CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SI BANGAU PUTIH BAGIAN 05
"Di manakah rumah itu? Ujung timur kota? Jauhkah dari jembatan merah?"
"Tepat di sebelah timur jembatan itu," kata Kwee-piauwsu, “Hanya terhalang dua buah rumah. Rumah pelesir itu bercat merah, besar dan di depannya tumbuh sekelompok mawar.”
“Kalau begitu, aku akan pergi ke sana sekarang juga!” kata Sin Hong sambil bangkit berdiri dan menjura kepada Kwee-piauwsu, puterinya dan beberapa orang piauwsu yang tadi mencari jejak Lay-wangwe. “Terima kasih atas segala kebaikan Paman, juga engkau adik Ci Hwa, dan para saudara piauwsu yang telah membantuku.”
“Nanti dulu, Sin Hong,” kata Kwee piauwsu, “Engkau... apa yang hendak kau lakukan terhadap orang gendut botak itu?”
“Akan kutangkap dia dan kupaksa mengaku tentang peristiwa yang terjadi.”
“Sin Hong, engkau tidak boleh memandang rendah pada mereka yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap ayahmu dan Tang-piauwsu itu. Mereka itu lihai dan berbahaya, dan siapa tahu kalau-kalau dugaanmu benar dan di belakang Lay-wangwe itu terdapat gerombolan jahat itu. Engkau harus berhati-hati...“
“Biarlah aku yang menemaninya, Ayah! Tan-toako, mari kutunjukkan engkau tempatnya dan aku akan membantumu kalau muncul orang-orang jahat itu!” kata Ci Hwa dengan gagah.
Tentu saja Sin Hong merasa semakin tidak enak. Melihat keraguannya, Kwee-piauwsu berkata, dengan suara yang tegas.
“Ci Hwa benar, Sin Hong. Engkau boleh mengandalkan ia yang sudah memiliki ilmu silat cukup tinggi untuk membela diri dan juga membantumu. Nah, kalian pergilah, akan tetapi berhati-hatilah dan jangan bertindak sembrono.”
Sin Hong tidak dapat menolak lagi dan terpaksa dia bersama Ci Hwa lalu keluar dari rumah keluarga Kwee. Mereka berjalan berdampingan. Malam menjelang pagi itu dingin dan sunyi bukan main, juga agak gelap karena kini bulan sudah lenyap, tinggal tersisa bintang-bintang yang suram cahayanya.
“Siauw-moi (adik kecil), sungguh aku hanya membikin repot engkau saja,” Sin Hong berkata, karena dia merasa tidak enak oleh sikap gadis itu yang diam saja.
“Ah, tidak, Toako. Bagaimana pun juga, aku merasa berkewajiban untuk ikut membantu menangkap penjahat itu, yang telah membunuh ayahmu dan Tang-piauwsu, karena aku harus membersihkan nama ayah yang tadinya ternoda oleh dugaan bahwa ayah yang melakukan kejahatan itu.”
Sin Hong tidak bicara lagi, diam-diam dia kagum kepada gadis ini. Seorang gadis yang tidak banyak bicara, akan tetapi memiliki semangat besar, keberanian dan kegagahan.
“Nah, itulah rumahnya,” kata Ci Hwa menunjuk ke sebuah rumah yang cukup besar dan bercat merah, di halaman depan tumbuh bunga-bunga mawar. Semua daun pintu dan jendela rumah itu masih tertutup dan suasananya sunyi sekali.
“Aku akan segera mengetuk pintu dan minta bicara dengan Lay-wangwe,” berkata Sin Hong sambil melangkah lebar untuk menghampiri pintu depan.
“Nanti dulu, Toako. Kalau engkau datang begitu saja ingin menemuinya, tentu dia curiga dan kalau dia melarikan diri, engkau akan kehilangan dia dan akan sukar kalau harus mencari orang yang sembunyi-sembunyi. Sebaiknya kalau aku berjaga-jaga di bagian belakang agar dia tidak dapat melarikan diri. Kalau dia lari dari pintu belakang, aku akan menahannya.”
Sin Hong merasa semakin kagum. Dibandingkan gadis ini, dia kalah jauh dalam hal pengalaman dan kecerdikan. “Baiklah, Hwa-moi, engkau benar sekali.”
Gadis itu lalu berkelebat dan dengan cepat berlari memutari rumah itu untuk mengintai dan berjaga di belakang rumah. Setelah menunggu beberapa lamanya untuk memberi kesempatan kepada Ci Hwa tiba di belakang rumah dan mencari tempat pengintaian yang tepat, Sin Hong kemudian menghampiri pintu depan. Dia tidak ingin menimbulkan keributan dengan masuk sebagai seorang pencuri. Dia mengetuk pintu depan beberapa kali.
Tak lama kemudian daun pintu terbuka dan seorang kakek berusia enam puluh tahun muncul sambil menggosok-gosok mata dengan punggung tangan. Dia nampak masih mengantuk, juga ketika pintu terbuka, dia agak menggigil kedinginan oleh angin pagi yang menerpa masuk.
“Ah, Kongcu, sungguh merupakan waktu yang aneh untuk mengunjungi rumah pelesir!” Dia terkekeh. “Kongcu datang terlalu pagi atau justru terlalu malam. Anak-anak manis itu masih tidur pulas semua, nanti kurang lebih jam sepuluh mereka baru akan bangun. Apakah Kongcu menghendaki seorang di antara mereka? Dengan tambahan istimewa, kiranya ia mau dibangunkan pagi-pagi begini.”
Wajah Sin Hong berubah merah. Sialan, pikirnya, dia disangka ingin melacur!
Dia menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak, Lopek. Aku bukan datang untuk pelesir, melainkan mencari seorang tamu, yaitu Lay-wangwe.”
Mendadak pandang mata orang itu berubah, penuh kecurigaan dan alisnya berkerut. “Tidak ada yang bernama Lay-wangwe di sini,” katanya ketus.
Sin Hong tidak mau mempergunakan kekerasan yang akan meributkan suasana dan membikin takut Lay-wangwe.
“Lopek, aku tahu bahwa Lay-wangwe bermalam di sini. Ketahuilah, aku adalah seorang sahabat baiknya yang perlu sekali bicara dengan dia sekarang juga. Amat penting!” Sin Hong mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkannya kepada pelayan itu.
Melihat berkilaunya perak, pandang mata kakek itu silau dan sikapnya berubah walau pun dia masih ragu-ragu.
“Akan tetapi aku tidak mengenal siapa Kongcu, dan selain itu tamu yang sedang tidur nyenyak tentu akan marah sekali jika kuganggu dan kuketuk pintunya. Apa yang harus kukatakan kalau dia terbangun dan marah-marah kepadaku karena gangguanku?”
Uang itu sudah diterima dan lenyap ke dalam saku baju pelayan itu. Sin Hong sudah merasa menang, namun dia pun harus berhati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Dia tahu bahwa Lay-wangwe pasti telah memesan kepada para pelayan di tempat itu untuk merahasiakan kehadirannya di rumah itu.
“Kalau dia sudah terbangun dan marah-marah, katakan saja bahwa aku adalah seorang sahabatnya yang datang untuk memberi tahu padanya bahwa ada bahaya mengancam dirinya, dan dia harus cepat pergi bersamaku kalau ingin selamat.”
Mendengar ini, pelayan itu terbelalak.
“Wah, kalau begitu gawat!” katanya dan dia pun lari masuk ke dalam rumah besar itu setelah menutup kembali pintu depan.
Sin Hong menanti sambil mendekatkan telinganya ke daun pintu agar dapat mendengar lebih baik. Dia siap untuk mempergunakan kekerasan kalau jalan halus ini gagal. Akan tetapi siasatnya tadi berhasil baik.
Pada saat pelayan itu mengetuk daun pintu kamar di mana Lay-wangwe masih tidur mengorok sambil merangkul dua orang wanita pelacur yang mengapitnya, dia terbangun dan tentu saja dia marah-marah karena merasa terganggu.
“Lay-wangwe, ada keperluan penting sekali, harap bangun!” demikian suara pelayan yang mengetuk pintu kamar itu.
Dua orang pelacur terbangun lebih dahulu dan mereka segera menutupi tubuh mereka dengan selimut, sementara itu Lay-wangwe bangkit dan duduk dengan sukar karena perutnya amat gendut. Dia pun menutupi tubuhnya dengan selimut dan mengomel.
“Keparat, siapa berani menggangguku?” Kepada seorang di antara dua orang pelacur itu dia memberi isyarat untuk membuka daun pintu.
Ketika daun pintu terbuka dan dengan takut-takut pelayan tua itu terbungkuk-bungkuk masuk. Lay-wangwe membentak marah.
“Apa kau sudah bosan hidup, berani mengganggu aku sepagi ini?”
“Maafkan saya, Lay-wangwe, tetapi di luar sudah datang seorang tamu yang mengaku sahabat baik Wangwe. Dia mengatakan bahwa ada bahaya mengancam diri Wangwe dan kalau Wangwe menghendaki supaya selamat, Wangwe harus cepat-cepat pergi bersama dia sekarang juga.”
Laki-laki pendek gendut itu terbelalak, wajahnya berubah pucat dan cepat-cepat dia meraih pakaiannya secepat mungkin.
“Bagaimana orangnya? Masih mudakah? Atau sudah tua? Dan siapa namanya?” Dia bertanya sambil mengenakan pakaiannya.
“Dia belum sempat mengaku siapa namanya, akan tetapi orangnya masih muda dan dia ramah sekali, baik sekali, Lay-wangwe. Dan dia nampaknya bersungguh-sungguh...“
“Kalau begitu aku harus cepat pergi dari sini!” katanya sambil melemparkan beberapa potong uang perak kepada dua orang pelacur itu.
Dia keluar dari kamar dan melihat betapa beberapa buah kamar yang berderet di situ juga nampak terbuka. Agaknya ribut-ribut itu sudah membangunkan tamu-tamu lain. Hal ini sebenarnya biasa saja, namun orang she Lay yang sudah ketakutan itu sekarang memandang penuh kecurigaan, seakan-akan bahaya yang disebutkan tadi datang dari kamar-kamar itu. Dia pun cepat-cepat melangkah keluar, tidak tahu betapa beberapa buah kancing bajunya salah memasuki lubangnya serta kedua matanya kemerahan dan ujungnya dihias kotoran mata.
Setelah membuka pintu depan dia berhadapan dengan Sin Hong! Sekali lihat saja Sin Hong sudah tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan orang yang dimaksudkan oleh Tang-piauwsu dan Ciu-piauwsu, yaitu orang gendut botak yang terkenal dengan nama Lay-wangwe, si pengirim emas yang mengakibatkan tewasnya ayahnya dan membuat perkara menjadi berlarut-larut sampai kematian Tang-piauwsu itu.
Akan tetapi, dia belum yakin benar bahwa si gendut ini hanya merupakan umpan untuk menjebak ayahnya. Bagaimana kalau dia ini benar-benar pengirim emas, sama sekali tidak bersalah?
“Siapa... siapakah engkau...? tanya Lay-wangwe dengan sangsi ketika melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak pernah dikenalnya.
Akan tetapi, Sin Hong melangkah maju. “Apakah engkau yang bernama Lay-wangwe?”
Karena tak mengenal pemuda itu, muncul lagak Lay-wangwe yang memandang rendah orang lain. Apa lagi orang ini mengganggunya dan dia tidak melihat adanya gangguan dan dia tidak melihat adanya bahaya mengancam seperti yang dikatakan pelayan tadi.
“Benar, akulah Lay-wangwe. Engkau siapa dan mau apa?” Kemudian dia menoleh ke kanan kiri dan menyambung, “Engkau bilang ada bahaya? Engkaulah yang mengatakan ada bahaya tadi, dan di mana bahaya itu?”
Sin Hong tersenyum. “Lay-wangwe, di sinilah letaknya bahaya kalau engkau tidak mau bicara terus terang padaku. Ketahuilah, aku adalah putera dari mendiang Tan-piauwsu, pemimpin Peng An Piauwkiok yang dahulu mengangkut emasmu ke Tuo-lun! Ingatkah engkau? Engkau datang kepada ayah, mengirim peti berisi emas ke Tuo-lun, kemudian di tengah jalan, ayah dibunuh orang dan engkau menuntut ganti kerugian dan menyita rumah beserta perusahaan ayah. Lalu terjadi pembunuhan pula atas diri Tang-piauwsu belum lama ini. Nah, katakanlah, apa yang kau ketahui tentang semua pembunuhan itu?”
Lay-wangwe terbelalak memandang kepada Sin Hong, kemudian dia tersenyum lebar, mengejek. “Orang muda, hanya untuk itu engkau berani mengganggu aku? Memang akulah yang mengirim emas itu, dan karena hartaku hilang, aku lalu menyita rumah dan perusahaan ayahmu. Aku sudah menderita kerugian besar dan engkau masih hendak menggangguku? Aku tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu!” Ia pun membalikkan tubuhnya hendak masuk lagi.
“Tunggu dulu!” Sin Hong berseru dengan suara keras.
Lay-wangwe membalik dan kini matanya menjadi semakin merah dan alisnya berkerut karena dia sudah marah sekali.
“Engkau mengaku sebagai seorang hartawan di kota raja, akan tetapi ternyata engkau bukan hartawan kota raja karena di sana tidak ada seorang pun yang mengenalmu! Dan pada waktu engkau hendak mengirim peti berisi emas itu melalui Ban-goan Piauwkiok, engkau menolak ketika petinya hendak dibuka dan isinya diperiksa, bahkan engkau lalu membatalkan pengiriman itu, dan mengirimkannya tanpa membuka peti melalui ayahku. Siapakah engkau ini sebenarnya dan apa maksudmu memancing ayah dengan umpan kiriman emas itu untuk menjebaknya?”
“Bocah kurang ajar! Berani engkau menyelidiki keadaanku? Engkau patut dihajar!”
Dan tiba-tiba saja orang yang gendut itu bergerak cepat sekali, menyerang Sin Hong dengan pukulan dua tangannya secara bertubi-tubi! Orang akan terkejut sekali melihat betapa ‘hartawan’ Lay itu tiba-tiba saja menjadi seorang laki-laki yang ganas dan dapat melakukan penyerangan secepat dan sekuat itu, padahal tubuhnya bulat dengan perut yang gendut.
Sin Hong tentu saja tidak gugup, akan tetapi dia pun agak terkejut karena tidak mengira bahwa Lay-wangwe itu ternyata bisa menyerangnya, bukan hanya dengan cepat sekali, tapi juga dia dapat melihat betapa pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat! Kiranya si gendut ini bukan orang sembarangan dan tentu saja kecurigaannya semakin bertambah.
“Hemmm, kiranya engkau seorang tukang pukul!” katanya sambil miringkan tubuhnya.
Pada saat kedua tangan Lay-wangwe yang melancarkan pukulan bertubi-tubi itu lewat, tangan Sin Hong bergerak menotok dan robohlah tubuh yang berperut gendut itu, tidak mampu bangkit lagi karena tubuh itu terasa lemas oleh totokan Sin Hong! Kini muka orang itu nampak ketakutan karena baru dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang luar biasa lihainya, yang dapat merobohkannya dalam satu gebrakan saja! Sulit untuk dipercaya, akan tetapi kenyataannya demikianlah dan dia mulai merasa ngeri dan takut.
“Nah, sekarang ceritakan yang sebenarnya. Siapa yang dulu mengatur pancingan dan jebakan itu? Siapa pula yang sudah membunuh ayahku dan Tang-piauwsu? Katakan sebetulnya kalau tidak ingin aku terpaksa menggunakan kekerasan memaksamu!”
Sin Hong sengaja menekankan jari tangannya ke pundak orang gendut itu dan orang itu pun menyeringai kesakitan. Penekanan pada jalan darah di pundaknya itu membuat seluruh tubuh bagian atasnya demikian nyeri seperti ditusuki ribuan jarum dan keringat dingin membasahi muka dan lehernya.
“Aku... aku tidak tahu siapa pembunuhnya... aku hanyalah anak buah saja...,“ katanya dengan suara terputus-putus saking hebatnya rasa nyeri yang dideritanya. Sin Hong melepaskan jarinya.
“Lalu siapa pemimpinmu? Siapa yang mengutusmu? Jawab!”
“...Tiat... Tiat-liong-pang...!” Tiba-tiba dia menjerit dan berkelojotan.
Sin Hong terkejut bukan main. Pada saat orang itu tadi mulai membuat pengakuan, ada belasan jarum dan paku beracun menyambar ke arahnya dari depan. Ia cepat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangannya mendorong sehingga sisa senjata rahasia itu terpukul angin dorongannya sehingga runtuh. Akan tetapi ketika dia memandang, dia melihat orang gendut itu sudah berkelojotan dengan muka membiru dan mata melotot.
Dia melihat bayangan orang berkelebat lari ke dalam rumah itu. Sudah terlambat untuk menyelamatkan si gendut dan dia pun cepat meloncat dan mengejar ke dalam rumah. Bayangan yang kelihatan berpakaian hitam itu ternyata mempunyai gerakan yang amat cepat.
Terdengar jeritan-jeritan para wanita ketika Sin Hong berlari cepat memasuki rumah itu. Ternyata wanita-wanita pelacur yang keluar dari kamar masing-masing, terkejut dan ketakutan melihat kejar-kejaran itu, apa lagi yang dikejar adalah seorang yang memakai pakaian hitam dan kedok hitam pula!
Dengan penuh semangat Sin Hong melakukan pengejaran. Dia merasa yakin bahwa orang berpakaian hitam itulah yang menjadi kunci rahasia pembunuhan-pembunuhan itu, setidaknya orang itu tentu yang sudah membunuh Tang-piauwsu. Maka dia harus dapat menangkapnya!
Orang itu menerjang pintu belakang dan terus melompat ke dalam kegelapan pagi yang masih remang-remang itu. Tetapi tiba-tiba ada orang menyambutnya dengan bentakan nyaring.
“Berhenti!” Bentakan itu dibarengi munculnya Kwee Ci Hwa dengan pedang telanjang di tangan.
Melihat betapa ada seorang gadis berpedang menghadang di depannya, orang itu tidak berhenti, bahkan menerjang dan menyerang Ci Hwa! Tentu saja Ci Hwa terkejut akan kenekatan orang itu dan ia pun menyambut dengan tusukan pedangnya! Akan tetapi, orang itu menangkis dengan tangan kiri dan tangan kanannya tetap saja mencengkeram ke arah dada Ci Hwa!
“Plakkk!”
Pedangnya tertangkis oleh tangan kosong itu begitu saja sampai hampir terlepas dari pegangannya dan dadanya terancam cengkeraman. Terpaksa Ci Hwa melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, kemudian ia membalikkan tubuhnya. Tapi terlambat!
Orang yang ternyata luar biasa lihainya itu sudah menendang lututnya sehingga Ci Hwa terguling. Orang itu menubruk lagi dengan hantaman tangan kanannya ke arah kepala Ci Hwa yang sudah tidak sempat untuk mengelak atau menangkis lagi!
“Dukkk!”
Pukulan hebat dari orang berkedok hitam itu tertangkis oleh tangan Sin Hong yang datang tepat pada saat nyawa Ci Hwa terancam bahaya itu.
Orang itu mengeluarkan seruan kaget, kemudian menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke arah dada Sin Hong. Pukulan jarak jauh! Ini membuktikan bahwa orang berkedok itu memang lihai bukan main. Sin Hong menyambut dengan dorongan penuh tenaga sinkang sehingga orang itu terjengkang!
Kembali dia mengeluarkan seruan kaget dan terus meloncat jauh dan menghilang ke dalam kegelapan pagi buta itu. Sin Hong tidak mengejar karena dia mengkhawatirkan keselamatan Ci Hwa melihat kelihaian orang itu. Siapa tahu masih ada kawanan penjahat di situ yang akan mencelakai Ci Hwa.
“Engkau terluka, Hwa-moi (adik Hwa)?” tanyanya sambil memegang pundak gadis itu.
Ci Hwa menggelengkan kepala, lalu bangkit berdiri. Kakinya tidak terluka parah, hanya agak terpincang.
“Mari kita kejar dia!” kata Sin Hong dan sambil memegang tangan gadis itu, dia pun meloncat sehingga Ci Hwa merasa seolah-olah tubuhnya diangkat dan dibawa terbang! Sampai beberapa lamanya Sin Hong dan Ci Hwa mencari-cari, namun si kedok hitam itu sudah lenyap.
“Sayang, dia telah pergi...!” kata Sin Hong yang terpaksa menghentikan larinya.
Gadis itu mengangkat muka memandangnya dengan sinar mata penuh rasa kagum, lalu ia merunduk dan merasa malu sekali untuk bertemu pandang dengan pemuda itu.
“Hong-ko...“
“Ya. Kenapa, Moi-moi, engkau tidak terluka parah, bukan?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, dan aku tadi terbebas dari maut, berkat pertolonganmu, Hong-ko.”
“Aih, sudahlah, hal itu tidak perlu disebut-sebut lagi. Sayang jahanam itu dapat lolos. Dia tentu tahu banyak tentang rahasia pembunuhan-pembunuhan itu.”
“Siapakah orang berkedok yang lihai itu, Hong-ko?”
“Aku tidak tahu. Aku berhasil bertemu dengan Lay-wangwe yang gendut itu dan ketika aku mulai mengancamnya untuk mengaku, mendadak dia diserang senjata rahasia dan tewas. Penyerangnya adalah orang berkedok itu maka aku mengejarnya.”
“Ahhh...!” Tentu saja Ci Hwa terkejut mendengar bahwa orang she Lay itu tewas pula oleh orang berkedok tadi.
“Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali, Hong-ko. Aku memandang rendah padamu, mengira engkau tidak sedemikian pandainya sehingga aku ikut membantumu, ternyata bahkan sudah menghalangimu menangkap orang berkedok itu. Kiranya engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya.”
“Sudahlah, Hwa-moi, jika tidak ada engkau yang menghadangnya, tentu aku tak sempat bentrok dengannya dan ia telah lebih dulu menghilang. Mari kita pulang dan melaporkan hal ini kepada ayahmu sebab tadi aku memperoleh keterangan yang cukup penting dari Lay-wangwe. Menurut pengakuannya sebelum dia terbunuh, dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”
“Tiat-liong-pang? Perkumpulan apa itu dan di mana?”
“Aku tidak tahu, sebaiknya kalau kita tanyakan hal itu kepada ayahmu, mungkin dia lebih tahu.”
Benar saja, ketika Kwee-piauwsu mendengar bahwa si gendut Lay itu diperalat oleh Tiat-liong-pang, dia terkejut bukan main. “Tiat-liong-pang? Perkumpulan besar di bawah pimpinan Siangkoan Lohan! Sungguh aneh sekali! Perkumpulan itu terkenal amat kuat, dan Siangkoan Lohan adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian sangat tinggi. Perkumpulannya terkenal kuat pula dan dia memiliki hubungan dekat dengan istana, bahkan kabarnya dihadiahi puteri dari istana yang menjadi isterinya karena dia banyak berjasa terhadap kerajaan. Apa artinya ini? Mengapa suatu perkumpulan besar seperti Tiat-liong-pang tiba-tiba ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan ayahmu dan Tang-piauwsu, bahkan kini membunuh Lay-wangwe, kaki tangannya sendiri untuk menutup mulutnya? Apa yang dikehendaki perkumpulan macam Tiat-liong-pang di sini? Sungguh aneh dan sukar dipercaya keterangan orang she Lay itu!”
“Bagaimana pun juga, keterangan itu sudah mendatangkan jejak baru dan saya akan melakukan penyelidikan ke sana, paman Kwee. Sayang bahwa orang berkedok itu bisa lolos, karena dia pasti tahu akan semua peristiwa pembunuhan itu, bahkan mungkin sekali dialah yang melakukan pembunuhan terhadap ayah dan paman Tang.”
Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Memang tidak ada jalan lain untuk melakukan penyelidikan setelah orang she Lay itu terbunuh. Akan tetapi berhati-hatilah, Sin Hong, karena Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat dan berpengaruh, juga bukan perkumpulan penjahat.”
“Baik, Paman dan terima kasih atas semua nasehat dan bantuan Paman.”
Pada hari itu juga, Sin Hong meninggalkan rumah keluarga Kwee, dan setelah pemuda itu pergi, wajah Ci Hwa nampak murung dan sinar matanya suram. Ayahnya melihat hal ini dan diam-diam merasa heran.
Akan tetapi, belum sempat dia bertanya, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali dia mendapatkan bahwa puterinya itu telah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit! Hanya terdapat surat di atas meja dalam kamarnya yang memberi tahukan ayah ibunya bahwa ia pergi untuk membantu menyelidiki pembunuh Tan-piauwsu dan Tang-piauwsu, untuk mencuci nama ayahnya yang tadinya disangka menjadi pembunuh.
Nyonya Kwee menangis dan merasa khawatir sekali, membujuk suaminya agar mencari dan mengajak kembali Ci Hwa. Akan tetapi suaminya menghiburnya.
“Ia sudah dewasa dan sudah mempunyai bekal kepandaian silat yang cukup kuat untuk menjaga diri sendiri. Biarlah ia mencari pengalaman selagi masih bebas.” Demikian dia berkata kepada isterinya.
Akan tetapi diam-diam dia mengharapkan puterinya itu dapat bertemu dan bekerja sama dengan Sin Hong karena Kwee-piauwsu merasa suka sekali kepada Sin Hong yang mirip ibunya, wanita yang pernah dikasihinya itu. Ia berharap untuk dapat menjodohkan puterinya dengan pemuda itu!
Sementara itu, setelah meninggalkan rumah keluarga Kwee, Sin Hong tidak langsung pergi ke luar kota untuk menyelidiki Tiat-liong-pang, melainkan singgah di bekas rumah orang tuanya. Dia melihat betapa bangunan itu, baik kantor piauwkiok mau pun rumah tinggalnya, telah diperbaiki sehingga kelihatan baru dan dicat baru pula. Hampir dia tak mengenali lagi tempat di mana dia tinggal sejak lahir sampai berusia belasan tahun.
Ciu-piauwsu menyambutnya dengan wajah gembira. “Tan Sin Hong, engkau baru saja datang? Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu?” tanyanya langsung setelah pemuda itu dipersilakan masuk.
Karena Ciu-piauwsu adalah satu-satunya orang dari pihak ayahnya yang mengetahui akan semua urusannya itu, Sin Hong lalu menceritakan dengan singkat tentang semua hasil usahanya. Betapa dia sudah gagal menemukan Lay-wangwe di kota raja, betapa dia kemudian menyelidiki keluarga Kwee-piauwsu dan atas bantuan keluarga itu dia lalu berhasil menemukan Lay-wangwe di Ban-goan dan kembali ada pembunuhan, yaitu terhadap diri si gendut itu, lagi-lagi oleh seorang berkedok.
“Sayang aku tak dapat menangkap orang berkedok itu,” dia mengakhiri ceritanya. “Akan tetapi Lay-wangwe sudah meninggalkan suatu pengakuan yang dapat merupakan jejak baru dalam penyelidikanku, paman Ciu.”
“Ahhh, benarkah? Apa saja yang diakuinya?” Ciu-piauwsu mendesak.
“Menurut pengakuannya sebelum dia tewas oleh senjata rahasia orang berkedok itu, dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”
“Ohhhh...!” Wajah Ciu-piauwsu berubah dan matanya terbelalak. Dia nampak terkejut bukan main.
“Kenapa, Paman?”
“Celaka, tentu orang gendut botak itu telah membohongimu. Mana mungkin semacam Tiat-liong-pang mencampuri urusan ini? Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar dan kuat dipimpin oleh Siangkoan Lohan, seorang kakek yang gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mana mungkin melakukan kejahatan? Tentu si gendut itu membohongimu!”
“Kurasa tidak, Paman. Betapa pun juga, setidaknya kini terdapat jejak baru sehingga aku dapat melanjutkan penyelidikanku.”
“Aku lebih condong untuk menyelidiki Ban-goan Piauwkiok. Orang she Kwee itu lebih mencurigakan...“
“Tidak, Paman. Dugaan kita sudah keliru. Paman Kwee Tay Seng sama sekali tidak bersalah...“
“Ahhh, jangan engkau sampai tertipu oleh sikap manisnya!”
“Tidak, Paman. Aku yakin bahwa ia tak bersalah dan aku akan melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang.”
Ciu-piauwsu mengangguk-angguk. “Terserah kepadamu, Sin Hong. Akan tetapi berhati hatilah. Jangan sampai engkau menuduh pihak yang tidak berdosa dan Tiat-liong-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali, bahkan mempunyai hubungan dekat dengan istana karena ketuanya masih termasuk keluarga kerajaan!”
Pada hari itu, Sin Hong meninggalkan Ban-goan setelah menerima banyak nasehat dari Ciu-piauwsu agar berhati-hati jika menyelidiki Tiat-liong-pang. Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota San-cia-kou karena perkumpulan itu terletak di lereng sebuah bukit di luar kota itu.
Sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san disebut Puncak Telaga Warna karena di puncak itu terdapat sebuah telaga kecil yang amat indah. Telaga itu dikelilingi pohon-pohon dan karena airnya jernih dan tenang, maka bayangan terpantul amat jelasnya dan membuat air telaga seolah-olah berwarna-warni.
Puncak ini amatlah indahnya. Hawanya selalu sejuk, bahkan kadang-kadang teramat dingin. Karena hawa yang terlalu dingin inilah maka penduduk tinggal di lereng bawah atau kaki puncak. Akan tetapi, di antara pohon-pohon besar dekat telaga itu nampak sebuah bangunan terselip di antara pohon-pohon raksasa.
Sebuah bangunan yang kokoh kuat dan sedang saja besarnya. Rumah itu tidak memiliki tetangga dan nampak sunyi, namun melihat betapa pekarangannya selalu bersih, dan di belakang rumah terdapat taman bunga dan kebun sayur dan pohon-pohon buah, dapat diketahui bahwa rumah ini dihuni orang.
Memang demikianlah, dan penghuni rumah itu bukanlah orang sembarangan, karena orang biasa saja tentu tidak akan tahan tinggal terlalu lama di tempat yang sunyi dan hawanya amat dingin itu. Penghuninya adalah dua orang kakek kembar. Mereka berusia kurang lebih lima puluh delapan tahun, dan mereka amat terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Beng-san Sian-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san).
Dua orang kakek ini serupa benar wajah dan bentuk tubuh mereka mirip satu sama lain sehingga sukarlah bagi orang luar untuk membuat perbedaan di antara mereka. Orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mereka adalah putera kembar dari kakek Gak Bun Beng yang kini berjuluk Bu Beng Lokai.
Biar pun orang luar sukar untuk mengenal mana yang bernama Gak Jit Kong dan mana yang Gak Goat Kong, tapi tentu saja isteri mereka dengan mudah dapat membedakan mereka. Isteri mereka berdua hanya seorang, yaitu bekas murid dan anak angkat mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lian. Dua orang kembar ini telah jatuh cinta kepada murid mereka sendiri, dan Souw Hui Lian juga mencinta mereka. Maka kedua orang kakek kembar ini pun menikahlah dengan bekas murid mereka walau pun ayah mereka sebenarnya tidak setuju mendengar kedua orang putera kembarnya itu menikah dengan seorang wanita saja.
Peristiwa pernikahan itu membuat hati ayah mereka, Gak Bun Beng, menjadi kecewa dan berduka. Kakek ini sudah berduka karena ditinggal mati isterinya yang bernama Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai.
Dalam keadaan berduka, lalu menghadapi kekecewaan karena kedua orang puteranya yang dianggap tidak begitu berbakat dalam ilmu silat sekarang bahkan menikah dengan seorang wanita saja, maka pergilah kakek Gak Bun Beng meninggalkan Puncak Telaga Warna. Dia hidup merana, bahkan terlunta-lunta sebagai Bu Beng Lokai, sampai dia kemudian menemukan Suma Lian, cucu keponakannya sendiri yang kemudian menjadi muridnya dan pertemuan ini memulihkan kembali gairah hidupnya.
Semenjak ditinggal pergi ayah mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hidup di Puncak Telaga Warna, bersama isteri mereka, Souw Hui Lian dan kini mereka telah mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Gak Ciang Hun yang kini sudah berusia kurang lebih sepuluh tahun.
Tentu saja mereka berdua pun merasa berduka bahwa ayah mereka tidak merestui pernikahan mereka, bahkan meninggalkan mereka. Mereka sudah berusaha mencari ayah mereka, namun tidak pernah berhasil sehingga akhirnya mereka putus asa dan menanti saja di Puncak Telaga Warna dengan penuh keprihatinan kalau mereka teringat kepada ayah mereka yang sudah amat tua itu.
Adanya Gak Ciang Hun, putera mereka, merupakan hiburan terbesar bagi mereka dan mengurangi rasa dosa terhadap ayah mereka karena bagaimana pun juga, pernikahan mereka dengan Hui Lian kini telah menghasilkan seorang putera. Bukankah itu berarti bahwa Tuhan memberkahi mereka dan memberkahi pernikahan itu?
Pada suatu pagi yang sejuk dan indah, karena matahari pagi mulai mengusir kegelapan dan memandikan puncak Telaga Warna itu dengan cahaya keemasan setelah semalam suntuk puncak itu diselimuti kabut yang menciptakan embun pagi, Gak Ciang Hun telah berada di dalam taman bunga. Anak ini memang suka sekali bangun pagi dan bermain main seorang diri di dalam taman. Sepasang matanya penuh kebahagiaan memandang burung-burung pagi berloncatan dan beterbangan dari dahan ke dahan, sambil berkicau penuh keriangan.
Anak ini baru berusia sepuluh tahun dan dia hanya hidup bersama dua orang ayahnya dan seorang ibunya. Memang kadang-kadang ayahnya atau ibunya membawa dirinya menuruni puncak pergi ke dusun-dusun, atau ke pasar dusun untuk membeli segala keperluan rumah tangga mereka dan menjual hasil kebun atau buruan mereka sehingga anak ini beberapa kali sebulan dapat bertemu dengan banyak orang di dusun-dusun. Namun karena setiap harinya hanya bermain-main sendiri saja maka tentu anak ini merasa kesepian dan mencari hiburan dengan bermain-main sendiri di tempat-tempat indah, di mana dia dapat melihat binatang-binatang dan mendengarkan suara mereka.
Pagi hari itu, selain menikmati kicau burung yang ramai menyambut datangnya pagi, dia pun melihat banyak kupu-kupu kuning. Sebetulnya untuk kupu-kupu itulah maka sepagi itu dia sudah duduk di taman. Semenjak beberapa hari ini, sampai kurang lebih sebulan, taman itu akan penuh kupu-kupu kecil kuning. Sedang musimnya.
Indah sekali kupu-kupu yang puluhan ribu banyaknya itu, membuat taman itu menjadi lebih cerah, seakan-akan taman itu sedang penuh dengan bunga-bunga kuning yang sedang berkembang. Karena ingin segera menikmati keindahan pagi itu, Ciang Hun hanya sebentar saja berlatih silat di kebun belakang tadi.
Di kebun belakang, tak jauh dari taman itu, oleh orang tuanya dibuatkan sebuah petak rumput yang luas dan tempat ini dipergunakan keluarga itu untuk berlatih silat. Memang setiap pagi Ciang Hun harus berlatih silat, akan tetapi pagi ini hanya sebentar saja dia berlatih dan dia segera berlari-lari memasuki taman setelah melihat kupu-kupu kuning mulai beterbangan.
Tiba-tiba ada beberapa ekor burung beterbangan dari atas pohon, meluncur turun dan menyambari kupu-kupu kuning kecil itu. Melihat ini, Ciang Hun lalu menjadi marah. Dia meloncat dan menggunakan kedua tangannya untuk mengusir burung-burung itu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan sehingga burung-burung itu terbang ketakutan.
Akan tetapi, tidak lama kemudian ada saja beberapa ekor yang menyambar turun lagi sehingga Ciang Hun segera mengambil batu-batu kecil untuk menyambiti dan mengusir mereka, melindungi kupu-kupu kuning kecil. Setelah dia menggunakan batu-batu kecil, barulah burung-burung itu terbang pergi, tentu saja untuk menyambari kupu-kupu yang beterbangan jauh dari taman itu.
Ciang Hun duduk kembali di atas bangku taman dan merasa lega. Sekarang kupu-kupu kuning itu beterbangan bebas, di antara bunga-bunga, bahkan ada yang terbang tinggi ke atas pohon tanpa diganggu burung-burung itu!
Memang sejak kecil anak ini telah digembleng oleh orang tuanya sehingga dalam usia sepuluh tahun, selain dia menguasai dasar-dasar ilmu silat, juga di dalam batinnya telah bersemi watak yang gagah dan tak rela melihat yang lemah dijadikan korban keganasan yang kuat. Sudah bersemi watak seorang pendekar, watak membela golongan lemah yang tertindas.
“Indah sekali kupu-kupu itu!” Tiba-tiba terdengar suara halus.
Ciang Hun cepat menoleh dan dia melihat seorang wanita muda telah berdiri di situ sambil memandangi kupu-kupu kuning kecil yang beterbangan kian kemari. Anak itu merasa heran sekali dan perhatiannya kini beralih dari kupu-kupu ke arah gadis itu.
Seorang gadis yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Sekali pandang saja tahulah Ciang Hun bahwa gadis itu tidak pernah dikenalnya dan bukanlah seorang gadis dari dusun di lereng bawah. Bukan gadis dusun! Pakaiannya amat berbeda, juga sikapnya berbeda.
Gadis ini mengenakan pakaian yang aneh sekali. Pakaian yang penuh tambal-tambalan! Seperti pakaian pengemis saja. Akan tetapi, kalau pakaian pengemis tambal-tambalan dan kotor sekali, sebaliknya pakaian yang menutupi tubuh gadis ini, tambal-tambalan tapi amat bersih! Juga potongannya tidak seperti pakaian gadis dusun yang kebesaran, namun ringkas dan ketat membungkus tubuh gadis itu sehingga nampak pinggangnya yang ramping kecil, seperti pinggang lebah.
Sepatunya yang kecil terbuat dari kulit berwarna hitam dan nampak kuat. Rambutnya juga berbeda lipatannya dengan rambut para gadis dusun. Rambut itu hitam lebat dan panjang, sekarang digelung ke atas secara aneh, ditusuk dengan tusuk konde panjang sederhana, seperti sebatang sumpit merah. Kedua mata gadis itu seperti mencorong, dan mulutnya tersenyum-senyum ketika ia membalas pandangan Ciang Hun.
“Adik yang baik, engkau benar sekali. Burung-burung itu memang jahat dan perlu diusir! Mereka itu menyambari dan membunuh kupu-kupu yang tidak berdosa!” kata pula gadis itu dan pandang matanya nampak ramah sekali.
Ciang Hun mengerutkan alis, lalu menjawab, “Aku mengusir burung-burung itu bukan karena menganggap mereka jahat, melainkan karena tidak tega melihat kupu-kupu itu dimakan. Burung-burung itu pun tidak jahat!”
Gadis itu melebarkan matanya, nampak heran mendengar jawaban itu. “Akan tetapi, bukankah mereka itu memakani kupu-kupu yang tidak berdosa?”
“Kita pun suka makan ayam, babi, kelinci dan binatang lain yang tidak berdosa, apakah kita pun menjadi jahat?” Anak itu membantah. “Agaknya kupu-kupu itu memang menjadi makanan burung, jadi burung-burung itu pun tidak bersalah. Tidakkah begitu?”
Kini gadis itu yang nampak heran dan bingung, lalu mengangguk-angguk.
“Wah, agaknya benar juga engkau.” Lalu ia tertawa cerah, suara ketawanya nyaring dan merdu sekali. “Adik kecil, engkau sungguh cerdik sekali. Jawabanmu itu membikin aku takluk dan mengaku kalah! Siapa sih engkau ini? Siapa namamu?”
“Namaku Ciang Hun.”
“Apakah ada hubunganmu dengan Beng-san Siang-eng?”
“Mereka itu adalah ayahku! Aku bernama Gak Ciang Hun.”
Gadis itu kelihatan girang bukan main. “Aihhh, pantas engkau cerdik dan pintar sekali! Kiranya adik ini putera dari Beng-san Siang-eng? Engkau harus menyebut enci (kakak perempuan) padaku!”
Biar pun Ciang Hun jarang bergaul dengan orang asing, namun dia bukan seorang anak pemalu. Ia lalu menghampiri. Agaknya dia senang melihat gadis yang berwajah manis, kalau tersenyum muncul lesung pipit di kedua pipinya, dan pandang matanya ramah sekali itu.
“Enci, engkau siapakah?”
“Namaku Suma Lian dan engkau boleh memanggil aku enci Lian.”
Anak itu terbelalak memandang pada Suma Lian, pandang matanya penuh kekagetan, keheranan dan kekaguman.
“Suma...? Enci, she-mu sama dengan she dari kakek buyut. Kata ayah, kakek buyutku bernama Suma Han adalah seorang pendekar sakti, penghuni Istana Pulau Es yang tidak ada lawannya di dunia ini!”
Suma Lian tersenyum dan membelai kepala anak itu. “Tidak salah keterangan ayahmu, adik Ciang Hun. Kakek buyutmu bernama Suma Han itu juga kakek buyutku, karena itu kita adalah enci dan adik sendiri.”
Gadis bernama Suma Lian itu adalah puteri dari pendekar Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun, di dekat kota Cin-an. Meski pun ayah ibunya merupakan pendekar-pendekar yang sakti, namun gadis ini semenjak berusia dua belas tahun, telah menjadi murid Bu Beng Lokai, paman kakeknya sendiri.
Pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang. Gerakan mereka cepat sekali namun Suma Lian dapat melihat mereka. Seorang di antaranya menyambar ke arah Ciang Hun dan dua orang yang lain menerjang dan menyerang Suma Lian!
Gadis itu terkejut, tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang secara tiba-tiba oleh dua orang itu, maka cepat dia pun mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh), meloncat menjauhi dua orang penyerangnya. Ketika ia turun dan menengok, ternyata Ciang Hun telah dirangkul dan dilindungi seorang wanita cantik, sedangkan dua orang penyerangnya tadi adalah dua orang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang kembar dan keduanya nampak gagah perkasa!
Kini kedua orang kakek kembar itu, yang juga terkejut dan penasaran melihat betapa serangan mereka tadi dengan sangat mudah dihindarkan lawan yang ternyata hanyalah seorang gadis muda, sudah siap untuk menyerang lagi.
“Tahan dulu, kedua paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong! Aku bukan orang lain dan tidak berniat buruk!” seru Suma Lian melihat mereka sudah hendak menyerangnya lagi itu karena sekali lihat pun ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan dua orang putera kembar gurunya, dan tentu wanita itu ibu dari Ciang Hun.
“Ia adalah enci Suma Lian, cucu buyut dari kakek buyut Suma Han!” teriak Ciang Hun kepada ayah ibunya.
Mendengar ini, tentu saja sepasang kakek kembar itu terkejut dan juga merasa heran, saling pandang lalu mereka menghadapi dengan pandang mata penuh selidik.
“Nanti dulu!” kata Souw Hui Lian yang tadi bergerak cepat lebih dahulu menyelamatkan dan melindungi puteranya. “Ia harus dapat membuktikannya!”
Ia lalu melepaskan Ciang Hun dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Suma Lian yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan wanita itu. Ia sudah mendengar bahwa wanita itu dahulu merupakan murid dari kedua kakek kembar dan ternyata ilmu kepandaiannya sudah lumayan.
“Bibi, apakah engkau tidak percaya kepadaku?” tanyanya sambil tersenyum. “Apakah wajah dan potonganku ini mirip penjahat dan tidak pantas menjadi keturunan keluarga para Pendekar Pulau Es?”
Suma Lian memang memiliki watak yang jenaka, berani, lucu dan kadang-kadang ugal ugalan, mewarisi watak ayahnya ketika muda. Ia lalu bergaya memutar-mutar tubuh di depan kakek kembar dan isteri mereka itu.
Hui Lian mengerutkan alisnya. Seorang gadis muda yang pakaiannya amat aneh, penuh tambal-tambalan, dengan sikap yang demikian ugal-ugalan, bagaimana ia bisa percaya begitu saja?
“Kalau engkau benar she Suma dan keturunan para Pendekar Pulau Es, apa buktinya?” bentak Hui Lian.
Suma Lian tersenyum manis dan menjura dengan hormat dan lucu kepada Hui Lian. “Bibi yang baik, namaku benar Suma Lian, ayahku Suma Ceng Liong dan ibuku Kam Bi Eng. Dan bukan itu saja, aku pun menjadi murid dari paman kakek Bu Beng Lokai, ayah mertuamu sendiri.”
“Hemm, gadis muda, jangan engkau bicara sembarangan. Nama Ayah mertuaku bukan Bu Beng Lokai!” kata pula Hui Lian, semakin curiga walau pun nama ayah ibu gadis itu sempat mengejutkannya.
“Aihhh, maafkan aku, Bibi. Mungkin kalian tidak mengenal nama Bu Beng Lokai, akan tetapi sebelum mempergunakan nama itu, paman kakekku yang kini menjadi guruku itu bernama Gak Bun Beng...“
“Kong-kong...!” Seru Ciang Hun gembira mendengar nama kakeknya disebut. Biar pun dia belum pernah melihat kakeknya, namun sering kali kedua ayahnya bercerita tentang kakeknya dan dia amat merindukannya.
“Nanti dulu!” kata pula Hui Lian. “Kalau benar engkau murid ayah mertuaku, engkau tentu dapat melayani seranganku ini!”
Tiba-tiba saja ia lalu menyerang Suma Lian dengan jurus ampuh dari Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit). Suma Lian tentu saja mengenal baik ilmu silat ini dan sambil mengelak dan bergerak dengan ilmu yang sama, ia pun membalas serangan lawan dengan jurus lain dari Lo-thian Sin-kun.
Hui Lian masih belum merasa puas. Setelah menangkis, ia pun menyerang lagi dan dua orang wanita itu pun saling serang dengan ilmu yang sama sehingga mereka itu seperti dua orang yang berlatih silat saja. Setelah lewat belasan jurus dan ternyata gerakan Suma Lian dalam ilmu silat itu amat bagusnya, barulah Hui Lian merasa puas dan dia pun meloncat ke belakang.
Suma Lian memandang sambil tersenyum manis. “Lo-thian Sin-kun yang Bibi mainkan sungguh bagus! Apakah Bibi hendak menguji lagi?”
“Cukup, engkau memang benar Suma Lian dan maafkan kecurigaan kami karena dalam beberapa hari ini kami terancam bahaya dari seorang musuh yang pandai,” kata Hui Lian.
“Ehhhhh?” Suma Lian terkejut mendengar ini.
Baru sekarang ia melihat betapa wajah dua orang pamannya dan juga bibinya nampak muram dan mata mereka merah seperti orang yang kurang tidur. “Akan tetapi kalau benar demikian, mengapa tadi aku melihat adik Hun bermain sendirian di luar?”
“Aih, anak itu belum mengenal bahaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata pula Souw Hui Lian sambil menggandeng tangan Suma Lian, kini sikapnya manis sekali.
Suma Lian tersenyum memandang kepada kedua orang pamannya. “Maaf, Paman, aku datang membikin ribut saja. Akan tetapi sikap Bibi memang amat mengagumkan, dia cerdik dan pintar!”
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hanya tersenyum mendengar pujian itu dan mereka pun lalu masuk ke dalam rumah yang cukup luas itu. Seorang pelayan wanita setengah tua segera muncul pada saat dipanggil Hui Lian dan diperintahkan untuk menyediakan minuman untuk tamu yang disebutnya Suma-siocia (nona Suma) ketika diperkenalkan kepada pelayannya.
“Aih, Bibi ini!” Suma Lian berseru memotong ucapan itu. “Kenapa harus menyebutku nona segala? Ciang Hun sudah menyebutku enci kepadaku dan sebagai bibiku, tidak sepatutnya Bibi menyebut nona. Namaku Suma Lian, tanpa nona.”
Hui Lian tersenyum dan kini ia tahu bahwa Suma Lian bukan seorang gadis kasar dan kurang ajar tetapi seorang gadis yang jujur, terbuka, lincah dan tidak suka berpura-pura. “Baiklah, Suma Lian. Sekarang kami ingin sekali tahu, apakah maksud kunjunganmu ini? Kami yakin bahwa tentu kunjunganmu ini mempunyai maksud yang penting sekali.”
Suma Lian berpikir sejenak. Dia memang datang membawa keperluan penting, akan tetapi berita yang dibawanya itu bukan berita menyenangkan, melainkan berita tentang gurunya yang sakit tua dan menghendaki kedatangan kedua orang putera kembarnya itu. Sebaiknya kalau ia mengetahui lebih dahulu bahaya apa yang katanya mengancam keluarga paman dan bibinya ini.
"Nanti dulu, Bibi. Sebelum aku menceritakan keperluan kedatanganku, lebih baik kalau Bibi menceritakan kepadaku tentang bahaya apa yang mengancam kalian. Aku bersedia membantu kalian. Ceritakanlah mengapa kalian tadi begitu curiga kepadaku sehingga tiba-tiba saja menyerangku.”
Gak Jit Kong kini yang menjawab. “Maafkan kami, Lian-ji (anak Lian). Kami memang sedang panik sehingga tanpa bertanya lagi menyerangmu, karena kami mengira bahwa engkau merupakan komplotan orang-orang jahat yang mengancam hendak menculik anak kami.”
“Komplotan jahat menculik adik Ciang Hun?”
“Benar, Suma Lian,” sambung Gak Goat Kong. “Terjadinya sudah kurang lebih sepekan yang lalu. Mula-mula kami mendengar bahwa di sebuah dusun di kaki gunung terjadi kekacauan ketika ada seorang nenek yang suka menculik anak kecil. Ketika mendengar itu, kami lalu turun tangan dan berhasil mengalahkan nenek itu dan mengusirnya dari dusun yang dikacaunya. Akan tetapi, iblis itu ternyata tidak mau menerimanya begitu saja. Agaknya ia memanggil kawan yang lebih lihai lagi dan sepekan yang lalu mereka datang mengganggu kami.”
“Apa yang mereka lakukan?” Suma Lian bertanya, penasaran.
Sekarang Souw Hui Lian yang melanjutkan. “Sepekan yang lalu, pada malam hari, aku mendengar suara gerakan orang di belakang rumah. Ketika aku keluar melalui pintu belakang, ia sudah berada di sana, nenek iblis yang pernah mengacau dusun itu, akan tetapi kini ada seorang temannya, seorang kakek botak. Mereka lihai bukan main.”
“Kami keluar saat mendengar ribut-ribut di belakang,” sambung Gak Jit Kong, “dan kami bertiga melawan kakek botak itu. Namun dia sungguh lihai dan kami bertiga terdesak. Tiba-tiba mereka meloncat pergi dan sambil tertawa kakek itu berkata bahwa sepekan kemudian dia akan datang lagi dan mengancam kami supaya menyerahkan putera kami dengan baik-baik, kalau tidak seisi rumah akan dibunuhnya!”
Suma Lian mengerutkan alisnya. “Hemmm, sombong sekali iblis itu.”
“Karena itu, setiap malam kami tidak dapat tidur dan berjaga-jaga, dan beristirahat pada siang harinya. Tadi kami masih tidur karena semalam berjaga, dan Ciang Hun yang sudah kami larang untuk keluar sendirian, tadi nekat keluar ke taman,” kata Hui Lian.
“Aku ingin nonton kupu-kupu kuning, Ibu!” bantah Ciang Hun. “Dan pula, kata Ibu iblis itu hanya muncul di waktu malam, bukan?”
“Memang benar,” kata pula Hui Lian kepada Suma Lian. “Iblis itu mengancam akan datang pada malam hari, karena itulah kami berani tidur di waktu siang.”
“Hemmm, dan kapankah malam yang dijanjikannya itu?” tanya Suma Lian.
“Malam ini tepat sepekan.”
“Harap kedua Paman dan Bibi tidak khawatir. Kalau malam nanti dia berani muncul, biarlah aku yang akan menghadapinya,” kata Suma Lian.
Walau pun kedua suami itu merasa agak tabah dengan munculnya Suma Lian yang dapat mereka harapkan untuk membantu mereka, namun tentu saja mereka tidak yakin akan kemampuan Suma Lian. Bagaimana pun juga, Suma Lian baru beberapa tahun ini menjadi murid ayah mereka, tentu tingkat kepandaiannya tak akan lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang kembar itu.
Kalau mereka maju bertiga saja tidak mampu menandingi kakek botak itu, apa lagi gadis muda ini? Betapapun juga, mereka mendapatkan tenaga bantuan dan hal ini saja sudah mendatangkan hiburan bagi mereka.
Suma Lian kelihatan tenang-tenang saja hari itu, bahkan bermain-main dengan Ciang Hun, membiarkan tiga orang itu beristirahat karena selama beberapa hari mereka itu selalu kurang tidur. Ketika malam tiba, Beng-san Siang-eng dan isterinya sudah nampak segar dan siap siaga untuk menghadapi ancaman musuh, Souw Hui Lian tidak pernah mau melepaskan puteranya.
Menjelang tengah malam, mereka yang berkumpul di ruangan dalam itu mendengar suara ketawa di luar rumah. “Ha-ha-ha, Beng-san Siang-eng, agaknya kalian sudah siap menghadapi kunjungan kami. Apakah anakmu, itu telah kau persiapkan untuk diberikan kepada kami? Keluarlah, kami tidak ingin bersikap tidak sopan menyerbu ke dalam!”
Mendengar suara ini, Beng-san Siang-eng dan isterinya nampak amat terkejut dan jelas kelihatan betapa mereka gentar. Hal ini membuat Suma Lian merasa penasaran dan marah sekali. Ia lalu meloncat berdiri dan dengan sikap tenang ia melangkah keluar, diikuti oleh dua orang pamannya, sedangkan Hui Lian tetap tinggal di dalam melindungi puteranya, seperti yang sudah mereka rancangkan. Memang sebaiknya jika Ciang Hun disembunyikan di dalam, dilindungi ibunya, agar dia tidak terancam bahaya langsung seperti kalau diajak keluar.
Dengan langkah tegap dan sikap tenang sekali Suma Lian melangkah terus menuju ke serambi luar, di mana memang sengaja dipasangi empat buah lampu gantung yang cukup terang. Kedua orang kembar itu sendiri merasa kagum akan ketabahan hati keponakan mereka walau pun mereka masih merasa khawatir apakah kehadiran gadis itu akan cukup membuat mereka mampu mengusir dan mengalahkan lawan yang amat tangguh.
Kalau tingkat kepandaian Suma Lian hanya sedikit lebih tinggi dari tingkat Hui Lian, tidak mungkin mereka akan menang. Bahkan andai kata tingkat ilmu kepandaian gadis itu sama dengan tingkat mereka pun, masih amat disangsikan apakah mereka akan mampu mengalahkan kakek botak itu, apa lagi kalau si nenek buruk itu membantunya.
Ketika mereka membuka pintu depan dan tiba di luar, ternyata benar seperti yang dikhawatirkan Beng-san Sian-eng. Kakek botak pendek dan nenek bongkok buruk itu sudah berada di situ, berdiri dengan sikap memandang rendah.
Nenek bongkok bermuka buruk itu memegang tongkatnya yang butut dan kakek yang bertubuh pendek berkepala botak dengan muka seperti seekor ikan itu menyeringai lebar. Dia tidak nampak memegang senjata, tetapi melihat pakaiannya seperti seorang tosu dengan gambar pat-kwa (segi delapan) di dadanya, tahulah Suma Lian bahwa ia berhadapan dengan seorang pendeta dari perkumpulan sesat Pat-kwa-pai.
Ketika melihat Beng-san Siang-eng muncul bersama seorang gadis yang muda dan cantik manis, sepasang mata kakek pendek itu bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai semakin lebar.
“Bagus, bagus...! Beng-san Sian-eng, dari mana kalian mendapat seekor domba betina yang begini muda, montok dan mulus, ha-ha-ha! Apa dia hendak kau tukarkan dengan anak kalian? Gadis muda ini untuk aku, wah, aku suka sekali!”
“Hok Yang Cu, jangan gila kau! Aku tidak butuh gadis ini dan tidak sudi kalau ditukar dengan bocah laki-laki putera mereka!” tiba-tiba nenek itu membentak, nadanya marah.
Kakek botak itu tertawa bergelak. “Ha-ha, Beng-san Sian-eng, kalian sudah mendengar sendiri, bukan? Puteramu itu tetap harus kalian berikan kepada kami, sedang gadis ini untuk aku, sebagai pengganti kepala kalian! Nah, lekas berikan gadis ini kepadaku dan keluarkan pula bocah laki-laki itu supaya jangan membikin Kui-bo (Nenek Iblis) marah marah!”
Mendengar kata-kata mereka yang amat memandang rendah, apa lagi juga sangat menghinanya, Suma Lian menjadi merah mukanya dan sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong. Ia melangkah maju menghadapi dua orang kakek dan nenek itu sambil menudingkan telunjuknya.
“Dua orang tua bangka tidak tahu diri dan tak mengenal malu! Kalian muncul sebagai iblis-iblis yang curang, tidak memperkenalkan nama. Siapakah kalian dan mengapa kalian mengganggu kedua orang pamanku ini?”
Kakek yang sudah menjadi merah matanya melihat Suma Lian yang cantik manis, kini tertawa bergelak sambil mengelus kepala yang botak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menggoyang-goyangkan tangan kanan dengan sikap sombong.
“Ha-ha-ha, anak manis, ketahuilah bahwa pinto disebut Hok Yang Cu, dan seperti dapat kau lihat pada gambar di dadaku, aku adalah seorang tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal! Ada pun nenek buruk ini adalah Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam), seorang sahabatku. Dia minta bantuanku untuk mengambil putera Beng-san Sian-eng. Akan tetapi engkau muncul, anak manis, he-he-heh, dan setelah melihatmu, mana aku dapat melepaskanmu lagi?”
“Tua bangka iblis! Kedua orang pamanku tidak pernah merasa bermusuhan dengan kalian, mengapa kalian datang mengganggu mereka? Mengakulah apa sebabnya kalian mengganggu, ataukah kalian hanya dua orang tua bangka pengecut yang tidak berani mengaku?” Suma Lian sengaja memanaskan hati mereka untuk mengetahui mengapa mereka itu memusuhi kedua orang pamannya.
“Bocah sombong!” bentak nenek itu yang jelas memperlihatkan sikap membenci wanita muda. “Beng-san Siang-eng adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kenyataan ini saja sudah cukup bagi kami untuk memusuhi mereka!”
Kini mengertilah Suma Lian, juga Beng-san Siang-eng mengapa nenek dan kakek itu memusuhi mereka. Kiranya mereka itu, golongan sesat, selalu tak pernah melupakan keluarga Pendekar Pulau Es dan selalu memusuhi anggota keluarga itu setiap kali ada kesempatan.
Hal ini membuat Suma Lian menjadi semakin marah. Akan tetapi gadis yang pemberani ini tidak memperlihatkan kemarahannya, sebaliknya ia marah tertawa. Suara ketawanya nyaring dan bebas, tidak ditahan-tahan atau ditutupi mulutnya sehingga nampak rongga mulutnya yang kemerahan dan kilatan giginya yang putih.
“He-he-hi-hi-hik! Hek-sim Kui-bo dan Hok Yang Cu, dua orang kakek dan nenek tua bangka yang mau mampus, orang-orang macam kalian ini berani memusuhi keluarga para Pendekar Pulau Es? Dengar baik-baik, aku bernama Suma Lian? She Suma, ingat! Aku adalah cucu buyut dalam dari kakek buyut Suma Han. Hayo cepat kalian berlutut minta ampun, kemudian minggat dari sini dan jangan memperlihatkan ekor kalian lagi sebelum aku mewakili keluarga para Pendekar Pulau Es untuk menghajarmu!”
Mendengar ucapan yang amat merendahkan itu, si nenek sudah menjadi marah dan mencak-mencak, akan tetapi kakek itu malah menjadi girang sekali dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasibku! Jadi engkau she Suma, keturunan langsung Pendekar Pulau Es? Ha-ha-ha-ha, sudah lama sekali aku ingin mendapatkan seorang wanita she Suma, dan baru sekarang agaknya akan berhasil, ha-ha-ha!”
Tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke arah Suma Lian, tangan kirinya mencengkeram ke arah muka gadis itu, akan tetapi dengan kecepatan kilat tangan kanannya menyusul dengan cengkeraman ke arah dada kiri Suma Lian. Serangan ini tidak sopan, akan tetapi juga sangat berbahaya karena gerakannya cepat sekali dan dari kedua telapak tangan yang mencengkeram itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahsyat!
Melihat betapa kakek yang lihai itu menyerang Suma Lian, Beng-san Siang-eng tentu saja menjadi khawatir sekali. Akan tetapi mereka belum merasa perlu turun tangan karena di situ juga masih ada nenek yang mereka tahu amat lihai pula itu.
Suma Lian adalah murid terakhir dari Bu Beng Lokai di samping Pouw Li Sian yang menjadi sumoi-nya. Selama delapan tahun, Suma Lian dan Pouw Li Sian menerima gemblengan yang amat tekun dari Bu Beng Lokai, dan kini boleh dibilang semua inti ilmu kepandaian kakek itu telah diwariskan, tentu saja dipilih yang ampuh-ampuh saja. Sebelum menjadi murid Bu Beng Lokai, sebagai puteri ayah ibu pendekar sakti, tentu saja sejak kecil Suma Lian telah menerima gemblengan orang tuanya, maka tentu saja ia kini telah memiliki ilmu silat yang hebat.
Menghadapi serangan kakek pendek botak, ia tidak menjadi gentar atau gugup, hanya merasa gemas karena kakek itu ternyata seorang yang benar-benar tidak sopan, begitu menyerang hendak mencengkeram buah dadanya! Dengan gerakan amat lincah ia pun melangkah mundur mengelak sehingga dua tangan kakek itu yang tadi mencengkeram dada dan kepala, tidak dapat menjangkaunya dan sebagai sambutan, kakinya melayang tinggi dari samping mengarah muka lawan!
Kakek pendek itu terkejut juga ketika mendadak gadis itu selain dapat menghindarkan cengkeramannya, juga membalas dengan tendangan yang demikian kuat dan cepatnya. Akan tetapi dia tidak mengelak, melainkan memutar lengan kanannya ke kanan untuk menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya dari samping.
Suma Lian cepat-cepat menarik kembali kakinya, maklum bahwa lawannya amat lihai sehingga dari keadaan terserang dapat mengubah kedudukan penyerang! Dan kakek itu pun tertawa bergelak melihat gadis itu menarik kembali kakinya.
“Ha-ha-ha, kakimu kecil dan indah, harum pula!” Dia memuji dengan nada mengejek.
Tentu saja Suma Lian menjadi marah bukan main, akan tetapi gadis ini memang pandai sekali menyembunyikan perasaannya, bahkan dia pun tersenyum mengejek. “Hemmm, tua bangka buruk dan busuk. Mukamu demikian jelek dan kotor sehingga untuk menjadi penjilat kaki pun belum cukup berharga!”
Begitu melihat mata kakek itu terbelalak dan mukanya menjadi merah karena marah mendengar penghinaan itu, Suma Lian sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala kakek pendek itu sedangkan tangan kanannya menampar ke arah dada. Gerakannya amat cepat dan kuat.
Pukulan ke arah ubun-ubun itu dilakukan dengan kelima jari dibentuk paruh meruncing, seperti paruh seekor burung garuda mematuk ubun-ubun yang botak itu. Tangan yang berjari mungil ini jangan dipandang ringan karena pada saat itu dipenuhi tenaga Swat-im Sinkang, yang membuat hawa yang menyambar dari tangan itu terasa dingin sekali dan kalau sampai ubun-ubun kepala itu terkena hantaman ini, tentu akan berlubang atau setidaknya tentu isinya akan terguncang hebat dan orangnya tewas.
Juga tamparan yang ke arah dada itu bukan main-main, melainkan mengandung tenaga dahsyat sehingga sekiranya mengenai sasaran, tulang-tulang iga akan patah-patah dan jantung di dalam dada dapat copot karena guncangannya!
“Hyaaahhhhhh...” Kakek itu sekarang terkejut dan sambil mengeluarkan seruan ini, dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik.
Akan tetapi, gerakan Suma Lian luar biasa cepatnya, disusulnya tubuh yang berjungkir balik itu dan kini tangan kanannya menghantam pula dari atas. Kakek itu yang baru saja berjungkir balik, tidak sempat pula untuk mengelak dan terpaksa dia pun mengangkat lengan kiri menangkis.
“Dukkk...!”
Dua lengan bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu lalu bergulingan sambil menggigil kedinginan!
“Swat-im Sin-jiu...!” serunya kaget.
“Hemmm, baru engkau mengenal kesaktian keluarga Pulau Es, ya? Nah, terimalah ini!” bentak Suma Lian dan dengan cepatnya ia pun menerjang terus, sekali ini tubuhnya merendah sampai hampir menelungkup dan tiba-tiba saja tubuh itu mencelat ke atas, kedua tangan mendorong dan sekali ini ia mempergunakan tenaga sakti yang diwarisi dari gurunya, yaitu Tenaga Inti Bumi!
Serangan yang dilakukan dengan lebih dahulu menjatuhkan diri ke atas tanah ini sama sekali tidak terduga oleh lawan sehingga kakek itu terkejut dan tidak sempat mengelak. Dia kembali harus menangkis dan kini, maklum akan kelihaian gadis itu, dia menangkis dengan kedua tangan didorongkan sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya.
“Desss...!”
Hebat sekali pertemuan tenaga itu dan akibatnya, tubuh yang pendek itu terjengkang dan kembali bergulingan. Namun Hok Yang Cu sudah meloncat bangun dengan cepat, mukanya agak pucat dan di tepi mulutnya nampak darah. Ternyata pertemuan tenaga sinkang melalui dua telapak tangan tadi telah mengguncangkan tubuhnya dan membuat dia terluka di sebelah dalam tubuh sehingga muntahkan darah segar. Kemarahan dan penasaran membuat kakek itu lupa diri dan dia sudah meloloskan sabuknya, sabuk kulit yang ujungnya dipasangi pisau beracun.
Dua orang kakek Gak tadinya merasa kaget, kagum dan gembira bukan main melihat betapa keponakan mereka itu mampu menandingi, bahkan membuat kakek pendek botak itu dua kali roboh bergulingan! Tetapi kini mereka merasa khawatir lagi melihat betapa Hok Yang Cu melolos senjata sabuk yang mengerikan itu karena mereka dapat melihat betapa kedua batang pisau yang ujungnya menghitam itu tentulah mengandung racun.
Juga mereka melihat betapa nenek Hek-sim Kui-bo kini juga memutar tongkatnya. Maka mereka pun cepat saling memberi tanda dan keduanya sudah mencabut pedang dan meloncat ke depan, menghadang nenek buruk itu.
“Lian-ji, apakah engkau memerlukan pedang?” teriak Gak Jit Kong pada keponakannya. Akan tetapi Suma Lian tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Paman, menghadapi tua bangka yang sudah mau mampus ini perlu apa menggunakan pedang? Sebaiknya kedua Paman mundur dan menonton saja, biarlah aku yang akan menghajar sepasang anjing tua betina dan jantan ini sampai mereka lari terbirit-birit menyembunyikan ekor di selangkangnya!”
“Bocah sombong lihat senjataku!” bentak Hok Yang Cu yang kembali menyerang penuh semangat walau pun tadinya dia sudah merasa gentar. Kini dia marah sekali dan masih belum mau melihat kenyataan, belum mau percaya bahwa dia kalah oleh gadis muda!
Juga nenek Hek-sim Kui-bo menerjang ke depan dengan tongkat hitamnya, akan tetapi dua orang kakek kembar telah menyambutnya dengan pedang mereka. Maka terjadilah perkelahian mati-matian antara nenek buruk itu melawan dua orang kakek kembar yang memainkan pedang mereka dengan cepat dan saling membantu.
Serangan sabuk berujung pisau beracun itu sangat berbahaya, namun dengan tenang Suma Lian menggerakkan kakinya dan ia sudah mempergunakan langkah-langkah ajaib dari Ilmu Sam-po Cin-keng yang luar biasa. Jangankan baru diserang oleh satu orang yang bersenjata sabuk berpisau. Dengan ilmu langkah ajaib ini, yang sudah dikuasainya dengan baik, bahkan Suma Lian akan berani memasuki barisan senjata dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahannya dan keampuhan ilmu langkah-langkah ajaib itu! Dengan mudah dia menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kakek pendek botak, bahkan dapat membalas dengan tamparan atau tendangan yang membuat kakek itu kadang-kadang terdesak hebat.
Pengeroyokan kedua orang kakek kembar Gak terhadap nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo repot juga. Biar pun tingkat kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya dibandingkan masing-masing pendekar Gak itu, akan tetapi ketika mereka maju berbareng sebagai Beng-san Sian-eng, nenek itu kewalahan juga.
Dua orang kakek kembar ini selain memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan ampuh, juga kalau maju berdua seperti satu orang yang berbadan dua saja. Mereka dapat bergerak otomatis saling bantu sehingga seperti seorang lawan yang berkepala dua dan berkaki tangan empat!
Harus diakui bahwa biar pun mereka lebih dahulu mempelajari ilmu silat dibandingkan Suma Lian, namun pada waktu itu tingkat kepandaian Suma Lian jauh melampaui kedua orang pamannya. Hal ini adalah karena memang bakat gadis itu jauh lebih besar, juga karena kedua orang saudara kembar ini belum menguasai inti dari ilmu-ilmu silat tinggi ayah mereka.
Walau pun demikian, karena maju berdua, cukup merupakan lawan yang amat lihai dan kuat. Dengan Ilmu Pedang Pengacau Langit (Lo-thian Kiam-sut) mereka berdua dapat membendung gelombang serangan tongkat Hek-sim Kui-bo, bahkan dengan pedang mereka, kini Beng-san Siang-eng mulai mendesak nenek yang menjadi repot dan harus terus main mundur, gelisah sekali melihat betapa teman yang diandalkannya, si pendeta pendek itu, juga terdesak hebat oleh gadis yang amat lihai itu!
Perkelahian antara Suma Lian dan Hok Yang Cu memang berat sebelah. Kepandaian gadis itu memang jauh lebih tinggi dan wataknya yang nakal dan jenaka membuat Suma Lian sengaja mempermainkan lawan. Kalau dia menghendaki, tentu saja sejak tadi dia sudah mampu merobohkan lawan, bahkan kalau perlu membunuhnya, akan tetapi dasar gadis yang memiliki watak aneh dan kadang-kadang suka ugal-ugalan, maka dia pun lebih senang mempermainkannya!
Tiba-tiba terdengar suara seruan kanak-kanak, “Enci Lian, hajar setan pendek itu, Enci!”
Suma Lian menengok. Ternyata Souw Hui Lian menggandeng tangan Gak Ciang Hun telah muncul di ambang pintu depan. Wanita itu tentu saja merasa khawatir mendengar suara perkelahian di luar dan sampai lama tiada tanda kemenangan di pihak suaminya. Maka sambil menuntun tangan puteranya ia pun keluar untuk menonton.
Ketika ia melihat betapa suaminya mengeroyok nenek buruk itu, sedangkan keponakan wanita itu dengan tangkasnya mampu menandingi kakek bersabuk itu dengan tangan kosong saja, hati Hui Lian menjadi kagum dan girang bukan main. Jelas bahwa di situ tidak ada musuh lain kecuali dua orang itu. Maka ia pun cepat mencabut pedangnya dan meninggalkan puteranya di ambang pintu. Ia sendiri cepat meloncat dan membantu suami-suaminya untuk mengeroyok Hek-sim Kui-bo!
Melihat betapa Suma Lian menandingi kakek pendek sambil berloncat cepat dan aneh dan gadis itu tersenyum-senyum mengejek, Ciang Hun menjadi gembira dan berseru kepada gadis itu untuk menghajar lawannya.
Pada waktu Suma Lian menengok, kesempatan ini digunakan oleh Hok Yang Cu untuk menyerangnya dengan hebat. Sabuknya bergerak cepat bagai kilat dan sebatang pisau beracun meluncur ke arah tenggorokan gadis itu. Cepat bukan main serangan ini dan tahu-tahu pisau itu telah terbang menyambar ke arah tenggorokan Suma Lian yang berkulit halus mulus dan putih bersih!
Namun Suma Lian tahu akan hal ini. Dia teringat akan seruan Ciang Hun, maka kini tangannya menangkis, dan jari-jari tangannya yang kecil mungil itu menjentik ke arah pisau.
“Tringggg...!”
Pisau itu terpental, membalik dan terdengar kakek ini berteriak kesakitan ketika pisau yang membalik itu tahu-tahu telah melukai pundaknya! Sebuah tendangan membuat tubuhnya yang tersentak kaget ini terlempar dan jatuh terbanting lalu bergulingan.
“Kui-bo…, lari...!” teriaknya.
Dan tanpa menanti jawaban temannya lagi, dia pun terus menggelinding ke pekarangan depan dan meloncat bangun lalu melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam.
Sementara itu, Hek-sim Kui-bo yang memang sudah terdesak oleh kedua orang kakek kembar itu, menjadi semakin repot ketika Hui Lian maju membantu dua orang suaminya. Tingkat kepandaian Hui Lian tidak banyak selisihnya dengan tingkat suaminya. Apa lagi ketika ia melihat betapa temannya semakin terdesak.
Ketika Hok Yang Cu terkena pisau beracunnya sendiri, hanya beberapa detik kemudian pedang Gak Jit Kong juga sudah melukai pangkal lengan kanannya, dan tendangan Hui Lian juga telak mengenai pahanya. Maka ia pun terhuyung ke belakang dan mendengar seruan temannya, dia pun langsung meloncat ke pekarangan dan menghilang di dalam kegelapan malam.
“Kejar mereka...!” Hui Lian berseru, siap untuk mengejar. Akan tetapi sebuah tangan yang halus menyentuh tangannya.
“Sebaliknya tidak usah, Bibi. Musuh yang sudah melarikan diri tidak perlu dikejar, apa lagi dalam gelap begini. Mereka adalah orang-orang yang curang dan berbahaya. Pula, menurut kata ayah, keluarga Pulau Es tidak pernah memusuhi orang-orang golongan hitam, hanya menentang perbuatan mereka yang jahat. Kalau mereka tidak menyerang, tidak perlu dilayani.”
“Ia benar. Mari kita masuk saja,” kata Gak Jit Kong dan mereka lalu memasuki rumah dan menutup daun pintu depan dengan rapat.
“Wah, enci Lian sungguh hebat! Kakek pendek yang lihai itu dijadikan bola olehnya!” kata Ciang Hun gembira.
“Itulah hasilnya kalau belajar dengan baik dan tekun,” kata Hui Lian kepada puteranya. “Engkau harus meniru enci-mu. Suma Lian, kami berterima kasih sekali karena kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan kami berempat.”
“Ahhh, Bibi, kita adalah orang sekeluarga sendiri, tidak perlu bersikap sungkan. Pula, kurasa dua orang penjahat tadi tidak akan mudah saja mengalahkan Bibi dan Paman berdua.”
“Sudahlah, Lian-ji, tidak perlu memuji kami. Yang jelas, kami berdua sudah ketinggalan jauh dalam ilmu silat dibandingkan denganmu dan biarlah kami akan berlatih dengan lebih tekun. Akan tetapi, setelah urusan yang mengganggu kami ini dapat dihindarkan, sekarang engkau harus menceritakan keperluanmu datang berkunjung ini.”
Suma Lian menarik napas panjang. Memang sejak tadi selalu ditahannya berita yang tidak menyenangkan itu karena keluarga ini sedang menghadapi ancaman bahaya. Dan setelah kini bahaya itu lewat, tentu saja ia harus menceritakannya.
“Aku datang berkunjung karena diutus oleh kongkong, Paman. Beliau meminta supaya Paman berdua dan sekeluarga suka datang menengok beliau karena pada waktu ini kongkong sedang menderita sakit...“
“Ayah sakit...?” Dua orang kakek kembar itu berseru hampir berbareng.
“Lian-ji, kenapa tidak dari kemarin engkau memberi tahu kami?” Gak Jit Kong menegur dengan muka sedih.
“Ayah sakit apakah, Suma Lian?” sambung Gak Goat Kong.
“Aku memang menahan berita ini ketika melihat keluarga Paman terancam bahaya agar jangan menambahi gelisah. Sebetulnya, penyakit kongkong adalah penyakit biasa, yaitu kelemahan setiap orang yang usianya sudah terlalu tua, demikian menurut keterangan kongkong sendiri. Karena itu, diharap agar Paman sekalian suka berkunjung ke sana sekarang juga.”
“Ahhh, ayah...“
Kedua orang kembar itu merasa gelisah dan berduka, mengingat betapa selama ini mereka gagal mencari ayah mereka. Sampai kurang lebih sepuluh tahun semenjak ayah mereka meninggalkan Puncak Telaga Warna, mereka tidak pernah mendengar tentang ayah mereka lagi, apa lagi melihatnya.
“Di mana dia?” tanya Gak Jit Kong. “Jauhkah dari sini?”
“Tidak jauh, hanya di lereng Cin-ling-san, pegunungan itu nampak dari sini kalau siang hari, Paman.”
Dua orang kembar itu terkejut dan girang. Ternyata ayah mereka berada di gunung sebelah! Malam itu mereka tidak tidur lagi dan mereka berdua bertanya tentang ayah mereka dan mereka berdua terharu bukan main mendengar betapa ayah mereka kini berjuluk Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama) dan bahkan ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan Suma Lian, kakek itu seperti seorang jembel tua yang kotor dan tidak waras!
“Aihhh, akulah yang berdosa terhadap ayah mertuaku...“ Tiba-tiba Hui Lian menangis ketika melihat betapa dua orang suaminya berlinangan air mata. “Akulah yang membuat kalian berdua menjadi anak-anak yang tidak berbakti, membuat hati ayah kalian menjadi merana dan kecewa...“
Hui Lian menangis sesenggukan. Dia tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan dia pun merangkul puteranya. Ciang Hun kemudian ikut menangis pada saat melihat betapa ibunya menangis sedih.
Melihat sikap isteri mereka itu, Beng-san Siang-eng menjadi terharu dan wajah mereka diliputi kedukaan, “Hui Lian, kamilah yang bersalah terhadap ayah!” kata Gak Jit Kong.
“Engkau tidak bersalah, dan biarlah nanti kami yang akan mohon ampun kepada ayah.” sambung Gak Goat Kong.
Suma Lian adalah seorang gadis yang memiliki perasaan yang peka, mudah tersentuh sehingga ia mudah riang gembira dan jenaka, akan tetapi mudah pula terharu. Melihat Hui Lian menangis, diikuti puteranya, dan melihat pula sikap dua orang kakek kembar itu yang gagah perkasa dan masing-masing mengakui kesalahan dengan isteri mereka, ia pun merasa terharu sekali sampai kedua matanya menjadi basah.
Ia dapat merasakan cinta kasih yang besar antara dua orang kembar itu dengan isteri mereka. Keadaan mereka itu memang amat ganjil bagi Suma Lian dan ia tidak dapat menyelaminya, namun ia dapat merasakan kasih sayang yang amat mendalam di dalam keluarga orang kembar ini.
“Paman dan Bibi, harap kalian jangan berduka. Ketahuilah bahwa kongkong sering kali membicarakan tentang Paman dan Bibi dengan sikap yang amat mencinta dan rindu. Dari kata-katanya aku dapat memastikan bahwa beliau sama sekali tidak marah kepada kalian, apa lagi membenci.”
Mendengar ini, dua orang saudara kembar itu memandang kepada Suma Lian dengan sinar mata penuh harapan. “Suma Lian, benarkah kata-katamu barusan ataukah hanya hiburan belaka untuk kami?” tanya Gak Goat Kong.
“Paman, mana aku berani membohong?”
“Sudahlah, mari kita semua berangkat. Andai kata ayah marah-marah kepada kita sekali pun, hal itu sudah sepatutnya dan kita hanya bisa minta maaf kepadanya. Yang penting, kita dapat bertemu dan menghadap ayah. Aihh, Lian-ji, betapa selama bertahun-tahun ini kami bersusah payah mencari ayah, namun selalu gagal,” kata Gak Jit Kong.
Konflik atau pertentangan yang terjadi antara kita dengan orang lain, sama sekali tidak dapat diatasi dengan prasangka, dengan sikap ingin benar sendiri dan ingin menang sendiri. Konflik akan makin memuncak kalau kita saling menilai keadaan orang lain itu, karena penilaian selalu dipengaruhi keadaan hati seseorang, didasari rasa suka dan tidak suka yang timbul dari si aku yang merasa diuntungkan atau dirugikan.
Kalau kita sedang bertentangan dengan seseorang, biasanya kita selalu menilai orang itu, segala sikap dan perbuatannya terhadap kita yang tentu saja menimbulkan nilai buruk karena orang itu kita anggap merugikan. Penilaian ini akan menambah tebalnya kebencian dan permusuhan.
Akan tetapi, cobalah kita mulai mengarahkan pengamatan kepada diri kita sendiri, sikap dan perbuatan kita sendiri tanpa penilaian, tetapi dengan pengamatan yang waspada, tanpa memihak, menyalahkan atau membenarkan diri sendiri. Maka, akan nampak jelas bahwa segala sebab yang mengakibatkan pertentangan, sebagian besar terletak dalam diri kita sendiri masing-masing.
Pengamatan terhadap diri ini akan dapat mendatangkan perubahan, dan ini menghapus pertentangan, sebab konflik keluar hanyalah pencerminan dari konflik yang terjadi dalam diri sendiri. Pengamatan kita terhadap diri sendiri, setiap saat, akan mengubah semua ulah kita terhadap orang lain, tidak mudah mata kita dibutakan oleh nafsu belaka, tidak mudah kita menjadi ‘mata gelap’ seperti dikatakan orang-orang bijaksana di jaman dahulu bahwa musuh yang paling kuat, paling berbahaya, paling licik, adalah diri sendiri, pikiran sendiri! Setan pembujuk dan penipu bukan berada di luar diri kita sendiri! Karena itu, pengamatan yang waspada terhadap diri sendiri akan melumpuhkan setan ini!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah keluarga Beng-san Siang-eng yang terdiri dari dua orang suami, satu isteri dan satu anak itu, mengikuti Suma Lian, menuju ke Pegunungan Cin-ling-san yang luas dan mempunyai banyak bukit-bukit. Di satu di antara lereng bukit inilah kini tinggal Bu Beng Lokai.....
Bukit itu mempunyai sumber air dan tanahnya amat subur, penuh dengan pohon-pohon besar. Di tengah sebuah di antara hutan-hutan yang memenuhi bukit yang merupakan anak bukit Pegunungan Cin-ling-san ini terdapat sebuah pondok. Tidak besar, hanya terbuat dari kayu-kayu pohon besar, dan memiliki dua buah kamar saja. Namun pondok itu terawat bersih, dan di depannya bahkan terdapat sebuah taman bunga yang indah.
Inilah tempat tinggal Bu Beng Lokai bersama dua orang muridnya, yaitu Suma Lian dan Pouw Li Sian. Muridnya yang bernama Suma Lian telah kita kenal, dan Suma Lian masih terhitung cucu keponakannya sendiri, atau lebih tepat, cucu keponakan mendiang isterinya. Ada pun muridnya yang ke dua, juga seorang gadis yang bernama Pouw Li Sian, usianya sebaya dengan Suma Lian, hanya lebih muda beberapa bulan saja.
Seperti Suma Lian, Pouw Li Sian ini juga tekun belajar silat dan kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ia juga cantik manis, dengan tahi lalat kecil di dagunya yang meruncing, menambah manis. Tetapi, wataknya sungguh jauh berbeda dengan Suma Lian.
Jika Suma Lian seorang gadis lincah, jenaka gembira yang kadang-kadang ugal-ugalan, dengan pakaian yang nyentrik dan seenaknya, sebaliknya Pouw Li Sian adalah seorang gadis yang cantik dan halus gerak-geriknya, sopan santun tutur katanya, dan biar pun pakaiannya juga sederhana dan tambal-tambalan seperti pakaian gurunya dan pakaian Suma Lian, namun potongan pakaian itu rapi dan sopan.
Di dalam kisah SULING NAGA telah diceritakan betapa Pouw Li Sian ini adalah seorang keturunan bangsawan tinggi. Mendiang ayahnya adalah seorang menteri, seorang bangsawan tinggi yang berjiwa satria.
Pada waktu Pouw Tong Ki, demikian nama menteri itu, masih duduk sebagai Menteri Pendapatan, ia telah bentrok dengan pembesar tinggi Hou Seng, thaikam (orang kebiri) yang menjadi kekasih kaisar dan karenanya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan kekuasaan yang tak terbatas. Dalam bentrokan inilah Pouw Tong Ki kena fitnah dan bahkan terbunuh oleh kaki tangan Hou Seng yang bersekutu dengan datuk-datuk sesat dari golongan hitam.
Seluruh keluarganya lalu terbasmi dan ditangkap sebagai pemberontak karena difitnah, kecuali Pouw Li Sian, puteri menteri itu yang dapat diselamatkan oleh Bu Beng Lokai. Ketika peristiwa itu terjadi, Pouw Li Sian baru berusia dua belas tahun dan bersama Suma Lian ia lalu diajak pergi oleh Bu Beng Lokai sebagai muridnya.
Kini Li Sian telah berusia dua puluh tahun, dan selama delapan tahun itu ia ikut bersama guru dan suci-nya (kakak seperguruannya) merantau, hidup menempuh kesulitan dan kekerasan serta kekurangan. Dan akhirnya, dua tahun yang lalu, gurunya menetap di dalam hutan di lereng bukit Pegunungan Cin-ling-San itu.
Li Sian, seperti juga Suma Lian, sangat sayang kepada gurunya, karena selain sebagai penyelamat dirinya, juga Bu Beng Lokai adalah satu-satunya orang yang melindungi dan menyayangnya. Seperti juga Suma Lian ia tidak menyebut suhu (guru) kepada Bu Beng Lokai, melainkan kongkong (kakek) dan hal ini diterima dengan senang oleh kakek itu karena dia merasa seolah-olah puteri menteri itu adalah seorang cucunya sendiri, seperti Suma Lian. Dan hubungan antara Suma Lian dan Pouw Li Sian juga akrab sekali karena mereka hidup berdua di bawah asuhan kakek sakti itu sehingga mereka seolah-olah dua orang kakak beradik saja.
Ketika melihat kakek itu makin lemah karena usia yang tua, sudah mendekati seratus tahun, nampak semakin malas dan lebih sering bersemedhi atau tidur, mulailah kedua orang kakak beradik seperguruan itu merasa khawatir. Akhirnya kakek yang gagah itu pun harus mengalah dan mengakui keunggulan sang waktu.
Segala sesuatu di dunia ini akan berakhir, sedikit demi sedikit akan lenyap ditelan sang waktu. Demikian pula kehidupan manusia. Sang waktu akan menelan manusia sedikit demi sedikit melalui usia. Tanpa terasa manusia mendapatkan dirinya makin tua, makin dekat dengan saat akhir di mana dia harus mengakui kelemahan dirinya, mengakui betapa kehidupan ini tidaklah abadi, dan kematian akan menjemputnya dan mengakhiri segala perjalanan hidupnya.
Ketika kakek itu lebih banyak berbaring dengan lemah, dan sering kali mengigau dalam tidur memanggil-manggil nama kedua anak kembarnya, Suma Lian lalu memberanikan diri mengajukan usul kepada kongkong-nya, setelah berunding dengan sumoi-nya, Li Sian.
“Kongkong, bagaimana kalau aku pergi ke Beng-san dan menemui kedua orang paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, memberi tahu mereka bahwa Kongkong berada di sini dan mengajak mereka untuk datang ke sini?” demikian usulnya sambil duduk di tepi pembaringan kakek itu, sementara itu Li Sian memijati kaki gurunya.
Kakek itu membuka matanya dan sejenak sepasang mata itu mengeluarkan sinar, akan tetapi menjadi redup kembali, kemudian dia menghela napas panjang dan terdengar kata-katanya, seperti kepada diri sendiri, hanya lirih saja. “Ahhh, mereka tidak akan mau datang menengokku, mereka telah melupakan ayah mereka...“
Melihat, sikap kongkong-nya ini, Suma Lian lalu berunding dengan sumoi-nya dan Pouw Li Sian juga merasa setuju untuk mengundang putera kembar guru mereka itu. Akhirnya diputuskan bahwa Suma Lian akan pergi mengabarkan kepada Beng-san Siang-eng, sedangkan Pouw Li Sian tetap tinggal di rumah itu untuk menjaga dan melayani semua keperluan gurunya.
Setelah Suma Lian pergi dan pada suatu pagi Bu Beng Lokai menanyakan kepada Li Sian ke mana perginya suci-nya itu, Li Sian terus terang mengatakan bahwa suci-nya itu pergi ke Beng-san untuk mengundang Beng-san Siang-eng. Wajah kakek itu nampak berseri dan sinar matanya penuh harap sehingga diam-diam Li Sian merasa terharu dan bersyukur bahwa suci-nya mempunyai pendapat yang amat baik untuk mengundang kedua orang pendekar kembar itu.
Beberapa hari kemudian, Li Sian duduk di depan pondok bersama gurunya. Kakek Bu Beng Lokai nampak agak segar pagi itu, dan begitu merasa tubuhnya sehat, dia pun duduk di depan pondok untuk membiarkan sinar matahari pagi memandikan dirinya. Li Sian sudah selesai berlatih dan mencuci pakaian dan kini ia menemani kakek itu duduk di luar pondok. Kakek itu sudah sarapan bubur yang tadi dipersiapkan Li Sian dan gadis itu duduk di atas sebuah bangku kecil, di sebelah kanan gurunya yang membuka baju atas membiarkan sinar matahari menghangatkan dadanya.
“Saya gembira sekali, pagi ini Kongkong nampak sehat sekali,” berkata Li Sian sambil memandang kakek itu dengan sinar mata penuh hormat dan sayang.
Bu Beng Lokai memandang muridnya itu dan tersenyum. “Li Sian, aku sudah lama tidak melihat engkau berlatih. Sekarang cobalah engkau mainkan Lo-thian Sin-kun, aku ingin sekali melihat sampai di mana kemajuanmu.”
“Baik, Kongkong,” kata Li Sian.
Gadis ini bangkit berdiri lalu meloncat ke tengah pekarangan depan rumah itu, di dekat taman bunga yang dirawatnya dengan amat baik bersama suci-nya. Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun dan Lo-thian Kiam-sut memang merupakan dua buah ilmu silat tinggi yang telah disempurnakan oleh kakek itu dan merupakan inti dari pada ilmu-ilmu yang diajarkan kepada dua orang muridnya. Setelah memberi hormat dengan mengepal tangan kanan dilekatkan tangan kiri yang terbuka di depan ulu hati dan menghadap gurunya, Li Sian lalu bersilat.
Indah bukan main gerakan gadis ini. Orangnya memang cantik, bentuk tubuhnya indah. Tubuh seorang dara yang sedang masak-masaknya, dengan pinggang ramping dan lekuk lengkung tubuh yang sempurna, penuh sifat kehalusan dan kelembutan seorang wanita, maka gerakan silat itu sungguh amat indah. Memang Bu Beng Lokai yang sudah mendalami ilmu silat sampai ke intinya, menekankan segi-segi terpenting dari ilmu silat.
Di dalam gerakan ilmu silat terkandung seni tari yang indah, gerakan tubuh demikian hidup dan penuh keindahan, juga mengandung seni olah raga yang menyehatkan tubuh sebab gerakan-gerakan itu memperlancar jalan darah bahkan mengendalikan hawa dan tenaga sakti dalam tubuh. Selain seni tari dan olah raga, juga mengandung pengaruh menyehatkan batin di samping ilmu bela diri.
Permainan Li Sian memang indah sekali, juga gerakannya mantap, setiap pukulan atau tangkisan mengandung tenaga yang nampaknya halus namun sesungguhnya amat kuat karena gadis ini pun sudah menguasai penggunaan Tenaga Inti Bumi, bahkan sudah mahir pula mempergunakan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari Pulau Es!
Kecepatannya mengagumkan sehingga diam-diam Bu Beng Lokai mengangguk-angguk bangga. Keindahan, kecepatan, kekuatan, tiga hal ini sudah terwujud dalam ilmu silat yang dimainkan Li Sian.
“Ambil ranting dan pergunakan sebagai pedang, mainkan Lo-thian Kiam-sut,” kata Bu Beng Lokai.
Tubuh gadis itu tiba-tiba berkelebat ke atas, ke arah sebatang pohon di tengah taman bunga dan ketika berkelebat kembali ke depan gurunya, ia sudah memegang sebatang ranting pohon. Sekali menggerakkan ranting itu, daun-daun yang melekat di situ rontok dan mulailah ia memainkan ilmu pedang yang diminta gurunya. Seperti juga ilmu silat tangan kosong yang tadi dimainkan dengan halus namun dengan kecepatan yang luar biasa, membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar hijau dari ranting itu, sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya!
Melihat kemajuan muridnya ini, timbul kegembiraan hati Bu Beng Lokai dan tiba-tiba dia sudah bangkit berdiri. “Li Sian, mari kita latihan bersama!” katanya gembira.
Dan kakek itu sudah meloncat memasuki gulungan sinar pada ranting pohon yang dimainkan sebagai pedang oleh gadis itu. Dia mainkan kedua tangannya dan kakinya bergerak dalam langkah-langkah ajaib Sam-po Ci-keng dan melihat ini, Li Sian girang bukan main. Ini menandakan bahwa gurunya itu telah sehat benar!
Maka, ia pun melayani gurunya dan mereka berlatih bersama. Biar pun sudah tua dan baru saja sembuh dari keadaan tidak sehat, namun begitu tubuhnya bergerak dalam permainan silat, tubuh itu seperti mendapatkan kekuatan baru dan gerakannya lincah dan kuat! Li Sian juga bersilat dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk mengalahkan gurunya.
Namun, biar gurunya sudah sangat tua, bagaimana pun juga dia kalah jauh dalam hal kematangan ilmu silat dan pengalaman. Tiba-tiba ujung ranting yang dimainkan sebagai pedang itu dapat tertangkap oleh tangan kanan kakek itu. Li Sian mengerahkan tenaga untuk merampas kembali senjatanya, kakek itu mempertahankan.
“Krekkk!” Ranting itu patah-patah dan keduanya melompat ke belakang. Wajah Li Sian berubah merah.
“Wah, Kongkong sudah sehat benar, sudah mampu mengalahkan saya dengan amat mudah!” kata Li Sian.
Bu Beng Lokai berkata setelah menghapus peluhnya yang membasahi tubuh atas itu dengan bajunya.
“Li Sian, pada saat lawan berhasil menangkap senjata, kesempatan itulah yang teramat baik untuk menyerangnya. Biarkan ia kegirangan karena berhasil menangkap senjatamu sehingga dia lengah. Dan pada detik itu pula muncul kesempatan yang teramat baik untuk merobohkannya.”
“Maksud Kongkong, saya tidak seharusnya mengerahkan tenaga untuk coba merampas kembali senjata yang sudah tertangkap, tetapi menggunakan saat itu untuk menyerang lawan dengan tangan kiri?”
Kakek itu mengangguk. “Benar, tertangkapnya senjatamu merupakan pancingan yang tidak disengaja dan dapat berhasil baik. Lawan akan lengah dan saat itu engkau dapat mempergunakan tangan kiri atau kakimu untuk menyerangnya. Ini berarti membiarkan kemenangan datang melalui kekalahan. Kelihatannya saja engkau sudah kalah karena senjatamu tertangkap, akan tetapi kekalahan itu justeru membuka kesempatan bagimu untuk memperoleh kemenangan. Mengertikah engkau?”
“Saya mengerti, Kongkong.”
“Nah, bagus. Bagaimana pun juga, engkau sudah memperoleh kemajuan yang cukup baik. Tentu selama aku mengaso dan tak mampu mengawasimu, engkau terus berlatih dengan giat.”
“Ahhh, betapa pun kerasnya saya berlatih, masih sukar bagi saya untuk mengimbangi kemajuan suci, Kongkong.”
Kakek itu tersenyum. “Bukan salahmu. Suma Lian memang berbakat sekali, dan selain itu, ingatlah bahwa ia keturunan langsung dari ayah mertuaku, Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es! Bahkan ayah ibunya juga merupakan sepasang pendekar yang sakti. Sejak kecil ia sudah digembleng ayah ibunya dan ketika ia menjadi muridku, ia telah memiliki dasar yang kuat sekali, berbeda dengan engkau yang ketika itu belum pernah mempelajari ilmu silat sama sekali. Ilmu kepandaian silat mendiang ayahmu, Menteri Pouw Tong Ki itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat ayah ibu Suma Lian. Ketahuilah, Li Sian, bahwa ilmu-ilmu dari Pulau Es amat tinggi dan karenanya tidak mudah dikuasai dengan sempurna. Misalnya saja Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang yang pernah kau latih itu, kiranya sekarang sukar mencari orang yang mampu menguasainya sesempurna mendiang ayah mertuaku! Mungkin hanya Suma Ceng Liong ayah Suma Lian saja yang saat ini memiliki tingkat paling tinggi dalam hal ilmu silat keluarga Pulau Es. Akan tetapi, bekalmu sudah lebih dari cukup. Kalau engkau giat berlatih dan ditambah pengalaman-pengalamanmu nanti, kiranya engkau tidak akan tertinggal terlalu jauh. Eh, mengapa Suma Lian belum juga pulang?”
Li Sian masih duduk bersila di atas batu datar untuk mengatur pernapasan, memulihkan tenaga setelah latihan tadi. Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, ia pun menjawab. “Menurut perhitungan Lian-suci, mestinya kemarin ia sudah pulang. Saya kira hari ini ia akan pulang, Kongkong.”
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu duduk bersila pula di atas batu datar lain yang banyak terdapat di pekarangan itu. “Aku harus mengaso, sedikit latihan tadi melelahkan tubuhku, akan tetapi juga amat menggembirakan dan memberi semangat,” katanya. Dan tidak lama kemudian, Bu Beng Lokai sudah tenggelam dalam semedhinya.
"Tepat di sebelah timur jembatan itu," kata Kwee-piauwsu, “Hanya terhalang dua buah rumah. Rumah pelesir itu bercat merah, besar dan di depannya tumbuh sekelompok mawar.”
“Kalau begitu, aku akan pergi ke sana sekarang juga!” kata Sin Hong sambil bangkit berdiri dan menjura kepada Kwee-piauwsu, puterinya dan beberapa orang piauwsu yang tadi mencari jejak Lay-wangwe. “Terima kasih atas segala kebaikan Paman, juga engkau adik Ci Hwa, dan para saudara piauwsu yang telah membantuku.”
“Nanti dulu, Sin Hong,” kata Kwee piauwsu, “Engkau... apa yang hendak kau lakukan terhadap orang gendut botak itu?”
“Akan kutangkap dia dan kupaksa mengaku tentang peristiwa yang terjadi.”
“Sin Hong, engkau tidak boleh memandang rendah pada mereka yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap ayahmu dan Tang-piauwsu itu. Mereka itu lihai dan berbahaya, dan siapa tahu kalau-kalau dugaanmu benar dan di belakang Lay-wangwe itu terdapat gerombolan jahat itu. Engkau harus berhati-hati...“
“Biarlah aku yang menemaninya, Ayah! Tan-toako, mari kutunjukkan engkau tempatnya dan aku akan membantumu kalau muncul orang-orang jahat itu!” kata Ci Hwa dengan gagah.
Tentu saja Sin Hong merasa semakin tidak enak. Melihat keraguannya, Kwee-piauwsu berkata, dengan suara yang tegas.
“Ci Hwa benar, Sin Hong. Engkau boleh mengandalkan ia yang sudah memiliki ilmu silat cukup tinggi untuk membela diri dan juga membantumu. Nah, kalian pergilah, akan tetapi berhati-hatilah dan jangan bertindak sembrono.”
Sin Hong tidak dapat menolak lagi dan terpaksa dia bersama Ci Hwa lalu keluar dari rumah keluarga Kwee. Mereka berjalan berdampingan. Malam menjelang pagi itu dingin dan sunyi bukan main, juga agak gelap karena kini bulan sudah lenyap, tinggal tersisa bintang-bintang yang suram cahayanya.
“Siauw-moi (adik kecil), sungguh aku hanya membikin repot engkau saja,” Sin Hong berkata, karena dia merasa tidak enak oleh sikap gadis itu yang diam saja.
“Ah, tidak, Toako. Bagaimana pun juga, aku merasa berkewajiban untuk ikut membantu menangkap penjahat itu, yang telah membunuh ayahmu dan Tang-piauwsu, karena aku harus membersihkan nama ayah yang tadinya ternoda oleh dugaan bahwa ayah yang melakukan kejahatan itu.”
Sin Hong tidak bicara lagi, diam-diam dia kagum kepada gadis ini. Seorang gadis yang tidak banyak bicara, akan tetapi memiliki semangat besar, keberanian dan kegagahan.
“Nah, itulah rumahnya,” kata Ci Hwa menunjuk ke sebuah rumah yang cukup besar dan bercat merah, di halaman depan tumbuh bunga-bunga mawar. Semua daun pintu dan jendela rumah itu masih tertutup dan suasananya sunyi sekali.
“Aku akan segera mengetuk pintu dan minta bicara dengan Lay-wangwe,” berkata Sin Hong sambil melangkah lebar untuk menghampiri pintu depan.
“Nanti dulu, Toako. Kalau engkau datang begitu saja ingin menemuinya, tentu dia curiga dan kalau dia melarikan diri, engkau akan kehilangan dia dan akan sukar kalau harus mencari orang yang sembunyi-sembunyi. Sebaiknya kalau aku berjaga-jaga di bagian belakang agar dia tidak dapat melarikan diri. Kalau dia lari dari pintu belakang, aku akan menahannya.”
Sin Hong merasa semakin kagum. Dibandingkan gadis ini, dia kalah jauh dalam hal pengalaman dan kecerdikan. “Baiklah, Hwa-moi, engkau benar sekali.”
Gadis itu lalu berkelebat dan dengan cepat berlari memutari rumah itu untuk mengintai dan berjaga di belakang rumah. Setelah menunggu beberapa lamanya untuk memberi kesempatan kepada Ci Hwa tiba di belakang rumah dan mencari tempat pengintaian yang tepat, Sin Hong kemudian menghampiri pintu depan. Dia tidak ingin menimbulkan keributan dengan masuk sebagai seorang pencuri. Dia mengetuk pintu depan beberapa kali.
Tak lama kemudian daun pintu terbuka dan seorang kakek berusia enam puluh tahun muncul sambil menggosok-gosok mata dengan punggung tangan. Dia nampak masih mengantuk, juga ketika pintu terbuka, dia agak menggigil kedinginan oleh angin pagi yang menerpa masuk.
“Ah, Kongcu, sungguh merupakan waktu yang aneh untuk mengunjungi rumah pelesir!” Dia terkekeh. “Kongcu datang terlalu pagi atau justru terlalu malam. Anak-anak manis itu masih tidur pulas semua, nanti kurang lebih jam sepuluh mereka baru akan bangun. Apakah Kongcu menghendaki seorang di antara mereka? Dengan tambahan istimewa, kiranya ia mau dibangunkan pagi-pagi begini.”
Wajah Sin Hong berubah merah. Sialan, pikirnya, dia disangka ingin melacur!
Dia menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak, Lopek. Aku bukan datang untuk pelesir, melainkan mencari seorang tamu, yaitu Lay-wangwe.”
Mendadak pandang mata orang itu berubah, penuh kecurigaan dan alisnya berkerut. “Tidak ada yang bernama Lay-wangwe di sini,” katanya ketus.
Sin Hong tidak mau mempergunakan kekerasan yang akan meributkan suasana dan membikin takut Lay-wangwe.
“Lopek, aku tahu bahwa Lay-wangwe bermalam di sini. Ketahuilah, aku adalah seorang sahabat baiknya yang perlu sekali bicara dengan dia sekarang juga. Amat penting!” Sin Hong mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkannya kepada pelayan itu.
Melihat berkilaunya perak, pandang mata kakek itu silau dan sikapnya berubah walau pun dia masih ragu-ragu.
“Akan tetapi aku tidak mengenal siapa Kongcu, dan selain itu tamu yang sedang tidur nyenyak tentu akan marah sekali jika kuganggu dan kuketuk pintunya. Apa yang harus kukatakan kalau dia terbangun dan marah-marah kepadaku karena gangguanku?”
Uang itu sudah diterima dan lenyap ke dalam saku baju pelayan itu. Sin Hong sudah merasa menang, namun dia pun harus berhati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Dia tahu bahwa Lay-wangwe pasti telah memesan kepada para pelayan di tempat itu untuk merahasiakan kehadirannya di rumah itu.
“Kalau dia sudah terbangun dan marah-marah, katakan saja bahwa aku adalah seorang sahabatnya yang datang untuk memberi tahu padanya bahwa ada bahaya mengancam dirinya, dan dia harus cepat pergi bersamaku kalau ingin selamat.”
Mendengar ini, pelayan itu terbelalak.
“Wah, kalau begitu gawat!” katanya dan dia pun lari masuk ke dalam rumah besar itu setelah menutup kembali pintu depan.
Sin Hong menanti sambil mendekatkan telinganya ke daun pintu agar dapat mendengar lebih baik. Dia siap untuk mempergunakan kekerasan kalau jalan halus ini gagal. Akan tetapi siasatnya tadi berhasil baik.
Pada saat pelayan itu mengetuk daun pintu kamar di mana Lay-wangwe masih tidur mengorok sambil merangkul dua orang wanita pelacur yang mengapitnya, dia terbangun dan tentu saja dia marah-marah karena merasa terganggu.
“Lay-wangwe, ada keperluan penting sekali, harap bangun!” demikian suara pelayan yang mengetuk pintu kamar itu.
Dua orang pelacur terbangun lebih dahulu dan mereka segera menutupi tubuh mereka dengan selimut, sementara itu Lay-wangwe bangkit dan duduk dengan sukar karena perutnya amat gendut. Dia pun menutupi tubuhnya dengan selimut dan mengomel.
“Keparat, siapa berani menggangguku?” Kepada seorang di antara dua orang pelacur itu dia memberi isyarat untuk membuka daun pintu.
Ketika daun pintu terbuka dan dengan takut-takut pelayan tua itu terbungkuk-bungkuk masuk. Lay-wangwe membentak marah.
“Apa kau sudah bosan hidup, berani mengganggu aku sepagi ini?”
“Maafkan saya, Lay-wangwe, tetapi di luar sudah datang seorang tamu yang mengaku sahabat baik Wangwe. Dia mengatakan bahwa ada bahaya mengancam diri Wangwe dan kalau Wangwe menghendaki supaya selamat, Wangwe harus cepat-cepat pergi bersama dia sekarang juga.”
Laki-laki pendek gendut itu terbelalak, wajahnya berubah pucat dan cepat-cepat dia meraih pakaiannya secepat mungkin.
“Bagaimana orangnya? Masih mudakah? Atau sudah tua? Dan siapa namanya?” Dia bertanya sambil mengenakan pakaiannya.
“Dia belum sempat mengaku siapa namanya, akan tetapi orangnya masih muda dan dia ramah sekali, baik sekali, Lay-wangwe. Dan dia nampaknya bersungguh-sungguh...“
“Kalau begitu aku harus cepat pergi dari sini!” katanya sambil melemparkan beberapa potong uang perak kepada dua orang pelacur itu.
Dia keluar dari kamar dan melihat betapa beberapa buah kamar yang berderet di situ juga nampak terbuka. Agaknya ribut-ribut itu sudah membangunkan tamu-tamu lain. Hal ini sebenarnya biasa saja, namun orang she Lay yang sudah ketakutan itu sekarang memandang penuh kecurigaan, seakan-akan bahaya yang disebutkan tadi datang dari kamar-kamar itu. Dia pun cepat-cepat melangkah keluar, tidak tahu betapa beberapa buah kancing bajunya salah memasuki lubangnya serta kedua matanya kemerahan dan ujungnya dihias kotoran mata.
Setelah membuka pintu depan dia berhadapan dengan Sin Hong! Sekali lihat saja Sin Hong sudah tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan orang yang dimaksudkan oleh Tang-piauwsu dan Ciu-piauwsu, yaitu orang gendut botak yang terkenal dengan nama Lay-wangwe, si pengirim emas yang mengakibatkan tewasnya ayahnya dan membuat perkara menjadi berlarut-larut sampai kematian Tang-piauwsu itu.
Akan tetapi, dia belum yakin benar bahwa si gendut ini hanya merupakan umpan untuk menjebak ayahnya. Bagaimana kalau dia ini benar-benar pengirim emas, sama sekali tidak bersalah?
“Siapa... siapakah engkau...? tanya Lay-wangwe dengan sangsi ketika melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak pernah dikenalnya.
Akan tetapi, Sin Hong melangkah maju. “Apakah engkau yang bernama Lay-wangwe?”
Karena tak mengenal pemuda itu, muncul lagak Lay-wangwe yang memandang rendah orang lain. Apa lagi orang ini mengganggunya dan dia tidak melihat adanya gangguan dan dia tidak melihat adanya bahaya mengancam seperti yang dikatakan pelayan tadi.
“Benar, akulah Lay-wangwe. Engkau siapa dan mau apa?” Kemudian dia menoleh ke kanan kiri dan menyambung, “Engkau bilang ada bahaya? Engkaulah yang mengatakan ada bahaya tadi, dan di mana bahaya itu?”
Sin Hong tersenyum. “Lay-wangwe, di sinilah letaknya bahaya kalau engkau tidak mau bicara terus terang padaku. Ketahuilah, aku adalah putera dari mendiang Tan-piauwsu, pemimpin Peng An Piauwkiok yang dahulu mengangkut emasmu ke Tuo-lun! Ingatkah engkau? Engkau datang kepada ayah, mengirim peti berisi emas ke Tuo-lun, kemudian di tengah jalan, ayah dibunuh orang dan engkau menuntut ganti kerugian dan menyita rumah beserta perusahaan ayah. Lalu terjadi pembunuhan pula atas diri Tang-piauwsu belum lama ini. Nah, katakanlah, apa yang kau ketahui tentang semua pembunuhan itu?”
Lay-wangwe terbelalak memandang kepada Sin Hong, kemudian dia tersenyum lebar, mengejek. “Orang muda, hanya untuk itu engkau berani mengganggu aku? Memang akulah yang mengirim emas itu, dan karena hartaku hilang, aku lalu menyita rumah dan perusahaan ayahmu. Aku sudah menderita kerugian besar dan engkau masih hendak menggangguku? Aku tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu!” Ia pun membalikkan tubuhnya hendak masuk lagi.
“Tunggu dulu!” Sin Hong berseru dengan suara keras.
Lay-wangwe membalik dan kini matanya menjadi semakin merah dan alisnya berkerut karena dia sudah marah sekali.
“Engkau mengaku sebagai seorang hartawan di kota raja, akan tetapi ternyata engkau bukan hartawan kota raja karena di sana tidak ada seorang pun yang mengenalmu! Dan pada waktu engkau hendak mengirim peti berisi emas itu melalui Ban-goan Piauwkiok, engkau menolak ketika petinya hendak dibuka dan isinya diperiksa, bahkan engkau lalu membatalkan pengiriman itu, dan mengirimkannya tanpa membuka peti melalui ayahku. Siapakah engkau ini sebenarnya dan apa maksudmu memancing ayah dengan umpan kiriman emas itu untuk menjebaknya?”
“Bocah kurang ajar! Berani engkau menyelidiki keadaanku? Engkau patut dihajar!”
Dan tiba-tiba saja orang yang gendut itu bergerak cepat sekali, menyerang Sin Hong dengan pukulan dua tangannya secara bertubi-tubi! Orang akan terkejut sekali melihat betapa ‘hartawan’ Lay itu tiba-tiba saja menjadi seorang laki-laki yang ganas dan dapat melakukan penyerangan secepat dan sekuat itu, padahal tubuhnya bulat dengan perut yang gendut.
Sin Hong tentu saja tidak gugup, akan tetapi dia pun agak terkejut karena tidak mengira bahwa Lay-wangwe itu ternyata bisa menyerangnya, bukan hanya dengan cepat sekali, tapi juga dia dapat melihat betapa pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat! Kiranya si gendut ini bukan orang sembarangan dan tentu saja kecurigaannya semakin bertambah.
“Hemmm, kiranya engkau seorang tukang pukul!” katanya sambil miringkan tubuhnya.
Pada saat kedua tangan Lay-wangwe yang melancarkan pukulan bertubi-tubi itu lewat, tangan Sin Hong bergerak menotok dan robohlah tubuh yang berperut gendut itu, tidak mampu bangkit lagi karena tubuh itu terasa lemas oleh totokan Sin Hong! Kini muka orang itu nampak ketakutan karena baru dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang luar biasa lihainya, yang dapat merobohkannya dalam satu gebrakan saja! Sulit untuk dipercaya, akan tetapi kenyataannya demikianlah dan dia mulai merasa ngeri dan takut.
“Nah, sekarang ceritakan yang sebenarnya. Siapa yang dulu mengatur pancingan dan jebakan itu? Siapa pula yang sudah membunuh ayahku dan Tang-piauwsu? Katakan sebetulnya kalau tidak ingin aku terpaksa menggunakan kekerasan memaksamu!”
Sin Hong sengaja menekankan jari tangannya ke pundak orang gendut itu dan orang itu pun menyeringai kesakitan. Penekanan pada jalan darah di pundaknya itu membuat seluruh tubuh bagian atasnya demikian nyeri seperti ditusuki ribuan jarum dan keringat dingin membasahi muka dan lehernya.
“Aku... aku tidak tahu siapa pembunuhnya... aku hanyalah anak buah saja...,“ katanya dengan suara terputus-putus saking hebatnya rasa nyeri yang dideritanya. Sin Hong melepaskan jarinya.
“Lalu siapa pemimpinmu? Siapa yang mengutusmu? Jawab!”
“...Tiat... Tiat-liong-pang...!” Tiba-tiba dia menjerit dan berkelojotan.
Sin Hong terkejut bukan main. Pada saat orang itu tadi mulai membuat pengakuan, ada belasan jarum dan paku beracun menyambar ke arahnya dari depan. Ia cepat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangannya mendorong sehingga sisa senjata rahasia itu terpukul angin dorongannya sehingga runtuh. Akan tetapi ketika dia memandang, dia melihat orang gendut itu sudah berkelojotan dengan muka membiru dan mata melotot.
Dia melihat bayangan orang berkelebat lari ke dalam rumah itu. Sudah terlambat untuk menyelamatkan si gendut dan dia pun cepat meloncat dan mengejar ke dalam rumah. Bayangan yang kelihatan berpakaian hitam itu ternyata mempunyai gerakan yang amat cepat.
Terdengar jeritan-jeritan para wanita ketika Sin Hong berlari cepat memasuki rumah itu. Ternyata wanita-wanita pelacur yang keluar dari kamar masing-masing, terkejut dan ketakutan melihat kejar-kejaran itu, apa lagi yang dikejar adalah seorang yang memakai pakaian hitam dan kedok hitam pula!
Dengan penuh semangat Sin Hong melakukan pengejaran. Dia merasa yakin bahwa orang berpakaian hitam itulah yang menjadi kunci rahasia pembunuhan-pembunuhan itu, setidaknya orang itu tentu yang sudah membunuh Tang-piauwsu. Maka dia harus dapat menangkapnya!
Orang itu menerjang pintu belakang dan terus melompat ke dalam kegelapan pagi yang masih remang-remang itu. Tetapi tiba-tiba ada orang menyambutnya dengan bentakan nyaring.
“Berhenti!” Bentakan itu dibarengi munculnya Kwee Ci Hwa dengan pedang telanjang di tangan.
Melihat betapa ada seorang gadis berpedang menghadang di depannya, orang itu tidak berhenti, bahkan menerjang dan menyerang Ci Hwa! Tentu saja Ci Hwa terkejut akan kenekatan orang itu dan ia pun menyambut dengan tusukan pedangnya! Akan tetapi, orang itu menangkis dengan tangan kiri dan tangan kanannya tetap saja mencengkeram ke arah dada Ci Hwa!
“Plakkk!”
Pedangnya tertangkis oleh tangan kosong itu begitu saja sampai hampir terlepas dari pegangannya dan dadanya terancam cengkeraman. Terpaksa Ci Hwa melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, kemudian ia membalikkan tubuhnya. Tapi terlambat!
Orang yang ternyata luar biasa lihainya itu sudah menendang lututnya sehingga Ci Hwa terguling. Orang itu menubruk lagi dengan hantaman tangan kanannya ke arah kepala Ci Hwa yang sudah tidak sempat untuk mengelak atau menangkis lagi!
“Dukkk!”
Pukulan hebat dari orang berkedok hitam itu tertangkis oleh tangan Sin Hong yang datang tepat pada saat nyawa Ci Hwa terancam bahaya itu.
Orang itu mengeluarkan seruan kaget, kemudian menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke arah dada Sin Hong. Pukulan jarak jauh! Ini membuktikan bahwa orang berkedok itu memang lihai bukan main. Sin Hong menyambut dengan dorongan penuh tenaga sinkang sehingga orang itu terjengkang!
Kembali dia mengeluarkan seruan kaget dan terus meloncat jauh dan menghilang ke dalam kegelapan pagi buta itu. Sin Hong tidak mengejar karena dia mengkhawatirkan keselamatan Ci Hwa melihat kelihaian orang itu. Siapa tahu masih ada kawanan penjahat di situ yang akan mencelakai Ci Hwa.
“Engkau terluka, Hwa-moi (adik Hwa)?” tanyanya sambil memegang pundak gadis itu.
Ci Hwa menggelengkan kepala, lalu bangkit berdiri. Kakinya tidak terluka parah, hanya agak terpincang.
“Mari kita kejar dia!” kata Sin Hong dan sambil memegang tangan gadis itu, dia pun meloncat sehingga Ci Hwa merasa seolah-olah tubuhnya diangkat dan dibawa terbang! Sampai beberapa lamanya Sin Hong dan Ci Hwa mencari-cari, namun si kedok hitam itu sudah lenyap.
“Sayang, dia telah pergi...!” kata Sin Hong yang terpaksa menghentikan larinya.
Gadis itu mengangkat muka memandangnya dengan sinar mata penuh rasa kagum, lalu ia merunduk dan merasa malu sekali untuk bertemu pandang dengan pemuda itu.
“Hong-ko...“
“Ya. Kenapa, Moi-moi, engkau tidak terluka parah, bukan?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, dan aku tadi terbebas dari maut, berkat pertolonganmu, Hong-ko.”
“Aih, sudahlah, hal itu tidak perlu disebut-sebut lagi. Sayang jahanam itu dapat lolos. Dia tentu tahu banyak tentang rahasia pembunuhan-pembunuhan itu.”
“Siapakah orang berkedok yang lihai itu, Hong-ko?”
“Aku tidak tahu. Aku berhasil bertemu dengan Lay-wangwe yang gendut itu dan ketika aku mulai mengancamnya untuk mengaku, mendadak dia diserang senjata rahasia dan tewas. Penyerangnya adalah orang berkedok itu maka aku mengejarnya.”
“Ahhh...!” Tentu saja Ci Hwa terkejut mendengar bahwa orang she Lay itu tewas pula oleh orang berkedok tadi.
“Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali, Hong-ko. Aku memandang rendah padamu, mengira engkau tidak sedemikian pandainya sehingga aku ikut membantumu, ternyata bahkan sudah menghalangimu menangkap orang berkedok itu. Kiranya engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya.”
“Sudahlah, Hwa-moi, jika tidak ada engkau yang menghadangnya, tentu aku tak sempat bentrok dengannya dan ia telah lebih dulu menghilang. Mari kita pulang dan melaporkan hal ini kepada ayahmu sebab tadi aku memperoleh keterangan yang cukup penting dari Lay-wangwe. Menurut pengakuannya sebelum dia terbunuh, dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”
“Tiat-liong-pang? Perkumpulan apa itu dan di mana?”
“Aku tidak tahu, sebaiknya kalau kita tanyakan hal itu kepada ayahmu, mungkin dia lebih tahu.”
Benar saja, ketika Kwee-piauwsu mendengar bahwa si gendut Lay itu diperalat oleh Tiat-liong-pang, dia terkejut bukan main. “Tiat-liong-pang? Perkumpulan besar di bawah pimpinan Siangkoan Lohan! Sungguh aneh sekali! Perkumpulan itu terkenal amat kuat, dan Siangkoan Lohan adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian sangat tinggi. Perkumpulannya terkenal kuat pula dan dia memiliki hubungan dekat dengan istana, bahkan kabarnya dihadiahi puteri dari istana yang menjadi isterinya karena dia banyak berjasa terhadap kerajaan. Apa artinya ini? Mengapa suatu perkumpulan besar seperti Tiat-liong-pang tiba-tiba ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan ayahmu dan Tang-piauwsu, bahkan kini membunuh Lay-wangwe, kaki tangannya sendiri untuk menutup mulutnya? Apa yang dikehendaki perkumpulan macam Tiat-liong-pang di sini? Sungguh aneh dan sukar dipercaya keterangan orang she Lay itu!”
“Bagaimana pun juga, keterangan itu sudah mendatangkan jejak baru dan saya akan melakukan penyelidikan ke sana, paman Kwee. Sayang bahwa orang berkedok itu bisa lolos, karena dia pasti tahu akan semua peristiwa pembunuhan itu, bahkan mungkin sekali dialah yang melakukan pembunuhan terhadap ayah dan paman Tang.”
Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Memang tidak ada jalan lain untuk melakukan penyelidikan setelah orang she Lay itu terbunuh. Akan tetapi berhati-hatilah, Sin Hong, karena Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat dan berpengaruh, juga bukan perkumpulan penjahat.”
“Baik, Paman dan terima kasih atas semua nasehat dan bantuan Paman.”
Pada hari itu juga, Sin Hong meninggalkan rumah keluarga Kwee, dan setelah pemuda itu pergi, wajah Ci Hwa nampak murung dan sinar matanya suram. Ayahnya melihat hal ini dan diam-diam merasa heran.
Akan tetapi, belum sempat dia bertanya, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali dia mendapatkan bahwa puterinya itu telah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit! Hanya terdapat surat di atas meja dalam kamarnya yang memberi tahukan ayah ibunya bahwa ia pergi untuk membantu menyelidiki pembunuh Tan-piauwsu dan Tang-piauwsu, untuk mencuci nama ayahnya yang tadinya disangka menjadi pembunuh.
Nyonya Kwee menangis dan merasa khawatir sekali, membujuk suaminya agar mencari dan mengajak kembali Ci Hwa. Akan tetapi suaminya menghiburnya.
“Ia sudah dewasa dan sudah mempunyai bekal kepandaian silat yang cukup kuat untuk menjaga diri sendiri. Biarlah ia mencari pengalaman selagi masih bebas.” Demikian dia berkata kepada isterinya.
Akan tetapi diam-diam dia mengharapkan puterinya itu dapat bertemu dan bekerja sama dengan Sin Hong karena Kwee-piauwsu merasa suka sekali kepada Sin Hong yang mirip ibunya, wanita yang pernah dikasihinya itu. Ia berharap untuk dapat menjodohkan puterinya dengan pemuda itu!
Sementara itu, setelah meninggalkan rumah keluarga Kwee, Sin Hong tidak langsung pergi ke luar kota untuk menyelidiki Tiat-liong-pang, melainkan singgah di bekas rumah orang tuanya. Dia melihat betapa bangunan itu, baik kantor piauwkiok mau pun rumah tinggalnya, telah diperbaiki sehingga kelihatan baru dan dicat baru pula. Hampir dia tak mengenali lagi tempat di mana dia tinggal sejak lahir sampai berusia belasan tahun.
Ciu-piauwsu menyambutnya dengan wajah gembira. “Tan Sin Hong, engkau baru saja datang? Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu?” tanyanya langsung setelah pemuda itu dipersilakan masuk.
Karena Ciu-piauwsu adalah satu-satunya orang dari pihak ayahnya yang mengetahui akan semua urusannya itu, Sin Hong lalu menceritakan dengan singkat tentang semua hasil usahanya. Betapa dia sudah gagal menemukan Lay-wangwe di kota raja, betapa dia kemudian menyelidiki keluarga Kwee-piauwsu dan atas bantuan keluarga itu dia lalu berhasil menemukan Lay-wangwe di Ban-goan dan kembali ada pembunuhan, yaitu terhadap diri si gendut itu, lagi-lagi oleh seorang berkedok.
“Sayang aku tak dapat menangkap orang berkedok itu,” dia mengakhiri ceritanya. “Akan tetapi Lay-wangwe sudah meninggalkan suatu pengakuan yang dapat merupakan jejak baru dalam penyelidikanku, paman Ciu.”
“Ahhh, benarkah? Apa saja yang diakuinya?” Ciu-piauwsu mendesak.
“Menurut pengakuannya sebelum dia tewas oleh senjata rahasia orang berkedok itu, dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”
“Ohhhh...!” Wajah Ciu-piauwsu berubah dan matanya terbelalak. Dia nampak terkejut bukan main.
“Kenapa, Paman?”
“Celaka, tentu orang gendut botak itu telah membohongimu. Mana mungkin semacam Tiat-liong-pang mencampuri urusan ini? Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar dan kuat dipimpin oleh Siangkoan Lohan, seorang kakek yang gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mana mungkin melakukan kejahatan? Tentu si gendut itu membohongimu!”
“Kurasa tidak, Paman. Betapa pun juga, setidaknya kini terdapat jejak baru sehingga aku dapat melanjutkan penyelidikanku.”
“Aku lebih condong untuk menyelidiki Ban-goan Piauwkiok. Orang she Kwee itu lebih mencurigakan...“
“Tidak, Paman. Dugaan kita sudah keliru. Paman Kwee Tay Seng sama sekali tidak bersalah...“
“Ahhh, jangan engkau sampai tertipu oleh sikap manisnya!”
“Tidak, Paman. Aku yakin bahwa ia tak bersalah dan aku akan melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang.”
Ciu-piauwsu mengangguk-angguk. “Terserah kepadamu, Sin Hong. Akan tetapi berhati hatilah. Jangan sampai engkau menuduh pihak yang tidak berdosa dan Tiat-liong-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali, bahkan mempunyai hubungan dekat dengan istana karena ketuanya masih termasuk keluarga kerajaan!”
Pada hari itu, Sin Hong meninggalkan Ban-goan setelah menerima banyak nasehat dari Ciu-piauwsu agar berhati-hati jika menyelidiki Tiat-liong-pang. Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota San-cia-kou karena perkumpulan itu terletak di lereng sebuah bukit di luar kota itu.
********
Sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san disebut Puncak Telaga Warna karena di puncak itu terdapat sebuah telaga kecil yang amat indah. Telaga itu dikelilingi pohon-pohon dan karena airnya jernih dan tenang, maka bayangan terpantul amat jelasnya dan membuat air telaga seolah-olah berwarna-warni.
Puncak ini amatlah indahnya. Hawanya selalu sejuk, bahkan kadang-kadang teramat dingin. Karena hawa yang terlalu dingin inilah maka penduduk tinggal di lereng bawah atau kaki puncak. Akan tetapi, di antara pohon-pohon besar dekat telaga itu nampak sebuah bangunan terselip di antara pohon-pohon raksasa.
Sebuah bangunan yang kokoh kuat dan sedang saja besarnya. Rumah itu tidak memiliki tetangga dan nampak sunyi, namun melihat betapa pekarangannya selalu bersih, dan di belakang rumah terdapat taman bunga dan kebun sayur dan pohon-pohon buah, dapat diketahui bahwa rumah ini dihuni orang.
Memang demikianlah, dan penghuni rumah itu bukanlah orang sembarangan, karena orang biasa saja tentu tidak akan tahan tinggal terlalu lama di tempat yang sunyi dan hawanya amat dingin itu. Penghuninya adalah dua orang kakek kembar. Mereka berusia kurang lebih lima puluh delapan tahun, dan mereka amat terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Beng-san Sian-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san).
Dua orang kakek ini serupa benar wajah dan bentuk tubuh mereka mirip satu sama lain sehingga sukarlah bagi orang luar untuk membuat perbedaan di antara mereka. Orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mereka adalah putera kembar dari kakek Gak Bun Beng yang kini berjuluk Bu Beng Lokai.
Biar pun orang luar sukar untuk mengenal mana yang bernama Gak Jit Kong dan mana yang Gak Goat Kong, tapi tentu saja isteri mereka dengan mudah dapat membedakan mereka. Isteri mereka berdua hanya seorang, yaitu bekas murid dan anak angkat mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lian. Dua orang kembar ini telah jatuh cinta kepada murid mereka sendiri, dan Souw Hui Lian juga mencinta mereka. Maka kedua orang kakek kembar ini pun menikahlah dengan bekas murid mereka walau pun ayah mereka sebenarnya tidak setuju mendengar kedua orang putera kembarnya itu menikah dengan seorang wanita saja.
Peristiwa pernikahan itu membuat hati ayah mereka, Gak Bun Beng, menjadi kecewa dan berduka. Kakek ini sudah berduka karena ditinggal mati isterinya yang bernama Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai.
Dalam keadaan berduka, lalu menghadapi kekecewaan karena kedua orang puteranya yang dianggap tidak begitu berbakat dalam ilmu silat sekarang bahkan menikah dengan seorang wanita saja, maka pergilah kakek Gak Bun Beng meninggalkan Puncak Telaga Warna. Dia hidup merana, bahkan terlunta-lunta sebagai Bu Beng Lokai, sampai dia kemudian menemukan Suma Lian, cucu keponakannya sendiri yang kemudian menjadi muridnya dan pertemuan ini memulihkan kembali gairah hidupnya.
Semenjak ditinggal pergi ayah mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hidup di Puncak Telaga Warna, bersama isteri mereka, Souw Hui Lian dan kini mereka telah mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Gak Ciang Hun yang kini sudah berusia kurang lebih sepuluh tahun.
Tentu saja mereka berdua pun merasa berduka bahwa ayah mereka tidak merestui pernikahan mereka, bahkan meninggalkan mereka. Mereka sudah berusaha mencari ayah mereka, namun tidak pernah berhasil sehingga akhirnya mereka putus asa dan menanti saja di Puncak Telaga Warna dengan penuh keprihatinan kalau mereka teringat kepada ayah mereka yang sudah amat tua itu.
Adanya Gak Ciang Hun, putera mereka, merupakan hiburan terbesar bagi mereka dan mengurangi rasa dosa terhadap ayah mereka karena bagaimana pun juga, pernikahan mereka dengan Hui Lian kini telah menghasilkan seorang putera. Bukankah itu berarti bahwa Tuhan memberkahi mereka dan memberkahi pernikahan itu?
Pada suatu pagi yang sejuk dan indah, karena matahari pagi mulai mengusir kegelapan dan memandikan puncak Telaga Warna itu dengan cahaya keemasan setelah semalam suntuk puncak itu diselimuti kabut yang menciptakan embun pagi, Gak Ciang Hun telah berada di dalam taman bunga. Anak ini memang suka sekali bangun pagi dan bermain main seorang diri di dalam taman. Sepasang matanya penuh kebahagiaan memandang burung-burung pagi berloncatan dan beterbangan dari dahan ke dahan, sambil berkicau penuh keriangan.
Anak ini baru berusia sepuluh tahun dan dia hanya hidup bersama dua orang ayahnya dan seorang ibunya. Memang kadang-kadang ayahnya atau ibunya membawa dirinya menuruni puncak pergi ke dusun-dusun, atau ke pasar dusun untuk membeli segala keperluan rumah tangga mereka dan menjual hasil kebun atau buruan mereka sehingga anak ini beberapa kali sebulan dapat bertemu dengan banyak orang di dusun-dusun. Namun karena setiap harinya hanya bermain-main sendiri saja maka tentu anak ini merasa kesepian dan mencari hiburan dengan bermain-main sendiri di tempat-tempat indah, di mana dia dapat melihat binatang-binatang dan mendengarkan suara mereka.
Pagi hari itu, selain menikmati kicau burung yang ramai menyambut datangnya pagi, dia pun melihat banyak kupu-kupu kuning. Sebetulnya untuk kupu-kupu itulah maka sepagi itu dia sudah duduk di taman. Semenjak beberapa hari ini, sampai kurang lebih sebulan, taman itu akan penuh kupu-kupu kecil kuning. Sedang musimnya.
Indah sekali kupu-kupu yang puluhan ribu banyaknya itu, membuat taman itu menjadi lebih cerah, seakan-akan taman itu sedang penuh dengan bunga-bunga kuning yang sedang berkembang. Karena ingin segera menikmati keindahan pagi itu, Ciang Hun hanya sebentar saja berlatih silat di kebun belakang tadi.
Di kebun belakang, tak jauh dari taman itu, oleh orang tuanya dibuatkan sebuah petak rumput yang luas dan tempat ini dipergunakan keluarga itu untuk berlatih silat. Memang setiap pagi Ciang Hun harus berlatih silat, akan tetapi pagi ini hanya sebentar saja dia berlatih dan dia segera berlari-lari memasuki taman setelah melihat kupu-kupu kuning mulai beterbangan.
Tiba-tiba ada beberapa ekor burung beterbangan dari atas pohon, meluncur turun dan menyambari kupu-kupu kuning kecil itu. Melihat ini, Ciang Hun lalu menjadi marah. Dia meloncat dan menggunakan kedua tangannya untuk mengusir burung-burung itu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan sehingga burung-burung itu terbang ketakutan.
Akan tetapi, tidak lama kemudian ada saja beberapa ekor yang menyambar turun lagi sehingga Ciang Hun segera mengambil batu-batu kecil untuk menyambiti dan mengusir mereka, melindungi kupu-kupu kuning kecil. Setelah dia menggunakan batu-batu kecil, barulah burung-burung itu terbang pergi, tentu saja untuk menyambari kupu-kupu yang beterbangan jauh dari taman itu.
Ciang Hun duduk kembali di atas bangku taman dan merasa lega. Sekarang kupu-kupu kuning itu beterbangan bebas, di antara bunga-bunga, bahkan ada yang terbang tinggi ke atas pohon tanpa diganggu burung-burung itu!
Memang sejak kecil anak ini telah digembleng oleh orang tuanya sehingga dalam usia sepuluh tahun, selain dia menguasai dasar-dasar ilmu silat, juga di dalam batinnya telah bersemi watak yang gagah dan tak rela melihat yang lemah dijadikan korban keganasan yang kuat. Sudah bersemi watak seorang pendekar, watak membela golongan lemah yang tertindas.
“Indah sekali kupu-kupu itu!” Tiba-tiba terdengar suara halus.
Ciang Hun cepat menoleh dan dia melihat seorang wanita muda telah berdiri di situ sambil memandangi kupu-kupu kuning kecil yang beterbangan kian kemari. Anak itu merasa heran sekali dan perhatiannya kini beralih dari kupu-kupu ke arah gadis itu.
Seorang gadis yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Sekali pandang saja tahulah Ciang Hun bahwa gadis itu tidak pernah dikenalnya dan bukanlah seorang gadis dari dusun di lereng bawah. Bukan gadis dusun! Pakaiannya amat berbeda, juga sikapnya berbeda.
Gadis ini mengenakan pakaian yang aneh sekali. Pakaian yang penuh tambal-tambalan! Seperti pakaian pengemis saja. Akan tetapi, kalau pakaian pengemis tambal-tambalan dan kotor sekali, sebaliknya pakaian yang menutupi tubuh gadis ini, tambal-tambalan tapi amat bersih! Juga potongannya tidak seperti pakaian gadis dusun yang kebesaran, namun ringkas dan ketat membungkus tubuh gadis itu sehingga nampak pinggangnya yang ramping kecil, seperti pinggang lebah.
Sepatunya yang kecil terbuat dari kulit berwarna hitam dan nampak kuat. Rambutnya juga berbeda lipatannya dengan rambut para gadis dusun. Rambut itu hitam lebat dan panjang, sekarang digelung ke atas secara aneh, ditusuk dengan tusuk konde panjang sederhana, seperti sebatang sumpit merah. Kedua mata gadis itu seperti mencorong, dan mulutnya tersenyum-senyum ketika ia membalas pandangan Ciang Hun.
“Adik yang baik, engkau benar sekali. Burung-burung itu memang jahat dan perlu diusir! Mereka itu menyambari dan membunuh kupu-kupu yang tidak berdosa!” kata pula gadis itu dan pandang matanya nampak ramah sekali.
Ciang Hun mengerutkan alis, lalu menjawab, “Aku mengusir burung-burung itu bukan karena menganggap mereka jahat, melainkan karena tidak tega melihat kupu-kupu itu dimakan. Burung-burung itu pun tidak jahat!”
Gadis itu melebarkan matanya, nampak heran mendengar jawaban itu. “Akan tetapi, bukankah mereka itu memakani kupu-kupu yang tidak berdosa?”
“Kita pun suka makan ayam, babi, kelinci dan binatang lain yang tidak berdosa, apakah kita pun menjadi jahat?” Anak itu membantah. “Agaknya kupu-kupu itu memang menjadi makanan burung, jadi burung-burung itu pun tidak bersalah. Tidakkah begitu?”
Kini gadis itu yang nampak heran dan bingung, lalu mengangguk-angguk.
“Wah, agaknya benar juga engkau.” Lalu ia tertawa cerah, suara ketawanya nyaring dan merdu sekali. “Adik kecil, engkau sungguh cerdik sekali. Jawabanmu itu membikin aku takluk dan mengaku kalah! Siapa sih engkau ini? Siapa namamu?”
“Namaku Ciang Hun.”
“Apakah ada hubunganmu dengan Beng-san Siang-eng?”
“Mereka itu adalah ayahku! Aku bernama Gak Ciang Hun.”
Gadis itu kelihatan girang bukan main. “Aihhh, pantas engkau cerdik dan pintar sekali! Kiranya adik ini putera dari Beng-san Siang-eng? Engkau harus menyebut enci (kakak perempuan) padaku!”
Biar pun Ciang Hun jarang bergaul dengan orang asing, namun dia bukan seorang anak pemalu. Ia lalu menghampiri. Agaknya dia senang melihat gadis yang berwajah manis, kalau tersenyum muncul lesung pipit di kedua pipinya, dan pandang matanya ramah sekali itu.
“Enci, engkau siapakah?”
“Namaku Suma Lian dan engkau boleh memanggil aku enci Lian.”
Anak itu terbelalak memandang pada Suma Lian, pandang matanya penuh kekagetan, keheranan dan kekaguman.
“Suma...? Enci, she-mu sama dengan she dari kakek buyut. Kata ayah, kakek buyutku bernama Suma Han adalah seorang pendekar sakti, penghuni Istana Pulau Es yang tidak ada lawannya di dunia ini!”
Suma Lian tersenyum dan membelai kepala anak itu. “Tidak salah keterangan ayahmu, adik Ciang Hun. Kakek buyutmu bernama Suma Han itu juga kakek buyutku, karena itu kita adalah enci dan adik sendiri.”
Gadis bernama Suma Lian itu adalah puteri dari pendekar Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun, di dekat kota Cin-an. Meski pun ayah ibunya merupakan pendekar-pendekar yang sakti, namun gadis ini semenjak berusia dua belas tahun, telah menjadi murid Bu Beng Lokai, paman kakeknya sendiri.
Pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang. Gerakan mereka cepat sekali namun Suma Lian dapat melihat mereka. Seorang di antaranya menyambar ke arah Ciang Hun dan dua orang yang lain menerjang dan menyerang Suma Lian!
Gadis itu terkejut, tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang secara tiba-tiba oleh dua orang itu, maka cepat dia pun mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh), meloncat menjauhi dua orang penyerangnya. Ketika ia turun dan menengok, ternyata Ciang Hun telah dirangkul dan dilindungi seorang wanita cantik, sedangkan dua orang penyerangnya tadi adalah dua orang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang kembar dan keduanya nampak gagah perkasa!
Kini kedua orang kakek kembar itu, yang juga terkejut dan penasaran melihat betapa serangan mereka tadi dengan sangat mudah dihindarkan lawan yang ternyata hanyalah seorang gadis muda, sudah siap untuk menyerang lagi.
“Tahan dulu, kedua paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong! Aku bukan orang lain dan tidak berniat buruk!” seru Suma Lian melihat mereka sudah hendak menyerangnya lagi itu karena sekali lihat pun ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan dua orang putera kembar gurunya, dan tentu wanita itu ibu dari Ciang Hun.
“Ia adalah enci Suma Lian, cucu buyut dari kakek buyut Suma Han!” teriak Ciang Hun kepada ayah ibunya.
Mendengar ini, tentu saja sepasang kakek kembar itu terkejut dan juga merasa heran, saling pandang lalu mereka menghadapi dengan pandang mata penuh selidik.
“Nanti dulu!” kata Souw Hui Lian yang tadi bergerak cepat lebih dahulu menyelamatkan dan melindungi puteranya. “Ia harus dapat membuktikannya!”
Ia lalu melepaskan Ciang Hun dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Suma Lian yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan wanita itu. Ia sudah mendengar bahwa wanita itu dahulu merupakan murid dari kedua kakek kembar dan ternyata ilmu kepandaiannya sudah lumayan.
“Bibi, apakah engkau tidak percaya kepadaku?” tanyanya sambil tersenyum. “Apakah wajah dan potonganku ini mirip penjahat dan tidak pantas menjadi keturunan keluarga para Pendekar Pulau Es?”
Suma Lian memang memiliki watak yang jenaka, berani, lucu dan kadang-kadang ugal ugalan, mewarisi watak ayahnya ketika muda. Ia lalu bergaya memutar-mutar tubuh di depan kakek kembar dan isteri mereka itu.
Hui Lian mengerutkan alisnya. Seorang gadis muda yang pakaiannya amat aneh, penuh tambal-tambalan, dengan sikap yang demikian ugal-ugalan, bagaimana ia bisa percaya begitu saja?
“Kalau engkau benar she Suma dan keturunan para Pendekar Pulau Es, apa buktinya?” bentak Hui Lian.
Suma Lian tersenyum manis dan menjura dengan hormat dan lucu kepada Hui Lian. “Bibi yang baik, namaku benar Suma Lian, ayahku Suma Ceng Liong dan ibuku Kam Bi Eng. Dan bukan itu saja, aku pun menjadi murid dari paman kakek Bu Beng Lokai, ayah mertuamu sendiri.”
“Hemm, gadis muda, jangan engkau bicara sembarangan. Nama Ayah mertuaku bukan Bu Beng Lokai!” kata pula Hui Lian, semakin curiga walau pun nama ayah ibu gadis itu sempat mengejutkannya.
“Aihhh, maafkan aku, Bibi. Mungkin kalian tidak mengenal nama Bu Beng Lokai, akan tetapi sebelum mempergunakan nama itu, paman kakekku yang kini menjadi guruku itu bernama Gak Bun Beng...“
“Kong-kong...!” Seru Ciang Hun gembira mendengar nama kakeknya disebut. Biar pun dia belum pernah melihat kakeknya, namun sering kali kedua ayahnya bercerita tentang kakeknya dan dia amat merindukannya.
“Nanti dulu!” kata pula Hui Lian. “Kalau benar engkau murid ayah mertuaku, engkau tentu dapat melayani seranganku ini!”
Tiba-tiba saja ia lalu menyerang Suma Lian dengan jurus ampuh dari Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit). Suma Lian tentu saja mengenal baik ilmu silat ini dan sambil mengelak dan bergerak dengan ilmu yang sama, ia pun membalas serangan lawan dengan jurus lain dari Lo-thian Sin-kun.
Hui Lian masih belum merasa puas. Setelah menangkis, ia pun menyerang lagi dan dua orang wanita itu pun saling serang dengan ilmu yang sama sehingga mereka itu seperti dua orang yang berlatih silat saja. Setelah lewat belasan jurus dan ternyata gerakan Suma Lian dalam ilmu silat itu amat bagusnya, barulah Hui Lian merasa puas dan dia pun meloncat ke belakang.
Suma Lian memandang sambil tersenyum manis. “Lo-thian Sin-kun yang Bibi mainkan sungguh bagus! Apakah Bibi hendak menguji lagi?”
“Cukup, engkau memang benar Suma Lian dan maafkan kecurigaan kami karena dalam beberapa hari ini kami terancam bahaya dari seorang musuh yang pandai,” kata Hui Lian.
“Ehhhhh?” Suma Lian terkejut mendengar ini.
Baru sekarang ia melihat betapa wajah dua orang pamannya dan juga bibinya nampak muram dan mata mereka merah seperti orang yang kurang tidur. “Akan tetapi kalau benar demikian, mengapa tadi aku melihat adik Hun bermain sendirian di luar?”
“Aih, anak itu belum mengenal bahaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata pula Souw Hui Lian sambil menggandeng tangan Suma Lian, kini sikapnya manis sekali.
Suma Lian tersenyum memandang kepada kedua orang pamannya. “Maaf, Paman, aku datang membikin ribut saja. Akan tetapi sikap Bibi memang amat mengagumkan, dia cerdik dan pintar!”
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hanya tersenyum mendengar pujian itu dan mereka pun lalu masuk ke dalam rumah yang cukup luas itu. Seorang pelayan wanita setengah tua segera muncul pada saat dipanggil Hui Lian dan diperintahkan untuk menyediakan minuman untuk tamu yang disebutnya Suma-siocia (nona Suma) ketika diperkenalkan kepada pelayannya.
“Aih, Bibi ini!” Suma Lian berseru memotong ucapan itu. “Kenapa harus menyebutku nona segala? Ciang Hun sudah menyebutku enci kepadaku dan sebagai bibiku, tidak sepatutnya Bibi menyebut nona. Namaku Suma Lian, tanpa nona.”
Hui Lian tersenyum dan kini ia tahu bahwa Suma Lian bukan seorang gadis kasar dan kurang ajar tetapi seorang gadis yang jujur, terbuka, lincah dan tidak suka berpura-pura. “Baiklah, Suma Lian. Sekarang kami ingin sekali tahu, apakah maksud kunjunganmu ini? Kami yakin bahwa tentu kunjunganmu ini mempunyai maksud yang penting sekali.”
Suma Lian berpikir sejenak. Dia memang datang membawa keperluan penting, akan tetapi berita yang dibawanya itu bukan berita menyenangkan, melainkan berita tentang gurunya yang sakit tua dan menghendaki kedatangan kedua orang putera kembarnya itu. Sebaiknya kalau ia mengetahui lebih dahulu bahaya apa yang katanya mengancam keluarga paman dan bibinya ini.
"Nanti dulu, Bibi. Sebelum aku menceritakan keperluan kedatanganku, lebih baik kalau Bibi menceritakan kepadaku tentang bahaya apa yang mengancam kalian. Aku bersedia membantu kalian. Ceritakanlah mengapa kalian tadi begitu curiga kepadaku sehingga tiba-tiba saja menyerangku.”
Gak Jit Kong kini yang menjawab. “Maafkan kami, Lian-ji (anak Lian). Kami memang sedang panik sehingga tanpa bertanya lagi menyerangmu, karena kami mengira bahwa engkau merupakan komplotan orang-orang jahat yang mengancam hendak menculik anak kami.”
“Komplotan jahat menculik adik Ciang Hun?”
“Benar, Suma Lian,” sambung Gak Goat Kong. “Terjadinya sudah kurang lebih sepekan yang lalu. Mula-mula kami mendengar bahwa di sebuah dusun di kaki gunung terjadi kekacauan ketika ada seorang nenek yang suka menculik anak kecil. Ketika mendengar itu, kami lalu turun tangan dan berhasil mengalahkan nenek itu dan mengusirnya dari dusun yang dikacaunya. Akan tetapi, iblis itu ternyata tidak mau menerimanya begitu saja. Agaknya ia memanggil kawan yang lebih lihai lagi dan sepekan yang lalu mereka datang mengganggu kami.”
“Apa yang mereka lakukan?” Suma Lian bertanya, penasaran.
Sekarang Souw Hui Lian yang melanjutkan. “Sepekan yang lalu, pada malam hari, aku mendengar suara gerakan orang di belakang rumah. Ketika aku keluar melalui pintu belakang, ia sudah berada di sana, nenek iblis yang pernah mengacau dusun itu, akan tetapi kini ada seorang temannya, seorang kakek botak. Mereka lihai bukan main.”
“Kami keluar saat mendengar ribut-ribut di belakang,” sambung Gak Jit Kong, “dan kami bertiga melawan kakek botak itu. Namun dia sungguh lihai dan kami bertiga terdesak. Tiba-tiba mereka meloncat pergi dan sambil tertawa kakek itu berkata bahwa sepekan kemudian dia akan datang lagi dan mengancam kami supaya menyerahkan putera kami dengan baik-baik, kalau tidak seisi rumah akan dibunuhnya!”
Suma Lian mengerutkan alisnya. “Hemmm, sombong sekali iblis itu.”
“Karena itu, setiap malam kami tidak dapat tidur dan berjaga-jaga, dan beristirahat pada siang harinya. Tadi kami masih tidur karena semalam berjaga, dan Ciang Hun yang sudah kami larang untuk keluar sendirian, tadi nekat keluar ke taman,” kata Hui Lian.
“Aku ingin nonton kupu-kupu kuning, Ibu!” bantah Ciang Hun. “Dan pula, kata Ibu iblis itu hanya muncul di waktu malam, bukan?”
“Memang benar,” kata pula Hui Lian kepada Suma Lian. “Iblis itu mengancam akan datang pada malam hari, karena itulah kami berani tidur di waktu siang.”
“Hemmm, dan kapankah malam yang dijanjikannya itu?” tanya Suma Lian.
“Malam ini tepat sepekan.”
“Harap kedua Paman dan Bibi tidak khawatir. Kalau malam nanti dia berani muncul, biarlah aku yang akan menghadapinya,” kata Suma Lian.
Walau pun kedua suami itu merasa agak tabah dengan munculnya Suma Lian yang dapat mereka harapkan untuk membantu mereka, namun tentu saja mereka tidak yakin akan kemampuan Suma Lian. Bagaimana pun juga, Suma Lian baru beberapa tahun ini menjadi murid ayah mereka, tentu tingkat kepandaiannya tak akan lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang kembar itu.
Kalau mereka maju bertiga saja tidak mampu menandingi kakek botak itu, apa lagi gadis muda ini? Betapapun juga, mereka mendapatkan tenaga bantuan dan hal ini saja sudah mendatangkan hiburan bagi mereka.
Suma Lian kelihatan tenang-tenang saja hari itu, bahkan bermain-main dengan Ciang Hun, membiarkan tiga orang itu beristirahat karena selama beberapa hari mereka itu selalu kurang tidur. Ketika malam tiba, Beng-san Siang-eng dan isterinya sudah nampak segar dan siap siaga untuk menghadapi ancaman musuh, Souw Hui Lian tidak pernah mau melepaskan puteranya.
Menjelang tengah malam, mereka yang berkumpul di ruangan dalam itu mendengar suara ketawa di luar rumah. “Ha-ha-ha, Beng-san Siang-eng, agaknya kalian sudah siap menghadapi kunjungan kami. Apakah anakmu, itu telah kau persiapkan untuk diberikan kepada kami? Keluarlah, kami tidak ingin bersikap tidak sopan menyerbu ke dalam!”
Mendengar suara ini, Beng-san Siang-eng dan isterinya nampak amat terkejut dan jelas kelihatan betapa mereka gentar. Hal ini membuat Suma Lian merasa penasaran dan marah sekali. Ia lalu meloncat berdiri dan dengan sikap tenang ia melangkah keluar, diikuti oleh dua orang pamannya, sedangkan Hui Lian tetap tinggal di dalam melindungi puteranya, seperti yang sudah mereka rancangkan. Memang sebaiknya jika Ciang Hun disembunyikan di dalam, dilindungi ibunya, agar dia tidak terancam bahaya langsung seperti kalau diajak keluar.
Dengan langkah tegap dan sikap tenang sekali Suma Lian melangkah terus menuju ke serambi luar, di mana memang sengaja dipasangi empat buah lampu gantung yang cukup terang. Kedua orang kembar itu sendiri merasa kagum akan ketabahan hati keponakan mereka walau pun mereka masih merasa khawatir apakah kehadiran gadis itu akan cukup membuat mereka mampu mengusir dan mengalahkan lawan yang amat tangguh.
Kalau tingkat kepandaian Suma Lian hanya sedikit lebih tinggi dari tingkat Hui Lian, tidak mungkin mereka akan menang. Bahkan andai kata tingkat ilmu kepandaian gadis itu sama dengan tingkat mereka pun, masih amat disangsikan apakah mereka akan mampu mengalahkan kakek botak itu, apa lagi kalau si nenek buruk itu membantunya.
Ketika mereka membuka pintu depan dan tiba di luar, ternyata benar seperti yang dikhawatirkan Beng-san Sian-eng. Kakek botak pendek dan nenek bongkok buruk itu sudah berada di situ, berdiri dengan sikap memandang rendah.
Nenek bongkok bermuka buruk itu memegang tongkatnya yang butut dan kakek yang bertubuh pendek berkepala botak dengan muka seperti seekor ikan itu menyeringai lebar. Dia tidak nampak memegang senjata, tetapi melihat pakaiannya seperti seorang tosu dengan gambar pat-kwa (segi delapan) di dadanya, tahulah Suma Lian bahwa ia berhadapan dengan seorang pendeta dari perkumpulan sesat Pat-kwa-pai.
Ketika melihat Beng-san Siang-eng muncul bersama seorang gadis yang muda dan cantik manis, sepasang mata kakek pendek itu bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai semakin lebar.
“Bagus, bagus...! Beng-san Sian-eng, dari mana kalian mendapat seekor domba betina yang begini muda, montok dan mulus, ha-ha-ha! Apa dia hendak kau tukarkan dengan anak kalian? Gadis muda ini untuk aku, wah, aku suka sekali!”
“Hok Yang Cu, jangan gila kau! Aku tidak butuh gadis ini dan tidak sudi kalau ditukar dengan bocah laki-laki putera mereka!” tiba-tiba nenek itu membentak, nadanya marah.
Kakek botak itu tertawa bergelak. “Ha-ha, Beng-san Sian-eng, kalian sudah mendengar sendiri, bukan? Puteramu itu tetap harus kalian berikan kepada kami, sedang gadis ini untuk aku, sebagai pengganti kepala kalian! Nah, lekas berikan gadis ini kepadaku dan keluarkan pula bocah laki-laki itu supaya jangan membikin Kui-bo (Nenek Iblis) marah marah!”
Mendengar kata-kata mereka yang amat memandang rendah, apa lagi juga sangat menghinanya, Suma Lian menjadi merah mukanya dan sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong. Ia melangkah maju menghadapi dua orang kakek dan nenek itu sambil menudingkan telunjuknya.
“Dua orang tua bangka tidak tahu diri dan tak mengenal malu! Kalian muncul sebagai iblis-iblis yang curang, tidak memperkenalkan nama. Siapakah kalian dan mengapa kalian mengganggu kedua orang pamanku ini?”
Kakek yang sudah menjadi merah matanya melihat Suma Lian yang cantik manis, kini tertawa bergelak sambil mengelus kepala yang botak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menggoyang-goyangkan tangan kanan dengan sikap sombong.
“Ha-ha-ha, anak manis, ketahuilah bahwa pinto disebut Hok Yang Cu, dan seperti dapat kau lihat pada gambar di dadaku, aku adalah seorang tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal! Ada pun nenek buruk ini adalah Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam), seorang sahabatku. Dia minta bantuanku untuk mengambil putera Beng-san Sian-eng. Akan tetapi engkau muncul, anak manis, he-he-heh, dan setelah melihatmu, mana aku dapat melepaskanmu lagi?”
“Tua bangka iblis! Kedua orang pamanku tidak pernah merasa bermusuhan dengan kalian, mengapa kalian datang mengganggu mereka? Mengakulah apa sebabnya kalian mengganggu, ataukah kalian hanya dua orang tua bangka pengecut yang tidak berani mengaku?” Suma Lian sengaja memanaskan hati mereka untuk mengetahui mengapa mereka itu memusuhi kedua orang pamannya.
“Bocah sombong!” bentak nenek itu yang jelas memperlihatkan sikap membenci wanita muda. “Beng-san Siang-eng adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kenyataan ini saja sudah cukup bagi kami untuk memusuhi mereka!”
Kini mengertilah Suma Lian, juga Beng-san Siang-eng mengapa nenek dan kakek itu memusuhi mereka. Kiranya mereka itu, golongan sesat, selalu tak pernah melupakan keluarga Pendekar Pulau Es dan selalu memusuhi anggota keluarga itu setiap kali ada kesempatan.
Hal ini membuat Suma Lian menjadi semakin marah. Akan tetapi gadis yang pemberani ini tidak memperlihatkan kemarahannya, sebaliknya ia marah tertawa. Suara ketawanya nyaring dan bebas, tidak ditahan-tahan atau ditutupi mulutnya sehingga nampak rongga mulutnya yang kemerahan dan kilatan giginya yang putih.
“He-he-hi-hi-hik! Hek-sim Kui-bo dan Hok Yang Cu, dua orang kakek dan nenek tua bangka yang mau mampus, orang-orang macam kalian ini berani memusuhi keluarga para Pendekar Pulau Es? Dengar baik-baik, aku bernama Suma Lian? She Suma, ingat! Aku adalah cucu buyut dalam dari kakek buyut Suma Han. Hayo cepat kalian berlutut minta ampun, kemudian minggat dari sini dan jangan memperlihatkan ekor kalian lagi sebelum aku mewakili keluarga para Pendekar Pulau Es untuk menghajarmu!”
Mendengar ucapan yang amat merendahkan itu, si nenek sudah menjadi marah dan mencak-mencak, akan tetapi kakek itu malah menjadi girang sekali dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasibku! Jadi engkau she Suma, keturunan langsung Pendekar Pulau Es? Ha-ha-ha-ha, sudah lama sekali aku ingin mendapatkan seorang wanita she Suma, dan baru sekarang agaknya akan berhasil, ha-ha-ha!”
Tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke arah Suma Lian, tangan kirinya mencengkeram ke arah muka gadis itu, akan tetapi dengan kecepatan kilat tangan kanannya menyusul dengan cengkeraman ke arah dada kiri Suma Lian. Serangan ini tidak sopan, akan tetapi juga sangat berbahaya karena gerakannya cepat sekali dan dari kedua telapak tangan yang mencengkeram itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahsyat!
Melihat betapa kakek yang lihai itu menyerang Suma Lian, Beng-san Siang-eng tentu saja menjadi khawatir sekali. Akan tetapi mereka belum merasa perlu turun tangan karena di situ juga masih ada nenek yang mereka tahu amat lihai pula itu.
Suma Lian adalah murid terakhir dari Bu Beng Lokai di samping Pouw Li Sian yang menjadi sumoi-nya. Selama delapan tahun, Suma Lian dan Pouw Li Sian menerima gemblengan yang amat tekun dari Bu Beng Lokai, dan kini boleh dibilang semua inti ilmu kepandaian kakek itu telah diwariskan, tentu saja dipilih yang ampuh-ampuh saja. Sebelum menjadi murid Bu Beng Lokai, sebagai puteri ayah ibu pendekar sakti, tentu saja sejak kecil Suma Lian telah menerima gemblengan orang tuanya, maka tentu saja ia kini telah memiliki ilmu silat yang hebat.
Menghadapi serangan kakek pendek botak, ia tidak menjadi gentar atau gugup, hanya merasa gemas karena kakek itu ternyata seorang yang benar-benar tidak sopan, begitu menyerang hendak mencengkeram buah dadanya! Dengan gerakan amat lincah ia pun melangkah mundur mengelak sehingga dua tangan kakek itu yang tadi mencengkeram dada dan kepala, tidak dapat menjangkaunya dan sebagai sambutan, kakinya melayang tinggi dari samping mengarah muka lawan!
Kakek pendek itu terkejut juga ketika mendadak gadis itu selain dapat menghindarkan cengkeramannya, juga membalas dengan tendangan yang demikian kuat dan cepatnya. Akan tetapi dia tidak mengelak, melainkan memutar lengan kanannya ke kanan untuk menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya dari samping.
Suma Lian cepat-cepat menarik kembali kakinya, maklum bahwa lawannya amat lihai sehingga dari keadaan terserang dapat mengubah kedudukan penyerang! Dan kakek itu pun tertawa bergelak melihat gadis itu menarik kembali kakinya.
“Ha-ha-ha, kakimu kecil dan indah, harum pula!” Dia memuji dengan nada mengejek.
Tentu saja Suma Lian menjadi marah bukan main, akan tetapi gadis ini memang pandai sekali menyembunyikan perasaannya, bahkan dia pun tersenyum mengejek. “Hemmm, tua bangka buruk dan busuk. Mukamu demikian jelek dan kotor sehingga untuk menjadi penjilat kaki pun belum cukup berharga!”
Begitu melihat mata kakek itu terbelalak dan mukanya menjadi merah karena marah mendengar penghinaan itu, Suma Lian sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala kakek pendek itu sedangkan tangan kanannya menampar ke arah dada. Gerakannya amat cepat dan kuat.
Pukulan ke arah ubun-ubun itu dilakukan dengan kelima jari dibentuk paruh meruncing, seperti paruh seekor burung garuda mematuk ubun-ubun yang botak itu. Tangan yang berjari mungil ini jangan dipandang ringan karena pada saat itu dipenuhi tenaga Swat-im Sinkang, yang membuat hawa yang menyambar dari tangan itu terasa dingin sekali dan kalau sampai ubun-ubun kepala itu terkena hantaman ini, tentu akan berlubang atau setidaknya tentu isinya akan terguncang hebat dan orangnya tewas.
Juga tamparan yang ke arah dada itu bukan main-main, melainkan mengandung tenaga dahsyat sehingga sekiranya mengenai sasaran, tulang-tulang iga akan patah-patah dan jantung di dalam dada dapat copot karena guncangannya!
“Hyaaahhhhhh...” Kakek itu sekarang terkejut dan sambil mengeluarkan seruan ini, dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik.
Akan tetapi, gerakan Suma Lian luar biasa cepatnya, disusulnya tubuh yang berjungkir balik itu dan kini tangan kanannya menghantam pula dari atas. Kakek itu yang baru saja berjungkir balik, tidak sempat pula untuk mengelak dan terpaksa dia pun mengangkat lengan kiri menangkis.
“Dukkk...!”
Dua lengan bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu lalu bergulingan sambil menggigil kedinginan!
“Swat-im Sin-jiu...!” serunya kaget.
“Hemmm, baru engkau mengenal kesaktian keluarga Pulau Es, ya? Nah, terimalah ini!” bentak Suma Lian dan dengan cepatnya ia pun menerjang terus, sekali ini tubuhnya merendah sampai hampir menelungkup dan tiba-tiba saja tubuh itu mencelat ke atas, kedua tangan mendorong dan sekali ini ia mempergunakan tenaga sakti yang diwarisi dari gurunya, yaitu Tenaga Inti Bumi!
Serangan yang dilakukan dengan lebih dahulu menjatuhkan diri ke atas tanah ini sama sekali tidak terduga oleh lawan sehingga kakek itu terkejut dan tidak sempat mengelak. Dia kembali harus menangkis dan kini, maklum akan kelihaian gadis itu, dia menangkis dengan kedua tangan didorongkan sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya.
“Desss...!”
Hebat sekali pertemuan tenaga itu dan akibatnya, tubuh yang pendek itu terjengkang dan kembali bergulingan. Namun Hok Yang Cu sudah meloncat bangun dengan cepat, mukanya agak pucat dan di tepi mulutnya nampak darah. Ternyata pertemuan tenaga sinkang melalui dua telapak tangan tadi telah mengguncangkan tubuhnya dan membuat dia terluka di sebelah dalam tubuh sehingga muntahkan darah segar. Kemarahan dan penasaran membuat kakek itu lupa diri dan dia sudah meloloskan sabuknya, sabuk kulit yang ujungnya dipasangi pisau beracun.
Dua orang kakek Gak tadinya merasa kaget, kagum dan gembira bukan main melihat betapa keponakan mereka itu mampu menandingi, bahkan membuat kakek pendek botak itu dua kali roboh bergulingan! Tetapi kini mereka merasa khawatir lagi melihat betapa Hok Yang Cu melolos senjata sabuk yang mengerikan itu karena mereka dapat melihat betapa kedua batang pisau yang ujungnya menghitam itu tentulah mengandung racun.
Juga mereka melihat betapa nenek Hek-sim Kui-bo kini juga memutar tongkatnya. Maka mereka pun cepat saling memberi tanda dan keduanya sudah mencabut pedang dan meloncat ke depan, menghadang nenek buruk itu.
“Lian-ji, apakah engkau memerlukan pedang?” teriak Gak Jit Kong pada keponakannya. Akan tetapi Suma Lian tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Paman, menghadapi tua bangka yang sudah mau mampus ini perlu apa menggunakan pedang? Sebaiknya kedua Paman mundur dan menonton saja, biarlah aku yang akan menghajar sepasang anjing tua betina dan jantan ini sampai mereka lari terbirit-birit menyembunyikan ekor di selangkangnya!”
“Bocah sombong lihat senjataku!” bentak Hok Yang Cu yang kembali menyerang penuh semangat walau pun tadinya dia sudah merasa gentar. Kini dia marah sekali dan masih belum mau melihat kenyataan, belum mau percaya bahwa dia kalah oleh gadis muda!
Juga nenek Hek-sim Kui-bo menerjang ke depan dengan tongkat hitamnya, akan tetapi dua orang kakek kembar telah menyambutnya dengan pedang mereka. Maka terjadilah perkelahian mati-matian antara nenek buruk itu melawan dua orang kakek kembar yang memainkan pedang mereka dengan cepat dan saling membantu.
Serangan sabuk berujung pisau beracun itu sangat berbahaya, namun dengan tenang Suma Lian menggerakkan kakinya dan ia sudah mempergunakan langkah-langkah ajaib dari Ilmu Sam-po Cin-keng yang luar biasa. Jangankan baru diserang oleh satu orang yang bersenjata sabuk berpisau. Dengan ilmu langkah ajaib ini, yang sudah dikuasainya dengan baik, bahkan Suma Lian akan berani memasuki barisan senjata dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahannya dan keampuhan ilmu langkah-langkah ajaib itu! Dengan mudah dia menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kakek pendek botak, bahkan dapat membalas dengan tamparan atau tendangan yang membuat kakek itu kadang-kadang terdesak hebat.
Pengeroyokan kedua orang kakek kembar Gak terhadap nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo repot juga. Biar pun tingkat kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya dibandingkan masing-masing pendekar Gak itu, akan tetapi ketika mereka maju berbareng sebagai Beng-san Sian-eng, nenek itu kewalahan juga.
Dua orang kakek kembar ini selain memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan ampuh, juga kalau maju berdua seperti satu orang yang berbadan dua saja. Mereka dapat bergerak otomatis saling bantu sehingga seperti seorang lawan yang berkepala dua dan berkaki tangan empat!
Harus diakui bahwa biar pun mereka lebih dahulu mempelajari ilmu silat dibandingkan Suma Lian, namun pada waktu itu tingkat kepandaian Suma Lian jauh melampaui kedua orang pamannya. Hal ini adalah karena memang bakat gadis itu jauh lebih besar, juga karena kedua orang saudara kembar ini belum menguasai inti dari ilmu-ilmu silat tinggi ayah mereka.
Walau pun demikian, karena maju berdua, cukup merupakan lawan yang amat lihai dan kuat. Dengan Ilmu Pedang Pengacau Langit (Lo-thian Kiam-sut) mereka berdua dapat membendung gelombang serangan tongkat Hek-sim Kui-bo, bahkan dengan pedang mereka, kini Beng-san Siang-eng mulai mendesak nenek yang menjadi repot dan harus terus main mundur, gelisah sekali melihat betapa teman yang diandalkannya, si pendeta pendek itu, juga terdesak hebat oleh gadis yang amat lihai itu!
Perkelahian antara Suma Lian dan Hok Yang Cu memang berat sebelah. Kepandaian gadis itu memang jauh lebih tinggi dan wataknya yang nakal dan jenaka membuat Suma Lian sengaja mempermainkan lawan. Kalau dia menghendaki, tentu saja sejak tadi dia sudah mampu merobohkan lawan, bahkan kalau perlu membunuhnya, akan tetapi dasar gadis yang memiliki watak aneh dan kadang-kadang suka ugal-ugalan, maka dia pun lebih senang mempermainkannya!
Tiba-tiba terdengar suara seruan kanak-kanak, “Enci Lian, hajar setan pendek itu, Enci!”
Suma Lian menengok. Ternyata Souw Hui Lian menggandeng tangan Gak Ciang Hun telah muncul di ambang pintu depan. Wanita itu tentu saja merasa khawatir mendengar suara perkelahian di luar dan sampai lama tiada tanda kemenangan di pihak suaminya. Maka sambil menuntun tangan puteranya ia pun keluar untuk menonton.
Ketika ia melihat betapa suaminya mengeroyok nenek buruk itu, sedangkan keponakan wanita itu dengan tangkasnya mampu menandingi kakek bersabuk itu dengan tangan kosong saja, hati Hui Lian menjadi kagum dan girang bukan main. Jelas bahwa di situ tidak ada musuh lain kecuali dua orang itu. Maka ia pun cepat mencabut pedangnya dan meninggalkan puteranya di ambang pintu. Ia sendiri cepat meloncat dan membantu suami-suaminya untuk mengeroyok Hek-sim Kui-bo!
Melihat betapa Suma Lian menandingi kakek pendek sambil berloncat cepat dan aneh dan gadis itu tersenyum-senyum mengejek, Ciang Hun menjadi gembira dan berseru kepada gadis itu untuk menghajar lawannya.
Pada waktu Suma Lian menengok, kesempatan ini digunakan oleh Hok Yang Cu untuk menyerangnya dengan hebat. Sabuknya bergerak cepat bagai kilat dan sebatang pisau beracun meluncur ke arah tenggorokan gadis itu. Cepat bukan main serangan ini dan tahu-tahu pisau itu telah terbang menyambar ke arah tenggorokan Suma Lian yang berkulit halus mulus dan putih bersih!
Namun Suma Lian tahu akan hal ini. Dia teringat akan seruan Ciang Hun, maka kini tangannya menangkis, dan jari-jari tangannya yang kecil mungil itu menjentik ke arah pisau.
“Tringggg...!”
Pisau itu terpental, membalik dan terdengar kakek ini berteriak kesakitan ketika pisau yang membalik itu tahu-tahu telah melukai pundaknya! Sebuah tendangan membuat tubuhnya yang tersentak kaget ini terlempar dan jatuh terbanting lalu bergulingan.
“Kui-bo…, lari...!” teriaknya.
Dan tanpa menanti jawaban temannya lagi, dia pun terus menggelinding ke pekarangan depan dan meloncat bangun lalu melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam.
Sementara itu, Hek-sim Kui-bo yang memang sudah terdesak oleh kedua orang kakek kembar itu, menjadi semakin repot ketika Hui Lian maju membantu dua orang suaminya. Tingkat kepandaian Hui Lian tidak banyak selisihnya dengan tingkat suaminya. Apa lagi ketika ia melihat betapa temannya semakin terdesak.
Ketika Hok Yang Cu terkena pisau beracunnya sendiri, hanya beberapa detik kemudian pedang Gak Jit Kong juga sudah melukai pangkal lengan kanannya, dan tendangan Hui Lian juga telak mengenai pahanya. Maka ia pun terhuyung ke belakang dan mendengar seruan temannya, dia pun langsung meloncat ke pekarangan dan menghilang di dalam kegelapan malam.
“Kejar mereka...!” Hui Lian berseru, siap untuk mengejar. Akan tetapi sebuah tangan yang halus menyentuh tangannya.
“Sebaliknya tidak usah, Bibi. Musuh yang sudah melarikan diri tidak perlu dikejar, apa lagi dalam gelap begini. Mereka adalah orang-orang yang curang dan berbahaya. Pula, menurut kata ayah, keluarga Pulau Es tidak pernah memusuhi orang-orang golongan hitam, hanya menentang perbuatan mereka yang jahat. Kalau mereka tidak menyerang, tidak perlu dilayani.”
“Ia benar. Mari kita masuk saja,” kata Gak Jit Kong dan mereka lalu memasuki rumah dan menutup daun pintu depan dengan rapat.
“Wah, enci Lian sungguh hebat! Kakek pendek yang lihai itu dijadikan bola olehnya!” kata Ciang Hun gembira.
“Itulah hasilnya kalau belajar dengan baik dan tekun,” kata Hui Lian kepada puteranya. “Engkau harus meniru enci-mu. Suma Lian, kami berterima kasih sekali karena kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan kami berempat.”
“Ahhh, Bibi, kita adalah orang sekeluarga sendiri, tidak perlu bersikap sungkan. Pula, kurasa dua orang penjahat tadi tidak akan mudah saja mengalahkan Bibi dan Paman berdua.”
“Sudahlah, Lian-ji, tidak perlu memuji kami. Yang jelas, kami berdua sudah ketinggalan jauh dalam ilmu silat dibandingkan denganmu dan biarlah kami akan berlatih dengan lebih tekun. Akan tetapi, setelah urusan yang mengganggu kami ini dapat dihindarkan, sekarang engkau harus menceritakan keperluanmu datang berkunjung ini.”
Suma Lian menarik napas panjang. Memang sejak tadi selalu ditahannya berita yang tidak menyenangkan itu karena keluarga ini sedang menghadapi ancaman bahaya. Dan setelah kini bahaya itu lewat, tentu saja ia harus menceritakannya.
“Aku datang berkunjung karena diutus oleh kongkong, Paman. Beliau meminta supaya Paman berdua dan sekeluarga suka datang menengok beliau karena pada waktu ini kongkong sedang menderita sakit...“
“Ayah sakit...?” Dua orang kakek kembar itu berseru hampir berbareng.
“Lian-ji, kenapa tidak dari kemarin engkau memberi tahu kami?” Gak Jit Kong menegur dengan muka sedih.
“Ayah sakit apakah, Suma Lian?” sambung Gak Goat Kong.
“Aku memang menahan berita ini ketika melihat keluarga Paman terancam bahaya agar jangan menambahi gelisah. Sebetulnya, penyakit kongkong adalah penyakit biasa, yaitu kelemahan setiap orang yang usianya sudah terlalu tua, demikian menurut keterangan kongkong sendiri. Karena itu, diharap agar Paman sekalian suka berkunjung ke sana sekarang juga.”
“Ahhh, ayah...“
Kedua orang kembar itu merasa gelisah dan berduka, mengingat betapa selama ini mereka gagal mencari ayah mereka. Sampai kurang lebih sepuluh tahun semenjak ayah mereka meninggalkan Puncak Telaga Warna, mereka tidak pernah mendengar tentang ayah mereka lagi, apa lagi melihatnya.
“Di mana dia?” tanya Gak Jit Kong. “Jauhkah dari sini?”
“Tidak jauh, hanya di lereng Cin-ling-san, pegunungan itu nampak dari sini kalau siang hari, Paman.”
Dua orang kembar itu terkejut dan girang. Ternyata ayah mereka berada di gunung sebelah! Malam itu mereka tidak tidur lagi dan mereka berdua bertanya tentang ayah mereka dan mereka berdua terharu bukan main mendengar betapa ayah mereka kini berjuluk Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama) dan bahkan ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan Suma Lian, kakek itu seperti seorang jembel tua yang kotor dan tidak waras!
“Aihhh, akulah yang berdosa terhadap ayah mertuaku...“ Tiba-tiba Hui Lian menangis ketika melihat betapa dua orang suaminya berlinangan air mata. “Akulah yang membuat kalian berdua menjadi anak-anak yang tidak berbakti, membuat hati ayah kalian menjadi merana dan kecewa...“
Hui Lian menangis sesenggukan. Dia tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan dia pun merangkul puteranya. Ciang Hun kemudian ikut menangis pada saat melihat betapa ibunya menangis sedih.
Melihat sikap isteri mereka itu, Beng-san Siang-eng menjadi terharu dan wajah mereka diliputi kedukaan, “Hui Lian, kamilah yang bersalah terhadap ayah!” kata Gak Jit Kong.
“Engkau tidak bersalah, dan biarlah nanti kami yang akan mohon ampun kepada ayah.” sambung Gak Goat Kong.
Suma Lian adalah seorang gadis yang memiliki perasaan yang peka, mudah tersentuh sehingga ia mudah riang gembira dan jenaka, akan tetapi mudah pula terharu. Melihat Hui Lian menangis, diikuti puteranya, dan melihat pula sikap dua orang kakek kembar itu yang gagah perkasa dan masing-masing mengakui kesalahan dengan isteri mereka, ia pun merasa terharu sekali sampai kedua matanya menjadi basah.
Ia dapat merasakan cinta kasih yang besar antara dua orang kembar itu dengan isteri mereka. Keadaan mereka itu memang amat ganjil bagi Suma Lian dan ia tidak dapat menyelaminya, namun ia dapat merasakan kasih sayang yang amat mendalam di dalam keluarga orang kembar ini.
“Paman dan Bibi, harap kalian jangan berduka. Ketahuilah bahwa kongkong sering kali membicarakan tentang Paman dan Bibi dengan sikap yang amat mencinta dan rindu. Dari kata-katanya aku dapat memastikan bahwa beliau sama sekali tidak marah kepada kalian, apa lagi membenci.”
Mendengar ini, dua orang saudara kembar itu memandang kepada Suma Lian dengan sinar mata penuh harapan. “Suma Lian, benarkah kata-katamu barusan ataukah hanya hiburan belaka untuk kami?” tanya Gak Goat Kong.
“Paman, mana aku berani membohong?”
“Sudahlah, mari kita semua berangkat. Andai kata ayah marah-marah kepada kita sekali pun, hal itu sudah sepatutnya dan kita hanya bisa minta maaf kepadanya. Yang penting, kita dapat bertemu dan menghadap ayah. Aihh, Lian-ji, betapa selama bertahun-tahun ini kami bersusah payah mencari ayah, namun selalu gagal,” kata Gak Jit Kong.
Konflik atau pertentangan yang terjadi antara kita dengan orang lain, sama sekali tidak dapat diatasi dengan prasangka, dengan sikap ingin benar sendiri dan ingin menang sendiri. Konflik akan makin memuncak kalau kita saling menilai keadaan orang lain itu, karena penilaian selalu dipengaruhi keadaan hati seseorang, didasari rasa suka dan tidak suka yang timbul dari si aku yang merasa diuntungkan atau dirugikan.
Kalau kita sedang bertentangan dengan seseorang, biasanya kita selalu menilai orang itu, segala sikap dan perbuatannya terhadap kita yang tentu saja menimbulkan nilai buruk karena orang itu kita anggap merugikan. Penilaian ini akan menambah tebalnya kebencian dan permusuhan.
Akan tetapi, cobalah kita mulai mengarahkan pengamatan kepada diri kita sendiri, sikap dan perbuatan kita sendiri tanpa penilaian, tetapi dengan pengamatan yang waspada, tanpa memihak, menyalahkan atau membenarkan diri sendiri. Maka, akan nampak jelas bahwa segala sebab yang mengakibatkan pertentangan, sebagian besar terletak dalam diri kita sendiri masing-masing.
Pengamatan terhadap diri ini akan dapat mendatangkan perubahan, dan ini menghapus pertentangan, sebab konflik keluar hanyalah pencerminan dari konflik yang terjadi dalam diri sendiri. Pengamatan kita terhadap diri sendiri, setiap saat, akan mengubah semua ulah kita terhadap orang lain, tidak mudah mata kita dibutakan oleh nafsu belaka, tidak mudah kita menjadi ‘mata gelap’ seperti dikatakan orang-orang bijaksana di jaman dahulu bahwa musuh yang paling kuat, paling berbahaya, paling licik, adalah diri sendiri, pikiran sendiri! Setan pembujuk dan penipu bukan berada di luar diri kita sendiri! Karena itu, pengamatan yang waspada terhadap diri sendiri akan melumpuhkan setan ini!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah keluarga Beng-san Siang-eng yang terdiri dari dua orang suami, satu isteri dan satu anak itu, mengikuti Suma Lian, menuju ke Pegunungan Cin-ling-san yang luas dan mempunyai banyak bukit-bukit. Di satu di antara lereng bukit inilah kini tinggal Bu Beng Lokai.....
********************
Bukit itu mempunyai sumber air dan tanahnya amat subur, penuh dengan pohon-pohon besar. Di tengah sebuah di antara hutan-hutan yang memenuhi bukit yang merupakan anak bukit Pegunungan Cin-ling-san ini terdapat sebuah pondok. Tidak besar, hanya terbuat dari kayu-kayu pohon besar, dan memiliki dua buah kamar saja. Namun pondok itu terawat bersih, dan di depannya bahkan terdapat sebuah taman bunga yang indah.
Inilah tempat tinggal Bu Beng Lokai bersama dua orang muridnya, yaitu Suma Lian dan Pouw Li Sian. Muridnya yang bernama Suma Lian telah kita kenal, dan Suma Lian masih terhitung cucu keponakannya sendiri, atau lebih tepat, cucu keponakan mendiang isterinya. Ada pun muridnya yang ke dua, juga seorang gadis yang bernama Pouw Li Sian, usianya sebaya dengan Suma Lian, hanya lebih muda beberapa bulan saja.
Seperti Suma Lian, Pouw Li Sian ini juga tekun belajar silat dan kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ia juga cantik manis, dengan tahi lalat kecil di dagunya yang meruncing, menambah manis. Tetapi, wataknya sungguh jauh berbeda dengan Suma Lian.
Jika Suma Lian seorang gadis lincah, jenaka gembira yang kadang-kadang ugal-ugalan, dengan pakaian yang nyentrik dan seenaknya, sebaliknya Pouw Li Sian adalah seorang gadis yang cantik dan halus gerak-geriknya, sopan santun tutur katanya, dan biar pun pakaiannya juga sederhana dan tambal-tambalan seperti pakaian gurunya dan pakaian Suma Lian, namun potongan pakaian itu rapi dan sopan.
Di dalam kisah SULING NAGA telah diceritakan betapa Pouw Li Sian ini adalah seorang keturunan bangsawan tinggi. Mendiang ayahnya adalah seorang menteri, seorang bangsawan tinggi yang berjiwa satria.
Pada waktu Pouw Tong Ki, demikian nama menteri itu, masih duduk sebagai Menteri Pendapatan, ia telah bentrok dengan pembesar tinggi Hou Seng, thaikam (orang kebiri) yang menjadi kekasih kaisar dan karenanya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan kekuasaan yang tak terbatas. Dalam bentrokan inilah Pouw Tong Ki kena fitnah dan bahkan terbunuh oleh kaki tangan Hou Seng yang bersekutu dengan datuk-datuk sesat dari golongan hitam.
Seluruh keluarganya lalu terbasmi dan ditangkap sebagai pemberontak karena difitnah, kecuali Pouw Li Sian, puteri menteri itu yang dapat diselamatkan oleh Bu Beng Lokai. Ketika peristiwa itu terjadi, Pouw Li Sian baru berusia dua belas tahun dan bersama Suma Lian ia lalu diajak pergi oleh Bu Beng Lokai sebagai muridnya.
Kini Li Sian telah berusia dua puluh tahun, dan selama delapan tahun itu ia ikut bersama guru dan suci-nya (kakak seperguruannya) merantau, hidup menempuh kesulitan dan kekerasan serta kekurangan. Dan akhirnya, dua tahun yang lalu, gurunya menetap di dalam hutan di lereng bukit Pegunungan Cin-ling-San itu.
Li Sian, seperti juga Suma Lian, sangat sayang kepada gurunya, karena selain sebagai penyelamat dirinya, juga Bu Beng Lokai adalah satu-satunya orang yang melindungi dan menyayangnya. Seperti juga Suma Lian ia tidak menyebut suhu (guru) kepada Bu Beng Lokai, melainkan kongkong (kakek) dan hal ini diterima dengan senang oleh kakek itu karena dia merasa seolah-olah puteri menteri itu adalah seorang cucunya sendiri, seperti Suma Lian. Dan hubungan antara Suma Lian dan Pouw Li Sian juga akrab sekali karena mereka hidup berdua di bawah asuhan kakek sakti itu sehingga mereka seolah-olah dua orang kakak beradik saja.
Ketika melihat kakek itu makin lemah karena usia yang tua, sudah mendekati seratus tahun, nampak semakin malas dan lebih sering bersemedhi atau tidur, mulailah kedua orang kakak beradik seperguruan itu merasa khawatir. Akhirnya kakek yang gagah itu pun harus mengalah dan mengakui keunggulan sang waktu.
Segala sesuatu di dunia ini akan berakhir, sedikit demi sedikit akan lenyap ditelan sang waktu. Demikian pula kehidupan manusia. Sang waktu akan menelan manusia sedikit demi sedikit melalui usia. Tanpa terasa manusia mendapatkan dirinya makin tua, makin dekat dengan saat akhir di mana dia harus mengakui kelemahan dirinya, mengakui betapa kehidupan ini tidaklah abadi, dan kematian akan menjemputnya dan mengakhiri segala perjalanan hidupnya.
Ketika kakek itu lebih banyak berbaring dengan lemah, dan sering kali mengigau dalam tidur memanggil-manggil nama kedua anak kembarnya, Suma Lian lalu memberanikan diri mengajukan usul kepada kongkong-nya, setelah berunding dengan sumoi-nya, Li Sian.
“Kongkong, bagaimana kalau aku pergi ke Beng-san dan menemui kedua orang paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, memberi tahu mereka bahwa Kongkong berada di sini dan mengajak mereka untuk datang ke sini?” demikian usulnya sambil duduk di tepi pembaringan kakek itu, sementara itu Li Sian memijati kaki gurunya.
Kakek itu membuka matanya dan sejenak sepasang mata itu mengeluarkan sinar, akan tetapi menjadi redup kembali, kemudian dia menghela napas panjang dan terdengar kata-katanya, seperti kepada diri sendiri, hanya lirih saja. “Ahhh, mereka tidak akan mau datang menengokku, mereka telah melupakan ayah mereka...“
Melihat, sikap kongkong-nya ini, Suma Lian lalu berunding dengan sumoi-nya dan Pouw Li Sian juga merasa setuju untuk mengundang putera kembar guru mereka itu. Akhirnya diputuskan bahwa Suma Lian akan pergi mengabarkan kepada Beng-san Siang-eng, sedangkan Pouw Li Sian tetap tinggal di rumah itu untuk menjaga dan melayani semua keperluan gurunya.
Setelah Suma Lian pergi dan pada suatu pagi Bu Beng Lokai menanyakan kepada Li Sian ke mana perginya suci-nya itu, Li Sian terus terang mengatakan bahwa suci-nya itu pergi ke Beng-san untuk mengundang Beng-san Siang-eng. Wajah kakek itu nampak berseri dan sinar matanya penuh harap sehingga diam-diam Li Sian merasa terharu dan bersyukur bahwa suci-nya mempunyai pendapat yang amat baik untuk mengundang kedua orang pendekar kembar itu.
Beberapa hari kemudian, Li Sian duduk di depan pondok bersama gurunya. Kakek Bu Beng Lokai nampak agak segar pagi itu, dan begitu merasa tubuhnya sehat, dia pun duduk di depan pondok untuk membiarkan sinar matahari pagi memandikan dirinya. Li Sian sudah selesai berlatih dan mencuci pakaian dan kini ia menemani kakek itu duduk di luar pondok. Kakek itu sudah sarapan bubur yang tadi dipersiapkan Li Sian dan gadis itu duduk di atas sebuah bangku kecil, di sebelah kanan gurunya yang membuka baju atas membiarkan sinar matahari menghangatkan dadanya.
“Saya gembira sekali, pagi ini Kongkong nampak sehat sekali,” berkata Li Sian sambil memandang kakek itu dengan sinar mata penuh hormat dan sayang.
Bu Beng Lokai memandang muridnya itu dan tersenyum. “Li Sian, aku sudah lama tidak melihat engkau berlatih. Sekarang cobalah engkau mainkan Lo-thian Sin-kun, aku ingin sekali melihat sampai di mana kemajuanmu.”
“Baik, Kongkong,” kata Li Sian.
Gadis ini bangkit berdiri lalu meloncat ke tengah pekarangan depan rumah itu, di dekat taman bunga yang dirawatnya dengan amat baik bersama suci-nya. Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun dan Lo-thian Kiam-sut memang merupakan dua buah ilmu silat tinggi yang telah disempurnakan oleh kakek itu dan merupakan inti dari pada ilmu-ilmu yang diajarkan kepada dua orang muridnya. Setelah memberi hormat dengan mengepal tangan kanan dilekatkan tangan kiri yang terbuka di depan ulu hati dan menghadap gurunya, Li Sian lalu bersilat.
Indah bukan main gerakan gadis ini. Orangnya memang cantik, bentuk tubuhnya indah. Tubuh seorang dara yang sedang masak-masaknya, dengan pinggang ramping dan lekuk lengkung tubuh yang sempurna, penuh sifat kehalusan dan kelembutan seorang wanita, maka gerakan silat itu sungguh amat indah. Memang Bu Beng Lokai yang sudah mendalami ilmu silat sampai ke intinya, menekankan segi-segi terpenting dari ilmu silat.
Di dalam gerakan ilmu silat terkandung seni tari yang indah, gerakan tubuh demikian hidup dan penuh keindahan, juga mengandung seni olah raga yang menyehatkan tubuh sebab gerakan-gerakan itu memperlancar jalan darah bahkan mengendalikan hawa dan tenaga sakti dalam tubuh. Selain seni tari dan olah raga, juga mengandung pengaruh menyehatkan batin di samping ilmu bela diri.
Permainan Li Sian memang indah sekali, juga gerakannya mantap, setiap pukulan atau tangkisan mengandung tenaga yang nampaknya halus namun sesungguhnya amat kuat karena gadis ini pun sudah menguasai penggunaan Tenaga Inti Bumi, bahkan sudah mahir pula mempergunakan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari Pulau Es!
Kecepatannya mengagumkan sehingga diam-diam Bu Beng Lokai mengangguk-angguk bangga. Keindahan, kecepatan, kekuatan, tiga hal ini sudah terwujud dalam ilmu silat yang dimainkan Li Sian.
“Ambil ranting dan pergunakan sebagai pedang, mainkan Lo-thian Kiam-sut,” kata Bu Beng Lokai.
Tubuh gadis itu tiba-tiba berkelebat ke atas, ke arah sebatang pohon di tengah taman bunga dan ketika berkelebat kembali ke depan gurunya, ia sudah memegang sebatang ranting pohon. Sekali menggerakkan ranting itu, daun-daun yang melekat di situ rontok dan mulailah ia memainkan ilmu pedang yang diminta gurunya. Seperti juga ilmu silat tangan kosong yang tadi dimainkan dengan halus namun dengan kecepatan yang luar biasa, membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar hijau dari ranting itu, sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya!
Melihat kemajuan muridnya ini, timbul kegembiraan hati Bu Beng Lokai dan tiba-tiba dia sudah bangkit berdiri. “Li Sian, mari kita latihan bersama!” katanya gembira.
Dan kakek itu sudah meloncat memasuki gulungan sinar pada ranting pohon yang dimainkan sebagai pedang oleh gadis itu. Dia mainkan kedua tangannya dan kakinya bergerak dalam langkah-langkah ajaib Sam-po Ci-keng dan melihat ini, Li Sian girang bukan main. Ini menandakan bahwa gurunya itu telah sehat benar!
Maka, ia pun melayani gurunya dan mereka berlatih bersama. Biar pun sudah tua dan baru saja sembuh dari keadaan tidak sehat, namun begitu tubuhnya bergerak dalam permainan silat, tubuh itu seperti mendapatkan kekuatan baru dan gerakannya lincah dan kuat! Li Sian juga bersilat dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk mengalahkan gurunya.
Namun, biar gurunya sudah sangat tua, bagaimana pun juga dia kalah jauh dalam hal kematangan ilmu silat dan pengalaman. Tiba-tiba ujung ranting yang dimainkan sebagai pedang itu dapat tertangkap oleh tangan kanan kakek itu. Li Sian mengerahkan tenaga untuk merampas kembali senjatanya, kakek itu mempertahankan.
“Krekkk!” Ranting itu patah-patah dan keduanya melompat ke belakang. Wajah Li Sian berubah merah.
“Wah, Kongkong sudah sehat benar, sudah mampu mengalahkan saya dengan amat mudah!” kata Li Sian.
Bu Beng Lokai berkata setelah menghapus peluhnya yang membasahi tubuh atas itu dengan bajunya.
“Li Sian, pada saat lawan berhasil menangkap senjata, kesempatan itulah yang teramat baik untuk menyerangnya. Biarkan ia kegirangan karena berhasil menangkap senjatamu sehingga dia lengah. Dan pada detik itu pula muncul kesempatan yang teramat baik untuk merobohkannya.”
“Maksud Kongkong, saya tidak seharusnya mengerahkan tenaga untuk coba merampas kembali senjata yang sudah tertangkap, tetapi menggunakan saat itu untuk menyerang lawan dengan tangan kiri?”
Kakek itu mengangguk. “Benar, tertangkapnya senjatamu merupakan pancingan yang tidak disengaja dan dapat berhasil baik. Lawan akan lengah dan saat itu engkau dapat mempergunakan tangan kiri atau kakimu untuk menyerangnya. Ini berarti membiarkan kemenangan datang melalui kekalahan. Kelihatannya saja engkau sudah kalah karena senjatamu tertangkap, akan tetapi kekalahan itu justeru membuka kesempatan bagimu untuk memperoleh kemenangan. Mengertikah engkau?”
“Saya mengerti, Kongkong.”
“Nah, bagus. Bagaimana pun juga, engkau sudah memperoleh kemajuan yang cukup baik. Tentu selama aku mengaso dan tak mampu mengawasimu, engkau terus berlatih dengan giat.”
“Ahhh, betapa pun kerasnya saya berlatih, masih sukar bagi saya untuk mengimbangi kemajuan suci, Kongkong.”
Kakek itu tersenyum. “Bukan salahmu. Suma Lian memang berbakat sekali, dan selain itu, ingatlah bahwa ia keturunan langsung dari ayah mertuaku, Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es! Bahkan ayah ibunya juga merupakan sepasang pendekar yang sakti. Sejak kecil ia sudah digembleng ayah ibunya dan ketika ia menjadi muridku, ia telah memiliki dasar yang kuat sekali, berbeda dengan engkau yang ketika itu belum pernah mempelajari ilmu silat sama sekali. Ilmu kepandaian silat mendiang ayahmu, Menteri Pouw Tong Ki itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat ayah ibu Suma Lian. Ketahuilah, Li Sian, bahwa ilmu-ilmu dari Pulau Es amat tinggi dan karenanya tidak mudah dikuasai dengan sempurna. Misalnya saja Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang yang pernah kau latih itu, kiranya sekarang sukar mencari orang yang mampu menguasainya sesempurna mendiang ayah mertuaku! Mungkin hanya Suma Ceng Liong ayah Suma Lian saja yang saat ini memiliki tingkat paling tinggi dalam hal ilmu silat keluarga Pulau Es. Akan tetapi, bekalmu sudah lebih dari cukup. Kalau engkau giat berlatih dan ditambah pengalaman-pengalamanmu nanti, kiranya engkau tidak akan tertinggal terlalu jauh. Eh, mengapa Suma Lian belum juga pulang?”
Li Sian masih duduk bersila di atas batu datar untuk mengatur pernapasan, memulihkan tenaga setelah latihan tadi. Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, ia pun menjawab. “Menurut perhitungan Lian-suci, mestinya kemarin ia sudah pulang. Saya kira hari ini ia akan pulang, Kongkong.”
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu duduk bersila pula di atas batu datar lain yang banyak terdapat di pekarangan itu. “Aku harus mengaso, sedikit latihan tadi melelahkan tubuhku, akan tetapi juga amat menggembirakan dan memberi semangat,” katanya. Dan tidak lama kemudian, Bu Beng Lokai sudah tenggelam dalam semedhinya.