CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SI BANGAU MERAH BAGIAN 01
HUJAN pertama yang turun tadi malam amat lebat, deras dan merata sampai puluhan li jauhnya. Hujan yang melegakan hati para petani, melegakan tanah kering yang sudah berbulan-bulan merindukan air. Pagi hari ini udara sangat cerah, seolah matahari lebih berseri dari pada biasanya, seperti wajah seorang kanak-kanak tersenyum dan tertawa sehabis menangis. Kewajaran yang indah tak ternilai.
Seluruh permukaan bumi segar berseri seperti seorang puteri jelita baru keluar dari danau sehabis mandi bersih. Daun-daunan nampak hijau segar dan basah, demikian pula bunga-bunga, walau pun tidak tegak lagi melainkan lebih banyak menunduk karena hembusan air dan angin semalam. Tanah yang barusan disiram air selagi kehausan itu mengeluarkan uapan bau tanah yang sedap, bau yang mengingatkan orang pada masa kanak-kanak ketika dia bermain-main dengan lumpur yang mengasyikkan.
Burung-burung pun lebih lincah pagi itu. Suasana yang menakutkan mereka semalam, hujan dan angin ribut, merupakan bahaya mala petaka yang sudah lewat dan mereka menyambut munculnya matahari pagi dengan kicau saling sahut, dan mereka siap-siap berangkat bekerja mencari makan. Kegembiraan nampak pada wajah para petani yang memanggul cangkul, berangkat ke sawah ladang yang sekarang kembali menjadi subur menumbuhkan harapan hasil panen yang baik.
Segala sesuatu di dunia ini nampak indah selama kita tidak menyimpan kenangan masa lalu. Kenangan hanyalah menimbulkan perbandingan dan perbandingan menghilangkan keindahan saat ini.
"Yo Han, engkau ini bagaimana? Aku dan suhu-mu bersungguh-sungguh mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadamu, akan tetapi engkau selalu acuh menerimanya, bahkan tidak mau berlatih."
Suara wanita yang mengomel ini pun merupakan sebagian dari keindahan pagi itu kalau tidak dinilai. Perusak keindahan adalah penilaian dan perbandingan.
Anak laki-laki itu berusia dua belas tahun. Dia berdiri dengan sikap hormat, akan tetapi pandang matanya sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut kepada wanita yang menegurnya, wanita yang duduk di atas bangku di depannya. Mereka berada di kebun yang terletak di belakang rumah, di mana tadi anak laki-laki itu menyapu kebun yang penuh dengan daun-daun yang berguguran semalam.
Wanita itu adalah Kao Hong Li atau Nyonya Tan Sin Hong. Suami isteri pendekar ini sejak menikah lima tahun yang lalu, tinggal di kota Ta-tung, di sebelah barat kota raja Peking, di mana mereka membuka sebuah toko rempah-rempah serta hasil pertanian dan perkebunan.
Tan Sin Hong adalah seorang pendekar yang terkenal, walau pun kini dia hidup dengan tenang dan tenteram di kota Ta-tung, tak lagi bertualang di dunia persilatan. Dia pernah terkenal sekali dengan julukannya Pendekar Bangau Putih atau Si Bangau Putih.
Julukannya ini adalah karena dia merupakan satu-satunya pendekar yang menguasai ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) ciptaan dari mendiang tiga orang sakti yang menggabungkan ilmu-ilmu mereka, yaitu mendiang Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir, isterinya Wan Ceng, dan Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat yang pernah terkenal dengan julukan Si Jari Maut!
Si Bangau Putih Tan Sin Hong pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat. Akan tetapi setelah menikah, dia hidup dengan tenang tenteram bersama isterinya di kota Ta-tung, walau pun usianya masih sangat muda, yaitu baru dua puluh tujuh tahun. Kesukaannya akan pakaian berwarna putih membuat dia lebih dikenal sebagai Si Bangau Putih.
Tan Sin Hong seorang pria yang nampaknya biasa dan sederhana saja, sikapnya selalu lembut dan ramah. Hanya pada matanya sajalah nampak bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Matanya itu kadang mencorong penuh kekuatan dan kewibawaan.
Isterinya yang kini duduk di kebun itu bernama Kao Hong Li, berusia dua puluh enam tahun. Isteri Si Bangau Putih itu pun bukan wanita sembarangan. Ia puteri pendekar Kao Cin Liong, bahkan cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mengherankan kalau nyonya muda ini pun memiliki ilmu silat yang hebat, walau pun tidak sehebat suaminya. Sukarlah mencari seorang yang cukup lihai untuk mampu menandingi Kao Hong Li.
Kao Hong Li ialah seorang wanita yang cantik. Wajahnya bulat telur dan kecantikannya terutama terletak kepada sepasang matanya yang lebar dan jeli. Sikapnya lincah, gagah dan juga galak. Ia seorang wanita yang cerdik, pandai bicara. Seperti juga Tan Sin Hong yang pernah menikah dengan wanita lain kemudian bercerai, Kao Hong Li juga seorang janda muda ketika menikah dengan Sin Hong.
Meski dua orang pendekar ini saling mencinta ketika mereka masih perjaka dan gadis, namun keadaan membuat mereka tidak berjodoh dan menikah dengan orang lain. Tan Sin Hong pernah menikah dengan Bhe Siang Cun, puteri guru silat Ngo-heng Bu-koan, sedangkan Kao Hong Li menikah dengan Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di kota Pao-teng.
Namun, karena pernikahan ini tidak dilandasi cinta, sebentar saja terjadi keretakan dan akhirnya keduanya bercerai dari isteri dan suami masing-masing. Saat dalam keadaan menjadi duda dan menjadi janda inilah mereka saling berjumpa kembali dan kegagalan perjodohan mereka masing-masing itu semakin mendekatkan dua hati yang memang sejak dahulu sudah saling mencinta itu. Dan mereka pun menjadi suami isteri.
Suami isteri yang saling mencinta itu hidup cukup berbahagia, dan setahun setelah pernikahan mereka, mereka dikaruniai seorang puteri yang mereka beri nama Tan Sian Li, yang kini telah berusia empat tahun.
Ada pun anak laki-laki berusia dua belas tahun yang sepagi itu telah menerima teguran Kao Hong Li, adalah murid suami isteri itu. Namanya Yo Han dan sejak lima tahun yang lalu dia sudah diambil murid oleh Tan Sin Hong. Yo Han adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibunya telah tewas di tangan tokoh-tokoh sesat.
Ayah Yo Han seorang petani yang jujur dan sama sekali tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia memiliki watak yang gagah perkasa melebihi seorang pendekar silat! Ibu anak itu seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal, bahkan dahulunya sebelum menikah dengan Yo Jin, yaitu ayah Yo Han, wanita itu merupakan seorang tokoh sesat yang ditakuti orang. Namanya Ciong Siu Kwi dan ia dijuluki Bi Kwi (Setan Cantik) karena biar pun wajahnya cantik jelita, namun ia jahat seperti setan!
Setelah bertemu Yo Jin dan menikah dengan pemuda dusun yang sama sekali tidak mampu bermain silat itu, wataknya lantas berubah sama sekali. Ia menyadari semua kesalahannya dan ia hidup sebagai seorang isteri yang baik, bahkan setelah melahirkan Yo Han, ia menjadi seorang ibu yang sangat baik. Akan tetapi, agaknya latar belakang kehidupannya mendatangkan mala petaka.
Pohon yang ditanamnya dahulu itu berbuah sudah dan ia pula yang harus memetik dan makan buahnya. Meski ia sudah berusaha untuk menjauhkan diri dari dunia kang-ouw, bahkan dari dunia persilatan, namun tetap saja musuh-musuh mencarinya! Melibatkan suami dan puteranya pula sehingga untuk menyelamatkan anak dan suami, terpaksa Bi Kwi Ciong Siu Kwi mencabut kembali pedangnya!
Dan akibatnya, ia dan suaminya tewas di tangan tokoh-tokoh sesat. Masih baik bagi anaknya bahwa dia, yaitu Yo Han, dapat tertolong oleh Tan Sin Hong yang kemudian mengambilnya sebagai murid. Demikianlah riwayat singkat Yo Han dan kedua orang gurunya.
Dan semenjak gurunya, Tan Sin Hong, menikah dengan Kao Hong Li dan tinggal di kota Ta-tung, Yo Han bekerja dengan rajin sekali. Walau pun gurunya telah berhasil dalam usaha perdagangannya, dan sudah mampu menggaji pelayan, namun tetap saja Yo Han membantu semua pekerjaan dari menyapu kebun, membersihkan perabot rumah dan sebagainya. Tidak ada yang menyuruhnya, melainkan karena dia suka bekerja, dia suka mengerjakan kaki tangannya.
Sejak menjadi murid Sin Hong, pendekar ini mengajarkan ilmu silat dasar kepada Yo Han. Akan tetapi sungguh mengherankan sekali, anak itu tidak suka belajar silat. Dia lebih tekun belajar membaca dan menulis sehingga dalam usia dua belas tahun, dia telah mampu membaca kitab-kitab sastra dan filsafat yang berat-berat seperti Su-si Ngo-keng! Dia pandai pula menulis sajak, pandai bermain suling dan pandai bernyanyi! Akan tetapi, selama lima tahun menjadi murid Si Bangau Putih Tan Sin Hong, dia belum mampu melakukan gerakan menendang atau memukul yang benar!
Tan Sin Hong dapat memaklumi keadaan muridnya itu. Dia teringat betapa dahulu, ayah dan ibu anak ini selalu menjaga agar putera mereka tidak mengenal ilmu silat. Mereka mengajarkan ilmu baca-tulis kepada putera mereka, akan tetapi Yo Han sama sekali tidak diperkenalkan dengan ilmu silat. Hal ini dikehendaki oleh Yo Jin, dan Bi Kwi juga menyetujui karena suami isteri ini melihat kenyataan betapa dunia persilatan penuh dengan kekerasan, dendam dan permusuhan.
Bahkan Bi-kwi sendiri benar-benar meninggalkan dunia persilatan, hanya hidup sebagai seorang isteri dan ibu di dusun, sebagai petani yang hidup sederhana namun tenteram penuh damai. Karena memaklumi bahwa pendidikan ayah ibu ini ikut pula membentuk watak dan kepribadian Yo Han, maka biar pun dia melihat betapa Yo Han sama sekali tidak suka mempelajari ilmu silat, dia pun tidak pernah menegur.
Akan tetapi, yang suka mengomel dan merasa penasaran adalah isterinya, Kao Hong Li. Wanita ini memiliki watak yang lincah, gagah dan juga galak. Ia merasa penasaran bukan main melihat Yo Han tidak pernah memperhatikan pelajaran ilmu silat, bahkan mengacuhkannya sama sekali. Padahal, mereka, terutama suaminya, sudah berusaha sedapatnya untuk menjadi seorang guru yang baik bagi Yo Han.
Apa akan kata orang dunia persilatan kalau melihat Yo Han menjadi seorang yang sama sekali tidak tahu ilmu silat, padahal dia adalah murid ia dan suaminya? Yang tidak tahu tentu mengira bahwa mereka suami isteri memang tidak bersungguh hati mengajarkan silat kepada Yo Han, bahkan tentu disangkanya membenci anak itu.
Padahal ia dan suaminya amat menyayang Yo Han. Anak itu mereka anggap sebagai anak sendiri, atau adik sendiri. Apa lagi Yo Han adalah seorang anak yang tahu diri, amat pandai membawa diri, rajin bekerja, juga amat cerdik. Mempelajari segala macam kepandaian, dia cerdik luar biasa, akan tetapi hanya satu hal dia tidak peduli, yaitu ilmu silat.
Pagi hari itu, karena telah merasa kesal sekali melihat Yo Han hanya bekerja di kebun, sama sekali tidak mau berlatih silat, Kao Hong Li tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi dan ia pun menegur muridnya.
"Nah, hayo jawab. Kenapa engkau tak mau melatih ilmu-ilmu silat yang sudah diajarkan oleh suhu-mu dan aku? Sudah berapa banyak ilmu silat yang kami ajarkan kepadamu, yang semua teorinya engkau sudah hafal, akan tetapi belum pernah aku melihat engkau mau melatihnya! Hayo jawab sekarang, Yo Han, jawablah sejujurnya, mengapa engkau tidak mau berlatih silat?"
Sejak tadi anak itu menatap wajah subo-nya (ibu gurunya), dengan sikap tenang dan pandang mata lembut, wajah tersenyum seperti seorang tua melihat seorang anak kecil yang marah-marah!
"Benarkah Subo menghendaki teecu (murid) bicara terus terang sejujurnya, dan Subo tidak akan menjadi marah, apa pun yang menjadi jawaban teecu?"
"Kenapa mesti marah? Dengar baik-baik, Yo Han. Pernahkah aku atau suhu-mu marah-marah jika engkau memang bertindak benar? Selama ini, kami harus mengakui bahwa engkau seorang anak yang baik dan seorang murid yang patuh, juga rajin bekerja dan semua ilmu pengetahuan dapat kau kuasai dengan baik dan kau pelajari dengan tekun. Kecuali ilmu silat! Kalau memang jawaban dan keteranganmu sejujurnya dan benar, mengapa aku harus marah? Kalau aku ini menegurmu karena engkau tidak mau berlatih silat, bukanlah untuk kepetinganku, melainkan demi masa depanmu sendiri.”
Anak itu memandang kepada subo-nya dengan mata membayangkan keharuan hatinya. Setelah gurunya selesai bicara, dia pun menarik napas panjang.
"Subo, teecu tahu benar betapa Subo dan Suhu amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu. Teecu tak habis merasa bersyukur dan berterima kasih atas segala budi kebaikan Subo dan Suhu, Dan maafkanlah kalau tanpa sengaja teecu telah membuat Subo dan Suhu kecewa, menyesal dan marah. Sekarang, teecu hendak menjawab secara terus terang saja, sebelumnya mohon Subo memaafkan teecu."
Diam-diam Kao Hong Li memandang kagum. Sering ia merasa kagum kepada anak ini. Bicaranya demikian lembut, sopan, teratur seperti seorang dewasa saja, yang terpelajar tinggi pula!
"Katakanlah jawabanmu kenapa engkau tidak suka berlatih silat. Aku tak akan marah," katanya, kini suaranya tidak keras penuh teguran lagi.
"Subo, teecu suka mempelajari ilmu silat karena di situ teecu menemukan keindahan seni tari, juga teecu menemukan olahraga yang menyehatkan dan menguatkan badan, memperbesar daya tahan terhadap penyakit dan kelemahan. Akan tetapi, teecu tidak suka melatihnya karena teecu melihat bahwa di dalam ilmu silat terdapat kekerasan pula. Karena itu, maka ilmu silat itu jahat!"
Sepasang mata Kao Hong Li yang memang lebar dan jeli itu terbelalak semakin lebar. "Jahat...?!"
"Ya, tentu jahat, Subo. Ilmu silat adalah ilmu memukul orang, bahkan membunuh orang lain. Apa ini tidak jahat namanya?"
"Wah, pendapatmu itu terbalik sama sekali, Yo Han! Justru ilmu silat membuat kita dapat membela diri terhadap kejahatan, juga dapat kita pergunakan untuk membasmi kejahatan. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk kejahatan, tentu saja tidak benar. Akan tetapi ilmu silat dapat dipergunakan untuk menentang kejahatan, seperti yang dilakukan para pendekar. Ilmu silat adalah ilmu bela diri, baik dari serangan orang jahat mau pun binatang buas. Yang jahat itu bukan ilmu silatnya, seperti juga segala macam ilmu di dunia ini. Jahat atau tidaknya, baik atau tidaknya, tergantung dari manusianya, bukan dari ilmunya. Ilmu silat atau ilmu apa pun tidak akan ada artinya tanpa Si Manusia yang mempergunakannya."
Yo Han mengangguk-angguk. “Teecu mengerti, Subo. Semua yang Subo katakan itu memang kenyataan dan benar adanya. Baik atau buruk tergantung pada orang yang menguasainya. Seperti Suhu dan Subo, walau pun ahli-ahli ilmu silat, namun sama sekali tidak jahat. Yang membuat teecu tidak mau melatih diri dengan ilmu silat adalah karena melihat sifat dari ilmu silat itu. Sifatnya adalah kekerasan, perkelahian, saling bermusuhan. Itulah yang membuat teecu tidak suka menguasainya.”
Kao Hong Li sudah mulai merasa perutnya panas. Ia memang galak dan teguh dalam pendiriannya. "Yo Han, lupakah engkau bahwa kalau tidak ada ilmu silat, engkau sudah mati sekarang ketika engkau terjatuh ke tangan para tokoh sesat?"
"Maaf, Subo. Nyawa kita berada di tangan Tuhan! Kalau Tuhan belum menghendaki teecu mati, biar diancam bahaya bagaimana pun juga, ada saja jalannya bagi teecu untuk terhindar dari kematian. Sebaliknya, kalau Tuhan sudah menghendaki seseorang mati, biar dia memiliki kesaktian setinggi langit sedalam lautan, tetap saja dia tidak akan mampu menghindarkan diri dari kematian. Bukankah begitu, Subo?"
Diam-diam Kao Hong Li terkejut. Dari mana anak ini dapat pengertian seperti itu?
"Anak baik, biar nyawa berada di tangan Tuhan, akan tetapi sudah menjadi kewajiban setiap orang manusia untuk menjaga diri, untuk selalu berusaha menyelamatkan diri dari segala ancaman. Dan ilmu silat dapat menjamin kita untuk menyelamatkan diri dari ancaman orang jahat atau binatang buas."
"Subo, maafkan kalau teecu berterus terang. Teecu selalu ingat betapa Ayah dan Ibu tewas, karena Ibu pernah berkecimpung di dunia persilatan. Ibu sudah terlalu banyak menanam permusuhan, sudah terlalu banyak bergelimangan kekerasan, maka akhirnya Ibu tewas dalam kekerasan pula, bahkan membawa Ayah menjadi korban. Selain itu, sudah banyak teecu mendengar kisah yang dituturkan oleh Subo dan Suhu, kisah para pendekar sakti. Mereka itu hampir semua tewas dalam perkelahian, dalam kekerasan."
"Kau keliru, Yo Han. Memang benar bahwa banyak pendekar tewas dalam perkelahian, seperti juga sebagian besar prajurit tewas dalam pertempuran. Akan tetapi, justru itu adalah kematian terhormat bagi seorang pendekar. Tewas dalam melaksanakan tugas menentang kejahatan adalah kematian yang terhormat!"
"Membunuh atau terbunuh merupakan kematian terhormat, Subo? Ahh, teecu tak dapat menerimanya. Semua kepandaian yang dimiliki manusia didapatkan karena kekuasaan dan kemurahan Tuhan. Juga ilmu silat. Akan tetapi sungguh sayang bahwa kemurahan dan kekuasaan Tuhan itu diselewengkan oleh manusia untuk saling bunuh. Tidak, Subo. Teecu tidak mau membunuh orang! Teecu tidak mau belajar ilmu silat, ilmu memukul dan membunuh orang."
Kao Hong Li menjadi semakin marah. "Bagaimana kalau engkau sekali waktu diancam oleh orang jahat untuk dibunuh?"
"Tentu teecu akan berusaha untuk menyelamatkan diri, melindungi diri dengan segala kekuatan dan kemampuan yang ada, akan tetapi bukan berarti teecu akan berusaha membunuhnya. Jika teecu sudah berusaha sekuatnya untuk melindungi diri, cukuplah."
"Hemm, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu dari serangan orang jahat yang hendak membunuhmu kalau engkau tidak pandai ilmu silat?"
"Teecu serahkan saja kepada Tuhan! Sudah teecu katakan tadi bahwa nyawa berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan belum menghendaki teecu mati di tangan penjahat itu, tentu teecu akan dapat menghindarkan diri."
Kao Hong Li sudah kehilangan kesabarannya. Dia bangkit berdiri dan menatap wajah anak itu. "Yo Han, aku khawatir bahwa engkau sudah dihinggapi kesombongan besar yang tolol!"
"Maafkan teecu, Subo," kata Yo Han sambil menundukkan mukanya.
"Bocah sombong! Kalau engkau tidak mau belajar silat, kalau engkau menganggap bahwa belajar silat itu salah, lalu engkau mau belajar apa? Engkau menjadi murid suami isteri pendekar, kalau tidak mau belajar silat dari kami, lalu mau belajar apa?"
"Teecu ingin belajar hidup yang benar dan sehat, belajar untuk menjadi manusia yang berguna, baik bagi diri sendiri, bagi orang lain, dan bagi Tuhan. Teecu akan mempelajari segala ilmu yang berguna dan indah, sastra, seni apa saja, asalkan bukan ilmu yang merusak..."
"Sombong!" Kao Hong Li membentak, kini ia sudah marah. "Kau mau bilang bahwa ilmu silat adalah ilmu yang merusak?"
Pada saat itu, muncullah Tan Sin Hong. Sejak tadi dia sudah mendengar percakapan antara isterinya dan murid mereka. Dia tidak menyalahkan isterinya yang marah-marah. Dia sendiri pun tentu akan marah kalau saja dia tidak teringat akan keadaan Yo Han di waktu kecilnya.
"Aihh, ada apakah ini sepagi ini sudah ribut-ribut?" Sin Hong menegur sambil tersenyum tenang.
Melihat suaminya datang, Kao Hong Li segera menuding kepada Yo Han.
"Coba lihat muridmu ini! Dia menjadi murid kita tentu kita beri pelajaran ilmu silat. Ehh, dia malah menganggap bahwa ilmu silat itu ilmu yang jahat, ilmu yang merusak! Apa tidak membikin panas perut?"
"Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi hal itu," Sin Hong menghibur isterinya, lalu bertanya kepada Yo Han. "Yo Han, apakah engkau lupa bahwa hari lusa adalah suatu hari yang bahagia? Nah, ada peristiwa bahagia apakah hari lusa itu?"
Yo Han mengangkat mukanya dan wajahnya berseri-seri memandang kepada suhu-nya yang telah mengalihkan percakapan yang membuat hatinya merasa tidak enak terhadap subo-nya tadi.
"Teecu tahu, Suhu. Besok lusa adalah hari ulang tahun yang ke empat dari Sian Li."
"Ha, jadi engkau ingat? Dan sudahkah engkau mempersiapkan hadiahmu untuk adikmu itu?"
Yo Han menggeleng kepala. "Belum, Suhu."
Yo Han amat mencinta adiknya, puteri kedua orang gurunya itu. Bahkan sejak Sian Li bisa merangkak, Yo Han lah yang selalu mengasuhnya dan mengajaknya bermain-main sehingga Sian Li juga amat sayang kepadanya.
Sin Hong mengeluarkan uang dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Yo Han. "Nah, ini uang boleh kau pakai untuk membelikan hadiahmu untuk Sian Li."
Akan tetapi Yo Han menggeleng kepalanya, "Suhu, teecu ingin memberi hadiah sesuatu yang merupakan hasil pekerjaan tangan teecu sendiri kepada adik Sian Li."
"Hemm..." Sin Hong menyimpan kembali uangnya. "Dan sudah kau buatkan itu?
"Belum, Suhu!"
"Kalau begitu, mulai hari ini kau boleh mulai mengerjakannya. Jangan bantu pekerjaan tukang kebun dan pelayan, tapi selesaikan membuat hadiahmu untuk adikmu."
Berseri wajah Yo Han. Memang dua orang gurunya tidak pernah menyuruh dia bekerja, akan tetapi dia sendiri yang merasa tidak enak kalau harus menganggur. Selalu ada saja yang dia kerjakan. Sekarang gurunya memberi dia kesempatan sepenuhnya untuk membuatkan hadiah untuk Sian Li.
"Baik, terima kasih, Suhu. Sekarang pun teecu hendak mulai membuatkan hadiah itu!" Dan dia pun pergi meninggalkan kebun itu, menuju ke sungai kecil yang mengalir di sebelah selatan rumah itu.
Setelah Yo Han pergi, baru Sin Hong bicara dengan isterinya. "Sudahlah, kalau dia tidak mau berlatih silat, kita tidak perlu memaksanya. Kita sudah mengajarkan ilmu-ilmu kita yang paling baik, dan dia sudah menghafalkan semua teorinya. Tinggal terserah kepada dia sendiri hendak melatihnya atau tidak."
"Akan tetapi, dia adalah murid kita. Kalau kelak dunia persilatan tahu bahwa dia murid kita akan tetapi lemah dan tidak pandai memainkan ilmu silat, bukankah kita yang akan menjadi bahan tertawaan?"
Sin Hong menggelengkan kepala. "Belum tentu demikian. Aku melihat bahwa dia bukan anak sembarangan. Dia pemberani dan tabah, juga sangat cerdik. Dan dia mempunyai kasih sayang kepada sesamanya. Lihat saja. Dia tidak pernah menjadi jagoan, akan tetapi semua anak di kota ini mengenalnya dan bersikap sangat baik kepadanya. Dia disukai dan disegani, bukan saja oleh anak-anak, bahkan juga orang-orang tua tetangga kita selalu memujinya karena sikapnya yang sopan dan baik budi."
"Bagaimana pun juga, aku khawatir bila terjadi serangan orang jahat terhadap dirinya..."
"Tidak perlu khawatir, Li-moi. Biarkan saja dia tumbuh sewajarnya, menurut apa yang disukainya dan kita lihat saja. Yang paling penting, dia tidak melakukan sesuatu yang menyimpang dari kebenaran. Apa lagi, dia amat sayang kepada Sian Li."
Hong Li mengangguk. "Memang, Sian Li juga sayang sekali kepadanya. Justru inilah yang kadang merisaukan hatiku."
"Ehh? Engkau risau karena anak kita menyayang Yo Han?"
"Yo Han bagaikan kakak bagi Sian Li dan kelak, tentu Sian Li akan mencontoh segala peri laku Yo Han. Kalau Yo Han membenci ilmu silat, menganggapnya jahat, bagaimana kalau dia mempengaruhi Sian Li dan anak kita juga tidak suka berlatih silat?"
Sin Hong mengangguk-angguk. "Aku akan bicara dengan Yo Han tentang itu dan minta supaya dia jangan menanamkan pendapatnya itu kepada Sian Li, bahkan agar dia bisa membujuk Sian Li supaya suka mempelajari dan berlatih ilmu silat."
Mendengar ucapan suaminya itu, baru legalah rasa hati Hong Li.
"Sungguh seorang anak yang aneh sekali Yo Han itu," katanya menarik napas panjang.
Ia sendiri amat suka kepada Yo Han. Siapa yang takkan suka kepada anak yang pandai membawa diri dan rajin itu? Wajahnya tak pernah muram, terang dan amat ramah, juga berhati lembut.
Memang tidak berlebihan kalau wanita pendekar itu mengatakan bahwa Yo Han adalah seorang anak yang aneh sekali. Memang nampaknya saja Yo Han seorang anak biasa yang tiada bedanya dengan anak-anak lainnya. Akan tetapi memang terdapat sesuatu yang luar biasa pada diri anak ini, yang membuat Kao Hong Li dan juga suaminya mengetahui bahwa Yo Han bukanlah anak biasa.
Sikap anak itu demikian dewasa, pandangannya luas dan kadang-kadang aneh dan tak pantas dimiliki seorang anak berusia dua belas tahun. Wajahnya memang tampan, akan tetapi itu pun tidak aneh. Dan wataknya sederhana. Pakaian pun amat sederhana walau pun selalu bersih dan rapi.
Meski pun kedua orang gurunya amat sayang kepadanya dan selalu berusaha agar dia senang dan tidak kekurangan sesuatu, tapi Yo Han tidak pernah minta apa-apa, hanya menerima saja apa pun yang diberikan kepadanya tanpa memilih. Yang membuat suami isteri itu sering kali kagum adalah kecerdikannya. Dia seolah mampu membaca pikiran orang!
Terutama sekali dalam pelajaran sastra, kecerdasan anak itu sangat menonjol. Dalam usia dua belas tahun, dia sudah mampu membaca kitab-kitab yang berat-berat. Bukan saja kitab-kitab sejarah, juga kitab-kitab agama dan filsafat. Kitab-kitab Su-si Ngo-keng sudah hafal olehnya, dan andai kata dia mau, dalam usia dua belas tahun itu bukan tidak mungkin dia akan lulus dalam ujian kenegaraan bagi para siu-cai (semacam gelar sarjana).
Tan Sin Hong sendiri adalah seorang yang suka membaca dan dia memiliki kumpulan kitab-kitab kuno di dalam kamar perpustakaannya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa kalau sedang membersihkan kamar itu, Yo Han tenggelam ke dalam kitab-kitab itu, membaca kitab-kitab yang kadang masih terasa sukar bagi Sin Hong sendiri!
Banyak hal yang dibacanya, baik dalam kitab sejarah mau pun kitab keagamaan, yang kemudian mempengaruhi batin Yo Han yang aneh, yang membuat ia ngeri menghadapi kekerasan, membuat dia merasa ngeri melihat kenyataan betapa kehidupan manusia bergelimang kekerasan.
Di samping itu, ada sesuatu yang amat luar biasa pada diri Yo Han, yang sering kali membuat dia sendiri merasa heran. Sering dia merasa seakan-akan ada kekuatan yang melindunginya, kekuatan yang kadang-kadang bekerja di dalam dan di luar dirinya, yang bekerja di luar kehendaknya, bahkan di luar pengertiannya. Suatu tenaga mujijat, suatu kekuatan yang bekerja di luar hati dan akal pikirannya.
Hal ini tadinya tak diketahuinya. Akan tetapi karena beberapa kali telah terjadi hal yang tadinya dianggap suatu ‘kebetulan’ saja, mulailah dia menyadari bahwa hal itu bukanlah suatu kebetulan belaka.
Mula-mula keanehan itu terjadi saat dia membaca sebuah kitab agama kuno yang berisi dongeng-dongeng yang mengandung makna-makna terpendam. Amat sukar dimengerti oleh orang dewasa yang sudah banyak membaca kitab agama sekali pun.
Yo Han menemukan kitab ini di dalam kamar perpustakaan suhu-nya. Dia membacanya dan segera menemukan kesulitan. Banyak huruf kuno yang tidak dikenalnya, dan lebih banyak pula kalimat yang tidak dimengerti maknanya. Karena dia memang seorang kutu buku, dia tidak putus asa dan terus membaca.
Makin dia berusaha untuk mengerti isi kitab, makin sukarlah baginya dan makin bingung dan ruwetlah pikirannya. Akhirnya, karena kelelahan, bukan karena jengkel, dia pun lalu tertidur. Tidur sambil duduk dan kitab itu masih terbuka di atas meja di depannya.
Ketika setengah jam kemudian dia terbangun, dia melihat lagi kitab itu dan... dia dapat membaca dengan lancar, bahkan dapat mengerti apa arti isi kitab itu. Hal yang tadinya dianggap sukar, setelah dia bangun tidur, menjadi mudah, yang gelap menjadi terang. Hal itu terjadi dengan sendirinya, bukan hasil pemerasan pikiran, seperti secara wajar dan otomatis saja.
Demikianlah, banyak hal seperti itu terjadi selama kurang lebih dua tahun ini. Yo Han mulai mengerti bahwa kekuatan mujijat itu terjadi kalau dia pasrah kepada Tuhan, kalau dia tidak mempergunakan daya hati dan akal pikirannya. Seperti telah diatur saja oleh tenaga mujijat.
Setelah gurunya memberi ijin kepadanya untuk segera membuatkan hadiah untuk Sian Li, Yo Han segera pergi ke sungai yang letaknya kurang lebih satu li saja dari rumah gurunya. Dia tahu bahwa bahan yang dibutuhkannya untuk membuat hadiah itu berada di tepi sungai. Bahan itu hanya tanah liat, lain tidak!
Ia ingin membuatkan patung kecil atau boneka dari tanah liat, buatan tangannya sendiri, untuk Sian Li! Dia tahu bahwa ia dapat membuat sebuah boneka yang indah dari tanah, liat. Sudah sering ia bermain-main dengan tanah liat dan ia mendapat kenyataan betapa tanah liat itu demikian penurut dalam remasan jari-jari tangannya, demikian mudahnya dibentuk menjadi apa saja yang dikehendakinya.
Dia dapat membuat segala macam patung binatang dari tanah liat. Rasanya seperti jika dia melukis. Dengan goresan, dia pun dapat membentuk apa saja yang dilihatnya, baik yang dilihatnya dalam kenyataan mau pun yang dilihatnya dalam bayangan khayal.
Yo Han tiba di tepi sungai dan dia segera menuju ke bagian di mana terdapat tanah liat yang baik. Bagian ini sunyi sekali. Hanya dia dan beberapa orang kawannya bermain, tetangga gurunya, yang mengetahui tempat ini. Kini dia berada di situ seorang diri dan segera dia turun ke tepian sungai dan mengambil tanah liat dengan kedua tangannya. Mudah saja menggali tanah liat yang lunak dan basah itu, lalu dikumpulkannya sampai cukup banyak, dan dibawanya tanah liat segumpal besar itu ke bawah sebatang pohon besar di tepi sungai.
Ketika baru saja dia menurunkan tanah liat yang dibawanya, saat dia duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah, tanpa disengaja kakinya menginjak seekor ular! Bagian ekornya yang diinjaknya itu.
Ular itu terkejut, dan juga marah. Tubuhnya membalik, kemudian kepalanya meluncur dan menyerang ke arah leher Yo Han yang sudah duduk. Tangan kanan Yo Han cepat bergerak dan tahu-tahu leher ular itu telah terjepit di antara jari-jari tangannya. Dia telah dapat menangkap leher ular itu!
Tak jauh dari situ, Sin Hong memandang terbelalak! Tadi pun dia melihat serangan ular yang amat mendadak itu dan wajahnya menjadi pucat. Terlalu jauh baginya untuk dapat menolong dan menyelamatkan muridnya, juga gerakan ular itu terlalu cepat. Dia sudah membayangkan betapa leher itu pasti akan dipatuk ular. Bukan ular biasa, melainkan ular hijau yang racunnya amat jahat!
Akan tetapi, apa yang dilihatnya? Yo Han telah dapat menangkap leher ular itu, hanya sedikit selisihnya karena moncong ular itu tinggal sejengkal lagi dari leher Yo Han! Dia sendiri, kalau diserang ular secara tiba-tiba seperti itu, masih meragukan apakah berani menghindarkan diri dengan cara menangkap leher ular itu!
Perbuatan ini amat berbahaya karena sekali meleset dan leher terpatuk ular beracun itu, akan amat hebat akibatnya. Kalau kaki yang terpatuk ular, masih banyak harapan untuk diobati, akan tetapi leher terletak demikian dekat dengan kepala dan jantung. Dia hanya terbelalak memandang dan semakin bengonglah dia ketika melihat apa yang terjadi.
Yo Han sendiri terbelalak ketika melihat bahwa yang ditangkap tangannya itu adalah seekor ular hijau yang dia tahu beracun! Dia merasa heran karena sungguh dia tidak menyadari, apa yang dilakukan tangannya tadi, seolah-olah tangan itu bergerak sendiri dengan amat cepatnya menangkap leher ular! Akan tetapi, dia memang seorang anak yang memiliki keberanian luar biasa.
Setelah kini dia melihat kepala ular itu, dengan mata yang nampaknya begitu putus asa dan ketakutan, lidah yang terjulur keluar masuk, tubuh yang menggeliat-geliat melibat lengannya tanpa daya karena dia merasa betapa lengannya diisi tenaga yang membuat lengannya itu seperti berubah menjadi baja, timbul perasaan kasihan di dalam hatinya.
"Ular hijau, kenapa engkau hendak mematukku? Kalau seandainya aku menyentuh atau menginjak tanpa kusengaja, sepatutnya engkau memaafkan aku. Engkau yang sengaja hendak mematukku pun dapat kumaafkan. Kita sepatutnya bermaaf-maafan sesudah sama-sama diciptakan hidup di dunia ini. Bukankah begitu, ular hijau?"
Sin Hong terbelalak, tak pernah berkedip ketika melihat betapa kini ekor ular yang tadi membelit-belit lengan muridnya itu melepaskan belitannya, dan melihat betapa Yo Han dengan lembut melepaskan leher yang ditangkap tangannya itu, membiarkan ular itu ke atas tanah. Dan ular itu sama sekali tidak nampak buas lagi, tidak menyerang! Juga tidak melarikan diri ketakutan.
Sekarang ular itu perlahan-lahan menghampiri Yo Han yang sudah duduk di atas akar, mengelilingi anak itu, perlahan-lahan, kadang-kadang mendekat dan menyentuh kaki Yo Han dengan tubuhnya, bagai tingkah seekor kucing manja yang mengusapkan tubuhnya ke kaki majikannya.
Yo Han sudah tidak mempedulikan ular itu lagi, melainkan asyik dengan pekerjaannya. Dua tangannya mulai bekerja dengan cekatan, meremas-remas tanah liat itu sehingga menjadi lunak dan liat, dan mulai membentuk patung yang hendak dibuatnya. Sampai beberapa lamanya, ular hijau itu bergerak di sekitar Yo Han mengusapkan tubuhnya ke kaki anak itu, kadang menggunakan lidahnya menjilat. Yo Han yang tenggelam dalam pekerjaannya seperti sudah melupakan binatang itu dan akhirnya, ular itu pun pergi dengan tenang.
Beberapa kali, dalam pengintaian itu Sin Hong menelan ludah. Dia merasa bagai dalam mimpi. Yo Han demikian mudahnya menangkap leher ular yang sedang menyerangnya, ular beracun yang terkenal amat ganas. Kemudian, lebih aneh lagi, dengan ucapan dan sikapnya, dia mampu membuat seekor ular berbisa yang ganas berubah menjadi seekor binatang yang jinak dan manja seperti kucing. Apa artinya semua ini?
Tentu saja Sin Hong menjadi penasaran bukan main. Dia adalah guru anak itu. Dan semenjak berusia tujuh tahun, Yo Han selalu ikut dengan dia. Akan tetapi bagaimana sampai saat ini dia sama sekali tidak mengenal muridnya itu? Tidak tahu akan keadaan muridnya yang aneh?
Muridnya itu tak pernah mau melatih ilmu silat yang diajarkan, akan tetapi kini buktinya, anak itu sedemikian lihainya! Kapankah belajarnya? Dari siapa? Gerakan tangan ketika menangkap ular berbisa tadi tidak dikenalnya. Sangat mirip dengan jurus Bangau Putih Mematuk Ular. Akan tetapi hanya mirip. Jauh bedanya.
Jurus dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun itu menggunakan jari tangan untuk mencengkeram tubuh ular dan memang yang dimaksud lehernya, sedang dalam ilmu silat menghadapi manusia dipergunakan untuk menangkap lengan lawan yang menyerang. Akan tetapi gerakan Yo Han tadi begitu cepat, akan tetapi begitu lembut sehingga ketika leher ular tertangkap, ular itu tidak mampu melepaskan diri, akan tetapi juga tidak tersiksa dan tidak luka. Gerakan apa itu?
Dan sikapnya kemudian terhadap ular berbisa itu, sungguh tidak dimengertinya! Kenapa Yo Han bersikap seaneh itu dan bagaimana pula ular itu berubah menjadi sejinak itu? Apakah artinya semua itu? Ilmu apakah yang dikuasai Yo Han?
Sin Hong adalah seorang pendekar yang gagah dan jujur, tentu saja tidak suka akan hal-hal yang dirahasiakan, tidak suka akan kepura-puraan. Di depannya, Yo Han tidak pernah berlatih silat, sehingga dia dan isterinya menganggap dia lemah dan tidak dapat bersilat. Akan tetapi apa kenyataannya sekarang?
Serangan ular tadi sangat cepat dan berbahaya. Hanya seorang ahli silat tingkat tinggi saja yang mampu menghindarkan bahaya maut itu dengan cara menangkap leher ular yang sedang menyerang dalam jarak sedemikian dekatnya. Dan tadi Yo Han mampu melakukannya. Hal ini membuktikan bahwa anak itu sama sekali bukan lemah, hanya berlagak lemah saja. Apakah diam-diam dia telah mempelajari dan melatih ilmu silat lain? Atau mempunyai seorang guru lain? Dia harus membongkar semua rahasia ini, dia tidak mau dipermainkan lagi.
Sekali melompat, Sin Hong sudah berada di dekat Yo Han. Anehnya, anak itu sama sekali tidak kelihatan kaget atau gugup, dan kini teringatlah Sin Hong bahwa muridnya itu memang tidak pernah gugup apa lagi kaget atau takut. Selalu tenang saja seperti air telaga yang dalam.
"Suhu...!" kata Yo Han memberi hormat dengan membungkuk karena kedua tangannya berlepotan lumpur tanah liat.
Sejak tadi Sin Hong mengamati wajah Yo Han. Kini melihat wajah muridnya itu wajar dan biasa-biasa saja, dia melirik ke arah bongkahan tanah liat di tangan anak itu dan dia terkejut, juga kagum. Dalam waktu sesingkat itu, jari-jari tangan anak itu telah mampu membentuk sebuah boneka anak-anak yang ukurannya demikian sempurna. Kepala, kaki, tangan sudah terbentuk dan demikian serasi. Hanya wajah kepala itu yang belum dibuat.
"Suhu, ada apakah Suhu mencari teecu?" tanya Yo Han.
Suara dan sikap yang amat wajar itu membuat Sin Hong menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
"Apa yang kau bikin itu?" akhirnya dia bertanya.
"Boneka tanah, Suhu, hadiah teecu untuk adik Sian Li," kata Yo Han.
Keharuan menyelinap di hati Sin Hong, Juga sedikit iri hati. Tidak ada hadiah yang lebih indah dan memuaskan hati melebihi benda buatan tangan sendiri. Jika saja dia mampu membuat boneka tanah seindah yang sedang dibuat Yo Han, dia pun akan senang membuatkan sebuah untuk puterinya!
Akan tetapi, renungan Sin Hong buyar seketika karena dia teringat lagi akan ular tadi. Suatu kesempatan yang amat baik untuk menguji muridnya, untuk mengetahui rahasia yang menyelimuti diri muridnya.
Mendadak saja, dengan tenaga terukur, kecepatan yang hampir menyamai kecepatan gerakan ular tadi, tangannya meluncur dan jari tangannya lantas menotok ke arah leher muridnya, seperti ular yang mematuk tadi, dari arah yang sama pula dengan gerakan ular tadi. Gerakannya ini pun tiba-tiba selagi Yo Han tak mengira, kiranya persis seperti keadaannya ketika diserang ular hijau tadi.
Dan satu-satunya gerakan yang dilakukan Yo Han adalah gerak refleks atau reaksi yang umum. Dia terkejut dan menarik kepalanya sedikit ke belakang. Tentu saja serangan itu akan dapat mengenai leher Yo Han kalau Sin Hong menghendaki.
Sin Hong merasa kecelik. Kenapa Yo Han sama sekali tidak menangkis atau mengelak, sama sekali tidak ada gerakan seorang ahli silat yang mahir? Kalau dia bersikap seperti itu tadi ketika dipatuk ular, tentu dia sudah celaka, mungkin sekarang sudah tewas oleh racun ular!
Ataukah Yo Han sudah tahu bahwa dia sedang diuji dan sengaja tidak mau menangkis atau mengelak untuk mengelabui gurunya? Ahh, tidak mungkin! Seorang ahli silat tinggi memang dapat menangkap gerakan serangan dengan cepat, akan tetapi tidak mungkin bisa menduga secepat itu. Serangannya tadi terlalu cepat untuk diterima dan dirancang pikiran. Jadi jelas bahwa muridnya ini memang tidak tahu ilmu silat sama sekali. Akan tetapi ular tadi?
"Apakah maksud gerakan Suhu tadi?" tanya Yo Han dengan sikap masih tetap tenang seolah tidak terjadi sesuatu. Kekagetannya ketika diserang tadi pun hanya merupakan reaksi saja, bukan kaget lalu disusul rasa takut. Ini saja sudah amat mengagumkan hati Sin Hong.
"Yo Han, engkau ini muridku, bukan?" tiba-tiba Sin Hong bertanya dan dia pun duduk di atas akar pohon, di sebelah Yo Han.
Anak itu menoleh dan memandang wajah suhu-nya dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. "Tentu saja, kenapa Suhu bertanya?"
"Dan sejak lima tahun yang lalu, sejak engkau kehilangan orang tuamu, engkau hidup dengan aku, bukan?"
Sepasang mata anak itu bertemu dengan pandang mata Sin Hong dan pendekar ini merasa seolah sinar mata anak itu menembus dan menjenguk isi hatinya! Dia tahu bahwa muridnya memiliki mata yang tajam dan lembut, akan tetapi baru sekarang dia merasa betapa sinar mata itu seperti menjenguk ke dalam lubuk hatinya.
"Teecu tahu dan teecu selalu ingat akan kebaikan Suhu dan Subo. Selama hidup, teecu akan ingat kebaikan itu, Suhu, dan Suhu bersama Subo, bagi teecu bukan hanya guru, akan tetapi juga pengganti orang tua teecu."
Sin Hong terheran. Anak ini luar biasa, karena memang itulah yang dipikirkannya tadi. Dia merasa penasaran karena anak itu dianggapnya seperti anak sendiri, namun masih menyimpan rahasia dirinya dan masih berpura-pura lagi!
"Nah, karena itu, Yo Han. Hubungan antara murid dan guru, atau antara anak dan orang tua, sebaiknya tidak menyimpan rahasia, bukan?"
"Memang benar, Suhu. Apakah Suhu mengira teecu menyimpan rahasia? Dugaan itu tidak benar, Suhu. Teecu tidak pernah menyimpan rahasia terhadap Suhu atau Subo."
Anak seperti Yo Han ini tidak mungkin dibohongi, pikir Sin Hong kaget. Lebih baik dia berterus terang.
"Yo Han, memang terus terang saja, aku dan subo-mu merasa heran melihat sikap dan pendirianmu. Engkau menjadi murid kami akan tetapi tidak mau berlatih silat. Lalu apa artinya kami menjadi gurumu?"
"Bukan hanya ilmu silat yang telah diajarkan Suhu dan Subo kepada teecu. Teecu telah menerima pelajaran sifat yang gagah berani, adil dan menjauhi perbuatan jahat dari Suhu dan Subo. Juga selama ini banyak yang telah teecu pelajari. Sastra, seni, dan banyak lagi. Terima kasih atas semua bimbingan itu, Suhu."
"Engkau benar-benar tidak dapat bermain silat sama sekali, Yo Han?" pertanyaan ini tiba-tiba saja karena Sin Hong memang bermaksud hendak bertanya secara terbuka.
Yo Han menggeleng kepala, sikapnya tenang saja dan wajahnya tidak membayangkan kebohongan.
"Yo Han, aku tadi sempat melihat betapa engkau dapat menghindarkan ancaman maut ketika engkau menangkap leher ular yang mematukmu dengan cepat. Ular hijau yang berbisa, mematukmu secara tiba-tiba dan engkau mampu menangkapnya. Gerakan apa itu kalau bukan gerakan silat?"
"Ahhh...? Itukah yang Suhu maksudkan? Ular itu tadi? Teecu juga tak tahu sama sekali bahwa teecu diserang ular, dan teecu juga tidak menggerakkan tangan teecu. Tangan itu yang bergerak sendiri menangkap ular, Suhu."
Sin Hong mengerutkan alisnya, hatinya bimbang. Jika orang lain yang bicara demikian, tentu akan dihardiknya dan dikatakan bohong. Akan tetapi, sulit membayangkan bahwa Yo Han membohong!
"Engkau tidak mempelajari ilmu silat lain kecuali yang kami ajarkan?"
Sin Hong menatap tajam wajah Yo Han, dan anak itu membalas tatapan mata gurunya dengan tenang. Dia tidak menjawab, melainkan menggeleng kepala. Gelengan kepala yang amat mantap dan jelas menyatakan penyangkalannya.
"Engkau tidak mempunyai seorang guru silat lain kecuali kami?"
Kembali Yo Han tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala.
"Lalu... gerakan tangan menangkap ular tadi?"
"Bukan teecu yang menggerakkan. Maksud teecu, teecu tidak sengaja dan tangan itu bergerak sendiri."
"Ahhhhh...!" Ingin dia menghardik dan mengatakan bohong, akan tetapi sikap anak itu demikian meyakinkan.
"Coba... kau ulangi gerakan tanganmu ketika menangkap leher ular itu, Yo Han. Anggap saja lengan tanganku ini ular itu tadi." Dan Sin Hong menggerakkan tangannya seperti ular mematuk. Akan tetapi Yo Han hanya menggelengkan kepalanya.
"Teecu tidak dapat, Suhu. Sama sekali teecu tidak ingat lagi, karena ketika tangan teecu bergerak, teecu sama sekali tak memperhatikan dan tahu-tahu ular itu telah tertangkap oleh tangan teecu."
"Hemmm...!" Sin Hong mengamati wajah muridnya dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Namun muridnya itu tidak berbohong!
"Pernahkah engkau mengalami hal-hal seperti itu? Ada gerakan yang tidak kau sadari dan yang membantumu?"
Di luar dugaan Sin Hong, anak itu mengangguk! Tentu saja Sin Hong menjadi tertarik sekali. "Ehhh? Apa saja? Coba kau ceritakan kepadaku, Yo Han."
"Sering kali teecu merasa terbimbing, tahu-tahu sudah bisa saja. Misalnya kalau teecu membaca kitab, menghafal dan sebagainya. Kalau teecu merasa kesukaran kemudian menghentikan semua usaha, bahkan tertidur, begitu bangun teecu sudah bisa! Padahal sebelumnya teecu mengalami kesulitan besar."
"Kau merasa seperti... seperti ada sesuatu yang membimbingmu, melindungimu?"
Ragu-ragu Yo Han mengangguk perlahan, alisnya berkerut karena dia sendiri tidak tahu dengan jelas. "Kurang lebih begitulah, Suhu. Teecu hanya bisa bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan."
Sin Hong mengerutkan alisnya, pikirannya diputar. Kalau anak ini memiliki sinkang, yaitu hawa murni yang membangkitkan tenaga sakti, dia tidak merasa heran karena tenaga sakti itu juga melindungi tubuh, walau pun perlindungan itu hanya dapat bangkit kalau dikehendaki. Tetapi tenaga mukjijat yang melindungi Yo Han ini lain lagi. Lebih dahsyat, lebih hebat karena bergerak atau bekerja justru kalau tidak ada kehendak!
Semacam nalurikah? Atau kekuasaan Tuhan yang ada pada setiap apa saja di dunia ini, terutama di dalam diri manusia, dan pada diri Yo Han kekuasaan itu bekerja dengan sepenuhnya? Dia tidak tahu, juga Yo Han tidak tahu! Bagaimana pun juga, dia tahu bahwa muridnya ini mendapatkan berkah yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa, maka diam-diam dia memandang muridnya dengan hati penuh kagum dan juga segan.
Seorang manusia, meski pun masih bocah, yang telah menerima anugerah sedemikian besarnya dari Tuhan patut dikagumi dan disegani. Pantas saja kadang-kadang anak ini mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya terlampau tinggi bagi seorang kanak-kanak. Kiranya bila sedang demikian itu, yang bekerja di dalam dirinya bukan lagi hati dan akal pikirannya yang dikemudikan nafsu badan, melainkan badan, hati dan akal pikiran yang digerakkan oleh kekuasaan Tuhan!
Ada pula pikiran lain menyelinap dalam benak Sin Hong. Apakah bimbingan gaib yang dirasakan oleh Yo Han itu datang dari roh ayah dan ibunya? Dia tak dapat menjawab. Apa pun dapat saja terjadi pada seorang anak yang telah bisa mencapai tingkat seperti itu, kebersihan batin dari kekerasan!
Sin Hong tidak mau mengganggu muridnya membentuk boneka yang sedang dibuatnya. Di sini pun dia dibuat tertegun. Pernah dia melihat ahli-ahli pembuat patung di kota raja, baik ahli-ahli memahat patung, maupun juga ahli pembuat patung dari tanah liat. Mereka adalah orang-orang yang sudah belajar kesenian itu selama bertahun-tahun, di bawah pimpinan guru-guru yang ahli. Keahlian mereka setidaknya masih terpengaruh oleh ilmu pengetahuan, oleh latihan dan belajar.
Akan tetapi, Yo Han tidak pernah mempelajari seni membuat patung. Dan lihat! Jari-jari tangan itu demikian trampil, demikian cekatan dan pembentukan patung itu seolah-olah tanpa disengaja. Akan tetapi pada patung boneka tanah liat itu dia mulai melihat bentuk muka puterinya, Sian Li! Diam-diam dia bergidik. Bocah macam apakah muridnya ini? Sungguh tidak wajar, tidak umum! Dia pun meninggalkan muridnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada kagum, ada heran, ada pula ngeri!
Setibanya di rumah, dia menceritakan apa yang didengarnya dari jawaban Yo Han, juga tentang pembuatan patung boneka, kepada isterinya yang mendengarkan dengan alis berkerut. Akan tetapi Kao Hong Li diam saja, walau pun hatinya merasa gelisah pula. Gelisah mengingat akan puterinya, karena hubungan puterinya dengan Yo Han amat dekatnya. Puterinya amat sayang kepada Yo Han, dan ibu ini khawatir kalau-kalau kelak anaknya akan meniru segala kelakuan Yo Han yang aneh-aneh dan tidak wajar.
Ketika hari ulang tahun ke empat dari Tan Sian Li tiba, ulang tahun itu dirayakan dengan sederhana. Hanya keluarga dari empat orang itu, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, murid dan puteri mereka Yo Han dan Tan Sian Li, ditambah dengan tiga orang pembantu rumah tangga yang merayakan pesta kecil yang mereka adakan.
Pada waktu Yo Han menyerahkan hadiahnya yang dibungkus rapi, Tan Sian Li bersorak gembira. Apa lagi ketika bungkusan itu dibuka dan isinya sebuah patung tanah liat yang indah, anak kecil itu tertawa-tawa gembira. Ia tidak tahu betapa ayah ibunya, juga tiga orang pembantu rumah tangga itu, menjadi bengong melihat sebuah patung tanah liat yang berupa seorang anak perempuan kecil dengan wajah persis Tan Sian Li! Demikian halus buatan patung itu sehingga nampak seperti hidup saja!
Suami isteri itu saling pandang dan kembali Kao Hong Li merasa tak enak sekali. Makin jelas buktinya bahwa Yo Han bukan orang biasa, bukan anak biasa. Mana mungkin ada anak berusia dua belas tahun yang tidak pernah mempelajari seni membuat patung dapat membuat patung sedemikian indahnya, dan mirip sekali dengan wajah Sian Li? Diam-diam dia bergidik ngeri, seperti juga suaminya. Akan tetapi tiga orang pembantu rumah tangga itu memuji-muji penuh kagum.
Selain patung kanak-kanak itu, yang membuat Sian Li gembira sekali adalah pakaian yang dipakainya, hadiah dari ibunya. Pakaian berwarna serba merah! Dasarnya merah muda, kembang-kembangnya merah tua. Indah sekali. Memberi pakaian serba merah kepada anak yang dirayakan ulang tahunnya, merupakan hal yang wajar dan lajim.
Namun, tidak demikian halnya dengan Sian Li. Semenjak ia menerima hadiah pakaian serba merah itu, sejak dipakainya pakaian merah itu, ia tidak membiarkan lagi pakaian itu dilepas! Ia tidak mau memakai pakaian lain yang tidak berwarna merah! Dan ketika dipaksa, ia menangis terus, dan tangisnya baru terhenti jika Yo Han menggendongnya, akan tetapi ia masih merengek.
"Baju merah... huuu, baju merah...!"
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li menjadi bingung. Anak mereka itu memang agak manja dan kalau sudah menangis sukar dihentikan, kecuali oleh Yo Han. Kini, biar pun tidak menangis setelah dipondong Yo Han, tetap saja merengek minta pakaian merah!
"Suhu dan Subo, kasihanilah Adik Sian Li. Beri ia pakaian merah, karena warna itulah yang menjadi warna pilihan dan kesukaannya. Dalam pakaian merah, baru akan merasa tenang, tenteram dan senang! Tadi ketika Subo memberinya pakaian serba merah, dan ketika ia memakainya, ia merasakan kesenangan yang luar biasa, maka kini ia tidak mau lagi diberi pakaian yang tidak berwarna merah."
Suami isteri itu saling pandang. Karena mereka tahu bahwa ucapan Yo Han itu bukan ucapan anak-anak begitu saja, mempunyai makna yang lebih mendalam, maka mereka lalu terpaksa membelikan pakaian-pakaian serba merah untuk Sian Li. Dan benar saja. Begitu ia memakai pakaian merah, ia nampak gembira dan bahagia sekali! Dan sejak hari itu, Sian Li tidak pernah lagi memakai pakaian yang tidak berwarna merah.
Malam itu kembali hujan lebat. Hawa udara amat dinginnya. Sian Li sudah tidur nyenyak dan suasana sunyi bukan main. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, masih belum tidur. Lilin di atas meja di dalam kamar mereka masih menyala karena mereka masih bercakap-cakap. Hong Li duduk di atas pembaringan dan suaminya duduk di atas kursi dalam kamar itu.
Mereka biasanya bersikap hati-hati, apa lagi malam itu mereka membicarakan tentang murid mereka, Yo Han. Akan tetapi, karena murid mereka sudah masuk kamar, biar pun andai kata belum pulas juga tidak mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka. Hujan di luar kamar amat derasnya. Takkan ada orang lain yang dapat mendengarkan percakapan mereka dari luar kamar.
"Bagaimana pun juga, aku merasa tidak enak sekali," kata Hong Li setelah beberapa lamanya mereka berdiam diri. "Sian Li begitu dekat dengannya. Sulit untuk mencegah anak kita itu tidak mengikuti jejak Yo Han. Tidak mungkin pula kita menjauhkan anak kita dari Yo Han karena Sian Li sudah menjadi manja sekali dan paling suka kalau bermain-main dengan Yo Han. Bagaimana jadinya kalau anak kita itu kelak tidak mau belajar ilmu silat, dan mengikuti jejak Yo Han menjadi anak... aneh, anak ajaib tidak seperti manusia! Ih, aku merasa ngeri membayangkan anak kita kelak menjadi seperti Yo Han!"
"Hemm, tentu saja aku pun menginginkan anak kita menjadi seorang manusia biasa, dan terutama menjadi seorang pendekar wanita seperti engkau, ibunya. Akan tetapi bagaimana caranya untuk menjauhkannya dari Yo Han?" kata Sin Hong.
"Tidak ada cara lain kecuali memisahkan mereka!” kata Hong Li.
“Memisahkan?" Sin Hong berkata dengan suara mengandung kekagetan. "Akan tetapi, bagaimana? Yo Han adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga lagi, dan dia juga murid kita!"
“Soalnya hanya ini. Kita lebih sayang Sian Li ataukah lebih sayang Yo Han. Keduanya memang kita sayang, akan tetapi mana yang lebih berat bagi kita?"
Sin Hong menarik napas panjang. Isterinya mengajukan pertanyaan yang jawabannya hanya satu. "Tentu saja kita lebih memberatkan Sian Li. Bagaimana pun juga, ia adalah anak kita, darah daging kita. Akan tetapi aku pun tidak ingin melihat Yo Han terlantar, aku tidak mau menyia-nyiakan anak yang tidak mempunyai kesalahan apa pun itu."
"Tentu saja! Kita bukannya orang-orang jahat dan kejam yang demi kepentingan anak sendiri lalu membikin sengsara orang lain. Sama sekali tidak. Maksudku, bagaimana jika kita mencarikan tempat baru untuk Yo Han? Memberi dia kesempatan untuk mendapat guru yang baru, atau melihat bakatnya, bagaimana kalau kita menitipkan dia di kuil, di mana terdapat orang-orang pandai dan saleh? Tentu saja kita dapat membayar biaya pendidikannya setiap bulan atau setiap tahun."
Sin Hong mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa isterinya cukup bijaksana. Isterinya adalah seorang pendekar wanita tulen, cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir! Ayahnya putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan ibunya cucu Pendekar Super Sakti! Ia pun setuju dengan usul isterinya itu.
Memang, jalan terbaik ialah memisahkan Yo Han dari Sian Li, dan cara pemisahan yang sebaiknya adalah menyingkirkan Yo Han dari rumah mereka dengan memberi jaminan terhadap kehidupan Yo Han selanjutnya. Paling baik jika dititipkan di kuil agar dia dapat belajar lebih lanjut. Siapa tahu dibawah pimpinan para pendeta kuil, ketidak wajarannya itu akan berubah dan Yo Han akan menjadi seorang anak yang biasa. Kalau sudah begitu tentu tidak ada halangannya bagi Yo Han untuk kembali kepada mereka.
"Ahhh, aku teringat sekarang! Bagaimana kalau kita minta tolong kepada Thian Sun Totiang?" dia berkata.
"Maksudmu, kepala kuil di lereng Pegunungan Heng-san itu? Bukankah Thian Sun Tosu itu seorang tokoh Kun-lun-pai?" kata Hong Li mengingat-ingat.
"Benar sekali. Selain ilmu silatnya tinggi juga beliau adalah seorang pendeta yang hidup saleh. Tentu dia dapat membimbing Yo Han dalam ilmu kerohanian. Juga beliau adalah sahabatku. Tentu saja kita dapat memberi sumbangan untuk kuilnya sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan untuk keperluan Yo Han."
"Bagus, aku pun setuju sekali!" kata Hong Li. Keduanya merasa lega dengan keputusan itu dan Sin Hong meniup padam lilln di atas meja, tanda bahwa keduanya akan tidur.
Di dalam hujan yang lebat, dalam udara yang amat dingin itu. Yo Han keluar dari dalam kamarnya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia keluar dari dalam kamarnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan hanya menyerah kepada dorongan yang membuat kakinya berjalan keluar dari dalam kamar, keluar melalui pintu belakang ke dalam hujan! Tentu saja rambut dan pakaiannya basah kuyup, namun dia tidak peduli karena kakinya terus melangkah. Bahkan hawa dingin itu tidak dirasakannya sama sekali, kalau pun ada perasaan di tubuhnya, maka yang ada bahkan perasaan sejuk segar dan nikmat!
Seperti dituntun, kedua kakinya menuju ke jendela kamar suhu-nya! Jejak kakinya tentu akan terdengar oleh suhu dan subo-nya kalau saja malam itu tidak ada hujan. Suara hujan jatuh ke atas genteng dan tanah, juga ke atas daun-daun pohon, jauh lebih berisik dari pada jejak kakinya, maka walau pun andai kata suami isteri pendekar itu memiliki ketajaman pendengaran sepuluh kali lipat, belum tentu akan mampu mengetahui bahwa ada orang melangkah di luar jendela kamar mereka.
Yo Han mendengar semua percakapan mengenai dirinya itu! Ia memejamkan matanya, dan setelah lilin dalam kamar itu tertiup padam, dia pun kembali ke kamarnya dengan tubuh terasa lemas. Dia mendengar percakapan suhu dan subo-nya. Dia tidak sengaja ingin mendengarkan percakapan mereka.
Entah bagaimana kedua kakinya bergerak membawa dia ke dalam hujan dan mendekati kamar mereka sehingga dia mendengar percakapan mereka. Suhu dan subo-nya tidak menghendaki dia untuk tinggal lebih lama di rumah mereka! Mereka ingin memisahkan dia dari Sian Li! Dia akan dititipkan di sebuah kuil!
Setelah memasuki kamarnya, dia duduk di atas kursi bagaikan patung. Pakaian dan rambutnya yang basah kuyup tidak dipedulikannya. Dia merasa sedih bukan main. Dia harus meninggalkan mereka yang dia kasihi. Harus meninggalkan Sian Li!
Tanpa terasa, dua titik air mata turun ke atas pipinya, mencair dan menjadi satu dengan kebasahan air hujan. Tidak, dia tidak boleh menangis! Menangis tiada gunanya, bahkan hanya membuat hatinya menjadi semakin sedih! Pada waktu mendengar kematian ayah bundanya dulu, lima tahun yang lalu, dia pun mengeraskan hatinya, tidak membiarkan diri menangis berlarut-larut.
Pada keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut agak kusut, pagi-pagi sekali Yo Han sudah memondong Sian Li yang sudah dimandikan ibunya.
"Subo, teecu hendak mengajak adik Sian Li bermain di kebun," kata Yo Han kepada subo-nya yang sudah keluar dari dalam kamar bersama suhu-nya.
Kedua orang suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa tidak tega untuk sepagi itu menyatakan keinginan mereka menitipkan Yo Han ke kuil. Biarkan anak itu bermain-main dulu dengan Sian Li.
"Ajaklah ia bermain-main, akan tetapi nanti kalau waktu sarapan pagi, ajak ia pulang," kata Hong Li dan Sin Hong mengangguk setuju.
“Baik, Subo,” kata Yo Han.
Dia menurunkan Sian Li, menggandeng tangan anak itu dan keduanya lalu berlari-lari meninggalkan rumah, menuju ke belakang rumah. Melihat betapa gembiranya Sian Li diajak bermain-main oleh Yo Han, suami isteri itu saling pandang lagi dan keduanya menghela napas panjang. Mereka maklum betapa mereka semua, terutama sekali Sian Li, akan merasa kehilangan Yo Han kalau anak itu pergi meninggalkan rumah mereka. Akan tetapi apa boleh buat. Demi kebaikan Sian Li, mereka harus melegakan hati, Yo Han harus dipisahkan dari anak mereka!
Biasanya, pagi-pagi sekali Yo Han sudah rajin bekerja. Bekerja pagi-pagi saat matahari belum terbit menjadi kesukaannya. Bekerja apa saja, menyapu halaman, membersihkan jendela-jendela rumah dari luar. Bekerja apa saja asal berada di luar rumah karena yang dinikmatinya bukan hanya pekerjaan itu, melainkan terutama sekali adalah suasana di pagi hari.
Baginya pagi hari merupakan saat yang paling indah. Munculnya matahari seolah-olah membangkitkan semangat, gairah dan tenaga kepada segala makluk di permukaan bumi. Akan tetapi, pagi hari itu dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main. Dia sudah mengambil keputusan untuk pergi, seperti yang dikehendaki suhu dan subo-nya. Dia mengerti betapa beratnya bagi mereka untuk menyuruh dia pergi. Maka dia harus membantu mereka. Dialah yang akan berpamit sehingga tak memberatkan hati mereka.
Pula, dia tidak mau kalau dititipkan di kuil mana pun juga. Kalau dia harus berpisah dari suhu dan subo-nya, juga dari Sian Li yang dikasihinya, lebih baik dia berkelana dengan bebas dari pada harus berdiam di dalam kuil seperti seekor burung dalam sangkar. Dan sebelum pergi, dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main, ingin menyenangkan hati adiknya itu untuk yang terakhir kalinya.
Dia mengajak Sian Li ke tepi sungai, tempat yang paling disenanginya karena tempat itu memang indah sekali. Sunyi dan tenang. Mendengarkan burung berkicau dan air sungai berdendang dengan riak kecil, sungguh amat merdu dan menyejukkan hati. Duduk di atas rumput di tepi sungai, menatap langit yang sangat indah, langit di timur yang mulai kemerahan, serta mutiara-mutiara embun di setiap ujung daun. Tak dapat digambarkan indahnya.
Dia duduk dan memangku Sian Li yang memandang ke arah air di sungai dengan wajah berseri. Dia menunduk, mencium kepala anak itu. Betapa dia amat menyayang adiknya. Dicium kepalanya, Sian Li memandang dan merangkulkan kedua lengannya yang kecil di leher Yo Han. Semenjak kecil ia diajar menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Yo Han. Melihat kakaknya itu memandang kepadanya dengan sepasang mata penuh kasih sayang, anak itu tersenyum.
“Aku sayang suheng...,” katanya lucu.
Yo Han mencium pipinya. “Aku pun sayang kepadamu, adikku...”
Hatinya terharu sekali karena dia dapat merasakan kasih sayang di antara mereka yang menggetarkan hatinya. Dia harus berpisah dari anak ini! Bahkan karena adiknya inilah dia harus meninggalkan rumah suhu-nya! Suhu dan subo-nya tidak ingin kelak Sian Li mencontoh sikap dan wataknya! Begitu burukkah sikap dan wataknya?
Dia mengerti bahwa guru dan subo-nya amat kecewa karena dia tidak suka berlatih silat. Dan membayangkan betapa adik yang bersih ini kelak menjadi seorang gadis yang perkasa, seperti ibunya dulu, hidupnya penuh bahaya dan acaman musuh, hidup selalu waspada, membunuh atau dibunuh, ingin dia menangis.
Adiknya ini akan menjadi pembunuh! Akan memenggal leher orang dengan pedangnya, atau menusukkan pedang menembus dada dan jantung orang. Atau sebaliknya, disiksa dan dibunuh orang!
“Ihhh, Suheng... menangis?” anak itu memandang ketika dua titik air mata turun ke atas pipi kakaknya, dan tangannya menyentuh air mata di pipi itu sehingga runtuh. Sentuhan lembut yang menggetarkan hati Yo Han.
“Sian Li...” Dia merangkul, menyembunyikan mukanya di atas kepala anak itu.
“Suheng, Ayah dan Ibu melarang kita menangis...,” kata anak itu lagi. “Apakah Suheng menangis?” Suaranya masih belum jelas dan terdengar lucu, tapi justru mengharukan sekali.
Yo Han mengeraskan hatinya dan diam-diam dia mengusap air matanya, kemudian dia membiarkan adiknya dapat memandang mukanya yang tadi disembunyikan di rambut kepala Sian Li. Dia menggeleng.
“Aku tidak menangis, sayang.”
Anak itu tertawa dan alangkah manis dan lucunya kalau ia tertawa.
“Hore… Suheng tidak menangis. Suheng gagah perkasa!”
Yo Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Anak sekecil ini sudah menghargai kegagah perkasaan! Anak sekecil ini telah menjadi calon pendekar wanita, seorang calon hamba kekerasan! Sudah terbayang olehnya kelak Sian Li menjadi seorang gadis yang selalu membawa pedang di belakang punggungnya.
Ia cepat dapat menguasai kesedihan dan keharuannya, dan teringat bahwa ia mengajak adiknya pagi ini ke tepi sungai untuk bermain-main dan menyenangkan hati adiknya.
“Sian Li, sekarang katakan, engkau ingin apa? Katakan apa yang kau inginkan dan aku pasti akan mengambilnya untukmu. Katakan, adikku sayang.” Yo Han membelai rambut kepala adiknya.
Sian Li berloncatan girang dan bertepuk tangan.
“Betul, Suheng? Engkau mau mengambilkan yang kuingini? Aku ingin itu, Suheng...” Ia menunjuk ke arah pohon yang tumbuh dekat situ.
“Itu apa?” Yo Han memandang ke arah pohon itu. Pohon itu tidak berbunga. Apa yang diminta oleh Sian Li? Daun?
“Itu yang merah ekornya...”
“Hee? Merah ekornya? Apa...?”
“Burung itu, Suheng. Cepat, nanti dia terbang lagi. Aku ingin memiliki burung itu...”
Yo Han menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa menangkap burung yang berada di pohon? Sebelum ditangkap, burung itu akan terbang.
“Aku tidak bisa, Sian Li. Burung itu punya sayap, pandai terbang, sedangkan aku... lihat, aku tak bersayap!” Yo Han melucu sambil berdiri dan mengembangkan dua lengannya, seperti hendak terbang.
“Uhhh! Kalau Ayah atau Ibu, mudah saja menangkap burung di pohon. Suheng kan muridnya, masa tidak bisa?”
Yo Han merangkul adiknya. “Sian Li, terang saja aku tidak bisa, dan juga, untuk apa burung ditangkap? Biarkan dia terbang bebas. Kasihan kalau ditangkap lalu dimasukkan sangkar. Itu menyiksa namanya, kejam. Kita tidak boleh menyiksa mahluk lain, adikku sayang...”
“Uuuuh... Suheng...! Kalau begitu, ambilkan saja itu yang mudah. Itu tuh, yang kuning dan biru...”
Yo Han mengerutkan alisnya melihat adiknya menunjuk ke arah serumpun bunga yang berwarna merah. Yang diminta, yang berwarna kuning dan biru. Itu bukan warna bunga, tetapi warna beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan di sekeliling rumpun bunga itu. Adiknya minta dia menangkapkan seekor kupu kuning dan seekor kupu biru!
Memang mudah, akan tetapi dia pun tidak suka melakukan itu. Dia tidak suka menyiksa manusia mau pun binatang, apa lagi kupu-kupu, binatang yang demikian indah dan tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Akan tetapi, untuk menolak lagi permintaan Sian Li, dia pun tidak tega. Maka dia pun pura-pura mengejar kupu-kupu yang beterbangan dengan panik, pura-pura mencoba untuk menangkap dengan kedua tangannya namun tidak berhasil, dan sebagai gantinya, dia memetik beberapa tangkai bunga merah dan memberikan itu kepada adiknya.
“Wah, kupu-kupunya terbang. Ini saja gantinya, Sian Li. Kembang ini indah sekali. Kalau dipasang di rambutmu, engkau akan bertambah manis.”
“Tidak mau...! Aku tidak mau kembang. Aku ingin burung dan kupu-kupu. Aihh... Suheng nakal. Aku mau kupu-kupu dan burung...” Sian Li lalu membanting-banting kaki dengan manja dan mulai menangis.
Yo Han menjatuhkan diri berlutut dan merangkul adiknya. “Dengarlah baik-baik, adikku sayang. Apakah engkau mau dikurung dalam kurungan, dan apakah engkau mau kalau kaki tanganmu dibuntungi?”
Mendengar ini, Sian Li terheran. Dengan pipi basah air mata ia memandang kakaknya, tidak mengerti.
“Kau tentu tidak mau bukan?”
Sian Li menggelengkan kepala, masih terheran-heran kenapa kakaknya yang biasanya sangat sayang kepadanya dan memanjakannya, kini hendak mengurung dan bahkan membuntungi kaki tangannya!
“Bagus kalau engkau tidak mau! Nah, sama saja, adikku sayang. Engkau tidak mau ditangkap dan dikurung, burung itu pun akan susah sekali kalau kau tangkap dan kau masukkan sangkar, dikurung dan tidak boleh terbang bermain-main dengan teman-temannya. Engkau tidak mau dibuntungi kaki tanganmu, juga kupu-kupu itu tidak suka dan merasa kesakitan dan susah kalau sayapnya dipatahkan, kakinya dibuntungi. Kita tidak boleh menyiksa binatang yang tidak bersalah apa-apa, adikku sayang. Kubikinkan boneka tanah liat saja, ya?”
Akan tetapi Sian Li yang manja masih membanting-banting kaki dan mulutnya cemberut, walau pun tidak menangis lagi. “Suheng, katanya engkau mau... mau memenuhi semua permintaanku, ternyata semua permintaanku kau tolak...”
Pada saat itulah nampak berkelebat bayangan merah, dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita yang pakaiannya serba merah! Pakaian berwarna merah ini segera menarik perhatian Yo Han karena adiknya pun sejak hari ulang tahun ke empat itu setiap hari juga memakai pakaian merah! Jadi di situ sekarang berada seorang anak perempuan empat tahun yang pakaiannya serba merah, beserta seorang wanita cantik yang juga pakaiannya berwarna merah. Yo Han memandang penuh perhatian.
Ia seorang wanita yang berwajah cantik. Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggang yang kecil dan pinggul besar seperti tubuh seekor kumbang. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun kalau melihat wajah dan bentuk badannya, pada hal sesungguhnya dia sudah berusia empat puluh tahun!
Wajahnya bundar dan putih dilapisi bedak, pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Rambutnya digelung ke atas model gelung para puteri bangsawan. Pakaiannya yang serba merah itu terbuat dari sutera yang mahal dan halus dan selain pesolek, wanita itu pun rapi dan bersih, bahkan sepatunya yang terbuat dari kulit merah itu pun mengkilap. Di punggungnya nampak sebatang pedang dengan sarung berukir indah dengan ronce-ronce biru yang menyolok karena warna pakaiannya yang merah.
“Heii, anak baju merah, engkau manis sekali!” Wanita itu berseru dan suaranya merdu. “Engkau minta burung dan kupu-kupu? Mudah sekali, aku akan menangkapkan burung dan kupu-kupu untukmu. Lihat!”
Wanita itu melihat ke atas. Ada beberapa ekor burung terbang meninggalkan pohon besar dan ada yang lewat di atas kepalanya. Wanita itu menggerakkan tangan kiri ke arah burung yang terbang lewat, seperti menggapai dan... burung itu mengeluarkan teriakan lalu jatuh seperti sebuah batu ke bawah, disambut oleh tangan kiri wanita itu.
“Nah, ini burung yang kau inginkan, bukan?” Ia memberikan burung berekor merah yang kecil itu kepada Sian Li yang menerimanya dengan gembira sekali.
Yo Han mengerutkan alisnya ketika mendekat dan ikut melihat burung kecil yang berada di tangan adiknya. Kini burung itu tidak dapat terbang lagi, dan ketika mencoba untuk menggerak-gerakkan kedua sayap kecilnya, kedua sayap itu seperti lumpuh dan ada sedikit darah. Tahulah dia bahwa sayap burung itu terluka entah oleh apa.
Kini dia menoleh dan melihat wanita itu menggerakkan kedua tangannya ke arah dua ekor kupu-kupu yang beterbangan. Ada angin menyambar dari kedua telapak tangan itu dan dua ekor kupu-kupu itu bagai disedot dan ditangkap oleh dua tangan itu, kemudian diberikan pula kepada Sian Li.
“Nah, ini dua ekor kupu-kupu yang kau inginkan, bukan?”
Sian Li girang sekali. “Kupu-kupu indah! Burung cantik...!” Ia sudah sibuk dengan seekor burung dan dua ekor kupu-kupu yang dipegangnya.
“Adik Sian Li, mari kita pergi dari sini!” kata Yo Han tak senang.
Dia hendak menggandeng lengan adiknya. Akan tetapi, mendadak tubuh Sian Li seperti terbang ke atas dan tahu-tahu sudah berada di dalam pondongan wanita itu. Sian Li terpekik gembira ketika tubuhnya melayang ke atas.
“Suheng, aku dapat terbang...!” teriaknya gembira.
Wanita berpakaian merah itu tersenyum dan wajahnya nampak semakin muda ketika ia tersenyum. “Ya, engkau ikut saja dengan aku, anak manis, dan aku akan mengajarmu terbang, juga menangkap banyak burung dan kupu-kupu. Engkau suka, bukan?”
“Aku suka! Aku senang...!”
“Sian Li, turun dan mari kita pulang,” Yo Han berkata lagi.
“Tidak, aku ingin ikut bibi ini, menangkap burung dan kupu-kupu, juga belajar terbang!”
“Sian Li...”
Wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Anak yang baik, jadi namamu Sian Li (Dewi)? Nah, mari kita terbang seperti bidadari-bidadari baju merah, hi-hi-hik!”
Yang nampak oleh Yo Han hanyalah bayangan merah berkelebat, dan yang tertinggal hanya suara ketawa merdu wanita itu yang bergema dan kemudian lenyap pula. Wanita berpakaian merah itu bersama Sian Li telah lenyap dari depannya, seolah-olah mereka benar-benar telah terbang melayang, atau menghilang dengan amat cepatnya.
“Sian Li...! Bibi baju merah, kembalikan Sian Li kepadaku!”
Yo Han berlari ke sana-sini, berteriak-teriak, akan tetapi adiknya tetap tak kembali, juga wanita yang melarikannya itu tak kembali. Terpaksa Yo Han lalu cepat berlari kencang, sekuat tenaga, pulang ke rumah gurunya.
Sin Hong dan Hong Li terkejut melihat murid mereka itu berlari-lari pulang tanpa Sian Li dan dari wajahnya, nampak betapa murid mereka itu dalam keadaan amat tegang dan napasnya terengah-engah karena dia telah berlari-lari secepatnya.
“Yo Han, ada apakah?” Sin Hong menagur muridnya.
“Yo Han, di mana Sian Li?” Hong Li bertanya dengan mata dibuka lebar, mata seorang ibu yang gelisah mengkhawatirkan anaknya.
“Suhu, Subo... adik Sian Li... ia dilarikan seorang wanita berpakaian merah...,” kata Yo Han dengan napas masih terengah-engah.
Suami isteri itu sekali bergerak sudah meloncat dan memegang lengan Yo Han dari kanan kiri.
“Apa? Apa yang terjadi? Ceritakan, cepat!” bentak Sin Hong.
“Teecu sedang bermain-main dengan adik Sian Li di tepi sungai ketika tiba-tiba muncul seorang wanita berpakaian merah. Ia menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li, kemudian ia memondong adik Sian Li dan menghilang begitu saja.”
“Seperti apa wajah wanita itu? Berapa usianya?” tanya Hong Li, wajahnya berubah dan matanya menyinarkan kemarahan.
“Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Subo. Semua pakaiannya berwarna merah, sampai sepatunya. Wajahnya cantik pesolek, di punggungnya nampak pedang dengan ronce biru...”
“Ke mana larinya?” tanya Sin Hong.
“Teecu tidak tahu, Suhu. Setelah memondong adik Sian Li, dia lalu menghilang begitu saja, teecu tidak tahu ke arah mana dia lari...”
“Inilah jadinya kalau punya murid tolol!” Tiba-tiba Hong Li berteriak marah. “Lima tahun menjadi murid, sedikit pun tidak ada gunanya. Kalau engkau berlatih silat dengan baik, sedikitnya engkau tentu akan dapat melindungi Sian Li dan anakku tidak diculik orang. Anak bodoh, sombong...!”
”Suhu dan Subo, teecu pasti bertanggung jawab! Teecu akan mencari adik Sian Li dan membawanya pulang. Teecu tidak akan kembali sebelum berhasil menemukan dan membawa pulang adik Sian Li!” Yo Han berseru, menahan air matanya dan mengepal kedua tangannya.
Akan tetapi Sin Hong sudah berseru kepada isterinya, “Tidak perlu ribut, mari kita cepat pergi mengejar penculik itu!” Seruan ini disusul berkelebatnya dua orang suami isteri pendekar itu dan dalam sekejap mata saja mereka lenyap dari depan Yo Han.
Yo Han tertegun sejenak, kemudian sambil menahan isaknya, dia pun lari keluar dari rumah. Dia tidak tahu harus mengejar ke mana, akan tetapi dia tidak peduli dan dia membiarkan kedua kakinya yang berlari cepat itu membawa dirinya pergi keluar kota Ta-tung, entah ke mana!
Sin Hong dan Hong Li berlari cepat menuju ke tepi sungai, kemudian mereka mencari-cari, menyusuri sungai. Namun, usaha mereka tak berhasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak! Tentu saja mereka merasa gelisah sekali.
“Bocah sial itu harus diajak ke sini agar dia menunjukkan ke mana larinya penculik itu dan di mana peristiwa itu terjadi. Kau mencari dulu di sini, aku mau mengajak Yo Han ke sini!” kata Hong Li dan ia pun sudah meninggalkan suaminya, pulang ke rumah untuk mengajak Yo Han ke tepi sungai.
Akan tetapi setelah tiba di rumah, ia tidak lagi melihat Yo Han! Dicari dan dipanggilnya murid itu, namun Yo Han tidak ada dan nyonya muda ini pun teringat akan teriakan Yo Han yang akan bertanggung jawab dan akan mencari Sian Li sampai dapat! Terpaksa Hong Li kembali lagi ke tepi sungai.
“Dia... dia tidak ada di rumah...!” katanya.
Sin Hong mengangguk-angguk. “Sudah kuduga. Tentu dia sudah pergi untuk memenuhi janjinya tadi. Dan dia pasti tidak akan pernah datang kembali sebelum menemukan dan mengajak Sian Li pulang.”
“Uhh, dia mau bisa apa?” Hong Li berseru, marah dan gelisah. “Bagaimana dia akan mampu mengejar penculik yang berilmu tinggi, apa lagi merampas kembali anak kita?” Wanita itu mengeluh dan hampir menangis. “Sian Li... ahhh, di mana kau...?”
“Mari kita cari lagi!” kata Sin Hong, tidak mau membiarkan isterinya dilanda kegelisahan dan kedukaan.
Mereka lalu mencari-cari di sekitar daerah itu, mencari jejak, namun sia-sia belaka. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak dan semua orang yang mereka jumpai dan mereka tanyai, tidak ada seorang pun yang melihat anak mereka atau wanita berpakaian serba merah seperti yang diceritakan Yo Han tadi.
Setelah hari larut malam mereka terpaksa pulang. Sampai di rumah Hong Li menangis, dan suaminya hanya dapat menghiburnya.
“Tenangkan hatimu. Kurasa penculik itu tidak berniat mengganggu anak kita. Kalau wanita penculik itu musuh kita dan ingin membalas dendam, tentu ia sudah membunuh anak kita di waktu itu juga. Akan tetapi, ia membawanya pergi dan menurut keterangan Yo Han, ia bahkan bersikap baik, menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li.”
Dihibur demikian, Hong Li menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya. “Kau kira siapakah wanita berpakaian merah itu?”
Sin Hong menggeleng kepalanya. “Sudah kupikirkan dan kuingat-ingat, tetapi rasanya belum pernah aku mempunyai musuh seorang wanita berpakaian serba merah. Apa lagi usianya baru sekitar tiga puluh tahun. Engkau tahu sendiri, tokoh wanita sesat di dunia kang-ouw yang pernah menjadi musuhku, bahkan yang tewas di tanganku, hanyalah Sin-kiam Mo-li. Tentu ia seorang tokoh baru dalam dunia kang-ouw, bahkan kita tidak tahu apakah dia termasuk tokoh sesat ataukah seorang pendekar yang merasa suka kepada anak kita.”
“Tak mungkin seorang pendekar wanita menculik anak orang!” Hong Li berkata. “Hemm, terkutuk orang itu. Kalau sampai kutemukan dia, akan kuhancurkan kepalanya! Ehhh, jangan-jangan bekas isterimu yang melakukan itu...“
Sin Hong memandang isterinya. Dia tahu bahwa pertanyaan itu bukan terdorong oleh cemburu, tetapi oleh kegelisahan yang membuat jalan pikiran isterinya menjadi kacau. Dia menikah dengan Hong Li sebagai seorang duda, akan tetapi juga Hong Li seorang janda. Mereka telah mengetahui keadaan masing-masing, dan mereka pun sudah saling menceritakan riwayat mereka dan nasib buruk mereka dalam pernikahan pertama itu.
“Tidak mungkin Bhe Siang Cun yang melakukannya,” kata Sin Hong sambil menggeleng kepala. “Usianya sekarang baru kurang lebih dua puluh empat tahun, dan juga ia tidak berpakaian merah. Pula, ia tidak akan berani melakukan hal itu. Ia bukan penjahat dan tidak ada alasan baginya untuk mengganggu kita. Tidak, dugaan itu menyimpang jauh. Coba kau ingat baik-baik, mungkin pernah engkau dahulu bermusuhan dengan seorang tokoh sesat yang berpakaian merah?”
Hong Li mengingat-ingat. Bekas suaminya jelas tak dapat dicurigai. Bekas suaminya itu, Thio Hui Kong, adalah putera seorang jaksa yang adil dan jujur. Juga tiada alasan bagi Thio Hui Kong untuk mengganggunya. Mereka telah bercerai.
Tokoh jahat berpakaian merah? Rasanya ia belum pernah menemui wanita berpakaian merah dalam semua pengalamannya ketika masih sebagai seorang pendekar wanita. Pakaian merah?
Tiba-tiba ia meloncat berdiri. “Ahh...!” Ia teringat.
“Engkau ingat sesuatu?” Suaminya bertanya.
“Memang ada tokoh sesat berpakaian merah, akan tetapi bukan wanita. Kau ingat Ang-I Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah)? Tokoh yang terakhir, Ang-I Siauw-mo (Iblis Kecil Baju Merah) tewas di tanganku!”
Sin Hong mengerutkan alisnya. “Hemmm... Ang-I Mo-pang? Bukankah dulu sarangnya berada di luar kota Kunming, di Propinsi Hu-nan? Tapi, Ang-I Mo-pang sudah hancur dan rasanya tidak ada tokohnya yang wanita dan yang lihai...”
“Betapa pun juga, itu sudah merupakan suatu petunjuk. Dari pada kita meraba-raba di dalam gelap. Aku akan pergi ke Kunming, menyelidiki mereka. Siapa tahu penculik itu datang dari sana. Ang-I Mo-pang memang beralasan cukup kuat untuk memusuhiku dan mendendam kepadaku. Aku akan berangkat besok pagi-pagi!”
“Nanti dulu, Li-moi. Jangan tergesa-gesa. Kemungkinannya kecil saja, walau pun aku juga setuju kalau kita menyelidik ke sana. Akan tetapi kita tunggu dulu beberapa hari. Kita menanti kembalinya Yo Han. Siapa tahu dia berhasil...“
“Bocah sombong itu? Mana mungkin? Kalau kita berdua tidak berhasil, bagaimana anak tolol itu akan berhasil? Dialah biang keladinya sehingga anak kita diculik orang!”
“Li-moi, tenanglah dan di mana kebijaksanaanmu? Bagaimana pun juga, kita tidak dapat menyalahkan Yo Han. Andai kata dia telah menguasai ilmu silat, kepandaiannya itu pun belum matang. Apa artinya seorang anak berusia dua belas tahun menghadapi seorang penculik yang lihai? Andai kata Yo Han pernah latihan ilmu silat, tetap saja dia tidak akan mampu melindungi Sian Li.”
“Akan tetapi, apa perlunya kita menunggu beberapa hari? Dia tidak akan berhasil, dan penculik itu akan semakin jauh...”
“Kita lihat saja, Li-moi. Lupakah engkau betapa banyak hal-hal aneh dilakukan Yo Han? Kita tunggu sampai tiga hari. Kalau dia belum pulang maka kita akan segera berangkat ke Kunming, menyelidiki ke sana. Bahkan kalau di sana pun kita gagal, kita terus akan melakukan pelacakan. Akan kutanyakan pada semua tokoh kang-ouw tentang seorang wanita yang berpakaian merah seperti yang digambarkan Yo Han tadi.”
Akhirnya, dengan air mata berlinang di kedua matanya, Hong Li menyetujui keinginan suaminya. Akan tetapi, jelas bahwa semalaman itu mereka tidak mampu tidur pulas.
“Tidak mau! Aku ingin pulang... aku ingin Ayah dan Ibu, aku ingin pulang...!” Anak itu merengek-rengek dan suara rengekannya keluar dari dalam kuil tua di lereng bukit yang sunyi itu.
Wanita berpakaian merah itu mengelus kepala Sian Li. “Sian Li, engkau bidadari kecil berpakaian merah yang manis, tidak patut kalau engkau menangis...”
“Aku tidak menangis!” Anak itu membantah. Dan memang tidak ada air mata keluar dari matanya. Ia hanya merengek, membanting kaki dan cemberut. “Aku ingin pulang, aku ingin tidur di kamarku sendiri, tidak di tempat jelek ini. Baunya tidak enak!”
“Bukankah engkau senang ikut denganku, Sian Li? Tadi engkau gembira sekali! Kenapa sekarang minta pulang?” Wanita itu mencoba untuk membujuk.
“Aku ingin ikut sebentar saja, bukan sampai malam. Aku ingin dekat Ayah dan Ibu. Mari antarkan aku pulang, Bibi.”
“Hemm, baiklah. Nanti kuantar, sini duduk di pangkuan Bibi, sayang. Engkau anak baik, engkau anak manis, engkau bidadari kecil merah...“
Ketika wanita itu meraih Sian Li dan dipangkunya, jari tangannya menekan tengkuk dan anak itu pun terkulai, seketika pingsan atau tertidur. Wanita itu lalu merebahkan Sian Li di atas lantai yang bertilamkan daun-daun kering dan memandang wajah anak itu yang tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya. Dia pun tersenyum.
“Anak manis... ahh, pantas sekali menjadi anakku atau muridku... aku berbahagia sekali mendapatkanmu, sayang...”
Siapakah wanita berpakaian merah ini? Di daerah Propinsi Hu-nan, namanya sudah dikenal oleh seluruh dunia kang-ouw, terutama golongan sesatnya. Selama beberapa tahun ini, ia merupakan seorang tokoh kang-ouw yang baru muncul, namun namanya segera tersohor karena kelihaiannya.
Orang-orang di dunia persilatan mengenal nama julukannya saja, yaitu Ang-I Moli (Iblis Wanita Baju Merah). Namanya yang tak pernah dikenal orang adalah Tee Kui Cu dan ia tidaklah semuda nampaknya. Usianya sudah empat puluh tahun!
Ia memang cantik manis, ditambah pesolek dengan riasan muka yang tebal, maka ia nampak berusia tiga puluh tahun. Wajahnya selalu putih karena bedak, bibir dan pipinya merah karena yan-ci, dan alis mata, juga bulu mata, hitam karena penghitam rambut.
Dugaan Kao Hong Li tentang Ang-I Mo-pang yang hanya merupakan dugaan raba-raba itu memang tepat. Ada hubungan dekat sekali antara Ang-I Moli Tee Kui Cu dengan Ang-I Mo-pang, perkumpulan yang pernah dibasmi oleh Kao Hong Li dan para pendekar itu. Wanita berpakaian serba merah ini adalah adik dari mendiang Tee Kok, yang dulu pernah menjadi ketua Ang-I Mo-pang.
Ketika Ang-I Mo-pang terbasmi oleh para pendekar, Tee Kui Cu dapat lolos dan ia pun mencari guru-guru yang pandai. Ia berhasil menyusup dan menjadi tokoh Pek-lian-kauw di mana ia mempelajari banyak macam ilmu silat, ilmu tentang racun dan obat, juga mempelajari ilmu sihir yang dikuasai oleh para tokoh Pek-lian-kauw. Setelah merasa dirinya memperoleh ilmu yang cukup tinggi, ia meninggalkan Pek-lian-kauw dan ia pun kembali ke Kunming, mengumpulkan para bekas anggota Ang-I Mo-pang yang masih hidup, Ia lalu membangun tempat perkumpulan itu, dia mengangkat diri sendiri menjadi ketua!
Demikianlah riwayat singkat Ang-I Moli Tee Kui Cu. Ia terkenal sebagai seorang ketua yang pandai menyenangkan hati para anak buahnya, memimpin kurang lebih lima puluh orang anggota Ang-I Mo-pang, dan hidup sebagai seorang ketua yang kaya.
Dia pun gemar sekali merantau, meninggalkan perkumpulan dalam pengurusan para pembantunya, dan ia sendiri berkelana sampai jauh, bukan hanya mencari pengalaman, melainkan juga untuk bertualang, mencari harta, mencari pria karena dia merupakan seorang wanita yang selalu haus oleh nafsu-nafsunya.
Dan pada pagi hari itu, tanpa disengaja dia melihat Sian Li. Melihat anak perempuan berusia empat tahun yang mungil dan manis itu, dan terutama sekali melihat anak itu mengenakan pakaian serba merah, yaitu warna kesukaannya dan bahkan warna yang menjadi lambang dari perkumpulannya, hatinya tertarik dan suka sekali. Ia lalu menculik Sian Li dengan niat mengambil anak perempuan itu sebagai anaknya, sekaligus juga muridnya.
Dengan sikap menyayang ia mengeluarkan selimut dan menyelimuti tubuh Sian Li yang sudah pulas atau pingsan oleh tekanan jarinya, pada jalan darah di tengkuk anak itu. Kemudian ia menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dibuatnya di dalam kuil tua kosong itu, api unggun yang perlu sekali untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Mendadak, pendengarannya yang tajam terlatih menangkap sesuatu. Ia pun melompat bangun. Sebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tabah sekali dan tidak tergesa mengeluarkan pedangnya sebelum diketahui benar siapa yang datang memasuki kuil pada waktu itu.
Sesosok bayangan muncul, memasuki ruang kuil di mana Ang-I Moli berada. Bayangan itu tidak berindap-indap, melainkan langsung saja melangkah dengan langkah kaki berat menghampiri ruangan. Ketika bayangan itu muncul, ternyata dia adalah Yo Han yang memasuki ruangan dengan langkah gontai agak terhuyung karena kelelahan!
“Ahh, kiranya engkau...!” Ang-I Moli berkata dengan hati lega. Akan tetapi ia juga memandang heran. Bagaimana anak laki-laki ini bisa menyusulnya? Bagaimana dapat membayanginya dan tahu bahwa ia berada di kuil tua itu?
Seluruh permukaan bumi segar berseri seperti seorang puteri jelita baru keluar dari danau sehabis mandi bersih. Daun-daunan nampak hijau segar dan basah, demikian pula bunga-bunga, walau pun tidak tegak lagi melainkan lebih banyak menunduk karena hembusan air dan angin semalam. Tanah yang barusan disiram air selagi kehausan itu mengeluarkan uapan bau tanah yang sedap, bau yang mengingatkan orang pada masa kanak-kanak ketika dia bermain-main dengan lumpur yang mengasyikkan.
Burung-burung pun lebih lincah pagi itu. Suasana yang menakutkan mereka semalam, hujan dan angin ribut, merupakan bahaya mala petaka yang sudah lewat dan mereka menyambut munculnya matahari pagi dengan kicau saling sahut, dan mereka siap-siap berangkat bekerja mencari makan. Kegembiraan nampak pada wajah para petani yang memanggul cangkul, berangkat ke sawah ladang yang sekarang kembali menjadi subur menumbuhkan harapan hasil panen yang baik.
Segala sesuatu di dunia ini nampak indah selama kita tidak menyimpan kenangan masa lalu. Kenangan hanyalah menimbulkan perbandingan dan perbandingan menghilangkan keindahan saat ini.
"Yo Han, engkau ini bagaimana? Aku dan suhu-mu bersungguh-sungguh mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadamu, akan tetapi engkau selalu acuh menerimanya, bahkan tidak mau berlatih."
Suara wanita yang mengomel ini pun merupakan sebagian dari keindahan pagi itu kalau tidak dinilai. Perusak keindahan adalah penilaian dan perbandingan.
Anak laki-laki itu berusia dua belas tahun. Dia berdiri dengan sikap hormat, akan tetapi pandang matanya sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut kepada wanita yang menegurnya, wanita yang duduk di atas bangku di depannya. Mereka berada di kebun yang terletak di belakang rumah, di mana tadi anak laki-laki itu menyapu kebun yang penuh dengan daun-daun yang berguguran semalam.
Wanita itu adalah Kao Hong Li atau Nyonya Tan Sin Hong. Suami isteri pendekar ini sejak menikah lima tahun yang lalu, tinggal di kota Ta-tung, di sebelah barat kota raja Peking, di mana mereka membuka sebuah toko rempah-rempah serta hasil pertanian dan perkebunan.
Tan Sin Hong adalah seorang pendekar yang terkenal, walau pun kini dia hidup dengan tenang dan tenteram di kota Ta-tung, tak lagi bertualang di dunia persilatan. Dia pernah terkenal sekali dengan julukannya Pendekar Bangau Putih atau Si Bangau Putih.
Julukannya ini adalah karena dia merupakan satu-satunya pendekar yang menguasai ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) ciptaan dari mendiang tiga orang sakti yang menggabungkan ilmu-ilmu mereka, yaitu mendiang Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir, isterinya Wan Ceng, dan Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat yang pernah terkenal dengan julukan Si Jari Maut!
Si Bangau Putih Tan Sin Hong pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat. Akan tetapi setelah menikah, dia hidup dengan tenang tenteram bersama isterinya di kota Ta-tung, walau pun usianya masih sangat muda, yaitu baru dua puluh tujuh tahun. Kesukaannya akan pakaian berwarna putih membuat dia lebih dikenal sebagai Si Bangau Putih.
Tan Sin Hong seorang pria yang nampaknya biasa dan sederhana saja, sikapnya selalu lembut dan ramah. Hanya pada matanya sajalah nampak bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Matanya itu kadang mencorong penuh kekuatan dan kewibawaan.
Isterinya yang kini duduk di kebun itu bernama Kao Hong Li, berusia dua puluh enam tahun. Isteri Si Bangau Putih itu pun bukan wanita sembarangan. Ia puteri pendekar Kao Cin Liong, bahkan cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mengherankan kalau nyonya muda ini pun memiliki ilmu silat yang hebat, walau pun tidak sehebat suaminya. Sukarlah mencari seorang yang cukup lihai untuk mampu menandingi Kao Hong Li.
Kao Hong Li ialah seorang wanita yang cantik. Wajahnya bulat telur dan kecantikannya terutama terletak kepada sepasang matanya yang lebar dan jeli. Sikapnya lincah, gagah dan juga galak. Ia seorang wanita yang cerdik, pandai bicara. Seperti juga Tan Sin Hong yang pernah menikah dengan wanita lain kemudian bercerai, Kao Hong Li juga seorang janda muda ketika menikah dengan Sin Hong.
Meski dua orang pendekar ini saling mencinta ketika mereka masih perjaka dan gadis, namun keadaan membuat mereka tidak berjodoh dan menikah dengan orang lain. Tan Sin Hong pernah menikah dengan Bhe Siang Cun, puteri guru silat Ngo-heng Bu-koan, sedangkan Kao Hong Li menikah dengan Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di kota Pao-teng.
Namun, karena pernikahan ini tidak dilandasi cinta, sebentar saja terjadi keretakan dan akhirnya keduanya bercerai dari isteri dan suami masing-masing. Saat dalam keadaan menjadi duda dan menjadi janda inilah mereka saling berjumpa kembali dan kegagalan perjodohan mereka masing-masing itu semakin mendekatkan dua hati yang memang sejak dahulu sudah saling mencinta itu. Dan mereka pun menjadi suami isteri.
Suami isteri yang saling mencinta itu hidup cukup berbahagia, dan setahun setelah pernikahan mereka, mereka dikaruniai seorang puteri yang mereka beri nama Tan Sian Li, yang kini telah berusia empat tahun.
Ada pun anak laki-laki berusia dua belas tahun yang sepagi itu telah menerima teguran Kao Hong Li, adalah murid suami isteri itu. Namanya Yo Han dan sejak lima tahun yang lalu dia sudah diambil murid oleh Tan Sin Hong. Yo Han adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibunya telah tewas di tangan tokoh-tokoh sesat.
Ayah Yo Han seorang petani yang jujur dan sama sekali tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia memiliki watak yang gagah perkasa melebihi seorang pendekar silat! Ibu anak itu seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal, bahkan dahulunya sebelum menikah dengan Yo Jin, yaitu ayah Yo Han, wanita itu merupakan seorang tokoh sesat yang ditakuti orang. Namanya Ciong Siu Kwi dan ia dijuluki Bi Kwi (Setan Cantik) karena biar pun wajahnya cantik jelita, namun ia jahat seperti setan!
Setelah bertemu Yo Jin dan menikah dengan pemuda dusun yang sama sekali tidak mampu bermain silat itu, wataknya lantas berubah sama sekali. Ia menyadari semua kesalahannya dan ia hidup sebagai seorang isteri yang baik, bahkan setelah melahirkan Yo Han, ia menjadi seorang ibu yang sangat baik. Akan tetapi, agaknya latar belakang kehidupannya mendatangkan mala petaka.
Pohon yang ditanamnya dahulu itu berbuah sudah dan ia pula yang harus memetik dan makan buahnya. Meski ia sudah berusaha untuk menjauhkan diri dari dunia kang-ouw, bahkan dari dunia persilatan, namun tetap saja musuh-musuh mencarinya! Melibatkan suami dan puteranya pula sehingga untuk menyelamatkan anak dan suami, terpaksa Bi Kwi Ciong Siu Kwi mencabut kembali pedangnya!
Dan akibatnya, ia dan suaminya tewas di tangan tokoh-tokoh sesat. Masih baik bagi anaknya bahwa dia, yaitu Yo Han, dapat tertolong oleh Tan Sin Hong yang kemudian mengambilnya sebagai murid. Demikianlah riwayat singkat Yo Han dan kedua orang gurunya.
Dan semenjak gurunya, Tan Sin Hong, menikah dengan Kao Hong Li dan tinggal di kota Ta-tung, Yo Han bekerja dengan rajin sekali. Walau pun gurunya telah berhasil dalam usaha perdagangannya, dan sudah mampu menggaji pelayan, namun tetap saja Yo Han membantu semua pekerjaan dari menyapu kebun, membersihkan perabot rumah dan sebagainya. Tidak ada yang menyuruhnya, melainkan karena dia suka bekerja, dia suka mengerjakan kaki tangannya.
Sejak menjadi murid Sin Hong, pendekar ini mengajarkan ilmu silat dasar kepada Yo Han. Akan tetapi sungguh mengherankan sekali, anak itu tidak suka belajar silat. Dia lebih tekun belajar membaca dan menulis sehingga dalam usia dua belas tahun, dia telah mampu membaca kitab-kitab sastra dan filsafat yang berat-berat seperti Su-si Ngo-keng! Dia pandai pula menulis sajak, pandai bermain suling dan pandai bernyanyi! Akan tetapi, selama lima tahun menjadi murid Si Bangau Putih Tan Sin Hong, dia belum mampu melakukan gerakan menendang atau memukul yang benar!
Tan Sin Hong dapat memaklumi keadaan muridnya itu. Dia teringat betapa dahulu, ayah dan ibu anak ini selalu menjaga agar putera mereka tidak mengenal ilmu silat. Mereka mengajarkan ilmu baca-tulis kepada putera mereka, akan tetapi Yo Han sama sekali tidak diperkenalkan dengan ilmu silat. Hal ini dikehendaki oleh Yo Jin, dan Bi Kwi juga menyetujui karena suami isteri ini melihat kenyataan betapa dunia persilatan penuh dengan kekerasan, dendam dan permusuhan.
Bahkan Bi-kwi sendiri benar-benar meninggalkan dunia persilatan, hanya hidup sebagai seorang isteri dan ibu di dusun, sebagai petani yang hidup sederhana namun tenteram penuh damai. Karena memaklumi bahwa pendidikan ayah ibu ini ikut pula membentuk watak dan kepribadian Yo Han, maka biar pun dia melihat betapa Yo Han sama sekali tidak suka mempelajari ilmu silat, dia pun tidak pernah menegur.
Akan tetapi, yang suka mengomel dan merasa penasaran adalah isterinya, Kao Hong Li. Wanita ini memiliki watak yang lincah, gagah dan juga galak. Ia merasa penasaran bukan main melihat Yo Han tidak pernah memperhatikan pelajaran ilmu silat, bahkan mengacuhkannya sama sekali. Padahal, mereka, terutama suaminya, sudah berusaha sedapatnya untuk menjadi seorang guru yang baik bagi Yo Han.
Apa akan kata orang dunia persilatan kalau melihat Yo Han menjadi seorang yang sama sekali tidak tahu ilmu silat, padahal dia adalah murid ia dan suaminya? Yang tidak tahu tentu mengira bahwa mereka suami isteri memang tidak bersungguh hati mengajarkan silat kepada Yo Han, bahkan tentu disangkanya membenci anak itu.
Padahal ia dan suaminya amat menyayang Yo Han. Anak itu mereka anggap sebagai anak sendiri, atau adik sendiri. Apa lagi Yo Han adalah seorang anak yang tahu diri, amat pandai membawa diri, rajin bekerja, juga amat cerdik. Mempelajari segala macam kepandaian, dia cerdik luar biasa, akan tetapi hanya satu hal dia tidak peduli, yaitu ilmu silat.
Pagi hari itu, karena telah merasa kesal sekali melihat Yo Han hanya bekerja di kebun, sama sekali tidak mau berlatih silat, Kao Hong Li tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi dan ia pun menegur muridnya.
"Nah, hayo jawab. Kenapa engkau tak mau melatih ilmu-ilmu silat yang sudah diajarkan oleh suhu-mu dan aku? Sudah berapa banyak ilmu silat yang kami ajarkan kepadamu, yang semua teorinya engkau sudah hafal, akan tetapi belum pernah aku melihat engkau mau melatihnya! Hayo jawab sekarang, Yo Han, jawablah sejujurnya, mengapa engkau tidak mau berlatih silat?"
Sejak tadi anak itu menatap wajah subo-nya (ibu gurunya), dengan sikap tenang dan pandang mata lembut, wajah tersenyum seperti seorang tua melihat seorang anak kecil yang marah-marah!
"Benarkah Subo menghendaki teecu (murid) bicara terus terang sejujurnya, dan Subo tidak akan menjadi marah, apa pun yang menjadi jawaban teecu?"
"Kenapa mesti marah? Dengar baik-baik, Yo Han. Pernahkah aku atau suhu-mu marah-marah jika engkau memang bertindak benar? Selama ini, kami harus mengakui bahwa engkau seorang anak yang baik dan seorang murid yang patuh, juga rajin bekerja dan semua ilmu pengetahuan dapat kau kuasai dengan baik dan kau pelajari dengan tekun. Kecuali ilmu silat! Kalau memang jawaban dan keteranganmu sejujurnya dan benar, mengapa aku harus marah? Kalau aku ini menegurmu karena engkau tidak mau berlatih silat, bukanlah untuk kepetinganku, melainkan demi masa depanmu sendiri.”
Anak itu memandang kepada subo-nya dengan mata membayangkan keharuan hatinya. Setelah gurunya selesai bicara, dia pun menarik napas panjang.
"Subo, teecu tahu benar betapa Subo dan Suhu amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu. Teecu tak habis merasa bersyukur dan berterima kasih atas segala budi kebaikan Subo dan Suhu, Dan maafkanlah kalau tanpa sengaja teecu telah membuat Subo dan Suhu kecewa, menyesal dan marah. Sekarang, teecu hendak menjawab secara terus terang saja, sebelumnya mohon Subo memaafkan teecu."
Diam-diam Kao Hong Li memandang kagum. Sering ia merasa kagum kepada anak ini. Bicaranya demikian lembut, sopan, teratur seperti seorang dewasa saja, yang terpelajar tinggi pula!
"Katakanlah jawabanmu kenapa engkau tidak suka berlatih silat. Aku tak akan marah," katanya, kini suaranya tidak keras penuh teguran lagi.
"Subo, teecu suka mempelajari ilmu silat karena di situ teecu menemukan keindahan seni tari, juga teecu menemukan olahraga yang menyehatkan dan menguatkan badan, memperbesar daya tahan terhadap penyakit dan kelemahan. Akan tetapi, teecu tidak suka melatihnya karena teecu melihat bahwa di dalam ilmu silat terdapat kekerasan pula. Karena itu, maka ilmu silat itu jahat!"
Sepasang mata Kao Hong Li yang memang lebar dan jeli itu terbelalak semakin lebar. "Jahat...?!"
"Ya, tentu jahat, Subo. Ilmu silat adalah ilmu memukul orang, bahkan membunuh orang lain. Apa ini tidak jahat namanya?"
"Wah, pendapatmu itu terbalik sama sekali, Yo Han! Justru ilmu silat membuat kita dapat membela diri terhadap kejahatan, juga dapat kita pergunakan untuk membasmi kejahatan. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk kejahatan, tentu saja tidak benar. Akan tetapi ilmu silat dapat dipergunakan untuk menentang kejahatan, seperti yang dilakukan para pendekar. Ilmu silat adalah ilmu bela diri, baik dari serangan orang jahat mau pun binatang buas. Yang jahat itu bukan ilmu silatnya, seperti juga segala macam ilmu di dunia ini. Jahat atau tidaknya, baik atau tidaknya, tergantung dari manusianya, bukan dari ilmunya. Ilmu silat atau ilmu apa pun tidak akan ada artinya tanpa Si Manusia yang mempergunakannya."
Yo Han mengangguk-angguk. “Teecu mengerti, Subo. Semua yang Subo katakan itu memang kenyataan dan benar adanya. Baik atau buruk tergantung pada orang yang menguasainya. Seperti Suhu dan Subo, walau pun ahli-ahli ilmu silat, namun sama sekali tidak jahat. Yang membuat teecu tidak mau melatih diri dengan ilmu silat adalah karena melihat sifat dari ilmu silat itu. Sifatnya adalah kekerasan, perkelahian, saling bermusuhan. Itulah yang membuat teecu tidak suka menguasainya.”
Kao Hong Li sudah mulai merasa perutnya panas. Ia memang galak dan teguh dalam pendiriannya. "Yo Han, lupakah engkau bahwa kalau tidak ada ilmu silat, engkau sudah mati sekarang ketika engkau terjatuh ke tangan para tokoh sesat?"
"Maaf, Subo. Nyawa kita berada di tangan Tuhan! Kalau Tuhan belum menghendaki teecu mati, biar diancam bahaya bagaimana pun juga, ada saja jalannya bagi teecu untuk terhindar dari kematian. Sebaliknya, kalau Tuhan sudah menghendaki seseorang mati, biar dia memiliki kesaktian setinggi langit sedalam lautan, tetap saja dia tidak akan mampu menghindarkan diri dari kematian. Bukankah begitu, Subo?"
Diam-diam Kao Hong Li terkejut. Dari mana anak ini dapat pengertian seperti itu?
"Anak baik, biar nyawa berada di tangan Tuhan, akan tetapi sudah menjadi kewajiban setiap orang manusia untuk menjaga diri, untuk selalu berusaha menyelamatkan diri dari segala ancaman. Dan ilmu silat dapat menjamin kita untuk menyelamatkan diri dari ancaman orang jahat atau binatang buas."
"Subo, maafkan kalau teecu berterus terang. Teecu selalu ingat betapa Ayah dan Ibu tewas, karena Ibu pernah berkecimpung di dunia persilatan. Ibu sudah terlalu banyak menanam permusuhan, sudah terlalu banyak bergelimangan kekerasan, maka akhirnya Ibu tewas dalam kekerasan pula, bahkan membawa Ayah menjadi korban. Selain itu, sudah banyak teecu mendengar kisah yang dituturkan oleh Subo dan Suhu, kisah para pendekar sakti. Mereka itu hampir semua tewas dalam perkelahian, dalam kekerasan."
"Kau keliru, Yo Han. Memang benar bahwa banyak pendekar tewas dalam perkelahian, seperti juga sebagian besar prajurit tewas dalam pertempuran. Akan tetapi, justru itu adalah kematian terhormat bagi seorang pendekar. Tewas dalam melaksanakan tugas menentang kejahatan adalah kematian yang terhormat!"
"Membunuh atau terbunuh merupakan kematian terhormat, Subo? Ahh, teecu tak dapat menerimanya. Semua kepandaian yang dimiliki manusia didapatkan karena kekuasaan dan kemurahan Tuhan. Juga ilmu silat. Akan tetapi sungguh sayang bahwa kemurahan dan kekuasaan Tuhan itu diselewengkan oleh manusia untuk saling bunuh. Tidak, Subo. Teecu tidak mau membunuh orang! Teecu tidak mau belajar ilmu silat, ilmu memukul dan membunuh orang."
Kao Hong Li menjadi semakin marah. "Bagaimana kalau engkau sekali waktu diancam oleh orang jahat untuk dibunuh?"
"Tentu teecu akan berusaha untuk menyelamatkan diri, melindungi diri dengan segala kekuatan dan kemampuan yang ada, akan tetapi bukan berarti teecu akan berusaha membunuhnya. Jika teecu sudah berusaha sekuatnya untuk melindungi diri, cukuplah."
"Hemm, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu dari serangan orang jahat yang hendak membunuhmu kalau engkau tidak pandai ilmu silat?"
"Teecu serahkan saja kepada Tuhan! Sudah teecu katakan tadi bahwa nyawa berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan belum menghendaki teecu mati di tangan penjahat itu, tentu teecu akan dapat menghindarkan diri."
Kao Hong Li sudah kehilangan kesabarannya. Dia bangkit berdiri dan menatap wajah anak itu. "Yo Han, aku khawatir bahwa engkau sudah dihinggapi kesombongan besar yang tolol!"
"Maafkan teecu, Subo," kata Yo Han sambil menundukkan mukanya.
"Bocah sombong! Kalau engkau tidak mau belajar silat, kalau engkau menganggap bahwa belajar silat itu salah, lalu engkau mau belajar apa? Engkau menjadi murid suami isteri pendekar, kalau tidak mau belajar silat dari kami, lalu mau belajar apa?"
"Teecu ingin belajar hidup yang benar dan sehat, belajar untuk menjadi manusia yang berguna, baik bagi diri sendiri, bagi orang lain, dan bagi Tuhan. Teecu akan mempelajari segala ilmu yang berguna dan indah, sastra, seni apa saja, asalkan bukan ilmu yang merusak..."
"Sombong!" Kao Hong Li membentak, kini ia sudah marah. "Kau mau bilang bahwa ilmu silat adalah ilmu yang merusak?"
Pada saat itu, muncullah Tan Sin Hong. Sejak tadi dia sudah mendengar percakapan antara isterinya dan murid mereka. Dia tidak menyalahkan isterinya yang marah-marah. Dia sendiri pun tentu akan marah kalau saja dia tidak teringat akan keadaan Yo Han di waktu kecilnya.
"Aihh, ada apakah ini sepagi ini sudah ribut-ribut?" Sin Hong menegur sambil tersenyum tenang.
Melihat suaminya datang, Kao Hong Li segera menuding kepada Yo Han.
"Coba lihat muridmu ini! Dia menjadi murid kita tentu kita beri pelajaran ilmu silat. Ehh, dia malah menganggap bahwa ilmu silat itu ilmu yang jahat, ilmu yang merusak! Apa tidak membikin panas perut?"
"Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi hal itu," Sin Hong menghibur isterinya, lalu bertanya kepada Yo Han. "Yo Han, apakah engkau lupa bahwa hari lusa adalah suatu hari yang bahagia? Nah, ada peristiwa bahagia apakah hari lusa itu?"
Yo Han mengangkat mukanya dan wajahnya berseri-seri memandang kepada suhu-nya yang telah mengalihkan percakapan yang membuat hatinya merasa tidak enak terhadap subo-nya tadi.
"Teecu tahu, Suhu. Besok lusa adalah hari ulang tahun yang ke empat dari Sian Li."
"Ha, jadi engkau ingat? Dan sudahkah engkau mempersiapkan hadiahmu untuk adikmu itu?"
Yo Han menggeleng kepala. "Belum, Suhu."
Yo Han amat mencinta adiknya, puteri kedua orang gurunya itu. Bahkan sejak Sian Li bisa merangkak, Yo Han lah yang selalu mengasuhnya dan mengajaknya bermain-main sehingga Sian Li juga amat sayang kepadanya.
Sin Hong mengeluarkan uang dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Yo Han. "Nah, ini uang boleh kau pakai untuk membelikan hadiahmu untuk Sian Li."
Akan tetapi Yo Han menggeleng kepalanya, "Suhu, teecu ingin memberi hadiah sesuatu yang merupakan hasil pekerjaan tangan teecu sendiri kepada adik Sian Li."
"Hemm..." Sin Hong menyimpan kembali uangnya. "Dan sudah kau buatkan itu?
"Belum, Suhu!"
"Kalau begitu, mulai hari ini kau boleh mulai mengerjakannya. Jangan bantu pekerjaan tukang kebun dan pelayan, tapi selesaikan membuat hadiahmu untuk adikmu."
Berseri wajah Yo Han. Memang dua orang gurunya tidak pernah menyuruh dia bekerja, akan tetapi dia sendiri yang merasa tidak enak kalau harus menganggur. Selalu ada saja yang dia kerjakan. Sekarang gurunya memberi dia kesempatan sepenuhnya untuk membuatkan hadiah untuk Sian Li.
"Baik, terima kasih, Suhu. Sekarang pun teecu hendak mulai membuatkan hadiah itu!" Dan dia pun pergi meninggalkan kebun itu, menuju ke sungai kecil yang mengalir di sebelah selatan rumah itu.
Setelah Yo Han pergi, baru Sin Hong bicara dengan isterinya. "Sudahlah, kalau dia tidak mau berlatih silat, kita tidak perlu memaksanya. Kita sudah mengajarkan ilmu-ilmu kita yang paling baik, dan dia sudah menghafalkan semua teorinya. Tinggal terserah kepada dia sendiri hendak melatihnya atau tidak."
"Akan tetapi, dia adalah murid kita. Kalau kelak dunia persilatan tahu bahwa dia murid kita akan tetapi lemah dan tidak pandai memainkan ilmu silat, bukankah kita yang akan menjadi bahan tertawaan?"
Sin Hong menggelengkan kepala. "Belum tentu demikian. Aku melihat bahwa dia bukan anak sembarangan. Dia pemberani dan tabah, juga sangat cerdik. Dan dia mempunyai kasih sayang kepada sesamanya. Lihat saja. Dia tidak pernah menjadi jagoan, akan tetapi semua anak di kota ini mengenalnya dan bersikap sangat baik kepadanya. Dia disukai dan disegani, bukan saja oleh anak-anak, bahkan juga orang-orang tua tetangga kita selalu memujinya karena sikapnya yang sopan dan baik budi."
"Bagaimana pun juga, aku khawatir bila terjadi serangan orang jahat terhadap dirinya..."
"Tidak perlu khawatir, Li-moi. Biarkan saja dia tumbuh sewajarnya, menurut apa yang disukainya dan kita lihat saja. Yang paling penting, dia tidak melakukan sesuatu yang menyimpang dari kebenaran. Apa lagi, dia amat sayang kepada Sian Li."
Hong Li mengangguk. "Memang, Sian Li juga sayang sekali kepadanya. Justru inilah yang kadang merisaukan hatiku."
"Ehh? Engkau risau karena anak kita menyayang Yo Han?"
"Yo Han bagaikan kakak bagi Sian Li dan kelak, tentu Sian Li akan mencontoh segala peri laku Yo Han. Kalau Yo Han membenci ilmu silat, menganggapnya jahat, bagaimana kalau dia mempengaruhi Sian Li dan anak kita juga tidak suka berlatih silat?"
Sin Hong mengangguk-angguk. "Aku akan bicara dengan Yo Han tentang itu dan minta supaya dia jangan menanamkan pendapatnya itu kepada Sian Li, bahkan agar dia bisa membujuk Sian Li supaya suka mempelajari dan berlatih ilmu silat."
Mendengar ucapan suaminya itu, baru legalah rasa hati Hong Li.
"Sungguh seorang anak yang aneh sekali Yo Han itu," katanya menarik napas panjang.
Ia sendiri amat suka kepada Yo Han. Siapa yang takkan suka kepada anak yang pandai membawa diri dan rajin itu? Wajahnya tak pernah muram, terang dan amat ramah, juga berhati lembut.
*********
Memang tidak berlebihan kalau wanita pendekar itu mengatakan bahwa Yo Han adalah seorang anak yang aneh sekali. Memang nampaknya saja Yo Han seorang anak biasa yang tiada bedanya dengan anak-anak lainnya. Akan tetapi memang terdapat sesuatu yang luar biasa pada diri anak ini, yang membuat Kao Hong Li dan juga suaminya mengetahui bahwa Yo Han bukanlah anak biasa.
Sikap anak itu demikian dewasa, pandangannya luas dan kadang-kadang aneh dan tak pantas dimiliki seorang anak berusia dua belas tahun. Wajahnya memang tampan, akan tetapi itu pun tidak aneh. Dan wataknya sederhana. Pakaian pun amat sederhana walau pun selalu bersih dan rapi.
Meski pun kedua orang gurunya amat sayang kepadanya dan selalu berusaha agar dia senang dan tidak kekurangan sesuatu, tapi Yo Han tidak pernah minta apa-apa, hanya menerima saja apa pun yang diberikan kepadanya tanpa memilih. Yang membuat suami isteri itu sering kali kagum adalah kecerdikannya. Dia seolah mampu membaca pikiran orang!
Terutama sekali dalam pelajaran sastra, kecerdasan anak itu sangat menonjol. Dalam usia dua belas tahun, dia sudah mampu membaca kitab-kitab yang berat-berat. Bukan saja kitab-kitab sejarah, juga kitab-kitab agama dan filsafat. Kitab-kitab Su-si Ngo-keng sudah hafal olehnya, dan andai kata dia mau, dalam usia dua belas tahun itu bukan tidak mungkin dia akan lulus dalam ujian kenegaraan bagi para siu-cai (semacam gelar sarjana).
Tan Sin Hong sendiri adalah seorang yang suka membaca dan dia memiliki kumpulan kitab-kitab kuno di dalam kamar perpustakaannya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa kalau sedang membersihkan kamar itu, Yo Han tenggelam ke dalam kitab-kitab itu, membaca kitab-kitab yang kadang masih terasa sukar bagi Sin Hong sendiri!
Banyak hal yang dibacanya, baik dalam kitab sejarah mau pun kitab keagamaan, yang kemudian mempengaruhi batin Yo Han yang aneh, yang membuat ia ngeri menghadapi kekerasan, membuat dia merasa ngeri melihat kenyataan betapa kehidupan manusia bergelimang kekerasan.
Di samping itu, ada sesuatu yang amat luar biasa pada diri Yo Han, yang sering kali membuat dia sendiri merasa heran. Sering dia merasa seakan-akan ada kekuatan yang melindunginya, kekuatan yang kadang-kadang bekerja di dalam dan di luar dirinya, yang bekerja di luar kehendaknya, bahkan di luar pengertiannya. Suatu tenaga mujijat, suatu kekuatan yang bekerja di luar hati dan akal pikirannya.
Hal ini tadinya tak diketahuinya. Akan tetapi karena beberapa kali telah terjadi hal yang tadinya dianggap suatu ‘kebetulan’ saja, mulailah dia menyadari bahwa hal itu bukanlah suatu kebetulan belaka.
Mula-mula keanehan itu terjadi saat dia membaca sebuah kitab agama kuno yang berisi dongeng-dongeng yang mengandung makna-makna terpendam. Amat sukar dimengerti oleh orang dewasa yang sudah banyak membaca kitab agama sekali pun.
Yo Han menemukan kitab ini di dalam kamar perpustakaan suhu-nya. Dia membacanya dan segera menemukan kesulitan. Banyak huruf kuno yang tidak dikenalnya, dan lebih banyak pula kalimat yang tidak dimengerti maknanya. Karena dia memang seorang kutu buku, dia tidak putus asa dan terus membaca.
Makin dia berusaha untuk mengerti isi kitab, makin sukarlah baginya dan makin bingung dan ruwetlah pikirannya. Akhirnya, karena kelelahan, bukan karena jengkel, dia pun lalu tertidur. Tidur sambil duduk dan kitab itu masih terbuka di atas meja di depannya.
Ketika setengah jam kemudian dia terbangun, dia melihat lagi kitab itu dan... dia dapat membaca dengan lancar, bahkan dapat mengerti apa arti isi kitab itu. Hal yang tadinya dianggap sukar, setelah dia bangun tidur, menjadi mudah, yang gelap menjadi terang. Hal itu terjadi dengan sendirinya, bukan hasil pemerasan pikiran, seperti secara wajar dan otomatis saja.
Demikianlah, banyak hal seperti itu terjadi selama kurang lebih dua tahun ini. Yo Han mulai mengerti bahwa kekuatan mujijat itu terjadi kalau dia pasrah kepada Tuhan, kalau dia tidak mempergunakan daya hati dan akal pikirannya. Seperti telah diatur saja oleh tenaga mujijat.
Setelah gurunya memberi ijin kepadanya untuk segera membuatkan hadiah untuk Sian Li, Yo Han segera pergi ke sungai yang letaknya kurang lebih satu li saja dari rumah gurunya. Dia tahu bahwa bahan yang dibutuhkannya untuk membuat hadiah itu berada di tepi sungai. Bahan itu hanya tanah liat, lain tidak!
Ia ingin membuatkan patung kecil atau boneka dari tanah liat, buatan tangannya sendiri, untuk Sian Li! Dia tahu bahwa ia dapat membuat sebuah boneka yang indah dari tanah, liat. Sudah sering ia bermain-main dengan tanah liat dan ia mendapat kenyataan betapa tanah liat itu demikian penurut dalam remasan jari-jari tangannya, demikian mudahnya dibentuk menjadi apa saja yang dikehendakinya.
Dia dapat membuat segala macam patung binatang dari tanah liat. Rasanya seperti jika dia melukis. Dengan goresan, dia pun dapat membentuk apa saja yang dilihatnya, baik yang dilihatnya dalam kenyataan mau pun yang dilihatnya dalam bayangan khayal.
Yo Han tiba di tepi sungai dan dia segera menuju ke bagian di mana terdapat tanah liat yang baik. Bagian ini sunyi sekali. Hanya dia dan beberapa orang kawannya bermain, tetangga gurunya, yang mengetahui tempat ini. Kini dia berada di situ seorang diri dan segera dia turun ke tepian sungai dan mengambil tanah liat dengan kedua tangannya. Mudah saja menggali tanah liat yang lunak dan basah itu, lalu dikumpulkannya sampai cukup banyak, dan dibawanya tanah liat segumpal besar itu ke bawah sebatang pohon besar di tepi sungai.
Ketika baru saja dia menurunkan tanah liat yang dibawanya, saat dia duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah, tanpa disengaja kakinya menginjak seekor ular! Bagian ekornya yang diinjaknya itu.
Ular itu terkejut, dan juga marah. Tubuhnya membalik, kemudian kepalanya meluncur dan menyerang ke arah leher Yo Han yang sudah duduk. Tangan kanan Yo Han cepat bergerak dan tahu-tahu leher ular itu telah terjepit di antara jari-jari tangannya. Dia telah dapat menangkap leher ular itu!
Tak jauh dari situ, Sin Hong memandang terbelalak! Tadi pun dia melihat serangan ular yang amat mendadak itu dan wajahnya menjadi pucat. Terlalu jauh baginya untuk dapat menolong dan menyelamatkan muridnya, juga gerakan ular itu terlalu cepat. Dia sudah membayangkan betapa leher itu pasti akan dipatuk ular. Bukan ular biasa, melainkan ular hijau yang racunnya amat jahat!
Akan tetapi, apa yang dilihatnya? Yo Han telah dapat menangkap leher ular itu, hanya sedikit selisihnya karena moncong ular itu tinggal sejengkal lagi dari leher Yo Han! Dia sendiri, kalau diserang ular secara tiba-tiba seperti itu, masih meragukan apakah berani menghindarkan diri dengan cara menangkap leher ular itu!
Perbuatan ini amat berbahaya karena sekali meleset dan leher terpatuk ular beracun itu, akan amat hebat akibatnya. Kalau kaki yang terpatuk ular, masih banyak harapan untuk diobati, akan tetapi leher terletak demikian dekat dengan kepala dan jantung. Dia hanya terbelalak memandang dan semakin bengonglah dia ketika melihat apa yang terjadi.
Yo Han sendiri terbelalak ketika melihat bahwa yang ditangkap tangannya itu adalah seekor ular hijau yang dia tahu beracun! Dia merasa heran karena sungguh dia tidak menyadari, apa yang dilakukan tangannya tadi, seolah-olah tangan itu bergerak sendiri dengan amat cepatnya menangkap leher ular! Akan tetapi, dia memang seorang anak yang memiliki keberanian luar biasa.
Setelah kini dia melihat kepala ular itu, dengan mata yang nampaknya begitu putus asa dan ketakutan, lidah yang terjulur keluar masuk, tubuh yang menggeliat-geliat melibat lengannya tanpa daya karena dia merasa betapa lengannya diisi tenaga yang membuat lengannya itu seperti berubah menjadi baja, timbul perasaan kasihan di dalam hatinya.
"Ular hijau, kenapa engkau hendak mematukku? Kalau seandainya aku menyentuh atau menginjak tanpa kusengaja, sepatutnya engkau memaafkan aku. Engkau yang sengaja hendak mematukku pun dapat kumaafkan. Kita sepatutnya bermaaf-maafan sesudah sama-sama diciptakan hidup di dunia ini. Bukankah begitu, ular hijau?"
Sin Hong terbelalak, tak pernah berkedip ketika melihat betapa kini ekor ular yang tadi membelit-belit lengan muridnya itu melepaskan belitannya, dan melihat betapa Yo Han dengan lembut melepaskan leher yang ditangkap tangannya itu, membiarkan ular itu ke atas tanah. Dan ular itu sama sekali tidak nampak buas lagi, tidak menyerang! Juga tidak melarikan diri ketakutan.
Sekarang ular itu perlahan-lahan menghampiri Yo Han yang sudah duduk di atas akar, mengelilingi anak itu, perlahan-lahan, kadang-kadang mendekat dan menyentuh kaki Yo Han dengan tubuhnya, bagai tingkah seekor kucing manja yang mengusapkan tubuhnya ke kaki majikannya.
Yo Han sudah tidak mempedulikan ular itu lagi, melainkan asyik dengan pekerjaannya. Dua tangannya mulai bekerja dengan cekatan, meremas-remas tanah liat itu sehingga menjadi lunak dan liat, dan mulai membentuk patung yang hendak dibuatnya. Sampai beberapa lamanya, ular hijau itu bergerak di sekitar Yo Han mengusapkan tubuhnya ke kaki anak itu, kadang menggunakan lidahnya menjilat. Yo Han yang tenggelam dalam pekerjaannya seperti sudah melupakan binatang itu dan akhirnya, ular itu pun pergi dengan tenang.
Beberapa kali, dalam pengintaian itu Sin Hong menelan ludah. Dia merasa bagai dalam mimpi. Yo Han demikian mudahnya menangkap leher ular yang sedang menyerangnya, ular beracun yang terkenal amat ganas. Kemudian, lebih aneh lagi, dengan ucapan dan sikapnya, dia mampu membuat seekor ular berbisa yang ganas berubah menjadi seekor binatang yang jinak dan manja seperti kucing. Apa artinya semua ini?
Tentu saja Sin Hong menjadi penasaran bukan main. Dia adalah guru anak itu. Dan semenjak berusia tujuh tahun, Yo Han selalu ikut dengan dia. Akan tetapi bagaimana sampai saat ini dia sama sekali tidak mengenal muridnya itu? Tidak tahu akan keadaan muridnya yang aneh?
Muridnya itu tak pernah mau melatih ilmu silat yang diajarkan, akan tetapi kini buktinya, anak itu sedemikian lihainya! Kapankah belajarnya? Dari siapa? Gerakan tangan ketika menangkap ular berbisa tadi tidak dikenalnya. Sangat mirip dengan jurus Bangau Putih Mematuk Ular. Akan tetapi hanya mirip. Jauh bedanya.
Jurus dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun itu menggunakan jari tangan untuk mencengkeram tubuh ular dan memang yang dimaksud lehernya, sedang dalam ilmu silat menghadapi manusia dipergunakan untuk menangkap lengan lawan yang menyerang. Akan tetapi gerakan Yo Han tadi begitu cepat, akan tetapi begitu lembut sehingga ketika leher ular tertangkap, ular itu tidak mampu melepaskan diri, akan tetapi juga tidak tersiksa dan tidak luka. Gerakan apa itu?
Dan sikapnya kemudian terhadap ular berbisa itu, sungguh tidak dimengertinya! Kenapa Yo Han bersikap seaneh itu dan bagaimana pula ular itu berubah menjadi sejinak itu? Apakah artinya semua itu? Ilmu apakah yang dikuasai Yo Han?
Sin Hong adalah seorang pendekar yang gagah dan jujur, tentu saja tidak suka akan hal-hal yang dirahasiakan, tidak suka akan kepura-puraan. Di depannya, Yo Han tidak pernah berlatih silat, sehingga dia dan isterinya menganggap dia lemah dan tidak dapat bersilat. Akan tetapi apa kenyataannya sekarang?
Serangan ular tadi sangat cepat dan berbahaya. Hanya seorang ahli silat tingkat tinggi saja yang mampu menghindarkan bahaya maut itu dengan cara menangkap leher ular yang sedang menyerang dalam jarak sedemikian dekatnya. Dan tadi Yo Han mampu melakukannya. Hal ini membuktikan bahwa anak itu sama sekali bukan lemah, hanya berlagak lemah saja. Apakah diam-diam dia telah mempelajari dan melatih ilmu silat lain? Atau mempunyai seorang guru lain? Dia harus membongkar semua rahasia ini, dia tidak mau dipermainkan lagi.
Sekali melompat, Sin Hong sudah berada di dekat Yo Han. Anehnya, anak itu sama sekali tidak kelihatan kaget atau gugup, dan kini teringatlah Sin Hong bahwa muridnya itu memang tidak pernah gugup apa lagi kaget atau takut. Selalu tenang saja seperti air telaga yang dalam.
"Suhu...!" kata Yo Han memberi hormat dengan membungkuk karena kedua tangannya berlepotan lumpur tanah liat.
Sejak tadi Sin Hong mengamati wajah Yo Han. Kini melihat wajah muridnya itu wajar dan biasa-biasa saja, dia melirik ke arah bongkahan tanah liat di tangan anak itu dan dia terkejut, juga kagum. Dalam waktu sesingkat itu, jari-jari tangan anak itu telah mampu membentuk sebuah boneka anak-anak yang ukurannya demikian sempurna. Kepala, kaki, tangan sudah terbentuk dan demikian serasi. Hanya wajah kepala itu yang belum dibuat.
"Suhu, ada apakah Suhu mencari teecu?" tanya Yo Han.
Suara dan sikap yang amat wajar itu membuat Sin Hong menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
"Apa yang kau bikin itu?" akhirnya dia bertanya.
"Boneka tanah, Suhu, hadiah teecu untuk adik Sian Li," kata Yo Han.
Keharuan menyelinap di hati Sin Hong, Juga sedikit iri hati. Tidak ada hadiah yang lebih indah dan memuaskan hati melebihi benda buatan tangan sendiri. Jika saja dia mampu membuat boneka tanah seindah yang sedang dibuat Yo Han, dia pun akan senang membuatkan sebuah untuk puterinya!
Akan tetapi, renungan Sin Hong buyar seketika karena dia teringat lagi akan ular tadi. Suatu kesempatan yang amat baik untuk menguji muridnya, untuk mengetahui rahasia yang menyelimuti diri muridnya.
Mendadak saja, dengan tenaga terukur, kecepatan yang hampir menyamai kecepatan gerakan ular tadi, tangannya meluncur dan jari tangannya lantas menotok ke arah leher muridnya, seperti ular yang mematuk tadi, dari arah yang sama pula dengan gerakan ular tadi. Gerakannya ini pun tiba-tiba selagi Yo Han tak mengira, kiranya persis seperti keadaannya ketika diserang ular hijau tadi.
Dan satu-satunya gerakan yang dilakukan Yo Han adalah gerak refleks atau reaksi yang umum. Dia terkejut dan menarik kepalanya sedikit ke belakang. Tentu saja serangan itu akan dapat mengenai leher Yo Han kalau Sin Hong menghendaki.
Sin Hong merasa kecelik. Kenapa Yo Han sama sekali tidak menangkis atau mengelak, sama sekali tidak ada gerakan seorang ahli silat yang mahir? Kalau dia bersikap seperti itu tadi ketika dipatuk ular, tentu dia sudah celaka, mungkin sekarang sudah tewas oleh racun ular!
Ataukah Yo Han sudah tahu bahwa dia sedang diuji dan sengaja tidak mau menangkis atau mengelak untuk mengelabui gurunya? Ahh, tidak mungkin! Seorang ahli silat tinggi memang dapat menangkap gerakan serangan dengan cepat, akan tetapi tidak mungkin bisa menduga secepat itu. Serangannya tadi terlalu cepat untuk diterima dan dirancang pikiran. Jadi jelas bahwa muridnya ini memang tidak tahu ilmu silat sama sekali. Akan tetapi ular tadi?
"Apakah maksud gerakan Suhu tadi?" tanya Yo Han dengan sikap masih tetap tenang seolah tidak terjadi sesuatu. Kekagetannya ketika diserang tadi pun hanya merupakan reaksi saja, bukan kaget lalu disusul rasa takut. Ini saja sudah amat mengagumkan hati Sin Hong.
"Yo Han, engkau ini muridku, bukan?" tiba-tiba Sin Hong bertanya dan dia pun duduk di atas akar pohon, di sebelah Yo Han.
Anak itu menoleh dan memandang wajah suhu-nya dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. "Tentu saja, kenapa Suhu bertanya?"
"Dan sejak lima tahun yang lalu, sejak engkau kehilangan orang tuamu, engkau hidup dengan aku, bukan?"
Sepasang mata anak itu bertemu dengan pandang mata Sin Hong dan pendekar ini merasa seolah sinar mata anak itu menembus dan menjenguk isi hatinya! Dia tahu bahwa muridnya memiliki mata yang tajam dan lembut, akan tetapi baru sekarang dia merasa betapa sinar mata itu seperti menjenguk ke dalam lubuk hatinya.
"Teecu tahu dan teecu selalu ingat akan kebaikan Suhu dan Subo. Selama hidup, teecu akan ingat kebaikan itu, Suhu, dan Suhu bersama Subo, bagi teecu bukan hanya guru, akan tetapi juga pengganti orang tua teecu."
Sin Hong terheran. Anak ini luar biasa, karena memang itulah yang dipikirkannya tadi. Dia merasa penasaran karena anak itu dianggapnya seperti anak sendiri, namun masih menyimpan rahasia dirinya dan masih berpura-pura lagi!
"Nah, karena itu, Yo Han. Hubungan antara murid dan guru, atau antara anak dan orang tua, sebaiknya tidak menyimpan rahasia, bukan?"
"Memang benar, Suhu. Apakah Suhu mengira teecu menyimpan rahasia? Dugaan itu tidak benar, Suhu. Teecu tidak pernah menyimpan rahasia terhadap Suhu atau Subo."
Anak seperti Yo Han ini tidak mungkin dibohongi, pikir Sin Hong kaget. Lebih baik dia berterus terang.
"Yo Han, memang terus terang saja, aku dan subo-mu merasa heran melihat sikap dan pendirianmu. Engkau menjadi murid kami akan tetapi tidak mau berlatih silat. Lalu apa artinya kami menjadi gurumu?"
"Bukan hanya ilmu silat yang telah diajarkan Suhu dan Subo kepada teecu. Teecu telah menerima pelajaran sifat yang gagah berani, adil dan menjauhi perbuatan jahat dari Suhu dan Subo. Juga selama ini banyak yang telah teecu pelajari. Sastra, seni, dan banyak lagi. Terima kasih atas semua bimbingan itu, Suhu."
"Engkau benar-benar tidak dapat bermain silat sama sekali, Yo Han?" pertanyaan ini tiba-tiba saja karena Sin Hong memang bermaksud hendak bertanya secara terbuka.
Yo Han menggeleng kepala, sikapnya tenang saja dan wajahnya tidak membayangkan kebohongan.
"Yo Han, aku tadi sempat melihat betapa engkau dapat menghindarkan ancaman maut ketika engkau menangkap leher ular yang mematukmu dengan cepat. Ular hijau yang berbisa, mematukmu secara tiba-tiba dan engkau mampu menangkapnya. Gerakan apa itu kalau bukan gerakan silat?"
"Ahhh...? Itukah yang Suhu maksudkan? Ular itu tadi? Teecu juga tak tahu sama sekali bahwa teecu diserang ular, dan teecu juga tidak menggerakkan tangan teecu. Tangan itu yang bergerak sendiri menangkap ular, Suhu."
Sin Hong mengerutkan alisnya, hatinya bimbang. Jika orang lain yang bicara demikian, tentu akan dihardiknya dan dikatakan bohong. Akan tetapi, sulit membayangkan bahwa Yo Han membohong!
"Engkau tidak mempelajari ilmu silat lain kecuali yang kami ajarkan?"
Sin Hong menatap tajam wajah Yo Han, dan anak itu membalas tatapan mata gurunya dengan tenang. Dia tidak menjawab, melainkan menggeleng kepala. Gelengan kepala yang amat mantap dan jelas menyatakan penyangkalannya.
"Engkau tidak mempunyai seorang guru silat lain kecuali kami?"
Kembali Yo Han tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala.
"Lalu... gerakan tangan menangkap ular tadi?"
"Bukan teecu yang menggerakkan. Maksud teecu, teecu tidak sengaja dan tangan itu bergerak sendiri."
"Ahhhhh...!" Ingin dia menghardik dan mengatakan bohong, akan tetapi sikap anak itu demikian meyakinkan.
"Coba... kau ulangi gerakan tanganmu ketika menangkap leher ular itu, Yo Han. Anggap saja lengan tanganku ini ular itu tadi." Dan Sin Hong menggerakkan tangannya seperti ular mematuk. Akan tetapi Yo Han hanya menggelengkan kepalanya.
"Teecu tidak dapat, Suhu. Sama sekali teecu tidak ingat lagi, karena ketika tangan teecu bergerak, teecu sama sekali tak memperhatikan dan tahu-tahu ular itu telah tertangkap oleh tangan teecu."
"Hemmm...!" Sin Hong mengamati wajah muridnya dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Namun muridnya itu tidak berbohong!
"Pernahkah engkau mengalami hal-hal seperti itu? Ada gerakan yang tidak kau sadari dan yang membantumu?"
Di luar dugaan Sin Hong, anak itu mengangguk! Tentu saja Sin Hong menjadi tertarik sekali. "Ehhh? Apa saja? Coba kau ceritakan kepadaku, Yo Han."
"Sering kali teecu merasa terbimbing, tahu-tahu sudah bisa saja. Misalnya kalau teecu membaca kitab, menghafal dan sebagainya. Kalau teecu merasa kesukaran kemudian menghentikan semua usaha, bahkan tertidur, begitu bangun teecu sudah bisa! Padahal sebelumnya teecu mengalami kesulitan besar."
"Kau merasa seperti... seperti ada sesuatu yang membimbingmu, melindungimu?"
Ragu-ragu Yo Han mengangguk perlahan, alisnya berkerut karena dia sendiri tidak tahu dengan jelas. "Kurang lebih begitulah, Suhu. Teecu hanya bisa bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan."
Sin Hong mengerutkan alisnya, pikirannya diputar. Kalau anak ini memiliki sinkang, yaitu hawa murni yang membangkitkan tenaga sakti, dia tidak merasa heran karena tenaga sakti itu juga melindungi tubuh, walau pun perlindungan itu hanya dapat bangkit kalau dikehendaki. Tetapi tenaga mukjijat yang melindungi Yo Han ini lain lagi. Lebih dahsyat, lebih hebat karena bergerak atau bekerja justru kalau tidak ada kehendak!
Semacam nalurikah? Atau kekuasaan Tuhan yang ada pada setiap apa saja di dunia ini, terutama di dalam diri manusia, dan pada diri Yo Han kekuasaan itu bekerja dengan sepenuhnya? Dia tidak tahu, juga Yo Han tidak tahu! Bagaimana pun juga, dia tahu bahwa muridnya ini mendapatkan berkah yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa, maka diam-diam dia memandang muridnya dengan hati penuh kagum dan juga segan.
Seorang manusia, meski pun masih bocah, yang telah menerima anugerah sedemikian besarnya dari Tuhan patut dikagumi dan disegani. Pantas saja kadang-kadang anak ini mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya terlampau tinggi bagi seorang kanak-kanak. Kiranya bila sedang demikian itu, yang bekerja di dalam dirinya bukan lagi hati dan akal pikirannya yang dikemudikan nafsu badan, melainkan badan, hati dan akal pikiran yang digerakkan oleh kekuasaan Tuhan!
Ada pula pikiran lain menyelinap dalam benak Sin Hong. Apakah bimbingan gaib yang dirasakan oleh Yo Han itu datang dari roh ayah dan ibunya? Dia tak dapat menjawab. Apa pun dapat saja terjadi pada seorang anak yang telah bisa mencapai tingkat seperti itu, kebersihan batin dari kekerasan!
Sin Hong tidak mau mengganggu muridnya membentuk boneka yang sedang dibuatnya. Di sini pun dia dibuat tertegun. Pernah dia melihat ahli-ahli pembuat patung di kota raja, baik ahli-ahli memahat patung, maupun juga ahli pembuat patung dari tanah liat. Mereka adalah orang-orang yang sudah belajar kesenian itu selama bertahun-tahun, di bawah pimpinan guru-guru yang ahli. Keahlian mereka setidaknya masih terpengaruh oleh ilmu pengetahuan, oleh latihan dan belajar.
Akan tetapi, Yo Han tidak pernah mempelajari seni membuat patung. Dan lihat! Jari-jari tangan itu demikian trampil, demikian cekatan dan pembentukan patung itu seolah-olah tanpa disengaja. Akan tetapi pada patung boneka tanah liat itu dia mulai melihat bentuk muka puterinya, Sian Li! Diam-diam dia bergidik. Bocah macam apakah muridnya ini? Sungguh tidak wajar, tidak umum! Dia pun meninggalkan muridnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada kagum, ada heran, ada pula ngeri!
Setibanya di rumah, dia menceritakan apa yang didengarnya dari jawaban Yo Han, juga tentang pembuatan patung boneka, kepada isterinya yang mendengarkan dengan alis berkerut. Akan tetapi Kao Hong Li diam saja, walau pun hatinya merasa gelisah pula. Gelisah mengingat akan puterinya, karena hubungan puterinya dengan Yo Han amat dekatnya. Puterinya amat sayang kepada Yo Han, dan ibu ini khawatir kalau-kalau kelak anaknya akan meniru segala kelakuan Yo Han yang aneh-aneh dan tidak wajar.
Ketika hari ulang tahun ke empat dari Tan Sian Li tiba, ulang tahun itu dirayakan dengan sederhana. Hanya keluarga dari empat orang itu, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, murid dan puteri mereka Yo Han dan Tan Sian Li, ditambah dengan tiga orang pembantu rumah tangga yang merayakan pesta kecil yang mereka adakan.
Pada waktu Yo Han menyerahkan hadiahnya yang dibungkus rapi, Tan Sian Li bersorak gembira. Apa lagi ketika bungkusan itu dibuka dan isinya sebuah patung tanah liat yang indah, anak kecil itu tertawa-tawa gembira. Ia tidak tahu betapa ayah ibunya, juga tiga orang pembantu rumah tangga itu, menjadi bengong melihat sebuah patung tanah liat yang berupa seorang anak perempuan kecil dengan wajah persis Tan Sian Li! Demikian halus buatan patung itu sehingga nampak seperti hidup saja!
Suami isteri itu saling pandang dan kembali Kao Hong Li merasa tak enak sekali. Makin jelas buktinya bahwa Yo Han bukan orang biasa, bukan anak biasa. Mana mungkin ada anak berusia dua belas tahun yang tidak pernah mempelajari seni membuat patung dapat membuat patung sedemikian indahnya, dan mirip sekali dengan wajah Sian Li? Diam-diam dia bergidik ngeri, seperti juga suaminya. Akan tetapi tiga orang pembantu rumah tangga itu memuji-muji penuh kagum.
Selain patung kanak-kanak itu, yang membuat Sian Li gembira sekali adalah pakaian yang dipakainya, hadiah dari ibunya. Pakaian berwarna serba merah! Dasarnya merah muda, kembang-kembangnya merah tua. Indah sekali. Memberi pakaian serba merah kepada anak yang dirayakan ulang tahunnya, merupakan hal yang wajar dan lajim.
Namun, tidak demikian halnya dengan Sian Li. Semenjak ia menerima hadiah pakaian serba merah itu, sejak dipakainya pakaian merah itu, ia tidak membiarkan lagi pakaian itu dilepas! Ia tidak mau memakai pakaian lain yang tidak berwarna merah! Dan ketika dipaksa, ia menangis terus, dan tangisnya baru terhenti jika Yo Han menggendongnya, akan tetapi ia masih merengek.
"Baju merah... huuu, baju merah...!"
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li menjadi bingung. Anak mereka itu memang agak manja dan kalau sudah menangis sukar dihentikan, kecuali oleh Yo Han. Kini, biar pun tidak menangis setelah dipondong Yo Han, tetap saja merengek minta pakaian merah!
"Suhu dan Subo, kasihanilah Adik Sian Li. Beri ia pakaian merah, karena warna itulah yang menjadi warna pilihan dan kesukaannya. Dalam pakaian merah, baru akan merasa tenang, tenteram dan senang! Tadi ketika Subo memberinya pakaian serba merah, dan ketika ia memakainya, ia merasakan kesenangan yang luar biasa, maka kini ia tidak mau lagi diberi pakaian yang tidak berwarna merah."
Suami isteri itu saling pandang. Karena mereka tahu bahwa ucapan Yo Han itu bukan ucapan anak-anak begitu saja, mempunyai makna yang lebih mendalam, maka mereka lalu terpaksa membelikan pakaian-pakaian serba merah untuk Sian Li. Dan benar saja. Begitu ia memakai pakaian merah, ia nampak gembira dan bahagia sekali! Dan sejak hari itu, Sian Li tidak pernah lagi memakai pakaian yang tidak berwarna merah.
***********
Malam itu kembali hujan lebat. Hawa udara amat dinginnya. Sian Li sudah tidur nyenyak dan suasana sunyi bukan main. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, masih belum tidur. Lilin di atas meja di dalam kamar mereka masih menyala karena mereka masih bercakap-cakap. Hong Li duduk di atas pembaringan dan suaminya duduk di atas kursi dalam kamar itu.
Mereka biasanya bersikap hati-hati, apa lagi malam itu mereka membicarakan tentang murid mereka, Yo Han. Akan tetapi, karena murid mereka sudah masuk kamar, biar pun andai kata belum pulas juga tidak mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka. Hujan di luar kamar amat derasnya. Takkan ada orang lain yang dapat mendengarkan percakapan mereka dari luar kamar.
"Bagaimana pun juga, aku merasa tidak enak sekali," kata Hong Li setelah beberapa lamanya mereka berdiam diri. "Sian Li begitu dekat dengannya. Sulit untuk mencegah anak kita itu tidak mengikuti jejak Yo Han. Tidak mungkin pula kita menjauhkan anak kita dari Yo Han karena Sian Li sudah menjadi manja sekali dan paling suka kalau bermain-main dengan Yo Han. Bagaimana jadinya kalau anak kita itu kelak tidak mau belajar ilmu silat, dan mengikuti jejak Yo Han menjadi anak... aneh, anak ajaib tidak seperti manusia! Ih, aku merasa ngeri membayangkan anak kita kelak menjadi seperti Yo Han!"
"Hemm, tentu saja aku pun menginginkan anak kita menjadi seorang manusia biasa, dan terutama menjadi seorang pendekar wanita seperti engkau, ibunya. Akan tetapi bagaimana caranya untuk menjauhkannya dari Yo Han?" kata Sin Hong.
"Tidak ada cara lain kecuali memisahkan mereka!” kata Hong Li.
“Memisahkan?" Sin Hong berkata dengan suara mengandung kekagetan. "Akan tetapi, bagaimana? Yo Han adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga lagi, dan dia juga murid kita!"
“Soalnya hanya ini. Kita lebih sayang Sian Li ataukah lebih sayang Yo Han. Keduanya memang kita sayang, akan tetapi mana yang lebih berat bagi kita?"
Sin Hong menarik napas panjang. Isterinya mengajukan pertanyaan yang jawabannya hanya satu. "Tentu saja kita lebih memberatkan Sian Li. Bagaimana pun juga, ia adalah anak kita, darah daging kita. Akan tetapi aku pun tidak ingin melihat Yo Han terlantar, aku tidak mau menyia-nyiakan anak yang tidak mempunyai kesalahan apa pun itu."
"Tentu saja! Kita bukannya orang-orang jahat dan kejam yang demi kepentingan anak sendiri lalu membikin sengsara orang lain. Sama sekali tidak. Maksudku, bagaimana jika kita mencarikan tempat baru untuk Yo Han? Memberi dia kesempatan untuk mendapat guru yang baru, atau melihat bakatnya, bagaimana kalau kita menitipkan dia di kuil, di mana terdapat orang-orang pandai dan saleh? Tentu saja kita dapat membayar biaya pendidikannya setiap bulan atau setiap tahun."
Sin Hong mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa isterinya cukup bijaksana. Isterinya adalah seorang pendekar wanita tulen, cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir! Ayahnya putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan ibunya cucu Pendekar Super Sakti! Ia pun setuju dengan usul isterinya itu.
Memang, jalan terbaik ialah memisahkan Yo Han dari Sian Li, dan cara pemisahan yang sebaiknya adalah menyingkirkan Yo Han dari rumah mereka dengan memberi jaminan terhadap kehidupan Yo Han selanjutnya. Paling baik jika dititipkan di kuil agar dia dapat belajar lebih lanjut. Siapa tahu dibawah pimpinan para pendeta kuil, ketidak wajarannya itu akan berubah dan Yo Han akan menjadi seorang anak yang biasa. Kalau sudah begitu tentu tidak ada halangannya bagi Yo Han untuk kembali kepada mereka.
"Ahhh, aku teringat sekarang! Bagaimana kalau kita minta tolong kepada Thian Sun Totiang?" dia berkata.
"Maksudmu, kepala kuil di lereng Pegunungan Heng-san itu? Bukankah Thian Sun Tosu itu seorang tokoh Kun-lun-pai?" kata Hong Li mengingat-ingat.
"Benar sekali. Selain ilmu silatnya tinggi juga beliau adalah seorang pendeta yang hidup saleh. Tentu dia dapat membimbing Yo Han dalam ilmu kerohanian. Juga beliau adalah sahabatku. Tentu saja kita dapat memberi sumbangan untuk kuilnya sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan untuk keperluan Yo Han."
"Bagus, aku pun setuju sekali!" kata Hong Li. Keduanya merasa lega dengan keputusan itu dan Sin Hong meniup padam lilln di atas meja, tanda bahwa keduanya akan tidur.
Di dalam hujan yang lebat, dalam udara yang amat dingin itu. Yo Han keluar dari dalam kamarnya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia keluar dari dalam kamarnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan hanya menyerah kepada dorongan yang membuat kakinya berjalan keluar dari dalam kamar, keluar melalui pintu belakang ke dalam hujan! Tentu saja rambut dan pakaiannya basah kuyup, namun dia tidak peduli karena kakinya terus melangkah. Bahkan hawa dingin itu tidak dirasakannya sama sekali, kalau pun ada perasaan di tubuhnya, maka yang ada bahkan perasaan sejuk segar dan nikmat!
Seperti dituntun, kedua kakinya menuju ke jendela kamar suhu-nya! Jejak kakinya tentu akan terdengar oleh suhu dan subo-nya kalau saja malam itu tidak ada hujan. Suara hujan jatuh ke atas genteng dan tanah, juga ke atas daun-daun pohon, jauh lebih berisik dari pada jejak kakinya, maka walau pun andai kata suami isteri pendekar itu memiliki ketajaman pendengaran sepuluh kali lipat, belum tentu akan mampu mengetahui bahwa ada orang melangkah di luar jendela kamar mereka.
Yo Han mendengar semua percakapan mengenai dirinya itu! Ia memejamkan matanya, dan setelah lilin dalam kamar itu tertiup padam, dia pun kembali ke kamarnya dengan tubuh terasa lemas. Dia mendengar percakapan suhu dan subo-nya. Dia tidak sengaja ingin mendengarkan percakapan mereka.
Entah bagaimana kedua kakinya bergerak membawa dia ke dalam hujan dan mendekati kamar mereka sehingga dia mendengar percakapan mereka. Suhu dan subo-nya tidak menghendaki dia untuk tinggal lebih lama di rumah mereka! Mereka ingin memisahkan dia dari Sian Li! Dia akan dititipkan di sebuah kuil!
Setelah memasuki kamarnya, dia duduk di atas kursi bagaikan patung. Pakaian dan rambutnya yang basah kuyup tidak dipedulikannya. Dia merasa sedih bukan main. Dia harus meninggalkan mereka yang dia kasihi. Harus meninggalkan Sian Li!
Tanpa terasa, dua titik air mata turun ke atas pipinya, mencair dan menjadi satu dengan kebasahan air hujan. Tidak, dia tidak boleh menangis! Menangis tiada gunanya, bahkan hanya membuat hatinya menjadi semakin sedih! Pada waktu mendengar kematian ayah bundanya dulu, lima tahun yang lalu, dia pun mengeraskan hatinya, tidak membiarkan diri menangis berlarut-larut.
Pada keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut agak kusut, pagi-pagi sekali Yo Han sudah memondong Sian Li yang sudah dimandikan ibunya.
"Subo, teecu hendak mengajak adik Sian Li bermain di kebun," kata Yo Han kepada subo-nya yang sudah keluar dari dalam kamar bersama suhu-nya.
Kedua orang suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa tidak tega untuk sepagi itu menyatakan keinginan mereka menitipkan Yo Han ke kuil. Biarkan anak itu bermain-main dulu dengan Sian Li.
"Ajaklah ia bermain-main, akan tetapi nanti kalau waktu sarapan pagi, ajak ia pulang," kata Hong Li dan Sin Hong mengangguk setuju.
“Baik, Subo,” kata Yo Han.
Dia menurunkan Sian Li, menggandeng tangan anak itu dan keduanya lalu berlari-lari meninggalkan rumah, menuju ke belakang rumah. Melihat betapa gembiranya Sian Li diajak bermain-main oleh Yo Han, suami isteri itu saling pandang lagi dan keduanya menghela napas panjang. Mereka maklum betapa mereka semua, terutama sekali Sian Li, akan merasa kehilangan Yo Han kalau anak itu pergi meninggalkan rumah mereka. Akan tetapi apa boleh buat. Demi kebaikan Sian Li, mereka harus melegakan hati, Yo Han harus dipisahkan dari anak mereka!
Biasanya, pagi-pagi sekali Yo Han sudah rajin bekerja. Bekerja pagi-pagi saat matahari belum terbit menjadi kesukaannya. Bekerja apa saja, menyapu halaman, membersihkan jendela-jendela rumah dari luar. Bekerja apa saja asal berada di luar rumah karena yang dinikmatinya bukan hanya pekerjaan itu, melainkan terutama sekali adalah suasana di pagi hari.
Baginya pagi hari merupakan saat yang paling indah. Munculnya matahari seolah-olah membangkitkan semangat, gairah dan tenaga kepada segala makluk di permukaan bumi. Akan tetapi, pagi hari itu dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main. Dia sudah mengambil keputusan untuk pergi, seperti yang dikehendaki suhu dan subo-nya. Dia mengerti betapa beratnya bagi mereka untuk menyuruh dia pergi. Maka dia harus membantu mereka. Dialah yang akan berpamit sehingga tak memberatkan hati mereka.
Pula, dia tidak mau kalau dititipkan di kuil mana pun juga. Kalau dia harus berpisah dari suhu dan subo-nya, juga dari Sian Li yang dikasihinya, lebih baik dia berkelana dengan bebas dari pada harus berdiam di dalam kuil seperti seekor burung dalam sangkar. Dan sebelum pergi, dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main, ingin menyenangkan hati adiknya itu untuk yang terakhir kalinya.
Dia mengajak Sian Li ke tepi sungai, tempat yang paling disenanginya karena tempat itu memang indah sekali. Sunyi dan tenang. Mendengarkan burung berkicau dan air sungai berdendang dengan riak kecil, sungguh amat merdu dan menyejukkan hati. Duduk di atas rumput di tepi sungai, menatap langit yang sangat indah, langit di timur yang mulai kemerahan, serta mutiara-mutiara embun di setiap ujung daun. Tak dapat digambarkan indahnya.
Dia duduk dan memangku Sian Li yang memandang ke arah air di sungai dengan wajah berseri. Dia menunduk, mencium kepala anak itu. Betapa dia amat menyayang adiknya. Dicium kepalanya, Sian Li memandang dan merangkulkan kedua lengannya yang kecil di leher Yo Han. Semenjak kecil ia diajar menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Yo Han. Melihat kakaknya itu memandang kepadanya dengan sepasang mata penuh kasih sayang, anak itu tersenyum.
“Aku sayang suheng...,” katanya lucu.
Yo Han mencium pipinya. “Aku pun sayang kepadamu, adikku...”
Hatinya terharu sekali karena dia dapat merasakan kasih sayang di antara mereka yang menggetarkan hatinya. Dia harus berpisah dari anak ini! Bahkan karena adiknya inilah dia harus meninggalkan rumah suhu-nya! Suhu dan subo-nya tidak ingin kelak Sian Li mencontoh sikap dan wataknya! Begitu burukkah sikap dan wataknya?
Dia mengerti bahwa guru dan subo-nya amat kecewa karena dia tidak suka berlatih silat. Dan membayangkan betapa adik yang bersih ini kelak menjadi seorang gadis yang perkasa, seperti ibunya dulu, hidupnya penuh bahaya dan acaman musuh, hidup selalu waspada, membunuh atau dibunuh, ingin dia menangis.
Adiknya ini akan menjadi pembunuh! Akan memenggal leher orang dengan pedangnya, atau menusukkan pedang menembus dada dan jantung orang. Atau sebaliknya, disiksa dan dibunuh orang!
“Ihhh, Suheng... menangis?” anak itu memandang ketika dua titik air mata turun ke atas pipi kakaknya, dan tangannya menyentuh air mata di pipi itu sehingga runtuh. Sentuhan lembut yang menggetarkan hati Yo Han.
“Sian Li...” Dia merangkul, menyembunyikan mukanya di atas kepala anak itu.
“Suheng, Ayah dan Ibu melarang kita menangis...,” kata anak itu lagi. “Apakah Suheng menangis?” Suaranya masih belum jelas dan terdengar lucu, tapi justru mengharukan sekali.
Yo Han mengeraskan hatinya dan diam-diam dia mengusap air matanya, kemudian dia membiarkan adiknya dapat memandang mukanya yang tadi disembunyikan di rambut kepala Sian Li. Dia menggeleng.
“Aku tidak menangis, sayang.”
Anak itu tertawa dan alangkah manis dan lucunya kalau ia tertawa.
“Hore… Suheng tidak menangis. Suheng gagah perkasa!”
Yo Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Anak sekecil ini sudah menghargai kegagah perkasaan! Anak sekecil ini telah menjadi calon pendekar wanita, seorang calon hamba kekerasan! Sudah terbayang olehnya kelak Sian Li menjadi seorang gadis yang selalu membawa pedang di belakang punggungnya.
Ia cepat dapat menguasai kesedihan dan keharuannya, dan teringat bahwa ia mengajak adiknya pagi ini ke tepi sungai untuk bermain-main dan menyenangkan hati adiknya.
“Sian Li, sekarang katakan, engkau ingin apa? Katakan apa yang kau inginkan dan aku pasti akan mengambilnya untukmu. Katakan, adikku sayang.” Yo Han membelai rambut kepala adiknya.
Sian Li berloncatan girang dan bertepuk tangan.
“Betul, Suheng? Engkau mau mengambilkan yang kuingini? Aku ingin itu, Suheng...” Ia menunjuk ke arah pohon yang tumbuh dekat situ.
“Itu apa?” Yo Han memandang ke arah pohon itu. Pohon itu tidak berbunga. Apa yang diminta oleh Sian Li? Daun?
“Itu yang merah ekornya...”
“Hee? Merah ekornya? Apa...?”
“Burung itu, Suheng. Cepat, nanti dia terbang lagi. Aku ingin memiliki burung itu...”
Yo Han menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa menangkap burung yang berada di pohon? Sebelum ditangkap, burung itu akan terbang.
“Aku tidak bisa, Sian Li. Burung itu punya sayap, pandai terbang, sedangkan aku... lihat, aku tak bersayap!” Yo Han melucu sambil berdiri dan mengembangkan dua lengannya, seperti hendak terbang.
“Uhhh! Kalau Ayah atau Ibu, mudah saja menangkap burung di pohon. Suheng kan muridnya, masa tidak bisa?”
Yo Han merangkul adiknya. “Sian Li, terang saja aku tidak bisa, dan juga, untuk apa burung ditangkap? Biarkan dia terbang bebas. Kasihan kalau ditangkap lalu dimasukkan sangkar. Itu menyiksa namanya, kejam. Kita tidak boleh menyiksa mahluk lain, adikku sayang...”
“Uuuuh... Suheng...! Kalau begitu, ambilkan saja itu yang mudah. Itu tuh, yang kuning dan biru...”
Yo Han mengerutkan alisnya melihat adiknya menunjuk ke arah serumpun bunga yang berwarna merah. Yang diminta, yang berwarna kuning dan biru. Itu bukan warna bunga, tetapi warna beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan di sekeliling rumpun bunga itu. Adiknya minta dia menangkapkan seekor kupu kuning dan seekor kupu biru!
Memang mudah, akan tetapi dia pun tidak suka melakukan itu. Dia tidak suka menyiksa manusia mau pun binatang, apa lagi kupu-kupu, binatang yang demikian indah dan tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Akan tetapi, untuk menolak lagi permintaan Sian Li, dia pun tidak tega. Maka dia pun pura-pura mengejar kupu-kupu yang beterbangan dengan panik, pura-pura mencoba untuk menangkap dengan kedua tangannya namun tidak berhasil, dan sebagai gantinya, dia memetik beberapa tangkai bunga merah dan memberikan itu kepada adiknya.
“Wah, kupu-kupunya terbang. Ini saja gantinya, Sian Li. Kembang ini indah sekali. Kalau dipasang di rambutmu, engkau akan bertambah manis.”
“Tidak mau...! Aku tidak mau kembang. Aku ingin burung dan kupu-kupu. Aihh... Suheng nakal. Aku mau kupu-kupu dan burung...” Sian Li lalu membanting-banting kaki dengan manja dan mulai menangis.
Yo Han menjatuhkan diri berlutut dan merangkul adiknya. “Dengarlah baik-baik, adikku sayang. Apakah engkau mau dikurung dalam kurungan, dan apakah engkau mau kalau kaki tanganmu dibuntungi?”
Mendengar ini, Sian Li terheran. Dengan pipi basah air mata ia memandang kakaknya, tidak mengerti.
“Kau tentu tidak mau bukan?”
Sian Li menggelengkan kepala, masih terheran-heran kenapa kakaknya yang biasanya sangat sayang kepadanya dan memanjakannya, kini hendak mengurung dan bahkan membuntungi kaki tangannya!
“Bagus kalau engkau tidak mau! Nah, sama saja, adikku sayang. Engkau tidak mau ditangkap dan dikurung, burung itu pun akan susah sekali kalau kau tangkap dan kau masukkan sangkar, dikurung dan tidak boleh terbang bermain-main dengan teman-temannya. Engkau tidak mau dibuntungi kaki tanganmu, juga kupu-kupu itu tidak suka dan merasa kesakitan dan susah kalau sayapnya dipatahkan, kakinya dibuntungi. Kita tidak boleh menyiksa binatang yang tidak bersalah apa-apa, adikku sayang. Kubikinkan boneka tanah liat saja, ya?”
Akan tetapi Sian Li yang manja masih membanting-banting kaki dan mulutnya cemberut, walau pun tidak menangis lagi. “Suheng, katanya engkau mau... mau memenuhi semua permintaanku, ternyata semua permintaanku kau tolak...”
Pada saat itulah nampak berkelebat bayangan merah, dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita yang pakaiannya serba merah! Pakaian berwarna merah ini segera menarik perhatian Yo Han karena adiknya pun sejak hari ulang tahun ke empat itu setiap hari juga memakai pakaian merah! Jadi di situ sekarang berada seorang anak perempuan empat tahun yang pakaiannya serba merah, beserta seorang wanita cantik yang juga pakaiannya berwarna merah. Yo Han memandang penuh perhatian.
Ia seorang wanita yang berwajah cantik. Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggang yang kecil dan pinggul besar seperti tubuh seekor kumbang. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun kalau melihat wajah dan bentuk badannya, pada hal sesungguhnya dia sudah berusia empat puluh tahun!
Wajahnya bundar dan putih dilapisi bedak, pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Rambutnya digelung ke atas model gelung para puteri bangsawan. Pakaiannya yang serba merah itu terbuat dari sutera yang mahal dan halus dan selain pesolek, wanita itu pun rapi dan bersih, bahkan sepatunya yang terbuat dari kulit merah itu pun mengkilap. Di punggungnya nampak sebatang pedang dengan sarung berukir indah dengan ronce-ronce biru yang menyolok karena warna pakaiannya yang merah.
“Heii, anak baju merah, engkau manis sekali!” Wanita itu berseru dan suaranya merdu. “Engkau minta burung dan kupu-kupu? Mudah sekali, aku akan menangkapkan burung dan kupu-kupu untukmu. Lihat!”
Wanita itu melihat ke atas. Ada beberapa ekor burung terbang meninggalkan pohon besar dan ada yang lewat di atas kepalanya. Wanita itu menggerakkan tangan kiri ke arah burung yang terbang lewat, seperti menggapai dan... burung itu mengeluarkan teriakan lalu jatuh seperti sebuah batu ke bawah, disambut oleh tangan kiri wanita itu.
“Nah, ini burung yang kau inginkan, bukan?” Ia memberikan burung berekor merah yang kecil itu kepada Sian Li yang menerimanya dengan gembira sekali.
Yo Han mengerutkan alisnya ketika mendekat dan ikut melihat burung kecil yang berada di tangan adiknya. Kini burung itu tidak dapat terbang lagi, dan ketika mencoba untuk menggerak-gerakkan kedua sayap kecilnya, kedua sayap itu seperti lumpuh dan ada sedikit darah. Tahulah dia bahwa sayap burung itu terluka entah oleh apa.
Kini dia menoleh dan melihat wanita itu menggerakkan kedua tangannya ke arah dua ekor kupu-kupu yang beterbangan. Ada angin menyambar dari kedua telapak tangan itu dan dua ekor kupu-kupu itu bagai disedot dan ditangkap oleh dua tangan itu, kemudian diberikan pula kepada Sian Li.
“Nah, ini dua ekor kupu-kupu yang kau inginkan, bukan?”
Sian Li girang sekali. “Kupu-kupu indah! Burung cantik...!” Ia sudah sibuk dengan seekor burung dan dua ekor kupu-kupu yang dipegangnya.
“Adik Sian Li, mari kita pergi dari sini!” kata Yo Han tak senang.
Dia hendak menggandeng lengan adiknya. Akan tetapi, mendadak tubuh Sian Li seperti terbang ke atas dan tahu-tahu sudah berada di dalam pondongan wanita itu. Sian Li terpekik gembira ketika tubuhnya melayang ke atas.
“Suheng, aku dapat terbang...!” teriaknya gembira.
Wanita berpakaian merah itu tersenyum dan wajahnya nampak semakin muda ketika ia tersenyum. “Ya, engkau ikut saja dengan aku, anak manis, dan aku akan mengajarmu terbang, juga menangkap banyak burung dan kupu-kupu. Engkau suka, bukan?”
“Aku suka! Aku senang...!”
“Sian Li, turun dan mari kita pulang,” Yo Han berkata lagi.
“Tidak, aku ingin ikut bibi ini, menangkap burung dan kupu-kupu, juga belajar terbang!”
“Sian Li...”
Wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Anak yang baik, jadi namamu Sian Li (Dewi)? Nah, mari kita terbang seperti bidadari-bidadari baju merah, hi-hi-hik!”
Yang nampak oleh Yo Han hanyalah bayangan merah berkelebat, dan yang tertinggal hanya suara ketawa merdu wanita itu yang bergema dan kemudian lenyap pula. Wanita berpakaian merah itu bersama Sian Li telah lenyap dari depannya, seolah-olah mereka benar-benar telah terbang melayang, atau menghilang dengan amat cepatnya.
“Sian Li...! Bibi baju merah, kembalikan Sian Li kepadaku!”
Yo Han berlari ke sana-sini, berteriak-teriak, akan tetapi adiknya tetap tak kembali, juga wanita yang melarikannya itu tak kembali. Terpaksa Yo Han lalu cepat berlari kencang, sekuat tenaga, pulang ke rumah gurunya.
Sin Hong dan Hong Li terkejut melihat murid mereka itu berlari-lari pulang tanpa Sian Li dan dari wajahnya, nampak betapa murid mereka itu dalam keadaan amat tegang dan napasnya terengah-engah karena dia telah berlari-lari secepatnya.
“Yo Han, ada apakah?” Sin Hong menagur muridnya.
“Yo Han, di mana Sian Li?” Hong Li bertanya dengan mata dibuka lebar, mata seorang ibu yang gelisah mengkhawatirkan anaknya.
“Suhu, Subo... adik Sian Li... ia dilarikan seorang wanita berpakaian merah...,” kata Yo Han dengan napas masih terengah-engah.
Suami isteri itu sekali bergerak sudah meloncat dan memegang lengan Yo Han dari kanan kiri.
“Apa? Apa yang terjadi? Ceritakan, cepat!” bentak Sin Hong.
“Teecu sedang bermain-main dengan adik Sian Li di tepi sungai ketika tiba-tiba muncul seorang wanita berpakaian merah. Ia menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li, kemudian ia memondong adik Sian Li dan menghilang begitu saja.”
“Seperti apa wajah wanita itu? Berapa usianya?” tanya Hong Li, wajahnya berubah dan matanya menyinarkan kemarahan.
“Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Subo. Semua pakaiannya berwarna merah, sampai sepatunya. Wajahnya cantik pesolek, di punggungnya nampak pedang dengan ronce biru...”
“Ke mana larinya?” tanya Sin Hong.
“Teecu tidak tahu, Suhu. Setelah memondong adik Sian Li, dia lalu menghilang begitu saja, teecu tidak tahu ke arah mana dia lari...”
“Inilah jadinya kalau punya murid tolol!” Tiba-tiba Hong Li berteriak marah. “Lima tahun menjadi murid, sedikit pun tidak ada gunanya. Kalau engkau berlatih silat dengan baik, sedikitnya engkau tentu akan dapat melindungi Sian Li dan anakku tidak diculik orang. Anak bodoh, sombong...!”
”Suhu dan Subo, teecu pasti bertanggung jawab! Teecu akan mencari adik Sian Li dan membawanya pulang. Teecu tidak akan kembali sebelum berhasil menemukan dan membawa pulang adik Sian Li!” Yo Han berseru, menahan air matanya dan mengepal kedua tangannya.
Akan tetapi Sin Hong sudah berseru kepada isterinya, “Tidak perlu ribut, mari kita cepat pergi mengejar penculik itu!” Seruan ini disusul berkelebatnya dua orang suami isteri pendekar itu dan dalam sekejap mata saja mereka lenyap dari depan Yo Han.
Yo Han tertegun sejenak, kemudian sambil menahan isaknya, dia pun lari keluar dari rumah. Dia tidak tahu harus mengejar ke mana, akan tetapi dia tidak peduli dan dia membiarkan kedua kakinya yang berlari cepat itu membawa dirinya pergi keluar kota Ta-tung, entah ke mana!
Sin Hong dan Hong Li berlari cepat menuju ke tepi sungai, kemudian mereka mencari-cari, menyusuri sungai. Namun, usaha mereka tak berhasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak! Tentu saja mereka merasa gelisah sekali.
“Bocah sial itu harus diajak ke sini agar dia menunjukkan ke mana larinya penculik itu dan di mana peristiwa itu terjadi. Kau mencari dulu di sini, aku mau mengajak Yo Han ke sini!” kata Hong Li dan ia pun sudah meninggalkan suaminya, pulang ke rumah untuk mengajak Yo Han ke tepi sungai.
Akan tetapi setelah tiba di rumah, ia tidak lagi melihat Yo Han! Dicari dan dipanggilnya murid itu, namun Yo Han tidak ada dan nyonya muda ini pun teringat akan teriakan Yo Han yang akan bertanggung jawab dan akan mencari Sian Li sampai dapat! Terpaksa Hong Li kembali lagi ke tepi sungai.
“Dia... dia tidak ada di rumah...!” katanya.
Sin Hong mengangguk-angguk. “Sudah kuduga. Tentu dia sudah pergi untuk memenuhi janjinya tadi. Dan dia pasti tidak akan pernah datang kembali sebelum menemukan dan mengajak Sian Li pulang.”
“Uhh, dia mau bisa apa?” Hong Li berseru, marah dan gelisah. “Bagaimana dia akan mampu mengejar penculik yang berilmu tinggi, apa lagi merampas kembali anak kita?” Wanita itu mengeluh dan hampir menangis. “Sian Li... ahhh, di mana kau...?”
“Mari kita cari lagi!” kata Sin Hong, tidak mau membiarkan isterinya dilanda kegelisahan dan kedukaan.
Mereka lalu mencari-cari di sekitar daerah itu, mencari jejak, namun sia-sia belaka. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak dan semua orang yang mereka jumpai dan mereka tanyai, tidak ada seorang pun yang melihat anak mereka atau wanita berpakaian serba merah seperti yang diceritakan Yo Han tadi.
Setelah hari larut malam mereka terpaksa pulang. Sampai di rumah Hong Li menangis, dan suaminya hanya dapat menghiburnya.
“Tenangkan hatimu. Kurasa penculik itu tidak berniat mengganggu anak kita. Kalau wanita penculik itu musuh kita dan ingin membalas dendam, tentu ia sudah membunuh anak kita di waktu itu juga. Akan tetapi, ia membawanya pergi dan menurut keterangan Yo Han, ia bahkan bersikap baik, menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li.”
Dihibur demikian, Hong Li menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya. “Kau kira siapakah wanita berpakaian merah itu?”
Sin Hong menggeleng kepalanya. “Sudah kupikirkan dan kuingat-ingat, tetapi rasanya belum pernah aku mempunyai musuh seorang wanita berpakaian serba merah. Apa lagi usianya baru sekitar tiga puluh tahun. Engkau tahu sendiri, tokoh wanita sesat di dunia kang-ouw yang pernah menjadi musuhku, bahkan yang tewas di tanganku, hanyalah Sin-kiam Mo-li. Tentu ia seorang tokoh baru dalam dunia kang-ouw, bahkan kita tidak tahu apakah dia termasuk tokoh sesat ataukah seorang pendekar yang merasa suka kepada anak kita.”
“Tak mungkin seorang pendekar wanita menculik anak orang!” Hong Li berkata. “Hemm, terkutuk orang itu. Kalau sampai kutemukan dia, akan kuhancurkan kepalanya! Ehhh, jangan-jangan bekas isterimu yang melakukan itu...“
Sin Hong memandang isterinya. Dia tahu bahwa pertanyaan itu bukan terdorong oleh cemburu, tetapi oleh kegelisahan yang membuat jalan pikiran isterinya menjadi kacau. Dia menikah dengan Hong Li sebagai seorang duda, akan tetapi juga Hong Li seorang janda. Mereka telah mengetahui keadaan masing-masing, dan mereka pun sudah saling menceritakan riwayat mereka dan nasib buruk mereka dalam pernikahan pertama itu.
“Tidak mungkin Bhe Siang Cun yang melakukannya,” kata Sin Hong sambil menggeleng kepala. “Usianya sekarang baru kurang lebih dua puluh empat tahun, dan juga ia tidak berpakaian merah. Pula, ia tidak akan berani melakukan hal itu. Ia bukan penjahat dan tidak ada alasan baginya untuk mengganggu kita. Tidak, dugaan itu menyimpang jauh. Coba kau ingat baik-baik, mungkin pernah engkau dahulu bermusuhan dengan seorang tokoh sesat yang berpakaian merah?”
Hong Li mengingat-ingat. Bekas suaminya jelas tak dapat dicurigai. Bekas suaminya itu, Thio Hui Kong, adalah putera seorang jaksa yang adil dan jujur. Juga tiada alasan bagi Thio Hui Kong untuk mengganggunya. Mereka telah bercerai.
Tokoh jahat berpakaian merah? Rasanya ia belum pernah menemui wanita berpakaian merah dalam semua pengalamannya ketika masih sebagai seorang pendekar wanita. Pakaian merah?
Tiba-tiba ia meloncat berdiri. “Ahh...!” Ia teringat.
“Engkau ingat sesuatu?” Suaminya bertanya.
“Memang ada tokoh sesat berpakaian merah, akan tetapi bukan wanita. Kau ingat Ang-I Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah)? Tokoh yang terakhir, Ang-I Siauw-mo (Iblis Kecil Baju Merah) tewas di tanganku!”
Sin Hong mengerutkan alisnya. “Hemmm... Ang-I Mo-pang? Bukankah dulu sarangnya berada di luar kota Kunming, di Propinsi Hu-nan? Tapi, Ang-I Mo-pang sudah hancur dan rasanya tidak ada tokohnya yang wanita dan yang lihai...”
“Betapa pun juga, itu sudah merupakan suatu petunjuk. Dari pada kita meraba-raba di dalam gelap. Aku akan pergi ke Kunming, menyelidiki mereka. Siapa tahu penculik itu datang dari sana. Ang-I Mo-pang memang beralasan cukup kuat untuk memusuhiku dan mendendam kepadaku. Aku akan berangkat besok pagi-pagi!”
“Nanti dulu, Li-moi. Jangan tergesa-gesa. Kemungkinannya kecil saja, walau pun aku juga setuju kalau kita menyelidik ke sana. Akan tetapi kita tunggu dulu beberapa hari. Kita menanti kembalinya Yo Han. Siapa tahu dia berhasil...“
“Bocah sombong itu? Mana mungkin? Kalau kita berdua tidak berhasil, bagaimana anak tolol itu akan berhasil? Dialah biang keladinya sehingga anak kita diculik orang!”
“Li-moi, tenanglah dan di mana kebijaksanaanmu? Bagaimana pun juga, kita tidak dapat menyalahkan Yo Han. Andai kata dia telah menguasai ilmu silat, kepandaiannya itu pun belum matang. Apa artinya seorang anak berusia dua belas tahun menghadapi seorang penculik yang lihai? Andai kata Yo Han pernah latihan ilmu silat, tetap saja dia tidak akan mampu melindungi Sian Li.”
“Akan tetapi, apa perlunya kita menunggu beberapa hari? Dia tidak akan berhasil, dan penculik itu akan semakin jauh...”
“Kita lihat saja, Li-moi. Lupakah engkau betapa banyak hal-hal aneh dilakukan Yo Han? Kita tunggu sampai tiga hari. Kalau dia belum pulang maka kita akan segera berangkat ke Kunming, menyelidiki ke sana. Bahkan kalau di sana pun kita gagal, kita terus akan melakukan pelacakan. Akan kutanyakan pada semua tokoh kang-ouw tentang seorang wanita yang berpakaian merah seperti yang digambarkan Yo Han tadi.”
Akhirnya, dengan air mata berlinang di kedua matanya, Hong Li menyetujui keinginan suaminya. Akan tetapi, jelas bahwa semalaman itu mereka tidak mampu tidur pulas.
**********
“Tidak mau! Aku ingin pulang... aku ingin Ayah dan Ibu, aku ingin pulang...!” Anak itu merengek-rengek dan suara rengekannya keluar dari dalam kuil tua di lereng bukit yang sunyi itu.
Wanita berpakaian merah itu mengelus kepala Sian Li. “Sian Li, engkau bidadari kecil berpakaian merah yang manis, tidak patut kalau engkau menangis...”
“Aku tidak menangis!” Anak itu membantah. Dan memang tidak ada air mata keluar dari matanya. Ia hanya merengek, membanting kaki dan cemberut. “Aku ingin pulang, aku ingin tidur di kamarku sendiri, tidak di tempat jelek ini. Baunya tidak enak!”
“Bukankah engkau senang ikut denganku, Sian Li? Tadi engkau gembira sekali! Kenapa sekarang minta pulang?” Wanita itu mencoba untuk membujuk.
“Aku ingin ikut sebentar saja, bukan sampai malam. Aku ingin dekat Ayah dan Ibu. Mari antarkan aku pulang, Bibi.”
“Hemm, baiklah. Nanti kuantar, sini duduk di pangkuan Bibi, sayang. Engkau anak baik, engkau anak manis, engkau bidadari kecil merah...“
Ketika wanita itu meraih Sian Li dan dipangkunya, jari tangannya menekan tengkuk dan anak itu pun terkulai, seketika pingsan atau tertidur. Wanita itu lalu merebahkan Sian Li di atas lantai yang bertilamkan daun-daun kering dan memandang wajah anak itu yang tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya. Dia pun tersenyum.
“Anak manis... ahh, pantas sekali menjadi anakku atau muridku... aku berbahagia sekali mendapatkanmu, sayang...”
Siapakah wanita berpakaian merah ini? Di daerah Propinsi Hu-nan, namanya sudah dikenal oleh seluruh dunia kang-ouw, terutama golongan sesatnya. Selama beberapa tahun ini, ia merupakan seorang tokoh kang-ouw yang baru muncul, namun namanya segera tersohor karena kelihaiannya.
Orang-orang di dunia persilatan mengenal nama julukannya saja, yaitu Ang-I Moli (Iblis Wanita Baju Merah). Namanya yang tak pernah dikenal orang adalah Tee Kui Cu dan ia tidaklah semuda nampaknya. Usianya sudah empat puluh tahun!
Ia memang cantik manis, ditambah pesolek dengan riasan muka yang tebal, maka ia nampak berusia tiga puluh tahun. Wajahnya selalu putih karena bedak, bibir dan pipinya merah karena yan-ci, dan alis mata, juga bulu mata, hitam karena penghitam rambut.
Dugaan Kao Hong Li tentang Ang-I Mo-pang yang hanya merupakan dugaan raba-raba itu memang tepat. Ada hubungan dekat sekali antara Ang-I Moli Tee Kui Cu dengan Ang-I Mo-pang, perkumpulan yang pernah dibasmi oleh Kao Hong Li dan para pendekar itu. Wanita berpakaian serba merah ini adalah adik dari mendiang Tee Kok, yang dulu pernah menjadi ketua Ang-I Mo-pang.
Ketika Ang-I Mo-pang terbasmi oleh para pendekar, Tee Kui Cu dapat lolos dan ia pun mencari guru-guru yang pandai. Ia berhasil menyusup dan menjadi tokoh Pek-lian-kauw di mana ia mempelajari banyak macam ilmu silat, ilmu tentang racun dan obat, juga mempelajari ilmu sihir yang dikuasai oleh para tokoh Pek-lian-kauw. Setelah merasa dirinya memperoleh ilmu yang cukup tinggi, ia meninggalkan Pek-lian-kauw dan ia pun kembali ke Kunming, mengumpulkan para bekas anggota Ang-I Mo-pang yang masih hidup, Ia lalu membangun tempat perkumpulan itu, dia mengangkat diri sendiri menjadi ketua!
Demikianlah riwayat singkat Ang-I Moli Tee Kui Cu. Ia terkenal sebagai seorang ketua yang pandai menyenangkan hati para anak buahnya, memimpin kurang lebih lima puluh orang anggota Ang-I Mo-pang, dan hidup sebagai seorang ketua yang kaya.
Dia pun gemar sekali merantau, meninggalkan perkumpulan dalam pengurusan para pembantunya, dan ia sendiri berkelana sampai jauh, bukan hanya mencari pengalaman, melainkan juga untuk bertualang, mencari harta, mencari pria karena dia merupakan seorang wanita yang selalu haus oleh nafsu-nafsunya.
Dan pada pagi hari itu, tanpa disengaja dia melihat Sian Li. Melihat anak perempuan berusia empat tahun yang mungil dan manis itu, dan terutama sekali melihat anak itu mengenakan pakaian serba merah, yaitu warna kesukaannya dan bahkan warna yang menjadi lambang dari perkumpulannya, hatinya tertarik dan suka sekali. Ia lalu menculik Sian Li dengan niat mengambil anak perempuan itu sebagai anaknya, sekaligus juga muridnya.
Dengan sikap menyayang ia mengeluarkan selimut dan menyelimuti tubuh Sian Li yang sudah pulas atau pingsan oleh tekanan jarinya, pada jalan darah di tengkuk anak itu. Kemudian ia menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dibuatnya di dalam kuil tua kosong itu, api unggun yang perlu sekali untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Mendadak, pendengarannya yang tajam terlatih menangkap sesuatu. Ia pun melompat bangun. Sebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tabah sekali dan tidak tergesa mengeluarkan pedangnya sebelum diketahui benar siapa yang datang memasuki kuil pada waktu itu.
Sesosok bayangan muncul, memasuki ruang kuil di mana Ang-I Moli berada. Bayangan itu tidak berindap-indap, melainkan langsung saja melangkah dengan langkah kaki berat menghampiri ruangan. Ketika bayangan itu muncul, ternyata dia adalah Yo Han yang memasuki ruangan dengan langkah gontai agak terhuyung karena kelelahan!
“Ahh, kiranya engkau...!” Ang-I Moli berkata dengan hati lega. Akan tetapi ia juga memandang heran. Bagaimana anak laki-laki ini bisa menyusulnya? Bagaimana dapat membayanginya dan tahu bahwa ia berada di kuil tua itu?