CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SI BANGAU PUTIH BAGIAN 06
Belum satu jam mereka berlatih semedhi, baru saja Li Sian bangkit dari duduknya untuk melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari jauh.
“Kongkong...! Sumoi...! Aku datang...!”
Suara sucinya, Suma Lian, siapa lagi! Suara itu demikian nyaring dan bening, seperti kepingan perak atau emas berdencing, mendatangkan kecerahan dan kegembiraan.
Li Sian cepat memandang dan ia melihat suci-nya datang berjalan bersama dua orang laki-laki yang usianya mendekati enam puluh tahun, sikap mereka gagah. Selain dua orang kakek yang wajah dan tubuhnya sangat serupa itu, nampak pula seorang wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia pun segera tahu siapa mereka dan dengan girang ia lalu berseru kepada gurunya.
“Kongkong, mereka telah datang!”
Bu Beng Lokai membuka matanya, akan tetapi tidak turun dari atas batu datar karena nampaknya masih lelah. Dia hanya memandang ke arah rombongan yang kini sedang menghampiri tempat itu.
Ketika Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong melihat kakek tua renta yang tidak berbaju duduk di atas batu datar, nampak tua dan lelah serta lemah, mereka merasa jantung mereka seperti ditusuk-tusuk dan keduanya lalu berlari menghampiri sambil menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu dan mereka menangis mengguguk seperti dua orang anak kecil.
“Ayah... bertahun-tahun kami mencari Ayah tanpa hasil,“ kata Gak Jit Kong.
“Ayah, ampunkan semua dosa kami, Ayah...“ kata pula Gak Goat Kong.
Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum dan kedua tangannya menyentuh kepala dua orang yang berlutut di depannya. Matanya basah dan suaranya lirih gemetar ketika dia berkata, “Anak-anakku... anak-anakku... mana dia, isterimu dan apakah kalian mempunyai keturunan?”
Hui Lian sejak tadi sudah menarik tangan puteranya dan berlutut tidak jauh dari situ. Mendengar ucapan ini, ia pun bergeser maju sambil menggandeng tangan puteranya. Ia telah menangis semenjak tadi melihat betapa dua orang suaminya mengguguk dalam tangisnya di depan kaki ayah mertuanya itu.
“Ayah... saya Souw Hui Lian mantumu yang hina dan bodoh dan ini adalah Gak Ciang Hun, anak tunggal kami...”
Gak Bun Beng memandang mereka. “Anak baik, engkau telah membahagiakan kedua anak-anakku... terima kasih… dan cucuku... ke sinilah, cucuku...“
Gak Ciang Hun sudah sering mendengar dari kedua ayahnya tentang kakeknya yang dikatakan memlliki ilmu kepandaian amat tinggi seperti dewa, maka sejak tadi dia sudah memandang dengan kagum, juga agak jeri. Mendengar kini kakek itu memanggilnya, dia pun cepat maju menghampiri.
“Cucuku... ahh, sudah begini besar, cucuku...!” Dia mencoba untuk bangkit akan tetapi terhuyung.
Suma Lian, juga dua orang puteranya cepat meloncat untuk menolongnya, akan tetapi kakek itu menolak mereka dan berkata,
“Biarkan aku dengan cucuku sendiri!” Suaranya tegas sehingga Suma Lian dan Li Sian mundur kembali.
Suma Lian dan Li Sian hanya saling pandang dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir. Mereka tahu benar bahwa guru mereka, juga kakek mereka itu berada dalam keadaan yang tidak sehat dan lemah, bukan hanya karena penyakit, tetapi terutama karena usia tua.
Sementara itu, Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng telah menggandeng tangan cucunya, diajak memasuki ruangan latihan silat. Kedua orang saudara kembar Gak bersama isteri mereka, juga Suma Lian dan Li Sian, hanya mengikuti dari belakang.
Setelah tiba di ruangan latihan silat, kakek Gak Bun Beng lalu berkata kepada cucunya, “Ciang Hun, engkau tentu telah dilatih silat oleh orang tuamu. Nah, perlihatkan kepada kakekmu ini sampai di mana kemampuanmu.”
Ciang Hun memang sejak kecil digembleng oleh kedua orang ayahnya dan seorang ibunya. Sebetulnya dia malu dan khawatir ditegur kakeknya karena di depan kakeknya yang kabarnya sakti itu tentu kepandaian silatnya masih belum ada artinya. Akan tetapi dia pun tidak berani membantah, melangkah ke tengah ruangan dan setelah memberi hormat, dia pun lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat dasar Lo-thian Sin-kun. Gerakannya cukup gesit dan penggunaan tenaga yang tepat, sesuai dengan usianya.
Melihat ini, agaknya Bu Beng Lokai cukup puas. Biar pun tidak mempunyai bakat yang terlalu menonjol, akan tetapi Ciang Hun cukup baik, bahkan kelak tingkatnya dapat lebih tinggi dari pada orang tuanya kalau rajin berlatih.
“Nah, sekarang duduklah bersila di situ, cucuku,” kata kakek itu. Dia pun menghampiri cucunya yang duduk bersila itu. “Buka bajumu!”
Ciang Hun merasa heran akan tetapi tak berani membantah dan anak itu pun membuka bajunya. Kakek itu lalu duduk bersila di belakang cucunya. Melihat ini, Suma Lian dan Li Sian dapat menduga apa yang akan dilakukan guru mereka dan keduanya merasa amat khawatir.
“Kongkong...!” Mereka berdua berseru lirih.
Kakek itu menoleh kepada mereka, lalu tersenyum. “Lian dan Sian, kalian berdua telah menerima semua ilmuku dan kurasa sudah cukup bagi kalian untuk mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk berjaga diri dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Aku tak punya apa-apa lagi untuk diwariskan kepada cucuku, maka semua yang ada padaku akan kutinggalkan kepadanya.”
“Akan tetapi, Kongkong sedang sakit...,“ bantah Suma Lian.
“Dan Kongkong baru saja berlatih dan dalam keadaan lelah...,“ sambung Li Sian, sama khawatirnya dengan suci-nya.
“Sudahlah, harap kalian jangan khawatir. Jika tidak sekarang saatnya, mau kapan lagi? Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk cucuku, dan tentang mati hidup, hal itu adalah urusan Tuhan!”
Setelah berkata demikian, kakek itu menempelkan kedua tapak tangannya di punggung cucunya dan matanya terpejam. Melihat ini, barulah kedua orang bersaudara kembar Gak itu dan isteri mereka tahu apa yang akan dilakukan ayah mereka, dan mereka pun memandang dengan khawatir, akan tetapi tidak berani menghalangi.
“Kendurkan seluruh urat-urat tubuhmu, cucuku, dan jangan melawan. Terima saja hawa panas yang memasuki tubuhmu,” kakek itu berbisik dan dia pun segera mengerahkan sinkang-nya untuk disalurkan ke dalam tubuh cucunya!
Biar pun usianya baru sepuluh tahun, sebagai putera pendekar, Ciang Hun sudah tahu apa yang sedang dilakukan oleh kakeknya. Tentu kakeknya akan menyalurkan tenaga sinkang, memindahkan tenaga sakti itu kepadanya. Diam-diam dia merasa girang bukan main walau pun hatinya tegang karena dia belum pernan merasakan hal ini dan dia pun maklum bahwa pengoperan tenaga sakti itu dapat membahayakan dirinya sendiri kalau dia tidak mentaati sepenuhnya. Maka dia pun mengendorkan semua urat di tubuhnya dan menghentikan semua pikiran seperti dalam latihan semedhi.
Tidak lama kemudian anak itu merasakan betapa ada hawa yang mula-mula hangat memasuki tubuhnya. Hawa itu makin lama makin panas, masuk makin banyak sampai memenuhi tubuhnya dan berputaran. Kepalanya mulai terasa pening, keringatnya keluar di seluruh tubuhnya dan hampir saja dia tidak kuat menahan.
Namun Ciang Hun mematikan semua rasa dan pasrah. Hawa yang tadinya amat panas itu kemudian menjadi hangat kembali, makin lama makin berkurang panasnya, bahkan menjadi dingin dan semakin dingin sampai Ciang Hun menggigil dan giginya berbunyi. Akan tetapi anak itu tetap diam dan dapat mempertahankan kebekuan yang menyerang dari dalam itu! Dia lapat-lapat mendengar seruan-seruan khawatir dari dua orang gadis murid kakeknya, akan tetapi tidak dipedulikan.
Rasa dingin luar biasa itu makin lama semakin berkurang dan akhirnya kembali hangat seperti semula. Akan tetapi dia merasa tengkuknya panas sekali dan ada hembusan panas meniup tengkuknya dari luar yang membuatnya sadar dari semedhinya. Kini dia mendengar betapa hembusan napas panas itu keluar dari mulut dan hidung kakeknya yang kini terdengar terengah-engah. Kedua tangan kakeknya yang tadi tertempel di kulit punggungnya, kini terlepas.
“Kongkong...!” Terdengar Suma Lian dan Li Sian berseru.
“Ayah...!” Kedua ayahnya juga berteriak dan mereka sudah berlutut mendekat.
Ciang Hun mencoba berdiri, akan tetapi kepalanya menjadi pening seketika dan tentu dia sudah terguling roboh jika saja tidak ada ibunya yang cepat merangkulnya. Ibu dan anak itu berangkulan memandang pada kakek itu yang ternyata telah roboh terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, akan tetapi mulutnya yang setengah terbuka itu nampak tersenyum!
“Kongkong... ahhh, mengapa engkau melakukan ini?” Suma Lian nampak meraba dada gurunya.
“Kongkong, kenapa engkau memaksa diri...?” Li Sian juga meraba pundak gurunya dan ia pun mulai menangis.
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong saling pandang. Mereka pun telah tahu bahwa ayah mereka tadi sudah memindahkan sinkang ke tubuh putera mereka. Akan tetapi hal ini amat memeras tenaga kakek itu yang sedang dalam keadaan lemah dan lelah.
“Ayah... kembali kami yang datang hanya menyusahkan Ayah saja,” kata Goat Kong menyesal.
“Ayah, kami tidak pernah melakukan sesuatu yang menyenangkan hatimu, akan tetapi Ayah telah mewariskan sinkang kepada Ciang Hun dengan mengorbankan diri...!” kata pula Gak Jit Kong.
Kakek itu dengan lemah membuka kedua matanya. Dengan napas terengah-engah dia tersenyum, memandang kepada mereka yang merubungnya.
“Aku puas... aku tak dapat meninggalkan apa-apa... latihlah ia dengan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang... dia... dia akan kuat sekali... ahh, sayang aku harus mati dalam keadaan lemah! Kalau saja ada datuk sesat datang agar dapat kulawan dia dan aku mati dalam perkelahian! Sayang... tapi... ahhh, lihat itu... ibu kalian datang... Milana... tungguuu...!” Kakek itu seperti hendak bangkit duduk, akan tetapi terkulai kembali dan napasnya pun berhenti.
Tiga orang wanita itu menjerit dan menangis. Dua orang saudara kembar Gak saling pandang dan membiarkan mereka itu menangis sepuasnya, kemudian mereka berkata dengan suara penuh penyesalan.
“Ahhh, semua ini kesalahan kami. Kedatangan kami hanya memperpendek usia ayah kami...“
Mendengar ini, Suma Lian dan Li Sian menghentikan tangis mereka.
Suma Lian memandang mereka dengan mata basah. “Tidak perlu penyesalan itu, kedua Paman. Kedatangan Paman sekeluarga adalah atas kehendak mendiang kongkong, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi kongkong kembali ke alam baka. Juga, pewarisan sinkang tadi hanya merupakan jalan belaka yang semuanya sudah dipastikan dan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.”
Mereka lalu mengurus jenazah kakek Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, menantu pertama dari Pendekar Super Sakti. Atas pesan kakek itu sendiri kepada dua orang muridnya, maka jenazah itu lalu dibakar dengan upacara sederhana.
Sungguh menyedihkan hati kedua orang puteranya mengingat betapa kakek itu, ayah mereka, yang dahulu menjadi seorang pendekar besar yang pernah mengguncangkan dunia kang-ouw, kini meninggal dunia serta diperabukan tanpa ada yang menghadiri, kecuali kedua puteranya, mantunya, cucunya, dan dua orang muridnya, di tempat yang amat sunyi itu.
Setelah jenazah menjadi abu, kedua orang kembar Gak lalu membawa abu jenazah ayah mereka untuk dikebumikan di Puncak Telaga Warna, bekas tempat tinggal ayah mereka itu. Mereka segera berpamit dari Suma Lian dan Li Sian, pulang bersama isteri mereka dan Ciang Hun yang masih merasa agak pening dan kadang-kadang mengeluh akibat tubuhnya merasakan betapa tenaga yang amat besar membuat dia panas dingin. Kedua orang ayahnya harus sebentar-sebentar berhenti dalam perjalanan mereka untuk membiarkan anak itu berlatih siu-lian dan memberi petunjuk untuk membiarkan tenaga sakti itu mengeram di dalam tan-tian (pusar di dalam perut) dan tenang di situ sampai kelak dapat dipergunakan kalau anak itu sudah mampu mengendalikannya.
Tinggallah dua orang gadis itu yang merasa kesepian. Mereka masih tinggal di pondok bekas tempat tinggal guru mereka sampai tiga hari tiga malam. Betapa pun juga, dua orang gadis ini telah tinggal bertahun-tahun di tempat sunyi dan indah itu, dan di antara mereka telah terdapat pertalian kasih sayang seperti saudara kandung saja, mengalami suka duka bersama di tempat sunyi itu sehingga mereka merasa berat untuk saling berpisah.
Juga mereka merasa terharu dan sangat berat untuk meninggalkan tempat itu yang tak mungkin kiranya akan mereka datangi lagi, mengingat bahwa kakek dan juga guru mereka kini telah tiada, bahkan abunya juga sudah dibawa pergi oleh dua orang kembar Gak yang lebih berhak.
Guru mereka tidak meninggalkan apa-apa kecuali ilmu kepandaian. Sedikit pakaian dan sepatu. Barang-barang yang dipakai Bu Beng Lokai sehari-hari, telah diikutkan bersama jenazah ketika dibakar. Yang masih tersisa hanyalah batu datar yang hitam mengkilat bekas tempat orang tua itu duduk bersemedhi. Saking merasa kehilangan, selama tiga hari tiga malam itu, bergantian Suma Lian dan Li Sian duduk bersemedhi di bekas tempat duduk guru mereka ini, sambil mengenang segala budi kebaikan orang tua itu kepada mereka.
Setelah tiga hari tiga malam, dua orang gadis perkasa itu menyadari bahwa tidak ada manfaatnya membiarkan diri tenggelam dalam buaian perasaan yang penuh keharuan, kehilangan, duka yang timbul dari iba diri. Mereka lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.
Suma Lian berkata dengan suara yang berat kerena bagaimana pun juga, ia merasa berat untuk berpisah dari sumoi-nya yang dianggap seperti adiknya sendiri itu. “Sumoi, hari ini kita harus meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya tinggal lebih lama di sini.”
“Engkau benar, Suci, aku pun berpikir demikian. Lalu... ke mana kita akan pergi, Suci?” Li Sian mulai bingung karena ia tak mempunyai tujuan tertentu, tidak tahu harus pergi ke mana karena orang tuanya sudah tiada.
“Aku sendiri akan pulang ke rumah orang tuaku di dusun Hong-cun. Dan bagaimana dengan engkau, Sumoi?”
“Aku...? Aku... entah akan pergi ke mana...?” kata Li Sian dan melihat wajah sumoi-nya menjadi sedih, Suma Lian segera merangkul dan mencium pipinya.
“Ahh, aku lupa bahwa engkau tidak mempunyai keluarga lagi, adikku. Nah, bagaimana kalau engkau pergi bersamaku, ikut dengan aku ke rumah orang tuaku? Kita tinggal bersama di sana, alangkah akan senangnya...!”
Akan tetapi Li Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Terima kasih, Suci, Engkau baik sekali dan tidak ada kesenangan di dunia ini yang melebihi kalau aku dapat tinggal serumah denganmu. Akan tetapi, aku tidak ingin mengganggu ayah bundamu dengan kehadiranku dan...”
“Ahh, mereka pasti akan senang sekali menerimamu, Sumoi. Bukankah engkau sudah kuanggap seperti adikku sendiri? Bahkan, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk mengangkatmu sebagai anak mereka, dan engkau menjadi adik angkatku!”
Kini Li Sian yang merangkul suci-nya dan kedua matanya basah ketika ia memandang kepada suci-nya. “Suci, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali dan percayalah, aku pun sudah menganggap engkau seperti kakak kandungku sendiri! Akan tetapi, biar pun ayah bundaku sudah tidak ada, akan tetapi engkau tahu bahwa aku masih mempunyai empat orang kakak laki-laki yang ketika terjadi keributan itu, ditawan oleh pemerintah. Biarlah aku akan mencari mereka terlebih dahulu, siapa tahu ada di antara mereka yang dapat kutemukan. Mereka merupakan satu-satunya keluargaku terdekat yang kumiliki. Aku akan mencari mereka, dan kalau gagal, barulah aku akan menyusulmu ke dusun Hong-cun, Su-ci.”
Suma Lian mengangguk-angguk, mengerti dan menyetujui. Pada hari itu juga mereka turun gunung, kemudian berpisah di jalan persimpangan. Suma Lian menuju ke selatan, sedangkan Li Sian menuju ke utara. Dua orang saudara seperguruan yang berangkat dewasa bersama-sama ini baru berpisah setelah mereka saling rangkul sampai sekian lama tanpa kata-kata. Kemudian keduanya berpisah dan berlari cepat dengan kedua mata basah.
Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, tinggal di kota Pao-teng, di sebelah selatan kota raja. Bekas panglima Kao ini berdagang rempah-rempah, dan terlihat sebagai pedagang biasa saja bagi mereka yang tidak mengenalnya. Akan tetapi, dunia kang-ouw tahu belaka siapa sesungguhnya pria yang kini usianya telah lima puluh delapan tahun tetapi masih nampak gagah perkasa itu. Juga siapa kira isterinya sendiri yang telah mendekati usia lima puluh tahun namun masih nampak lincah dan jauh lebih muda dari usianya, tubuhnya masih tegap dan ramping, dulu adalah seorang wanita kang-ouw pula.
Tidaklah mengherankan kalau suami isteri ini nampak lebih muda dan sehat, karena mereka adalah suami isteri pendekar yang sesungguhnya mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali dan jarang dapat menemukan tandingan di masa itu!
Kao Cin Liong adalah putera tunggal dari penghuni Istana Gurun Pasir, putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan dia pernah menjadi seorang panglima muda yang amat berjasa memadamkan banyak api pemberontakan di selatan dan barat. Ada pun isterinya, Suma Hui, juga bukanlah wanita sembarangan. Dari nama keturunannya juga dapat diduga bahwa dia adalah keturunan keluarga pendekar Pulau Es, dan sesungguhnya ia masih cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, penghuni Istana Pulau Es.
Sebetulnya, dengan tingkat ilmu kepandaian silat mereka yang sangat tinggi dan lihai, mereka menjadi guru-guru yang cukup baik untuk anak tunggal mereka, yang bukan lain adalah Kao Hong Li. Hanya karena Kao Hong Li merupakan anak tunggal yang manja, maka ayah ibunya tidak terlalu menekan, meski mereka tetap memberikan gemblengan ilmu silat tingkat tinggi.
Karena itu, setelah kini berusia dua puluh tahun lebih, Kao Hong Li menjadi seorang gadis dewasa yang sangat tangguh. Walau pun tingkat kepandaiannya tidak setinggi ayahnya karena kadang-kadang ia malas berlatih dan orang tuanya tidak menekannya, namun setidaknya ia sudah mampu mengimbangi tingkat kepandaian ibunya!
Kao Hong Li merupakan seorang gadis yang cantik dan cerdik. Ia manis seperti ibunya, dengan wajah bulat telur dan sepasang matanya amat menarik, mungkin memiliki daya tarik terbesar di antara semua kecantikannya. Mata itu lebar dan jeli, dengan bulu mata yang panjang dan lentik, serta dihiasi sepasang alis yang hitam lebat, kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja. Ia lincah dan galak seperti ibunya, cerdik dan pandai bicara seperti ibunya pula, dan gagah perkasa tak mengenal takut seperti ayahnya.
Ada satu hal yang membuat suami isteri itu akhir-akhir ini agak murung kalau teringat, yaitu bahwa sampai kini berusia dua puluh tahun lebih, puteri mereka itu masih belum mau juga dicarikan jodoh! Setiap kali mereka membicarakan urusan jodoh, gadis itu lalu cemberut dan marah-marah, tidak mau mendengarkan dan lari ke dalam kamarnya. Jika Suma Hui melakukan pendekatan dan menyusul ke dalam kamarnya, Kao Hong Li akan mencela ibunya.
“Mengapa Ibu dan Ayah selalu mendorongku untuk menikah? Apa Ayah dan Ibu sudah bosan dan tidak suka kepadaku, ingin melihat aku pergi dari rumah ini dan mengikuti suami?”
Ibunya segera merangkul dan tersenyum. “Hushhh! Bagaimana engkau dapat berkata demikian, Hong Li? Ayah dan ibumu sayang kepadamu, mana bisa bosan dan tak suka? Kalau kami membujukmu untuk menikah, bukankah hal itu sudah wajar? Ingat, usiamu kini sudah mendekati dua puluh satu tahun. Mau tunggu apa dan kapan lagi? Biasanya, seorang gadis akan menikah dalam usia antara enam belas sampai dua puluh tahun, dan engkau sudah hampir dua puluh satu...”
“Ibu sendiri, berapa umur Ibu pada waktu menikah dengan Ayah?” Inilah senjata yang digunakan Hong Li kalau ibunya mendesak dengan alasan usia.
Suma Hui hanya menarik napas panjang. “Lain lagi dengan aku, anakku. Memang aku menikah dengan ayahmu ketika sudah berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, akan tetapi...”
“Nah, aku pun tidak tergesa-gesa. Bagaimana pun juga, aku tidak mau menikah dengan seorang laki-laki yang asing bagiku, yang tidak kusuka!”
“Hemmm, kau maksudkan, engkau hanya akan menikah dengan seorang pemuda yang kau cinta?”
Wajah Hong Li berubah merah, tetapi dia menjawab juga, “Bukankah begitu sebaiknya Ibu?”
Suma Hui menghela napas lagi dan mengangguk. “Yah, memang demikian sebaiknya. Tetapi, kapan engkau akan bertemu dengan seorang pemuda yang kau cinta? Atau... apakah sudah ada pemuda itu?” tanyanya penuh harap.
Wajah itu menjadi semakin merah dan cepat Hong Li menggelengkan kepalanya. “Tidak ada, Ibu! Mana ada pemuda yang seperti kuidamkan dan yang pantas kucinta di tempat ini? Yang ada hanya pemuda brengsek, tukang jual lagak, pamer kekayaan dan pangkat ayahnya, menyebalkan!”
“Hemmm, jangan begitu anakku. Habis, pemuda macam apa yang kiranya akan dapat menundukkan hatimu?”
“Dia harus seperti ayah, memiliki ilmu silat dan ilmu surat yang tinggi, setidaknya dapat mengalahkan atau mengimbangi kepandaianku. Ia harus pula gagah perkasa, pembela kebenaran, dan harus... harus orang yang dapat menimbulkan kekaguman dan rasa suka di dalam hatiku!”
Diam-diam Suma Hui terharu. Betapa sama benar keinginan anaknya dengan keinginan hatinya sendiri ketika ia masih gadis! Dan bukankah setiap gadis juga menginginkan hal seperti itu? Bagaimana ia dapat menyalahkan puterinya?
“Akan tetapi Hong Li, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini, kiranya di dunia ini tidak ada banyak pemuda yang akan mampu menandingimu!”
“Tentu ada, Ibu. Kalau memang sudah kutemukan yang cocok dengan hatiku, aku juga dapat mengalah...“
Suma Hui tertawa dan merangkul anaknya. Mengertilah dia. Ketinggian ilmu itu bukan merupakan syarat mutlak, melainkan kalau ada perasaan cinta di dalam hati puterinya, tentu puterinya itu akan mengalah terhadap pemuda yang dicintanya!
“Aihhh, Hong Li, aku hanya mendoakan semoga engkau akan segera bertemu dengan jodohmu. Ingatlah, kini ayah ibumu sudah mulai tua dan kami sungguh mendambakan seorang cucu darimu.”
“Ihhh, Ibu!” kata Hong Li dan dia pun merebahkan dirinya menelungkup dan menutupi telinganya dengan bantal. Ibunya tertawa dan meninggalkan kamar puterinya untuk menghibur suaminya, menceritakan percakapannya dengan Hong Li.
Meski demikian, tetap saja suami isteri itu merasa kecewa karena mereka tidak melihat kemungkinan puteri mereka akan bisa bertemu dengan jodohnya dalam waktu dekat. Kalau puterinya hanya tinggal di rumah saja, di kota Poa-teng yang tidak berapa besar, bagaimana mungkin dia bertemu dengan seorang pemuda yang sepadan menjadi calon jodohnya?
“Aihh, kalau aku teringat kepada murid adikmu itu, rasanya aku akan suka kalau dia menjadi calon mantu kita,” kata Kao Cin Liong kepada isterinya.
“Kau maksudkan Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun itu? Hemmm, dia memang baik, dan tentang ilmu silat, tentu masih di bawah tingkat anak kita. Akan tetapi, kita tidak tahu dia berada di mana sekarang! Ciang Bun tidak pernah singgah di sini dan tak pernah memberi kabar sekarang berada di mana. Sudahlah, jodoh sudah diatur oleh Tuhan, kita tinggal berdoa saja.”
Kao Cin Liong kembali menarik napas panjang. “Sebaiknya kalau aku membawa dia melakukan perjalanan, berkunjung ke kakek dan neneknya.”
“Di gurun pasir?”
“Ya, ayah dan ibu sudah sangat tua, sayang bahwa mereka tidak mau kita ajak tinggal di sini. Siapa tahu dari mereka aku akan mendapatkan petunjuk tentang jodoh anak kita, dan aku pun sudah rindu kepada mereka.”
“Habis toko kita bagaimana? Kalau ditutup terlalu lama, tentu kita akan kehilangan para langganan.”
“Karena itu, biarlah aku seorang saja yang mengajak Hong Li pergi ke utara. Engkau mengurus toko, isteriku.”
Sebetulnya Suma Hui juga ingin ikut, akan tetapi dia merasa sayang meninggalkan tokonya yang mulai maju, maka ia pun akhirnya setuju. “Asal kalian pergi jangan terlalu lama.”
Akan tetapi, sebelum mereka memberi tahukan Hong Li tentang maksud Kao Cin Liong, pada sore hari muncullah seorang pemuda di rumah mereka. Pemuda yang berpakaian serba putih, berusia dua puluh dua tahun, bersinar mata lembut dan wajah cerah ramah, juga bersikap sopan santun. Begitu Kao Cin Liong dan isterinya menyambut, pemuda itu segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong.
“Suheng, saya datang menghadap...”
Tentu saja Cin Liong kaget dan heran. Dia lupa lagi kepada Tan Sin Hong yang pernah dilihatnya ketika pemuda itu masih remaja. Akan tetapi karena satu-satunya orang di dunia ini yang menyebutnya suheng hanya seorang, yaitu pemuda remaja yang pernah dilihatnya menjadi murid ayah ibunya di gurun pasir itu, dan kedua yang menyebutnya suheng adalah seorang wanita bernama Can Bi Lan yang pernah menjadi murid ayah ibunya pula, dia pun segera dapat menduga siapa pemuda itu.
“Engkau Tan Sin Hong?”
“Benar, Suheng.”
“Ah, kau telah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang. Masuklah, dan perkenalkan, ini isteriku.”
Sin Hong segera memberi hormat dengan sikap sopan kepada Suma Hui yang juga telah pernah diceritakan oleh suaminya bahwa di gurun pasir terdapat seorang pemuda remaja yang menjadi murid ayah bundanya. Wanita ini menerima penghormatan sute suaminya itu sambil mengamati dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Ia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berjiwa sederhana, tercermin dari keadaan pakaiannya dan gerak-geriknya, sopan dan rendah hati, tidak menonjolkan diri walau pun dia sebagai murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tentu telah memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Wajah pemuda itu sedang saja, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan. Mata yang bersinar lembut dan mulut yang selalu tersenyum ramah itu sangat menarik, juga sepasang mata lembut itu kadang-kadang mengeluarkan sinar yang mencorong, tanda bahwa dalam diri pemuda ini ada suatu kekuatan yang dahsyat.
Pemuda itu dipersilakan duduk di ruangan dalam. Pada saat itu, muncullah Kao Hong Li. Melihat bahwa orang tuanya menerima tamu pria yang disangkanya tentulah seorang yang datang untuk urusan dagang rempah-rempah, dia hanya menjenguk keluar pintu dan hendak masuk ke belakang lagi. Akan tetapi ayahnya memanggilnya.
“Hong Li, ke sinilah dan bertemu dengan Susiok-mu!”
Mendengar kata-kata ayahnya ini, Hong Li lalu memandang heran. Ia memang pernah mendengar dari ayahnya, ketika ayahnya itu berkunjung ke gurun pasir, bahwa ayahnya mempunyai seorang adik seperguruan yang sedang belajar di gurun pasir. Akan tetapi, tidak disangkanya bahwa susiok-nya (paman guru) itu adalah seorang laki-laki yang masih demikian mudanya, kiranya tidak banyak selisihnya dengan usianya sendiri. Akan tetapi ia pun segera memasuki ruangan itu, menghampiri meja di mana Sin Hong duduk berhadapan dengan Kao Cin Liong dan Suma Hui.
Melihat ada seorang gadis yang cantik dan gagah, Sin Hong cepat bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Hong Li segera memberi hormat dan berkata dengan jujur, “Inikah Susiok dari gurun pasir? Tak kusangka masih begini muda!”
Sin Hong membalas penghormatan itu, tidak seperti seorang paman, melainkan seperti orang yang seusia, dan menjawab, “Aku sungguh merasa terlalu tinggi untuk menjadi susiok-mu, Nona.”
Kao Cin Liong tersenyum. “Duduklah, Hong Li. Susiok-mu Tan Sin Hong ini baru saja datang. Kami sedang bersepakat untuk berangkat berkunjung ke gurun pasir, yaitu aku dan engkau, Hong Li, dan ibumu berjaga di rumah. Aku telah rindu kepada kakek dan nenekmu, dan akan mengajak engkau berangkat besok pagi, eh, tiba-tiba saja muncul sute Sin Hong! Tentu dia membawa banyak kabar dari Istana Gurun Pasir.”
Sin Hong menarik napas panjang. Sungguh amat tidak menyenangkan harus membawa berita yang amat buruk kepada keluarga perkasa ini. Dia melihat betapa kegembiraan telah membayang di wajah gadis itu ketika mendengar kata-kata ayahnya yang hendak mengajaknya berkunjung ke gurun pasir. Maka cepat-cepat dia bangkit berdiri dan menjura kepada suheng-nya.
“Suheng, sungguh saya merasa sangat menyesal sekali bahwa saya datang berkunjung ini hanya membawa berita yang amat buruk dan mendatangkan duka.” Dia menahan diri agar tidak memperlihatkan wajah duka, bahkan mengeraskan hati agar kedua matanya yang sudah terasa panas itu tidak sampai menjadi basah oleh air mata.
Namun, ayah ibu dan anak yang bermata tajam itu tentu saja melihat perubahan pada wajah Sin Hong dan ketiganya terkejut bukan main.
“Sute, berita buruk apakah yang kau bawa? Ada apa dengan ayah ibuku?” tanya Kao Cin Liong, hatinya merasa tidak enak sekali.
“Ketiga orang tua itu, subo dan kedua orang suhu, kini telah... tiada lagi, Suheng.”
“Apa... apa maksudmu!” Kao Cin Liong membentak, terkejut bukan main dan matanya terbelalak, mukanya pucat.
Dengan kepala ditundukkan, Sin Hong menjelaskan. “Mereka telah meninggal dunia.”
“Ahhh...!” Kao Cin Liong terkulai lemas dan tak dapat berkata-kata lagi, sedangkan Kao Hong Li merangkul ibunya dan kedua orang wanita ini mulai menangis.
“Tan Sin Hong sute, ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi!” berkata Kao Cin Liong. Suaranya parau akan tetapi tidak ada air mata keluar dari sepasang matanya yang jelas dibayangi duka itu.
Sungguh merupakan tugas yang amat tidak enak bagi Sin Hong untuk menceritakan semua yang telah terjadi di Istana Gurun Pasir. Namun dia mengeraskan hatinya.
“Maafkan saya, Suheng. Baru sekarang saya dapat datang untuk melapor. Peristiwa itu telah terjadi setahun yang lalu...”
“Setahun? Mereka telah meninggal dunia selama satu tahun dan baru hari ini engkau datang mengabarkan? Sute, apa artinya keterlambatan yang amat lama ini?”
“Sekali lagi maafkan saya, Suheng. Saya terpaksa harus menyembunyikan diri selama satu tahun karena keadaan saya. Untuk jelasnya, baik saya ceritakan semua yang telah terjadi, Suheng.”
Dengan jelas Sin Hong lalu menceritakan apa yang telah terjadi setahun yang lalu itu di gurun pasir. Betapa Istana Gurun Pasir diserbu oleh tujuh belas orang datuk sesat yang menyerang tiga orang tua itu. Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan Tiong Khi Hwesio membela diri mati-matian sehingga di antara tujuh belas orang penyerbu itu, empat belas orang tewas dan yang hidup hanya tiga orang saja, itu pun dalam keadaan terluka. Akan tetapi, tiga orang tua itu tewas semua!
“Lalu untuk apa engkau berada di sana?!” bentak Suma Hui dengan marah sekali, sinar matanya seperti hendak menyerang Sin Hong.
Pemuda itu memandang wajah Suma Hui. “Maafkan saya. Pada waktu itu, saya sama sekali tidak mampu bergerak. Tiga orang guru saya telah mengajarkan Pek-ho Sin-kun dan menyalurkan sinkang mereka kepada saya, dengan syarat bahwa selama setahun, saya tidak boleh bermain silat atau menyalurkan sinking. Kalau pelanggaran itu saya lakukan, saya tentu seketika akan mati terpukul tenaga sendiri dari dalam! Saya menjadi seperti seorang yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan.”
Kao Cin Liong dapat memaklumi hal itu dan dengan suara masih serak karena duka, namun halus, dia berkata, “Lanjutkan ceritamu, Sute. Lalu bagaimana?”
“Ketiga orang yang masih hidup itu adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin tokoh dari Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin dari Pek-lian-kauw. Mereka lalu menangkap saya dan memaksa saya menunjukkan tempat disimpannya kitab-kitab rahasia. Akan tetapi beberapa waktu yang lalu, tiga orang guru saya telah membakari semua kitab sehingga yang terambil oleh tiga orang itu hanyalah Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam saja.”
Suma Hui mengepal tinjunya. “Celaka! Sungguh celaka! Dua batang pedang pusaka yang ampuh itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat!”
Kao Cin Liong mengangguk-angguk. “Tidak anehlah kalau yang memimpin penyerbuan itu Sin-kiam Mo-li dan para tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Sekarang lanjutkan ceritamu, Sute.”
“Mereka memaksa saya untuk menguburkan jenazah empat belas orang teman mereka, dan kemudian, memenuhi pula pesan tiga orang guru saya, maka saya lalu membakar Istana Gurun Pasir setelah mengangkut jenazah mereka ke dalam sehingga jenazah itu ikut terbakar habis. Saya lalu menjadi tawanan mereka, dan untung bahwa pada malam harinya, saya mendapat kesempatan melarikan diri dan bersembunyi di sebuah bukit sampai setahun, sampai habis waktu yang ditentukan untuk bersemedhi dan tidak boleh menggerakkan tenaga sinkang.”
Kembali Suma Hui dan puterinya menangis.
Kao Cin Liong menghela napas panjang berkali-kali. “Aihh, ayah ibuku dan paman Wan Tek Hoat dibunuh orang-orang jahat tanpa kami sedikit pun dapat membantu, bahkan engkau sendiri tidak dapat membela mereka, Sute. Betapa menyedihkan!”
“Akan tetapi, Suheng. Sudah sering kali saya mendengar dari mereka bahwa mereka memang mendambakan kematian dalam keadaan seperti itu, menentang datuk sesat. Mereka tewas, walau pun dalam usia yang sudah sangat tua, akan tetapi tetap sebagai pendekar-pendekar sakti seperti yang selalu mereka inginkan. Mereka sama sekali tak menyesal dan wajah jenazah mereka tersenyum penuh kebanggaan. Andai kata saat itu saya tidak dalam keadaan tak mampu bergerak dan dapat membela mereka sekali pun, agaknya saya akan tewas pula dan jenazah mereka bahkan akan terlantar. Sekali lagi maaf, Suheng, bahwa saya datang hanya membawa berita buruk.”
“Sudahlah, Sute. Engkau tak bersalah. Dan bagaimana dengan Istana Gurun Pasir itu?”
“Sudah rata dengan tanah, menjadi gundukan puing dan abu, menjadi kuburan ketiga guru saya.”
Tiba-tiba Hong Li bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal, kedua matanya merah dan basah oleh air mata. Dia berkata, “Di antara para penjahat itu masih ada tiga orang yang hidup! Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin beserta Thian Kek Sengjin! Aku harus mencari mereka untuk membuat perhitungan atas kematian kakek dan nenekku!”
“Tenanglah, Hong Li. Mereka bukan orang sembarangan, melainkan datuk-datuk sesat yang lihai dan mempunyai banyak sekali kawan. Apa lagi kedua orang kakek itu yang merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-liankauw! Memang kita tak boleh tinggal diam, akan tetapi juga tidak boleh sembrono. Sute, bagaimana selanjutnya ceritamu? Apa yang selama ini kau lakukan sebelum engkau datang ke sini?” tanya Kao Cin Liong kepada Sin Hong.
Sin Hong lalu menceritakan riwayat dirinya, betapa ayahnya terbunuh orang dan ibunya tewas di padang gurun pasir sampai dia ditolong oleh Tiong Khi Hwesio, kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng, kemudian menjadi murid mereka. Diceritakannya mengenai penyelidikannya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya dan betapa akhirnya dia bisa memperoleh jejak bahwa di balik semua itu terdapat Tiat-liong-pang.
“Saya hendak melakukan penyelidikan ke pusat Tiat-liong-pang, Suheng. Bagaimana pun juga, mereka yang telah membunuh ayah saya, menyebabkan kematian ibu saya, kemudian membunuh pula Tang-piauwsu, kemudian orang she Lay itu, sungguh amat jahat dan perlu diselidiki. Oleh karena itu, setelah menyampaikah berita duka tentang kematian ketiga guru saya, saya mohon diri, hendak melanjutkan penyelidikan saya terhadap Tiat-liong-pang.”
Keluarga Kao merasa terharu juga mendengar akan riwayat anak muda yang kini telah menjadi yatim piatu dan kehilangan tiga orang gurunya pula. “Tiat-liong-pang? Sungguh aneh. Menurut pengetahuanku, Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah yang telah banyak berjasa kepada pemerintah, bahkan jika tidak salah, ketuanya, Siangkoan Tek telah menikah dengan seorang puteri istana sebagai hadiah atas jasanya terhadap pemerintah.”
“Saya pun sudah mendengar akan hal itu, Suheng. Akan tetapi ketika hendak mati oleh serangan gelap, orang she Lay itu mengaku bahwa dia hanyalah anak buah saja dari Tiat-liong-pang. Pasti di sana ada apa-apanya. Saya akan menyelidiki sampai terbuka rahasia pembunuhan ayah saya itu.”
“Memang sebaiknya demikian, Sute. Akan tetapi, hari telah mulai malam dan sebaiknya malam ini engkau bermalam di sini. Belum cukup kita bercakap-cakap dan aku ingin mendengar tentang kehidupan ayah ibuku pada waktu terakhir. Kiranya besok pagi baru engkau dapat melanjutkan perjalanan.”
Sin Hong tidak membantah dan malam itu dia bermalam di rumah keluarga suheng-nya. Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam. Sin Hong menceritakan keadaan ketiga orang gurunya itu sebelum mala petaka itu datang menimpa.
Dalam kesempatan itu, keluarga Kao juga bertanya tentang ilmu yang diwariskan oleh ketiga orang tua sakti itu. Sin Hong berterus terang mengakui bahwa ilmu-ilmu mereka telah dipelajarinya dengan baik, bahkan sebelum meninggal, mereka telah menggabung ilmu-ilmu mereka, diambil inti sarinya dan mereka bertiga bersama-sama menciptakan Pek-ho Sin-kun, lalu mengoperkan sinkang mereka kepada Sin Hong untuk digunakan dalam permainan ilmu silat tinggi itu.
Kao Cin Liong berhasil pula membujuk sute-nya untuk berdemonstrasi memperlihatkan ilmu silat ciptaan baru itu. Sin Hong tidak berkeberatan dan ibu ayah dan anak itu amat mengagumi ilmu silat yang sangat dahsyat dan hebatnya, juga indah karena banyak di antara gerakan meniru gerakan burung bangau yang anggun, tenang dan gagah.
Setelah pada keesokan harinya Sin Hong pergi meninggalkan rumah suheng-nya, Hong Li menghadap kedua orang tuanya. Wajahnya keruh dan alisnya berkerut. “Ayah dan Ibu, aku merasa tidak puas sama sekali melihat sikap susiok Tan Sin Hong itu!”
Ayah bundanya terkejut dan memandang puteri mereka penuh perhatian.
“Ehhh, apa maksudmu, Hong Li?” tanya ibunya.
“Susiok itu telah diselamatkan nyawanya oleh kakek dan nenek dan juga kakek Tiong Khi Hwesio, kemudian diberi pelajaran ilmu silat bahkan mewarisi penggabungan ilmu mereka. Dia berhutang budi yang tidak terhitung banyaknya kepada tiga orang tua itu. Akan tetapi, ternyata ia terlalu mementingkan diri sendiri. Setelah keluar dari gurun pasir dia sibuk mengurusi kematian orang tuanya sendiri dan tidak mencari para pembunuh ketiga orang gurunya!”
“Aih, jangan berkata demikian, anakku! Bukankah sute Tan Sin Hong juga menceritakan betapa tiga orang tua itu selalu menekan kepadanya bahwa dia tidak boleh menyimpan dendam atas kematian ayahnya? Dendam adalah racun yang membakar diri sendiri, anakku. Karena itu, Sin Hong tidak mendendam, biar pun dia melihat sendiri betapa tiga orang gurunya tewas karena dikeroyok musuh, akan tetapi ternyata pihak musuh juga ada empat belas orang yang tewas! Kalau dihitung, kematian tiga orang tua itu tidaklah rugi dan tidak ada yang harus dibuat penasaran.”
“Dia boleh saja berpendapat demikian, akan tetapi aku tidak, Ayah! Tanpa dosa, kakek dan nenekku, juga kakek Tiong Khi Hwesio, tiga orang tua yang selama ini kukagumi meski aku hanya mendengar penuturan ayah dan ibu saja, telah diserbu orang-orang jahat dan mereka sampai tewas. Bagaimana aku dapat tinggal diam saja kalau para pembunuhnya ada yang masih berkeliaran? Tidak, aku harus pergi mencari mereka untuk membalas kematian orang-orang tua yang tidak berdosa itu, Ayah!”
Kao Cin Liong saling pandang dengan isterinya. Setelah Istana Gurun Pasir terbakar dan kedua orang tuanya tidak ada lagi, memang tidak mungkin lagi mengajak puteri mereka merantau ke sana. Hong Li sudah terlalu dewasa dan cukup kuat berjaga diri, maka kalau ia hendak mencari para penjahat itu, hal ini baik sekali untuk mematangkan pengalamannya dan memungkinkannya untuk menemukan jodohnya.
“Dengar baik-baik, anakku! Kami takkan menghalangi niatmu. Kami menggemblengmu selama ini memang dengan harapan supaya engkau menjadi seorang pendekar wanita yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi jangan engkau sesalkan kematian kakek dan nenekmu itu. Mereka adalah orang-orang yang sejak mudanya telah berkecimpung di dunia persilatan, membuat nama besar di dunia kang-ouw, telah menentang dan membasmi entah berapa banyak orang jahat di dunia ini. Siapa bermain air basah, bermain api terbakar, dan kalau kini mereka itu tewas menentang para datuk hitam, hal itu sudah wajar. Setelah pertentangan itu hanya ada dua akibatnya, kalah atau menang, hidup atau mati. Mereka mati dalam tugas mereka, sama sekali mereka tidak menyesal dan tidak perlu disesalkan. Ingat, nenek moyangmu, dari ibumu, para pendekar Pulau Es, juga selalu menentang kejahatan. Kakek buyutmu, Pendekar Super Sakti di Pulau Es, bersama kedua orang nenek buyutmu, juga tewas dengan gagahnya di Pulau Es, sama dengan kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Kematian seperti itu tidak perlu disesalkan. Jadi, kalau engkau hendak mencari Sin-kiam Mo-li dan orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, jangan sekali-kali dasarnya membalas dendam kematian kedua orang kakek nenekmu, melainkan karena sudah menjadi tugasmu menentang mereka yang jahat. Mengertikah engkau?”
Hong Li mengangguk. “Aku mengerti Ayah.”
“Akan tetapi, nanti dulu, Hong Li. Benarkah engkau hendak menentang Sin-kiam Mo-li? Sudah bulat benarkah tekadmu itu? Engkau harus ingat bahwa bagaimana pun juga, di waktu kecil engkau pernah mengangkatnya sebagai guru, bahkan menjadi ibu angkat! Nah, yakinkah hatimu bahwa engkau akan mampu menentangnya?”
Gadis itu tertegun sejenak dan teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Ketika masih berusia tiga belas tahun, pernah dia diculik seorang pendeta Lama yang sebetulnya ialah penyamaran Sin-kiam Mo-li. Kemudian di tengah perjalanan, Sin-kiam Mo-li bersandiwara, seolah iblis betina itu yang menyelamatkannya dari tangan pendeta Lama itu sehingga dia diambil menjadi anak angkat dan murid! Akan tetapi kemudian muncul Gu Hong Beng dan Bi-kwi, juga Bi Lan dan Sim Houw, dan mereka itu berhasil menyelamatkannya, dan dia pun tahu akan tipu muslihat Sin-kiam Mo-li yang berhasil melarikan diri dari tangan para pendekar itu.
"Ibu, tentu saja aku sanggup untuk menentangnya. Memang benar dahulu aku pernah menganggap ia ibu angkat dan guru, akan tetapi semua itu terjadi karena ia menipuku, berpura-pura menjadi penolongku. Tidak, aku sudah tahu betapa jahatnya iblis betina itu, bahkan justeru karena ia yang telah membawa orang-orang jahat menyerbu istana kakek dan nenek, maka aku ingin sekali mencari dan menentangnya!”
“Tapi jangan engkau lengah dan memandang ringan lawan, Hong Li. Engkau tentu tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li. Selain amat lihai ilmu silatnya, juga ia menguasai sihir. Meski kami telah menggemblengmu dengan kekuatan sinkang untuk menolak pengaruh sihir, namun dalam hal ilmu silat, kiranya engkau masih kalah pengalaman. Apa lagi jika dia dibantu oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang rata-rata pandai sihir dan orang-orang Pat-kwa-pai yang juga amat tangguh. Engkau harus hati-hati, dan sebaiknya bergabung dengan para pendekar lainnya. Bagaimana kalau engkau mengunjungi dulu pamanmu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dekat Cin-an? Siapa tahu puterinya Suma Lian, sekarang sudah pulang dan tentu sudah sebaya denganmu dan tentu mempunyai ilmu kepandaian tinggi karena selain kedua orang tuanya amat sakti, juga ia digembleng oleh paman Gak Bun Beng.”
“Akan tetapi aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan jarang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong. Aku merasa malu kalau harus minta bantuan mereka Ayah.”
“Maksud ayahmu bukan minta bantuan, akan tetapi hanya untuk singgah di sana dan menyampaikan salam kami dan kabar selamat. Juga memberi tahu mengenai kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Dan dari percakapan itu, mungkin engkau akan dapat memperoleh petunjuk mereka,” kata ibunya.
“Kalau begitu lain lagi persoalannya, Ibu. Baiklah, aku akan singgah di Hong-cun untuk mengunjungi keluarga paman Suma Ceng Liong.”
Tentu saja di balik anjuran itu tersembunyi harapan dalam hati Kao Cin Liong dan Suma Hui agar puteri mereka itu bertemu dengan keluarga dan siapa tahu dari keluarga itu akan muncul seorang calon jodoh bagi puteri mereka yang sudah cukup dewasa itu.
Sudah lajim bagi orang-orang tua yang hatinya selalu dipenuhi harapan-harapan bagi anak-anak mereka. Di waktu berada dalam kandungan, orang tua sudah mengharapkan supaya anaknya lahir laki-laki atau perempuan, biasanya orang pada jaman dahulu lebih condong menghendaki agar kandungan itu lahir laki-laki. Kemudian kalau sudah lahir, mereka mengharapkan anak itu tumbuh menjadi seorang muda yang sehat dan pandai.
Kalau sudah tiba waktunya menikah, mereka juga berharap anak itu segera mendapat jodoh yang baik, kemudian harapan itu mulur terus. Mengharapkan agar mendapat cucu yang baik, agar keluarga anaknya itu menjadi keluarga bahagia, serba berkecukupan dan selalu dalam keadaan sehat. Semua ini akan menyenangkan hati orang tua, dan kalau terjadi sebaliknya, tentu saja mengecewakan dan mendatangkan duka!
Memang harapanlah yang mendatangkan kekecewaan! Mengharapkan suatu keadaan yang lain dari pada keadaan yang ada saat ini, suatu keadaan yang dibayangkan akan lebih baik dan lebih menyenangkan. Kalau harapan itu terlaksana, datanglah kepuasan, akan tetapi sebentar saja karena kepuasan ini akan pudar lagi, tertutup harapan baru yang mulur dan mengejar harapan itu yang lebih jauh lagi. Kalau harapan pertama tidak tercapai, timbullah kekecewaan!
Dan ini terjadi sejak manusia mulai mengerti sampai tiba ajalnya! Betapa menyedihkan hidup seperti itu, selalu dipermainkan harapan-harapan sendiri. Bukan berarti kita harus menjadi orang-orang yang putus asa, putus harapan dan mandeg, muram dan frustasi. Sama sekali tidak!
Akan tetapi, lakukan saja segala sesuatu dengan sepenuh hati, dengan perasaan cinta kasih terhadap apa yang kita lakukan dan terima saja hasilnya, apa pun juga, dengan wajar tanpa mengharapkan apa-apa. Hasil itu adalah kenyataan yang ada, yang nyata dalam hidup, dan itulah keindahan.
Terimalah anak yang lahir sebagai hasil dari pada perbuatan kita sendiri dengan pasrah, tanpa pilihan dan menikmati apa yang ada, baik laki-laki mau pun perempuan. Dengan demikian, maka tidak akan timbul kekecewaan apa-apa. Kemudian, dalam pendidikan berilah cinta kasih, karena pendidikan yang terbaik adalah kasih sayang, cinta kasih yang berarti ingin melihat si anak itu bebas dan berbahagia hidupnya. Bukan sekedar menjejali otaknya dengan ilmu-ilmu agar kelak menjadi ORANG, yang tentu maksudnya menjadi orang yang berharta dan berkedudukan!
Kalau demikian harapannya, maka orang tua akan kecewa kelak, karena bukan harta dan kedudukan yang membahagiakan seseorang! Berilah anak kebebasan sebab dalam kebebasan itu terletak sinar kebahagiaan. Hal ini bukan pula berarti bebas semau gua. Orang tua hanyalah mengamati, mengawasi, mengingatkan tanpa terlalu mencampuri, mengarahkan tanpa terlalu mengikat.
Anak kita adalah manusia tersendiri, dengan alam pikiran, selera dan perasaan sendiri. Dia adalah mahluk yang hidup, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita sendiri. Bahkan, dia dilahirkan bukan atas kehendaknya sendiri, dan lebih condong menjadi korban atau akibat dari pada perbuatan kita!
Jadi, meski dia kita namakan anak kita, namun itu hanyalah pengakuan saja. Anak kita akan tetapi bukan milik kita! Sekali batin kita memiliki, maka anak itu akan kita anggap sama dengan semua benda lain yang mengikat batin kita, yang menjadi milik kita. Ingin kita jadikan begini begitu menurut keinginan kita, kita jaga dan pelihara dengan pamrih agar menyenangkan kita. Jika begitu, apa bedanya dengan memelihara seekor binatang peliharaan?
Kita pilihkan agamanya, sekolahnya, bahkan jodohnya, dan kita gariskan bagaimana dia harus hidup! Dan semua itu dengan dasar bahwa kita melakukannya demi kebahagiaan dia! Kalau dikaji benar, bukankah dasarnya sesungguhnya adalah demi kebahagiaan kita, demi kesenangan kita karena tercapai sudah harapan dan keinginan kita?
Kewajiban kita untuk membimbing anak yang masih belum dewasa, yang masih belum dapat memilih sendiri, dengan cinta kasih, dengan waspada akan minat dan seleranya. Akan tetapi kalau dia sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau kita membebaskan dia dan hanya mengamati dari jauh, dari belakang yang bukan berarti acuh. Kalau toh ada pamrih, maka pamrih itu hanya satu, yaitu kita ingin melihat dia berbahagia, tanpa memperhitungkan selera dan perasaan hati sendiri yang kemungkinan sekali bertolak belakang dengan selera dan perasaan hatinya. Bukankah cinta itu hanya memberi dan bukan meminta? Bukankah cinta itu berarti meniadakan diri yang berarti meniadakan nafsu pribadi?
Setelah mendapat banyak petuah dari ayah ibunya, dan membawa bekal secukupnya, baik pakaian mau pun uang, berangkatlah Kao Hong Li meninggalkan rumah orang tuanya, diantar oleh ayah ibunya sampai di pintu pekarangan depan.
Setelah gadis itu tidak nampak lagi, dengan lesu Suma Hui dan suaminya masuk lagi ke dalam rumah. Melihat betapa isterinya nampak lesu dan bersedih ditinggalkan oleh puterinya, Kao Cin Liong membimbingnya dan diajaknya duduk di ruangan dalam.
“Mudah-mudah ia akan memperoleh pengalaman dan terutama sekali dapat bertemu jodoh dalam perjalanannya,” kata Kao Cin Liong.
“Setelah melihat Tan Sin Hong, aku merasa bahwa dia pun merupakan seorang calon mantu yang baik di samping Gu Hong Beng,” kata Suma Hui melamun.
Kao Cin Liong tersenyum. “Biarkanlah dia memilih sendiri. Kalau memang Tuhan sudah menghendaki, tentu ia akan bertemu dengan jodohnya. Lahir, jodoh dan mati agaknya sudah ada garisnya.”
Memang, lahir, jodoh dan mati dalam cerita ini sudah digariskan oleh pengarang.
Ada lagi pasangan suami isteri pendekar sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Si suami adalah Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari keluarga para pendekar Pulau Es, cucu dari Pendekar Super Sakti. Usia Suma Ceng Liong telah empat puluh satu tahun dan dia bersama isterinya, Kam Bi Eng tinggal di dusun Hong-cun, di sebelah luar kota Cin-an di Propinsi Shantung.
Pendekar Suma Ceng Liong ini, berbeda dengan cucu-cucu penghuni istana Pulau Es yang lain, dahulu adalah seorang yang ugal-ugalan, nakal dan gembira, tetapi memiliki kegagahan yang luar biasa. Tubuhnya tinggi besar. Dalam usia empat puluh satu tahun, dia kelihatan gagah dan berwibawa sekali, namun, wajahnya selalu cerah dan banyak senyum. Di antara cucu Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es, agaknya Suma Ceng Liong inilah yang paling lihai ilmu silatnya. Dia tidak saja mewarisi ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga mewarisi ilmu sihir dari mendiang ibunya. Bahkan dia pernah berguru kepada seorang datuk sesat yang amat lihai, yaitu Hek I Mo-ong.
Isterinya yang bernama Kam Bi Eng juga bukanlah orang sembarangan. Ia adalah puteri dari pendekar sakti yang terkenal sekali di waktu dahulu sebagai seorang pendekar suling emas dan dalam hal ilmu silat, kiranya tidak begitu jauh tertinggal dari suaminya.
Kini, dua orang suami isteri itu tinggal di dusun Hong-cun dan hidup sebagai petani yang cukup kaya dan memiliki tanah pertanian yang luas. Hidup tenteram, bahkan hampir tak pernah lagi mereka berkecimpung di dunia kangouw.
Memang agak mengherankan bahwa suami isteri yang demikian lihainya, dan hanya memiliki seorang saja anak perempuan, yaitu Suma Lian, bisa membiarkan puterinya itu digembleng oleh Bu Beng Lokai yang dahulu bernama Gak Bun Beng, masih terhitung paman sendiri dari Suma Ceng Liong. Hal ini adalah karena ketika masih kecil, dalam usia kurang dari tiga belas tahun, Suma Lian diculik datuk-datuk sesat dan kemudian ditolong dan dirampas kembali dari tangan para datuk sesat oleh Bu Beng Lokai.
Suma Lian suka kepada kakek itu dan kedua orang tuanya tidak berkeberatan ketika puterinya menyatakan hendak ikut kakek itu merantau dan menjadi muridnya. Memang pendirian orang-orang kang-ouw seperti sepasang suami isteri ini agak berbeda dengan pasangan-pasangan biasa. Mereka merelakan puteri mereka di dalam asuhan paman yang mereka tahu memiliki kesaktian itu.
Akan tetapi, delapan tahun kemudian, tetap saja mereka berdua merasa rindu bukan main terhadap puteri mereka. Suma Lian telah berusia dua puluh tahun lebih, sudah dewasa dan tentu sudah menjadi seorang gadis cantik yang sudah tiba saatnya untuk menikah!
Maka, dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati mereka ketika pada suatu pagi, secara tiba-tiba saja seorang gadis cantik muncul di depan mereka! Gadis itu, dengan sepasang matanya yang kocak, pakaiannya yang nyentrik, sikapnya yang lincah jenaka, dan ketika itu memandang kepada mereka dengan mulut tersenyum yang menciptakan lesung pipit di kanan kiri ujung mulutnya, segera mereka kenal dengan baik.
“Lian-ji...!” teriak suami isteri itu hampir berbareng.
Suma Lian segera menubruk ibunya.
“Aihh, anakku...!” Kam Bi Eng menjerit dan merangkul gadis itu, menciuminya dengan penuh kerinduan dan kedua orang wanita itu pun menangis, menangis penuh keharuan dan kebahagiaan.
“Ayah...!” Suma Lian lalu melepaskan ibunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayahnya. Akan tetapi Suma Ceng Liong menangkapnya dan menariknya berdiri, lalu memegang kedua pundaknya.
“Biarkan aku melihat wajah anakku...!” katanya dengan suara gemetar karena dia pun gembira dan terharu bukan main. Ayah dan anak itu saling pandang, kedua mata Suma Lian basah air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum sehingga nampak deretan giginya yang putih dan rapi seperti mutiara berbaris.
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba Suma Ceng Liong tertawa. “Engkau... engkau persis ibumu di waktu masih gadis, ha-ha-ha! Engkau cantik manis dan gagah!”
“Dan engkau pun masih sama seperti dulu, Ayah. Malah semakin gagah saja!” kata pula Suma Lian yang juga tertawa.
Ayah yang merasa amat gembira itu segera berangkulan dengan puterinya. Kam Bi Eng juga merangkulnya dan tiga orang itu saling berangkulan sambil memasuki rumah.
Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dirasakan dalam hubungan antara manusia yang melebihi pertemuan dari orang-orang yang saling merindukan dan berpisah dalam waktu yang amat lama. Apa lagi bagi suami isteri itu, yang seolah-olah kehilangan puteri mereka, tidak tahu di mana adanya puteri mereka itu selama tujuh delapan tahun!
Dan kini, tanpa kabar berita, puteri mereka itu muncul begitu saja, bukan hanya dalam keadaan sehat selamat, tetapi lebih dari pada itu, telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik manis mengagumkan, dengan ilmu kepandaian yang amat tinggi pula.
Tentu saja Suma Lian ditagih untuk menceritakan segala pengalamannya selama pergi merantau dan menjadi murid paman mereka Bu Beng Lokai. Suma Lian, si gadis lincah dan pandai bicara, membuat cerita yang menarik sekali. Ia menceritakan dengan gaya dan gerak lincah semua pengalamannya ketika merantau mengikuti kakeknya sebagai pengemis-pengemis nyentrik! Pengemis yang hanya sebatas pakaian tambal-tambalan saja, tetapi tidak pernah meminta-minta, bahkan terlalu sering memberi sedekah kepada orang lain, baik dengan perbuatan atau pun dengan barang dan uang.
Diceritakannya pula tentang sumoi-nya, Pouw Li Sian, dan tentang mereka berdua saat mempelajari ilmu silat tinggi, digembleng oleh guru dan kakeknya itu. Akhirnya Suma Lian bercerita pula tentang pamannya, Gak kembar yang datang menengok orang tua itu bersama isteri mereka yang seorang dan putera mereka. Betapa ia terpaksa harus membantu keluarga Gak mengusir nenek iblis Hek-sim Kuibo dan Hok Yang Cu, tokoh Pat-kwa-pai yang ingin menculik putera mereka. Kemudian sekali, dengan wajah amat berduka ia menceritakan tentang kematian kakek Gak Bun Beng.
Ketika ayah dan ibunya mendengar akan kematian kakek itu, mereka terkejut dan wajah mereka pun diliputi kedukaan.
“Ahhh, tak kusangka paman Gak Bun Beng sudah meninggal dunia!” kata Kam Bi Eng yang merasa terharu mendengar akan kematian kakek itu setelah bertemu dengan dua orang anak kembarnya.
Suma Ceng Liong menarik napas panjang, “Bagaimanapun juga, usia paman Gak Bun Beng sudah tua sekali, sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Memang kasihan sekali. Aku mendengar bahwa sejak ditinggal mati isterinya, bibi Milana, dia hidup menderita kesepian, apa lagi karena merasa kecewa akan keadaan dua orang putera kembarnya. Karena itulah, dulu ketika anak kita diajak pergi untuk dididiknya, aku menyetujuinya karena aku merasa kasihan kepadanya.”
“Ayah dan Ibu, kulihat bahwa kehidupan kedua paman Gak kembar itu cukup bahagia dengan seorang isteri dan seorang putera mereka. Kenapa mendiang kongkong tadinya merasa kecewa melihat kedua orang putera kembarnya menikah dengan seorang wanita?”
“Aih, Lian-ji, hal itu hanya karena menyimpang dari kebiasaan saja. Biasanya, seorang pria menikah dengan seorang wanita. Kalau pun ada pria menikah dengan dua orang wanita, hal itu masih dianggap lumrah. Akan tetapi seorang wanita menikah dengan dua orang pria? Memang tidak lumrah.”
“Tapi mereka itu saling mencinta dan rukun sekali, dan aku melihat kedua orang paman Gak kembar itu amat serupa, bukan hanya sama wajah, tubuh dan gerak-geriknya, bahkan sikap, dan bicaranya, bahkan jalan pikirannya, serupa benar, seperti satu orang dengan dua badan saja. Kalau memang mereka sudah menghendaki, mereka berdua saling mencinta bibi Souw Hui Lian, mau apa lagi? Sebelum meninggal dunia, kongkong sering bicara akan hal itu dan dia menyatakan kesadarannya bahwa dialah yang keliru kalau merasa kecewa dalam urusan itu. Yang penting dalam pernikahan adalah mereka yang langsung terkena dan yang mengalaminya, bukan pandangan orang lain, demikian dia pernah berkata.”
“Sudahlah, kita memang tak berhak untuk membicarakan dan menilai akan hal itu,” kata Suma Ceng Liong. “Sekarang ceritakan saja tentang ilmu-ilmu apa saja yang pernah kau dapatkan dari mendiang paman Gak Bun Beng. Kami ingin sekali melihatnya.”
Untuk melegakan dan memuaskan hati ayah ibunya, Suma Lian lalu memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari kakek Bu Beng Lokai. Dari kakek itu, Suma Lian menerima banyak sekali ilmu silat, terutama sekali ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-pai, juga Ilmu Pukulan Pengacau Lautan (Lo-thian Sin-kun) beserta ilmu pedangnya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, dan di samping tenaga sakti Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, juga mempelajari ilmu tenaga sakti yang disebut Tenaga Inti Bumi.
Melihat gerakan lincah puteri mereka, dan menyaksikan kekuatan sinkang yang cukup dahsyat, Suma Ceng Liong dan isterinya merasa gembira sekali dan puas. Ternyata puteri mereka itu tidak percuma meninggalkan rumah sampai tujuh delapan tahun.
Akan tetapi, tentu saja mereka tidak merasa puas kalau belum menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka. Karena itu, Suma Ceng Liong lalu mengajarkan Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang dipelajarinya dahulu dari Hek I Mo-ong, juga mengajarkan ilmu sihir dari ibunya. Sementara itu, Kam Bi Eng juga mengajarkan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling atau dapat juga dengan ranting pohon, yaitu penggabungan ilmu pedang Koai-liong-kiam dan Kim-sim Kiam-sut.
Kita tinggalkan dulu Suma Lian yang kini sudah berada di rumah orang tuanya, saling melepas rindu dan juga gadis ini tekun memperdalam ilmu silatnya dengan tambahan ilmu-ilmu tinggi dari ayah bundanya, dan mari kita mengikuti perjalanan sumoi-nya, yaitu Pouw Li Sian.
Setelah meninggalkan lereng bukit di mana untuk beberapa tahun dia tinggal bersama gurunya dan suci-nya, kemudian berpisah dari suci-nya, hati Li Sian terasa berat sekali. Baru ia merasa kehilangan sekali. Selama hampir delapan tahun ia seperti mengalami suatu kehidupan baru.
Sebelum itu dia adalah puteri bangsawan yang hidup dalam gedung yang mewah dan besar, hidup terhormat dan mulia, berenang di dalam kemewahan. Kemudian secara mendadak sekali, timbul mala petaka menghantam keluarganya. Dia lalu hidup terlunta lunta, seperti seorang pengemis, bersama kakek Bu Beng Lokai dan suci-nya, Suma Lian.
Namun, akhirnya ia menemukan suatu kehidupan yang berbahagia bersama mereka, menganggap mereka berdua seperti keluarganya sendiri, pengganti keluarganya yang telah binasa. Ia hampir melupakan keadaannya semula dan sudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru itu. Akan tetapi kembali kini terjadi perubahan. Ia harus meninggalkan lagi keadaan itu, memasuki keadaan lain yang mencemaskan hatinya.
Ia seorang diri! Kehilangan gurunya yang sangat disayangnya, kemudian berpisah dari suci-nya yang dianggapnya seperti enci sendiri. Ingin rasanya dia menangis ketika Li Sian melakukan perjalanan seorang diri di antara pohon-pohon di tempat sunyi itu.
Keadaan yang bagaimana pun juga dalam kehidupan ini tidaklah abadi. Sewaktu-waktu sudah pasti akan terjadi perubahan. Hal seperti inilah yang menimbulkan kesengsaraan. Orang diharuskan terpisah dari apa yang disayanginya, dan orang dipaksa bertemu dengan keadaan-keadaan baru yang asing dan dianggap tidak menyenangkan.
Semua ini terjadi karena adanya ikatan-ikatan dengan masa lalu dan harapan-harapan untuk masa depan. Ikatan dengan benda, dengan orang, atau dengan gagasan. Selalu menimbulkan rasa nyeri kalau ikatan itu dipaksa lepas dari kita. Dan harapan-harapan di masa depan, hanya mendatangkan kekecewaan saja kalau tidak terlaksana seperti yang kita harapkan. Hanya orang bijaksana saja, yang hidup dari saat ke saat, yang tidak terikat oleh masa lalu dan tidak menjangkau masa depan, dia saja yang akan tetap kokoh kuat dan tak tergoyahkan angin ribut yang terjadi karena suatu perubahan!
Hidup dari saat ke saat bukan berarti penyesuaian diri, karena penyesuaian diri juga hanyalah suatu pemaksaan belaka. Hidup dari saat ke saat berarti menghadapi apa pun yang terjadi saat ini seperti apa adanya, penuh kewajaran, tanpa menolak, tanpa menentang, tanpa menilai baik buruknya. Kewaspadaan setiap saat dalam menghadapi segala peristiwa hidup yang menimpa diri ini menimbulkan kebijaksanaan seketika, tidak lagi dituntun oleh perhitungan pikiran yang selalu ingin merangkul kesenangan dan menolak kesusahan.
Li Sian menuju ke kota raja, di mana dulu ayahnya, Pouw Tong Ki, Menteri Pendapatan, tinggal dan menjadi seorang di antara bangsawan tinggi, seorang menteri! Oleh karena permusuhannya dengan thai-kam (orang kebiri) Hou Seng yang menjadi kekasih kaisar, maka Menteri Pouw sekeluarganya terbasmi, dan Li Sian tertolong oleh Bu Beng Lokai. Ada pun empat orang kakaknya, semuanya laki-laki, ditawan dan dimasukkan penjara.
Li Sian memasuki kota raja dan mulai melakukan penyelidikan tentang nasib keluarga orang tuanya. Dia sudah tahu bahwa keluarga ayahnya sebagian besar tewas dalam penyergapan kaki tangan Hou Seng seperti ayah dan ibunya, akan tetapi ia mendengar bahwa empat orang kakaknya telah ditawan dan dijebloskan ke penjara.
Dia lalu menyelidiki tentang empat orang kakaknya itu dan mendapat berita yang amat menyedihkan hatinya. Tiga di antara mereka dibuang dan kemungkinan besar sudah tewas. Akan tetapi seorang di antara mereka, kakaknya yang sulung, bernama Pouw Cian Hin, telah diampuni oleh kaisar dan sekarang telah menjadi seorang perwira yang bertugas di perbatasan utara. Mendengar ini, hati Li Sian menjadi girang. Segera dia pergi meninggalkan kota raja dan melakukan perjalanan ke utara, ke perbatasan dekat Tembok Besar.
Akan tetapi, tentu saja sebagai seorang gadis yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang amat sukar dan berbahaya itu, amatlah sukar bagi Li Sian untuk dapat menemukan kakaknya itu. Daerah utara ini luas sekali. Tembok Besar itu panjang ribuan li, melalui gunung dan jurang, dan tak terhitung pula banyaknya pasukan yang berjaga di sepanjang Tembok Besar, sedangkan ia tidak tahu kakaknya itu bertugas di pasukan yang mana.
Kemudian teringatlah ia kepada Tiat-liong-pang! Ketua Tiat-liong-pang, Siangkoan Tek, dahulu adalah seorang sahabat baik ayahnya. Pernah ketua Tiat-liong-pang itu datang berkunjung kepada ayahnya dan sempat berjumpa dengannya. Ia teringat betapa ketua Tiat-liong-pang itu amat baik dengan ayahnya, seorang yang amat ramah. Teringat ini, ia pun menjadi girang dan timbul harapannya.
Kalau ia berkunjung ke Tiat-liong-pang dan minta bantuan ketuanya, tentu akan lebih mudah baginya untuk menemukan kakaknya yang menjadi perwira itu. Dengan penuh harapan, mulailah Li Sian menyelidiki di mana adanya Tiat-liong-pang dan ternyata tidak banyak kesukaran ia memperoleh keterangan bahwa perkumpulan itu berada di lereng bukit di luar kota Sang-cia-kou. Maka, dia pun segera melakukan perjalanan menuju ke sana.
Gadis hitam manis itu dengan langkah lebar menuju ke lereng bukit yang mendaki. Dia adalah seorang gadis yang baru tumbuh dewasa, berusia delapan belas tahun, bagai setangkai bunga mulai mekar. Tubuhnya yang sedikit jangkung dengan sepasang kaki panjang itu nampak segar dan tegap berisi. Langkahnya lebar dan kuat, pinggangnya ramping dan ketika ia melangkah mendaki bukit, pinggulnya menari-nari.
Gadis itu manis sekali, terutama sekali mulutnya yang bibirnya selalu basah kemerahan. Bibir yang penuh dan membuat dirinya kelihatan berwajah cerah, ramah dan bergairah. Namun, sinar matanya lembut, membayangkan kehalusan dan kesabaran meski sinar matanya yang tajam membayangkan keberanian dan kegagahan.
Dia adalah Kwee Ci Hwa, puteri tunggal Kwee Tay Seng yang tinggal di Ban-goan. Perjalanan dari Ban-goan ke Sangcia-kou tidaklah begitu jauh, akan tetapi menempuh perjalanan melalui pegunungan dan tanah tandus, di antara Tembok Besar yang liar. Namun Ci Hwa adalah seorang gadis yang sejak kecil sudah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu silat sehingga dia sudah cukup kuat untuk membela diri kalau ada bahaya mengancamnya.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa dunia ramai di luar pekarangan rumahnya penuh dengan orang-orang jahat yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, dan bahwa tingkat kepandaiannya itu, kalau digunakan untuk berjaga diri terhadap ancaman orang-orang jahat, sungguh masih jauh dari pada mencukupi.
Memang, bila menghadapi gangguan pemuda-pemuda atau pria-pria hidung belang dan mata keranjang biasa saja yang berani mengganggunya, Ci Hwa sudah cukup mampu membela diri dan menghajar mereka. Akan tetapi, dia belum pernah bertemu dengan penjahat yang berilmu tinggi.
Dengan langkah lebar dan gagah ia mendaki bukit itu. Tiat-liong-pang berada di lereng bukit itu dan sudah nampak pagar temboknya yang tinggi dari bawah. Akan tetapi untuk mencapai lereng itu, ia masih harus melalui beberapa daerah berhutan, dan naik turun beberapa anak bukit. Keadaan di situ sunyi sekali, tak nampak seorang pun manusia.
Dia harus mendatangi Tiat-liong-pang. Dia akan menemui pengurus Tiat-liong-pang dan bertanya secara terang-terangan mengenai urusan Tiat-liong-pang dengan perusahaan piauwkiok yang dimiliki oleh Tan Piauwsu, ingin bertanya apa hubungan Tiat-liong-pang dengan kematian dan pembunuhan-pembunuhan itu. Dia ingin mencuci nama ayahnya yang tadinya dituduh sebagai pembunuh Tan Piauwsu, dan yang terakhir sekali orang she Lay si gendut itu. Ia harus membersihkan nama ayahnya dari Sin Hong! Pemuda itu amat menarik dan mengagumkan hatinya, dan dia merasa kasihan atas nasib pemuda itu, merasa ikut bertanggung jawab setelah ayahnya dicurigai.
Ketika ia melangkah memasuki hutan pertama yang tidak begitu besar, tiba-tiba saja muncul lima orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Melihat pakaian mereka yang ringkas, dan mereka semua membawa busur dan anak panah, mudah diduga bahwa mereka adalah lima orang pemburu binatang.
Lima orang itu memang merupakan pemburu binatang di daerah itu, dan mereka tentu saja bukanlah orang-orang yang biasa melakukan kejahatan. Akan tetapi, agaknya di dunia ini memang ada suatu kelemahan pada diri semua pria. Pria yang lajim, kalau berada seorang diri saja, memang tidak mempunyai keberanian untuk mengganggu seorang wanita, kecuali kalau memang pria itu berwatak mata keranjang dan memiliki kecondongan sebagai pengganggu wanita yang nekat.
Akan tetapi, biar pun pria yang tak suka mengganggu wanita kalau berada seorang diri, akan timbul kecondongan itu kalau mereka didampingi teman! Kekurang ajarannya akan menonjol dan akan timbul keberaniannya untuk melakukan gangguan, mungkin karena hati mereka menjadi besar dengan adanya teman-teman, mungkin pula karena mereka ingin menonjol dan agar dianggap cukup ‘jantan’.
Demikian pula dengan lima orang itu. Begitu melihat bahwa di tempat sunyi itu muncul seorang gadis yang amat manis seorang diri saja, mereka segera menyeringai dan siap untuk menggoda. Kesunyian tempat itu membuat mereka iseng dan sifat kurang ajar pria terhadap wanita pun menonjol sepenuhnya, tak terbendung lagi oleh perasaan malu dan segan seperti kalau seorang diri saja.
“He, di sini tidak menemukan harimau, yang muncul malah seekor kijang betina muda yang amat cantik!”
“Wah, seekor domba muda yang indah sekali!”
“Tentu lunak sekali dagingnya!”
“Ha-ha-ha, jangan-jangan ia seorang dewi penunggu hutan bukit!”
“Wahai nona manis, dari mana hendak ke mana dan siapa namamu?”
Ci Hwa mengerutkan alisnya ketika lima orang laki-laki itu sudah berdiri menghadang di depannya sambil menyeringai. Jelas sekali betapa pandang mata mereka yang sedang menjelajahi tubuhnya itu amat kurang ajar, seolah-olah hendak menelanjanginya. Tetapi dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan sikap halus dia pun menunduk.
“Aku adalah seorang yang sedang lewat di jalan ini untuk mencari dan mengunjungi Tiat-liong-pang, harap Cu-wi (Tuan sekalian) suka memberi jalan,” katanya halus dan ia pun hendak melangkah maju, mengharapkan lima orang itu akan membuka jalan.
Tetapi, lima orang itu sudah melihat betapa gadis ini manis sekali, tubuhnya demikian padat dan ranum, dan terutama mulutnya demikian indah penuh gairah, menjanjikan hal-hal yang amat menyenangkan bagi mereka. Maka sedikit pun mereka tidak mau membuka jalan, bahkan tertawa-tawa dan menyeringai dengan pandang mata cabul.
“Aih, mengapa tergesa-gesa, Nona?”
“Mari kita berkenalan lebih dulu.”
“Siapakah nama nona manis?”
“Apakah engkau sudah menikah dengan seorang anggota Tiat-liong-pang?”
“Hai, nona manis, tahun ini berapa sih usiamu? Tentu kurang lebih tujuh belas tahun, ya?”
Ci Hwa mengerutkah alis, maklum bahwa ia tengah berhadapan dengan segerombolan orang yang kurang ajar.
“Aku tidak mengenal kalian, dan tidak mempunyai urusan dengan kalian, kecuali kalau kalian ini anggota-anggota Tiat-liong-pang. Apakah kalian anggota perkumpulan itu?”
Lima orang itu saling pandang dan tertawa-tawa ha-ha-he-he, menggelengkan kepala. Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk, menyeramkan sekali, agaknya menjadi kepala di antara mereka, lalu bertanya,
“Nona manis, apakah engkau isteri seorang di antara orang Tiat-liong-pang?”
“Bukan, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan Tiat-liong-pang dan sedang mencari perkumpulan itu.”
“Ha-ha-ha, kalau begitu, mengapa mencari mereka? Sudah ada kami di sini, dan kami tidak kalah gagah oleh mereka, bukan? Nah, engkau agaknya belum ada yang punya, Nona. Mari kau ikut saja dengan kami, kita bersenang-senang!” Si brewok itu mengulur tangannya hendak meraba dagu Ci Hwa.
Gadis itu cepat melangkah mundur mengelak dan ia pun menjadi marah sekali.
“Kalian ini orang-orang kurang ajar! Aku tak mempunyai urusan dengan kalian!” Setelah berkata demikian Ci Hwa lalu melangkah lebar, mengambil jalan mengitari mereka untuk melanjutkan pendakiannya naik ke bukit itu.
Akan tetapi salah seorang di antara mereka telah meloncat dan menghadangnya sambil menyeringai lebar, memperlihatkan gigi yang hitam-hitam menguning karena rusak dan tak pernah dibersihkan.
“He-he-he, jangan pergi dulu, nona manis. Sedikitnya harus memberi tinggalan cium dulu padaku, he-he-he!” Dan dia pun menubruk hendak merangkul dan mencium gadis yang menggiurkan hatinya itu.
Namun, Ci Hwa yang sudah bangkit kemarahannya itu menyambut dengan tendangan yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh penyerang yang bertubuh tinggi kurus itu.
“Dukkkk!” Ujung sepatu Ci Hwa mengenai perut orang itu.
“Aughhh...!”
Orang itu membungkuk, memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas itu. Mungkin usus buntunya tertendang dan dia pun mengaduh-aduh sambil memegangi perut dan berloncatan seperti seekor monyet menari-nari.
Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju untuk menangkap Ci Hwa.
“Wah, galak juga perempuan ini!” kata yang seorang.
“Makin liar semakin menyenangkan, seperti seekor kuda betina yang masih belum jinak, ha-ha-ha!” kata orang kedua.
Ditubruk oleh dua orang dari kanan kiri, Ci Hwa tidak menjadi gentar. Bagaimana pun juga, sejak kecil ia sudah belajar silat dari ayahnya, maka sekali melompat ke belakang, tubrukan itu pun luput dan dari samping kembali kakinya menendang. Akan tetapi sekali ini tendangannya dapat ditangkis, bahkan orang itu bermaksud menangkap kakinya. Ci Hwa telah menarik kembali kakinya dan kini ia mendoyongkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya diayun keras sekali, menampar orang ke dua.
“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali.
“Aduhhh...!” Orang yang menjadi korban kedua itu mendekap mulutnya yang berdarah kembali meludahkan dua buah giginya yang copot akibat tamparan itu.
“Bedebah!” Dia membentak dan kini dia pun maju lagi dengan amat marah.
Orang yang tadi kena tendang juga sudah bangkit, dan kini lima orang itu bagaikan lima ekor kucing yang kelaparan, mengurung Ci Hwa dengan sikap mengancam.
“Perempuan liar!” bentak si brewok. “Kita tangkap dia dan kita gilir dia sampai dia minta ampun!”
Kini Ci Hwa terpaksa harus melindungi tubuhnya dengan mengelak, menangkis dan berusaha membalas dengan tendangan dan pukulan. Namun, lima orang itu ternyata bukan orang lemah sehingga baju Ci Hwa dapat dicengkeram dan sekali tarik, terdengar suara kain robek dan terbukalah bagian dada Ci Hwa, memperlihatkan sedikit bukit dadanya yang masih tertutup pakaian dalam.
“Hemmm, mulus !” Mereka berteriak-teriak.
Kini Ci Hwa cepat melolos senjatanya, yaitu sebuah sabuk rantai terbuat dari perak. Senjata ini merupakan andalan ayahnya dan dia pun sudah pernah berlatih dengan senjata ini. Begitu dia menggerakkan tangannya, sabuk terlepas dan menyambar ke depan menjadi gulungan sinar putih. Seorang di antara mereka kurang cepat mengelak.
“Tukkk!”
Ujung sabuk perak yang keras mengenai batok kepalanya dan orang itu pun menjerit kesakitan dan terpelanting, memegangi kepalanya yang mendadak bocor mengeluarkan darah itu sambil mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah. Melihat ini, empat orang temannya menjadi marah.
“Gadis liar!” bentak si brewok.
Mereka lalu mengeluarkan jaring dari punggung masing-masing. Itulah senjata mereka untuk menangkap binatang buruan di samping busur dan anak panah. Jaring itu kuat sekali, terbuat dari pada tali-tali sutera yang tidak mudah putus. Kini mereka mengepung Ci Hwa dengan jaring siap di tangan, bibir mereka menyeringai dengan napas memburu penuh ketegangan. karena mereka merasa seakan-akan mereka sedang mengepung seekor harimau betina yang hendak mereka tangkap hidup-hidup!
Ci Hwa menjadi bingung. Selama hidupnya baru sekali ini ia berkelahi dikeroyok banyak orang, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi orang-orang yang memegang jaring seperti itu.
Tiba-tiba si brewok membentak, memberi isyarat kepada teman-temannya dan seorang yang berdiri di belakang, sudah melempar jaringnya ke arah Ci Hwa. Melihat ada jaring menyambar ke atas kepalanya dari belakang, Ci Hwa hendak menyambar pula jaring lain yang tahu-tahu telah menutupi tubuhnya!
Ia meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena kini jaring-jaring yang lain sudah menyelimutinya. Ia meronta semakin keras, namun makin keras ia meronta, makin terlibat-libatlah tubuhnya dan akhirnya ia pun roboh. Ia merasa menyesal kenapa senjatanya itu bukan golok atau pedang yang tajam untuk dapat membikin putus tali-tali jala itu. Sebatang sabuk rantai yang tidak tajam, tentu saja tidak ada gunanya.
Lima orang itu kini tertawa-tawa mengitarinya dan menggunakan tali-tali jaring untuk mengikat tubuhnya. Ci Hwa yang sudah terlibat jaring-jaring itu tak mampu berkutik lagi kecuali memaki-maki.
“Lepaskan aku! Kalian ini manusia-manusia kurang ajar! Aku tidak bersalah terhadap kalian, mengapa kalian hendak menggangguku? Lepaskan!” Dia berteriak dan meronta, namun hanya dapat bergerak sedikit saja setelah tali itu membelit-belit tubuhnya.
“Ha-ha-ha, merontalah, Manis. Ha-ha-ha, engkau menjadi santapan sedap kami malam ini, ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa-tawa bahkan mereka yang tadi terkena tendangan, kena gampar dan terkena hantaman ujung sabuk rantai, sudah melupakan nyerinya dan mereka tertawa-tawa karena membayangkan betapa nanti mereka akan kebagian dan mendapat kesempatan untuk membalas perbuatan gadis itu dengan kesenangan yang berlipat ganda.
Si brewok lalu mengangkat tubuh yang sudah terbelit-belit jaring itu, dan memanggulnya di atas pundak. Dia membawa Ci Hwa masuk ke dalam hutan, diikuti oleh empat orang kawannya yang tertawa-tawa. Ci Hwa nampak seperti seekor kijang yang tertangkap dalam jaringan, hanya dapat meronta-ronta sedikit.
Tiba-tiba saja, dari balik semak belukar, muncullah dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Di pinggang mereka tergantung golok besar dan keduanya mengenakan pakaian seperti jagoan silat dan sikap mereka garang sekali. Mereka tiba-tiba muncul dan berdiri menghadang di depan lima orang itu yang memandang dengan kaget.
Si brewok, pemimpin lima orang pemburu itu merasa rikuh juga bertemu orang selagi dia dan teman-temannya bukan menangkap binatang buruan, tapi seorang perempuan dalam jaringnya, maka dia yang dapat mengenal orang kang-ouw itu segera tersenyum ramah.
“Selamat pagi, dua orang sahabat yang gagah! Hendak ke manakah kalian?”
Akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar itu hanya memandang dengan alis berkerut, memandangi wajah mereka satu demi satu, kemudian memandang kepada gadis dalam jaring yang tidak dapat terlihat jelas mukanya karena tali-tali jaring yang rapat.
“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?” tanya seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, sikapnya garang. “Pakaian kalian menunjukkan bahwa kalian adalah pemburu-pemburu binatang hutan!”
Si brewok masih memperlihatkan senyumnya. Di antara para pemburu binatang dan kaum kang-ouw, para perampok, memang tidak pernah terjadi permusuhan karena jalan hidup mereka memang bersimpangan. Kalau para pemburu memburu binatang untuk dijual kulit dan dagingnya, maka para perampok memburu manusia yang berharta untuk dirampok hartanya.
“Tidak keliru dugaan Ji-wi (Kalian berdua). Kami memang pemburu-pemburu yang hendak mengadu untung di daerah pegunungan ini untuk memburu binatang hutan.”
“Dan binatang hutan macam apakah yang kalian tangkap dalam jaring kalian itu?” Tiba tiba si muka hitam bertanya, matanya yang lebar memandang kepada tubuh gadis yang dibelit jaring.
“Aih, ini? Ia… ia adalah ehh... tawanan kami, karena berani melawan kami, dan ia... ia menjadi milik kami...,” kata si brewok agak gagap karena merasa rikuh, akan tetapi mengingat bahwa dia berlima sedangkan di depannya hanya terdiri dua orang, maka dia pun menjadi berani. “Kami kira urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi, harap Ji-wi memaklumi kami berlima yang sedang kesepian dan membutuhkan hiburan.” Dia lalu tertawa.
“Diam!” bentak si muka hitam marah yang mengejutkan si brewok. “Atas ijin siapakah kalian berani berkeliaran di sini, menangkap binatang mau pun perempuan? Katakan, atas ijin siapa?!”
“Kami...kami memburu di tempat bebas...“
“Butakah matamu? Tulikah telingamu? Ini adalah wilayah kekuasaan Tiat-liong-pang, dan kalian berani memburu binatang dan perempuan di daerah kami tanpa ijin? Kalian sudah bosan hidup rupanya!” Si muka hitam sudah menerjang, mengirim pukulan dan tendangan.
Serangannya demikian hebat dan cepatnya sehingga si brewok menjadi kalang kabut. Untuk dapat menangkis dan mengelak, terpaksa dia melepaskan tubuh Ci Hwa yang dipanggulnya sehingga tubuh gadis dalam selimutan jaring itu pun terbanting ke atas tanah. Kini lima orang pemburu itu sudah berkelahi mengeroyok dua orang anggota Tiat-liong-pang yang sudah mencabut golok mereka.
Lima orang pemburu itu mencabut pisau pemburu mereka dan melawan dengan pisau dan jaring. Untuk menggunakan anak panah, mereka tidak sempat lagi karena mereka berkelahi dari jarak dekat. Akan tetapi sekali ini, mereka kecelik. Dua orang anggota Tiat-liong-pang itu lihai bukan main dengan golok mereka sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, seorang demi seorang dari lima orang pemburu itu pun roboh mandi darah dan tewas di bawah bacokan dua batang golok dua orang tinggi besar itu!
Setelah lima orang lawannya tewas semua, dua orang itu tertawa dan membersihkan darah di golok mereka pada pakaian para korban. Setelah menyimpan golok mereka, keduanya lalu menghampiri Ci Hwa yang masih rebah dan menonton perkelahian itu dari antara tali-tali jaring. Si muka hitam kini membuka jaring dan membebaskan Ci Hwa.
Gadis ini merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan dia pun bangkit berdiri dengan susah, agak terhuyung, lalu memandang kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya tiga puluh tahun lebih. Dia lalu memberi hormat.
“Terima kasih atas pertolongan Jiwi (Anda berdua),” katanya, tanpa merasa betapa dua orang laki-laki itu sekarang memandang kepadanya dengan sinar mata yang tidak ada bedanya dengan cara lima orang pemburu tadi memandangnya, bahkan kini pandang mata mereka tidak pernah melepaskan bagian baju yang robek terbuka sehingga sedikit memperlihatkan bukit dadanya.
Si muka bopeng, orang ke dua, terkekeh. “Ha-ha-heh-heh-heh, nona yang baik, pantas saja mereka berlima itu tergila-gila. Kiranya engkau memang seorang gadis yang manis sekali!”
Si muka hitam menyambung, “Kami telah menyelamatkanmu, nona manis, bagaimana lalu engkau hendak membalas budi kami?”
Ci Hwa terkejut. Baik isi ucapan mau pun nada suara kedua orang ini sama sekali tak menyenangkan hatinya, bernada kurang ajar pula. Ketika ia melihat betapa mereka itu memandang ke arah dadanya, cepat ia berusaha menutupi bagian yang robek itu dan melangkah mundur dua langkah, alisnya berkerut dan wajahnya penuh kekhawatiran.
“Aku berterima kasih atas pertolongan Ji-wi, dan aku ingin melanjutkan perjalanan. Ehh, bukankah Ji-wi adalah dua orang anggota Tiat-liong-pang?”
“Benar,” kata si muka hitam. “Ada urusan apa Nona dengan Tiat-liong-pang?”
“Aku aku ingin bertemu dengan ketuanya.“
Dua orang itu terkejut dan saling pandang, khawatir kalau-kalau gadis yang menarik hati mereka ini kenal dengan ketua mereka. Kalau begitu halnya, jelas bahwa mereka sama sekali takkan berani mengganggunya.
“Apakah Nona mengenal ketua kami?”
Ci Hwa menggeleng kepalanya, “Sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan dia dan bertanya tentang suatu urusan yang menyangkut perusahaan piauwkiok di Ban-goan, yaitu tentang kematian piauwsu Tan Hok beberapa tahun yang lalu.”
Kembali kedua orang itu saling pandang, “Ehhh? Jadi Nona ini adalah dari Ban-goan?”
“Benar aku adalah puteri dari Kwee Piauwsu, kepala Ban-goan Piauwkiok dan aku ingin menyelidiki tentang beberapa pembunuhan yang dilakukan orang terhadap beberapa orang piauwsu di sana.”
Kembali kedua orang ini saling pandang, akan tetapi kini mulut mereka menyeringai senang.
“Aha, kiranya Nona ini adalah seorang penyelidik! Tetapi tadi engkau belum menjawab pertanyaan kami, Nona. Kami telah menyelamatkanmu dari tangan lima orang pemburu ini, lalu dengan cara bagaimana Nona hendak berterima kasih dan membalas budi kepada kami?” Berkata demikian, si muka hitam mendekat, diikuti oleh si muka bopeng yang menyeringai.
Ci Hwa mundur lagi dan alisnya berkerut semakin mendalam.
“Aku... aku berterima kasih, kalian mau apa lagi? Aku tidak mempunyai apa-apa!”
“Heh-heh-heh, engkau memiliki segalanya, nona manis!” kata si bopeng yang tiba-tiba menubruk.
Ci Hwa menahan jeritnya dan mengelak, lalu menendang dari samping. Akan tetapi, si bopeng cukup gesit dan dia menangkis tendangan itu dengan kerasnya sehingga tubuh Ci Hwa terputar. Akan tetapi, gadis ini pun bukan orang lemah. Ia sudah meloncat lagi dengan elakannya ketika si muka hitam mencoba untuk menangkapnya dari samping dengan tubrukannya.
“Kongkong...! Sumoi...! Aku datang...!”
Suara sucinya, Suma Lian, siapa lagi! Suara itu demikian nyaring dan bening, seperti kepingan perak atau emas berdencing, mendatangkan kecerahan dan kegembiraan.
Li Sian cepat memandang dan ia melihat suci-nya datang berjalan bersama dua orang laki-laki yang usianya mendekati enam puluh tahun, sikap mereka gagah. Selain dua orang kakek yang wajah dan tubuhnya sangat serupa itu, nampak pula seorang wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia pun segera tahu siapa mereka dan dengan girang ia lalu berseru kepada gurunya.
“Kongkong, mereka telah datang!”
Bu Beng Lokai membuka matanya, akan tetapi tidak turun dari atas batu datar karena nampaknya masih lelah. Dia hanya memandang ke arah rombongan yang kini sedang menghampiri tempat itu.
Ketika Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong melihat kakek tua renta yang tidak berbaju duduk di atas batu datar, nampak tua dan lelah serta lemah, mereka merasa jantung mereka seperti ditusuk-tusuk dan keduanya lalu berlari menghampiri sambil menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu dan mereka menangis mengguguk seperti dua orang anak kecil.
“Ayah... bertahun-tahun kami mencari Ayah tanpa hasil,“ kata Gak Jit Kong.
“Ayah, ampunkan semua dosa kami, Ayah...“ kata pula Gak Goat Kong.
Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum dan kedua tangannya menyentuh kepala dua orang yang berlutut di depannya. Matanya basah dan suaranya lirih gemetar ketika dia berkata, “Anak-anakku... anak-anakku... mana dia, isterimu dan apakah kalian mempunyai keturunan?”
Hui Lian sejak tadi sudah menarik tangan puteranya dan berlutut tidak jauh dari situ. Mendengar ucapan ini, ia pun bergeser maju sambil menggandeng tangan puteranya. Ia telah menangis semenjak tadi melihat betapa dua orang suaminya mengguguk dalam tangisnya di depan kaki ayah mertuanya itu.
“Ayah... saya Souw Hui Lian mantumu yang hina dan bodoh dan ini adalah Gak Ciang Hun, anak tunggal kami...”
Gak Bun Beng memandang mereka. “Anak baik, engkau telah membahagiakan kedua anak-anakku... terima kasih… dan cucuku... ke sinilah, cucuku...“
Gak Ciang Hun sudah sering mendengar dari kedua ayahnya tentang kakeknya yang dikatakan memlliki ilmu kepandaian amat tinggi seperti dewa, maka sejak tadi dia sudah memandang dengan kagum, juga agak jeri. Mendengar kini kakek itu memanggilnya, dia pun cepat maju menghampiri.
“Cucuku... ahh, sudah begini besar, cucuku...!” Dia mencoba untuk bangkit akan tetapi terhuyung.
Suma Lian, juga dua orang puteranya cepat meloncat untuk menolongnya, akan tetapi kakek itu menolak mereka dan berkata,
“Biarkan aku dengan cucuku sendiri!” Suaranya tegas sehingga Suma Lian dan Li Sian mundur kembali.
Suma Lian dan Li Sian hanya saling pandang dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir. Mereka tahu benar bahwa guru mereka, juga kakek mereka itu berada dalam keadaan yang tidak sehat dan lemah, bukan hanya karena penyakit, tetapi terutama karena usia tua.
Sementara itu, Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng telah menggandeng tangan cucunya, diajak memasuki ruangan latihan silat. Kedua orang saudara kembar Gak bersama isteri mereka, juga Suma Lian dan Li Sian, hanya mengikuti dari belakang.
Setelah tiba di ruangan latihan silat, kakek Gak Bun Beng lalu berkata kepada cucunya, “Ciang Hun, engkau tentu telah dilatih silat oleh orang tuamu. Nah, perlihatkan kepada kakekmu ini sampai di mana kemampuanmu.”
Ciang Hun memang sejak kecil digembleng oleh kedua orang ayahnya dan seorang ibunya. Sebetulnya dia malu dan khawatir ditegur kakeknya karena di depan kakeknya yang kabarnya sakti itu tentu kepandaian silatnya masih belum ada artinya. Akan tetapi dia pun tidak berani membantah, melangkah ke tengah ruangan dan setelah memberi hormat, dia pun lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat dasar Lo-thian Sin-kun. Gerakannya cukup gesit dan penggunaan tenaga yang tepat, sesuai dengan usianya.
Melihat ini, agaknya Bu Beng Lokai cukup puas. Biar pun tidak mempunyai bakat yang terlalu menonjol, akan tetapi Ciang Hun cukup baik, bahkan kelak tingkatnya dapat lebih tinggi dari pada orang tuanya kalau rajin berlatih.
“Nah, sekarang duduklah bersila di situ, cucuku,” kata kakek itu. Dia pun menghampiri cucunya yang duduk bersila itu. “Buka bajumu!”
Ciang Hun merasa heran akan tetapi tak berani membantah dan anak itu pun membuka bajunya. Kakek itu lalu duduk bersila di belakang cucunya. Melihat ini, Suma Lian dan Li Sian dapat menduga apa yang akan dilakukan guru mereka dan keduanya merasa amat khawatir.
“Kongkong...!” Mereka berdua berseru lirih.
Kakek itu menoleh kepada mereka, lalu tersenyum. “Lian dan Sian, kalian berdua telah menerima semua ilmuku dan kurasa sudah cukup bagi kalian untuk mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk berjaga diri dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Aku tak punya apa-apa lagi untuk diwariskan kepada cucuku, maka semua yang ada padaku akan kutinggalkan kepadanya.”
“Akan tetapi, Kongkong sedang sakit...,“ bantah Suma Lian.
“Dan Kongkong baru saja berlatih dan dalam keadaan lelah...,“ sambung Li Sian, sama khawatirnya dengan suci-nya.
“Sudahlah, harap kalian jangan khawatir. Jika tidak sekarang saatnya, mau kapan lagi? Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk cucuku, dan tentang mati hidup, hal itu adalah urusan Tuhan!”
Setelah berkata demikian, kakek itu menempelkan kedua tapak tangannya di punggung cucunya dan matanya terpejam. Melihat ini, barulah kedua orang bersaudara kembar Gak itu dan isteri mereka tahu apa yang akan dilakukan ayah mereka, dan mereka pun memandang dengan khawatir, akan tetapi tidak berani menghalangi.
“Kendurkan seluruh urat-urat tubuhmu, cucuku, dan jangan melawan. Terima saja hawa panas yang memasuki tubuhmu,” kakek itu berbisik dan dia pun segera mengerahkan sinkang-nya untuk disalurkan ke dalam tubuh cucunya!
Biar pun usianya baru sepuluh tahun, sebagai putera pendekar, Ciang Hun sudah tahu apa yang sedang dilakukan oleh kakeknya. Tentu kakeknya akan menyalurkan tenaga sinkang, memindahkan tenaga sakti itu kepadanya. Diam-diam dia merasa girang bukan main walau pun hatinya tegang karena dia belum pernan merasakan hal ini dan dia pun maklum bahwa pengoperan tenaga sakti itu dapat membahayakan dirinya sendiri kalau dia tidak mentaati sepenuhnya. Maka dia pun mengendorkan semua urat di tubuhnya dan menghentikan semua pikiran seperti dalam latihan semedhi.
Tidak lama kemudian anak itu merasakan betapa ada hawa yang mula-mula hangat memasuki tubuhnya. Hawa itu makin lama makin panas, masuk makin banyak sampai memenuhi tubuhnya dan berputaran. Kepalanya mulai terasa pening, keringatnya keluar di seluruh tubuhnya dan hampir saja dia tidak kuat menahan.
Namun Ciang Hun mematikan semua rasa dan pasrah. Hawa yang tadinya amat panas itu kemudian menjadi hangat kembali, makin lama makin berkurang panasnya, bahkan menjadi dingin dan semakin dingin sampai Ciang Hun menggigil dan giginya berbunyi. Akan tetapi anak itu tetap diam dan dapat mempertahankan kebekuan yang menyerang dari dalam itu! Dia lapat-lapat mendengar seruan-seruan khawatir dari dua orang gadis murid kakeknya, akan tetapi tidak dipedulikan.
Rasa dingin luar biasa itu makin lama semakin berkurang dan akhirnya kembali hangat seperti semula. Akan tetapi dia merasa tengkuknya panas sekali dan ada hembusan panas meniup tengkuknya dari luar yang membuatnya sadar dari semedhinya. Kini dia mendengar betapa hembusan napas panas itu keluar dari mulut dan hidung kakeknya yang kini terdengar terengah-engah. Kedua tangan kakeknya yang tadi tertempel di kulit punggungnya, kini terlepas.
“Kongkong...!” Terdengar Suma Lian dan Li Sian berseru.
“Ayah...!” Kedua ayahnya juga berteriak dan mereka sudah berlutut mendekat.
Ciang Hun mencoba berdiri, akan tetapi kepalanya menjadi pening seketika dan tentu dia sudah terguling roboh jika saja tidak ada ibunya yang cepat merangkulnya. Ibu dan anak itu berangkulan memandang pada kakek itu yang ternyata telah roboh terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, akan tetapi mulutnya yang setengah terbuka itu nampak tersenyum!
“Kongkong... ahhh, mengapa engkau melakukan ini?” Suma Lian nampak meraba dada gurunya.
“Kongkong, kenapa engkau memaksa diri...?” Li Sian juga meraba pundak gurunya dan ia pun mulai menangis.
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong saling pandang. Mereka pun telah tahu bahwa ayah mereka tadi sudah memindahkan sinkang ke tubuh putera mereka. Akan tetapi hal ini amat memeras tenaga kakek itu yang sedang dalam keadaan lemah dan lelah.
“Ayah... kembali kami yang datang hanya menyusahkan Ayah saja,” kata Goat Kong menyesal.
“Ayah, kami tidak pernah melakukan sesuatu yang menyenangkan hatimu, akan tetapi Ayah telah mewariskan sinkang kepada Ciang Hun dengan mengorbankan diri...!” kata pula Gak Jit Kong.
Kakek itu dengan lemah membuka kedua matanya. Dengan napas terengah-engah dia tersenyum, memandang kepada mereka yang merubungnya.
“Aku puas... aku tak dapat meninggalkan apa-apa... latihlah ia dengan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang... dia... dia akan kuat sekali... ahh, sayang aku harus mati dalam keadaan lemah! Kalau saja ada datuk sesat datang agar dapat kulawan dia dan aku mati dalam perkelahian! Sayang... tapi... ahhh, lihat itu... ibu kalian datang... Milana... tungguuu...!” Kakek itu seperti hendak bangkit duduk, akan tetapi terkulai kembali dan napasnya pun berhenti.
Tiga orang wanita itu menjerit dan menangis. Dua orang saudara kembar Gak saling pandang dan membiarkan mereka itu menangis sepuasnya, kemudian mereka berkata dengan suara penuh penyesalan.
“Ahhh, semua ini kesalahan kami. Kedatangan kami hanya memperpendek usia ayah kami...“
Mendengar ini, Suma Lian dan Li Sian menghentikan tangis mereka.
Suma Lian memandang mereka dengan mata basah. “Tidak perlu penyesalan itu, kedua Paman. Kedatangan Paman sekeluarga adalah atas kehendak mendiang kongkong, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi kongkong kembali ke alam baka. Juga, pewarisan sinkang tadi hanya merupakan jalan belaka yang semuanya sudah dipastikan dan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.”
Mereka lalu mengurus jenazah kakek Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, menantu pertama dari Pendekar Super Sakti. Atas pesan kakek itu sendiri kepada dua orang muridnya, maka jenazah itu lalu dibakar dengan upacara sederhana.
Sungguh menyedihkan hati kedua orang puteranya mengingat betapa kakek itu, ayah mereka, yang dahulu menjadi seorang pendekar besar yang pernah mengguncangkan dunia kang-ouw, kini meninggal dunia serta diperabukan tanpa ada yang menghadiri, kecuali kedua puteranya, mantunya, cucunya, dan dua orang muridnya, di tempat yang amat sunyi itu.
Setelah jenazah menjadi abu, kedua orang kembar Gak lalu membawa abu jenazah ayah mereka untuk dikebumikan di Puncak Telaga Warna, bekas tempat tinggal ayah mereka itu. Mereka segera berpamit dari Suma Lian dan Li Sian, pulang bersama isteri mereka dan Ciang Hun yang masih merasa agak pening dan kadang-kadang mengeluh akibat tubuhnya merasakan betapa tenaga yang amat besar membuat dia panas dingin. Kedua orang ayahnya harus sebentar-sebentar berhenti dalam perjalanan mereka untuk membiarkan anak itu berlatih siu-lian dan memberi petunjuk untuk membiarkan tenaga sakti itu mengeram di dalam tan-tian (pusar di dalam perut) dan tenang di situ sampai kelak dapat dipergunakan kalau anak itu sudah mampu mengendalikannya.
Tinggallah dua orang gadis itu yang merasa kesepian. Mereka masih tinggal di pondok bekas tempat tinggal guru mereka sampai tiga hari tiga malam. Betapa pun juga, dua orang gadis ini telah tinggal bertahun-tahun di tempat sunyi dan indah itu, dan di antara mereka telah terdapat pertalian kasih sayang seperti saudara kandung saja, mengalami suka duka bersama di tempat sunyi itu sehingga mereka merasa berat untuk saling berpisah.
Juga mereka merasa terharu dan sangat berat untuk meninggalkan tempat itu yang tak mungkin kiranya akan mereka datangi lagi, mengingat bahwa kakek dan juga guru mereka kini telah tiada, bahkan abunya juga sudah dibawa pergi oleh dua orang kembar Gak yang lebih berhak.
Guru mereka tidak meninggalkan apa-apa kecuali ilmu kepandaian. Sedikit pakaian dan sepatu. Barang-barang yang dipakai Bu Beng Lokai sehari-hari, telah diikutkan bersama jenazah ketika dibakar. Yang masih tersisa hanyalah batu datar yang hitam mengkilat bekas tempat orang tua itu duduk bersemedhi. Saking merasa kehilangan, selama tiga hari tiga malam itu, bergantian Suma Lian dan Li Sian duduk bersemedhi di bekas tempat duduk guru mereka ini, sambil mengenang segala budi kebaikan orang tua itu kepada mereka.
Setelah tiga hari tiga malam, dua orang gadis perkasa itu menyadari bahwa tidak ada manfaatnya membiarkan diri tenggelam dalam buaian perasaan yang penuh keharuan, kehilangan, duka yang timbul dari iba diri. Mereka lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.
Suma Lian berkata dengan suara yang berat kerena bagaimana pun juga, ia merasa berat untuk berpisah dari sumoi-nya yang dianggap seperti adiknya sendiri itu. “Sumoi, hari ini kita harus meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya tinggal lebih lama di sini.”
“Engkau benar, Suci, aku pun berpikir demikian. Lalu... ke mana kita akan pergi, Suci?” Li Sian mulai bingung karena ia tak mempunyai tujuan tertentu, tidak tahu harus pergi ke mana karena orang tuanya sudah tiada.
“Aku sendiri akan pulang ke rumah orang tuaku di dusun Hong-cun. Dan bagaimana dengan engkau, Sumoi?”
“Aku...? Aku... entah akan pergi ke mana...?” kata Li Sian dan melihat wajah sumoi-nya menjadi sedih, Suma Lian segera merangkul dan mencium pipinya.
“Ahh, aku lupa bahwa engkau tidak mempunyai keluarga lagi, adikku. Nah, bagaimana kalau engkau pergi bersamaku, ikut dengan aku ke rumah orang tuaku? Kita tinggal bersama di sana, alangkah akan senangnya...!”
Akan tetapi Li Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Terima kasih, Suci, Engkau baik sekali dan tidak ada kesenangan di dunia ini yang melebihi kalau aku dapat tinggal serumah denganmu. Akan tetapi, aku tidak ingin mengganggu ayah bundamu dengan kehadiranku dan...”
“Ahh, mereka pasti akan senang sekali menerimamu, Sumoi. Bukankah engkau sudah kuanggap seperti adikku sendiri? Bahkan, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk mengangkatmu sebagai anak mereka, dan engkau menjadi adik angkatku!”
Kini Li Sian yang merangkul suci-nya dan kedua matanya basah ketika ia memandang kepada suci-nya. “Suci, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali dan percayalah, aku pun sudah menganggap engkau seperti kakak kandungku sendiri! Akan tetapi, biar pun ayah bundaku sudah tidak ada, akan tetapi engkau tahu bahwa aku masih mempunyai empat orang kakak laki-laki yang ketika terjadi keributan itu, ditawan oleh pemerintah. Biarlah aku akan mencari mereka terlebih dahulu, siapa tahu ada di antara mereka yang dapat kutemukan. Mereka merupakan satu-satunya keluargaku terdekat yang kumiliki. Aku akan mencari mereka, dan kalau gagal, barulah aku akan menyusulmu ke dusun Hong-cun, Su-ci.”
Suma Lian mengangguk-angguk, mengerti dan menyetujui. Pada hari itu juga mereka turun gunung, kemudian berpisah di jalan persimpangan. Suma Lian menuju ke selatan, sedangkan Li Sian menuju ke utara. Dua orang saudara seperguruan yang berangkat dewasa bersama-sama ini baru berpisah setelah mereka saling rangkul sampai sekian lama tanpa kata-kata. Kemudian keduanya berpisah dan berlari cepat dengan kedua mata basah.
********
Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, tinggal di kota Pao-teng, di sebelah selatan kota raja. Bekas panglima Kao ini berdagang rempah-rempah, dan terlihat sebagai pedagang biasa saja bagi mereka yang tidak mengenalnya. Akan tetapi, dunia kang-ouw tahu belaka siapa sesungguhnya pria yang kini usianya telah lima puluh delapan tahun tetapi masih nampak gagah perkasa itu. Juga siapa kira isterinya sendiri yang telah mendekati usia lima puluh tahun namun masih nampak lincah dan jauh lebih muda dari usianya, tubuhnya masih tegap dan ramping, dulu adalah seorang wanita kang-ouw pula.
Tidaklah mengherankan kalau suami isteri ini nampak lebih muda dan sehat, karena mereka adalah suami isteri pendekar yang sesungguhnya mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali dan jarang dapat menemukan tandingan di masa itu!
Kao Cin Liong adalah putera tunggal dari penghuni Istana Gurun Pasir, putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan dia pernah menjadi seorang panglima muda yang amat berjasa memadamkan banyak api pemberontakan di selatan dan barat. Ada pun isterinya, Suma Hui, juga bukanlah wanita sembarangan. Dari nama keturunannya juga dapat diduga bahwa dia adalah keturunan keluarga pendekar Pulau Es, dan sesungguhnya ia masih cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, penghuni Istana Pulau Es.
Sebetulnya, dengan tingkat ilmu kepandaian silat mereka yang sangat tinggi dan lihai, mereka menjadi guru-guru yang cukup baik untuk anak tunggal mereka, yang bukan lain adalah Kao Hong Li. Hanya karena Kao Hong Li merupakan anak tunggal yang manja, maka ayah ibunya tidak terlalu menekan, meski mereka tetap memberikan gemblengan ilmu silat tingkat tinggi.
Karena itu, setelah kini berusia dua puluh tahun lebih, Kao Hong Li menjadi seorang gadis dewasa yang sangat tangguh. Walau pun tingkat kepandaiannya tidak setinggi ayahnya karena kadang-kadang ia malas berlatih dan orang tuanya tidak menekannya, namun setidaknya ia sudah mampu mengimbangi tingkat kepandaian ibunya!
Kao Hong Li merupakan seorang gadis yang cantik dan cerdik. Ia manis seperti ibunya, dengan wajah bulat telur dan sepasang matanya amat menarik, mungkin memiliki daya tarik terbesar di antara semua kecantikannya. Mata itu lebar dan jeli, dengan bulu mata yang panjang dan lentik, serta dihiasi sepasang alis yang hitam lebat, kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja. Ia lincah dan galak seperti ibunya, cerdik dan pandai bicara seperti ibunya pula, dan gagah perkasa tak mengenal takut seperti ayahnya.
Ada satu hal yang membuat suami isteri itu akhir-akhir ini agak murung kalau teringat, yaitu bahwa sampai kini berusia dua puluh tahun lebih, puteri mereka itu masih belum mau juga dicarikan jodoh! Setiap kali mereka membicarakan urusan jodoh, gadis itu lalu cemberut dan marah-marah, tidak mau mendengarkan dan lari ke dalam kamarnya. Jika Suma Hui melakukan pendekatan dan menyusul ke dalam kamarnya, Kao Hong Li akan mencela ibunya.
“Mengapa Ibu dan Ayah selalu mendorongku untuk menikah? Apa Ayah dan Ibu sudah bosan dan tidak suka kepadaku, ingin melihat aku pergi dari rumah ini dan mengikuti suami?”
Ibunya segera merangkul dan tersenyum. “Hushhh! Bagaimana engkau dapat berkata demikian, Hong Li? Ayah dan ibumu sayang kepadamu, mana bisa bosan dan tak suka? Kalau kami membujukmu untuk menikah, bukankah hal itu sudah wajar? Ingat, usiamu kini sudah mendekati dua puluh satu tahun. Mau tunggu apa dan kapan lagi? Biasanya, seorang gadis akan menikah dalam usia antara enam belas sampai dua puluh tahun, dan engkau sudah hampir dua puluh satu...”
“Ibu sendiri, berapa umur Ibu pada waktu menikah dengan Ayah?” Inilah senjata yang digunakan Hong Li kalau ibunya mendesak dengan alasan usia.
Suma Hui hanya menarik napas panjang. “Lain lagi dengan aku, anakku. Memang aku menikah dengan ayahmu ketika sudah berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, akan tetapi...”
“Nah, aku pun tidak tergesa-gesa. Bagaimana pun juga, aku tidak mau menikah dengan seorang laki-laki yang asing bagiku, yang tidak kusuka!”
“Hemmm, kau maksudkan, engkau hanya akan menikah dengan seorang pemuda yang kau cinta?”
Wajah Hong Li berubah merah, tetapi dia menjawab juga, “Bukankah begitu sebaiknya Ibu?”
Suma Hui menghela napas lagi dan mengangguk. “Yah, memang demikian sebaiknya. Tetapi, kapan engkau akan bertemu dengan seorang pemuda yang kau cinta? Atau... apakah sudah ada pemuda itu?” tanyanya penuh harap.
Wajah itu menjadi semakin merah dan cepat Hong Li menggelengkan kepalanya. “Tidak ada, Ibu! Mana ada pemuda yang seperti kuidamkan dan yang pantas kucinta di tempat ini? Yang ada hanya pemuda brengsek, tukang jual lagak, pamer kekayaan dan pangkat ayahnya, menyebalkan!”
“Hemmm, jangan begitu anakku. Habis, pemuda macam apa yang kiranya akan dapat menundukkan hatimu?”
“Dia harus seperti ayah, memiliki ilmu silat dan ilmu surat yang tinggi, setidaknya dapat mengalahkan atau mengimbangi kepandaianku. Ia harus pula gagah perkasa, pembela kebenaran, dan harus... harus orang yang dapat menimbulkan kekaguman dan rasa suka di dalam hatiku!”
Diam-diam Suma Hui terharu. Betapa sama benar keinginan anaknya dengan keinginan hatinya sendiri ketika ia masih gadis! Dan bukankah setiap gadis juga menginginkan hal seperti itu? Bagaimana ia dapat menyalahkan puterinya?
“Akan tetapi Hong Li, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini, kiranya di dunia ini tidak ada banyak pemuda yang akan mampu menandingimu!”
“Tentu ada, Ibu. Kalau memang sudah kutemukan yang cocok dengan hatiku, aku juga dapat mengalah...“
Suma Hui tertawa dan merangkul anaknya. Mengertilah dia. Ketinggian ilmu itu bukan merupakan syarat mutlak, melainkan kalau ada perasaan cinta di dalam hati puterinya, tentu puterinya itu akan mengalah terhadap pemuda yang dicintanya!
“Aihhh, Hong Li, aku hanya mendoakan semoga engkau akan segera bertemu dengan jodohmu. Ingatlah, kini ayah ibumu sudah mulai tua dan kami sungguh mendambakan seorang cucu darimu.”
“Ihhh, Ibu!” kata Hong Li dan dia pun merebahkan dirinya menelungkup dan menutupi telinganya dengan bantal. Ibunya tertawa dan meninggalkan kamar puterinya untuk menghibur suaminya, menceritakan percakapannya dengan Hong Li.
Meski demikian, tetap saja suami isteri itu merasa kecewa karena mereka tidak melihat kemungkinan puteri mereka akan bisa bertemu dengan jodohnya dalam waktu dekat. Kalau puterinya hanya tinggal di rumah saja, di kota Poa-teng yang tidak berapa besar, bagaimana mungkin dia bertemu dengan seorang pemuda yang sepadan menjadi calon jodohnya?
“Aihh, kalau aku teringat kepada murid adikmu itu, rasanya aku akan suka kalau dia menjadi calon mantu kita,” kata Kao Cin Liong kepada isterinya.
“Kau maksudkan Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun itu? Hemmm, dia memang baik, dan tentang ilmu silat, tentu masih di bawah tingkat anak kita. Akan tetapi, kita tidak tahu dia berada di mana sekarang! Ciang Bun tidak pernah singgah di sini dan tak pernah memberi kabar sekarang berada di mana. Sudahlah, jodoh sudah diatur oleh Tuhan, kita tinggal berdoa saja.”
Kao Cin Liong kembali menarik napas panjang. “Sebaiknya kalau aku membawa dia melakukan perjalanan, berkunjung ke kakek dan neneknya.”
“Di gurun pasir?”
“Ya, ayah dan ibu sudah sangat tua, sayang bahwa mereka tidak mau kita ajak tinggal di sini. Siapa tahu dari mereka aku akan mendapatkan petunjuk tentang jodoh anak kita, dan aku pun sudah rindu kepada mereka.”
“Habis toko kita bagaimana? Kalau ditutup terlalu lama, tentu kita akan kehilangan para langganan.”
“Karena itu, biarlah aku seorang saja yang mengajak Hong Li pergi ke utara. Engkau mengurus toko, isteriku.”
Sebetulnya Suma Hui juga ingin ikut, akan tetapi dia merasa sayang meninggalkan tokonya yang mulai maju, maka ia pun akhirnya setuju. “Asal kalian pergi jangan terlalu lama.”
Akan tetapi, sebelum mereka memberi tahukan Hong Li tentang maksud Kao Cin Liong, pada sore hari muncullah seorang pemuda di rumah mereka. Pemuda yang berpakaian serba putih, berusia dua puluh dua tahun, bersinar mata lembut dan wajah cerah ramah, juga bersikap sopan santun. Begitu Kao Cin Liong dan isterinya menyambut, pemuda itu segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong.
“Suheng, saya datang menghadap...”
Tentu saja Cin Liong kaget dan heran. Dia lupa lagi kepada Tan Sin Hong yang pernah dilihatnya ketika pemuda itu masih remaja. Akan tetapi karena satu-satunya orang di dunia ini yang menyebutnya suheng hanya seorang, yaitu pemuda remaja yang pernah dilihatnya menjadi murid ayah ibunya di gurun pasir itu, dan kedua yang menyebutnya suheng adalah seorang wanita bernama Can Bi Lan yang pernah menjadi murid ayah ibunya pula, dia pun segera dapat menduga siapa pemuda itu.
“Engkau Tan Sin Hong?”
“Benar, Suheng.”
“Ah, kau telah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang. Masuklah, dan perkenalkan, ini isteriku.”
Sin Hong segera memberi hormat dengan sikap sopan kepada Suma Hui yang juga telah pernah diceritakan oleh suaminya bahwa di gurun pasir terdapat seorang pemuda remaja yang menjadi murid ayah bundanya. Wanita ini menerima penghormatan sute suaminya itu sambil mengamati dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Ia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berjiwa sederhana, tercermin dari keadaan pakaiannya dan gerak-geriknya, sopan dan rendah hati, tidak menonjolkan diri walau pun dia sebagai murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tentu telah memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Wajah pemuda itu sedang saja, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan. Mata yang bersinar lembut dan mulut yang selalu tersenyum ramah itu sangat menarik, juga sepasang mata lembut itu kadang-kadang mengeluarkan sinar yang mencorong, tanda bahwa dalam diri pemuda ini ada suatu kekuatan yang dahsyat.
Pemuda itu dipersilakan duduk di ruangan dalam. Pada saat itu, muncullah Kao Hong Li. Melihat bahwa orang tuanya menerima tamu pria yang disangkanya tentulah seorang yang datang untuk urusan dagang rempah-rempah, dia hanya menjenguk keluar pintu dan hendak masuk ke belakang lagi. Akan tetapi ayahnya memanggilnya.
“Hong Li, ke sinilah dan bertemu dengan Susiok-mu!”
Mendengar kata-kata ayahnya ini, Hong Li lalu memandang heran. Ia memang pernah mendengar dari ayahnya, ketika ayahnya itu berkunjung ke gurun pasir, bahwa ayahnya mempunyai seorang adik seperguruan yang sedang belajar di gurun pasir. Akan tetapi, tidak disangkanya bahwa susiok-nya (paman guru) itu adalah seorang laki-laki yang masih demikian mudanya, kiranya tidak banyak selisihnya dengan usianya sendiri. Akan tetapi ia pun segera memasuki ruangan itu, menghampiri meja di mana Sin Hong duduk berhadapan dengan Kao Cin Liong dan Suma Hui.
Melihat ada seorang gadis yang cantik dan gagah, Sin Hong cepat bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Hong Li segera memberi hormat dan berkata dengan jujur, “Inikah Susiok dari gurun pasir? Tak kusangka masih begini muda!”
Sin Hong membalas penghormatan itu, tidak seperti seorang paman, melainkan seperti orang yang seusia, dan menjawab, “Aku sungguh merasa terlalu tinggi untuk menjadi susiok-mu, Nona.”
Kao Cin Liong tersenyum. “Duduklah, Hong Li. Susiok-mu Tan Sin Hong ini baru saja datang. Kami sedang bersepakat untuk berangkat berkunjung ke gurun pasir, yaitu aku dan engkau, Hong Li, dan ibumu berjaga di rumah. Aku telah rindu kepada kakek dan nenekmu, dan akan mengajak engkau berangkat besok pagi, eh, tiba-tiba saja muncul sute Sin Hong! Tentu dia membawa banyak kabar dari Istana Gurun Pasir.”
Sin Hong menarik napas panjang. Sungguh amat tidak menyenangkan harus membawa berita yang amat buruk kepada keluarga perkasa ini. Dia melihat betapa kegembiraan telah membayang di wajah gadis itu ketika mendengar kata-kata ayahnya yang hendak mengajaknya berkunjung ke gurun pasir. Maka cepat-cepat dia bangkit berdiri dan menjura kepada suheng-nya.
“Suheng, sungguh saya merasa sangat menyesal sekali bahwa saya datang berkunjung ini hanya membawa berita yang amat buruk dan mendatangkan duka.” Dia menahan diri agar tidak memperlihatkan wajah duka, bahkan mengeraskan hati agar kedua matanya yang sudah terasa panas itu tidak sampai menjadi basah oleh air mata.
Namun, ayah ibu dan anak yang bermata tajam itu tentu saja melihat perubahan pada wajah Sin Hong dan ketiganya terkejut bukan main.
“Sute, berita buruk apakah yang kau bawa? Ada apa dengan ayah ibuku?” tanya Kao Cin Liong, hatinya merasa tidak enak sekali.
“Ketiga orang tua itu, subo dan kedua orang suhu, kini telah... tiada lagi, Suheng.”
“Apa... apa maksudmu!” Kao Cin Liong membentak, terkejut bukan main dan matanya terbelalak, mukanya pucat.
Dengan kepala ditundukkan, Sin Hong menjelaskan. “Mereka telah meninggal dunia.”
“Ahhh...!” Kao Cin Liong terkulai lemas dan tak dapat berkata-kata lagi, sedangkan Kao Hong Li merangkul ibunya dan kedua orang wanita ini mulai menangis.
“Tan Sin Hong sute, ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi!” berkata Kao Cin Liong. Suaranya parau akan tetapi tidak ada air mata keluar dari sepasang matanya yang jelas dibayangi duka itu.
Sungguh merupakan tugas yang amat tidak enak bagi Sin Hong untuk menceritakan semua yang telah terjadi di Istana Gurun Pasir. Namun dia mengeraskan hatinya.
“Maafkan saya, Suheng. Baru sekarang saya dapat datang untuk melapor. Peristiwa itu telah terjadi setahun yang lalu...”
“Setahun? Mereka telah meninggal dunia selama satu tahun dan baru hari ini engkau datang mengabarkan? Sute, apa artinya keterlambatan yang amat lama ini?”
“Sekali lagi maafkan saya, Suheng. Saya terpaksa harus menyembunyikan diri selama satu tahun karena keadaan saya. Untuk jelasnya, baik saya ceritakan semua yang telah terjadi, Suheng.”
Dengan jelas Sin Hong lalu menceritakan apa yang telah terjadi setahun yang lalu itu di gurun pasir. Betapa Istana Gurun Pasir diserbu oleh tujuh belas orang datuk sesat yang menyerang tiga orang tua itu. Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan Tiong Khi Hwesio membela diri mati-matian sehingga di antara tujuh belas orang penyerbu itu, empat belas orang tewas dan yang hidup hanya tiga orang saja, itu pun dalam keadaan terluka. Akan tetapi, tiga orang tua itu tewas semua!
“Lalu untuk apa engkau berada di sana?!” bentak Suma Hui dengan marah sekali, sinar matanya seperti hendak menyerang Sin Hong.
Pemuda itu memandang wajah Suma Hui. “Maafkan saya. Pada waktu itu, saya sama sekali tidak mampu bergerak. Tiga orang guru saya telah mengajarkan Pek-ho Sin-kun dan menyalurkan sinkang mereka kepada saya, dengan syarat bahwa selama setahun, saya tidak boleh bermain silat atau menyalurkan sinking. Kalau pelanggaran itu saya lakukan, saya tentu seketika akan mati terpukul tenaga sendiri dari dalam! Saya menjadi seperti seorang yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan.”
Kao Cin Liong dapat memaklumi hal itu dan dengan suara masih serak karena duka, namun halus, dia berkata, “Lanjutkan ceritamu, Sute. Lalu bagaimana?”
“Ketiga orang yang masih hidup itu adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin tokoh dari Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin dari Pek-lian-kauw. Mereka lalu menangkap saya dan memaksa saya menunjukkan tempat disimpannya kitab-kitab rahasia. Akan tetapi beberapa waktu yang lalu, tiga orang guru saya telah membakari semua kitab sehingga yang terambil oleh tiga orang itu hanyalah Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam saja.”
Suma Hui mengepal tinjunya. “Celaka! Sungguh celaka! Dua batang pedang pusaka yang ampuh itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat!”
Kao Cin Liong mengangguk-angguk. “Tidak anehlah kalau yang memimpin penyerbuan itu Sin-kiam Mo-li dan para tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Sekarang lanjutkan ceritamu, Sute.”
“Mereka memaksa saya untuk menguburkan jenazah empat belas orang teman mereka, dan kemudian, memenuhi pula pesan tiga orang guru saya, maka saya lalu membakar Istana Gurun Pasir setelah mengangkut jenazah mereka ke dalam sehingga jenazah itu ikut terbakar habis. Saya lalu menjadi tawanan mereka, dan untung bahwa pada malam harinya, saya mendapat kesempatan melarikan diri dan bersembunyi di sebuah bukit sampai setahun, sampai habis waktu yang ditentukan untuk bersemedhi dan tidak boleh menggerakkan tenaga sinkang.”
Kembali Suma Hui dan puterinya menangis.
Kao Cin Liong menghela napas panjang berkali-kali. “Aihh, ayah ibuku dan paman Wan Tek Hoat dibunuh orang-orang jahat tanpa kami sedikit pun dapat membantu, bahkan engkau sendiri tidak dapat membela mereka, Sute. Betapa menyedihkan!”
“Akan tetapi, Suheng. Sudah sering kali saya mendengar dari mereka bahwa mereka memang mendambakan kematian dalam keadaan seperti itu, menentang datuk sesat. Mereka tewas, walau pun dalam usia yang sudah sangat tua, akan tetapi tetap sebagai pendekar-pendekar sakti seperti yang selalu mereka inginkan. Mereka sama sekali tak menyesal dan wajah jenazah mereka tersenyum penuh kebanggaan. Andai kata saat itu saya tidak dalam keadaan tak mampu bergerak dan dapat membela mereka sekali pun, agaknya saya akan tewas pula dan jenazah mereka bahkan akan terlantar. Sekali lagi maaf, Suheng, bahwa saya datang hanya membawa berita buruk.”
“Sudahlah, Sute. Engkau tak bersalah. Dan bagaimana dengan Istana Gurun Pasir itu?”
“Sudah rata dengan tanah, menjadi gundukan puing dan abu, menjadi kuburan ketiga guru saya.”
Tiba-tiba Hong Li bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal, kedua matanya merah dan basah oleh air mata. Dia berkata, “Di antara para penjahat itu masih ada tiga orang yang hidup! Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin beserta Thian Kek Sengjin! Aku harus mencari mereka untuk membuat perhitungan atas kematian kakek dan nenekku!”
“Tenanglah, Hong Li. Mereka bukan orang sembarangan, melainkan datuk-datuk sesat yang lihai dan mempunyai banyak sekali kawan. Apa lagi kedua orang kakek itu yang merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-liankauw! Memang kita tak boleh tinggal diam, akan tetapi juga tidak boleh sembrono. Sute, bagaimana selanjutnya ceritamu? Apa yang selama ini kau lakukan sebelum engkau datang ke sini?” tanya Kao Cin Liong kepada Sin Hong.
Sin Hong lalu menceritakan riwayat dirinya, betapa ayahnya terbunuh orang dan ibunya tewas di padang gurun pasir sampai dia ditolong oleh Tiong Khi Hwesio, kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng, kemudian menjadi murid mereka. Diceritakannya mengenai penyelidikannya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya dan betapa akhirnya dia bisa memperoleh jejak bahwa di balik semua itu terdapat Tiat-liong-pang.
“Saya hendak melakukan penyelidikan ke pusat Tiat-liong-pang, Suheng. Bagaimana pun juga, mereka yang telah membunuh ayah saya, menyebabkan kematian ibu saya, kemudian membunuh pula Tang-piauwsu, kemudian orang she Lay itu, sungguh amat jahat dan perlu diselidiki. Oleh karena itu, setelah menyampaikah berita duka tentang kematian ketiga guru saya, saya mohon diri, hendak melanjutkan penyelidikan saya terhadap Tiat-liong-pang.”
Keluarga Kao merasa terharu juga mendengar akan riwayat anak muda yang kini telah menjadi yatim piatu dan kehilangan tiga orang gurunya pula. “Tiat-liong-pang? Sungguh aneh. Menurut pengetahuanku, Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah yang telah banyak berjasa kepada pemerintah, bahkan jika tidak salah, ketuanya, Siangkoan Tek telah menikah dengan seorang puteri istana sebagai hadiah atas jasanya terhadap pemerintah.”
“Saya pun sudah mendengar akan hal itu, Suheng. Akan tetapi ketika hendak mati oleh serangan gelap, orang she Lay itu mengaku bahwa dia hanyalah anak buah saja dari Tiat-liong-pang. Pasti di sana ada apa-apanya. Saya akan menyelidiki sampai terbuka rahasia pembunuhan ayah saya itu.”
“Memang sebaiknya demikian, Sute. Akan tetapi, hari telah mulai malam dan sebaiknya malam ini engkau bermalam di sini. Belum cukup kita bercakap-cakap dan aku ingin mendengar tentang kehidupan ayah ibuku pada waktu terakhir. Kiranya besok pagi baru engkau dapat melanjutkan perjalanan.”
Sin Hong tidak membantah dan malam itu dia bermalam di rumah keluarga suheng-nya. Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam. Sin Hong menceritakan keadaan ketiga orang gurunya itu sebelum mala petaka itu datang menimpa.
Dalam kesempatan itu, keluarga Kao juga bertanya tentang ilmu yang diwariskan oleh ketiga orang tua sakti itu. Sin Hong berterus terang mengakui bahwa ilmu-ilmu mereka telah dipelajarinya dengan baik, bahkan sebelum meninggal, mereka telah menggabung ilmu-ilmu mereka, diambil inti sarinya dan mereka bertiga bersama-sama menciptakan Pek-ho Sin-kun, lalu mengoperkan sinkang mereka kepada Sin Hong untuk digunakan dalam permainan ilmu silat tinggi itu.
Kao Cin Liong berhasil pula membujuk sute-nya untuk berdemonstrasi memperlihatkan ilmu silat ciptaan baru itu. Sin Hong tidak berkeberatan dan ibu ayah dan anak itu amat mengagumi ilmu silat yang sangat dahsyat dan hebatnya, juga indah karena banyak di antara gerakan meniru gerakan burung bangau yang anggun, tenang dan gagah.
Setelah pada keesokan harinya Sin Hong pergi meninggalkan rumah suheng-nya, Hong Li menghadap kedua orang tuanya. Wajahnya keruh dan alisnya berkerut. “Ayah dan Ibu, aku merasa tidak puas sama sekali melihat sikap susiok Tan Sin Hong itu!”
Ayah bundanya terkejut dan memandang puteri mereka penuh perhatian.
“Ehhh, apa maksudmu, Hong Li?” tanya ibunya.
“Susiok itu telah diselamatkan nyawanya oleh kakek dan nenek dan juga kakek Tiong Khi Hwesio, kemudian diberi pelajaran ilmu silat bahkan mewarisi penggabungan ilmu mereka. Dia berhutang budi yang tidak terhitung banyaknya kepada tiga orang tua itu. Akan tetapi, ternyata ia terlalu mementingkan diri sendiri. Setelah keluar dari gurun pasir dia sibuk mengurusi kematian orang tuanya sendiri dan tidak mencari para pembunuh ketiga orang gurunya!”
“Aih, jangan berkata demikian, anakku! Bukankah sute Tan Sin Hong juga menceritakan betapa tiga orang tua itu selalu menekan kepadanya bahwa dia tidak boleh menyimpan dendam atas kematian ayahnya? Dendam adalah racun yang membakar diri sendiri, anakku. Karena itu, Sin Hong tidak mendendam, biar pun dia melihat sendiri betapa tiga orang gurunya tewas karena dikeroyok musuh, akan tetapi ternyata pihak musuh juga ada empat belas orang yang tewas! Kalau dihitung, kematian tiga orang tua itu tidaklah rugi dan tidak ada yang harus dibuat penasaran.”
“Dia boleh saja berpendapat demikian, akan tetapi aku tidak, Ayah! Tanpa dosa, kakek dan nenekku, juga kakek Tiong Khi Hwesio, tiga orang tua yang selama ini kukagumi meski aku hanya mendengar penuturan ayah dan ibu saja, telah diserbu orang-orang jahat dan mereka sampai tewas. Bagaimana aku dapat tinggal diam saja kalau para pembunuhnya ada yang masih berkeliaran? Tidak, aku harus pergi mencari mereka untuk membalas kematian orang-orang tua yang tidak berdosa itu, Ayah!”
Kao Cin Liong saling pandang dengan isterinya. Setelah Istana Gurun Pasir terbakar dan kedua orang tuanya tidak ada lagi, memang tidak mungkin lagi mengajak puteri mereka merantau ke sana. Hong Li sudah terlalu dewasa dan cukup kuat berjaga diri, maka kalau ia hendak mencari para penjahat itu, hal ini baik sekali untuk mematangkan pengalamannya dan memungkinkannya untuk menemukan jodohnya.
“Dengar baik-baik, anakku! Kami takkan menghalangi niatmu. Kami menggemblengmu selama ini memang dengan harapan supaya engkau menjadi seorang pendekar wanita yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi jangan engkau sesalkan kematian kakek dan nenekmu itu. Mereka adalah orang-orang yang sejak mudanya telah berkecimpung di dunia persilatan, membuat nama besar di dunia kang-ouw, telah menentang dan membasmi entah berapa banyak orang jahat di dunia ini. Siapa bermain air basah, bermain api terbakar, dan kalau kini mereka itu tewas menentang para datuk hitam, hal itu sudah wajar. Setelah pertentangan itu hanya ada dua akibatnya, kalah atau menang, hidup atau mati. Mereka mati dalam tugas mereka, sama sekali mereka tidak menyesal dan tidak perlu disesalkan. Ingat, nenek moyangmu, dari ibumu, para pendekar Pulau Es, juga selalu menentang kejahatan. Kakek buyutmu, Pendekar Super Sakti di Pulau Es, bersama kedua orang nenek buyutmu, juga tewas dengan gagahnya di Pulau Es, sama dengan kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Kematian seperti itu tidak perlu disesalkan. Jadi, kalau engkau hendak mencari Sin-kiam Mo-li dan orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, jangan sekali-kali dasarnya membalas dendam kematian kedua orang kakek nenekmu, melainkan karena sudah menjadi tugasmu menentang mereka yang jahat. Mengertikah engkau?”
Hong Li mengangguk. “Aku mengerti Ayah.”
“Akan tetapi, nanti dulu, Hong Li. Benarkah engkau hendak menentang Sin-kiam Mo-li? Sudah bulat benarkah tekadmu itu? Engkau harus ingat bahwa bagaimana pun juga, di waktu kecil engkau pernah mengangkatnya sebagai guru, bahkan menjadi ibu angkat! Nah, yakinkah hatimu bahwa engkau akan mampu menentangnya?”
Gadis itu tertegun sejenak dan teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Ketika masih berusia tiga belas tahun, pernah dia diculik seorang pendeta Lama yang sebetulnya ialah penyamaran Sin-kiam Mo-li. Kemudian di tengah perjalanan, Sin-kiam Mo-li bersandiwara, seolah iblis betina itu yang menyelamatkannya dari tangan pendeta Lama itu sehingga dia diambil menjadi anak angkat dan murid! Akan tetapi kemudian muncul Gu Hong Beng dan Bi-kwi, juga Bi Lan dan Sim Houw, dan mereka itu berhasil menyelamatkannya, dan dia pun tahu akan tipu muslihat Sin-kiam Mo-li yang berhasil melarikan diri dari tangan para pendekar itu.
"Ibu, tentu saja aku sanggup untuk menentangnya. Memang benar dahulu aku pernah menganggap ia ibu angkat dan guru, akan tetapi semua itu terjadi karena ia menipuku, berpura-pura menjadi penolongku. Tidak, aku sudah tahu betapa jahatnya iblis betina itu, bahkan justeru karena ia yang telah membawa orang-orang jahat menyerbu istana kakek dan nenek, maka aku ingin sekali mencari dan menentangnya!”
“Tapi jangan engkau lengah dan memandang ringan lawan, Hong Li. Engkau tentu tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li. Selain amat lihai ilmu silatnya, juga ia menguasai sihir. Meski kami telah menggemblengmu dengan kekuatan sinkang untuk menolak pengaruh sihir, namun dalam hal ilmu silat, kiranya engkau masih kalah pengalaman. Apa lagi jika dia dibantu oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang rata-rata pandai sihir dan orang-orang Pat-kwa-pai yang juga amat tangguh. Engkau harus hati-hati, dan sebaiknya bergabung dengan para pendekar lainnya. Bagaimana kalau engkau mengunjungi dulu pamanmu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dekat Cin-an? Siapa tahu puterinya Suma Lian, sekarang sudah pulang dan tentu sudah sebaya denganmu dan tentu mempunyai ilmu kepandaian tinggi karena selain kedua orang tuanya amat sakti, juga ia digembleng oleh paman Gak Bun Beng.”
“Akan tetapi aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan jarang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong. Aku merasa malu kalau harus minta bantuan mereka Ayah.”
“Maksud ayahmu bukan minta bantuan, akan tetapi hanya untuk singgah di sana dan menyampaikan salam kami dan kabar selamat. Juga memberi tahu mengenai kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Dan dari percakapan itu, mungkin engkau akan dapat memperoleh petunjuk mereka,” kata ibunya.
“Kalau begitu lain lagi persoalannya, Ibu. Baiklah, aku akan singgah di Hong-cun untuk mengunjungi keluarga paman Suma Ceng Liong.”
Tentu saja di balik anjuran itu tersembunyi harapan dalam hati Kao Cin Liong dan Suma Hui agar puteri mereka itu bertemu dengan keluarga dan siapa tahu dari keluarga itu akan muncul seorang calon jodoh bagi puteri mereka yang sudah cukup dewasa itu.
Sudah lajim bagi orang-orang tua yang hatinya selalu dipenuhi harapan-harapan bagi anak-anak mereka. Di waktu berada dalam kandungan, orang tua sudah mengharapkan supaya anaknya lahir laki-laki atau perempuan, biasanya orang pada jaman dahulu lebih condong menghendaki agar kandungan itu lahir laki-laki. Kemudian kalau sudah lahir, mereka mengharapkan anak itu tumbuh menjadi seorang muda yang sehat dan pandai.
Kalau sudah tiba waktunya menikah, mereka juga berharap anak itu segera mendapat jodoh yang baik, kemudian harapan itu mulur terus. Mengharapkan agar mendapat cucu yang baik, agar keluarga anaknya itu menjadi keluarga bahagia, serba berkecukupan dan selalu dalam keadaan sehat. Semua ini akan menyenangkan hati orang tua, dan kalau terjadi sebaliknya, tentu saja mengecewakan dan mendatangkan duka!
Memang harapanlah yang mendatangkan kekecewaan! Mengharapkan suatu keadaan yang lain dari pada keadaan yang ada saat ini, suatu keadaan yang dibayangkan akan lebih baik dan lebih menyenangkan. Kalau harapan itu terlaksana, datanglah kepuasan, akan tetapi sebentar saja karena kepuasan ini akan pudar lagi, tertutup harapan baru yang mulur dan mengejar harapan itu yang lebih jauh lagi. Kalau harapan pertama tidak tercapai, timbullah kekecewaan!
Dan ini terjadi sejak manusia mulai mengerti sampai tiba ajalnya! Betapa menyedihkan hidup seperti itu, selalu dipermainkan harapan-harapan sendiri. Bukan berarti kita harus menjadi orang-orang yang putus asa, putus harapan dan mandeg, muram dan frustasi. Sama sekali tidak!
Akan tetapi, lakukan saja segala sesuatu dengan sepenuh hati, dengan perasaan cinta kasih terhadap apa yang kita lakukan dan terima saja hasilnya, apa pun juga, dengan wajar tanpa mengharapkan apa-apa. Hasil itu adalah kenyataan yang ada, yang nyata dalam hidup, dan itulah keindahan.
Terimalah anak yang lahir sebagai hasil dari pada perbuatan kita sendiri dengan pasrah, tanpa pilihan dan menikmati apa yang ada, baik laki-laki mau pun perempuan. Dengan demikian, maka tidak akan timbul kekecewaan apa-apa. Kemudian, dalam pendidikan berilah cinta kasih, karena pendidikan yang terbaik adalah kasih sayang, cinta kasih yang berarti ingin melihat si anak itu bebas dan berbahagia hidupnya. Bukan sekedar menjejali otaknya dengan ilmu-ilmu agar kelak menjadi ORANG, yang tentu maksudnya menjadi orang yang berharta dan berkedudukan!
Kalau demikian harapannya, maka orang tua akan kecewa kelak, karena bukan harta dan kedudukan yang membahagiakan seseorang! Berilah anak kebebasan sebab dalam kebebasan itu terletak sinar kebahagiaan. Hal ini bukan pula berarti bebas semau gua. Orang tua hanyalah mengamati, mengawasi, mengingatkan tanpa terlalu mencampuri, mengarahkan tanpa terlalu mengikat.
Anak kita adalah manusia tersendiri, dengan alam pikiran, selera dan perasaan sendiri. Dia adalah mahluk yang hidup, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita sendiri. Bahkan, dia dilahirkan bukan atas kehendaknya sendiri, dan lebih condong menjadi korban atau akibat dari pada perbuatan kita!
Jadi, meski dia kita namakan anak kita, namun itu hanyalah pengakuan saja. Anak kita akan tetapi bukan milik kita! Sekali batin kita memiliki, maka anak itu akan kita anggap sama dengan semua benda lain yang mengikat batin kita, yang menjadi milik kita. Ingin kita jadikan begini begitu menurut keinginan kita, kita jaga dan pelihara dengan pamrih agar menyenangkan kita. Jika begitu, apa bedanya dengan memelihara seekor binatang peliharaan?
Kita pilihkan agamanya, sekolahnya, bahkan jodohnya, dan kita gariskan bagaimana dia harus hidup! Dan semua itu dengan dasar bahwa kita melakukannya demi kebahagiaan dia! Kalau dikaji benar, bukankah dasarnya sesungguhnya adalah demi kebahagiaan kita, demi kesenangan kita karena tercapai sudah harapan dan keinginan kita?
Kewajiban kita untuk membimbing anak yang masih belum dewasa, yang masih belum dapat memilih sendiri, dengan cinta kasih, dengan waspada akan minat dan seleranya. Akan tetapi kalau dia sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau kita membebaskan dia dan hanya mengamati dari jauh, dari belakang yang bukan berarti acuh. Kalau toh ada pamrih, maka pamrih itu hanya satu, yaitu kita ingin melihat dia berbahagia, tanpa memperhitungkan selera dan perasaan hati sendiri yang kemungkinan sekali bertolak belakang dengan selera dan perasaan hatinya. Bukankah cinta itu hanya memberi dan bukan meminta? Bukankah cinta itu berarti meniadakan diri yang berarti meniadakan nafsu pribadi?
Setelah mendapat banyak petuah dari ayah ibunya, dan membawa bekal secukupnya, baik pakaian mau pun uang, berangkatlah Kao Hong Li meninggalkan rumah orang tuanya, diantar oleh ayah ibunya sampai di pintu pekarangan depan.
Setelah gadis itu tidak nampak lagi, dengan lesu Suma Hui dan suaminya masuk lagi ke dalam rumah. Melihat betapa isterinya nampak lesu dan bersedih ditinggalkan oleh puterinya, Kao Cin Liong membimbingnya dan diajaknya duduk di ruangan dalam.
“Mudah-mudah ia akan memperoleh pengalaman dan terutama sekali dapat bertemu jodoh dalam perjalanannya,” kata Kao Cin Liong.
“Setelah melihat Tan Sin Hong, aku merasa bahwa dia pun merupakan seorang calon mantu yang baik di samping Gu Hong Beng,” kata Suma Hui melamun.
Kao Cin Liong tersenyum. “Biarkanlah dia memilih sendiri. Kalau memang Tuhan sudah menghendaki, tentu ia akan bertemu dengan jodohnya. Lahir, jodoh dan mati agaknya sudah ada garisnya.”
Memang, lahir, jodoh dan mati dalam cerita ini sudah digariskan oleh pengarang.
**********
Ada lagi pasangan suami isteri pendekar sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Si suami adalah Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari keluarga para pendekar Pulau Es, cucu dari Pendekar Super Sakti. Usia Suma Ceng Liong telah empat puluh satu tahun dan dia bersama isterinya, Kam Bi Eng tinggal di dusun Hong-cun, di sebelah luar kota Cin-an di Propinsi Shantung.
Pendekar Suma Ceng Liong ini, berbeda dengan cucu-cucu penghuni istana Pulau Es yang lain, dahulu adalah seorang yang ugal-ugalan, nakal dan gembira, tetapi memiliki kegagahan yang luar biasa. Tubuhnya tinggi besar. Dalam usia empat puluh satu tahun, dia kelihatan gagah dan berwibawa sekali, namun, wajahnya selalu cerah dan banyak senyum. Di antara cucu Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es, agaknya Suma Ceng Liong inilah yang paling lihai ilmu silatnya. Dia tidak saja mewarisi ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga mewarisi ilmu sihir dari mendiang ibunya. Bahkan dia pernah berguru kepada seorang datuk sesat yang amat lihai, yaitu Hek I Mo-ong.
Isterinya yang bernama Kam Bi Eng juga bukanlah orang sembarangan. Ia adalah puteri dari pendekar sakti yang terkenal sekali di waktu dahulu sebagai seorang pendekar suling emas dan dalam hal ilmu silat, kiranya tidak begitu jauh tertinggal dari suaminya.
Kini, dua orang suami isteri itu tinggal di dusun Hong-cun dan hidup sebagai petani yang cukup kaya dan memiliki tanah pertanian yang luas. Hidup tenteram, bahkan hampir tak pernah lagi mereka berkecimpung di dunia kangouw.
Memang agak mengherankan bahwa suami isteri yang demikian lihainya, dan hanya memiliki seorang saja anak perempuan, yaitu Suma Lian, bisa membiarkan puterinya itu digembleng oleh Bu Beng Lokai yang dahulu bernama Gak Bun Beng, masih terhitung paman sendiri dari Suma Ceng Liong. Hal ini adalah karena ketika masih kecil, dalam usia kurang dari tiga belas tahun, Suma Lian diculik datuk-datuk sesat dan kemudian ditolong dan dirampas kembali dari tangan para datuk sesat oleh Bu Beng Lokai.
Suma Lian suka kepada kakek itu dan kedua orang tuanya tidak berkeberatan ketika puterinya menyatakan hendak ikut kakek itu merantau dan menjadi muridnya. Memang pendirian orang-orang kang-ouw seperti sepasang suami isteri ini agak berbeda dengan pasangan-pasangan biasa. Mereka merelakan puteri mereka di dalam asuhan paman yang mereka tahu memiliki kesaktian itu.
Akan tetapi, delapan tahun kemudian, tetap saja mereka berdua merasa rindu bukan main terhadap puteri mereka. Suma Lian telah berusia dua puluh tahun lebih, sudah dewasa dan tentu sudah menjadi seorang gadis cantik yang sudah tiba saatnya untuk menikah!
Maka, dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati mereka ketika pada suatu pagi, secara tiba-tiba saja seorang gadis cantik muncul di depan mereka! Gadis itu, dengan sepasang matanya yang kocak, pakaiannya yang nyentrik, sikapnya yang lincah jenaka, dan ketika itu memandang kepada mereka dengan mulut tersenyum yang menciptakan lesung pipit di kanan kiri ujung mulutnya, segera mereka kenal dengan baik.
“Lian-ji...!” teriak suami isteri itu hampir berbareng.
Suma Lian segera menubruk ibunya.
“Aihh, anakku...!” Kam Bi Eng menjerit dan merangkul gadis itu, menciuminya dengan penuh kerinduan dan kedua orang wanita itu pun menangis, menangis penuh keharuan dan kebahagiaan.
“Ayah...!” Suma Lian lalu melepaskan ibunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayahnya. Akan tetapi Suma Ceng Liong menangkapnya dan menariknya berdiri, lalu memegang kedua pundaknya.
“Biarkan aku melihat wajah anakku...!” katanya dengan suara gemetar karena dia pun gembira dan terharu bukan main. Ayah dan anak itu saling pandang, kedua mata Suma Lian basah air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum sehingga nampak deretan giginya yang putih dan rapi seperti mutiara berbaris.
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba Suma Ceng Liong tertawa. “Engkau... engkau persis ibumu di waktu masih gadis, ha-ha-ha! Engkau cantik manis dan gagah!”
“Dan engkau pun masih sama seperti dulu, Ayah. Malah semakin gagah saja!” kata pula Suma Lian yang juga tertawa.
Ayah yang merasa amat gembira itu segera berangkulan dengan puterinya. Kam Bi Eng juga merangkulnya dan tiga orang itu saling berangkulan sambil memasuki rumah.
Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dirasakan dalam hubungan antara manusia yang melebihi pertemuan dari orang-orang yang saling merindukan dan berpisah dalam waktu yang amat lama. Apa lagi bagi suami isteri itu, yang seolah-olah kehilangan puteri mereka, tidak tahu di mana adanya puteri mereka itu selama tujuh delapan tahun!
Dan kini, tanpa kabar berita, puteri mereka itu muncul begitu saja, bukan hanya dalam keadaan sehat selamat, tetapi lebih dari pada itu, telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik manis mengagumkan, dengan ilmu kepandaian yang amat tinggi pula.
Tentu saja Suma Lian ditagih untuk menceritakan segala pengalamannya selama pergi merantau dan menjadi murid paman mereka Bu Beng Lokai. Suma Lian, si gadis lincah dan pandai bicara, membuat cerita yang menarik sekali. Ia menceritakan dengan gaya dan gerak lincah semua pengalamannya ketika merantau mengikuti kakeknya sebagai pengemis-pengemis nyentrik! Pengemis yang hanya sebatas pakaian tambal-tambalan saja, tetapi tidak pernah meminta-minta, bahkan terlalu sering memberi sedekah kepada orang lain, baik dengan perbuatan atau pun dengan barang dan uang.
Diceritakannya pula tentang sumoi-nya, Pouw Li Sian, dan tentang mereka berdua saat mempelajari ilmu silat tinggi, digembleng oleh guru dan kakeknya itu. Akhirnya Suma Lian bercerita pula tentang pamannya, Gak kembar yang datang menengok orang tua itu bersama isteri mereka yang seorang dan putera mereka. Betapa ia terpaksa harus membantu keluarga Gak mengusir nenek iblis Hek-sim Kuibo dan Hok Yang Cu, tokoh Pat-kwa-pai yang ingin menculik putera mereka. Kemudian sekali, dengan wajah amat berduka ia menceritakan tentang kematian kakek Gak Bun Beng.
Ketika ayah dan ibunya mendengar akan kematian kakek itu, mereka terkejut dan wajah mereka pun diliputi kedukaan.
“Ahhh, tak kusangka paman Gak Bun Beng sudah meninggal dunia!” kata Kam Bi Eng yang merasa terharu mendengar akan kematian kakek itu setelah bertemu dengan dua orang anak kembarnya.
Suma Ceng Liong menarik napas panjang, “Bagaimanapun juga, usia paman Gak Bun Beng sudah tua sekali, sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Memang kasihan sekali. Aku mendengar bahwa sejak ditinggal mati isterinya, bibi Milana, dia hidup menderita kesepian, apa lagi karena merasa kecewa akan keadaan dua orang putera kembarnya. Karena itulah, dulu ketika anak kita diajak pergi untuk dididiknya, aku menyetujuinya karena aku merasa kasihan kepadanya.”
“Ayah dan Ibu, kulihat bahwa kehidupan kedua paman Gak kembar itu cukup bahagia dengan seorang isteri dan seorang putera mereka. Kenapa mendiang kongkong tadinya merasa kecewa melihat kedua orang putera kembarnya menikah dengan seorang wanita?”
“Aih, Lian-ji, hal itu hanya karena menyimpang dari kebiasaan saja. Biasanya, seorang pria menikah dengan seorang wanita. Kalau pun ada pria menikah dengan dua orang wanita, hal itu masih dianggap lumrah. Akan tetapi seorang wanita menikah dengan dua orang pria? Memang tidak lumrah.”
“Tapi mereka itu saling mencinta dan rukun sekali, dan aku melihat kedua orang paman Gak kembar itu amat serupa, bukan hanya sama wajah, tubuh dan gerak-geriknya, bahkan sikap, dan bicaranya, bahkan jalan pikirannya, serupa benar, seperti satu orang dengan dua badan saja. Kalau memang mereka sudah menghendaki, mereka berdua saling mencinta bibi Souw Hui Lian, mau apa lagi? Sebelum meninggal dunia, kongkong sering bicara akan hal itu dan dia menyatakan kesadarannya bahwa dialah yang keliru kalau merasa kecewa dalam urusan itu. Yang penting dalam pernikahan adalah mereka yang langsung terkena dan yang mengalaminya, bukan pandangan orang lain, demikian dia pernah berkata.”
“Sudahlah, kita memang tak berhak untuk membicarakan dan menilai akan hal itu,” kata Suma Ceng Liong. “Sekarang ceritakan saja tentang ilmu-ilmu apa saja yang pernah kau dapatkan dari mendiang paman Gak Bun Beng. Kami ingin sekali melihatnya.”
Untuk melegakan dan memuaskan hati ayah ibunya, Suma Lian lalu memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari kakek Bu Beng Lokai. Dari kakek itu, Suma Lian menerima banyak sekali ilmu silat, terutama sekali ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-pai, juga Ilmu Pukulan Pengacau Lautan (Lo-thian Sin-kun) beserta ilmu pedangnya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, dan di samping tenaga sakti Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, juga mempelajari ilmu tenaga sakti yang disebut Tenaga Inti Bumi.
Melihat gerakan lincah puteri mereka, dan menyaksikan kekuatan sinkang yang cukup dahsyat, Suma Ceng Liong dan isterinya merasa gembira sekali dan puas. Ternyata puteri mereka itu tidak percuma meninggalkan rumah sampai tujuh delapan tahun.
Akan tetapi, tentu saja mereka tidak merasa puas kalau belum menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka. Karena itu, Suma Ceng Liong lalu mengajarkan Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang dipelajarinya dahulu dari Hek I Mo-ong, juga mengajarkan ilmu sihir dari ibunya. Sementara itu, Kam Bi Eng juga mengajarkan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling atau dapat juga dengan ranting pohon, yaitu penggabungan ilmu pedang Koai-liong-kiam dan Kim-sim Kiam-sut.
*********
Kita tinggalkan dulu Suma Lian yang kini sudah berada di rumah orang tuanya, saling melepas rindu dan juga gadis ini tekun memperdalam ilmu silatnya dengan tambahan ilmu-ilmu tinggi dari ayah bundanya, dan mari kita mengikuti perjalanan sumoi-nya, yaitu Pouw Li Sian.
Setelah meninggalkan lereng bukit di mana untuk beberapa tahun dia tinggal bersama gurunya dan suci-nya, kemudian berpisah dari suci-nya, hati Li Sian terasa berat sekali. Baru ia merasa kehilangan sekali. Selama hampir delapan tahun ia seperti mengalami suatu kehidupan baru.
Sebelum itu dia adalah puteri bangsawan yang hidup dalam gedung yang mewah dan besar, hidup terhormat dan mulia, berenang di dalam kemewahan. Kemudian secara mendadak sekali, timbul mala petaka menghantam keluarganya. Dia lalu hidup terlunta lunta, seperti seorang pengemis, bersama kakek Bu Beng Lokai dan suci-nya, Suma Lian.
Namun, akhirnya ia menemukan suatu kehidupan yang berbahagia bersama mereka, menganggap mereka berdua seperti keluarganya sendiri, pengganti keluarganya yang telah binasa. Ia hampir melupakan keadaannya semula dan sudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru itu. Akan tetapi kembali kini terjadi perubahan. Ia harus meninggalkan lagi keadaan itu, memasuki keadaan lain yang mencemaskan hatinya.
Ia seorang diri! Kehilangan gurunya yang sangat disayangnya, kemudian berpisah dari suci-nya yang dianggapnya seperti enci sendiri. Ingin rasanya dia menangis ketika Li Sian melakukan perjalanan seorang diri di antara pohon-pohon di tempat sunyi itu.
Keadaan yang bagaimana pun juga dalam kehidupan ini tidaklah abadi. Sewaktu-waktu sudah pasti akan terjadi perubahan. Hal seperti inilah yang menimbulkan kesengsaraan. Orang diharuskan terpisah dari apa yang disayanginya, dan orang dipaksa bertemu dengan keadaan-keadaan baru yang asing dan dianggap tidak menyenangkan.
Semua ini terjadi karena adanya ikatan-ikatan dengan masa lalu dan harapan-harapan untuk masa depan. Ikatan dengan benda, dengan orang, atau dengan gagasan. Selalu menimbulkan rasa nyeri kalau ikatan itu dipaksa lepas dari kita. Dan harapan-harapan di masa depan, hanya mendatangkan kekecewaan saja kalau tidak terlaksana seperti yang kita harapkan. Hanya orang bijaksana saja, yang hidup dari saat ke saat, yang tidak terikat oleh masa lalu dan tidak menjangkau masa depan, dia saja yang akan tetap kokoh kuat dan tak tergoyahkan angin ribut yang terjadi karena suatu perubahan!
Hidup dari saat ke saat bukan berarti penyesuaian diri, karena penyesuaian diri juga hanyalah suatu pemaksaan belaka. Hidup dari saat ke saat berarti menghadapi apa pun yang terjadi saat ini seperti apa adanya, penuh kewajaran, tanpa menolak, tanpa menentang, tanpa menilai baik buruknya. Kewaspadaan setiap saat dalam menghadapi segala peristiwa hidup yang menimpa diri ini menimbulkan kebijaksanaan seketika, tidak lagi dituntun oleh perhitungan pikiran yang selalu ingin merangkul kesenangan dan menolak kesusahan.
Li Sian menuju ke kota raja, di mana dulu ayahnya, Pouw Tong Ki, Menteri Pendapatan, tinggal dan menjadi seorang di antara bangsawan tinggi, seorang menteri! Oleh karena permusuhannya dengan thai-kam (orang kebiri) Hou Seng yang menjadi kekasih kaisar, maka Menteri Pouw sekeluarganya terbasmi, dan Li Sian tertolong oleh Bu Beng Lokai. Ada pun empat orang kakaknya, semuanya laki-laki, ditawan dan dimasukkan penjara.
Li Sian memasuki kota raja dan mulai melakukan penyelidikan tentang nasib keluarga orang tuanya. Dia sudah tahu bahwa keluarga ayahnya sebagian besar tewas dalam penyergapan kaki tangan Hou Seng seperti ayah dan ibunya, akan tetapi ia mendengar bahwa empat orang kakaknya telah ditawan dan dijebloskan ke penjara.
Dia lalu menyelidiki tentang empat orang kakaknya itu dan mendapat berita yang amat menyedihkan hatinya. Tiga di antara mereka dibuang dan kemungkinan besar sudah tewas. Akan tetapi seorang di antara mereka, kakaknya yang sulung, bernama Pouw Cian Hin, telah diampuni oleh kaisar dan sekarang telah menjadi seorang perwira yang bertugas di perbatasan utara. Mendengar ini, hati Li Sian menjadi girang. Segera dia pergi meninggalkan kota raja dan melakukan perjalanan ke utara, ke perbatasan dekat Tembok Besar.
Akan tetapi, tentu saja sebagai seorang gadis yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang amat sukar dan berbahaya itu, amatlah sukar bagi Li Sian untuk dapat menemukan kakaknya itu. Daerah utara ini luas sekali. Tembok Besar itu panjang ribuan li, melalui gunung dan jurang, dan tak terhitung pula banyaknya pasukan yang berjaga di sepanjang Tembok Besar, sedangkan ia tidak tahu kakaknya itu bertugas di pasukan yang mana.
Kemudian teringatlah ia kepada Tiat-liong-pang! Ketua Tiat-liong-pang, Siangkoan Tek, dahulu adalah seorang sahabat baik ayahnya. Pernah ketua Tiat-liong-pang itu datang berkunjung kepada ayahnya dan sempat berjumpa dengannya. Ia teringat betapa ketua Tiat-liong-pang itu amat baik dengan ayahnya, seorang yang amat ramah. Teringat ini, ia pun menjadi girang dan timbul harapannya.
Kalau ia berkunjung ke Tiat-liong-pang dan minta bantuan ketuanya, tentu akan lebih mudah baginya untuk menemukan kakaknya yang menjadi perwira itu. Dengan penuh harapan, mulailah Li Sian menyelidiki di mana adanya Tiat-liong-pang dan ternyata tidak banyak kesukaran ia memperoleh keterangan bahwa perkumpulan itu berada di lereng bukit di luar kota Sang-cia-kou. Maka, dia pun segera melakukan perjalanan menuju ke sana.
********
Gadis hitam manis itu dengan langkah lebar menuju ke lereng bukit yang mendaki. Dia adalah seorang gadis yang baru tumbuh dewasa, berusia delapan belas tahun, bagai setangkai bunga mulai mekar. Tubuhnya yang sedikit jangkung dengan sepasang kaki panjang itu nampak segar dan tegap berisi. Langkahnya lebar dan kuat, pinggangnya ramping dan ketika ia melangkah mendaki bukit, pinggulnya menari-nari.
Gadis itu manis sekali, terutama sekali mulutnya yang bibirnya selalu basah kemerahan. Bibir yang penuh dan membuat dirinya kelihatan berwajah cerah, ramah dan bergairah. Namun, sinar matanya lembut, membayangkan kehalusan dan kesabaran meski sinar matanya yang tajam membayangkan keberanian dan kegagahan.
Dia adalah Kwee Ci Hwa, puteri tunggal Kwee Tay Seng yang tinggal di Ban-goan. Perjalanan dari Ban-goan ke Sangcia-kou tidaklah begitu jauh, akan tetapi menempuh perjalanan melalui pegunungan dan tanah tandus, di antara Tembok Besar yang liar. Namun Ci Hwa adalah seorang gadis yang sejak kecil sudah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu silat sehingga dia sudah cukup kuat untuk membela diri kalau ada bahaya mengancamnya.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa dunia ramai di luar pekarangan rumahnya penuh dengan orang-orang jahat yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, dan bahwa tingkat kepandaiannya itu, kalau digunakan untuk berjaga diri terhadap ancaman orang-orang jahat, sungguh masih jauh dari pada mencukupi.
Memang, bila menghadapi gangguan pemuda-pemuda atau pria-pria hidung belang dan mata keranjang biasa saja yang berani mengganggunya, Ci Hwa sudah cukup mampu membela diri dan menghajar mereka. Akan tetapi, dia belum pernah bertemu dengan penjahat yang berilmu tinggi.
Dengan langkah lebar dan gagah ia mendaki bukit itu. Tiat-liong-pang berada di lereng bukit itu dan sudah nampak pagar temboknya yang tinggi dari bawah. Akan tetapi untuk mencapai lereng itu, ia masih harus melalui beberapa daerah berhutan, dan naik turun beberapa anak bukit. Keadaan di situ sunyi sekali, tak nampak seorang pun manusia.
Dia harus mendatangi Tiat-liong-pang. Dia akan menemui pengurus Tiat-liong-pang dan bertanya secara terang-terangan mengenai urusan Tiat-liong-pang dengan perusahaan piauwkiok yang dimiliki oleh Tan Piauwsu, ingin bertanya apa hubungan Tiat-liong-pang dengan kematian dan pembunuhan-pembunuhan itu. Dia ingin mencuci nama ayahnya yang tadinya dituduh sebagai pembunuh Tan Piauwsu, dan yang terakhir sekali orang she Lay si gendut itu. Ia harus membersihkan nama ayahnya dari Sin Hong! Pemuda itu amat menarik dan mengagumkan hatinya, dan dia merasa kasihan atas nasib pemuda itu, merasa ikut bertanggung jawab setelah ayahnya dicurigai.
Ketika ia melangkah memasuki hutan pertama yang tidak begitu besar, tiba-tiba saja muncul lima orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Melihat pakaian mereka yang ringkas, dan mereka semua membawa busur dan anak panah, mudah diduga bahwa mereka adalah lima orang pemburu binatang.
Lima orang itu memang merupakan pemburu binatang di daerah itu, dan mereka tentu saja bukanlah orang-orang yang biasa melakukan kejahatan. Akan tetapi, agaknya di dunia ini memang ada suatu kelemahan pada diri semua pria. Pria yang lajim, kalau berada seorang diri saja, memang tidak mempunyai keberanian untuk mengganggu seorang wanita, kecuali kalau memang pria itu berwatak mata keranjang dan memiliki kecondongan sebagai pengganggu wanita yang nekat.
Akan tetapi, biar pun pria yang tak suka mengganggu wanita kalau berada seorang diri, akan timbul kecondongan itu kalau mereka didampingi teman! Kekurang ajarannya akan menonjol dan akan timbul keberaniannya untuk melakukan gangguan, mungkin karena hati mereka menjadi besar dengan adanya teman-teman, mungkin pula karena mereka ingin menonjol dan agar dianggap cukup ‘jantan’.
Demikian pula dengan lima orang itu. Begitu melihat bahwa di tempat sunyi itu muncul seorang gadis yang amat manis seorang diri saja, mereka segera menyeringai dan siap untuk menggoda. Kesunyian tempat itu membuat mereka iseng dan sifat kurang ajar pria terhadap wanita pun menonjol sepenuhnya, tak terbendung lagi oleh perasaan malu dan segan seperti kalau seorang diri saja.
“He, di sini tidak menemukan harimau, yang muncul malah seekor kijang betina muda yang amat cantik!”
“Wah, seekor domba muda yang indah sekali!”
“Tentu lunak sekali dagingnya!”
“Ha-ha-ha, jangan-jangan ia seorang dewi penunggu hutan bukit!”
“Wahai nona manis, dari mana hendak ke mana dan siapa namamu?”
Ci Hwa mengerutkan alisnya ketika lima orang laki-laki itu sudah berdiri menghadang di depannya sambil menyeringai. Jelas sekali betapa pandang mata mereka yang sedang menjelajahi tubuhnya itu amat kurang ajar, seolah-olah hendak menelanjanginya. Tetapi dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan sikap halus dia pun menunduk.
“Aku adalah seorang yang sedang lewat di jalan ini untuk mencari dan mengunjungi Tiat-liong-pang, harap Cu-wi (Tuan sekalian) suka memberi jalan,” katanya halus dan ia pun hendak melangkah maju, mengharapkan lima orang itu akan membuka jalan.
Tetapi, lima orang itu sudah melihat betapa gadis ini manis sekali, tubuhnya demikian padat dan ranum, dan terutama mulutnya demikian indah penuh gairah, menjanjikan hal-hal yang amat menyenangkan bagi mereka. Maka sedikit pun mereka tidak mau membuka jalan, bahkan tertawa-tawa dan menyeringai dengan pandang mata cabul.
“Aih, mengapa tergesa-gesa, Nona?”
“Mari kita berkenalan lebih dulu.”
“Siapakah nama nona manis?”
“Apakah engkau sudah menikah dengan seorang anggota Tiat-liong-pang?”
“Hai, nona manis, tahun ini berapa sih usiamu? Tentu kurang lebih tujuh belas tahun, ya?”
Ci Hwa mengerutkah alis, maklum bahwa ia tengah berhadapan dengan segerombolan orang yang kurang ajar.
“Aku tidak mengenal kalian, dan tidak mempunyai urusan dengan kalian, kecuali kalau kalian ini anggota-anggota Tiat-liong-pang. Apakah kalian anggota perkumpulan itu?”
Lima orang itu saling pandang dan tertawa-tawa ha-ha-he-he, menggelengkan kepala. Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk, menyeramkan sekali, agaknya menjadi kepala di antara mereka, lalu bertanya,
“Nona manis, apakah engkau isteri seorang di antara orang Tiat-liong-pang?”
“Bukan, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan Tiat-liong-pang dan sedang mencari perkumpulan itu.”
“Ha-ha-ha, kalau begitu, mengapa mencari mereka? Sudah ada kami di sini, dan kami tidak kalah gagah oleh mereka, bukan? Nah, engkau agaknya belum ada yang punya, Nona. Mari kau ikut saja dengan kami, kita bersenang-senang!” Si brewok itu mengulur tangannya hendak meraba dagu Ci Hwa.
Gadis itu cepat melangkah mundur mengelak dan ia pun menjadi marah sekali.
“Kalian ini orang-orang kurang ajar! Aku tak mempunyai urusan dengan kalian!” Setelah berkata demikian Ci Hwa lalu melangkah lebar, mengambil jalan mengitari mereka untuk melanjutkan pendakiannya naik ke bukit itu.
Akan tetapi salah seorang di antara mereka telah meloncat dan menghadangnya sambil menyeringai lebar, memperlihatkan gigi yang hitam-hitam menguning karena rusak dan tak pernah dibersihkan.
“He-he-he, jangan pergi dulu, nona manis. Sedikitnya harus memberi tinggalan cium dulu padaku, he-he-he!” Dan dia pun menubruk hendak merangkul dan mencium gadis yang menggiurkan hatinya itu.
Namun, Ci Hwa yang sudah bangkit kemarahannya itu menyambut dengan tendangan yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh penyerang yang bertubuh tinggi kurus itu.
“Dukkkk!” Ujung sepatu Ci Hwa mengenai perut orang itu.
“Aughhh...!”
Orang itu membungkuk, memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas itu. Mungkin usus buntunya tertendang dan dia pun mengaduh-aduh sambil memegangi perut dan berloncatan seperti seekor monyet menari-nari.
Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju untuk menangkap Ci Hwa.
“Wah, galak juga perempuan ini!” kata yang seorang.
“Makin liar semakin menyenangkan, seperti seekor kuda betina yang masih belum jinak, ha-ha-ha!” kata orang kedua.
Ditubruk oleh dua orang dari kanan kiri, Ci Hwa tidak menjadi gentar. Bagaimana pun juga, sejak kecil ia sudah belajar silat dari ayahnya, maka sekali melompat ke belakang, tubrukan itu pun luput dan dari samping kembali kakinya menendang. Akan tetapi sekali ini tendangannya dapat ditangkis, bahkan orang itu bermaksud menangkap kakinya. Ci Hwa telah menarik kembali kakinya dan kini ia mendoyongkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya diayun keras sekali, menampar orang ke dua.
“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali.
“Aduhhh...!” Orang yang menjadi korban kedua itu mendekap mulutnya yang berdarah kembali meludahkan dua buah giginya yang copot akibat tamparan itu.
“Bedebah!” Dia membentak dan kini dia pun maju lagi dengan amat marah.
Orang yang tadi kena tendang juga sudah bangkit, dan kini lima orang itu bagaikan lima ekor kucing yang kelaparan, mengurung Ci Hwa dengan sikap mengancam.
“Perempuan liar!” bentak si brewok. “Kita tangkap dia dan kita gilir dia sampai dia minta ampun!”
Kini Ci Hwa terpaksa harus melindungi tubuhnya dengan mengelak, menangkis dan berusaha membalas dengan tendangan dan pukulan. Namun, lima orang itu ternyata bukan orang lemah sehingga baju Ci Hwa dapat dicengkeram dan sekali tarik, terdengar suara kain robek dan terbukalah bagian dada Ci Hwa, memperlihatkan sedikit bukit dadanya yang masih tertutup pakaian dalam.
“Hemmm, mulus !” Mereka berteriak-teriak.
Kini Ci Hwa cepat melolos senjatanya, yaitu sebuah sabuk rantai terbuat dari perak. Senjata ini merupakan andalan ayahnya dan dia pun sudah pernah berlatih dengan senjata ini. Begitu dia menggerakkan tangannya, sabuk terlepas dan menyambar ke depan menjadi gulungan sinar putih. Seorang di antara mereka kurang cepat mengelak.
“Tukkk!”
Ujung sabuk perak yang keras mengenai batok kepalanya dan orang itu pun menjerit kesakitan dan terpelanting, memegangi kepalanya yang mendadak bocor mengeluarkan darah itu sambil mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah. Melihat ini, empat orang temannya menjadi marah.
“Gadis liar!” bentak si brewok.
Mereka lalu mengeluarkan jaring dari punggung masing-masing. Itulah senjata mereka untuk menangkap binatang buruan di samping busur dan anak panah. Jaring itu kuat sekali, terbuat dari pada tali-tali sutera yang tidak mudah putus. Kini mereka mengepung Ci Hwa dengan jaring siap di tangan, bibir mereka menyeringai dengan napas memburu penuh ketegangan. karena mereka merasa seakan-akan mereka sedang mengepung seekor harimau betina yang hendak mereka tangkap hidup-hidup!
Ci Hwa menjadi bingung. Selama hidupnya baru sekali ini ia berkelahi dikeroyok banyak orang, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi orang-orang yang memegang jaring seperti itu.
Tiba-tiba si brewok membentak, memberi isyarat kepada teman-temannya dan seorang yang berdiri di belakang, sudah melempar jaringnya ke arah Ci Hwa. Melihat ada jaring menyambar ke atas kepalanya dari belakang, Ci Hwa hendak menyambar pula jaring lain yang tahu-tahu telah menutupi tubuhnya!
Ia meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena kini jaring-jaring yang lain sudah menyelimutinya. Ia meronta semakin keras, namun makin keras ia meronta, makin terlibat-libatlah tubuhnya dan akhirnya ia pun roboh. Ia merasa menyesal kenapa senjatanya itu bukan golok atau pedang yang tajam untuk dapat membikin putus tali-tali jala itu. Sebatang sabuk rantai yang tidak tajam, tentu saja tidak ada gunanya.
Lima orang itu kini tertawa-tawa mengitarinya dan menggunakan tali-tali jaring untuk mengikat tubuhnya. Ci Hwa yang sudah terlibat jaring-jaring itu tak mampu berkutik lagi kecuali memaki-maki.
“Lepaskan aku! Kalian ini manusia-manusia kurang ajar! Aku tidak bersalah terhadap kalian, mengapa kalian hendak menggangguku? Lepaskan!” Dia berteriak dan meronta, namun hanya dapat bergerak sedikit saja setelah tali itu membelit-belit tubuhnya.
“Ha-ha-ha, merontalah, Manis. Ha-ha-ha, engkau menjadi santapan sedap kami malam ini, ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa-tawa bahkan mereka yang tadi terkena tendangan, kena gampar dan terkena hantaman ujung sabuk rantai, sudah melupakan nyerinya dan mereka tertawa-tawa karena membayangkan betapa nanti mereka akan kebagian dan mendapat kesempatan untuk membalas perbuatan gadis itu dengan kesenangan yang berlipat ganda.
Si brewok lalu mengangkat tubuh yang sudah terbelit-belit jaring itu, dan memanggulnya di atas pundak. Dia membawa Ci Hwa masuk ke dalam hutan, diikuti oleh empat orang kawannya yang tertawa-tawa. Ci Hwa nampak seperti seekor kijang yang tertangkap dalam jaringan, hanya dapat meronta-ronta sedikit.
Tiba-tiba saja, dari balik semak belukar, muncullah dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Di pinggang mereka tergantung golok besar dan keduanya mengenakan pakaian seperti jagoan silat dan sikap mereka garang sekali. Mereka tiba-tiba muncul dan berdiri menghadang di depan lima orang itu yang memandang dengan kaget.
Si brewok, pemimpin lima orang pemburu itu merasa rikuh juga bertemu orang selagi dia dan teman-temannya bukan menangkap binatang buruan, tapi seorang perempuan dalam jaringnya, maka dia yang dapat mengenal orang kang-ouw itu segera tersenyum ramah.
“Selamat pagi, dua orang sahabat yang gagah! Hendak ke manakah kalian?”
Akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar itu hanya memandang dengan alis berkerut, memandangi wajah mereka satu demi satu, kemudian memandang kepada gadis dalam jaring yang tidak dapat terlihat jelas mukanya karena tali-tali jaring yang rapat.
“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?” tanya seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, sikapnya garang. “Pakaian kalian menunjukkan bahwa kalian adalah pemburu-pemburu binatang hutan!”
Si brewok masih memperlihatkan senyumnya. Di antara para pemburu binatang dan kaum kang-ouw, para perampok, memang tidak pernah terjadi permusuhan karena jalan hidup mereka memang bersimpangan. Kalau para pemburu memburu binatang untuk dijual kulit dan dagingnya, maka para perampok memburu manusia yang berharta untuk dirampok hartanya.
“Tidak keliru dugaan Ji-wi (Kalian berdua). Kami memang pemburu-pemburu yang hendak mengadu untung di daerah pegunungan ini untuk memburu binatang hutan.”
“Dan binatang hutan macam apakah yang kalian tangkap dalam jaring kalian itu?” Tiba tiba si muka hitam bertanya, matanya yang lebar memandang kepada tubuh gadis yang dibelit jaring.
“Aih, ini? Ia… ia adalah ehh... tawanan kami, karena berani melawan kami, dan ia... ia menjadi milik kami...,” kata si brewok agak gagap karena merasa rikuh, akan tetapi mengingat bahwa dia berlima sedangkan di depannya hanya terdiri dua orang, maka dia pun menjadi berani. “Kami kira urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi, harap Ji-wi memaklumi kami berlima yang sedang kesepian dan membutuhkan hiburan.” Dia lalu tertawa.
“Diam!” bentak si muka hitam marah yang mengejutkan si brewok. “Atas ijin siapakah kalian berani berkeliaran di sini, menangkap binatang mau pun perempuan? Katakan, atas ijin siapa?!”
“Kami...kami memburu di tempat bebas...“
“Butakah matamu? Tulikah telingamu? Ini adalah wilayah kekuasaan Tiat-liong-pang, dan kalian berani memburu binatang dan perempuan di daerah kami tanpa ijin? Kalian sudah bosan hidup rupanya!” Si muka hitam sudah menerjang, mengirim pukulan dan tendangan.
Serangannya demikian hebat dan cepatnya sehingga si brewok menjadi kalang kabut. Untuk dapat menangkis dan mengelak, terpaksa dia melepaskan tubuh Ci Hwa yang dipanggulnya sehingga tubuh gadis dalam selimutan jaring itu pun terbanting ke atas tanah. Kini lima orang pemburu itu sudah berkelahi mengeroyok dua orang anggota Tiat-liong-pang yang sudah mencabut golok mereka.
Lima orang pemburu itu mencabut pisau pemburu mereka dan melawan dengan pisau dan jaring. Untuk menggunakan anak panah, mereka tidak sempat lagi karena mereka berkelahi dari jarak dekat. Akan tetapi sekali ini, mereka kecelik. Dua orang anggota Tiat-liong-pang itu lihai bukan main dengan golok mereka sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, seorang demi seorang dari lima orang pemburu itu pun roboh mandi darah dan tewas di bawah bacokan dua batang golok dua orang tinggi besar itu!
Setelah lima orang lawannya tewas semua, dua orang itu tertawa dan membersihkan darah di golok mereka pada pakaian para korban. Setelah menyimpan golok mereka, keduanya lalu menghampiri Ci Hwa yang masih rebah dan menonton perkelahian itu dari antara tali-tali jaring. Si muka hitam kini membuka jaring dan membebaskan Ci Hwa.
Gadis ini merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan dia pun bangkit berdiri dengan susah, agak terhuyung, lalu memandang kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya tiga puluh tahun lebih. Dia lalu memberi hormat.
“Terima kasih atas pertolongan Jiwi (Anda berdua),” katanya, tanpa merasa betapa dua orang laki-laki itu sekarang memandang kepadanya dengan sinar mata yang tidak ada bedanya dengan cara lima orang pemburu tadi memandangnya, bahkan kini pandang mata mereka tidak pernah melepaskan bagian baju yang robek terbuka sehingga sedikit memperlihatkan bukit dadanya.
Si muka bopeng, orang ke dua, terkekeh. “Ha-ha-heh-heh-heh, nona yang baik, pantas saja mereka berlima itu tergila-gila. Kiranya engkau memang seorang gadis yang manis sekali!”
Si muka hitam menyambung, “Kami telah menyelamatkanmu, nona manis, bagaimana lalu engkau hendak membalas budi kami?”
Ci Hwa terkejut. Baik isi ucapan mau pun nada suara kedua orang ini sama sekali tak menyenangkan hatinya, bernada kurang ajar pula. Ketika ia melihat betapa mereka itu memandang ke arah dadanya, cepat ia berusaha menutupi bagian yang robek itu dan melangkah mundur dua langkah, alisnya berkerut dan wajahnya penuh kekhawatiran.
“Aku berterima kasih atas pertolongan Ji-wi, dan aku ingin melanjutkan perjalanan. Ehh, bukankah Ji-wi adalah dua orang anggota Tiat-liong-pang?”
“Benar,” kata si muka hitam. “Ada urusan apa Nona dengan Tiat-liong-pang?”
“Aku aku ingin bertemu dengan ketuanya.“
Dua orang itu terkejut dan saling pandang, khawatir kalau-kalau gadis yang menarik hati mereka ini kenal dengan ketua mereka. Kalau begitu halnya, jelas bahwa mereka sama sekali takkan berani mengganggunya.
“Apakah Nona mengenal ketua kami?”
Ci Hwa menggeleng kepalanya, “Sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan dia dan bertanya tentang suatu urusan yang menyangkut perusahaan piauwkiok di Ban-goan, yaitu tentang kematian piauwsu Tan Hok beberapa tahun yang lalu.”
Kembali kedua orang itu saling pandang, “Ehhh? Jadi Nona ini adalah dari Ban-goan?”
“Benar aku adalah puteri dari Kwee Piauwsu, kepala Ban-goan Piauwkiok dan aku ingin menyelidiki tentang beberapa pembunuhan yang dilakukan orang terhadap beberapa orang piauwsu di sana.”
Kembali kedua orang ini saling pandang, akan tetapi kini mulut mereka menyeringai senang.
“Aha, kiranya Nona ini adalah seorang penyelidik! Tetapi tadi engkau belum menjawab pertanyaan kami, Nona. Kami telah menyelamatkanmu dari tangan lima orang pemburu ini, lalu dengan cara bagaimana Nona hendak berterima kasih dan membalas budi kepada kami?” Berkata demikian, si muka hitam mendekat, diikuti oleh si muka bopeng yang menyeringai.
Ci Hwa mundur lagi dan alisnya berkerut semakin mendalam.
“Aku... aku berterima kasih, kalian mau apa lagi? Aku tidak mempunyai apa-apa!”
“Heh-heh-heh, engkau memiliki segalanya, nona manis!” kata si bopeng yang tiba-tiba menubruk.
Ci Hwa menahan jeritnya dan mengelak, lalu menendang dari samping. Akan tetapi, si bopeng cukup gesit dan dia menangkis tendangan itu dengan kerasnya sehingga tubuh Ci Hwa terputar. Akan tetapi, gadis ini pun bukan orang lemah. Ia sudah meloncat lagi dengan elakannya ketika si muka hitam mencoba untuk menangkapnya dari samping dengan tubrukannya.