CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 21
"Di mana aku....?" Ciang Bun membuka mata dan mengeluh.
"Tenanglah, Ciang Bun, tenanglah. Engkau berada di rumah Gu-sinshe, seorang tabib kenamaan di kota raja."
"Ohhh....!"
Ciang Bun teringat dan meraba dadanya. Dadanya terasa sesak dan perutnya mual. Muak rasanya bau amis itu dan dia menahan diri agar tidak muntah. Ganggananda duduk di dekatnya dan dia rebah di atas pembaringan.
“Bagaimana rasanya, Ciang Bun?” pemuda remaja itu bertanya dengan nada suara khawatir.
Ciang Bun teringat, memandang wajah tampan itu dan memaksa tersenyum. “Nanda, engkau seorang sahabat baru, namun ternyata engkau telah menyelamatkan nyawaku. Aku berhutang nyawa padamu, adik Nanda.”
“Sudahlah, tak perlu bicara tentang hutang-pihutang. Yang penting sekarang ini adalah menyembuhkanmu dari luka dalam penuh hawa beracun itu.”
“Hawa beracun? Di tubuhku? Ahhh, aku merasa dada sebelah kanan kadang-kadang panas kadang-kadang dingin dan ada rasa muak, bau amis....”
“Itulah! Menurut Gu-sinshe, engkau terkena pukulan beracun yang amat berbahaya.”
“Mana dia sekarang?”
“Dia sedang mengundang seorang hwesio tua ahli racun untuk datang memeriksamu.”
Ciang Bun merasa heran. Ia juga pernah mendengar nama Gu-sinshe sebagai seorang tabib yang pandai, bahkan kabarnya kadang-kadang tabib ini dipanggil ke istana kaisar untuk memberi pengobatan dan pemeriksaan. Bagaimana sekarang tabib itu demikian memperhatikan dia, bahkan mengundang seorang ahli untuk memeriksanya?
“Nanda, apakah engkau mengenal baik tabib itu sehingga dia mau memperhatikan aku seperti ini?”
Ganggananda tersenyum dan jantung Ciang Bun berdebar kencang. Dia pun terpaksa membuang muka karena senyum pemuda remaja itu seperti mencengkeram jantungnya dan membuatnya merasa aneh. Dia teringat bahwa beginilah perasaannya ketika dulu dia dicium oleh Liu Lee Siang ketika pemuda itu mengajarnya menolong orang yang tenggelam atau kecelakaan di air.
“Ciang Bun, aku bingung saat membawamu ke darat. Engkau pingsan terus dan segala usahaku untuk menyadarkanmu gagal. Maka terpaksa kau kubawa ke sini dan karena aku tahu bahwa seorang tabib terkenal tidak sembarangan mau mencurahkan perhatian kepada orang biasa, aku pun lalu berkata bahwa engkau adalah seorang anggota keluarga Suma dari Pulau Es. Benar saja dugaanku, mendengar ini dia tergopoh-gopoh memeriksamu dengan teliti, kemudian bahkan dia keluar untuk mengundang seorang hwesio kenalannya yang ahli tentang pukulan beracun.”
“Ahh....! Berapa lama aku pingsan?”
“Dua hari dua malam! Baru sekarang siuman, itu pun setelah diberi obat tusuk jarum dan macam-macam oleh Gu-sinshe. Nah, menurut pesan Gu-sinshe, jika engkau sudah sadar, aku harus menyuapimu dengan bubur encer ini. Makanlah.” Dan Ganggananda lalu menyuapkan sesendok bubur.
“Biar kumakan sendiri....!” Ciang Bun hendak bangun, akan tetapi kepalanya seperti terputar-putar rasanya sehingga dia harus memejamkan mata kembali dan terpaksa merebahkan diri lagi.
“Nah, jangan rewel, biar kusuapkan. Makanlah.”
Baru habis beberapa suap, Ciang Bun tidak mau lagi. “Rasanya semakin mual dan hendak muntah....”
Tiba-tiba seorang kakek masuk ke dalam kamar itu. Ciang Bun memandang dengan mata yang agak kabur. Seorang kakek berpakaian sasterawan yang tubuhnya jangkung kurus dan melihat pakaiannya dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu Gu-sinshe. Orang kedua adalah seorang hwesio gendut yang mukanya riang dan selalu tersenyum, matanya lebar dan tajam.
“Inikah Suma-taihiap yang terkena pukulan beracun?” kata hwesio itu. “Ahhh, untung taihiap memiliki tubuh yang kuat. Mudah-mudahan pinceng dapat menemukan racun apa yang sudah digunakan orang untuk memukul taihiap sehingga sahabatku ini dapat memberikan obatnya yang tepat.”
“Terima kasih, locianpwe....,” kata Ciang Bun.
Hwesio itu lalu membuka baju Ciang Bun, dibantu oleh Ganggananda. Dia kemudian memeriksa seluruh tubuh Ciang Bun bagian atas, memijat sana-sini, menepuk sana-sini dan berkali-kali dia menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. “Taihiap, bagai mana rasanya kalau sebelah sini kutekan seperti ini?” Dan hwesio itu menekan dada kanan.
Ciang Bun menggigit bibirnya. “Rasanya perih dan panas.”
“Dan taihiap mencium sesuatu?”
“Amis.... mau muntah....”
“Omitohud....! Tak salah lagi, taihiap terkena pukulan yang mengandung hawa racun katak buduk!”
“Ehh, apakah itu? Aku belum pernah mendengarnya, dan apa obatnya?”
Hwesio itu menggelengkan kepala. “Masih untung bahwa, seperti menurut ceritamu tadi, Sinshe, Suma-taihiap sudah diselamatkan oleh sahabatnya yang membawanya ke sini. Terlambat akan celaka. Dan kalau dalam waktu tiga hari dia tidak memperoleh obatnya yang tepat, kurasa tidak akan ada obat yang dapat menolongnya lagi.”
“Apakah obat itu? Dan di mana obat itu bisa aku dapatkan?” Ganggananda bertanya dengan lantang dan tak sabar.
“Obatnya hanya terdapat di tepi Sungai Huang-ho, akan tetapi pernah pinceng melihat katak buduk hitam di dalam rawa di sebelah utara kota raja yang serupa dengan katak-katak di Sungai Huang-ho itu. Katak buduk berkulit hitam yang matanya merah. Nah, kalau bisa didapatkan belasan ekor saja anak katak buduk itu, tentu Suma-taihiap ini akan dapat disembuhkan dari pengaruh racun pukulan Hoa-mo-kang.”
“Biar aku pergi mencarinya! Tunjukkan dan gambarkan di mana rawa itu, locianpwe.” kata Ganggananda.
Hwesio itu sejenak memandang wajah pemuda remaja itu dan menarik napas panjang. “Omitohud, anda seorang pemuda yang baik sekali dan amat setia kawan. Akan tetapi, rawa itu terlalu jauh. Dengan menunggang kuda yang paling cepat pun, belum tentu akan dapat dilakukan pulang pergi selama tiga hari. Belum lagi waktu mencari anak katak itu....”
“Tapi aku dapat melakukannya, locianpwe!” kata Ganggananda penuh semangat.
Gu-sinshe menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang putih jarang. “Bagai mana caranya, orang muda? Apa yang dapat berlari lebih cepat dari pada seekor kuda yang baik?”
“Aku dapat, Sinshe. Lariku lebih cepat dari kuda. Lekas gambarkan di mana rawa itu dan bagaimana aku harus mencari anak-anak katak itu dan aku akan segera lari ke sana.”
Dua orang kakek itu saling pandang dan menggerakkan pundak seolah-olah tidak percaya kepada Ganggananda akan tetapi karena tidak ada jalan lain, si hwesio lalu menggambarkan di mana letak rawa-rawa di sebelah utara di luar tembok kota raja itu. Ternyata tempat itu memang amat jauh, naik turun gunung dan sudah dekat dengan Tembok Besar. Sesudah memperoleh keterangan lengkap, Ganggananda merenggut buntalan pakaiannya.
“Aku pergi sekarang juga. Kau tunggulah aku, Ciang Bun!” Dan sekali berkelebat, pemuda itu pun lenyap dari dalam ruangan itu.
Mereka semua hanya melihat bayangan berkelebat lenyap seakan-akan pemuda itu dapat menghilang dan merubah dirinya menjadi asap. Saking heran dan kagumnya, dua orang kakek itu lari ke jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Dan mereka melihat sebuah titik hitam bergerak cepat jauh di depan dan sebentar saja lenyap. Mereka kembali saling pandang dan hwesio itu berbisik.
“Sinshe, hebat sekali orang muda itu, dan makin percayalah aku bahwa pendekar yang terluka itu memang benar keturunan para pendekar Pulau Es.”
Sementara itu, Ganggananda berlari cepat. Tidak mengherankan kalau dia dapat berlari secepat itu karena Ganggananda ini, seperti para pembaca tentu sudah dapat menduganya, adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri dari Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi!
Dara yang kini sudah berusia tujuh belas tahun ini memang suka sekali berkelana. Sudah sering ia meninggalkan Bhutan, menjelajahi hutan-hutan dan pegunungan di sekitarnya sehingga kadang-kadang orang tuanya menjadi gelisah dan mencari-carinya. Akan tetapi kesukaannya ini tidak pernah berkurang dan akhirnya, jalan satu-satunya untuk menenteramkan hati mereka, ayah dan ibu ini lalu menggembleng puteri mereka, menurunkan semua ilmu mereka agar puteri mereka menjadi seorang gadis yang tangguh dan cukup kuat untuk menjadi bekal pembela diri dalam perantauannya.
Wan Tek Hoat pendekar sakti yang di waktu mudanya pernah mempunyai julukan Si jari Maut mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang tinggi. Juga Syanti Dewi mengajarkan ilmu ginkang-nya yang hebat, yang dahulu dipelajarinya dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hwi.
Setelah menguasai banyak ilmu, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee pergi berangkat merantau menuju dunia timur (Tiongkok), yaitu negara tempat asal ayahnya. Sejak usia belasan tahun, ketika mulai gemar merantau, Hong Bwee suka menyamar sebagai pria dan ia memakai nama Ganggananda. Hal ini pun dianjurkan oleh orang tuanya yang berpendapat bahwa sebagai pria, tentu puteri mereka tidak terlalu banyak menghadapi gangguan di waktu melakukan perjalanan seorang diri.
Dari seorang kakek pemain sandiwara di istana Raja Bhutan, Hong Bwee juga sudah mempelajari cara berhias dan menyamar sebagai pria sehingga ia dapat membuat kulit mukanya nampak kasar. Bahkan ia dapat menambah alisnya menjadi tebal dengan alis tempelan namun sama sekali tidak kentara kepalsuannya.
Demikianlah, dengan bekal semua kepandaian ini, dara yang sejak kecil digembleng bu (ilmu silat) dan bun (ilmu sastera) oleh orang tuanya itu, berangkat merantau sampai ia bertemu dengan Ciang Bun. Selain dibekali kepandaian, juga ia fasih berbahasa Han walau pun agak asing terdengarnya, dan dia pun sudah banyak mendengar cerita ayah ibunya tentang para tokoh dunia persilatan, baik para pendekar mau pun para datuk sesat. Hal ini perlu diketahui agar ia dapat bersikap hati-hati kalau bertemu dengan para tokoh itu.
Raja Bhutan sendiri dan para pembesar tadinya merasa tidak setuju dan tidak rela melihat Hong Bwee yang mereka sayang itu, sebagai seorang gadis dewasa, pergi merantau sendiri sejauh itu. Akan tetapi, Syanti Dewi dan Tek Hoat menenangkan hati mereka. Syanti Dewi mengingatkan bahwa dia sendiri pada waktu masih gadisnya juga meninggalkan Bhutan dan merantau ke timur. Ada pun Tek Hoat sendiri adalah seorang pendekar yang suka merantau, tentu saja tidak berkeberatan akan kesukaan puterinya.
Di samping itu juga, bagaimana akan dapat mencegah kehendak Hong Bwee? Anak ini memiliki kekerasan hati melebihi ibunya, tidak mungkin kehendaknya dihalangi. Tidak mungkin merantainya di rumah. Kalau dihalangi tentu gadis itu malah akan minggat dan hal ini jauh lebih buruk dari pada jika gadis itu berangkat merantau dengan restu orang tuanya.
Biar pun demikian, diam-diam Raja Bhutan mengutus beberapa orang pengawal pilihan untuk membayangi dan melindungi gadis itu. Sialnya, tidak ada seorang pun di antara para pengawal itu yang mampu menandingi kecepatan lari Hong Bwee sehingga dalam waktu beberapa hari saja mereka sudah kehilangan jejak dan tertinggal jauh. Terpaksa mereka melanjutkan perjalanan ke timur dan mencari-cari karena mereka tidak tahu ke mana tujuan perjalanan gadis itu.
Demikianlah, dengan menyamar sebagai pria, Hong Bwee tiba di kota raja. Ia merasa gembira sekali melihat kota raja yang besar, megah dan indah itu, jauh lebih besar dan lebih indah dari pada kota raja Bhutan. Ketika ia bertemu dengan Suma Ciang Bun, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menarik perhatiannya. Baru dara ini mengerti bahwa ada suatu persamaan atau kemiripan pada diri pemuda ini dengan Ceng Liong sehingga menarik perhatiannya ketika ia mendengar bahwa Ciang Bun adalah saudara sepupu Ceng Liong.
Mendengar bahwa Suma Ciang Bun ialah saudara sepupu Ceng Liong, hatinya merasa hangat dan tertarik. Bagaimana pun, ada hubungan akrab antara ibunya dan keluarga Pulau Es sehingga ia merasa seperti bertemu sahabat lama atau sanak keluarga ketika berjumpa dengan Ciang Bun.
Kini ia mengerahkan semua tenaga dan ilmunya berlari cepat untuk menyelamatkan nyawa pemuda itu. Ia harus dapat mencari dan menemukan katak-katak buduk hitam dalam waktu tiga hari. Menurut perhitungannya setelah mendengar penjelasan hwesio ahli racun, kalau ia berlari cepat, dalam waktu sehari tentu ia akan dapat tiba di rawa yang dimaksudkan itu. Ia harus dapat menemukan obat itu. Ngeri ia membayangkan betapa pemuda yang tampan, pendiam dan halus lagi gagah perkasa dan pandai bersajak itu akan mati konyol keracunan.
Ilmu berlari cepat Jouw-sang Hui-teng (Terbang Di Atas Rumput) dari Wan Hong Bwee memang hebat sekali. Tubuhnya ringan dan ia dapat berlari bagaikan terbang saja, dan dalam waktu sehari lebih, hanya berhenti untuk makan roti bekal dan minum air, ia telah tiba di tepi rawa.
Akan tetapi, hari telah malam dan cuaca gelap sekali. Tak mungkin dapat mencari katak buduk pada waktu malam gelap itu. Menurut keterangan hwesio ahli racun, katak-katak buduk hitam itu berkeliaran di waktu malam mencari mangsa. Berbeda dari katak-katak biasa yang makan serangga biasa seperti semut, nyamuk dan sebagainya, katak buduk hitam mencari makanan serangga berbisa dan suka sekali makan binatang berbisa seperti kelabang, kalajengking, bahkan ular-ular kecil yang berbisa. Hebatnya, katak ini tidak takut terhadap ular besar!
Menurut hwesio itu, sukar menangkap anak-anak katak di waktu malam karena selain katak-katak besar itu berkeliaran, juga amat berbahaya menangkap katak besar. Anak anaknya di waktu malam bersembunyi di dalam goa-goa kecil atau celah-celah batu, sukar ditemukan. Waktu yang tepat untuk menangkap adalah pada pagi hari di waktu induk-induk katak memberi makan anak-anaknya di tepi rawa. Caranya adalah dengan memberinya makanan yang dimuntahkan dari perutnya.
Karena itulah, Hong Bwee lalu mencari tempat yang kering dan enak untuk melewatkan malam, tak jauh dari rawa itu. Ia mengumpulkan rumput kering, menumpuknya di bawah sebatang pohon. Kemudian ia mencari kayu kering dan membuat api unggun, bukan untuk melawan dingin karena tubuhnya yang terlatih itu mampu menahan hawa dingin mau pun panas, melainkan untuk mengusir nyamuk. Memang ia dapat melindungi tubuhnya dari gigitan nyamuk, akan tetapi bunyi nyamuk di sekitar telinga sungguh amat mengganggu dan membuatnya tidak dapat mengaso enak. Api unggun akan membuat nyamuk-nyamuk itu menjauhkan diri karena panas dan asap.
Akan tetapi, baru saja api unggun itu jadi, tiba-tiba ada angin menyambar kuat dan nyala api itu padam! Padamnya api membuat bara api pada kayu-kayu itu mengeluarkan asap yang memedihkan mata. Akan tetapi Hong Bwee segera maklum bahwa angin yang menyambar tadi bukanlah angin biasa, melainkan angin pukulan yang datangnya dari arah kiri, maka ia terkejut sekali dan cepat meloncat ke arah tempat itu. Dan benar saja, di dalam cuaca remang-remang yang hanya diterangi oleh jutaan bintang di langit, ia melihat sesosok tubuh seorang wanita tua yang agak bongkok.
“Engkaukah yang tadi memadamkan api unggunku?” tanya Hong Bwee ragu-ragu karena ia tidak tahu pasti apakah benar nenek bongkok ini yang memadamkan api dari jauh menggunakan angin pukulannya.
Nenek itu agaknya melihat kelincahan Hong Bwee ketika meloncat, maka ia pun berkata dengan suara membela diri, “Api itu akan menakutkan ular dan katak!”
Disebutnya katak membuat hati dara ini tertarik sekali. Ia mendekat, namun sikapnya waspada dan ternyata nenek itu menyembunyikan sebuah teng (lampu minyak) yang tertutup kertas tipis merah sehingga lampu itu mengeluarkan cahaya kemerahan yang cukup menerangi wajah nenek itu ketika ia mengeluarkan lampu dari balik tubuhnya. Kini Hong Bwee dapat melihat bahwa biar pun tubuhnya agak bongkok, ternyata wajah nenek ini menunjukkan tanda-tanda bahwa dahulu di waktu muda ia tentu memiliki wajah yang cantik. Juga pakaiannya bersih dan rapi, rambutnya disisir rapi.
“Nenek yang baik, apa maksudmu dengan ular dan katak?”
“Hi-hik,” nenek itu terkekeh. “Engkau melakukan perjalanan seorang diri dan berani tidur di tepi rawa, tentu engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian lumayan. Akan tetapi pernahkah engkau melihat betapa ular besar dibunuh seekor katak? Aku sedang mengintai seekor ular besar dan tiba-tiba engkau di sini membuat api unggun. Tentu saja ular dan kataknya akan ketakutan dan mana mungkin aku dapat menangkap ular itu?”
“Ahh, maafkan aku, nek. Aku ingin sekali melihat engkau menangkap ular.”
Hati Hong Bwee tertarik sekali karena dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang kang-ouw yang aneh dan berkepandaian tinggi. Hal ini terbukti dari keanehan sikap, bicara dan perbuatannya seperti ketika dia memadamkan api unggun tadi.
“Kau mau nonton? Heh-heh-heh, boleh sekali. Mari ikut aku.” Nenek itu membalikkan tubuhnya dan berjalan berindap-indap. Hong Bwee yang merasa tertarik sekali segera mendekati dan berjalan di dekat nenek itu.
“Engkau melarang aku membuat api unggun, akan tetapi engkau sendiri membawa lentera, apakah sinar lenteramu itu tidak akan menakutkan ular dan katak?”
“Heh-heh-heh, lentera ini merah, tidak akan menakutkan mereka. Sssttt.... sekarang diamlah....”
Nenek itu mendekati batu-batu besar di mana terdapat celah-celah dan ia mengeluarkan sebuah kantung hitam dari punggunguya, di mana tergantung buntalan besar. Kantong ini bergerak-gerak, tanda bahwa di dalamnya terdapat sesuatu yang bernyawa. Ketika nenek itu meneteskan arak dari sebuah guci ke mulut kantong hitam, terdengarlah bunyi “kok-kok-kok” keras sekali sehingga mengejutkan hati Hong Bwee.
Akan tetapi karena nenek ini sudah memberi tahu agar diam, Hong Bwee tidak berani membuka mulut, hanya memandang penuh perhatian. Ia menujukan pandang matanya ke arah mata nenek itu memandang, yaitu ke arah sebuah celah besar di antara batu-batu hitam.
Dan tiba-tiba saja terdengar bunyi berdesis, mula-mula perlahan, makin lama semakin nyaring dan akhirnya dari celah-celah batu itu tersembul keluar sebuah kepala ular yang besarnya sekepalan tangan. Kembali nenek itu meneteskan arak dan kembali terdengar suara “kok-kok-kok” berkali-kali. Agaknya suara inilah yang menarik perhatian ular itu. Binatang itu kini keluar dari dalam celah batu dan ternyata tubuhnya sebesar betis orang dan panjangnya ada enam tujuh kaki! Seekor ular kembang yang besar dan agaknya lapar.
Dengan tangan kanannya, nenek itu memungut sebuah batu dan sekali tangan terayun, batu itu meluncur dan memasuki celah tadi, menutupnya. Bidikannya demikian tepat sehingga kembali Hong Bwee menyadari bahwa nenek ini memang lihai. Dan kini nenek itu membuka mulut kantong hitam dan melemparkan isinya ke arah sang ular.
Kiranya isi kantong itu adalah seekor katak buduk hitam yang besarnya tiga empat kali katak biasa. Akan tetapi dibandingkan dengan ular itu, katak ini tentu saja amat kecil dan sekali caplok tentu ular itu akan dapat melahapnya. Lemparan nenek itu tepat pula. Katak terlempar dan terbanting ke atas kepala ular, membuat kedua binatang itu terkejut dan segera bersiap siaga ketika saling berhadapan. Agaknya sang ular menganggap bahwa ia memperoleh mangsa, sebaliknya katak itu merasa berhadapan dengan seekor binatang yang menjadi musuh besarnya.
Hong Bwee semakin tertarik. Ia tahu bahwa katak adalah satu di antara binatang yang menjadi makanan ular. Akan tetapi ia sudah mendengar dari hwesio itu bahwa katak buduk hitam demikian berbahaya dan lihainya sehingga berani melawan seekor ular besar. Agaknya kini secara kebetulan ia akan menyaksikan pertunjukan yang tak masuk akal itu.
Ular itu memandang dengan mata beringas, mengangkat kepalanya dan mendesis-desis, agaknya marah melihat sikap katak yang menantang. Memang katak itu bersikap menantang, tubuhnya merendah, perutnya menempel tanah dan dari lehernya keluar bunyi “kok-kok-kok!” nyaring sekali. Semua ini dapat dilihat jelas oleh Hong Bwee, di bawah cahaya lentera merah yang agaknya tidak mengganggu kedua ekor binatang yang sedang berlagak itu.
Tiba-tiba ular itu menyerang. Kepala yang diangkat itu bergerak meluncur ke depan dengan moncong terbuka, siap untuk mencaplok. Akan tetapi katak itu pun tiba-tiba menggunakan kaki belakangnya yang besar dan kuat, mengenjot tubuhnya menubruk ke depan, menyambut kepala ular dari samping dengan tak kalah cepat dan kuatnya.
“Plokkk!”
Tubuh bagian atas ular itu terpental dan ular itu kembali mengangkat kepala dan leher, menggoyang-goyang kepala seperti mengusir rasa pening. Lalu dia mendesis dan menyerang lagi. Kepalanya meluncur ke depan dengan moncong dibuka lebar hendak mencaplok ke arah katak. Katak itu meloncat ke samping mengelak dan tiba-tiba saja ia sudah melompat ke atas kepala ular itu dan menggigitnya.
“Bagus!” Ganggananda memuji kagum.
Akan tetapi ketika ular itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk melepaskan diri dari terkaman katak tanpa hasil, ia menggerakkan ekornya menghantam dari atas ke arah katak di kepalanya. Katak itu amat cekatan dan cerdik sekali, cepat mengelak dengan lompatan ke bawah.
“Tarrr!”
Ekor ular itu melecut kepalanya sendiri! Kepalanya sudah terluka oleh gigitan katak, kini masih dicambuknya sendiri membuat binatang itu merasa kesakitan dan makin marah. Ia pun menyerang lagi dengan ganasnya. Serangan ini disambut oleh katak buduk hitam dengan suara “kok-kok-kok!” dari mulutnya dan keluarlah uap hitam disemburkan ke depan.
Agaknya sang ular kebal terhadap racun katak, akan tetapi matanya terkena uap hitam, sehingga menjadi nyeri dan ia pun menggoyang kepala dengan gelisah. Kesempatan ini digunakan oleh katak hitam untuk meloncat dan menerkam lagi kepala ular, menggigit tengkuk yang agaknya menjadi sumber utama kekuatan ular. Ular itu mencoba untuk melepaskan diri dari gigitan. Akan tetapi tenaganya semakin lemah dan tubuhnya berkelojotan.
Tiba-tiba nenek itu menggerakkan tangannya dan kantong hitamnya sudah menubruk katak dan kepala ular. Sekali tangan kirinya dibacokkan miring ke arah leher ular, terdengar suara keras dan leher itu pun hancur dan putus! Dan kini kepala ular dan katak itu sudah masuk kantong yang mulutnya cepat diikatnya kembali. Katak buduk hitam bergerak-gerak di dalam kantong, lalu terdengar suara katak berkokok disusul suara berkerotokan seolah-olah katak itu sedang menggerogoti tulang kepala ular. Ganggananda bergidik ngeri.
Nenek itu menyimpan kantongnya dalam buntalan, lalu menusuk ekor bangkai ular dengan kayu yang ditancapkan pada akar pohon. Direntangnya bangkai itu dan ia pun merobek perut ular menggunakan kuku jari telunjuknya dan semua isi perut ular itu pun dikeluarkan. Ganggananda memandang heran.
Nenek itu mengangkat muka memandang dan terkekeh. “Apakah engkau tidak merasa lapar, orang muda?”
“Kalau lapar mengapa, nek?” Ganggananda bertanya, tertegun mendengar pertanyaan aneh itu.
“Hi-hik, orang muda yang bodoh. Ular ini adalah ular kembang. Dagingnya gurih dan manis, pula menguatkan otot-otot kaki, berguna bagi perantau-perantau seperti kita yang suka berjalan kaki dan melakukan perjalanan jauh. Nah, sekarang buatlah api unggun, biar kupanggang daging ini dan nanti kita makan sambil bercakap-cakap.”
Ganggananda dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang nenek yang luar biasa dan berilmu tinggi, dan yang dia yakin tentu tahu banyak tentang katak buduk hitam yang amat dibutuhkan itu. Maka dia pun tidak mau membantah. Nenek ini harus dibaiki, pikirnya, sehingga dia tentu dapat mengharapkan bantuan nenek ini untuk memperoleh obat bagi Ciang Bun.
Segera dia membuat api unggun yang cukup besar, bahkan membantu nenek itu ketika mulai memanggang daging ular yang sudah dikuliti dan dipotong-potong itu. Ternyata dagingnya putih bersih dan ketika dipanggang terciumlah bau sedap, apalagi karena nenek itu agaknya sudah membawa bekal bumbu. Terciumlah bawang dan garam yang membuat daging itu berbau sedap.
Ketika nenek itu mengajak Ganggananda makan, gadis yang menyamar pemuda ini pun tidak menolak. Dan ternyata bahwa memang daging ular panggang itu lezat sekali! Nenek itu pun mengeluarkan seguci arak sehingga lengkaplah kini hidangan mereka. Tanpa banyak cakap mereka makan dan nenek itu lahap sekali. Daging panggang itu diganyangnya panas-panas.
Setelah daging ular itu habis, barulah nenek itu bicara. “Orang muda, engkau seorang diri saja di tempat sunyi yang amat berbahaya ini, sebetulnya bermaksud apakah?”
“Nenek yang baik, memang ada kepentingan yang amat mendesak sehingga aku berada di tepi rawa ini, dan pertemuanku denganmu ini sungguh menggembirakan karena aku yakin bahwa engkau akan dapat membantuku sehingga aku akan berhasil dalam tugasku.”
Nenek itu mengerutkan alisnya dan terkena cahaya api unggun, wajahnya nampak kemerahan. Akan tetapi wajah itu tidak mengerikan, bahkan sebaliknya, wajah itu jelas membayangkan bahwa nenek itu amat cantik di waktu mudanya. “Kepentingan? Tugas? Tugas apakah itu yang membawamu ke tepi rawa ini?”
“Aku harus mencarikan obat untuk orang yang keracunan pukulan Hoa-mo-kang....”
“Ihh! Su-ok sudah lama mampus dan pukulan jahat itu dibawanya mati. Siapa yang mampu melukai orang dengan pukulan Hoa-mo-kang?”
“Entahlah. Pokoknya, seorang sahabat baikku sudah terkena pukulan itu dan menurut keterangan tabib yang ahli, obatnya harus dicari di tempat ini.”
“Katak buduk hitam?”
“Benar, nek, karena itu aku mengharapkan bantuanmu.”
“Engkau takkan berhasil!”
“Kenapa tidak? Menurut keterangan ahli itu, besok pagi aku akan dapat menangkap anak-anak katak di tepi rawa, ketika sedang diberi makan induknya.”
“Hi-hik, engkau tolol!”
Ganggananda mengerutkan alisnya, akan tetapi dia menahan kemarahannya. “Hemm, mungkin juga, akan tetapi mengapa engkau menyebutku tolol? Dalam hal apa?”
“Engkau takkan berhasil, tidak mungkin berhasil karena kini belum waktunya terdapat anak-anak katak. Tiga bulan lagi mungkin ada karena sekarang belum waktunya katak-katak itu bertelur. Yang ada hanyalah katak-katak buduk hitam besar dan engkau takkan mampu menangkap mereka.”
“Ahh....!” Ganggananda terkejut dan bingung, mukanya berubah pucat. “Lalu bagaimana baiknya? Sahabatku itu akan mati kalau selama tiga hari tidak memperoleh obat itu, nek.”
“Mengobati pukulan beracun Hoa-mo-kang dengan anak-anak katak memang tepat dan manjur sekali, akan tetapi tidak praktis. Aku mempunyai pel-pel racun katak buduk yang jauh lebih mudah ditelan, juga hanya menelan berturut-turut tiga butir saja sudah akan menyembuhkan, tak perlu menghancurkan belasan ekor anak katak untuk diminumkan airnya. Ihh, kejam membunuhi begitu banyak anak katak.”
“Nenek yang baik, kau tolonglah aku. Tolonglah sahabatku itu dan aku mohon kau suka memberi pel-pel itu kepadaku.”
Nenek itu memandang tajam. “Hemm, di dunia ini memang harus tolong-menolong. Kalau menolong sepihak saja tentu tidak mungkin. Aku mau menolongmu, akan tetapi ada syarat-syaratnya, orang muda.”
“Apa syarat-syarat itu, nek?”
“Pertama, engkau harus dapat mengalahkan aku, dan ke dua engkau harus dapat membantuku menghadapi musuh besarku.”
Ganggananda mengerutkan alisnya. Menandingi nenek ini merupakan hal yang berat, karena dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu lihai sekali. “Nek, untuk menghadapi musuh bersama, aku mau membantu asal kau katakan terlebih dulu mengapa engkau memusuhinya. Akan tetapi apa perlunya aku harus menandingimu lebih dulu?”
“Heh-heh, kalau mengalahkan aku saja engkau tidak mampu, lalu apa perlunya engkau membantuku? Musuhku itu jauh lebih lihai dari pada aku. Kalau aku sendiri mampu mengalahkannya, apa perlunya minta bantuan orang lain?”
“Ah, begitukah?” Jantung Ganggananda berdebar tegang.
Nenek ini saja dia duga tentu sudah amat lihai, kalau musuhnya itu lebih lihai, wah, tugasnya sungguh tidak ringan. “Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengira bahwa aku memiliki kepandaian silat, nek? Aku hanya seorang perantau yang tidak berilmu, mana bisa menandingimu?”
“Heh-heh, orang muda, jangan engkau mencoba untuk membodohi aku. Seorang muda seperti engkau ini sudah berani melakukan perjalanan jauh seorang diri, apalagi berani bermalam di tepi rawa berbahaya ini seorang diri, bahkan bertugas mencari katak buduk hitam, mana mungkin berani kalau tidak memiliki kepandaian lihai?”
“Mungkin aku pernah melakukan sedikit latihan silat, akan tetapi bagaimana akan dapat menandingimu? Engkau yang selihai ini saja tak mampu mengalahkan musuh besarmu itu, apalagi aku. Sudahlah, nek, lebih baik engkau berbaik hati memberi pel obat itu kepadaku dan hal itu berarti engkau telah berjasa besar menyelamatkan nyawa orang dari cengkeraman maut.”
“Enak saja kau bicara. Orang hidup harus saling menolong! Sebetulnya, dalam ilmu silat dan tenaga, aku tidak kalah oleh musuhku itu, hanya aku kewalahan dan selalu kalah karena dia memiliki ginkang yang amat tinggi. Dia terlampau cepat bagiku.”
“Ginkang?” Ganggananda bertanya dan sinar harapan muncul di dalam hatinya. “Jadi aku harus memiliki ginkang yang lebih tinggi darinya?”
“Setidaknya, harus setingkat agar engkau mampu membantuku.”
Ganggananda mengangguk. “Baiklah, nek, aku hendak mencoba. Bagaimana kalau kita berlomba memetik bunga putih di puncak pohon di depan itu?”
Biar pun malam itu hanya diterangi sinar bintang-bintang yang remang-remang, akan tetapi bunga-bunga putih bergerombol di puncak pohon tinggi di depan itu mudah dilihat karena menyolok warna putihnya di antara daun-daun yang nampak hitam.
Nenek itu mengangkat muka memandang. “Setinggi itu? Kita berlomba memanjat dan memetiknya?”
“Dengan ginkang, tentu akan dapat dilakukan dengan cepat, berloncatan dari cabang ke cabang.”
“Baik, nah, mari kita siap. Aku menghitung sampai tiga dan kita berlomba.” Nenek itu berkata dengan suara girang karena ia mulai memperoleh harapan. Kalau pemuda ini sanggup bertanding ginkang, berarti pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi yang boleh diharapkan akan dapat membantunya sampai ia berhasil menghadapi lawannya yang tangguh.
Mereka berdiri dan nenek itu menghitung “Satu.... dua.... tiga....!”
Dan melesatlah tubuh nenek itu ke depan karena dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk meloncat dan berlari ke arah pohon itu. Ia hanya melihat bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu ia melihat pemuda itu sudah tiba di pohon, padahal ia sendiri masih jauh dari tempat itu.
Ketika ia melihat betapa tubuh pemuda itu berloncatan tinggi sekali, kemudian seperti burung terbang atau seekor tupai berloncatan dari cabang ke cabang, maklumlah dia bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat. Maka ia pun tidak melanjutkan larinya, melainkan menonton saja dari bawah, melihat betapa pemuda itu dengan cepat sekali telah memetik bunga, lalu dari atas meloncat turun, bahkan melayang tanpa melalui cabang-cabang pohon lagi ke atas tanah, hinggap di tanah sedemikian ringannya bagai sehelai daun kering melayang, kemudian melesat ke dekat api unggun kembali.
“Hebat.... engkau telah mengalahkan aku....!” Nenek itu berkata sambil berlari menyusul. Wajahnya berseri gembira. “Engkau.... kiranya engkau lihai sekali, engkau tentu akan dapat mengalahkan ginkang-nya! Engkau bantulah aku, orang muda, dan kalau aku sudah berhasil membunuhnya, engkau akan kuberi tiga butir pel racun katak buduk hitam untuk menyembuhkan sahabatmu.”
“Nanti dulu, nek. Aku bukan tukang pukul yang suka membantu orang membunuh orang lain begitu saja. Aku hanya mau membantu orang tertindas, bukan membantu orang melakukan kejahatan atau berbuat sewenang-wenang. Ceritakan dulu, siapakah musuh besarmu itu dan kenapa engkau hendak membunuhnya?”
“Aha, ternyata engkau berjiwa pendekar, ya? Bagus, memang aku mencari bantuan dari pendekar, bukan dari kaum sesat. Orang muda, siapakah namamu dan siapa gurumu maka engkau dapat memiliki ginkang yang sedemikian hebatnya?”
“Namaku Ganggananda, nek.”
“Ha, orang Nepal?”
“Bukan, orang Bhutan. Dan yang mengajarkan sedikit ilmu silat kepadaku adalah ayah bundaku sendiri,” kata Ganggananda cepat dan segera menyambungnya karena ia tidak suka banyak cerita tentang keluarganya, tidak suka diketahui orang bahwa ia adalah keluarga Raja Bhutan. “Sekarang ceritakanlah, nek, agar supaya aku dapat mengambil keputusan apakah aku akan membantumu atau tidak.”
“Baik, dengarkanlah ceritaku. Puluhan tahun yang lalu, ketika usiaku baru tiga puluh tahun lebih, aku hidup sebagai isteri seorang pendekar dan tinggal di selatan. Pada suatu hari datanglah seorang sahabat suamiku bertamu di rumah kami. Dia amat tampan dan gagah, pandai merayu dan aku pun jatuh oleh rayuannya.”
Nenek itu menarik napas panjang dan Ganggananda memandang penuh perhatian, merasa tertarik sekali. Tak disangkanya bahwa nenek ini mempunyai riwayat yang demikian romantis, akan tetapi juga penuh aib. Seorang isteri jatuh hati kepada sahabat suaminya sendiri?
“Aku jatuh hati benar olehnya dan lupa daratan sehingga aku pun rela menyerahkan diri kepadanya, menyambut uluran cintanya. Akhirnya, hal ini diketahui oleh suamiku. Kami tertangkap basah. Tentu saja suamiku marah dan sahabat itu diserangnya. Terjadilah perkelahian seru. Ilmu kepandaian sahabat itu amat tinggi dan kalau dia mau, dengan mudah dia akan dapat membunuh atau mengalahkan suamiku, akan tetapi sahabat itu juga seorang pendekar gagah. Dia merasa bersalah, maka dia pun hanya melindungi diri saja tanpa mau membalas. Melihat ini, aku berpikir. Kalau sampai aku harus kembali pada suamiku, tentu suamiku akan membenciku, bahkan mungkin akan membunuhku, setidaknya menceraikan aku. Sudah kepalang bermain air sampai basah, lebih baik menyelam saja sekali, pikirku. Maka aku pun membantu kekasihku itu dan karena kesalahan tangan, suamiku roboh dan tewas oleh sahabatnya. Inilah yang kukehendaki agar aku dapat terlepas dari suamiku dan selanjutnya hidup bersama pria yang telah menjatuhkan hatiku itu.”
Ganggananda mengerutkan alisnya. “Ahhh, engkau kejam terhadap suamimu, nek,” celanya.
“Tidak, bukan kejam. Sejak menikah, pilihan orang tua, aku tidak pernah cinta suamiku. Dan aku sudah jatuh hati kepada orang she Bu, sahabat suamiku itu. Dan aku pun bukan turun tangan membunuh suamiku, melainkan hanya membantu sahabat itu, terutama sekali untuk membuka mata suamiku bahwa aku berpihak kepada kekasihku, juga membuka mata kekasihku agar dia tahu bahwa aku bersedia membantunya dan ikut dengannya. Akan tetapi terjadi kesalahan tangan sehingga suamiku roboh dan tewas.”
“Hemm, lalu bagaimana?” Ganggananda bertanya tidak puas. Dia sudah memperoleh gambaran bahwa nenek ini dan orang she Bu itu keduanya adalah orang-orang yang tidak baik! “Setelah suamimu tewas, engkau lalu hidup bersama orang itu?”
Nenek itu mengepal tinju tangan kanannya dan mengacungkannya ke atas. “Itulah yang membuat aku sakit hati, mendendam dan harus membunuhnya! Dia menolakku. Dia merasa menyesal sekali telah kesalahan tangan membunuh suamiku dan dia bahkan menyalahkan aku, memaki aku bahwa akulah yang menyebabkan sahabatnya tewas!”
Diam-diam Ganggananda mentertawakan nenek itu dan dalam hatinya berbisik, “Puas! Rasakan engkau!” akan tetapi mulutnya diam saja.
“Aku telah memohon, membujuk dan menangis, akan tetapi tetap saja dia tidak mau menerimaku dan meninggalkan aku. Tentu saja aku merasa sakit hati sekali. Aku memperdalam ilmuku dan mencarinya, menyelidiki siapa sebenarnya kekasihku itu yang belum kukenal baik karena baru pertama kali itulah aku bertemu dengan dia. Kemudian aku mendengar bahwa kiranya dia itu memang seorang laki-laki yang terkenal sebagai tukang mempermainkan wanita! Dengan modal kegagahannya, ketampanannya dan kepandaiannya yang tinggi, dia merayu dan menjatuhkan hati banyak wanita, tidak peduli masih gadis, isteri orang, muda atau tua. Orang she Bu yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu ternyata adalah seorang perayu dan lelaki gila perempuan!”
Ganggananda tidak pernah mendengar nama Bu-taihiap ini dan hatinya sudah merasa semakin tidak suka kepada laki-laki itu. Kini dia pun dapat membayangkan bahwa bukan semata kesalahan nenek ini kalau sampai menyeleweng, akan tetapi terutama karena pandainya orang she Bu itu merayu wanita sehingga nenek ini pernah tergelincir.
“Aku berusaha menemuinya dan minta pertanggungan jawabnya. Aku hidup sebatang kara setelah suamiku meninggal dunia, dan hanya dia satu-satunya orang yang menjadi harapanku. Akan tetapi, dia tetap marah-marah kepadaku dan mengusirku. Aku bahkan berusaha untuk menyerangnya, akan tetapi selalu aku kalah olehnya.”
Ganggananda merasa bingung. Dia merasa tidak tahu bagaimana dia harus bersikap menghadapi urusan itu. Dia ingin mendengarkan terus.
“Puluhan tahun aku menekan dendam ini. Aku bertapa, berkelana mencari guru-guru dan belajar silat dengan tekun dan mati-matian sampai akhirnya aku bisa mengimbangi tingkat musuh besarku itu. Akan tetapi, aku masih kalah dalam ginkang sehingga masih sukarlah bagiku untuk mencapai kemenangan. Maka, aku minta bantuanmu.”
“Hemm, tidak begitu mudah, nek. Aku hanya memiliki waktu tiga hari untuk mengobati sahabatku, dan sekarang sudah lewat sehari. Tinggal dua hari lagi. Kalau terlambat, sahabatku akan tewas. Jadi waktuku untuk membantumu hanya ada sehari saja, karena pada hari ke tiga harus kupergunakan untuk berlari cepat kembali ke kota raja.”
“Cukup, engkau tidak akan terlambat kalau sekarang juga kita berangkat. Kebetulan musuhku itu berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini. Dia senang melakukan perjalanan dan si bedebah itu membawa ketiga orang isterinya!”
“Tiga....?”
“Itu yang resmi menurut penyelidikanku. Di mana-mana dia mempunyai kekasih yang ditinggalkan begitu saja seperti aku. Mereka itu tidak berdaya menuntut, tidak mampu melawan. Dan sampai sekarang pun, si tua bangka itu masih saja suka merayu dan mempermainkan wanita-wanita muda.”
“Dia tentu sudah tua sekali!”
“Sedikitnya enam puluh lima tahun usianya, akan tetapi dia masih.... gagah dan tampan. Marilah, mari kita berangkat. Pada besok pagi-pagi kita sudah dapat tiba di tempatnya.”
“Tapi obat itu....”
Nenek itu mengeluarkan tiga butir pel dari dalam sebuah botol. “Inilah obatnya, akan tetapi kusimpan dulu sampai selesai tugas kita. Mari!” Dan nenek itu pun sudah lari meninggalkan tempat itu, seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada Ganggananda untuk membantah lagi.
Dara yang menyamar pria ini terkejut. Satu-satunya harapan untuk bisa menyelamatkan nyawa Ciang Bun adalah nenek itu. Dia pun cepat menyambar buntalan pakaiannya dan meloncat, berlari mengejar. Karena memang ginkang dari Ganggananda amat hebat, sebentar saja nenek itu sudah tersusul. Mereka turun dari lembah dan perjalanan itu melalui tanah datar, menuju ke sebuah bukit yang banyak batu-batu besarnya.
Kini perjalanan mendaki dan agak sukar, dan karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang, cuaca suram muram, maka perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, tidak dapat berlari cepat lagi. Kesempatan ini digunakan oleh Ganggananda untuk mencari keterangan lebih lanjut.
Nenek itu memperkenalkan diri sebagai Gan Cui. Akan tetapi ketika ditanya tentang keadaan Bu-taihiap, ia tidak mau banyak bicara, hanya mengatakan bahwa Bu-taihiap adalah seorang laki-laki yang gila perempuan.
Kalau saja Ganggananda tahu siapa adanya Bu-taihiap, tentu dia akan terkejut sekali karena Bu-taihiap yang dianggap musuh besar oleh nenek Gan Cui sebetulnya adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi. Didalam Kisah ‘Suling Emas Naga Siluman’ banyak diceritakan tentang pendekar ini.
Bu-taihiap bernama Bu Seng Kin. Memang dia terkenal sebagai seorang pria yang ganteng, tampan dan gagah dan pandai sekali merayu wanita. Memang dia romantis sekali, dan tidak aneh kalau disebut gila perempuan karena dia jarang mau melepaskan kesempatan untuk menggoda dan merayu setiap kali bertemu wanita cantik. Entah berapa ratus wanita cantik yang sudah jatuh oleh rayuannya, menjadi kekasihnya.
Bahkan isterinya pun banyak, di antaranya yang terus mendampinginya sampai tua adalah Tang Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li, tokoh Lembah Suling Emas yang kini berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, karena nyonya ini tadinya adalah isteri seorang di antara tokoh keluarga Cu, yaitu mendiang Cu San Bu. Begitu bertemu dengan Bu-taihiap, nyonya ini pun dirayu dan jatuh. Dan akhirnya nyonya ini pun mencari Bu-taihiap dan ikut mendampinginya.
Ada pula yang bernama Gu Cui Bi, seorang nikouw! Nikouw yang sudah jatuh pula ini pun mendampingi suaminya yang bangor. Yang ke tiga adalah Nandini, seorang wanita Nepal, bukan sembarang orang karena wanita ini pernah menjadi panglima Nepal. Tiga orang isteri yang mendampinginya di hari tua ini rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Nenek Gan Cui adalah satu di antara ratusan orang wanita yang jatuh oleh rayuannya, kemudian ditinggalkannya begitu saja. Tidak mengherankan jika nenek itu tidak pernah berhasil membalas dendam, karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar sakti yang amat terkenal. Kalau dahulu di waktu mudanya Bu-taihiap tinggal di Puncak Merak Emas di Pegunungan Himalaya, kini ia lebih suka merantau di seluruh daratan bersama tiga orang isterinya. Karena mereka kini sudah tua, sudah rata-rata enam puluh tahun usianya, maka kalau mereka memperoleh tempat yang indah menyenangkan, mereka tinggal di tempat itu untuk sementara. Setelah bosan lalu berangkat merantau lagi.
Dan pada waktu itu, Bu-taihiap dan tiga orang isterinya tinggal untuk sementara di bukit berbatu-batu itu. Bukit itu puncaknya ternyata datar dan indah, penuh dengan pohon bunga yang aneh-aneh dan yang jarang terdapat di daerah lain. Di tempat ini Bu-taihiap membangun sebuah pondok kayu yang cukup besar dengan beberapa buah kamar untuk dirinya dan tiga orang isterinya.
"Nenek Gan, engkau sendiri yang begini pandai tidak mampu mengalahkan Bu-taihiap, lalu bagaimana seorang muda seperti aku akan mampu mengalahkannya. Aku harus tahu diri, dan kalau aku disuruh menghadapi seorang yang ilmunya jauh lebih tinggi dariku, bukaukah itu berarti aku akan mati konyol dan akan bunuh diri?”
“Heh-heh, aku tidak setolol itu. Aku sudah mengenal wataknya. Selain mata keranjang, manusia she Bu itu pun tinggi hati dan angkuh sekali. Dia tidak pernah mau kalah dalam ilmu kepandaian. Maka, aku akan menemuinya dan menantang kepadanya untuk mengadu ilmu ginkang. Karena ilmu itu merupakan andalan dan kebanggaannya, tentu dia dengan girang menerimanya dan aku akan mengajukan engkau sebagai jagoku. Dan kalau dia sampai kalah, heh-heh, selain dia harus memenuhi janji, juga dia akan malu setengah mati. Dia, Bu-taihiap jagoan terkenal itu, jagoan perempuan, akhirnya harus mengaku kalah oleh seorang wanita!”
Ganggananda terkejut sekali dan cepat ia agak menjauh dan menghentikan langkah, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu, nek?”
“Hi-hik, antara kita sama-sama wanita, tentu engkau berpihak padaku dari pada laki-laki gila perempuan itu, bukan?”
“Bagaimana engkau bisa tahu, nek?” Ganggananda bertanya penasaran.
Selama ini, penyamarannya dapat dibilang sempurna sehingga belum pernah ada orang yang dapat mengenalnya sebagai wanita. Akan tetapi nenek ini yang sejak tadi tidak memperlihatkan sikap bahwa ia tahu akan keadaan dirinya, menyebutnya orang muda, bagaimana tiba-tiba kini mengatakan bahwa ia seorang wanita?
“Ah, apa sukarnya bagiku! Penyamaranmu memang baik dan engkau seorang ahli pula dalam hal itu. Akan tetapi terhadap ketajaman penciumanku, mana mungkin engkau mampu menyembunyikan atau merubah bau khas seorang wanita? Dengan ketajaman hidungku, aku dapat mencium bau binatang-binatang berbisa dari jarak jauh. Ular itu pun dapat kucium walau pun dia bersembunyi di dalam lubang, bukan? Dan semenjak pertemuan pertama, baumu sebagai wanita sudah pula tercium olehku. Dan karena engkau seorang wanita pulalah yang mendorongku untuk minta bantuanmu. Wanita mana pun akan membenci pria yang suka mempermainkan wanita.”
Ganggananda atau Gangga Dewi atau yang biasa disebut Gangga saja, menarik napas panjang dan diam-diam dara ini kagum terhadap nenek yang selain lihai juga memiliki ketajaman penciuman yang istimewa itu. “Engkau benar, nek. Aku adalah seorang gadis. Akan tetapi merantau seorang diri dalam dunia yang begini kotor dan penuh dengan orang jahat....”
“Memang tepat menyamar sebagai pria agar lebih aman, apalagi kalau bertemu dengan laki-laki jahat dan gila perempuan macam Bu-taihiap, sungguh tidak aman sekali bagi seorang wanita yang muda lagi cantik seperti engkau.”
Pada keesokan harinya, ketika matahari telah menyinari permukaan bumi, membuat bayangan panjang dan masih lemah, tibalah nenek Gan Cui dan Gangga di depan sebuah pondok kayu yang berada di tanah datar puncak bukit itu. Rumah itu terpencil, sederhana dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi namun indah. Memang indah pemandangan alam di tempat itu.
Dari puncak ini nampak bumi terhampar luas, sinar matahari tak terhalang apa pun dan tanah di puncak itu sendiri amat subur, penuh dengan tanaman bunga dan tanaman obat. Akan tetapi tidak nampak seorang pun manusia, seolah-olah pondok itu kosong. Hal ini mulai dikhawatirkan Gangga. Kalau pondok itu kosong, berarti usaha mereka gagal dan bagaimana nenek itu akan mau memberikan obat yang amat dibutuhkan Ciang Bun? Akan tetapi, nenek itu tidak nampak khawatir seperti Gangga. Ia kelihatan tegang dan siap, maju menghampiri pondok dari depan.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang muncul dari sebelah kiri pondok dan ternyata ia adalah seorang nenek yang usianya tentu sudah lima puluh lima tahun kurang lebih, namun masih nampak bekas kecantikannya. Nenek ini memakai pakaian mewah, tubuhnya masih ramping dan padat dan gerakannya gesit. Wajahnya yang cantik dan terawat baik itu membayangkan kegalakan dengan sinar matanya yang tajam.
Sebatang pedang yang tergantung di punggungnya menandakan bahwa nenek ini adalah seorang ahli silat dan hal ini pun kentara dari gerakannya ketika berkelebat datang tadi. Kini ia sudah berdiri di depan Gan Cui dan Gangga, sejenak memandang tajam penuh selidik, kemudian tersenyum mengejek menatap wajah nenek Gan Cui.
“Hemm, perempuan tak tahu malu. Engkau masih berani merangkak datang lagi setelah berkali-kali kalah oleh suamiku?” kata wanita itu dengan suara mengejek.
Wanita ini adalah seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap dan dialah yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi. Ia adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, janda tokoh keluarga Lu yang tergila-gila kepada Bu-taihiap dan kini menjadi seorang di antara isteri-isterinya yang selalu mendampingi pendekar petualang asmara itu.
Disambut dengan ucapan keras itu, nenek Gan Cui tetap tenang saja. Agaknya ia tidak mau ribut dengan para isteri Bu-taihiap karena urusannya adalah urusan pribadi, antara ia dan pendekar itu sendiri. Kalau sampai ia melibatkan isteri-isterinya, terlalu berat dan berbahaya baginya, karena ia pun maklum betapa lihainya para isteri Bu-taihiap. Maka, ia pun hanya memandang tajam dan berkata, “Aku datang untuk bertemu dengan orang she Bu. Dan sekali ini aku tidak akan gagal.”
“Kami sudah tahu akan kedatanganmu dan kami sudah siap menyambutmu. Marilah masuk dan langsung saja ke ruangan belakang di mana suami kami telah menantimu,” kata nyonya itu yang segera membalikkan tubuhnya masuk ke dalam pondok.
Nenek Gan Cui mengikutinya tanpa ragu-ragu, sedikit pun tidak kelihatan takut, padahal Gangga mempunyai perasaan seperti memasuki goa naga atau sarang harimau. Bagai mana takkan merasa ngeri memasuki rumah orang yang dianggap musuh? Dan melihat sikap gagah nyonya rumah itu, ia pun merasa semakin ngeri. Ia sudah dapat menduga, dari langkah kaki nyonya tua itu, bahwa nyonya itu tentu lihai sekali, apalagi telah berani bersikap memandang rendah seperti itu terhadap seorang nenek seperti Gan Cui.
Ruangan belakang itu ternyata cukup luas dan dinding belakangnya tidak ada, terbuka menembus ke taman bunga di belakang. Hawanya sejuk sekali di ruangan itu. Di ruangan ini nampak duduk seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan di sebelah kirinya duduk dua orang wanita.
Kakek itu bertubuh tegap dan wajahnya yang sudah mulai dibayangi ketuaan usianya itu masih nampak amat tajam dan ganteng, dengan kulit mukanya yang bersih kemerahan. Alisnya yang tebal dan pandang matanya yang demikian tenang dan penuh pengertian, mulutnya selalu tersenyum dan tahulah Gangga mengapa pria ini banyak digandrungi wanita. Senyumnya itu! Sungguh merupakan senyum yang sangat melumpuhkan. Dan sepasang matanya juga begitu hidup seolah-olah dia dapat menyatakan isi hatinya melalui pandang mata dan senyumnya.
Kedua orang wanita itu pun cantik-cantik. Yang seorang memakai penutup kepala pendeta, berjubah seperti seorang nikouw, wajahnya putih bundar, mulutnya kecil dan ia nampak manis sekali walau pun usianya juga sudah lima puluh tahun lebih. Wanita ke dua juga beberapa tahun lebih tua, akan tetapi wanita ini jelas bukan orang Han. Sekali pandang saja tahulah Gangga bahwa wanita itu adalah seorang wanita berbangsa India atau Nepal, tubuhnya kecil jangkung, hidungnya mancung dan matanya hitam tajam sekali, sikapnya ketika duduk itu membayangkan kegagahan.
Kedua orang nenek ini adalah dua orang isteri Bu-taihiap di samping Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang menyambut tamu tadi. Yang seorang adalah Gu Cui Bi yang pernah menjadi nikouw dan sampai sekarang tidak pernah mengganti jubah nikouwnya dan selalu menutupi kepalanya dengan penutup kepala para nikouw. Ada pun yang ke dua adalah Nandini, puteri Nepal yang pernah memimpin pasukan Nepal sebagai panglima yang gagah perkasa. Dua orang wanita ini duduk dengan anteng, hanya pandang mata mereka menyambut munculnya nenek Gan Cui dan Gangga dengan sikap memandang rendah. Tanpa bicara apa pun, Tang Cun Ciu juga duduk di kursi pertama di sebelah kiri suaminya.
Kini Bu-taihiap memandang nenek Gan Cui sambil tersenyum. “Adik Cui, engkau baru datang? Apakah sekali ini engkau datang untuk menerima usulku dan menghabiskan sisa hidup bersama kami? Agaknya engkau membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengambil keputusan yang amat baik itu.”
“Orang she Bu! Jangan engkau mimpi bahwa aku akan mengalah begitu saja! Aku datang untuk menantangmu!”
Pendekar itu menarik napas panjang dan masih tersenyum, menoleh kepada tiga orang isterinya dan berkata lirih, “Lihat, ia ini sungguh memiliki hati yang keras seperti baja!”
Ucapan itu bukan memburukkan, bahkan lebih condong memuji. Tiga orang wanita di sampingnya hanya melirik. Melihat cibiran bibir mereka menunjukkan bahwa ketiganya merasa tidak puas dengan ucapan ini dan di dalam hati mereka mengejek, walau pun tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Gangga melihat semua ini dan diam-diam dara ini tertarik sekali. Sebuah keluarga yang aneh, pikirnya, juga penuh diliputi sikap gagah.
Kini Bu-taihiap memandang kepada Gan Cui, masih terus tersenyum. “Adik Cui, kiranya selama tiga tahun ini tidak jumpa, engkau terus menghimpun kekuatan untuk berusaha menantangku kembali? Hemm, engkau menantangku? Ingat baik-baik, tidaklah mudah mengalahkan ilmuku dan andai kata aku kewalahan menghadapimu, tentu tiga orang isteriku ini tak akan tinggal diam. Apakah engkau mampu menghadapi kami berempat?”
“Boleh! Kalau kalian begitu tidak tahu malu untuk mengeroyokku, aku pun tidak takut!”
“Bukan mengeroyok, akan tetapi sebagai isteri, tak mungkin mendiamkan saja suaminya terancam bahaya. Sudahlah, kenapa engkau tidak mau menempuh jalan damai saja?”
“Orang she Bu, aku datang bukan untuk mendengar ocehan dan rayuanmu, Pendeknya, sekali ini aku datang untuk menantangmu mengadu ilmu ginkang. Kalau aku kalah, aku akan pergi dan takkan mengganggumu lagi. Akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus memenuhi tuntutanku!”
“Wah, tuntutanmu itu tidak masuk akal, adikku yang manis! Mereka bertiga ini adalah isteri-isteriku yang setia, mana mungkin harus kutinggalkan begitu saja agar aku dapat hidup berdua saja denganmu? Sebaiknya kalau engkau tinggal bersama kami, hidup aman dan damai bersama kami....”
“Tidak! Tidak sudi aku kalau cintamu dibagi-bagi!”
“Siapa yang membagi-bagi? Cinta tak mungkin dibagi-bagi. Aku cinta pada mereka, aku cinta kepadamu seperti cinta kepada banyak orang lain lagi. Kalau aku menghadapimu, aku mencintamu sepenuhnya, demikian pula kalau aku menghadapi seorang di antara mereka. Marilah, adikku, untuk apa kita bersitegang? Kita sudah tua, tinggal menikmati hidup tenteram beberapa tahun lagi saja.” Pendekar itu sungguh pandai merayu dengan suara halus dan pandang mata demikian lembut, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya.
Dan Gangga yang mendengarkan percakapan itu diam-diam terkejut bukan main. Bagai mana pula ini? Pendekar itu dengan baik-baik membujuk nenek Gan Cui untuk hidup bersama dia dan isteri-isterinya, tapi sebaliknya nenek ini ingin Bu-taihiap meninggalkan isteri-isterinya yang lain agar supaya dapat hidup berdua saja dengannya, agar ia dapat memonopolinya? Mulailah kini dia mengerti dan dia meragukan kebenaran nenek yang dibantunya.
“Cukup semua kata-kata itu! Berani atau tidak engkau menerima tantanganku mengadu ginkang? Kalau tidak berani engkau harus memenuhi tuntutanku dan mengaku kalah!”
Tiba-tiba pendekar itu tertawa dan begitu dia tertawa, dia nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Dan memang dia masih ganteng!
“Ha-ha-ha, engkau lucu, adik Cui. Engkau tahu bahwa dalam hal ginkang, engkau kalah jauh dari aku. Biar engkau belajar puluhan tahun lagi, belum tentu engkau akan mampu mengalahkan aku. Tentu saja kuterima tantanganmu.”
“Dan kalau engkau kalah, engkau akau memenuhi tuntutanku?”
“Aha, soal itu nanti dulu.”
“Tapi, tiga tahun yang lalu, seperti yang sudah-sudah, engkau menerima taruhan itu!” Nenek Gan Cui berteriak penasaran.
“Hemm, karena ketika itu aku merasa yakin akan kemenanganku. Dan sekarang, selagi aku semakin tua dan engkau semakin bersemangat mempelajari ilmu-ilmu, aku harus hati-hati.”
“Tapi engkau terima tantanganku?”
“Tentu saja.”
“Nah, dengarkan baik-baik, Bu Seng Kin! Kini aku menantangmu untuk mengadu ilmu ginkang dan aku mengajukan jagoku ini!” Nenek Gan Cui menepuk pundak Gangga.
“Siapa dia?” Bu-taihiap bertanya dengan sikap kaget, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang datang bersama Gan Cui itu ternyata adalah jago yang hendak diajukan oleh nenek yang keras hati itu. Kini dia menatap tajam wajah dan tubuh Gangga, penuh selidik.
“Tidak perlu kau tahu siapa dia. Pendeknya, dia adalah jagoku dan wakilku untuk menandingimu dalam ilmu ginkang. Kalau dia kalah, berarti aku kalah olehmu, akan tetapi kalau dia menang, berarti engkau harus mengaku kalah.”
Bu-taihiap tidak merasa khawatir, bahkan kelihatan sepasang matanya bersinar-sinar, seperti merasa gembira menghadapi peristiwa yang menarik. Dia mengangguk-angguk. “Baiklah, adik Cui, lalu bagaimana pertandingan ini akan diatur?”
“Aku tidak ingin tertipu olehmu yang licik. Aku akan pergi ke ujung puncak ini dan membawa ini. Kemudian kalian berdua merebut botol ini dari tanganku dan berlari dari sini.”
Nenek itu mengeluarkan sebuah botol dan melihat ini, Gangga terkejut karena botol itu adalah botol yang terisi tiga butir pel katak buduk hitam yang dibutuhkannya! Agaknya nenek yang cerdik itu sengaja mengeluarkan benda itu untuk dipakai berebut, agar ia mau berlomba dengan sesungguhnya mengalahkan Bu-taihiap untuk memiliki obat itu!
“Perempuan licik!” Tiba-tiba Tang Cun Ciu membentak. “Pertandingan macam apa itu? Kalau engkau yang menjadi sasarannya, tentu engkau akan membantu agar jagomu yang menang! Katakan saja engkau hendak mengeroyok!”
Bu-taihiap tertawa dan menggerakkan tangan mencegah isterinya itu marah-marah. “Biarkanlah. Tentu saja aku tahu bahwa kalau kami berdua tiba di dekatnya, ia akan menyerahkan benda itu kepada jagoannya dan kalau aku yang hendak mengambilnya tentu ia akan melawan. Akan tetapi, jagoannya itu masih begini muda, patutnya menjadi muridku, maka biarlah dibantu oleh adik Cui. Bagaimana pun juga, akhirnya aku yang akan menang. Baik, adik Cui, engkau bawalah benda itu ke ujung sana dan kami berdua akan berlomba. Siapa yang lebih dahulu mendapatkan botol di tanganmu itu, dia yang menang!”
Nenek itu menyeringai. “Orang she Bu, sekali ini engkau akan kecelik dan kalah!” Dan ia pun menoleh kepada Gangga sambil berkata, “Ingat, engkau tidak boleh kalah kalau engkau menghendaki benda ini!” Setelah berkata demikian, nenek itu pun berlari cepat sekali menuju ke ujung puncak itu.
Jarak itu cukup jauh dan tubuhnya semakin kecil, akhirnya hanya menjadi sebuah titik hitam yang makin mengecil. Puncak itu memang merupakan tanah datar yang amat panjang, akan tetapi permukaannya yang halus hanyalah di sekitar pondok, sedangkan jarak itu melalui tanah yang penuh dengan batu besar kecil yang kasar dan tidak mudah dilalui karena kalau tidak berhati-hati, orang dapat tergelincir.
Gangga tadinya sudah merasa tidak senang kepada nenek Gan Cui yang ternyata sedikit membohong ketika bercerita tentang urusannya dengan Bu-taihiap. Ia sudah mulai ragu-ragu apakah baik kalau ia melanjutkan pertolongan dan bantuannya kepada nenek itu. Akan tetapi ketika ia mendengar kata-kata Bu-taihiap tentang dirinya yang dianggap terlalu muda dan hanya patut menjadi murid pendekar itu dengan pandang mata dan nada suara memandang rendah, hatinya menjadi panas juga. Pendekar ini terlampau sombong, pikirnya, memandang rendah orang lain. Inilah sebabnya timbul dorongan hati untuk membuktikan bahwa dia tidaklah selemah itu untuk bisa dipandang ringan saja.
Bu-taihiap sudah bangkit berdiri bersama tiga orang isterinya. Bagaimana pun juga, tiga orang isterinya tidak akan tinggal diam saja dan mereka itu hendak mengikuti sang suami agar jangan menjadi korban kecurangan lawan.
“Kita mulai?” tanya Bu-taihiap kepada Gangga sambil tersenyum.
Setelah Gangga mengangguk, Bu-taihiap berkata lagi. “Akan kuhitung sampai tiga dan kita mulai berlari. Satu, dua.... tiga!”
Dua tubuh itu melesat ke depan. Bu-taihiap mengerahkan tenaganya dan larinya cepat sekali, seperti terbang saja. Akan tetapi, betapa kaget hatinya ketika dia melihat Gangga berkelebat di sampingnya. Ternyata pemuda itu bergerak dengan demikian ringannya seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi! Sebentar saja tubuh pemuda itu sudah melesat ke depan dan melewatinya.
Bu-taihiap menjadi penasaran dan dia pun mengerahkan seluruh tenaganya, mengenjot tubuhnya untuk menyusul. Akan tetapi, pemuda itu agaknya juga menambah tenaganya dan betapa pun dia membalap, tetap saja pemuda itu berada di depannya! Barulah dia benar-benar terkejut dan dari gerakan kaki pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu memiliki ilmu ginkang Jouw-sang Hui-teng (Ilmu Terbang Di Atas Rumput) yang amat hebat. Mereka berkejaran dengan cepat sehingga tiga orang wanita yang juga membayangi tertinggal jauh dan sebentar saja mereka sudah dapat melihat nenek Gan Cui berdiri di ujung timur tanah datar puncak bukit itu.
Sementara itu, Gangga merasa amat puas bahwa ternyata ginkang-nya tidak kalah oleh Bu-taihiap. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa sebenarnya ia membantu orang yang tidak benar, dan diam-diam ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Kalau sampai nanti ia menang, seperti yang sudah jelas dapat diduga, lalu nenek itu minta yang bukan-bukan, bukankah berarti ia telah membantu kesewenang-wenangan? Tetapi, dia membutuhkan obat itu!
Tiba-tiba nenek Gan Cui lari menuju ke selatan, menjauhi dua orang yang sedang berlari cepat ke arahnya itu. Hal ini mengingatkan lagi kepada Gangga bahwa nenek yang dibantunya itu adalah seorang yang penuh tipu muslihat dan sudah beberapa kali memperlihatkan kecurangannya. Bagaimana kalau nanti melanggar janji dan tidak mau memberikan obat itu kepadanya?
Mereka kini terpaksa juga merubah arah mengejar nenek itu yang sudah berada di ujung selatan. Dan dengan sengaja Gangga memperlambat larinya sehingga Bu-taihiap dapat berlari di sampingnya. Kakek itu sudah agak terengah dan mandi peluh. Gangga menoleh kepadanya, tersenyum dan menambah lagi tenaganya sehingga tubuhnya kembali melesat ke depan dalam jarak satu tombak. Ia masih ingin meyakinkan hatinya bahwa ia memang lebih menang dalam adu ginkang ini.
“Nona, perlahan dulu....!” Tiba-tiba ia mendengar suara Bu-taihiap dan ada tenaga aneh yang menahannya dari belakang.
Pendekar tua itu agaknya telah menggunakan ilmu kepandaiannya untuk menahannya dari belakang, dengan tenaga sinkang! Dan pendekar tua itu pun telah mengetahui penyamarannya, tahu bahwa dia adalah seorang wanita. Gangga cepat mengerahkan sinkang-nya pula dan tangan kanannya ditepiskan dengan pengerahan sinkang yang kuat.
“Wuutttt....!” Dan tenaga yang menahannya dari belakang itu pun terlepas.
Kembali Bu-taihiap terkejut bukan main. Kiranya gadis ini bukan hanya tukang lari yang ahli ginkang, melainkan juga mampu menangkis sinkang-nya yang dipergunakan untuk menahan larinya yang cepat itu.
“Ahhh.... nona....,” katanya agak terengah-engah. “Engkau sungguh.... seorang dara yang luar biasa! Masih begini muda, begini cantik, dan memiliki kepandian tinggi.... aku kagum sekali, nona....”
Berdebar rasa jantung dalam dada Gangga. Hati siapa tak akan senang mendengar pujian? Apalagi kalau pujian itu keluar dari mulut orang penting, dan Bu-taihiap adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi ia pun teringat bahwa pendekar tua ini adalah seorang perayu, seorang penaluk wanita, maka sikapnya menjadi keras lagi.
“Nona, sehebat engkau ini.... mengapa membantu orang yang sesat? Gan Cui bertindak salah dalam urusan kami.... aku membujuknya untuk hidup rukun.... tapi ia menghendaki agar aku menceraikan semua isteriku dan harus melayani ia seorang saja.... apakah itu adil namanya?”
Biar pun ia bersikap tak acuh, namun diam-diam Gangga mendengarkan semua kata-kata itu dan dengan sendirinya dia pun mengurangi lagi kecepatan larinya. Dia sudah menduga apa yang terjadi antara pendekar ini, dan nenek itulah yang mau menang sendiri dalam urusan itu.
“Aku membutuhkan obatnya itu untuk menolong seorang sahabatku yang keracunan,” katanya.
“Aha, jadi ia memaksamu membantu dan mengalahkan aku karena obat itu? Sudah kuduga. Dan kau kira ia akan menyerahkan obat itu padamu? Dia seorang yang keras hati dan licik sekali, dan jika ia tidak mau memberikan kepadamu, jangan harap dengan mudah engkau akan bisa memperolehnya. Ia curang dan lihai!”
“Aku.... aku sudah menduga begitu....”
“Nona, biarkan aku yang merampasnya untukmu. Kalau engkau tidak mendahuluiku, dan aku lebih dahulu mencapainya, tentu ia akan berusaha menghindariku, akan tetapi, aku dapat menguasainya.”
Gangga hanya menggunakan waktu sejenak untuk berpikir dan mengambil keputusan. Entah bagaimana, ia merasa jauh lebih percaya kepada pendekar ini dari pada nenek Gan Cui yang curang.
“Silakan....,” katanya dan ia pun memperlambat larinya.
Tubuh Bu-taihiap melesat ke depan dan berlari di depannya, seolah-olah pendekar itu mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya dan dapat menyusul dara itu. Melihat ini, tiga orang isterinya yang tertinggal jauh di belakang merasa lega. Mereka bertiga memang tidak dapat dibilang suka kalau melihat suami mereka menambah seorang isteri lagi, akan tetapi urusan seperti itu bagi mereka kecil saja artinya. Mereka sudah terbiasa oleh ulah suaminya yang suka perempuan itu dan agaknya baru akan sembuh kalau sudah mati. Bagi mereka, lebih penting lagi kalau suaminya tidak sampai kalah, karena wanita itu tentu akan berbuat yang bukan-bukan, menuntut yang tidak-tidak dan juga, suaminya akan terpukul perasaannya dan akan merasa malu kalau sampai kalah oleh seorang muda!
Sebaliknya, ketika melihat betapa kini jagonya tertinggal, nenek Gan Cui terkejut sekali. Tadi ia sudah merasa girang melihat betapa Gangga dapat berada di depan dan ia sengaja lari menjauh untuk memberi kesempatan kepada Gangga untuk meninggalkan lawannya jauh di belakang. Ia sudah merasa yakin bahwa jagonya tentu akan menang karena selain sudah berada di depan, tentu daya tahan Gangga lebih kuat dari pada lawannya yang sudah tua, napasnya juga lebih panjang. Akan tetapi kenyataannya, kini Gangga tersusul dan tertinggal, makin lama makin jauh.
Gan Cui segera menjauhkan diri lagi, lari ke arah barat.
“Bocah tolol, lari ke sini....!” Ia berteriak-teriak dan berusaha mendekati Gangga.
Akan tetapi Bu-taihiap selalu menghadang antara ia dan Gangga, dan pendekar itu kini makin dekat dengannya. Terpaksa nenek itu membalikkan tubuh dan melarikan diri. Akan tetapi, ginkang-nya memang kalah dibandingkan Bu-taihiap sehingga pendekar itu sebentar saja dapat mengejarnya.
“Adik Cui, jangan curang. Aku yang lebih dulu mencapaimu, serahkan botol obat itu!”
“Tidak.... tidak....!” Gan Cui menghindarkan diri ketika Bu-taihiap mengulur tangan untuk menyambar botol di tangannya itu.
“Adik Cui, jagomu sudah kalah, kau jangan main curang! Serahkan botol itu!” kembali Bu-taihiap menubruk, akan tetapi sekali ini Gan Cui menyambutnya dengan pukulan yang dilakukan dengan cepat dan kuat sekali, pukulan maut karena pukulan itu adalah jurus dari Ilmu Coa-tok-ciang (Tangan Racun Ular) yang dahsyat sekali!
Bu-taihiap tentu saja mengenal pukulan ganas itu dan cepat-cepat dia mengelak dan membalas dengan totokan jari tangannya ke arah leher Gan Cui. Namun, nenek itu pun memiliki gerakan cepat. Ia sudah mengelak sambil melayangkan kakinya menendang ke arah perut lawan disusul dengan cengkeraman tangan kanan ke arah mata, sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol itu pun disodokkan ke arah ulu hati. Sekali bergerak wanita itu telah mengirim tiga serangan yang kesemuanya mematikan!
“Hemm, engkau sungguh keras hati, adik manis!” kata Bu-taihiap mengejek dan pendekar ini mengerahkan tenaga sinkang-nya menerima tendangan di perutnya, mengelak dari cengkeraman ke arah mata dan tangan kiri yang menggenggam botol itu disambutnya dengan cengkeraman untuk merampas botol.
“Bukkk!”
Tendangan itu tepat mengenai perut dan sebagian mengenai bawah perut di mana terletak anggota rahasia. Akan tetapi Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya. Bukan saja seluruh bagian perut telah dilindungi oleh hawa sakti sehingga menjadi kebal, akan tetapi juga anggota kelaminnya telah tersedot memasuki perut dan terlindung sehingga ketika tertendang, yang terkena tendangan hanyalah kulit yang keras dan licin saja.
Gan Cui terkejut. Ia memang membual ketika menceritakan kepada Gangga bahwa dalam hal ilmu silat ia dapat menandingi Bu-taihiap, hanya kalah dalam hal ginkang saja. Sebetulnya, mana ia mampu mengalahkan tingkat kepandaian Bu-taihiap? Biar ia belajar sampai selama hidupnya, agaknya ia tidak akan mampu menyusul tingkat pendekar itu karena selain kalah dasar, juga kalah bakat. Kini, setelah melakukan tiga serangan sekaligus, ia berbalik malah terancam akan dirampas botol obat di tangannya. Gan Cui mengeluarkan teriakan nyaring, tangan kanannya mencabut sapu tangan hitam yang dikebutkannya ke arah muka Bu-taihiap sedang tangan kiri yang menggenggam botol diangkatnya tinggi-tinggi untuk dijauhkan dari lawan.
Bu-taihiap terkejut menghadapi kebutan kain hitam yang mengeluarkan debu hitam kehijauan ini. Cepat dia meniup dan mengebutkan ujung lengan bajunya untuk mengusir debu beracun, dan pada saat itu, Gan Cui menjerit karena tiba-tiba saja botol di tangan kirinya terlepas dan terampas dari tangannya. Ia mengangkat mukanya dan melihat bahwa yang merampas botol itu adalah Gangga!
Kiranya Gangga telah menggunakan kesempatan itu untuk mengerahkan ginkang-nya, melompat ke atas tinggi sekali lalu menukik turun dan merampas botol itu tanpa Gan Cui mengetahuinya.
Tentu saja nenek itu menjadi terkejut dan marah. “Bocah tolol! Kembalikan botol itu....!”
Akan tetapi ia tidak dapat bergerak lagi karena pada saat itu Bu-taihiap telah menubruk dan merangkulnya, serta memegangi kedua pergelangan tangannya. Nenek itu hendak meronta, akan tetapi Bu-taihiap memeluknya dan berbisik di telinganya.
“Adik Cui yang manis, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan selalu memusuhiku? Aku masih tetap cinta padamu....” Dan pendekar itu mengusap leher Gan Cui dengan hidungnya.
Seketika lemaslah seluruh tubuh Gan Cui. Merasa betapa kulit lehernya dicium oleh laki-laki yang sebenarnya masih amat dicinta dan dirindukannya ini. Lenyaplah seluruh daya lawannya dan ia seperti lumpuh, menyandarkan diri ke atas dada yang bidang itu dan menangis lirih!
Tiga orang isteri Bu-taihiap yang telah tiba di situ membuang muka dan mencibirkan bibir, akan tetapi tidak merasa cemburu lagi karena memang sejak dahulu mereka tahu bahwa Gan Cui adalah seorang di antara wanita-wanita yang jatuh oleh rayuan suami mereka. Sementara itu, Gangga yang telah berhasil merampas botol terisi tiga butir pel, memandang dengan muka merah.
“Adik Cui, mulai saat ini, engkau mau bukan hidup bersama kami dengan damai?” Kembali Bu-taihiap berbisik dan Gan Cui mengangguk.
Bu-tahiap maklum bahwa ia telah menalukkan hati nenek itu, maka ia pun melepaskan kedua tangannya dan masih tetap menggandeng lengannya dengan sikap mesra. Gan Cui mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya, kemudian memandang ke arah Gangga. Biar pun sikapnya tidak galak lagi seperti tadi, seolah-olah seekor kucing liar yang sudah dijinakkan, namun suaranya masih tidak senang ketika ia berkata kepada Gangga.
“Engkau telah kalah, engkau tidak berhak mengambil obat itu. Kembalikan!”
“Adik Cui, engkau salah paham. Sesungguhnya, dalam hal ginkang, aku Bu Seng Kin harus mengakui keunggulan gadis ini.”
Sepasang mata Gan Cui terbelalak. “Engkau.... kalah? Dan engkau tahu ia seorang gadis? Engkau tidak malu kalah oleh seorang gadis muda?”
“Mengapa mesti malu? Ia memang memiliki ilmu Jouw-sang Hui-teng yang langka. Sungguh luar biasa sekali ilmu ginkang-nya itu. Nona, kulihat engkau bukan gadis Han. Dari manakah engkau dan siapa gurumu?”
“Tak salah lagi, ia tentu puteri atau murid Syanti Dewi!” Tiba-tiba nenek Nandini berkata.
Gangga terkejut dan memandang wanita Nepal itu, juga Bu-taihiap terkejut karena dia pun sudah pernah mendengar nama puteri Bhutan yang kabarnya memiliki kecantikan amat luar biasa, juga di samping itu memiliki ginkang yang hebat.
“Benarkah, nona?”
Gangga mengangguk. “Benar, ibuku adalah Puteri Syanti Dewi dan ayahku bernama Wan Tek Hoat yang pernah berjuluk Si Jari Maut.”
“Ahhh....!” Bu-taihiap berseru kaget dan kagum. “Jikalau begitu, aku semakin tidak merasa malu lagi kalah dalam ginkang olehmu, nona!”
“Siapakah namamu?” tanya Nandini.
“Gangga Dewi.”
“Nama yang indah sekali. Mari, nona, mari silakan duduk dalam pondok kami dan kita bercakap-cakap,” Bu-taihiap berkata, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kesakitan ketika lengannya dicubit keras sekali oleh Gan Cui.
“Lelaki mata keranjang! Baru saja berkumpul denganku, sudah berani berlagak memikat gadis muda?” bentak Gan Cui.
Dan tiga orang isteri pendekar itu menahan tawa, kelihatan geli dan juga mengejek dan menyukurkan keadaan suami mereka. Biar engkau rasakan sekarang, pikir mereka, mendapatkan isteri lagi yang amat cemburu dan galak! Tentu saja Bu-taihiap tersipu-sipu mendengar teguran ini karena sesungguhnya dia sama sekali tidak mempunyai niat sedikit pun untuk merayu Gangga Dewi, hanya mempersilakan ke rumah untuk beramah tamah karena dia pun kagum sekali mendengar bahwa gadis muda ini ternyata puteri orang-orang terkenal.
“Terima kasih atas kebaikan kalian semua,” kata Gangga Dewi sambil menjura. “Tapi sahabatku itu terancam nyawanya oleh pukulan Hoa-mo-kang dan obatnya hanya racun katak buduk inilah. Maka, aku mohon diri, tak dapat berlama-lama di sini. Aku harus cepat ke kota raja untuk memberikan obat ini kepadanya.”
“Ahh, pukulan beracun Hoa-mo-kang?” tanya Bu-taihiap kaget. “Bukankah Su-ok Siauw Siang-cu sudah mati?” Pertanyaan yang sama seperti pernah diajukan oleh nenek Gan Cui kepada Gangga.
“Bukan Su-ok yang memukulnya, mungkin murid atau keturunannya. Menurut kata ahli yang mengobatinya, hanya tinggal waktu tiga hari. Kalau dia tidak mendapatkan obat racun katak buduk hitam, dia akan mati. Sejak kemarin pagi aku melakukan perjalanan, kini sudah lewat dua hari, tinggal sehari lagi. Maka aku harus pergi sekarang juga.” Lalu ia menoleh kepada Gan Cui. “Sudah benarkah obat ini? Dan bagaimana cara menelan pil ini? Sehari berapa kali, sekaligus ataukah satu-satu?”
Akan tetapi nenek Gan Cui mendengus marah. “Engkau merampasnya dariku dengan curang, perlu apa aku memberi tahu? Cari saja sendiri bagaimana caranya!”
Akan tetapi Bu-taihiap yang sudah amat tertarik mendengar cerita tadi bertanya, “Nona Gangga, bolehkah aku bertanya siapa pendekar atau sahabatmu yang terkena pukulan Hoa-mo-kang itu?”
“Namanya Suma Ciang Bun dan dia berada di kota raja....”
“Suma....?” Bu-taihiap terbelalak.
“Ya, dia cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!” kata Gangga dengan suara bangga.
“Ahh....! Adik Cui, kalau begitu kita tidak boleh sembarangan. Hayo katakan bagaimana caranya mempergunakan pelmu itu untuk mengobatinya.”
“Sehari makan satu pel, dalam waktu tiga hari tentu penyakit itu lenyap dan orangnya sembuh,” jawab nenek itu singkat dengan muka masih cemberut. Agaknya kegalakan wanita ini sudah benar-benar dapat ditundukkan dan dijinakkan oleh Bu-taihiap.
“Terima kasih!” kata Gangga dan sekali berkelebat gadis itu lenyap dari depan mereka. Bu-taihiap menggeleng-geleng kepala tanda kagum.
“Bukan main....!” katanya dan sambil menggandeng isterinya yang baru, pendekar ini lalu kembali ke pondoknya, diikuti oleh ketiga isterinya yang lain.
Kembali Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee menggunakan seluruh kepandaiannya untuk lari secepat mungkin, kembali ke kota raja. Ia melakukan perjalanan secepatnya dan pada keesokan harinya, pada hari ke tiga, tibalah ia kembali ke tempat tinggal tabib yang mengobati Ciang Bun.
Tabib dan hwesio ahli racun yang menjadi sahabatnya itu sudah hampir putus asa menanti kembalinya. Bagaimana pun, bagi mereka agaknya tidak mungkin bisa mendapatkan obat yang amat langka itu dalam waktu tiga hari. Baru perjalanannya saja, menggunakan kuda umpamanya, baru akan sampai dalam waktu tiga hari pulang pergi! Maka, kemunculan Gangga yang tiba-tiba itu selain mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan harapan yang menggembirakan.
“Bagaimana hasilnya, siauw-si-cu (tuan muda yang gagah)?” tanya mereka.
Gangga mengangguk dan mengeluarkan botol berisi tiga butir pel itu. “Kini belum musimnya telur katak menetes, tidak mungkin mencari anak-anak katak buduk hitam. Akan tetapi aku mendapatkan pel racun katak buduk hitam itu dari seorang sakti yang harus diberikan kepada Ciang Bun sehari sebutir, berturut-turut sampai tiga hari.”
Tabib dan hwesio itu membuka tutup botol dan memeriksa tiga butir pel itu. Hwesio itu begitu mencium baunya, segera mengangguk-angguk. “Omitohud.... racun katak buduk hitam yang amat keras! Memang inilah obatnya, dan pinceng yakin pemuda gagah itu akan dapat disembuhkan.”
Dengan girang Gangga lalu membantu si tabib memberi pel itu kepada Ciang Bun yang masih belum sadar. Dan dengan teliti dan telaten, Gangga mendampingi Ciang Bun sampai tiga hari tiga malam lamanya! Sedikit pun dara ini tak pernah mau meninggalkan pembaringan Ciang Bun. Bahkan makan atau tidur pun ia lakukan di dekat pembaringan Ciang Bun. Ia tidur sambil duduk dan selama tiga hari itu, wajahnya menjadi agak pucat karena kurang tidur dan kurang beristirahat.
Akan tetapi hatinya girang bukan main karena baru pada hari pertama saja, wajah Ciang Bun yang tadinya biru kehijauan itu sudah mulai berubah, dan setiap hari berangsur baik sampai pada hari ke tiga, sinar biru kehijauan pada wajahnya sudah lenyap sama sekali. Dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali, pemuda itu mengeluh dan siuman! Akan tetapi karena dia kurang makan, hanya menelan bubur encer saja selama tiga hari lebih, tubuhnya masih lemah dan dia hanya dapat bergerak membuka mata dan menoleh ke kanan kiri.
“Di manakah aku....?” tanyanya lemah.
Gangga yang duduk di dekatnya dan mengantuk, segera bangun dan mendekatinya. Ia tersenyum girang sekali. “Ahhh, engkau sudah siuman? Bagus sekali! Engkau telah sembuh, bahaya telah lewat!”
Melihat pemuda ini, Ciang Bun teringat dan dia segera bangkit hendak duduk, akan tetapi tubuhnya terasa lemas dan dia terpaksa merebahkan dirinya kembali.
Ganggananda cepat membantunya rebah kembali dan berkata dengan halus, “Jangan engkau bangun dulu. Sudah empat hari engkau tidak sadarkan diri. Tunggu, biar aku buatkan bubur untukmu.” Setelah berkata demikian, dia pun bangkit dan cepat-cepat meninggalkan kamar menuju ke dapur.
“Omitohud, engkau beruntung sekali mempunyai sahabat sebaik itu, orang muda.”
Ciang Bun menoleh dan memandang heran kepada dua orang kakek yang duduk tak jauh dari situ. Dia tidak pernah mengenal hwesio dan kakek berpakaian sasterawan itu, yang duduk di sudut kamar dan memandang kepadanya sambil tersenyum girang. Akan tetapi dia cerdik dan dapat menduga bahwa tentu pemuda yang menjadi sahabatnya itulah yang membawanya ke sini dan agaknya dua orang kakek ini menjadi tuan rumah, bahkan mungkin sekali yang menolongnya dan mengobatinya. Bukankah menurut Gangga tadi dia pingsan selama empat hari?
Sambil masih terus rebahan Ciang Bun mengangkat kedua tangan di depan dada. “Ji-wi locianpwe, maafkan kalau saya belum mampu memberi hormat sepantasnya untuk menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan kebaikan ji-wi.”
Dua orang kakek itu nampak semakin gembira. Sikap Ciang Bun itu menyenangkan hati mereka. Kadang-kadang sikap jauh lebih berharga dari pada pemberian benda berharga apa pun juga.
“Si-cu tidak perlu berterima kasih kepada kami sebab yang menyelamatkan nyawa si-cu sesungguhnya adalah sahabat si-cu itu,” kata kakek tabib.
Dia segera menceritakan kepada Ciang Bun bahwa pemuda ini pingsan dan terancam bahaya maut oleh pukulan Hoa-mo-kang dan betapa Ganggananda dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya telah pergi mencarikan obat penawarnya sampai berhasil menyembuhkan Ciang Bun.
“Omitohud....! Yang paling sukar didapatkan di dunia ini adalah seorang sahabat yang setia tanpa pamrih. Sahabat si-cu itu sampai lupa makan lupa tidur untuk menjaga si-cu, sungguh kebaikannya amat mengharukan hati pinceng.”
Diam-diam Ciang Bun merasa terharu sekali dan hatinya semakin erat terikat kepada Ganggananda yang sebelumnya memang sudah amat menarik hatinya. Tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang lincah jenaka, yang pandai bersajak dan sangat menyenangkan itu ternyata memiliki hati semulia itu dan merupakan seorang sahabat yang amat baik. Dia merasa bersyukur sekali.
“Terus-terang saja, si-cu, kalau tidak ada sahabatmu itu, nyawamu tidak mungkin dapat ditolong lagi. Si-cu berhutang nyawa kepadanya,” kata si tabib dengan suara sungguh-sungguh.
Perasaan cinta yang tulus semakin mendalam di hati Ciang Bun terhadap pemuda yang selain menarik hatinya, juga telah menyelamatkan nyawanya itu. Setelah kekuatannya pulih kembali, dia bersama Ganggananda berpamit dari tabib yang ramah tamah itu dan meninggalkan rumah tabib dengan ucapan terima kasih. Ganggananda bahkan tak lupa memberi hadiah yang cukup besar. Ternyata pemuda ini membawa bekal emas yang cukup banyak sehingga mengherankan hati Ciang Bun. Tahulah dia bahwa sahabatnya itu adalah seorang yang selain pandai sastera dan silat, juga kaya raya.
“Ahhh, tak terasa lima hari telah lewat dan hari ini adalah hari yang telah kami tentukan untuk bertemu di kota raja,” katanya kepada Ganggananda.
Gangga memandang penuh perhatian. “Kami? Siapa yang kau maksudkan?”
“Adik Ganggananda yang baik, aku belum menceritakan riwayatku kepadamu. Yang kumaksudkan dengan kami adalah aku dan cici-ku yang bernama Suma Hui.”
“Hemm, agaknya masih ada hubungannya dengan musuh besarmu itu, ya? Dia pun menyebutmu seolah-olah engkau masih sanaknya. Apakah musuh besarmu itu.... kakak iparmu, suami enci-mu?”
“Engkau adalah seorang yang amat mulia, Gangga, dan aku sudah berhutang budi dan nyawa padamu, maka baiklah kuceritakan keadaan keluargaku, keluarga kami yang malang.”
Ciang Bun menoleh ke kanan kiri, akan tetapi taman itu masih sunyi karena hari masih pagi sekali. Dia mengajak Gangga pergi ke taman ini karena di sinilah dia berjanji dengan enci-nya untuk mengadakan pertemuan pada hari ini atau hari-hari berikutnya kalau-kalau ada yang terlambat. Mereka lalu duduk di atas sebuah bangku panjang, di bawah pohon yang rindang sambil menghadapi sebuah empang ikan emas yang dihias tumbuh-tumbuhan bunga teratai merah dan putih.
Dengan hati mengandung penuh kepercayaan kepada sahabat barunya ini, Ciang Bun kemudian menceritakan semua riwayatnya, sejak dia bersama enci-nya dan Ceng Liong belajar ilmu di Pulau Es sampai pertemuannya dengan musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang. Diceritakannya mala petaka yang menimpa keluarga kakeknya di Pulau Es yang kemudian disusul mala petaka yang menimpa diri enci-nya, Suma Hui, dan kejahatan yang dilakukan oleh Tek Ciang yang menjadi murid ayahnya dan juga menjadi suami enci-nya itu.
Gangga mendengarkan dengan penuh perhatian dan penuh perasaan hingga wajahnya sebentar merah karena marah dan pucat karena turut merasa terharu dan berduka. Pandang matanya tak pernah lepas dari wajah pemuda itu. Baru sekaranglah ia tahu mengapa pemuda ini mati-matian menyerang Louw Tek Ciang yang telah menjadi kakak iparnya. Dan ia ikut merasa marah sekali mendengar akan kelicikan dan kejahatan Louw Tek Ciang yang telah menghancurkan kehidupan Suma Hui, kakak perempuan pemuda ini. Setelah Ciang Bun menceritakan semuanya, pemuda itu menarik napas panjang.
“Demikianlah, Gangga. Sudah bertahun-tahun kami mendendam kepada jahanam itu dan secara tidak terduga-duga dan kebetulan sekali aku bertemu dengannya di telaga dalam taman. Dapat kau bayangkan betapa girang rasa hatiku dan betapa dengan penuh semangat aku berusaha untuk membunuhnya. Akan tetapi dia lihai dan juga licik, bahkan kini pun dia dibantu seorang kawan yang agaknya lihai pula. Nyaris aku tewas kalau tidak ada engkau yang menyelamatkanku, sahabatku,” berkata demikian, Ciang Bun menjulurkan tangannya dan dipegangnya tangan Gangga.
Pegangan ini dilakukan dengan perasaan penuh keharuan dan juga penuh rasa kasih sayang sehingga terasa oleh Gangga betapa jari-jari tangan itu mengandung getaran halus yang seolah-olah menembus kulit tangannya dan menjalar sampai ke dalam dada, membuat jantungnya berdebar-debar, sementara bulu-bulu di lengan dan tengkuknya meremang. Maka dengan halus pula Gangga menarik dan melepaskan tangannya dari genggaman tangan pemuda itu.
“Ahhh, kenapa engkau begini sungkan dan bicara seperti itu, Ciang Bun? Bukankah kita ini sahabat dan di antara sahabat baik tidak ada istilah tolong-menolong? Apa yang kulakukan untukmu itu adalah wajar saja di antara sahabat. Dan andai kata aku yang menderita seperti engkau, apakah engkau tidak mau menolongku juga?”
Jawaban yang sederhana dan jujur ini membuat Ciang Bun merasa amat terharu dan semakin suka kepada pemuda ini. Dan diam-diam dia pun mengeluh. Penyakit lamanya telah kambuh dan kini semakin hebat! Selama ini, sudah tiga kali dia tertarik kepada pria, bukan hanya tertarik biasa sebagai teman, melainkan tertarik seperti orang jatuh cinta yang mengandung gairah!
Pertama adalah kepada Kao Cin Liong, walau pun pada waktu itu dia belum dewasa benar dan rasa sukanya kepada Cin Liong disertai kekaguman akan kelihaian pemuda itu dan juga rasa akrab sebagai seorang kekasih enci-nya. Kemudian dia pun jatuh cinta kepada Liu Lee Siang, pemuda Pulau Nelayan itu walau pun pada waktu itu dia masih belum sadar benar akan kelainan pada dirinya. Akan tetapi yang ke tiga kali ini, dia merasa betapa dia benar-benar jatuh cinta kepada Ganggananda!
Sekarang dia menyadari benar keadaan dirinya, bahkan selama ini dia sudah berusaha dengan segala kekuatan batinnya untuk melawan hasrat dan kecondongan hati yang tidak seperti pria pada umumnya itu. Kini dia merasa betapa seluruh batinnya mencintai Gangga, dan timbul hasrat untuk berdekatan, sedekat mungkin, untuk melindungi, untuk bergantung.
Ada suatu kemesraan di dalam batinnya terhadap Gangga dan segala gerak-gerik pemuda ini amat manis dalam pandang matanya, amat gagah, baik dan membuatnya tidak ingin berjauhan, tidak ingin berpisah lagi.
"Tenanglah, Ciang Bun, tenanglah. Engkau berada di rumah Gu-sinshe, seorang tabib kenamaan di kota raja."
"Ohhh....!"
Ciang Bun teringat dan meraba dadanya. Dadanya terasa sesak dan perutnya mual. Muak rasanya bau amis itu dan dia menahan diri agar tidak muntah. Ganggananda duduk di dekatnya dan dia rebah di atas pembaringan.
“Bagaimana rasanya, Ciang Bun?” pemuda remaja itu bertanya dengan nada suara khawatir.
Ciang Bun teringat, memandang wajah tampan itu dan memaksa tersenyum. “Nanda, engkau seorang sahabat baru, namun ternyata engkau telah menyelamatkan nyawaku. Aku berhutang nyawa padamu, adik Nanda.”
“Sudahlah, tak perlu bicara tentang hutang-pihutang. Yang penting sekarang ini adalah menyembuhkanmu dari luka dalam penuh hawa beracun itu.”
“Hawa beracun? Di tubuhku? Ahhh, aku merasa dada sebelah kanan kadang-kadang panas kadang-kadang dingin dan ada rasa muak, bau amis....”
“Itulah! Menurut Gu-sinshe, engkau terkena pukulan beracun yang amat berbahaya.”
“Mana dia sekarang?”
“Dia sedang mengundang seorang hwesio tua ahli racun untuk datang memeriksamu.”
Ciang Bun merasa heran. Ia juga pernah mendengar nama Gu-sinshe sebagai seorang tabib yang pandai, bahkan kabarnya kadang-kadang tabib ini dipanggil ke istana kaisar untuk memberi pengobatan dan pemeriksaan. Bagaimana sekarang tabib itu demikian memperhatikan dia, bahkan mengundang seorang ahli untuk memeriksanya?
“Nanda, apakah engkau mengenal baik tabib itu sehingga dia mau memperhatikan aku seperti ini?”
Ganggananda tersenyum dan jantung Ciang Bun berdebar kencang. Dia pun terpaksa membuang muka karena senyum pemuda remaja itu seperti mencengkeram jantungnya dan membuatnya merasa aneh. Dia teringat bahwa beginilah perasaannya ketika dulu dia dicium oleh Liu Lee Siang ketika pemuda itu mengajarnya menolong orang yang tenggelam atau kecelakaan di air.
“Ciang Bun, aku bingung saat membawamu ke darat. Engkau pingsan terus dan segala usahaku untuk menyadarkanmu gagal. Maka terpaksa kau kubawa ke sini dan karena aku tahu bahwa seorang tabib terkenal tidak sembarangan mau mencurahkan perhatian kepada orang biasa, aku pun lalu berkata bahwa engkau adalah seorang anggota keluarga Suma dari Pulau Es. Benar saja dugaanku, mendengar ini dia tergopoh-gopoh memeriksamu dengan teliti, kemudian bahkan dia keluar untuk mengundang seorang hwesio kenalannya yang ahli tentang pukulan beracun.”
“Ahh....! Berapa lama aku pingsan?”
“Dua hari dua malam! Baru sekarang siuman, itu pun setelah diberi obat tusuk jarum dan macam-macam oleh Gu-sinshe. Nah, menurut pesan Gu-sinshe, jika engkau sudah sadar, aku harus menyuapimu dengan bubur encer ini. Makanlah.” Dan Ganggananda lalu menyuapkan sesendok bubur.
“Biar kumakan sendiri....!” Ciang Bun hendak bangun, akan tetapi kepalanya seperti terputar-putar rasanya sehingga dia harus memejamkan mata kembali dan terpaksa merebahkan diri lagi.
“Nah, jangan rewel, biar kusuapkan. Makanlah.”
Baru habis beberapa suap, Ciang Bun tidak mau lagi. “Rasanya semakin mual dan hendak muntah....”
Tiba-tiba seorang kakek masuk ke dalam kamar itu. Ciang Bun memandang dengan mata yang agak kabur. Seorang kakek berpakaian sasterawan yang tubuhnya jangkung kurus dan melihat pakaiannya dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu Gu-sinshe. Orang kedua adalah seorang hwesio gendut yang mukanya riang dan selalu tersenyum, matanya lebar dan tajam.
“Inikah Suma-taihiap yang terkena pukulan beracun?” kata hwesio itu. “Ahhh, untung taihiap memiliki tubuh yang kuat. Mudah-mudahan pinceng dapat menemukan racun apa yang sudah digunakan orang untuk memukul taihiap sehingga sahabatku ini dapat memberikan obatnya yang tepat.”
“Terima kasih, locianpwe....,” kata Ciang Bun.
Hwesio itu lalu membuka baju Ciang Bun, dibantu oleh Ganggananda. Dia kemudian memeriksa seluruh tubuh Ciang Bun bagian atas, memijat sana-sini, menepuk sana-sini dan berkali-kali dia menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. “Taihiap, bagai mana rasanya kalau sebelah sini kutekan seperti ini?” Dan hwesio itu menekan dada kanan.
Ciang Bun menggigit bibirnya. “Rasanya perih dan panas.”
“Dan taihiap mencium sesuatu?”
“Amis.... mau muntah....”
“Omitohud....! Tak salah lagi, taihiap terkena pukulan yang mengandung hawa racun katak buduk!”
“Ehh, apakah itu? Aku belum pernah mendengarnya, dan apa obatnya?”
Hwesio itu menggelengkan kepala. “Masih untung bahwa, seperti menurut ceritamu tadi, Sinshe, Suma-taihiap sudah diselamatkan oleh sahabatnya yang membawanya ke sini. Terlambat akan celaka. Dan kalau dalam waktu tiga hari dia tidak memperoleh obatnya yang tepat, kurasa tidak akan ada obat yang dapat menolongnya lagi.”
“Apakah obat itu? Dan di mana obat itu bisa aku dapatkan?” Ganggananda bertanya dengan lantang dan tak sabar.
“Obatnya hanya terdapat di tepi Sungai Huang-ho, akan tetapi pernah pinceng melihat katak buduk hitam di dalam rawa di sebelah utara kota raja yang serupa dengan katak-katak di Sungai Huang-ho itu. Katak buduk berkulit hitam yang matanya merah. Nah, kalau bisa didapatkan belasan ekor saja anak katak buduk itu, tentu Suma-taihiap ini akan dapat disembuhkan dari pengaruh racun pukulan Hoa-mo-kang.”
“Biar aku pergi mencarinya! Tunjukkan dan gambarkan di mana rawa itu, locianpwe.” kata Ganggananda.
Hwesio itu sejenak memandang wajah pemuda remaja itu dan menarik napas panjang. “Omitohud, anda seorang pemuda yang baik sekali dan amat setia kawan. Akan tetapi, rawa itu terlalu jauh. Dengan menunggang kuda yang paling cepat pun, belum tentu akan dapat dilakukan pulang pergi selama tiga hari. Belum lagi waktu mencari anak katak itu....”
“Tapi aku dapat melakukannya, locianpwe!” kata Ganggananda penuh semangat.
Gu-sinshe menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang putih jarang. “Bagai mana caranya, orang muda? Apa yang dapat berlari lebih cepat dari pada seekor kuda yang baik?”
“Aku dapat, Sinshe. Lariku lebih cepat dari kuda. Lekas gambarkan di mana rawa itu dan bagaimana aku harus mencari anak-anak katak itu dan aku akan segera lari ke sana.”
Dua orang kakek itu saling pandang dan menggerakkan pundak seolah-olah tidak percaya kepada Ganggananda akan tetapi karena tidak ada jalan lain, si hwesio lalu menggambarkan di mana letak rawa-rawa di sebelah utara di luar tembok kota raja itu. Ternyata tempat itu memang amat jauh, naik turun gunung dan sudah dekat dengan Tembok Besar. Sesudah memperoleh keterangan lengkap, Ganggananda merenggut buntalan pakaiannya.
“Aku pergi sekarang juga. Kau tunggulah aku, Ciang Bun!” Dan sekali berkelebat, pemuda itu pun lenyap dari dalam ruangan itu.
Mereka semua hanya melihat bayangan berkelebat lenyap seakan-akan pemuda itu dapat menghilang dan merubah dirinya menjadi asap. Saking heran dan kagumnya, dua orang kakek itu lari ke jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Dan mereka melihat sebuah titik hitam bergerak cepat jauh di depan dan sebentar saja lenyap. Mereka kembali saling pandang dan hwesio itu berbisik.
“Sinshe, hebat sekali orang muda itu, dan makin percayalah aku bahwa pendekar yang terluka itu memang benar keturunan para pendekar Pulau Es.”
Sementara itu, Ganggananda berlari cepat. Tidak mengherankan kalau dia dapat berlari secepat itu karena Ganggananda ini, seperti para pembaca tentu sudah dapat menduganya, adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri dari Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi!
Dara yang kini sudah berusia tujuh belas tahun ini memang suka sekali berkelana. Sudah sering ia meninggalkan Bhutan, menjelajahi hutan-hutan dan pegunungan di sekitarnya sehingga kadang-kadang orang tuanya menjadi gelisah dan mencari-carinya. Akan tetapi kesukaannya ini tidak pernah berkurang dan akhirnya, jalan satu-satunya untuk menenteramkan hati mereka, ayah dan ibu ini lalu menggembleng puteri mereka, menurunkan semua ilmu mereka agar puteri mereka menjadi seorang gadis yang tangguh dan cukup kuat untuk menjadi bekal pembela diri dalam perantauannya.
Wan Tek Hoat pendekar sakti yang di waktu mudanya pernah mempunyai julukan Si jari Maut mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang tinggi. Juga Syanti Dewi mengajarkan ilmu ginkang-nya yang hebat, yang dahulu dipelajarinya dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hwi.
Setelah menguasai banyak ilmu, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee pergi berangkat merantau menuju dunia timur (Tiongkok), yaitu negara tempat asal ayahnya. Sejak usia belasan tahun, ketika mulai gemar merantau, Hong Bwee suka menyamar sebagai pria dan ia memakai nama Ganggananda. Hal ini pun dianjurkan oleh orang tuanya yang berpendapat bahwa sebagai pria, tentu puteri mereka tidak terlalu banyak menghadapi gangguan di waktu melakukan perjalanan seorang diri.
Dari seorang kakek pemain sandiwara di istana Raja Bhutan, Hong Bwee juga sudah mempelajari cara berhias dan menyamar sebagai pria sehingga ia dapat membuat kulit mukanya nampak kasar. Bahkan ia dapat menambah alisnya menjadi tebal dengan alis tempelan namun sama sekali tidak kentara kepalsuannya.
Demikianlah, dengan bekal semua kepandaian ini, dara yang sejak kecil digembleng bu (ilmu silat) dan bun (ilmu sastera) oleh orang tuanya itu, berangkat merantau sampai ia bertemu dengan Ciang Bun. Selain dibekali kepandaian, juga ia fasih berbahasa Han walau pun agak asing terdengarnya, dan dia pun sudah banyak mendengar cerita ayah ibunya tentang para tokoh dunia persilatan, baik para pendekar mau pun para datuk sesat. Hal ini perlu diketahui agar ia dapat bersikap hati-hati kalau bertemu dengan para tokoh itu.
Raja Bhutan sendiri dan para pembesar tadinya merasa tidak setuju dan tidak rela melihat Hong Bwee yang mereka sayang itu, sebagai seorang gadis dewasa, pergi merantau sendiri sejauh itu. Akan tetapi, Syanti Dewi dan Tek Hoat menenangkan hati mereka. Syanti Dewi mengingatkan bahwa dia sendiri pada waktu masih gadisnya juga meninggalkan Bhutan dan merantau ke timur. Ada pun Tek Hoat sendiri adalah seorang pendekar yang suka merantau, tentu saja tidak berkeberatan akan kesukaan puterinya.
Di samping itu juga, bagaimana akan dapat mencegah kehendak Hong Bwee? Anak ini memiliki kekerasan hati melebihi ibunya, tidak mungkin kehendaknya dihalangi. Tidak mungkin merantainya di rumah. Kalau dihalangi tentu gadis itu malah akan minggat dan hal ini jauh lebih buruk dari pada jika gadis itu berangkat merantau dengan restu orang tuanya.
Biar pun demikian, diam-diam Raja Bhutan mengutus beberapa orang pengawal pilihan untuk membayangi dan melindungi gadis itu. Sialnya, tidak ada seorang pun di antara para pengawal itu yang mampu menandingi kecepatan lari Hong Bwee sehingga dalam waktu beberapa hari saja mereka sudah kehilangan jejak dan tertinggal jauh. Terpaksa mereka melanjutkan perjalanan ke timur dan mencari-cari karena mereka tidak tahu ke mana tujuan perjalanan gadis itu.
Demikianlah, dengan menyamar sebagai pria, Hong Bwee tiba di kota raja. Ia merasa gembira sekali melihat kota raja yang besar, megah dan indah itu, jauh lebih besar dan lebih indah dari pada kota raja Bhutan. Ketika ia bertemu dengan Suma Ciang Bun, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menarik perhatiannya. Baru dara ini mengerti bahwa ada suatu persamaan atau kemiripan pada diri pemuda ini dengan Ceng Liong sehingga menarik perhatiannya ketika ia mendengar bahwa Ciang Bun adalah saudara sepupu Ceng Liong.
Mendengar bahwa Suma Ciang Bun ialah saudara sepupu Ceng Liong, hatinya merasa hangat dan tertarik. Bagaimana pun, ada hubungan akrab antara ibunya dan keluarga Pulau Es sehingga ia merasa seperti bertemu sahabat lama atau sanak keluarga ketika berjumpa dengan Ciang Bun.
Kini ia mengerahkan semua tenaga dan ilmunya berlari cepat untuk menyelamatkan nyawa pemuda itu. Ia harus dapat mencari dan menemukan katak-katak buduk hitam dalam waktu tiga hari. Menurut perhitungannya setelah mendengar penjelasan hwesio ahli racun, kalau ia berlari cepat, dalam waktu sehari tentu ia akan dapat tiba di rawa yang dimaksudkan itu. Ia harus dapat menemukan obat itu. Ngeri ia membayangkan betapa pemuda yang tampan, pendiam dan halus lagi gagah perkasa dan pandai bersajak itu akan mati konyol keracunan.
Ilmu berlari cepat Jouw-sang Hui-teng (Terbang Di Atas Rumput) dari Wan Hong Bwee memang hebat sekali. Tubuhnya ringan dan ia dapat berlari bagaikan terbang saja, dan dalam waktu sehari lebih, hanya berhenti untuk makan roti bekal dan minum air, ia telah tiba di tepi rawa.
Akan tetapi, hari telah malam dan cuaca gelap sekali. Tak mungkin dapat mencari katak buduk pada waktu malam gelap itu. Menurut keterangan hwesio ahli racun, katak-katak buduk hitam itu berkeliaran di waktu malam mencari mangsa. Berbeda dari katak-katak biasa yang makan serangga biasa seperti semut, nyamuk dan sebagainya, katak buduk hitam mencari makanan serangga berbisa dan suka sekali makan binatang berbisa seperti kelabang, kalajengking, bahkan ular-ular kecil yang berbisa. Hebatnya, katak ini tidak takut terhadap ular besar!
Menurut hwesio itu, sukar menangkap anak-anak katak di waktu malam karena selain katak-katak besar itu berkeliaran, juga amat berbahaya menangkap katak besar. Anak anaknya di waktu malam bersembunyi di dalam goa-goa kecil atau celah-celah batu, sukar ditemukan. Waktu yang tepat untuk menangkap adalah pada pagi hari di waktu induk-induk katak memberi makan anak-anaknya di tepi rawa. Caranya adalah dengan memberinya makanan yang dimuntahkan dari perutnya.
Karena itulah, Hong Bwee lalu mencari tempat yang kering dan enak untuk melewatkan malam, tak jauh dari rawa itu. Ia mengumpulkan rumput kering, menumpuknya di bawah sebatang pohon. Kemudian ia mencari kayu kering dan membuat api unggun, bukan untuk melawan dingin karena tubuhnya yang terlatih itu mampu menahan hawa dingin mau pun panas, melainkan untuk mengusir nyamuk. Memang ia dapat melindungi tubuhnya dari gigitan nyamuk, akan tetapi bunyi nyamuk di sekitar telinga sungguh amat mengganggu dan membuatnya tidak dapat mengaso enak. Api unggun akan membuat nyamuk-nyamuk itu menjauhkan diri karena panas dan asap.
Akan tetapi, baru saja api unggun itu jadi, tiba-tiba ada angin menyambar kuat dan nyala api itu padam! Padamnya api membuat bara api pada kayu-kayu itu mengeluarkan asap yang memedihkan mata. Akan tetapi Hong Bwee segera maklum bahwa angin yang menyambar tadi bukanlah angin biasa, melainkan angin pukulan yang datangnya dari arah kiri, maka ia terkejut sekali dan cepat meloncat ke arah tempat itu. Dan benar saja, di dalam cuaca remang-remang yang hanya diterangi oleh jutaan bintang di langit, ia melihat sesosok tubuh seorang wanita tua yang agak bongkok.
“Engkaukah yang tadi memadamkan api unggunku?” tanya Hong Bwee ragu-ragu karena ia tidak tahu pasti apakah benar nenek bongkok ini yang memadamkan api dari jauh menggunakan angin pukulannya.
Nenek itu agaknya melihat kelincahan Hong Bwee ketika meloncat, maka ia pun berkata dengan suara membela diri, “Api itu akan menakutkan ular dan katak!”
Disebutnya katak membuat hati dara ini tertarik sekali. Ia mendekat, namun sikapnya waspada dan ternyata nenek itu menyembunyikan sebuah teng (lampu minyak) yang tertutup kertas tipis merah sehingga lampu itu mengeluarkan cahaya kemerahan yang cukup menerangi wajah nenek itu ketika ia mengeluarkan lampu dari balik tubuhnya. Kini Hong Bwee dapat melihat bahwa biar pun tubuhnya agak bongkok, ternyata wajah nenek ini menunjukkan tanda-tanda bahwa dahulu di waktu muda ia tentu memiliki wajah yang cantik. Juga pakaiannya bersih dan rapi, rambutnya disisir rapi.
“Nenek yang baik, apa maksudmu dengan ular dan katak?”
“Hi-hik,” nenek itu terkekeh. “Engkau melakukan perjalanan seorang diri dan berani tidur di tepi rawa, tentu engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian lumayan. Akan tetapi pernahkah engkau melihat betapa ular besar dibunuh seekor katak? Aku sedang mengintai seekor ular besar dan tiba-tiba engkau di sini membuat api unggun. Tentu saja ular dan kataknya akan ketakutan dan mana mungkin aku dapat menangkap ular itu?”
“Ahh, maafkan aku, nek. Aku ingin sekali melihat engkau menangkap ular.”
Hati Hong Bwee tertarik sekali karena dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang kang-ouw yang aneh dan berkepandaian tinggi. Hal ini terbukti dari keanehan sikap, bicara dan perbuatannya seperti ketika dia memadamkan api unggun tadi.
“Kau mau nonton? Heh-heh-heh, boleh sekali. Mari ikut aku.” Nenek itu membalikkan tubuhnya dan berjalan berindap-indap. Hong Bwee yang merasa tertarik sekali segera mendekati dan berjalan di dekat nenek itu.
“Engkau melarang aku membuat api unggun, akan tetapi engkau sendiri membawa lentera, apakah sinar lenteramu itu tidak akan menakutkan ular dan katak?”
“Heh-heh-heh, lentera ini merah, tidak akan menakutkan mereka. Sssttt.... sekarang diamlah....”
Nenek itu mendekati batu-batu besar di mana terdapat celah-celah dan ia mengeluarkan sebuah kantung hitam dari punggunguya, di mana tergantung buntalan besar. Kantong ini bergerak-gerak, tanda bahwa di dalamnya terdapat sesuatu yang bernyawa. Ketika nenek itu meneteskan arak dari sebuah guci ke mulut kantong hitam, terdengarlah bunyi “kok-kok-kok” keras sekali sehingga mengejutkan hati Hong Bwee.
Akan tetapi karena nenek ini sudah memberi tahu agar diam, Hong Bwee tidak berani membuka mulut, hanya memandang penuh perhatian. Ia menujukan pandang matanya ke arah mata nenek itu memandang, yaitu ke arah sebuah celah besar di antara batu-batu hitam.
Dan tiba-tiba saja terdengar bunyi berdesis, mula-mula perlahan, makin lama semakin nyaring dan akhirnya dari celah-celah batu itu tersembul keluar sebuah kepala ular yang besarnya sekepalan tangan. Kembali nenek itu meneteskan arak dan kembali terdengar suara “kok-kok-kok” berkali-kali. Agaknya suara inilah yang menarik perhatian ular itu. Binatang itu kini keluar dari dalam celah batu dan ternyata tubuhnya sebesar betis orang dan panjangnya ada enam tujuh kaki! Seekor ular kembang yang besar dan agaknya lapar.
Dengan tangan kanannya, nenek itu memungut sebuah batu dan sekali tangan terayun, batu itu meluncur dan memasuki celah tadi, menutupnya. Bidikannya demikian tepat sehingga kembali Hong Bwee menyadari bahwa nenek ini memang lihai. Dan kini nenek itu membuka mulut kantong hitam dan melemparkan isinya ke arah sang ular.
Kiranya isi kantong itu adalah seekor katak buduk hitam yang besarnya tiga empat kali katak biasa. Akan tetapi dibandingkan dengan ular itu, katak ini tentu saja amat kecil dan sekali caplok tentu ular itu akan dapat melahapnya. Lemparan nenek itu tepat pula. Katak terlempar dan terbanting ke atas kepala ular, membuat kedua binatang itu terkejut dan segera bersiap siaga ketika saling berhadapan. Agaknya sang ular menganggap bahwa ia memperoleh mangsa, sebaliknya katak itu merasa berhadapan dengan seekor binatang yang menjadi musuh besarnya.
Hong Bwee semakin tertarik. Ia tahu bahwa katak adalah satu di antara binatang yang menjadi makanan ular. Akan tetapi ia sudah mendengar dari hwesio itu bahwa katak buduk hitam demikian berbahaya dan lihainya sehingga berani melawan seekor ular besar. Agaknya kini secara kebetulan ia akan menyaksikan pertunjukan yang tak masuk akal itu.
Ular itu memandang dengan mata beringas, mengangkat kepalanya dan mendesis-desis, agaknya marah melihat sikap katak yang menantang. Memang katak itu bersikap menantang, tubuhnya merendah, perutnya menempel tanah dan dari lehernya keluar bunyi “kok-kok-kok!” nyaring sekali. Semua ini dapat dilihat jelas oleh Hong Bwee, di bawah cahaya lentera merah yang agaknya tidak mengganggu kedua ekor binatang yang sedang berlagak itu.
Tiba-tiba ular itu menyerang. Kepala yang diangkat itu bergerak meluncur ke depan dengan moncong terbuka, siap untuk mencaplok. Akan tetapi katak itu pun tiba-tiba menggunakan kaki belakangnya yang besar dan kuat, mengenjot tubuhnya menubruk ke depan, menyambut kepala ular dari samping dengan tak kalah cepat dan kuatnya.
“Plokkk!”
Tubuh bagian atas ular itu terpental dan ular itu kembali mengangkat kepala dan leher, menggoyang-goyang kepala seperti mengusir rasa pening. Lalu dia mendesis dan menyerang lagi. Kepalanya meluncur ke depan dengan moncong dibuka lebar hendak mencaplok ke arah katak. Katak itu meloncat ke samping mengelak dan tiba-tiba saja ia sudah melompat ke atas kepala ular itu dan menggigitnya.
“Bagus!” Ganggananda memuji kagum.
Akan tetapi ketika ular itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk melepaskan diri dari terkaman katak tanpa hasil, ia menggerakkan ekornya menghantam dari atas ke arah katak di kepalanya. Katak itu amat cekatan dan cerdik sekali, cepat mengelak dengan lompatan ke bawah.
“Tarrr!”
Ekor ular itu melecut kepalanya sendiri! Kepalanya sudah terluka oleh gigitan katak, kini masih dicambuknya sendiri membuat binatang itu merasa kesakitan dan makin marah. Ia pun menyerang lagi dengan ganasnya. Serangan ini disambut oleh katak buduk hitam dengan suara “kok-kok-kok!” dari mulutnya dan keluarlah uap hitam disemburkan ke depan.
Agaknya sang ular kebal terhadap racun katak, akan tetapi matanya terkena uap hitam, sehingga menjadi nyeri dan ia pun menggoyang kepala dengan gelisah. Kesempatan ini digunakan oleh katak hitam untuk meloncat dan menerkam lagi kepala ular, menggigit tengkuk yang agaknya menjadi sumber utama kekuatan ular. Ular itu mencoba untuk melepaskan diri dari gigitan. Akan tetapi tenaganya semakin lemah dan tubuhnya berkelojotan.
Tiba-tiba nenek itu menggerakkan tangannya dan kantong hitamnya sudah menubruk katak dan kepala ular. Sekali tangan kirinya dibacokkan miring ke arah leher ular, terdengar suara keras dan leher itu pun hancur dan putus! Dan kini kepala ular dan katak itu sudah masuk kantong yang mulutnya cepat diikatnya kembali. Katak buduk hitam bergerak-gerak di dalam kantong, lalu terdengar suara katak berkokok disusul suara berkerotokan seolah-olah katak itu sedang menggerogoti tulang kepala ular. Ganggananda bergidik ngeri.
Nenek itu menyimpan kantongnya dalam buntalan, lalu menusuk ekor bangkai ular dengan kayu yang ditancapkan pada akar pohon. Direntangnya bangkai itu dan ia pun merobek perut ular menggunakan kuku jari telunjuknya dan semua isi perut ular itu pun dikeluarkan. Ganggananda memandang heran.
Nenek itu mengangkat muka memandang dan terkekeh. “Apakah engkau tidak merasa lapar, orang muda?”
“Kalau lapar mengapa, nek?” Ganggananda bertanya, tertegun mendengar pertanyaan aneh itu.
“Hi-hik, orang muda yang bodoh. Ular ini adalah ular kembang. Dagingnya gurih dan manis, pula menguatkan otot-otot kaki, berguna bagi perantau-perantau seperti kita yang suka berjalan kaki dan melakukan perjalanan jauh. Nah, sekarang buatlah api unggun, biar kupanggang daging ini dan nanti kita makan sambil bercakap-cakap.”
Ganggananda dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang nenek yang luar biasa dan berilmu tinggi, dan yang dia yakin tentu tahu banyak tentang katak buduk hitam yang amat dibutuhkan itu. Maka dia pun tidak mau membantah. Nenek ini harus dibaiki, pikirnya, sehingga dia tentu dapat mengharapkan bantuan nenek ini untuk memperoleh obat bagi Ciang Bun.
Segera dia membuat api unggun yang cukup besar, bahkan membantu nenek itu ketika mulai memanggang daging ular yang sudah dikuliti dan dipotong-potong itu. Ternyata dagingnya putih bersih dan ketika dipanggang terciumlah bau sedap, apalagi karena nenek itu agaknya sudah membawa bekal bumbu. Terciumlah bawang dan garam yang membuat daging itu berbau sedap.
Ketika nenek itu mengajak Ganggananda makan, gadis yang menyamar pemuda ini pun tidak menolak. Dan ternyata bahwa memang daging ular panggang itu lezat sekali! Nenek itu pun mengeluarkan seguci arak sehingga lengkaplah kini hidangan mereka. Tanpa banyak cakap mereka makan dan nenek itu lahap sekali. Daging panggang itu diganyangnya panas-panas.
Setelah daging ular itu habis, barulah nenek itu bicara. “Orang muda, engkau seorang diri saja di tempat sunyi yang amat berbahaya ini, sebetulnya bermaksud apakah?”
“Nenek yang baik, memang ada kepentingan yang amat mendesak sehingga aku berada di tepi rawa ini, dan pertemuanku denganmu ini sungguh menggembirakan karena aku yakin bahwa engkau akan dapat membantuku sehingga aku akan berhasil dalam tugasku.”
Nenek itu mengerutkan alisnya dan terkena cahaya api unggun, wajahnya nampak kemerahan. Akan tetapi wajah itu tidak mengerikan, bahkan sebaliknya, wajah itu jelas membayangkan bahwa nenek itu amat cantik di waktu mudanya. “Kepentingan? Tugas? Tugas apakah itu yang membawamu ke tepi rawa ini?”
“Aku harus mencarikan obat untuk orang yang keracunan pukulan Hoa-mo-kang....”
“Ihh! Su-ok sudah lama mampus dan pukulan jahat itu dibawanya mati. Siapa yang mampu melukai orang dengan pukulan Hoa-mo-kang?”
“Entahlah. Pokoknya, seorang sahabat baikku sudah terkena pukulan itu dan menurut keterangan tabib yang ahli, obatnya harus dicari di tempat ini.”
“Katak buduk hitam?”
“Benar, nek, karena itu aku mengharapkan bantuanmu.”
“Engkau takkan berhasil!”
“Kenapa tidak? Menurut keterangan ahli itu, besok pagi aku akan dapat menangkap anak-anak katak di tepi rawa, ketika sedang diberi makan induknya.”
“Hi-hik, engkau tolol!”
Ganggananda mengerutkan alisnya, akan tetapi dia menahan kemarahannya. “Hemm, mungkin juga, akan tetapi mengapa engkau menyebutku tolol? Dalam hal apa?”
“Engkau takkan berhasil, tidak mungkin berhasil karena kini belum waktunya terdapat anak-anak katak. Tiga bulan lagi mungkin ada karena sekarang belum waktunya katak-katak itu bertelur. Yang ada hanyalah katak-katak buduk hitam besar dan engkau takkan mampu menangkap mereka.”
“Ahh....!” Ganggananda terkejut dan bingung, mukanya berubah pucat. “Lalu bagaimana baiknya? Sahabatku itu akan mati kalau selama tiga hari tidak memperoleh obat itu, nek.”
“Mengobati pukulan beracun Hoa-mo-kang dengan anak-anak katak memang tepat dan manjur sekali, akan tetapi tidak praktis. Aku mempunyai pel-pel racun katak buduk yang jauh lebih mudah ditelan, juga hanya menelan berturut-turut tiga butir saja sudah akan menyembuhkan, tak perlu menghancurkan belasan ekor anak katak untuk diminumkan airnya. Ihh, kejam membunuhi begitu banyak anak katak.”
“Nenek yang baik, kau tolonglah aku. Tolonglah sahabatku itu dan aku mohon kau suka memberi pel-pel itu kepadaku.”
Nenek itu memandang tajam. “Hemm, di dunia ini memang harus tolong-menolong. Kalau menolong sepihak saja tentu tidak mungkin. Aku mau menolongmu, akan tetapi ada syarat-syaratnya, orang muda.”
“Apa syarat-syarat itu, nek?”
“Pertama, engkau harus dapat mengalahkan aku, dan ke dua engkau harus dapat membantuku menghadapi musuh besarku.”
Ganggananda mengerutkan alisnya. Menandingi nenek ini merupakan hal yang berat, karena dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu lihai sekali. “Nek, untuk menghadapi musuh bersama, aku mau membantu asal kau katakan terlebih dulu mengapa engkau memusuhinya. Akan tetapi apa perlunya aku harus menandingimu lebih dulu?”
“Heh-heh, kalau mengalahkan aku saja engkau tidak mampu, lalu apa perlunya engkau membantuku? Musuhku itu jauh lebih lihai dari pada aku. Kalau aku sendiri mampu mengalahkannya, apa perlunya minta bantuan orang lain?”
“Ah, begitukah?” Jantung Ganggananda berdebar tegang.
Nenek ini saja dia duga tentu sudah amat lihai, kalau musuhnya itu lebih lihai, wah, tugasnya sungguh tidak ringan. “Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengira bahwa aku memiliki kepandaian silat, nek? Aku hanya seorang perantau yang tidak berilmu, mana bisa menandingimu?”
“Heh-heh, orang muda, jangan engkau mencoba untuk membodohi aku. Seorang muda seperti engkau ini sudah berani melakukan perjalanan jauh seorang diri, apalagi berani bermalam di tepi rawa berbahaya ini seorang diri, bahkan bertugas mencari katak buduk hitam, mana mungkin berani kalau tidak memiliki kepandaian lihai?”
“Mungkin aku pernah melakukan sedikit latihan silat, akan tetapi bagaimana akan dapat menandingimu? Engkau yang selihai ini saja tak mampu mengalahkan musuh besarmu itu, apalagi aku. Sudahlah, nek, lebih baik engkau berbaik hati memberi pel obat itu kepadaku dan hal itu berarti engkau telah berjasa besar menyelamatkan nyawa orang dari cengkeraman maut.”
“Enak saja kau bicara. Orang hidup harus saling menolong! Sebetulnya, dalam ilmu silat dan tenaga, aku tidak kalah oleh musuhku itu, hanya aku kewalahan dan selalu kalah karena dia memiliki ginkang yang amat tinggi. Dia terlampau cepat bagiku.”
“Ginkang?” Ganggananda bertanya dan sinar harapan muncul di dalam hatinya. “Jadi aku harus memiliki ginkang yang lebih tinggi darinya?”
“Setidaknya, harus setingkat agar engkau mampu membantuku.”
Ganggananda mengangguk. “Baiklah, nek, aku hendak mencoba. Bagaimana kalau kita berlomba memetik bunga putih di puncak pohon di depan itu?”
Biar pun malam itu hanya diterangi sinar bintang-bintang yang remang-remang, akan tetapi bunga-bunga putih bergerombol di puncak pohon tinggi di depan itu mudah dilihat karena menyolok warna putihnya di antara daun-daun yang nampak hitam.
Nenek itu mengangkat muka memandang. “Setinggi itu? Kita berlomba memanjat dan memetiknya?”
“Dengan ginkang, tentu akan dapat dilakukan dengan cepat, berloncatan dari cabang ke cabang.”
“Baik, nah, mari kita siap. Aku menghitung sampai tiga dan kita berlomba.” Nenek itu berkata dengan suara girang karena ia mulai memperoleh harapan. Kalau pemuda ini sanggup bertanding ginkang, berarti pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi yang boleh diharapkan akan dapat membantunya sampai ia berhasil menghadapi lawannya yang tangguh.
Mereka berdiri dan nenek itu menghitung “Satu.... dua.... tiga....!”
Dan melesatlah tubuh nenek itu ke depan karena dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk meloncat dan berlari ke arah pohon itu. Ia hanya melihat bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu ia melihat pemuda itu sudah tiba di pohon, padahal ia sendiri masih jauh dari tempat itu.
Ketika ia melihat betapa tubuh pemuda itu berloncatan tinggi sekali, kemudian seperti burung terbang atau seekor tupai berloncatan dari cabang ke cabang, maklumlah dia bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat. Maka ia pun tidak melanjutkan larinya, melainkan menonton saja dari bawah, melihat betapa pemuda itu dengan cepat sekali telah memetik bunga, lalu dari atas meloncat turun, bahkan melayang tanpa melalui cabang-cabang pohon lagi ke atas tanah, hinggap di tanah sedemikian ringannya bagai sehelai daun kering melayang, kemudian melesat ke dekat api unggun kembali.
“Hebat.... engkau telah mengalahkan aku....!” Nenek itu berkata sambil berlari menyusul. Wajahnya berseri gembira. “Engkau.... kiranya engkau lihai sekali, engkau tentu akan dapat mengalahkan ginkang-nya! Engkau bantulah aku, orang muda, dan kalau aku sudah berhasil membunuhnya, engkau akan kuberi tiga butir pel racun katak buduk hitam untuk menyembuhkan sahabatmu.”
“Nanti dulu, nek. Aku bukan tukang pukul yang suka membantu orang membunuh orang lain begitu saja. Aku hanya mau membantu orang tertindas, bukan membantu orang melakukan kejahatan atau berbuat sewenang-wenang. Ceritakan dulu, siapakah musuh besarmu itu dan kenapa engkau hendak membunuhnya?”
“Aha, ternyata engkau berjiwa pendekar, ya? Bagus, memang aku mencari bantuan dari pendekar, bukan dari kaum sesat. Orang muda, siapakah namamu dan siapa gurumu maka engkau dapat memiliki ginkang yang sedemikian hebatnya?”
“Namaku Ganggananda, nek.”
“Ha, orang Nepal?”
“Bukan, orang Bhutan. Dan yang mengajarkan sedikit ilmu silat kepadaku adalah ayah bundaku sendiri,” kata Ganggananda cepat dan segera menyambungnya karena ia tidak suka banyak cerita tentang keluarganya, tidak suka diketahui orang bahwa ia adalah keluarga Raja Bhutan. “Sekarang ceritakanlah, nek, agar supaya aku dapat mengambil keputusan apakah aku akan membantumu atau tidak.”
“Baik, dengarkanlah ceritaku. Puluhan tahun yang lalu, ketika usiaku baru tiga puluh tahun lebih, aku hidup sebagai isteri seorang pendekar dan tinggal di selatan. Pada suatu hari datanglah seorang sahabat suamiku bertamu di rumah kami. Dia amat tampan dan gagah, pandai merayu dan aku pun jatuh oleh rayuannya.”
Nenek itu menarik napas panjang dan Ganggananda memandang penuh perhatian, merasa tertarik sekali. Tak disangkanya bahwa nenek ini mempunyai riwayat yang demikian romantis, akan tetapi juga penuh aib. Seorang isteri jatuh hati kepada sahabat suaminya sendiri?
“Aku jatuh hati benar olehnya dan lupa daratan sehingga aku pun rela menyerahkan diri kepadanya, menyambut uluran cintanya. Akhirnya, hal ini diketahui oleh suamiku. Kami tertangkap basah. Tentu saja suamiku marah dan sahabat itu diserangnya. Terjadilah perkelahian seru. Ilmu kepandaian sahabat itu amat tinggi dan kalau dia mau, dengan mudah dia akan dapat membunuh atau mengalahkan suamiku, akan tetapi sahabat itu juga seorang pendekar gagah. Dia merasa bersalah, maka dia pun hanya melindungi diri saja tanpa mau membalas. Melihat ini, aku berpikir. Kalau sampai aku harus kembali pada suamiku, tentu suamiku akan membenciku, bahkan mungkin akan membunuhku, setidaknya menceraikan aku. Sudah kepalang bermain air sampai basah, lebih baik menyelam saja sekali, pikirku. Maka aku pun membantu kekasihku itu dan karena kesalahan tangan, suamiku roboh dan tewas oleh sahabatnya. Inilah yang kukehendaki agar aku dapat terlepas dari suamiku dan selanjutnya hidup bersama pria yang telah menjatuhkan hatiku itu.”
Ganggananda mengerutkan alisnya. “Ahhh, engkau kejam terhadap suamimu, nek,” celanya.
“Tidak, bukan kejam. Sejak menikah, pilihan orang tua, aku tidak pernah cinta suamiku. Dan aku sudah jatuh hati kepada orang she Bu, sahabat suamiku itu. Dan aku pun bukan turun tangan membunuh suamiku, melainkan hanya membantu sahabat itu, terutama sekali untuk membuka mata suamiku bahwa aku berpihak kepada kekasihku, juga membuka mata kekasihku agar dia tahu bahwa aku bersedia membantunya dan ikut dengannya. Akan tetapi terjadi kesalahan tangan sehingga suamiku roboh dan tewas.”
“Hemm, lalu bagaimana?” Ganggananda bertanya tidak puas. Dia sudah memperoleh gambaran bahwa nenek ini dan orang she Bu itu keduanya adalah orang-orang yang tidak baik! “Setelah suamimu tewas, engkau lalu hidup bersama orang itu?”
Nenek itu mengepal tinju tangan kanannya dan mengacungkannya ke atas. “Itulah yang membuat aku sakit hati, mendendam dan harus membunuhnya! Dia menolakku. Dia merasa menyesal sekali telah kesalahan tangan membunuh suamiku dan dia bahkan menyalahkan aku, memaki aku bahwa akulah yang menyebabkan sahabatnya tewas!”
Diam-diam Ganggananda mentertawakan nenek itu dan dalam hatinya berbisik, “Puas! Rasakan engkau!” akan tetapi mulutnya diam saja.
“Aku telah memohon, membujuk dan menangis, akan tetapi tetap saja dia tidak mau menerimaku dan meninggalkan aku. Tentu saja aku merasa sakit hati sekali. Aku memperdalam ilmuku dan mencarinya, menyelidiki siapa sebenarnya kekasihku itu yang belum kukenal baik karena baru pertama kali itulah aku bertemu dengan dia. Kemudian aku mendengar bahwa kiranya dia itu memang seorang laki-laki yang terkenal sebagai tukang mempermainkan wanita! Dengan modal kegagahannya, ketampanannya dan kepandaiannya yang tinggi, dia merayu dan menjatuhkan hati banyak wanita, tidak peduli masih gadis, isteri orang, muda atau tua. Orang she Bu yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu ternyata adalah seorang perayu dan lelaki gila perempuan!”
Ganggananda tidak pernah mendengar nama Bu-taihiap ini dan hatinya sudah merasa semakin tidak suka kepada laki-laki itu. Kini dia pun dapat membayangkan bahwa bukan semata kesalahan nenek ini kalau sampai menyeleweng, akan tetapi terutama karena pandainya orang she Bu itu merayu wanita sehingga nenek ini pernah tergelincir.
“Aku berusaha menemuinya dan minta pertanggungan jawabnya. Aku hidup sebatang kara setelah suamiku meninggal dunia, dan hanya dia satu-satunya orang yang menjadi harapanku. Akan tetapi, dia tetap marah-marah kepadaku dan mengusirku. Aku bahkan berusaha untuk menyerangnya, akan tetapi selalu aku kalah olehnya.”
Ganggananda merasa bingung. Dia merasa tidak tahu bagaimana dia harus bersikap menghadapi urusan itu. Dia ingin mendengarkan terus.
“Puluhan tahun aku menekan dendam ini. Aku bertapa, berkelana mencari guru-guru dan belajar silat dengan tekun dan mati-matian sampai akhirnya aku bisa mengimbangi tingkat musuh besarku itu. Akan tetapi, aku masih kalah dalam ginkang sehingga masih sukarlah bagiku untuk mencapai kemenangan. Maka, aku minta bantuanmu.”
“Hemm, tidak begitu mudah, nek. Aku hanya memiliki waktu tiga hari untuk mengobati sahabatku, dan sekarang sudah lewat sehari. Tinggal dua hari lagi. Kalau terlambat, sahabatku akan tewas. Jadi waktuku untuk membantumu hanya ada sehari saja, karena pada hari ke tiga harus kupergunakan untuk berlari cepat kembali ke kota raja.”
“Cukup, engkau tidak akan terlambat kalau sekarang juga kita berangkat. Kebetulan musuhku itu berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini. Dia senang melakukan perjalanan dan si bedebah itu membawa ketiga orang isterinya!”
“Tiga....?”
“Itu yang resmi menurut penyelidikanku. Di mana-mana dia mempunyai kekasih yang ditinggalkan begitu saja seperti aku. Mereka itu tidak berdaya menuntut, tidak mampu melawan. Dan sampai sekarang pun, si tua bangka itu masih saja suka merayu dan mempermainkan wanita-wanita muda.”
“Dia tentu sudah tua sekali!”
“Sedikitnya enam puluh lima tahun usianya, akan tetapi dia masih.... gagah dan tampan. Marilah, mari kita berangkat. Pada besok pagi-pagi kita sudah dapat tiba di tempatnya.”
“Tapi obat itu....”
Nenek itu mengeluarkan tiga butir pel dari dalam sebuah botol. “Inilah obatnya, akan tetapi kusimpan dulu sampai selesai tugas kita. Mari!” Dan nenek itu pun sudah lari meninggalkan tempat itu, seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada Ganggananda untuk membantah lagi.
Dara yang menyamar pria ini terkejut. Satu-satunya harapan untuk bisa menyelamatkan nyawa Ciang Bun adalah nenek itu. Dia pun cepat menyambar buntalan pakaiannya dan meloncat, berlari mengejar. Karena memang ginkang dari Ganggananda amat hebat, sebentar saja nenek itu sudah tersusul. Mereka turun dari lembah dan perjalanan itu melalui tanah datar, menuju ke sebuah bukit yang banyak batu-batu besarnya.
Kini perjalanan mendaki dan agak sukar, dan karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang, cuaca suram muram, maka perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, tidak dapat berlari cepat lagi. Kesempatan ini digunakan oleh Ganggananda untuk mencari keterangan lebih lanjut.
Nenek itu memperkenalkan diri sebagai Gan Cui. Akan tetapi ketika ditanya tentang keadaan Bu-taihiap, ia tidak mau banyak bicara, hanya mengatakan bahwa Bu-taihiap adalah seorang laki-laki yang gila perempuan.
Kalau saja Ganggananda tahu siapa adanya Bu-taihiap, tentu dia akan terkejut sekali karena Bu-taihiap yang dianggap musuh besar oleh nenek Gan Cui sebetulnya adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi. Didalam Kisah ‘Suling Emas Naga Siluman’ banyak diceritakan tentang pendekar ini.
Bu-taihiap bernama Bu Seng Kin. Memang dia terkenal sebagai seorang pria yang ganteng, tampan dan gagah dan pandai sekali merayu wanita. Memang dia romantis sekali, dan tidak aneh kalau disebut gila perempuan karena dia jarang mau melepaskan kesempatan untuk menggoda dan merayu setiap kali bertemu wanita cantik. Entah berapa ratus wanita cantik yang sudah jatuh oleh rayuannya, menjadi kekasihnya.
Bahkan isterinya pun banyak, di antaranya yang terus mendampinginya sampai tua adalah Tang Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li, tokoh Lembah Suling Emas yang kini berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, karena nyonya ini tadinya adalah isteri seorang di antara tokoh keluarga Cu, yaitu mendiang Cu San Bu. Begitu bertemu dengan Bu-taihiap, nyonya ini pun dirayu dan jatuh. Dan akhirnya nyonya ini pun mencari Bu-taihiap dan ikut mendampinginya.
Ada pula yang bernama Gu Cui Bi, seorang nikouw! Nikouw yang sudah jatuh pula ini pun mendampingi suaminya yang bangor. Yang ke tiga adalah Nandini, seorang wanita Nepal, bukan sembarang orang karena wanita ini pernah menjadi panglima Nepal. Tiga orang isteri yang mendampinginya di hari tua ini rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Nenek Gan Cui adalah satu di antara ratusan orang wanita yang jatuh oleh rayuannya, kemudian ditinggalkannya begitu saja. Tidak mengherankan jika nenek itu tidak pernah berhasil membalas dendam, karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar sakti yang amat terkenal. Kalau dahulu di waktu mudanya Bu-taihiap tinggal di Puncak Merak Emas di Pegunungan Himalaya, kini ia lebih suka merantau di seluruh daratan bersama tiga orang isterinya. Karena mereka kini sudah tua, sudah rata-rata enam puluh tahun usianya, maka kalau mereka memperoleh tempat yang indah menyenangkan, mereka tinggal di tempat itu untuk sementara. Setelah bosan lalu berangkat merantau lagi.
Dan pada waktu itu, Bu-taihiap dan tiga orang isterinya tinggal untuk sementara di bukit berbatu-batu itu. Bukit itu puncaknya ternyata datar dan indah, penuh dengan pohon bunga yang aneh-aneh dan yang jarang terdapat di daerah lain. Di tempat ini Bu-taihiap membangun sebuah pondok kayu yang cukup besar dengan beberapa buah kamar untuk dirinya dan tiga orang isterinya.
"Nenek Gan, engkau sendiri yang begini pandai tidak mampu mengalahkan Bu-taihiap, lalu bagaimana seorang muda seperti aku akan mampu mengalahkannya. Aku harus tahu diri, dan kalau aku disuruh menghadapi seorang yang ilmunya jauh lebih tinggi dariku, bukaukah itu berarti aku akan mati konyol dan akan bunuh diri?”
“Heh-heh, aku tidak setolol itu. Aku sudah mengenal wataknya. Selain mata keranjang, manusia she Bu itu pun tinggi hati dan angkuh sekali. Dia tidak pernah mau kalah dalam ilmu kepandaian. Maka, aku akan menemuinya dan menantang kepadanya untuk mengadu ilmu ginkang. Karena ilmu itu merupakan andalan dan kebanggaannya, tentu dia dengan girang menerimanya dan aku akan mengajukan engkau sebagai jagoku. Dan kalau dia sampai kalah, heh-heh, selain dia harus memenuhi janji, juga dia akan malu setengah mati. Dia, Bu-taihiap jagoan terkenal itu, jagoan perempuan, akhirnya harus mengaku kalah oleh seorang wanita!”
Ganggananda terkejut sekali dan cepat ia agak menjauh dan menghentikan langkah, memandang nenek itu dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu, nek?”
“Hi-hik, antara kita sama-sama wanita, tentu engkau berpihak padaku dari pada laki-laki gila perempuan itu, bukan?”
“Bagaimana engkau bisa tahu, nek?” Ganggananda bertanya penasaran.
Selama ini, penyamarannya dapat dibilang sempurna sehingga belum pernah ada orang yang dapat mengenalnya sebagai wanita. Akan tetapi nenek ini yang sejak tadi tidak memperlihatkan sikap bahwa ia tahu akan keadaan dirinya, menyebutnya orang muda, bagaimana tiba-tiba kini mengatakan bahwa ia seorang wanita?
“Ah, apa sukarnya bagiku! Penyamaranmu memang baik dan engkau seorang ahli pula dalam hal itu. Akan tetapi terhadap ketajaman penciumanku, mana mungkin engkau mampu menyembunyikan atau merubah bau khas seorang wanita? Dengan ketajaman hidungku, aku dapat mencium bau binatang-binatang berbisa dari jarak jauh. Ular itu pun dapat kucium walau pun dia bersembunyi di dalam lubang, bukan? Dan semenjak pertemuan pertama, baumu sebagai wanita sudah pula tercium olehku. Dan karena engkau seorang wanita pulalah yang mendorongku untuk minta bantuanmu. Wanita mana pun akan membenci pria yang suka mempermainkan wanita.”
Ganggananda atau Gangga Dewi atau yang biasa disebut Gangga saja, menarik napas panjang dan diam-diam dara ini kagum terhadap nenek yang selain lihai juga memiliki ketajaman penciuman yang istimewa itu. “Engkau benar, nek. Aku adalah seorang gadis. Akan tetapi merantau seorang diri dalam dunia yang begini kotor dan penuh dengan orang jahat....”
“Memang tepat menyamar sebagai pria agar lebih aman, apalagi kalau bertemu dengan laki-laki jahat dan gila perempuan macam Bu-taihiap, sungguh tidak aman sekali bagi seorang wanita yang muda lagi cantik seperti engkau.”
Pada keesokan harinya, ketika matahari telah menyinari permukaan bumi, membuat bayangan panjang dan masih lemah, tibalah nenek Gan Cui dan Gangga di depan sebuah pondok kayu yang berada di tanah datar puncak bukit itu. Rumah itu terpencil, sederhana dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi namun indah. Memang indah pemandangan alam di tempat itu.
Dari puncak ini nampak bumi terhampar luas, sinar matahari tak terhalang apa pun dan tanah di puncak itu sendiri amat subur, penuh dengan tanaman bunga dan tanaman obat. Akan tetapi tidak nampak seorang pun manusia, seolah-olah pondok itu kosong. Hal ini mulai dikhawatirkan Gangga. Kalau pondok itu kosong, berarti usaha mereka gagal dan bagaimana nenek itu akan mau memberikan obat yang amat dibutuhkan Ciang Bun? Akan tetapi, nenek itu tidak nampak khawatir seperti Gangga. Ia kelihatan tegang dan siap, maju menghampiri pondok dari depan.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang muncul dari sebelah kiri pondok dan ternyata ia adalah seorang nenek yang usianya tentu sudah lima puluh lima tahun kurang lebih, namun masih nampak bekas kecantikannya. Nenek ini memakai pakaian mewah, tubuhnya masih ramping dan padat dan gerakannya gesit. Wajahnya yang cantik dan terawat baik itu membayangkan kegalakan dengan sinar matanya yang tajam.
Sebatang pedang yang tergantung di punggungnya menandakan bahwa nenek ini adalah seorang ahli silat dan hal ini pun kentara dari gerakannya ketika berkelebat datang tadi. Kini ia sudah berdiri di depan Gan Cui dan Gangga, sejenak memandang tajam penuh selidik, kemudian tersenyum mengejek menatap wajah nenek Gan Cui.
“Hemm, perempuan tak tahu malu. Engkau masih berani merangkak datang lagi setelah berkali-kali kalah oleh suamiku?” kata wanita itu dengan suara mengejek.
Wanita ini adalah seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap dan dialah yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi. Ia adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, janda tokoh keluarga Lu yang tergila-gila kepada Bu-taihiap dan kini menjadi seorang di antara isteri-isterinya yang selalu mendampingi pendekar petualang asmara itu.
Disambut dengan ucapan keras itu, nenek Gan Cui tetap tenang saja. Agaknya ia tidak mau ribut dengan para isteri Bu-taihiap karena urusannya adalah urusan pribadi, antara ia dan pendekar itu sendiri. Kalau sampai ia melibatkan isteri-isterinya, terlalu berat dan berbahaya baginya, karena ia pun maklum betapa lihainya para isteri Bu-taihiap. Maka, ia pun hanya memandang tajam dan berkata, “Aku datang untuk bertemu dengan orang she Bu. Dan sekali ini aku tidak akan gagal.”
“Kami sudah tahu akan kedatanganmu dan kami sudah siap menyambutmu. Marilah masuk dan langsung saja ke ruangan belakang di mana suami kami telah menantimu,” kata nyonya itu yang segera membalikkan tubuhnya masuk ke dalam pondok.
Nenek Gan Cui mengikutinya tanpa ragu-ragu, sedikit pun tidak kelihatan takut, padahal Gangga mempunyai perasaan seperti memasuki goa naga atau sarang harimau. Bagai mana takkan merasa ngeri memasuki rumah orang yang dianggap musuh? Dan melihat sikap gagah nyonya rumah itu, ia pun merasa semakin ngeri. Ia sudah dapat menduga, dari langkah kaki nyonya tua itu, bahwa nyonya itu tentu lihai sekali, apalagi telah berani bersikap memandang rendah seperti itu terhadap seorang nenek seperti Gan Cui.
Ruangan belakang itu ternyata cukup luas dan dinding belakangnya tidak ada, terbuka menembus ke taman bunga di belakang. Hawanya sejuk sekali di ruangan itu. Di ruangan ini nampak duduk seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan di sebelah kirinya duduk dua orang wanita.
Kakek itu bertubuh tegap dan wajahnya yang sudah mulai dibayangi ketuaan usianya itu masih nampak amat tajam dan ganteng, dengan kulit mukanya yang bersih kemerahan. Alisnya yang tebal dan pandang matanya yang demikian tenang dan penuh pengertian, mulutnya selalu tersenyum dan tahulah Gangga mengapa pria ini banyak digandrungi wanita. Senyumnya itu! Sungguh merupakan senyum yang sangat melumpuhkan. Dan sepasang matanya juga begitu hidup seolah-olah dia dapat menyatakan isi hatinya melalui pandang mata dan senyumnya.
Kedua orang wanita itu pun cantik-cantik. Yang seorang memakai penutup kepala pendeta, berjubah seperti seorang nikouw, wajahnya putih bundar, mulutnya kecil dan ia nampak manis sekali walau pun usianya juga sudah lima puluh tahun lebih. Wanita ke dua juga beberapa tahun lebih tua, akan tetapi wanita ini jelas bukan orang Han. Sekali pandang saja tahulah Gangga bahwa wanita itu adalah seorang wanita berbangsa India atau Nepal, tubuhnya kecil jangkung, hidungnya mancung dan matanya hitam tajam sekali, sikapnya ketika duduk itu membayangkan kegagahan.
Kedua orang nenek ini adalah dua orang isteri Bu-taihiap di samping Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang menyambut tamu tadi. Yang seorang adalah Gu Cui Bi yang pernah menjadi nikouw dan sampai sekarang tidak pernah mengganti jubah nikouwnya dan selalu menutupi kepalanya dengan penutup kepala para nikouw. Ada pun yang ke dua adalah Nandini, puteri Nepal yang pernah memimpin pasukan Nepal sebagai panglima yang gagah perkasa. Dua orang wanita ini duduk dengan anteng, hanya pandang mata mereka menyambut munculnya nenek Gan Cui dan Gangga dengan sikap memandang rendah. Tanpa bicara apa pun, Tang Cun Ciu juga duduk di kursi pertama di sebelah kiri suaminya.
Kini Bu-taihiap memandang nenek Gan Cui sambil tersenyum. “Adik Cui, engkau baru datang? Apakah sekali ini engkau datang untuk menerima usulku dan menghabiskan sisa hidup bersama kami? Agaknya engkau membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengambil keputusan yang amat baik itu.”
“Orang she Bu! Jangan engkau mimpi bahwa aku akan mengalah begitu saja! Aku datang untuk menantangmu!”
Pendekar itu menarik napas panjang dan masih tersenyum, menoleh kepada tiga orang isterinya dan berkata lirih, “Lihat, ia ini sungguh memiliki hati yang keras seperti baja!”
Ucapan itu bukan memburukkan, bahkan lebih condong memuji. Tiga orang wanita di sampingnya hanya melirik. Melihat cibiran bibir mereka menunjukkan bahwa ketiganya merasa tidak puas dengan ucapan ini dan di dalam hati mereka mengejek, walau pun tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Gangga melihat semua ini dan diam-diam dara ini tertarik sekali. Sebuah keluarga yang aneh, pikirnya, juga penuh diliputi sikap gagah.
Kini Bu-taihiap memandang kepada Gan Cui, masih terus tersenyum. “Adik Cui, kiranya selama tiga tahun ini tidak jumpa, engkau terus menghimpun kekuatan untuk berusaha menantangku kembali? Hemm, engkau menantangku? Ingat baik-baik, tidaklah mudah mengalahkan ilmuku dan andai kata aku kewalahan menghadapimu, tentu tiga orang isteriku ini tak akan tinggal diam. Apakah engkau mampu menghadapi kami berempat?”
“Boleh! Kalau kalian begitu tidak tahu malu untuk mengeroyokku, aku pun tidak takut!”
“Bukan mengeroyok, akan tetapi sebagai isteri, tak mungkin mendiamkan saja suaminya terancam bahaya. Sudahlah, kenapa engkau tidak mau menempuh jalan damai saja?”
“Orang she Bu, aku datang bukan untuk mendengar ocehan dan rayuanmu, Pendeknya, sekali ini aku datang untuk menantangmu mengadu ilmu ginkang. Kalau aku kalah, aku akan pergi dan takkan mengganggumu lagi. Akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus memenuhi tuntutanku!”
“Wah, tuntutanmu itu tidak masuk akal, adikku yang manis! Mereka bertiga ini adalah isteri-isteriku yang setia, mana mungkin harus kutinggalkan begitu saja agar aku dapat hidup berdua saja denganmu? Sebaiknya kalau engkau tinggal bersama kami, hidup aman dan damai bersama kami....”
“Tidak! Tidak sudi aku kalau cintamu dibagi-bagi!”
“Siapa yang membagi-bagi? Cinta tak mungkin dibagi-bagi. Aku cinta pada mereka, aku cinta kepadamu seperti cinta kepada banyak orang lain lagi. Kalau aku menghadapimu, aku mencintamu sepenuhnya, demikian pula kalau aku menghadapi seorang di antara mereka. Marilah, adikku, untuk apa kita bersitegang? Kita sudah tua, tinggal menikmati hidup tenteram beberapa tahun lagi saja.” Pendekar itu sungguh pandai merayu dengan suara halus dan pandang mata demikian lembut, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya.
Dan Gangga yang mendengarkan percakapan itu diam-diam terkejut bukan main. Bagai mana pula ini? Pendekar itu dengan baik-baik membujuk nenek Gan Cui untuk hidup bersama dia dan isteri-isterinya, tapi sebaliknya nenek ini ingin Bu-taihiap meninggalkan isteri-isterinya yang lain agar supaya dapat hidup berdua saja dengannya, agar ia dapat memonopolinya? Mulailah kini dia mengerti dan dia meragukan kebenaran nenek yang dibantunya.
“Cukup semua kata-kata itu! Berani atau tidak engkau menerima tantanganku mengadu ginkang? Kalau tidak berani engkau harus memenuhi tuntutanku dan mengaku kalah!”
Tiba-tiba pendekar itu tertawa dan begitu dia tertawa, dia nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Dan memang dia masih ganteng!
“Ha-ha-ha, engkau lucu, adik Cui. Engkau tahu bahwa dalam hal ginkang, engkau kalah jauh dari aku. Biar engkau belajar puluhan tahun lagi, belum tentu engkau akan mampu mengalahkan aku. Tentu saja kuterima tantanganmu.”
“Dan kalau engkau kalah, engkau akau memenuhi tuntutanku?”
“Aha, soal itu nanti dulu.”
“Tapi, tiga tahun yang lalu, seperti yang sudah-sudah, engkau menerima taruhan itu!” Nenek Gan Cui berteriak penasaran.
“Hemm, karena ketika itu aku merasa yakin akan kemenanganku. Dan sekarang, selagi aku semakin tua dan engkau semakin bersemangat mempelajari ilmu-ilmu, aku harus hati-hati.”
“Tapi engkau terima tantanganku?”
“Tentu saja.”
“Nah, dengarkan baik-baik, Bu Seng Kin! Kini aku menantangmu untuk mengadu ilmu ginkang dan aku mengajukan jagoku ini!” Nenek Gan Cui menepuk pundak Gangga.
“Siapa dia?” Bu-taihiap bertanya dengan sikap kaget, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang datang bersama Gan Cui itu ternyata adalah jago yang hendak diajukan oleh nenek yang keras hati itu. Kini dia menatap tajam wajah dan tubuh Gangga, penuh selidik.
“Tidak perlu kau tahu siapa dia. Pendeknya, dia adalah jagoku dan wakilku untuk menandingimu dalam ilmu ginkang. Kalau dia kalah, berarti aku kalah olehmu, akan tetapi kalau dia menang, berarti engkau harus mengaku kalah.”
Bu-taihiap tidak merasa khawatir, bahkan kelihatan sepasang matanya bersinar-sinar, seperti merasa gembira menghadapi peristiwa yang menarik. Dia mengangguk-angguk. “Baiklah, adik Cui, lalu bagaimana pertandingan ini akan diatur?”
“Aku tidak ingin tertipu olehmu yang licik. Aku akan pergi ke ujung puncak ini dan membawa ini. Kemudian kalian berdua merebut botol ini dari tanganku dan berlari dari sini.”
Nenek itu mengeluarkan sebuah botol dan melihat ini, Gangga terkejut karena botol itu adalah botol yang terisi tiga butir pel katak buduk hitam yang dibutuhkannya! Agaknya nenek yang cerdik itu sengaja mengeluarkan benda itu untuk dipakai berebut, agar ia mau berlomba dengan sesungguhnya mengalahkan Bu-taihiap untuk memiliki obat itu!
“Perempuan licik!” Tiba-tiba Tang Cun Ciu membentak. “Pertandingan macam apa itu? Kalau engkau yang menjadi sasarannya, tentu engkau akan membantu agar jagomu yang menang! Katakan saja engkau hendak mengeroyok!”
Bu-taihiap tertawa dan menggerakkan tangan mencegah isterinya itu marah-marah. “Biarkanlah. Tentu saja aku tahu bahwa kalau kami berdua tiba di dekatnya, ia akan menyerahkan benda itu kepada jagoannya dan kalau aku yang hendak mengambilnya tentu ia akan melawan. Akan tetapi, jagoannya itu masih begini muda, patutnya menjadi muridku, maka biarlah dibantu oleh adik Cui. Bagaimana pun juga, akhirnya aku yang akan menang. Baik, adik Cui, engkau bawalah benda itu ke ujung sana dan kami berdua akan berlomba. Siapa yang lebih dahulu mendapatkan botol di tanganmu itu, dia yang menang!”
Nenek itu menyeringai. “Orang she Bu, sekali ini engkau akan kecelik dan kalah!” Dan ia pun menoleh kepada Gangga sambil berkata, “Ingat, engkau tidak boleh kalah kalau engkau menghendaki benda ini!” Setelah berkata demikian, nenek itu pun berlari cepat sekali menuju ke ujung puncak itu.
Jarak itu cukup jauh dan tubuhnya semakin kecil, akhirnya hanya menjadi sebuah titik hitam yang makin mengecil. Puncak itu memang merupakan tanah datar yang amat panjang, akan tetapi permukaannya yang halus hanyalah di sekitar pondok, sedangkan jarak itu melalui tanah yang penuh dengan batu besar kecil yang kasar dan tidak mudah dilalui karena kalau tidak berhati-hati, orang dapat tergelincir.
Gangga tadinya sudah merasa tidak senang kepada nenek Gan Cui yang ternyata sedikit membohong ketika bercerita tentang urusannya dengan Bu-taihiap. Ia sudah mulai ragu-ragu apakah baik kalau ia melanjutkan pertolongan dan bantuannya kepada nenek itu. Akan tetapi ketika ia mendengar kata-kata Bu-taihiap tentang dirinya yang dianggap terlalu muda dan hanya patut menjadi murid pendekar itu dengan pandang mata dan nada suara memandang rendah, hatinya menjadi panas juga. Pendekar ini terlampau sombong, pikirnya, memandang rendah orang lain. Inilah sebabnya timbul dorongan hati untuk membuktikan bahwa dia tidaklah selemah itu untuk bisa dipandang ringan saja.
Bu-taihiap sudah bangkit berdiri bersama tiga orang isterinya. Bagaimana pun juga, tiga orang isterinya tidak akan tinggal diam saja dan mereka itu hendak mengikuti sang suami agar jangan menjadi korban kecurangan lawan.
“Kita mulai?” tanya Bu-taihiap kepada Gangga sambil tersenyum.
Setelah Gangga mengangguk, Bu-taihiap berkata lagi. “Akan kuhitung sampai tiga dan kita mulai berlari. Satu, dua.... tiga!”
Dua tubuh itu melesat ke depan. Bu-taihiap mengerahkan tenaganya dan larinya cepat sekali, seperti terbang saja. Akan tetapi, betapa kaget hatinya ketika dia melihat Gangga berkelebat di sampingnya. Ternyata pemuda itu bergerak dengan demikian ringannya seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi! Sebentar saja tubuh pemuda itu sudah melesat ke depan dan melewatinya.
Bu-taihiap menjadi penasaran dan dia pun mengerahkan seluruh tenaganya, mengenjot tubuhnya untuk menyusul. Akan tetapi, pemuda itu agaknya juga menambah tenaganya dan betapa pun dia membalap, tetap saja pemuda itu berada di depannya! Barulah dia benar-benar terkejut dan dari gerakan kaki pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu memiliki ilmu ginkang Jouw-sang Hui-teng (Ilmu Terbang Di Atas Rumput) yang amat hebat. Mereka berkejaran dengan cepat sehingga tiga orang wanita yang juga membayangi tertinggal jauh dan sebentar saja mereka sudah dapat melihat nenek Gan Cui berdiri di ujung timur tanah datar puncak bukit itu.
Sementara itu, Gangga merasa amat puas bahwa ternyata ginkang-nya tidak kalah oleh Bu-taihiap. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa sebenarnya ia membantu orang yang tidak benar, dan diam-diam ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Kalau sampai nanti ia menang, seperti yang sudah jelas dapat diduga, lalu nenek itu minta yang bukan-bukan, bukankah berarti ia telah membantu kesewenang-wenangan? Tetapi, dia membutuhkan obat itu!
Tiba-tiba nenek Gan Cui lari menuju ke selatan, menjauhi dua orang yang sedang berlari cepat ke arahnya itu. Hal ini mengingatkan lagi kepada Gangga bahwa nenek yang dibantunya itu adalah seorang yang penuh tipu muslihat dan sudah beberapa kali memperlihatkan kecurangannya. Bagaimana kalau nanti melanggar janji dan tidak mau memberikan obat itu kepadanya?
Mereka kini terpaksa juga merubah arah mengejar nenek itu yang sudah berada di ujung selatan. Dan dengan sengaja Gangga memperlambat larinya sehingga Bu-taihiap dapat berlari di sampingnya. Kakek itu sudah agak terengah dan mandi peluh. Gangga menoleh kepadanya, tersenyum dan menambah lagi tenaganya sehingga tubuhnya kembali melesat ke depan dalam jarak satu tombak. Ia masih ingin meyakinkan hatinya bahwa ia memang lebih menang dalam adu ginkang ini.
“Nona, perlahan dulu....!” Tiba-tiba ia mendengar suara Bu-taihiap dan ada tenaga aneh yang menahannya dari belakang.
Pendekar tua itu agaknya telah menggunakan ilmu kepandaiannya untuk menahannya dari belakang, dengan tenaga sinkang! Dan pendekar tua itu pun telah mengetahui penyamarannya, tahu bahwa dia adalah seorang wanita. Gangga cepat mengerahkan sinkang-nya pula dan tangan kanannya ditepiskan dengan pengerahan sinkang yang kuat.
“Wuutttt....!” Dan tenaga yang menahannya dari belakang itu pun terlepas.
Kembali Bu-taihiap terkejut bukan main. Kiranya gadis ini bukan hanya tukang lari yang ahli ginkang, melainkan juga mampu menangkis sinkang-nya yang dipergunakan untuk menahan larinya yang cepat itu.
“Ahhh.... nona....,” katanya agak terengah-engah. “Engkau sungguh.... seorang dara yang luar biasa! Masih begini muda, begini cantik, dan memiliki kepandian tinggi.... aku kagum sekali, nona....”
Berdebar rasa jantung dalam dada Gangga. Hati siapa tak akan senang mendengar pujian? Apalagi kalau pujian itu keluar dari mulut orang penting, dan Bu-taihiap adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi ia pun teringat bahwa pendekar tua ini adalah seorang perayu, seorang penaluk wanita, maka sikapnya menjadi keras lagi.
“Nona, sehebat engkau ini.... mengapa membantu orang yang sesat? Gan Cui bertindak salah dalam urusan kami.... aku membujuknya untuk hidup rukun.... tapi ia menghendaki agar aku menceraikan semua isteriku dan harus melayani ia seorang saja.... apakah itu adil namanya?”
Biar pun ia bersikap tak acuh, namun diam-diam Gangga mendengarkan semua kata-kata itu dan dengan sendirinya dia pun mengurangi lagi kecepatan larinya. Dia sudah menduga apa yang terjadi antara pendekar ini, dan nenek itulah yang mau menang sendiri dalam urusan itu.
“Aku membutuhkan obatnya itu untuk menolong seorang sahabatku yang keracunan,” katanya.
“Aha, jadi ia memaksamu membantu dan mengalahkan aku karena obat itu? Sudah kuduga. Dan kau kira ia akan menyerahkan obat itu padamu? Dia seorang yang keras hati dan licik sekali, dan jika ia tidak mau memberikan kepadamu, jangan harap dengan mudah engkau akan bisa memperolehnya. Ia curang dan lihai!”
“Aku.... aku sudah menduga begitu....”
“Nona, biarkan aku yang merampasnya untukmu. Kalau engkau tidak mendahuluiku, dan aku lebih dahulu mencapainya, tentu ia akan berusaha menghindariku, akan tetapi, aku dapat menguasainya.”
Gangga hanya menggunakan waktu sejenak untuk berpikir dan mengambil keputusan. Entah bagaimana, ia merasa jauh lebih percaya kepada pendekar ini dari pada nenek Gan Cui yang curang.
“Silakan....,” katanya dan ia pun memperlambat larinya.
Tubuh Bu-taihiap melesat ke depan dan berlari di depannya, seolah-olah pendekar itu mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya dan dapat menyusul dara itu. Melihat ini, tiga orang isterinya yang tertinggal jauh di belakang merasa lega. Mereka bertiga memang tidak dapat dibilang suka kalau melihat suami mereka menambah seorang isteri lagi, akan tetapi urusan seperti itu bagi mereka kecil saja artinya. Mereka sudah terbiasa oleh ulah suaminya yang suka perempuan itu dan agaknya baru akan sembuh kalau sudah mati. Bagi mereka, lebih penting lagi kalau suaminya tidak sampai kalah, karena wanita itu tentu akan berbuat yang bukan-bukan, menuntut yang tidak-tidak dan juga, suaminya akan terpukul perasaannya dan akan merasa malu kalau sampai kalah oleh seorang muda!
Sebaliknya, ketika melihat betapa kini jagonya tertinggal, nenek Gan Cui terkejut sekali. Tadi ia sudah merasa girang melihat betapa Gangga dapat berada di depan dan ia sengaja lari menjauh untuk memberi kesempatan kepada Gangga untuk meninggalkan lawannya jauh di belakang. Ia sudah merasa yakin bahwa jagonya tentu akan menang karena selain sudah berada di depan, tentu daya tahan Gangga lebih kuat dari pada lawannya yang sudah tua, napasnya juga lebih panjang. Akan tetapi kenyataannya, kini Gangga tersusul dan tertinggal, makin lama makin jauh.
Gan Cui segera menjauhkan diri lagi, lari ke arah barat.
“Bocah tolol, lari ke sini....!” Ia berteriak-teriak dan berusaha mendekati Gangga.
Akan tetapi Bu-taihiap selalu menghadang antara ia dan Gangga, dan pendekar itu kini makin dekat dengannya. Terpaksa nenek itu membalikkan tubuh dan melarikan diri. Akan tetapi, ginkang-nya memang kalah dibandingkan Bu-taihiap sehingga pendekar itu sebentar saja dapat mengejarnya.
“Adik Cui, jangan curang. Aku yang lebih dulu mencapaimu, serahkan botol obat itu!”
“Tidak.... tidak....!” Gan Cui menghindarkan diri ketika Bu-taihiap mengulur tangan untuk menyambar botol di tangannya itu.
“Adik Cui, jagomu sudah kalah, kau jangan main curang! Serahkan botol itu!” kembali Bu-taihiap menubruk, akan tetapi sekali ini Gan Cui menyambutnya dengan pukulan yang dilakukan dengan cepat dan kuat sekali, pukulan maut karena pukulan itu adalah jurus dari Ilmu Coa-tok-ciang (Tangan Racun Ular) yang dahsyat sekali!
Bu-taihiap tentu saja mengenal pukulan ganas itu dan cepat-cepat dia mengelak dan membalas dengan totokan jari tangannya ke arah leher Gan Cui. Namun, nenek itu pun memiliki gerakan cepat. Ia sudah mengelak sambil melayangkan kakinya menendang ke arah perut lawan disusul dengan cengkeraman tangan kanan ke arah mata, sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol itu pun disodokkan ke arah ulu hati. Sekali bergerak wanita itu telah mengirim tiga serangan yang kesemuanya mematikan!
“Hemm, engkau sungguh keras hati, adik manis!” kata Bu-taihiap mengejek dan pendekar ini mengerahkan tenaga sinkang-nya menerima tendangan di perutnya, mengelak dari cengkeraman ke arah mata dan tangan kiri yang menggenggam botol itu disambutnya dengan cengkeraman untuk merampas botol.
“Bukkk!”
Tendangan itu tepat mengenai perut dan sebagian mengenai bawah perut di mana terletak anggota rahasia. Akan tetapi Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya. Bukan saja seluruh bagian perut telah dilindungi oleh hawa sakti sehingga menjadi kebal, akan tetapi juga anggota kelaminnya telah tersedot memasuki perut dan terlindung sehingga ketika tertendang, yang terkena tendangan hanyalah kulit yang keras dan licin saja.
Gan Cui terkejut. Ia memang membual ketika menceritakan kepada Gangga bahwa dalam hal ilmu silat ia dapat menandingi Bu-taihiap, hanya kalah dalam hal ginkang saja. Sebetulnya, mana ia mampu mengalahkan tingkat kepandaian Bu-taihiap? Biar ia belajar sampai selama hidupnya, agaknya ia tidak akan mampu menyusul tingkat pendekar itu karena selain kalah dasar, juga kalah bakat. Kini, setelah melakukan tiga serangan sekaligus, ia berbalik malah terancam akan dirampas botol obat di tangannya. Gan Cui mengeluarkan teriakan nyaring, tangan kanannya mencabut sapu tangan hitam yang dikebutkannya ke arah muka Bu-taihiap sedang tangan kiri yang menggenggam botol diangkatnya tinggi-tinggi untuk dijauhkan dari lawan.
Bu-taihiap terkejut menghadapi kebutan kain hitam yang mengeluarkan debu hitam kehijauan ini. Cepat dia meniup dan mengebutkan ujung lengan bajunya untuk mengusir debu beracun, dan pada saat itu, Gan Cui menjerit karena tiba-tiba saja botol di tangan kirinya terlepas dan terampas dari tangannya. Ia mengangkat mukanya dan melihat bahwa yang merampas botol itu adalah Gangga!
Kiranya Gangga telah menggunakan kesempatan itu untuk mengerahkan ginkang-nya, melompat ke atas tinggi sekali lalu menukik turun dan merampas botol itu tanpa Gan Cui mengetahuinya.
Tentu saja nenek itu menjadi terkejut dan marah. “Bocah tolol! Kembalikan botol itu....!”
Akan tetapi ia tidak dapat bergerak lagi karena pada saat itu Bu-taihiap telah menubruk dan merangkulnya, serta memegangi kedua pergelangan tangannya. Nenek itu hendak meronta, akan tetapi Bu-taihiap memeluknya dan berbisik di telinganya.
“Adik Cui yang manis, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan selalu memusuhiku? Aku masih tetap cinta padamu....” Dan pendekar itu mengusap leher Gan Cui dengan hidungnya.
Seketika lemaslah seluruh tubuh Gan Cui. Merasa betapa kulit lehernya dicium oleh laki-laki yang sebenarnya masih amat dicinta dan dirindukannya ini. Lenyaplah seluruh daya lawannya dan ia seperti lumpuh, menyandarkan diri ke atas dada yang bidang itu dan menangis lirih!
Tiga orang isteri Bu-taihiap yang telah tiba di situ membuang muka dan mencibirkan bibir, akan tetapi tidak merasa cemburu lagi karena memang sejak dahulu mereka tahu bahwa Gan Cui adalah seorang di antara wanita-wanita yang jatuh oleh rayuan suami mereka. Sementara itu, Gangga yang telah berhasil merampas botol terisi tiga butir pel, memandang dengan muka merah.
“Adik Cui, mulai saat ini, engkau mau bukan hidup bersama kami dengan damai?” Kembali Bu-taihiap berbisik dan Gan Cui mengangguk.
Bu-tahiap maklum bahwa ia telah menalukkan hati nenek itu, maka ia pun melepaskan kedua tangannya dan masih tetap menggandeng lengannya dengan sikap mesra. Gan Cui mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya, kemudian memandang ke arah Gangga. Biar pun sikapnya tidak galak lagi seperti tadi, seolah-olah seekor kucing liar yang sudah dijinakkan, namun suaranya masih tidak senang ketika ia berkata kepada Gangga.
“Engkau telah kalah, engkau tidak berhak mengambil obat itu. Kembalikan!”
“Adik Cui, engkau salah paham. Sesungguhnya, dalam hal ginkang, aku Bu Seng Kin harus mengakui keunggulan gadis ini.”
Sepasang mata Gan Cui terbelalak. “Engkau.... kalah? Dan engkau tahu ia seorang gadis? Engkau tidak malu kalah oleh seorang gadis muda?”
“Mengapa mesti malu? Ia memang memiliki ilmu Jouw-sang Hui-teng yang langka. Sungguh luar biasa sekali ilmu ginkang-nya itu. Nona, kulihat engkau bukan gadis Han. Dari manakah engkau dan siapa gurumu?”
“Tak salah lagi, ia tentu puteri atau murid Syanti Dewi!” Tiba-tiba nenek Nandini berkata.
Gangga terkejut dan memandang wanita Nepal itu, juga Bu-taihiap terkejut karena dia pun sudah pernah mendengar nama puteri Bhutan yang kabarnya memiliki kecantikan amat luar biasa, juga di samping itu memiliki ginkang yang hebat.
“Benarkah, nona?”
Gangga mengangguk. “Benar, ibuku adalah Puteri Syanti Dewi dan ayahku bernama Wan Tek Hoat yang pernah berjuluk Si Jari Maut.”
“Ahhh....!” Bu-taihiap berseru kaget dan kagum. “Jikalau begitu, aku semakin tidak merasa malu lagi kalah dalam ginkang olehmu, nona!”
“Siapakah namamu?” tanya Nandini.
“Gangga Dewi.”
“Nama yang indah sekali. Mari, nona, mari silakan duduk dalam pondok kami dan kita bercakap-cakap,” Bu-taihiap berkata, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kesakitan ketika lengannya dicubit keras sekali oleh Gan Cui.
“Lelaki mata keranjang! Baru saja berkumpul denganku, sudah berani berlagak memikat gadis muda?” bentak Gan Cui.
Dan tiga orang isteri pendekar itu menahan tawa, kelihatan geli dan juga mengejek dan menyukurkan keadaan suami mereka. Biar engkau rasakan sekarang, pikir mereka, mendapatkan isteri lagi yang amat cemburu dan galak! Tentu saja Bu-taihiap tersipu-sipu mendengar teguran ini karena sesungguhnya dia sama sekali tidak mempunyai niat sedikit pun untuk merayu Gangga Dewi, hanya mempersilakan ke rumah untuk beramah tamah karena dia pun kagum sekali mendengar bahwa gadis muda ini ternyata puteri orang-orang terkenal.
“Terima kasih atas kebaikan kalian semua,” kata Gangga Dewi sambil menjura. “Tapi sahabatku itu terancam nyawanya oleh pukulan Hoa-mo-kang dan obatnya hanya racun katak buduk inilah. Maka, aku mohon diri, tak dapat berlama-lama di sini. Aku harus cepat ke kota raja untuk memberikan obat ini kepadanya.”
“Ahh, pukulan beracun Hoa-mo-kang?” tanya Bu-taihiap kaget. “Bukankah Su-ok Siauw Siang-cu sudah mati?” Pertanyaan yang sama seperti pernah diajukan oleh nenek Gan Cui kepada Gangga.
“Bukan Su-ok yang memukulnya, mungkin murid atau keturunannya. Menurut kata ahli yang mengobatinya, hanya tinggal waktu tiga hari. Kalau dia tidak mendapatkan obat racun katak buduk hitam, dia akan mati. Sejak kemarin pagi aku melakukan perjalanan, kini sudah lewat dua hari, tinggal sehari lagi. Maka aku harus pergi sekarang juga.” Lalu ia menoleh kepada Gan Cui. “Sudah benarkah obat ini? Dan bagaimana cara menelan pil ini? Sehari berapa kali, sekaligus ataukah satu-satu?”
Akan tetapi nenek Gan Cui mendengus marah. “Engkau merampasnya dariku dengan curang, perlu apa aku memberi tahu? Cari saja sendiri bagaimana caranya!”
Akan tetapi Bu-taihiap yang sudah amat tertarik mendengar cerita tadi bertanya, “Nona Gangga, bolehkah aku bertanya siapa pendekar atau sahabatmu yang terkena pukulan Hoa-mo-kang itu?”
“Namanya Suma Ciang Bun dan dia berada di kota raja....”
“Suma....?” Bu-taihiap terbelalak.
“Ya, dia cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!” kata Gangga dengan suara bangga.
“Ahh....! Adik Cui, kalau begitu kita tidak boleh sembarangan. Hayo katakan bagaimana caranya mempergunakan pelmu itu untuk mengobatinya.”
“Sehari makan satu pel, dalam waktu tiga hari tentu penyakit itu lenyap dan orangnya sembuh,” jawab nenek itu singkat dengan muka masih cemberut. Agaknya kegalakan wanita ini sudah benar-benar dapat ditundukkan dan dijinakkan oleh Bu-taihiap.
“Terima kasih!” kata Gangga dan sekali berkelebat gadis itu lenyap dari depan mereka. Bu-taihiap menggeleng-geleng kepala tanda kagum.
“Bukan main....!” katanya dan sambil menggandeng isterinya yang baru, pendekar ini lalu kembali ke pondoknya, diikuti oleh ketiga isterinya yang lain.
Kembali Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee menggunakan seluruh kepandaiannya untuk lari secepat mungkin, kembali ke kota raja. Ia melakukan perjalanan secepatnya dan pada keesokan harinya, pada hari ke tiga, tibalah ia kembali ke tempat tinggal tabib yang mengobati Ciang Bun.
Tabib dan hwesio ahli racun yang menjadi sahabatnya itu sudah hampir putus asa menanti kembalinya. Bagaimana pun, bagi mereka agaknya tidak mungkin bisa mendapatkan obat yang amat langka itu dalam waktu tiga hari. Baru perjalanannya saja, menggunakan kuda umpamanya, baru akan sampai dalam waktu tiga hari pulang pergi! Maka, kemunculan Gangga yang tiba-tiba itu selain mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan harapan yang menggembirakan.
“Bagaimana hasilnya, siauw-si-cu (tuan muda yang gagah)?” tanya mereka.
Gangga mengangguk dan mengeluarkan botol berisi tiga butir pel itu. “Kini belum musimnya telur katak menetes, tidak mungkin mencari anak-anak katak buduk hitam. Akan tetapi aku mendapatkan pel racun katak buduk hitam itu dari seorang sakti yang harus diberikan kepada Ciang Bun sehari sebutir, berturut-turut sampai tiga hari.”
Tabib dan hwesio itu membuka tutup botol dan memeriksa tiga butir pel itu. Hwesio itu begitu mencium baunya, segera mengangguk-angguk. “Omitohud.... racun katak buduk hitam yang amat keras! Memang inilah obatnya, dan pinceng yakin pemuda gagah itu akan dapat disembuhkan.”
Dengan girang Gangga lalu membantu si tabib memberi pel itu kepada Ciang Bun yang masih belum sadar. Dan dengan teliti dan telaten, Gangga mendampingi Ciang Bun sampai tiga hari tiga malam lamanya! Sedikit pun dara ini tak pernah mau meninggalkan pembaringan Ciang Bun. Bahkan makan atau tidur pun ia lakukan di dekat pembaringan Ciang Bun. Ia tidur sambil duduk dan selama tiga hari itu, wajahnya menjadi agak pucat karena kurang tidur dan kurang beristirahat.
Akan tetapi hatinya girang bukan main karena baru pada hari pertama saja, wajah Ciang Bun yang tadinya biru kehijauan itu sudah mulai berubah, dan setiap hari berangsur baik sampai pada hari ke tiga, sinar biru kehijauan pada wajahnya sudah lenyap sama sekali. Dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali, pemuda itu mengeluh dan siuman! Akan tetapi karena dia kurang makan, hanya menelan bubur encer saja selama tiga hari lebih, tubuhnya masih lemah dan dia hanya dapat bergerak membuka mata dan menoleh ke kanan kiri.
“Di manakah aku....?” tanyanya lemah.
Gangga yang duduk di dekatnya dan mengantuk, segera bangun dan mendekatinya. Ia tersenyum girang sekali. “Ahhh, engkau sudah siuman? Bagus sekali! Engkau telah sembuh, bahaya telah lewat!”
Melihat pemuda ini, Ciang Bun teringat dan dia segera bangkit hendak duduk, akan tetapi tubuhnya terasa lemas dan dia terpaksa merebahkan dirinya kembali.
Ganggananda cepat membantunya rebah kembali dan berkata dengan halus, “Jangan engkau bangun dulu. Sudah empat hari engkau tidak sadarkan diri. Tunggu, biar aku buatkan bubur untukmu.” Setelah berkata demikian, dia pun bangkit dan cepat-cepat meninggalkan kamar menuju ke dapur.
“Omitohud, engkau beruntung sekali mempunyai sahabat sebaik itu, orang muda.”
Ciang Bun menoleh dan memandang heran kepada dua orang kakek yang duduk tak jauh dari situ. Dia tidak pernah mengenal hwesio dan kakek berpakaian sasterawan itu, yang duduk di sudut kamar dan memandang kepadanya sambil tersenyum girang. Akan tetapi dia cerdik dan dapat menduga bahwa tentu pemuda yang menjadi sahabatnya itulah yang membawanya ke sini dan agaknya dua orang kakek ini menjadi tuan rumah, bahkan mungkin sekali yang menolongnya dan mengobatinya. Bukankah menurut Gangga tadi dia pingsan selama empat hari?
Sambil masih terus rebahan Ciang Bun mengangkat kedua tangan di depan dada. “Ji-wi locianpwe, maafkan kalau saya belum mampu memberi hormat sepantasnya untuk menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan kebaikan ji-wi.”
Dua orang kakek itu nampak semakin gembira. Sikap Ciang Bun itu menyenangkan hati mereka. Kadang-kadang sikap jauh lebih berharga dari pada pemberian benda berharga apa pun juga.
“Si-cu tidak perlu berterima kasih kepada kami sebab yang menyelamatkan nyawa si-cu sesungguhnya adalah sahabat si-cu itu,” kata kakek tabib.
Dia segera menceritakan kepada Ciang Bun bahwa pemuda ini pingsan dan terancam bahaya maut oleh pukulan Hoa-mo-kang dan betapa Ganggananda dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya telah pergi mencarikan obat penawarnya sampai berhasil menyembuhkan Ciang Bun.
“Omitohud....! Yang paling sukar didapatkan di dunia ini adalah seorang sahabat yang setia tanpa pamrih. Sahabat si-cu itu sampai lupa makan lupa tidur untuk menjaga si-cu, sungguh kebaikannya amat mengharukan hati pinceng.”
Diam-diam Ciang Bun merasa terharu sekali dan hatinya semakin erat terikat kepada Ganggananda yang sebelumnya memang sudah amat menarik hatinya. Tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang lincah jenaka, yang pandai bersajak dan sangat menyenangkan itu ternyata memiliki hati semulia itu dan merupakan seorang sahabat yang amat baik. Dia merasa bersyukur sekali.
“Terus-terang saja, si-cu, kalau tidak ada sahabatmu itu, nyawamu tidak mungkin dapat ditolong lagi. Si-cu berhutang nyawa kepadanya,” kata si tabib dengan suara sungguh-sungguh.
Perasaan cinta yang tulus semakin mendalam di hati Ciang Bun terhadap pemuda yang selain menarik hatinya, juga telah menyelamatkan nyawanya itu. Setelah kekuatannya pulih kembali, dia bersama Ganggananda berpamit dari tabib yang ramah tamah itu dan meninggalkan rumah tabib dengan ucapan terima kasih. Ganggananda bahkan tak lupa memberi hadiah yang cukup besar. Ternyata pemuda ini membawa bekal emas yang cukup banyak sehingga mengherankan hati Ciang Bun. Tahulah dia bahwa sahabatnya itu adalah seorang yang selain pandai sastera dan silat, juga kaya raya.
“Ahhh, tak terasa lima hari telah lewat dan hari ini adalah hari yang telah kami tentukan untuk bertemu di kota raja,” katanya kepada Ganggananda.
Gangga memandang penuh perhatian. “Kami? Siapa yang kau maksudkan?”
“Adik Ganggananda yang baik, aku belum menceritakan riwayatku kepadamu. Yang kumaksudkan dengan kami adalah aku dan cici-ku yang bernama Suma Hui.”
“Hemm, agaknya masih ada hubungannya dengan musuh besarmu itu, ya? Dia pun menyebutmu seolah-olah engkau masih sanaknya. Apakah musuh besarmu itu.... kakak iparmu, suami enci-mu?”
“Engkau adalah seorang yang amat mulia, Gangga, dan aku sudah berhutang budi dan nyawa padamu, maka baiklah kuceritakan keadaan keluargaku, keluarga kami yang malang.”
Ciang Bun menoleh ke kanan kiri, akan tetapi taman itu masih sunyi karena hari masih pagi sekali. Dia mengajak Gangga pergi ke taman ini karena di sinilah dia berjanji dengan enci-nya untuk mengadakan pertemuan pada hari ini atau hari-hari berikutnya kalau-kalau ada yang terlambat. Mereka lalu duduk di atas sebuah bangku panjang, di bawah pohon yang rindang sambil menghadapi sebuah empang ikan emas yang dihias tumbuh-tumbuhan bunga teratai merah dan putih.
Dengan hati mengandung penuh kepercayaan kepada sahabat barunya ini, Ciang Bun kemudian menceritakan semua riwayatnya, sejak dia bersama enci-nya dan Ceng Liong belajar ilmu di Pulau Es sampai pertemuannya dengan musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang. Diceritakannya mala petaka yang menimpa keluarga kakeknya di Pulau Es yang kemudian disusul mala petaka yang menimpa diri enci-nya, Suma Hui, dan kejahatan yang dilakukan oleh Tek Ciang yang menjadi murid ayahnya dan juga menjadi suami enci-nya itu.
Gangga mendengarkan dengan penuh perhatian dan penuh perasaan hingga wajahnya sebentar merah karena marah dan pucat karena turut merasa terharu dan berduka. Pandang matanya tak pernah lepas dari wajah pemuda itu. Baru sekaranglah ia tahu mengapa pemuda ini mati-matian menyerang Louw Tek Ciang yang telah menjadi kakak iparnya. Dan ia ikut merasa marah sekali mendengar akan kelicikan dan kejahatan Louw Tek Ciang yang telah menghancurkan kehidupan Suma Hui, kakak perempuan pemuda ini. Setelah Ciang Bun menceritakan semuanya, pemuda itu menarik napas panjang.
“Demikianlah, Gangga. Sudah bertahun-tahun kami mendendam kepada jahanam itu dan secara tidak terduga-duga dan kebetulan sekali aku bertemu dengannya di telaga dalam taman. Dapat kau bayangkan betapa girang rasa hatiku dan betapa dengan penuh semangat aku berusaha untuk membunuhnya. Akan tetapi dia lihai dan juga licik, bahkan kini pun dia dibantu seorang kawan yang agaknya lihai pula. Nyaris aku tewas kalau tidak ada engkau yang menyelamatkanku, sahabatku,” berkata demikian, Ciang Bun menjulurkan tangannya dan dipegangnya tangan Gangga.
Pegangan ini dilakukan dengan perasaan penuh keharuan dan juga penuh rasa kasih sayang sehingga terasa oleh Gangga betapa jari-jari tangan itu mengandung getaran halus yang seolah-olah menembus kulit tangannya dan menjalar sampai ke dalam dada, membuat jantungnya berdebar-debar, sementara bulu-bulu di lengan dan tengkuknya meremang. Maka dengan halus pula Gangga menarik dan melepaskan tangannya dari genggaman tangan pemuda itu.
“Ahhh, kenapa engkau begini sungkan dan bicara seperti itu, Ciang Bun? Bukankah kita ini sahabat dan di antara sahabat baik tidak ada istilah tolong-menolong? Apa yang kulakukan untukmu itu adalah wajar saja di antara sahabat. Dan andai kata aku yang menderita seperti engkau, apakah engkau tidak mau menolongku juga?”
Jawaban yang sederhana dan jujur ini membuat Ciang Bun merasa amat terharu dan semakin suka kepada pemuda ini. Dan diam-diam dia pun mengeluh. Penyakit lamanya telah kambuh dan kini semakin hebat! Selama ini, sudah tiga kali dia tertarik kepada pria, bukan hanya tertarik biasa sebagai teman, melainkan tertarik seperti orang jatuh cinta yang mengandung gairah!
Pertama adalah kepada Kao Cin Liong, walau pun pada waktu itu dia belum dewasa benar dan rasa sukanya kepada Cin Liong disertai kekaguman akan kelihaian pemuda itu dan juga rasa akrab sebagai seorang kekasih enci-nya. Kemudian dia pun jatuh cinta kepada Liu Lee Siang, pemuda Pulau Nelayan itu walau pun pada waktu itu dia masih belum sadar benar akan kelainan pada dirinya. Akan tetapi yang ke tiga kali ini, dia merasa betapa dia benar-benar jatuh cinta kepada Ganggananda!
Sekarang dia menyadari benar keadaan dirinya, bahkan selama ini dia sudah berusaha dengan segala kekuatan batinnya untuk melawan hasrat dan kecondongan hati yang tidak seperti pria pada umumnya itu. Kini dia merasa betapa seluruh batinnya mencintai Gangga, dan timbul hasrat untuk berdekatan, sedekat mungkin, untuk melindungi, untuk bergantung.
Ada suatu kemesraan di dalam batinnya terhadap Gangga dan segala gerak-gerik pemuda ini amat manis dalam pandang matanya, amat gagah, baik dan membuatnya tidak ingin berjauhan, tidak ingin berpisah lagi.