CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 17
Biar pun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat tangan kosong yang lihai, akan tetapi jangan disangka bahwa Cin Liong asing dengan senjata. Sama sekali tidak, dia pandai mainkan delapan belas macam senjata, terutama ilmu pedang!
Melihat pemuda itu sudah memegang senjata, Cu Han Bu yang tidak mau bersikap sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan sabuk emasnya di atas kepala, diputar-putar makin lama makin cepat, lalu berkata, “Orang muda, lihat seranganku!”
Tiba-tiba dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar berkeredepan yang menyambar ke arah kepala Cin Liong, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram ke arah dada. Sungguh merupakan serangan yang amat dahsyat, sekaligus menyerang dengan sabuk emas dan tangan kiri.
Entah mana di antara keduanya itu yang lebih berbahaya, karena harus diakui bahwa hawa pukulan tangan kiri yang mencengkeram itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan hawa pukulan sabuk emas yang menandakan bahwa tangan itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata itu.
Cin Liong bersikap waspada. Dia maklum bahwa lawannya ini lebih lihai dari pada Cu Seng Bu tadi. Sedangkan terhadap Cu Seng Bu ia pun hanya memperoleh kemenangan tipis, maka dia tahu bahwa sekali ini dia menghadapi lawan yang amat tangguh dan dia harus berhati-hati. Melihat serangan itu, dia pun menangkis dengan pedangnya ke atas, dan mendorongkan tangannya ke depan untuk menyambut cengkeraman tangan kiri lawan.
“Tringgg.... Plakkk!”
Keduanya terdorong mundur oleh pertemuan senjata dan tangan itu, dan Cin Liong dapat merasakan betapa tenaga orang ini amat kuat, lebih kuat dari pada tenaga Cu Seng Bu dan dia merasa betapa tubuhnya tergetar oleh dua adu tenaga tadi. Tetapi, Cin Liong tidak sempat berpikir lebih banyak lagi karena kini terdengar suara berdesing-desing dan pandang matanya menjadi silau melihat gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya.
Gulungan itu membungkus diri Cu Han Bu, dan suara berdesing-desing itu makin lama makin nyaring. Sinar-sinar yang mencuat dari gulungan emas yang merupakan tembok benteng itu makin gencar menyerangnya sehingga pemuda ini terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya. Dia merasakan desakan yang amat kuat dari gulungan sinar keemasan itu dan setiap kali pedangnya menangkis, terdengar suara nyaring dan dia merasa telapak tangannya perih sekali!
Memang hebat sekali ilmu kepandaian Cu Han Bu itu. Untuk selama kurang lebih tiga puluh jurus sabuk emasnya merupakan gulungan sinar yang menghujankan serangan kepada Cin Liong, membuat pemuda itu sibuk sekali menangkis dan hampir tidak ada kesempatan untuk membalas serangan lawan. Kemudian secara mendadak gulungan sinar keemasan itu lenyap dan kini Cu Han Bu melakukan serangan satu-satu dengan gerakan lambat.
Akan tetapi, setiap kali sabuk emas itu menyambar terdengar suara angin dahsyat menghembus dan begitu Cin Liong menangkisnya, pemuda ini berseru kaget karena tenaga yang terbawa oleh sabuk itu sedemikian kuatnya sehingga kuda-kuda kakinya tergeser dan hampir dia terhuyung, dan selain tenaga yang amat kuat ini, juga dia merasa betapa ada hawa panas menjalar ke seluruh lengannya!
Tahulah dia bahwa lawannya kini benar-benar telah mengerahkan seluruh tenaga simpanannya! Dia pun berusaha untuk balas menyerang, bahkan kini dia berusaha sedapat mungkin untuk menghindarkan pertemuan senjata secara langsung karena dia maklum bahwa tenaga sinkang-nya masih kalah kuat dibandingkan dengan orang ini.
Akan tetapi, gerakan Cu Han Bu yang lambat itu ternyata amat aneh dan di sekitar tubuhnya seolah-olah ada gulungan tenaga yang tak nampak sehingga tiap kali pedang Ban-tok-kiam di tangan Cin Liong balas menyerang, ujung pedang itu menyeleweng seperti ditangkis oleh hawa yang amat kuat. Sementara itu, setiap kali menyerang sabuk emas tidak dapat dielakkan lagi karena biar pun gerakan sabuk itu lambat, namun seolah-olah dapat mengikuti ke mana pun Cin Liong mengelak!
Oleh karena ini, pemuda itu terpaksa menangkis dan menangkis lagi dan makin lama tangkisannya menjadi semakin lemah karena memang berat rasanya menangkis sabuk itu sehingga lewat beberapa lama kemudian, setiap kali menangkis dia tentu terhuyung ke belakang!
Patut diketahui bahwa ketika dia melawan Cu Seng Bu tadi, keadaannya dengan lawan itu seimbang hingga Cin Liong terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya. Oleh karena itu, setelah kini dia berhadapan dengan Cu Han Bu, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dan juga tenaga lebih kuat dibandingkan dengan adiknya, tentu saja Cin Liong menjadi lelah dan semakin lama tenaganya menjadi semakin lemah. Betapa pun juga, dengan Ban-tok-kiam di tangannya, pedang yang juga ditakuti oleh Cu Han Bu yang mengenal pedang beracun yang amat berbahaya, dia masih mampu bertahan sampai seratus jurus dia belum juga kalah, walau pun sudah berkali-kali dia terhuyung ke belakang.
Tentu saja Wan Ceng memandang dengan penuh khawatir, alisnya berkerut dan beberapa kali dia mengepal tinju tangannya. Hanya Kao Kok Cu yang masih tetap tenang saja karena biar pun dia juga maklum bahwa puteranya itu akan kalah, namun dia percaya bahwa Cin Liong mampu menjaga diri sehingga tidak sampai terancam keselamatannya.
Cu Han Bu memang telah mengeluarkan semua kepandaiannya. Baginya, perkelahian itu adalah soal hidup atau mati, karena kalau dia kalah, biar pun andai kata dia masih hidup, namun dia dan adiknya seperti telah mati saja, akan mengundurkan diri dan menjadi pendeta dengan mencukur gundul kepala mereka. Inilah sebabnya mengapa dia menyerang dengan ganas tanpa mempedulikan lagi apakah serangannya itu akan menewaskan lawannya.
Melihat betapa lawannya itu semakin kuat dan semakin ganas, mendadak Cin Liong mengeluarkan pekik melengking nyaring dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, dia sudah mengeluarkan Ilmu Sin-liong Hok-te dengan menggunakan pedang Ban-tok-kiam. Tubuhnya meluncur ke depan, disambung oleh pedangnya, menerjang ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat.
Melihat ini Cu Han Bu terkejut. Dia maklum bahwa ilmu ini luar biasa sekali dan tadi adiknya juga kalah oleh ilmu ini. Maka dia pun meloncat ke depan menyambut, sambil memutar sabuk emasnya.
“Trannggg.... plakkkk....!”
Kini nampak pedang Cin Liong terlempar ke atas dan pemuda itu sendiri terguling! Akan tetapi dia sudah dapat meloncat lagi ke atas dan manyambar pedangnya, siap untuk menyerang lagi. Pada saat itu, Kao Kok Cu mencelat ke depan dari atas kursinya.
“Cukup, Cin Liong. Engkau telah kalah!” katanya.
Pemuda itu pun tidak membantah karena harus diakuinya bahwa dia telah kehilangan pedang tadi, dan juga pundaknya telah beradu dengan ujung sabuk emas dan biar pun tulang pundaknya tidak patah, namun lengan kirinya itu menjadi setengah lumpuh dan kalau digerakkan menjadi nyeri sekali pada pundaknya. Jelaslah bahwa kalau dia maju melawan lagi sama artinya dengan bunuh diri, maka dia pun menjura ke arah Cu Han Bu dan kembali ke tempat duduknya, disambut oleh ibunya yang segera memeriksa pundaknya.
Pundak itu matang biru! Wan Ceng cepat mengeluarkan koyo hitam, melumerkan koyo itu dengan hawa panas dari telapak tangannya dan menempelkan koyo itu di pundak puteranya, dan menyuruh puteranya menelan dua butir pel hitam. Kemudian keduanya duduk menonton pertandingan antara Kao Kok Cu dan Cu Han Bu dengan penuh perhatian setelah Wan Ceng menyimpan kembali pedang Ban-tok-kiam.
Sementara itu, tadi Kao Kok Cu telah menghadapi Cu Han Bu dan berkata, “Saudara Cu, sekarang keadaan kita satu-satu. Marilah kita menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.”
“Silakan kau mengeluarkan senjata, Kao-taihiap,” kata Cu Han Bu dengan sikap masih menghormat.
“Aku tidak pernah mempergunakan sanjata. Majulah!” tantang Naga Sakti Gurun Pasir.
Cu Han Bu percaya akan kata-kata ini dan tidak menganggap pendekar itu memandang rendah kepadanya. Maka dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan sudah memutar sabuk emasnya serta menyerang dengan gerakannya yang lambat namun mantap dan amat kuat itu.
Tadi ketika Cu Han Bu bertanding melawan Cin Liong, Kao Kok Cu sudah menyaksikan gerakan-gerakannya dan sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah matang, sekali lihat saja dia sudah tahu akan sifat-sifat ilmu silat lawan ini. Memang harus diakuinya bahwa jarang dia melihat orang memiliki ilmu silat sehebat keluarga Cu ini. Ilmu silat mereka adalah ilmu silat asli, ilmu silat keluarga yang telah dilatih secara sempurna sekali dan pada waktu itu, kiranya jarang menjumpai orang-orang dengan ilmu setinggi yang dimiliki keluarga Cu ini.
Karena dia sudah tahu akan sifat ilmu silat lawan, maka kini dia tahu bagaimana harus menghadapinya. Tadi dia memperhatikan gerakan Cu Han Bu. Ketika menghadapi Cin Liong, orang ini kadang-kadang mempergunakan kecepatan yang luar biasa selama beberapa puluh jurus, menghujankan serangan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, lalu dia mengubah gerakannya menjadi lambat-lambat sekali.
Akan tetapi Kao Kok Cu maklum bahwa justru kalau bergerak lambat-lambat inilah maka orang ini amat berbahaya karena di sini letak seluruh kekuatannya! Kalau Cu Han Bu bergerak perlahan-lahan dan lambat-lambat itu maka dia amat kuat dan seolah-olah tubuhnya dikelilingi oleh benteng yang tidak nampak dan kekuatan dalam yang dahsyat. Oleh karena itu, ketika Cu Han Bu mulai menyerang dengan gerakan lambat-lambat itu, Kao Kok Cu tidak mau membalas serangan, bahkan dia hanya mengelak saja selalu menanti lawan menyerang untuk dielakkan dengan amat mudah tentunya, karena memang serangan-serangan Cu Han Bu itu biar pun amat mantap dan kuat, namun lambat-lambat datangnya.
Karena tidak melihat lawan dapat dipancing dengan gerakan lambat, Cu Han Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang menggetarkan jantung karena dia telah mengerahkan khikang-nya yang dihimpun ketika dia berlatih suling, dia mulai menyerang dengan cepat!
Diam-diam Kao Kok Cu merasa girang. Akan tetapi dia masih tetap mengelak ke sana-sini dan sekali-kali menangkis dengan tangan kanannya dan hanya membalas serangan lawan dengan cara sembarangan saja, dengan tamparan-tamparan tangan kanan yang mengandung angin bersuitan.
Melihat betapa lawannya bersikap tenang dan seperti tidak sungguh-sungguh. Cu Han Bu mulai marah! Dia mulai mengira bahwa Si Naga Sakti Gurun Pasir ini memandang ringan padanya! Gerakannya dipercepat hingga makin lama gulungan sinar keemasan itu menjadi makin lebar, dan tubuhnya lenyap sama sekali dalam bungkusan gulungan sinar!
Kao Kok Cu menanti sampai gerakan itu tiba pada kecepatan puncak, kemudian tiba-tiba dia membentak dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, seperti sebatang anak panah, atau seperti seekor naga terbang, menyerang ke depan, dan lengan baju kirinya yang ‘kosong’ itu bergerak-gerak dan seperti hidup!
Melihat ini, Cu Han Bu cepat menusukkan sabuk emasnya. Akan tetapi sabuk itu dapat ditangkap dan dilibat oleh lengan baju kiri itu yang hidup seperti seekor ular yang membelit, tidak mungkin dapat ditarik kembali dan otomatis gerakan sabuk itu pun terhenti. Cu Han Bu terkejut dan menjadi nekat, menghantamkan tangan kirinya.
Akan tetapi inilah kekeliruannya, karena pada saat itu Naga Sakti Gurun Pasir sedang mempergunakan Ilmu Sin-liong-hok-te dan kekuatan mukjijat memasuki tubuhnya, maka begitu pendekar ini menangkis dengan tangan kanannya, dua tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Cu Han Bu terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan sabuk emas itu patah menjadi dua, yang sepotong masih dipegang dan yang sepotong lagi berada dalam libatan lengan baju Naga Sakti Gurun Pasir!
Cu Han Bu bangkit berdiri, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah dan jelas dia menderita luka dalam yang hebat. Sejenak dia terbelalak memandang kepada Kao Kok Cu, kemudian mengerakkan tangannya hendak memukulkan sepotong sabuk emas itu ke arah kepalanya sendiri!
“Wuuuut.... tranggg....!”
Sepotong sabuk emas itu terpental dan terlepas dari pegangan, disambar potongan sabuk emas yang meluncur dari lengan baju Kao Kok Cu yang menyambitkannya ketika melihat bekas lawan itu hendak membunuh diri.
“Hanya kaum pengecut sajalah yang tidak berani menghadapi kekalahan dalam hidup!” terdengar suara Kao Kok Cu berkata, suara yang menggetar dan mengandung penuh kekuatan, sedemikian dahsyatnya sehingga seluruh benda di sekitar tempat itu pun ikut tergetar.
Cu Han Bu terkejut, memandang ke bekas lawannya dan menarik napas panjang, lalu jatuh terduduk, bersila dan memejamkan matanya. Kao Kok Cu membiarkan saja dia demikian itu seketika lamanya, oleh karena dia maklum bahwa kalau tidak cepat-cepat majikan lembah itu mengumpulkan hawa murni, dia tentu takkan dapat tertolong lagi. Cu Pek In lari menghampiri ayahnya, akan tetapi sebelum dia menyentuh ayahnya dia dicegah oleh Cu Seng Bu yang memegang lengan gadis itu. Cu Pek In memandang ayahnya dengan air mata menetes di kedua pipinya.
Suasana amat menyedihkan dan mengharukan hati keluarga Kao Kok Cu. Mereka ini tahu bahwa dengan berhasilnya mereka melaksanakan perintah kaisar, mereka pun berarti menghancurkan kebahagiaan keluarga Cu ini! Mereka merasa menyesal sekali, akan tetapi apa yang sudah terjadi tidak dapat diperbaiki kembali. Mereka bertiga memandang ke arah Cu Han Bu, seperti yang dilakukan oleh Cu Seng Bu dan Pek In, dan mereka menanti.
Tak lama kemudian, pernapasan yang tadinya memburu itu menjadi semakin tenang dan akhirnya terdengar Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu membuka matanya dan pertama kali dia menggerakkan mata, dia memandang ke arah Kao Kok Cu.
“Terima kasih, Naga Sakti Gurun Pasir, bukan karena engkau telah menyelamatkan aku, melainkan karena engkau telah mengingatkan aku yang hampir menjadi pengecut. Engkau benar, dan aku tidak akan takut menghadapi kegagalan. Kami telah kalah. Nah, dengarlah. Pedang itu berada pada muridku yang bernama Sim Hong Bu. Dialah yang berhak mewarisi pedang itu bersama ilmunya. Dan sekarang, dialah yang berhak atas pedang itu, bukan kami.“
Kao Cin Liong merasa kecewa karena tadinya dia mengharapkan bahwa kemenangan itu akan membuat keluarga ini menyerahkan pedang pusaka itu kembali. “Dan di mana adanya Sim Hong Bu itu, Lo-enghiong?”
Cu Han Bu tersenyum pahit. “Goan-swe, engkau boleh menangkapku, membunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat memaksa kami menjadi pengkhianat-pengkhianat yang mengkhianati dia yang menjadi muridku dan pewaris pedang pusaka kami!”
Cu Seng Bu dan Cu Pek In juga menentang pandang mata dengan sikap menantang. Kao Kok Cu maklum bahwa tiada gunanya memaksa karena orang-orang gagah seperti ini tentu akan lebih suka menyerahkan nyawa dari pada harus mengkhianati orang sendiri.
“Satu pertanyaan lagi, Saudara Cu Han Bu. Perlukah aku menggeledah di lembah ini untuk mencari Sim Hong Bu?”
Cu Han Bu memandang dengan sinar mata tajam. “Percuma, dia tidak berada di sini.”
“Biar aku akan mencarinya di sini, Ayah,” kata Cin Liong, tetapi ayahnya mencegah.
“Tidak perlu, Cin Liong. Saudara Cu Han Bu sudah mengatakan bahwa dia tidak ada di lembah ini. Dia sudah mengatakan sejujurnya dan aku yakin dia mempunyai cukup kehormatan untuk tidak membohongi kita. Mari kita pergi, kita akan mencari sendiri Sim Hong Bu!” Setelah berkata demikian, Kao Kok Cu menjura ke arah mereka dan berkata, “Perkenankan kami pergi dari sini, Saudara Cu, dan maafkan semua perbuatan kami.”
Kao Kok Cu bersama anak isterinya hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Cu Han Bu bangkit dan berkata dengan suara parau, “Kao Kok Cu!” Pendekar itu bersama isteri dan puteranya berhenti dan membalikkan tubuh, memandang dengan alis berkerut.
“Dengarlah! Hari ini kami keluarga Cu kalah olehmu, akan tetapi ingat, murid kami Sim Hong Bu yang kelak akan membuktikan bahwa kami tidak kalah olehmu, dan pedang Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka kami itu yang akan mengalahkanmu! Nah, mulai sekarang, aku dan Adikku akan mengasingkan diri sesuai dengan janji, menjadi hwesio dan bertapa di tempat sunyi. Biarlah murid kami itu yang kelak membalaskan kami. Pek In, antarkan tamu sampai menyeberang!”
Dengan muka pucat dan mata basah air mata, Cu Pek In memandang dengan mata penuh kebencian kepada keluarga Kao, lalu berkata, “Mari!” Dia pun lalu berjalan dengan tubuh ditegakkan, menuju ke arah jurang penyeberangan.
Kao Kok Cu dan anak isterinya mengikutinya karena mereka maklum bahwa kalau pihak tuan rumah menghendaki, sukar bagi mereka untuk dapat keluar dari lembah itu tanpa bahaya. Andai kata dirusak saja jembatan tambang itu, berarti mereka tidak tahu bagai mana harus keluar dari lembah yang terasing dari dunia luar dan hanya dihubungkan dengan dunia luar melalui jembatan tambang itu saja.
Tanpa mengeluarkan kata-kata, kemudian Pek In memberi isyarat kepada para penjaga. Jembatan tambang diangkat naik, gadis itu pun meloncat ke atas jembatan tambang itu diikuti oleh tiga orang tamunya. Setelah mereka semua tiba di seberang, gadis itu lalu berkata dengan sikap kaku, “Selamat jalan!”
Kao Cin Liong merasa kasihan. “Selamat tinggal, Nona, dan maafkan kami.”
Akan tetapi gadis itu telah meloncat kembali ke atas jembatan tambang dan berlari cepat, kembali menuju ke lembah. Kao Kok Cu lalu menarik napas panjang. “Sungguh sayang, Cin Liong, kita sudah menanam bibit kebencian di dalam hati keluarga yang demikian gagahnya.”
“Kita berada dalam tugas, Ayah, bukan urusan pribadi,” kata Cin Liong tenang.
“Benar! Kalau mereka itu benar-benar orang gagah tentu menyadari hal itu. Urusan ini urusan tugas perintah, bukan urusan pribadi, akan tetapi kalau mereka menganggap sebagai permusuhan perorangan dan mendendam kepada kita, adalah karena ketololan mereka sendiri!” kata Wan Ceng yang wataknya masih belum berubah, yaitu keras dan berani.
Kao Kok Cu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyangkal kebenaran ucapan isterinya dan puteranya, betapa pun juga, dia tahu bahwa bagi sebuah keluarga yang hebat seperti keluarga Cu itu, nama merupakan hal yang amat penting dan sekarang mereka itu kehilangan nama, oleh karena itu sudah pasti mereka merasa sakit hati. Pendekar ini masih mendengar ancaman Cu Han Bu dan dia sudah menganggap nama Sim Hong Bu sebagai nama yang mungkin kelak akan menimbulkan kesukaran baginya dan keturunannya.
Agaknya Wan Ceng dapat membaca kekhawatirannya di wajah suaminya, maka nyonya ini berkata dengan gagah, “Bekerja tidak boleh kepalang tanggung! Barusan kita telah mengalahkan keluarga itu, dan kini, bagaimana pun juga kita harus bisa mendapatkan orang yang bernama Sim Hong Bun itu dan merampas pedang pusaka istana sebelum urusan menjadi berlarut-larut.”
Kao Cin Liong mengangguk. “Ucapan Ibu benar sekali, dan saya kira murid mereka itu tentu tidak berada jauh dari lembah ini!”
Demikianlah, tiga orang itu lalu mulai mencari jejak Sim Hong Bu, akan tetapi karena mereka belum pernah melihat wajah pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu, tentu saja tidak mudah bagi mereka. Apalagi, seperti kita ketahui, pemuda itu menyembunyikan diri dalam sebuah goa rahasia untuk melatih ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut sampai sempurna.
Dan karena selama beberapa hari mereka menyelidiki tempat-tempat sekitar lembah itu, maka mereka melihat munculnya Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang baru kembali dari perjalanan mereka mengunjungi Sai-cu Kai-ong. Tiga orang itu bersembunyi, kemudian membayangi Yu Hwi dan Cu Kang Bu.
“Dia.... bukankah dia itu Ang-siocia, murid dari Hek-sin Touw-ong....?” Ceng Ceng atau Wan Ceng berbisik kepada suaminya.
Kao Kok Cu mengangguk. Kini dia pun ingat, itulah gadis yang dulu pernah membantu mendiang ayahnya, yaitu Jenderal Kao Liang ketika ayahnya itu ditawan Pangeran Nepal di sebuah benteng yang amat kuat. Gadis liar yang banyak akalnya dan yang pada dasarnya mempunyai watak yang gagah perkasa dan baik, seperti yang telah dibuktikannya ketika membantu ayahnya itu.
“Dan pria itu.... mungkinkah dia Sim Hong Bu?” bisik Cin Liong dengan jantung berdebar penuh harapan.
Pria itu nampak gagah perkasa, tinggi besar seperti raksasa dan memang pantaslah kalau menjadi murid keluarga Cu yang berilmu tinggi, walau pun raksasa ini agaknya sudah terlalu tua untuk menjadi murid mereka.
“Hemm, mungkin saja. Lihat, mereka menuju ke jurang pemisah lembah,” bisik Kao Kok Cu.
“Sebaiknya kita bertanya secara terus terang saja. Heiii, tunggu dulu....!” Wan Ceng berseru dan meloncat keluar, diikuti suaminya dan puteranya.
Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang sedang berjalan dengan asyik dan mesranya, sambil bergandengan tangan dan bercakap-cakap diseling senyum mesra, terkejut sekali dan cepat mereka saling melepaskan tangan dan membalikkan tubuh memandang kepada tiga orang yang muncul secara tiba-tiba itu.
Seorang pendekar seperti Si Naga Gurun Pasir tentu saja sukar dapat dilupakan orang, terutama sekali karena lengannya tinggal sebelah itu. Demikian pula dengan Yu Hwi, begitu melihat pendekar ini, dia terkejut sekali dan teringat, apalagi setelah dia melihat Wan Ceng, maka dengan gagap saking kaget dan juga gembiranya dia lantas berseru, “Bukankah.... bukankah saya berhadapan dengan Naga Sakti Gurun Pasir, Kao Kok Cu Taihiap bersama isteri?”
Ucapan kekasihnya ini membuat Cu Kang Bu juga terkejut bukan main. Pernah dia mendengar nama besar seperti nama tokoh dalam dongeng ini, dan kekasihnya pernah pula bercerita tentang pertemuan kekasihnya dengan pendekar sakti dan isterinya ini ketika kekasihnya membantu mendiang Jenderal Kao Liang, ayah dari pendekar sakti ini.
“Ingatanmu kuat sekali, Nona. Benar, aku adalah Kao Kok Cu dan ini adalah isteri dan putera kami.”
“Hemm, engkau tentu Ang-siocia, bukan?” Wan Ceng berkata sambil memandang tajam wajah gadis itu, akan tetapi lalu dia memandang wajah Cu Kang Bu sambil bertanya penuh curiga, “Dan siapakah dia ini?”
Ang-siocia atau Yu Hwi tertawa mendengar disebut nama julukannya yang sudah lama sekali tidak pernah didengarnya, yang hampir dilupakannya itu. “Ahhh, Bibi yang gagah perkasa, saya tidak berjuluk Ang-siocia lagi. Lihat, pakaian saya tidak merah, bukan? Dan dia ini adalah....” Wajahnya berubah dan dia tidak melanjutkan kata ‘tunangan’ itu. “.... bernama Cu Kang Bu.”
“Ahhh....!” Cin Liong berseru, kecewa.
“Apakah masih saudara dengan sahabat-sahabat Cu Han Bu dan Cu Seng Bu?” tanya Kao Kok Cu.
Cu Kang Bu yang sudah lama mengagumi nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sudah cepat menjura dengan hormat dan menjawab, “Mereka itu adalah kakak-kakak saya dan saya merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan Kao-taihiap yang nama besarnya sudah lama saya dengar dari..... tunangan saya ini.“
Mendengar bahwa laki-laki gagah perkasa dan bertubuh raksasa ini adalah adik dari keluarga Cu yang merahasiakan di mana adanya Sim Hong Bu yang membawa pedang pusaka itu, Wan Ceng yang cerdik cepat bertanya, “Saudara Cu Kang Bu, dapatkan engkau memberitahu kami di mana adanya Sim Hong Bu....?”
“Sim Hong Bu....?” Kang Bu dan Yu Hwi berkata heran, tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Mereka tidak tahu mengapa keluarga ini bertanya tentang murid itu, dan mereka meragu apakah mereka boleh memberitahukan kepada orang lain karena pemuda itu sedang menyembunyikan dirinya untuk menggembleng diri dan melatih ilmu pedang sampai sempurna. Bukankah Sim Hong Bu mempunyai tugas yang amat berat, yaitu kelak dialah yang harus mengangkat kembali nama keluarga lembah, dan menandingi, atau kalau mungkin mengalahkan Suling Emas?
Selagi mereka meragu, terdengar suara nyaring di belakang mereka. “Paman, jangan beritahukan! Ayah dan Paman Seng Bu telah terluka oleh mereka dan sedang menanti kedatangan Paman!”
Kiranya yang bicara itu adalah Cu Pek In yang memandang ke arah keluarga Kao itu dan dengan sinar mata penuh kebencian. “Mereka ingin merampas pedang pusaka kita, dan kalau mereka tahu di mana adanya dia, tentu akan dirampasnya pedang itu!”
Cu Kang Bu memandang dengan mata terbelalak, sedangkan Yu Hwi memandang pendekar sakti dan isterinya itu dengan wajah terheran-heran. “Bagaimana Ji-wi dapat melakukan hal seperti itu? Aku.... aku tidak peccaya....”
Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Kami adalah utusan Kaisar yang ingin supaya pedang pusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana itu dikembalikan.”
Mengertilah kini Yu Hwi dan dia pun menjadi serba salah. Akan tetapi Kang Bu sudah menarik tangannya. “Mari, Hwi-moi, kita menengok kedua kakak kita yang terluka.” Dan mereka bertiga lalu lari ke arah jurang, menyeberangi jurang melalui jembatan tambang, meninggalkan tiga orang keluarga Kao yang hanya dapat memandang saja.
“Agaknya tak mungkin dapat diharapkan dapat menemukan Sim Hong Bu itu melalui mereka, dan harus dicari lebih jauh lagi!” kata pendekar itu yang lalu mengajak anak isterinya untuk meninggalkan lembah.
Akan tetapi mereka mencari terlalu jauh. Tak lama sesudah Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke lembah, dengan hati-hati sekali Cu Kang Bu lalu meninggalkan lembah untuk pergi ke goa tempat persembunyian Sim Hong Bu dan dia mengajak pemuda itu untuk pergi ke lembah. Keluarga Cu berduka cita, bukan hanya karena Cu Han Bu dan Cu Seng Bu kalah bertanding dan terluka parah, akan tetapi juga karena keputusan dua orang tokoh itu untuk selanjutnya mencukur gundul kepala mereka dan hidup sebagai pertapa yang mengasingkan diri!
“Sebelum kami berdua mencukur rambut dan kemudian meninggalkan tempat ini untuk mengasingkan diri sebagai pendeta, aku ingin terlebih dahulu menunaikan kewajibanku meresmikan pernikahan kalian, Kang Bu dan Yu Hwi. Keadaan kita sedang prihatin, oleh karena itu maafkanlah saudara tuamu ini bahwa terpaksa pernikahan kalian tidak diramaikan, cukup disaksikan oleh para pembantu murid kita di lembah dan dilakukan upacara sembahyang kepada leluhur kita. Sesudah itu, kalian berdualah yang kami serahi untuk mengurus lembah ini. Akan tetapi kalau kalian menghendaki untuk tinggal di tempat lain, terserah, asalkan semua anak buah dibubarkan lebih dulu dan jembatan yang menghubungkan lembah ini keluar dimusnahkan. Dan aku titip Pek In kepada kalian….” Cu Han Bu berhenti sebentar dan menarik napas panjang untuk menekan hatinya yang terharu melihat Pek In menangis terisak-isak.
“Dan engkau, Sim Hong Bu. Engkau adalah murid kami, juga pewaris pedang pusaka keluarga Cu. Bahkan engkau satu-satunya pewaris Ilmu Pedang Koa-liong Kiam-sut. Engkau sekarang menjadi buronan pemerintah, karena kaisar telah mengirim utusan untuk merampas pedang pusaka. Bersumpahlah bahwa engkau akan mempertahankan pedang pusaka kami itu, demi menjunjung nama keluarga kami!”
“Teecu bersumpah, Suhu,” kata Hong Bu dengan suara tegas. “Dengan taruhan nyawa, teecu akan mempertahankan pedang ini!”
“Bagus, hatiku lega mendengar itu. Dan engkau mempunyai tugas yang amat berat, Hong Bu. Selain mempertahankan pedang, juga untuk membela nama baik keluarga Cu dan Lembah Suling Emas yang terpaksa kita rubah menjadi Lembah Naga Siluman ini, kelak engkau harus membuktikan bahwa Koai-liong-kiam (Pedang Naga Siluman) tidak kalah terhadap Kim-siauw (Suling Emas). Carilah Kam Hong dan ajaklah dia bertanding untuk membuktikan siapa yang lebih unggul antara kalian, dengan demikian harapan kami selama ini tidak akan sia-sia.”
Tentu saja Hong Bu sudah pernah mendengar akan hal ini, hal yang sungguh membuat hatinya tidak enak. Dia amat kagum dan suka kepada Kam Hong, dan kenyataan bahwa dia kelak harus berhadapan dengan pendekar itu sebagai musuh, sungguh membuat hatinya tidak enak. Apalagi kalau dia teringat kepada Ci Sian yang menjadi sumoi dari pendekar besar itu! Akan tetapi, dia maklum bahwa dia tidak dapat menolak permintaan suhu-nya ini.
“Baik, Suhu. Pesan Suhu ini pasti akan teecu penuhi.”
“Masih ada lagi, muridku. Engkau melihat sendiri betapa Suhu-Suhu-mu telah terluka dan terpaksa menjadi hwesio karena dikalahkan oleh keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Aku yakin bahwa jika engkau sudah menyempurnakan latihan-latihanmu, engkau akan mampu mengalahkan dia. Maka aku menghendaki agar kelak engkau mencari Naga Sakti Gurun Pasir. Atas nama kami, balaslah kekalahan kami untuk mempertahankan kehormatan nama keluarga Cu!”
Sebenarnya, di lubuk hatinya, Sim Hong Bu tidak setuju dengan sikap suhu-nya. Suhu dan susiok-nya ini kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir bukan karena urusan pribadi seperti yang mereka ceritakan kepadanya tadi. Keluarga Kao itu datang sebagai utusan Kaisar dan kalau dalam pertandingan perebutan pedang itu keluarga Cu kalah, hal itu sudah wajar karena dalam setiap pertandingan tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pula, apa jeleknya kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya dipuja-puja seperti tokoh dewa dalam dongeng?
Tetapi dia tahu, suhu dan keluarga suhu-nya memang amat keras kepala, tidak dapat menerima kekalahan karena terlalu lama terbiasa dengan anggapan bahwa keluarga mereka adalah keluarga yang tidak pernah terkalahkan, keluarga yang menyimpan rahasia ilmu-ilmu dahsyat, dan nenek moyang mereka yang menciptakan benda-benda pusaka seperti Suling Emas dan Pedang Naga Siluman.
Cu Han Bu melihat keraguan muridnya dan diam-diam dia merasa agak malu juga. Dia agaknya dapat membaca apa yang menjadi keraguan hati muridnya, maka dia berkata lagi, “Hong Bu, ketahuilah bahwa kami tidak memiliki dendam sakit hati pribadi terhadap Naga Sakti Gurun Pasir. Pertentangan antara mereka dan kami hanya kebetulan saja karena puteranya menjadi jenderal dan utusan Kaisar. Akan tetapi, jika engkau sebagai murid dan pewaris keluarga kami tidak memperlihatkan bahwa kita tidak kalah oleh mereka, tentu dunia kang-ouw akan menganggap bahwa nama keluarga Cu adalah nama kosong belaka.”
“Baiklah, teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan,” akhirnya Hong Bu menjawab dan diam-diam dia mengeluh dalam hatinya karena selain dia kini karena pedang itu telah menjadi buronan pemerintah, juga dia sudah terlanjur berjanji akan menghadapi dua orang pendekar yang paling sakti di dunia ini!
“Ada satu hal lagi, muridku. Yaitu mengenai diri Sumoi-mu, Pek In. Telah kupikirkan dalam-dalam hal ini untuk waktu lama sekali. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau kelak Pek In dapat menjadi isterimu, Hong Bu.”
Tentu saja Pek In menjadi malu dan menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan jantungnya berdebar-debar tegang.
Sebaliknya, wajah Hong Bu menjadi pucat, kemudian merah. Tak disangkanya gurunya akan membicarakan hal itu secara terbuka. Dia tahu betul bahwa sumoi-nya jatuh cinta kepadanya, dan dia pun sudah dapat menduga dari sikap suhu-nya bahwa suhu-nya juga setuju untuk mengambil dirinya sebagai mantu. Akan tetapi dia sendiri menyayang Pek In hanya sebagai murid suhu-nya. Tanpa disengajanya, tiba-tiba saja wajah Ci Sian terbayang di depan matanya.
“Suhu.... tentang hal ini.... teecu.... teecu sama sekali masih belum berpikir soal…. soal perjodohan....”
Cu Han Bu menarik napas panjang. “Hong Bu, kukatakan tadi bahwa aku akan merasa berbahagia kalau kelak engkau dapat berjodoh dengan Pek In. Tentu saja aku sama sekali tidak memaksamu. Urusan perjodohan adalah urusan dua orang dan terserah kepada kalian, aku tadi hanya mengatakan akan berbahagia kalau kalian berjodoh....“ Sampai di sini, Cu Han Bu memberi isyarat membubarkan pertemuan itu oleh karena kesehatannya belum pulih benar dan terlalu banyak bicara mendatangkan rasa nyeri di dadanya.
Demikianlah, pernikahan antara Yu Hwi dan Cu Kang Bu dilangsungkan dengan sangat sederhana, dengan pesta antara keluarga dan anak buah lembah itu tanpa dihadiri oleh seorang pun dari luar lembah, serta disaksikan arwah nenek moyang mereka yang mereka sembahyangi. Dan pada keesokan harinya, Sim Hong Bu harus meninggalkan lembah, membawa bekal emas dan perak secukupnya dan menyembunyikan pedang pusaka itu di balik jubahnya. Dua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu sendiri yang mengantarnya sampai ke luar dari lembah.
Kemudian, beberapa hari sesudah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu pergi menuju ke sebuah kuil yang berada di puncak sebuah bukit dekat lembah, lalu disaksikan oleh para hwesio mereka menggunduli rambut, menjadi hwesio lalu melakukan perjalanan untuk mengasingkan diri mereka, sesuai dengan janji mereka terhadap Si Naga Sakti Gurun Pasir!
Yu Hwi dan Cu Kang Bu kini menjadi majikan lembah. Akan tetapi baru sebulan setelah menikah, mereka telah ditimpa suatu peristiwa yang membingungkan hati mereka, yaitu lenyapnya Cu Pek In dari lembah! Di dalam kamar gadis itu mereka menemukan sehelai surat yang mengabarkan mereka bahwa gadis itu hendak pergi menyusul dan mencari Sim Hong Bu dan minta agar paman dan bibinya tidak mencarinya!
Cu Kang Bu menjadi bingung sekali. Dia yang diserahi untuk mengurus Pek In oleh kakaknya, akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa gadis itu untuk kembali? Setelah berunding dengan isterinya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk tinggal diam saja sambil manyimpan surat itu.
“Pek In jatuh cinta dan merasa ditinggalkan Hong Bu, maka dicari pun tidak akan ada gunanya,” demikian Yu Hwi berkata. “Dia sudah dewasa dan memiliki ilmu kepandaian cukup, maka perlu apa khawatir? Biarlah dia merantau memperluas pengetahuannya. Keputusan hati seorang gadis yang jatuh cinta tidak mungkin dirubah lagi dan percuma saja kalau kau cari dia juga.”
Demikianlah, Cu Kang Bu tidak pergi mencari Pek In karena dia dapat mengerti akan kebenaran kata-kata isterinya. Andai kata dicari dan dapat dia temukan, apakah dia akan menggunakan kekerasan memaksa Pek In tinggal di lembah? Tidak mungkin! Dia tahu bahwa keponakannya itu bukan hanya suka memakai pakaian pria, akan tetapi juga mempunyai kekerasan hati, kadang-kadang melebihi pria.....
“Suhu....”
Kakek itu membuka matanya dan memandang dengan sinar mata sayu. Kakek itu kurus sekali dan mukanya pucat, tanda bahwa selain jarang makan, juga kakek ini kurang memperoleh sinar matahari. Memang sudah lama Sai-cu Kai-ong, kakek yang pernah menjadi Raja Pengemis dan menjadi tokoh kang-ouw yang disegani ini, mengasingkan diri di sebuah kamar di gedung besar seperti istana kuno itu, di Puncak Bukit Nelayan, seorang diri saja. Hidupnya terasa hampa setelah dia bertemu dengan cucunya, Yu Hwi yang telah memilih suami lain. Dia tidak ingin apa-apa legi selain menanti kematian.
Hidup ini baginya banyak dukanya dari pada sukanya, banyak kecewanya dari pada puasnya. Kekecewaannya yang terbesar adalah karena dia merasa bahwa dia adalah seorang yang tidak berbakti, seorang yang tidak dapat memenuhi kehendak mendiang ayahnya, mendiang nenek moyangnya. Dia telah gagal menjodohkan keturunan Kam dengan keturunan Yu, dan ini baginya merupakan pukulan berat, merasa bahwa dirinya put-hauw (tidak berbakti), seorang yang murtad.
Kata kebaktian masih selalu didengungkan orang, bahkan dianggap sebagai suatu sila kehidupan manusia beradab yang amat penting. Kebaktian dianggap sebagai ukuran kebudayaan, kesusilaan, bahkan kebaikan seseorang. Bagi kebanyakan orang tua, kata ‘hauw’ atau bakti sering dijadikan semacam pegangan atau senjata untuk menyerang anak-anaknya kalau anak-anak itu tidak menyenangkan hatinya, dan anak-anak itu, karena takut dianggap tidak berbakti atau murtad, maka mereka itu memaksa diri untuk melakukan apa-apa yang dianggap hauw (bakti) terhadap orang tua!
Berbakti adalah suatu sikap yang dipaksakan! Betapa tidak? Di balik kebaktian ini jelas terkandung pamrih! Jika orang ingin berbakti, jelas bahwa dia berpamrih untuk menjadi anak baik dan tentu karena anak yang berbakti itu mendapat berkah, banyak rejekinya, terhormat, terpandang dan sebagainya. Apakah artinya sikap berbakti kalau di dalam hati nuraninya tidak ada cinta kasih?
Kalau kita mempunyai sinar cinta kasih dalam batin kita, terhadap orang lain pun kita berhati penuh kasih, penuh iba, apalagi terhadap ayah bunda sendiri! Di mana ada kasih, maka kata berbakti itu tidak ada lagi karena dalam setiap perbuatannya terhadap orang tua, tentu penuh dengan kasih sayang yang tanpa pamrih! Berbakti karena tahu bahwa berbakti itu baik dan sebagainya hanya melahirkan sikap palsu dan dibuat-buat, melahirkan perbuatan dan ucapan yang tidak sama dengan isi hatinya. Hanya karena ingin berbakti, maka terjadilah kenyataan betapa mulut tersenyum berkata-kata halus sungguh pun di dalam hati memaki-maki. Pada lahirnya memberi ini dan itu padahal di dalam hatinya tidak rela!
Hal ini dapat kita lihat pada diri kita sendiri, pada kanan kiri kita, melihat kehidupan seperti apa adanya, menelanjanginya dan tidak tertipu oleh kulitnya belaka. Akan tetapi, kalau batin kita penuh cinta kasih, maka tidak akan ada caci maki di dalam hati, tidak ada rela atau tidak rela. Yang ada hanyalah kasih sayang saja!
Betapa kita manusia di dunia ini sudah kehilangan api cinta kasih! Kita mengorek-orek abunya dan mengejar-ngejar asapnya belaka. Kita rindu akan cinta kasih, ingin semua manusia di dunia ini, ingin seluruh isi mayapada ini, ingin para dewata, malaikat dan Tuhan, mencinta kita! Kita haus akan cinta kasih karena di dalam diri kita kehilangan cinta kasih itu! Kita mencari-cari dan mengejar-ngejar melalui kebaktian, kewajiban, menjadi orang baik, memuja-muja dan sebagainya lagi. Akan tetapi yang kita kejar-kejar itu hanyalah asapnya.
Cinta kasih tak mungkin dikejar-kejar, tak mungkin dapat diusahakan supaya ada, tak mungkin dapat dikuasai dan diikat, tak mungkin dapat dilatih seperti pengetahuan mati! Cinta kasih datang dengan sendirinya kalau batin kita terbuka, peka dan kosong, dalam arti kata bersih dari pada segala keinginan dan perasaan si-aku, yaitu keinginan untuk senang dan perasaan-perasaan iri, benci, marah, takut dan sebagainya.
Kita tidak mungkin memiliki batin yang peka dan ‘terbuka’, kalau masih ada kotoran-kotoran dari si-aku, yaitu pikiran yang selalu menjangkau, mencari-cari, mengejar dan menginginkan segala sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, lahir mau pun batin. Barulah kalau batin kita sudah penuh dengan sinar cinta kasih, segala perbuatan kita adalah benar, tidak pura-pura, tidak palsu, tanpa pamrih, wajar dan bersih seperti keadaan anak kecil yang belum dikuasai oleh aku-nya.
Ada yang berkata, “Tidak mungkin itu!”
Nah, siapakah yang berkata demikian itu? Marilah kita lihat baik-baik. Bukankah yang berkata itu adalah sang aku yang ingin baik, ingin dipenuhi cinta kasih, lalu melihat bahwa dia tidak mungkin hidup tanpa segalanya yang dianggapnya menyenangkan itu? Kita dapat mengamati ulah tingkah si-aku ini setiap saat dalam diri kita sendiri, dan ini merupakan langkah pertama ke arah kebijaksanaan.
“Suhu....!” Kam Hong berkata lagi ketika melihat betapa kakek itu memandangnya seperti orang sedang mimpi, seolah-olah tidak mengenalnya lagi. “Suhu, teecu adalah Kam Hong….”
“Kam Hong....? Engkau Siauw Hong....?”
“Benar, Suhu, teecu adalah Siauw Hong,” kata Kam Hong dengan hati terharu. Tak disangkanya bahwa suhu-nya yang biasanya bertubuh tegap dan bersikap gagah penuh semangat itu, yang menghadapi dunia dengan hati ringan, kini kelihatan demikian tua dan lemah seperti orang kehilangan semangat.
“Dan Nona ini siapa....?”
“Teecu adalah Bu Ci Sian, Locianpwe,” jawab Ci Sian yang tadi masuk bersama Kam Hong.
Mendengar suara dara yang demikian nyaring dan bersih, Sai-cu Kai-ong membuka matanya lebih lebar. Kalau saja Yu Hwi yang berlutut di samping Kam Hong itu, pikirnya!
“Suhu, dia ini adalah Sumoi teecu, kita sama-sama mempelajari ilmu sejati dari Suling Emas,” kata Kam Hong.
Sai-cu Kai-ong terbelalak. “Apa….? Apa maksudmu? Apakah itu ilmu sejati dari Suling Emas? Bukankah engkau keturunan langsung dari Suling Emas, keluarga Kam?”
Dengan sabar Kam Hong lalu menceritakan semua pengalamannya di Pegunungan Himalaya, betapa dia bertemu dengan Ci Sian dan mereka berdua tanpa disengaja telah bertemu dengan jenazah kuno dari tokoh yang membuat suling emas, dan betapa dari jenazah itu mereka berdua menemukan ilmu sejati dari pencipta suling emas sehingga mereka menjadi kakak beradik seperguruan. Kemudian, dengan hati-hati sekali Kam Hong lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Yu Hwi di Lembah Suling Emas.
Kakek Itu menarik napas panjang. “Aku sudah tahu, Siauw Hong. Yu Hwi telah datang ke sini bersama tunangannya....”
“Cu Kang Bu....?”
“Benar, dan memang harus diakui bahwa pilihannya itu tidak keliru, akan tetapi tetap saja hatiku penuh kekecewaan bahwa ikatan perjodohan itu putus....”
“Harap Suhu suka tenangkan diri. Urusan jodoh tidak dapat dipaksakan, Suhu. Dan bukankah kata orang bahwa jodoh berada di tangan Tuhan? Anggap saja bahwa tidak ada jodoh antara teecu dan Yu Hwi dan hal itu tidak perlu dijadikan penyesalan benar.”
Sai-cu Kai-ong tersenyum pahit. “Ah, engkau tidak tahu betapa hal itu menjadi idaman nenek moyang kami sejak dahulu...., akan tetapi sudahlah. Yang sudah terjadi tidak mungkin diubah lagi. Siauw Hong, sekarang, ke mana engkau hendak pergi? Ketahuilah bahwa Sin-siauw Sengjin telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, di tempat pertapaannya, di puncak tak berapa jauh dari sini. Aku sendiri yang telah mengurus pemakamannya, di puncak itu juga.”
Kam Hong menarik napas panjang. Berita ini tidak mengejutkan hatinya sebab memang kakek itu sudah tua sekali. Akan tetapi sedikit banyak dia pun merasa terharu. Kakek itu bersusah payah merahasiakan keturunan Kam, kemudian mendidiknya sebagai guru kedua sesudah Sai-cu Kai-ong, dengan penuh kasih sayang.
“Teecu akan bersembahyang ke makam beliau, kemudian teecu berdua Sumoi akan pergi ke daerah Sin-kiang....”
“Hemm, engkau baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya dan kini hendak pergi ke daerah Sin-kiang? Ada keperluan apakah di tempat liar itu?”
“Teecu hendak mengantar Sumoi mencari sarang gerombolan Hek-i-mo....”
“Ah....?” Bekas Raja Pengemis itu nampak terkejut bukan main. “Hek-i-mo....? Sungguh berbahaya sekali. Mau apa kalian hendak ke sana?”
“Locianpwe, Ibu teecu tewas karena penyakit yang diderita setelah Ibu bertentangan dengan Hek-i-mo,” jawab Ci Sian.
“Hemm, jadi urusan balas dendam, ya?” Kakek itu bertanya, nada suaranya seperti orang kesal dan memang sesungguhnya dia merasa bosan karena sebagian besar dari pada hidupnya dia hanya menghadapi soal balas dendam saja di dalam dunia kang-ouw dan dia merasa muak dengan hal itu.
“Bukan itu saja yang terutama, Locianpwe. Teecu berpendapat bahwa jika gerombolan liar dan jahat macam Hek-i-mo tak dibasmi, maka lebih banyak orang lagi, orang-orang tidak berdosa, akan menjadi korban mereka. Dahulu Ibu pernah gagal, biarlah sekarang teecu sebagai anaknya melanjutkan usaha yang mulia itu, membersihkan dunia dari gerombolan jahat. Dan Kam-suheng sudah sanggup untuk membantu teecu.”
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang. “Yah, kalian masih muda dan bersemangat besar. Akan tetapi, Siauw Hong, yakin benarkah engkau dan Sumoi-mu ini bahwa kalian akan mampu menghadapi Hek-i-mo? Ingat, entah sudah berapa banyaknya pendekar-pendekar yang tewas di tangan mereka sehingga sampai kini pun tidak ada lagi yang berani mencoba-coba menentangnya.”
“Tentu saja sebelum melihat kekuatan mereka, teecu tidak yakin, Suhu. Betapa pun juga, untuk menentang kejahatan dan membantu Sumoi, teecu sanggup dan berani.”
“Ci Sian, kalau mendiang Ibumu pernah berani menentang Hek-i-mo, tentu engkau keturunan keluarga yang hebat. Siapakah nama Ayahmu?”
Ditanya ayahnya, Ci Sian cemberut dan hatinya tidak senang. Siapa akan merasa senang mengaku Bu Seng Kin sebagai ayahnya kalau orang itu demikian gila wanita dan mempunyai isteri yang tidak kepalang banyaknya? Dia malu berayah Bu Seng Kin!
Melihat keraguan sumoi-nya, Kam Hong lalu mewakilinya menjawab, “Sumoi adalah puteri dari Bu Taihiap yang bernama Bu Seng Kin....“
“Ahh, pantas kalau begitu!” Sai-cu Kai-ong berseru girang. “Kiranya Ayahmu adalah pendekar besar itu!”
Akan tetapi Ci Sian sama sekali tidak kelihatan girang atau bangga dan hal ini dianggap oleh kakek itu sebagai sikap rendah hati yang amat baik. Setelah bercakap-cakap selama setengah hari, dan dalam kesempatan mana Ci Sian memasakkan makanan yang enak-enak untuk Sai-cu Kai-ong yang seakan-akan sudah memperoleh kembali kegembiraannya dalam pertemuan ini, mereka lalu mohon diri. Dan setelah mendapat keterangan di mana letak makam Sin-siauw Sengjin, Kam Hong bersama Ci Sian meninggalkan puncak Bukit Nelayan itu, diantar oleh Sai-cu Kai-ong sampai ke depan pintu dan kakek ini memandang ke arah dua orang muda itu sampai mereka lenyap dari pandangan mata.
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang dan berkata lirih, “Jelas bahwa dia mencinta dara itu. Puteri Bu Taihiap! Dan Yu Hwi berjodoh dengan penghuni Lembah Suling Emas! Memang sayang sekali ikatan jodoh mereka itu putus, akan tetapi keduanya memperoleh pengganti yang sama sekali tidak mengecewakan. Semoga Yu Hwi hidup bahagia dengan suaminya dan Siauw Hong hidup bahagia dengan gadis she Bu itu.”
Kam Hong melakukan upacara sembahyang sederhana di depan makam Sin-siauw Sengjin, diikuti juga oleh Ci Sian yang sudah mendengar penuturan suheng-nya itu tentang diri kakek yang luar biasa itu. Mereka bermalam di makam itu semalam, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka menuruni puncak dan mulailah mereka dengan perjalanan mereka menuju ke Sin-kiang, daerah barat yang liar itu, untuk mencari Hek-i-mo, gerombolan penjahat yang dikabarkan amat ganas dan lihai sekali bagaikan segerombolan siluman. Perjalanan yang jauh, sukar dan berbahaya.
Kita tinggalkan dulu perjalanan kedua orang muda itu dan mari kita menengok dan berkenalan dengan yang dinamakan gerombolan Hek-i-mo. Gerombolan ini bersarang di Lereng Pegunungan Ci-lian-san yang terletak di perbatasan antara propinsi Sin-kiang dan Cing-hai. Di kedua propinsi ini, nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam) amat terkenal dan boleh dibilang merekalah yang menjadi pemerintah gadungan yang menguasai semua jalan-jalan raya yang menghubungkan kedua daerah itu.
Tidak ada perampok atau bajak sungai yang tidak tunduk kepada mereka, dan juga semua perusahaan pengawal dari kedua propinsi itu semua mengenal dan bersahabat dengan Hek-i-mo. Mereka semua dengan sikap hormat menyerahkan sejumlah ‘pajak’ atau ‘hadiah’ kepada perkumpulan ini agar pekerjaan mereka terjamin lancar.
Bukan hanya mereka yang berkepentingan lewat di daerah tapal batas kedua propinsi ini saja yang bersahabat dengan Hek-i-mo, bahkan juga para pembesar di Sin-kiang boleh dibilang sudah dikuasai oleh perkumpulan ini. Pembesar yang bersahabat dengan Hek-i-mo tentu akan dilindungi. Oleh karena itu, bukan merupakan pemandangan aneh kalau orang melihat satu dua orang anggota Hek-i-mo yang dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam, berkeliaran di kota-kota di daerah Sin-kiang atau Cing-hai sekali pun, dan menerima ‘sumbangan’ dari toko-toko yang besar.
Belasan tahun lamanya pengaruh Hek-i-mo terus merajalela tanpa ada yang berani menentangnya. Memang dahulu banyak juga pendekar-pendekar yang sudah berusaha menentang kekuasaan hitam ini, namun satu demi satu para pendekar penentang itu roboh, tewas atau terluka parah. Tidak ada seorang pun dapat menandingi Hek-i-mo dan akhirnya tidak ada lagi pendekar yang begitu bodoh untuk menyerahkan nyawa begitu saja.
Karena daerah ini terlalu jauh dari kota raja, dan juga karena Hek-i-mo tidak pernah terdengar memberontak, juga tidak melakukan kejahatan dengan mencolok, bahkan tak pernah merampok karena mereka ini tak pernah kekurangan ‘penghasilan’, maka tentu saja Hek-i-mo dapat bertahan sampai belasan tahun tanpa terganggu.
Di manakah letak kekuatan Hek-i-mo dan bagaimana kuatnya? Hek-i-mo dipimpin oleh seorang kakek yang kini usianya sudah sekitar enam puluh lima tahun dan selama belasan tahun ini dia hanya dikenal dengan nama julukannya, yaitu Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam) karena dia selalu memakai baju hitam-hitam dan tubuhnya yang seperti raksasa itu memang menyeramkan.
Kulit tubuhnya putih dan berbulu, karena memang dia mempunyai darah Han bercampur Kozak, ayahnya seorang Rusia Kozak dan ibunya seorang wanita Han. Wajahnya dapat dikatakan tampan dan gagah, akan tetapi sepasang matanya yang kebiruan itu amat tajam seperti mata setan, dan senyumnya selalu sinis, mengandung ejekan yang memandang rendah siapa pun juga. Raksasa ini rambutnya sudah putih semua, dan memang rambutnya itu agak keputihan, dan dalam usia lima puluh tahun, lima belas tahun yang lalu ketika dia pertama kali muncul di barat, rambutnya pun sudah putih.
Dahulu, sebelum dia dikenal sebagai Hek-i Mo-ong, namanya adalah Phang Kui, dan dia menggunakan she Phang yang menjadi she ibunya. Hek-I Mo-ong ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Selain ilmu silatnya yang tinggi, tenaganya yang amat besar, juga dia memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang dipelajarinya dari Tibet. Ilmu sihir atau ilmu hitamnya inilah yang amat ditakuti orang, dan mula-mula memang dia selalu mempergunakan ilmu hitam ini untuk mencari pengaruh dan menundukkan orang-orang.
Phang Kui ini memang cerdik. Begitu muncul, kurang lebih delapan belas tahun yang lalu, dia tak mau mengganggu orang baik-baik atau orang-orang pemerintah, melainkan merajalela di antara orang-orang jahat. Ditundukkannya semua perampok, bajak sungai, maling-maling dan semua orang jahat, ditundukkannya pula semua perkumpulan yang menggerakkan tempat-tempat perjudian atau pelacuran, semua ketua mereka satu demi satu dikalahkannya. Namanya mulai dikenal dan ditakuti dan kalau orang sudah ditakuti oleh golongan sesat, tentu saja penduduk juga menjadi takut!
Phang Kui menjadi ‘rajanya’ orang jahat dan dia dijuluki Hek-i Mo-ong! Dan mulailah orang-orang jahat mendekatinya dan menyanjungnya. Namun, Phang Kui tidak mau sembarangan memilih orang. Dia akhirnya berhasil mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang dipilihnya, yang memiliki kepandaian atau bakat ilmu silat, memiliki tubuh yang kuat. Dia mengumpulkan lima puluh orang yang digemblengnya sehingga mereka menjadi pasukan yang amat kuat, karena masing-masing anggota merupakan seorang ahli silat yang tangguh di samping mempelajari satu dua macam ilmu hitam.
Semenjak itulah, perkumpulan Hek-i-mo berdiri, beranggotakan lima puluh orang yang tangguh sekali. Kemudian, Hek-i Mo-ong mengumpulkan delapan orang murid yang terdiri dari orang-orang yang tadinya sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, di antara tokoh-tokoh hitam yang yang ditundukkannya. Mereka ini dianggap sebagai murid-murid kepala dan beberapa tahun kemudian, terkenal pulalah nama Hek-I Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) yang merupakan murid-murid dan wakil Hek-i Mo-ong. Delapan orang murid inilah yang mengurus segala urusan, dan juga mengepalai serta menggembleng anggota-anggota Hek-i-mo.
Sedangkan Hek-i-mo sendiri lebih banyak mendekam di dalam sarangnya, yaitu sebuah gedung yang cukup indah di lereng Pegunungan Ci-lian-san. Pekerjaannya hanyalah bersemedhi, makan enak, pesta-pesta, dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada delapan orang murid-muridnya, baik dalam hal ilmu silat atau ilmu hitam. Hanya kalau ada urusan-urusan penting sekali sajalah maka Hek-i Mo-ong keluar sendiri. Akan tetapi segala urusan harian yang tidak begitu penting, cukup diselesaikan oleh Hek-i Pat-mo saja.
Akan tetapi, sampai usia enam puluh lima tahun itu, Hek-i Mo-ong tak pernah menikah, walau pun di bagian belakang gedungnya terdapat bagian luas di mana hidup belasan orang wanita muda dan cantik yang merupakan sekumpulan wanita-wanita peliharaan atau selir-selirnya! Dia bukan seorang yang mata keranjang dan pengejar wanita, tetapi wanita-wanita muda cantik itu adalah ‘hadiah-hadiah’ dari kepala perampok, pimpinan piauw-kiok dan juga pembesar! Dia tidak menolaknya dan mengumpulkan wanita-wanita muda itu, akan tetapi hanya jarang-jarang dia menggauli mereka.
Juga Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu tak ada yang beristeri, sungguh pun usia mereka sudah antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Hal ini bukan berarti mereka tidak mau berdekatan dengan wanita, akan tetapi mereka tidak mau terikat dengan wanita seperti guru mereka, dan wanita itu bagi mereka hanyalah alat bersenang-senang, tiada lain!
Dan agaknya apabila mereka menghendaki seorang wanita cantik, maka wanita itu sudah pasti akan terjatuh oleh mereka, baik melalui ancaman, mau pun ilmu silat atau ilmu sihir. Betapa pun juga, suhu mereka sudah memperingatkan dengan keras para murid tidak mengganggu wanita-wanita keluarga pembesar atau keluarga golongan ‘sahabat-sahabat’ mereka dan hanya membatasi pada wanita-wanita dusun dan wanita-wanita gunung saja.
Malam itu adalah malam bulan purnama. Dan seperti biasa, pada malam-malam seperti itu, Hek-i Mo-ong tentu mengajak delapan orang muridnya untuk berlatih semedhi di tempat terbuka, untuk menampung sinar bulan purnama yang mempunyai hikmat untuk memperkuat ilmu hitam mereka.
Tetapi tidak seperti biasanya, malam itu merupakan malam istimewa bagi Hek-i Mo-ong karena ada urusan penting yang harus ditanganinya sendiri, yaitu dengan ditawannya tiga orang musuh yang berani datang menentang Hak-i-mo! Biar pun yang manghadapi musuh-musuh ini adalah murid-muridnya, bahkan yang menawan juga murid-muridnya, akan tetapi untuk memutuskan hukuman apa yang harus diberikan kepada mereka, harus dia sendiri yang menentukan.
Malam itu bulan amat terang, tidak ada awan hitam menghalang. Cahaya bulan yang misterius memandikan permukaan bumi, dan terutama sekali di tanah datar tertutup rumput di belakang rumah gedung yang menjadi sarang Hek-i-mo itu cahaya bulan nampak aneh dan mendatangkan hawa dingin yang mendirikan bulu roma. Sunyi sekali suasana di tempat itu, sebuah padang rumput yang luas di belakang gedung.
Semenjak tadi para anak buah Hek-i-mo sudah berkumpul. Mereka memang disuruh berkumpul di tempat itu untuk menyaksikan ‘pengadilan’ yang akan disidangkan untuk menjatuhkan hukuman kepada tiga orang tawanan. Karena sebagian dari mereka bertugas menjaga keamanan seperti biasa, maka yang berkumpul hanya sekitar tiga puluh orang, yang membentuk lingkaran lebar sakali di lapangan rumput itu, seperti pagar manusia yang aneh karena mereka semua berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengan di belakang, tidak bergerak seolah-olah tiga puluhan orang itu telah berubah menjadi arca. Pakaian mereka yang hitam membuat keadaan mereka itu lebih menyeramkan lagi. Hanya karena sinar bulan yang terang saja mereka dapat nampak, karena di malam hari tanpa bulan, mereka tidak akan kelihatan sama sekali. Pakaian mereka, sampai sepatu mereka, semua berwarna hitam.
Kemudian di bagian dalam lingkaran luas yang dibuat oleh tiga puluh orang itu, nampak sebuah lingkaran lain, sebuah lingkaran yang garis tengahnya kurang lebih empat lima meter, dan lingkaran itu pun merupakan lingkaran segi delapan yang dibentuk oleh delapan orang yang duduk teratur seperti Pat-kwa (Segi Delapan). Delapan orang ini berusia sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan sepasang mata yang berkilau tajam dan sikap mereka juga seperti arca, tanpa bergerak, duduk mereka bersila dan kedua lengan terletak di atas paha.
Di tengah-tengah lingkaran mereka itu terdapat sebuah bantal bundar berwarna merah, dan tak jauh dari situ nampak tubuh tiga orang yang terbelenggu kaki tangannya. Delapan orang itu adalah Hek-i Pat-mo, juga mereka semua mengenakan pakaian dan sepatu hitam, hanya lengan kanan mereka memakai sebuah gelang warna kemerahan. Kepala mereka memakai penutup kepala kain hitam pula sehingga mereka nampak lebih menyeramkan dari pada para anak buah yang tidak memakai penutup kepala, melainkan menggelung rambut mereka ke atas seperti kebiasaan pendeta tosu.
Tak lama kemudian, tiga puluh lebih anggota Hek-i-mo yang berdiri dengan kedua kaki terpentang itu, tiba-tiba menggerakkan kaki mereka dan kini kedua kaki itu merapat dan mereka berdiri tegak, memandang ke arah belakang gedung dengan sikap bagaikan pasukan memberi hormat kepada komandan mereka. Juga delapan orang Hek-i Pat-mo itu memandang ke arah pintu belakang gedung yang terbuka dari dalam dan dari pintu itu muncullah seorang laki-laki tinggi besar dengan langkah tenang.
Memang Ketua Hek-i-mo ini sangat menyeramkan. Muncul di terang bulan seperti itu, pakaiannya yang serba hitam itu membuat wajahnya makin nampak putih, demikian pula rambutnya seperti benang-benang perak saja, berkilauan tertimpa cahaya bulan. Kepalanya tidak ditutupi, dan rambutnya yang panjang itu dibiarkan awut-awutan di atas kedua pundaknya. Bertemu dengan orang ini di tempat gelap yang sunyi mungkin cukup membuat yang bertemu itu lari ketakutan, mengira bertemu dengan iblis.
Setelah memasuki lingkaran itu, Hek-i Mo-ong lalu duduk bersila di atas bantal bundar merah yang telah tersedia di situ, dan delapan orang muridnya mengangkat kedua tangan ke depan hidung, dengan tangan dirangkapkan seperti orang menyembah. Itulah penghormatan mereka sebagai murid kepada ketua mereka atau juga guru mereka.
Lingkaran itu cukup terang di bawah sinar bulan purnama. Hek-i Mo-ong memandang ke arah tiga tawanan yang terbelenggu kaki tangan mereka dan rebah miring. Tiga orang tawanan itu adalah tiga orang yang berpakaian ringkas seperti biasa dipakai oleh para kang-ouw. Seorang kakek berusia kurang lebih empat puluh tahun, seorang pemuda yang berusia antara dua puluh lima tahun dan seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh tahun. Mereka itu jelas tidak berdaya, sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan ada luka-luka berdarah di beberapa bagian tubuh mereka, namun sikap mereka masih gagah dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan pada saat Hek-i Mo-ong muncul, mereka memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.
“Siapakah dia?” Hek-i Mo-ong bertanya sambil menuding ke arah kakek itu.
Salah seorang di antara murid-muridnya, yang bersila berhadapan dengannya dan yang kumisnya amat lebat menutupi mulutnya, lalu berkata, “Namanya Cia Khun, adik dari Ciau-piauwsu dari kota Sin-ning.”
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. “Balas dendam, ya? Cia-piauwsu tewas karena berani menentang Hek-i-mo, apa anehnya dengan itu? Tidak ada penasaran karena salahnya sendiri. Dan orang seperti kalian ini, dengan kepandaian yang rendah, berani mencoba untuk menentang kami? Sekarang kau sudah tertawan, mau bilang apa lagi?”
“Hanya hendak mengatakan bahwa engkau adalah seorang manusia iblis terkutuk!” Kakek yang bernama Cia Kun itu membentak.
Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. “Dan pemuda itu?” tanyanya tak acuh.
“Putera dari mendiang Cia-piauwsu,” jawab muridnya yang berkumis tebal.
“Gadis itu?”
“Puterinya.”
“Keduanya belum menikah?”
“Belum.”
“Sayang, sayang....! Nah, kalian bertiga orang-orang tiada guna ini, boleh pilih. Mati atau menebus nyawamu bertiga dengan seribu tail perak!”
“Iblis!” Kakek itu memaki. “Jangankan kami tidak punya uang sebanyak itu, andai kata punya sekali pun, tidak sudi kami memberikan kepada iblis macammu! Lebih baik kami mati!”
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, masih hendak berlagak gagah-gagahan? Orang she Cia, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang dapat melarang?”
“Bunuhlah! Siapa takut mampus?” Kakek itu membentak dengan mata melotot.
Dua orang keponakannya hanya memandang dengan wajah agak pucat karena betapa pun juga, ngeri hati mereka melihat Ketua Hek-i-mo ini. Mereka bertiga dengan nekat datang untuk membalaskan kematian Cia-piauwsu, yaitu ketua perusahaan pengawalan yang tewas di tangan Hek-i-mo. Mereka disambut oleh delapan orang murid kepala Hek-i-mo dan dalam perkelahian satu lawan satu, mereka bertiga kalah semua, luka-luka dan tertawan. Baru ilmu kepandaian muridnya saja sudah sehebat itu, apalagi kepandaian gurunya ini.
Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara ketawa sekali lagi, lalu memberi perintah kepada seorang di antara delapan muridnya untuk mengambilkan lilin-lilin dari dalam rumah. Seorang murid yang duduk di bagian belakang menyanggupi, lalu meloncat bangun dengan cepat, tahu-tahu sudah lenyap dari situ dan memasuki rumah dari pintu belakang. Demikian cepat gerakan orang ini, apalagi karena pakaiannya hitam maka dia seolah-olah dapat menghilang saja, persis seperti lblis! Tak lama kemudian dia sudah datang lagi membawa sebungkus lilin. Bungkusan dibuka dan keluarlah lilin yang cukup banyak.
Hek-i Mo-ong mengambil sebatang lilin, lalu membuat gerakan aneh dan.... lilin yang sebatang itu menyala! Dia menaruh lilin di depannya, dan sungguh mengherankan, biar pun malam itu ada angin lembut bertiup, namun lilin yang bernyala itu sama sekali tidak terganggu. Nyala api lilin itu tetap anteng dan tidak bergerak.
Sambil tersenyum-senyum aneh Raja Iblis Hitam itu lalu mengepal-ngepal lilin-lilin tadi dengan kedua tangannya yang besar. Seperti terkena hawa panas, lilin-lilin itu menjadi lunak dan kakek raksasa ini lalu membentuk lilin-lilin putlh menjadi boneka-boneka, tiga buah boneka yang mirip dengan tiga orang tawanan itu. Seorang kakek, seorang pemuda dan seorang gadis!
Ketiga tawanan itu memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan dilakukan manusia iblis itu. Membuat boneka? Sudah gila agaknya orang itu, seperti anak kecil saja, membuat boneka di saat menyeramkan seperti itu. Akan tetapi delapan orang muridnya hanya memandang penuh perhatian, seperti murid-murid yang sedang mempelajari sesuatu, sedangkan barisan anggota Hek-i-mo yang kini sudah ikut duduk bersila, tetap dalam keadaan mengepung atau membuat lingkaran, memandang dengan takjub dan penuh hormat, sedikit pun tidak berbuat sesuatu atau mengeluarkan suara, bahkan hampir tidak berani bergerak.
Setelah selesai membuat boneka-boneka itu, Hek-i Mo-ong lalu mendirikan tiga buah boneka dari lilin putih itu di depannya sambil menyeringai girang. Mendadak tangan kirinya digerakkan ke arah para tawanan. Angin dahsyat menyambar dari tangannya, membuat rambut kepala tiga orang tawanan itu berkibar dan.... beberapa helai rambut mereka beterbangan ke arah kakek yang luar biasa ini. Hek-i Mo-ong telah mengambil masing-masing tiga helai rambut dari kepala tiga orang tawanan secara luar biasa sekali! Dan tiga helai rambut itu lalu dia pasangkan pada kepala boneka masing-masing. Sungguh aneh sekali semua ini, dan tiga orang tawanan itu mulai merasa seram karena mereka sudah mendengar bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli ilmu hitam seperti iblis sendiri.
Setelah tersenyum-senyum melihat hasil karyanya, kakek itu lalu memandang lagi ke arah tiga orang tawanannya. “Lepaskan belenggu mereka!” perintahnya.
“Tapi, Suhu, mereka itu sudah nekat, tentu akan mengamuk dan merepotkan!” kata Si Kumis Tebal.
“Ha-ha-ha, tidak. Mereka tidak akan mampu bergerak sebelum kuperintah!” jawab kakek ini, lalu dia menggunakan jari telunjuk untuk menotok kepala tiga buah boneka itu dan benar saja, setelah ketiga orang tawanan itu dibebaskan dari belenggu, mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan, walau pun mereka tidak merasakan nyeri dan sebenarnya jalan darah mereka berjalan normal. Mereka masih rebah dan hanya memandang pada boneka-boneka di depan kakek yang menyeramkan itu.
“Ha-ha-ha, murid-muridku, kalian lihatlah baik-baik. Biar pun aku bukan seorang ahli pembuat boneka, akan tetapi kalian dapat melihat dengan jelas bahwa tiga buah boneka ini adalah mereka bertiga, bukan? Kekurang sempurnaan pembuatan boneka ini dapat disempurnakan dengan pemasangan rambut asli mereka di kepala boneka masing-masing, inilah yang dinamakan ilmu Memindahkan Semangat Dalam Boneka. Kalian sudah kuajari caranya dan manteranya. Nah, dengarlah baik-baik, dan lihatiah.”
Kakek itu lalu mengembangkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan gemetar ke atas boneka-boneka itu. Semakin lama kedua tangannya gemetar semakin hebat dan mulutnya mengucapkan mantera-mantera dalam bahasa Tibet kuno. Dan delapan orang muridnya, Hek-i Pat-mo, memandang dengan penuh perhatian, dengan mata yang hampir tidak pernah berkedip.
Dan terjadilah keanehan yang menyeramkan. Tiga buah boneka yang rebah telentang di depan kakek itu mulai bergerak-gerak! Mula-mula hanya tiga helai rambut di kepala boneka-boneka itu yang bergerak-gerak seperti tertiup angin, dan agaknya gerakan rambut ini lalu menjalar ke dalam boneka-boneka itu dan mulailah boneka-boneka itu bergerak-gerak seperti kemasukan roh. Dan ketiga orang tawanan itu, yang kini tidak terbelenggu lagi, ikut pula bergerak-gerak dan gerakan tubuh mereka persis dengan gerakan boneka-boneka itu, atau mungkin sebaliknya, yaitu bagaimana pun mereka bergerak, boneka-boneka itu ikut pula bergerak.
“Lihat baik-baik, muridku, lihat baik-baik. Selama ini, ilmu yang kalian pelajari hanya teorinya saja, dan kita sekarang memperoleh kesempatan untuk mempraktekkannya dengan tawanan-tawanan bandel ini. Nah, aku mulai dengan laki-laki yang tua itu.”
Dia mengambil sebuah di antara boneka-boneka itu, memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya kemudian mengeluarkan sebatang jarum. Kembali dia mengucapkan mantera, dan mendadak dia memasukkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan boneka.
Terdengar suara mengaduh dari kakek tawanan dan kakek itu menggunakan tangan kanan untuk memegangi tangan kirinya yang tiba-tiba saja sudah berdarah, seperti juga tangan boneka tertusuk jarum itu yang mengeluarkan sedikit darah.
Hek-i Mo-ong terkekeh senang sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri ketika dia melihat darah, seperti seekor harimau kelaparan mencium bau darah. Dia menancapkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan kanan boneka dan kakek itu kembali mengeluh dan telapak tangan kanannya mengucurkan darah seperti baru saja ditusuk pedang yang amat runcing dan tajam. Kedua tangannya kini telah terluka berdarah, akan tetapi biar pun begitu, dia masih memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan sepasang mata terbelalak penuh kebencian.
Hek-i Mo-ong bukan tidak tahu akan kekerasan hati tawanannya, dan agaknya hal ini menambah keganasannya. Dia menusukkan jarum itu bertubi-tubi ke semua bagian tubuh mereka. Mula-mula ke arah kedua kakinya, kemudian lengannya, kedua pipinya, pundaknya. Mula-mula ke bagian tubuh yang tidak mematikan dan seluruh tubuh kakek itu mengeluarkan darah. Di bagian tubuh boneka yang tertusuk nampak bintik-bintik darah, tetapi di tubuh kakek itu darah mulai bercucuran membasahi seluruh pakaiannya.
Akan tetapi kakek itu tidak mengeluh lagi, bahkan lalu mengatupkan bibirnya menahan semua rasa nyeri. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan melihat betapa kakek itu berkelojotan tanpa mengeluarkan suara, dan pandang matanya masih ditujukan kepada penyiksanya dengan penuh kebencian. Ada keinginan hatinya untuk nekat dan menyerang kakek iblis itu, akan tetapi setiap kali dia hendak menggerakkan kaki tangannya, dia terguling lagi dan karena kini seluruh tubuhnya penuh luka-luka dan darahnya banyak yang terbuang, maka dia menjadi semakin lemas dan akhirnya hanya rebah dan menanti datangnya maut saja.
Hek-i Mo-ong agaknya sudah merasa bosan menyiksa lawannya, maka sekarang dia menusukkan jarumnya ke dada boneka sampai tembus. Kakek tawanan mengeluarkan sekali jerit tertahan, tubuhnya berkelojotan dan dari dada dan punggungnya mengucur darah, tidak banyak lagi dan tubuhnya pun terkulai lemas dan tak bernyawa lagi.
Sejak tadi dua orang keponakannya hanya dapat menonton dengan mata terbelalak penuh kengerian dan jantung berdebar-debar tegang. Mereka berdua juga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, seolah-olah ada tali yang tak nampak masih membelenggu mereka. Kini, melihat paman mereka itu sudah tidak bergerak lagi, mereka merasa sedih dan marah sekali, akan tetapi bercampur juga dengan perasaan lega karena paman mereka itu tidak akan menderita lagi. Maka mereka lalu menujukan pandang mata mereka kepada Hek-i Mo-ong dengan penuh kebencian, sedikit pun mereka tidak merasa takut walau pun mereka berdua maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan kakek iblis ini.
“Ha-ha-ha, kalian yang masih muda-muda, apakah tidak sayang akan hidup kalian? Sediakan seribu tail perak dan aku akan membebaskan kalian dari kematian,” berkata Hek-i Mo-ong, masih mencoba untuk membujuk dua orang muda itu. Baginya, tentu saja uang sebanyak itu jauh lebih penting dari pada nyawa dua orang yang tidak ada artinya itu.
Akan tetapi, dua orang muda itu sudah marah sekali. Selain mereka tidak mempunyai uang sebanyak itu, juga mereka tidak sudi takluk terhadap kakek iblis itu.
“Hek-i Mo-ong iblis tua bangka, siapa takut akan ancamanmu?” Pemuda itu berteriak marah dan berusaha untuk memperoleh kembali tenaganya agar dia dapat mengamuk dan menyerang kakek itu. Akan tetapi usahanya sia-sia saja karena setiap kali kaki dan tangannya dapat bergerak, segera ada tenaga lain yang membuatnya lumpuh kembali.
“Bagus, kau mau main gagah-gagahan? Nah, rasakan ini!” Kakek itu lalu menggunakan jarumnya yang telah menewaskan kakek tawanan tadi untuk menusuk-nusuk kepala boneka pemuda itu. Tusukannya tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa pada pemuda itu.
Tiba-tiba saja pemuda itu dapat bergerak, mencengkeram dengan kedua tangannya pada kepalanya, menjambak-jambak rambutnya karena dia merasakan kenyerian yang tak tertahankan lagi. Dan dari balik rambut-rambut kepalanya itu mulai bercucuran darah yang menetes-netes di leher dan mukanya. Mengerikan sekali.
Hek-i Mo-ong adalah seorang ahli totok, maka tusukan-tusukannya ditujukan kepada jalan-jalan darah dan kini pemuda itu menggunakan sepuluh jari tangannya mencakar sana-sini, seluruh tubuhnya yang terasa sakit-sakit dan gatal-gatal, bergulingan dan mengeluarkan suara seperti gerengan seekor binatang buas. Seluruh tubuhnya kini mengeluarkan darah seperti halnya pamannya tadi, akan tetapi dia lebih tersiksa dari pada pamannya. Kemudian sambil tertawa bergelak Hek-i Mo-ong lalu memegang kedua kaki boneka yang sudah berbintik-bintik merah, dan menaruh boneka itu di atas api lilin yang bernyala di depannya.
Terdengar jeritan melengking yang amat mengerikan keluar dari mulut pemuda itu dan.... semua mata, terutama mata gadis itu, memandang terbelalak kepada tubuh pemuda itu. Sekarang tubuh pemuda itu, terutama di bagian mukanya, mulai berkeriput, mengering seperti terkena api, dan makin lama jeritannya makin lemah dan tubuhnya mulai meleleh, seperti lilin dibakar, berbareng dengan melelehnya boneka lilin yang terkena api itu. Bau sangit menusuk hidung.
Bukan hanya gadis itu yang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan peristiwa ini, bahkan para anggota Hek-i-mo juga memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka itu ketakutan, membayangkan betapa akan mengerikan kalau sampai mereka terhukum oleh ketua mereka seperti itu. Hanya wajah Hek-I Pat-mo sajalah yang tidak berubah, bahkan sinar mata mereka berapi dan penuh kegembiraan dengan demonstrasi kekuatan ilmu hitam yang sangat mengerikan itu. Akhirnya Hek-i Mo-ong melemparkan sisa boneka pemuda yang telah terbakar itu, dan di situ nampak bekas tubuh pemuda itu yang telah menjadi seonggok daging terbakar yang mengeluarkan bau keras.
“He-he-he-he, bagaimana, Nona? Apakah engkau masih hendak berkeras kepala? Jika engkau mau berusaha mengeluarkan uang tebusan itu, mungkin engkau akan dapat hidup!”
“Siluman keparat! Untuk apa aku hidup lagi setelah engkau membunuh Paman dan Kakakku sekejam itu? Kau kira aku takut melihat siksaan itu? Siksalah aku, bunuhlah, akan tetapi jangan harap aku akan tunduk kepadamu, Iblis berwajah manusia!”
Kakek itu tidak marah, hanya terkekeh. “Murid-muridku, lihat baik-baik, boneka-boneka yang telah mengandung satu semangat dengan orang-orangnya itu bukan hanya dapat dipergunakan untuk mempengaruhi tubuh mereka, melainkan juga pikiran mereka. Lihatlah, aku akan membikin percobaan dengan gadis ini.”
Mendengar ini, gadis itu dengan mata terbelalak memandang ke arah boneka lilin yang memakai sehelai rambutnya itu. Mukanya pucat dan jelas ada kengerian hebat di dalam pandang matanya, namun ia tetap tidak sudi untuk menakluk.
Kakek itu mengambil guci arak yang terletak di sampingnya, kemudian menempelkan guci ke bibirnya dan dituangkan sedikit arak ke dalam mulutnya. Dia memejamkan mata sebentar, lalu disemburkan arak itu ke arah boneka yang dipegangnya, dan dengan sepasang mata yang tajam seperti mata setan itu dia menatap ke arah wajah boneka, mulutnya berkemak-kemik. Nampaklah boneka itu mengeluarkan uap tipis! Berbareng dengan itu, terdengar keluhan dari mulut gadis itu. Hek-i Pat-mo memandang kepada gadis itu untuk menyaksikan akibat dari ilmu hitam guru mereka.
Gadis itu mengeluh perlahan, kedua matanya terpejam, kemudian ia mengerang dan kedua tangannya bergerak, mula-mula ke arah dadanya, lalu ke arah kepalanya dan tubuhnya mulai bergulingan, mulutnya terengah-engah dan sikapnya seperti orang kepanasan. Makin lama, rintihannya makin sering dan keras, dan bangkitlah ia, matanya masih terpejam dan kini, seperti orang kegerahan yang berada di dalam kamar seorang diri, gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu sampai tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya.
la lalu bangkit berdiri, meliuk-liukkan tubuhnya seperti orang masih kegerahan, lalu membuka matanya. Bukan lagi mata yang bersinar keras hati dan penuh kebencian dari gadis tadi, melainkan sepasang mata yang penuh gairah! Dan seperti tertarik oleh besi semberani, gadis yang bertelanjang bulat itu menghampiri Hek-i Mo-ong, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan dengan erangan-erangan dan belaian kedua tangan, mulailah ia membelai dan merayu Hek-i Mo-ong! Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi gila, atau seorang yang kehausan karena nafsu birahi.
“Ha-ha-ha-ha!” Hek-i Mo-ong mendorongnya sampai terjengkang, kemudian kakek itu menggunakan tangan kiri mengambil beberapa ekor semut-semut merah yang berada di situ, memijit sedikit semut-semut itu dan ditempelkannya semut-semut yang kesakitan itu pada boneka lilin.
Semut-semut yang kesakitan itu tentu saja lalu menggigit tubuh boneka itu dan gadis itu menjerit-jerit lirih, tubuhnya terasa gatal-gatal dan sakit dan ia menggaruk sana-sini dan tentu saja tubuhnya yang telanjang bulat itu menggeliat-geliat, berkelojotan. Melihat ini, kalau Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja dengan dingin, delapan muridnya sudah memandang dengan mata melotot dan mulut berliur, mereka mulai terserang gairah nafsu menggelora. Melihat keadaan murid-muridnya ini, Hek-i Mo-ong malah tertawa.
“Heh-heh-heh, kalau kalian mau, bawalah ia. Akan tetapi sesudahnya, ia harus mati agar kelak tidak mendatangkan mara bahaya bagi kita.”
Seperti delapan ekor serigala dilepas dari kurungan, delapan orang murid kepala itu nampak gembira sekali. Seorang di antara mereka, yang merupakan murid tertua atau pimpinan dari Hek-i Pat-mo, lalu meloncat dan menyambar tubuh telanjang gadis itu, dipanggulnya dan setelah menjura kepada Hek-i Mo-ong, dia lalu meloncat pergi diikuti oleh tujuh orang adik-adik seperguruannya. Terdengar suara ketawa mereka, biar pun bayangan mereka sudah tidak nampak lagi dan pandang mata para anggota Hek-i-mo mengikuti bayangan mereka tadi dengan pandang mata penuh iri!
Akan tetapi, ketua mereka lalu menyuruh membersihkan tempat itu dan menyingkirkan dua mayat itu. Kemudian, dengan langkah gontai seolah-olah sedang berjalan-jalan dan tidak pernah terjadi sesuatu, Hek-i Mo-ong meninggalkan tempat itu untuk kembali ke gedungnya. Dia sudah menghukum tiga orang musuh yang berani melawannya, juga telah mendemonstrasikan kepandaian ilmu hitamnya.
Pertama untuk melatih dan memberi petunjuk kepada Hek-i Pat-mo, dan kedua untuk membuat para anggotanya semakin tunduk dan takut. Dia tahu bahwa gadis itu tentu akan tewas karena tidak mungkin dapat bertahan hidup setelah dikuasai oleh delapan orang murid kepala yang telah dikuasai oleh nafsu birahi yang menggelora itu. Dan dia tersenyum. Sekali-kali perlu juga semangat delapan orang muridnya itu dibangkitkan agar gairah hidupnya makin besar dan kesetiannya kepadanya semakin menebal.
Demikianlah keadaan Hek-i-mo yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong Phang Kui. Kakek ini bukan hanya lihai sekali ilmu sihirnya yang berdasarkan ilmu hitam, tetapi kabarnya juga amat lihai ilmu silatnya. Bahkan Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu pun hampir tak pernah menemui tandingan. Entah sudah berapa puluh atau ratus kali kaum pendekar atau mereka yang memiliki ilmu silat dan mencoba menentang Hek-i-mo, harus mengalami kekalahan terhadap delapan orang murid kepala ini. Sebagian besar di antara para pendekar yang berani menentang mereka akhirnya mengalami kematian menyedihkan, dan hanya sedikit yang dapat lolos dengan menderita luka yang cukup hebat.
Pada suatu malam bulan purnama yang sunyi. Angkasa bersih sekali sehingga nampak bulan purnama sepenuhnya, besar bulat dan terang tidak dihalangi sedikit pun awan tipis sehingga bulan nampak anteng tidak pernah bergerak dengan latar belakang langit yang hitam pekat di mana nampak bintang-bintang yang sinarnya menjadi lemah dan layu oleh sinar bulan. Tidak ada angin bersilir di padang rumput itu.
Hek-i Mo-ong duduk di atas setumpukan tengkorak manusia yang telah disusun menjadi tumpukan piramida yang menuding ke atas. Hek-i Mo-ong duduk di puncak tumpukan itu, di atas tengkorak paling atas. Amat mengherankan betapa dia dapat duduk bersila di atas sebuah tengkorak saja dan tumpukan itu tidak sampai runtuh didudukinya. Untuk dapat meloncat dan duduk tak bergerak di atas tumpukan tengkorak seperti itu tentu saja membutuhkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.
Di sekeliling kakek ini, di atas tumpukan tengkorak-tengkorak lain, akan tetapi tumpukan ini jauh lebih kecil dan rendah, duduklah Hek-i Pat-mo, bersila seperti suhu mereka pula, dan mereka itu duduk mengelilingi suhu mereka dalam bentuk segi delapan. Kiranya Hek-i Mo-ong Phang Kui sedang melatih diri bersama para murid-muridnya, bersemedhi untuk menerima dan mengumpulkan kekuatan yang terkandung di dalam sinar bulan purnama untuk memperkuat kekuatan sihir mereka!
Kalau mereka sedang berlatih seperti ini, tidak ada seorang pun anggota Hek-i-mo yang boleh mendekat. Mereka itu hanya diwajibkan untuk menjaga di luar pekarangan itu. Dan kalau mereka sedang berlatih seperti itu, suasananya menjadi amat menyeramkan, seolah-olah di sekitar daerah itu terasa adanya hawa yang penuh dengan kekuatan hitam yang mengerikan. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak, seolah-olah alam berhenti dan mati. Yang menguasai alam di tempat itu adalah kesunyian yang tidak wajar.
Akan tetapi, kalau Hek-i Pat-mo bersila dengan tekun dan tenggelam dalam keheningan semedhi yang mereka buat, sebaliknya Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Tingkat kepandaian delapan orang muridnya belum mencapai tingkat setinggi yang dimilikinya sehingga jika dia dapat merasakan datangnya getaran yang tak wajar, murid-muridnya itu tidak mengetahuinya.
Hek-i Mo-ong sudah sejak tadi sadar dari semedhinya dan dia memandang lurus ke depan, tidak bergerak-gerak oleh karena dia sedang memperhatikan sekitar tempat itu, bukan dengan matanya melainkan dengan telinga dan perasaannya yang amat peka di saat itu. Dia tahu bahwa ada dua orang datang mendekati tempat itu, dua orang yang dia tahu bukan orang sembarangan karena getarannya terasa amat kuatnya oleh kepekaannya. Dia tahu bahwa dua orang yang dapat tiba di tempat itu, menembus penjagaan para anggota Hek-i-mo tanpa diketahui sama sekali, tentulah orang-orang yang berilmu tinggi.
Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika tiba-tiba muncul dua bayangan orang yang memang telah diduganya, karena tidak seperti yang disangkanya, dua orang yang muncul itu bukanlah orang-orang tua yang sepatutnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, melainkan dua orang muda, yaitu seorang pemuda dan seorang gadis remaja! Dia terkejut dan mengerahkan kekuatannya untuk menambah peka perasaannya, akan tetapi perasaannya itu tidak membohonginya. Getaran yang amat hebat itu memang datang dari dua orang muda yang telah berada di tempat itu!
Hek-i Mo-ong masih diam saja. Dia ingin melihat apa yang hendak dilakukan oleh dua orang muda itu. Yang dia herankan adalah betapa delapan orang murid kepala yang masih bersemedhi itu sama sekali belum juga sadar. Hal ini saja sudah menjadi tanda betapa lihainya dua orang muda ini, gerakannya sedemikian ringannya, jejak kaki mereka tidak mengeluarkan sedikit pun bunyi sehingga delapan orang muridnya yang amat lihai itu pun tidak dapat mendengar atau mengetahui apa-apa. Tanpa menoleh, hanya mengikuti mereka dengan pendengarannya, Hek-i Mo-ong diam saja dan terus memperhatikan.
Dua orang itu nampak saling pandang, lalu keduanya mengangguk dan tiba-tiba saja mereka berdua melakukan gerakan meloncat tinggi, melampaui delapan orang yang duduk mengelilingi guru mereka dalam bentuk segi delapan itu dan ketika mereka berdua turun, di depan Hek-i Mo-ong, hanya dalam jarak empat meter, kaki mereka sama sekali tidak mengeluarkan suara! Dan bahkan setelah kedua orang itu berada di dalam lingkaran delapan orang Hek-i Pat-mo itu, tetap saja Hek-i Pat-mo belum juga sadar!
Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong menjadi marah kepada delapan muridnya. Dia pun mengerahkan tenaga dan dengan tenaga batinnya dia membentak murid-muridnya itu yang tersentak kaget dan sadar dari semedhi mereka. Tentu saja mereka terbelalak memandang kepada pemuda dan gadis yang telah berdiri di situ, di dalam lingkaran mereka. Sungguh hal ini sangat mengejutkan hati mereka. Sejak kapan dua orang itu memasuki lingkaran mereka tanpa mereka ketahui? Tentu guru merekalah yang sudah melakukan ini, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba saja mereka itu mendengar bisikan suara guru mereka di dekat telinga masing-masing.
“Mereka adalah lawan-lawan lihai, hadapi mereka dengan kekuatan sihir untuk mencoba mereka!”
Barulah delapan orang itu terkejut bukan main. Maka mereka segera mengerahkan kekuatan batin mereka, dan sekali mereka mengerahkan tenaga, tubuh mereka sudah melayang turun dan mereka sudah berdiri mengepung dua orang muda itu dengan kedudukan segi delapan. Akan tetapi mereka tidak turun tangan menyerang, melainkan bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera.
Pemuda dan gadis itu memandang mereka dengan penuh kewaspadaan. Akan tetapi, alangkah kaget hati gadis remaja itu melihat betapa delapan orang yang mengepung itu, tiba-tiba saja mengeluarkan uap hitam dan tubuh mereka segera diselubungi uap hitam yang tentu saja membuat tubuh mereka hilang dan tidak nampak. Di dalam malam bulan purnama ini, peristiwa itu amat menyeramkan, seolah-olah delapan orang itu sedang menghilang atau berubah menjadi asap hitam, seperti yang terjadi pada setan-setan di dalam dongeng kuno.
Dua orang muda itu adalah Kam Hong dan Ci Sian. Seperti kita ketahui, mereka memang pergi ke barat mencari Hek-i-mo, musuh besar Ci Sian yang merasa sakit hati karena ibunya telah meninggal akibat penyerbuannya kepada Hek-i-mo dan terluka oleh gerombolan iblis itu. Di sepanjang perjalanan, dengan amat tekunnya Ci Sian melatih diri dengan ilmu yang mereka dapatkan dari catatan pada mayat Pangeran Cu Keng Ong itu.
Selain Ci Sian memang berbakat, juga Kam Hong mengajar dan membimbingnya dengan penuh kesungguhan hati, sehingga Ci Sian yang memang telah memiliki dasar dan bakat yang amat baik itu mulai dapat menguasai ilmu silat dan ilmu meniup suling berdasarkan pelajaran rahasia itu. Untuk keperluan ini, Kam Hong telah menyuruh buat sebuah suling yang bentuknya sama benar dengan suling emas di tangannya, juga suling ini terbuat dari pada emas, dibuat oleh seorang tukang pandai emas yang amat berpengalaman. Hanya bentuk suling itu lebih kecil, untuk disesuaikan dengan tenaga Ci Sian karena suling emas itu amat berat, lebih berat dari pada pedang pusaka.
Ketika malam itu mereka mendatangi sarang Hek-i-mo, kebetulan sekali mereka melihat kakek iblis itu bersama delapan orang murid kepala sedang berlatih ilmu hitam, maka dengan hati-hati sekali Kam Hong mengajak Ci Sian untuk menemui kakek itu. Dan kini, melihat Ci Sian agak gentar menghadapi ilmu hitam dari delapan orang Hek-i Pat-mo, Kam Hong segera mengerahkan khikang-nya dan tanpa mengeluarkan suara, dia telah mengirim suaranya kepada Ci Sian.
“Sumoi, jangan takut, itu hanya ilmu hitam, hadapi dengan tiupan sulingmu.”
Mendengar bisikan suara suheng-nya ini, ketabahan hati Ci Sian timbul kembali. Ia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya, dengan tenang ia menempelkan bibirnya yang merah tipis itu ke lubang suling, jari-jari kedua tangannya siap di lubang-lubang suling dan begitu ia meniup, terdengar suara lembut. Suara ini bukan seperti suara suling, melainkan bagai suara desir angin semilir yang menggerakkan daun-daun pohon dan menghidupkan suasana yang mati dan menyeramkan.
Akan tetapi, suara lembut seperti desir angin ini mengandung kekuatan yang dahsyat sekali, yang mengejutkan hati Pat-mo (Delapan Iblis) itu dan membuyarkan kekuatan sihir mereka sehingga uap hitam yang menyelubungi tubuh mereka pun perlahan-lahan lenyap seperti asap yang tertiup angin! Nampaklah kembali tubuh mereka yang masih berdiri dan bersedakap itu. Mereka merasa marah sekali, akan tetapi juga penasaran. Bagaimana seorang dara remaja hanya dengan suara sulingnya mampu memecahkan pengaruh kekuatan sihir mereka? Mereka sudah siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu, akan tetapi terdengar suara Hek-i Mo-ong yang terdengar penuh kekuatan khikang sehingga menggetarkan tempat itu.
“Pat-mo, mundur!”
Delapan orang murid kepala itu lalu membuat gerakan mundur secara otomatis, akan tetapi tetap mereka itu membentuk lingkaran segi delapan, hanya kini di luar atau di belakang guru mereka.
“Siapakah dua orang muda yang datang mengganggu kami?” Pertanyaan Hek-i Mo-ong ini terdengar manis, bahkan bersahabat.
Tetapi Kam Hong yang sudah mendengar banyak tentang raja iblis ini, telah menasehati sumoi-nya dan mereka berdua sudah berhati-hati dan waspada, mengerahkan tenaga batin mereka untuk menolak semua pengaruh. Kam Hong membiarkan sumoi-nya yang menghadapi musuhnya, maka dia pun diam saja mendengar pertanyaan itu, memberi kebebasan kepada Ci Sian untuk menghadapi baik dalam percakapan mau pun dalam pertempuran. Dia hanya akan membantu kalau memang sumoi-nya perlu dibantu saja. Ci Sian maklum akan hal ini, maka mendengar pertanyaan itu ia pun lalu melangkah maju.
“Apakah kami berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, ketua dari gerombolan Hek-i-mo?” Suara Ci Sian terdengar lantang dan bening, tanda bahwa sedikit pun ia tidak merasa gentar menghadapi orang-orang yang menyeramkan itu.
Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. Dia sudah sering menyaksikan sikap para pendekar muda yang datang dengan nyali besar, penuh keberanian namun yang pada akhirnya hanya akan menemui kematian, atau jika bernasib mujur, dapat meloloskan diri dengan membawa lari luka-lukanya. Dia tidak marah oleh sikap yang berani itu, malah merasa gembira, bagaikan seekor kucing yang melihat lagak seekor tikus muda yang penuh keberanian.
“Heh-heh-heh, engkau benar, Nona. Aku adalah Hek-i Mo-ong, dan mereka delapan orang ini adalah murid-murid dan wakilku yang disebut Hek-i Pat-mo.”
“Bagus!” Ci Sian berseru girang. “Akhirnya aku dapat juga berhadapan dengan iblis-iblis jahat yang telah menumpuk dosa. Hek-i Mo-ong, malam ini tibalah saatnya engkau dan murid-muridmu menebus dosa-dosa kalian yang bertumpuk-tumpuk. Bersiaplah engkau untuk mampus!”
“Aih-heh-heh-heh-heh, sabar dulu, Nona. Kalau mata tuaku tidak menipuku, aku selama hidup belum pernah bertemu denganmu, jadi tidak ada urusan antara kita. Mengapa engkau datang dengan hati mengandung permusuhan? Siapakah engkau?”
“Hek-i Mo-ong, ingatkah engkau akan nama Sim Loan Ci?”
Kakek itu masih tersenyum lebar, dan alisnya berkerut. “Hemm, seolah-olah nama itu tidak asing bagiku.... ya, tidak asing sama sekali, tentu pernah aku mendengarnya, akan tetapi aku sudah lupa lagi di mana.... Sim Loan Ci? Siapa itu?”
“Belasan tahun yang lalu, Sim Loan Ci pernah datang ke sini, bersama suaminya yang bernama Bu Seng Kin....“
“Oohhh.... ahh, tentu saja! Bu-taihiap....! Ha-ha-ha, Bu-taihiap yang terkenal di seluruh dunia itu, hanya untuk mengaku kalah olehku! Ha-ha, Bu-taihiap yang mata keranjang dan lihai, juga isterinya yang lihai. Akan tetapi, mereka itu bukan tandinganku! Hemm, Nona, aku memang mengenal mereka, dan apa hubunganmu dengan mereka? Apa hubungannya kedatanganmu malam ini dengan mereka?”
“Engkau telah melukai mereka!”
“Ha-ha-ha, anehkah itu? Dalam setiap perkelahian, tentu akan ada yang luka atau mati. Aku sudah lupa lagi. Terlalu banyak orang yang kulukai atau kubunuh, akan tetapi yang aku ingat hanya bahwa mereka itu bukan tandinganku. Mungkin saja aku telah melukai mereka. Habis, kenapa?”
“Ibuku, Sim Loan Ci, tewas karena luka-luka itu! Sekarang aku, puterinya, datang untuk membalas dendam atas kematian Ibuku itu!”
“Ha-ha-ha, jadi engkau ini puteri mereka? Wah, pantas! Puteri Bu-taihiap, tentu saja pandai dan perkasa. Sayangnya, Bu-taihiap itu terlalu sembrono, membiarkan puterinya datang ke sini untuk mengantar nyawa saja. Kenapa tidak dia sendiri yang datang ke sini? Aku lebih senang kalau dia datang sendiri ke sini sehingga aku akan menghadapi lawan yang seimbang!”
Ci Sian merasa dipandang rendah dan dia pun membentak, “Tua bangka sombong! Kau kira akan dapat bebas dari tanganku?”
Gadis ini pun sudah memasang kuda-kuda, tangannya yang kiri miring di depan dada sedangkan sulingnya di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala, menuding ke langit. Itulah kuda-kuda yang merupakan jurus pembukaan, bernama Suling Emas Menghadap Langit.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada Hek-i Pat-mo. Bagaikan iblis-lblis saja, delapan orang itu bergerak dan tahu-tahu mereka telah menggerakkan kaki mereka, bukan berloncatan, melainkan menggeser kaki ke depan membuat langkah aneh.
“Sett-sett sett....!”
“Sumoi, biar aku saja yang menghadapi Pat-mo ini, engkau bersiap saja menghadapi musuh besarmu!” tiba-tiba Kam Hong berseru.
Pemuda ini melihat bahwa biar pun tentu saja para murid ini tidak selihai gurunya, namun dia dapat menduga bahwa mereka ini terlatih untuk menjadi satu barisan. Dan satu barisan yang terdiri dari delapan orang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebuah tin (barisan) dari delapan orang biasanya mempunyai bentuk segi pat-kwa (segi delapan) dan pat-kwa-tin (barisan segi delapan) terkenal memiliki perubahan-perubahan yang amat aneh dan hebat.
Seorang dara seperti Ci Sian yang belum banyak pengalamannya dalam hal bertanding melawan orang-orang pandai, sungguh berbahaya sekali kalau dibiarkan menghadapi pat-kwa-tin sendirian saja. Pula, pihak lawan memakai siasat untuk melelahkan lawan, yaitu mula-mula disuruh maju delapan murid itu, baru kemudian andai kata delapan murid itu kalah, Si Guru yang akan maju. Kalau saja Ci Sian dibiarkan maju menghadapi pat-kwa-tin, andai kata ia dapat menang sekali pun, tentu sudah lelah dan kurang kuat untuk berhadapan dengan musuh besarnya.
Inilah sebabnya, Kam Hong maju menggantikan sumoi-nya menghadapi Hek-i Pat-mo. Nanti kalau Mo-ong maju, biarlah Ci Sian menghadapinya satu lawan satu sehingga lebih mudah baginya untuk menjaga dan membantu apabila sumoi-nya kalah kuat.
Hek-i Mo-ong terheran mendengar seruan pemuda itu, akan tetapi juga girang. Ketika dua orang muda tadi muncul, yang dia khawatirkan adalah Si Pemuda. Dari sikapnya yang pendiam, dari sinar matanya, dia dapat menduga bahwa pemuda itulah yang harus diawasinya dan yang agaknya akan menjadi lawan tangguh. Kini, menghadapi delapan orang muridnya, malah pemuda itu yang hendak maju dan agaknya pemuda itu akan membiarkan sumoi-nya nanti melawannya. Biarlah, pikirnya lega, biar murid-muridnya lebih dulu menguji Si Pemuda yang dia khawatirkan sebagai lawan tangguh, dan andai kata murid-muridnya kalah, suatu hal yang tidak mungkin sama sekali, tentu pemuda itu sudah terlalu lelah sehingga lebih ringan baginya untuk merobohkan mereka berdua.
Juga Ci Sian merasa heran mengapa suheng-nya malah hendak melawan delapan orang murid iblis itu. Akan tetapi baginya, Kam Hong bukan hanya seorang suheng atau seorang sahabat dalam perjalanan, melainkan juga seorang guru. Oleh karena itu, semua saran Kam Hong tentu takkan dibantahnya dan mendengar ucapan suheng-nya itu, ia pun sudah melompat ke belakang, berdiri tegak dengan suling siap di tangan kanan.
Sementara itu, Kam Hong sudah meloncat ke tengah lingkaran Pat-mo, dan sengaja membiarkan diri dikurung sebelum mereka bergerak mengurung. Dengan demikian, dia dapat berdiri tegak sambil memperhatikan semua perubahan yang mereka buat ketika mereka mulai memperketat kurungan. Diam-diam dia memperhatikan dan dari langkah-langkah kaki mereka, dia maklum bahwa delapan orang ini bukanlah ahli-ahli ginkang yang sangat pandai sehingga dia tidak usah terlalu mengkhawatirkan tentang kecepatan mereka.
Akan tetapi, setiap langkah kaki, atau setiap geseran kaki, nampak demikian mantap dan kuat, maka dia dapat menduga bahwa mereka semua rata-rata memiliki kekuatan sinkang yang tidak boleh dipandang ringan. Dan dia melihat mereka itu tidak bersenjata, juga tidak menyembunyikan senjata tajam di balik jubah hitam mereka.
Akan tetapi, Kam Hong sama sekali tidak berani memandang rendah kepada pihak lawan. Orang-orang yang tidak mempergunakan senjata dalam perkelahian, itu hanya berarti bahwa orang itu telah memiliki tingkat kepandaian yang sedemikian tingginya sehingga dia tidak membutuhkan senjata untuk membantunya, dan kaki tangannya yang penuh dengan tenaga sakti itu merupakan senjata-senjata yang cukup ampuh dan mematikan.
Setelah delapan orang Hek-i Pat-mo itu bergerak-gerak memutari Kam Hong, kadang-kadang berputar ke kiri lalu tiba-tiba berbalik ke kanan, jarak waktu perubahannya menurut hitungan-hitungan tertentu, sesuai dengan ilmu barisan mereka ciptaan Hek-i Mo-ong, pemuda ini memperhatikan dengan sudut matanya dan kekuatan telinganya.
Tapi, beberapa menit kemudian, pemuda ini terkejut karena dia merasa semangatnya terbetot dan hampir saja kakinya ikut bergerak. Ada kekuatan mukjijat yang membetot dan menariknya untuk mengikuti gerakan mereka, seperti orang-orang yang melihat penari-penari yang lemah gemulai menggerak-gerakkan tubuh lalu timbul keinginan untuk ikut menari. Cepat dia yang selalu waspada itu maklum bahwa dalam gerakan-gerakan itu terkandung kekuatan ilmu hitam yang mukjijat.
Maka Kam Hong memusatkan perhatiannya dan mengerahkan tenaga, membebaskan diri dari pengaruh mukjijat itu sehingga pikirannya menjadi terang, pandang mata dan pendengarannya menjadi terang kembali, tidak ada keinginan untuk mengikuti gerakan mereka lagi. Kini dia berdiri tegak dan tenang, sama sekali tidak bergerak, menanti gerakan lawan selanjutnya.
Bagaikan delapan orang penangkap ikan yang merasa betapa jalanya yang mereka pasang itu tidak mengenai ikan, atau ikannya telah lolos kembali dari jala begitu menyentuhnya, mereka menghentikan gerakan memutar-mutar itu dan tiba-tiba saja orang yang berada di depan Kam Hong sudah menyerangnya. Benar dugaan Kam Hong. Laki-laki baju hitam di depannya itu menyerang dengan cengkeraman tangan kanan dibarengi dengan totokan tangan kiri. Cengkeraman ditujukan ke arah kedua matanya dan totokan itu menuju ke arah dada. Serangan ini hebat dan ganas, mengandung tenaga sinkang yang kuat sungguh pun baginya tidaklah terlalu cepat.
Kam Hong menghadapi serangan ini dengan tenang dan perhatiannya terhadap tujuh orang lainnya tidak berkurang walau pun dia sedang menghadapi serangan dari depan. Dan kewaspadaannya ini menolongnya. Cengkeraman serta totokan dari depan itu ternyata hanyalah gerak pancingan belaka karena begitu Kam Hong mengelak dari serangan lawan di depannya, secara otomatis lawan yang berada di belakangnya telah menerjang dan menyerang dengan dahsyat, menghantam ke arah tengkuknya dengan pukulan tangan miring yang amat kuat!
Seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat seperti yang dimiliki Kam Hong telah memiliki tubuh yang begitu hidup sehingga seolah-olah di belakang tubuh ada matanya. Tanpa menoleh, ia tahu dengan persis bagaimana serangan itu datang mengancamnya. Dengan hanya memutar tumit kakinya, dia sudah miringkan tubuh sehingga sekarang serangan dari belakang itu tidak datang dari belakang lagi, tetapi dari sebelah kanannya dan sekali Kam Hong mengangkat lengan, hantaman itu tepat dapat ditangkisnya.
“Plakkk!”
Dan tubuh orang itu terpental, seolah-olah tangannya tadi bertemu dengan baja yang amat keras dan kuat, juga yang mengandung hawa dorongan kuat dan panas sekali!
Akan tetapi kembali telah datang serangan bertubi-tubi dan susul-menyusul dari delapan orang itu. Gerakan mereka bagai mesin yang sudah distel terlebih dahulu, begitu teratur dan saling menyambung. Kam Hong sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, sudah pernah pula menghadapi barisan-barisan silat seperti itu, maka dia tidak merasa gugup walau pun harus diakuinya bahwa barisan Hek-i Pat-mo ini benar-benar amat lihai dan berbahaya. Dia membenarkan tindakannya mewakili sumoi-nya tadi, karena biar pun tingkat kepandaian Ci Sian juga sudah tinggi, tapi menghadapi pengeroyokan teratur seperti itu bisa membuat dara yang belum banyak pengalaman itu menjadi gugup.
Delapan orang itu terus bergerak-gerak, saling bantu dan saling sambung melakukan penyerangan. Kam Hong juga menggerakkan tubuhnya, menangkis ke depan ke kanan kiri dan belakang, ke delapan penjuru dan kadang-kadang dia mengelak. Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan yang bergerak cepat, tertutup oleh gerakan delapan bayangan hitam yang kadang-kadang berputaran dan kadang-kadang berhenti di suatu tempat tertentu.
Dia tahu bagai mana harus menghadapi barisan Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan), maka dia pun sejak tadi mainkan ilmu silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) yang pernah dipelajarinya dari Sin-siauw Sengjin, kakek pewaris ilmu-ilmu dari Pendekar Suling Emas itu. Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu warisan nenek moyangnya, dan karena ilmu silat ini juga mempunyai dasar segi delapan, maka tentu saja amat tepat untuk menghadapi barisan pat-kwa itu.
Tiba-tiba terdengar suara berkerincing dan nyaring dan ternyata delapan orang kakek itu telah menggerakkan gelang yang melingkari pergelangan tangan kanan mereka. Gelang yang berwarna hitam kemerahan. Dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan digetarkan, maka terdengarlah suara berkerincingan itu!
Sungguh aneh sekali. Tadi mereka terus bergerak menyerang, dan tentu saja lengan kanannya berikut gelang itu bergerak pula, akan tetapi tidak terdengar sesuatu. Akan tetapi kini gelang itu mengeluarkan suara yang nyaring dan aneh. Agaknya ada sesuatu pada gelang-gelang itu yang mengandung rahasia. Suara nyaring yang amat halus itu seperti suara emas diketuk dengan nada tinggi dan menusuk telinga, bahkan rasanya menyusup ke dalam jantung!
Akan tetapi Kam Hong sudah mengerahkan sinkang-nya dan dia tidak terpengaruh. Hanya kini, delapan orang itu menyerangnya dengan gerakan yang sama, dan secara berbareng. Delapan lengan tangan yang disertai gelang hitam kemerahan itu serentak menyerangnya dengan gerakan yang sama dan berbareng, tapi dari delapan penjuru!
Melihat delapan lengan yang amat kuat itu menonjok arah dadanya dari delapan penjuru dan mendatangkan angin pukulan yang kuat, dia terkejut dan maklum bahwa gabungan tenaga itu akan kuat bukan main. Dia tidak berani menghadapi dengan kekerasan atau mengadu tenaga, maka tubuhnya mencelat ke atas dan delapan tangan itu berhenti dari delapan penjuru, saling bertemu angin pukulan mereka di tengah-tengah.
Akan tetapi, melihat lawan mereka melayang ke atas, mereka itu pun cepat menyerang ke atas, juga dengan gerakan yang sama. Angin pukulan dahsyat kini menyambar ke atas! Kam Hong maklum bahwa dia akan kerepotan menghadapi gaya serangan seperti itu, maka sambil meloncat, dia sudah mencabut suling emasnya dan berjungkir-balik, kini meluncur turun, didahului gulungan sinar emas dari suling yang diputar-putarnya.
Delapan orang itu mengandalkan penggabungan tenaga mereka, berani menyambut datangnya gulungan sinar emas itu, akan tetapi mereka terkejut ketika dari gulungan sinar emas itu keluar hawa yang amat kuat, yang mendorong mereka dan membuat penggabungan tenaga mereka buyar dan mereka terhuyung ke belakang. Cepat mereka berloncatan untuk mematahkan tenaga dorongan, dan kini sudah berdiri mengepung lagi dalam kedudukan pat-kwa, memandang pada benda mengkilap di tangan pemuda itu dengan melongo.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut bukan main menyaksikan suling itu. Tadi, ketika Ci Sian meniup suling emasnya, dia sudah terheran, hanya tidak menduga atau menghubungkan suling itu dengan nama pendekar dalam dongeng, yaitu Pendekar Suling Emas. Kini, menyaksikan suling di tangan Kam Hong dan sepak terjang pemuda itu, dia terkejut dan tanpa terasa lagi olehnya, mulutnya berseru keras, “Suling Emas....!”
Kam Hong memutar tubuhnya menghadapi Mo-ong, suling emas itu melintang di depan dadanya. Dia tersenyum dan menjura, lalu berkata, “Tidaklah salah dugaanmu, Hek-i Mo-ong. Aku bernama Kam Hong, keturunan dari Pendekar Suling Emas. Aku datang mengantar sumoi-ku yang ingin membalas dendam kepadamu dan aku setuju karena engkau dan gerombolanmu merupakan iblis-iblis berwajah manusia yang kudengar telah melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa.”
Marahlah Hek-i Mo-ong. “Bunuh dia!” bentaknya dan telunjuk kirinya menuding ke arah Kam Hong dan tiba-tiba saja dari telunjuk itu menyambar benda yang berkilauan ke arah tenggorokan Kam Hong!
“Tikkk....!”
Benda itu terpukul oleh suling dan lenyap ke dalam bumi. Sungguh itu merupakan senjata rahasia yang amat keji, yang amat kecil dan yang dilepaskan dari bawah kuku telunjuk yang panjang.
Mendengar perintah suhu mereka, Hek-i Pat-mo lalu saling memberi isyarat. Mereka mengeluarkan sesuatu dari balik jubah hitam mereka dan tahu-tahu kini tangan kiri mereka telah disambung dengan sebuah cakar setan yang berwarna hitam, dengan kuku-kuku melengkung runcing terbuat dari baja dan tak perlu diragukan lagi bahwa kuku-kuku baja itu sudah pasti mengandung racun ganas! Dan kini mereka bergerak menyerang dari delapan penjuru! Kuku cakar setan tangan kiri itu menyambar-nyambar dan tercium bau amis, sedangkan tangan kanan yang bergelang hitam kemerahan itu pun menyambar-nyambar mengeluarkan suara berkerincingan.
Menyaksikan kebuasan delapan orang itu, diam-diam Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia harus menang, pikirnya sambil melihat suheng-nya memutar suling emasnya. Kalau suheng-nya kalah, ia sendiri pun tidak tahu apakah ia akan mampu menghadapi iblis-iblis ini. Gerakan delapan orang itu sungguh dahsyat sekali, dan ia merasa menyesal mengapa suheng-nya masih saja mempergunakan ilmu-ilmu silatnya, yang lama….
Melihat pemuda itu sudah memegang senjata, Cu Han Bu yang tidak mau bersikap sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan sabuk emasnya di atas kepala, diputar-putar makin lama makin cepat, lalu berkata, “Orang muda, lihat seranganku!”
Tiba-tiba dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar berkeredepan yang menyambar ke arah kepala Cin Liong, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram ke arah dada. Sungguh merupakan serangan yang amat dahsyat, sekaligus menyerang dengan sabuk emas dan tangan kiri.
Entah mana di antara keduanya itu yang lebih berbahaya, karena harus diakui bahwa hawa pukulan tangan kiri yang mencengkeram itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan hawa pukulan sabuk emas yang menandakan bahwa tangan itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata itu.
Cin Liong bersikap waspada. Dia maklum bahwa lawannya ini lebih lihai dari pada Cu Seng Bu tadi. Sedangkan terhadap Cu Seng Bu ia pun hanya memperoleh kemenangan tipis, maka dia tahu bahwa sekali ini dia menghadapi lawan yang amat tangguh dan dia harus berhati-hati. Melihat serangan itu, dia pun menangkis dengan pedangnya ke atas, dan mendorongkan tangannya ke depan untuk menyambut cengkeraman tangan kiri lawan.
“Tringgg.... Plakkk!”
Keduanya terdorong mundur oleh pertemuan senjata dan tangan itu, dan Cin Liong dapat merasakan betapa tenaga orang ini amat kuat, lebih kuat dari pada tenaga Cu Seng Bu dan dia merasa betapa tubuhnya tergetar oleh dua adu tenaga tadi. Tetapi, Cin Liong tidak sempat berpikir lebih banyak lagi karena kini terdengar suara berdesing-desing dan pandang matanya menjadi silau melihat gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya.
Gulungan itu membungkus diri Cu Han Bu, dan suara berdesing-desing itu makin lama makin nyaring. Sinar-sinar yang mencuat dari gulungan emas yang merupakan tembok benteng itu makin gencar menyerangnya sehingga pemuda ini terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya. Dia merasakan desakan yang amat kuat dari gulungan sinar keemasan itu dan setiap kali pedangnya menangkis, terdengar suara nyaring dan dia merasa telapak tangannya perih sekali!
Memang hebat sekali ilmu kepandaian Cu Han Bu itu. Untuk selama kurang lebih tiga puluh jurus sabuk emasnya merupakan gulungan sinar yang menghujankan serangan kepada Cin Liong, membuat pemuda itu sibuk sekali menangkis dan hampir tidak ada kesempatan untuk membalas serangan lawan. Kemudian secara mendadak gulungan sinar keemasan itu lenyap dan kini Cu Han Bu melakukan serangan satu-satu dengan gerakan lambat.
Akan tetapi, setiap kali sabuk emas itu menyambar terdengar suara angin dahsyat menghembus dan begitu Cin Liong menangkisnya, pemuda ini berseru kaget karena tenaga yang terbawa oleh sabuk itu sedemikian kuatnya sehingga kuda-kuda kakinya tergeser dan hampir dia terhuyung, dan selain tenaga yang amat kuat ini, juga dia merasa betapa ada hawa panas menjalar ke seluruh lengannya!
Tahulah dia bahwa lawannya kini benar-benar telah mengerahkan seluruh tenaga simpanannya! Dia pun berusaha untuk balas menyerang, bahkan kini dia berusaha sedapat mungkin untuk menghindarkan pertemuan senjata secara langsung karena dia maklum bahwa tenaga sinkang-nya masih kalah kuat dibandingkan dengan orang ini.
Akan tetapi, gerakan Cu Han Bu yang lambat itu ternyata amat aneh dan di sekitar tubuhnya seolah-olah ada gulungan tenaga yang tak nampak sehingga tiap kali pedang Ban-tok-kiam di tangan Cin Liong balas menyerang, ujung pedang itu menyeleweng seperti ditangkis oleh hawa yang amat kuat. Sementara itu, setiap kali menyerang sabuk emas tidak dapat dielakkan lagi karena biar pun gerakan sabuk itu lambat, namun seolah-olah dapat mengikuti ke mana pun Cin Liong mengelak!
Oleh karena ini, pemuda itu terpaksa menangkis dan menangkis lagi dan makin lama tangkisannya menjadi semakin lemah karena memang berat rasanya menangkis sabuk itu sehingga lewat beberapa lama kemudian, setiap kali menangkis dia tentu terhuyung ke belakang!
Patut diketahui bahwa ketika dia melawan Cu Seng Bu tadi, keadaannya dengan lawan itu seimbang hingga Cin Liong terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya. Oleh karena itu, setelah kini dia berhadapan dengan Cu Han Bu, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dan juga tenaga lebih kuat dibandingkan dengan adiknya, tentu saja Cin Liong menjadi lelah dan semakin lama tenaganya menjadi semakin lemah. Betapa pun juga, dengan Ban-tok-kiam di tangannya, pedang yang juga ditakuti oleh Cu Han Bu yang mengenal pedang beracun yang amat berbahaya, dia masih mampu bertahan sampai seratus jurus dia belum juga kalah, walau pun sudah berkali-kali dia terhuyung ke belakang.
Tentu saja Wan Ceng memandang dengan penuh khawatir, alisnya berkerut dan beberapa kali dia mengepal tinju tangannya. Hanya Kao Kok Cu yang masih tetap tenang saja karena biar pun dia juga maklum bahwa puteranya itu akan kalah, namun dia percaya bahwa Cin Liong mampu menjaga diri sehingga tidak sampai terancam keselamatannya.
Cu Han Bu memang telah mengeluarkan semua kepandaiannya. Baginya, perkelahian itu adalah soal hidup atau mati, karena kalau dia kalah, biar pun andai kata dia masih hidup, namun dia dan adiknya seperti telah mati saja, akan mengundurkan diri dan menjadi pendeta dengan mencukur gundul kepala mereka. Inilah sebabnya mengapa dia menyerang dengan ganas tanpa mempedulikan lagi apakah serangannya itu akan menewaskan lawannya.
Melihat betapa lawannya itu semakin kuat dan semakin ganas, mendadak Cin Liong mengeluarkan pekik melengking nyaring dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, dia sudah mengeluarkan Ilmu Sin-liong Hok-te dengan menggunakan pedang Ban-tok-kiam. Tubuhnya meluncur ke depan, disambung oleh pedangnya, menerjang ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat.
Melihat ini Cu Han Bu terkejut. Dia maklum bahwa ilmu ini luar biasa sekali dan tadi adiknya juga kalah oleh ilmu ini. Maka dia pun meloncat ke depan menyambut, sambil memutar sabuk emasnya.
“Trannggg.... plakkkk....!”
Kini nampak pedang Cin Liong terlempar ke atas dan pemuda itu sendiri terguling! Akan tetapi dia sudah dapat meloncat lagi ke atas dan manyambar pedangnya, siap untuk menyerang lagi. Pada saat itu, Kao Kok Cu mencelat ke depan dari atas kursinya.
“Cukup, Cin Liong. Engkau telah kalah!” katanya.
Pemuda itu pun tidak membantah karena harus diakuinya bahwa dia telah kehilangan pedang tadi, dan juga pundaknya telah beradu dengan ujung sabuk emas dan biar pun tulang pundaknya tidak patah, namun lengan kirinya itu menjadi setengah lumpuh dan kalau digerakkan menjadi nyeri sekali pada pundaknya. Jelaslah bahwa kalau dia maju melawan lagi sama artinya dengan bunuh diri, maka dia pun menjura ke arah Cu Han Bu dan kembali ke tempat duduknya, disambut oleh ibunya yang segera memeriksa pundaknya.
Pundak itu matang biru! Wan Ceng cepat mengeluarkan koyo hitam, melumerkan koyo itu dengan hawa panas dari telapak tangannya dan menempelkan koyo itu di pundak puteranya, dan menyuruh puteranya menelan dua butir pel hitam. Kemudian keduanya duduk menonton pertandingan antara Kao Kok Cu dan Cu Han Bu dengan penuh perhatian setelah Wan Ceng menyimpan kembali pedang Ban-tok-kiam.
Sementara itu, tadi Kao Kok Cu telah menghadapi Cu Han Bu dan berkata, “Saudara Cu, sekarang keadaan kita satu-satu. Marilah kita menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.”
“Silakan kau mengeluarkan senjata, Kao-taihiap,” kata Cu Han Bu dengan sikap masih menghormat.
“Aku tidak pernah mempergunakan sanjata. Majulah!” tantang Naga Sakti Gurun Pasir.
Cu Han Bu percaya akan kata-kata ini dan tidak menganggap pendekar itu memandang rendah kepadanya. Maka dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan sudah memutar sabuk emasnya serta menyerang dengan gerakannya yang lambat namun mantap dan amat kuat itu.
Tadi ketika Cu Han Bu bertanding melawan Cin Liong, Kao Kok Cu sudah menyaksikan gerakan-gerakannya dan sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah matang, sekali lihat saja dia sudah tahu akan sifat-sifat ilmu silat lawan ini. Memang harus diakuinya bahwa jarang dia melihat orang memiliki ilmu silat sehebat keluarga Cu ini. Ilmu silat mereka adalah ilmu silat asli, ilmu silat keluarga yang telah dilatih secara sempurna sekali dan pada waktu itu, kiranya jarang menjumpai orang-orang dengan ilmu setinggi yang dimiliki keluarga Cu ini.
Karena dia sudah tahu akan sifat ilmu silat lawan, maka kini dia tahu bagaimana harus menghadapinya. Tadi dia memperhatikan gerakan Cu Han Bu. Ketika menghadapi Cin Liong, orang ini kadang-kadang mempergunakan kecepatan yang luar biasa selama beberapa puluh jurus, menghujankan serangan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, lalu dia mengubah gerakannya menjadi lambat-lambat sekali.
Akan tetapi Kao Kok Cu maklum bahwa justru kalau bergerak lambat-lambat inilah maka orang ini amat berbahaya karena di sini letak seluruh kekuatannya! Kalau Cu Han Bu bergerak perlahan-lahan dan lambat-lambat itu maka dia amat kuat dan seolah-olah tubuhnya dikelilingi oleh benteng yang tidak nampak dan kekuatan dalam yang dahsyat. Oleh karena itu, ketika Cu Han Bu mulai menyerang dengan gerakan lambat-lambat itu, Kao Kok Cu tidak mau membalas serangan, bahkan dia hanya mengelak saja selalu menanti lawan menyerang untuk dielakkan dengan amat mudah tentunya, karena memang serangan-serangan Cu Han Bu itu biar pun amat mantap dan kuat, namun lambat-lambat datangnya.
Karena tidak melihat lawan dapat dipancing dengan gerakan lambat, Cu Han Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang menggetarkan jantung karena dia telah mengerahkan khikang-nya yang dihimpun ketika dia berlatih suling, dia mulai menyerang dengan cepat!
Diam-diam Kao Kok Cu merasa girang. Akan tetapi dia masih tetap mengelak ke sana-sini dan sekali-kali menangkis dengan tangan kanannya dan hanya membalas serangan lawan dengan cara sembarangan saja, dengan tamparan-tamparan tangan kanan yang mengandung angin bersuitan.
Melihat betapa lawannya bersikap tenang dan seperti tidak sungguh-sungguh. Cu Han Bu mulai marah! Dia mulai mengira bahwa Si Naga Sakti Gurun Pasir ini memandang ringan padanya! Gerakannya dipercepat hingga makin lama gulungan sinar keemasan itu menjadi makin lebar, dan tubuhnya lenyap sama sekali dalam bungkusan gulungan sinar!
Kao Kok Cu menanti sampai gerakan itu tiba pada kecepatan puncak, kemudian tiba-tiba dia membentak dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, seperti sebatang anak panah, atau seperti seekor naga terbang, menyerang ke depan, dan lengan baju kirinya yang ‘kosong’ itu bergerak-gerak dan seperti hidup!
Melihat ini, Cu Han Bu cepat menusukkan sabuk emasnya. Akan tetapi sabuk itu dapat ditangkap dan dilibat oleh lengan baju kiri itu yang hidup seperti seekor ular yang membelit, tidak mungkin dapat ditarik kembali dan otomatis gerakan sabuk itu pun terhenti. Cu Han Bu terkejut dan menjadi nekat, menghantamkan tangan kirinya.
Akan tetapi inilah kekeliruannya, karena pada saat itu Naga Sakti Gurun Pasir sedang mempergunakan Ilmu Sin-liong-hok-te dan kekuatan mukjijat memasuki tubuhnya, maka begitu pendekar ini menangkis dengan tangan kanannya, dua tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Cu Han Bu terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan sabuk emas itu patah menjadi dua, yang sepotong masih dipegang dan yang sepotong lagi berada dalam libatan lengan baju Naga Sakti Gurun Pasir!
Cu Han Bu bangkit berdiri, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah dan jelas dia menderita luka dalam yang hebat. Sejenak dia terbelalak memandang kepada Kao Kok Cu, kemudian mengerakkan tangannya hendak memukulkan sepotong sabuk emas itu ke arah kepalanya sendiri!
“Wuuuut.... tranggg....!”
Sepotong sabuk emas itu terpental dan terlepas dari pegangan, disambar potongan sabuk emas yang meluncur dari lengan baju Kao Kok Cu yang menyambitkannya ketika melihat bekas lawan itu hendak membunuh diri.
“Hanya kaum pengecut sajalah yang tidak berani menghadapi kekalahan dalam hidup!” terdengar suara Kao Kok Cu berkata, suara yang menggetar dan mengandung penuh kekuatan, sedemikian dahsyatnya sehingga seluruh benda di sekitar tempat itu pun ikut tergetar.
Cu Han Bu terkejut, memandang ke bekas lawannya dan menarik napas panjang, lalu jatuh terduduk, bersila dan memejamkan matanya. Kao Kok Cu membiarkan saja dia demikian itu seketika lamanya, oleh karena dia maklum bahwa kalau tidak cepat-cepat majikan lembah itu mengumpulkan hawa murni, dia tentu takkan dapat tertolong lagi. Cu Pek In lari menghampiri ayahnya, akan tetapi sebelum dia menyentuh ayahnya dia dicegah oleh Cu Seng Bu yang memegang lengan gadis itu. Cu Pek In memandang ayahnya dengan air mata menetes di kedua pipinya.
Suasana amat menyedihkan dan mengharukan hati keluarga Kao Kok Cu. Mereka ini tahu bahwa dengan berhasilnya mereka melaksanakan perintah kaisar, mereka pun berarti menghancurkan kebahagiaan keluarga Cu ini! Mereka merasa menyesal sekali, akan tetapi apa yang sudah terjadi tidak dapat diperbaiki kembali. Mereka bertiga memandang ke arah Cu Han Bu, seperti yang dilakukan oleh Cu Seng Bu dan Pek In, dan mereka menanti.
Tak lama kemudian, pernapasan yang tadinya memburu itu menjadi semakin tenang dan akhirnya terdengar Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu membuka matanya dan pertama kali dia menggerakkan mata, dia memandang ke arah Kao Kok Cu.
“Terima kasih, Naga Sakti Gurun Pasir, bukan karena engkau telah menyelamatkan aku, melainkan karena engkau telah mengingatkan aku yang hampir menjadi pengecut. Engkau benar, dan aku tidak akan takut menghadapi kegagalan. Kami telah kalah. Nah, dengarlah. Pedang itu berada pada muridku yang bernama Sim Hong Bu. Dialah yang berhak mewarisi pedang itu bersama ilmunya. Dan sekarang, dialah yang berhak atas pedang itu, bukan kami.“
Kao Cin Liong merasa kecewa karena tadinya dia mengharapkan bahwa kemenangan itu akan membuat keluarga ini menyerahkan pedang pusaka itu kembali. “Dan di mana adanya Sim Hong Bu itu, Lo-enghiong?”
Cu Han Bu tersenyum pahit. “Goan-swe, engkau boleh menangkapku, membunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat memaksa kami menjadi pengkhianat-pengkhianat yang mengkhianati dia yang menjadi muridku dan pewaris pedang pusaka kami!”
Cu Seng Bu dan Cu Pek In juga menentang pandang mata dengan sikap menantang. Kao Kok Cu maklum bahwa tiada gunanya memaksa karena orang-orang gagah seperti ini tentu akan lebih suka menyerahkan nyawa dari pada harus mengkhianati orang sendiri.
“Satu pertanyaan lagi, Saudara Cu Han Bu. Perlukah aku menggeledah di lembah ini untuk mencari Sim Hong Bu?”
Cu Han Bu memandang dengan sinar mata tajam. “Percuma, dia tidak berada di sini.”
“Biar aku akan mencarinya di sini, Ayah,” kata Cin Liong, tetapi ayahnya mencegah.
“Tidak perlu, Cin Liong. Saudara Cu Han Bu sudah mengatakan bahwa dia tidak ada di lembah ini. Dia sudah mengatakan sejujurnya dan aku yakin dia mempunyai cukup kehormatan untuk tidak membohongi kita. Mari kita pergi, kita akan mencari sendiri Sim Hong Bu!” Setelah berkata demikian, Kao Kok Cu menjura ke arah mereka dan berkata, “Perkenankan kami pergi dari sini, Saudara Cu, dan maafkan semua perbuatan kami.”
Kao Kok Cu bersama anak isterinya hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Cu Han Bu bangkit dan berkata dengan suara parau, “Kao Kok Cu!” Pendekar itu bersama isteri dan puteranya berhenti dan membalikkan tubuh, memandang dengan alis berkerut.
“Dengarlah! Hari ini kami keluarga Cu kalah olehmu, akan tetapi ingat, murid kami Sim Hong Bu yang kelak akan membuktikan bahwa kami tidak kalah olehmu, dan pedang Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka kami itu yang akan mengalahkanmu! Nah, mulai sekarang, aku dan Adikku akan mengasingkan diri sesuai dengan janji, menjadi hwesio dan bertapa di tempat sunyi. Biarlah murid kami itu yang kelak membalaskan kami. Pek In, antarkan tamu sampai menyeberang!”
Dengan muka pucat dan mata basah air mata, Cu Pek In memandang dengan mata penuh kebencian kepada keluarga Kao, lalu berkata, “Mari!” Dia pun lalu berjalan dengan tubuh ditegakkan, menuju ke arah jurang penyeberangan.
Kao Kok Cu dan anak isterinya mengikutinya karena mereka maklum bahwa kalau pihak tuan rumah menghendaki, sukar bagi mereka untuk dapat keluar dari lembah itu tanpa bahaya. Andai kata dirusak saja jembatan tambang itu, berarti mereka tidak tahu bagai mana harus keluar dari lembah yang terasing dari dunia luar dan hanya dihubungkan dengan dunia luar melalui jembatan tambang itu saja.
Tanpa mengeluarkan kata-kata, kemudian Pek In memberi isyarat kepada para penjaga. Jembatan tambang diangkat naik, gadis itu pun meloncat ke atas jembatan tambang itu diikuti oleh tiga orang tamunya. Setelah mereka semua tiba di seberang, gadis itu lalu berkata dengan sikap kaku, “Selamat jalan!”
Kao Cin Liong merasa kasihan. “Selamat tinggal, Nona, dan maafkan kami.”
Akan tetapi gadis itu telah meloncat kembali ke atas jembatan tambang dan berlari cepat, kembali menuju ke lembah. Kao Kok Cu lalu menarik napas panjang. “Sungguh sayang, Cin Liong, kita sudah menanam bibit kebencian di dalam hati keluarga yang demikian gagahnya.”
“Kita berada dalam tugas, Ayah, bukan urusan pribadi,” kata Cin Liong tenang.
“Benar! Kalau mereka itu benar-benar orang gagah tentu menyadari hal itu. Urusan ini urusan tugas perintah, bukan urusan pribadi, akan tetapi kalau mereka menganggap sebagai permusuhan perorangan dan mendendam kepada kita, adalah karena ketololan mereka sendiri!” kata Wan Ceng yang wataknya masih belum berubah, yaitu keras dan berani.
Kao Kok Cu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyangkal kebenaran ucapan isterinya dan puteranya, betapa pun juga, dia tahu bahwa bagi sebuah keluarga yang hebat seperti keluarga Cu itu, nama merupakan hal yang amat penting dan sekarang mereka itu kehilangan nama, oleh karena itu sudah pasti mereka merasa sakit hati. Pendekar ini masih mendengar ancaman Cu Han Bu dan dia sudah menganggap nama Sim Hong Bu sebagai nama yang mungkin kelak akan menimbulkan kesukaran baginya dan keturunannya.
Agaknya Wan Ceng dapat membaca kekhawatirannya di wajah suaminya, maka nyonya ini berkata dengan gagah, “Bekerja tidak boleh kepalang tanggung! Barusan kita telah mengalahkan keluarga itu, dan kini, bagaimana pun juga kita harus bisa mendapatkan orang yang bernama Sim Hong Bun itu dan merampas pedang pusaka istana sebelum urusan menjadi berlarut-larut.”
Kao Cin Liong mengangguk. “Ucapan Ibu benar sekali, dan saya kira murid mereka itu tentu tidak berada jauh dari lembah ini!”
Demikianlah, tiga orang itu lalu mulai mencari jejak Sim Hong Bu, akan tetapi karena mereka belum pernah melihat wajah pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu, tentu saja tidak mudah bagi mereka. Apalagi, seperti kita ketahui, pemuda itu menyembunyikan diri dalam sebuah goa rahasia untuk melatih ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut sampai sempurna.
Dan karena selama beberapa hari mereka menyelidiki tempat-tempat sekitar lembah itu, maka mereka melihat munculnya Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang baru kembali dari perjalanan mereka mengunjungi Sai-cu Kai-ong. Tiga orang itu bersembunyi, kemudian membayangi Yu Hwi dan Cu Kang Bu.
“Dia.... bukankah dia itu Ang-siocia, murid dari Hek-sin Touw-ong....?” Ceng Ceng atau Wan Ceng berbisik kepada suaminya.
Kao Kok Cu mengangguk. Kini dia pun ingat, itulah gadis yang dulu pernah membantu mendiang ayahnya, yaitu Jenderal Kao Liang ketika ayahnya itu ditawan Pangeran Nepal di sebuah benteng yang amat kuat. Gadis liar yang banyak akalnya dan yang pada dasarnya mempunyai watak yang gagah perkasa dan baik, seperti yang telah dibuktikannya ketika membantu ayahnya itu.
“Dan pria itu.... mungkinkah dia Sim Hong Bu?” bisik Cin Liong dengan jantung berdebar penuh harapan.
Pria itu nampak gagah perkasa, tinggi besar seperti raksasa dan memang pantaslah kalau menjadi murid keluarga Cu yang berilmu tinggi, walau pun raksasa ini agaknya sudah terlalu tua untuk menjadi murid mereka.
“Hemm, mungkin saja. Lihat, mereka menuju ke jurang pemisah lembah,” bisik Kao Kok Cu.
“Sebaiknya kita bertanya secara terus terang saja. Heiii, tunggu dulu....!” Wan Ceng berseru dan meloncat keluar, diikuti suaminya dan puteranya.
Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang sedang berjalan dengan asyik dan mesranya, sambil bergandengan tangan dan bercakap-cakap diseling senyum mesra, terkejut sekali dan cepat mereka saling melepaskan tangan dan membalikkan tubuh memandang kepada tiga orang yang muncul secara tiba-tiba itu.
Seorang pendekar seperti Si Naga Gurun Pasir tentu saja sukar dapat dilupakan orang, terutama sekali karena lengannya tinggal sebelah itu. Demikian pula dengan Yu Hwi, begitu melihat pendekar ini, dia terkejut sekali dan teringat, apalagi setelah dia melihat Wan Ceng, maka dengan gagap saking kaget dan juga gembiranya dia lantas berseru, “Bukankah.... bukankah saya berhadapan dengan Naga Sakti Gurun Pasir, Kao Kok Cu Taihiap bersama isteri?”
Ucapan kekasihnya ini membuat Cu Kang Bu juga terkejut bukan main. Pernah dia mendengar nama besar seperti nama tokoh dalam dongeng ini, dan kekasihnya pernah pula bercerita tentang pertemuan kekasihnya dengan pendekar sakti dan isterinya ini ketika kekasihnya membantu mendiang Jenderal Kao Liang, ayah dari pendekar sakti ini.
“Ingatanmu kuat sekali, Nona. Benar, aku adalah Kao Kok Cu dan ini adalah isteri dan putera kami.”
“Hemm, engkau tentu Ang-siocia, bukan?” Wan Ceng berkata sambil memandang tajam wajah gadis itu, akan tetapi lalu dia memandang wajah Cu Kang Bu sambil bertanya penuh curiga, “Dan siapakah dia ini?”
Ang-siocia atau Yu Hwi tertawa mendengar disebut nama julukannya yang sudah lama sekali tidak pernah didengarnya, yang hampir dilupakannya itu. “Ahhh, Bibi yang gagah perkasa, saya tidak berjuluk Ang-siocia lagi. Lihat, pakaian saya tidak merah, bukan? Dan dia ini adalah....” Wajahnya berubah dan dia tidak melanjutkan kata ‘tunangan’ itu. “.... bernama Cu Kang Bu.”
“Ahhh....!” Cin Liong berseru, kecewa.
“Apakah masih saudara dengan sahabat-sahabat Cu Han Bu dan Cu Seng Bu?” tanya Kao Kok Cu.
Cu Kang Bu yang sudah lama mengagumi nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sudah cepat menjura dengan hormat dan menjawab, “Mereka itu adalah kakak-kakak saya dan saya merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan Kao-taihiap yang nama besarnya sudah lama saya dengar dari..... tunangan saya ini.“
Mendengar bahwa laki-laki gagah perkasa dan bertubuh raksasa ini adalah adik dari keluarga Cu yang merahasiakan di mana adanya Sim Hong Bu yang membawa pedang pusaka itu, Wan Ceng yang cerdik cepat bertanya, “Saudara Cu Kang Bu, dapatkan engkau memberitahu kami di mana adanya Sim Hong Bu....?”
“Sim Hong Bu....?” Kang Bu dan Yu Hwi berkata heran, tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Mereka tidak tahu mengapa keluarga ini bertanya tentang murid itu, dan mereka meragu apakah mereka boleh memberitahukan kepada orang lain karena pemuda itu sedang menyembunyikan dirinya untuk menggembleng diri dan melatih ilmu pedang sampai sempurna. Bukankah Sim Hong Bu mempunyai tugas yang amat berat, yaitu kelak dialah yang harus mengangkat kembali nama keluarga lembah, dan menandingi, atau kalau mungkin mengalahkan Suling Emas?
Selagi mereka meragu, terdengar suara nyaring di belakang mereka. “Paman, jangan beritahukan! Ayah dan Paman Seng Bu telah terluka oleh mereka dan sedang menanti kedatangan Paman!”
Kiranya yang bicara itu adalah Cu Pek In yang memandang ke arah keluarga Kao itu dan dengan sinar mata penuh kebencian. “Mereka ingin merampas pedang pusaka kita, dan kalau mereka tahu di mana adanya dia, tentu akan dirampasnya pedang itu!”
Cu Kang Bu memandang dengan mata terbelalak, sedangkan Yu Hwi memandang pendekar sakti dan isterinya itu dengan wajah terheran-heran. “Bagaimana Ji-wi dapat melakukan hal seperti itu? Aku.... aku tidak peccaya....”
Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Kami adalah utusan Kaisar yang ingin supaya pedang pusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana itu dikembalikan.”
Mengertilah kini Yu Hwi dan dia pun menjadi serba salah. Akan tetapi Kang Bu sudah menarik tangannya. “Mari, Hwi-moi, kita menengok kedua kakak kita yang terluka.” Dan mereka bertiga lalu lari ke arah jurang, menyeberangi jurang melalui jembatan tambang, meninggalkan tiga orang keluarga Kao yang hanya dapat memandang saja.
“Agaknya tak mungkin dapat diharapkan dapat menemukan Sim Hong Bu itu melalui mereka, dan harus dicari lebih jauh lagi!” kata pendekar itu yang lalu mengajak anak isterinya untuk meninggalkan lembah.
Akan tetapi mereka mencari terlalu jauh. Tak lama sesudah Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke lembah, dengan hati-hati sekali Cu Kang Bu lalu meninggalkan lembah untuk pergi ke goa tempat persembunyian Sim Hong Bu dan dia mengajak pemuda itu untuk pergi ke lembah. Keluarga Cu berduka cita, bukan hanya karena Cu Han Bu dan Cu Seng Bu kalah bertanding dan terluka parah, akan tetapi juga karena keputusan dua orang tokoh itu untuk selanjutnya mencukur gundul kepala mereka dan hidup sebagai pertapa yang mengasingkan diri!
“Sebelum kami berdua mencukur rambut dan kemudian meninggalkan tempat ini untuk mengasingkan diri sebagai pendeta, aku ingin terlebih dahulu menunaikan kewajibanku meresmikan pernikahan kalian, Kang Bu dan Yu Hwi. Keadaan kita sedang prihatin, oleh karena itu maafkanlah saudara tuamu ini bahwa terpaksa pernikahan kalian tidak diramaikan, cukup disaksikan oleh para pembantu murid kita di lembah dan dilakukan upacara sembahyang kepada leluhur kita. Sesudah itu, kalian berdualah yang kami serahi untuk mengurus lembah ini. Akan tetapi kalau kalian menghendaki untuk tinggal di tempat lain, terserah, asalkan semua anak buah dibubarkan lebih dulu dan jembatan yang menghubungkan lembah ini keluar dimusnahkan. Dan aku titip Pek In kepada kalian….” Cu Han Bu berhenti sebentar dan menarik napas panjang untuk menekan hatinya yang terharu melihat Pek In menangis terisak-isak.
“Dan engkau, Sim Hong Bu. Engkau adalah murid kami, juga pewaris pedang pusaka keluarga Cu. Bahkan engkau satu-satunya pewaris Ilmu Pedang Koa-liong Kiam-sut. Engkau sekarang menjadi buronan pemerintah, karena kaisar telah mengirim utusan untuk merampas pedang pusaka. Bersumpahlah bahwa engkau akan mempertahankan pedang pusaka kami itu, demi menjunjung nama keluarga kami!”
“Teecu bersumpah, Suhu,” kata Hong Bu dengan suara tegas. “Dengan taruhan nyawa, teecu akan mempertahankan pedang ini!”
“Bagus, hatiku lega mendengar itu. Dan engkau mempunyai tugas yang amat berat, Hong Bu. Selain mempertahankan pedang, juga untuk membela nama baik keluarga Cu dan Lembah Suling Emas yang terpaksa kita rubah menjadi Lembah Naga Siluman ini, kelak engkau harus membuktikan bahwa Koai-liong-kiam (Pedang Naga Siluman) tidak kalah terhadap Kim-siauw (Suling Emas). Carilah Kam Hong dan ajaklah dia bertanding untuk membuktikan siapa yang lebih unggul antara kalian, dengan demikian harapan kami selama ini tidak akan sia-sia.”
Tentu saja Hong Bu sudah pernah mendengar akan hal ini, hal yang sungguh membuat hatinya tidak enak. Dia amat kagum dan suka kepada Kam Hong, dan kenyataan bahwa dia kelak harus berhadapan dengan pendekar itu sebagai musuh, sungguh membuat hatinya tidak enak. Apalagi kalau dia teringat kepada Ci Sian yang menjadi sumoi dari pendekar besar itu! Akan tetapi, dia maklum bahwa dia tidak dapat menolak permintaan suhu-nya ini.
“Baik, Suhu. Pesan Suhu ini pasti akan teecu penuhi.”
“Masih ada lagi, muridku. Engkau melihat sendiri betapa Suhu-Suhu-mu telah terluka dan terpaksa menjadi hwesio karena dikalahkan oleh keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Aku yakin bahwa jika engkau sudah menyempurnakan latihan-latihanmu, engkau akan mampu mengalahkan dia. Maka aku menghendaki agar kelak engkau mencari Naga Sakti Gurun Pasir. Atas nama kami, balaslah kekalahan kami untuk mempertahankan kehormatan nama keluarga Cu!”
Sebenarnya, di lubuk hatinya, Sim Hong Bu tidak setuju dengan sikap suhu-nya. Suhu dan susiok-nya ini kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir bukan karena urusan pribadi seperti yang mereka ceritakan kepadanya tadi. Keluarga Kao itu datang sebagai utusan Kaisar dan kalau dalam pertandingan perebutan pedang itu keluarga Cu kalah, hal itu sudah wajar karena dalam setiap pertandingan tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pula, apa jeleknya kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya dipuja-puja seperti tokoh dewa dalam dongeng?
Tetapi dia tahu, suhu dan keluarga suhu-nya memang amat keras kepala, tidak dapat menerima kekalahan karena terlalu lama terbiasa dengan anggapan bahwa keluarga mereka adalah keluarga yang tidak pernah terkalahkan, keluarga yang menyimpan rahasia ilmu-ilmu dahsyat, dan nenek moyang mereka yang menciptakan benda-benda pusaka seperti Suling Emas dan Pedang Naga Siluman.
Cu Han Bu melihat keraguan muridnya dan diam-diam dia merasa agak malu juga. Dia agaknya dapat membaca apa yang menjadi keraguan hati muridnya, maka dia berkata lagi, “Hong Bu, ketahuilah bahwa kami tidak memiliki dendam sakit hati pribadi terhadap Naga Sakti Gurun Pasir. Pertentangan antara mereka dan kami hanya kebetulan saja karena puteranya menjadi jenderal dan utusan Kaisar. Akan tetapi, jika engkau sebagai murid dan pewaris keluarga kami tidak memperlihatkan bahwa kita tidak kalah oleh mereka, tentu dunia kang-ouw akan menganggap bahwa nama keluarga Cu adalah nama kosong belaka.”
“Baiklah, teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan,” akhirnya Hong Bu menjawab dan diam-diam dia mengeluh dalam hatinya karena selain dia kini karena pedang itu telah menjadi buronan pemerintah, juga dia sudah terlanjur berjanji akan menghadapi dua orang pendekar yang paling sakti di dunia ini!
“Ada satu hal lagi, muridku. Yaitu mengenai diri Sumoi-mu, Pek In. Telah kupikirkan dalam-dalam hal ini untuk waktu lama sekali. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau kelak Pek In dapat menjadi isterimu, Hong Bu.”
Tentu saja Pek In menjadi malu dan menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan jantungnya berdebar-debar tegang.
Sebaliknya, wajah Hong Bu menjadi pucat, kemudian merah. Tak disangkanya gurunya akan membicarakan hal itu secara terbuka. Dia tahu betul bahwa sumoi-nya jatuh cinta kepadanya, dan dia pun sudah dapat menduga dari sikap suhu-nya bahwa suhu-nya juga setuju untuk mengambil dirinya sebagai mantu. Akan tetapi dia sendiri menyayang Pek In hanya sebagai murid suhu-nya. Tanpa disengajanya, tiba-tiba saja wajah Ci Sian terbayang di depan matanya.
“Suhu.... tentang hal ini.... teecu.... teecu sama sekali masih belum berpikir soal…. soal perjodohan....”
Cu Han Bu menarik napas panjang. “Hong Bu, kukatakan tadi bahwa aku akan merasa berbahagia kalau kelak engkau dapat berjodoh dengan Pek In. Tentu saja aku sama sekali tidak memaksamu. Urusan perjodohan adalah urusan dua orang dan terserah kepada kalian, aku tadi hanya mengatakan akan berbahagia kalau kalian berjodoh....“ Sampai di sini, Cu Han Bu memberi isyarat membubarkan pertemuan itu oleh karena kesehatannya belum pulih benar dan terlalu banyak bicara mendatangkan rasa nyeri di dadanya.
Demikianlah, pernikahan antara Yu Hwi dan Cu Kang Bu dilangsungkan dengan sangat sederhana, dengan pesta antara keluarga dan anak buah lembah itu tanpa dihadiri oleh seorang pun dari luar lembah, serta disaksikan arwah nenek moyang mereka yang mereka sembahyangi. Dan pada keesokan harinya, Sim Hong Bu harus meninggalkan lembah, membawa bekal emas dan perak secukupnya dan menyembunyikan pedang pusaka itu di balik jubahnya. Dua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu sendiri yang mengantarnya sampai ke luar dari lembah.
Kemudian, beberapa hari sesudah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu pergi menuju ke sebuah kuil yang berada di puncak sebuah bukit dekat lembah, lalu disaksikan oleh para hwesio mereka menggunduli rambut, menjadi hwesio lalu melakukan perjalanan untuk mengasingkan diri mereka, sesuai dengan janji mereka terhadap Si Naga Sakti Gurun Pasir!
Yu Hwi dan Cu Kang Bu kini menjadi majikan lembah. Akan tetapi baru sebulan setelah menikah, mereka telah ditimpa suatu peristiwa yang membingungkan hati mereka, yaitu lenyapnya Cu Pek In dari lembah! Di dalam kamar gadis itu mereka menemukan sehelai surat yang mengabarkan mereka bahwa gadis itu hendak pergi menyusul dan mencari Sim Hong Bu dan minta agar paman dan bibinya tidak mencarinya!
Cu Kang Bu menjadi bingung sekali. Dia yang diserahi untuk mengurus Pek In oleh kakaknya, akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa gadis itu untuk kembali? Setelah berunding dengan isterinya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk tinggal diam saja sambil manyimpan surat itu.
“Pek In jatuh cinta dan merasa ditinggalkan Hong Bu, maka dicari pun tidak akan ada gunanya,” demikian Yu Hwi berkata. “Dia sudah dewasa dan memiliki ilmu kepandaian cukup, maka perlu apa khawatir? Biarlah dia merantau memperluas pengetahuannya. Keputusan hati seorang gadis yang jatuh cinta tidak mungkin dirubah lagi dan percuma saja kalau kau cari dia juga.”
Demikianlah, Cu Kang Bu tidak pergi mencari Pek In karena dia dapat mengerti akan kebenaran kata-kata isterinya. Andai kata dicari dan dapat dia temukan, apakah dia akan menggunakan kekerasan memaksa Pek In tinggal di lembah? Tidak mungkin! Dia tahu bahwa keponakannya itu bukan hanya suka memakai pakaian pria, akan tetapi juga mempunyai kekerasan hati, kadang-kadang melebihi pria.....
********************
“Suhu....”
Kakek itu membuka matanya dan memandang dengan sinar mata sayu. Kakek itu kurus sekali dan mukanya pucat, tanda bahwa selain jarang makan, juga kakek ini kurang memperoleh sinar matahari. Memang sudah lama Sai-cu Kai-ong, kakek yang pernah menjadi Raja Pengemis dan menjadi tokoh kang-ouw yang disegani ini, mengasingkan diri di sebuah kamar di gedung besar seperti istana kuno itu, di Puncak Bukit Nelayan, seorang diri saja. Hidupnya terasa hampa setelah dia bertemu dengan cucunya, Yu Hwi yang telah memilih suami lain. Dia tidak ingin apa-apa legi selain menanti kematian.
Hidup ini baginya banyak dukanya dari pada sukanya, banyak kecewanya dari pada puasnya. Kekecewaannya yang terbesar adalah karena dia merasa bahwa dia adalah seorang yang tidak berbakti, seorang yang tidak dapat memenuhi kehendak mendiang ayahnya, mendiang nenek moyangnya. Dia telah gagal menjodohkan keturunan Kam dengan keturunan Yu, dan ini baginya merupakan pukulan berat, merasa bahwa dirinya put-hauw (tidak berbakti), seorang yang murtad.
Kata kebaktian masih selalu didengungkan orang, bahkan dianggap sebagai suatu sila kehidupan manusia beradab yang amat penting. Kebaktian dianggap sebagai ukuran kebudayaan, kesusilaan, bahkan kebaikan seseorang. Bagi kebanyakan orang tua, kata ‘hauw’ atau bakti sering dijadikan semacam pegangan atau senjata untuk menyerang anak-anaknya kalau anak-anak itu tidak menyenangkan hatinya, dan anak-anak itu, karena takut dianggap tidak berbakti atau murtad, maka mereka itu memaksa diri untuk melakukan apa-apa yang dianggap hauw (bakti) terhadap orang tua!
Berbakti adalah suatu sikap yang dipaksakan! Betapa tidak? Di balik kebaktian ini jelas terkandung pamrih! Jika orang ingin berbakti, jelas bahwa dia berpamrih untuk menjadi anak baik dan tentu karena anak yang berbakti itu mendapat berkah, banyak rejekinya, terhormat, terpandang dan sebagainya. Apakah artinya sikap berbakti kalau di dalam hati nuraninya tidak ada cinta kasih?
Kalau kita mempunyai sinar cinta kasih dalam batin kita, terhadap orang lain pun kita berhati penuh kasih, penuh iba, apalagi terhadap ayah bunda sendiri! Di mana ada kasih, maka kata berbakti itu tidak ada lagi karena dalam setiap perbuatannya terhadap orang tua, tentu penuh dengan kasih sayang yang tanpa pamrih! Berbakti karena tahu bahwa berbakti itu baik dan sebagainya hanya melahirkan sikap palsu dan dibuat-buat, melahirkan perbuatan dan ucapan yang tidak sama dengan isi hatinya. Hanya karena ingin berbakti, maka terjadilah kenyataan betapa mulut tersenyum berkata-kata halus sungguh pun di dalam hati memaki-maki. Pada lahirnya memberi ini dan itu padahal di dalam hatinya tidak rela!
Hal ini dapat kita lihat pada diri kita sendiri, pada kanan kiri kita, melihat kehidupan seperti apa adanya, menelanjanginya dan tidak tertipu oleh kulitnya belaka. Akan tetapi, kalau batin kita penuh cinta kasih, maka tidak akan ada caci maki di dalam hati, tidak ada rela atau tidak rela. Yang ada hanyalah kasih sayang saja!
Betapa kita manusia di dunia ini sudah kehilangan api cinta kasih! Kita mengorek-orek abunya dan mengejar-ngejar asapnya belaka. Kita rindu akan cinta kasih, ingin semua manusia di dunia ini, ingin seluruh isi mayapada ini, ingin para dewata, malaikat dan Tuhan, mencinta kita! Kita haus akan cinta kasih karena di dalam diri kita kehilangan cinta kasih itu! Kita mencari-cari dan mengejar-ngejar melalui kebaktian, kewajiban, menjadi orang baik, memuja-muja dan sebagainya lagi. Akan tetapi yang kita kejar-kejar itu hanyalah asapnya.
Cinta kasih tak mungkin dikejar-kejar, tak mungkin dapat diusahakan supaya ada, tak mungkin dapat dikuasai dan diikat, tak mungkin dapat dilatih seperti pengetahuan mati! Cinta kasih datang dengan sendirinya kalau batin kita terbuka, peka dan kosong, dalam arti kata bersih dari pada segala keinginan dan perasaan si-aku, yaitu keinginan untuk senang dan perasaan-perasaan iri, benci, marah, takut dan sebagainya.
Kita tidak mungkin memiliki batin yang peka dan ‘terbuka’, kalau masih ada kotoran-kotoran dari si-aku, yaitu pikiran yang selalu menjangkau, mencari-cari, mengejar dan menginginkan segala sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, lahir mau pun batin. Barulah kalau batin kita sudah penuh dengan sinar cinta kasih, segala perbuatan kita adalah benar, tidak pura-pura, tidak palsu, tanpa pamrih, wajar dan bersih seperti keadaan anak kecil yang belum dikuasai oleh aku-nya.
Ada yang berkata, “Tidak mungkin itu!”
Nah, siapakah yang berkata demikian itu? Marilah kita lihat baik-baik. Bukankah yang berkata itu adalah sang aku yang ingin baik, ingin dipenuhi cinta kasih, lalu melihat bahwa dia tidak mungkin hidup tanpa segalanya yang dianggapnya menyenangkan itu? Kita dapat mengamati ulah tingkah si-aku ini setiap saat dalam diri kita sendiri, dan ini merupakan langkah pertama ke arah kebijaksanaan.
“Suhu....!” Kam Hong berkata lagi ketika melihat betapa kakek itu memandangnya seperti orang sedang mimpi, seolah-olah tidak mengenalnya lagi. “Suhu, teecu adalah Kam Hong….”
“Kam Hong....? Engkau Siauw Hong....?”
“Benar, Suhu, teecu adalah Siauw Hong,” kata Kam Hong dengan hati terharu. Tak disangkanya bahwa suhu-nya yang biasanya bertubuh tegap dan bersikap gagah penuh semangat itu, yang menghadapi dunia dengan hati ringan, kini kelihatan demikian tua dan lemah seperti orang kehilangan semangat.
“Dan Nona ini siapa....?”
“Teecu adalah Bu Ci Sian, Locianpwe,” jawab Ci Sian yang tadi masuk bersama Kam Hong.
Mendengar suara dara yang demikian nyaring dan bersih, Sai-cu Kai-ong membuka matanya lebih lebar. Kalau saja Yu Hwi yang berlutut di samping Kam Hong itu, pikirnya!
“Suhu, dia ini adalah Sumoi teecu, kita sama-sama mempelajari ilmu sejati dari Suling Emas,” kata Kam Hong.
Sai-cu Kai-ong terbelalak. “Apa….? Apa maksudmu? Apakah itu ilmu sejati dari Suling Emas? Bukankah engkau keturunan langsung dari Suling Emas, keluarga Kam?”
Dengan sabar Kam Hong lalu menceritakan semua pengalamannya di Pegunungan Himalaya, betapa dia bertemu dengan Ci Sian dan mereka berdua tanpa disengaja telah bertemu dengan jenazah kuno dari tokoh yang membuat suling emas, dan betapa dari jenazah itu mereka berdua menemukan ilmu sejati dari pencipta suling emas sehingga mereka menjadi kakak beradik seperguruan. Kemudian, dengan hati-hati sekali Kam Hong lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Yu Hwi di Lembah Suling Emas.
Kakek Itu menarik napas panjang. “Aku sudah tahu, Siauw Hong. Yu Hwi telah datang ke sini bersama tunangannya....”
“Cu Kang Bu....?”
“Benar, dan memang harus diakui bahwa pilihannya itu tidak keliru, akan tetapi tetap saja hatiku penuh kekecewaan bahwa ikatan perjodohan itu putus....”
“Harap Suhu suka tenangkan diri. Urusan jodoh tidak dapat dipaksakan, Suhu. Dan bukankah kata orang bahwa jodoh berada di tangan Tuhan? Anggap saja bahwa tidak ada jodoh antara teecu dan Yu Hwi dan hal itu tidak perlu dijadikan penyesalan benar.”
Sai-cu Kai-ong tersenyum pahit. “Ah, engkau tidak tahu betapa hal itu menjadi idaman nenek moyang kami sejak dahulu...., akan tetapi sudahlah. Yang sudah terjadi tidak mungkin diubah lagi. Siauw Hong, sekarang, ke mana engkau hendak pergi? Ketahuilah bahwa Sin-siauw Sengjin telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, di tempat pertapaannya, di puncak tak berapa jauh dari sini. Aku sendiri yang telah mengurus pemakamannya, di puncak itu juga.”
Kam Hong menarik napas panjang. Berita ini tidak mengejutkan hatinya sebab memang kakek itu sudah tua sekali. Akan tetapi sedikit banyak dia pun merasa terharu. Kakek itu bersusah payah merahasiakan keturunan Kam, kemudian mendidiknya sebagai guru kedua sesudah Sai-cu Kai-ong, dengan penuh kasih sayang.
“Teecu akan bersembahyang ke makam beliau, kemudian teecu berdua Sumoi akan pergi ke daerah Sin-kiang....”
“Hemm, engkau baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya dan kini hendak pergi ke daerah Sin-kiang? Ada keperluan apakah di tempat liar itu?”
“Teecu hendak mengantar Sumoi mencari sarang gerombolan Hek-i-mo....”
“Ah....?” Bekas Raja Pengemis itu nampak terkejut bukan main. “Hek-i-mo....? Sungguh berbahaya sekali. Mau apa kalian hendak ke sana?”
“Locianpwe, Ibu teecu tewas karena penyakit yang diderita setelah Ibu bertentangan dengan Hek-i-mo,” jawab Ci Sian.
“Hemm, jadi urusan balas dendam, ya?” Kakek itu bertanya, nada suaranya seperti orang kesal dan memang sesungguhnya dia merasa bosan karena sebagian besar dari pada hidupnya dia hanya menghadapi soal balas dendam saja di dalam dunia kang-ouw dan dia merasa muak dengan hal itu.
“Bukan itu saja yang terutama, Locianpwe. Teecu berpendapat bahwa jika gerombolan liar dan jahat macam Hek-i-mo tak dibasmi, maka lebih banyak orang lagi, orang-orang tidak berdosa, akan menjadi korban mereka. Dahulu Ibu pernah gagal, biarlah sekarang teecu sebagai anaknya melanjutkan usaha yang mulia itu, membersihkan dunia dari gerombolan jahat. Dan Kam-suheng sudah sanggup untuk membantu teecu.”
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang. “Yah, kalian masih muda dan bersemangat besar. Akan tetapi, Siauw Hong, yakin benarkah engkau dan Sumoi-mu ini bahwa kalian akan mampu menghadapi Hek-i-mo? Ingat, entah sudah berapa banyaknya pendekar-pendekar yang tewas di tangan mereka sehingga sampai kini pun tidak ada lagi yang berani mencoba-coba menentangnya.”
“Tentu saja sebelum melihat kekuatan mereka, teecu tidak yakin, Suhu. Betapa pun juga, untuk menentang kejahatan dan membantu Sumoi, teecu sanggup dan berani.”
“Ci Sian, kalau mendiang Ibumu pernah berani menentang Hek-i-mo, tentu engkau keturunan keluarga yang hebat. Siapakah nama Ayahmu?”
Ditanya ayahnya, Ci Sian cemberut dan hatinya tidak senang. Siapa akan merasa senang mengaku Bu Seng Kin sebagai ayahnya kalau orang itu demikian gila wanita dan mempunyai isteri yang tidak kepalang banyaknya? Dia malu berayah Bu Seng Kin!
Melihat keraguan sumoi-nya, Kam Hong lalu mewakilinya menjawab, “Sumoi adalah puteri dari Bu Taihiap yang bernama Bu Seng Kin....“
“Ahh, pantas kalau begitu!” Sai-cu Kai-ong berseru girang. “Kiranya Ayahmu adalah pendekar besar itu!”
Akan tetapi Ci Sian sama sekali tidak kelihatan girang atau bangga dan hal ini dianggap oleh kakek itu sebagai sikap rendah hati yang amat baik. Setelah bercakap-cakap selama setengah hari, dan dalam kesempatan mana Ci Sian memasakkan makanan yang enak-enak untuk Sai-cu Kai-ong yang seakan-akan sudah memperoleh kembali kegembiraannya dalam pertemuan ini, mereka lalu mohon diri. Dan setelah mendapat keterangan di mana letak makam Sin-siauw Sengjin, Kam Hong bersama Ci Sian meninggalkan puncak Bukit Nelayan itu, diantar oleh Sai-cu Kai-ong sampai ke depan pintu dan kakek ini memandang ke arah dua orang muda itu sampai mereka lenyap dari pandangan mata.
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang dan berkata lirih, “Jelas bahwa dia mencinta dara itu. Puteri Bu Taihiap! Dan Yu Hwi berjodoh dengan penghuni Lembah Suling Emas! Memang sayang sekali ikatan jodoh mereka itu putus, akan tetapi keduanya memperoleh pengganti yang sama sekali tidak mengecewakan. Semoga Yu Hwi hidup bahagia dengan suaminya dan Siauw Hong hidup bahagia dengan gadis she Bu itu.”
Kam Hong melakukan upacara sembahyang sederhana di depan makam Sin-siauw Sengjin, diikuti juga oleh Ci Sian yang sudah mendengar penuturan suheng-nya itu tentang diri kakek yang luar biasa itu. Mereka bermalam di makam itu semalam, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka menuruni puncak dan mulailah mereka dengan perjalanan mereka menuju ke Sin-kiang, daerah barat yang liar itu, untuk mencari Hek-i-mo, gerombolan penjahat yang dikabarkan amat ganas dan lihai sekali bagaikan segerombolan siluman. Perjalanan yang jauh, sukar dan berbahaya.
Kita tinggalkan dulu perjalanan kedua orang muda itu dan mari kita menengok dan berkenalan dengan yang dinamakan gerombolan Hek-i-mo. Gerombolan ini bersarang di Lereng Pegunungan Ci-lian-san yang terletak di perbatasan antara propinsi Sin-kiang dan Cing-hai. Di kedua propinsi ini, nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam) amat terkenal dan boleh dibilang merekalah yang menjadi pemerintah gadungan yang menguasai semua jalan-jalan raya yang menghubungkan kedua daerah itu.
Tidak ada perampok atau bajak sungai yang tidak tunduk kepada mereka, dan juga semua perusahaan pengawal dari kedua propinsi itu semua mengenal dan bersahabat dengan Hek-i-mo. Mereka semua dengan sikap hormat menyerahkan sejumlah ‘pajak’ atau ‘hadiah’ kepada perkumpulan ini agar pekerjaan mereka terjamin lancar.
Bukan hanya mereka yang berkepentingan lewat di daerah tapal batas kedua propinsi ini saja yang bersahabat dengan Hek-i-mo, bahkan juga para pembesar di Sin-kiang boleh dibilang sudah dikuasai oleh perkumpulan ini. Pembesar yang bersahabat dengan Hek-i-mo tentu akan dilindungi. Oleh karena itu, bukan merupakan pemandangan aneh kalau orang melihat satu dua orang anggota Hek-i-mo yang dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam, berkeliaran di kota-kota di daerah Sin-kiang atau Cing-hai sekali pun, dan menerima ‘sumbangan’ dari toko-toko yang besar.
Belasan tahun lamanya pengaruh Hek-i-mo terus merajalela tanpa ada yang berani menentangnya. Memang dahulu banyak juga pendekar-pendekar yang sudah berusaha menentang kekuasaan hitam ini, namun satu demi satu para pendekar penentang itu roboh, tewas atau terluka parah. Tidak ada seorang pun dapat menandingi Hek-i-mo dan akhirnya tidak ada lagi pendekar yang begitu bodoh untuk menyerahkan nyawa begitu saja.
Karena daerah ini terlalu jauh dari kota raja, dan juga karena Hek-i-mo tidak pernah terdengar memberontak, juga tidak melakukan kejahatan dengan mencolok, bahkan tak pernah merampok karena mereka ini tak pernah kekurangan ‘penghasilan’, maka tentu saja Hek-i-mo dapat bertahan sampai belasan tahun tanpa terganggu.
Di manakah letak kekuatan Hek-i-mo dan bagaimana kuatnya? Hek-i-mo dipimpin oleh seorang kakek yang kini usianya sudah sekitar enam puluh lima tahun dan selama belasan tahun ini dia hanya dikenal dengan nama julukannya, yaitu Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam) karena dia selalu memakai baju hitam-hitam dan tubuhnya yang seperti raksasa itu memang menyeramkan.
Kulit tubuhnya putih dan berbulu, karena memang dia mempunyai darah Han bercampur Kozak, ayahnya seorang Rusia Kozak dan ibunya seorang wanita Han. Wajahnya dapat dikatakan tampan dan gagah, akan tetapi sepasang matanya yang kebiruan itu amat tajam seperti mata setan, dan senyumnya selalu sinis, mengandung ejekan yang memandang rendah siapa pun juga. Raksasa ini rambutnya sudah putih semua, dan memang rambutnya itu agak keputihan, dan dalam usia lima puluh tahun, lima belas tahun yang lalu ketika dia pertama kali muncul di barat, rambutnya pun sudah putih.
Dahulu, sebelum dia dikenal sebagai Hek-i Mo-ong, namanya adalah Phang Kui, dan dia menggunakan she Phang yang menjadi she ibunya. Hek-I Mo-ong ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Selain ilmu silatnya yang tinggi, tenaganya yang amat besar, juga dia memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang dipelajarinya dari Tibet. Ilmu sihir atau ilmu hitamnya inilah yang amat ditakuti orang, dan mula-mula memang dia selalu mempergunakan ilmu hitam ini untuk mencari pengaruh dan menundukkan orang-orang.
Phang Kui ini memang cerdik. Begitu muncul, kurang lebih delapan belas tahun yang lalu, dia tak mau mengganggu orang baik-baik atau orang-orang pemerintah, melainkan merajalela di antara orang-orang jahat. Ditundukkannya semua perampok, bajak sungai, maling-maling dan semua orang jahat, ditundukkannya pula semua perkumpulan yang menggerakkan tempat-tempat perjudian atau pelacuran, semua ketua mereka satu demi satu dikalahkannya. Namanya mulai dikenal dan ditakuti dan kalau orang sudah ditakuti oleh golongan sesat, tentu saja penduduk juga menjadi takut!
Phang Kui menjadi ‘rajanya’ orang jahat dan dia dijuluki Hek-i Mo-ong! Dan mulailah orang-orang jahat mendekatinya dan menyanjungnya. Namun, Phang Kui tidak mau sembarangan memilih orang. Dia akhirnya berhasil mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang dipilihnya, yang memiliki kepandaian atau bakat ilmu silat, memiliki tubuh yang kuat. Dia mengumpulkan lima puluh orang yang digemblengnya sehingga mereka menjadi pasukan yang amat kuat, karena masing-masing anggota merupakan seorang ahli silat yang tangguh di samping mempelajari satu dua macam ilmu hitam.
Semenjak itulah, perkumpulan Hek-i-mo berdiri, beranggotakan lima puluh orang yang tangguh sekali. Kemudian, Hek-i Mo-ong mengumpulkan delapan orang murid yang terdiri dari orang-orang yang tadinya sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, di antara tokoh-tokoh hitam yang yang ditundukkannya. Mereka ini dianggap sebagai murid-murid kepala dan beberapa tahun kemudian, terkenal pulalah nama Hek-I Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) yang merupakan murid-murid dan wakil Hek-i Mo-ong. Delapan orang murid inilah yang mengurus segala urusan, dan juga mengepalai serta menggembleng anggota-anggota Hek-i-mo.
Sedangkan Hek-i-mo sendiri lebih banyak mendekam di dalam sarangnya, yaitu sebuah gedung yang cukup indah di lereng Pegunungan Ci-lian-san. Pekerjaannya hanyalah bersemedhi, makan enak, pesta-pesta, dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada delapan orang murid-muridnya, baik dalam hal ilmu silat atau ilmu hitam. Hanya kalau ada urusan-urusan penting sekali sajalah maka Hek-i Mo-ong keluar sendiri. Akan tetapi segala urusan harian yang tidak begitu penting, cukup diselesaikan oleh Hek-i Pat-mo saja.
Akan tetapi, sampai usia enam puluh lima tahun itu, Hek-i Mo-ong tak pernah menikah, walau pun di bagian belakang gedungnya terdapat bagian luas di mana hidup belasan orang wanita muda dan cantik yang merupakan sekumpulan wanita-wanita peliharaan atau selir-selirnya! Dia bukan seorang yang mata keranjang dan pengejar wanita, tetapi wanita-wanita muda cantik itu adalah ‘hadiah-hadiah’ dari kepala perampok, pimpinan piauw-kiok dan juga pembesar! Dia tidak menolaknya dan mengumpulkan wanita-wanita muda itu, akan tetapi hanya jarang-jarang dia menggauli mereka.
Juga Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu tak ada yang beristeri, sungguh pun usia mereka sudah antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Hal ini bukan berarti mereka tidak mau berdekatan dengan wanita, akan tetapi mereka tidak mau terikat dengan wanita seperti guru mereka, dan wanita itu bagi mereka hanyalah alat bersenang-senang, tiada lain!
Dan agaknya apabila mereka menghendaki seorang wanita cantik, maka wanita itu sudah pasti akan terjatuh oleh mereka, baik melalui ancaman, mau pun ilmu silat atau ilmu sihir. Betapa pun juga, suhu mereka sudah memperingatkan dengan keras para murid tidak mengganggu wanita-wanita keluarga pembesar atau keluarga golongan ‘sahabat-sahabat’ mereka dan hanya membatasi pada wanita-wanita dusun dan wanita-wanita gunung saja.
Malam itu adalah malam bulan purnama. Dan seperti biasa, pada malam-malam seperti itu, Hek-i Mo-ong tentu mengajak delapan orang muridnya untuk berlatih semedhi di tempat terbuka, untuk menampung sinar bulan purnama yang mempunyai hikmat untuk memperkuat ilmu hitam mereka.
Tetapi tidak seperti biasanya, malam itu merupakan malam istimewa bagi Hek-i Mo-ong karena ada urusan penting yang harus ditanganinya sendiri, yaitu dengan ditawannya tiga orang musuh yang berani datang menentang Hak-i-mo! Biar pun yang manghadapi musuh-musuh ini adalah murid-muridnya, bahkan yang menawan juga murid-muridnya, akan tetapi untuk memutuskan hukuman apa yang harus diberikan kepada mereka, harus dia sendiri yang menentukan.
Malam itu bulan amat terang, tidak ada awan hitam menghalang. Cahaya bulan yang misterius memandikan permukaan bumi, dan terutama sekali di tanah datar tertutup rumput di belakang rumah gedung yang menjadi sarang Hek-i-mo itu cahaya bulan nampak aneh dan mendatangkan hawa dingin yang mendirikan bulu roma. Sunyi sekali suasana di tempat itu, sebuah padang rumput yang luas di belakang gedung.
Semenjak tadi para anak buah Hek-i-mo sudah berkumpul. Mereka memang disuruh berkumpul di tempat itu untuk menyaksikan ‘pengadilan’ yang akan disidangkan untuk menjatuhkan hukuman kepada tiga orang tawanan. Karena sebagian dari mereka bertugas menjaga keamanan seperti biasa, maka yang berkumpul hanya sekitar tiga puluh orang, yang membentuk lingkaran lebar sakali di lapangan rumput itu, seperti pagar manusia yang aneh karena mereka semua berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengan di belakang, tidak bergerak seolah-olah tiga puluhan orang itu telah berubah menjadi arca. Pakaian mereka yang hitam membuat keadaan mereka itu lebih menyeramkan lagi. Hanya karena sinar bulan yang terang saja mereka dapat nampak, karena di malam hari tanpa bulan, mereka tidak akan kelihatan sama sekali. Pakaian mereka, sampai sepatu mereka, semua berwarna hitam.
Kemudian di bagian dalam lingkaran luas yang dibuat oleh tiga puluh orang itu, nampak sebuah lingkaran lain, sebuah lingkaran yang garis tengahnya kurang lebih empat lima meter, dan lingkaran itu pun merupakan lingkaran segi delapan yang dibentuk oleh delapan orang yang duduk teratur seperti Pat-kwa (Segi Delapan). Delapan orang ini berusia sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan sepasang mata yang berkilau tajam dan sikap mereka juga seperti arca, tanpa bergerak, duduk mereka bersila dan kedua lengan terletak di atas paha.
Di tengah-tengah lingkaran mereka itu terdapat sebuah bantal bundar berwarna merah, dan tak jauh dari situ nampak tubuh tiga orang yang terbelenggu kaki tangannya. Delapan orang itu adalah Hek-i Pat-mo, juga mereka semua mengenakan pakaian dan sepatu hitam, hanya lengan kanan mereka memakai sebuah gelang warna kemerahan. Kepala mereka memakai penutup kepala kain hitam pula sehingga mereka nampak lebih menyeramkan dari pada para anak buah yang tidak memakai penutup kepala, melainkan menggelung rambut mereka ke atas seperti kebiasaan pendeta tosu.
Tak lama kemudian, tiga puluh lebih anggota Hek-i-mo yang berdiri dengan kedua kaki terpentang itu, tiba-tiba menggerakkan kaki mereka dan kini kedua kaki itu merapat dan mereka berdiri tegak, memandang ke arah belakang gedung dengan sikap bagaikan pasukan memberi hormat kepada komandan mereka. Juga delapan orang Hek-i Pat-mo itu memandang ke arah pintu belakang gedung yang terbuka dari dalam dan dari pintu itu muncullah seorang laki-laki tinggi besar dengan langkah tenang.
Memang Ketua Hek-i-mo ini sangat menyeramkan. Muncul di terang bulan seperti itu, pakaiannya yang serba hitam itu membuat wajahnya makin nampak putih, demikian pula rambutnya seperti benang-benang perak saja, berkilauan tertimpa cahaya bulan. Kepalanya tidak ditutupi, dan rambutnya yang panjang itu dibiarkan awut-awutan di atas kedua pundaknya. Bertemu dengan orang ini di tempat gelap yang sunyi mungkin cukup membuat yang bertemu itu lari ketakutan, mengira bertemu dengan iblis.
Setelah memasuki lingkaran itu, Hek-i Mo-ong lalu duduk bersila di atas bantal bundar merah yang telah tersedia di situ, dan delapan orang muridnya mengangkat kedua tangan ke depan hidung, dengan tangan dirangkapkan seperti orang menyembah. Itulah penghormatan mereka sebagai murid kepada ketua mereka atau juga guru mereka.
Lingkaran itu cukup terang di bawah sinar bulan purnama. Hek-i Mo-ong memandang ke arah tiga tawanan yang terbelenggu kaki tangan mereka dan rebah miring. Tiga orang tawanan itu adalah tiga orang yang berpakaian ringkas seperti biasa dipakai oleh para kang-ouw. Seorang kakek berusia kurang lebih empat puluh tahun, seorang pemuda yang berusia antara dua puluh lima tahun dan seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh tahun. Mereka itu jelas tidak berdaya, sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan ada luka-luka berdarah di beberapa bagian tubuh mereka, namun sikap mereka masih gagah dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan pada saat Hek-i Mo-ong muncul, mereka memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.
“Siapakah dia?” Hek-i Mo-ong bertanya sambil menuding ke arah kakek itu.
Salah seorang di antara murid-muridnya, yang bersila berhadapan dengannya dan yang kumisnya amat lebat menutupi mulutnya, lalu berkata, “Namanya Cia Khun, adik dari Ciau-piauwsu dari kota Sin-ning.”
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. “Balas dendam, ya? Cia-piauwsu tewas karena berani menentang Hek-i-mo, apa anehnya dengan itu? Tidak ada penasaran karena salahnya sendiri. Dan orang seperti kalian ini, dengan kepandaian yang rendah, berani mencoba untuk menentang kami? Sekarang kau sudah tertawan, mau bilang apa lagi?”
“Hanya hendak mengatakan bahwa engkau adalah seorang manusia iblis terkutuk!” Kakek yang bernama Cia Kun itu membentak.
Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. “Dan pemuda itu?” tanyanya tak acuh.
“Putera dari mendiang Cia-piauwsu,” jawab muridnya yang berkumis tebal.
“Gadis itu?”
“Puterinya.”
“Keduanya belum menikah?”
“Belum.”
“Sayang, sayang....! Nah, kalian bertiga orang-orang tiada guna ini, boleh pilih. Mati atau menebus nyawamu bertiga dengan seribu tail perak!”
“Iblis!” Kakek itu memaki. “Jangankan kami tidak punya uang sebanyak itu, andai kata punya sekali pun, tidak sudi kami memberikan kepada iblis macammu! Lebih baik kami mati!”
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, masih hendak berlagak gagah-gagahan? Orang she Cia, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang dapat melarang?”
“Bunuhlah! Siapa takut mampus?” Kakek itu membentak dengan mata melotot.
Dua orang keponakannya hanya memandang dengan wajah agak pucat karena betapa pun juga, ngeri hati mereka melihat Ketua Hek-i-mo ini. Mereka bertiga dengan nekat datang untuk membalaskan kematian Cia-piauwsu, yaitu ketua perusahaan pengawalan yang tewas di tangan Hek-i-mo. Mereka disambut oleh delapan orang murid kepala Hek-i-mo dan dalam perkelahian satu lawan satu, mereka bertiga kalah semua, luka-luka dan tertawan. Baru ilmu kepandaian muridnya saja sudah sehebat itu, apalagi kepandaian gurunya ini.
Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara ketawa sekali lagi, lalu memberi perintah kepada seorang di antara delapan muridnya untuk mengambilkan lilin-lilin dari dalam rumah. Seorang murid yang duduk di bagian belakang menyanggupi, lalu meloncat bangun dengan cepat, tahu-tahu sudah lenyap dari situ dan memasuki rumah dari pintu belakang. Demikian cepat gerakan orang ini, apalagi karena pakaiannya hitam maka dia seolah-olah dapat menghilang saja, persis seperti lblis! Tak lama kemudian dia sudah datang lagi membawa sebungkus lilin. Bungkusan dibuka dan keluarlah lilin yang cukup banyak.
Hek-i Mo-ong mengambil sebatang lilin, lalu membuat gerakan aneh dan.... lilin yang sebatang itu menyala! Dia menaruh lilin di depannya, dan sungguh mengherankan, biar pun malam itu ada angin lembut bertiup, namun lilin yang bernyala itu sama sekali tidak terganggu. Nyala api lilin itu tetap anteng dan tidak bergerak.
Sambil tersenyum-senyum aneh Raja Iblis Hitam itu lalu mengepal-ngepal lilin-lilin tadi dengan kedua tangannya yang besar. Seperti terkena hawa panas, lilin-lilin itu menjadi lunak dan kakek raksasa ini lalu membentuk lilin-lilin putlh menjadi boneka-boneka, tiga buah boneka yang mirip dengan tiga orang tawanan itu. Seorang kakek, seorang pemuda dan seorang gadis!
Ketiga tawanan itu memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan dilakukan manusia iblis itu. Membuat boneka? Sudah gila agaknya orang itu, seperti anak kecil saja, membuat boneka di saat menyeramkan seperti itu. Akan tetapi delapan orang muridnya hanya memandang penuh perhatian, seperti murid-murid yang sedang mempelajari sesuatu, sedangkan barisan anggota Hek-i-mo yang kini sudah ikut duduk bersila, tetap dalam keadaan mengepung atau membuat lingkaran, memandang dengan takjub dan penuh hormat, sedikit pun tidak berbuat sesuatu atau mengeluarkan suara, bahkan hampir tidak berani bergerak.
Setelah selesai membuat boneka-boneka itu, Hek-i Mo-ong lalu mendirikan tiga buah boneka dari lilin putih itu di depannya sambil menyeringai girang. Mendadak tangan kirinya digerakkan ke arah para tawanan. Angin dahsyat menyambar dari tangannya, membuat rambut kepala tiga orang tawanan itu berkibar dan.... beberapa helai rambut mereka beterbangan ke arah kakek yang luar biasa ini. Hek-i Mo-ong telah mengambil masing-masing tiga helai rambut dari kepala tiga orang tawanan secara luar biasa sekali! Dan tiga helai rambut itu lalu dia pasangkan pada kepala boneka masing-masing. Sungguh aneh sekali semua ini, dan tiga orang tawanan itu mulai merasa seram karena mereka sudah mendengar bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli ilmu hitam seperti iblis sendiri.
Setelah tersenyum-senyum melihat hasil karyanya, kakek itu lalu memandang lagi ke arah tiga orang tawanannya. “Lepaskan belenggu mereka!” perintahnya.
“Tapi, Suhu, mereka itu sudah nekat, tentu akan mengamuk dan merepotkan!” kata Si Kumis Tebal.
“Ha-ha-ha, tidak. Mereka tidak akan mampu bergerak sebelum kuperintah!” jawab kakek ini, lalu dia menggunakan jari telunjuk untuk menotok kepala tiga buah boneka itu dan benar saja, setelah ketiga orang tawanan itu dibebaskan dari belenggu, mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan, walau pun mereka tidak merasakan nyeri dan sebenarnya jalan darah mereka berjalan normal. Mereka masih rebah dan hanya memandang pada boneka-boneka di depan kakek yang menyeramkan itu.
“Ha-ha-ha, murid-muridku, kalian lihatlah baik-baik. Biar pun aku bukan seorang ahli pembuat boneka, akan tetapi kalian dapat melihat dengan jelas bahwa tiga buah boneka ini adalah mereka bertiga, bukan? Kekurang sempurnaan pembuatan boneka ini dapat disempurnakan dengan pemasangan rambut asli mereka di kepala boneka masing-masing, inilah yang dinamakan ilmu Memindahkan Semangat Dalam Boneka. Kalian sudah kuajari caranya dan manteranya. Nah, dengarlah baik-baik, dan lihatiah.”
Kakek itu lalu mengembangkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan gemetar ke atas boneka-boneka itu. Semakin lama kedua tangannya gemetar semakin hebat dan mulutnya mengucapkan mantera-mantera dalam bahasa Tibet kuno. Dan delapan orang muridnya, Hek-i Pat-mo, memandang dengan penuh perhatian, dengan mata yang hampir tidak pernah berkedip.
Dan terjadilah keanehan yang menyeramkan. Tiga buah boneka yang rebah telentang di depan kakek itu mulai bergerak-gerak! Mula-mula hanya tiga helai rambut di kepala boneka-boneka itu yang bergerak-gerak seperti tertiup angin, dan agaknya gerakan rambut ini lalu menjalar ke dalam boneka-boneka itu dan mulailah boneka-boneka itu bergerak-gerak seperti kemasukan roh. Dan ketiga orang tawanan itu, yang kini tidak terbelenggu lagi, ikut pula bergerak-gerak dan gerakan tubuh mereka persis dengan gerakan boneka-boneka itu, atau mungkin sebaliknya, yaitu bagaimana pun mereka bergerak, boneka-boneka itu ikut pula bergerak.
“Lihat baik-baik, muridku, lihat baik-baik. Selama ini, ilmu yang kalian pelajari hanya teorinya saja, dan kita sekarang memperoleh kesempatan untuk mempraktekkannya dengan tawanan-tawanan bandel ini. Nah, aku mulai dengan laki-laki yang tua itu.”
Dia mengambil sebuah di antara boneka-boneka itu, memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya kemudian mengeluarkan sebatang jarum. Kembali dia mengucapkan mantera, dan mendadak dia memasukkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan boneka.
Terdengar suara mengaduh dari kakek tawanan dan kakek itu menggunakan tangan kanan untuk memegangi tangan kirinya yang tiba-tiba saja sudah berdarah, seperti juga tangan boneka tertusuk jarum itu yang mengeluarkan sedikit darah.
Hek-i Mo-ong terkekeh senang sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri ketika dia melihat darah, seperti seekor harimau kelaparan mencium bau darah. Dia menancapkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan kanan boneka dan kakek itu kembali mengeluh dan telapak tangan kanannya mengucurkan darah seperti baru saja ditusuk pedang yang amat runcing dan tajam. Kedua tangannya kini telah terluka berdarah, akan tetapi biar pun begitu, dia masih memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan sepasang mata terbelalak penuh kebencian.
Hek-i Mo-ong bukan tidak tahu akan kekerasan hati tawanannya, dan agaknya hal ini menambah keganasannya. Dia menusukkan jarum itu bertubi-tubi ke semua bagian tubuh mereka. Mula-mula ke arah kedua kakinya, kemudian lengannya, kedua pipinya, pundaknya. Mula-mula ke bagian tubuh yang tidak mematikan dan seluruh tubuh kakek itu mengeluarkan darah. Di bagian tubuh boneka yang tertusuk nampak bintik-bintik darah, tetapi di tubuh kakek itu darah mulai bercucuran membasahi seluruh pakaiannya.
Akan tetapi kakek itu tidak mengeluh lagi, bahkan lalu mengatupkan bibirnya menahan semua rasa nyeri. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan melihat betapa kakek itu berkelojotan tanpa mengeluarkan suara, dan pandang matanya masih ditujukan kepada penyiksanya dengan penuh kebencian. Ada keinginan hatinya untuk nekat dan menyerang kakek iblis itu, akan tetapi setiap kali dia hendak menggerakkan kaki tangannya, dia terguling lagi dan karena kini seluruh tubuhnya penuh luka-luka dan darahnya banyak yang terbuang, maka dia menjadi semakin lemas dan akhirnya hanya rebah dan menanti datangnya maut saja.
Hek-i Mo-ong agaknya sudah merasa bosan menyiksa lawannya, maka sekarang dia menusukkan jarumnya ke dada boneka sampai tembus. Kakek tawanan mengeluarkan sekali jerit tertahan, tubuhnya berkelojotan dan dari dada dan punggungnya mengucur darah, tidak banyak lagi dan tubuhnya pun terkulai lemas dan tak bernyawa lagi.
Sejak tadi dua orang keponakannya hanya dapat menonton dengan mata terbelalak penuh kengerian dan jantung berdebar-debar tegang. Mereka berdua juga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, seolah-olah ada tali yang tak nampak masih membelenggu mereka. Kini, melihat paman mereka itu sudah tidak bergerak lagi, mereka merasa sedih dan marah sekali, akan tetapi bercampur juga dengan perasaan lega karena paman mereka itu tidak akan menderita lagi. Maka mereka lalu menujukan pandang mata mereka kepada Hek-i Mo-ong dengan penuh kebencian, sedikit pun mereka tidak merasa takut walau pun mereka berdua maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan kakek iblis ini.
“Ha-ha-ha, kalian yang masih muda-muda, apakah tidak sayang akan hidup kalian? Sediakan seribu tail perak dan aku akan membebaskan kalian dari kematian,” berkata Hek-i Mo-ong, masih mencoba untuk membujuk dua orang muda itu. Baginya, tentu saja uang sebanyak itu jauh lebih penting dari pada nyawa dua orang yang tidak ada artinya itu.
Akan tetapi, dua orang muda itu sudah marah sekali. Selain mereka tidak mempunyai uang sebanyak itu, juga mereka tidak sudi takluk terhadap kakek iblis itu.
“Hek-i Mo-ong iblis tua bangka, siapa takut akan ancamanmu?” Pemuda itu berteriak marah dan berusaha untuk memperoleh kembali tenaganya agar dia dapat mengamuk dan menyerang kakek itu. Akan tetapi usahanya sia-sia saja karena setiap kali kaki dan tangannya dapat bergerak, segera ada tenaga lain yang membuatnya lumpuh kembali.
“Bagus, kau mau main gagah-gagahan? Nah, rasakan ini!” Kakek itu lalu menggunakan jarumnya yang telah menewaskan kakek tawanan tadi untuk menusuk-nusuk kepala boneka pemuda itu. Tusukannya tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa pada pemuda itu.
Tiba-tiba saja pemuda itu dapat bergerak, mencengkeram dengan kedua tangannya pada kepalanya, menjambak-jambak rambutnya karena dia merasakan kenyerian yang tak tertahankan lagi. Dan dari balik rambut-rambut kepalanya itu mulai bercucuran darah yang menetes-netes di leher dan mukanya. Mengerikan sekali.
Hek-i Mo-ong adalah seorang ahli totok, maka tusukan-tusukannya ditujukan kepada jalan-jalan darah dan kini pemuda itu menggunakan sepuluh jari tangannya mencakar sana-sini, seluruh tubuhnya yang terasa sakit-sakit dan gatal-gatal, bergulingan dan mengeluarkan suara seperti gerengan seekor binatang buas. Seluruh tubuhnya kini mengeluarkan darah seperti halnya pamannya tadi, akan tetapi dia lebih tersiksa dari pada pamannya. Kemudian sambil tertawa bergelak Hek-i Mo-ong lalu memegang kedua kaki boneka yang sudah berbintik-bintik merah, dan menaruh boneka itu di atas api lilin yang bernyala di depannya.
Terdengar jeritan melengking yang amat mengerikan keluar dari mulut pemuda itu dan.... semua mata, terutama mata gadis itu, memandang terbelalak kepada tubuh pemuda itu. Sekarang tubuh pemuda itu, terutama di bagian mukanya, mulai berkeriput, mengering seperti terkena api, dan makin lama jeritannya makin lemah dan tubuhnya mulai meleleh, seperti lilin dibakar, berbareng dengan melelehnya boneka lilin yang terkena api itu. Bau sangit menusuk hidung.
Bukan hanya gadis itu yang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan peristiwa ini, bahkan para anggota Hek-i-mo juga memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka itu ketakutan, membayangkan betapa akan mengerikan kalau sampai mereka terhukum oleh ketua mereka seperti itu. Hanya wajah Hek-I Pat-mo sajalah yang tidak berubah, bahkan sinar mata mereka berapi dan penuh kegembiraan dengan demonstrasi kekuatan ilmu hitam yang sangat mengerikan itu. Akhirnya Hek-i Mo-ong melemparkan sisa boneka pemuda yang telah terbakar itu, dan di situ nampak bekas tubuh pemuda itu yang telah menjadi seonggok daging terbakar yang mengeluarkan bau keras.
“He-he-he-he, bagaimana, Nona? Apakah engkau masih hendak berkeras kepala? Jika engkau mau berusaha mengeluarkan uang tebusan itu, mungkin engkau akan dapat hidup!”
“Siluman keparat! Untuk apa aku hidup lagi setelah engkau membunuh Paman dan Kakakku sekejam itu? Kau kira aku takut melihat siksaan itu? Siksalah aku, bunuhlah, akan tetapi jangan harap aku akan tunduk kepadamu, Iblis berwajah manusia!”
Kakek itu tidak marah, hanya terkekeh. “Murid-muridku, lihat baik-baik, boneka-boneka yang telah mengandung satu semangat dengan orang-orangnya itu bukan hanya dapat dipergunakan untuk mempengaruhi tubuh mereka, melainkan juga pikiran mereka. Lihatlah, aku akan membikin percobaan dengan gadis ini.”
Mendengar ini, gadis itu dengan mata terbelalak memandang ke arah boneka lilin yang memakai sehelai rambutnya itu. Mukanya pucat dan jelas ada kengerian hebat di dalam pandang matanya, namun ia tetap tidak sudi untuk menakluk.
Kakek itu mengambil guci arak yang terletak di sampingnya, kemudian menempelkan guci ke bibirnya dan dituangkan sedikit arak ke dalam mulutnya. Dia memejamkan mata sebentar, lalu disemburkan arak itu ke arah boneka yang dipegangnya, dan dengan sepasang mata yang tajam seperti mata setan itu dia menatap ke arah wajah boneka, mulutnya berkemak-kemik. Nampaklah boneka itu mengeluarkan uap tipis! Berbareng dengan itu, terdengar keluhan dari mulut gadis itu. Hek-i Pat-mo memandang kepada gadis itu untuk menyaksikan akibat dari ilmu hitam guru mereka.
Gadis itu mengeluh perlahan, kedua matanya terpejam, kemudian ia mengerang dan kedua tangannya bergerak, mula-mula ke arah dadanya, lalu ke arah kepalanya dan tubuhnya mulai bergulingan, mulutnya terengah-engah dan sikapnya seperti orang kepanasan. Makin lama, rintihannya makin sering dan keras, dan bangkitlah ia, matanya masih terpejam dan kini, seperti orang kegerahan yang berada di dalam kamar seorang diri, gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu sampai tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya.
la lalu bangkit berdiri, meliuk-liukkan tubuhnya seperti orang masih kegerahan, lalu membuka matanya. Bukan lagi mata yang bersinar keras hati dan penuh kebencian dari gadis tadi, melainkan sepasang mata yang penuh gairah! Dan seperti tertarik oleh besi semberani, gadis yang bertelanjang bulat itu menghampiri Hek-i Mo-ong, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan dengan erangan-erangan dan belaian kedua tangan, mulailah ia membelai dan merayu Hek-i Mo-ong! Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi gila, atau seorang yang kehausan karena nafsu birahi.
“Ha-ha-ha-ha!” Hek-i Mo-ong mendorongnya sampai terjengkang, kemudian kakek itu menggunakan tangan kiri mengambil beberapa ekor semut-semut merah yang berada di situ, memijit sedikit semut-semut itu dan ditempelkannya semut-semut yang kesakitan itu pada boneka lilin.
Semut-semut yang kesakitan itu tentu saja lalu menggigit tubuh boneka itu dan gadis itu menjerit-jerit lirih, tubuhnya terasa gatal-gatal dan sakit dan ia menggaruk sana-sini dan tentu saja tubuhnya yang telanjang bulat itu menggeliat-geliat, berkelojotan. Melihat ini, kalau Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja dengan dingin, delapan muridnya sudah memandang dengan mata melotot dan mulut berliur, mereka mulai terserang gairah nafsu menggelora. Melihat keadaan murid-muridnya ini, Hek-i Mo-ong malah tertawa.
“Heh-heh-heh, kalau kalian mau, bawalah ia. Akan tetapi sesudahnya, ia harus mati agar kelak tidak mendatangkan mara bahaya bagi kita.”
Seperti delapan ekor serigala dilepas dari kurungan, delapan orang murid kepala itu nampak gembira sekali. Seorang di antara mereka, yang merupakan murid tertua atau pimpinan dari Hek-i Pat-mo, lalu meloncat dan menyambar tubuh telanjang gadis itu, dipanggulnya dan setelah menjura kepada Hek-i Mo-ong, dia lalu meloncat pergi diikuti oleh tujuh orang adik-adik seperguruannya. Terdengar suara ketawa mereka, biar pun bayangan mereka sudah tidak nampak lagi dan pandang mata para anggota Hek-i-mo mengikuti bayangan mereka tadi dengan pandang mata penuh iri!
Akan tetapi, ketua mereka lalu menyuruh membersihkan tempat itu dan menyingkirkan dua mayat itu. Kemudian, dengan langkah gontai seolah-olah sedang berjalan-jalan dan tidak pernah terjadi sesuatu, Hek-i Mo-ong meninggalkan tempat itu untuk kembali ke gedungnya. Dia sudah menghukum tiga orang musuh yang berani melawannya, juga telah mendemonstrasikan kepandaian ilmu hitamnya.
Pertama untuk melatih dan memberi petunjuk kepada Hek-i Pat-mo, dan kedua untuk membuat para anggotanya semakin tunduk dan takut. Dia tahu bahwa gadis itu tentu akan tewas karena tidak mungkin dapat bertahan hidup setelah dikuasai oleh delapan orang murid kepala yang telah dikuasai oleh nafsu birahi yang menggelora itu. Dan dia tersenyum. Sekali-kali perlu juga semangat delapan orang muridnya itu dibangkitkan agar gairah hidupnya makin besar dan kesetiannya kepadanya semakin menebal.
Demikianlah keadaan Hek-i-mo yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong Phang Kui. Kakek ini bukan hanya lihai sekali ilmu sihirnya yang berdasarkan ilmu hitam, tetapi kabarnya juga amat lihai ilmu silatnya. Bahkan Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu pun hampir tak pernah menemui tandingan. Entah sudah berapa puluh atau ratus kali kaum pendekar atau mereka yang memiliki ilmu silat dan mencoba menentang Hek-i-mo, harus mengalami kekalahan terhadap delapan orang murid kepala ini. Sebagian besar di antara para pendekar yang berani menentang mereka akhirnya mengalami kematian menyedihkan, dan hanya sedikit yang dapat lolos dengan menderita luka yang cukup hebat.
Pada suatu malam bulan purnama yang sunyi. Angkasa bersih sekali sehingga nampak bulan purnama sepenuhnya, besar bulat dan terang tidak dihalangi sedikit pun awan tipis sehingga bulan nampak anteng tidak pernah bergerak dengan latar belakang langit yang hitam pekat di mana nampak bintang-bintang yang sinarnya menjadi lemah dan layu oleh sinar bulan. Tidak ada angin bersilir di padang rumput itu.
Hek-i Mo-ong duduk di atas setumpukan tengkorak manusia yang telah disusun menjadi tumpukan piramida yang menuding ke atas. Hek-i Mo-ong duduk di puncak tumpukan itu, di atas tengkorak paling atas. Amat mengherankan betapa dia dapat duduk bersila di atas sebuah tengkorak saja dan tumpukan itu tidak sampai runtuh didudukinya. Untuk dapat meloncat dan duduk tak bergerak di atas tumpukan tengkorak seperti itu tentu saja membutuhkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.
Di sekeliling kakek ini, di atas tumpukan tengkorak-tengkorak lain, akan tetapi tumpukan ini jauh lebih kecil dan rendah, duduklah Hek-i Pat-mo, bersila seperti suhu mereka pula, dan mereka itu duduk mengelilingi suhu mereka dalam bentuk segi delapan. Kiranya Hek-i Mo-ong Phang Kui sedang melatih diri bersama para murid-muridnya, bersemedhi untuk menerima dan mengumpulkan kekuatan yang terkandung di dalam sinar bulan purnama untuk memperkuat kekuatan sihir mereka!
Kalau mereka sedang berlatih seperti ini, tidak ada seorang pun anggota Hek-i-mo yang boleh mendekat. Mereka itu hanya diwajibkan untuk menjaga di luar pekarangan itu. Dan kalau mereka sedang berlatih seperti itu, suasananya menjadi amat menyeramkan, seolah-olah di sekitar daerah itu terasa adanya hawa yang penuh dengan kekuatan hitam yang mengerikan. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak, seolah-olah alam berhenti dan mati. Yang menguasai alam di tempat itu adalah kesunyian yang tidak wajar.
Akan tetapi, kalau Hek-i Pat-mo bersila dengan tekun dan tenggelam dalam keheningan semedhi yang mereka buat, sebaliknya Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Tingkat kepandaian delapan orang muridnya belum mencapai tingkat setinggi yang dimilikinya sehingga jika dia dapat merasakan datangnya getaran yang tak wajar, murid-muridnya itu tidak mengetahuinya.
Hek-i Mo-ong sudah sejak tadi sadar dari semedhinya dan dia memandang lurus ke depan, tidak bergerak-gerak oleh karena dia sedang memperhatikan sekitar tempat itu, bukan dengan matanya melainkan dengan telinga dan perasaannya yang amat peka di saat itu. Dia tahu bahwa ada dua orang datang mendekati tempat itu, dua orang yang dia tahu bukan orang sembarangan karena getarannya terasa amat kuatnya oleh kepekaannya. Dia tahu bahwa dua orang yang dapat tiba di tempat itu, menembus penjagaan para anggota Hek-i-mo tanpa diketahui sama sekali, tentulah orang-orang yang berilmu tinggi.
Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika tiba-tiba muncul dua bayangan orang yang memang telah diduganya, karena tidak seperti yang disangkanya, dua orang yang muncul itu bukanlah orang-orang tua yang sepatutnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, melainkan dua orang muda, yaitu seorang pemuda dan seorang gadis remaja! Dia terkejut dan mengerahkan kekuatannya untuk menambah peka perasaannya, akan tetapi perasaannya itu tidak membohonginya. Getaran yang amat hebat itu memang datang dari dua orang muda yang telah berada di tempat itu!
Hek-i Mo-ong masih diam saja. Dia ingin melihat apa yang hendak dilakukan oleh dua orang muda itu. Yang dia herankan adalah betapa delapan orang murid kepala yang masih bersemedhi itu sama sekali belum juga sadar. Hal ini saja sudah menjadi tanda betapa lihainya dua orang muda ini, gerakannya sedemikian ringannya, jejak kaki mereka tidak mengeluarkan sedikit pun bunyi sehingga delapan orang muridnya yang amat lihai itu pun tidak dapat mendengar atau mengetahui apa-apa. Tanpa menoleh, hanya mengikuti mereka dengan pendengarannya, Hek-i Mo-ong diam saja dan terus memperhatikan.
Dua orang itu nampak saling pandang, lalu keduanya mengangguk dan tiba-tiba saja mereka berdua melakukan gerakan meloncat tinggi, melampaui delapan orang yang duduk mengelilingi guru mereka dalam bentuk segi delapan itu dan ketika mereka berdua turun, di depan Hek-i Mo-ong, hanya dalam jarak empat meter, kaki mereka sama sekali tidak mengeluarkan suara! Dan bahkan setelah kedua orang itu berada di dalam lingkaran delapan orang Hek-i Pat-mo itu, tetap saja Hek-i Pat-mo belum juga sadar!
Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong menjadi marah kepada delapan muridnya. Dia pun mengerahkan tenaga dan dengan tenaga batinnya dia membentak murid-muridnya itu yang tersentak kaget dan sadar dari semedhi mereka. Tentu saja mereka terbelalak memandang kepada pemuda dan gadis yang telah berdiri di situ, di dalam lingkaran mereka. Sungguh hal ini sangat mengejutkan hati mereka. Sejak kapan dua orang itu memasuki lingkaran mereka tanpa mereka ketahui? Tentu guru merekalah yang sudah melakukan ini, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba saja mereka itu mendengar bisikan suara guru mereka di dekat telinga masing-masing.
“Mereka adalah lawan-lawan lihai, hadapi mereka dengan kekuatan sihir untuk mencoba mereka!”
Barulah delapan orang itu terkejut bukan main. Maka mereka segera mengerahkan kekuatan batin mereka, dan sekali mereka mengerahkan tenaga, tubuh mereka sudah melayang turun dan mereka sudah berdiri mengepung dua orang muda itu dengan kedudukan segi delapan. Akan tetapi mereka tidak turun tangan menyerang, melainkan bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera.
Pemuda dan gadis itu memandang mereka dengan penuh kewaspadaan. Akan tetapi, alangkah kaget hati gadis remaja itu melihat betapa delapan orang yang mengepung itu, tiba-tiba saja mengeluarkan uap hitam dan tubuh mereka segera diselubungi uap hitam yang tentu saja membuat tubuh mereka hilang dan tidak nampak. Di dalam malam bulan purnama ini, peristiwa itu amat menyeramkan, seolah-olah delapan orang itu sedang menghilang atau berubah menjadi asap hitam, seperti yang terjadi pada setan-setan di dalam dongeng kuno.
Dua orang muda itu adalah Kam Hong dan Ci Sian. Seperti kita ketahui, mereka memang pergi ke barat mencari Hek-i-mo, musuh besar Ci Sian yang merasa sakit hati karena ibunya telah meninggal akibat penyerbuannya kepada Hek-i-mo dan terluka oleh gerombolan iblis itu. Di sepanjang perjalanan, dengan amat tekunnya Ci Sian melatih diri dengan ilmu yang mereka dapatkan dari catatan pada mayat Pangeran Cu Keng Ong itu.
Selain Ci Sian memang berbakat, juga Kam Hong mengajar dan membimbingnya dengan penuh kesungguhan hati, sehingga Ci Sian yang memang telah memiliki dasar dan bakat yang amat baik itu mulai dapat menguasai ilmu silat dan ilmu meniup suling berdasarkan pelajaran rahasia itu. Untuk keperluan ini, Kam Hong telah menyuruh buat sebuah suling yang bentuknya sama benar dengan suling emas di tangannya, juga suling ini terbuat dari pada emas, dibuat oleh seorang tukang pandai emas yang amat berpengalaman. Hanya bentuk suling itu lebih kecil, untuk disesuaikan dengan tenaga Ci Sian karena suling emas itu amat berat, lebih berat dari pada pedang pusaka.
Ketika malam itu mereka mendatangi sarang Hek-i-mo, kebetulan sekali mereka melihat kakek iblis itu bersama delapan orang murid kepala sedang berlatih ilmu hitam, maka dengan hati-hati sekali Kam Hong mengajak Ci Sian untuk menemui kakek itu. Dan kini, melihat Ci Sian agak gentar menghadapi ilmu hitam dari delapan orang Hek-i Pat-mo, Kam Hong segera mengerahkan khikang-nya dan tanpa mengeluarkan suara, dia telah mengirim suaranya kepada Ci Sian.
“Sumoi, jangan takut, itu hanya ilmu hitam, hadapi dengan tiupan sulingmu.”
Mendengar bisikan suara suheng-nya ini, ketabahan hati Ci Sian timbul kembali. Ia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya, dengan tenang ia menempelkan bibirnya yang merah tipis itu ke lubang suling, jari-jari kedua tangannya siap di lubang-lubang suling dan begitu ia meniup, terdengar suara lembut. Suara ini bukan seperti suara suling, melainkan bagai suara desir angin semilir yang menggerakkan daun-daun pohon dan menghidupkan suasana yang mati dan menyeramkan.
Akan tetapi, suara lembut seperti desir angin ini mengandung kekuatan yang dahsyat sekali, yang mengejutkan hati Pat-mo (Delapan Iblis) itu dan membuyarkan kekuatan sihir mereka sehingga uap hitam yang menyelubungi tubuh mereka pun perlahan-lahan lenyap seperti asap yang tertiup angin! Nampaklah kembali tubuh mereka yang masih berdiri dan bersedakap itu. Mereka merasa marah sekali, akan tetapi juga penasaran. Bagaimana seorang dara remaja hanya dengan suara sulingnya mampu memecahkan pengaruh kekuatan sihir mereka? Mereka sudah siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu, akan tetapi terdengar suara Hek-i Mo-ong yang terdengar penuh kekuatan khikang sehingga menggetarkan tempat itu.
“Pat-mo, mundur!”
Delapan orang murid kepala itu lalu membuat gerakan mundur secara otomatis, akan tetapi tetap mereka itu membentuk lingkaran segi delapan, hanya kini di luar atau di belakang guru mereka.
“Siapakah dua orang muda yang datang mengganggu kami?” Pertanyaan Hek-i Mo-ong ini terdengar manis, bahkan bersahabat.
Tetapi Kam Hong yang sudah mendengar banyak tentang raja iblis ini, telah menasehati sumoi-nya dan mereka berdua sudah berhati-hati dan waspada, mengerahkan tenaga batin mereka untuk menolak semua pengaruh. Kam Hong membiarkan sumoi-nya yang menghadapi musuhnya, maka dia pun diam saja mendengar pertanyaan itu, memberi kebebasan kepada Ci Sian untuk menghadapi baik dalam percakapan mau pun dalam pertempuran. Dia hanya akan membantu kalau memang sumoi-nya perlu dibantu saja. Ci Sian maklum akan hal ini, maka mendengar pertanyaan itu ia pun lalu melangkah maju.
“Apakah kami berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, ketua dari gerombolan Hek-i-mo?” Suara Ci Sian terdengar lantang dan bening, tanda bahwa sedikit pun ia tidak merasa gentar menghadapi orang-orang yang menyeramkan itu.
Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. Dia sudah sering menyaksikan sikap para pendekar muda yang datang dengan nyali besar, penuh keberanian namun yang pada akhirnya hanya akan menemui kematian, atau jika bernasib mujur, dapat meloloskan diri dengan membawa lari luka-lukanya. Dia tidak marah oleh sikap yang berani itu, malah merasa gembira, bagaikan seekor kucing yang melihat lagak seekor tikus muda yang penuh keberanian.
“Heh-heh-heh, engkau benar, Nona. Aku adalah Hek-i Mo-ong, dan mereka delapan orang ini adalah murid-murid dan wakilku yang disebut Hek-i Pat-mo.”
“Bagus!” Ci Sian berseru girang. “Akhirnya aku dapat juga berhadapan dengan iblis-iblis jahat yang telah menumpuk dosa. Hek-i Mo-ong, malam ini tibalah saatnya engkau dan murid-muridmu menebus dosa-dosa kalian yang bertumpuk-tumpuk. Bersiaplah engkau untuk mampus!”
“Aih-heh-heh-heh-heh, sabar dulu, Nona. Kalau mata tuaku tidak menipuku, aku selama hidup belum pernah bertemu denganmu, jadi tidak ada urusan antara kita. Mengapa engkau datang dengan hati mengandung permusuhan? Siapakah engkau?”
“Hek-i Mo-ong, ingatkah engkau akan nama Sim Loan Ci?”
Kakek itu masih tersenyum lebar, dan alisnya berkerut. “Hemm, seolah-olah nama itu tidak asing bagiku.... ya, tidak asing sama sekali, tentu pernah aku mendengarnya, akan tetapi aku sudah lupa lagi di mana.... Sim Loan Ci? Siapa itu?”
“Belasan tahun yang lalu, Sim Loan Ci pernah datang ke sini, bersama suaminya yang bernama Bu Seng Kin....“
“Oohhh.... ahh, tentu saja! Bu-taihiap....! Ha-ha-ha, Bu-taihiap yang terkenal di seluruh dunia itu, hanya untuk mengaku kalah olehku! Ha-ha, Bu-taihiap yang mata keranjang dan lihai, juga isterinya yang lihai. Akan tetapi, mereka itu bukan tandinganku! Hemm, Nona, aku memang mengenal mereka, dan apa hubunganmu dengan mereka? Apa hubungannya kedatanganmu malam ini dengan mereka?”
“Engkau telah melukai mereka!”
“Ha-ha-ha, anehkah itu? Dalam setiap perkelahian, tentu akan ada yang luka atau mati. Aku sudah lupa lagi. Terlalu banyak orang yang kulukai atau kubunuh, akan tetapi yang aku ingat hanya bahwa mereka itu bukan tandinganku. Mungkin saja aku telah melukai mereka. Habis, kenapa?”
“Ibuku, Sim Loan Ci, tewas karena luka-luka itu! Sekarang aku, puterinya, datang untuk membalas dendam atas kematian Ibuku itu!”
“Ha-ha-ha, jadi engkau ini puteri mereka? Wah, pantas! Puteri Bu-taihiap, tentu saja pandai dan perkasa. Sayangnya, Bu-taihiap itu terlalu sembrono, membiarkan puterinya datang ke sini untuk mengantar nyawa saja. Kenapa tidak dia sendiri yang datang ke sini? Aku lebih senang kalau dia datang sendiri ke sini sehingga aku akan menghadapi lawan yang seimbang!”
Ci Sian merasa dipandang rendah dan dia pun membentak, “Tua bangka sombong! Kau kira akan dapat bebas dari tanganku?”
Gadis ini pun sudah memasang kuda-kuda, tangannya yang kiri miring di depan dada sedangkan sulingnya di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala, menuding ke langit. Itulah kuda-kuda yang merupakan jurus pembukaan, bernama Suling Emas Menghadap Langit.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada Hek-i Pat-mo. Bagaikan iblis-lblis saja, delapan orang itu bergerak dan tahu-tahu mereka telah menggerakkan kaki mereka, bukan berloncatan, melainkan menggeser kaki ke depan membuat langkah aneh.
“Sett-sett sett....!”
“Sumoi, biar aku saja yang menghadapi Pat-mo ini, engkau bersiap saja menghadapi musuh besarmu!” tiba-tiba Kam Hong berseru.
Pemuda ini melihat bahwa biar pun tentu saja para murid ini tidak selihai gurunya, namun dia dapat menduga bahwa mereka ini terlatih untuk menjadi satu barisan. Dan satu barisan yang terdiri dari delapan orang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebuah tin (barisan) dari delapan orang biasanya mempunyai bentuk segi pat-kwa (segi delapan) dan pat-kwa-tin (barisan segi delapan) terkenal memiliki perubahan-perubahan yang amat aneh dan hebat.
Seorang dara seperti Ci Sian yang belum banyak pengalamannya dalam hal bertanding melawan orang-orang pandai, sungguh berbahaya sekali kalau dibiarkan menghadapi pat-kwa-tin sendirian saja. Pula, pihak lawan memakai siasat untuk melelahkan lawan, yaitu mula-mula disuruh maju delapan murid itu, baru kemudian andai kata delapan murid itu kalah, Si Guru yang akan maju. Kalau saja Ci Sian dibiarkan maju menghadapi pat-kwa-tin, andai kata ia dapat menang sekali pun, tentu sudah lelah dan kurang kuat untuk berhadapan dengan musuh besarnya.
Inilah sebabnya, Kam Hong maju menggantikan sumoi-nya menghadapi Hek-i Pat-mo. Nanti kalau Mo-ong maju, biarlah Ci Sian menghadapinya satu lawan satu sehingga lebih mudah baginya untuk menjaga dan membantu apabila sumoi-nya kalah kuat.
Hek-i Mo-ong terheran mendengar seruan pemuda itu, akan tetapi juga girang. Ketika dua orang muda tadi muncul, yang dia khawatirkan adalah Si Pemuda. Dari sikapnya yang pendiam, dari sinar matanya, dia dapat menduga bahwa pemuda itulah yang harus diawasinya dan yang agaknya akan menjadi lawan tangguh. Kini, menghadapi delapan orang muridnya, malah pemuda itu yang hendak maju dan agaknya pemuda itu akan membiarkan sumoi-nya nanti melawannya. Biarlah, pikirnya lega, biar murid-muridnya lebih dulu menguji Si Pemuda yang dia khawatirkan sebagai lawan tangguh, dan andai kata murid-muridnya kalah, suatu hal yang tidak mungkin sama sekali, tentu pemuda itu sudah terlalu lelah sehingga lebih ringan baginya untuk merobohkan mereka berdua.
Juga Ci Sian merasa heran mengapa suheng-nya malah hendak melawan delapan orang murid iblis itu. Akan tetapi baginya, Kam Hong bukan hanya seorang suheng atau seorang sahabat dalam perjalanan, melainkan juga seorang guru. Oleh karena itu, semua saran Kam Hong tentu takkan dibantahnya dan mendengar ucapan suheng-nya itu, ia pun sudah melompat ke belakang, berdiri tegak dengan suling siap di tangan kanan.
Sementara itu, Kam Hong sudah meloncat ke tengah lingkaran Pat-mo, dan sengaja membiarkan diri dikurung sebelum mereka bergerak mengurung. Dengan demikian, dia dapat berdiri tegak sambil memperhatikan semua perubahan yang mereka buat ketika mereka mulai memperketat kurungan. Diam-diam dia memperhatikan dan dari langkah-langkah kaki mereka, dia maklum bahwa delapan orang ini bukanlah ahli-ahli ginkang yang sangat pandai sehingga dia tidak usah terlalu mengkhawatirkan tentang kecepatan mereka.
Akan tetapi, setiap langkah kaki, atau setiap geseran kaki, nampak demikian mantap dan kuat, maka dia dapat menduga bahwa mereka semua rata-rata memiliki kekuatan sinkang yang tidak boleh dipandang ringan. Dan dia melihat mereka itu tidak bersenjata, juga tidak menyembunyikan senjata tajam di balik jubah hitam mereka.
Akan tetapi, Kam Hong sama sekali tidak berani memandang rendah kepada pihak lawan. Orang-orang yang tidak mempergunakan senjata dalam perkelahian, itu hanya berarti bahwa orang itu telah memiliki tingkat kepandaian yang sedemikian tingginya sehingga dia tidak membutuhkan senjata untuk membantunya, dan kaki tangannya yang penuh dengan tenaga sakti itu merupakan senjata-senjata yang cukup ampuh dan mematikan.
Setelah delapan orang Hek-i Pat-mo itu bergerak-gerak memutari Kam Hong, kadang-kadang berputar ke kiri lalu tiba-tiba berbalik ke kanan, jarak waktu perubahannya menurut hitungan-hitungan tertentu, sesuai dengan ilmu barisan mereka ciptaan Hek-i Mo-ong, pemuda ini memperhatikan dengan sudut matanya dan kekuatan telinganya.
Tapi, beberapa menit kemudian, pemuda ini terkejut karena dia merasa semangatnya terbetot dan hampir saja kakinya ikut bergerak. Ada kekuatan mukjijat yang membetot dan menariknya untuk mengikuti gerakan mereka, seperti orang-orang yang melihat penari-penari yang lemah gemulai menggerak-gerakkan tubuh lalu timbul keinginan untuk ikut menari. Cepat dia yang selalu waspada itu maklum bahwa dalam gerakan-gerakan itu terkandung kekuatan ilmu hitam yang mukjijat.
Maka Kam Hong memusatkan perhatiannya dan mengerahkan tenaga, membebaskan diri dari pengaruh mukjijat itu sehingga pikirannya menjadi terang, pandang mata dan pendengarannya menjadi terang kembali, tidak ada keinginan untuk mengikuti gerakan mereka lagi. Kini dia berdiri tegak dan tenang, sama sekali tidak bergerak, menanti gerakan lawan selanjutnya.
Bagaikan delapan orang penangkap ikan yang merasa betapa jalanya yang mereka pasang itu tidak mengenai ikan, atau ikannya telah lolos kembali dari jala begitu menyentuhnya, mereka menghentikan gerakan memutar-mutar itu dan tiba-tiba saja orang yang berada di depan Kam Hong sudah menyerangnya. Benar dugaan Kam Hong. Laki-laki baju hitam di depannya itu menyerang dengan cengkeraman tangan kanan dibarengi dengan totokan tangan kiri. Cengkeraman ditujukan ke arah kedua matanya dan totokan itu menuju ke arah dada. Serangan ini hebat dan ganas, mengandung tenaga sinkang yang kuat sungguh pun baginya tidaklah terlalu cepat.
Kam Hong menghadapi serangan ini dengan tenang dan perhatiannya terhadap tujuh orang lainnya tidak berkurang walau pun dia sedang menghadapi serangan dari depan. Dan kewaspadaannya ini menolongnya. Cengkeraman serta totokan dari depan itu ternyata hanyalah gerak pancingan belaka karena begitu Kam Hong mengelak dari serangan lawan di depannya, secara otomatis lawan yang berada di belakangnya telah menerjang dan menyerang dengan dahsyat, menghantam ke arah tengkuknya dengan pukulan tangan miring yang amat kuat!
Seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat seperti yang dimiliki Kam Hong telah memiliki tubuh yang begitu hidup sehingga seolah-olah di belakang tubuh ada matanya. Tanpa menoleh, ia tahu dengan persis bagaimana serangan itu datang mengancamnya. Dengan hanya memutar tumit kakinya, dia sudah miringkan tubuh sehingga sekarang serangan dari belakang itu tidak datang dari belakang lagi, tetapi dari sebelah kanannya dan sekali Kam Hong mengangkat lengan, hantaman itu tepat dapat ditangkisnya.
“Plakkk!”
Dan tubuh orang itu terpental, seolah-olah tangannya tadi bertemu dengan baja yang amat keras dan kuat, juga yang mengandung hawa dorongan kuat dan panas sekali!
Akan tetapi kembali telah datang serangan bertubi-tubi dan susul-menyusul dari delapan orang itu. Gerakan mereka bagai mesin yang sudah distel terlebih dahulu, begitu teratur dan saling menyambung. Kam Hong sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, sudah pernah pula menghadapi barisan-barisan silat seperti itu, maka dia tidak merasa gugup walau pun harus diakuinya bahwa barisan Hek-i Pat-mo ini benar-benar amat lihai dan berbahaya. Dia membenarkan tindakannya mewakili sumoi-nya tadi, karena biar pun tingkat kepandaian Ci Sian juga sudah tinggi, tapi menghadapi pengeroyokan teratur seperti itu bisa membuat dara yang belum banyak pengalaman itu menjadi gugup.
Delapan orang itu terus bergerak-gerak, saling bantu dan saling sambung melakukan penyerangan. Kam Hong juga menggerakkan tubuhnya, menangkis ke depan ke kanan kiri dan belakang, ke delapan penjuru dan kadang-kadang dia mengelak. Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan yang bergerak cepat, tertutup oleh gerakan delapan bayangan hitam yang kadang-kadang berputaran dan kadang-kadang berhenti di suatu tempat tertentu.
Dia tahu bagai mana harus menghadapi barisan Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan), maka dia pun sejak tadi mainkan ilmu silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) yang pernah dipelajarinya dari Sin-siauw Sengjin, kakek pewaris ilmu-ilmu dari Pendekar Suling Emas itu. Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu warisan nenek moyangnya, dan karena ilmu silat ini juga mempunyai dasar segi delapan, maka tentu saja amat tepat untuk menghadapi barisan pat-kwa itu.
Tiba-tiba terdengar suara berkerincing dan nyaring dan ternyata delapan orang kakek itu telah menggerakkan gelang yang melingkari pergelangan tangan kanan mereka. Gelang yang berwarna hitam kemerahan. Dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan digetarkan, maka terdengarlah suara berkerincingan itu!
Sungguh aneh sekali. Tadi mereka terus bergerak menyerang, dan tentu saja lengan kanannya berikut gelang itu bergerak pula, akan tetapi tidak terdengar sesuatu. Akan tetapi kini gelang itu mengeluarkan suara yang nyaring dan aneh. Agaknya ada sesuatu pada gelang-gelang itu yang mengandung rahasia. Suara nyaring yang amat halus itu seperti suara emas diketuk dengan nada tinggi dan menusuk telinga, bahkan rasanya menyusup ke dalam jantung!
Akan tetapi Kam Hong sudah mengerahkan sinkang-nya dan dia tidak terpengaruh. Hanya kini, delapan orang itu menyerangnya dengan gerakan yang sama, dan secara berbareng. Delapan lengan tangan yang disertai gelang hitam kemerahan itu serentak menyerangnya dengan gerakan yang sama dan berbareng, tapi dari delapan penjuru!
Melihat delapan lengan yang amat kuat itu menonjok arah dadanya dari delapan penjuru dan mendatangkan angin pukulan yang kuat, dia terkejut dan maklum bahwa gabungan tenaga itu akan kuat bukan main. Dia tidak berani menghadapi dengan kekerasan atau mengadu tenaga, maka tubuhnya mencelat ke atas dan delapan tangan itu berhenti dari delapan penjuru, saling bertemu angin pukulan mereka di tengah-tengah.
Akan tetapi, melihat lawan mereka melayang ke atas, mereka itu pun cepat menyerang ke atas, juga dengan gerakan yang sama. Angin pukulan dahsyat kini menyambar ke atas! Kam Hong maklum bahwa dia akan kerepotan menghadapi gaya serangan seperti itu, maka sambil meloncat, dia sudah mencabut suling emasnya dan berjungkir-balik, kini meluncur turun, didahului gulungan sinar emas dari suling yang diputar-putarnya.
Delapan orang itu mengandalkan penggabungan tenaga mereka, berani menyambut datangnya gulungan sinar emas itu, akan tetapi mereka terkejut ketika dari gulungan sinar emas itu keluar hawa yang amat kuat, yang mendorong mereka dan membuat penggabungan tenaga mereka buyar dan mereka terhuyung ke belakang. Cepat mereka berloncatan untuk mematahkan tenaga dorongan, dan kini sudah berdiri mengepung lagi dalam kedudukan pat-kwa, memandang pada benda mengkilap di tangan pemuda itu dengan melongo.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut bukan main menyaksikan suling itu. Tadi, ketika Ci Sian meniup suling emasnya, dia sudah terheran, hanya tidak menduga atau menghubungkan suling itu dengan nama pendekar dalam dongeng, yaitu Pendekar Suling Emas. Kini, menyaksikan suling di tangan Kam Hong dan sepak terjang pemuda itu, dia terkejut dan tanpa terasa lagi olehnya, mulutnya berseru keras, “Suling Emas....!”
Kam Hong memutar tubuhnya menghadapi Mo-ong, suling emas itu melintang di depan dadanya. Dia tersenyum dan menjura, lalu berkata, “Tidaklah salah dugaanmu, Hek-i Mo-ong. Aku bernama Kam Hong, keturunan dari Pendekar Suling Emas. Aku datang mengantar sumoi-ku yang ingin membalas dendam kepadamu dan aku setuju karena engkau dan gerombolanmu merupakan iblis-iblis berwajah manusia yang kudengar telah melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa.”
Marahlah Hek-i Mo-ong. “Bunuh dia!” bentaknya dan telunjuk kirinya menuding ke arah Kam Hong dan tiba-tiba saja dari telunjuk itu menyambar benda yang berkilauan ke arah tenggorokan Kam Hong!
“Tikkk....!”
Benda itu terpukul oleh suling dan lenyap ke dalam bumi. Sungguh itu merupakan senjata rahasia yang amat keji, yang amat kecil dan yang dilepaskan dari bawah kuku telunjuk yang panjang.
Mendengar perintah suhu mereka, Hek-i Pat-mo lalu saling memberi isyarat. Mereka mengeluarkan sesuatu dari balik jubah hitam mereka dan tahu-tahu kini tangan kiri mereka telah disambung dengan sebuah cakar setan yang berwarna hitam, dengan kuku-kuku melengkung runcing terbuat dari baja dan tak perlu diragukan lagi bahwa kuku-kuku baja itu sudah pasti mengandung racun ganas! Dan kini mereka bergerak menyerang dari delapan penjuru! Kuku cakar setan tangan kiri itu menyambar-nyambar dan tercium bau amis, sedangkan tangan kanan yang bergelang hitam kemerahan itu pun menyambar-nyambar mengeluarkan suara berkerincingan.
Menyaksikan kebuasan delapan orang itu, diam-diam Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia harus menang, pikirnya sambil melihat suheng-nya memutar suling emasnya. Kalau suheng-nya kalah, ia sendiri pun tidak tahu apakah ia akan mampu menghadapi iblis-iblis ini. Gerakan delapan orang itu sungguh dahsyat sekali, dan ia merasa menyesal mengapa suheng-nya masih saja mempergunakan ilmu-ilmu silatnya, yang lama….