CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SI BANGAU MERAH BAGIAN 02
Yo Han sendiri tidak mengerti dan tidak mampu menjawab kalau pertanyaan itu diajukan kepadanya. Ketika dia lari meninggalkan rumah suhu-nya, dia tidak mempunyai tujuan. Dia tidak tahu ke mana harus mencari penculik Sian Li. Maka dia pun membiarkan dirinya terbawa oleh sepasang kakinya yang berlari.
Dia tidak sadar lagi bahwa dia bukan berlari menuju ke tepi sungai di mana adiknya tadi diculik orang, bahkan dia lari keluar dari kota Ta-tung dengan arah yang berlawanan dengan tepi sungai itu! Dia berlari terus sampai akhirnya dia tiba di tepi sungai lagi, akan tetapi bukan di tempat tadi Sian Li diculik orang.
Dan dia berlari terus, menyusuri sepanjang tepi sungai, ke atas. Setelah matahari naik tinggi, dia pun terguling ke atas lapangan rumput di tepi sungai dan langsung saja dia tertidur. Tubuhnya tidak kuat menahan karena dia berlari terus sejak tadi tanpa berhenti. Setelah dia terbangun, matahari sudah condong ke barat. Dan begitu bangun, dia ingat bahwa dia harus mencari Sian Li. Dia bangkit lagi dan kembali kedua kakinya berlari, tanpa tujuan akan tetapi makin mendekati sebuah bukit yang berada jauh di depan.
Dia tidak peduli ke mana kakinya membawa dirinya. Kesadarannya hanya satu, yakni bahwa dia harus dapat menemukan kembali Sian Li dan yang teringat olehnya hanyalah bahwa jika Tuhan memang menghendaki, ia pasti akan dapat mengajak Sian Li pulang! Keyakinan ini timbul semenjak dia kecil, sejak dia dapat membaca dan mengenal akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui bacaan.
Yang ada hanya kewaspadaan, yang ada hanya KEPASRAHAN. Tiada aku yang waspada, tiada aku yang pasrah. Selama ada ‘aku’, kewaspadaan dan kepasrahan itu hanyalah suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Aku adalah ingatan, aku adalah NAFSU dan aku selamanya berkeinginan, berpamrih.
Kalau NAFSU yang memegang kemudi, apa pun yang kita lakukan hanya merupakan cara mencapai sesuatu yang kita inginkan, dan karenanya mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Senang susah bersilih ganti, puas kecewa saling berkejaran, rasa takut atau khawatir selalu membayangi hidup. Takut kehilangan, takut gagal, takut menderita takut sakit, takut mati. Kegelisahan menghantui pikiran. Kepasrahan yang wajar, bukan dibuat-buat oleh si-aku, kepasrahan akan segala yang sudah, sedang dan akan terjadi, menyerah dengan tawakal sabar dan ikhlas terhadap kekuasaan TUHAN, berarti kembali kepada kodratnya.
Yo Han terus berjalan, kadang berlari mendaki bukit dan ketika dia tiba di lereng bukit, malam pun tiba. Dia melihat kuil tua itu, dan ketika dia menghampiri, dia melihat pula sinar api unggun dari dalam kuil. Ia memasuki ruangan itu dan... ia melihat Sian Li dan wanita berpakaian merah. Sian Li sudah tidur berselimut, dan wanita berpakaian merah itu berdiri dan menatapnya dengan sinar mata tajam!
Sejenak mereka berpandangan dan wanita itu terkekeh geli. “Ah, kiranya engkau? Bagai mana engkau dapat menyusulku ke sini? Dan mau apa engkau mengejar aku?”
Yo Han menarik napas panjang, terasa amat lega hatinya. Begitu dia dapat menemukan Sian Li, seolah dia baru bangun dari tidur yang penuh mimpi. Baru sekarang dia merasa betapa dingin dan lelah tubuhnya. Dengan kedua kaki lemas dia pun menjatuhkan diri, duduk di atas rumput kering, dekat api unggun.
“Bibi yang baik, kenapa engkau melakukan ini? Apa yang kau lakukan ini sungguh tidak baik, menyengsarakan orang lain dan juga amat membahayakan diri Bibi sendiri,” kata-katanya lirih namun jelas dan dia memandang ke arah api unggun, di mana lidah-lidah api merah kuning menari-nari dan menjilat-jilat.
Ang-I Moli juga duduk lagi bersila dekat api unggun, menatap wajah anak laki-laki itu dengan penuh keheranan dan keinginan tahu, juga kagum karena anak itu bersikap demikian tenang dan dewasa, bahkan begitu datang mengeluarkan ucapan lembut yang seperti menegur dan menggurui!
“Bocah aneh, apa maksud kata-katamu itu?” tanyanya, ingin sekali tahu selanjutnya apa yang akan dikatakan anak yang bersikap demikian tenang saja.
Bagaimana ia tidak akan merasa heran melihat seorang anak belasan tahun berani menghadapinya setenang itu, padahal anak itu mengejar ia yang melarikan adiknya? Orang dewasa pun, bahkan orang yang memiliki kepandaian pun, akan gemetar kalau berhadapan dengannya. Akan tetapi anak ini tenang saja, bahkan menegurnya.
“Bibi, kenapa engkau melarikan adikku Sian Li ini? Itu namanya menculik, dan itu tidak baik sama sekali. Bibi membikin susah ayah dan ibu anak ini, juga menyengsarakan aku yang menerima teguran. Apakah Bibi sudah berpikir baik-baik bahwa perbuatan Bibi ini sungguh keliru sekali?”
Tokoh kang-ouw yang di juluki Iblis Betina (Moli) itu bengong! Akan tetapi juga kagum akan keberanian anak ini, dan juga merasa geli. Alangkah lucunya kalau di situ hadir orang-orang kang-ouw mendengar ia ditegur dan diwejangi oleh seorang anak laki-laki yang berusia paling banyak dua belas tahun! Ia menahan kegelian hati yang membuat ia ingin tertawa terpingkal-pingkal, lalu bertanya lagi,
“Dan apa yang kau maksudkan dengan perbuatanku ini membahayakan diriku sendiri?”
“Bibi yang baik, engkau tidak tahu siapa anak yang kau larikan ini. Ayah dan ibunya kini mencari-carimu, ke mana pun engkau pergi, akhirnya mereka akan dapat menemukan dirimu dan kalau sudah begitu, siapa yang berani menanggung keselematanmu?”
Ang-I Moli tidak dapat menahan geli hatinya lagi. Dia tertawa terkekeh-kekeh sampai kedua matanya menjadi basah air mata. “Hi-hi-he-he-heh! Kau berani menggertak dan menakut-nakuti aku? Aku suka kepada Sian Li, aku mau mengambil sebagai anakku, sebagai muridku Aku tidak takut menghadapi siapa pun juga. Lalu engkau menyusulku ke sini mau apa?”
“Bibi, untuk apa membawa Sian Li yang masih kecil ini? Hanya akan merepotkanmu saja. Ia manja, bengal dan bandel, tentu hanya akan membuat Bibi repot dan banyak jengkel. Kalau Bibi membutuhkan seorang yang dapat membantu Bibi dalam pekerjaan rumah tangga atau mau mengambil murid, biarlah kugantikan saja. Jangan Sian Li yang masih terlalu kecil. Sebagai pengganti Sian Li, saya akan mengerjakan apa saja yang Bibi perintahkan. Akan tetapi Sian Li harus dikembalikan kepada Suhu dan Subo.”
“Oooo, jadi ayah ibu anak ini adalah suhu dan subo-mu? Sian Li bukan adikmu sendiri?”
“Ia adalah sumoi-ku (adik seperguruan), Bibi.”
“Hemm, menurut engkau, jika suhu dan subo-mu dapat mengejarku, aku berada dalam bahaya. Begitukah?” Ia tersenyum mengejek. Tentu saja ia tidak takut akan ancaman orang tua anak perempuan yang diculiknya.
“Aku tidak menakut-nakutimu, Bibi. Suhu dan Subo adalah dua orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi, merupakan suami isteri pendekar yang sakti!”
“Ehhh? Dan engkau murid mereka, menangkap kupu-kupu saja tidak becus? Hi-hi-hik!” Wanita itu tertawa geli.
Yo Han tidak merasa malu, hanya memandang dengan sikap sungguh-sungguh. “Aku memang tidak belajar silat dari mereka, melainkan kepandaian lain yang lebih berguna. Tetapi aku tidak berbohong. Mereka sangat lihai, Bibi, dan engkau bukanlah tandingan mereka.”
Ang-I Moli menjadi marah bukan main. Ucapan yang terakhir itu langsung menyinggung keangkuhannya dan dianggap merendahkan, bahkan amat menghina. Sekali bergerak, ia sudah berada di dekat Yo Han dan mencengkeram pundak anak itu.
Yo Han merasa pundaknya nyeri sekali, akan tetapi sedikit pun dia tidak mengeluh atau menggerakkan tubuhnya, seolah cengkeraman itu tidak terasa sama sekali.
“Bocah sombong! Sekali aku menggerakkan tangan ini, lehermu dapat kupatahkan dan nyawamu akan melayang!”
Wanita berpakaian serba merah itu diam-diam merasa heran bukan main. Anak yang pundaknya telah dicengkeramnya itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. Masih tenang-tenang saja seperti tak terjadi apa-apa, bahkan suaranya pun masih tenang dan penuh teguran dan nasihat.
“Nyawaku berada di tangan Tuhan, Bibi. Engkau berhasil membunuhku atau tidak, kalau engkau tak mengembalikan Sian Li, sama saja. Engkau akan mengalami kehancuran di tangan Suhu dan Subo. Sebaliknya jika engkau mengembalikan Sian Li, kemudian mau menerima aku sebagai gantinya, maka aku dapat minta kepada Suhu dan Subo untuk menghabiskan perkara penculikan Sian Li.”
Ang-I Moli yang telah menjadi marah dan tersinggung, hendak menggunakan tangannya mencengkerem leher anak itu dan membunuhnya. Akan tetapi pada waktu tangannya mencengkeram pundak, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada getaran dalam pundak itu, getaran yang lembut akan tetapi mengandung kekuatan dahsyat yang membuat ia merasa seluruh tubuhnya tergetar pula.
Ia merasa heran, lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk memeriksa tubuh anak itu. Dirabanya leher, pundak, dada dan punggung dan ia semakin terheran-heran. Anak ini memiliki tulang yang kokoh kuat dan jalan darahnya demikian sempurna. Inilah seorang anak yang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Belum tentu dalam sepuluh ribu orang anak menemukan seorang saja seperti ini!
Tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk menjadi seorang ahli silat yang hebat. Dan wataknya demikian teguh, tenang dan penuh keberanian. Akan tetapi anak ini mengaku tidak mempelajari ilmu silat!
Walau pun demikian, anak ini mengatakan bahwa suhu dan subo-nya adalah dua orang sakti! Kiranya bukan bualan kosong saja karena hanya orang orang sakti yang dapat memilih seorang murid dengan bentuk tulang, jalan darah dan sikap sehebat anak ini.
“Brrttt...!”
Sekali menggerakkan kedua tangan, baju yang dipakai anak itu robek dan direnggutnya lepas dari badan. Kini Yo Han bertelanjang dada. Ang-I Moli bukan hanya meraba-raba, kini juga melihat bentuk dada itu. Dan ia terpesona. Bukan main!
Ia tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sian Li. Memang seorang anak yang memiliki tubuh baik pula, bertulang baik berdarah bersih. Akan tetapi dibandingkan anak laki-laki ini, jauh bedanya, tidak ada artinya lagi!
“Anak yang aneh,” katanya sambil tangannya masih meraba-raba dada dan punggung yang telanjang itu. “Siapa namamu?”
“Aku she Yo, namaku Han.”
“Yo Han...? Siapa orang tuamu?”
“Aku yatim piatu. Pengganti orang tuaku adalah Suhu dan Subo.”
“Siapa sih suhu dan subo-mu yang kau puji setinggi langit itu.”
“Aku bukan sekedar memuji kosong apa lagi membual, Bibi. Suhu-ku bernama Tan Sin Hong dan berjuluk Pendekar Bangau Putih, dan Subo-ku bernama Kao Hong Li, cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”
Ang-I Moli menelan ludah! Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa anak yang diculiknya adalah puteri dari suami isteri pendekar sakti itu! Tentu saja dia pernah mendengar akan nama mereka. Bahkan mereka adalah dua di antara para pendekar yang pernah membasmi Ang-I Mo-pang!
Mereka termasuk musuh-musuh lama dari kakaknya, dari Ang-I Mo-pang. Akan tetapi ia pun tidak begitu tolol untuk memusuhi mereka. Biar pun ia sendiri belum pernah menguji sampai di mana kehebatan ilmu mereka, namun tentu saja jauh lebih aman untuk tidak mencari permusuhan baru dengan mereka.
Melihat wanita berpakaian merah itu diam saja, Yo Han melanjutkan. “Nah, engkau tahu bahwa aku bukan menggertak belaka. Tentu engkau pernah mendengar nama mereka. Sekarang, bagaimana kalau engkau mengembalikan Sian Li kepada mereka, Bibi?”
Ang-I Moli mengamati wajah Yo Han dengan penuh perhatian.
“Kalau aku mengembalikan Sian Li, engkau mau ikut bersamaku dan menjadi muridku?”
“Sudah kukatakan bahwa aku suka menggantikan Sian Li. Bagiku yang terpenting aku harus dapat mengajak Sian Li pulang ke rumah Suhu dan Subo. Setelah aku mengantar ia pulang, aku akan ikut bersamamu.”
“Hemm, kau kira aku begitu goblok? Jika aku membiarkan engkau mengajak ia pulang, tentu engkau tidak akan kembali kepadaku. Yang datang kepadaku tentu suami isteri itu untuk memusuhiku.”
Yo Han mengerutkan alis, memandang kepada wanita itu. Ang-I Moli terkejut. Sepasang mata anak itu mencorong seperti mata harimau di tempat gelap tertimpa sinar!
“Bibi, aku tidak sudi melanggar janjiku sendiri! Juga, hal itu akan membikin Suhu dan Subo marah kepadaku. Kami bukan orang-orang yang suka menyalahi janji.”
“Baik, mari, sekarang juga kita bawa Sian Li kembali ke rumah orang tuanya.”
Biar pun tubuhnya sudah terlalu penat untuk melakukan perjalanan lagi, namun Yo Han menyambut ajakan ini dengan gembira. “Baik, dan terima kasih, Bibi. Ternyata engkau bijaksana juga.”
Ang-I Moli memondong tubuh Sian Li. “Mari kau ikuti aku.”
Melihat wanita itu lari keluar kuil, Yo Han cepat mengikutinya. Akan tetapi, Ang-I Moli hendak menguji Yo Han, apakah benar anak ini tidak pandai ilmu silat. Ia berlari cepat dan sebentar saja Yo Han tertinggal jauh.
“Bibi, jangan cepat-cepat. Aku akan sesat jalan. Tunggulah!”
Ang-I Moli menanti, diam-diam merasa sangat heran. Kalau anak itu murid suami isteri pendekar yang namanya amat terkenal itu, bagaimana begitu lemah? Menangkap kupu-kupu saja tidak mampu, dan diajak berlari cepat sedikit saja sudah tertinggal jauh. Padahal, anak itu memiliki tubuh yang amat baik. Kelak ia akan menyelidiki hal itu.
Ketika ia memeriksa tubuh Yo Han tadi, bukan saja ia mendapatkan kenyataan bahwa anak itu bisa menjadi seorang ahli silat yang hebat, juga mendapat kenyataan lain yang mengguncangkan hatinya. Anak itu memiliki darah yang amat bersih dan kalau ia dapat menghisap hawa murni serta darah anak laki-laki itu melalui hubungan badan, dia akan mendapatkan obat kuat dan obat awet muda yang amat ampuh!
Tidak lama mereka berjalan karena Ang-I Moli membawa mereka ke tepi sungai, lalu ia mengeluarkan sebuah perahu yang tadinya ia sembunyikan di dalam semak belukar di tepi sungai.
“Kita naik perahu supaya dapat cepat tiba di Ta-tung,” kata Ang-I Moli dan ia menyeret perahu ke tepi sungai, dibantu oleh Yo Han.
Tidak lama kemudian, mereka pun sudah naik ke perahu yang meluncur cepat terbawa arus air sungai dan didayung pula oleh Yo Han, dikemudikan oleh dayung di tangan wanita pakaian merah itu. Sian Li masih pulas, rebah miring di dalam perahu.
Melalui air, perjalanan tentu saja tidak melelahkan, apa lagi karena mereka mengikuti aliran air sungai, bahkan jauh lebih cepat dibandingkan perjalanan melalui darat. Maka, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah mendarat di tempat di mana kemarin Ang-I Moli bertemu dengan Yo Han dan Sian Li.
“Nah, bawalah ia pulang, dan kau cepatlah kembali ke sini. Kutunggu,” kata Ang-I Moli kepada Yo Han. Ia lalu menotok punggung Sian Li dan anak ini pun sadar, seperti baru terbangun dari tidur.
Sian Li amat girang melihat Yo Han berada di situ dan Yo Han segera memondongnya, menatap wajah wanita itu dan berkata, “Engkau percaya kepadaku, Bibi?”
Ang-I Moli tersenyum. “Tentu saja. Kalau engkau membohongiku sekali pun, engkau tak akan dapat lolos dari tanganku!”
“Aku takkan bohong!” kata Yo Han.
Dia pun membawa Sian Li keluar dari perahu, lalu berjalan secepatnya menuju pulang. Hatinya merasa lega dan gembira bukan main karena dia telah berhasil membawa Sian Li pulang seperti telah dijanjikannya kepada suhu dan subo-nya. Dia telah bertanggung jawab atas kehilangan adiknya itu, dan sekarang dia telah memenuhi janji dan tanggung jawabnya.
Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, semalaman tadi tak dapat pulas sejenak pun dan pagi-pagi sekali mereka sudah bangun. Dengan wajah muram dan rambut kusut mereka duduk di beranda depan seperti orang-orang yang sedang menantikan sesuatu. Memang mereka menanti pulangnya Yo Han, dan kalau mungkin bersama Sian Li yang diculik orang. Hong Li menganggap hal ini tidak mungkin, hanya harapan kosong belaka dan sia-sia. Akan tetapi suaminya berkeras hendak menanti kembalinya Yo Han sampai tiga hari!
“Yo Han...” Tiba-tiba Sin Hong berseru.
Hong Li yang sedang menunduk terkejut, mengangkat mukanya dan wajahnya seketika berseri-seri. Matanya bersinar-sinar, seperti matahari yang baru muncul dari balik awan hitam.
“Sian Li...!” Ia pun meloncat dan berlari menyambut Yo Han yang datang memondong adiknya itu.
“Ibu...! Ayah...!” Sian Li bersorak girang dan dia merasa terheran-heran ketika ibunya merenggutnya dari pondongan Yo Han, lalu mendekap dan menciuminya dengan kedua mata basah air mata!
“Ibu... menangis? Tidak boleh menangis, Ibu tidak boleh cengeng dan lemah!” Sian Li menirukan kata-kata ayah dan ibunya kalau ia menangis.
Ibunya yang masih basah kedua matanya itu tersenyum.
“Tidak, ibu tidak menangis. Ibu bergembira...!”
Sin Hong sudah menyambut Yo Han dan memegang tangan murid itu, menatapnya sejenak lalu berkata, “Mari masuk dan kita bicara di dalam.”
Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja. Sian Li dipangku oleh ibunya yang memeluknya seperti takut akan kehilangan lagi.
“Nah, ceritakan bagaimana engkau dapat mengajak pulang adikmu, Yo Han,” kata Sin Hong.
Hong Li memandang dengan penuh kagum, heran dan juga bersyukur bahwa muridnya itu benar-benar telah mampu mengembalikan Sian Li kepadanya. Padahal ia sendiri dan suaminya sudah mencari-cari sampai seharian penuh tanpa hasil, bahkan tidak dapat menemukan jejak Sian Li dan penculiknya.
“Suhu dan Subo, ketika teecu pergi hendak mencari adik Sian Li, teecu segera berlari ke luar kota, melalui pintu gerbang selatan. Sehari kemarin teecu berlari dan berjalan terus dan pada malam hari tadi, teecu tiba di lereng sebuah bukit. Teecu melihat sebuah kuil dan ada sinar api unggun dari dalam kuil. Teecu memasuki kuil tua yang kosong itu dan di situlah teecu melihat Adik Sian Li tidur dijaga oleh wanita pakaian merah itu.”
“Akan tetapi, Yo Han. Bagaimana engkau bisa tahu bahwa adikmu dibawa ke tempat itu oleh penculiknya?” Hong Li bertanya dengan heran.
“Teecu juga tidak tahu bagaimana Adik Sian Li bisa berada di dalam kuil itu, Subo...”
“Aku diajak naik perahu oleh Bibi baju merah. Ia baik sekali, Ibu. Kami menangkap ikan dan Bibi memasak ikan untukku. Enak sekali! Setelah turun dari perahu, kami berjalan-jalan ke lereng bukit dan memasuki kuil tua itu, Setelah malam menjadi gelap, aku ingin pulang, mengajaknya pulang dan... dan... aku lupa lagi, tertidur.”
Sin Hong bertukar pandang dengan isterinya. Pantas usaha mereka mencari jejak telah gagal. Kiranya anak mereka dibawa naik perahu oleh penculiknya.
“Yo Han, kalau engkau tidak tahu bahwa Sian Li dibawa ke kuil tua itu, lalu bagaimana engkau dapat langsung pergi ke sana?” Sin Hong mendesak, memandang tajam penuh selidik.
Yo Han menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Teecu tidak tahu Suhu. Teecu membiarkan kaki berjalan tanpa tujuan, ke mana saja untuk mencari adik Sian Li. Dan tahu-tahu teecu tiba di sana dan menemukan mereka.”
“Tetapi, bagaimana penculik itu membiarkan engkau mengajak Sian Li pulang? Bagai mana engkau dapat menundukkannya?” Hong Li bertanya, semakin heran dan merasa bulu tengkuknya meremang karena ia mulai merasa bahwa ada ‘sesuatu’ yang ajaib telah terjadi pada diri muridnya itu.
Yo Han tersenyum memandang subo-nya, lalu memandang kepada suhu-nya. “Teecu membujuknya untuk membiarkan teecu membawa adik Sian Li pulang. Dia tidak tahu bahwa adik Sian Li adalah puteri Suhu dan Subo. Teecu memberi tahu kepadanya dan mengatakan bahwa kalau ia tidak mengembalikan Sian Li, tentu Suhu dan Subo akan dapat menemukannya dan ia pasti akan celaka. Teecu mengatakan bahwa kalau ia mau menyerahkan kembali Sian Li, teecu-lah yang akan menggantikan adik Sian Li menjadi muridnya, menjadi pelayannya, dan ikut dengannya. Nah, ia setuju dan teecu membawa adik Sian Li pulang. Tetapi teecu harus segera kembali kepadanya. Ia masih menunggu teecu di tepi sungai...”
“Yo Han! Engkau hendak ikut dengan penculik itu? Ahhh, aku tidak akan membiarkan! Menjadi murid seorang penculik jahat? Tidak boleh!” kata Hong Li marah. “Aku bahkan akan menghajar iblis itu!”
Kao Hong Li sudah meloncat dengan marah, akan tetapi gerakannya terhenti ketika terdengar Yo Han berseru, ”Subo, jangan!”
“Hah?! Iblis itu menculik anakku, kemudian menukarnya dengan engkau untuk dibawa pergi. Dan engkau melarang aku untuk menghajar iblis itu?”
“Maaf, Subo. Apakah Subo ingin melihat murid Subo menjadi seorang rendah yang melanggar janjinya sendiri, menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut?”
“Ehhh...? Apa maksudmu?”
“Subo, bagaimana pun juga, teecu (murid) adalah murid Subo. Teecu sudah berjanji kepada wanita berpakaian merah itu bahwa setelah teecu mengantar Sian Li pulang, teecu akan kembali kepadanya dan menjadi muridnya, pergi ikut dengannya. Kalau teecu sudah berjanji, lalu sekarang teecu tidak kembali kepadanya, bahkan Subo akan menghajarnya, bukankah berarti teecu melanggar janji sendiri?”
“Aku tidak peduli akan janjimu itu! Engkau tidak perlu melanggar janji, engkau pergilah kepadanya. Akan tetapi aku tetap saja akan menemuinya dan menghajarnya!” berkata Hong Li dengan marah.
“Subo!” kata pula Yo Han dan suaranya tegas. “Kenapa Subo hendak menghajar wanita itu? Kalau Subo melakukan itu, berarti Subo jahat!”
“Ehhh?” Hong Li terbelalak memandang kepada anak itu.
“Yo Han!” kata pula Sin Hong. “Subo-mu hendak menghajar penculik, mengapa engkau malah katakan jahat?” Dia bertanya hanya karena ingin tahu isi hati anak itu yang amat dikaguminya sejak dia tadi mendengarkan kata-kata anak itu kepada isterinya.
“Suhu, wanita berpakaian merah itu memang benar tadinya hendak melarikan Sian Li, akan tetapi ia bersikap sangat baik terhadap Sian Li, dan ia melarikannya karena ingin mengambilnya sebagai murid. Ia sayang kepada Sian Li. Lalu, teecu menemukannya dan teecu membujuk supaya ia mengembalikan Sian Li. Dan ia sudah memperbolehkan Sian Li teecu bawa pulang. Teecu sendiri yang berjanji untuk ikut pergi dengannya. Jika sekarang Subo dan Suhu menghajarnya, bukankah itu sama sekali tidak benar?”
Sin Hong memberi isyarat dengan pandang mata kepada isterinya, lalu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya itu. “Baiklah kalau begitu, Yo Han. Kami tentu saja tak menghendaki engkau menjadi seorang yang melanggar janjimu sendiri. Engkau sudah yakin ingin menjadi murid wanita itu? Kalau engkau ingin memperoleh guru yang baik, tempat tinggal yang lain, kami sanggup mencarikannya yang amat baik untukmu.”
Yo Han menggeleng kepalanya. “Tidak Suhu. Teecu akan ikut dengan wanita itu seperti yang telah teecu janjikan. Teecu akan berangkat sekarang juga supaya ia tidak terlalu lama menunggu.”
Dia lalu pergi ke dalam kamarnya, mengambil buntalan pakaian yang memang telah dia persiapkan semenjak tadi malam. Memang semalam ia telah merencanakan untuk pergi meninggalkan rumah itu, akan tetapi karena hatinya terasa berat meninggalkan Sian Li, maka pagi itu ia ingin menyenangkan Sian Li dengan mengajaknya bermain-main di tepi sungai sebelum dia pergi.
Suami isteri itu juga merasa heran melihat demikian cepatnya Yo Han mengumpulkan pakaiannya karena sebentar saja anak itu sudah menghadap mereka kembali. Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang gurunya.
“Suhu dan Subo, teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah dilimpahkan kepada teecu, terima kasih atas kasih sayang yang telah dicurahkan kepada teecu. Dan teecu mohon maaf apabila selama ini teecu melakukan banyak kesalahan dan membuat Suhu dan Subo menjadi kecewa. Teecu mohon diri, Suhu dan Subo” Suaranya tegas dan sikapnya tenang, sama sekali tidak nampak dia berduka, tidak hanyut oleh perasaan haru.
“Baiklah, Yo Han. Kalau memang ini kehendakmu. Dan berhati-hatilah engkau menjaga dirimu,” kata Sin Hong.
“Setiap waktu kalau engkau menghendaki, kami akan menerimamu kembali dengan hati dan tangan terbuka, Yo Han,” kata pula Kao Hong Li, dengan hati terharu. Terasa benar ia betapa ia menyayang murid itu seperti kepada adik atau anak sendiri.
“Terima kasih, Suhu dan Subo.” Yo Han membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
“Suheng, aku ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang sejak tadi melihat dan mendengarkan saja tanpa mengerti benar apa yang mereka bicarakan, kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari menghampiri Yo Han.
Yo Han memondong anak itu, mencium kedua pipi dan dahinya, lalu menurunkannya kembali. “Sian Li, aku mau pergi dulu, engkau tidak boleh ikut. Engkau bersama ayah dan ibumu di sini. Kelak kita akan bertemu kembali, adikku.” Dan dengan cepat Yo Han lari meninggalkan anak itu, tidak tega mendengar ratap tangisnya dan melihat wajahnya.
“Suheng! Aku ikut... aku ikut...!” Anak itu lantas merengek walau pun tidak menangis, dan terpaksa Sin Hong memondongnya karena anak itu hendak lari mengejar Yo Han.
“Hemm, aku mau melihat siapa iblis betina itu!” Hong Li sudah meloncat keluar dan Sin Hong yang memondong anaknya hanya menggeleng kepala, lalu melangkah keluar pula dengan Sian Li di pondongannya.
Yo Han berlari-lari menuju sungai. Dia tidak ingin wanita berpakaian merah itu mengira dia melanggar janji. Dan benar saja, ketika dia tiba di tepi sungai, wanita itu tidak lagi berada di dalam perahu, melainkan sudah duduk di tepi sungai dengan wajah tidak sabar. Perahunya berada di tepi sungai pula, agaknya sudah ditariknya ke darat.
Melihat Yo Han datang berlari sambil membawa buntalan, wajah yang tadinya cemberut itu tersenyum. “Hemm, kusangka engkau membohongiku! Kiranya engkau datang pula!”
Yo Han juga cemberut ketika dia sudah berdiri di depan wanita itu. “Sudah kukatakan, aku bukan seorang yang suka melanggar janji. Aku harus berpamit dulu kepada Suhu dan Subo-ku, dan mengambil pakaianku ini.”
“Andai kata engkau menipuku sekali pun engkau tak akan terlepas dari tanganku. Hayo kita berangkat!” kata Ang-I Moli Tee Kui Cu.
“Tahan dulu...!”
Bentakan yang merdu dan nyaring ini mengandung getaran dan wibawa yang amat kuat sehingga Ang-I Moli terkejut sekali dan cepat-cepat ia membalikkan tubuh. Kiranya di depannya telah berdiri seorang wanita cantik dan gagah, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajahnya bulat telur, matanya lebar dan indah jeli, sinar matanya tajam menembus.
“Subo...!” Yo Han berseru melihat wanita cantik itu.
“Diam kau!” Kao Hong Li membentak muridnya.
Matanya tidak pernah melepaskan wajah wanita berpakaian merah itu. Ia belum pernah melihat wanita itu dan memperhatikannya dengan seksama. Wajah yang cantik itu putih dengan bantuan bedak tebal, nampak cantik seperti gambar oleh bantuan pemerah bibir dan pipi, dan penghitam alis. Pakaiannya yang serba merah ketat itu menempel tubuh yang ramping dan seksi, dengan pinggulnya yang bulat besar.
Mendengar Yo Han menyebut subo kepada wanita muda ini. Ang-I Moli terkejut. Tidak disangkanya subo dari anak itu masih sedemikian mudanya. Jadi inikah cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya.
“Hemmm, siapakah engkau dan mengapa engkau menahan kami?” Ang-I Moli bertanya, senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah.
“Aku Kao Hong Li, ibu dari anak perempuan yang telah kau culik!” jawab Hong Li, juga sikapnya tenang, akan tetapi sepasang mata yang tajam itu bersinar marah. “Siapakah engkau ini iblis betina yang berani mencoba mencoba untuk menculik anakku kemudian membujuk murid kami untuk ikut denganmu? Jawab, dan jangan mati tanpa nama!”
Sikap garang Kao Hong Li sedikit banyak menguncupkan hati Ang-I Moli. Ia seorang tokoh sesat yang tidak mengenal takut dan memandang rendah orang lain, akan tetapi ia teringat akan ancaman Yo Han tadi bahwa wanita ini adalah cucu Naga Sakti Gurun Pasir, bahkan suaminya adalah Si Bangau Putih yang namanya amat terkenal itu.
“Hemmm, bocah sombong. Jangan kau mengira bahwa aku Ang-I Moli takut mendengar gertakanmu.” Ia membesarkan hatinya sendiri. “Aku tidak menculik puterimu, tapi hanya mengajaknya bermain-main. Dan tentang bocah ini, dia sendiri yang ingin ikut aku untuk menjadi muridku. Kalau tidak percaya, tanya saja kepada anak itu.”
“Subo, memang benar teecu sendiri yang ingin ikut dengan Bibi ini. Harap Subo jangan mengganggunya!”
Hong Li menarik napas panjang. Kalau sudah begitu, memang tidak ada alasan baginya untuk menghajar wanita berpakaian merah itu, apa lagi membunuhnya. Anaknya sendiri tadi pun mengatakan bahwa wanita ini bersikap baik kepada Sian Li, dan kini Yo Han mengatakan bahwa memang dia sendiri yang ingin menjadi muridnya.
“Baiklah, aku tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, setidaknya aku harus tahu apakah ia cukup pantas untuk menjadi gurumu, Yo Han. Aku tidak rela menyerahkan muridku dalam asuhan orang yang tidak memiliki kepandaian, apa lagi kalau orang itu pengecut. Kuharap saja engkau tidak terlalu pengecut untuk menolak tantanganku menguji ilmu kepandaianmu, Ang-I Moli.”
Kulit muka yang ditutup riasan tebal itu masih nampak berubah kemerahan. Tentu saja Ang-I Moli marah sekali dikatakan bahwa ia seorang pengecut.
“Kao Hong Li, engkau bocah sombong. Kau kira aku takut kepadamu?”
“Bagus kalau tidak takut! Nah, kau sambutlah seranganku ini. Haiiittt!”
Hong Li langsung menerjang maju setelah memberi peringatan, dan karena ia memang ingin menguji sampai di mana kelihaian wanita baju merah itu, maka begitu menyerang ia sudah memainkan jurus dari ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang sangat dahsyat, apa lagi karena dalam memainkan ilmu silat ini ia menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) dari ibunya. Hong Li telah menggabung dua ilmu yang hebat itu. Sin-liong Ciang-hoat adalah ilmu yang berasal dari Istana Gurun Pasir, sedangkan tenaga Hui-yang Sinkang adalah ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es, yang ia pelajari dari ayah dan ibunya.
“Wuuuuttt... plak! Plak!”
Tubuh Ang-I Moli terhuyung ke belakang dan dia terkejut bukan main. Ketika tadi dia menangkis sampai beberapa kali, lengannya bertemu dengan hawa panas yang luar biasa kuatnya sehingga kalau ia tidak membiarkan dirinya mundur, tentu ia akan celaka. Sebagai seorang tokoh sesat yang sudah mengangkat diri menjadi seorang pangcu (ketua) tentu saja Ang-I Moli merasa penasaran sekali.
Ia lalu membalas dengan serangan ampuh. Setelah mengerahkan tenaga dalam yang telah dilatihnya dari para pimpinan Pek-lian-kauw, ia mengeluarkan suara melengking dan ketika dua tangannya menyerang, dari kedua telapak tangan itu mengepul uap atau asap hitam dan angin pukulannya membawa asap hitam itu menyambar ke arah muka Kao Hong Li.
Pendekar wanita ini mengenal pukulan beracun yang ampuh, maka ia pun melangkah mundur dan mengerahkan tenaga sinkang mendorong dengan kedua tangan terbuka pula. Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, asap hitam itu membalik dan Ang-I Moli kini merasakan hawa yang amat dingin sehingga kembali ia terkejut. Itulah tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Inti Salju), juga ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es!
Ang-I Moli terpaksa mundur kembali dan kemarahannya memuncak. Dua kali mengadu tenaga itu membuat dia sadar bahwa lawannya memang lihai bukan main. Dalam hal tenaga sinkang, jelas dia kalah kuat.
“Manusia sombong, kau sambut pedangku!” bentaknya, lalu mulutnya berkemak-kemik dan dia pun berseru sambil membuat gerakan laksana melontarkan sesuatu ke udara, “Pedang terbangku menyambar lehermu!”
Kao Hong Li terbelalak ketika dia melihat sinar terang dan bayangan sebatang pedang meluncur dari udara ke arah dirinya! Padahal ia tak melihat wanita itu mencabut pedang. Inilah ilmu sihir, pikirnya dan ia pun cepat mencabut pedangnya dan melindungi dirinya dengan putaran pedang.
“Hentikan perkelahian! Hentikan...!” terdengar Yo Han berseru.
Begitu anak ini melangkah ke depan, sinar pedang itu pun lenyap secara tiba-tiba dan Hong Li mendapat kenyataan bahwa ia tadi telah ‘bertempur’ melawan bayang-bayang.
Sementara itu, Ang-I Moli juga terkejut karena tiba-tiba pengaruh sihirnya lenyap begitu saja. Pada saat itu, ia melihat pula munculnya seorang laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang memiliki sinar mata lembut tetapi mencorong memondong anak perempuan baju merah tadi. Tahulah dia bahwa tentu laki-laki gagah perkasa ini ayah Sian Li yang berjuluk Si Bangau Putih. Ang-I Moli menduga bahwa tentu pendekar inilah yang tadi melenyapkan pengaruh sihirnya, maka ia menjadi semakin jeri.
Memang tadinya dia merasa suka sekali kepada Sian Li, kemudian melihat bakat yang luar biasa pada diri Yo Han, dia pun rela menukarkan Sian Li yang suka rewel dan tidak mau ikut dengan suka rela itu dengan Yo Han yang suka ikut dengannya. Akan tetapi melihat betapa suami isteri yang amat lihai itu sekarang berada di depannya dan dia tahu bahwa melawan mereka berdua sama dengan mencari penyakit, Ang-I Moli lalu meloncat ke arah perahunya sambil memaki Yo Han.
“Anak pengkhianat!” Ia mendorong perahunya ke air, lalu perahu itu diluncurkannya ke tengah sungai.
“Tunggu kau, iblis betina!” Hong Li yang masih marah itu berteriak dan kini ia pun sudah mengamangkan pedangnya. Akan tetapi Yo Han cepat berdiri di depan subo-nya.
“Subo, harap jangan kejar dan serang dia lagi! Dia adalah guruku yang baru!” Setelah berkata demikian, Yo Han lantas meloncat ke air, dan berenang mengejar perahu itu. “Bibi... ehhh, Subo (Ibu Guru), tunggulah aku...!”
Melihat ini, Ang-I Moli memandang heran sekali. Anak itu ternyata sama sekali bukan pengkhianat, bukan pelanggar janji! Ia pun terkekeh senang dan menahan perahunya. Ketika Yo Han telah tiba di pinggir perahu, ia mengulurkan tangan dan menarik anak itu naik ke dalam perahunya.
“Anak baik, ternyata engkau setia kepadaku. Hi-hi-hik, aku senang sekali!”
Dari pantai, Hong Li masih mengamangkan pedangnya. “Yo Han, lekas kembali ke sini engkau! Engkau akan rusak dan celaka kalau engkau ikut dengan perempuan iblis itu!”
“Subo, maafkan teecu. Teecu sudah berjanji kepada Bibi ini, dan lagi pula, teecu harus meninggalkan Suhu dan Subo, teecu harus meninggalkan... adik Sian Li. Bukankah itu yang Subo kehendaki? Teecu harus dipisahkan dari adik Sian Li. Nah, setelah sekarang teecu menentukan jalan sendiri, mengapa Subo hendak menghalangi? Sudahlah, Subo, maafkan teecu dan… selamat tinggal.” Yo Han lalu mengambil dayung dan mendayung perahu itu.
Hong Li masih penasaran saja dan hendak mengejar, akan tetapi ada sentuhan lembut tangan suaminya pada lengannya. Ia menoleh dan melihat suaminya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Suheng, aku ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang melihat Yo Han mendayung perahu yang mulai meluncur menjauh, berteriak dan meronta dalam pondongan ayahnya.
Hong Li menyimpan kembali pedangnya dan memondong puterinya. “Jangan ikut, Sian Li. Suheng-mu sedang pergi menuntut ilmu. Kelak engkau pasti akan bertemu kembali dengan dia.” Ia memeluk anaknya dan menciuminya, menghibur sehingga Sian Li tidak berteriak-teriak lagi.
Suami isteri itu berdiri di tepi sungai dan mengikuti perahu yang menjauh itu dengan pandang mata mereka.
“Aku tetap khawatir,” bisik Hong Li. “Wanita itu jelas tokoh sesat. Julukannya Ang-I Moli. Aku khawatir Yo Han akan menjadi tersesat kelak.”
Suaminya menggeleng kepala. “Jangan khawatir. Yo Han bukanlah anak yang berbakat jahat. Aku melihat hal yang aneh lagi tadi. Ketika engkau diserang dengan sihir, kulihat engkau terkejut dan wanita itu berdiri mengacungkan tangan dan berkemak-kemik, ada sinar menyambar ke arahmu...”
“Memang benar. Aku pun terkejut akan tetapi tiba-tiba sinar itu menghilang.”
“Itulah! Begitu Yo Han melompat ke depan dan menghentikan perkelahian, sinar itu lenyap dan kulihat wanita berpakaian merah itu terkejut dan ketakutan. Aku menduga bahwa kekuatan sihirnya itu punah dan lenyap oleh teriakan Yo Han! Nah, karena itu, biarkanlah dia pergi. Aku yakin dia tidak akan dapat terseret ke dalam jalan sesat.”
Mereka lalu pulang membawa Sian Li yang sudah tidur di dalam pondongan ibunya. Berbagai perasaan mengaduk hati kedua orang suami isteri itu. Ada perasaan menyesal dan mereka merasa kehilangan Yo Han, ada pula perasaan lega karena kini puteri mereka dapat dipisahkan dari Yo Han tanpa mereka harus memaksa Yo Han keluar dari rumah mereka, ada pula perasaan khawatir akan nasib Yo Han yang dibawa pergi oleh seorang tokoh sesat.
Segala macam perasaan duka, khawatir dan sebagainya tidak terbawa datang bersama peristiwa yang terjadi menimpa diri kita, melainkan timbul sebagai akibat dari cara kita menerima dan menghadapi segala peristiwa itu. Pikiran yang penuh dengan ingatan pengalaman masa lalu membentuk sebuah sumber di dalam diri kita, sumber berupa bayangan tentang diri pribadi yang disebut aku, dan dari sumber inilah segala kegiatan hidup terdorong.
Karena si-aku ini diciptakan pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah, maka segala kegiatan, segala perbuatan pun selalu didasari pada kepentingan si-aku. Jika sang aku dirugikan, maka timbullah kecewa, timbullah iba diri dan duka. Jika sang aku terancam dirugikan, maka timbul rasa takut dan khawatir. Si AKU ini selalu menghendaki jaminan keamanan menghendaki kesenangan dan menghindari kesusahan.
Si AKU ini mendatangkan penilaian baik buruk, tentu saja didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Baik buruk timbul karena adanya penilaian, dan penilaian adalah pilihan si-aku, karenanya penilaian selalu didasari nafsu daya rendah yang selalu mementingkan diri sendiri. Kalau sesuatu menguntungkan, maka dinilai baik, sebaliknya kalau merugikan, dinilai buruk.
Sebagai contoh, kita mengambil hujan. Baik atau burukkah hujan turun? Hujan adalah suatu kewajaran, suatu kenyataan dan setiap kenyataan adalah wajar karena hal itu sudah menjadi kodrat, menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hujan baru disebut baik atau buruk bila sudah ada penilaian. Yang menilai adalah kita, didasari nafsu daya rendah yang mengaku diri sebagai sang aku.
Bagi orang yang membutuhkan air hujan, maka hujan di sambut dengan gembira dan dianggap baik, karena menguntungkan dirinya, misalnya bagi para petani yang sedang membutuhkan air untuk sawah ladangnya. Sebaliknya, bagi orang-orang yang merasa dirugikan dengan turunnya hujan, maka hujan itu tentu saja dianggap buruk! Padahal, hujan tetap hujan, wajar, tidak baik tidak buruk.
Demikian pula dengan segala macam peristiwa atau segala macam yang kita hadapi. Selalu kita nilai, tanpa kita sadari bahwa penilaian itu berdasarkan nafsu mementingkan diri sendiri. Kalau ada seseorang berbuat menguntungkan kepada kita, kita menilai dia sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan, kita menilainya sebagai orang jahat. Jelaslah bahwa penilaian adalah sesuatu hal yang pada hakekatnya menyimpang dari kebenaran. Yang kita nilai baik belum tentu baik bagi orang lain, dan sebaliknya.
Penilaian mendatangkan reaksi, mempengaruhi sikap dan perbuatan kita selanjutnya. Perbuatan yang didasari hasil penilaian ini jelas tidak sehat. Dapatkah kita menghadapi segala sesuatu tanpa menilai, tapi menghadapi seperti apa adanya? Kalau tindakan kita tidak lagi dipengaruhi hasil penilaian, maka tindakan itu terjadi dengan spontan dipimpin kebijaksanaan.
Permainan pikiran yang mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan hanya mendatangkan duka dan khawatir, seperti yang pada saat itu dialami oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.
“Jangan bohong kau!” Ang-I Moli membentak.
Yo Han yang berdiri di depannya memandang dengan sinar mata marah. “Subo, sudah berulang kali aku mengatakan bahwa aku tidak pernah dan tidak akan mau berbohong!” jawabnya dengan tegas.
Mereka berada di dalam sebuah ruangan kuil tua di lereng bukit. Kuil ini belum rusak benar. Baru setahun ditinggalkan penghuninya, yaitu seorang pertapa tosu dan agaknya tidak ada yang mau mengurus kuil yang berada di tempat terpencil ini.
Hanya kuil yang berada di daerah pedusunan yang makmurlah baru bisa berkembang dengan baik. Banyak pengunjung datang bersembahyang dan banyak dana pula datang membanjir sehingga berlebihan untuk pembiayaan kuil. Akan tetapi sebuah kuil tua di lereng bukit yang sunyi? Jauh dari dusun jauh dari masyarakat? Siapa yang mau hidup sengsara dan serba kekurangan di situ?
Kuil itu sekarang kosong dan dalam perjalanannya pulang, saat melewati tempat ini dan kemalaman, Ang-I Moli mengajak Yo Han untuk melewatkan malam di tempat sunyi itu. Wanita itu masih terkenang akan kelihaian Kao Hong Li. Wanita cucu Naga Sakti Gurun Pasir itu demikian lihainya. Dan suaminya, Si Bangau Putih, tentu lebih lihai pula.
Ia sendiri yang ditakuti banyak orang di dunia kang-ouw, sekarang merasa ngeri kalau membayangkan bahaya maut yang mengancamnya ketika ia berhadapan dengan suami isteri pendekar itu. Kalau suhu dan subo-nya sedemikian saktinya, tentu muridnya juga telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, demikian pendapatnya. Oleh karena itu, ketika ia bertanya kepada Yo Han tentang ilmu silat, berapa banyak ilmu kedua orang gurunya yang telah dikuasainya, Yo Han menjawab bahwa dia tidak pandai ilmu silat dan tentu saja Ang-I Moli menduga dia berbohong.
“Bagaimana mungkin, sebagai murid suami isteri yang lihai itu engkau tidak menguasai sedikit pun ilmu silat? Sudah berapa lama engkau menjadi murid mereka, Yo Han?”
“Sudah lima tahun, Subo.”
“Hemm, apa lagi sudah begitu lama. Bagaimana mungkin engkau tidak pandai ilmu silat? Bukankah engkau menerima pelajaran ilmu silat dari mereka?”
“Aku tidak pernah berlatih, Subo. Aku tidak suka ilmu silat.”
Mata wanita cantik itu terbelalak, lalu ia memandang penuh perhatian kepada Yo Han dengan alis berkerut. “Engkau tidak suka ilmu silat?” Ang-I Moli tertawa terkekeh-kekeh karena merasa geli hatinya. “Kao Hong Li dan Tan Sin Hong adalah sepasang suami isteri pendekar yang sakti, dan murid tunggalnya tidak pandai dan tidak suka ilmu silat?” Ia tertawa-tawa lagi sampai keluar air matanya.”Habis, apa saja yang kau pelajari dari mereka selama lima tahun itu?”
“Subo, kenapa Subo mentertawakan hal itu? Aku memang tidak suka ilmu silat, dan yang kupelajari dari Suhu dan Subo-ku itu adalah ilmu membaca dan menulis, membuat sajak, bernyanyi dan meniup suling, pengetahuan mengenai kebudayaan dan filsafat hidup, mempelajari kitab-kitab sejarah kuno...”
Dia terpaksa berhenti bicara karena Ang-I Moli sudah tertawa lagi terkekeh-kekeh. Yo Han hanya berdiri memandang dengan alis berkerut dan mata bersinar-sinar marah.
Setelah menghentikan tawanya, wanita itu mengusap air mata dari kedua matanya, lalu memandang kepada pemuda remaja itu. “Anak baik, aku mengambilmu sebagai murid dan aku akan mengajarkan ilmu silat pula kepadamu. Bagaimana?”
Yo Han menggeleng kepalanya. “Percuma saja, Subo. Aku tidak akan menolak segala yang kau ajarkan kepadaku, akan tetapi aku takkan suka berlatih silat sehingga semua pengertian ilmu silat yang kau berikan kepadaku tidak akan ada gunanya.”
Ang-I Moli teringat sesuatu. “Yo Han, kalau engkau memang sama sekali tidak pandai ilmu silat, mengapa engkau begini tabah dan berani? Padahal engkau tidak mempunyai kemampuan untuk membela diri apa bila diserang lawan. Bagaimana engkau menjadi begini berani?”
“Aku tidak suka kekerasan, mengapa mesti takut, Subo? Orang yang tidak melakukan kejahatan, tidak merugikan orang lain, tidak membenci orang lain, kenapa mesti takut? Aku tidak pernah takut, Subo, karena tidak pernah membenci orang lain.”
“Yo Han, kalau engkau tidak mau belajar ilmu silat dariku, lalu kenapa engkau mau ikut dengan aku?” Wanita itu akhirnya bertanya heran.
“Subo lupa. Bukan aku yang ingin ikut Subo, melainkan Subo yang mengajakku dan aku ikut Subo sebagai penukaran atas diri Sian Li.”
Wanita itu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala dan memandang dengan heran. Sungguh seorang anak laki-laki yang aneh sekali. Begitu tabah, sedikit pun tidak mengenal takut, begitu teguh memegang janji, sikapnya demikian gagah perkasa seperti seorang pendekar tulen, akan tetapi, sedikit pun tidak pandai ilmu silat bahkan tak suka ilmu silat!
Akan tetapi, melihat wajah yang tampan gagah itu, ia lalu teringat akan keadaan tubuh pemuda remaja itu. Wajah Ang-I Moli segera berseri, mulutnya tersenyum dan pandang matanya menjadi genit sekali.
“Tidak suka berlatih silat pun tidak mengapalah, Yo Han, asal engkau mentaati semua perintahku dan menuruti semua permintaanku.” Ia lalu menggapai. “Engkau duduklah di sini, dekat aku, Yo Han.”
Tanpa prasangka buruk, Yo Han mendekat, lalu duduk di atas lantai yang tadi sudah dia bersihkan dan diberi tilam rumput kering yang dicarinya di ruangan belakang kuil tua itu, sebagai persiapan tempat mereka nanti tidur melewatkan malam. Akan tetapi, suaranya tegas ketika dia berkata,
“Subo, aku akan selalu mentaati perintahmu selama perintah itu tidak menyimpang dari kebenaran. Namun kalau Subo memerintahkan aku melakukan hal yang tidak benar, maaf, terpaksa akan kutolak!”
“Hi-hik, tidak ada yang tidak benar, muridku yang baik. Engkau tahu, aku amat sayang kepadamu, Yo Han. Engkau anak yang amat baik, dan aku senang sekali mempunyai murid seperti engkau.” Wanita itu memegang tangan Yo Han dan membelai tangan itu.
Merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus itu dengan lembut membelai-belai tangannya, kemudian bagaikan laba-laba jari-jari tangan itu merayap naik di sepanjang lengannya, Yo Han merasa geli dan juga aneh. Jantungnya lalu berdebar tegang dan dengan gerakan lembut dia pun menarik lengannya yang dibelai itu.
“Subo, apakah Subo tidak lapar?” Mendadak dia bertanya dan pertanyaan itu sudah cukup untuk membuyarkan gairah yang mulai membayang di dalam benak Ang-I Moli. Ia pun terkekeh genit.
“Hi-hik, bilang saja perutmu lapar, sayang. Nah, buka buntalanku itu, di situ masih ada roti kering dan daging kering, juga seguci arak.”
Mendapatkan kesempatan untuk melepaskan diri dari belaian gurunya yang baru itu, Yo Han cepat-cepat bangkit dan mengambil buntalan pakaian gurunya, lalu mengeluarkan bungkusan roti dan daging kering, beserta seguci arak yang baunya keras sekali. Dia menaruh semua itu di depan Ang-I Moli dan ketika merasakan betapa roti dan daging kering itu keras dan dingin, dia pun berkata,
“Subo, aku hendak mencari kayu bakar dan air.”
“Ehh? Untuk apa? Makanan sudah ada, minuman juga sudah ada.”
“Akan tetapi roti dan daging itu keras dan dingin, Subo. Kalau dipanaskan dengan uap air tentu akan menjadi hangat dan lunak. Juga aku lebih suka minum air dari pada arak. Ini aku membawa panci untuk masak air, Subo,” katanya sambil mengeluarkan sebuah panci dari dalam buntalan pakaiannya.
Ang-I Moli memandang dan tersenyum. Ia semakin tertarik kepada Yo Han dan ia harus bersikap manis untuk bisa menundukkan hati perjaka remaja itu. Pemuda ini tidak mau menjadi muridnya dalam arti yang sesungguhnya. Maka ia harus dapat memanfaatkan pemuda itu bagi kesenangan dan keuntungan dirinya sendiri.
Seorang perjaka remaja yang memiliki tubuh sebaik itu akan menguntungkan sekali bagi kewanitaannya. Akan membuat ia awet muda dan kuat, juga hawa murni di tubuh muda itu akan dapat dihisapnya dan dapat menambah kekuatan tenaga dalam di tubuhnya. Selain itu, cita-citanya untuk menguasai sebuah ilmu rahasia yang selama ini ditunda-tundanya, kini akan dapat diraihnya dengan mudah!
Untuk dapat menguasai ilmu rahasia itu, ia harus dapat menghisap darah murni selosin orang perjaka yang memiliki darah yang bersih dan badan yang sempurna. Kini ia telah mendapatkan Yo Han dan anak ini sudah lebih dari cukup, bahkan jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan selosin orang pemuda remaja biasa!
“Baiklah, engkau boleh pergi mencari air dan kayu bakar. Akan tetapi cepat kembali. Hari telah sore dan sebentar lagi akan gelap,” katanya halus dan ramah.
“Baik, Subo.”
Yo Han berlari keluar dari kuil itu. Dia tidak tahu bahwa Ang-I Moli membayanginya dari jauh. Wanita ini tidak ingin kehilangan Yo Han, maka begitu anak itu berlari keluar, dia pun menggunakan ilmu kepandaiannya dan mengikutinya tanpa diketahui oleh Yo Han. Bagi seorang seperti Ang-I Moli Tee Kui Cu, tidak mungkin ada orang di dunia ini yang benar-benar jujur dan setia sehingga dapat dipercaya sepenuhnya!
Sejak kecil wanita ini hidup di dalam lingkungan dunia hitam, berkecimpung di dalam kesesatan, di dalam suatu masyarakat di mana kata jujur dan setia sudah tidak dikenal lagi, di mana segala cara dihalalkan demi keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu, ia pun tidak dapat percaya sepenuhnya kepada Yo Han.
Ia tidak ingin kehilangan Yo Han yang baginya sekarang menjadi amat penting. Ia takut kehilangan pemuda itu, takut pemuda itu melarikan diri atau dilindungi orang lain. Juga ia hendak menguji sampai di mana pemuda itu mampu mempertahankan kejujuran dan kesetiaannya.
Ang-I Moli tidak tahu bahwa sesungguhnya ia telah menemukan seorang pemuda yang luar biasa, yang berbeda dengan pemuda-pemuda lain. Di dalam batin Yo Han belum pernah terdapat pamrih yang bermacam-macam, bahkan dia tidak mengenal itu.
Yo Han menghadapi segala sesuatu yang terjadi sebagai apa adanya, tidak pernah dia membuat gagasan atau rekaan macam-macam. Dia hanya melihat kenyataan yang ada untuk dihadapinya secara spontan, dia tidak pernah membuat rencana dan akal demi kepentingan diri sendiri.
Ia melihat kenyataan bahwa suhu dan subo-nya tak menghendaki dia di rumah mereka, dengan alasan agar puteri mereka jangan sampai kelak meniru sikap dan pendiriannya. Dia tahu bahwa demi kebaikan keluarga suhu-nya, dia harus menyingkir, menjauhkan diri dari mereka. Oleh karena itulah dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan mereka yang sesungguhnya amat dia sayangi.
Kemudian, karena ia harus menyelamatkan Sian Li, ia telah berjanji kepada Ang-I Moli untuk mengikuti wanita itu sebagai muridnya. Janjinya itu akan dipegangnya dengan teguh. Dia tidak akan melarikan diri karena dia pun sama sekali tidak pernah merasa takut kepada Ang-I Moli. Dia belum mengenal benar orang macam apa adanya Ang-I Moli, gurunya yang baru itu.
Bukan main senang dan lega rasa hati Ang-I Moli yang membayangi Yo Han, ketika melihat bahwa sedikit pun anak itu tidak memperlihatkan sikap ingin melarikan diri. Dia mengumpulkan kayu bakar, kemudian menemukan sumber air dan mengisi pancinya penuh air, setelah itu dia kembali ke kuil tanpa ragu-ragu. Ketika Yo Han memasuki kuil, Ang-I Moli tentu saja sudah lebih dahulu berada di tempat semula, duduk bersila sambil tersenyum manis.
“Aihh, cepat juga engkau mendapatkan air dan mengumpulkan kayu kering, Yo Han,” pujinya, kemudian dia membantu muridnya membuat api unggun dan memasak air di panci.
Setelah roti dan daging kering dipanasi dengan uap air, mereka lalu makan roti dan daging yang sudah menjadi lunak dan juga hangat itu, yang memang terasa jauh lebih enak dari pada kala碌 dimakan keras dan dingin. Dengan gembira sekali Ang-I Moli makan roti dan daging kering sambil sesekali minum arak, sedangkan Yo Han hanya minum air yang sudah dimatangkan.
Setelah makan kenyang, mereka duduk-duduk dekat api unggun. Sementara itu, malam telah tiba. Api unggun itu sangat menolong mereka mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Setelah duduk termenung di dekat api unggun, Yo Han mengeluh. Sambil mengangkat muka memandang wajah subo-nya yang sejak tadi memperhatikannya tanpa bicara, dia berkata, “Subo, sekarang aku merasa betapa aku kehilangan kitab-kitab itu. Biasanya, di waktu malam begini aku tentu membaca kitab. Akan tetapi sekarang, kitab-kitab itu jauh di rumah Suhu dan Subo, dan di sini aku tidak dapat membaca apa-apa.”
Wanita itu tersenyum. “Jangan kau khawatir, Yo Han. Setelah tiba di rumah, aku akan mencarikan kitab bacaan untukmu.”
“Subo juga mempunyai kitab-kitab bacaan?” Yo Han memandang dengan sinar mata gembira.
“Akan aku carikan untukmu. Apa sih sukarnya mencari kitab-kitab itu? Akan aku carikan sebanyaknya untukmu. Aku sayang padamu Yo Han, dan kuharap engkau pun sayang kepadaku dan akan menuruti semua keinginanku.”
“Subo baik kepadaku, mengapa aku tidak sayang? Dan tentu saja aku akan menuruti semua keinginan Subo. Subo, bolehkah aku tidur dulu? Perjalanan hari ini yang tidak melalui air lagi, berjalan kaki sehari penuh, amat melelahkan badan dan aku ingin tidur.” Yo Han lalu merebahkan dirinya miring di sudut ruangan itu, di seberang api unggun, terpisah dari subo-nya.
Ang-I Moli tersenyum. “Yo Han, jangan lupa lagi. Apa yang harus kau lakukan sebelum tidur?”
Yo Han juga tersenyum, lalu bangkit dan membawa air ke bagian belakang kuil untuk membersihkan mulutnya. Pada malam pertama mereka melakukan perjalanan, masih berperahu, subo-nya yang baru ini telah memberi sebuah pelajaran tentang kebersihan kepadanya, yaitu keharusan membersihkan mulut sewaktu akan tidur.
”Lihat gigiku ini,” demikian kata subo-nya sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi. “Belum ada sebuah pun yang rusak atau tanggal, padahal banyak orang seusiaku sudah hampir kehabisan giginya. Ini hasil menjaga kebersihan. Bukan saja hasilnya gigi menjadi bersih dan utuh, juga kesehatanku menjadi amat baik karena hampir semua penyakit datangnya lewat mulut. Cara membersihkan mulut dan gigi yang paling baik adalah membersihkannya setiap kali kita hendak tidur. Hal ini harus menjadi kebiasaanmu semenjak malam ini, Yo Han!” Demikianlah Ang-I Moli memberi pelajaran tentang kesehatan dan kalau dia terlupa, seperti pada malam ini, Ang-I Moli selalu memperingatkannya.
Pelajaran kesehatan yang agaknya amat sederhana ini sesungguhnya menguntungkan sekali dan alangkah baiknya bagi Yo Han. Biasanya orang meremehkannya. Padahal, kebiasaan membersihkan mulut di waktu hendak tidur merupakan satu di antara usaha penjagaan kesehatan yang paling baik dan paling mudah!
Tidak lama kemudian, Yo Han sudah tidur pulas di atas rumput kering. Dia tidak tahu bahwa semenjak tadi Ang-I Moli sudah berpindah tempat di dekatnya dan kini wanita itu duduk bersila di sebelahnya, tiada hentinya mengamati wajahnya yang tidur nyenyak, di bawah sinar api unggun yang membuat wajahnya menjadi kemerahan.
Aku harus mulai sekarang juga, pikir wanita itu. Lebih cepat ia dapat menguasai Yo Han, lebih baik. Dengan lembut tangannya meraba wajah pemuda itu, membelai dagu dan leher, lalu membelai semua tubuh Yo Han. Pemuda remaja itu menggeliat dalam tidurnya dan Ang-I Moli menarik tangannya.
Anak ini amat luar biasa, pikirnya sambil menahan gairah yang sudah mulai membakar dirinya. Mungkin saja dia akan menolak keras, bahkan melawan dan tak mau menyerah biar diancam bagaimana pun juga. Keberaniannya memang luar biasa. Kalau terjadi hal seperti itu, tentu amat merugikan dirinya. Kalau ia menggunakan paksaan, anak ini akan dapat mati sebelum ia memperoleh hasil yang memuaskan.
Ia harus dapat menghisap kemurnian anak ini sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh Yo Han. Ia akan memberi makanan dan minuman yang mengandung obat penguat badan dan akhirnya, semua hawa murni dan darah murni itu akan berpindah ke tubuhnya tanpa diketahui oleh pemuda remaja itu, atau kelak diketahui kalau sudah terlambat dan pemuda yang kehabisan darah dan hawa murni itu akan tewas pula.
Dan ia akan mampu melatih diri dengan ilmu rahasia itu! Ia akan menjadi seorang yang sukar dicari tandingnya! Ia akan dapat merajai dunia persilatan dengan ilmunya itu.
Kembali ia mengamati wajah Yo Han yang masih tidur nyenyak. Ahh, mengapa ia begitu bodoh? Kalau membujuk anak ini, agaknya ia akan gagal total. Anak ini bukan seorang anak yang mudah dibodohi atau dibujuk halus, atau pun yang mudah ditundukkan dengan ancaman atau siksaan. Padahal, ia menghendaki agar dia menyerahkan diri dengan suka rela! Dengan demikian maka hasilnya akan lebih baik lagi bagi dirinya.
Dan satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan sihirnya! Mengapa ia lupa akan kepandaiannya itu? Ia pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw dan kini ilmu sihirnya sudah lebih dari kuat untuk mempengaruhi seorang bocah! Orang dewasa pun kalau tidak memiliki sinkang yang kuat akan mudah ia tundukkan dengan kekuatan sihirnya. Apa lagi pemuda remaja yang lemah ini!
Ang-I Moli yang duduk bersila menghadapi Yo Han itu lalu membuat guratan-guratan dengan telunjuk kanannya, kemudian mulutnya berkemak-kemik, matanya terpejam. Ia membaca semacam mantera untuk mulai mempergunakan ilmu sihirnya untuk menyihir dan menguasai semangat Yo Han yang masih tidur nyenyak.
Setelah membaca mantera, ia lalu membuka kedua matanya yang mengeluarkan sinar aneh menatap wajah Yo Han. Juga kedua tangannya kini digerakkan dengan aneh, jari tangannya terbuka seperti cakar, dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak, kedua tangan itu diputar-putar sekitar kepala dan tubuh Yo Han. Kembali mulutnya berkemak-kemik, kini mengeluarkan bisikan yang mendesis-desis.
“Yo Han, engkau telah berada dalam kekuasaanku, seluruh semangat dan kemauanmu tunduk padaku. Jika nanti engkau kusuruh bangun, engkau akan tunduk dan menyerah padaku penuh kepasrahan, engkau akan menganggap aku sebagai wanita paling cantik yang kau kasihi, engkau akan dibakar gairah birahi dan engkau akan menuruti segala kehendakku dengan gembira. Kemauanmu akan lemah dan lembut bagaikan domba, gairah birahimu akan bangkit setangkas harimau. Engkau akan selalu berusaha untuk menyenangkan hatiku, dengan mentaati semua perintahku, hanya aku satu-satunya orang yang kau kasihi, kau taati...” Ia lalu menutup bisikan mendesis itu dengan tiupan dari mulutnya ke arah muka Yo Han tiga kali.
“Yo Han... Yo Han... Yo Han... bangunlah engkau, sayang!” Dia mengguncang pundak pemuda itu, menggugahnya.
Yo Han adalah seorang anak yang memiliki kepekaan luar biasa. Sejak kecil, di waktu dia tidur, jika ada sesuatu yang tidak wajar, sedikit suara saja sudah cukup menggugah dirinya dari tidur pulas. Maka begitu Ang-I Moli menyentuh pundaknya ia pun terbangun, membuka kedua matanya, tetapi tidak seperti biasanya, dia tidak segera bangkit duduk, namun memandang kosong ke depan, seperti orang melamun, seperti melihat sesuatu yang amat menarik hati.
Dan memang dia merasa melihat sesuatu yang amat aneh. Dia merasa seolah kaki dan tangannya terbelenggu, juga suaranya lenyap bagaikan gagu, dan dirinya hanyut oleh gelombang samudera, semakin ke tengah dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Kemudian ia merasa ada kekuatan yang menariknya ke tepi, bahkan ia seperti sedang menunggang gelombang, makin dekat ke tepi, lalu kaki tangannya yang tadinya seperti terbelenggu itu terlepas bebas, dan mulutnya dapat bersuara lagi. Dia berenang sekuat tenaga ke tepi, dan berhasil mendarat di pantai.
“Apa... apa yang terjadi padaku? Ya Tuhan, apa yang terjadi...?”
Suara ini pun seperti keluar dengan sendirinya, dari balik perasaan hatinya yang diliputi keheranan. Dan begitu dia menyebut nama Tuhan. Semua itu pun lenyap dan seperti orang bangkit dari mimpi buruk, dia kini duduk dan melihat bahwa di depannya duduk Ang-I Moli yang bersila.
Melihat pemuda remaja itu telah bangun duduk, Ang-I Moli tersenyum manis, merasa yakin bahwa sihirnya telah mengena dan telah menguasai anak itu, walau pun ketika Yo Han menyebut Tuhan tadi hatinya merasa amat tidak enak.
“Yo Han, engkau sayang padaku, bukan?” Ia menguji.
Yo Han memandang wajah subo-nya dengan heran, lalu menjawab lirih, “Tentu saja aku sayang padamu, Subo. Kenapa Subo menanyakan hal itu dan membangunkan aku?”
“Hemmm, anak tampan. Aku ingin engkau membuktikan kasih sayangmu padaku. Nah, kesinilah, Yo Han, peluklah aku… ciumlah aku,” katanya dengan senyum memikat dan nada suara memerintah.
Akan tetapi, kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hatinya! Anak itu tidak bergerak menuruti perintahnya, bahkan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata bersinar marah!
“Subo, apa artinya ini? Subo menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak patut!”
Tentu saja Ang-I Moli terkejut. Bukankah sihirnya tadi sangat kuat dan anak ini sudah berada di dalam cengkeraman ilmu sihirnya? Kenapa sekarang dia berani membantah dan menolak perintahnya?
“Yo Han! Aku sayang padamu dan engkau pun sayang padaku. Apa salahnya kalau engkau memelukku dan menciumku untuk menyatakan kasih sayangmu itu?”
“Tapi aku bukan anak kecil lagi yang pantas dipeluk cium, Subo! Aku seorang pemuda yang sudah berusia dua belas tahun, menuju ke masa remaja!”
Sekarang Ang-I Moli merasa penasaran bukan main. Semua ucapan Yo Han itu tidak menunjukkan bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir! Semua jawaban Yo Han itu mengandung perlawanan, bukan ketaatan.
Ia pun menguji lagi dan dengan suara nyaring mengandung perintah dia berseru, “Yo Han, bangkitlah berdiri!”
Dan anak itu pun segera bangkit berdiri. Begitu taat!
“Tambahkan kayu pada api unggun!” perintahnya pula.
Tanpa menjawab, dan sedikit pun tidak membantah, Yo Han menghampiri api unggun, memilih beberapa potong kayu bakar, kemudian menambahkannya kepada api unggun sehingga api kini membesar.
“Yo Han, sekarang duduklah kembali ke sini, di depanku!”
Sekali lagi Yo Han mentaati perintah itu dan menghampiri subo-nya, lalu duduk di depan subo-nya. Begitu taat dan sedikit pun tidak membantah. Mereka duduk bersila saling berhadapan, dekat sekali sehingga Yo Han dapat mencium bau harum minyak bunga yang semerbak dari pakaian dan rambut wanita itu.
Melihat betapa Yo Han selalu taat, Ang-I Moli menjadi semakin heran dan penasaran. Kenapa sekarang anak itu begitu taat seolah sihirnya termakan olehnya?
“Yo Han…, kau rabalah kedua pipiku dan daguku dengan kedua tanganmu,” kembali ia memerintah.
Yo Han hanya memandang heran saja, akan tetapi kedua tangannya bergerak dan dia pun meraba-raba kedua pipi yang halus dan dagu meruncing itu.
“Teruskan, raba leher dan dadaku...,” kata pula Ang-I Moli, kini suaranya mulai gemetar oleh bangkitnya kembali gairahnya.
Akan tetapi sekarang, kedua tangan itu bukan turun ke leher dan dadanya, melainkan turun kembali ke atas pangkuan Yo Han. Anak itu sama sekali tidak melaksanakan perintahnya.
“Yo Han, aku perintahkan, cepat kau raba dan belai leher dan dadaku dengan kedua tanganmu!” ia membentak, mengisi suaranya dengan kekuatan sihir sepenuhnya.
Tetapi, jangankan anak itu melaksanakan perintahnya, bahkan kini Yo Han memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, heran dan juga penasaran.
“Subo, kenapa Subo mengeluarkan perintah yang aneh-aneh? Maaf, aku tidak dapat memenuhi perintah itu.”
Barulah kini Ang-I Moli terkejut. Jelas bahwa anak ini tidak berada di bawah pengaruh sihirnya! Tidak pernah! Kalau tadi nampak dia mentaati hanya karena taat yang wajar, bukan pengaruh sihir sama sekali. Ia pun menjadi marah.
“Yo Han, bukankah engkau sudah berjanji akan mentaati semua perintahku? Mengapa sekarang engkau membantah dan tak memenuhi perintahku yang amat sederhana dan mudah ini?”
“Subo, sudah kukatakan bahwa semua perintah Subo akan kutaati, kecuali bila perintah itu untuk melakukan sesuatu yang jahat dan tidak benar. Perintah Subo itu tidak baik, karenanya maka aku tidak mau melaksanakannya. Perintahkan aku mengerjakan yang pantas, betapa berat pun pasti akan kutaati, Subo.”
“Yo Han,” kini Ang-I Moli hendak mendapatkan kepastian dan ia tidak mau membuang waktu sia-sia dengan membawa anak itu jauh-jauh ke tempat tinggalnya untuk kelak tidak tercapai pula maksudnya. “Engkau harus mentaati semua perintahku, kalau tidak, untuk apa aku mempunyai murid yang membandel dan membantah?”
“Untuk perintah yang tidak pantas, terpaksa aku menolak, Subo.”
Wanita yang sudah terbakar oleh gairah nafsunya sendiri itu, sama sekali tidak tahu bahwa Yo Han adalah seorang anak yang aneh, memiliki sesuatu dalam dirinya yang oleh manusia pada umumnya akan dianggap aneh.
Dia tidak pernah mempelajari ilmu silat dengan latihan, kecuali hanya menghafal semua teorinya saja, dan dia pun tidak pernah belajar ilmu sihir. Namun, kekuatan sihir yang digunakan Ang-I Moli terhadap dirinya, sama sekali tidak mempan, sama sekali tidak mempengaruhinya, hanya mendatangkan mimpi bahwa dia hampir dihanyutkan ombak samudera. Kekuatan sihir Ang-I Moli bagaikan arus air sungai yang menerjang batu, mengguncang sedikit saja lalu lewat tanpa mampu menghanyutkan batu itu.
Karena kini merasa yakin bahwa anak itu tidak lagi dapat dipengaruhinya dengan sihir, Ang-I Moli menjadi penasaran dan tak sabar lagi. Ia lalu menanggalkan pakaian luarnya, begitu saja di depan mata Yo Han.
Anak ini mula-mula memandang dengan mata terbelalak heran. Akan tetapi pandang matanya lalu menunduk ketika dia melihat tubuh subo-nya hanyalah terbungkus pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang.
Melihat betapa agaknya anak itu tidak dapat dipengaruhi oleh kecantikan dan keindahan tubuhnya, maklum karena usianya pun baru dua belas tahun, belum dewasa, Ang-I Moli lalu merangkul dan menciumi Yo Han. Diterkamnya anak itu bagaikan seekor harimau menerkam kelinci!
“Subo, apa yang Subo lakukan ini?! Subo, lepaskan aku! Ini tidak boleh, tidak benar, tidak baik...!”
Akan tetapi betapa pun dia meronta, tetap saja dia tidak berdaya menghindarkan diri. Yo Han kalah tenaga dan tak mampu bergerak lagi saat wanita itu menerkamnya sehingga dia terguling dan dia lalu ditindih, digeluti, didekap dan diciumi. Yo Han hanya dapat memejamkan matanya dan mulutnya berkemak-kemik dengan sendirinya.
“Ya Tuhan... ya Tuhan...” Dia hanya menyebut Tuhan berulang-ulang.
Semenjak Yo Han mengenal akan kekuasaan Yang Maha Kuasa melalui bacaan dalam kitab-kitab, dia yakin benar bahwa sumber segala kekuatan dan kekuasaan adalah satu, tunggal dan Maha Kuasa. Keyakinan ini yang selalu membuat Yo Han secara otomatis menyebut Tuhan setiap kali terjadi sesuatu menimpa dirinya. Hal ini mungkin karena dia sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi sehingga dia dapat menyerahkan diri sepenuhnya dan seikhlasnya kepada Tuhan.
Ang-I Moli menjadi penasaran dan marah bukan main. Anak laki-laki itu sama sekali tak melawan lagi, sama sekali tidak bergerak sehingga seolah-olah dia sedang menggumuli sebuah batu saja. Dan bisikan-bisikan yang menyebut Tuhan berulang-ulang itu sangat mengganggunya, bahkan api gairah birahi yang tadi membakar dirinya perlahan-lahan menjadi dingin. Api gairah itu hampir padam.
“Engkau... engkau tidak mau melayani hasratku...?” tanya Ang-I Moli dengan suaranya yang terengah-engah.
Yo Han tidak menjawab, tubuhnya telentang sedangkan pakaiannya awut-awutan. Dia menggeleng dengan tegas.
“Biar pun dengan ancaman mati? Engkau tetap tidak mau?”
“Mati di tangan Tuhan. Aku tidak mau melakukan hal yang tidak benar!” Jawab Yo Han, suaranya lirih namun tegas dan sepasang matanya bersinar-sinar.
“Plak! Plak!”
Dua kali Ang-I Moli menampar kedua pipi Yo Han sehingga kepala anak itu terdorong ke kanan kiri dan kedua pipinya menjadi merah. Ang-I Moli tidak ingin membunuhnya maka tamparan tadi pun menggunakan tenaga biasa saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri dan panas. Namun Yo Han tetap memandang dengan tabah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.
“Hemmm, hendak kulihat sekarang! Karena engkau harus dipaksa, maka engkau akan menderita. Salahmu sendiri! Nah, sekali lagi aku memberi kesempatan. Kalau engkau menuruti semua kehendakku, engkau akan hidup senang. Sebaliknya, bila engkau tetap menolak, aku juga bisa memaksamu dengan obat perangsang dan racun, dan akhirnya engkau pun akan menyerahkan diri kepadaku, hanya saja, engkau akan menderita dan mati!”
“Subo, dengan ancaman siksaan apa pun Subo tidak dapat memaksaku melakukan hal yang tidak benar. Aku tidak takut mati karena kematian berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku harus mati, aku pun akan menyerah dengan rela...”
“Cukup! Tidak perlu berkhotbah! Engkau mau atau tidak?”
“Subo, kuperingatkan Subo. Perbuatan Subo ini tidak benar dan berdosa. Kelak Subo akan menerima hukuman dari Tuhan!”
“Tutup mulutmu!”
Tangan Ang-I Moli bergerak, lalu jari-jari tangannya menotok jalan darah di pundak dan pinggang Yo Han.
Tubuh Yo Han terkulai, tidak mampu bergerak lagi. Hanya kedua matanya yang masih terbelalak memandang wajah wanita itu dengan penuh teguran.
“Subo dan aku adalah guru dan murid, tidak sepatutnya...”
“Tukkk!”
Kembali wanita itu menotok leher dan suara Yo Han menghilang. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara.
“Hi-hik, bocah cerewet!” Wanita itu kini terkekeh-kekeh dan dalam pandangan Yo Han wanita itu telah berubah sama sekali.
Tadinya dia melihat wanita itu sebagai seorang wanita yang berwajah cantik, bersuara lembut dan peramah. Akan tetapi kini, sepasang mata itu berubah laksana mata iblis, juga senyumnya menyeringai mengerikan, suaranya agak parau dan mendesis, sedang wajahnya yang berbedak tebal itu seperti topeng.
“Hi-hi-hik, kita bukan guru dan murid lagi, melainkan seorang wanita dan seorang pria! Dan engkau, mau tidak mau, harus menyerahkan hawa dan darah murnimu kepadaku. Sampai tetes yang terakhir! Dan engkau akan menjadi seperti seekor lalat yang dihisap habis oleh laba-laba, sedikit demi sedikit darahmu akan kuhisap sampai tinggal tubuh yang mengering tanpa darah. He-he-heh!” Mulutnya berliur membayangkan kenikmatan dan keuntungan yang akan diperolehnya dari anak ini.
Kalau saja Yo Han mau menuruti semua kehendaknya, atau kalau saja anak itu dapat dikuasainya dengan sihir, tentu ia akan dapat memperoleh kenikmatan yang lebih lama. Ia akan menghisap darah murni anak itu sedikit demi sedikit, menikmatinya dari sedikit sampai akhirnya darah murni itu habis.
Sekarang terpaksa ia harus menggunakan paksaan dengan racun perangsang. Ia akan menghisap darah itu dengan paksa. Mungkin anak itu hanya akan bertahan dua tiga hari saja. Ia akan menghisapnya sampai habis dan akan tinggal sampai dia menyelesaikan pekerjaan itu di dalam kuil tua ini. Paling lama tiga hari lagi dan ia akan berhasil. Ia akan siap untuk melatih diri dengan ilmu rahasia itu!
Melihat api unggun mulai mengecil karena kehabisan kayu bakar, Moli lalu menambah kayu, dan api unggun membesar kembali. Sambil menyeringai dan bersenandung kecil menyatakan kegembiraan hatinya, wanita itu lalu mengambil sebuah bungkusan kain dari dalam buntalan pakaiannya, lalu membuka bungkusan itu dan mengeluarkan tiga butir pel dari dalam botol hijau. Ia duduk dekat api unggun saat memilih isi bungkusan. Sisa obat itu dia bungkus kembali dan tiga butir pel berada di tangannya.
Yo Han mengikuti semua gerakan wanita itu dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya, maka seperti biasanya dia lakukan, dalam keadaan seperti itu, penyerahan dirinya kepada kekuasaan Tuhan menjadi semakin kuat.
Dia merasa yakin bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan! Kalau memang Tuhan menghendaki bahwa dia harus mati di tangan wanita ini, apa boleh buat. Dia hanya dapat menerimanya dengan pasrah karena maklum sedalamnya bahwa segalanya adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Karena kepasrahan yang mutlak ini, sedikit pun tidak ada rasa takut.
Rasa takut adalah perkembangan dari si-aku yang diciptakan oleh pengalaman masa lalu melalui pikiran. Si AKU yang merasa terancam menimbulkan rasa takut. Takut kalau kesenangan yang sudah berada di tangan itu terlepas dan hilang. Takut jika kesusahan akan menimpa dirinya, takut sakit, takut mati.
Si AKU ingin selalu di atas, ingin selalu menonjol, ingin selalu menjadi yang terpenting, terbesar, terbaik. Rasa takut akan timbul jika si AKU merasa terancam kepentingannya, terancam keadaannya, takut kalau dirinya akan kehilangan arti, takut, kalau dirinya akan lenyap oleh kematian, takut kehilangan segala yang dimilikinya, yang menjadikan dirinya penting dan berarti. Takut akan kehilangan harta, kedudukan, kehormatan, nama, takut kehilangan orang-orang yang dikasihi karena mereka yang dikasihinya itu menimbulkan kesenangan. Pada hakekatnya, si AKU yang sesungguhnya hanyalah khayalan dari sang pikiran yang menimbulkan rasa takut.
Yo Han dalam keadaan terancam bahaya maut, terancam siksa dan derita, tetap tidak mengenal rasa takut sebab ia sudah menyerahkan segalanya, dengan sebulat batinnya, kepada kekuasaan Tuhan! Si aku dalam dirinya tidak memegang peran lagi dan sebagai gantinya, semua diri seutuhnya, badan mau pun batin, telah diserahkan kepada Tuhan dan karenanya, kekuasaan Tuhan sajalah yang membimbingnya dan menjaganya.
Moli memasukkan tiga butir pel kehijauan itu ke dalam cawan araknya, lalu mengambil guci dan hendak menuang isi guci ke dalam cawan itu. Akan tetapi segera ditahannya.
“Heh-heh, aku lupa! Engkau tidak suka arak. Kalau dicampur arak akan sukar memasuki perutmu. Sebaiknya dengan air saja. Bukankah begitu, Yo Han?”
Akan tetapi anak itu tidak menjawab. Pada saat itu, semua panca indranya juga bekerja sendiri, tidak lagi dikemudikan oleh hati dan akal pikiran. Karena itu, dia mendengar dan melihat tanpa penilaian, tanpa pendapat. Hanya mendengar dan melihat saja seperti apa adanya, dan karena pikirannya tidak bekerja menimbang-nimbang lagi, maka dia tidak merasa takut. Dia bagaikan seorang bayi di dalam gendongan ibunya, tidak takut apa-apa dan merasa aman!
Demikianlah keadaan seorang yang berada dalam ‘gendongan’ kekuasaan TUHAN yang meliputi seluruh alam maya pada ini, meliputi luar dan dalam, segenap penjuru dan di dalam apa saja yang nampak dan tidak nampak, di dalam atau pun di luar dunia, di mana saja yang terjangkau pikiran mau pun yang tak terjangkau. Jika sudah terbimbing oleh kekuasaan seperti itu, berada dalam gendongan kekuasaan seperti itu, apa lagi yang dapat menimbulkan rasa takut?
“Heh-heh-heh-heh!” Moli menuangkan air ke dalam cawan, lalu menggunakan sumpit untuk menghancurkan tiga butir pel di dalam cawan, melarutkannya sampai rata betul. Sambil terkekeh ia lalu mendekati Yo Han yang masih memandang dengan sinar mata yang terang dan tenang.
“Hi-hi-hik, Yo Han. Dengar baik-baik. Tiga butir ini mengandung tiga macam racun yang amat kuat. Pertama, racun perampas ingatan! Begitu meminumnya, engkau akan lupa segala. Semua ingatan tentang masa lampau akan lenyap dan terlupakan. Enak sekali, bukan? Racun kedua mengandung racun perangsang. Begitu meminumnya, engkau lantas menjadi seekor kuda jantan dalam birahi! Hi-hi-hik, menyenangkan aku benar! Engkau tak akan pernah mengenal puas dan engkau harus menyalurkan terus-menerus hasrat kejantananmu itu sampai tubuhmu yang tidak kuat lagi. Dan racun ke tiga adalah obat kuat, agar tubuhmu kuat melakukan penyaluran hasratmu itu sampai habis, hi-hik! Sampai darah murnimu terhisap habis olehku, hawa murni di dalam tubuhmu tersedot habis dan menjadi milikku, hi-hi-hik!”
Yo Han tidak merasa ngeri mendengar semua itu. Yang ada hanya keheranan mengapa Ang-I Moli kini berubah seperti ini! Seperti bukan manusia lagi. Sekarang baru dia tahu mengapa wanita ini dijuluki Ang-I Moli (Iblis Betina Berpakaian Merah). Kiranya memang wataknya bagai iblis betina, seperti bukan manusia lagi, penuh kelicikan dan kekejaman luar biasa.
“Bukalah mulutmu, sayang. Biar kutuangkan minuman yang sedap ini ke dalam perutmu melalui mulut. Bukalah mulutmu,” kata Moli dengan suara manis merayu.
Tentu saja Yo Han tak mau membuka mulutnya. Ia memang masih bisa menggerakkan mulut karena yang tak dapat digerakkan hanya kedua kaki dan tangan saja. Akan tetapi dia tidak sudi menuruti perintah manusia yang sudah menjadi iblis itu.
“Buka mulutmu kataku!” Sekarang Moli membentak marah, akan tetapi Yo Han hanya memandang dengan mata melotot, bahkan dia merapatkan kedua bibirnya.
“Anak bandel!” Moli berkata, lalu tangan kirinya menangkap rahang Yo Han dan sekali jari-jari tangannya menekan, mulut Yo Han terbuka lebar tanpa dapat ditahannya lagi. Bahkan kini yang memegang rahang Yo Han hanya tiga jari karena jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri Moli sudah di julurkan ke atas dan menekan lubang hidung Yo Han.
Anak itu terpaksa menarik napas dari mulut karena hidungnya tertutup dan ketika Moli menuangkan air dalam cawan yang sudah bercampur tiga butir pil yang sudah larut, dia tidak dapat memuntahkannya keluar dan cairan itu pun tertelan dan masuk ke dalam perutnya.
“Hi-hi-hik, racun itu sudah masuk perutmu, Yo Han. Engkau akan segera tertidur karena pengaruh racun perampas ingatan, akan tetapi besok pagi-pagi bila engkau terbangun, engkau akan jinak dan penurut seperti domba, akan tetapi juga tangkas dan kuat seperti harimau. Hi-hik, sungguh akan menyenangkan sekali. Sekarang, kau tidurlah, sayang...” berkata demikian, Moli membebaskan totokan jalan darah Yo Han sehingga anak itu mampu bergerak kembali.
Yo Han menggerak-gerakkan kaki tangannya yang terasa kaku dan nyeri-nyeri, lalu bangkit duduk memandang kepada Moli dengan sinar mata penuh teguran.
“Bibi, engkau sendiri yang tadi mengatakan bahwa kita bukan guru dan murid lagi, maka aku tidak akan menyebutmu subo lagi. Bibi, engkau seorang manusia, mengapa engkau melakukan perbuatan yang lebih pantas dilakukan iblis? Ingatlah, Bibi, perbuatan yang jahat akan menghasilkan akibat yang buruk bagi dirimu sendiri…” Yo Han menghentikan ucapannya karena tiba-tiba saja dia merasa kantuk menyerangnya dengan hebat sekali. Tak tahan dia untuk tidak menguap.
Ang-I Moli terkekeh genit. “Memang orang menyebutku iblis, Yo Han. Orang menjuluki aku Ang-I Moli, kalau aku tidak bertindak seperti iblis, berarti julukanku itu tidak ada harganya dan kosong belaka, heh-heh-heh! Engkau sudah mulai mengantuk? Tidurlah sayang, tidurlah...!”
Wanita itu terkekeh-kekeh melihat Yo Han kini merebahkan diri miring di atas rumput kering dan segera pulas. Ia pun menambahkan lagi kayu bakar di perapian, dan turut merebahkan diri di dekat Yo Han, memeluk pemuda remaja itu dengan mesra. Ia sudah siap. Begitu Yo Han terbangun pada keesokan harinya dan racun-racun itu bekerja, ia sudah siap.
Karena ia pun lelah dan mengantuk, sebentar saja Moli pulas juga. Ia tidak tahu bahwa tidak lama kemudian api unggun itu padam dan hawa dingin menyusup tulang. Ia tidak terbangun, hanya merangkul lebih erat. Yo Han juga tidak pernah terbangun karena dia agaknya sudah terpengaruh oleh racun yang mulai bekerja di tubuhnya.
Karena sangat kecapaian dan tidur pulas sekali, Moli yang merangkul bahkan seperti menyelimuti tubuh Yo Han dengan tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa lewat tengah malam, ada sesosok bayangan hitam perlahan-lahan memasuki kuil tua yang kosong itu.
Bayangan itu ternyata seorang wanita yang berpakaian longgar, pakaian sutera kuning dengan kepala juga dikerudungi sutera kuning. Karena penerangan hanya datang dari bulan yang muncul lambat sekali, bulan yang tinggal sepotong, maka tidak dapat dilihat jelas wajah wanita berkerudung itu. Namun gerak-geriknya halus walau pun ringan dan cekatan.
Langkahnya tidak menimbulkan suara ketika ia memasuki kuil. Tangannya memegang sebatang kayu kering yang membara ujungnya. Ia mengayun kayu itu dan bara itu pun menyala kecil, cukup untuk menerangi sekelilingnya sejauh tiga empat meter. Akan tetapi ia menggunakan tangan kiri menutupi mukanya agar pandang matanya tidak silau oleh nyala api di ujung kayu itu. Dia memilih tempat, mencari bagian yang kering dan bersih, agaknya untuk melewatkan malam.
Bagian depan dan tengah kuil itu agaknya tidak memuaskan hatinya karena memang selain lantainya tidak begitu bersih, juga di bagian depan itu orang akan terserang angin karena terbuka. Di bagian dalam memang terlindung dari angin, akan tetapi tempat itu agak lembab.
Ia lalu mengayun lagi kayu yang nyalanya telah padam dan hanya tinggal membara. Sekali ayun, bara itu menyala kembali dan ia melangkah ke belakang. Diangkatnya kayu itu tinggi di atas kepala dan sekilas ia melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan itu, si perempuan hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang, si laki-laki yang masih remaja juga pakaiannya awut-awutan. Mereka itu tertidur nyenyak, perempuan merangkul laki-laki itu dengan erat sekali.
Ia menurunkan kayu dan nyala di ujung kayu itu pun padam. Ia lalu membalikkan tubuh dan kembali ke ruangan depan, bahkan tak mau tinggal di ruangan dalam karena terlalu dekat dengan ruangan belakang. Dinyalakannya kembali ujung kayu itu dengan ayunan tangannya, lantas dia pun mengumpulkan rumput kering dan menaburkannya di sudut ruangan depan itu. Setelah itu, ia memadamkan kembali nyala api dan duduk bersila.
Walau pun angin bertiup dan hawa dingin sekali, ia tidak kelihatan kedinginan. Bahkan nyamuk yang banyak beterbangan di situ hanya beterbangan di sekitarnya dan agaknya tidak ada yang mencoba untuk hinggap di mukanya, satu-satunya bagian tubuh yang nampak dan dapat digigit.
Entah apa yang menyebabkan nyamuk-nyamuk tidak berani hinggap di pipi atau leher itu. Agaknya harum cendana yang keluar dari tubuh itulah yang membuat nyamuk tidak berani mendekat. Atau mungkin juga bau hio berasap yang dibakar oleh wanita itu. Sebatang saja hio (dupa biting) yang nampaknya awet sekali, mengeluarkan asap yang harum.
Wanita itu duduk bersila dan memejamkan matanya setelah mulutnya mengomel lirih. “Omitohud... alangkah tega menodai tempat suci ini, sungguh pun kuil ini sudah tidak terpakai. Apakah mereka tidak dapat mencari tempat lain yang lebih baik dan tepat untuk bermain cinta? Omitohud...”
Akan tetapi, ia segera melupakan apa yang terlihat olehnya tadi dan sudah tenggelam dalam semedhi yang mendalam. Siapakah wanita ini?
Ia seorang wanita yang tidak muda lagi walau pun masih nampak cantik. Usianya sudah empat puluh tujuh tahun, rambutnya sudah berwarna dua. Akan tetapi rambut yang tidak tersisir rapi dan awut-awutan karena perjalanan jauh dan hembusan angin itu halus dan panjang, berkilau tanda sehat.
Rambut itu digelung secara aneh, tak mirip gelung orang daerah, lalu kepala itu ditutup kerudung sutera kuning. Wajahnya masih belum diganggu keriput walau pun garis-garis di antara kedua matanya menunjukkan bahwa ia seorang yang telah banyak mengalami pahit getir kehidupan di dunia. Sepasang matanya jeli dan tajam, lebar dan berwibawa.
Di antara dua alisnya terdapat titik merah, suatu kebiasaan di negerinya karena wanita ini berasal dari negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil yang terletak di sebelah selatan Tibet. Tubuhnya masih padat dan ramping, tanda bahwa selain sehat, juga wanita ini memiliki tubuh yang kuat dan terlatih.
Kalau ada orang Bhutan yang melihatnya, tentu orang itu akan bersikap amat hormat padanya. Hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak dan pakaiannya yang seperti pakaian pendeta itu menunjukkan kedudukannya yang cukup tinggi di Kerajaan Bhutan. Ia adalah seorang puteri! Seorang wanita ningrat keluarga dekat dari raja Bhutan.
Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita cantik ini bernama Gangga Dewi, seorang puteri dari Kerajaan Bhutan, atau lebih tepat lagi, ia masih cucu raja tua di Bhutan. Ibu Gangga Dewi adalah Puteri Syanti Dewi, puteri raja, sedang ayahnya adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dahulu berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, atau kemudian setelah menjadi duda dan sudah tua lalu menjadi seorang pendeta dan berjuluk Tiong Khi Hwesio.
Gangga Dewi lahir di Bhutan. Dia dilahirkan sesudah lebih dari sepuluh tahun ayahnya menikah dengan ibunya, lalu dia hidup sebagai seorang puteri di kerajaan itu. Ayahnya menjadi seorang panglima atau seorang penasihat perang. Sejak kecil dia pun menjadi gemblengan dari ayahnya, sampai dia dewasa dan kemudian menikah dengan seorang panglima muda Bhutan yang telah banyak membuat jasa.
Gangga Dewi hidup berbahagia dengan suaminya dan ia melahirkan dua orang anak. Akan tetapi, saat dua orang anaknya berusia belasan tahun, ibunya, yaitu Puteri Syanti Dewi, meninggal dunia karena penyakit tua. Ayahnya, Wan Tek Hoat, seperti berubah ingatan ketika Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya itu meninggal dunia.
Bagaikan orang gila Wan Tek Hoat tidak mau pulang dan tinggal dalam gubuk di dekat makam isterinya, seolah-olah dia ingin menemani isterinya yang sudah berada di dalam kuburan. Akhirnya seorang pendeta tua yang bijaksana dapat menyadarkan Wan Tek Hoat sehingga dia dapat menyadari kebodohannya, menggunduli kepala, mengenakan jubah pendeta dan mempelajari keagamaan, menjadi seorang hwesio (pendeta Buddhis berjuluk Tiong Khi Hwesio.
Kemudian ia meninggalkan Bhutan karena setelah isterinya meninggal dunia ia merasa terasing di Bhutan. Puteri tunggalnya, Gangga Dewi, telah menikah dan hidup bahagia dengan suaminya, yaitu seorang Bhutan asli. Maka dia pun pergi ke timur, kembali ke Tiongkok dan akhirnya berkunjung ke Istana Gurun Pasir sampai meninggal di sana bersama saudaranya seayah berlainan ibu, yaitu nenek Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu. Kisah itu dapat dibaca secara lengkap dalam ceritaKISAH SI BANGAU PUTIH.
Dia tidak sadar lagi bahwa dia bukan berlari menuju ke tepi sungai di mana adiknya tadi diculik orang, bahkan dia lari keluar dari kota Ta-tung dengan arah yang berlawanan dengan tepi sungai itu! Dia berlari terus sampai akhirnya dia tiba di tepi sungai lagi, akan tetapi bukan di tempat tadi Sian Li diculik orang.
Dan dia berlari terus, menyusuri sepanjang tepi sungai, ke atas. Setelah matahari naik tinggi, dia pun terguling ke atas lapangan rumput di tepi sungai dan langsung saja dia tertidur. Tubuhnya tidak kuat menahan karena dia berlari terus sejak tadi tanpa berhenti. Setelah dia terbangun, matahari sudah condong ke barat. Dan begitu bangun, dia ingat bahwa dia harus mencari Sian Li. Dia bangkit lagi dan kembali kedua kakinya berlari, tanpa tujuan akan tetapi makin mendekati sebuah bukit yang berada jauh di depan.
Dia tidak peduli ke mana kakinya membawa dirinya. Kesadarannya hanya satu, yakni bahwa dia harus dapat menemukan kembali Sian Li dan yang teringat olehnya hanyalah bahwa jika Tuhan memang menghendaki, ia pasti akan dapat mengajak Sian Li pulang! Keyakinan ini timbul semenjak dia kecil, sejak dia dapat membaca dan mengenal akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui bacaan.
Yang ada hanya kewaspadaan, yang ada hanya KEPASRAHAN. Tiada aku yang waspada, tiada aku yang pasrah. Selama ada ‘aku’, kewaspadaan dan kepasrahan itu hanyalah suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Aku adalah ingatan, aku adalah NAFSU dan aku selamanya berkeinginan, berpamrih.
Kalau NAFSU yang memegang kemudi, apa pun yang kita lakukan hanya merupakan cara mencapai sesuatu yang kita inginkan, dan karenanya mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Senang susah bersilih ganti, puas kecewa saling berkejaran, rasa takut atau khawatir selalu membayangi hidup. Takut kehilangan, takut gagal, takut menderita takut sakit, takut mati. Kegelisahan menghantui pikiran. Kepasrahan yang wajar, bukan dibuat-buat oleh si-aku, kepasrahan akan segala yang sudah, sedang dan akan terjadi, menyerah dengan tawakal sabar dan ikhlas terhadap kekuasaan TUHAN, berarti kembali kepada kodratnya.
Yo Han terus berjalan, kadang berlari mendaki bukit dan ketika dia tiba di lereng bukit, malam pun tiba. Dia melihat kuil tua itu, dan ketika dia menghampiri, dia melihat pula sinar api unggun dari dalam kuil. Ia memasuki ruangan itu dan... ia melihat Sian Li dan wanita berpakaian merah. Sian Li sudah tidur berselimut, dan wanita berpakaian merah itu berdiri dan menatapnya dengan sinar mata tajam!
Sejenak mereka berpandangan dan wanita itu terkekeh geli. “Ah, kiranya engkau? Bagai mana engkau dapat menyusulku ke sini? Dan mau apa engkau mengejar aku?”
Yo Han menarik napas panjang, terasa amat lega hatinya. Begitu dia dapat menemukan Sian Li, seolah dia baru bangun dari tidur yang penuh mimpi. Baru sekarang dia merasa betapa dingin dan lelah tubuhnya. Dengan kedua kaki lemas dia pun menjatuhkan diri, duduk di atas rumput kering, dekat api unggun.
“Bibi yang baik, kenapa engkau melakukan ini? Apa yang kau lakukan ini sungguh tidak baik, menyengsarakan orang lain dan juga amat membahayakan diri Bibi sendiri,” kata-katanya lirih namun jelas dan dia memandang ke arah api unggun, di mana lidah-lidah api merah kuning menari-nari dan menjilat-jilat.
Ang-I Moli juga duduk lagi bersila dekat api unggun, menatap wajah anak laki-laki itu dengan penuh keheranan dan keinginan tahu, juga kagum karena anak itu bersikap demikian tenang dan dewasa, bahkan begitu datang mengeluarkan ucapan lembut yang seperti menegur dan menggurui!
“Bocah aneh, apa maksud kata-katamu itu?” tanyanya, ingin sekali tahu selanjutnya apa yang akan dikatakan anak yang bersikap demikian tenang saja.
Bagaimana ia tidak akan merasa heran melihat seorang anak belasan tahun berani menghadapinya setenang itu, padahal anak itu mengejar ia yang melarikan adiknya? Orang dewasa pun, bahkan orang yang memiliki kepandaian pun, akan gemetar kalau berhadapan dengannya. Akan tetapi anak ini tenang saja, bahkan menegurnya.
“Bibi, kenapa engkau melarikan adikku Sian Li ini? Itu namanya menculik, dan itu tidak baik sama sekali. Bibi membikin susah ayah dan ibu anak ini, juga menyengsarakan aku yang menerima teguran. Apakah Bibi sudah berpikir baik-baik bahwa perbuatan Bibi ini sungguh keliru sekali?”
Tokoh kang-ouw yang di juluki Iblis Betina (Moli) itu bengong! Akan tetapi juga kagum akan keberanian anak ini, dan juga merasa geli. Alangkah lucunya kalau di situ hadir orang-orang kang-ouw mendengar ia ditegur dan diwejangi oleh seorang anak laki-laki yang berusia paling banyak dua belas tahun! Ia menahan kegelian hati yang membuat ia ingin tertawa terpingkal-pingkal, lalu bertanya lagi,
“Dan apa yang kau maksudkan dengan perbuatanku ini membahayakan diriku sendiri?”
“Bibi yang baik, engkau tidak tahu siapa anak yang kau larikan ini. Ayah dan ibunya kini mencari-carimu, ke mana pun engkau pergi, akhirnya mereka akan dapat menemukan dirimu dan kalau sudah begitu, siapa yang berani menanggung keselematanmu?”
Ang-I Moli tidak dapat menahan geli hatinya lagi. Dia tertawa terkekeh-kekeh sampai kedua matanya menjadi basah air mata. “Hi-hi-he-he-heh! Kau berani menggertak dan menakut-nakuti aku? Aku suka kepada Sian Li, aku mau mengambil sebagai anakku, sebagai muridku Aku tidak takut menghadapi siapa pun juga. Lalu engkau menyusulku ke sini mau apa?”
“Bibi, untuk apa membawa Sian Li yang masih kecil ini? Hanya akan merepotkanmu saja. Ia manja, bengal dan bandel, tentu hanya akan membuat Bibi repot dan banyak jengkel. Kalau Bibi membutuhkan seorang yang dapat membantu Bibi dalam pekerjaan rumah tangga atau mau mengambil murid, biarlah kugantikan saja. Jangan Sian Li yang masih terlalu kecil. Sebagai pengganti Sian Li, saya akan mengerjakan apa saja yang Bibi perintahkan. Akan tetapi Sian Li harus dikembalikan kepada Suhu dan Subo.”
“Oooo, jadi ayah ibu anak ini adalah suhu dan subo-mu? Sian Li bukan adikmu sendiri?”
“Ia adalah sumoi-ku (adik seperguruan), Bibi.”
“Hemm, menurut engkau, jika suhu dan subo-mu dapat mengejarku, aku berada dalam bahaya. Begitukah?” Ia tersenyum mengejek. Tentu saja ia tidak takut akan ancaman orang tua anak perempuan yang diculiknya.
“Aku tidak menakut-nakutimu, Bibi. Suhu dan Subo adalah dua orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi, merupakan suami isteri pendekar yang sakti!”
“Ehhh? Dan engkau murid mereka, menangkap kupu-kupu saja tidak becus? Hi-hi-hik!” Wanita itu tertawa geli.
Yo Han tidak merasa malu, hanya memandang dengan sikap sungguh-sungguh. “Aku memang tidak belajar silat dari mereka, melainkan kepandaian lain yang lebih berguna. Tetapi aku tidak berbohong. Mereka sangat lihai, Bibi, dan engkau bukanlah tandingan mereka.”
Ang-I Moli menjadi marah bukan main. Ucapan yang terakhir itu langsung menyinggung keangkuhannya dan dianggap merendahkan, bahkan amat menghina. Sekali bergerak, ia sudah berada di dekat Yo Han dan mencengkeram pundak anak itu.
Yo Han merasa pundaknya nyeri sekali, akan tetapi sedikit pun dia tidak mengeluh atau menggerakkan tubuhnya, seolah cengkeraman itu tidak terasa sama sekali.
“Bocah sombong! Sekali aku menggerakkan tangan ini, lehermu dapat kupatahkan dan nyawamu akan melayang!”
Wanita berpakaian serba merah itu diam-diam merasa heran bukan main. Anak yang pundaknya telah dicengkeramnya itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. Masih tenang-tenang saja seperti tak terjadi apa-apa, bahkan suaranya pun masih tenang dan penuh teguran dan nasihat.
“Nyawaku berada di tangan Tuhan, Bibi. Engkau berhasil membunuhku atau tidak, kalau engkau tak mengembalikan Sian Li, sama saja. Engkau akan mengalami kehancuran di tangan Suhu dan Subo. Sebaliknya jika engkau mengembalikan Sian Li, kemudian mau menerima aku sebagai gantinya, maka aku dapat minta kepada Suhu dan Subo untuk menghabiskan perkara penculikan Sian Li.”
Ang-I Moli yang telah menjadi marah dan tersinggung, hendak menggunakan tangannya mencengkerem leher anak itu dan membunuhnya. Akan tetapi pada waktu tangannya mencengkeram pundak, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada getaran dalam pundak itu, getaran yang lembut akan tetapi mengandung kekuatan dahsyat yang membuat ia merasa seluruh tubuhnya tergetar pula.
Ia merasa heran, lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk memeriksa tubuh anak itu. Dirabanya leher, pundak, dada dan punggung dan ia semakin terheran-heran. Anak ini memiliki tulang yang kokoh kuat dan jalan darahnya demikian sempurna. Inilah seorang anak yang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Belum tentu dalam sepuluh ribu orang anak menemukan seorang saja seperti ini!
Tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk menjadi seorang ahli silat yang hebat. Dan wataknya demikian teguh, tenang dan penuh keberanian. Akan tetapi anak ini mengaku tidak mempelajari ilmu silat!
Walau pun demikian, anak ini mengatakan bahwa suhu dan subo-nya adalah dua orang sakti! Kiranya bukan bualan kosong saja karena hanya orang orang sakti yang dapat memilih seorang murid dengan bentuk tulang, jalan darah dan sikap sehebat anak ini.
“Brrttt...!”
Sekali menggerakkan kedua tangan, baju yang dipakai anak itu robek dan direnggutnya lepas dari badan. Kini Yo Han bertelanjang dada. Ang-I Moli bukan hanya meraba-raba, kini juga melihat bentuk dada itu. Dan ia terpesona. Bukan main!
Ia tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sian Li. Memang seorang anak yang memiliki tubuh baik pula, bertulang baik berdarah bersih. Akan tetapi dibandingkan anak laki-laki ini, jauh bedanya, tidak ada artinya lagi!
“Anak yang aneh,” katanya sambil tangannya masih meraba-raba dada dan punggung yang telanjang itu. “Siapa namamu?”
“Aku she Yo, namaku Han.”
“Yo Han...? Siapa orang tuamu?”
“Aku yatim piatu. Pengganti orang tuaku adalah Suhu dan Subo.”
“Siapa sih suhu dan subo-mu yang kau puji setinggi langit itu.”
“Aku bukan sekedar memuji kosong apa lagi membual, Bibi. Suhu-ku bernama Tan Sin Hong dan berjuluk Pendekar Bangau Putih, dan Subo-ku bernama Kao Hong Li, cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”
Ang-I Moli menelan ludah! Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa anak yang diculiknya adalah puteri dari suami isteri pendekar sakti itu! Tentu saja dia pernah mendengar akan nama mereka. Bahkan mereka adalah dua di antara para pendekar yang pernah membasmi Ang-I Mo-pang!
Mereka termasuk musuh-musuh lama dari kakaknya, dari Ang-I Mo-pang. Akan tetapi ia pun tidak begitu tolol untuk memusuhi mereka. Biar pun ia sendiri belum pernah menguji sampai di mana kehebatan ilmu mereka, namun tentu saja jauh lebih aman untuk tidak mencari permusuhan baru dengan mereka.
Melihat wanita berpakaian merah itu diam saja, Yo Han melanjutkan. “Nah, engkau tahu bahwa aku bukan menggertak belaka. Tentu engkau pernah mendengar nama mereka. Sekarang, bagaimana kalau engkau mengembalikan Sian Li kepada mereka, Bibi?”
Ang-I Moli mengamati wajah Yo Han dengan penuh perhatian.
“Kalau aku mengembalikan Sian Li, engkau mau ikut bersamaku dan menjadi muridku?”
“Sudah kukatakan bahwa aku suka menggantikan Sian Li. Bagiku yang terpenting aku harus dapat mengajak Sian Li pulang ke rumah Suhu dan Subo. Setelah aku mengantar ia pulang, aku akan ikut bersamamu.”
“Hemm, kau kira aku begitu goblok? Jika aku membiarkan engkau mengajak ia pulang, tentu engkau tidak akan kembali kepadaku. Yang datang kepadaku tentu suami isteri itu untuk memusuhiku.”
Yo Han mengerutkan alis, memandang kepada wanita itu. Ang-I Moli terkejut. Sepasang mata anak itu mencorong seperti mata harimau di tempat gelap tertimpa sinar!
“Bibi, aku tidak sudi melanggar janjiku sendiri! Juga, hal itu akan membikin Suhu dan Subo marah kepadaku. Kami bukan orang-orang yang suka menyalahi janji.”
“Baik, mari, sekarang juga kita bawa Sian Li kembali ke rumah orang tuanya.”
Biar pun tubuhnya sudah terlalu penat untuk melakukan perjalanan lagi, namun Yo Han menyambut ajakan ini dengan gembira. “Baik, dan terima kasih, Bibi. Ternyata engkau bijaksana juga.”
Ang-I Moli memondong tubuh Sian Li. “Mari kau ikuti aku.”
Melihat wanita itu lari keluar kuil, Yo Han cepat mengikutinya. Akan tetapi, Ang-I Moli hendak menguji Yo Han, apakah benar anak ini tidak pandai ilmu silat. Ia berlari cepat dan sebentar saja Yo Han tertinggal jauh.
“Bibi, jangan cepat-cepat. Aku akan sesat jalan. Tunggulah!”
Ang-I Moli menanti, diam-diam merasa sangat heran. Kalau anak itu murid suami isteri pendekar yang namanya amat terkenal itu, bagaimana begitu lemah? Menangkap kupu-kupu saja tidak mampu, dan diajak berlari cepat sedikit saja sudah tertinggal jauh. Padahal, anak itu memiliki tubuh yang amat baik. Kelak ia akan menyelidiki hal itu.
Ketika ia memeriksa tubuh Yo Han tadi, bukan saja ia mendapatkan kenyataan bahwa anak itu bisa menjadi seorang ahli silat yang hebat, juga mendapat kenyataan lain yang mengguncangkan hatinya. Anak itu memiliki darah yang amat bersih dan kalau ia dapat menghisap hawa murni serta darah anak laki-laki itu melalui hubungan badan, dia akan mendapatkan obat kuat dan obat awet muda yang amat ampuh!
Tidak lama mereka berjalan karena Ang-I Moli membawa mereka ke tepi sungai, lalu ia mengeluarkan sebuah perahu yang tadinya ia sembunyikan di dalam semak belukar di tepi sungai.
“Kita naik perahu supaya dapat cepat tiba di Ta-tung,” kata Ang-I Moli dan ia menyeret perahu ke tepi sungai, dibantu oleh Yo Han.
Tidak lama kemudian, mereka pun sudah naik ke perahu yang meluncur cepat terbawa arus air sungai dan didayung pula oleh Yo Han, dikemudikan oleh dayung di tangan wanita pakaian merah itu. Sian Li masih pulas, rebah miring di dalam perahu.
Melalui air, perjalanan tentu saja tidak melelahkan, apa lagi karena mereka mengikuti aliran air sungai, bahkan jauh lebih cepat dibandingkan perjalanan melalui darat. Maka, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah mendarat di tempat di mana kemarin Ang-I Moli bertemu dengan Yo Han dan Sian Li.
“Nah, bawalah ia pulang, dan kau cepatlah kembali ke sini. Kutunggu,” kata Ang-I Moli kepada Yo Han. Ia lalu menotok punggung Sian Li dan anak ini pun sadar, seperti baru terbangun dari tidur.
Sian Li amat girang melihat Yo Han berada di situ dan Yo Han segera memondongnya, menatap wajah wanita itu dan berkata, “Engkau percaya kepadaku, Bibi?”
Ang-I Moli tersenyum. “Tentu saja. Kalau engkau membohongiku sekali pun, engkau tak akan dapat lolos dari tanganku!”
“Aku takkan bohong!” kata Yo Han.
Dia pun membawa Sian Li keluar dari perahu, lalu berjalan secepatnya menuju pulang. Hatinya merasa lega dan gembira bukan main karena dia telah berhasil membawa Sian Li pulang seperti telah dijanjikannya kepada suhu dan subo-nya. Dia telah bertanggung jawab atas kehilangan adiknya itu, dan sekarang dia telah memenuhi janji dan tanggung jawabnya.
*********
Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, semalaman tadi tak dapat pulas sejenak pun dan pagi-pagi sekali mereka sudah bangun. Dengan wajah muram dan rambut kusut mereka duduk di beranda depan seperti orang-orang yang sedang menantikan sesuatu. Memang mereka menanti pulangnya Yo Han, dan kalau mungkin bersama Sian Li yang diculik orang. Hong Li menganggap hal ini tidak mungkin, hanya harapan kosong belaka dan sia-sia. Akan tetapi suaminya berkeras hendak menanti kembalinya Yo Han sampai tiga hari!
“Yo Han...” Tiba-tiba Sin Hong berseru.
Hong Li yang sedang menunduk terkejut, mengangkat mukanya dan wajahnya seketika berseri-seri. Matanya bersinar-sinar, seperti matahari yang baru muncul dari balik awan hitam.
“Sian Li...!” Ia pun meloncat dan berlari menyambut Yo Han yang datang memondong adiknya itu.
“Ibu...! Ayah...!” Sian Li bersorak girang dan dia merasa terheran-heran ketika ibunya merenggutnya dari pondongan Yo Han, lalu mendekap dan menciuminya dengan kedua mata basah air mata!
“Ibu... menangis? Tidak boleh menangis, Ibu tidak boleh cengeng dan lemah!” Sian Li menirukan kata-kata ayah dan ibunya kalau ia menangis.
Ibunya yang masih basah kedua matanya itu tersenyum.
“Tidak, ibu tidak menangis. Ibu bergembira...!”
Sin Hong sudah menyambut Yo Han dan memegang tangan murid itu, menatapnya sejenak lalu berkata, “Mari masuk dan kita bicara di dalam.”
Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja. Sian Li dipangku oleh ibunya yang memeluknya seperti takut akan kehilangan lagi.
“Nah, ceritakan bagaimana engkau dapat mengajak pulang adikmu, Yo Han,” kata Sin Hong.
Hong Li memandang dengan penuh kagum, heran dan juga bersyukur bahwa muridnya itu benar-benar telah mampu mengembalikan Sian Li kepadanya. Padahal ia sendiri dan suaminya sudah mencari-cari sampai seharian penuh tanpa hasil, bahkan tidak dapat menemukan jejak Sian Li dan penculiknya.
“Suhu dan Subo, ketika teecu pergi hendak mencari adik Sian Li, teecu segera berlari ke luar kota, melalui pintu gerbang selatan. Sehari kemarin teecu berlari dan berjalan terus dan pada malam hari tadi, teecu tiba di lereng sebuah bukit. Teecu melihat sebuah kuil dan ada sinar api unggun dari dalam kuil. Teecu memasuki kuil tua yang kosong itu dan di situlah teecu melihat Adik Sian Li tidur dijaga oleh wanita pakaian merah itu.”
“Akan tetapi, Yo Han. Bagaimana engkau bisa tahu bahwa adikmu dibawa ke tempat itu oleh penculiknya?” Hong Li bertanya dengan heran.
“Teecu juga tidak tahu bagaimana Adik Sian Li bisa berada di dalam kuil itu, Subo...”
“Aku diajak naik perahu oleh Bibi baju merah. Ia baik sekali, Ibu. Kami menangkap ikan dan Bibi memasak ikan untukku. Enak sekali! Setelah turun dari perahu, kami berjalan-jalan ke lereng bukit dan memasuki kuil tua itu, Setelah malam menjadi gelap, aku ingin pulang, mengajaknya pulang dan... dan... aku lupa lagi, tertidur.”
Sin Hong bertukar pandang dengan isterinya. Pantas usaha mereka mencari jejak telah gagal. Kiranya anak mereka dibawa naik perahu oleh penculiknya.
“Yo Han, kalau engkau tidak tahu bahwa Sian Li dibawa ke kuil tua itu, lalu bagaimana engkau dapat langsung pergi ke sana?” Sin Hong mendesak, memandang tajam penuh selidik.
Yo Han menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Teecu tidak tahu Suhu. Teecu membiarkan kaki berjalan tanpa tujuan, ke mana saja untuk mencari adik Sian Li. Dan tahu-tahu teecu tiba di sana dan menemukan mereka.”
“Tetapi, bagaimana penculik itu membiarkan engkau mengajak Sian Li pulang? Bagai mana engkau dapat menundukkannya?” Hong Li bertanya, semakin heran dan merasa bulu tengkuknya meremang karena ia mulai merasa bahwa ada ‘sesuatu’ yang ajaib telah terjadi pada diri muridnya itu.
Yo Han tersenyum memandang subo-nya, lalu memandang kepada suhu-nya. “Teecu membujuknya untuk membiarkan teecu membawa adik Sian Li pulang. Dia tidak tahu bahwa adik Sian Li adalah puteri Suhu dan Subo. Teecu memberi tahu kepadanya dan mengatakan bahwa kalau ia tidak mengembalikan Sian Li, tentu Suhu dan Subo akan dapat menemukannya dan ia pasti akan celaka. Teecu mengatakan bahwa kalau ia mau menyerahkan kembali Sian Li, teecu-lah yang akan menggantikan adik Sian Li menjadi muridnya, menjadi pelayannya, dan ikut dengannya. Nah, ia setuju dan teecu membawa adik Sian Li pulang. Tetapi teecu harus segera kembali kepadanya. Ia masih menunggu teecu di tepi sungai...”
“Yo Han! Engkau hendak ikut dengan penculik itu? Ahhh, aku tidak akan membiarkan! Menjadi murid seorang penculik jahat? Tidak boleh!” kata Hong Li marah. “Aku bahkan akan menghajar iblis itu!”
Kao Hong Li sudah meloncat dengan marah, akan tetapi gerakannya terhenti ketika terdengar Yo Han berseru, ”Subo, jangan!”
“Hah?! Iblis itu menculik anakku, kemudian menukarnya dengan engkau untuk dibawa pergi. Dan engkau melarang aku untuk menghajar iblis itu?”
“Maaf, Subo. Apakah Subo ingin melihat murid Subo menjadi seorang rendah yang melanggar janjinya sendiri, menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut?”
“Ehhh...? Apa maksudmu?”
“Subo, bagaimana pun juga, teecu (murid) adalah murid Subo. Teecu sudah berjanji kepada wanita berpakaian merah itu bahwa setelah teecu mengantar Sian Li pulang, teecu akan kembali kepadanya dan menjadi muridnya, pergi ikut dengannya. Kalau teecu sudah berjanji, lalu sekarang teecu tidak kembali kepadanya, bahkan Subo akan menghajarnya, bukankah berarti teecu melanggar janji sendiri?”
“Aku tidak peduli akan janjimu itu! Engkau tidak perlu melanggar janji, engkau pergilah kepadanya. Akan tetapi aku tetap saja akan menemuinya dan menghajarnya!” berkata Hong Li dengan marah.
“Subo!” kata pula Yo Han dan suaranya tegas. “Kenapa Subo hendak menghajar wanita itu? Kalau Subo melakukan itu, berarti Subo jahat!”
“Ehhh?” Hong Li terbelalak memandang kepada anak itu.
“Yo Han!” kata pula Sin Hong. “Subo-mu hendak menghajar penculik, mengapa engkau malah katakan jahat?” Dia bertanya hanya karena ingin tahu isi hati anak itu yang amat dikaguminya sejak dia tadi mendengarkan kata-kata anak itu kepada isterinya.
“Suhu, wanita berpakaian merah itu memang benar tadinya hendak melarikan Sian Li, akan tetapi ia bersikap sangat baik terhadap Sian Li, dan ia melarikannya karena ingin mengambilnya sebagai murid. Ia sayang kepada Sian Li. Lalu, teecu menemukannya dan teecu membujuk supaya ia mengembalikan Sian Li. Dan ia sudah memperbolehkan Sian Li teecu bawa pulang. Teecu sendiri yang berjanji untuk ikut pergi dengannya. Jika sekarang Subo dan Suhu menghajarnya, bukankah itu sama sekali tidak benar?”
Sin Hong memberi isyarat dengan pandang mata kepada isterinya, lalu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya itu. “Baiklah kalau begitu, Yo Han. Kami tentu saja tak menghendaki engkau menjadi seorang yang melanggar janjimu sendiri. Engkau sudah yakin ingin menjadi murid wanita itu? Kalau engkau ingin memperoleh guru yang baik, tempat tinggal yang lain, kami sanggup mencarikannya yang amat baik untukmu.”
Yo Han menggeleng kepalanya. “Tidak Suhu. Teecu akan ikut dengan wanita itu seperti yang telah teecu janjikan. Teecu akan berangkat sekarang juga supaya ia tidak terlalu lama menunggu.”
Dia lalu pergi ke dalam kamarnya, mengambil buntalan pakaian yang memang telah dia persiapkan semenjak tadi malam. Memang semalam ia telah merencanakan untuk pergi meninggalkan rumah itu, akan tetapi karena hatinya terasa berat meninggalkan Sian Li, maka pagi itu ia ingin menyenangkan Sian Li dengan mengajaknya bermain-main di tepi sungai sebelum dia pergi.
Suami isteri itu juga merasa heran melihat demikian cepatnya Yo Han mengumpulkan pakaiannya karena sebentar saja anak itu sudah menghadap mereka kembali. Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang gurunya.
“Suhu dan Subo, teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah dilimpahkan kepada teecu, terima kasih atas kasih sayang yang telah dicurahkan kepada teecu. Dan teecu mohon maaf apabila selama ini teecu melakukan banyak kesalahan dan membuat Suhu dan Subo menjadi kecewa. Teecu mohon diri, Suhu dan Subo” Suaranya tegas dan sikapnya tenang, sama sekali tidak nampak dia berduka, tidak hanyut oleh perasaan haru.
“Baiklah, Yo Han. Kalau memang ini kehendakmu. Dan berhati-hatilah engkau menjaga dirimu,” kata Sin Hong.
“Setiap waktu kalau engkau menghendaki, kami akan menerimamu kembali dengan hati dan tangan terbuka, Yo Han,” kata pula Kao Hong Li, dengan hati terharu. Terasa benar ia betapa ia menyayang murid itu seperti kepada adik atau anak sendiri.
“Terima kasih, Suhu dan Subo.” Yo Han membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
“Suheng, aku ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang sejak tadi melihat dan mendengarkan saja tanpa mengerti benar apa yang mereka bicarakan, kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari menghampiri Yo Han.
Yo Han memondong anak itu, mencium kedua pipi dan dahinya, lalu menurunkannya kembali. “Sian Li, aku mau pergi dulu, engkau tidak boleh ikut. Engkau bersama ayah dan ibumu di sini. Kelak kita akan bertemu kembali, adikku.” Dan dengan cepat Yo Han lari meninggalkan anak itu, tidak tega mendengar ratap tangisnya dan melihat wajahnya.
“Suheng! Aku ikut... aku ikut...!” Anak itu lantas merengek walau pun tidak menangis, dan terpaksa Sin Hong memondongnya karena anak itu hendak lari mengejar Yo Han.
“Hemm, aku mau melihat siapa iblis betina itu!” Hong Li sudah meloncat keluar dan Sin Hong yang memondong anaknya hanya menggeleng kepala, lalu melangkah keluar pula dengan Sian Li di pondongannya.
Yo Han berlari-lari menuju sungai. Dia tidak ingin wanita berpakaian merah itu mengira dia melanggar janji. Dan benar saja, ketika dia tiba di tepi sungai, wanita itu tidak lagi berada di dalam perahu, melainkan sudah duduk di tepi sungai dengan wajah tidak sabar. Perahunya berada di tepi sungai pula, agaknya sudah ditariknya ke darat.
Melihat Yo Han datang berlari sambil membawa buntalan, wajah yang tadinya cemberut itu tersenyum. “Hemm, kusangka engkau membohongiku! Kiranya engkau datang pula!”
Yo Han juga cemberut ketika dia sudah berdiri di depan wanita itu. “Sudah kukatakan, aku bukan seorang yang suka melanggar janji. Aku harus berpamit dulu kepada Suhu dan Subo-ku, dan mengambil pakaianku ini.”
“Andai kata engkau menipuku sekali pun engkau tak akan terlepas dari tanganku. Hayo kita berangkat!” kata Ang-I Moli Tee Kui Cu.
“Tahan dulu...!”
Bentakan yang merdu dan nyaring ini mengandung getaran dan wibawa yang amat kuat sehingga Ang-I Moli terkejut sekali dan cepat-cepat ia membalikkan tubuh. Kiranya di depannya telah berdiri seorang wanita cantik dan gagah, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajahnya bulat telur, matanya lebar dan indah jeli, sinar matanya tajam menembus.
“Subo...!” Yo Han berseru melihat wanita cantik itu.
“Diam kau!” Kao Hong Li membentak muridnya.
Matanya tidak pernah melepaskan wajah wanita berpakaian merah itu. Ia belum pernah melihat wanita itu dan memperhatikannya dengan seksama. Wajah yang cantik itu putih dengan bantuan bedak tebal, nampak cantik seperti gambar oleh bantuan pemerah bibir dan pipi, dan penghitam alis. Pakaiannya yang serba merah ketat itu menempel tubuh yang ramping dan seksi, dengan pinggulnya yang bulat besar.
Mendengar Yo Han menyebut subo kepada wanita muda ini. Ang-I Moli terkejut. Tidak disangkanya subo dari anak itu masih sedemikian mudanya. Jadi inikah cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya.
“Hemmm, siapakah engkau dan mengapa engkau menahan kami?” Ang-I Moli bertanya, senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah.
“Aku Kao Hong Li, ibu dari anak perempuan yang telah kau culik!” jawab Hong Li, juga sikapnya tenang, akan tetapi sepasang mata yang tajam itu bersinar marah. “Siapakah engkau ini iblis betina yang berani mencoba mencoba untuk menculik anakku kemudian membujuk murid kami untuk ikut denganmu? Jawab, dan jangan mati tanpa nama!”
Sikap garang Kao Hong Li sedikit banyak menguncupkan hati Ang-I Moli. Ia seorang tokoh sesat yang tidak mengenal takut dan memandang rendah orang lain, akan tetapi ia teringat akan ancaman Yo Han tadi bahwa wanita ini adalah cucu Naga Sakti Gurun Pasir, bahkan suaminya adalah Si Bangau Putih yang namanya amat terkenal itu.
“Hemmm, bocah sombong. Jangan kau mengira bahwa aku Ang-I Moli takut mendengar gertakanmu.” Ia membesarkan hatinya sendiri. “Aku tidak menculik puterimu, tapi hanya mengajaknya bermain-main. Dan tentang bocah ini, dia sendiri yang ingin ikut aku untuk menjadi muridku. Kalau tidak percaya, tanya saja kepada anak itu.”
“Subo, memang benar teecu sendiri yang ingin ikut dengan Bibi ini. Harap Subo jangan mengganggunya!”
Hong Li menarik napas panjang. Kalau sudah begitu, memang tidak ada alasan baginya untuk menghajar wanita berpakaian merah itu, apa lagi membunuhnya. Anaknya sendiri tadi pun mengatakan bahwa wanita ini bersikap baik kepada Sian Li, dan kini Yo Han mengatakan bahwa memang dia sendiri yang ingin menjadi muridnya.
“Baiklah, aku tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, setidaknya aku harus tahu apakah ia cukup pantas untuk menjadi gurumu, Yo Han. Aku tidak rela menyerahkan muridku dalam asuhan orang yang tidak memiliki kepandaian, apa lagi kalau orang itu pengecut. Kuharap saja engkau tidak terlalu pengecut untuk menolak tantanganku menguji ilmu kepandaianmu, Ang-I Moli.”
Kulit muka yang ditutup riasan tebal itu masih nampak berubah kemerahan. Tentu saja Ang-I Moli marah sekali dikatakan bahwa ia seorang pengecut.
“Kao Hong Li, engkau bocah sombong. Kau kira aku takut kepadamu?”
“Bagus kalau tidak takut! Nah, kau sambutlah seranganku ini. Haiiittt!”
Hong Li langsung menerjang maju setelah memberi peringatan, dan karena ia memang ingin menguji sampai di mana kelihaian wanita baju merah itu, maka begitu menyerang ia sudah memainkan jurus dari ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang sangat dahsyat, apa lagi karena dalam memainkan ilmu silat ini ia menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) dari ibunya. Hong Li telah menggabung dua ilmu yang hebat itu. Sin-liong Ciang-hoat adalah ilmu yang berasal dari Istana Gurun Pasir, sedangkan tenaga Hui-yang Sinkang adalah ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es, yang ia pelajari dari ayah dan ibunya.
“Wuuuuttt... plak! Plak!”
Tubuh Ang-I Moli terhuyung ke belakang dan dia terkejut bukan main. Ketika tadi dia menangkis sampai beberapa kali, lengannya bertemu dengan hawa panas yang luar biasa kuatnya sehingga kalau ia tidak membiarkan dirinya mundur, tentu ia akan celaka. Sebagai seorang tokoh sesat yang sudah mengangkat diri menjadi seorang pangcu (ketua) tentu saja Ang-I Moli merasa penasaran sekali.
Ia lalu membalas dengan serangan ampuh. Setelah mengerahkan tenaga dalam yang telah dilatihnya dari para pimpinan Pek-lian-kauw, ia mengeluarkan suara melengking dan ketika dua tangannya menyerang, dari kedua telapak tangan itu mengepul uap atau asap hitam dan angin pukulannya membawa asap hitam itu menyambar ke arah muka Kao Hong Li.
Pendekar wanita ini mengenal pukulan beracun yang ampuh, maka ia pun melangkah mundur dan mengerahkan tenaga sinkang mendorong dengan kedua tangan terbuka pula. Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, asap hitam itu membalik dan Ang-I Moli kini merasakan hawa yang amat dingin sehingga kembali ia terkejut. Itulah tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Inti Salju), juga ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es!
Ang-I Moli terpaksa mundur kembali dan kemarahannya memuncak. Dua kali mengadu tenaga itu membuat dia sadar bahwa lawannya memang lihai bukan main. Dalam hal tenaga sinkang, jelas dia kalah kuat.
“Manusia sombong, kau sambut pedangku!” bentaknya, lalu mulutnya berkemak-kemik dan dia pun berseru sambil membuat gerakan laksana melontarkan sesuatu ke udara, “Pedang terbangku menyambar lehermu!”
Kao Hong Li terbelalak ketika dia melihat sinar terang dan bayangan sebatang pedang meluncur dari udara ke arah dirinya! Padahal ia tak melihat wanita itu mencabut pedang. Inilah ilmu sihir, pikirnya dan ia pun cepat mencabut pedangnya dan melindungi dirinya dengan putaran pedang.
“Hentikan perkelahian! Hentikan...!” terdengar Yo Han berseru.
Begitu anak ini melangkah ke depan, sinar pedang itu pun lenyap secara tiba-tiba dan Hong Li mendapat kenyataan bahwa ia tadi telah ‘bertempur’ melawan bayang-bayang.
Sementara itu, Ang-I Moli juga terkejut karena tiba-tiba pengaruh sihirnya lenyap begitu saja. Pada saat itu, ia melihat pula munculnya seorang laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang memiliki sinar mata lembut tetapi mencorong memondong anak perempuan baju merah tadi. Tahulah dia bahwa tentu laki-laki gagah perkasa ini ayah Sian Li yang berjuluk Si Bangau Putih. Ang-I Moli menduga bahwa tentu pendekar inilah yang tadi melenyapkan pengaruh sihirnya, maka ia menjadi semakin jeri.
Memang tadinya dia merasa suka sekali kepada Sian Li, kemudian melihat bakat yang luar biasa pada diri Yo Han, dia pun rela menukarkan Sian Li yang suka rewel dan tidak mau ikut dengan suka rela itu dengan Yo Han yang suka ikut dengannya. Akan tetapi melihat betapa suami isteri yang amat lihai itu sekarang berada di depannya dan dia tahu bahwa melawan mereka berdua sama dengan mencari penyakit, Ang-I Moli lalu meloncat ke arah perahunya sambil memaki Yo Han.
“Anak pengkhianat!” Ia mendorong perahunya ke air, lalu perahu itu diluncurkannya ke tengah sungai.
“Tunggu kau, iblis betina!” Hong Li yang masih marah itu berteriak dan kini ia pun sudah mengamangkan pedangnya. Akan tetapi Yo Han cepat berdiri di depan subo-nya.
“Subo, harap jangan kejar dan serang dia lagi! Dia adalah guruku yang baru!” Setelah berkata demikian, Yo Han lantas meloncat ke air, dan berenang mengejar perahu itu. “Bibi... ehhh, Subo (Ibu Guru), tunggulah aku...!”
Melihat ini, Ang-I Moli memandang heran sekali. Anak itu ternyata sama sekali bukan pengkhianat, bukan pelanggar janji! Ia pun terkekeh senang dan menahan perahunya. Ketika Yo Han telah tiba di pinggir perahu, ia mengulurkan tangan dan menarik anak itu naik ke dalam perahunya.
“Anak baik, ternyata engkau setia kepadaku. Hi-hi-hik, aku senang sekali!”
Dari pantai, Hong Li masih mengamangkan pedangnya. “Yo Han, lekas kembali ke sini engkau! Engkau akan rusak dan celaka kalau engkau ikut dengan perempuan iblis itu!”
“Subo, maafkan teecu. Teecu sudah berjanji kepada Bibi ini, dan lagi pula, teecu harus meninggalkan Suhu dan Subo, teecu harus meninggalkan... adik Sian Li. Bukankah itu yang Subo kehendaki? Teecu harus dipisahkan dari adik Sian Li. Nah, setelah sekarang teecu menentukan jalan sendiri, mengapa Subo hendak menghalangi? Sudahlah, Subo, maafkan teecu dan… selamat tinggal.” Yo Han lalu mengambil dayung dan mendayung perahu itu.
Hong Li masih penasaran saja dan hendak mengejar, akan tetapi ada sentuhan lembut tangan suaminya pada lengannya. Ia menoleh dan melihat suaminya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Suheng, aku ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang melihat Yo Han mendayung perahu yang mulai meluncur menjauh, berteriak dan meronta dalam pondongan ayahnya.
Hong Li menyimpan kembali pedangnya dan memondong puterinya. “Jangan ikut, Sian Li. Suheng-mu sedang pergi menuntut ilmu. Kelak engkau pasti akan bertemu kembali dengan dia.” Ia memeluk anaknya dan menciuminya, menghibur sehingga Sian Li tidak berteriak-teriak lagi.
Suami isteri itu berdiri di tepi sungai dan mengikuti perahu yang menjauh itu dengan pandang mata mereka.
“Aku tetap khawatir,” bisik Hong Li. “Wanita itu jelas tokoh sesat. Julukannya Ang-I Moli. Aku khawatir Yo Han akan menjadi tersesat kelak.”
Suaminya menggeleng kepala. “Jangan khawatir. Yo Han bukanlah anak yang berbakat jahat. Aku melihat hal yang aneh lagi tadi. Ketika engkau diserang dengan sihir, kulihat engkau terkejut dan wanita itu berdiri mengacungkan tangan dan berkemak-kemik, ada sinar menyambar ke arahmu...”
“Memang benar. Aku pun terkejut akan tetapi tiba-tiba sinar itu menghilang.”
“Itulah! Begitu Yo Han melompat ke depan dan menghentikan perkelahian, sinar itu lenyap dan kulihat wanita berpakaian merah itu terkejut dan ketakutan. Aku menduga bahwa kekuatan sihirnya itu punah dan lenyap oleh teriakan Yo Han! Nah, karena itu, biarkanlah dia pergi. Aku yakin dia tidak akan dapat terseret ke dalam jalan sesat.”
Mereka lalu pulang membawa Sian Li yang sudah tidur di dalam pondongan ibunya. Berbagai perasaan mengaduk hati kedua orang suami isteri itu. Ada perasaan menyesal dan mereka merasa kehilangan Yo Han, ada pula perasaan lega karena kini puteri mereka dapat dipisahkan dari Yo Han tanpa mereka harus memaksa Yo Han keluar dari rumah mereka, ada pula perasaan khawatir akan nasib Yo Han yang dibawa pergi oleh seorang tokoh sesat.
Segala macam perasaan duka, khawatir dan sebagainya tidak terbawa datang bersama peristiwa yang terjadi menimpa diri kita, melainkan timbul sebagai akibat dari cara kita menerima dan menghadapi segala peristiwa itu. Pikiran yang penuh dengan ingatan pengalaman masa lalu membentuk sebuah sumber di dalam diri kita, sumber berupa bayangan tentang diri pribadi yang disebut aku, dan dari sumber inilah segala kegiatan hidup terdorong.
Karena si-aku ini diciptakan pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah, maka segala kegiatan, segala perbuatan pun selalu didasari pada kepentingan si-aku. Jika sang aku dirugikan, maka timbullah kecewa, timbullah iba diri dan duka. Jika sang aku terancam dirugikan, maka timbul rasa takut dan khawatir. Si AKU ini selalu menghendaki jaminan keamanan menghendaki kesenangan dan menghindari kesusahan.
Si AKU ini mendatangkan penilaian baik buruk, tentu saja didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Baik buruk timbul karena adanya penilaian, dan penilaian adalah pilihan si-aku, karenanya penilaian selalu didasari nafsu daya rendah yang selalu mementingkan diri sendiri. Kalau sesuatu menguntungkan, maka dinilai baik, sebaliknya kalau merugikan, dinilai buruk.
Sebagai contoh, kita mengambil hujan. Baik atau burukkah hujan turun? Hujan adalah suatu kewajaran, suatu kenyataan dan setiap kenyataan adalah wajar karena hal itu sudah menjadi kodrat, menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hujan baru disebut baik atau buruk bila sudah ada penilaian. Yang menilai adalah kita, didasari nafsu daya rendah yang mengaku diri sebagai sang aku.
Bagi orang yang membutuhkan air hujan, maka hujan di sambut dengan gembira dan dianggap baik, karena menguntungkan dirinya, misalnya bagi para petani yang sedang membutuhkan air untuk sawah ladangnya. Sebaliknya, bagi orang-orang yang merasa dirugikan dengan turunnya hujan, maka hujan itu tentu saja dianggap buruk! Padahal, hujan tetap hujan, wajar, tidak baik tidak buruk.
Demikian pula dengan segala macam peristiwa atau segala macam yang kita hadapi. Selalu kita nilai, tanpa kita sadari bahwa penilaian itu berdasarkan nafsu mementingkan diri sendiri. Kalau ada seseorang berbuat menguntungkan kepada kita, kita menilai dia sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan, kita menilainya sebagai orang jahat. Jelaslah bahwa penilaian adalah sesuatu hal yang pada hakekatnya menyimpang dari kebenaran. Yang kita nilai baik belum tentu baik bagi orang lain, dan sebaliknya.
Penilaian mendatangkan reaksi, mempengaruhi sikap dan perbuatan kita selanjutnya. Perbuatan yang didasari hasil penilaian ini jelas tidak sehat. Dapatkah kita menghadapi segala sesuatu tanpa menilai, tapi menghadapi seperti apa adanya? Kalau tindakan kita tidak lagi dipengaruhi hasil penilaian, maka tindakan itu terjadi dengan spontan dipimpin kebijaksanaan.
Permainan pikiran yang mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan hanya mendatangkan duka dan khawatir, seperti yang pada saat itu dialami oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.
*********
“Jangan bohong kau!” Ang-I Moli membentak.
Yo Han yang berdiri di depannya memandang dengan sinar mata marah. “Subo, sudah berulang kali aku mengatakan bahwa aku tidak pernah dan tidak akan mau berbohong!” jawabnya dengan tegas.
Mereka berada di dalam sebuah ruangan kuil tua di lereng bukit. Kuil ini belum rusak benar. Baru setahun ditinggalkan penghuninya, yaitu seorang pertapa tosu dan agaknya tidak ada yang mau mengurus kuil yang berada di tempat terpencil ini.
Hanya kuil yang berada di daerah pedusunan yang makmurlah baru bisa berkembang dengan baik. Banyak pengunjung datang bersembahyang dan banyak dana pula datang membanjir sehingga berlebihan untuk pembiayaan kuil. Akan tetapi sebuah kuil tua di lereng bukit yang sunyi? Jauh dari dusun jauh dari masyarakat? Siapa yang mau hidup sengsara dan serba kekurangan di situ?
Kuil itu sekarang kosong dan dalam perjalanannya pulang, saat melewati tempat ini dan kemalaman, Ang-I Moli mengajak Yo Han untuk melewatkan malam di tempat sunyi itu. Wanita itu masih terkenang akan kelihaian Kao Hong Li. Wanita cucu Naga Sakti Gurun Pasir itu demikian lihainya. Dan suaminya, Si Bangau Putih, tentu lebih lihai pula.
Ia sendiri yang ditakuti banyak orang di dunia kang-ouw, sekarang merasa ngeri kalau membayangkan bahaya maut yang mengancamnya ketika ia berhadapan dengan suami isteri pendekar itu. Kalau suhu dan subo-nya sedemikian saktinya, tentu muridnya juga telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, demikian pendapatnya. Oleh karena itu, ketika ia bertanya kepada Yo Han tentang ilmu silat, berapa banyak ilmu kedua orang gurunya yang telah dikuasainya, Yo Han menjawab bahwa dia tidak pandai ilmu silat dan tentu saja Ang-I Moli menduga dia berbohong.
“Bagaimana mungkin, sebagai murid suami isteri yang lihai itu engkau tidak menguasai sedikit pun ilmu silat? Sudah berapa lama engkau menjadi murid mereka, Yo Han?”
“Sudah lima tahun, Subo.”
“Hemm, apa lagi sudah begitu lama. Bagaimana mungkin engkau tidak pandai ilmu silat? Bukankah engkau menerima pelajaran ilmu silat dari mereka?”
“Aku tidak pernah berlatih, Subo. Aku tidak suka ilmu silat.”
Mata wanita cantik itu terbelalak, lalu ia memandang penuh perhatian kepada Yo Han dengan alis berkerut. “Engkau tidak suka ilmu silat?” Ang-I Moli tertawa terkekeh-kekeh karena merasa geli hatinya. “Kao Hong Li dan Tan Sin Hong adalah sepasang suami isteri pendekar yang sakti, dan murid tunggalnya tidak pandai dan tidak suka ilmu silat?” Ia tertawa-tawa lagi sampai keluar air matanya.”Habis, apa saja yang kau pelajari dari mereka selama lima tahun itu?”
“Subo, kenapa Subo mentertawakan hal itu? Aku memang tidak suka ilmu silat, dan yang kupelajari dari Suhu dan Subo-ku itu adalah ilmu membaca dan menulis, membuat sajak, bernyanyi dan meniup suling, pengetahuan mengenai kebudayaan dan filsafat hidup, mempelajari kitab-kitab sejarah kuno...”
Dia terpaksa berhenti bicara karena Ang-I Moli sudah tertawa lagi terkekeh-kekeh. Yo Han hanya berdiri memandang dengan alis berkerut dan mata bersinar-sinar marah.
Setelah menghentikan tawanya, wanita itu mengusap air mata dari kedua matanya, lalu memandang kepada pemuda remaja itu. “Anak baik, aku mengambilmu sebagai murid dan aku akan mengajarkan ilmu silat pula kepadamu. Bagaimana?”
Yo Han menggeleng kepalanya. “Percuma saja, Subo. Aku tidak akan menolak segala yang kau ajarkan kepadaku, akan tetapi aku takkan suka berlatih silat sehingga semua pengertian ilmu silat yang kau berikan kepadaku tidak akan ada gunanya.”
Ang-I Moli teringat sesuatu. “Yo Han, kalau engkau memang sama sekali tidak pandai ilmu silat, mengapa engkau begini tabah dan berani? Padahal engkau tidak mempunyai kemampuan untuk membela diri apa bila diserang lawan. Bagaimana engkau menjadi begini berani?”
“Aku tidak suka kekerasan, mengapa mesti takut, Subo? Orang yang tidak melakukan kejahatan, tidak merugikan orang lain, tidak membenci orang lain, kenapa mesti takut? Aku tidak pernah takut, Subo, karena tidak pernah membenci orang lain.”
“Yo Han, kalau engkau tidak mau belajar ilmu silat dariku, lalu kenapa engkau mau ikut dengan aku?” Wanita itu akhirnya bertanya heran.
“Subo lupa. Bukan aku yang ingin ikut Subo, melainkan Subo yang mengajakku dan aku ikut Subo sebagai penukaran atas diri Sian Li.”
Wanita itu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala dan memandang dengan heran. Sungguh seorang anak laki-laki yang aneh sekali. Begitu tabah, sedikit pun tidak mengenal takut, begitu teguh memegang janji, sikapnya demikian gagah perkasa seperti seorang pendekar tulen, akan tetapi, sedikit pun tidak pandai ilmu silat bahkan tak suka ilmu silat!
Akan tetapi, melihat wajah yang tampan gagah itu, ia lalu teringat akan keadaan tubuh pemuda remaja itu. Wajah Ang-I Moli segera berseri, mulutnya tersenyum dan pandang matanya menjadi genit sekali.
“Tidak suka berlatih silat pun tidak mengapalah, Yo Han, asal engkau mentaati semua perintahku dan menuruti semua permintaanku.” Ia lalu menggapai. “Engkau duduklah di sini, dekat aku, Yo Han.”
Tanpa prasangka buruk, Yo Han mendekat, lalu duduk di atas lantai yang tadi sudah dia bersihkan dan diberi tilam rumput kering yang dicarinya di ruangan belakang kuil tua itu, sebagai persiapan tempat mereka nanti tidur melewatkan malam. Akan tetapi, suaranya tegas ketika dia berkata,
“Subo, aku akan selalu mentaati perintahmu selama perintah itu tidak menyimpang dari kebenaran. Namun kalau Subo memerintahkan aku melakukan hal yang tidak benar, maaf, terpaksa akan kutolak!”
“Hi-hik, tidak ada yang tidak benar, muridku yang baik. Engkau tahu, aku amat sayang kepadamu, Yo Han. Engkau anak yang amat baik, dan aku senang sekali mempunyai murid seperti engkau.” Wanita itu memegang tangan Yo Han dan membelai tangan itu.
Merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus itu dengan lembut membelai-belai tangannya, kemudian bagaikan laba-laba jari-jari tangan itu merayap naik di sepanjang lengannya, Yo Han merasa geli dan juga aneh. Jantungnya lalu berdebar tegang dan dengan gerakan lembut dia pun menarik lengannya yang dibelai itu.
“Subo, apakah Subo tidak lapar?” Mendadak dia bertanya dan pertanyaan itu sudah cukup untuk membuyarkan gairah yang mulai membayang di dalam benak Ang-I Moli. Ia pun terkekeh genit.
“Hi-hik, bilang saja perutmu lapar, sayang. Nah, buka buntalanku itu, di situ masih ada roti kering dan daging kering, juga seguci arak.”
Mendapatkan kesempatan untuk melepaskan diri dari belaian gurunya yang baru itu, Yo Han cepat-cepat bangkit dan mengambil buntalan pakaian gurunya, lalu mengeluarkan bungkusan roti dan daging kering, beserta seguci arak yang baunya keras sekali. Dia menaruh semua itu di depan Ang-I Moli dan ketika merasakan betapa roti dan daging kering itu keras dan dingin, dia pun berkata,
“Subo, aku hendak mencari kayu bakar dan air.”
“Ehh? Untuk apa? Makanan sudah ada, minuman juga sudah ada.”
“Akan tetapi roti dan daging itu keras dan dingin, Subo. Kalau dipanaskan dengan uap air tentu akan menjadi hangat dan lunak. Juga aku lebih suka minum air dari pada arak. Ini aku membawa panci untuk masak air, Subo,” katanya sambil mengeluarkan sebuah panci dari dalam buntalan pakaiannya.
Ang-I Moli memandang dan tersenyum. Ia semakin tertarik kepada Yo Han dan ia harus bersikap manis untuk bisa menundukkan hati perjaka remaja itu. Pemuda ini tidak mau menjadi muridnya dalam arti yang sesungguhnya. Maka ia harus dapat memanfaatkan pemuda itu bagi kesenangan dan keuntungan dirinya sendiri.
Seorang perjaka remaja yang memiliki tubuh sebaik itu akan menguntungkan sekali bagi kewanitaannya. Akan membuat ia awet muda dan kuat, juga hawa murni di tubuh muda itu akan dapat dihisapnya dan dapat menambah kekuatan tenaga dalam di tubuhnya. Selain itu, cita-citanya untuk menguasai sebuah ilmu rahasia yang selama ini ditunda-tundanya, kini akan dapat diraihnya dengan mudah!
Untuk dapat menguasai ilmu rahasia itu, ia harus dapat menghisap darah murni selosin orang perjaka yang memiliki darah yang bersih dan badan yang sempurna. Kini ia telah mendapatkan Yo Han dan anak ini sudah lebih dari cukup, bahkan jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan selosin orang pemuda remaja biasa!
“Baiklah, engkau boleh pergi mencari air dan kayu bakar. Akan tetapi cepat kembali. Hari telah sore dan sebentar lagi akan gelap,” katanya halus dan ramah.
“Baik, Subo.”
Yo Han berlari keluar dari kuil itu. Dia tidak tahu bahwa Ang-I Moli membayanginya dari jauh. Wanita ini tidak ingin kehilangan Yo Han, maka begitu anak itu berlari keluar, dia pun menggunakan ilmu kepandaiannya dan mengikutinya tanpa diketahui oleh Yo Han. Bagi seorang seperti Ang-I Moli Tee Kui Cu, tidak mungkin ada orang di dunia ini yang benar-benar jujur dan setia sehingga dapat dipercaya sepenuhnya!
Sejak kecil wanita ini hidup di dalam lingkungan dunia hitam, berkecimpung di dalam kesesatan, di dalam suatu masyarakat di mana kata jujur dan setia sudah tidak dikenal lagi, di mana segala cara dihalalkan demi keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu, ia pun tidak dapat percaya sepenuhnya kepada Yo Han.
Ia tidak ingin kehilangan Yo Han yang baginya sekarang menjadi amat penting. Ia takut kehilangan pemuda itu, takut pemuda itu melarikan diri atau dilindungi orang lain. Juga ia hendak menguji sampai di mana pemuda itu mampu mempertahankan kejujuran dan kesetiaannya.
Ang-I Moli tidak tahu bahwa sesungguhnya ia telah menemukan seorang pemuda yang luar biasa, yang berbeda dengan pemuda-pemuda lain. Di dalam batin Yo Han belum pernah terdapat pamrih yang bermacam-macam, bahkan dia tidak mengenal itu.
Yo Han menghadapi segala sesuatu yang terjadi sebagai apa adanya, tidak pernah dia membuat gagasan atau rekaan macam-macam. Dia hanya melihat kenyataan yang ada untuk dihadapinya secara spontan, dia tidak pernah membuat rencana dan akal demi kepentingan diri sendiri.
Ia melihat kenyataan bahwa suhu dan subo-nya tak menghendaki dia di rumah mereka, dengan alasan agar puteri mereka jangan sampai kelak meniru sikap dan pendiriannya. Dia tahu bahwa demi kebaikan keluarga suhu-nya, dia harus menyingkir, menjauhkan diri dari mereka. Oleh karena itulah dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan mereka yang sesungguhnya amat dia sayangi.
Kemudian, karena ia harus menyelamatkan Sian Li, ia telah berjanji kepada Ang-I Moli untuk mengikuti wanita itu sebagai muridnya. Janjinya itu akan dipegangnya dengan teguh. Dia tidak akan melarikan diri karena dia pun sama sekali tidak pernah merasa takut kepada Ang-I Moli. Dia belum mengenal benar orang macam apa adanya Ang-I Moli, gurunya yang baru itu.
Bukan main senang dan lega rasa hati Ang-I Moli yang membayangi Yo Han, ketika melihat bahwa sedikit pun anak itu tidak memperlihatkan sikap ingin melarikan diri. Dia mengumpulkan kayu bakar, kemudian menemukan sumber air dan mengisi pancinya penuh air, setelah itu dia kembali ke kuil tanpa ragu-ragu. Ketika Yo Han memasuki kuil, Ang-I Moli tentu saja sudah lebih dahulu berada di tempat semula, duduk bersila sambil tersenyum manis.
“Aihh, cepat juga engkau mendapatkan air dan mengumpulkan kayu kering, Yo Han,” pujinya, kemudian dia membantu muridnya membuat api unggun dan memasak air di panci.
Setelah roti dan daging kering dipanasi dengan uap air, mereka lalu makan roti dan daging yang sudah menjadi lunak dan juga hangat itu, yang memang terasa jauh lebih enak dari pada kala碌 dimakan keras dan dingin. Dengan gembira sekali Ang-I Moli makan roti dan daging kering sambil sesekali minum arak, sedangkan Yo Han hanya minum air yang sudah dimatangkan.
Setelah makan kenyang, mereka duduk-duduk dekat api unggun. Sementara itu, malam telah tiba. Api unggun itu sangat menolong mereka mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Setelah duduk termenung di dekat api unggun, Yo Han mengeluh. Sambil mengangkat muka memandang wajah subo-nya yang sejak tadi memperhatikannya tanpa bicara, dia berkata, “Subo, sekarang aku merasa betapa aku kehilangan kitab-kitab itu. Biasanya, di waktu malam begini aku tentu membaca kitab. Akan tetapi sekarang, kitab-kitab itu jauh di rumah Suhu dan Subo, dan di sini aku tidak dapat membaca apa-apa.”
Wanita itu tersenyum. “Jangan kau khawatir, Yo Han. Setelah tiba di rumah, aku akan mencarikan kitab bacaan untukmu.”
“Subo juga mempunyai kitab-kitab bacaan?” Yo Han memandang dengan sinar mata gembira.
“Akan aku carikan untukmu. Apa sih sukarnya mencari kitab-kitab itu? Akan aku carikan sebanyaknya untukmu. Aku sayang padamu Yo Han, dan kuharap engkau pun sayang kepadaku dan akan menuruti semua keinginanku.”
“Subo baik kepadaku, mengapa aku tidak sayang? Dan tentu saja aku akan menuruti semua keinginan Subo. Subo, bolehkah aku tidur dulu? Perjalanan hari ini yang tidak melalui air lagi, berjalan kaki sehari penuh, amat melelahkan badan dan aku ingin tidur.” Yo Han lalu merebahkan dirinya miring di sudut ruangan itu, di seberang api unggun, terpisah dari subo-nya.
Ang-I Moli tersenyum. “Yo Han, jangan lupa lagi. Apa yang harus kau lakukan sebelum tidur?”
Yo Han juga tersenyum, lalu bangkit dan membawa air ke bagian belakang kuil untuk membersihkan mulutnya. Pada malam pertama mereka melakukan perjalanan, masih berperahu, subo-nya yang baru ini telah memberi sebuah pelajaran tentang kebersihan kepadanya, yaitu keharusan membersihkan mulut sewaktu akan tidur.
”Lihat gigiku ini,” demikian kata subo-nya sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi. “Belum ada sebuah pun yang rusak atau tanggal, padahal banyak orang seusiaku sudah hampir kehabisan giginya. Ini hasil menjaga kebersihan. Bukan saja hasilnya gigi menjadi bersih dan utuh, juga kesehatanku menjadi amat baik karena hampir semua penyakit datangnya lewat mulut. Cara membersihkan mulut dan gigi yang paling baik adalah membersihkannya setiap kali kita hendak tidur. Hal ini harus menjadi kebiasaanmu semenjak malam ini, Yo Han!” Demikianlah Ang-I Moli memberi pelajaran tentang kesehatan dan kalau dia terlupa, seperti pada malam ini, Ang-I Moli selalu memperingatkannya.
Pelajaran kesehatan yang agaknya amat sederhana ini sesungguhnya menguntungkan sekali dan alangkah baiknya bagi Yo Han. Biasanya orang meremehkannya. Padahal, kebiasaan membersihkan mulut di waktu hendak tidur merupakan satu di antara usaha penjagaan kesehatan yang paling baik dan paling mudah!
Tidak lama kemudian, Yo Han sudah tidur pulas di atas rumput kering. Dia tidak tahu bahwa semenjak tadi Ang-I Moli sudah berpindah tempat di dekatnya dan kini wanita itu duduk bersila di sebelahnya, tiada hentinya mengamati wajahnya yang tidur nyenyak, di bawah sinar api unggun yang membuat wajahnya menjadi kemerahan.
Aku harus mulai sekarang juga, pikir wanita itu. Lebih cepat ia dapat menguasai Yo Han, lebih baik. Dengan lembut tangannya meraba wajah pemuda itu, membelai dagu dan leher, lalu membelai semua tubuh Yo Han. Pemuda remaja itu menggeliat dalam tidurnya dan Ang-I Moli menarik tangannya.
Anak ini amat luar biasa, pikirnya sambil menahan gairah yang sudah mulai membakar dirinya. Mungkin saja dia akan menolak keras, bahkan melawan dan tak mau menyerah biar diancam bagaimana pun juga. Keberaniannya memang luar biasa. Kalau terjadi hal seperti itu, tentu amat merugikan dirinya. Kalau ia menggunakan paksaan, anak ini akan dapat mati sebelum ia memperoleh hasil yang memuaskan.
Ia harus dapat menghisap kemurnian anak ini sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh Yo Han. Ia akan memberi makanan dan minuman yang mengandung obat penguat badan dan akhirnya, semua hawa murni dan darah murni itu akan berpindah ke tubuhnya tanpa diketahui oleh pemuda remaja itu, atau kelak diketahui kalau sudah terlambat dan pemuda yang kehabisan darah dan hawa murni itu akan tewas pula.
Dan ia akan mampu melatih diri dengan ilmu rahasia itu! Ia akan menjadi seorang yang sukar dicari tandingnya! Ia akan dapat merajai dunia persilatan dengan ilmunya itu.
Kembali ia mengamati wajah Yo Han yang masih tidur nyenyak. Ahh, mengapa ia begitu bodoh? Kalau membujuk anak ini, agaknya ia akan gagal total. Anak ini bukan seorang anak yang mudah dibodohi atau dibujuk halus, atau pun yang mudah ditundukkan dengan ancaman atau siksaan. Padahal, ia menghendaki agar dia menyerahkan diri dengan suka rela! Dengan demikian maka hasilnya akan lebih baik lagi bagi dirinya.
Dan satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan sihirnya! Mengapa ia lupa akan kepandaiannya itu? Ia pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw dan kini ilmu sihirnya sudah lebih dari kuat untuk mempengaruhi seorang bocah! Orang dewasa pun kalau tidak memiliki sinkang yang kuat akan mudah ia tundukkan dengan kekuatan sihirnya. Apa lagi pemuda remaja yang lemah ini!
Ang-I Moli yang duduk bersila menghadapi Yo Han itu lalu membuat guratan-guratan dengan telunjuk kanannya, kemudian mulutnya berkemak-kemik, matanya terpejam. Ia membaca semacam mantera untuk mulai mempergunakan ilmu sihirnya untuk menyihir dan menguasai semangat Yo Han yang masih tidur nyenyak.
Setelah membaca mantera, ia lalu membuka kedua matanya yang mengeluarkan sinar aneh menatap wajah Yo Han. Juga kedua tangannya kini digerakkan dengan aneh, jari tangannya terbuka seperti cakar, dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak, kedua tangan itu diputar-putar sekitar kepala dan tubuh Yo Han. Kembali mulutnya berkemak-kemik, kini mengeluarkan bisikan yang mendesis-desis.
“Yo Han, engkau telah berada dalam kekuasaanku, seluruh semangat dan kemauanmu tunduk padaku. Jika nanti engkau kusuruh bangun, engkau akan tunduk dan menyerah padaku penuh kepasrahan, engkau akan menganggap aku sebagai wanita paling cantik yang kau kasihi, engkau akan dibakar gairah birahi dan engkau akan menuruti segala kehendakku dengan gembira. Kemauanmu akan lemah dan lembut bagaikan domba, gairah birahimu akan bangkit setangkas harimau. Engkau akan selalu berusaha untuk menyenangkan hatiku, dengan mentaati semua perintahku, hanya aku satu-satunya orang yang kau kasihi, kau taati...” Ia lalu menutup bisikan mendesis itu dengan tiupan dari mulutnya ke arah muka Yo Han tiga kali.
“Yo Han... Yo Han... Yo Han... bangunlah engkau, sayang!” Dia mengguncang pundak pemuda itu, menggugahnya.
Yo Han adalah seorang anak yang memiliki kepekaan luar biasa. Sejak kecil, di waktu dia tidur, jika ada sesuatu yang tidak wajar, sedikit suara saja sudah cukup menggugah dirinya dari tidur pulas. Maka begitu Ang-I Moli menyentuh pundaknya ia pun terbangun, membuka kedua matanya, tetapi tidak seperti biasanya, dia tidak segera bangkit duduk, namun memandang kosong ke depan, seperti orang melamun, seperti melihat sesuatu yang amat menarik hati.
Dan memang dia merasa melihat sesuatu yang amat aneh. Dia merasa seolah kaki dan tangannya terbelenggu, juga suaranya lenyap bagaikan gagu, dan dirinya hanyut oleh gelombang samudera, semakin ke tengah dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Kemudian ia merasa ada kekuatan yang menariknya ke tepi, bahkan ia seperti sedang menunggang gelombang, makin dekat ke tepi, lalu kaki tangannya yang tadinya seperti terbelenggu itu terlepas bebas, dan mulutnya dapat bersuara lagi. Dia berenang sekuat tenaga ke tepi, dan berhasil mendarat di pantai.
“Apa... apa yang terjadi padaku? Ya Tuhan, apa yang terjadi...?”
Suara ini pun seperti keluar dengan sendirinya, dari balik perasaan hatinya yang diliputi keheranan. Dan begitu dia menyebut nama Tuhan. Semua itu pun lenyap dan seperti orang bangkit dari mimpi buruk, dia kini duduk dan melihat bahwa di depannya duduk Ang-I Moli yang bersila.
Melihat pemuda remaja itu telah bangun duduk, Ang-I Moli tersenyum manis, merasa yakin bahwa sihirnya telah mengena dan telah menguasai anak itu, walau pun ketika Yo Han menyebut Tuhan tadi hatinya merasa amat tidak enak.
“Yo Han, engkau sayang padaku, bukan?” Ia menguji.
Yo Han memandang wajah subo-nya dengan heran, lalu menjawab lirih, “Tentu saja aku sayang padamu, Subo. Kenapa Subo menanyakan hal itu dan membangunkan aku?”
“Hemmm, anak tampan. Aku ingin engkau membuktikan kasih sayangmu padaku. Nah, kesinilah, Yo Han, peluklah aku… ciumlah aku,” katanya dengan senyum memikat dan nada suara memerintah.
Akan tetapi, kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hatinya! Anak itu tidak bergerak menuruti perintahnya, bahkan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata bersinar marah!
“Subo, apa artinya ini? Subo menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak patut!”
Tentu saja Ang-I Moli terkejut. Bukankah sihirnya tadi sangat kuat dan anak ini sudah berada di dalam cengkeraman ilmu sihirnya? Kenapa sekarang dia berani membantah dan menolak perintahnya?
“Yo Han! Aku sayang padamu dan engkau pun sayang padaku. Apa salahnya kalau engkau memelukku dan menciumku untuk menyatakan kasih sayangmu itu?”
“Tapi aku bukan anak kecil lagi yang pantas dipeluk cium, Subo! Aku seorang pemuda yang sudah berusia dua belas tahun, menuju ke masa remaja!”
Sekarang Ang-I Moli merasa penasaran bukan main. Semua ucapan Yo Han itu tidak menunjukkan bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir! Semua jawaban Yo Han itu mengandung perlawanan, bukan ketaatan.
Ia pun menguji lagi dan dengan suara nyaring mengandung perintah dia berseru, “Yo Han, bangkitlah berdiri!”
Dan anak itu pun segera bangkit berdiri. Begitu taat!
“Tambahkan kayu pada api unggun!” perintahnya pula.
Tanpa menjawab, dan sedikit pun tidak membantah, Yo Han menghampiri api unggun, memilih beberapa potong kayu bakar, kemudian menambahkannya kepada api unggun sehingga api kini membesar.
“Yo Han, sekarang duduklah kembali ke sini, di depanku!”
Sekali lagi Yo Han mentaati perintah itu dan menghampiri subo-nya, lalu duduk di depan subo-nya. Begitu taat dan sedikit pun tidak membantah. Mereka duduk bersila saling berhadapan, dekat sekali sehingga Yo Han dapat mencium bau harum minyak bunga yang semerbak dari pakaian dan rambut wanita itu.
Melihat betapa Yo Han selalu taat, Ang-I Moli menjadi semakin heran dan penasaran. Kenapa sekarang anak itu begitu taat seolah sihirnya termakan olehnya?
“Yo Han…, kau rabalah kedua pipiku dan daguku dengan kedua tanganmu,” kembali ia memerintah.
Yo Han hanya memandang heran saja, akan tetapi kedua tangannya bergerak dan dia pun meraba-raba kedua pipi yang halus dan dagu meruncing itu.
“Teruskan, raba leher dan dadaku...,” kata pula Ang-I Moli, kini suaranya mulai gemetar oleh bangkitnya kembali gairahnya.
Akan tetapi sekarang, kedua tangan itu bukan turun ke leher dan dadanya, melainkan turun kembali ke atas pangkuan Yo Han. Anak itu sama sekali tidak melaksanakan perintahnya.
“Yo Han, aku perintahkan, cepat kau raba dan belai leher dan dadaku dengan kedua tanganmu!” ia membentak, mengisi suaranya dengan kekuatan sihir sepenuhnya.
Tetapi, jangankan anak itu melaksanakan perintahnya, bahkan kini Yo Han memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, heran dan juga penasaran.
“Subo, kenapa Subo mengeluarkan perintah yang aneh-aneh? Maaf, aku tidak dapat memenuhi perintah itu.”
Barulah kini Ang-I Moli terkejut. Jelas bahwa anak ini tidak berada di bawah pengaruh sihirnya! Tidak pernah! Kalau tadi nampak dia mentaati hanya karena taat yang wajar, bukan pengaruh sihir sama sekali. Ia pun menjadi marah.
“Yo Han, bukankah engkau sudah berjanji akan mentaati semua perintahku? Mengapa sekarang engkau membantah dan tak memenuhi perintahku yang amat sederhana dan mudah ini?”
“Subo, sudah kukatakan bahwa semua perintah Subo akan kutaati, kecuali bila perintah itu untuk melakukan sesuatu yang jahat dan tidak benar. Perintah Subo itu tidak baik, karenanya maka aku tidak mau melaksanakannya. Perintahkan aku mengerjakan yang pantas, betapa berat pun pasti akan kutaati, Subo.”
“Yo Han,” kini Ang-I Moli hendak mendapatkan kepastian dan ia tidak mau membuang waktu sia-sia dengan membawa anak itu jauh-jauh ke tempat tinggalnya untuk kelak tidak tercapai pula maksudnya. “Engkau harus mentaati semua perintahku, kalau tidak, untuk apa aku mempunyai murid yang membandel dan membantah?”
“Untuk perintah yang tidak pantas, terpaksa aku menolak, Subo.”
Wanita yang sudah terbakar oleh gairah nafsunya sendiri itu, sama sekali tidak tahu bahwa Yo Han adalah seorang anak yang aneh, memiliki sesuatu dalam dirinya yang oleh manusia pada umumnya akan dianggap aneh.
Dia tidak pernah mempelajari ilmu silat dengan latihan, kecuali hanya menghafal semua teorinya saja, dan dia pun tidak pernah belajar ilmu sihir. Namun, kekuatan sihir yang digunakan Ang-I Moli terhadap dirinya, sama sekali tidak mempan, sama sekali tidak mempengaruhinya, hanya mendatangkan mimpi bahwa dia hampir dihanyutkan ombak samudera. Kekuatan sihir Ang-I Moli bagaikan arus air sungai yang menerjang batu, mengguncang sedikit saja lalu lewat tanpa mampu menghanyutkan batu itu.
Karena kini merasa yakin bahwa anak itu tidak lagi dapat dipengaruhinya dengan sihir, Ang-I Moli menjadi penasaran dan tak sabar lagi. Ia lalu menanggalkan pakaian luarnya, begitu saja di depan mata Yo Han.
Anak ini mula-mula memandang dengan mata terbelalak heran. Akan tetapi pandang matanya lalu menunduk ketika dia melihat tubuh subo-nya hanyalah terbungkus pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang.
Melihat betapa agaknya anak itu tidak dapat dipengaruhi oleh kecantikan dan keindahan tubuhnya, maklum karena usianya pun baru dua belas tahun, belum dewasa, Ang-I Moli lalu merangkul dan menciumi Yo Han. Diterkamnya anak itu bagaikan seekor harimau menerkam kelinci!
“Subo, apa yang Subo lakukan ini?! Subo, lepaskan aku! Ini tidak boleh, tidak benar, tidak baik...!”
Akan tetapi betapa pun dia meronta, tetap saja dia tidak berdaya menghindarkan diri. Yo Han kalah tenaga dan tak mampu bergerak lagi saat wanita itu menerkamnya sehingga dia terguling dan dia lalu ditindih, digeluti, didekap dan diciumi. Yo Han hanya dapat memejamkan matanya dan mulutnya berkemak-kemik dengan sendirinya.
“Ya Tuhan... ya Tuhan...” Dia hanya menyebut Tuhan berulang-ulang.
Semenjak Yo Han mengenal akan kekuasaan Yang Maha Kuasa melalui bacaan dalam kitab-kitab, dia yakin benar bahwa sumber segala kekuatan dan kekuasaan adalah satu, tunggal dan Maha Kuasa. Keyakinan ini yang selalu membuat Yo Han secara otomatis menyebut Tuhan setiap kali terjadi sesuatu menimpa dirinya. Hal ini mungkin karena dia sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi sehingga dia dapat menyerahkan diri sepenuhnya dan seikhlasnya kepada Tuhan.
Ang-I Moli menjadi penasaran dan marah bukan main. Anak laki-laki itu sama sekali tak melawan lagi, sama sekali tidak bergerak sehingga seolah-olah dia sedang menggumuli sebuah batu saja. Dan bisikan-bisikan yang menyebut Tuhan berulang-ulang itu sangat mengganggunya, bahkan api gairah birahi yang tadi membakar dirinya perlahan-lahan menjadi dingin. Api gairah itu hampir padam.
“Engkau... engkau tidak mau melayani hasratku...?” tanya Ang-I Moli dengan suaranya yang terengah-engah.
Yo Han tidak menjawab, tubuhnya telentang sedangkan pakaiannya awut-awutan. Dia menggeleng dengan tegas.
“Biar pun dengan ancaman mati? Engkau tetap tidak mau?”
“Mati di tangan Tuhan. Aku tidak mau melakukan hal yang tidak benar!” Jawab Yo Han, suaranya lirih namun tegas dan sepasang matanya bersinar-sinar.
“Plak! Plak!”
Dua kali Ang-I Moli menampar kedua pipi Yo Han sehingga kepala anak itu terdorong ke kanan kiri dan kedua pipinya menjadi merah. Ang-I Moli tidak ingin membunuhnya maka tamparan tadi pun menggunakan tenaga biasa saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri dan panas. Namun Yo Han tetap memandang dengan tabah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.
“Hemmm, hendak kulihat sekarang! Karena engkau harus dipaksa, maka engkau akan menderita. Salahmu sendiri! Nah, sekali lagi aku memberi kesempatan. Kalau engkau menuruti semua kehendakku, engkau akan hidup senang. Sebaliknya, bila engkau tetap menolak, aku juga bisa memaksamu dengan obat perangsang dan racun, dan akhirnya engkau pun akan menyerahkan diri kepadaku, hanya saja, engkau akan menderita dan mati!”
“Subo, dengan ancaman siksaan apa pun Subo tidak dapat memaksaku melakukan hal yang tidak benar. Aku tidak takut mati karena kematian berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku harus mati, aku pun akan menyerah dengan rela...”
“Cukup! Tidak perlu berkhotbah! Engkau mau atau tidak?”
“Subo, kuperingatkan Subo. Perbuatan Subo ini tidak benar dan berdosa. Kelak Subo akan menerima hukuman dari Tuhan!”
“Tutup mulutmu!”
Tangan Ang-I Moli bergerak, lalu jari-jari tangannya menotok jalan darah di pundak dan pinggang Yo Han.
Tubuh Yo Han terkulai, tidak mampu bergerak lagi. Hanya kedua matanya yang masih terbelalak memandang wajah wanita itu dengan penuh teguran.
“Subo dan aku adalah guru dan murid, tidak sepatutnya...”
“Tukkk!”
Kembali wanita itu menotok leher dan suara Yo Han menghilang. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara.
“Hi-hik, bocah cerewet!” Wanita itu kini terkekeh-kekeh dan dalam pandangan Yo Han wanita itu telah berubah sama sekali.
Tadinya dia melihat wanita itu sebagai seorang wanita yang berwajah cantik, bersuara lembut dan peramah. Akan tetapi kini, sepasang mata itu berubah laksana mata iblis, juga senyumnya menyeringai mengerikan, suaranya agak parau dan mendesis, sedang wajahnya yang berbedak tebal itu seperti topeng.
“Hi-hi-hik, kita bukan guru dan murid lagi, melainkan seorang wanita dan seorang pria! Dan engkau, mau tidak mau, harus menyerahkan hawa dan darah murnimu kepadaku. Sampai tetes yang terakhir! Dan engkau akan menjadi seperti seekor lalat yang dihisap habis oleh laba-laba, sedikit demi sedikit darahmu akan kuhisap sampai tinggal tubuh yang mengering tanpa darah. He-he-heh!” Mulutnya berliur membayangkan kenikmatan dan keuntungan yang akan diperolehnya dari anak ini.
Kalau saja Yo Han mau menuruti semua kehendaknya, atau kalau saja anak itu dapat dikuasainya dengan sihir, tentu ia akan dapat memperoleh kenikmatan yang lebih lama. Ia akan menghisap darah murni anak itu sedikit demi sedikit, menikmatinya dari sedikit sampai akhirnya darah murni itu habis.
Sekarang terpaksa ia harus menggunakan paksaan dengan racun perangsang. Ia akan menghisap darah itu dengan paksa. Mungkin anak itu hanya akan bertahan dua tiga hari saja. Ia akan menghisapnya sampai habis dan akan tinggal sampai dia menyelesaikan pekerjaan itu di dalam kuil tua ini. Paling lama tiga hari lagi dan ia akan berhasil. Ia akan siap untuk melatih diri dengan ilmu rahasia itu!
Melihat api unggun mulai mengecil karena kehabisan kayu bakar, Moli lalu menambah kayu, dan api unggun membesar kembali. Sambil menyeringai dan bersenandung kecil menyatakan kegembiraan hatinya, wanita itu lalu mengambil sebuah bungkusan kain dari dalam buntalan pakaiannya, lalu membuka bungkusan itu dan mengeluarkan tiga butir pel dari dalam botol hijau. Ia duduk dekat api unggun saat memilih isi bungkusan. Sisa obat itu dia bungkus kembali dan tiga butir pel berada di tangannya.
Yo Han mengikuti semua gerakan wanita itu dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya, maka seperti biasanya dia lakukan, dalam keadaan seperti itu, penyerahan dirinya kepada kekuasaan Tuhan menjadi semakin kuat.
Dia merasa yakin bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan! Kalau memang Tuhan menghendaki bahwa dia harus mati di tangan wanita ini, apa boleh buat. Dia hanya dapat menerimanya dengan pasrah karena maklum sedalamnya bahwa segalanya adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Karena kepasrahan yang mutlak ini, sedikit pun tidak ada rasa takut.
Rasa takut adalah perkembangan dari si-aku yang diciptakan oleh pengalaman masa lalu melalui pikiran. Si AKU yang merasa terancam menimbulkan rasa takut. Takut kalau kesenangan yang sudah berada di tangan itu terlepas dan hilang. Takut jika kesusahan akan menimpa dirinya, takut sakit, takut mati.
Si AKU ingin selalu di atas, ingin selalu menonjol, ingin selalu menjadi yang terpenting, terbesar, terbaik. Rasa takut akan timbul jika si AKU merasa terancam kepentingannya, terancam keadaannya, takut kalau dirinya akan kehilangan arti, takut, kalau dirinya akan lenyap oleh kematian, takut kehilangan segala yang dimilikinya, yang menjadikan dirinya penting dan berarti. Takut akan kehilangan harta, kedudukan, kehormatan, nama, takut kehilangan orang-orang yang dikasihi karena mereka yang dikasihinya itu menimbulkan kesenangan. Pada hakekatnya, si AKU yang sesungguhnya hanyalah khayalan dari sang pikiran yang menimbulkan rasa takut.
Yo Han dalam keadaan terancam bahaya maut, terancam siksa dan derita, tetap tidak mengenal rasa takut sebab ia sudah menyerahkan segalanya, dengan sebulat batinnya, kepada kekuasaan Tuhan! Si aku dalam dirinya tidak memegang peran lagi dan sebagai gantinya, semua diri seutuhnya, badan mau pun batin, telah diserahkan kepada Tuhan dan karenanya, kekuasaan Tuhan sajalah yang membimbingnya dan menjaganya.
Moli memasukkan tiga butir pel kehijauan itu ke dalam cawan araknya, lalu mengambil guci dan hendak menuang isi guci ke dalam cawan itu. Akan tetapi segera ditahannya.
“Heh-heh, aku lupa! Engkau tidak suka arak. Kalau dicampur arak akan sukar memasuki perutmu. Sebaiknya dengan air saja. Bukankah begitu, Yo Han?”
Akan tetapi anak itu tidak menjawab. Pada saat itu, semua panca indranya juga bekerja sendiri, tidak lagi dikemudikan oleh hati dan akal pikiran. Karena itu, dia mendengar dan melihat tanpa penilaian, tanpa pendapat. Hanya mendengar dan melihat saja seperti apa adanya, dan karena pikirannya tidak bekerja menimbang-nimbang lagi, maka dia tidak merasa takut. Dia bagaikan seorang bayi di dalam gendongan ibunya, tidak takut apa-apa dan merasa aman!
Demikianlah keadaan seorang yang berada dalam ‘gendongan’ kekuasaan TUHAN yang meliputi seluruh alam maya pada ini, meliputi luar dan dalam, segenap penjuru dan di dalam apa saja yang nampak dan tidak nampak, di dalam atau pun di luar dunia, di mana saja yang terjangkau pikiran mau pun yang tak terjangkau. Jika sudah terbimbing oleh kekuasaan seperti itu, berada dalam gendongan kekuasaan seperti itu, apa lagi yang dapat menimbulkan rasa takut?
“Heh-heh-heh-heh!” Moli menuangkan air ke dalam cawan, lalu menggunakan sumpit untuk menghancurkan tiga butir pel di dalam cawan, melarutkannya sampai rata betul. Sambil terkekeh ia lalu mendekati Yo Han yang masih memandang dengan sinar mata yang terang dan tenang.
“Hi-hi-hik, Yo Han. Dengar baik-baik. Tiga butir ini mengandung tiga macam racun yang amat kuat. Pertama, racun perampas ingatan! Begitu meminumnya, engkau akan lupa segala. Semua ingatan tentang masa lampau akan lenyap dan terlupakan. Enak sekali, bukan? Racun kedua mengandung racun perangsang. Begitu meminumnya, engkau lantas menjadi seekor kuda jantan dalam birahi! Hi-hi-hik, menyenangkan aku benar! Engkau tak akan pernah mengenal puas dan engkau harus menyalurkan terus-menerus hasrat kejantananmu itu sampai tubuhmu yang tidak kuat lagi. Dan racun ke tiga adalah obat kuat, agar tubuhmu kuat melakukan penyaluran hasratmu itu sampai habis, hi-hik! Sampai darah murnimu terhisap habis olehku, hawa murni di dalam tubuhmu tersedot habis dan menjadi milikku, hi-hi-hik!”
Yo Han tidak merasa ngeri mendengar semua itu. Yang ada hanya keheranan mengapa Ang-I Moli kini berubah seperti ini! Seperti bukan manusia lagi. Sekarang baru dia tahu mengapa wanita ini dijuluki Ang-I Moli (Iblis Betina Berpakaian Merah). Kiranya memang wataknya bagai iblis betina, seperti bukan manusia lagi, penuh kelicikan dan kekejaman luar biasa.
“Bukalah mulutmu, sayang. Biar kutuangkan minuman yang sedap ini ke dalam perutmu melalui mulut. Bukalah mulutmu,” kata Moli dengan suara manis merayu.
Tentu saja Yo Han tak mau membuka mulutnya. Ia memang masih bisa menggerakkan mulut karena yang tak dapat digerakkan hanya kedua kaki dan tangan saja. Akan tetapi dia tidak sudi menuruti perintah manusia yang sudah menjadi iblis itu.
“Buka mulutmu kataku!” Sekarang Moli membentak marah, akan tetapi Yo Han hanya memandang dengan mata melotot, bahkan dia merapatkan kedua bibirnya.
“Anak bandel!” Moli berkata, lalu tangan kirinya menangkap rahang Yo Han dan sekali jari-jari tangannya menekan, mulut Yo Han terbuka lebar tanpa dapat ditahannya lagi. Bahkan kini yang memegang rahang Yo Han hanya tiga jari karena jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri Moli sudah di julurkan ke atas dan menekan lubang hidung Yo Han.
Anak itu terpaksa menarik napas dari mulut karena hidungnya tertutup dan ketika Moli menuangkan air dalam cawan yang sudah bercampur tiga butir pil yang sudah larut, dia tidak dapat memuntahkannya keluar dan cairan itu pun tertelan dan masuk ke dalam perutnya.
“Hi-hi-hik, racun itu sudah masuk perutmu, Yo Han. Engkau akan segera tertidur karena pengaruh racun perampas ingatan, akan tetapi besok pagi-pagi bila engkau terbangun, engkau akan jinak dan penurut seperti domba, akan tetapi juga tangkas dan kuat seperti harimau. Hi-hik, sungguh akan menyenangkan sekali. Sekarang, kau tidurlah, sayang...” berkata demikian, Moli membebaskan totokan jalan darah Yo Han sehingga anak itu mampu bergerak kembali.
Yo Han menggerak-gerakkan kaki tangannya yang terasa kaku dan nyeri-nyeri, lalu bangkit duduk memandang kepada Moli dengan sinar mata penuh teguran.
“Bibi, engkau sendiri yang tadi mengatakan bahwa kita bukan guru dan murid lagi, maka aku tidak akan menyebutmu subo lagi. Bibi, engkau seorang manusia, mengapa engkau melakukan perbuatan yang lebih pantas dilakukan iblis? Ingatlah, Bibi, perbuatan yang jahat akan menghasilkan akibat yang buruk bagi dirimu sendiri…” Yo Han menghentikan ucapannya karena tiba-tiba saja dia merasa kantuk menyerangnya dengan hebat sekali. Tak tahan dia untuk tidak menguap.
Ang-I Moli terkekeh genit. “Memang orang menyebutku iblis, Yo Han. Orang menjuluki aku Ang-I Moli, kalau aku tidak bertindak seperti iblis, berarti julukanku itu tidak ada harganya dan kosong belaka, heh-heh-heh! Engkau sudah mulai mengantuk? Tidurlah sayang, tidurlah...!”
Wanita itu terkekeh-kekeh melihat Yo Han kini merebahkan diri miring di atas rumput kering dan segera pulas. Ia pun menambahkan lagi kayu bakar di perapian, dan turut merebahkan diri di dekat Yo Han, memeluk pemuda remaja itu dengan mesra. Ia sudah siap. Begitu Yo Han terbangun pada keesokan harinya dan racun-racun itu bekerja, ia sudah siap.
Karena ia pun lelah dan mengantuk, sebentar saja Moli pulas juga. Ia tidak tahu bahwa tidak lama kemudian api unggun itu padam dan hawa dingin menyusup tulang. Ia tidak terbangun, hanya merangkul lebih erat. Yo Han juga tidak pernah terbangun karena dia agaknya sudah terpengaruh oleh racun yang mulai bekerja di tubuhnya.
*********
Karena sangat kecapaian dan tidur pulas sekali, Moli yang merangkul bahkan seperti menyelimuti tubuh Yo Han dengan tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa lewat tengah malam, ada sesosok bayangan hitam perlahan-lahan memasuki kuil tua yang kosong itu.
Bayangan itu ternyata seorang wanita yang berpakaian longgar, pakaian sutera kuning dengan kepala juga dikerudungi sutera kuning. Karena penerangan hanya datang dari bulan yang muncul lambat sekali, bulan yang tinggal sepotong, maka tidak dapat dilihat jelas wajah wanita berkerudung itu. Namun gerak-geriknya halus walau pun ringan dan cekatan.
Langkahnya tidak menimbulkan suara ketika ia memasuki kuil. Tangannya memegang sebatang kayu kering yang membara ujungnya. Ia mengayun kayu itu dan bara itu pun menyala kecil, cukup untuk menerangi sekelilingnya sejauh tiga empat meter. Akan tetapi ia menggunakan tangan kiri menutupi mukanya agar pandang matanya tidak silau oleh nyala api di ujung kayu itu. Dia memilih tempat, mencari bagian yang kering dan bersih, agaknya untuk melewatkan malam.
Bagian depan dan tengah kuil itu agaknya tidak memuaskan hatinya karena memang selain lantainya tidak begitu bersih, juga di bagian depan itu orang akan terserang angin karena terbuka. Di bagian dalam memang terlindung dari angin, akan tetapi tempat itu agak lembab.
Ia lalu mengayun lagi kayu yang nyalanya telah padam dan hanya tinggal membara. Sekali ayun, bara itu menyala kembali dan ia melangkah ke belakang. Diangkatnya kayu itu tinggi di atas kepala dan sekilas ia melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan itu, si perempuan hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang, si laki-laki yang masih remaja juga pakaiannya awut-awutan. Mereka itu tertidur nyenyak, perempuan merangkul laki-laki itu dengan erat sekali.
Ia menurunkan kayu dan nyala di ujung kayu itu pun padam. Ia lalu membalikkan tubuh dan kembali ke ruangan depan, bahkan tak mau tinggal di ruangan dalam karena terlalu dekat dengan ruangan belakang. Dinyalakannya kembali ujung kayu itu dengan ayunan tangannya, lantas dia pun mengumpulkan rumput kering dan menaburkannya di sudut ruangan depan itu. Setelah itu, ia memadamkan kembali nyala api dan duduk bersila.
Walau pun angin bertiup dan hawa dingin sekali, ia tidak kelihatan kedinginan. Bahkan nyamuk yang banyak beterbangan di situ hanya beterbangan di sekitarnya dan agaknya tidak ada yang mencoba untuk hinggap di mukanya, satu-satunya bagian tubuh yang nampak dan dapat digigit.
Entah apa yang menyebabkan nyamuk-nyamuk tidak berani hinggap di pipi atau leher itu. Agaknya harum cendana yang keluar dari tubuh itulah yang membuat nyamuk tidak berani mendekat. Atau mungkin juga bau hio berasap yang dibakar oleh wanita itu. Sebatang saja hio (dupa biting) yang nampaknya awet sekali, mengeluarkan asap yang harum.
Wanita itu duduk bersila dan memejamkan matanya setelah mulutnya mengomel lirih. “Omitohud... alangkah tega menodai tempat suci ini, sungguh pun kuil ini sudah tidak terpakai. Apakah mereka tidak dapat mencari tempat lain yang lebih baik dan tepat untuk bermain cinta? Omitohud...”
Akan tetapi, ia segera melupakan apa yang terlihat olehnya tadi dan sudah tenggelam dalam semedhi yang mendalam. Siapakah wanita ini?
Ia seorang wanita yang tidak muda lagi walau pun masih nampak cantik. Usianya sudah empat puluh tujuh tahun, rambutnya sudah berwarna dua. Akan tetapi rambut yang tidak tersisir rapi dan awut-awutan karena perjalanan jauh dan hembusan angin itu halus dan panjang, berkilau tanda sehat.
Rambut itu digelung secara aneh, tak mirip gelung orang daerah, lalu kepala itu ditutup kerudung sutera kuning. Wajahnya masih belum diganggu keriput walau pun garis-garis di antara kedua matanya menunjukkan bahwa ia seorang yang telah banyak mengalami pahit getir kehidupan di dunia. Sepasang matanya jeli dan tajam, lebar dan berwibawa.
Di antara dua alisnya terdapat titik merah, suatu kebiasaan di negerinya karena wanita ini berasal dari negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil yang terletak di sebelah selatan Tibet. Tubuhnya masih padat dan ramping, tanda bahwa selain sehat, juga wanita ini memiliki tubuh yang kuat dan terlatih.
Kalau ada orang Bhutan yang melihatnya, tentu orang itu akan bersikap amat hormat padanya. Hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak dan pakaiannya yang seperti pakaian pendeta itu menunjukkan kedudukannya yang cukup tinggi di Kerajaan Bhutan. Ia adalah seorang puteri! Seorang wanita ningrat keluarga dekat dari raja Bhutan.
Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita cantik ini bernama Gangga Dewi, seorang puteri dari Kerajaan Bhutan, atau lebih tepat lagi, ia masih cucu raja tua di Bhutan. Ibu Gangga Dewi adalah Puteri Syanti Dewi, puteri raja, sedang ayahnya adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dahulu berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, atau kemudian setelah menjadi duda dan sudah tua lalu menjadi seorang pendeta dan berjuluk Tiong Khi Hwesio.
Gangga Dewi lahir di Bhutan. Dia dilahirkan sesudah lebih dari sepuluh tahun ayahnya menikah dengan ibunya, lalu dia hidup sebagai seorang puteri di kerajaan itu. Ayahnya menjadi seorang panglima atau seorang penasihat perang. Sejak kecil dia pun menjadi gemblengan dari ayahnya, sampai dia dewasa dan kemudian menikah dengan seorang panglima muda Bhutan yang telah banyak membuat jasa.
Gangga Dewi hidup berbahagia dengan suaminya dan ia melahirkan dua orang anak. Akan tetapi, saat dua orang anaknya berusia belasan tahun, ibunya, yaitu Puteri Syanti Dewi, meninggal dunia karena penyakit tua. Ayahnya, Wan Tek Hoat, seperti berubah ingatan ketika Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya itu meninggal dunia.
Bagaikan orang gila Wan Tek Hoat tidak mau pulang dan tinggal dalam gubuk di dekat makam isterinya, seolah-olah dia ingin menemani isterinya yang sudah berada di dalam kuburan. Akhirnya seorang pendeta tua yang bijaksana dapat menyadarkan Wan Tek Hoat sehingga dia dapat menyadari kebodohannya, menggunduli kepala, mengenakan jubah pendeta dan mempelajari keagamaan, menjadi seorang hwesio (pendeta Buddhis berjuluk Tiong Khi Hwesio.
Kemudian ia meninggalkan Bhutan karena setelah isterinya meninggal dunia ia merasa terasing di Bhutan. Puteri tunggalnya, Gangga Dewi, telah menikah dan hidup bahagia dengan suaminya, yaitu seorang Bhutan asli. Maka dia pun pergi ke timur, kembali ke Tiongkok dan akhirnya berkunjung ke Istana Gurun Pasir sampai meninggal di sana bersama saudaranya seayah berlainan ibu, yaitu nenek Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu. Kisah itu dapat dibaca secara lengkap dalam ceritaKISAH SI BANGAU PUTIH.