CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 14
"Harap Paduka suka hati-hati karena dua orang yang menculik Paduka itu sungguh tak boleh dipandang ringan sama sekali. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan berbahaya sekali. Karena itu, sebaiknya jika Paduka memperoleh pengawalan yang kuat," Bu-taihiap memberi nasehat.
Pangeran itu tertawa. "Betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau pengawalan itu terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian saja, dengan menyamar dan tiada seorang pun mengenalku sebagai pangeran mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau Kim-coa-to."
"Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk mengawal Paduka."
"Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak leluasa kalau dikawal. Bagaimana kalau engkau ikut sebagai undangan di Kim-coa-to? Akan ramai di sana."
"Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran?"
Mendengar pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyurn. "Pertanyaan itu saja jelas menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia ramai, sehingga tidak mendengar akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!" Pangeran lalu dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik.
Tidak mengherankan apa bila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah berseri dan nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tidak pernah melewatkan wanita cantik begitu saja, dan biar pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tidak pernah padam, bahkan semakin berkobar-kobar!
Memang yang dinamakan nafsu, apa pun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi makanan semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tidak pernah mengenal puas. Itulah nafsu! Oleh karena itu, sekali kita menjadi hamba nafsu, selamanya akan terus diperbudak, semakin lama semakin dalam.
"Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba berkunjung...." Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. Benar saja, dia melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata berapi-api penuh kemarahan dari ketiga orang isterinya! "Ehhh.... ohhh berkunjung ke sana mengawal Paduka....," sambungnya cepat.
"Hemm mengawal ataukah melihat puteri cantik?!" Tang Cun Ciu menghardik dengan suara mendongkol.
"Huh, tak ada puasnya!" sambung Gu Cui Bi.
"Dasar mata keranjang!" Nandini juga mengomel.
Bu-taihiap menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berubah kemerahan. Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, tetapi yang amat bijaksana dan mudah menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan berkata, "Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku dikawal. Lihat, pengawalku sudah cukup banyak dan kurasa mereka tak akan berani lagi muncul mengganggu setelah menerima hajaran keluargamu tadi."
Betapa pun juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai tempat penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap menggunakan kesempatan baik itu untuk minta bantuan Sang Pangeran mengenai niat keluarganya menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong.
"Jenderal Kao Cin Liong? Ahhh, dia adalah seorang sahabatku!" Sang Pangeran itu tanpa disangka-sangka berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan ketiga orang isterinya memandang girang. "Jangan khawatir, kalau memang sudah ada kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi perantara. Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi."
Tentu saja keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini, terutama sekali Bu Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
"Banyak terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran," berkata Bu-taihiap. "Biarlah hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka kembali ke sana."
Demikianlah, setelah mengawal Pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah dipersiapkan perahu-perahu besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw dan ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king.
Meski berita tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Kim-coa-to, dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi pangeran dan juga menurut laporan anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja ramai dan meriah.
Hanya diam-diam Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang Pangeran, terutama sekali Syanti Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan yang menjadi sahabatnya yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik saja!
Ingin sekali dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya, maka tentu saja dia tidak dapat meninggalkannya.
Para tamu sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau itu untuk keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka semua tahu betapa bahayanya kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang kabarnya memiliki kepandaian sangat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.
Pada saat perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat munculnya Sang Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi menyambut dengan girang dan lega bukan main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung induk, di mana tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan pangeran itu adalah dua orang wanita cantik ini.
Munculnya Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah mulai berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapa pun juga, pangeran mahkota itu memiliki nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi kegagahan.
Tetapi di samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi berkenan memilih jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam segala hal dengan pangeran mahkota? Suatu persaingan yang tidak adil!
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang sangat mengharapkan agar Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri pertama, kalau tidak mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat menjadi selir pertama, kedua atau syukur-syukur jika dapat menjadi permaisuri, apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar!
Dan dia sendiri, sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula derajatnya. Maka, tidak mengherankan apabila nyonya rumah ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan kemuliaan, amat meriah.
Ouw Yan Hui sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh karena itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah menyebar banyak sekali mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka semua, memilih-milih orang-orang yang sekiranya patut menjadi calon jodoh sahabat atau muridnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang menonjol lagi.
Semua tamu yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu bahwa perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta, tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya. Sementara itu, setiap tamu menyerahkan hadiah sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia khusus yang mencatat semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar, bertumpuk-tumpuk, dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada keesokan harinya.
Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil mungil yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini telah dihias dengan meriah, digantungi banyak lampu dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah pondok terdapat meja bundar di mana ketiga orang itu duduk menikmati hidangan serta minuman sambil bercakap-cakap.
Sayup-sayup terdengar suara alunan musik yangkim dan suling yang dimainkan oleh beberapa orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk memainkan alat-alat musik itu dengan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu percakapan mereka bertiga, namun cukup mendatangkan suasana yang indah.
Setelah beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui kemudian berkata dengan penuh hormat, “Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa untuk merayakan ulang tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami juga telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik Syanti....”
“Ahh, itu bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja....,” Syanti Dewi memotong sambil tersenyum.
Pangeran Kian Liong tertawa dan minum araknya. “Kehendak siapa pun juga, kurasa hal itu sudah sepantasnya, bukan? Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi, sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami.”
Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berubah merah.
“Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau telah dengar sendiri, Adikku.” Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan melengkung hitam itu. “Akan tetapi hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Walau pun besok akan berkumpul banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan di antara mereka itu yang cukup pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini?” Jelaslah bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini ‘memancing’ pendapat Pangeran tentang hal itu.
Pangeran itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Memang sukar.... memang sukar mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini....”
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata, “Tidak ada yang tepat memang, kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan kehormatan itu....”
“Enci Hui....!” Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran.
Pangeran Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu. “Aihh, Ouw-toanio, mana mungkin itu? Enci Syanti Dewi bagiku seperti kakakku sendiri, setidaknya seperti seorang sahabat yang amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan tentang jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio.”
Syanti Dewi bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi sebaliknya, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main. Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi sampai selesai. Setelah semua mangkok piring dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan.
“Betapa pun kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka kemukakan tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka menjadi pelindung dan penasehat dari adik hamba ini dalam menentukan pemilihan jodoh agar jangan sampai salah pilih.”
Pangeran itu tersenyum lebar. “Ahh, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan melindungi Enci Syanti, sungguh pun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku yang tidak ada pengalaman ini mana mampu memberi nasehat? Aku yakin bahwa seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan dapat salah pilih.”
Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan selanjutnya tidak lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang Pangeran memang nampak terdapat keakraban dan mereka itu bicara seperti dua orang sahabat atau saudara.
Maka dia pun merasa sebagai pengganggu atau merasa menjadi orang luar, karena itu dengan hormat dan alasan pening kepala dia pun mengundurkan diri meningggalkan kedua orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu, sedangkan para penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran dan puteri itu.
Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela, ke atas langit yang bersih seperti beludru hitam baru saja disikat, tanpa ada debu atau awan sedikit pun yang menutupi bintang-bintang yang berkilauan gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman bunga dan daun yang tumbuh di luar pondok.
Dari sudut kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang berdiri seperti menyendiri dan silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara celah-celah cabang dan daun, masih dapat nampak bintang-bintang di langit belakangnya, hingga dipandang sepintas lalu seolah-olah daun-daun pohon itu berubah menjadi benda-benda berkilauan.
Agaknya dua orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang keluar jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Akan tetapi keheningan yang meliputi seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka segan untuk mengganggu dengan kata-kata. Suara yangkim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke dalam keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang dengan suara berirama.
Seekor nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik kembali kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan kiri dan menggaruknya, kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun lenyap, tidak terasa lagi.
“Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti. Betapa lucunya.”
“Ahh, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti dua orang kakak dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan hatinya, dia selalu menilai hubungan antara pria dan wanita selalu hanya merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar baginya untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai dua orang sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia.”
“Ahh, tidak apa, Enci. Akan tetapi jika engkau memang tak setuju dengan diadakannya pemilihan calon jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja?”
“Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui.... kalau tidak ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya masih hidup. Ahh, saya hanya menurut saja, untuk sekedar membalas budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju. Coba saja Paduka bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya sebagai ulang tahun ke tiga puluh!”
“Ahhh, aku tidak percaya!” pangeran itu berseru heran.
“Tidak percaya yang mana, Pangeran?”
“Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu baru paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!”
Syanti Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram. “Kecantikan dan awet muda ini bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya tidak mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang datang mengganggu saya....”
“Wah, jangan masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!”
Syanti Dewi lalu menjura dan berkata, “Jangan khawatir, Pangeran. Paduka merupakan seorang istimewa, seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang dengan hati bersih dan bijaksana, karena itulah saya amat tunduk kepada Paduka.”
“Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau sudah berusia tiga puluh enam tahun?”
“Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!”
“Ahhh, masa....? Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!”
“Itulah, Pangeran. Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami pelajari dari Bibi Maya Dewi dari India.”
Pangeran itu mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andai kata pada suatu waktu dia ingin mempunyai seorang kekasih, tantu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini sebagai perbandingan.
“Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan untuk memilih jodoh? Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu itu untuk mempunyai seorang suami?”
Syanti Dewi memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam saja, membiarkan puteri itu menangis untuk menguras tekanan batin yang dideritanya ketika itu. Akhirnya, setelah banyak air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah jari tangannya, Syanti Dewi menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk menyusuti air matanya dari pipi.
“Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret hati....” Kemudian Syanti Dewi memberi isyarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar.
Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus. “Sebaiknya saya ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya pada Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya.” Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw Yan Hui.
Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai terpaksa meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah.
“Tapi.... agaknya pria yang kau cinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu?”
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, “Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya bagiku....”
“Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci?”
Sampai lama Syanti Dewi tak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih mendekati keluhan dari pada jawaban, “Entahlah.... bagaimana, ya? Kalau ingat betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapa pun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tak mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ahh, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja permintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar lagi....?”
Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula!
“Kalau memang engkau sudah bulat mengambil keputusan, nah, besok kau lakukanlah pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar untuk Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan membantumu sedapatku, Enci.”
Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu. “Ahhh, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Walau pun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan peri kemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat? Rasanya.... tidak mungkinlah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain....”
Pangeran Kian Liong cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, kemudian menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan kanannya. “Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!”
“Pangeran, harap ampunkan dia....”
“Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tak akan merasa tidak enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa telah mengecewakan hati Ouw-toanio. Dan setelah ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu?”
Syanti Dewi amat terkejut dan juga merasa terharu sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang sangat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui!
“Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya dan....”
“Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk meengambil seorang wanita seperti selir atau isterinya? Tak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andai kata aku mengambil sepuluh orang wanita sekali pun.”
“Ahhh, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka, Pangeran.”
“Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi?”
Pada saat itu nampak dua orang wanita pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu.
Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran. “Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran,” kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu.
Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu. Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir cawan ke mulutnya, mendadak ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.
“Tringgg....!”
Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai sehingga mengeluarkan bunyi nyaring.
“Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini?” Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman.
“Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita cepat tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka.”
Syanti Dewi kemudian mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, lalu dengan pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang. Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu.
Biar pun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat dalam penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.
“Mari, Pangeran!” Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya.
Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih mau pun sebagai seorang sahabat!
Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang yang dikeroyok itu. Walau pun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, akan tetapi dia dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya cepat-cepat pergi meninggalkan taman.
“Ahhh....!” Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya.
Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung. Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.
Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang.
Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok mau pun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan pada waktu diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau pingsan!
Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius.
Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali.
“Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi,” komandan ini bercerita dengan suara mengandung kekhawatiran besar. “Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu....” Komandan itu menggelengkan kepalanya. “Sungguh berbahaya sekali, yang tengah kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari Paduka Pangeran.”
Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya. “Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi.”
Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi. Dua orang pelayan yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang nampak mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan.
Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran!
Tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja. “Aku tidak khawatir,” katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. “Biar pun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan?” Dan sambil tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat.
Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang jahat hendak mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya!
Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersenda-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar supaya tidak mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu.
Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke Kim-coa-to Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan!
PANGERAN KIAN LIONG memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia sudah mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau kelak dia dikenal dalam sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai serta bijaksana.
Dalam usia dua puluh tahun itu saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya mengagumkan hati para pendekar serta ketenangannya menghadapi segala membuat dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang tepat karena tidak pernah dilanda kegugupan.
Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang yang justru menjadi sasaran penyerangan gelap itu, yang tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno, campuran antara bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu membacanya!
Satu-satunya orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak aneh karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan dia pun paham sekali bahasa itu.
Baru setelah jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk. Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebahkan diri di atas pembaringan yang berkasur lunak tebal dan berbau harum itu.
Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat. Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki! Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu memperhatikan, hatinya lega kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda yang pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan!
Makin yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu pula, dan dia pun dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh cawan araknya yang terisi minuman anggur dan mengandung obat beracun! Dan tentu jembel ini tadi melawan enam atau lima orang yang mengeroyok itu dalam usahanya menyelamatkan dia pula!
Maka dengan tenang dia pun bangkit duduk. Betapa pun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan juga terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja, seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian seperti setan, pikirnya.
Memang benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot dan cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui, pendekar yang rusak hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah hutan itu, ketika melihat Sang Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia enggan untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu, dia pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan yang ditumpanginya.
Dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau inilah kekasihnya berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika puteri ini menyambut Sang Pangeran dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan!
SYANTI DEWI tidak berubah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia telah bersembunyi sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung pulau dan baru sekarang dia berani mendekat, yaitu setelah para tamu mulai berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis oleh Syanti Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran itu. Kedua matanya menjadi basah.
Memang, sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota, menjadi calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti Syanti Dewi pernah mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika menyambut Sang Pangeran, diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya.
Dia telah mendengar bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh. Dan kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan bersyukur. Dia mau melihat kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota yang telah banyak didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena agaknya di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga agar supaya Sang Pangeran dapat menang.
Kemudian dia mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya di dalam hutan berkat pertolongannya, kembali pangeran diserbu, bahkan diculik oleh para penjahat. Hal ini didengarnya dari percakapan di antara para tamu yang dapat ditangkapnya di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang Pangeran itu belum tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang Pangeran itu berubah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon suami Syanti Dewi.
Dia harus selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya! Inilah sebabnya mengapa Tek Hoat dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa orang-orang yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!
Dia maklum bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu jika saja para pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir penyerbuan pengawal setelah melihat Pangeran dapat lolos dari pondok di taman. Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk diketahui siapa mereka, apalagi mereka semua mempergunakan kedok.
Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang yang ingin mencelakai pangeran, entah dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran, karena jika hal itu yang dikehendaki mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu sudah pernah diculik dan tidak dibunuh? Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata-mata demi Syanti Dewi!
Tek Hoat melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya para penjaga dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu? Cara satu-satunya yang terbaik baginya ialah melindungi Pangeran itu secara langsung! Maka dia pun bersembunyi di wuwungan karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang menyerang, tentulah mengambil jalan dari atas wuwungan.
Dugaannya ternyata tepat. Menjelang tengah malam, ia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja telah lenyap lagi ditelan kegelapan malam. Wan Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya.
Lalu dia mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira bahwa Pangeran telah pulas, maka terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia pun menghampiri Pangeran yang sudah menyingkap kelambu.
“Sssttt...., Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat yang hendak datang.... biar hamba yang menyamar menggantikan Pangeran....,” bisik Tek Hoat.
Pangeran Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik kembali sambil turun dari atas pembaringan, “Baik, cepat kau gantikan aku dan aku....” Dia lalu cepat menyusup ke bawah kolong pembaringan itu!
“Ahhh, kenapa Paduka....?”
“Sssttt...., aku mau menonton!” bisik Pangeran itu yang sudah bersembunyi di kolong pembaringan!
Tek Hoat membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggelengkan kepala. Pangeran ini memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat menyingkirkan diri, malah ingin menjadi penonton dan sekarang bersembunyi di kolong pembaringan! Bukan main!
Akan tetapi tidak ada waktu lagi baginya untuk berbantahan, maka cepat dia pun sudah memasuki pembaringan di bawah kelambu, dan menyusup di bawah selimut bulu yang hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti.
Juga Sang Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biar pun bukan seorang ahli silat tinggi namun satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia tahu bahwa tentu akan terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani masuk!
Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas melayang turun tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok, bahkan kedoknya menyelubungi seluruh kepala, hanya nampak dua lubang dari mana ada sepasang mata mencorong dan memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang itu yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya melayang ke dalam kamar.
Dari balik kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya, dan dia terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia sudah siap siaga.
Sedangkan Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke paha yang tertutup celana hitam, kaki yang kecil. Dari tempat dia sembunyi, Pangeran itu dengan hati geli membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu orang itu akan terkejut sekali, dia membayangkan.
Tiba-tiba orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan tangan kanannya bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika jari-jari tangan yang lentik kecil itu menyambar.
Tek Hoat terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat meloncat dan menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar lawan sedangkan tangannya dengan gerakan cepat sekali, dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah leher lawan. Itulah pukulan jari telanjang yang membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw.
“Wuuuttt.... cettt....!”
Tek Hoat meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa tersentuh jari-jarinya! itulah pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu pukulan yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa dingin dan seketika dapat membunuh lawan!
Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia tadinya mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu merusak kaki Sang Pangeran! Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toa-ok yang memimpin gerakan atas perintah Sam-thaihouw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan merusak kedua kaki Pangeran. Ji-ok mengira bahwa hanya dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu dia akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa artinya Pangeran Mahkota yang lumpuh kedua kakinya? Tidak mungkin bisa diangkat menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka.
Maka ketika tiba-tiba Pangeran itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari tangan orang itu ternyata ampuh bukan main, terbukti dari anginnya yang menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia telah terjebak dan hal ini dibuktikan ketika dia dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel!
“Huh!” Ji-ok dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang juga marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah pula menyerangnya dengan menggunakan pukulan-pukulan jari terbuka yang sama ampuhnya.
Pertempuran sengit pun terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi gembira sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan kaget karena dia memperoleh kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat hebat! Betapa pun dia berusaha menangkap atau merobohkannya, namun usaha ini sama sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh serangan-serangan telunjuk tangan yang amat berbahaya itu.
Akan tetapi, keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu kamar digedor oleh Souw Kee An sampai terbuka, tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu, dua orang yang sedang bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap! Souw Kee An menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran di atas pembaringan.
“Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!” teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia mengira bahwa Pangeran telah terculik lagi.
Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke belakang saking kagetnya, namun dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru girang ketika mengenal kepala itu.
“Paduka Pangeran....”
Pangeran Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum.
“Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa.”
Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran. “Paduka selamat, Pangeran? Aih, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat. Tadi saya sempat melihat dua bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran?”
Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An, “Souw-ciangkun, lekas suruh anak buahmu keluar semua dan berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut.”
Kemudian setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan kembali ke dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan Hui, dan Syanti Dewi.
“Kalau tidak ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu muncul tiba-tiba dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia menggantikan aku di tempat tidur, dan minta agar aku menyingkir dari kamar. Tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke arah pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para pengawal datang dan mereka lalu pergi.”
Ouw Yan Hui mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat yang berani menyerang pangeran di tempat ini, sedikit pun tak memandang kepada penghuni Pulau Kim-coa-to. “Kalau hamba dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!”
“Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka benar-benar terlindung,” kata Syanti Dewi.
“Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci Syanti? Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga dalam kamar ini.”
“Biarkan hamba saja yang menjaga di dalam kamar Pangeran,” kata Souw Kee An.
Akhirnya usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan tetapi jelas bahwa malam itu mereka tak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat keluar apabila terdengar suara mencurigakan.
Souw Kee An duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur pulas seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam keselamatannya. Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu, bahkan di atas wuwungan atap kini penuh dengan penjaga.
Jangankan manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan mampu masuk kamar itu tanpa diketahui pengawal….
Menurut hasil penyelidikan para mata-mata yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini mendapat kepastian bahwa yang patut dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya ada lima orang saja di antara begitu banyak tamu, yaitu yang menurut syarat-syarat yang ditentukannya, di samping keistimewaan masing-masing.
Orang pertama, menurut penyelidikan para mata-mata itu, tentu saja adalah Pangeran Kian Liong! Orang ke dua bernama Thio Seng Ki, seorang muda hartawan besar dari Cin-an di Propinsi Shan-tung. Orang ke tiga bernama Yu Cian, yaitu seorang pemuda sastrawan terkenal dari Pao-teng yang pernah menggondol juara pertama pada waktu diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja, juara yang diraihnya karena kepintarannya dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak mempergunakan harta untuk menyogok para pembesar yang berwenang dalam ujian negara itu.
Orang ke empat bernama Lie Siang Sun, usianya lebih tua dari pada para calon lainnya, karena dia sudah berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal sebagai seorang pendekar muda yang gagah perkasa di selatan dan selain terkenal alim dan belum menikah, juga di kalangan kang-ouw dia dikenal dengan julukan Pendekar Budiman, karena sepak terjangnya yang berbudi. Kemudian calon ke lima adalah seorang seniman terkemuka pula, seorang ahli lukis dan ahli musik yang pernah mengadakan pertunjukan di istana Kaisar.
Kelima orang calon yang terpilih ini rata-rata memiliki wajah yang tampan, bahkan kalau dibuat perbandingan, yang empat orang itu lebih tampan dan gagah dari pada Pangeran Kian Liong! Maka diam-diam Ouw Yan Hui lalu memberitahukan kepada Syanti Dewi tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti Dewi untuk menentukan pilihannya.
“Adikku, kalau Sang Pangeran tidak mungkin dimasukkan sebagai calon, maka pilihan kita hanya ada empat orang yang patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah melihat sendiri mereka itu di antara tamu, dan memang hasil penyelidikan orang-orang kita itu cukup tepat. Mereka adalah pria-pria pilihan, Adikku.”
Syanti Dewi tersenyum pahit. “Tentu saja Pangeran Kian Liong boleh juga disebut calon, mengapa tidak?”
Jawaban ini tentu saja berani dikemukakan setelah dia bercakap-cakap dengan Sang Pangeran malam tadi di taman, sebelum terjadi penyerbuan. Biar pun dia belum melihat empat orang yang dicalonkan itu, akan tetapi hatinya sudah merasa yakin bahwa tidak mungkin dia bisa memilih seorang di antara mereka, maka dari itu dia sudah mengambil keputusan untuk ‘memilih’ Pangeran Kian Liong saja, agar dia dapat keluar dari pulau ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui.
Mendengar ini, Ouw Yan Hui memandang dengan wajah berseri-seri. “Yakin benarkah engkau bahwa beliau boleh dimasukkan sebagai calon?”
“Mengapa tidak, Enci? Dia juga seorang pria dan dia suka kepadaku bukan?”
Tentu saja hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui girang sekali. Memang itulah yang diharapkan olehnya. Kalau saja Syanti Dewi dapat menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi calon permaisuri!
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya menembus celah-celah daun di pohon-pohon, para tamu dipersilakan datang ke ruangan luas di depan, di mana telah dipersiapkan ruangan pesta dan diatur meja-meja yang dikelilingi bangku-bangku untuk tempat makan minum.
Berbondong-bondong para tamu mendatangi ruangan itu dan suasana meriah sekali karena selain tempat itu dihias dengan kertas-kertas berwarna dan bunga-bunga, juga diramaikan dengan musik yang dimainkan oleh wanita-wanita muda. Setelah semua tamu duduk, jumlah mereka tidak kurang dari seratus lima puluh orang dari bermacam golongan, segera dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan beberapa macam kue kering.
Kemudian, seorang wanita muda cantik yang memiliki suara bening dan terang juga lantang, yang bertugas sebagai pengatur acara, memberitahukan bahwa sebelum pesta dilanjutkan dengan hidangan, akan dilakukan dahulu pembukaan barang-barang hadiah di depan para tamu. Suasana menjadi gembira ketika beberapa orang wanita pembantu mulai membuka barang-barang hadiah yang bertumpuk di atas meja besar itu.
Setiap bungkusan yang dibuka, diteriakkan nama penyumbangnya oleh seorang wanita dan benda sumbangan itu diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh seorang wanita lain yang berdiri di tempat tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua tamu benda yang disebutkan nama penyumbangnya itu. Para tamu kadang-kadang mengeluarkan seruan kagum apabila ada bungkusan yang terisi barang sumbangan yang amat indah dan yang luar biasa mahalnya, merupakan benda yang sukar ditemukan. Agaknya para penyumbang itu hendak berlomba untuk memikat hati sang juita melalui barang-barang sumbangan itu.
Akan tetapi bungkusan terakhir dari barang-barang hadiah itu membuat semua tamu menahan napas. Memang hal ini disengaja oleh Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah sumbangan dari pemuda hartawan Thio Seng Ki yang ternyata merupakan seuntai kalung bermata berlian sebesar biji-biji lengkeng, berlian yang berkeredepan mengeluarkan cahaya berkilauan dan ruangan itu seolah-olah memperoleh tambahan sinar yang terang. Setelah menahan napas, kini terdengar seruan-seruan kagum dan jelas bahwa seruan-seruan ini melebihi kekaguman mereka terhadap benda-benda berharga yang telah diperlihatkan tadi.
“Sumbangan ini datang dari Tuan Muda Thio Seng Ki dari kota Cin-an!” demikian terdengar suara wanita yang membuat laporan.
Terdengar tepuk tangan dan suara ini disusul oleh tepuk tangan para tamu-tamu lain tanda bahwa mereka semua mengenal barang indah dan mahal. Tanpa dinyatakan sekali pun semua tamu dapat merasakan bahwa dalam hal hebatnya sumbangan, orang muda she Thio itu jelas menduduki peringkat paling atas dan hal ini saja sudah bisa menguntungkan dia dalam penilaian Puteri Syanti Dewi. Semua mata kini melirik ke arah puteri itu dan memang sejak mereka semua berkumpul di tempat itu, Syanti Dewi merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik seperti besi semberani, membuat para tamu sukar untuk tidak melirik ke arahnya.
Syanti Dewi mengenakan pakaian Puteri Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut tubuhnya dari kepala, ke leher terus ke bawah, seolah-olah hanya dibelitkan saja akan tetapi dengan cara yang demikian luwes dan menarik. Di balik sutera hijau yang tipis menerawang ini nampaklah lapisan pakaian dalam, dari pinggang ke bawah berwarna merah muda dan dari pinggang ke atas berwarna kuning. Ikat pinggangnya berwarna biru, sepatunya berwarna coklat. Rambutnya yang hitam itu nampak membayang di balik kerudung sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut dari emas bertaburan intan dan mutu manikam.
Betapa pun indahnya semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuh puteri ini, semua itu nampak menyuram bila dibandingkan dengan wajah itu sendiri. Tanpa wajah yang gemilang dan berseri, cantik jelita mengandung kemanisan yang kadang-kadang menyejukan hati kadang-kadang menggairahkan birahi itu, kiranya semua pakaian dan perhiasan itu tidak akan ada artinya. Setiap gerak-geriknya begitu luwes dan pantas, membuat para pria yang memang sejak lama tergila-gila kepadanya kini menelan ludah dengan pandang mata yang sukar dialihkan.
Di samping kiri Sang Puteri itu duduk Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak cantik dan anggun, sungguh pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi. Dan di sebelah kanan Sang Puteri itu duduklah dengan amat tenangnya Pangeran Kian Liong.
Pangeran ini adalah seorang yang bijaksana dan pandai, maka biar pun dia hanya memandang dari jauh, dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa benda yang diperlihatkan tadi, seuntai kalung tadi, berharga jauh lebih mahal dari pada semua barang sumbangan tadi dijadikan satu! Seuntai kalung itu saja sudah dapat dijadikan modal membuka sebuah toko yang besar! Sungguh merupakan benda yang amat langka dan amat mahal, maka diam-diam dia kagum kepada pemberinya. Hanya orang yang sungguh-sungguh serius sajalah yang mau menyumbangkan benda semahal itu.
Kalau Syanti Dewi menjadi isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan menjadi isteri seorang yang kaya-raya. Apalagi penyumbang itu sendiri, yang bernama Tuan Muda Thio Seng Ki, ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang cukup ganteng, seperti yang dapat dilihatnya dari tempat duduknya ketika benda itu diumumkan dan Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah pemuda penyumbang itu! Itulah calon pertama, pikir Sang Pangeran.
Lalu hadiah-hadiah berupa lukisan, tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak berpasangan, dan sajak-sajak serta tulisan-tulisan indah juga dipamerkan satu demi satu, dan nama para penyumbangnya diumumkan. Pada saat nama pemuda Yu Cian disebut dengan sumbangannya berupa sajak, semua orang segera menaruh perhatian, terutama sekali di kalangan mereka yang memperhatikan tentang sastra.
Bahkan Sang Pangeran sendiri tertarik, karena dia pun sudah mendengar akan nama pemuda yang menggondol juara pertama ini, yang kabarnya amat menonjol keahliannya membuat sajak dan tulisan. Memang tulisan itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak mungkin dapat terbaca oleh para tamu yang duduk agak jauh, maka terdengarlah Sang Pangeran berkata, “Harap sajak-sajak dari Yu Cian Siucai itu dibacakan!”
Mendengar anjuran Pangeran ini, beberapa orang berteriak mendukung dan akhirnya sebagian besar dari para tamu mendukungnya. Syanti Dewi mendengar Sang Pangeran berkata kepadanya di antara suara bising itu, “Enci, sudah sepatutnya kalau engkau minta penulis sajak untuk membacanya sendiri.”
Syanti Dewi tidak tahu mengapa Sang Pangeran berkata demikian, akan tetapi karena dia pun mengenal baik Yu Cian yang merupakan seorang kenalan yang selalu bersikap sopan terhadapnya. Maka ia pun tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit berdiri. Begitu wanita ini bangkit berdiri, semua suara pun sirep dan keadaan menjadi amat hening sehingga terdengarlah dengan jelas suara Syanti Dewi yang bening dan halus, “Untuk memenuhi permintaan para saudara, maka kami mohon sukalah Yu Cian Siucai membacakan sendiri sajak yang ditulisnya!”
Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai yang riuh rendah. Dengan muka yang berubah merah sekali terpaksa Yu Cian bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan dengan langkah-langkah tenang dia menuju ke tempat para pembantu wanita yang membuka barang-barang hadiah sumbangan itu.
Setelah menerima gulungan kain tulisannya, dia lalu menjura dengan hormat ke arah Pangeran, Syanti Dewi dan Ouw Yan Hui, dan semua tamu memandang kepada pemuda ini dengan kagum. Seorang pemuda yang tampan dan memang patutlah kalau dia menjadi siucai tauladan yang lulus sebagai juara di kota raja. Suasana menjadi hening sekali sehingga kini, suara pemuda itu terdengar satu-satu dengan jelas ketika membacakan sajaknya.
Cantik indah bagai bunga anggrek
Harum semerbak bagaikan bunga mawar.
Merdu merayu bagaikan sumber air
Gilang gemilang seperti fajar menyingsing.
Redup syahdu seperti sang senja kala,
Duhai Bunga Pulau Ular Emas!
Tiada sesuatu mampu kupersembahkan,
Kecuali seuntai sajak bisikan kalbu,
disertai hati yang subur basah,
Tempat Sang Bunga mekar berseri.
Cara pemuda pelajar itu membaca sajaknya sungguh amat mengesankan. Suaranya halus bening dan mengandung getaran karena pembacaan itu dilakukannya sepenuh perasaannya sehingga seakan dia sedang memuji-muji kecantikan Syanti Dewi secara terbuka, demikian terasa oleh semua orang sehingga suasana menjadi mengharukan. Bahkan setelah pemuda itu selesai membaca sajak, suasana masih hening sekali. Baru setelah pemuda itu menyerahkan kembali gulungan sajak, kemudian memberi hormat kepada Syanti Dewi dan Pangeran, meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai memuji.
Pangeran Kian Liong sendiri bertepuk tangan memuji dan memang dia merasa kagum sekali kepada pemuda itu. Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian hati seorang pria yang sedang dilanda asmara! Syanti Dewi diumpamakan bunga anggrek, ratu segala bunga yang seolah-olah tidak pernah layu dibandingkan dengan semua bunga di dunia ini, kemudian harum seperti bunga mawar, bunga yang keharumannya tidak pernah lenyap biar pun bunganya sendiri telah lama layu!
Dan suara apakah yang melebihi kemerduan suara gemericik air sumber yang tidak pernah berhenti, mengandung dendang asmara yang kekal? Lalu dalam pemujaannya, Syanti Dewi dinyatakan gilang-gemilang seperti fajar menyingsing dan redup syahdu seperti sang senja kala. Memang tiada keindahan yang begitu menggetarkan hati yang peka melebihi keindahan fajar menyingsing di kala matahari mulai timbul sebagai bola besar kemerahan yang berseri, dan keredupan senja kala di waktu matahari tenggelam yang menciptakan warna-warna dan bentuk-bentuk awan yang luar biasa indahnya di langit barat.
Kemudian, yang amat mengharukan, pemuda itu tidak mampu mempersembahkan apa pun, kecuali sajak yang disertai sebuah hati yang akan selalu menghidupkan sang Bunga dengan luapan cinta kasih yang diumpamakan keadaan hati yang subur dan basah selalu! Pemberian seperti inilah yang dinantikan oleh setiap orang wanita, yaitu kasih sayang pria dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, bukan segala macam benda berharga kalau diberikan dengan hati yang kering dan tandus!
Dengan muka kemerahan, pemuda sastrawan itu kembali ke tempat duduknya semula. Kini Sang Pangeran menjadi bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang tampan dan kaya raya, dan Yu Cian yang tampan dan ahli sastra, merupakan dua orang calon yang kuat sekali. Menjadi isteri Thio Seng Ki, Syanti Dewi akan berenang dalam lautan harta, sebaliknya menjadi isteri Yu Cian, dara itu akan berenang dalam lautan kemesraan!
Diam-diam Ouw Yan Hui merasa girang betapa dia telah berhasil ‘memperkenalkan’ dua di antara calon-calon itu secara tidak langsung kepada semua orang. Kini hidangan mulai dikeluarkan dan pelapor acara memberitahu bahwa akan dimainkan tari-tarian untuk menghibur para tamu. Mulailah pesta yang meriah itu.
Para tamu makan minum hidangan-hidangan yang istimewa, musik mulai dibunyikan keras-keras dan nampaklah penari-penari yang muda-muda dan cantik-cantik menari dengan lemah-gemulai di panggung yang agak tinggi itu. Para tamu makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik itu. Karena ada hidangan dan tontonan tarian, maka baru sekaranglah para tamu agak ‘melupakan’ Syanti Dewi sehinga hanya beberapa orang saja yang sempat melihat pada waktu wanita itu meninggalkan tempat duduknya menuju ke dalam.
Setelah beberapa macam tarian disajikan, mendadak Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan dengan suaranya yang nyaring dia mengumumkan, “Mohon perhatian Cu-wi yang mulia! Dengan penuh rasa terima kasih atas perhatian Cu-wi yang budiman, maka sekarang adik kami, Syanti Dewi, akan menghibur Cu-wi dengan sebuah tarian istimewa dari Bhutan!”
Musik berbunyi lagi, dan kini terdengar lagu yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari dalam muncullah Syanti Dewi. Semua orang menahan napas penuh kagum melihat betapa puteri itu dengan pakaian yang serba mewah meriah, memakai selendang kuning muda yang panjang, berlari-lari seperti terbang saja, seperti bidadari terbang dalam dongeng, dari dalam dan menuju ke panggung.
Meledaklah suara tepuk sorak menyabutnya. Demikian gemuruh sorak-sorai ini hingga menenggelamkan suara musik. Baru setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi yang kini sudah berjongkok dengan sikap manis sambil menyembah, mulai bangkit dan diikuti irama tetabuhan yang merdu, mulailah dia menari!
Memang indah sekali tarian itu. Syanti Dewi bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki keluwesan dan dia memang merupakan seorang ahli dalam tari-tarian Bhutan yang dipelajarinya ketika dia masih kecil. Maka saat dia menari semua orang terpesona dan sesaat mereka bengong sehingga suasana di antara penonton menjadi hening.
Tari-tarian asing yang belum pernah ditonton memang selalu mempesonakan orang. Kalau orang sudah terbiasa, pesona itu semakin berkurang. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa gerakan menari dari Syanti Dewi amat indah, sehingga Pangeran Kian Liong sendiri yang sudah sering menyaksikan tari-tarian halus, merasa amat kagum.
Kalau para tamu itu saja terpesona dan penuh kagum, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengaruh tarian itu pada hati Wan Tek Hoat! Pendekar ini juga ikut menonton dari tempat sembunyiannya, dan dia tidak pernah berkedip mengikuti gerak-gerik Syanti Dewi dengan pandang matanya. Melihat kekasihnya secantik itu, menari seindah itu, terkenanglah dia akan segala keadaannya ketika bersama kekasihnya itu, dan tak dapat ditahannya lagi matanya menjadi basah dan air mata perlahan-lahan menitik turun di atas pipinya yang tertutup cambang.
“Syanti.... Syanti.... kekasihku....,” demikian hatinya merintih-rintih penuh kerinduan dan rasa nyeri, karena kini semakin nampaklah olehnya betapa wanita itu sungguh tidak pantas menjadi kekasihnya, apalagi kalau dia mengingat betapa dia telah berkali-kali melakukan hal yang amat menyakitkan hati puteri itu.
Dan kini, melihat keadaan Sang Puteri yang begitu dipuja ratusan orang pria-pria pilihan, bahkan telah menjadi akrab dengan Sang Putera Mahkota, Pangeran yang amat tinggi kedudukannya dari kota raja, kemudian menengok pada keadaan dirinya sendiri, seorang jembel miskin yang tidak punya apa-apa, bahkan namanya pun telah dilupakan orang, dia melihat perbedaan yang amat mencolok dan semakin terasalah dia betapa dia adalah seorang yang kurang terima, orang yang tidak menengok keadaan diri sendiri dan telah bersikap keterlaluan kepada puteri itu!
Dan Syanti Dewi begitu setia, begitu suci murni, sehingga sampai sekarang pun belum melayani pria lain! Dan puteri sesuci itu pernah dia fitnah, ia tuduh telah berjinah dengan orang lain, telah menjadi pemberontak dan mengkhianati Raja Bhutan, ayahnya sendiri! Mengingat akan hal ini, kembali dua titik air mata menetes turun.
Sorak-sorai dan tepuk tangan meledak saat Syanti Dewi mengakhiri tariannya. Dengan langkah-langkah yang seolah-olah tidak menyentuh lantai Sang Puteri kembali ke dalam gedung itu, diikuti sorak-sorai memuji-mujinya dari segenap tamu, termasuk juga Sang Pangeran.
Ouw Yan Hui telah memberi isyarat kepada wanita pengatur acara, dan wanita ini lalu bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan, minta kepada semua tamu agar tenang kembali. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring, “Atas permintaan dari Ouw-toanio sebagai nyonya rumah, kami mohon kepada Tuan Muda Kui Lun Eng untuk tampil ke depan dan membantu pesta agar meriah dengan permainan musiknya!” Mendengar disebutnya nama ini, banyak di antara tamu yang mengenalnya menyambut dengan tepuk tangan.
Nama Kui Lun Eng ini amat terkenal, bahkan Pangeran Mahkoka juga mengenal nama ini sebagai seorang ahli musik dan pelukis yang memiliki kepandaian luar biasa. Dari rombongan tamu bangkitlah seorang pemuda jangkung yang kemudian melangkah dengan tenang ke arah panggung, memberi hormat kepada Pangeran dan Ouw Yan Hui, kemudian berkata, “Saya akan menanti sampai kembalinya Nona Syanti Dewi.”
Kemudian, diiringi suara ketawa para tamu yang maklum akan maksud kata-kata itu, yakni bahwa ahli musik itu hanya ingin main musik kalau didengarkan oleh Syanti Dewi, pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun melangkah ke arah rombongan pemain musik, yaitu para wanita muda yang duduk di sudut.
Dengan enak, karena agaknya sudah biasa dengan alat-alat musik, dia mencoba-coba suara beberapa buah yang-kim, kemudian dipilihnya sebuah dan diletakkan di depannya sedangkan dia duduk bersila di panggung pemain musik itu. Lalu dia mengeluarkan sebatang suling bambu dari saku bajunya yang sebelah dalam.
Tiba-tiba terdengar tepuk tangan riuh rendah ketika Syanti Dewi muncul kembali, kini dengan pakaian serba hijau dan duduk di tempat semula setelah mengangguk sebagai pernyataan terima kasih atas sambutan para tamu. Melihat munculnya nona itu, Kui Lun Eng lalu mulai dengan permainan yang-kimnya.
Mula-mula hanya terdengar beberapa nada berkentringan saling kejar, lambat-lambat dan lirih-lirih saja, akan tetapi makin lama kejar-kejaran nada itu semakin cepat dan semakin keras dan mulailah terdengar lagu yang dinyanyikan yang-kim itu dengan amat indahnya. Makin keraslah suara yang-kim itu dan kini semua orang yang mengenal lagu itu tahu bahwa itu adalah lagu perang, sedangkan yang tidak mengenal lagu itu pun dapat menduga bahwa itu tentulah lagu perang sebab mereka seperti mendengar derap kaki ribuan kuda di dalamnya, lalu pekik-pekik kemenangan, rintihan-rintihan orang terluka, suaranya senjata berdencing dan saling beradu, semua itu tercakup ke dalam suara nada-nada yang naik turun itu. Bukan makn!
Sang Pangeran sendiri sampai terpesona. Belum pernah dia mendengar orang bermain yang-kim seindah itu. Begitu hidup suara itu, bukan sekedar nada-nada kosong belaka, melainkan setiap rangkaian nada seperti menceritakan sesuatu sehingga terbayanglah cerita dari nada-nada itu. Bahkan dia seperti melihat darah mengalir dan debu mengepul tinggi!
Ketika suara yang-kim itu mencapai puncaknya dalam kecepatan lalu diakhiri dengan suara seperti sorak kemenangan, suara itu berhenti tiba-tiba dan para pendengar yang tadinya bagai terpukau, seolah-olah mereka merasakan terseret dalam suasana perang yang mengerikan, tiba-tiba seperti baru sadar dan kembali ke dalam nyata. Meledaklah sorak-sorai dan tepuk tangan mereka.
Dengan tenang Kui Lun Eng mengangguk ke arah mereka dan kini dia mulai meniup sulingnya, bukan dengan dua tangan, melainkan hanya dengan tangan kanan saja dan tangan kirinya mulai menggerayangi yang-kim kembali. Sekarang terdengarlah paduan suara yang-kim dan suling dimainkan oleh dua tangan itu dan kembali semua orang tenggelam ke dalam pesona suara yang sangat luar biasa. Paduan suara itu demikian serasinya, mengalunkan lagu cinta yang syahdu, menghayutkan perasaan ke suasana yang amat mesra, kadang-kadang menjadi halus merdu dan mengandung duka dan patah hati.
Memang hebat sekali permainan musik orang ini. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suara musik itu pada wajah para pendengarnya. Wajah-wajah itu, biar pun di antaranya terdapat banyak wajah yang biasa dengan kekerasan, kadang-kadang tidak mampu lagi menguasai keharuan hati sehingga menjadi layu, bahkan ada yang menitikkan air mata!
Syanti Dewi sendiri tak dapat bertahan ketika lagu itu tiba di bagian yang sedih, seperti hati yang meratap-ratap dan menjerit-jerit. Puteri ini teringat akan keadaan diri sendiri yang menjadi korban cinta, sehingga dia pun tidak kuasa menahan air matanya dan beberapa kali menyapu air mata dari pipi dengan sapu tangannya. Semua ini dapat dilihat oleh Tek Hoat dan pendekar ini pun ikut menangis dengan diam-diam! Ia merasa jantungnya perih. Bukan air mata lagi yang mengalir dari matanya, tetapi seolah-olah jantungnya mengalirkan air mata darah.
Ketika akhirnya suara musik itu terhenti, Sang Pangeran sendiri bangkit bertepuk tangan memuji, diikuti oleh semua tamu yang benar-benar merasa kagum. Kui Lun Eng bangkit berdiri dan menjura ke arah Syanti Dewi dan Pangeran, wajahnya agak pucat karena permainan tadi dilakukan dengan sepenuh perasaannya sehingga selain makan banyak tenaga batin, juga menyeretnya ke dalam keharuan. Kemudian dengan masih diiringi tepuk sorak, dia kembali ke tempat duduknya semula.
Diam-diam Sang Pangeran melihat adanya calon yang baik pada diri pemuda ahli musik ini. Patut pula menjadi calon suami Syanti Dewi, pikirnya. Sudah ada tiga orang muda yang pantas menjadi calon, yaitu Thio Seng Ki Si Hartawan, Yu Cian Si Sastrawan, dan Kui Lun Eng Si Seniman. Akan tetapi sayang, ketiganya adalah orang-orang yang lemah, tidak memiliki kepandaian silat, pikir Sang Pangeran.
Padahal, dia tahu betul bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita yang lihai ilmu silatnya. Bahkan dia sudah melihat sendiri betapa wanita itu memiliki ginkang yang amat luar biasa, membuat dia dapat berlari seperti terbang dan bergerak dengan amat cepatnya! Mungkinkah seorang wanita gagah dan lihai ini berjodoh dengan seorang pria yang tidak mengenal ilmu silat?
Kini Ouw Yan Hui bangkit berdiri lagi. Hatinya senang karena tanpa terlalu kentara, dia telah menonjolkan tiga orang calon jodoh Syanti Dewi. Kini tinggal memperkenalkan calon keempat dan untuk itu pun dia tidak kekurangan akal. Dari para penyelidiknya dia sudah mendengar bahwa Si Pendekar Budiman Lie Siang Sun adalah orang yang tepat pula menjadi calon, dibandingkan dengan ahli-ahli silat, juga Lie Siang Sun ini terkenal sebagai pendekar budiman, tidak pernah tercela namanya dan masih belum menikah pula.
Dengan suara lantang Ouw Yan Hui lalu berkata, “Adik kami yang ulang tahunnya dirayakan adalah orang yang suka sekali melihat pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu, pesta ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Kami tahu bahwa di antara para tamu terdapat banyak sekali ahli silat. Dan setelah memeriksa daftar nama para tamu, kami minta dengan hormat kepada Pendekar Budiman Lie Siang Sun, sudilah kiranya memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silatnya.”
Kembali banyak di antara para tamu yang bertepuk tangan karena selain nama Pendekar Budiman sudah terkenal dan banyak orang menaruh kagum kepadanya, juga mereka yang merasa memiliki kepandaian silat merasa lega ada orang lain yang disuruh maju lebih dulu. Tentu saja untuk maju sebagai orang pertama mendatangkan perasaan sungkan dan malu-malu.
Seorang pria yang usianya tiga puluh tiga tahun, bangkit berdiri dan nampak betapa tubuhnya itu tinggi tegap dan gagah perkasa, sikapnya sangat sederhana seperti juga pakaiannya. Di punggungnya nampak tergantung sebatang pedang dan dengan langkah yang lebar tegap namun tenang, orang ini berjalan menuju panggung. Dengan sopan ia memberi hormat ke arah Syanti Dewi, Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong, sambil berkata,
“Sebutan Pendekar Budiman dan ahli silat bagi saya sungguh terlalu dilebihkan, akan tetapi karena saya hanya bisa menyumbangkan sedikit ilmu silat yang pernah saya pelajari untuk memeriahkan pesta ini, maka harap Pangeran, Nona dan Toanio, juga Cu-wi yang hadir di sini suka memaafkan jika pertunjukan ini kurang berharga.”
Setelah mengangguk ke empat penjuru, mulailah Pendekar Budiman Lie Siang Sun menggerakkan kaki tangannya. Mula-mula ia bersilat dengan lambat, akan tetapi makin lama semakin cepat dan gerakan-gerakannya gesit, pukulan-pukulannya mantap dan kadang-kadang kedua kakinya yang berloncatan itu tak menimbulkan suara sedikit pun seperti langkah-langkah seekor kucing, akan tetapi adakalanya geseran-geseran kedua kakinya mendatangkan getaran dan membuat panggung berderak-derak!
Memang harus diakui bahwa ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh pendekar ini cukup hebat dan juga indah dan bersih, ciri khas dari cabang ilmu persilatan para pendekar yang mengutamakan keindahan dan ketangguhan, bersih dari cara-cara yang curang. Tek Hoat juga menonton secara sepintas lalu saja karena sebagaian besar perhatiannya selalu tertuju kepada Syanti Dewi, mengerti bahwa pemuda ini memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai dan juga Bu-tong-pai, dan memiliki tingkat yang cukup tinggi, maka patutlah kalau dia disebut pendekar.
Setelah mainkan ilmu silat tangan kosong sebanyak tiga puluh enam jurus, tiba-tiba Lie Siang Sun mengeluarkan bentakan nyaring. Nampaklah sinar berkelebat yang segera bergulung-gulung, ternyata dia telah mencabut dan mainkan pedangnya. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga kebanyakan dari para tamu tidak melihat kapan pedang itu dicabutnya dan kini pun pedang itu tidak nampak karena telah berubah menjadi gulungan sinar saking cepatnya dimainkan!
Tepuk sorak menyambut permainan pedang ini dan memang Bu-tong Kiam-sut terkenal dengan keindahan gerakannya. Banyak tamu yang terdiri dari para tokoh kang-ouw mengangguk-anggukkan kepala dan memuji ketangkasan pendekar itu. Pangeran Kian Liong tidak mempelajari praktek ilmu silat secara mendalam, namun pengetahuannya tentang ilmu silat cukup banyak, maka dia pun mengenal keindahan dan ketangguhan ilmu pedang ini, maka dia merasa kagum sekali. Dia pun diam-diam merasa setuju kalau pendekar muda ini dijadikan calon pula karena memang cukup pantaslah pemuda ini menjadi pelindung atau suami Syanti Dewi.
Setelah Lie Siang Sun selesai bersilat pedang dan sudah menyimpan lagi pedangnya lalu memberi hormat ke arah deretan Pangeran, para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan memuji. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yang Hui yang tadi telah memperoleh bisikan dari Pangeran Kian Liong yang cerdik itu.
“Cu-wi sekalian, seperti yang mungkin Cu-wi telah dengar dari kabar-kabar angin, pada kesempatan merayakan ulang tahun adik kami Syanti Dewi ini, kami sudah memilih calon-calon untuk dipilih sebagai jodoh adik kami Syanti Dewi.”
Para tamu menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai, sedangkan Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berubah pucat. Biar pun dia sudah tahu akan hal ini, akan tetapi begitu tiba saatnya diumumkan, dia merasa jantungnya seperti ditusuk! Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, di tempat persembunyiannya, Tek Hoat juga memejamkan matanya karena merasa hatinya seperti diremas-remas mendengar betapa di situ telah dipilih calon-calon jodoh untuk Syanti Dewi.
Setelah sorak-sorai berhenti, Ouw Yan Hui melanjutkan kata-katanya, “Pertama-tama kami mengumumkan pemilihan kami, yaitu Thio Seng Ki. Ke dua adalah Yu Cian, ke tiga Kui Lun Eng, dan ke empat adalah Lie Siang Sun! Cu-wi telah menyaksikan sendiri kecakapan mereka dalam ilmu kepandaian masing-masing, sedangkan Thio-kongcu telah memberi sumbangan yang sedemikian besar nilainya.”
Kembali terdengar sorakan menyambut, akan tetapi tidaklah sehebat tadi karena kini banyak yang merasa kecewa karena nama mereka tidak disebut. Banyak yang mulai digoda rasa iri hati terhadap empat orang yang dipilih sebagai calon itu!
Tiba-tiba terdengar suara nyaring di antara penonton, “Bagaimana untuk menentukan pemenang di antara calon-calon yang kepandaiannya berbeda-beda itu? Kalau hanya berdasarkan kekayaan, tentu orang she Thio yang menang, kalau berdasarkan ilmu silat, tentu orang she Lie yang menang!”
Orang-orang tidak memperhatikan lagi siapa yang bicara, akan tetapi semua tamu merasa setuju dengan ini dan keadaan menjadi bising. Ouw Yan Hui mengangkat kedua tangan ke atas dan baru dia mengakui bahwa akal yang dibisikkan oleh Pangeran kepadanya tadi memang baik sekali, karena kalau tidak, dia sendiri tidak tahu bagai mana harus menjawab pertanyaan orang itu.
“Harap Cu-wi mendengarkan dengan tenang!” kata Ouw Yan Hui dan oleh karena dia mengeluarkan kata-kata ini disertai khikang, maka suaranya mampu mengatasi semua kegaduhan dan para tamu lalu diam.
“Cu-wi yang mulia! Biar pun ada terdapat calon-calon yang telah kami pilih, akan tetapi penentuannya siapa yang akan terpilih tentu saja sepenuhnya berada di tangan adik kami. Oleh karena itu, mereka berempat itu akan diuji. Siapa di antara mereka yang dapat menangkap Adik Syanti Dewi selama terbakarnya setengah bagian dupa, maka dialah yang dianggap memenuhi syarat dan menang, dan berhak untuk membicarakan tentang jodoh dengan adik kami!”
Kembali para tamu menjadi, berisik ketika mendengar pengumuman ini dan semua orang merasa bahwa aturan ini berat sebelah. Tentu saja yang akan menang adalah Si Pendekar Budiman, karena tiga orang calon-calonnya lainnya hanya orang-orang yang lemah, mana mungkin dapat menangkap Syanti Dewi yang terkenal lihai itu?
Akan tetapi, empat orang calon itu adalah orang-orang yang cerdas, maka mereka pun mengerti maksudnya pengumuman ini. Itu adalah suatu cara halus untuk memberi kesempatan kepada Sang Puteri untuk menentukan pilihan tanpa perlu mengeluarkan kata-kata, hanya dengan membiarkan dirinya tertangkap oleh calon yang dipilihnya.
Dan memang benar pendapat mereka ini, karena tadi Sang Pangeran berbisik kepada Ouw Yang Hui, bertanya apakah Si Pendekar Budiman itu akan mampu menangkap Syanti Dewi selama setengah batang hio terbakar habis, dan dijawab dengan pasti oleh Ouw Yan Hui bahwa hal itu tidak mungkin dapat terjadi kalau saja Syanti Dewi tidak menghendakinya, sebab ginkang yang dikuasai oleh Syanti Dewi telah setingkat dengan dia sendiri. Jawaban inilah yang meyakinkan hati Sang Pangeran untuk menggunakan akal untuk membiarkan Syanti Dewi memilih dan disetujui pula oleh Ouw Yan Hui.
Sementara itu, wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali mendengar pengumuman itu dan dia menoleh dan memandang ke arah Sang Pangeran karena dia dapat menduga bahwa tentu Ouw Yan Hui mengeluarkan pengumuman itu setelah berdamai dengan Sang Pangeran.
Kian Liong juga memandang kepadanya, tersenyum mengangguk sambil berbisik lirih, “Nah, pemilihannya sepenuhnya berada kepadamu, Enci Syanti!” Maka mengertilah Syanti Dewi bahwa memang hal itu sengaja diumumkan agar dia dapat menentukan pilihannya di antara empat orang calon itu.
Wan Tek Hoat yang sejak tadi mengintai dengan hati yang perih, mengerti pula akan maksud dari ujian menangkap Syanti Dewi itu dan diam-diam dia pun setuju karena hal itu berarti memberi kesempatan kepada Syanti Dewi sendiri untuk menentukan pilihannya. Diam-diam dia pun ikut membanding-bandingkan antara empat orang itu dan dia melihat bahwa mereka itu memang merupakan orang-orang yang pilihan dan pantas menjadi jodoh Syanti Dewi, jauh lebih pantas dibandingkan dengan dia. Akan tetapi dia ikut berharap agar Syanti Dewi tidak memilih Pendekar Budiman, karena mempunyai suami seorang pendekar berarti menjadi isteri orang yang banyak dimusuhi orang lain.
Sementara itu, melihat betapa Syanti Dewi hanya duduk dengan kepala ditundukkan dan muka merah, Ouw Yan Hui kemudian berbisik, “Hayo, majulah Adikku, tentukan pilihanmu!”
Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan riuh dia lalu melangkah ke tengah panggung, berdiri menghadap ke arah tamu sambil tersenyum dengan muka merah.
“Dipersilakan calon pertama, Thio Seng Ki untuk maju!” Ouw Yan Hui berseru.
Dan kembali orang-orang bersorak ketika melihat pemuda hartawan itu bangkit dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi dengan muka merah dan sikap malu-malu pula. Seorang pembantu lalu menyalakan hio yang sudah dipotong setengahnya, lalu menancapkan hio sepotong itu di atas meja yang sudah dipersiapkan. Pembantu ini segera mundur dan Syanti Dewi yang telah mengenal pemuda she Thio itu lalu menjura dan berkata, “Silakan mulai, Thio-kongcu.”
“Maafkan saya....” Thio Seng Ki kemudian mulai bergerak hendak menangkap atau memegang lengan tangan Syanti Dewi, akan tetapi wanita ini melangkah mundur dan mengelak.
Thio Seng Ki melangkah maju dan terus mengejar, akan tetapi dia seperti mengejar bayangan saja. Tangan yang kecil halus itu kelihatan begitu dekat, akan tetapi begitu sukar ditangkap bahkan untuk menjamahnya sedikit pun amatlah sukarnya. Hanya keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian puteri itu saja yang dapat ditangkap oleh hidungnya. Makin lama, makin penasaran dan khawatirlah hati pemuda hartawan itu.
Dengan hartanya yang bertumpuk-tumpuk, dengan kemudaan dan ketampanannya, juga nama baiknya, dia mengira bahwa dia akan pasti dapat memperoleh dara mana pun juga yang dikehendaki atau diinginkannya. Akan tetapi mengapa Syanti Dewi selalu mengelak?
Karena penasaran, juga karena dia ingin sekali menang dalam pemilihan jodoh ini, dia mengejar terus dan biar pun dia tidak pandai ilmu silat, dia mengejar dengan secepatnya sampai kadang-kadang terhuyung-huyung apabila tangkapannya dielakkan tiba-tiba oleh Syanti Dewi.
Pertunjukan ini amat menegangkan, lucu dan menarik sehingga mulailah terdengar suara ketawa dan teriakan-teriakan mengejek apabila tubrukan atau tangkapan dari pemuda hartawan itu luput. Akhirnya hio yang setengahnya itu habis terbakar.
“Waktunya habis, calon pertama telah gagal!” Demikian pengumuman pembantu wanita dan terpaksa Thio Seng Ki menghentikan usahanya. Wajah dan lehernya basah oleh keringat.
Syanti Dewi lalu menjura dan memberi hormat. “Harap Kongcu suka memaafkan saya.”
Thio Seng Ki menarik napas panjang, kecewa sekali, tapi dia membalas penghormatan itu sambil berkata, “Sudahlah, saya yang tidak mampu dan tidak beruntung, Nona.” Dia pun mengundurkan diri, duduk di kursinya kembali, dan disambut sorakan para tamu, terutama mereka yang tadi merasa iri karena tidak memperoleh kesempatan.
“Dipersilakan calon ke dua, Yu Cian untuk maju!” kembali Ouw Yan Hui berseru.
Sastrawan muda itu tersenyum, lalu bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi. Juga sastrawan ini disambut oleh suara ketawa karena semua orang maklum bahwa kalau wanita itu tidak menghendaki, biar sampai selama hidup pun sastrawan lemah ini tak mungkin akan dapat menyentuh Syanti Dewi. Akan tetapi Yu Cian kelihatan tenang menanti sampai sebatang hio yang sudah dipatahkan menjadi dua itu terbakar.
“Silakan, Yu-siucai,” kata Syanti Dewi yang menyebut siucai kepada sastrawan yang telah lama dikenalnya ini.
Yu Cian mengangguk dan dia lalu melangkah maju, tangannya digerakkan dengan sikap sopan untuk menyentuh tangan Syanti Dewi. Wanita itu menarik tangannya. Yu Cian melangkah lagi, diulanginya hendak menyentuh tangan Syanti Dewi yang kembali menarik tangannya sehingga tidak dapat disentuh. Setelah mengulangi sampai lima kali, Yu Cian lalu menjura ke arah Syanti Dewi, mukanya berubah agak pucat, suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan.
“Saya menyerah karena merasa tidak mampu. Maafkanlah atas kelancangan saya selama ini.” Dan sastrawan itu pun lalu mundur. Semua tamu yang melihat ini menjadi diam, dan sastrawan itu tidak diejek ketika kembali ke bangkunya dengan sikap masih tenang, bibir tersenyum dan muka agak pucat.
Syanti Dewi merasa kasihan sekali dan dia pun hanya dapat menjura ke arah pemuda itu. “Harap maafkan saya....,” katanya perlahan.
Ketika Kui Lun Eng maju dan berhadapan dengan Syanti Dewi, seniman ini tersenyum lebar berkata, “Nona, kita adalah kenalan lama, tidak perlu saling sungkan lagi. Saya tahu bahwa sampai mati pun saya tidak mungkin akan dapat menangkap Nona yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka, biarlah saya menerima keputusan melalui jawaban Nona saja, dan untuk memudahkan, biar Nona menjawab dengan gelengan atau anggukan. Kalau Nona berkenan memilih saya, Nona mengangguk dan kalau tidak, Nona cukup menggeleng. Nah, apa jawaban Nona?”
Semua tamu mendengarkan dengan hati tertarik dan tegang. Seniman ini ternyata bersikap jujur dan terus terang, sungguh pun dengan kejujurannya itu dia membuat Syanti Dewi merasa terdesak. Akhirnya, dengan halus Syanti Dewi menggeleng kepala lirih. “Harap maafkan saya....”
Kui Lun Eng tertawa dan menengadah. “Aih, sudah kudapatkan lagi suatu segi kebaikan pada diri Nona di samping semua keindahan itu, yaitu kebijaksanaan dan kejujuran. Terima kasih, Nona, biarlah kita tinggal menjadi kenalan yang baik saja.” Dan dia pun mengundurkan diri, kembali ke tempat duduknya dan menuangkan arak ke dalam mulutnya!
Kini tinggal seorang lagi dan semua tamu hampir dapat memastikan bahwa tentu Pendekar Budiman inilah yang menang, sebagai calon terakhir dan di samping itu juga sebagai seorang pendekar berilmu tinggi yang agaknya dapat menangkap wanita cantik jelita itu.
Ketika dia dipersilakan maju, Lie Siang Sun melangkah dengan tegap tanpa ragu-ragu menghadapi Syanti Dewi dan menjura dengan hormat. “Ingin sekali saya mencontoh perbuatan Saudara Kui Lun Eng, tetapi karena pihak nyonya rumah sudah mengadakan peraturan, saya tidak berani melanggar.”
Ketika hio sudah dinyalakan, Lie Siang Sun lalu mulai bergerak begitu Syanti Dewi mempersilakan. Dan terjadilah kejar-kejaran yang amat menarik hati. Kini, Lie Siang Sun berusaha menangkap lengan atau ujung baju nona itu, dengan gerakan silat yang amat indah, dengan geseran-geseran kaki yang tegap dan cepat sekali, namun Syanti Dewi juga bergerak, sedemikian cepatnya sehingga tubuh yang ramping itu mula-mula nampak seperti menjadi banyak, dan kemudian, ketika Pendekar Budiman mengejar semakin cepat, tubuh Syanti Dewi lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang berkelebatan ke sana kemari.
Memang menarik sekali pertunjukan ini sehingga semua orang memandang dengan ternganga dan kadang-kadang terdengar seruan-seruan kagum kalau kedua orang itu mempergunakan gerakan yang indah, seperti meloncat dan berjungkir balik ke atas dan sebagainya. Namun, dalam pandang mata Tek Hoat, juga beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, maklumlah mereka ini bahwa Sang Pendekar Budiman itu ternyata tidak benar-benar hendak menangkap Syanti Dewi, bahkan selalu menjaga agar jangan sampai mereka bersentuhan, sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa Syanti Dewi akan dapat tertangkap kalau dia menghendaki. Tidak, wanita itu memiliki ginkang yang jauh lebih tinggi dari pada Pendekar Budiman, sehingga andai kata Lie Siang Sun mengejar dengan sungguh-sungguh sekali pun, dia tetap saja tidak akan mampu berhasil.
Betapa pun juga, melihat betapa Lie Siang Sun tidak benar-benar berusaha untuk menangkap Syanti Dewi, mereka yang dapat mengikuti gerakan mereka itu, juga Wan Tek Hoat, merasa kagum. Akan tetapi Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan hatinya terasa kesal bukan main. Tahulah dia bahwa Syanti Dewi jelas menolak semua calon itu!
“Ahhh, dia akan gagal pula...., Pangeran sungguh hamba tidak mengerti sikap Adik Syanti....,” keluhnya.
Sang Pangeran mengerti dan dia tersenyum. Dia tahu bahwa Syanti Dewi memang tidak suka dijodohkan dengan siapa pun. Wanita itu terlalu setia kepada pria yang masih dicintanya sampai saat itu. Karena melihat kenyataan bahwa benar-benar Syanti Dewi tidak mau memilih seorang pun di antara empat calon yang baik itu, terpaksa dia harus turun tangan seperti yang telah dijanjikan kepada Syanti Dewi.
“Kalau begitu, biarlah aku menjadi calon ke lima, Ouw-toanio.”
Seketika wajah itu berseri dan Sang Pangeran melihat betapa masih cantik jelitanya wanita ini dan dia merasa kagum. Ouw Yan Hui memandang Sang Pangeran dengan wajah berseri-seri! Kalau Pangeran itu mau menjadi calon, tentu Syanti Dewi tidak akan berani menolak! Wajahnya menjadi berseri-seri dan dia memandang dengan senyum di bibirnya, hal yang jarang terjadi, ke arah Syanti Dewi yang masih bergerak cepat dikejar oleh Lie Siang Sun.
Setelah pembantu mengumumkan bahwa dupa yang menyala itu telah habis, Lie Siang Sun menghentikan gerakannya, menjura kepada Syanti Dewi dan berkata, “Ginkang dari Nona sungguh amat mengagumkan sekali. Aku Lie Siang Sun mengaku kalah dan maaf.”
“Harap maafkan aku, Lie Siang Sun Enghiong!” berkata Syanti Dewi dengan suara mengandung penyesalan karena betapa pun juga, dia mengerti bahwa pendekar ini tadi tak berusaha sungguh-sungguh untuk menyentuhnya. Jika saja hatinya mau mendekati pria lain, agaknya pendekar inilah yang patut untuk menjadi jodohnya.
Tiba-tiba terdengar suara Ouw Yan Hui yang sudah bangkit berdiri dan suara itu kini terdengar amat nyaring dan mengandung kegembiraan, tidak seperti tadi, “Sekarang ada pengumuman penting! Harap Cu-wi Yang Mulia ketahui bahwa calon jodoh untuk adik kami Syanti Dewi ditambah dengan seorang lagi, yaitu bukan lain adalah Yang Mulia Pangeran Kian Liong sendiri!”
Para tamu tadinya sudah merasa gembira sekali melihat betapa empat orang calon itu gagal dan tidak ada yang terpilih. Hal itu berarti membuka kesempatan baru bagi mereka, karena tentu akan diadakan pemilihan calon baru lagi. Akan tetapi, mendengar bahwa kini Sang Pangeran Mahkota maju sebagai calon, tentu saja semangat mereka mengempis dan mengendur, tubuh menjadi lemas karena mana mungkin mereka dapat bersaing dengan putera mahkota, Pangeran yang merupakan orang yang amat besar kedudukan dan kekuasaannya?
“Dan sekarang dipersilakan kepada Yang Mulia Pangeran untuk maju dan mencoba untuk menangkap Syanti Dewi,” demikian Ouw Yan Hui mengumumkan pula. Pembantu wanita sudah pula menyalakan dupa, akan tetapi sesungguhnya hal ini sama sekali tidak perlu.
Syanti Dewi memandang pada Pangeran itu yang telah bangkit dan melangkah tenang menghampirinya, dengan pandang mata berterima kasih karena dia pun tahu bahwa perbuatan pangeran ini hanya untuk menolongnya, sesuai dengan percakapan mereka malam tadi.
“Sudah siapkah engkau?” Sang Pangeran bertanya.
Syanti Dewi mengangguk. “Silakan, Pangeran.”
Pangeran Kian Liong tersenyum dan melangkah maju menangkap lengan Syanti Dewi. Wanita itu mengelak dengan langkah mundur sambil tersenyum pula. Sang Pangeran terus mengejar dan setelah berusaha menangkap sampal lima kali, barulah dia berhasil memegang pergelangan tangan Syanti Dewi.
Melihat ini, Ouw Yan Hui girang bukan main. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Syanti Dewi akan membiarkan dirinya tertangkap oleh Pangeran itu. Saking girangnya, wanita pemilik Pulau Kim-coa-to ini sampai bangkit berdiri. Dan terdengarlah sorak-sorai para tamu melihat betapa Sang Pangeran berhasil menangkap pergelangan tangan Syanti Dewi dengan demikian mudahnya.
Jelaslah bagi semua orang bahwa memang Sang Puteri itu sengaja membiarkan lengannya ditangkap, kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin Sang Pangeran akan mampu menangkapnya. Sang Pangeran berdiri sambil menggandeng tangan Syanti Dewi, wajahnya berseri, sedangkan wajah Syanti Dewi menjadi kemerahan, mukanya menunduk.
Wan Tek Hoat juga mengikuti semua peristiwa ini dan melihat gerak-gerik Syanti Dewi, dia pun tahulah bahwa kekasihnya itu tadi sengaja membiarkan lengannya ditangkap Pangeran, atau lebih jelas lagi, Syanti Dewi telah memilih Sang Pangeran untuk menjadi calon jodohnya! Pilihan yang tepat, pikirnya dengan hati perih. Pemuda manakah yang lebih hebat dari pada seorang Pangeran Mahkota, apalagi Pangeran Kian Liong yang terkenal akan kebijaksanaannya itu?
Hanya sedikit saja hal yang membuat hatinya tidak enak dengan pilihan itu, ialah melihat kenyataan bahwa Pangeran itu masih muda sekali, tentu kurang lebih baru dua puluh tahun usianya. Padahal, dia tahu benar bahwa usia Syanti Dewi tentu antara tiga puluh enam tahun, sungguh pun wanita itu tidak nampak lebih tua dari pada Sang Pangeran.
Sudah, habislah riwayatnya dengan Syanti Dewi, pikirnya dengan lesu. Dia harus pergi cepat-cepat dari tempat itu, jangan sampai mengganggu kebahagiaan Syanti Dewi. Baru sekarang dia tahu bahwa pada dasar hatinya, dia ingin melihat Syanti Dewi berbahagia dan kini melihat betapa Syanti Dewi bergandeng tangan dengan wajah kemerahan dengan Sang Pangeran, dia tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dan ingin pergi secepatnya tanpa ada yang melihatnya.
Akan tetapi tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan, juga semua tamu melihat ini dan tahu-tahu di atas panggung di tengah ruangan itu telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh keriput dan pucat sekali, kepalanya botak licin dan sikapnya garang.
“Sungguh tidak adil sekali!” Laki-laki yang usianya tentu sudah sedikitnya enam puluh lima tahun itu berseru, suaranya lantang dan penuh wibawa, kakinya yang bersepatu baja itu dibanting keras dan lantai panggung itu pun melesak sampai beberapa senti meter dalamnya!
Melihat ada orang yang berani mengacau, Ouw Yan Hui yang masih berdiri itu berseru, “Siapa berani lancang menentang keputusan? Apanya yang tidak adil?”
Kakek itu tertawa, suara ketawanya, bergema di seluruh ruangan. “Ha-ha-ha, mana bisa dibilang adil kalau kemenangan ini disengaja dan dibuat?”
“Adik kami Syanti Dewi berhak memilih siapa pun juga menjadi jodohnya!” Kembali Ouw Yan Hui berseru sambil memandang wajah pucat itu dengan penuh perhatian karena dia tidak mengenal siapa adanya kakek ini.
“Ha-ha! Jika memang ingin memilih Pangeran, kenapa pakai mengadakan sayembara segala macam? Sayembara menangkap Nona ini berarti menguji ketangkasan dan ilmu kepandaian, akan tetapi ternyata Nona ini sengaja menyerahkan diri kepada Pangeran. Bukankah hal itu berarti menghina orang-orang yang menghargai ilmu silat? Urusan mengadu kepandaian adalah urusan dunia kang-ouw, kenapa sekarang Pangeran yang berkedudukan tinggi, Pangeran Mahkota, malah ingin mencampuri dan memperlihatkan kekuasaan untuk memenangkan seorang dara? Bukankah hal itu berarti Pangeran tidak memandang mata dan menghina para orang kang-ouw pada umumya? Apakah orang orang kang-ouw hendak dijadikan semacam pelawak-pelawak belaka? Hayo, hendak kucoba sampai di mana kesigapan Puteri Syanti Dewi ini, boleh nyalakan dupa dan aku akan menangkapnya!”
Semua orang kang-ouw terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang berani bersikap begini kasar terhadap Pangeran Mahkota? Mereka sudah melihat betapa para pasukan pengawal sudah maju mengepung tempat itu untuk melindungi Sang Pangeran.
Syanti Dewi maklum bahwa ada orang yang hendak mengacau, maka dia pun lalu menarik Sang Pangeran untuk mundur dan mengajak Sang Pangeran duduk kembali di tempatnya agar lebih mudah dilindungi oleh para pasukan pengawal apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia sendiri sudah memandang kepada kakek tinggi besar itu dengan pandang mata marah. Demikian pula Ouw Yan Hui sudah marah sekali.
Tetapi sebelum kedua orang wanita ini sempat mengeluarkan kata-kata atau melakukan sesuatu, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan Pendekar Budiman telah berada di atas panggung berhadapan dengan kakek raksasa itu.
Pendekar Budiman menjura dengan hormat, diam-diam merasa heran mengapa dia tidak mengenal kakek ini, padahal jarang ada tokoh kang-ouw yang tidak dikenalnya. “Sobat, harap engkau sudi memandang mukaku dan tidak menimbulkan keributan di tempat ini. Puteri Syanti Dewi telah memilih Pangeran Yang Mulia sebagai jodohnya, bukankah hal itu harus disambut dengan gembira oleh kita semua?”
“Ha-ha-ha, engkau percuma saja berjuluk Pendekar Budiman, sebaiknya diganti saja dengan julukan Pendekar Pengecut! Engkau memasuki sayembara sebagai calon, akan tetapi engkau tidak sungguh-sungguh ketika mengejar Sang Puteri tadi.”
Pendekar Budiman Lie Siang Kun diam-diam terkejut. Orang ini dapat mengetahui hal itu menandakan bahwa kepandaiannya tinggi dan matanya awas benar. “Sobat hal itu merupakan urusan pribadiku sendiri yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Sudahlah, harap engkau suka memandang kepadaku, dan mengingat bahwa tidak baik bagimu untuk membikin kacau di tempat ini, di mana hadir pula Paduka Yang Mulia Pangeran Mahkota.”
“Tidak! Bagaimana pun juga, Syanti Dewi harus maju dan akan coba kutangkap selama setengah dupa bernyala. Ini adalah pertemuan orang-orang gagah, bukan pertemuan badut-badut!”
“Orang tua, ini adalah tempatku dan aku tidak pernah mengundangmu datang! Apakah engkau sengaja hendak mengajak berkelahi?” Mendadak Ouw Yan Hui berseru dari tempat duduknya.
“Ha-ha-ha, orang-orang kang-ouw jika telah berkumpul tentu mengadakan pertandingan ilmu silat. Ini baru menggembirakan dan gagah, bukan membiarkan kita menjadi badut badut yang dipermainkan oleh Sang Pangeran hanya untuk menjilat. Pangeran tidak menghargai kita, bahkan memandang rendah dan menghina, hal ini tak boleh dibiarkan saja. Kita orang-orang kang-ouw mempunyai harga diri. Hayo, kalau Sang Puteri tidak mau memenuhi syarat yang diajukan tadi, mari kita mengadakan pertandingan silat, siapa pun boleh maju melawanku!”
“Sobat engkau sungguh terlalu!” Pendekar Budiman berseru. “Sikapmu sama sekali tak patut menjadi pendekar kang-ouw, melainkan lebih tepat sebagai seorang pengacau jahat. Nah, kalau engkau ingin berkelahi, akulah lawanmu.”
“Bagus! Aku sudah lama mendengar nama Pendekar Budiman, majulah!” tantang kakek itu dengan sikap memandang rendah sekali.
“Lihat seranganku!” Pendekar Budiman telah menerjang dengan sungguh-sungguh oleh karena dia tahu bahwa kakek ini sengaja hendak mengacau dan menentang Pangeran. Dia sudah mendengar akan usaha-usaha jahat mereka yang telah menculik Pangeran sebelum Pangeran itu tiba di Pulau Kim-coa-to, maka dia merasa berkewajiban untuk melindungi Pangeran, juga untuk membela Syanti Dewi yang terancam oleh kekerasan dan pengacauan orang tua tak terkenal ini.
Akan tetapi ketika Pendekar Budiman sudah menerjang maju, dia terkejut bukan main. Kakek itu sama sekali tidak mengelak, dan baru setelah tamparan pendekar itu datang dekat, kakek ini menggerakkan tangan menangkis dan akibatnya tubuh pendekar itu terpelanting!
Bukan main kuatnya tenaga sinkang yang terkandung dalam tangkisan lengan itu. Lie Siang Sun sudah meloncat bangun dan dia memandang tajam. Orang ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti, akan tetapi mengapa menentang Pangeran Mahkota? Mengapa?
Pangeran itu tertawa. "Betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau pengawalan itu terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian saja, dengan menyamar dan tiada seorang pun mengenalku sebagai pangeran mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau Kim-coa-to."
"Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk mengawal Paduka."
"Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak leluasa kalau dikawal. Bagaimana kalau engkau ikut sebagai undangan di Kim-coa-to? Akan ramai di sana."
"Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran?"
Mendengar pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyurn. "Pertanyaan itu saja jelas menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia ramai, sehingga tidak mendengar akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!" Pangeran lalu dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik.
Tidak mengherankan apa bila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah berseri dan nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tidak pernah melewatkan wanita cantik begitu saja, dan biar pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tidak pernah padam, bahkan semakin berkobar-kobar!
Memang yang dinamakan nafsu, apa pun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi makanan semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tidak pernah mengenal puas. Itulah nafsu! Oleh karena itu, sekali kita menjadi hamba nafsu, selamanya akan terus diperbudak, semakin lama semakin dalam.
"Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba berkunjung...." Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. Benar saja, dia melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata berapi-api penuh kemarahan dari ketiga orang isterinya! "Ehhh.... ohhh berkunjung ke sana mengawal Paduka....," sambungnya cepat.
"Hemm mengawal ataukah melihat puteri cantik?!" Tang Cun Ciu menghardik dengan suara mendongkol.
"Huh, tak ada puasnya!" sambung Gu Cui Bi.
"Dasar mata keranjang!" Nandini juga mengomel.
Bu-taihiap menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berubah kemerahan. Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, tetapi yang amat bijaksana dan mudah menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan berkata, "Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku dikawal. Lihat, pengawalku sudah cukup banyak dan kurasa mereka tak akan berani lagi muncul mengganggu setelah menerima hajaran keluargamu tadi."
Betapa pun juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai tempat penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap menggunakan kesempatan baik itu untuk minta bantuan Sang Pangeran mengenai niat keluarganya menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong.
"Jenderal Kao Cin Liong? Ahhh, dia adalah seorang sahabatku!" Sang Pangeran itu tanpa disangka-sangka berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan ketiga orang isterinya memandang girang. "Jangan khawatir, kalau memang sudah ada kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi perantara. Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi."
Tentu saja keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini, terutama sekali Bu Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
"Banyak terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran," berkata Bu-taihiap. "Biarlah hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka kembali ke sana."
Demikianlah, setelah mengawal Pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah dipersiapkan perahu-perahu besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw dan ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king.
Meski berita tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Kim-coa-to, dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi pangeran dan juga menurut laporan anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja ramai dan meriah.
Hanya diam-diam Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang Pangeran, terutama sekali Syanti Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan yang menjadi sahabatnya yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik saja!
Ingin sekali dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya, maka tentu saja dia tidak dapat meninggalkannya.
Para tamu sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau itu untuk keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka semua tahu betapa bahayanya kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang kabarnya memiliki kepandaian sangat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.
Pada saat perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat munculnya Sang Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi menyambut dengan girang dan lega bukan main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung induk, di mana tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan pangeran itu adalah dua orang wanita cantik ini.
Munculnya Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah mulai berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapa pun juga, pangeran mahkota itu memiliki nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi kegagahan.
Tetapi di samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi berkenan memilih jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam segala hal dengan pangeran mahkota? Suatu persaingan yang tidak adil!
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang sangat mengharapkan agar Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri pertama, kalau tidak mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat menjadi selir pertama, kedua atau syukur-syukur jika dapat menjadi permaisuri, apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar!
Dan dia sendiri, sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula derajatnya. Maka, tidak mengherankan apabila nyonya rumah ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan kemuliaan, amat meriah.
Ouw Yan Hui sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh karena itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah menyebar banyak sekali mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka semua, memilih-milih orang-orang yang sekiranya patut menjadi calon jodoh sahabat atau muridnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang menonjol lagi.
Semua tamu yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu bahwa perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta, tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya. Sementara itu, setiap tamu menyerahkan hadiah sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia khusus yang mencatat semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar, bertumpuk-tumpuk, dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada keesokan harinya.
Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil mungil yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini telah dihias dengan meriah, digantungi banyak lampu dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah pondok terdapat meja bundar di mana ketiga orang itu duduk menikmati hidangan serta minuman sambil bercakap-cakap.
Sayup-sayup terdengar suara alunan musik yangkim dan suling yang dimainkan oleh beberapa orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk memainkan alat-alat musik itu dengan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu percakapan mereka bertiga, namun cukup mendatangkan suasana yang indah.
Setelah beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui kemudian berkata dengan penuh hormat, “Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa untuk merayakan ulang tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami juga telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik Syanti....”
“Ahh, itu bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja....,” Syanti Dewi memotong sambil tersenyum.
Pangeran Kian Liong tertawa dan minum araknya. “Kehendak siapa pun juga, kurasa hal itu sudah sepantasnya, bukan? Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi, sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami.”
Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berubah merah.
“Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau telah dengar sendiri, Adikku.” Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan melengkung hitam itu. “Akan tetapi hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Walau pun besok akan berkumpul banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan di antara mereka itu yang cukup pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini?” Jelaslah bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini ‘memancing’ pendapat Pangeran tentang hal itu.
Pangeran itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Memang sukar.... memang sukar mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini....”
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata, “Tidak ada yang tepat memang, kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan kehormatan itu....”
“Enci Hui....!” Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran.
Pangeran Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu. “Aihh, Ouw-toanio, mana mungkin itu? Enci Syanti Dewi bagiku seperti kakakku sendiri, setidaknya seperti seorang sahabat yang amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan tentang jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio.”
Syanti Dewi bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi sebaliknya, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main. Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi sampai selesai. Setelah semua mangkok piring dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan.
“Betapa pun kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka kemukakan tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka menjadi pelindung dan penasehat dari adik hamba ini dalam menentukan pemilihan jodoh agar jangan sampai salah pilih.”
Pangeran itu tersenyum lebar. “Ahh, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan melindungi Enci Syanti, sungguh pun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku yang tidak ada pengalaman ini mana mampu memberi nasehat? Aku yakin bahwa seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan dapat salah pilih.”
Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan selanjutnya tidak lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang Pangeran memang nampak terdapat keakraban dan mereka itu bicara seperti dua orang sahabat atau saudara.
Maka dia pun merasa sebagai pengganggu atau merasa menjadi orang luar, karena itu dengan hormat dan alasan pening kepala dia pun mengundurkan diri meningggalkan kedua orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu, sedangkan para penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran dan puteri itu.
Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela, ke atas langit yang bersih seperti beludru hitam baru saja disikat, tanpa ada debu atau awan sedikit pun yang menutupi bintang-bintang yang berkilauan gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman bunga dan daun yang tumbuh di luar pondok.
Dari sudut kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang berdiri seperti menyendiri dan silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara celah-celah cabang dan daun, masih dapat nampak bintang-bintang di langit belakangnya, hingga dipandang sepintas lalu seolah-olah daun-daun pohon itu berubah menjadi benda-benda berkilauan.
Agaknya dua orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang keluar jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Akan tetapi keheningan yang meliputi seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka segan untuk mengganggu dengan kata-kata. Suara yangkim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke dalam keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang dengan suara berirama.
Seekor nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik kembali kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan kiri dan menggaruknya, kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun lenyap, tidak terasa lagi.
“Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti. Betapa lucunya.”
“Ahh, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti dua orang kakak dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan hatinya, dia selalu menilai hubungan antara pria dan wanita selalu hanya merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar baginya untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai dua orang sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia.”
“Ahh, tidak apa, Enci. Akan tetapi jika engkau memang tak setuju dengan diadakannya pemilihan calon jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja?”
“Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui.... kalau tidak ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya masih hidup. Ahh, saya hanya menurut saja, untuk sekedar membalas budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju. Coba saja Paduka bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya sebagai ulang tahun ke tiga puluh!”
“Ahhh, aku tidak percaya!” pangeran itu berseru heran.
“Tidak percaya yang mana, Pangeran?”
“Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu baru paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!”
Syanti Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram. “Kecantikan dan awet muda ini bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya tidak mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang datang mengganggu saya....”
“Wah, jangan masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!”
Syanti Dewi lalu menjura dan berkata, “Jangan khawatir, Pangeran. Paduka merupakan seorang istimewa, seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang dengan hati bersih dan bijaksana, karena itulah saya amat tunduk kepada Paduka.”
“Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau sudah berusia tiga puluh enam tahun?”
“Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!”
“Ahhh, masa....? Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!”
“Itulah, Pangeran. Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami pelajari dari Bibi Maya Dewi dari India.”
Pangeran itu mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andai kata pada suatu waktu dia ingin mempunyai seorang kekasih, tantu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini sebagai perbandingan.
“Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan untuk memilih jodoh? Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu itu untuk mempunyai seorang suami?”
Syanti Dewi memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam saja, membiarkan puteri itu menangis untuk menguras tekanan batin yang dideritanya ketika itu. Akhirnya, setelah banyak air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah jari tangannya, Syanti Dewi menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk menyusuti air matanya dari pipi.
“Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret hati....” Kemudian Syanti Dewi memberi isyarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar.
Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus. “Sebaiknya saya ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya pada Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya.” Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw Yan Hui.
Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai terpaksa meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah.
“Tapi.... agaknya pria yang kau cinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu?”
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, “Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya bagiku....”
“Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci?”
Sampai lama Syanti Dewi tak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih mendekati keluhan dari pada jawaban, “Entahlah.... bagaimana, ya? Kalau ingat betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapa pun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tak mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ahh, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja permintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar lagi....?”
Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula!
“Kalau memang engkau sudah bulat mengambil keputusan, nah, besok kau lakukanlah pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar untuk Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan membantumu sedapatku, Enci.”
Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu. “Ahhh, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Walau pun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan peri kemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat? Rasanya.... tidak mungkinlah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain....”
Pangeran Kian Liong cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, kemudian menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan kanannya. “Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!”
“Pangeran, harap ampunkan dia....”
“Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tak akan merasa tidak enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa telah mengecewakan hati Ouw-toanio. Dan setelah ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu?”
Syanti Dewi amat terkejut dan juga merasa terharu sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang sangat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui!
“Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya dan....”
“Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk meengambil seorang wanita seperti selir atau isterinya? Tak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andai kata aku mengambil sepuluh orang wanita sekali pun.”
“Ahhh, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka, Pangeran.”
“Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi?”
Pada saat itu nampak dua orang wanita pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu.
Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran. “Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran,” kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu.
Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu. Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir cawan ke mulutnya, mendadak ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.
“Tringgg....!”
Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai sehingga mengeluarkan bunyi nyaring.
“Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini?” Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman.
“Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita cepat tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka.”
Syanti Dewi kemudian mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, lalu dengan pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang. Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu.
Biar pun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat dalam penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.
“Mari, Pangeran!” Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya.
Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih mau pun sebagai seorang sahabat!
Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang yang dikeroyok itu. Walau pun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, akan tetapi dia dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya cepat-cepat pergi meninggalkan taman.
“Ahhh....!” Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya.
Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung. Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.
Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang.
Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok mau pun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan pada waktu diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau pingsan!
Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius.
Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali.
“Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi,” komandan ini bercerita dengan suara mengandung kekhawatiran besar. “Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu....” Komandan itu menggelengkan kepalanya. “Sungguh berbahaya sekali, yang tengah kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari Paduka Pangeran.”
Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya. “Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi.”
Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi. Dua orang pelayan yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang nampak mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan.
Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran!
Tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja. “Aku tidak khawatir,” katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. “Biar pun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan?” Dan sambil tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat.
Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang jahat hendak mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya!
Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersenda-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar supaya tidak mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu.
Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke Kim-coa-to Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan!
********************
PANGERAN KIAN LIONG memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia sudah mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau kelak dia dikenal dalam sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai serta bijaksana.
Dalam usia dua puluh tahun itu saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya mengagumkan hati para pendekar serta ketenangannya menghadapi segala membuat dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang tepat karena tidak pernah dilanda kegugupan.
Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang yang justru menjadi sasaran penyerangan gelap itu, yang tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno, campuran antara bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu membacanya!
Satu-satunya orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak aneh karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan dia pun paham sekali bahasa itu.
Baru setelah jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk. Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebahkan diri di atas pembaringan yang berkasur lunak tebal dan berbau harum itu.
Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat. Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki! Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu memperhatikan, hatinya lega kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda yang pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan!
Makin yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu pula, dan dia pun dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh cawan araknya yang terisi minuman anggur dan mengandung obat beracun! Dan tentu jembel ini tadi melawan enam atau lima orang yang mengeroyok itu dalam usahanya menyelamatkan dia pula!
Maka dengan tenang dia pun bangkit duduk. Betapa pun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan juga terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja, seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian seperti setan, pikirnya.
Memang benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot dan cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui, pendekar yang rusak hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah hutan itu, ketika melihat Sang Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia enggan untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu, dia pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan yang ditumpanginya.
Dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau inilah kekasihnya berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika puteri ini menyambut Sang Pangeran dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan!
SYANTI DEWI tidak berubah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia telah bersembunyi sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung pulau dan baru sekarang dia berani mendekat, yaitu setelah para tamu mulai berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis oleh Syanti Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran itu. Kedua matanya menjadi basah.
Memang, sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota, menjadi calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti Syanti Dewi pernah mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika menyambut Sang Pangeran, diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya.
Dia telah mendengar bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh. Dan kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan bersyukur. Dia mau melihat kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota yang telah banyak didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena agaknya di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga agar supaya Sang Pangeran dapat menang.
Kemudian dia mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya di dalam hutan berkat pertolongannya, kembali pangeran diserbu, bahkan diculik oleh para penjahat. Hal ini didengarnya dari percakapan di antara para tamu yang dapat ditangkapnya di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang Pangeran itu belum tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang Pangeran itu berubah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon suami Syanti Dewi.
Dia harus selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya! Inilah sebabnya mengapa Tek Hoat dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa orang-orang yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!
Dia maklum bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu jika saja para pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir penyerbuan pengawal setelah melihat Pangeran dapat lolos dari pondok di taman. Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk diketahui siapa mereka, apalagi mereka semua mempergunakan kedok.
Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang yang ingin mencelakai pangeran, entah dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran, karena jika hal itu yang dikehendaki mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu sudah pernah diculik dan tidak dibunuh? Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata-mata demi Syanti Dewi!
Tek Hoat melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya para penjaga dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu? Cara satu-satunya yang terbaik baginya ialah melindungi Pangeran itu secara langsung! Maka dia pun bersembunyi di wuwungan karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang menyerang, tentulah mengambil jalan dari atas wuwungan.
Dugaannya ternyata tepat. Menjelang tengah malam, ia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja telah lenyap lagi ditelan kegelapan malam. Wan Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya.
Lalu dia mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira bahwa Pangeran telah pulas, maka terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia pun menghampiri Pangeran yang sudah menyingkap kelambu.
“Sssttt...., Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat yang hendak datang.... biar hamba yang menyamar menggantikan Pangeran....,” bisik Tek Hoat.
Pangeran Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik kembali sambil turun dari atas pembaringan, “Baik, cepat kau gantikan aku dan aku....” Dia lalu cepat menyusup ke bawah kolong pembaringan itu!
“Ahhh, kenapa Paduka....?”
“Sssttt...., aku mau menonton!” bisik Pangeran itu yang sudah bersembunyi di kolong pembaringan!
Tek Hoat membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggelengkan kepala. Pangeran ini memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat menyingkirkan diri, malah ingin menjadi penonton dan sekarang bersembunyi di kolong pembaringan! Bukan main!
Akan tetapi tidak ada waktu lagi baginya untuk berbantahan, maka cepat dia pun sudah memasuki pembaringan di bawah kelambu, dan menyusup di bawah selimut bulu yang hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti.
Juga Sang Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biar pun bukan seorang ahli silat tinggi namun satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia tahu bahwa tentu akan terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani masuk!
Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas melayang turun tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok, bahkan kedoknya menyelubungi seluruh kepala, hanya nampak dua lubang dari mana ada sepasang mata mencorong dan memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang itu yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya melayang ke dalam kamar.
Dari balik kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya, dan dia terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia sudah siap siaga.
Sedangkan Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke paha yang tertutup celana hitam, kaki yang kecil. Dari tempat dia sembunyi, Pangeran itu dengan hati geli membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu orang itu akan terkejut sekali, dia membayangkan.
Tiba-tiba orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan tangan kanannya bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika jari-jari tangan yang lentik kecil itu menyambar.
Tek Hoat terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat meloncat dan menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar lawan sedangkan tangannya dengan gerakan cepat sekali, dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah leher lawan. Itulah pukulan jari telanjang yang membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw.
“Wuuuttt.... cettt....!”
Tek Hoat meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa tersentuh jari-jarinya! itulah pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu pukulan yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa dingin dan seketika dapat membunuh lawan!
Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia tadinya mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu merusak kaki Sang Pangeran! Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toa-ok yang memimpin gerakan atas perintah Sam-thaihouw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan merusak kedua kaki Pangeran. Ji-ok mengira bahwa hanya dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu dia akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa artinya Pangeran Mahkota yang lumpuh kedua kakinya? Tidak mungkin bisa diangkat menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka.
Maka ketika tiba-tiba Pangeran itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari tangan orang itu ternyata ampuh bukan main, terbukti dari anginnya yang menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia telah terjebak dan hal ini dibuktikan ketika dia dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel!
“Huh!” Ji-ok dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang juga marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah pula menyerangnya dengan menggunakan pukulan-pukulan jari terbuka yang sama ampuhnya.
Pertempuran sengit pun terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi gembira sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan kaget karena dia memperoleh kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat hebat! Betapa pun dia berusaha menangkap atau merobohkannya, namun usaha ini sama sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh serangan-serangan telunjuk tangan yang amat berbahaya itu.
Akan tetapi, keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu kamar digedor oleh Souw Kee An sampai terbuka, tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu, dua orang yang sedang bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap! Souw Kee An menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran di atas pembaringan.
“Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!” teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia mengira bahwa Pangeran telah terculik lagi.
Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke belakang saking kagetnya, namun dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru girang ketika mengenal kepala itu.
“Paduka Pangeran....”
Pangeran Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum.
“Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa.”
Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran. “Paduka selamat, Pangeran? Aih, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat. Tadi saya sempat melihat dua bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran?”
Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An, “Souw-ciangkun, lekas suruh anak buahmu keluar semua dan berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut.”
Kemudian setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan kembali ke dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan Hui, dan Syanti Dewi.
“Kalau tidak ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu muncul tiba-tiba dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia menggantikan aku di tempat tidur, dan minta agar aku menyingkir dari kamar. Tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke arah pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para pengawal datang dan mereka lalu pergi.”
Ouw Yan Hui mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat yang berani menyerang pangeran di tempat ini, sedikit pun tak memandang kepada penghuni Pulau Kim-coa-to. “Kalau hamba dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!”
“Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka benar-benar terlindung,” kata Syanti Dewi.
“Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci Syanti? Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga dalam kamar ini.”
“Biarkan hamba saja yang menjaga di dalam kamar Pangeran,” kata Souw Kee An.
Akhirnya usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan tetapi jelas bahwa malam itu mereka tak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat keluar apabila terdengar suara mencurigakan.
Souw Kee An duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur pulas seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam keselamatannya. Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu, bahkan di atas wuwungan atap kini penuh dengan penjaga.
Jangankan manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan mampu masuk kamar itu tanpa diketahui pengawal….
Menurut hasil penyelidikan para mata-mata yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini mendapat kepastian bahwa yang patut dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya ada lima orang saja di antara begitu banyak tamu, yaitu yang menurut syarat-syarat yang ditentukannya, di samping keistimewaan masing-masing.
Orang pertama, menurut penyelidikan para mata-mata itu, tentu saja adalah Pangeran Kian Liong! Orang ke dua bernama Thio Seng Ki, seorang muda hartawan besar dari Cin-an di Propinsi Shan-tung. Orang ke tiga bernama Yu Cian, yaitu seorang pemuda sastrawan terkenal dari Pao-teng yang pernah menggondol juara pertama pada waktu diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja, juara yang diraihnya karena kepintarannya dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak mempergunakan harta untuk menyogok para pembesar yang berwenang dalam ujian negara itu.
Orang ke empat bernama Lie Siang Sun, usianya lebih tua dari pada para calon lainnya, karena dia sudah berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal sebagai seorang pendekar muda yang gagah perkasa di selatan dan selain terkenal alim dan belum menikah, juga di kalangan kang-ouw dia dikenal dengan julukan Pendekar Budiman, karena sepak terjangnya yang berbudi. Kemudian calon ke lima adalah seorang seniman terkemuka pula, seorang ahli lukis dan ahli musik yang pernah mengadakan pertunjukan di istana Kaisar.
Kelima orang calon yang terpilih ini rata-rata memiliki wajah yang tampan, bahkan kalau dibuat perbandingan, yang empat orang itu lebih tampan dan gagah dari pada Pangeran Kian Liong! Maka diam-diam Ouw Yan Hui lalu memberitahukan kepada Syanti Dewi tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti Dewi untuk menentukan pilihannya.
“Adikku, kalau Sang Pangeran tidak mungkin dimasukkan sebagai calon, maka pilihan kita hanya ada empat orang yang patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah melihat sendiri mereka itu di antara tamu, dan memang hasil penyelidikan orang-orang kita itu cukup tepat. Mereka adalah pria-pria pilihan, Adikku.”
Syanti Dewi tersenyum pahit. “Tentu saja Pangeran Kian Liong boleh juga disebut calon, mengapa tidak?”
Jawaban ini tentu saja berani dikemukakan setelah dia bercakap-cakap dengan Sang Pangeran malam tadi di taman, sebelum terjadi penyerbuan. Biar pun dia belum melihat empat orang yang dicalonkan itu, akan tetapi hatinya sudah merasa yakin bahwa tidak mungkin dia bisa memilih seorang di antara mereka, maka dari itu dia sudah mengambil keputusan untuk ‘memilih’ Pangeran Kian Liong saja, agar dia dapat keluar dari pulau ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui.
Mendengar ini, Ouw Yan Hui memandang dengan wajah berseri-seri. “Yakin benarkah engkau bahwa beliau boleh dimasukkan sebagai calon?”
“Mengapa tidak, Enci? Dia juga seorang pria dan dia suka kepadaku bukan?”
Tentu saja hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui girang sekali. Memang itulah yang diharapkan olehnya. Kalau saja Syanti Dewi dapat menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi calon permaisuri!
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya menembus celah-celah daun di pohon-pohon, para tamu dipersilakan datang ke ruangan luas di depan, di mana telah dipersiapkan ruangan pesta dan diatur meja-meja yang dikelilingi bangku-bangku untuk tempat makan minum.
Berbondong-bondong para tamu mendatangi ruangan itu dan suasana meriah sekali karena selain tempat itu dihias dengan kertas-kertas berwarna dan bunga-bunga, juga diramaikan dengan musik yang dimainkan oleh wanita-wanita muda. Setelah semua tamu duduk, jumlah mereka tidak kurang dari seratus lima puluh orang dari bermacam golongan, segera dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan beberapa macam kue kering.
Kemudian, seorang wanita muda cantik yang memiliki suara bening dan terang juga lantang, yang bertugas sebagai pengatur acara, memberitahukan bahwa sebelum pesta dilanjutkan dengan hidangan, akan dilakukan dahulu pembukaan barang-barang hadiah di depan para tamu. Suasana menjadi gembira ketika beberapa orang wanita pembantu mulai membuka barang-barang hadiah yang bertumpuk di atas meja besar itu.
Setiap bungkusan yang dibuka, diteriakkan nama penyumbangnya oleh seorang wanita dan benda sumbangan itu diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh seorang wanita lain yang berdiri di tempat tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua tamu benda yang disebutkan nama penyumbangnya itu. Para tamu kadang-kadang mengeluarkan seruan kagum apabila ada bungkusan yang terisi barang sumbangan yang amat indah dan yang luar biasa mahalnya, merupakan benda yang sukar ditemukan. Agaknya para penyumbang itu hendak berlomba untuk memikat hati sang juita melalui barang-barang sumbangan itu.
Akan tetapi bungkusan terakhir dari barang-barang hadiah itu membuat semua tamu menahan napas. Memang hal ini disengaja oleh Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah sumbangan dari pemuda hartawan Thio Seng Ki yang ternyata merupakan seuntai kalung bermata berlian sebesar biji-biji lengkeng, berlian yang berkeredepan mengeluarkan cahaya berkilauan dan ruangan itu seolah-olah memperoleh tambahan sinar yang terang. Setelah menahan napas, kini terdengar seruan-seruan kagum dan jelas bahwa seruan-seruan ini melebihi kekaguman mereka terhadap benda-benda berharga yang telah diperlihatkan tadi.
“Sumbangan ini datang dari Tuan Muda Thio Seng Ki dari kota Cin-an!” demikian terdengar suara wanita yang membuat laporan.
Terdengar tepuk tangan dan suara ini disusul oleh tepuk tangan para tamu-tamu lain tanda bahwa mereka semua mengenal barang indah dan mahal. Tanpa dinyatakan sekali pun semua tamu dapat merasakan bahwa dalam hal hebatnya sumbangan, orang muda she Thio itu jelas menduduki peringkat paling atas dan hal ini saja sudah bisa menguntungkan dia dalam penilaian Puteri Syanti Dewi. Semua mata kini melirik ke arah puteri itu dan memang sejak mereka semua berkumpul di tempat itu, Syanti Dewi merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik seperti besi semberani, membuat para tamu sukar untuk tidak melirik ke arahnya.
Syanti Dewi mengenakan pakaian Puteri Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut tubuhnya dari kepala, ke leher terus ke bawah, seolah-olah hanya dibelitkan saja akan tetapi dengan cara yang demikian luwes dan menarik. Di balik sutera hijau yang tipis menerawang ini nampaklah lapisan pakaian dalam, dari pinggang ke bawah berwarna merah muda dan dari pinggang ke atas berwarna kuning. Ikat pinggangnya berwarna biru, sepatunya berwarna coklat. Rambutnya yang hitam itu nampak membayang di balik kerudung sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut dari emas bertaburan intan dan mutu manikam.
Betapa pun indahnya semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuh puteri ini, semua itu nampak menyuram bila dibandingkan dengan wajah itu sendiri. Tanpa wajah yang gemilang dan berseri, cantik jelita mengandung kemanisan yang kadang-kadang menyejukan hati kadang-kadang menggairahkan birahi itu, kiranya semua pakaian dan perhiasan itu tidak akan ada artinya. Setiap gerak-geriknya begitu luwes dan pantas, membuat para pria yang memang sejak lama tergila-gila kepadanya kini menelan ludah dengan pandang mata yang sukar dialihkan.
Di samping kiri Sang Puteri itu duduk Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak cantik dan anggun, sungguh pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi. Dan di sebelah kanan Sang Puteri itu duduklah dengan amat tenangnya Pangeran Kian Liong.
Pangeran ini adalah seorang yang bijaksana dan pandai, maka biar pun dia hanya memandang dari jauh, dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa benda yang diperlihatkan tadi, seuntai kalung tadi, berharga jauh lebih mahal dari pada semua barang sumbangan tadi dijadikan satu! Seuntai kalung itu saja sudah dapat dijadikan modal membuka sebuah toko yang besar! Sungguh merupakan benda yang amat langka dan amat mahal, maka diam-diam dia kagum kepada pemberinya. Hanya orang yang sungguh-sungguh serius sajalah yang mau menyumbangkan benda semahal itu.
Kalau Syanti Dewi menjadi isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan menjadi isteri seorang yang kaya-raya. Apalagi penyumbang itu sendiri, yang bernama Tuan Muda Thio Seng Ki, ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang cukup ganteng, seperti yang dapat dilihatnya dari tempat duduknya ketika benda itu diumumkan dan Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah pemuda penyumbang itu! Itulah calon pertama, pikir Sang Pangeran.
Lalu hadiah-hadiah berupa lukisan, tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak berpasangan, dan sajak-sajak serta tulisan-tulisan indah juga dipamerkan satu demi satu, dan nama para penyumbangnya diumumkan. Pada saat nama pemuda Yu Cian disebut dengan sumbangannya berupa sajak, semua orang segera menaruh perhatian, terutama sekali di kalangan mereka yang memperhatikan tentang sastra.
Bahkan Sang Pangeran sendiri tertarik, karena dia pun sudah mendengar akan nama pemuda yang menggondol juara pertama ini, yang kabarnya amat menonjol keahliannya membuat sajak dan tulisan. Memang tulisan itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak mungkin dapat terbaca oleh para tamu yang duduk agak jauh, maka terdengarlah Sang Pangeran berkata, “Harap sajak-sajak dari Yu Cian Siucai itu dibacakan!”
Mendengar anjuran Pangeran ini, beberapa orang berteriak mendukung dan akhirnya sebagian besar dari para tamu mendukungnya. Syanti Dewi mendengar Sang Pangeran berkata kepadanya di antara suara bising itu, “Enci, sudah sepatutnya kalau engkau minta penulis sajak untuk membacanya sendiri.”
Syanti Dewi tidak tahu mengapa Sang Pangeran berkata demikian, akan tetapi karena dia pun mengenal baik Yu Cian yang merupakan seorang kenalan yang selalu bersikap sopan terhadapnya. Maka ia pun tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit berdiri. Begitu wanita ini bangkit berdiri, semua suara pun sirep dan keadaan menjadi amat hening sehingga terdengarlah dengan jelas suara Syanti Dewi yang bening dan halus, “Untuk memenuhi permintaan para saudara, maka kami mohon sukalah Yu Cian Siucai membacakan sendiri sajak yang ditulisnya!”
Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai yang riuh rendah. Dengan muka yang berubah merah sekali terpaksa Yu Cian bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan dengan langkah-langkah tenang dia menuju ke tempat para pembantu wanita yang membuka barang-barang hadiah sumbangan itu.
Setelah menerima gulungan kain tulisannya, dia lalu menjura dengan hormat ke arah Pangeran, Syanti Dewi dan Ouw Yan Hui, dan semua tamu memandang kepada pemuda ini dengan kagum. Seorang pemuda yang tampan dan memang patutlah kalau dia menjadi siucai tauladan yang lulus sebagai juara di kota raja. Suasana menjadi hening sekali sehingga kini, suara pemuda itu terdengar satu-satu dengan jelas ketika membacakan sajaknya.
Cantik indah bagai bunga anggrek
Harum semerbak bagaikan bunga mawar.
Merdu merayu bagaikan sumber air
Gilang gemilang seperti fajar menyingsing.
Redup syahdu seperti sang senja kala,
Duhai Bunga Pulau Ular Emas!
Tiada sesuatu mampu kupersembahkan,
Kecuali seuntai sajak bisikan kalbu,
disertai hati yang subur basah,
Tempat Sang Bunga mekar berseri.
Cara pemuda pelajar itu membaca sajaknya sungguh amat mengesankan. Suaranya halus bening dan mengandung getaran karena pembacaan itu dilakukannya sepenuh perasaannya sehingga seakan dia sedang memuji-muji kecantikan Syanti Dewi secara terbuka, demikian terasa oleh semua orang sehingga suasana menjadi mengharukan. Bahkan setelah pemuda itu selesai membaca sajak, suasana masih hening sekali. Baru setelah pemuda itu menyerahkan kembali gulungan sajak, kemudian memberi hormat kepada Syanti Dewi dan Pangeran, meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai memuji.
Pangeran Kian Liong sendiri bertepuk tangan memuji dan memang dia merasa kagum sekali kepada pemuda itu. Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian hati seorang pria yang sedang dilanda asmara! Syanti Dewi diumpamakan bunga anggrek, ratu segala bunga yang seolah-olah tidak pernah layu dibandingkan dengan semua bunga di dunia ini, kemudian harum seperti bunga mawar, bunga yang keharumannya tidak pernah lenyap biar pun bunganya sendiri telah lama layu!
Dan suara apakah yang melebihi kemerduan suara gemericik air sumber yang tidak pernah berhenti, mengandung dendang asmara yang kekal? Lalu dalam pemujaannya, Syanti Dewi dinyatakan gilang-gemilang seperti fajar menyingsing dan redup syahdu seperti sang senja kala. Memang tiada keindahan yang begitu menggetarkan hati yang peka melebihi keindahan fajar menyingsing di kala matahari mulai timbul sebagai bola besar kemerahan yang berseri, dan keredupan senja kala di waktu matahari tenggelam yang menciptakan warna-warna dan bentuk-bentuk awan yang luar biasa indahnya di langit barat.
Kemudian, yang amat mengharukan, pemuda itu tidak mampu mempersembahkan apa pun, kecuali sajak yang disertai sebuah hati yang akan selalu menghidupkan sang Bunga dengan luapan cinta kasih yang diumpamakan keadaan hati yang subur dan basah selalu! Pemberian seperti inilah yang dinantikan oleh setiap orang wanita, yaitu kasih sayang pria dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, bukan segala macam benda berharga kalau diberikan dengan hati yang kering dan tandus!
Dengan muka kemerahan, pemuda sastrawan itu kembali ke tempat duduknya semula. Kini Sang Pangeran menjadi bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang tampan dan kaya raya, dan Yu Cian yang tampan dan ahli sastra, merupakan dua orang calon yang kuat sekali. Menjadi isteri Thio Seng Ki, Syanti Dewi akan berenang dalam lautan harta, sebaliknya menjadi isteri Yu Cian, dara itu akan berenang dalam lautan kemesraan!
Diam-diam Ouw Yan Hui merasa girang betapa dia telah berhasil ‘memperkenalkan’ dua di antara calon-calon itu secara tidak langsung kepada semua orang. Kini hidangan mulai dikeluarkan dan pelapor acara memberitahu bahwa akan dimainkan tari-tarian untuk menghibur para tamu. Mulailah pesta yang meriah itu.
Para tamu makan minum hidangan-hidangan yang istimewa, musik mulai dibunyikan keras-keras dan nampaklah penari-penari yang muda-muda dan cantik-cantik menari dengan lemah-gemulai di panggung yang agak tinggi itu. Para tamu makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik itu. Karena ada hidangan dan tontonan tarian, maka baru sekaranglah para tamu agak ‘melupakan’ Syanti Dewi sehinga hanya beberapa orang saja yang sempat melihat pada waktu wanita itu meninggalkan tempat duduknya menuju ke dalam.
Setelah beberapa macam tarian disajikan, mendadak Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan dengan suaranya yang nyaring dia mengumumkan, “Mohon perhatian Cu-wi yang mulia! Dengan penuh rasa terima kasih atas perhatian Cu-wi yang budiman, maka sekarang adik kami, Syanti Dewi, akan menghibur Cu-wi dengan sebuah tarian istimewa dari Bhutan!”
Musik berbunyi lagi, dan kini terdengar lagu yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari dalam muncullah Syanti Dewi. Semua orang menahan napas penuh kagum melihat betapa puteri itu dengan pakaian yang serba mewah meriah, memakai selendang kuning muda yang panjang, berlari-lari seperti terbang saja, seperti bidadari terbang dalam dongeng, dari dalam dan menuju ke panggung.
Meledaklah suara tepuk sorak menyabutnya. Demikian gemuruh sorak-sorai ini hingga menenggelamkan suara musik. Baru setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi yang kini sudah berjongkok dengan sikap manis sambil menyembah, mulai bangkit dan diikuti irama tetabuhan yang merdu, mulailah dia menari!
Memang indah sekali tarian itu. Syanti Dewi bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki keluwesan dan dia memang merupakan seorang ahli dalam tari-tarian Bhutan yang dipelajarinya ketika dia masih kecil. Maka saat dia menari semua orang terpesona dan sesaat mereka bengong sehingga suasana di antara penonton menjadi hening.
Tari-tarian asing yang belum pernah ditonton memang selalu mempesonakan orang. Kalau orang sudah terbiasa, pesona itu semakin berkurang. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa gerakan menari dari Syanti Dewi amat indah, sehingga Pangeran Kian Liong sendiri yang sudah sering menyaksikan tari-tarian halus, merasa amat kagum.
Kalau para tamu itu saja terpesona dan penuh kagum, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengaruh tarian itu pada hati Wan Tek Hoat! Pendekar ini juga ikut menonton dari tempat sembunyiannya, dan dia tidak pernah berkedip mengikuti gerak-gerik Syanti Dewi dengan pandang matanya. Melihat kekasihnya secantik itu, menari seindah itu, terkenanglah dia akan segala keadaannya ketika bersama kekasihnya itu, dan tak dapat ditahannya lagi matanya menjadi basah dan air mata perlahan-lahan menitik turun di atas pipinya yang tertutup cambang.
“Syanti.... Syanti.... kekasihku....,” demikian hatinya merintih-rintih penuh kerinduan dan rasa nyeri, karena kini semakin nampaklah olehnya betapa wanita itu sungguh tidak pantas menjadi kekasihnya, apalagi kalau dia mengingat betapa dia telah berkali-kali melakukan hal yang amat menyakitkan hati puteri itu.
Dan kini, melihat keadaan Sang Puteri yang begitu dipuja ratusan orang pria-pria pilihan, bahkan telah menjadi akrab dengan Sang Putera Mahkota, Pangeran yang amat tinggi kedudukannya dari kota raja, kemudian menengok pada keadaan dirinya sendiri, seorang jembel miskin yang tidak punya apa-apa, bahkan namanya pun telah dilupakan orang, dia melihat perbedaan yang amat mencolok dan semakin terasalah dia betapa dia adalah seorang yang kurang terima, orang yang tidak menengok keadaan diri sendiri dan telah bersikap keterlaluan kepada puteri itu!
Dan Syanti Dewi begitu setia, begitu suci murni, sehingga sampai sekarang pun belum melayani pria lain! Dan puteri sesuci itu pernah dia fitnah, ia tuduh telah berjinah dengan orang lain, telah menjadi pemberontak dan mengkhianati Raja Bhutan, ayahnya sendiri! Mengingat akan hal ini, kembali dua titik air mata menetes turun.
Sorak-sorai dan tepuk tangan meledak saat Syanti Dewi mengakhiri tariannya. Dengan langkah-langkah yang seolah-olah tidak menyentuh lantai Sang Puteri kembali ke dalam gedung itu, diikuti sorak-sorai memuji-mujinya dari segenap tamu, termasuk juga Sang Pangeran.
Ouw Yan Hui telah memberi isyarat kepada wanita pengatur acara, dan wanita ini lalu bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan, minta kepada semua tamu agar tenang kembali. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring, “Atas permintaan dari Ouw-toanio sebagai nyonya rumah, kami mohon kepada Tuan Muda Kui Lun Eng untuk tampil ke depan dan membantu pesta agar meriah dengan permainan musiknya!” Mendengar disebutnya nama ini, banyak di antara tamu yang mengenalnya menyambut dengan tepuk tangan.
Nama Kui Lun Eng ini amat terkenal, bahkan Pangeran Mahkoka juga mengenal nama ini sebagai seorang ahli musik dan pelukis yang memiliki kepandaian luar biasa. Dari rombongan tamu bangkitlah seorang pemuda jangkung yang kemudian melangkah dengan tenang ke arah panggung, memberi hormat kepada Pangeran dan Ouw Yan Hui, kemudian berkata, “Saya akan menanti sampai kembalinya Nona Syanti Dewi.”
Kemudian, diiringi suara ketawa para tamu yang maklum akan maksud kata-kata itu, yakni bahwa ahli musik itu hanya ingin main musik kalau didengarkan oleh Syanti Dewi, pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun melangkah ke arah rombongan pemain musik, yaitu para wanita muda yang duduk di sudut.
Dengan enak, karena agaknya sudah biasa dengan alat-alat musik, dia mencoba-coba suara beberapa buah yang-kim, kemudian dipilihnya sebuah dan diletakkan di depannya sedangkan dia duduk bersila di panggung pemain musik itu. Lalu dia mengeluarkan sebatang suling bambu dari saku bajunya yang sebelah dalam.
Tiba-tiba terdengar tepuk tangan riuh rendah ketika Syanti Dewi muncul kembali, kini dengan pakaian serba hijau dan duduk di tempat semula setelah mengangguk sebagai pernyataan terima kasih atas sambutan para tamu. Melihat munculnya nona itu, Kui Lun Eng lalu mulai dengan permainan yang-kimnya.
Mula-mula hanya terdengar beberapa nada berkentringan saling kejar, lambat-lambat dan lirih-lirih saja, akan tetapi makin lama kejar-kejaran nada itu semakin cepat dan semakin keras dan mulailah terdengar lagu yang dinyanyikan yang-kim itu dengan amat indahnya. Makin keraslah suara yang-kim itu dan kini semua orang yang mengenal lagu itu tahu bahwa itu adalah lagu perang, sedangkan yang tidak mengenal lagu itu pun dapat menduga bahwa itu tentulah lagu perang sebab mereka seperti mendengar derap kaki ribuan kuda di dalamnya, lalu pekik-pekik kemenangan, rintihan-rintihan orang terluka, suaranya senjata berdencing dan saling beradu, semua itu tercakup ke dalam suara nada-nada yang naik turun itu. Bukan makn!
Sang Pangeran sendiri sampai terpesona. Belum pernah dia mendengar orang bermain yang-kim seindah itu. Begitu hidup suara itu, bukan sekedar nada-nada kosong belaka, melainkan setiap rangkaian nada seperti menceritakan sesuatu sehingga terbayanglah cerita dari nada-nada itu. Bahkan dia seperti melihat darah mengalir dan debu mengepul tinggi!
Ketika suara yang-kim itu mencapai puncaknya dalam kecepatan lalu diakhiri dengan suara seperti sorak kemenangan, suara itu berhenti tiba-tiba dan para pendengar yang tadinya bagai terpukau, seolah-olah mereka merasakan terseret dalam suasana perang yang mengerikan, tiba-tiba seperti baru sadar dan kembali ke dalam nyata. Meledaklah sorak-sorai dan tepuk tangan mereka.
Dengan tenang Kui Lun Eng mengangguk ke arah mereka dan kini dia mulai meniup sulingnya, bukan dengan dua tangan, melainkan hanya dengan tangan kanan saja dan tangan kirinya mulai menggerayangi yang-kim kembali. Sekarang terdengarlah paduan suara yang-kim dan suling dimainkan oleh dua tangan itu dan kembali semua orang tenggelam ke dalam pesona suara yang sangat luar biasa. Paduan suara itu demikian serasinya, mengalunkan lagu cinta yang syahdu, menghayutkan perasaan ke suasana yang amat mesra, kadang-kadang menjadi halus merdu dan mengandung duka dan patah hati.
Memang hebat sekali permainan musik orang ini. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suara musik itu pada wajah para pendengarnya. Wajah-wajah itu, biar pun di antaranya terdapat banyak wajah yang biasa dengan kekerasan, kadang-kadang tidak mampu lagi menguasai keharuan hati sehingga menjadi layu, bahkan ada yang menitikkan air mata!
Syanti Dewi sendiri tak dapat bertahan ketika lagu itu tiba di bagian yang sedih, seperti hati yang meratap-ratap dan menjerit-jerit. Puteri ini teringat akan keadaan diri sendiri yang menjadi korban cinta, sehingga dia pun tidak kuasa menahan air matanya dan beberapa kali menyapu air mata dari pipi dengan sapu tangannya. Semua ini dapat dilihat oleh Tek Hoat dan pendekar ini pun ikut menangis dengan diam-diam! Ia merasa jantungnya perih. Bukan air mata lagi yang mengalir dari matanya, tetapi seolah-olah jantungnya mengalirkan air mata darah.
Ketika akhirnya suara musik itu terhenti, Sang Pangeran sendiri bangkit bertepuk tangan memuji, diikuti oleh semua tamu yang benar-benar merasa kagum. Kui Lun Eng bangkit berdiri dan menjura ke arah Syanti Dewi dan Pangeran, wajahnya agak pucat karena permainan tadi dilakukan dengan sepenuh perasaannya sehingga selain makan banyak tenaga batin, juga menyeretnya ke dalam keharuan. Kemudian dengan masih diiringi tepuk sorak, dia kembali ke tempat duduknya semula.
Diam-diam Sang Pangeran melihat adanya calon yang baik pada diri pemuda ahli musik ini. Patut pula menjadi calon suami Syanti Dewi, pikirnya. Sudah ada tiga orang muda yang pantas menjadi calon, yaitu Thio Seng Ki Si Hartawan, Yu Cian Si Sastrawan, dan Kui Lun Eng Si Seniman. Akan tetapi sayang, ketiganya adalah orang-orang yang lemah, tidak memiliki kepandaian silat, pikir Sang Pangeran.
Padahal, dia tahu betul bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita yang lihai ilmu silatnya. Bahkan dia sudah melihat sendiri betapa wanita itu memiliki ginkang yang amat luar biasa, membuat dia dapat berlari seperti terbang dan bergerak dengan amat cepatnya! Mungkinkah seorang wanita gagah dan lihai ini berjodoh dengan seorang pria yang tidak mengenal ilmu silat?
Kini Ouw Yan Hui bangkit berdiri lagi. Hatinya senang karena tanpa terlalu kentara, dia telah menonjolkan tiga orang calon jodoh Syanti Dewi. Kini tinggal memperkenalkan calon keempat dan untuk itu pun dia tidak kekurangan akal. Dari para penyelidiknya dia sudah mendengar bahwa Si Pendekar Budiman Lie Siang Sun adalah orang yang tepat pula menjadi calon, dibandingkan dengan ahli-ahli silat, juga Lie Siang Sun ini terkenal sebagai pendekar budiman, tidak pernah tercela namanya dan masih belum menikah pula.
Dengan suara lantang Ouw Yan Hui lalu berkata, “Adik kami yang ulang tahunnya dirayakan adalah orang yang suka sekali melihat pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu, pesta ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Kami tahu bahwa di antara para tamu terdapat banyak sekali ahli silat. Dan setelah memeriksa daftar nama para tamu, kami minta dengan hormat kepada Pendekar Budiman Lie Siang Sun, sudilah kiranya memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silatnya.”
Kembali banyak di antara para tamu yang bertepuk tangan karena selain nama Pendekar Budiman sudah terkenal dan banyak orang menaruh kagum kepadanya, juga mereka yang merasa memiliki kepandaian silat merasa lega ada orang lain yang disuruh maju lebih dulu. Tentu saja untuk maju sebagai orang pertama mendatangkan perasaan sungkan dan malu-malu.
Seorang pria yang usianya tiga puluh tiga tahun, bangkit berdiri dan nampak betapa tubuhnya itu tinggi tegap dan gagah perkasa, sikapnya sangat sederhana seperti juga pakaiannya. Di punggungnya nampak tergantung sebatang pedang dan dengan langkah yang lebar tegap namun tenang, orang ini berjalan menuju panggung. Dengan sopan ia memberi hormat ke arah Syanti Dewi, Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong, sambil berkata,
“Sebutan Pendekar Budiman dan ahli silat bagi saya sungguh terlalu dilebihkan, akan tetapi karena saya hanya bisa menyumbangkan sedikit ilmu silat yang pernah saya pelajari untuk memeriahkan pesta ini, maka harap Pangeran, Nona dan Toanio, juga Cu-wi yang hadir di sini suka memaafkan jika pertunjukan ini kurang berharga.”
Setelah mengangguk ke empat penjuru, mulailah Pendekar Budiman Lie Siang Sun menggerakkan kaki tangannya. Mula-mula ia bersilat dengan lambat, akan tetapi makin lama semakin cepat dan gerakan-gerakannya gesit, pukulan-pukulannya mantap dan kadang-kadang kedua kakinya yang berloncatan itu tak menimbulkan suara sedikit pun seperti langkah-langkah seekor kucing, akan tetapi adakalanya geseran-geseran kedua kakinya mendatangkan getaran dan membuat panggung berderak-derak!
Memang harus diakui bahwa ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh pendekar ini cukup hebat dan juga indah dan bersih, ciri khas dari cabang ilmu persilatan para pendekar yang mengutamakan keindahan dan ketangguhan, bersih dari cara-cara yang curang. Tek Hoat juga menonton secara sepintas lalu saja karena sebagaian besar perhatiannya selalu tertuju kepada Syanti Dewi, mengerti bahwa pemuda ini memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai dan juga Bu-tong-pai, dan memiliki tingkat yang cukup tinggi, maka patutlah kalau dia disebut pendekar.
Setelah mainkan ilmu silat tangan kosong sebanyak tiga puluh enam jurus, tiba-tiba Lie Siang Sun mengeluarkan bentakan nyaring. Nampaklah sinar berkelebat yang segera bergulung-gulung, ternyata dia telah mencabut dan mainkan pedangnya. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga kebanyakan dari para tamu tidak melihat kapan pedang itu dicabutnya dan kini pun pedang itu tidak nampak karena telah berubah menjadi gulungan sinar saking cepatnya dimainkan!
Tepuk sorak menyambut permainan pedang ini dan memang Bu-tong Kiam-sut terkenal dengan keindahan gerakannya. Banyak tamu yang terdiri dari para tokoh kang-ouw mengangguk-anggukkan kepala dan memuji ketangkasan pendekar itu. Pangeran Kian Liong tidak mempelajari praktek ilmu silat secara mendalam, namun pengetahuannya tentang ilmu silat cukup banyak, maka dia pun mengenal keindahan dan ketangguhan ilmu pedang ini, maka dia merasa kagum sekali. Dia pun diam-diam merasa setuju kalau pendekar muda ini dijadikan calon pula karena memang cukup pantaslah pemuda ini menjadi pelindung atau suami Syanti Dewi.
Setelah Lie Siang Sun selesai bersilat pedang dan sudah menyimpan lagi pedangnya lalu memberi hormat ke arah deretan Pangeran, para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan memuji. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yang Hui yang tadi telah memperoleh bisikan dari Pangeran Kian Liong yang cerdik itu.
“Cu-wi sekalian, seperti yang mungkin Cu-wi telah dengar dari kabar-kabar angin, pada kesempatan merayakan ulang tahun adik kami Syanti Dewi ini, kami sudah memilih calon-calon untuk dipilih sebagai jodoh adik kami Syanti Dewi.”
Para tamu menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai, sedangkan Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berubah pucat. Biar pun dia sudah tahu akan hal ini, akan tetapi begitu tiba saatnya diumumkan, dia merasa jantungnya seperti ditusuk! Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, di tempat persembunyiannya, Tek Hoat juga memejamkan matanya karena merasa hatinya seperti diremas-remas mendengar betapa di situ telah dipilih calon-calon jodoh untuk Syanti Dewi.
Setelah sorak-sorai berhenti, Ouw Yan Hui melanjutkan kata-katanya, “Pertama-tama kami mengumumkan pemilihan kami, yaitu Thio Seng Ki. Ke dua adalah Yu Cian, ke tiga Kui Lun Eng, dan ke empat adalah Lie Siang Sun! Cu-wi telah menyaksikan sendiri kecakapan mereka dalam ilmu kepandaian masing-masing, sedangkan Thio-kongcu telah memberi sumbangan yang sedemikian besar nilainya.”
Kembali terdengar sorakan menyambut, akan tetapi tidaklah sehebat tadi karena kini banyak yang merasa kecewa karena nama mereka tidak disebut. Banyak yang mulai digoda rasa iri hati terhadap empat orang yang dipilih sebagai calon itu!
Tiba-tiba terdengar suara nyaring di antara penonton, “Bagaimana untuk menentukan pemenang di antara calon-calon yang kepandaiannya berbeda-beda itu? Kalau hanya berdasarkan kekayaan, tentu orang she Thio yang menang, kalau berdasarkan ilmu silat, tentu orang she Lie yang menang!”
Orang-orang tidak memperhatikan lagi siapa yang bicara, akan tetapi semua tamu merasa setuju dengan ini dan keadaan menjadi bising. Ouw Yan Hui mengangkat kedua tangan ke atas dan baru dia mengakui bahwa akal yang dibisikkan oleh Pangeran kepadanya tadi memang baik sekali, karena kalau tidak, dia sendiri tidak tahu bagai mana harus menjawab pertanyaan orang itu.
“Harap Cu-wi mendengarkan dengan tenang!” kata Ouw Yan Hui dan oleh karena dia mengeluarkan kata-kata ini disertai khikang, maka suaranya mampu mengatasi semua kegaduhan dan para tamu lalu diam.
“Cu-wi yang mulia! Biar pun ada terdapat calon-calon yang telah kami pilih, akan tetapi penentuannya siapa yang akan terpilih tentu saja sepenuhnya berada di tangan adik kami. Oleh karena itu, mereka berempat itu akan diuji. Siapa di antara mereka yang dapat menangkap Adik Syanti Dewi selama terbakarnya setengah bagian dupa, maka dialah yang dianggap memenuhi syarat dan menang, dan berhak untuk membicarakan tentang jodoh dengan adik kami!”
Kembali para tamu menjadi, berisik ketika mendengar pengumuman ini dan semua orang merasa bahwa aturan ini berat sebelah. Tentu saja yang akan menang adalah Si Pendekar Budiman, karena tiga orang calon-calonnya lainnya hanya orang-orang yang lemah, mana mungkin dapat menangkap Syanti Dewi yang terkenal lihai itu?
Akan tetapi, empat orang calon itu adalah orang-orang yang cerdas, maka mereka pun mengerti maksudnya pengumuman ini. Itu adalah suatu cara halus untuk memberi kesempatan kepada Sang Puteri untuk menentukan pilihan tanpa perlu mengeluarkan kata-kata, hanya dengan membiarkan dirinya tertangkap oleh calon yang dipilihnya.
Dan memang benar pendapat mereka ini, karena tadi Sang Pangeran berbisik kepada Ouw Yang Hui, bertanya apakah Si Pendekar Budiman itu akan mampu menangkap Syanti Dewi selama setengah batang hio terbakar habis, dan dijawab dengan pasti oleh Ouw Yan Hui bahwa hal itu tidak mungkin dapat terjadi kalau saja Syanti Dewi tidak menghendakinya, sebab ginkang yang dikuasai oleh Syanti Dewi telah setingkat dengan dia sendiri. Jawaban inilah yang meyakinkan hati Sang Pangeran untuk menggunakan akal untuk membiarkan Syanti Dewi memilih dan disetujui pula oleh Ouw Yan Hui.
Sementara itu, wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali mendengar pengumuman itu dan dia menoleh dan memandang ke arah Sang Pangeran karena dia dapat menduga bahwa tentu Ouw Yan Hui mengeluarkan pengumuman itu setelah berdamai dengan Sang Pangeran.
Kian Liong juga memandang kepadanya, tersenyum mengangguk sambil berbisik lirih, “Nah, pemilihannya sepenuhnya berada kepadamu, Enci Syanti!” Maka mengertilah Syanti Dewi bahwa memang hal itu sengaja diumumkan agar dia dapat menentukan pilihannya di antara empat orang calon itu.
Wan Tek Hoat yang sejak tadi mengintai dengan hati yang perih, mengerti pula akan maksud dari ujian menangkap Syanti Dewi itu dan diam-diam dia pun setuju karena hal itu berarti memberi kesempatan kepada Syanti Dewi sendiri untuk menentukan pilihannya. Diam-diam dia pun ikut membanding-bandingkan antara empat orang itu dan dia melihat bahwa mereka itu memang merupakan orang-orang yang pilihan dan pantas menjadi jodoh Syanti Dewi, jauh lebih pantas dibandingkan dengan dia. Akan tetapi dia ikut berharap agar Syanti Dewi tidak memilih Pendekar Budiman, karena mempunyai suami seorang pendekar berarti menjadi isteri orang yang banyak dimusuhi orang lain.
Sementara itu, melihat betapa Syanti Dewi hanya duduk dengan kepala ditundukkan dan muka merah, Ouw Yan Hui kemudian berbisik, “Hayo, majulah Adikku, tentukan pilihanmu!”
Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan riuh dia lalu melangkah ke tengah panggung, berdiri menghadap ke arah tamu sambil tersenyum dengan muka merah.
“Dipersilakan calon pertama, Thio Seng Ki untuk maju!” Ouw Yan Hui berseru.
Dan kembali orang-orang bersorak ketika melihat pemuda hartawan itu bangkit dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi dengan muka merah dan sikap malu-malu pula. Seorang pembantu lalu menyalakan hio yang sudah dipotong setengahnya, lalu menancapkan hio sepotong itu di atas meja yang sudah dipersiapkan. Pembantu ini segera mundur dan Syanti Dewi yang telah mengenal pemuda she Thio itu lalu menjura dan berkata, “Silakan mulai, Thio-kongcu.”
“Maafkan saya....” Thio Seng Ki kemudian mulai bergerak hendak menangkap atau memegang lengan tangan Syanti Dewi, akan tetapi wanita ini melangkah mundur dan mengelak.
Thio Seng Ki melangkah maju dan terus mengejar, akan tetapi dia seperti mengejar bayangan saja. Tangan yang kecil halus itu kelihatan begitu dekat, akan tetapi begitu sukar ditangkap bahkan untuk menjamahnya sedikit pun amatlah sukarnya. Hanya keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian puteri itu saja yang dapat ditangkap oleh hidungnya. Makin lama, makin penasaran dan khawatirlah hati pemuda hartawan itu.
Dengan hartanya yang bertumpuk-tumpuk, dengan kemudaan dan ketampanannya, juga nama baiknya, dia mengira bahwa dia akan pasti dapat memperoleh dara mana pun juga yang dikehendaki atau diinginkannya. Akan tetapi mengapa Syanti Dewi selalu mengelak?
Karena penasaran, juga karena dia ingin sekali menang dalam pemilihan jodoh ini, dia mengejar terus dan biar pun dia tidak pandai ilmu silat, dia mengejar dengan secepatnya sampai kadang-kadang terhuyung-huyung apabila tangkapannya dielakkan tiba-tiba oleh Syanti Dewi.
Pertunjukan ini amat menegangkan, lucu dan menarik sehingga mulailah terdengar suara ketawa dan teriakan-teriakan mengejek apabila tubrukan atau tangkapan dari pemuda hartawan itu luput. Akhirnya hio yang setengahnya itu habis terbakar.
“Waktunya habis, calon pertama telah gagal!” Demikian pengumuman pembantu wanita dan terpaksa Thio Seng Ki menghentikan usahanya. Wajah dan lehernya basah oleh keringat.
Syanti Dewi lalu menjura dan memberi hormat. “Harap Kongcu suka memaafkan saya.”
Thio Seng Ki menarik napas panjang, kecewa sekali, tapi dia membalas penghormatan itu sambil berkata, “Sudahlah, saya yang tidak mampu dan tidak beruntung, Nona.” Dia pun mengundurkan diri, duduk di kursinya kembali, dan disambut sorakan para tamu, terutama mereka yang tadi merasa iri karena tidak memperoleh kesempatan.
“Dipersilakan calon ke dua, Yu Cian untuk maju!” kembali Ouw Yan Hui berseru.
Sastrawan muda itu tersenyum, lalu bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi. Juga sastrawan ini disambut oleh suara ketawa karena semua orang maklum bahwa kalau wanita itu tidak menghendaki, biar sampai selama hidup pun sastrawan lemah ini tak mungkin akan dapat menyentuh Syanti Dewi. Akan tetapi Yu Cian kelihatan tenang menanti sampai sebatang hio yang sudah dipatahkan menjadi dua itu terbakar.
“Silakan, Yu-siucai,” kata Syanti Dewi yang menyebut siucai kepada sastrawan yang telah lama dikenalnya ini.
Yu Cian mengangguk dan dia lalu melangkah maju, tangannya digerakkan dengan sikap sopan untuk menyentuh tangan Syanti Dewi. Wanita itu menarik tangannya. Yu Cian melangkah lagi, diulanginya hendak menyentuh tangan Syanti Dewi yang kembali menarik tangannya sehingga tidak dapat disentuh. Setelah mengulangi sampai lima kali, Yu Cian lalu menjura ke arah Syanti Dewi, mukanya berubah agak pucat, suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan.
“Saya menyerah karena merasa tidak mampu. Maafkanlah atas kelancangan saya selama ini.” Dan sastrawan itu pun lalu mundur. Semua tamu yang melihat ini menjadi diam, dan sastrawan itu tidak diejek ketika kembali ke bangkunya dengan sikap masih tenang, bibir tersenyum dan muka agak pucat.
Syanti Dewi merasa kasihan sekali dan dia pun hanya dapat menjura ke arah pemuda itu. “Harap maafkan saya....,” katanya perlahan.
Ketika Kui Lun Eng maju dan berhadapan dengan Syanti Dewi, seniman ini tersenyum lebar berkata, “Nona, kita adalah kenalan lama, tidak perlu saling sungkan lagi. Saya tahu bahwa sampai mati pun saya tidak mungkin akan dapat menangkap Nona yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka, biarlah saya menerima keputusan melalui jawaban Nona saja, dan untuk memudahkan, biar Nona menjawab dengan gelengan atau anggukan. Kalau Nona berkenan memilih saya, Nona mengangguk dan kalau tidak, Nona cukup menggeleng. Nah, apa jawaban Nona?”
Semua tamu mendengarkan dengan hati tertarik dan tegang. Seniman ini ternyata bersikap jujur dan terus terang, sungguh pun dengan kejujurannya itu dia membuat Syanti Dewi merasa terdesak. Akhirnya, dengan halus Syanti Dewi menggeleng kepala lirih. “Harap maafkan saya....”
Kui Lun Eng tertawa dan menengadah. “Aih, sudah kudapatkan lagi suatu segi kebaikan pada diri Nona di samping semua keindahan itu, yaitu kebijaksanaan dan kejujuran. Terima kasih, Nona, biarlah kita tinggal menjadi kenalan yang baik saja.” Dan dia pun mengundurkan diri, kembali ke tempat duduknya dan menuangkan arak ke dalam mulutnya!
Kini tinggal seorang lagi dan semua tamu hampir dapat memastikan bahwa tentu Pendekar Budiman inilah yang menang, sebagai calon terakhir dan di samping itu juga sebagai seorang pendekar berilmu tinggi yang agaknya dapat menangkap wanita cantik jelita itu.
Ketika dia dipersilakan maju, Lie Siang Sun melangkah dengan tegap tanpa ragu-ragu menghadapi Syanti Dewi dan menjura dengan hormat. “Ingin sekali saya mencontoh perbuatan Saudara Kui Lun Eng, tetapi karena pihak nyonya rumah sudah mengadakan peraturan, saya tidak berani melanggar.”
Ketika hio sudah dinyalakan, Lie Siang Sun lalu mulai bergerak begitu Syanti Dewi mempersilakan. Dan terjadilah kejar-kejaran yang amat menarik hati. Kini, Lie Siang Sun berusaha menangkap lengan atau ujung baju nona itu, dengan gerakan silat yang amat indah, dengan geseran-geseran kaki yang tegap dan cepat sekali, namun Syanti Dewi juga bergerak, sedemikian cepatnya sehingga tubuh yang ramping itu mula-mula nampak seperti menjadi banyak, dan kemudian, ketika Pendekar Budiman mengejar semakin cepat, tubuh Syanti Dewi lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang berkelebatan ke sana kemari.
Memang menarik sekali pertunjukan ini sehingga semua orang memandang dengan ternganga dan kadang-kadang terdengar seruan-seruan kagum kalau kedua orang itu mempergunakan gerakan yang indah, seperti meloncat dan berjungkir balik ke atas dan sebagainya. Namun, dalam pandang mata Tek Hoat, juga beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, maklumlah mereka ini bahwa Sang Pendekar Budiman itu ternyata tidak benar-benar hendak menangkap Syanti Dewi, bahkan selalu menjaga agar jangan sampai mereka bersentuhan, sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa Syanti Dewi akan dapat tertangkap kalau dia menghendaki. Tidak, wanita itu memiliki ginkang yang jauh lebih tinggi dari pada Pendekar Budiman, sehingga andai kata Lie Siang Sun mengejar dengan sungguh-sungguh sekali pun, dia tetap saja tidak akan mampu berhasil.
Betapa pun juga, melihat betapa Lie Siang Sun tidak benar-benar berusaha untuk menangkap Syanti Dewi, mereka yang dapat mengikuti gerakan mereka itu, juga Wan Tek Hoat, merasa kagum. Akan tetapi Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan hatinya terasa kesal bukan main. Tahulah dia bahwa Syanti Dewi jelas menolak semua calon itu!
“Ahhh, dia akan gagal pula...., Pangeran sungguh hamba tidak mengerti sikap Adik Syanti....,” keluhnya.
Sang Pangeran mengerti dan dia tersenyum. Dia tahu bahwa Syanti Dewi memang tidak suka dijodohkan dengan siapa pun. Wanita itu terlalu setia kepada pria yang masih dicintanya sampai saat itu. Karena melihat kenyataan bahwa benar-benar Syanti Dewi tidak mau memilih seorang pun di antara empat calon yang baik itu, terpaksa dia harus turun tangan seperti yang telah dijanjikan kepada Syanti Dewi.
“Kalau begitu, biarlah aku menjadi calon ke lima, Ouw-toanio.”
Seketika wajah itu berseri dan Sang Pangeran melihat betapa masih cantik jelitanya wanita ini dan dia merasa kagum. Ouw Yan Hui memandang Sang Pangeran dengan wajah berseri-seri! Kalau Pangeran itu mau menjadi calon, tentu Syanti Dewi tidak akan berani menolak! Wajahnya menjadi berseri-seri dan dia memandang dengan senyum di bibirnya, hal yang jarang terjadi, ke arah Syanti Dewi yang masih bergerak cepat dikejar oleh Lie Siang Sun.
Setelah pembantu mengumumkan bahwa dupa yang menyala itu telah habis, Lie Siang Sun menghentikan gerakannya, menjura kepada Syanti Dewi dan berkata, “Ginkang dari Nona sungguh amat mengagumkan sekali. Aku Lie Siang Sun mengaku kalah dan maaf.”
“Harap maafkan aku, Lie Siang Sun Enghiong!” berkata Syanti Dewi dengan suara mengandung penyesalan karena betapa pun juga, dia mengerti bahwa pendekar ini tadi tak berusaha sungguh-sungguh untuk menyentuhnya. Jika saja hatinya mau mendekati pria lain, agaknya pendekar inilah yang patut untuk menjadi jodohnya.
Tiba-tiba terdengar suara Ouw Yan Hui yang sudah bangkit berdiri dan suara itu kini terdengar amat nyaring dan mengandung kegembiraan, tidak seperti tadi, “Sekarang ada pengumuman penting! Harap Cu-wi Yang Mulia ketahui bahwa calon jodoh untuk adik kami Syanti Dewi ditambah dengan seorang lagi, yaitu bukan lain adalah Yang Mulia Pangeran Kian Liong sendiri!”
Para tamu tadinya sudah merasa gembira sekali melihat betapa empat orang calon itu gagal dan tidak ada yang terpilih. Hal itu berarti membuka kesempatan baru bagi mereka, karena tentu akan diadakan pemilihan calon baru lagi. Akan tetapi, mendengar bahwa kini Sang Pangeran Mahkota maju sebagai calon, tentu saja semangat mereka mengempis dan mengendur, tubuh menjadi lemas karena mana mungkin mereka dapat bersaing dengan putera mahkota, Pangeran yang merupakan orang yang amat besar kedudukan dan kekuasaannya?
“Dan sekarang dipersilakan kepada Yang Mulia Pangeran untuk maju dan mencoba untuk menangkap Syanti Dewi,” demikian Ouw Yan Hui mengumumkan pula. Pembantu wanita sudah pula menyalakan dupa, akan tetapi sesungguhnya hal ini sama sekali tidak perlu.
Syanti Dewi memandang pada Pangeran itu yang telah bangkit dan melangkah tenang menghampirinya, dengan pandang mata berterima kasih karena dia pun tahu bahwa perbuatan pangeran ini hanya untuk menolongnya, sesuai dengan percakapan mereka malam tadi.
“Sudah siapkah engkau?” Sang Pangeran bertanya.
Syanti Dewi mengangguk. “Silakan, Pangeran.”
Pangeran Kian Liong tersenyum dan melangkah maju menangkap lengan Syanti Dewi. Wanita itu mengelak dengan langkah mundur sambil tersenyum pula. Sang Pangeran terus mengejar dan setelah berusaha menangkap sampal lima kali, barulah dia berhasil memegang pergelangan tangan Syanti Dewi.
Melihat ini, Ouw Yan Hui girang bukan main. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Syanti Dewi akan membiarkan dirinya tertangkap oleh Pangeran itu. Saking girangnya, wanita pemilik Pulau Kim-coa-to ini sampai bangkit berdiri. Dan terdengarlah sorak-sorai para tamu melihat betapa Sang Pangeran berhasil menangkap pergelangan tangan Syanti Dewi dengan demikian mudahnya.
Jelaslah bagi semua orang bahwa memang Sang Puteri itu sengaja membiarkan lengannya ditangkap, kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin Sang Pangeran akan mampu menangkapnya. Sang Pangeran berdiri sambil menggandeng tangan Syanti Dewi, wajahnya berseri, sedangkan wajah Syanti Dewi menjadi kemerahan, mukanya menunduk.
Wan Tek Hoat juga mengikuti semua peristiwa ini dan melihat gerak-gerik Syanti Dewi, dia pun tahulah bahwa kekasihnya itu tadi sengaja membiarkan lengannya ditangkap Pangeran, atau lebih jelas lagi, Syanti Dewi telah memilih Sang Pangeran untuk menjadi calon jodohnya! Pilihan yang tepat, pikirnya dengan hati perih. Pemuda manakah yang lebih hebat dari pada seorang Pangeran Mahkota, apalagi Pangeran Kian Liong yang terkenal akan kebijaksanaannya itu?
Hanya sedikit saja hal yang membuat hatinya tidak enak dengan pilihan itu, ialah melihat kenyataan bahwa Pangeran itu masih muda sekali, tentu kurang lebih baru dua puluh tahun usianya. Padahal, dia tahu benar bahwa usia Syanti Dewi tentu antara tiga puluh enam tahun, sungguh pun wanita itu tidak nampak lebih tua dari pada Sang Pangeran.
Sudah, habislah riwayatnya dengan Syanti Dewi, pikirnya dengan lesu. Dia harus pergi cepat-cepat dari tempat itu, jangan sampai mengganggu kebahagiaan Syanti Dewi. Baru sekarang dia tahu bahwa pada dasar hatinya, dia ingin melihat Syanti Dewi berbahagia dan kini melihat betapa Syanti Dewi bergandeng tangan dengan wajah kemerahan dengan Sang Pangeran, dia tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dan ingin pergi secepatnya tanpa ada yang melihatnya.
Akan tetapi tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan, juga semua tamu melihat ini dan tahu-tahu di atas panggung di tengah ruangan itu telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh keriput dan pucat sekali, kepalanya botak licin dan sikapnya garang.
“Sungguh tidak adil sekali!” Laki-laki yang usianya tentu sudah sedikitnya enam puluh lima tahun itu berseru, suaranya lantang dan penuh wibawa, kakinya yang bersepatu baja itu dibanting keras dan lantai panggung itu pun melesak sampai beberapa senti meter dalamnya!
Melihat ada orang yang berani mengacau, Ouw Yan Hui yang masih berdiri itu berseru, “Siapa berani lancang menentang keputusan? Apanya yang tidak adil?”
Kakek itu tertawa, suara ketawanya, bergema di seluruh ruangan. “Ha-ha-ha, mana bisa dibilang adil kalau kemenangan ini disengaja dan dibuat?”
“Adik kami Syanti Dewi berhak memilih siapa pun juga menjadi jodohnya!” Kembali Ouw Yan Hui berseru sambil memandang wajah pucat itu dengan penuh perhatian karena dia tidak mengenal siapa adanya kakek ini.
“Ha-ha! Jika memang ingin memilih Pangeran, kenapa pakai mengadakan sayembara segala macam? Sayembara menangkap Nona ini berarti menguji ketangkasan dan ilmu kepandaian, akan tetapi ternyata Nona ini sengaja menyerahkan diri kepada Pangeran. Bukankah hal itu berarti menghina orang-orang yang menghargai ilmu silat? Urusan mengadu kepandaian adalah urusan dunia kang-ouw, kenapa sekarang Pangeran yang berkedudukan tinggi, Pangeran Mahkota, malah ingin mencampuri dan memperlihatkan kekuasaan untuk memenangkan seorang dara? Bukankah hal itu berarti Pangeran tidak memandang mata dan menghina para orang kang-ouw pada umumya? Apakah orang orang kang-ouw hendak dijadikan semacam pelawak-pelawak belaka? Hayo, hendak kucoba sampai di mana kesigapan Puteri Syanti Dewi ini, boleh nyalakan dupa dan aku akan menangkapnya!”
Semua orang kang-ouw terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang berani bersikap begini kasar terhadap Pangeran Mahkota? Mereka sudah melihat betapa para pasukan pengawal sudah maju mengepung tempat itu untuk melindungi Sang Pangeran.
Syanti Dewi maklum bahwa ada orang yang hendak mengacau, maka dia pun lalu menarik Sang Pangeran untuk mundur dan mengajak Sang Pangeran duduk kembali di tempatnya agar lebih mudah dilindungi oleh para pasukan pengawal apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia sendiri sudah memandang kepada kakek tinggi besar itu dengan pandang mata marah. Demikian pula Ouw Yan Hui sudah marah sekali.
Tetapi sebelum kedua orang wanita ini sempat mengeluarkan kata-kata atau melakukan sesuatu, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan Pendekar Budiman telah berada di atas panggung berhadapan dengan kakek raksasa itu.
Pendekar Budiman menjura dengan hormat, diam-diam merasa heran mengapa dia tidak mengenal kakek ini, padahal jarang ada tokoh kang-ouw yang tidak dikenalnya. “Sobat, harap engkau sudi memandang mukaku dan tidak menimbulkan keributan di tempat ini. Puteri Syanti Dewi telah memilih Pangeran Yang Mulia sebagai jodohnya, bukankah hal itu harus disambut dengan gembira oleh kita semua?”
“Ha-ha-ha, engkau percuma saja berjuluk Pendekar Budiman, sebaiknya diganti saja dengan julukan Pendekar Pengecut! Engkau memasuki sayembara sebagai calon, akan tetapi engkau tidak sungguh-sungguh ketika mengejar Sang Puteri tadi.”
Pendekar Budiman Lie Siang Kun diam-diam terkejut. Orang ini dapat mengetahui hal itu menandakan bahwa kepandaiannya tinggi dan matanya awas benar. “Sobat hal itu merupakan urusan pribadiku sendiri yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Sudahlah, harap engkau suka memandang kepadaku, dan mengingat bahwa tidak baik bagimu untuk membikin kacau di tempat ini, di mana hadir pula Paduka Yang Mulia Pangeran Mahkota.”
“Tidak! Bagaimana pun juga, Syanti Dewi harus maju dan akan coba kutangkap selama setengah dupa bernyala. Ini adalah pertemuan orang-orang gagah, bukan pertemuan badut-badut!”
“Orang tua, ini adalah tempatku dan aku tidak pernah mengundangmu datang! Apakah engkau sengaja hendak mengajak berkelahi?” Mendadak Ouw Yan Hui berseru dari tempat duduknya.
“Ha-ha-ha, orang-orang kang-ouw jika telah berkumpul tentu mengadakan pertandingan ilmu silat. Ini baru menggembirakan dan gagah, bukan membiarkan kita menjadi badut badut yang dipermainkan oleh Sang Pangeran hanya untuk menjilat. Pangeran tidak menghargai kita, bahkan memandang rendah dan menghina, hal ini tak boleh dibiarkan saja. Kita orang-orang kang-ouw mempunyai harga diri. Hayo, kalau Sang Puteri tidak mau memenuhi syarat yang diajukan tadi, mari kita mengadakan pertandingan silat, siapa pun boleh maju melawanku!”
“Sobat engkau sungguh terlalu!” Pendekar Budiman berseru. “Sikapmu sama sekali tak patut menjadi pendekar kang-ouw, melainkan lebih tepat sebagai seorang pengacau jahat. Nah, kalau engkau ingin berkelahi, akulah lawanmu.”
“Bagus! Aku sudah lama mendengar nama Pendekar Budiman, majulah!” tantang kakek itu dengan sikap memandang rendah sekali.
“Lihat seranganku!” Pendekar Budiman telah menerjang dengan sungguh-sungguh oleh karena dia tahu bahwa kakek ini sengaja hendak mengacau dan menentang Pangeran. Dia sudah mendengar akan usaha-usaha jahat mereka yang telah menculik Pangeran sebelum Pangeran itu tiba di Pulau Kim-coa-to, maka dia merasa berkewajiban untuk melindungi Pangeran, juga untuk membela Syanti Dewi yang terancam oleh kekerasan dan pengacauan orang tua tak terkenal ini.
Akan tetapi ketika Pendekar Budiman sudah menerjang maju, dia terkejut bukan main. Kakek itu sama sekali tidak mengelak, dan baru setelah tamparan pendekar itu datang dekat, kakek ini menggerakkan tangan menangkis dan akibatnya tubuh pendekar itu terpelanting!
Bukan main kuatnya tenaga sinkang yang terkandung dalam tangkisan lengan itu. Lie Siang Sun sudah meloncat bangun dan dia memandang tajam. Orang ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti, akan tetapi mengapa menentang Pangeran Mahkota? Mengapa?