CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 15
Dia mengingat-ingat para tokoh kaum sesat, akan tetapi tetap saja tidak mengenal wajah yang pucat itu. Karena dia harus melindungi Pangeran dan juga harus membela Syanti Dewi, maka dia lalu menerjang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya.
Akan tetapi segera ia mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat kakek yang luar biasa ini, sehingga belum sampai tiga puluh jurus dia sudah kena ditendang terpelanting sampai beberapa meter jauhnya!
Melihat ini, beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di situ dan merasa penasaran sudah maju berturut-turut, akan tetapi empat lima orang yang maju itu satu demi satu dapat dirobohkan dengan mudah oleh kakek pucat itu. Sambil tertawa-tawa kakek itu menantang.
“Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak mencoba kepandaian?”
Semua orang menjadi gentar dan melihat betapa kakek itu dengan mudah menjatuhkan para lawan itu, tanpa membunuhnya, tidak ada yang lebih dari dua puluh jurus, tahulah mereka bahwa kakek ini sungguh merupakan seorang yang lihai sekali. Melihat ini Ouw Yan Hui sebagai nyonya rumah merasa malu dan terhina sekali. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan sekali berkelebat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan kakek itu.
“Ha-ha-ha, tidak bohonglah berita yang mengatakan bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, penghuni Pulau Kim-coa-to, memiliki ginkang yang amat hebat. Nah, ini namanya baru lawan yang boleh ditandingi. Majulah, Bu-eng-kwi, aku hendak melihat sampai di mana kehebatanmu!”
“Pengacau jahat, menggelindinglah!” bentak Ouw Yan Hui.
Wanita ini sudah menerjang dengan amat cepatnya. Gerakannya memang luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jari tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan yang botak itu, sedangkan dua jari tangan kanan sudah menusuk ke arah kedua mata lawan! Hebat sekali serangan ini, dan kakek itu pun mengeluarkan suara kaget dan cepat melempar tubuh ke belakang.
“Hebat, ginkang yang hebat!” kakek itu memuji.
Akan tetapi Ouw Yan Hui sudah menyerang lagi dengan lebih cepat dan lebih ganas karena dia merasa penasaran. Tetapi, kakek itu dapat menangkis dan balas menyerang. Terjadilah serang-menyerang, pertandingan yang seru bukan main, dan jauh lebih seru dibandingkan dengan yang sudah-sudah tadi.
Wanita itu memang mempunyai ginkang yang hebat, sukar dicari bandingnya di dunia kang-ouw. Tubuhnya seperti seekor burung saja yang beterbangan dan berkelebatan ketika mengelak atau balas menyerang. Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki ilmu silat yang amat hebat, dan lebih lagi, dalam hal tenaga sinkang Ouw Yan Hui kalah jauh, maka biar pun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, tetap saja setelah lewat tiga puluh jurus, dia kena ditampar pundaknya sampai terlempar dan terguling-gullng.
Melihat ini, Syanti Dewi marah sekali dan sambil mengeluarkan lengking panjang dia telah meloncat dari tempat duduknya seperti terbang saja dan tahu-tahu dari atas dia sudah menyambar dengan pukulan tangan terbuka ke arah kepala kakek itu.
“Plakk!” Pukulan itu kena ditangkis dan tubuh Syanti Dewi terlempar! Untung dia dapat berjungkir balik dengan cepat sehingga tidak jatuh terbanting.
Pangeran sudah memberi isyarat kepada para pengawal untuk maju membantu Syanti Dewi, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Sam-ok, engkau sungguh keterlaluan!”
Nampaklah kini seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan dan bermuka penuh cambang dan kumis meloncat ke tengah panggung berhadapan dengan kakek tinggi besar. Semua orang memandang, begitu juga Syanti Dewi.
Akan tetapi, begitu memandang wajah tertutup brewok itu, seketika wajah Syanti Dewi menjadi pucat sekali, kedua matanya terbelalak, dan tiba-tiba dia mengulurkan kedua tangan ke arah pengemis itu, mulutnya mengeluarkan jerit melengking dan tubuhnya roboh terguling!
Ketika Ouw Yan Hui cepat merangkulnya, ternyata Sang Puteri itu telah jatuh pingsan! Sejenak Tek Hoat memandang ke arah Syanti Dewi, dan ketika melihat betapa Syanti Dewi dipondong masuk oleh Ouw Yan Hui, dia pun lalu menghadapi lagi kakek raksasa itu.
“Sam-ok, tidak perlu engkau menyembunyikan lagi mukamu di belakang kedok, karena aku telah mengenalmu! Para tamu sekalian, ketahuilah bahwa kakek yang menutupi mukanya dengan kedok kulit tipis ini bukan lain adalah, Sam-ok, yaitu orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, atau juga Ban-hwa Sengjin, bekas koksu dari Negara Nepal! Orang ini mempunyai niat tidak baik terhadap Sang Pangeran, bahkan inilah orangnya yang mengatur segala pencegatan dan penculikan terhadap Pangeran!”
Setelah berkata demikian, dengan cepat Tek Hoat sudah menyerang dengan pukulan maut ke arah leher Sam-ok. Kakek itu yang merasa bahwa tak perlu menyembunyikan dirinya lagi, tertawa dan sekali renggut saja kedok kulit tipis yang menutupi mukanya terbuka dan nampaklah wajah aslinya. Dia masih sempat tertawa-tawa, akan tetapi segera dia harus mencurahkan perhatiannya karena sekali ini dia menghadapi Si Jari Maut, seorang yang amat lihai, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan semua lawannya yang tadi. Maka dia pun mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya. Sementara itu, ketika para tamu mendengar bahwa kakek itu adalah Sam-ok atau bekas Koksu Nepal yang hendak mencelakai Pangeran Mahkota, mereka menjadi marah.
“Tangkap musuh negara!”
“Bunuh penjahat itu!”
Bukan hanya orang-orang kang-ouw, juga sekarang Souw Kee An telah mengerahkan pasukannya untuk mengepung dan mulai bergerak, sedangkan para anak buah Pulau Kim-coa-to juga digerakkan oleh Ouw Yan Hui yang merasa terkejut bukan main mendengar bahwa kakek itu adalah orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok!
Dan pada saat itu muncullah berturut-turut empat orang yang amat mengejutkan semua orang. Mereka itu bukan lain adalah Toa-ok Su Lo Ti, kakek yang bermuka gorila, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, nenek yang berkedok tengkorak, Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio cebol dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu yang tingginya dua setengah meter lebih itu. Kini lengkaplah sudah Im-kan Ngo-ok muncul di situ setelah Tek Hoat tadi membuka kedok Sam-ok!
Melihat ini, para tamu, tentu saja mereka yang mempunyai kepandaian, telah menerjang ke depan, membantu para pasukan pengawal dan para anak buah Pulau Kim-coa-to, mengeroyok lima orang datuk kaum sesat itu.
Akan tetapi, lima datuk itu bukanlah orang-orang sembarangan sehingga dalam waktu singkat saja sudah banyak prajurit pengawal, anak buah Kim-coa-to dan orang-orang kang-ouw yang roboh terjungkal. Hanya Wan Tek Hoat dan Souw Kee An, dibantu oleh para prajurit pengawal, yang masih terus melawan. Tek Hoat masih bertanding dengan amat hebatnya melawan Sam-ok, keduanya tidak mau mengalah dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka sehingga bayangan mereka seolah-olah telah menjadi satu.
Namun setelah Ji-ok membiarkan ketiga orang saudaranya menghadapi pengeroyokan para pengawal dan dia sendiri membantu Sam-ok, Tek Hoat menjadi terdesak hebat. Memang hebat sekali sepak terjang Tek Hoat. Biar pun dia menghadapi orang ke dua dan ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, dia masih mampu melindungi dirinya, bahkan membalas dengan tamparan-tamparannya yang amat dahsyat. Akan tetapi ketika Toa-ok maju pula dengan pukulan yang mendatangkan angin yang amat kuatnya, Tek Hoat menjadi repot sekali dan akhirnya sebuah pukulan yang amat keras dari tangan kiri Sam-ok mengenai punggungnya.
“Ughhhhh....!”
Tek Hoat muntahkan darah segar, akan tetapi dia masih sigap dan cepat melompat ke belakang, kemudian mengamuk lagi tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang telah terluka di sebelah dalam oleh hantaman telapak tangan Sam-ok tadi. Kegagahannya ini membuat para lawannya menjadi kagum juga.
“Jari Maut, jangan khawatir, kami datang membantumu!” Tiba-tiba terdengar suara halus namun mendatangkan getaran amat kuatnya, dan nampaklah berkelebatnya bayangan dua orang ke tempat itu.
Wan Tek Hoat girang sekali. “Naga Sakti Gurun Pasir! Bagus engkau datang! Dan Ceng Ceng! Bagus, kau bantulah saudaramu yang sudah kepayahan ini!”
Yang datang itu adalah seorang laki-laki yang perkasa yang buntung lengan kirinya, berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian sederhana dan memiliki sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, bersama seorang wanita cantik sekali biar pun usianya sudah hampir empat puluh tahun, dan masih lincah sekali. Mereka ini adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isteri yang menjadi penghuni Istana Gurun Pasir, ayah bunda dari Jenderal Muda Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu!
“Huhh, baru dikeroyok oleh lima siluman kecil itu saja engkau sudah kerepotan, Tek Hoat!” nyonya itu mengejek pengemis yang sedang repot didesak tiga orang lawannya itu. “Dan engkau kini telah menjadi jembel, ganti saja julukanmu menjadi Jembel Maut! Hi-hi-hik!”
“Wah, engkau masih cerewet seperti dulu juga, Ceng Ceng. Bantu sajalah, mengapa cerewet?” Tek Hoat mencela.
Memang dua orang ini sejak dulu suka ribut saja kalau jumpa, sungguh pun di dalam hati mereka terdapat kasih sayang yang besar karena mereka itu adalah saudara seayah berlainan ibu, bernasib sama pula karena mereka dilahirkan sebagai anak-anak haram, ibu mereka telah menjadi korban perkosaan ayah mereka. Bahkan pada waktu muda, keduanya hampir saling jatuh cinta ketika mereka belum mengetahui bahwa mereka itu sesungguhnya seayah.
Ceng Ceng masih mengejek, akan tetapi sambil mengejek dia sudah menerjang Ji-ok, sedangkan suaminya, Si Naga Gurun Pasir yang pendiam, telah menerjang Toa-ok. Sekali terjang saja, Toa-ok yang mencoba menangkis itu telah terjengkang!
Bukan main kagetnya hati Im-kan Ngo-ok ketika melihat munculnya pria berlengan satu yang amat sakti ini. Mereka mengenal siapa adanya Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka mereka kini tahu bahwa kini keadaan menjadi berbalik dan mereka terancam bahaya. Maka, setelah melawan beberapa lamanya dan mereka terdesak hebat, Sam-ok yang merupakan otak mereka biar pun dia itu orang ke tiga, bersuit nyaring dan lima orang itu lalu berlompatan jauh dan melarikan diri.
Tek Hoat terhuyung-huyung dan terguling, pingsan. Pukulan yang tadi diterimanya dari Sam-ok amat hebat. Melihat ini Ceng Ceng cepat menubruk kemudian memeriksanya. Suaminya juga mendekati dan tidak mengejar lima orang datuk sesat itu yang segera melarikan diri ke perahu mereka dan cepat berlayar pergi meninggalkan pulau yang kini terlalu berbahaya bagi mereka itu.
“Bagaimana dia?” Kao Kok Cu, Si Naga Sakti bertanya kepada isterinya sambil turut memeriksa.
“Agaknya dia mengalami luka di dalam tubuhnya. Lihat ini punggungnya,” kata Wan Ceng.
Punggung yang telah dibuka bajunya itu nampak kebiruan. Kao Kok Cu kemudian menempelkan telapak tangannya untuk mengobati Tek Hoat. Sementara itu, Pangeran Mahkota yang sejak tadi tenang-tenang saja menonton pertempuran, kini menghampiri dengan wajah girang.
“Wah, untung ada Paman Kao dan Bibi yang datang!” katanya.
Melihat Pangeran yang mereka kenal baik ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng menjura dan Kao Kok Cu lantas melanjutkan pengobatannya. Sementara itu, Wan Ceng bercerita kepada Pangeran. “Kami bertemu dengan Cin Liong. Dia masih sibuk setelah membuat pembersihan di barat dan dia mengatakan bahwa Paduka berada dalam bahaya, dan dia minta kepada kami untuk menyusul ke Pulau Kim-coa-to ini. Kami terlambat, akan tetapi untung ada saudara hamba Si Jari Maut ini yang menghadapi Im-kan Ngo-ok yang berbahaya.”
“Hemm, jadi Paman pengemis itu adalah saudara Bibi, ya? Dan dia itu Si Jari Maut? Pantas demikian lihainya. Dia pernah menyelamatkan aku dari para perampok pula. Ah, tidak kusangka bahwa dialah orangnya.... pantas Enci Syanti Dewi pingsan seketika setelah tadi melihatnya.”
“Syanti Dewi? Di mana dia sekarang?” tanya Wan Ceng dengan girang. Memang dia sudah mendengar bahwa Syanti Dewi berada di pulau itu, maka dia bersama suaminya yang menyusul Sang Pangeran itu sekalian hendak menjenguk Puteri Bhutan itu yang menjadi saudara angkatnya.
“Dia tadi pingsan ketika melihat Si Jari Maut dan digotong ke dalam oleh Ouw-toanio.” Mendengar ini, Wan Ceng lalu bangkit berdiri dan setelah melihat bahwa Tek Hoat tidak berbahaya keadaannya, dia lalu lari memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi.
Ternyata Syanti Dewi telah mengalami kejutan yang menggoncangkan batinnya. Melihat munculnya Tek Hoat dalam keadaan seperti jembel, dia terkejut, terheran, dan terharu sehingga dia jatuh pingsan. Melihat Ceng Ceng memasuki kamar itu, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya.
Akan tetapi Ceng Ceng berkata dengan suara berwibawa. “Minggirlah, biar kuperiksa Enci Syanti.”
Akan tetapi Ouw Yan Hui masih memandang dengan curiga. “Aku adalah Candra Dewi, saudara angkatnya.” Ceng Ceng memperkenalkan diri.
Mendengar ini, barulah Ouw Yan Hui bangkit. Kiranya inilah dia orangnya yang sering dibicarakan Syanti Dewi, wanita yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti dari Gurun Pasir itu!
Ceng Ceng kemudian memeriksa keadaan Syanti Dewi. Tahulah dia bahwa saudara angkatnya itu mengalami pukulan batin yang mengguncangkan jantungnya dan perlu beristirahat.
“Dia tidak berbahaya akan tetapi perlu beristirahat, biarlah saya menjaganya di sini,” katanya lagi kepada Ouw Yan Hui.
Ouw Yan Hui mengangguk, lalu dia keluar. Sebagai nyonya rumah, tentu saja dia harus mengatur keadaan di luar yang tadi menjadi kacau oleh Im-kan Ngo-ok. Di ruangan itu dia melihat Pangeran bersama Naga Sakti Gurun Pasir berlutut di dekat tubuh Si Jari Maut yang masih pingsan, sedangkan Souw-ciangkun repot mengurus anak buahnya yang luka-luka.
Ouw Yan Hui lalu mengepalai anak buahnya untuk membersihkan tempat, mengangkuti yang luka ke belakang dan mempersilakan para tamu untuk duduk kembali dan memerintahkan para pembantunya menyuguhkan minuman baru.
Sementara itu, Tek Hoat siuman dari pingsannya. Begitu membuka mata, dia segera bangkit duduk. Melihat di situ terdapat Kao Kok Cu dan Pangeran, pandang matanya liar mencari-cari ke kanan kiri.
“Mana dia....? Ke mana dia....?”
“Engkau mencari siapa?” Kao Kok Cu bertanya karena ketika pendekar ini tadi datang bersama isterinya, dia tidak melihat Syanti Dewi.
Akan tetapi Pangeran Kian Liong mengerti. Setelah dia mendengar bahwa pendekar yang seperti pengemis ini ternyata Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka tahulah dia mengapa Syanti Dewi pingsan ketika melihatnya. Dia tahu bahwa inilah pria yang diceritakan oleh Syanti Dewi kepadanya, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicinta dan masih dicinta oleh Sang Puteri itu. Maka Pangeran pun tersenyum.
“Paman, engkau mencari Syanti Dewi? Dia berada di dalam gedung, engkau susullah dia ke sana.” Dan dia menuding ke arah gedung. “Akan tetapi, keadaanmu seperti ini, Paman. Sebaiknya kalau engkau berganti pakaian lebih dahulu...., tidak baik engkau bertemu dengannya dalam pakaian seperti ini....”
Wan Tek Hoat bangkit berdiri dan menggelengkan kepalanya, memandang kepada Pangeran itu dengan sinar mata berterima kasih. “Biarlah, Pangeran. Biarlah hamba menemuinya seperti ini, biar dia melihat keadaan hamba yang sebenarnya.” Setelah berkata demikian, dia pun berjalan cepat memasuki gedung.
Melihat itu, Kao Kok Cu menggeleng kepala dan berkata, tidak langsung ditujukan kepada Sang Pangeran, seperti bicara kepada diri sendiri, “Sungguh dia itu menyiksa diri sendiri sampai sedemikian rupa....”
“Akan tetapi dia tidak menderita seorang diri, juga Enci Syanti Dewi menderita batin hebat sekali karena dia. Cinta asmara antara dua orang itu memang sungguh amat luar biasa sekali,” kata Sang Pangeran.
Pendekar berlengan satu itu memandang kepada Sang Pangeran dan tersenyum, sinar matanya yang mencorong itu menatap kagum. Pangeran ini masih begini muda, akan tetapi nampaknya memiliki kebijaksanaan yang besar dan pandangannya mendalam sekali. “Jadi Paduka telah mengetahui apa yang terjadi di antara mereka berdua?”
Pangeran itu mengangguk. “Enci Syanti telah bercerita kepadaku dan karena Si Jari Maut itulah maka sampai sekarang Enci Syanti tidak mau menyerahkan hatinya kepada pria lain sehingga tadi terpaksa aku turun tangan untuk membantunya.”
Dengan singkat Sang Pangeran lalu bercerita tentang sayembara ‘menangkap’ Syanti Dewi tadi dan dia maju untuk membantu Sang Dewi keluar dari pulau itu tanpa harus menyinggung perasaan Ouw Yan Hui yang telah menanam banyak sekali budi terhadap Syanti Dewi.
Mendengar penuturan Pangeran itu, Kao Kok Cu menarik napas panjang. Ia termenung sebentar, kemudian berkata lirih. “Mereka itu saling mencinta dan patut dipuji kesetiaan mereka. Mudah-mudahan saja pertemuan sekali ini akan membuat mereka bersatu dan takkan terpisah kembali.”
Mereka berhenti bicara ketika Ouw Yan Hui datang menghampiri. Wanita ini menjura kepada Kao Kok Cu dan berkata, “Harap maafkan bahwa baru kini saya mengetahui bahwa Taihiap adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya amat terkenal itu. Dan saya menghaturkan terima kasih atas bantuan Taihiap dan isteri Taihiap yang telah mengusir Im-kan Ngo-ok yang datang mengacau di sini. Adik saya, Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang keluarga Taihiap, terutama tentang isteri Taihiap.”
Melihat sikap yang ramah ini, Kao Kok Cu balas menjura dan berkata, “Memang, Enci Syanti Dewi adalah kakak angkat dari isteri saya.”
Mereka lalu dipersilakan duduk di tempat kehormatan dan pesta yang tadi terganggu itu dilanjutkan, biar pun kini para tamu saling bicara sendiri, membicarakan peristiwa yang baru terjadi. Kemunculan Im-kan Ngo-ok itu saja telah mengejutkan dan mengherankan semua orang karena sebagian besar dari mereka baru sekali itu berkesempatan melihat datuk-datuk kaum sesat yang namanya sudah sering mereka dengar itu.
Apalagi kemudian muncul Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya seperti dongeng, sebagai penghuni Istana Gurun Pasir yang tidak kalah terkenalnya dengan nama-nama seperti Istana Pulau Es! Dan menyaksikan betapa Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tadi menghadapi Im-kan Ngo-ok, bersama Si Jari Maut yang juga telah mereka dengar namanya, membuat para tokoh kang-ouw itu kagum bukan main. Tak mereka sangka bahwa di Pulau Kim-coa-to itu mereka akan menyaksikan perkelahian tingkat atas yang demikian hebatnya.
Sementara itu, dengan jantung berdebar dan kedua kaki gemetar, Tek Hoat memasuki ruangan di mana Syanti Dewi masih rebah ditunggu oleh Wan Ceng. Dia ingin berjumpa dengan Syanti Dewi, sebentar saja, untuk minta ampun atas semua kesalahan dan dosanya. Dia tak ingin mengganggu Syanti Dewi, ingin membiarkan wanita itu bahagia bersama Pangeran, bahkan tadinya dia sudah hendak meninggalkan tempat itu tanpa diketahui seorang pun.
Akan tetapi, melihat Syanti Dewi terancam bahaya, tentu saja tak mungkin mendiamkan begitu saja dan ketika dia muncul dan melihat wanita itu roboh pingsan, hatinya seperti diremas-remas rasanya. Kini tak mungkin dia pergi tanpa menengok dulu bagaimana keadaan wanita itu, dan minta ampun. Kalau Syanti Dewi sudah mengampuni, barulah dia akan hidup dengan hati bebas dari pada penyesalan.
Pengampunan dari Syanti Dewi akan merupakan dorongan hidup baru baginya, dan kebahagiaan Syanti Dewi, biar pun di samping pria lain, akan membuat dia rela untuk menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan bebas dan dia tentu akan merasa seperti hidup kembali, tidak seperti sekarang seolah-olah terbelenggu oleh rasa penyesalan dan kedukaan!
“Syanti....!” Dia memanggil lirih ketika melihat wanita itu masih rebah telentang di atas pembaringan dengan muka pucat dan tidak bergerak seperti telah mati, sedangkan Ceng Ceng duduk di atas bangku dekat pembaringan.
“Ssttt....!” Wan Ceng menengok dan menyentuh bibirnya. “Biarkan dia beristirahat, dia mengalami guncangan batin yang cukup parah.”
“Syanti....!” Tek Hoat mengeluh dan dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, menatap wajah itu dengan penuh kerinduan, penuh keharuan dan penuh penyesalan mengapa dia sampai menyiksa hati seorang dara seperti ini! Dua titik air mata membasahi bulu matanya dan melihat ini, Wan Ceng menjadi terharu.
Dipegangnya tangan saudara tirinya itu. “Tek Hoat, mengapa engkau sampai menjadi begini? Bukankah dahulu engkau dan Syanti Dewi berada di Bhutan, engkau malah menjadi panglima dan kalian akan kawin....?”
Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Ceng Ceng, aku memang bodoh, aku seorang laki-laki yang tidak berharga sama sekali, apalagi untuk menjadi suaminya, bahkan mendekatinya pun aku terlalu kotor. Akan tetapi aku tak mungkin kuat untuk hidup lebih lama lagi sebelum mendapat pengampunannya.... maka aku datang untuk minta ampun kepadanya....”
Wan Ceng menatap wajah pengemis itu dan tak dapat menahan runtuhnya air matanya. Dia merasa kasihan sekali kepada saudaranya ini. “Tek Hoat...., Tek Hoat, mengapa engkau menyiksa hatimu sampai begini? Kenapa engkau begini sengsara, Saudaraku?” Dia memegang lengan yang tegap kuat itu.
Tek Hoat menunduk. “Entahlah, mungkin darah yang jahat dari Ayah kita lebih banyak mengalir dalam tubuhku. Biarlah, Ceng Ceng, biarlah aku yang menanggung semua dosa Ayah kita.... kudoakan saja agar engkau berbahagia.... biarlah aku seorang yang menanggungnya....”
“Tek Hoat....!” Wan Ceng sejenak merangkul pundak itu, kemudian dia bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, sebaiknya membiarkan dua orang itu bertemu dan bicara berdua saja, setelah Syanti Dewi sadar.
Tetapi Tek Hoat tidak bangkit dari berlututnya. Dia mengambil keputusan untuk terus berlutut sampai menerima pengampunan dari mulut Syanti Dewi! Dia memperhatikan pernapasan Syanti Dewi dan merasa lega bahwa keadaan wanita itu memang tidak lagi mengkhawatirkan, dan agaknya Syanti Dewi dalam keadaan tidur.
Satu jam lebih Tek Hoat berlutut di depan pembaringan dan akhirnya Syanti Dewi mulai bergerak, membuka mata dan mulutnya berbisik, “Tek Hoat...., Tek Hoat....”
Tek Hoat merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Syanti Dewi memanggil-manggil dia!
“Aku.... aku di sini....,” katanya dengan suara gemetar dan muka menunduk, tidak berani memandang wanita itu.
Syanti Dewi bangkit duduk, matanya terbelalak dan ketika dia melihat pengemis yang berlutut di depan pembaringan itu, dia mengeluh, “Tek Hoat....!” isaknya membuat dia sesenggukan dan tak kuasa mengeluarkan suara lagi. Setiap dia memandang keadaan pria itu, dia mengguguk menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari-jari tangannya.
“Syanti.... Syanti Dewi.... ampunkanlah aku.... aku datang hanya untuk minta ampun kepadamu, kau ampunkanlah aku, Syanti.... agar aku dapat melanjutkan hidup ini....”
“Tek Hoat....” Sejak tadi Syanti Dewi hanya mampu menyebut nama ini, nama yang sudah terlalu sering disebutnya dalam mimpi, bahkan yang selalu bergema di dalam hatinya semenjak dahulu sampai sekarang.
“Syanti.... aku tidak ingin mengganggumu, sungguh mati.... biar aku dikutuk Tuhan jika aku berniat buruk kepadamu.... tidak, lebih baik aku mati dari pada mengganggumu, Syanti. Aku tadinya sudah hendak pergi diam-diam, tapi.... tapi Im-kan Ngo-ok muncul dan kau terancam.... sekarang, kau katakanlah bahwa engkau sudi mengampuniku.... biar kucium ujung sepatumu, Syanti, kau ampunkanlah aku.... biarkan aku berani untuk melanjutkan hidup yang tak berapa lama lagi ini....”
“Tek Hoat.... duhai, Tek Hoat.... mengapa engkau sampai menjadi begini....?” Syanti Dewi berkata, terengah-engah dan tersedu-sedu, dan kini tangan dengan jari-jari halus itu meraba kepala Tek Hoat, meraba muka yang penuh brewok itu, meraba baju yang penuh tambalan, jari-jari tangan yang gemetar. “Mengapa.... mengapa engkau menjadi begini....?”
“Sudah sepatutnya aku menerima hukuman, Syanti, memang sudah sepatutnya aku manusia rendah ini hidup dalam keadaan yang serendah-rendahnya. Tapi aku belum merasa puas kalau belum mendapat ampun darimu, Syanti...., kau ampunkanlah aku.... kau ampunkanlah aku....” Dan pria itu lalu menunduk, hendak mencium ujung sepatu Syanti Dewi.
“Tek Hoat, jangan....!” Dan kini Syanti Dewi juga merosot turun dari atas pembaringan, ikut berlutut di depan Tek Hoat dan merangkulnya!
Tek Hoat terkejut. Dia mundur dan terbelalak. “Jangan begitu, Syanti. Janganlah kau mengotorkan dirimu. Sungguh, aku tak ingin mengganggumu. Engkau.... engkau sudah sepatutnya, sungguh pantas menjadi isterinya Pangeran Mahkota, dan kelak…. kelak menjadi permaisuri.... Wahai Syanti Dewi, sungguh mati aku ikut merasa amat bahagia melihat kebahagiaanmu....”
Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak. “Apa katamu? Engkau.... engkau akan merasa girang kalau aku menjadi isteri orang lain? Kau.... kau rela....?”
“Tentu saja, Syanti Dewi. Aku merelakan semuanya, apa pun…. bahkan nyawaku, demi kebahagiaanmu....”
“Kalau begitu, engkau.... engkau sudah tidak cinta lagi kepadaku?”
“Ehhh....? Mengapa engkau bertanya demikian? Syanti Dewi.... aku..... cintaku.... ahhh, orang macam aku ini mana ada harganya bicara tentang cinta? Kau ampunkan aku, Syanti....”
“Tidak! Kalau engkau merelakan aku menjadi isteri orang lain, sampai mati pun aku tidak akan mengampunimu. Tek Hoat.... Tek Hoat.... sampai usia kita sudah tua begini, apakah engkau masih belum dewasa? Bertahun-tahun aku menantimu di sini, sampai hampir mati rasanya aku menantimu, dan kini.... begitu engkau muncul.... engkau hanya mau menyatakan bahwa engkau rela kalau aku menjadi isteri orang lain! Ya Tuhan, tidak akan ada hentinyakah engkau merusak, menghancurkan hati dan perasaanku, Tek Hoat?” Syanti Dewi lalu menangis lagi sesenggukan.
Tek Hoat yang masih berlutut itu memandang bengong bagai orang kehilangan ingatan, atau seperti orang yang teramat tolol. Semua ucapan dan sikap Syanti Dewi sungguh tak pernah terbayangkan olehnya sehingga dia terkejut dan kesima. Akhirnya dia dapat juga berkata-kata, karena dia harus mengatakan sesuatu melihat Syanti Dewi menangis mengguguk seperti itu.
“Tetapi.... tetapi, Syanti.... aku melihat sendiri, mendengar sendiri betapa engkau telah memilih Pangeran Mahkota menjadi jodohmu.... malah aku bersyukur....”
Tek Hoat tidak melanjutkan kata-katanya karena Syanti Dewi sudah menurunkan kedua tangannya, dan melalui air matanya memandang kepadanya seperti orang merasa penasaran dan marah.
“Tentu saja engkau tak tahu! Yang kau ketahui hanya dirimu sendiri saja, kesusahanmu sendiri saja! Pangeran sengaja melakukan itu untuk menolongku, mengertikah engkau? Aku tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain dan sudah kukatakan ini kepada Pangeran yang menjadi sahabatku terbaik, maka dialah yang akan membantuku keluar dari sini tanpa menyinggung perasaan Enci Ouw Yan Hui. Aahhh, masih perlukah aku menjelaskan semuanya lagi? Tidak cukupkah kalau aku katakan bahwa aku tidak dapat menikah dengan orang lain kecuali dengan engkau? Bahwa hanya engkaulah satu satunya pria yang pernah kucinta, yang masih kucinta, dan yang selamanya akan kucinta? Atau haruskah aku bersumpah kepadamu?”
Dua mata Tek Hoat menjadi basah dan air matanya menggelinding turun satu-satu. Dia bangkit berdiri, memandang wanita itu, sinar harapan baru muncul dalam pandang matanya. “Syanti.... Syanti Dewi...., be.... benarkah itu? Benarkah itu....?”
“Bodoh! Engkau laki-laki canggung yang bodoh! Ahhh, betapa gemas hatiku....! Mari, mari kubuktikan....!”
Kini Syanti Dewi bangkit berdiri dan menyambar tangan kiri Tek Hoat, digandengnya tangan kiri pria itu dengan tangan kanannya, lalu diseretnya Tek Hoat keluar sehingga keduanya setengah berlari menuju ke ruangan itu. Di situ nampak Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong sedang bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan Kao Kok Cu, sedangkan para tamu sedang bercakap-cakap sendiri dengan asyiknya.
Ketika Syanti Dewi muncul menggandeng tangan pengemis itu, semua orang menengok dan hanya Pangeran, Ceng Ceng dan Kao Kok Cu sajalah yang memandang dengan muka berseri karena tiga orang ini mengerti apa artinya itu. Ouw Yan Hui juga sudah dapat menduga, akan tetapi alisnya berkerut karena dia amat mengharapkan Syanti Dewi menjadi isteri Pangeran Mahkota Kian Liong. Para tamu terbelalak kaget dan terheran-heran, apa lagi ketika Syanti Dewi yang mukanya masih basah air mata itu kini berkata dengan suara lantang sekali.
“Cu-wi yang mulia, saya hendak membuat pengumuman, harap Cu-wi sekalian menjadi saksi bahwa saya telah memilih dan menetapkan jodoh saya, yaitu Wan Tek Hoat yang saya gandeng ini!”
Mata para tamu itu makin lebar terbelalak dan memandang tidak percaya. Syanti Dewi, wanita cantik seperti bidadari itu memilih pengemis ini menjadi jodohnya? Akan tetapi, terdengarlah tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan itu adalah Wan Ceng dan Pangeran Kian Liong sendiri. Dan ketika para tamu melihat siapa yang bertepuk tangan, mereka pun beramai-ramai bertepuk tangan, sungguh pun di dalam hati mereka itu terdapat rasa penasaran sekali.
Mereka tidak tahu akan riwayat percintaan antara kedua orang itu, dan yang mereka ketahui sekarang hanya bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita secantik bidadari sedangkan pria itu adalah seorang laki-laki yang nampak jauh lebih tua dan seperti jembel pula. Tentu saja mereka merasa penasaran.
Sementara itu, melihat betapa Sang Pangeran sendiri menyambut pengumuman ini dengan tepuk tangan dan wajah berseri gembira, Ouw Yan Hui merasa terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu Pangeran Kian Liong mendekatinya dan berkata, “Ouw-toanio sendiri tentu sudah tahu akan riwayat mereka, maka sekarang mereka telah saling bertemu, alangkah baiknya kalau peresmian perjodohan mereka dilaksanakan di sini juga, dengan disaksikan oleh para tamu.”
Ouw Yan Hui memandang dengan muka agak pucat. “Akan tetapi.... tapi.... bukankah Pangeran....?”
“Sssttt, Ouw-toanio. Enci Syanti Dewi pantas menjadi bibiku, sekarang bertemu dengan Paman Wan Tek Hoat yang sejak dahulu dicintainya, hanya untuk menghilangkan rasa tidak enak dan malu saja setelah dia menolak semua calon.” Kemudian dengan suara mendesak Pangeran itu minta kepada Ouw Yan Hui agar usulnya itu diumumkan.
Ouw Yan Hui merasa lemas, akan tetapi tidak berani menentang. Dia menarik napas panjang dan bangkit dengan tubuh lesu, lalu berkata dengan suara lantang, “Cu-wi yang mulia, Cu-wi telah melihat sendiri bahwa Adik Syanti Dewi telah memilih jodohnya. Maka, selagi Cu-wi masih berada di sini, kami akan meresmikan perjodohan mereka pada besok pagi. Silakan Cu-wi beristirahat di dalam pondok tamu sementara kami akan membuat persiapan untuk pesta besok pagi.”
Para tamu menyambut dengan gembira dan mereka kembali saling bicara sehingga suasana menjadi bising.
Ceng Ceng menggandeng tangan Tek Hoat sambil berkata, “Hayo kau ikut aku! Calon pengantin masa seperti ini? Engkau harus cukur dan mandi tujuh kali, juga berganti pakaian....,” tiba-tiba nyonya ini menjadi bingung. “Wah, pakaian yang mana....?”
Dia menoleh kepada suaminya. Dalam perjalanan itu, suaminya ada membawa pakaian pengganti, tetapi pakaian biasa dan tentu saja kurang pantas kalau dipakai pengantin.
Pangeran Kian Liong tersenyum lebar. “Jangan khawatir, Bibi. Kebetulan bentuk tubuh Paman Wan Tek Hoat hampir sama dengan tubuhku, dan aku ada membawa beberapa potong pakaian yang akan cukup pantas kalau dipakai olehnya.”
Wan Ceng tersenyum girang. “Sungguh Paduka selalu bisa mendapatkan akal dan jalan keluar, terima kasih!”
Memang ada hubungan yang akrab antara Pangeran Mahkota dengan suami isteri pendekar itu karena putera mereka, yaitu Kao Cin Liong, merupakan seorang sahabat yang baik sekali dari Pangeran Kian Liong. Bahkan Sang Pangeran ini pernah pula mengunjungi Istana Gurun Pasir, bersama sahabatnya yang sekarang menjadi seorang jenderal muda itu.
Syanti Dewi hanya tersenyum menyaksikan Tek Hoat ditarik-tarik oleh Wan Ceng ke dalam gedung, dan dia sendiri lalu mendekati Ouw Yan Hui dan memegang tangan enci atau juga gurunya itu. Dia dapat melihat wajah yang muram dari Ouw Yan Hui, maka dia berbisik, “Maafkan aku, Enci Hui. Engkau tahu, dia itu tunanganku dan.... dialah satu satunya pria yang kucinta. Kami akan kembali ke Bhutan...., Ayah telah tua sekali dan terlalu lama aku meninggalkan keluargaku di sana....”
Ouw Yan Hui memandang wajah adik atau juga muridnya ini. Melihat wajah cantik itu memandang padanya dengan penuh permohonan dan penyesalan, dia merasa terharu juga. Dia amat sayang kepada Syanti Dewi, seperti adiknya atau seperti anaknya sendiri maka dirangkulnya Syanti Dewi. Mereka berpelukan dan tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pada mata Ouw Yan Hui yang biasanya amat tabah dan berhati dingin itu nampak air mata berlinang. Kemudian mereka pun memasuki gedung untuk membuat persiapan.
Pesta pernikahan itu dilakukan secara sederhana sekali, apalagi hanya dihadiri dan disaksikan oleh para tamu kurang lebih dua ratus orang banyaknya, yaitu mereka yang tadinya datang ke pulau itu untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Syanti Dewi. Memang tadinya Ouw Yan Hui mengusulkan untuk mengundur hari pernikahan agar dia dapat mengirim undangan sebanyaknya, akan tetapi Tek Hoat dan Syanti Dewi tidak setuju. Biarlah perjodohan mereka disahkan secara sederhana, sudah disaksikan oleh Pangeran Kian Liong dan pihak keluarga diwakili oleh Wan Ceng dan suaminya.
“Kami akan kembali ke Bhutan dan di sanalah nanti diadakan pesta yang meriah,” kata Syanti Dewi.
Biar pun acara pernikahan itu amat sederhana, namun cukup meriah karena di situ hadir pula Sang Pangeran. Ouw Yan Hui menangis tersedu-sedu, hal yang amat luar biasa baginya, ketika sepasang pengantin itu memberi hormat kepadanya. Juga Wan Ceng menangis dan merangkul kakak tirinya dengan hati terharu, lalu mencium Syanti Dewi yang masih terhitung kakak angkatnya pula. Suasana menjadi mengharukan sekali, namun Pangeran Kian Liong lalu maju memberi selamat kepada sepasang mempelai dengan mengangkat cawan arak sehingga semua tamu juga mengangkat cawan arak dan suasana menjadi gembira kembali.
Setelah Tek Hoat dicukur, membersihkan diri dan berganti pakaian pangeran yang indah, berubahlah jembel yang terlantar itu menjadi seorang laki-laki yang amat gagah dan tampan, yang wajahnya berseri-seri dan sepasang matanya mencorong tajam. Betapa pun juga, dia adalah seorang pria yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun dan kelihatan juga setengah tua. Sebaliknya, Syanti Dewi biar pun usianya juga sepantar dia, namun masih nampak seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja!
Pertemuan dua hati dan dua badan yang saling mencinta ini tentu saja terasa nikmat di hati dan kebahagiaan yang amat mendalam membuat mereka merasa terharu. Tiada habisnya mereka bercakap-cakap menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah, dan di dalam penuturan ini terungkaplah semua peristiwa dan kesalah pengertian di antara mereka, juga terungkaplah bukti-bukti betapa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Dan akhir dari semua itu membuat mereka merasa saling dekat, dan di dalam hati mereka bersumpah untuk tidak saling berpisah lagi selama-lamanya. Mereka merasa berbahagia sekali.
Benarkah mereka berbahagia?
Apakah bahagia itu? Bagaimanakah kita dapat berbahagia? Kebahagiaan! Sebuah kata ini kiranya dikenal oleh setiap orang manusia di dunia ini, dikenal dan dirindukan, dicari dan dikejar-kejar selama kita hidup. Betapa kita semua, masing-masing dari kita, selalu mendambakan kebahagiaan dalam kehidupan kita.
Kata ‘kebahagiaan’ sudah menjadi kabur, bahkan sering kali, hampir selalu malah, tempatnya diduduki oleh sesuatu yang sesungguhnya bukan lain adalah kesenangan. atau kepuasan belaka. Kalau kita memperoleh sesuatu yang kita harap-harapkan, maka kita mengira bahwa kita berbahagia! Benarkah itu? Ataukah yang terasa nyaman di hati itu hanyalah kesenangan yang timbul karena kepuasan belaka, karena terpenuhinya sesuatu yang kita harap-harapkan, atau inginkan?
Dan kepuasan hanya merupakan wajah yang lain dari kekecewaan belaka. Kepuasan hanya selewat, dan sebentar kemudian rasa nikmat dan nyaman karena kepuasan ini pun akan lewat dan lenyap, mungkin terganti oleh kekecewaan yang selalu bergandeng tangan dengan kebalikannya itu. Kepuasan dan kekecewaan, seperti juga kesenangan dan kesusahan saling isi mengisi, saling bergandeng tangan dan selalu bergandengan karena memang merupakan si kembar yang mungkin berbeda rupa. Di mana ada kepuasan, tentu ada kekecewaan. Di mana ada kesenangan, tentu ada kesusahan. Orang yang mengejar kesenangan, tak dapat tidak akan bersua dengan kesusahan. Siapa mengejar kepuasan, tak dapat tidak akan bertemu dengan kekecewaan.
Kebahagiaan berada di atas, jauh di atas jangkauan atau pengaruh senang dan susah, puas dan kecewa. Kebahagiaan tak mungkin dijangkau atau dikejar, kebahagiaan tak mungkin digambarkan. Senang dan susah adalah permainan pikiran, terikat oleh waktu dan bersumber kepada Si Aku.
Si Aku ini sudah tentu terombang-ambing antara senang dan susah karena Si Aku itu selalu penuh dengan keinginan dan sudah barang tentu tidak mungkin segala keinginan yang tiada habisnya itu selalu terpenuhi, maka terjadilah puas dan kecewa. Bahkan jika keinginan telah terpenuhi sekali pun akan menimbulkan hal-hal lain. Yaitu menimbulkan kekhawatiran kalau-kalau kita kehilangan sesuatu yang sudah kita miliki itu, kemudian menimbulkan pengikatan diri kepada sesuatu yang menyenangkan itu sehingga kalau kita kehilangan, timbullah duka.
Kebahagiaan tak mungkin dapat dimiliki, tidak dapat diperoleh dengan usaha dan daya upaya, tidak mungkin dapat ditimbun. Kebahagiaan tiada hubungannya dengan pikiran yang selalu mengejar kesenangan! Kebahagiaan tidak mungkin ada selama masih ada Si Aku yang ingin senang! Kebahagiaan baru ada di mana ada cinta kasih.
Kita selalu penuh oleh Si Aku yang selalu mengejar kesenangan dan yang selalu hendak menjauhi kesusahan. Sedikit saja kita dijauhi kesenangan, kita lalu mengeluh dan merasa sengsara. Kebahagiaan bukan hal yang dapat dikhayalkan. Dan kita selalu mencari-cari yang tidak ada sehingga mana mungkin kita menikmati yang ada? Mana mungkin kita dapat melihat keindahan sini kalau mata kita selalu mencari-cari dan memandang sana saja?
Pernahkah kita menikmati kesehatan? Pernahkah dalam keadaan badan sehat kita pergi keluar kamar menghirup udara sejuk dan memandang awan berarak di angkasa? Tidak, kita selalu sibuk dengan sesuatu, pikiran selalu penuh dengan persoalan. Kita selalu ingin ini ingin itu sehingga mata kita seperti buta terhadap segala keindahan yang terbentang luas di sekeliling kita.
Pernahkah kita pada waktu subuh pergi berjalan-jalan, melihat suasana ketika matahari mulai timbul? Pernahkah di waktu senja kita melihat suasana ketika matahari tenggelam, betapa indahnya angkasa? Dan juga pernahkah kita menerawang bintang-bintang di malam hari yang cerah? Tidak pernah! Pikiran kita, siang-malam, sibuk mencari uang, mencari kesenangan, mencari ini dan itu, tanpa ada hentinya.
Kita tidak pernah menikmati kesehatan, akan tetapi kita selalu mengeluh kalau tidak sehat! Kita tidak pernah ‘merasakan’ keadaan yang berbahagia. Kita bahkan tidak sadar lagi di waktu kita sehat, tidak dapat merasakan betapa nikmatnya kesehatan, akan tetapi kita amat memperhatikan di waktu kita tidak sehat, mengeluh dan mengaduh.
Dalam keadaan menderita sakit, kita selalu mengeluh dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau kita sembuh, kalau kita sehat. Akan tetapi bagaimana jika kita sudah sehat? Pikiran penuh dengan keinginan laln dan ‘ingin sehat’ tadi pun sudah terlupa, ‘bahagia karena sehat’ pun sudah terlupa dan kita tidak lagi menikmati keadaan sehat itu!
Demikianlah selalu. Pikiran menjauhkan kebahagiaan. Pikiran selalu mengeluh setiap saat, merasa tidak berbahagia, atau kalau tidak ada sesuatu yang dikeluhkan, pikiran mencari-cari sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan, lebih enak. Tentu saja kita tidak pernah dapat menikmati bahagia kalau pikiran selalu mengejar kesenangan yang berada di masa depan. Bahagia adalah saat demi saat, bahagia adalah sekarang ini, tapi pikiran selalu penuh dengan kesenangan lalu, penuh dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan masa depan.
Pernahkah Anda berdiri di dalam cahaya matahari pagi, di tempat terbuka yang cerah, yang berhawa hangat nyaman? Memandang ke sekeliling tanpa ada Si Aku yang ingin senang? Cobalah sekali-kali. Waspada membuat kita tidak mengeluh, tetapi bertindak tepat menghadapi segala hal yang terjadi. Pikiran atau Si Aku selalu membentuk iba diri dan keluhan.
Syanti Dewi dan Wan Tek Hoat tentu saja merasa senang karena idam-idaman hati mereka tercapai. Kerinduan hati mereka terpenuhi. Tapi kehidupan bukan hanya sampai di situ saja. Hari-hari dan peristiwa-peristiwa, seribu satu macam, masih membentang luas di depan dan yang terpaksa harus mereka hadapi. Selama mereka terikat kepada kesenangan sudah pasti kebahagiaan karena pertemuan itu pun hanya akan menjadi suatu kesenangan sepintas lalu saja!
Ahh, mengapa kita tidak pernah mau membuka mata melihat kenyataan bahwa segala macam bentuk kesenangan itu selalu akan menimbulkan kebosanan? Dapatkah kita hidup tanpa harus menjadi hamba nafsu kita sendiri yang selalu mengejar-ngejar kesenangan? Dapatkah? Kita sendiri yang harus menyelidiki dan menjawab pertanyaan kita ini kepada diri sendiri, dengan penghayatan dalam kehidupan, bukan teori-teori usang. Setiap hal dapat saja merupakan berkah, tapi dapat juga menjadi kutukan, setiap hal yang menimpa kita bisa saja menjadi sesuatu yang menyenangkan atau dapat pula menyusahkan, tetapi penilaian itu hanyalah pekerjaan pikiran atau Si Aku! Kebahagiaan berada di atas dari semua itu, tak dapat terjangkau oleh pikiran, seperti juga cinta kasih!
Beberapa hari kemudian, berangkatlah rombongan itu meninggalkan Pulau Kim-coa-to. Mereka adalah si pengantin baru Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, dan Pangeran Kian Liong, dikawal Souw-ciangkun dan sisa anak buahnya, karena banyak di antara mereka yang terpaksa ditinggalkan dalam perawatan karena luka-luka mereka.
Sepasang pengantin itu diajak ke kota raja oleh Sang Pangeran, kemudian baru dari kota raja mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bhutan dengan pengawalan khusus, dengan sepucuk surat dari Sang Pangeran sendiri untuk Raja Bhutan. Sedangkan Wan Ceng dan suaminya pergi ke kota raja, selain untuk mengawal Sang Pangeran, juga ingin bertemu dengan putera mereka yang tentu telah kembali dari tugas di barat.
Dan di dalam perjalanan inilah, di dalam kereta yang membawa mereka, Pangeran Kian Liong teringat akan janjinya kepada Bu-taihiap, yaitu pendekar sakti Bu Seng Kin yang pernah menolongnya, maka dia pun lalu membicarakan hal itu kepada Si Naga Sakti dan isterinya.
Suami isteri itu mengerutkan alis mereka dan saling pandang. “Bu-taihiap? Siapakah dia itu?” Wan Ceng bertanya, bukan kepada pangeran, melainkan kepada suaminya.
Si Naga Sakti Gurun Pasir mengangguk. “Aku belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia bernama Bu Seng Kin. Namanya pernah menggetarkan dunia sebelah barat dan kabarnya dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.”
“Dia memang hebat!” kata Sang Pangeran. “Aku melihat sendiri betapa dia dan isteri-isterinya menghadapi Si Jangkung dan Si Pendek, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu. Bahkan Pendekar Bu itu dikeroyok dua, dan mengalahkan dua lawan itu dengan mudah. Dia memang lihai sekali, Paman Kao.”
Kao Kok Cu dan isterinya mengangguk-angguk. Kalau seorang diri dapat mengalahkan Su-ok dan Ngo-ok, berarti memang telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Wan Ceng yang memperhatikan ucapan Pangeran itu, kini bertanya,
“Paduka katakan tadi isteri-isterinya? Berapakah banyaknya isteri-isterinya?”
Sang Pangeran tertawa. “Dalam hal itu agaknya dia memang agak istimewa. Yang ikut bersama dia pada waktu itu ada tiga orang.”
“Tiga orang isteri? Ikut bersama?” Wan Ceng terbelalak.
“Benar, dan ketiga orang isterinya itu pun rata-rata amat lihai!”
“Dan anaknya itu.... anak dari isteri ke berapakah?” tanya pula Wan Ceng.
Kembali Sang Pangeran tertawa. Kecerewetan seorang wanita dalam hal-hal seperti itu tidak mengherankan dia. “Aku tidak tahu, Bibi, dan kami tidak sempat bicara tentang hal itu. Akan tetapi pada waktu itu, puterinya juga ikut dan kulihat dia seorang gadis yang cantik dan memiliki sifat gagah seperti seorang pendekar wanita. Menurut Bu-taihiap, antara puterinya dan Cin Liong terdapat hubungan persahabatan yang akrab. Karena itulah maka dia ingin berjumpa dengan kalian untuk membicarakan pertalian jodoh antara mereka dan mereka minta kepadaku untuk dapat menjadi perantara.”
“Hemm, seakan-akan orang she Bu itu sudah memastikan bahwa kami tentu setuju!” Wan Ceng berkata tak senang.
“Isteriku, urusan jodoh merupakan urusan dua orang yang bersangkutan. Kita orang-orang tua hanya berdiri di belakang dan mengamati saja agar segala hal terlaksana dengan baik dan benar, maka hal ini pun baru bisa dibicarakan kalau kita sudah bicara dengan anak kita. Bagi kita, tidak bisa menerima atau menolak sebelum mendengar suara Cin Liong.”
“Sayang bahwa aku sendiri tidak tahu benar akan keadaan keluarga Bu-taihiap itu, akan tetapi kurasa Cin Liong telah berkenalan dengan keluarga itu ketika dia memimpin pasukan ke barat. Sebaiknya memang kalau kita, eh, maksudku Paman dan Bibi berdua menanyakan.”
Demikianlah, di dalam perjalanan menuju ke kota raja itu, ada bahan pemikiran yang amat serius bagi suami isteri pendekar ini, karena yang disampaikan oleh Pangeran itu menyangkut perjodohan dan masa depan putera tunggal mereka.
Sementara itu, di dalam kereta lain yang sengaja disediakan oleh Pangeran, sepasang suami isteri, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, masih tenggelam dalam kemanisan bulan madu dan tidak mempedulikan segala keadaan lainnya, seolah-olah di dunia ini yang ada hanya mereka berdua…..
Sebelum kita melanjutkan dengan mengikuti rombongan yang menuju ke kota raja ini, sebaiknya kalau kita lebih dulu menjenguk keadaan Kaisar dan keluarganya, dan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar itu…..
Memang telah terjadi perubahan amat besar pada diri Kaisar. Kaisar Yung Ceng mungkin merupakan satu-satunya kaisar di jaman Pemerintahan Mancu yang pandai ilmu silat. Memang ilmu silatnya hebat, bahkan boleh dibilang dia seorang yang ahli dan lihai sekali karena di waktu mudanya, ketika dia masih menjadi seorang pangeran, dia suka sekali mempelajari ilmu silat dan bergaul di tengah-tengah kaum tukang pukul yang suka menjilat-jilatnya.
Dia disanjung sebagai seorang ‘pendekar’, maka di waktu mudanya Pangeran ini suka sekali berkelahi, menantang siapa pun yang dianggapnya memiliki ilmu silat. Tentu saja, orang yang ditantangnya kalau tahu bahwa penantangnya adalah Pangeran, mengalah dan akibatnya orang itu dipukul babak-belur dan Sang Pangeran lalu dipuji-puji oleh para tukang pukul sebagai seorang ahli silat yang menang pi-bu!
Pangeran yang masih muda ketika itu, baru berusia tujuh belas tahun, merasa menjadi seorang pendekar dan entah sudah berapa banyak guru-guru silat, orang-orang baik, yang telah dikalahkannya, sebagian ada yang memang kalah, akan tetapi banyak yang memang mengalah. Namun, pada suatu hari, dia membentur batu karang! Dia bertemu dengan seorang pemuda, dan melihat pemuda ini pandai silat, dia menantangnya dan memaksa pemuda itu untuk ‘pi-bu’, dan akibatnya, Sang Pangeran yang kini dihajar babak-belur karena pemuda itu adalah seorang jago murid Siauw-lim-pai!
Pangeran Yung Ceng terkenal mempunyai watak yang keras dan tidak mau kalah. Menghadapi kekalahan dari seorang murid Siauw-lim-pai ini membuat dia penasaran sekali dan dia lalu menyamar sebagai seorang pemuda biasa dan pergilah dia ke kuil Siauw-lim-si untuk belajar ilmu silat dari para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal ahli.
Akan tetapi pada waktu itu Siauw-lim-si hanya menerima anak-anak saja sebagai murid, maka permintaan Pangeran muda itu ditolak oleh para pimpinan Siauw-lim-si. Pangeran ini memang memiliki kemauan yang amat keras. Penolakan para pimpinan Siauw-lim-si tidak mematahkan semangatnya dan dia tetap berlutut di depan kuil siang malam dan tidak mau pergi sebelum permohonannya untuk menjadi murid Siauw-lim-pai diterima!
Melihat kemauan yang luar biasa ini, para pimpinan Siauw-lim-pai jadi tertarik. Setelah mereka membiarkan Pangeran yang mereka kira pemuda biasa itu berlutut di situ selama tiga hari tiga malam, mereka lalu menerima Sang Pangeran yang menggunakan nama biasa, yaitu Ai Seng Kiauw. Diterimalah Ai Seng Kiauw sebagai seorang murid tanpa mengharuskan pemuda ini menggunduli kepala menjadi hwesio. Dan mulailah Pangeran itu dilatih ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat itu.
Memang Pangeran itu memiliki bakat yang amat baik untuk ilmu silat, hanya sayang bahwa dia memiliki hati yang keras sekali, sungguh tidak sesuai dengan seorang pendekar yang seharusnya memiliki keteguhan hati yang tidak mungkin tergoyahkan oleh nafsu amarah.
Ai Seng Kiauw atau pangeran ini tekun berlatih. Bahkan untuk mengejar ilmu silat, dia rela membiarkan dirinya diuji oleh para pimpinan Siauw-lim-pai yang mengharuskan dia mencari kayu bakar dan mengangsu air, yang harus dipikulnya naik turun bukit ke dalam kuil.
Pekerjaan ini amat berat dan selama berbulan-bulan ia melakukan pekerjaan itu sampai pundaknya lecet-lecet dan kakinya lelah sekali. Akan tetapi setelah lewat setengah tahun, dia dapat memikul kayu atau dua gentong air sambil berlari-larian menaiki bukit! Tenaganya menjadi kuat sekali, tenaga sinkang-nya bertambah dengan cepat.
Para murid Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang mempelajari ilmu silat sebagai mata pelajaran yang diharuskan, dan dimaksudkan untuk menggembleng tubuh mereka agar kuat, tahan uji, dan sehat. Maka mereka itu kebanyakan hanya mempelajari ilmu silat sekedarnya saja.
Tidak demikian dengan Sang Pangeran. Dia belajar dengan tekun sekali, bahkan secara diam-diam, kadang-kadang secara mencuri-curi, dia memasuki ruangan perpustakaan di waktu malam dan membaca kitab-kitab pelajaran ilmu silat Siauw-lim-pai di dalam ruangan itu, sering kali sampai pagi! Dan dia pun berlatih siang malam tanpa mengenal lelah sehingga pelajaran-pelajaran yang akan dikuasai oleh lain murid selama empat lima tahun, telah dapat diraihnya selama satu tahun saja!
Akan tetapi, ternyata para pimpinan Siauw-lim-pai itu akhirnya dapat mengetahui bahwa murid yang bernama Ai Seng Kiauw itu bukan lain adalah pangeran putera kaisar! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali. Beramai-ramai menghadap pangeran dan memberi hormat mereka, minta maaf bahwa karena tidak tahu, mereka telah memperlakukan Sang Pangeran sebagai murid biasa.
Ai Seng Kiauw atau Pangeran Yung Ceng merasa kecewa sekali. Setelah ketahuan, kini dia tidak diperlakukan sebagai murid, dan dalam hal mengajarkan ilmu, para pimpinan itu tidak sungguh-sungguh hati lagi. Dan kini, orang-orangnya atau saudara-saudaranya dapat mengunjungi dia dengan bebas, juga dia boleh keluar masuk dengan bebas dari kuil itu.
Hal ini membuat dia merasa bosan dan karena melihat bahwa para tokoh Siauw-lim-pai hanya setengah hati saja mengajarnya setelah mengetahui bahwa dia adalah seorang Pangeran Mancu, maka Pangeran Yung Ceng lalu meninggalkan kuil di mana dia belajar selama hampir tiga tahun lamanya. Kini ilmu silatnya menjadi lihai sekali karena betapa pun juga, dia telah digembleng oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan telah menguasai ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat tangguh.
Sewaktu dia masih menjadi ‘murid’ Siauw-lim-pai, yaitu sebelum dia dikenal sebagai pangeran, Yung Ceng ini bersikap ramah dan bersahabat terhadap para murid-murid Siauw-lim-pai sehingga dia amat disuka. Bahkan setelah dia diketahui sebagai seorang pangeran, para anak murid Siauw-lim-pai masih menganggapnya sebagai sahabat atau saudara seperguruan.
Ketika itu, Kaisar Kang Hsi sudah tua dan sakit-sakitan selalu. Seperti biasa terjadi dalam keluarga kaisar, terutama sekali setelah kaisar menjadi tua dan sakit-sakitan, di antara para pangeran diam-diam terjadi perebutan kekuasaan untuk menjadi putera mahkota atau calon pengganti kaisar kalau kaisar sudah meninggal dunia. Dan tentu saja, di belakang para pangeran ini berdiri orang-orang ambisius yang mengatur segala-galanya.
Menurut perkiraan para menteri yang setia, pilihan Kaisar tentu akan terjatuh kepada pangeran yang ke empat, yaitu Pangeran Yung Lok, yang saat itu merupakan pangeran tersayang dan juga seorang pangeran yang bijaksana dan disuka oleh para menteri setia. Selain itu, juga Yung Lok merupakan putera selir ke dua, sedangkan permaisuri tidak mempunyai putera. Maka sudah sepatutnyalah kalau Pangeran Yung Lok menjadi putera mahkota.
Hal ini pun diketahui pula oleh Pangeran Yung Ceng yang memiliki ambisi besar untuk menjadi kaisar. Dengan amat cerdiknya Yung Ceng lalu mendekati selir yang ke tiga dari ayahnya, seorang selir yang paling dicinta dan dimanja oleh Kaisar dan yang lebih sering berada di dalam kamar kaisar dari pada selir-selir lainnya. Selir ke tiga ini tidak mempunyai anak dan selain amat cantik juga pandai mengambil hati pria, maka Kaisar yang tua itu paling senang kalau ditemani selir ke tiga ini. Terjadilah persekutuan antara Pangeran Yung Ceng dan selir ke tiga ini.
Pada suatu malam, Sang Selir ke tiga ini menemui Yung Ceng dan mengabarkan bahwa kaisar yang sudah agak payah sakitnya itu sore tadi telah membuat surat wasiat yang ditulis oleh seorang pembantu kaisar.
“Dalam surat wasiat itu dijelaskan bahwa yang menggantikan kedudukan Beliau adalah Pangeran ke empat,” demikian selir itu memberi tahu.
Pangeran Yung Ceng terkejut sekali dan merasa gelisah. “Ibu harus dapat membantuku dalam hal ini.”
“Jangan khawatir,” kata selir ke tiga itu. “Mari kita rundingkan ini dengan Lan-thaikam.”
Thaikam adalah pembesar kebiri yang bertugas di dalam keraton kaisar. Segera mereka berdua menemui Lan-thaikam dan pembesar kebiri yang perutnya gendut inilah yang kemudian mencari siasat.
“Surat wasiat itu harus dapat kita pinjam untuk sebentar, agar kita dapat melakukan perubahan-perubahan di dalamnya.” Akhirnya dia mengemukakan siasatnya. Dan untuk tugas ini, tentu saja selir ke tiga yang paling mudah untuk melakukannya.
Pada malam berikutnya, ketika Kaisar tidur nyenyak setelah dilayani dan dipijati oleh selirnya yang ke tiga, selir itu lalu mengambil kunci dari ikat pinggang Kaisar, membuka peti kecil hitam yang berada di dekat pembaringan dan mengambil gulungan surat wasiat itu. Cepat-cepat dia keluar dari kamar, menutupkan pintunya dan berlari kecil menuju ke salah sebuah kamar di mana telah menanti Pangeran Yung Ceng bersama Lan-thaikam.
Sang Pangeran membuka surat wasiat itu dan mukanya menjadi merah. Dua tangannya dikepal ketika dia membaca sendiri surat wasiat itu di mana dengan jelas disebutkan bahwa yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar adalah ‘Pangeran ke empat’! Dia sendiri adalah Pangeran ke empat belas, sebagai putera dari selir ke delapan, sebuah kedudukan yang tiada artinya dalam urutan pangeran.
“Harap Paduka jangan khawatir, hamba telah menemukan siasat yang amat bagus sekali,” kata Lan-thaikam, lalu dia membeber surat itu di atas meja, dan mengambil alat tulis.
Dengan hati-hati dia lalu membubuhi huruf angka sepuluh di depan empat, sehingga kini kalimat ‘Pangeran ke empat’ berbunyi ‘Pangeran ke empat belas’! Wajah pangeran itu berseri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat saking girangnya dan dia lalu merangkul pundak pembesar itu.
“Bagus, Paman, engkau sungguh hebat sekali. Aku pasti tidak akan melupakan kalian berdua. Kelak kalau aku sudah menjadi kaisar, kalian tentu akan kuberi kedudukan dan kekuasaan tinggi!”
“Hanya satu hal yang meragukan,” kata selir itu. “Huruf-huruf tulisan dari Coa-sianseng ini amat indah dan sukar dipalsukan, maka apakah penambahan huruf dari Lan-thaikam ini cukup dapat dipertanggung jawabkan? Orang lain mungkin tidak dapat melihat perbedaannya, akan tetapi Coa-sianseng sendiri yang menulisnya....”
“Hemm, Jangan kuatir. Dia seorang yang lemah, aku akan dapat menggertaknya!” kata Lan-thaikam. “Kalau dia tidak mau bekerja sama, biar kita habiskan saja.”
“Serahkan hal ini kepadaku, Paman,” kata Pangeran itu. “Pada hari dia membacakan surat wasiat itu, aku akan mengambil nyawanya untuk menutup mulutnya, tentu melalui tangan lain.” Lalu dia menceritakan siasatnya dan dua orang itu menjadi girang dan memuji siasat Sang Pangeran yang amat cerdik itu.
Selir ke tiga cepat-cepat mengembalikan surat wasiat yang sudah dirubah isinya itu, memasukkan kembali ke dalam peti kecil, menguncinya dan mengembalikan kuncinya di ikat pinggang Kaisar. Hal ini tidak ada yang mengetahui kecuali tiga orang itu.
Dan dalam bulan itu juga, Kaisar Kang Hsi meninggal dunia! Tentu saja seluruh isi istana berkabung dan pada hari yang ditentukan, peti wasiat itu dibawa ke balairung di mana terdapat singgasana Kaisar yang kosong. Suasana di ruangan itu sunyi dan diliputi suasana berkabung. Semua pembesar berkumpul dan pada wajah mereka terbayang kedukaan, sungguh pun tidak ada yang tahu pasti berapa orang di antara mereka itu yang benar-benar merasa berduka dengan kematian Sang Kaisar!
Yang sudah pasti, terdapat ketegangan-ketegangan, karena mereka menduga-duga siapa yang akan menjadi pengganti Kaisar, dan hal ini tentu saja amat penting bagi mereka karena penggantian itu mempunyai dua kemungkinan hebat dalam kehidupan mereka. Kalau kaisar baru itu pilihan mereka, tentu keadaan mereka terjamin, akan tetapi kalau bukan, besar kemungkinan kedudukan mereka akan dirampas. Dan hampir semua orang menduga bahwa yang akan diangkat sebagai pengganti sudah pasti Pangeran ke empat.
Ketegangan hebat itu terutama sekali terasa oleh mereka yang berkepentingan, yaitu oleh para pangeran yang telah berkumpul di tempat itu dengan pakaian seragam, pakaian berkabung. Keluarga mendiang Kaisar Kang Hsi kumpul semua di tempat itu, terutama para pembesar dalam istana. Ketika Coa-taijin, yaitu sastrawan yang menjadi pembantu Kaisar dalam hal tulis-menulis, yang dipercaya oleh mendiang Kaisar Kang Hsi, memasuki ruangan diikuti oleh dua orang thaikam yang membawa sebuah peti kecil hitam, semua orang memandang dengan hati berdebar penuh ketegangan.
Mereka semua tahu apa isinya peti kecil hitam itu, ialah surat wasiat peninggalan Kaisar yang akan dibacakan oleh Coa-taijin sendiri sebagai penulis surat wasiat yang telah dibubuhi cap kebesaran dan tanda tangan Kaisar itu. Suasana menjadi sunyi dan seluruh perhatian dari semua yang hadir tertuju kepada pembesar she Coa itu sehingga tidak ada seorang pun yang tahu bahwa terdapat gerakan aneh dan tidak wajar di belakang mereka, di atas balok-balok melintang di bawah atap ruangan itu.
Semua mata para pembesar yang hadir mengikuti semua gerak-gerik itu, seolah-olah dengan menahan napas, dari saat ketika Coa-taijin membuka tutup peti yang dikunci, kemudian mengeluarkan segulung kertas kuning. Dengan kedua tangan memegang kertas kuning itu diluruskan ke depan, mulailah Coa-taijin membaca surat wasiat itu dengan suara tenang dan terdengar jelas sekali karena suasana di ruangan itu sunyi sekali, bahkan kalau ada jarum jatuh ke atas lantai pun agaknya akan dapat terdengar suaranya.
Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran ke.... empat.... ehhh.... empat belas....?”
Coa-taijin terbelalak, mukanya pucat, pucat sekali, kedua tangannya menggigil, dan dia seperti tidak percaya kepada pandang matanya sendiri sehingga bagian terakhir itu diulangnya beberapa kali. Dialah penulis surat wasiat itu, maka tentu saja dia tahu bahwa surat wasiat itu telah dirubah orang. Dia memandang ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata terbelalak dan telunjuk kanannya menuding ke arah Pangeran itu.
"
Akan tetapi sebelum dia mampu berkata-kata, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu sebatang pisau telah menancap ke dada Coa-taijin, disusul oleh pisau ke dua yang menancap ke lehernya! Coa-taijin terhuyung, gulungan surat wasiat terlepas dari tangannya, dan sebelum dia roboh, dia masih menuding ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata melotot, lalu dia terguling roboh dan berkelojotan.
Semua orang menjadi panik dan gempar, dan tiba-tiba Pangeran Yung Ceng sudah berteriak keras, “Itu dia pembunuhnya....!” Dan dia menuding ke atas.
Semua orang memandang dan benar saja, di atas sebatang balok melintang nampak seorang laki-laki tinggi besar bersembunyi dan hendak melarikan diri. Beberapa orang komandan pengawal bergerak dengan sigap, berloncatan ke atas dan menyerang Si Pembunuh yang terpaksa meloncat lagi ke bawah, ke dalam ruangan itu.
Dia seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya memakai kedok hitam. Gerakannya gesit dan ringan ketika dia meloncat turun, tetapi dia segera disambut oleh seorang panglima yang berkepandaian tinggi. Terjadilah perkelahian yang tidak memakan waktu terlalu lama karena pembunuh itu dikeroyok oleh banyak panglima dan komandan pengawal yang rata-rata berilmu silat tinggi dan yang pada waktu itu memang sedang berkumpul di ruangan itu. Pembunuh itu roboh oleh sebuah tendangan dan sebelum dia sempat meloncat bangun, dia telah diringkus!
Seorang panglima merenggut kedoknya terlepas dan terkejutlah semua orang ketika mengenal orang itu sebagai salah seorang di antara pengawal-pengawal dalam istana! Seorang perwira pengawal yang biasanya bertugas mengawal di dalam harem Kaisar, tentu saja di bagian luar karena di bagian dalam hanya mempunyai penjaga-penjaga para thaikam (laki-laki kebiri).
“Plakk! Plakk!” Pangeran Yung Ceng sudah meloncat ke depan dan menampari muka orang ini yang masih diringkus oleh dua orang panglima.
“Hayo katakan, siapa yang menyuruhmu melakukan pembunuhan ini?” Pertanyaan Sang Pangeran nyaring sekali, terdengar oleh semua orang dan kini keadaan menjadi sunyi karena semua orang juga ingin mendengar jawaban dari mulut penjahat itu.
Pembunuh itu memandang dengan muka pucat sekali, kemudian dia menuding ke arah Pangeran Yung Lok, yaitu Pangeran ke empat sambil berkata, suaranya menggigil, “Dia.... dialah yang menyuruhku.... Pangeran Ke Empat....”
“Bohong kau! Keparat busuk, berani kau memfitnahku?” Pangeran Yung Lok berteriak dengan nada marah sekali.
“Pembunuh busuk!” teriakan ini terdengar dari mulut Yung Ceng dan sebelum ada yang tahu atau dapat mencegah, pangeran ini telah mencabut pedangnya, dan memasukkan pedangnya itu ke dada Si Pembunuh sampai tembus ke punggungnya!
Tentu saja dua orang panglima yang meringkusnya itu cepat melepaskan dan tubuh Si Pembunuh itu terpelanting. Sambil mendekap dada dengan tangan kiri, ia menudingkan tangan kanan ke arah Pangeran Yung Ceng, lalu tangan itu membentuk cengkeraman seolah-olah dia hendak mencengkeram Pangeran itu. Akan tetapi tenaganya habis dan dia pun terkulai lemas karena pedang yang ditusukkan tadi telah menembus jantungnya!
“Seorang pengacau dan pembunuh harus dibasmi!” kata Pangeran Yung Ceng dengan suara lantang, seolah-olah hendak membela diri dengan semua perbuatannya itu. “Dan pembacaan surat wasiat tidak boleh ditunda lagi!”
Lan-thaikam, sebagai kepala di istana, lalu membuka gulungan kertas wasiat yang tadi telah diselamatkannya ketika kertas itu terlepas dari tangan pembesar Coa, kemudian membacanya dengan suara lantang.
Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran Ke Empat Belas, dan penobatan agar supaya segera dilakukan sehingga singgasana tidak terlalu lama dibiarkan kosong.
Tertanda:
Kaisar Kang Hsi.
Begitu mendengar isi surat wasiat ini terdengar habis, semua orang, seperti diberi komando oleh suara yang hanya terdengar oleh mereka, menjatuhkan diri berlutut dan semua orang berseru, “Ban-swe, ban-ban-swe,” yang artinya sama dengan ‘Hidup’, sebagai penghormatan kepada Pangeran yang diangkat menjadi Kaisar baru serta menjadi junjungan mereka yang baru itu.
Demikianlah, Pangeran Yung Ceng dengan resmi kemudian diangkat menjadi kaisar dan perintahnya yang pertama kali adalah agar Pangeran Ke Empat, yaitu Pangeran Yung Lok, ditangkap dan dihukum mati! Tetapi, para panglima yang terkejut mendengar ini, maju berlutut dan mintakan ampun. Dengan sikap bijaksaana untuk menimbulkan kesan, Sang Kaisar baru berkata bahwa mengingat akan kesetiaan para panglima itu, dia mau mengampuni Pangeran Yung Lok dan membuang Pangeran itu ke selatan.
Demikianlah sedikit riwayatnya Kaisar Yung Ceng yang ketika masih muda memang dia seorang yang memiliki kekerasan dan kemauan hati yang amat kuat, akan tetapi sayang sekali, kekerasan ini pula yang masih mendorongnya pada saat dia mulai melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam hidup, sama kuatnya ketika dia dengan keras hati mengejar-ngejar ilmu di Siauw-lim-si.
Setelah Pangeran ini menjadi kaisar, dia semakin haus akan kekuasaan, bahkan sering kali dia bertindak sewenang-wenang hanya untuk memperlihatkan kekuasannya. Lebih parah lagi, dia mulai tergelincir ke dalam lembah nafsu birahi sehingga dia seperti tiada puasnya mendapatkan wanita-wanita yang dikehendakinya.
Dia tak segan-segan untuk mengganggu isteri-isteri para pejabat, para pembesar di istana, walau pun tentu saja di antara para pembesar itu banyak pula terdapat penjilat-penjilat yang memang sengaja mempergunakan isterinya yang cantik untuk mencari jasa sehingga mereka boleh mengharapkan anugerah dari Kaisar berupa kenaikan pangkat dan sebagainya.
Mula-mula para murid Siauw-lim-pai masih menganggap Kaisar ini sebagai seorang saudara seperguruan mereka sehingga ada pula yang datang berkunjung ke istana. Dan mereka ini selalu diterima oleh Kaisar Yung Ceng dengan ramah, diperlakukan sebagai tamu agung dan sebagai saudara seperguruan sendiri.
Akan tetapi, mulailah para anak murid Siauw-lim-pai geger ketika pada suatu hari, ketika seorang murid wanita Siauw-lim-pai yang terhitung sumoi (adik seperguruan) dari Kaisar sendiri datang berkunjung, Kaisar Yung Ceng yang memandang gadis pendekar itu dengan sinar mata lain, telah memaksa sumoi-nya itu untuk menuruti kemauannya!
Gadis Siauw-lim-pai itu dirayu dan digauli dengan setengah paksa. Gadis itu kemudian membunuh diri dan Kaisar lalu menyuruh orang-orangnya untuk mengubur jenazahnya dan merahasiakan peristiwa itu. Akan tetapi, tetap saja rahasia itu bocor dan akhirnya secara selentingan terdengar oleh para anak murid Siauw-lim-pai betapa murid wanita Siauw-lim-pai itu digauli oleh Kaisar dan membunuh diri! Karena tidak ada bukti, maka Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat sesuatu, hanya mulai memandang kepada Kaisar dengan curiga.
Akan tetapi, rasa permusuhan dari Siauw-lim-pai terhadap Kaisar ini baru terasa ketika pada suatu hari datang seorang suheng dari Kaisar sendiri bersama isterinya. Suheng ini adalah seorang sahabat baik ketika Sang Kaisar masih tekun belajar di Siauw-lim-si, merupakan sahabat dan saudara terbaik.
Akan tetapi, celakanya adalah bahwa suheng ini datang bersama isterinya dan lebih celaka lagi isterinya itu adalah seorang wanita muda yang cantik manis. Seketika hati Kaisar muda itu tergiur dan karena Kaisar tahu bahwa suheng-nya itu adalah orang yang suka sekali main catur, maka dia lalu memanggil seorang thaikam yang pandai main catur.
Suheng-nya segera tenggelam di meja catur semalam suntuk dengan thaikam itu dan kesempatan ini, kesempatan yang memang sengaja diadakannya, dipergunakan oleh Kaisar untuk memasuki kamar suheng-nya yang asyik bertanding catur di ruangan tamu itu, dan diganggulah isteri suheng-nya! Diperkosanya wanita itu dengan paksa, dan oleh karena wanita itu tidak berani melawan, maka dia hanya bisa menangis saja, menyerah karena tidak berdaya. Pada esok paginya, ketika Sang Suheng kembali ke kamarnya, dia mendapatkan isterinya telah mati menggantung diri!
Peristiwa inilah yang membuat Siauw-lim-pai mengambil keputusan untuk secara resmi mengeluarkan Sang Kaisar dari Siauw-lim-pai, tidak diakuinya lagi sebagai anak murid Siauw-lim-pai! Betapa pun juga, Sang Suheng itu dapat menduga apa yang telah terjadi, mengapa isterinya itu secara tiba-tiba tanpa sebab telah membunuh diri.
Tindakan para pemimpin Siauw-lim-pai itu sungguh terlalu benar! Mengeluarkan Kaisar yang sedang berkuasa dari Siauw-lim-pai! Menganggapnya sebagai seorang murid murtad! Tentu saja hal ini amat menyakitkan hati Kaisar Yung Ceng yang mulai saat itu menganggap Siauw-lim-pai sebagai musuh, bukan lagi sebagai perguruan silat atau partai persilatan yang dibanggakannya sebagai tempat di mana dia pernah digembleng.
Akan tetapi Kaisar Yung Ceng juga tahu bahwa amatlah tidak menguntungkan kalau dia menuruti perasaan dendam pribadi dan menggempur Siauw-lim-pai dengan pasukan, karena betapa pun juga partai persilatan itu sangat kuat dan merupakan hal yang amat merugikan kalau pemerintah menghadapinya sebagai musuh. Betapa pun juga, orang orang Siauw-lim-pai masih dapat banyak diandalkan kalau negara menghadapi musuh dari luar. Maka sakit hati itu pun disimpannya di dalam hati dan menimbulkan dendam dan rasa tidak suka saja.
Demikianlah riwayat dan keadaan Kaisar Yung Ceng. Putera Kaisar itu, yaitu Pangeran Kian Liong merasa sangat berduka kalau dia memikirkan semua perbuatan ayahnya. Sampai kini pun ayahnya itu mudah sekali tergila-gila kepada wanita cantik. Pangeran yang bijaksana ini pun tahu bahwa ayahnya kini terjatuh ke dalam cengkeraman dan pelukan selir ke tiga yang pandai merayu dan yang bersekutu dengan Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga yang agaknya amat disegani dan dihormati oleh ayahnya.
Dia tidak tahu bahwa memang ayahnya yang kini menjadi kaisar amat tunduk kepada Ibu Suri Ke Tiga karena ibu suri ini amat berjasa kepada ayahnya. Dia tidak tahu bahwa memang ada persekutuan antara ayahnya, Sam-thaihouw, dan Lan-thaikam yang juga merupakan kepala istana yang menguasai semua pejabat dan pembantu yang bekerja di dalam istana, dan bahwa Kaisar amat percaya kepada orang kebiri tua ini.
Hal yang amat menggelisahkan hati Pangeran Kian Liong adalah peristiwa yang terjadi bulan lalu. Ketika itu Jenderal Kao Cin Liong memimpin pasukan untuk menggempur pergolakan di barat, di perbatasan Himalaya, untuk membantu Tibet yang diserang oleh Nepal. Dan pada waktu itu, di kota raja dikabarkan banyak terdapat mata-mata musuh.
Mungkin karena memang ada mata-mata yang menyelundup ke dalam kuil, atau memang hanya dipergunakan sebagai alasan saja oleh Kaisar yang memang sudah membenci Siauw-lim-pai, Kaisar memerintahkan untuk menyerbu kuil Siauw-lim-si yang merupakan cabang dari pusat Siauw-lim-pai, sebuah kuil yang cukup besar di kota raja, di mana para hwesio Siauw-lim-pai lebih banyak mengurus soal pelajaran agama dari pada ilmu silat.
Serbuan itu merupakan gerakan pertama dari Yung Ceng yang memusuhi Siauw-lim-pai semenjak dia dipecat dari keanggotaannya. Kuil itu dibakar, semua pendetanya diusir, bahkan dalam bentrokan itu ada beberapa orang pendeta yang tewas. Akan tetapi karena alasan penyerbuan itu adalah untuk mencari dan membasmi mata-mata yang dikabarkan bersembunyi di kuil, maka pihak Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat apa-apa, hanya memesan kepada semua muridnya agar berhati-hati karena jelas bahwa Kaisar membenci Siauw-lim-pai.
Hal ini pun membuat Pangeran Kian Liong merasa berduka dan prihatin sekali, karena dia tahu bahwa semenjak dulu, Siauw-lim-pai merupakan partai besar yang berdasarkan agama, yang tugasnya menyebarkan keagamaan di samping memberi pelajaran ilmu silat tinggi dan terdiri dari rata-rata orang-orang budiman dan pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak pernah memberontak terhadap negara.
Ketika rombongan Pangeran Kian Liong yang disertai oleh Kao Kok Cu dan Wan Ceng, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, pada malam hari itu memasuki kota raja, di istana terjadi kegemparan besar. Untunglah bahwa Pangeran Kian Liong berkeras mengajak dua pasang suami isteri itu langsung pergi ke istana dan menjadi tamu-tamunya.
“Kita telah melakukan perjalanan jauh, sebaiknya kalau kalian berempat langsung saja ke istana dan mengaso. Besok baru kita akan menghadap Ayahanda Kaisar.”
Akan tetapi, ternyata bahwa ketika mereka tiba di istana, di situ terjadi hal yang amat hebat. Kiranya malam hari itu, istana diserbu oleh seorang dara perkasa dan tujuh orang pendeta Siauw-lim-pai yang menyamar sebagai pengawal-pengawal istana!
Ketika itu, Kaisar baru saja memasuki kamarnya dan selir ke tiga telah datang untuk melayaninya ketika tiba-tiba di luar kamar itu terjadi keributan dan tiba-tiba terdengar teriakan nyaring.
“Ada penjahat....!”
Kaisar Yung Ceng adalah seorang kaisar yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang cukup tinggi, bukan seorang kaisar yang lemah, maka mendengar seruan ini, dia bukan lari berlindung, sebaliknya malah meloncat keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak merasa takut. Dan begitu keluar, dia sudah diserang oleh seorang dara yang berpakaian ringkas berwarna putih dan dibantu seorang hwesio yang menyamar dalam pakaian pengawal istana, akan tetapi yang kini telah membuang penutup kepalanya sehingga nampak kepalanya yang gundul. Selain dua orang ini yang mengeroyok Kaisar, masih ada enam orang hwesio lain yang semua menyamar dalam pakaian pengawal sedang bertempur dikepung oleh banyak pengawal istana.
“Ai Seng Kiauw manusia keji, bersiaplah engkau untuk mampus!” gadis itu membentak marah dan telah menyerang dengan dahsyatnya, menggunakan sebatang pedang yang tadi disembunyikan di balik jubahnya.
Hwesio tinggi besar yang membantunya juga telah menyerang Kaisar dengan sebatang golok, namun Kaisar Yung Ceng dengan sigapnya sudah meloncat lagi ke dalam kamar, menyambar sebatang pedang yang tergantung di kamarnya, lantas melawan dengan gagah. Melihat gerakan dua orang yang menyerangnya itu, tahulah Kaisar Yung Ceng bahwa dia diserang oleh murid-murid Siauw-lim-pai, maka dia pun marah bukan main. Pedangnya diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dan dia membentak,
“Pemberontak-pemberontak Siauw-lim-pai!”
Akan tetapi dua orang penyerangnya tidak banyak cakap lagi melainkan memperhebat desakan mereka sehingga Sang Kaisar pun harus mempercepat gerakannya. Selirnya dan para dayang menjerit dan menyembunyikan diri di sudut kamar sambil berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan. Sementara itu, enam orang hwesio yang berada di luar kamar masih mengamuk, dikeroyok banyak pengawal yang berdatangan.
Pada saat itulah Pangeran Kian Liong datang bersama Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng. Tentu saja, tanpa diminta lagi, dua pasang suami isteri perkasa itu segera turun tangan.
“Kalian bantu para pengawal dan aku akan melindungi Kaisar!” kata Kao Kok Cu yang segera menerjang masuk ke dalam kamar Kaisar yang pintunya terbuka dan dari mana dia dapat melihat Kaisar sedang dikeroyok oleh dua orang.
“Li Hwa, kau larilah!” Hwesio tinggi besar itu berseru.
Walau dia sedang menghadapi Kaisar, dia masih mampu menggunakan tangan kirinya untuk mendorong tubuh gadis itu yang terhuyung ke arah jendela. Gadis itu maklum bahwa keadaan sangat berbahaya maka sekali loncat dia pun telah lenyap melalui jendela kamar.
Sementara itu Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, dan Wan Ceng menerjang dengan tangan kosong, akan tetapi begitu mereka membantu para pengawal, enam orang hwesio Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Sambaran tangan Tek Hoat mengeluarkan bunyi seperti pedang pusaka menyambar, juga pukulan-pukulan Wan Ceng mendatangkan angin dahsyat sekali, dan gerakan Syanti Dewi seperti seekor burung beterbangan dan tamparan-tamparannya juga seperti kilat menyambar-nyambar.
Biar pun enam orang hwesio itu masih berusaha untuk melawan mati-matian, namun dalam waktu belasan jurus saja mereka telah roboh terpelanting oleh pukulan-pukulan tiga orang yang baru datang ini, tak mampu bangkit kembali karena telah menderita luka parah, apalagi yang roboh membawa bekas pukulan tangan Wan Tek Hoat dan Wan Ceng, karena mereka itu tewas tak lama kemudian, dan hanya seorang di antara mereka, yang roboh oleh pukulan dan tamparan Syanti Dewi, yang masih hidup, biar pun dia juga tidak mungkin mampu melawan lagi.
Hwesio tinggi besar yang memimpin penyerbuan itu, yang tadi menyerang Kaisar bersama gadis itu, juga sudah roboh oleh Si Naga Sakti. Tulang pundaknya patah-patah terkena sentuhan jari tangan Kao Kok Cu dan kini dia memaki-maki Kaisar.
“Ai Seng Kiauw murid murtad, engkau membikin kotor nama Siauw-lim-pai! Engkau tak segan-segan untuk memperkosa murid Siauw-lim-pai dan isteri suheng-nya sendiri, dan biar pun engkau kini telah bersembunyi di dalam pakaian kaisar, namun kami para murid-murid Siauw-lim-pai sejati enggan hidup bersama orang durhaka macammu ini di atas bumi!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan pedang dengan tangan kirinya, menggorok leher sendiri!
Kaisar Yung Ceng terluka pundaknya dan sedang diperiksa oleh Kao Kok Cu. Akan tetapi ternyata luka itu tidak parah dan Kaisar marah sekali mendengar ucapan itu. Dia kini mengenal wajah para hwesio itu yang ternyata adalah suheng-suheng-nya sendiri saat dia belajar ilmu silat di Kuil Siauw-lim-si dahulu. Melihat bahwa masih ada seorang hwesio yang belum mati, Kaisar kemudian menghampiri dan membentak, “Pemberontak laknat, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian melakukan penyerbuan ini!”
Akan tetapi hwesio yang terluka oleh pukulan Syanti Dewi itu memandangnya dengan mata mendelik dan tidak menjawab. Dia hendak membunuh diri dengan membenturkan kepala di lantai, akan tetapi Kaisar telah mendahuluinya, menotok lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi.
“Hayo mengaku kalau engkau tidak ingin disiksa!” Kaisar membentak lagi, wajahnya berubah merah saking marahnya.
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba hwesio itu tertawa dengan mata terbelalak, dan tiba-tiba dia menutup mulutnya.
Melihat ini, Wan Tek Hoat cepat bergerak maju memegang dagunya dan memaksanya membuka mulut. Namun terlambat! Ketika mulut itu terbuka, mulut itu penuh darah dan lidahnya sudah putus oleh gigitannya sendiri! Sungguh mengerikan sekali melihat mulut terbuka itu penuh darah dan potongan lidahnya jatuh keluar. Syanti Dewi sendiri sampai membuang muka melihat pemandangan yang mengerikan itu.
Kaisar semakin marah. Hwesio ini sudah putus lidahnya, berarti tidak akan mau bicara dan tentu akan mati. “Cepat cari gadis itu! Cari sampai dapat dan tangkap hidup-hidup!” teriaknya kepada para pengawal yang segera lari cerai-berai untuk memenuhi perintah Kaisar itu.
Setelah para pengawal berserabutan lari untuk mengejar dan mencari gadis itu, baru Kaisar mempunyai kesempatan untuk memperhatikan empat orang penolongnya. Tentu saja dia mengenal Kao Kok Cu dan Wan Ceng, ayah dan ibu seorang panglimanya yang paling diandalkan, jaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong.
“Untung sekali kalian datang,” kata Kaisar ketika melihat dua orang suami isteri perkasa ini memberi hormat kepadanya. Kemudian dia mengangkat muka memandang kepada Wan Tek Hoat, lalu kepada Syanti Dewi dan wajahnya berubah, matanya mengeluarkan sinar berseri ketika dia memandang puteri itu dan agaknya pandang matanya enggan meninggalkan wajah yang luar biasa cantiknya itu.
“Dan siapakah orang gagah ini dan wanita cantik seperti bidadari ini?” tanyanya tanpa mengenal sungkan lagi.
Syanti Dewi menunduk dan memberi hormat dengan sikap sederhana, akan tetapi diam diam alisnya berkerut karena dia melihat pandang mata yang penuh nafsu di mata Kaisar itu yang ditujukan kepadanya. Juga Wan Tek Hoat melihat ini, akan tetapi dia pun menundukkan muka dengan sikap hormat.
Kao Kok Cu dan Wan Ceng tentu saja melihat pula sikap Kaisar, maka cepat-cepat Wan Ceng memberi keterangan, “Sri Baginda, dia ini adalah Kakak angkat hamba, yaitu puteri Bhutan bernama Syanti Dewi, bersama suaminya.”
Kaisar nampak tercengang dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya puteri Bhutan yang pernah membikin geger di istana belasan tahun yang lalu itu? Sungguh amat cantik luar biasa, dan memiliki kepandaian tinggi pula, pantas saja pernah membikin geger.”
Kao Kok Cu yang merasa tidak enak melihat betapa Kaisar yang mata keranjang ini agaknya tertarik sekali kepada Syanti Dewi, lalu maju dan berkata, “Sebaiknya kalau Paduka beristirahat lebih dahulu, biarlah hamba semua ikut membantu pengejaran terhadap gadis itu. Siapa tahu mereka itu masih mempunyai teman-teman yang tersebar di dalam istana, sehingga keselamatan Paduka masih terancam.”
Mendengar ucapan ini barulah Kaisar sadar akan keadaannya dan dia merasa betapa sikapnya tadi memang kurang sedap dipandang, apalagi mengingat bahwa wanita cantik ini disertai suaminya, bahkan suami isteri ini telah menyelamatkan dari ancaman bahaya maut. Kaisar lalu menarik napas panjang dan berkata dengan sikap ramah sekali, “Baiklah, akan tetapi kami minta kepada kalian berempat untuk bersama kami makan pagi sehingga terdapat banyak kesempatan bagi kita untuk bercakap-cakap. Nah, sampai jumpa besok pagi.”
Kaisar lalu diantar oleh selir dan para dayang, berikut pengawal pribadi untuk menuju ke sebuah kamar lain karena kamar itu telah dikotori oleh banyak darah. Keempat orang gagah itu lalu meninggalkan ruangan itu pula untuk membantu para pengawal mencari gadis yang buron tadi, juga mereka itu diam-diam merasa amat heran akan lenyapnya Pangeran Kian Liong yang tadinya datang bersama mereka akan tetapi yang kini tidak lagi nampak lagi batang hidungnya!
Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Memang tadi dia datang bersama dua pasang suami isteri itu. Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang menyerang Kaisar itu melarikan diri melalui jendela kamar ayahnya, Pangeran ini kemudian menyelinap dan melakukan pengejaran.
Dia tahu bahwa para penyerang ayahnya itu adalah orang-orang Siauw-lim-pai, maka diam-diam dia merasa menyesal sekali karena dia sudah dapat menduga pula apa yang menyebabkan orang-orang Siauw-lim-pai itu menyerbu istana dan menyerang ayahnya. Dan biar pun Pangeran ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia mengenal semua lorong dan jalan rahasia di dalam istana, maka dia dapat mengejar dan membayangi gadis yang melarikan diri itu.
Gadis itu sendiri merasa bingung. Memang ketika dia dan para susiok-nya (paman gurunya) menyelundup ke dalam istana, dia dan para susiok-nya itu menyamar sebagai pasukan pengawal. Akan tetapi dalam keadaan melarikan diri ini, tentu saja tidak mudah baginya untuk keluar dari lingkungan istana.
Di mana-mana terdapat penjaga dan bahkan kini di atas genteng pun nampak para penjaga! Maka dia lalu menyelinap dan memasuki lorong-lorong dan makin dalam dia masuk, makin bingunglah dia, tidak tahu mana jalan keluar lagi. Beberapa kali dia terpaksa mengambil jalan lain dan menyelinap sembunyi ketika hampir kepergok para penjaga.
Ketika dia tiba di lorong yang lebar, sepasukan penjaga melihatnya. Mereka berteriak mengejar dan terpaksa gadis itu lari lagi mengambil jalan lain. Selagi dia kebingungan karena dari mana-mana muncul penjaga, tiba-tiba sebuah pintu di sebelah kirinya terbuka dan muncul seorang pemuda yang memberi isyarat kepadanya dengan tangan agar dia masuk ke pintu itu. Dia merasa heran dan curiga.
“Sssttt.... ke sinilah, Nona....,” kata pemuda itu berbisik.
Gadis itu masih meragu, akan tetapi kini terdengar derap langkah para penjaga dan pengawal yang sedang mencari-carinya, maka dia kemudian menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang berwajah tenang dan tersenyum ramah.
“Masuklah dan engkau akan selamat dari pengejaran mereka,” pemuda itu berkata.
Karena tidak melihat jalan lain, gadis itu lalu memasuki pintu yang dibuka oleh pemuda itu, pedangnya masih tergenggam erat-erat di tangan kanannya. Untung dia bergerak cepat karena baru saja dia masuk, muncullah pasukan pengawal yang mengejarnya, tiba di depan pintu itu.
Si Pemuda masih berdiri di depan pintu dan kini menutupkan pintunya sedikit sehingga gadis itu tidak nampak dari luar. Gadis itu mengintai, pedangnya siap menusuk pemuda itu kalau Si Pemuda ternyata mengkhianatinya dan melapor kepada pasukan. Tetapi dia terheran-heran ketika melihat betapa semua pasukan, dipimpin oleh komandan mereka, memberi hormat kepada pemuda itu dan minta maaf kalau mereka itu mengganggu.
“Kalian ini mengapa ribut-ribut di sini dan sedang mencari apa?” tegur pemuda itu dengan lantang.
Komandan pasukan pengawal itu lalu menjawab dengan suara penuh hormat, “Harap maafkan jika hamba sekalian mengganggu Paduka Pangeran. Hamba sedang mencari seorang buronan, yaitu seorang gadis yang merupakan satu di antara para penyerbu yang mengacau di istana.”
“Hemm, aku sudah mendengar akan hal itu. Apakah belum tertangkap semua? Seorang gadis katamu? Sejak tadi aku berada di dalam taman dan tidak melihat seorang asing, apalagi seorang gadis. Pergilah kalian cari ke tempat lain.”
Pasukan itu memberi hormat dan pergi dari tempat itu. Derap kaki mereka makin menjauh dan akhirnya lenyap. Gadis itu memandang ke belakangnya. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman yang indah, yang cuacanya cukup terang dengan adanya lampu-lampu gantung beraneka warna menghias pohon-pohon di tempat indah itu.
Sunyi sekali di situ. Namun dia pun merasa terheran-heran ketika mendengar betapa pasukan tadi menyebut pemuda ini pangeran! Kecurigaannya timbul kembali. Seorang pangeran, putera Ai Seng Kiauw, putera Kaisar yang menjadi musuh besarnya! Dia menggenggam pedang itu erat-erat ketika pemuda itu menutupkan daun pintu yang menembus ke taman itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Pangeran Kian Liong tersenyum melihat dara yang masih amat muda itu memandangnya penuh curiga dengan pedang siap menyerang!
“Untuk sementara ini engkau aman, Nona.”
Pegangan pada gagang pedang itu mengendur, akan tetapi suaranya masih gugup ketika bertanya, “Paduka.... Paduka seorang pangeran....?”
Pangeran Kian Liong mengangguk. “Benar, dan namaku adalah Kian Liong.”
“Ahhh....!” Gadis itu nampak terkejut sekali dan memandang wajah Pangeran itu dengan bengong.
Pangeran Kian Liong tersenyum. Ada sesuatu pada wajah dan terutama pada pandang mata gadis ini yang luar biasa baginya. “Mari kita bicara di taman yang sunyi itu, Nona, dan ceritakan siapakah Nona dan mengapa Nona yang masih begini muda tersangkut dalam urusan percobaan membunuh Sri Baginda, hal yang amat berbahaya sekali.”
Sikap dan suara Pangeran Kian Liong yang halus dan penuh ketenangan itu dapat mendatangkan ketenangan pula dalam hati gadis itu dan dia pun menurut saja ketika diajak ke dalam taman, bahkan kini dia telah menyimpan kembali pedangnya di dalam sarung pedang yang disembunyikan di bawah mantelnya.
Mereka duduk berhadapan di atas bangku-bangku yang terukir indah di tengah-tengah taman, menghadapi sebuah kolam ikan di mana banyak terdapat ikan-ikan emas yang beraneka warna dan bentuk, yang berenang-renang di sekeliling bunga-bunga teratai merah dan putih.
“Nama hamba Souw Li Hwa, Pangeran dan hamba.... hamba…. sama sekali tidak memusuhi Sri Baginda Kaisar, hamba bukan seorang pemberontak, melainkan seorang murid yang hendak membalaskan dendam Guru hamba yang hidup sengsara karena perbuatan murid Siauw-lim-pai murtad Ai Seng Kiauw!” Gadis itu mulai menceritakan keadaan dirinya.
Pangeran Kian Liong mengangguk maklum. “Aku pun mengerti dan dapat menduga, Nona, akan tetapi betapa pun juga orang yang bernama Ai Seng Kiauw dan dahulu menjadi murid Siauw-lim-pai itu sekarang adalah Kaisar! Nah, ceritakanlah semuanya, apa yang telah terjadi sehingga engkau malam ini dengan nekat bersama beberapa orang hwesio Siauw-lim-pai menyerbu istana dan mencoba membunuh Kaisar.”
Souw Li Hwa lalu bercerita. Dia seorang anak yatim piatu yang kedua orang tuanya tewas ketika dusunnya diserbu perampok. Dia masih kecil, baru berusia lima tahun ketika hal itu terjadi dan dia sendiri diselamatkan oleh pendekar Siauw-lim-pai yang kemudian mengangkatnya sebagai murid dan merawatnya seperti anak sendiri. Li Hwa diberi pelajaran ilmu silat dan ketika dia berusia empat belas tahun, penolongnya yang juga merupakan gurunya dan pengganti orang tuanya itu menikah dengan seorang gadis cantik. Dia masih terus ikut gurunya, sebagai murid dan juga sebagai pembantu isteri gurunya yang juga amat sayang kepadanya.
Karena suami isteri itu tidak mempunyai anak biar pun mereka sudah menikah selama tiga tahun, maka mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai anak sendiri. Kemudian terjadilah mala petaka itu! Guru itu dan isterinya yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya dan yang memang memiliki wajah cantik itu, pergi mengunjungi Kaisar di istana. Kaisar adalah murid Siauw-lim-pai dan terhitung sute dari guru Li Hwa, maka kedatangan suami isteri itu diterima dengan amat ramah oleh Kaisar. Akan tetapi, watak mata keranjang Kaisar itu menimbulkan mala petaka hebat menimpa keluarga yang tadinya hidup dengan rukun dan bahagia itu.
“Ketika Suhu sedang asyik main catur bersama seorang thaikam, dan hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh Ai Seng Kiauw, maka isteri Suhu yang berada di dalam kamar seorang diri itu didatangi oleh Ai Seng Kiauw dan diperkosa. Memang tidak ada saksi atau bukti, akan tetapi apalagi yang menyebabkan isteri Suhu itu tiba-tiba menggantung diri dalam kamar itu? Suhu tidak berani menuduh Kaisar karena tidak ada bukti, akan tetapi peristiwa itu membuat Suhu menjadi sakit-sakitan dan bahkan akhir-akhir ini Suhu menderita tekanan batin yang membuat dia seperti orang yang tidak waras lagi....” Sampai di sini, gadis itu mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.
Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. Cerita ini tidak aneh baginya, karena memang dia pernah mendengar peristiwa yang terjadi kurang lebih setahun yang lalu itu.
Li Hwa kemudian melanjutkan ceritanya. Kiranya selagi masa mudanya dan menjadi murid Siauw-lim-pai, Ai Seng Kiauw bersama delapan orang lainnya yang juga menjadi murid-murid terpandai di Siauw-lim-pai merupakan sekelompok sahabat-sahabat akrab yang terkenal sebagai Sembilan Pendekar Siauw-lim-pai, demikianlah nama julukan yang mereka pilih dan mereka yang sembilan orang ini pernah bersumpah untuk saling setia. Di antara delapan orang ini termasuk pula guru Li Hwa, sedangkan tujuh orang lainnya adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-si, hanya Ai Seng Kiauw dan guru Li Hwa sajalah yang tidak menjadi pendeta.
“Karena menganggap semua perbuatan Ai Seng Kiauw sebagai hal yang keterlaluan, murtad dan mengotori nama baik Siauw-lim-pai, apalagi karena mengingat betapa Ai Seng Kiauw telah berbuat laknat terhadap Guru hamba dan berarti melanggar sumpah setianya sendiri, maka tujuh Susiok itu lalu mendukung niat hamba untuk membalas dendam. Akan tetapi....” Kembali gadis itu mengusap air matanya, “Ternyata kami telah gagal...., dan entah bagaimana nasib tujuh orang Susiok yang malang itu....”
Pangeran Kian Liong memandang tajam. Meski dia masih muda dan bukan merupakan seorang ahli silat yang pandai, namun pergaulan Pangeran ini amat luas dan dia sudah mengenal banyak sekali orang-orang pandai dan sakti. Dia melihat bahwa dara ini sebetulnya bukan merupakan seorang kang-ouw yang keras hati, melainkan seorang nona yang halus perasaannya.
Dan entah mengapa, baru pertama kali ini Pangeran Kian Liong merasa tertarik kepada seorang gadis. Terutama sepasang mata dari dara inilah yang membuat dia terpesona, sepasang mata yang membayangkan penderitaan batin yang amat mendalam dan menimbulkan rasa iba dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa dukanya hati nona ini.
“Nona, menyerbu istana merupakan perbuatan bodoh, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi, mengapa engkau meninggalkan tujuh orang Susiok-mu yang terkepung itu?”
Ditanya begini, dara itu nampak terkejut dan mukanya berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, suaranya terisak ketika dia menjawab. “Itu bukan kehendak hamba! Akan tetapi, Toa-susiok memaksa hamba.... dan.... dan hamba pikir.... kalau kami semua harus tewas, lalu siapa yang kelak akan membalas dendam? Usaha kami ini kali tidak berhasil, mungkin semua Susiok gugur, akan tetapi hamba masih hidup dan hamba akan....”
Tiba-tiba dia teringat bahwa dia berhadapan dengan seorang pangeran, putera dari Kaisar yang hendak dibunuhnya itu dan dia memandang dengan mata terbelalak! Dia menjadi bingung! Pemuda ini adalah putera Kaisar, yaitu putera musuh yang akan dibunuhnya, tetapi juga penolongnya, bahkan sampai saat itu keselamatannya mungkin berada di tangan Pangeran ini!
“Nona, mengapa Nona membiarkan diri terperosok ke dalam lembah dendam ini?”
“Betapa tidak? Hamba kehilangan orang tua, guru, sahabat.... dan hamba kehilangan satu-satunya orang yang selama ini mengasihi hamba.... dan kini, hamba seolah-olah ditinggal sendiri.... dan melihat penderitaan Suhu.... ah, apa yang dapat hamba lakukan kecuali berbakti dan membalas dendam kepada musuhnya?”
Pangeran Kian Liong menggeleng kepalanya sambil tersenyum penuh kesabaran. “Ahh, engkau masih terlalu muda, engkau tidak tahu dan hanya menurutkan perasaan saja, Nona. Apakah sebabnya engkau mendendam kepada Kaisar?”
“Hamba tidak mendendam kepada Kaisar, melainkan kepada Ai....”
“Ya, katakanlah mendendam kepada Ai Seng Kiauw. Mengapa?”
Gadis itu memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh kemarahan. “Karena dia membuat Suhu menjadi gila! Karena dia membunuh isteri Suhu!”
Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Benarkah itu? Suhu-mu itu menjadi sakit dan gila, menurut hematku karena kelemahannya sendiri, Nona.”
“Tidak, Suhu menjadi sakit karena kematian isterinya. Dan isterinya membunuh diri karena diperkosa....”
“Hemm, kalau dipikir secara demikian, memang segala ini ada sebab-sebabnya tentu. Misalnya, mungkin sikap isteri Suhu-mu terlalu manis, atau dia itu terlalu cantik, dan harus diingat lagi bahwa sebab terjadinya peristiwa itu adalah karena Suhu-mu datang mengunjungi Ai Seng Kiauw, dan malah membawa isterinya lagi!
Coba bayangkan, andai kata dia tidak datang ke istana, dan andai kata dia tidak membawa isterinya, dan andai kata isterinya itu tidak cantik, dan andai kata dia itu tidak tergila-gila main catur dan masih banyak andai kata lagi yang menjadi sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, mengapa Nona menyeret diri ke dalam dendam? Ingatlah bahwa Ai Seng Kiauw itu adalah kaisar, dan berusaha membunuh Kaisar, dengan dalih apa pun juga, merupakan pemberontakan!”
Gadis itu kelihatan semakin gelisah dan bingung mendengar ucapan pemuda itu.
“Tapi.... tapi.... kalau hamba diam saja.... berarti hamba menjadi seorang murid yang tidak berbakti....!”
Pangeran itu tersenyum lebar. “Ingat, Nona, tentu engkau tahu bukan siapakah aku ini? Aku adalah seorang pangeran, aku putera Kaisar, berarti aku putera seorang yang kau kenal sebagai Ai Seng Kiauw itu. Aku adalah putera musuh besar yang hendak kau bunuh! Dan apa yang kulakukan?
Alangkah mudahnya kalau aku mau mencontohmu untuk berbakti! Sekali berteriak engkau akan tewas dikeroyok pengawal. Akan tetapi aku tidak mau berbakti seperti itu, berbakti dengan membunuh orang! Nona, tidak dapatkah engkau berbuat seperti aku, menghapuskan segala macam dendam sehingga tidak akan ada permusuhan di antara kita?”
Gadis itu kelihatan semakin bingung. Belum pernah dia bertemu, bahkan mendengar pun belum, akan adanya seorang putera yang tidak memusuhi orang yang hendak membunuh ayahnya seperti Pangeran ini! Malah Pangeran ini menolongnya, biar pun sudah tahu bahwa dia datang untuk membunuh ayah Pangeran itu!
“Aku.... aku tidak tahu....”
“Apakah Nona menghendaki kalau Nona bermusuhan dengan Ayahku, kemudian aku pun memusuhimu? Tidak akan ada habisnyakah dendam-mendendam ini?”
“Tapi.... tapi Ayahmu.... dia jahat....”
Pangeran itu menarik napas panjang, dan menggeleng kepala, “Ayahku dahulu juga seorang pendekar, seorang gagah. Dan harus diakui bahwa dia seorang kaisar yang amat baik. Hanya dia mempunyai kelemahan, atau katakanlah dia sedang dalam keadaan sakit.... dan benarkah kalau kita harus membunuh orang yang sedang sakit? Ataukah tidak lebih tepat kalau kita berusaha mengobatinya?”
Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak orang berlarian, semakin lama semakin dekat. “Hemm, agaknya pasukan pengawal akan mencarimu ke tempat ini, Nona.”
Dara itu meloncat bangun dan mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong berkata, “Jangan, Nona. Percuma saja engkau melawan mereka.”
“Habis, apakah aku harus menyerahkan diri begitu saja?”
“Aku ada akal. Cepat Nona menyelam di dalam kolam ikan, dan sembunyikan kepala di bawah dan di antara daun-daun teratai. Cepat!”
Karena dia sendiri memang sedang bingung dan panik, Li Hwa tidak melihat akal lain dan dia pun lalu masuk ke dalam kolam ikan! Air kolam itu setinggi dadanya dan dia pun menekuk lututnya sehingga terbenam sampai ke bawah mulut dan dia menyembunyikan sisa kepalanya di antara daun-daun teratai, di bagian yang gelap dari kolam itu.
Ketika pasukan pengawal memasuki taman dan tiba di dekat kolam ikan itu, Pangeran Kian Liong sedang melempar-lemparkan batu-batu kecil ke tengah kolam, membuat air kolam itu tergerak-gerak dan agak berombak.
“Maaf, Pangeran,” kata seorang perwira pengawal setelah mereka semua memberi hormat. “Akan tetapi sebaiknya kalau Paduka masuk ke istana karena ada penjahat berkeliaran di sini. Tujuh orang sudah tewas, akan tetapi seorang dari mereka masih belum tertangkap.”
Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. “Tidak perlu kalian mengurus aku! Pergilah dan carilah dia sampai dapat. Dia tidak berada di sini. Hayo pergi dan jangan ganggu, aku lagi!”
Komandan itu dan pasukannya menjadi ketakutan melihat Sang Pangeran bicara dengan sikap marah itu. Dengan hormat mereka lalu mengundurkan diri dan baru setelah tidak terdengar lagi langkah-langkah kaki mereka, Pangeran memberi isyarat kepada Li Hwa untuk keluar dari dalam air.
Gadis itu keluar dan Pangeran Kian Liong memandang dengan terpesona. Karena basah maka pakaian gadis itu melekat pada tubuhnya dan seperti mencetak bentuk tubuh yang padat langsing itu.
“Terima kasih, Paduka telah menyelamatkan hamba, Pangeran.”
Baru Sang Pangeran sadar ketika mendengar ucapan itu dan timbul rasa kasihan melihat seluruh tubuh gadis itu basah kuyup. “Ah, engkau basah kuyup, Nona. Engkau bisa sakit nanti. Mari ikut denganku, engkau harus bertukar pakaian dan baru nanti kuantar engkau keluar dari dalam istana.”
Tanpa banyak cakap lagi Li Hwa lalu diajak pergi dari taman, memasuki kamar Sang Pangeran. Beberapa orang pelayan memandang heran, juga beberapa orang thaikam yang bertugas menjaga malam itu. Akan tetapi Sang Pangeran menaruh telunjuk pada mulutnya dan mereka itu berlutut dan tidak berani mengangkat muka, maklum bahwa Sang Pangeran minta agar mereka menutup mulut.
Mereka hanya merasa heran bukan main. Melihat Pangeran itu datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hal seperti itu tidak mendatangkan keheranan sungguh pun Pangeran Kian Liong bukan seorang pengejar wanita cantik. Akan tetapi datang bersama seorang gadis yang seluruh tubuhnya basah kuyup, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali.
Pangeran Kian Liong mengajak Li Hwa memasuki kamarnya dan menutupkan pintu kamar itu. Kemudian ia mengambil satu stel pakaiannya dan memberikannya kepada Li Hwa. “Nah, kau boleh berganti pakaian kering ini, Nona. Dengan pakaianku ini engkau akan menjadi seorang pemuda dan akan mudah untuk kuantar keluar dari istana tanpa mendatangkan kecurigaan. Pakailah, engkau dapat berganti pakaian di balik tirai itu.”
Li Hwa menerima pakaian itu dengan muka berubah merah, lalu dia pergi ke balik tirai hijau yang tergantung di sudut kamar, menanggalkan pakaiannya yang basah, lalu mengenakan pakaian Pangeran itu yang tentu saja agak terlalu besar untuknya. Ketika dia telah selesai dan keluar dari balik tirai sambil membawa pakaiannya yang basah dan sudah digulungnya, Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan kagum.
“Ah, engkau telah berubah menjadi seorang kongcu yang tampan sekali!”
Li Hwa menunduk dan mukanya menjadi merah. Makin lama dia merasa makin tertarik kepada Pangeran ini sebagai seorang yang amat bijaksana dan dapat menghargai orang kang-ouw, juga amat adil dan berpandangan luas. Sekarang dia bertemu dengan Pangeran ini dan menyaksikan sendiri tindak-tanduk Pangeran ini yang memang amat bijaksana.
“Sekarang, bagaimana selanjutnya, Pangeran?” tanya Li Hwa sambil mengangkat muka memandang pangeran itu.
Kembali Pangeran Kian Liong terpesona. Sekarang mereka berada di dalam kamarnya yang terang dan dia melihat dengan jelas wajah itu, sepasang mata itu dan dia merasa benar-benar kagum sekali hingga pertanyaan itu seperti tak terdengar olehnya. Melihat betapa Pangeran itu memandang bengong kepadanya, Li Hwa kembali menunduk dan barulah Sang Pangeran sadar.
“Ohhh.... sekarang.... hemm, biarlah sekarang aku akan mengantarmu sendiri sampai keluar dari istana. Tidak akan ada yang berani menyentuh selembar rambutmu, Nona. Kemudian, setelah tiba di luar istana, engkau boleh keluar dari kota raja dan kau pakailah cincinku ini. Dengan cincin ini dan sepucuk suratku ini, engkau akan dapat pergi ke mana pun juga tanpa ada yang berani mengganggumu.” Pangeran itu lantas meloloskan sebuah cincin bermata merah yang ada ukiran huruf-huruf namanya, berikut sampul surat yang ditulisnya ketika Li Hwa bertukar pakaian tadi.
Li Hwa menerima cincin dan sampul itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran. “Pangeran telah menyelamatkan hamba, hamba telah hutang nyawa kepada Paduka. Hamba tak mungkin dapat membalasnya dan....”
“Li Hwa, bangkitlah.” Sang Pangeran memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri. Mereka berdiri berhadapan dekat sekali dan kedua tangan Pangeran itu masih berada di atas pundak Li Hwa. “Engkau tak perlu membalas, tak perlu berterima kasih. Aku akan merasa girang sekali kalau engkau mau membuang jauh-jauh dendam dari hatimu itu.”
Dara itu menunduk, dan mengangguk, lalu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya bersinar lembut dan bisikannya menggetar. “Demi Paduka, mengingat akan kebijaksanaan Paduka, hamba berjanji akan membuang dendam itu, Pangeran. Kini hamba melihat bahwa memang tiada gunanya semua itu, bahkan Paduka sendiri yang semestinya yang menghukum hamba, bersikap begini mulia.”
“Bagus! Aku girang sekali, Li Hwa. Dan ingatlah, kelak.... kalau aku sudah menjadi kaisar....”
“Ya....?” Li Hwa mendesak, melihat pemuda bangsawan itu nampak malu-malu untuk melanjutkan ucapannya.
“....dan jika engkau masih bebas.... engkau boleh datang ke sini mengembalikan cincin ini...., dan engkau selamanya boleh tinggal bersamaku di dalam istana.... tentu saja di sampingku....”
Jantung Li Hwa berguncang keras, jalan darahnya menjadi cepat dan dia menundukkan muka sampai dagunya menempel di dada. Sungguh tak disangka-sangkanya sama sekali ucapan Pangeran ini!
Dia sudah merasa berhutang budi, putera Kaisar yang sepatutnya menyerahkannya kepada pengawal, yang sepatutnya menghukumnya sebagai seorang pemberontak yang berusaha membunuh Kaisar, bukan hanya malah menyelamatkannya, menolongnya, bahkan kini secara tidak langsung mengaku cinta kepadanya dan minta dia untuk kelak mendampinginya atau menjadi isterinya!
Rasa haru yang amat mendalam membuat Li Hwa memejamkan matanya, hampir tidak percaya akan kata-kata yang didengarnya tadi. Kalau Pangeran ini bersikap kasar atau merayunya, mencoba untuk memperkosanya, hal itu tidak akan mengherankan hatinya, bahkan tadi dia sudah mempunyai dugaan seperti itu dan diam-diam sudah mengambil keputusan bahwa kalau Pangeran itu mencoba untuk memperkosanya atau bersikap kurang ajar kepadanya, dia akan membunuh Pangeran itu lalu mengamuk sampai titik darah terakhir.
Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Sang Pangeran ini bukan saja telah menyelamatkannya, bahkan bersikap amat sopan dan baik sekali kepadanya, bahkan kini menyatakan cintanya dengan cara tidak langsung, malah meminangnya secara tidak langsung pula!
Dia merasa terharu sekali, dan merasa terpukul betapa tadi dia merasa curiga dan mengira bahwa Pangeran itu akan memperkosanya….
Akan tetapi segera ia mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat kakek yang luar biasa ini, sehingga belum sampai tiga puluh jurus dia sudah kena ditendang terpelanting sampai beberapa meter jauhnya!
Melihat ini, beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di situ dan merasa penasaran sudah maju berturut-turut, akan tetapi empat lima orang yang maju itu satu demi satu dapat dirobohkan dengan mudah oleh kakek pucat itu. Sambil tertawa-tawa kakek itu menantang.
“Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak mencoba kepandaian?”
Semua orang menjadi gentar dan melihat betapa kakek itu dengan mudah menjatuhkan para lawan itu, tanpa membunuhnya, tidak ada yang lebih dari dua puluh jurus, tahulah mereka bahwa kakek ini sungguh merupakan seorang yang lihai sekali. Melihat ini Ouw Yan Hui sebagai nyonya rumah merasa malu dan terhina sekali. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan sekali berkelebat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan kakek itu.
“Ha-ha-ha, tidak bohonglah berita yang mengatakan bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, penghuni Pulau Kim-coa-to, memiliki ginkang yang amat hebat. Nah, ini namanya baru lawan yang boleh ditandingi. Majulah, Bu-eng-kwi, aku hendak melihat sampai di mana kehebatanmu!”
“Pengacau jahat, menggelindinglah!” bentak Ouw Yan Hui.
Wanita ini sudah menerjang dengan amat cepatnya. Gerakannya memang luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jari tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan yang botak itu, sedangkan dua jari tangan kanan sudah menusuk ke arah kedua mata lawan! Hebat sekali serangan ini, dan kakek itu pun mengeluarkan suara kaget dan cepat melempar tubuh ke belakang.
“Hebat, ginkang yang hebat!” kakek itu memuji.
Akan tetapi Ouw Yan Hui sudah menyerang lagi dengan lebih cepat dan lebih ganas karena dia merasa penasaran. Tetapi, kakek itu dapat menangkis dan balas menyerang. Terjadilah serang-menyerang, pertandingan yang seru bukan main, dan jauh lebih seru dibandingkan dengan yang sudah-sudah tadi.
Wanita itu memang mempunyai ginkang yang hebat, sukar dicari bandingnya di dunia kang-ouw. Tubuhnya seperti seekor burung saja yang beterbangan dan berkelebatan ketika mengelak atau balas menyerang. Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki ilmu silat yang amat hebat, dan lebih lagi, dalam hal tenaga sinkang Ouw Yan Hui kalah jauh, maka biar pun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, tetap saja setelah lewat tiga puluh jurus, dia kena ditampar pundaknya sampai terlempar dan terguling-gullng.
Melihat ini, Syanti Dewi marah sekali dan sambil mengeluarkan lengking panjang dia telah meloncat dari tempat duduknya seperti terbang saja dan tahu-tahu dari atas dia sudah menyambar dengan pukulan tangan terbuka ke arah kepala kakek itu.
“Plakk!” Pukulan itu kena ditangkis dan tubuh Syanti Dewi terlempar! Untung dia dapat berjungkir balik dengan cepat sehingga tidak jatuh terbanting.
Pangeran sudah memberi isyarat kepada para pengawal untuk maju membantu Syanti Dewi, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Sam-ok, engkau sungguh keterlaluan!”
Nampaklah kini seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan dan bermuka penuh cambang dan kumis meloncat ke tengah panggung berhadapan dengan kakek tinggi besar. Semua orang memandang, begitu juga Syanti Dewi.
Akan tetapi, begitu memandang wajah tertutup brewok itu, seketika wajah Syanti Dewi menjadi pucat sekali, kedua matanya terbelalak, dan tiba-tiba dia mengulurkan kedua tangan ke arah pengemis itu, mulutnya mengeluarkan jerit melengking dan tubuhnya roboh terguling!
Ketika Ouw Yan Hui cepat merangkulnya, ternyata Sang Puteri itu telah jatuh pingsan! Sejenak Tek Hoat memandang ke arah Syanti Dewi, dan ketika melihat betapa Syanti Dewi dipondong masuk oleh Ouw Yan Hui, dia pun lalu menghadapi lagi kakek raksasa itu.
“Sam-ok, tidak perlu engkau menyembunyikan lagi mukamu di belakang kedok, karena aku telah mengenalmu! Para tamu sekalian, ketahuilah bahwa kakek yang menutupi mukanya dengan kedok kulit tipis ini bukan lain adalah, Sam-ok, yaitu orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, atau juga Ban-hwa Sengjin, bekas koksu dari Negara Nepal! Orang ini mempunyai niat tidak baik terhadap Sang Pangeran, bahkan inilah orangnya yang mengatur segala pencegatan dan penculikan terhadap Pangeran!”
Setelah berkata demikian, dengan cepat Tek Hoat sudah menyerang dengan pukulan maut ke arah leher Sam-ok. Kakek itu yang merasa bahwa tak perlu menyembunyikan dirinya lagi, tertawa dan sekali renggut saja kedok kulit tipis yang menutupi mukanya terbuka dan nampaklah wajah aslinya. Dia masih sempat tertawa-tawa, akan tetapi segera dia harus mencurahkan perhatiannya karena sekali ini dia menghadapi Si Jari Maut, seorang yang amat lihai, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan semua lawannya yang tadi. Maka dia pun mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya. Sementara itu, ketika para tamu mendengar bahwa kakek itu adalah Sam-ok atau bekas Koksu Nepal yang hendak mencelakai Pangeran Mahkota, mereka menjadi marah.
“Tangkap musuh negara!”
“Bunuh penjahat itu!”
Bukan hanya orang-orang kang-ouw, juga sekarang Souw Kee An telah mengerahkan pasukannya untuk mengepung dan mulai bergerak, sedangkan para anak buah Pulau Kim-coa-to juga digerakkan oleh Ouw Yan Hui yang merasa terkejut bukan main mendengar bahwa kakek itu adalah orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok!
Dan pada saat itu muncullah berturut-turut empat orang yang amat mengejutkan semua orang. Mereka itu bukan lain adalah Toa-ok Su Lo Ti, kakek yang bermuka gorila, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, nenek yang berkedok tengkorak, Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio cebol dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu yang tingginya dua setengah meter lebih itu. Kini lengkaplah sudah Im-kan Ngo-ok muncul di situ setelah Tek Hoat tadi membuka kedok Sam-ok!
Melihat ini, para tamu, tentu saja mereka yang mempunyai kepandaian, telah menerjang ke depan, membantu para pasukan pengawal dan para anak buah Pulau Kim-coa-to, mengeroyok lima orang datuk kaum sesat itu.
Akan tetapi, lima datuk itu bukanlah orang-orang sembarangan sehingga dalam waktu singkat saja sudah banyak prajurit pengawal, anak buah Kim-coa-to dan orang-orang kang-ouw yang roboh terjungkal. Hanya Wan Tek Hoat dan Souw Kee An, dibantu oleh para prajurit pengawal, yang masih terus melawan. Tek Hoat masih bertanding dengan amat hebatnya melawan Sam-ok, keduanya tidak mau mengalah dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka sehingga bayangan mereka seolah-olah telah menjadi satu.
Namun setelah Ji-ok membiarkan ketiga orang saudaranya menghadapi pengeroyokan para pengawal dan dia sendiri membantu Sam-ok, Tek Hoat menjadi terdesak hebat. Memang hebat sekali sepak terjang Tek Hoat. Biar pun dia menghadapi orang ke dua dan ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, dia masih mampu melindungi dirinya, bahkan membalas dengan tamparan-tamparannya yang amat dahsyat. Akan tetapi ketika Toa-ok maju pula dengan pukulan yang mendatangkan angin yang amat kuatnya, Tek Hoat menjadi repot sekali dan akhirnya sebuah pukulan yang amat keras dari tangan kiri Sam-ok mengenai punggungnya.
“Ughhhhh....!”
Tek Hoat muntahkan darah segar, akan tetapi dia masih sigap dan cepat melompat ke belakang, kemudian mengamuk lagi tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang telah terluka di sebelah dalam oleh hantaman telapak tangan Sam-ok tadi. Kegagahannya ini membuat para lawannya menjadi kagum juga.
“Jari Maut, jangan khawatir, kami datang membantumu!” Tiba-tiba terdengar suara halus namun mendatangkan getaran amat kuatnya, dan nampaklah berkelebatnya bayangan dua orang ke tempat itu.
Wan Tek Hoat girang sekali. “Naga Sakti Gurun Pasir! Bagus engkau datang! Dan Ceng Ceng! Bagus, kau bantulah saudaramu yang sudah kepayahan ini!”
Yang datang itu adalah seorang laki-laki yang perkasa yang buntung lengan kirinya, berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian sederhana dan memiliki sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, bersama seorang wanita cantik sekali biar pun usianya sudah hampir empat puluh tahun, dan masih lincah sekali. Mereka ini adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isteri yang menjadi penghuni Istana Gurun Pasir, ayah bunda dari Jenderal Muda Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu!
“Huhh, baru dikeroyok oleh lima siluman kecil itu saja engkau sudah kerepotan, Tek Hoat!” nyonya itu mengejek pengemis yang sedang repot didesak tiga orang lawannya itu. “Dan engkau kini telah menjadi jembel, ganti saja julukanmu menjadi Jembel Maut! Hi-hi-hik!”
“Wah, engkau masih cerewet seperti dulu juga, Ceng Ceng. Bantu sajalah, mengapa cerewet?” Tek Hoat mencela.
Memang dua orang ini sejak dulu suka ribut saja kalau jumpa, sungguh pun di dalam hati mereka terdapat kasih sayang yang besar karena mereka itu adalah saudara seayah berlainan ibu, bernasib sama pula karena mereka dilahirkan sebagai anak-anak haram, ibu mereka telah menjadi korban perkosaan ayah mereka. Bahkan pada waktu muda, keduanya hampir saling jatuh cinta ketika mereka belum mengetahui bahwa mereka itu sesungguhnya seayah.
Ceng Ceng masih mengejek, akan tetapi sambil mengejek dia sudah menerjang Ji-ok, sedangkan suaminya, Si Naga Gurun Pasir yang pendiam, telah menerjang Toa-ok. Sekali terjang saja, Toa-ok yang mencoba menangkis itu telah terjengkang!
Bukan main kagetnya hati Im-kan Ngo-ok ketika melihat munculnya pria berlengan satu yang amat sakti ini. Mereka mengenal siapa adanya Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka mereka kini tahu bahwa kini keadaan menjadi berbalik dan mereka terancam bahaya. Maka, setelah melawan beberapa lamanya dan mereka terdesak hebat, Sam-ok yang merupakan otak mereka biar pun dia itu orang ke tiga, bersuit nyaring dan lima orang itu lalu berlompatan jauh dan melarikan diri.
Tek Hoat terhuyung-huyung dan terguling, pingsan. Pukulan yang tadi diterimanya dari Sam-ok amat hebat. Melihat ini Ceng Ceng cepat menubruk kemudian memeriksanya. Suaminya juga mendekati dan tidak mengejar lima orang datuk sesat itu yang segera melarikan diri ke perahu mereka dan cepat berlayar pergi meninggalkan pulau yang kini terlalu berbahaya bagi mereka itu.
“Bagaimana dia?” Kao Kok Cu, Si Naga Sakti bertanya kepada isterinya sambil turut memeriksa.
“Agaknya dia mengalami luka di dalam tubuhnya. Lihat ini punggungnya,” kata Wan Ceng.
Punggung yang telah dibuka bajunya itu nampak kebiruan. Kao Kok Cu kemudian menempelkan telapak tangannya untuk mengobati Tek Hoat. Sementara itu, Pangeran Mahkota yang sejak tadi tenang-tenang saja menonton pertempuran, kini menghampiri dengan wajah girang.
“Wah, untung ada Paman Kao dan Bibi yang datang!” katanya.
Melihat Pangeran yang mereka kenal baik ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng menjura dan Kao Kok Cu lantas melanjutkan pengobatannya. Sementara itu, Wan Ceng bercerita kepada Pangeran. “Kami bertemu dengan Cin Liong. Dia masih sibuk setelah membuat pembersihan di barat dan dia mengatakan bahwa Paduka berada dalam bahaya, dan dia minta kepada kami untuk menyusul ke Pulau Kim-coa-to ini. Kami terlambat, akan tetapi untung ada saudara hamba Si Jari Maut ini yang menghadapi Im-kan Ngo-ok yang berbahaya.”
“Hemm, jadi Paman pengemis itu adalah saudara Bibi, ya? Dan dia itu Si Jari Maut? Pantas demikian lihainya. Dia pernah menyelamatkan aku dari para perampok pula. Ah, tidak kusangka bahwa dialah orangnya.... pantas Enci Syanti Dewi pingsan seketika setelah tadi melihatnya.”
“Syanti Dewi? Di mana dia sekarang?” tanya Wan Ceng dengan girang. Memang dia sudah mendengar bahwa Syanti Dewi berada di pulau itu, maka dia bersama suaminya yang menyusul Sang Pangeran itu sekalian hendak menjenguk Puteri Bhutan itu yang menjadi saudara angkatnya.
“Dia tadi pingsan ketika melihat Si Jari Maut dan digotong ke dalam oleh Ouw-toanio.” Mendengar ini, Wan Ceng lalu bangkit berdiri dan setelah melihat bahwa Tek Hoat tidak berbahaya keadaannya, dia lalu lari memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi.
Ternyata Syanti Dewi telah mengalami kejutan yang menggoncangkan batinnya. Melihat munculnya Tek Hoat dalam keadaan seperti jembel, dia terkejut, terheran, dan terharu sehingga dia jatuh pingsan. Melihat Ceng Ceng memasuki kamar itu, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya.
Akan tetapi Ceng Ceng berkata dengan suara berwibawa. “Minggirlah, biar kuperiksa Enci Syanti.”
Akan tetapi Ouw Yan Hui masih memandang dengan curiga. “Aku adalah Candra Dewi, saudara angkatnya.” Ceng Ceng memperkenalkan diri.
Mendengar ini, barulah Ouw Yan Hui bangkit. Kiranya inilah dia orangnya yang sering dibicarakan Syanti Dewi, wanita yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti dari Gurun Pasir itu!
Ceng Ceng kemudian memeriksa keadaan Syanti Dewi. Tahulah dia bahwa saudara angkatnya itu mengalami pukulan batin yang mengguncangkan jantungnya dan perlu beristirahat.
“Dia tidak berbahaya akan tetapi perlu beristirahat, biarlah saya menjaganya di sini,” katanya lagi kepada Ouw Yan Hui.
Ouw Yan Hui mengangguk, lalu dia keluar. Sebagai nyonya rumah, tentu saja dia harus mengatur keadaan di luar yang tadi menjadi kacau oleh Im-kan Ngo-ok. Di ruangan itu dia melihat Pangeran bersama Naga Sakti Gurun Pasir berlutut di dekat tubuh Si Jari Maut yang masih pingsan, sedangkan Souw-ciangkun repot mengurus anak buahnya yang luka-luka.
Ouw Yan Hui lalu mengepalai anak buahnya untuk membersihkan tempat, mengangkuti yang luka ke belakang dan mempersilakan para tamu untuk duduk kembali dan memerintahkan para pembantunya menyuguhkan minuman baru.
Sementara itu, Tek Hoat siuman dari pingsannya. Begitu membuka mata, dia segera bangkit duduk. Melihat di situ terdapat Kao Kok Cu dan Pangeran, pandang matanya liar mencari-cari ke kanan kiri.
“Mana dia....? Ke mana dia....?”
“Engkau mencari siapa?” Kao Kok Cu bertanya karena ketika pendekar ini tadi datang bersama isterinya, dia tidak melihat Syanti Dewi.
Akan tetapi Pangeran Kian Liong mengerti. Setelah dia mendengar bahwa pendekar yang seperti pengemis ini ternyata Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka tahulah dia mengapa Syanti Dewi pingsan ketika melihatnya. Dia tahu bahwa inilah pria yang diceritakan oleh Syanti Dewi kepadanya, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicinta dan masih dicinta oleh Sang Puteri itu. Maka Pangeran pun tersenyum.
“Paman, engkau mencari Syanti Dewi? Dia berada di dalam gedung, engkau susullah dia ke sana.” Dan dia menuding ke arah gedung. “Akan tetapi, keadaanmu seperti ini, Paman. Sebaiknya kalau engkau berganti pakaian lebih dahulu...., tidak baik engkau bertemu dengannya dalam pakaian seperti ini....”
Wan Tek Hoat bangkit berdiri dan menggelengkan kepalanya, memandang kepada Pangeran itu dengan sinar mata berterima kasih. “Biarlah, Pangeran. Biarlah hamba menemuinya seperti ini, biar dia melihat keadaan hamba yang sebenarnya.” Setelah berkata demikian, dia pun berjalan cepat memasuki gedung.
Melihat itu, Kao Kok Cu menggeleng kepala dan berkata, tidak langsung ditujukan kepada Sang Pangeran, seperti bicara kepada diri sendiri, “Sungguh dia itu menyiksa diri sendiri sampai sedemikian rupa....”
“Akan tetapi dia tidak menderita seorang diri, juga Enci Syanti Dewi menderita batin hebat sekali karena dia. Cinta asmara antara dua orang itu memang sungguh amat luar biasa sekali,” kata Sang Pangeran.
Pendekar berlengan satu itu memandang kepada Sang Pangeran dan tersenyum, sinar matanya yang mencorong itu menatap kagum. Pangeran ini masih begini muda, akan tetapi nampaknya memiliki kebijaksanaan yang besar dan pandangannya mendalam sekali. “Jadi Paduka telah mengetahui apa yang terjadi di antara mereka berdua?”
Pangeran itu mengangguk. “Enci Syanti telah bercerita kepadaku dan karena Si Jari Maut itulah maka sampai sekarang Enci Syanti tidak mau menyerahkan hatinya kepada pria lain sehingga tadi terpaksa aku turun tangan untuk membantunya.”
Dengan singkat Sang Pangeran lalu bercerita tentang sayembara ‘menangkap’ Syanti Dewi tadi dan dia maju untuk membantu Sang Dewi keluar dari pulau itu tanpa harus menyinggung perasaan Ouw Yan Hui yang telah menanam banyak sekali budi terhadap Syanti Dewi.
Mendengar penuturan Pangeran itu, Kao Kok Cu menarik napas panjang. Ia termenung sebentar, kemudian berkata lirih. “Mereka itu saling mencinta dan patut dipuji kesetiaan mereka. Mudah-mudahan saja pertemuan sekali ini akan membuat mereka bersatu dan takkan terpisah kembali.”
Mereka berhenti bicara ketika Ouw Yan Hui datang menghampiri. Wanita ini menjura kepada Kao Kok Cu dan berkata, “Harap maafkan bahwa baru kini saya mengetahui bahwa Taihiap adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya amat terkenal itu. Dan saya menghaturkan terima kasih atas bantuan Taihiap dan isteri Taihiap yang telah mengusir Im-kan Ngo-ok yang datang mengacau di sini. Adik saya, Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang keluarga Taihiap, terutama tentang isteri Taihiap.”
Melihat sikap yang ramah ini, Kao Kok Cu balas menjura dan berkata, “Memang, Enci Syanti Dewi adalah kakak angkat dari isteri saya.”
Mereka lalu dipersilakan duduk di tempat kehormatan dan pesta yang tadi terganggu itu dilanjutkan, biar pun kini para tamu saling bicara sendiri, membicarakan peristiwa yang baru terjadi. Kemunculan Im-kan Ngo-ok itu saja telah mengejutkan dan mengherankan semua orang karena sebagian besar dari mereka baru sekali itu berkesempatan melihat datuk-datuk kaum sesat yang namanya sudah sering mereka dengar itu.
Apalagi kemudian muncul Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya seperti dongeng, sebagai penghuni Istana Gurun Pasir yang tidak kalah terkenalnya dengan nama-nama seperti Istana Pulau Es! Dan menyaksikan betapa Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tadi menghadapi Im-kan Ngo-ok, bersama Si Jari Maut yang juga telah mereka dengar namanya, membuat para tokoh kang-ouw itu kagum bukan main. Tak mereka sangka bahwa di Pulau Kim-coa-to itu mereka akan menyaksikan perkelahian tingkat atas yang demikian hebatnya.
Sementara itu, dengan jantung berdebar dan kedua kaki gemetar, Tek Hoat memasuki ruangan di mana Syanti Dewi masih rebah ditunggu oleh Wan Ceng. Dia ingin berjumpa dengan Syanti Dewi, sebentar saja, untuk minta ampun atas semua kesalahan dan dosanya. Dia tak ingin mengganggu Syanti Dewi, ingin membiarkan wanita itu bahagia bersama Pangeran, bahkan tadinya dia sudah hendak meninggalkan tempat itu tanpa diketahui seorang pun.
Akan tetapi, melihat Syanti Dewi terancam bahaya, tentu saja tak mungkin mendiamkan begitu saja dan ketika dia muncul dan melihat wanita itu roboh pingsan, hatinya seperti diremas-remas rasanya. Kini tak mungkin dia pergi tanpa menengok dulu bagaimana keadaan wanita itu, dan minta ampun. Kalau Syanti Dewi sudah mengampuni, barulah dia akan hidup dengan hati bebas dari pada penyesalan.
Pengampunan dari Syanti Dewi akan merupakan dorongan hidup baru baginya, dan kebahagiaan Syanti Dewi, biar pun di samping pria lain, akan membuat dia rela untuk menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan bebas dan dia tentu akan merasa seperti hidup kembali, tidak seperti sekarang seolah-olah terbelenggu oleh rasa penyesalan dan kedukaan!
“Syanti....!” Dia memanggil lirih ketika melihat wanita itu masih rebah telentang di atas pembaringan dengan muka pucat dan tidak bergerak seperti telah mati, sedangkan Ceng Ceng duduk di atas bangku dekat pembaringan.
“Ssttt....!” Wan Ceng menengok dan menyentuh bibirnya. “Biarkan dia beristirahat, dia mengalami guncangan batin yang cukup parah.”
“Syanti....!” Tek Hoat mengeluh dan dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, menatap wajah itu dengan penuh kerinduan, penuh keharuan dan penuh penyesalan mengapa dia sampai menyiksa hati seorang dara seperti ini! Dua titik air mata membasahi bulu matanya dan melihat ini, Wan Ceng menjadi terharu.
Dipegangnya tangan saudara tirinya itu. “Tek Hoat, mengapa engkau sampai menjadi begini? Bukankah dahulu engkau dan Syanti Dewi berada di Bhutan, engkau malah menjadi panglima dan kalian akan kawin....?”
Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Ceng Ceng, aku memang bodoh, aku seorang laki-laki yang tidak berharga sama sekali, apalagi untuk menjadi suaminya, bahkan mendekatinya pun aku terlalu kotor. Akan tetapi aku tak mungkin kuat untuk hidup lebih lama lagi sebelum mendapat pengampunannya.... maka aku datang untuk minta ampun kepadanya....”
Wan Ceng menatap wajah pengemis itu dan tak dapat menahan runtuhnya air matanya. Dia merasa kasihan sekali kepada saudaranya ini. “Tek Hoat...., Tek Hoat, mengapa engkau menyiksa hatimu sampai begini? Kenapa engkau begini sengsara, Saudaraku?” Dia memegang lengan yang tegap kuat itu.
Tek Hoat menunduk. “Entahlah, mungkin darah yang jahat dari Ayah kita lebih banyak mengalir dalam tubuhku. Biarlah, Ceng Ceng, biarlah aku yang menanggung semua dosa Ayah kita.... kudoakan saja agar engkau berbahagia.... biarlah aku seorang yang menanggungnya....”
“Tek Hoat....!” Wan Ceng sejenak merangkul pundak itu, kemudian dia bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, sebaiknya membiarkan dua orang itu bertemu dan bicara berdua saja, setelah Syanti Dewi sadar.
Tetapi Tek Hoat tidak bangkit dari berlututnya. Dia mengambil keputusan untuk terus berlutut sampai menerima pengampunan dari mulut Syanti Dewi! Dia memperhatikan pernapasan Syanti Dewi dan merasa lega bahwa keadaan wanita itu memang tidak lagi mengkhawatirkan, dan agaknya Syanti Dewi dalam keadaan tidur.
Satu jam lebih Tek Hoat berlutut di depan pembaringan dan akhirnya Syanti Dewi mulai bergerak, membuka mata dan mulutnya berbisik, “Tek Hoat...., Tek Hoat....”
Tek Hoat merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Syanti Dewi memanggil-manggil dia!
“Aku.... aku di sini....,” katanya dengan suara gemetar dan muka menunduk, tidak berani memandang wanita itu.
Syanti Dewi bangkit duduk, matanya terbelalak dan ketika dia melihat pengemis yang berlutut di depan pembaringan itu, dia mengeluh, “Tek Hoat....!” isaknya membuat dia sesenggukan dan tak kuasa mengeluarkan suara lagi. Setiap dia memandang keadaan pria itu, dia mengguguk menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari-jari tangannya.
“Syanti.... Syanti Dewi.... ampunkanlah aku.... aku datang hanya untuk minta ampun kepadamu, kau ampunkanlah aku, Syanti.... agar aku dapat melanjutkan hidup ini....”
“Tek Hoat....” Sejak tadi Syanti Dewi hanya mampu menyebut nama ini, nama yang sudah terlalu sering disebutnya dalam mimpi, bahkan yang selalu bergema di dalam hatinya semenjak dahulu sampai sekarang.
“Syanti.... aku tidak ingin mengganggumu, sungguh mati.... biar aku dikutuk Tuhan jika aku berniat buruk kepadamu.... tidak, lebih baik aku mati dari pada mengganggumu, Syanti. Aku tadinya sudah hendak pergi diam-diam, tapi.... tapi Im-kan Ngo-ok muncul dan kau terancam.... sekarang, kau katakanlah bahwa engkau sudi mengampuniku.... biar kucium ujung sepatumu, Syanti, kau ampunkanlah aku.... biarkan aku berani untuk melanjutkan hidup yang tak berapa lama lagi ini....”
“Tek Hoat.... duhai, Tek Hoat.... mengapa engkau sampai menjadi begini....?” Syanti Dewi berkata, terengah-engah dan tersedu-sedu, dan kini tangan dengan jari-jari halus itu meraba kepala Tek Hoat, meraba muka yang penuh brewok itu, meraba baju yang penuh tambalan, jari-jari tangan yang gemetar. “Mengapa.... mengapa engkau menjadi begini....?”
“Sudah sepatutnya aku menerima hukuman, Syanti, memang sudah sepatutnya aku manusia rendah ini hidup dalam keadaan yang serendah-rendahnya. Tapi aku belum merasa puas kalau belum mendapat ampun darimu, Syanti...., kau ampunkanlah aku.... kau ampunkanlah aku....” Dan pria itu lalu menunduk, hendak mencium ujung sepatu Syanti Dewi.
“Tek Hoat, jangan....!” Dan kini Syanti Dewi juga merosot turun dari atas pembaringan, ikut berlutut di depan Tek Hoat dan merangkulnya!
Tek Hoat terkejut. Dia mundur dan terbelalak. “Jangan begitu, Syanti. Janganlah kau mengotorkan dirimu. Sungguh, aku tak ingin mengganggumu. Engkau.... engkau sudah sepatutnya, sungguh pantas menjadi isterinya Pangeran Mahkota, dan kelak…. kelak menjadi permaisuri.... Wahai Syanti Dewi, sungguh mati aku ikut merasa amat bahagia melihat kebahagiaanmu....”
Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak. “Apa katamu? Engkau.... engkau akan merasa girang kalau aku menjadi isteri orang lain? Kau.... kau rela....?”
“Tentu saja, Syanti Dewi. Aku merelakan semuanya, apa pun…. bahkan nyawaku, demi kebahagiaanmu....”
“Kalau begitu, engkau.... engkau sudah tidak cinta lagi kepadaku?”
“Ehhh....? Mengapa engkau bertanya demikian? Syanti Dewi.... aku..... cintaku.... ahhh, orang macam aku ini mana ada harganya bicara tentang cinta? Kau ampunkan aku, Syanti....”
“Tidak! Kalau engkau merelakan aku menjadi isteri orang lain, sampai mati pun aku tidak akan mengampunimu. Tek Hoat.... Tek Hoat.... sampai usia kita sudah tua begini, apakah engkau masih belum dewasa? Bertahun-tahun aku menantimu di sini, sampai hampir mati rasanya aku menantimu, dan kini.... begitu engkau muncul.... engkau hanya mau menyatakan bahwa engkau rela kalau aku menjadi isteri orang lain! Ya Tuhan, tidak akan ada hentinyakah engkau merusak, menghancurkan hati dan perasaanku, Tek Hoat?” Syanti Dewi lalu menangis lagi sesenggukan.
Tek Hoat yang masih berlutut itu memandang bengong bagai orang kehilangan ingatan, atau seperti orang yang teramat tolol. Semua ucapan dan sikap Syanti Dewi sungguh tak pernah terbayangkan olehnya sehingga dia terkejut dan kesima. Akhirnya dia dapat juga berkata-kata, karena dia harus mengatakan sesuatu melihat Syanti Dewi menangis mengguguk seperti itu.
“Tetapi.... tetapi, Syanti.... aku melihat sendiri, mendengar sendiri betapa engkau telah memilih Pangeran Mahkota menjadi jodohmu.... malah aku bersyukur....”
Tek Hoat tidak melanjutkan kata-katanya karena Syanti Dewi sudah menurunkan kedua tangannya, dan melalui air matanya memandang kepadanya seperti orang merasa penasaran dan marah.
“Tentu saja engkau tak tahu! Yang kau ketahui hanya dirimu sendiri saja, kesusahanmu sendiri saja! Pangeran sengaja melakukan itu untuk menolongku, mengertikah engkau? Aku tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain dan sudah kukatakan ini kepada Pangeran yang menjadi sahabatku terbaik, maka dialah yang akan membantuku keluar dari sini tanpa menyinggung perasaan Enci Ouw Yan Hui. Aahhh, masih perlukah aku menjelaskan semuanya lagi? Tidak cukupkah kalau aku katakan bahwa aku tidak dapat menikah dengan orang lain kecuali dengan engkau? Bahwa hanya engkaulah satu satunya pria yang pernah kucinta, yang masih kucinta, dan yang selamanya akan kucinta? Atau haruskah aku bersumpah kepadamu?”
Dua mata Tek Hoat menjadi basah dan air matanya menggelinding turun satu-satu. Dia bangkit berdiri, memandang wanita itu, sinar harapan baru muncul dalam pandang matanya. “Syanti.... Syanti Dewi...., be.... benarkah itu? Benarkah itu....?”
“Bodoh! Engkau laki-laki canggung yang bodoh! Ahhh, betapa gemas hatiku....! Mari, mari kubuktikan....!”
Kini Syanti Dewi bangkit berdiri dan menyambar tangan kiri Tek Hoat, digandengnya tangan kiri pria itu dengan tangan kanannya, lalu diseretnya Tek Hoat keluar sehingga keduanya setengah berlari menuju ke ruangan itu. Di situ nampak Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong sedang bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan Kao Kok Cu, sedangkan para tamu sedang bercakap-cakap sendiri dengan asyiknya.
Ketika Syanti Dewi muncul menggandeng tangan pengemis itu, semua orang menengok dan hanya Pangeran, Ceng Ceng dan Kao Kok Cu sajalah yang memandang dengan muka berseri karena tiga orang ini mengerti apa artinya itu. Ouw Yan Hui juga sudah dapat menduga, akan tetapi alisnya berkerut karena dia amat mengharapkan Syanti Dewi menjadi isteri Pangeran Mahkota Kian Liong. Para tamu terbelalak kaget dan terheran-heran, apa lagi ketika Syanti Dewi yang mukanya masih basah air mata itu kini berkata dengan suara lantang sekali.
“Cu-wi yang mulia, saya hendak membuat pengumuman, harap Cu-wi sekalian menjadi saksi bahwa saya telah memilih dan menetapkan jodoh saya, yaitu Wan Tek Hoat yang saya gandeng ini!”
Mata para tamu itu makin lebar terbelalak dan memandang tidak percaya. Syanti Dewi, wanita cantik seperti bidadari itu memilih pengemis ini menjadi jodohnya? Akan tetapi, terdengarlah tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan itu adalah Wan Ceng dan Pangeran Kian Liong sendiri. Dan ketika para tamu melihat siapa yang bertepuk tangan, mereka pun beramai-ramai bertepuk tangan, sungguh pun di dalam hati mereka itu terdapat rasa penasaran sekali.
Mereka tidak tahu akan riwayat percintaan antara kedua orang itu, dan yang mereka ketahui sekarang hanya bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita secantik bidadari sedangkan pria itu adalah seorang laki-laki yang nampak jauh lebih tua dan seperti jembel pula. Tentu saja mereka merasa penasaran.
Sementara itu, melihat betapa Sang Pangeran sendiri menyambut pengumuman ini dengan tepuk tangan dan wajah berseri gembira, Ouw Yan Hui merasa terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu Pangeran Kian Liong mendekatinya dan berkata, “Ouw-toanio sendiri tentu sudah tahu akan riwayat mereka, maka sekarang mereka telah saling bertemu, alangkah baiknya kalau peresmian perjodohan mereka dilaksanakan di sini juga, dengan disaksikan oleh para tamu.”
Ouw Yan Hui memandang dengan muka agak pucat. “Akan tetapi.... tapi.... bukankah Pangeran....?”
“Sssttt, Ouw-toanio. Enci Syanti Dewi pantas menjadi bibiku, sekarang bertemu dengan Paman Wan Tek Hoat yang sejak dahulu dicintainya, hanya untuk menghilangkan rasa tidak enak dan malu saja setelah dia menolak semua calon.” Kemudian dengan suara mendesak Pangeran itu minta kepada Ouw Yan Hui agar usulnya itu diumumkan.
Ouw Yan Hui merasa lemas, akan tetapi tidak berani menentang. Dia menarik napas panjang dan bangkit dengan tubuh lesu, lalu berkata dengan suara lantang, “Cu-wi yang mulia, Cu-wi telah melihat sendiri bahwa Adik Syanti Dewi telah memilih jodohnya. Maka, selagi Cu-wi masih berada di sini, kami akan meresmikan perjodohan mereka pada besok pagi. Silakan Cu-wi beristirahat di dalam pondok tamu sementara kami akan membuat persiapan untuk pesta besok pagi.”
Para tamu menyambut dengan gembira dan mereka kembali saling bicara sehingga suasana menjadi bising.
Ceng Ceng menggandeng tangan Tek Hoat sambil berkata, “Hayo kau ikut aku! Calon pengantin masa seperti ini? Engkau harus cukur dan mandi tujuh kali, juga berganti pakaian....,” tiba-tiba nyonya ini menjadi bingung. “Wah, pakaian yang mana....?”
Dia menoleh kepada suaminya. Dalam perjalanan itu, suaminya ada membawa pakaian pengganti, tetapi pakaian biasa dan tentu saja kurang pantas kalau dipakai pengantin.
Pangeran Kian Liong tersenyum lebar. “Jangan khawatir, Bibi. Kebetulan bentuk tubuh Paman Wan Tek Hoat hampir sama dengan tubuhku, dan aku ada membawa beberapa potong pakaian yang akan cukup pantas kalau dipakai olehnya.”
Wan Ceng tersenyum girang. “Sungguh Paduka selalu bisa mendapatkan akal dan jalan keluar, terima kasih!”
Memang ada hubungan yang akrab antara Pangeran Mahkota dengan suami isteri pendekar itu karena putera mereka, yaitu Kao Cin Liong, merupakan seorang sahabat yang baik sekali dari Pangeran Kian Liong. Bahkan Sang Pangeran ini pernah pula mengunjungi Istana Gurun Pasir, bersama sahabatnya yang sekarang menjadi seorang jenderal muda itu.
Syanti Dewi hanya tersenyum menyaksikan Tek Hoat ditarik-tarik oleh Wan Ceng ke dalam gedung, dan dia sendiri lalu mendekati Ouw Yan Hui dan memegang tangan enci atau juga gurunya itu. Dia dapat melihat wajah yang muram dari Ouw Yan Hui, maka dia berbisik, “Maafkan aku, Enci Hui. Engkau tahu, dia itu tunanganku dan.... dialah satu satunya pria yang kucinta. Kami akan kembali ke Bhutan...., Ayah telah tua sekali dan terlalu lama aku meninggalkan keluargaku di sana....”
Ouw Yan Hui memandang wajah adik atau juga muridnya ini. Melihat wajah cantik itu memandang padanya dengan penuh permohonan dan penyesalan, dia merasa terharu juga. Dia amat sayang kepada Syanti Dewi, seperti adiknya atau seperti anaknya sendiri maka dirangkulnya Syanti Dewi. Mereka berpelukan dan tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pada mata Ouw Yan Hui yang biasanya amat tabah dan berhati dingin itu nampak air mata berlinang. Kemudian mereka pun memasuki gedung untuk membuat persiapan.
Pesta pernikahan itu dilakukan secara sederhana sekali, apalagi hanya dihadiri dan disaksikan oleh para tamu kurang lebih dua ratus orang banyaknya, yaitu mereka yang tadinya datang ke pulau itu untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Syanti Dewi. Memang tadinya Ouw Yan Hui mengusulkan untuk mengundur hari pernikahan agar dia dapat mengirim undangan sebanyaknya, akan tetapi Tek Hoat dan Syanti Dewi tidak setuju. Biarlah perjodohan mereka disahkan secara sederhana, sudah disaksikan oleh Pangeran Kian Liong dan pihak keluarga diwakili oleh Wan Ceng dan suaminya.
“Kami akan kembali ke Bhutan dan di sanalah nanti diadakan pesta yang meriah,” kata Syanti Dewi.
Biar pun acara pernikahan itu amat sederhana, namun cukup meriah karena di situ hadir pula Sang Pangeran. Ouw Yan Hui menangis tersedu-sedu, hal yang amat luar biasa baginya, ketika sepasang pengantin itu memberi hormat kepadanya. Juga Wan Ceng menangis dan merangkul kakak tirinya dengan hati terharu, lalu mencium Syanti Dewi yang masih terhitung kakak angkatnya pula. Suasana menjadi mengharukan sekali, namun Pangeran Kian Liong lalu maju memberi selamat kepada sepasang mempelai dengan mengangkat cawan arak sehingga semua tamu juga mengangkat cawan arak dan suasana menjadi gembira kembali.
Setelah Tek Hoat dicukur, membersihkan diri dan berganti pakaian pangeran yang indah, berubahlah jembel yang terlantar itu menjadi seorang laki-laki yang amat gagah dan tampan, yang wajahnya berseri-seri dan sepasang matanya mencorong tajam. Betapa pun juga, dia adalah seorang pria yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun dan kelihatan juga setengah tua. Sebaliknya, Syanti Dewi biar pun usianya juga sepantar dia, namun masih nampak seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja!
Pertemuan dua hati dan dua badan yang saling mencinta ini tentu saja terasa nikmat di hati dan kebahagiaan yang amat mendalam membuat mereka merasa terharu. Tiada habisnya mereka bercakap-cakap menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah, dan di dalam penuturan ini terungkaplah semua peristiwa dan kesalah pengertian di antara mereka, juga terungkaplah bukti-bukti betapa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Dan akhir dari semua itu membuat mereka merasa saling dekat, dan di dalam hati mereka bersumpah untuk tidak saling berpisah lagi selama-lamanya. Mereka merasa berbahagia sekali.
Benarkah mereka berbahagia?
Apakah bahagia itu? Bagaimanakah kita dapat berbahagia? Kebahagiaan! Sebuah kata ini kiranya dikenal oleh setiap orang manusia di dunia ini, dikenal dan dirindukan, dicari dan dikejar-kejar selama kita hidup. Betapa kita semua, masing-masing dari kita, selalu mendambakan kebahagiaan dalam kehidupan kita.
Kata ‘kebahagiaan’ sudah menjadi kabur, bahkan sering kali, hampir selalu malah, tempatnya diduduki oleh sesuatu yang sesungguhnya bukan lain adalah kesenangan. atau kepuasan belaka. Kalau kita memperoleh sesuatu yang kita harap-harapkan, maka kita mengira bahwa kita berbahagia! Benarkah itu? Ataukah yang terasa nyaman di hati itu hanyalah kesenangan yang timbul karena kepuasan belaka, karena terpenuhinya sesuatu yang kita harap-harapkan, atau inginkan?
Dan kepuasan hanya merupakan wajah yang lain dari kekecewaan belaka. Kepuasan hanya selewat, dan sebentar kemudian rasa nikmat dan nyaman karena kepuasan ini pun akan lewat dan lenyap, mungkin terganti oleh kekecewaan yang selalu bergandeng tangan dengan kebalikannya itu. Kepuasan dan kekecewaan, seperti juga kesenangan dan kesusahan saling isi mengisi, saling bergandeng tangan dan selalu bergandengan karena memang merupakan si kembar yang mungkin berbeda rupa. Di mana ada kepuasan, tentu ada kekecewaan. Di mana ada kesenangan, tentu ada kesusahan. Orang yang mengejar kesenangan, tak dapat tidak akan bersua dengan kesusahan. Siapa mengejar kepuasan, tak dapat tidak akan bertemu dengan kekecewaan.
Kebahagiaan berada di atas, jauh di atas jangkauan atau pengaruh senang dan susah, puas dan kecewa. Kebahagiaan tak mungkin dijangkau atau dikejar, kebahagiaan tak mungkin digambarkan. Senang dan susah adalah permainan pikiran, terikat oleh waktu dan bersumber kepada Si Aku.
Si Aku ini sudah tentu terombang-ambing antara senang dan susah karena Si Aku itu selalu penuh dengan keinginan dan sudah barang tentu tidak mungkin segala keinginan yang tiada habisnya itu selalu terpenuhi, maka terjadilah puas dan kecewa. Bahkan jika keinginan telah terpenuhi sekali pun akan menimbulkan hal-hal lain. Yaitu menimbulkan kekhawatiran kalau-kalau kita kehilangan sesuatu yang sudah kita miliki itu, kemudian menimbulkan pengikatan diri kepada sesuatu yang menyenangkan itu sehingga kalau kita kehilangan, timbullah duka.
Kebahagiaan tak mungkin dapat dimiliki, tidak dapat diperoleh dengan usaha dan daya upaya, tidak mungkin dapat ditimbun. Kebahagiaan tiada hubungannya dengan pikiran yang selalu mengejar kesenangan! Kebahagiaan tidak mungkin ada selama masih ada Si Aku yang ingin senang! Kebahagiaan baru ada di mana ada cinta kasih.
Kita selalu penuh oleh Si Aku yang selalu mengejar kesenangan dan yang selalu hendak menjauhi kesusahan. Sedikit saja kita dijauhi kesenangan, kita lalu mengeluh dan merasa sengsara. Kebahagiaan bukan hal yang dapat dikhayalkan. Dan kita selalu mencari-cari yang tidak ada sehingga mana mungkin kita menikmati yang ada? Mana mungkin kita dapat melihat keindahan sini kalau mata kita selalu mencari-cari dan memandang sana saja?
Pernahkah kita menikmati kesehatan? Pernahkah dalam keadaan badan sehat kita pergi keluar kamar menghirup udara sejuk dan memandang awan berarak di angkasa? Tidak, kita selalu sibuk dengan sesuatu, pikiran selalu penuh dengan persoalan. Kita selalu ingin ini ingin itu sehingga mata kita seperti buta terhadap segala keindahan yang terbentang luas di sekeliling kita.
Pernahkah kita pada waktu subuh pergi berjalan-jalan, melihat suasana ketika matahari mulai timbul? Pernahkah di waktu senja kita melihat suasana ketika matahari tenggelam, betapa indahnya angkasa? Dan juga pernahkah kita menerawang bintang-bintang di malam hari yang cerah? Tidak pernah! Pikiran kita, siang-malam, sibuk mencari uang, mencari kesenangan, mencari ini dan itu, tanpa ada hentinya.
Kita tidak pernah menikmati kesehatan, akan tetapi kita selalu mengeluh kalau tidak sehat! Kita tidak pernah ‘merasakan’ keadaan yang berbahagia. Kita bahkan tidak sadar lagi di waktu kita sehat, tidak dapat merasakan betapa nikmatnya kesehatan, akan tetapi kita amat memperhatikan di waktu kita tidak sehat, mengeluh dan mengaduh.
Dalam keadaan menderita sakit, kita selalu mengeluh dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau kita sembuh, kalau kita sehat. Akan tetapi bagaimana jika kita sudah sehat? Pikiran penuh dengan keinginan laln dan ‘ingin sehat’ tadi pun sudah terlupa, ‘bahagia karena sehat’ pun sudah terlupa dan kita tidak lagi menikmati keadaan sehat itu!
Demikianlah selalu. Pikiran menjauhkan kebahagiaan. Pikiran selalu mengeluh setiap saat, merasa tidak berbahagia, atau kalau tidak ada sesuatu yang dikeluhkan, pikiran mencari-cari sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan, lebih enak. Tentu saja kita tidak pernah dapat menikmati bahagia kalau pikiran selalu mengejar kesenangan yang berada di masa depan. Bahagia adalah saat demi saat, bahagia adalah sekarang ini, tapi pikiran selalu penuh dengan kesenangan lalu, penuh dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan masa depan.
Pernahkah Anda berdiri di dalam cahaya matahari pagi, di tempat terbuka yang cerah, yang berhawa hangat nyaman? Memandang ke sekeliling tanpa ada Si Aku yang ingin senang? Cobalah sekali-kali. Waspada membuat kita tidak mengeluh, tetapi bertindak tepat menghadapi segala hal yang terjadi. Pikiran atau Si Aku selalu membentuk iba diri dan keluhan.
Syanti Dewi dan Wan Tek Hoat tentu saja merasa senang karena idam-idaman hati mereka tercapai. Kerinduan hati mereka terpenuhi. Tapi kehidupan bukan hanya sampai di situ saja. Hari-hari dan peristiwa-peristiwa, seribu satu macam, masih membentang luas di depan dan yang terpaksa harus mereka hadapi. Selama mereka terikat kepada kesenangan sudah pasti kebahagiaan karena pertemuan itu pun hanya akan menjadi suatu kesenangan sepintas lalu saja!
Ahh, mengapa kita tidak pernah mau membuka mata melihat kenyataan bahwa segala macam bentuk kesenangan itu selalu akan menimbulkan kebosanan? Dapatkah kita hidup tanpa harus menjadi hamba nafsu kita sendiri yang selalu mengejar-ngejar kesenangan? Dapatkah? Kita sendiri yang harus menyelidiki dan menjawab pertanyaan kita ini kepada diri sendiri, dengan penghayatan dalam kehidupan, bukan teori-teori usang. Setiap hal dapat saja merupakan berkah, tapi dapat juga menjadi kutukan, setiap hal yang menimpa kita bisa saja menjadi sesuatu yang menyenangkan atau dapat pula menyusahkan, tetapi penilaian itu hanyalah pekerjaan pikiran atau Si Aku! Kebahagiaan berada di atas dari semua itu, tak dapat terjangkau oleh pikiran, seperti juga cinta kasih!
Beberapa hari kemudian, berangkatlah rombongan itu meninggalkan Pulau Kim-coa-to. Mereka adalah si pengantin baru Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, dan Pangeran Kian Liong, dikawal Souw-ciangkun dan sisa anak buahnya, karena banyak di antara mereka yang terpaksa ditinggalkan dalam perawatan karena luka-luka mereka.
Sepasang pengantin itu diajak ke kota raja oleh Sang Pangeran, kemudian baru dari kota raja mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bhutan dengan pengawalan khusus, dengan sepucuk surat dari Sang Pangeran sendiri untuk Raja Bhutan. Sedangkan Wan Ceng dan suaminya pergi ke kota raja, selain untuk mengawal Sang Pangeran, juga ingin bertemu dengan putera mereka yang tentu telah kembali dari tugas di barat.
Dan di dalam perjalanan inilah, di dalam kereta yang membawa mereka, Pangeran Kian Liong teringat akan janjinya kepada Bu-taihiap, yaitu pendekar sakti Bu Seng Kin yang pernah menolongnya, maka dia pun lalu membicarakan hal itu kepada Si Naga Sakti dan isterinya.
Suami isteri itu mengerutkan alis mereka dan saling pandang. “Bu-taihiap? Siapakah dia itu?” Wan Ceng bertanya, bukan kepada pangeran, melainkan kepada suaminya.
Si Naga Sakti Gurun Pasir mengangguk. “Aku belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia bernama Bu Seng Kin. Namanya pernah menggetarkan dunia sebelah barat dan kabarnya dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.”
“Dia memang hebat!” kata Sang Pangeran. “Aku melihat sendiri betapa dia dan isteri-isterinya menghadapi Si Jangkung dan Si Pendek, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu. Bahkan Pendekar Bu itu dikeroyok dua, dan mengalahkan dua lawan itu dengan mudah. Dia memang lihai sekali, Paman Kao.”
Kao Kok Cu dan isterinya mengangguk-angguk. Kalau seorang diri dapat mengalahkan Su-ok dan Ngo-ok, berarti memang telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Wan Ceng yang memperhatikan ucapan Pangeran itu, kini bertanya,
“Paduka katakan tadi isteri-isterinya? Berapakah banyaknya isteri-isterinya?”
Sang Pangeran tertawa. “Dalam hal itu agaknya dia memang agak istimewa. Yang ikut bersama dia pada waktu itu ada tiga orang.”
“Tiga orang isteri? Ikut bersama?” Wan Ceng terbelalak.
“Benar, dan ketiga orang isterinya itu pun rata-rata amat lihai!”
“Dan anaknya itu.... anak dari isteri ke berapakah?” tanya pula Wan Ceng.
Kembali Sang Pangeran tertawa. Kecerewetan seorang wanita dalam hal-hal seperti itu tidak mengherankan dia. “Aku tidak tahu, Bibi, dan kami tidak sempat bicara tentang hal itu. Akan tetapi pada waktu itu, puterinya juga ikut dan kulihat dia seorang gadis yang cantik dan memiliki sifat gagah seperti seorang pendekar wanita. Menurut Bu-taihiap, antara puterinya dan Cin Liong terdapat hubungan persahabatan yang akrab. Karena itulah maka dia ingin berjumpa dengan kalian untuk membicarakan pertalian jodoh antara mereka dan mereka minta kepadaku untuk dapat menjadi perantara.”
“Hemm, seakan-akan orang she Bu itu sudah memastikan bahwa kami tentu setuju!” Wan Ceng berkata tak senang.
“Isteriku, urusan jodoh merupakan urusan dua orang yang bersangkutan. Kita orang-orang tua hanya berdiri di belakang dan mengamati saja agar segala hal terlaksana dengan baik dan benar, maka hal ini pun baru bisa dibicarakan kalau kita sudah bicara dengan anak kita. Bagi kita, tidak bisa menerima atau menolak sebelum mendengar suara Cin Liong.”
“Sayang bahwa aku sendiri tidak tahu benar akan keadaan keluarga Bu-taihiap itu, akan tetapi kurasa Cin Liong telah berkenalan dengan keluarga itu ketika dia memimpin pasukan ke barat. Sebaiknya memang kalau kita, eh, maksudku Paman dan Bibi berdua menanyakan.”
Demikianlah, di dalam perjalanan menuju ke kota raja itu, ada bahan pemikiran yang amat serius bagi suami isteri pendekar ini, karena yang disampaikan oleh Pangeran itu menyangkut perjodohan dan masa depan putera tunggal mereka.
Sementara itu, di dalam kereta lain yang sengaja disediakan oleh Pangeran, sepasang suami isteri, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, masih tenggelam dalam kemanisan bulan madu dan tidak mempedulikan segala keadaan lainnya, seolah-olah di dunia ini yang ada hanya mereka berdua…..
********************
Sebelum kita melanjutkan dengan mengikuti rombongan yang menuju ke kota raja ini, sebaiknya kalau kita lebih dulu menjenguk keadaan Kaisar dan keluarganya, dan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar itu…..
Memang telah terjadi perubahan amat besar pada diri Kaisar. Kaisar Yung Ceng mungkin merupakan satu-satunya kaisar di jaman Pemerintahan Mancu yang pandai ilmu silat. Memang ilmu silatnya hebat, bahkan boleh dibilang dia seorang yang ahli dan lihai sekali karena di waktu mudanya, ketika dia masih menjadi seorang pangeran, dia suka sekali mempelajari ilmu silat dan bergaul di tengah-tengah kaum tukang pukul yang suka menjilat-jilatnya.
Dia disanjung sebagai seorang ‘pendekar’, maka di waktu mudanya Pangeran ini suka sekali berkelahi, menantang siapa pun yang dianggapnya memiliki ilmu silat. Tentu saja, orang yang ditantangnya kalau tahu bahwa penantangnya adalah Pangeran, mengalah dan akibatnya orang itu dipukul babak-belur dan Sang Pangeran lalu dipuji-puji oleh para tukang pukul sebagai seorang ahli silat yang menang pi-bu!
Pangeran yang masih muda ketika itu, baru berusia tujuh belas tahun, merasa menjadi seorang pendekar dan entah sudah berapa banyak guru-guru silat, orang-orang baik, yang telah dikalahkannya, sebagian ada yang memang kalah, akan tetapi banyak yang memang mengalah. Namun, pada suatu hari, dia membentur batu karang! Dia bertemu dengan seorang pemuda, dan melihat pemuda ini pandai silat, dia menantangnya dan memaksa pemuda itu untuk ‘pi-bu’, dan akibatnya, Sang Pangeran yang kini dihajar babak-belur karena pemuda itu adalah seorang jago murid Siauw-lim-pai!
Pangeran Yung Ceng terkenal mempunyai watak yang keras dan tidak mau kalah. Menghadapi kekalahan dari seorang murid Siauw-lim-pai ini membuat dia penasaran sekali dan dia lalu menyamar sebagai seorang pemuda biasa dan pergilah dia ke kuil Siauw-lim-si untuk belajar ilmu silat dari para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal ahli.
Akan tetapi pada waktu itu Siauw-lim-si hanya menerima anak-anak saja sebagai murid, maka permintaan Pangeran muda itu ditolak oleh para pimpinan Siauw-lim-si. Pangeran ini memang memiliki kemauan yang amat keras. Penolakan para pimpinan Siauw-lim-si tidak mematahkan semangatnya dan dia tetap berlutut di depan kuil siang malam dan tidak mau pergi sebelum permohonannya untuk menjadi murid Siauw-lim-pai diterima!
Melihat kemauan yang luar biasa ini, para pimpinan Siauw-lim-pai jadi tertarik. Setelah mereka membiarkan Pangeran yang mereka kira pemuda biasa itu berlutut di situ selama tiga hari tiga malam, mereka lalu menerima Sang Pangeran yang menggunakan nama biasa, yaitu Ai Seng Kiauw. Diterimalah Ai Seng Kiauw sebagai seorang murid tanpa mengharuskan pemuda ini menggunduli kepala menjadi hwesio. Dan mulailah Pangeran itu dilatih ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat itu.
Memang Pangeran itu memiliki bakat yang amat baik untuk ilmu silat, hanya sayang bahwa dia memiliki hati yang keras sekali, sungguh tidak sesuai dengan seorang pendekar yang seharusnya memiliki keteguhan hati yang tidak mungkin tergoyahkan oleh nafsu amarah.
Ai Seng Kiauw atau pangeran ini tekun berlatih. Bahkan untuk mengejar ilmu silat, dia rela membiarkan dirinya diuji oleh para pimpinan Siauw-lim-pai yang mengharuskan dia mencari kayu bakar dan mengangsu air, yang harus dipikulnya naik turun bukit ke dalam kuil.
Pekerjaan ini amat berat dan selama berbulan-bulan ia melakukan pekerjaan itu sampai pundaknya lecet-lecet dan kakinya lelah sekali. Akan tetapi setelah lewat setengah tahun, dia dapat memikul kayu atau dua gentong air sambil berlari-larian menaiki bukit! Tenaganya menjadi kuat sekali, tenaga sinkang-nya bertambah dengan cepat.
Para murid Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang mempelajari ilmu silat sebagai mata pelajaran yang diharuskan, dan dimaksudkan untuk menggembleng tubuh mereka agar kuat, tahan uji, dan sehat. Maka mereka itu kebanyakan hanya mempelajari ilmu silat sekedarnya saja.
Tidak demikian dengan Sang Pangeran. Dia belajar dengan tekun sekali, bahkan secara diam-diam, kadang-kadang secara mencuri-curi, dia memasuki ruangan perpustakaan di waktu malam dan membaca kitab-kitab pelajaran ilmu silat Siauw-lim-pai di dalam ruangan itu, sering kali sampai pagi! Dan dia pun berlatih siang malam tanpa mengenal lelah sehingga pelajaran-pelajaran yang akan dikuasai oleh lain murid selama empat lima tahun, telah dapat diraihnya selama satu tahun saja!
Akan tetapi, ternyata para pimpinan Siauw-lim-pai itu akhirnya dapat mengetahui bahwa murid yang bernama Ai Seng Kiauw itu bukan lain adalah pangeran putera kaisar! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali. Beramai-ramai menghadap pangeran dan memberi hormat mereka, minta maaf bahwa karena tidak tahu, mereka telah memperlakukan Sang Pangeran sebagai murid biasa.
Ai Seng Kiauw atau Pangeran Yung Ceng merasa kecewa sekali. Setelah ketahuan, kini dia tidak diperlakukan sebagai murid, dan dalam hal mengajarkan ilmu, para pimpinan itu tidak sungguh-sungguh hati lagi. Dan kini, orang-orangnya atau saudara-saudaranya dapat mengunjungi dia dengan bebas, juga dia boleh keluar masuk dengan bebas dari kuil itu.
Hal ini membuat dia merasa bosan dan karena melihat bahwa para tokoh Siauw-lim-pai hanya setengah hati saja mengajarnya setelah mengetahui bahwa dia adalah seorang Pangeran Mancu, maka Pangeran Yung Ceng lalu meninggalkan kuil di mana dia belajar selama hampir tiga tahun lamanya. Kini ilmu silatnya menjadi lihai sekali karena betapa pun juga, dia telah digembleng oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan telah menguasai ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat tangguh.
Sewaktu dia masih menjadi ‘murid’ Siauw-lim-pai, yaitu sebelum dia dikenal sebagai pangeran, Yung Ceng ini bersikap ramah dan bersahabat terhadap para murid-murid Siauw-lim-pai sehingga dia amat disuka. Bahkan setelah dia diketahui sebagai seorang pangeran, para anak murid Siauw-lim-pai masih menganggapnya sebagai sahabat atau saudara seperguruan.
Ketika itu, Kaisar Kang Hsi sudah tua dan sakit-sakitan selalu. Seperti biasa terjadi dalam keluarga kaisar, terutama sekali setelah kaisar menjadi tua dan sakit-sakitan, di antara para pangeran diam-diam terjadi perebutan kekuasaan untuk menjadi putera mahkota atau calon pengganti kaisar kalau kaisar sudah meninggal dunia. Dan tentu saja, di belakang para pangeran ini berdiri orang-orang ambisius yang mengatur segala-galanya.
Menurut perkiraan para menteri yang setia, pilihan Kaisar tentu akan terjatuh kepada pangeran yang ke empat, yaitu Pangeran Yung Lok, yang saat itu merupakan pangeran tersayang dan juga seorang pangeran yang bijaksana dan disuka oleh para menteri setia. Selain itu, juga Yung Lok merupakan putera selir ke dua, sedangkan permaisuri tidak mempunyai putera. Maka sudah sepatutnyalah kalau Pangeran Yung Lok menjadi putera mahkota.
Hal ini pun diketahui pula oleh Pangeran Yung Ceng yang memiliki ambisi besar untuk menjadi kaisar. Dengan amat cerdiknya Yung Ceng lalu mendekati selir yang ke tiga dari ayahnya, seorang selir yang paling dicinta dan dimanja oleh Kaisar dan yang lebih sering berada di dalam kamar kaisar dari pada selir-selir lainnya. Selir ke tiga ini tidak mempunyai anak dan selain amat cantik juga pandai mengambil hati pria, maka Kaisar yang tua itu paling senang kalau ditemani selir ke tiga ini. Terjadilah persekutuan antara Pangeran Yung Ceng dan selir ke tiga ini.
Pada suatu malam, Sang Selir ke tiga ini menemui Yung Ceng dan mengabarkan bahwa kaisar yang sudah agak payah sakitnya itu sore tadi telah membuat surat wasiat yang ditulis oleh seorang pembantu kaisar.
“Dalam surat wasiat itu dijelaskan bahwa yang menggantikan kedudukan Beliau adalah Pangeran ke empat,” demikian selir itu memberi tahu.
Pangeran Yung Ceng terkejut sekali dan merasa gelisah. “Ibu harus dapat membantuku dalam hal ini.”
“Jangan khawatir,” kata selir ke tiga itu. “Mari kita rundingkan ini dengan Lan-thaikam.”
Thaikam adalah pembesar kebiri yang bertugas di dalam keraton kaisar. Segera mereka berdua menemui Lan-thaikam dan pembesar kebiri yang perutnya gendut inilah yang kemudian mencari siasat.
“Surat wasiat itu harus dapat kita pinjam untuk sebentar, agar kita dapat melakukan perubahan-perubahan di dalamnya.” Akhirnya dia mengemukakan siasatnya. Dan untuk tugas ini, tentu saja selir ke tiga yang paling mudah untuk melakukannya.
Pada malam berikutnya, ketika Kaisar tidur nyenyak setelah dilayani dan dipijati oleh selirnya yang ke tiga, selir itu lalu mengambil kunci dari ikat pinggang Kaisar, membuka peti kecil hitam yang berada di dekat pembaringan dan mengambil gulungan surat wasiat itu. Cepat-cepat dia keluar dari kamar, menutupkan pintunya dan berlari kecil menuju ke salah sebuah kamar di mana telah menanti Pangeran Yung Ceng bersama Lan-thaikam.
Sang Pangeran membuka surat wasiat itu dan mukanya menjadi merah. Dua tangannya dikepal ketika dia membaca sendiri surat wasiat itu di mana dengan jelas disebutkan bahwa yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar adalah ‘Pangeran ke empat’! Dia sendiri adalah Pangeran ke empat belas, sebagai putera dari selir ke delapan, sebuah kedudukan yang tiada artinya dalam urutan pangeran.
“Harap Paduka jangan khawatir, hamba telah menemukan siasat yang amat bagus sekali,” kata Lan-thaikam, lalu dia membeber surat itu di atas meja, dan mengambil alat tulis.
Dengan hati-hati dia lalu membubuhi huruf angka sepuluh di depan empat, sehingga kini kalimat ‘Pangeran ke empat’ berbunyi ‘Pangeran ke empat belas’! Wajah pangeran itu berseri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat saking girangnya dan dia lalu merangkul pundak pembesar itu.
“Bagus, Paman, engkau sungguh hebat sekali. Aku pasti tidak akan melupakan kalian berdua. Kelak kalau aku sudah menjadi kaisar, kalian tentu akan kuberi kedudukan dan kekuasaan tinggi!”
“Hanya satu hal yang meragukan,” kata selir itu. “Huruf-huruf tulisan dari Coa-sianseng ini amat indah dan sukar dipalsukan, maka apakah penambahan huruf dari Lan-thaikam ini cukup dapat dipertanggung jawabkan? Orang lain mungkin tidak dapat melihat perbedaannya, akan tetapi Coa-sianseng sendiri yang menulisnya....”
“Hemm, Jangan kuatir. Dia seorang yang lemah, aku akan dapat menggertaknya!” kata Lan-thaikam. “Kalau dia tidak mau bekerja sama, biar kita habiskan saja.”
“Serahkan hal ini kepadaku, Paman,” kata Pangeran itu. “Pada hari dia membacakan surat wasiat itu, aku akan mengambil nyawanya untuk menutup mulutnya, tentu melalui tangan lain.” Lalu dia menceritakan siasatnya dan dua orang itu menjadi girang dan memuji siasat Sang Pangeran yang amat cerdik itu.
Selir ke tiga cepat-cepat mengembalikan surat wasiat yang sudah dirubah isinya itu, memasukkan kembali ke dalam peti kecil, menguncinya dan mengembalikan kuncinya di ikat pinggang Kaisar. Hal ini tidak ada yang mengetahui kecuali tiga orang itu.
Dan dalam bulan itu juga, Kaisar Kang Hsi meninggal dunia! Tentu saja seluruh isi istana berkabung dan pada hari yang ditentukan, peti wasiat itu dibawa ke balairung di mana terdapat singgasana Kaisar yang kosong. Suasana di ruangan itu sunyi dan diliputi suasana berkabung. Semua pembesar berkumpul dan pada wajah mereka terbayang kedukaan, sungguh pun tidak ada yang tahu pasti berapa orang di antara mereka itu yang benar-benar merasa berduka dengan kematian Sang Kaisar!
Yang sudah pasti, terdapat ketegangan-ketegangan, karena mereka menduga-duga siapa yang akan menjadi pengganti Kaisar, dan hal ini tentu saja amat penting bagi mereka karena penggantian itu mempunyai dua kemungkinan hebat dalam kehidupan mereka. Kalau kaisar baru itu pilihan mereka, tentu keadaan mereka terjamin, akan tetapi kalau bukan, besar kemungkinan kedudukan mereka akan dirampas. Dan hampir semua orang menduga bahwa yang akan diangkat sebagai pengganti sudah pasti Pangeran ke empat.
Ketegangan hebat itu terutama sekali terasa oleh mereka yang berkepentingan, yaitu oleh para pangeran yang telah berkumpul di tempat itu dengan pakaian seragam, pakaian berkabung. Keluarga mendiang Kaisar Kang Hsi kumpul semua di tempat itu, terutama para pembesar dalam istana. Ketika Coa-taijin, yaitu sastrawan yang menjadi pembantu Kaisar dalam hal tulis-menulis, yang dipercaya oleh mendiang Kaisar Kang Hsi, memasuki ruangan diikuti oleh dua orang thaikam yang membawa sebuah peti kecil hitam, semua orang memandang dengan hati berdebar penuh ketegangan.
Mereka semua tahu apa isinya peti kecil hitam itu, ialah surat wasiat peninggalan Kaisar yang akan dibacakan oleh Coa-taijin sendiri sebagai penulis surat wasiat yang telah dibubuhi cap kebesaran dan tanda tangan Kaisar itu. Suasana menjadi sunyi dan seluruh perhatian dari semua yang hadir tertuju kepada pembesar she Coa itu sehingga tidak ada seorang pun yang tahu bahwa terdapat gerakan aneh dan tidak wajar di belakang mereka, di atas balok-balok melintang di bawah atap ruangan itu.
Semua mata para pembesar yang hadir mengikuti semua gerak-gerik itu, seolah-olah dengan menahan napas, dari saat ketika Coa-taijin membuka tutup peti yang dikunci, kemudian mengeluarkan segulung kertas kuning. Dengan kedua tangan memegang kertas kuning itu diluruskan ke depan, mulailah Coa-taijin membaca surat wasiat itu dengan suara tenang dan terdengar jelas sekali karena suasana di ruangan itu sunyi sekali, bahkan kalau ada jarum jatuh ke atas lantai pun agaknya akan dapat terdengar suaranya.
Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran ke.... empat.... ehhh.... empat belas....?”
Coa-taijin terbelalak, mukanya pucat, pucat sekali, kedua tangannya menggigil, dan dia seperti tidak percaya kepada pandang matanya sendiri sehingga bagian terakhir itu diulangnya beberapa kali. Dialah penulis surat wasiat itu, maka tentu saja dia tahu bahwa surat wasiat itu telah dirubah orang. Dia memandang ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata terbelalak dan telunjuk kanannya menuding ke arah Pangeran itu.
"
Akan tetapi sebelum dia mampu berkata-kata, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu sebatang pisau telah menancap ke dada Coa-taijin, disusul oleh pisau ke dua yang menancap ke lehernya! Coa-taijin terhuyung, gulungan surat wasiat terlepas dari tangannya, dan sebelum dia roboh, dia masih menuding ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata melotot, lalu dia terguling roboh dan berkelojotan.
Semua orang menjadi panik dan gempar, dan tiba-tiba Pangeran Yung Ceng sudah berteriak keras, “Itu dia pembunuhnya....!” Dan dia menuding ke atas.
Semua orang memandang dan benar saja, di atas sebatang balok melintang nampak seorang laki-laki tinggi besar bersembunyi dan hendak melarikan diri. Beberapa orang komandan pengawal bergerak dengan sigap, berloncatan ke atas dan menyerang Si Pembunuh yang terpaksa meloncat lagi ke bawah, ke dalam ruangan itu.
Dia seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya memakai kedok hitam. Gerakannya gesit dan ringan ketika dia meloncat turun, tetapi dia segera disambut oleh seorang panglima yang berkepandaian tinggi. Terjadilah perkelahian yang tidak memakan waktu terlalu lama karena pembunuh itu dikeroyok oleh banyak panglima dan komandan pengawal yang rata-rata berilmu silat tinggi dan yang pada waktu itu memang sedang berkumpul di ruangan itu. Pembunuh itu roboh oleh sebuah tendangan dan sebelum dia sempat meloncat bangun, dia telah diringkus!
Seorang panglima merenggut kedoknya terlepas dan terkejutlah semua orang ketika mengenal orang itu sebagai salah seorang di antara pengawal-pengawal dalam istana! Seorang perwira pengawal yang biasanya bertugas mengawal di dalam harem Kaisar, tentu saja di bagian luar karena di bagian dalam hanya mempunyai penjaga-penjaga para thaikam (laki-laki kebiri).
“Plakk! Plakk!” Pangeran Yung Ceng sudah meloncat ke depan dan menampari muka orang ini yang masih diringkus oleh dua orang panglima.
“Hayo katakan, siapa yang menyuruhmu melakukan pembunuhan ini?” Pertanyaan Sang Pangeran nyaring sekali, terdengar oleh semua orang dan kini keadaan menjadi sunyi karena semua orang juga ingin mendengar jawaban dari mulut penjahat itu.
Pembunuh itu memandang dengan muka pucat sekali, kemudian dia menuding ke arah Pangeran Yung Lok, yaitu Pangeran ke empat sambil berkata, suaranya menggigil, “Dia.... dialah yang menyuruhku.... Pangeran Ke Empat....”
“Bohong kau! Keparat busuk, berani kau memfitnahku?” Pangeran Yung Lok berteriak dengan nada marah sekali.
“Pembunuh busuk!” teriakan ini terdengar dari mulut Yung Ceng dan sebelum ada yang tahu atau dapat mencegah, pangeran ini telah mencabut pedangnya, dan memasukkan pedangnya itu ke dada Si Pembunuh sampai tembus ke punggungnya!
Tentu saja dua orang panglima yang meringkusnya itu cepat melepaskan dan tubuh Si Pembunuh itu terpelanting. Sambil mendekap dada dengan tangan kiri, ia menudingkan tangan kanan ke arah Pangeran Yung Ceng, lalu tangan itu membentuk cengkeraman seolah-olah dia hendak mencengkeram Pangeran itu. Akan tetapi tenaganya habis dan dia pun terkulai lemas karena pedang yang ditusukkan tadi telah menembus jantungnya!
“Seorang pengacau dan pembunuh harus dibasmi!” kata Pangeran Yung Ceng dengan suara lantang, seolah-olah hendak membela diri dengan semua perbuatannya itu. “Dan pembacaan surat wasiat tidak boleh ditunda lagi!”
Lan-thaikam, sebagai kepala di istana, lalu membuka gulungan kertas wasiat yang tadi telah diselamatkannya ketika kertas itu terlepas dari tangan pembesar Coa, kemudian membacanya dengan suara lantang.
Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran Ke Empat Belas, dan penobatan agar supaya segera dilakukan sehingga singgasana tidak terlalu lama dibiarkan kosong.
Tertanda:
Kaisar Kang Hsi.
Begitu mendengar isi surat wasiat ini terdengar habis, semua orang, seperti diberi komando oleh suara yang hanya terdengar oleh mereka, menjatuhkan diri berlutut dan semua orang berseru, “Ban-swe, ban-ban-swe,” yang artinya sama dengan ‘Hidup’, sebagai penghormatan kepada Pangeran yang diangkat menjadi Kaisar baru serta menjadi junjungan mereka yang baru itu.
Demikianlah, Pangeran Yung Ceng dengan resmi kemudian diangkat menjadi kaisar dan perintahnya yang pertama kali adalah agar Pangeran Ke Empat, yaitu Pangeran Yung Lok, ditangkap dan dihukum mati! Tetapi, para panglima yang terkejut mendengar ini, maju berlutut dan mintakan ampun. Dengan sikap bijaksaana untuk menimbulkan kesan, Sang Kaisar baru berkata bahwa mengingat akan kesetiaan para panglima itu, dia mau mengampuni Pangeran Yung Lok dan membuang Pangeran itu ke selatan.
Demikianlah sedikit riwayatnya Kaisar Yung Ceng yang ketika masih muda memang dia seorang yang memiliki kekerasan dan kemauan hati yang amat kuat, akan tetapi sayang sekali, kekerasan ini pula yang masih mendorongnya pada saat dia mulai melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam hidup, sama kuatnya ketika dia dengan keras hati mengejar-ngejar ilmu di Siauw-lim-si.
Setelah Pangeran ini menjadi kaisar, dia semakin haus akan kekuasaan, bahkan sering kali dia bertindak sewenang-wenang hanya untuk memperlihatkan kekuasannya. Lebih parah lagi, dia mulai tergelincir ke dalam lembah nafsu birahi sehingga dia seperti tiada puasnya mendapatkan wanita-wanita yang dikehendakinya.
Dia tak segan-segan untuk mengganggu isteri-isteri para pejabat, para pembesar di istana, walau pun tentu saja di antara para pembesar itu banyak pula terdapat penjilat-penjilat yang memang sengaja mempergunakan isterinya yang cantik untuk mencari jasa sehingga mereka boleh mengharapkan anugerah dari Kaisar berupa kenaikan pangkat dan sebagainya.
Mula-mula para murid Siauw-lim-pai masih menganggap Kaisar ini sebagai seorang saudara seperguruan mereka sehingga ada pula yang datang berkunjung ke istana. Dan mereka ini selalu diterima oleh Kaisar Yung Ceng dengan ramah, diperlakukan sebagai tamu agung dan sebagai saudara seperguruan sendiri.
Akan tetapi, mulailah para anak murid Siauw-lim-pai geger ketika pada suatu hari, ketika seorang murid wanita Siauw-lim-pai yang terhitung sumoi (adik seperguruan) dari Kaisar sendiri datang berkunjung, Kaisar Yung Ceng yang memandang gadis pendekar itu dengan sinar mata lain, telah memaksa sumoi-nya itu untuk menuruti kemauannya!
Gadis Siauw-lim-pai itu dirayu dan digauli dengan setengah paksa. Gadis itu kemudian membunuh diri dan Kaisar lalu menyuruh orang-orangnya untuk mengubur jenazahnya dan merahasiakan peristiwa itu. Akan tetapi, tetap saja rahasia itu bocor dan akhirnya secara selentingan terdengar oleh para anak murid Siauw-lim-pai betapa murid wanita Siauw-lim-pai itu digauli oleh Kaisar dan membunuh diri! Karena tidak ada bukti, maka Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat sesuatu, hanya mulai memandang kepada Kaisar dengan curiga.
Akan tetapi, rasa permusuhan dari Siauw-lim-pai terhadap Kaisar ini baru terasa ketika pada suatu hari datang seorang suheng dari Kaisar sendiri bersama isterinya. Suheng ini adalah seorang sahabat baik ketika Sang Kaisar masih tekun belajar di Siauw-lim-si, merupakan sahabat dan saudara terbaik.
Akan tetapi, celakanya adalah bahwa suheng ini datang bersama isterinya dan lebih celaka lagi isterinya itu adalah seorang wanita muda yang cantik manis. Seketika hati Kaisar muda itu tergiur dan karena Kaisar tahu bahwa suheng-nya itu adalah orang yang suka sekali main catur, maka dia lalu memanggil seorang thaikam yang pandai main catur.
Suheng-nya segera tenggelam di meja catur semalam suntuk dengan thaikam itu dan kesempatan ini, kesempatan yang memang sengaja diadakannya, dipergunakan oleh Kaisar untuk memasuki kamar suheng-nya yang asyik bertanding catur di ruangan tamu itu, dan diganggulah isteri suheng-nya! Diperkosanya wanita itu dengan paksa, dan oleh karena wanita itu tidak berani melawan, maka dia hanya bisa menangis saja, menyerah karena tidak berdaya. Pada esok paginya, ketika Sang Suheng kembali ke kamarnya, dia mendapatkan isterinya telah mati menggantung diri!
Peristiwa inilah yang membuat Siauw-lim-pai mengambil keputusan untuk secara resmi mengeluarkan Sang Kaisar dari Siauw-lim-pai, tidak diakuinya lagi sebagai anak murid Siauw-lim-pai! Betapa pun juga, Sang Suheng itu dapat menduga apa yang telah terjadi, mengapa isterinya itu secara tiba-tiba tanpa sebab telah membunuh diri.
Tindakan para pemimpin Siauw-lim-pai itu sungguh terlalu benar! Mengeluarkan Kaisar yang sedang berkuasa dari Siauw-lim-pai! Menganggapnya sebagai seorang murid murtad! Tentu saja hal ini amat menyakitkan hati Kaisar Yung Ceng yang mulai saat itu menganggap Siauw-lim-pai sebagai musuh, bukan lagi sebagai perguruan silat atau partai persilatan yang dibanggakannya sebagai tempat di mana dia pernah digembleng.
Akan tetapi Kaisar Yung Ceng juga tahu bahwa amatlah tidak menguntungkan kalau dia menuruti perasaan dendam pribadi dan menggempur Siauw-lim-pai dengan pasukan, karena betapa pun juga partai persilatan itu sangat kuat dan merupakan hal yang amat merugikan kalau pemerintah menghadapinya sebagai musuh. Betapa pun juga, orang orang Siauw-lim-pai masih dapat banyak diandalkan kalau negara menghadapi musuh dari luar. Maka sakit hati itu pun disimpannya di dalam hati dan menimbulkan dendam dan rasa tidak suka saja.
Demikianlah riwayat dan keadaan Kaisar Yung Ceng. Putera Kaisar itu, yaitu Pangeran Kian Liong merasa sangat berduka kalau dia memikirkan semua perbuatan ayahnya. Sampai kini pun ayahnya itu mudah sekali tergila-gila kepada wanita cantik. Pangeran yang bijaksana ini pun tahu bahwa ayahnya kini terjatuh ke dalam cengkeraman dan pelukan selir ke tiga yang pandai merayu dan yang bersekutu dengan Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga yang agaknya amat disegani dan dihormati oleh ayahnya.
Dia tidak tahu bahwa memang ayahnya yang kini menjadi kaisar amat tunduk kepada Ibu Suri Ke Tiga karena ibu suri ini amat berjasa kepada ayahnya. Dia tidak tahu bahwa memang ada persekutuan antara ayahnya, Sam-thaihouw, dan Lan-thaikam yang juga merupakan kepala istana yang menguasai semua pejabat dan pembantu yang bekerja di dalam istana, dan bahwa Kaisar amat percaya kepada orang kebiri tua ini.
Hal yang amat menggelisahkan hati Pangeran Kian Liong adalah peristiwa yang terjadi bulan lalu. Ketika itu Jenderal Kao Cin Liong memimpin pasukan untuk menggempur pergolakan di barat, di perbatasan Himalaya, untuk membantu Tibet yang diserang oleh Nepal. Dan pada waktu itu, di kota raja dikabarkan banyak terdapat mata-mata musuh.
Mungkin karena memang ada mata-mata yang menyelundup ke dalam kuil, atau memang hanya dipergunakan sebagai alasan saja oleh Kaisar yang memang sudah membenci Siauw-lim-pai, Kaisar memerintahkan untuk menyerbu kuil Siauw-lim-si yang merupakan cabang dari pusat Siauw-lim-pai, sebuah kuil yang cukup besar di kota raja, di mana para hwesio Siauw-lim-pai lebih banyak mengurus soal pelajaran agama dari pada ilmu silat.
Serbuan itu merupakan gerakan pertama dari Yung Ceng yang memusuhi Siauw-lim-pai semenjak dia dipecat dari keanggotaannya. Kuil itu dibakar, semua pendetanya diusir, bahkan dalam bentrokan itu ada beberapa orang pendeta yang tewas. Akan tetapi karena alasan penyerbuan itu adalah untuk mencari dan membasmi mata-mata yang dikabarkan bersembunyi di kuil, maka pihak Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat apa-apa, hanya memesan kepada semua muridnya agar berhati-hati karena jelas bahwa Kaisar membenci Siauw-lim-pai.
Hal ini pun membuat Pangeran Kian Liong merasa berduka dan prihatin sekali, karena dia tahu bahwa semenjak dulu, Siauw-lim-pai merupakan partai besar yang berdasarkan agama, yang tugasnya menyebarkan keagamaan di samping memberi pelajaran ilmu silat tinggi dan terdiri dari rata-rata orang-orang budiman dan pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak pernah memberontak terhadap negara.
Ketika rombongan Pangeran Kian Liong yang disertai oleh Kao Kok Cu dan Wan Ceng, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, pada malam hari itu memasuki kota raja, di istana terjadi kegemparan besar. Untunglah bahwa Pangeran Kian Liong berkeras mengajak dua pasang suami isteri itu langsung pergi ke istana dan menjadi tamu-tamunya.
“Kita telah melakukan perjalanan jauh, sebaiknya kalau kalian berempat langsung saja ke istana dan mengaso. Besok baru kita akan menghadap Ayahanda Kaisar.”
Akan tetapi, ternyata bahwa ketika mereka tiba di istana, di situ terjadi hal yang amat hebat. Kiranya malam hari itu, istana diserbu oleh seorang dara perkasa dan tujuh orang pendeta Siauw-lim-pai yang menyamar sebagai pengawal-pengawal istana!
Ketika itu, Kaisar baru saja memasuki kamarnya dan selir ke tiga telah datang untuk melayaninya ketika tiba-tiba di luar kamar itu terjadi keributan dan tiba-tiba terdengar teriakan nyaring.
“Ada penjahat....!”
Kaisar Yung Ceng adalah seorang kaisar yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang cukup tinggi, bukan seorang kaisar yang lemah, maka mendengar seruan ini, dia bukan lari berlindung, sebaliknya malah meloncat keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak merasa takut. Dan begitu keluar, dia sudah diserang oleh seorang dara yang berpakaian ringkas berwarna putih dan dibantu seorang hwesio yang menyamar dalam pakaian pengawal istana, akan tetapi yang kini telah membuang penutup kepalanya sehingga nampak kepalanya yang gundul. Selain dua orang ini yang mengeroyok Kaisar, masih ada enam orang hwesio lain yang semua menyamar dalam pakaian pengawal sedang bertempur dikepung oleh banyak pengawal istana.
“Ai Seng Kiauw manusia keji, bersiaplah engkau untuk mampus!” gadis itu membentak marah dan telah menyerang dengan dahsyatnya, menggunakan sebatang pedang yang tadi disembunyikan di balik jubahnya.
Hwesio tinggi besar yang membantunya juga telah menyerang Kaisar dengan sebatang golok, namun Kaisar Yung Ceng dengan sigapnya sudah meloncat lagi ke dalam kamar, menyambar sebatang pedang yang tergantung di kamarnya, lantas melawan dengan gagah. Melihat gerakan dua orang yang menyerangnya itu, tahulah Kaisar Yung Ceng bahwa dia diserang oleh murid-murid Siauw-lim-pai, maka dia pun marah bukan main. Pedangnya diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dan dia membentak,
“Pemberontak-pemberontak Siauw-lim-pai!”
Akan tetapi dua orang penyerangnya tidak banyak cakap lagi melainkan memperhebat desakan mereka sehingga Sang Kaisar pun harus mempercepat gerakannya. Selirnya dan para dayang menjerit dan menyembunyikan diri di sudut kamar sambil berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan. Sementara itu, enam orang hwesio yang berada di luar kamar masih mengamuk, dikeroyok banyak pengawal yang berdatangan.
Pada saat itulah Pangeran Kian Liong datang bersama Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng. Tentu saja, tanpa diminta lagi, dua pasang suami isteri perkasa itu segera turun tangan.
“Kalian bantu para pengawal dan aku akan melindungi Kaisar!” kata Kao Kok Cu yang segera menerjang masuk ke dalam kamar Kaisar yang pintunya terbuka dan dari mana dia dapat melihat Kaisar sedang dikeroyok oleh dua orang.
“Li Hwa, kau larilah!” Hwesio tinggi besar itu berseru.
Walau dia sedang menghadapi Kaisar, dia masih mampu menggunakan tangan kirinya untuk mendorong tubuh gadis itu yang terhuyung ke arah jendela. Gadis itu maklum bahwa keadaan sangat berbahaya maka sekali loncat dia pun telah lenyap melalui jendela kamar.
Sementara itu Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, dan Wan Ceng menerjang dengan tangan kosong, akan tetapi begitu mereka membantu para pengawal, enam orang hwesio Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Sambaran tangan Tek Hoat mengeluarkan bunyi seperti pedang pusaka menyambar, juga pukulan-pukulan Wan Ceng mendatangkan angin dahsyat sekali, dan gerakan Syanti Dewi seperti seekor burung beterbangan dan tamparan-tamparannya juga seperti kilat menyambar-nyambar.
Biar pun enam orang hwesio itu masih berusaha untuk melawan mati-matian, namun dalam waktu belasan jurus saja mereka telah roboh terpelanting oleh pukulan-pukulan tiga orang yang baru datang ini, tak mampu bangkit kembali karena telah menderita luka parah, apalagi yang roboh membawa bekas pukulan tangan Wan Tek Hoat dan Wan Ceng, karena mereka itu tewas tak lama kemudian, dan hanya seorang di antara mereka, yang roboh oleh pukulan dan tamparan Syanti Dewi, yang masih hidup, biar pun dia juga tidak mungkin mampu melawan lagi.
Hwesio tinggi besar yang memimpin penyerbuan itu, yang tadi menyerang Kaisar bersama gadis itu, juga sudah roboh oleh Si Naga Sakti. Tulang pundaknya patah-patah terkena sentuhan jari tangan Kao Kok Cu dan kini dia memaki-maki Kaisar.
“Ai Seng Kiauw murid murtad, engkau membikin kotor nama Siauw-lim-pai! Engkau tak segan-segan untuk memperkosa murid Siauw-lim-pai dan isteri suheng-nya sendiri, dan biar pun engkau kini telah bersembunyi di dalam pakaian kaisar, namun kami para murid-murid Siauw-lim-pai sejati enggan hidup bersama orang durhaka macammu ini di atas bumi!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan pedang dengan tangan kirinya, menggorok leher sendiri!
Kaisar Yung Ceng terluka pundaknya dan sedang diperiksa oleh Kao Kok Cu. Akan tetapi ternyata luka itu tidak parah dan Kaisar marah sekali mendengar ucapan itu. Dia kini mengenal wajah para hwesio itu yang ternyata adalah suheng-suheng-nya sendiri saat dia belajar ilmu silat di Kuil Siauw-lim-si dahulu. Melihat bahwa masih ada seorang hwesio yang belum mati, Kaisar kemudian menghampiri dan membentak, “Pemberontak laknat, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian melakukan penyerbuan ini!”
Akan tetapi hwesio yang terluka oleh pukulan Syanti Dewi itu memandangnya dengan mata mendelik dan tidak menjawab. Dia hendak membunuh diri dengan membenturkan kepala di lantai, akan tetapi Kaisar telah mendahuluinya, menotok lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi.
“Hayo mengaku kalau engkau tidak ingin disiksa!” Kaisar membentak lagi, wajahnya berubah merah saking marahnya.
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba hwesio itu tertawa dengan mata terbelalak, dan tiba-tiba dia menutup mulutnya.
Melihat ini, Wan Tek Hoat cepat bergerak maju memegang dagunya dan memaksanya membuka mulut. Namun terlambat! Ketika mulut itu terbuka, mulut itu penuh darah dan lidahnya sudah putus oleh gigitannya sendiri! Sungguh mengerikan sekali melihat mulut terbuka itu penuh darah dan potongan lidahnya jatuh keluar. Syanti Dewi sendiri sampai membuang muka melihat pemandangan yang mengerikan itu.
Kaisar semakin marah. Hwesio ini sudah putus lidahnya, berarti tidak akan mau bicara dan tentu akan mati. “Cepat cari gadis itu! Cari sampai dapat dan tangkap hidup-hidup!” teriaknya kepada para pengawal yang segera lari cerai-berai untuk memenuhi perintah Kaisar itu.
Setelah para pengawal berserabutan lari untuk mengejar dan mencari gadis itu, baru Kaisar mempunyai kesempatan untuk memperhatikan empat orang penolongnya. Tentu saja dia mengenal Kao Kok Cu dan Wan Ceng, ayah dan ibu seorang panglimanya yang paling diandalkan, jaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong.
“Untung sekali kalian datang,” kata Kaisar ketika melihat dua orang suami isteri perkasa ini memberi hormat kepadanya. Kemudian dia mengangkat muka memandang kepada Wan Tek Hoat, lalu kepada Syanti Dewi dan wajahnya berubah, matanya mengeluarkan sinar berseri ketika dia memandang puteri itu dan agaknya pandang matanya enggan meninggalkan wajah yang luar biasa cantiknya itu.
“Dan siapakah orang gagah ini dan wanita cantik seperti bidadari ini?” tanyanya tanpa mengenal sungkan lagi.
Syanti Dewi menunduk dan memberi hormat dengan sikap sederhana, akan tetapi diam diam alisnya berkerut karena dia melihat pandang mata yang penuh nafsu di mata Kaisar itu yang ditujukan kepadanya. Juga Wan Tek Hoat melihat ini, akan tetapi dia pun menundukkan muka dengan sikap hormat.
Kao Kok Cu dan Wan Ceng tentu saja melihat pula sikap Kaisar, maka cepat-cepat Wan Ceng memberi keterangan, “Sri Baginda, dia ini adalah Kakak angkat hamba, yaitu puteri Bhutan bernama Syanti Dewi, bersama suaminya.”
Kaisar nampak tercengang dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya puteri Bhutan yang pernah membikin geger di istana belasan tahun yang lalu itu? Sungguh amat cantik luar biasa, dan memiliki kepandaian tinggi pula, pantas saja pernah membikin geger.”
Kao Kok Cu yang merasa tidak enak melihat betapa Kaisar yang mata keranjang ini agaknya tertarik sekali kepada Syanti Dewi, lalu maju dan berkata, “Sebaiknya kalau Paduka beristirahat lebih dahulu, biarlah hamba semua ikut membantu pengejaran terhadap gadis itu. Siapa tahu mereka itu masih mempunyai teman-teman yang tersebar di dalam istana, sehingga keselamatan Paduka masih terancam.”
Mendengar ucapan ini barulah Kaisar sadar akan keadaannya dan dia merasa betapa sikapnya tadi memang kurang sedap dipandang, apalagi mengingat bahwa wanita cantik ini disertai suaminya, bahkan suami isteri ini telah menyelamatkan dari ancaman bahaya maut. Kaisar lalu menarik napas panjang dan berkata dengan sikap ramah sekali, “Baiklah, akan tetapi kami minta kepada kalian berempat untuk bersama kami makan pagi sehingga terdapat banyak kesempatan bagi kita untuk bercakap-cakap. Nah, sampai jumpa besok pagi.”
Kaisar lalu diantar oleh selir dan para dayang, berikut pengawal pribadi untuk menuju ke sebuah kamar lain karena kamar itu telah dikotori oleh banyak darah. Keempat orang gagah itu lalu meninggalkan ruangan itu pula untuk membantu para pengawal mencari gadis yang buron tadi, juga mereka itu diam-diam merasa amat heran akan lenyapnya Pangeran Kian Liong yang tadinya datang bersama mereka akan tetapi yang kini tidak lagi nampak lagi batang hidungnya!
Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Memang tadi dia datang bersama dua pasang suami isteri itu. Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang menyerang Kaisar itu melarikan diri melalui jendela kamar ayahnya, Pangeran ini kemudian menyelinap dan melakukan pengejaran.
Dia tahu bahwa para penyerang ayahnya itu adalah orang-orang Siauw-lim-pai, maka diam-diam dia merasa menyesal sekali karena dia sudah dapat menduga pula apa yang menyebabkan orang-orang Siauw-lim-pai itu menyerbu istana dan menyerang ayahnya. Dan biar pun Pangeran ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia mengenal semua lorong dan jalan rahasia di dalam istana, maka dia dapat mengejar dan membayangi gadis yang melarikan diri itu.
Gadis itu sendiri merasa bingung. Memang ketika dia dan para susiok-nya (paman gurunya) menyelundup ke dalam istana, dia dan para susiok-nya itu menyamar sebagai pasukan pengawal. Akan tetapi dalam keadaan melarikan diri ini, tentu saja tidak mudah baginya untuk keluar dari lingkungan istana.
Di mana-mana terdapat penjaga dan bahkan kini di atas genteng pun nampak para penjaga! Maka dia lalu menyelinap dan memasuki lorong-lorong dan makin dalam dia masuk, makin bingunglah dia, tidak tahu mana jalan keluar lagi. Beberapa kali dia terpaksa mengambil jalan lain dan menyelinap sembunyi ketika hampir kepergok para penjaga.
Ketika dia tiba di lorong yang lebar, sepasukan penjaga melihatnya. Mereka berteriak mengejar dan terpaksa gadis itu lari lagi mengambil jalan lain. Selagi dia kebingungan karena dari mana-mana muncul penjaga, tiba-tiba sebuah pintu di sebelah kirinya terbuka dan muncul seorang pemuda yang memberi isyarat kepadanya dengan tangan agar dia masuk ke pintu itu. Dia merasa heran dan curiga.
“Sssttt.... ke sinilah, Nona....,” kata pemuda itu berbisik.
Gadis itu masih meragu, akan tetapi kini terdengar derap langkah para penjaga dan pengawal yang sedang mencari-carinya, maka dia kemudian menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang berwajah tenang dan tersenyum ramah.
“Masuklah dan engkau akan selamat dari pengejaran mereka,” pemuda itu berkata.
Karena tidak melihat jalan lain, gadis itu lalu memasuki pintu yang dibuka oleh pemuda itu, pedangnya masih tergenggam erat-erat di tangan kanannya. Untung dia bergerak cepat karena baru saja dia masuk, muncullah pasukan pengawal yang mengejarnya, tiba di depan pintu itu.
Si Pemuda masih berdiri di depan pintu dan kini menutupkan pintunya sedikit sehingga gadis itu tidak nampak dari luar. Gadis itu mengintai, pedangnya siap menusuk pemuda itu kalau Si Pemuda ternyata mengkhianatinya dan melapor kepada pasukan. Tetapi dia terheran-heran ketika melihat betapa semua pasukan, dipimpin oleh komandan mereka, memberi hormat kepada pemuda itu dan minta maaf kalau mereka itu mengganggu.
“Kalian ini mengapa ribut-ribut di sini dan sedang mencari apa?” tegur pemuda itu dengan lantang.
Komandan pasukan pengawal itu lalu menjawab dengan suara penuh hormat, “Harap maafkan jika hamba sekalian mengganggu Paduka Pangeran. Hamba sedang mencari seorang buronan, yaitu seorang gadis yang merupakan satu di antara para penyerbu yang mengacau di istana.”
“Hemm, aku sudah mendengar akan hal itu. Apakah belum tertangkap semua? Seorang gadis katamu? Sejak tadi aku berada di dalam taman dan tidak melihat seorang asing, apalagi seorang gadis. Pergilah kalian cari ke tempat lain.”
Pasukan itu memberi hormat dan pergi dari tempat itu. Derap kaki mereka makin menjauh dan akhirnya lenyap. Gadis itu memandang ke belakangnya. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman yang indah, yang cuacanya cukup terang dengan adanya lampu-lampu gantung beraneka warna menghias pohon-pohon di tempat indah itu.
Sunyi sekali di situ. Namun dia pun merasa terheran-heran ketika mendengar betapa pasukan tadi menyebut pemuda ini pangeran! Kecurigaannya timbul kembali. Seorang pangeran, putera Ai Seng Kiauw, putera Kaisar yang menjadi musuh besarnya! Dia menggenggam pedang itu erat-erat ketika pemuda itu menutupkan daun pintu yang menembus ke taman itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Pangeran Kian Liong tersenyum melihat dara yang masih amat muda itu memandangnya penuh curiga dengan pedang siap menyerang!
“Untuk sementara ini engkau aman, Nona.”
Pegangan pada gagang pedang itu mengendur, akan tetapi suaranya masih gugup ketika bertanya, “Paduka.... Paduka seorang pangeran....?”
Pangeran Kian Liong mengangguk. “Benar, dan namaku adalah Kian Liong.”
“Ahhh....!” Gadis itu nampak terkejut sekali dan memandang wajah Pangeran itu dengan bengong.
Pangeran Kian Liong tersenyum. Ada sesuatu pada wajah dan terutama pada pandang mata gadis ini yang luar biasa baginya. “Mari kita bicara di taman yang sunyi itu, Nona, dan ceritakan siapakah Nona dan mengapa Nona yang masih begini muda tersangkut dalam urusan percobaan membunuh Sri Baginda, hal yang amat berbahaya sekali.”
Sikap dan suara Pangeran Kian Liong yang halus dan penuh ketenangan itu dapat mendatangkan ketenangan pula dalam hati gadis itu dan dia pun menurut saja ketika diajak ke dalam taman, bahkan kini dia telah menyimpan kembali pedangnya di dalam sarung pedang yang disembunyikan di bawah mantelnya.
Mereka duduk berhadapan di atas bangku-bangku yang terukir indah di tengah-tengah taman, menghadapi sebuah kolam ikan di mana banyak terdapat ikan-ikan emas yang beraneka warna dan bentuk, yang berenang-renang di sekeliling bunga-bunga teratai merah dan putih.
“Nama hamba Souw Li Hwa, Pangeran dan hamba.... hamba…. sama sekali tidak memusuhi Sri Baginda Kaisar, hamba bukan seorang pemberontak, melainkan seorang murid yang hendak membalaskan dendam Guru hamba yang hidup sengsara karena perbuatan murid Siauw-lim-pai murtad Ai Seng Kiauw!” Gadis itu mulai menceritakan keadaan dirinya.
Pangeran Kian Liong mengangguk maklum. “Aku pun mengerti dan dapat menduga, Nona, akan tetapi betapa pun juga orang yang bernama Ai Seng Kiauw dan dahulu menjadi murid Siauw-lim-pai itu sekarang adalah Kaisar! Nah, ceritakanlah semuanya, apa yang telah terjadi sehingga engkau malam ini dengan nekat bersama beberapa orang hwesio Siauw-lim-pai menyerbu istana dan mencoba membunuh Kaisar.”
Souw Li Hwa lalu bercerita. Dia seorang anak yatim piatu yang kedua orang tuanya tewas ketika dusunnya diserbu perampok. Dia masih kecil, baru berusia lima tahun ketika hal itu terjadi dan dia sendiri diselamatkan oleh pendekar Siauw-lim-pai yang kemudian mengangkatnya sebagai murid dan merawatnya seperti anak sendiri. Li Hwa diberi pelajaran ilmu silat dan ketika dia berusia empat belas tahun, penolongnya yang juga merupakan gurunya dan pengganti orang tuanya itu menikah dengan seorang gadis cantik. Dia masih terus ikut gurunya, sebagai murid dan juga sebagai pembantu isteri gurunya yang juga amat sayang kepadanya.
Karena suami isteri itu tidak mempunyai anak biar pun mereka sudah menikah selama tiga tahun, maka mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai anak sendiri. Kemudian terjadilah mala petaka itu! Guru itu dan isterinya yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya dan yang memang memiliki wajah cantik itu, pergi mengunjungi Kaisar di istana. Kaisar adalah murid Siauw-lim-pai dan terhitung sute dari guru Li Hwa, maka kedatangan suami isteri itu diterima dengan amat ramah oleh Kaisar. Akan tetapi, watak mata keranjang Kaisar itu menimbulkan mala petaka hebat menimpa keluarga yang tadinya hidup dengan rukun dan bahagia itu.
“Ketika Suhu sedang asyik main catur bersama seorang thaikam, dan hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh Ai Seng Kiauw, maka isteri Suhu yang berada di dalam kamar seorang diri itu didatangi oleh Ai Seng Kiauw dan diperkosa. Memang tidak ada saksi atau bukti, akan tetapi apalagi yang menyebabkan isteri Suhu itu tiba-tiba menggantung diri dalam kamar itu? Suhu tidak berani menuduh Kaisar karena tidak ada bukti, akan tetapi peristiwa itu membuat Suhu menjadi sakit-sakitan dan bahkan akhir-akhir ini Suhu menderita tekanan batin yang membuat dia seperti orang yang tidak waras lagi....” Sampai di sini, gadis itu mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.
Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. Cerita ini tidak aneh baginya, karena memang dia pernah mendengar peristiwa yang terjadi kurang lebih setahun yang lalu itu.
Li Hwa kemudian melanjutkan ceritanya. Kiranya selagi masa mudanya dan menjadi murid Siauw-lim-pai, Ai Seng Kiauw bersama delapan orang lainnya yang juga menjadi murid-murid terpandai di Siauw-lim-pai merupakan sekelompok sahabat-sahabat akrab yang terkenal sebagai Sembilan Pendekar Siauw-lim-pai, demikianlah nama julukan yang mereka pilih dan mereka yang sembilan orang ini pernah bersumpah untuk saling setia. Di antara delapan orang ini termasuk pula guru Li Hwa, sedangkan tujuh orang lainnya adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-si, hanya Ai Seng Kiauw dan guru Li Hwa sajalah yang tidak menjadi pendeta.
“Karena menganggap semua perbuatan Ai Seng Kiauw sebagai hal yang keterlaluan, murtad dan mengotori nama baik Siauw-lim-pai, apalagi karena mengingat betapa Ai Seng Kiauw telah berbuat laknat terhadap Guru hamba dan berarti melanggar sumpah setianya sendiri, maka tujuh Susiok itu lalu mendukung niat hamba untuk membalas dendam. Akan tetapi....” Kembali gadis itu mengusap air matanya, “Ternyata kami telah gagal...., dan entah bagaimana nasib tujuh orang Susiok yang malang itu....”
Pangeran Kian Liong memandang tajam. Meski dia masih muda dan bukan merupakan seorang ahli silat yang pandai, namun pergaulan Pangeran ini amat luas dan dia sudah mengenal banyak sekali orang-orang pandai dan sakti. Dia melihat bahwa dara ini sebetulnya bukan merupakan seorang kang-ouw yang keras hati, melainkan seorang nona yang halus perasaannya.
Dan entah mengapa, baru pertama kali ini Pangeran Kian Liong merasa tertarik kepada seorang gadis. Terutama sepasang mata dari dara inilah yang membuat dia terpesona, sepasang mata yang membayangkan penderitaan batin yang amat mendalam dan menimbulkan rasa iba dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa dukanya hati nona ini.
“Nona, menyerbu istana merupakan perbuatan bodoh, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi, mengapa engkau meninggalkan tujuh orang Susiok-mu yang terkepung itu?”
Ditanya begini, dara itu nampak terkejut dan mukanya berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, suaranya terisak ketika dia menjawab. “Itu bukan kehendak hamba! Akan tetapi, Toa-susiok memaksa hamba.... dan.... dan hamba pikir.... kalau kami semua harus tewas, lalu siapa yang kelak akan membalas dendam? Usaha kami ini kali tidak berhasil, mungkin semua Susiok gugur, akan tetapi hamba masih hidup dan hamba akan....”
Tiba-tiba dia teringat bahwa dia berhadapan dengan seorang pangeran, putera dari Kaisar yang hendak dibunuhnya itu dan dia memandang dengan mata terbelalak! Dia menjadi bingung! Pemuda ini adalah putera Kaisar, yaitu putera musuh yang akan dibunuhnya, tetapi juga penolongnya, bahkan sampai saat itu keselamatannya mungkin berada di tangan Pangeran ini!
“Nona, mengapa Nona membiarkan diri terperosok ke dalam lembah dendam ini?”
“Betapa tidak? Hamba kehilangan orang tua, guru, sahabat.... dan hamba kehilangan satu-satunya orang yang selama ini mengasihi hamba.... dan kini, hamba seolah-olah ditinggal sendiri.... dan melihat penderitaan Suhu.... ah, apa yang dapat hamba lakukan kecuali berbakti dan membalas dendam kepada musuhnya?”
Pangeran Kian Liong menggeleng kepalanya sambil tersenyum penuh kesabaran. “Ahh, engkau masih terlalu muda, engkau tidak tahu dan hanya menurutkan perasaan saja, Nona. Apakah sebabnya engkau mendendam kepada Kaisar?”
“Hamba tidak mendendam kepada Kaisar, melainkan kepada Ai....”
“Ya, katakanlah mendendam kepada Ai Seng Kiauw. Mengapa?”
Gadis itu memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh kemarahan. “Karena dia membuat Suhu menjadi gila! Karena dia membunuh isteri Suhu!”
Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Benarkah itu? Suhu-mu itu menjadi sakit dan gila, menurut hematku karena kelemahannya sendiri, Nona.”
“Tidak, Suhu menjadi sakit karena kematian isterinya. Dan isterinya membunuh diri karena diperkosa....”
“Hemm, kalau dipikir secara demikian, memang segala ini ada sebab-sebabnya tentu. Misalnya, mungkin sikap isteri Suhu-mu terlalu manis, atau dia itu terlalu cantik, dan harus diingat lagi bahwa sebab terjadinya peristiwa itu adalah karena Suhu-mu datang mengunjungi Ai Seng Kiauw, dan malah membawa isterinya lagi!
Coba bayangkan, andai kata dia tidak datang ke istana, dan andai kata dia tidak membawa isterinya, dan andai kata isterinya itu tidak cantik, dan andai kata dia itu tidak tergila-gila main catur dan masih banyak andai kata lagi yang menjadi sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, mengapa Nona menyeret diri ke dalam dendam? Ingatlah bahwa Ai Seng Kiauw itu adalah kaisar, dan berusaha membunuh Kaisar, dengan dalih apa pun juga, merupakan pemberontakan!”
Gadis itu kelihatan semakin gelisah dan bingung mendengar ucapan pemuda itu.
“Tapi.... tapi.... kalau hamba diam saja.... berarti hamba menjadi seorang murid yang tidak berbakti....!”
Pangeran itu tersenyum lebar. “Ingat, Nona, tentu engkau tahu bukan siapakah aku ini? Aku adalah seorang pangeran, aku putera Kaisar, berarti aku putera seorang yang kau kenal sebagai Ai Seng Kiauw itu. Aku adalah putera musuh besar yang hendak kau bunuh! Dan apa yang kulakukan?
Alangkah mudahnya kalau aku mau mencontohmu untuk berbakti! Sekali berteriak engkau akan tewas dikeroyok pengawal. Akan tetapi aku tidak mau berbakti seperti itu, berbakti dengan membunuh orang! Nona, tidak dapatkah engkau berbuat seperti aku, menghapuskan segala macam dendam sehingga tidak akan ada permusuhan di antara kita?”
Gadis itu kelihatan semakin bingung. Belum pernah dia bertemu, bahkan mendengar pun belum, akan adanya seorang putera yang tidak memusuhi orang yang hendak membunuh ayahnya seperti Pangeran ini! Malah Pangeran ini menolongnya, biar pun sudah tahu bahwa dia datang untuk membunuh ayah Pangeran itu!
“Aku.... aku tidak tahu....”
“Apakah Nona menghendaki kalau Nona bermusuhan dengan Ayahku, kemudian aku pun memusuhimu? Tidak akan ada habisnyakah dendam-mendendam ini?”
“Tapi.... tapi Ayahmu.... dia jahat....”
Pangeran itu menarik napas panjang, dan menggeleng kepala, “Ayahku dahulu juga seorang pendekar, seorang gagah. Dan harus diakui bahwa dia seorang kaisar yang amat baik. Hanya dia mempunyai kelemahan, atau katakanlah dia sedang dalam keadaan sakit.... dan benarkah kalau kita harus membunuh orang yang sedang sakit? Ataukah tidak lebih tepat kalau kita berusaha mengobatinya?”
Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak orang berlarian, semakin lama semakin dekat. “Hemm, agaknya pasukan pengawal akan mencarimu ke tempat ini, Nona.”
Dara itu meloncat bangun dan mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong berkata, “Jangan, Nona. Percuma saja engkau melawan mereka.”
“Habis, apakah aku harus menyerahkan diri begitu saja?”
“Aku ada akal. Cepat Nona menyelam di dalam kolam ikan, dan sembunyikan kepala di bawah dan di antara daun-daun teratai. Cepat!”
Karena dia sendiri memang sedang bingung dan panik, Li Hwa tidak melihat akal lain dan dia pun lalu masuk ke dalam kolam ikan! Air kolam itu setinggi dadanya dan dia pun menekuk lututnya sehingga terbenam sampai ke bawah mulut dan dia menyembunyikan sisa kepalanya di antara daun-daun teratai, di bagian yang gelap dari kolam itu.
Ketika pasukan pengawal memasuki taman dan tiba di dekat kolam ikan itu, Pangeran Kian Liong sedang melempar-lemparkan batu-batu kecil ke tengah kolam, membuat air kolam itu tergerak-gerak dan agak berombak.
“Maaf, Pangeran,” kata seorang perwira pengawal setelah mereka semua memberi hormat. “Akan tetapi sebaiknya kalau Paduka masuk ke istana karena ada penjahat berkeliaran di sini. Tujuh orang sudah tewas, akan tetapi seorang dari mereka masih belum tertangkap.”
Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. “Tidak perlu kalian mengurus aku! Pergilah dan carilah dia sampai dapat. Dia tidak berada di sini. Hayo pergi dan jangan ganggu, aku lagi!”
Komandan itu dan pasukannya menjadi ketakutan melihat Sang Pangeran bicara dengan sikap marah itu. Dengan hormat mereka lalu mengundurkan diri dan baru setelah tidak terdengar lagi langkah-langkah kaki mereka, Pangeran memberi isyarat kepada Li Hwa untuk keluar dari dalam air.
Gadis itu keluar dan Pangeran Kian Liong memandang dengan terpesona. Karena basah maka pakaian gadis itu melekat pada tubuhnya dan seperti mencetak bentuk tubuh yang padat langsing itu.
“Terima kasih, Paduka telah menyelamatkan hamba, Pangeran.”
Baru Sang Pangeran sadar ketika mendengar ucapan itu dan timbul rasa kasihan melihat seluruh tubuh gadis itu basah kuyup. “Ah, engkau basah kuyup, Nona. Engkau bisa sakit nanti. Mari ikut denganku, engkau harus bertukar pakaian dan baru nanti kuantar engkau keluar dari dalam istana.”
Tanpa banyak cakap lagi Li Hwa lalu diajak pergi dari taman, memasuki kamar Sang Pangeran. Beberapa orang pelayan memandang heran, juga beberapa orang thaikam yang bertugas menjaga malam itu. Akan tetapi Sang Pangeran menaruh telunjuk pada mulutnya dan mereka itu berlutut dan tidak berani mengangkat muka, maklum bahwa Sang Pangeran minta agar mereka menutup mulut.
Mereka hanya merasa heran bukan main. Melihat Pangeran itu datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hal seperti itu tidak mendatangkan keheranan sungguh pun Pangeran Kian Liong bukan seorang pengejar wanita cantik. Akan tetapi datang bersama seorang gadis yang seluruh tubuhnya basah kuyup, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali.
Pangeran Kian Liong mengajak Li Hwa memasuki kamarnya dan menutupkan pintu kamar itu. Kemudian ia mengambil satu stel pakaiannya dan memberikannya kepada Li Hwa. “Nah, kau boleh berganti pakaian kering ini, Nona. Dengan pakaianku ini engkau akan menjadi seorang pemuda dan akan mudah untuk kuantar keluar dari istana tanpa mendatangkan kecurigaan. Pakailah, engkau dapat berganti pakaian di balik tirai itu.”
Li Hwa menerima pakaian itu dengan muka berubah merah, lalu dia pergi ke balik tirai hijau yang tergantung di sudut kamar, menanggalkan pakaiannya yang basah, lalu mengenakan pakaian Pangeran itu yang tentu saja agak terlalu besar untuknya. Ketika dia telah selesai dan keluar dari balik tirai sambil membawa pakaiannya yang basah dan sudah digulungnya, Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan kagum.
“Ah, engkau telah berubah menjadi seorang kongcu yang tampan sekali!”
Li Hwa menunduk dan mukanya menjadi merah. Makin lama dia merasa makin tertarik kepada Pangeran ini sebagai seorang yang amat bijaksana dan dapat menghargai orang kang-ouw, juga amat adil dan berpandangan luas. Sekarang dia bertemu dengan Pangeran ini dan menyaksikan sendiri tindak-tanduk Pangeran ini yang memang amat bijaksana.
“Sekarang, bagaimana selanjutnya, Pangeran?” tanya Li Hwa sambil mengangkat muka memandang pangeran itu.
Kembali Pangeran Kian Liong terpesona. Sekarang mereka berada di dalam kamarnya yang terang dan dia melihat dengan jelas wajah itu, sepasang mata itu dan dia merasa benar-benar kagum sekali hingga pertanyaan itu seperti tak terdengar olehnya. Melihat betapa Pangeran itu memandang bengong kepadanya, Li Hwa kembali menunduk dan barulah Sang Pangeran sadar.
“Ohhh.... sekarang.... hemm, biarlah sekarang aku akan mengantarmu sendiri sampai keluar dari istana. Tidak akan ada yang berani menyentuh selembar rambutmu, Nona. Kemudian, setelah tiba di luar istana, engkau boleh keluar dari kota raja dan kau pakailah cincinku ini. Dengan cincin ini dan sepucuk suratku ini, engkau akan dapat pergi ke mana pun juga tanpa ada yang berani mengganggumu.” Pangeran itu lantas meloloskan sebuah cincin bermata merah yang ada ukiran huruf-huruf namanya, berikut sampul surat yang ditulisnya ketika Li Hwa bertukar pakaian tadi.
Li Hwa menerima cincin dan sampul itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran. “Pangeran telah menyelamatkan hamba, hamba telah hutang nyawa kepada Paduka. Hamba tak mungkin dapat membalasnya dan....”
“Li Hwa, bangkitlah.” Sang Pangeran memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri. Mereka berdiri berhadapan dekat sekali dan kedua tangan Pangeran itu masih berada di atas pundak Li Hwa. “Engkau tak perlu membalas, tak perlu berterima kasih. Aku akan merasa girang sekali kalau engkau mau membuang jauh-jauh dendam dari hatimu itu.”
Dara itu menunduk, dan mengangguk, lalu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya bersinar lembut dan bisikannya menggetar. “Demi Paduka, mengingat akan kebijaksanaan Paduka, hamba berjanji akan membuang dendam itu, Pangeran. Kini hamba melihat bahwa memang tiada gunanya semua itu, bahkan Paduka sendiri yang semestinya yang menghukum hamba, bersikap begini mulia.”
“Bagus! Aku girang sekali, Li Hwa. Dan ingatlah, kelak.... kalau aku sudah menjadi kaisar....”
“Ya....?” Li Hwa mendesak, melihat pemuda bangsawan itu nampak malu-malu untuk melanjutkan ucapannya.
“....dan jika engkau masih bebas.... engkau boleh datang ke sini mengembalikan cincin ini...., dan engkau selamanya boleh tinggal bersamaku di dalam istana.... tentu saja di sampingku....”
Jantung Li Hwa berguncang keras, jalan darahnya menjadi cepat dan dia menundukkan muka sampai dagunya menempel di dada. Sungguh tak disangka-sangkanya sama sekali ucapan Pangeran ini!
Dia sudah merasa berhutang budi, putera Kaisar yang sepatutnya menyerahkannya kepada pengawal, yang sepatutnya menghukumnya sebagai seorang pemberontak yang berusaha membunuh Kaisar, bukan hanya malah menyelamatkannya, menolongnya, bahkan kini secara tidak langsung mengaku cinta kepadanya dan minta dia untuk kelak mendampinginya atau menjadi isterinya!
Rasa haru yang amat mendalam membuat Li Hwa memejamkan matanya, hampir tidak percaya akan kata-kata yang didengarnya tadi. Kalau Pangeran ini bersikap kasar atau merayunya, mencoba untuk memperkosanya, hal itu tidak akan mengherankan hatinya, bahkan tadi dia sudah mempunyai dugaan seperti itu dan diam-diam sudah mengambil keputusan bahwa kalau Pangeran itu mencoba untuk memperkosanya atau bersikap kurang ajar kepadanya, dia akan membunuh Pangeran itu lalu mengamuk sampai titik darah terakhir.
Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Sang Pangeran ini bukan saja telah menyelamatkannya, bahkan bersikap amat sopan dan baik sekali kepadanya, bahkan kini menyatakan cintanya dengan cara tidak langsung, malah meminangnya secara tidak langsung pula!
Dia merasa terharu sekali, dan merasa terpukul betapa tadi dia merasa curiga dan mengira bahwa Pangeran itu akan memperkosanya….