CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 26
Bu Seng Kin mengangguk-angguk, tersenyum dan mengelus jenggotnya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, “Kao-taihiap tentu percaya kalau saya katakan bahwa kami sekeluarga merasa terhormat sekali dengan pinangan ini, dan sekiranya anakku Ci Sian itu setuju, tentu dengan hati dan tangan terbuka akan kami terima pinangan ini. Akan tetapi, hendaknya Sam-wi mengerti keadaan kami dan anak kami itu. Pernah Sam-wi saksikan sendiri sikap anak itu terhadap saya, dan ibunya sudah tiada. Agaknya, dalam urusan perjodohannya, saya pun tidak dapat memutuskannya sama sekali. Anakku itu agaknya... ahhh, lebih dekat dengan suheng-nya dari pada dengan kami, dan ini... saya tidak dapat menyalahkannya. Sudahlah, tentu Sam-wi mengerti, yang jelas, saya akan merasa berbangga sekali kalau dapat mempunyai mantu seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong. Akan tetapi, saya tidak berkuasa atas diri Ci Sian. Sebaiknya jika Sam-wi menghubungi Ci Sian secara langsung saja. Kalau ia menerima, kami akan berbahagia sekali. Akan tetapi kalau dia menolak, saya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Nah, hanya inilah yang dapat saya katakan sebagai jawaban atas pinangan Sam-wi.”
Keluarga Kao merasa puas dan gembira dengan jawaban itu. Memang mereka pun mengerti bahwa antara Ci Sian dan ayah kandungnya ini tidak ada hubungan yang baik. Dan tentang perjodohan gadis itu tentu berada di tangan gadis itu sendiri. Hal ini dimengerti benar oleh Cin Liong yang sudah mengenal watak Ci Sian
Akan tetapi, Bu Seng Kin adalah ayah kandung Ci Sian, dan melewatinya dalam urusan perjodohan Ci Sian sungguh dapat diartikan sebagai penghinaan. Kini, mereka telah menyampaikan pinangan kepada pendekar itu dan biar pun pendekar itu tidak dapat memutuskan, namun pada dasarnya pendekar Bu telah menyetujui kalau puterinya berjodoh dengan Cin Liong dan ini sudah cukup bagi pemuda itu.
Ketika pesta bubar, mereka berpamit dan menghaturkan terima kasih. Setelah keluar dari kota Cin-an, Cin Liong tidak ikut dengan ayah bundanya yang hendak pulang kembali ke utara, ke tempat tinggal mereka, yaitu di Istana Gurun Pasir.
“Aku akan pergi ke kota raja lebih dahulu,” kata pemuda itu, “Setelah melapor kepada Pangeran yang kini telah menjadi Kaisar, aku akan minta cuti dan akan pergi mencari Ci Sian sampai dapat. Setelah bertemu dan memperoleh keputusan, barulah aku akan menyusul Ayah dan Ibu pulang ke utara.”
Ayah dan ibu itu memberi banyak nasehat sebelum mereka berpisah, atau lebih banyak ibunya yang menghujaninya dengan nasehat-nasehat agar berhati-hati dan sebagainya. Ayahnya, Kao Kok Cu, tidak banyak bicara, dan dengan suara yang berwibawa hanya berkata, “Cin Liong, satu hal harus kau ingat baik-baik bahwa perjodohan hanya dapat dilaksanakan apabila keinginan itu terdapat dari kedua belah pihak! Kalau keinginan itu hanya terdapat di satu pihak saja, kelak akan mendatangkan banyak masalah dalam rumah tangga. Dan ingat, cinta kasih bukan berarti harus menikah! Tapi kalau keduanya ada cinta kasih, menikah merupakan jalan yang paling tepat. Syukurlah andai kata gadis itu juga menghendaki perjodohan denganmu. Kalau ia tidak setuju, hal itu wajar saja dan tidak sepatutnya menyengsarakan perasaan hatimu.”
Pesan ayahnya ini meninggalkan kesan mendalam di hati Cin Liong. Dia tahu bahwa kalau sampai Ci Sian menolak cintanya, menolak menjadi isterinya, dia akan menderita pukulan batin, hatinya akan terasa sakit. Akan tetapi dia melihat pula kebenaran ucapan ayahnya, maka dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekali pun…..
Ketika Sim Hong Bu melarikan diri dari Cin-an, dari sarang para patriot karena dia panik dan berduka melihat betapa Ci Sian menyerangnya kalang-kabut, diam-diam Cu Pek In juga melakukan pengejaran. Akan tetapi kalau seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Cin Liong saja tidak mudah dapat menyusul Sim Hong Bu, apalagi Pek In yang ilmunya kalah jauh dibandingkan dengan suheng-nya yang dicintanya itu. Akan tetapi, ia tidak pernah berhenti mencari jejak Hong Bu dan telah mengambil keputusan bahwa baginya hanya ada dua pilihan, yaitu mencari sampai jumpa atau mati dalam usahanya itu!
Berpekan-pekan lamanya Cu Pek In mencari dan mengikuti jejak suheng-nya itu. Tetapi ia pun dibikin bingung ketika ia melihat jejak suheng-nya itu setelah menuju ke timur lalu kembali lagi ke barat, ke kota Cin-an dan menurut penyelidikannya, suheng-nya itu pergi ke Cin-an bersama seorang laki-laki setengah tua. Dan setelah pergi mengejar dan mencari Hong Bu selama hampir dua bulan, akhirnya Pek In kembali ke Cin-an dan bertemu dengan keluarga Bu. Dari Bu-taihiap ia mendengar banyak.
Bu Seng Kin yang mempunyai banyak sekali pengalaman itu dapat memaklumi bahwa gadis ini amat mencinta Hong Bu akan tetapi dia tahu pula bahwa Pek In bertepuk sebelah tangan dalam hal ini. Karena, baru beberapa hari yang lalu, Sim Hong Bu datang bersama seorang pamannya dan mengajukan pinangan atas diri Ci Sian! Dan hal ini terjadi baru beberapa hari setelah dia dan keluarganya menerima kunjungan dan pinangan dari keluarga Kao!
Bu-taihiap dan keluarganya menceritakan bahwa kini keadaan telah banyak berubah setelah Kaisar tua meninggal dan setelah Pangeran Kian Liong memegang kendali pemerintahan. Dia bercerita banyak tentang keadaan para pendekar patriot sekarang, yang sudah tidak dikejar sebagai musuh dan bagaimana pun juga harus mengakui kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh kaisar baru.
Semua itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cu Pek In, tetapi sesungguhnya di dalam hatinya, gadis ini tidak begitu tertarik. Kalau ia tadinya ikut pula dalam kelompok para pendekar patriot, hal itu hanya dilakukan karena ia mengikuti Hong Bu dan karena suheng-nya itu dianggap buronan dan di dalam pengejaran orang-orangnya Kaisar.
“Bu-locianpwe, saya mencari Sim-suheng sampai jauh, akan tetapi jejaknya malah menuju kembali ke Cin-an. Apakah dia datang ke sini?” akhirnya dia bertanya dan Bu Seng Kin yang memberi isyarat kepada isteri-isterinya itu segera menjawab.
“Dia memang pernah datang ke sini bersama seorang pamannya, tetapi tidak bermalam dan hari itu juga telah pergi lagi. Kurang lebih seminggu yang lalu dia datang. Ada hal yang amat menggembirakan, yaitu bahwa katanya, kaisar baru juga membebaskan dia, dan ia menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam oleh Kaisar telah dinyatakan sebagai pedang milik keluargamu. Jadi sekarang dia tidak lagi dikejar-kejar.”
Berita ini memang menggembirakan hati Cu Pek In. “Akan tetapi, Locianpwe, setelah meninggalkan Cin-an, dia pergi ke manakah?”
Pendekar itu menarik napas panjang. Tentu saja dia tak tega untuk menceritakan bahwa Hong Bu telah datang melamar Ci Sian. Namun dia dapat menduga ke mana perginya Hong Bu. Ke mana lagi kalau tidak mencari Ci Sian? Untuk mengatakan bahwa Hong Bu kini mencari-cari Ci Sian, apalagi kalau dijelaskan bahwa pemuda itu mencarinya untuk melamarnya, berarti tentu menghancurkan perasaan gadis ini. Maka dia pun lalu berkata, “Setelah dia dibebaskan oleh Kaisar, tentu dia akan memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya. Apakah engkau tidak dapat menduganya?”
“Tugas itu adalah mengalahkan Kim-Siauw Kiam-sut.”
Bu Seng Kin mengangguk. “Tentu saja. Dia tentu mencari Pendekar Suling Emas Kam Hong untuk melaksanakan tugas yang dipikulnya, yaitu mengadu ilmu dengan pendekar itu atau.... sumoi-nya.”
Cu Pek In mengepal tinju. “Aku harus membantunya!” Lalu dipandangnya pendekar itu dan ia bertanya, “Ke manakah dia mencari mereka?”
“Kami tidak tahu, Nona, hanya kami mendengar bahwa pamannya itu masih mempunyai keluarga di Lok-yang. Mungkin saja mereka itu pergi ke Lok-yang.”
Keterangan ini memang benar, dan lagi pula, menurut beberapa orang pendekar patriot yang melihatnya, memang paman dan keponakan itu meninggalkan Cin-an menuju ke barat.
“Kalau begitu, saya akan segera menyusul dan mencarinya, Locianpwe.” Cu Pek In berpamit.
Setelah gadis yang selalu berpakaian pria itu pergi, Bu Seng Kin menarik napas panjang dan berkata kepada tiga orang isterinya yang masih duduk di situ bersamanya. “Ahh, betapa cinta telah mengombang-ambingkan kehidupan para muda seperti gelombang samudera mempermainkan perahu-perahu kecil! Betapa cinta menciptakan sorga atau neraka di dunia ini.”
“Cinta memang selalu mendatangkan sorga dan sekaligus juga neraka dalam hidup!” tiba-tiba Nandini berkata. Dan anehnya, dua orang madunya lalu mengangguk-angguk membenarkan. Melihat ini, Bu Seng Kin membelalakkan matanya.
“Ehhh, agaknya kalian bertiga sudah sepakat begitu. Apa maksud kalian?”
“Lihat saja kehidupan kami! Kami mencari sorga bersamamu akan tetapi yang kami dapat neraka!” kata pula Nandini cemberut, dan dua orang madunya juga cemberut.
Mau tidak mau Bu-taihiap tertawa. “Akan tetapi mengakulah, bukankah di samping neraka kalian juga mendapatkan sorga? Bukankah kalau satu di antara kita saling berpisah kita merasa rindu dan menderita?”
Tiga orang isterinya diam saja karena memang mereka harus mengakui bahwa mereka baru merasa berbahagia kalau di samping suami ini, walau pun kadang-kadang mereka harus menahan panas hati karena cemburu.
“Memang demikianlah hidup,” pendekar itu menyambung. “Di mana ada senang tentu ada susah, kalau ada sorga tentu ada neraka. Akan tetapi, jangan dikira bahwa yang pahit-pahit dalam hidup itu tidak perlu. Coba saja bayangkan, tanpa kita merasakan pahit, bagaimana mungkin kita dapat menikmati manis? Tanpa kita merasakan bagai mana yang dinamakan susah itu, bagaimana kita dapat mengenal senang? Demikian pula, kalau kita tidak pernah mengenal neraka, mana mungkin kita dapat menikmati sorga? Ha-ha, selama kita berada dalam cengkeraman Im Yang, tentu saja keduanya itu saling kait-mengait dan tidak mungkin kita dapat terbebas dari kekuasaan dan roda perputarannya.”
Apa yang diucapkan oleh Bu Seng Kin itu memang merupakan kenyataan. Sayang dia tidak menyelami lebih mendalam lagi sehingga dia hanya menerima hal itu sebagai sesuatu yang seharusnya demikian, sehingga dia sendiri masih terseret ke dalam lingkaran setan dari baik dan buruk, senang dan susah dan sebagainya itu.
Senang dan susah adalah dua permukaan dari sesuatu yang sama. Keduanya tak dapat dipisahkan karena memang keduanya itu merupakan dua saudara kembar yang tak terpisahkan. Ada yang satu pasti ada yang lain. Karena itu, setiap pengejaran akan kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan karena kesenangan dan kesusahan itu berbadan satu tapi bermuka dua. Apa yang nampak pada muka itu, baik nampak sebagai senang mau pun sebagai susah, hanya merupakan akibat dari pada pilihan pikiran sendiri belaka. Apa yang hari ini dianggap sebagai menyenangkan, mungkin saja pada hari esok akan dianggap sebagai menyusahkan, dan demikian sebaliknya.
Senang dan susah muncul sebagai akibat dari pada penilaian. Dan penilaian ini selalu bersumber kepada kepentingan si aku. Si aku adalah pikiran, si aku adalah nafsu. Wajarlah bagi seorang manusia untuk dimasuki perasaan-perasaan itu. Senang, susah, takut, malu, marah, dan sebagainya. Namun, dengan pengamatan terhadap diri sendiri secara penuh kewaspadaan dan perhatian, di waktu perasaan-perasaan itu memasuki hati dan pikiran, maka kita tidak akan terseret. Mengamati semua itu, menghadapi semua itu, tanpa menilai-nilai sebagai baik atau buruk. Mengamati saja penuh kewaspadaan tanpa ada si aku yang mengamati. Jadi hanya pengamatan saja yang ada, kewaspadaan saja yang ada.
Menerima semua itu sebagai suatu hal yang sudah semestinya begitu, seperti yang dilakukan oleh Bu Seng Kin, maka tidak akan timbul perubahan dan untuk selama hidup, kita akan selalu terombang-ambing antara suka dan duka, dan biasanya, lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Dan selama kita menjadi permainan si kembar ini, kita takkan pernah bahagia. Yang kita anggap kebahagiaan bukan lain hanyalah kesenangan belaka yang pada lain saat sudah akan berubah lagi menjadi kesusahan.
Cu Pek In melakukan perjalanan ke barat dalam usahanya mencari Sim Hong Bu. Dia pergi menuju ke Lok-yang, sebuah kota yang besar dan ramai dan juga kuno di Propinsi Ho-nan. Gadis yang bagi yang tidak tahu dianggap sebagai seorang pemuda remaja yang amat tampan ini, melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya dan menyelidik kalau-kalau ada yang melihat Sim Hong Bu lewat di situ. Akan tetapi, agaknya sampai di Lok-yang, tidak ada seorang pun yang dapat memberi keterangan tentang suheng-nya itu. Tidak ada yang melihat adanya seorang pemuda seperti Sim Hong Bu lewat di jalan yang dilaluinya.
Dengan hati yang gelisah dan berduka, kedua kakinya yang lemas karena melakukan perjalanan jauh dan tubuhnya lelah sekali. Hari telah menjelang senja ketika terpaksa untuk hari itu ia menunda dulu pencariannya dan mencari kamar di sebuah losmen. Karena ia merasa amat lelah dan ingin beristirahat sebaiknya, maka dipilihlah hotel yang paling besar di kota itu. Hotel itu nampak besar dan cukup megah, dengan huruf-huruf besar dengan tinta emas di depannya berbunyi ‘Thian Hok Li Koan’.
Ketika Pek In memasuki ruangan depan hotel itu dan menuju ke kantor di sudut, ia melihat enam orang laki-laki duduk menghadapi meja bercakap-cakap di ruangan itu. Seorang pelayan segera menyambutnya dan sesaat alis pelayan ini berkerut melihat pakaian dan sepatu Pek In yang kotor dan berdebu, akan tetapi ketika dia memandang wajah yang tampan itu, dia segera bertanya dengan suara yang cukup ramah, “Selamat sore, Tuan Muda. Kalau anda mencari kamar, sungguh sayang sekali karena semua kamar telah penuh.”
Cu Pek In memandang pelayan itu dan hatinya menjadi kesal sekali. Ia sudah lelah dan juga jengkel dan berduka karena kehilangan jejak suheng-nya. Dan begitu tiba di hotel, di mana ia ingin cepat-cepat merebahkan diri, pelayan itu mengatakan bahwa semua kamar telah penuh! Ia merasa curiga, karena pelayan itu tadi memandang pakaian dan sepatunya yang berdebu. Karena sedang duka dan jengkel, maka Pek In menjadi mudah berprasangka dan marah-marah. Ia menyangka bahwa tentu pelayan ini tidak percaya kepadanya, pakaiannya berdebu, jangan-jangan ia dianggap tidak punya uang untuk membayar kamar! Hotel ini begitu besar, tentu mempunyai banyak kamar, masa sudah penuh?
“Benarkah tidak ada kamar kosong sama sekali? Aku sanggup membayar sewanya, berapa pun juga!” tanyanya dengan suara yang mengandung kejengkelan.
Ia tidak tahu bahwa enam orang pria yang tadi bercakap-cakap kini berhenti bicara dan semua melirik ke arahnya. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam, seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, memandang kepada Pek In dengan sepasang matanya melotot lebar dan mulutnya mengandung senyum penuh arti. Tangannya meraba-raba kumisnya yang melintang ketika sepasang matanya itu menatap ke arah wajah dan tubuh Pek In dari pinggir.
“Sungguh, Kongcu, semua kamar telah penuh. Hari ini memang ramai sekali sehingga tidak ada lagi kamar di hotel kami yang kosong. Harap Anda memaafkan kami,” kata pengurus hotel yang sudah menjenguk keluar dari dalam kantornya.
Cu Pek In menarik napas panjang. Memang dia sedang sial, pikirnya, segala-galanya tidak pernah berhasil. Ingin ia menangis.
“Bung pengurus, biarlah kami mengosongkan sebuah di antara kamar-kamar yang kami sewa dan berikanlah kepada Tuan Muda ini!” Mendadak terdengar suara parau dan kasar, suara dari pria tinggi besar berkulit hitam itu.
“Tapi.... tapi Koa-kauwsu telah membayar semua kamar itu,” Si Pengurus berkata.
“Tidak mengapa, seorang temanku dapat tidur bersama temannya dan mengosongkan kamar itu untuk Kongcu ini. Atau kalau Kongcu ini mau, tempat tidurku cukup lebar dan boleh saja aku membagi tempat tidur dengan dia.”
Wajah Cu Pek In menjadi merah. Kalau didengarnya kata-kata itu sebagai seorang wanita, tentu saja kata-kata itu amat kurang ajar. Hampir saja ia marah sekali kalau tidak diingatnya bahwa ia kini sedang menyamar sebagai seorang pria. Maka ia pun berkata kepada pengurus hotel itu, “Kalau memang sudah penuh, sudahlah, aku bisa mencari kamar di hotel lain.”
Cu Pek In membalikkan tubuh tanpa menoleh kepada enam orang pria itu. Dia hendak meninggalkan ruangan hotel.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara parau itu, “Nanti dulu, Siauwte, aku hendak bicara denganmu!”
Cu Pek In menoleh dan melihat laki-laki tinggi besar itu sudah berdiri dan menjura kepadanya, demi kesopanan ia pun lalu balas menjura.
“Ada urusan apakah yang hendak dibicarakan?” Ia bertanya sambil memandang tajam.
Laki-laki itu bersikap cukup sopan dan ramah, dan sepasang matanya yang lebar memandangnya dengan kekaguman yang tak disembunyikannya. Bukan pandang mata orang jahat, pikirnya, melainkan pandang mata seorang yang mata keranjang. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa ia berpakaian pria dan biasanya jarang ada orang yang dapat mengetahui penyamarannya, maka ia membantah penilaiannya sendiri, karena tidak mungkin pria tinggi besar itu tertarik kepada seorang pemuda!
“Siauwte, maafkan kalau aku mencampuri urusanmu. Akan tetapi melihat bahwa engkau nampak lelah, pakaian dan sepatumu penuh debu menunjukkan bahwa engkau telah melakukan perjalanan jauh, dan agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mencari kamar di hotel-hotel lain yang tentu juga penuh, maka aku menawarkan sebuah kamar kami kepadamu. Kami berenam menyewa lima kamar, kalau dikurangi satu kamar kami masih dapat tidur. Sebuah kamar untuk berdua pun tidak mengapa.”
Cu Pek In tersenyum dan tak tahu betapa senyumnya yang membuat wajahnya nampak semakin tampan itu membuat Si Tinggi Besar semakin kagum. “Ahhh, aku tidak ingin merepotkan Paman yang belum kukenal.”
“Sama sekali tidak merepotkan. Atau Adik boleh pilih, memakai sebuah kamar sendirian atau berdua denganku. Tempat tidur di kamar kami cukup besar....”
“Tidak, terima kasih! Aku tak biasa tidur berdua....,” jawab Pek In cepat-cepat memotong perkataan orang.
“Kalau begitu, pakailah sebuah kamar sendirian saja. Temanku dapat mengalah,” kata pula Si Tinggi Besar.
Melihat kebaikan orang, Cu Pek In merasa ragu-ragu untuk menolak.
Dan pengurus hotel itu pun cepat berkata kepadanya, “Kongcu, apa yang dikatakan oleh Koa-kauwsu ini memang benar. Sekarang sedang ramainya orang berdagang hasil bumi. Banyak tamu pedagang dari luar kota ini dan setiap hari semua hotel di kota ini penuh. Agaknya akan sukar bagi Kongcu untuk memperoleh kamar di hotel yang baik, kecuali di hotel-hotel kecil yang kotor.”
Ucapan pengurus hotel ini menghilangkan keraguan Cu Pek In dan ia pun kemudian menghaturkan terima kasih kepada Si Tinggi Besar.
“Ah, tidak perlu sungkan, Adik yang baik. Kita manusia di mana-mana memang harus saling bantu, bukan? Dengan begini, kita menjadi kenalan baru. Aku senang sekali berkenalan denganmu, Siauwte. Perkenalkanlah, aku Koa Cin Gu dari Lo-couw sebelah selatan kota ini.”
“Koa-kauwsu adalah guru silat yang terkenal di Lo-couw, bahkan di kota Lok-yang ini, Tuan Muda,” kata Si Pelayan memuji.
“Koa-kauwsu,” kata Pek In sambil menjura, “Terima kasih atas kebaikanmu. Aku sudah lelah sekali dan ingin beristirahat.” Sambil berkata demikian, Pek In lalu meninggalkan orang tinggi besar itu dan mengikuti pelayan dan seorang teman Si Tinggi Besar yang hendak mengambil barang-barangnya dari kamar yang diberikan kepada Pek In.
Setelah kamar itu bersih, Cu Pek In membersihkan tubuhnya, berganti pakaian dan memesan makan minum dalam kamarnya. Ia sudah lelah dan agak turun semangat, maka ia tidak keluar lagi dan memesan makan di kamarnya saja. Setelah makan dan istirahat sebentar, duduk termenung memikirkan nasibnya, dia pun merebahkan dirinya dan tidur.
Ia sendiri tidak tahu berapa lama ia tertidur, akan tetapi tiba-tiba ia terbangun oleh ketukan di pintu. Cu Pek In membuka matanya dan tanpa turun dari pembaringan ia bertanya, “Siapa di luar?”
Suara parau di luar segera dikenalnya sebagai suara Koa-kauwsu. “Aku Koa Cin Gu, Cu-siauwte!”
“Koa-kauwsu, ada keperluan apakah mengetuk pintu kamarku?” tanya Pek In sambil duduk di tepi pembaringan. Saking lelahnya, tadi dia sudah tertidur dengan pakaian lengkap, hanya sepatunya saja yang dilepaskan.
“Harap buka pintunya, Adik Cu! Aku memiliki hal yang amat penting untuk dibicarakan denganmu.”
Cu Pek In adalah seorang gadis gagah yang tidak pernah mengenal takut, akan tetapi setelah banyak merantau seorang diri meninggalkan lembah, ia sudah mempunyai banyak pengalaman dan bersikap hati-hati. Betapa pun juga, ia harus mencurigai orang yang telah bersikap terlalu baik kepadanya itu. Dipakainya sepatunya dan diselipkan sulingnya di pinggang, tertutup baju, lalu ia pun melangkah ke pintu dan membukanya.
Koa Cin Gu masuk sambil tersenyum ramah. “Sudah tidurkah, Siauwte? Maafkan kalau aku mengganggu, ya?” Ketika dia bicara itu, Pek In mencium bau arak dan biar pun sikap guru silat itu masih biasa saja, namun melihat muka hitam itu kemerahan, juga matanya, ia dapat menduga bahwa orang ini tentu terlalu banyak minum arak dan agak mabok.
Tanpa mempersilakan duduk, ia pun bertanya, “Koa-kauwsu, ada keperluan apakah yang hendak kau bicarakan?”
“Banyak, banyak sekali. Cu-siauwte,” kata guru silat Koa itu dan dia pun menutupkan kembali daun pintu.
Karena mengira bahwa orang itu menutupkan pintu karena memang mempunyai urusan yang penting, maka Pek In juga diam saja, hanya memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi, orang she Koa itu tanpa dipersilakan lagi kini sudah duduk, bukan duduk di atas kursi, melainkan di tepi pembaringan!
Si Muka Hitam itu kini tersenyum menyeringai sambil berkata, “Aku ingin berkenalan lebih baik denganmu, Adik Cu Pek In. Sini duduklah di dekatku sini, agar kita lebih enak bicara. Sejak melihatmu tadi, aku sudah suka sekali kepadamu, Adik yang baik.”
Muka Pek In menjadi merah sekali. Akan tetapi ia masih teringat bahwa orang itu bicara kepadanya sebagai seorang pemuda, bukan seorang gadis!
“Ah, Paman Koa, mengapa begitu? Katakanlah apa yang perlu kau bicarakan sehingga malam-malam engkau datang ke sini. Aku mengantuk sekali.”
“Ha-ha, mengantuk? Tidurlah, tidurlah biar kita bicara sambil merebahkan diri. Ataukah engkau lelah dan perlu kupijati? Ke sinilah, sayang.”
Pek In mulai mengerutkan alisnya. Apakah orang ini sudah tahu akan penyamarannya dan bersikap kurang ajar karena tahu bahwa ia adalah seorang wanita?
Tetapi hatinya belum yakin benar dan ia masih berpura-pura menegur, “Koa-kauwsu, apa artinya sikapmu ini? Lupakah engkau bahwa aku adalah seorang pria?”
“Ha-ha-ha, lupa? Tentu saja tidak, Adik tampan! Kalau engkau seorang wanita, apa kau kira aku sudi mendekatimu? Aku membenci wanita, dan aku sayang kepada pemuda-pemuda tampan seperti engkau ini. Ke sinilah, Adik tampan, akan kupijiti engkau agar lelahmu lenyap dan engkau temani aku tidur. Marilah....!” Dan guru silat bermuka hitam itu sudah mengembangkan kedua lengannya ke arah Pek In!
Pek In memandang dengan mata terbelalak. Betapa pun banyaknya pengalaman yang dihadapinya selama ini, baru sekarang melihat keganjilan ini. Seorang pria yang hendak mencumbu pria lain! Inikah yang dinamakan orang banci? Tubuh guru silat itu demikian tinggi besar, kulitnya kasar hitam dan kumisnya melintang, tubuhnya jelas menunjukkan laki-laki seratus prosen. Akan tetapi mengapa dia menyukai pria muda tampan?
Teringat akan hal ini, Pek In bisa menduga betapa banyaknya pemuda-pemuda tampan yang menjadi korban orang aneh ini. Tentu di antara murid-muridnya yang belajar ilmu silat banyak terdapat pemuda-pemuda remaja yang tampan. Entah dipermainkan secara bagaimana. Tak dapat ia membayangkannya dan ia sudah merasa jijik dan geli, seperti melihat seekor ular.
“Manusia keparat! Keluarlah engkau dari sini!” Pek In membentak marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah pintu.
Koa-kauwsu memandang bengis, lalu bangkit berdiri dan bertolak pinggang. “Ahhh.... kiranya engkau hanya seorang pemuda yang tak mengenal budi. Beginikah balasannya ditolong orang?”
“Hemm, kalau memberikan kamar kosong kepadaku kau anggap sebagai budi besar yang harus dibalas dengan kemesuman dan kecabulanmu, engkau mimpi, orang berhati binatang. Sudahlah, kau cepat keluar dari sini sebelum kuhancurkan kepalamu!” Pek In sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi.
Guru silat itu membelalakkan kedua matanya, dan dia tersenyum. Barulah kini nampak oleh Pek In betapa senyum pria ini mengandung sifat kegenit-genitan seperti wanita!
Koa Cin Gu sebetulnya bukanlah seorang penjahat, melainkan seorang guru silat yang cukup kenamaan. Akan tetapi, dia mempunyai kelainan dengan orang-orang biasa, yaitu, dia suka bermain cinta dengan pria-pria muda yang tampan. Dia sungguh tidak suka menyukai wanita, karena walau tubuhnya tinggi besar dan kasar seperti pria tulen, adalah hatinya seperti seorang wanita, terutama mengenai selera dan birahi. Dia tidak pernah melakukan pemaksaan terhadap pria-pria muda, karena dengan pengaruhnya sebagai guru silat, banyaklah murid-murldnya sendiri yang mau melayaninya dengan harapan memperoleh pelajaran silat yang lebih tinggi dari pada murid-murid lain. Maka, terhadap Pek In yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang tampan sekali ini pun Koa-kauwsu tidak bermaksud menggunakan kekerasan. Akan tetapi dia telah dihina dan dimaki, maka bangkitlah kemarahannya.
“Bocah kurang ajar! Engkau ditolong baik-baik, diperlakukan dengan sikap ramah dan manis, dan engkau malah menghina orang. Bocah sombong, benarkah engkau hendak menghancurkan kepalaku? Coba saja kalau engkau mampu!”
“Mampu? Apa sukarnya? Tetapi aku tidak ingin membikin kacau dengan pembunuhan, maka bukan kepalamu yang akan kuhancurkan, melainkan lengan tanganmu saja!” Berkata demikian, Pek In sudah menerjang ke depan dengan pukulan tangan kirinya.
Pukulannya mantap dan cepat sekali, sehingga guru silat itu yang mengenal serangan berbahaya, mengeluarkan seruan dan cepat menangkis dengan lengan kanannya, dan berbareng dengan itu langsung membalas dengan sodokan tangan kirinya ke arah dada Pek In. Walau pun hal ini bukan dimaksudkan untuk kurang ajar, akan tetapi sebagai seorang gadis, Pek In menganggapnya demikian, maka dia pun sudah mengerahkan tenaga sinkang pada lengan kanannya dan dia menghantam ke bawah, ke arah lengan kiri lawan.
“Krakkk....!”
Tulang lengan kiri Koa-kauwsu, dekat pergelangan, patah-patah dan di lain saat Pek In telah menendang tubuhnya sehingga guru silat terpelanting. Pek In cepat membuka pintu dan sekali lagi menendang. Tubuh guru silat itu terlempar keluar pintu kamar!
Tentu saja ia mengaduh-aduh karena bukan hanya lengan kirinya yang patah-patah tulangnya, akan tetapi juga dua kali tendangan itu membuat dadanya sesak dan perutnya mulas. Ribut-ribut ini mendatangkan lima orang temannya dan melihat betapa guru silat itu mengaduh-aduh, memegangi lengan kiri dengan tangan kanan, lima orang itu lalu menyerbu ke dalam kamar Pek In. Akan tetapi Cu Pek In sudah muncul di pintu dan membentak marah.
“Masih ada lagi yang hendak kurang ajar kepadaku?”
“Dia memukulku, dia mematahkan lenganku, pukul dia!” Koa-kauwsu yang merasa kesakitan itu sudah bangkit berdiri dan dengan meringis dia menuding ke arah Pek In dengan telunjuk kanannya.
Lima orang temannya terkejut bukan main, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang halus tampan itu mampu merobohkan guru silat Koa yang lihai! Mereka berlima dapat menduga bahwa tentu pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, maka mereka sudah mencabut senjata golok mereka dan menyerbu ke dalam kamar!
Akan tetapi Cu Pek In sudah marah sekali. Ketika tangannya bergerak, nampak sinar emas berkelebatan, dan terdengar bunyi nyaring ketika sinar emas itu bertemu dengan golok-golok di tangan lima orang yang mengaduh-aduh, ada yang kepalanya benjol, ada yang lengannya patah, dan ada pula yang mendekap perutnya yang kena ditendang! Keadaan menjadi geger karena semua tamu kini terbangun dan berdatangan ke tempat itu. Tiba-tiba, di antara para tamu itu, muncullah sepasang suami isteri yang gagah perkasa.
“Pek In....!” Mereka menegur.
Cu Pek In yang masih bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan dengan suling di tangan, cepat menengok dan melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang laki-laki tinggi besar bersama seorang wanita cantik, segera mengenalnya. Pria itu adalah pamannya sendiri, Cu Kang Bu dan wanita itu adalah isteri pamannya, Yu Hwi.
“Paman....!” teriaknya ketika mengenal pamannya.
“Pek In, mari kita pergi saja dari sini!” kata Kang Bu.
Pek In begitu girang bertemu dengan pamannya sehingga ia tidak membantah, cepat mengambil pakaiannya dan keluar dari dalam kamarnya bersama paman dan bibinya. Setelah mereka mengambil pakaian dari kamar suami isteri itu, Kang Bu lalu mengajak mereka keluar, berhenti di kantor pengurus, membayar untuk dua kamar mereka dan segera mengajak keponakannya pergi meninggalkan hotel.
Hal ini dilakukan oleh Kang Bu yang tidak mau menghadapi keributan setelah terjadi perkelahian antara keponakannya dan beberapa orang laki-laki tamu hotel itu. Mereka lalu mencari kamar di rumah penginapan kecil di pinggir kota. Di sini mereka lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing. Cu Pek In dengan hati sedih menceritakan betapa ia sudah bertemu dengan Hong Bu, bersama-sama pergi ke Cin-an di mana mereka berdua tinggal di sarang para patriot.
“Aku bertemu dengan Bibi Tang Cun Ciu di sana, Paman. Engkau tahu, yang menjadi pemimpin para pendekar patriot adalah Bu Seng Kin Locianpwe?”
“Hemm, pantas kalau begitu!” Hanya demikian Kang Bu berkata karena dia tidak mau mencampuri kehidupan pribadi bekas kakak iparnya itu.
Pek In lalu melanjutkan ceritanya, betapa Hong Bu bertemu dengan dua orang yang harus dilawannya, yaitu keluarga Kao dan juga Pendekar Suling Emas Kam Hong. Betapa kemudian karena diserang oleh Ci Sian, Hong Bu melarikan diri dan dikejar oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong.
“Aku pun mengejarnya, Paman, namun aku tertinggal jauh dan aku terus mencarinya sampai berbulan-bulan. Jejaknya membawaku kembali ke Cin-an. Menurut keterangan Bu-locianpwe mungkin Sim-suheng pergi ke Lok-yang ini.” Kemudian ia menceritakan pengalamannya di hotel itu dan sikap guru silat she Koa yang aneh dan kurang ajar terhadap dirinya.
“Sungguh aneh, Paman. Dia sudah mengatakan bahwa dia menganggap aku pria, akan tetapi mengapa dia hendak merayuku? Apakah dia itu orang-orang gila, Paman?”
Pamannya tertawa, demikian pula Yu Hwi. Yu Hwi yang menjawab. “Pek In, ketahuilah bahwa di dunia ini memang terdapat orang-orang yang sejak lahir telah mempunyai kelainan-kelainan yang mungkin saja diperkuat oleh keadaan sekeliling di waktu dia masih kanak-kanak. Atau mungkin ada sesuatu yang salah dalam tubuhnya sehingga ada orang yang tubuhnya pria akan tetapi perasaan hatinya wanita, seperti orang yang mengganggumu tadi. Akan tetapi ada orang yang tubuhnya wanita akan tetapi perasaan hatinya pria, dan orang begitu hanya suka berdekatan dengan sesama wanita, dan membenci pria.”
“Demikianlah yang dinamakan banci, Bibi?”
“Biasanya, sebutan banci ditujukan kepada seorang pria yang berhati wanita seperti pengganggumu tadi. Pria-pria seperti itu condong untuk menjadi wanita, merasa dirinya sebagai wanita, bahkan yang sudah terlalu berat kecondongannya itu, tidak ragu-ragu lagi untuk berpakaian sebagai wanita dan bersikap sebagai wanita pula. Sebaliknya, wanita yang berhati pria itu pun condong untuk menjadi pria dan berpakaian sebagai pria....”
Tiba-tiba Yu Hwi berhenti dan memandang kepada Pek In dengan muka berubah dan sikap sungkan. Melihat sikap isterinya ini, Kang Bu tertawa.
“Jangan khawatir, Pek In adalah seorang wanita asli, buktinya ia jatuh cinta kepada Hong Bu. Kalau ia suka berpakaian pria adalah karena mendiang orang tuanya memberi pakaian pria kepada Pek In.”
Wajah Cu Pek In menjadi merah sekali. “Ah, jadi ada wanita yang hatinya seperti pria dan lebih suka menjadi pria? Aku tidak mempunyai perasaan seperti itu, Bibi. Akan tetapi setelah mendengar penuturan itu, aku jadi muak untuk memakai pakaian pria, jangan-jangan aku disangka orang banci lagi! Biarlah, mulai sekarang aku akan mengenakan pakaian wanita. Harap Bibi membantuku!”
Demikianlah pada keesokan harinya, kedua orang wanita itu berbelanja dan mulailah Cu Pek In mengenakan pakaian wanita. Dan sungguh harus diakui bahwa setelah ia mengenakan pakaian wanita, mau berbedak dan berhias, ia nampak sebagai seorang dara yang cantik jelita! Bahkan Cu Kang Bu sendiri memuji keponakannya itu dan menyatakan sayangnya, mengapa sejak dahulu keponakannya tidak mau berpakaian sebagai seorang wanita. Kemudian mereka bertiga melanjutkan usaha Pek In untuk mencari Sim Hong Bu…..
Dan ke manakah perginya Sim Hong Bu? Seperti telah kita ketahui, Hong Bu lari dan mencari pamannya untuk mengajak pamannya itu melakukan peminangan atas diri Ci Sian. Dan dia sudah berhasil bertemu dengan pamannya itu. Akan tetapi Kao Cin Liong juga berhasil mengejarnya dan menyusulnya sehingga tidak dapat dihindarkan lagi terjadilah perkelahian di antara mereka. Perkelahian yang amat seru dan mati-matian dan tentu akhirnya akan menimbulkan akibat hebat, dan mungkin tewasnya seorang di antara mereka kalau saja tidak muncul Kao Kok Cu yang melerai.
Setelah kaisar yang baru ternyata telah menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam itu adalah hak milik keluarga Cu, maka tentu saja antara Hong Bu dan keluarga Kao tidak ada permusuhan lagi. Mereka bahkan menjadi sahabat dan berpisah sebagai sahabat.
Setelah berpisah dari Kao Cin Liong dan ayahnya, Sim Hong Bu kemudian mengajak pamannya pergi ke Cin-an untuk mengajukan lamaran atas diri Ci Sian kepada keluarga Bu. Dan Bu Seng Kin, seperti jawabannya terhadap lamaran keluarga Kao, juga menyuruh Hong Bu untuk langsung saja melamar kepada Ci Sian atau kepada suheng gadis itu karena dia sendiri tidak berkuasa atas diri puterinya itu. Mendapatkan jawaban ini, Hong Bu lalu pergi mencari Ci Sian dan memang dia pergi ke Lok-yang karena pamannya hendak pergi mencari keluarga yang jauh di dekat Lok-yang. Setelah tiba di Lok-yang keduanya saling berpisah, Hong Bu melanjutkan perjalanannya seorang diri mencari Ci Sian.
Ketika Cu Pek In tiba di Lok-yang, selain Cu Kang Bu dan Yu Hwi yang juga berada di kota itu, sesungguhnya Hong Bu juga berada di situ. Hanya pemuda ini tidak bermalam di kota, melainkan di luar kota, di dalam sebuah kuil tua karena pemuda ini telah dapat mengikuti jejak Ci Sian dan Kam Hong!
Pada pagi hari itu, Kam Hong dan Ci Sian sedang mengamati pemandangan yang amat indah di lembah Sungai Huang-ho di utara kota Lok-yang. Lembah itu sunyi karena memang mereka menghindari tempat ramai. Sambil memandang di atas air yang tenang karena baru saja arusnya terpatahkan di selokan, Ci Sian melamun dan akhirnya berkata.
“Suheng, sudahlah kita tidak perlu mengejar dan mencari orang she Sim itu. Kalau memang dia yang menghendaki untuk melanjutkan adu ilmu antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut, biar dia yang mencari kita. Melihat sungai yang amat lebar dan tenang ini, timbul niatku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kalau kita naik perahu mengikuti aliran sungai ini, kita akan sampai ke manakah, Suheng?”
“Air sungai Huang-ho ini akan membawa kita kembali ke Cin-an lagi, kemudian masuk Laut Po-hai,” jawab Kam Hong.
“Dan dari sana ke kota raja apakah masih jauh?”
“Tentu lebih dekat dibandingkan dari sini.”
“Kalau begitu, mari kita menyewa perahu, Suheng.”
“Ahh, mana mungkin ada orang mau menyewakan perahu untuk dipakai melalui jarak sejauh itu? Pemilik perahu tentu mengalami kesukaran untuk kembali ke sini menentang arus. Sewanya akan mahal sekali, mungkin sewanya itu sudah cukup untuk membeli sebuah perahu kecil.”
“Wah, kalau begitu kita beli saja. Kita dayung sendiri, kan terbawa arus air, jadi tak perlu membuang banyak tenaga. Kita mancing setiap hari, makan daging ikan setiap hari. Wah, senangnya!”
Kam Hong tertawa dan memandang kepada sumoi-nya. Betapa sumoi-nya ini kadang-kadang masih seperti anak kecil saja. Dan dia pun menarik napas panjang. Memang, dibandingkan dengan dia, sumoi-nya masih seperti anak kecil. Dia sendiri sudah berusia hampir tiga puluh lima tahun sedangkan sumoi-nya ini hanya seorang dara remaja berusia paling banyak sembilan belas tahun! Dia merasa sudah tua dan tidak pantas berdekatan dengan sumoi-nya.
“Kenapa kau tertawa lalu menarik napas, Suheng? Heran, habis tertawa kok menarik napas, engkau ini bergembira atau berduka?”
“Suka dan duka hanya seperti siang dan malam, muncul silih berganti, Sumoi, demikian pula dengan senang dan susah. Membayangkan melakukan perjalanan melalui air, tentu saja yang terbayangkan hanya senangnya saja, tetapi kalau sudah dilaksanakan, barulah muncul susah-susahnya. Di dunia ini tiada kesenangan kekal atau kesusahan abadi, selalu silih berganti menguasai kehidupan manusia.”
“Wah, wah, sepagi ini sudah berfilsafat, Suheng! Apakah engkau mencari sesuatu yang kekal?”
“Tidak, Sumoi, karena aku tahu bahwa tidak ada yang kekal dalam hidup ini. Mencari-carinya sama saja dengan mimpi di siang hari! Aku siap menerima segala sesuatu dalam hidup ini, Sumoi, menghadapi apa adanya tanpa keluhan. Kalau memang diri sudah tua dan buruk, apa perlunya mengeluh?”
Ci Sian memandang wajah suheng-nya. Tertawanya bebas karena gadis ini tak pernah berpura-pura di depan suheng-nya, tidak pernah menyembunyikan keburukannya, maka di depan suheng-nya ia dapat tertawa bebas tanpa berusaha untuk bersikap seperti orang yang hendak bersopan-sopan. “Wah, lihat kakek-kakek ini yang berfilsafat dan merasa sudah tua dan pikun! Wahai Suheng, siapa bilang engkau tua dan pikun dan jelek? Aku kadang-kadang merasa jauh lebih tua dari pada Suheng!”
“Kadang-kadang? Kalau sedang bagaimana kau merasa lebih tua?”
“Kalau sedang begini ini. Kalau Suheng sedang menyesali nasib dan usia tua seperti itu. Sudah, mari kita mencari perahu untuk kita beli Suheng.”
Akan tetapi tiba-tiba Kam Hong menyentuh lengannya. “Ssttt, ada orang datang....,” bisiknya.
Mereka berdua menanti karena memang nampak ada bayangan orang berlari cepat sekali menuju ke tempat itu dan setelah orang itu tiba di depan mereka, dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka melihat bahwa yang muncul di depan mereka itu adalah Sim Hong Bu!
Melihat pemuda ini, Kam Hong tersenyum. “Ah, ternyata benar kata orang jaman dahulu bahwa dunia ini sesungguhnya tidak begitu luas seperti disangka orang. Kami mencari-carimu setengah mati tanpa hasil, dan sekarang engkau muncul di sini, Adik Sim Hong Bu!”
Hong Bu sudah dapat menenangkan hatinya yang berdebar kencang ketika melihat Ci Sian. Hatinya girang bukan main bahwa akhirnya dia dapat menemukan gadis ini, dan dalam pandangannya, Ci Sian semakin cantik menarik, lincah dan gagah saja.
“Engkau mencariku, Kam-taihiap? Sungguh, aku pun sudah lama mencari-carimu dan.... ehhh…., Nona Ci Sian.”
“Hemm, mau apa engkau mencariku, Hong Bu?” tiba-tiba Ci Sian berkata. “Apakah hendak menantangku lagi?” Di dalam pertanyaannya terkandung tantangan.
“Ada dua hal yang mendorong untuk mencari kalian,” kata Hong Bu dan dia berusaha sekuat tenaga untuk menekan debar jantungnya.
Hampir saja dia tidak berani mengeluarkan kata-kata berikutnya, akan tetapi dia menjadi nekad. Kalau tidak sekarang dikeluarkan isi hatinya, mau tunggu kapan lagi? Maka dia pun menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan, lalu berkatalah dia dengan sikap gagah dan suara lantang.
“Kam-taihiap dan Nona Bu Ci Sian, dengarlah baik-baik. Aku bersama salah seorang pamanku telah pergi menemui dan menghadap Bu-locianpwe di Cin-an dan kami telah mengajukan pinangan kepadanya, untuk meminangmu, Nona. Akan tetapi Bu-locianpwe mengatakan bahwa aku harus mencarimu dan menyatakan ini kepadamu dan kepada Kam-taihiap. Nah, sekarang aku sudah menemukan kalian dan di sini aku menyatakan bahwa aku meminang Nona Bu Ci Sian untuk menjadi jodohku, Kam-taihiap.”
Ucapan ini sungguh amat di luar dugaan Ci Sian dan Kam Hong. Kam Hong menahan senyumnya dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum dan dengan hati senang. Betapa gagahnya pemuda ini, begitu jujur dan terbuka. Sungguh merupakan pemuda yang memang tepat kalau menjadi jodoh sumoi-nya!
Akan tetapi setelah sejenak melongo dengan muka agak pucat mendengar pinangan itu, Ci Sian lalu meledak karena marahnya!
“Tidak! Aku tidak mau! Engkau manusia lancang, enak saja melamar orang seperti hendak membeli bakpao saja! Aku tidak mau, aku tidak suka, aku.... aku benci padamu!”
“Ci Sian, jangan tergesa-gesa menjawab dan tidak boleh engkau menghadapi pinangan orang seperti itu,” Kam Hong menegur, terkejut melihat sikap itu.
“Tidak, tidak adil! Suheng, biar pun engkau suheng-ku, jika engkau menerima pinangan orang terhadap diriku, nah, engkau boleh kawin dengan orang itu! Aku tidak sudi!” Ci Sian berteriak-teriak marah dan matanya mulai basah dengan air mata.
Baik Kam Hong, terutama sekali Sim Hong Bu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa tanggapan Ci Sian akan seperti itu terhadap pinangan yang diajukan oleh Hong Bu. Wajah Hong Bu menjadi pucat sekali dan sinar matanya sayu, membayangkan perihnya hati mendengar jawaban Ci Sian yang sudah amat jelas itu. Ci Sian sama sekali tidak membalas cintanya, bahkan membencinya!
“Maaf.... maaf.... bukan maksudku untuk menyusahkan orang lain....,” kata Hong Bu, mukanya pucat dan ia menundukkan mukanya. “Aku telah mengatakan urusan pertama yang hendak kusampaikan, yaitu pinangan dan aku telah ditolak, bukan salah siapa-siapa melainkan salahku sendiri yang tidak tahu diri....”
“Sim Hong Bu, setiap pinangan tentu mempunyai dua macam jawaban, diterima atau ditolak, hal itu wajar saja kukira. Dan urusan jodoh adalah urusan hati dua orang yang bersangkutan, maka engkau agak terburu-buru kukira, sebelum melihat lebih dulu bagai mana keadaan hati orang lain dalam urusan ini. Betapa pun, semua sudah terlanjur dan aku kagum akan kejujuranmu, juga aku ikut menyesal atas kegagalanmu. Lalu ada sebuah soal lagi yang hendak kau bicarakan, apakah itu, Saudara Sim?”
“Maafkan, Kam-taihiap. Engkau selalu amat bijaksana dan gagah, sejak dahulu aku kagum sekali, dan terima kasih atas hiburanmu tadi. Memang salahku sendiri maka urusan pertama aku tidak berhasil. Maka biarlah sekarang kusampaikan urusan ke dua kepadamu, Taihiap. Bukan lain aku mencarimu untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru-guruku, yaitu untuk menentukan mana yang lebih unggul antara Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas. Kuharap sekali ini engkau tidak berlaku kepalang tanggung, Kam-taihiap. Aku mohon petunjukmu!” Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu yang wajahnya masih pucat dan sepasang matanya masih suram itu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar pedang biru menyilaukan mata.
“Kau menantang....?” Ci Sian berseru.
Akan tetapi Kam Hong sudah memegang lengannya dan berkata dengan suara yang lembut akan tetapi mengandung wibawa. “Sumoi, serahkan urusan ini kepadaku. Akulah yang dahulu mengalahkan keluarga Cu dan menimbulkan rasa penasaran ini.”
Kemudian pendekar ini melangkah maju menghadapi Sim Hong Bu sambil berkata, “Baiklah, Sim Hong Bu. Kalau engkau berkeras hendak memenuhi pesan gurumu yang hanya terdorong oleh rasa penasaran di dalam hatinya, aku tidak akan mengecewakan hatinya. Akan tetapi, apakah engkau menyadari bahwa permusuhan yang ditanam oleh pihak keluarga Cu ini sungguh tidak bijaksana? Di antara kita sesungguhnya tidak ada permusuhan apa pun juga. Dahulu, nenek moyangku secara kebetulan memperoleh pusaka Suling Emas. Dan kemudian aku sebagai keturunannya yang terakhir, secara kebetulan pula mewarisi Ilmu Suling Emas. Bukankah itu sudah jodoh namanya? Biar pun penciptanya adalah nenek moyang keluarga Cu, apa salahnya kalau terjatuh kepada orang lain? Bukankah kini Ilmu Pedang Naga Siluman yang berasal dari keluarga Cu juga diwarisi oleh seorang she Sim? Saudara Sim Hong Bu, hendaknya engkau menyadari hal itu.”
Tentu saja Hong Bu tahu akan hal itu dan memang tadinya dia sudah lemah semangat untuk menantang Kam Hong mengadu ilmu, apalagi semenjak dia bertemu dan mendengar nasehat dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, setelah dia gagal dalam urusan cintanya terhadap Ci Sian, setelah dia patah hati, dia tidak peduli lagi dan biarlah kalau urusan kebaktian yang keliru terhadap gurunya ini gagal pula, dia rela mati di tangan seorang pendekar seperti Kam Hong.
“Kam-taihiap, aku memang telah keliru segala-galanya, maka biarlah kekeliruan berbakti kepada guruku ini merupakan kekeliruan yang terakhir. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita segera laksanakan pesan guruku. Hendak kulihat, sesungguhnya sampai di mana kehebatan Ilmu Suling Emas itu dan kuharap engkau tidak berlaku kepalang tanggung sekali ini. Marilah!”
Meski pun agak ragu-ragu dan setengah hati, Kam Hong mengeluarkan juga suling emasnya. Pendekar ini dapat menduga, melihat sikap dan mendengar suara pemuda itu bahwa memang Hong Bu agaknya sengaja, terdorong kepedihan hati oleh penolakan Ci Sian yang kasar tadi. Dia menarik napas panjang dengan penuh penyesalan.
“Aku dapat membayangkan betapa para nenek moyang keluarga Cu yang menjadi pencipta Ilmu Pedang Suling Emas dan Naga Siluman akan mengeluh dan menyesal bahwa ciptaannya hanya akan saling berlawanan, padahal sudah sepatutnya kalau saling bekerja sama untuk menghadapi kejahatan di dunia ini. Silakan, Saudara Sim!”
Maklum bahwa lawannya juga sungkan, maka Sim Hong Bu yang merasa sebagai penantang lalu menggerakkan pedangnya melakukan serangan pembukaan. Kam Hong juga menggerakkan sulingnya dan mulailah mereka saling serang. Mula-mula memang ada keraguan dan rasa kesungkanan dalam hati mereka sehingga serangan-serangan mereka itu tidak dilakukan dengan tenaga sepenuhnya. Akan tetapi sebagai ahli-ahli silat di mana ilmu silat itu telah mendarah daging kepada tubuh mereka, makin lama mereka menjadi semakin bersemangat karena menghadapi lawan yang amat tangguh.
Maka gerakan senjata mereka menjadi makin cepat dan berat dan tak lama kemudian, lenyaplah kedua orang itu terselimut gulungan sinar emas dan sinar biru yang terang menyilaukan mata. Terdengar pula suara pedang seperti suara mengaum-aum dan suara suling yang melengking-lengking, dan angin yang sangat keras menyambar, membuat daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan kadang-kadang seperti dilanda angin berpusing.
Ci Sian sendiri bengong, kagum sekali menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Diam-diam harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh Sim Hong Bu memang hebat bukan main, dan agaknya sama sekali tidak kalah dibandingkan dengan Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling emas itu. Sebagai seorang ahli, ia pun dapat mengikuti gerakan mereka, walau pun kadang-kadang gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata. Ia melihat betapa suheng-nya bersilat dengan baik sekali, hampir dapat dikata sempurna malah, memainkan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, akan tetapi tetap saja ia masih melihat keraguan dalam gerakan suheng-nya itu, seolah-olah dia tak menghendaki perkelahian itu dan bertanding karena terpaksa sekali.
Setelah lewat seratus jurus, keduanya sudah benar-benar bebas dari keraguan dan keduanya kini sudah lupa diri. Yang ada hanyalah kegembiraan bertanding karena baru sekarang mereka benar-benar bertemu lawan yang setanding, dan baru sekali ini mereka bertanding tanpa ada sedikit pun perasaan benci atau marah. Kini mereka bertanding demi ilmu itu sendiri, seperti orang berlatih saja, akan tetapi jauh lebih hebat dan sungguh-sungguh karena keduanya tidak mau sampai kalah.
Maka, kini hanya jurus-jurus yang paling ampuh sajalah yang mereka keluarkan dan di dalam hati mereka penuh kekaguman terhadap lawan. Sukar dilihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak di antara keduanya, karena betapa pun juga, setelah kini mereka melihat intinya, ada unsur-unsur yang sama dalam dasar ilmu pedang mereka. Hanya dalam hal tenaga dalam, Sim Hong Bu harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat! Akan tetapi, Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut demikian hebatnya sehingga kekalahan tenaga ini dapat ditutupnya dengan gerakan cepat dan aneh sehingga dia tidak harus mengadu tenaga secara langsung.
Serang menyerang terjadi, tikaman dan totokan ditukar, bacokan dan pukulan silih berganti, dan bukan hanya senjata mereka yang saling menyambar, melainkan juga tangan kiri mereka sering kali melakukan totokan dan pukulan maut yang amat hebat, yang kalau ditangkis menimbulkan getaran yang bahkan terasa pula oleh Ci Sian yang berdiri di pinggir.
Setelah lewat dua ratus jurus, Ci Sian memandang dengan alis berkerut. Sebagai seorang ahli, maklumlah dara ini bahwa perkelahian sehebat ini kalau dilanjutkan tentu hanya berakibat robohnya seorang di antara mereka, mungkin roboh untuk tidak dapat bangkit kembali atau tewas. Setiap serangan yang dilakukan mereka adalah serangan maut yang amat hebat, yang kalau mengenai lawan sudah pasti akan merenggut nyawa lawan!
Memang benarlah apa yang dipikirkan oleh Ci Sian ini. Setelah lewat dua ratus jurus Kam Hong yang lebih matang dalam hal latihan, dan juga memang lebih sempurna menguasai ilmunya, dapat melihat kelemahan-kelemahan yang walau pun sedikit dalam gerakan Hong Bu, namun cukuplah untuk dimasukinya dengan serangan kilat yang akan membuat lawan roboh. Akan tetapi pendekar ini tidak tega merobohkan Hong Bu dengan serangan maut. Dia sama sekali tidak ingin melukainya dengan berat.
Timbul keraguan dalam hatinya. Apa gunanya kalau dia menang? Sebaliknya, andai kata dia mengalah sekali pun, hal itu pasti akan diketahui oleh Sim Hong Bu dan juga oleh Bu Ci Sian dan tidak akan ada manfaatnya lagi, bahkan mungkin Hong Bu akan merasa tersinggung kalau dia sengaja mengalah. Maka, sebaiknya kalau dia memberi isyarat kepada pemuda itu bahwa dia tidak ingin bermusuhan dan bahwa dia bersedia menghentikan pertandingan itu dan bersedia pula mengalah.
Oleh karena itu, ketika dia kembali melihat lowongan yang merupakan kekosongan atau kelemahan dari lawan, secepat kilat sulingnya meluncur ke arah kiri dada Hong Bu dan sebelum pemuda ini dapat menghindarkan diri karena memang posisinya telah terdesak dan terkurung, tahu-tahu ujung suling sudah mengenai dada kirinya.
“Dukkk!”
Sim Hong Bu terkejut bukan main karena biar pun ujung suling itu dengan tepat sekali mengenai dada, namun tidak terasa apa-apa dan totokan tadi sama sekali tidak mengandung kekuatan sinkang sehingga ketika mengenai kulit dadanya lalu membalik! Dari heran, Hong Bu menjadi merah mukanya karena dia pun maklum bahwa lawannya sengaja tidak mengisi tenaga pada totokan tadi, dan hal ini hanya dapat diartikan bahwa lawan memang tidak menghendaki berkelahi dengannya. Padahal, dia pun mengerti benar bahwa kalau tadi Kam Hong mengisi totokannya dengan tenaga sinkang, dia tentu sudah roboh, kalau tidak mati seketika, sedikitnya tentu terluka parah atau roboh tertotok dan kalah.
Jelaslah bahwa pendekar yang dikagumi dan dihormatinya itu memang sengaja tidak mau mengalahkannya, hal ini benar-benar membuat dia merasa berterima kasih tetapi juga membuka matanya bahwa dia kalah jauh dalam hal pengalaman dibandingkan dengan pendekar sakti ini. Maka, kalau dia melanjutkan pertandingan itu, sama saja dengan mengaku bahwa dia tidak tahu diri….
“Trang....!” Pedang bertemu dengan suling dan pedang itu terlepas dari tangan Hong Bu.
Pemuda ini melangkah mundur dan menjura. “Kam-taihiap, saya Sim Hong Bu yang mewakili keluarga Cu mengaku bahwa di tanganku, Koai-liong Kiam-sut telah kalah melawan Kim-siauw Kiam-sut!” Lalu dia menjura lagi dan mengambil pedangnya dari atas tanah.
“Saudara Sim Hong Bu, engkau terlalu merendah. Koai-liong Kiam-sut hebat bukan main dan kalau toh aku dapat mengunggulimu sedikit, hal itu bukan karena ilmunya, melainkan karena engkau kalah matang dalam latihan dan pengalaman. Ilmu pedangmu hebat bukan main!”
“Apa ini? Saling mengalah dan saling merendah! Sim Hong Bu, kakak seperguruanku memang lemah. Biarlah aku yang mewakili Kim-siauw Kiam-sut, ingin kucoba sampai di mana hebatnya Koai-liong Kiam-sut, dan antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan dan mengalah segala macam!”
Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang dengan suling emasnya, serangan maut yang hebat sekali sehingga terpaksa Hong Bu menangkis.
“Cringggg....!” Bunga api berpijar saking kerasnya pertemuan senjata itu.
“Sumoi, jangan....!” teriak Kam Hong.
“Ci Sian, aku sudah mengaku kalah,” kata Hong Bu, suaranya mengandung kegetiran hati. Dia telah patah hati dan dia tadi menghendaki tewas di tangan pendekar sakti Kam Hong, siapa kira pendekar itu mengalah dan dia kalah tanpa terluka sedikit pun. Hal ini membuatnya merasa perih sekali karena dibiarkan hidup menderita patah hati!
“Tidak, tadi Suheng telah banyak mengalah dan engkau sendiri sengaja membiarkan pedangmu lepas. Kau kira siapa aku ini? Anak kecil yang mudah saja dibodohi? Hayo, lawan aku, kalau engkau tidak berani dan kalau engkau takut, selanjutnya engkau harus mengaku sebagai seorang pengecut!”
“Ci Sian....!” Hong Bu berseru, jantungnya seperti ditusuk rasanya.
“Sumoi, engkau terlalu....!”
“Engkau berpihak kepadanya, Suheng? Boleh, kalian berdua keroyoklah aku!” Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang lagi kepada Hong Bu.
Hong Bu terpaksa harus menggerakkan pedang dan melindungi dirinya kalau tidak mau mati konyol. Hatinya berduka bukan main. Tentu saja pantang baginya untuk hidup sebagai pengecut! Maka terpaksa dia pun menangkis dan balas menyerang sehingga seaat kemudian mereka berdua telah bertanding dengan seru dan hebat.
Kam Hong berdiri bingung sekali, tidak mengerti mengapa sumoi-nya demikian marah dan membenci Hong Bu.
Pada saat itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In! Mereka bertiga itu akhirnya dapat menemukan jejak Sim Hong Bu dan tiba di tempat itu pada saat Hong Bu sedang bertanding dengan hebatnya melawan Ci Sian.
Melihat ini Cu Pek In sudah hendak meloncat untuk membantu suheng-nya, akan tetapi Cu Kang Bu memegang lengannya. Pendekar ini melihat betapa Kam Hong berdiri di situ sejak mereka datang dan sama sekali tidak membantu Ci Sian. Oleh karena itu, kalau sekarang dia serombongan datang-datang lalu membantu Sim Hong Bu, sungguh hal ini merupakan suatu kecurangan yang membikin malu. Inilah sebabnya maka dia mencegah keponakannya untuk membantu Hong Bu.
Dan pendekar tinggi besar ini sudah memandang penuh dengan kekaguman karena pertandingan antara mereka itu sungguh hebat luar biasa. Baru sekaranglah dia dapat mengagumi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang diwarisi oleh Hong Bu, akan tetapi dia juga berkesempatan menyaksikan kehebatan suling emas di tangan dara itu. Hebat sekali! Kedua ilmu itu sungguh-sungguh merupakan ilmu yang jarang dapat ditemukan tandingannya di dunia ini.
Akan tetapi hanya Kam Hong seorang yang sudah dapat mengenal kedua ilmu itu dan dapat mengikuti pertandingan itu dengan amat jelas yang melihat kenyataan betapa Sim Hong Bu kini selalu mengalah terhadap Ci Sian! Jika tadi dia sendiri mengalah terhadap Sim Hong Bu, mengalah sedikit saja, sekarang Hong Bu mengalah secara keterlaluan! Pemuda itu tidak pernah melakukan serangan yang sungguh-sungguh, sebaliknya, Ci Sian malah telah melakukan serangan dengan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.
Sementara itu, pada saat Hong Bu melihat datangnya susiok-nya dan dua orang wanita yang tidak dilihatnya jelas karena dia didesak hebat oleh lawan, hatinya terguncang dan kedukaannya memuncak, maka ketika itu gerakannya menangkis kurang tepat dan kurang kuat.
“Tukkk!”
Ujung suling itu mengenai lehernya, dan biar pun dia sudah miringkan kepalanya, masih saja ujung suling itu mengenai pangkal lehernya. Serangan ini hebat sekali dan Hong Bu terjungkal dan terbanting, tak mampu bergerak lagi!
“Suheng....!” Cu Pek In menjerit dan menubruk tubuh itu.
Sedangkan Kam Hong sudah menarik tangan Ci Sian yang juga terbelalak memandang ke arah Hong Bu. Wajahnya agak pucat karena ia tidak bermaksud membunuh Hong Bu dan kini melihat pemuda itu terjungkal, hatinya merasa ngeri karena ia khawatir kalau-kalau ia telah kelepasan tangan membunuh orang yang sebenarnya amat disukainya itu!
Pek In sudah menangis sambil memeluk tubuh Hong Bu yang tidak bergerak seperti mayat itu. Mata pemuda itu mendelik dan mukanya pucat, napasnya berhenti! Cu Kang Bu cepat memeriksa dan mengurut beberapa jalan darah di dada, punggung dan leher, maka nampaklah Hong Bu mengeluh lirih dan napasnya pun berjalan kembali.
“Dia akan sembuh....,” kata Cu Kang Bu dan melihat ini, Kam Hong dan Ci Sian merasa lega bukan main.
“Maafkan kami!” kata Kam Hong sambil menjura ke arah Cu Kang Bu, kemudian dia memegang tangan sumoi-nya dan menariknya pergi meninggalkan tempat itu.
Kam Hong maklum bahwa jika dibiarkan sumoi-nya berada di situ lebih lama lagi, bukan tak mungkin timbul kesalah pahaman baru dengan keluarga Cu. Dia tidak menghendaki hal ini, apa lagi di situ terdapat pula Yu Hwi, bekas tunangannya dan hal ini pun membuat dia merasa tidak enak sekali. Dan agaknya Cu Kang Bu juga tidak ingin mencari urusan. Dia sudah melihat betapa jago dari keluarga Cu telah kalah dan dia tahu bahwa melawan Pendekar Suling Emas dan sumoi-nya yang amat lihai itu dia dan isterinya tidak akan menang.
Cu Pek In sudah memondong tubuh Hong Bu. “Mari kita mencari tempat yang baik untuk merawatnya,” kata gadis itu kepada pamannya.
“Baik, akan tetapi biarkan aku memondongnya, Pek In,” kata pamannya.
“Biarlah, Paman, biarlah aku memondongnya,” Pek In berkata dan mendekap tubuh pemuda itu seperti orang memondong anak kecil saja. Bagi seorang gadis seperti Pek In yang memiliki kepandaian cukup tinggi, memondong tubuh seorang dewasa bukan hal yang sukar.
Akhirnya mereka menemukan sebuah pondok kecil terpencil di luar dusun. Mereka menyewa pondok ini dari kakek petani yang memilikinya dan Pek In lalu merebahkan Hong Bu di atas dipan bambu sederhana yang berada di dalam kamar. Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera memeriksa kembali keadaan pemuda itu. Mereka adalah suami isteri yang berilmu tinggi, bahkan Yu Hwi mengerti pula tentang ilmu pengobatan.
Totokan suling tadi memang hebat, akan tetapi untung meleset dari urat penting yang dapat membawa maut. Totokan itu menggetarkan jantung, akan tetapi karena tubuh Hong Bu memang amat kuat, maka tidak sampai membahayakan dirinya, walau pun membuatnya roboh pingsan dan sekitar pundak dan pangkal leher menjadi kebiruan karena ada otot yang pecah.
Cu Kang Bu dan isterinya lalu mencari obat ke Lok-yang, sedangkan Pek In menjaga pemuda itu dengan penuh perhatian. Pek In yang terus menjaga dan meminumkan obat sedikit demi sedikit, menjaga siang dan malam dan merawatnya penuh kasih sayang sehingga melihat ini, Cu Kang Bu dan Yu Hwi merasa terharu bukan main. Baru pada keesokan harinya, pernapasan Hong Bu berjalan seperti biasa dan mukanya yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan kembali.
Hari telah larut ketika Hong Bu mengeluh lirih. Pek In cepat mendekatinya, duduk di tepi dipan dan meraba dahi pemuda itu, lalu mempergunakan sapu tangan untuk mengusap keringat yang membasahi dahi dan leher. Pemuda itu telah berkeringat dan menurut paman dan bibinya, kalau pemuda itu sudah mengeluarkan keringat berarti akan segera sembuh. Bukan main girang hati Pek In dan ia menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kemesraan.
Kedua mata itu terbuka perlahan, lalu berkedip-kedip karena agak silau oleh sinar matahari yang memasuki kamar lewat jendela. Kemudian, setelah mata itu agak terbiasa, Hong Bu memandang kepada Pek In, lalu berkata lirih, “Siapa Nona....?”
Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek In tertawa geli, akan tetapi ia segera teringat bahwa semenjak menjadi suheng-nya, barulah sekali ini Hong Bu melihat ia berpakaian sebagai seorang wanita dengan rambut digelung ke atas.
Pek In tersenyum manis. “Coba kau terka, siapa aku ini?” Suaranya terdengar merdu sekali karena hatinya riang melihat pemuda itu telah siuman dan tampak sehat.
“Seperti.... seperti tak asing bagiku....” Hong Bu mengerutkan alisnya. Memang gadis ini telah dikenalnya! Akan tetapi dalam detik-detik pertama dia lupa lagi siapa ia. Akan tetapi dia segera menepuk dahinya.
“Sumoi....! Ahhh, benar, engkau Sumoi Cu Pek In....!”
Pek In tertawa dan menutupi mulutnya. “Aku sudah khawatir kalau engkau tidak akan mengenalku,” katanya tertawa.
Hong Bu juga tertawa. “Siapa dapat mengenalmu? Engkau telah menjadi seorang gadis yang.... manis sekali!”
Cu Pek In cemberut. “Apa kau kira biasanya aku bukan seorang gadis?”
Hong Bu baru sadar bahwa ia telah kesalahan bicara. “Maaf, bukan begitu maksudku.... eh, maksudku....” memang baru sekarang inilah dia menyadari bahwa sumoi-nya adalah seorang gadis, seorang gadis yang cantik manis. Mungkin biasanya dia hampir tidak memperhatikan Pek In karena gadis itu baginya seperti adik seperguruan biasa saja, hampir seorang saudara atau kawan baik laki-laki karena gadis itu selalu berpakaian pria.
“Maksudmu bagaimana?” Pek In menggodanya.
“Maksudku.... ehhh, di mana aku ini? Apa yang telah terjadi? Ahhh....”
Dan Hong Bu bangkit duduk dengan wajah muram. Teringatlah dia akan semua itu, akan pertandingannya melawan Ci Sian dan betapa karena mengalah maka ia terkena totokan suling emas.
“Sekarang engkau sudah ingat, Suheng?” tanya Pek In halus, suaranya mengandung kekhawatiran.
Pemuda itu mengangguk dan menatap wajah sumoi-nya. “Kiranya aku belum mati....”
“Engkau nyaris tewas, Suheng. Kata Paman, kalau sedikit saja ke atas, mengenai urat penting, engkau takkan tertolong lagi. Menurut Paman dan Bibi, agaknya gadis itu memang sengaja tidak membunuhmu....”
“Hemm...., mana Susiok Cu Kang Bu?”
“Dia dan Bibi sedang berada di luar tadi....”
Akan tetapi pada saat itu, Cu Kang Bu dan Yu Hwi memasuki kamar dan mereka berdua merasa girang melihat betapa Hong Bu telah siuman dan nampak sehat kembali. Hong Bu cepat memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara penuh penyesalan,
“Susiok, harap maafkan bahwa teecu tidak berhasil memenuhi pesan Suhu sehingga teecu kalah ketika melawan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.”
Cu Kang Bu menarik napas panjang. “Aku sudah menyaksikan pertandingan itu dan aku tidak menyalahkanmu, Hong Bu. Memang hebat sekali Ilmu Suling Emas itu, tiada keduanya di dunia ini. Bagaimana pun juga, kita harus bijaksana dan dapat melihat kelemahan sendiri. Aku tidak setuju dengan pendapat kakakku yang berkeras hendak membalas kekalahan. Biar pun kedua ilmu itu bersumber dari keluarga kita, akan tetapi jelaslah bahwa Ilmu Suling Emas ini jauh lebih tua dan tidak mengherankan kalau lebih kuat dari pada Koai-liong Kiam-sut yang tercipta ratusan tahun kemudian. Sudahlah, Hong Bu, tidak perlu hal itu dibuat menjadi beban batin dan rasa penasaran. Bagaimana pun juga, harus kita akui bahwa mereka berdua itu adalah pendekar-pendekar yang hebat.”
Atas bujukan Cu Kang Bu, akhirnya Sim Hong Bu mau untuk ikut kembali ke lembah. Bahkan Cu Kang Bu yang berwatak jujur itu menambahkan pula secara blak-blakan, di depan Pek In.
“Engkau tentu masih ingat akan pesan Twako bahwa dia menghendaki agar engkau dan Pek In berjodoh, Hong Bu. Kurasa hal itu sangat baik, dan kalau memang engkau menyetujui, marilah kita segera langsungkan saja pernikahan itu di sana. Usia Pek In sudah cukup untuk segera membentuk rumah tangga denganmu.”
Mendengar ucapan itu otomatis Hong Bu menoleh dan memandang kepada Pek In. Sejenak mereka saling pandang, akan tetapi Pek In lalu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Dan Hong Bu mempunyai perasaan yang aneh. Mengapa baru sekarang dia seolah-olah baru melihat Pek In? Seorang gadis yang amat manis, dan dia mendengar betapa gadis ini merawatnya sehari semalam tanpa pernah beranjak dari sampingnya, tidak makan tidak tidur.
Dia tahu benar betapa besar rasa cinta kasih sumoi-nya ini terhadap dirinya dan dia selama ini tidak memperhatikan karena keadaan Pek In yang selalu berpakaian seperti pria itu seolah-olah memiliki daya tolak yang besar. Akan tetapi sekarang lain sekali keadaannya. Gadis itu ternyata memiliki daya tarik yang cukup kuat dan terus terang saja, dia suka melihat wajah yang manis itu, bentuk tubuh yang padat, indah dan menggairahkan sebagai wanita itu. Dan dia pun kini sudah tidak mempunyai harapan lagi terhadap diri Ci Sian. Mengapa tidak? Kalau dia menolak, apa pula alasannya? Dan penolakannya tentu akan membuat Pek In merasa sengsara, di samping membuat hubungannya dengan keluarga Cu menjadi hambar.
“Baiklah, Susiok. Akan tetapi usul Susiok itu mengingatkan kepada teecu bahwa untuk memperoleh doa restu dari arwah ayah teecu, selagi teecu berada di Propinsi Ho-nan ini, sebaiknya kalau teecu mengunjungi makam ayah dan bersembahyang di sana.”
“Tentu saja, itu baik sekali! Di manakah makam ayahmu?”
“Di dekat kota Sin-yang, di selatan Sungai Huai.”
“Baik, kalau begitu mari kita pergi beramai ke sana, aku pun ingin memberi hormat kepada makam ayahmu,” kata Cu Kang Bu yang tidak ingin kehilangan lagi murid keponakannya itu kalau mereka harus berpisah lagi.
Maka berangkatlah mereka meninggalkan dusun itu menuju ke selatan. Tubuh Hong Bu yang kuat itu membuat dia sembuh kembali dalam waktu singkat dan beberapa hari kemudian dia sudah pulih kembali seperti biasa…..
“Ci Sian, sungguh aku menyesal sekali mengapa engkau sampai melukai Hong Bu seperti itu, nyaris saja dia tewas di tanganmu,” kata Kam Hong ketika mereka berjalan meninggalkan lembah itu.
Ci Sian merasa ngeri mendengar ini dan ia pun bersungut-sungut, “Habis hatiku mengkal sekali sih!”
“Kenapa? Bukankah dia hanya memenuhi tugas yang diperintahkan gurunya untuk mengadu ilmu denganku? Dan bukankah dia sudah mengaku kalah? Kenapa engkau mendesaknya sehingga melukainya, Ci Sian? Padahal, engkau sendiri tentu sudah tahu benar betapa selama dalam perkelahian melawanmu itu dia terus mengalah. Ahhh, kenapa engkau begitu kejam kepadanya, Ci Sian? Engkau pasti tahu bahwa dia amat mencintamu....”
“Suheng!” Ci Sian berkata dengan suara membentak sehingga mengejutkan hati Kam Hong. “Justru itulah yang membikin hatiku jengkel!”
Kam Hong memandang dengan terheran-heran. “Apa katamu? Kau jengkel karena dia mencintamu?”
“Bukan!”
“Habis apa? Apakah engkau jengkel karena dia mentaati perintah gurunya dan lalu menantangku?”
“Juga tidak!”
“Habis, apa yang membuatmu jengkel?”
“Karena dia berani melamarku!”
“Ah, lebih aneh lagi itu. Dia melamarmu adalah sudah wajar, karena dia mencintamu, dan kulihat dia memang seorang pemuda pilihan yang hebat. Aku pun masih merasa heran serta penasaran mengapa engkau tidak menerima pinangannya dan malah marah-marah, padahal pinangan itu wajar saja?”
Tiba-tiba Ci Sian memandang kepada suheng-nya dengan sinar mata muram. “Suheng, mengapa engkau begitu membenciku?”
“Ehhh?” Kam Hong memandang bengong dan terheran.
“Engkau sedemikian membenciku sehingga engkau ingin agar aku meninggalkanmu. Begitukah? Engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan Hong Bu. Itulah yang membuatku jengkel!”
Kam Hong memandang dengan jantung berdebar. Tak salah lagi, Ci Sian mencintanya! Dia berusaha untuk menyangkal kenyataan ini, untuk membantah hatinya sendiri, untuk mendorong sumoi-nya agar berjodoh dengan pemuda yang lebih patut menjadi sisihan Ci Sian, yang sama mudanya. Akan tetapi ternyata itu malah mendatangkan kemarahan di dalam hati Ci Sian!
“Kalau begitu maafkanlah aku, Sumoi. Maksudku baik....”
“Sudahlah, Suheng, harap jangan bicarakan itu lagi. Aku pun menyesal sekali telah merobohkan Hong Bu. Sebenarnya aku suka kepadanya. Masih untung bahwa dia tidak tewas olehku tadi. Aku menyesal.”
Kam Hong percaya. Dari suaranya saja jelas terbukti bahwa sumoi-nya benar-benar menyesal dan sebetulnya sumoi-nya sama sekali tidak membenci Hong Bu. Hanya karena Hong Bu sudah meminangnya, dan karena dia sendiri seperti menyetujui dan mendorong, maka hal itu mendatangkan kemarahan di hati sumoi-nya.
“Baiklah, Sumoi. Apakah kita jadi membeli perahu?”
“Tidak, sudah hilang seleraku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kita berpesiar saja di Pegunungan Fu-niu-san ini, aku mendengar bahwa pemandangan di situ amat indahnya.”
“Benar, Sumoi. Dan bambu-bambu dari Fu-niu-san amat terkenal. Banyak terdapat bambu-bambu yang indah dan aneh-aneh bentuknya di pegunungan ini.”
Mereka pun lalu melakukan perjalanan seenaknya di pegunungan itu, dan kalau malam mereka bermalam di hutan-hutan. Mereka tidak kekurangan makanan karena terdapat dusun-dusun berpencaran di pegunungan itu di mana mereka dapat membeli buah-buah dan juga daging yang mereka masak di rumah para penduduk dusun.
Pada suatu pagi, ketika mereka keluar dari sebuah dusun di lereng timur setelah malam tadi mereka bermalam di dusun itu, tiba-tiba Ci Sian menuding ke depan. “Suheng, bukankah itu ada orang datang?”
Kam Hong juga sudah melihatnya. Pagi itu kabut tebal memenuhi lereng sehingga yang nampak hanya bayangan berlari dari depan, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak, tergantung tebal tipisnya kabut yang lewat dengan cepat seolah-olah kabut-kabut itu ketakutan oleh munculnya sinar matahari di balik puncak.
Akhirnya bayangan itu tiba di depan mereka dan terkejut ketika saling mengenal. Yang datang itu bukan lain adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong! Kalau Kam Hong dan sumoi-nya terkejut, sebaliknya Cin Liong tersenyum gembira sekali melihat mereka. Cepat jenderal yang berpakaian preman itu menjura dengan hormat sambil berseru, “Ahhh, akhirnya saya dapat juga bertemu dengan Ji-wi setelah dengan susah payah mencari jejak Ji-wi! Akan tetapi, tidak saya sangka akan bertemu dalam kabut ini sehingga agak mengejutkan juga.”
“Kiranya Kao-goanswe yang datang!” kata Kam Hong dan tersenyum kagum.
Pemuda ini adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Hati siapa takkan kagum memandangnya? Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang jarang ditemukan tandingannya, dan semuda itu telah menjadi seorang panglima, seorang jenderal!
“Ah, selamat datang, Kao-goanswe, dan ada kepentingan besar apakah maka engkau bersusah payah mencari kami?”
“Harap Kam-taihiap jangan menyebut saya goanswe, biar pun saya seorang jenderal akan tetapi pada saat ini saya tidak bertugas dan lihat saja pakaianku adalah orang biasa, bukan? Dan keperluanku adalah keperluan pribadi, bukan sebagai seorang berpangkat.”
Kam Hong tersenyum. “Baiklah, Saudara Kao Cin Liong. Nah, keperluan apakah yang kau bawa?”
Cin Liong memandang kepada Ci Sian dan tersenyum. Gadis itu juga tersenyum karena sudah lama ia mengenal Cin Liong. “Bagaimana kabarnya, Nona Bu? Kuharap engkau sehat-sehat saja.”
“Terima kasih, aku baik-baik saja, Saudara Cin Liong. Ada keperluan apakah engkau datang mencari kami?”
Mereka saling berpandangan dan teringatlah mereka akan pengalaman mereka berdua ketika bersama-sama beraksi di dalam benteng pasukan Nepal yang dipimpin oleh Nandini, ibu Siok Lan. Kalau mengenangkan masa lalu, di dalam hati keduanya ada suatu kehangatan karena pada saat itu mereka berjuang sehidup semati menghadapi lawan-lawan tangguh.
Betapa pun juga, kini, menghadapi pengakuan cintanya, dan peminangannya, Cin Liong si jenderal yang tidak gentar menghadapi ribuan orang pasukan musuh itu tiba-tiba merasa badannya panas dingin dan jantung berdebar tegang! Sampai lama dia tidak mampu menjawab, hanya memandang kepada Ci Sian dengan bingung.
Kam Hong yang bepandangan tajam itu agaknya dapat menduga bahwa jenderal muda itu ingin menyampaikan sesuatu kepada Ci Sian, maka dia pun lalu berkata dengan suara halus, “Kalau engkau hendak bicara berdua dengan Sumoi, silakan, Saudara Cin Liong, aku akan menyingkir lebih dulu....”
“Ahhh, tidak.... saya.... saya hendak bicara denganmu, Kam-taihiap!” kata Cin Liong dengan gugup.
“Kalau begitu, biarlah aku saja yang menyingkir!” kata Ci Sian dan sebelum ada yang menjawab, ia sudah pergi dari tempat itu, agak menjauh dan melihat-lihat pemandangan alam yang indah.
“Nah, sekarang bicaralah Saudara Kao Cin Liong,” kata Kam Hong sambil tersenyum untuk memberanikan hati pemuda itu.
“Kam-taihiap, terus terang saja.... kedatangan saya mencari Taihiap berdua adalah untuk melamar Nona Bu Ci Sian!”
Hampir saja Kam Hong tertawa mendengar ini. Memang tadi, melihat sikap Cin Liong, dia sudah setengah menduga bahwa jangan-jangan pemuda ini hendak menyatakan cintanya kepada Ci Sian, maka tadi dia mengusulkan untuk menyingkir kalau pemuda itu hendak bicara berdua dengan sumoi-nya. Akan tetapi dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dan ternyata memang benar! Bahkan jenderal muda ini mengajukan lamaran. Hampir sukar untuk dapat dipercaya bagaimana bisa begini kebetulan! Dalam waktu beberapa hari saja, Ci Sian sudah dilamar oleh dua orang pemuda! Sumoi-nya itu sungguh ‘laris’, dihujani lamaran dan yang melamarnya adalah pemuda-pemuda pilihan.
Cin Liong ini dalam segala-galanya bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Hong Bu, maka timbullah harapan di dalam hatinya. Siapa tahu kalau-kalau sumoi-nya akan suka menjadi jodoh pemuda ini. Dia sendiri akan ikut merasa bangga!
Menjadi mantu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Dan pemuda ini pun jujur, seperti Hong Bu. Hanya bedanya, karena pemuda ini terdidik di kota raja, dan hidup sebagai seorang berkedudukan tinggi, tentu saja pemuda ini masih terikat oleh kesusilaan sehingga merasa malu dan sungkan menyatakan isi hatinya. Berbeda dengan Hong Bu yang sejak kecil hidup setengah liar, maka kejujurannya lebih terbuka tanpa halangan sesuatu lagi.
“Ahh, Saudara Kao! Bagaimana ini? Aku hanyalah suheng dari Sumoi Bu Ci Sian, bagai mana engkau melamarnya kepadaku? Bukankah seharusnya kepada ayahnya....?”
“Tentu saja saya tidak berani melampaui Bu-locianpwe, Taihiap. Sebelum saya mencari Taihiap berdua, saya bersama orang tua saya pernah datang mengajukan lamaran kepada Bu-locianpwe dan beliau sendiri yang menganjurkan agar saya mencari Ji-wi dan langsung saja meminang kepada Nona Bu atau kepada Kam-taihiap sebagai walinya.”
“Hemm...., Bu-locianpwe sungguh menaruh kepercayaan besar kepadaku. Saudara Kao Cin Liong, kalau tidak salah, menurut penuturan Sumoi, kalian berdua telah lama sekali saling berkenalan, bahkan telah menjadi sahabat baik dan pernah berjuang bahu-membahu, bukan? Aku yakin bahwa yang mendorongmu mengajukan pinangan ini tentu berdasarkan hatimu yang mencinta, bukan?”
Wajah Cin Liong menjadi agak merah, akan tetapi dengan tenang dia menatap wajah pendekar itu dan menjawab, “Benar demikian, Taihiap.”
“Dan engkau tentu tahu bahwa aku atau siapa pun juga tidak akan dapat memaksa Sumoi, dan hal itu tergantung sepenuhnya kepadanya. Akan tetapi, aku tidak tahu bagai mana dengan isi hatinya. Apakah ia mencintamu, Saudara Kao? Maafkan pertanyaanku ini.”
Cin Liong menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dengan pasti....,” katanya lirih seperti kepada dirinya sendiri, kemudian dia memandang kembali kepada pendekar itu. “Terus terang saja, kami tidak pernah bicara tentang cinta, Taihiap, akan tetapi kalau saya melihat sinar matanya, saya kira.... yah, mudah-mudahan ia pun mencinta saya seperti saya mencintanya selama ini.”
“Hemm.... kalau begitu, kiranya sebaiknya kalau engkau mengatakannya kepadanya sendiri, karena keputusannya terserah kepadanya.”
Kembali Cin Liong nampak gugup. “Ahhh, sukar sekali saya dapat bicara kalau di depannya, Taihiap. Ia seorang berwatak keras, saya sudah mengenalnya baik-baik, dan sikap keras itu justru merupakan satu di antara sifatnya yang menarikku. Saya.... saya mohon bantuan, Taihiap, sukalah menjadi perantara membuka percakapan tentang itu. Kalau sudah dimulai, agaknya saya akan berani mengemukakan kepadanya.”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Sungguh tugas yang berat. Dia sendiri, walau pun dilawannya sendiri dengan melihat kenyataan bahwa dia tidak pantas menjadi jodoh sumoi-nya, dia telah jatuh cinta kepada dara itu. Dan kini dia diminta tolong untuk menjadi perantara perjodohan dara itu dengan orang lain! Akan tetapi, bukankah ini yang dia kehendaki? Bukankah dia akan merasa girang kalau Ci Sian menjadi jodoh Cin Liong, bahkan lebih baik malah dari pada menjadi jodoh Hong Bu?
Ci Sian mungkin akan marah kepadanya. Akan tetapi biarlah. Ia harus dapat mengambil keputusan yang tepat dan melihat kenyataannya bagaimana. Dia masih tidak dapat menerima kenyataan bahwa sumoi-nya hanya mencinta dia seorang. Agaknya tidak mungkin, kalau di samping dia masih terdapat pemuda-pemuda seperti Hong Bu dan Cin Liong yang mencintanya, bahkan mengajukan pinangan kepadanya!
“Sumoi....!” dia memanggil, suaranya terdengar agak gemetar.
Gadis itu menoleh. Melihat suheng-nya menggapai, ia kemudian menghampiri setengah berlari. Nampak masih kekanak-kanakan ketika ia berlari-lari itu, akan tetapi juga manis sekali. Ci Sian tersenyum memandang kepada Cin Liong.
“Nah, sudah selesaikah urusan besar yang teramat penting itu?”
“Belum, Sumoi, bahkan baru dimulai.”
“Ehhh, kalau begitu mengapa memanggil aku?”
“Karena urusan ini memang mengenai dirimu. Duduklah, Sumoi, dan dengarlah baik-baik,” kata Kam Hong.
Ci Sian mengerutkan alisnya, sejenak memandang kepada Cin Liong dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi ia duduk juga di atas batu besar yang banyak terdapat di situ.
“Ada apa sih, begini penuh rahasia?”
“Begini, Sumoi. Saudara Kao Cin Liong ini pernah pergi berkunjung kepada Ayahmu di Cin-an bersama ayah bundanya, lalu sekarang ia mencari kita. Ada pun keperluannya adalah untuk meminangmu, Sumoi, engkau dilamar untuk menjadi isteri Saudara Kao Cin Liong....”
“Suheng! Lagi....? Engkau.... engkau....,” dan Ci Sian lalu menangis!
Tentu saja Cin Liong terkejut bukan main sedangkan Kam Hong hanya termenung saja, maklum bahwa kembali dia telah menyakiti hati sumoi-nya.
“Nona Bu Ci Sian, maafkanlah aku....” kata Cin Liong. “Sungguh mati, aku meminangmu dengan hormat, sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaanmu....”
“Kau tahu apa tentang menyinggung hati? Kalian laki-laki sungguh memandang rendah kaum wanita! Kenapa laki-laki tidak mau tahu tentang perasaan hati wanita? Kenapa tanpa meneliti perasaan wanita, mudah saja datang melamar seolah-olah wanita itu barang dagangan yang boleh saja ditawar orang seenak perutnya? Kam-suheng, kalau memang engkau begitu benci kepadaku, bilang saja terus terang dan aku pasti akan pergi dari sampingmu, meski apa jadinya denganku! Tidak perlu engkau mendorongku untuk menjadi isteri orang lain! Tak kusangka kau.... sekejam ini....”
“Sumoi, sama sekali tidak begitu....”
“Nona Bu, sekali lagi maafkanlah aku....”
Tapi Ci Sian sudah mencabut sulingnya dan menghadapi Cin Liong sambil menantang. “Jenderal Kao Cin Liong! Engkau telah meminangku melalui ayah kandungku, juga engkau telah meminangku kepada Kam-suheng yang agaknya tidak peduli kepadaku dan ingin melihat aku menjadi isteri siapa pun juga dan mau memberikan aku kepada pria pertama yang mau datang meminangku. Sekarang engkau dengarlah syaratku. Aku mau menjadi isterimu asal engkau dapat mengalahkan aku dan dapat menewaskan aku di sini. Majulah!”
Wajah Cin Liong menjadi pucat seketika dan dia merasa jantungnya seperti ditusuk. Dia telah salah sangka! Dara ini tidak mencintanya, melainkan mencinta Kam Hong! Akan tetapi agaknya Kam Hong tidak tahu akan hal ini, maka pendekar itu seperti mendorong sumoi-nya untuk menerima pinangan orang lain. Tapi dia sendiri dapat melihat dengan jelas dan tahulah dia mengapa Ci Sian marah-marah, yaitu karena sikap Kam Hong itulah. Dia menarik napas panjang dan menundukkan mukanya.
“Sumoi, harap engkau jangan bersikap begini!” Kam Hong menegur. Dia jadi terkejut sekali mendengar tantangan Ci Sian terhadap Cin Liong.
Akan tetapi tegurannya ini bagaikan minyak yang menyiram api, membuat kedukaan dan kemarahan dalam hati Ci Sian menjadi semakin berkobar. Dengan kedua mata yang agak kemerahan oleh karena menangis tadi, ia menoleh dan memandang wajah suheng-nya.
“Suheng, dari pada engkau mendorong-dorongku untuk menjadi isterinya, lebih baik engkau membelanya sekalian dan biarlah aku mati di tangan kalian. Majulah dan keroyoklah aku!”
“Sumoi....!”
Cin Liong sudah maju mendekati Ci Sian dan menjura, mukanya masih pucat akan tetapi dengan gagahnya pemuda ini menekan perasaan nyeri dan mencoba untuk tersenyum.
“Nona Bu Ci Sian, ternyata aku telah buta. Telah begitu lama aku mengenalmu, akan tetapi ternyata aku salah menafsirkan sikapmu kepadaku. Engkau baik kepadaku bukan karena cinta, dan cintaku bertepuk tangan sebelah. Aku tahu bahwa engkau telah mencinta orang lain, Nona, dan memang orang itu patut menerima cinta kasihmu karena dia adalah seorang yang hebat, cintanya kepadamu tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanmu. Kam-taihiap, Nona Bu, selamat tinggal, maafkanlah aku sebanyaknya dan semoga kalian berdua berbahagia.” Tanpa menanti jawaban, Cin Liong lalu meloncat pergi dari situ meninggalkan mereka berdua.
Keadaan menjadi sunyi sekali setelah Cin Liong pergi dan Ci Sian sudah menyimpan sulingnya dan membalikkan tubuhnya. Kini ia berhadapan dengan Kam Hong, saling berpandangan sampai beberapa lama dan akhirnya Kam Hong menarik napas panjang dan berkata,
“Sumoi, sungguh kasihan sekali pemuda itu. Dia tidak boleh sekali-kali dipersalahkan karena dia jatuh cinta kepadamu dan meminangmu, ahhh, dapat kubayangkan betapa hancur rasa hatinya....”
Akan tetapi ucapan ini sama sekali tidak dipedulikan oleh Ci Sian, bahkan seperti tidak didengarnya, matanya masih menatap wajah suheng-nya dan akhirnya ia pun berkata, “Suheng, benarkah apa yang dikatakan oleh Cin Liong tadi....?”
“Apa? Kata-kata yang mana maksudmu?”
“Tentang orang yang mencintaku tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanku. Benarkah itu, Suheng?” Di dalam suara ini terkandung nada permohonan dan pengharapan yang menggetar melalui suaranya.
Sejenak Kam Hong memandang tajam, mereka saling pandang dan akhirnya Kam Hong hanya menarik napas panjang lalu mengangguk.
“Kam-suheng....!” Ci Sian berseru dan menangis sambil menubruk suheng-nya yang lalu memeluknya.
Dara itu menangis di dada Kam Hong yang menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus itu. Air mata membasahi bajunya dan menembus membasahi kulit dadanya, bahkan terasa seolah-olah menembus kulit dan menyiram perasaan, menimbulkan kesejukan seperti bunga kekeringan menerima curahan air hujan.
“Suheng....!” akhirnya Ci Sian dapat meredakan tangisnya dan bertanya, suaranya lirih tanpa mengangkat mukanya dari dada pendekar itu, “Kalau benar engkau mencintaku seperti cintaku kepadamu.... ya, tak perlu aku mengaku, aku memujamu sejak dahulu, Suheng.... kalau benar engkau cinta padaku, kenapa sikapmu begitu? Kenapa engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan orang lain?”
Kam Hong mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu, dekapannya menjadi kuat untuk beberapa lama, kemudian mengendur lagi dan dia pun berkata, “Sumoi, sejak aku merasakan bahwa hubungan antara kita berubah.... semenjak aku melihat gejala bahwa engkau jatuh cinta kepadaku seperti cinta seorang wanita terhadap pria, dan aku pun dapat melihat kenyataan bahwa perasaan hatiku pun condong seperti itu, mencintamu bukan sebagai seorang suheng terhadap sumoi-nya melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita, maka aku menjadi khawatir sekali. Karena itulah maka aku dahulu sengaja meninggalkanmu bersama Sim Hong Bu....”
Pendekar itu berhenti bicara dan Ci Sian yang tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu bertanya, “Akan tetapi, mengapa, Suheng? Mengapa? Apa salahnya kalau kita saling mencinta sebagai wanita dan pria, bukan hanya sebagai suheng dan sumoi? Apa salahnya?”
“Ingatkah engkau akan ucapan Cin Liong tadi? Dia bermata tajam dan berotak cerdas, sekilas pandang saja dia telah dapat menyelami sampai mendalam. Aku mencinta padamu, Sumoi, dan cintaku bukan hanya untuk menyenangkan diriku sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia. Aku melihat kenyataan bahwa aku adalah seorang yang sudah berusia jauh lebih tua dari padamu. Selisih antara kita belasan tahun! Aku khawatir bahwa kelak engkau akan menyesal dan tidak berbahagia di sampingku. Aku melihat betapa engkau jauh lebih tepat menjadi sisihan pendekar-pendekar muda seperti Hong Bu atau Cin Liong. Karena itulah maka aku seperti mendorongmu, aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, Sumoi. Nah, sudah kukeluarkan semua isi hatiku....” Pendekar itu menarik napas panjang, kini hatinya terasa lapang setelah dia mengeluarkan semua itu.
Ci Sian melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur selangkah, kemudian memandang suheng-nya dengan sinar mata penasaran. “Suheng, kalau aku mencinta hanya karena melihat usia muda, wajah tampan, kedudukan, harta benda, kepandaian dan semacamnya lagi, berarti aku hanya mencinta semua keadaan dan sifat itu, bukan mencinta orangnya. Akan tetapi aku mencintamu karena dirimu, karena engkau adalah engkau, Suheng.... mengapa bicara tentang perbedaan usia segala? Kenapa engkau yang katanya mencintaku dan ingin melihat aku berbahagia, malah tega meninggalkan aku sendirian, membiarkan aku merana dan sengsara dan menderita rindu, kemudian malah tega hendak mendorongku menjadi isteri orang lain? Suheng ingin melihat aku berbahagia, atau ingin melihat aku sengsara? Kebahagiaan hanyalah apabila aku berada di sampingmu, Suheng!”
“Sumoi, kau maafkan aku....” Dengan penuh keharuan hati Kam Hong lalu merangkul dara itu.
Ci Sian mengangkat mukanya, berdekatan dengan muka suheng-nya dan seperti ada daya tarik sembrani yang kuat, entah siapa yang bergerak lebih dulu, tahu-tahu mereka telah berciuman dengan mesra.
Cinta asmara bukan sekedar terdorong oleh daya tarik masing-masing antara pria dan wanita, walau pun tentu saja dimulai oleh suatu daya tarik. Daya tarik itu bisa saja berupa wajah rupawan, kedudukan tinggi, harta benda, kepandaian, atau keturunan keluarga orang besar. Akan tetapi juga dapat berupa sikap yang menyenangkan hati yang tertarik, tentu saja sikap ini pun bermacam-macam sesuai dengan selera masing-masing yang tertarik. Akan tetapi, hubungan kasih sayang barulah mendalam dan juga membahagiakan orang yang dicintanya apabila ada keinginan dan tindakan-tindakan nyata untuk membahagiakan orang yang dicinta.
Sebaliknya, cinta asmara yang didorong oleh keinginan menyenangkan diri sendiri sudah tentu akan bertumbuk kepada banyak hal yang mendatangkan derita. Derita ini timbul karena sekali waktu tentu orang yang dicintanya itu akan melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak menyenangkan hatinya lagi! Tiada sesuatu yang kekal di dalam kehidupan ini kecuali cinta kasih!
Seperti kita ketahui, Sim Hong Bu meninggalkan daerah Lok-yang dan pergi menuju ke Sin-yang bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka itu telah diawasi sejak lama dari jauh oleh banyak pasang mata yang bersembunyi-sembunyi. Baru setelah mereka tiba di sebuah hutan kecil di lereng gunung, mereka berempat merasa heran melihat munculnya belasan orang yang sudah mengepung mereka.
Empat orang itu bersikap tenang, bahkan Hong Bu tersenyum mengejek dengan hati terasa geli. Orang-orang ini mencari penyakit, pikirnya. Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak menjadi marah. Kemarahan jauh dari hati Hong Bu pada saat itu. Dia telah menemukan kesejukan hati yang baru, setelah dia ‘mengenal’ Pek In sebagai seorang gadis yang wajar, sebagai kekasihnya, bahkan lebih dari itu, sebagai tunangannya, calon isterinya! Dan di dalam perjalanan itu, Cu Kang Bu dan isterinya yang bijaksana memang sengaja memberi banyak kesempatan kepada mereka untuk berduaan. Hong Bu selalu merasa gembira dan bahagia. Terlupakanlah sudah kegetiran yang terasa oleh penolakan Ci Sian!
Memang, segala macam perasaan hanya timbul oleh karena permainan pikiran yang mengingat-ingat belaka. Seperti juga kepuasan yang hanya sebentar, kekecewaan pun lewat bagai angin lalu saja. Suka dan duka silih berganti seperti awan-awan bergerak di angkasa.
Ketika Hong Bu merasa kecewa dan berduka karena penolakan Ci Sian, hal itu timbul karena pikirannya mengenang semua itu dan menimbulkan rasa iba diri dan kecewa. Akan tetapi sekarang, begitu pikirnya penuh dengan kegembiraan karena hasil baru yang amat menyenangkan dan baik dalam hubungannya dengan Pek In, maka semua kedukaan yang lalu pun lenyap tanpa bekas.
Kita ini, biar pun sudah dewasa, namun masih tiada bedanya dengan anak-anak, hanya badan kita saja yang tumbuh menjadi besar. Kita masih mudah tertawa dan menangis, seperti kanak-kanak yang mudah tertawa memperoleh permainan baru dan mudah menangis ketika kehilangan sesuatu yang disenanginya. Tetapi setiap muncul pengganti yang baru, yang lama, baik yang menyenangkan mau pun yang menyusahkan, akan terlupa dan hilang tak berbekas. Yang berbeda hanyalah macam permainan itu saja.
Biasanya, kita manusia, di ujung dunia yang mana pun juga, selalu mengejar-ngejar pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan atau dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau menghindari apa saja yang dianggap menyusahkan. Kita ingin hidup ini penuh dengan yang manis-manis saja. Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan sebagainya karena semua itu muncul apabila yang manis dan kita dambakan itu tidak tercapai.
Itulah romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yang menjadi isi dari pada kehidupan kita sekarang ini. Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja? Mengapa mesti bersenang kalau mendapatkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa penilaian si pikiran yang selalu mencari manis, mungkin kita akan melihat sesuatu yang ajaib. Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar maniskah yang kita anggap manis? Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita tidak merasakan tidak enaknya pahit? Apakah kita dapat mengenal terang kalau kita tidak mengenal gelap?
Melihat munculnya belasan orang yang memegang senjata golok dan pedang lalu mengepung tempat itu, Yu Hwi juga tersenyum lebar seperti melihat sesuatu yang lucu sekali. Akan tetapi tidak demikian dengan Cu Pek In. Gadis ini mengenal seorang di antara mereka, yaitu orang yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, usianya sekitar empat puluh tahun, berkumis tebal melintang dan lengan kiri orang itu masih dibalut. Orang itu bukan lain adalah Koa Cin Gu, guru silat dari Lo-couw yang lebih suka pria tampan dari pada wanita cantik itu! Maka, melihat orang ini, marahlah Pek In.
“Orang she Koa yang tidak tahu malu! Sudah kupatahkan lengan kirimu engkau masih berani datang berlagak, apakah harus kupatahkan tulang lehermu?” Sambil berkata demikian, Cu Pek In melangkah maju ke arah laki-laki tinggi besar itu.
Si Tinggi Besar itu terbelalak. Tentu saja dia tidak mengenal Pek In sebelum dara ini membuka suara dan sekarang dia memandang, dengan mata terbelalak, “Ahh, kiranya seorang perempuan....?” katanya perlahan.
Sebelum Pek In dapat turun tangan atau bicara lagi, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu dan beberapa orang kawannya membuat gerakan minggir dan terdengar suara yang tenang dan halus, “Ahhh, kiranya keluarga Lembah Suling Emas yang berada di sini!”
Pek In tidak jadi menyerang Si Tinggi Besar dan cepat mundur kembali mendekati paman dan bibinya dan Hong Bu ketika mengenal siapa yang mengeluarkan suara itu. Nampak empat orang berjalan perlahan memasuki kepungan itu dan ternyata mereka itu adalah Toa-ok Su Lo Ti, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, Sam-ok Ban-hwa Sengjin, dan orang ke empat adalah seorang kakek raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan pakaiannya serba hitam, membawa sebuah kipas merah dan mengipasi lehernya tanpa bicara, akan tetapi jelas memiliki sikap yang amat berwibawa.
Cu Kang Bu, isterinya, dan Pek In tidak mengenal kakek ini, akan tetapi Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika mengenal bahwa kakek berpakaian hitam itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, yaitu manusia iblis yang pernah menjadi ketua perkumpulan iblis Hek-i-mo itu!
Sementara itu, pada saat Hek-i Mo-ong melihat Hong Bu, wajahnya langsung berubah. Tadinya kakek ini sama sekali tidak tertarik dan amat memandang rendah kepada orang-orang yang hendak dihukum oleh Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Akan tetapi begitu melihat Hong Bu, tentu saja dia mengenal musuh besar yang pernah menghancurkan perkumpulannya bersama seorang gadis bersuling emas dengan suheng-nya yang lihai bukan main itu. Dia merasa girang bukan main, merasa bahwa secara kebetulan dia dapat membalas dendam atas kekalahannya dikeroyok tempo hari.
“Ha-ha-ha, kiranya engkau bocah setan datang mengantar nyawa!” katanya sambil menudingkan kipasnya, ke arah muka Sim Hong Bu.
Melihat lagak ini, Pek In yang tidak mengenal lagak Hek-i Mo-ong, menjadi marah. Tunangan atau kekasihnya dimaki orang bocah setan, tentu saja ia marah.
“Iblis tua bermulut busuk!” katanya dan dia pun sudah mencabut sulingnya dan bersiap menyerang.
“Sumoi, jangan....!” teriak Hong Bu dan cepat dia melompat ke depan.
Akan tetapi, suling itu telah mengeluarkan suara melengking ketika menyambar ke arah kakek itu, berubah menjadi sinar kuning emas. Melihat gadis ini menggunakan senjata suling emas, kakek itu terkejut dan mengira bahwa tentu gadis ini mempunyai hubungan dengan gadis yang pernah mengalahkannya bersama pemuda berpedang biru itu. Maka dia pun menggunakan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga karena kalau gadis ini selihai gadis yang dulu pernah mengeroyoknya, serangan itu cukup berbahaya.
“Dukkk....!”
Dan akibatnya, tubuh Pek In terlempar dan tentu ia akan terbanting keras kalau saja pamannya, Cu Kang Bu, tidak cepat-cepat mengulurkan tangan dan menangkap tangan keponakannya itu, terus dilontarkan ke atas sehingga Pek In dapat turun dengan enak, tidak sampai terbanting. Pek In terkejut bukan main, dan kakek itu tertawa. Kiranya gadis itu masih amat lemah, sebaliknya laki-laki tinggi besar yang amat gagah perkasa itu cukup lihai. Hal ini dapat dilihatnya dengan mudah ketika laki-laki itu menahan jatuhnya gadis yang terlempar.
Bagaimanakah tiga orang sisa dari Im-kan Ngo-ok itu tahu-tahu telah bisa bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan agaknya membantu guru silat She Koa itu? Persekutuan antara mereka tidaklah aneh karena Hek-i Mo-ong sebetulnya masih terhitung susiok (paman guru) dari Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama Im-kan Ngo-ok.
Karena keduanya telah mengalami musibah, yaitu Im-kan Ngo-ok selain kehilangan pekerjaan atau kedudukan sebagai pendukung Sam-thaihouw juga telah kehilangan dua orang anggota termuda yaitu Su-ok dan Ngo-ok, sedangkan Hek-i Mo-ong juga telah menderita kekalahan dari sepasang orang muda yang mewakili pewaris Suling Emas dan Naga Siluman, sedangkan perkumpulannya juga diobrak-abrik, maka mereka saling membutuhkan dan saling membantu.
Setelah mengadakan pertemuan, maka mereka bersepakat untuk bekerja sama agar nama mereka dapat diangkat kembali ke dunia kang-ouw. Persekutuan mereka itu tentu saja membuat mereka merasa lebih kuat dari pada sebelumnya. Ketiga orang anggota Im-kan Ngo-ok itu bagi Hek-i Mo-ong merupakan pembantu yang amat kuat dan boleh diandalkan, lebih kuat dari pada semua anak buahnya yang telah diobrak-abrik oleh Sim Hong Bu, Ci Sian dan Kam Hong.
Sebaliknya, tentu saja bagi sisa Im-kan Ngo-ok lebih terasa lagi karena keadaan mereka berempat jauh lebih kuat dari pada ketika mereka masih berlima! Akan tetapi, urutan tingkat kepandaian mereka sekarang tentu saja mengalami perubahan, yaitu Hek-i Mo-ong berada paling atas dan Toa-ok menjadi orang ke dua!
Biar pun merasa diri mereka kuat, akan tetapi melihat betapa Pangeran Kian Liong yang bijaksana dan didukung oleh semua pendekar perkasa itu telah menjadi kaisar dan mengambil sikap tangan besi terhadap orang-orang dari golongan sesat, maka untuk sementara empat orang datuk ini tidak berani menonjolkan diri mereka.
Dan mereka telah menemukan tempat persembunyian sementara yang amat baik, yaitu di tempat perguruan Koa Cin Gu, yang baru beberapa tahun bekerja membuka perguruan sebagai seorang guru silat. Koa Cin Gu yang tinggal di Lok-yang ini adalah seorang kenalan baik dari Sam-ok Ban-hwa Sengjin dan merupakan orang yang sudah amat dipercaya.
Demikianlah keadaan para datuk itu mengapa mereka dapat bersekutu dan mengapa mereka membantu Koa-kauwsu. Guru silat ini dan anak buahnya atau murid-muridnya merupakan pembantu-pembantu untuk menyelidiki keadaan di kota raja dan kota-kota besar bagi para datuk ini. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari Koa Cin Gu pulang dengan lengan kiri patah, mereka terkejut sekali.
Koa-kauwsu lalu menyuruh para kaki tangannya membayangi dan menyelidiki keadaan ‘pemuda’ itu. Sam-ok sendiri melakukan penyelidikan dan ketika melihat bahwa yang disebut pemuda oleh Koa Cin Gu itu adalah Cu Pek In puteri majikan Lembah Suling Emas, bersama Cu Kang Bu yang dikenalnya sebagai pendekar dan penghuni Lembah Suling Emas, dan juga isteri pendekar itu, Sam-ok terkejut bukan main dan itulah sebabnya mengapa Koa Cin Gu muncul bersama empat orang datuk itu!
“Lembah Suling Emas merupakan tempat rahasia di Pegunungan Himalaya,” berkata Sam-Ok, terutama kepada Hek-i Mo-ong, “Dan di sana terkumpul banyak pusaka-pusaka yang tidak ternilai harganya. Bahkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang dihebohkan itu pun dicuri oleh penghuni lembah itu. Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau kita dapat menahan tiga orang ini sebagai sandera, tentu kita akan dapat memaksa mereka untuk menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama Koai-liong Po-kiam kepada kita.”
Ji-ok dan Toa-ok tentu saja merasa setuju sekali. Mereka berbesar hati dan timbul keberanian mereka untuk memusuhi para penghuni Lembah Suling Emas setelah kini Hek-i Mo-ong menjadi sekutu mereka.
Hek-i Mo-ong hanya mengangguk-angguk. Orang yang setua dia sebetulnya sudah tak ingin lagi untuk memperoleh pusaka-pusaka, dan dia sudah terlalu mengagulkan diri sendiri sehingga dia menganggap bahwa tanpa merampas pusaka orang lain sekali pun dia tidak mempunyai tandingan lagi di dunia ini.
Akan tetapi untuk menyenangkan hati tiga orang pembantu barunya itu, yang dianggapnya sebagai keponakan-keponakan muridnya juga, ia menyetujui untuk bersama mereka menghadang perjalanan tiga orang itu.
Dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girangnya ketika dia melihat bahwa musuh besarnya pemuda yang pernah mengeroyoknya bersama dara bersenjata suling emas, ternyata berada pula dalam rombongan keluarga Lembah Suling Emas itu!
Demikianlah, empat orang datuk itu kini berhadapan dengan empat orang pendekar dari Lembah Suling Emas yang telah berubah sebutannya menjadi Lembah Naga Siluman itu.
“Hek-i Mo-ong, bagus bahwa engkau masih hidup! Kini aku dapat menyempurnakan usahaku untuk membunuhmu!” kata Sim Hong Bu, ucapan yang sengaja dikeluarkan untuk memberi tahu kepada Cu Kang Bu dan Yu Hwi bahwa kakek itu adalah Ketua Hek-i-mo yang terkenal itu.
Dan memang suami isteri ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek yang berpakaian serba hitam ini adalah kakek iblis yang namanya pernah menjulang tinggi dan menggetarkan dunia Kang-ouw itu.
“Ha-ha, sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku, bocah setan!” kata kakek itu yang segera menerjang maju sambil mencabut keluar senjatanya yang sangat menyeramkan, yaitu tombak Long-ge-pang (Gigi Srigala). Dia memegang tombak itu di tangan kanan dan dibantu kipas merah di tangan kirinya, menyerang sambil tertawa nyaring, suara ketawa yang mengandung khikang amat kuatnya.
“Trang-trang-trang....!”
“Wuuuuttt.... cringggg....!”
Dalam segebrakan saja mereka telah saling serang dengan hebat, dan sinar kebiruan dari Koai-liong Po-kiam menyilaukan mata. Melihat bahwa pemuda itu mempergunakan pedang pusaka yang membuat mereka dahulu ikut pula memperebutkannya, tiga orang dari Im-kan Ngo-ok menjadi girang sekali dan mereka pun sudah bergerak maju. Tentu saja Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera menyambut mereka, juga Cu Pek In sudah mempergunakan sulingnya untuk membantu paman dan bibinya.
Toa-ok disambut oleh Cu Kang Bu, hingga Yu Hwi terpaksa melawan Ji-ok sedangkan Sam-ok dilawan oleh Pek In. Tentu saja Hong Bu dan Kang Bu merasa khawatir sekali, karena mereka tahu bahwa kepandaian kedua orang wanita itu masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan lawan mereka yang merupakan datuk-datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Akan tetapi, mereka tidak berdaya untuk melindungi Yu Hwi dan Pek In. Sim Hong Bu yang ingin melindungi Pek In, tidak mungkin dapat keluar dari kurungan sinar senjata lawannya yang amat hebat itu, dan tanpa melindungi gadis itu pun dia sudah harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi Hek-i Mo-ong. Diputarnya pedangnya sehingga nampak gulungan sinar biru yang bukan hanya melindungi tubuhnya melainkan juga membalas serangan lawan dengan dahsyat.
Hek-i Mo-ong mengenal kelihaian pemuda ini, maka dia pun tidak berani memandang ringan dan sudah menggerakkan senjata tombak Long-ge-pang itu dengan gerakan aneh, cepat dan kuat sekali, dibantu oleh gerakan kipas merahnya yang menotok jalan darah lawan bagaikan patuk burung garuda.
Ban-kin-sian Cu Kang Bu merupakan lawan yang setanding dari Toa-ok Su Lo Ti. Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini sudah mencabut senjata cambuknya, yaitu sehelai cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya.
Walau pun Toa-ok merupakan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok dan merupakan datuk yang amat lihai, akan tetapi menghadapi Cu Kang Bu dia tidak dapat main-main dan terpaksa harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya kalau dia tidak ingin menjadi korban sambaran cambuk baja yang berkelebatan membentuk sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk itu.
Julukan Cu Kang Bu adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja tenaganya hebat luar biasa sehingga sabuk yang diputarnya itu lenyap bentuknya dan menimbulkan angin yang dahsyat sekali. Namun lawannya adalah Toa-ok, Si Jahat Nomor Satu yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga mempunyai pengalaman yang amat luas.
Kedua lengannya yang tidak bersenjata itu penuh dengan tenaga sinkang sehingga menjadi kebal, akan tetapi dia juga cukup cerdik untuk tidak mengadu lengannya secara langsung dengan cambuk baja yang digerakkan amat kuatnya.
Dia lebih banyak mengelak dan kalau menangkis, selalu menangkis dari arah samping, juga membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya yang mendatangkan hawa pukulan kuat sekali.
Seperti pertandingan antara Hong Bu dan Hek-i Mo-ong, maka perkelahian antara Cu Kang Bu melawan Toa-ok ini pun berjalan dengan seru sekali.
Keluarga Kao merasa puas dan gembira dengan jawaban itu. Memang mereka pun mengerti bahwa antara Ci Sian dan ayah kandungnya ini tidak ada hubungan yang baik. Dan tentang perjodohan gadis itu tentu berada di tangan gadis itu sendiri. Hal ini dimengerti benar oleh Cin Liong yang sudah mengenal watak Ci Sian
Akan tetapi, Bu Seng Kin adalah ayah kandung Ci Sian, dan melewatinya dalam urusan perjodohan Ci Sian sungguh dapat diartikan sebagai penghinaan. Kini, mereka telah menyampaikan pinangan kepada pendekar itu dan biar pun pendekar itu tidak dapat memutuskan, namun pada dasarnya pendekar Bu telah menyetujui kalau puterinya berjodoh dengan Cin Liong dan ini sudah cukup bagi pemuda itu.
Ketika pesta bubar, mereka berpamit dan menghaturkan terima kasih. Setelah keluar dari kota Cin-an, Cin Liong tidak ikut dengan ayah bundanya yang hendak pulang kembali ke utara, ke tempat tinggal mereka, yaitu di Istana Gurun Pasir.
“Aku akan pergi ke kota raja lebih dahulu,” kata pemuda itu, “Setelah melapor kepada Pangeran yang kini telah menjadi Kaisar, aku akan minta cuti dan akan pergi mencari Ci Sian sampai dapat. Setelah bertemu dan memperoleh keputusan, barulah aku akan menyusul Ayah dan Ibu pulang ke utara.”
Ayah dan ibu itu memberi banyak nasehat sebelum mereka berpisah, atau lebih banyak ibunya yang menghujaninya dengan nasehat-nasehat agar berhati-hati dan sebagainya. Ayahnya, Kao Kok Cu, tidak banyak bicara, dan dengan suara yang berwibawa hanya berkata, “Cin Liong, satu hal harus kau ingat baik-baik bahwa perjodohan hanya dapat dilaksanakan apabila keinginan itu terdapat dari kedua belah pihak! Kalau keinginan itu hanya terdapat di satu pihak saja, kelak akan mendatangkan banyak masalah dalam rumah tangga. Dan ingat, cinta kasih bukan berarti harus menikah! Tapi kalau keduanya ada cinta kasih, menikah merupakan jalan yang paling tepat. Syukurlah andai kata gadis itu juga menghendaki perjodohan denganmu. Kalau ia tidak setuju, hal itu wajar saja dan tidak sepatutnya menyengsarakan perasaan hatimu.”
Pesan ayahnya ini meninggalkan kesan mendalam di hati Cin Liong. Dia tahu bahwa kalau sampai Ci Sian menolak cintanya, menolak menjadi isterinya, dia akan menderita pukulan batin, hatinya akan terasa sakit. Akan tetapi dia melihat pula kebenaran ucapan ayahnya, maka dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekali pun…..
********************
Ketika Sim Hong Bu melarikan diri dari Cin-an, dari sarang para patriot karena dia panik dan berduka melihat betapa Ci Sian menyerangnya kalang-kabut, diam-diam Cu Pek In juga melakukan pengejaran. Akan tetapi kalau seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Cin Liong saja tidak mudah dapat menyusul Sim Hong Bu, apalagi Pek In yang ilmunya kalah jauh dibandingkan dengan suheng-nya yang dicintanya itu. Akan tetapi, ia tidak pernah berhenti mencari jejak Hong Bu dan telah mengambil keputusan bahwa baginya hanya ada dua pilihan, yaitu mencari sampai jumpa atau mati dalam usahanya itu!
Berpekan-pekan lamanya Cu Pek In mencari dan mengikuti jejak suheng-nya itu. Tetapi ia pun dibikin bingung ketika ia melihat jejak suheng-nya itu setelah menuju ke timur lalu kembali lagi ke barat, ke kota Cin-an dan menurut penyelidikannya, suheng-nya itu pergi ke Cin-an bersama seorang laki-laki setengah tua. Dan setelah pergi mengejar dan mencari Hong Bu selama hampir dua bulan, akhirnya Pek In kembali ke Cin-an dan bertemu dengan keluarga Bu. Dari Bu-taihiap ia mendengar banyak.
Bu Seng Kin yang mempunyai banyak sekali pengalaman itu dapat memaklumi bahwa gadis ini amat mencinta Hong Bu akan tetapi dia tahu pula bahwa Pek In bertepuk sebelah tangan dalam hal ini. Karena, baru beberapa hari yang lalu, Sim Hong Bu datang bersama seorang pamannya dan mengajukan pinangan atas diri Ci Sian! Dan hal ini terjadi baru beberapa hari setelah dia dan keluarganya menerima kunjungan dan pinangan dari keluarga Kao!
Bu-taihiap dan keluarganya menceritakan bahwa kini keadaan telah banyak berubah setelah Kaisar tua meninggal dan setelah Pangeran Kian Liong memegang kendali pemerintahan. Dia bercerita banyak tentang keadaan para pendekar patriot sekarang, yang sudah tidak dikejar sebagai musuh dan bagaimana pun juga harus mengakui kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh kaisar baru.
Semua itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cu Pek In, tetapi sesungguhnya di dalam hatinya, gadis ini tidak begitu tertarik. Kalau ia tadinya ikut pula dalam kelompok para pendekar patriot, hal itu hanya dilakukan karena ia mengikuti Hong Bu dan karena suheng-nya itu dianggap buronan dan di dalam pengejaran orang-orangnya Kaisar.
“Bu-locianpwe, saya mencari Sim-suheng sampai jauh, akan tetapi jejaknya malah menuju kembali ke Cin-an. Apakah dia datang ke sini?” akhirnya dia bertanya dan Bu Seng Kin yang memberi isyarat kepada isteri-isterinya itu segera menjawab.
“Dia memang pernah datang ke sini bersama seorang pamannya, tetapi tidak bermalam dan hari itu juga telah pergi lagi. Kurang lebih seminggu yang lalu dia datang. Ada hal yang amat menggembirakan, yaitu bahwa katanya, kaisar baru juga membebaskan dia, dan ia menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam oleh Kaisar telah dinyatakan sebagai pedang milik keluargamu. Jadi sekarang dia tidak lagi dikejar-kejar.”
Berita ini memang menggembirakan hati Cu Pek In. “Akan tetapi, Locianpwe, setelah meninggalkan Cin-an, dia pergi ke manakah?”
Pendekar itu menarik napas panjang. Tentu saja dia tak tega untuk menceritakan bahwa Hong Bu telah datang melamar Ci Sian. Namun dia dapat menduga ke mana perginya Hong Bu. Ke mana lagi kalau tidak mencari Ci Sian? Untuk mengatakan bahwa Hong Bu kini mencari-cari Ci Sian, apalagi kalau dijelaskan bahwa pemuda itu mencarinya untuk melamarnya, berarti tentu menghancurkan perasaan gadis ini. Maka dia pun lalu berkata, “Setelah dia dibebaskan oleh Kaisar, tentu dia akan memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya. Apakah engkau tidak dapat menduganya?”
“Tugas itu adalah mengalahkan Kim-Siauw Kiam-sut.”
Bu Seng Kin mengangguk. “Tentu saja. Dia tentu mencari Pendekar Suling Emas Kam Hong untuk melaksanakan tugas yang dipikulnya, yaitu mengadu ilmu dengan pendekar itu atau.... sumoi-nya.”
Cu Pek In mengepal tinju. “Aku harus membantunya!” Lalu dipandangnya pendekar itu dan ia bertanya, “Ke manakah dia mencari mereka?”
“Kami tidak tahu, Nona, hanya kami mendengar bahwa pamannya itu masih mempunyai keluarga di Lok-yang. Mungkin saja mereka itu pergi ke Lok-yang.”
Keterangan ini memang benar, dan lagi pula, menurut beberapa orang pendekar patriot yang melihatnya, memang paman dan keponakan itu meninggalkan Cin-an menuju ke barat.
“Kalau begitu, saya akan segera menyusul dan mencarinya, Locianpwe.” Cu Pek In berpamit.
Setelah gadis yang selalu berpakaian pria itu pergi, Bu Seng Kin menarik napas panjang dan berkata kepada tiga orang isterinya yang masih duduk di situ bersamanya. “Ahh, betapa cinta telah mengombang-ambingkan kehidupan para muda seperti gelombang samudera mempermainkan perahu-perahu kecil! Betapa cinta menciptakan sorga atau neraka di dunia ini.”
“Cinta memang selalu mendatangkan sorga dan sekaligus juga neraka dalam hidup!” tiba-tiba Nandini berkata. Dan anehnya, dua orang madunya lalu mengangguk-angguk membenarkan. Melihat ini, Bu Seng Kin membelalakkan matanya.
“Ehhh, agaknya kalian bertiga sudah sepakat begitu. Apa maksud kalian?”
“Lihat saja kehidupan kami! Kami mencari sorga bersamamu akan tetapi yang kami dapat neraka!” kata pula Nandini cemberut, dan dua orang madunya juga cemberut.
Mau tidak mau Bu-taihiap tertawa. “Akan tetapi mengakulah, bukankah di samping neraka kalian juga mendapatkan sorga? Bukankah kalau satu di antara kita saling berpisah kita merasa rindu dan menderita?”
Tiga orang isterinya diam saja karena memang mereka harus mengakui bahwa mereka baru merasa berbahagia kalau di samping suami ini, walau pun kadang-kadang mereka harus menahan panas hati karena cemburu.
“Memang demikianlah hidup,” pendekar itu menyambung. “Di mana ada senang tentu ada susah, kalau ada sorga tentu ada neraka. Akan tetapi, jangan dikira bahwa yang pahit-pahit dalam hidup itu tidak perlu. Coba saja bayangkan, tanpa kita merasakan pahit, bagaimana mungkin kita dapat menikmati manis? Tanpa kita merasakan bagai mana yang dinamakan susah itu, bagaimana kita dapat mengenal senang? Demikian pula, kalau kita tidak pernah mengenal neraka, mana mungkin kita dapat menikmati sorga? Ha-ha, selama kita berada dalam cengkeraman Im Yang, tentu saja keduanya itu saling kait-mengait dan tidak mungkin kita dapat terbebas dari kekuasaan dan roda perputarannya.”
Apa yang diucapkan oleh Bu Seng Kin itu memang merupakan kenyataan. Sayang dia tidak menyelami lebih mendalam lagi sehingga dia hanya menerima hal itu sebagai sesuatu yang seharusnya demikian, sehingga dia sendiri masih terseret ke dalam lingkaran setan dari baik dan buruk, senang dan susah dan sebagainya itu.
Senang dan susah adalah dua permukaan dari sesuatu yang sama. Keduanya tak dapat dipisahkan karena memang keduanya itu merupakan dua saudara kembar yang tak terpisahkan. Ada yang satu pasti ada yang lain. Karena itu, setiap pengejaran akan kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan karena kesenangan dan kesusahan itu berbadan satu tapi bermuka dua. Apa yang nampak pada muka itu, baik nampak sebagai senang mau pun sebagai susah, hanya merupakan akibat dari pada pilihan pikiran sendiri belaka. Apa yang hari ini dianggap sebagai menyenangkan, mungkin saja pada hari esok akan dianggap sebagai menyusahkan, dan demikian sebaliknya.
Senang dan susah muncul sebagai akibat dari pada penilaian. Dan penilaian ini selalu bersumber kepada kepentingan si aku. Si aku adalah pikiran, si aku adalah nafsu. Wajarlah bagi seorang manusia untuk dimasuki perasaan-perasaan itu. Senang, susah, takut, malu, marah, dan sebagainya. Namun, dengan pengamatan terhadap diri sendiri secara penuh kewaspadaan dan perhatian, di waktu perasaan-perasaan itu memasuki hati dan pikiran, maka kita tidak akan terseret. Mengamati semua itu, menghadapi semua itu, tanpa menilai-nilai sebagai baik atau buruk. Mengamati saja penuh kewaspadaan tanpa ada si aku yang mengamati. Jadi hanya pengamatan saja yang ada, kewaspadaan saja yang ada.
Menerima semua itu sebagai suatu hal yang sudah semestinya begitu, seperti yang dilakukan oleh Bu Seng Kin, maka tidak akan timbul perubahan dan untuk selama hidup, kita akan selalu terombang-ambing antara suka dan duka, dan biasanya, lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Dan selama kita menjadi permainan si kembar ini, kita takkan pernah bahagia. Yang kita anggap kebahagiaan bukan lain hanyalah kesenangan belaka yang pada lain saat sudah akan berubah lagi menjadi kesusahan.
Cu Pek In melakukan perjalanan ke barat dalam usahanya mencari Sim Hong Bu. Dia pergi menuju ke Lok-yang, sebuah kota yang besar dan ramai dan juga kuno di Propinsi Ho-nan. Gadis yang bagi yang tidak tahu dianggap sebagai seorang pemuda remaja yang amat tampan ini, melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya dan menyelidik kalau-kalau ada yang melihat Sim Hong Bu lewat di situ. Akan tetapi, agaknya sampai di Lok-yang, tidak ada seorang pun yang dapat memberi keterangan tentang suheng-nya itu. Tidak ada yang melihat adanya seorang pemuda seperti Sim Hong Bu lewat di jalan yang dilaluinya.
Dengan hati yang gelisah dan berduka, kedua kakinya yang lemas karena melakukan perjalanan jauh dan tubuhnya lelah sekali. Hari telah menjelang senja ketika terpaksa untuk hari itu ia menunda dulu pencariannya dan mencari kamar di sebuah losmen. Karena ia merasa amat lelah dan ingin beristirahat sebaiknya, maka dipilihlah hotel yang paling besar di kota itu. Hotel itu nampak besar dan cukup megah, dengan huruf-huruf besar dengan tinta emas di depannya berbunyi ‘Thian Hok Li Koan’.
Ketika Pek In memasuki ruangan depan hotel itu dan menuju ke kantor di sudut, ia melihat enam orang laki-laki duduk menghadapi meja bercakap-cakap di ruangan itu. Seorang pelayan segera menyambutnya dan sesaat alis pelayan ini berkerut melihat pakaian dan sepatu Pek In yang kotor dan berdebu, akan tetapi ketika dia memandang wajah yang tampan itu, dia segera bertanya dengan suara yang cukup ramah, “Selamat sore, Tuan Muda. Kalau anda mencari kamar, sungguh sayang sekali karena semua kamar telah penuh.”
Cu Pek In memandang pelayan itu dan hatinya menjadi kesal sekali. Ia sudah lelah dan juga jengkel dan berduka karena kehilangan jejak suheng-nya. Dan begitu tiba di hotel, di mana ia ingin cepat-cepat merebahkan diri, pelayan itu mengatakan bahwa semua kamar telah penuh! Ia merasa curiga, karena pelayan itu tadi memandang pakaian dan sepatunya yang berdebu. Karena sedang duka dan jengkel, maka Pek In menjadi mudah berprasangka dan marah-marah. Ia menyangka bahwa tentu pelayan ini tidak percaya kepadanya, pakaiannya berdebu, jangan-jangan ia dianggap tidak punya uang untuk membayar kamar! Hotel ini begitu besar, tentu mempunyai banyak kamar, masa sudah penuh?
“Benarkah tidak ada kamar kosong sama sekali? Aku sanggup membayar sewanya, berapa pun juga!” tanyanya dengan suara yang mengandung kejengkelan.
Ia tidak tahu bahwa enam orang pria yang tadi bercakap-cakap kini berhenti bicara dan semua melirik ke arahnya. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam, seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, memandang kepada Pek In dengan sepasang matanya melotot lebar dan mulutnya mengandung senyum penuh arti. Tangannya meraba-raba kumisnya yang melintang ketika sepasang matanya itu menatap ke arah wajah dan tubuh Pek In dari pinggir.
“Sungguh, Kongcu, semua kamar telah penuh. Hari ini memang ramai sekali sehingga tidak ada lagi kamar di hotel kami yang kosong. Harap Anda memaafkan kami,” kata pengurus hotel yang sudah menjenguk keluar dari dalam kantornya.
Cu Pek In menarik napas panjang. Memang dia sedang sial, pikirnya, segala-galanya tidak pernah berhasil. Ingin ia menangis.
“Bung pengurus, biarlah kami mengosongkan sebuah di antara kamar-kamar yang kami sewa dan berikanlah kepada Tuan Muda ini!” Mendadak terdengar suara parau dan kasar, suara dari pria tinggi besar berkulit hitam itu.
“Tapi.... tapi Koa-kauwsu telah membayar semua kamar itu,” Si Pengurus berkata.
“Tidak mengapa, seorang temanku dapat tidur bersama temannya dan mengosongkan kamar itu untuk Kongcu ini. Atau kalau Kongcu ini mau, tempat tidurku cukup lebar dan boleh saja aku membagi tempat tidur dengan dia.”
Wajah Cu Pek In menjadi merah. Kalau didengarnya kata-kata itu sebagai seorang wanita, tentu saja kata-kata itu amat kurang ajar. Hampir saja ia marah sekali kalau tidak diingatnya bahwa ia kini sedang menyamar sebagai seorang pria. Maka ia pun berkata kepada pengurus hotel itu, “Kalau memang sudah penuh, sudahlah, aku bisa mencari kamar di hotel lain.”
Cu Pek In membalikkan tubuh tanpa menoleh kepada enam orang pria itu. Dia hendak meninggalkan ruangan hotel.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara parau itu, “Nanti dulu, Siauwte, aku hendak bicara denganmu!”
Cu Pek In menoleh dan melihat laki-laki tinggi besar itu sudah berdiri dan menjura kepadanya, demi kesopanan ia pun lalu balas menjura.
“Ada urusan apakah yang hendak dibicarakan?” Ia bertanya sambil memandang tajam.
Laki-laki itu bersikap cukup sopan dan ramah, dan sepasang matanya yang lebar memandangnya dengan kekaguman yang tak disembunyikannya. Bukan pandang mata orang jahat, pikirnya, melainkan pandang mata seorang yang mata keranjang. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa ia berpakaian pria dan biasanya jarang ada orang yang dapat mengetahui penyamarannya, maka ia membantah penilaiannya sendiri, karena tidak mungkin pria tinggi besar itu tertarik kepada seorang pemuda!
“Siauwte, maafkan kalau aku mencampuri urusanmu. Akan tetapi melihat bahwa engkau nampak lelah, pakaian dan sepatumu penuh debu menunjukkan bahwa engkau telah melakukan perjalanan jauh, dan agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mencari kamar di hotel-hotel lain yang tentu juga penuh, maka aku menawarkan sebuah kamar kami kepadamu. Kami berenam menyewa lima kamar, kalau dikurangi satu kamar kami masih dapat tidur. Sebuah kamar untuk berdua pun tidak mengapa.”
Cu Pek In tersenyum dan tak tahu betapa senyumnya yang membuat wajahnya nampak semakin tampan itu membuat Si Tinggi Besar semakin kagum. “Ahhh, aku tidak ingin merepotkan Paman yang belum kukenal.”
“Sama sekali tidak merepotkan. Atau Adik boleh pilih, memakai sebuah kamar sendirian atau berdua denganku. Tempat tidur di kamar kami cukup besar....”
“Tidak, terima kasih! Aku tak biasa tidur berdua....,” jawab Pek In cepat-cepat memotong perkataan orang.
“Kalau begitu, pakailah sebuah kamar sendirian saja. Temanku dapat mengalah,” kata pula Si Tinggi Besar.
Melihat kebaikan orang, Cu Pek In merasa ragu-ragu untuk menolak.
Dan pengurus hotel itu pun cepat berkata kepadanya, “Kongcu, apa yang dikatakan oleh Koa-kauwsu ini memang benar. Sekarang sedang ramainya orang berdagang hasil bumi. Banyak tamu pedagang dari luar kota ini dan setiap hari semua hotel di kota ini penuh. Agaknya akan sukar bagi Kongcu untuk memperoleh kamar di hotel yang baik, kecuali di hotel-hotel kecil yang kotor.”
Ucapan pengurus hotel ini menghilangkan keraguan Cu Pek In dan ia pun kemudian menghaturkan terima kasih kepada Si Tinggi Besar.
“Ah, tidak perlu sungkan, Adik yang baik. Kita manusia di mana-mana memang harus saling bantu, bukan? Dengan begini, kita menjadi kenalan baru. Aku senang sekali berkenalan denganmu, Siauwte. Perkenalkanlah, aku Koa Cin Gu dari Lo-couw sebelah selatan kota ini.”
“Koa-kauwsu adalah guru silat yang terkenal di Lo-couw, bahkan di kota Lok-yang ini, Tuan Muda,” kata Si Pelayan memuji.
“Koa-kauwsu,” kata Pek In sambil menjura, “Terima kasih atas kebaikanmu. Aku sudah lelah sekali dan ingin beristirahat.” Sambil berkata demikian, Pek In lalu meninggalkan orang tinggi besar itu dan mengikuti pelayan dan seorang teman Si Tinggi Besar yang hendak mengambil barang-barangnya dari kamar yang diberikan kepada Pek In.
Setelah kamar itu bersih, Cu Pek In membersihkan tubuhnya, berganti pakaian dan memesan makan minum dalam kamarnya. Ia sudah lelah dan agak turun semangat, maka ia tidak keluar lagi dan memesan makan di kamarnya saja. Setelah makan dan istirahat sebentar, duduk termenung memikirkan nasibnya, dia pun merebahkan dirinya dan tidur.
Ia sendiri tidak tahu berapa lama ia tertidur, akan tetapi tiba-tiba ia terbangun oleh ketukan di pintu. Cu Pek In membuka matanya dan tanpa turun dari pembaringan ia bertanya, “Siapa di luar?”
Suara parau di luar segera dikenalnya sebagai suara Koa-kauwsu. “Aku Koa Cin Gu, Cu-siauwte!”
“Koa-kauwsu, ada keperluan apakah mengetuk pintu kamarku?” tanya Pek In sambil duduk di tepi pembaringan. Saking lelahnya, tadi dia sudah tertidur dengan pakaian lengkap, hanya sepatunya saja yang dilepaskan.
“Harap buka pintunya, Adik Cu! Aku memiliki hal yang amat penting untuk dibicarakan denganmu.”
Cu Pek In adalah seorang gadis gagah yang tidak pernah mengenal takut, akan tetapi setelah banyak merantau seorang diri meninggalkan lembah, ia sudah mempunyai banyak pengalaman dan bersikap hati-hati. Betapa pun juga, ia harus mencurigai orang yang telah bersikap terlalu baik kepadanya itu. Dipakainya sepatunya dan diselipkan sulingnya di pinggang, tertutup baju, lalu ia pun melangkah ke pintu dan membukanya.
Koa Cin Gu masuk sambil tersenyum ramah. “Sudah tidurkah, Siauwte? Maafkan kalau aku mengganggu, ya?” Ketika dia bicara itu, Pek In mencium bau arak dan biar pun sikap guru silat itu masih biasa saja, namun melihat muka hitam itu kemerahan, juga matanya, ia dapat menduga bahwa orang ini tentu terlalu banyak minum arak dan agak mabok.
Tanpa mempersilakan duduk, ia pun bertanya, “Koa-kauwsu, ada keperluan apakah yang hendak kau bicarakan?”
“Banyak, banyak sekali. Cu-siauwte,” kata guru silat Koa itu dan dia pun menutupkan kembali daun pintu.
Karena mengira bahwa orang itu menutupkan pintu karena memang mempunyai urusan yang penting, maka Pek In juga diam saja, hanya memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi, orang she Koa itu tanpa dipersilakan lagi kini sudah duduk, bukan duduk di atas kursi, melainkan di tepi pembaringan!
Si Muka Hitam itu kini tersenyum menyeringai sambil berkata, “Aku ingin berkenalan lebih baik denganmu, Adik Cu Pek In. Sini duduklah di dekatku sini, agar kita lebih enak bicara. Sejak melihatmu tadi, aku sudah suka sekali kepadamu, Adik yang baik.”
Muka Pek In menjadi merah sekali. Akan tetapi ia masih teringat bahwa orang itu bicara kepadanya sebagai seorang pemuda, bukan seorang gadis!
“Ah, Paman Koa, mengapa begitu? Katakanlah apa yang perlu kau bicarakan sehingga malam-malam engkau datang ke sini. Aku mengantuk sekali.”
“Ha-ha, mengantuk? Tidurlah, tidurlah biar kita bicara sambil merebahkan diri. Ataukah engkau lelah dan perlu kupijati? Ke sinilah, sayang.”
Pek In mulai mengerutkan alisnya. Apakah orang ini sudah tahu akan penyamarannya dan bersikap kurang ajar karena tahu bahwa ia adalah seorang wanita?
Tetapi hatinya belum yakin benar dan ia masih berpura-pura menegur, “Koa-kauwsu, apa artinya sikapmu ini? Lupakah engkau bahwa aku adalah seorang pria?”
“Ha-ha-ha, lupa? Tentu saja tidak, Adik tampan! Kalau engkau seorang wanita, apa kau kira aku sudi mendekatimu? Aku membenci wanita, dan aku sayang kepada pemuda-pemuda tampan seperti engkau ini. Ke sinilah, Adik tampan, akan kupijiti engkau agar lelahmu lenyap dan engkau temani aku tidur. Marilah....!” Dan guru silat bermuka hitam itu sudah mengembangkan kedua lengannya ke arah Pek In!
Pek In memandang dengan mata terbelalak. Betapa pun banyaknya pengalaman yang dihadapinya selama ini, baru sekarang melihat keganjilan ini. Seorang pria yang hendak mencumbu pria lain! Inikah yang dinamakan orang banci? Tubuh guru silat itu demikian tinggi besar, kulitnya kasar hitam dan kumisnya melintang, tubuhnya jelas menunjukkan laki-laki seratus prosen. Akan tetapi mengapa dia menyukai pria muda tampan?
Teringat akan hal ini, Pek In bisa menduga betapa banyaknya pemuda-pemuda tampan yang menjadi korban orang aneh ini. Tentu di antara murid-muridnya yang belajar ilmu silat banyak terdapat pemuda-pemuda remaja yang tampan. Entah dipermainkan secara bagaimana. Tak dapat ia membayangkannya dan ia sudah merasa jijik dan geli, seperti melihat seekor ular.
“Manusia keparat! Keluarlah engkau dari sini!” Pek In membentak marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah pintu.
Koa-kauwsu memandang bengis, lalu bangkit berdiri dan bertolak pinggang. “Ahhh.... kiranya engkau hanya seorang pemuda yang tak mengenal budi. Beginikah balasannya ditolong orang?”
“Hemm, kalau memberikan kamar kosong kepadaku kau anggap sebagai budi besar yang harus dibalas dengan kemesuman dan kecabulanmu, engkau mimpi, orang berhati binatang. Sudahlah, kau cepat keluar dari sini sebelum kuhancurkan kepalamu!” Pek In sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi.
Guru silat itu membelalakkan kedua matanya, dan dia tersenyum. Barulah kini nampak oleh Pek In betapa senyum pria ini mengandung sifat kegenit-genitan seperti wanita!
Koa Cin Gu sebetulnya bukanlah seorang penjahat, melainkan seorang guru silat yang cukup kenamaan. Akan tetapi, dia mempunyai kelainan dengan orang-orang biasa, yaitu, dia suka bermain cinta dengan pria-pria muda yang tampan. Dia sungguh tidak suka menyukai wanita, karena walau tubuhnya tinggi besar dan kasar seperti pria tulen, adalah hatinya seperti seorang wanita, terutama mengenai selera dan birahi. Dia tidak pernah melakukan pemaksaan terhadap pria-pria muda, karena dengan pengaruhnya sebagai guru silat, banyaklah murid-murldnya sendiri yang mau melayaninya dengan harapan memperoleh pelajaran silat yang lebih tinggi dari pada murid-murid lain. Maka, terhadap Pek In yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang tampan sekali ini pun Koa-kauwsu tidak bermaksud menggunakan kekerasan. Akan tetapi dia telah dihina dan dimaki, maka bangkitlah kemarahannya.
“Bocah kurang ajar! Engkau ditolong baik-baik, diperlakukan dengan sikap ramah dan manis, dan engkau malah menghina orang. Bocah sombong, benarkah engkau hendak menghancurkan kepalaku? Coba saja kalau engkau mampu!”
“Mampu? Apa sukarnya? Tetapi aku tidak ingin membikin kacau dengan pembunuhan, maka bukan kepalamu yang akan kuhancurkan, melainkan lengan tanganmu saja!” Berkata demikian, Pek In sudah menerjang ke depan dengan pukulan tangan kirinya.
Pukulannya mantap dan cepat sekali, sehingga guru silat itu yang mengenal serangan berbahaya, mengeluarkan seruan dan cepat menangkis dengan lengan kanannya, dan berbareng dengan itu langsung membalas dengan sodokan tangan kirinya ke arah dada Pek In. Walau pun hal ini bukan dimaksudkan untuk kurang ajar, akan tetapi sebagai seorang gadis, Pek In menganggapnya demikian, maka dia pun sudah mengerahkan tenaga sinkang pada lengan kanannya dan dia menghantam ke bawah, ke arah lengan kiri lawan.
“Krakkk....!”
Tulang lengan kiri Koa-kauwsu, dekat pergelangan, patah-patah dan di lain saat Pek In telah menendang tubuhnya sehingga guru silat terpelanting. Pek In cepat membuka pintu dan sekali lagi menendang. Tubuh guru silat itu terlempar keluar pintu kamar!
Tentu saja ia mengaduh-aduh karena bukan hanya lengan kirinya yang patah-patah tulangnya, akan tetapi juga dua kali tendangan itu membuat dadanya sesak dan perutnya mulas. Ribut-ribut ini mendatangkan lima orang temannya dan melihat betapa guru silat itu mengaduh-aduh, memegangi lengan kiri dengan tangan kanan, lima orang itu lalu menyerbu ke dalam kamar Pek In. Akan tetapi Cu Pek In sudah muncul di pintu dan membentak marah.
“Masih ada lagi yang hendak kurang ajar kepadaku?”
“Dia memukulku, dia mematahkan lenganku, pukul dia!” Koa-kauwsu yang merasa kesakitan itu sudah bangkit berdiri dan dengan meringis dia menuding ke arah Pek In dengan telunjuk kanannya.
Lima orang temannya terkejut bukan main, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang halus tampan itu mampu merobohkan guru silat Koa yang lihai! Mereka berlima dapat menduga bahwa tentu pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, maka mereka sudah mencabut senjata golok mereka dan menyerbu ke dalam kamar!
Akan tetapi Cu Pek In sudah marah sekali. Ketika tangannya bergerak, nampak sinar emas berkelebatan, dan terdengar bunyi nyaring ketika sinar emas itu bertemu dengan golok-golok di tangan lima orang yang mengaduh-aduh, ada yang kepalanya benjol, ada yang lengannya patah, dan ada pula yang mendekap perutnya yang kena ditendang! Keadaan menjadi geger karena semua tamu kini terbangun dan berdatangan ke tempat itu. Tiba-tiba, di antara para tamu itu, muncullah sepasang suami isteri yang gagah perkasa.
“Pek In....!” Mereka menegur.
Cu Pek In yang masih bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan dengan suling di tangan, cepat menengok dan melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang laki-laki tinggi besar bersama seorang wanita cantik, segera mengenalnya. Pria itu adalah pamannya sendiri, Cu Kang Bu dan wanita itu adalah isteri pamannya, Yu Hwi.
“Paman....!” teriaknya ketika mengenal pamannya.
“Pek In, mari kita pergi saja dari sini!” kata Kang Bu.
Pek In begitu girang bertemu dengan pamannya sehingga ia tidak membantah, cepat mengambil pakaiannya dan keluar dari dalam kamarnya bersama paman dan bibinya. Setelah mereka mengambil pakaian dari kamar suami isteri itu, Kang Bu lalu mengajak mereka keluar, berhenti di kantor pengurus, membayar untuk dua kamar mereka dan segera mengajak keponakannya pergi meninggalkan hotel.
Hal ini dilakukan oleh Kang Bu yang tidak mau menghadapi keributan setelah terjadi perkelahian antara keponakannya dan beberapa orang laki-laki tamu hotel itu. Mereka lalu mencari kamar di rumah penginapan kecil di pinggir kota. Di sini mereka lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing. Cu Pek In dengan hati sedih menceritakan betapa ia sudah bertemu dengan Hong Bu, bersama-sama pergi ke Cin-an di mana mereka berdua tinggal di sarang para patriot.
“Aku bertemu dengan Bibi Tang Cun Ciu di sana, Paman. Engkau tahu, yang menjadi pemimpin para pendekar patriot adalah Bu Seng Kin Locianpwe?”
“Hemm, pantas kalau begitu!” Hanya demikian Kang Bu berkata karena dia tidak mau mencampuri kehidupan pribadi bekas kakak iparnya itu.
Pek In lalu melanjutkan ceritanya, betapa Hong Bu bertemu dengan dua orang yang harus dilawannya, yaitu keluarga Kao dan juga Pendekar Suling Emas Kam Hong. Betapa kemudian karena diserang oleh Ci Sian, Hong Bu melarikan diri dan dikejar oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong.
“Aku pun mengejarnya, Paman, namun aku tertinggal jauh dan aku terus mencarinya sampai berbulan-bulan. Jejaknya membawaku kembali ke Cin-an. Menurut keterangan Bu-locianpwe mungkin Sim-suheng pergi ke Lok-yang ini.” Kemudian ia menceritakan pengalamannya di hotel itu dan sikap guru silat she Koa yang aneh dan kurang ajar terhadap dirinya.
“Sungguh aneh, Paman. Dia sudah mengatakan bahwa dia menganggap aku pria, akan tetapi mengapa dia hendak merayuku? Apakah dia itu orang-orang gila, Paman?”
Pamannya tertawa, demikian pula Yu Hwi. Yu Hwi yang menjawab. “Pek In, ketahuilah bahwa di dunia ini memang terdapat orang-orang yang sejak lahir telah mempunyai kelainan-kelainan yang mungkin saja diperkuat oleh keadaan sekeliling di waktu dia masih kanak-kanak. Atau mungkin ada sesuatu yang salah dalam tubuhnya sehingga ada orang yang tubuhnya pria akan tetapi perasaan hatinya wanita, seperti orang yang mengganggumu tadi. Akan tetapi ada orang yang tubuhnya wanita akan tetapi perasaan hatinya pria, dan orang begitu hanya suka berdekatan dengan sesama wanita, dan membenci pria.”
“Demikianlah yang dinamakan banci, Bibi?”
“Biasanya, sebutan banci ditujukan kepada seorang pria yang berhati wanita seperti pengganggumu tadi. Pria-pria seperti itu condong untuk menjadi wanita, merasa dirinya sebagai wanita, bahkan yang sudah terlalu berat kecondongannya itu, tidak ragu-ragu lagi untuk berpakaian sebagai wanita dan bersikap sebagai wanita pula. Sebaliknya, wanita yang berhati pria itu pun condong untuk menjadi pria dan berpakaian sebagai pria....”
Tiba-tiba Yu Hwi berhenti dan memandang kepada Pek In dengan muka berubah dan sikap sungkan. Melihat sikap isterinya ini, Kang Bu tertawa.
“Jangan khawatir, Pek In adalah seorang wanita asli, buktinya ia jatuh cinta kepada Hong Bu. Kalau ia suka berpakaian pria adalah karena mendiang orang tuanya memberi pakaian pria kepada Pek In.”
Wajah Cu Pek In menjadi merah sekali. “Ah, jadi ada wanita yang hatinya seperti pria dan lebih suka menjadi pria? Aku tidak mempunyai perasaan seperti itu, Bibi. Akan tetapi setelah mendengar penuturan itu, aku jadi muak untuk memakai pakaian pria, jangan-jangan aku disangka orang banci lagi! Biarlah, mulai sekarang aku akan mengenakan pakaian wanita. Harap Bibi membantuku!”
Demikianlah pada keesokan harinya, kedua orang wanita itu berbelanja dan mulailah Cu Pek In mengenakan pakaian wanita. Dan sungguh harus diakui bahwa setelah ia mengenakan pakaian wanita, mau berbedak dan berhias, ia nampak sebagai seorang dara yang cantik jelita! Bahkan Cu Kang Bu sendiri memuji keponakannya itu dan menyatakan sayangnya, mengapa sejak dahulu keponakannya tidak mau berpakaian sebagai seorang wanita. Kemudian mereka bertiga melanjutkan usaha Pek In untuk mencari Sim Hong Bu…..
********************
Dan ke manakah perginya Sim Hong Bu? Seperti telah kita ketahui, Hong Bu lari dan mencari pamannya untuk mengajak pamannya itu melakukan peminangan atas diri Ci Sian. Dan dia sudah berhasil bertemu dengan pamannya itu. Akan tetapi Kao Cin Liong juga berhasil mengejarnya dan menyusulnya sehingga tidak dapat dihindarkan lagi terjadilah perkelahian di antara mereka. Perkelahian yang amat seru dan mati-matian dan tentu akhirnya akan menimbulkan akibat hebat, dan mungkin tewasnya seorang di antara mereka kalau saja tidak muncul Kao Kok Cu yang melerai.
Setelah kaisar yang baru ternyata telah menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam itu adalah hak milik keluarga Cu, maka tentu saja antara Hong Bu dan keluarga Kao tidak ada permusuhan lagi. Mereka bahkan menjadi sahabat dan berpisah sebagai sahabat.
Setelah berpisah dari Kao Cin Liong dan ayahnya, Sim Hong Bu kemudian mengajak pamannya pergi ke Cin-an untuk mengajukan lamaran atas diri Ci Sian kepada keluarga Bu. Dan Bu Seng Kin, seperti jawabannya terhadap lamaran keluarga Kao, juga menyuruh Hong Bu untuk langsung saja melamar kepada Ci Sian atau kepada suheng gadis itu karena dia sendiri tidak berkuasa atas diri puterinya itu. Mendapatkan jawaban ini, Hong Bu lalu pergi mencari Ci Sian dan memang dia pergi ke Lok-yang karena pamannya hendak pergi mencari keluarga yang jauh di dekat Lok-yang. Setelah tiba di Lok-yang keduanya saling berpisah, Hong Bu melanjutkan perjalanannya seorang diri mencari Ci Sian.
Ketika Cu Pek In tiba di Lok-yang, selain Cu Kang Bu dan Yu Hwi yang juga berada di kota itu, sesungguhnya Hong Bu juga berada di situ. Hanya pemuda ini tidak bermalam di kota, melainkan di luar kota, di dalam sebuah kuil tua karena pemuda ini telah dapat mengikuti jejak Ci Sian dan Kam Hong!
Pada pagi hari itu, Kam Hong dan Ci Sian sedang mengamati pemandangan yang amat indah di lembah Sungai Huang-ho di utara kota Lok-yang. Lembah itu sunyi karena memang mereka menghindari tempat ramai. Sambil memandang di atas air yang tenang karena baru saja arusnya terpatahkan di selokan, Ci Sian melamun dan akhirnya berkata.
“Suheng, sudahlah kita tidak perlu mengejar dan mencari orang she Sim itu. Kalau memang dia yang menghendaki untuk melanjutkan adu ilmu antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut, biar dia yang mencari kita. Melihat sungai yang amat lebar dan tenang ini, timbul niatku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kalau kita naik perahu mengikuti aliran sungai ini, kita akan sampai ke manakah, Suheng?”
“Air sungai Huang-ho ini akan membawa kita kembali ke Cin-an lagi, kemudian masuk Laut Po-hai,” jawab Kam Hong.
“Dan dari sana ke kota raja apakah masih jauh?”
“Tentu lebih dekat dibandingkan dari sini.”
“Kalau begitu, mari kita menyewa perahu, Suheng.”
“Ahh, mana mungkin ada orang mau menyewakan perahu untuk dipakai melalui jarak sejauh itu? Pemilik perahu tentu mengalami kesukaran untuk kembali ke sini menentang arus. Sewanya akan mahal sekali, mungkin sewanya itu sudah cukup untuk membeli sebuah perahu kecil.”
“Wah, kalau begitu kita beli saja. Kita dayung sendiri, kan terbawa arus air, jadi tak perlu membuang banyak tenaga. Kita mancing setiap hari, makan daging ikan setiap hari. Wah, senangnya!”
Kam Hong tertawa dan memandang kepada sumoi-nya. Betapa sumoi-nya ini kadang-kadang masih seperti anak kecil saja. Dan dia pun menarik napas panjang. Memang, dibandingkan dengan dia, sumoi-nya masih seperti anak kecil. Dia sendiri sudah berusia hampir tiga puluh lima tahun sedangkan sumoi-nya ini hanya seorang dara remaja berusia paling banyak sembilan belas tahun! Dia merasa sudah tua dan tidak pantas berdekatan dengan sumoi-nya.
“Kenapa kau tertawa lalu menarik napas, Suheng? Heran, habis tertawa kok menarik napas, engkau ini bergembira atau berduka?”
“Suka dan duka hanya seperti siang dan malam, muncul silih berganti, Sumoi, demikian pula dengan senang dan susah. Membayangkan melakukan perjalanan melalui air, tentu saja yang terbayangkan hanya senangnya saja, tetapi kalau sudah dilaksanakan, barulah muncul susah-susahnya. Di dunia ini tiada kesenangan kekal atau kesusahan abadi, selalu silih berganti menguasai kehidupan manusia.”
“Wah, wah, sepagi ini sudah berfilsafat, Suheng! Apakah engkau mencari sesuatu yang kekal?”
“Tidak, Sumoi, karena aku tahu bahwa tidak ada yang kekal dalam hidup ini. Mencari-carinya sama saja dengan mimpi di siang hari! Aku siap menerima segala sesuatu dalam hidup ini, Sumoi, menghadapi apa adanya tanpa keluhan. Kalau memang diri sudah tua dan buruk, apa perlunya mengeluh?”
Ci Sian memandang wajah suheng-nya. Tertawanya bebas karena gadis ini tak pernah berpura-pura di depan suheng-nya, tidak pernah menyembunyikan keburukannya, maka di depan suheng-nya ia dapat tertawa bebas tanpa berusaha untuk bersikap seperti orang yang hendak bersopan-sopan. “Wah, lihat kakek-kakek ini yang berfilsafat dan merasa sudah tua dan pikun! Wahai Suheng, siapa bilang engkau tua dan pikun dan jelek? Aku kadang-kadang merasa jauh lebih tua dari pada Suheng!”
“Kadang-kadang? Kalau sedang bagaimana kau merasa lebih tua?”
“Kalau sedang begini ini. Kalau Suheng sedang menyesali nasib dan usia tua seperti itu. Sudah, mari kita mencari perahu untuk kita beli Suheng.”
Akan tetapi tiba-tiba Kam Hong menyentuh lengannya. “Ssttt, ada orang datang....,” bisiknya.
Mereka berdua menanti karena memang nampak ada bayangan orang berlari cepat sekali menuju ke tempat itu dan setelah orang itu tiba di depan mereka, dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka melihat bahwa yang muncul di depan mereka itu adalah Sim Hong Bu!
Melihat pemuda ini, Kam Hong tersenyum. “Ah, ternyata benar kata orang jaman dahulu bahwa dunia ini sesungguhnya tidak begitu luas seperti disangka orang. Kami mencari-carimu setengah mati tanpa hasil, dan sekarang engkau muncul di sini, Adik Sim Hong Bu!”
Hong Bu sudah dapat menenangkan hatinya yang berdebar kencang ketika melihat Ci Sian. Hatinya girang bukan main bahwa akhirnya dia dapat menemukan gadis ini, dan dalam pandangannya, Ci Sian semakin cantik menarik, lincah dan gagah saja.
“Engkau mencariku, Kam-taihiap? Sungguh, aku pun sudah lama mencari-carimu dan.... ehhh…., Nona Ci Sian.”
“Hemm, mau apa engkau mencariku, Hong Bu?” tiba-tiba Ci Sian berkata. “Apakah hendak menantangku lagi?” Di dalam pertanyaannya terkandung tantangan.
“Ada dua hal yang mendorong untuk mencari kalian,” kata Hong Bu dan dia berusaha sekuat tenaga untuk menekan debar jantungnya.
Hampir saja dia tidak berani mengeluarkan kata-kata berikutnya, akan tetapi dia menjadi nekad. Kalau tidak sekarang dikeluarkan isi hatinya, mau tunggu kapan lagi? Maka dia pun menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan, lalu berkatalah dia dengan sikap gagah dan suara lantang.
“Kam-taihiap dan Nona Bu Ci Sian, dengarlah baik-baik. Aku bersama salah seorang pamanku telah pergi menemui dan menghadap Bu-locianpwe di Cin-an dan kami telah mengajukan pinangan kepadanya, untuk meminangmu, Nona. Akan tetapi Bu-locianpwe mengatakan bahwa aku harus mencarimu dan menyatakan ini kepadamu dan kepada Kam-taihiap. Nah, sekarang aku sudah menemukan kalian dan di sini aku menyatakan bahwa aku meminang Nona Bu Ci Sian untuk menjadi jodohku, Kam-taihiap.”
Ucapan ini sungguh amat di luar dugaan Ci Sian dan Kam Hong. Kam Hong menahan senyumnya dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum dan dengan hati senang. Betapa gagahnya pemuda ini, begitu jujur dan terbuka. Sungguh merupakan pemuda yang memang tepat kalau menjadi jodoh sumoi-nya!
Akan tetapi setelah sejenak melongo dengan muka agak pucat mendengar pinangan itu, Ci Sian lalu meledak karena marahnya!
“Tidak! Aku tidak mau! Engkau manusia lancang, enak saja melamar orang seperti hendak membeli bakpao saja! Aku tidak mau, aku tidak suka, aku.... aku benci padamu!”
“Ci Sian, jangan tergesa-gesa menjawab dan tidak boleh engkau menghadapi pinangan orang seperti itu,” Kam Hong menegur, terkejut melihat sikap itu.
“Tidak, tidak adil! Suheng, biar pun engkau suheng-ku, jika engkau menerima pinangan orang terhadap diriku, nah, engkau boleh kawin dengan orang itu! Aku tidak sudi!” Ci Sian berteriak-teriak marah dan matanya mulai basah dengan air mata.
Baik Kam Hong, terutama sekali Sim Hong Bu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa tanggapan Ci Sian akan seperti itu terhadap pinangan yang diajukan oleh Hong Bu. Wajah Hong Bu menjadi pucat sekali dan sinar matanya sayu, membayangkan perihnya hati mendengar jawaban Ci Sian yang sudah amat jelas itu. Ci Sian sama sekali tidak membalas cintanya, bahkan membencinya!
“Maaf.... maaf.... bukan maksudku untuk menyusahkan orang lain....,” kata Hong Bu, mukanya pucat dan ia menundukkan mukanya. “Aku telah mengatakan urusan pertama yang hendak kusampaikan, yaitu pinangan dan aku telah ditolak, bukan salah siapa-siapa melainkan salahku sendiri yang tidak tahu diri....”
“Sim Hong Bu, setiap pinangan tentu mempunyai dua macam jawaban, diterima atau ditolak, hal itu wajar saja kukira. Dan urusan jodoh adalah urusan hati dua orang yang bersangkutan, maka engkau agak terburu-buru kukira, sebelum melihat lebih dulu bagai mana keadaan hati orang lain dalam urusan ini. Betapa pun, semua sudah terlanjur dan aku kagum akan kejujuranmu, juga aku ikut menyesal atas kegagalanmu. Lalu ada sebuah soal lagi yang hendak kau bicarakan, apakah itu, Saudara Sim?”
“Maafkan, Kam-taihiap. Engkau selalu amat bijaksana dan gagah, sejak dahulu aku kagum sekali, dan terima kasih atas hiburanmu tadi. Memang salahku sendiri maka urusan pertama aku tidak berhasil. Maka biarlah sekarang kusampaikan urusan ke dua kepadamu, Taihiap. Bukan lain aku mencarimu untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru-guruku, yaitu untuk menentukan mana yang lebih unggul antara Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas. Kuharap sekali ini engkau tidak berlaku kepalang tanggung, Kam-taihiap. Aku mohon petunjukmu!” Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu yang wajahnya masih pucat dan sepasang matanya masih suram itu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar pedang biru menyilaukan mata.
“Kau menantang....?” Ci Sian berseru.
Akan tetapi Kam Hong sudah memegang lengannya dan berkata dengan suara yang lembut akan tetapi mengandung wibawa. “Sumoi, serahkan urusan ini kepadaku. Akulah yang dahulu mengalahkan keluarga Cu dan menimbulkan rasa penasaran ini.”
Kemudian pendekar ini melangkah maju menghadapi Sim Hong Bu sambil berkata, “Baiklah, Sim Hong Bu. Kalau engkau berkeras hendak memenuhi pesan gurumu yang hanya terdorong oleh rasa penasaran di dalam hatinya, aku tidak akan mengecewakan hatinya. Akan tetapi, apakah engkau menyadari bahwa permusuhan yang ditanam oleh pihak keluarga Cu ini sungguh tidak bijaksana? Di antara kita sesungguhnya tidak ada permusuhan apa pun juga. Dahulu, nenek moyangku secara kebetulan memperoleh pusaka Suling Emas. Dan kemudian aku sebagai keturunannya yang terakhir, secara kebetulan pula mewarisi Ilmu Suling Emas. Bukankah itu sudah jodoh namanya? Biar pun penciptanya adalah nenek moyang keluarga Cu, apa salahnya kalau terjatuh kepada orang lain? Bukankah kini Ilmu Pedang Naga Siluman yang berasal dari keluarga Cu juga diwarisi oleh seorang she Sim? Saudara Sim Hong Bu, hendaknya engkau menyadari hal itu.”
Tentu saja Hong Bu tahu akan hal itu dan memang tadinya dia sudah lemah semangat untuk menantang Kam Hong mengadu ilmu, apalagi semenjak dia bertemu dan mendengar nasehat dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, setelah dia gagal dalam urusan cintanya terhadap Ci Sian, setelah dia patah hati, dia tidak peduli lagi dan biarlah kalau urusan kebaktian yang keliru terhadap gurunya ini gagal pula, dia rela mati di tangan seorang pendekar seperti Kam Hong.
“Kam-taihiap, aku memang telah keliru segala-galanya, maka biarlah kekeliruan berbakti kepada guruku ini merupakan kekeliruan yang terakhir. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita segera laksanakan pesan guruku. Hendak kulihat, sesungguhnya sampai di mana kehebatan Ilmu Suling Emas itu dan kuharap engkau tidak berlaku kepalang tanggung sekali ini. Marilah!”
Meski pun agak ragu-ragu dan setengah hati, Kam Hong mengeluarkan juga suling emasnya. Pendekar ini dapat menduga, melihat sikap dan mendengar suara pemuda itu bahwa memang Hong Bu agaknya sengaja, terdorong kepedihan hati oleh penolakan Ci Sian yang kasar tadi. Dia menarik napas panjang dengan penuh penyesalan.
“Aku dapat membayangkan betapa para nenek moyang keluarga Cu yang menjadi pencipta Ilmu Pedang Suling Emas dan Naga Siluman akan mengeluh dan menyesal bahwa ciptaannya hanya akan saling berlawanan, padahal sudah sepatutnya kalau saling bekerja sama untuk menghadapi kejahatan di dunia ini. Silakan, Saudara Sim!”
Maklum bahwa lawannya juga sungkan, maka Sim Hong Bu yang merasa sebagai penantang lalu menggerakkan pedangnya melakukan serangan pembukaan. Kam Hong juga menggerakkan sulingnya dan mulailah mereka saling serang. Mula-mula memang ada keraguan dan rasa kesungkanan dalam hati mereka sehingga serangan-serangan mereka itu tidak dilakukan dengan tenaga sepenuhnya. Akan tetapi sebagai ahli-ahli silat di mana ilmu silat itu telah mendarah daging kepada tubuh mereka, makin lama mereka menjadi semakin bersemangat karena menghadapi lawan yang amat tangguh.
Maka gerakan senjata mereka menjadi makin cepat dan berat dan tak lama kemudian, lenyaplah kedua orang itu terselimut gulungan sinar emas dan sinar biru yang terang menyilaukan mata. Terdengar pula suara pedang seperti suara mengaum-aum dan suara suling yang melengking-lengking, dan angin yang sangat keras menyambar, membuat daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan kadang-kadang seperti dilanda angin berpusing.
Ci Sian sendiri bengong, kagum sekali menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Diam-diam harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh Sim Hong Bu memang hebat bukan main, dan agaknya sama sekali tidak kalah dibandingkan dengan Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling emas itu. Sebagai seorang ahli, ia pun dapat mengikuti gerakan mereka, walau pun kadang-kadang gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata. Ia melihat betapa suheng-nya bersilat dengan baik sekali, hampir dapat dikata sempurna malah, memainkan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, akan tetapi tetap saja ia masih melihat keraguan dalam gerakan suheng-nya itu, seolah-olah dia tak menghendaki perkelahian itu dan bertanding karena terpaksa sekali.
Setelah lewat seratus jurus, keduanya sudah benar-benar bebas dari keraguan dan keduanya kini sudah lupa diri. Yang ada hanyalah kegembiraan bertanding karena baru sekarang mereka benar-benar bertemu lawan yang setanding, dan baru sekali ini mereka bertanding tanpa ada sedikit pun perasaan benci atau marah. Kini mereka bertanding demi ilmu itu sendiri, seperti orang berlatih saja, akan tetapi jauh lebih hebat dan sungguh-sungguh karena keduanya tidak mau sampai kalah.
Maka, kini hanya jurus-jurus yang paling ampuh sajalah yang mereka keluarkan dan di dalam hati mereka penuh kekaguman terhadap lawan. Sukar dilihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak di antara keduanya, karena betapa pun juga, setelah kini mereka melihat intinya, ada unsur-unsur yang sama dalam dasar ilmu pedang mereka. Hanya dalam hal tenaga dalam, Sim Hong Bu harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat! Akan tetapi, Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut demikian hebatnya sehingga kekalahan tenaga ini dapat ditutupnya dengan gerakan cepat dan aneh sehingga dia tidak harus mengadu tenaga secara langsung.
Serang menyerang terjadi, tikaman dan totokan ditukar, bacokan dan pukulan silih berganti, dan bukan hanya senjata mereka yang saling menyambar, melainkan juga tangan kiri mereka sering kali melakukan totokan dan pukulan maut yang amat hebat, yang kalau ditangkis menimbulkan getaran yang bahkan terasa pula oleh Ci Sian yang berdiri di pinggir.
Setelah lewat dua ratus jurus, Ci Sian memandang dengan alis berkerut. Sebagai seorang ahli, maklumlah dara ini bahwa perkelahian sehebat ini kalau dilanjutkan tentu hanya berakibat robohnya seorang di antara mereka, mungkin roboh untuk tidak dapat bangkit kembali atau tewas. Setiap serangan yang dilakukan mereka adalah serangan maut yang amat hebat, yang kalau mengenai lawan sudah pasti akan merenggut nyawa lawan!
Memang benarlah apa yang dipikirkan oleh Ci Sian ini. Setelah lewat dua ratus jurus Kam Hong yang lebih matang dalam hal latihan, dan juga memang lebih sempurna menguasai ilmunya, dapat melihat kelemahan-kelemahan yang walau pun sedikit dalam gerakan Hong Bu, namun cukuplah untuk dimasukinya dengan serangan kilat yang akan membuat lawan roboh. Akan tetapi pendekar ini tidak tega merobohkan Hong Bu dengan serangan maut. Dia sama sekali tidak ingin melukainya dengan berat.
Timbul keraguan dalam hatinya. Apa gunanya kalau dia menang? Sebaliknya, andai kata dia mengalah sekali pun, hal itu pasti akan diketahui oleh Sim Hong Bu dan juga oleh Bu Ci Sian dan tidak akan ada manfaatnya lagi, bahkan mungkin Hong Bu akan merasa tersinggung kalau dia sengaja mengalah. Maka, sebaiknya kalau dia memberi isyarat kepada pemuda itu bahwa dia tidak ingin bermusuhan dan bahwa dia bersedia menghentikan pertandingan itu dan bersedia pula mengalah.
Oleh karena itu, ketika dia kembali melihat lowongan yang merupakan kekosongan atau kelemahan dari lawan, secepat kilat sulingnya meluncur ke arah kiri dada Hong Bu dan sebelum pemuda ini dapat menghindarkan diri karena memang posisinya telah terdesak dan terkurung, tahu-tahu ujung suling sudah mengenai dada kirinya.
“Dukkk!”
Sim Hong Bu terkejut bukan main karena biar pun ujung suling itu dengan tepat sekali mengenai dada, namun tidak terasa apa-apa dan totokan tadi sama sekali tidak mengandung kekuatan sinkang sehingga ketika mengenai kulit dadanya lalu membalik! Dari heran, Hong Bu menjadi merah mukanya karena dia pun maklum bahwa lawannya sengaja tidak mengisi tenaga pada totokan tadi, dan hal ini hanya dapat diartikan bahwa lawan memang tidak menghendaki berkelahi dengannya. Padahal, dia pun mengerti benar bahwa kalau tadi Kam Hong mengisi totokannya dengan tenaga sinkang, dia tentu sudah roboh, kalau tidak mati seketika, sedikitnya tentu terluka parah atau roboh tertotok dan kalah.
Jelaslah bahwa pendekar yang dikagumi dan dihormatinya itu memang sengaja tidak mau mengalahkannya, hal ini benar-benar membuat dia merasa berterima kasih tetapi juga membuka matanya bahwa dia kalah jauh dalam hal pengalaman dibandingkan dengan pendekar sakti ini. Maka, kalau dia melanjutkan pertandingan itu, sama saja dengan mengaku bahwa dia tidak tahu diri….
“Trang....!” Pedang bertemu dengan suling dan pedang itu terlepas dari tangan Hong Bu.
Pemuda ini melangkah mundur dan menjura. “Kam-taihiap, saya Sim Hong Bu yang mewakili keluarga Cu mengaku bahwa di tanganku, Koai-liong Kiam-sut telah kalah melawan Kim-siauw Kiam-sut!” Lalu dia menjura lagi dan mengambil pedangnya dari atas tanah.
“Saudara Sim Hong Bu, engkau terlalu merendah. Koai-liong Kiam-sut hebat bukan main dan kalau toh aku dapat mengunggulimu sedikit, hal itu bukan karena ilmunya, melainkan karena engkau kalah matang dalam latihan dan pengalaman. Ilmu pedangmu hebat bukan main!”
“Apa ini? Saling mengalah dan saling merendah! Sim Hong Bu, kakak seperguruanku memang lemah. Biarlah aku yang mewakili Kim-siauw Kiam-sut, ingin kucoba sampai di mana hebatnya Koai-liong Kiam-sut, dan antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan dan mengalah segala macam!”
Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang dengan suling emasnya, serangan maut yang hebat sekali sehingga terpaksa Hong Bu menangkis.
“Cringggg....!” Bunga api berpijar saking kerasnya pertemuan senjata itu.
“Sumoi, jangan....!” teriak Kam Hong.
“Ci Sian, aku sudah mengaku kalah,” kata Hong Bu, suaranya mengandung kegetiran hati. Dia telah patah hati dan dia tadi menghendaki tewas di tangan pendekar sakti Kam Hong, siapa kira pendekar itu mengalah dan dia kalah tanpa terluka sedikit pun. Hal ini membuatnya merasa perih sekali karena dibiarkan hidup menderita patah hati!
“Tidak, tadi Suheng telah banyak mengalah dan engkau sendiri sengaja membiarkan pedangmu lepas. Kau kira siapa aku ini? Anak kecil yang mudah saja dibodohi? Hayo, lawan aku, kalau engkau tidak berani dan kalau engkau takut, selanjutnya engkau harus mengaku sebagai seorang pengecut!”
“Ci Sian....!” Hong Bu berseru, jantungnya seperti ditusuk rasanya.
“Sumoi, engkau terlalu....!”
“Engkau berpihak kepadanya, Suheng? Boleh, kalian berdua keroyoklah aku!” Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang lagi kepada Hong Bu.
Hong Bu terpaksa harus menggerakkan pedang dan melindungi dirinya kalau tidak mau mati konyol. Hatinya berduka bukan main. Tentu saja pantang baginya untuk hidup sebagai pengecut! Maka terpaksa dia pun menangkis dan balas menyerang sehingga seaat kemudian mereka berdua telah bertanding dengan seru dan hebat.
Kam Hong berdiri bingung sekali, tidak mengerti mengapa sumoi-nya demikian marah dan membenci Hong Bu.
Pada saat itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In! Mereka bertiga itu akhirnya dapat menemukan jejak Sim Hong Bu dan tiba di tempat itu pada saat Hong Bu sedang bertanding dengan hebatnya melawan Ci Sian.
Melihat ini Cu Pek In sudah hendak meloncat untuk membantu suheng-nya, akan tetapi Cu Kang Bu memegang lengannya. Pendekar ini melihat betapa Kam Hong berdiri di situ sejak mereka datang dan sama sekali tidak membantu Ci Sian. Oleh karena itu, kalau sekarang dia serombongan datang-datang lalu membantu Sim Hong Bu, sungguh hal ini merupakan suatu kecurangan yang membikin malu. Inilah sebabnya maka dia mencegah keponakannya untuk membantu Hong Bu.
Dan pendekar tinggi besar ini sudah memandang penuh dengan kekaguman karena pertandingan antara mereka itu sungguh hebat luar biasa. Baru sekaranglah dia dapat mengagumi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang diwarisi oleh Hong Bu, akan tetapi dia juga berkesempatan menyaksikan kehebatan suling emas di tangan dara itu. Hebat sekali! Kedua ilmu itu sungguh-sungguh merupakan ilmu yang jarang dapat ditemukan tandingannya di dunia ini.
Akan tetapi hanya Kam Hong seorang yang sudah dapat mengenal kedua ilmu itu dan dapat mengikuti pertandingan itu dengan amat jelas yang melihat kenyataan betapa Sim Hong Bu kini selalu mengalah terhadap Ci Sian! Jika tadi dia sendiri mengalah terhadap Sim Hong Bu, mengalah sedikit saja, sekarang Hong Bu mengalah secara keterlaluan! Pemuda itu tidak pernah melakukan serangan yang sungguh-sungguh, sebaliknya, Ci Sian malah telah melakukan serangan dengan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.
Sementara itu, pada saat Hong Bu melihat datangnya susiok-nya dan dua orang wanita yang tidak dilihatnya jelas karena dia didesak hebat oleh lawan, hatinya terguncang dan kedukaannya memuncak, maka ketika itu gerakannya menangkis kurang tepat dan kurang kuat.
“Tukkk!”
Ujung suling itu mengenai lehernya, dan biar pun dia sudah miringkan kepalanya, masih saja ujung suling itu mengenai pangkal lehernya. Serangan ini hebat sekali dan Hong Bu terjungkal dan terbanting, tak mampu bergerak lagi!
“Suheng....!” Cu Pek In menjerit dan menubruk tubuh itu.
Sedangkan Kam Hong sudah menarik tangan Ci Sian yang juga terbelalak memandang ke arah Hong Bu. Wajahnya agak pucat karena ia tidak bermaksud membunuh Hong Bu dan kini melihat pemuda itu terjungkal, hatinya merasa ngeri karena ia khawatir kalau-kalau ia telah kelepasan tangan membunuh orang yang sebenarnya amat disukainya itu!
Pek In sudah menangis sambil memeluk tubuh Hong Bu yang tidak bergerak seperti mayat itu. Mata pemuda itu mendelik dan mukanya pucat, napasnya berhenti! Cu Kang Bu cepat memeriksa dan mengurut beberapa jalan darah di dada, punggung dan leher, maka nampaklah Hong Bu mengeluh lirih dan napasnya pun berjalan kembali.
“Dia akan sembuh....,” kata Cu Kang Bu dan melihat ini, Kam Hong dan Ci Sian merasa lega bukan main.
“Maafkan kami!” kata Kam Hong sambil menjura ke arah Cu Kang Bu, kemudian dia memegang tangan sumoi-nya dan menariknya pergi meninggalkan tempat itu.
Kam Hong maklum bahwa jika dibiarkan sumoi-nya berada di situ lebih lama lagi, bukan tak mungkin timbul kesalah pahaman baru dengan keluarga Cu. Dia tidak menghendaki hal ini, apa lagi di situ terdapat pula Yu Hwi, bekas tunangannya dan hal ini pun membuat dia merasa tidak enak sekali. Dan agaknya Cu Kang Bu juga tidak ingin mencari urusan. Dia sudah melihat betapa jago dari keluarga Cu telah kalah dan dia tahu bahwa melawan Pendekar Suling Emas dan sumoi-nya yang amat lihai itu dia dan isterinya tidak akan menang.
Cu Pek In sudah memondong tubuh Hong Bu. “Mari kita mencari tempat yang baik untuk merawatnya,” kata gadis itu kepada pamannya.
“Baik, akan tetapi biarkan aku memondongnya, Pek In,” kata pamannya.
“Biarlah, Paman, biarlah aku memondongnya,” Pek In berkata dan mendekap tubuh pemuda itu seperti orang memondong anak kecil saja. Bagi seorang gadis seperti Pek In yang memiliki kepandaian cukup tinggi, memondong tubuh seorang dewasa bukan hal yang sukar.
Akhirnya mereka menemukan sebuah pondok kecil terpencil di luar dusun. Mereka menyewa pondok ini dari kakek petani yang memilikinya dan Pek In lalu merebahkan Hong Bu di atas dipan bambu sederhana yang berada di dalam kamar. Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera memeriksa kembali keadaan pemuda itu. Mereka adalah suami isteri yang berilmu tinggi, bahkan Yu Hwi mengerti pula tentang ilmu pengobatan.
Totokan suling tadi memang hebat, akan tetapi untung meleset dari urat penting yang dapat membawa maut. Totokan itu menggetarkan jantung, akan tetapi karena tubuh Hong Bu memang amat kuat, maka tidak sampai membahayakan dirinya, walau pun membuatnya roboh pingsan dan sekitar pundak dan pangkal leher menjadi kebiruan karena ada otot yang pecah.
Cu Kang Bu dan isterinya lalu mencari obat ke Lok-yang, sedangkan Pek In menjaga pemuda itu dengan penuh perhatian. Pek In yang terus menjaga dan meminumkan obat sedikit demi sedikit, menjaga siang dan malam dan merawatnya penuh kasih sayang sehingga melihat ini, Cu Kang Bu dan Yu Hwi merasa terharu bukan main. Baru pada keesokan harinya, pernapasan Hong Bu berjalan seperti biasa dan mukanya yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan kembali.
Hari telah larut ketika Hong Bu mengeluh lirih. Pek In cepat mendekatinya, duduk di tepi dipan dan meraba dahi pemuda itu, lalu mempergunakan sapu tangan untuk mengusap keringat yang membasahi dahi dan leher. Pemuda itu telah berkeringat dan menurut paman dan bibinya, kalau pemuda itu sudah mengeluarkan keringat berarti akan segera sembuh. Bukan main girang hati Pek In dan ia menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kemesraan.
Kedua mata itu terbuka perlahan, lalu berkedip-kedip karena agak silau oleh sinar matahari yang memasuki kamar lewat jendela. Kemudian, setelah mata itu agak terbiasa, Hong Bu memandang kepada Pek In, lalu berkata lirih, “Siapa Nona....?”
Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek In tertawa geli, akan tetapi ia segera teringat bahwa semenjak menjadi suheng-nya, barulah sekali ini Hong Bu melihat ia berpakaian sebagai seorang wanita dengan rambut digelung ke atas.
Pek In tersenyum manis. “Coba kau terka, siapa aku ini?” Suaranya terdengar merdu sekali karena hatinya riang melihat pemuda itu telah siuman dan tampak sehat.
“Seperti.... seperti tak asing bagiku....” Hong Bu mengerutkan alisnya. Memang gadis ini telah dikenalnya! Akan tetapi dalam detik-detik pertama dia lupa lagi siapa ia. Akan tetapi dia segera menepuk dahinya.
“Sumoi....! Ahhh, benar, engkau Sumoi Cu Pek In....!”
Pek In tertawa dan menutupi mulutnya. “Aku sudah khawatir kalau engkau tidak akan mengenalku,” katanya tertawa.
Hong Bu juga tertawa. “Siapa dapat mengenalmu? Engkau telah menjadi seorang gadis yang.... manis sekali!”
Cu Pek In cemberut. “Apa kau kira biasanya aku bukan seorang gadis?”
Hong Bu baru sadar bahwa ia telah kesalahan bicara. “Maaf, bukan begitu maksudku.... eh, maksudku....” memang baru sekarang inilah dia menyadari bahwa sumoi-nya adalah seorang gadis, seorang gadis yang cantik manis. Mungkin biasanya dia hampir tidak memperhatikan Pek In karena gadis itu baginya seperti adik seperguruan biasa saja, hampir seorang saudara atau kawan baik laki-laki karena gadis itu selalu berpakaian pria.
“Maksudmu bagaimana?” Pek In menggodanya.
“Maksudku.... ehhh, di mana aku ini? Apa yang telah terjadi? Ahhh....”
Dan Hong Bu bangkit duduk dengan wajah muram. Teringatlah dia akan semua itu, akan pertandingannya melawan Ci Sian dan betapa karena mengalah maka ia terkena totokan suling emas.
“Sekarang engkau sudah ingat, Suheng?” tanya Pek In halus, suaranya mengandung kekhawatiran.
Pemuda itu mengangguk dan menatap wajah sumoi-nya. “Kiranya aku belum mati....”
“Engkau nyaris tewas, Suheng. Kata Paman, kalau sedikit saja ke atas, mengenai urat penting, engkau takkan tertolong lagi. Menurut Paman dan Bibi, agaknya gadis itu memang sengaja tidak membunuhmu....”
“Hemm...., mana Susiok Cu Kang Bu?”
“Dia dan Bibi sedang berada di luar tadi....”
Akan tetapi pada saat itu, Cu Kang Bu dan Yu Hwi memasuki kamar dan mereka berdua merasa girang melihat betapa Hong Bu telah siuman dan nampak sehat kembali. Hong Bu cepat memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara penuh penyesalan,
“Susiok, harap maafkan bahwa teecu tidak berhasil memenuhi pesan Suhu sehingga teecu kalah ketika melawan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.”
Cu Kang Bu menarik napas panjang. “Aku sudah menyaksikan pertandingan itu dan aku tidak menyalahkanmu, Hong Bu. Memang hebat sekali Ilmu Suling Emas itu, tiada keduanya di dunia ini. Bagaimana pun juga, kita harus bijaksana dan dapat melihat kelemahan sendiri. Aku tidak setuju dengan pendapat kakakku yang berkeras hendak membalas kekalahan. Biar pun kedua ilmu itu bersumber dari keluarga kita, akan tetapi jelaslah bahwa Ilmu Suling Emas ini jauh lebih tua dan tidak mengherankan kalau lebih kuat dari pada Koai-liong Kiam-sut yang tercipta ratusan tahun kemudian. Sudahlah, Hong Bu, tidak perlu hal itu dibuat menjadi beban batin dan rasa penasaran. Bagaimana pun juga, harus kita akui bahwa mereka berdua itu adalah pendekar-pendekar yang hebat.”
Atas bujukan Cu Kang Bu, akhirnya Sim Hong Bu mau untuk ikut kembali ke lembah. Bahkan Cu Kang Bu yang berwatak jujur itu menambahkan pula secara blak-blakan, di depan Pek In.
“Engkau tentu masih ingat akan pesan Twako bahwa dia menghendaki agar engkau dan Pek In berjodoh, Hong Bu. Kurasa hal itu sangat baik, dan kalau memang engkau menyetujui, marilah kita segera langsungkan saja pernikahan itu di sana. Usia Pek In sudah cukup untuk segera membentuk rumah tangga denganmu.”
Mendengar ucapan itu otomatis Hong Bu menoleh dan memandang kepada Pek In. Sejenak mereka saling pandang, akan tetapi Pek In lalu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Dan Hong Bu mempunyai perasaan yang aneh. Mengapa baru sekarang dia seolah-olah baru melihat Pek In? Seorang gadis yang amat manis, dan dia mendengar betapa gadis ini merawatnya sehari semalam tanpa pernah beranjak dari sampingnya, tidak makan tidak tidur.
Dia tahu benar betapa besar rasa cinta kasih sumoi-nya ini terhadap dirinya dan dia selama ini tidak memperhatikan karena keadaan Pek In yang selalu berpakaian seperti pria itu seolah-olah memiliki daya tolak yang besar. Akan tetapi sekarang lain sekali keadaannya. Gadis itu ternyata memiliki daya tarik yang cukup kuat dan terus terang saja, dia suka melihat wajah yang manis itu, bentuk tubuh yang padat, indah dan menggairahkan sebagai wanita itu. Dan dia pun kini sudah tidak mempunyai harapan lagi terhadap diri Ci Sian. Mengapa tidak? Kalau dia menolak, apa pula alasannya? Dan penolakannya tentu akan membuat Pek In merasa sengsara, di samping membuat hubungannya dengan keluarga Cu menjadi hambar.
“Baiklah, Susiok. Akan tetapi usul Susiok itu mengingatkan kepada teecu bahwa untuk memperoleh doa restu dari arwah ayah teecu, selagi teecu berada di Propinsi Ho-nan ini, sebaiknya kalau teecu mengunjungi makam ayah dan bersembahyang di sana.”
“Tentu saja, itu baik sekali! Di manakah makam ayahmu?”
“Di dekat kota Sin-yang, di selatan Sungai Huai.”
“Baik, kalau begitu mari kita pergi beramai ke sana, aku pun ingin memberi hormat kepada makam ayahmu,” kata Cu Kang Bu yang tidak ingin kehilangan lagi murid keponakannya itu kalau mereka harus berpisah lagi.
Maka berangkatlah mereka meninggalkan dusun itu menuju ke selatan. Tubuh Hong Bu yang kuat itu membuat dia sembuh kembali dalam waktu singkat dan beberapa hari kemudian dia sudah pulih kembali seperti biasa…..
********************
“Ci Sian, sungguh aku menyesal sekali mengapa engkau sampai melukai Hong Bu seperti itu, nyaris saja dia tewas di tanganmu,” kata Kam Hong ketika mereka berjalan meninggalkan lembah itu.
Ci Sian merasa ngeri mendengar ini dan ia pun bersungut-sungut, “Habis hatiku mengkal sekali sih!”
“Kenapa? Bukankah dia hanya memenuhi tugas yang diperintahkan gurunya untuk mengadu ilmu denganku? Dan bukankah dia sudah mengaku kalah? Kenapa engkau mendesaknya sehingga melukainya, Ci Sian? Padahal, engkau sendiri tentu sudah tahu benar betapa selama dalam perkelahian melawanmu itu dia terus mengalah. Ahhh, kenapa engkau begitu kejam kepadanya, Ci Sian? Engkau pasti tahu bahwa dia amat mencintamu....”
“Suheng!” Ci Sian berkata dengan suara membentak sehingga mengejutkan hati Kam Hong. “Justru itulah yang membikin hatiku jengkel!”
Kam Hong memandang dengan terheran-heran. “Apa katamu? Kau jengkel karena dia mencintamu?”
“Bukan!”
“Habis apa? Apakah engkau jengkel karena dia mentaati perintah gurunya dan lalu menantangku?”
“Juga tidak!”
“Habis, apa yang membuatmu jengkel?”
“Karena dia berani melamarku!”
“Ah, lebih aneh lagi itu. Dia melamarmu adalah sudah wajar, karena dia mencintamu, dan kulihat dia memang seorang pemuda pilihan yang hebat. Aku pun masih merasa heran serta penasaran mengapa engkau tidak menerima pinangannya dan malah marah-marah, padahal pinangan itu wajar saja?”
Tiba-tiba Ci Sian memandang kepada suheng-nya dengan sinar mata muram. “Suheng, mengapa engkau begitu membenciku?”
“Ehhh?” Kam Hong memandang bengong dan terheran.
“Engkau sedemikian membenciku sehingga engkau ingin agar aku meninggalkanmu. Begitukah? Engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan Hong Bu. Itulah yang membuatku jengkel!”
Kam Hong memandang dengan jantung berdebar. Tak salah lagi, Ci Sian mencintanya! Dia berusaha untuk menyangkal kenyataan ini, untuk membantah hatinya sendiri, untuk mendorong sumoi-nya agar berjodoh dengan pemuda yang lebih patut menjadi sisihan Ci Sian, yang sama mudanya. Akan tetapi ternyata itu malah mendatangkan kemarahan di dalam hati Ci Sian!
“Kalau begitu maafkanlah aku, Sumoi. Maksudku baik....”
“Sudahlah, Suheng, harap jangan bicarakan itu lagi. Aku pun menyesal sekali telah merobohkan Hong Bu. Sebenarnya aku suka kepadanya. Masih untung bahwa dia tidak tewas olehku tadi. Aku menyesal.”
Kam Hong percaya. Dari suaranya saja jelas terbukti bahwa sumoi-nya benar-benar menyesal dan sebetulnya sumoi-nya sama sekali tidak membenci Hong Bu. Hanya karena Hong Bu sudah meminangnya, dan karena dia sendiri seperti menyetujui dan mendorong, maka hal itu mendatangkan kemarahan di hati sumoi-nya.
“Baiklah, Sumoi. Apakah kita jadi membeli perahu?”
“Tidak, sudah hilang seleraku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kita berpesiar saja di Pegunungan Fu-niu-san ini, aku mendengar bahwa pemandangan di situ amat indahnya.”
“Benar, Sumoi. Dan bambu-bambu dari Fu-niu-san amat terkenal. Banyak terdapat bambu-bambu yang indah dan aneh-aneh bentuknya di pegunungan ini.”
Mereka pun lalu melakukan perjalanan seenaknya di pegunungan itu, dan kalau malam mereka bermalam di hutan-hutan. Mereka tidak kekurangan makanan karena terdapat dusun-dusun berpencaran di pegunungan itu di mana mereka dapat membeli buah-buah dan juga daging yang mereka masak di rumah para penduduk dusun.
Pada suatu pagi, ketika mereka keluar dari sebuah dusun di lereng timur setelah malam tadi mereka bermalam di dusun itu, tiba-tiba Ci Sian menuding ke depan. “Suheng, bukankah itu ada orang datang?”
Kam Hong juga sudah melihatnya. Pagi itu kabut tebal memenuhi lereng sehingga yang nampak hanya bayangan berlari dari depan, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak, tergantung tebal tipisnya kabut yang lewat dengan cepat seolah-olah kabut-kabut itu ketakutan oleh munculnya sinar matahari di balik puncak.
Akhirnya bayangan itu tiba di depan mereka dan terkejut ketika saling mengenal. Yang datang itu bukan lain adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong! Kalau Kam Hong dan sumoi-nya terkejut, sebaliknya Cin Liong tersenyum gembira sekali melihat mereka. Cepat jenderal yang berpakaian preman itu menjura dengan hormat sambil berseru, “Ahhh, akhirnya saya dapat juga bertemu dengan Ji-wi setelah dengan susah payah mencari jejak Ji-wi! Akan tetapi, tidak saya sangka akan bertemu dalam kabut ini sehingga agak mengejutkan juga.”
“Kiranya Kao-goanswe yang datang!” kata Kam Hong dan tersenyum kagum.
Pemuda ini adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Hati siapa takkan kagum memandangnya? Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang jarang ditemukan tandingannya, dan semuda itu telah menjadi seorang panglima, seorang jenderal!
“Ah, selamat datang, Kao-goanswe, dan ada kepentingan besar apakah maka engkau bersusah payah mencari kami?”
“Harap Kam-taihiap jangan menyebut saya goanswe, biar pun saya seorang jenderal akan tetapi pada saat ini saya tidak bertugas dan lihat saja pakaianku adalah orang biasa, bukan? Dan keperluanku adalah keperluan pribadi, bukan sebagai seorang berpangkat.”
Kam Hong tersenyum. “Baiklah, Saudara Kao Cin Liong. Nah, keperluan apakah yang kau bawa?”
Cin Liong memandang kepada Ci Sian dan tersenyum. Gadis itu juga tersenyum karena sudah lama ia mengenal Cin Liong. “Bagaimana kabarnya, Nona Bu? Kuharap engkau sehat-sehat saja.”
“Terima kasih, aku baik-baik saja, Saudara Cin Liong. Ada keperluan apakah engkau datang mencari kami?”
Mereka saling berpandangan dan teringatlah mereka akan pengalaman mereka berdua ketika bersama-sama beraksi di dalam benteng pasukan Nepal yang dipimpin oleh Nandini, ibu Siok Lan. Kalau mengenangkan masa lalu, di dalam hati keduanya ada suatu kehangatan karena pada saat itu mereka berjuang sehidup semati menghadapi lawan-lawan tangguh.
Betapa pun juga, kini, menghadapi pengakuan cintanya, dan peminangannya, Cin Liong si jenderal yang tidak gentar menghadapi ribuan orang pasukan musuh itu tiba-tiba merasa badannya panas dingin dan jantung berdebar tegang! Sampai lama dia tidak mampu menjawab, hanya memandang kepada Ci Sian dengan bingung.
Kam Hong yang bepandangan tajam itu agaknya dapat menduga bahwa jenderal muda itu ingin menyampaikan sesuatu kepada Ci Sian, maka dia pun lalu berkata dengan suara halus, “Kalau engkau hendak bicara berdua dengan Sumoi, silakan, Saudara Cin Liong, aku akan menyingkir lebih dulu....”
“Ahhh, tidak.... saya.... saya hendak bicara denganmu, Kam-taihiap!” kata Cin Liong dengan gugup.
“Kalau begitu, biarlah aku saja yang menyingkir!” kata Ci Sian dan sebelum ada yang menjawab, ia sudah pergi dari tempat itu, agak menjauh dan melihat-lihat pemandangan alam yang indah.
“Nah, sekarang bicaralah Saudara Kao Cin Liong,” kata Kam Hong sambil tersenyum untuk memberanikan hati pemuda itu.
“Kam-taihiap, terus terang saja.... kedatangan saya mencari Taihiap berdua adalah untuk melamar Nona Bu Ci Sian!”
Hampir saja Kam Hong tertawa mendengar ini. Memang tadi, melihat sikap Cin Liong, dia sudah setengah menduga bahwa jangan-jangan pemuda ini hendak menyatakan cintanya kepada Ci Sian, maka tadi dia mengusulkan untuk menyingkir kalau pemuda itu hendak bicara berdua dengan sumoi-nya. Akan tetapi dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dan ternyata memang benar! Bahkan jenderal muda ini mengajukan lamaran. Hampir sukar untuk dapat dipercaya bagaimana bisa begini kebetulan! Dalam waktu beberapa hari saja, Ci Sian sudah dilamar oleh dua orang pemuda! Sumoi-nya itu sungguh ‘laris’, dihujani lamaran dan yang melamarnya adalah pemuda-pemuda pilihan.
Cin Liong ini dalam segala-galanya bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Hong Bu, maka timbullah harapan di dalam hatinya. Siapa tahu kalau-kalau sumoi-nya akan suka menjadi jodoh pemuda ini. Dia sendiri akan ikut merasa bangga!
Menjadi mantu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Dan pemuda ini pun jujur, seperti Hong Bu. Hanya bedanya, karena pemuda ini terdidik di kota raja, dan hidup sebagai seorang berkedudukan tinggi, tentu saja pemuda ini masih terikat oleh kesusilaan sehingga merasa malu dan sungkan menyatakan isi hatinya. Berbeda dengan Hong Bu yang sejak kecil hidup setengah liar, maka kejujurannya lebih terbuka tanpa halangan sesuatu lagi.
“Ahh, Saudara Kao! Bagaimana ini? Aku hanyalah suheng dari Sumoi Bu Ci Sian, bagai mana engkau melamarnya kepadaku? Bukankah seharusnya kepada ayahnya....?”
“Tentu saja saya tidak berani melampaui Bu-locianpwe, Taihiap. Sebelum saya mencari Taihiap berdua, saya bersama orang tua saya pernah datang mengajukan lamaran kepada Bu-locianpwe dan beliau sendiri yang menganjurkan agar saya mencari Ji-wi dan langsung saja meminang kepada Nona Bu atau kepada Kam-taihiap sebagai walinya.”
“Hemm...., Bu-locianpwe sungguh menaruh kepercayaan besar kepadaku. Saudara Kao Cin Liong, kalau tidak salah, menurut penuturan Sumoi, kalian berdua telah lama sekali saling berkenalan, bahkan telah menjadi sahabat baik dan pernah berjuang bahu-membahu, bukan? Aku yakin bahwa yang mendorongmu mengajukan pinangan ini tentu berdasarkan hatimu yang mencinta, bukan?”
Wajah Cin Liong menjadi agak merah, akan tetapi dengan tenang dia menatap wajah pendekar itu dan menjawab, “Benar demikian, Taihiap.”
“Dan engkau tentu tahu bahwa aku atau siapa pun juga tidak akan dapat memaksa Sumoi, dan hal itu tergantung sepenuhnya kepadanya. Akan tetapi, aku tidak tahu bagai mana dengan isi hatinya. Apakah ia mencintamu, Saudara Kao? Maafkan pertanyaanku ini.”
Cin Liong menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dengan pasti....,” katanya lirih seperti kepada dirinya sendiri, kemudian dia memandang kembali kepada pendekar itu. “Terus terang saja, kami tidak pernah bicara tentang cinta, Taihiap, akan tetapi kalau saya melihat sinar matanya, saya kira.... yah, mudah-mudahan ia pun mencinta saya seperti saya mencintanya selama ini.”
“Hemm.... kalau begitu, kiranya sebaiknya kalau engkau mengatakannya kepadanya sendiri, karena keputusannya terserah kepadanya.”
Kembali Cin Liong nampak gugup. “Ahhh, sukar sekali saya dapat bicara kalau di depannya, Taihiap. Ia seorang berwatak keras, saya sudah mengenalnya baik-baik, dan sikap keras itu justru merupakan satu di antara sifatnya yang menarikku. Saya.... saya mohon bantuan, Taihiap, sukalah menjadi perantara membuka percakapan tentang itu. Kalau sudah dimulai, agaknya saya akan berani mengemukakan kepadanya.”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Sungguh tugas yang berat. Dia sendiri, walau pun dilawannya sendiri dengan melihat kenyataan bahwa dia tidak pantas menjadi jodoh sumoi-nya, dia telah jatuh cinta kepada dara itu. Dan kini dia diminta tolong untuk menjadi perantara perjodohan dara itu dengan orang lain! Akan tetapi, bukankah ini yang dia kehendaki? Bukankah dia akan merasa girang kalau Ci Sian menjadi jodoh Cin Liong, bahkan lebih baik malah dari pada menjadi jodoh Hong Bu?
Ci Sian mungkin akan marah kepadanya. Akan tetapi biarlah. Ia harus dapat mengambil keputusan yang tepat dan melihat kenyataannya bagaimana. Dia masih tidak dapat menerima kenyataan bahwa sumoi-nya hanya mencinta dia seorang. Agaknya tidak mungkin, kalau di samping dia masih terdapat pemuda-pemuda seperti Hong Bu dan Cin Liong yang mencintanya, bahkan mengajukan pinangan kepadanya!
“Sumoi....!” dia memanggil, suaranya terdengar agak gemetar.
Gadis itu menoleh. Melihat suheng-nya menggapai, ia kemudian menghampiri setengah berlari. Nampak masih kekanak-kanakan ketika ia berlari-lari itu, akan tetapi juga manis sekali. Ci Sian tersenyum memandang kepada Cin Liong.
“Nah, sudah selesaikah urusan besar yang teramat penting itu?”
“Belum, Sumoi, bahkan baru dimulai.”
“Ehhh, kalau begitu mengapa memanggil aku?”
“Karena urusan ini memang mengenai dirimu. Duduklah, Sumoi, dan dengarlah baik-baik,” kata Kam Hong.
Ci Sian mengerutkan alisnya, sejenak memandang kepada Cin Liong dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi ia duduk juga di atas batu besar yang banyak terdapat di situ.
“Ada apa sih, begini penuh rahasia?”
“Begini, Sumoi. Saudara Kao Cin Liong ini pernah pergi berkunjung kepada Ayahmu di Cin-an bersama ayah bundanya, lalu sekarang ia mencari kita. Ada pun keperluannya adalah untuk meminangmu, Sumoi, engkau dilamar untuk menjadi isteri Saudara Kao Cin Liong....”
“Suheng! Lagi....? Engkau.... engkau....,” dan Ci Sian lalu menangis!
Tentu saja Cin Liong terkejut bukan main sedangkan Kam Hong hanya termenung saja, maklum bahwa kembali dia telah menyakiti hati sumoi-nya.
“Nona Bu Ci Sian, maafkanlah aku....” kata Cin Liong. “Sungguh mati, aku meminangmu dengan hormat, sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaanmu....”
“Kau tahu apa tentang menyinggung hati? Kalian laki-laki sungguh memandang rendah kaum wanita! Kenapa laki-laki tidak mau tahu tentang perasaan hati wanita? Kenapa tanpa meneliti perasaan wanita, mudah saja datang melamar seolah-olah wanita itu barang dagangan yang boleh saja ditawar orang seenak perutnya? Kam-suheng, kalau memang engkau begitu benci kepadaku, bilang saja terus terang dan aku pasti akan pergi dari sampingmu, meski apa jadinya denganku! Tidak perlu engkau mendorongku untuk menjadi isteri orang lain! Tak kusangka kau.... sekejam ini....”
“Sumoi, sama sekali tidak begitu....”
“Nona Bu, sekali lagi maafkanlah aku....”
Tapi Ci Sian sudah mencabut sulingnya dan menghadapi Cin Liong sambil menantang. “Jenderal Kao Cin Liong! Engkau telah meminangku melalui ayah kandungku, juga engkau telah meminangku kepada Kam-suheng yang agaknya tidak peduli kepadaku dan ingin melihat aku menjadi isteri siapa pun juga dan mau memberikan aku kepada pria pertama yang mau datang meminangku. Sekarang engkau dengarlah syaratku. Aku mau menjadi isterimu asal engkau dapat mengalahkan aku dan dapat menewaskan aku di sini. Majulah!”
Wajah Cin Liong menjadi pucat seketika dan dia merasa jantungnya seperti ditusuk. Dia telah salah sangka! Dara ini tidak mencintanya, melainkan mencinta Kam Hong! Akan tetapi agaknya Kam Hong tidak tahu akan hal ini, maka pendekar itu seperti mendorong sumoi-nya untuk menerima pinangan orang lain. Tapi dia sendiri dapat melihat dengan jelas dan tahulah dia mengapa Ci Sian marah-marah, yaitu karena sikap Kam Hong itulah. Dia menarik napas panjang dan menundukkan mukanya.
“Sumoi, harap engkau jangan bersikap begini!” Kam Hong menegur. Dia jadi terkejut sekali mendengar tantangan Ci Sian terhadap Cin Liong.
Akan tetapi tegurannya ini bagaikan minyak yang menyiram api, membuat kedukaan dan kemarahan dalam hati Ci Sian menjadi semakin berkobar. Dengan kedua mata yang agak kemerahan oleh karena menangis tadi, ia menoleh dan memandang wajah suheng-nya.
“Suheng, dari pada engkau mendorong-dorongku untuk menjadi isterinya, lebih baik engkau membelanya sekalian dan biarlah aku mati di tangan kalian. Majulah dan keroyoklah aku!”
“Sumoi....!”
Cin Liong sudah maju mendekati Ci Sian dan menjura, mukanya masih pucat akan tetapi dengan gagahnya pemuda ini menekan perasaan nyeri dan mencoba untuk tersenyum.
“Nona Bu Ci Sian, ternyata aku telah buta. Telah begitu lama aku mengenalmu, akan tetapi ternyata aku salah menafsirkan sikapmu kepadaku. Engkau baik kepadaku bukan karena cinta, dan cintaku bertepuk tangan sebelah. Aku tahu bahwa engkau telah mencinta orang lain, Nona, dan memang orang itu patut menerima cinta kasihmu karena dia adalah seorang yang hebat, cintanya kepadamu tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanmu. Kam-taihiap, Nona Bu, selamat tinggal, maafkanlah aku sebanyaknya dan semoga kalian berdua berbahagia.” Tanpa menanti jawaban, Cin Liong lalu meloncat pergi dari situ meninggalkan mereka berdua.
Keadaan menjadi sunyi sekali setelah Cin Liong pergi dan Ci Sian sudah menyimpan sulingnya dan membalikkan tubuhnya. Kini ia berhadapan dengan Kam Hong, saling berpandangan sampai beberapa lama dan akhirnya Kam Hong menarik napas panjang dan berkata,
“Sumoi, sungguh kasihan sekali pemuda itu. Dia tidak boleh sekali-kali dipersalahkan karena dia jatuh cinta kepadamu dan meminangmu, ahhh, dapat kubayangkan betapa hancur rasa hatinya....”
Akan tetapi ucapan ini sama sekali tidak dipedulikan oleh Ci Sian, bahkan seperti tidak didengarnya, matanya masih menatap wajah suheng-nya dan akhirnya ia pun berkata, “Suheng, benarkah apa yang dikatakan oleh Cin Liong tadi....?”
“Apa? Kata-kata yang mana maksudmu?”
“Tentang orang yang mencintaku tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanku. Benarkah itu, Suheng?” Di dalam suara ini terkandung nada permohonan dan pengharapan yang menggetar melalui suaranya.
Sejenak Kam Hong memandang tajam, mereka saling pandang dan akhirnya Kam Hong hanya menarik napas panjang lalu mengangguk.
“Kam-suheng....!” Ci Sian berseru dan menangis sambil menubruk suheng-nya yang lalu memeluknya.
Dara itu menangis di dada Kam Hong yang menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus itu. Air mata membasahi bajunya dan menembus membasahi kulit dadanya, bahkan terasa seolah-olah menembus kulit dan menyiram perasaan, menimbulkan kesejukan seperti bunga kekeringan menerima curahan air hujan.
“Suheng....!” akhirnya Ci Sian dapat meredakan tangisnya dan bertanya, suaranya lirih tanpa mengangkat mukanya dari dada pendekar itu, “Kalau benar engkau mencintaku seperti cintaku kepadamu.... ya, tak perlu aku mengaku, aku memujamu sejak dahulu, Suheng.... kalau benar engkau cinta padaku, kenapa sikapmu begitu? Kenapa engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan orang lain?”
Kam Hong mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu, dekapannya menjadi kuat untuk beberapa lama, kemudian mengendur lagi dan dia pun berkata, “Sumoi, sejak aku merasakan bahwa hubungan antara kita berubah.... semenjak aku melihat gejala bahwa engkau jatuh cinta kepadaku seperti cinta seorang wanita terhadap pria, dan aku pun dapat melihat kenyataan bahwa perasaan hatiku pun condong seperti itu, mencintamu bukan sebagai seorang suheng terhadap sumoi-nya melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita, maka aku menjadi khawatir sekali. Karena itulah maka aku dahulu sengaja meninggalkanmu bersama Sim Hong Bu....”
Pendekar itu berhenti bicara dan Ci Sian yang tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu bertanya, “Akan tetapi, mengapa, Suheng? Mengapa? Apa salahnya kalau kita saling mencinta sebagai wanita dan pria, bukan hanya sebagai suheng dan sumoi? Apa salahnya?”
“Ingatkah engkau akan ucapan Cin Liong tadi? Dia bermata tajam dan berotak cerdas, sekilas pandang saja dia telah dapat menyelami sampai mendalam. Aku mencinta padamu, Sumoi, dan cintaku bukan hanya untuk menyenangkan diriku sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia. Aku melihat kenyataan bahwa aku adalah seorang yang sudah berusia jauh lebih tua dari padamu. Selisih antara kita belasan tahun! Aku khawatir bahwa kelak engkau akan menyesal dan tidak berbahagia di sampingku. Aku melihat betapa engkau jauh lebih tepat menjadi sisihan pendekar-pendekar muda seperti Hong Bu atau Cin Liong. Karena itulah maka aku seperti mendorongmu, aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, Sumoi. Nah, sudah kukeluarkan semua isi hatiku....” Pendekar itu menarik napas panjang, kini hatinya terasa lapang setelah dia mengeluarkan semua itu.
Ci Sian melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur selangkah, kemudian memandang suheng-nya dengan sinar mata penasaran. “Suheng, kalau aku mencinta hanya karena melihat usia muda, wajah tampan, kedudukan, harta benda, kepandaian dan semacamnya lagi, berarti aku hanya mencinta semua keadaan dan sifat itu, bukan mencinta orangnya. Akan tetapi aku mencintamu karena dirimu, karena engkau adalah engkau, Suheng.... mengapa bicara tentang perbedaan usia segala? Kenapa engkau yang katanya mencintaku dan ingin melihat aku berbahagia, malah tega meninggalkan aku sendirian, membiarkan aku merana dan sengsara dan menderita rindu, kemudian malah tega hendak mendorongku menjadi isteri orang lain? Suheng ingin melihat aku berbahagia, atau ingin melihat aku sengsara? Kebahagiaan hanyalah apabila aku berada di sampingmu, Suheng!”
“Sumoi, kau maafkan aku....” Dengan penuh keharuan hati Kam Hong lalu merangkul dara itu.
Ci Sian mengangkat mukanya, berdekatan dengan muka suheng-nya dan seperti ada daya tarik sembrani yang kuat, entah siapa yang bergerak lebih dulu, tahu-tahu mereka telah berciuman dengan mesra.
Cinta asmara bukan sekedar terdorong oleh daya tarik masing-masing antara pria dan wanita, walau pun tentu saja dimulai oleh suatu daya tarik. Daya tarik itu bisa saja berupa wajah rupawan, kedudukan tinggi, harta benda, kepandaian, atau keturunan keluarga orang besar. Akan tetapi juga dapat berupa sikap yang menyenangkan hati yang tertarik, tentu saja sikap ini pun bermacam-macam sesuai dengan selera masing-masing yang tertarik. Akan tetapi, hubungan kasih sayang barulah mendalam dan juga membahagiakan orang yang dicintanya apabila ada keinginan dan tindakan-tindakan nyata untuk membahagiakan orang yang dicinta.
Sebaliknya, cinta asmara yang didorong oleh keinginan menyenangkan diri sendiri sudah tentu akan bertumbuk kepada banyak hal yang mendatangkan derita. Derita ini timbul karena sekali waktu tentu orang yang dicintanya itu akan melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak menyenangkan hatinya lagi! Tiada sesuatu yang kekal di dalam kehidupan ini kecuali cinta kasih!
Seperti kita ketahui, Sim Hong Bu meninggalkan daerah Lok-yang dan pergi menuju ke Sin-yang bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka itu telah diawasi sejak lama dari jauh oleh banyak pasang mata yang bersembunyi-sembunyi. Baru setelah mereka tiba di sebuah hutan kecil di lereng gunung, mereka berempat merasa heran melihat munculnya belasan orang yang sudah mengepung mereka.
Empat orang itu bersikap tenang, bahkan Hong Bu tersenyum mengejek dengan hati terasa geli. Orang-orang ini mencari penyakit, pikirnya. Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak menjadi marah. Kemarahan jauh dari hati Hong Bu pada saat itu. Dia telah menemukan kesejukan hati yang baru, setelah dia ‘mengenal’ Pek In sebagai seorang gadis yang wajar, sebagai kekasihnya, bahkan lebih dari itu, sebagai tunangannya, calon isterinya! Dan di dalam perjalanan itu, Cu Kang Bu dan isterinya yang bijaksana memang sengaja memberi banyak kesempatan kepada mereka untuk berduaan. Hong Bu selalu merasa gembira dan bahagia. Terlupakanlah sudah kegetiran yang terasa oleh penolakan Ci Sian!
Memang, segala macam perasaan hanya timbul oleh karena permainan pikiran yang mengingat-ingat belaka. Seperti juga kepuasan yang hanya sebentar, kekecewaan pun lewat bagai angin lalu saja. Suka dan duka silih berganti seperti awan-awan bergerak di angkasa.
Ketika Hong Bu merasa kecewa dan berduka karena penolakan Ci Sian, hal itu timbul karena pikirannya mengenang semua itu dan menimbulkan rasa iba diri dan kecewa. Akan tetapi sekarang, begitu pikirnya penuh dengan kegembiraan karena hasil baru yang amat menyenangkan dan baik dalam hubungannya dengan Pek In, maka semua kedukaan yang lalu pun lenyap tanpa bekas.
Kita ini, biar pun sudah dewasa, namun masih tiada bedanya dengan anak-anak, hanya badan kita saja yang tumbuh menjadi besar. Kita masih mudah tertawa dan menangis, seperti kanak-kanak yang mudah tertawa memperoleh permainan baru dan mudah menangis ketika kehilangan sesuatu yang disenanginya. Tetapi setiap muncul pengganti yang baru, yang lama, baik yang menyenangkan mau pun yang menyusahkan, akan terlupa dan hilang tak berbekas. Yang berbeda hanyalah macam permainan itu saja.
Biasanya, kita manusia, di ujung dunia yang mana pun juga, selalu mengejar-ngejar pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan atau dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau menghindari apa saja yang dianggap menyusahkan. Kita ingin hidup ini penuh dengan yang manis-manis saja. Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan sebagainya karena semua itu muncul apabila yang manis dan kita dambakan itu tidak tercapai.
Itulah romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yang menjadi isi dari pada kehidupan kita sekarang ini. Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja? Mengapa mesti bersenang kalau mendapatkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa penilaian si pikiran yang selalu mencari manis, mungkin kita akan melihat sesuatu yang ajaib. Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar maniskah yang kita anggap manis? Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita tidak merasakan tidak enaknya pahit? Apakah kita dapat mengenal terang kalau kita tidak mengenal gelap?
Melihat munculnya belasan orang yang memegang senjata golok dan pedang lalu mengepung tempat itu, Yu Hwi juga tersenyum lebar seperti melihat sesuatu yang lucu sekali. Akan tetapi tidak demikian dengan Cu Pek In. Gadis ini mengenal seorang di antara mereka, yaitu orang yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, usianya sekitar empat puluh tahun, berkumis tebal melintang dan lengan kiri orang itu masih dibalut. Orang itu bukan lain adalah Koa Cin Gu, guru silat dari Lo-couw yang lebih suka pria tampan dari pada wanita cantik itu! Maka, melihat orang ini, marahlah Pek In.
“Orang she Koa yang tidak tahu malu! Sudah kupatahkan lengan kirimu engkau masih berani datang berlagak, apakah harus kupatahkan tulang lehermu?” Sambil berkata demikian, Cu Pek In melangkah maju ke arah laki-laki tinggi besar itu.
Si Tinggi Besar itu terbelalak. Tentu saja dia tidak mengenal Pek In sebelum dara ini membuka suara dan sekarang dia memandang, dengan mata terbelalak, “Ahh, kiranya seorang perempuan....?” katanya perlahan.
Sebelum Pek In dapat turun tangan atau bicara lagi, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu dan beberapa orang kawannya membuat gerakan minggir dan terdengar suara yang tenang dan halus, “Ahhh, kiranya keluarga Lembah Suling Emas yang berada di sini!”
Pek In tidak jadi menyerang Si Tinggi Besar dan cepat mundur kembali mendekati paman dan bibinya dan Hong Bu ketika mengenal siapa yang mengeluarkan suara itu. Nampak empat orang berjalan perlahan memasuki kepungan itu dan ternyata mereka itu adalah Toa-ok Su Lo Ti, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, Sam-ok Ban-hwa Sengjin, dan orang ke empat adalah seorang kakek raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan pakaiannya serba hitam, membawa sebuah kipas merah dan mengipasi lehernya tanpa bicara, akan tetapi jelas memiliki sikap yang amat berwibawa.
Cu Kang Bu, isterinya, dan Pek In tidak mengenal kakek ini, akan tetapi Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika mengenal bahwa kakek berpakaian hitam itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, yaitu manusia iblis yang pernah menjadi ketua perkumpulan iblis Hek-i-mo itu!
Sementara itu, pada saat Hek-i Mo-ong melihat Hong Bu, wajahnya langsung berubah. Tadinya kakek ini sama sekali tidak tertarik dan amat memandang rendah kepada orang-orang yang hendak dihukum oleh Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Akan tetapi begitu melihat Hong Bu, tentu saja dia mengenal musuh besar yang pernah menghancurkan perkumpulannya bersama seorang gadis bersuling emas dengan suheng-nya yang lihai bukan main itu. Dia merasa girang bukan main, merasa bahwa secara kebetulan dia dapat membalas dendam atas kekalahannya dikeroyok tempo hari.
“Ha-ha-ha, kiranya engkau bocah setan datang mengantar nyawa!” katanya sambil menudingkan kipasnya, ke arah muka Sim Hong Bu.
Melihat lagak ini, Pek In yang tidak mengenal lagak Hek-i Mo-ong, menjadi marah. Tunangan atau kekasihnya dimaki orang bocah setan, tentu saja ia marah.
“Iblis tua bermulut busuk!” katanya dan dia pun sudah mencabut sulingnya dan bersiap menyerang.
“Sumoi, jangan....!” teriak Hong Bu dan cepat dia melompat ke depan.
Akan tetapi, suling itu telah mengeluarkan suara melengking ketika menyambar ke arah kakek itu, berubah menjadi sinar kuning emas. Melihat gadis ini menggunakan senjata suling emas, kakek itu terkejut dan mengira bahwa tentu gadis ini mempunyai hubungan dengan gadis yang pernah mengalahkannya bersama pemuda berpedang biru itu. Maka dia pun menggunakan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga karena kalau gadis ini selihai gadis yang dulu pernah mengeroyoknya, serangan itu cukup berbahaya.
“Dukkk....!”
Dan akibatnya, tubuh Pek In terlempar dan tentu ia akan terbanting keras kalau saja pamannya, Cu Kang Bu, tidak cepat-cepat mengulurkan tangan dan menangkap tangan keponakannya itu, terus dilontarkan ke atas sehingga Pek In dapat turun dengan enak, tidak sampai terbanting. Pek In terkejut bukan main, dan kakek itu tertawa. Kiranya gadis itu masih amat lemah, sebaliknya laki-laki tinggi besar yang amat gagah perkasa itu cukup lihai. Hal ini dapat dilihatnya dengan mudah ketika laki-laki itu menahan jatuhnya gadis yang terlempar.
Bagaimanakah tiga orang sisa dari Im-kan Ngo-ok itu tahu-tahu telah bisa bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan agaknya membantu guru silat She Koa itu? Persekutuan antara mereka tidaklah aneh karena Hek-i Mo-ong sebetulnya masih terhitung susiok (paman guru) dari Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama Im-kan Ngo-ok.
Karena keduanya telah mengalami musibah, yaitu Im-kan Ngo-ok selain kehilangan pekerjaan atau kedudukan sebagai pendukung Sam-thaihouw juga telah kehilangan dua orang anggota termuda yaitu Su-ok dan Ngo-ok, sedangkan Hek-i Mo-ong juga telah menderita kekalahan dari sepasang orang muda yang mewakili pewaris Suling Emas dan Naga Siluman, sedangkan perkumpulannya juga diobrak-abrik, maka mereka saling membutuhkan dan saling membantu.
Setelah mengadakan pertemuan, maka mereka bersepakat untuk bekerja sama agar nama mereka dapat diangkat kembali ke dunia kang-ouw. Persekutuan mereka itu tentu saja membuat mereka merasa lebih kuat dari pada sebelumnya. Ketiga orang anggota Im-kan Ngo-ok itu bagi Hek-i Mo-ong merupakan pembantu yang amat kuat dan boleh diandalkan, lebih kuat dari pada semua anak buahnya yang telah diobrak-abrik oleh Sim Hong Bu, Ci Sian dan Kam Hong.
Sebaliknya, tentu saja bagi sisa Im-kan Ngo-ok lebih terasa lagi karena keadaan mereka berempat jauh lebih kuat dari pada ketika mereka masih berlima! Akan tetapi, urutan tingkat kepandaian mereka sekarang tentu saja mengalami perubahan, yaitu Hek-i Mo-ong berada paling atas dan Toa-ok menjadi orang ke dua!
Biar pun merasa diri mereka kuat, akan tetapi melihat betapa Pangeran Kian Liong yang bijaksana dan didukung oleh semua pendekar perkasa itu telah menjadi kaisar dan mengambil sikap tangan besi terhadap orang-orang dari golongan sesat, maka untuk sementara empat orang datuk ini tidak berani menonjolkan diri mereka.
Dan mereka telah menemukan tempat persembunyian sementara yang amat baik, yaitu di tempat perguruan Koa Cin Gu, yang baru beberapa tahun bekerja membuka perguruan sebagai seorang guru silat. Koa Cin Gu yang tinggal di Lok-yang ini adalah seorang kenalan baik dari Sam-ok Ban-hwa Sengjin dan merupakan orang yang sudah amat dipercaya.
Demikianlah keadaan para datuk itu mengapa mereka dapat bersekutu dan mengapa mereka membantu Koa-kauwsu. Guru silat ini dan anak buahnya atau murid-muridnya merupakan pembantu-pembantu untuk menyelidiki keadaan di kota raja dan kota-kota besar bagi para datuk ini. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari Koa Cin Gu pulang dengan lengan kiri patah, mereka terkejut sekali.
Koa-kauwsu lalu menyuruh para kaki tangannya membayangi dan menyelidiki keadaan ‘pemuda’ itu. Sam-ok sendiri melakukan penyelidikan dan ketika melihat bahwa yang disebut pemuda oleh Koa Cin Gu itu adalah Cu Pek In puteri majikan Lembah Suling Emas, bersama Cu Kang Bu yang dikenalnya sebagai pendekar dan penghuni Lembah Suling Emas, dan juga isteri pendekar itu, Sam-ok terkejut bukan main dan itulah sebabnya mengapa Koa Cin Gu muncul bersama empat orang datuk itu!
“Lembah Suling Emas merupakan tempat rahasia di Pegunungan Himalaya,” berkata Sam-Ok, terutama kepada Hek-i Mo-ong, “Dan di sana terkumpul banyak pusaka-pusaka yang tidak ternilai harganya. Bahkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang dihebohkan itu pun dicuri oleh penghuni lembah itu. Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau kita dapat menahan tiga orang ini sebagai sandera, tentu kita akan dapat memaksa mereka untuk menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama Koai-liong Po-kiam kepada kita.”
Ji-ok dan Toa-ok tentu saja merasa setuju sekali. Mereka berbesar hati dan timbul keberanian mereka untuk memusuhi para penghuni Lembah Suling Emas setelah kini Hek-i Mo-ong menjadi sekutu mereka.
Hek-i Mo-ong hanya mengangguk-angguk. Orang yang setua dia sebetulnya sudah tak ingin lagi untuk memperoleh pusaka-pusaka, dan dia sudah terlalu mengagulkan diri sendiri sehingga dia menganggap bahwa tanpa merampas pusaka orang lain sekali pun dia tidak mempunyai tandingan lagi di dunia ini.
Akan tetapi untuk menyenangkan hati tiga orang pembantu barunya itu, yang dianggapnya sebagai keponakan-keponakan muridnya juga, ia menyetujui untuk bersama mereka menghadang perjalanan tiga orang itu.
Dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girangnya ketika dia melihat bahwa musuh besarnya pemuda yang pernah mengeroyoknya bersama dara bersenjata suling emas, ternyata berada pula dalam rombongan keluarga Lembah Suling Emas itu!
Demikianlah, empat orang datuk itu kini berhadapan dengan empat orang pendekar dari Lembah Suling Emas yang telah berubah sebutannya menjadi Lembah Naga Siluman itu.
“Hek-i Mo-ong, bagus bahwa engkau masih hidup! Kini aku dapat menyempurnakan usahaku untuk membunuhmu!” kata Sim Hong Bu, ucapan yang sengaja dikeluarkan untuk memberi tahu kepada Cu Kang Bu dan Yu Hwi bahwa kakek itu adalah Ketua Hek-i-mo yang terkenal itu.
Dan memang suami isteri ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek yang berpakaian serba hitam ini adalah kakek iblis yang namanya pernah menjulang tinggi dan menggetarkan dunia Kang-ouw itu.
“Ha-ha, sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku, bocah setan!” kata kakek itu yang segera menerjang maju sambil mencabut keluar senjatanya yang sangat menyeramkan, yaitu tombak Long-ge-pang (Gigi Srigala). Dia memegang tombak itu di tangan kanan dan dibantu kipas merah di tangan kirinya, menyerang sambil tertawa nyaring, suara ketawa yang mengandung khikang amat kuatnya.
“Trang-trang-trang....!”
“Wuuuuttt.... cringggg....!”
Dalam segebrakan saja mereka telah saling serang dengan hebat, dan sinar kebiruan dari Koai-liong Po-kiam menyilaukan mata. Melihat bahwa pemuda itu mempergunakan pedang pusaka yang membuat mereka dahulu ikut pula memperebutkannya, tiga orang dari Im-kan Ngo-ok menjadi girang sekali dan mereka pun sudah bergerak maju. Tentu saja Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera menyambut mereka, juga Cu Pek In sudah mempergunakan sulingnya untuk membantu paman dan bibinya.
Toa-ok disambut oleh Cu Kang Bu, hingga Yu Hwi terpaksa melawan Ji-ok sedangkan Sam-ok dilawan oleh Pek In. Tentu saja Hong Bu dan Kang Bu merasa khawatir sekali, karena mereka tahu bahwa kepandaian kedua orang wanita itu masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan lawan mereka yang merupakan datuk-datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Akan tetapi, mereka tidak berdaya untuk melindungi Yu Hwi dan Pek In. Sim Hong Bu yang ingin melindungi Pek In, tidak mungkin dapat keluar dari kurungan sinar senjata lawannya yang amat hebat itu, dan tanpa melindungi gadis itu pun dia sudah harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi Hek-i Mo-ong. Diputarnya pedangnya sehingga nampak gulungan sinar biru yang bukan hanya melindungi tubuhnya melainkan juga membalas serangan lawan dengan dahsyat.
Hek-i Mo-ong mengenal kelihaian pemuda ini, maka dia pun tidak berani memandang ringan dan sudah menggerakkan senjata tombak Long-ge-pang itu dengan gerakan aneh, cepat dan kuat sekali, dibantu oleh gerakan kipas merahnya yang menotok jalan darah lawan bagaikan patuk burung garuda.
Ban-kin-sian Cu Kang Bu merupakan lawan yang setanding dari Toa-ok Su Lo Ti. Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini sudah mencabut senjata cambuknya, yaitu sehelai cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya.
Walau pun Toa-ok merupakan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok dan merupakan datuk yang amat lihai, akan tetapi menghadapi Cu Kang Bu dia tidak dapat main-main dan terpaksa harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya kalau dia tidak ingin menjadi korban sambaran cambuk baja yang berkelebatan membentuk sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk itu.
Julukan Cu Kang Bu adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja tenaganya hebat luar biasa sehingga sabuk yang diputarnya itu lenyap bentuknya dan menimbulkan angin yang dahsyat sekali. Namun lawannya adalah Toa-ok, Si Jahat Nomor Satu yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga mempunyai pengalaman yang amat luas.
Kedua lengannya yang tidak bersenjata itu penuh dengan tenaga sinkang sehingga menjadi kebal, akan tetapi dia juga cukup cerdik untuk tidak mengadu lengannya secara langsung dengan cambuk baja yang digerakkan amat kuatnya.
Dia lebih banyak mengelak dan kalau menangkis, selalu menangkis dari arah samping, juga membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya yang mendatangkan hawa pukulan kuat sekali.
Seperti pertandingan antara Hong Bu dan Hek-i Mo-ong, maka perkelahian antara Cu Kang Bu melawan Toa-ok ini pun berjalan dengan seru sekali.