CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 26
Ciang Bun meraba pundak dan dada Ceng Liong, memandang kepada adiknya itu penuh kagum.
“Liong-te.... aihh, siapa bisa mengenalnya kalau engkau sekarang sudah begini besar? Lihat, engkau tidak hanya lebih besar dari pada aku, bahkan lebih tinggi. Engkau begini gagah perkasa, ahhh, adikku, aku bangga sekali melihatmu!”
“Bun-toako, sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah saling jumpa. Tidak kusangka akan bertemu denganmu pada saat tadi aku mendaki bukit ini, mencari penyanyi yang suaranya begitu menarik hatiku. Kiranya engkaulah yang bernyanyi tadi. Toako, kenapa hatimu begitu berduka?”
Ciang Bun menarik napas panjang. Pertanyaan itu tentu saja membuat dia teringat akan keadaan dirinya, teringat akan Gangga. Dan begitu dia teringat kepada gadis yang telah meninggalkannya itu, dia pun teringat bahwa Gangga pernah menyebut nama Ceng Liong dan dia pun memandang dengan penuh perhatian dan alisnya berkerut.
“Liong-te, sebelum kita bicara lebih banyak, jawablah dulu pertanyaanku ini. Benarkah bahwa engkau telah menjadi murid iblis tua Hek-i Mo-ong....?”
Tentu saja Ceng Liong terkejut mendengar ini, tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bun-toako, hal itu merupakan cerita yang panjang sekali. Tanpa mendengar seluruh keadaan pada waktu itu, hanya mendengar bahwa aku menjadi muridnya, tentu akan menimbulkan rasa penasaran....”
“Jadi benarkah berita itu? Liong-te, benarkah itu? Tentu saja aku merasa penasaran setengah mati! Liong-te, engkau sendiri juga mengetahui bahwa kakek iblis itu bersama kawan-kawannya telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es yang lalu mengakibatkan tewasnya kakek dan dua orang nenek kita, bahkan telah mengakibatkan tenggelamnya Pulau Es dan kau.... kau.... bahkan lalu menjadi muridnya?”
“Sabar dan tenanglah, toako dan mari dengarkan dahulu keteranganku tentang hal itu. Dengarlah ceritaku semenjak kita saling berpisah di tengah lautan itu. Aku melihat enci Hui dilarikan penjahat, serta melihat engkau dan juga Cin Liong terlempar ke dalam lautan dan aku sendiri lalu dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai seorang tawanan.”
Ceng Liong lalu menceritakan semua pengalamannya dan sebab-sebabnya mengapa dia sampai menjadi murid Hek-i Mo-ong, musuh besar yang mencelakakan kakek dan kedua neneknya di Pulau Es. Ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai pada saat Hek-i Mo-ong tewas di tangan kakek itu sendiri yang seolah-olah membunuh diri, karena dalam keadaan terluka parah kakek itu nekat menyerang pendekar Kam Hong. Diceritakannya betapa kakek iblis itu telah melimpahkan budi kepadanya hingga sukarlah baginya untuk menganggap kakek itu sebagai musuh.
Setelah mendengar semua cerita adik misannya, Ciang Bun yang mendengarkan sejak tadi dengan hati amat tertarik itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang. Memang, dia sendiri pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya kalau dia dilimpahi budi pertolongan dan kasih sayang oleh kakek iblis itu.
“Bun-toako, dari manakah engkau mendengar bahwa aku telah diambil murid oleh Hek-i Mo-ong?” kini Ceng Liong bertanya.
Ciang Bun baru sadar dari lamunannya. Sekarang dia teringat bahwa Ceng Liong belum bercerita kepadanya tentang pertemuan adiknya itu dengan Gangga Dewi seperti yang pernah dikatakan gadis Bhutan itu kepadanya, meski tadi Ceng Liong juga menceritakan bahwa adiknya itu diajak merantau oleh Hek-i Mo-ong sampai jauh ke wilayah barat, ke Pegunungan Himalaya bahkan sampai ke negara Bhutan.
“Liong-te, aku mendengarnya dari seorang gadis bernama Gangga Dewi....,” katanya memandang tajam. Wajah adik misannya ini di bawah sinar bulan purnama sungguh nampak gagah sekali.
“Gangga Dewi....?” Ceng Liong berseru kaget dan girang. “Ahhh, Gangga Dewi gadis Bhutan itu....”
“Liong-te, engkau kenal padanya?”
“Kenal! Tentu saja!” Ceng Liong tertawa ketika dia teringat kepada anak perempuan bernama Gangga Dewi yang galak itu. “Ha-ha, tentu saja aku kenal, toako. Bukankah ia bernama juga Wan Hong Bwee, puteri Bhutan itu? Bukankah ia masih ada hubungan keluarga pula dengan kita?”
Kini Ciang Bun benar-benar terkejut bukan main. “Puteri Bhutan? Wan Hong Bwee dan masih ada hubungan keluarga dengan kita? Bagaimana ini, Liong-te, aku tak tahu sama sekali. Ceritakanlah kepadaku siapa sesungguhnya gadis itu.”
“Ha-ha-ha, dia tidak pernah bercerita kepadamu? Wah, memang sungguh bengal anak itu! Ketahuilah, toako, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee itu adalah puteri tunggal dari Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.”
“Ahhh.... ahhh.... maksudmu Wan Tek Hoat cucu mendiang nenek Lulu, jadi.... masih kakak tiriku sendiri?” Ciang Bun benar-benar terkejut karena tidak pernah menyangka sama sekali.
Kenapa gadis Bhutan itu tak pernah menceritakan tentang keadaan dirinya? Ayah gadis itu, Wan Tek Hoat, sudah amat dikenal namanya oleh para cucu Pulau Es. Dia pun telah mendengar bahwa pendekar yang masih terhitung kakak tirinya itu menikah dengan Puteri Syanti Dewi, puteri istana Bhutan dan kini tinggal di Bhutan.
Jadi kalau begitu, Gangga adalah keponakannya sendiri, biar pun keponakan yang jauh. Dan tentu saja Gangga sudah tahu akan semua ini. Bukankah Gangga mengatakan bahwa dia sudah mengenal Ceng Liong dan tahu pula bahwa dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Akan tetapi gadis itu tidak pernah menyinggung keadaan dirinya, dan kini gadis itu telah pergi!
“Dan bagaimana dengan engkau sendiri, toako? Apa yang telah kau alami sejak engkau terlempar ke dalam lautan dari perahu kita yang diserang penjahat itu? Dan mengapa pula engkau tidak hadir dalam pesta pernikahan enci Hui?”
Kembali Ciang Bun menarik napas panjang dan termenung, kelihatan berduka sekali sehingga Ceng Liong memandang khawatir, tak berani mendesak melainkan menunggu saja kakak misannya itu bicara.
Akhirnya Ciang Bun berkata dengan nada suara yang lesu, “Tidak ada apa-apa yang menarik dalam hidupku, Liong-te, kecuali kemuraman dan kekecewaan. Seperti kau lihat, aku masih hidup sekarang karena ketika aku terlempar ke lautan dari perahu kita yang diserbu penjahat sepuluh tahun yang lalu itu, aku berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut. Dan selanjutnya, aku hanya terombang-ambing antara kedukaan dan mala petaka yang menimpa keluargaku....” Pemuda itu menarik napas panjang.
Ceng Liong mengangguk-anggukkan kepala. “Bun-toako, aku juga menghadiri perayaan pernikahan enci Hui dan pada saat itu aku mendengar bahwa engkau belum lama pergi meninggalkan kota raja, dan aku sudah mendengar dari keluargamu tentang segala yang telah terjadi, yang menimpa diri enci Hui. Akan tetapi untunglah bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Cin Liong yang gagah perkasa dan baik hati.”
“Engkau benar, Liong-te. Aku menyesal sekali bahwa aku tidak dapat hadir di waktu pernikahan enci Hui dirayakan, karena aku.... pada waktu itu aku sedang gila mengejar bayangan kosong.... dan sampai sekarang aku belum pulang. Biarlah, adikku, biarlah nasib membawa diriku seperti sebuah layang-layang putus talinya dan tertiup angin badai ke angkasa raya tanpa tujuan....”
Melihat betapa pemuda itu kembali tenggelam ke dalam kedukaan, Ceng Liong merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakak misannya ini menderita tekanan batin yang hebat sekali sehingga seperti orang kebingungan. Maka dia pun berusaha menggembirakan hati kakaknya itu. Suaranya meninggi gembira ketika dia bertanya, “Toako, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Hong Bwee?”
“Hong Bwee....?”
“Ya, atau yang bernama Gangga Dewi itu! Ia tinggal di Bhutan, apakah engkau pernah merantau sampai ke Bhutan pula?”
Ciang Bun menggelengkan kepala dan menjawab lesu. “Tidak di Bhutan, aku bertemu dengannya ketika ia merantau sampai ke kota raja....”
“Aihhh....! Anak itu memang luar biasa! Pemberani dan juga tentu saja lihai,” kata Ceng Liong, masih belum puas melihat kakak misannya demikian murung dan berusaha untuk menggembirakan hatinya. “Waah, toako, tak kusangka engkau kini gemar bernyanyi dan suaramu hebat pula! Dan nyanyianmu tadi, wah, romantis sekali, toako. Ehmm, siapa sih gadis yang begitu kau cinta sehingga untuk memperoleh cintanya, engkau tidak peduli segala hal lain yang terjadi?”
Akan tetapi, mendengar ucapan yang nadanya bergurau itu, Ciang Bun malah menarik napas panjang. Pertanyaan itu seperti menyeretnya kembali ke alam kenangan yang penuh dengan bayangan Gangga yang meninggalkannya. Dan bertemu dengan Ceng Liong dia merasa bertemu dengar saudara sendiri, dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, bahkan orang yang dapat pula dijadikan tempat penumpahan segala rasa dukanya.
“Liong-te, semua keadaan diriku ini, yang seperti orang gila ini.... bukan lain adalah karena dia pula.... orang Bhutan itu....”
“Hong Bwee....?” Kata Ceng Liong terbelalak memandang wajah kakaknya.
“Gangga.... dialah yang membuatku merana.... ah, tidak, Liong-te, bukan dia sebabnya, melainkan diriku sendiri, keadaanku sendiri. Dia tidak boleh disalahkan, bahkan sudah sepatutnya kalau dia meninggalkan aku, penuh kemuakan dan kebencian....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangannya karena teringat sepenuhnya akan semua itu membuat dia berduka sekali.
Dan Ceng Liong memandang dengan penuh keheranan, apalagi melihat betapa diam-diam kakak misannya itu telah menangis di balik kedua tangan yang menutupi muka! Kakak misannya ini bukan anak kecil lagi, sudah dewasa, gagah perkasa dan dia tahu bahwa kakaknya ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sekarang menangis, karena seorang gadis! Menangis seperti anak kecil, atau seperti seorang wanita.
Dia tidak tahu harus berbuat apa, harus berkata apa untuk menghibur hati Ciang Bun karena dia sendiri terlalu kaget dan heran mendengar pengakuan kakak misannya yang tak disangka-sangkanya itu. Agaknya kakaknya ini telah jatuh cinta kepada Hong Bwee atau Gangga Dewi, dan agaknya gadis Bhutan itu menolaknya dan meninggalkannya.
“Bun-toako, apa yang telah terjadi antara engkau dan Gangga Dewi? Maukah engkau menceritakannya kepadaku?”
Sampai lama Ciang Bun menundukkan mukanya, lalu ia melangkah menjauh dan duduk di atas akar pohon, tetap menunduk dan seperti orang melamun jauh. Rahasia dirinya hanya pernah dia buka kepada kakaknya saja, yaitu Suma Hui. Akan tetapi Suma Hui adalah seorang wanita, belum tentu dapat ikut merasakan penderitaan batinnya secara tepat. Dan Ceng Liong adalah saudara misan yang tiada bedanya dengan saudara sendiri karena dia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Apa salahnya kalau dia berterus terang kepada Ceng Liong? Siapa tahu, adik misan yang sejak kecil banyak akalnya ini akan mampu membantunya dan mencari jalan yang terbaik untuknya.
“Liong-te, ke sinilah, duduk di sini dan marilah kau dengarkan ceritaku, mudah-mudahan engkau akan dapat membantuku memikirkan bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini,” akhirnya dia berkata.
Mendengar kata-kata itu, Ceng Liong terkejut bukan main. Suara kakak misannya begitu serius. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat kepada diri kakaknya ini dan dia merasa gelisah juga dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di atas batu berhadapan dengan Ciang Bun yang duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah. Untuk beberapa lamanya mereka saling pandang dan keadaan amatlah sunyinya.
Langit bersih tiada awan sehingga sinar bulan purnama menerangi tempat itu seperti pagi yang cerah. Hawa udara sejuk dan bahkan dingin, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu tidak menderita akibat hawa dingin. Pada saat mereka berdiam diri, yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan belalang mengurung diri mereka dari segenap penjuru.
Kemudian terdengar suara lirih Suma Ciang Bun, berbisik-bisik menceritakan keadaan dirinya, kelainan yang terdapat dalam batinnya. Betapa dia amat suka, bahkan tergila-gila dan mudah sekali bangkit gairahnya terhadap pria lain, sedangkan terhadap wanita dia tidak mempunyai perasaan suka itu, kecuali rasa suka seperti seorang sahabat, sama sekali tidak ada gairah terhadap wanita.
Meski Ceng Liong adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah terguncang perasaannya, mendengar penuturan kakak misannya ini dia terkejut dan juga prihatin sekali, di samping perasaan heran yang tidak terbayang pada wajahnya.
Ciang Bun lalu melanjutkan ceritanya tentang diri sendiri, betapa dia berjumpa dengan seorang pemuda bernama Ganggananda yang membuatnya jatuh cinta, bahkan tergila-gila. “Ahhh, betapa pun aku menyadari bahwa perasaanku terhadap Ganggananda itu adalah tidak wajar, adikku. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku adalah seorang pria, dan aku jatuh hati, benar-benar aku tergila-gila kepada seorang pemuda lain, seorang pria lain. Namun aku tidak mampu melawan gejolak dalam hatiku, kesadaranku seolah-olah sudah membutakan diri, tidak mau peduli lagi karena gairah dan hasrat hatiku terhadap Ganggananda tidak mungkin dapat dibendung lagi….”
Pemuda itu diam dan berulang kali menarik napas panjang, beberapa kali membuka mulut seperti hendak melanjutkan namun tidak ada suara keluar dari mulutnya, seolah-olah dia tidak kuasa untuk melanjutkan.
Suma Ceng Liong merasa kasihan sekali melihat keadaan kakak misannya itu dan dia pun menyentuh tangan Ciang Bun sambil berkata. “Sudahlah, Bun-toako, kalau engkau merasa berat untuk melanjutkan, tidak perlu kau bicara lagi. Aku sudah mengerti, atau setidaknya aku akan berusaha untuk mengerti.”
“Tidak, aku harus menceritakan seluruhnya. Aku sudah kuat, Liong-te, dengarlah baik-baik.”
Suma Ciang Bun kemudian melanjutkan, betapa dia bertahan diri untuk tidak membuka cintanya terhadap Ganggananda karena khawatir kalau-kalau pemuda Bhutan itu akan merasa muak dan jijik kepadanya, lalu membencinya karena keadaannya yang tidak wajar itu. Akan tetapi betapa akhirnya dia tidak kuat bertahan dan mengakui cintanya, siap menerima segala akibatnya andai kata Ganggananda kemudian menjadi jijik dan membencinya. Akan tetapi, sebaliknya dialah yang terpukul.
“Betapa terkejut dan hancurnya perasaanku, Liong-te. Betapa bingung dan malu rasa hatiku saat Ganggananda membuka rahasia bahwa dia adalah seorang wanita bernama Gangga Dewi dan sama sekali bukan pemuda seperti yang selama itu kuduga! Dan aku sudah terlanjur mengatakan kepadanya bahwa aku tidak suka wanita! Ah, ia menjadi marah-marah, tentu ia amat benci kepadaku dan ia lalu meninggalkan aku, Liong-te....! Dan aku.... aku merasa malu, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, dan aku merana, aku bahkan tidak mau pulang walau pun aku tahu bahwa enci Hui merayakan pernikahannya. Aku adalah seorang manusia sampah.... membikin malu saja....”
“Bun-toako!” Terdengar suara Ceng Liong seperti membentak, menggeledek sehingga mengejutkan Ciang Bun. “Begitukah sikap seorang pendekar yang gagah perkasa? Begitu cengeng penuh dengan iba diri, merasa seolah-olah diri sendiri menjadi orang yang paling sengsara di permukaan bumi ini?”
Ciang Bun terkejut sekali. Baru sekarang ini dia mendengar orang bicara seperti itu kepadanya dan sepasang mata adik misannya itu mencorong menakutkan! Dan sikap Ceng Liong itu seketika menggugah semangatnya, seperti mengguncangnya dari tidur pulas dan mimpi buruk. Dia melihat Ceng Liong bangkit berdiri dan dengan sepasang mata bersinar memandang kepadanya.
“Bun-toako, bagaimana pun juga, apa pun juga yang terjadi atas dirimu, engkau harus berani menghadapi kenyataan! Katakanlah bahwa engkau mengalami atau menderita kelainan, yang berbeda dengan pria pada umumnya, akan tetapi bagaimana pun juga keadaanmu itu adalah suatu kenyataan dan segala kenyataan adalah benar dan tidak dapat diubah hanya dengan tangisan dan keluhan belaka!”
Kata-kata itu seperti tusukan-tusukan pedang yang terasa benar di hatinya, membuat Ciang Bun perlahan-lahan bangkit berdiri. Hiburan-hiburan baginya tiada artinya lagi. Akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulut Ceng Liong ini sama sekali bukan hiburan, melainkan pisau-pisau yang melakukan operasi membuka segalanya sehingga nampak olehnya, nampak olehnya kenyataan yang ada pada dirinya.
“Ceng Liong.... adikku.... engkau benar. Lalu.... lalu apa yang harus kulakukan, adikku?”
“Toako, aku bukan gurumu dan engkau bukan muridku. Kalau engkau hanya mengekor saja pada pendapat orang lain, termasuk pendapatku, engkau akan terlibat pula dalam pertentangan batin, akan diputar-putar antara rasa benar dan salah. Keadaan itu adalah keadaanmu sendiri, badanmu sendiri, dan hanya engkau sendiri yang dapat merasakan, maka engkau sendiri pula yang dapat menentukan baik buruknya, engkau sendiri yang bisa mengambil ketentuan, akan melanjutkan atau menghentikan. Mengertikah, toako?”
Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia mulai memandang adik misannya itu dengan penuh kagum. Baru sekarang dia merasa semangatnya tergugah, tidak tenggelam di dalam kemurungan dan kekecewaan, tenggelam dalam perasaan yang nelangsa dan putus asa. Kini matanya seperti dibuka dan dia dipaksa berhadapan dengan kenyataan sesungguhnya yang ternyata tidaklah begitu mengerikan atau menakutkan seperti kalau dibayangkan. Keadaan dirinya bukanlah suatu keadaan yang sudah rusak sama sekali. Tidak! Benar Ceng Liong. Badan ini adalah badannya, berikut baik buruknya dan cacat celanya. Dialah yang berkuasa atas badan ini. Tidak sepatutnya kalau batinnya terseret dan tenggelam oleh keadaan badannya!
“Ahh, terima kasih, Liong-te, terima kasih. Kata-katamu merupakan minuman pahit akan tetapi sungguh bermanfaat sekali bagiku, seperti cambuk tetapi dapat menggugahku dari tidur nyenyak! Selama ini aku bersikap terlalu lemah dan baru nampak olehku sekarang!”
“Toako, keadaanmu itu sebenarnya tidak perlu diributkan benar. Kelainan pada dirimu itu tidak lebih dari kelainan dalam nafsu birahi atau nafsu kelamin belaka. Dan nafsu itu bukanlah satu-satunya urusan dalam hidup ini bukan? Lebih baik kita melupakan hal yang sudah lalu dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan setiap saat. Hanya kenangan lama saja yang menimbulkan gelisah dan duka. Mari kita bergembira, toako!”
Ciang Bun merangkul adik misannya itu kemudian memandang wajahnya dari dekat, memandang penuh kagum. “Ahh, tak kusangka adikku yang dahulunya seorang anak yang bengal itu kini menjadi seorang pemuda yang batinnya jauh lebih dewasa dari pada aku, dan baru sekarang aku melihat betapa diriku selama ini tersiksa oleh batinku sendiri. Batinku selalu tenggelam dalam keluhan dan kesengsaraan yang kubuat sendiri. Engkau memang benar. Hidup ini bukan hanya urusan nafsu birahi semata dan cintaku yang sudah-sudah itu hanyalah nafsu birahi belaka karena aku pun menyadari bahwa cinta kasih yang murni tidak membeda-bedakan dan tidak memilih-milih. Tetapi terus terang saja, adikku. Setelah aku mengetahui bahwa Gangga seorang gadis, dan aku mengamati perasaanku, aku hampir merasa yakin bahwa aku memang cinta padanya, tidak peduli dia itu pria atau wanita. Akan tetapi.... ahh, sudahlah. Ia tentu sudah benci kepadaku dengan perasaan muak dan jijik, pula, kalau kupikir-pikir lagi, seorang gadis sehebat dia itu memang tidak layak kalau menjadi sisihan seorang laki-laki sinting macam aku yang tidak lumrah pemuda biasa ini.”
Ceng Liong tersenyum. Ucapan itu nadanya bukan keluhan lagi dan wajah Ciang Bun tidaklah muram seperti tadi lagi.
“Toako, kalau ia membencimu, kalau ia merasa jijik dan muak, itu tandanya ia tidak cinta padamu. Dan dalam urusan jodoh, cinta haruslah ada di kedua pahak, bukan? Kalau hanya kita yang mencinta setengah mati akan tetapi sang gadis tidak, untuk apa dilanjutkan? Berarti hanya penyiksaan batin sendiri, bukan?”
“Cocok! Dan aku tidaklah begitu tolol membiarkan diriku tersiksa sendirian. Ha-ha-ha, engkau seperti dewa penolong yang menyingkirkan batu yang tadinya menindih hatiku, Liong-te.” Ciang Bun tertawa dan mungkin baru sekali inilah dia dapat tertawa dengan sepenuh hatinya semenjak dia ditinggalkan Gangga Dewi.
“Yang menyingkirkan adalah engkau sendiri. Orang lain atau aku tidak mungkin dapat menyingkirkannya, paling banyak hanya mampu membantu menunjukkannya saja. Nah, sekarang ceritakanlah, toako. Bagaimana engkau dapat berada di sini? Apakah engkau juga ingin menghadiri pertemuan antara para pendekar di tempat ini?”
Ciang Bun mengangguk-angguk dan kini dia bercerita dengan suara yang wajar dan bebas.
“Aku merantau tanpa tujuan dan aku membatalkan niatku menyusul ke Bhutan. Dalam perantauan itu aku mendengar berita angin bahwa para pendekar akan mengadakan pertemuan di Hutan Cemara ini, maka aku pun segera pergi ke sini.”
“Tahukah engkau, toako, apa yang akan dilakukan atau dibicarakan para pendekar dalam pertemuan di Hutan Cemara ini?”
Ciang Bun menggeleng kepala dan memandang wajah adiknya dengan alis berkerut. “Aku tidak tahu, hanya mendengar bahwa para pendekar akan mengadakan pemilihan seorang bengcu (pemimpin rakyat).”
“Para pendekar mengadakan pertemuan di sini untuk membicarakan urusan tanah air yang dijajah Bangsa Mancu, toako. Membicarakan tentang rencana perjuangan untuk memberontak dan membebaskan negara dan bangsa dari penjajah Mancu dan untuk itu agaknya memang akan diadakan pemilihan seorang bengcu yang akan memimpin gerakan itu.”
Sepasang mata Ciang Bun terbelalak. “Pemberontakan....? Para pendekar hendak melakukan pemberontakan....?”
“Kenapa kau terkejut, toako?” tanya Ceng Liong, teringat akan kekagetan hatinya sendiri ketika untuk pertama kalinya dia mendengar dari pendekar Sim Hong Bu. Dia ingin tahu akan isi hati dan perasaan kakak misannya ini mengenai pemberontakan menentang pemerintah Mancu ini.
“Kenapa pula tidak terkejut?” Ciang Bun balas bertanya. “Kita sama sekali tidak boleh mencampurinya kalau seperti itu maksud pertemuan para pendekar itu!”
“Kenapa, toako?”
“Engkau masih bertanya lagi kenapa, Liong-te? Jelas bahwa kita tidak mungkin dapat mencampuri urusan pemberontakan, apalagi ikut-ikut memberontak! Ingat saja kepada mendiang nenek Nirahai! Ingat saja kepada bibi Milana dan sekarang lebih lagi kalau aku mengingat bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong!”
Suma Ceng Liong menghela napas. Persis benar perasaan kakak misannya ini dengan perasaan hatinya sendiri saat untuk pertama kali dia membantah ayahnya dan pendekar Sim Hong Bu.
“Mula-mula aku pun berpendapat begitu, toako. Akan tetapi ayahku sendiri menyetujui rencana para pendekar itu. Setelah bercakap-cakap, aku pun dapat melihat kebenaran pendapat mereka yang hendak menentang pemerintah Mancu.”
Ceng Liong lalu menerangkan kepada kakak misannya tentang para patriot yang ingin membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajahan Mancu dan dalam perjuangan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan tidak dikenal kepentingan pribadi.
“Boleh jadi kaisar sekarang, walau pun seorang Bangsa Mancu, merupakan seorang kaisar yang baik, akan tetapi bagaimana pun juga baiknya, dia termasuk ke dalam alat dari bangsa asing yang menjajah bangsa kita. Dalam perjuangan ini kita tidak memusuhi pribadi-pribadi, dan juga kita bukannya berjuang untuk kepentingan pribadi, melainkan perjuangan rakyat terhadap penjajah.”
“Hemm, kalau begitu, engkau datang untuk ikut dalam pertemuan itu, berarti ikut pula merencanakan.... pemberontakan?” Ciang Bun bertanya, wajahnya menjadi agak pucat mendengar urusan yang amat gawat itu.
Ceng Liong tersenyum. “Toako, seperti juga engkau, dan kuharapkan juga seperti semua orang muda, aku pun tidak mudah puas menerima suatu pendapat begitu saja. Aku datang untuk melakukan penyelidikan, meneliti keadaan dan mengenal orang-orang yang hendak memimpin perjuangan itu, apakah benar-benar mereka itu adalah para pendekar-pendekar dan patriot-patriot sejati yang hendak menyumbangkan jiwa raga demi kepentingan bangsa, ataukah hanya segerombolan orang yang suka bertualang mencari keuntungan diri pribadi belaka.”
Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya perlahan. “Aku bingung, Liong-te. Aku tidak tahu apakah aku dapat mencampuri urusan pemberontakan. Semua terjadi demikian mendadak. Sebelum mendengar keteranganmu ini, aku bahkan sama sekali tak pernah membayangkan akan adanya rencana pemberontakan. Tetapi engkau benar. Sebelum mengambil keputusan, sebaiknya kalau aku pun melihat dan mendengar lebih dulu, menyelidiki dahulu dengan teliti.”
“Bagus, begitulah seyogianya, toako. Dan mengingat bahwa kita berdua adalah anggota keluarga Pulau Es, dan karena kita berdua masih ragu-ragu dan bermaksud menyelidik, lebih baik kalau kita berpencar. Sebaiknya kalau kita menyembunyikan nama keluarga kita agar tidak mudah dikenal orang. Bagaimana pun juga, semua pendekar tahu belaka bahwa keluarga para pendekar Pulau Es masih mempunyai hubungan, bahkan memiliki darah keluarga kaisar Mancu! Kenyataan ini tentu akan menimbulkan kecurigaan dan mendatangkan hal-hal yang mungkin tidak baik.”
Ciang Bun mengangguk, “Baik, adikku. Dan tempat ini kita jadikan tempat pertemuan kita. Kita akan berpencar dan melakukan penyelidikan sendiri-sendiri secara terpisah, kemudian pada malam harinya kita bertemu di sini dan membanding-bandingkan hasil penyelidikan kita.”
Dua orang kakak beradik misan ini kemudian saling berpisah meninggalkan bukit itu, mengambil jalan yang bertentangan.....
“Huh, tikus-tikus macam kalian ini tidak patut menyebut diri pendekar-pendekar!”
Bentakan itu dikeluarkan oleh seorang gadis yang berdiri sambil bertolak pinggang, menghadapi tiga orang laki-laki yang menyeringai gembira. Pagi itu masih agak gelap, matahari masih terlampau rendah untuk dapat mengusir kegelapan yang ditimbulkan oleh pohon-pohon yang lebat dalam hutan itu.
Seorang gadis yang usianya antara delapan belas atau sembilan belas tahun. Tubuhnya padat ramping dan tingginya sedang. Pakaiannya sederhana, bukan saja potongannya melainkan juga terbuat dari kain kasar, akan tetapi justru pakaian sederhana ini bahkan menonjolkan kecantikannya dan keindahan bentuk tubuhnya. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua dan digelung ke atas, tanpa perhiasan, hanya ditusuk dengan dua potong bambu sebesar sumpit.
Sepatunya dari bahan kulit, menutupi seluruh kaki sampai ke betis. Melihat sikap dan dandanannya, mudah diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan jauh, biasa menempuh dan menghadapi bahaya, seorang gadis kang-ouw. Namun tidak nampak sebuah pun senjata menempel di tubuhnya.
Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, apalagi pada saat ia sedang marah seperti itu. Cuping hidungnya yang kecil mancung itu dapat bergerak-gerak sedikit, dan mulutnya yang cemberut itu berbibir merah basah, tanda bahwa dia sehat dan segar. Kedua pipinya, pada tonjolan pipi di tepi bawah mata nampak merah sekali bagaikan diberi pemerah muka, padahal pipi itu merah asli seperti juga bibirnya.
Tiga orang laki-laki itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Biar dimaki oleh gadis itu, mereka tetap bergembira dan tersenyum-senyum genit. Dari pandang mata mereka, sikap dan bau mulut mereka, mudah diketahui bahwa mereka sedang mabok atau kebanyakan minum arak di pagi itu.
Sepagi itu sudah mabok, ini merupakan tanda orang-orang yang sudah menjadi hamba minuman keras. Dalam keadaan mabok seperti itu, biasanya orang tidak lagi sadar akan apa yang mereka lakukan, meniadakan sopan santun dan watak-watak asli mereka akan nampak keluar tanpa hambatan.
“Heh-heh, nona manis. Apa salahnya kalau kami mengajak engkau bersenang-senang di pagi hari yang sunyi dan sedingin ini? Ha-ha-ha!” seorang di antara mereka yang matanya sipit sekali berkata.
“Bercumbu sedikit tiada salahnya, nona. Kami para pendekar pun suka bermain cinta, hi-hi-hik!” kata orang ke dua yang hidungnya bengkok seperti hidung burung kakatua.
“Ha-ha-ha, benar, benar! Pendekar pun lelaki biasa yang suka bercanda dengan gadis cantik seperti engkau, nona. Dan tahulah engkau? Kedua pipimu begitu merah dan apa artinya kalau seorang gadis manis merah pipinya?” Orang ke tiga yang jenggotnya lebat berkata.
“Artinya?” sambung yang pertama. “Artinya gadis itu minta dicium pipinya, ha-ha-ha!”
Mereka bertiga tertawa bergelak, terbahak-bahak sambil memegangi perut.
“Ha-ha, akan tetapi jangan engkau yang mencium. Mukamu penuh brewok, kasihan ia akan mati kegelian,” kata pula yang sipit dan kembali mereka tertawa-tawa.
Gadis itu membanting-banting kakinya. “Keparat! Kalian bertiga ini pantasnya anggota gerombolan penjahat, sama sekali tidak pantas berada di tempat ini, di antara para pendekar yang mengadakan pertemuan. Kalau tidak ingat bahwa mungkin sekali kalian ini pendekar-pendekar yang tersesat dan bahwa sekarang akan diadakan pertemuan antara para orang gagah, tentu sudah kuhancurkan mulut kalian yang busuk itu!” Sambil berkata demikian, gadis yang menahan kemarahannya itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi, tiga orang itu menggerakkan tubuh mereka dan tahu-tahu mereka sudah berlompatan menghadang di depan gadis itu. Dari cara mereka bergerak melompat, dapat diketahui bahwa tiga orang pria ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang lumayan.
“Wah, wah, nanti dulu, nona!” kata yang bermata sipit, yang paling tua dan agaknya menjadi pimpinan di antara mereka.
“Kalian mau apa?!” bentak gadis itu dengan kemarahan yang hampir tidak dapat dia pertahankan lagi.
“Nona manis, engkau sungguh tidak adil. Kami bertiga bertemu denganmu, menjamah pun tidak, mengganggu pun tidak, hanya memuji-muji kecantikanmu. Untuk pujian itu, sudah sepatutnya kalau kami menerima hadiah. Sebaliknya, engkau memaki-maki dan menghina kami. Karena itu, tidak boleh engkau pergi sebelum kami menerima ganti rugi atas perlakuanmu yang tidak adil kepada kami.”
“Hemm, apa yang kalian kehendaki?”
“Tidak banyak, hanya masing-masing dari kami menerima satu ciuman saja darimu.” Si mata sipit menyeringai dan dua orang temannya mengangguk-angguk dengan jakun turun naik karena mereka sudah membayangkan betapa akan sedapnya menerima sebuah ciuman dari dara yang manis dan jelita ini.
Kini kemarahan dara itu tidak dapat ditahannya lagi. Mukanya menjadi merah dan matanya mencorong seolah-olah mengeluarkan api. “Keparat jahanam bermulut busuk! Sekali lagi, pergilah sebelum aku terpaksa menghajar kalian!”
“He-he-he, ia mau menghajar kita!” si mata sipit tertawa.
Dua orang kawannya tertawa pula. “Biarlah, dihajar oleh tangan yang halus itu aku siap! Sudah lama aku tidak diusap tangan halus.”
“Dan aku pun ingin dipijiti jari-jari mungil itu, heh-heh-heh!”
“Pergilah....!” Gadis itu menggerakkan tubuhnya dan kaki tangannya bergerak cepat sekali.
“Plak! Plak! Plak!” terdengar suara beberapa kali dan tubuh tiga orang itu terpelanting, dibarengi keluhan mereka.
Mereka terbelalak, masing-masing meraba pipi mereka yang menjadi bengkak oleh tamparan nona tadi. Yang membuat mereka terkejut adalah cepatnya tangan itu bergerak, sehingga berturut-turut mereka kena ditampar tanpa mereka dapat mengelak atau menangkis sama sekali. Dan karena tamparan itu memang membuat pipi bengkak dan muka panas, nyeri rasanya, ditambah lagi rasa malu karena sudah ditampar oleh seorang gadis muda, tiga orarg itu pun menjadi marah.
“Berani kau memukul kami?”
Mereka bangkit berdiri dan mengepung gadis itu, kemudian, sambil berteriak marah mereka mulai maju. Dari serangan mereka dapat dilihat bahwa mereka masih memiliki niat kotor sebab serangan mereka itu bukan pukulan, tapi cengkeraman-cengkeraman. Agaknya mereka itu ingin membalas tamparan si nona dengan cengkeraman untuk menangkap tubuh yang denok itu atau merobek pakaiannya!
Akan tetapi, mereka kecelik kalau mengira bahwa mereka berhadapan dengan seekor domba betina muda. Nona itu ternyata memiliki gerakan yang amat gesit dan dengan lincahnya tubuh yang ramping itu berloncatan ke sana-sini dan semua terkaman itu hanya mengenai angin belaka. Kemudian, kaki yang kecil itu bergerak tiga kali berturut-turut. Untuk ke dua kalinya, tiga orang setengah mabok itu terpelanting dan mengaduh-aduh! Si dara itu sama sekali bukan seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, melainkan seekor macan betina yang galak dan kuat.
Baru sekarang tiga orang itu sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang dara yang lihai. Akan tetapi, dasar mereka memang memiliki watak yang buruk, mereka tidak menyadari kesalahan mereka, sebaliknya dengan penuh kemarahan ketiga orang itu bangkit lagi dan mereka mencabut senjata mereka, yaitu sebatang golok tipis dan dengan senjata di tangan mereka kini mengurung si dara dengan wajah bengis.
Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak nampak gentar menghadapi ancaman tiga orang laki-laki yang memegang golok itu. Bahkan dia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang dan memandang dengan senyum simpul mengejek, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Agaknya ia sama sekali tidak khawatir karena dalam dua gebrakan tadi saja gadis ini sudah yakin benar bahwa tiga orang lawannya hanya galak aksinya saja akan tetapi sesungguhnya merupakan gentong-gentong kosong yang nyaring suaranya.
“Hemm, kalian memang perlu dihajar lebih keras lagi agar bertobat!” katanya dengan senyum tak pernah meninggalkan wajah yang manis.
Tiga orang itu kini telah kehilangan selera mereka untuk menggoda dan berbuat kurang ajar. Sekarang yang ada di dalam benak mereka hanyalah membalas dan kalau perlu membunuh gadis yang telah membikin malu mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat mereka terpelanting roboh tadi.
“Haiiiittt....!”
Si mata sipit sudah menerjang dengan gerakan goloknya yang membentuk gulungan sinar terang. Dua orang temannya agaknya tidak mau ketinggalan dan dari kanan kiri mereka pun menyerang dengan golok mereka. Sungguh tiga orang ini tidak tahu malu, menyerang seorang gadis bertangan kosong dengan golok mereka secara keroyokan seperti itu.
Tapi gadis itu sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok. Tiga orang itu menjadi semakin bernafsu ketika golok mereka membabat udara hampa saja dalam penyerangan pertama mereka. Maka mereka lalu menyusulkan serangan-serangan berikutnya yang datang dengan bertubi-tubi.
Gadis itu tetap mengelak ke sana-sini mencari kesempatan untuk membalas dan kurang lebih sepuluh jurus kemudian, mendadak dia mengeluarkan suara melengking nyaring sekali. Tiga orang pengeroyoknya terkejut, sejenak seperti menjadi lumpuh oleh suara yang menusuk telinga dan menyayat perasaan hati mereka itu. Dan pada saat itulah si gadis lihai menurunkan tangan membalas.
Tiga kali dia memukul dan tiga orang itu roboh berpelantingan sambil mengaduh-aduh dan golok mereka terlepas dari tangan kanan karena lengan kanan itu seketika lumpuh dan pundak mereka nyeri. Kiranya gadis itu tadi memukul ke arah pundak kanan dan membuat tulang pundak mereka remuk. Tentu saja lengan itu langsung menjadi lumpuh seketika.
“Hemm, aku masih mengampuni nyawa kalian, dan mudah-mudahan pelajaran ini membuat kalian bertobat!” kata si gadis dengan kata-kata yang tegas.
Akan tetapi, pada saat itu bermunculan belasan orang dikepalai oleh dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan yang memegang sebatang tongkat baja. Melihat tiga orang yang mengaduh-aduh itu, belasan orang ini lantas mengurung si gadis yang memandang dengan sikap tenang namun waspada. Dua orang kakek itu menghampiri tiga orang yang terluka, lalu menggunakan jari tangan mereka menotok beberapa jalan darah dekat pundak untuk mengurangi rasa nyeri. Kemudian mereka bangkit lagi dan menghadapi si gadis yang berdiri dengan sikap tenang itu.
“Nona, siapakah engkau yang begitu berani melukai tiga orang murid kami?” seorang di antara mereka bertanya. Sikapnya tenang dan angkuh, seakan-akan sikap seorang locianpwe kepada seorang yang tingkatannya lebih muda dan rendah.
Melihat jubah putih dari dua orang tosu itu dan gambar bunga teratai putih di atas dasar biru bundar di dada, gadis itu mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara halus akan tetapi mengandung nada mengejek. “Siapa adanya aku tidak perlu dibicarakan, akan tetapi jika tidak salah, ji-wi adalah orang-orang Pek-lian-pai yang sangat terkenal, bukan? Tiga orang yang menjadi murid ji-wi itu adalah anggota-anggota Pek-lian-pai. Akan tetapi mengapa mereka bersikap bagaikan penjahat-penjahat rendah yang suka mengganggu wanita? Apakah memang para murid Pek-lian-pai diajar untuk kurang ajar terhadap wanita?”
Wajah dua orang kakek itu berubah merah dan tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek menghentakkan tongkatnya di atas tanah.
“Siancai, nona muda bermulut lancang! Mana mungkin murid-murid kami melakukan hal yang rendah? Akan kutanya mereka!” Dia lalu menoleh kepada tiga orang yang masih menyeringai itu. “Coba katakan, apakah benar kalian mengganggu wanita? Hayo jawab sebenarnya!”
Si mata sipit yang mewakili dua orang kawannya cepat menjawab. “Sama sekali tidak, susiok! Kami mana berani mengganggu wanita? Kami bertemu dengan nona ini dan karena merasa bahwa di antara kami dan nona ini terdapat persamaan paham, kami menganggapnya sebagai seorang sahahat dan kami menyapanya. Akan tetapi ia marah-marah dan memaki-maki kami, bahkan lalu menyerang dan melukai kami.”
Tosu pendek gendut itu kembali memandang gadis itu dengan alis berkerut. Akan tetapi gadis itu telah mendahuluinya dan berkata sambil tersenyum mengejek.
“Aku mendengar bahwa Pek-lian-pai mempunyai dasar Agama Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) yang menjadi cabang dari Agama To-kauw. Mengambil gambar teratai putih untuk menunjukkan bahwa Pek-lian-pai putih bersih. Akan tetapi siapa kira, murid-muridnya selain pemabok-pemabok dan pengganggu wanita, juga adalah pembohong-pembohong besar dan pengecut, yang tidak berani mengakui kesalahan dan tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatan mereka!”
Si tosu gendut itu marah. Matanya terbelalak dan tongkatnya digerakkan melintang di depan dadanya. “Hemm, engkau ini bocah perempuan lancang mulut dan sombong, agaknya mengandalkan sedikit kepandaian untuk menghina Pek-lian-pai! Majulah, pinto hendak melihat sampai di mana kelihaianmu.”
Setelah berkata demikian, kakek gendut itu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan dia menerjang maju, mengirim tamparan ke arah pundak gadis itu. Bagaimana pun juga, sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, dia merasa malu kalau harus menghadapi seorang gadis remaja dengan senjatanya. Ketika menyerang pun dia hanya menampar pundak karena tidak bermaksud mencelakai, melainkan hanya memberi hajaran saja kepada gadis muda yang dianggapnya sombong dan keterlaluan telah berani melukai tiga orang murid Pek-lian-pai itu.
Agaknya kakek ini merasa yakin bahwa tamparannya itu tentu akan berhasil, karena bukan tamparan biasa, melainkan jurus ilmu silat Pek-lian-pai yang lihai, tamparan yang dilanjutkan dengan cengkeraman dan dilakukan dengan amat cepat, juga mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat.
Akan tetapi kakek gendut itu kecelik. Dengan gerakan indah namun cepat sekali, juga dilakukan seenaknya, dengan merendahkan tubuh dan miring lalu menggeser kaki ke belakang, gadis itu telah mampu menghindarkan serangannya itu dengan amat baiknya. Hal ini membuat si tosu penasaran. Kakinya melangkah ke depan dan dia mengirim serangan ke dua. Kakinya menendang ke arah lutut, dilanjutkan cengkeraman ke arah pundak dengan tangan kiri dan totokan jari tangan kanan ke arah leher. Sungguh merupakan serangkaian serangan yang amat berbahaya!
Kembali kakek itu kecelik. Dengan gerakan tubuh yang amat lincah, gadis itu dapat menghindarkan diri pula dengan sangat baiknya dan tiga serangan beruntun itu pun semua hanya mengenai tempat kosong belaka. Setelah lewat belasan jurus serangan yang semua dapat dihindarkan gadis itu dengan elakan yang lincah, tiba-tiba ketika kakek itu menghantamkan tangan kanannya dari atas ke arah gadis itu karena dia pun sudah mulai penasaran dan kini menyerang sungguh-sungguh, gadis itu mengangkat tangan kirinya menangkis.
Melihat ini, kakek Pek-lian-pai menjadi girang. Inilah yang diharapkan sejak tadi. Gadis itu terlalu lincah gerakannya sehingga sukarlah mengenai tubuhnya, seperti menyerang seekor kupu-kupu yang lincah saja. Tetapi kalau gadis itu menangkis, dia akan dapat menghajar gadis itu dengan beradunya kedua lengan. Biarlah gadis itu akan menerima hukuman dan tulang lengannya akan patah. Maka, melihat gadis itu mengangkat tangan menangkis, dia pun segera mengerahkan tenaga sinkang ke dalam lengan kanan yang ditangkis.
“Dukkk....!”
Dua lengan bertemu dan kakek itu terkejut bukan main karena pertemuan lengan yang diharapkan akan dapat mematahkan tulang lengan lawan atau setidaknya membuat gadis itu roboh, sebaliknya malah membuat dia terhuyung ke belakang dengan lengan terasa nyeri sekali. Ada semacam tenaga aneh yang amat kuat menangkis tenaganya dan tenaga itu bahkan mendorongnya sehingga tanpa dapat dipertahankannya dia terhuyung ke belakang.
“Totiang, apakah engkau masih juga hendak melanjutkan kesesatanmu?” Gadis itu membentak, kelihatan marah.
Dalam pertemuan tenaga yang membuat kakek itu terhuyung tadi, ia sama sekali tidak bergoyah, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal sinking pun gadis itu lebih lihai. Namun tosu gendut itu memang tidak tahu diri atau memang sudah nekat karena merasa malu untuk mengaku kalah. Dia meloncat ke belakang, mencari tongkat yang tadi menancap di tanah dan dengan tongkat melintang dia menerjang maju lagi. Tongkat itu membentuk gulungan sinar dan mengeluarkan suara angin mendesir ketika bergerak menyambar ke arah kepala gadis itu!
“Wuuuuttt....!”
Tongkat menyambar luput dan kini kakek ke dua yang tinggi kurus sudah ikut pula menyerang dengan tongkatnya, menusuk ke arah belakang lutut gadis itu dengan maksud merobohkannya. Gadis itu terkejut. Nyaris belakang lututnya tertotok, maka ia pun meloncat jauh ke belakang dan tangan kanannya bergerak ke arah pinggangnya. Nampak sinar keemasan menyilaukan mata dan gadis itu ternyata telah memegang sebatang suling terbuat dari emas yang indah sekali!
“Hemm, kalian tidak bisa diberi hati, harus dihajar. Majulah!” Gadis itu kini menantang.
Dua orang kakek itu pun merasa penasaran sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-pai, masa saat menghadapi seorang gadis remaja saja tidak mampu menang? Keduanya tak tahu malu lagi karena terdorong rasa penasaran untuk bisa mengalahkan gadis itu.
Akan tetapi sebelum bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda remaja berusia dua puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, berwajah ramah penuh senyum cerah. Pemuda ini segera menyelinap di antara mereka dan menghadapi dua orang kakek itu sambil mengangkat kedua tangan ke atas, lalu menjura dengan hormat.
“Ji-wi totiang harap sabar dulu. Harap ji-wi pikirkan baik-baik, apakah sudah cukup pantas kalau ji-wi melanjutkan perkelahian ini?” pemuda itu bertanya dengan suara lantang.
Melihat sikap pemuda ini yang mudah diduga tentu seorang pendekar, dua orang tosu itu merasa ragu-ragu dan si tinggi kurus bertanya. “Orang muda, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi?”
“Ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai. Kedatangan ji-wi di tempat ini bersama anak buah ji-wi tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot yang akan diadakan di tempat ini, bukan?”
“Benar, lalu apa hubungannya dengan urusan kami menghadapi gadis jahat itu?”
“Totiang, harap jangan keliru menilai orang. Nona ini sama sekali bukanlah orang jahat, melainkan puteri dari pendekar sakti Suling Emas, Kam-locianpwe. Dia adalah seorang pendekar wanita yang lihai, dan tentu kehadirannya juga ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar patriot. Totiang, kalau pertemuan para pendekar dan patriot diawali dengan perkelahian antara kita sendiri, mana mungkin kita bersatu menghadapi pemerintah penjajah?”
Dua orang tosu itu kelihatan terkejut. Biar pun mereka belum pernah berkenalan atau berjumpa, akan tetapi nama besar pendekar sakti Suling Emas sudah pernah mereka dengar. Pantas saja gadis itu lihai bukan main.
"Akan tetapi, nona ini sudah melukai tiga orang murid kami,” bantah si gendut untuk menempatkan pihak sendiri di sudut yang menguntungkan.
“Tentu saja aku melukai dan menghajar tiga orang itu yang berani bersikap kurang ajar menggangguku!” bantah gadis itu. “Kalau bukan tiga orang mabok itu menggangguku, perlu apa aku mengotorkan tangan terhadap mereka?”
Pemuda itu mengangkat kedua tangan menyabarkan kedua pihak. “Ji-wi totiang, harap sudahi saja perkara kecil ini. Bagaimana pun juga, nona ini adalah seorang pendekar dan tidak mungkin tanpa sebab ia berkelahi dengan murid-murid ji-wi, dan ternyata bahwa murid-murid ji-wi dalam keadaan mabok. Kita sama-sama tahu bagaimana sikap laki-laki yang sedang mabok kalau melihat wanita muda dan cantik. Kalau sampai terdengar oleh para pendekar dan patriot lain, tentu nama Pek-lian-pai akan menjadi merosot saja kalau perkelahian dengan puteri Kam-locian-pwe ini dilanjutkan.”
Memang dua orang tosu Pek-lian-pai itu sudah dapat menduga bahwa murid-murid mereka tentu yang lebih dulu menggoda nona yang cantik ini. Mereka tadi turun tangan hanya karena merasa marah melihat murid-murid mereka dipatahkan tulangnya, dan juga karena malu sebelum dapat membalas nona itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa nona itu adalah puteri pendekar sakti Suling Emas, mereka sudah dapat melihat bahwa kalau dilanjutkan pertikaian itu, tentu nama mereka akan rusak karena membela tiga orang murid mabok.
“Baik, kami akan sudahi saja urusan ini. Akan tetapi siapakah engkau, orang muda?” Tosu tinggi kurus bertanya.
“Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!” Tiba-tiba gadis itu berkata, seperti hendak membalas ketika pemuda itu tadi memperkenalkannya sebagai puteri pendekar Suling Emas.
Tentu saja dua orang kakek Pek-lian-pai itu semakin terkejut. Cucu Pendekar Pulau Es? Mereka tidak berani lagi banyak lagak dan sambil menjura mereka lalu mengundurkan diri dan membentak tiga orang murid mereka yang menjadi gara-gara pertikaian itu.
Setelah mereka pergi, pemuda itu membalikkan tubuh, menghadapi gadis itu. Mereka berdiri saling berpandangan, sampai lama tidak dapat mengeluarkan suara. Dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan seolah-olah mereka menjadi gagu seketika. Bayangan dan kenangan lama muncul di dalam pikiran mereka. Tiba-tiba keduanya mengeluarkan seruan hampir berbareng.
“Bi Eng....!”
“Ceng Liong....!”
Keduanya melangkah maju mengulur tangan, akan tetapi tiba-tiba Bi Eng berhenti dan dia berdiri memandang dengan muka berubah merah sekali. Teringat dia bahwa yang kini berada di depannya bukan anak-anak lagi, bukan remaja yang pernah dikenalnya beberapa tahun yang lalu, melainkan seorang pemuda dewasa yang gagah perkasa! Dan ia sendiri sudah menjadi seorang gadis dewasa, bahkan menjadi seorang calon isteri, tunangan pemuda yang kini menjadi murid ayahnya, yaitu Sim Houw!
Melihat keraguan di wajah gadis itu, Ceng Liong juga menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter saja dan Ceng Liong mengamati wajah itu dengan hati penuh kagum. Dia terpesona oleh sepasang mata itu, oleh hidung dan mulut itu. Bi Eng telah menjadi seorang gadis yang menurut penglihatannya teramat cantik. Belum pernah ada seorang gadis yang begini menarik hatinya.
Jantungnya berdebar tegang, penuh kegembiraan dan juga harapan ketika dia teringat akan janjinya kepada mendiang Hek-i Mo-ong bahwa kelak dia akan menjadi suami Bi Eng! Dan dia maklum pada saat dia memandang wajah itu bahwa dia akan berbahagia sekali apabila harapan gurunya itu terlaksana. Dia jatuh cinta kepada gadis ini sekarang! Dan Ceng Liong merasa terkejut sendiri mengikuti jalan pikirannya.
“Bi Eng.... ahh, tak kusangka akan bertemu dengan engkau di sini! Hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, engkau.... sudah begini besar....!”
Bi Eng memandang kepadanya dan gadis itu tersenyum. Tersirap darah dari jantung Ceng Liong melihat lesung pipit di sebelah kiri mulut itu. Betapa manisnya!
“Ceng Liong, engkau bilang tidak dapat mengenalku akan tetapi engkau bisa memberi tahu kepada kakek-kakek Pek-lian-pai itu bahwa aku puteri pendekar Kam!”
Memang tadinya aku tidak mengenalmu, dan barulah aku teringat pada waktu engkau mengeluarkan suling emas itu.”
Bi Eng mengangguk-angguk. “Dan engkau pun bukan anak-anak lagi, sudah menjadi seorang pemuda dewasa.”
“Akan tetapi engkau langsung menganalku.”
“Yang berubah hanya tubuh dan mukamu, akan tetapi mata dan senyumanmu yang nakal itu masih sama.”
“Bi Eng, kalau tidak salah dugaanku, engkau datang ke sini tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot di Hutan Cemara, bukan?”
Gadis itu mengangguk. “Benar, dan tentu engkau pun juga datang untuk keperluan itu, bukan? Apakah engkau datang bersama orang tuamu? Apakah para pendekar keluarga Pulau Es ikut datang menghadiri pertemuan itu?”
“Tidak, aku datang seorang diri saja. Orang tuaku mewakilkan kepadaku. Dan engkau? Apakah Kam-locianpwe dan isterinya juga hadir?”
Bi Eng menggeleng kepalanya. “Tidak, Ceng Liong. Aku datang bersama.... guruku.” Tiba-tiba wajah gadis itu berubah merah. Hampir saja dia tadi menyebut ‘mertuaku’, bukan ‘guruku’.
Jawaban ini mengherankan hati pemuda itu. “Bi Eng! Engkau ini adalah puteri tunggal Kam-locianpwe yang memiliki kepandaian setinggi langit dan kurasa mewarisi ilmu-ilmu ayah bundamu saja sudah membuat engkau menjadi orang yang sukar sekali dicari tandingannya. Dan ternyata engkau masih mempunyai seorang guru lain dari pada ayah bundamu?”
Bi Eng bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan senyum mengejek. “Ceng Liong, engkau sejak dahulu banyak lagak dan tidak mau bercermin melihat diri sendiri. Apa anehnya kalau aku mempunyai seorang guru lain? Tengok dirimu sendiri. Engkau cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kurang bagaimanakah keluarga para pendekar Pulau Es? Namun ternyata engkau masih berguru kepada mendiang Hek-i Mo-ong!”
Ceng Liong tersenyum. Gadis ini masih galak dan tidak mau kalah kalau bicara. Akan tetapi dia seperti diingatkan kepada mendiang Hek-i Mo-ong dan dia pun menarik napas panjang.
“Hek-i Mo-ong memang seorang datuk sesat, akan tetapi nasibnya buruk sekali. Aku merasa kasihan kepadanya.”
“Akan tetapi dia berwatak baik, dia pernah menyelamatkan aku. Sayang dia menjadi datuk sesat....”
“Dan dia mati ketika berhadapan dengan keluangamu.”
“Akan tetapi, bukan ayah yang membunuhnya! Hek-i Mo-ong sendiri yang menyerang ayah, padahal saat itu dia dalam keadaan luka parah sehingga gerakan serangannya itu menewaskannya sendiri!” Bi Eng membantah.
Ceng Liong menganggguk-angguk. “Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh, kadang-kadang dia jahat bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik sekali. Bagaimana pun juga, andai kata dia tewas di tangan seorang pendekar sakti seperti ayahmu pun sudah sepatutnya. Dialah yang menyebabkan kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es tewas, dia penyebab mala petaka yang melenyapkan Pulau Es....”
Sepasang mata yang indah itu terbelalak. “Apa?! Dan engkau masih mau menjadi muridnya?” tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.
Ceng Liong menghela napas panjang. “Dia sudah berkali-kali menyelamatkan nyawaku, membelaku dan sangat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan setulus hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih sayangnya dengan kebencian?”
“Tapi.... tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku....”
“Itulah satu di antara keanehan dan kejahatannya. Dia tidak pernah mau menerima kekalahan. Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah oleh ayahmu, dia selalu ingin membalas kekalahannya itu. Akan tetapi sudahlah, Bi Eng. Dia sudah meninggal dunia, tewas oleh ulahnya sendiri. Baigaimana pun juga, aku tidak dapat melupakan semua kebaikannya. Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?”
Bi Eng mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.
“Dan engkau dahulu ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu.” Ceng Liong tertawa.
Teringat akan hal itu, Bi Eng tertawa juga. “Gurumu itu jahat dan nakal, suka menggoda orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut berada di depan mata ketika dia berbohong mengatakan bahwa obatnya itu adalah racun.”
“Dan dia memaksa kita bersumpah agar menjadi.... suami isteri....”
Tiba-tiba wajah Bi Eng berubah merah sekali dan bersungut-sungut. “Engkaulah yang berjanji, bukan aku!” Kemudian gadis itu menyambung secara tiba-tiba. “Ceng Liong, kenapa engkau berjanji seperti itu kepada Hek-i Mo-ong?”
Ceng Liong memandang kepadanya dan melihat betapa gadis itu kelihatan malu. Dia merasa tidak enak hati. “Bi Eng, aku terpaksa menerima janji suhu karena aku ingin menolongmu. Aku sendiri tidak akan mau berjanji seperti itu kalau tidak terpaksa karena melihat engkau terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau menolak keras ketika disuruh berjanji? Apakah.... apakah engkau benci kepadaku?”
Bi Eng menggeleng kepala. “Bukan karena benci, tetapi mana mungkin aku mau berjanji seperti itu? Bagiku, urusan pernikahan adalah bagaimana keputusan dari orang tuaku saja....”
“Ah, sungguh sebaliknya dengan aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua orang yang bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walau pun orang lain itu orang tua sendiri atau guru. Dahulu itu, kalau tidak terpaksa untuk menolongmu, aku tidak akan mau berjanji. Aku tidak mau kalau jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau orang tuaku sekali pun.”
Gadis itu mengangguk-angguk, alisnya berkerut dan dia lalu melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, didampingi Ceng Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan tanpa tujuan, tanpa disengaja, hanya untuk berjalan-jalan di dalam hutan itu sambil bercakap-cakap.
“Kalau begitu.... janjimu itu tidak mengikat? Jadi.... engkau menganggap janji kepada mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong belaka....?”
“Begitulah! Aku tidak mau dipaksa oleh siapa pun juga untuk menerima jodoh yang dipilihnya atau dipaksakannya, apalagi kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.”
“Hemm, kalau begitu.... jodoh yang bagaimana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu selamanya?”
Bertanya demikian, gadis itu menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menghadapi Ceng Liong dan kedua tangannya bertolak pinggang. Matanya memandang tajam dan mulutnya tersenyum mengejek seperti orang menantang!
Diam-diam Ceng Liong terkejut dan merasa heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi. Tetapi dia menenangkan dirinya, dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh, “Ia harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya.”
Hening sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti oleh Ceng Liong. Gadis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba saja ia berhenti lagi dan menghadapi Ceng Liong, membuat pemuda itu agak terkejut dan dia pun ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang dan keadaan menjadi amat kaku bagi Ceng Liong.
“Ceng Liong, apakah sudah ada gadis yang kau cinta itu?”
Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak terduga-duga oleh Ceng Liong, membuat pemuda itu menjadi gugup. “Eh.... itu.... eh, selama ini memang belum ada.... ehhh, memang ada, ya, ada memang....”
Gadis itu mengerutkan alisnya. “Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya kepadaku dan tidak suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan pura-pura. Ada atau tidakkah gadis yang kau cinta itu? Yang tegaslah, jangan plintat-plintut!”
“Ada.... ada.... Ya benar, ada memang!” Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya dengan sikap tegas.
“Hemm.... dan.... dan ia pun cinta padamu?”
Ceng Liong menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum tahu....”
Karena pertanyaan-pertanyaan itu makin lama makin mendekati sasaran, yaitu hal-hal yang mengguncangkan batinnya di saat itu, Ceng Liong yang gagah perkasa itu merasa betapa kedua kakinya agak gemetar dan tubuhnya lemas. Maka dia pun lalu duduk di atas batu yang besar di dekat situ. Anehnya, Bi Eng juga duduk di atas batu berhadapan dengannya dan gadis itu kelihatan tertarik sekali.
“Engkau belum tahu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau belum tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?”
“Aku.... aku takut, Bi Eng.”
“Kau? Kau takut?” Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Engkau cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan engkau mengenal takut?”
“Bi Eng, aku takut kalau-kalau cintaku ditolak, kalau-kalau ia tidak cinta padaku, aku takut dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah engkau memberi nasehat, apa yang harus kulakukan menghadapi keadaan begini?”
Bi Eng tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang jauh. “Engkau....? Minta nasehat dariku? Ahh, bagaimana sih keadaanmu itu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau tidak tahu apakah ia juga mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu atau takut bertanya, karena takut ditolak? Begitukah?”
Ceng Liong mengangguk.
“Dan gadis itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?”
Ceng Liong menggeleng.
“Wah, bagaimana ini? Jadi selama ini cintamu hanya kau simpan di hati saja? Lama-lama bisa menjadi racun kalau begitu!”
Ceng Liong memandang kagum. “Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-mencinta!”
“Tentu saja!” Bi Eng menghardik.
“Kalau begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda....”
“Kalau itu sih belum pernah!”
Ceng Liong terbelalak dan nampak girang. “Ehh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu tentang hal ihwal cinta?”
“Aku kan wanita dan yang kau cinta itu pun wanita, bukan?”
Ceng Liong mengangguk-angguk bingung. “Sudahlah, sebaiknya bagaimana menurut nasehatmu, Bi Eng? Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak tahu apakah ia juga mencintaku. Dan aku takut menyatakan cintaku, takut kalau-kalau ia akan marah dan menolakku....”
“Ceng Liong, tidak ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta kepadanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang jelas akan ada perasaan bangga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali, tentu saja, jika pernyataan cinta itu dinyatakan secara kasar atau kurang ajar. Kalau kau tak menyatakan cintamu, mana dia tahu? Dan kalau engkau tidak tanya kepadanya, mana kau tahu apakah dia mencintamu atau tidak? Maka, kalau engkau minta nasehatku, datangi gadis itu dan akuilah terus terang tentang cintamu dan minta jawabannya secara jujur.”
“Begitukah nasehatmu, Bi Eng? Gadis itu benar-benar takkan marah?”
“Mengapa marah? Sepatutnya ia bangga menerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!”
“Nah, kalau begitu biarlah kupergunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku itu. Bi Eng, aku cinta padamu....”
Seketika gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi Ceng Liong. Mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar menyambar-nyambar ke arah wajah pemuda itu.
“Apa....? Apa yang kau katakan itu....?”
“Bi Eng, aku cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat membalas cinta kasihku kepadamu....”
“Ceng Liong, engkau berani main-main denganku?” Bi Eng mengepal tinju dan mukanya berubah merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.
Melihat ini, Ceng Liong lalu menjura. “Bi Eng, maafkan aku. Ingat bahwa engkau sendiri yang tadi menasehatiku untuk berterus terang, engkau sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu takkan marah....”
“Tapi.... tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka? Bahwa janjimu itu tidak mengikat apa-apa?”
“Memang benar, janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu memaksa kita untuk berjodoh begitu saja.”
“Tapi.... kita baru saja berjumpa lagi dan kau menyatakan cinta....?”
“Bi Eng, semenjak pertemuan kita dahulu, aku sudah merasa kasihan dan suka sekali kepadamu. Tentu saja aku belum tahu pada waktu itu tentang perasaan cinta. Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu ketika engkau terpukul oleh si jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sendiri, aku bahkan lalu melawan dan menyerang mendiang guruku sendiri karena mengira engkau diracunnya. Akan tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah aku tahu dan merasa yakin bahwa aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi Eng, bukan karena janjiku terhadap mendiang Hek-i Mo-ong. Aku cinta padamu dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau pun membalas perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau kenapa....?”
Gadis itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi Eng menangis, seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya. Air mata nampak menetes-netes dari celah jari-jari tangannya. Tentu saja Ceng Liong terkejut bukan main dan dia pun cepat menghampiri dan berlutut pula di depan gadis itu. Ingin dia menghibur, ingin dia menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya.
“Bi Eng.... ahhh, Bi Eng, kau maafkanlah aku kalau semua kata-kataku menyingung perasaanmu. Bi Eng, kalau engkau merasa terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah aku mengaku salah, dan boleh engkau menghukumku. Pukullah aku, sumpahi mati pun aku tidak akan membalas.”
Bi Eng menurunkan kedua tangannya dan dengan mata basah dan hidung merah ia memandang pemuda itu. Mereka saling pandang dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi, menutupi lagi mukanya dengan kedua tangan.
Ceng Liong menjadi semakin bingung dan khawatir. Dia adalah seorang pemuda gagah perkasa, penuh keberanian dan ketenangan. Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang dicintanya menangis tidak karuan mendengar pengakuan cintanya, dia menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
“Bi Eng, sekali lagi maafkanlah aku.... mengapa engkau kelihatan begini berduka? Kalau engkau marah kepadaku, hal itu masih dapat kumengerti, akan tetapi kenapa engkau berduka? Kenapa menangis? Engkau yang segagah ini?”
Bi Eng semakin mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis. Agaknya gadis itu harus menghabiskan dahulu air matanya, baru dapat diajak bicara, pikirnya. Dan meski pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan tetapi buktinya memang demikian. Setelah puas menangis, tangis gadis itu mereda, bahkan ia lalu dapat bicara.
“Ceng Liong, aku.... aku tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua isi batinku dan membuatku berduka. Ketahuilah, aku.... aku telah bertunangan dengan orang lain....”
Ceng Liong menatap wajah gadis itu, sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berubah pucat dan dia merasa betapa jantungnya seperti ditikam pedang. Dia menggigit bibirnya dan termenung sejenak.
“Tetapi…., bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan seorang pria?”
Gadis itu makin terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju. “Itulah sebabnya aku menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya menurut kehendak ayah ibuku saja....”
“Ahhh, dan dia? Dia tentu mencintamu, bukan?”
Gadis itu menggeleng kepala. “Dia pun seperti aku, hanya menurut kehendak orang tua. Kami tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang tua kami saling setuju menjodohkan kami, kemudian aku ikut calon ayah mertuaku untuk dididik ilmu silat, sebaliknya dia ikut ayahku untuk menerima pendidikan ilmu pula.”
Ceng Liong menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak orang-orang muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru melihat isteri atau suaminya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi mempelai seperti beli undian saja, untung-untungan!
“Sungguh aku merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja dijodohkan tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sendiri?”
“Aku tidak berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah ibuku yang hanya mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong.”
Hening sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong. “Jadi engkau tidak cinta kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?”
“Aku tidak mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa.”
“Siapakah dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eng?”
“Dia bernama Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu....”
“Ahh....?” Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng juga terkejut dan mengangkat muka memandang. “Putera orang tua yang gagah perkasa itu? Ah, pantas kalau begitu orang tuamu menerimanya. Kalau begitu.... aku tidak tahu diri, sungguh aku yang tidak tahu diri berani menyatakan cinta kepada calon mantu Sim-locianpwe. Maafkan kelancanganku, nona.... dan selamat tinggal....” Dengan hati terasa perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu meninggalkan gadis itu, setelah membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.
“Ceng Liong.....!” Terdengar seruan lemah.
Kaki Ceng Liong bagai tertahan. Benarkah apa yang didengarnya tadi? Suara Bi Eng memanggilnya, disusul isak tangis gadis itu! Dia membalikkan tubuh dan memandang. Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan kedua tangan diulur ke depan, kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas sepasang pipinya.
“Ceng Liong.... jangan.... jangan kau pergi, jangan tinggalkan aku....!” gadis itu berkata terisak-isak.
“Bi Eng.... apa artinya ini....?”
Ceng Liong lari menghampiri dan mereka saling tubruk, saling rangkul, entah siapa yang bergerak merangkul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu dan dia pun menangis terisak-isak. Ceng Liong menjadi bengong sejenak, kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala itu ke dadanya dan perlahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu menembus bajunya dan membasahi dadanya.
Terasa segar bagaikan siraman embun ke atas bunga yang tadi melayu di dalam hatinya, membuat bunga itu berkembang kembali dengan segarnya. Dia hampir tidak dapat percaya akan keadaan ini. Seujung rambut pun tadi dia tidak pernah menyangka bahwa Bi Eng akan bersikap begini, bahkan sekarang pun, setelah dia merangkul gadis itu, merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di kulit dadanya, dia masih ragu-ragu dan belum percaya.
“Bi Eng.... ah, Bi Eng apa artinya ini? Kenapa engkau menangis....?” Kedua lengannya memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut kepala yang bersandar di dadanya itu penuh kasih sayang.
Tanpa mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu, “Ceng Liong...., apakah engkau belum dapat mengerti? Aku.... aku tidak hanya menerima cinta kasihmu, aku.... aku bahkan juga.... mencintamu....”
Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong menyentuh dagu yang meruncing itu dan mendorongnya ke belakang sehingga wajah gadis itu tengadah. Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan dan masih ada butir-butir air mata seperti mutiara di kedua pipi itu.
“Bi Eng.... mimpikah aku....?” Ceng Liong bertanya seperti seperti orang bingung, suaranya lirih mengandung getaran kuat.
Wajah yang basah itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga bermandikan embun kini merekah segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berkilau dan sepasang mata yang masih mengandung air mata itu memandang mesra. Meski dia belum berpengalaman, dan walau pun getaran jantungnya membuat tubuhnya menggigil, ada sesuatu yang mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua kali mencium pipi kanan kiri yang kemerahan, mencucupi butiran air mata dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis saling memeluk lebih ketat seolah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam pelukan itu.
Setelah gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang semenjak tadi masih dilanda keraguan dan sulit menerima dan mempercayai kebahagiaan yang tiba-tiba melanda dirinya itu, sekali lagi menyentuh dagu gadis itu dan mengangkat mukanya. Sejenak mereka bertatapan pandang penuh kemesraan, lalu terdengar Ceng Liong berkata lirih. “Bi Eng.... tapi.... tapi kau telah bertunangan....”
Bagaikan dipagut ular berbisa, Bi Eng cepat melepaskan diri dari pelukan Ceng Liong, meloncat ke belakang dan memandang wajah Ceng Liong dengan muka berubah pucat sekali. Lalu gadis itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya mengeluarkan sinar dan ia nampak penasaran sekali.
“Engkau benar! Aku telah bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa berjodoh. Aku bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima begitu saja. Aku harus menentangnya!”
“Tapi, Bi Eng, kalau engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu akan marah kepadaku dan menganggap aku yang menjadi biang keladi, padahal mereka itu tidak suka kepadaku. Dahulu pun, mereka menolak keras ketika mendengar usul mendiang Hek-i Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Lagi pula, aku sangat menghormati Sim-locianpwe, bagaimana aku ada muka untuk berhadapan dengannya kalau kini aku menjadi perusak pertalian jodoh antara engkau dan puteranya?”
“Ceng Liong, benarkah engkau cinta padaku?”
“Tentu saja!”
“Sebesar aku mencintamu?”
“Ya, lebih lagi, ini aku yakin!”
“Kalau begitu, mengapa engkau kelihatan takut-takut menghadapi segala resiko dan akibatnya?”
“Bukan takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan mengagumi orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan nasibmu kalau menentang orang tuamu....”
“Jadi, kalau begitu engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku? Menerima saja dijodohkan dengan orang lain? Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu terhadap diriku?”
“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin agar.... dengan halus engkau dapat memberi alasan kepada orang tuamu supaya mereka tidak memaksamu, dan kita.... dengan terus terang menghadap orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita.”
“Nah, begitu baru benar!” Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya kedua tangan pemuda itu. “Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau aku bersamamu, aku tidak akan takut menghadapi apa pun juga. Bersamamu aku berani menghadap guruku dan orang tuaku untuk berterus terang, minta dibatalkan pertalian jodoh paksaan itu dan menceritakan tentang cinta kasih kita.”
Ceng Liong merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan. “Aku pun tidak takut, Eng-moi....”
Bi Eng tersenyum. “Ihh, lucunya kau menyebut Eng-moi kepadaku!”
“Habis, bagaimana? Sudah sepatutnya demikian, bukan?”
“Dan aku harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?”
“Bagaimana pun juga, selain lebih tua darimu, aku pun calon suamimu, kan? Pantasnya engkau menyebut koko.”
“Liong-koko.... ihh, lucu juga!”
Melihat kekasihnya itu dengan mata masih basah bekas air mata kini telah tersenyum-senyum manis dan gembira, Ceng Liong tidak dapat menahan hatinya dan diciumnya gadis itu, kini diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih canggung karena selama hidupnya baru pertama kali itu mencium, itu pun dilakukannya hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja.
Bi Eng terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya menjadi lemas dan dia pun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah dengan sepenuh hati dan mereka pun berciuman, canggung namun mesra.
“Eng-moi, aku cinta padamu. Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu.”
“Tidak perlu sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan juga ayah bundaku adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat menyadari kekeliruan mereka. Kita menentang mereka karena memang sekali ini mereka terlalu sembrono dan keliru dalam menjodohkan anak-anak mereka tanpa perhitungan lebih dulu, tanpa mempedulikan isi hati antara yang bersangkutan.”
“Mudah-mudahan begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”
“Aku datang ke tempat ini bersama-sama suhu, dan tadi kami berpisah, masing-masing melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu menyuruh aku memasang mata kalau-kalau tempat ini terdapat orang-orang dari golongan lain yang menyelundup. Aku lalu bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai mabok yang menggangguku.”
Ceng Liong melepaskan rangkulannya dan mereka kini bicara dengan sikap serius, karena perhatian mereka mulai tertarik dan teringat akan keperluan mereka datang ke tempat itu. “Aku pun heran mengapa orang-orang seperti mereka itu turut hadir pula di sini. Kehadiran mereka itu saja sudah membuat aku menjadi semakin ragu-ragu akan kebenaran pertemuan ini.”
“Menurut suhu, Pek-lian-pai ialah perkumpulan yang paling gigih menentang pemerintah sejak dulu. Yang kita pandang bukanlah perangai mereka, melainkan semangat mereka menentang pemerintah penjajah. Karena itu tadinya aku banyak mengalah, akan tetapi karena mereka semakin kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka,” kata Bi Eng.
“Sekarang mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-moi.”
“Sebaiknya engkau pergi ke sana dulu, Liong-koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti kita bertemu kembali di Hutan Cemara.”
Menuruti perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan kekasihnya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin meninggalkan gurunya atau juga calon ayah mertuanya itu begitu saja. “Baiklah, kita saling jumpa di Hutan Cemara, Eng-moi,” katanya.
Mereka saling menggenggam tangan dan saling berpandangan dengan penuh perasaan mesra. Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu berlari cepat, lenyap di balik pohon-pohon. Sampai beberapa lamanya Ceng Liong berdiri bengong, kemudian dia pun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Cemara.
Di Hutan Cemara telah berkumpul banyak sekali orang. Ada seratus orang lebih yang sudah datang berkumpul. Mereka itu rata-rata nampak gagah perkasa dan penuh semangat. Hutan di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu nampak ramai walau pun hal ini agaknya tidak diketahui oleh para penduduk dusun yang berada di sekitar Tai-hang-san namun cukup jauh dari tempat pertemuan yang sepi itu.
Pada waktu itu, sudah terdapat beberapa buah perkumpulan yang anti pemerintah, di antaranya yang paling terkenal pada waktu itu adalah Pek-lian-pai atau Pek-lian-pang yang intinya adalah Agama Pek-lian-kauw. Kemudian Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang juga merupakan perkumpulan rahasia yang selalu dikejar-kejar pemerintah oleh karena mereka itu terang-terangan menentang pemerintah Mancu yang berkuasa.
Pada mulanya memang cita-cita menentang penjajah ini digerakkan oleh orang-orang yang berjiwa patriot di antara para tokoh mereka. Akan tetapi sungguh sayang, cita-cita ini kemudian dicampuri dengan cita-cita pribadi atau cita-cita kelompok yang lain lagi, yang hanya mementingkan keuntungan diri pribadi atau kelompok, ambisi untuk mencari kedudukan atau keuntungan.
Bahkan lebih buruk lagi, di antara para anak buah perkumpulan-perkumpulan rahasia itu ada yang terlalu mengandalkan kekuatan, kekuasaan atau pengaruh perkumpulannya sehingga sering kali mereka bertindak sewenang-wenang. Bahkan banyak pula orang-orang yang memang berwatak jahat menyelundup masuk dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengotorkan nama perkumpulan.
Ketika Ceng Liong tiba di Hutan Cemara, banyak orang sudah berkumpul. Yang amat menyolok adalah tiga buah perkumpulan itu. Mereka datang dengan anggota yang puluhan orang banyaknya dan nampak bendera-bendera mereka berkibar dan pasukan mereka berada di belakang bendera perkumpulan masing-masing.
Di depan bendera Pek-lian-pai berdiri seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menunjukkan bahwa tosu yang tua ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Di kanan kirinya berdiri dua orang tosu tua yang tadi ribut dengan Bi Eng.
Sikap tiga orang tosu ini angkuh dengan muka ditegakkan menghadap ke depan, kedua tangan di belakang tubuh dan kedua kaki dipentang lebar. Akan tetapi sikap para anak buah Pek-lian-pai tidak teratur. Mereka nampak berbisik-bisik dan ada yang tersenyum-senyum dengan mata melirik ke kanan kiri.
Pat-kwa-pai dengan benderanya yang angker, bentuk segi delapan dengan garis-garis pat-kwa, dipimpin oleh seorang kakek pula yang bertubuh sedang, berpakaian putih dan kuning bagai pakaian pertapa, dengan rambut, jenggot dan kumis awut-awutan panjang tak terpelihara. Dia diiringkan dua puluh lebih anak buah Pat-kwa-pai yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam dengan gambar pat-kwa di bagian dada. Sikap mereka ini lebih serius dan pendiam dari pada para anak buah Pek-lian-pai yang berbendera gambar bunga teratai itu.
Berbeda dengan dua perkumpulan terdahulu, Thian-li-pai yang tiba dengan anak buah sebanyak lima puluh orang itu dipimpin oleh seorang pria berusia empat puluh tahun, berpakaian ringkas serba hitam dengan sepasang pedang tergantung di punggungnya. Sikapnya pendiam dan gagah. Juga anak buahnya kelihatan gagah dengan pakaian yang serba hitam dan ringkas.
Oleh karena saat pertemuan yang ditentukan telah tiba, maka di dataran tinggi yang dikelilingi para peserta itu muncul seorang pria yang gagah perkasa, yang memakai baju dari kulit harimau. Pria ini berusia kurang lebih empat puluh tahun dan begitu muncul di dataran tinggi itu, pria ini menjura dengan sikap gagah dan hormat ke empat penjuru sambil berseru dengan nada suara yang lantang.
“Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat, mohon perhatian!”
Suaranya yang mengandung getaran khikang yang kuat itu mengatasi suara berisik para pendatang yang memenuhi tengah hutan cemara itu dan suasana lalu menjadi tenang dan sunyi karena semua orang menghentikan percakapan masing-masing, dan kini semua mata ditujukan kepada pria itu.
Melihat pria itu Ceng Liong merasa betapa jantungnya berdebar. Andai kata tidak terjadi pertemuan antara dia dan Bi Eng, maka melihat pria ini tentu akan mendatangkan rasa girang, tidak bercampur tegang seperti sekarang ini. Pria itu adalah Sim Hong Bu, pendekar yang mewarisi Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) dengan ilmunya itu. Pendekar yang menjadi guru Bi Eng, juga menjadi calon mertua!
Setelah memberi hormat ke empat penjuru, Sim Hong Bu berkata, nada suaranya masih lantang dan gagah. “Cu-wi yang terhormat, harap maafkan kelancangan saya mewakili para locianpwe dan para sahabat untuk sementara memimpin rapat ini sebelum kita semua memilih pimpinan. Bagi cu-wi yang belum mengenal saya, saya perkenalkan diri bahwa nama saya Sim Hong Bu. Bagaimana pendapat cu-wi, setujukah kalau saya untuk sementara memimpin pertemuan ini?”
“Setuju....!” terdengar teriakan dari mereka yang sudah mengenal pendekar ini. Mereka yang belum mengenalnya dan masih ragu-ragu pun diam saja, hanya mendengarkan.
Agaknya para pimpinan tiga perkumpulan besar yang hadir itu pun sudah mengenal pendekar ini karena mereka mengangguk-angguk. Karena sebagian besar di antara yang hadir menyetujuinya, Sim Hong Bu makin bersemangat.
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi. Saya akan menceritakan dahulu sedikit tentang timbulnya gagasan mengadakan pertemuan pada hari ini. Beberapa orang locianpwe dan sahabat baik, yang berjiwa pendekar dan mencinta tanah air dan bangsa, pernah mengadakan pertemuan dan membicarakan tentang tanah air kita yang dijajah Bangsa Mancu puluhan tahun lamanya. Sebagai pendekar dan patriot, tentu saja kita tidak mungkin hanya tinggal diam saja. Maka saya pun diberi tugas untuk menghubungi para sahabat dan pendekar yang sehaluan, serta mengundang mereka untuk mengadakan pertemuan pada hari ini. Maksud dari pertemuan ini adalah untuk menghimpun tenaga dan mengatur rencana bagaimana kita dapat berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah.”
“Harus lebih dulu dipilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)!” terdengar teriakan-teriakan di antara mereka yang hadir.
Sim Hong Bu tersenyum dan mengangkat kedua tangan minta agar mereka itu tenang. Setelah keadaan menjadi tenang, dia berkata. “Memang seperti yang cu-wi kehendaki, pertama-tama kita memilih pimpinan. Karena itu maka tadi saya katakana, bahwa saya hanya untuk sementara memimpin pertemuan ini, atau sebagai juru bicara. Kita akan mengangkat seorang pemimpin dan pemimpin itulah yang kemudian menentukan para pembantunya. Setujukah cu-wi?”
“Setuju….!” Semua orang kembali berisik menyatakan setuju.
Tosu gendut, yaitu yang pernah ribut dengan Bi Eng, mengacungkan tangan ke atas. Dengan suara yang menggeledek dia berkata. “Kami calonkan ketua kami menjadi bengcu!” Ucapan ini disambut sorak-sorai anak buah Pek-lian-pai.
“Kami usulkan pimpinan kami Giam San-jin menjadi bengcu!” teriak seorang di antara anak buah Pat-kwa-pai. Teriakan ini pun disambut sorak-sorai anak buah perkumpulan itu.
“Kami usulkan toako kami Su Ciok menjadi calon bengcu!” teriak anak buah Thian-li-pai disambut sorak-sorai teman-temannya.
Kembali Sim Hong Bu mengangkat kedua tangannya ke atas untuk memberi isyarat supaya suasana kembali tenang. Setelah keadaan tenang, dia pun berkata. “Memang untuk memilih bengcu, harus lebih dahulu diajukan calon-calon. Seorang calon yang diajukan harus memenuhi syarat, dan harus dikemukakan kebaikan-kebaikan apa maka dia dipilih menjadi bengcu. Saya akan mulai dengan locianpwe Ci Hong Tosu pimpinan Pek-lian-pai yang tadi sudah diajukan sebagai calon. Harap dikemukakan alasan-alasan mengapa dia dicalonkan.”
Sim Hong Bu telah tahu siapa adanya tosu kurus yang sekarang memimpin rombongan Pek-lian-pai itu. Dia tahu bahwa biar pun tosu itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi berwatak tinggi hati, bahkan kadang-kadang sombong dan terlalu memandang rendah orang lain.
Tosu gendut yang tadi mengusulkan agar ketuanya dipilih bengcu, berkata. “Suhu Ci Hong Tosu mempunyai pengetahuan yang luas, di samping itu kepandaiannya tinggi, dan terutama sekali di samping itu semua, beliau adalah seorang tokoh Pek-lian-pai dan siapakah yang tidak tahu bahwa sejak dahulu Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang selalu berjuang untuk mengusir penjajah?”
“Susiok kami, Giam San-jin belum tentu kalah dibandingkan dengan tokoh Pek-lian-pai!” tiba-tiba terdengar pula suara dari rombongan Pat-kwa-pai. “Dan mengenai perjuangan menentang pemerintah penjajah, Pat- kwa-pai juga sudah amat terkenal.”
“Dalam hal perjuangan, Thian-li-pai tidak kalah! Dan dalam hal kepandaian, juga toako kami Su Ciok boleh diandalkan!” teriak orang-orang Thian-li-pai.
Kembali keadaan menjadi berisik karena tiga golongan ini bicara sendiri semaunya.
Sementara itu, semenjak tadi Ceng Liong tidak memperhatikan mereka yang ribut-ribut mengajukan calon-calon bengcu karena dia sibuk mencari-cari Bi Eng dengan matanya. Begitu melihat munculnya guru dan calon ayah mertua kekasihnya, dia sudah menoleh dan memandang ke sana-sini, mencari-cari dengan pandang matanya serta merasa gelisah mengapa gadis itu belum juga muncul.
Akhirnya dia melihat berkelebatnya bayangan Bi Eng di antara penonton di sebelah selatan, maka dia pun segera menyusup ke sana menghampiri dan Bi Eng yang juga melihatnya kemudian bergerak pula menghampirinya. Seperti telah mereka janjikan dan setujui berdua, mereka lalu berdiri di tempat yang tidak begitu berdesak-desak, berdiri berdampingan dan bersama-sama memandang ke arah Sim Hong Bu yang memimpin pertemuan itu.
“Suhu-mu memang gagah perkasa,” Ceng Liong memuji lirih.
“Ya, dan kalau menurut aku, tak ada yang lebih baik dari pada suhu untuk menjadi calon bengcu. Dia penuh semangat dan berilmu tinggi, juga kegagahan dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi,” jawab Bi Eng lirih.
“Kalau begitu, kenapa tidak kau usulkan agar dia dicalonkan pula?”
“Engkau benar! Orang-orang seperti mereka itu dicalonkan, mengapa suhu tidak?”
Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan kakinya, gadis itu sudah meloncat ke depan, ke arah bagian tanah yang agak tinggi meski tidak setinggi tanah datar di mana gurunya berada. Dengan pengerahan khikang yang membuat suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan ia berkata. “Cu-wi, saya juga mengajukan seorang calon bengcu, yaitu bukan lain guru saya sendiri Sim Hong Bu yang cu-wi semua sudah mengenalnya!”
Usul ini disambut sorakan setuju dari sebagian banyak orang, mungkin lebih tertarik karena melihat kecantikan dan keberanian Bi Eng dibandingkan dengan kepercayaan mereka terhadap Sim Hong Bu sendiri.
Melihat ulah muridnya, Sim Hong Bu tertawa dan mengangkat kedua tangan ke atas. “Cu-wi sekalian, harap maafkan murid saya. Akan tetapi karena ia sudah mengajukan saya sebagai calon, tentu saja terserah kepada cu-wi. Nah, siapa lagi yang hendak mengajukan calon?”
Ternyata banyak juga calon yang diajukan oleh para pendekar itu. Di antara mereka bahkan terdapat Bu-taihiap atau pendekar Bu Seng Kin yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti banyak isteri dan kekasihnya itu, yang kini telah berusia enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak ganteng dan gagah! Bu-taihiap hanya tersenyum-senyum saja mendengar betapa dia dicalonkan sebagai bengcu yang akan memimpin para pendekar dan patriot untuk berjuang menentang pemerintah penjajah. Agaknya pendekar ini merasa gembira bahwa masih ada orang yang percaya kepadanya dan diam-diam dia merasa bangga karenanya. Jumlah para calon itu ada tujuh belas orang!
“Jumlah calon begini banyak, bagaimana harus diadakan pemilihan di antara yang tujuh belas ini?” Sim Hong Bu menjadi bingung sendiri melihat demikian banyaknya calon yang diajukan. Apalagi mereka itu nampak damikian bernapsu untuk menang dalam pemilihan ini.
“Mudah saja diatur! Kita adalah orang-orang yang sudah biasa mengandalkan ilmu silat untuk melewati hidup. Karena itu, untuk menentukan pilihan, sebaiknya kalau dipilih di antara kita yang paling tangguh. Nah, aku sebagai seorang di antara calon-calon sudah maju untuk menandingi calon lain yang merasa berkepandaian tinggi!”
Yang bicara ini adalah seorang pria tinggi besar bermuka hitam yang sudah meloncat ke depan, di tempat datar itu, bersikap menantang. Semua orang memandang kepadanya. Pria ini tadi dipilih oleh kawan-kawannya dan dia terkenal sebagai seorang yang ditakuti di Tai-goan, bahkan di Propinsi Shan-si dia dikenal sebagai jagoan atau tukang pukul yang disegani. Karena dia tidak pernah berbuat kejahatan, walau pun agak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan selalu ingin benar sendiri, maka dia selalu mengangap diri sendiri sebagai seorang pendekar!
Pria ini bernama Tang Gun, dan pria yang tinggi besar bermuka hitam ini berusia empat puluh tahun, terkenal memiliki banyak macam ilmu silat di antaranya ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-si dan tenaganya amat besar. Sebelum yang lain-lain sempat mengemukakan pendapatnya dan juga sebelum Sim Hong Bu sempat mencegahnya, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Su Ciok, tokoh Thian-li-pai, sudah berada di atas tanah datar itu menghadapi Tang Gun!
“Bagus, engkau hendak menantang pibu? Baik sekali, akulah lawanmu. Sekarang lihat seranganku!” bentak Su Ciok sambil menerjang dengan pukulannya yang kuat.
Tokoh Thian-li-pai ini memang berwatak keras, tidak banyak cakap namun suka sekali berkelahi. Begitu mendengar usul dan tantangan Tang Gun tadi, dia sudah naik darah dan menyambut tantangan itu tanpa banyak cakap lagi.
“Heh, engkau ini tokoh Thian-li-pang tadi?” bentak Tang Gun sambil menangkis dengan pengerahan tengannya yang besar.
“Dukkk....!”
Pertemuan dua lengan yang sama besar dan sama kuatnya itu membuat keduanya terdorong ke belakang sampai terhuyung. Keduanya terkejut, tak mengira bahwa lawan memiliki tenaga yang demikian besar. Akan tetapi kini Tang Gun marah dan membalas serangan tadi dengan cengkeraman tangan ke depan, disusul hantaman tangan kiri ke arah kepala lawan. Karena kini dia tahu bahwa lawannya juga memiliki tenaga besar, maka melihat datangnya serangan yang kuat berbahaya itu, Su Ciok mengelak dan balas menyerang. Serang-menyerang pun terjadilah dengan serunya.
Dan ternyata dua orang yang sama tinggi besar dan sama kuatnya ini memang memiliki kepandaian dan tenaga seimbang. Berkali-kali lengan mereka saling bertemu dan selalu keduanya terdorong ke belakang. Ketika mereka bertanding sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh ke medan perkelahian itu. Kiranya bayangan itu adalah Giam San-jin tokoh Pat-kwa-pai.
“Plakk! Plakk!”
Kakek berpakaian pertapa ini menggerakkan tangannya menyambut pukulan dua orang yang sedang berkelahi itu. Demikian kuat tamparan tangannya ketika mengenai lengan mereka sehingga Tang Gun dan Su Ciok yang bertenaga besar itu pun terpelanting dan hampir terbanting roboh! Tentu saja keduanya terkejut bukan main.
“Kalian mundurlah!” kakek itu membentak dengan mata mencorong kepada mereka.
Dua orang kuat itu terbelalak dan sejenak bimbang. Dari pertemuan tenaga tadi saja mereka pun maklum bahwa kakek tokoh Pat-kwa-pai ini memang hebat sekali, maka mereka menjadi ragu dan jeri, lalu mundur untuk membiarkan kakek itu bicara.
Giam San-jin memberi hormat ke empat penjuru, kemudian berkata dengan suara halus. “Kami setuju dengan usul untuk menentukan siapa yang menjadi bengcu melalui ujian kepandaian. Akan tetapi bukan secara kasar dan tak teratur seperti yang diperlihatkan dua saudara tadi. Sebelumnya harus diadakan peraturan agar tidak kacau-balau. Dan pertama ingin kami mendengar, apakah cu-wi yang hadir di sini setuju bahwa untuk menentukan bengcu diadakan ujian kepandaian di antara para calon, dan yang paling pandai berhak menjadi bengcu?”
“Siancai....! Itulah jalan yang paling baik. Kami setuju!” Terdengar Ci Hong Tosu tokoh Pek-lian-pai berseru, suaranya tinggi melengking hingga terdengar jelas sebab memang tosu ini hendak memperlihatkan kekuatan khikangnya.
Selain ketua Pek-lian-pai, banyak pula di antara para tokoh yang sudah dicalonkan tadi menyetujui. Kembali suasana menjadi gaduh karena ada pula di antara para pendekar yang nampaknya tidak setuju dengan usul pertandingan adu kepandaian itu...
“Liong-te.... aihh, siapa bisa mengenalnya kalau engkau sekarang sudah begini besar? Lihat, engkau tidak hanya lebih besar dari pada aku, bahkan lebih tinggi. Engkau begini gagah perkasa, ahhh, adikku, aku bangga sekali melihatmu!”
“Bun-toako, sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah saling jumpa. Tidak kusangka akan bertemu denganmu pada saat tadi aku mendaki bukit ini, mencari penyanyi yang suaranya begitu menarik hatiku. Kiranya engkaulah yang bernyanyi tadi. Toako, kenapa hatimu begitu berduka?”
Ciang Bun menarik napas panjang. Pertanyaan itu tentu saja membuat dia teringat akan keadaan dirinya, teringat akan Gangga. Dan begitu dia teringat kepada gadis yang telah meninggalkannya itu, dia pun teringat bahwa Gangga pernah menyebut nama Ceng Liong dan dia pun memandang dengan penuh perhatian dan alisnya berkerut.
“Liong-te, sebelum kita bicara lebih banyak, jawablah dulu pertanyaanku ini. Benarkah bahwa engkau telah menjadi murid iblis tua Hek-i Mo-ong....?”
Tentu saja Ceng Liong terkejut mendengar ini, tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bun-toako, hal itu merupakan cerita yang panjang sekali. Tanpa mendengar seluruh keadaan pada waktu itu, hanya mendengar bahwa aku menjadi muridnya, tentu akan menimbulkan rasa penasaran....”
“Jadi benarkah berita itu? Liong-te, benarkah itu? Tentu saja aku merasa penasaran setengah mati! Liong-te, engkau sendiri juga mengetahui bahwa kakek iblis itu bersama kawan-kawannya telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es yang lalu mengakibatkan tewasnya kakek dan dua orang nenek kita, bahkan telah mengakibatkan tenggelamnya Pulau Es dan kau.... kau.... bahkan lalu menjadi muridnya?”
“Sabar dan tenanglah, toako dan mari dengarkan dahulu keteranganku tentang hal itu. Dengarlah ceritaku semenjak kita saling berpisah di tengah lautan itu. Aku melihat enci Hui dilarikan penjahat, serta melihat engkau dan juga Cin Liong terlempar ke dalam lautan dan aku sendiri lalu dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai seorang tawanan.”
Ceng Liong lalu menceritakan semua pengalamannya dan sebab-sebabnya mengapa dia sampai menjadi murid Hek-i Mo-ong, musuh besar yang mencelakakan kakek dan kedua neneknya di Pulau Es. Ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai pada saat Hek-i Mo-ong tewas di tangan kakek itu sendiri yang seolah-olah membunuh diri, karena dalam keadaan terluka parah kakek itu nekat menyerang pendekar Kam Hong. Diceritakannya betapa kakek iblis itu telah melimpahkan budi kepadanya hingga sukarlah baginya untuk menganggap kakek itu sebagai musuh.
Setelah mendengar semua cerita adik misannya, Ciang Bun yang mendengarkan sejak tadi dengan hati amat tertarik itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang. Memang, dia sendiri pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya kalau dia dilimpahi budi pertolongan dan kasih sayang oleh kakek iblis itu.
“Bun-toako, dari manakah engkau mendengar bahwa aku telah diambil murid oleh Hek-i Mo-ong?” kini Ceng Liong bertanya.
Ciang Bun baru sadar dari lamunannya. Sekarang dia teringat bahwa Ceng Liong belum bercerita kepadanya tentang pertemuan adiknya itu dengan Gangga Dewi seperti yang pernah dikatakan gadis Bhutan itu kepadanya, meski tadi Ceng Liong juga menceritakan bahwa adiknya itu diajak merantau oleh Hek-i Mo-ong sampai jauh ke wilayah barat, ke Pegunungan Himalaya bahkan sampai ke negara Bhutan.
“Liong-te, aku mendengarnya dari seorang gadis bernama Gangga Dewi....,” katanya memandang tajam. Wajah adik misannya ini di bawah sinar bulan purnama sungguh nampak gagah sekali.
“Gangga Dewi....?” Ceng Liong berseru kaget dan girang. “Ahhh, Gangga Dewi gadis Bhutan itu....”
“Liong-te, engkau kenal padanya?”
“Kenal! Tentu saja!” Ceng Liong tertawa ketika dia teringat kepada anak perempuan bernama Gangga Dewi yang galak itu. “Ha-ha, tentu saja aku kenal, toako. Bukankah ia bernama juga Wan Hong Bwee, puteri Bhutan itu? Bukankah ia masih ada hubungan keluarga pula dengan kita?”
Kini Ciang Bun benar-benar terkejut bukan main. “Puteri Bhutan? Wan Hong Bwee dan masih ada hubungan keluarga dengan kita? Bagaimana ini, Liong-te, aku tak tahu sama sekali. Ceritakanlah kepadaku siapa sesungguhnya gadis itu.”
“Ha-ha-ha, dia tidak pernah bercerita kepadamu? Wah, memang sungguh bengal anak itu! Ketahuilah, toako, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee itu adalah puteri tunggal dari Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.”
“Ahhh.... ahhh.... maksudmu Wan Tek Hoat cucu mendiang nenek Lulu, jadi.... masih kakak tiriku sendiri?” Ciang Bun benar-benar terkejut karena tidak pernah menyangka sama sekali.
Kenapa gadis Bhutan itu tak pernah menceritakan tentang keadaan dirinya? Ayah gadis itu, Wan Tek Hoat, sudah amat dikenal namanya oleh para cucu Pulau Es. Dia pun telah mendengar bahwa pendekar yang masih terhitung kakak tirinya itu menikah dengan Puteri Syanti Dewi, puteri istana Bhutan dan kini tinggal di Bhutan.
Jadi kalau begitu, Gangga adalah keponakannya sendiri, biar pun keponakan yang jauh. Dan tentu saja Gangga sudah tahu akan semua ini. Bukankah Gangga mengatakan bahwa dia sudah mengenal Ceng Liong dan tahu pula bahwa dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Akan tetapi gadis itu tidak pernah menyinggung keadaan dirinya, dan kini gadis itu telah pergi!
“Dan bagaimana dengan engkau sendiri, toako? Apa yang telah kau alami sejak engkau terlempar ke dalam lautan dari perahu kita yang diserang penjahat itu? Dan mengapa pula engkau tidak hadir dalam pesta pernikahan enci Hui?”
Kembali Ciang Bun menarik napas panjang dan termenung, kelihatan berduka sekali sehingga Ceng Liong memandang khawatir, tak berani mendesak melainkan menunggu saja kakak misannya itu bicara.
Akhirnya Ciang Bun berkata dengan nada suara yang lesu, “Tidak ada apa-apa yang menarik dalam hidupku, Liong-te, kecuali kemuraman dan kekecewaan. Seperti kau lihat, aku masih hidup sekarang karena ketika aku terlempar ke lautan dari perahu kita yang diserbu penjahat sepuluh tahun yang lalu itu, aku berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut. Dan selanjutnya, aku hanya terombang-ambing antara kedukaan dan mala petaka yang menimpa keluargaku....” Pemuda itu menarik napas panjang.
Ceng Liong mengangguk-anggukkan kepala. “Bun-toako, aku juga menghadiri perayaan pernikahan enci Hui dan pada saat itu aku mendengar bahwa engkau belum lama pergi meninggalkan kota raja, dan aku sudah mendengar dari keluargamu tentang segala yang telah terjadi, yang menimpa diri enci Hui. Akan tetapi untunglah bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Cin Liong yang gagah perkasa dan baik hati.”
“Engkau benar, Liong-te. Aku menyesal sekali bahwa aku tidak dapat hadir di waktu pernikahan enci Hui dirayakan, karena aku.... pada waktu itu aku sedang gila mengejar bayangan kosong.... dan sampai sekarang aku belum pulang. Biarlah, adikku, biarlah nasib membawa diriku seperti sebuah layang-layang putus talinya dan tertiup angin badai ke angkasa raya tanpa tujuan....”
Melihat betapa pemuda itu kembali tenggelam ke dalam kedukaan, Ceng Liong merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakak misannya ini menderita tekanan batin yang hebat sekali sehingga seperti orang kebingungan. Maka dia pun berusaha menggembirakan hati kakaknya itu. Suaranya meninggi gembira ketika dia bertanya, “Toako, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Hong Bwee?”
“Hong Bwee....?”
“Ya, atau yang bernama Gangga Dewi itu! Ia tinggal di Bhutan, apakah engkau pernah merantau sampai ke Bhutan pula?”
Ciang Bun menggelengkan kepala dan menjawab lesu. “Tidak di Bhutan, aku bertemu dengannya ketika ia merantau sampai ke kota raja....”
“Aihhh....! Anak itu memang luar biasa! Pemberani dan juga tentu saja lihai,” kata Ceng Liong, masih belum puas melihat kakak misannya demikian murung dan berusaha untuk menggembirakan hatinya. “Waah, toako, tak kusangka engkau kini gemar bernyanyi dan suaramu hebat pula! Dan nyanyianmu tadi, wah, romantis sekali, toako. Ehmm, siapa sih gadis yang begitu kau cinta sehingga untuk memperoleh cintanya, engkau tidak peduli segala hal lain yang terjadi?”
Akan tetapi, mendengar ucapan yang nadanya bergurau itu, Ciang Bun malah menarik napas panjang. Pertanyaan itu seperti menyeretnya kembali ke alam kenangan yang penuh dengan bayangan Gangga yang meninggalkannya. Dan bertemu dengan Ceng Liong dia merasa bertemu dengar saudara sendiri, dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, bahkan orang yang dapat pula dijadikan tempat penumpahan segala rasa dukanya.
“Liong-te, semua keadaan diriku ini, yang seperti orang gila ini.... bukan lain adalah karena dia pula.... orang Bhutan itu....”
“Hong Bwee....?” Kata Ceng Liong terbelalak memandang wajah kakaknya.
“Gangga.... dialah yang membuatku merana.... ah, tidak, Liong-te, bukan dia sebabnya, melainkan diriku sendiri, keadaanku sendiri. Dia tidak boleh disalahkan, bahkan sudah sepatutnya kalau dia meninggalkan aku, penuh kemuakan dan kebencian....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangannya karena teringat sepenuhnya akan semua itu membuat dia berduka sekali.
Dan Ceng Liong memandang dengan penuh keheranan, apalagi melihat betapa diam-diam kakak misannya itu telah menangis di balik kedua tangan yang menutupi muka! Kakak misannya ini bukan anak kecil lagi, sudah dewasa, gagah perkasa dan dia tahu bahwa kakaknya ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sekarang menangis, karena seorang gadis! Menangis seperti anak kecil, atau seperti seorang wanita.
Dia tidak tahu harus berbuat apa, harus berkata apa untuk menghibur hati Ciang Bun karena dia sendiri terlalu kaget dan heran mendengar pengakuan kakak misannya yang tak disangka-sangkanya itu. Agaknya kakaknya ini telah jatuh cinta kepada Hong Bwee atau Gangga Dewi, dan agaknya gadis Bhutan itu menolaknya dan meninggalkannya.
“Bun-toako, apa yang telah terjadi antara engkau dan Gangga Dewi? Maukah engkau menceritakannya kepadaku?”
Sampai lama Ciang Bun menundukkan mukanya, lalu ia melangkah menjauh dan duduk di atas akar pohon, tetap menunduk dan seperti orang melamun jauh. Rahasia dirinya hanya pernah dia buka kepada kakaknya saja, yaitu Suma Hui. Akan tetapi Suma Hui adalah seorang wanita, belum tentu dapat ikut merasakan penderitaan batinnya secara tepat. Dan Ceng Liong adalah saudara misan yang tiada bedanya dengan saudara sendiri karena dia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Apa salahnya kalau dia berterus terang kepada Ceng Liong? Siapa tahu, adik misan yang sejak kecil banyak akalnya ini akan mampu membantunya dan mencari jalan yang terbaik untuknya.
“Liong-te, ke sinilah, duduk di sini dan marilah kau dengarkan ceritaku, mudah-mudahan engkau akan dapat membantuku memikirkan bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini,” akhirnya dia berkata.
Mendengar kata-kata itu, Ceng Liong terkejut bukan main. Suara kakak misannya begitu serius. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat kepada diri kakaknya ini dan dia merasa gelisah juga dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di atas batu berhadapan dengan Ciang Bun yang duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah. Untuk beberapa lamanya mereka saling pandang dan keadaan amatlah sunyinya.
Langit bersih tiada awan sehingga sinar bulan purnama menerangi tempat itu seperti pagi yang cerah. Hawa udara sejuk dan bahkan dingin, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu tidak menderita akibat hawa dingin. Pada saat mereka berdiam diri, yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan belalang mengurung diri mereka dari segenap penjuru.
Kemudian terdengar suara lirih Suma Ciang Bun, berbisik-bisik menceritakan keadaan dirinya, kelainan yang terdapat dalam batinnya. Betapa dia amat suka, bahkan tergila-gila dan mudah sekali bangkit gairahnya terhadap pria lain, sedangkan terhadap wanita dia tidak mempunyai perasaan suka itu, kecuali rasa suka seperti seorang sahabat, sama sekali tidak ada gairah terhadap wanita.
Meski Ceng Liong adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah terguncang perasaannya, mendengar penuturan kakak misannya ini dia terkejut dan juga prihatin sekali, di samping perasaan heran yang tidak terbayang pada wajahnya.
Ciang Bun lalu melanjutkan ceritanya tentang diri sendiri, betapa dia berjumpa dengan seorang pemuda bernama Ganggananda yang membuatnya jatuh cinta, bahkan tergila-gila. “Ahhh, betapa pun aku menyadari bahwa perasaanku terhadap Ganggananda itu adalah tidak wajar, adikku. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku adalah seorang pria, dan aku jatuh hati, benar-benar aku tergila-gila kepada seorang pemuda lain, seorang pria lain. Namun aku tidak mampu melawan gejolak dalam hatiku, kesadaranku seolah-olah sudah membutakan diri, tidak mau peduli lagi karena gairah dan hasrat hatiku terhadap Ganggananda tidak mungkin dapat dibendung lagi….”
Pemuda itu diam dan berulang kali menarik napas panjang, beberapa kali membuka mulut seperti hendak melanjutkan namun tidak ada suara keluar dari mulutnya, seolah-olah dia tidak kuasa untuk melanjutkan.
Suma Ceng Liong merasa kasihan sekali melihat keadaan kakak misannya itu dan dia pun menyentuh tangan Ciang Bun sambil berkata. “Sudahlah, Bun-toako, kalau engkau merasa berat untuk melanjutkan, tidak perlu kau bicara lagi. Aku sudah mengerti, atau setidaknya aku akan berusaha untuk mengerti.”
“Tidak, aku harus menceritakan seluruhnya. Aku sudah kuat, Liong-te, dengarlah baik-baik.”
Suma Ciang Bun kemudian melanjutkan, betapa dia bertahan diri untuk tidak membuka cintanya terhadap Ganggananda karena khawatir kalau-kalau pemuda Bhutan itu akan merasa muak dan jijik kepadanya, lalu membencinya karena keadaannya yang tidak wajar itu. Akan tetapi betapa akhirnya dia tidak kuat bertahan dan mengakui cintanya, siap menerima segala akibatnya andai kata Ganggananda kemudian menjadi jijik dan membencinya. Akan tetapi, sebaliknya dialah yang terpukul.
“Betapa terkejut dan hancurnya perasaanku, Liong-te. Betapa bingung dan malu rasa hatiku saat Ganggananda membuka rahasia bahwa dia adalah seorang wanita bernama Gangga Dewi dan sama sekali bukan pemuda seperti yang selama itu kuduga! Dan aku sudah terlanjur mengatakan kepadanya bahwa aku tidak suka wanita! Ah, ia menjadi marah-marah, tentu ia amat benci kepadaku dan ia lalu meninggalkan aku, Liong-te....! Dan aku.... aku merasa malu, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, dan aku merana, aku bahkan tidak mau pulang walau pun aku tahu bahwa enci Hui merayakan pernikahannya. Aku adalah seorang manusia sampah.... membikin malu saja....”
“Bun-toako!” Terdengar suara Ceng Liong seperti membentak, menggeledek sehingga mengejutkan Ciang Bun. “Begitukah sikap seorang pendekar yang gagah perkasa? Begitu cengeng penuh dengan iba diri, merasa seolah-olah diri sendiri menjadi orang yang paling sengsara di permukaan bumi ini?”
Ciang Bun terkejut sekali. Baru sekarang ini dia mendengar orang bicara seperti itu kepadanya dan sepasang mata adik misannya itu mencorong menakutkan! Dan sikap Ceng Liong itu seketika menggugah semangatnya, seperti mengguncangnya dari tidur pulas dan mimpi buruk. Dia melihat Ceng Liong bangkit berdiri dan dengan sepasang mata bersinar memandang kepadanya.
“Bun-toako, bagaimana pun juga, apa pun juga yang terjadi atas dirimu, engkau harus berani menghadapi kenyataan! Katakanlah bahwa engkau mengalami atau menderita kelainan, yang berbeda dengan pria pada umumnya, akan tetapi bagaimana pun juga keadaanmu itu adalah suatu kenyataan dan segala kenyataan adalah benar dan tidak dapat diubah hanya dengan tangisan dan keluhan belaka!”
Kata-kata itu seperti tusukan-tusukan pedang yang terasa benar di hatinya, membuat Ciang Bun perlahan-lahan bangkit berdiri. Hiburan-hiburan baginya tiada artinya lagi. Akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulut Ceng Liong ini sama sekali bukan hiburan, melainkan pisau-pisau yang melakukan operasi membuka segalanya sehingga nampak olehnya, nampak olehnya kenyataan yang ada pada dirinya.
“Ceng Liong.... adikku.... engkau benar. Lalu.... lalu apa yang harus kulakukan, adikku?”
“Toako, aku bukan gurumu dan engkau bukan muridku. Kalau engkau hanya mengekor saja pada pendapat orang lain, termasuk pendapatku, engkau akan terlibat pula dalam pertentangan batin, akan diputar-putar antara rasa benar dan salah. Keadaan itu adalah keadaanmu sendiri, badanmu sendiri, dan hanya engkau sendiri yang dapat merasakan, maka engkau sendiri pula yang dapat menentukan baik buruknya, engkau sendiri yang bisa mengambil ketentuan, akan melanjutkan atau menghentikan. Mengertikah, toako?”
Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia mulai memandang adik misannya itu dengan penuh kagum. Baru sekarang dia merasa semangatnya tergugah, tidak tenggelam di dalam kemurungan dan kekecewaan, tenggelam dalam perasaan yang nelangsa dan putus asa. Kini matanya seperti dibuka dan dia dipaksa berhadapan dengan kenyataan sesungguhnya yang ternyata tidaklah begitu mengerikan atau menakutkan seperti kalau dibayangkan. Keadaan dirinya bukanlah suatu keadaan yang sudah rusak sama sekali. Tidak! Benar Ceng Liong. Badan ini adalah badannya, berikut baik buruknya dan cacat celanya. Dialah yang berkuasa atas badan ini. Tidak sepatutnya kalau batinnya terseret dan tenggelam oleh keadaan badannya!
“Ahh, terima kasih, Liong-te, terima kasih. Kata-katamu merupakan minuman pahit akan tetapi sungguh bermanfaat sekali bagiku, seperti cambuk tetapi dapat menggugahku dari tidur nyenyak! Selama ini aku bersikap terlalu lemah dan baru nampak olehku sekarang!”
“Toako, keadaanmu itu sebenarnya tidak perlu diributkan benar. Kelainan pada dirimu itu tidak lebih dari kelainan dalam nafsu birahi atau nafsu kelamin belaka. Dan nafsu itu bukanlah satu-satunya urusan dalam hidup ini bukan? Lebih baik kita melupakan hal yang sudah lalu dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan setiap saat. Hanya kenangan lama saja yang menimbulkan gelisah dan duka. Mari kita bergembira, toako!”
Ciang Bun merangkul adik misannya itu kemudian memandang wajahnya dari dekat, memandang penuh kagum. “Ahh, tak kusangka adikku yang dahulunya seorang anak yang bengal itu kini menjadi seorang pemuda yang batinnya jauh lebih dewasa dari pada aku, dan baru sekarang aku melihat betapa diriku selama ini tersiksa oleh batinku sendiri. Batinku selalu tenggelam dalam keluhan dan kesengsaraan yang kubuat sendiri. Engkau memang benar. Hidup ini bukan hanya urusan nafsu birahi semata dan cintaku yang sudah-sudah itu hanyalah nafsu birahi belaka karena aku pun menyadari bahwa cinta kasih yang murni tidak membeda-bedakan dan tidak memilih-milih. Tetapi terus terang saja, adikku. Setelah aku mengetahui bahwa Gangga seorang gadis, dan aku mengamati perasaanku, aku hampir merasa yakin bahwa aku memang cinta padanya, tidak peduli dia itu pria atau wanita. Akan tetapi.... ahh, sudahlah. Ia tentu sudah benci kepadaku dengan perasaan muak dan jijik, pula, kalau kupikir-pikir lagi, seorang gadis sehebat dia itu memang tidak layak kalau menjadi sisihan seorang laki-laki sinting macam aku yang tidak lumrah pemuda biasa ini.”
Ceng Liong tersenyum. Ucapan itu nadanya bukan keluhan lagi dan wajah Ciang Bun tidaklah muram seperti tadi lagi.
“Toako, kalau ia membencimu, kalau ia merasa jijik dan muak, itu tandanya ia tidak cinta padamu. Dan dalam urusan jodoh, cinta haruslah ada di kedua pahak, bukan? Kalau hanya kita yang mencinta setengah mati akan tetapi sang gadis tidak, untuk apa dilanjutkan? Berarti hanya penyiksaan batin sendiri, bukan?”
“Cocok! Dan aku tidaklah begitu tolol membiarkan diriku tersiksa sendirian. Ha-ha-ha, engkau seperti dewa penolong yang menyingkirkan batu yang tadinya menindih hatiku, Liong-te.” Ciang Bun tertawa dan mungkin baru sekali inilah dia dapat tertawa dengan sepenuh hatinya semenjak dia ditinggalkan Gangga Dewi.
“Yang menyingkirkan adalah engkau sendiri. Orang lain atau aku tidak mungkin dapat menyingkirkannya, paling banyak hanya mampu membantu menunjukkannya saja. Nah, sekarang ceritakanlah, toako. Bagaimana engkau dapat berada di sini? Apakah engkau juga ingin menghadiri pertemuan antara para pendekar di tempat ini?”
Ciang Bun mengangguk-angguk dan kini dia bercerita dengan suara yang wajar dan bebas.
“Aku merantau tanpa tujuan dan aku membatalkan niatku menyusul ke Bhutan. Dalam perantauan itu aku mendengar berita angin bahwa para pendekar akan mengadakan pertemuan di Hutan Cemara ini, maka aku pun segera pergi ke sini.”
“Tahukah engkau, toako, apa yang akan dilakukan atau dibicarakan para pendekar dalam pertemuan di Hutan Cemara ini?”
Ciang Bun menggeleng kepala dan memandang wajah adiknya dengan alis berkerut. “Aku tidak tahu, hanya mendengar bahwa para pendekar akan mengadakan pemilihan seorang bengcu (pemimpin rakyat).”
“Para pendekar mengadakan pertemuan di sini untuk membicarakan urusan tanah air yang dijajah Bangsa Mancu, toako. Membicarakan tentang rencana perjuangan untuk memberontak dan membebaskan negara dan bangsa dari penjajah Mancu dan untuk itu agaknya memang akan diadakan pemilihan seorang bengcu yang akan memimpin gerakan itu.”
Sepasang mata Ciang Bun terbelalak. “Pemberontakan....? Para pendekar hendak melakukan pemberontakan....?”
“Kenapa kau terkejut, toako?” tanya Ceng Liong, teringat akan kekagetan hatinya sendiri ketika untuk pertama kalinya dia mendengar dari pendekar Sim Hong Bu. Dia ingin tahu akan isi hati dan perasaan kakak misannya ini mengenai pemberontakan menentang pemerintah Mancu ini.
“Kenapa pula tidak terkejut?” Ciang Bun balas bertanya. “Kita sama sekali tidak boleh mencampurinya kalau seperti itu maksud pertemuan para pendekar itu!”
“Kenapa, toako?”
“Engkau masih bertanya lagi kenapa, Liong-te? Jelas bahwa kita tidak mungkin dapat mencampuri urusan pemberontakan, apalagi ikut-ikut memberontak! Ingat saja kepada mendiang nenek Nirahai! Ingat saja kepada bibi Milana dan sekarang lebih lagi kalau aku mengingat bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong!”
Suma Ceng Liong menghela napas. Persis benar perasaan kakak misannya ini dengan perasaan hatinya sendiri saat untuk pertama kali dia membantah ayahnya dan pendekar Sim Hong Bu.
“Mula-mula aku pun berpendapat begitu, toako. Akan tetapi ayahku sendiri menyetujui rencana para pendekar itu. Setelah bercakap-cakap, aku pun dapat melihat kebenaran pendapat mereka yang hendak menentang pemerintah Mancu.”
Ceng Liong lalu menerangkan kepada kakak misannya tentang para patriot yang ingin membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajahan Mancu dan dalam perjuangan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan tidak dikenal kepentingan pribadi.
“Boleh jadi kaisar sekarang, walau pun seorang Bangsa Mancu, merupakan seorang kaisar yang baik, akan tetapi bagaimana pun juga baiknya, dia termasuk ke dalam alat dari bangsa asing yang menjajah bangsa kita. Dalam perjuangan ini kita tidak memusuhi pribadi-pribadi, dan juga kita bukannya berjuang untuk kepentingan pribadi, melainkan perjuangan rakyat terhadap penjajah.”
“Hemm, kalau begitu, engkau datang untuk ikut dalam pertemuan itu, berarti ikut pula merencanakan.... pemberontakan?” Ciang Bun bertanya, wajahnya menjadi agak pucat mendengar urusan yang amat gawat itu.
Ceng Liong tersenyum. “Toako, seperti juga engkau, dan kuharapkan juga seperti semua orang muda, aku pun tidak mudah puas menerima suatu pendapat begitu saja. Aku datang untuk melakukan penyelidikan, meneliti keadaan dan mengenal orang-orang yang hendak memimpin perjuangan itu, apakah benar-benar mereka itu adalah para pendekar-pendekar dan patriot-patriot sejati yang hendak menyumbangkan jiwa raga demi kepentingan bangsa, ataukah hanya segerombolan orang yang suka bertualang mencari keuntungan diri pribadi belaka.”
Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya perlahan. “Aku bingung, Liong-te. Aku tidak tahu apakah aku dapat mencampuri urusan pemberontakan. Semua terjadi demikian mendadak. Sebelum mendengar keteranganmu ini, aku bahkan sama sekali tak pernah membayangkan akan adanya rencana pemberontakan. Tetapi engkau benar. Sebelum mengambil keputusan, sebaiknya kalau aku pun melihat dan mendengar lebih dulu, menyelidiki dahulu dengan teliti.”
“Bagus, begitulah seyogianya, toako. Dan mengingat bahwa kita berdua adalah anggota keluarga Pulau Es, dan karena kita berdua masih ragu-ragu dan bermaksud menyelidik, lebih baik kalau kita berpencar. Sebaiknya kalau kita menyembunyikan nama keluarga kita agar tidak mudah dikenal orang. Bagaimana pun juga, semua pendekar tahu belaka bahwa keluarga para pendekar Pulau Es masih mempunyai hubungan, bahkan memiliki darah keluarga kaisar Mancu! Kenyataan ini tentu akan menimbulkan kecurigaan dan mendatangkan hal-hal yang mungkin tidak baik.”
Ciang Bun mengangguk, “Baik, adikku. Dan tempat ini kita jadikan tempat pertemuan kita. Kita akan berpencar dan melakukan penyelidikan sendiri-sendiri secara terpisah, kemudian pada malam harinya kita bertemu di sini dan membanding-bandingkan hasil penyelidikan kita.”
Dua orang kakak beradik misan ini kemudian saling berpisah meninggalkan bukit itu, mengambil jalan yang bertentangan.....
**********
“Huh, tikus-tikus macam kalian ini tidak patut menyebut diri pendekar-pendekar!”
Bentakan itu dikeluarkan oleh seorang gadis yang berdiri sambil bertolak pinggang, menghadapi tiga orang laki-laki yang menyeringai gembira. Pagi itu masih agak gelap, matahari masih terlampau rendah untuk dapat mengusir kegelapan yang ditimbulkan oleh pohon-pohon yang lebat dalam hutan itu.
Seorang gadis yang usianya antara delapan belas atau sembilan belas tahun. Tubuhnya padat ramping dan tingginya sedang. Pakaiannya sederhana, bukan saja potongannya melainkan juga terbuat dari kain kasar, akan tetapi justru pakaian sederhana ini bahkan menonjolkan kecantikannya dan keindahan bentuk tubuhnya. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua dan digelung ke atas, tanpa perhiasan, hanya ditusuk dengan dua potong bambu sebesar sumpit.
Sepatunya dari bahan kulit, menutupi seluruh kaki sampai ke betis. Melihat sikap dan dandanannya, mudah diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan jauh, biasa menempuh dan menghadapi bahaya, seorang gadis kang-ouw. Namun tidak nampak sebuah pun senjata menempel di tubuhnya.
Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, apalagi pada saat ia sedang marah seperti itu. Cuping hidungnya yang kecil mancung itu dapat bergerak-gerak sedikit, dan mulutnya yang cemberut itu berbibir merah basah, tanda bahwa dia sehat dan segar. Kedua pipinya, pada tonjolan pipi di tepi bawah mata nampak merah sekali bagaikan diberi pemerah muka, padahal pipi itu merah asli seperti juga bibirnya.
Tiga orang laki-laki itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Biar dimaki oleh gadis itu, mereka tetap bergembira dan tersenyum-senyum genit. Dari pandang mata mereka, sikap dan bau mulut mereka, mudah diketahui bahwa mereka sedang mabok atau kebanyakan minum arak di pagi itu.
Sepagi itu sudah mabok, ini merupakan tanda orang-orang yang sudah menjadi hamba minuman keras. Dalam keadaan mabok seperti itu, biasanya orang tidak lagi sadar akan apa yang mereka lakukan, meniadakan sopan santun dan watak-watak asli mereka akan nampak keluar tanpa hambatan.
“Heh-heh, nona manis. Apa salahnya kalau kami mengajak engkau bersenang-senang di pagi hari yang sunyi dan sedingin ini? Ha-ha-ha!” seorang di antara mereka yang matanya sipit sekali berkata.
“Bercumbu sedikit tiada salahnya, nona. Kami para pendekar pun suka bermain cinta, hi-hi-hik!” kata orang ke dua yang hidungnya bengkok seperti hidung burung kakatua.
“Ha-ha-ha, benar, benar! Pendekar pun lelaki biasa yang suka bercanda dengan gadis cantik seperti engkau, nona. Dan tahulah engkau? Kedua pipimu begitu merah dan apa artinya kalau seorang gadis manis merah pipinya?” Orang ke tiga yang jenggotnya lebat berkata.
“Artinya?” sambung yang pertama. “Artinya gadis itu minta dicium pipinya, ha-ha-ha!”
Mereka bertiga tertawa bergelak, terbahak-bahak sambil memegangi perut.
“Ha-ha, akan tetapi jangan engkau yang mencium. Mukamu penuh brewok, kasihan ia akan mati kegelian,” kata pula yang sipit dan kembali mereka tertawa-tawa.
Gadis itu membanting-banting kakinya. “Keparat! Kalian bertiga ini pantasnya anggota gerombolan penjahat, sama sekali tidak pantas berada di tempat ini, di antara para pendekar yang mengadakan pertemuan. Kalau tidak ingat bahwa mungkin sekali kalian ini pendekar-pendekar yang tersesat dan bahwa sekarang akan diadakan pertemuan antara para orang gagah, tentu sudah kuhancurkan mulut kalian yang busuk itu!” Sambil berkata demikian, gadis yang menahan kemarahannya itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi, tiga orang itu menggerakkan tubuh mereka dan tahu-tahu mereka sudah berlompatan menghadang di depan gadis itu. Dari cara mereka bergerak melompat, dapat diketahui bahwa tiga orang pria ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang lumayan.
“Wah, wah, nanti dulu, nona!” kata yang bermata sipit, yang paling tua dan agaknya menjadi pimpinan di antara mereka.
“Kalian mau apa?!” bentak gadis itu dengan kemarahan yang hampir tidak dapat dia pertahankan lagi.
“Nona manis, engkau sungguh tidak adil. Kami bertiga bertemu denganmu, menjamah pun tidak, mengganggu pun tidak, hanya memuji-muji kecantikanmu. Untuk pujian itu, sudah sepatutnya kalau kami menerima hadiah. Sebaliknya, engkau memaki-maki dan menghina kami. Karena itu, tidak boleh engkau pergi sebelum kami menerima ganti rugi atas perlakuanmu yang tidak adil kepada kami.”
“Hemm, apa yang kalian kehendaki?”
“Tidak banyak, hanya masing-masing dari kami menerima satu ciuman saja darimu.” Si mata sipit menyeringai dan dua orang temannya mengangguk-angguk dengan jakun turun naik karena mereka sudah membayangkan betapa akan sedapnya menerima sebuah ciuman dari dara yang manis dan jelita ini.
Kini kemarahan dara itu tidak dapat ditahannya lagi. Mukanya menjadi merah dan matanya mencorong seolah-olah mengeluarkan api. “Keparat jahanam bermulut busuk! Sekali lagi, pergilah sebelum aku terpaksa menghajar kalian!”
“He-he-he, ia mau menghajar kita!” si mata sipit tertawa.
Dua orang kawannya tertawa pula. “Biarlah, dihajar oleh tangan yang halus itu aku siap! Sudah lama aku tidak diusap tangan halus.”
“Dan aku pun ingin dipijiti jari-jari mungil itu, heh-heh-heh!”
“Pergilah....!” Gadis itu menggerakkan tubuhnya dan kaki tangannya bergerak cepat sekali.
“Plak! Plak! Plak!” terdengar suara beberapa kali dan tubuh tiga orang itu terpelanting, dibarengi keluhan mereka.
Mereka terbelalak, masing-masing meraba pipi mereka yang menjadi bengkak oleh tamparan nona tadi. Yang membuat mereka terkejut adalah cepatnya tangan itu bergerak, sehingga berturut-turut mereka kena ditampar tanpa mereka dapat mengelak atau menangkis sama sekali. Dan karena tamparan itu memang membuat pipi bengkak dan muka panas, nyeri rasanya, ditambah lagi rasa malu karena sudah ditampar oleh seorang gadis muda, tiga orarg itu pun menjadi marah.
“Berani kau memukul kami?”
Mereka bangkit berdiri dan mengepung gadis itu, kemudian, sambil berteriak marah mereka mulai maju. Dari serangan mereka dapat dilihat bahwa mereka masih memiliki niat kotor sebab serangan mereka itu bukan pukulan, tapi cengkeraman-cengkeraman. Agaknya mereka itu ingin membalas tamparan si nona dengan cengkeraman untuk menangkap tubuh yang denok itu atau merobek pakaiannya!
Akan tetapi, mereka kecelik kalau mengira bahwa mereka berhadapan dengan seekor domba betina muda. Nona itu ternyata memiliki gerakan yang amat gesit dan dengan lincahnya tubuh yang ramping itu berloncatan ke sana-sini dan semua terkaman itu hanya mengenai angin belaka. Kemudian, kaki yang kecil itu bergerak tiga kali berturut-turut. Untuk ke dua kalinya, tiga orang setengah mabok itu terpelanting dan mengaduh-aduh! Si dara itu sama sekali bukan seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, melainkan seekor macan betina yang galak dan kuat.
Baru sekarang tiga orang itu sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang dara yang lihai. Akan tetapi, dasar mereka memang memiliki watak yang buruk, mereka tidak menyadari kesalahan mereka, sebaliknya dengan penuh kemarahan ketiga orang itu bangkit lagi dan mereka mencabut senjata mereka, yaitu sebatang golok tipis dan dengan senjata di tangan mereka kini mengurung si dara dengan wajah bengis.
Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak nampak gentar menghadapi ancaman tiga orang laki-laki yang memegang golok itu. Bahkan dia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang dan memandang dengan senyum simpul mengejek, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Agaknya ia sama sekali tidak khawatir karena dalam dua gebrakan tadi saja gadis ini sudah yakin benar bahwa tiga orang lawannya hanya galak aksinya saja akan tetapi sesungguhnya merupakan gentong-gentong kosong yang nyaring suaranya.
“Hemm, kalian memang perlu dihajar lebih keras lagi agar bertobat!” katanya dengan senyum tak pernah meninggalkan wajah yang manis.
Tiga orang itu kini telah kehilangan selera mereka untuk menggoda dan berbuat kurang ajar. Sekarang yang ada di dalam benak mereka hanyalah membalas dan kalau perlu membunuh gadis yang telah membikin malu mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat mereka terpelanting roboh tadi.
“Haiiiittt....!”
Si mata sipit sudah menerjang dengan gerakan goloknya yang membentuk gulungan sinar terang. Dua orang temannya agaknya tidak mau ketinggalan dan dari kanan kiri mereka pun menyerang dengan golok mereka. Sungguh tiga orang ini tidak tahu malu, menyerang seorang gadis bertangan kosong dengan golok mereka secara keroyokan seperti itu.
Tapi gadis itu sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok. Tiga orang itu menjadi semakin bernafsu ketika golok mereka membabat udara hampa saja dalam penyerangan pertama mereka. Maka mereka lalu menyusulkan serangan-serangan berikutnya yang datang dengan bertubi-tubi.
Gadis itu tetap mengelak ke sana-sini mencari kesempatan untuk membalas dan kurang lebih sepuluh jurus kemudian, mendadak dia mengeluarkan suara melengking nyaring sekali. Tiga orang pengeroyoknya terkejut, sejenak seperti menjadi lumpuh oleh suara yang menusuk telinga dan menyayat perasaan hati mereka itu. Dan pada saat itulah si gadis lihai menurunkan tangan membalas.
Tiga kali dia memukul dan tiga orang itu roboh berpelantingan sambil mengaduh-aduh dan golok mereka terlepas dari tangan kanan karena lengan kanan itu seketika lumpuh dan pundak mereka nyeri. Kiranya gadis itu tadi memukul ke arah pundak kanan dan membuat tulang pundak mereka remuk. Tentu saja lengan itu langsung menjadi lumpuh seketika.
“Hemm, aku masih mengampuni nyawa kalian, dan mudah-mudahan pelajaran ini membuat kalian bertobat!” kata si gadis dengan kata-kata yang tegas.
Akan tetapi, pada saat itu bermunculan belasan orang dikepalai oleh dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan yang memegang sebatang tongkat baja. Melihat tiga orang yang mengaduh-aduh itu, belasan orang ini lantas mengurung si gadis yang memandang dengan sikap tenang namun waspada. Dua orang kakek itu menghampiri tiga orang yang terluka, lalu menggunakan jari tangan mereka menotok beberapa jalan darah dekat pundak untuk mengurangi rasa nyeri. Kemudian mereka bangkit lagi dan menghadapi si gadis yang berdiri dengan sikap tenang itu.
“Nona, siapakah engkau yang begitu berani melukai tiga orang murid kami?” seorang di antara mereka bertanya. Sikapnya tenang dan angkuh, seakan-akan sikap seorang locianpwe kepada seorang yang tingkatannya lebih muda dan rendah.
Melihat jubah putih dari dua orang tosu itu dan gambar bunga teratai putih di atas dasar biru bundar di dada, gadis itu mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara halus akan tetapi mengandung nada mengejek. “Siapa adanya aku tidak perlu dibicarakan, akan tetapi jika tidak salah, ji-wi adalah orang-orang Pek-lian-pai yang sangat terkenal, bukan? Tiga orang yang menjadi murid ji-wi itu adalah anggota-anggota Pek-lian-pai. Akan tetapi mengapa mereka bersikap bagaikan penjahat-penjahat rendah yang suka mengganggu wanita? Apakah memang para murid Pek-lian-pai diajar untuk kurang ajar terhadap wanita?”
Wajah dua orang kakek itu berubah merah dan tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek menghentakkan tongkatnya di atas tanah.
“Siancai, nona muda bermulut lancang! Mana mungkin murid-murid kami melakukan hal yang rendah? Akan kutanya mereka!” Dia lalu menoleh kepada tiga orang yang masih menyeringai itu. “Coba katakan, apakah benar kalian mengganggu wanita? Hayo jawab sebenarnya!”
Si mata sipit yang mewakili dua orang kawannya cepat menjawab. “Sama sekali tidak, susiok! Kami mana berani mengganggu wanita? Kami bertemu dengan nona ini dan karena merasa bahwa di antara kami dan nona ini terdapat persamaan paham, kami menganggapnya sebagai seorang sahahat dan kami menyapanya. Akan tetapi ia marah-marah dan memaki-maki kami, bahkan lalu menyerang dan melukai kami.”
Tosu pendek gendut itu kembali memandang gadis itu dengan alis berkerut. Akan tetapi gadis itu telah mendahuluinya dan berkata sambil tersenyum mengejek.
“Aku mendengar bahwa Pek-lian-pai mempunyai dasar Agama Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) yang menjadi cabang dari Agama To-kauw. Mengambil gambar teratai putih untuk menunjukkan bahwa Pek-lian-pai putih bersih. Akan tetapi siapa kira, murid-muridnya selain pemabok-pemabok dan pengganggu wanita, juga adalah pembohong-pembohong besar dan pengecut, yang tidak berani mengakui kesalahan dan tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatan mereka!”
Si tosu gendut itu marah. Matanya terbelalak dan tongkatnya digerakkan melintang di depan dadanya. “Hemm, engkau ini bocah perempuan lancang mulut dan sombong, agaknya mengandalkan sedikit kepandaian untuk menghina Pek-lian-pai! Majulah, pinto hendak melihat sampai di mana kelihaianmu.”
Setelah berkata demikian, kakek gendut itu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan dia menerjang maju, mengirim tamparan ke arah pundak gadis itu. Bagaimana pun juga, sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, dia merasa malu kalau harus menghadapi seorang gadis remaja dengan senjatanya. Ketika menyerang pun dia hanya menampar pundak karena tidak bermaksud mencelakai, melainkan hanya memberi hajaran saja kepada gadis muda yang dianggapnya sombong dan keterlaluan telah berani melukai tiga orang murid Pek-lian-pai itu.
Agaknya kakek ini merasa yakin bahwa tamparannya itu tentu akan berhasil, karena bukan tamparan biasa, melainkan jurus ilmu silat Pek-lian-pai yang lihai, tamparan yang dilanjutkan dengan cengkeraman dan dilakukan dengan amat cepat, juga mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat.
Akan tetapi kakek gendut itu kecelik. Dengan gerakan indah namun cepat sekali, juga dilakukan seenaknya, dengan merendahkan tubuh dan miring lalu menggeser kaki ke belakang, gadis itu telah mampu menghindarkan serangannya itu dengan amat baiknya. Hal ini membuat si tosu penasaran. Kakinya melangkah ke depan dan dia mengirim serangan ke dua. Kakinya menendang ke arah lutut, dilanjutkan cengkeraman ke arah pundak dengan tangan kiri dan totokan jari tangan kanan ke arah leher. Sungguh merupakan serangkaian serangan yang amat berbahaya!
Kembali kakek itu kecelik. Dengan gerakan tubuh yang amat lincah, gadis itu dapat menghindarkan diri pula dengan sangat baiknya dan tiga serangan beruntun itu pun semua hanya mengenai tempat kosong belaka. Setelah lewat belasan jurus serangan yang semua dapat dihindarkan gadis itu dengan elakan yang lincah, tiba-tiba ketika kakek itu menghantamkan tangan kanannya dari atas ke arah gadis itu karena dia pun sudah mulai penasaran dan kini menyerang sungguh-sungguh, gadis itu mengangkat tangan kirinya menangkis.
Melihat ini, kakek Pek-lian-pai menjadi girang. Inilah yang diharapkan sejak tadi. Gadis itu terlalu lincah gerakannya sehingga sukarlah mengenai tubuhnya, seperti menyerang seekor kupu-kupu yang lincah saja. Tetapi kalau gadis itu menangkis, dia akan dapat menghajar gadis itu dengan beradunya kedua lengan. Biarlah gadis itu akan menerima hukuman dan tulang lengannya akan patah. Maka, melihat gadis itu mengangkat tangan menangkis, dia pun segera mengerahkan tenaga sinkang ke dalam lengan kanan yang ditangkis.
“Dukkk....!”
Dua lengan bertemu dan kakek itu terkejut bukan main karena pertemuan lengan yang diharapkan akan dapat mematahkan tulang lengan lawan atau setidaknya membuat gadis itu roboh, sebaliknya malah membuat dia terhuyung ke belakang dengan lengan terasa nyeri sekali. Ada semacam tenaga aneh yang amat kuat menangkis tenaganya dan tenaga itu bahkan mendorongnya sehingga tanpa dapat dipertahankannya dia terhuyung ke belakang.
“Totiang, apakah engkau masih juga hendak melanjutkan kesesatanmu?” Gadis itu membentak, kelihatan marah.
Dalam pertemuan tenaga yang membuat kakek itu terhuyung tadi, ia sama sekali tidak bergoyah, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal sinking pun gadis itu lebih lihai. Namun tosu gendut itu memang tidak tahu diri atau memang sudah nekat karena merasa malu untuk mengaku kalah. Dia meloncat ke belakang, mencari tongkat yang tadi menancap di tanah dan dengan tongkat melintang dia menerjang maju lagi. Tongkat itu membentuk gulungan sinar dan mengeluarkan suara angin mendesir ketika bergerak menyambar ke arah kepala gadis itu!
“Wuuuuttt....!”
Tongkat menyambar luput dan kini kakek ke dua yang tinggi kurus sudah ikut pula menyerang dengan tongkatnya, menusuk ke arah belakang lutut gadis itu dengan maksud merobohkannya. Gadis itu terkejut. Nyaris belakang lututnya tertotok, maka ia pun meloncat jauh ke belakang dan tangan kanannya bergerak ke arah pinggangnya. Nampak sinar keemasan menyilaukan mata dan gadis itu ternyata telah memegang sebatang suling terbuat dari emas yang indah sekali!
“Hemm, kalian tidak bisa diberi hati, harus dihajar. Majulah!” Gadis itu kini menantang.
Dua orang kakek itu pun merasa penasaran sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-pai, masa saat menghadapi seorang gadis remaja saja tidak mampu menang? Keduanya tak tahu malu lagi karena terdorong rasa penasaran untuk bisa mengalahkan gadis itu.
Akan tetapi sebelum bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda remaja berusia dua puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, berwajah ramah penuh senyum cerah. Pemuda ini segera menyelinap di antara mereka dan menghadapi dua orang kakek itu sambil mengangkat kedua tangan ke atas, lalu menjura dengan hormat.
“Ji-wi totiang harap sabar dulu. Harap ji-wi pikirkan baik-baik, apakah sudah cukup pantas kalau ji-wi melanjutkan perkelahian ini?” pemuda itu bertanya dengan suara lantang.
Melihat sikap pemuda ini yang mudah diduga tentu seorang pendekar, dua orang tosu itu merasa ragu-ragu dan si tinggi kurus bertanya. “Orang muda, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi?”
“Ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai. Kedatangan ji-wi di tempat ini bersama anak buah ji-wi tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot yang akan diadakan di tempat ini, bukan?”
“Benar, lalu apa hubungannya dengan urusan kami menghadapi gadis jahat itu?”
“Totiang, harap jangan keliru menilai orang. Nona ini sama sekali bukanlah orang jahat, melainkan puteri dari pendekar sakti Suling Emas, Kam-locianpwe. Dia adalah seorang pendekar wanita yang lihai, dan tentu kehadirannya juga ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar patriot. Totiang, kalau pertemuan para pendekar dan patriot diawali dengan perkelahian antara kita sendiri, mana mungkin kita bersatu menghadapi pemerintah penjajah?”
Dua orang tosu itu kelihatan terkejut. Biar pun mereka belum pernah berkenalan atau berjumpa, akan tetapi nama besar pendekar sakti Suling Emas sudah pernah mereka dengar. Pantas saja gadis itu lihai bukan main.
"Akan tetapi, nona ini sudah melukai tiga orang murid kami,” bantah si gendut untuk menempatkan pihak sendiri di sudut yang menguntungkan.
“Tentu saja aku melukai dan menghajar tiga orang itu yang berani bersikap kurang ajar menggangguku!” bantah gadis itu. “Kalau bukan tiga orang mabok itu menggangguku, perlu apa aku mengotorkan tangan terhadap mereka?”
Pemuda itu mengangkat kedua tangan menyabarkan kedua pihak. “Ji-wi totiang, harap sudahi saja perkara kecil ini. Bagaimana pun juga, nona ini adalah seorang pendekar dan tidak mungkin tanpa sebab ia berkelahi dengan murid-murid ji-wi, dan ternyata bahwa murid-murid ji-wi dalam keadaan mabok. Kita sama-sama tahu bagaimana sikap laki-laki yang sedang mabok kalau melihat wanita muda dan cantik. Kalau sampai terdengar oleh para pendekar dan patriot lain, tentu nama Pek-lian-pai akan menjadi merosot saja kalau perkelahian dengan puteri Kam-locian-pwe ini dilanjutkan.”
Memang dua orang tosu Pek-lian-pai itu sudah dapat menduga bahwa murid-murid mereka tentu yang lebih dulu menggoda nona yang cantik ini. Mereka tadi turun tangan hanya karena merasa marah melihat murid-murid mereka dipatahkan tulangnya, dan juga karena malu sebelum dapat membalas nona itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa nona itu adalah puteri pendekar sakti Suling Emas, mereka sudah dapat melihat bahwa kalau dilanjutkan pertikaian itu, tentu nama mereka akan rusak karena membela tiga orang murid mabok.
“Baik, kami akan sudahi saja urusan ini. Akan tetapi siapakah engkau, orang muda?” Tosu tinggi kurus bertanya.
“Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!” Tiba-tiba gadis itu berkata, seperti hendak membalas ketika pemuda itu tadi memperkenalkannya sebagai puteri pendekar Suling Emas.
Tentu saja dua orang kakek Pek-lian-pai itu semakin terkejut. Cucu Pendekar Pulau Es? Mereka tidak berani lagi banyak lagak dan sambil menjura mereka lalu mengundurkan diri dan membentak tiga orang murid mereka yang menjadi gara-gara pertikaian itu.
Setelah mereka pergi, pemuda itu membalikkan tubuh, menghadapi gadis itu. Mereka berdiri saling berpandangan, sampai lama tidak dapat mengeluarkan suara. Dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan seolah-olah mereka menjadi gagu seketika. Bayangan dan kenangan lama muncul di dalam pikiran mereka. Tiba-tiba keduanya mengeluarkan seruan hampir berbareng.
“Bi Eng....!”
“Ceng Liong....!”
Keduanya melangkah maju mengulur tangan, akan tetapi tiba-tiba Bi Eng berhenti dan dia berdiri memandang dengan muka berubah merah sekali. Teringat dia bahwa yang kini berada di depannya bukan anak-anak lagi, bukan remaja yang pernah dikenalnya beberapa tahun yang lalu, melainkan seorang pemuda dewasa yang gagah perkasa! Dan ia sendiri sudah menjadi seorang gadis dewasa, bahkan menjadi seorang calon isteri, tunangan pemuda yang kini menjadi murid ayahnya, yaitu Sim Houw!
Melihat keraguan di wajah gadis itu, Ceng Liong juga menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter saja dan Ceng Liong mengamati wajah itu dengan hati penuh kagum. Dia terpesona oleh sepasang mata itu, oleh hidung dan mulut itu. Bi Eng telah menjadi seorang gadis yang menurut penglihatannya teramat cantik. Belum pernah ada seorang gadis yang begini menarik hatinya.
Jantungnya berdebar tegang, penuh kegembiraan dan juga harapan ketika dia teringat akan janjinya kepada mendiang Hek-i Mo-ong bahwa kelak dia akan menjadi suami Bi Eng! Dan dia maklum pada saat dia memandang wajah itu bahwa dia akan berbahagia sekali apabila harapan gurunya itu terlaksana. Dia jatuh cinta kepada gadis ini sekarang! Dan Ceng Liong merasa terkejut sendiri mengikuti jalan pikirannya.
“Bi Eng.... ahh, tak kusangka akan bertemu dengan engkau di sini! Hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, engkau.... sudah begini besar....!”
Bi Eng memandang kepadanya dan gadis itu tersenyum. Tersirap darah dari jantung Ceng Liong melihat lesung pipit di sebelah kiri mulut itu. Betapa manisnya!
“Ceng Liong, engkau bilang tidak dapat mengenalku akan tetapi engkau bisa memberi tahu kepada kakek-kakek Pek-lian-pai itu bahwa aku puteri pendekar Kam!”
Memang tadinya aku tidak mengenalmu, dan barulah aku teringat pada waktu engkau mengeluarkan suling emas itu.”
Bi Eng mengangguk-angguk. “Dan engkau pun bukan anak-anak lagi, sudah menjadi seorang pemuda dewasa.”
“Akan tetapi engkau langsung menganalku.”
“Yang berubah hanya tubuh dan mukamu, akan tetapi mata dan senyumanmu yang nakal itu masih sama.”
“Bi Eng, kalau tidak salah dugaanku, engkau datang ke sini tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot di Hutan Cemara, bukan?”
Gadis itu mengangguk. “Benar, dan tentu engkau pun juga datang untuk keperluan itu, bukan? Apakah engkau datang bersama orang tuamu? Apakah para pendekar keluarga Pulau Es ikut datang menghadiri pertemuan itu?”
“Tidak, aku datang seorang diri saja. Orang tuaku mewakilkan kepadaku. Dan engkau? Apakah Kam-locianpwe dan isterinya juga hadir?”
Bi Eng menggeleng kepalanya. “Tidak, Ceng Liong. Aku datang bersama.... guruku.” Tiba-tiba wajah gadis itu berubah merah. Hampir saja dia tadi menyebut ‘mertuaku’, bukan ‘guruku’.
Jawaban ini mengherankan hati pemuda itu. “Bi Eng! Engkau ini adalah puteri tunggal Kam-locianpwe yang memiliki kepandaian setinggi langit dan kurasa mewarisi ilmu-ilmu ayah bundamu saja sudah membuat engkau menjadi orang yang sukar sekali dicari tandingannya. Dan ternyata engkau masih mempunyai seorang guru lain dari pada ayah bundamu?”
Bi Eng bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan senyum mengejek. “Ceng Liong, engkau sejak dahulu banyak lagak dan tidak mau bercermin melihat diri sendiri. Apa anehnya kalau aku mempunyai seorang guru lain? Tengok dirimu sendiri. Engkau cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kurang bagaimanakah keluarga para pendekar Pulau Es? Namun ternyata engkau masih berguru kepada mendiang Hek-i Mo-ong!”
Ceng Liong tersenyum. Gadis ini masih galak dan tidak mau kalah kalau bicara. Akan tetapi dia seperti diingatkan kepada mendiang Hek-i Mo-ong dan dia pun menarik napas panjang.
“Hek-i Mo-ong memang seorang datuk sesat, akan tetapi nasibnya buruk sekali. Aku merasa kasihan kepadanya.”
“Akan tetapi dia berwatak baik, dia pernah menyelamatkan aku. Sayang dia menjadi datuk sesat....”
“Dan dia mati ketika berhadapan dengan keluangamu.”
“Akan tetapi, bukan ayah yang membunuhnya! Hek-i Mo-ong sendiri yang menyerang ayah, padahal saat itu dia dalam keadaan luka parah sehingga gerakan serangannya itu menewaskannya sendiri!” Bi Eng membantah.
Ceng Liong menganggguk-angguk. “Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh, kadang-kadang dia jahat bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik sekali. Bagaimana pun juga, andai kata dia tewas di tangan seorang pendekar sakti seperti ayahmu pun sudah sepatutnya. Dialah yang menyebabkan kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es tewas, dia penyebab mala petaka yang melenyapkan Pulau Es....”
Sepasang mata yang indah itu terbelalak. “Apa?! Dan engkau masih mau menjadi muridnya?” tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.
Ceng Liong menghela napas panjang. “Dia sudah berkali-kali menyelamatkan nyawaku, membelaku dan sangat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan setulus hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih sayangnya dengan kebencian?”
“Tapi.... tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku....”
“Itulah satu di antara keanehan dan kejahatannya. Dia tidak pernah mau menerima kekalahan. Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah oleh ayahmu, dia selalu ingin membalas kekalahannya itu. Akan tetapi sudahlah, Bi Eng. Dia sudah meninggal dunia, tewas oleh ulahnya sendiri. Baigaimana pun juga, aku tidak dapat melupakan semua kebaikannya. Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?”
Bi Eng mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.
“Dan engkau dahulu ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu.” Ceng Liong tertawa.
Teringat akan hal itu, Bi Eng tertawa juga. “Gurumu itu jahat dan nakal, suka menggoda orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut berada di depan mata ketika dia berbohong mengatakan bahwa obatnya itu adalah racun.”
“Dan dia memaksa kita bersumpah agar menjadi.... suami isteri....”
Tiba-tiba wajah Bi Eng berubah merah sekali dan bersungut-sungut. “Engkaulah yang berjanji, bukan aku!” Kemudian gadis itu menyambung secara tiba-tiba. “Ceng Liong, kenapa engkau berjanji seperti itu kepada Hek-i Mo-ong?”
Ceng Liong memandang kepadanya dan melihat betapa gadis itu kelihatan malu. Dia merasa tidak enak hati. “Bi Eng, aku terpaksa menerima janji suhu karena aku ingin menolongmu. Aku sendiri tidak akan mau berjanji seperti itu kalau tidak terpaksa karena melihat engkau terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau menolak keras ketika disuruh berjanji? Apakah.... apakah engkau benci kepadaku?”
Bi Eng menggeleng kepala. “Bukan karena benci, tetapi mana mungkin aku mau berjanji seperti itu? Bagiku, urusan pernikahan adalah bagaimana keputusan dari orang tuaku saja....”
“Ah, sungguh sebaliknya dengan aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua orang yang bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walau pun orang lain itu orang tua sendiri atau guru. Dahulu itu, kalau tidak terpaksa untuk menolongmu, aku tidak akan mau berjanji. Aku tidak mau kalau jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau orang tuaku sekali pun.”
Gadis itu mengangguk-angguk, alisnya berkerut dan dia lalu melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, didampingi Ceng Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan tanpa tujuan, tanpa disengaja, hanya untuk berjalan-jalan di dalam hutan itu sambil bercakap-cakap.
“Kalau begitu.... janjimu itu tidak mengikat? Jadi.... engkau menganggap janji kepada mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong belaka....?”
“Begitulah! Aku tidak mau dipaksa oleh siapa pun juga untuk menerima jodoh yang dipilihnya atau dipaksakannya, apalagi kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.”
“Hemm, kalau begitu.... jodoh yang bagaimana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu selamanya?”
Bertanya demikian, gadis itu menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menghadapi Ceng Liong dan kedua tangannya bertolak pinggang. Matanya memandang tajam dan mulutnya tersenyum mengejek seperti orang menantang!
Diam-diam Ceng Liong terkejut dan merasa heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi. Tetapi dia menenangkan dirinya, dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh, “Ia harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya.”
Hening sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti oleh Ceng Liong. Gadis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba saja ia berhenti lagi dan menghadapi Ceng Liong, membuat pemuda itu agak terkejut dan dia pun ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang dan keadaan menjadi amat kaku bagi Ceng Liong.
“Ceng Liong, apakah sudah ada gadis yang kau cinta itu?”
Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak terduga-duga oleh Ceng Liong, membuat pemuda itu menjadi gugup. “Eh.... itu.... eh, selama ini memang belum ada.... ehhh, memang ada, ya, ada memang....”
Gadis itu mengerutkan alisnya. “Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya kepadaku dan tidak suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan pura-pura. Ada atau tidakkah gadis yang kau cinta itu? Yang tegaslah, jangan plintat-plintut!”
“Ada.... ada.... Ya benar, ada memang!” Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya dengan sikap tegas.
“Hemm.... dan.... dan ia pun cinta padamu?”
Ceng Liong menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum tahu....”
Karena pertanyaan-pertanyaan itu makin lama makin mendekati sasaran, yaitu hal-hal yang mengguncangkan batinnya di saat itu, Ceng Liong yang gagah perkasa itu merasa betapa kedua kakinya agak gemetar dan tubuhnya lemas. Maka dia pun lalu duduk di atas batu yang besar di dekat situ. Anehnya, Bi Eng juga duduk di atas batu berhadapan dengannya dan gadis itu kelihatan tertarik sekali.
“Engkau belum tahu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau belum tahu apakah ia mencintamu atau tidak? Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?”
“Aku.... aku takut, Bi Eng.”
“Kau? Kau takut?” Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Engkau cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan engkau mengenal takut?”
“Bi Eng, aku takut kalau-kalau cintaku ditolak, kalau-kalau ia tidak cinta padaku, aku takut dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah engkau memberi nasehat, apa yang harus kulakukan menghadapi keadaan begini?”
Bi Eng tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang jauh. “Engkau....? Minta nasehat dariku? Ahh, bagaimana sih keadaanmu itu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau tidak tahu apakah ia juga mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu atau takut bertanya, karena takut ditolak? Begitukah?”
Ceng Liong mengangguk.
“Dan gadis itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?”
Ceng Liong menggeleng.
“Wah, bagaimana ini? Jadi selama ini cintamu hanya kau simpan di hati saja? Lama-lama bisa menjadi racun kalau begitu!”
Ceng Liong memandang kagum. “Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-mencinta!”
“Tentu saja!” Bi Eng menghardik.
“Kalau begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda....”
“Kalau itu sih belum pernah!”
Ceng Liong terbelalak dan nampak girang. “Ehh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu tentang hal ihwal cinta?”
“Aku kan wanita dan yang kau cinta itu pun wanita, bukan?”
Ceng Liong mengangguk-angguk bingung. “Sudahlah, sebaiknya bagaimana menurut nasehatmu, Bi Eng? Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak tahu apakah ia juga mencintaku. Dan aku takut menyatakan cintaku, takut kalau-kalau ia akan marah dan menolakku....”
“Ceng Liong, tidak ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta kepadanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang jelas akan ada perasaan bangga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali, tentu saja, jika pernyataan cinta itu dinyatakan secara kasar atau kurang ajar. Kalau kau tak menyatakan cintamu, mana dia tahu? Dan kalau engkau tidak tanya kepadanya, mana kau tahu apakah dia mencintamu atau tidak? Maka, kalau engkau minta nasehatku, datangi gadis itu dan akuilah terus terang tentang cintamu dan minta jawabannya secara jujur.”
“Begitukah nasehatmu, Bi Eng? Gadis itu benar-benar takkan marah?”
“Mengapa marah? Sepatutnya ia bangga menerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!”
“Nah, kalau begitu biarlah kupergunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku itu. Bi Eng, aku cinta padamu....”
Seketika gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi Ceng Liong. Mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar menyambar-nyambar ke arah wajah pemuda itu.
“Apa....? Apa yang kau katakan itu....?”
“Bi Eng, aku cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat membalas cinta kasihku kepadamu....”
“Ceng Liong, engkau berani main-main denganku?” Bi Eng mengepal tinju dan mukanya berubah merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.
Melihat ini, Ceng Liong lalu menjura. “Bi Eng, maafkan aku. Ingat bahwa engkau sendiri yang tadi menasehatiku untuk berterus terang, engkau sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu takkan marah....”
“Tapi.... tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka? Bahwa janjimu itu tidak mengikat apa-apa?”
“Memang benar, janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu memaksa kita untuk berjodoh begitu saja.”
“Tapi.... kita baru saja berjumpa lagi dan kau menyatakan cinta....?”
“Bi Eng, semenjak pertemuan kita dahulu, aku sudah merasa kasihan dan suka sekali kepadamu. Tentu saja aku belum tahu pada waktu itu tentang perasaan cinta. Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu ketika engkau terpukul oleh si jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sendiri, aku bahkan lalu melawan dan menyerang mendiang guruku sendiri karena mengira engkau diracunnya. Akan tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah aku tahu dan merasa yakin bahwa aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi Eng, bukan karena janjiku terhadap mendiang Hek-i Mo-ong. Aku cinta padamu dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau pun membalas perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau kenapa....?”
Gadis itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi Eng menangis, seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya. Air mata nampak menetes-netes dari celah jari-jari tangannya. Tentu saja Ceng Liong terkejut bukan main dan dia pun cepat menghampiri dan berlutut pula di depan gadis itu. Ingin dia menghibur, ingin dia menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya.
“Bi Eng.... ahhh, Bi Eng, kau maafkanlah aku kalau semua kata-kataku menyingung perasaanmu. Bi Eng, kalau engkau merasa terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah aku mengaku salah, dan boleh engkau menghukumku. Pukullah aku, sumpahi mati pun aku tidak akan membalas.”
Bi Eng menurunkan kedua tangannya dan dengan mata basah dan hidung merah ia memandang pemuda itu. Mereka saling pandang dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi, menutupi lagi mukanya dengan kedua tangan.
Ceng Liong menjadi semakin bingung dan khawatir. Dia adalah seorang pemuda gagah perkasa, penuh keberanian dan ketenangan. Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang dicintanya menangis tidak karuan mendengar pengakuan cintanya, dia menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
“Bi Eng, sekali lagi maafkanlah aku.... mengapa engkau kelihatan begini berduka? Kalau engkau marah kepadaku, hal itu masih dapat kumengerti, akan tetapi kenapa engkau berduka? Kenapa menangis? Engkau yang segagah ini?”
Bi Eng semakin mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis. Agaknya gadis itu harus menghabiskan dahulu air matanya, baru dapat diajak bicara, pikirnya. Dan meski pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan tetapi buktinya memang demikian. Setelah puas menangis, tangis gadis itu mereda, bahkan ia lalu dapat bicara.
“Ceng Liong, aku.... aku tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua isi batinku dan membuatku berduka. Ketahuilah, aku.... aku telah bertunangan dengan orang lain....”
Ceng Liong menatap wajah gadis itu, sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berubah pucat dan dia merasa betapa jantungnya seperti ditikam pedang. Dia menggigit bibirnya dan termenung sejenak.
“Tetapi…., bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan seorang pria?”
Gadis itu makin terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju. “Itulah sebabnya aku menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya menurut kehendak ayah ibuku saja....”
“Ahhh, dan dia? Dia tentu mencintamu, bukan?”
Gadis itu menggeleng kepala. “Dia pun seperti aku, hanya menurut kehendak orang tua. Kami tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang tua kami saling setuju menjodohkan kami, kemudian aku ikut calon ayah mertuaku untuk dididik ilmu silat, sebaliknya dia ikut ayahku untuk menerima pendidikan ilmu pula.”
Ceng Liong menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak orang-orang muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru melihat isteri atau suaminya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi mempelai seperti beli undian saja, untung-untungan!
“Sungguh aku merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja dijodohkan tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sendiri?”
“Aku tidak berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah ibuku yang hanya mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong.”
Hening sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong. “Jadi engkau tidak cinta kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?”
“Aku tidak mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa.”
“Siapakah dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eng?”
“Dia bernama Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu....”
“Ahh....?” Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng juga terkejut dan mengangkat muka memandang. “Putera orang tua yang gagah perkasa itu? Ah, pantas kalau begitu orang tuamu menerimanya. Kalau begitu.... aku tidak tahu diri, sungguh aku yang tidak tahu diri berani menyatakan cinta kepada calon mantu Sim-locianpwe. Maafkan kelancanganku, nona.... dan selamat tinggal....” Dengan hati terasa perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu meninggalkan gadis itu, setelah membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.
“Ceng Liong.....!” Terdengar seruan lemah.
Kaki Ceng Liong bagai tertahan. Benarkah apa yang didengarnya tadi? Suara Bi Eng memanggilnya, disusul isak tangis gadis itu! Dia membalikkan tubuh dan memandang. Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan kedua tangan diulur ke depan, kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas sepasang pipinya.
“Ceng Liong.... jangan.... jangan kau pergi, jangan tinggalkan aku....!” gadis itu berkata terisak-isak.
“Bi Eng.... apa artinya ini....?”
Ceng Liong lari menghampiri dan mereka saling tubruk, saling rangkul, entah siapa yang bergerak merangkul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu dan dia pun menangis terisak-isak. Ceng Liong menjadi bengong sejenak, kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala itu ke dadanya dan perlahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu menembus bajunya dan membasahi dadanya.
Terasa segar bagaikan siraman embun ke atas bunga yang tadi melayu di dalam hatinya, membuat bunga itu berkembang kembali dengan segarnya. Dia hampir tidak dapat percaya akan keadaan ini. Seujung rambut pun tadi dia tidak pernah menyangka bahwa Bi Eng akan bersikap begini, bahkan sekarang pun, setelah dia merangkul gadis itu, merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di kulit dadanya, dia masih ragu-ragu dan belum percaya.
“Bi Eng.... ah, Bi Eng apa artinya ini? Kenapa engkau menangis....?” Kedua lengannya memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut kepala yang bersandar di dadanya itu penuh kasih sayang.
Tanpa mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu, “Ceng Liong...., apakah engkau belum dapat mengerti? Aku.... aku tidak hanya menerima cinta kasihmu, aku.... aku bahkan juga.... mencintamu....”
Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong menyentuh dagu yang meruncing itu dan mendorongnya ke belakang sehingga wajah gadis itu tengadah. Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan dan masih ada butir-butir air mata seperti mutiara di kedua pipi itu.
“Bi Eng.... mimpikah aku....?” Ceng Liong bertanya seperti seperti orang bingung, suaranya lirih mengandung getaran kuat.
Wajah yang basah itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga bermandikan embun kini merekah segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berkilau dan sepasang mata yang masih mengandung air mata itu memandang mesra. Meski dia belum berpengalaman, dan walau pun getaran jantungnya membuat tubuhnya menggigil, ada sesuatu yang mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua kali mencium pipi kanan kiri yang kemerahan, mencucupi butiran air mata dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis saling memeluk lebih ketat seolah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam pelukan itu.
Setelah gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang semenjak tadi masih dilanda keraguan dan sulit menerima dan mempercayai kebahagiaan yang tiba-tiba melanda dirinya itu, sekali lagi menyentuh dagu gadis itu dan mengangkat mukanya. Sejenak mereka bertatapan pandang penuh kemesraan, lalu terdengar Ceng Liong berkata lirih. “Bi Eng.... tapi.... tapi kau telah bertunangan....”
Bagaikan dipagut ular berbisa, Bi Eng cepat melepaskan diri dari pelukan Ceng Liong, meloncat ke belakang dan memandang wajah Ceng Liong dengan muka berubah pucat sekali. Lalu gadis itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya mengeluarkan sinar dan ia nampak penasaran sekali.
“Engkau benar! Aku telah bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa berjodoh. Aku bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima begitu saja. Aku harus menentangnya!”
“Tapi, Bi Eng, kalau engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu akan marah kepadaku dan menganggap aku yang menjadi biang keladi, padahal mereka itu tidak suka kepadaku. Dahulu pun, mereka menolak keras ketika mendengar usul mendiang Hek-i Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Lagi pula, aku sangat menghormati Sim-locianpwe, bagaimana aku ada muka untuk berhadapan dengannya kalau kini aku menjadi perusak pertalian jodoh antara engkau dan puteranya?”
“Ceng Liong, benarkah engkau cinta padaku?”
“Tentu saja!”
“Sebesar aku mencintamu?”
“Ya, lebih lagi, ini aku yakin!”
“Kalau begitu, mengapa engkau kelihatan takut-takut menghadapi segala resiko dan akibatnya?”
“Bukan takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan mengagumi orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan nasibmu kalau menentang orang tuamu....”
“Jadi, kalau begitu engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku? Menerima saja dijodohkan dengan orang lain? Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu terhadap diriku?”
“Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin agar.... dengan halus engkau dapat memberi alasan kepada orang tuamu supaya mereka tidak memaksamu, dan kita.... dengan terus terang menghadap orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita.”
“Nah, begitu baru benar!” Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya kedua tangan pemuda itu. “Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau aku bersamamu, aku tidak akan takut menghadapi apa pun juga. Bersamamu aku berani menghadap guruku dan orang tuaku untuk berterus terang, minta dibatalkan pertalian jodoh paksaan itu dan menceritakan tentang cinta kasih kita.”
Ceng Liong merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan. “Aku pun tidak takut, Eng-moi....”
Bi Eng tersenyum. “Ihh, lucunya kau menyebut Eng-moi kepadaku!”
“Habis, bagaimana? Sudah sepatutnya demikian, bukan?”
“Dan aku harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?”
“Bagaimana pun juga, selain lebih tua darimu, aku pun calon suamimu, kan? Pantasnya engkau menyebut koko.”
“Liong-koko.... ihh, lucu juga!”
Melihat kekasihnya itu dengan mata masih basah bekas air mata kini telah tersenyum-senyum manis dan gembira, Ceng Liong tidak dapat menahan hatinya dan diciumnya gadis itu, kini diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih canggung karena selama hidupnya baru pertama kali itu mencium, itu pun dilakukannya hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja.
Bi Eng terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya menjadi lemas dan dia pun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah dengan sepenuh hati dan mereka pun berciuman, canggung namun mesra.
“Eng-moi, aku cinta padamu. Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu.”
“Tidak perlu sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan juga ayah bundaku adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat menyadari kekeliruan mereka. Kita menentang mereka karena memang sekali ini mereka terlalu sembrono dan keliru dalam menjodohkan anak-anak mereka tanpa perhitungan lebih dulu, tanpa mempedulikan isi hati antara yang bersangkutan.”
“Mudah-mudahan begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”
“Aku datang ke tempat ini bersama-sama suhu, dan tadi kami berpisah, masing-masing melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu menyuruh aku memasang mata kalau-kalau tempat ini terdapat orang-orang dari golongan lain yang menyelundup. Aku lalu bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai mabok yang menggangguku.”
Ceng Liong melepaskan rangkulannya dan mereka kini bicara dengan sikap serius, karena perhatian mereka mulai tertarik dan teringat akan keperluan mereka datang ke tempat itu. “Aku pun heran mengapa orang-orang seperti mereka itu turut hadir pula di sini. Kehadiran mereka itu saja sudah membuat aku menjadi semakin ragu-ragu akan kebenaran pertemuan ini.”
“Menurut suhu, Pek-lian-pai ialah perkumpulan yang paling gigih menentang pemerintah sejak dulu. Yang kita pandang bukanlah perangai mereka, melainkan semangat mereka menentang pemerintah penjajah. Karena itu tadinya aku banyak mengalah, akan tetapi karena mereka semakin kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka,” kata Bi Eng.
“Sekarang mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-moi.”
“Sebaiknya engkau pergi ke sana dulu, Liong-koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti kita bertemu kembali di Hutan Cemara.”
Menuruti perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan kekasihnya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin meninggalkan gurunya atau juga calon ayah mertuanya itu begitu saja. “Baiklah, kita saling jumpa di Hutan Cemara, Eng-moi,” katanya.
Mereka saling menggenggam tangan dan saling berpandangan dengan penuh perasaan mesra. Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu berlari cepat, lenyap di balik pohon-pohon. Sampai beberapa lamanya Ceng Liong berdiri bengong, kemudian dia pun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Cemara.
Di Hutan Cemara telah berkumpul banyak sekali orang. Ada seratus orang lebih yang sudah datang berkumpul. Mereka itu rata-rata nampak gagah perkasa dan penuh semangat. Hutan di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu nampak ramai walau pun hal ini agaknya tidak diketahui oleh para penduduk dusun yang berada di sekitar Tai-hang-san namun cukup jauh dari tempat pertemuan yang sepi itu.
Pada waktu itu, sudah terdapat beberapa buah perkumpulan yang anti pemerintah, di antaranya yang paling terkenal pada waktu itu adalah Pek-lian-pai atau Pek-lian-pang yang intinya adalah Agama Pek-lian-kauw. Kemudian Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang juga merupakan perkumpulan rahasia yang selalu dikejar-kejar pemerintah oleh karena mereka itu terang-terangan menentang pemerintah Mancu yang berkuasa.
Pada mulanya memang cita-cita menentang penjajah ini digerakkan oleh orang-orang yang berjiwa patriot di antara para tokoh mereka. Akan tetapi sungguh sayang, cita-cita ini kemudian dicampuri dengan cita-cita pribadi atau cita-cita kelompok yang lain lagi, yang hanya mementingkan keuntungan diri pribadi atau kelompok, ambisi untuk mencari kedudukan atau keuntungan.
Bahkan lebih buruk lagi, di antara para anak buah perkumpulan-perkumpulan rahasia itu ada yang terlalu mengandalkan kekuatan, kekuasaan atau pengaruh perkumpulannya sehingga sering kali mereka bertindak sewenang-wenang. Bahkan banyak pula orang-orang yang memang berwatak jahat menyelundup masuk dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengotorkan nama perkumpulan.
Ketika Ceng Liong tiba di Hutan Cemara, banyak orang sudah berkumpul. Yang amat menyolok adalah tiga buah perkumpulan itu. Mereka datang dengan anggota yang puluhan orang banyaknya dan nampak bendera-bendera mereka berkibar dan pasukan mereka berada di belakang bendera perkumpulan masing-masing.
Di depan bendera Pek-lian-pai berdiri seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menunjukkan bahwa tosu yang tua ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Di kanan kirinya berdiri dua orang tosu tua yang tadi ribut dengan Bi Eng.
Sikap tiga orang tosu ini angkuh dengan muka ditegakkan menghadap ke depan, kedua tangan di belakang tubuh dan kedua kaki dipentang lebar. Akan tetapi sikap para anak buah Pek-lian-pai tidak teratur. Mereka nampak berbisik-bisik dan ada yang tersenyum-senyum dengan mata melirik ke kanan kiri.
Pat-kwa-pai dengan benderanya yang angker, bentuk segi delapan dengan garis-garis pat-kwa, dipimpin oleh seorang kakek pula yang bertubuh sedang, berpakaian putih dan kuning bagai pakaian pertapa, dengan rambut, jenggot dan kumis awut-awutan panjang tak terpelihara. Dia diiringkan dua puluh lebih anak buah Pat-kwa-pai yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam dengan gambar pat-kwa di bagian dada. Sikap mereka ini lebih serius dan pendiam dari pada para anak buah Pek-lian-pai yang berbendera gambar bunga teratai itu.
Berbeda dengan dua perkumpulan terdahulu, Thian-li-pai yang tiba dengan anak buah sebanyak lima puluh orang itu dipimpin oleh seorang pria berusia empat puluh tahun, berpakaian ringkas serba hitam dengan sepasang pedang tergantung di punggungnya. Sikapnya pendiam dan gagah. Juga anak buahnya kelihatan gagah dengan pakaian yang serba hitam dan ringkas.
Oleh karena saat pertemuan yang ditentukan telah tiba, maka di dataran tinggi yang dikelilingi para peserta itu muncul seorang pria yang gagah perkasa, yang memakai baju dari kulit harimau. Pria ini berusia kurang lebih empat puluh tahun dan begitu muncul di dataran tinggi itu, pria ini menjura dengan sikap gagah dan hormat ke empat penjuru sambil berseru dengan nada suara yang lantang.
“Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat, mohon perhatian!”
Suaranya yang mengandung getaran khikang yang kuat itu mengatasi suara berisik para pendatang yang memenuhi tengah hutan cemara itu dan suasana lalu menjadi tenang dan sunyi karena semua orang menghentikan percakapan masing-masing, dan kini semua mata ditujukan kepada pria itu.
Melihat pria itu Ceng Liong merasa betapa jantungnya berdebar. Andai kata tidak terjadi pertemuan antara dia dan Bi Eng, maka melihat pria ini tentu akan mendatangkan rasa girang, tidak bercampur tegang seperti sekarang ini. Pria itu adalah Sim Hong Bu, pendekar yang mewarisi Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) dengan ilmunya itu. Pendekar yang menjadi guru Bi Eng, juga menjadi calon mertua!
Setelah memberi hormat ke empat penjuru, Sim Hong Bu berkata, nada suaranya masih lantang dan gagah. “Cu-wi yang terhormat, harap maafkan kelancangan saya mewakili para locianpwe dan para sahabat untuk sementara memimpin rapat ini sebelum kita semua memilih pimpinan. Bagi cu-wi yang belum mengenal saya, saya perkenalkan diri bahwa nama saya Sim Hong Bu. Bagaimana pendapat cu-wi, setujukah kalau saya untuk sementara memimpin pertemuan ini?”
“Setuju....!” terdengar teriakan dari mereka yang sudah mengenal pendekar ini. Mereka yang belum mengenalnya dan masih ragu-ragu pun diam saja, hanya mendengarkan.
Agaknya para pimpinan tiga perkumpulan besar yang hadir itu pun sudah mengenal pendekar ini karena mereka mengangguk-angguk. Karena sebagian besar di antara yang hadir menyetujuinya, Sim Hong Bu makin bersemangat.
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi. Saya akan menceritakan dahulu sedikit tentang timbulnya gagasan mengadakan pertemuan pada hari ini. Beberapa orang locianpwe dan sahabat baik, yang berjiwa pendekar dan mencinta tanah air dan bangsa, pernah mengadakan pertemuan dan membicarakan tentang tanah air kita yang dijajah Bangsa Mancu puluhan tahun lamanya. Sebagai pendekar dan patriot, tentu saja kita tidak mungkin hanya tinggal diam saja. Maka saya pun diberi tugas untuk menghubungi para sahabat dan pendekar yang sehaluan, serta mengundang mereka untuk mengadakan pertemuan pada hari ini. Maksud dari pertemuan ini adalah untuk menghimpun tenaga dan mengatur rencana bagaimana kita dapat berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah.”
“Harus lebih dulu dipilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)!” terdengar teriakan-teriakan di antara mereka yang hadir.
Sim Hong Bu tersenyum dan mengangkat kedua tangan minta agar mereka itu tenang. Setelah keadaan menjadi tenang, dia berkata. “Memang seperti yang cu-wi kehendaki, pertama-tama kita memilih pimpinan. Karena itu maka tadi saya katakana, bahwa saya hanya untuk sementara memimpin pertemuan ini, atau sebagai juru bicara. Kita akan mengangkat seorang pemimpin dan pemimpin itulah yang kemudian menentukan para pembantunya. Setujukah cu-wi?”
“Setuju….!” Semua orang kembali berisik menyatakan setuju.
Tosu gendut, yaitu yang pernah ribut dengan Bi Eng, mengacungkan tangan ke atas. Dengan suara yang menggeledek dia berkata. “Kami calonkan ketua kami menjadi bengcu!” Ucapan ini disambut sorak-sorai anak buah Pek-lian-pai.
“Kami usulkan pimpinan kami Giam San-jin menjadi bengcu!” teriak seorang di antara anak buah Pat-kwa-pai. Teriakan ini pun disambut sorak-sorai anak buah perkumpulan itu.
“Kami usulkan toako kami Su Ciok menjadi calon bengcu!” teriak anak buah Thian-li-pai disambut sorak-sorai teman-temannya.
Kembali Sim Hong Bu mengangkat kedua tangannya ke atas untuk memberi isyarat supaya suasana kembali tenang. Setelah keadaan tenang, dia pun berkata. “Memang untuk memilih bengcu, harus lebih dahulu diajukan calon-calon. Seorang calon yang diajukan harus memenuhi syarat, dan harus dikemukakan kebaikan-kebaikan apa maka dia dipilih menjadi bengcu. Saya akan mulai dengan locianpwe Ci Hong Tosu pimpinan Pek-lian-pai yang tadi sudah diajukan sebagai calon. Harap dikemukakan alasan-alasan mengapa dia dicalonkan.”
Sim Hong Bu telah tahu siapa adanya tosu kurus yang sekarang memimpin rombongan Pek-lian-pai itu. Dia tahu bahwa biar pun tosu itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi berwatak tinggi hati, bahkan kadang-kadang sombong dan terlalu memandang rendah orang lain.
Tosu gendut yang tadi mengusulkan agar ketuanya dipilih bengcu, berkata. “Suhu Ci Hong Tosu mempunyai pengetahuan yang luas, di samping itu kepandaiannya tinggi, dan terutama sekali di samping itu semua, beliau adalah seorang tokoh Pek-lian-pai dan siapakah yang tidak tahu bahwa sejak dahulu Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang selalu berjuang untuk mengusir penjajah?”
“Susiok kami, Giam San-jin belum tentu kalah dibandingkan dengan tokoh Pek-lian-pai!” tiba-tiba terdengar pula suara dari rombongan Pat-kwa-pai. “Dan mengenai perjuangan menentang pemerintah penjajah, Pat- kwa-pai juga sudah amat terkenal.”
“Dalam hal perjuangan, Thian-li-pai tidak kalah! Dan dalam hal kepandaian, juga toako kami Su Ciok boleh diandalkan!” teriak orang-orang Thian-li-pai.
Kembali keadaan menjadi berisik karena tiga golongan ini bicara sendiri semaunya.
Sementara itu, semenjak tadi Ceng Liong tidak memperhatikan mereka yang ribut-ribut mengajukan calon-calon bengcu karena dia sibuk mencari-cari Bi Eng dengan matanya. Begitu melihat munculnya guru dan calon ayah mertua kekasihnya, dia sudah menoleh dan memandang ke sana-sini, mencari-cari dengan pandang matanya serta merasa gelisah mengapa gadis itu belum juga muncul.
Akhirnya dia melihat berkelebatnya bayangan Bi Eng di antara penonton di sebelah selatan, maka dia pun segera menyusup ke sana menghampiri dan Bi Eng yang juga melihatnya kemudian bergerak pula menghampirinya. Seperti telah mereka janjikan dan setujui berdua, mereka lalu berdiri di tempat yang tidak begitu berdesak-desak, berdiri berdampingan dan bersama-sama memandang ke arah Sim Hong Bu yang memimpin pertemuan itu.
“Suhu-mu memang gagah perkasa,” Ceng Liong memuji lirih.
“Ya, dan kalau menurut aku, tak ada yang lebih baik dari pada suhu untuk menjadi calon bengcu. Dia penuh semangat dan berilmu tinggi, juga kegagahan dan kebersihannya tidak perlu diragukan lagi,” jawab Bi Eng lirih.
“Kalau begitu, kenapa tidak kau usulkan agar dia dicalonkan pula?”
“Engkau benar! Orang-orang seperti mereka itu dicalonkan, mengapa suhu tidak?”
Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan kakinya, gadis itu sudah meloncat ke depan, ke arah bagian tanah yang agak tinggi meski tidak setinggi tanah datar di mana gurunya berada. Dengan pengerahan khikang yang membuat suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan ia berkata. “Cu-wi, saya juga mengajukan seorang calon bengcu, yaitu bukan lain guru saya sendiri Sim Hong Bu yang cu-wi semua sudah mengenalnya!”
Usul ini disambut sorakan setuju dari sebagian banyak orang, mungkin lebih tertarik karena melihat kecantikan dan keberanian Bi Eng dibandingkan dengan kepercayaan mereka terhadap Sim Hong Bu sendiri.
Melihat ulah muridnya, Sim Hong Bu tertawa dan mengangkat kedua tangan ke atas. “Cu-wi sekalian, harap maafkan murid saya. Akan tetapi karena ia sudah mengajukan saya sebagai calon, tentu saja terserah kepada cu-wi. Nah, siapa lagi yang hendak mengajukan calon?”
Ternyata banyak juga calon yang diajukan oleh para pendekar itu. Di antara mereka bahkan terdapat Bu-taihiap atau pendekar Bu Seng Kin yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti banyak isteri dan kekasihnya itu, yang kini telah berusia enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak ganteng dan gagah! Bu-taihiap hanya tersenyum-senyum saja mendengar betapa dia dicalonkan sebagai bengcu yang akan memimpin para pendekar dan patriot untuk berjuang menentang pemerintah penjajah. Agaknya pendekar ini merasa gembira bahwa masih ada orang yang percaya kepadanya dan diam-diam dia merasa bangga karenanya. Jumlah para calon itu ada tujuh belas orang!
“Jumlah calon begini banyak, bagaimana harus diadakan pemilihan di antara yang tujuh belas ini?” Sim Hong Bu menjadi bingung sendiri melihat demikian banyaknya calon yang diajukan. Apalagi mereka itu nampak damikian bernapsu untuk menang dalam pemilihan ini.
“Mudah saja diatur! Kita adalah orang-orang yang sudah biasa mengandalkan ilmu silat untuk melewati hidup. Karena itu, untuk menentukan pilihan, sebaiknya kalau dipilih di antara kita yang paling tangguh. Nah, aku sebagai seorang di antara calon-calon sudah maju untuk menandingi calon lain yang merasa berkepandaian tinggi!”
Yang bicara ini adalah seorang pria tinggi besar bermuka hitam yang sudah meloncat ke depan, di tempat datar itu, bersikap menantang. Semua orang memandang kepadanya. Pria ini tadi dipilih oleh kawan-kawannya dan dia terkenal sebagai seorang yang ditakuti di Tai-goan, bahkan di Propinsi Shan-si dia dikenal sebagai jagoan atau tukang pukul yang disegani. Karena dia tidak pernah berbuat kejahatan, walau pun agak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan selalu ingin benar sendiri, maka dia selalu mengangap diri sendiri sebagai seorang pendekar!
Pria ini bernama Tang Gun, dan pria yang tinggi besar bermuka hitam ini berusia empat puluh tahun, terkenal memiliki banyak macam ilmu silat di antaranya ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-si dan tenaganya amat besar. Sebelum yang lain-lain sempat mengemukakan pendapatnya dan juga sebelum Sim Hong Bu sempat mencegahnya, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Su Ciok, tokoh Thian-li-pai, sudah berada di atas tanah datar itu menghadapi Tang Gun!
“Bagus, engkau hendak menantang pibu? Baik sekali, akulah lawanmu. Sekarang lihat seranganku!” bentak Su Ciok sambil menerjang dengan pukulannya yang kuat.
Tokoh Thian-li-pai ini memang berwatak keras, tidak banyak cakap namun suka sekali berkelahi. Begitu mendengar usul dan tantangan Tang Gun tadi, dia sudah naik darah dan menyambut tantangan itu tanpa banyak cakap lagi.
“Heh, engkau ini tokoh Thian-li-pang tadi?” bentak Tang Gun sambil menangkis dengan pengerahan tengannya yang besar.
“Dukkk....!”
Pertemuan dua lengan yang sama besar dan sama kuatnya itu membuat keduanya terdorong ke belakang sampai terhuyung. Keduanya terkejut, tak mengira bahwa lawan memiliki tenaga yang demikian besar. Akan tetapi kini Tang Gun marah dan membalas serangan tadi dengan cengkeraman tangan ke depan, disusul hantaman tangan kiri ke arah kepala lawan. Karena kini dia tahu bahwa lawannya juga memiliki tenaga besar, maka melihat datangnya serangan yang kuat berbahaya itu, Su Ciok mengelak dan balas menyerang. Serang-menyerang pun terjadilah dengan serunya.
Dan ternyata dua orang yang sama tinggi besar dan sama kuatnya ini memang memiliki kepandaian dan tenaga seimbang. Berkali-kali lengan mereka saling bertemu dan selalu keduanya terdorong ke belakang. Ketika mereka bertanding sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh ke medan perkelahian itu. Kiranya bayangan itu adalah Giam San-jin tokoh Pat-kwa-pai.
“Plakk! Plakk!”
Kakek berpakaian pertapa ini menggerakkan tangannya menyambut pukulan dua orang yang sedang berkelahi itu. Demikian kuat tamparan tangannya ketika mengenai lengan mereka sehingga Tang Gun dan Su Ciok yang bertenaga besar itu pun terpelanting dan hampir terbanting roboh! Tentu saja keduanya terkejut bukan main.
“Kalian mundurlah!” kakek itu membentak dengan mata mencorong kepada mereka.
Dua orang kuat itu terbelalak dan sejenak bimbang. Dari pertemuan tenaga tadi saja mereka pun maklum bahwa kakek tokoh Pat-kwa-pai ini memang hebat sekali, maka mereka menjadi ragu dan jeri, lalu mundur untuk membiarkan kakek itu bicara.
Giam San-jin memberi hormat ke empat penjuru, kemudian berkata dengan suara halus. “Kami setuju dengan usul untuk menentukan siapa yang menjadi bengcu melalui ujian kepandaian. Akan tetapi bukan secara kasar dan tak teratur seperti yang diperlihatkan dua saudara tadi. Sebelumnya harus diadakan peraturan agar tidak kacau-balau. Dan pertama ingin kami mendengar, apakah cu-wi yang hadir di sini setuju bahwa untuk menentukan bengcu diadakan ujian kepandaian di antara para calon, dan yang paling pandai berhak menjadi bengcu?”
“Siancai....! Itulah jalan yang paling baik. Kami setuju!” Terdengar Ci Hong Tosu tokoh Pek-lian-pai berseru, suaranya tinggi melengking hingga terdengar jelas sebab memang tosu ini hendak memperlihatkan kekuatan khikangnya.
Selain ketua Pek-lian-pai, banyak pula di antara para tokoh yang sudah dicalonkan tadi menyetujui. Kembali suasana menjadi gaduh karena ada pula di antara para pendekar yang nampaknya tidak setuju dengan usul pertandingan adu kepandaian itu...