CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 16
Demikianlah, dengan latar belakang dorongan masing-masing, kedua orang enci dan adik ini berlatih dengan amat giatnya dan pada waktu itu, latihan-latihan mereka sudah mencapai tingkat terakhir dan hanya tinggal mematangkan saja dengan latihan selanjutnya.
Ayahnya telah menuangkan semua ilmunya kepada mereka, demikian juga ibu mereka. Saking besarnya semangat belajar mereka, Suma Hui bahkan mempelajari ilmu-ilmu aneh dari ibunya, yaitu ilmu pawang ular, ilmu untuk menaklukkan ular-ular yang dikuasai oleh ibunya, juga memperdalam ilmu pukulan Cui-beng Pat-ciang yang hanya delapan jurus akan tetapi amat hebatnya itu dari ibunya.
Bahkan, menurut petunjuk ibunya, gadis ini sudah berhasil memperoleh ular kalung emas, seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga ular yang amat ganas itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang amat ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau digunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat. Akan tetapi Suma Hui berjanji bahwa ia akan mempergunakan senjata ular dan ilmunya memanggil ular-ular itu hanya apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum sesat.
Suma Ciang Bun juga tidak mau kalah. Pemuda ini telah memilih ilmu yang diwarisi ayahnya dari mendiang neneknya, yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, pemuda ini juga mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in Bun-hoat. Kemudian, dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang harum baunya.
Melihat betapa puteranya amat berbakat bermain pedang, ayahnya memberi kepadanya sepasang pedang yang sangat baik buatannya, dari baja murni dan pedang itu amat indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam (Sepasang Pedang Bunga Teratai). Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang yang tipis ini, yang dimasukkan dalam satu sarung. Gagangnya dihias emas permata dan diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah. Memang pada dasarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah ini sangat disukainya. Dari ayahnya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang bernama Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu. Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang amat besar ketika dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun.
Suma Hui! Hatinya menjerit-jerit memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah mendalam itu membuat dia hampir tidak dapat menahannya. Ingin dia mendekati gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan membisikkan kata-kata cinta kepadanya. Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat mencinta gadis itu! Betapa dia akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya dan betapa akan sukarnya mencari penggantinya.
“Hui-moi....!” Jeritan hati ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri.
Suma Hui yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biar pun teriakannya tadi tidak begitu keras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya terdengar oleh dua orang kakak beradik itu, atau mungkin juga mereka merasakan kehadirannya. Keduanya menoleh dan melihatnya.
Yang pertama kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu merangkulnya.
“Cin Liong, ke mana sajakah engkau selama ini? Ahhh, engkau kurus benar!”
Cin Liong hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja seperti telah berubah menjadi patung dan dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali.
“Paman Ciang Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ahh, ilmu silatmu tentu sudah tinggi sekali sekarang!” kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan Ciang Bun.
“Cin Liong, kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kau beri petunjuk padaku agar aku dapat melihat di mana letak kekurangan dan kesalahanku!” berkata demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.
Melihat kegembiraan pemuda itu, Cin Liong merasa tidak tega menolak, maka sambil tertawa dia pun mengelak dan balas menyerang. Segera mereka mulai berlatih dengan saling serang. Akan tetapi ketika Cin Liong menangkis, dia terkejut sekali mendapat kenyataan betapa kuatnya lengan pemuda itu, betapa besar tenaga sinkang yang menggerakkan lengan itu! Dia pun terseret ke dalam kegembiraan dan bersilat dengan sungguh-sungguh karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali.
Sementara itu, Suma Ciang Bun juga merasa amat gembira, bukan hanya bertemu dengan keponakan yang amat dikagumi dan disukainya itu, melainkan karena kini dia memperoleh kesempatan berlatih dengan seorang lawan yang pandai. Biasanya, dia hanya dapat berlatih melawan enci-nya, ayahnya atau ibunya saja. Ilmu silat mereka sama, maka tentu saja dia menjadi bosan karena dia sudah tahu akan ke mana arah serangan mereka yang sekeluarga itu. Akan tetapi, kini menghadapi Cin Liong, dia seperti menghadapi seorang lawan yang sungguh-sungguh. Dia harus berhati-hati karena dia belum mengenal gerakan lawan dan ini merupakan latihan yang amat baik dan menarik.
Serang-menyerang terjadi dan makin lama Cin Liong semakin kagum. Tak disangkanya bahwa selama beberapa tahun ini Ciang Bun sudah memperoleh kemajuan yang begitu pesatnya dan memiliki banyak macam ilmu silat yang mutunya tinggi sekali. Dia harus membalas serangan, karena kalau dia hanya bertahan, bukan tidak mungkin dia akan kalah oleh pemuda ini! Tanpa mereka rasakan, mereka telah bertanding atau berlatih sampai lima puluh jurus!
Suma Hui dapat bernapas lega. Ketika tadi ia melihat munculnya Cin Liong secara mendadak, dia merasa jantungnya terguncang hebat dan hampir saja dia melarikan diri atau roboh lemas. Kiranya ia tidak akan mampu menghadapi Cin Liong pada saat pertemuan itu. Maka ketika adiknya mengajak pemuda itu berlatih silat, dia mempunyai banyak kesempatan untuk mengatur pernapasannya dan meredakan jantungnya yang bergelora tadi. Mukanya yang tadinya pucat sekali itu perlahan-lahan berubah merah dan kedua matanya terasa panas. Ia menahan-nahan tangisnya melihat pemuda yang dicintanya itu.
Betapa kurusnya muka Cin Liong! Ah, betapa sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu. Baru kini terbuka matanya bahwa ia tidak pernah membenci Cin Liong, tidak pernah dapat membencinya. Kalau dulu ia bertekad untuk mencari dan membunuh Cin Liong, hal itu bukan karena benci melainkan karena kecewa mengapa pemuda yang dicintanya itu menghancurkan segala harapannya. Dan kini? Ternyata pemuda itu sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu telah difitnahnya! Dituduhnya melakukan hal yang demikian kotor dan rendah!
Baru kini ia merasa menyesal sekali mengapa ia sampai begitu bodoh. Mana mungkin seorang pendekar gagah perkasa seperti Cin Liong, putera Naga Sakti Gurun Pasir, seorang panglima muda yang dipercaya kaisar, mau melakukan perbuatan serendah itu? Mengapa dia dahulu tidak bicara terang-terangan saja dengan Cin Liong dan menceritakan segalanya tanpa menuduhnya seperti itu?
“Cukup, paman Ciang Bun, cukup.... wah, engkau lihai sekali....!” Cin Liong meloncat ke belakang. Ciang Bun menghentikan serangannya dan keduanya saling pandang sambil tertawa dan mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi.
“Wah, setelah berlatih mati-matian selama beberapa tahun, masih saja aku belum mampu mengimbangimu, Cin Liong, apalagi menandingimu.”
“Engkau terlalu merendah, paman. Kepandaianmu hebat, hampir-hampir aku tidak kuat menahannya,” kata Cin Lion memuji.
Suma Hui sekarang melangkah maju menghampiri. Sejenak ia berdiri bertukar pandang dengan Cin Liong yang cepat memberi hormat. “Hui-i, maafkan kalau aku datang mengganggu,” katanya dengan suara gemetar.
Suma Hui tak mampu menjawab, hanya memandang dan dua titik air mata yang sejak tadi sudah memenuhi pelupuk matanya, kini menetes turun ke atas pipinya. Ia lalu menoleh kepada adiknya dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, “Bun-te, tinggalkan kami sendirian....”
Ciang Bun mengangguk maklum dan pemuda ini pun lalu pergi dan lari dari tempat itu. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi bayangannya, barulah Suma Hui memutar tubuh menghadapi Cin Liong. Kembali mereka saling berpandangan, lalu terdengar suara gadis itu lirih, “Cin Liong, engkau datang.... mau apakah....?”
Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh ayah gadis ini, pikir Cin Liong dengan hati terpukul. Akan tetapi dia harus berani menghadapi semua ini. Dia harus mengetahui segala yang terjadi atas diri wanita yang dicintanya ini. Dia tidak akan mengganggu, tidak berani, karena bukankah wanita ini telah menjadi isteri orang?
“Bibi Hui.... aku datang untuk.... untuk menanyakan kesalahanku, kesalahan kami sekeluarga kepada ayah bundamu. Aku sudah menghadap mereka dan.... dan mereka menyuruhku bertanya kepadamu sendiri.”
Suma Hui mengerutkan alisnya dan memejamkan matanya sebentar untuk mengusir semua kenangan pahit yang telah dideritanya selama ini. Lalu, dia melolos sepasang pedangnya. Melihat ini, Cin Liong terkejut bukan main.
“Hui-i, kalau sekali ini engkau menyerangku lagi, biarlah aku mati di tanganmu, dan aku tidak akan melawanmu.”
Sepasang mata itu terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan beberapa butir air mata mengalir turun. Sepasang pedang itu dilemparkannya ke dekat kaki Cin Liong dan suaranya berbisik dalam gemetar, “Cin Liong, aku telah bersalah kepadamu, kepada keluargamu, dosaku besar sekali dan aku layak mati. Nah, bunuhlah aku, boleh kau pergunakan pedangku yang pernah kupakai menyerang dan melukaimu dahulu itu.”
“Hui-i....,” Cin Liong terkejut bukan main. Cepat dia mengambil sepasang pedang itu dan melangkah maju, mengangsurkan sepasang pedang itu, mengembalikannya kepada pemiliknya. “Mengapa begitu? Simpanlah kembali pedangmu....”
Akan tetapi Suma Hui tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya. Dia pun menjatuhkan dirinya, bersimpuh ke atas tanah berumput di tepi telaga itu. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sedih, menahan isaknya dan hanya guncangan kedua pundaknya saja dan air mata yang mengalir melalui celah-celah jari tangannya yang menunjukkan bahwa gadis perkasa ini sedang menangis.
Cin Liong berlutut di dekatnya, meletakkan sepasang pedang itu di sisi pemiliknya. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul, akan tetapi ingatan bahwa wanita ini adalah isteri orang lain menahan gelora hatinya.
“Hui-i.... harap jangan menangis. Di manakah.... ehhh, suamimu?”
Pertanyaan ini agaknya amat mengejutkan Suma Hui. Ia menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat dan matanya merah basah, kini memandang kepada wajah pemuda itu bagaikan orang yang merasa heran dengan pertanyaan itu. “Engkau.... engkau belum mengetahuinya dari ayah dan ibuku?”
“Belum. Ketika aku menghadap mereka, mereka hanya menyuruh aku menemuimu di sini dan minta penjelasan darimu. Hui-i, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Aku merasa bingung dan gelisah sekali. Engkau dahulu ingin membunuhku, kemudian orang tuaku yang datang meminang menerima penghinaan dan aku dituduh melakukan.... perkosaan. Apakah artinya semua itu? Dan di mana adanya suamimu? Bukankah engkau telah menikah dengan.... suheng-mu sendiri itu?”
Menerima pertanyaan bertubi-tubi itu, Suma Hui memejamkan matanya, dan hanya air matanya saja yang menyatakan betapa hancur perasaan hatinya. Melihat keadaan wanita ini, Cin Liong merasa terharu sekali. Ingin dia mengulur tangan merangkul, mendekap kepala itu dan menyembunyikan muka itu di dadanya, menghiburnya dan mengusap air matanya. Akan tetapi dia tidak berani selancang itu terhadap wanita yang sudah bersuami.
Dia pun tahu bahwa agaknya baru kini Suma Hui dapat melampiaskan perasaannya, maka dia membiarkan saja wanita itu menangis sepuasnya. Bagi kebanyakan orang, terutama bagi wanita yang halus perasaannya, kadang-kadang tangis merupakan obat mujarab bagi ganjalan hati.
Akhirnya Suma Hui dapat menguasai hatinya. Tangisnya mereda dan ia pun berkata setelah menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya yang menjadi basah. “Sudah sepatutnya engkau mendengar semua itu dari mulutku sendiri. Mala petaka telah menimpaku. Semua dimulai pada malam jahanam itu.... Malam itu aku menjadi korban asap pembius yang ditiupkan ke dalam kamarku. Kemudian, dalam keadan setengah sadar, aku.... aku menjadi korban…. perkosaan orang.... dan dia.... dia menirukan suaramu. Karena kamar itu gelap dan suara itu mirip benar dengan suaramu, aku tertipu dan merasa yakin bahwa engkaulah yang melakukan perkosaan terhadap diriku itu.”
Suma Hui tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi dan menahan tangisnya sambil menghapus air matanya yang kembali membanjir keluar.
Cin Liong mengepal tinjunya. “Hemm, jadi benar-benar ada yang melakukan perbuatan hina itu terhadap dirimu! Pantas engkau menyerangku dan hendak membunuhku, dan kemudian, ketika orang tuaku datang meminang, mereka menerima penghinaan dari keluargamu. Aku tidak merasa heran sekarang. Akan tetapi mengapa engkau tidak mau berterus terang saja menegurku waktu itu sehingga aku dapat mengetahui duduknya persoalan, Hui-i?”
Suma Hui menunduk. “Aku begitu yakin bahwa engkaulah orang itu.... maka kuanggap tidak perlu banyak bicara lagi. Aku begitu kecewa.... begitu hancur hatiku.... sehingga aku.... aku bersumpah.... untuk membunuhmu!”
Cin Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak menyalahkanmu, Hui-i. Tetapi.... lalu bagai mana engkau tahu bahwa sebetulnya bukan aku pemerkosa biadab itu?”
“Dengarkan ceritaku. Di dalam noda dan aib itu, muncullah Louw Tek Ciang....”
“Suheng-mu?”
“Ya, ayah sendiri tertipu oleh sikapnya yang baik hingga ayah berkenan mengangkatnya sebagai murid, bahkan menurunkan semua ilmu keluarga kami kepadanya. Tek Ciang dengan sikapnya yang halus dan lembut penuh kesopanan itu muncul sebagai bintang penolong untuk menyelamatkan aku dari aib. Biar pun dia sudah diberitahu bahwa aku telah diperkosa orang, tetap saja dia bersedia untuk menjadi suamiku.”
“Ahhh....!”
“Aku tidak suka dan membencinya, dan untuk menolak desakan ayah aku mengatakan bahwa aku hanya ingin menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku. Ayah telah tergelincir oleh kelicikan Tek Ciang, ayah menggemblengnya sehingga dia menjadi lihai sekali. Aku pergi selama dua tahun lebih, mencarimu sampai ke kaki Pegunungan Himalaya, dengan maksud untuk menantangmu dan mengajakmu bertanding sampai aku mati di tanganmu....”
“Hui-i....!” Cin Liong berseru kaget dan memandang penuh iba. Suma Hui mengusap kembali air matanya.
“Karena mendengar bahwa engkau memimpin pasukanmu menyerbu ke Nepal, aku kembali ke timur dan setibanya di sini, Tek Ciang telah menjadi lihai sekali. Kembali ayah mendesak aku tentang pernikahan. Aku tetap mempertahankan bahwa aku hanya mau menikah deugan orang yang dapat mengalahkan aku.”
“Dan dia dapat mengalahkanmu?” tanya Cin Liong ketika gadis itu menghentikan ceritanya.
Suma Hui mengangguk. “Aku tidak dapat mengingkari janjiku. Aku dikalahkan dan aku terpaksa menurut kehendak ayahku. Apalagi aku berpikir bahwa setelah dia lihai, dia dapat kumintai bantuan untuk mencarimu dan membunuhmu....”
“Hemm.... wajar sekali itu. Lalu, bagaimana?” Hati Cin Liong mulai tertarik sekali.
“Pernikahan itu lalu dirayakan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan orang-orang penting....”
“Sayang kami tidak dapat hadir....”
“Tentu saja keluarga Kao tidak diundang.... ah, betapa bodohnya kami, dan semua itu karena kesalahanku....”
“Sudahlah, Hui-i, penyesalan pun tidak ada gunanya lagi dan sebetulnya bukan karena kesalahanmu, atau andai kata engkau melakukan kesalahan sekali pun, maka engkau melakukannya tanpa kau sadari. Lalu bagaimana?”
“Malam pengantin itulah yang membuka rahasia busuk itu! Seperti kukatakan tadi, ketika terjadi peristiwa di malam jahanam itu, aku tidak dapat melihat wajah pemerkosa, hanya mendengar suaranya saja yang sama dengan suaramu, juga cara bicaranya kepadaku persis kalau engkau bicara. Tetapi ada satu hal lagi yang menjadi rahasiaku, tidak kuberi tahukan kepada siapa juga, yaitu bahwa secara kebetulan, dalam keadaan setengah sadar itu, aku menyentuh punggung jahanam itu dan aku mendapatkan adanya suatu cacat di punggung, suatu benjolan daging....”
“Ahh, makin menarik! Dan untuk membuktikan bahwa orang itu bukan aku, sebaiknya engkau melihat punggungku!”
Tanpa menanti jawaban, Cin Liong membuka baju atasnya dan membalikkan tubuh, memperlihatkan punggungnya yang berkulit putih bersih tanpa adanya cacat benjolan daging itu kepada Suma Hui yang menjadi merah sekali mukanya.
“Cin Liong, tanpa kau perlihatkan punggungmu, aku pun kini sudah percaya, karena aku telah menemukan orangnya.”
“Ahhh....? Benarkah? Siapa si keparat itu?” tanya Cin Liong sambil mengenakan lagi bajunya.
“Siapa lagi kalau bukan si jahanam Louw Tek Ciang!”
“Hehh....?” Cin Liong yang sedang mengancingkan bajunya itu berhenti setengah jalan. Matanya terbelalak memandang kepada wajah Suma Hui, seolah-olah tak percaya akan pendengarannya sendiri. “Apa.... apa pula maksudmu? Dia....? Suheng-mu...., suamimu itu....? Bagaimana pula ini?”
“Benar, ternyata dialah jahanam pemerkosa itu! Kebetulan aku melihat benjolan daging di punggungnya. Tentu saja aku segera menyerangnya sehingga malam pengantin itu berubah menjadi malam perkelahian mati-matian. Sudah kukatakan dia lihai sekali dan aku bukan lawannya. Akan tetapi, ayah dan ibu muncul mendengar suara ribut-ribut.”
“Tentu dia sudah dapat dibekuk atau dibunuh!” kata Cin Liong penuh semangat.
“Sayang, dia yang sudah tersudut itu diselamatkan orang lain.”
“Siapa yang menyelamatkannya?”
“Kenalan lama kita. Dia adalah Jai-hwa Siauw-ok yang ternyata juga telah menjadi guru Tek Ciang.”
Kembali Cin Liong terperanjat. “Jai-hwa Siauw-ok....?”
“Ya, dan munculnya datuk sesat itu menerangkan segalanya. Engkau tentu tahu bahwa Jai-hwa Siauw-ok termasuk seorang di antara para datuk sesat yang menyerbu Pulau Es, yang memusuhi keluarga Pulau Es. Agaknya dia hendak mencelakakan kami dengan cara lain. Tentu dia yang mengatur semua itu bersama Tek Ciang, dan Jai-hwa Siauw-ok yang melepas asap pembius, lalu Tek Ciang yang melakukan pemerkosaan dan menyamar seperti engkau, tentu dengan maksud untuk mengadu antara keluarga Suma dengan keluarga Kao. Demikianlah, Cin Liong, maka kami memusuhi keluargamu dan aku…. aku telah bersikap bodoh sekali....”
“Di mana jahanam itu sekarang?” Cin Liong bangkit dan mengepal tinju, mukanya telah berubah merah. “Aku akan menghancurkannya bersama Jai-hwa Siauw-ok!”
“Tidak perlu, Cin Liong. Selama ini, ayah yang juga merasa menyesal sekali telah mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk menggembleng kami berdua, dan aku sendiri yang akan mencari jahanam itu!”
“Hui-moi.... sungguh kasihan sekali engkau, Hui-moi....”
Mendengar suara yang menggetar itu dan mendengar sebutan itu, wajah Suma Hui menjadi pucat, kemudian berubah merah sekali. Air matanya bercucuran lagi ketika ia memandang kepada laki-laki yang selalu menempati hatinya itu.
“Cin Liong.... maafkan.... kau maafkan aku....,” ratapnya.
“Hui-moi....!” Cin Liong melangkah maju dan menubruknya, merangkulnya dengan hati yang penuh rindu.
Seperti tanaman bunga yang sudah kekeringan lalu tiba-tiba menerima siraman hujan, Suma Hui mengembangkan kedua lengannya dan merangkul leher Cin Liong sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda yang dicintanya itu. Sampai lama mereka hanya saling dekap dan saling rangkul. Suma Hui menangis dan Cin Liong mengusap-usap rambutnya, menciumi mukanya dan mengisap air matanya.
Tiba-tiba Suma Hui melepaskan rangkulan Cin Liong dan meronta, menjauhkan dirinya, memandang dengan mata terbelalak. “Tidak....! Tidak....! Jangan....! Aku.... aku sudah tidak berharga untukmu, Cin Liong....!” Dia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan.
“Hui-moi, jangan berkata begitu. Aku tetap mencintamu, apa pun yang telah dan akan terjadi!” kata Cin Liong sambil melangkah menghampiri dan hendak merangkul lagi.
Akan tetapi Suma Hui mengelak dan sambil mengusap air matanya ia berkata, “Tidak, engkau jangan mengotorkan tanganmu dengan menjamahku, Cin Liong. Aku sudah kotor dan tidak berharga lagi. Aku bukan perawan lagi....”
“Hushhh, anak bodoh! Aku mencinta Suma Hui, aku mencinta dirimu, bukan mencinta keperawanan. Aib yang menimpa dirimu bukan karena kesalahanmu. Aku tetap cinta padamu dan aku akan meminangmu sekali lagi untuk menjadi isteriku. Hui-moi, aku cinta padamu, aku.... aku membutuhkanmu.... aku rindu padamu....”
“Tidak, Cin Liong. Bukan hanya bahwa aku telah ternoda, akan tetapi, di mata dunia, disaksikan oleh para tokoh kang-ouw, aku telah menjadi isteri jahanam Louw Tek Ciang! Aku harus mencarinya, aku harus membunuhnya lebih dulu!”
“Ahhh, kalau engkau sudah membunuhnya baru berarti engkau bebas dari ikatan, ikatan pernikahan dan ikatan dendam, dan engkau.... engkau akan mau menerimaku?”
“Jangan berkata demikian, Cin Liong. Aku.... aku selalu mencintamu, tapi aku sekarang sudah tidak berharga.... nanti kalau aku sudah berhasil, dan kalau engkau masih sudi menerimaku....”
Cin Liong menangkap tangan wanita itu, dikepalnya dengan erat dan jari-jari tangan mereka saling cengkeram. Ada getaran dari hati mereka terasa melalui jari-jari tangan itu. “Hui-moi, aku akan membantumu....”
“Tapi, engkau adalah seorang panglima, terikat oleh tugasmu.”
“Tidak, aku akan meletakkan jabatan. Setelah engkau berhasil membalas dendam, dan aku mengambilmu sebagai isteri, kita akan hidup menjauhkan diri dari segala keributan, agar engkau tak perlu mendengarkan omongan orang-orang yang suka membicarakan urusan dan keadaan orang lain.”
Suma Hui tersenyum melalui air matanya. “Ahh, betapa akan bahagianya kalau begitu, Cin Liong. Akan tetapi.... aih, bagaimana aku mungkin dapat menerimanya? Aku telah ternoda dan aku telah menjatuhkan fitnah keji kepadamu, kemudian keluargaku telah melakukan penghinaan kepada keluargamu, ditambah lagi bahwa aku telah menikah dengan orang lain. Engkau dan keluargamu suka memaafkan kami saja berarti sudah merupakan suatu berkah bagi kami, engkau tidak membenciku saja sudah merupakan suatu kemurahan darimu. Mana mungkin semua ini ditambah lagi dengan.... dengan engkau sudi mengambilku sebagai isterimu. Ah, terlalu langka dan muluk bagiku, aku.... sudah tidak berharga lagi untukmu....” Suma Hui lalu lari meninggalkan Cin Liong, sambil menangis.
“Hui-moi....! Hui-moi....!” Cin Liong mengejar.
Tetapi baru beberapa jauhnya dia mengejar, muncul Suma Ciang Bun menghadangnya. “Cin Liong, jangan mendesaknya. Kegirangan hati kadang-kadang sukar dapat diterima dengan tenang. Enci Hui telah mengalami penderitaan batin selama bertahun-tahun, biarlah kebahagiaan mendatanginya dengan perlahan-lahan, kalau secara tiba-tiba dan dipaksakan, bahkan berbahaya bagi batinnya.”
Cin Liong menatap wajah pemuda itu. Hampir tak percaya dia akan ucapan pemuda ini. Dalam beberapa tahun saja pemuda ini sudah menjadi dewasa dan matang, dan dia pun melihat adanya bayangan duka di wajah yang tampan itu. Akan tetapi dia tidak tahu entah apa dan mengapa.
“Aku hanya ingin membantunya mencari dan membalas dendam kepada musuh besarnya,” katanya.
“Si jahanam Tek Ciang?” Suma Ciang Bun tersenyum pahit. “Sejak semula aku tidak suka kepada orang yang menjilat-jilat itu. Sayang ayah terpedaya. Tapi sudahlah, penyesalan tiada gunanya. Dan dia sekarang sudah amat lihai. Selain mewarisi ilmu-ilmu keluarga kami, juga mendapat pelajaran dari Jai-hwa Siauw-ok. Biar pun demikian, enci Hui dan aku akan sanggup menghadapi dan mengalahkannya. Ini adalah urusan pribadi. Urusan dendam keluarga. Kalau engkau hendak membantu, jangan lakukan itu dengan berterang, Cin Liong. Engkau hanya akan membuat enci Hui merasa lebih rendah lagi. Biarlah ia mengangkat kembali kehormatannya dengan membalas dendam kepada orang yang merenggutnya. Dan hanya akulah satu-satunya orang yang boleh membantunya. Kami sudah siap dan sudah bersepakat akan mulai pergi mencari musuh itu besok pagi.”
Bersama Ciang Bun, Cin Liong lalu pergi ke rumah keluarga itu menghadap Suma Kian Lee dan isterinya. Pemuda ini langsung menghadap dan tanpa sungkan-sungkan lagi lalu berkata, “Ji-wi locianpwe. Saya telah bertemu dan bicara dengan Hui-i, telah mendengar akan semua yang telah terjadi. Dan saya mempergunakan kesempatan ini, mendahului ayah bunda saya, untuk sekali lagi mengajukan pinangan terhadap Hui-moi, untuk menjadi isteri saya.”
Sungguh ucapan ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suma Kian Lee menjadi pucat wajahnya dan sejenak dia memejamkan mata sambil menundukkan mukanya. Penyesalan besar menyelinap di hatinya.
Pernah ada seorang pemuda yang berbaik hati, mau menerima Suma Hui sebagai isteri walau pun sudah mendengar bahwa gadis itu sudah diperkosa orang. Tetapi ternyata pemuda itu, Louw Tek Ciang, adalah seorang penjahat besar yang ternyata menjadi pemerkosanya sendiri. Akan tetapi pemuda ini, Kao Cin Liong, seorang pendekar besar, seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, kini mau menerima Suma Hui sebagai isteri, setelah mendengar Suma Hui diperkosa orang, setelah menerima penghinaan dan fitnah, sungguh hal ini amat sukar diterima dan dimengertinya. Juga hal itu membuka matanya betapa tinggi nilai cinta yang berada di hati pemuda ini terhadap Suma Hui.
“Tapi.... tapi.... kami telah....,” katanya gagap dan isterinya menolongnya.
“Cin Liong, kami sebagai orang tua pernah membuat kesalahan dan kami tidak mau lagi mengulang kesalahan yang sama. Urusan pernikahan Suma Hui adalah urusan pribadinya, oleh karena itu, kalau engkau memang benar mencintanya seperti yang kupercaya sepenuhnya, bicarakanlah hal itu dengan Hui-ji sendiri. Kalau ia setuju, kami berdua pun akan menyetujuinya dengan penuh kebahagiaan hati.”
“Saya sudah bicara dengan Hui-moi dan ia.... ia menangguhkannya sampai ia berhasil membalas dendam kepada musuh besar itu.”
“Kalau begitu, tidak ada persoalan lagi!” kata Kim Hwee Li dengan wajah berseri.
“Biarlah kami yang akan mendatangi orang tuamu untuk membicarakan soal perjodohan ini dan sekalian minta maaf atas kesalahan kami sekeluarga,” akhirnya Suma Kian Lee berkata dengan hati lega.
Sampai Cin Liong berpamit pergi, dia tidak dapat berjumpa dengan Suma Hui yang agaknya sengaja menjauhkan diri. Akan tetapi pemuda ini sudah memperoleh kembali kegembiraannya dan dia yakin bahwa gadis itu masih mencintanya. Maka dia pun berpamit dari keluarga Suma dan langsung dia pergi ke kota raja dengan maksud hati hendak meletakkan jabatannya, kemudian akan menyusul dan membantu Suma Hui menghadapi Louw Tek Ciang yang dibantu oleh datuk sesat.
Pada keesokan harinya, Suma Hui berdua Suma Ciang Bun juga mendapat perkenan orang tua mereka untuk berangkat meninggalkan rumah, untuk mulai dengan usaha mereka mencari jejak Tek Ciang, musuh besar yang amat dibencinya itu.
Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia memang berbakat baik sekali dan juga amat suka belajar ilmu silat. Otaknya cerdas dan dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana sukar pun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan saja!
Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.
Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka dia pun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari pekerjaan Hek-i Mo-ong hanya mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.
Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya. Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga.
Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat bekerja di ladang, juga tiap hari mencari ikan untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.
Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mukjijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan.
Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang.
Di samping mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka dia pun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil menguasai kedua ilmu ini.
Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nampak serius sekali.
“Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?”
Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran. Dia ingin tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga, “Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?”
“Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarang pun aku mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian yang hebat bukan main.”
Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia sendiri pun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.
“Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?” Tanyanya langsung saja.
Hek-i Mo-ong tertawa. “Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Saat aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.”
“Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?”
“Tak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku telah dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu.”
Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulu terlalu mengugulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai dari padanya. Karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.
“Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.”
“Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!”
Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas! Pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak peduli. Siapa pun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itu pun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu!
Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dari itu dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.
“Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?”
“Namanya Kam Hong dan dia tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.”
“Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.”
Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia rantai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak nampak menyolok.
Ada pun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam.
Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik. Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.
Siapakah orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang akhirnya menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapa pun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yakni kekalahan.
Dia tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapa pun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.....
Para pembaca kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’ tentu masih mengenal siapa pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat.
Pendekar ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoi-nya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.
Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-hang-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu.
Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang. Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.
Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, mau pun kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya.
Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan beberapa kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusun di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.
Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi biar sederhana dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan, belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi.
Sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas. Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in.
Selain ini, dia pernah pula digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang termasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khikang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!
Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini dia lalu memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular. Kemudian, dia pernah memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sinkang Im dan Yang kepadanya. Selain itu semua, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang sangat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak isterinya.
Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Dahulu ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil. Dan ia sendiri pun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula menggunakan sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian merdu.
Demikianlah serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tak pernah mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka telah menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.
Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.
Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?
Seperti kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Berdua guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke arah timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat, menuju utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang dari situ sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.
Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.
Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita yang berkata dengan suara memohon. “....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang....”
Ceng Liong makin penasaran, namun Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata, “Ceng Liong, perlu apa kita mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita.”
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku tidak ingin mencampuri urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya.” Dan pemuda ini pun melangkah mendekati kuil.
“He-he-heh, engkau cari perkara saja!” kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar saat muridnya memasuki kuil tua itu.
Ruangan depan kuil itu kotor karena gentengnya telah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liong terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang menangis itu.
Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada wanita itu. “Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat jika aku sudah bosan padamu!”
“Cici....!” Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.
“Siauw-moi, bersabarlah....!” Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita ini pun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.
Ceng Liong makin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainya pun agak bersih. Ketika dia masuk melangkahi pintu tanpa daun itu, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika berubah merah karena malu.
Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya. Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.
Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong menjadi malu dan kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentu dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinya pun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk?
Biar pun usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.
“Apakah yang sedang terjadi di sini?” Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.
Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya mereka tetap asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak mempedulikan adanya Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum!
Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka dia pun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itu pun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walau pun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.
“Ehh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?”
Biar pun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi mengeluarkan pertanyaan itu hanya untuk menutupi rasa malu dan kikuknya. Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang tengah memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknya pun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang yang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!
“Aku tadi mendengar suara tangisan dan orang minta pulang....,” katanya lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.
“Kamu hendak mencampuri urusan kami?” bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong....”
“Ha-ha-ha!” Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak peduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain.
Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, kemudian menangis dan berkata, ditujukan kepada Ceng Liong. “Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik....”
Barulah Ceng Liong mengerti dan dia pun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka dia pun tertawa lagi.
“Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Kau antarkan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!” Tangannya bergerak ke depan, ke arah Ceng Liong.
“Singgg....!”
Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.
“Huhhh!”
Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang demikian tenang, seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk.
“Krekkk!” terdengar suara, lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkan Ceng Liong ke atas lantai!
Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, bahkan kemudian mematah-matahkan pisaunya itu bagai orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka!
Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping, seperti orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara lantang dia berseru, “Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri urusan pribadi kami?”
Ceng Liong tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya. “Siapa mencampuri urusan pribadi kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi.”
Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!
“Setan cilik! Kau mau apa?”
“Setan besar!” Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli melihat lagak orang di depannya itu. “Aku mau agar kalian membebaskan dua orang nona itu, kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!”
Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi merah saking marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya.
“Keparat kau!”
“Jahanam kau!” Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia tahu orang ini marah besar, dan justru inilah yang menggembirakan hatinya. Wataknya yang suka menggoda orang timbul. “Eh, apakah bisamu hanya membikin susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?”
Louw Tek Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya kehabisan akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong.
“Mampuslah!” bentaknya sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.
Ceng Liong cepat mengelak dan kini matanya terbelalak.
“Wuuutt!”
Pukulan yang mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua yang lebih panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut.
Dia mengenal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biar pun belum dikuasainya akan tetapi sudah amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar pula untuk dielakkan, terpaksa dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menangkis pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.
“Desss....!”
Dua tenaga sinkang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya hanya seorang yang usil dan lancang yang hendak mencampuri urusannya dan hendak mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga memandang penuh perhatian dan dia pun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil.
Maka Jai-hwa Siauw-ok segera melakukan tindakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu harus dibunuh dulu supaya tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya bergerak cepat. Terdengar suara mencicit seperti tikus terjepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah terlempar ke lantai.
Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika, karena mereka telah menjadi korban serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.
Ketika Ceng Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek Ciang menyambar dan menghantamnya. Sekarang Tek Ciang mempergunakan pukulan Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Desss....!”
Keduanya terpental lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali. Guru dan murid ini, yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat bergerak hendak maju berbareng.
“Heh-heh-heh-heh, Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?”
Dan muncullah Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i Mo-ong, tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berubah pucat.
“Hek-i Mo-ong....!” serunya.
Seruan ini lebih ditujukan kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu. Dan Tek Ciang memang segera teringat akan cerita itu, maka pemuda ini pun cepat melangkah mundur dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
“Ahh, kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka terjadi kesalah pahaman,” kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.
Tek Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai dari pada Jai-hwa Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiri pun tidak kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid kakek itu juga lihai, dia pikir lebih aman kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu segolongan? Maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.
“Ahhh, kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya menjulang tinggi di angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe yang masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya.”
Suasana penuh dengan ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah mengenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu Mo-ong dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es. Dia sendiri melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya!
Dan kini mereka bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk membuat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu saja dia tidak akan mau menyerahkan nyawa begitu saja.
Muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat dari padanya, dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat menandingi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi di situ terdapat murid Hek-i Mo-ong yang biar pun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini membuatnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan dia sudah siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang diduganya.
Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk besar yang berjuluk Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu terlalu besar.
Siauw-ok telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, yaitu lari menyelamatkan diri sendiri tanpa mempedulikan kawan-kawan. Dan sekarang, Siauw-ok dan muridnya malah berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan ‘menghukum’ mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada Tek Ciang.
“Siauw-ok, dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!”
Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Dia pun merasa girang dan cepat berkata, “Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!”
“Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalah pahaman tadi adalah biasa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih.”
“Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya.”
“Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar-benar dipertandingkan, engkau sendiri pun tentu akan kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itu pun bukan barang murahan. Siauw-ok, mengapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah kebetulan saja? Ataukah ada hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?”
“Bukit Nelayan....? Ehh, Mo-ong, bagaimana engkau bisa…. bisa mengetahuinya....?”
“Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk mencari Bu Ci Sian, bukan?”
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk. “Agaknya Mo-ong telah tahu segalanya.”
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa “Tentu saja aku tahu. Coba kau ingat, di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?”
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan, “Kini Bu Ci Sian telah menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan, maka melihat engkau di sini bersama muridmu yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu? Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha-ha, agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkan juga kebiasaanmu!” Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis belasan tahun itu.
Jai-hwa Siauw-ok tersenyum. “Ahhh, hanya kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak membalas dendam kematian guru-guruku.”
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
Jai-hwa Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan tetapi dia menanti keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu sekutunya mau pun musuhnya.
Dan memang Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang tadi diawali suara ketawa mengejek ini. “Dan engkau bersama muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk mati konyol, ha-ha ha!”
Kini Jai-hwa Siauw-ok menjadi penasaran, bahkan Louw Tek Ciang juga memandang tajam dengan alis berkerut. Bagaimana pun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan gurunya dan biar pun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak berhak memandang rendah orang segolongan seperti itu.
“Harap locianpwe suka menjelaskan!” katanya penasaran.
Sementara itu, Ceng Liong sejak tadi hanya mendengarkan, akan tetapi matanya sering tertuju kepada dua buah mayat gadis itu.
“Ha-ha-ha, apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu Ci Sian menikah? Dan apa macam suaminya? Ha-ha, suaminya itu adalah Kam Hong si Pendekar Suling Emas!”
Jai-hwa Siauw-ok terbelalak, sedangkan Tek Ciang tak peduli karena memang pemuda yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam dongeng persilatan, lebih tua dari pada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok yang sudah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara terheran.
“Ahhh, jangan berkelakar, Mo-ong. Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan tahun yang lalu, lebih seratus tahun yang lalu? Mana mungkin Bu Ci Sian menikah dengan dia yang sudah lama mati.”
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa gembira, tawa seorang yang merasa unggul dan lebih tahu. “Bodoh, tentu saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama, melainkan dengan keturunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah mewarisi semua ilmu kepandaian keluarga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke sana, selain berhadapan dengan Bu Ci Sian, juga akan berhadapan dengan suaminya itu yang sepuluh kali lebih lihai dari pada Bu Ci Sian.”
Jai-hwa Siauw-ok tertegun dan saling pandang dengan muridnya. Hal ini memang sama sekali tidak pernah disangkanya. Menurut penyelidikannya, Bu Ci Sian hidup di puncak Bukit Nelayan itu bersama suaminya dan seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Sama sekali dia tidak pernah memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih lihai dari pada pendekar wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah seorang cerdik. Dia pun mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i Mo-ong ke tempat itu sudah pasti tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan saja, tentu ada maksudnya tertentu yang amat penting.
“Mo-ong, apakah engkau dan muridmu juga hendak pergi ke sana? Barangkali kalian hendak mencari.... ehhh, orang she Kam yang lihai itu?”
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak, nampak giginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga mulutnya. “Ha-ha-ha, engkau amat cerdik seperti serigala! Memang benar, aku hendak membuat perhitungan pribadi dengan Kam Hong.”
Sekarang mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan muridnya. Kiranya Raja Iblis ini pun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan dan agaknya si Raja Iblis ini masih ragu-ragu apakah akan mampu mengalahkan keturunan Pendekar Suling Emas. Inilah sebabnya maka Hek-i Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan mendekatinya untuk diajak bersekutu lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es, melainkan menyerbu puncak Bukit Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan, yang satu pihak hendak memusuhi isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya. Jadi dapat saling bantu! Maka dia pun berani tertawa bergelak dan wajahnya yang tua akan tetapi masih tampan itu nampak jauh lebih muda kalau tertawa.
“Bagus sekali, Mo-ong. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa kita akan menjadi sekutu dan sekawan dalam menghadapi apa pun. Engkau dan muridmu menyerbu suaminya, aku dan muridku meringkus isterinya dan anak mereka, dan pekerjaan kita menjadi jauh lebih ringan, bukan?”
Hek-i Mo-ong tertawa. “Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya perempuan saja. Nah, mari kita berangkat, berjalan sambil merencanakan siasat yang baik....”
Kakek ini menghentikan kata-katanya ketika dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang bekerja menggali tanah dengan kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda remaja itu menggunakan kedua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu seperti berubah menjadi cangkul baja saja ketika jari-jari tangannya menghunjam ke dalam tanah dan menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang amat hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah dapat menggali tanah yang cukup lebar dan panjang.
“Ehhh, apa yang kau lakukan?” Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.
Tanpa menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab, “Aku tidak mau pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita ini, Mo-ong.”
Dia pun menggali semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan kemarahannya kepada tanah di depannya. Setelah lubang itu cukup besar, dia pun lalu mengangkat dua mayat gadis itu ke dalam lubang, lalu ditimbuninya lubang itu dengan tanah. Sebentar saja dua orang gadis bernasib malang yang telah menjadi mayat itu telah dikuburkan dengan sederhana namun cukup pantas.
“Ha-ha-ha-ha, Mo-ong, muridmu yang gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!” Jai-hwa Siauw-ok tertawa dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.
“Jai-hwa-cat! Lekaslah kau maju dan kau cobalah kelemahanku!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak dan memasang kuda-kuda. Kedua lengannya masih hitam terkena lumpur, sepasang matanya mencorong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.
Dimaki sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) orang itu sama sekali tidak marah, bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya sama dengan pengakuan dan pujian! Bagaimana pun juga, andai kata dia tidak ingat bahwa pemuda itu murid Hek-i Mo-ong dan terutama sekali pada saat itu Hek-i Mo-ong hadir di situ, tentu dia tidak akan tinggal diam ditantang oleh seorang muda.
“Hemm, orang muda, gurumu dan aku ialah sekutu yang sama-sama akan menghadapi lawan tangguh. Tidak baik jika urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan kedudukan kita sendiri,” katanya.
“Ceng Liong, musuh kita adalah penghuni istana di puncak Bukit Nelayan itu, dan bukan Jai-hwa Siauw-ok. Jangan engkau layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut cerewet seperti perempuan!” kata Hek-I Mo-ong.
Mo-ong sengaja balas menghina untuk meredakan kemarahan Ceng Liong yang tadi dikatakan berhati lemah. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang mengerti maksud ucapan Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja, walau pun Tek Ciang memandang marah mendengar gurunya dimaki.
Empat orang itu lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok berbincang-bincang membahas musuh-musuh mereka. Memang terdapat permusuhan antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan itu dengan mereka berdua.
Kam Hong pernah bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini telah dihajarnya, dan terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu. Hal ini membuat Mo-ong merasa penasaran sekali dan hatinya takkan puas sebelum dia dapat membalas kekalahan itu. Ada pun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati kepada Bu Ci Sian, pendekar wanita yang kini telah menjadi nyonya Kam Hong.
Bu Ci Sian pada belasan tahun yang lalu sudah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa Siauw-ok, tertama sekali kematian Ji-ok karena Ji-ok adalah gurunya dan juga kekasihnya. Dendam kedua orang datuk sesat itu terjadi belasan tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan untuk dapat membalas dendam..
Gedung yang nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno yang di jaman dulu terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu, perkumpulan itu terkenal sekali dan memiliki anggota-anggota yang berilmu tinggi. Bangunannya kuno dan kokoh, temboknya tebal. Akan tetapi, walau pun dari luar nampak tua dan kuno, namun di sebelah dalamnya bersih dan rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat baik. Di ruangan khusus keluarga terhias gambar-gambar lukisan dari nenek moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi sahabat baik nenek moyang Khong-sim Kai-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah pendekar sakti Kam Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah keturunan Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena selain dia pernah menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari Khong-sim Kai-pang, juga keturunan terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang bernama Yu Hwi, sekarang telah menikah dengan seorang pendekar she Cu yang tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman. Untuk memperkenalkan keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca yang belum membaca kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’, marilah kita menjenguk riwayat singkat pendekar sakti ini.
Kam Hong adalah keturunan terakhir dari keluarga SULING EMAS dan sejak kecil dia diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek tokoh terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai anak atau cucu sendiri dan digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan dia pun telah ditunangkan dengan cucu Sai-cu Kai-ong yang merupakan keturunan terakhir keluarga Yu, pendiri dari Khong-sim Kai-pang, yang bernama Yu Hwi. Akan tetapi, agaknya Tuhan menghendaki lain.
Kam Hong dan Yu Hwi yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman dahulu telah saling bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa, menemukan jalan hidup masing-masing, bahkan menemukan pilihan hati masing-masing. Karena itulah, usaha kedua keluarga untuk menjodohkan mereka gagal.
Kam Hong bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan akhirnya mereka menjadi suami isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia itu bertemu dengan Cu Kang Bu, seorang di antara pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta suling emas asli, saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula. Kini Yu Hwi, yang sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong-sim Kai-pang dan menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut suaminya tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Dan istana tua itu kini dirawat dan ditinggali oleh Kam Hong yang dahulu menjadi tunangannya.
Demikianlah sekelumit riwayat Kam Hong yang berhubungan dengan istana tua itu. Dia hidup rukun dan penuh kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ terdapat enam orang pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar itu, tiga orang pria dan tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Karena bantuan enam orang inilah maka istana tua itu selalu dalam keadaan bersih dan terawat baik.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di waktu pagi sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di puncak bukit, menanti sampai matahari muncul di balik gunung, menikmati udara sejuk dan sinar matahari pagi yang segar. Pada pagi hari itu, seperti biasa mereka berdua bergandeng tangan mendaki puncak sebelah timur untuk menyambut munculnya matahari di pagi yang cerah itu.
Kadang-kadang Bi Eng ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki puncak di pagi hari, selain amat baik untuk latihan, menyehatkan badan dan batin, juga keindahan alam yang luar biasa akan dapat dinikmati dan tidak pernah membosankan. Akan tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak ikut bersama ayah bundanya. Ia sedang berlatih silat seorang diri di taman bunga di samping istana dengan asyiknya. Taman itu indah, terawat olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu oleh tiga orang pelayan wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi inti ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).
Seperti ayah bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling emas. Suling ini terbuat dari emas tulen, merupakan tiruan dari suling emas asli di tangan ayahnya, seperti juga yang dijadikan senjata ibunya. Mula-mula Bi Eng memainkan suling di tangannya secara lambat dan perlahan, nampak seperti orang menari saja, tarian yang indah dan aneh.
Akan tetapi, lambat-laun suling di tangannya bergerak semakin cepat dan mulailah terdengar suara melengking keluar dari suling itu dan bentuk suling pun lenyap berubah menjadi gulungan sinar emas yang indah menyilaukan mata. Semakin lama, suara melengking itu semakin nyaring, naik turun seperti melagu. Tubuh yang berkelebatan gesit itu terbungkus gulungan sinar emas, amat indahnya. Bi Eng tidak tahu bahwa pada saat itu, empat pasang mata memandang dengan penuh kagum.
Empat orang itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang menonton dari luar taman. Pandang mata Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang dara belasan tahun yang berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar itu memainkan suling sedemikian indahnya.
Akhirnya Bi Eng menghentikan gerakan silatnya, kemudian duduk bersila di atas tanah mengatur pernapasan. Setelah pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa menyadari bahwa ada empat orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata kagum, lalu menempelkan lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia meniup suling itu. Keluarlah suara suling yang amat merdu, meninggi dan merendah dengan indahnya.
Akan tetapi, empat orang yang mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah dan merdu suara suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan untuk melagu santai, melainkan meniup untuk melatih khikang yang amat kuat dan agaknya menjadi satu di antara keistimewaan ilmu keluarganya.
Dan memang sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi Eng itu masih dalam rangka berlatih ilmu dan tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu suara yang mengandung getaran dan dapat menyerang lawan! Empat orang itu cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk melawan daya serang suara itu yang semakin lama menjadi semakin kuat menusuk-nusuk telinga.
Tek Ciang sudah tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu birahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu amat menarik hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu. Siapa pun adanya gadis itu harus dia dapatkan!
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam orang, tiga orang pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu keluarga Kam dan tadi seorang di antara mereka melihat munculnya empat orang asing di dekat taman. Cepat dia memberi tahukan teman-temannya dan kini mereka semua datang dan menegur.
“Siapakah kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?” tegur seorang di antara para pembantu keluarga Kam.
“Kami mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?” tanya Tek Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya pada Bi Eng yang kini sudah menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan alis berkerut.
“Majikan kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau memang su-wi ada keperluan dengan majikan kami, harap menunggu di kamar tamu sampai mereka kembali dari jalan-jalan.”
“Ha-ha-ha, kiranya kalian hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!” kata Jai-hwa Siauw-ok.
Kini Bi Eng sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia mendengar kata-kata itu.
“Ada keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku? Orang tuaku tidak mempunyai kenalan orang-orang kasar seperti kalian!” katanya dengan suara merdu akan tetapi tajam dan menusuk. Bi Eng memang menuruni watak ibunya yang lincah jenaka, akan tetapi juga dapat bersikap berani, bengal dan galak.
“Ehh, kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong dan Bu Ci Sian? Bagus, mari ikut aku bersenang-senang, nona manis!” kata Tek Ciang.
Mendengar kata-kata ini, dan melihat sikap ini, diam-diam Ceng Liong sudah merasa mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja, hanya memandang.
Enam orang pelayan itu pun marah mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat menduga bahwa tentu kedatangan empat orang ini tidak mengandung niat baik, maka rasa setia terhadap majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang. Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang, maka guru dan murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka.
Sambil tertawa mengejek, Tek Ciang menggerakkan tangannya menampar, demikian pula Jai-hwa Siauw-ok. Dua orang pelayan pria coba untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi hawa pukulan itu saja sudah membuat mereka seperti lumpuh dan terdengar suara keras ketika kepala mereka terkena tamparan. Mereka hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas seketika!
Empat orang kawan mereka terkejut dan marah. Mereka lalu mencabut pedang dan menerjang maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa kali menggerakkan tangan, Tek Ciang dan Jai-hwa Siauw-ok yang menyambut mereka itu telah berhasil menggulingkan mereka. Mereka roboh dengan kepala retak dan tewas seketika hanya dalam beberapa gebrakan saja!
“Ha-ha-ha-ha!” Mo-ong tertawa bergelak. “Hanya begini sajakah kekuatan pasukan yang dididik Kam Hong? Ha-ha-ha!”
Hatinya senang melihat betapa para anak buah musuhnya, dalam waktu singkat telah roboh dan tewas oleh sekutunya. Ceng Liong mengepal tinju, akan tetapi tidak bergerak. Dia merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji membantunya, akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan gurunya. Dia sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang. Dan kini dia melihat sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam.
Orang-orang itu mungkin hanya pelayan-pelayan yang tidak berdosa, tanpa bersalah apa-apa mengapa dibunuh sedemikian kejamnya? Namun karena dia tidak mempunyai sangkut-paut apa-apa, dia hanya memandang saja dengan tangan terkepal dan alis berkerut tak senang.
Sementara itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas seketika, Bi Eng menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat dari pada orang-orang biasa. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja mereka telah roboh dan tewas oleh dua di antara empat orang ini, maka dapat diduga bahwa mereka berempat itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, kemarahannya sudah tidak memungkinkan ia untuk bertanya-tanya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan halus, ia pun sudah menerjang ke depan dengan suling emasnya.
“Ha-ha, biar aku yang menjinakkan kuda betina yang muda dan liar ini!” Tek Ciang berkata sambil menyambut terjangannya.
Akan tetapi, bukan main kagetnya hati jai-hwa-cat muda ini ketika dia menggerakkan tangan hendak menangkap suling di tangan si nona. Tiba-tiba saja suling itu mengelak dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan nyaris mengenai lambungnya kalau saja dia tidak cepat-cepat meloncat ke belakang!
Nona itu dapat menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam segebrakan hampir saja dapat menendang lambungnya. Dan dari angin tendangan itu, tahulah Tek Ciang bahwa kalau dia tadi terkena tendangan, belum tentu dia akan dapat menahannya!
Tadinya dia berniat mempermainkan dara ini sebelum menangkapnya, mempermainkan sepuas hatinya. Akan tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang bertubi-tubi dengan suling itu membuat semua lamunan untuk mempermainkan gadis itu lenyap bagai asap tipis dihembus angin. Jangankan untuk mempermainkan, bahkan dia sendiri harus mempergunakan seluruh kepandaian dan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung suling yang luar biasa cepat dan kuatnya itu!
Dan semua itu masih ditambah lagi dengan lengkingan suara suling yang keluar dari suling yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa bising dan bingung juga. Untung dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, telah digembleng oleh Suma Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung datangnya serangan bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu.
Perlahan-lahan dia dapat menguasai keadaan dan dapat membalas dan kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali tidak berani main-main lagi, maklum bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada di bawah tingkatnya, bahkan gadis itu memiliki ilmu silat suling yang benar-benar aneh, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya...
Ayahnya telah menuangkan semua ilmunya kepada mereka, demikian juga ibu mereka. Saking besarnya semangat belajar mereka, Suma Hui bahkan mempelajari ilmu-ilmu aneh dari ibunya, yaitu ilmu pawang ular, ilmu untuk menaklukkan ular-ular yang dikuasai oleh ibunya, juga memperdalam ilmu pukulan Cui-beng Pat-ciang yang hanya delapan jurus akan tetapi amat hebatnya itu dari ibunya.
Bahkan, menurut petunjuk ibunya, gadis ini sudah berhasil memperoleh ular kalung emas, seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga ular yang amat ganas itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang amat ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau digunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat. Akan tetapi Suma Hui berjanji bahwa ia akan mempergunakan senjata ular dan ilmunya memanggil ular-ular itu hanya apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum sesat.
Suma Ciang Bun juga tidak mau kalah. Pemuda ini telah memilih ilmu yang diwarisi ayahnya dari mendiang neneknya, yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, pemuda ini juga mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in Bun-hoat. Kemudian, dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang harum baunya.
Melihat betapa puteranya amat berbakat bermain pedang, ayahnya memberi kepadanya sepasang pedang yang sangat baik buatannya, dari baja murni dan pedang itu amat indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam (Sepasang Pedang Bunga Teratai). Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang yang tipis ini, yang dimasukkan dalam satu sarung. Gagangnya dihias emas permata dan diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah. Memang pada dasarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah ini sangat disukainya. Dari ayahnya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang bernama Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu. Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang amat besar ketika dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun.
Suma Hui! Hatinya menjerit-jerit memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah mendalam itu membuat dia hampir tidak dapat menahannya. Ingin dia mendekati gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan membisikkan kata-kata cinta kepadanya. Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat mencinta gadis itu! Betapa dia akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya dan betapa akan sukarnya mencari penggantinya.
“Hui-moi....!” Jeritan hati ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri.
Suma Hui yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biar pun teriakannya tadi tidak begitu keras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya terdengar oleh dua orang kakak beradik itu, atau mungkin juga mereka merasakan kehadirannya. Keduanya menoleh dan melihatnya.
Yang pertama kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu merangkulnya.
“Cin Liong, ke mana sajakah engkau selama ini? Ahhh, engkau kurus benar!”
Cin Liong hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja seperti telah berubah menjadi patung dan dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali.
“Paman Ciang Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ahh, ilmu silatmu tentu sudah tinggi sekali sekarang!” kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan Ciang Bun.
“Cin Liong, kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kau beri petunjuk padaku agar aku dapat melihat di mana letak kekurangan dan kesalahanku!” berkata demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.
Melihat kegembiraan pemuda itu, Cin Liong merasa tidak tega menolak, maka sambil tertawa dia pun mengelak dan balas menyerang. Segera mereka mulai berlatih dengan saling serang. Akan tetapi ketika Cin Liong menangkis, dia terkejut sekali mendapat kenyataan betapa kuatnya lengan pemuda itu, betapa besar tenaga sinkang yang menggerakkan lengan itu! Dia pun terseret ke dalam kegembiraan dan bersilat dengan sungguh-sungguh karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali.
Sementara itu, Suma Ciang Bun juga merasa amat gembira, bukan hanya bertemu dengan keponakan yang amat dikagumi dan disukainya itu, melainkan karena kini dia memperoleh kesempatan berlatih dengan seorang lawan yang pandai. Biasanya, dia hanya dapat berlatih melawan enci-nya, ayahnya atau ibunya saja. Ilmu silat mereka sama, maka tentu saja dia menjadi bosan karena dia sudah tahu akan ke mana arah serangan mereka yang sekeluarga itu. Akan tetapi, kini menghadapi Cin Liong, dia seperti menghadapi seorang lawan yang sungguh-sungguh. Dia harus berhati-hati karena dia belum mengenal gerakan lawan dan ini merupakan latihan yang amat baik dan menarik.
Serang-menyerang terjadi dan makin lama Cin Liong semakin kagum. Tak disangkanya bahwa selama beberapa tahun ini Ciang Bun sudah memperoleh kemajuan yang begitu pesatnya dan memiliki banyak macam ilmu silat yang mutunya tinggi sekali. Dia harus membalas serangan, karena kalau dia hanya bertahan, bukan tidak mungkin dia akan kalah oleh pemuda ini! Tanpa mereka rasakan, mereka telah bertanding atau berlatih sampai lima puluh jurus!
Suma Hui dapat bernapas lega. Ketika tadi ia melihat munculnya Cin Liong secara mendadak, dia merasa jantungnya terguncang hebat dan hampir saja dia melarikan diri atau roboh lemas. Kiranya ia tidak akan mampu menghadapi Cin Liong pada saat pertemuan itu. Maka ketika adiknya mengajak pemuda itu berlatih silat, dia mempunyai banyak kesempatan untuk mengatur pernapasannya dan meredakan jantungnya yang bergelora tadi. Mukanya yang tadinya pucat sekali itu perlahan-lahan berubah merah dan kedua matanya terasa panas. Ia menahan-nahan tangisnya melihat pemuda yang dicintanya itu.
Betapa kurusnya muka Cin Liong! Ah, betapa sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu. Baru kini terbuka matanya bahwa ia tidak pernah membenci Cin Liong, tidak pernah dapat membencinya. Kalau dulu ia bertekad untuk mencari dan membunuh Cin Liong, hal itu bukan karena benci melainkan karena kecewa mengapa pemuda yang dicintanya itu menghancurkan segala harapannya. Dan kini? Ternyata pemuda itu sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu telah difitnahnya! Dituduhnya melakukan hal yang demikian kotor dan rendah!
Baru kini ia merasa menyesal sekali mengapa ia sampai begitu bodoh. Mana mungkin seorang pendekar gagah perkasa seperti Cin Liong, putera Naga Sakti Gurun Pasir, seorang panglima muda yang dipercaya kaisar, mau melakukan perbuatan serendah itu? Mengapa dia dahulu tidak bicara terang-terangan saja dengan Cin Liong dan menceritakan segalanya tanpa menuduhnya seperti itu?
“Cukup, paman Ciang Bun, cukup.... wah, engkau lihai sekali....!” Cin Liong meloncat ke belakang. Ciang Bun menghentikan serangannya dan keduanya saling pandang sambil tertawa dan mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi.
“Wah, setelah berlatih mati-matian selama beberapa tahun, masih saja aku belum mampu mengimbangimu, Cin Liong, apalagi menandingimu.”
“Engkau terlalu merendah, paman. Kepandaianmu hebat, hampir-hampir aku tidak kuat menahannya,” kata Cin Lion memuji.
Suma Hui sekarang melangkah maju menghampiri. Sejenak ia berdiri bertukar pandang dengan Cin Liong yang cepat memberi hormat. “Hui-i, maafkan kalau aku datang mengganggu,” katanya dengan suara gemetar.
Suma Hui tak mampu menjawab, hanya memandang dan dua titik air mata yang sejak tadi sudah memenuhi pelupuk matanya, kini menetes turun ke atas pipinya. Ia lalu menoleh kepada adiknya dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, “Bun-te, tinggalkan kami sendirian....”
Ciang Bun mengangguk maklum dan pemuda ini pun lalu pergi dan lari dari tempat itu. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi bayangannya, barulah Suma Hui memutar tubuh menghadapi Cin Liong. Kembali mereka saling berpandangan, lalu terdengar suara gadis itu lirih, “Cin Liong, engkau datang.... mau apakah....?”
Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh ayah gadis ini, pikir Cin Liong dengan hati terpukul. Akan tetapi dia harus berani menghadapi semua ini. Dia harus mengetahui segala yang terjadi atas diri wanita yang dicintanya ini. Dia tidak akan mengganggu, tidak berani, karena bukankah wanita ini telah menjadi isteri orang?
“Bibi Hui.... aku datang untuk.... untuk menanyakan kesalahanku, kesalahan kami sekeluarga kepada ayah bundamu. Aku sudah menghadap mereka dan.... dan mereka menyuruhku bertanya kepadamu sendiri.”
Suma Hui mengerutkan alisnya dan memejamkan matanya sebentar untuk mengusir semua kenangan pahit yang telah dideritanya selama ini. Lalu, dia melolos sepasang pedangnya. Melihat ini, Cin Liong terkejut bukan main.
“Hui-i, kalau sekali ini engkau menyerangku lagi, biarlah aku mati di tanganmu, dan aku tidak akan melawanmu.”
Sepasang mata itu terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan beberapa butir air mata mengalir turun. Sepasang pedang itu dilemparkannya ke dekat kaki Cin Liong dan suaranya berbisik dalam gemetar, “Cin Liong, aku telah bersalah kepadamu, kepada keluargamu, dosaku besar sekali dan aku layak mati. Nah, bunuhlah aku, boleh kau pergunakan pedangku yang pernah kupakai menyerang dan melukaimu dahulu itu.”
“Hui-i....,” Cin Liong terkejut bukan main. Cepat dia mengambil sepasang pedang itu dan melangkah maju, mengangsurkan sepasang pedang itu, mengembalikannya kepada pemiliknya. “Mengapa begitu? Simpanlah kembali pedangmu....”
Akan tetapi Suma Hui tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya. Dia pun menjatuhkan dirinya, bersimpuh ke atas tanah berumput di tepi telaga itu. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sedih, menahan isaknya dan hanya guncangan kedua pundaknya saja dan air mata yang mengalir melalui celah-celah jari tangannya yang menunjukkan bahwa gadis perkasa ini sedang menangis.
Cin Liong berlutut di dekatnya, meletakkan sepasang pedang itu di sisi pemiliknya. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul, akan tetapi ingatan bahwa wanita ini adalah isteri orang lain menahan gelora hatinya.
“Hui-i.... harap jangan menangis. Di manakah.... ehhh, suamimu?”
Pertanyaan ini agaknya amat mengejutkan Suma Hui. Ia menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat dan matanya merah basah, kini memandang kepada wajah pemuda itu bagaikan orang yang merasa heran dengan pertanyaan itu. “Engkau.... engkau belum mengetahuinya dari ayah dan ibuku?”
“Belum. Ketika aku menghadap mereka, mereka hanya menyuruh aku menemuimu di sini dan minta penjelasan darimu. Hui-i, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Aku merasa bingung dan gelisah sekali. Engkau dahulu ingin membunuhku, kemudian orang tuaku yang datang meminang menerima penghinaan dan aku dituduh melakukan.... perkosaan. Apakah artinya semua itu? Dan di mana adanya suamimu? Bukankah engkau telah menikah dengan.... suheng-mu sendiri itu?”
Menerima pertanyaan bertubi-tubi itu, Suma Hui memejamkan matanya, dan hanya air matanya saja yang menyatakan betapa hancur perasaan hatinya. Melihat keadaan wanita ini, Cin Liong merasa terharu sekali. Ingin dia mengulur tangan merangkul, mendekap kepala itu dan menyembunyikan muka itu di dadanya, menghiburnya dan mengusap air matanya. Akan tetapi dia tidak berani selancang itu terhadap wanita yang sudah bersuami.
Dia pun tahu bahwa agaknya baru kini Suma Hui dapat melampiaskan perasaannya, maka dia membiarkan saja wanita itu menangis sepuasnya. Bagi kebanyakan orang, terutama bagi wanita yang halus perasaannya, kadang-kadang tangis merupakan obat mujarab bagi ganjalan hati.
Akhirnya Suma Hui dapat menguasai hatinya. Tangisnya mereda dan ia pun berkata setelah menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya yang menjadi basah. “Sudah sepatutnya engkau mendengar semua itu dari mulutku sendiri. Mala petaka telah menimpaku. Semua dimulai pada malam jahanam itu.... Malam itu aku menjadi korban asap pembius yang ditiupkan ke dalam kamarku. Kemudian, dalam keadan setengah sadar, aku.... aku menjadi korban…. perkosaan orang.... dan dia.... dia menirukan suaramu. Karena kamar itu gelap dan suara itu mirip benar dengan suaramu, aku tertipu dan merasa yakin bahwa engkaulah yang melakukan perkosaan terhadap diriku itu.”
Suma Hui tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi dan menahan tangisnya sambil menghapus air matanya yang kembali membanjir keluar.
Cin Liong mengepal tinjunya. “Hemm, jadi benar-benar ada yang melakukan perbuatan hina itu terhadap dirimu! Pantas engkau menyerangku dan hendak membunuhku, dan kemudian, ketika orang tuaku datang meminang, mereka menerima penghinaan dari keluargamu. Aku tidak merasa heran sekarang. Akan tetapi mengapa engkau tidak mau berterus terang saja menegurku waktu itu sehingga aku dapat mengetahui duduknya persoalan, Hui-i?”
Suma Hui menunduk. “Aku begitu yakin bahwa engkaulah orang itu.... maka kuanggap tidak perlu banyak bicara lagi. Aku begitu kecewa.... begitu hancur hatiku.... sehingga aku.... aku bersumpah.... untuk membunuhmu!”
Cin Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak menyalahkanmu, Hui-i. Tetapi.... lalu bagai mana engkau tahu bahwa sebetulnya bukan aku pemerkosa biadab itu?”
“Dengarkan ceritaku. Di dalam noda dan aib itu, muncullah Louw Tek Ciang....”
“Suheng-mu?”
“Ya, ayah sendiri tertipu oleh sikapnya yang baik hingga ayah berkenan mengangkatnya sebagai murid, bahkan menurunkan semua ilmu keluarga kami kepadanya. Tek Ciang dengan sikapnya yang halus dan lembut penuh kesopanan itu muncul sebagai bintang penolong untuk menyelamatkan aku dari aib. Biar pun dia sudah diberitahu bahwa aku telah diperkosa orang, tetap saja dia bersedia untuk menjadi suamiku.”
“Ahhh....!”
“Aku tidak suka dan membencinya, dan untuk menolak desakan ayah aku mengatakan bahwa aku hanya ingin menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku. Ayah telah tergelincir oleh kelicikan Tek Ciang, ayah menggemblengnya sehingga dia menjadi lihai sekali. Aku pergi selama dua tahun lebih, mencarimu sampai ke kaki Pegunungan Himalaya, dengan maksud untuk menantangmu dan mengajakmu bertanding sampai aku mati di tanganmu....”
“Hui-i....!” Cin Liong berseru kaget dan memandang penuh iba. Suma Hui mengusap kembali air matanya.
“Karena mendengar bahwa engkau memimpin pasukanmu menyerbu ke Nepal, aku kembali ke timur dan setibanya di sini, Tek Ciang telah menjadi lihai sekali. Kembali ayah mendesak aku tentang pernikahan. Aku tetap mempertahankan bahwa aku hanya mau menikah deugan orang yang dapat mengalahkan aku.”
“Dan dia dapat mengalahkanmu?” tanya Cin Liong ketika gadis itu menghentikan ceritanya.
Suma Hui mengangguk. “Aku tidak dapat mengingkari janjiku. Aku dikalahkan dan aku terpaksa menurut kehendak ayahku. Apalagi aku berpikir bahwa setelah dia lihai, dia dapat kumintai bantuan untuk mencarimu dan membunuhmu....”
“Hemm.... wajar sekali itu. Lalu, bagaimana?” Hati Cin Liong mulai tertarik sekali.
“Pernikahan itu lalu dirayakan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan orang-orang penting....”
“Sayang kami tidak dapat hadir....”
“Tentu saja keluarga Kao tidak diundang.... ah, betapa bodohnya kami, dan semua itu karena kesalahanku....”
“Sudahlah, Hui-i, penyesalan pun tidak ada gunanya lagi dan sebetulnya bukan karena kesalahanmu, atau andai kata engkau melakukan kesalahan sekali pun, maka engkau melakukannya tanpa kau sadari. Lalu bagaimana?”
“Malam pengantin itulah yang membuka rahasia busuk itu! Seperti kukatakan tadi, ketika terjadi peristiwa di malam jahanam itu, aku tidak dapat melihat wajah pemerkosa, hanya mendengar suaranya saja yang sama dengan suaramu, juga cara bicaranya kepadaku persis kalau engkau bicara. Tetapi ada satu hal lagi yang menjadi rahasiaku, tidak kuberi tahukan kepada siapa juga, yaitu bahwa secara kebetulan, dalam keadaan setengah sadar itu, aku menyentuh punggung jahanam itu dan aku mendapatkan adanya suatu cacat di punggung, suatu benjolan daging....”
“Ahh, makin menarik! Dan untuk membuktikan bahwa orang itu bukan aku, sebaiknya engkau melihat punggungku!”
Tanpa menanti jawaban, Cin Liong membuka baju atasnya dan membalikkan tubuh, memperlihatkan punggungnya yang berkulit putih bersih tanpa adanya cacat benjolan daging itu kepada Suma Hui yang menjadi merah sekali mukanya.
“Cin Liong, tanpa kau perlihatkan punggungmu, aku pun kini sudah percaya, karena aku telah menemukan orangnya.”
“Ahhh....? Benarkah? Siapa si keparat itu?” tanya Cin Liong sambil mengenakan lagi bajunya.
“Siapa lagi kalau bukan si jahanam Louw Tek Ciang!”
“Hehh....?” Cin Liong yang sedang mengancingkan bajunya itu berhenti setengah jalan. Matanya terbelalak memandang kepada wajah Suma Hui, seolah-olah tak percaya akan pendengarannya sendiri. “Apa.... apa pula maksudmu? Dia....? Suheng-mu...., suamimu itu....? Bagaimana pula ini?”
“Benar, ternyata dialah jahanam pemerkosa itu! Kebetulan aku melihat benjolan daging di punggungnya. Tentu saja aku segera menyerangnya sehingga malam pengantin itu berubah menjadi malam perkelahian mati-matian. Sudah kukatakan dia lihai sekali dan aku bukan lawannya. Akan tetapi, ayah dan ibu muncul mendengar suara ribut-ribut.”
“Tentu dia sudah dapat dibekuk atau dibunuh!” kata Cin Liong penuh semangat.
“Sayang, dia yang sudah tersudut itu diselamatkan orang lain.”
“Siapa yang menyelamatkannya?”
“Kenalan lama kita. Dia adalah Jai-hwa Siauw-ok yang ternyata juga telah menjadi guru Tek Ciang.”
Kembali Cin Liong terperanjat. “Jai-hwa Siauw-ok....?”
“Ya, dan munculnya datuk sesat itu menerangkan segalanya. Engkau tentu tahu bahwa Jai-hwa Siauw-ok termasuk seorang di antara para datuk sesat yang menyerbu Pulau Es, yang memusuhi keluarga Pulau Es. Agaknya dia hendak mencelakakan kami dengan cara lain. Tentu dia yang mengatur semua itu bersama Tek Ciang, dan Jai-hwa Siauw-ok yang melepas asap pembius, lalu Tek Ciang yang melakukan pemerkosaan dan menyamar seperti engkau, tentu dengan maksud untuk mengadu antara keluarga Suma dengan keluarga Kao. Demikianlah, Cin Liong, maka kami memusuhi keluargamu dan aku…. aku telah bersikap bodoh sekali....”
“Di mana jahanam itu sekarang?” Cin Liong bangkit dan mengepal tinju, mukanya telah berubah merah. “Aku akan menghancurkannya bersama Jai-hwa Siauw-ok!”
“Tidak perlu, Cin Liong. Selama ini, ayah yang juga merasa menyesal sekali telah mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk menggembleng kami berdua, dan aku sendiri yang akan mencari jahanam itu!”
“Hui-moi.... sungguh kasihan sekali engkau, Hui-moi....”
Mendengar suara yang menggetar itu dan mendengar sebutan itu, wajah Suma Hui menjadi pucat, kemudian berubah merah sekali. Air matanya bercucuran lagi ketika ia memandang kepada laki-laki yang selalu menempati hatinya itu.
“Cin Liong.... maafkan.... kau maafkan aku....,” ratapnya.
“Hui-moi....!” Cin Liong melangkah maju dan menubruknya, merangkulnya dengan hati yang penuh rindu.
Seperti tanaman bunga yang sudah kekeringan lalu tiba-tiba menerima siraman hujan, Suma Hui mengembangkan kedua lengannya dan merangkul leher Cin Liong sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda yang dicintanya itu. Sampai lama mereka hanya saling dekap dan saling rangkul. Suma Hui menangis dan Cin Liong mengusap-usap rambutnya, menciumi mukanya dan mengisap air matanya.
Tiba-tiba Suma Hui melepaskan rangkulan Cin Liong dan meronta, menjauhkan dirinya, memandang dengan mata terbelalak. “Tidak....! Tidak....! Jangan....! Aku.... aku sudah tidak berharga untukmu, Cin Liong....!” Dia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan.
“Hui-moi, jangan berkata begitu. Aku tetap mencintamu, apa pun yang telah dan akan terjadi!” kata Cin Liong sambil melangkah menghampiri dan hendak merangkul lagi.
Akan tetapi Suma Hui mengelak dan sambil mengusap air matanya ia berkata, “Tidak, engkau jangan mengotorkan tanganmu dengan menjamahku, Cin Liong. Aku sudah kotor dan tidak berharga lagi. Aku bukan perawan lagi....”
“Hushhh, anak bodoh! Aku mencinta Suma Hui, aku mencinta dirimu, bukan mencinta keperawanan. Aib yang menimpa dirimu bukan karena kesalahanmu. Aku tetap cinta padamu dan aku akan meminangmu sekali lagi untuk menjadi isteriku. Hui-moi, aku cinta padamu, aku.... aku membutuhkanmu.... aku rindu padamu....”
“Tidak, Cin Liong. Bukan hanya bahwa aku telah ternoda, akan tetapi, di mata dunia, disaksikan oleh para tokoh kang-ouw, aku telah menjadi isteri jahanam Louw Tek Ciang! Aku harus mencarinya, aku harus membunuhnya lebih dulu!”
“Ahhh, kalau engkau sudah membunuhnya baru berarti engkau bebas dari ikatan, ikatan pernikahan dan ikatan dendam, dan engkau.... engkau akan mau menerimaku?”
“Jangan berkata demikian, Cin Liong. Aku.... aku selalu mencintamu, tapi aku sekarang sudah tidak berharga.... nanti kalau aku sudah berhasil, dan kalau engkau masih sudi menerimaku....”
Cin Liong menangkap tangan wanita itu, dikepalnya dengan erat dan jari-jari tangan mereka saling cengkeram. Ada getaran dari hati mereka terasa melalui jari-jari tangan itu. “Hui-moi, aku akan membantumu....”
“Tapi, engkau adalah seorang panglima, terikat oleh tugasmu.”
“Tidak, aku akan meletakkan jabatan. Setelah engkau berhasil membalas dendam, dan aku mengambilmu sebagai isteri, kita akan hidup menjauhkan diri dari segala keributan, agar engkau tak perlu mendengarkan omongan orang-orang yang suka membicarakan urusan dan keadaan orang lain.”
Suma Hui tersenyum melalui air matanya. “Ahh, betapa akan bahagianya kalau begitu, Cin Liong. Akan tetapi.... aih, bagaimana aku mungkin dapat menerimanya? Aku telah ternoda dan aku telah menjatuhkan fitnah keji kepadamu, kemudian keluargaku telah melakukan penghinaan kepada keluargamu, ditambah lagi bahwa aku telah menikah dengan orang lain. Engkau dan keluargamu suka memaafkan kami saja berarti sudah merupakan suatu berkah bagi kami, engkau tidak membenciku saja sudah merupakan suatu kemurahan darimu. Mana mungkin semua ini ditambah lagi dengan.... dengan engkau sudi mengambilku sebagai isterimu. Ah, terlalu langka dan muluk bagiku, aku.... sudah tidak berharga lagi untukmu....” Suma Hui lalu lari meninggalkan Cin Liong, sambil menangis.
“Hui-moi....! Hui-moi....!” Cin Liong mengejar.
Tetapi baru beberapa jauhnya dia mengejar, muncul Suma Ciang Bun menghadangnya. “Cin Liong, jangan mendesaknya. Kegirangan hati kadang-kadang sukar dapat diterima dengan tenang. Enci Hui telah mengalami penderitaan batin selama bertahun-tahun, biarlah kebahagiaan mendatanginya dengan perlahan-lahan, kalau secara tiba-tiba dan dipaksakan, bahkan berbahaya bagi batinnya.”
Cin Liong menatap wajah pemuda itu. Hampir tak percaya dia akan ucapan pemuda ini. Dalam beberapa tahun saja pemuda ini sudah menjadi dewasa dan matang, dan dia pun melihat adanya bayangan duka di wajah yang tampan itu. Akan tetapi dia tidak tahu entah apa dan mengapa.
“Aku hanya ingin membantunya mencari dan membalas dendam kepada musuh besarnya,” katanya.
“Si jahanam Tek Ciang?” Suma Ciang Bun tersenyum pahit. “Sejak semula aku tidak suka kepada orang yang menjilat-jilat itu. Sayang ayah terpedaya. Tapi sudahlah, penyesalan tiada gunanya. Dan dia sekarang sudah amat lihai. Selain mewarisi ilmu-ilmu keluarga kami, juga mendapat pelajaran dari Jai-hwa Siauw-ok. Biar pun demikian, enci Hui dan aku akan sanggup menghadapi dan mengalahkannya. Ini adalah urusan pribadi. Urusan dendam keluarga. Kalau engkau hendak membantu, jangan lakukan itu dengan berterang, Cin Liong. Engkau hanya akan membuat enci Hui merasa lebih rendah lagi. Biarlah ia mengangkat kembali kehormatannya dengan membalas dendam kepada orang yang merenggutnya. Dan hanya akulah satu-satunya orang yang boleh membantunya. Kami sudah siap dan sudah bersepakat akan mulai pergi mencari musuh itu besok pagi.”
Bersama Ciang Bun, Cin Liong lalu pergi ke rumah keluarga itu menghadap Suma Kian Lee dan isterinya. Pemuda ini langsung menghadap dan tanpa sungkan-sungkan lagi lalu berkata, “Ji-wi locianpwe. Saya telah bertemu dan bicara dengan Hui-i, telah mendengar akan semua yang telah terjadi. Dan saya mempergunakan kesempatan ini, mendahului ayah bunda saya, untuk sekali lagi mengajukan pinangan terhadap Hui-moi, untuk menjadi isteri saya.”
Sungguh ucapan ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suma Kian Lee menjadi pucat wajahnya dan sejenak dia memejamkan mata sambil menundukkan mukanya. Penyesalan besar menyelinap di hatinya.
Pernah ada seorang pemuda yang berbaik hati, mau menerima Suma Hui sebagai isteri walau pun sudah mendengar bahwa gadis itu sudah diperkosa orang. Tetapi ternyata pemuda itu, Louw Tek Ciang, adalah seorang penjahat besar yang ternyata menjadi pemerkosanya sendiri. Akan tetapi pemuda ini, Kao Cin Liong, seorang pendekar besar, seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, kini mau menerima Suma Hui sebagai isteri, setelah mendengar Suma Hui diperkosa orang, setelah menerima penghinaan dan fitnah, sungguh hal ini amat sukar diterima dan dimengertinya. Juga hal itu membuka matanya betapa tinggi nilai cinta yang berada di hati pemuda ini terhadap Suma Hui.
“Tapi.... tapi.... kami telah....,” katanya gagap dan isterinya menolongnya.
“Cin Liong, kami sebagai orang tua pernah membuat kesalahan dan kami tidak mau lagi mengulang kesalahan yang sama. Urusan pernikahan Suma Hui adalah urusan pribadinya, oleh karena itu, kalau engkau memang benar mencintanya seperti yang kupercaya sepenuhnya, bicarakanlah hal itu dengan Hui-ji sendiri. Kalau ia setuju, kami berdua pun akan menyetujuinya dengan penuh kebahagiaan hati.”
“Saya sudah bicara dengan Hui-moi dan ia.... ia menangguhkannya sampai ia berhasil membalas dendam kepada musuh besar itu.”
“Kalau begitu, tidak ada persoalan lagi!” kata Kim Hwee Li dengan wajah berseri.
“Biarlah kami yang akan mendatangi orang tuamu untuk membicarakan soal perjodohan ini dan sekalian minta maaf atas kesalahan kami sekeluarga,” akhirnya Suma Kian Lee berkata dengan hati lega.
Sampai Cin Liong berpamit pergi, dia tidak dapat berjumpa dengan Suma Hui yang agaknya sengaja menjauhkan diri. Akan tetapi pemuda ini sudah memperoleh kembali kegembiraannya dan dia yakin bahwa gadis itu masih mencintanya. Maka dia pun berpamit dari keluarga Suma dan langsung dia pergi ke kota raja dengan maksud hati hendak meletakkan jabatannya, kemudian akan menyusul dan membantu Suma Hui menghadapi Louw Tek Ciang yang dibantu oleh datuk sesat.
Pada keesokan harinya, Suma Hui berdua Suma Ciang Bun juga mendapat perkenan orang tua mereka untuk berangkat meninggalkan rumah, untuk mulai dengan usaha mereka mencari jejak Tek Ciang, musuh besar yang amat dibencinya itu.
**********
Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia memang berbakat baik sekali dan juga amat suka belajar ilmu silat. Otaknya cerdas dan dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana sukar pun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan saja!
Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.
Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka dia pun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari pekerjaan Hek-i Mo-ong hanya mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.
Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya. Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga.
Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat bekerja di ladang, juga tiap hari mencari ikan untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.
Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mukjijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan.
Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang.
Di samping mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka dia pun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil menguasai kedua ilmu ini.
Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nampak serius sekali.
“Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?”
Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran. Dia ingin tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga, “Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?”
“Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarang pun aku mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian yang hebat bukan main.”
Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia sendiri pun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.
“Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?” Tanyanya langsung saja.
Hek-i Mo-ong tertawa. “Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Saat aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.”
“Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?”
“Tak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku telah dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu.”
Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulu terlalu mengugulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai dari padanya. Karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.
“Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.”
“Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!”
Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas! Pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak peduli. Siapa pun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itu pun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu!
Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dari itu dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.
“Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?”
“Namanya Kam Hong dan dia tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.”
“Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.”
Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia rantai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak nampak menyolok.
Ada pun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam.
Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik. Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.
Siapakah orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang akhirnya menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapa pun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yakni kekalahan.
Dia tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapa pun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.....
**********
Para pembaca kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’ tentu masih mengenal siapa pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat.
Pendekar ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoi-nya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.
Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-hang-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu.
Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang. Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.
Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, mau pun kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya.
Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan beberapa kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusun di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.
Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi biar sederhana dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan, belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi.
Sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas. Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in.
Selain ini, dia pernah pula digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang termasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khikang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!
Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini dia lalu memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular. Kemudian, dia pernah memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sinkang Im dan Yang kepadanya. Selain itu semua, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang sangat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak isterinya.
Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Dahulu ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil. Dan ia sendiri pun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula menggunakan sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian merdu.
Demikianlah serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tak pernah mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka telah menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.
Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.
Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?
Seperti kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Berdua guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke arah timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat, menuju utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang dari situ sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.
Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.
Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita yang berkata dengan suara memohon. “....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang....”
Ceng Liong makin penasaran, namun Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata, “Ceng Liong, perlu apa kita mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita.”
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku tidak ingin mencampuri urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya.” Dan pemuda ini pun melangkah mendekati kuil.
“He-he-heh, engkau cari perkara saja!” kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar saat muridnya memasuki kuil tua itu.
Ruangan depan kuil itu kotor karena gentengnya telah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liong terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang menangis itu.
Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada wanita itu. “Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat jika aku sudah bosan padamu!”
“Cici....!” Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.
“Siauw-moi, bersabarlah....!” Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita ini pun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.
Ceng Liong makin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainya pun agak bersih. Ketika dia masuk melangkahi pintu tanpa daun itu, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika berubah merah karena malu.
Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya. Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.
Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong menjadi malu dan kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentu dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinya pun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk?
Biar pun usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.
“Apakah yang sedang terjadi di sini?” Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.
Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya mereka tetap asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak mempedulikan adanya Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum!
Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka dia pun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itu pun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walau pun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.
“Ehh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?”
Biar pun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi mengeluarkan pertanyaan itu hanya untuk menutupi rasa malu dan kikuknya. Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang tengah memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknya pun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang yang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!
“Aku tadi mendengar suara tangisan dan orang minta pulang....,” katanya lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.
“Kamu hendak mencampuri urusan kami?” bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong....”
“Ha-ha-ha!” Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak peduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain.
Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, kemudian menangis dan berkata, ditujukan kepada Ceng Liong. “Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik....”
Barulah Ceng Liong mengerti dan dia pun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka dia pun tertawa lagi.
“Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Kau antarkan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!” Tangannya bergerak ke depan, ke arah Ceng Liong.
“Singgg....!”
Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.
“Huhhh!”
Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang demikian tenang, seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk.
“Krekkk!” terdengar suara, lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkan Ceng Liong ke atas lantai!
Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, bahkan kemudian mematah-matahkan pisaunya itu bagai orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka!
Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping, seperti orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara lantang dia berseru, “Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri urusan pribadi kami?”
Ceng Liong tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya. “Siapa mencampuri urusan pribadi kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi.”
Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!
“Setan cilik! Kau mau apa?”
“Setan besar!” Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli melihat lagak orang di depannya itu. “Aku mau agar kalian membebaskan dua orang nona itu, kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!”
Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi merah saking marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya.
“Keparat kau!”
“Jahanam kau!” Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia tahu orang ini marah besar, dan justru inilah yang menggembirakan hatinya. Wataknya yang suka menggoda orang timbul. “Eh, apakah bisamu hanya membikin susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?”
Louw Tek Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya kehabisan akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong.
“Mampuslah!” bentaknya sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.
Ceng Liong cepat mengelak dan kini matanya terbelalak.
“Wuuutt!”
Pukulan yang mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua yang lebih panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut.
Dia mengenal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biar pun belum dikuasainya akan tetapi sudah amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar pula untuk dielakkan, terpaksa dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menangkis pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.
“Desss....!”
Dua tenaga sinkang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya hanya seorang yang usil dan lancang yang hendak mencampuri urusannya dan hendak mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga memandang penuh perhatian dan dia pun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil.
Maka Jai-hwa Siauw-ok segera melakukan tindakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu harus dibunuh dulu supaya tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya bergerak cepat. Terdengar suara mencicit seperti tikus terjepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah terlempar ke lantai.
Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika, karena mereka telah menjadi korban serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.
Ketika Ceng Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek Ciang menyambar dan menghantamnya. Sekarang Tek Ciang mempergunakan pukulan Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Desss....!”
Keduanya terpental lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali. Guru dan murid ini, yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat bergerak hendak maju berbareng.
“Heh-heh-heh-heh, Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?”
Dan muncullah Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i Mo-ong, tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berubah pucat.
“Hek-i Mo-ong....!” serunya.
Seruan ini lebih ditujukan kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu. Dan Tek Ciang memang segera teringat akan cerita itu, maka pemuda ini pun cepat melangkah mundur dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
“Ahh, kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka terjadi kesalah pahaman,” kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.
Tek Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai dari pada Jai-hwa Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiri pun tidak kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid kakek itu juga lihai, dia pikir lebih aman kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu segolongan? Maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.
“Ahhh, kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya menjulang tinggi di angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe yang masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya.”
Suasana penuh dengan ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah mengenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu Mo-ong dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es. Dia sendiri melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya!
Dan kini mereka bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk membuat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu saja dia tidak akan mau menyerahkan nyawa begitu saja.
Muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat dari padanya, dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat menandingi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi di situ terdapat murid Hek-i Mo-ong yang biar pun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini membuatnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan dia sudah siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang diduganya.
Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk besar yang berjuluk Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu terlalu besar.
Siauw-ok telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, yaitu lari menyelamatkan diri sendiri tanpa mempedulikan kawan-kawan. Dan sekarang, Siauw-ok dan muridnya malah berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan ‘menghukum’ mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada Tek Ciang.
“Siauw-ok, dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!”
Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Dia pun merasa girang dan cepat berkata, “Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!”
“Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalah pahaman tadi adalah biasa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih.”
“Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya.”
“Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar-benar dipertandingkan, engkau sendiri pun tentu akan kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itu pun bukan barang murahan. Siauw-ok, mengapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah kebetulan saja? Ataukah ada hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?”
“Bukit Nelayan....? Ehh, Mo-ong, bagaimana engkau bisa…. bisa mengetahuinya....?”
“Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk mencari Bu Ci Sian, bukan?”
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk. “Agaknya Mo-ong telah tahu segalanya.”
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa “Tentu saja aku tahu. Coba kau ingat, di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?”
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan, “Kini Bu Ci Sian telah menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan, maka melihat engkau di sini bersama muridmu yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu? Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha-ha, agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkan juga kebiasaanmu!” Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis belasan tahun itu.
Jai-hwa Siauw-ok tersenyum. “Ahhh, hanya kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak membalas dendam kematian guru-guruku.”
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
Jai-hwa Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan tetapi dia menanti keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu sekutunya mau pun musuhnya.
Dan memang Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang tadi diawali suara ketawa mengejek ini. “Dan engkau bersama muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk mati konyol, ha-ha ha!”
Kini Jai-hwa Siauw-ok menjadi penasaran, bahkan Louw Tek Ciang juga memandang tajam dengan alis berkerut. Bagaimana pun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan gurunya dan biar pun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak berhak memandang rendah orang segolongan seperti itu.
“Harap locianpwe suka menjelaskan!” katanya penasaran.
Sementara itu, Ceng Liong sejak tadi hanya mendengarkan, akan tetapi matanya sering tertuju kepada dua buah mayat gadis itu.
“Ha-ha-ha, apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu Ci Sian menikah? Dan apa macam suaminya? Ha-ha, suaminya itu adalah Kam Hong si Pendekar Suling Emas!”
Jai-hwa Siauw-ok terbelalak, sedangkan Tek Ciang tak peduli karena memang pemuda yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam dongeng persilatan, lebih tua dari pada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok yang sudah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara terheran.
“Ahhh, jangan berkelakar, Mo-ong. Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan tahun yang lalu, lebih seratus tahun yang lalu? Mana mungkin Bu Ci Sian menikah dengan dia yang sudah lama mati.”
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa gembira, tawa seorang yang merasa unggul dan lebih tahu. “Bodoh, tentu saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama, melainkan dengan keturunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah mewarisi semua ilmu kepandaian keluarga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke sana, selain berhadapan dengan Bu Ci Sian, juga akan berhadapan dengan suaminya itu yang sepuluh kali lebih lihai dari pada Bu Ci Sian.”
Jai-hwa Siauw-ok tertegun dan saling pandang dengan muridnya. Hal ini memang sama sekali tidak pernah disangkanya. Menurut penyelidikannya, Bu Ci Sian hidup di puncak Bukit Nelayan itu bersama suaminya dan seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Sama sekali dia tidak pernah memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih lihai dari pada pendekar wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah seorang cerdik. Dia pun mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i Mo-ong ke tempat itu sudah pasti tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan saja, tentu ada maksudnya tertentu yang amat penting.
“Mo-ong, apakah engkau dan muridmu juga hendak pergi ke sana? Barangkali kalian hendak mencari.... ehhh, orang she Kam yang lihai itu?”
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak, nampak giginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga mulutnya. “Ha-ha-ha, engkau amat cerdik seperti serigala! Memang benar, aku hendak membuat perhitungan pribadi dengan Kam Hong.”
Sekarang mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan muridnya. Kiranya Raja Iblis ini pun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan dan agaknya si Raja Iblis ini masih ragu-ragu apakah akan mampu mengalahkan keturunan Pendekar Suling Emas. Inilah sebabnya maka Hek-i Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan mendekatinya untuk diajak bersekutu lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es, melainkan menyerbu puncak Bukit Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan, yang satu pihak hendak memusuhi isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya. Jadi dapat saling bantu! Maka dia pun berani tertawa bergelak dan wajahnya yang tua akan tetapi masih tampan itu nampak jauh lebih muda kalau tertawa.
“Bagus sekali, Mo-ong. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa kita akan menjadi sekutu dan sekawan dalam menghadapi apa pun. Engkau dan muridmu menyerbu suaminya, aku dan muridku meringkus isterinya dan anak mereka, dan pekerjaan kita menjadi jauh lebih ringan, bukan?”
Hek-i Mo-ong tertawa. “Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya perempuan saja. Nah, mari kita berangkat, berjalan sambil merencanakan siasat yang baik....”
Kakek ini menghentikan kata-katanya ketika dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang bekerja menggali tanah dengan kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda remaja itu menggunakan kedua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu seperti berubah menjadi cangkul baja saja ketika jari-jari tangannya menghunjam ke dalam tanah dan menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang amat hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah dapat menggali tanah yang cukup lebar dan panjang.
“Ehhh, apa yang kau lakukan?” Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.
Tanpa menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab, “Aku tidak mau pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita ini, Mo-ong.”
Dia pun menggali semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan kemarahannya kepada tanah di depannya. Setelah lubang itu cukup besar, dia pun lalu mengangkat dua mayat gadis itu ke dalam lubang, lalu ditimbuninya lubang itu dengan tanah. Sebentar saja dua orang gadis bernasib malang yang telah menjadi mayat itu telah dikuburkan dengan sederhana namun cukup pantas.
“Ha-ha-ha-ha, Mo-ong, muridmu yang gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!” Jai-hwa Siauw-ok tertawa dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.
“Jai-hwa-cat! Lekaslah kau maju dan kau cobalah kelemahanku!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak dan memasang kuda-kuda. Kedua lengannya masih hitam terkena lumpur, sepasang matanya mencorong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.
Dimaki sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) orang itu sama sekali tidak marah, bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya sama dengan pengakuan dan pujian! Bagaimana pun juga, andai kata dia tidak ingat bahwa pemuda itu murid Hek-i Mo-ong dan terutama sekali pada saat itu Hek-i Mo-ong hadir di situ, tentu dia tidak akan tinggal diam ditantang oleh seorang muda.
“Hemm, orang muda, gurumu dan aku ialah sekutu yang sama-sama akan menghadapi lawan tangguh. Tidak baik jika urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan kedudukan kita sendiri,” katanya.
“Ceng Liong, musuh kita adalah penghuni istana di puncak Bukit Nelayan itu, dan bukan Jai-hwa Siauw-ok. Jangan engkau layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut cerewet seperti perempuan!” kata Hek-I Mo-ong.
Mo-ong sengaja balas menghina untuk meredakan kemarahan Ceng Liong yang tadi dikatakan berhati lemah. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang mengerti maksud ucapan Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja, walau pun Tek Ciang memandang marah mendengar gurunya dimaki.
Empat orang itu lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok berbincang-bincang membahas musuh-musuh mereka. Memang terdapat permusuhan antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan itu dengan mereka berdua.
Kam Hong pernah bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini telah dihajarnya, dan terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu. Hal ini membuat Mo-ong merasa penasaran sekali dan hatinya takkan puas sebelum dia dapat membalas kekalahan itu. Ada pun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati kepada Bu Ci Sian, pendekar wanita yang kini telah menjadi nyonya Kam Hong.
Bu Ci Sian pada belasan tahun yang lalu sudah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa Siauw-ok, tertama sekali kematian Ji-ok karena Ji-ok adalah gurunya dan juga kekasihnya. Dendam kedua orang datuk sesat itu terjadi belasan tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan untuk dapat membalas dendam..
**********
Gedung yang nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno yang di jaman dulu terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu, perkumpulan itu terkenal sekali dan memiliki anggota-anggota yang berilmu tinggi. Bangunannya kuno dan kokoh, temboknya tebal. Akan tetapi, walau pun dari luar nampak tua dan kuno, namun di sebelah dalamnya bersih dan rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat baik. Di ruangan khusus keluarga terhias gambar-gambar lukisan dari nenek moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi sahabat baik nenek moyang Khong-sim Kai-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah pendekar sakti Kam Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah keturunan Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena selain dia pernah menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari Khong-sim Kai-pang, juga keturunan terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang bernama Yu Hwi, sekarang telah menikah dengan seorang pendekar she Cu yang tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman. Untuk memperkenalkan keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca yang belum membaca kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’, marilah kita menjenguk riwayat singkat pendekar sakti ini.
Kam Hong adalah keturunan terakhir dari keluarga SULING EMAS dan sejak kecil dia diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek tokoh terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai anak atau cucu sendiri dan digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan dia pun telah ditunangkan dengan cucu Sai-cu Kai-ong yang merupakan keturunan terakhir keluarga Yu, pendiri dari Khong-sim Kai-pang, yang bernama Yu Hwi. Akan tetapi, agaknya Tuhan menghendaki lain.
Kam Hong dan Yu Hwi yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman dahulu telah saling bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa, menemukan jalan hidup masing-masing, bahkan menemukan pilihan hati masing-masing. Karena itulah, usaha kedua keluarga untuk menjodohkan mereka gagal.
Kam Hong bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan akhirnya mereka menjadi suami isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia itu bertemu dengan Cu Kang Bu, seorang di antara pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta suling emas asli, saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula. Kini Yu Hwi, yang sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong-sim Kai-pang dan menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut suaminya tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Dan istana tua itu kini dirawat dan ditinggali oleh Kam Hong yang dahulu menjadi tunangannya.
Demikianlah sekelumit riwayat Kam Hong yang berhubungan dengan istana tua itu. Dia hidup rukun dan penuh kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ terdapat enam orang pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar itu, tiga orang pria dan tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Karena bantuan enam orang inilah maka istana tua itu selalu dalam keadaan bersih dan terawat baik.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di waktu pagi sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di puncak bukit, menanti sampai matahari muncul di balik gunung, menikmati udara sejuk dan sinar matahari pagi yang segar. Pada pagi hari itu, seperti biasa mereka berdua bergandeng tangan mendaki puncak sebelah timur untuk menyambut munculnya matahari di pagi yang cerah itu.
Kadang-kadang Bi Eng ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki puncak di pagi hari, selain amat baik untuk latihan, menyehatkan badan dan batin, juga keindahan alam yang luar biasa akan dapat dinikmati dan tidak pernah membosankan. Akan tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak ikut bersama ayah bundanya. Ia sedang berlatih silat seorang diri di taman bunga di samping istana dengan asyiknya. Taman itu indah, terawat olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu oleh tiga orang pelayan wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi inti ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).
Seperti ayah bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling emas. Suling ini terbuat dari emas tulen, merupakan tiruan dari suling emas asli di tangan ayahnya, seperti juga yang dijadikan senjata ibunya. Mula-mula Bi Eng memainkan suling di tangannya secara lambat dan perlahan, nampak seperti orang menari saja, tarian yang indah dan aneh.
Akan tetapi, lambat-laun suling di tangannya bergerak semakin cepat dan mulailah terdengar suara melengking keluar dari suling itu dan bentuk suling pun lenyap berubah menjadi gulungan sinar emas yang indah menyilaukan mata. Semakin lama, suara melengking itu semakin nyaring, naik turun seperti melagu. Tubuh yang berkelebatan gesit itu terbungkus gulungan sinar emas, amat indahnya. Bi Eng tidak tahu bahwa pada saat itu, empat pasang mata memandang dengan penuh kagum.
Empat orang itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang menonton dari luar taman. Pandang mata Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang dara belasan tahun yang berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar itu memainkan suling sedemikian indahnya.
Akhirnya Bi Eng menghentikan gerakan silatnya, kemudian duduk bersila di atas tanah mengatur pernapasan. Setelah pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa menyadari bahwa ada empat orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata kagum, lalu menempelkan lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia meniup suling itu. Keluarlah suara suling yang amat merdu, meninggi dan merendah dengan indahnya.
Akan tetapi, empat orang yang mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah dan merdu suara suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan untuk melagu santai, melainkan meniup untuk melatih khikang yang amat kuat dan agaknya menjadi satu di antara keistimewaan ilmu keluarganya.
Dan memang sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi Eng itu masih dalam rangka berlatih ilmu dan tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu suara yang mengandung getaran dan dapat menyerang lawan! Empat orang itu cepat-cepat mengerahkan sinkang untuk melawan daya serang suara itu yang semakin lama menjadi semakin kuat menusuk-nusuk telinga.
Tek Ciang sudah tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu birahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu amat menarik hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu. Siapa pun adanya gadis itu harus dia dapatkan!
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam orang, tiga orang pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu keluarga Kam dan tadi seorang di antara mereka melihat munculnya empat orang asing di dekat taman. Cepat dia memberi tahukan teman-temannya dan kini mereka semua datang dan menegur.
“Siapakah kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?” tegur seorang di antara para pembantu keluarga Kam.
“Kami mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?” tanya Tek Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya pada Bi Eng yang kini sudah menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan alis berkerut.
“Majikan kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau memang su-wi ada keperluan dengan majikan kami, harap menunggu di kamar tamu sampai mereka kembali dari jalan-jalan.”
“Ha-ha-ha, kiranya kalian hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!” kata Jai-hwa Siauw-ok.
Kini Bi Eng sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia mendengar kata-kata itu.
“Ada keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku? Orang tuaku tidak mempunyai kenalan orang-orang kasar seperti kalian!” katanya dengan suara merdu akan tetapi tajam dan menusuk. Bi Eng memang menuruni watak ibunya yang lincah jenaka, akan tetapi juga dapat bersikap berani, bengal dan galak.
“Ehh, kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong dan Bu Ci Sian? Bagus, mari ikut aku bersenang-senang, nona manis!” kata Tek Ciang.
Mendengar kata-kata ini, dan melihat sikap ini, diam-diam Ceng Liong sudah merasa mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja, hanya memandang.
Enam orang pelayan itu pun marah mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat menduga bahwa tentu kedatangan empat orang ini tidak mengandung niat baik, maka rasa setia terhadap majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang. Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang, maka guru dan murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka.
Sambil tertawa mengejek, Tek Ciang menggerakkan tangannya menampar, demikian pula Jai-hwa Siauw-ok. Dua orang pelayan pria coba untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi hawa pukulan itu saja sudah membuat mereka seperti lumpuh dan terdengar suara keras ketika kepala mereka terkena tamparan. Mereka hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas seketika!
Empat orang kawan mereka terkejut dan marah. Mereka lalu mencabut pedang dan menerjang maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa kali menggerakkan tangan, Tek Ciang dan Jai-hwa Siauw-ok yang menyambut mereka itu telah berhasil menggulingkan mereka. Mereka roboh dengan kepala retak dan tewas seketika hanya dalam beberapa gebrakan saja!
“Ha-ha-ha-ha!” Mo-ong tertawa bergelak. “Hanya begini sajakah kekuatan pasukan yang dididik Kam Hong? Ha-ha-ha!”
Hatinya senang melihat betapa para anak buah musuhnya, dalam waktu singkat telah roboh dan tewas oleh sekutunya. Ceng Liong mengepal tinju, akan tetapi tidak bergerak. Dia merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji membantunya, akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan gurunya. Dia sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang. Dan kini dia melihat sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam.
Orang-orang itu mungkin hanya pelayan-pelayan yang tidak berdosa, tanpa bersalah apa-apa mengapa dibunuh sedemikian kejamnya? Namun karena dia tidak mempunyai sangkut-paut apa-apa, dia hanya memandang saja dengan tangan terkepal dan alis berkerut tak senang.
Sementara itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas seketika, Bi Eng menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat dari pada orang-orang biasa. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja mereka telah roboh dan tewas oleh dua di antara empat orang ini, maka dapat diduga bahwa mereka berempat itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, kemarahannya sudah tidak memungkinkan ia untuk bertanya-tanya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan halus, ia pun sudah menerjang ke depan dengan suling emasnya.
“Ha-ha, biar aku yang menjinakkan kuda betina yang muda dan liar ini!” Tek Ciang berkata sambil menyambut terjangannya.
Akan tetapi, bukan main kagetnya hati jai-hwa-cat muda ini ketika dia menggerakkan tangan hendak menangkap suling di tangan si nona. Tiba-tiba saja suling itu mengelak dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan nyaris mengenai lambungnya kalau saja dia tidak cepat-cepat meloncat ke belakang!
Nona itu dapat menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam segebrakan hampir saja dapat menendang lambungnya. Dan dari angin tendangan itu, tahulah Tek Ciang bahwa kalau dia tadi terkena tendangan, belum tentu dia akan dapat menahannya!
Tadinya dia berniat mempermainkan dara ini sebelum menangkapnya, mempermainkan sepuas hatinya. Akan tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang bertubi-tubi dengan suling itu membuat semua lamunan untuk mempermainkan gadis itu lenyap bagai asap tipis dihembus angin. Jangankan untuk mempermainkan, bahkan dia sendiri harus mempergunakan seluruh kepandaian dan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung suling yang luar biasa cepat dan kuatnya itu!
Dan semua itu masih ditambah lagi dengan lengkingan suara suling yang keluar dari suling yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa bising dan bingung juga. Untung dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, telah digembleng oleh Suma Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung datangnya serangan bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu.
Perlahan-lahan dia dapat menguasai keadaan dan dapat membalas dan kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali tidak berani main-main lagi, maklum bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada di bawah tingkatnya, bahkan gadis itu memiliki ilmu silat suling yang benar-benar aneh, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya...