CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 19
Tiga hari kemudian, Bi Eng telah menggendong buntalan bekalnya meninggalkan rumah orang tuanya untuk mengikuti Sim Hong Bu yang kini menjadi guru dan calon ayah mertuanya, untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun. Sedangkan Sim Houw tinggal di rumah keluarga Kam.
Keberangkatan Bi Eng diantar oleh ayah bundanya. Bu Ci Sian, walau pun ia seorang wanita yang tabah dan keras hati, hanya mampu menahan tangis selama Bi Eng masih nampak saja. Setelah bayangan dara itu lenyap, ia tidak dapat membendung tangisnya karena kesedihannya ditinggalkan puteri tunggalnya. Suaminya mendiamkannya saja, lalu merangkul dan menghiburnya.
“Bi Eng hanya pergi sementara dan mempelajari ilmu, sedangkan kita pun memperoleh penggantinya, murid yang cerdik dan juga calon mantu. Apa yang perlu disedihkan?”
“Bagaimana hati ini tidak akan merasa sedih?” bantah isterinya. “Semenjak lahir sampai sekarang, Eng-ji tak pernah berpisah dari sampingku, dan sekarang aku harus berpisah darinya untuk selama bertahun-tahun....”
“Jangan terlalu dipikirkan, bukankah semua itu memang sudah kita sengaja? Pula, kita yakin bahwa ia berada di tangan yang baik dan dapat dipercaya sepenuhnya. Kita telah mengenal benar keadaan dan watak Sim Hong Bu, bukan?”
Ci Sian mengangguk dan akhirnya hatinya terhibur juga, apalagi ketika ternyata bahwa Sim Houw adalah seorang murid yang amat baik. Bukan saja pemuda ini memiliki bakat yang tidak kalah dibandingkan dengan Bi Eng, akan tetapi pemuda ini berwatak pendiam, tidak banyak cakap akan tetapi amat rajin bekerja di ladang. Kam Hong dan isterinya merasa suka sekali kepada calon mantu ini dan Kam Hong mengajarkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dengan sepenuh hatinya, memberi sebatang suling emas kepada murid atau calon mantunya ini.
Kepercayaan penuh keyakinan yang terkandung dalam hati Kam Hong dan Ci Sian terhadap Sim Hong Bu yang membawa pergi puteri mereka tidaklah sia-sia belaka. Sim Hong Bu adalah seorang pendekar besar yang berhati bersih. Semenjak semula dia memandang Bi Eng sebagai calon mantu, jadi seperti anaknya sendiri.
Apalagi kini dara itu telah mengakuinya sebagai guru, maka sikapnya terhadap dara itu pun penuh rasa sayang. Lebih lagi karena bagaimana pun juga, dia merasa kehilangan puteranya yang ditinggalkan di rumah keluarga Kam. Dara itu kini menjadi pengganti anaknya.
Biar pun hati Sim Hong Bu penuh dengan kegembiraan karena pinangannya diterima, bahkan kini mereka saling menukar anak untuk dididik selama tiga tahun, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang amat menggembirakan hatinya, namun diam-diam ada rasa khawatir dalam hatinya.
Dia teringat akan isterinya, Cu Pek In, yang pada mulanya merasa agak tidak setuju mendengar suaminya mengajak putera mereka pergi ke timur untuk berkunjung kepada keluarga Kam. Apalagi nanti kalau mendengar bahwa putera mereka telah dijodohkan dengan puteri keluarga Kam, bahkan kini dia pulang membawa calon mantu itu.
Hong Bu tahu bahwa di lubuk hati isterinya masih ada perasaan dendam dan tidak suka kepada Kam Hong bersama isterinya yang oleh keluarga Cu dianggap sebagai pencuri ilmu keluarga Cu! Walau pun demikian, Hong Bu yakin akan dapat melunakkan hati isterinya dan memperoleh persetujuan isterinya, karena isterinya amat mencintanya dan selalu taat kepadanya. Yang membuat dia ragu-ragu adalah kedua orang gurunya, yaitu Kim-kong-sian Cu Han Bu ayah Pek In dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu.
Keluarga Cu terdiri dari tiga saudara, yang pertama adalah Kim-kong-sian Cu Han Bu yang kini sudah berusia lima puluh delapan tahun. Ke dua adalah Bu-eng-sian Cu Seng Bu berusia lima puluh tiga tahun dan selamanya tidak menikah. Dua orang kakak beradik ini sejak kalah bertanding melawan Kam Hong lalu pergi bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia lagi.
Ada pun orang ke tiga dari keluarga Cu itu adalah Ban-kin-sian Cu Kang Bu yang menikah dengan Yu Hwi bekas tunangan Kam Hong. Suami isteri itu kini tinggal pula di Lembah Naga Siluman, tempat tinggal keluarga Cu yang dahulunya disebut Lembah Suling Emas dan dirubah namanya setelah keluarga itu kalah oleh Kam Hong. Demikian sekelumit riwayat keluarga Cu. Riwayat yang lengkap dapat dibaca dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.
Sim Hong Bu merupakan pewaris tunggal dari ilmu simpanan keluarga Cu, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia pula yang dulu memanggul tugas untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan ilmu pedangnya itu dan dia sudah pula menantang Kam Hong bertanding.
Dua ilmu yang sebetulnya dari satu sumber itu pernah dipertandingkan dan Hong Bu yang ketika itu memenuhi tugas sebagai murid dan pewaris keluarga Cu, hanya kalah sedikit saja. Akan tetapi, di dalam hati Hong Bu sama sekali tidak memusuhi Kam Hong, apalagi Bu Ci Sian yang merupakan dara pertama yang pernah menjatuhkan hatinya. Dia malah merasa suka dan kagum sekali kepada Kam Hong.
Ini pula yang membuat dia ingin mengikat tali perjodohan antara anak mereka, agar suasana persaingan itu dapat dilenyapkan. Maka dia pun merasa berbahagia sekali menerima usul Kam Hong untuk menyatukan kedua ilmu yang dipertentangkan oleh keluarga Cu itu dalam diri anak-anak mereka sehingga persaingan atau pertentangan itu lenyap dan menjadi persatuan yang kokoh kuat.
Kekhawatiran hati Sim Hong Bu bahwa usahanya membuat ikatan kekeluargaan antara keluarganya dan keluarga Kam akan mendapat tentangan dari keluarga isterinya, bukan tanpa alasan. Keluarga Cu adalah sebuah keluarga kuno yang tinggi hati, menganggap keluarga mereka tinggi dan mulia. Kekalahan mereka terhadap Kam Hong merupakan pukulan batin hebat bagi mereka. Apalagi kalau diingat bahwa suling emas dan ilmunya di tangan Kam Hong itu berasal dari nenek moyang mereka.
Biar pun Kam Hong menemukan ilmu itu secara kebetulan, bukan mencuri, dan senjata suling emas itu pun merupakan warisan nenek moyangnya, akan tetapi karena pusaka dan ilmunya itu memang berasal dari nenek moyang keluarga Cu, maka keluarga Cu tetap menganggap Kam Hong sebagai pencuri! Dan mereka telah berusaha keras untuk menyaingi dan mengalahkan Kam Hong, dengan mengangkat Sim Hong Bu sebagai pewaris tunggal ilmu Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi ini pun gagal. Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menderita pukulan batin dan mereka tekun bertapa di goa rahasia di lembah mereka.
Pada pagi hari itu, tiga orang penghuni Lembah Naga Siluman duduk di serambi depan sambil menikmati udara pagi dan minum teh panas. Mereka adalah Cu Pek In isteri Sim Hong Bu, dan pamannya yang ke tiga, yaitu Cu Kang Bu dan isterinya yang bernama Yu Hwi. Seperti diceritakan dalam kisah ‘Suling Emas Naga Siluman’, Yu Hwi adalah bekas tunangan Kam Hong, maka tentu saja dalam pertentangan itu, Yu Hwi sepenuhnya berpihak kepada keluarga suaminya!
Cu Pek In sudah berusia tiga puluh empat tahun, wajahnya yang cantik membayangkan kekerasan hatinya, terutama pada mulut yang kecil dan dikatupkan rapat-rapat itu. Pamannya yang termuda, Cu Kang Bu, adalah seorang pria berusia empat puluh enam tahun yang perawakannya kokoh kuat dan tinggi besar, nampak gagah sekali.
Cu Kang Bu berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Seribu Kati) dan dari julukannya saja dapat diduga bahwa dia memiliki tenaga yang amat kuat. Di antara tiga saudara Cu, yang termuda ini memiliki hati yang paling terbuka, jujur dan gagah perkasa. Maka, dia pun juga mengagumi Kam Hong dengan sejujurnya dan tidak mendendam atas kekalahannya seperti halnya kedua orang kakaknya yang sampai kini masih bertapa dengan tekunnya.
Dia hidup saling mencinta dengan Yu Hwi, isterinya yang usianya sekarang sudah empat puluh tahun. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai keturunan dan karena sejak Sim Houw terlahir selalu tinggal bersama mereka dalam Lembah Naga Siluman itu, maka suami isteri yang tidak mempunyai anak ini juga amat menyayang Sim Houw, cucu keponakan itu. Kini, tiga orang itu merasa kehilangan sekali semenjak Sim Houw pergi merantau bersama ayahnya.
“Aahhh....,” terdengar Yu Hwi menarik napas panjang. “Alangkah sepinya tempat ini semenjak Houw-ji pergi....”
Mendengar ucapan isterinya, Cu Kang Bu melirik keponakannya, akan tetapi yang dilirik hanya menundukkan muka tanpa menanggapi.
“Ahh, engkau ini!” katanya mencela isterinya sambil tersenyum. “Sebelum Sim Houw lahir, engkau tidak pernah merasa sepi!”
“Tentu saja!” Yu Hwi membantah. “Akan tetapi semenjak lahir, anak itu telah menjadi sebagian dari pada hidup kita semua. Kalau sekarang ditinggal pergi, tentu akan merasa kehilangan dan kesepian. Pek In, kapan sih suami dan puteramu akan pulang?”
“Dia tidak pernah mengatakan kapan, bibi. Akan tetapi mengingat akan jauhnya tempat yang akan dikunjunginya, kurasa akan memakan waktu berbulan-bulan.”
Yu Hwi menghela napas. “Aku tidak mengerti mengapa suamimu itu jauh-jauh pergi ke Bukit Nelayan mengunjungi keluarga Kam yang sepantasnya malah harus dijauhinya. Bukankah keluarga Kam itu musuh keluarga kita?”
Cu Pek In diam saja, akan tetapi Cu Kang Bu mengerutkan alisnya mendengar ucapan isterinya yang membakar ini. Akan tetapi, pendekar tinggi besar ini terlalu mencinta isterinya untuk menegur dengan keras, maka dia pun tertawa.
“Ha-ha-ha, agaknya engkau lupa bahwa istana tua di puncak Bukit Nelayan itu adalah peninggalan nenek moyangmu sendiri yang sudah kau serahkan kepada Kam-taihiap untuk dijadikan tempat tinggal! Dan mengapa pula Hong Bu tidak mengunjunginya? Kam-taihiap adalah seorang sahabat baik.”
Yu Hwi adalah seorang wanita yang galak, genit dan tentu saja sejak menikah ia sudah menguasai suaminya. Kini dia cemberut memandang suaminya, lalu berkata dengan suara mengandung kejengkelan. “Aihh, sungguh aku tidak mengerti jalan pikiranmu! Ke manakah harga dirimu sebagai anggota penting keluarga Cu? Hemm, kalau sampai kedua kakak kita mendengar kata-katamu tadi, tentu mereka takkan merasa senang.”
Cu Kang Bu tidak marah. Dia tahu bahwa di balik segala kecerewetannya, isterinya amat mencintanya dan selalu akan membela pendiriannya. Dia hanya menarik napas panjang dan berkata. “Sejak dahulu aku tidak suka menyimpan dendam. Apalagi urusan antara keluarga kita dengan keluarga Kam sebetulnya tak perlu diributkan lagi. Menurut keadaannya bahkan di antara kita masih ada sangkutan perguruan, jadi, kalau kini Sim Hong Bu mendekatinya, itu malah baik sekali!”
Cu Pek In yang semenjak tadi diam saja, tiba-tiba berkata dan suaranya mengandung penyesalan besar yang ditahan-tahan. “Paman, bukan hanya mendekati, bahkan dia pernah mengatakan bahwa kalau Kam Hong mempunyai seorang anak perempuan, dia ingin menjodohkan Houw-ji dengan keturunan keluarga Kam!”
“Ahhh.... gila itu!” Yu Hwi berseru kaget dan marah.
Akan tetapi Cu Kang Bu tertawa gembira. “Bagus! Itu adalah niat yang bagus sekali! Dengan ikatan perjodohan, kelak antara keluarga Cu dan keluarga Kam tidak ada lagi dendam dan menjadi keluarga. Bagus!”
“Tidaaak, aku tidak mau....!” Tiba-tiba Cu Pek In menjerit, menangis lalu bangkit dari tempat duduknya dan lari memasuki kamarnya.
Cu Kang Bu dan isterinya terkejut dan saling pandang. Tak mereka sangka Cu Pek In akan bersikap seperti itu. Memang nyonya muda ini sudah menahan-nahan kemarahan dan penasaran dalam hatinya, akan tetapi dia tidak tega untuk menentang suaminya. Kini, selagi suaminya tidak ada, tekanan batin itu meledak dan dia pun menjerit dan menangis.
“Ahhh, lihat, engkau membuat Pek In marah dan berduka,” Yu Hwi mengomel. “Sudah jelas ia tidak menyetujui suaminya, akan tetapi engkau malah mendukung Hong Bu sehingga menjengkelkan hati Pek In.”
“Akan tetapi, aku memang melihat kebaikan bagi keluarga Cu dengan adanya niat Hong Bu itu...”
“Hemm, engkau sudah pikun agaknya. Siapa yang bilang ini urusan keluarga Cu? Yang hendak dijodohkan adalah keturunan keluarga Sim dan Kam, apa ada sangkut pautnya dengan keluarga Cu? Dalam hal ini, kiranya kita tidak perlu mencampurinya.”
Cu Kang Bu termangu-mangu. Baru dia teringat bahwa putera Pek In adalah keturunan Sim, bukan Cu! Dia pun menarik napas panjang dan tidak mau membantah lagi, sedangkan Yu Hwi lalu menyusul Pek In untuk menghiburnya.
Dalam keadaan seperti itu, dapat dibayangkan betapa kemunculan Sim Hong Bu yang pulang ke Lembah Naga Siluman membawa Kam Bi Eng mendatangkan bermacam perasaan pada keluarga itu.
Cu Kang Bu sendiri menyambutnya dengan ramah dan diam-diam pendekar raksasa ini setuju dengan tindakan yang diambil mantu keponakannya. Yu Hwi menerima tanpa bicara akan tetapi nyonya ini jelas tidak senang hatinya. Yang paling menderita batinnya adalah Pek In. Bermacam perasaan mengaduk hatinya ketika suaminya bercerita di depan keluarga Cu. Ada rasa marah, penasaran, kecewa dan juga berduka. Terutama sekali mendengar bahwa puteranya kini berada di rumah keluarga Kam, menjadi murid!
Kam Bi Eng sendiri bersikap tenang. Di sepanjang perjalanan, gurunya bersikap baik sekali dan ia sudah mulai merasa hormat dan sayang kepada gurunya, juga calon ayah mertuanya. Di sepanjang perjalanan ia sudah mulai menerima petunjuk mengenai teori ilmu Koai-long Kiam-sut. Ternyata pengetahuan pendekar itu amat luas mengenai ilmu silat dan petunjuk pendekar itu amat berharga.
Maka, ketika ia bersama gurunya tiba di depan jurang yang lebar dan curam, yang memisahkan Lembah Naga Siluman dengan dunia luar, ia memandang dengan penuh kagum. Sudah beberapa kali Bi Eng diajak pergi ayah ibunya, akan tetapi belum pernah ia pergi merantau sejauh ini. Perjalanan yang memakan waktu berpekan-pekan dan melalui daerah-daerah yang sama sekali asing baginya.
Apalagi setelah tiba di daerah Pegunungan Himalaya, dia merasa kagum menyaksikan kebesaran alam yang sedemikian luas dan hebatnya. Dia berdiri di tepi jurang lebar, lalu melihat gurunya memberi tanda ke seberang dengan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon dan pegunungan, melihat betapa ada tali perlahan-lahan naik dari dalam jurang yang tertutup kabut, dia semakin kagum.
“Mari kita masuk lembah,” kata gurunya yang meloncat ke atas tambang itu, setelah tambang terentang lurus.
Hati Bi Eng merasa ngeri. Berjalan di atas tambang sebesar itu bukan merupakan pekerjaan sukar baginya. Akan tetapi, kalau tambang itu melintang di atas jurang yang demikian lebarnya, demikian dalamnya sehingga dasarnya yang tertutup kabut itu tidak nampak, merupakan hal lain lagi. Melintasi jembatan tambang seperti itu membutuhkan ketahahan yang luar biasa.
Akan tetapi ia bukan seorang dara penakut dan ia pun meloncat di belakang gurunya. Hong Bu tersenyum girang dan mereka pun berjalan, setengah berlari, menyeberangi jurang itu di atas tambang yang hanya bergoyang sedikit saja karena keduanya telah mempergunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sebentar saja mereka sudah tiba di seberang dan disambut oleh tiga orang penjaga jembatan yang cepat memberi hormat kepada Hong Bu dan Bi Eng.
“Suhu, apakah jalan ke lembah hanya melalui jembatan tambang ini?” tanya Bi Eng.
Ia menyebut suhu kepada calon mertuanya, karena untuk menyebut ayah mertua ia merasa malu. Lagi pula, bukankah ia memang sudah resmi menjadi murid sehingga layak menyebut suhu, sedangkan ia masih belum resmi menjadi mantu?
“Benar, tidak ada jalan lain kecuali melalui jembatan tambang karena Lembah Naga Siluman dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam, tidak mungkin dilalui manusia.” Sim Hong Bu menerangkan ketika mereka berjalan melalui lorong penuh pohon-pohon besar.
“Sebuah tempat yang hebat, tidak mungkin didatangi orang jahat dari luar,” gadis itu memuji.
“Keluarga Cu amat terkenal, Bi Eng. Para datuk sesat tidak ada yang berani main-main di sini, karena selain tempatnya sukar diserbu, juga keluarga Cu termasuk keluarga sakti. Pula, keluarga Cu tidak pernah mencampuri urusan orang luar, maka dapat dikata tidak mempunyai musuh pribadi.”
Kecuali ayah, pikir Bi Eng, dan hatinya menjadi kecut mengenang cerita ibunya betapa ayahnya pernah dimusuhi oleh keluarga Cu yang lihai. Dan kini ia datang sebagai murid. Akan tetapi gurunya hanya mantu keluarga Cu, dan gurunya she Sim, bukan she Cu. Hal ini agak menenangkan hatinya yang mulai merasa tidak enak, seolah-olah di dalam dada gadis ini timbul perasaan bahwa tempat yang angker ini tidak suka didatangi olehnya.
Dan perasaan hatinya itu ternyata tidak menipunya. Ia merasakan penyambutan yang dingin sekali ketika akhirnya ia berhadapan dengan tiga orang penghuni rumah besar di lembah itu. Ban-kin-sian Cu Kang Bu menyambut Hong Bu dengan gembira, hanya nampak heran dan terkejut ketika Hong Bu memperkenalkan Bi Eng sebagai muridnya. Tetapi Yu Hwi dan Cu Pek In tidak dapat menyembunyikan perasaan tak senangnya ketika mendengar bahwa dara remaja itu adalah puteri Kam Hong!
“Apa.... apa artinya ini?” Cu Pek In bertanya kepada suaminya dengan muka pucat. “Di mana anakku....?”
“Mari kita bicara di dalam. Aku membawa kabar yang baik dan menggembirakan sekali,” kata Hong Bu sambil tersenyum, menyembunyikan rasa gelisahnya karena dia tahu bahwa berita yang dibawanya itu belum tentu menggembirakan hati isterinya.
Demikianlah, akhirnya mereka semua berada di ruangan dalam, duduk mengitari meja dan Hong Bu lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan keluarga Kam. Dia menceritakan dengan singkat akan tetapi jelas dan mengakhiri dengan kata-kata yang mengandung nada gembira.
“Begitulah. Kami bersepakat untuk saling mendidik anak masing-masing selama tiga tahun dan aku akan memimpin Bi Eng untuk menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut dan sebaliknya, Houw-ji akan digembleng oleh Kam-taihiap. Setelah lewat waktu itu, baru kami akan mematangkan pembicaraan tentang perjodohan antara kedua anak itu.”
Tiba-tiba Cu Pek In bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan muka pucat memandang kepada Hong Bu, lalu terdengar suaranya yang bernada marah, “Suamiku, mengapa engkau bertindak begini lancang?”
Hong Bu mengerutkan alisnya, lalu tersenyum, senyum yang agak masam. “Isteriku, mengapa engkau berkata demikian? Urusan Houw-ji adalah urusan pribadi kita berdua, karena dia adalah anak kita berdua, dan sebelum berangkat aku sudah memperoleh persetujuanmu untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam!”
“Bukan itu maksudku!” bantah isterinya. “Akan tetapi tentang ilmu pusaka keluarga Cu itu! Bagaimana engkau berani lancang hendak mengajarkannya kepada orang lain tanpa lebih dulu mendapat perkenan dari ayah?”
Hong Bu yang diserang dengan kata-kata keras itu menjadi terkejut. Dia menoleh kepada Cu Kang Bu yang sedikit banyak berhak pula bersuara dalam hal ini, akan tetapi pendekar raksasa itu hanya menunduk. Bibinya bahkan memandang padanya dengan sikap marah, jelas sekali betapa wanita itu mendukung pendirian Cu Pek In.
“Ini adalah urusan dan tanggung jawabku, biarlah aku akan menghadap ayah mertua untuk mohon perkenan beliau,” akhirnya dia berkata dan pertemuan itu dibubarkan dalam keadaan yang amat tidak menyenangkan semua pihak.
Namun, meski hatinya sendiri diliputi ketegangan melihat betapa suhu-nya menghadapi sikap menentang keluarganya, sikap Bi Eng sendiri tetap tenang. Hanya ada perasaan tidak suka kepada ibu dari Sim Houw itu yang memiliki pandang mata demikian dingin kepadanya, bahkan seperti orang membenci.
Menghadap atau menemui Kim-kong-sian Cu Han Bu bukanlah merupakan hal yang mudah. Semenjak dikalahkan oleh Kam Hong kemudian mengasingkan diri bertapa, Kim-kong-sian Cu Han Bu dan adiknya, Bu-eng-sian Cu Seng Bu, jarang mau diganggu dan kalau tidak ada hal yang amat penting sekali, mereka tidak mau keluar dari tempat mereka bertapa atau membolehkan orang luar datang menghadap. Dua kakak beradik ini bertapa bukan hanya untuk memenuhi janjinya terhadap Kam Hong akibat kekalahan mereka, akan tetapi juga diam-diam keduanya tekun mempelajari ilmu-ilmu mereka dan memperdalamnya dengan cara menciptakan ilmu-ilmu secara bersama hingga selama belasan tahun mengasingkan diri itu mereka telah menjadi semakin lihai saja!
Dua hari kemudian barulah Hong Bu diperkenankan untuk menghadap guru atau ayah mertuanya. Karena dia berwatak terbuka dan ingin agar semua urusan segera beres, dia mengajak Bi Eng menghadap bersama. Dara itu pun pergi bersama gurunya dengan sikap tenang dan di dalam hatinya, ingin sekali dia melihat wajah orang-orang yang pernah menjadi musuh ayahnya, dan ingin ia mengetahui bagaimana sikap keluarga Cu itu.
Tempat pertapaan itu sunyi sekali, berada di lereng bukit, di dalam sebuah goa besar ciptaan alam yang disempurnakan oleh tenaga keluarga Cu. Goa itu menerima sinar matahari yang cukup banyak, dibersihkan dan dibagi menjadi tiga ruangan. Dua buah tempat untuk bersemedhi yang terpisah, semacam kamar tidur kecil dan di tengah terdapat sebuah ruangan lebar yang lantainya rata dan tempat ini selain menjadi semacam ruangan duduk, juga menjadi tempat kakak beradik pertapa ini berlatih silat dan menciptakan ilmu baru bersama. Di ruangan inilah Sim Hong Bu diterima oleh ayah mertua dan pamannya.
Dua orang pendekar Cu itu sudah duduk menanti di ruangan tengah yang luas itu. Matahari pagi menyorotkan sinarnya melalui lubang di atas sebelah kiri sehingga ruangan itu terang dan bersih.
Cu Han Bu sudah berusia lima puluh enam tahun akan tetapi wajahnya masih nampak segar. Hanya rambutnya yang putih semua itu yang menunjukkan bahwa dia sudah berusia agak lanjut. Pakaiannya bersih sederhana dan longgar seperti pakaian pertapa akan tetapi pinggangnya memakai sabuk emas yang bukan hanya merupakan sabuk biasa, melainkan menjadi senjata andalannya yang ampuh. Dia duduk bersila di atas dipan panjang bertilam kasur bulu, bersanding dengan Cu Seng Bu.
Kakek ke dua yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) ini usianya baru lima puluh satu tahun, akan tetapi kelihatan tidak lebih muda dari kakaknya. Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan. Di punggungnya tergantung sebatang pedang tipis. Mereka berdua duduk bersila seperti orang sedang semedhi ketika Sim Hong Bu melangkah memasuki goa itu bersama Bi Eng.
“Suhu, susiok, teecu datang menghadap,” kata Hong Bu sambil berlutut di depan dipan panjang bersama Bi Eng yang diam saja, hanya melirik ke arah dua orang itu.
Hening sejenak. Kedua orang tua itu membuka mata dan beberapa lamanya mereka memandang kepada Bi Eng dengan pandang mata penuh selidik. Melihat betapa dua pasang mata itu mengeluarkan sinar mencorong, Bi Eng merasa tegang dan ia cepat menundukkan mukanya.
“Hong Bu, ada keperluan penting apakah maka engkau berani mengganggu ketenangan kami?” ayah mertua atau gurunya bertanya.
Sampai kini, sesuai dengan kehendak para tokoh keluarga Cu, dia menyebut suhu dan susiok kepada mereka. Hal ini menunjukkan kekerasan hati keluarga itu mengenai perguruan mereka. Hong Bu merupakan pewaris ilmu pusaka keluarga mereka, oleh karena itu dipentingkan kenyataan bahwa pendekar itu adalah murid mereka yang berhak mewarisi ilmu keluarga, bukan sekedar mantu!
“Suhu, seperti telah teecu laporkan ketika teecu berpamit kepada suhu, teecu telah mengajak Houw-ji merantau ke timur dan sekarang teecu hendak melaporkan segala peristiwa yang kami alami dalam perjalanan itu.”
“Hong Bu, siapakah anak perempuan yang kau ajak masuk ini?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya datar saja akan tetapi pandang matanya mengeras.
“Anak ini bernama Kam Bi Eng....”
“She Kam....?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya mengeras.
“Benar, susiok. Bi Eng adalah puteri Kam Hong-taihiap.”
“Ehhh? Tindakan apa yang kau ambil ini, Hong Bu?” Cu Seng Bu berseru, matanya terbelalak.
“Biarkan dia menceritakan semua. Bicaralah, Hong Bu, kami siap mendengarkan,” kata Cu Han Bu dengan suara tenang, akan tetapi jelas bahwa dia pun menekan perasaan marahnya.
Hong Bu memang sudah siap. Dia tahu bahwa tindakannya itu tentu akan menghadapi tentangan, maka dengan sikap tenang tapi hormat dia pun bercerita.
“Teecu bersama Houw-ji pergi ke Puncak Bukit Nelayan dan berkunjung ke tempat kediaman Kam-taihiap. Di sana teecu melihat bahwa Kam-taihiap mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Kam Bi Eng ini dan timbullah niat di dalam hati teecu, yang sebelumnya memang sudah teecu rundingkan dengan isteri teecu, untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam, menjodohkan Houw-ji dengan Bi Eng.” Sim Hong Bu berhenti sebentar untuk melihat reaksi dua orang tua itu.
Akan tetapi Cu Seng Bu diam saja sedangkan Cu Han Bu hanya mengeluarkan suara tidak jelas, dan disusul kata-kata tak acuh.
“Hemm, niat yang ganjil. Teruskan ceritamu.”
“Pinangan teecu diterima, lalu kami bersepakat untuk menukar anak masing-masing, untuk saling dididik ilmu sehingga kedua anak itu kelak akan dapat menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, maka Houw-ji teecu tinggalkan di sana sedangkan Bi Eng teecu bawa pulang....”
“Sim Hong Bu....! Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau sudah gila?” Cu Han Bu membentak. Sekarang dia tak lagi menahan-nahan kemarahannya yang memang sudah dipendamnya semenjak kemarin ketika dia mendengar pelaporan Pek In yang datang bercerita sambil menangis.
“Suhu, teecu kira tidak ada sesuatu yang ganjil dalam tindakan teecu itu,” Sim Hong Bu berkata dengan sikap masih tetap tenang.
“Tidak ganjil? Engkau hendak berbesan dengan keluarga Kam dan kau katakan tidak ganjil? Sejak dahulu keluarga Kam adalah saingan dan musuh keluarga Cu dan engkau malah hendak mengikat tali perjodohan anakmu, mengikat tali kekeluargaan dengan pihak musuh?”
“Suhu, harap Suhu maafkan. Urusan perjodohan putera teecu adalah urusan teecu sendiri dan Houw-ji adalah she Sim, jadi tidak dapat disangkutkan dengan adanya permusuhan keluarga. Pula, sejak dahulu teecu tidak melihat suatu kesalahan pada Kam-taihiap maka teecu tidak dapat menganggapnya sebagai musuh. Harap suhu maafkan.”
Cu Han Bu mengepal tinju dan mengerutkan alis. “Baiklah, Sim Houw hanyalah cucu luarku, bukan she Cu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu itu. Akan tetapi, engkau adalah muridku dan engkau pewaris ilmu pusaka keluarga kami. Bagaimana kini engkau berani hendak menurunkan ilmu keluarga kami kepada seorang murid, dan murid itu orang luar, bahkan anak musuh kami?”
“Suhu, kiranya dalam hal menerima murid, tidak dapat dibatasi dengan keluarga saja. Buktinya, suhu menurunkan ilmu pusaka keluarga kepada teecu yang she Sim. Andai kata harus diturunkan kepada keluarga sendiri, Bi Eng ini adalah calon anak mantu teecu, berarti dia pun anggota keluarga sendiri. Maka teecu berani mengangkatnya menjadi murid.”
“Brakkk!”
Ujung dipan di depan Cu Han Bu pecah berantakan oleh tangan pendekar ini ketika dia menamparnya untuk menyatakan kemarahannya. “Sim Hong Bu! Bagaimana pun juga, aku tidak rela kalau ilmu keluarga kami diberikan kepada anak si pencuri Kam Hong!”
Sejak tadi Bi Eng mendengarkan dengan hati merasa tidak senang. Kini, mendengar ayahnya dimaki pencuri, dia bangkit berdiri. “Suhu, bawa aku pergi dari sini! Mereka begini sombong, siapa sih yang kepingin belajar ilmu keluarga Cu? Jika dibandingkan dengan ilmu keluarga Kam, ilmu keluarga Cu tidak ada artinya!”
Bi Eng mengeluarkan kata-kata itu dengan bernapsu dan dia berdiri sambil bertolak pinggang. Tentu saja Sim Hong Bu terkejut bukan main sampai mukanya menjadi pucat, sedangkan ucapan dan sikap yang merendahkan dan menantang itu membuat Cu Seng Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia pun meloncat turun dari atas dipan.
“Lihat kesombongan setan cilik ini! Dan anak seperti ini akan mewarisi ilmu kita? Bocah she Kam, ingin kulihat sampai di mana kehebatan ilmu keluarga Kam!” berkata demikian Cu Seng Bu meloncat ke depan dan menggunakan tangan kirinya menampar ke arah leher Bi Eng!
Orang ini berjuluk Bu-eng-sian atau Dewa Tanpa Bayangan, maka tentu saja dapat diduga bahwa dia adalah seorang ahli ginkang yang telah tinggi tingkatnya. Gerakannya demikian cepat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan Bi Eng dan tangannya menyambar seperti kilat cepatnya.
Akan tetapi tidak percuma Bi Eng sejak kecil digembleng ayahnya sendiri sebagai anak tunggal Pendekar Suling Emas itu. Ia memiliki kewaspadaan dan gerakan yang amat lincah. Begitu melihat tangan menyambar, ia sudah mengelak ke samping dan bersiap untuk membalas.
Namun, belum sempat ia membalas, Cu Seng Bu sudah menyusulkan totokan-totokan ke arah pelipis, pundak dan pinggang secara bertubi dan cepat sekali. Melihat ini, Bi Eng terpaksa melempar tubuhnya ke belakang dan membuat jungkir balik sebanyak tiga kali ke belakang. Gerakannya indah dan gesit seperti burung walet saja.
Cu Seng Bu merasa penasaran bukan main. Empat kali dia menyerang dan empat kali dara remaja itu dapat menghindarkannya dengan mudah! Jika dara ini tidak dihajar dan berkenalan dengan kelihaian keluarga Cu, tentu kelak akan mentertawakan keluarga Cu, apalagi diingat bahwa dara ini adalah anak Kam Hong! Maka kini ia pun menerjang lagi ke depan dengan niat untuk menurunkan tangan yang lebih keras!
Tetapi tiba-tiba Sim Hong Bu meloncat dan menghadangnya. “Susiok, harap maafkan Bi Eng yang masih kanak-kanak,” katanya.
“Kau.... kau pun berani melawan susiok-mu?” Cu Seng Bu membentak, kemarahannya semakin menjadi.
“Teecu bukan melawan susiok, melainkan melindungi Bi Eng yang menjadi tanggung jawab teecu,” jawab Hong Bu dengan suara tegas.
“Bagus, engkau sudah terang-terangan melindungi anak musuh!” Cu Seng Bu sekarang dengan dahsyatnya menyerang dan mengirim pukulan ampuh kepada Hong Bu.
Pendekar ini terpaksa menggunakan tangannya menangkis, akan tetapi karena dia merasa sungkan dan hanya menggunakan tenaga setengah-setengah saja, dia lantas terdorong ke belakang dan hampir roboh.
Sementara itu, ketika tadi Bi Eng berjungkir balik membuat salto tiga kali, tahu-tahu pundaknya dicengkeram orang dari belakang dan ia tidak mampu berkutik lagi. Kiranya ia telah dipegang oleh Cu Han Bu secara aneh dan pegangan kakek itu kuat sekali. Begitu Bi Eng mengerahkan sinkang dan hendak meloloskan diri dari cengkeraman, dara itu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, maka ia berhenti meronta. Kini, melihat suhu-nya terdorong oleh pukulan kakek yang tadi juga menyerangnya, ia pun menjadi marah.
“Hemm, bagus sekali! Kiranya jagoan-jagoan she Cu ini hanya tukang keroyok saja, tukang menghina murid sendiri dan kakek tidak tahu malu yang beraninya melawan anak kecil. Kalau kalian memang gagah, mengapa menyerang aku dan tidak berani menghadapi ayah dan ibuku? Cih, sungguh tak tahu malu, pengecut dan curang!”
Hebat bukan main makian yang dilontarkan oleh mulut dara remaja itu, terasa oleh kedua orang kakek itu seperti kotoran busuk dilemparkan ke muka mereka. Mereka berdua adalah pendekar-pendekar perkasa yang semenjak kecil menjunjung tinggi kehormatan, nama dan kegagahan. Kini mereka dicaci-maki seorang anak perempuan yang mengatakan mereka curang, pengecut dan tak tahu malu.
Kalau menurutkan nafsu kemarahannya, ingin Cu Han Bu sekali pukul menghancurkan kepala anak itu, akan tetapi dia tidak mungkin melakukan hal ini karena dia akan merasa menyesal selama hidup dan caci maki anak itu akan menjadi kenyataan! Maka dengan hati mendongkol dia melempar tubuh anak itu ke atas lantai.
“Brukk!”
Tubuh Bi Eng terbanting, akan tetapi anak itu dapat menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangun lagi dengan sikap penuh keberanian.
“Anak setan yang takabur, segera suruh ayah ibumu datang ke sini dan kami akan memperlihatkan bahwa kami tidak takut menghadapi mereka!” Kata Cu Seng Bu yang maklum betapa kakaknya marah sekali akan tetapi juga tidak berdaya.
“Ayahku bukan tukang cari perkara seperti kalian! Kalau kalian datang menyerbu rumah kami, tentu ayah dan ibu akan menghajar kalian sampai kalian terkentut-kentut!” Memang dara ini lincah jenaka dan pandai bicara, maka kembali muka dua orang kakek itu menjadi merah karena marah. Belum pernah selamanya, sebagai orang-orang yang paling dihormati dunia kang-ouw, mereka dimaki seperti itu.
Sim Hong Bu juga sudah mengenal watak muridnya yang berani mati dan pandai bicara dan menggoda orang, maka dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut.
“Suhu dan susiok, maafkanlah murid teecu....”
“Sim Hong Bu! Keluarkan anak setan ini dari lembah kita, baru engkau menghadap lagi dan akan kami pertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni tindakanmu yang dangkal ini!” bentak ayah mertuanya.
“Suhu, teecu adalah seorang laki-laki sejati, murid dan mantu suhu! Apakah suhu ingin melihat teecu menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan, melanggar janji sendiri? Tidak, suhu. Teecu sudah mengikat janji dengan Kam-taihiap dan teecu tidak akan melanggarnya.”
“Maksudmu?”
“Teecu akan tetap mendidiknya sampai tiga tahun seperti yang sudah teecu janjikan kepada Kam-taihiap.”
“Engkau lebih memberatkan keluarga Kam dari pada kami?”
“Teecu memberatkan janji, dan teecu memberatkan nasib Sim Houw anak teecu. Teecu tidak mau membawa anak teecu terseret ke dalam permusuhan antara keluarga Cu dan keluarga Kam yang tidak ada gunanya itu.”
“Mantu jahat! Murid murtad! Kalau begitu, engkau boleh pilih antara kami dan anak ini. Kalau engkau memilihnya, pergilah dari Lembah Naga Siluman dan jangan injakkan kaki lagi di tempat kami! Juga kami tidak lagi mengakuimu sebagai murid atau mantu! Pergilah!” Cu Han Bu berteriak marah dan dalam suara teriakannya terkandung isak kekecewaan dan kedukaan hatinya.
Dahulu, dia dan adik-adiknya mendidik Sim Hong Bu dengan harapan bahwa murid itu yang kelak akan membalaskan kekalahan mereka terhadap Kam Hong. Harapan itu tidak pernah terkabul karena biar pun Hong Bu sudah melaksanakan tugasnya dan menandingi Kam Hong, ternyata murid mereka itu tidak mampu mengalahkan Pendekar Suling Emas. Dan sekarang, selagi mereka prihatin dan berusaha menciptakan ilmu lain, dengan harapan masih tertuju kepada murid yang juga menjadi mantu itu, tumpuan harapan mereka buyar dan porak-poranda. Murid itu bahkan mau berbesan dengan musuh, bukan itu saja, malah saling bertukar ilmu!
“Baiklah, suhu. Teecu akan pergi dari sini bersama Bi Eng dan.... dan kalau dia mau, dengan isteri teecu.” Setelah berkata demikian, dia lalu bangkit berdiri dan memegang tangan Bi Eng, untuk diajak pergi dari tempat itu.
“Nanti dulu! Engkau lupa mengembalikan Koai-liong Po-kiam! Engkau tidak berhak lagi memiliknya!” bentak Cu Han Bu dengan hati penuh rasa sesal dan kecewa.
Tanpa banyak cakap, Sim Hong Bu menanggalkan pedang dan sarungnya, kemudian menyerahkannya kepada gurunya yang menyambarnya dari tangannya dengan kasar. Setelah menjura sekali lagi, pendekar itu kemudian menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan goa itu. Dia kembali ke rumah besar di mana Cu Pek In menyambutnya dengan muka pucat.
Isteri yang mencinta suaminya ini memandang khawatir. Sinar matanya mengandung kedukaan ketika ia melihat betapa gadis cilik itu masih bersama suaminya, akan tetapi pedang Koai-liong-kiam tidak lagi berada di punggung pendekar itu. Sebelum suaminya berbicara, dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebagai akibat pertemuan suaminya dengan ayahnya.
Dengan lemas Sim Hong Bu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Isteri yang menyambutnya juga duduk di depannya sedangkan Bi Eng berdiri saja di belakang kursi gurunya. Hati Bi Eng diliputi keharuan karena dia merasakan benar perlindungan dan pembelaan gurunya terhadap dirinya. Kini ia merasa tegang karena tahu bahwa gurunya akan menghadapi suatu hal yang paling berat, yaitu isterinya yang sejak semula sudah memperlihatkan sikap tidak setuju.
“Suhu tadi mengusirku karena aku bertahan untuk mendidik Kam Bi Eng. Terpaksa aku harus pergi dan terserah kepadamu, apakah engkau akan ikut bersamaku ataukah tetap tinggal di sini.”
Suara pendekar itu datar saja karena dia menekan batinnya yang terguncang hebat. Dia mencinta isterinya dan tentu saja merasa berat kalau harus berpisah, akan tetapi keadaan memaksanya. Dia tidak sudi menjadi seorang lemah yang mengingkari janji sendiri.
Wanita itu menangis, akan tetapi tanpa suara. Hatinya terlalu keras untuk menangis sampai mengeluarkan suara. Semenjak kecil Pek In seperti laki-laki. Hanya air matanya yang mengalir keluar dan segera ia menghapus air matanya.
“Keluarga Cu tidak mempunyai anak kecuali aku, dan tadinya engkau diharapkan untuk menjadi keturunan mereka. Akan tetapi sekarang engkau malah menentang, dan kalau aku juga pergi, habis siapa lagi yang akan dipandang oleh ayah dan para paman? Aku tidak bisa meninggalkan ayah, aku akan tinggal di sini sampai mati.... sampai engkau atau Houw-ji ingat kepadaku....” Wanita itu menutupi mukanya dan air matanya mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya.
Sim Hong Bu merasa terharu dan kasihan sekali. Ingin dia merangkul dan menghibur isterinya, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu akan percuma saja. Maka dia mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga akan begini jadinya dan aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, isteriku. Biarlah aku memenuhi janjiku, setelah lewat tiga tahun tentu aku akan mencarimu di sini. Selamat tinggal, isteriku, dan kau maafkan suamimu ini....”
Sim Hong Bu lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu bersama Bi Eng, diikuti oleh pandang mata isterinya yang masih terus berlinang air mata. Pada saat itu muncullah Cu Kang Bu dan Yu Hwi.
“Ehhh, engkau hendak pergi lagi?” Cu Kang Bu menegur.
Hong Bu menjura kepada paman dan bibinya. “Suhu mengusir teecu pergi karena teecu bertahan hendak mendidik Bi Eng. Teecu memilih pergi dari pada harus mengingkari janji yang telah teecu ikat bersama Kam-taihiap. Sam-susiok, bibi dan engkau Pek In, harap diketahui bahwa aku sama sekali tidak memihak musuh, bahwa aku sama sekali tidak menentang keluarga Cu. Kalau aku terpaksa pergi dan tidak mentaati suhu, hanyalah karena aku sudah mengikat janji, dan semua ini kulakukan demi kebaikan anakku Sim Houw. Aku tidak ingin Sim Houw terseret dalam permusuhan antar keluarga yang tidak ada gunanya ini. Kalau pendirianku ini benar, semoga Thian melindungiku, dan kalau aku bersalah, biarlah aku terhukum karena kesalahanku. Selamat tinggal!”
Sim Hong Bu bergegas pergi sambil menggandeng tangan Bi Eng yang sejak tadi diam saja. Cu Kang Bu dengan kakinya yang panjang melangkah lebar mendampingi Hong Bu, mengantarnya sampai di tepi jurang.
“Aku harus melihatmu sendiri menyeberang dengan selamat,” katanya lirih.
Diam-diam Hong Bu bersyukur dan berterima kasih. Agaknya paman yang dikenalnya amat jujur dan gagah ini meragukan kalau-kalau dua orang kakaknya akan berbuat curang dan karena dendam lalu berusaha melenyapkan Hong Bu dan Bi Eng dengan misalnya membuat mereka terjatuh ke dalam jurang selagi melakukan penyeberangan melalui tali.
“Terima kasih, susiok, terutama akan sikap susiok yang tidak marah kepada teecu.”
Pendekar tinggi besar itu tersenyum dan menghela napas. “Tak tahulah, Hong Bu. Aku menghargai sikapmu yang memegang teguh perjanjian, tetapi kalau sudah menyangkut nama dan kehormatan, orang dapat berbuat apa saja dan aku tidak tahu lagi mana benar mana salah. Kalau dipikir, bukankah mati-matian memegang janji juga merupakan usaha mempertahankan nama dan kehormatan? Nah, selamat jalan, mudah-mudahan segalanya akan dapat berakhir dengan baik kelak.”
“Selamat tinggal, susiok.”
Sim Hong Bu lalu mengajak muridnya meloncat ke atas jembatan tambang yang sudah direntang. Mereka berlarian menuju ke seberang, dan pada saat itu, dari balik batang pohon muncul dua bayangan orang yang bukan lain adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Mereka melihat adik mereka Cu Kang Bu berdiri di tepi jurang. Keduanya lalu menyelinap pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata...
"Ayah, bagaimana pun juga, aku tidak rela kalau Houw-ji menjadi murid orang she Kam itu! Kalau ayah tidak mau pergi mengambilnya, biarlah aku sendiri yang akan pergi ke sana untuk mengajaknya pulang!” Pek In berkata.
Wanita ini wajahnya pucat sekali dan matanya merah oleh karena banyak menangis. Ia menghadap ayahnya di goa pertapaannya. Dia pulalah yang kemarin dulu mendahului suaminya, menghadap ayahnya dan melaporkan tentang tindakan suaminya yang amat tidak disetujuinya itu. Ayahnya dan pamannya terpengaruh sehingga begitu Hong Bu dan Bi Eng muncul, kedua orang tua ini sudah menghadapinya dengan hati dicekam kemarahan.
Dan kini, setelah Hong Bu pergi bersama Bi Eng, Pek In menghadap ayahnya lagi dan merengek, minta agar ayahnya suka pergi mengambil Sim Houw dari tangan keluarga Kam yang dibencinya.
“Baiklah, memang aku sendiri pun berpikir bahwa Sim Houw harus diajak pulang. Kami ingin menggemblengnya dan kelak dia akan menjadi seorang yang lebih lihai dari pada ayahnya. Dialah kelak yang akan membersihkan nama keluarga kita,” jawab kakek itu dengan suara mengandung kekerasan dan ketegasan. “Panggil pamanmu Cu Kang Bu ke sini.”
Ketika Cu Kang Bu datang menghadap kedua orang kakaknya, Cu Han Bu berkata bahwa dia dan Cu Seng Bu hendak pergi menyusul Sim Houw dan mengajak pulang anak itu, dan dia memesan agar Cu Kang Bu menjaga lembah baik-baik.
“Akan tetapi, toako. Bukankah Houw-ji telah diserahkan kepada Kam Hong dan yang menyerahkannya adalah ayahnya sendiri?” Cu Kang Bu membantah.
Saudara termuda keluarga Cu ini maklum bahwa kepergian kakaknya itu berarti hanya akan memperdalam permusuhannya dengan keluarga Kam saja.
“Akan tetapi, aku adalah ibu kandungnya, paman! Aku berhak memintanya kembali dan dalam hal ini aku diwakili ayah. Sebagai kakeknya, ayah berhak mewakili aku untuk minta kembali Houw-ji!” Pek In berseru dengan nada suara penuh kemarahan. Ia pun tahu bahwa watak paman ke tiga ini lain, dan dalam banyak hal, Cu Kang Bu condong kepada suaminya.
Cu Kang Bu menggerakkan kedua pundaknya. “Terserah kepadamu. Sebagai ibunya tentu saja engkau berhak mengaturnya. Akan tetapi kalau yang menyerahkan ayahnya, dan yang meminta ibunya, hal itu sama saja dengan membuka borok di muka umum, membuat orang mengerti bahwa ada ketidak cocokan antara suami isteri,” kata Cu Kang Bu.
“Sudahlah, sam-te. Kami sendiri tidak mempersoalkan itu, yang kami ingat hanyalah bahwa kalau kita menyerahkan Houw-ji kepada keluarga Kam, sama saja artinya bahwa kita telah merasa jeri dan merasa tidak mampu menandinginya. Penyerahan Houw-ji sama saja dengan tanda takluk. Karena itulah maka aku dan ji-te akan pergi ke sana untuk memintanya kembali.”
Cu Kang Bu tidak dapat membantah, hanya merasa prihatin sekali ketika kedua orang kakaknya berangkat meninggalkan Lembah Naga Siluman untuk pergi menyusul Sim Houw dan mengajak anak itu kembali ke lembah. Dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi ketegangan di sana. Dia hanya mengharapkan saja agar kedua orang kakaknya yang sudah belasan tahun bertapa dan berlatih siu-lian itu sekarang sudah memiliki cukup kesabaran untuk menjauhkan pertikaian baru.
Dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu melakukan perjalanan secepatnya. Mereka memiliki cukup bekal untuk membeli kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan membalapkan kuda mereka, ditukar di setiap tempat setelah kuda mereka kelelahan. Karena mereka hanya merupakan dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pendeta, maka tidak ada gangguan di perjalanan dan akhirnya, pada suatu siang, tibalah mereka di Puncak Bukit Nelayan, di sebelah selatan kota Pao-ting.
Mereka langsung mendaki bukit itu dengan jalan kaki, meninggalkan kuda mereka di dusun sebelah bawah dan ketika mereka tiba di gedung tua tempat tinggal keluarga Kam, kebetulan sekali saat itu Kam Hong dan isterinya sedang melihat murid mereka berlatih silat yang baru pada taraf gerakan dan geseran kaki membentuk dan merubah kuda-kuda yang dipergunakan dalam Kim-siauw Kiam-sut.
Melihat munculnya dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pertapa, Kam Hong dan isterinya memandang penuh curiga, teringat akan malapetaka yang baru saja menimpa keluarganya. Tentu saja mereka merasa curiga karena mereka tidak mengenal siapa adanya dua orang ini yang melihat sinar mata mereka tentu sedang berada dalam keadaan marah.
“Kong-kong....!” Sim Houw menghentikan latihannya, lari menghampiri dan berlutut di depan seorang di antara dua kakek itu dan seketika teringatlah Kam Hong dan Ci Sian siapa adanya dua orang kakek itu. Kiranya dua orang tokoh Lembah Naga Siluman yang dahulu disebut Lembah Suling Emas!
“Aihhh, kiranya ji-wi locianpwe Kim-kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu yang datang berkunjung!” kata Kam Hong sambil menjura dengan hormat, diturut oleh isterinya.
Dua orang pertapa itu membalas penghormatan Kam Hong dengan sikap kaku, hanya mengangkat dan merangkap kedua tangan di depan dada sebentar saja, kemudian Cu Han Bu berkata dengan lantang.
“Kam-sicu, kami datang untuk menjemput cucu kami Sim Houw dan mengajaknya pulang!”
Suami isteri itu saling pandang dan bersikap waspada. Dari sikap dan nada suara kakek itu saja mereka berdua maklum bahwa dua orang itu datang bukan membawa iktikad baik, melainkan didorong oleh hawa permusuhan yang panas.
“Locianpwe, Sim Houw adalah murid saya dan dia datang dibawa oleh ayahnya sendiri.”
“Kam Hong!” kini Cu Han Bu tidak lagi berpura-pura sopan melainkan menurutkan kata hatinya yang panas. “Mana mungkin ada keganjilan seperti ini? Mana mungkin keturunan keluarga Cu berguru kepada orang she Kam? Apakah kau kira kami sudah takluk dan tunduk kepadamu, sudah menganggap kepandaianmu paling hebat di dunia sehingga cucu kami harus menjadi muridmu?”
Ucapan itu sudah bernada menyerang. Kam Hong masih tenang saja, akan tetapi Bu Ci Sian yang memang memiliki watak keras, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka tamunya. “Orang she Cu, dengarkan baik-baik! Bukan kami yang membujuk Sim Hong Bu datang ke sini. Dia datang sendiri bersama puteranya dan mengajukan pinangan kepada puteri kami. Dan adanya puteranya di sini adalah atas persetujuan kedua pihak untuk saling menurunkan ilmu kepada anak kita masing-masing. Kalau kalian datang mencari perkara dan mengajak berkelahi, bilang saja terus terang, jangan memakai kata-kata yang memutar!”
“Eh, siapa takut kepadamu?” Cu Seng Bu juga membentak dan meloncat ke depan. Dia dan nyonya rumah sudah saling berhadapan, seperti dua ekor ayam yang berlagak hendak saling terjang.
Namun Kam Hong maju memegang lengan isterinya dan dengan lembut menariknya mundur, sedangkan Cu Han Bu juga menyentuh lengan adiknya agar adiknya bersabar.
“Kami bukan datang untuk mengajak berkelahi walau pun kami tidak pernah akan mundur apabila ditantang. Kami adalah kakek Sim Houw, dan kami datang mewakili ibu kandung anak itu untuk mengajaknya pulang. Hanya itu saja keperluan kami dan terserah bagaimana kalian menyambut dan menanggapinya!”
Ci Sian hendak menerjang dengan kata-kata lagi, akan tetapi suaminya menyentuh tangannya dan Kam Hong mendahuluinya. “ Maaf Cu-locianpwe. Sebagai tuan rumah, tentu saja kami menyambut kunjungan ji-wi locianpwe sebagai tamu dengan hormat dan senang hati. Mari, silakan ji-wi duduk di sebelah dalam dan kita bicara dengan leluasa.”
“Tidak perlu, terima kasih. Cukup di sini saja, karena keperluan kami hanya menjemput cucu kami,” jawab Cu Han Bu yang masih bersikap kaku.
Kam Hong tersenyum dan menarik napas panjang. “Sesuka locianpwe kalau begitu. Harap ji-wi suka mendengarkan dengan baik-baik. Di dalam urusan Sim Houw menjadi murid saya ini tidak terdapat sesuatu yang buruk dan tercela....”
“Hemm, bagi kami tetap saja buruk kalau ada seorang keturunan keluarga Cu berguru kepada orang she Kam!” Cu Seng Bu memotong.
Kam Hong tetap tersenyum. “Agaknya ji-wi lupa bahwa Sim Houw bukanlah she Cu melainkan she Sim, jadi yang berhak menentukan tentang keadaan dirinya adalah ayah kandungnya, Sim Hong Bu yang menjadi sahabat baik kami. Sim Houw dibawa ke sini oleh ayahnya, dia diserahkan oleh ayahnya sendiri kepada kami sebagai penukar anak kami yang dibawa Sim Hong Bu untuk dididik.”
“Jadi jelasnya, engkau tidak mau menyerahkan Sim Houw kepada kami yang menjadi kakeknya? Begitukah?” Cu Han Bu bertanya, nadanya menantang.
“Ada tiga cara untuk mengajak Sim Houw pergi dan kalau satu di antara tiga cara itu terpenuhi, dengan senang hati kami akan melepas Sim Houw pergi. Pertama, karena yang menyerahkan dia kepada kami adalah Sim Hong Bu, maka biarlah Sim Hong Bu sendiri yang datang menjemput dan memintanya kembali. Ke dua, karena anak ini berada di sini sebagai penukar anak kami, maka kalau anak kami dikembalikan, boleh saja kedua anak itu ditukar kembali. Ke tiga, kalau memang Sim Houw yang menghendaki sendiri pergi dari sini, tentu kami pun tidak akan mau menahan atau memaksanya. Nah, kami harap saja ji-wi locianpwe dapat berpikiran luas dan bertindak bijaksana sesuai dengan nama besar ji-wi, dan tidak hanya menuruti nafsu kemarahan sehingga kelak dapat ditertawakan orang gagah sedunia!”
Cu Han Bu dan adiknya adalah orang-orang gagah dan tentu saja mereka dapat menerima ucapan itu dan dapat melihat bahwa Kam Hong sudah bersikap jujur dan adil. Kalau mereka tidak dapat menerima, berarti merekalah yang bo-ceng-li (tidak mengenal aturan) dan mereka akan berada di pihak salah kalau sampai terjadi bentrokan antara mereka.
Akan tetapi, cara pertama menyuruh Sim Hong Bu datang sendiri tidak mungkin, juga cara ke dua menukarkan kembali dua orang anak itu tidak mungkin pula, yang ada hanya tinggal cara ke tiga. Mereka dapat membujuk Sim Houw untuk pulang dan kalau memang Sim Houw mau pulang, keluarga Kam tidak akan mau menahan atau memaksanya. Maka Cu Han Bu lalu menghampiri Sim Houw, mengelus kepala anak itu dan berkata dengan suara halus.
“Houw-ji, cucuku yang baik. Ibumu menyuruh kami menjemputmu dan mengajakmu pulang. Ibumu selalu menangis dan rindu kepadamu, dan kalau kau pulang, aku sendiri yang akan menggemblengmu dengan ilmu-ilmu ciptaanku yang baru, yang tidak akan kalah dibandingkan dengan ilmu yang bagaimana pun. Marilah, kau pamitlah kepada tuan rumah dan ikut kami pulang ke lembah, cucuku.”
Sim Houw memang adalah seorang anak yang pendiam, akan tetapi bukannya tidak cerdik. Mendengar ucapan kakeknya, dia tahu bahwa kakeknya hanya membujuknya. Selamanya, belum pernah dia melihat ibunya menangis! Ibunya adalah seorang wanita gagah yang pantang menangis. Mana mungkin kini mendadak ibunya begitu cengeng, menangis hanya karena rindu kepadanya? Dia tidak percaya.
Dan tentang mempelajari ilmu, bukan dia tidak ingin menerima pelajaran ilmu-ilmu sakti dari kakeknya, akan tetapi setelah dia mengetahui untuk apa dan sebab apa dia belajar di bawah bimbingan Pendekar Suling Emas Kam Hong, dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan tempat ini tanpa setahu ayahnya. Dia dapat menduga bahwa tentu terjadi pertentangan antara ayahnya dan kakeknya, dan tentu saja dia berpihak pada ayahnya. Sejak kecil, jarang dia bertemu dengan kakeknya, apalagi bergaul karena kedua orang kakeknya yang kini muncul itu selalu bersembunyi di dalam goa pertapaan dan tidak pernah bersikap manis kepadanya.
“Tidak kong-kong,” katanya dengan suara tegas. “Aku tidak mau pulang dan akan tetap tinggal di sini.”
Wajah Cu Han Bu menjadi merah. “Anak bandel! Berani engkau membantah perintah kakekmu?”
“Kong-kong, aku tidak berani melanggar perintah ayah. Aku akan tetap berada di sini sampai ayah datang menjemputku. Harap kong-kong maafkan!” kata pula Sim Houw dengan suara tegas.
Kakek itu marah sekali, bukan marah karena penolakan cucunya, tetapi marah karena kembali dia merasa dikalahkan oleh Kam Hong. Jari-jari kedua tangannya meregang dan melihat ini, Kam Hong sudah siap-siap untuk melindungi muridnya. Tiba-tiba Cu Han Bu memutar tubuhnya, kedua tangannya bergerak ke arah dua batang pohon yang tadi berada di belakangnya. Mereka memang berada di dalam kebun di mana Kam Hong melatih muridnya.
“Ciutt… ciuuuttt.... brakkk....!”
Dua batang pohon itu tumbang dan runtuh, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Inilah satu di antara ilmu-ilmu baru ciptaan kedua orang kakek yang sakti itu. Diam-diam Kam Hong kagum sekali. Pukulan tadi memang hebat. Batang pohon yang kuat dan sebesar perut manusia itu sekali pukul remuk dan tumbang, apalagi badan manusia!
Setelah merobohkan dua batang pohon untuk memuntahkan kedongkolan hatinya, Cu Han Bu lalu melangkah lebar pergi dari situ diikuti oleh adiknya. Kam Hong hanya memandang dengan sikap tenang, dan isterinya tersenyum, sementara itu Sim Houw memandang dengan mata terbelalak karena terkejut melihat ulah kakeknya tadi.
“Sim Houw, lihat betapa saktinya kakekmu. Sayang dia pemarah. Kesaktiannya boleh kau tiru, hasil dari pada ketekunan, akan tetapi pemarahnya itu jangan kau tiru. Nah, mulai sekarang belajarlah dan berlatihlah dengan tekun agar kelak tidak mengecewakan keluargamu, juga kakek-kakekmu itu.”
Mulai hari itu, Kam Hong menggembleng muridnya lebih tekun lagi dan pemuda remaja itu pun mengimbangi ketekunan gurunya dengan berlatih setiap ada kesempatan. Terjadilah perlombaan antara Kam Hong dan Sim Hong Bu dalam melatih murid masing-masing, seperti juga perlombaan antara keluarga Kam dan keluarga Cu. Akan tetapi bentuk perlombaan antara kedua orang pendekar sekali ini adalah perlombaan yang sehat, yang dapat membawa kemajuan kepada kedua pihak...
Senja itu cerah akan tetapi tidak mampu menjernihkan batin orang-orang yang sedang melakukan perbuatan jahat itu. Senja yang cerah dan tadinya hening itu kini dikotori oleh teriakan-teriakan, tawa bergelak, dan jerit tangis. Segerombolan orang laki-laki yang rata-rata bersikap kasar, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang berkumis lebat sedang menyerbu dua rumah yang agak terpencil di luar dusun pada sore hari itu. Pihak tuan rumah mengadakan perlawanan yang sia-sia, karena beberapa orang pria dari dua keluarga itu dalam waktu singkat saja sudah rohoh bermandi darah terkena bacokan dan tusukan golok gerombolan perampok itu.
Kemudian, kepala gerombolan muncul dari rumah sebelah kiri, tertawa-tawa dan kedua lengannya yang berbulu dan besar-besar itu mengempit tubuh dua orang wanita dusun yang cukup cantik. Dua orang wanita itu menjerit dan meronta-ronta, namun mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan kedua lengan yang kekar itu. Para anak buahnya bersorak dan tertawa-tawa ketika melihat pemimpin mereka menawan dua orang wanita itu dan teriakan-teriakan yang bernada kotor dan cabul terlontar dari mulut mereka.
Di balik sebatang pohon besar, seorang pria muda mengintai semua peristiwa itu sejak tadi. Pria itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya agak pendek namun tegap, mukanya putih dan matanya bersinar-sinar, pakaiannya mewah. Dia seorang pesolek muda yang cukup tampan dan yang sejak tadi mengintai dan diam-diam menjadi penonton ketika gerombolan perampok itu menjalankan aksi mereka merampok dua rumah yang terpencil itu. Rumah itu milik dua keluarga yang terhitung kaya di daerah itu, maka kini para anak buah perampok dengan gembira mengangkuti peti-peti berisi pakaian dan harta benda mereka.
Ketika kepala perampok itu merangkul dua orang wanita muda yang meronta-ronta sehingga kaki seorang di antara dua orang wanita itu nampak keluar sampai ke atas lutut, pemuda pesolek itu memandang penuh gairah sambil menggumam, “Hemm, lumayan untuk hiburan malam ini!”
Kini para perampok keluar membawa peti-peti harta dan melihat ini, kembali pemuda pesolek itu menggumam, “Lumayan untuk penambah bekal!”
Dia sudah membayangkan betapa malam ini dia akan menghibur diri bersenang-senang menggumuli salah seorang atau mungkin keduanya dari wanita itu, dan menambah isi buntalan pakaiannya dengan emas permata dari dalam peti itu.
Orang muda ini adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah kita ketahui, putera mendiang Louw-kauwsu ini berhasil menipu keluarga Suma Kian Lee. Bukan hanya diambil murid dan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, bahkan juga diambil mantu dan dia bahkan telah berhasil memperkosa puteri Pendekar Pulau Es itu. Tapi semua perbuatannya itu telah ketahuan dan dia nyaris tewas kalau saja dia tidak berhasil melarikan diri ditolong oleh gurunya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok. Kemudian, dia mengikuti Jai-hwa Siauw-ok pergi ke Puncak Bukit Nelayan untuk membantu suhu-nya yang hendak membalas dendam kepada keluarga Kam. Di tempat itu mereka bertemu dengan Hek-i Mo-ong dan seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, akhirnya Jai-hwa Siauw-ok tewas di tangan Hek-i Mo-ong sendiri karena memperebutkan Bi Eng, sedangkan Louw Tek Ciang terpaksa melarikan diri.
Semenjak kehilangan gurunya yang amat menyayangnya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, Tek Ciang hidup bertualang seorang diri. Dia sudah tidak mempunyai keluarga dan kini keluarga Suma malah memusuhinya dan tentu akan selalu mencari-carinya untuk menghukumnya. Dia hidup seorang diri, merantau ke mana-mana dan dari Jai-hwa Siauw-ok, selain mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dia juga mewarisi kegemarannya yang amat merusak, yaitu kalau membutuhkan, tidak segan-segan melakukan pencurian dan setiap melihat wanita cantik, hatinya terpikat dan dia pun melakukan kebiasaannya yang terkutuk, yaitu mempergunakan kepandaian menculik dan memperkosa wanita yang disukainya.
Pada senja hari itu, tanpa disengaja dia menyaksikan segerombolan perampok beraksi menyerbu rumah dua keluarga. Dia menjadi penonton yang melihat peristiwa itu sebagai suatu kejadian yang lucu. Biarkan mereka itu bekerja untukku, pikirnya. Kalau mereka sudah selesai, dia tinggal turun tangan merampas dua orang wanita yang kelihatan montok dan cukup menarik itu dan merampas beberapa buah barang berharga.
Ketika gerombolan itu sambil tertawa-tawa meninggalkan dua rumah yang sudah mereka rampok ludes dan hendak menghilang ke dalam hutan yang berdekatan dengan rumah-rumah itu, tiba-tiba saja Tek Ciang meloncat keluar. Gerakannya amat cepat, tahu-tahu sudah berada di depan kepala gerombolan yang berjalan di muka.
“Serahkan dua anak ayam ini kepadaku!” bentak Tek Ciang dan tangannya sudah menusuk ke arah sepasang mata kepala perampok itu dengan totokan yang sangat berbahaya. Agaknya pemuda ini bukan hanya hendak merampas wanita, akan tetapi juga ingin membikin buta kepala perampok itu dengan tusukan dua buah jari tangan kanannya.
“Wuuuuuttt....!”
Tiba-tiba saja kepala perampok yang kumisnya tebal itu membuat gerakan meloncat ke belakang. Sambil tetap mengempit tubuh dua orang wanita itu, dia dapat membuat gerakan meloncat ke belakang sedemikian ringan dan cepatnya sehingga mengejutkan hati Tek Ciang. Orang yang dapat meloncat ke belakang secepat itu sambil mengempit tubuh dua orang berarti memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan!
Agaknya kepala perampok itu pun menyadari akan kelihaian pemuda yang hendak merampas tawanannya, karena tusukan jari tangan ke arah matanya tadi benar-benar amat berbahaya dan kalau kurang cepat sedikit saja dia meloncat, tentu kedua matanya telah menjadi buta! Marahlah dia. Dengan suara menggeram hebat, dia menggerakkan tangan kanannya melontarkan tubuh wanita yang dipegang tangan kanannya ke arah Tek Ciang sedangkan wanita yang dipeluk tangan kirinya dia lemparkan begitu saja ke kiri. Tubuh dua orang wanita itu melayang dan ini pun membuktikan betapa kuat tenaga kepala perampok berkumis lebat itu.
Dengan mudah saja Tek Ciang menyambut tubuh yang melayang ke arahnya itu dan dengan lunak tubuh wanita itu dapat dirangkulnya, kemudian dia menurunkan wanita itu yang segera lari menjauh dan menangis di bawah pohon dengan ketakutan.
Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat menyambar tubuh wanita ke dua yang tadi dilemparkan tangan kiri si kepala perampok. Cara bayangan ini menyambar tubuh itu mengagumkan hati Tek Ciang, apalagi ketika dilihatnya bahwa yang menyambar tubuh itu adalah seorang pemuda berusia antara dua puluh tahun dan berwajah gagah. Pemuda itu pun menurunkan tubuh si gadis yang terculik, yang berlari menghampiri kawannya dan mereka berdua berangkulan sambil menangis.
“Kau....?” Si kepala perampok terkejut dan marah ketika melihat pemuda yang baru tiba itu. Sebaliknya, si pemuda juga memandang tajam dan tersenyum mengejek.
“Murid murtad, kiranya benar engkau yang mengotorkan nama Kun-lun-pai!” pemuda itu meloncat ke depan menghadapi kepala perampok berkumis tebal.
Kepala perampok itu marah sekali. Dia cepat mencabut pedang yang tergantung di punggungnya, lalu menyerang pemuda baju hijau yang menghadapinya itu. Serangan itu dahsyat sekali, akan tetapi si pemuda dapat mengelak dengan gesitnya.
“Phang Hok, aku datang atas nama suhu. Menyerahlah dari pada harus kuwakili suhu membunuhmu!” Pemuda baju hijau itu masih mencoba untuk mengajak damai. Akan tetapi lawannya mendengus dan pedangnya berkelebat semakin dahsyat menyerang.
“Singggg....!”
Pemuda baju hijau itu mengelak sambil mencabut pedangnya dan sekarang terjadilah pertandingan yang amat seru dan menarik.
Tek Ciang berdiri menonton dengan hati kagum. Tidak disangkanya bahwa kepala perampok itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat, ilmu pedangnya juga dahsyat. Akan tetapi pemuda baju hijau itu pun ternyata memiliki ilmu pedang yang sama gerakannya, bahkan lebih mantap dan lebih cepat. Dia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah saudara seperguruan dan melihat kelihaian pemuda baju hijau itu, Tek Ciang mengambil keputusan lain. Melihat betapa belasan orang perampok itu kini telah mencabut senjata dan bersikap hendak mengeroyok, dia pun menerjang ke depan.
“Perampok-parampok hina, kalian hanya mengotorkan dunia saja!” bentaknya dan sebagai seorang pendekar tulen, dia pun lalu menghadapi pengeroyokan belasan orang perampok itu dengan tangan kosong saja.
Memang sukar mengatakan bahwa Tek Ciang seorang penjahat, walau pun dia jauh dari pada seorang pendekar! Dia tidak pernah melakukan kejahatan secara berterang. Kalau sekali waktu dia mencuri uang, hal itu dilakukan karena dia membutuhkan untuk bekal perjalanan, dan dia selalu tidak pernah meninggalkan jejak. Demikian pula kalau dia menculik dan memperkosa wanita, dia melakukannya tanpa ada yang melihatnya dan untuk menghilangkan jejaknya, bukan jarang dia membunuh wanita yang sudah dipermainkannya sampai puas itu.
Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa dia suka berhubungan atau berdekatan dengan kaum penjahat. Bahkan tidak jarang dia menentang kalau terjadi kejahatan, bukan karena tergerak hatinya menentang kejahatan itu sendiri, melainkan karena dia ingin mencari kepuasan dengan anggapan sendiri bahwa dia adalah seorang pendekar. Bagaimana pun juga, dia adalah seorang keluarga pendekar sakti Suma, keturunan para Pendekar Pulau Es!
Kecondongan untuk mencari nama dan kehormatan bukan hanya merupakan penyakit yang diderita Louw Tek Ciang ini. Keinginan agar dianggap sebagai seorang baik, orang pandai dan yang serba menonjol merupakan penyakit kita semua, walau pun kadang-kadang sifat itu kita lakukan di luar kesadaran kita sendiri. Kita sukar menghentikan perbuatan-perbuatan buruk yang sudah menjadi kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan buruk yang sesungguhnya menjadi cara untuk mencari atau mencapai kesenangan.
Akan tetapi di samping itu, ada hasrat dalam batin kita untuk dianggap sebagai orang baik tanpa cacat. Inilah sebabnya mengapa para koruptor condong untuk menjadi penderma paling royal. Bahkan orang yang dianggap paling jahat sekali pun, di lubuk hatinya merindukan kehormatan dan nama baik ini. Maka terjadilah konflik dalam batin antara kenyataan yang ada dengan keinginan yang kita dambakan.
Kalau saja pelaku kejahatan mengakui kejahatannya lahir batin, maka kehidupan dan dunia ini agaknya akan menjadi berbeda. Kita condong untuk membela perbuatan kita, memulasnya agar nampak tidak kotor, bahkan kita selalu mengingkari semua perbuatan buruk kita, hanya karena ingin memenuhi hasrat hati, yaitu ingin dianggap baik dan terhormat itulah! Maka timbullah kepura-puraan, timbullah kemunafikan.
Perbuatan yang oleh umum dianggap baik bagaimana pun juga, kalau hal itu dilakukan karena ada pamrih ingin dianggap baik, maka perbuatan itu adalah suatu hal yang kotor dan palsu, yang munafik dan karenanya jelas tidak baik lagi. Perbuatan baik adalah perbuatan yang sama sekali tak dinilai oleh pelakunya, perbuatan yang wajar, perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sehingga perbuatan itu tidak ada ujung pangkalnya, tidak ada sebab akibatnya, tidak terikat karma. Perbuatan berdasarkan cinta kasih adalah wajar, tidak melepas atau menanamkan budi, tidak menimbulkan dendam, tidak ditumpuk dalam ingatan, dan selesai sampai di saat itu saja!
Pemuda berbaju hijau itu pun kaget dan girang melihat munculnya seorang pemuda tampan yang mengamuk dan menghadapi pengeroyokan anak buah perampok yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan itu. Dia pun kagum karena segera dapat melihat betapa lihainya pemuda bertangan kosong itu menghadapi para pengeroyoknya yang semuanya bersenjata.
Perkelahian antara pemuda baju hijau itu sendiri melawan kepala perampok tidak berlangsung terlalu lama. Betapa pun lihainya kepala perampok itu, menghadapi si pemuda baju hijau, dia kalah cepat dan kalah tinggi tingkatnya, kalah segala-galanya. Dalam waktu kurang dari lima puluh jurus, pedang di tangan pemuda baju hijau itu sudah menusuk leher lawannya yang roboh dan tewas seketika.
Ketika pemuda itu menyimpan kembali pedangnya dan menoleh, dia melihat betapa belasan orang perampok itu semua sudah roboh dan tewas, sedangkan pemuda tampan itu sedikit pun tidak terluka, bahkan pakaiannya yang mewah itu sama sekali tidak kusut atau kotor. Pemuda itu sekarang berdiri memandang kepadanya sambil tersenyum.
“Ilmu pedangmu hebat sekali, sobat!” kata Tek Ciang memuji.
“Engkaulah yang berilmu tinggi sehingga dapat mengalahkan pengeroyokan para perampok dengan tangan kosong saja,” pemuda baju hijau itu balas memuji.
Tek Ciang tertawa, girang dan bangga karena dipuji. “Ahhh, dibandingkan dengan ilmu pedangmu, apa artinya kepandaianku? Kalau tidak salah, ilmu pedangmu itu adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai, benarkah? Sudah lama aku mengagumi ilmu-ilmu silat Kun-lun-pai dan baru sekarang aku bertemu dengan seorang ahlinya. Perkenalkan, sobat, namaku adalah Louw Tek Ciang.” Tek Ciang memberi hormat yang cepat dibalas oleh pemuda itu.
“Engkau adalah penolongku, Louw-toako dan terima kasih atas bantuanmu. Namaku adalah Pouw Kui Lok. Dugaanmu memang tepat karena aku adalah murid Kun-lun-pai, akan tetapi sama sekali bukan tokoh ahli.”
Para pembaca tentu masih ingat akan nama ini. Pemuda baju hijau itu adalah Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai yang pernah mencari Hek-i Mo-ong untuk membalaskan kematian gurunya, yaitu Yang I Cinjin yang dahulu tewas oleh Hek-i Mo-ong.
“Ah, Pouw-lauwte, kalau orang yang sudah pandai ilmu pedang seperti engkau ini masih bukan ahli, lalu yang ahli yang bagaimana? Janganlah terlalu merendahkan diri. Akan tetapi, kalau tidak salah, kepala perampok itu mempunyai ilmu dari Kun-lun-pai pula. Benarkah?”
“Benar, dia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang murtad dan tersesat. Aku diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk mencari dan menghukumnya. Dia cukup lihai dan anak buahnya juga rata-rata pandai ilmu silat. Untung ada engkau yang membantuku. Akan tetapi marilah kita antarkan dulu dua orang nona itu pulang dan membawa barang-barang rampasan itu kembali ke keluarga mereka, baru kita bicara dan mempererat perkenalan.”
“Baik, kita harus menolong mereka tidak kepalang tanggung,” berkata pula Tek Ciang dengan sikap gagah. Dua orang muda itu lalu menghampiri dua orang wanita yang masih berlutut menangis.
“Sudahlah, nona-nona, jangan menangis. Lihat, semua penjahat telah kami bunuh. Sekarang mari kami antar pulang dan kami bawakan barang-barang keluarga nona yang dirampok.” Dengan sikap ramah Tek Ciang menghampiri mereka dan dua orang gadis itu pun menghentikan tangis mereka dan ketika mereka melihat bahwa semua penjahat telah tewas, keduanya menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Ciang.
“Kami menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan taihiap....”
Tek Ciang tersenyum. Kebanggaan bagaikan hendak meledakkan dadanya. Kadang-kadang, kegembiraan yang timbul karena kebanggaan ini lebih nikmat dari pada kalau dia memperkosa wanita.
“Ah, bukan hanya aku seorang yang turun tangan, nona. Kami dua orang she Pouw dan she Louw tidak akan membiarkan kejahatan merajalela di dunia ini,” katanya dengan sikap orang yang berhati lapang dan pandai merendahkan hati.
Dua orang muda itu lalu mengangkut semua barang rampokan, kemudian mengawal dua orang gadis itu kembali ke rumah mereka yang tadi dirampok. Dan di tempat itu mereka disambut ratap tangis, bukan hanya karena bersyukur melihat mereka pulang dengan selamat membawa semua barang yang dirampok, akan tetapi juga karena terlukanya para anggota keluarga laki-laki yang tadi melakukan perlawanan.
Kui Lok dan Tek Ciang tidak berlama-lama di tempat itu. Mereka segera meninggalkan keluarga itu tanpa memberi kesempatan mereka berterima kasih, sesuai dengan watak para pendekar yang tidak mengharapkan balas jasa atas pertolongan yang mereka berikan kepada orang-orang yang dilanda malapetaka.
Demikianlah perkenalan yang terjadi antara dua orang muda itu. Ketika Pouw Kui Lok mendengar bahwa pemuda yang lihai itu adalah murid pendekar sakti Suma Kian Lee keluarga Pulau Es, kekagumannya bertambah dan dia pun mempersilakan Tek Ciang untuk singgah di Kun-lun-pai cabang kota Tung-keng yang meliputi cabang perguruan silat ini di daerah tengah, di mana Kui Lok kini tinggal bersama para tosu yang menjadi pimpinan kuil Kun-lun-pai cabang Tung-keng itu.
Kui Lok ingin lebih mempererat persahabatannya dengan Tek Ciang karena sejak lama dia sudah mendengar tentang keluarga Pulau Es dan merasa kagum sekali. Juga para tosu Kun-lun-pai merasa gembira sekali dan kagum ketika mendengar bahwa pemuda yang pesolek itu adalah murid keluarga Pulau Es!
Tek Ciang telah tinggal di kuil itu selama tiga hari ketika pada pagi hari ke empat, Hong Tan Tosu, ketua kuil itu, seorang tosu tinggi kurus berusia enam puluh lima tahun, yang sejak pagi tadi keluar kuil, kembali membawa dua orang tamu. Dan dua orang tamu itu adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.....
Seperti kita ketahui, dua orang sakti dari Lembah Naga Siluman ini baru saja kembali dari Puncak Bukit Nelayan dimana mereka menanggung kecewa dan malu karena tidak berhasil membawa pulang cucu mereka, Sim Houw. Dengan hati kesal mereka menuju pulang dan di kota Tung-keng mereka berdua bertemu dengan Hong Tan Tosu.
Tosu Kun-lun-pai ini dahulu, ketika masih berada di Kun-lun-san, pernah bertemu di lembah keluarga Cu sehingga dia mengenal baik keluarga Cu. Maka, ketika bertemu dengan dua orang sakti itu, dia merasa gembira sekali dan mempersilakan dua orang kenalannya itu untuk singgah di kuilnya.
Cu Han Bu yang sedang kesal hatinya menerima undangan ini, maka mereka lalu mengikuti Hong Tan Tosu mengunjungi kuil Kun-lun-pai. Dan di sinilah dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu bertemu dengan Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang.
Kebetulan sekali pada saat itu, ketika dua orang sakti memasuki kuil, mereka melihat dua orang pemuda itu sedang berlatih silat di dalam kebun di samping kuil. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, dua orang kakak beradik Cu itu segera merasa tertarik sekali karena sekali pandang saja maklumlah mereka bahwa dua orang muda yang sedang berlatih silat itu memainkan ilmu-ilmu silat tinggi.
Dua orang muda itu adalah Kui Lok dan Tek Ciang. Mereka telah menjadi sahabat karib dan pada pagi hari itu, atas usul Kui Lok, mereka berlatih silat bersama. Melihat gerakan Kui Lok, dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu mengenal ilmu silat Kun-lun-pai dan mereka kagum karena pemuda itu memiliki gerakan yang amat ringan dan kuat. Akan tetapi mereka terbelalak memandang dan memperhatikan gerakan Tek Ciang. Pemuda ini memainkan ilmu silat yang aneh dan hebat, apalagi ketika terasa oleh mereka betapa dari kedua tangan pemuda ini menyambar hawa yang berubah-rubah, kadang-kadang dingin kadang-kadang panas.
Hong Tan Tosu yang menemani mereka, melihat kekaguman dua orang sakti itu, lalu berkata lirih. “Orang-orang muda sekarang bertambah hebat saja, akan kalah kita yang tua-tua ini.”
“Hong Tan To-yu, siapakah mereka ini?” tanya Cu Han Bu dengan hati tertarik.
“Yang berbaju hijau itu adalah Pouw Kui Lok, sute pinto sendiri dan dia memang sudah mencapai tingkat tertinggi di dalam perguruan kami. Dan yang ke dua itu bukan orang sembarangan. Namanya Louw Tek Ciang. Dia adalah murid Suma Kian Lee, pendekar Pulau Es.”
“Ahhh....!” Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menahan seruan mereka dan memandang kagum.
Pantas saja pemuda itu demikian lihainya, tidak tahunya murid pendekar PULAU ES! Pada waktu yang bersamaan, kakak beradik ini saling pandang dengan gejolak hati yang sama. Alangkah baiknya kalau mereka bisa menarik dua orang pemuda perkasa itu sebagai ahli waris baru mereka yang akan mewarisi ilmu-ilmu silat keluarga Cu dan kelak menjunjung tinggi nama keluarga Cu!
Setelah mereka duduk di dalam, Cu Han Bu langsung saja menyampaikan keinginan hatinya kepada sahabatnya. “To-yu, melihat gerakan dua orang muda itu, hati kami jadi sangat tertarik. Kebetulan sekali kami memang sedang mencari orang-orang yang agaknya tepat untuk mewarisi semua ilmu kami, yang lama mau pun yang baru saja kami ciptakan, dan kami melihat bahwa dua orang muda itu agaknya tepat dan berjodoh sekali. Bagaimana pendapatmu andai kata kami mengajak mereka ke lembah kami untuk menerima ilmu-ilmu silat keluarga kami?”
Mendengar ucapan ini, sejenak mata tosu itu terbelalak penuh keheranan. Dia sudah mengenal benar keluarga Cu ini yang selalu merahasiakan ilmu-ilmu mereka dan tidak akan menurunkan kepada orang luar, maka pernyataan tokoh nomor satu dari keluarga Cu itu tentu saja amat mengherankan hatinya.
Dia pun sudah mendengar bahwa keluarga Cu tidak memiliki keturunan laki-laki, akan tetapi sudah mempunyai seorang mantu yang lihai sekali dan kabarnya mantu itu yang telah mewarisi ilmu-ilmu keluarga Cu. Kenapa sekarang mendadak Kim-kong-sian ini menyatakan hendak mewariskan ilmu-ilmu keluarga Cu kepada orang luar? Akan tetapi, wajahnya segera berseri gembira ketika teringat bahwa yang dipilih adalah sute-nya sendiri.
“Ahh, entah bintang apa yang menerangi nasib sute!” Dia berseru gembira. “Tentu saja dua orang muda itu akan beruntung sekali kalau dapat terpilih menjadi murid-muridmu, Cu-taihiap! Biar pinto panggil mereka datang!”
Tosu itu sendiri segera bangkit dan meninggalkan dua orang tamunya untuk memanggil dua orang muda yang sedang berlatih silat di kebun. Setelah tosu itu pergi, Cu Han Bu berkata kepada adiknya.
“Bagaimana pendapatmu, ji-te?”
Cu Seng Bu mengangguk-angguk. “Aku setuju sekali, toako. Agaknya merekalah yang amat tepat menjadi ahli waris kita yang kelak akan menghadapi orang-orang yang hendak meremehkan nama kita. Apalagi mereka itu yang seorang adalah murid utama Kun-lun-pai dan yang ke dua bahkan murid keluarga Pendekar Pulau Es. Tepat sekali!” jawab adiknya.
Keduanya diam-diam merasa girang sekali. Memang pilihan mereka tepat. Dengan mengangkat murid dua orang muda itu, sedikit banyak Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es akan berdiri di belakang mereka dan kalau sudah begitu, siapa berani meremehkan mereka?
Tak lama kemudian, Hong Tan Tosu datang kembali ke dalam ruangan tamu diikuti dua orang muda yang tadi berlatih dan kini leher dan muka mereka masih basah berpeluh. Keduanya sudah mendengar secara singkat pemberitahuan Hong Tan Tosu bahwa dua orang sakti dari Lembah Naga Siluman datang dan tertarik kepada mereka, dan mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu-ilmu sakti dari lembah itu kepada mereka.
Tentu saja dua orang itu terkejut dan heran juga, terutama Pouw Kui Lok yang sama sekali tidak pernah membayangkan akan berguru kepada orang lain kecuali Kun-lun-pai. Akan tetapi diam-diam Louw Tek Ciang merasa girang bukan main. Dia tahu bahwa dirinya mempunyai banyak sekali musuh-musuh yang sangat lihai, terutama sekali keluarga Pulau Es, maka kalau dia dapat mengumpulkan ilmu-ilmu tinggi sebanyaknya, berarti dia akan lebih mampu membela diri.
“Ahh, Pouw-lauwte, sungguh kita beruntung sekali!” katanya sambil memegang lengan Kui Lok. “Aku sudah mendengar nama besar keluarga Cu dari Himalaya itu, dan kalau kita dapat mewarisi ilmu-ilmu mereka, sungguh kita memperoleh keuntungan besar.”
“Akan tetapi....” Kui Lok memandang kepada suheng-nya dengan sinar mata ragu-ragu.
Agaknya Hong Tan Tosu dapat menduga pikiran sute-nya. “Pouw-sute, jangan khawatir. Setiap orang murid Kun-lun-pai memang dilarang berguru kepada orang lain, akan tetapi kalau sudah mendapat perkenan orang yang berhak, dan mengingat bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar besar yang kukenal baik, maka pinto memberi perkenan kepadamu dan pintolah yang akan bertanggung jawab kalau ada pertanyaan dari para suhu dan susiok.”
Tentu saja ucapan Hong Tan Tosu ini membesarkan hati Kui Lok dan dengan girang mereka berdua lalu mengikuti tosu itu ke ruangan tamu di mana telah menanti Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Melihat dua orang setengah tua yang bersikap angker itu, Kui Lok dan Tek Ciang cepat memberi hormat.
Setelah kini berhadapan dengan Kui Lok dan Tek Ciang, pandang mata kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu memandang penuh selidik dan mereka merasa puas dengan apa yang mereka lihat. Kedua orang muda itu jelas memiliki tubuh yang baik sekali dan juga memiliki sinar mata yang tajam dan cerdik. Calon-calon murid yang baik sekali, apalagi karena mereka telah memiliki dasar ilmu-ilmu silat yang tinggi pula.
Dalam keadaan sekarang ini pun, mereka sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan dua orang muda ini dengan mudah. Apalagi kalau dua orang muda ini sudah menguasai ilmu-ilmu silat keluarga Cu, tentu keduanya akan jauh lebih lihai dari pada mereka sendiri dan akan dapat menjunjung nama kehormatan keluarga Cu dengan baiknya, jauh lebih baik dari pada Sim Hong Bu yang murtad itu!
“Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang,” kata Cu Han Bu secara langsung setelah dua orang muda itu diajak berkenalan. “Kami berdua telah mendengar keadaan kalian dari Hong Tan To-yu, dan melihat kalian, kami tertarik sekali untuk mengajak kalian ke lembah kami dan mengajarkan ilmu-ilmu silat keluarga Cu kepada kalian. Tentu saja kalau kalian sudi menjadi murid kami.”
“Saya akan merasa gembira dan terhormat sekali, locianpwe,” kata Tek Ciang dengan cepat tanpa ragu-ragu lagi.
“Saya.... saya juga merasa setuju kalau memperoleh perkenan dari suheng sebagai wakil para suhu di Kun-lun-pai,” kata Kui Lok hati-hati.
“Ha-ha-ha, sute. Pinto sudah memberi perkenan dan harap saja engkau sebagai murid Kun-lun-pai tidak mengecewakan menerima ilmu-ilmu keluarga Cu yang amat tinggi itu.”
Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menjadi girang. Tak mereka sangka akan semudah itu mereka menerima murid-murid yang begini lihai.
“Pouw Kui Lok sudah disetujui oleh Kun-lun-pai untuk menjadi pewaris ilmu-ilmu kami, akan tetapi bagaimana dengan engkau, Louw Tek Ciang? Kami mendengar bahwa engkau adalah murid pendekar Suma Kian Lee tokoh Pulau Es, apakah gurumu tidak akan marah dan berkeberatan kalau mendengar engkau belajar silat kepada kami?”
Hampir saja Tek Ciang tertawa. Gurunya akan berkeberatan? Gurunya sekarang telah menjadi musuh besarnya. Akan tetapi dengan cerdik dia memberi hormat dan berkata, “Suhu telah memberi kebebasan kepada saya untuk memperluas pengetahuan dan mempelajari ilmu apa saja asal ilmu itu digunakan demi kebaikan, menentang kejahatan seperti layaknya seorang pendekar. Karena itulah maka saya berani menerima uluran tangan locianpwe.”
Tentu saja hati kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu menjadi girang bukan main. Dua hari kemudian, Kui Lok dan Tek Ciang berangkat mengikuti dua orang kakek itu ke lembah di Pegunungan Himalaya itu.
Di sana mereka berdua digembleng secara telaten oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang merasa girang dan beruntung sekali melihat betapa dua orang murid baru ini benar-benar tidak mengecewakan. Selain berbakat dan tekun, juga mereka adalah dua orang muda yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, terutama sekali Tek Ciang. Benar-benar tidak mengecewakan.
Keberangkatan Bi Eng diantar oleh ayah bundanya. Bu Ci Sian, walau pun ia seorang wanita yang tabah dan keras hati, hanya mampu menahan tangis selama Bi Eng masih nampak saja. Setelah bayangan dara itu lenyap, ia tidak dapat membendung tangisnya karena kesedihannya ditinggalkan puteri tunggalnya. Suaminya mendiamkannya saja, lalu merangkul dan menghiburnya.
“Bi Eng hanya pergi sementara dan mempelajari ilmu, sedangkan kita pun memperoleh penggantinya, murid yang cerdik dan juga calon mantu. Apa yang perlu disedihkan?”
“Bagaimana hati ini tidak akan merasa sedih?” bantah isterinya. “Semenjak lahir sampai sekarang, Eng-ji tak pernah berpisah dari sampingku, dan sekarang aku harus berpisah darinya untuk selama bertahun-tahun....”
“Jangan terlalu dipikirkan, bukankah semua itu memang sudah kita sengaja? Pula, kita yakin bahwa ia berada di tangan yang baik dan dapat dipercaya sepenuhnya. Kita telah mengenal benar keadaan dan watak Sim Hong Bu, bukan?”
Ci Sian mengangguk dan akhirnya hatinya terhibur juga, apalagi ketika ternyata bahwa Sim Houw adalah seorang murid yang amat baik. Bukan saja pemuda ini memiliki bakat yang tidak kalah dibandingkan dengan Bi Eng, akan tetapi pemuda ini berwatak pendiam, tidak banyak cakap akan tetapi amat rajin bekerja di ladang. Kam Hong dan isterinya merasa suka sekali kepada calon mantu ini dan Kam Hong mengajarkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dengan sepenuh hatinya, memberi sebatang suling emas kepada murid atau calon mantunya ini.
**********
Kepercayaan penuh keyakinan yang terkandung dalam hati Kam Hong dan Ci Sian terhadap Sim Hong Bu yang membawa pergi puteri mereka tidaklah sia-sia belaka. Sim Hong Bu adalah seorang pendekar besar yang berhati bersih. Semenjak semula dia memandang Bi Eng sebagai calon mantu, jadi seperti anaknya sendiri.
Apalagi kini dara itu telah mengakuinya sebagai guru, maka sikapnya terhadap dara itu pun penuh rasa sayang. Lebih lagi karena bagaimana pun juga, dia merasa kehilangan puteranya yang ditinggalkan di rumah keluarga Kam. Dara itu kini menjadi pengganti anaknya.
Biar pun hati Sim Hong Bu penuh dengan kegembiraan karena pinangannya diterima, bahkan kini mereka saling menukar anak untuk dididik selama tiga tahun, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang amat menggembirakan hatinya, namun diam-diam ada rasa khawatir dalam hatinya.
Dia teringat akan isterinya, Cu Pek In, yang pada mulanya merasa agak tidak setuju mendengar suaminya mengajak putera mereka pergi ke timur untuk berkunjung kepada keluarga Kam. Apalagi nanti kalau mendengar bahwa putera mereka telah dijodohkan dengan puteri keluarga Kam, bahkan kini dia pulang membawa calon mantu itu.
Hong Bu tahu bahwa di lubuk hati isterinya masih ada perasaan dendam dan tidak suka kepada Kam Hong bersama isterinya yang oleh keluarga Cu dianggap sebagai pencuri ilmu keluarga Cu! Walau pun demikian, Hong Bu yakin akan dapat melunakkan hati isterinya dan memperoleh persetujuan isterinya, karena isterinya amat mencintanya dan selalu taat kepadanya. Yang membuat dia ragu-ragu adalah kedua orang gurunya, yaitu Kim-kong-sian Cu Han Bu ayah Pek In dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu.
Keluarga Cu terdiri dari tiga saudara, yang pertama adalah Kim-kong-sian Cu Han Bu yang kini sudah berusia lima puluh delapan tahun. Ke dua adalah Bu-eng-sian Cu Seng Bu berusia lima puluh tiga tahun dan selamanya tidak menikah. Dua orang kakak beradik ini sejak kalah bertanding melawan Kam Hong lalu pergi bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia lagi.
Ada pun orang ke tiga dari keluarga Cu itu adalah Ban-kin-sian Cu Kang Bu yang menikah dengan Yu Hwi bekas tunangan Kam Hong. Suami isteri itu kini tinggal pula di Lembah Naga Siluman, tempat tinggal keluarga Cu yang dahulunya disebut Lembah Suling Emas dan dirubah namanya setelah keluarga itu kalah oleh Kam Hong. Demikian sekelumit riwayat keluarga Cu. Riwayat yang lengkap dapat dibaca dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’.
Sim Hong Bu merupakan pewaris tunggal dari ilmu simpanan keluarga Cu, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia pula yang dulu memanggul tugas untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan ilmu pedangnya itu dan dia sudah pula menantang Kam Hong bertanding.
Dua ilmu yang sebetulnya dari satu sumber itu pernah dipertandingkan dan Hong Bu yang ketika itu memenuhi tugas sebagai murid dan pewaris keluarga Cu, hanya kalah sedikit saja. Akan tetapi, di dalam hati Hong Bu sama sekali tidak memusuhi Kam Hong, apalagi Bu Ci Sian yang merupakan dara pertama yang pernah menjatuhkan hatinya. Dia malah merasa suka dan kagum sekali kepada Kam Hong.
Ini pula yang membuat dia ingin mengikat tali perjodohan antara anak mereka, agar suasana persaingan itu dapat dilenyapkan. Maka dia pun merasa berbahagia sekali menerima usul Kam Hong untuk menyatukan kedua ilmu yang dipertentangkan oleh keluarga Cu itu dalam diri anak-anak mereka sehingga persaingan atau pertentangan itu lenyap dan menjadi persatuan yang kokoh kuat.
Kekhawatiran hati Sim Hong Bu bahwa usahanya membuat ikatan kekeluargaan antara keluarganya dan keluarga Kam akan mendapat tentangan dari keluarga isterinya, bukan tanpa alasan. Keluarga Cu adalah sebuah keluarga kuno yang tinggi hati, menganggap keluarga mereka tinggi dan mulia. Kekalahan mereka terhadap Kam Hong merupakan pukulan batin hebat bagi mereka. Apalagi kalau diingat bahwa suling emas dan ilmunya di tangan Kam Hong itu berasal dari nenek moyang mereka.
Biar pun Kam Hong menemukan ilmu itu secara kebetulan, bukan mencuri, dan senjata suling emas itu pun merupakan warisan nenek moyangnya, akan tetapi karena pusaka dan ilmunya itu memang berasal dari nenek moyang keluarga Cu, maka keluarga Cu tetap menganggap Kam Hong sebagai pencuri! Dan mereka telah berusaha keras untuk menyaingi dan mengalahkan Kam Hong, dengan mengangkat Sim Hong Bu sebagai pewaris tunggal ilmu Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi ini pun gagal. Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menderita pukulan batin dan mereka tekun bertapa di goa rahasia di lembah mereka.
Pada pagi hari itu, tiga orang penghuni Lembah Naga Siluman duduk di serambi depan sambil menikmati udara pagi dan minum teh panas. Mereka adalah Cu Pek In isteri Sim Hong Bu, dan pamannya yang ke tiga, yaitu Cu Kang Bu dan isterinya yang bernama Yu Hwi. Seperti diceritakan dalam kisah ‘Suling Emas Naga Siluman’, Yu Hwi adalah bekas tunangan Kam Hong, maka tentu saja dalam pertentangan itu, Yu Hwi sepenuhnya berpihak kepada keluarga suaminya!
Cu Pek In sudah berusia tiga puluh empat tahun, wajahnya yang cantik membayangkan kekerasan hatinya, terutama pada mulut yang kecil dan dikatupkan rapat-rapat itu. Pamannya yang termuda, Cu Kang Bu, adalah seorang pria berusia empat puluh enam tahun yang perawakannya kokoh kuat dan tinggi besar, nampak gagah sekali.
Cu Kang Bu berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Seribu Kati) dan dari julukannya saja dapat diduga bahwa dia memiliki tenaga yang amat kuat. Di antara tiga saudara Cu, yang termuda ini memiliki hati yang paling terbuka, jujur dan gagah perkasa. Maka, dia pun juga mengagumi Kam Hong dengan sejujurnya dan tidak mendendam atas kekalahannya seperti halnya kedua orang kakaknya yang sampai kini masih bertapa dengan tekunnya.
Dia hidup saling mencinta dengan Yu Hwi, isterinya yang usianya sekarang sudah empat puluh tahun. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai keturunan dan karena sejak Sim Houw terlahir selalu tinggal bersama mereka dalam Lembah Naga Siluman itu, maka suami isteri yang tidak mempunyai anak ini juga amat menyayang Sim Houw, cucu keponakan itu. Kini, tiga orang itu merasa kehilangan sekali semenjak Sim Houw pergi merantau bersama ayahnya.
“Aahhh....,” terdengar Yu Hwi menarik napas panjang. “Alangkah sepinya tempat ini semenjak Houw-ji pergi....”
Mendengar ucapan isterinya, Cu Kang Bu melirik keponakannya, akan tetapi yang dilirik hanya menundukkan muka tanpa menanggapi.
“Ahh, engkau ini!” katanya mencela isterinya sambil tersenyum. “Sebelum Sim Houw lahir, engkau tidak pernah merasa sepi!”
“Tentu saja!” Yu Hwi membantah. “Akan tetapi semenjak lahir, anak itu telah menjadi sebagian dari pada hidup kita semua. Kalau sekarang ditinggal pergi, tentu akan merasa kehilangan dan kesepian. Pek In, kapan sih suami dan puteramu akan pulang?”
“Dia tidak pernah mengatakan kapan, bibi. Akan tetapi mengingat akan jauhnya tempat yang akan dikunjunginya, kurasa akan memakan waktu berbulan-bulan.”
Yu Hwi menghela napas. “Aku tidak mengerti mengapa suamimu itu jauh-jauh pergi ke Bukit Nelayan mengunjungi keluarga Kam yang sepantasnya malah harus dijauhinya. Bukankah keluarga Kam itu musuh keluarga kita?”
Cu Pek In diam saja, akan tetapi Cu Kang Bu mengerutkan alisnya mendengar ucapan isterinya yang membakar ini. Akan tetapi, pendekar tinggi besar ini terlalu mencinta isterinya untuk menegur dengan keras, maka dia pun tertawa.
“Ha-ha-ha, agaknya engkau lupa bahwa istana tua di puncak Bukit Nelayan itu adalah peninggalan nenek moyangmu sendiri yang sudah kau serahkan kepada Kam-taihiap untuk dijadikan tempat tinggal! Dan mengapa pula Hong Bu tidak mengunjunginya? Kam-taihiap adalah seorang sahabat baik.”
Yu Hwi adalah seorang wanita yang galak, genit dan tentu saja sejak menikah ia sudah menguasai suaminya. Kini dia cemberut memandang suaminya, lalu berkata dengan suara mengandung kejengkelan. “Aihh, sungguh aku tidak mengerti jalan pikiranmu! Ke manakah harga dirimu sebagai anggota penting keluarga Cu? Hemm, kalau sampai kedua kakak kita mendengar kata-katamu tadi, tentu mereka takkan merasa senang.”
Cu Kang Bu tidak marah. Dia tahu bahwa di balik segala kecerewetannya, isterinya amat mencintanya dan selalu akan membela pendiriannya. Dia hanya menarik napas panjang dan berkata. “Sejak dahulu aku tidak suka menyimpan dendam. Apalagi urusan antara keluarga kita dengan keluarga Kam sebetulnya tak perlu diributkan lagi. Menurut keadaannya bahkan di antara kita masih ada sangkutan perguruan, jadi, kalau kini Sim Hong Bu mendekatinya, itu malah baik sekali!”
Cu Pek In yang semenjak tadi diam saja, tiba-tiba berkata dan suaranya mengandung penyesalan besar yang ditahan-tahan. “Paman, bukan hanya mendekati, bahkan dia pernah mengatakan bahwa kalau Kam Hong mempunyai seorang anak perempuan, dia ingin menjodohkan Houw-ji dengan keturunan keluarga Kam!”
“Ahhh.... gila itu!” Yu Hwi berseru kaget dan marah.
Akan tetapi Cu Kang Bu tertawa gembira. “Bagus! Itu adalah niat yang bagus sekali! Dengan ikatan perjodohan, kelak antara keluarga Cu dan keluarga Kam tidak ada lagi dendam dan menjadi keluarga. Bagus!”
“Tidaaak, aku tidak mau....!” Tiba-tiba Cu Pek In menjerit, menangis lalu bangkit dari tempat duduknya dan lari memasuki kamarnya.
Cu Kang Bu dan isterinya terkejut dan saling pandang. Tak mereka sangka Cu Pek In akan bersikap seperti itu. Memang nyonya muda ini sudah menahan-nahan kemarahan dan penasaran dalam hatinya, akan tetapi dia tidak tega untuk menentang suaminya. Kini, selagi suaminya tidak ada, tekanan batin itu meledak dan dia pun menjerit dan menangis.
“Ahhh, lihat, engkau membuat Pek In marah dan berduka,” Yu Hwi mengomel. “Sudah jelas ia tidak menyetujui suaminya, akan tetapi engkau malah mendukung Hong Bu sehingga menjengkelkan hati Pek In.”
“Akan tetapi, aku memang melihat kebaikan bagi keluarga Cu dengan adanya niat Hong Bu itu...”
“Hemm, engkau sudah pikun agaknya. Siapa yang bilang ini urusan keluarga Cu? Yang hendak dijodohkan adalah keturunan keluarga Sim dan Kam, apa ada sangkut pautnya dengan keluarga Cu? Dalam hal ini, kiranya kita tidak perlu mencampurinya.”
Cu Kang Bu termangu-mangu. Baru dia teringat bahwa putera Pek In adalah keturunan Sim, bukan Cu! Dia pun menarik napas panjang dan tidak mau membantah lagi, sedangkan Yu Hwi lalu menyusul Pek In untuk menghiburnya.
Dalam keadaan seperti itu, dapat dibayangkan betapa kemunculan Sim Hong Bu yang pulang ke Lembah Naga Siluman membawa Kam Bi Eng mendatangkan bermacam perasaan pada keluarga itu.
Cu Kang Bu sendiri menyambutnya dengan ramah dan diam-diam pendekar raksasa ini setuju dengan tindakan yang diambil mantu keponakannya. Yu Hwi menerima tanpa bicara akan tetapi nyonya ini jelas tidak senang hatinya. Yang paling menderita batinnya adalah Pek In. Bermacam perasaan mengaduk hatinya ketika suaminya bercerita di depan keluarga Cu. Ada rasa marah, penasaran, kecewa dan juga berduka. Terutama sekali mendengar bahwa puteranya kini berada di rumah keluarga Kam, menjadi murid!
Kam Bi Eng sendiri bersikap tenang. Di sepanjang perjalanan, gurunya bersikap baik sekali dan ia sudah mulai merasa hormat dan sayang kepada gurunya, juga calon ayah mertuanya. Di sepanjang perjalanan ia sudah mulai menerima petunjuk mengenai teori ilmu Koai-long Kiam-sut. Ternyata pengetahuan pendekar itu amat luas mengenai ilmu silat dan petunjuk pendekar itu amat berharga.
Maka, ketika ia bersama gurunya tiba di depan jurang yang lebar dan curam, yang memisahkan Lembah Naga Siluman dengan dunia luar, ia memandang dengan penuh kagum. Sudah beberapa kali Bi Eng diajak pergi ayah ibunya, akan tetapi belum pernah ia pergi merantau sejauh ini. Perjalanan yang memakan waktu berpekan-pekan dan melalui daerah-daerah yang sama sekali asing baginya.
Apalagi setelah tiba di daerah Pegunungan Himalaya, dia merasa kagum menyaksikan kebesaran alam yang sedemikian luas dan hebatnya. Dia berdiri di tepi jurang lebar, lalu melihat gurunya memberi tanda ke seberang dengan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon dan pegunungan, melihat betapa ada tali perlahan-lahan naik dari dalam jurang yang tertutup kabut, dia semakin kagum.
“Mari kita masuk lembah,” kata gurunya yang meloncat ke atas tambang itu, setelah tambang terentang lurus.
Hati Bi Eng merasa ngeri. Berjalan di atas tambang sebesar itu bukan merupakan pekerjaan sukar baginya. Akan tetapi, kalau tambang itu melintang di atas jurang yang demikian lebarnya, demikian dalamnya sehingga dasarnya yang tertutup kabut itu tidak nampak, merupakan hal lain lagi. Melintasi jembatan tambang seperti itu membutuhkan ketahahan yang luar biasa.
Akan tetapi ia bukan seorang dara penakut dan ia pun meloncat di belakang gurunya. Hong Bu tersenyum girang dan mereka pun berjalan, setengah berlari, menyeberangi jurang itu di atas tambang yang hanya bergoyang sedikit saja karena keduanya telah mempergunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sebentar saja mereka sudah tiba di seberang dan disambut oleh tiga orang penjaga jembatan yang cepat memberi hormat kepada Hong Bu dan Bi Eng.
“Suhu, apakah jalan ke lembah hanya melalui jembatan tambang ini?” tanya Bi Eng.
Ia menyebut suhu kepada calon mertuanya, karena untuk menyebut ayah mertua ia merasa malu. Lagi pula, bukankah ia memang sudah resmi menjadi murid sehingga layak menyebut suhu, sedangkan ia masih belum resmi menjadi mantu?
“Benar, tidak ada jalan lain kecuali melalui jembatan tambang karena Lembah Naga Siluman dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam, tidak mungkin dilalui manusia.” Sim Hong Bu menerangkan ketika mereka berjalan melalui lorong penuh pohon-pohon besar.
“Sebuah tempat yang hebat, tidak mungkin didatangi orang jahat dari luar,” gadis itu memuji.
“Keluarga Cu amat terkenal, Bi Eng. Para datuk sesat tidak ada yang berani main-main di sini, karena selain tempatnya sukar diserbu, juga keluarga Cu termasuk keluarga sakti. Pula, keluarga Cu tidak pernah mencampuri urusan orang luar, maka dapat dikata tidak mempunyai musuh pribadi.”
Kecuali ayah, pikir Bi Eng, dan hatinya menjadi kecut mengenang cerita ibunya betapa ayahnya pernah dimusuhi oleh keluarga Cu yang lihai. Dan kini ia datang sebagai murid. Akan tetapi gurunya hanya mantu keluarga Cu, dan gurunya she Sim, bukan she Cu. Hal ini agak menenangkan hatinya yang mulai merasa tidak enak, seolah-olah di dalam dada gadis ini timbul perasaan bahwa tempat yang angker ini tidak suka didatangi olehnya.
Dan perasaan hatinya itu ternyata tidak menipunya. Ia merasakan penyambutan yang dingin sekali ketika akhirnya ia berhadapan dengan tiga orang penghuni rumah besar di lembah itu. Ban-kin-sian Cu Kang Bu menyambut Hong Bu dengan gembira, hanya nampak heran dan terkejut ketika Hong Bu memperkenalkan Bi Eng sebagai muridnya. Tetapi Yu Hwi dan Cu Pek In tidak dapat menyembunyikan perasaan tak senangnya ketika mendengar bahwa dara remaja itu adalah puteri Kam Hong!
“Apa.... apa artinya ini?” Cu Pek In bertanya kepada suaminya dengan muka pucat. “Di mana anakku....?”
“Mari kita bicara di dalam. Aku membawa kabar yang baik dan menggembirakan sekali,” kata Hong Bu sambil tersenyum, menyembunyikan rasa gelisahnya karena dia tahu bahwa berita yang dibawanya itu belum tentu menggembirakan hati isterinya.
Demikianlah, akhirnya mereka semua berada di ruangan dalam, duduk mengitari meja dan Hong Bu lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan keluarga Kam. Dia menceritakan dengan singkat akan tetapi jelas dan mengakhiri dengan kata-kata yang mengandung nada gembira.
“Begitulah. Kami bersepakat untuk saling mendidik anak masing-masing selama tiga tahun dan aku akan memimpin Bi Eng untuk menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut dan sebaliknya, Houw-ji akan digembleng oleh Kam-taihiap. Setelah lewat waktu itu, baru kami akan mematangkan pembicaraan tentang perjodohan antara kedua anak itu.”
Tiba-tiba Cu Pek In bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan muka pucat memandang kepada Hong Bu, lalu terdengar suaranya yang bernada marah, “Suamiku, mengapa engkau bertindak begini lancang?”
Hong Bu mengerutkan alisnya, lalu tersenyum, senyum yang agak masam. “Isteriku, mengapa engkau berkata demikian? Urusan Houw-ji adalah urusan pribadi kita berdua, karena dia adalah anak kita berdua, dan sebelum berangkat aku sudah memperoleh persetujuanmu untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam!”
“Bukan itu maksudku!” bantah isterinya. “Akan tetapi tentang ilmu pusaka keluarga Cu itu! Bagaimana engkau berani lancang hendak mengajarkannya kepada orang lain tanpa lebih dulu mendapat perkenan dari ayah?”
Hong Bu yang diserang dengan kata-kata keras itu menjadi terkejut. Dia menoleh kepada Cu Kang Bu yang sedikit banyak berhak pula bersuara dalam hal ini, akan tetapi pendekar raksasa itu hanya menunduk. Bibinya bahkan memandang padanya dengan sikap marah, jelas sekali betapa wanita itu mendukung pendirian Cu Pek In.
“Ini adalah urusan dan tanggung jawabku, biarlah aku akan menghadap ayah mertua untuk mohon perkenan beliau,” akhirnya dia berkata dan pertemuan itu dibubarkan dalam keadaan yang amat tidak menyenangkan semua pihak.
Namun, meski hatinya sendiri diliputi ketegangan melihat betapa suhu-nya menghadapi sikap menentang keluarganya, sikap Bi Eng sendiri tetap tenang. Hanya ada perasaan tidak suka kepada ibu dari Sim Houw itu yang memiliki pandang mata demikian dingin kepadanya, bahkan seperti orang membenci.
Menghadap atau menemui Kim-kong-sian Cu Han Bu bukanlah merupakan hal yang mudah. Semenjak dikalahkan oleh Kam Hong kemudian mengasingkan diri bertapa, Kim-kong-sian Cu Han Bu dan adiknya, Bu-eng-sian Cu Seng Bu, jarang mau diganggu dan kalau tidak ada hal yang amat penting sekali, mereka tidak mau keluar dari tempat mereka bertapa atau membolehkan orang luar datang menghadap. Dua kakak beradik ini bertapa bukan hanya untuk memenuhi janjinya terhadap Kam Hong akibat kekalahan mereka, akan tetapi juga diam-diam keduanya tekun mempelajari ilmu-ilmu mereka dan memperdalamnya dengan cara menciptakan ilmu-ilmu secara bersama hingga selama belasan tahun mengasingkan diri itu mereka telah menjadi semakin lihai saja!
Dua hari kemudian barulah Hong Bu diperkenankan untuk menghadap guru atau ayah mertuanya. Karena dia berwatak terbuka dan ingin agar semua urusan segera beres, dia mengajak Bi Eng menghadap bersama. Dara itu pun pergi bersama gurunya dengan sikap tenang dan di dalam hatinya, ingin sekali dia melihat wajah orang-orang yang pernah menjadi musuh ayahnya, dan ingin ia mengetahui bagaimana sikap keluarga Cu itu.
Tempat pertapaan itu sunyi sekali, berada di lereng bukit, di dalam sebuah goa besar ciptaan alam yang disempurnakan oleh tenaga keluarga Cu. Goa itu menerima sinar matahari yang cukup banyak, dibersihkan dan dibagi menjadi tiga ruangan. Dua buah tempat untuk bersemedhi yang terpisah, semacam kamar tidur kecil dan di tengah terdapat sebuah ruangan lebar yang lantainya rata dan tempat ini selain menjadi semacam ruangan duduk, juga menjadi tempat kakak beradik pertapa ini berlatih silat dan menciptakan ilmu baru bersama. Di ruangan inilah Sim Hong Bu diterima oleh ayah mertua dan pamannya.
Dua orang pendekar Cu itu sudah duduk menanti di ruangan tengah yang luas itu. Matahari pagi menyorotkan sinarnya melalui lubang di atas sebelah kiri sehingga ruangan itu terang dan bersih.
Cu Han Bu sudah berusia lima puluh enam tahun akan tetapi wajahnya masih nampak segar. Hanya rambutnya yang putih semua itu yang menunjukkan bahwa dia sudah berusia agak lanjut. Pakaiannya bersih sederhana dan longgar seperti pakaian pertapa akan tetapi pinggangnya memakai sabuk emas yang bukan hanya merupakan sabuk biasa, melainkan menjadi senjata andalannya yang ampuh. Dia duduk bersila di atas dipan panjang bertilam kasur bulu, bersanding dengan Cu Seng Bu.
Kakek ke dua yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) ini usianya baru lima puluh satu tahun, akan tetapi kelihatan tidak lebih muda dari kakaknya. Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan. Di punggungnya tergantung sebatang pedang tipis. Mereka berdua duduk bersila seperti orang sedang semedhi ketika Sim Hong Bu melangkah memasuki goa itu bersama Bi Eng.
“Suhu, susiok, teecu datang menghadap,” kata Hong Bu sambil berlutut di depan dipan panjang bersama Bi Eng yang diam saja, hanya melirik ke arah dua orang itu.
Hening sejenak. Kedua orang tua itu membuka mata dan beberapa lamanya mereka memandang kepada Bi Eng dengan pandang mata penuh selidik. Melihat betapa dua pasang mata itu mengeluarkan sinar mencorong, Bi Eng merasa tegang dan ia cepat menundukkan mukanya.
“Hong Bu, ada keperluan penting apakah maka engkau berani mengganggu ketenangan kami?” ayah mertua atau gurunya bertanya.
Sampai kini, sesuai dengan kehendak para tokoh keluarga Cu, dia menyebut suhu dan susiok kepada mereka. Hal ini menunjukkan kekerasan hati keluarga itu mengenai perguruan mereka. Hong Bu merupakan pewaris ilmu pusaka keluarga mereka, oleh karena itu dipentingkan kenyataan bahwa pendekar itu adalah murid mereka yang berhak mewarisi ilmu keluarga, bukan sekedar mantu!
“Suhu, seperti telah teecu laporkan ketika teecu berpamit kepada suhu, teecu telah mengajak Houw-ji merantau ke timur dan sekarang teecu hendak melaporkan segala peristiwa yang kami alami dalam perjalanan itu.”
“Hong Bu, siapakah anak perempuan yang kau ajak masuk ini?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya datar saja akan tetapi pandang matanya mengeras.
“Anak ini bernama Kam Bi Eng....”
“She Kam....?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya mengeras.
“Benar, susiok. Bi Eng adalah puteri Kam Hong-taihiap.”
“Ehhh? Tindakan apa yang kau ambil ini, Hong Bu?” Cu Seng Bu berseru, matanya terbelalak.
“Biarkan dia menceritakan semua. Bicaralah, Hong Bu, kami siap mendengarkan,” kata Cu Han Bu dengan suara tenang, akan tetapi jelas bahwa dia pun menekan perasaan marahnya.
Hong Bu memang sudah siap. Dia tahu bahwa tindakannya itu tentu akan menghadapi tentangan, maka dengan sikap tenang tapi hormat dia pun bercerita.
“Teecu bersama Houw-ji pergi ke Puncak Bukit Nelayan dan berkunjung ke tempat kediaman Kam-taihiap. Di sana teecu melihat bahwa Kam-taihiap mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Kam Bi Eng ini dan timbullah niat di dalam hati teecu, yang sebelumnya memang sudah teecu rundingkan dengan isteri teecu, untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam, menjodohkan Houw-ji dengan Bi Eng.” Sim Hong Bu berhenti sebentar untuk melihat reaksi dua orang tua itu.
Akan tetapi Cu Seng Bu diam saja sedangkan Cu Han Bu hanya mengeluarkan suara tidak jelas, dan disusul kata-kata tak acuh.
“Hemm, niat yang ganjil. Teruskan ceritamu.”
“Pinangan teecu diterima, lalu kami bersepakat untuk menukar anak masing-masing, untuk saling dididik ilmu sehingga kedua anak itu kelak akan dapat menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, maka Houw-ji teecu tinggalkan di sana sedangkan Bi Eng teecu bawa pulang....”
“Sim Hong Bu....! Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau sudah gila?” Cu Han Bu membentak. Sekarang dia tak lagi menahan-nahan kemarahannya yang memang sudah dipendamnya semenjak kemarin ketika dia mendengar pelaporan Pek In yang datang bercerita sambil menangis.
“Suhu, teecu kira tidak ada sesuatu yang ganjil dalam tindakan teecu itu,” Sim Hong Bu berkata dengan sikap masih tetap tenang.
“Tidak ganjil? Engkau hendak berbesan dengan keluarga Kam dan kau katakan tidak ganjil? Sejak dahulu keluarga Kam adalah saingan dan musuh keluarga Cu dan engkau malah hendak mengikat tali perjodohan anakmu, mengikat tali kekeluargaan dengan pihak musuh?”
“Suhu, harap Suhu maafkan. Urusan perjodohan putera teecu adalah urusan teecu sendiri dan Houw-ji adalah she Sim, jadi tidak dapat disangkutkan dengan adanya permusuhan keluarga. Pula, sejak dahulu teecu tidak melihat suatu kesalahan pada Kam-taihiap maka teecu tidak dapat menganggapnya sebagai musuh. Harap suhu maafkan.”
Cu Han Bu mengepal tinju dan mengerutkan alis. “Baiklah, Sim Houw hanyalah cucu luarku, bukan she Cu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu itu. Akan tetapi, engkau adalah muridku dan engkau pewaris ilmu pusaka keluarga kami. Bagaimana kini engkau berani hendak menurunkan ilmu keluarga kami kepada seorang murid, dan murid itu orang luar, bahkan anak musuh kami?”
“Suhu, kiranya dalam hal menerima murid, tidak dapat dibatasi dengan keluarga saja. Buktinya, suhu menurunkan ilmu pusaka keluarga kepada teecu yang she Sim. Andai kata harus diturunkan kepada keluarga sendiri, Bi Eng ini adalah calon anak mantu teecu, berarti dia pun anggota keluarga sendiri. Maka teecu berani mengangkatnya menjadi murid.”
“Brakkk!”
Ujung dipan di depan Cu Han Bu pecah berantakan oleh tangan pendekar ini ketika dia menamparnya untuk menyatakan kemarahannya. “Sim Hong Bu! Bagaimana pun juga, aku tidak rela kalau ilmu keluarga kami diberikan kepada anak si pencuri Kam Hong!”
Sejak tadi Bi Eng mendengarkan dengan hati merasa tidak senang. Kini, mendengar ayahnya dimaki pencuri, dia bangkit berdiri. “Suhu, bawa aku pergi dari sini! Mereka begini sombong, siapa sih yang kepingin belajar ilmu keluarga Cu? Jika dibandingkan dengan ilmu keluarga Kam, ilmu keluarga Cu tidak ada artinya!”
Bi Eng mengeluarkan kata-kata itu dengan bernapsu dan dia berdiri sambil bertolak pinggang. Tentu saja Sim Hong Bu terkejut bukan main sampai mukanya menjadi pucat, sedangkan ucapan dan sikap yang merendahkan dan menantang itu membuat Cu Seng Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia pun meloncat turun dari atas dipan.
“Lihat kesombongan setan cilik ini! Dan anak seperti ini akan mewarisi ilmu kita? Bocah she Kam, ingin kulihat sampai di mana kehebatan ilmu keluarga Kam!” berkata demikian Cu Seng Bu meloncat ke depan dan menggunakan tangan kirinya menampar ke arah leher Bi Eng!
Orang ini berjuluk Bu-eng-sian atau Dewa Tanpa Bayangan, maka tentu saja dapat diduga bahwa dia adalah seorang ahli ginkang yang telah tinggi tingkatnya. Gerakannya demikian cepat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan Bi Eng dan tangannya menyambar seperti kilat cepatnya.
Akan tetapi tidak percuma Bi Eng sejak kecil digembleng ayahnya sendiri sebagai anak tunggal Pendekar Suling Emas itu. Ia memiliki kewaspadaan dan gerakan yang amat lincah. Begitu melihat tangan menyambar, ia sudah mengelak ke samping dan bersiap untuk membalas.
Namun, belum sempat ia membalas, Cu Seng Bu sudah menyusulkan totokan-totokan ke arah pelipis, pundak dan pinggang secara bertubi dan cepat sekali. Melihat ini, Bi Eng terpaksa melempar tubuhnya ke belakang dan membuat jungkir balik sebanyak tiga kali ke belakang. Gerakannya indah dan gesit seperti burung walet saja.
Cu Seng Bu merasa penasaran bukan main. Empat kali dia menyerang dan empat kali dara remaja itu dapat menghindarkannya dengan mudah! Jika dara ini tidak dihajar dan berkenalan dengan kelihaian keluarga Cu, tentu kelak akan mentertawakan keluarga Cu, apalagi diingat bahwa dara ini adalah anak Kam Hong! Maka kini ia pun menerjang lagi ke depan dengan niat untuk menurunkan tangan yang lebih keras!
Tetapi tiba-tiba Sim Hong Bu meloncat dan menghadangnya. “Susiok, harap maafkan Bi Eng yang masih kanak-kanak,” katanya.
“Kau.... kau pun berani melawan susiok-mu?” Cu Seng Bu membentak, kemarahannya semakin menjadi.
“Teecu bukan melawan susiok, melainkan melindungi Bi Eng yang menjadi tanggung jawab teecu,” jawab Hong Bu dengan suara tegas.
“Bagus, engkau sudah terang-terangan melindungi anak musuh!” Cu Seng Bu sekarang dengan dahsyatnya menyerang dan mengirim pukulan ampuh kepada Hong Bu.
Pendekar ini terpaksa menggunakan tangannya menangkis, akan tetapi karena dia merasa sungkan dan hanya menggunakan tenaga setengah-setengah saja, dia lantas terdorong ke belakang dan hampir roboh.
Sementara itu, ketika tadi Bi Eng berjungkir balik membuat salto tiga kali, tahu-tahu pundaknya dicengkeram orang dari belakang dan ia tidak mampu berkutik lagi. Kiranya ia telah dipegang oleh Cu Han Bu secara aneh dan pegangan kakek itu kuat sekali. Begitu Bi Eng mengerahkan sinkang dan hendak meloloskan diri dari cengkeraman, dara itu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, maka ia berhenti meronta. Kini, melihat suhu-nya terdorong oleh pukulan kakek yang tadi juga menyerangnya, ia pun menjadi marah.
“Hemm, bagus sekali! Kiranya jagoan-jagoan she Cu ini hanya tukang keroyok saja, tukang menghina murid sendiri dan kakek tidak tahu malu yang beraninya melawan anak kecil. Kalau kalian memang gagah, mengapa menyerang aku dan tidak berani menghadapi ayah dan ibuku? Cih, sungguh tak tahu malu, pengecut dan curang!”
Hebat bukan main makian yang dilontarkan oleh mulut dara remaja itu, terasa oleh kedua orang kakek itu seperti kotoran busuk dilemparkan ke muka mereka. Mereka berdua adalah pendekar-pendekar perkasa yang semenjak kecil menjunjung tinggi kehormatan, nama dan kegagahan. Kini mereka dicaci-maki seorang anak perempuan yang mengatakan mereka curang, pengecut dan tak tahu malu.
Kalau menurutkan nafsu kemarahannya, ingin Cu Han Bu sekali pukul menghancurkan kepala anak itu, akan tetapi dia tidak mungkin melakukan hal ini karena dia akan merasa menyesal selama hidup dan caci maki anak itu akan menjadi kenyataan! Maka dengan hati mendongkol dia melempar tubuh anak itu ke atas lantai.
“Brukk!”
Tubuh Bi Eng terbanting, akan tetapi anak itu dapat menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangun lagi dengan sikap penuh keberanian.
“Anak setan yang takabur, segera suruh ayah ibumu datang ke sini dan kami akan memperlihatkan bahwa kami tidak takut menghadapi mereka!” Kata Cu Seng Bu yang maklum betapa kakaknya marah sekali akan tetapi juga tidak berdaya.
“Ayahku bukan tukang cari perkara seperti kalian! Kalau kalian datang menyerbu rumah kami, tentu ayah dan ibu akan menghajar kalian sampai kalian terkentut-kentut!” Memang dara ini lincah jenaka dan pandai bicara, maka kembali muka dua orang kakek itu menjadi merah karena marah. Belum pernah selamanya, sebagai orang-orang yang paling dihormati dunia kang-ouw, mereka dimaki seperti itu.
Sim Hong Bu juga sudah mengenal watak muridnya yang berani mati dan pandai bicara dan menggoda orang, maka dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut.
“Suhu dan susiok, maafkanlah murid teecu....”
“Sim Hong Bu! Keluarkan anak setan ini dari lembah kita, baru engkau menghadap lagi dan akan kami pertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni tindakanmu yang dangkal ini!” bentak ayah mertuanya.
“Suhu, teecu adalah seorang laki-laki sejati, murid dan mantu suhu! Apakah suhu ingin melihat teecu menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan, melanggar janji sendiri? Tidak, suhu. Teecu sudah mengikat janji dengan Kam-taihiap dan teecu tidak akan melanggarnya.”
“Maksudmu?”
“Teecu akan tetap mendidiknya sampai tiga tahun seperti yang sudah teecu janjikan kepada Kam-taihiap.”
“Engkau lebih memberatkan keluarga Kam dari pada kami?”
“Teecu memberatkan janji, dan teecu memberatkan nasib Sim Houw anak teecu. Teecu tidak mau membawa anak teecu terseret ke dalam permusuhan antara keluarga Cu dan keluarga Kam yang tidak ada gunanya itu.”
“Mantu jahat! Murid murtad! Kalau begitu, engkau boleh pilih antara kami dan anak ini. Kalau engkau memilihnya, pergilah dari Lembah Naga Siluman dan jangan injakkan kaki lagi di tempat kami! Juga kami tidak lagi mengakuimu sebagai murid atau mantu! Pergilah!” Cu Han Bu berteriak marah dan dalam suara teriakannya terkandung isak kekecewaan dan kedukaan hatinya.
Dahulu, dia dan adik-adiknya mendidik Sim Hong Bu dengan harapan bahwa murid itu yang kelak akan membalaskan kekalahan mereka terhadap Kam Hong. Harapan itu tidak pernah terkabul karena biar pun Hong Bu sudah melaksanakan tugasnya dan menandingi Kam Hong, ternyata murid mereka itu tidak mampu mengalahkan Pendekar Suling Emas. Dan sekarang, selagi mereka prihatin dan berusaha menciptakan ilmu lain, dengan harapan masih tertuju kepada murid yang juga menjadi mantu itu, tumpuan harapan mereka buyar dan porak-poranda. Murid itu bahkan mau berbesan dengan musuh, bukan itu saja, malah saling bertukar ilmu!
“Baiklah, suhu. Teecu akan pergi dari sini bersama Bi Eng dan.... dan kalau dia mau, dengan isteri teecu.” Setelah berkata demikian, dia lalu bangkit berdiri dan memegang tangan Bi Eng, untuk diajak pergi dari tempat itu.
“Nanti dulu! Engkau lupa mengembalikan Koai-liong Po-kiam! Engkau tidak berhak lagi memiliknya!” bentak Cu Han Bu dengan hati penuh rasa sesal dan kecewa.
Tanpa banyak cakap, Sim Hong Bu menanggalkan pedang dan sarungnya, kemudian menyerahkannya kepada gurunya yang menyambarnya dari tangannya dengan kasar. Setelah menjura sekali lagi, pendekar itu kemudian menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan goa itu. Dia kembali ke rumah besar di mana Cu Pek In menyambutnya dengan muka pucat.
Isteri yang mencinta suaminya ini memandang khawatir. Sinar matanya mengandung kedukaan ketika ia melihat betapa gadis cilik itu masih bersama suaminya, akan tetapi pedang Koai-liong-kiam tidak lagi berada di punggung pendekar itu. Sebelum suaminya berbicara, dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebagai akibat pertemuan suaminya dengan ayahnya.
Dengan lemas Sim Hong Bu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi. Isteri yang menyambutnya juga duduk di depannya sedangkan Bi Eng berdiri saja di belakang kursi gurunya. Hati Bi Eng diliputi keharuan karena dia merasakan benar perlindungan dan pembelaan gurunya terhadap dirinya. Kini ia merasa tegang karena tahu bahwa gurunya akan menghadapi suatu hal yang paling berat, yaitu isterinya yang sejak semula sudah memperlihatkan sikap tidak setuju.
“Suhu tadi mengusirku karena aku bertahan untuk mendidik Kam Bi Eng. Terpaksa aku harus pergi dan terserah kepadamu, apakah engkau akan ikut bersamaku ataukah tetap tinggal di sini.”
Suara pendekar itu datar saja karena dia menekan batinnya yang terguncang hebat. Dia mencinta isterinya dan tentu saja merasa berat kalau harus berpisah, akan tetapi keadaan memaksanya. Dia tidak sudi menjadi seorang lemah yang mengingkari janji sendiri.
Wanita itu menangis, akan tetapi tanpa suara. Hatinya terlalu keras untuk menangis sampai mengeluarkan suara. Semenjak kecil Pek In seperti laki-laki. Hanya air matanya yang mengalir keluar dan segera ia menghapus air matanya.
“Keluarga Cu tidak mempunyai anak kecuali aku, dan tadinya engkau diharapkan untuk menjadi keturunan mereka. Akan tetapi sekarang engkau malah menentang, dan kalau aku juga pergi, habis siapa lagi yang akan dipandang oleh ayah dan para paman? Aku tidak bisa meninggalkan ayah, aku akan tinggal di sini sampai mati.... sampai engkau atau Houw-ji ingat kepadaku....” Wanita itu menutupi mukanya dan air matanya mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya.
Sim Hong Bu merasa terharu dan kasihan sekali. Ingin dia merangkul dan menghibur isterinya, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu akan percuma saja. Maka dia mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga akan begini jadinya dan aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, isteriku. Biarlah aku memenuhi janjiku, setelah lewat tiga tahun tentu aku akan mencarimu di sini. Selamat tinggal, isteriku, dan kau maafkan suamimu ini....”
Sim Hong Bu lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu bersama Bi Eng, diikuti oleh pandang mata isterinya yang masih terus berlinang air mata. Pada saat itu muncullah Cu Kang Bu dan Yu Hwi.
“Ehhh, engkau hendak pergi lagi?” Cu Kang Bu menegur.
Hong Bu menjura kepada paman dan bibinya. “Suhu mengusir teecu pergi karena teecu bertahan hendak mendidik Bi Eng. Teecu memilih pergi dari pada harus mengingkari janji yang telah teecu ikat bersama Kam-taihiap. Sam-susiok, bibi dan engkau Pek In, harap diketahui bahwa aku sama sekali tidak memihak musuh, bahwa aku sama sekali tidak menentang keluarga Cu. Kalau aku terpaksa pergi dan tidak mentaati suhu, hanyalah karena aku sudah mengikat janji, dan semua ini kulakukan demi kebaikan anakku Sim Houw. Aku tidak ingin Sim Houw terseret dalam permusuhan antar keluarga yang tidak ada gunanya ini. Kalau pendirianku ini benar, semoga Thian melindungiku, dan kalau aku bersalah, biarlah aku terhukum karena kesalahanku. Selamat tinggal!”
Sim Hong Bu bergegas pergi sambil menggandeng tangan Bi Eng yang sejak tadi diam saja. Cu Kang Bu dengan kakinya yang panjang melangkah lebar mendampingi Hong Bu, mengantarnya sampai di tepi jurang.
“Aku harus melihatmu sendiri menyeberang dengan selamat,” katanya lirih.
Diam-diam Hong Bu bersyukur dan berterima kasih. Agaknya paman yang dikenalnya amat jujur dan gagah ini meragukan kalau-kalau dua orang kakaknya akan berbuat curang dan karena dendam lalu berusaha melenyapkan Hong Bu dan Bi Eng dengan misalnya membuat mereka terjatuh ke dalam jurang selagi melakukan penyeberangan melalui tali.
“Terima kasih, susiok, terutama akan sikap susiok yang tidak marah kepada teecu.”
Pendekar tinggi besar itu tersenyum dan menghela napas. “Tak tahulah, Hong Bu. Aku menghargai sikapmu yang memegang teguh perjanjian, tetapi kalau sudah menyangkut nama dan kehormatan, orang dapat berbuat apa saja dan aku tidak tahu lagi mana benar mana salah. Kalau dipikir, bukankah mati-matian memegang janji juga merupakan usaha mempertahankan nama dan kehormatan? Nah, selamat jalan, mudah-mudahan segalanya akan dapat berakhir dengan baik kelak.”
“Selamat tinggal, susiok.”
Sim Hong Bu lalu mengajak muridnya meloncat ke atas jembatan tambang yang sudah direntang. Mereka berlarian menuju ke seberang, dan pada saat itu, dari balik batang pohon muncul dua bayangan orang yang bukan lain adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Mereka melihat adik mereka Cu Kang Bu berdiri di tepi jurang. Keduanya lalu menyelinap pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata...
"Ayah, bagaimana pun juga, aku tidak rela kalau Houw-ji menjadi murid orang she Kam itu! Kalau ayah tidak mau pergi mengambilnya, biarlah aku sendiri yang akan pergi ke sana untuk mengajaknya pulang!” Pek In berkata.
Wanita ini wajahnya pucat sekali dan matanya merah oleh karena banyak menangis. Ia menghadap ayahnya di goa pertapaannya. Dia pulalah yang kemarin dulu mendahului suaminya, menghadap ayahnya dan melaporkan tentang tindakan suaminya yang amat tidak disetujuinya itu. Ayahnya dan pamannya terpengaruh sehingga begitu Hong Bu dan Bi Eng muncul, kedua orang tua ini sudah menghadapinya dengan hati dicekam kemarahan.
Dan kini, setelah Hong Bu pergi bersama Bi Eng, Pek In menghadap ayahnya lagi dan merengek, minta agar ayahnya suka pergi mengambil Sim Houw dari tangan keluarga Kam yang dibencinya.
“Baiklah, memang aku sendiri pun berpikir bahwa Sim Houw harus diajak pulang. Kami ingin menggemblengnya dan kelak dia akan menjadi seorang yang lebih lihai dari pada ayahnya. Dialah kelak yang akan membersihkan nama keluarga kita,” jawab kakek itu dengan suara mengandung kekerasan dan ketegasan. “Panggil pamanmu Cu Kang Bu ke sini.”
Ketika Cu Kang Bu datang menghadap kedua orang kakaknya, Cu Han Bu berkata bahwa dia dan Cu Seng Bu hendak pergi menyusul Sim Houw dan mengajak pulang anak itu, dan dia memesan agar Cu Kang Bu menjaga lembah baik-baik.
“Akan tetapi, toako. Bukankah Houw-ji telah diserahkan kepada Kam Hong dan yang menyerahkannya adalah ayahnya sendiri?” Cu Kang Bu membantah.
Saudara termuda keluarga Cu ini maklum bahwa kepergian kakaknya itu berarti hanya akan memperdalam permusuhannya dengan keluarga Kam saja.
“Akan tetapi, aku adalah ibu kandungnya, paman! Aku berhak memintanya kembali dan dalam hal ini aku diwakili ayah. Sebagai kakeknya, ayah berhak mewakili aku untuk minta kembali Houw-ji!” Pek In berseru dengan nada suara penuh kemarahan. Ia pun tahu bahwa watak paman ke tiga ini lain, dan dalam banyak hal, Cu Kang Bu condong kepada suaminya.
Cu Kang Bu menggerakkan kedua pundaknya. “Terserah kepadamu. Sebagai ibunya tentu saja engkau berhak mengaturnya. Akan tetapi kalau yang menyerahkan ayahnya, dan yang meminta ibunya, hal itu sama saja dengan membuka borok di muka umum, membuat orang mengerti bahwa ada ketidak cocokan antara suami isteri,” kata Cu Kang Bu.
“Sudahlah, sam-te. Kami sendiri tidak mempersoalkan itu, yang kami ingat hanyalah bahwa kalau kita menyerahkan Houw-ji kepada keluarga Kam, sama saja artinya bahwa kita telah merasa jeri dan merasa tidak mampu menandinginya. Penyerahan Houw-ji sama saja dengan tanda takluk. Karena itulah maka aku dan ji-te akan pergi ke sana untuk memintanya kembali.”
Cu Kang Bu tidak dapat membantah, hanya merasa prihatin sekali ketika kedua orang kakaknya berangkat meninggalkan Lembah Naga Siluman untuk pergi menyusul Sim Houw dan mengajak anak itu kembali ke lembah. Dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi ketegangan di sana. Dia hanya mengharapkan saja agar kedua orang kakaknya yang sudah belasan tahun bertapa dan berlatih siu-lian itu sekarang sudah memiliki cukup kesabaran untuk menjauhkan pertikaian baru.
Dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu melakukan perjalanan secepatnya. Mereka memiliki cukup bekal untuk membeli kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan membalapkan kuda mereka, ditukar di setiap tempat setelah kuda mereka kelelahan. Karena mereka hanya merupakan dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pendeta, maka tidak ada gangguan di perjalanan dan akhirnya, pada suatu siang, tibalah mereka di Puncak Bukit Nelayan, di sebelah selatan kota Pao-ting.
Mereka langsung mendaki bukit itu dengan jalan kaki, meninggalkan kuda mereka di dusun sebelah bawah dan ketika mereka tiba di gedung tua tempat tinggal keluarga Kam, kebetulan sekali saat itu Kam Hong dan isterinya sedang melihat murid mereka berlatih silat yang baru pada taraf gerakan dan geseran kaki membentuk dan merubah kuda-kuda yang dipergunakan dalam Kim-siauw Kiam-sut.
Melihat munculnya dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pertapa, Kam Hong dan isterinya memandang penuh curiga, teringat akan malapetaka yang baru saja menimpa keluarganya. Tentu saja mereka merasa curiga karena mereka tidak mengenal siapa adanya dua orang ini yang melihat sinar mata mereka tentu sedang berada dalam keadaan marah.
“Kong-kong....!” Sim Houw menghentikan latihannya, lari menghampiri dan berlutut di depan seorang di antara dua kakek itu dan seketika teringatlah Kam Hong dan Ci Sian siapa adanya dua orang kakek itu. Kiranya dua orang tokoh Lembah Naga Siluman yang dahulu disebut Lembah Suling Emas!
“Aihhh, kiranya ji-wi locianpwe Kim-kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu yang datang berkunjung!” kata Kam Hong sambil menjura dengan hormat, diturut oleh isterinya.
Dua orang pertapa itu membalas penghormatan Kam Hong dengan sikap kaku, hanya mengangkat dan merangkap kedua tangan di depan dada sebentar saja, kemudian Cu Han Bu berkata dengan lantang.
“Kam-sicu, kami datang untuk menjemput cucu kami Sim Houw dan mengajaknya pulang!”
Suami isteri itu saling pandang dan bersikap waspada. Dari sikap dan nada suara kakek itu saja mereka berdua maklum bahwa dua orang itu datang bukan membawa iktikad baik, melainkan didorong oleh hawa permusuhan yang panas.
“Locianpwe, Sim Houw adalah murid saya dan dia datang dibawa oleh ayahnya sendiri.”
“Kam Hong!” kini Cu Han Bu tidak lagi berpura-pura sopan melainkan menurutkan kata hatinya yang panas. “Mana mungkin ada keganjilan seperti ini? Mana mungkin keturunan keluarga Cu berguru kepada orang she Kam? Apakah kau kira kami sudah takluk dan tunduk kepadamu, sudah menganggap kepandaianmu paling hebat di dunia sehingga cucu kami harus menjadi muridmu?”
Ucapan itu sudah bernada menyerang. Kam Hong masih tenang saja, akan tetapi Bu Ci Sian yang memang memiliki watak keras, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka tamunya. “Orang she Cu, dengarkan baik-baik! Bukan kami yang membujuk Sim Hong Bu datang ke sini. Dia datang sendiri bersama puteranya dan mengajukan pinangan kepada puteri kami. Dan adanya puteranya di sini adalah atas persetujuan kedua pihak untuk saling menurunkan ilmu kepada anak kita masing-masing. Kalau kalian datang mencari perkara dan mengajak berkelahi, bilang saja terus terang, jangan memakai kata-kata yang memutar!”
“Eh, siapa takut kepadamu?” Cu Seng Bu juga membentak dan meloncat ke depan. Dia dan nyonya rumah sudah saling berhadapan, seperti dua ekor ayam yang berlagak hendak saling terjang.
Namun Kam Hong maju memegang lengan isterinya dan dengan lembut menariknya mundur, sedangkan Cu Han Bu juga menyentuh lengan adiknya agar adiknya bersabar.
“Kami bukan datang untuk mengajak berkelahi walau pun kami tidak pernah akan mundur apabila ditantang. Kami adalah kakek Sim Houw, dan kami datang mewakili ibu kandung anak itu untuk mengajaknya pulang. Hanya itu saja keperluan kami dan terserah bagaimana kalian menyambut dan menanggapinya!”
Ci Sian hendak menerjang dengan kata-kata lagi, akan tetapi suaminya menyentuh tangannya dan Kam Hong mendahuluinya. “ Maaf Cu-locianpwe. Sebagai tuan rumah, tentu saja kami menyambut kunjungan ji-wi locianpwe sebagai tamu dengan hormat dan senang hati. Mari, silakan ji-wi duduk di sebelah dalam dan kita bicara dengan leluasa.”
“Tidak perlu, terima kasih. Cukup di sini saja, karena keperluan kami hanya menjemput cucu kami,” jawab Cu Han Bu yang masih bersikap kaku.
Kam Hong tersenyum dan menarik napas panjang. “Sesuka locianpwe kalau begitu. Harap ji-wi suka mendengarkan dengan baik-baik. Di dalam urusan Sim Houw menjadi murid saya ini tidak terdapat sesuatu yang buruk dan tercela....”
“Hemm, bagi kami tetap saja buruk kalau ada seorang keturunan keluarga Cu berguru kepada orang she Kam!” Cu Seng Bu memotong.
Kam Hong tetap tersenyum. “Agaknya ji-wi lupa bahwa Sim Houw bukanlah she Cu melainkan she Sim, jadi yang berhak menentukan tentang keadaan dirinya adalah ayah kandungnya, Sim Hong Bu yang menjadi sahabat baik kami. Sim Houw dibawa ke sini oleh ayahnya, dia diserahkan oleh ayahnya sendiri kepada kami sebagai penukar anak kami yang dibawa Sim Hong Bu untuk dididik.”
“Jadi jelasnya, engkau tidak mau menyerahkan Sim Houw kepada kami yang menjadi kakeknya? Begitukah?” Cu Han Bu bertanya, nadanya menantang.
“Ada tiga cara untuk mengajak Sim Houw pergi dan kalau satu di antara tiga cara itu terpenuhi, dengan senang hati kami akan melepas Sim Houw pergi. Pertama, karena yang menyerahkan dia kepada kami adalah Sim Hong Bu, maka biarlah Sim Hong Bu sendiri yang datang menjemput dan memintanya kembali. Ke dua, karena anak ini berada di sini sebagai penukar anak kami, maka kalau anak kami dikembalikan, boleh saja kedua anak itu ditukar kembali. Ke tiga, kalau memang Sim Houw yang menghendaki sendiri pergi dari sini, tentu kami pun tidak akan mau menahan atau memaksanya. Nah, kami harap saja ji-wi locianpwe dapat berpikiran luas dan bertindak bijaksana sesuai dengan nama besar ji-wi, dan tidak hanya menuruti nafsu kemarahan sehingga kelak dapat ditertawakan orang gagah sedunia!”
Cu Han Bu dan adiknya adalah orang-orang gagah dan tentu saja mereka dapat menerima ucapan itu dan dapat melihat bahwa Kam Hong sudah bersikap jujur dan adil. Kalau mereka tidak dapat menerima, berarti merekalah yang bo-ceng-li (tidak mengenal aturan) dan mereka akan berada di pihak salah kalau sampai terjadi bentrokan antara mereka.
Akan tetapi, cara pertama menyuruh Sim Hong Bu datang sendiri tidak mungkin, juga cara ke dua menukarkan kembali dua orang anak itu tidak mungkin pula, yang ada hanya tinggal cara ke tiga. Mereka dapat membujuk Sim Houw untuk pulang dan kalau memang Sim Houw mau pulang, keluarga Kam tidak akan mau menahan atau memaksanya. Maka Cu Han Bu lalu menghampiri Sim Houw, mengelus kepala anak itu dan berkata dengan suara halus.
“Houw-ji, cucuku yang baik. Ibumu menyuruh kami menjemputmu dan mengajakmu pulang. Ibumu selalu menangis dan rindu kepadamu, dan kalau kau pulang, aku sendiri yang akan menggemblengmu dengan ilmu-ilmu ciptaanku yang baru, yang tidak akan kalah dibandingkan dengan ilmu yang bagaimana pun. Marilah, kau pamitlah kepada tuan rumah dan ikut kami pulang ke lembah, cucuku.”
Sim Houw memang adalah seorang anak yang pendiam, akan tetapi bukannya tidak cerdik. Mendengar ucapan kakeknya, dia tahu bahwa kakeknya hanya membujuknya. Selamanya, belum pernah dia melihat ibunya menangis! Ibunya adalah seorang wanita gagah yang pantang menangis. Mana mungkin kini mendadak ibunya begitu cengeng, menangis hanya karena rindu kepadanya? Dia tidak percaya.
Dan tentang mempelajari ilmu, bukan dia tidak ingin menerima pelajaran ilmu-ilmu sakti dari kakeknya, akan tetapi setelah dia mengetahui untuk apa dan sebab apa dia belajar di bawah bimbingan Pendekar Suling Emas Kam Hong, dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan tempat ini tanpa setahu ayahnya. Dia dapat menduga bahwa tentu terjadi pertentangan antara ayahnya dan kakeknya, dan tentu saja dia berpihak pada ayahnya. Sejak kecil, jarang dia bertemu dengan kakeknya, apalagi bergaul karena kedua orang kakeknya yang kini muncul itu selalu bersembunyi di dalam goa pertapaan dan tidak pernah bersikap manis kepadanya.
“Tidak kong-kong,” katanya dengan suara tegas. “Aku tidak mau pulang dan akan tetap tinggal di sini.”
Wajah Cu Han Bu menjadi merah. “Anak bandel! Berani engkau membantah perintah kakekmu?”
“Kong-kong, aku tidak berani melanggar perintah ayah. Aku akan tetap berada di sini sampai ayah datang menjemputku. Harap kong-kong maafkan!” kata pula Sim Houw dengan suara tegas.
Kakek itu marah sekali, bukan marah karena penolakan cucunya, tetapi marah karena kembali dia merasa dikalahkan oleh Kam Hong. Jari-jari kedua tangannya meregang dan melihat ini, Kam Hong sudah siap-siap untuk melindungi muridnya. Tiba-tiba Cu Han Bu memutar tubuhnya, kedua tangannya bergerak ke arah dua batang pohon yang tadi berada di belakangnya. Mereka memang berada di dalam kebun di mana Kam Hong melatih muridnya.
“Ciutt… ciuuuttt.... brakkk....!”
Dua batang pohon itu tumbang dan runtuh, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Inilah satu di antara ilmu-ilmu baru ciptaan kedua orang kakek yang sakti itu. Diam-diam Kam Hong kagum sekali. Pukulan tadi memang hebat. Batang pohon yang kuat dan sebesar perut manusia itu sekali pukul remuk dan tumbang, apalagi badan manusia!
Setelah merobohkan dua batang pohon untuk memuntahkan kedongkolan hatinya, Cu Han Bu lalu melangkah lebar pergi dari situ diikuti oleh adiknya. Kam Hong hanya memandang dengan sikap tenang, dan isterinya tersenyum, sementara itu Sim Houw memandang dengan mata terbelalak karena terkejut melihat ulah kakeknya tadi.
“Sim Houw, lihat betapa saktinya kakekmu. Sayang dia pemarah. Kesaktiannya boleh kau tiru, hasil dari pada ketekunan, akan tetapi pemarahnya itu jangan kau tiru. Nah, mulai sekarang belajarlah dan berlatihlah dengan tekun agar kelak tidak mengecewakan keluargamu, juga kakek-kakekmu itu.”
Mulai hari itu, Kam Hong menggembleng muridnya lebih tekun lagi dan pemuda remaja itu pun mengimbangi ketekunan gurunya dengan berlatih setiap ada kesempatan. Terjadilah perlombaan antara Kam Hong dan Sim Hong Bu dalam melatih murid masing-masing, seperti juga perlombaan antara keluarga Kam dan keluarga Cu. Akan tetapi bentuk perlombaan antara kedua orang pendekar sekali ini adalah perlombaan yang sehat, yang dapat membawa kemajuan kepada kedua pihak...
**********
Senja itu cerah akan tetapi tidak mampu menjernihkan batin orang-orang yang sedang melakukan perbuatan jahat itu. Senja yang cerah dan tadinya hening itu kini dikotori oleh teriakan-teriakan, tawa bergelak, dan jerit tangis. Segerombolan orang laki-laki yang rata-rata bersikap kasar, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang berkumis lebat sedang menyerbu dua rumah yang agak terpencil di luar dusun pada sore hari itu. Pihak tuan rumah mengadakan perlawanan yang sia-sia, karena beberapa orang pria dari dua keluarga itu dalam waktu singkat saja sudah rohoh bermandi darah terkena bacokan dan tusukan golok gerombolan perampok itu.
Kemudian, kepala gerombolan muncul dari rumah sebelah kiri, tertawa-tawa dan kedua lengannya yang berbulu dan besar-besar itu mengempit tubuh dua orang wanita dusun yang cukup cantik. Dua orang wanita itu menjerit dan meronta-ronta, namun mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan kedua lengan yang kekar itu. Para anak buahnya bersorak dan tertawa-tawa ketika melihat pemimpin mereka menawan dua orang wanita itu dan teriakan-teriakan yang bernada kotor dan cabul terlontar dari mulut mereka.
Di balik sebatang pohon besar, seorang pria muda mengintai semua peristiwa itu sejak tadi. Pria itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya agak pendek namun tegap, mukanya putih dan matanya bersinar-sinar, pakaiannya mewah. Dia seorang pesolek muda yang cukup tampan dan yang sejak tadi mengintai dan diam-diam menjadi penonton ketika gerombolan perampok itu menjalankan aksi mereka merampok dua rumah yang terpencil itu. Rumah itu milik dua keluarga yang terhitung kaya di daerah itu, maka kini para anak buah perampok dengan gembira mengangkuti peti-peti berisi pakaian dan harta benda mereka.
Ketika kepala perampok itu merangkul dua orang wanita muda yang meronta-ronta sehingga kaki seorang di antara dua orang wanita itu nampak keluar sampai ke atas lutut, pemuda pesolek itu memandang penuh gairah sambil menggumam, “Hemm, lumayan untuk hiburan malam ini!”
Kini para perampok keluar membawa peti-peti harta dan melihat ini, kembali pemuda pesolek itu menggumam, “Lumayan untuk penambah bekal!”
Dia sudah membayangkan betapa malam ini dia akan menghibur diri bersenang-senang menggumuli salah seorang atau mungkin keduanya dari wanita itu, dan menambah isi buntalan pakaiannya dengan emas permata dari dalam peti itu.
Orang muda ini adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah kita ketahui, putera mendiang Louw-kauwsu ini berhasil menipu keluarga Suma Kian Lee. Bukan hanya diambil murid dan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, bahkan juga diambil mantu dan dia bahkan telah berhasil memperkosa puteri Pendekar Pulau Es itu. Tapi semua perbuatannya itu telah ketahuan dan dia nyaris tewas kalau saja dia tidak berhasil melarikan diri ditolong oleh gurunya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok. Kemudian, dia mengikuti Jai-hwa Siauw-ok pergi ke Puncak Bukit Nelayan untuk membantu suhu-nya yang hendak membalas dendam kepada keluarga Kam. Di tempat itu mereka bertemu dengan Hek-i Mo-ong dan seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, akhirnya Jai-hwa Siauw-ok tewas di tangan Hek-i Mo-ong sendiri karena memperebutkan Bi Eng, sedangkan Louw Tek Ciang terpaksa melarikan diri.
Semenjak kehilangan gurunya yang amat menyayangnya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, Tek Ciang hidup bertualang seorang diri. Dia sudah tidak mempunyai keluarga dan kini keluarga Suma malah memusuhinya dan tentu akan selalu mencari-carinya untuk menghukumnya. Dia hidup seorang diri, merantau ke mana-mana dan dari Jai-hwa Siauw-ok, selain mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dia juga mewarisi kegemarannya yang amat merusak, yaitu kalau membutuhkan, tidak segan-segan melakukan pencurian dan setiap melihat wanita cantik, hatinya terpikat dan dia pun melakukan kebiasaannya yang terkutuk, yaitu mempergunakan kepandaian menculik dan memperkosa wanita yang disukainya.
Pada senja hari itu, tanpa disengaja dia menyaksikan segerombolan perampok beraksi menyerbu rumah dua keluarga. Dia menjadi penonton yang melihat peristiwa itu sebagai suatu kejadian yang lucu. Biarkan mereka itu bekerja untukku, pikirnya. Kalau mereka sudah selesai, dia tinggal turun tangan merampas dua orang wanita yang kelihatan montok dan cukup menarik itu dan merampas beberapa buah barang berharga.
Ketika gerombolan itu sambil tertawa-tawa meninggalkan dua rumah yang sudah mereka rampok ludes dan hendak menghilang ke dalam hutan yang berdekatan dengan rumah-rumah itu, tiba-tiba saja Tek Ciang meloncat keluar. Gerakannya amat cepat, tahu-tahu sudah berada di depan kepala gerombolan yang berjalan di muka.
“Serahkan dua anak ayam ini kepadaku!” bentak Tek Ciang dan tangannya sudah menusuk ke arah sepasang mata kepala perampok itu dengan totokan yang sangat berbahaya. Agaknya pemuda ini bukan hanya hendak merampas wanita, akan tetapi juga ingin membikin buta kepala perampok itu dengan tusukan dua buah jari tangan kanannya.
“Wuuuuuttt....!”
Tiba-tiba saja kepala perampok yang kumisnya tebal itu membuat gerakan meloncat ke belakang. Sambil tetap mengempit tubuh dua orang wanita itu, dia dapat membuat gerakan meloncat ke belakang sedemikian ringan dan cepatnya sehingga mengejutkan hati Tek Ciang. Orang yang dapat meloncat ke belakang secepat itu sambil mengempit tubuh dua orang berarti memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan!
Agaknya kepala perampok itu pun menyadari akan kelihaian pemuda yang hendak merampas tawanannya, karena tusukan jari tangan ke arah matanya tadi benar-benar amat berbahaya dan kalau kurang cepat sedikit saja dia meloncat, tentu kedua matanya telah menjadi buta! Marahlah dia. Dengan suara menggeram hebat, dia menggerakkan tangan kanannya melontarkan tubuh wanita yang dipegang tangan kanannya ke arah Tek Ciang sedangkan wanita yang dipeluk tangan kirinya dia lemparkan begitu saja ke kiri. Tubuh dua orang wanita itu melayang dan ini pun membuktikan betapa kuat tenaga kepala perampok berkumis lebat itu.
Dengan mudah saja Tek Ciang menyambut tubuh yang melayang ke arahnya itu dan dengan lunak tubuh wanita itu dapat dirangkulnya, kemudian dia menurunkan wanita itu yang segera lari menjauh dan menangis di bawah pohon dengan ketakutan.
Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat menyambar tubuh wanita ke dua yang tadi dilemparkan tangan kiri si kepala perampok. Cara bayangan ini menyambar tubuh itu mengagumkan hati Tek Ciang, apalagi ketika dilihatnya bahwa yang menyambar tubuh itu adalah seorang pemuda berusia antara dua puluh tahun dan berwajah gagah. Pemuda itu pun menurunkan tubuh si gadis yang terculik, yang berlari menghampiri kawannya dan mereka berdua berangkulan sambil menangis.
“Kau....?” Si kepala perampok terkejut dan marah ketika melihat pemuda yang baru tiba itu. Sebaliknya, si pemuda juga memandang tajam dan tersenyum mengejek.
“Murid murtad, kiranya benar engkau yang mengotorkan nama Kun-lun-pai!” pemuda itu meloncat ke depan menghadapi kepala perampok berkumis tebal.
Kepala perampok itu marah sekali. Dia cepat mencabut pedang yang tergantung di punggungnya, lalu menyerang pemuda baju hijau yang menghadapinya itu. Serangan itu dahsyat sekali, akan tetapi si pemuda dapat mengelak dengan gesitnya.
“Phang Hok, aku datang atas nama suhu. Menyerahlah dari pada harus kuwakili suhu membunuhmu!” Pemuda baju hijau itu masih mencoba untuk mengajak damai. Akan tetapi lawannya mendengus dan pedangnya berkelebat semakin dahsyat menyerang.
“Singggg....!”
Pemuda baju hijau itu mengelak sambil mencabut pedangnya dan sekarang terjadilah pertandingan yang amat seru dan menarik.
Tek Ciang berdiri menonton dengan hati kagum. Tidak disangkanya bahwa kepala perampok itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat, ilmu pedangnya juga dahsyat. Akan tetapi pemuda baju hijau itu pun ternyata memiliki ilmu pedang yang sama gerakannya, bahkan lebih mantap dan lebih cepat. Dia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah saudara seperguruan dan melihat kelihaian pemuda baju hijau itu, Tek Ciang mengambil keputusan lain. Melihat betapa belasan orang perampok itu kini telah mencabut senjata dan bersikap hendak mengeroyok, dia pun menerjang ke depan.
“Perampok-parampok hina, kalian hanya mengotorkan dunia saja!” bentaknya dan sebagai seorang pendekar tulen, dia pun lalu menghadapi pengeroyokan belasan orang perampok itu dengan tangan kosong saja.
Memang sukar mengatakan bahwa Tek Ciang seorang penjahat, walau pun dia jauh dari pada seorang pendekar! Dia tidak pernah melakukan kejahatan secara berterang. Kalau sekali waktu dia mencuri uang, hal itu dilakukan karena dia membutuhkan untuk bekal perjalanan, dan dia selalu tidak pernah meninggalkan jejak. Demikian pula kalau dia menculik dan memperkosa wanita, dia melakukannya tanpa ada yang melihatnya dan untuk menghilangkan jejaknya, bukan jarang dia membunuh wanita yang sudah dipermainkannya sampai puas itu.
Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa dia suka berhubungan atau berdekatan dengan kaum penjahat. Bahkan tidak jarang dia menentang kalau terjadi kejahatan, bukan karena tergerak hatinya menentang kejahatan itu sendiri, melainkan karena dia ingin mencari kepuasan dengan anggapan sendiri bahwa dia adalah seorang pendekar. Bagaimana pun juga, dia adalah seorang keluarga pendekar sakti Suma, keturunan para Pendekar Pulau Es!
Kecondongan untuk mencari nama dan kehormatan bukan hanya merupakan penyakit yang diderita Louw Tek Ciang ini. Keinginan agar dianggap sebagai seorang baik, orang pandai dan yang serba menonjol merupakan penyakit kita semua, walau pun kadang-kadang sifat itu kita lakukan di luar kesadaran kita sendiri. Kita sukar menghentikan perbuatan-perbuatan buruk yang sudah menjadi kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan buruk yang sesungguhnya menjadi cara untuk mencari atau mencapai kesenangan.
Akan tetapi di samping itu, ada hasrat dalam batin kita untuk dianggap sebagai orang baik tanpa cacat. Inilah sebabnya mengapa para koruptor condong untuk menjadi penderma paling royal. Bahkan orang yang dianggap paling jahat sekali pun, di lubuk hatinya merindukan kehormatan dan nama baik ini. Maka terjadilah konflik dalam batin antara kenyataan yang ada dengan keinginan yang kita dambakan.
Kalau saja pelaku kejahatan mengakui kejahatannya lahir batin, maka kehidupan dan dunia ini agaknya akan menjadi berbeda. Kita condong untuk membela perbuatan kita, memulasnya agar nampak tidak kotor, bahkan kita selalu mengingkari semua perbuatan buruk kita, hanya karena ingin memenuhi hasrat hati, yaitu ingin dianggap baik dan terhormat itulah! Maka timbullah kepura-puraan, timbullah kemunafikan.
Perbuatan yang oleh umum dianggap baik bagaimana pun juga, kalau hal itu dilakukan karena ada pamrih ingin dianggap baik, maka perbuatan itu adalah suatu hal yang kotor dan palsu, yang munafik dan karenanya jelas tidak baik lagi. Perbuatan baik adalah perbuatan yang sama sekali tak dinilai oleh pelakunya, perbuatan yang wajar, perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sehingga perbuatan itu tidak ada ujung pangkalnya, tidak ada sebab akibatnya, tidak terikat karma. Perbuatan berdasarkan cinta kasih adalah wajar, tidak melepas atau menanamkan budi, tidak menimbulkan dendam, tidak ditumpuk dalam ingatan, dan selesai sampai di saat itu saja!
Pemuda berbaju hijau itu pun kaget dan girang melihat munculnya seorang pemuda tampan yang mengamuk dan menghadapi pengeroyokan anak buah perampok yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan itu. Dia pun kagum karena segera dapat melihat betapa lihainya pemuda bertangan kosong itu menghadapi para pengeroyoknya yang semuanya bersenjata.
Perkelahian antara pemuda baju hijau itu sendiri melawan kepala perampok tidak berlangsung terlalu lama. Betapa pun lihainya kepala perampok itu, menghadapi si pemuda baju hijau, dia kalah cepat dan kalah tinggi tingkatnya, kalah segala-galanya. Dalam waktu kurang dari lima puluh jurus, pedang di tangan pemuda baju hijau itu sudah menusuk leher lawannya yang roboh dan tewas seketika.
Ketika pemuda itu menyimpan kembali pedangnya dan menoleh, dia melihat betapa belasan orang perampok itu semua sudah roboh dan tewas, sedangkan pemuda tampan itu sedikit pun tidak terluka, bahkan pakaiannya yang mewah itu sama sekali tidak kusut atau kotor. Pemuda itu sekarang berdiri memandang kepadanya sambil tersenyum.
“Ilmu pedangmu hebat sekali, sobat!” kata Tek Ciang memuji.
“Engkaulah yang berilmu tinggi sehingga dapat mengalahkan pengeroyokan para perampok dengan tangan kosong saja,” pemuda baju hijau itu balas memuji.
Tek Ciang tertawa, girang dan bangga karena dipuji. “Ahhh, dibandingkan dengan ilmu pedangmu, apa artinya kepandaianku? Kalau tidak salah, ilmu pedangmu itu adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai, benarkah? Sudah lama aku mengagumi ilmu-ilmu silat Kun-lun-pai dan baru sekarang aku bertemu dengan seorang ahlinya. Perkenalkan, sobat, namaku adalah Louw Tek Ciang.” Tek Ciang memberi hormat yang cepat dibalas oleh pemuda itu.
“Engkau adalah penolongku, Louw-toako dan terima kasih atas bantuanmu. Namaku adalah Pouw Kui Lok. Dugaanmu memang tepat karena aku adalah murid Kun-lun-pai, akan tetapi sama sekali bukan tokoh ahli.”
Para pembaca tentu masih ingat akan nama ini. Pemuda baju hijau itu adalah Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai yang pernah mencari Hek-i Mo-ong untuk membalaskan kematian gurunya, yaitu Yang I Cinjin yang dahulu tewas oleh Hek-i Mo-ong.
“Ah, Pouw-lauwte, kalau orang yang sudah pandai ilmu pedang seperti engkau ini masih bukan ahli, lalu yang ahli yang bagaimana? Janganlah terlalu merendahkan diri. Akan tetapi, kalau tidak salah, kepala perampok itu mempunyai ilmu dari Kun-lun-pai pula. Benarkah?”
“Benar, dia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang murtad dan tersesat. Aku diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk mencari dan menghukumnya. Dia cukup lihai dan anak buahnya juga rata-rata pandai ilmu silat. Untung ada engkau yang membantuku. Akan tetapi marilah kita antarkan dulu dua orang nona itu pulang dan membawa barang-barang rampasan itu kembali ke keluarga mereka, baru kita bicara dan mempererat perkenalan.”
“Baik, kita harus menolong mereka tidak kepalang tanggung,” berkata pula Tek Ciang dengan sikap gagah. Dua orang muda itu lalu menghampiri dua orang wanita yang masih berlutut menangis.
“Sudahlah, nona-nona, jangan menangis. Lihat, semua penjahat telah kami bunuh. Sekarang mari kami antar pulang dan kami bawakan barang-barang keluarga nona yang dirampok.” Dengan sikap ramah Tek Ciang menghampiri mereka dan dua orang gadis itu pun menghentikan tangis mereka dan ketika mereka melihat bahwa semua penjahat telah tewas, keduanya menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Ciang.
“Kami menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan taihiap....”
Tek Ciang tersenyum. Kebanggaan bagaikan hendak meledakkan dadanya. Kadang-kadang, kegembiraan yang timbul karena kebanggaan ini lebih nikmat dari pada kalau dia memperkosa wanita.
“Ah, bukan hanya aku seorang yang turun tangan, nona. Kami dua orang she Pouw dan she Louw tidak akan membiarkan kejahatan merajalela di dunia ini,” katanya dengan sikap orang yang berhati lapang dan pandai merendahkan hati.
Dua orang muda itu lalu mengangkut semua barang rampokan, kemudian mengawal dua orang gadis itu kembali ke rumah mereka yang tadi dirampok. Dan di tempat itu mereka disambut ratap tangis, bukan hanya karena bersyukur melihat mereka pulang dengan selamat membawa semua barang yang dirampok, akan tetapi juga karena terlukanya para anggota keluarga laki-laki yang tadi melakukan perlawanan.
Kui Lok dan Tek Ciang tidak berlama-lama di tempat itu. Mereka segera meninggalkan keluarga itu tanpa memberi kesempatan mereka berterima kasih, sesuai dengan watak para pendekar yang tidak mengharapkan balas jasa atas pertolongan yang mereka berikan kepada orang-orang yang dilanda malapetaka.
Demikianlah perkenalan yang terjadi antara dua orang muda itu. Ketika Pouw Kui Lok mendengar bahwa pemuda yang lihai itu adalah murid pendekar sakti Suma Kian Lee keluarga Pulau Es, kekagumannya bertambah dan dia pun mempersilakan Tek Ciang untuk singgah di Kun-lun-pai cabang kota Tung-keng yang meliputi cabang perguruan silat ini di daerah tengah, di mana Kui Lok kini tinggal bersama para tosu yang menjadi pimpinan kuil Kun-lun-pai cabang Tung-keng itu.
Kui Lok ingin lebih mempererat persahabatannya dengan Tek Ciang karena sejak lama dia sudah mendengar tentang keluarga Pulau Es dan merasa kagum sekali. Juga para tosu Kun-lun-pai merasa gembira sekali dan kagum ketika mendengar bahwa pemuda yang pesolek itu adalah murid keluarga Pulau Es!
Tek Ciang telah tinggal di kuil itu selama tiga hari ketika pada pagi hari ke empat, Hong Tan Tosu, ketua kuil itu, seorang tosu tinggi kurus berusia enam puluh lima tahun, yang sejak pagi tadi keluar kuil, kembali membawa dua orang tamu. Dan dua orang tamu itu adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.....
**********
Seperti kita ketahui, dua orang sakti dari Lembah Naga Siluman ini baru saja kembali dari Puncak Bukit Nelayan dimana mereka menanggung kecewa dan malu karena tidak berhasil membawa pulang cucu mereka, Sim Houw. Dengan hati kesal mereka menuju pulang dan di kota Tung-keng mereka berdua bertemu dengan Hong Tan Tosu.
Tosu Kun-lun-pai ini dahulu, ketika masih berada di Kun-lun-san, pernah bertemu di lembah keluarga Cu sehingga dia mengenal baik keluarga Cu. Maka, ketika bertemu dengan dua orang sakti itu, dia merasa gembira sekali dan mempersilakan dua orang kenalannya itu untuk singgah di kuilnya.
Cu Han Bu yang sedang kesal hatinya menerima undangan ini, maka mereka lalu mengikuti Hong Tan Tosu mengunjungi kuil Kun-lun-pai. Dan di sinilah dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu bertemu dengan Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang.
Kebetulan sekali pada saat itu, ketika dua orang sakti memasuki kuil, mereka melihat dua orang pemuda itu sedang berlatih silat di dalam kebun di samping kuil. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, dua orang kakak beradik Cu itu segera merasa tertarik sekali karena sekali pandang saja maklumlah mereka bahwa dua orang muda yang sedang berlatih silat itu memainkan ilmu-ilmu silat tinggi.
Dua orang muda itu adalah Kui Lok dan Tek Ciang. Mereka telah menjadi sahabat karib dan pada pagi hari itu, atas usul Kui Lok, mereka berlatih silat bersama. Melihat gerakan Kui Lok, dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu mengenal ilmu silat Kun-lun-pai dan mereka kagum karena pemuda itu memiliki gerakan yang amat ringan dan kuat. Akan tetapi mereka terbelalak memandang dan memperhatikan gerakan Tek Ciang. Pemuda ini memainkan ilmu silat yang aneh dan hebat, apalagi ketika terasa oleh mereka betapa dari kedua tangan pemuda ini menyambar hawa yang berubah-rubah, kadang-kadang dingin kadang-kadang panas.
Hong Tan Tosu yang menemani mereka, melihat kekaguman dua orang sakti itu, lalu berkata lirih. “Orang-orang muda sekarang bertambah hebat saja, akan kalah kita yang tua-tua ini.”
“Hong Tan To-yu, siapakah mereka ini?” tanya Cu Han Bu dengan hati tertarik.
“Yang berbaju hijau itu adalah Pouw Kui Lok, sute pinto sendiri dan dia memang sudah mencapai tingkat tertinggi di dalam perguruan kami. Dan yang ke dua itu bukan orang sembarangan. Namanya Louw Tek Ciang. Dia adalah murid Suma Kian Lee, pendekar Pulau Es.”
“Ahhh....!” Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menahan seruan mereka dan memandang kagum.
Pantas saja pemuda itu demikian lihainya, tidak tahunya murid pendekar PULAU ES! Pada waktu yang bersamaan, kakak beradik ini saling pandang dengan gejolak hati yang sama. Alangkah baiknya kalau mereka bisa menarik dua orang pemuda perkasa itu sebagai ahli waris baru mereka yang akan mewarisi ilmu-ilmu silat keluarga Cu dan kelak menjunjung tinggi nama keluarga Cu!
Setelah mereka duduk di dalam, Cu Han Bu langsung saja menyampaikan keinginan hatinya kepada sahabatnya. “To-yu, melihat gerakan dua orang muda itu, hati kami jadi sangat tertarik. Kebetulan sekali kami memang sedang mencari orang-orang yang agaknya tepat untuk mewarisi semua ilmu kami, yang lama mau pun yang baru saja kami ciptakan, dan kami melihat bahwa dua orang muda itu agaknya tepat dan berjodoh sekali. Bagaimana pendapatmu andai kata kami mengajak mereka ke lembah kami untuk menerima ilmu-ilmu silat keluarga kami?”
Mendengar ucapan ini, sejenak mata tosu itu terbelalak penuh keheranan. Dia sudah mengenal benar keluarga Cu ini yang selalu merahasiakan ilmu-ilmu mereka dan tidak akan menurunkan kepada orang luar, maka pernyataan tokoh nomor satu dari keluarga Cu itu tentu saja amat mengherankan hatinya.
Dia pun sudah mendengar bahwa keluarga Cu tidak memiliki keturunan laki-laki, akan tetapi sudah mempunyai seorang mantu yang lihai sekali dan kabarnya mantu itu yang telah mewarisi ilmu-ilmu keluarga Cu. Kenapa sekarang mendadak Kim-kong-sian ini menyatakan hendak mewariskan ilmu-ilmu keluarga Cu kepada orang luar? Akan tetapi, wajahnya segera berseri gembira ketika teringat bahwa yang dipilih adalah sute-nya sendiri.
“Ahh, entah bintang apa yang menerangi nasib sute!” Dia berseru gembira. “Tentu saja dua orang muda itu akan beruntung sekali kalau dapat terpilih menjadi murid-muridmu, Cu-taihiap! Biar pinto panggil mereka datang!”
Tosu itu sendiri segera bangkit dan meninggalkan dua orang tamunya untuk memanggil dua orang muda yang sedang berlatih silat di kebun. Setelah tosu itu pergi, Cu Han Bu berkata kepada adiknya.
“Bagaimana pendapatmu, ji-te?”
Cu Seng Bu mengangguk-angguk. “Aku setuju sekali, toako. Agaknya merekalah yang amat tepat menjadi ahli waris kita yang kelak akan menghadapi orang-orang yang hendak meremehkan nama kita. Apalagi mereka itu yang seorang adalah murid utama Kun-lun-pai dan yang ke dua bahkan murid keluarga Pendekar Pulau Es. Tepat sekali!” jawab adiknya.
Keduanya diam-diam merasa girang sekali. Memang pilihan mereka tepat. Dengan mengangkat murid dua orang muda itu, sedikit banyak Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es akan berdiri di belakang mereka dan kalau sudah begitu, siapa berani meremehkan mereka?
Tak lama kemudian, Hong Tan Tosu datang kembali ke dalam ruangan tamu diikuti dua orang muda yang tadi berlatih dan kini leher dan muka mereka masih basah berpeluh. Keduanya sudah mendengar secara singkat pemberitahuan Hong Tan Tosu bahwa dua orang sakti dari Lembah Naga Siluman datang dan tertarik kepada mereka, dan mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu-ilmu sakti dari lembah itu kepada mereka.
Tentu saja dua orang itu terkejut dan heran juga, terutama Pouw Kui Lok yang sama sekali tidak pernah membayangkan akan berguru kepada orang lain kecuali Kun-lun-pai. Akan tetapi diam-diam Louw Tek Ciang merasa girang bukan main. Dia tahu bahwa dirinya mempunyai banyak sekali musuh-musuh yang sangat lihai, terutama sekali keluarga Pulau Es, maka kalau dia dapat mengumpulkan ilmu-ilmu tinggi sebanyaknya, berarti dia akan lebih mampu membela diri.
“Ahh, Pouw-lauwte, sungguh kita beruntung sekali!” katanya sambil memegang lengan Kui Lok. “Aku sudah mendengar nama besar keluarga Cu dari Himalaya itu, dan kalau kita dapat mewarisi ilmu-ilmu mereka, sungguh kita memperoleh keuntungan besar.”
“Akan tetapi....” Kui Lok memandang kepada suheng-nya dengan sinar mata ragu-ragu.
Agaknya Hong Tan Tosu dapat menduga pikiran sute-nya. “Pouw-sute, jangan khawatir. Setiap orang murid Kun-lun-pai memang dilarang berguru kepada orang lain, akan tetapi kalau sudah mendapat perkenan orang yang berhak, dan mengingat bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar besar yang kukenal baik, maka pinto memberi perkenan kepadamu dan pintolah yang akan bertanggung jawab kalau ada pertanyaan dari para suhu dan susiok.”
Tentu saja ucapan Hong Tan Tosu ini membesarkan hati Kui Lok dan dengan girang mereka berdua lalu mengikuti tosu itu ke ruangan tamu di mana telah menanti Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Melihat dua orang setengah tua yang bersikap angker itu, Kui Lok dan Tek Ciang cepat memberi hormat.
Setelah kini berhadapan dengan Kui Lok dan Tek Ciang, pandang mata kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu memandang penuh selidik dan mereka merasa puas dengan apa yang mereka lihat. Kedua orang muda itu jelas memiliki tubuh yang baik sekali dan juga memiliki sinar mata yang tajam dan cerdik. Calon-calon murid yang baik sekali, apalagi karena mereka telah memiliki dasar ilmu-ilmu silat yang tinggi pula.
Dalam keadaan sekarang ini pun, mereka sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan dua orang muda ini dengan mudah. Apalagi kalau dua orang muda ini sudah menguasai ilmu-ilmu silat keluarga Cu, tentu keduanya akan jauh lebih lihai dari pada mereka sendiri dan akan dapat menjunjung nama kehormatan keluarga Cu dengan baiknya, jauh lebih baik dari pada Sim Hong Bu yang murtad itu!
“Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang,” kata Cu Han Bu secara langsung setelah dua orang muda itu diajak berkenalan. “Kami berdua telah mendengar keadaan kalian dari Hong Tan To-yu, dan melihat kalian, kami tertarik sekali untuk mengajak kalian ke lembah kami dan mengajarkan ilmu-ilmu silat keluarga Cu kepada kalian. Tentu saja kalau kalian sudi menjadi murid kami.”
“Saya akan merasa gembira dan terhormat sekali, locianpwe,” kata Tek Ciang dengan cepat tanpa ragu-ragu lagi.
“Saya.... saya juga merasa setuju kalau memperoleh perkenan dari suheng sebagai wakil para suhu di Kun-lun-pai,” kata Kui Lok hati-hati.
“Ha-ha-ha, sute. Pinto sudah memberi perkenan dan harap saja engkau sebagai murid Kun-lun-pai tidak mengecewakan menerima ilmu-ilmu keluarga Cu yang amat tinggi itu.”
Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menjadi girang. Tak mereka sangka akan semudah itu mereka menerima murid-murid yang begini lihai.
“Pouw Kui Lok sudah disetujui oleh Kun-lun-pai untuk menjadi pewaris ilmu-ilmu kami, akan tetapi bagaimana dengan engkau, Louw Tek Ciang? Kami mendengar bahwa engkau adalah murid pendekar Suma Kian Lee tokoh Pulau Es, apakah gurumu tidak akan marah dan berkeberatan kalau mendengar engkau belajar silat kepada kami?”
Hampir saja Tek Ciang tertawa. Gurunya akan berkeberatan? Gurunya sekarang telah menjadi musuh besarnya. Akan tetapi dengan cerdik dia memberi hormat dan berkata, “Suhu telah memberi kebebasan kepada saya untuk memperluas pengetahuan dan mempelajari ilmu apa saja asal ilmu itu digunakan demi kebaikan, menentang kejahatan seperti layaknya seorang pendekar. Karena itulah maka saya berani menerima uluran tangan locianpwe.”
Tentu saja hati kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu menjadi girang bukan main. Dua hari kemudian, Kui Lok dan Tek Ciang berangkat mengikuti dua orang kakek itu ke lembah di Pegunungan Himalaya itu.
Di sana mereka berdua digembleng secara telaten oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang merasa girang dan beruntung sekali melihat betapa dua orang murid baru ini benar-benar tidak mengecewakan. Selain berbakat dan tekun, juga mereka adalah dua orang muda yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, terutama sekali Tek Ciang. Benar-benar tidak mengecewakan.