Suling Emas Naga Siluman Jilid 24

Suling Emas Naga Siluman Jilid 24
Sonny Ogawa
CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 24
Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Tadi Toa-ok telah melihat berkelebatnya beberapa orang yang disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran. Dan memang benar demikianlah. Selagi tiga orang datuk kaum sesat itu mengeroyok Ci Sian, muncullah tiga orang yang bergerak cepat, kemudian mereka itu menyambar tubuh Sang Pangeran, menotoknya dan melarikannya dengan cepat sekali.

Mereka bertiga ternyata menggunakan ilmu berlari cepat, membuat Pangeran Kian Liong merasa seperti diterbangkan saja. Pangeran ini tahu bahwa kembali dia telah ditawan dan dilarikan orang, entah dari golongan mana. Akan tetapi Pangeran ini tidak merasa takut.

Kiranya yang menculik Pangeran itu adalah tiga di antara para pendekar Siauw-lim-pai yang delapan orang banyaknya itu, yang telah diselamatkan oleh Sang Pangeran dari kepungan pasukan pada waktu Siauw-lim-si dibakar. Mereka membawa Sang Pangeran kepada sebuah kereta yang sudah dipersiapkan oleh kawan-kawan mereka, kemudian melarikan Pangeran menuju ke timur.

“Harap Paduka tidak khawatir. Kami memang menawan Paduka, akan tetapi hal ini kami lakukan bukan karena kebencian pribadi. Kami adalah patriot-patriot bangsa Han, harap Paduka memaklumi keadaan kami,” kata seorang di antara mereka dengan sikap hormat.

Pangeran Kian Liong hanya tersenyum dan mengangguk. “Ke manakah kalian hendak membawaku?” tanyanya.

“Kepada pimpinan kami di kota Cin-an,” jawaban singkat ini diterima Sang Pangeran tanpa banyak cakap lagi.

Malah kebetulan, pikirnya. Dia kelak akan menjadi kaisar, maka dia pun harus tahu benar tentang seluk-beluk mereka yang menganggap diri mereka sebagai para patrtiot ini. Kelak, mau tidak mau, dialah yang akan berhadapan dengan mereka ini. Dan dia pun perlu melakukan pendekatan, agar selain mengetahui keadaan mereka lahir batin, juga dia akan dapat bicara dengan mereka, terutama sekali para pemimpinnya. Jadi Cin-an, di Propinsi Shantung itu sarang mereka?

Perjalanan ke Cin-an itu bukan dekat, akan tetapi di sepanjang perjalanan, tiga orang pendekar Siauw-lim-pai itu bersikap sopan dan amat baik. Diam-diam Sang Pangeran memperhatikan. Dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka yang menamakan dirinya para patriot Han itu belum meluas, yaitu belum memperoleh banyak dukungan rakyat. Buktinya, di sepanjang perjalanan mereka itu merahasiakan perjalanan itu dan tidak pernah mereka menghubungi rakyat yang membantu mereka. Namun, harus diketahui bahwa mereka itu bersikap hati-hati sekali dan agaknya banyaknya teman-teman mereka yang diam-diam menjadi penyelidik dan pelindung sehingga perjalanan kereta itu tidak pernah mendapat gangguan.

Setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, akhirnya kereta memasuki kota Cin-an di Propinsi Shantung, langsung memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar dan kuno. Kereta itu terus bergerak masuk ke belakang, melalui jalan samping sehingga tidak nampak lagi dari depan. Sang Pangeran dipersilakan turun, lalu diiringkan memasuki rumah besar melalui pintu belakang.

Ruangan di dalam rumah besar kuno itu luas sekali. Ketika Pangeran Kian Liong memasuki ruangan itu, dia memandang ke kanan kiri dengan penuh perhatian. Ruangan itu nampak sunyi karena tidak ada suara, akan tetapi ternyata di situ duduk banyak orang. Laki-laki dan wanita-wanita yang kelihatan penuh semangat dan gagah perkasa.

Lima orang pendekar Siauw-lim-pai yang lain hadir pula di situ, jadi lengkap delapan orang dengan yang membawanya ke situ. Nampak pula beberapa orang hwesio, bahkan ada pula yang berpakaian seperti tosu. Akan tetapi yang terbanyak adalah pria-pria berpakaian seperti pendekar. Mereka duduk di atas bangku-bangku tidak teratur, akan tetapi semua menghadap kepada seorang laki-laki setengah tua yang usianya kira-kira lima puluh tahun namun masih nampak tampan dan gagah. Ada beberapa orang duduk di dekat pria ini, termasuk tiga orang wanita cantik setengah tua.

Pangeran Kian Liong segera mengenal pria gagah ini, dan dia pun dipersilakan untuk duduk berhadapan dengan pria gagah yang agaknya menjadi pimpinan para patriot di tempat itu. Di antara orang-orang yang duduk di dekat pria gagah itu, nampak pula seorang pemuda yang kelihatan lebih gagah lagi, bersama dengan seorang dara yang menggunakan pakaian pria sehingga nampaknya sebagai seorang pemuda yang amat tampan. Akan tetapi sekali pandang saja tahulah Sang Pangeran bahwa pemuda yang amat tampan itu adalah seorang gadis.

“Ahh, selamat datang, Pangeran!” kata pria tua yang gagah itu sambil bangkit berdiri memberi hormat, suaranya halus dan ramah, juga sikapnya menghormat. “Maafkan kalau kami membuat Paduka banyak kaget dan lelah, akan tetapi kami girang bahwa Paduka tiba di sini dalam keadaan sehat dan selamat.”

Pangeran Kian Liong tersenyum, seperti biasa sikapnya tenang sekali dan yang amat mengagumkan para patriot adalah bahwa Pangeran ini biar pun masih amat muda, namun sikapnya seperti seorang dewasa yang menghadapi sekelompok anak nakal saja.

“Silakan duduk, Pangeran,” kata pula pria tua gagah itu.

“Terima kasih, Bu-taihiap,” jawab Sang Pangeran sambil duduk dan memandang ke sekeliling.

Sedikitnya ada dua puluh lima orang di dalam ruangan yang luas itu, kesemuanya adalah orang-orang yang bersikap gagah. Diam-diam dia merasa amat sayang bahwa orang-orang gagah seperti ini sekarang berdiri berhadapan dengan dia sebagai orang-orang yang memusuhinya, atau setidaknya memusuhi kerajaan ayahnya.

“Kalau boleh aku bertanya, mengapa dalam waktu singkat saja terjadi perubahan besar dan sikap Bu-taihiap menjadi berlawanan? Ketika aku hendak ditangkap Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap melindungiku, dan sekarang Bu-taihiap menawanku sebagai musuh. Apa artinya semua ini?”

Bu Seng Kin atau Bu-taihiap tersenyum lebar dan kelihatan semakin ganteng biar pun usianya sudah setengah abad.

“Tak perlu diherankan, Pangeran, karena semua itu hanya menjadi akibat dari keadaan Pangeran dan Kaisar yang juga berlawanan. Kalau tempo hari kami menyelamatkan Paduka, hanyalah karena kami hendak menolong seorang pangeran yang bijaksana dari ancaman penjahat-penjahat macam Im-kan Ngo-ok. Dan kalau sekarang ini kami terpaksa menawan Paduka adalah karena kami adalah patriot-patriot dan Paduka adalah putera mahkota.”

Pangeran muda itu mengangguk-angguk. “Aku dapat mengerti, Bu-taihiap. Lalu, setelah aku ditawan dan dibawa sini, apakah yang hendak kalian lakukan terhadap diriku?”

“Tentu Paduka tidak mau menerima kalau kami mengatakan bahwa ayah Paduka, Sri Baginda Kaisar Yung Ceng, telah melakukan banyak sekali kejahatan dan kelaliman, bertindak sewenang-wenang terhadap para orang gagah?”

“Aku maklum apa yang kau maksudkan, akan tetapi bagaimana pun juga, pada waktu ini, aku hanya seorang Pangeran Mahkota dan seluruh kekuasaan mutlak berada di tangan Kaisar.”

“Kaisar telah melakukan banyak tindakan sewenang-wenang, bahkan baru-baru ini telah membasmi dan membakar biara Siauw-lim-si. Tentu Paduka mengetahuinya, bahkan juga Paduka menyaksikannya dan Paduka pula yang menyelamatkan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai.”

“Aku sudah tahu akan semua itu. Lalu apa kehendakmu?”

“Kaisar bukan seorang penguasa yang baik, dan menambah dendam dan sakit hati para pendekar yang sejak dahulu tidak rela membiarkan tanah air dan bangsa dicengkeram penjajah Mancu. Harap Paduka maafkan kalau kami bicara sejujurnya, karena Paduka adalah seorang yang juga memiliki kegagahan dan kebijaksanaan.”

Pangeran Kian Liong kembali tersenyum, bukan tersenyum pahit, sama sekali tidak membayangkan perasaan sakit mendengar ucapan itu, melainkan tersenyum maklum akan ‘kenakalan’ anak-anak di sekelilingnya.

“Nanti dulu, Bu-taihiap. Yang dinamakan penjajah itu adalah kalau satu negara menjajah negara lain, satu bangsa menjajah bangsa lain. Akan tetapi kurasa bangsa Mancu tidak mempunyai negara lain kecuali di sini, dan bangsa Mancu sekarang pun sudah tidak ada dan menjadi satu dengan bangsa Han! Aku sendiri, sebagai Pangeran, sama sekali tidak merasa sebagai bangsa Mancu, tanah airku di sini dan negaraku juga di sini. Memang pada mulanya, bangsa Mancu yang merupakan bangsa Nomad itu menyerbu ke selatan dan karena kelemahan dan kesalahan bangsa Han sendirilah, yang tidak ada persatuan, sering berkelahi sendiri, dan Kaisar amat lemah, para pembesarnya tidak ada yang jujur dan setia, semua tukang korup, maka akhirnya bangsa Mancu dapat menjatuhkan Kaisar yang berkuasa dan untuk selanjutnya sampai sekarang memimpin bangsa Han membangun negara. Akan tetapi aku bukan membela kerajaan Ayahku, sama sekali tidak, hanya bicara menurut kenyataan saja. Memang, Ayahku telah menyeleweng, menyerbu Siauw-lim-si dan semua itu dilakukan hanya karena urusan-urusan pribadi. Ayah telah menjadi lemah pula dan hal ini amat kusesalkan. Kalau aku menjadi kaisar, semua hal yang bengkok pasti akan kubikin lurus, dan niatku hanya ingin memajukan bangsa, membangun negara dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata.”

Semua patriot mendengarkan dengan alis berkerut. Mereka semua sudah tahu bahwa Pangeran ini memang amat bijaksana dan andai kata Pangeran ini yang menjadi kaisar, agaknya keadaan pun akan berubah. Akan tetapi kenyataannya sekarang, Kaisar Yung Ceng telah menimbulkan dendam di hati para pendekar dan patriot.

“Kami dapat percaya apa yang Paduka katakan, akan tetapi kenyataan sekarang ini amat pahit bagi kami, dan Paduka masih belum menjadi kaisar. Oleh karena itu, kami harus bertindak, dan tidak mungkin kami diam saja membiarkan Kaisar terus melakukan kelaliman sambil menanti Paduka menggantikannya.”

“Hemm, Bu-taihiap, langsung katakan saja. Apa yang hendak kalian lakukan kepadaku? Membunuhku? Aku tidak takut mati. Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku untuk memberontak terhadap Ayah dan pemerintahku sendiri.”

Bu Seng Kin tertawa. “Kami pun tidak begitu bodoh, Pangeran. Mana mungkin kami mengharapkan Paduka, seorang Pangeran Mancu, memberontak terhadap Kerajaan Mancu sendiri? Tidak, kami pun cukup menghargai sikap Paduka yang baik dan kami percaya bahwa Paduka akan menjadi kalsar yang paling bijaksana di antara semua Kaisar Mancu yang pernah ada.”

“Lalu apa kehendak kalian sekarang?”

“Kami tidak akan mengganggu Paduka, hanya untuk sementara ini terpaksa Paduka kami tahan dulu sebagai sandera. Dengan Paduka sebagai sandera, kami hendak mengajukan tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar, dan sebelum tuntutan kami dipenuhi, Paduka tidak akan kami bebaskan.”

Pangeran itu tetap saja bersikap tenang. “Apakah adanya tuntutan-tuntutan kalian, kalau boleh aku tahu?”

“Tuntutan pertama, agar biara Siauw-lim-si yang telah dibakar itu dibangun kembali. Ke dua, agar semua pendekar Siauw-lim-pai dan para pendekar lain, patriot-patriot bangsa, tidak dikejar-kejar dan dibebaskan dari tuduhan memberontak. Ke tiga, agar bangsa Han diperlakukan sama rata dengan orang-orang Mancu dan ke empat, agar para pendekar diberi kebebasan untuk membawa senjata guna bekal dan perlindungan diri di waktu mengadakan perjalanan jauh.”

Pangeran Kian Liong mengangguk-angguk. “Tuntutan yang cukup patut, hanya yang nomor dua itu harus ada pelaksanaan timbal-balik. Jika para patriot tak ingin dikejar dan dianggap memberontak tentu saja mereka jangan melakukan gerakan memberontak. Aku akan ikut membujuk Kaisar untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan kalian itu.”

Semua patriot yang berkumpul di situ merasa lega dan girang. Kalau tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi, tentu saja tidak ada alasan bagi mereka untuk memberontak. Pemberontakan bukanlah soal yang mudah. Untuk memberontak terhadap kerajaan yang demikian kuatnya, harus mempunyai sedikitnya ratusan ribu orang pasukan dan perlengkapan yang besar. Kalau hanya sekelompok pendekar saja, mana mungkin dapat melakukan pemberontakan?

Demikianlah, mulai hari itu, Sang Pangeran diperlakukan sebagai seorang agung walau pun dia tidak mempunyai kebebasan dan menjadi tawanan. Siang malam dikawal dan dijaga. Bu-taihiap lalu mengirim utusan dan surat kepada Kaisar untuk menyampaikan tuntutannya. Tentu saja tempat di mana Pangeran ditahan itu sangat dirahasiakan.

Pemuda gagah perkasa dan gadis berpakaian pria yang duduk di dekat Bu-taihiap ketika Pangeran Mahkota dihadapkan itu adalah Sim Hong Bu dan Cu Pek In! Bagai manakah kedua orang dari Lembah Suling Emas yang kini berubah nama menjadi Lembah Naga Siluman itu dapat tiba di tempat itu dan bergabung dengan para patriot? Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti perjalanan pemuda Sim Hong Bu, pewaris dari ilmu mukjijat keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Pemuda inilah satu-satunya orang yang mewarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hebat, bahkan pedang pusaka itu pun kini berada di tangannya, selalu disembunyikan di balik bajunya yang panjang.

Seperti telah kita ketahui, Sim Hong Bu secara kebetulan bertemu dengan Ci Sian ketika dia muncul membantu dara itu menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai itu. Kemudian, karena diam-diam Kam Hong pergi, maka Ci Sian melakukan perjalanan bersama Sim Hong Bu.

Akan tetapi, sebentar saja terjadi percekcokan ketika Ci Sian mendengar bahwa Sim Hong Bu yang mewakili Lembah Naga Siluman dan keluarga Cu, kalau bertemu dengan Kam Hong hendak menantang Kam Hong mengadu ilmu, yaitu mengadu Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut melawan ilmunya, Koai-liong Kiam-sut, Mendengar ini, Ci Sian marah-marah dan menantang Hong Bu, bahkan lalu menyerangnya sehingga terjadi pertandingan seru di mana Hong Bu mengalah.

Ci Sian meninggalkannya dan pemuda ini berduka sekali. Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak perjumpaannya dahulu, beberapa tahun yang lalu ketika Ci Sian masih seorang dara kecil di pegunungan yang tertutup salju. Semenjak itu dia tidak pernah dapat melupakan Ci Sian, dan pertemuan terakhir ini menimbulkan kekaguman hebat melihat betapa dara itu telah menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai. Kekaguman yang mempertebal cintanya dan yang membuatnya tanpa ragu-ragu lagi menyatakan cintanya kepada dara itu. Akan tetapi, dara itu agaknya membencinya! Karena dia adalah pewaris Koai-liong Po-kiam dan dia dianggap musuh besar dari Kam Hong, suheng dara itu, Hong Bu merasa sedih sekali.

Perasaan duka dalam hati seorang pemuda yang merasa ditolak cintanya memang amat menyiksa. Segala sesuatu tampak hampa dan hidup rasanya menjadi hambar. Kegembiraan lenyap dan yang ada hanya perasaan iba duka yang semakin besar.

Dalam keadaan seperti ini, Hong Bu melanjutkan perjalanannya. Dia merasa seperti sebuah boneka hidup yang hidupnya hanya untuk melaksanakan tugas-tugas belaka. Tugasnya adalah pertama-tama, menyelamatkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam agar jangan sampai terampas oleh utusan Kaisar yang mencari dan mengejarnya sebagai buronan. Ke dua, dia harus mencari Kam Hong untuk mempertahankan nama keluarga Cu dan untuk menyatakan bahwa Ilmu Koai-liong Kiam-sut tidak kalah oleh Ilmu Kim-siauw Kiam-sut. Dan juga, dia harus menebus kekalahan para gurunya itu dari tangan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!

Pada suatu hari yang amat panas, lewat tengah hari, Hong Bu duduk beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Keteduhan di bawah sebatang pohon terasa nikmat sekali setelah dia tadi terpanggang di dalam terik matahari, membuatnya mengantuk. Akan tetapi dia tidak tidur, melainkan melamun. Terbayanglah di pelupuk matanya tentang perubahan dirinya dan keadaannya. Dahulu, ketika dia masih menjadi seorang pemburu biasa, tanpa ilmu yang tinggi, hanya seorang pemburu kasar biasa, kehidupannya selalu penuh dengan kegembiraan. Menyusuri jejak binatang saja sudah mendatangkan kegembiraan tersendiri. Dalam keadaan berburu sudah mendatangkan ketegangan dan kegembiraan yang penuh harapan. Apalagi kalau ternyata dia berhasil merobohkan binatang buruannya, girangnya bukan main. Dilanjutkan dengan penjualan hasil buruan, juga mendatangkan kegembiraan tertentu. Dan sekarang?

Sekarang jauh berbeda dari pada dahulu. Dia kini bukan seorang pemburu kasar biasa lagi. Dia seorang ahli waris ilmu silat tinggi yang tiada duanya di dunia. Dia telah menjadi seorang berilmu, seorang pendekar! Katakanlah dia telah maju! Akan tetapi bagaimana jadinya? Lenyaplah kegembiraan hidup seperti yang dirasakannya ketika dia masih menjadi seorang pemburu kasar dan bodoh.

Kini dia menjadi seorang yang mempunyai banyak musuh! Lenyap semua kebahagiaan, lenyaplah semua ketenteraman. Dia dikejar-kejar dan dibebani tugas berat. Dan lebih dari itu malah, dia berjumpa dengan Ci Sian hanya untuk patah hati! Sedih hatinya, dan orang yang berduka biasanya memang selalu mudah mengantuk. Dalam kedukaan, orang membuang dan menghamburkan banyak sekali kekuatan batin, maka mudah membuatnya mengantuk. Tanpa disadarinya, sambil bersandar batang pohon, Hong Bu pun tertidur.

Kebanyakan dari kita saling berlomba untuk mengejar yang kita namakan KEMAJUAN. Semenjak masih kecil sekali, sejak duduk di kelas nol, kita didorong dan dibentuk oleh orang-orang tua kita dan oleh guru-guru kita untuk mencari kemajuan. Angka-angka di buku laporan sekolah menunjukkan apakah kita maju ataukah tidak, dan kemajuan selalu dianggap sebagai sesuatu yang sangat baik, menjadi tujuan kita sejak kecil sehingga setelah kita dewasa, tak mungkin lagi kita terlepas dari kehausan akan apa yang kita namakan kemajuan itu.

Apakah yang sesungguhnya yang kita namakan kemajuan? Dalam buku laporan sekolah, angka-angka kita menunjukkan bahwa kemajuan adalah apabila angka-angka kita lebih baik dari pada yang sudah. Jadi kemajuan tampak setelah ada perbandingan. Sekarang kelas satu, lain tahun kelas dua, itu namanya maju. Sekarang berpenghasilan sepuluh ribu rupiah sebulan, lain waktu dua puluh ribu rupiah, itu namanya kemajuan! Si A lebih maju dari pada si B dan si C lebih maju lagi. Semua orang berlari, berlomba untuk mencapai apa yang kita namakan kemajuan. Jadi kemajuan adalah suatu keadaan yang kita anggap lebih baik dari pada keadaan lain yang sudah ada. Bukankah demikian? Lebih dari itu. Kemajuan kita anggap sebagai sesuatu yang jauh lebih baik, lebih menyenangkan, lebih enak, pendeknya lebih mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Oleh karena itulah maka kita berlomba untuk mengejar kemajuan.

Akan tetapi, benarkah demikian keadaannya? Benarkah kemajuan akan mendatangkan kesenangan dan kepuasan? Memang, tujuan yang tercapai mendatangkan kepuasan dan kesenangan, akan tetapi hanya sejenak saja. Penyakit yang sudah mendarah daging pada diri kita, yaitu mencari kemajuan, akan timbul pada saat kita telah mencapai sesuatu yang kita kejar-kejar itu, yaitu mencari kemajuan lain yang lebih menyenangkan dari pada apa yang kita capai. Diberi sejengkal ingin sehasta, ingin sedepa, ingin yang lebih panjang lagi. Dan kita terseret ke dalam saluran keinginan untuk maju ini sampai kita masuk lubang kubur.

Ini pun tidak menjadi soal kalau saja kita tidak melihat bahwa dalam pelaksanaan pengejaran suatu cita-cita, pengejaran ambisi, pengejaran sesuatu atau suatu keadaan yang kita inginkan, menimbulkan tindakan-tindakan yang kadang-kadang merupakan penyelewengan. Untuk dapat maju, kadang-kadang kita tidak segan untuk mendorong orang lain, untuk melangkahi orang lain, mendahului orang lain. Bahkan tidak jarang, untuk mencapai apa yang kita cita-citakan, apa yang menjadi tujuan kita, maka kita mempergunakan segala daya upaya, tidak peduli lagi apakah daya upaya itu benar ataukah tidak.

Maka, dapatlah kita lihat keadaan di sekeliling kita. Mengejar ‘kemajuan dalam harta’ menimbulkan korupsi, penyelundupan, perdagangan gelap, perdagangan morphin dan sejenisnya, pencopetan dan banyak lagi pekerjaan kotor lain. Pengejaran ‘kemajuan dalam kedudukan’ menimbulkan perebutan kekuasaan yang menyeret orang banyak ke dalam permusuhan, jegal-menjegal, bahkan dapat memuncak sampai pada berbunuh-bunuhan.

Mengapa kita harus mengejar kemajuan? Sampai di manakah batas kemajuan itu? Kalau kita mempelajari sesuatu, kalau kita mengerjakan sesuatu, mengapa harus ada dorongan untuk memperoleh kemajuan? Apakah untuk memperoleh hasil baik dalam sesuatu yang kita kerjakan itu harus didasari hasrat untuk maju? Ke manakah minat dan rasa cinta kita kepada apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan? Dengan minat dan rasa cinta, maka pikiran untuk memperoleh kemajuan tidak dipedulikan lagi!

Si A dan si B berdagang kue yang mereka buat sendiri. Usaha mereka serupa, dengan modal yang sama. Si A membuat kue dengan penuh minat dan penuh rasa cinta kepada pekerjaannya. Si B membuat kue dengan penuh keinginan untuk mendapat ‘kemajuan’ yang dalam hal ini tentu saja agar banyak laku dan banyak untung, terutama sekali banyak untung dan lekas memperoleh hasil besar. Siapakah di antara mereka yang akan menghasilkan kue yang baik?

Si A tentu saja. Minatnya dan rasa cintanya terhadap pekerjaannya akan membuat dia melakukan pekerjaannya, yaitu membuat kue, dengan tekun, sebaik mungkin, selezat mungkin atau dalam istilah dagangannya, menjaga mutu yang utama, sedangkan soal keuntungan tidak membuat dia buta. Sebaliknya si B yang ingin lekas mendapatkan hasil banyak, mungkin saja mengurangi gulanya, mengurangi mutu bahannya, agar kalkulasi lebih rendah, agar untung lebih banyak, dan tentu saja dia akan membuat secepat dan sebanyak mungkin. Nah, jelas nampak perbedaan antara perbuatannya yang didorong oleh keinginan maju dan pekerjaan atau perbuatan yang didorong oleh minat dan cinta terhadap apa yang dilakukannya.

Mengapa kita tidak menanamkan cinta ini kepada anak-anak, agar mereka itu mencintai apa pun yang mereka lakukan atau kerjakan? Mengapa selalu mengiming-imingi mereka dengan pujian, kemajuan, lebih pintar dari pada anak lain, lebih menang dari pada anak lain? Mengapa menanamkan benih persaingan dan ingin selalu paling tinggi dalam batin mereka yang masih bersih dan murni itu?


Hong Bu yang tertidur pulas di bawah pohon menjadi terkejut, seolah-olah ada yang menggugahnya. Dia terkejut oleh kenyataan bahwa dia tertidur tanpa disadarinya, itu suatu hal yang amat tidak baik bagi seorang ahli silat, apalagi kalau di mana-mana terdapat musuh dan bahaya. Dia pun meloncat dan memandang ke kanan kiri. Tiba-tiba telinganya mendengar suara beradunya senjata. Ada orang-orang sedang berkelahi, pikirnya. Cepat dia pun menyambar bungkusan pakaiannya dan larilah dia ke arah suara itu, suara orang-orang berkelahi, di dalam hutan.

Ketika dia tiba di tempat itu, dia semakin terkejut mengenal seorang pemuda yang amat tampan sedang dikeroyok oleh belasan orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang daun telinga sebelah kirinya buntung. Tentu saja dia mengenal pemuda tampan itu yang bukan lain adalah Cu Pek In! Dia terheran mengapa Cu Pek In dapat berada di tempat itu, padahal jaraknya dari lembah di mana dara itu tinggal terpisah ribuan lie jauhnya.

Nampak Cu Pek In menggunakan sebatang pedang untuk melawan. Semenjak lembah itu meninggalkan nama Lembah Suling Emas dan berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, Cu Pek In juga tidak lagi mau mempergunakan suling emas untuk senjata. Ia sudah mengganti suling emasnya dengan sebatang pedang yang baik karena memang di lembah itu banyak terdapat senjata yang baik, dan ia tidak kaku memainkan pedang karena selain semenjak kecil Cu Pek In menerima gemblengan ayahnya sendiri dengan berbagai macam ilmu silat dengan senjata apa pun, juga sesungguhnya gerakan suling itu merupakan gerakan pedang pula.

Akan tetapi, belasan laki-laki yang mengeroyok Pek In itu adalah orang-orang kasar yang semua memiliki kepandaian lumayan dan tenaga besar. Terutama sekali pemimpin mereka yang buntung daun telinga kirinya itu, sungguh merupakan lawan yang tangguh. Dara yang berpakaian pria itu mulai terdesak dan terkurung rapat dan karena Si Telinga Buntung itu memainkan sepasang goloknya dengan hebat, maka Pek In tidak diberi kesempatan lagi untuk merobohkan anak buahnya, tetapi terpaksa memutar pedang hanya untuk melindungi tubuh dari hujan serangan senjata para pengeroyoknya itu.

Melihat sumoi-nya terdesak dan terancam bahaya, apalagi melihat Si Telinga Buntung itu lihai sekali, Hong Bu menjadi marah. Cepat dia mencabut Koai-liong-kiam yang tersembunyi di balik jubahnya dan sekali dia meloncat dan menggerakkan senjata pusakanya, nampak sinar biru yang menyilaukan mata, dan biar pun kepala perampok telinga buntung itu berusaha memapakinya dengan sepasang goloknya, seketika goloknya itu terbabat putus dan sinar biru yang menyambar itu menembus lehernya.

Sinar itu terus menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja, robohnya kepala rampok yang lehernya tertembus sinar pedang itu disusul oleh enam orang anak buahnya. Melihat ini, sisa para perampok menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi Pek In mengamuk dan merobohkan mereka semua. Hong Bu cepat mencegahnya, akan tetapi dalam amukannya, dara itu telah membunuh lima orang, dan hanya ada empat orang lagi saja yang sempat diselamatkan Hong Bu dan mereka hanya mengalami luka-luka oleh pedang Pek In!

Setelah semua perampok roboh, barulah Pek In membalik dan menghadapi Hong Bu. Mereka berdiri saling berpandangan, dan kemudian terdengar Pek In terisak menangis. “Suheng, kau.... kau kejam sekali.... uhu-hu-huuuuh....“

Hong Bu memandang heran. Baru saja dia hendak menegur dan mengatakan betapa kejamnya sumoi-nya hendak membunuh lawan yang sudah mengaku kalah dan minta ampun, malah didahului oleh dara itu yang menangis dan mengatakannya kejam sekali!
“Sumoi, apa maksudmu mengatakan aku kejam?”

Mendengar pertanyaan ini, Pek In menangis semakin terisak-isak. Hong Bu yang melihat betapa empat orang anggota perampok yang belum tewas, hanya terluka itu, mengerang kesakitan akan tetapi juga dapat mendengar percakapan mereka, kemudian menggandeng tangan Pek In dan dara itu ditariknya pergi dari situ.

“Mari kita bicara di tempat lain, Sumoi....,” katanya.

Pek In masih menangis dan membiarkan dirinya digandeng dan dibawa ke tempat lain, agak jauh dari tempat para perampok menggeletak itu.

“Nah, katakanlah, mengapa aku kejam?”

“Suheng.... kau.... pergi begitu saja meninggalkan aku.... hu-huuuuh, aku telah mencari-carimu setengah mati, berbulan-bulan lamanya.... sampai aku hampir putus harapan.... hu-hu-hu.... kenapa engkau begitu kejam meninggalkan aku....?”

Melihat dara yang biasanya amat tabah dan belum pernah dilihatnya menangis itu kini sesenggukan, Hong Bu merasa kasihan juga. Dara ini sudah ditinggal ayahnya yang mengasingkan diri sebagai pertapa, dan dia tahu bahwa dara ini amat dekat dengan dia, maka setelah dia pergi, memang seolah-olah Pek In hidup sendirian saja di lembah yang sunyi itu. Karena merasa kasihan, maka dia lalu merangkul gadis itu dan mengelus rambutnya.

Merasa betapa pemuda itu merangkul dan mengelus-elus rambutnya, Pek In menangis semakin keras dan dia pun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

“Suheng.... aku cinta padamu, Suheng.... aku tidak mau terpisah darimu lagi.... lebih baik aku mati saja dari pada harus berjauhan darimu....“

Bukan main kagetnya hati Hong Bu mendengar ini. Memang dia tahu bahwa gadis ini mencintanya, akan tetapi kalau gadis ini akan terus bersamanya, tidak mungkin pula, sebab dia mencinta Ci Sian, bukan gadis ini. Akan tetapi dengan halus dia melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya perlahan dan sambil memegang kedua pundak itu dengan lengan diluruskan, dia memandang wajah yang manis dan basah air mata itu. Gadis ini masih terisak, sesenggukan.

“Sumoi, dengarlah baik-baik. Bukan aku tidak suka kalau engkau ikut denganku, akan tetapi engkau tentu tahu bahwa aku mempunyai tugas yang luar biasa beratnya dan berbahayanya. Pertama, aku menjadi orang buruan dan dikejar-kejar oleh utusan Kaisar yang amat sakti. Engkau sendiri tahu betapa ayahmu dan Susiok Cu Seng Bu yang demikian saktinya, tidak mampu menandingi Pendekar Sakti Gurun Pasir. Dan aku dicari oleh pendekar itu dan isterinya dan puteranya, jenderal muda yang juga amat lihai. Ke dua, aku harus menebus kekalahan para guru dari Naga Sakti Gurun Pasir, tugas yang amat berat dan berbahaya. Ke tiga, aku harus menebus kekalahan Suhu dari Suling Emas Kam Hong. Nah, bagaimana engkau dapat ikut denganku? Membela diri sendiri saja sudah amat berat bagiku, apalagi harus melindungi engkau?”

“Aku tidak akan mengganggumu, Suheng. Engkau tidak perlu melindungi aku, karena aku dapat membela diri sendiri. Kalau perlu, jangan lagi kau cari mereka, pendeknya, terserah apa saja yang hendak kau lakukan, tapi aku tidak mau kau tinggal lagi, tidak mau aku berpisah darimu.”

“Tapi, Sumoi, Suhu akan marah kepadaku. Engkau harus kembali ke lembah, Sumoi. Aku berjanji, kalau sudah selesai semua urusan dan tugasku, aku pasti akan kembali ke sana....”

“Tidak, aku tidak mau kembali ke tempat yang sunyi itu. Aku bisa mati kesepian di sana, tanpa engkau. Aku ingin mati hidup bersamamu, Suheng.”

“Ahh....!” Hong Bu menjadi bingung sekali.

Dia tahu bahwa Pek In adalah seorang gadis yang keras hati dan yang sejak kecil terlalu dimanja oleh ayahnya sehingga apa pun yang diinginkannya, harus terlaksana! Kalau dia menolak, tentu Pek In akan marah dan sukar dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh gadis yang keras hati ini. Dia lalu berjalan pergi dari situ dengan muka tunduk, maklum bahwa gadis itu mengikutinya dari belakang.

Sampai lama mereka berjalan tanpa berkata-kata. Dan akhirnya Pek In mempercepat langkahnya berjalan di samping suheng-nya, lalu menyentuh lengan suheng-nya itu. “Suheng, apakah engkau marah kepadaku?” tanyanya sambil memandang wajah yang tampan itu.

“Hemm....? Tidak marah, aku hanya bingung, Sumoi.”

“Suheng, kau maafkanlah diriku kalau aku menyusahkan dan membingungkan hatimu. Akan tetapi sungguh mati, aku tidak dapat berpisah darimu, Suheng. Aku.... aku cinta padamu dan lebih baik aku mati saja dari pada harus kau tinggalkan....”

Hong Bu menarik napas panjang. Sejenak ia menatap wajah itu. Wajah yang manis. Seorang gadis yang baik dan gagah perkasa keturunan pendekar. Alangkah mudahnya baginya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini, kalau saja dia tidak lebih dulu tergila-gila kepada Ci Sian. Bagi seorang pemburu sederhana seperti dia, Pek In merupakan dara yang sudah terlampau baik. Akan tetapi, apa hendak dikata, dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Ci Sian, dan tidak mungkin agaknya untuk melupakan Ci Sian dan menengok kepada gadis lain, walau pun dia masih merasa perih hatinya melihat Ci Sian tidak membalas cintanya, bahkan memusuhinya!

“Ah, betapa hidup ini penuh derita,” pikirnya, “Dara yang dicintanya justru memusuhinya, dan dara yang mencintanya tak mungkin dibalasnya.”

Demikianlah, dengan terpaksa sekali Hong Bu melakukan perjalanan bersama Pek In. Dia masih bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian dia teringat bahwa mereka berada dekat dengan kota Cin-an di mana menurut berita yang didengarnya terdapat sarang pendekar patriot. Memang sejak lama Hong Bu telah merasa setia kawan dengan para pendekar patriot, terutama sekali setelah terjadi pembakaran biara Siauw-lim-si.

Memang tadinya dia sudah memiliki keinginan untuk singgah di Cin-an dan mengunjungi pusat perkumpulannya para pendekar patriot itu. Kini, setelah Pek In ikut bersamanya, timbul pikirannya bahwa sebaiknya jika dia mengajak gadis itu ke pusat para pendekar. Siapa tahu Pek In yang berwatak pendekar itu akan tertarik hatinya dan kalau saja dia bisa menitipkan Pek In untuk sementara di tempat itu, bersama dengan para pendekar patriot, maka selain dia sendiri tidak dibebani berat untuk melindunginya, juga mungkin gadis itu mau ditinggalkannya. Orang yang seperti Pek In harus diberi kesibukan yang mengasyikkan dan menyenangkan hatinya.

Demikianlah, Hong Bu lalu mengajak sumoi-nya melanjutkan perjalanan menuju ke kota Cin-an. Akan tetapi karena mereka memasuki kota Cin-an setelah lewat senja, maka Hong Bu merasa tidak enak untuk langsung mencari dan mengunjungi para pendekar. Maka dia lalu mencari penginapan dan menyewa dua buah kamar yang berdampingan untuk melewatkan malam itu.

“Suheng, engkau sengaja menuju ke kota ini, hendak mencari siapakah?” Pek In bertanya setelah mereka makan malam dan duduk di ruangan dalam, tidak jauh dari kamar mereka.

Melihat di kanan kiri tidak ada orang, Hong Bu lalu menjawab sambil berbisik, “Sumoi, selama engkau meninggalkan lembah, di dalam perantauanmu, apakah engkau pernah mendengar mengenai para pendekar patriot yang mulai bergerak karena penekanan Kaisar?”

Pek In mengangguk. “Aku pernah mendengar tentang dibakarnya biara Siauw-lim-si, Suheng. Mereka itukah yang kau maksudkan?”

Hong Bu mengangguk. “Mereka dan banyak orang lagi yang merasa tidak suka melihat kelaliman Kaisar dan tidak suka melihat penjajahan bangsa Mancu atas bangsa kita. Apakah engkau tidak tertarik?”

Pek In mengangguk. “Memang mereka itu hebat dan gagah sekali, Suheng. Akan tetapi apa hubungannya dengan kita?”

“Memang tidak ada hubungannya secara langsung, Sumoi. Akan tetapi apakah kita juga harus diam saja menyaksikan kelaliman Kaisar itu? Bayangkan saja. Para pendeta di Siauw-lim-si, para pendekar Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu, yang selalu membela kaum lemah tertindas dan menentang mereka yang jahat sewenang-wenang, dibasmi dan biaranya dibakar. Entah berapa banyaknya pendekar gagah perkasa yang tidak berdosa dibunuh, dibantai oleh pasukan besar. Bukankah kita ini juga merasa sebagai pendekar, Sumoi?”

“Lalu apa yang hendak kau lakukan, Suheng?”

“Aku ingin menemui mereka, ingin berkenalan dengan orang-orang gagah itu.”

“Baik sekali! Di mana? Di sini?”

Hong Bu mengangguk. “Ya, aku mendengar bahwa mereka berkumpul di Cin-an ini, dan kini aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Kabarnya, aku mendengar dari seorang pendekar yang hidup sebagai nelayan sungai yang kulalui, mereka itu berkumpul di sebuah rumah kuno yang disebut Gedung Mawar Kuning. Kiraku tidak sukar mencari rumah dengan nama seperti itu.”

“Baik, aku ikut, Suheng. Aku pun senang sekali kalau dapat berkenalan dengan mereka, dan....“

Tiba-tiba Hong Bu mengeluarkan bunyi, “Ssttt....!” dan memberi tanda agar Sumoi-nya tidak bicara lagi.

Seorang pelayan rumah penginapan membawa lentera mengantar masuk tiga orang tamu baru yang agaknya baru tiba di malam itu. Karena mereka diberi kamar agak ke belakang, maka mereka itu melewati kamar-kamar Hong Bu dan Pek In ketika diantar oleh pelayan ke kamar mereka di belakang. Diam-diam Hong Bu memperhatikan mereka, juga Pek In dan wajah Pek In berubah pucat sekali, lalu gadis ini menundukkan mukanya, atau lebih tepat menyembunyikan muka dan memutar tubuh membelakangi tamu-tamu itu.

Hong Bu memandang dengan penuh perhatian dan jantungnya berdebar tegang. Dia tidak mengenal mereka itu, akan tetapi mereka segera dapat menduga siapa adanya pria setengah tua gagah perkasa yang buntung sebelah lengannya itu! Ciri khas dari Pendekar Sakti Gurun Pasir!

Kalau saja orang ini tidak datang bersama seorang wanita setengah tua yang cantik jelita dan gagah dan seorang pemuda yang ganteng sekali, juga amat gagah, tentu dia dapat menduga bahwa mungkin saja orang itu bukan Si Pendekar Buntung Lengan. Akan tetapi, melihat dua orang teman Si Buntung itu, hatinya tidak ragu-ragu lagi. Siapa lagi kalau bukan Naga Sakti Gurun Pasir dan anak isterinya yang lihai itu? Akan tetapi tiga orang itu agaknya tidak mempedulikan dia, juga tidak melihat kepada Pek In yang sudah membuang muka.

Setelah mereka itu lewat dan memasuki tikungan, barulah Pek In memegang lengan Hong Bu dan berbisik, “Itu mereka....”

Hong Bu mengangguk dan memberi isyarat kepada sumoi-nya untuk memasuki kamar sumoi-nya. Setibanya di dalam kamar, Hong Bu berkata, “Aku mengenal mereka. Tentu inilah Naga Sakti Gurun Pasir dan anak isterinya, bukan?”

“Benar! Apakah mereka melihatku, Suheng? Mereka tentu mengenalku.”

“Agaknya mereka tidak menoleh kepadamu, akan tetapi siapa tahu? Mereka adalah orang-orang sakti, dan kedatangannya di rumah penginapan ini sungguh suatu hal yang terlalu kebetulan. Mereka mencari-cariku, kenapa kebetulan mereka datang ke rumah penginapan di mana aku berada? Sumoi, kita harus pergi sekarang juga!”

“Tidak, aku tidak takut!” Pek In berseru dan mengepal tinju. “Aku tidak sudi melarikan diri!”

“Bukan melarikan diri karena takut, Sumoi, melainkan....”

“Apa....?”

“Sudahlah,” Hong Bu tidak mau mengatakan bahwa dia terpaksa melarikan diri karena dia berada bersama Pek In.

Betapa pun lihainya Pek In, gadis ini sama sekali bukan tandingan para pendekar sakti itu dan kalau harus melindungi gadis itu, tentu dia tidak akan dapat bergerak leluasa. “Sumoi, bukankah engkau ingin ikut denganku?”

“Benar....,” dan wajah yang manis itu kembali nampak khawatir. “Jangan.... tinggalkan aku, Suheng!”

“Nah, aku mau pergi sekarang. Engkau ikut ataukah tidak?” Setelah berkata demikian, Hong Bu pergi meninggalkan gadis itu, memasuki kamarnya dan mengambil buntalan pakaiannya.

Pek In tidak menjawab, akan tetapi tahu-tahu ia telah mengikuti pemuda itu dan sudah membawa pula buntalan pakaiannya. Wajahnya cemberut, akan tetapi masih manis.

Setelah mereka berdua meninggalkan rumah penginapan itu melalui jalan jendela dan melakukan perjalanan cepat, Pek In mengomel, “Sungguh memalukan sekali kalau kita harus melarikan diri dari mereka.”

“Sumoi, seorang pendekar bukan saja harus berani dan gagah perkasa, akan tetapi juga harus cerdik. Aku bukan takut kepada mereka, akan tetapi kita harus cerdik. Mereka bertiga itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi sekali. Sebaiknya kalau kita lebih dulu menemui para pendekar patriot yang tentu tidak bersahabat dengan mereka, mengingat mereka itu adalah kaki tangan Kaisar.”

“Huh, jadi engkau hendak mencari teman?”

“Bukan, hanya hendak mengimbangi mereka kalau-kalau mereka maju mengeroyok.”

Pek In memandang dengan tajam. “Aih, bagaimana engkau dapat menduga serendah itu kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Dia dan anak isterinya mendatangi lembah bertiga saja, sama sekali tidak takut akan dikeroyok, karena mereka percaya bahwa seorang pendekar tidak nanti akan berlaku curang! Dan aku pun percaya bahwa Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bukanlah orang yang curang!”

Hong Bu hanya tersenyum. Tetap saja dia tidak mau mengatakan bahwa tindakannya itu bukan sekali-kali karena takut, melainkan karena dia harus menyelamatkan pedang, jangan sampai terampas utusan Kaisar. Pula, dia pun harus melindungi Pek In. Bagai mana mungkin dia sekaligus melindungi pedang dan Pek In? Kecuali kalau Pek In sudah berada di tempat aman, misalnya di antara para pendekar patriot itu barulah dia akan merasa lega dan mungkin saja dia malah akan menantang siapa yang berhak memiliki pedang pusaka, juga menebus kekalahan gurunya.

Tidak sukar bagi mereka untuk mencari Gedung Mawar Kuning itu. Setiap orang tahu di mana adanya gedung tua itu yang kini menjadi sebuah perkumpulan silat yang bernama perguruan silat Kim-jiauw-eng (Garuda Kuku Emas). Memang gedung ini pernah menjadi pusat perguruan silat yang masih merupakan cabang dari Siauw-lim-pai itu. Gurunya adalah seorang she Ciong yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai dan memang Ilmu Silat Kim-jiauw-eng yang diajarkannya itu masih bersumber pada ilmu silat Siauw-lim-pai. Karena itulah, maka ketika ada pergerakan para pendekar patriot, gedung tua yang besar ini dipilih menjadi pusat tempat pertemuan mereka.

Gedung itu dikurung pagar tembok yang tingginya hampir tiga meter. Akan tetapi bukan merupakan penghalang yang sulit bagi Hong Bu dan Pek In. Mereka meloncat ke atas pagar tembok itu dan melayang ke sebelah dalam. Akan tetapi begitu kedua kaki mereka turun ke atas tanah, terlihat berkelebatnya bayangan banyak orang dan tahu-tahu mereka telah dikepung oleh belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi! Kiranya gerak-gerik mereka sejak mendekati gedung sampai ketika mereka berdua melompat ke atas pagar tembok telah diketahui oleh para penjaga dan hal ini saja menunjukkan betapa kuatnya penjagaan para pendekar di ternpat itu!

“Kami bukan musuh!” Hong Bu cepat berkata sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Kami adalah sahabat-sahabat yang ingin bertemu dengan pimpinan para Enghiong di sini!”

Tentu saja ucapan itu tidak bisa diterima begitu saja. Dua orang ini masuk secara gelap bukan melalui pintu sebagai tamu, mana bisa mereka mempercayai keterangan itu? Pula, keadaan para pendekar patriot di situ merupakan rahasia, tidak ada yang tahu bahwa tempat itu menjadi sarang mereka. Maka, orang yang datang dan tahu akan hal itu sungguh merupakan orang yang patut dicurigai.

“Siapa engkau?” bentak seorang di antara mereka.

“Namaku Sim Hong Bu, dan ini adalah Cu Pek In....”

“Aihhh, kiranya benar Pek In....!” Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita dan seorang wanita berkelebat datang dan berdiri di depan Pek In.

Tempat itu mendapat penerangan dari obor yang dibawa datang seorang pendekar sehingga mereka dapat saling memandang. Kini Hong Bu dan Pek In segera mengenal wajah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Melihat bibinya, Pek In cepat memberi hormat, diturut pula oleh Hong Bu.

“Dan ini Hong Bu malah! Ahh, masuklah. Kawan-kawan, mereka ini adalah keponakan-keponakanku sendiri!”

Hong Bu dan Pek In merasa terheran-heran melihat bahwa bibi mereka berada di tempat itu, akan tetapi keheranan mereka lenyap ketika mereka dihadapkan dengan pimpinan para pendekar itu yang ternyata adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap! Biar pun di dalam hatinya ada rasa tidak senang, namun Pek In dapat mengerti mengapa bibinya berada di situ. Kiranya bibinya ini telah menyusul bekas kekasihnya, si pendekar perayu wanita itu yang sekarang telah menjadi pimpinan para pendekar patriot!

Bu-taihiap girang bukan main menerima Hong Bu dan Pek In. Dia sudah mendengar dari isterinya, yaitu Tang Cun Ciu tentang diri pemuda ini yang katanya merupakan pewaris pedang Koai-liong Po-kiam berikut Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang tiada tandingannya di dunia ini! Maka pemuda itu merupakan tenaga yang sangat boleh diandalkan, dan juga dia sudah mendengar tentang Cu Pek In, puteri tunggal dari penghuni Lembah Suling Emas yang kini menjadi Lembah Naga Siluman itu.

“Selamat datang, Sim Hong Bu! Aku sudah banyak mendengar tentang kelihaianmu dari bibi gurumu. Dan engkau, Cu Pek In. Ayahmu adalah seorang sahabatku yang amat baik!”

Cu Pek In dan Sim Hong Bu memberi hormat, biar pun di dalam hatinya Cu Pek In memaki laki-laki ganteng ini, karena laki-laki inilah yang merayu hati Tang Cun Ciu, isteri dari toapek-nya sehingga toapek-nya itu meninggal dunia karena duka! Dan sekarang, dengan tak tahu malu sekali isteri toapek-nya itu malah menyusul kekasihnya! Biar pun mereka itu sekarang menjadi pimpinan pendekar patriot, tetap saja baginya mereka memiliki perbuatan-perbuatan yang serba busuk! Itulah sebabnya mengapa Pangeran Kian Liong yang menjadi tawanan itu melihat adanya pemuda perkasa dan gadis berpakaian pria yang bukan lain adalah Sim Hong Bu dan Cu Pek In di antara para pendekar patriot, duduk di dekat Bu-taihiap dan tiga orang isterinya yang merupakan puncak pimpinan para patriot itu.

Tentu saja Cu Pek In tidak salah mengenal orang, dan juga dugaan Sim Hong Bu adalah benar bahwa tiga orang yang memasuki rumah penginapan itu adalah keluarga Kao. Pria gagah perkasa yang lengannya buntung itu memang adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya, Wan Ceng, dan putera mereka, Jenderal Muda Kao Cin Liong.

Seperti telah kita ketahui, Jenderal Muda Kao Cin Liong diperintah oleh Kaisar sendiri untuk mencari dan merampas kembali sampai berhasil pedang pusaka Koai-liong Pokiam yang lenyap dari istana. Untuk menghadapi tugas yang amat sukar dan berat ini, Kao Kok Cu dan isterinya yang kebetulan sedang mengunjungi putera mereka, segera turun tangan dan membantu putera mereka. Bertiga, keluarga sakti ini telah mendatangi Lembah Suling Emas atau yang telah berganti nama baru Lembah Naga Siluman.

Dengan gagah perkasa tiga orang ini menyerbu lembah itu, mengalahkan keluarga Cu yang sakti sehingga mengakibatkan dua orang sakti, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, terpaksa mengundurkan diri. Akan tetapi, kemenangan atas diri kedua orang tokoh keluarga Cu yang sakti ini, bukan berarti pedang pusaka itu dapat mereka rebut kembali. Pedang itu menurut keterangan pihak keluarga Cu yang kalah itu, berada di tangan murid mereka yang merupakan ahli waris pedang dan ilmu itu, adalah Sim Hong Bu.

Demikianlah, keluarga Kao yang gagah perkasa itu melanjutkan usaha atau tugas mereka, yaitu mencari pedang pusaka yang dibawa pergi pemuda yang bernama Sim Hong Bu. Kemudian, dalam perjalanan mereka, keluarga Kao ini mendengar tentang geger yang dihebohkan oleh tindakan Kaisar terhadap Siauw-lim-si, yaitu pembakaran biara atau Kuil Siauw-lim-si dan menewaskan banyak sekali murid-murid Siauw-lim-pai.

Tentu saja, seperti para pendekar di dunia kang-ouw, berita ini amat mengejutkan hati mereka dan menimbulkan perasaan tidak senang dan tidak puas. Semenjak dahulu, keluarga ini memandang tinggi nama Siauw-lim-pai dan tahu bahwa partai persilatan ini adalah partai yang bersih dan terhormat, yang mempunyai banyak pendekar sakti yang gagah perkasa. Dan kini Kaisar telah bertindak dengan kejam, menggunakan pasukan besar untuk membunuh banyak murid Siauw-lim-pai, berusaha membasmi partai ini bahkan telah membakar habis biara Siauw-lim-si.

Kao Cin Liong sendiri marah-marah mendengar berita itu. “Sungguh terlalu!” katanya ketika mereka mendengar berita itu. “Kalau sikap Sri Baginda Kaisar seperti ini dan kelaliman ini dilanjutkan, alangkah rendahnya kalau aku menghambakan diri kepada seorang lalim! Lebih baik aku meletakkan jabatanku dan bersahabat dengan para pendekar Siauw-lim-pai yang tertimpa mala petaka!”

“Memang amat menggemaskan! Apalagi kalau diingat bahwa Sri Baginda Kaisar sendiri pernah menjadi murid Siauw-lim-pai! Perbuatan seorang murid yang sungguh keji dan murtad!” kata pula ibunya yang memang sejak muda memiliki watak keras akan tetapi jujur dan adil.

Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. Dia adalah seorang pendekar yang sudah matang, tidak mudah dipengaruhi oleh segala macam keadaan, dan tidak lagi membiarkan diri diseret nafsu perasaan. “Apa pun juga alasannya, perbuatan Kaisar memang tidak patut, dan juga bukan merupakan perbuatan yang baik dan menguntungkan pemerintah. Akan tetapi, Cin Liong, kau harus selalu ingat bahwa kau adalah seorang pendekar. Kau harus selalu dapat menjaga nama dan memenuhi tugasmu dengan baik. Tugasmu saat ini adalah mencari dan merebut kembali pedang pusaka kerajaan, dan bukan watak seorang pendekar untuk meninggalkan tugas yang belum dilaksanakan sampai berhasil.”

Cin Liong mengangguk-angguk. “Saya mengerti, Ayah. Saya akan terus mencari Sim Hong Bu dan apa pun hasilnya, saya harus dapat mencari dia. Setelah bertemu dan bicara dengan dia tentang pedang itu, baru saya akan kembali dan melapor kepada Sri Baginda Kaisar tentang pelaksanaan tugas ini. Setelah itu, baru saya mengundurkan diri meletakkan jabatan. Pangeran Mahkota Kian Liong adalah orang yang bijaksana sekali. Menurut berita yang kita dengar, beliau malah membebaskan dan menyelamatkan sisa murid-murid Siauw-lim-pai sebanyak delapan orang, Pangeran ini tahu mana yang benar dan mana yang salah. Karena itu, biarlah saya menanti sampai kelak Pangeran Kian Liong yang menjadi kaisar, barulah saya akan menawarkan kembali tenaga saya untuk mengabdikan diri.”

Ayah dan ibunya menyatakan persetujuan mereka dan ketiga orang gagah ini pun melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, mereka terkejut bukan main ketika mendengar lagi berita angin dari para pendekar di kang-ouw bahwa Sang Pangeran Mahkota telah lenyap dan sedang dicari oleh orang-orang gagah berbagai golongan. Tentu saja mereka, terutama sekali Cin Liong yang masih bertugas sebagai seorang jenderal, apalagi yang menjadi sahabat baik Pangeran Kian Liong, merasa gelisah bukan main.

“Ahh, biar pun ini merupakan tugas yang tidak langsung menjadi perintah Kaisar, akan tetapi mencari dan menyelamatkan Sang Pangeran tidak kalah pentingnya dari pada mencari dan merebut kembali pedang itu,” kata Cin Liong.

“Memang, kita harus ikut mencari Sang Pangeran. Jangan sampai beliau dikuasai oleh orang-orang jahat,” kata ayahnya.

“Sungguh Pangeran Mahkota merupakan seorang pemuda yang luar biasa,” kata Wan Ceng setengah mengomel. “Beliau adalah seorang pemuda yang lemah, akan tetapi mengapa selalu suka melakukan perjalanan merantau sendirian saja tanpa pengawal? Padahal, sebagai seorang pangeran mahkota tentu saja bahaya selalu mengancam beliau.”

“Beliau akan menjadi kaisar yang baik,” suaminya mengangguk-angguk. “Seorang yang semenjak muda sudah melenyapkan rasa takut dengan rasa kasih sayang terhadap rakyatnya. Beliau ingin melihat sendiri dan mendengar sendiri keadaan dan kehidupan rakyat serta keluh-kesah mereka. Hanya seorang kaisar yang memerintah rakyatnya dengan kasih sayang sajalah, seperti seorang ayah yang benar-benar mencinta anak-anaknya, maka sebuah negara akan benar-benar menjadi makmur dan kuat.”

Keluarga yang gagah perkasa ini melanjutkan perjalanannya sambil menyelidiki dan mendengar-dengarkan dan akhirnya, pada suatu siang ketika melewati sebuah hutan tidak jauh dari kota Cin-an, mereka melihat belasan orang laki-laki rebah malang-melintang. Sebagian besar telah tewas, akan tetapi ada beberapa orang yang masih hidup, walau pun luka-luka mereka amat parah dan mereka ini pun sukar untuk dapat diselamatkan lagi. Agaknya, baru beberapa jam mereka itu telah dirobohkan oleh musuh yang amat kuat. Tiga orang muda ini cepat menghampiri mereka yang masih hidup, memeriksa, namun mereka memperoleh kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu menolong lagi.

“Siapakah yang melakukan ini dan mengapa?” Kao Cin Liong bertanya kepada seorang di antara mereka yang agaknya masih lebih kuat dari pada yang lain. Ayah bundanya hanya ikut mendengarkan saja, membiarkan putera mereka menangani urusan ini.

Setelah diberi beberapa teguk minuman arak, meski lemah orang itu dapat juga bicara, “Kami.... menghadang seorang pemuda yang bersenjata suling emas.... kami hampir berhasil.... lalu muncul pemuda yang berpedang.... pedang sinar biru.... aahhh....” Dan orang itu pun tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kepalanya sudah terkulai.

Yang lain-lainnya terlampau parah luka-luka mereka sehingga sama sekali tidak mampu bicara lagi. Bahkan sebelum tiga orang pendekar itu dapat berbuat sesuatu, mereka yang terluka parah itu pun tewas pula.

Setelah memeriksa semua perampok itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah benar-benar tewas, Cin Liong bersama ayah ibunya lalu menggali lubang besar dan mengubur semua jenazah itu dengan sederhana. Mereka, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pendekar ini tidak mungkin dapat membiarkan saja jenazah belasan orang itu tanpa dikubur, walau pun mereka dapat menduga bahwa mereka itu semua adalah anggota perampok.

“Hemm, pedang bersinar biru? Dan pemuda bersenjata suling emas?” Cin Liong berkata ketika mereka melanjutkan perjalanan.

Ayahnya memandang kepadanya. “Engkau dapat menduga siapa mereka?”

Puteranya mengangguk, juga ibunya berkata, “Aku pun sudah tahu siapa mereka itu.”

“Bagus, kalau begitu mari kita cepat-cepat melanjutkan perjalanan. Daerah ini termasuk daerah kota Cin-an, ke mana lagi mereka kalau tidak ke kota itu? Dan kabarnya, di kota Cin-an itu pula berkumpulnya para pendekar patriot,” kata Si Naga Sakti Gurun Pasir.

Tanpa menyebut nama, tiga orang pendekar yang cerdas ini sudah dapat menduga bahwa pemuda bersenjata suling emas itu tentulah Cu Pek In dan pedang bersinar biru itu, apa lagi kalau bukan Koai-liong Po-kiam?

Demikianlah, keluarga sakti ini akhirnya dapat mengikuti jejak Cu Pek In dan Sim Hong Bu, dan seperti telah diceritakan pada bagian depan, Cu Pek In dan Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika melihat tiga orang ini. Dan biar pun Pek In cepat membuang muka, dan tiga orang sakti itu seolah-olah tidak melihat adanya dua orang muda itu, namun sesungguhnya Cin Liong dan ayah bundanya sudah melihat mereka dan mereka yakin kini bahwa dugaan mereka adalah benar.

Biar pun mereka tidak melihat adanya senjata pedang pusaka yang mereka cari-cari itu pada diri pemuda yang nampak sederhana itu, mereka dapat menduga bahwa pedang itu tentu disembunyikan dan hal ini bahkan lebih meyakinkan hati mereka. Kalau bukan Koai-liong Po-kiam yang dibawa pemuda ini, perlu apa disembunyikan? Dan kalau pedang itu tentu saja disembunyikan, karena pedang itu adalah pedang pusaka yang hilang dari istana.

Dan ketika pada malam hari itu Hong Bu dan Pek In melarikan diri dari losmen, hal ini pun sama sekali tidak terlewat dari pengamatan keluarga itu. Diam-diam mereka bertiga cepat membayangi dari jauh. Mereka melihat betapa bayangan dua orang muda itu melompati pagar tembok sebuah rumah tua dan mereka tidak berani ceroboh memasuki rumah orang.

“Kau berjagalah di sini bersama Ibumu, aku akan menyelidiki rumah siapa ini,” kata Kao Kok Cu.

Cin Liong dan ibunya mengangguk dan bersembunyi sambil mengintai untuk melihat kalau-kalau dua orang yang mereka bayangi tadi keluar dari situ lagi. Si Naga Sakti Gurun Pasir tak lama pergi. Dia sudah muncul kembali dan berbisik kepada puteranya dan isterinya, “Wah, kiranya rumah inilah yang menjadi sarang patriot! Mereka sedang berkumpul di sini!”

Berita ini benar-benar amat mengejutkan hati Cin Liong dan ibunya. Baiknya mereka tadi tidak ceroboh memasuki sarang yang amat berbahaya, yang penuh dengan orang-orang sakti itu. Kedua orang yang mereka bayangi telah masuk ke situ, berarti bahwa itu pun tentu mempunyai hubungan yang erat dengan penghuni rumah itu!

“Bagaimana baiknya sekarang?” tanya Kao Kok Cu untuk mencoba puteranya. Betapa pun juga yang mempunyai tugas itu adalah puteranya, dan pendekar ini sudah percaya penuh kepada kecerdasan dan kewaspadaan puteranya sehingga dia menyerahkan keputusan kepada puteranya itu.

“Ayah, tidak baik kalau kita menyerbu sekarang. Mereka adalah pendekar-pendekar, bukan penjahat-penjahat. Sebaiknya kita besok pagi datang sebagai tamu dan dengan terus terang akan saya sampaikan kepada pimpinan para patriot agar menyerahkan Sim Hong Bu kepada saya dengan alasan urusan pribadi. Kita harus menjaga agar jangan sampai terjadi bentrokan antara kita dengan para patriot.”

Ayahnya mengangguk lalu berkata, “Memang bijaksana dengan cara demikian. Namun aku meragukan apakah patriot-patriot itu akan menerimamu dengan sikap bersahabat karena mereka tahu bahwa engkau adalah seorang perwira tinggi istana.”

“Terserah kepada mereka. Yang jelas, kedatangan kita bukanlah untuk urusan antara Kaisar dan mereka, melainkan urusan pedang.”

Mereka lalu kembali ke rumah penginapan. Mereka merasa yakin bahwa kedua orang muda yang mereka bayangi tadi tidak tahu bahwa mereka tadi membayangi mereka, dan juga mereka dapat menduga bahwa tentu Sim Hong Bu berbesar hati setelah berada di markas para pendekar patriot itu dan tidak akan pergi untuk sementara waktu. Dengan adanya pengejaran dari keluarga Kao, tentu pemuda itu menganggap bahwa markas itu merupakan tempat persembunyian yang paling aman. Dan memanglah, semua pendapat ini tepat sekali.

Akan tetapi, Jenderal Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak tahu bahwa pada malam hari itu juga, pangeran mahkota tiba pula di Cin-an dan ditahan di dalam rumah yang menjadi markas para patriot, itu! Andai kata mereka terus mengamati di tempat itu, tentu mereka akan melihat hal ini dan mungkin akan terjadi bentrokan yang sukar dapat dicegah lagi.

suling emas naga siluman jilid 24


Hati Cia Han Beng merasa bingung dan gelisah sekali. Dia merasa menyesal bahwa dara yang membuatnya jatuh cinta, ternyata tidak sepaham dengan dia mengenai perjuangan para patriot. Bahkan dara itu dengan kekerasan telah membawa pergi Sang Pangeran, dan dia sama sekali tidak ada keberanian hati, atau lebih tepat lagi tidak tega, untuk menentang dengan kekerasan. Dia merasa betapa tiba-tiba dia menjadi seorang yang lemah sekali, dan dia tahu bahwa selama Ci Sian melindungi Sang Pangeran, dia tidak akan tega untuk merebut Pangeran itu.

Dia pun tahu bahwa Ci Sian hanya bertindak sebagai seorang pendekar, sama sekali tidak memihak pemerintah dan menentang para patriot, tapi hanya ingin melindungi yang lemah dari ancaman bahaya seperti selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar. Hal inilah yang membuatnya bingung dan putus asa. Andai kata Ci Sian itu seorang penjilat pemerintah penjajah tentu cintanya akan dapat dilawannya sendiri dan dia tentu akan mau menentang dara itu. Akan tetapi, dara itu adalah seorang pendekar yang mengagumkan hatinya.

Tak mungkin aku berhasil sebagai seorang patriot kalau begini, keluhnya dengan hati kesal sekali setelah dia berpisah dari Ci Sian. Tidak, dia akan mengambil cara lain. Dia tahu bahwa Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang hebat dan bijaksana, maka dia pun tidak terlalu menyesal akan sikap Ci Sian. Dia sendiri, andai kata dia tidak mempunyai jiwa pemberontak terhadap kekuasaan penjajah, tentu dia pun tidak akan segan untuk mempertaruhkan nyawanya guna membela seorang pangeran mahkota yang bijaksana seperti Pangeran Kian Liong.

Yang jahat, yang menjadi biang keladi semua peluapan kemarahan hati para patriot adalah kelaliman Kaisar! Kaisarlah yang harus dibasmi! Peristiwa pembakaran biara Siauw-lim-si, perlakuan sewenang-wenang terhadap orang-orang Han, semua adalah perbuatan Kaisar yang membenci orang Han. Dan kalau dia telah gagal menangkap Pangeran, masih ada jalan lain baginya yang lebih langsung dan tepat, yaitu menyerbu ke istana dan mencoba untuk membunuh Kaisar. Dia tahu bahwa perbuatan ini amat berbahaya, karena istana merupakan tempat yang amat kuat dengan penjagaan ketat, di mana berkumpul perwira-perwira berkepandaian tinggi dan pengawal-pengawal yang gemblengan. Akan tetapi, dia mempunyai harapan. Bukankah ibu kandungnya berada di sana sebagai selir Kaisar?

Demikianlah, dengan hati yang telah mengambil keputusan tetap, Cia Han Beng pergi ke kota raja. Biar pun para pengawal dan pembesar yang mengurus dalam istana, para thaikam (orang kebiri) menyambutnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, namun mereka itu melapor juga kepada ibu pemuda itu yang menjadi selir Kaisar bahwa ada seorang pemuda bernama Cia Han Beng dan mengaku sebagai keluarga dekat mohon menghadap.

Tentu saja ibu pemuda itu terkejut sekali mendengar disebutnya nama ini dan cepat-cepat memerintah thaikam untuk mempersilakan pemuda itu menghadapnya di dalam taman. Selir Kaisar ini memilih taman sebagai tempat pertemuannya dengan puteranya agar mereka dapat bicara dengan leluasa di tempat terbuka sehingga tidak akan ada yang dapat mencuri dengar percakapan antara mereka.

Dengan pengawal dua orang pengawal dalam yang juga terdiri dari laki-laki yang sudah dikebiri, Han Beng dipersilakan memasuki taman. Ketika tiba di pondok indah dekat kolam ikan, Han Beng melihat seorang wanita cantik dengan pakaian yang mewah berdiri menantinya dengan kedua mata basah dengan air mata. Melihat ibunya, Han Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan dia pun cepat maju berlutut di depan kaki ibu kandungnya sambil menundukkan mukanya. Selir itu memejamkan mata dan menggunakan sapu tangan menyusuti air matanya, kemudian memberi isyarat kepada dua orang pengawal kebiri itu untuk meninggalkannya bersama puteranya.

Setelah dua orang pengawal itu mengundurkan, wanita itu lalu membungkuk dan merangkul puteranya, disuruhnya Han Beng berdiri dan sejenak mereka berdua saling berpandangan dengan hati yang tidak keruan rasanya.

“Han Beng....!” Akhirnya wanita itu berbisik yang merupakan jerit yang keluar langsung dari dalam hatinya.

“Ibu....!” Han Beng menahan agar air matanya tidak jatuh bertitik, sungguh pun dia sudah merasa betapa hatinya tergetar dan kedua matanya terasa panas.

Kalau ibunya merasa berduka dan terharu sekali melihat puteranya, sebaliknya pemuda ini selain terharu, juga merasa panas hatinya melihat ibunya hidup sebagai seorang selir kaisar yang berpakaian begini indah dan mewah, sedangkan ayahnya telah terbunuh oleh Kaisar yang kini menjadi suami ibunya!

“Han Beng, mari kita duduk di bangku itu.... kita bicara di luar saja agar jangan ada orang lain mendengarkan dengan sembunyi,” Ibunya berbisik dan menggandeng tangan puteranya, diajaknya puteranya itu duduk di bangku panjang di tengah taman, jauh dari pondok.

Wanita setengah tua itu, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, masih nampak cantik sekali, apalagi karena dia kini mengenakan pakaian yang demikian indah dan rambutnya disanggul secara istimewa seperti biasa dandanan para selir Kaisar. Kini, melihat puteranya, seketika hancur berantakan segala kemuliaan yang dirasakannya setiap hari dan terbayanglah di pelupuk matanya segala peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu!

Ia hidup saling mencinta bersama suaminya yang merupakan seorang pendekar gagah perkasa, dengan seorang putera mereka, yaitu Han Beng. Kemudian, datanglah mala petaka itu! Suaminya adalah seorang pendekar yang pernah menjadi sahabat Ai Seng Kiauw murid Siauw-lim-pai yang suka bersahabat dengan para pendekar itu, yang kini telah menjadi Kaisar Yung Ceng! Dan ketika mereka mengadakan perjalanan sampai ke kota raja, suaminya teringat akan sahabat itu dan biar pun telah dicegahnya, suaminya tetap nekad berkunjung dan menghadap bekas sahabat yang kini menjadi kaisar itu.

Dan memang, Kaisar menyambutnya dengan ramah dan manis budi. Tetapi terjadilah mala petaka ketika Kaisar memandang kepadanya! Memandang kepadanya dengan sinar mata yang demikian mesra dan penuh nafsu birahi!

Maka terjadilah kesemuanya itu, peristiwa yang mengubah hidupnya! Suaminya telah terbunuh, dan ia pun diambil selir oleh Kaisar! Dan ia.... ia tidak melawan.... ia seorang wanita yang lemah melihat kemuliaan membayang di depan mata! Ia pun menyerahkan diri, bukan dengan terlalu terpaksa, bahkan dengan harapan baru. Kalau dulunya ia hidup sebagai seorang isteri pendekar yang bertualang, yang kadang-kadang menderita lapar dan tidur di kuil-kuil tua atau di hutan-hutan, sekarang ia menjadi seorang yang dihormati dan dimuliakan!

Dan Kaisar pun sayang kepadanya. Bahkan Pangeran Mahkota sendiri memandangnya sebagai seorang ibu! Mau apa lagi? Puteranya, lari entah ke mana. Dan kini, puteranya itu muncul di depannya! Maka terjadilah perang di dalam hati wanita ini, perang antara kemewahan dan kemuliaan di istana, melawan kasih sayang seorang ibu kandung terhadap anaknya. Dan kemuliaan itu pun kini menipis.

Segala macam kesenangan di dunia ini, apa pun juga bentuknya, tidak akan abadi. Kesenangan selalu disusul oleh kebosanan, atau juga oleh keinginan memperoleh yang lebih besar lagi sehingga kesenangan yang ada itu tidak begitu berarti lagi.

Demikian pula dengan wanita ini. Kemuliaan dan kemewahan itu memang dirasakan dan dinikmatinya betul pada mulanya, dalam waktu beberapa bulan, beberapa tahun. Tetapi kemewahan dan kemuliaan yang dilimpahkan kepadanya setiap hari itu mulai menimbulkan kebosanan dan kemuakan. Apalagi dengan munculnya puteranya ini yang mendatangkan lagi kenang-kenangan lama, membuat batin ibu ini merasa terguncang.

“Han Beng.... Anakku.... Puteraku sayang.... akhirnya engkau mau juga menjenguk ibumu....” Ia berkata sambil mengusap air matanya yang terus bercucuran.

Han Beng memandang wajah ibunya. Ada juga rasa iba, rasa haru dan rasa mesra yang timbul dari kasih sayangnya terhadap wanita yang menjadi ibunya ini. Akan tetapi yang lebih lagi adalah rasa marah. Ibunya sampai hati benar berenang di dalam kemewahan di samping laki-laki yang telah membunuh suaminya!

“Ibu....,” katanya, suaranya agak gemetar. “Aku datang ini bukan untuk menjenguk Ibu, melainkan untuk....,” dia berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri yang sunyi. Dua orang tadi berdiri di luar taman, biar pun memandang ke arahnya akan tetapi tidak dapat mendengar percakapan itu.

“Untuk apa, Anakku? Engkau membutuhkan apa....? Ibumu akan dapat menolongmu, Nak....”

“Nah, terima kasih, Ibu. Itulah yang kubutuhkan, yaitu pertolonganmu. Kuharap Ibu suka membantuku dan suka memberi jalan kepadaku agar niat hatiku tercapai.”

“Niat hatimu? Apa niat itu? Apakah engkau ingin.... menikah?” Dengan air mata masih berlinang, wanita itu mencoba untuk tersenyum dan memandang wajah puteranya yang tampan.

“Bukan. Niat hatiku adalah untuk membunuh Kaisar!”

“Eiihhh....!” Wanita itu menahan jeritnya dengan menutupkan tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak dan tangan kanannya mencengkeram lengan puteranya. “Kau.... kau sudah.... gila....!”

Pemuda itu melangkah mundur, melepaskan diri dari pegangan tangan ibunya sambil memandang tajam penuh kemarahan dan rasa penasaran. Akan tetapi suaranya masih perlahan karena dia pun tidak ingin suaranya terdengar oleh orang lain, “Ibu, selain Ayah telah dibunuh oleh Kaisar, juga seluruh pendekar bangsa Han ditindasnya, kuil Siauw-lim-si dibakarnya, dan rakyat ditindasnya. Sekarang Ibu justru bersenang-senang menjadi selir kaisar lalim itu. Ibu, katakanlah sekarang, siapakah di antara kita yang pantas disebut gila?”

“Han Beng! Engkau hanya terdorong oleh dendam atas kematian ayahmu....”

“Tidak, Ibu. Urusan pribadi hanya urusan kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan seluruh bangsa! Tentu saja aku merasa sakit hati atas kematian Ayah, akan tetapi aku hendak membunuh Kaisar bukan karena itu, melainkan untuk membebaskan rakyat dari penindasan Kaisar penjajah yang lalim. Dan Ibu, kalau memang Ibu masih mempunyai sedikit jiwa kependekaran seperti mendiang Ayah, Ibu harus membantuku.”

“Tapi.... tapi.... berbahaya sekali, Anakku! Kaisar sendiri memiliki kepandaian yang lihai, belum lagi kalau diingat bahwa beliau selalu dilindungi oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi! Engkau akan tertangkap dan terbunuh sebelum engkau mampu mendekatinya!”

“Akan tetapi, aku yakin bahwa sewaktu-waktu Kaisar tentu berdua saja dengan Ibu, di mana tidak ada seorang pun pengawal yang mendekat. Kalau aku tidak mungkin mendekatinya, maka Ibu mudah sekali. Apa sukarnya bagi Ibu untuk menyerang dan membunuhnya sewaktu dia mendekati Ibu?”

“Apa kau gila? Aku.... aku adalah selirnya! Isterinya!”

“Bagiku bukan! Ibu adalah isteri Ayah yang telah dibunuh Kaisar, Ibu adalah isteri Ayah yang dirampas oleh Kaisar! Ibu adalah wanita Han yang tidak ingin melihat rakyat ditindas oleh Kaisar penjajah lalim!”

“Ohhhh.... Anakku...., aku.... aku memang bersalah.... tapi.... tapi tidak tahukah engkau bahwa Ibumu ini hanya seorang wanita? Aku.... cinta padanya, Han Beng.”

Pemuda itu merasa betapa jantungnya seperti ditusuk. “Hemm, kalau begitu, Ibu sudah lupa kepada Ayah, Ibu tidak cinta kepadaku, dan Ibu juga tidak peduli dengan bangsa sendiri?”

“Bukan.... ah, aku cinta padamu, Anakku. Engkau anakku satu-satunya.... akan tetapi ini lain lagi, Han Beng.”

“Sudahlah, Ibu, tak perlu banyak ribut lagi. Kalau ketahuan orang, maka semua usahaku gagal dan kita berdua akan celaka. Ibu tinggal pilih saja sekarang, Ibu lakukan sendiri bunuh Kaisar lalim itu, atau Ibu mencarikan jalan agar aku dapat mendekatinya dan membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri. Jika Ibu menolak, aku akan mengamuk dan menyerbu ke dalam istana! Mati bukan apa-apa bagiku. Mati sebagai orang gagah jauh lebih berharga dari pada hidup sebagai pengkhianat bangsa dan pengecut!”

Wajah wanita itu berubah pucat. Pengkhianat dan pengecut! Itulah lontaran dan makian puteranya sendiri kepadanya, walau pun bukan merupakan makian langsung. Dan kalau ia menolak, berarti ia membiarkan puteranya itu mati. Menyerbu istana seorang diri saja tiada bedanya dengan bunuh diri. Dengan muka pucat sekali dan bibir gemetar, pandang mata sayu dan wajah layu, akhirnya wanita ini mengangguk dan berkata lirih, “Baiklah, Han Beng. Akan kulakukan itu!”

“Ibu....!” Han Beng berlutut dan menubruk kedua kaki ibunya, dua titik air mata keluar dari sepasang matanya.

Dia yakin benar-benar, bahwa perbuatan ibunya itu selain akan membunuh Kaisar, juga bunuh diri. Akan tetapi, dia akan merasa bangga melihat ibunya mati seperti itu dari pada melihat ibunya hidup menjadi selir Kaisar laknat yang lalim itu!

“Ibu ternyata seorang patriot wanita yang gagah perkasa. Ibu berani mengorbankan nyawa demi bangsa, aku bangga dan terharu sekali, Ibu. Engkau memang Ibuku yang patut dipuja sepanjang masa!”

“Kau keliru, Han Beng. Aku melakukannya sama sekali bukan demi bangsa, bukan demi Ayahmu, bukan demi diriku sendiri, melainkan demi engkau, Anakku. Nah, pergilah.”

Ucapan ibunya itu menyadarkan Han Beng dan dia pun bangkit lalu mundur, menatap wajah ibunya yang pucat, menatapnya untuk yang terakhir kali. Memang ada sedikit kekecewaan dalam hatinya bahwa ibunya hendak melakukan pengeroyokan itu bukan demi bangsa, melainkan demi dia. Betapa pun juga, yang penting adalah terbunuhnya Kaisar lalim, pikirnya.

“Terima kasih, Ibu. Selamat tinggal, selamat berpisah dan ampunkan anakmu….”

Wanita itu hanya mengangguk dan Han Beng lalu keluar, disambut oleh dua orang pengawal itu dan diantarkan sampai ke pintu tembusan di mana kembali dia diterima oleh pengawal lain yang mengantarnya sampai ke pintu yang lebih luar. Demikianlah, akhirnya pemuda ini, setelah melalui penjagaan yang amat ketat, tiba di pintu gerbang istana paling luar dan akhirnya keluarlah dia dari lingkaran istana.

Sementara itu, wanita itu berdiri seperti patung lilin. Mukanya pucat dan matanya berlinang air mata. Demi cintanya kepada anaknya, bisik hatinya.

Cinta memang sudah menjadi hal yang amat janggal dalam pengertian kita. Demikian banyaknya kata ini telah kita pecah-pecah artinya, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing sehingga cinta bahkan menimbulkan banyak kesengsaraan dan mala petaka.

Han Beng ingin melihat ibunya menjadi seorang patriot, seorang pahlawan. Pemuda ini lupa bahwa ibunya seorang manusia pula, bahwa ibunya memiliki selera dan cara hidup sendiri, yang mungkin saja berbeda dengan orang lain, berbeda dengan dia. Akan tetapi dia ingin membentuk ibunya menjadi seperti yang diidamkannya, seperti yang dianggap patut menjadi ibunya, yaitu wanita pahlawan!

Dia menganggap ini benar, tentu saja. Akan tetapi sebenarnya, di dasar dari hatinya, dia hanya mengejar keinginan hatinya sendiri saja. Dialah yang akan bangga kalau ibunya menjadi pahlawan bangsa! Dialah yang akan merasa bahagia. Apakah ibunya menyukai hal ini? Bukan urusannya! Apakah ibunya berbahagia jika tewas sebagai pahlawan bangsa? Juga sama sekali hal ini dilupakannya. Dianggapnya bahwa secara otomatis ibunya tentu berbahagia pula, seperti dia!

Demikian pula wanita itu. Ia mau saja membiarkan dirinya berkorban. Dianggapnya pengorbanannya ini demi cinta kasihnya kepada puteranya. Akan tetapi benarkah demikian? Agaknya hal ini masih harus diselidiki dengan teliti. Kalau dia mencintai puteranya, belum tentu dia membiarkan dirinya diperkosa kemudian menjadi selir dari Kaisar yang telah membunuh suaminya dan hampir juga membunuh puteranya kalau pemuda itu tidak dapat meloloskan diri.

Memang, cinta telah menjadi sesuatu yang amat aneh, bahkan kadang-kadang menjadi pendorong perbuatan-perbuatan yang luar biasa kejamnya. Padahal, yang mereka namakan sebagai cinta itu sesungguhnya hanyalah nafsu belaka, nafsu menyenangkan diri sendiri, perasaan sendiri melalui orang lain. Jadi, orang yang katanya dicinta setengah mati itu hanya dijadikan semacam jembatan saja untuk dapat menyeberang dan memetik kesenangan untuk diri sendiri.

Han Beng bersembunyi di kota raja setelah dia keluar dari istana. Dia hendak menanti saat yang amat menegangkan itu. Saat di mana akan diumumkan tentang kematian Kaisar! Mati di tangan ibu kandungnya!

Dan saat yang dinanti-nantikan Han Beng itu ternyata tidak terlalu lama. Bahkan pada malam itu juga Kaisar menjatuhkan pilihan kepada ibu Han Beng untuk melayaninya! Memang Kaisar cukup mencinta wanita ini, seorang wanita bekas pendekar yang kuat tubuhnya, tidak seperti para selir lain yang lemah. Kaisar sendiri adalah seorang ahli silat, maka dia merasa memiliki persamaan dengan selirnya ini, dan Kaisar suka sekali mengajak selir ini bercakap-cakap tentang ilmu silat di waktu selir ini diberi giliran untuk melayaninya dalam kamar selama semalam.

Dan malam itu, ibu Han Beng berdandan secara istimewa, menambah wangi-wangian pada tubuhnya, dan memasuki kamar Kaisar dengan senyum cerah dan penuh daya pikat sehingga Kaisar semakin terpikat dan menyambutnya dengan pelukan dan ciuman mesra.

Mereka bercakap-cakap, bercumbu dan bermain cinta. Lewat tengah malam, ketika Kaisar sedang tidur pulas kelelahan, ibu Han Beng dengan air mata bercucuran lalu menghujamkan sebatang pisau belati ke dada Kaisar. Namun, karena tangan yang memegang pisau itu gemetar dan karena wanita itu menutup matanya karena tidak tega menyaksikan tangannya membunuh pria yang sesungguhnya dicintanya, maka ujung pisau mengenai tulang iga dan meleset. Kaisar Yung Ceng yang memiliki tubuh kuat dan kepandaian tinggi seketika telah terbangun dan otomatis tangannya menghantam dengan sekuatnya.

“Dessss....!”

Pukulan Kaisar itu amat kuatnya, dan tak dapat dielakkan oleh wanita itu yang memang masih memejamkan kedua matanya sehingga tubuh wanita itu terlempar ke bawah dari pembaringan dan terbanting dalam keadaan kepala retak dan tidak bernyawa lagi! Kaisar cepat memanggil pengawal, mencabut pisau itu dan roboh pingsan.

Pisau belati itu tidak menembus jantung atau bagian lain yang penting, akan tetapi ternyata bahwa pisau itu mengandung racun sehingga keadaan Kaisar cukup parah. Luka di dadanya itu membengkak dan para tabib yang merawatnya merasa khawatir sekali. Kaisar sendiri yang sudah sadar sepenuhnya, maklum akan keadaan dirinya, maka mulailah dia mencari-cari dan menanyakan Pangeran Mahkota Kian Liong.

Diam-diam Kaisar menyesali semua perbuatannya dan dia tahu benar bahwa malapetaka yang menimpanya malam itu adalah karena perbuatannya sendiri. Dia telah lengah, tidak mengira bahwa ternyata masih ada tersembunyi dendam yang demikian mendalam di balik senyum manis dan pelayanan yang amat menyenangkan hatinya dari wanita bekas isteri sahabatnya itu.

Saat dia mendengar laporan bahwa sehari sebelumnya wanita itu menerima kunjungan seorang pemuda yang mengaku sebagai anak selir itu, maklumlah Kaisar bahwa itulah pendorongnya mengapa selirnya yang biasanya sangat mencintanya itu tega untuk mencoba membunuhnya. Dan sebagai seorang ahli silat, dia pun yakin bahwa kalau selirnya itu tidak memejamkan mata, tentu tusukan itu akan menewaskannya, dan dia tidak akan berhasil membunuh selirnya dengan sekali pukul saja.

Selagi para panglima, menteri dan hulubalang bingung karena tidak ada yang tahu di mana adanya Sang Pangeran, datanglah utusan para patriot yang telah menawan Sang Pangeran! Kaisar Yung Ceng menerima dan mendengarkan surat tuntutan itu dibacakan pembantunya kepadanya. Wajahnya berubah merah, akan tetapi dia menarik napas panjang. Pada saat itu dia tidak dapat banyak bergerak serta tidak bisa turun dari pembaringan, dia tidak dapat berbuat banyak.

“Kirim jawaban kepada mereka bahwa aku berjanji akan memenuhi semua tuntutan mereka itu, akan tetapi minta agar Pangeran Kian Liong cepat dibebaskan dan diantar kembali ke istana, karena keadaanku,” perintahnya kepada para petugas.

Tentu saja utusan para patriot itu girang bukan main, bukan hanya bahwa mereka tidak dihukum atau dibunuh seperti yang sudah mereka khawatirkan, akan tetapi bahkan menerima janji dari Kaisar yang akan memenuhi semua tuntutan itu. Juga mereka mendengar bahwa Kaisar telah diserang oleh selirnya sendiri dan nyaris tewas! Maka, mereka cepat kembali ke Cin-an untuk membawa balasan dan janji Kaisar…..

********************

Entah siapa di antara mereka yang lebih terkejut dan heran ketika pihak tamu dan pihak tuan rumah itu bertemu di ruangan tamu yang luas itu. Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak mengira bahwa yang menjadi pemimpin para pendekar patriot di Cin-an itu ternyata adalah Bu Seng Kin sekeluarga, sebaliknya Bu-taihiap juga tidak menyangka bahwa tamu-tamunya yang datang adalah Jenderal Kao Cin Liong dan Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya! Sejenak mereka hanya berdiri bengong saling pandang, lupa untuk saling memberi hormat sebagaimana layaknya tamu dan tuan rumah! Akhirnya, Bu-taihiap yang memang berwatak lincah dan gembira itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, memang tidak salah dikatakan orang bahwa dunia ini tidaklah sebesar yang disangka orang! Tak kami sangka akan dapat berjumpa di tempat ini dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya yang gagah perkasa!”

Kecuali keluarga Bu yang sudah mengenal keluarga Kao ini, para pendekar patriot terkejut setengah mati seperti mendengar suara guntur di hari terang ketika mereka mendengar bahwa tamu itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya bagi mereka seperti nama tokoh dongeng saja dan yang selamanya belum pernah mereka lihat orangnya. Kini semua mata ditujukan kepada pria setengah tua berlengan satu itu bersama isteri dan puteranya, penuh kagum dan juga gentar karena mereka itu belum tahu apa yang diinginkan oleh pendekar sakti sekeluarga ini dengan munculnya di tempat itu dalam keadaan yang amat gawat, yaitu selagi Pangeran Mahkota menjadi tamu agung, juga tawanan mereka.

“Kami pun tidak mengira bahwa di sini akan dapat bertemu dengan Bu-taihiap yang ternyata kini mengumpulkan banyak orang-orang gagah!” kata Kao Kok Cu sambil memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh tuan rumah.

“Silakan duduk, silakan duduk dan selamat datang…!” Setelah mereka semua duduk, Bu-taihiap bertanya, “Keperluan apakah kiranya yang dibawa oleh keluarga Kao yang mulia sehingga mau mendatangi tempat ini?”

“Yang punya kepentingan adalah putera kami, maka biarlah dia yang menjelaskan,” kata pula pendekar itu dengan suara tenang.

Cin Liong lalu berkata sambil memandang ke kanan kiri karena dia tidak melihat adanya Hong Bu dan Pek In di situ.

“Bu-locianpwe,” katanya hormat. “Saya adalah utusan Kaisar yang sedang mencari seorang bernama Sim Hong Bu, dan karena semalam saya melihat dia memasuki rumah ini, maka saya minta dengan hormat kepada Locianpwe untuk memberitahukan kepada saya di mana adanya dia. Kalau masih berada di sini, hendaknya disuruh keluar menemui kami. Kalau sudah pergi, harap beri tahu ke mana perginya.”

Kembali Bu-taihiap tertawa bergelak. Di dalam hatinya, pendekar ini terkejut sekali melihat bahwa jenderal muda ini mencari Sim Hong Bu, dan isterinya, Tang Cun Ciu, yang duduk pula di situ tentu saja mengerti mengapa keluarga Kao mencari Hong Bu, akan tetapi dia diam saja hanya memandang tajam. Bu-taihiap yang masih merasa penasaran karena lamarannya ditolak tempo hari, kini memperoleh kesempatan untuk mengejek.

“Ahh, sampai hampir lupa aku bahwa aku berhadapan dengan seorang jenderal kaki tangan Kaisar Mancu, juga aku lupa bahwa yang terhormat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir adalah ayah dari jenderal besar antek Kaisar penjajah!”

Mendengar ejekan ini, Kao Kok Cu tersenyum saja dengan tenang. Namun isterinya, Wan Ceng, sudah bangkit berdiri dengan muka merah. “Orang she Bu! Kenapa engkau menjadi tuan rumah yang begini kasar dan kurang ajar? Kalau mau menghina orang dan membawa-bawa keluarga, apakah lupa bahwa engkau yang pura-pura menjadi pimpinan pendekar patriot, akan tetapi di sini mempunyai seorang isteri yang pernah menjadi Panglima Nepal? Bukankah itu berarti bahwa engkau telah berkhianat dan bersekongkol dengan bangsa Nepal pula?”

Hebat sekali serangan kata-kata Wan Ceng ini. Wajah Bu Seng Kin menjadi merah sekali dan Nandini, Puteri Nepal itu sudah bangkit berdiri dengan marah. “Sudah sepatutnya kalau pihak tamu yang bersopan diri!” bentak wanita ini. “Tamu yang menyerang tuan rumah dengan kata-kata adalah tamu-tamu yang tak tahu diri!” Akan tetapi suaminya sudah memberi isyarat agar ia duduk kembali, dan wanita Nepal itu duduk dengan marah.

“Kao-taihiap datang bertiga dan agaknya sudah tahu bahwa kami di sini adalah pendekar-pendekar patriot yang menentang Kaisar Mancu yang lalim. Karena Sam-wi (Kalian Bertiga) merupakan utusan Kaisar, maka kami dapat saja nenganggap Sam-wi sebagai musuh-musuh kita, sebagai antek kaki tangan Kaisar. Kalau kami mengerahkan teman-teman untuk mengeroyok Sam-wi, apakah kalian tidak akan celaka?”

“Boleh coba! Siapa takut keroyokan?” tantang Wan Ceng dengan marah sambil bertolak pinggang.

Suaminya lalu memegang tangannya dan dengan halus membujuknya untuk duduk kembali. Cin Liong juga membujuk ibunya sehingga akhirnya nyonya yang keras hati ini mau duduk kembali dengan kedua pipi merah dan mulut cemberut, sepasang matanya mencorong penuh kemarahan.

“Harap saja Bu-locianpwe tidak berkata seperti itu. Kalau memang saya bermaksud buruk terhadap Bu-locianpwe dan semua teman, apa sukarnya bagi saya untuk datang bersama pasukan besar untuk menumpas kalian?”

“Seperti yang telah dilakukan terhadap Siauw-lim-si?” Bu-taihiap mengejek. “Lihat, di antara ratusan orang murid Siauw-lim-pai, hanya delapan saudara inilah yang dapat lolos,” katanya sambil menunjuk kepada delapan orang laki-laki gagah perkasa yang berdiri di sudut ruangan itu dengan sikap kereng.

Cin Liong memandang kepada mereka dan berkata, “Saya tidak tahu-menahu akan hal itu dan merasa ikut menyesal dengan terjadinya hal itu. Akan tetapi, kedatangan kami tanpa pasukan hanya untuk menunjukkan bahwa kami tidak bermaksud buruk terhadap Locianpwe dan teman-teman.”

“Ha-ha-ha, boleh saja kalau Kao-goanswe (Jenderal Kao) hendak membawa pasukan besar. Hendak kulihat apa yang dapat mereka lakukan kalau kuberi tahu bahwa Pangeran Kian Liong telah berada dalam tahanan kami!”

Bukan main kagetnya Kao Cin Liong dan ayah bundanya mendengar ini. Mereka merasa terkejut dan juga khawatir. Dan Cin Liong menghadapi dua hal yang amat penting, yaitu soal merampas kembali pedang Koai-liong Po-kiam dan menyelamatkan Pangeran Mahkota. Tentu saja menyelamatkan Pangeran lebih penting. Hal ini juga diketahui oleh Kao Kok Cu. Maka pendekar ini lalu berkata dengan suaranya yang tenang sekali.

“Bu-taihiap, urusan putera kami berkenaan dengan perintah Kaisar memang adalah urusannya sendiri, akan tetapi kalau sudah menyangkut diri Pangeran Mahkota, mau tidak mau aku pun terpaksa harus melibatkan diri. Siapa pun orangnya yang hendak mengganggu pribadi Pangeran Kian Liong, akan kuhadapi sebagai lawan! Nah, kami bertiga sudah berada di sini, dan kami bertiga siap mempertaruhkan nyawa kami demi melindungi keselamatan Sang Pangeran! Kalau kalian semua yang mengaku orang-orang gagah dan pendekar-pendekar hendak mengganggu Pangeran yang tidak punya sangkut-pautnya dengan kelaliman Kaisar, maka kalian adalah orang-orang licik dan curang. Maka, kami bertiga menantang untuk mengadu ilmu, guna memperebutkan Pangeran!”

Bu-taihiap menjadi marah mendengar ini. Memang dia pun ingin membalas penghinaan tempo hari karena lamarannya ditolak. Akan tetapi, sebagai seorang pendekar besar dia pun tidak sudi untuk melakukan pengeroyokan. Nandini, Puteri Nepal yang merasa sakit hati karena penolakan lamaran tempo hari, kini mendengar pula penghinaan yang ditujukan kepada dirinya, sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dalam hal kekerasan hati, wanita ini tidak kalah oleh Wan Ceng, maka ia pun sudah bangkit berdiri lagi.

“Bagus! Ada tamu menantang tuan rumah, sungguh merupakan kekurang ajaran yang memuncak. Akulah yang akan maju lebih dulu melawan keluarga Kao yang sombong dan tinggi hati!” Berkata demikian, wanita Nepal ini telah mencabut pedang dan berdiri tegak, sinar matanya tertuju kepada Wan Ceng maka jelaslah oleh siapa pun juga bahwa wanita ini menantang isteri Naga Sakti Gurun Pasir!

Tentu saja Wan Ceng merasa bahwa dirinya ditantang, maka ia pun meloncat bangun dan membentak, “Siapa sih takut melawan perempuan Nepal, panglima yang sudah jatuh dan kini menjadi selir orang?”

Semua orang yang berada di situ maklum bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dihindarkan lagi, maka mereka mundur sambil menarik bangku masing-masing, memberi tempat yang luas bagi mereka yang hendak berlaga. Kao Kok Cu dan Bu Seng Kin tidak dapat melarang isteri masing-masing. Pula, mereka yang akan berlaga adalah wanita lawan wanita dan masing-masing percaya akan kelihaian isteri mereka, dan perkelahian dilakukan dengan satu lawan satu, maka sebagai orang-orang gagah mereka merasa malu untuk melarang.

Wan Ceng tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia pun mencabut pedangnya yang begitu dicabut, membuat semua orang merasa seram. Pedang itu adalah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang hawanya saja sudah terasa oleh semua orang, hawa yang mengerikan.

“Hemm, engkau menantang sambil mencabut pedang, berarti engkau sudah bosan hidup!” kata Wan Ceng sambil melintangkan pedang di depan dada. “Mulailah!”

“Isteriku, jangan sampai membunuh orang!” tiba-tiba terdengar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir berkata dengan halus kepada isterinya.

Wan Ceng menoleh pada suaminya, melihat sepasang mata suaminya memandangnya penuh teguran. Ia pun tersenyum, mengangguk dan menoleh lagi kepada Nandini sambil berkata, “Untung bagimu, suamiku melarangku membunuhmu.”

Ucapan terakhir merupakan kata-kata yang oleh Nandini diterima sebagai kesombongan yang melampaui batas dan amat menghina. Ia adalah seorang bekas panglima yang tentu saja menganggap kematian dalam pertempuran sebagai hal yang sudah wajar dan tidak perlu ditakuti, akan tetapi calon lawannya begitu memandang ringan kepadanya, seolah sudah memastikan bahwa ia akan kalah!

“Tak perlu banyak cerewet, bersiaplah untuk mampus!” pedangnya menyambar ganas dan wanita Nepal ini sudah menerjang dengan dahsyat. Wanita ini jauh lebih tinggi dari pada Wan Ceng dan memiliki tenaga besar, dan karena hatinya marah sekali, maka begitu menerjang ia telah melakukan serangkaian serangan yang bertubi-tubi.

Wan Ceng memutar Ban-tok-kiam dan menangkis atau mengelak dari semua serangan itu, diam-diam memperhatikan gaya ilmu pedang lawan yang ternyata tidaklah lemah. Dan memang Nandini selama ini memperoleh petunjuk dari suaminya sehingga ilmu pedangnya memperoleh kemajuan pesat. Betapa pun juga, yang dilawannya adalah Wan Ceng, seorang wanita yang selain memiliki tenaga sinkang yang hebat berkat anak ular naga yang pernah dimakannya, juga ia mempelajari banyak macam ilmu dan akhirnya menerima petunjuk dari suaminya yang sakti.

Maka, menghadapi Wan Ceng, Nandini masih kalah setingkat, lebih dari itu, pedang di tangan Wan Ceng adalah pedang Ban-tok-kiam yang menggiriskan. Baru hawa pedang saja saat menyambar mendatangkan rasa dingin dan perih, dan kalau sampai mengenai kulit lawan, amatlah berbahaya karena tanpa adanya obat penawar dari Wan Ceng, nyawa lawan sukar tertolong lagi! Agaknya Nandini mengenal pedang ampuh dan berbahaya, maka ia pun memutar pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya agar jangan sampai terluka pedang lawan.

Kao Kok Cu yang melihat betapa isterinya masih lebih tinggi ilmunya, merasa khawatir kalau-kalau pihak lawan akan terluka oleh Ban-tok-kiam, maka dia meneriaki isterinya, “Isteriku, jangan menggunakan Ban-tok-kiam!”

Mendengar kata-kata ini, Wan Ceng tertawa lalu menyimpan kembali pedangnya. Melihat ini, Nandini juga menghentikan serangan pedangnya. Ia tidak mau menyerang lawan yang sudah menyimpan senjatanya. Hal ini saja sudah membuat berkurang kebencian dari hati Wan Ceng. Kiranya wanita Nepal ini memiliki watak yang gagah pula, pikirnya kagum.

Ia tadi mentaati suaminya bukan karena ia takut kepada suaminya. Sama sekali tidak, bahkan terlalu sering ia membantah sampai membuat suaminya kadang-kadang pusing. Akan tetapi ia kini menurut karena dengan perbuatan itu seolah-olah ia telah menang angin dan ‘mengampuni’ lawan. Kini ia tersenyum dan mengeluarkan dua buah pisau belati dari pinggangnya. Inilah sepasang senjatanya yang amat diandalkan ketika ia masih gadis dahulu. Sepasang belati ini sama sekali tidak beracun, dan memang inilah yang dikehendaki oleh suaminya.

Kalau hanya menghadapi Nandini dengan kedua tangan kosong, amatlah berbahaya bagi Wan Ceng, akan tetapi dengan senjata sepasang belati ini, Kao Kok Cu dapat menilai bahwa isterinya tidak akan kalah, dan kalau sampai isterinya melukai lawan sekali pun, maka luka dengan belati jauh lebih ringan kalau dibandingkan dengan luka karena Ban-tok-kiam.

Melihat Wan Ceng telah memegang sepasang pisau belati, Nandini mengeluarkan teriakan nyaring dan sudah menyerang lebih ganas dari pada tadi. Wanita ini semakin penasaran dan marah karena pergantian senjata dari lawan itu jelas merupakan penghinaan dan pandangan yang merendahkan dirinya.

Sementara itu, diam-diam Bu-taihiap mengeluh oleh karena dia tahu bahwa isterinya ini masih kalah dibandingkan dengan nyonya pendekar Gurun Pasir itu. Akan tetapi dia pun merasa kagum dan lega bahwa Naga Sakti Gurun Pasir itu menyuruh isterinya berganti senjata. Dia mengenali pedang yang amat menggiriskan itu dan tadi diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan isterinya.

Betapa pun juga, dia merasa menyesal akan watak keras Nandini yang telah berani maju, tidak memperhitungkan kepandaian sendiri. Memang, isterinya itu telah memiliki kepandaian yang cukup hebat dan di atas kepandaian kebanyakan orang, namun dibandingkan dengan dua isterinya yang lain, yaitu Gu Cui Bi dan Tang Cun Ciu, Nandini masih kalah jauh. Andai kata yang maju tadi Gu Cui Bi agaknya baru ramai melawan nyonya galak itu, dan kalau Tang Cun Ciu yang maju, dia yakin pihaknya akan menang. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tentu saja Nandini yang maju karena isterinya itu tentu saja merasa sakit hatinya oleh penolakan ikatan jodoh antara puterinya dan putera keluarga Kao, maka tadi pun dia tidak melarang.

Kekhawatiran pendekar ini memang terbukti. Meski kini ia telah berganti senjata dengan sepasang belati, namun ternyata memang tingkat kepandaian Wan Ceng masih menang dibandingkan dengan lawannya, maka setelah lima puluh jurus, Wan Ceng ‘mengunci’ pedang lawan dengan putaran pisau belatinya yang kiri, dan cepat sekali pisau belatinya yang kanan bergerak ke depan. Mestinya pisau belati itu menusuk lambung, akan tetapi sengaja ia menurunkan sasarannya sehingga pisau belatinya menusuk dan merobek paha kiri lawan.

Nandini mengeluarkan teriakan kaget dan meloncat ke belakang, terhuyung karena pahanya terobek dan berdarah cukup banyak. Melihat ini, Siok Lan berteriak marah dan meloncat ke depan untuk menyerang Wan Ceng, akan tetapi Bu-taihiap membentak.

“Siok Lan, mundur kau!”

Gadis itu memandang marah, akan tetapi tidak melanjutkan serangannya lalu memapah ibunya dan merawat luka di paha dengan obat dan membalutnya.

Gu Cui Bi, isteri Bu-taihiap yang lain, tetap duduk diam saja tidak mau mencampuri urusan itu. Keluarga Kao ribut dengan suaminya dan Nandini, ia tahu karena lamaran ditolak dan hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Bahkan adanya Siok Lan sebagai puteri suaminya dan Nandini itu kadang-kadang mendatangkan rasa iri dalam hatinya. Maka kali ini ia pun diam saja.

Berbeda dengan Tang Cun Ciu. Mendengar bahwa keluarga itu datang untuk mengejar Sim Hong Bu juga dan tentu saja untuk merampas kembali Koai-liong Po-kiam, sebagai pencuri pedang itu dari istana dia merasa ikut bertanggung jawab. Melihat kekalahan Nandini dan melihat ilmu silat isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, ia merasa sanggup untuk menandinginya, maka dengan sekali meloncat ia telah berada di tengah ruangan itu menghadapi Wan Ceng.

“Biarlah aku yang melawan pengacau!” teriaknya.

Wan Ceng mengenal wanita ini, maka ia tersenyum mengejek. “Tidak usah isteri orang she Bu maju satu demi satu, biarlah maju semua sekaligus, biar ada seratus orang sekali pun, siapa takut?”

Tentu saja ejekan ini amat menyakitkan, tetapi Bu-taihiap yang memang merupakan seorang pria yang paling tebal muka terhadap urusan wanita, tertawa, “Wah, kalau ada seratus, betapa senangnya, akan tetapi aku tentu repot sekali! Ha-ha-ha!”

Diam-diam Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir mengerutkan alis, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya hatinya yang berbisik betapa pria itu benar-benar merupakan seorang perayu wanita, seorang bandot yang luar biasa akan tetapi juga jujur!

“Ibu, harap suka mundur, biarkan aku menghadapi nyonya ini!” tiba-tiba Cin Liong sudah meloncat maju ke dekat ibunya.

Wan Ceng sebenarnya tidak takut menghadapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, hanya ia agak lelah menghadapi Nandini yang cukup tangguh tadi, maka ia mengangguk lalu mundur, duduk di dekat suaminya.

Sejenak mereka saling berhadapan dan saling berpandangan. Keduanya sama-sama maklum bahwa lawan yang dihadapi amatlah tangguhnya. Cin Liong sudah tahu bahwa wanita yang bernama Tang Cun Ciu ini berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah), seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, seorang tokoh dari keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal lihai itu. Bahkan wanita inilah yang telah mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam dari gudang istana!

Sementara itu, Tang Cun Ciu juga tidak berani memandang rendah lawannya. Biar pun pemuda ini masih muda, akan tetapi pemuda ini adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan sedemikian mudanya telah diangkat menjadi jenderal yang berarti bahwa tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang hebat.

Dengan gerakan halus Tang Cun Ciu mencabut sebatang pedang dari punggungnya. Wanita ini memiliki banyak macam ilmu silat, akan tetapi kelihaiannya memang dalam bersilat pedang, dan untuk ilmu ini ia pernah menerima ilmu dari mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, yaitu yang disebut Pat-hong Sin-kiam (Pedang Sakti Delapan Penjuru Angin). Ilmu ini telah dipecah menjadi dua, yaitu ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat pedang. Dan gerakan ilmu pedangnya juga berdasar dari ilmu keluarga Cu yang amat tangguh.

“Jenderal Muda, keluarkanlah senjatamu!” tantangnya dengan suara lantang namun sikapnya tenang seolah-olah wanita setengah tua yang masih cantik ini sudah yakin akan kemenangannya.

Cin Liong sebetulnya lebih suka menghadapi lawan dengan mengandalkan kaki tangan saja, akan tetapi dia menghadapi isteri seorang locianpwe, maka dia tak ingin dianggap memandang rendah kalau bertangan kosong saja. Maka dia pun mencabut sebatang pedang, yaitu pedang pemberian Kaisar sendiri sebagai tanda pangkatnya. Karena dia sedang menjalankan tugas sebagai utusan Kaisar, maka biar pun dia mengenakan pakaian biasa, namun pedang pangkatnya itu tidak pernah ditinggalkannya.

Melihat Cin Liong sudah mencabut senjatanya pula, Tang Cun Ciu lalu membentak, “Lihat senjata!” Dan pedangnya yang sudah berkelebat, berubah menjadi sinar yang amat menyilaukan mata karena cepatnya.

“Tranggg....!”

Cin Liong sengaja menangkis karena dia hendak menguji sampai di mana kuatnya tenaga lawan. Kedua pihak merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat, tanda bahwa pertemuan kedua pedang itu amatlah kuatnya, dan tahulah mereka bahwa pihak lawan memang memiliki sinkang yang kuat. Mereka sejenak memandang ke arah pedang masing-masing dan merasa lega bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan yang amat keras tadi. Tang Cun Ciu sudah menyerang lagi, lebih hebat dari pada tadi, dan kini ia tidak mengandalkan tenaga, tetapi kecepatannya. Bentuk pedang itu lenyap, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menghujankan serangan dari berbagai jurusan ke arah Cin Liong.

Pemuda ini sebaliknya bergerak dengan amat cepatnya, namun gerakannya mantap dan setiap serangan lawan dapat dihalaunya dengan tepat, baik dengan tangkisan mau pun dengan pengelakan. Dan walau pun setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya dengan satu kali saja serangan, akan tetapi serangannya amat kuat dan berbahaya sehingga setiap kali dibalas, nyonya itu terpaksa menarik gulungan sinar pedangnya untuk membentuk benteng kuat dan biar pun demikian tetap saja ia harus melangkah dua tiga tindak ke belakang.

Semua orang yang hadir memandang dengan mata penuh ketegangan, dan para pendekar patriot memandang dengan mata hampir tak pernah berkedip. Para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ adalah ahli-ahli silat yang lihai, tetapi menyaksikan perkelahian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu melawan jenderal muda itu mereka merasa kagum dan takjub bukan main. Barulah mereka tahu bahwa tingkat kepandaian mereka sungguh masih jauh dibandingkan dengan dua orang yang sedang bertanding ini. Mereka mengagumi isteri dari pimpinan mereka, akan tetapi mereka pun tercengang menyaksikan gerakan Cin Liong.

Hanya pandang mata Bu-taihiap dan Kao Kok Cu saja yang dapat menilai dan tahu apa yang terjadi dalam perkelahian yang nampaknya seolah-olah nyonya itu di pihak yang lebih kuat karena lebih banyak menyerang. Tapi mereka berdua ini tahu benar bahwa sesungguhnya nyonya itu kewalahan menghadapi Cin Liong! Dalam mengadu tenaga, jelas kalah kuat, dan mengandalkan ginkang atau keringanan tubuh untuk bergerak cepatnya tidak menolong karena pemuda itu pun ternyata memiliki ginkang yang tidak kalah hebatnya. Biar pun ilmu pedang nyonya itu istimewa dan merupakan ilmu pedang pilihan, namun sebaliknya pemuda itu juga telah memiliki ilmu pedang yang luar biasa sekali.

Perkelahian ini jauh lebih menegangkan dari pada perkelahian pertama antara Nandini dan Wan Ceng. Para penonton saja merasakan getaran-getaran dari gerakan mereka yang amat kuat, dan angin menyambar-nyambar ke segala penjuru. Kadang-kadang, mereka yang kurang tinggi tingkat kepandaiannya tidak mampu lagi mengikuti gerakan kedua orang ini yang lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka. Bagi mereka ini, yang nampak hanya kaki dan tangan kedua orang itu saja yang kadang-kadang lenyap di antara gulungan sinar pedang, kadang-kadang nampak bergerak ke sana-sini, bahkan tangan dan kaki itu bukan hanya dua pasang, melainkan banyak sekali saking cepatnya kaki dan tangan itu bergerak!

Akan tetapi Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Isterinya itu, betapa pun lihainya, agaknya tidak akan mampu menanggulangi pemuda yang amat lihai itu. Diam-diam dia menarik napas panjang. Tingkat kepandaian isterinya sudah tinggi sekali, dia sendiri pun hanya menang tidak banyak dibandingkan dengan isterinya itu. Kalau sekarang isterinya kalah oleh pemuda ini, maka tinggal dia seoranglah. Mungkin dia akan dapat menandingi pemuda itu, akan tetapi mampukah dia menandingi Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Diam-diam dia bergidik. Baru puteranya saja sudah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya, apalagi pendekar sakti itu sendiri!

Hal ini bukan timbul karena dia merasa takut atau gentar, sama sekali tidak. Melainkan dia khawatir kalau-kalau memang keluarga pendekar Kao ini hendak menggunakan kekerasan untuk merampas Sang Pangeran, dia pun terpaksa akan menggunakan kekerasan mengancam Pangeran untuk sandera. Ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan perjuangan, dan untuk perjuangan, maka segala kehormatan pribadi boleh ditinggalkan lebih dahulu! Untuk perjuangan, demi kemenangan perjuangan, tidak ada yang dinamakan curang. Segala jalan demi kemenangan perjuangan adalah benar, demikianlah pendapat para cendekiawan di jaman dahulu!

Kita tidak dapat menyalahkan jalan pikiran pendekar Bu Seng Kin ini. Sebab memang kenyataannya pun demikianlah.

Sejak jaman dahulu, kekuasaan membuat manusia mampu melakukan segala macam kekejian dan kelicikan. Sejak jaman dulu, ada saja sekelompok orang yang memegang kekuasaan atas orang terbanyak, disebut penguasa, pemimpin, atau pemerintah, yang dengan segala daya upaya hendak mempertahankan kekuasaannya, bahkan hendak memperkuat dan memperbesar kekuasaannya. Untuk mempengaruhi orang terbanyak, untuk dapat mempergunakan tenaga mereka semua itu, muncullah slogan-slogan dan anjuran-anjuran yang muluk-muluk. Tentang kepahlawanan, tentang sucinya perjuangan dan banyak lagi pujuan-pujian bagi mereka yang mau berjuang alias menghadapi musuh dengan taruhan nyawa, tentu saja didengungkan bahwa taruhan nyawa itu adalah untuk tanah air, untuk bangsa, dan sebagainya lagi. Bahwa apa pun yang dilakukan manusia demi kemenangan perjuangan adalah suci dan agung!

Betapa anehnya, betapa munafiknya dan betapa kejamnya. Di dalam perang, yang diperhalus dengan sebutan perjuangan dan sebagainya, yang pada hakekatnya hanyalah kebencian yang memuncak dan bunuh membunuh antara manusia, timbullah kejanggalan-kejanggalan yang mengerikan. Segala macam perbuatan manusia yang dalam keadaan wajar dianggap sebagai perbuatan jahat dan haram, di dalam perjuangan itu pun dihalalkan.

Membunuh seorang manusia saja dalam keadaan atau waktu yang wajar akan dianggap kejahatan yang amat besar dan si pembunuh akan dituntut, dihukum seberat-beratnya. Namun, di dalam perjuangan atau perang, membunuh sebanyak-banyaknya manusia, yang kebetulan berada di pihak musuh, dianggap sebagai perbuatan yang mulia, gagah berani, dan si pembunuh akan dipuji-puji, bahkan diberi hadiah-hadiah dan dinamakan pahlawan, menerima bintang dan sebagainya lagi. Demikian pula, segala macam perbuatan yang biasanya dianggap jahat dan haram dan si pelakunya dihukum, dalam masa perang yang dinamakan perjuangan itu si pelakunya dianggap baik, halal, berjasa dan diberi hadiah dan pujian. Di sini berlaku istilah tujuan menghalalkan segala cara!

Apakah benar bahwa suatu tujuan, apa pun juga itu namanya, yang dijangkau dengan jalan kekerasan, kekejaman, pembunuhan, kepalsuan seperti itu, adalah tujuan yang suci murni? Dapatkah tujuan terlepas dari sifat pelaksanaan atau caranya mencapai tujuan itu? Bukankah di dalam tujuan itu terkandung si cara, sebaliknya di dalam cara itu terkandung pula si tujuan? Benarkah bahwa jalan penipuan, kebencian, pembunuhan, kekerasan dan kepalsuan itu akan membawa kita kepada sesuatu yang luhur dan suci?

Pertanyaan-pertanyaan ini amatlah penting bagi kita semua dan kiranya perlu kita selidiki bersama dengan membuka mata, membuang semua teori-teori lapuk karena teori-teori itu hanya kita pergunakan untuk mengecat dan memperhalus kesemuanya itu belaka, untuk kita gunakan sebagai bahan-bahan pembelaan diri untuk membenarkan segala cara yang jelas kotor dan keji itu. Kalau sudah begitu, barulah kita dapat memandang dengan sempurna, melihat keadaannya seperti apa adanya, dan dapat menyelidik sampai sedalam-dalamnya tanpa terpengaruh oleh segala macam pendapat-pendapat yang pada hakekatnya hanyalah untuk membenarkan diri sendiri belaka
.

Kekhawatiran Bu-taihiap memang terbukti. Setelah perkelahian itu lewat kurang lebih seratus jurus, mendadak Tang Cun Ciu mengeluarkan pekik melengking yang sangat mengejutkan semua orang. Pekik ini bukan seperti suara manusia, tetapi seperti suara suling ditiup dengan nada tinggi sekali! Melengking nyaring dan langsung menyerang jantung lawan melalui pendengarannya!

Mendengar ini, Cin Liong terkejut sekali dan cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk melawan dan menahan serangan melalui khikang istimewa ini. Dan memang itu adalah inti dari ilmu para penghuni Lembah Suling Emas, yaitu khikang yang dapat dikerahkan melalui suara dan suara itu sendiri dapat menyerang lawan yang dihadapinya. Lawan yang kurang kuat, baru mendengar suara ini saja sudah tergetar jantungnya dan dapat membuat menjadi lumpuh atau gugup, atau setidaknya menjadi kacau. Kekuatan suara seperti ini dimiliki pula oleh binatang-binatang buas seperti harimau, singa dan lain-lain, yang dengan suaranya saja sudah mampu membuat calon korban menjadi lumpuh!

Dan menyusul serangan suaranya itu, secepat kilat, Tang Cun Ciu menyambitkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah ke arah tubuh lawan, sedangkan kedua tangannya sendiri lalu bergerak mendorong ke depan dalam penyerangan yang lebih hebat pula! Bukan main memang serangan wanita perkasa yang berjuluk Dewi Pengejar Arwah ini. Sekaligus ia telah melancarkan tiga macam serangan yang amat hebat! Hal ini membuktikan bahwa wanita ini pun telah melihat kenyataan bahwa ia takkan menang melawan pemuda tangguh ini, maka ia telah mengeluarkan ‘simpanan’ terakhir, yaitu dengan penyerangan maut yang luar biasa ini!

Cin Liong juga maklum bahwa lawannya telah menjadi nekad dan bahwa lawannya hendak mengadu nyawa. Maka dia pun cepat beraksi, melepaskan pedang dari tangan kanan dengan melontarkannya ke depan, menyambut pedang lawan yang meluncur ke arah lehernya itu, dan dia pun menggerakkan kedua lengannya, didorongkan ke depan untuk menyambut lawan dengan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, yaitu ilmu simpanan dari ayahnya yang membuat nama ayahnya terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir.

“Cringgg.... desss....!”

Dua batang pedang itu bertemu di udara dan keduanya meluncur ke bawah menancap di atas tanah sampai separuhnya lebih! Pada saat kedua pasang tangan itu bertemu, tubuh Tang Cun Ciu terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh kalau ia tidak cepat-cepat berjungkir balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali, sedangkan tubuh Cin Liong hanya terdorong mundur dua langkah saja.

Marahlah Tang Cun Ciu, karena benturan terakhir itu sudah membuktikan bahwa ia telah kalah. Wanita ini memang memiliki kekerasan hati yang istimewa, dan keberanian yang luar biasa sekali sehingga tidak heran kalau ialah yang telah menggegerkan kota raja dan dunia kang-ouw dengan mencuri pedang pusaka dari istana! Biar pun ia tahu bahwa pemuda itu terlampau kuat baginya, namun begitu ia sudah turun ke atas tanah, langsung saja tubuhnya meluncur lagi ke depan dengan loncatan seperti terbang cepatnya, dan kakinya telah melakukan tendangan terbang dan bertubi-tubi tiga kali, pertama tendangan ke arah kepala, ke dua ke arah ulu hati dan ke tiga ke arah pusar!

Cin Liong memandang kagum. Wanita ini benar-benar tangguh sekali. Cepat-cepat dia berloncatan mengelak dan setelah menghindarkan diri dari tiga tendangan itu, Cin Liong lalu membalas serangan dengan mengeluarkan jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat! Dan mulailah Cun Ciu terdesak terus, main mundur dan tidak tahan menghadapi serangan-serangan yang aneh ini, yang dilakukan dengan tubuh lurus, kadang-kadang bahkan hampir mendekam ke atas tanah.

Setelah mencoba untuk menghindarkan diri sampai belasan jurus, akhirnya sebuah tendangan dari kaki kiri Cin Liong tepat mengenai pinggir lututnya dan nyonya itu pun terpelanting roboh! Ia mencoba untuk meloncat bangun, akan tetapi roboh lagi karena lututnya terasa nyeri dan ternyata tulang lututnya telah terlepas sambungannya!

Bu Seng Kin cepat meloncat mendekati isterinya, dan dengan beberapa kali mengurut lutut itu maka tulangnya dapat tersambung kembali dan dengan berloncatan di atas sebelah kakinya, Tang Cun Ciu terpaksa mundur setelah mencabut pedangnya dari dalam tanah, duduk kembali dengan muka marah dan mulut cemberut. Ia tidak pedulikan Cin Liong yang sudah menjura kepadanya sambil berkata,

“Harap maafkan saya....”

Akan tetapi sikap pemuda ini sungguh membuat Bu-taihiap merasa kagum bukan main dan dia pun menarik napas panjang penuh penyesalan. Sayang, sungguh sayang sekali bahwa pemuda seperti ini tidak bisa menjadi mantunya. Betapa akan bangga hatinya mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini yang selain pandai sehingga semuda itu sudah menjadi jenderal kepercayaan Kaisar, juga amat gagah dan rendah hati. Seorang pendekar komplit!

“Kedua orang isteriku yang bodoh telah kalah, maka sekarang biarlah aku si tua bangka yang tidak tahu diri ini mohon pelajaran dari keluarga Kao!” Dia sengaja menyebut keluarga Kao, oleh karena untuk menantang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir secara langsung dia masih merasa segan!

Cin Liong yang masih berdiri di tengah ruangan itu dan kini melihat pendekar Bu sudah berdiri di depannya, kemudian menjura dengan hormat. “Bu-locianpwe, sesungguhnya kedatangan kami di sini sama sekali tidak mempunyai niat untuk bertanding dengan siapa pun juga, apalagi bermusuhan dengan para pendekar yang kami hormati. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar tentu saja saya harus melaksanakan tugas, dan setelah mendengar bahwa Sang Pangeran berada di sini, sudah menjadi tugas saya untuk membebaskannya. Dan untuk itu, kami tidak segan-segan untuk mengorbankan nyawa. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi oleh Locianpwe, dan saya harap saja Locianpwe tidak akan memejamkan mata melihat kenyataan bahwa segala yang dilakukan Kaisar sama sekali tidak dapat ditimpakan kesalahannya kepada Pangeran. Maka sekali lagi, saya harap Locianpwe suka mempertimbangkan dan menghabiskan segala macam perkelahian yang tiada gunanya sampai di sini saja dan membiarkan kami untuk mengawal Sang Pangeran pulang ke kota raja.”

Ucapan itu sungguh penuh kegagahan dan juga tidak dapat dibantah kebenarannya. Semua pendekar yang berada di situ juga diam-diam merasa malu dan menganggukkan kepala mereka. Akan tetapi, di balik kebenaran yang nyata ini ada kebenaran lain, yaitu kebenaran yang teramat khas dan mutlak bagi mereka, kebenaran perjuangan! Demi perjuangan, maka kebenaran yang lain boleh disingkirkan dahulu….


SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 25


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.