Suling Emas Naga Siluman Jilid 23

Suling Emas Naga Siluman Jilid 23
Sonny Ogawa
CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 23
Dara itu bukan lain adalah Ci Sian. Ketika melihat Han Beng dikeroyok, tentu saja Ci Sian segera menghampiri dan hendak turun tangan membantu. Akan tetapi saat melihat Su-ok mendekati kereta dan mengancam Sang Pangeran, dia cepat menyambar dan menyelamatkan Sang Pangeran dengan menyambut serangan Su-ok yang dahsyat itu. Oleh karena dia sudah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, maka begitu terjun ia telah mengerahkan khikangnya ketika menyambut pukulan sakti dari Su-ok yang mengakibatkan Si Gundul itu terlempar.

Su-ok yang sudah bangkit kembali itu memandang bengong. Sekarang Ci Sian sudah menerjang dan membantu Han Beng, memutar sulingnya dan tanpa mengeluarkan sepatah pun kata ia sudah menyerang Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu. Ji-ok juga terkejut ketika ada sinar emas menyambarnya, dan ketika ia menangkis menggunakan Kiam-ci, hampir saja ia terguling seperti yang telah dialami oleh Su-ok.

Terkejutlah Im-kan Ngo-ok melihat ini dan mereka teringat akan Kam Hong yang juga amat lihai dalam mempergunakan suling emas sebagai senjata. Dan melihat kehebatan dara ini, mengertilah mereka bahwa pihak lawan bertambah dengan seorang yang lihai, biar pun hanya merupakan seorang gadis remaja saja. Maka Su-ok juga cepat terjun ke medan perkelahian dan membantu teman-temannya. Biarlah, Pangeran itu ditinggalkan sebentar. Paling perlu merobohkan dua orang muda ini. Pangeran itu pun tentu tidak akan mampu melarikan diri sampai jauh.

Cia Han Beng merasa girang bukan main melihat munculnya Ci Sian. Bukan hanya gembira karena dia memperoleh seorang kawan yang amat lihai dan boleh diandalkan, akan tetapi juga gembira karena keselamatan Sang Pangeran dapat lebih terjamin sekarang, dan terutama sekali dia merasa gembira memperoleh kesempatan bertemu kembali dengan dara ini! Meski pada lahirnya pemuda ini tidak memperlihatkan sesuatu, akan tetapi sesungguhnya dia telah jatuh hati kepada Ci Sian Sian pada pertemuan pertama mereka di Kun-lun-san, terutama setelah keduanya saling menguji kepandaian dalam sebuah pibu persahabatan.

“Nona, terima kasih atas bantuanmu!” serunya dan kini pedangnya makin hebat gerakannya, menjadi gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar dahsyat.

Ci Sian tidak menjawab, melainkan memutar sulingnya dengan tidak kalah dahsyatnya. Kalau dulu mereka berpibu, sekarang mereka seolah-olah bersaing mendemonstrasikan kepandaian mereka. Tentu saja yang mengalami kerugian dalam hal ini adalah Im-kan Ngo-ok! Menghadapi seorang Han Beng saja mereka tadi sudah merasa sukar sekali untuk merobohkannya, apalagi kini ditambah dengan nona yang memiliki kepandaian tidak berada di sebelah bawah tingkat pemuda Kun-lun-pai itu.

Setelah dibantu oleh Ci Sian, kini Han Beng mendesak lima orang datuk itu. Sampai kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba Han Beng mengeluarkan bentakan nyaring.

“Haiiiitttt....!”

Pedangnya menyambar ganas, tahu-tahu nampak darah muncrat dan robohlah Ngo-ok yang memang sudah terluka dan paling lemah dan lambat gerakannya itu. Kini ujung pedang pemuda itu menembus lehernya, maka setelah berkelojotan di atas tanah, matilah Ngo-ok, orang termuda dari Im-kan Ngo-ok!

Hal ini membuat empat orang kakek dan nenek itu terkejut, marah dan berduka sekali. Tidak pernah mereka sangka bahwa seorang di antara mereka berlima akan dapat terbunuh orang! Dan pembunuhnya seorang yang masih amat muda lagi. Su-ok yang paling sering cekcok dengan Ngo-ok akan tetapi sesungguhnya paling mencintanya, menjadi marah sekali dan dengan teriakan setengah terisak dan menerjang kepada Han Beng. Namun Ci Sian yang tidak mau kalah oleh kawannya itu telah menyambutnya. Sulingnya mengeluarkan getaran yang melengking-lengking, dan nampak sinar emas itu terpecah menjadi banyak dan tahu-tahu ujung suling sudah menotok dan mengenai pelipis Su-ok!

“Prokkk....!”

Tubuh Su-ok terjengkang dan berkelojotan karena pelipis kepalanya retak. Sama seperti Ngo-ok, tidak lama dia berkelojotan lalu tewas. Kini tiga orang kakek dan nenek itu baru tahu bahwa pihak lawan mereka memang hebat bukan main dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dan mereka tinggal bertiga, kalau dilanjutkan perkelahian itu, bukan tidak mungkin mereka bertiga akan mengalami nasib yang sama dengan Su-ok dan Ngo-ok.

Maka Toa-ok mengeluarkan suara bersuit nyaring dan dua orang adiknya maklum akan isyarat ini. Mereka lalu menyerang dengan sehebatnya, membuat dua orang muda itu terpaksa mundur. Kesempatan itu mereka pergunakan untuk menyambar tubuh Su-ok dan Ngo-ok yang sudah tidak bernyawa. Toa-ok menyambar tubuh Ngo-ok sedangkan Sam-ok menyambar tubuh Su-ok, lalu ketiganya meloncat jauh dan melarikan diri.

Ci Sian yang merasa penasaran itu hendak mengejar, tetapi Han Beng menahannya.

“Harap jangan kejar, Nona. Lebih penting melindungi Pangeran.”

Teringatlah Ci Sian bahwa Sang Pangeran masih berada di situ dan kalau mereka berdua melakukan pengejaran, memang Pangeran menjadi tak terlindung dan hal ini berbahaya sekali.

“Biar lain kali kubasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok,” katanya.

Melihat sepak terjang dua orang muda-mudi itu, Pangeran Kian Liong merasa kagum bukan main. Dia keluar dari keretanya, lalu menghampiri dua orang pendekar itu dan menjura dengan senyum kagum.

“Ah, sudah banyak aku bertemu dan melihat kepandaian tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa. Akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan dua orang pemuda dan pemudi yang selain gagah perkasa, tampan dan cantik, juga memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya! Sungguh aku merasa kagum bukan main. Bolehkah aku mengenai siapa Taihiap dan Lihiap, agar aku dapat mengucapkan terima kasihku?”

Melihat sikap yang demikian merendah dan lembut dari Sang Pangeran, Ci Sian juga merasa heran dan kagum. Memang Pangeran ini amat hebat, seperti berita tentang dirinya yang sering didengarnya. Seorang Pangeran yang sama sekali tidak tinggi hati, bersikap ramah dan rendah hati.

Akan tetapi, biar pun diam-diam Han Beng juga kagum melihat sikap Sang Pangeran, dia tidak dapat melupakan bahwa Pangeran itu adalah seorang pemuda bangsawan Mancu, keluarga Kaisar penjajah, bahkan menjadi calon pengganti Kaisar penjajah pula. Bahkan, di balik semua itu, masih ada satu hal yang amat mengganjal hatinya, yaitu mengingat bahwa ayahnya tewas oleh ayah Pangeran ini, dan bahwa ibunya telah dirampas pula oleh ayah Pangeran ini! Hanya kebijaksanaannya berkat pendidikan batin gurunya sajalah yang membuat dia tidak merasa mendendam kepada Pangeran ini.

“Kalian tentu telah mengenalku sebagai Pangeran Kian Liong,” kembali Sang Pangeran berkata dengan ramah. “Maka, sudah sepatutnya kalau aku pun dapat mengenal nama kalian.”

Ci Sian sudah membalas penghormatan itu dengan menekuk sebelah kakinya dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya. “Pangeran, nama saya adalah Bu Ci Sian.”

“Ah, Nona Bu, sungguh sangat kagum hatiku menyaksikan sepak terjang Nona tadi, dan terimalah ucapan terima kasihku. Tanpa ada pertolonganmu, tentu aku sudah terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok.”

“Belum tentu, Pangeran. Bukankah di sini ada seorang pendekar yang telah melindungi Pangeran?” kata Ci Sian sambil memandang kepada Cia Han Beng, merasa heran mengapa pemuda itu nampak dingin saja terhadap Sang Pangeran, bahkan tidak membalas ucapan Sang Pangeran.

“Taihiap, bolehkah aku mengetahui namamu?”

Han Beng mengerutkan alisnya dan membuang muka, tidak menjawab. Ci Sian hendak menegurnya, akan tetapi ia segera teringat siapa adanya pemuda ini! Ayah pemuda ini tewas di tangan para pembantu Kaisar! Dan ibunya kabarnya dirampas pula. Dan pemuda ini adalah tokoh Kun-lun-pai yang berjiwa patriot! Tentu saja lain pandangan pemuda ini sebagai seorang patriot terhadap Pangeran Kian Liong, seorang pangeran penjajah, seorang berbangsa Mancu!

“Pangeran, seorang seperti Paduka tidak layak mengenal nama seorang rakyat biasa seperti saya.”

“Ahh....!” Pangeran Kian Liong tertegun.

Dan dari sikap itu saja maklumlah Sang Pangeran orang macam apa yang berada di depannya. Tentu seorang patriot yang anti penjajahan, pikirnya sambil menarik napas panjang penuh hati sesal.

Melihat sikap Pangeran yang tetap halus akan tetapi jelas merasa kesal dan berduka itu, Ci Sian merasa betapa sikap pemuda Kun-lun-pai itu tidak sepatutnya. Ia sendiri tidak peduli akan soal patriot atau bukan patriot. Ia tidak mengerti akan semua itu, dan ia bertindak hanya menurut naluri kemanusiaannya.

“Cia-enghiong,” kata Ci Sian, suaranya agak dingin. “Mengapa engkau bersikap seperti orang tidak suka kepada Pangeran? Bukankah beliau telah bersikap manis dan ramah kepada kita?”

“Maaf, bagaimana pun juga, aku tidak mampu melupakan kenyataan bahwa dia adalah seorang Pangeran Mancu, penjajah tanah air kita,” jawab Han Beng tanpa peduli bahwa Sang Pangeran sendiri berada di tempat itu mendengarkan kata-katanya.

“Tapi, kalau engkau beranggapan demikian, mengapa tadi engkau melindunginya dari ancaman Im-kan Ngo-ok? Mengapa tidak kau biarkan saja Pangeran penjajah ini tewas di tangan mereka?” Ci Sian bertanya, suaranya mulai merasa penasaran. Memang sikap dara ini amat terbuka, dan ia selalu siap untuk menentang segala sesuatu yang dianggapnya tidak benar.

“Nona, engkau tahu bahwa kami para patriot tak pernah membenci pribadi-pribadi atau perorangan. Kami menentang penjajahan, bukan membenci seseorang. Dan kalau aku melindunginya, bukan berarti aku melindungi pribadi Pangeran, namun sesuai dengan rencana dan garis perjuangan para patriot. Untuk perjuangan ini, aku rela walau pun harus mengorbankan nyawaku.”

“Lalu apa yang hendak kau lakukan terhadap Sang Pangeran sekarang?” Ci Sian bertanya, suaranya lantang.

“Sesuai dengan tugas yang kuterima, aku harus membawa Pangeran pergi dari sini, menyelamatkannya dari orang-orang yang hendak membunuhnya.”

“Membawanya kembali ke istana di kota raja?”

Pemuda itu menggeleng kepala, “Tugasku bukan demikian, melainkan membawanya ke suatu tempat.”

“Sebagai tawanan para patriot?”

Pemuda itu mengangguk.

“Aku yang akan menentangmu!” tiba-tiba dara itu berseru dan mengeluarkan sulingnya, melintangkan sulingnya di depan dada.

Pemuda itu tercengang dan memandang dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu, Nona? Nona seorang pendekar yang berilmu tinggi, mana mungkin Nona hendak melindungi Pangeran penjajah dan hendak menentang kami....?”

“Aku tidak peduli akan segala patriot, segala penjajah, segala tetek-bengek! Pendeknya, aku hendak mengantar Pangeran kembali ke tempat tinggalnya, ke istananya di kota raja. Dan siapa pun yang hendak mencelakainya, baik orang-orang jahat macam Im-kan Ngo-ok, mau pun orang-orang macam kau yang menamakan dirinya patriot, akan kutentang dan kulawan!”

Han Beng memandang bingung, lalu menarik napas panjang, nampak berduka. “Ahh, tidak kusangka sama sekali bahwa kita akan bertemu dalam keadaan seperti ini....“

Pangeran Kian Liong sudah mendengar cukup. Dia melangkah maju sambil tersenyum. “Aku dapat memaklumi keadaan Ji-wi yang gagah perkasa. Akan tetapi sebelum kalian berdua ribut-ribut, marilah kita berbincang-bincang tentang diriku yang hendak dijadikan rebutan. Banyak orang menilai diriku begini, begitu, hanya dengan memandang diriku sebagai Pangeran Mahkota Kerajaan Mancu! Apa sih salahnya seorang manusia yang dilahirkan sebagai seorang putera Kaisar penjajah Mancu? Seperti juga apa salahnya kalau orang dilahirkan sebagai putera patriot, sebagai anak seorang penjahat, seorang jembel, dan sebagainya lagi? Kita ini masing-masing dilahirkan tanpa kita minta menjadi anak siapa pun! Mengapa setelah terlahir, kita lupa akan hal ini, dan kita memecah-mecah manusia sebagai penjajah, sebagai pejuang, sebagai ini dan itu? Bukankah ketika kita terlahir, kita ini sama? Sebagai seorang orok yang begitu terlahir, telanjang dan menangis? Salahkah kalau aku menjadi putera Kaisar Mancu? Bagiku, yang penting adalah manusianya, bukan embel-embel berupa bangsanya atau keturunannya, hartanya, kedudukannya, atau kepandaiannya, atau agamanya dan sebagainya. Manusia tetap manusia, diberi embel-embel apa pun juga, dan yang menentukan apakah dia patut disebut manusia atau tidak bukanlah embel-embelnya itu, melainkan si manusianya sendiri. Aku menjadi Pangeran Mahkota adalah karena keadaanku, dan aku tidak pernah menganggapnya buruk, karena aku pun tak pernah menyalah gunakan kedudukan. Dan aku berjanji kelak kalau menjadi kaisar, akan menjadi kaisar yang baik, untuk manusia, bukan untuk bangsa ini atau itu, melainkan untuk rakyatku.”

“Mudah memang bagi Paduka untuk bicara demikian, Pangeran,” Han Beng segera membantah. “Karena Paduka tidak pernah menderita karena penjajahan itu, Paduka tidak pernah merasakan bagaimana rakyat ditindas, tidak merasa betapa ayah Paduka dibunuh, ibu Paduka diperkosa orang, harta Paduka dirampas orang! Bangsa Mancu telah menjajah dan menindas bangsa Han, apakah kami para patriot yang mencinta rakyat dan tanah air tidak seharusnya dan sepatutnya bangkit dan kemudian berusaha mengenyahkan penjajah?”

Pangeran itu tersenyum. “Sudah kukatakan, semua itu telah terjadi dan aku tidak bertanggung jawab. Tanggung jawabku adalah sekarang ini, kalau menjadi pangeran ya jadilah pangeran yang baik, kalau menjadi kaisar jadilah kaisar yang baik dan demikian seterusnya menurut kedudukan masing-masing. Seperti kulihat, bangsa Mancu yang menjajah itu kini malah melebur dirinya menjadi bangsa Han! Mana ada kebudayaan Mancu dipelihara? Mana ada kesusastraan Mancu atau kesenian Mancu? Bahkan bahasa Mancu pun tidak selancar kupergunakan seperti bahasa Han. Bukan aku membela bangsa Mancu, melainkan kenyataannya demikian. Bagiku, semua manusia itu sama saja, bangsa apa pun juga adanya. Baik buruk ditentukan oleh manusianya, bukan oleh bangsanya. Membeda-bedakan bangsa hanya menimbulkan kebencian dan permusuhan belaka.”

“Hem, Paduka akan bicara lain kalau ayah Paduka dibunuh kaisar, kalau ibu Paduka dipaksa kaisar menjadi selirnya!” kata Han Beng dengan suara penuh kepahitan.

Sang Pangeran terkejut juga mendengar ini dan memandang tajam.

Pada saat itu Ci Sian sudah melangkah maju menghadapi Han Beng dan berkata dengan suara menantang, “Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi, Cia Han Beng! Sekarang terserah kepadamu! Aku akan mengawal Pangeran pulang ke kota raja dan siapa pun juga yang akan mengganggunya, biar engkau sekali pun, terpaksa akan kuhadapi sebagai lawan! Ingat, aku tidak berpihak kepada kerajaan, juga tidak berpihak kepada kaum patriot. Aku tidak mengerti soal itu dan tidak mau tahu. Aku hanya bertindak sebagai seorang yang ingin menjadi seorang pendekar, membela yang lemah terancam, menentang yang kuat sewenang-wenang. Nah, terserah kepadamu!”

Sejenak Han Beng meragu. Kalau bukan Ci Sian yang berdiri menghalangi, tentu akan diterjangnya dan dilawannya, betapa pun lihainya pelindung Pangeran itu. Akan tetapi Ci Sian yang berdiri di depan dan menantangnya. Dia bukan takut melawan dara ini, sama sekali tidak, karena biar pelindung Pangeran lebih lihai dari pada Ci Sian sekali pun akan dilawannya. Akan tetapi dia enggan melawan Ci Sian sebagai musuh. Dia telah jatuh cinta pada dara ini. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menyarungkan pedang Ang-hio-kiam yang sejak tadi masih dipegangnya.

“Sudahlah, aku tak ingin menghadapimu sebagai musuh, Nona. Sampai jumpa!” Berkata demikian, pemuda itu lalu meloncat dan sebentar saja lenyaplah pemuda itu dari dalam hutan itu.

Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. “Sayang.... sayang hatinya dipenuhi oleh dendam....”

“Akan tetapi dia seorang murid Kun-lun-pai yang baik sekali, Pangeran, dan memang keadaannya.... ehhh, patut dikasihani.”

Sang Pangeran memandang tajam kepada dara yang mendatangkan rasa kagum di hatinya itu. “Ahhh, benarkah bahwa ayahnya terbunuh Kaisar dan Ibunya dirampas....”

Dara itu mengangguk.

Sang Pangeran mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. “Sekarang aku tahu.... selir ayah ada yang katanya bekas isteri seorang pendekar Kun-lun-pai. Hemm, luar biasa sekali, dan pemuda itu, yang sesungguhnya masih saudara tiriku, yang telah diracuni dendam, bahkan telah menyelamatkan aku dari ancaman Im-kan Ngo-ok.”

“Tidak luar biasa, Pangeran. Ingat, dia seorang pendekar dan seorang patriot.”

“Dan engkau, Nona Bu?”

“Saya? Saya seorang biasa, bukan patriot.”

“Tapi kenapa engkau menolongku, Nona?”

“Karena saya sudah banyak mendengar tentang Paduka sebagai seorang pangeran yang bijaksana, bahkan orang-orang gagah mengharapkan kelak kalau Paduka menjadi kaisar, Paduka akan menghapus segala kelaliman, membasmi segala kejahatan yang terjadi. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau saya melindungi Paduka dari ancaman mala petaka.”

“Hemm, sungguh hebat. Dan sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan diriku, Nona?”

“Mengantar Paduka menuju ke kota raja.”

Pangeran itu teringat kepada Su-bi Mo-li dan memandang kepada empat mayat mereka dengan mata ngeri.

“Dan kalau kita sudah tiba di kota raja?” Ingin dia mengetahui, pamrih apa yang tersembunyi di balik keinginan dara ini untuk mengawal dan melindunginya.

“Sesudah kita di kota raja? Tentu saja Paduka kembali ke istana Paduka dengan aman.”

“Dan engkau?”

“Saya? Saya akan melanjutkan perjalanan saya.”

“Ke manakah, Nona?”

“Ke mana saya sendiri belum tahu. Saya sedang mencari Suheng saya, Pangeran.”

“Dan kau.... setelah berhasil mengantarku ke istana, engkau tidak menghendaki imbalan jasa apa-apa?”

Ci Sian memandang wajah yang halus itu dengan tajam, tidak mengerti. “Imbalan jasa apa? Saya tidak menghendaki apa-apa, hanya menghendaki Paduka selamat sampai di istana, cukuplah. Imbalan apa? Jasa apa?”

Melihat keterbukaan hati dara ini yang polos dan jujur sekali, Sang Pangeran menjadi kagum bukan main. Seorang dara yang masih murni dan telah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya!

“Kalau begitu, mari kita pergi, Nona. Tidak tahan aku untuk berdiam di sini lebih lama lagi.”

“Baik, Pangeran. Mari kita pergunakan dua ekor kuda itu, jangan mempergunakan kereta karena hal itu akan menarik perhatian orang.”

Pangeran itu tak membantah dan karena memang dia tidak memakai pakaian pangeran, hanya pakaian pemuda biasa, maka ketika mereka berdua berdampingan menunggang kuda, tidak akan ada yang menyangka bahwa yang pria itu adalah Pangeran Mahkota. Orang tentu akan mengira bahwa mereka hanya sepasang muda-mudi yang melakukan perjalanan belaka, atau sepasang suami isteri yang masih amat muda, atau juga sepasang pendekar.

Melihat sikap Ci Sian yang amat lincah gembira, gagah perkasa dan amat tabah, hati Pangeran itu menjadi makin suka dan kagum. Sebaliknya melihat sikap Pangeran yang amat ramah, lemah-lembut, sama sekali tidak ceriwis, dan setelah bercakap-cakap ia mendapatkan kenyataan bahwa Sang Pangeran memiliki pengetahuan yang amat luas, Ci Sian juga merasa kagum. Hatinya terhibur juga melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang begini pandai, tahu akan segala hal, bahkan tahu akan keadaan di dunia kang-ouw!

“Nona Bu, engkau memiliki ilmu silat yang amat tinggi sekali, maka kukira engkau tentu masih mempunyai hubungan dengan Bu-taihiap, Bu Seng Kin. Bukankah demikian?”

Ci Sian terkejut dan menoleh kepada pemuda yang menunggang kuda di sampingnya itu. Akan tetapi ia tidak mungkin dapat membohong kepada sepasang mata yang jernih tajam itu. Maka ia pun mengangguk tanpa menjawab karena hatinya kesal mendengar disebutnya nama ayahnya.

“Masih ada hubungan apakah, kalau aku boleh bertanya?”

Terpaksa Ci Sian menjawab singkat, “Dia.... dia itu ayah kandung saya.”

“Ah....! Maaf, maaf, kiranya Nona adalah puteri Bu-taihiap? Sungguh luar biasa! Kalian ini keluarga Bu agaknya hendak melimpahi diriku dengan budi-budi yang amat besar. Bukan hanya ayahmu yang pernah menyelamatkan diriku, juga dari tangan penjahat-penjahat Im-kan Ngo-ok, sekarang puterinya juga!”

“Dia.... ayah saya pernah menolong Paduka?”

“Benar, malah dia menolongku disertai tiga orang isterinya dan seorang puterinya. Yang manakah di antara tiga orang isterinya itu yang menjadi ibumu, Nona?”

Ci Sian maklum siapa yang dimaksud dengan puteri ayahnya itu. Tentu Bu Siok Lan, puteri ayahnya dan Panglima Nepal Nandini itu, siapa lagi? Dan tiga orang isterinya itu ia pun sudah dapat menduganya. Siapa lagi kalau bukan Nandini, Nikouw Gu Cui Bi, dan wanita dari Lembah Suling Emas, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu? Ia cemberut, hatinya kesal sekali. Akan tetapi ia harus menjawab pertanyaan Sang Pangeran.

“Ibu saya telah meninggal dunia. Saya tidak mengenal mereka itu!” Dan ia pun cemberut lalu mencambuk kudanya sehingga kudanya lari congklang.

Sang Pangeran juga mencambuk kudanya untuk mengejar. Pangeran ini biar pun masih amat muda, akan tetapi sudah berpengetahuan luas. Dia tahu bahwa dara itu marah. Agaknya dara itu telah tak beribu dan tidak setuju ayahnya yang mempunyai banyak isteri itu. Dan diam-diam dia pun tersenyum. Dia tahu bahwa Bu-taihiap adalah seorang pria yang suka akan wanita, tampan gagah dan banyak pula wanita yang tergila-gila kepadanya.

Seorang pria pengejar wanita, hidung belang akan tetapi bertanggung-jawab. Dia pun menarik napas panjang. Ada perbedaan antara pria seperti Bu-taihiap dengan Kaisar atau pembesar-pembesar yang mengumpulkan banyak selir. Selir-selir itu tidak ada ubahnya binatang-binatang peliharaan yang dibeli dengan kemuliaan atau harta. Akan tetapi, wanita-wanita yang menjadi isteri Bu-taihiap adalah karena tertarik, dan karena saling mencinta. Keduanya tentu ada baiknya dan ada buruknya.

Para selir yang tertarik oleh kemuliaan dan harta memang dapat hidup rukun akan tetapi mereka melayani suami mereka hanya dengan kemesraan palsu belaka. Sebaliknya, para isteri pria seperti Bu-taihiap itu semua mencintanya, akan tetapi tentu saja tidak dapat hidup rukun satu sama lain, dan akibatnya sang suami yang selalu menghadapi isteri-isteri yang penuh cemburu dan keluarganya menjadi retak. Contohnya adalah keluarga pendekar Bu ini. Puteri kandungnya sendiri, dara yang lincah jenaka dan gagah perkasa, yang sebenarnya tentu dapat menjadi seorang puteri yang mencinta ayah kandungnya, kini agaknya membenci keluarga ayahnya.

Dan di dalam perjalanan mereka itu tidak terjadi gangguan. Agaknya setelah Im-kan Ngo-ok kalah, bahkan dua orang di antara mereka tewas, tidak ada lagi yang berani mencari dan mencoba untuk mengganggu Sang Pangeran. Agaknya para tokoh golongan sesat sudah mendengar akan tewasnya dua orang dari Im-kan Ngo-ok. Hal ini amat mengejutkan hati mereka dan mereka menjadi gentar, maklum bahwa Sang Pangeran dilindungi oleh orang-orang yang benar-benar amat sakti.

Pada suatu hari, selagi Sang Pangeran dan Ci Sian berkuda dengan perlahan-lahan seenaknya sambil menikmati pemandangan indah dari lereng sebuah bukit, tiba-tiba Pangeran Kian Liong melihat jauh di bawah sana ada debu mengebul tinggi dan kemudian nampak pasukan besar tentara kerajaan berbaris. Dia merasa heran sekali.

“Hemm, itu adalah pasukan kerajaan yang cukup besar jumlahnya!” katanya kepada Ci Sian. “Pemimpinnya bahkan seorang pangeran, dapat kulihat dari corak benderanya.”

“Ada terjadi apakah, Pangeran?” tanya Ci Sian. “Apakah sudah terjadi perang? Dengan siapa?” Ci Sian teringat akan perang antara tentara kerajaan melawan tentara Nepal di daerah Tibet.

“Entahlah. Menurut pendengaranku, tidak ada perang, bahkan tak ada pemberontakan yang perlu dipadamkan setelah Jenderal Kao berhasil memadamkan pemberontakan di barat.”

“Jenderal Kao Cin Liong?” Ci Sian bertanya.

“Benar! Ehhh, apakah engkau sudah mengenalnya, Nona?”

Ci Sian tersenyum. “Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran. Bahkan saya bertemu dengan dia ketika dia sedang menyamar dan menyusup ke dalam benteng musuh, yaitu benteng pasukan Nepal.”

“Ahhh? Lain kali harap kau ceritakan tentang hal itu, Nona Bu. Sekarang, kita harus mengikuti pasukan itu. Ingin kuketahui apa yang hendak mereka lakukan.”

“Bagaimana kalau kita mengejar dan menyusulnya, kemudian Paduka dapat bertanya kepada komandannya?”

“Tidak, aku tidak ingin mencampuri urusan mereka, apalagi mereka itu tentu bergerak atas perintah atasan. Aku hanya ingin tahu apa yang akan mereka lakukan.”

Dan mereka berdua pun melarikan kuda untuk mengikuti pasukan besar itu. Dan di sepanjang jalan, dengan hati penuh kemarahan dan kedukaan, Sang Pangeran melihat bekas tangan para anak buah pasukan itu. Perampasan-perampasan, pemukulan-pemukulan, perbuatan-perbuatan kurang ajar terhadap wanita-wanita.

Biar pun belum sampai terjadi perkosaan atau pembunuhan, namun sikap pasukan itu sungguh memalukan, bukan merupakan sikap pasukan yang berdisiplin dan baik, dan sikap seperti itu hanya memancing kebencian rakyat terhadap pemerintah! Diam-diam Sang Pangeran mencatat semua bekas tangan pasukan itu untuk kelak dia laporkan dan dia tuntut agar komandan pasukan yang lengah dan tidak berdisiplin itu menerima hukuman atau setidaknya menerima teguran dan penurunan pangkat, sedangkan para anak buah pasukannya menerima hukuman yang cukup keras.

Ci Sian sibuk mengumpulkan data-data dan bukti-bukti tentang keburukan sikap serta sepak terjang para pasukan itu dengan bertanya-tanya kepada para penghuni dusun-dusun di sepanjang jalan yang dilalui pasukan.

Ternyata pasukan itu berjumlah seribu orang dan bersenjata lengkap. Dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal yang berkepandaian tinggi! Mendengarkan ciri-ciri dari Pangeran dan jenderal itu, tahulah Sang Pangeran, siapa mereka.

Pangeran yang memimpin itu adalah seorang keponakan ayahnya, seorang pangeran yang usianya sudah tiga puluh lima tahun dan terkenal memiliki ilmu silat cukup tinggi, bernama Pangeran Seng Goan Ong, sedangkan dua orang jenderal itu pun terkenal memiliki kepandaian yang hebat.

Yang seorang adalah Jenderal Tang Sen Hoat, yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh tinggi besar bertenaga gajah, sedangkan jenderal ke dua adalah Jenderal Boan Ciong, seorang jenderal berusia hampir lima puluh tahun yang selain ahli dalam ilmu siasat perang, juga memiliki ilmu silat tinggi pula.

Diam-diam Sang Pangeran merasa heran. Kalau menghadapi pemberontakan, kenapa yang dikirim hanya seribu orang pasukan, akan tetapi pemimpinnya sampai seorang pangeran dan dua orang jenderal? Dan dua orang jenderal itu pun bukan ahli-ahli perang, melainkan pelatih-pelatih. Jenderal Tang ialah seorang pelatih silat, sedangkan Jenderal Boan pelatih ilmu perang. Pangeran Seng Goan Ong juga terkenal sebagai seorang penasehat dalam hal latihan-latihan ketangkasan bagi para pasukan pengawal istana.

Karena ingin sekali tahu, maka Pangeran Kian Liong mengajak Ci Sian untuk terus mengikuti barisan itu sehingga mereka membuat perjalanan menyimpang, bahkan kini makin meninggalkan kota raja. Akan tetapi Ci Sian juga merasa gembira saja karena Pangeran ini merupakan teman seperjalanan yang mengasyikkan, pandai bicara, dan sikapnya amat baik dan menyenangkan. Dia seolah-olah merasa sejak lama telah mengenal Pangeran itu dan mereka bagaikan dua orang sahabat baik, atau seperti saudara saja.

Hubungan antar manusia memang akan menjadi sesuatu yang amat indah dan akrab kalau yang berhubungan itu adalah dua orang manusianya tanpa mengikut sertakan segala macam embel-embelnya. Namun sungguh sayang sekali. Kita selalu melupakan segi kemanusiaannya pada seseorang dan kita lebih mementingkan embel-embelnya itu ialah kedudukannya, harta bendanya, kemampuannya, pendidikannya, agamanya, dan sebagainya.

Kita selalu menilai manusia dari embel-embelnya itulah, maka tidaklah mengherankan apabila hubungan antara manusia merupakan hubungan yang palsu, hubungan antara dua orang munafik. Yang berhubungan hanyalah gambaran-gambaran yang kita bentuk berdasarkan embel-embel itu, bukan hubungan antara dua manusia yang sebenarnya. Hubungan antara dua gambaran manusia ini selalu mendatangkan konflik.

Kalau kita masing-masing menelanjangi diri dari pada segala embel-embel itu, kalau kita memandang orang lain tanpa disertai gambaran embel-embel itu, maka yang tinggal hanyalah manusianya, tanpa perbedaan, dan dalam hubungan antara manusia seperti ini, tanpa embel-embel lagi, barulah tercipta sesuatu yang disinari cinta kasih, karena lenyapnya gambaran-gambaran itu melenyapkan pula pamrih yang bersembunyi di balik hubungan itu. Dan sekali timbul pamrih, apa pun yang kita lakukan adalah palsu!

********************

Biara Siauw-lim-si amat terkenal sejak dahulu. Dari biara inilah keluarnya bukan saja ajaran-ajaran Agama Buddha, akan tetapi juga di situ pula dicetak pendekar-pendekar silat kenamaan yang gagah perkasa. Partai persilatan Siauw-lim-pai merupakan sebuah di antara partai-partai yang besar, bahkan tidak dapat disangsikan lagi bahwa ilmu silat banyak bersumber pada Siauw-lim-pai.

Di jaman dahulu, yang diperbolehkan belajar ilmu silat Siauw-lim-pai hanyalah para hwesio dan orang yang ingin mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah lebih dulu menjadi hwesio, mencukur gundul rambut kepalanya dan mengenakan jubah hwesio. Peraturan ini dahulunya dijaga keras, oleh karena menurut pendapat para pimpinan Siauw-lim-pai sejak turun-temurun, hanya seorang hwesio saja yang patut mempelajari ilmu silat.

Seorang hwesio adalah seorang pendeta, maka dianggap sebagai manusia yang sudah dapat mengendalikan hawa nafsunya dan sudah dapat menjadi seorang manusia baik-baik. Oleh karena itu, apabila ilmu silat dipelajari oleh seorang hwesio, maka ilmu itu tentu akan menjadi ilmu yang baik, tidak akan dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan jahat. Sebaliknya, kalau seorang manusia biasa mempelajarinya, maka manusia itu akan mudah melakukan kejahatan dengan mengandalkan ilmu silatnya. Para hwesio Siauw-lim-pai maklum bahwa manusia amatlah lemah terhadap kekuasaan. Sekali mempunyai kekuasaan, seorang manusia mudah menjadi mabok dan mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Dan ilmu silat dapat merupakan sejenis kekuasaan pula.

Memang ada beberapa kali terjadi kekecualian dan Ketua Siauw-lim-pai kadang-kadang menerima murid bukan pendeta. Tetapi tentu saja pilihan para pimpinan Siauw-lim-pai itu dilakukan dengan amat teliti, terhadap seorang bukan hwesio yang benar-benar memiliki bakat baik dan juga watak yang bersih.

Namun, sejak Siauw-lim-pai dimusuhi oleh Kaisar, sejak sebuah cabang Siauw-lim-pai dibasmi oleh Kaisar Yung Ceng, berubahlah peraturan di biara Siauw-lim-pai sebagai pusat Siauw-lim-pai. Melihat bayangan mengancam dirinya, Siauw-lim-pai merasa perlu untuk memperkuat diri, yaitu tentu saja dengan jalan memperbanyak murid-muridnya. Pula, sikap bermusuh yang diambil oleh Kaisar itu akhirnya mendorong Siauw-lim-pai untuk berpihak kepada patriot.

Ketika mendengar bahwa biara Siauw-lim-si membuka pintunya untuk menerima orang-orang luar, bukan hwesio, menjadi muridnya, berbondong-bondong datanglah pemuda-pemuda dari berbagai kota dan dusun membanjiri kuil atau biara itu. Tetapi, ternyata pintu biara yang tebal itu tertutup. Kiranya, biar pun telah merubah peraturannya, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak mau menerima sembarangan orang saja sebagai murid-murid Siauw-lim. Dan juga tidak mau menerima terlalu banyak.

Oleh karena itu, mereka kemudian mengadakan penyaringan, dan cara pertama adalah membiarkan mereka itu di luar pintu gerbang yang tertutup. Ini merupakan ujian pertama untuk melihat ketekunan, ketekadan dan daya tahan mereka. Puluhan orang muda yang berlutut di depan pintu gerbang itu mereka diamkan saja, tidak diterima masuk dan setelah lewat sehari semalam, banyak sudah di antara mereka yang pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kesal. Masih ada sisanya yang tetap berlutut di situ.

Pimpinan Siauw-lim-pai juga mengadakan ujian diam-diam dengan cara mengeluarkan dan menyediakan makanan dan minuman di depan pintu gerbang. Para muda yang memang sudah kelaparan dan kehausan, setelah berlutut di luar pintu gerbang selama dua hari dua malam, banyak yang tidak tahan melihat adanya makanan dan minuman itu. Mereka menyerbu, makan minum dan muncullah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang menyatakan bahwa mereka yang makan atau minum itu dianggap tidak lulus dan dipersilakan pulang saja.

Banyaklah yang gugur dalam ujian pertama ini. Kalau tadinya yang ada seratus orang lebih, setelah lewat empat hari empat malam, hanya tinggal tujuh orang saja yang tinggal di depan pintu gerbang. Mereka itu kepanasan dan kehujanan, kelaparan dan kehausan dan akhirnya, setelah mereka hampir roboh pingsan, barulah seorang hwesio pimpinan keluar dari pintu gerbang dan menyuruh anak-anak murid Siauw-lim-pai untuk menggotong mereka ke dalam biara.

Jangan dikira bahwa ujian itu saja yang dialami oleh para calon murid Siauw-lim-pai ini. Mereka masih diuji lagi, yaitu bakat mereka, ketangkasan mereka, dan juga ketekunan atau kesabaran mereka. Setelah diuji untuk dilihat bakat masing-masing, mereka bukan secara langsung diberi pelajaran ilmu silat. Ada yang disuruh bekerja di dapur di mana tiap hari dilakukan pekerjaan memasak bubur dan sayur banyak sekali untuk makanan para anggota Siauw-lim-pai yang hampir dua ratus orang banyaknya. Ada yang diberi pekerjaan memikul air, memikul kayu bakar, membelah kayu, membersihkan kuil dan sebagainya.

Bagi yang tidak sabar, tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu menyiksa rasanya. Mereka memasuki Siauw-lim-pai dengan keinginan diajar ilmu silat, akan tetapi setelah diterima, mereka itu hanya disuruh bekerja seperti budak belian! Mereka itu pada mulanya tidak tahu bahwa pekerjaan sehari-hari itu adalah pelajaran pokok atau dasar bagi mereka!

Para hwesio yang mengepalai bagian masing-masing itu membuat ketentuan dan mengharuskan mereka melakukan pekerjaan dengan cara-cara tertentu pula. Misalnya yang bekerja memikul air harus menggunakan pikulan dari batang-batang penjalin yang diikat menjadi satu dan setelah pemikulnya mulai dapat memikul sambil berlari dan tidak merasa berat lagi, maka batang penjalin itu dikurangi satu. Pengurangan itu terus dilakukan sampai tinggal beberapa batang saja sebagai pikulan itu. Dengan demikian, tanpa disadari, tanpa dirasakan oleh si murid, dia telah mulai berlatih sinkang dan tahu-tahu dia akan memperoleh tenaga sinkang yang amat kuat.

Ada yang pula memanggul-manggul kayu bakar. Setiap kali, panggulannya itu ditambah sebatang kayu. Penambahan ia terus dilakukan, sebatang demi sebatang tanpa ia rasakan sampai tahu-tahu dia dapat memanggul sejumlah kayu bakar yang hanya akan dapat dipanggul oleh empat lima orang. Dengan demikian dia telah menghimpun tenaga gwa-kang yang hebat.

Yang pekerjaannya membelah kayu juga diberi golok tajam, akan tetapi dia tidak boleh mengasah goloknya yang makin lama menjadi semakin tumpul dan lambat-laun dia telah memupuk tenaga yang demikian kuat sehingga dengan tangan telanjang saja dia akan mampu membelah kayu.

Yang bekerja memasak bubur harus mengaduk bubur beberapa buah kuali besar. Kalau terlambat mengaduk, buburnya akan gosong. Untuk pekerjaan ini, dia mempergunakan adukan yang bentuknya seperti toya, dan setiap hari mengaduk di tempat panas itu, tanpa disadarainya dia telah memperoleh dasar-dasar gerakan bermain toya, kedua tangan dan lengannya telah memperoleh kekuatan dasar yang luar biasa besarnya.

Demikian pula yang bekerja menyapu pekarangan, dia diharuskan menyapu dengan gerakan tertentu, sampai akhirnya dia memperoleh kecakapan untuk menggerakkan daun-daun itu tanpa menyentuhnya, hanya dengan sambaran angin dari sapunya saja. Dan mereka yang diberi pekerjaan menyirami bunga dan sayur-sayuran di kebun belakang, karena sepanjang kebun itu diberi patok-patok, dia harus menyiram sambil berjalan di atas patok-patok itu dan kebiasaan ini ternyata telah memberinya dasar-dasar ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang luar biasa.

Bermacam-macam cara latihan diberikan oleh para pimpinan hwesio di Siauw-lim-si. Latihan-latihan itu selain melatih jasmani, juga melatih batin para murid agar tahan uji, kuat daya tahannya, tekun, dan latihan seperti itu disebut ‘mengasah pedang bermata dua’ karena hasilnya ada dua macam. Pertama, tanpa sadar si murid telah memperoleh kemajuan hebat dan menguasai dasar ilmu yang tinggi. Ke dua, tenaga mereka itu dikerahkan bukan sia-sia karena telah menghasilkan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka semua di dalam biara.

Dengan saringan-saringan yang ketat itu, yang berhasil diterima sebagai murid di pusat biara Siauw-lim-si hanya kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka ini, setelah melewati saringan, tentu saja merupakan pemuda-pemuda gemblengan yang berbakat, berminat dan memiliki batin yang kuat.

Setelah mereka menguasai tenaga-tenaga dasar, barulah para pimpinan Siauw-lim-pai melatih ilmu silat dasar kepada mereka. Pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja memakan waktu lama sekali. Sehari penuh disuruh memasang bhesi, selagi mengipasi api dapur, selagi melakukan pekerjaan apa saja, diharuskan dalam kedudukan memasang kuda-kuda sehingga untuk hari-hari pertama, kedua kaki mereka terasa kaku dan kejang sehingga untuk buang air saja mereka tidak mampu berjongkok dan terpaksa dilakukan sambil kedua kaki memasang kuda-kuda!

Setelah mereka kokoh kuat benar dalam memasang kuda-kuda sehingga jika ditendang atau didorong, kedua kaki tidak ada yang terangkat melainkan bergeser keduanya, seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan bumi, barulah mereka diajarkan ilmu pukulan dan ilmu langkah.

Bermacam ilmu silat yang diajarkan di Siauw-lim-pai itu. Dari ilmu silat yang paling kasar sampai yang paling halus. Ada Kauw-kun (Silat Monyet), Houw-kun (Silat Harimau), Coa-kun (Silat Ular), Ho-kun (Silat Bangau), Liong-kun (Silat Naga) dan masih banyak lagi ilmu silat yang didasarkan pada gerakan-gerakan binatang. Para cerdik pandai dari biara Siauw-lim-si selama ratusan tahun memperhatikan semua gerakan binatang buas dengan tekun sekali.

Mereka melihat bahwa setiap binatang liar memiliki gerakan membela diri yang timbul secara naluri, akan tetapi justru karena naluri membela diri ini, di dalamnya tersembunyi gerakan-gerakan yang amat hebat, yang sesuai dengan kekuasaan alam yang telah memberi kepada masing-masing itu kemampuan untuk membela diri. Hal ini amat menarik hati para cerdik pandai itu dan mereka pun mencatat, mempelajari dan meniru gerakan-gerakan itu, bukan hanya gerakannya, melainkan cara bernapas saat bergerak, cara mengumpulkan tenaga ketika bergerak, maka terciptalah ilmu silat-ilmu silat yang berdasarkan gerakan-gerakan binatang liar itu. Dan karena para pendeta itu adalah orang-orang yang suka akan sastra dan seni, maka mereka pun tidak melupakan segi-segi keindahan dan kegagahan dari gerakan binatang-binatang itu, maka gerakan ilmu silat yang pada dasarnya mencontoh gerakan binatang itu memiliki sifat-sifat gagah yang indah sekali.

Demikianlah keadaan Siauw-lim-si pada waktu itu. Para pimpinan Siauw-lim-pai tak tahu sama sekali bahwa di antara pemuda yang diterima sebagai murid, terdapat beberapa orang kaki tangan pemerintah Mancu yang sengaja menyelundup dan menyusup dan diterima menjadi murid pula! Mereka ini ditugaskan untuk memata-matai semua gerakan Siauw-lim-pai dan dengan masuk menjadi murid, tentu saja mereka dapat mengetahui semua rahasia perkumpulan ini.

Pada suatu hari, ketika dua orang mata-mata ini, yang sebelum masuk menjadi murid Siauw-lim-pai tentu saja sudah memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, sedang memasuki gudang perpustakaan untuk melihat-lihat kitab-kitab Siauw-lim-pai, mereka kepergok oleh Hui San Hwesio, seorang di antara para pimpinan Siauw-lim-pai di waktu itu. Hui Sian Hwesio adalah seorang hwesio yang usianya empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, bersikap angker dan galak.

“Apa yang kalian lakukan di sini?!” bentak hwesio tinggi besar itu.

Dua orang pemuda itu amat terkejut. Seorang di antara mereka cepat menyembunyikan sebuah kitab kecil yang sedang dipegang dan diperiksanya. Akan tetapi, Hui Sian Hwesio dapat melihat itu dan cepat dia menghampiri, tangannya menyambar untuk merampas kitab.

“Dukkkk!”

Murid itu menangkis dan ketika kedua tangan itu bertemu, Hui Sian Hwesio terkejut bukan main. Lengan murid itu memiliki tenaga Iweekang yang amat kuat! Dia menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menyambar, sekali ini untuk menotok pundak sedangkan tangan kanannya kembali menyambar ke arah kitab yang dipegang oleh murid itu.

“Dukkk.... plakkk!”

Kembali murid itu menangkis dan sekali ini Hui Sian Hwesio yang tadi mengerahkan tenaga sepenuhnya maklum bahwa kekuatan murid ini tak kalah olehnya! Dia terheran-heran dan memandang dengan alis berkerut, lalu membentak marah.

“Siapa kalian sebenarnya? Apa yang kalian lakukan di sini?!”

Dua orang muda itu saling pandang dan saling memberi isyarat. Kemudian seorang di antara mereka, yang tidak membawa kitab, mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya. Benda itu adalah sebuah tanda bahwa dia, atau mereka berdua, adalah seorang yang memegang kekuasaan sebagai utusan Kaisar! Hui Sian Hwesio mengenal tanda ini dan dia terkejut bukan main.

“Kalian pengkhianat....!” bentaknya dan dengan kuat sekali dia menyerang.

Akan tetapi, orang yang memegang tanda kekuasaan itu menangkis dan dengan lihai sekali dua orang pemuda itu telah mengepungnya dari depan belakang, dengan gaya silat dari utara.

“Hui Sian Hwesio!” kata pemegang tanda kekuasaan itu, suaranya mengejek, “Mungkin engkau mati di tangan kami, atau kami berdua mati di sini, akan tetapi ingat, kami adalah utusan Kaisar dan gerak-gerik kami diikuti dari atas. Kalau kami tidak keluar lagi dari sini, kalau kami mati di sini, bagi kami adalah mati dalam melaksanakan tugas. Akan tetapi biara ini akan dibasmi oleh bala tentara Kaisar, dan kalian semua termasuk engkau, akan mati konyol!”

“Hui Sian Hwesio, kami tahu mengapa engkau menjadi hwesio,” sambung orang ke dua yang memeriksa kitab tadi. “Engkau masuk di sini karena patah hati. Engkau masih muda dan kami kira tidak sebodoh tua bangka-tua bangka yang keras hati itu, hendak melawan pemerintah. Kalau engkau suka membantu, Sri Baginda tentu akan suka mengangkatmu menjadi perwira tinggi.”

“Mungkin juga menjadi jenderal, mengingat akan kemampuanmu.”

Hui Sian Hwesio berdiri bengong. Memang tidak keliru, ia masuk menjadi hwesio karena wanita, karena patah hati. Kekasihnya menikah dengan orang lain dan karena duka, dia masuk menjadi hwesio Siauw-lim-si. Akan tetapi, ternyata kedudukan itu hanya berumur pendek saja dan sudah lama sekali dia menyesali dirinya mengapa dia masuk menjadi hwesio dan menyia-nyiakan diri sendiri. Kini, terbuka kesempatan baginya!

Dan memang dia pun tahu bahwa melawan pemerintah sama dengan membunuh diri. Dia sudah tidak setuju dan sering menentang keputusan suhu-nya, Ketua Siauw-lim-pai yang menerima murid-murid luar dan yang bergabung dengan kaum patriot penentang Kaisar itu. Kini, kesempatan baik terbuka. Mereka lalu berbisik-bisik dan mulai saat itulah Hui Sian Hwesio, seorang di antara kepercayaan-kepercayaan dan murid-murid terlihai dari Ketua Siauw-lim-pai, diam-diam menjadi pengkhianat dan menjadi kaki tangan Kaisar!

Hui Sian Hwesio mulai dengan usahanya membujuk murid-murid Siauw-lim-si untuk mengikuti jejaknya dan memang dia berhasil membujuk beberapa orang yang siap membantunya dan membantu pasukan pemerintah kalau saatnya tiba, yaitu membantu pasukan untuk membasmi Siauw-lim-si!

Sayang sekali bahwa kebanyakan para pendeta Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, yaitu Sang Ketua dan tokoh-tokoh lain di bawahnya, selain memiliki kepandaian silat tinggi, juga merupakan orang-orang yang terlalu sabar dan mengalah. Ada beberapa orang di antara mereka yang menaruh curiga terhadap Hui Sian Hwesio, namun mereka ini tidak mau bertindak lebih jauh lagi.

Mereka hanya diam-diam menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada beberapa orang murid Siauw-lim-pai yang mereka pilih dan sukai, menurunkannya secara diam-diam untuk dapat melawan orang-orang seperti Hui Sian Hwesio kelak, dan untuk dipakai membela Siauw-lim-pai. Ada pun mereka sendiri, mereka adalah orang-orang yang telah bersumpah untuk selamanya tidak akan mempergunakan kekerasan. Yang bersumpah seperti ini adalah sebagian besar, hampir semua tokoh-tokoh tingkat atas Siauw-lim-pai, termasuk ketuanya sendiri.

Demikianlah keadaan di Siauw-lim-si yang di sebelah dalamnya telah dihuni musuh-musuh dalam selimut. Dan dalam keadaan seperti itulah, pada suatu hari, seperti yang telah direncanakan oleh Hui Sian Hwesio dan kawan-kawannya, setelah pendeta ini keluar dari kuil pada suatu malam untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan para pimpinan pemerintah, pasukan pemerintah yang terdiri dari seribu orang itu datang untuk menyerbu Siauw-lim-pai! Dan pasukan inilah yang dilihat dan diam-diam diikuti oleh Pangeran Kian Liong dan Ci Sian.

Kali ini pasukan Kerajaan Mancu itu datang menyerbu dengan alasan bahwa pendeta Siauw-lim-pai telah menculik Pangeran Mahkota! Hal ini tentu saja merupakan fitnah, akan tetapi bukan fitnah yang tidak berdasar. Bukankah lenyapnya Pangeran Mahkota terjadi ketika beliau menjadi tamu kuil Hok-te-kong di Pao-ci? Dan bukankah kuil itu dipimpin oleh seorang hwesio murid Siauw-lim-pai? Tentu saja, kuil itu sendiri telah dibasmi, para hwesionya ditangkap dan dihukum mati sebagai pemberontak sebelum pasukan besar itu berangkat menyerbu Siauw-lim-pai pusat, dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal.

Ketika pasukan menyerbu, Hui Sian Hwesio sendiri yang membuka-bukakan pintu-pintu berlapis itu. Beberapa orang hwesio murid Siauw-lim-pai yang melihat ini terkejut dan tentu saja hendak menghalangi, akan tetapi dengan senjata tombak kapaknya, Hui Sian Hwesio membunuh empat orang murid itu! Mulailah Hui Sian Hwesio memperlihatkan mukanya yang sesungguhnya!

Seorang pendekar, yaitu murid Siauw-lim-pai bukan hwesio yang telah menerima latihan-latihan ilmu dari para pimpinan yang telah mempersiapkan mereka untuk membela Siauw-lim-pai, melihat ini cepat mengejar dan menyerang Hui Sian Hwesio, namun terlambat sudah. Pintu gerbang telah terbuka dan pasukan pemerintah, dikepalai Pangeran dan dua orang jenderal yang perkasa, telah menyerbu bagaikan gelombang samudera.

Terjadilah pertempuran yang amat hebat! Kurang lebih lima puluh orang murid-murid Siauw-lim-pai yang baru, terdiri dari pemuda-pemuda penuh semangat dan bagaikan harimau-harimau muda, ditambah lagi kurang lebih seratus orang murid Siauw-lim-pai yang menjadi hwesio, melakukan perlawanan mati-matian. Terjadilah pertempuran di semua bagian biara yang besar itu. Di depan, di ruangan tengah, di pekarang, di taman bunga, di ruangan dalam dan belakang.

Banjir darah terjadi di biara yang biasanya hanya menjadi tempat pemujaan bagi para biarawan itu. Darah para pendekar Siauw-lim-pai, para hwesio Siauw-lim-pai, dan juga sebagian besar darah pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai itu sungguh hebat. Biar pun jumlah mereka hanya kurang lebih seratus lima puluh orang yang menghadapi penyerbuan seribu orang tentara, namun mereka melakukan perlawanan gigih dan setiap murid Siauw-lim-pai baru roboh setelah menjatuhkan sedikitnya dua orang lawan! Hui Sian Hwesio sendiri juga mengamuk, dikeroyok oleh tiga orang murid baru dari Siauw-lim-pai. Juga Sang Pangeran yang memimpin penyerbuan, bersama dua orang jenderal, mengamuk bagaikan binatang-binatang buas.

Para murid Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan dengan cara berlari ke sana-sini, saling bantu dan main kucing-kucingan. Akan tetapi mereka merasa menyesal sekali dan gelisah melihat betapa Ketua Siauw-lim-pai bersama para pucuk pimpinan, sama sekali tidak mau ikut bertempur membela Siauw-lim-pai, melainkan berkumpul di ruang sembahyang, duduk bersila dan bersemedhi, menerima kematian dengan sikap tenang penuh damai! Kalau saja belasan orang pucuk pimpinan itu mau turun tangan, biar pun akhirnya kalah juga karena kalah jumlah, kiranya akan lebih banyak musuh dapat dihancurkan dan ditewaskan.

Pertempuran hebat itu terjadi dengan serunya, dan makan waktu hampir setengah hari. Melihat betapa murid-murid Siauw-lim-pai lebih banyak merobohkan anggota pasukan dengan cara kucing-kucingan di tempat yang tentu saja lebih mereka kenal itu, Sang Pangeran lalu memerintahkan pasukan panah untuk menghujankan panah api ke biara! Biara mulai terbakar! Karena setiap murid Siauw-lim-pai terlibat dalam perkelahian mati-matian, dan tidak ada seorang pun yang dapat melawan api, maka sebentar saja biara itu menjadi lautan api!

Melihat ini, para pendekar Siauw-lim-pai mengamuk nekad. Mereka itu memang hebat bukan main, merupakan pemuda-pemuda yang sudah berubah seperti menjadi naga-naga muda yang tidak takut mati dan pantang mundur. Akan tetapi, api yang membakar biara itu membuat mereka tidak dapat main kucing-kucingan lagi dan terpaksa mereka itu memusatkan tenaga di pekarangan depan di mana terjadi pertempuran terakhir yang amat dahsyat. Sang Pangeran dan dua orang jenderal yang memimpin pasukan, tewas pula di tangan para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa. Bahkan Hui Sian Hwesio sendiri akhirnya tewas setelah hwesio ini merobohkan sedikitnya lima orang murid gemblengan dari Siauw-lim-pai.

Akhirnya, melalui pertempuran yang merupakan pembantaian terhadap murid-murid Siauw-lim-pai, semua murid Siauw-lim-pai, kecuali delapan orang murid baru, telah tewas. Darah membanjir di mana-mana dan mungkin hanya api itu saja yang akan dapat mencuci bersih noda-noda darah sampai tak berbekas lagi. Andai kata tidak terjadi pembasmian dan kebakaran, tentu tempat itu tidak mungkin lagi dijadikan biara, setelah darah ratusan orang membanjiri tempat itu, setelah ratusan tubuh kehilangan nyawa di tempat itu. Sungguh mengerikan sekali dan juga menyedihkan betapa sebuah biara kini berubah menjadi seperti gambaran neraka!

Melihat penyerbuan itu, Pangeran Kian Liong yang berada di belakang pasukan, beberapa kali berusaha mencegahnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena para pimpinan pasukan telah menyerbu ke dalam. Para pasukan mana mungkin berhenti bergerak tanpa perintah dari atasan mereka. Dan Ci Sian memegangi lengan Pangeran itu dan mencegahnya untuk lari ke dalam karena hal itu tentu saja merupakan bahaya besar bagi keselamatan Sang Pangeran.

Di dalam terjadi perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Untuk dia sendiri, tentu saja Ci Sian dapat melindungi dirinya dari senjata-senjata dan pukulan-pukulan yang menyasar, akan tetapi bagaimana Sang Pangeran akan dapat menyelamatkan diri? Untuk melindungi Pangeran di antara pertempuran yang telah menjadi semacam peperangan kecil itu pun kiranya amat berbahaya dan sukar.

Maka Ci Sian mencegah Sang Pangeran untuk lari masuk sehingga Pangeran itu hanya dapat menonton sambil membanting-bantingkan kaki dan beberapa titik air mata mengalir turun di atas sepasang pipinya yang pucat. Ci Sian sendiri merasa ngeri sekali menyaksikan pembantaian itu. Makin terbuka matanya betapa buruk akibat dari pada kekerasan, dari pihak mana pun datangnya. Dara ini pun dapat memandang semua penderitaan itu dengan mata yang tidak berat sebelah. Ia melihat betapa tentara yang tewas secara menyedihkan itu pun adalah manusia-manusia biasa saja, sesungguhnya tiada bedanya antara mereka dan para pendekar Siauw-lim-pai.

Manusianya sama, penderitaan mereka pun sama. Dan dasar yang mendorong mereka sampai berbunuh-bunuhan itu pun sama, walau pun namanya saja mungkin berbeda. Para tentara itu pun menganggap kematian mereka sebagai pengorbanan perjuangan, atau setidaknya mereka mengabdi kepada pemerintah dan mereka itu merasa bahwa kematian di pihak mereka adalah kematian yang gagah perkasa, kematian seorang pahlawan, seorang tentara yang jantan!

Di lain pihak, para pendekar Siauw-lim pun memiliki dasar yang sama pula. Mereka itu menganggap diri mereka berkorban demi perjuangan, dan mereka mengabdi kepada suatu cita-cita, mengabdi kepada gambaran bahwa mereka berjuang untuk rakyat, untuk tanah air, menentang penjajah. Mereka menganggap bahwa pihak mereka mati sebagai pendekar-pendekar perkasa, seorang patriot sejati! Dan kedua pihak dengan dasar yang sama ini, sama-sama merasa benar, telah berbunuh-bunuhan dengan ganas dan garangnya! Betapa menyedihkan ini!

Dan yang lebih menyedihkan lagi, segerombolan manusia yang menjadi penggerak semua bunuh-membunuh ini, semua peperangan ini, mereka itu menggerakkan rakyat yang diperalat itu dari tempat yang paling aman, jauh sekali di belakang sana. Baik gerombolan manusia yang menjadi penggerak pihak penjajah mau pun yang dijajah, yang diserang atau yang menyerang, pendeknya pihak-pihak yang saling bermusuhan, mereka itu selalu mengatur pergerakan dari tempat aman.

Dengan berbagai cara rakyat telah dapat ditarik untuk menjadi prajurit, untuk menjadi pejuang, untuk menjadi patriot, untuk menjadi pahlawan dan banyak sebutan muluk lagi. Yang jelas, untuk menjadi alat atau senjata kelompok atau gerombolan itu. Dan kalau pergerakan itu menang, kelompok penggerak yang tadinya mengatur dari tempat aman dan jauh di belakang itu lalu muncul paling depan, dan menepuk dada dan mereka inilah yang akan menikmati buah dan hasil dari pada kemenangan itu, lupa lagi kepada rakyat yang menjadi alat mereka, yang biar pun keluar sebagai pemenang namun tetap saja mengalami luka-luka. Rakyat ini lalu dilupakan, atau hanya diberi sekedar pujian-pujian kosong.

Dan bagaimana kalau kalah? Gerombolan pengatur dari belakang itu akan lari lebih dulu menyelamatkan diri, membawa apa saja yang berharga untuk dibawa, meninggalkan rakyat yang mereka peralat itu menjadi sasaran pembantaian lawan! Hal ini terjadi sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, di bagian mana pun di dunia ini. Akan tetapi sungguh menyedihkan, sampai sekarang pun manusia masih belum mau membuka mata melihat kenyataan ini, karena mabok akan pujian, mabok akan kedudukan, mabok akan kekuasaan yang memang terdapat dalam semua itu. Apalagi selalu didengang-dengungkan sebutan-sebutan muluk dalam slogan-slogan kosong.

Tidak ada rakyat di dunia ini yang mau atau suka perang. Hanya orang gila dan tidak waras otaknya sajalah yang mau perang. Tidak pernah ada rakyat yang menganjurkan perang. Rakyat di seluruh dunia ingin hidup tenteram dan penuh damai. Akan tetapi, ada saja kelompok manusia yang haus akan kekuasaan, menyalah gunakan kesetiaan rakyat, membakar-bakar hati mereka, untuk mencapai ambisi-ambisi pribadi dalam batin mereka yang menamakan dirinya pemimpin-pemimpin rakyat, di seluruh dunia ini. Kapankah rakyat di seluruh dunia ini tidak ada kecualinya, membuka mata dan melihat kenyataan ini, tidak mau lagi dibodohi dengan segala slogan kosong, menolak perang? Betapa kita rindu akan keadaan dunia seperti itu
.

suling emas naga siluman jilid 23


Ketika pertempuran sudah mendekati akhirnya, ketika delapan orang pendekar yang menjadi sisa dari kurang lebih seratus lima puluh orang murid Siauw-lim-pai yang melawan itu masih melawan, sedangkan para pendeta yang bersemedhi di dalam menjadi makanan api yang berkobar, barulah Ci Sian membiarkan Pangeran dengan pengawalannya menerobos masuk ke dalam pekarangan luar itu. Delapan orang pendekar itu telah terkurung rapat dan agaknya betapa pun lihai mereka, namun mereka sudah amat lelah, dan tak lama lagi mereka ini pun tentu akan roboh mandi darah dan tewas.

“Berhenti! Hentikan pertempuran gila ini! Di sini Pangeran Mahkota Kian Liong yang bicara!” Pangeran itu berteriak sambil berdiri di tempat tinggi setelah dibawa oleh Ci Sian ke tempat itu.

Para prajurit dan perwira yang mengepung delapan orang pendekar itu berhenti menyerang dan melompat mundur, lalu menoleh. Mereka mengenal pemuda yang sederhana itu, lalu mereka memberi hormat. “Hidup Sang Pangeran!” mereka berseru.

Delapan orang pendekar itu pun berdiri memandang. Mereka semua tidak memakai baju, hanya bercelana panjang saja. Tubuh mereka berkilat oleh keringat dan darah, dan tubuh-tubuh itu membayangkan kekuatan luar biasa. Tubuh pemuda-pemuda yang tidak begitu besar, namun jelas membayangkan kekuatan yang membaja. Celana mereka pun penuh percikan darah dan lengan tangan serta senjata mereka berlepotan darah pula.

Sejenak Sang Pangeran memejamkan kedua matanya, penuh kengerian. Bahkan Ci Sian sendiri, seorang pendekar yang memiliki kesaktian, merasa ngeri. Belum pernah selamanya dia melihat pemandangan seperti ini, walau pun ia pernah menyaksikan peperangan di lereng Himalaya dahulu. Yang mendatangkan kengerian adalah melihat mayat para pendekar yang tewas dalam pengeroyokan yang berat sebelah ini. Dan suasana di situ panas sekali, panas oleh keadaan perkelahian dan panas oleh api yang bernyala-nyala membakar biara. Panas luar dalam.

“Aku, Pangeran Mahkota Kian Liong, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul dan mengundurkan diri dari kuil ini, dan membiarkan sisa orang Siauw-lim-pai untuk pergi dari sini tanpa diganggu!”

Mendengar perintah ini, para sisa pasukan itu tidak ada yang berani membantah. Apalagi mereka sendiri pun sudah merasa lelah, dan gentar melihat banyaknya teman mereka yang tewas, gentar menghadapi delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang amat tangguh itu, turun semangat mereka melihat betapa dua orang jenderal dan pangeran yang memimpin pasukan telah roboh dan tewas pula. Maka, mendengar perintah ini, mereka lalu mundur dan para perwira lalu mulai meneriakkan perintah-perintah, ada yang menolong teman yang terluka, ada yang merawat luka masing-masing.

Delapan orang pendekar Siauw-lim-pai itu sejenak memandang kepada Sang Pangeran dan dara yang menemaninya itu, pandang mata mereka tajam penuh kebencian, penuh permusuhan, penuh dendam, akan tetapi juga penuh pengertian bahwa Pangeran ini lain dari pada yang lain, dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah gagah, sedikit pun tidak menengok lagi kepada Sang Pangeran, apa pula menghaturkan terima kasih, biar mereka tahu benar bahwa Sang Pangeran baru saja menyelamatkan nyawa mereka.

“Uh, manusia tak tahu diri! Tidak mengenal budi!” Ci Sian marah-marah, mengepal tinju memandang kepada delapan orang pemuda gagah perkasa yang pergi itu.

Sang Pangeran tersenyum. “Hemm, tenanglah, Nona Bu. Apakah engkau tidak dapat membayangkan keadaan hati mereka? Baru saja terjadi pembantaian besar-besaran. Saudara-saudara mereka, ratusan jumlahnya, dibunuh, dibakar hidup-hidup dan juga Siauw-lim-pai yang merupakan perguruan mereka dibasmi, dibakar. Lalu, setelah tinggal delapan orang, aku menyelamatkan mereka. Apa artinya itu bagi mereka?”

“Tapi, bukan Paduka yang menyuruh dilakukannya pembantaian ini!”

“Apa bedanya bagi mereka? Yang melakukan pembantaian ialah pasukan pemerintah, dan aku adalah Pangeran Mahkota, calon kaisar, jadi pemerintah juga. Tentu saja mereka tidak berterima kasih, bahkan mungkin menganggap bahwa pengampunan atau penyelamatan ini sebagai suatu pukulan dan penghinaan bagi kehormatan mereka.”

“Aihh....!” Ci Sian terkejut sekali. “Dan Paduka sengaja menyelamatkan mereka, padahal Paduka tahu bahwa akan makin mendendam kepada Paduka?”

Pangeran itu menarik napas panjang. “Terserah. Yang penting, aku tidak bermaksud menghina mereka. Engkau tentu masih ingat ketika kukatakan kepada pemuda perkasa Kun-lun-pai itu bahwa aku tidak berdaya. Bukan kehendakku aku dilahirkan sebagai putera Kaisar dan kini menjadi pangeran mahkota. Hanya yang kutahu, aku akan berdaya sekuat tenagaku lahir batin untuk menjadi seorang manusia yang benar. Kalau toh tindakanku dinilai salah, terserah, akan tetapi yang penting, aku tahu bahwa apa yang kulakukan adalah benar dan bukan demi kepentinganku sendiri.”

Ci Sian mendengarkan dengan penuh takjub, lalu menarik napas panjang. “Pangeran, mendengar semua kata-kata Paduka tadi, saya menjadi semakin bingung dan makin merindukan Suheng, karena kiranya kalau Suheng berada di sini, Suheng akan dapat menerangkan dengan jelas tentang semua ini kepada saya.”

“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Sang Pangeran yang lalu menemui para perwira yang kini bertugas memimpin sisa pasukan itu untuk selain mengubur jenazah-jenazah para anggota pasukan, juga mengubur jenazah orang-orang Siauw-lim-pai sepantasnya.

“Ini merupakan perintah kami, kalau tidak dipenuhi sebagaimana mestinya akan kami hukum!” Demikian Sang Pageran menutup kata-katanya, diterima oleh para perwira itu dengan taat akan tetapi juga dengan terheran-heran.

Ci Sian melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Kian Liong, menuju ke kota raja. Kini pandangan Ci Sian terhadap Sang Pangeran semakin berubah. Ia seakan-akan melihat seorang yang sudah matang dalam segala hal, sudah jauh lebih matang dan lebih tua dari pada Kam Hong sekali pun. Padahal Pangeran ini masih amat muda! Dan hubungan antara mereka menjadi makin akrab.

Ketika mereka berhenti dan bermalam di sebuah dusun, sebelum memasuki kamar masing-masing, mereka bercakap-cakap di pekarangan belakang rumah penginapan kecil yang sepi tamu itu. Bulan sedang purnama dan enak sekali duduk di ruangan belakang itu, di mana terdapat banyak pohon bunga mawar yang semerbak harum.

Melihat bunga-bunga, pohon-pohon yang bermandikan cahaya bulan purnama, Sang Pangeran terpesona. Kemudian, setelah menarik napas panjang berulang kali, dia berkata, suaranya halus, “Nona Bu, pernahkah engkau melihat keindahan seperti ini selama hidupmu?”

Ci Sian terheran mendengar ini. Ia memandang kepada pohon-pohon dan bunga-bunga di bawah cahaya bulan purnama yang mengandung sinar kuning dan biru itu, lalu mengangguk, melihat pula ke atas, ke arah bulan purnama yang nampaknya melayang-layang di antara awan-awan tipis bagaikan wajah puteri jelita yang kadang-kadang bersembunyi di balik tirai sutera putih.

“Tentu saja, Pangeran. Sudah sering sekali!”

“Benarkah itu? Ataukah engkau hanya memandang gambaran saja tentang bulan purnama dan segala keindahannya? Coba pandanglah lagi, Nona, dan pandang tanpa adanya gambaran tentang bulan purnama yang menjadi tirai penghalang bagi kedua matamu. Pandanglah tanpa kenangan pengalaman lalu.”

Ci Sian tersenyum dan merasa heran, akan tetapi ia mentaati permintaan ini dan ia mulai memandang bulan, awan, pohon-pohon dan bunga-bunga, memandang semua itu dengan mata terbuka, seperti memandang sesuatu yang baru, tanpa membanding-bandingkan dengan keadaan bulan purnama yang lalu dan sudah pernah dilihatnya. Pandangannya tanpa menilai, tanpa membandingkan dan.... sejenak terjadi keharuan yang luar biasa, sukar dia mengatakan apakah itu. Ada SESUATU yang ajaib.... yang membawanya bagaikan hanyut dan tertelan ke dalam keindahan itu, keindahan baru, keadaan baru.... bahkan keheningan itu menghanyutkan, menelannya.... akhirnya ia sadar dan semua itu pun lenyap lagi, mendatangkan rasa aneh seperti rasa ngeri yang membuat bulu tengkuknya meremang.

“Aihhh.... Pangeran....,” keluhnya.

“Ehhh? Apa yang kau lihat? Apa yang kau rasakan?”

“Saya.... saya.... merasa seolah-olah dijatuhkan dari tempat yang amat tinggi, seolah-olah saya melayang jatuh dari bulan itu.... melalui sinar-sinarnya.... ihh, mentakjubkan, indah dan mengerikan!”

Sang Pangeran tersenyum, “Mengapa harus takut menghadapi semua kebesaran dan keindahan ini, Nona? Mengapa takut menghadapi kesendirian dan persatuan dengan segala sesuatu? Tanpa melepaskan diri, tanpa berkeadaan sendirian mana mungkin dapat bersatu dengan segala-galanya?” Ucapan Pangeran itu makin membingungkan, sama sekali tidak dimengerti oleh Ci Sian. Dan dalam kesempatan ini, timbullah ingatan Ci Sian untuk bertanya tentang hal-hal yang selama ini membuatnya ragu-ragu dan bingung mencari jawabnya.

“Pangeran, maukah Paduka menerangkan kepada saya tentang apa artinya bahagia itu?”

Sang Pangeran nampak terkejut dan memandang kepada dara itu dengan sinar mata tajam. Lalu dia tersenyum. “Bahagia? Apakah bahagia itu? Ha-ha, engkau menanyakan sesuatu yang ribuan tahun menjadi bahan penyelidikan kaum cendekiawan dan yang hingga kini hanya ada pendapat-pendapat yang bersimpang-siur dan kadang-kadang berlawanan, Nona.”

Kemudian Pangeran itu menengadah, memandang bulan purnama yang tersenyum di balik tirai sutera putih, mengembangkan kedua lengannya dan bernyanyi lirih.

Kebahagiaan....
semua manusia merindukan!
siapakah gerangan Anda?
di mana gerangan Anda?

Seakan tampak dalam cahaya bulan
tersenyum di antara kelopak mawar
rupawan menyelinap di antara bayang-bayang
beterbangan di antara hembusan angin.

Kuraih dan kupeluk mesra hanya untuk sadar
kecewa bahwa semua itu
hanya bayangan hampa
dan sama sekali bukan Anda!

Seperti nampak Anda menggapai
menunggang cahaya matahari pagi
seperti nampak Anda mengintai
di balik senyum kekasih jelita
di antara gelak tawa sahabat
di dalam sorak-sorai kanak-kanak!


Sunyi sekali setelah Sang Pangeran menyanyikan sajak itu. Sunyi di luar, dan sunyi di dalam batin Ci Sian. Nyanyian Pangeran itu terasa menyentuh hatinya, dan ia melihat kebenaran di dalamnya. Memang demikianlah. Semua manusia, juga ia sendiri, rindu akan kebahagiaan, tetapi, tidak pernah mau menyelidiki, apakah gerangan kebahagiaan itu? Dan di manakah adanya? Manusia mencari-cari kebahagiaan, melalui segala hal yang disangkanya menyembunyikan bahagia. Mencari ke dalam harta, kedudukan dan segala hal. Namun, tidak pernah ada yang menemukan bahagia pada akhir pencarian itu!

“Ah, Pangeran. Sajak Paduka memang indah, akan tetapi itu belum dapat menjawab pertanyaan saya. Itu hanya menggambarkan keadaan kita yang mencari-cari tanpa tahu siapa dan di mana yang kita cari,” kata Ci Sian.

“Nah, itulah jawabannya, Nona. Tidak mengertikah, Nona? Itulah justru jawabannya yang tepat! Kita mencari-cari sesuatu tanpa kita ketahui siapa dan di mana yang kita cari-cari itu! Mungkinkah ini? Siapakah yang pernah mengenal bahagia? Yang kita kenal bukan kebahagiaan melainkan kesenangan. Dan kesenangan itu hanya selewat saja, seperti angin lalu. Kita tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin kita hendak mencarinya?”

“Habis, bagaimana orang yang berbahagia itu, Pangeran?”

“Berbahagialah orang yang sudah tidak mencari kebahagiaan lagi! Berbahagialah orang yang sudah tidak membutuhkan kebahagiaan lagi!”

“Mana mungkin? Karena hidup ini banyak sengsara maka kita rindu dan mencari kebahagiaan!”

“Nona Bu, dalam keadaan batin sengsara, mana mungkin berbahagia? Dalam keadaan tidak berbahagia, maka kita butuh kebahagiaan. Kita mengejar-ngejar bahagia seperti mengejar bayangan sendiri. Mana mungkin memisahkan bayangan dari diri kita? Mana mungkin mengejar dan mencari sesuatu yang tidak kita kenal? Yang penting adalah menyelidiki. Mengapa batin kita sengara, Mengapa kita tidak berbahagia! Itulah penyakitnya yang harus disembuhkan! Kalau sudah sembuh, yaitu kalau kita tidak sengsara lagi, perlukah kita mencari kebahagiaan lagi? Camkan ini baik-baik, Nona. Kebahagiaan tidak ada karena kita kecewa, karena kita sengsara, karena kita marah, benci, dendam, iri, takut. Kalau semua itu sudah lenyap, nah, barulah kita bisa bicara tentang kebahagiaan. Mengertikah engkau, Nona Bu?”

Ci Sian mengangguk akan tetapi ia belum mengerti! “Jadi, apakah kebahagiaan itu sesungguhnya?”

Sang Pangeran menarik napas panjang, maklum bahwa nona itu belum mengerti. Akan tetapi dia pun tidak mendesak lagi. Tidak mungkin memaksakan pengertian kepada seseorang. “Apakah kebahagiaan itu sesungguhnya? Sayang, saya sendiri pun tidak tahu, Nona Bu.”

“Kalau begitu, harap Paduka terangkan kepada saya, apa yang dimaksudkan dengan cinta itu, Pangeran.”

Pangeran muda itu tiba-tiba tertawa dan wajah Ci Sian berubah merah sekali. Kemudian Sang Pangeran menarik napas panjang. “Memang, suasana malam ini demikian indah dan romantis, maka tidak mengherankan kalau dalam hatimu timbul pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan dan cinta kasih. Pertanyaanmu tentang cinta kasih itu menyentuh suatu rahasia yang hampir tiada bedanya dengan kebahagiaan, Nona. Ngomong-ngomong, apakah engkau pernah mengenal apa yang dinamakan cinta kasih itu, Nona?”

“Mana aku tahu, Pangeran? Arti dari kata itu sendiri pun aku belum tahu, lalu bagai mana aku bisa tahu bahwa itu adalah cinta kasih jika sekali waktu aku merasakannya?”

“Itu adalah jawaban yang jujur dari orang yang masih polos batinnya, mengagumkan sekali! Kata cinta kasih telah banyak diartikan orang sehingga merupakan sebuah kata yang sarat dengan arti yang bermacam-macam. Seperti juga dengan kebahagiaan, kalau aku ditanya apa artinya cinta kasih, maka jawabku adalah tidak tahu. Akan tetapi, mengenai arti seperti yang dianggap orang melalui bermacam pendapat, tentu saja aku mengetahuinya. Nah, sekarang dengarkanlah nyanyian ini, Nona Bu.” Seperti juga tadi, Sang Pangeran memandang ke arah bulan purnama dan mulailah dia bernyanyi.

Cinta,
kata keramat penuh rahasia
bahan renungan para seniman dan pujangga.
Antara anak dan orang tua ada kebaktian
antara warga dan negara ada kesetiaan
antara pria dan wanita ada kemesraan
antara manusia dan Tuhannya ada penyembahan.
Itukah cinta?

Namun,
semua itu mengandung keinginan
menguasai, memiliki, menikmati,
keselamatan, kebahagiaan, kepuasan,
sekali gagal yang diinginkan
timbullah kedurhakaan, pengkhianatan, kebencian dan kemuraman!
Itukah cinta?


Seperti juga tadi, hening sekali setelah Sang Pangeran menghentikan nyanyiannya. Suara belalang dan jengkerik tidak mengganggu keheningan karena suara itu tercakup ke dalam keheningan yang menyeluruh itu. Keheningan ini timbul dalam batin yang tidak menemukan jawaban, karena tidak dapat memikirkan apa-apa lagi, maka untuk beberapa saat lamanya batin menjadi kosong dan hening.

“Wah, jika begitu, apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih, Pangeran?” Akhirnya Ci Sian bertanya.

Akan tetapi Sang Pangeran hanya menggeleng kepala saja sambil tersenyum. “Aku pun tidak tahu, Nona Bu.”

Nyanyian Pangeran Kian Liong itu memberi bahan kepada kita untuk merenungkan dan menyelidiki apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih. Kita sudah terlalu mengobral arti pada kata itu, akan tetapi benarkah apa yang kita artikan terhadap cinta kasih itu?

Begitu mudahnya mulut kita mengobral kata cinta. Sebagai anak kita mengaku cinta kepada orang tua. Sebagai orang tua kita mengaku cinta kepada anak. Cintakah kita kepada orang tua kita kalau kita hanya ingin disenangkan saja, dituruti kehendak kita saja oleh orang tua, kemudian sekali waktu orang tua tidak bisa atau tidak mau menuruti, kita lalu berbalik marah dan membencinya? Cintakah kita kepada anak kita kalau kita ingin anak menyenangkan hati kita saja, menurut dan patuh, mendatangkan kebanggaan, kemudian jika sekali waktu si anak tidak menurut dan tak menyenangkan hati kita, lalu kita marah dan membencinya? Begitukah yang dinamakan cinta?

Sebagai seorang suami dan isteri kita mengaku dengan mulut saling mencinta. Akan tetapi, suami dan isteri ingin saling menguasai, saling mengikat, dan saling dilayani, disenangkan, yang kita sebut cinta antara suami isteri sungguh mengandung syarat dan ikatan sekotak banyaknya. Sekali saja syarat dan ikatan itu dilanggar, sekali saja suami atau isteri tidak mau melayani, tidak menyenangkan, mengerling dan senyum kepada orang lain, maka yang kita sebut-sebut cinta dengan mulut itu pun akan berubah bentuk menjadi cemburu dan marah dan kebencian! Begitukah yang dinamakan cinta kasih?

Kita dengan mudah saja, dengan mulut mau pun dengan pikiran, mengatakan dan mengaku bahwa kita mencinta tanah air, bahwa kita mencinta sahabat, bahwa kita mencinta Tuhan! Akan tetapi, kalau kita mau jujur, mau membuka mata dan menjenguk isi hati kita, akan nampaklah dengan jelas bahwa cinta kita itu semua berpamrih! Kita mencinta karena kita ingin memperoleh sesuatu, kita mencinta karena kita ingin senang, baik kesenangan itu kita dapat dari tanah air, dari sahabat, ataukah dari Tuhan. Dan kalau keinginan itu tidak kita peroleh, maka cinta kita itu pun lenyap tak berbekas lagi. Begitukah yang dinamakan cinta?”

Kalau kita mau menyelidiki lalu mengerti benar, bukan mengerti setelah membaca ini melainkan mengerti setelah menyelidiki sendiri, mengerti dengan penuh kewaspadaan bahwa yang begitu itu semua bukanlah cinta, maka kita harus berani menanggalkan semua cinta palsu itu! Setelah kita bersih dari pada semua yang bukan cinta itu, nah, barulah kita boleh bertindak lebih jauh lagi, yaitu menyelidiki apakah sesungguhnya cinta kasih itu!

Bumi terbentang luas. Betapa indahnya! Sinar matahari di pagi hari, kabut dan embun, kesegaran, tanaman-tanaman, pohon-pohon, bunga-bunga, buah-buah, gunung dan jurang, sawah ladang, lembah, sungai, awan, matahari tenggelam, bintang selangit, bulan cemerlang.... takkan ada habisnya kalau disebut satu demi satu. Semua begitu indah...., keindahan untuk siapa saja yang mau menerima, bukan pemberian yang minta imbalan.... tanpa pamrih.... sinar matahari yang menghidupkan, untuk siapa saja dari jembel sampai raja.... keharuman bunga yang semerbak untuk siapa saja yang mau menciumnya, dari si bodoh sampai si cendekiawan, air, hawa udara.... semua.... semua ini.... ah, tidak dapatkah kita membuka mata dengan waspada? Begitu terangnya sinar cinta kasih....! Bukan dari siapa untuk siapa. Bukan dari aku untuk kamu, bukan dari dia untuk dia. Di mana ada ‘aku’, cinta kasih pun tiada!


Pada keesokan harinya, setelah mengalami malam bulan purnama indah penuh rahasia itu, setelah bersama Pangeran Mahkota menelusuri ikan-ikan hidup dan menyentuh dengan hati-hati tentang kebahagiaan dan cinta kasih, Ci Sian dan Pangeran Kian Liong melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja.

Ketika mereka menuruni sebuah bukit di pagi hari, menghadap matahari yang muncul karena jalan itu menuju ke timur sehingga nampak pemandangan yang amat indah, bukan hanya di bumi melainkan juga di langit yang penuh dengan warna jingga, biru, kuning dan bermacam warna lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya tiga orang.

Ci Sian mengerutkan alisnya dan cepat mengeluarkan sulingnya. Jantungnya berdebar tegang karena ia mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok! Tiga orang yang terlihai dari Im-kan Ngo-ok, dan dari sinar mata mereka, tiga orang ini mengandung dendam kebencian yang hebat kepada Ci Sian karena dara inilah yang telah membunuh Su-ok dan Ngo-ok bersama pemuda Kun-lun-pai itu.

Biar pun tiga orang datuk sesat itu telah melarikan diri, akan tetapi dendam membuat mereka tak jauh meninggalkan Ci Sian dan Sang Pangeran. Setelah mengubur jenazah kedua orang adik mereka dengan hati penuh dendam, diam-diam mereka kemudian membayangi Sang Pangeran. Mereka tidak berani sembarangan turun tangan karena Pangeran dilindungi oleh dara perkasa itu. Akan tetapi mereka menanti saat baik.

Setelah melihat Ci Sian dan Sang Pangeran tiba di tempat sunyi ini, mereka lalu keluar menghadang. Mereka bertiga maklum bahwa dara itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, tetapi mereka tidak takut dan merasa yakin akan dapat mengalahkannya dengan pengeroyokan, dan terutama sekali, Sang Pangeran berada di situ. Maka apa sukarnya bagi mereka untuk menundukkan wanita itu? Tangkap saja Sang Pangeran terlebih dulu, maka akan mudah membuat wanita itu tidak berdaya, pikir mereka.

Tetapi, ketiga manusia iblis itu terlalu memandang rendah kepada Ci Sian. Dara yang masih muda ini memiliki ketahanan hebat dan juga kecerdasan yang mengagumkan. Ia pun maklum bahwa melawan tiga orang datuk itu bukanlah hal yang ringan, apalagi jika di sana terdapat Sang Pangeran yang harus dilindunginya. Maka, cepat dia mengajak Sang Pangeran turun dari atas punggung kuda mereka, lalu tanpa mempedulikan dua ekor kuda itu, Ci Sian sudah menggandeng tangan Sang Pangeran dan mengajaknya lari ke sebuah dinding bukit yang merupakan dinding tinggi.

“Paduka cepat berlindung di balik dinding itu!” kata Ci Sian.

Pangeran Kian Liong makin kagum kepada Ci Sian dan tanpa banyak cakap dia pun menurut. Dia cepat lari ke dinding itu dan Ci Sian lalu berdiri menghadang di depannya, melindungi Pangeran sambil melintangkan suling emasnya di depan dada. Dengan adanya dinding bukit itu di belakang Pangeran, ia dapat lebih mudah melindungi Sang Pangeran terhadap serangan dari depan, tidak perlu khawatir kalau-kalau Pangeran itu dilarikan orang dari belakang.

Tiga orang datuk itu kini sudah berdiri di depannya. “Iblis cilik, sekarang tiba saatnya engkau akan mampus di tangan kami dan menebus dosa yang kau lakukan ketika kau membunuh Su-ok dan Ngo-ok,” kata Ji-ok dengan suara mengandung kemarahan.

“Hemm, mereka berdua tewas karena kejahatan mereka, dan agaknya kalian bertiga pun tak lama lagi akan menyusul mereka. Iblis-iblis tua macam kalian ini kalau tidak cepat disingkirkan ke neraka, di dunia hanya akan mendatangkan mala petaka bagi manusia lain saja!” kata Ci Sian sambil menggerakkan sulingnya.

Ia sengaja mengerahkan khikang-nya dan suling itu mengeluarkan suara melengking seperti ditiup saja. Pada saat itu, tingkat khikang Ci Sian sudah mencapai tempat tinggi sekali karena ia memperoleh latihan Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang dari Pendekar Siluman Kecil. Maka, biar pun sesungguhnya ia belum mencapai tingkat untuk dapat membunyikan sulingnya tanpa ditiup seperti yang dapat dilakukan suheng-nya, Kam Hong, ketika bersama suheng-nya mempelajari Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas), namun berkat latihan tenaga sinkang yang luar biasa dari Pulau Es, ia dapat memperoleh kemajuan sedemikian pesatnya sehingga kini ia mampu juga melakukan hal luar biasa itu.

Tiga orang datuk itu kagum bukan main. Mereka tahu bahwa untuk bisa menggerakkan suling sampai mengeluarkan suara seperti ditiup, dengan nada naik turun, sungguh bukan hal mudah. Tanpa khikang dan sinkang tingkat tinggi jangan harap akan dapat melakukan hal itu. Toa-ok Su Lo Ti sekali ini tidak mau kepalang tanggung. Mereka bertiga harus mampu merobohkan gadis ini kemudian merampas Putera Mahkota untuk menebus kekalahan-kekalahan mereka yang berturut-turut terhadap para pendekar sakti.

“Ji-moi dan kau Sam-te, kalian tahan gadis ini dan aku akan menangkap Pangeran!” kata orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.

Ucapan itu saja sudah meyakinkan hati Ci Sian bahwa munculnya tiga orang datuk sesat ini bukan semata-mata untuk membalas kematian Su-ok dan Ngo-ok, melainkan juga untuk menangkap Sang Pangeran.

Mungkin ini merupakan tujuan utama mereka dan ia pun merasa agak lapang dadanya. Betapa pun juga, kalau tiga orang datuk sesat ini ingin menangkap Sang Pangeran, hal itu berarti bahwa Sang Pangeran tak akan dibunuh, tetapi ditangkap untuk kepentingan lain yang tentu saja akan menguntungkan tiga orang datuk sesat itu.

Hal ini menguntungkan dirinya, karena kalau tiga orang itu berusaha membunuh Sang Pangeran, tentu saja amat sukar baginya untuk melindunginya. Serangan jarak jauh saja tentu akan mampu membinasakan Pangeran itu. Akan tetapi ia membentak sambil memutar sulingnya lebih keras lagi sehingga suara lengkingan nyaring terdengar makin meninggi.

“Hemm, maut sudah menanti kalian, masih banyak lagak!” Dara itu menerjang ke depan dan langsung ia menyerang Toa-ok.

Sulingnya berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking nyaring. Toa-ok tentu saja maklum akan kedahsyatan serangan ini, maka dia pun cepat mengelak. Namun, sebelum dia sempat membalas, atau sempat menjauhkan diri untuk menangkap Sang Pangeran, dara itu sudah memburu dan mendesaknya terus sehingga tubuh kakek ini telah terkurung oleh gulungan sinar emas!

Memang Ci Sian seorang dara yang cerdas. Ia tahu bahwa kalau ia sudah terkurung oleh Ji-ok dan Sam-ok, akan sukarlah baginya untuk menghalangi datuk pertama ini yang hendak menangkap Pangeran. Karena itu, begitu menyerang ia sudah mendesak Toa-ok!

Melihat betapa Toa-ok sudah terkurung gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara yang melengking-lengking itu, Ji-ok dan Sam-ok segera menerjang maju dan mengeroyok. Akan tetapi Ci Sian tidak menjadi gentar. Sinar sulingnya makin panjang dan tebal, membuat gulungan besar yang menyambar-nyambar dan seolah-olah membelit tiga orang lawannya. Akan tetapi tetap saja yang menjadi sasaran utama serangan sulingnya adalah Toa-ok.

Siasat Ci Sian ini memang berhasil baik. Toa-ok menjadi bingung karena dia sama sekali tidak mampu keluar dari kurungan sinar emas itu, betapa pun dicobanya. Selalu jalan keluarnya tertutup oleh serangan yang amat hebat dan biar pun Toa-ok telah memiliki sinkang amat kuat yang dapat membuat tubuhnya kebal, namun menghadapi serangan suling ini dia sama sekali tidak berani mengandalkan kekebalannya. Dia telah cukup mengenal keampuhan suling itu dalam pertempuran pertama menghadapi dara yang lihai ini. Sedangkan Ji-ok dan Sam-ok yang telah diberi tugas untuk mengeroyok Ci Sian, kini mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk mengeroyok dara itu tanpa sedikit pun peduli kepada Sang Pangeran. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Ci Sian tidak perlu khawatir bahwa Pangeran akan dilarikan musuh.

Betapa pun juga, tiga orang lawan yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi sekali. Mereka bertiga itu masing-masing memiliki ilmu yang luar biasa. Toa-ok yang merupakan tokoh pertama itu memiliki kedua lengan yang selain penuh dengan tenaga sinkang amat kuatnya, juga dapat mulur memanjang sampai dua meter, dan gerak-geriknya juga amat aneh. Bahkan kedua lengan kakek yang seperti lengan gorila penuh bulu ini berani menangkis melawan suling emas tanpa terluka. Kalau saja senjata di tangan Ci Sian itu tidak sehebat itu, mengeluarkan sinar gemilang dan mengandung getaran suara dahsyat, agaknya akan sukarlah bagi dara itu untuk melindungi dirinya dari ancaman kedua tangan Toa-ok.

Ada pun Ji-ok, wanita bertopeng tengkorak itu, memlliki Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang). Jari jarinya yang berkuku panjang itu mengeluarkan hawa pukulan yang tajam dan berhawa dingin. Jangankan sampai jari tangan itu mengenai kulit lawan, baru hawa pukulannya saja sudah dapat melukai tubuh lawan. Untung bahwa Ci Sian telah digembleng oleh Suma Kian Bu, mempelajari sinkang dari Pulau Es sehingga sama sekali ia tidak repot menghadapi Kiam-ci yang berhawa dingin itu.

Sedangkan orang ke tiga yang mengeroyoknya, Sam-ok biar pun tingkat kepandaiannya tidak melebihi Ji-ok, namun kakek ini amat licik, cerdik dan banyak akal. Juga ilmu silatnya Thian-te Hong-i (Angin Hujan Bumi Langit) amat luar biasa, membuat tubuhnya seperti gasing berputaran dan dari putaran itu kadang-kadang mencuat pukulan-pukulan maut.

Ci Sian harus menghadapi serangan tiga orang yang sifatnya berbeda-beda ini, namun kesemuanya amat berbahaya. Memang harus diakui bahwa dara itu telah mewarisi suatu ilmu yang dalam jenisnya tiada keduanya di dunia. Ilmu Pedang Suling Emas asli yang mengandung semua segi kekuatan ilmu silat yang dahsyat, juga dibantu dengan tenaga khikang yang dilatihnya bersama Kam Hong. Semua ini ditambah lagi dengan ilmu sinkang yang diterimanya dari Suma Kian Bu membuat ia menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari tandingannya.

Akan tetapi, betapa pun juga, Ci Sian hanyalah seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun lebih, masih muda remaja dan pengalamannya dalam hal mengadu ilmu silat, dibandingkan dengan tiga orang lawannya, tentu saja kalah jauh sekali. Maka, ketika tiga orang pengeroyoknya itu mulai memperlebar jarak, Ci Sian menjadi repot sekali. Ia harus pontang-panting ke sana-sini, melalui jarak yang agak lebar itu, untuk mencegah mereka agar jangan sampai salah seorang di antara mereka menggunakan kesempatan untuk menculik Sang Pangeran.

Dan karena itu, mulailah Ci Sian merasa kewalahan. Ia tak mungkin dapat mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk dipusatkan menyerang kepada seorang lawan saja karena dua orang lawan lainnya selalu akan mencegahnya dan terpaksa ia harus membagi-bagi serangannya itu. Hal ini tentu saja membuat serangannya menjadi kurang kuat dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan. Kalau hanya bertanding satu lawan satu, ia merasa yakin akan dapat merobohkan lawan dalam waktu yang tidak lama. Sayang keadaan tidak menguntungkan dan ia mulai terhimpit.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan tinggi dari jauh. Suara itu makin lama makin keras dan nadanya naik turun seperti mengimbangi lengkingan suara yang keluar dari suling di tangan Ci Sian.

“Suheng....” Seruan ini hanya keluar dari hati Ci Sian, akan tetapi hampir saja ia celaka.

Mendengar lengking suara suling itu, hatinya dipenuhi perasaan yang mengguncangkan batinnya. Ada rasa gembira, girang, terharu bercampur-aduk menjadi satu, membuat gerakan sulingnya menjadi kacau dan ketika itu, pukulan Kiam-ci yang dilakukan Ji-ok menuju ke arah lehernya! Untunglah pada detik terakhir Ci Sian dapat mencurahkan perhatiannya lagi, menjadi waspada dan cepat ia miringkan tubuhnya.

“Bretttt!” Ujung leher bajunya terobek.

Ci Sian terkejut dan maklum bahwa menghadapi pengeroyokan tiga orang ini ia sama sekali tidak boleh lengah, maka ia pun kembali mencurahkan perhatiannya. Sementara itu, suara melengking dari jauh itu makin lama semakin nyaring dan akhirnya tiga orang pengeroyok Ci Sian itu menjadi kacau gerakan-gerakannya. Kiranya suara melengking-lengking itu merupakan suara yang nengandung daya serang luar biasa terhadap batin mereka! Tiga orang itu merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk oleh suara itu, jantung mereka ditarik-tarik dan sukar sekali bagi mereka untuk dapat mengumpulkan perhatian.

Ci Sian maklum siapa yang telah membantunya. Suara suling itu tidak meragukan lagi. Maka timbullah semangatnya dan membayangkan betapa ia kini dapat bertemu dengan suheng-nya, mendatangkan kegembiraan demikian besarnya bercampur keharuan yang mendalam sehingga ketika dia menggerakkan sulingnya dengan kekuatan yang lebih besar karena timbul semangatnya, kedua matanya basah dan di atas kedua pipinya nampak air mata, akan tetapi gerakan sulingnya semakin hebat sehingga berturut-turut ia dapat menotok pundak Sam-ok dan paha Ji-ok!

Dua orang datuk itu terkejut dan juga terheran-heran bagaimana kini dara ini bertambah lihai. Juga mereka bingung oleh suara melengking itu yang tanpa mereka sadari telah banyak mengurangi kelihaian gerakan mereka yang menjadi kacau.

Toa-ok maklum bahwa dara itu dibantu oleh orang pandai, apalagi kakek ini melihat betapa ada bayangan beberapa orang berkelebatan disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran, maka dia pun lalu mengeluarkan suara bersuit nyaring dan tiga orang datuk itu kemudian melompat jauh dan melarikan diri. Ci Sian tidak mengejar, bahkan tidak mempedulikan mereka lagi. Ia menyimpan sulingnya, lalu menoleh ke kiri.

“Suheng....!” serunya memanggil karena tadi datangnya suara suling melengking itu dari kiri. Dan muncullah Kam Hong!

Mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak kurang lebih sepuluh meter. Sejenak mereka hanya saling pandang saja dan air mata menetes turun membasahi pipi Ci Sian semakin deras.

“Sumoi....!”

“Suheng....!”

Ci Sian lari dan Kam Hong juga melangkah maju, kedua lengan mereka berkembang.

“Suheng.... ahhh, Suheng....!”

Mereka saling tubruk dan saling peluk. Ci Sian menangis terisak-isak ketika didekap oleh kedua lengan itu. Terasa benar oleh mereka berdua betapa amat rindu hati mereka terhadap diri masing-masing. Terasa benar oleh mereka betapa pertemuan ini seperti tetesan air jernih kepada tanah kering merekah yang kehausan akan cinta kasih, yang penuh kerinduan. Terasa benar oleh mereka bahwa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Terasa dalam dekapan itu.

“Suheng...., Suheng...., kenapa kau tinggalkan aku begini lama....?” Ci Sian mengeluh dengan suara diselingi isak tangisnya.

“Sumoi, kau maafkan aku....”

Keduanya tak bicara lagi. Apa perlunya bicara? Getaran yang keluar dari seluruh tubuh mereka sudah mengucapkan beribu-ribu kata yang dapat dimengerti dengan jelas oleh masing-masing. Mereka saling mencinta. Mereka merasa sengsara jika saling berpisah. Mereka berbahagia kalau saling berdekatan. Cukuplah ini.

“Suheng...., berjanjilah, engkau takkan meninggalkan aku lagi.... selamanya....,” Ci Sian berbisik, merasa betapa tangan suheng-nya mengelus rambut kepalanya sehingga ia memperketat dekapannya, seolah-olah ia ingin menyatukan dirinya dengan suheng-nya agar tidak sampai saling terpisah lagi.

“Tidak, Sumoi, tidak lagi....”

Ci Sian mengangkat muka. Mereka saling berpandangan, penuh rindu. Kasih sayang terbayang jelas di mata mereka. Melihat muka yang basah itu, ingin sekali Kam Hong menunduk untuk mencium, untuk menghisap air mata yang membasahi muka itu. Akan tetapi pendekar ini menahan hasrat hatinya dan hanya menggunakan jari-jari tangan untuk mengusap air mata itu, jari-jari tangannya gemetar dan hatinya terharu sekali.

Sudah lama ia sengaja menjauhkan diri dari sumoi-nya ini, karena kesadarannya tidak mau menerima kalau dia telah jatuh cinta kepada sumoi-nya yang sepatutnya menjadi keponakannya ini. Akan tetapi, sekarang dia tahu benar bahwa dia sungguh sangat mencinta dara ini! Padahal, Ci Sian baru berusia delapan belas tahun, dan dia.... sudah tiga puluh satu tahun! Ahhh, ini tidak boleh terjadi, pikirnya dan dengan halus dia lalu melepaskan rangkulannya.

“Sumoi, bagaimanakah engkau bisa berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang Im-kan Ngo-ok itu?”

“Karena mereka itu hendak membalas dendam atas kematian Su-ok dan Ngo-ok.”

“Ahhh, engkau telah membunuh dua orang manusia iblis itu?”

“Ya, bersama dengan seorang pendekar dari Kun-lun-pai. Dan selain itu, mereka juga hendak menangkap Pangeran.... ehhh, mana dia....?” Ci Sian baru sekarang teringat kepada Pangeran itu dan menengok, melepaskan dekapannya dan kelihatan bingung melihat betapa tempat itu sunyi dan tidak nampak Sang Pangeran di situ.

“Siapa yang kau cari?”

“Pangeran Mahkota! Dia tadi di sana, di dekat dinding gunung itu.... ah, ke mana dia?” Ci Sian lalu berteriak memanggil Pangeran Kian Liong. Akan tetapi tidak terdengar jawaban.

“Ketika aku tiba di sini sudah tidak ada Pangeran di situ, Sumoi.”

“Ahhh, celaka…. celaka! Tentu ada yang telah melarikannya! Begitu banyak orang sakti memperebutkan Sang Pangeran. Kita harus mengejar si penculik!” Ci Sian berloncatan ke atas tebing dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja tidak nampak bayangan Pangeran atau penculiknya.

“Sumoi, orang yang sudah mampu melarikan Pangeran dari depanmu dan depan para datuk Im-kan Ngo-ok tanpa kau ketahui dan juga tanpa mereka ketahui, tentulah bukan orang sembarangan dan sukar untuk dikejar begitu saja tanpa kita ketahui ke mana larinya. Sekarang lebih baik kau ceritakan dahulu semuanya, Sumoi. Nanti kita akan mencarinya bersama.”

Ci Sian yang masih terlalu girang oleh pertemuan ini segera melupakan Sang Pangeran dan mereka lalu duduk di atas rumput yang tebal di bawah pohon yang rindang. Dan mulailah Ci Sian menceritakan semua pengalamannya semenjak Kam Hong pergi meninggalkannya. Tidak ada yang dilewatinya dan memang pengalamannya aneh-aneh dan amat menarik sehingga Kam Hong mendengarkan dengan kagum dan tertarik sekali. Tentang pertemuannya dengan Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan isterinya dan pengalaman mereka bersama yang aneh-aneh ketika berlomba kuda dan ketika menghadapi ular hijau raksasa.

Mendengar penuturan tentang Suma Kian Bu, Kam Hong lalu menarik napas panjang. “Semenjak dahulu, aku kagum sekali kepada Suma-taihiap dan beruntung engkau dapat bertemu dengannya, bahkan kemudian menerima latihan sinkang dari Pulau Es. Engkau sungguh beruntung, Sumoi. Pantas tadi kulihat engkau demikian hebat dan memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu Kiam-sut, terutama sekali penggunaan sinkang-nya. Tidak tahunya engkau telah mewarisi ilmu sinkang dari Pulau Es. Hebat, hebat.... dan aku kagum sekali.”

Ci Sian melanjutkan ceritanya. Tentang pengalamannya di Kun-lun-pai, tentang jago muda Kun-lun-pai Cia Han Beng yang berjiwa patriot. Kemudian betapa ia bertemu dan melindungi Pangeran Kian Liong sampai di tempat itu, juga tentang pembakaran kuil Siauw-lim-pai dan lain-lain.

Kam Hong menarik napas panjang. “Aku girang sekali mendengar betapa engkau telah memperoleh banyak pengalaman berharga, Sumoi. Aku pun sudah mendengar tentang pembakaran Kuil Siaw-lim-pai itu, sungguh hal yang amat patut disesalkan.”

“Memang tindakan kaisar itu amat sewenang-wenang, akan tetapi Pangeran Mahkota lain lagi dengan Kaisar, Suheng. Dia benar-benar seorang pangeran yang bijaksana sekali.”

Lalu Ci Sian menceritakan tentang tindakan Pangeran yang menentang Kaisar, bahkan sudah membebaskan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang telah terkurung dan terancam maut.

Mendengar kisah ini, Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang pada sumoi-nya dengan sinar mata penuh kagum. Sumoi-nya itu kini bukan seperti sebelum mereka berpisah. Dia teringat betapa sumoi-nya ditinggalkannya sebagai seorang dara yang lebih pantas disebut seorang anak-anak, masih amat kekanak-kanakan. Akan tetapi sekarang, yang duduk di depannya adalah seorang wanita dewasa, sudah matang, dan dari sepasang mata yang jeli dan indah itu mengandung sinar yang cerdas dan tabah, membuatnya terpesona dan memandang penuh kagum.

Melihat keadaan suheng-nya ini, hati Ci Sian berdebar dan mukanya berubah merah, naluri kewanitaannya merasa betapa mata suheng-nya itu memandang dengan penuh kekaguman.

“Aih, Suheng, apa sih yang kau pandang?” tanyanya manja, ingin mengembalikan sifat kekanak-kanakannya yang selalu manja kepada Kam Hong untuk menutupi rasa malunya.

Dan Kam Hong pun tersadar. Dia menunduk, mukanya sama merahnya dengan wajah Ci Sian, dan dia menarik napas berulang kali, lalu mengangkat mukanya memandang. Dengan jujur dia berkata, “Aku sungguh terpesona olehmu, Sumoi. Sungguh kagum, betapa dalam waktu tidak terlalu lama saja engkau kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang bersemangat dan berani membela kebenaran, dan yang telah dewasa, telah masak sebagai seorang wanita yang.... ehhh, cantiknya luar biasa!”

Dapat dibayangkan betapa jantung Ci Sian terasa seperti melompat-lompat saking gembiranya, akan tetapi juga ia tenggelam dalam perasaan jengah, malu. Senyumnya dikulum dan pandang matanya hanya melalui kerling.

“Ihhh, Suheng.... jangan memperolokku....!”

“Tidak, Sumoi, sungguh aku kagum kepadamu dan aku girang sekali. Tidak percuma engkau juga ikut mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.”

“Sudahlah, Suheng, jangan terlalu memuji. Semua pengalamanku telah kuceritakan, sekarang aku ingin mendengar ceritamu semenjak kita saling berpisah. Kemana saja engkau pergi, Suheng, dan kenapa engkau meninggalkan aku sendirian?”

“Aku merantau dan menjaga guruku, Sai-cu Kai-ong yang sakit sampai beliau meninggal di puncak Bukit Nelayan.”

Lalu dia bercerita betapa ketika dia mengunjungi kakek yang hidup sendirian itu, Sai-cu Kai-ong menderita sakit. Tentu saja penyakitnya disebabkan karena kekecewaannya melihat cucunya, Yu Hwi telah menikah dengan orang lain, bukan dengan keturunan Kam. Kekecewaannya membuat kakek ini bosan hidup dan ketika dia sakit, dia tidak mau minum obat. Padahal, dia adalah seorang ahli pengobatan yang lihai. Maka, ketika Kam Hong menjaganya sampai berbulan-bulan, kakek itu kemudian menyerahkan kitab ilmu pengobatan peninggalan dari mendiang Yok-Sian-jin (Manusia Dewa Obat) kepada pendekar ini. Sampai tiba saat dia meninggal dunia.

Kam Hong tidak pernah meninggalkannya dan dengan bantuan penduduk dusun di pegunungan itu, Kam Hong lalu mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya yang pertama kali itu. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa Yu Hwi, cucu tunggal kakek ini, tidak pernah datang sehingga tidak tahu akan sakit dan matinya kakek itu.

“Setelah guruku meninggal, baru aku turun gunung dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Yu Hwi dan suaminya.”

Lalu ia menceritakan tentang peristiwa lucu itu, di mana ia mendengar bahwa Pangeran dijadikan perebutan dan dia ingin menyelamatkan Pangeran, tanpa mengetahui bahwa Pangeran yang diselamatkannya itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Betapa kemudian Yu Hwi marah-marah, dan suaminya malah sempat digoda cemburu, tetapi akhirnya mereka berdua itu insyaf dan minta maaf.

Ci Sian tertawa geli mendengar penuturan itu. “Dan engkau ceritakan tentang kematian kakeknya, Suheng?”

Kam Hong menggeleng kepala. “Tidak, aku tidak menceritakan hal itu. Aku tidak ingin menegurnya dan biarlah kelak ia akan mengerti dan menyesali kelalaiannya sendiri. Apalagi ketika itu aku mendengar bahwa Sang Pangeran telah lenyap lagi, maka aku meninggalkan mereka untuk mencari Pangeran. Dan hari ini, tanpa kusangka-sangka, aku bertemu dengan engkau di sini. Kalau tidak mendengar suara sulingmu, belum tentu kita dapat saling bertemu, Sumoi.”

“Aku girang sekali kita dapat bertemu di sini, Suheng. Aku sangat rindu padamu.”

“Aku pun girang dapat bertemu denganmu, Sumoi.”

“Juga rindu....?”

“Juga rindu....“

Girang sekali rasa hati Ci Sian, dan kembali jantungnya berdebar aneh, mukanya terasa panas.

“Akan tetapi, Suheng.... kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi.”

“Pertanyaan yang mana?”

“Dulu itu.... setelah kita berhasil membasmi Hek-i-mo...., kenapa Suheng lalu tiba-tiba saja meninggalkan aku sendiri?” Sepasang mata yang jeli itu memandang tajam penuh selidik, juga penuh dengan teguran dan penyesalan.

Mendengar pertanyaan ini, berubah wajah Kam Hong dan dia merasa jantungnya amat terguncang. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan agak menjauh, berdiri termangu-mangu membelakangi batu di mana Ci Sian duduk memandangnya.

Dara ini mengerutkan alisnya, penuh kekhawatiran, lalu ia pun turun dari atas batu, menghampiri suheng-nya itu dan bertanya dengan suara lirih, akan tetapi dengan hati penuh ingin tahu, “Suheng, mengapakah?”

Ketika Kam Hong membalik dan memandang sumoi-nya, wajahnya berubah agak pucat sehingga mengejutkan hati Ci Sian. Kam Hong lalu memegang kedua tangan sumoi-nya itu dan sejenak mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling pegang, kedua mata saling pandang, tanpa berkata-kata. Dan akhirnya Kam Hong berkata, suaranya mengandung getaran aneh.

“Sumoi, lihat baik-baik, pria macam apakah suheng-mu ini?”

Dan Ci Sian memandang. Seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng menurut penglihatannya, tenang dan berwibawa, dengan sepasang mata yang mencorong tajam namun mengandung kelembutan.

“Suheng-ku seorang pendekar yang gagah perkasa! Kenapa?”

“Ingatkah engkau bahwa dulu, sebelum engkau menjadi sumoi-ku, engkau menyebutku paman?”

“Habis, mengapa?”

“Tahukah engkau berapa usiamu sekarang, Sumoi?”

“Usiaku?” Ci Sian tersenyum, merasa bahwa suheng-nya ini menanyakan hal yang aneh-aneh saja. “Kalau tidak salah, tahun ini usiaku hampir sembilan belas tahun. Mengapa?”

“Dan aku sudah hampir tiga puluh dua tahun!” kata Kam Hong, suaranya mengandung kesedihan.

“Habis, mengapa?”

“Usia kita selisih tiga belas tahun!”

“Lalu, mengapa?”

Kam Hong meremas-remas jari tangan itu tanpa disadarinya karena hatinya terguncang, “Sumoi, Sumoi.... tidak sadarkah engkau bahwa aku adalah seorang pria yang sudah tua?”

Dan Ci Sian tertawa, tertawa geli sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih dipegang suheng-nya. “Wah, dengarlah ini, kakek tua renta mengeluh tentang usianya! Aduh kasihan....!”

“Harap jangan memperolokku, Sumoi.”

“Siapa mengolokmu? Engkau sendiri yang aneh-aneh, Suheng. Siapa bilang engkau sudah tua? Aku sama sekali tidak melihat engkau sebagai seorang pria yang tua.”

“Dan engkau baru sembilan belas tahun, masih anak-anak!”

“Suheng!” Ci Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut. “Sekarang engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak? Siapa bilang aku masih kanak-kanak? Aku sudah berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih kanak-kanak? Suheng, apakah engkau hendak menghinaku?”

“Maaf, Sumoi....!” Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya. “Bukan begitu maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu.... melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu menjauhkan diri....“

Ci Sian memandang bengong. “Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tak mengerti, Suheng.... Mengapa demikian? Mengapa engkau lalu meninggalkan aku dan apa artinya engkau mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Sim Hong Bu? Memang dia mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya? Aku tidak mencintanya Suheng. Aku.... lebih senang berada di sampingmu dari pada di samping siapa pun juga di dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku, jangan lagi tinggalkan aku seorang diri.”

“Ci Sian, tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan.”

“Aku tidak ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!”

“Tidak mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan saat itu kita harus saling berpisah.”

“Aku tidak akan menikah dengan siapa pun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita takkan pernah berpisah lagi....“

Kam Hong memegang kedua tangan itu lagi dan sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu dan berkata, “Mari kita cari Sang Pangeran, jangan sampai beliau tertimpa mala petaka....”

“Tapi kau berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng.”

“Aku berjanji.”

“Sumpah?”

“Sumpah!”

Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi ditunggangi oleh Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu…..

Betapa anehnya asmara! Membuat dua orang manusia, seorang wanita dan seorang pria, merasa saling tertarik dan saling terikat oleh sesuatu yang tidak mereka ketahui apa. Yang terasa hanyalah bahwa mereka itu ingin selalu saling berdekatan, saling bermesraan, dan merasa sengsara kalau berpisah. Cinta asmara antara pria dan wanita adalah sesuatu yang penuh rahasia, dan di dalam cinta asmara ini, mereka berdua hanyalah manusia-manusia, pria dan wanita, yang saling tertarik dan saling mengasihi.

Cinta tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal perbedaan suku atau kedudukan, tidak mengenal agama atau paham kepercayaan yang berbeda. Pendeknya, cinta itu meniadakan semua perbedaan di antara mereka, yang paling penting bagi cinta adalah manusianya. Sedangkan semua yang lain hanyalah embel-embel saja.

Kebijaksanaanlah yang membuat Kam Hong meragu, melihat perbedaan usia di antara mereka. Namun, mampukah kebijaksanaan menandingi cinta? Cinta membuat segala hal mungkin saja terjadi. Bukan usia, bukan harta, bukan agama yang menentukan, melainkan manusianya. Dan dua insan yang saling mencinta itu pun tertarik oleh manusianya, bukan embel-embelnya karena kalau tertarik oleh embel-embelnya, maka itu bukan cinta namanya! Bukan….


SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 24


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.