatan atau pun meramal itu ditarik dengan tarip ringan sekali sehingga banyak orang yang merasa puas dan sebentar saja nama Sinshe Phang terkenal di kota Ceng-tu itu.
Kakek dan cucunya itu mondok di kamar sebuah rumah penginapan sederhana dan setiap hari mereka membuka pertunjukan di dekat pasar. Dalam waktu beberapa hari saja, terkenallah namanya, bahkan sampai ke gedung gubernuran. Tersiar berita bahwa Ceng-tu kedatangan seorang sinshe yang amat pandai dan lagi taripnya amat murah.
Pada suatu pagi, tiga hari kemudian, ketika Sinshe Phang dan Ceng Liong sedang sibuk melayani para peminat, kakek itu memeriksa dan Ceng Liong yang mempersiapkan obatnya, datanglah sebuah kereta ke tempat itu. Sebuah kereta yang mewah dan dari jauh saja sudah nampak bahwa kereta itu bukan kereta sembarangan, melainkan kereta seorang pembesar. Kereta itu dikawal oleh selosin pasukan pengawal.
Sebelum kereta dekat, Sinshe Phang sudah bertanya kepada seorang penonton yang dijawabnya bahwa yang datang itu adalah kereta gubernur! Tentu saja Sinshe Phang menjadi girang sekali. Cepat ditulisnya beberapa huruf di atas kertas tanpa dilihat orang lain dan diberikan kertas tulisan itu kepada Ceng Liong. Anak ini membacanya dan mengangguk sambil meremas hancur kertas tulisan itu. Gurunya sedang merencanakan sesuatu yang amat bagus! Dan dia pun sudah siap membantunya.
Kini kereta mewah itu berhenti di dekat tempat Sinshe Phang membuka prakteknya. Para pengawal memerintahkan penonton membuka jalan agar penghuni kereta dapat menyaksikan pertunjukan yang diperlihatkan oleh Sinshe Phang. Pintu dan jendela kereta dibuka dan nampaklah seorang wanita cantik berusia tiga puluhan tahun, berpakaian mewah. Di sebelahnya duduk pula seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun, dengan pakaian mewah dan rambutnya dikuncir dua, manis sekali.
Orang-orang yang mengenal wanita itu saling berbisik. Itulah seorang isteri muda Gubernur Yung Hwa, seorang di antara selir-selirnya yang paling disayangnya, yang datang menonton pertunjukan Sinshe Phang bersama puterinya. Memang wanita ini mendengar tentang keahlian Sinshe Phang. Sudah lama ia menderita pening-pening pada kepalanya dan sudah banyak ia makan obat, akan tetapi tidak juga peningnya hilang. Maka, mendengar akan kepandaian Sinshe Phang, ia ingin menyaksikan sendiri, kemudian kalau hatinya yakin, ia pun akan minta pengobatan.
Sinshe Phang pura-pura tidak melihat bahwa ada wanita cantik selir gubernur yang memperhatikannya dan ikut menonton dari dalam kereta itu. Akan tetapi diam-diam dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya, bermain sulap yang amat menggembirakan anak perempuan di dalam kereta itu. Bahkan saat dia menyulap sepotong batu berubah menjadi seekor burung dara yang terbang melayang ke udara, anak perempuan itu bertepuk tangan dan bersorak, “Bagus! Bagus....!”
Akan tetapi ibu anak itu lebih memperhatikan cara Sinshe Phang menyembuhkan beberapa orang yang datang berobat, terutama sekali orang yang menderita penyakit kepala pening. Melihat betapa Sinshe Phang kadang-kadang mempergunakan jari-jari tangannya menekan di sana-sini bagian kepala, atau menggunakan sebuah jarum emas menusuk beberapa tempat tanpa yang ditusuk itu mengeluh nyeri atau mengeluarkan darah, kemudian melihat orang-orang itu dapat disembuhkan seketika, nyonya itu merasa tertarik sekali.
Pada saat itu, para pengawal juga menonton dengan hati tertarik dan kadang-kadang mereka itu tertawa melihat Sinshe Phang bermain sulap sambil melucu. Juga kusir kereta itu duduk santai, tidak lagi memperdulikan dua ekor kudanya yang sudah diberi makanan di depannya.
Biar pun para pengawal itu juga merupakan orang-orang yang tahu ilmu silat, akan tetapi gerakan Sinshe Phang sedemikian cepatnya sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang melihatnya ketika tiba-tiba saja dari jari-jari tangannya meluncur dua butir batu kecil yang dengan tepatnya menghantam dan melukai pantat dua ekor kuda yang sedang makan itu.
Tiba-tiba dua ekor binatang itu meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meloncat ke depan. Kereta itu tertarik keras dan kusir yang sedang enak-enak duduk miring itu terlempar keluar, terpental dari tempat duduknya dan terbanting ke atas tanah. Para pengawal terkejut bukan main melihat dua ekor kuda itu kabur.
Beberapa orang penonton bahkan ada yang tertabrak dan jatuh tunggang-langgang dan orang-orang berteriak-teriak ketakutan karena dua ekor kuda itu membalap tanpa ada yang mengendalikan. Akan tetapi, ketika kusir kereta tadi terpelanting, ada bayangan kecil yang dengan cekatan telah melompat ke atas tempat duduk kusir. Bayangan ini adalah seorang anak kecil dan semua orang mengenalnya sebagai cucu Sinshe Phang. Sementara itu, terdengar jerit-jerit ketakutan dari dalam kereta.
Ceng Liong yang sudah diberi isyarat oleh gurunya memang sudan siap siaga. Maka ketika dia melihat gurunya mempergunakan ilmu melempar batu-batu kecil dengan sentilan jari tangan, dia sudah mendekati kereta. Begitu kuda kabur dan kusir terlempar keluar, dia sudah meloncat dengan cekatan sekali dan berhasil mencapai tempat duduk kusir.
Dia segera menyambar tali kendali kuda, akan tetapi karena tali kendaraan itu sebagian terlepas dan berada di punggung kuda, dengan penuh keberanian anak ini lalu meloncat turun ke atas punggung seekor kuda. Anak ini menarik kendali sambil mengeluarkan bujukan-bujukan untuk menghentikan dua ekor kuda itu. Sedangkan para pengnwal kini sudah memburu, ada yang naik kuda, ada yang berlarian.
Akan tetapi, dalam jarak ratusan meter, ketika para pengawal dapat menyusul, kereta itu telah berhenti dan dua ekor kuda itu telah dikuasai oleh Ceng Liong yang masih duduk di atas punggung seekor di antara dua kuda itu. Kereta itu selamat dan dua orang penghuninya juga selamat!
Melihat ini, semua orang bersorak gembira dan bertepuk tangan. Mereka memuji Ceng Liong yang dianggap seorang anak yang amat sigap dan berani. Anak perempuan itu menangis terisak-isak didekap oleh ibunya yang mukanya juga berubah pucat sekali. Melihat betapa yang menolong menghentikan dua ekor kuda yang kabur itu adalah anak kecil cucu Sinshe Phang, ibu muda itu segera membimbing anaknya turun dari kereta yang sudah dibawa kembali ke tempat semula oleh Ceng Liong.
“Sinshe, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan cucumu,” katanya.
Phang-sinshe cepat memberi hormat dan mengangguk-angguk. “Ahh, toanio, kebetulan saja cucu saya dapat bertindak cepat. Thian yang telah melindungi toanio dan siocia,” kata Sinshe Phang dengan sikap seolah-olah dia seorang beribadah yang sudah biasa memalingkan mukanya kepada Tuhan!
“Engkau anak yang baik sekali!” kata nyonya muda itu kepada Ceng Liong.
Anak ini pun menjura tanpa berkata apa-apa, matanya memandang tajam kepada anak perempuan yang masih nampak ketakutan itu. Biar pun ketakutan dan bekas menangis, anak ini amat cantik dan manis.
“Ibu, apakah yang menghentikan kuda tadi dia ini?” Anak perempuan itu menuding ke arah Ceng Liong.
“Benar, Kui Lan. Dialah yang telah menyelamatkan kita. Anak baik, siapakah namamu?”
Ceng Liong menjadi malu juga karena sikap yang amat menghargai itu, apalagi di situ banyak orang yang menyaksikan dan semua orang memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan memuji.
“Ha-ha, kenapa kau diam saja, Ceng Liong? Maaf, toanio. Dia anak pemalu sekali. Cucu saya ini namanya Ceng Liong.”
“Kui Lan, hayo ucapkan terima kasih kepada Ceng Liong,” perintah ibunya yang selalu mendidik puterinya untuk bersikap baik.
Kui Lan melangkah mendekati Ceng Liong. Wajah yang manis itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang lebar itu memandang penuh perhatian. “Ceng Liong, aku kagum padamu dan terima kasih atas pertolonganmu. Namaku Yung Kui Lan, dan ayahku adalah gubernur dari kota ini.”
Ceng Liong hanya mengangguk-angguk saja sambil menatap wajah yang manis itu. Nyonya muda itu lalu menggunakan kesempatan ini untuk mengundang Sinshe Phang ikut bersamanya ke gedung gubernuran.
“Kami ingin minta pertolongan sinshe mengobati suatu penyakit,” demikian tambahnya.
Sinshe Phang menyembunyikan kegembiraan hatinya. Inilah yang dinanti-nanti sampai dia mau bersusah payah ‘membuka praktek’ di pasar itu. Tak pernah disangkanya pintu gubernuran akan sedemikian mudahnya terbuka baginya.
“Saya merasa terhormat sekali untuk dapat mengobati keluarga toanio yang sakit,” katanya dan dia pun cepat menyuruh cucunya berkemas.
Tidak lama kemudian, kereta nyonya itu telah berjalan kembali. Sekali ini bukan hanya diiringkan sepasukan pengawal, akan tetapi juga diiringkan sebuah gerobak kuda yang telah mulai dikenal baik di kota itu. Di sepanjang perjalanan, orang-orang membicarakan keberanian bocah yang mengendalikan kuda itu. Semua orang tahu bahwa tentu sinshe itu diundang ke gubernuran untuk mengobati orang sakit dan tentu akan menerima hadiah besar dari gubernur sendiri karena telah menyelamatkan selir dan puterinya dari bahaya.
Begitu tiba di gedung gubernuran, Gubernur Yung Hwa yang menerima laporan tentang kereta selirnya yang kabur dan diselamatkan oleh cucu Sinshe Phang, menjadi terkejut akan tetapi juga girang. Dia lalu minta kepada selirnya untuk memanggil sinshe itu menghadap. Ketika bertemu dengan kakek yang tinggi besar itu, dan melihat cucunya yang tampan dan gagah, Gubernur Yung Hwa merasa suka sekali. Dia mengucapkan terima kasih dan memuji Ceng Liong.
“Hamba merasa terhormat sekali dapat memperoleh kesempatan untuk mengobati keluarga paduka yang sakit. Hamba sudah siap untuk mengobatinya,” Sinshe Phang berkata dengan sikap merendahkan diri.
“Sinshe, yang sakit adalah aku sendiri,” tiba-tiba selir itu berkata sambil tersenyum ramah. “Apakah engkau bisa menolongku?”
Sinshe Phang menjura. “Mudah-mudahan hamba akan dapat menolong. Tidak tahu sakit apakah yang diderita oleh toanio?”
“Sudah lama sekali kepalaku sering pening, berdenyut-denyut dan mata berkunang-kunang. Sudah beberapa orang tabib dipanggil dan banyak sudah kumakan obat, akan tetapi penyakit itu tidak lenyap, hanya berkurang sedikit saja.”
Sinshe Phang mengangguk-angguk. “Maaf, hamba harus memeriksa lebih dulu sebelum menentukan penyakit dan obatnya.”
Gubernur Yung Hwa yang amat mencinta isterinya itu berkata, “Mari, silakan masuk ke kamar, Sinshe Phang.”
Sinshe Phang menghaturkan terima kasih, “Ceng Liong, engkau menanti saja di sini dan bersikaplah yang baik.”
“Biar Kui Lan menemaninya,” kata nyonya itu.
Dan Kui Lan yang memang merasa kagum dan suka kepada Ceng Liong lalu menarik tangan Ceng Liong dan mengajaknya untuk pergi ke taman. Ceng Liong menurut saja walau pun dia merasa sungkan dan juga malu.
Melihat sikap anak laki-laki itu, sang gubernur menggeleng-geleng kepala. “Cucumu itu kelak tentu menjadi orang yang gagah.”
Sambil mengikuti suami isteri itu memasuki kamar, Sinshe Phang menjawab, “Ahhh, seorang seperti hamba mana mungkin dapat mempunyai seorang cucu yang gagah?”
Sang gubernur tertawa. “Aha, jangan kira aku tidak tahu, Phang-sinshe! Seorang yang kabarnya pandai bermain sulap, dan pandai mengobati seperti engkau ini, tentu seorang kang-ouw yang lihai. Apalagi mendengar betapa cucumu dapat menyelamatkan isteri dan anakku, tentu dia pun telah kau gembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi!”
Diam-diam Sinshe Phang memuji ketajaman mata gubernur ini. Bagaimana pun juga, gubernur ini dahulunya seorang pangeran, bahkan masih paman dari kaisar yang sekarang, maka tentu banyak tahu tentang dunia kang-ouw. Aku harus berhati-hati, pikir kakek itu.
Setelah berada di dalam kamar, dengan disaksikan oleh Gubernur Yung Hwa, Sinshe Phang memeriksa denyut nadi lengan selir itu, kemudian memeriksa beberapa bagian kepala dan lehernya. Segera dia mengetahui bahwa penyakit yang diderita oleh nyonya itu tidaklah begitu berat, maka dengan keahliannya pengobatan tusuk jarum, dengan mudah dia dapat menghilangkan penyakit itu.
Tentu saja gubernur dan selirnya merasa berterima kasih dan girang sekali. Gubernur Yung Hwa lalu menjamunya. Mereka makan minum berdua saja sambil bercakap-cakap karena Ceng Liong diajak makan sendiri oleh Kui Lan yang sekarang telah bersahabat dengannya.
“Ceng Liong, aku hampir tidak percaya bahwa engkau hanyalah cucu seorang penjual obat.” Di waktu bermain-main Kui Lan berkata.
Ceng Liong memandang tajam. Anak ini boleh juga, pikirnya, memiliki kecerdikan.
“Kenapa engkau berkata demikian, nona?”
“Sedangkan anak laki-laki putera para pembesar saja biasanya bersikap sombong dan kasar, padahal tidak pandai apa-apa. Akan tetapi engkau ini gagah berani dan tangkas, kulihat pandai dan bukan seperti anak dusun, akan tetapi sikapmu pendiam dan pandai merendahkan diri, ramah dan mengenal aturan. Tidak, engkau bukanlah anak dusun. Engkau pantasnya anak bangsawan atau hartawan besar!”
Ceng Liong tertawa. “Aih, nona jangan main-main. Sudah jelas kakekku adalah seorang ahli pengobatan, ahli ramal dan sulap. Dan aku cucunya.”
Kui Lan menarik napas panjang. “Sukar dipercaya! Dan di mana rumahmu? Di mana rumah kakekmu itu?”
“Di mana saja, nona. Dunia ini adalah rumahku, langit atapku, bumi lantaiku. Kalau dikecilkan, gerobak itulah pondok kami. Di mana adanya gerobak kami, di situlah kami tinggal. Kami adalah perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, nona, seperti burung-burung di udara, mau hinggap di pohon mana pun bebas!”
Sepasang mata yang bening itu berseri memandang wajah tampan Ceng Liong. “Ihhh, bicaramu juga seperti orang bersyair! Betapa senangnya hidup seperti burung, bebas melayang ke mana-mana, tidak terhalang sangkar. Aku seperti burung dalam sangkar!”
“Nona adalah puteri seorang bangsawan tinggi yang beruntung, mana mungkin bisa dibandingkan dengan aku?”
“Aku suka padamu, Ceng Liong. Engkau tidak seperti anak-anak lain. Selamanya aku tidak akan melupakanmu, tidak akan lupa ketika engkau menghentikan kuda dengan menunggangi kuda yang sedang kabur itu. Ihhh, masih ngeri kalau aku mengingatnya.”
Ceng Liong lalu diajak makan, terpisah dari kakeknya yang juga sedang makan minum dengan Gubernur Yung Hwa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sinshe Phang untuk berkenalan dan menjajagi hati bangsawan itu. Maka dengan hati-hati dan halus dia pun membawa percakapan menuju ke kota raja dan istana, membicarakan keadaan negara.
“Engkau banyak melakukan perantauan, Phang-sinshe. Bagaimana keadaan di timur dan selatan? Apakah kehidupan rakyat baik dan keamanan pun baik?” Gubernur itu bertanya demikian karena dia juga sudah mendengar bahwa terjadi pergerakan dan pergolakan di barat dan utara.
Kakek itu mengerutkan alis, bersikap pura-pura sedang keberatan untuk menyatakan pendapatnya.
Sang gubernur melihat ini, maka sambil tersenyum lalu menyambung, “Harap engkau jangan khawatir, Phang-sinshe. Aku bertanya dengan jujur, maka engkau pun boleh menyatakan sejujurnya bagaimana keadaan di sana. Kita ini sedang mengobrol sebagai dua orang teman, bukan pemeriksaan seorang pejabat terhadap terdakwa!” Gubernur itu tertawa dan Phang-sinshe juga ikut tersenyum lega.
“Terus terang saja, taijin. Keadaan di daerah-daerah di timur juga tidaklah begitu baik. Banyak rakyat yang hidup kekurangan dan merasa tidak puas, dan di sana-sini terdapat gejala pergerakan menentang pemerintah.”
Gubernur itu menghela napas. “Sudah kuduga demikian. Setiap pemerintahan tidak mungkin dapat memuaskan hati seluruh rakyat. Sudah tentu ada saja fihak yang merasa tidak puas. Ketika mendiang Kaisar Yung Ceng yang memegang kendali pemerintahan, banyak fihak yang menentang, hal itu tidaklah terlalu mengherankan mengingat akan sifat-sifatnya yang keras dan kadang-kadang penuh kelaliman. Akan tetapi, sekarang kendali pemerintahan dipegang oleh Kaisar Kian Liong yang halus budi dan bijaksana. Bagaimana pun juga, tak mungkin beliau dapat memuaskan hati semua orang. Memang demikian keadaan di dunia ini, tidak ada yang sempurna.”
Mendengar ucapan ini, diam-diam Sinshe Phang terkejut. Dia tidak melihat sedikit pun rasa dendam dalam ucapan itu.
“Bagaimanakah pendapat paduka tentang pergolakan-pergolakan yang sedang terjadi di mana-mana?”
Gubernur itu mengerutkan alisnya. “Orang yang merasa penasaran tentulah mereka yang merasa dirugikan. Dan melihat kenyataan betapa bijaksana Kaisar Kian Liong, maka yang merasa dirugikan sehingga penasaran dan memusuhinya tentulah orang-orang yang tidak bijaksana! Mereka yang ambisius dan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi. Mereka itu tidak tahu bahwa andai kata kekuasaan tertinggi berada di tangan orang lain, tidak seperti Kaisar Kian Liong, maka keadaan negara tentu menjadi lebih kacau dan sengsara.”
Sekarang yakinlah Sinshe Phang bahwa tidak mungkin orang dengan pendirian seperti gubernur ini dapat ditarik menjadi sekutu. Bahkan berbahaya sekali untuk membocorkan rahasianya kepada seorang seperti gubernur ini. Bagaimana pun juga, dia harus dapat menarik keuntungan dalam perjumpaannya dengan Gubernur Yung Hwa supaya tidak percuma semua jerih payah yang telah diperhitungkan dan direncanakannya.
“Bagaimana pun juga, hamba sendiri tidak pernah mau melibatkan diri dalam urusan negara. Hamba adalah seorang rakyat dan hamba paling suka merantau sampai ke daerah yang terpencil. Dapat berhubungan dengan rakyat jelata, dari yang paling tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah, melalui pengobatan dan hiburan permainan sulap, hamba sudah merasa cukup puas.”
“Sinshe adalah seorang yang bijaksana dan dapat menolong orang-orang lain, sungguh kehidupan itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan panjang usia. Kami mengharap agar engkau dapat lama-lama tinggal di kota ini dan silakan menempati gedung kami dan sinshe akan kami anggap sebagai tamu terhormat.”
Sinshe Phang bangkit berdiri dan menjura dengan hormat. “Taijin sudah melimpahkan kebaikan kepada hamba, mana hamba berani mengganggu lebih lama lagi? Hamba telah mempunyai rencana, yaitu besok pagi hamba dan cucu hamba akan melanjutkan perjalanan hamba dalam perantauan ini.”
Gubernur itu nampak kecewa. “Ahh, mengapa begitu tergesa-gesa?”
“Hamba tanggung bahwa toanio sudah sembuh sama sekali dan peningnya tidak akan dapat kambuh kembali. Hamba memang sudah merencanakan untuk pesiar merantau ke Bhutan....” Dia menghentikan kata-katanya dan dengan cermat memandang wajah gubernur itu, walau pun nampaknya seperti sambil lalu. Dan dengan girang dia melihat betapa wajah itu berseri.
“Ke Bhutan....? Ahh, apakah sinshe mempunyai keperluan di negara yang jauh itu?”
“Hamba pernah mengenal seorang pertapa yang hamba jumpai di daerah Himalaya dan dia pun seorang ahli pengobatan yang kini kabarnya tinggal di Bhutan. Selain menemui sahabat itu, juga hamba telah lama sekali mendengar akan kemakmuran dan keindahan negara Bhutan dan ingin sekali melihatnya. Hanya satu hal yang hamba khawatirkan.”
“Apakah itu, Phang-sinshe?”
“Hamba adalah seorang asing di Bhutan, selain sahabat itu tidak mempunyai kenalan. Sebelum hamba berhasil bertemu dengan sahabat itu, hamba khawatir kalau-kalau dicurigai dan akan menemui halangan di negara asing itu.”
“Ahhh, jangan khawatir, Phang-sinshe! Aku mengenal baik seorang yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar di sana dan kalau engkau membawa surat dariku, aku tanggung takkan ada yang mengganggumu di Bhutan sana.”
Bukan main girangnya hati kakek itu. “Terima kasih banyak atas kebaikan hati taijin.”
Gubernur itu lalu membuat sehelai surat pernyataan di mana dikatakannya bahwa Sinshe Phang adalah seorang sahabat baiknya dan para pejabat setempat diminta untuk membantunya dalam segala hal. Surat itu ditanda tanganinya dan dibubuhi cap kebesarannya.
Setelah berhasil memperoleh surat yang amat berguna baginya ini, dan diberi bekal pula sekantung emas, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah Sinshe Phang dan Ceng Liong bersama gerobak kuda mereka. Kui Lan sendiri mengantar keberangkatan itu sampai di pekarangan luar gedung gubernuran dan anak perempuan itu menangis ketika melihat Ceng Liong menggerakkan kuda memberangkatkan kereta dan melambaikan tangan kepadanya…..
********************
Biar pun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil saja, akan tetapi karena Bhutan memiliki banyak daerah pertanian yang subur, peternakan yang sehat dan terutama sekali karena kerajaan ini berada dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai, tidak pernah melakukan perang, baik dengan negara tetangga mau pun antara suku dan bangsa sendiri, maka rakyatnya dapat dikatakan hidup serba kecukupan dan tenang.
Kerajaan Bhutan tidak dapat dilepaskan dari Himalaya karena kerajaan ini berada di antara puncak-puncak pegunungan yang amat besar ini. Bhutan merupakan daerah di Himalaya yang bersuhu dingin, berhawa sejuk dan bertanah subur. Kerajaan ini beserta rakyatnya mempertahankan tradisi kehidupan nenek moyang mereka. Pada umumnya rakyatnya beragama Buddha yang bercampur dengan Agama Hindu kuno.
Raja Badur Syah yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun itu memerintah dengan adil dan bijaksana. Raja Badur ini menerima mahkota dari Puteri Syanti Dewi yang tadinya menjadi puteri mahkota. Sang puteri ini tak mau menjadi ratu karena memang ia ingin bebas dari pada ikatan, hidup berbahagia bersama suami tercinta, yaitu pendekar sakti Wan Tek Hoat dan seorang anak mereka yang mereka beri nama Wan Hong Bwee alias Gangga Dewi. Puteri tunggal ini berusia sembilan tahun dan bukan saja menjadi cahaya dalam kehidupan ayah bundanya, akan tetapi juga menjadi kesayangan semua orang, baik di dalam istana mau pun di luar istana.
Walau pun Wan Tek Hoat dan isterinya tidak memangku suatu jabatan tertentu, tetapi pendekar ini disebut pangeran. Dia bersama isterinya merupakan penasehat-penasehat utama dari Raja Badur Syah. Bahkan dapat dikata bahwa keamanan Kerajaan Bhutan itu berkat adanya pendekar sakti dan isterinya ini.
Mereka yang mempunyai pikiran buruk dan niat jahat merasa sungkan terhadap suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini. Para penjahat merasa jeri. Pendeknya, Wan Tek Hoat dan isterinya menjadi tokoh-tokoh penting di Bhutan, yang ditakuti lawan dan disegani kawan.
Tidak mungkin ada yang sempurna di dunia ini. Setiap ada yang menganggapnya baik, tentu akan bertemu dengan fihak lain yang menganggapnya tidak baik. Ini tergantung dari pada si penilai yang mendasarkan pandangannya atas perhitungan untung rugi. Baik buruk hanyalah penilaian banyak fihak yang pada dasarnya selalu ditunggangi oleh perhitungan untung rugi inilah.
Kalau Kerajaan Bhutan dipandang baik oleh satu fihak, tentu saja karena dianggap menguntungkan bagi fihak itu, tentu ada pula fihak lain yang menganggapnya tidak baik sebab merasa dirugikan. Mereka yang diam-diam menganggapnya tidak baik, tentu saja tidak berani berterang karena terutama sekali adanya wibawa dari Wan Tek Hoat dan isterinya, adalah mereka yang merasa tidak puas.
Sudah jamak di satu pemerintahan negara mana pun juga, di antara orang-orang yang merasa diri sendiri besar atau dianggap sebagai orang-orang penting, yakni tokoh-tokoh pemerintahan, ada yang merasa tidak puas dengan pemerintahan yang berkuasa pada saat itu. Ketidak puasan ini mungkin saja karena mereka merasa tidak memperoleh kedudukan yang sesuai dengan harapan mereka, atau karena tidak cocok dengan politik pemerintahan, akan tetapi sebagian besar yang merasa tidak suka adalah mereka yang merasa dirugikan, baik lahir mau pun batin. Tidak mungkin ada suatu pemerintahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan semua fihak yang masing-masing mempunyai keinginan sendiri-sendiri dan kadang-kadang keinginan-keinginan itu saling bertentangan.
Demikian pula dengan keadaan di Bhutan. Di antara pejabat tinggi atau rendah yang merasa puas dan menjadi pegawai-pegawai yang setia dan jujur, tentu saja terdapat pula pembesar-pembesar yang merasa tidak puas dan diam-diam dalam hati mereka menentang kebijaksanaan yang diambil oleh Raja Bhutan. Mereka ini terutama sekali menentang kebijaksanaan pemerintah yang lebih condong bersahabat dengan Kaisar Kerajaan Ceng dan yang menentang gerakan Nepal.
Mereka akan merasa lebih senang kalau Bhutan bersahabat dengan Nepal, yang selain menjadi negara tetangga dekat, juga memiliki kebudayaan dan agama yang masih serumpun. Akan tetapi karena di Bhutan terdapat Wan Tek Hoat, seorang Bangsa Han yang telah banyak berjasa terhadap Bhutan, dan yang menjadi penasehat nomor satu dari raja, tentu saja mereka yang pro Nepal dan menentang Kerajaan Ceng itu tidak berani mengeluarkan isi hati mereka secara berterang.
Pada suatu siang yang cukup terang, suatu keadaan yang amat menyenangkan bagi daerah Bhutan yang dingin itu, nampak seorang anak perempuan yang cantik dan lincah berloncatan di antara semak-semak belukar dalam sebuah hutan liar di lereng bukit. Anak perempuan ini usianya sembilan tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing dan kedua tulang pipinya menonjol berwarna merah segar. Mulutnya kecil mungil dengan bibir yang penuh dan merah, sepasang matanya bersinar-sinar, lebar dan terang. Dua kuncirnya yang gemuk dan panjang itu ikut melambai-lambai ketika ia berloncatan.
Anak ini sungguh cantik, gerakannya amat lincah, wajahnya selalu berseri dan matanya membayangkan kejenakaan dan kegembiraan. Tangan kirinya memegang busur kecil, tangan kanannya memegang anak panah, sedangkan di punggungnya masih terdapat beberapa batang anak panah cadangan. Tidaklah terlalu mengherankan kalau anak perempuan berusia sembilan tahun ini sedemikian lincah dan sigap gerakannya karena ia adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri tunggal dari pendekar sakti Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.
Semenjak kecil, baru saja dapat berjalan, ayahnya telah menggemblengnya sehingga meski usianya baru sembilan tahun, tetapi Hong Bwee telah memiliiki tubuh yang sehat dan kuat, gerakan yang gesit dan nyali yang besar. Apalagi anak ini memang gemar berburu, pekerjaan yang umum di daerah Bhutan. Sudah sering kali anak ini mengikuti rombongan para pemburu untuk berburu rusa dan binatang-binatang hutan. Ia sudah pandai mempergunakan anak panahnya, juga pandai menggunakan pedang kecil yang tergantung di pinggang itu.
“Heiii, tuan puteri.... perlahan dulu....!” Terdengar suara seorang wanita menegur dari belakang.
“Di dalam hutan mana ada puteri-puteri segala macam?” Hong Bwee mengomel tanpa menghentikan kedua kakinya yang berloncatan dengan sigap di antara semak-semak belukar.
“Nona.... nona Hong Bwee, kalau nona berlari-larian seperti itu, tentu rusa-rusa kabur dan burung-burung terbang menjauh!” teriak suara wanita ke dua.
Mendengar ini, Hong Bwee menghentikan larinya, kemudian menoleh sambil tersenyum melihat dua orang wanita cantik yang berpakaian ringkas seperti para pemburu berlari-lari mengejarnya. Dua orang wanita itu adalah para pengawalnya karena pada siang hari ini Hong Bwee hendak berburu sendiri, hanya ditemani dua orang pengawal itu. Tentu saja kedua orang wanita itu bukan wanita sembarangan, melainkan pengawal-pengawal yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi.
Sebagai puteri tunggal suami isteri yang berkedudukan tinggi, atau lebih tepat memiliki wibawa dan pengaruh yang besar sekali di istana, dan beribu seorang puteri bekas puteri mahkota, watak Hong Bwee sungguh aneh. Ia tidak manja atau besar kepala, bahkan kalau berada di luar istana, ia ingin bebas dari segala macam peraturan yang mengikatnya, ingin hidup seperti anak-anak lainnya dan karena itulah, tadi ia menegur seorang pengawalnya yang menyebut tuan puteri. Ia lebih suka disebut nona begitu saja sehingga tidak semua orang tahu bahwa ia seorang puteri dari istana.
“Sungguh sialan benar kita hari ini.” Anak itu mengomel. “Sampai begini siang dan sudah berjalan sangat jauh, belum juga bertemu dengan seekor pun rusa atau binatang lain!”
“Nona, sebaiknya kita segera kembali ke kota. Kita telah hampir sampai di perbatasan!” seorang pengawal yang alisnya tebal memperingatkan.
“Tidak, kita belum memperoleh seekor pun binatang buruan, bagaimana bisa kembali? Aku akan malu kalau pulang tidak membawa hasil,” bantah Hong Bwee.
“Itu mudah diatur, nona. Kita bisa singgah di rumah pemburu istana, membeli dua ekor rusa gemuk dan....”
“Tak tahu malu!” Hong Bwee memotong ucapan pengawal yang hidungnya mancung itu. “Pemburu macam apa itu? Curang dan rendah, tidak memperoleh buruan lalu membeli di pasar, mengakui binatang belian itu sebagai hasil buruan. Huh, tidak saja, ya? Aku mau mencari terus ke bukit di depan itu. Kelihatan rimbun hutannya!”
“Ihhh.... jangan ke sana!” seru pengawal beralis tebal.
“Kenapa?”
“Bukit itu tidak termasuk wilayah kita dan pula.... ada kabar bahwa akhir-akhir ini ada beruang-beruang hitam yang ganas berkeliaran di sana!”
“Aku tidak takut!”
“Tapi.... tapi beruang hitam itu bisa ganas sekali dan amat berbahaya.”
Hong Bwee memandang kepada dua orang pengawalnya sambil bertolak pinggang, sepasang alisnya dikerutkan. “Hemm, pengawal-pengawal macam apa yang sekarang ini menemaniku? Kalau kalian takut, pulanglah dan aku akan pergi sendiri. Aku tidak akan pulang sebelum memanggul binatang hasil buruanku dan aku akan bangga sekali kalau dapat menyeret pulang bangkai seekor beruang yang menjadi korban anak panah atau pedangku!”
Setelah berkata demikian, anak itu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya. Kemarahannya telah hilang dan ia berlari-lari sambil bersenandung gembira. Dua orang pengawal itu saling pandang, lalu mengangkat pundak dan keduanya kemudian cepat mengikuti anak yang berada di bawah perlindungan mereka.
Ketika mereka tiba di kaki bukit depan itu, tiba-tiba Hong Bwee memberi isyarat ke belakang. Dua orang pengawal itu memandang ke depan dan merasa girang sekali melihat bahwa tidak jauh dari situ terdapat sekumpulan rusa sedang makan rumput. Bagus, pikir mereka, kalau nona kecil itu sudah berhasil merobohkan seekor rusa, tentu tidak perlu lagi mereka mendatangi bukit yang berbahaya di depan itu. Mereka pun cepat mempersiapkan busur dan anak panah. Angin bertiup ke arah depan, maka mereka dapat berindap-indap menghampiri rusa-rusa itu dengan aman.
Dua orang pengawal itu agaknya sudah mengenal baik watak Hong Bwee. Jika mereka mendahului menggunakan anak panah merobohkan rusa, tentu anak itu akan marah. Maka mereka pun menanti sampai anak itu melepas anak panah. Setelah mereka bertiga berindap-indap mendekati, menyelinap di antara semak-semak belukar sebagai pemburu-pemburu yang berpengalaman, Hong Bwee nampak membidikkan anak panah dari balik semak-semak.
Ia berada di depan dan kini ia dapat melihat jelas binatang-binatang itu, melihat mata mereka yang bening, tanduk mereka yang bagus dan telinga mereka bergerak-gerak. Ia harus berhati-hati karena maklum betapa tajamnya daya tangkap telinga binatang itu. Ia membidik dengan hati-hati ke arah seekor rusa jantan yang paling gagah, besar dan tegap di antara kelompok rusa itu.
Akan tetapi, tiba-tiba rusa itu mengeluarkan suara aneh, lalu menghampiri seekor rusa betina, mencium-cium dengan moncongnya seperti orang mencumbu. Rusa betina ini pun indah dan rusa ini pun senang dicumbu. Mendadak wajah anak itu berubah merah. Ia tahu apa artinya ketika rusa jantan itu mengangkat tubuh depannya di belakang rusa betina.
Rasa jengah membuat Hong Bwee tiba-tiba menjadi marah. Ia tidak memperdulikan keadaan dua ekor rusa itu dan membidikkan anak panahnya ke arah leher rusa jantan yang nampak menjulang tinggi.
“Wuuuutt.... singggg.... ceppp!”
Rusa jantan mengeluarkan pekik yang nyaring dan panjang, tubuhnya meloncat turun dan dalam sekejap mata saja, semua rusa terkejut dan berlompatan melarikan diri dari tempat itu. Pekik rusa jantan yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan ini tentu merupakan pekik peringatan bagi mereka. Rusa betina yang dicumbu tadi pun sudah menghilang. Rusa jantan yang terkena anak panah di lehernya itu terhuyung, akan tetapi segera meloncat dan melarikan diri naik ke bukit.
Sejenak dua orang pengawal wanita itu tertegun. Mereka terkejut dan khawatir sekali ketika melihat kenyataan bahwa nona mereka telah menyerang rusa jantan yang sedang bermain cinta dengan rusa betina. Nona mereka ternyata telah melakukan dua macam kesalahan. Kesalahan pertama adalah pelanggaran kepercayaan tradisionil di antara para pemburu, yaitu menyerang rusa yang sedang berkasih-kasihan. Dan kesalahan ke dua adalah menyerang rusa pemimpin kelompok dengan anak panah sekecil itu.
Orang-orang Bhutan mengenal dongeng yang berasal dari India tentang raja yang telah memanah dan melukai seekor rusa jantan yang sedang berkasih-kasihan dengan betinanya. Rusa jantan itu dalam keadaan sekarat menyumpahi si raja yang telah mengganggu mereka yang sedang bermain asmara, yaitu bahwa kalau raja itu berani mendekati dan bermain cinta dengan isteri-isterinya, dia akan kena kutuk dan tewas.
Raja ini agaknya memandang rendah kutuk yang dilontarkan oleh rusa itu. Setibanya di rumah, dia disambut oleh isteri-isterinya yang cantik. Dia lupa akan kutuk itu dan bermain cinta dengan mereka. Dia pun kena kutuk dan roboh tewas.
Dongeng ini menjadi peringatan bagi para pemburu di Bhutan agar tidak sekali-kali mengganggu rusa atau binatang lain yang sedang bermain asmara, dari burung sampai binatang buruan lain yang besar-besar. Dan sekarang, Hong Bwee telah melanggar pantangan itu! Dan kesalahan ke dua adalah kesalahan yang bodoh. Seekor rusa jantan sekuat itu mana dapat dirobohkan oleh sebatang anak panah, walau pun bidikannya tepat mengenai leher? Kalau tepat menembus jantung, barulah rusa itu akan roboh seketika.
Akan tetapi pada saat itu, Hong Bwee sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan mengejar rusa yang sudah terluka dan kabur naik ke bukit yang penuh hutan lebat itu.
“Nona, jangan kejar....!” teriak mereka, akan tetapi melihat anak itu sama sekali tidak perduli dan terus lari memasuki hutan, terpaksa mereka pun mengejar secepat mungkin.
Ketika akhirnya kedua orang pengawal itu dapat menyusul Hong Bwee, tiba-tiba mereka menghentikan langkah dan memandang terbelalak ke depan. Rusa merupakan binatang yang dapat berlari paling cepat. Larinya sambil berlompatan tinggi sehingga sukarlah bagi Hong Bwee untuk dapat menyusulnya.
Ketika anak ini berlari sambil berloncatan memasuki hutan, ia kehilangan jejak rusa itu dan tiba-tiba saja ia sudah berhadapan dengan seekor beruang hitam betina yang amat besar, yang berada di situ bersama seekor beruang hitam kecil, anaknya yang baru sebesar anjing. Binatang itu nampaknya juga kaget ketika tiba-tiba bertemu dengan Hong Bwee.
Kini Hong Bwee telah menarik busurnya dan membidikkan anak panah yang sudah siap itu ke arah si beruang kecil. Wajah anak ini berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar. Ia berhadapan dengan beruang dan mendapat kesempatan merobohkan seekor beruang! Hanya kegembiraan ini sajalah yang memenuhi pikirannya pada saat itu, yang membuat ia lupa akan bahaya yang mungkin mengancamnya.
“Prattt.... wirrrr.... ceppp....!”
Anak panah itu menyambar dan anak beruang itu pun roboh terguling, menguik-nguik dan bergulingan di atas tanah. Pada saat itulah kedua orang pengawal itu datang dan mereka terbelalak berdiri di belakang Hong Bwee, wajah mereka pucat dan khawatir sekali.
Kekhawatiran mereka itu segera terbukti. Beruang betina itu mengeluarkan gerengan dahsyat yang seolah-olah menggetarkan bumi, lalu menerjang ke depan. Sejak tadi Hong Bwee yang gembira melihat betapa anak panahnya berhasil merobohkan anak beruang kecil, sudah mempersiapkan anak panah lagi. Kini, melihat beruang besar lari maju, dengan tabah ia pun lalu menyambut dengan lepasan anak panahnya.
Anak panah itu meluncur dan menyambar ke arah beruang betina. Namun ketika anak panah itu mengenai pundak beruang itu, anak panah meleset dan hanya mendatangkan luka kecil saja. Kulit beruang itu dilindungi bulu yang kuat! Dua orang pengawal juga cepat melepaskan anak panah mereka, akan tetapi beruang itu tiba-tiba berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan kini dua kaki depannya digerak-gerakkan ke depan, menyampok runtuh anak panah yang menyambar, kemudian dia pun menyerang dan menubruk ke depan.
“Nona, cepat lari....!” teriak seorang pengawal sambil menarik lengan Hong Bwee ke belakang. Dua orang pengawal itu mencabut pedang mereka dan menyambut serangan beruang itu dengan pedang di tangan.
Akan tetapi beruang itu sungguh kuat luar biasa. Dia berani menyambut dan menangkis pedang dengan kedua lengan telanjang. Lengannya dilindungi bulu yang kuat dan pedang-pedang tajam itu hanya mampu melukai sedikit saja. Sebaliknya, begitu kedua tangannya menyambar dan menangkis, dua batang pedang itu terlempar dan terlepas dari tangan dua orang wanita pengawal itu.
Beruang itu menerjang terus. Tamparan-tamparan dua tangannya tak dapat dihindarkan oleh wanita-wanita pengawal itu yang mencoba untuk menangkis. Akan tetapi, begitu lengan mereka bertemu dengan tangan bercakar itu, terdengar bunyi tulang patah dan tubuh mereka terbanting keras ke kanan kiri, membuat mereka tidak mampu bangkit kembali. Mereka hanya mengeluh kesakitan sambil memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketika melihat binatang yang sudah menjadi semakin buas karena kemarahan itu menerjang ke arah Hong Bwee...
Akan tetapi anak ini pun bukan sembarangan bocah. Walau pun ia hanya merupakan seorang anak perempuan yang usianya belum genap sepuluh tahun, namun ia sejak kecil telah mengalami gemblengan lahir batin oleh ayahnya yang sakti sehingga biar pun ia melihat dua orang pengawalnya sudah roboh dan kini beruang itu menyerangnya, ia masih dapat bersikap tenang dan tidak gugup sama sekali.
Dengan sigapnya Hong Bwee meloncat ke kiri, jauh dari jangkauan cakar itu sambil melolos pedangnya. Dia tahu bahwa menyerang beruang itu sama dengan mencari celaka karena beruang itu amat kuat dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh dua orang pengawalnya tadi. Mereka itu mudah celaka dan roboh karena kesalahan sendiri berani menyerang lawan yang demikian kuatnya.
Kini Hong Bwee tidak mau menyerang, hanya menanti dengan pedang di tangan dan waspada terhadap keadaan di sekitarnya. Ia mundur sampai di depan sebatang pohon, sebisa mungkin hendak memancing agar binatang itu menjauhi dua orang pengawalnya yang sudah terluka. Karena kalau binatang itu kini menyerang mereka, tentu mereka akan tewas dalam keadaan mengerikan, mungkin akan dicabik-cabik oleh binatang yang sedang marah itu.
Karena tubrukannya yang pertama tidak berhasil, beruang itu mengeluarkan gerengan dahsyat saking marahnya. Agaknya, naluri yang peka dari binatang itu membuat ia tahu siapa yang membunuh anaknya dan kini diserangnya Hong Bwee dengan kemarahan memuncak. Anak itu yang berdiri di depan sebatang pohon, kembali mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya, menusuk ke arah muka beruang itu.
“Braaakkk....!” Pohon itu tumbang dilanda tubuh beruang yang menubruk sekuat tenaga tadi.
Dilemparkannya pohon itu dan dia membalik. Hong Bwee sudah siap dengan busurnya. Ketika beruang itu membalik, anak itu melepas tiga batang anak panah berturut-turut dan tiga batang anak panah itu bertubi-tubi menyambar ke arah mata beruang!
Beruang itu menggerak-gerakkan kedua tangannya, berusaha menangkap anak panah. Akan tetapi dia hanya berhasil meruntuhkan dua batang, sedangkan yang sebatang lagi menyerempet tepi matanya, menimbulkan luka yang cukup membuat sebelah matanya perih dan tidak dapat dibuka lagi. Tentu saja dia menjadi semakin marah. Diserangnya Hong Bwee bertubi-tubi. Anak itu meloncat ke sana-sini dan pada saat ia kehabisan tempat untuk mengelak, ia menangkis dengan pedangnya.
“Trakkk!” Pedang itu terlempar jauh dan tubuh Hong Bwee terguling.
Ketika itu beruang yang sudah marah menubruk ke depan. Anak itu hanya terbelalak, maklum bahwa ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Pada saat yang amat berbahaya bagi Hong Bwee, nampak sesosok tubuh kecil menyambar ke depan dan dua buah kaki meluncur cepat menghantam dada beruang yang berdiri di atas kedua kaki belakang dan hendak menubruk Hong Bwee.
“Bukkkkk....!” Tendangan yang merupakan tendangan terbang itu tepat mengenai dada beruang.
Binatang itu tidak terjengkang, tapi terhuyung ke belakang dan sebaliknya anak laki-laki yang melakukan tendangan luar biasa itu terpental dan hanya dengan berjungkir balik dia mampu menghindarkan dirinya terbanting. Bagaimana pun juga, dia telah berhasil menyelamatkan Hong Bwee karena anak perempuan ini memperoleh kesempatan untuk bangkit berdiri dan menjauh.
Anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun lebih itu adalah Suma Ceng Liong. Sejak tadi dia datang bersama Hek-i Mo-ong Phang Kui dan keduanya melihat dengan jelas betapa seorang anak perempuan dengan gagah beraninya melakukan perlawanan terhadap amukan seekor beruang betina yang besar. Bahkan dengan anak panahnya, anak perempuan itu sempat melukai tepi mata binatang itu, padahal dua orang wanita pengawalnya telah terluka dan tidak berdaya membantunya.
Ceng Liong memandang kagum bukan main dan Hek-i Mo-ong juga menonton sambil tersenyum, sedikit pun tidak mempunyai keinginan membantu anak perempuan kecil yang sedang diancam oleh beruang buas. Bahkan diam-diam ada rasa tegang yang amat menggembirakan hatinya. Ketegangan mendebarkan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang kejam seperti dia membayangkan betapa tubuh anak perempuan yang lunak lembut itu nanti akan dicabik-cabik oleh tangan binatang buas yang amat kuat itu.
Akan tetapi, ketika melihat anak perempuan itu roboh dan terancam bahaya maut, bangkitlah jiwa kependekaran di dalam hati Ceng Liong. Tanpa memperdulikan gurunya yang diam saja, dia sudah meloncat ke depan dan menendang dada binatang itu untuk menyelamatkan Hong Bwee.
Pada saat itu pula terdengar suara berdengung. Itulah suara terompet tanduk rusa yang ditiup orang. Mendengar ini, Hong Bwee memasang kedua tangan di depan mulut, membentuk corong kemudian mengeluarkan pekik melengking. Tidak lama kemudian berkelebat datang seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dengan pandang matanya yang mencorong tajam, pria ini memandang ke arah Hong Bwee, kemudian Ceng Liong dan akhirnya ke arah kakek berpakaian petani serba hitam itu.
“Ayah, beruang itu berbahaya sekali!” teriak Hong Bwee yang menjadi girang melihat ayahnya datang.
Sementara itu, beruang yang marah itu sekarang sudah menggereng. Tadi agaknya dia bingung dan ragu, mana yang harus diserangnya, anak perempuan itu ataukah anak laki-laki yang baru saja membuat dadanya terasa sesak dan nyeri itu. Tetapi sebelum dia bergerak, Wan Tek Hoat, ayah Hong Bwee, sudah mendahuluinya, menyerangnya dua kali dengan sambaran kedua tangan. Gerakan Wan Tek Hoat cepat sekali. Beruang itu terlalu lamban untuk dapat mengelak atau sempat menangkis, dan tahu-tahu secara beruntun, kedua telapak tangan Tek Hoat telah menyambar dan tepat mengenai dada, kemudian kepalanya.
“Plakkk! Plakkk!”
Nampaknya hanya tamparan biasa saja yang mengenai dada dan kepala beruang itu, namun akibatnya sungguh hebat. Beruang itu meraung dan sempoyongan, mencoba untuk meloncat ke depan membalas serangan, akan tetapi dia terpelanting, roboh dan berkelojotan lalu mati!
Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong Phang Kui terkejut bukan main. Sebagai seorang datuk kaum sesat, tentu saja dia mengenal pukulan sakti yang amat ampuh. Dapat merobohkan beruang sebesar itu hanya dengan dua kali tamparan merupakan bukti bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli yang amat tangguh. Apalagi ketika dia melirik dan melihat betapa di dada dan kepala beruang yang penuh bulu itu nampak tanda telapak jari tangan dan di bagian itu, bulu-bulunya rontok seperti terbakar dan tanda telapak jari tangan itu nampak nyata.
Maka dia pun segera dapat menduga siapa adanya laki-laki berusia kurang dari lima puluh tahun yang gagah perkasa ini. Bukankah di Bhutan, seperti telah didengarnya, terdapat seorang Han yang kini menjadi pangeran, suami Puteri Syanti Dewi bernama Wan Tek Hoat yang pernah dijuluki Si Jari Maut? Agaknya inilah orangnya, pikirnya dengan gembira sekali. Pertemuan yang sungguh amat menguntungkan dia!
“Ayah....! Kau hebat....!” Hong Bwee meloncat menghampiri beruang yang mati itu dan memandang kepada ayahnya dengan wajah berseri.
“Hong Bwee, engkau terluka....!” kata Tek Hoat sambil meraih puterinya.
Ternyata anak peremnpuan itu terluka di dekat pundaknya, di pangkal lengan kanan. Luka ini terjadi ketika pedangnya tertangkis dan pedang yang mencelat itu sempat melukai pundaknya sendiri. Untunglah ia cepat-cepat melepaskan pedang dan menarik lengannya sehingga lengannya tidak sampai patah-patah tulangnya bertemu dengan tangan beruang.
“Ayah, anak laki-laki itulah yang tadi menyelamatkan aku dari terkaman beruang,” kata Hong Bwee yang agaknya tidak memperdulikan luka di pundaknya.
Agaknya baru sekarang Tek Hoat teringat kepada anak laki-laki dan kakek itu. Dia lalu menoleh, memandang Ceng Liong penuh perhatian, melihat bahwa anak ini sungguh merupakan seorang anak laki-laki yang memiliki sifat-sifat kegagahan yang membayang pada wajahnya, pandang matanya dan sikapnya.
Kemudian dia memandang kepada kakek itu. Seorang kakek yang berpakaian petani serba hitam, sederhana, namun ada sesuatu yang membuat Tek Hoat menduga bahwa kakek ini pasti bukan orang sembarangan. Entah nampak pada sinar mata yang tajam berwibawa itu, atau pada sikapnya yang terlampau tenang itu.
“Dua pengawalku telah roboh terluka oleh beruang. Aku mempertahankan diri dengan pedang dan anak panah, akan tetapi aku pun roboh dan tentu aku sudah diterkam oleh binatang itu kalau anak laki-laki ini tidak muncul. Dia berani meloncat dan menendang dada beruang dengan kedua kaki! Gaya terjangannya itu indah dan hebat sekali, ayah!”
Hong Bwee memang luar biasa. Dalam keadaan terancam bahaya maut mengerikan tadi, ternyata ia masih sempat memperhatikan gaya terjangan Ceng Liong ketika anak laki-laki itu menyerang beruang.
Mendengar penuturan puterinya, Tek Hoat segera menjura kepada kakek berpakaian petani hitam itu. Dia tahu bahwa di Himalaya berkeliaran banyak sekali pertapa-pertapa dan orang-orang tua yang sakti, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu kakek ini seorang yang sakti pula bersama muridnya.
“Kami menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan locianpwe dan adik kecil ini atas bantuan yang diberikan sehingga anak perempuan kami terhindar dari malapetaka.”
Hek-i Mo-ong cepat membalas penghormatan itu. “Aih, taihiap sungguh membuat saya malu dengan sebutan locianpwe! Taihiap yang demikian perkasa, dapat membunuh beruang buas hanya dengan tangan kosong, sungguh amat mengagumkan dan belum pernah saya melihat kegagahan seperti itu. Saya hanyalah seorang tukang obat dan tukang sulap murahan saja, merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan taihiap. Perkenalkan, saya adalah Phang Kui atau biasa disebut Phang-sinshe. Saya melihat nona kecil yang gagah perkasa ini terluka pundaknya, dan juga dua orang nona itu luka-luka dan patah tulang lengannya. Kalau boleh, biarlah saya mengobati mereka.”
Tentu saja Tek Hoat mengangguk, mengijinkan dengan hati girang. Ketika dia bersama para pemburu mencari-cari anak perempuannya, dia tidak membawa perlengkapan obat.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Phang-sinshe cepat turun tangan. Mula-mula dia memeriksa dan mengobati luka di pundak Hong Bwee. Setelah diobati, barulah anak perempuan ini merasakan keperihan lukanya. Akan tetapi dia tidak pernah mengeluh, hanya menggigit bibirnya, membuat Ceng Liong menjadi semakin kagum saja. Setelah itu Phang-sinshe lalu mengobati dua orang wanita pengawal itu dan sebagai seorang ahli silat yang pandai, Tek Hoat dapat melihat bahwa kakek ini memang ahli dalam hal pengobatan dan menyambung tulang patah. Maka dia pun merasa semakin girang.
Pada waktu itu, selosin pemburu yang semuanya terdiri dari pengawal-pengawal istana, sudah tiba di situ, membawa kuda yang besar-besar. Tek Hoat bercakap-cakap dengan Phang-sinshe yang menceritakan bahwa dia memang memiliki kesenangan merantau, dan sekarang sedang merantau ke daerah Himalaya.
“Saya mendengar bahwa Himalaya merupakan daerah yang penuh dengan ahli-ahli yang memiliki kepandaian tinggi, maka saya ingin meluaskan pengetahuan saya dalam ilmu pengobatan. Tanpa saya sadari, saya memasuki daerah Bhutan.”
“Apakah anak itu murid sinshe?” tanya Tek Hoat sambil menunjuk kepada Ceng Liong yang bercakap-cakap dengan Hong Bwee tak jauh dari situ.
“Benar, namanya Ceng Liong dan dia itu dapat dikata murid atau juga pembantu saya.”
“Namaku Wan Tek Hoat dan aku tinggal di Kota Raja Bhutan....”
Kakek itu memperlihatkan muka terkejut. Sambil terbongkok-bongkok memberi hormat dia berkata, “Ahhh.... saya sudah pernah mendengar bahwa di Bhutan terdapat seorang pangeran yang berasal dari Bangsa Han, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali dan menjadi suami dari puteri mahkota Bhutan. Apakah... apakah... taihiap orangnya?”
Tek Hoat tersenyum. Tidak mengherankan jika dalam perantauannya di Himalaya kakek ini mendengar tentang dirinya. Pernikahannya dengan Syanti Dewi memang pernah menghebohkan daerah itu. Dia mengangguk.
“Tidak salah, Phang-sinshe. Aku adalah pangeran itu, dan ia itu adalah anakku, puteri tunggal kami yang bernama Wan Hong Bwee atau juga Puteri Gangga Dewi.”
“Ahh, kalau begitu harap maafkan bahwa saya bersikap kurang hormat,” Phang-sinshe segera memberi hormat.
Akan tetapi Tek Hoat cepat membalas. “Harap jangan terlalu sungkan, Phang-sinshe. Muridmu telah menyelamatkan puteriku, dan engkau sudah mengobati puteriku dan dua orang pengawalnya. Kalau engkau suka, kami persilakan engkau dan muridmu untuk ikut kami ke istana dan menjadi tamu kehormatan kami.”
Pucuk dicinta ulam tiba! Memang kedatangan Phang-sinshe ke Bhutan adalah untuk melakukan penyelidikan dan untuk mempengaruhi negara kecil itu. Dia sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat memasuki kerajaan itu tanpa menimbulkan kecurigaan dan bagaimana dia dapat menghubungi kalangan atas di negara itu. Dan kini, tanpa disengaja, muridnya telah menolong puteri pendekar sakti Wan Tek Hoat yang memiliki pengaruh dan wibawa besar di istana sebagai keluarga istana. Dan kini, pendekar itu mengundang dia dan muridnya untuk menjadi tamu agung di istana!
“Ahh, terima kasih, Wan-taihiap, terima kasih!” katanya berulang-ulang sambil memberi hormat. “Semenjak lama saya mendengar tentang keindahan Negara Bhutan dan sudah lama saya ingin menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Kini taihiap mengundang saya berkunjung ke sana, tentu saja saya merasa girang dan berterima kasih sekali!”
Ketika Hong Bwee mendengar bahwa Ceng Liong dan gurunya menerima undangan ayahnya untuk berkunjung ke istana, anak ini menjadi girang sekali dan bersorak. Ia tadi telah bercakap-cakap dan berkenalan dengan Ceng Liong. Kini ia menarik tangan anak laki-laki itu.
“Mari Ceng Liong, mari kita berangkat lebih dahulu! Ayah, kami ingin menunggang Si Putih!”
Tek Hoat hanya tertawa karena sebelum dia menjawab, puterinya itu telah mengajak Ceng Liong meloncat ke atas punggung kuda putih miliknya yang merupakan kuda pilihan paling besar di Bhutan. Dengan cekatan Hong Bwee meloncat ke atas punggung kuda, lalu menggapai Ceng Liong untuk meloncat di belakangnya.
Bagaimana pun juga, Ceng Liong adalah seorang anak yang baru berusia hampir sebelas tahun, maka melihat betapa Hong Bwee memperlihatkan kesigapannya, dia pun tidak mau kalah. Dengan mengenjotkan kakinya ke tanah, tubuhnya melayang ke atas dan dengan lunaknya dia dapat duduk tepat di belakang anak perempuan itu.
Gerakannya memang ringan dan indah sehingga diam-diam Tek Hoat memuji. Juga pendekar ini suka sekali melihat betapa anak laki-laki itu duduknya agak menjauh dari tubuh Hong Bwee, tidak mau menyentuh atau mepet dan ini hanya dapat diartikan bahwa anak laki-laki itu mempunyai kesopanan tinggi. Melihat Ceng Liong telah duduk di belakangnya, Hong Bwee membalapkan kudanya dan kembali Tek Hoat kagum melihat betapa tubuh anak laki-laki itu, tanpa berpegangan, dapat duduk tegak di atas punggung kuda agak di bagian belakang yang melengkung.
Seekor kuda diserahkan kepada Phang-sinshe dan rombongan itu kemudian berangkat meninggalkan bukit menuju ke Kota Raja Bhutan. Rombongan itu di sepanjang jalan, ketika melewati dusun-dusun, disambut oleh para penduduk dengan gembira. Pendekar Wan Tek Hoat yang dikenal sebagai pangeran yang dihormati itu memang dikenal baik oleh penduduk.
Apalagi melihat betapa rombongan pengawal membawa hasil buruan berupa seekor beruang hitam besar dan anaknya, rakyat lalu menyambut sambil mengeluarkan pujian. Diam-diam Phang Kui memperhatikan hal ini dan tahulah dia bahwa Wan Tek Hoat merupakan tokoh penting dan dicinta oleh rakyat Bhutan.
Ketika rombongan sudah tiba di istana, kakek itu pun mengagumi keindahan istana tua itu. Suasananya tertib dan tenteram, dan wajah-wajah yang dijumpainya di kota raja, dari jalan-jalan raya sampai ke para petugas istana, nampak gembira, tanda bahwa negara itu dapat dikatakan cukup makmur.
Wan Tek Hoat memang tinggal di lingkungan istana, yaitu di bagian bangunan sebelah kanan. Pendekar ini langsung mengajak Phang-shinshe untuk memasuki gedungnya dan di ruangan dalam mereka berdua melihat betapa dengan lagak yang lincah jenaka, Hong Bwee sedang bercerita kepada ibunya tentang semua pengalamannya yang hebat dan Ceng Liong berada pula di situ, duduk di atas sebuah kursi dengan sikap canggung di depan ibu anak perempuan itu.
Diam-diam Phang-sinshe memperhatikan wanita yang diajak bicara oleh Hong Bwee dan kagumlah dia. Wanita itu sukar ditaksir usianya. Melihat kecantikan wajahnya dan kepadatan tubuhnya, tentu baru berusia sekitar tiga puluhan. Akan tetapi, dia sudah mendengar akan puteri mahkota Bhutan ini hampir tiga puluh tahun yang lalu ketika puteri ini dengan perantauannya ke timur terlibat dengan urusan-urusan penting di dunia kang-ouw. Menurut taksirannya berdasarkan hal itu, puteri itu tentu usianya sudah empat puluh tahun lebih, tetapi kenyataannya, puteri ini sedemikian cantiknya sehingga nampak belasan tahun lebih muda.
Memang sesungguhnya, Syanti Dewi pada waktu itu telah berusia empat puluh enam tahun! Memang, setelah ia menikah, dari gurunya, juga sahabatnya yang paling dekat dengannya, yaitu Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) Ouw Yan Hui, ia telah menerima obat penawar dari ramuan yang membuatnya awet muda.
Seperti diceritakan dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’, Syanti Dewi dulu pernah mendapat obat yang membuatnya awet muda dan kecantikannya menjadi cemerlang! Memang ia seorang wanita yang memiliki kecantikan yang luar biasa, akan tetapi berkat obat yang didapatnya dari Maya Dewi, guru dalam ilmu kecantikan dari Ouw Yan Hui, kecantikannya pada waktu itu menjadi tidak wajar. Sebelum menikah dengan Wan Tek Hoat, ia telah menerima obat penawar atau pemunah sehingga kecantikannya menjadi wajar lagi. Kini, walau pun ia sudah tidak memakai obat pembuat awet muda, berkat kecantikannya yang memang luar biasa dan kepandaiannya berhias, puteri ini masih nampak muda sekali.
Dengan ramah Tek Hoat lalu memperkenalkan tamunya pada Syanti Dewi yang segera mengucapkan selamat datang dan juga ucapan terima kasih kepada kakek itu. Lalu Phang-sinshe dan Ceng Liong dipersilakan menempati sebuah kamar dalam lingkungan istana itu sebagai tamu agung atau tamu yang dihormati.
Sebagai seorang tuan rumah yang baik dan yang berterima kasih, ketika tamunya menyatakan keinginannya untuk menghadap raja dan berkenalan dengan para pejabat tinggi, Tek Hoat lalu mengajaknya menghadap Raja Badur Syah, juga berkenalan dengan para pejabat tinggi, para menteri dan panglima di Bhutan. Maka dikenallah nama Sinshe Phang Kui sebagai seorang ahli pengobatan dan sulap yang selain pandai, juga yang menjadi sahabat baik dan tamu terhormat dari keluarga Pangeran Wan Tek Hoat.
Berkat ‘nasib’ baik ditambah dengan kecerdikannya, akhirnya Phang-sinshe berhasil menghubungi para pembesar yang mempunyai ambisi besar, berkenalan pula dengan para pejabat yang benar-benar setia dan jujur. Bahkan pada suatu hari, setelah sepekan dia berada di Bhutan, dia bertemu dengan seorang perwira muda yang bertubuh tinggi besar, berdarah bangsawan atau pendeta. Dia sedang duduk di kamarnya pada saat pengawal melaporkan bahwa ada seorang perwira muda mohon untuk bertemu.
Memang pada waktu itu, banyak juga para pejabat tinggi dan sedang minta pertolongan sinshe itu untuk menyembuhkan suatu penyakit, maka kunjungan perwira muda tinggi besar ini pun diterima dengan ramah oleh Phang-sinshe. Tamu itu dipersilakan duduk dan mereka duduk berhadapan terhalang meja.
“Maafkan kalau saya mengganggu. Phang-sinshe yang mulia. Saya bernama Brahmani dan saya ingin minta pertolongan sinshe yang pandai.”
Diam-diam Phang-sinshe mengamati tamunya. Seorang muda raksasa yang bertubuh kuat dan sehat, sedikit pun tidak menunjukkan adanya gejala atau gangguan penyakit. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya.
“Ciangkun menderita penyakit apakah?”
Brahmani tersenyum. “Saya ingin minta bantuan dalam hal lain, bukan untuk mengobati penyakit.”
“Bantuan dalam hal lain? Apakah itu? Ciangkun membingungkan saya.” Phang-sinshe memandang tajam penuh selidik. Orang ini nampaknya cerdik sekali, dia harus waspada agar rahasianya jangan sampai terbuka.
“Saya mendengar bahwa sinshe adalah orang yang banyak merantau dan sudah amat berpengalaman, dan sebelum tiba di Bhutan tentu telah menjelajah daerah-daerah utara dan timur. Tentu saja sinshe sudah banyak mengenal orang-orang pandai, bukan?”
Oleh karena belum mengerti ke mana arah tujuan percakapan itu, Phang Kui hanya mengangguk dan terus memasang sikap mendengarkan dan tutup mulut.
“Begini, Phang-sinshe, saya ingin sekali mengetahui apakah sinshe mengenal seorang tokoh besar yang bernama....” Perwira itu celingukan dan setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, melanjutkan, “Hek-i Mo-ong?”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kakek itu mendengar nama julukannya yang dirahasiakan itu disebut! Dia menatap tajam untuk beberapa lamanya, tanpa perubahan sedikit pun pada air mukanya dan dia pun bertanya perlahan-lahan, “Aku memang banyak merantau dan banyak mengenal orang. Akan tetapi sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, aku ingin tahu ada hubungan apakah ciangkun dengan dia? Apakah ciangkun temannya ataukah musuhnya?”
Berkata demikian, diam-diam Hek-i Mo-ong alias Phang-sinshe telah mempersiapkan diri. Kalau perlu, untuk menjaga rahasianya, dia akan membunuh orang ini. Kalau dia turun tangan, menggunakan serangan maut yang cepat, siapa yang akan melihat atau mengetahuinya?
Brahmani juga bersikap hati-hati sekali, tapi karena dia sudah memperoleh keterangan dari atasannya tentang kakek ini, dia bersikap tenang dan sambil tersenyum dia pun berkata, “Sinshe, harap jangan menaruh curiga. Ketahuilah bahwa aku mendengar mengenai dia dari saudara Siwananda dan dari beliau itulah saya mengetahui akan kedatangan sinshe di Bhutan ini.”
Phang-sinshe mengangguk-angguk. “Hemm, apa buktinya?”
Brahmani lalu menggambarkan tentang pertemuan puncak antara Hek-i Mo-ong, Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, yang menghadap Gubernur Yong Ki Pok dan dapat menceritakan jalannya pertemuan itu, apa yang dirundingkan dan akhirnya berkata, “Aku pun mendengar dari atasanku bahwa sinshe akan datang ke Bhutan dan aku telah siap-siap untuk melakukan hubungan dengan sinshe. Akan tetapi melihat betapa sinshe selalu amat akrab dengan Pangeran Wan Tek Hoat dan para sahabatnya, aku menjadi takut dan ragu-ragu, sehingga baru sekarang berani mendekati sinshe.”
Sekarang Hek-i Mo-ong tidak ragu-ragu lagi. Kiranya Brahmani ini adalah anak buah Siwananda, Koksu Nepal itu. Tentu perwira muda ini seorang mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup bahkan menduduki pangkat perwira di Bhutan! Dia merasa girang sekali dan mereka lalu bercakap-cakap dengan baik.
Dari Brahmani, Phang-sinshe memperoleh keterangan dan gambaran tentang keadaan di Bhutan yang terjadi secara rahasia. Yaitu tentang pangeran-pangeran dan menteri-menteri yang merasa tidak puas dengan kekuasaan Raja Badur Syah, para pejabat tinggi yang berambisi dan yang telah menjadi sekutu rahasia dari Nepal! Bahkan sudah ada panglima-panglima yang terpengaruh dan mereka ini sudah makan suap yang besar dari Nepal, sudah berjanji bahwa kalau saatnya tiba, mereka akan menggerakkan pasukannya yang berada di bawah bimbingan mereka untuk membantu Nepal!
Tentu saja hati Phang-sinshe menjadi girang bukan main. “Kalau persiapannya sudah begitu masak, kenapa tidak cepat-cepat dilaksanakan? Bukankah kalau Bhutan sudah jatuh, penyerbuan ke Tibet menjadi lebih sederhana dan mudah?” tanyanya.
Brahmani menarik napas panjang. “Ada dua hal yang penting sehingga persiapan kami tertunda-tunda. Pertama dengan adanya Pangeran Wan Tek Hoat yang amat ditaati dan dicinta rakyat, bahkan oleh pasukan-pasukan Bhutan, membuat pemberontakan atau penyerbuan tidaklah semudah itu. Dengan adanya dia, bahkan pasukan-pasukan para panglima yang sudah menjadi sahabat kita itu pun akan enggan melakukan perlawanan terhadap pendekar itu. Dan ke dua, kami tengah menanti perintah dari koksu kami. Kami menerima perintah untuk menghubungi sinshe sebab satu-satunya cara untuk membuat lemah pimpinan Bhutan adalah kalau Pangeran Wan Tek Hoat dienyahkan dari sini.”
Mereka lalu kasak-kusuk mengatur siasat, bagaimana sebaiknya untuk melumpuhkan Raja Badur Syah dan para pembantunya, agar Bhutan dengan mudah dapat diduduki oleh pasukan Nepal untuk maksud penyeberangan mereka ke Tibet dan ke timur…..
********************
“Ceng Liong, mari kita berlomba menangkap kelinci itu!” Hong Bwee berteriak sambil melompat ke depan ketika dia melihat seekor kelinci lari menyusup ke dalam semak-semak.
Melihat kelincahan anak perempuan itu, Ceng Liong tersenyum. Usianya sendiri baru sebelas tahun, akan tetapi dia merasa seperti sudah dewasa ketika berhadapan dengan Hong Bwee yang lincah jenaka. Kini, melihat keriangan anak itu, timbul kegembiraannya dan dia lupa bahwa dia seharusnya bersikap dewasa dan ‘matang’ di depan gadis cilik ini.
“Baik, yang kalah nanti mendapat ekornya saja!” dia pun berseru dan mengejar.
Oleh karena kelinci itu menyusup ke dalam semak-semak berduri, mereka tidak berani menyusul dan hanya menggebrak dari luar semak-semak. Kelinci itu meloncat dan lari, dikejar oleh mereka berdua sambil tertawa-tawa. Akan tetapi ternyata kelinci itu gesit sekali, kalau saja berlari terus di tempat terbuka tentu sudah tertangkap. Akan tetapi tidak, binatang ini menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar sehingga sukar sekali ditangkap.
Lebih dari dua jam mereka mengejar-ngejar tanpa hasil, sampai napas Hong Bwee terengah-engah dan keringat membasahi leher bajunya. Keadaannya sama dengan kelinci itu yang setiap kali berhasil menyusup ke dalam semak-semak dan bersembunyi, napasnya megap-megap hampir putus dan seluruh tubuhnya menggigil.
Ceng Liong menjadi gemas karena merasa kasihan kepada gadis cilik yang kelelahan itu. Diambilnya dua potong batu dan dengan sebuah batu dia menyambit ke tengah semak-semak belukar di mana kelinci itu bersembunyi. Kelinci itu meloncat keluar, dekat sekali dengan Hong Bwee yang segera berseru girang dan menubruknya. Akan tetapi, kelinci mengelak dan anak itu terpeleset, jatuh terpelanting.
“Aduhhh....!”
Berbareng dengan sambatnya anak itu, kelinci yang lari tadi tiba-tiba juga terpelanting dan diam tak bergerak, kepalanya retak oleh batu yang dilontarkan Ceng Liong karena marah melihat Hong Bwee terjatuh tadi.
“Engkau tidak apa-apa?” Ceng Liong membantu gadis itu bangkit.
Hong Bwee menggeleng kepala. Hanya bajunya yang agak kotor terkena bagian tanah basah dan juga lengan dekat siku terluka oleh batu.
“Aku sudah menangkapnya untukmu!” kata Ceng Liong menuding ke depan.
Hong Bwee memandang dan terbelalak, kemudian lari menghampiri bangkai binatang itu. Diangkatnya bangkai itu dan didekapnya, dan gadis itu membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Liong dengan mata basah sambil mencela.
“Ceng Liong, engkau amat kejam!” Lalu diusapnya bulu kelinci itu. “Kelinci yang malang, engkau telah menjadi korban kekejaman orang....”
Tentu saja Ceng Liong menjadi penasaran mendengar dirinya dituduh kejam. Dengan langkah lebar dia menghampiri gadis itu. “Nona, mengapa engkau mengatakan aku kejam?” Di dalam hatinya dia mengomel. Dia sudah membantu menangkap kelinci itu, tidak memperoleh pujian dan terima kasih, malah dimaki kejam!
“Ehh, nona, kita mengejar kelinci sejak tadi. Setelah aku membantumu menangkapnya, engkau mengatakan kejam. Bagaimana sih ini?”
Akan tetapi Hong Bwee tak menjawab, hanya mengerling tajam dan mulutnya cemberut. Ia lalu berjongkok, meletakkan bangkai kelinci itu hati-hati ke atas tanah, kemudian ia menggali lubang dalam tanah, menggunakan pedangnya. Semua ini dilakukan dengan mulut masih bersungut-sungut dan mata masih merah menahan tangis. Melihat nona kecil itu masih marah, Ceng Liong hanya berdiri dan memandang saja. Akhirnya gadis cilik itu menghentikan pekerjaannya dan dengan sikap penuh khidmat ia mengubur bangkai kelinci itu.
Ceng Liong membelalakkan kedua matanya, terheran-heran. Akan tetapi dia diam saja. Baru setelah gadis cilik itu menimbuni lubang dengan tanah setelah meletakkan bangkai itu di dalamnya, Ceng Liong bertanya, hati-hati akan tapi tidak luput dari nada mengejek karena hatinya juga panas melihat dia dipersalahkan dan kelinci yang dirobohkannya itu malah dikubur!
“Apakah nona hendak menyembahyanginya? Sayang, kita tidak membawa dupa....”
Hong Bwee tidak menjawab, akan tetapi kerlingan matanya yang tajam menyambar, membuat Ceng Liong terdiam. Dia seorang anak yang biasanya gembira dan jenaka, juga nakal, akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja dia seperti menjadi jinak oleh kerling mata gadis cilik puteri Bhutan itu. Dan dia pun makin heran, sampai terbelalak ketika melihat betapa gadis itu kini berlutut di depan kuburan kelinci, lalu menyembah dan mulutnya berkemak-kemik seperti orang membaca doa!
Akhirnya gadis cilik itu selesai dengan ‘upacara’ sembahyang itu dan duduk di atas akar pohon. Mukanya yang cantik itu masih kemerahan, mulutnya masih agak cemberut walau pun sinar matanya tidak semarah tadi. Akan tetapi pandang matanya kepada Ceng Liong hanya melalui kerlingan, tidak langsung.
Ceng Liong yang merasa penasaran juga duduk di atas batu depan gadis cilik itu. Dia menekan perasaannya supaya suaranya tidak terdengar marah. “Nona, sungguh aku merasa penasaran dan tidak mengerti sama sekali mengapa engkau marah-marah kepadaku. Kenapa pula engkau mengubur bangkai kelinci dan bahkan berdoa di depan kuburannya? Apa artinya semua ini?”
Kini Hong Bwee memandang dan alisnya berkerut. “Engkau kejam! Kenapa engkau membunuhnya?”
“Tapi.... bukankah engkau yang mengajak kita memburu kelinci itu, nona?”
“Memang, tapi bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk menangkapnya. Aku ingin memelihara dan menjinakkannya, untuk diajak bermain-main. Akan tetapi engkau telah membunuhnya. Aku tadi berdoa mintakan ampun atas kekejaman dan kelancanganmu!”
Kini Ceng Liong yang terbelalak memandang gadis cilik itu. Minta ampun kepada kelinci yang terbunuh? Apa-apaan ini?
“Tetapi, nona. Bukankah nona sendiri seorang pemburu yang sudah membunuh entah berapa banyak binatang? Pada waktu kita bertemu untuk pertama kalinya, engkau pun membunuh anak beruang, bahkan juga mencoba untuk membunuh induknya. Binatang buruan memang untuk dibunuh!”
“Membunuh dan membunuh ada banyak macam dan perbedaannya! Membunuh harus ada alasannya dan engkau tadi membunuh tanpa alasan! Engkau tidak tahu aturannya membunuh!”
“Wah, membunuh tapi pakai aturan?” Ceng Liong melongo dan melirik ke atas. “Nona, tolong beritahu kepadaku bagaimana sih aturan-aturannya?” Dia merasa lucu dan geli, akan tetapi juga heran dan ingin tahu.
“Engkau banyak merantau akan tetapi bodoh,” kata gadis cilik itu bersungut-sungut. “Nah, kau dengarkan baik-baik ajaran-ajaran yang kudapat dari ayah ibuku dan kaum cendekiawan di Bhutan. Kalau kita terancam bahaya, untuk mempertahankan nyawa dan keselamatan diri, tentu saja kita harus merobohkan atau membunuh lawan yang mengancam keselamatan kita itu, baik dia binatang atau pun manusia. Pembunuhan ini namanya bukan pembunuhan, melainkan usaha bela diri dan ini benar adanya.” Gadis itu berhenti sebentar memandang dan Ceng Liong mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Ada lagi pembunuhan ke dua. Kalau kita membutuhkan daging binatang misalnya, maka sudah benarlah kalau kita membunuhnya, baik untuk mengenyangkan perut atau untuk memuaskan selera. Akan tetapi ada pembunuhan ke tiga yang dipantang oleh bangsa kami, yaitu membunuh tanpa alasan, hanya untuk menyenangkan hati saja. Dan ini dosa besar namanya, kekejaman yang akan mendatangkan kutuk bagi diri kita. Dan engkau tadi membunuh kelinci tanpa dua alasan itu. Kelinci itu bukan musuh kita, tidak mengancam keselamatan kita, juga kita tidak membutuhkannya sebagai santapan. Dan engkau membunuhnya seperti pembunuhan yang ke tiga tadi, kejam dan kelinci itu mati sia-sia!”
Ceng Liong terbelalak. Masuk akal juga ucapan gadis cilik ini, bijaksana juga aturan dari bangsa ini. Dia sendiri sudah melihat banyak orang membunuhi binatang tanpa alasan itu, hanya untuk kesenangan hati. Bahkan kaisar sendiri kalau berburu hanya untuk bersenang-senang, hasil buruannya tidak dimakan, tapi dilemparkan dan dibuang begitu saja.
“Tapi, nona....” Dia membantah, bermaksud untuk ‘meringankan’ dosanya. “Ketika aku merobohkannya tadi, aku mengira bahwa engkau malah hendak menangkapnya dan membunuhnya, hendak makan dagingnya.”
“Benarkah itu?” Hong Bwee memandang tajam.
Sinar mata lembut akan tetapi tajam itu seakan-akan berubah menjadi ujung pedang yang ditodongkan ke depan dadanya sehingga otomatis Ceng Liong menarik tubuh atas ke belakang menjauh.
“Tentu saja benar.”
“Kalau begitu, engkau tidak berdosa. Dan aku sudah mintakan ampun kepada kelinci itu untuk dosamu yang kukira membunuh dengan kejam. Akan tetapi sudahlah, berdoa pun baik saja. Kalau lain kali hendak membunuh sesuatu, beritahu dulu aku, ya?”
Sekarang wajah yang manis itu telah menjadi terang dan berseri kembali. Senyumnya mengembang lagi, seperti matahari baru muncul di ufuk timur setelah bumi dicekam kegelapan yang menyedihkan.
Melihat ini, Ceng Liong juga ikut bergembira dan dia pun tersenyum. “Maaf, karena tidak tahu dan salah sangka, aku telah membuatmu berduka, nona.”
“Hi-hi-hik, kalau sudah mengaku salah tentu tidak akan menolak kalau didenda atau dihukum, bukan?”
Ceng Liong mengangkat dadanya. “Tentu saja! Seorang pendekar tidak akan takut mempertanggung jawabkan perbuatannya!”
“Nah, terlepas sekarang! Engkau seorang pendekar!”
Ceng Liong merasa telah terlanjur bicara, maka dengan tersipu-sipu berkata, “Ahh, aku hanya murid Phang-sinshe, hanya bisa mempelajari pengobatan, itu pun masih dangkal, paling-paling aku hanya bisa mengobati orang menderita penyakit kudis, dan tentang ilmu sulap, wah, ada beberapa macam yang kupelajari.”
“Bohong! Engkau tentu pandai silat. Buktinya engkau mampu melakukan perjalanan sampai ke Bhutan, begitu jauhnya....”
“Ahh, engkau hanya menduga saja, nona.”
“Ceng Liong, aku bernama Hong Bwee, atau Gangga Dewi, jangan panggil nona-nona segala macam!”
“Habis, nona adalah seorang puteri istana, bagaimana aku berani....”
“Nah, itu malah sudah berani membantah. Aku memerintahkan engkau mulai sekarang menyebut namaku saja, tanpa embel-embel nona.”
“Baik, non.... ehh…. Hong Bwee.”
Nona kecil itu tersenyum geli. “Sekarang dendanya atas dosamu tadi. Engkau harus memperlihatkan kepandaianmu kepadaku!”
“Nona.... ehhh, engkau tidak berpenyakit kudis. Hong Bwee, bagaimana aku dapat membuktikan kepandaianku mengobati?”
“Bukan itu, yang satunya lagi.”
“Ohh, main sulap? Baiklah, kau lihat batu kecil ini, kugenggam di tangan kanan! Nah, sekarang batu di tangan kanan itu akan kusulap agar pindah ke tangan kiri. Hip-hup-hah!”
Ceng Liong membuat gerakan dengan kedua lengannya, diputar-putar sehingga sedikit mengaburkan pandang mata Hong Bwee. Tentu saja dia tidak pandai sulap, karena ilmu sulap gurunya adalah ilmu sihir dan dia belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi dengan kecepatan gerak tangannya, dia dapat memindahkan batu itu dari tangan kanan ke tangan kiri tanpa dapat terlihat oleh Hong Bwee.
“Lihat batu ini!” Dan ketika dia membuka tangan kiri, di situ nampak batu yang tadi tergenggam di tangan kanan. Dan ketika dia membuka tangan kanan, ternyata di situ terdapat sehelai daun hijau.
“Ah, tidak aneh! Biar pun aku tidak dapat mengikuti gerakanmu, aku tahu bahwa engkau tadi memindahkan batu dan menyambar sehelai daun. Itu hanya dapat dipakai menipu kanak-kanak saja! Bukan kepandaian itu yang kumaksudkan.”
“Habis, yang mana lagi? Aku tidak bisa apa-apa.”
“Jangan engkau membantah hukuman. Aku menghukummu agar sekarang juga engkau mempertunjukkan ilmu silatmu.”
“Aku tidak bisa....”
“Bohong, nah aku akan mengujimu!” Tiba-tiba gadis cilik itu sudah meloncat sambil memukulkan tinjunya ke arah dada Ceng Liong.
Tentu saja, sebagai anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, dengan otomatis tubuh Ceng Liong bergerak mengelak. Hong Bwee menyerang terus dengan pukulan, tendangan dan tamparan, bahkan ia mempergunakan pula cengkeraman-cengkeraman kedua tangannya. Gerakannya cepat dan teratur baik sekali, berkat ilmu silat yang dipelajarinya dari Wan Tek Hoat.
Melihat gerakan gadis ini mainkan Pat-mo Sin-kun yang dikenalnya, Ceng Liong menjadi kagum. Dia pun tahu bahwa ayah gadis ini, seperti yang pernah dituturkan oleh ayahnya kepadanya, masih terhitung cucu keponakan dari ayahnya sendiri, keponakan tiri, masih agak jauh huhungan darah antara dia dengan Wan Tek Hoat, bahkan sama sekali tidak ada hubungan darah. Dia mendengar bahwa Wan Tek Hoat adalah anak kandung dari seorang yang menjadi anak kandung nenek Lulu, dengan demikian, Wan Tek Hoat adalah keponakan ayahnya dan gadis cilik ini masih terhitung keponakannya sendiri, atau keponakan tiri dari Suma Ciang Bun dan Suma Hui. Gadis cilik ini adalah cucu buyut nenek Lulu.
Agaknya Hong Bwee memang sungguh-sungguh ingin menguji ilmu silat pemuda itu dan ia mendesak terus, mengirim serangan bertubi-tubi.
Diam-diam Ceng Liong harus mengakui bahwa anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat dan terutama sekali amat cekatan dan gerakannya cepat. Maka dia pun tidak berani main-main lagi karena kalau dia lengah, tentu dia akan kena pukul dan dia tidak mau hal ini sampai terjadi. Harga dirinya sebagai laki-laki akan turun kalau sampai dia terkena pukulan atau tendangan yang bertubi-tubi itu.
Maka dia pun segera mainkan Sin-coa-kun, satu-satunya ilmu keluarga Pulau Es yang sudah dilatihnya dengan matang. Ilmu-ilmu lain hanya baru dipelajari teorinya saja dan dia kurang latihan. Akan tetapi, Sin-coa-kun yang telah dilatihnya dengan matang itu cukup hebat.
Kini keadaannya terbalik. Begitu Ceng Liong menangkis dan balas menyerang, repotlah Hong Bwee. Ia terdesak terus sampai terpaksa menggunakan langkah-langkah mundur. Hal ini membuatnya penasaran. Sejak kecil Hong Bwee memang memiliki watak keras dan tidak mau kalah kalau berlatih silat. Ceng Liong hanya sebaya dengannya, paling-paling setahun lebih tua dan hanya seorang tukang obat perantau. Tidak mungkin kalau ia harus kalah dalam ilmu silat oleh anak laki-laki ini.
“Heiiiiittt....!”
Tiba-tiba saja gadis cilik itu menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang dikuncir hitam tebal panjang yang tadi tergantung di belakang tengkuk, kini menyambar ke depan, ujungnya yang seperti moncong ular mematuk ke arah hidung Ceng Liong.
“Ehhh....!” Ceng Liong terkejut sekali dan biar pun dia sudah menarik tubuh atasnya ke belakang, tetap saja ujung kuncir itu masih menampar pipinya.
“Plakk!” Ceng Liong melompat mundur dan mengusap pipinya yang terasa panas.
“Sudahlah, engkau yang menang,” katanya.
Wajah Hong Bwee menjadi kemerahan. “Tidak.... sebetulnya tadi aku yang kalah. Kau maafkan aku, Ceng Liong.”
Pada saat itu muncullah enam orang, semuanya memakai topeng yang menutupi muka mereka dari hidung ke bawah sehingga sukar untuk mengenal wajah mereka. Mereka mengurung dua orang anak itu dengan sikap menyeramkan.
Melihat keadaan mereka yang bertopeng dan bersikap galak, tahulah Ceng Liong bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai niat buruk maka dia pun sudah siap siaga untuk melawan, menyelamatkan diri sendiri dan juga Hong Bwee. Biar pun masih kecil, Ceng Liong sudah memiliki kecerdikan dan pandai menarik kesimpulan, maka dia pun menduga bahwa mereka ini datang untuk mengganggu Hong Bwee sebagai puteri istana, bukan dia yang hanya seorang anak asing di situ dan tidak mempunyai harga untuk diganggu.
Dugaannya memang tepat karena seorang di antara mereka menghampiri Hong Bwee dan berkata dalam bahasa Bhutan, “Anak baik, engkau ikutlah kami baik-baik agar kami tidak usah mempergunakan kekerasan terhadap anak kecil.” Tanpa menanti jawaban, orang yang bertubuh jangkung kurus ini langsung menggerakkan lengannya hendak menangkap pundak Hong Bwee.
“Siapa kau, manusia jahat?” Hong Bwee membentak marah sambil mengelak.
Gerakan gadis cilik ini memang lincah, maka terkaman itu pun luput. Orang bertopeng itu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya membayangkan kemarahan. Dia pun lalu menubruk lagi, sekali ini dengan kasar dan lebih cepat.
“Plakkk!”
Hong Bwee menangkis sambil mengelak lagi dan untuk kedua kalinya tubrukan itu tidak berhasil. Orang tadi kini marah sekali dan menyerang dengan tamparan dan tendangan, akan tetapi Hong Bwee melawan dengan gagah. Melihat kawannya sukar menangkap anak perempuan itu, orang ke dua membantu. Akan tetapi baru saja dia menubruk ke depan, dari samping datang sambaran angin. Orang ke dua itu terkejut dan berusaha membalik sambil memutar lengan, akan tetapi dia terlambat.
“Desss....!”
Lambungnya kena ditendang Ceng Liong, tendangan Soan-hong-twi yang keras sekali karena tanpa disadarinya, sumber tenaga saktinya bergerak dan tersalur ke kakinya yang menendang. Orang itu terlempar sampai tiga meter jauhnya dan terbanting roboh!
Ceng Liong hendak mengamuk untuk melindungi Hong Bwee, akan tetapi pada saat itu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar sudah meloncat menghadangnya. Ceng Liong yang marah itu langsung saja mengirim tendangan, menyambut lawan yang menghadangnya ini. Namun terkejutlah dia ketika orang ini dengan mudah mengelak dari tendangan-tendangannya yang dilakukan secara berantai itu. Maklumlah dia bahwa orang ini lihai sekali, maka dia pun segera mengeluarkan Ilmu Silat Sin-coa-kun dan mendesak.
Orang yang menjadi lawannya itu hanya menangkis atau mengelak saja, akan tetapi diam-diam memancing Ceng Liong makin menjauhi sang puteri yang kini dikeroyok oleh empat orang bertopeng! Tentu saja hanya dalam waktu singkat sang puteri telah dapat diringkus dan dibawa pergi.
“Ceng Liong.... Ceng Liong.... tolonggg....!”
Akan tetapi seorang di antara mereka membungkamnya dan mengikatkan sapu tangan di depan mulut anak perempuan itu sehingga tidak lagi mampu berteriak.
Ceng Liong marah sekali dan memperhebat serangannya. Akan tetapi lawannya benar-benar amat tangguh dan biar pun lawannya belum pernah membalas serangannya, dia pun sudah tahu bahwa orang ini bukan tandingannya.
“Ceng Liong, hentikan perlawananmu.”
“Mo-ong....!” Ceng Liong berseru heran sekali dan memandang kepada wajah yang kini sudah tidak tertutup lagi oleh topeng itu. “Apa artinya semua ini? Mengapa Hong Bwee ditawan....?”
“Sabarlah dan mari dengarkan keteranganku. Mereka tidak akan mengganggu nona Hong Bwee. Mereka....”
“Mereka itu siapa?”
“Mereka adalah kawan-kawan kita sendiri. Kau tentu masih ingat akan pembicaraanku waktu itu dengan Gubernur Yong, bukan? Nah, usahaku datang ke Bhutan adalah untuk mengumpulkan dan menghubungi teman-teman sehaluan, untuk membantu penyerbuan tentara Nepal ke Tibet. Dan aku sudah berhasil mengadakan hubungan dengan mereka. Satu-satunya penghalang bagi teman-teman itu untuk membantu Nepal, atau paling tidak jangan mencampuri urusan Nepal kalau menyerbu ke Tibet, hanyalah keberadaan pendekar Wan Tek Hoat yang disegani orang di sini. Maka, jalan satu-satunya untuk membuat pendekar itu sibuk dan tidak mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet, hanyalah dengan menculik anak satu-satunya itu. Jika Nepal sudah berhasil menduduki Tibet, barulah kita kembalikan puteri itu kepada orang tuanya.”
Selagi gurunya bicara, Ceng Liong memutar otak. Tak mungkin dia menentang gurunya ini dengan kekerasan. Dia seorang diri mana mampu menentangnya? Maka dia pun mengangguk-angguk seperti menyatakan setuju, padahal di dalam hatinya, dia sama sekali tidak senang akan siasat keji ini.
“Siasat itu bagus sekali,” dia berkata dan gurunya tersenyum lebar.
“Kami sengaja membiarkan engkau tadi membantu sang puteri, bahkan merobohkan seorang penculik dengan tendanganmu. Engkau hebat, muridku. Dengan demikian, tentu sang puteri menganggap bahwa engkau benar-benar seorang kawan yang setia, dan dengan sendirinya tidak akan ada yang mencurigai aku bercampur tangan dalam penculikan ini.”
“Akan tetapi, bagaimana pun juga, aku minta agar nona Hong Bwee tidak diganggu. Kasihan, dia seorang anak yang baik, sikapnya baik sekali terhadap kita, juga orang tuanya pun sangat baik terhadap kita. Apakah budi mereka itu harus kita balas dengan kejahatan?”
“Ha-ha-ha-ha, muridku yang baik, apakah engkau sudah melupakan pelajaran akan kenyataan hidup yang sudah berkali-kali kau lihat dan kau dengar dariku? Kalau engkau ingin maju dalam hidupmu, jangan hiraukan tentang budi. Melepas budi atau menerima budi hanyalah watak orang-orang lemah dan kita sama sekali tidak lemah! Yang terpenting adalah hasil baik dan menguntungkan untuk kita. Itu saja! Kalau mau bicara tentang budi, maka adanya hanya merupakan balas-membalas yang kekanak-kanakan. Pertama, mereka hutang budi kepada kita karena engkau menolong puteri mereka, kemudian kini keadaannya berbalik karena kita membutuhkan bantuan puteri mereka, untuk memaksa orang tuanya agar jangan menghalangi rencana kita. Bisa repot hidup ini kalau terikat oleh hutang-pihutang budi. Mana kita bisa maju kalau begitu?”
Ceng Liong mengerutkan alisnya. Dalam hatinya, dia sama sekali tidak bisa menyetujui pendapat orang-orang golongan hitam seperti yang dikemukakan gurunya ini. Akan tetapi, selagi Hong Bwee berada di tangan gurunya dan sekutunya, dia harus bersikap cerdik dan tidak menentang, sehingga dia akan dapat leluasa bergerak untuk berusaha menyelamatkan Hong Bwee. Dia tidak perduli akan urusan negara, tidak bermaksud untuk menolong atau membantu Bhutan, akan tetapi bagaimana pun juga, dia harus menolong Hong Bwee...