Suling Emas Naga Siluman Jilid 27

Suling emas naga siluman jilid 27
Sonny Ogawa
CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 27
Akan tetapi tidak demikianlah pertempuran, antara dua orang wanita itu melawan Ji-ok dan Sam-ok. Semenjak dari permulaan Yu Hwi sudah terdesak hebat oleh Ji-ok, juga terutama sekali Cu Pek In terdesak hebat oleh Sam-ok.

Tingkat kepandaian mereka kalah jauh dibandingkan dengan Jahat Nomor Dua dan Jahat Nomor Tiga itu. Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu yang melihat ini merasa gelisah sekali namun mereka berdua tidak berdaya membantu kedua orang wanita itu.

Betapa pun juga, dua orang wanita itu dengan semangat bernyala-nyala melakukan terus perlawanan dengan gigih. Namun, belum lewat lima puluh jurus, suling di tangan Pek In telah dirampas oleh Sam-ok dan sebelum dara itu dapat menghindarkan diri, ia sudah roboh tertotok oleh Sam-ok.

“Sumoi....!” Hong Bu berseru dan hendak menolongnya.

Akan tetapi tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong berkelebat. Hong Bu terkejut sekali. Gerakannya untuk menolong Pek In tadi membuatnya lengah dan posisinya lemah, maka biar pun dia sudah menangkis dengan pedang Koai-liong-kiam, tetap saja ujung tombak Gigi Serigala itu menyerempet pundaknya, merobek pundak sehingga darah mengucur membasahi bajunya yang robek. Terpaksa Hong Bu membalas dengan serangan-serangan dahsyat dan dia tak memiliki kesempatan lagi untuk memperhatikan Pek In karena lawannya benar-benar amat lihai sekali.

Sementara itu, Ji-ok juga sudah mendesak Yu Hwi. Biar pun Yu Hwi telah memutar pedangnya dan mempergunakan Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang membuat tangan kirinya dapat memukul seperti tajamnya pedang dan golok, namun karena tingkatnya kalah jauh oleh Ji-ok, nenek yang bertopeng tengkorak itu, maka ia pun didesak terus. Apalagi Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) nenek itu mirip dengan ilmu yang pernah dipelajarinya dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling.

Akan tetapi, ilmu dari gurunya itu, ialah Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), tidaklah seganas dan sedahsyat Kiam-ci (Jari Pedang) dari Jahat Nomor Dua ini. Jari tangan nenek itu menyambar dan seolah-olah mengeluarkan sinar maut yang amat hebat. Dan setelah Pek In itu roboh tertotok, hati Yu Hwi menjadi gentar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ji-ok untuk menendang lututnya. Yu Hwi terpelanting roboh dan Ji-ok mengeluarkan suara ketawa terkekeh, lalu menubruk maju.

Sam-ok mengenal temannya ini. Jika Ji-ok sudah mengeluarkan suara ketawa terkekeh lalu menubruk, berarti nenek itu hendak menurunkan tangan maut membunuh orang. Maka dia pun cepat menubruk dan menangkis tangan Ji-ok yang sudah menyerang ke arah Yu Hwi yang masih rebah miring itu.

“Dukkk....!” Keduanya terpental ke belakang.

“Ji-ci, jangan bunuh, kita tawan saja!”

Akan tetapi Ji-ok telah menjadi marah bukan main. Baginya, menghalangi kehendaknya berarti memusuhinya. Apalagi yang menghalanginya itu adalah Sam-ok yang terhitung ‘adik’ dalam urutan tingkat mereka, maka kemarahannya meluap.

“Sam-te, berani engkau menghalangiku?” Dan nenek itu pun sudah cepat menerjang dan menyerang Sam-ok dengan tusukan-tusukan jari mautnya!

“Eh, apakah engkau sudah gila?” Sam-ok membentak dan mengelak sambil membalas.

Keduanya sudah berkelahi dengan hebatnya! Dan melihat ini, Toa-ok dan Hek-i Mo-ong menjadi marah.

“Sam-te, jangan berkelahi dengan teman sendiri!” kata Toa-ok.

“Ji-ok, tidak boleh membunuh lawan!” Hek-i Mo-ong juga membentak Ji-ok.

Mendengar bentakan mereka itu, Ji-ok dan Sam-ok masing-masing lalu meloncat ke belakang. Kemudian Sam-ok melihat betapa Yu Hwi telah meloncar bangun dan meski terpincang-pincang, nyonya ini sudah siap lagi dengan pedang di tangan. Dia menubruk ke depan, ketika Yu Hwi menggerakkan pedang menusuk, Sam-ok memukulnya dari samping.

“Plakk!” Pedang terpental dan terlepas dari tangan Yu Hwi dan di lain saat, Sam-ok juga sudah berhasil merobohkan Yu Hwi.

“Ji-ci, kau tawan dan jaga yang ini, aku yang itu!” kata Sam-ok.

Sementara itu, Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu tentu saja sudah melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah ditawan musuh, maka mereka berdua mengamuk dan memutar senjata dengan sekuat tenaga.

Tiba-tiba kedua pendekar itu mendengar suara Sam-ok yang nyaring, “Ban-kin-sian dan pemuda yang memegang Koai-liong-kiam! Tahan senjata dan menyerahlah, kalau tidak, aku akan membunuh lebih dulu dua orang wanita ini!”

Sim Hong Bu dan Cu Kang Bu meloncat ke belakang dan menoleh. Mereka melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah dibelenggu oleh anak buah Koa-kauwsu, dan sekarang Sam-ok dan Ji-ok mengancam kedua orang wanita itu dengan tangan di atas kepala.

Mereka berdua maklum bahwa sekali saja menggerakkan tangan, maka nyawa dua orang wanita itu tidak akan dapat tertolong lagi. Melihat isterinya dan keponakannya diancam, lemaslah rasa tubuh Cu Kang Bu dan dia pun melepaskan senjata sabuk baja.

“Aku menyerah....,” katanya dengan suara lemah.

“Susiok, jangan menyerah!” kata Sim Hong Bu, akan tetapi Kang Bu hanya menggeleng kepala dan mudah saja ketika dia didekati oleh Sam-ok yang kemudian menotoknya dan pendekar ini pun dibelenggu seperti Yu Hwi dan Pek In.

“Keparat engkau Hek-i Mo-ong dan iblis-iblis Im-kan Ngo-ok! Sampai mati aku tidak akan menyerah!” kata Hong Bu dan dia pun sudah menubruk maju dan menyerang Sam-ok yang menotok roboh Kang Bu tadi.

“Orang muda! Kalau engkau tidak menyerah, mereka bertiga ini akan kami bunuh!” teriak Sam-ok sambil meloncat mundur.

“Bunuhlah! Akan tetapi kalian pun akan mampus semua di tanganku!” bentak Sim Hong Bu.

Pemuda ini mengerti bahwa terhadap orang-orang macam mereka itu, tidak mungkin mengharapkan pengampunan. Kalau dia dan Kang Bu menyerah, akhirnya toh mereka itu, juga dia, akan dibunuh. Maka, dari pada mati dalam keadaan tidak berdaya, mati konyol, lebih mati dalam perlawanan!

Melihat betapa Sim Hong Bu nekad melakukan perlawanan, Cu Pek In dan Yu Hwi memandang dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran mengapa pemuda itu nekad melawan. Terutama sekali Pek In memandang dengan mata basah air mata. Salahkah dugaannya selama ini bahwa Hong Bu juga mencintanya? Setelah kini ia terancam maut, mengapa pemuda itu tak mempedulikan ancaman musuh yang hendak membunuhnya dan nekad melawan?

Hanya Cu Kang Bu yang memandang dengan sikap tenang. Dia sendiri menyerah karena dia tahu bahwa kalau dia dan Hong Bu tetap melawan, bukan ancaman kosong belaka kalau pihak musuh hendak membunuh dua orang wanita itu. Akan tetapi setelah dia sendiri menyerah, dia dapat mengerti mengapa Hong Bu tetap melawan dan dia pun dapat membenarkan tindakan pemuda itu.

Memang, jika Hong Bu juga menyerah, apakah dapat dijamin bahwa orang-orang jahat ini mau membebaskan mereka berempat? Setidaknya, setelah dia sendiri menyerah, tentu isterinya dan keponakannya takkan diganggu, dan Hong Bu masih dapat berdaya melawan musuh kalau tidak ikut menyerah. Jadi, masih ada harapan. Maka dia pun hanya mengikuti jalannya pertandingan itu dengan hati tegang walau pun dia nampak tenang saja.

Hong Bu memang nekad. Dia akan melawan sampai mati. Kini, ketiga orang Im-kan Ngo-ok sudah mengepungnya. Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok mengeroyoknya dari tiga penjuru. Akan tetapi Hong Bu sekali ini benar-benar memperlihatkan kemampuannya. Tubuhnya lenyap diselimuti sinar biru yang bergulung-gulung dan dari gulungan sinar ini kadang-kadang nampak kilatan biru menyambar ke arah musuh-musuhnya.

Biar pun dikeroyok oleh tiga orang datuk yang sakti itu, Hong Bu tidak menjadi gentar dan permainan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan dengan pengerahan seluruh tenaga itu memang dahsyat luar biasa, mengeluarkan suara mengaum-aum seperti seekor naga mengamuk dan juga membawa angin berpusing yang sangat kuatnya. Betapa pun lihainya ketiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu, menghadapi ilmu pedang yang demikian hebatnya, mereka tidak dapat mendekati pemuda itu.

Melihat ini, Hek-i Mo-ong merasa penasaran sekali. Dia sendiri pernah dikalahkan oleh pemuda ini yang bekerja sama dengan seorang gadis bersenjata suling. Kini, melihat betapa tiga orang murid keponakannya yang telah memiliki tingkat ilmu yang tidak begitu jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri tidak dapat mengalahkan pemuda itu, dia pun kemudian mengeluarkan suara menggereng keras dan tombak Long-ge-pang di tangannya sudah digerakkan dan kakek ini pun menerjang maju ikut mengeroyok Hong Bu!

Sungguh merupakan kejadian yang luar biasa sekali kalau sampai tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mengeroyok seorang pemuda, dan lebih lagi tidak mungkin dapat dipercaya orang kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka itu bahkan dibantu pula oleh Hek-i Mo-ong mengeroyok seorang pemuda. Akan tetapi kenyataannya demikian dan mereka pun agaknya sudah tidak lagi mempedulikan rasa malu dan harga diri. Mereka hanya ingin menundukkan pemuda yang amat lihai ini.

Cu Kang Bu menonton dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, penuh dengan kebanggaan akan tetapi juga kekhawatiran. Dia melihat kehebatan Koai-liong Kiam-sut dan merasa bangga bahwa ilmu itu adalah ilmu keturunan nenek moyangnya, dan bahwa pemuda itu adalah murid keponakannya, pewaris dari pusaka neneknya.

Dia kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir karena maklum betapa lihainya empat orang yang mengeroyok Hong Bu itu. Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat ujung tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong menyambar dan menyerempet bahu kiri Hong Bu sehingga bahu itu berdarah dan terluka. Namun Hong Bu masih mengamuk seperti seekor naga.

“Hong Bu larilah engkau!” teriaknya kepada murid keponakan itu.

Hong Bu memang sudah mengerti bahwa kalau dilanjutkan, betapa pun juga dia tidak mungkin dapat menandingi pengeroyokan empat orang itu. Kalau dia melawan terus, dia akan roboh mati dan kematiannya tidak akan ada gunanya bagi tiga orang yang tertawan itu. Kalau dia meloloskan diri dan masih hidup, setidaknya dia masih dapat berdaya-upaya untuk menolong tiga orang itu.

Maka, dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, mengeluarkan jurus Naga Siluman Menyemburkan Api. Pedangnya menimbulkan sinar berkeredepan ke arah empat orang lawannya sehingga mereka terkejut dan meloncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Bu untuk meloncat jauh sekali dari tempat itu.

Empat orang itu berloncatan mengejar, akan tetapi Hong Bu telah berlari cepat sekali dan mereka tidak berani untuk mengejar satu-satu, kalau tidak berbarengan karena pemuda itu memang berbahaya sekali. Melihat kekasihnya lari meninggalkan ia dalam tangan musuh, Pek In merasa sedemikian kecewa dan menyesalnya sehingga gadis ini roboh pingsan! Akan tetapi Kang Bu diam-diam bersyukur bahwa murid keponakannya itu tidak sampai tewas di tangan orang-orang yang lihai itu. Bagaimana pun juga, dia akan merasa menyesal kalau sampai murid keponakan itu, pewaris nenek moyangnya, sampai mati konyol.

Empat orang datuk itu tidak mengejar terus. Betapa pun juga, tiga orang anggota keluarga Lembah Suling Emas telah berada di tangan mereka dan melalui tiga orang tawanan ini, mereka dapat menguasai pusaka-pusaka dari lembah itu. Maka, tanpa banyak cakap Hek-i Mo-ong lalu memberi perintah kepada kawan-kawan guru silat Koa untuk mengangkat tiga orang yang sudah tertotok itu dan membawa mereka ke tempat persembunyian mereka, di rumah guru silat Koa Cin Gu.

Hong Bu berlari terus secepatnya, mengerahkan seluruh ilmu ginkang-nya. Dia sudah terluka dan banyak darah mengalir dari pundaknya, tetapi dia harus dapat melarikan diri. Kalau dia sampai tertawan pula, maka habislah harapannya untuk dapat menolong tiga orang itu.

Maka, dia memaksa tenaganya yang mulai lemah dan barulah setelah dia melihat bahwa dirinya tidak dikejar musuh, dan dia tiba di lereng sebuah bukit, tubuhnya terguling di bawah sebuah bukit, tubuhnya terguling di bawah pohon besar di mana dia duduk terengah-engah lalu dia bersila dan mengatur pernapasan untuk mengembalikan tenaganya yang hampir habis.

Melawan empat orang tadi sungguh terasa amat berat dan dia tadi telah mengerahkan seluruh sinkang-nya sehingga setelah berlari secepat itu, dia merasa tenaganya hampir habis dan napasnya hampir putus.

Setelah bersemedhi kurang lebih satu jam lamanya, barulah pernapasannya menjadi tenang kembali dan perlahan-lahan dia berhasil menghimpun tenaga murni di lereng gunung yang sejuk bersih itu. Tenaganya pun berangsur-angsur pulih kembali dan dia sudah mempergunakan kekuatan dalam untuk menghentikan darahnya yang mengucur keluar. Dalam kedaan hening itu, Hong Bu melupakan segala-galanya, melupakan keadaan tiga orang yang tertawan, karena kalau pikirannya terganggu, tentu dia tidak mungkin dapat mengosongkan dan mengheningkan batinnya.

“Hong Bu....!”

Pemuda itu terkejut. Dalam keadaannya seperti tadi, kalau tiba-tiba yang datang itu musuh dan menyerangnya, dia pasti celaka. Dia cepat membuka mata dan ketika dia melihat siapa orangnya yang datang, hatinya merasa girang sekali dan dia pun segera bangkit.

“Cin Liong....! Ahhh, hanya Tuhan yang membimbingmu datang kepadaku pada saat seperti ini, Cin Liong!” Dia pun memegang tangan bekas lawan yang telah menjadi sahabat baik yang dikaguminya itu.

Sejak dia berlawan tangan dengan jenderal muda ini dan merasakan betapa lihainya jenderal muda ini, ia merasa kagum sekali. Apa lagi setelah ia mendapatkan kenyataan bahwa pertentangan di antara mereka sebagai buronan dan pengejar telah habis dengan adanya pengumuman kaisar baru bahwa pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dinyatakan sebagai miliknya yang syah.

Seperti kita ketahui, Cin Liong lari meninggalkan Ci Sian setelah mendapat kenyataan bahwa dara yang dicintanya dan dipinangnya itu ternyata telah jatuh cinta kepada pria lain, bahkan kepada suheng-nya sendiri, Kam Hong, pendekar yang dikaguminya itu. Hal ini dapat dilihatnya dengan jelas ketika gadis itu marah-marah karena lamarannya, marah kepada suheng-nya.

Dia segera dapat menduga apa yang terjadi antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Dia tahu bahwa Ci Sian mencinta Kam Hong, dan dia dapat menduga pula dengan hati kagum bahwa Kam Hong juga mencinta sumoi-nya, akan tetapi dengan cinta yang demikian suci murninya, sehingga Kam Hong rela menyampaikan pinangan pria lain kepada sumoi-nya itu. Sikap Kam Hong ini membuat Cin Liong merasa terpukul dan malu kepada diri sendiri, maka dia pun lalu minta maaf dan melarikan diri.

Ketika dia melihat seorang pemuda duduk bersila, dia merasa terheran-heran, lalu didekatinya pemuda itu. Giranglah hatinya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Sim Hong Bu, sahabat barunya, bekas lawan yang dikaguminya karena kelihaiannya dan juga kejujurannya itu.

“Apakah yang terjadi, Hong Bu? Wajahmu agak pucat dan engkau gelisah.... dan pundakmu luka! Apa yang telah terjadi?” tanya Cin Liong sambil membalas pegangan tangan sahabat barunya itu.

Hong Bu lalu menceritakan tentang Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Pek In yang tertawan oleh empat orang datuk sesat itu. “Aku mohon bantuanmu, Cin Liong. Tanpa bantuanmu, aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat menyelamatkan mereka.” Hong Bu mengakhiri ceritanya.

Cin Liong terkejut bukan main. Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok muncul lagi! Dan malah ditambah seorang datuk yang telah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang sakti, yaitu Hek-i Mo-ong yang pernah menguasai daerah Sin-kiang di barat dengan gerombolannya, yaitu gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu.

“Jangan khawatir, Hong Bu. Aku tentu membantumu. Akan tetapi di manakah mereka berada? Dan.... keluarga Cu itu, apakah tidak berbahaya sekali tertawan oleh mereka? Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu adalah manusia-manusia busuk yang amat kejam.”

“Aku tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan mereka,” kata Hong Bu. “Aku tahu bahwa mereka sengaja menawan keluarga Cu karena mereka menghendaki pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman. Tentu mereka tidak akan mengganggu keluarga Cu untuk sementara waktu ini. Dan menurut penuturan Sumoi Cu Pek In, agaknya kita akan bisa menemukan tempat persembunyian mereka melalui seorang guru silat bernama Koa Cin Gu yang tinggal di Lo-couw. Mari kita menyelidiki ke sana.”

“Baik, mari kita cepat pergi. Aku khawatir sekali akan keadaan keluarga Cu,” jawab Cin Liong.

Dua orang pemuda perkasa itu, lalu berangkat menuju ke kota Lo-couw yang tidak jauh dari situ letaknya. Dalam perjalanan itu Cin Liong selalu menghibur hati Hong Bu dan mengatakan bahwa dia pasti akan dapat menghancurkan persekutuan penjahat itu dan dia akan minta bantuan pasukan keamanan di kota Lo-couw untuk membantunya mengepung sarang penjahat.

“Tiga orang Im-kan Ngo-ok itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan aku dapat menduga bahwa Hek-i Mo-ong tentu juga lihai sekali.”

“Kakek itu lebih lihai dari pada mereka bertiga,” kata Hong Bu.

“Hemm, mungkin bagi kita berdua tidak akan mudah mengalahkan mereka berempat, akan tetapi dengan bantuan pengepungan pasukan, tentu setidaknya keluarga Cu akan dapat diselamatkan dan dibebaskan.”

“Kalau saja kita dapat lebih dulu membebaskan Cu Kang Bu Susiok, kita bertiga dengan dia tentu akan mampu menandingi mereka berempat.”

“Sebaiknya kita menggunakan siasat memancing harimau-harimau keluar dari sarang, Hong Bu. Biar kukerahkan pasukan untuk menyerbu. Ketika mereka sibuk menghadapi pasukan, kita menyelinap masuk untuk lebih dahulu membebaskan keluarga Cu,” kata Cin Liong.

“Terserah kepadamu, dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat mengharapkan bantuanmu.”

Ketika mereka tiba di Lo-couw, Cin Liong langsung mencari markas pasukan keamanan dan menemui komandannya. Ketika komandan mengenal Cin Liong sebagai Jenderal Muda Kao yang terkenal, tentu saja dia terkejut dan menyambut dengan sikap amat hormat. Cin Liong lalu mencari keterangan tentang guru silat Koa Cin Gu dan dengan mudah mendapat keterangan di mana guru silat itu tinggal. Kiranya kehadiran para datuk itu merupakan rahasia dan tidak diketahui orang di Lo-couw.

Cin Liong memerintahkan kepada komandan itu untuk menyiapkan sepasukan prajurit dan mengepung rumah guru silat itu dari jarak agak jauh, menanti tanda darinya, sedangkan dia sendiri berdua dengan Hong Bu lalu melakukan penyelidikan ke rumah guru silat yang cukup besar dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi itu.

Senja telah mendatang dan cuaca mulai menjadi gelap ketika mereka tiba di luar pagar tembok, di mana pintu gerbangnya telah tertutup dan tidak nampak seorang pun di luar pintu. Hanya dapat terdengar suara orang-orang di dalam pintu, mungkin suara para anak buah guru silat yang melakukan penjagaan.

Dua orang muda perkasa itu tidak mau lancang turun tangan, karena mereka harus yakin dulu bahwa empat orang datuk itu benar-benar berada di situ, dan terutama sekali bahwa keluarga Cu juga tertawan di tempat itu. Kalau tidak demikian, mereka akan menangkap guru silat Koa dan memaksanya mengaku di mana tawanan disembunyikan dan di mana pula adanya para datuk kaum sesat itu! Dan untuk ini tentu saja tidak perlu dikerahkan pasukan yang telah dipersiapkan itu.

Mereka menanti sampai cuaca menjadi gelap betul dan ketika mereka sedang menyelinap di luar tembok, tiba-tiba mereka melihat berkelebatnya bayangan dua orang di depan. Tentu saja keduanya terkejut melihat betapa cepat dan ringannya gerakan dua orang di depan itu. Karena menduga bahwa tentu dua orang itu adalah dua di antara para datuk yang sedang mereka cari, mereka cepat menyelinap ke depan untuk mengejar. Akan tetapi bayangan dua orang di depan itu telah lenyap, padahal jelas bahwa dua orang itu tadi belum meloncat ke sebelah dalam pagar tembok.

“Aneh,” bisik Hong Bu. “Kalau mereka itu orang dalam, mengapa mereka bergerak di luar pagar tembok, dan bukan langsung masuk melalui pintu gerbang?”

“Siapa pun adanya mereka, kita harus mengetahui dengan jelas sebelum turun tangan,” bisik Cin Liong.

Karena dua orang itu lenyap, Hong Bu dan Cin Liong melanjutkan perjalanan mereka untuk memeriksa keadaan sekeliling pagar tembok itu, untuk mencari jalan masuk yang baik dan tepat sambil menanti cuaca sampai gelap benar. Akan tetapi, ketika mereka melalui semak-semak tiba-tiba ada dua sosok tubuh orang menerjang mereka dari balik semak-semak itu. Gerakan dua orang itu demikian cepatnya sehingga Hong Bu dan Cin Liong terpaksa bergerak cepat pula. Sambil mengerahkan tenaga mereka menangkis lengan dua orang itu yang bergerak untuk menotok.

“Dukkk!”

“Desss....!”

Empat orang itu terdorong mundur dan semua merasa kaget bukan main saat mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga pihak lawan. Akan tetapi, mereka menjadi semakin kaget, heran dan juga gembira setelah saling mengenal. Kiranya dua orang itu bukan lain adalah Kam Hong dan Ci Sian! Melihat mereka seketika wajah Cin Liong menjadi kemerahan karena merasa malu, akan tetapi sebaliknya Hong Bu menjadi girang bukan main.

Di lain pihak, Kam Hong dan Ci Sian juga terkejut melihat dua orang pemuda itu yang baru mereka kenal setelah mereka bertanding tangan tadi karena cuaca sudah mulai gelap.

“Saudara Sim Hong Bu dan Kao Cin Liong!” seru Kam Hong dengan mata terbelalak lebar. “Kiranya kalian berdua! Kami sangka peronda!”

Sementara itu, Ci Sian hanya memandang kepada dua orang pemuda itu dengan wajah kemerahan. Dua orang pemuda yang baru saja mengajukan pinangan kepadanya!

“Mari kita bicara agak jauh dari sini,” bisik Hong Bu sambil meloncat pergi dan yang lain mengikutinya.

Setelah tiba di tempat agak jauh dari pagar tembok, Hong Bu lalu menjura kepada Kam Hong dan Ci Sian, lalu berkata, “Sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Ji-wi di sini, seolah-olah Ji-wi dituntun oleh Tuhan untuk membantuku, setelah Jenderal Kao Cin Liong juga datang membantuku.” Lalu dengan singkat namun jelas Hong Bu menceritakan tentang rombongannya yang berjumpa dengan tiga orang datuk Im-kan Ngo-ok dan Hek-i Mo-ong dan betapa keluarga Cu telah ditawan oleh empat orang datuk sesat itu.

“Aku seorang diri tidak mampu melawan mereka dan terpaksa melarikan diri,” Hong Bu mengakhiri ceritanya, “Dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Cin Liong. Malam ini kami melakukan penyelidikan untuk melihat apakah benar empat orang datuk itu berada di sini dan apakah keluarga Cu ditawan di tempat ini. Pada saat melihat bayangan Ji-wi, kami mengira Ji-wi adalah dua orang di antara mereka.”

“Dan bagaimanakah Kam-taihiap dan Nona Bu juga dapat berada di sini?” Cin Liong bertanya.

Melihat sikap kedua orang pemuda itu biasa saja, seolah-olah tidak ada kandungan penyesalan hati sedikit pun tentang peristiwa penolakan pinangan mereka terhadap Ci Sian, hati Kam Hong merasa girang dan juga kagum sekali. Mereka sungguh patut menjadi pendekar-pendekar muda yang gemblengan, tidak mudah menaruh dendam pribadi. Juga Ci Sian merasa lega melihat sikap mereka.

“Kebetulan sekali ketika kami lewat di sini, kami melihat berkelebatnya bayangan Hek-i Mo-ong memasuki rumah ini. Kami merasa curiga dan terheran-heran bagaimana datuk itu tiba-tiba muncul di tempat ini, maka kami lalu mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan, kalau perlu membasmi kakek iblis itu. Dan baru saja kami melakukan penyelidikan, kami melihat kalian berdua dan mengira bahwa kalian adalah peronda atau anak buah Koa-kauwsu,” Kam Hong menjelaskan.

“Janganlah khawatir, Hong Bu. Aku akan membantumu menghadapi iblis-iblis itu dan membebaskan keluarga Cu!” kata Ci Sian dan suaranya kini biasa kembali terhadap Hong Bu, mengingatkan pemuda ini ketika mereka berdua dahulu pernah bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang lihai. Maka gembiralah hatinya.

“Terima kasih, terima kasih!” katanya gembira dan kini dia tidak merasa ragu lagi bahwa dia akan dapat menyelamatkan keluarga Cu, terutama Pek In yang dicintanya. Tanpa ragu-ragu lagi dia pun berkata melanjutkan, “Kini aku yakin bahwa tunanganku akan dapat diselamatkan!”

Kam Hong dan Ci Sian memandang dengan mata terbelalak, dan Cin Liong sendiri pun bertanya, “Tunanganmu....? Ahh, kiranya engkau telah bertunangan dengan Nona Cu Pek In? Bagus! Selamat, Hong Bu!”

Kam Hong dan Ci Sian juga memberi selamat yang diterima dengan gembira oleh Hong Bu. “Sekarang belum waktunya kita bergembira,” tiba-tiba Cin Liong mengingatkan, “Yang penting sekarang adalah rencana penyerbuan untuk menyelamatkan keluarga Cu. Setelah Kam-taihiap dan Nona Bu hadir, hatiku tidak khawatir lagi. Kami berempat kiranya akan sanggup menghadapi mereka berempat. Betapa pun juga, yang paling perlu adalah membebaskan keluarga Cu yang tertawan. Maka, menurut pendapatku, harus digunakan siasat untuk memberi kesempatan kepada Hong Bu untuk menyelinap ke dalam dan membebaskan mereka.”

Jenderal muda ini kemudian menjelaskan siasatnya dan tiga orang pendekar yang mendengarkan dengan penuh perhatian hanya mengangguk menyetujui karena mereka tahu bahwa Kao Cin Liong, selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga adalah seorang ahli siasat perang sehingga tentu saja lebih ahli dalam melakukan penyerbuan seperti itu.

Tak lama kemudian, sesuai dengan rencana yang diatur oleh Kao Cin Liong, sepasukan prajurit penjaga keamanan kota Lo-couw telah mengepung rumah perguruan silat itu, dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong sendiri yang ditemani oleh Kam Hong dan Ci Sian. Pintu gerbang digedor dari luar dan dengan suara lantang seorang prajurit pelapor meneriakkan kepada guru silat Kao Cin Gu untuk membuka pintu gerbang karena komandan pasukan keamanan kota Lo-couw hendak bicara.

Tentu saja para penghuni perguruan itu menjadi panik ketika mereka mengintai dari balik pintu gerbang dan melihat bahwa tempat mereka sedang dikepung pasukan pemerintah yang bersenjata lengkap! Dengan wajah pucat terpaksa Koa Cin Gu keluar setelah pintu gerbang dibuka. Dia mengenal komandan Thio yang mengepalai pasukan keamanan kota itu, maka segera dia menghadap Thio-ciangkun yang berdiri di sebelah kiri Cin Liong yang tidak dikenalnya karena pemuda ini mengenakan pakaian biasa.

“Thio-ciangkun, ada terjadi apakah maka malam-malam Ciangkun datang bersama para pasukan?” Koa Cin Gu bertanya, sedapat mungkin mengambil sikap tenang.

“Koa Cin Gu, tak perlu engkau menutup-nutupi dosamu!” berkata Thio-ciangkun dengan suara galak. “Kami memperoleh keterangan bahwa engkau menyembunyikan tokoh-tokoh penjahat besar yang terkenal dengan nama Hek-i Mo-ong, Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Suruh mereka segera keluar. Kalau tidak, engkau akan kami anggap sebagai pemberontak dan sekalian penghuni rumah ini akan kami tangkap sebagai anggota-anggota pemberontak!”

Bukan main kagetnya hati Koa-kauwsu mendengar ucapan ini. Akan tetapi sebelumnya tadi dia memang sudah berunding dengan empat orang tamunya itu, maka kini sesuai dengan rencana mereka tadi, Koa-kauwsu berkata, “Ah, Thio-ciangkun.... bagaimana Ciangkun dapat mempercayai fitnah seperti itu? Ciangkun sudah mengenal baik siapa saya. Saya tanggung bahwa tidak ada penjahat di sini. Harap Ciangkun suka menarik kembali pasukan dan besok saya akan menghadap Ciangkun untuk bicara soal ini.” Di balik kata-katanya itu seperti biasa tersembunyi maksud, yaitu bahwa dia hendak membereskan persoalan ini dengan hadiah atau sogokan!

Akan tetapi biar pun komandan itu bukan seorang pejabat yang tidak biasa menerima sogokan macam itu, kini di depan seorang jenderal yang terkenal dari kota raja, tentu saja dia menjadi marah sekali. “Koa Cin Gu, jangan engkau main-main! Hayo cepat suruh empat orang itu keluar, kalau tidak, terpaksa kami akan mengerahkan pasukan untuk menangkap semua orang dan menggeledah ke dalam!”

Melihat bujukannya tidak berhasil, orang she Koa itu lalu berkata, “Ciangkun, memang benar saya mempunyai empat orang tamu, akan tetapi mereka adalah para Locianpwe yang datang memberi petunjuk-petunjuk ilmu silat, sama sekali bukan penjahat. Semua itu adalah fitnah belaka.”

“Tidak peduli mereka itu pendekar atau penjahat, suruh mereka keluar supaya dapat menemui dan bicara dengan kami!” kata pula Thio-ciangkun.

Karena tidak melihat jalan lain, sesuai dengan rencana mereka, Koa Cin Gu terpaksa lalu menghadap ke dalam rumah dan berseru, “Harap Cu-wi Locianpwe suka keluar menemui Thio-ciangkun!”

“Ciangkun, kami adalah orang baik-baik, mengapa….?”

Akan tetapi ucapan Sam-ok yang menjadi juru bicara mereka itu tertahan dan matanya terbelalak ketika dia mengenal Kam Hong, Ci Sian, dan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Juga Hek-i Mo-ong mengenal Kam Hong dan Ci Sian, maka kakek ini pun tahu bahwa dia telah berhadapan dengan musuh yang pandai, maka tangannya bergerak dan senjata Long-ge-pang telah berada di tangannya.

“Ah, kiranya kalian bocah-bocah setan yang datang mengacau!” katanya dan langsung saja Hek-i Mo-ong menerjang maju.

Kam Hong menyambutnya, dengan suling emas yang sudah dicabutnya, sebab maklum betapa dahsyatnya serangan kakek raksasa berambut putih dan berpakaian serba hitam itu.

Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok yang juga mengenal tiga orang muda perkasa itu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi berpura-pura dan bahwa untuk menyelamatkan diri mereka harus mempergunakan kekerasan. Maka mereka bertiga pun segera menerjang ke depan, disambut oleh Kao Cin Liong dan Ci Sian.

Melihat ini, guru silat Koa Cin Gu juga mengerti bahwa rahasianya telah terbongkar, maka dia pun menjadi nekat. Dengan teriakan nyaring dia pun memimpin anak buahnya untuk mencegah pasukan memasuki rumahnya. Terjadilah pertempuran hebat di pekarangan depan rumah itu.

Sementara itu, Cu Kang Bu, Yu Hwi, Cu Pek In ditahan dalam kamar-kamar terpisah-pisah. Mereka dalam keadaan tertotok dan dibelenggu tangan mereka, rebah di atas dipan dalam kamar tahanan masing-masing, dan setiap orang dijaga oleh dua orang anak buah Koa-kauwsu.

Para anak buah Koa-kauwsu bukanlah orang-orang baik. Koa-kauwsu sendiri biar pun seorang guru silat, akan tetapi dia adalah orang yang berkecimpung dalam dunia hitam sehingga para muridnya tentu saja terdiri dari tukang-tukang pukul dan penjahat-penjahat yang ingin memperkuat dirinya. Ketika semua orang menyerbu keluar untuk menyambut musuh, enam orang yang bertugas jaga itu ditinggal berdua saja dengan masing-masing tawanan mereka. Kesempatan ini menimbulkan niat yang keji dalam benak mereka yang menjaga Yu Hwi dan Pek In.

Dua orang wanita ini adalah wanita-wanita yang tergolong cantik, maka melihat di situ tidak ada orang-orang lain, para penjaga dua orang tawanan wanita ini timbul niat yang kotor untuk mengganggu dua orang tawanan mereka. Mereka mulai mendekati tawanan masing-masing yang rebah terbelenggu dan tertotok di atas dipan, memandang dengan mulut menyeringai dan berliur.

Dua orang yang menjaga Cu Pek In sudah mendekati gadis itu. Cu Pek In merasa bulu romanya meremang ketika melihat sikap mereka berdua itu. Akan tetapi ia tidak mampu bergerak karena telah tertotok jalan darahnya. Andai kata tidak tertotok, biar pun kaki tangannya terbelenggu, tentu ia dapat bergerak dan berdaya untuk melawan. Akan tetapi, kini ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak ketika dua orang itu mendekatinya dan terkekeh-kekeh.

“Heh-heh, kita tidak bisa maju berbareng, harus antri. Siapa yang lebih dulu?” kata yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

“Kita undi saja!” kata kawannya yang bermata juling.

“Kita main bertanding jari saja, siapa menang boleh maju lebih dulu dan yang lain menjaga di luar kamar menanti giliran!” kata Si Tinggi Besar.

Dua orang itu tertawa-tawa dan bermain jari. Ternyata Si Tinggi Besar yang menang dan dengan muka kecewa Si Mata Juling lalu keluar dari kamar itu, meninggalkan kawannya dan berjalan di luar. Daun pintu ditutupkan, akan tetapi Si Mata Juling itu mengintai dari celah-celah daun pintu.

Cu Pek In memandang dengan mata terbelalak, melihat betapa sambil terkekeh dan menyeringai menyeramkan, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Wajah Pek In menjadi pucat dan mulutnya berbisik, “Jangan.... ah, jangan....!”

“Ha-ha-ha diamlah, manis,” kata Si Tinggi Besar yang kini melangkah mendekati dipan, membuat Pek In merasa ngeri dan takut sehingga hampir ia roboh pingsan.

Akan tetapi pada saat jari tangan Si Tinggi Besar menyentuh pakaian Pek In, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar pintu. Daun pintu terbuka. Si Tinggi Besar menoleh dan seketika mukanya menjadi pucat ketika dia melihat temannya, Si Mata Juling itu sudah roboh mandi darah di depan pintu. Sebelum dia sempat menguasai hatinya, sesosok bayangan berkelebat dan Hong Bu telah menghantamnya dengan telapak tangan kanan.

Si Tinggi Besar tak sempat lagi berteriak karena terdengar suara keras ketika kepalanya kena ditampar. Tubuhnya terpelanting dan kepalanya retak, mengeluarkan darah dan otaknya. Dia tewas seketika tanpa sekarat lagi.

Hong Bu cepat membebaskan totokan Pek In, kemudian mematahkan belenggu kaki tangannya.

“Engkau tidak apa-apa, In-moi....?” tanyanya.

“Ahh.... Bu-ko....!” Pek In merangkul dan menangis di dalam pelukan pemuda itu. Pek In melirik ke arah tubuh telanjang yang kepalanya retak itu dan menggigil. “Untung engkau segera datang, Buko....,” katanya dan hatinya lega sekali karena rasa penasaran dan duka karena ditinggal lari oleh Hong Bu itu kini terobati dengan munculnya kekasihnya yang telah menyelamatkannya.

Sebelum menolong Pek In, Hong Bu tadi telah memasuki kamar tahanan Cu Kang Bu, merobohkan dua orang penjaganya dan membebaskan Cu Kang Bu. Dan begitu bebas, Kang Bu segera minta kepada Hong Bu untuk menolong Pek In di kamar sebelah kanan sedangkan dia sendiri cepat lari ke kamar sebelah kiri di mana dia tahu isterinya ditawan. Dia memandang daun pintu itu dan dapat dibayangkan betapa marahnya saat dia melihat ada dua orang penjaga sedang menggerayangi tubuh isterinya dalam usaha mereka untuk melepaskan pakaian isterinya yang tertotok dan terbelenggu tak mampu melawan itu.

“Keparat!” bentak Cu Kang Bu dan sekali loncat dia sudah tiba di belakang dua orang penjaga yang kurang ajar itu.

Mereka membalikkan tubuh, akan tetapi tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak oleh Cu Kang Bu dan sekali menggerakkan kedua tangannya, pendekar tinggi besar dari Lembah Naga Siluman itu sudah membenturkan dua buah kepala itu.

“Prokk!” terdengar suara, dan dua buah kepala itu pecah berhamburan!

Ketika Kang Bu membebaskan isterinya dan mereka berdua keluar dari dalam kamar itu, mereka bertemu dengan Hong Bu yang juga sudah berhasil membebaskan Pek In.

“Di luar sana aku dibutuhkan, harap Susiok bertiga suka membantu pasukan dari dalam. Aku sendiri harus membantu mereka menghadapi empat iblis itu!” Setelah berkata demikian, Hong Bu meloncat keluar dengan cepat sekali.

Kang Bu tadi telah diberi tahu oleh Hong Bu bahwa yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ itu adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong dan Pendekar Suling Emas Kam Hong beserta sumoi-nya, Bu Ci Sian. Dengan singkat dia pun memberi tahu kepada isterinya dan keponakannya, lalu mereka bertiga juga menyerbu keluar dan mengamuk, menyerang para anak buah guru silat Koa dari sebelah dalam. Tentu saja anak buah Koa-kouwsu menjadi terkejut dan semakin panik karena mereka pun sudah terdesak oleh pasukan keamanan yang menyerbu dari luar.

Perkelahian antara Kam Hong melawan Hek-i Mo-ong masih berlangsung dengan amat serunya, tetapi Cin Liong dan Ci Sian yang bekerja sama menghadapi pengeroyokan tiga orang Im-kan Ngo-ok terdesak hebat. Mereka berdua itu hanya mampu memutar senjata untuk melindungi diri belaka, tanpa mempunyai banyak kesempatan untuk membalas. Tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Hong Bu sudah menerjang dan membantu mereka berdua.


Melihat betapa Koa-kauwsu dan anak buahnya sudah roboh semua karena amukan Cu Kang Bu bertiga, dan melihat betapa mereka berempat sudah terkurung oleh pasukan dan di situ terdapat orang-orang muda yang amat lihai itu, Hek-i Mo-ong maklum bahwa kalau terjadi pertempuran keroyokan tentu pihaknya akan mengalami kerugian karena kalah banyak, maka tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan berseru dengan lantang, “Tahan senjata! Kami hendak bicara!”

Empat orang pendekar muda itu menahan senjata mereka dan Kam Hong mewakili teman-temannya, sambil melintangkan suling emas di depan dada dia pun menegur, “Hek-i Mo-ong, engkau hendak bicara dan menggunakan kecurangan apa lagi?”

Wajah kakek itu berubah merah. Teringat dia bahwa dia pernah melukai pemuda luar biasa ini, akan tetapi hal itu dilakukannya karena dia main curang, yaitu pada saat Kam Hong melawan delapan orang muridnya, ialah Hek-i Pat-mo dan ketika pendekar ini terdesak delapan orang itu, dia turun tangan membantu murid-muridnya sehingga Kam Hong menderita luka dalam yang cukup parah.

“Bocah she Kam! Kalau memang kalian adalah orang-orang muda yang gagah perkasa dan mengaku sebagai pendekar-pendekar sakti, mari kita melakukan pertandingan satu lawan satu tanpa pengeroyokan dan tanpa mengandalkan bantuan. Kita masing-masing mengadakan pertandingan satu lawan satu sampai mati dan tidak boleh ada orang lain yang membantu. Nah, bagaimana? Apa kalian berempat berani menyambut tantangan kami berempat?”

Kam Hong mengerutkan alis dan memandang kepada tiga orang kawannya. Dia melihat betapa Ci Sian, Hong Bu, dan Cin Liong mengangguk kepadanya, dan dia sendiri pun percaya sepenuhnya bahwa ketiga orang muda itu cukup tangguh dan kuat untuk melawan tiga orang datuk dari Im-kan Ngo-ok, maka ia pun menjawab dengan lantang,

“Baik, Hek-i Mo-ong. Kami berempat menerima tantangan kalian!”

Thio-ciangkun lalu membuat lingkaran dengan pasukannya, lingkaran yang cukup luas di pekarangan rumah itu, dan memasang obor yang cukup banyak sehingga tempat itu menjadi terang dan merupakan gelanggang pertandingan yang dipagari pasukan. Cu Kang Bu dan Yu Hwi yang sudah selesai membasmi Koa-kauwsu dan anak buahnya itu pun kini berdiri menonton dengan penuh kepercayaan terhadap empat orang muda yang sakti itu, hanya Cu Pek In yang mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.

“Bagus! Kami akan mengajukan jago pertama kali. Sam-ok, kau majulah!” berkata Hek-i Mo-ong.

Sam-ok Ban-hwa Sengjin, bekas Koksu Nepal yang nama aslinya Lakshapadma itu segera melangkah maju ke tengah lapangan. Dia pun maklum bahwa jalan keluar tidak ada, maka tindakan Hek-i Mo-ong itu dianggapnya tepat. Hanya melalui pertandingan perorangan maka mereka mendapat kesempatan untuk lolos, asal dapat memenangkan lawan. Dan bagaimana pun lihainya, empat orang lawan itu hanyalah orang-orang muda yang tentu masih jauh kurang pengalamannya dibandingkan deagan mereka berempat.

Dia maju dengan tenang. Kakek raksasa yang kepalanya botak ini nampak gagah dengan mantelnya yang merah, dan kini dia menanggalkan mantel merahnya dan melemparkan mantel itu kepada Ji-ok. Dia sendiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lututnya agak ditekuk dan kedua lengannya membuat silang di depan dada, yang kanan miring di depan dahi, yang kiri miring di depan dada, sikapnya seperti seorang pendeta sedang melakukan sembahyang dengan sikap aneh.

“Biar aku yang menghadapi tua bangka Nepal ini!” kata Kao Cin Liong dan majunya Cin Liong melegakan hati Kam Hong.

Dibandingkan dengan Cin Liong, mungkin sumoi-nya masih kalah, dan biar pun di pihak musuh Sam-ok merupakan orang terakhir, namun dia tahu bahwa bekas Koksu Nepal ini mempunyai banyak tipu muslihat sehingga kalau Ci Sian yang melayani dia, hal itu amat berbahaya. Berbeda kalau Cin Liong yang menyambut kakek itu, karena biar pun masih muda, namun Cin Liong juga seorang yang memiliki banyak pengalaman dan mengenal banyak siasat-siasat licik pihak musuh.

“Baiklah, Saudara Kao Cin Liong. Kau lawan Sam-ok dan hati-hatilah terhadap akal busuk!” kata Kam Hong.

Cin Liong melangkah maju dengan tenang. Di bawah sinar obor yang banyak dinyalakan itu, pemuda ini nampak tegap dan gagah perkasa sekali. Wajahnya yang bundar itu nampak halus dan tampan, sepasang matanya yang lebar bersinar-sinar dan tahi lalat kecil di bawah telinga kirinya itu menambah kewibawaannya. Ketenangan pemuda ini nampak pada senyumnya, seolah-olah dia sama sekali tidak merasa jeri menghadapi lawan yang sudah amat tersohor karena kelihaiannya ini. Masih begitu muda sudah memperoleh kepercayaan Kaisar, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya pemuda ini.

Sam-ok juga merasa agak terkejut ketika melihat bahwa jenderal muda itu yang maju. Dia tahu akan kelihaian pemuda ini. Baru mengingat bahwa pemuda ini adalah putera tunggal dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir saja sudah membuat dia menjadi agak ngeri. Akan tetapi, dia segera dapat mengusir perasaan ini dengan keyakinan akan kepandaian sendiri. Betapa pun juga, pemuda ini bukanlah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya, melainkan seorang yang masih muda dan tentu masih hijau pula dalam pengalaman.

“Ha-ha-ha!” Sam-ok tertawa bergelak untuk membesarkan hati. “Inikah Jenderal Muda Kao Cin Liong yang terkenal itu? Ha-ha-ha, orang muda, sudah rela benarkah engkau untuk mati konyol maka engkau berani melawanku?”

“Ban-hwa Sengjin! Engkau telah berdosa terhadap pemerintah dan negara ketika engkau menjadi Koksu Nepal, dan engkau berdosa terhadap rakyat ketika engkau menjadi Sam-ok. Dosamu sudah terlampau bertumpuk, terlampau banyak maka sudah sewajarnyalah kalau kini engkau menerima hukuman dari tanganku sendiri! Majulah!”

Sebelum maju tadi Cin Liong telah menitipkan pedangnya kepada Hong Bu dan kini dia menghadapi lawan dengan tangan kosong. Dia tahu bahwa Sam-ok adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang sudah agak tinggi tingkatnya, maka datuk ini tidak lagi mengandalkan senjata. Dan karena dia sendiri pun murid ayah kandungnya yang memiliki ilmu silat tangan kosong pula, maka dia menghadapi lawan dengan tangan kosong.

Dia berdiri tegak lurus, mula-mula kedua lengannya tergantung lurus di kanan kiri, lalu diangkatnya sampai ke pinggang dengan jari-jari terbuka dan ibu jari ditekuk ke telapakan. Perlahan-lahan lengannya diangkat ke atas, lalu setelah sampai di atas kepala ditarik ke bawah sambil mengerahkan tenaga sinkang. Kedua lengannya itu nampak tergetar halus, dan kini tubuhnya penuh dengan saluran sinkang yang dahsyat!

Sam-ok mengeluarkan suara menggereng dan oleh karena gerengan ini mengandung getaran tenaga khikang yang amat kuat, maka para prajurit yang mengepung tempat itu untuk nonton perkelahian itu menjadi terkejut dan tubuh mereka menggigil. Sam-ok menyusul gerengannya ini dengan terjangan dahsyat, kedua lengannya yang panjang dan besar itu bergerak cepat. Tahu-tahu dia telah mengirim serangan beruntun sampai empat kali, memukul dengan kedua tangan dari atas ke bawah disusul cengkeraman dari kanan kiri.

Cin Liong juga bergerak cepat. Dua lengannya sudah menangkis dua pukulan pertama dan menghadapi cengkeraman dari kanan kiri itu dia meloncat ke belakang sambil membalik dan tiba-tiba saja tubuhnya berputar dan dia pun sudah membalas dengan sebuah tendangan kilat yang mengarah dagu lawan.

Ketika Sam-ok menggerakkan tangan hendak menangkap kaki yang menendangnya, Cin Liong menarik kembali kakinya dan tubuhnya meluncur ke depan, tangan kanan menotok ke arah pusar dan tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala botak itu! Dia telah mulai menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat yang hebat. Karena dia tahu bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka pemuda ini tidak mau membuang waktu dengan mengeluarkan ilmu silat lain, melainkan langsung mengeluarkan ilmu ciptaan kakek gurunya, yaitu Si Dewa Bongkok itu.

Sesungguhnya Ilmu Sin-liong Ciang-hoat asalnya adalah ilmu ciptaan Dewa Bongkok yang khas, yaitu untuk seorang yang berlengan tunggal. Akan tetapi Kao Kok Cu, Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menyempurnakan ilmu tangan kosong ini untuk puteranya, sehingga kini yang dikuasai oleh Kao Cin Liong adalah ilmu silat tangan kosong yang cocok untuk di mainkan oleh seorang yang berlengan utuh, walau pun dasarnya masih ilmu asli. Justru karena dasarnya adalah ilmu silat yang tadinya diperuntukkan seorang yang berlengan buntung, maka sekarang setelah dimainkan oleh Cin Liong, gerakan-gerakannya amat aneh dan tak dapat diduga-duga oleh musuh.

Kadang-kadang pemuda itu hanya menggerakkan tangan kanannya saja, dan tangan kirinya bergantung mati, akan tetapi pada detik-detik yang sama sekali tidak disangka oleh lawan, tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak mengirim serangan susulan, serangan maut yang amat dahsyat, lebih dahsyat dari pada serangan-serangan tangan kanannya!

Biar pun Sam-ok seorang yang tinggi ilmunya, namun menghadapi ilmu silat ini dia merasa bingung juga sehingga setelah lewat lima puluh jurus, ia kurang cepat mengelak dan tamparan tangan kiri yang tadinya tergantung mati itu sempat mengenai pundak kanannya, dan membuat tubuh yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Sam-ok meloncat untuk mengatur keseimbangan badannya dan mulutnya menyeringai menahan rasa nyeri yang membuat separuh tubuhnya sebelah kanan seperti lumpuh sejenak.

“Haiiiikkk!” Tiba-tiba Sam-ok menubruk ke depan.

Cin Liong mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi tiba-tiba dari lengan baju yang lebar itu meluncur sinar-sinar hitam yang lembut menuju ke seluruh tubuh Cin Liong dari atas ke bawah! Itulah jarum-jarum rahasia beracun yang dilepas dari jarak dekat sekali!

Dan ini merupakan satu di antara kecurangan-kecurangan Sam-ok. Akan tetapi, sejak tadi Cin Liong memang sudah waspada terhadap serangan gelap, maka begitu melihat sinar hitam menyambar dia sudah meloncat tinggi sehingga semua jarum lewat di bawah kakinya. Cin Liong bukan sembarangan meloncat, melainkan meloncat ke depan dan kini dari atas dia terjun menyerang ke arah kepala lawan dengan menggunakan kedua kakinya!

Sam-ok terkejut bukan main. Tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu selain dapat menghindarkan semua jarumnya, juga memiliki ginkang sedemikian hebatnya sehingga sambil mengelak kini bahkan langsung balas menyerang. Cepat dia secara terpaksa menggulingkan tubuhnya ke atas tanah sehingga serangan dari atas itu pun tidak mengenai sasaran dan begitu dia meloncat bangkit lagi, Sam-ok sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan karena aneh dan tangguhnya.

Tubuhnya tiba-tiba berpusing bagaikan sebuah gasing dan terus berpusing sehingga tubuh itu tidak nampak lagi. Dan dari gerakan berpusing ini dengan cepat bagaikan kilat menyambar, ada serangan-serangan mencuat yang menuju ke arah lawan. Cin Liong menggerakkan kaki tangan menangkis, akan tetapi karena pusingan tubuh lawan itu mendatangkan angin dahsyat, dan oleh karena serangan yang mencuat dari tubuh yang berputar cepat itu sukar diikuti dengan pandangan mata, maka Cin Liong terkena sambaran pukulan yang mengarah lambungnya.

Tangkisannya menyeleweng dan biar pun dia tidak terkena pukulan langsung, namun tetap saja dia terdorong sampai hampir terjengkang dan merasa betapa paha kanannya panas oleh hawa pukulan lawan. Hanya dengan melempar diri ke belakang dan berjungkir balik saja pemuda itu dapat menyelamatkan diri dan tidak sampai roboh terjengkang.

Melihat hebatnya lawan, Cin Liong tiba-tiba mendekam di atas tanah dan ketika lawan yang berpusing itu mendekatinya, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya meluncur dari bawah dengan pukulan kedua tangan didorongkan ke depan. Itulah pukulan dari Ilmu Sin-liong Hok-te yang amat hebat dari Istana Gurun Pasir!

“Desssss....!”

Oleh karena hebatnya pukulan itu, Sam-ok mana mampu mengelak? Terpaksa dia menangkis dengan pengerahan seluruh tenaganya dan akibatnya, tubuhnya terlempar dan terbanting keras sekali! Itulah hebatnya pukulan Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Kalau saja tadi Sam-ok mempergunakan tenaga lembut, tidak mempergunakan tangkisan tenaga kasar, dia pun akan celaka kalau Cin Liong juga mempergunakan tenaga Im.

Tubuh yang tinggi besar itu terguling-guling dan akhirnya dapat meloncat bangkit kembali, berdiri agak bergoyang-goyang dan di ujung bibir kakek itu nampak darah segar yang keluar dari mulutnya! Dengan bajunya, Sam-ok menghapus darah itu dan mukanya berubah merah sekali. Dia menggereng nyaring, gerengan yang keluar dari dalam perutnya saking marahnya dan tiba-tiba dia merenggut ke arah lehernya. Nampak sinar berkilauan ketika tangannya sudah memegang seuntai rantai hitam yang tadinya dipakai sebagai kalung lehernya. Rantai ini adalah untaian batu-batu hitam dari Nepal yang diuntai dengan tali baja yang amat kuat!

Jarang sekali Sam-ok mempergunakan senjata dalam perkelahian menghadapi lawan yang betapa pandai sekali pun. Ilmu silatnya sudah sangat tinggi, tenaga sinkang-nya amat kuatnya sehingga tanpa bantuan senjata pun dia sudah merupakan seorang yang sukar dikalahkan. Akan tetapi, sekali ini dia bertemu tanding, bahkan dia telah menderita guncangan dalam tubuh yang membuatnya terluka, maka tanpa malu-malu lagi dia mengeluarkan senjata simpanannya yang tadinya dipakainya sebagai sebuah kalung jimat! Menurut kepercayaan tahyul di Nepal, batu-batu hitam yang dipakainya sebagai kalung itu mempunyai daya kekuatan untuk menolak penyakit dan mala petaka. Selain itu, juga batu-batu hitam itu keras sekali dan kuat, dapat menahan senjata pusaka lawan yang bagaimana ampuh sekali pun.

“Trrrik.... wirr.... wirr!”

Senjata aneh itu mengeluarkan bunyi berketrik ketika digerakkan dan angin dahsyat menyambar ganas ke arah Cin Liong. Pemuda ini terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi sinar hitam itu mengejarnya terus. Cin Liong terpaksa mengebutkan ujung lengan bajunya untuk menangkis, tidak berani langsung menangkis dengan lengannya karena dia belum mengenal sifat senjata lawan. Akan tetapi, biar pun lengan bajunya itu hanya merupakan kain saja, di dalam tangan pemuda ini berubah menjadi senjata penangkis yang ampuh dan kuat sekali.

“Prattttt!”

Tangkisan ujung lengan baju dari Cin Liong itu membuat serangan Sam-ok gagal dan sinar hitam senjata rantainya itu menyeleweng, akan tetapi pemuda itu terkejut bukan main ketika melihat betapa ujung lengan bajunya pecah-pecah! Dan kini sinar hitam itu telah menyambar lagi bertubi-tubi, mengarah kepalanya dan ujung sinar hitam itu dapat melakukan serangan totokan ke arah jalan darah yang mematikan. Maka Cin Liong segera mengelak dan berloncatan ke sana-sini, dan terdesak hebat oleh sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berketrikan itu.

“Cin Liong, nih terima pedangmu!”

Tiba-tiba terdengar Hong Bu berseru dan nampak sinar terang ketika pedang Cin Liong yang tadi dititipkan kepada pemuda itu telah dicabut oleh Hong Bu dan dilemparkannya kepada jenderal muda itu. Cin Liong cepat menyambut pedangnya dengan tangan kanan.

“Terima kasih, Hong Bu!” katanya gembira dan seketika pedang itu diputar-putarnya di tangannya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyilaukan mata ketika tertimpa sinar obor.

Pedang itu adalah sebuah pedang yang baik karena pedang itu merupakan pedang pemberian Kaisar sebagai tanda pangkatnya. Seperti juga Sam-ok, putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini sebetulnya tak lagi memerlukan senjata untuk membantunya dalam perkelahian. Akan tetapi karena lawannya yang tangguh itu mempergunakan senjata yang aneh dan yang mungkin saja dapat melukai lengannya, maka tentu saja dia merasa gembira untuk mempergunakan pedangnya menghadapi senjata lawan.

Sam-ok masih terus mendesak dengan senjatanya yang diputar-putar dan menghujani lawannya dengan serangan-serangan maut. Cin Liong juga memutar pedangnya dan menyambut serangan itu dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaganya.

“Tranggg.... cringggg....!”

Keduanya melompat ke belakang ketika merasa betapa telapak tangan mereka panas dan nyeri, seolah-olah kulitnya terkupas. Mereka masing-masing memeriksa senjata sendiri, akan tetapi hati mereka lega melihat bahwa senjata mereka tidak rusak oleh benturan yang hebat tadi. Mereka gembira karena senjatanya dapat menahan senjata lawan, keduanya lalu saling terjang lagi dengan dahsyatnya. Tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar hitam dan sinar terang dari pedang Cin Liong, dan kedua sinar yang bergulung-gulung itu saling belit, saling tekan dalam sebuah pertempuran yang amat seru.

Semua orang yang menyaksikan pertandingan ini, diam-diam merasa tegang bukan main karena memang jaranglah terdapat perkelahian antara dua orang yang demikian lihainya. Yang menegangkan adalah karena kedua pihak tidak mau turun tangan membantu teman. Pihak Hek-i Mo-ong tentu saja tidak berani melakukan ini sebagai pihak yang lebih lemah atau yang lebih sedikit jumlah temannya, sebaliknya pihak Kam Hong dan kawan-kawannya tentu tidak mau melanggar perjanjian sebagai pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kehormatan dan kegagahan. Maka semua orang tahu bahwa pertandingan antara Sam-ok dan Cin Liong ini, seperti juga pertandingan lain yang akan terjadi antara kedua pihak, merupakan perkelahian mati-matian tanpa dapat mengharapkan bantuan orang lain.

Kembali puluhan jurus lewat dengan cepat dan kedua pihak belum juga mampu saling melukai, apalagi merobohkan. Cin Liong maklum akan kelihaian lawan, dia gerakkan tubuh dan pedangnya dengan tenang dan hati-hati, sebaliknya Sam-ok yang memang merasa gelisah oleh karena maklum bahwa pihaknya kalah kuat dan telah terkepung, menyerang dengan penuh nafsu. Melihat betapa pertahanan pemuda itu tangguh sekali, dia menjadi penasaran.

Tiba-tiba, pada saat kedua senjata itu saling bertemu di udara, Sam-ok menggerakkan pergelangan tangannya, dan senjata rantai batu hitam itu segera bergerak membelit-belit pedang di tangan Cin Liong, seperti seekor ular. Kedua senjata itu tidak dapat terlepas kembali dan mereka kini saling tarik-menarik dan tiba-tiba kaki kanan Cin Liong terpeleset karena dia menginjak batu yang basah dan licin. Pemuda itu terjatuh miring di atas tanah. Tentu saja semua temannya menahan teriakan kaget melihat hal ini.

Melihat kesempatan yang amat baik baginya ini, Sam-ok menjadi girang sekali dan dia pun lalu menubruk ke bawah, tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah kepala pemuda itu! Hebat bukan main serangan ini dan semua orang tahu bahwa sekali kepala itu terkena cengkeraman jari-jari tangan yang kuat itu, tentu pemuda itu akan tewas seketika!

Melihat hal ini, Ci Sian tentu sudah meloncat kalau saja suheng-nya tidak memegang lengannya. Hong Bu juga mengepal tinju dan matanya melotot memandang ke arah sahabatnya yang rebah miring itu sedangkan kepalanya terancam cengkeraman yang mengandung ancaman maut itu.

Sam-ok tidak tahu, juga para ahli silat di situ tidak ada yang tahu bahwa ketika terjatuh tadi, otomatis Cin Liong mengatur gerakan jurus dari ilmu silat sakti Sin-liong Hok-te. Ilmu silat ini memang meminjam kekuatan bumi dan dilakukan dengan lebih banyak mendekam di atas tanah.

Maka ketika Sam-ok menyerangnya dengan cengkeraman tangan ke arah kepalanya, sebenarnya Cin Liong sudah siap siaga dengan jurus ilmu silatnya yang ampuh. Dia cepat-cepat menggerakkan kepalanya menyingkir, dan tangan Sam-ok itu kini mencengkeram pundaknya dan pada saat itu juga, tiba-tiba dari bawah, tangan kiri pemuda ini meluncur dengan dahsyat mengirim serangan-serangan pukulan mendadak.

“Dessss....!”

Terdengar gerengan serak dari mulut Sam-ok ketika tubuh raksasa itu terlempar sampai tiga meter lebih, terbanting jatuh ke atas tanah! Sam-ok merangkak bangun, berdiri dan terhuyung-huyung, memandang dengan mata melotot ke arah Cin Liong, tangan kiri mencengkeram dadanya yang terpukul, tangan kanan mengangkat rantainya tinggi-tinggi, sikapnya seperti hendak menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba mulutnya terbuka dan menyemburkan darah segar, kedua kakinya terkulai dan dia pun roboh menelungkup dan nyawanya melayang meninggalkan tubuhnya! Mati.

suling emas naga siluman jilid 27


Cin Liong bangkit dan menyeringai, tangan kirinya memegangi pundak kanannya yang tadi kena dicengkeram lawan. Cu Kang Bu yang pandai dalam hal pengobatan cepat meloncat mendekatinya dan memeriksa pundaknya.

Untung hanya luka daging saja, dan tenaga sinkang telah melindungi tulang pundak itu sehingga tidak remuk. Cu Kang Bu cepat memberi sebuah pel merah untuk ditelan oleh jenderal muda itu dan luka di pundaknya ditempeli koyok hitam.

Kemenangan jenderal muda ini disambut sorak-sorai oleh para pasukan, akan tetapi Toa-ok, Ji-ok, dan Hek-i Mo-ong mengerutkan alis dan muka mereka sebentar pucat sebentar merah.

Tiba-tiba Ji-ok mengeluarkan pekik melengking nyaring dan ia sudah meloncat ke depan, lalu ia menoleh kepada Hek-i Mo-ong sambil berkata, “Biarkan aku menebus nyawa Sam-te!”

Nenek bertopeng tengkorak ini adalah seorang datuk kaum sesat yang kejam sekali sehingga ia mampu memperoleh julukan Si Jahat ke Dua. Akan tetapi kini melihat betapa Sam-ok tewas di depan matanya, hatinya terasa seperti disayat dan ia merasa sakit hati sekali. Kini, Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah berdiri tegak, tubuhnya yang kecil ramping seperti tubuh orang muda itu bergoyang-goyang, dadanya turun naik terbawa tarikan napas panjang karena kemarahannya, sepasang mata di balik topeng tengkorak itu bagai dua titik api yang mencorong. Rambutnya yang sudah putih semua riap-riapan, sebagian menutupi muka tengkorak, kedua tangannya yang berkuku runcing bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali.

“Bocah-bocah sombong, lekas majulah dan terimalah kematian di tanganku!” bentaknya menantang.

Ci Sian melangkah maju dan berkata kepada suheng-nya, “Suheng, ia adalah satu-satunya wanita di pihak lawan seperti juga aku di pihak kita. Biarkan aku menghadapi iblis betina ini!”

Kam Hong mengerutkan alisnya. Tentu saja diam-diam dia merasa khawatir sekali akan keselamatan gadis yang amat dicintanya ini, dan dia pun tahu akan kelihaian Ji-ok. Akan tetapi, di antara lawan yang masih tinggal tiga orang, kiranya Ji-ok masih terhitung yang paling lemah dibandingkan dengan Toa-ok, dan Hek-i Mo-ong, dan selain itu, dia pun maklum bahwa sumoi-nya sekarang sama sekali tidak boleh disamakan dengan sumoi-nya setahun yang lalu.

Sumoi-nya telah mewarisi ilmu sinkang dari Pulau Es saat digembleng oleh pendekar sakti Suma Kian Bu, dan dibandingkan dengan dirinya, sumoi-nya hanya kalah setingkat saja. Maka dia pun merasa yakin bahwa sumoi-nya akan mampu menandingi Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Maka dia pun mengangguk.

“Hati-hati, Sumoi. Hadapi ia dengan tenang saja, karena engkau tidak akan kalah!” katanya memperingatkan sumoi-nya bahwa menghadapi seorang datuk kaum sesat yang tentu saja memiliki banyak pengalaman bertanding dan juga mempunyai banyak tipu muslihat, harus dilakukan dengan penuh ketenangan dan kepercayaan kepada diri sendiri. Terburu nafsu menghadapi orang seperti Ji-ok ini bisa celaka sendiri. Ci Sian mengangguk dan tersenyum.

“Suheng, aku tidak akan membikin malu dan kecewa padamu,” katanya dan janji ini mengelus hati Kam Hong yang merasa terharu dan juga berbahagia sekali.

Ci Sian kini menghadapi Ji-ok dan ia telah mencabut suling emasnya. Dara ini sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa. Wajahnya yang berbentuk bulat manis itu masih membayangkan kelincahan dan kejenakaan. Sinar matanya penuh keberanian sedang senyum di mulutnya masih membayangkan kenakalan remajanya walau pun sikapnya kini nampak tenang dan membayangkan kematangan pengalaman-pengalaman yang selama ini dihadapinya. Mukanya yang bulat itu nampak amat manis ketika diangkatnya suling melintang di depan dada dan matanya memandang kepada lawan dengan tajam, kedua kakinya agak terpentang dan jari telunjuk dan tengah tangan kiri menyentuh ujung sulingnya yang melintang.

Melihat bahwa yang maju dan hendak melawannya hanya seorang gadis yang nampak masih remaja itu, Ji-ok mengeluarkan suara tertawa mengejek, lalu ia mendengus dengan suara memandang rendah sekali, sikap yang disengaja untuk menjatuhkan nyali lawan. “Hi-hik, bocah ini yang hendak menandingiku? Apakah tidak sayang kalau gadis secantik dan semuda ini harus mampus di tanganku? Bocah manis, lebih baik kalau lekas berlutut minta ampun dan nenekmu mungkin akan menaruh kasihan kepadamu!”

Ucapan ini selain hendak merendahkan dan mengecilkan nyali lawan, juga disengaja dikeluarkan untuk membakar hati lawan, agar marah. Kemarahan yang mengawali pertandingan berarti merugikan sekali dan hal ini diketahui dengan baik oleh Ci Sian yang selain menerima gemblengan Kam Hong, juga pernah digembleng oleh seorang pendekar sakti seperti Suma Kian Bu. Maka, mendengar ucapan dan melihat sikap nenek itu, ia tetap tersenyum, bahkan mengambil sikap seperti seorang dewasa melihat tingkah laku seorang anak kecil yang nakal.

“Ji-ok Kui-bin Nio-nio,” katanya lantang, “Sudah lama aku mendengar bahwa engkau adalah seorang nenek yang amat kejam seperti siluman, banyak membunuh anak-anak kecil untuk kau hisap darah dan otaknya. Kejahatanmu sudah melampaui takaran dan engkau telah layak untuk mati sampai seratus kali. Maka sekarang tiba saatnya engkau menebus dosa-dosamu di dasar neraka menyusul Sam-ok yang sudah mendahuluimu dan sedang menantimu di ambang pintu neraka. Bersiaplah engkau, wahai nenek iblis!”

Kini terjadilah senjata makan tuan. Senjata yang dipergunakan oleh Ji-ok, yaitu kata-kata untuk memancing kemarahan lawan, ternyata dipergunakan pula oleh Ci Sian yang cerdik. Dara ini maklum akan kelemahan lawan pada saat itu, maka Ci Sian sengaja mengingatkannya tentang kematian Sam-ok.

Di luar kesadarannya sendiri, mendengar ucapan ini, Ji-ok teringat akan kematian Sam-ok dan ia menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan suara mendengus karena tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata saking marahnya, nenek ini sudah menggerakkan tubuhnya dan tangan kirinya yang berkuku panjang itu telah melakukan penyerangan dahsyat, mencengkeram ke arah muka Ci Sian!

Ci Sian tersenyum mengejek dan cepat mengelak sambil menggerakkan sulingnya menotok ke arah sambungan siku lengan nenek yang menyerangnya itu dari samping, memaksa Ji-ok untuk cepat menarik kembali lengannya yang melakukan penyerangan tadi. Mereka segera mulai serang-menyerang dengan sengit dan terjadilah perkelahian yang tidak kalah serunya dibandingkan dengan pertandingan pertama antara Cin Liong dan Sam-ok tadi.

Pelampiasan kemarahan merupakan pembuangan kekuatan batin yang amat besar, merupakan penghamburan energi yang sungguh sia-sia. Orang yang melampiaskan kemarahan melalui kata-kata keras atau tindakan-tindakan kekerasan, tentu akan merasa betapa sesudahnya dia akan kehabisan tenaga, lemas lahir batin.

Oleh karena itu, orang yang mampu menghadapi nafsu-nafsu yang muncul seperti nafsu amarah, tanpa menghamburkan kekuatan dahsyat itu melalui pelampiasan, berarti akan menyimpan kekuatan batin yang kuat. Bukan mengendalikan kemarahan, melainkan menghadapinya dan memandangnya dengan wajar dan waspada dan sadar, tidak dikuasai olehnya. Pengendalian kemarahan hanya akan meredakan nafsu itu untuk sementara waktu saja
.

Ji-ok telah dikuasai nafsu kemarahan sendiri, dan kemarahannya ini semakin melonjak saja ketika ia mendapatkan kenyataan betapa ia tidak mampu mengalahkan lawan yang dianggapnya masih bocah ingusan ini, betapa pun ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan memeras seluruh kepandaiannya. Bahkan sebaliknya, serangan-serangan balasan dari suling emas itu sungguh membuat ia kadang-kadang terkejut dan beberapa kali nyaris terkena totokan ujung suling emas.

Lebih dari itu pula, setelah lewat puluhan jurus, suling emas itu selain mengeluarkan serangan yang sangat berbahaya, juga mengeluarkan suara melengking tinggi rendah bagaikan ditiup mulut yang tidak nampak, dan di dalam suara ini terkandung tenaga khikang yang teramat kuat, membuat kepalanya pening dan pengumpulan tenaganya kadang-kadang membuyar!

Ji-ok yang biasanya amat yakin akan kemampuan sendiri, yang biasanya memandang rendah kepada pihak lawan, sekali ini merasa penasaran bukan main dan hal ini lalu mendorong kemarahannya menjadi semakin memuncak sampai napasnya terengah engah dan dari atas kepala yang penuh rambut putih itu mengepul uap putih yang tebal!

“Mampuslah engkau! Haiiittt....!”

Tiba-tiba nenek itu merendahkan dirinya untuk membiarkan suling itu meluncur lewat, kemudian kakinya mengirim tendangan kilat ke arah dada Ci Sian. Bukan sembarang tendangan karena tendangan itu dilakukan sambil meloncat dan merupakan tendangan berantai, dilakukan oleh kaki bersepatu yang dilapisi besi meruncing itu. Bertubi-tubi kedua kaki itu menendang, dan setiap kaki dapat melakukan tendangan berantai sampai tiga empat kali mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuh lawan!

“Tak-tuk-tak-tuk!”

Terdengar suara pada saat Ci Sian mengelak dan menangkis dengan sulingnya sampai akhirnya nenek itu terpaksa menghentikan serangan tendangan berantai yang selain tak berhasil, juga membuat kedua kaki yang terbungkus sepatu itu terasa nyeri bertemu dengan suling emas. Akan tetapi masih dua kali lagi ia menendang dan sekali ini, dari pinggiran ujung sepatunya menyambar sinar kecil-kecil merah ke arah tubuh Ci Sian!

“Tring-tring-tring....!”

Paku-paku berwarna merah yang mengandung racun itu runtuh semua ketika tertangkis suling dan dengan marah Ci Sian memutar sulingnya, menggunakan jurus yang ampuh dari Kim-siauw Kiam-sut untuk balas menyerang. Gulungan sinar keemasan dari suling itu menghimpit dan nenek itu terpaksa berloncatan mundur karena terdesak oleh serangan suling berubi-tubi yang mengeluarkan bunyi melengking tinggi itu.

Untuk menghindarkan diri dari serangan suling bertubi-tubi yang sinarnya menggulung dirinya itu, terpaksa Ji-ok harus melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah lalu ia bergulingan sampai jauh. Ketika Ci Sian yang melihat lawan bergulingan menjauhi ini mengejar dengan serangan sulingnya, dengan hati girang karena lawan memperlihatkan kelemahannya, tiba-tiba saja Ji-ok melakukan penyerangan dari bawah, menggunakan ilmunya yang ampuh, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang). Telunjuknya menusuk atau menotok, mengeluarkan suara bercicitan seperti tikus terjepit dan dari telunjuk tangannya itu keluarlah sinar berkilat yang mengandung hawa dingin sekali!

Melihat telunjuk lawan menuju ke arah tenggorokannya, dan merasakan hawa dingin yang menyambar, Ci Sian kemudian menggerakkan tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan Hwi-yang Sinkang atau sinkang yang mengandung hawa panas yang pernah dilatihnya dari Pendekar Pulau Es Suma Kian Bu.

“Tasssss....!”

Pertemuan dua tenaga yang saling bertentangan itu merupakan benturan keras lawan keras hingga akibatnya keduanya terdorong ke belakang. Ji-ok merasa betapa seluruh lengannya tergetar dan panas sekali, sebaliknya Ci Sian cepat mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin yang menyusup ke tubuh melalui tangan yang menangkis tadi.

Betapa pun, girang juga hati Ji-ok melihat betapa ilmunya yang hebat itu sempat membuat lawan tangguh ini terhuyung, maka ia pun sudah meloncat ke depan lagi sambil menyerang dengan ilmu Kiam-ci secara dahsyat dan bertubi-tubi.

Menghadapi serangan aneh dan amat berbahaya ini, Ci Sian cepat menggerakkan dan memutar sulingnya dengan tangan kanan, dan tangan kirinya membantu, bukan hanya untuk menangkis, melainkan juga untuk menyerang dengan pukulan-pukulan jarak jauh untuk mengimbangi serangan lawan. Tentu saja ia sudah mempergunakan tenaga gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang pernah diajarkan Suma Kian Bu kepadanya.

Kini pertandingan itu berjalan lebih seru, tetapi juga aneh karena jarak antara mereka agak jauh dan agaknya kedua tangan mereka tidak pernah saling menyentuh, namun di antara dua orang wanita ini menyambar-nyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercicitan dan juga terasa betapa angin pukulan yang kadang-kadang dingin bukan main, kadang-kadang panas, menyambar-nyambar ke semua jurusan.

Hebat memang perkelahian itu dan semua orang yang menonton menjadi kagum luar biasa. Terutama Kam Hong, pendekar ini bangga bukan main. Sumoi-nya itu, setelah memiliki sinkang gabungan dari Pulau Es, benar-benar menjadi seorang wanita yang sangat hebat!

Adu pukulan jarak jauh itu berlangsung sampai seratus jurus, dan keduanya mulai lelah karena perkelahian macam ini membutuhkan pengerahan sinkang yang terus menerus dan siapa lengah tentu akan celaka. Dan hal ini pun menguntungkan Ci Sian. Dara ini masih muda sekali, tentu saja memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan lawannya yang mulai terengah-engah dan uap yang mengepul dari kepala itu kini makin tebal saja, dan nampak keringat menetes-netes dari balik kedok tengkorak, juga di leher nenek itu nampak keringat membasahi kulit dan baju.

Memang tidak dapat disangkal pula bahwa Ci Sian juga sudah merasa lelah, dadanya bergelombang, pernapasannya mulai terdengar, dan dahi serta lehernya nampak basah. Namun, dibandingkan dengan lawannya, ia masih lebih segar.

Tentu saja Ji-ok menjadi semakin penasaran dan marah, sungguh pun kemarahannya itu mulai bercampur dengan kekhawatiran. Sungguh tidak disangkanya, lawannya yang masih amat muda ini ternyata benar-benar lihai bukan main, bukan saja memiliki ilmu silat yang amat tinggi dengan suling emasnya, juga ternyata memiliki tenaga sinkang yang hebat sekali di samping tenaga khikang yang membuat sulingnya dapat bersuara melengking tinggi menggetarkan jantung.

Maka nenek ini pun mengambil keputusan bulat untuk mengeluarkan ilmunya yang paling ampuh, yang merupakan senjata rahasianya yang selama ini bahkan belum pernah dikeluarkannya menghadapi lawan-lawan tangguh. Pada waktu itu, Ci Sian yang melihat betapa lawannya sudah nampak lelah sekali, memutar sulingnya dan melakukan desakan hebat sehingga Ji-ok terpaksa hanya main mundur dan mengelak ke sana sini. Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya seperti orang hendak lari.

Tentu saja Ci Sian tidak membiarkan lawannya melarikan diri dan ia pun cepat meloncat mengejar. Dan pada saat itu pula, tiba-tiba Ji-ok membalikkan tubuh lagi dan kedua tangannya menyerang dengan jurus Kiam-ci yang mengeluarkan suara bercuitan. Dan bukan hanya tusukan-tusukan jari yang dahsyat ini saja yang menyambar ke arah Ci Sian, akan tetapi juga didahului oleh dua sinar hitam yang menyambar dan tahu-tahu dua sinar itu telah mengenai leher dan juga pinggang Ci Sian.

Semua orang terkejut sekali melihat dua sinar ini adalah dua ekor ular yang sangat berbahaya. Semacam ular cobra yang jahat dan beracun sekali! Ular-ular cobra itu sudah melingkari leher dan pinggang Ci Sian dan semua orang tahu bahwa sekali saja terkena gigitan ular seperti ini, maka tidak ada obat di dunia ini yang akan dapat menyelamatkan nyawa orang yang digigitnya.

Hanya Kam Hong yang masih nampak tenang-tenang saja, padahal Cin Liong dan Hong Bu sudah menahan seruan dan wajah kedua orang muda ini sudah menjadi pucat sekali. Juga Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In memandang dengan mata terbelalak, walau pun Yu Hwi juga segera tersenyum karena ia teringat bahwa Ci Sian akan mampu menghadapi ular-ular itu.

Dugaannya memang benar dan hal ini pun diketahui oleh Kam Hong maka pendekar ini nampak tenang saja. Ci Sian adalah murid terkasih dari See-thian Coa-ong, raja ular yang memiliki ilmu pawang ular yang lihai bukan main. Gadis ini selain telah menguasai Sin-coa Thian-te-ciang, ilmu silat ular yang lihai, juga telah menguasai ilmu pawang ular.

Maka begitu ia tadi melihat bahwa senjata rahasia lawannya adalah dua ekor ular cobra, diam-diam ia tertawa dan segera mengerahkan ilmu menundukkan ular itu. Hebatnya, begitu ular-ular itu mengenai leher dan pinggangnya, dua ekor ular yang segera mengenal ilmu itu dan tahu bahwa manusia ini adalah ‘ratu’ mereka, sama sekali tidak menggigit malah lalu melingkar dengan manja!

Yu Hwi maklum bahwa Ci Sian pernah menjadi murid See-thian Coa-ong, dan Kam Hong juga tahu akan hal ini, maka mereka berdua tidak merasa khawatir. Akan tetapi, tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terjengkang! Kam Hong sendiri sampai terkejut setengah mati melihat hal yang tidak diduga-duganya ini.

Ji-ok terkekeh girang, lalu menubruk untuk memberi pukulan maut terakhir. Akan tetapi, mendadak kedua tangan Ci Sian bergerak dan dua ekor ular itu kini meluncur ke arah tubuh Ji-ok yang sedang menubruk, dengan mulut mendesis penuh kemarahan! Ji-ok terkejut, namun tidak mampu mengelak lagi dan dua ekor ular itu telah mengenai pundak kanan dan paha kirinya, terus saja dua ekor ular cobra itu mematuk dan menggigit! Ji-ok menjerit ngeri, lalu terpelanting.

Ci Sian juga sudah melompat bangun, sulingnya menotok ke arah tenggorokan wanita itu. Ji-ok mengelak dan suling itu mengenai topengnya. Terdengar suara keras dan topeng itu terlepas dari muka Ji-ok. Dan semua orang pun menahan seruan kaget dan ngeri ketika melihat muka nenek itu.

Muka yang cantik sesungguhnya, biar pun sudah tua akan tetapi kulit muka itu masih halus dan putih. Bentuk mulutnya, hidungnya, matanya, semua jelas menunjukkan bahwa muka itu dahulu adalah wajah seorang wanita yang amat cantik. Akan tetapi, sungguh mengerikan sekali, wajah yang demikian eloknya itu ternoda oleh goresan bersilang dari atas kiri ke bawah kanan dan dari atas kanan ke bawah kiri sehingga membuat muka itu nampak mengerikan sekali! Sekarang semua orang baru tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu tersembunyi wajah cantik yang sudah cacad.

Tentu saja Ji-ok yang mempunyai senjata rahasia ular cobra yang amat berbahaya telah menggunakan obat sehingga tubuhnya kebal terhadap gigitan ular-ular itu, dan biar pun tadi dua ekor ular yang telah dikuasai oleh ilmu Ci Sian itu membalik dan menggigit majikan sendiri, namun Ji-ok tidak terancam bahaya maut oleh gigitan itu. Yang membuatnya terkejut bukan main adalah terlepasnya kedok. Ia marah sekali dan menubruk ke arah Ci Sian tanpa mempedulikan lagi keselamatan dirinya, sama sekali tidak lagi memperhatikan daya tahan untuk melindungi dirinya. Ia seperti orang nekad yang hendak mengadu nyawa dengan lawannya.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Wanita ini ketika mula-mula memakai kedok tengkorak, telah bersumpah bahwa tidak ada orang lain yang boleh melihat wajahnya dan kalau sampai wajahnya nampak oleh orang lain berarti ia akan mati! Maka, begitu kedoknya terlepas oleh pukulan suling lawan, ia pun menjadi marah dan melakukan serangan nekad, menubruk dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar garuda, dengan kuku panjang yang mengandung tenaga dahsyat dari Kiam-ci itu.

Tentu saja Ci Sian dapat melihat kenekadan lawan, maka ia pun cepat meloncat ke samping dan melihat betapa tubuh orang terbuka tanpa perlindungan, sulingnya sudah menyambar, merupakan sinar kuning emas yang meluncur cepat.

“Takkk....! Aihhhh....!”

Ji-ok mengeluarkan jeritan satu kali lalu tubuhnya terguling dan jatuh menelungkup di atas tanah, tewas seketika karena dua kali tubuhnya tertotok ujung suling, pertama kali pada lambungnya lalu disusul totokan pada leher bawah telinganya.

Bukan main sedihnya hati Toa-ok melihat tewasnya Ji-ok dan Sam-ok di depan matanya tanpa ia mampu melindungi mereka itu. Kini tinggal dia seorang diri di dunia. Im-kan Ngo-ok yang terdiri dari lima orang itu kini tinggal dia seorang saja. Su-ok dan Ngo-ok telah tewas lebih dulu dan kini menyusul Sam-ok dan Ji-ok. Biar pun Toa-ok merupakan seorang datuk kaum sesat yang biasa berhati kejam sekali, akan tetapi sekali ini dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri.

Dengan muka berubah merah dia sudah melompat ke depan. Ketika dia menggerakkan tangannya, lengan bajunya berkibar dan dari situ menyambar angin dahsyat ke depan, membuat debu mengebul dan daun-daun kering beterbangan. Akan tetapi Ci Sian yang merasa lelah dan juga girang karena telah berhasil keluar sebagai pemenang, kini telah meloncat ke belakang dan tidak mau melayani Toa-ok yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan bersinar-sinar penuh kemarahan dan dendam.

Tanpa membuang waktu lagi, Sim Hong Bu melangkah maju sambil berkata kepada Kam Hong, “Biar aku yang melayaninya.”

Kam Hong mengangguk. “Hati-hatilah, Saudara Hong Bu, lawanmu itu cukup tangguh.”

Melihat majunya pemuda tegap sederhana yang sikapnya gagah ini, Toa-ok segera menghadapinya dan sepasang matanya yang masih terbelalak penuh kemarahan itu seperti hendak menelan Hong Bu bulat-bulat. Dia mengenal pemuda ini, bahkan dia tahu pula bahwa pemuda inilah yang dahulu bersahabat dengan Yeti. Mengingat bahwa pemuda ini baru beberapa tahun saja mempelajari ilmu silat, tentu saja Toa-ok yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan pemuda ini, walau pun dia sama sekali tidak mau bersikap sembrono dan memandang rendah.

Tadi sudah disaksikannya betapa orang-orang muda seperti Kao Cin Liong dan Bu Ci Sian telah mampu merobohkan dan menewaskan Sam-ok dan Ji-ok. Dia sekarang harus dapat membalas kematian dua orang adik-adiknya itu. Akan tetapi ketika Hong Bu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampak sinar biru berkelebat, Toa-ok merasa gentar juga. Bagaimana pun juga, pemuda ini sudah pernah membuktikan kelihaiannya ketika dikeroyok dan dapat juga melarikan diri. Pedang di tangan pemuda itu adalah sebatang pedang yang amat ampuh, dan juga ilmu pedang yang dimiliki pemuda ini luar biasa aneh dan lihainya, maka Toa-ok bersikap hati-hati.

Di antara kelima orang Im-kan Ngo-ok, hanya Toa-ok sajalah yang tidak pernah mau mempergunakan senjata. Tentu saja, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, dia pandai memainkan segala macam senjata yang dipergunakan orang di dunia persilatan. Tetapi, tokoh ini memiliki tingkat yang tinggi dan tenaga sinkang yang kuat sekali sehingga dia tidak lagi membutuhkan bantuan senjata. Kedua lengannya yang panjang dan besar itu telah dilindungi oleh kekuatan sinkang dan dapat menahan senjata tajam yang bagai mana pun kuatnya. Setiap serangan tangan atau kakinya juga lebih berbahaya dari pada senjata tajam.

Setelah melihat pemuda pewaris Koai-liong Po-kiam itu mencabut pedangnya, Toa-ok juga tidak mau banyak cakap lagi. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor monyet raksasa, kakek ini pun lalu mulai membuka serangannya.

Gerakannya biasa saja, seperti bukan gerakan silat, juga nampak kaku dan dia hanya mengembangkan kedua lengannya ke depan dan kedua tangannya itu menyambar dari atas, kanan dan kiri, akan tetapi, biar pun nampak kaku dan lamban, namun dari kedua tangannya itu menyambar angin pukulan yang dahsyat sekali, yang mengeluarkan suara angin keras.

Dan baru saja kakek itu mulai dengan serangannya, Hong Bu sudah merasakan sambaran hawa pukulan yang amat panas. Maka pemuda ini pun lalu memutar pedangnya dan selain mengelak serta melindungi diri dengan gulungan sinar pedang kebiruan, juga dia membalas secara kontan dengan tusukan pedangnya ke arah perut lawan yang agak gendut itu.

“Trakkk!”

Toa-ok menangkis dengan lengannya, sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaga, mencoba membuat pedang lawan terpental, bahkan tangkisan itu disambung dengan cengkeraman untuk merampas pedang. Ketika lengan bertemu pedang, Hong Bu merasa betapa pedangnya tergetar hebat, akan tetapi dia pun cepat menarik pedangnya itu dan gulungan sinar pedang kembali berkelebat dan sudah membabat ke arah leher lawan. Ketika Toa-ok mengelak, pedang itu sudah menyambar lagi dengan dahsyatnya, seolah-olah mempunyai nyawa dan setiap serangan yang tidak mengenai sasaran disambung dengan serangan berikutnya.

Terjadilah perkelahian yang sama serunya dengan dua pertandingan yang terdahulu. Bahkan lebih menegangkan lagi karena para pendekar itu maklum bahwa kepandaian Toa-ok ini masih lebih lihai dibandingkan dengan Ji-ok atau Sam-ok. Sekali ini, yang paling khawatir adalah Cu Pek In. Dara ini biar pun merupakan puteri dari pendekar sakti keluarga Cu, namun tingkat kepandaiannya belumlah setinggi Hong Bu, maka ia hanya dapat menonton dengan hati gelisah. Ia pun tahu betapa lihainya kakek yang seperti gorila itu dan biar pun gerakan kakek itu kaku dan aneh seperti gerakan seekor monyet raksasa, namun ia mengerti bahwa kalau tidak lihai bukan main, tidak nanti kakek yang mukanya menyerupai monyet ini dapat menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok!

Sim Hong Bu maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani memandang rendah dan kini pemuda itu mulai memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang amat hebat itu. Perlahan-lahan nampak sinar pedang berwarna biru begulung-gulung, makin lama makin cepat dan makin lebar. Mula-mula hanya terdengar bunyi berdesing, lalu bunyi itu makin meninggi menjadi lengking yang aneh, seperti auman singa, makin lama makin nyaring sampai menggetarkan anak telinga.

Pedang itu lenyap membentuk gulungan sinar biru yang agaknya memenuhi tempat itu, membungkus tubuh Sim Hong Bu sehingga yang nampak pada diri pendekar muda perkasa ini hanya kedua kakinya yang kadang-kadang turun ke atas tanah, akan tetapi sebentar saja sudah lenyap lagi.

“Hyaaaattt....!”

Tiba-tiba terdengar teriakan Hong Bu di antara lengking suara pedangnya, dan dengan gerakan kilat sinar biru menyambar ke arah leher Toa-ok. Jurus ini amat hebatnya, tusukan pedang itu bergetar, membuat ujung sinar pedang itu menjadi banyak dan membingungkan lawan karena sukar untuk menduga ke arah mana pedang itu akan menyerang.

Akan tetapi, Toa-ok yang juga berkelahi dengan amat hati-hati itu tahu bahwa lehernya yang menjadi sasaran utama, maka dia pun sudah miringkan tubuh menarik kepalanya ke belakang dan kedua lengannya membuat gerakan menggunting dalam usahanya menangkap pedang lawan. Tapi Hong Bu menarik sedikit pedangnya dan menggunakan ujung pedang untuk menusuk ke arah sambungan siku kanan Toa-ok.

“Hemmm!” Toa-ok mendengus, menarik sikunya turun dan tangan kirinya menangkis pedang sedangkan tangan kanan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Sim Hong Bu.

Pemuda ini tentu saja tahu akan datangnya bahaya maut, maka sambil menarik pedangnya dia melompat ke belakang. Akan tetapi, alangkah terkejut hati pemuda itu ketika melihat betapa tangan yang besar berbulu seperti tangan monyet itu masih terus saja mengejar kepalanya dan mengancam dengan cengkeraman yang mengerikan. Kiranya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini mempunyai ilmu memanjangkan lengan tangan sehingga biar pun Hong Bu sudah mundur sampai dua meter, lengan itu masih dapat menjangkaunya dan tangan itu masih meneruskan serangannya.

“Plakkk!”

Terpaksa Hong Bu menangkis dengan lengan kirinya yang kebetulan berada dalam posisi yang baik untuk menangkis sedangkan pedangnya tidak sempat melindungi dirinya. Dan tangkisan ini membuat Hong Bu terhuyung. Diam-diam pemuda ini merasa kagum dan juga kaget. Nyaris dia menjadi korban ilmu aneh memanjangkan lengan itu! Maka dia pun cepat menyusuli tangkisannya dengan babatan pedangnya ke arah sambungan siku lengan yang memanjang itu.

“Wwuuuuttt....!”

Tiba-tiba saja lengan yang panjangnya lebih dari dua meter itu menjadi pendek kembali seolah-olah ditarik dengan amat cepatnya dan kini kakek raksasa seperti monyet itu sudah memutar tubuhnya dan kedua kakinya sudah melakukan serangan Im-yang Soan-hong-twi (Ilmu Tendangan Angin Puyuh Im dan Yang). Kedua kaki yang besar dan panjang itu dengan amat cepatnya berputar-putar silih berganti melakukan tendangan berantai dan ketika Hong Bu mengelak dan beberapa kali menangkis, dia memperoleh kenyataan bahwa tendangan itu selang-seling dengan dua macam tenaga lemas dan kasar.

Menghadapi tendangan berantai yang ganas ini, Hong Bu lantas memutar pedangnya dengan jurus Naga Sakti Bercanda Dengan Mustika. Pedang itu berputar membentuk lingkaran sinar biru di depannya, merupakan benteng yang berbahaya bagi kedua kaki Toa-ok yang terpaksa menghentikan tendangan berantai itu karena terdapat bahaya kakinya akan menjadi buntung kalau berani memasuki lingkaran sinar biru itu.

Setelah kini Hong Bu mainkan Koai-liong Kiam-sut, mengeluarkan jurus-jurus pilihan saja sehingga pedangnya mengeluarkan suara mengaum-aum nyaring, perlahan-lahan Toa-ok nampak repot juga, terdesak karena memang ilmu pedang ini luar biasa sekali dan dia belum dapat mengenal dasar-dasarnya.

“Arrrghhh....!” Bentakan yang keluar dari kerongkongan Toa-ok ini mirip benar dengan gerengan seekor monyet yang sedang marah, dan tiba-tiba saja tangan kiri kakek itu dapat menangkap pedang Koai-liong Po-kiam!

Dapat dibayangkan betapa lihainya kakek ini yang telah dapat menangkap pedang telanjang dengan tangan kosong, padahal pedang itu tadi berubah menjadi sinar berkelebatan. Hong Bu terkejut, merasa betapa pedangnya seperti terjepit pada sebuah jepitan baja yang amat kuat! Dia menarik dan membetot, tidak dapat ditarik kembali.

Dan pada saat itu, Toa-ok telah menghantamkan tangan kanannya yang terbuka lebar itu ke arah dada Hong Bu dengan dorongan tenaga sinkang yang amat kuatnya! Karena pedangnya masih terjepit di tangan lawan, tentu saja Hong Bu tidak mau mengelak dan melepaskan pedang. Dia tahu bahwa kalau dia kehilangan pedang pusaka itu, maka dia akan menjadi bagaikan harimau yang dicabuti giginya, dan jalan satu-satunya untuk menghadapi pukulan telapak tangan lawan itu hanya dengan keras melawan keras. Maka dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya, menerima hantaman itu dengan memapaki tangan dengan tangan pula.

“Dessss....!”

Dua telapak tangan bertemu, dan telapak tangan kakek itu dua kali lebih lebar dari pada telapak tangan Hong Bu. Akan tetapi pendekar muda ini pun tadi sudah menggunakan sinkang sekuatnya sehingga ketika dua telapak tangan bertemu, kedua tangan itu seperti saling melekat, tidak dapat ditarlk kembali karena siapa yang menarik lebih dulu, akan menghadapi bahaya maut karena lawan tentu langsung menyerangnya.

Maka kini keduanya berkutetan, sebelah tangan saling menarik pedang untuk merampasnya, sebelah tangan yang lain saling dorong mengadu kekuatan sinkang! Keadaan amat menegangkan, bahkan Cin Liong sudah mengepal-ngepal tinjunya, ragu-ragu apakah pemuda itu akan mampu menandingi Toa-ok dalam adu tenaga ini.

Memang Hong Bu mulai terdesak dalam adu tenaga ini. Bagaimana pun juga inti ilmu yang diwarisinya adalah ilmu pedang dan kini setelah pedangnya tertangkap dan dia tidak lagi mampu mempergunakan ilmu pedangnya, maka tentu saja kelihaian Hong Bu seperti mati langkah, dan dalam hal tenaga sinkang, dia masih kalah oleh orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu!

Kalau dilanjutkan adu tenaga itu, tentu Hong Bu akan kalah dan Kam Hong sudah bersiap-siap untuk menyelamatkan sahabatnya itu, bukan untuk mengeroyok namun untuk menyelamatkan sahabatnya dan tentu saja mengaku kalah. Kekalahan di pihaknya berarti harus membiarkan yang menang untuk pergi dengan aman! Sedangkan orang seperti Toa-ok itu amatlah berbahaya kalau dibiarkan berkeliaran di dunia ini.

Akan tetapi, mendadak saja Toa-ok yang seperti juga Hong Bu tidak mampu lagi mempergunakan kedua tangan itu, menggerakkan kepalanya dan mulut yang agak lonjong ke depan seperti monyong monyet itu, dengan giginya yang besar-besar dan bersiung, dibuka dan hendak menggigit ke arah tenggorokan Hong Bu!

Semua orang terkejut sekali melihat ini, bahkan Hong Bu sendiri juga kaget. Tidak disangkanya bahwa seorang tokoh persilatan yang begitu tinggi kedudukannya, seorang datuk seperti Toa-ok, mau mempergunakan cara yang hanya dilakukan binatang buas dalam perkelahian, yaitu menggigit! Betapa pun aneh dan lucunya hal ini, namun harus diakui bahwa serangan menggunakan mulut untuk menggigit tenggorokan ini amat berbahaya.

Tentu saja Hong Bu tak lagi bisa mengelak. Tangan kanannya masih mempertahankan pedang pusaka yang hendak dirampas, dan tangan kirinya masih menahan telapak tangan Toa-ok. Dua tangannya tak dapat dipakai untuk menangkis, dan untuk mengelak ke belakang pun tidak mungkin.

Akan tetapi, pemuda ini teringat bahwa dahulu, sebelum dia menjadi murid pendekar sakti keluarga Cu, dia pernah mempelajari ilmu silat tingkat rendahan dari ayahnya dan para pamannya. Dan di dalam latihan-latihan ketangkasan dan latihan tenaga ini ada semacam latihan yang pernah dilatihnya, bahkan telah dikuasainya dengan baik, yaitu melatih kepalanya, terutama bagian dahi untuk menyerang! Dengan latihan yang tekun, di waktu dia masih kecil saja dia sudah mempunyai batok kepala yang kuat dan dengan dahi kepalanya dia sudah mampu menghancurkan batu bata yang keras.

Kini, kepandaian ini timbul dalam benaknya ketika dia menghadapi bahaya. Kekuatan kepalanya yang hanya berkat latihan dan dilandasi kekuatan otot dan kekerasan tulang kepala yang dilatih itu tentu saja tidak akan berguna, bahkan berbahaya kalau dilawan oleh tenaga sinkang lawan, maka dia pun tidak pernah mau menggunakan kepalanya dalam pertempuran.

Akan tetapi sekali ini dia menghadapi gigi! Dan tidak terdapat jalan lain untuk menyelamatkan tenggorokanhya dari ancaman gigi yang besar-besar dan runcing itu. Maka, dengan cepat Hong Bu juga menggerakkan kepalanya, menyambut mulut lawan yang dimoncongkan untuk menggigitnya itu dengan benturan yang dilakukan dengan sekuat tenaga.

“Bresss....!”

Bukan main hebatnya pertemuan antara mulut dengan dahi itu dan terdengar Toa-ok berteriak keras sambil meloncat ke belakang. Mulutnya berdarah dan ternyata giginya rontok dan bibirnya pecah-pecah berdarah. Gigi orang yang sudah tua ini, yang hanya tinggal beberapa potong dan itu pun sudah kurang kuat, tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan dahi yang terlatih dan kuat itu!

Toa-ok menjadi marah sekali. Bukan hanya dia telah dibikin rugi, kehilangan semua sisa giginya dan bibirnya berdarah, tetapi juga dia telah mendapat malu karena keadaannya itu sama saja artinya dengan dia menderita kekalahan. Sambil menggereng, dia pun lalu menerjang maju dan angin yang keras mendahului terjangannya ini. Kedua lengannya dipentang lebar-lebar ke atas, seperti seekor orang hutan raksasa sedang marah dan menyerang, dari tenggorokannya keluar gerengan yang menggetarkan jantung.

Akan tetapi, Hong Bu sudah siap menanti kemarahan lawan ini, pedangnya berkelebat ke depan dan pada saat kedua tangan dari atas itu menerkam, Hong Bu menyelinap di bawah ketiak kanan lawan sambil membalik dan pedangnya menusuk lambung.

“Crotttt!”

Biar pun pedang itu tidak dapat memasuki lambung yang penuh dengan hawa sinkang yang kuat itu, namun tetap saja baju kakek itu di bagian lambung terobek, berikut kulit lambung dan sedikit dagingnya, cukup untuk membuat darahnya mengucur dari tempat itu. Sedangkan Hong Bu sudah meloncat menjauh.

Kembali kakek yang semakin marah itu menerjang, dan sekali lagi Hong Bu mengelak sambil menyerang, sekali ini pedangnya berhasil menggores pipi dan leher lawan yang menjadi robek kulitnya dan berdarah. Dan ketika kakek itu membalik, lawannya yang lincah itu sudah menjauh pula. Hong Bu kini memperoleh akal, mempergunakan siasat seperti seekor lebah menyengat lalu terbang menjauh, menyengat lagi dan menjauh lagi. Dan dia pun tahu di mana letak kelemahan lawannya atau di mana dia dapat mengungguli lawan, yaitu pada kecepatan gerakan.

Mengandalkan kecepatannya ini, dan mengandalkan pedang Koai-liong Po-kiam yang amat tajam, maka mulailah Hong Bu dapat mengacau lawan, bahkan kini sengatan pedangnya semakin cepat dan semakin sering sehingga lewat tiga puluh jurus saja, baju yang menutupi tubuh Toa-ok sudah robek-robek di sana-sini dan pada setiap tempat yang terobek itu tentu ternoda darah.

Toa-ok merasa penasaran sekali, dia pun sudah mengerahkan tenaga dan kecepatannya, namun pemuda itu terlalu lincah baginya, dan ilmu pedang pemuda itu masih belum juga dapat dia pecahkan rahasia dasarnya sehingga dia selalu dibuat bingung, tidak dapat mengikuti ke mana arah perkembangan sinar pedang yang cepat itu.

Toa-ok benar-benar merasa kewalahan sekarang. Kalau tadinya, dengan sinkang-nya dia masih dapat melindungi seluruh tubuh sehingga sengatan-sengatan ujung pedang itu hanya mendatangkan luka kulit daging yang kecil dan dangkal saja, makin lama sengatan-sengatan itu makin dalam karena tenaga pemuda itu semakin bertambah sedangkan tenaganya sendiri sudah menjadi makin lemah. Tubuh yang mulai tua dan kurangnya latihan membuat dia terpaksa mengakui keunggulan lawan yang masih muda itu.

Betapa pun juga setelah lewat seratus jurus lebih, ketika untuk kesekian kalinya ujung pedang pemuda itu menyengat dan mengenai paha kirinya, tiba-tiba dia membarengi dengan hantaman kedua tangannya, dengan pengerahan tenaga yang masih bersisa, tanpa mempedulikan sengatan pedang pada pahanya.

“Crott! Desss....!”

Tubuh Hong Bu terlempar dan terguling-guling sampai lima meter jauhnya, akan tetapi celana di paha Toa-ok terobek dan darah muncrat dari lukanya yang cukup dalam karena pedang itu menusuk sampai mengenai tulangnya! Rasa nyeri membuat Toa-ok menggereng dan melihat pemuda itu bergulingan, dia pun menubruk ke depan tanpa memberi kesempatan pemuda itu untuk bangun kembali.

Serangan ini hebat bukan main dan Pek In sudah menjerit, akan tetapi Cu Kang Bu, juga Kam Hong dan Ci Sian dapat melihat gerakan pemuda itu ketika menerima hantaman dengan bahunya dan mereka bertiga menduga dengan penuh harapan bahwa Hong Bu setengah sengaja membiarkan dirinya dihantam tadi.

“Wuuuttt....!” Toa-ok menubruk seperti seekor singa kelaparan menubruk seekor domba saja.

“Crottt....!” Pedang Koai-liong Po-kiam menembus lambung.

Hong Bu cepat meloncat menyingkir dan terpaksa meninggalkan pedang yang terbenam di lambung lawan itu karena kalau tidak, tentu dia terpaksa menerima cengkeraman yang dahsyat sekali itu.

“Bressss....!”

Biar pun Toa-ok sudah terluka hebat, pedang itu pun menembus lambung sampai ke belakang tubuh, namun batu besar yang kena ditubruknya dan dicengkeramnya itu pecah berhamburan. Debu mengepul tinggi dan bumi rasanya terguncang! Dia masih bangkit, menggereng-gereng dan dengan kedua tangannya, dia memegang gagang pedang pusaka itu dan mencabutnya.

Begitu dicabut, darah muncrat-muncrat dan Toa-ok memutar-mutar pedang Koai-liong Po-kiam yang berlepotan darah itu, menyerbu ke arah Hong Bu! Pemuda ini terpaksa mengelak ke sana-sini dengan hati penuh kagum dan juga gentar melihat lawan yang lambungnya sudah ditembusi pedang itu masih dapat mengamuk seperti itu. Akan tetapi tiba-tiba serangan Toa-ok terhenti. Kakek itu berdiri kejang, matanya terbelalak, lalu terpelanting dan roboh miring.

Dia masih bangkit, menggereng-gereng dan dengan kedua tangannya, dia memegang gagang pedang pusaka itu dan mencabutnya dengan pedang masih di tangan! Dia tewas dalam keadaan penasaran dan pedang lawan masih digenggamnya, mukanya masih memperlihatkan kebengisan. Dengan hati-hati Hong Bu menghampiri, khawatir kalau-kalau orang jahat itu menjebaknya dan pura-pura pingsan atau mati. Akan tetapi ternyata ketika dia merampas pedangnya, pedang itu dengan mudah berpindah tangan dan dengan kakek itu terkulai lemas dan ketika diperiksa, ternyata lawannya itu telah tewas.

Melihat ini, para pasukan, seperti juga ketika tadi ketika menyambut kemenangan Cin Liong dan kemudian Ci Sian, bersorak dan memuji. Tetapi sebaliknya Hek-i Mo-ong memandang kepada mayat Toa-ok dengan mata pucat dan mata terbelalak. Tiga orang pembantunya atau sekutunya telah tewas semua dan kini hanya tinggal dia seorang diri! Kam Hong sudah melangkah maju dan memandangnya sambil tersenyum, akan tetapi sinar matanya penuh tantangan.

“Hek-i Mo-ong, kini tiba giliran kita untuk menentukan siapa di antara kita berdua yang berhak untuk hidup!”

Akan tetapi tiba-tiba kakek raksasa yang rambutnya sudah putih dan pakaiannya serba hitam itu mengeluarkan suara menggeram parau yang aneh, akan tetapi suara ini mengandung pengaruh yang amat berwibawa dan semua orang yang ada di situ tergetar hatinya dan memandang dengan kaget dan gentar. Nampak sinar merah ketika kakek itu sudah mengeluarkan sebatang kipas merah yang sudah dikembangkan, matanya berapi-api memandang kepada Kam Hong, kemudian terdengar suaranya yang parau menggetar.

“Orang she Kam! Kau kira akan dapat melawanku? Ha-ha-ha-ha, lihat baik-baik, kalian semua, ha-ha-ha-ha!”

Kam Hong maklum bahwa kakek ini mempunyai kekuatan sihir, maka dia pun sudah siap dan mengerahkan kekuatan batin untuk melawannya. Akan tetapi, tetap saja dia terbelalak, seperti semua orang lain yang berada di situ, melihat betapa kakek raksasa berjubah hitam itu tiba-tiba saja, perlahan-lahan, berubah menjadi besar dan tinggi, sampai tiga meter tingginya dan suara ketawanya makin lama makin nyaring bergema! Jenderal Muda Kao Cin Liong juga terkejut dan pemuda perkasa ini maklum bahwa kakek yang pandai ilmu silat itu berbahaya sekali, maka dia pun cepat memberi aba-aba kepada pasukan.

“Kepung tempat ini, jangan biarkan iblis itu melarikan diri!”

Dengan panik karena mereka merasa ketakutan, para penjaga keamanan itu segera melakukan pengepungan. Sementara itu, Kam Hong sudah mencabut sulingnya dan terdengar suara melengking lembut sekali ketika pemuda perkasa ini menyerang raksasa itu dengan suling emasnya.

“Blarrrr....!” Raksasa yang dihantamnya dengan suling itu seperti meledak dan lenyap dalam asap hitam tebal.

“Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawa Hek-i Mo-ong kini terdengar di sebelah belakang Kam Hong.

Ci Sian juga sudah mencabut sulingnya dan kembali terdengar suling melengking ketika gadis ini pun menerjang maju, menyerang kakek itu yang berada di belakang Kam Hong. Baru mereka tahu bahwa raksasa tinggi besar tadi hanyalah jadi-jadian saja, hasil ilmu hitam kakek itu. Akan tetapi, terpaksa Ci Sian mundur lagi ketika dari tempat dia berdiri, kakek itu sudah menggerakkan tangan ke arahnya dan tiba-tiba saja terdengar ledakan di depan Ci Sian dan asap hitam menggelapkan segalanya.

“Sian-moi, hati-hati....!” Kam Hong berseru saat melihat dara itu terhuyung ke belakang.

Dia cepat meloncat mendekati dan menyambar tangan dara itu. Akan tetapi Ci Sian tidak terluka, hanya terkejut saja dan terhuyung karena terkejut oleh ledakan dan asap. Suara ketawa itu masih terdengar terus, disusul dengan ledakan-ledakan yang mengeluarkan asap hitam.

“Cegah dia lari!” Kam Hong berseru.

Juga Hong Bu bersama Ci Sian yang pernah melawan kakek ini dan melihat betapa kakek ini dapat melarikan diri dengan bantuan asap-asap hitam, sudah cepat meloncat ke sana-sini untuk mencari kakek itu dan mencegahnya melarikan diri.

Akan tetapi ledakan-ledakan masih terus berbunyi dan asap semakin tebal. Di antara gumpalan asap hitam itu, terdengar suara ketawa Hek-i Mo-ong, disusul suaranya yang parau, “Biarlah sekali ini aku mengaku kalah. Tetapi tunggu saja kalau Hek-i Mo-ong sudah mengumpulkan kembali kekuatannya. Ha-ha-ha!”

Suara ketawa itu semakin jauh dan biar pun para pendekar, termasuk Cu Kang Bu dan Yu Hwi, mencari dan mengejar, usaha mereka tidak berhasil dan setelah asap hitam bergumpal-gumpal itu membuyar, kakek iblis itu pun sudah tidak nampak lagi dan tidak meninggalkan jejak. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan terdesak, kakek yang memiliki ilmu iblis itu telah dapat meloloskan diri.

Kam Hong menarik napas panjang. “Ahh, sukar memang menghadapi ilmu hitamnya. Dan selama Hek-i Mo-ong masih berkeliaran dengan bebas dipermukaan bumi ini, tentu dia hanya akan menyebar kejahatan belaka.”

“Betapa pun juga, Kam-taihiap telah berhasil membasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok dan ini merupakan hasil gemilang,” kata Cin Liong.

“Kenapa aku? Yang membasmi adalah termasuk engkau pula, Saudara Kao. Memang, kalau para pendekar muda mau bersatu, kiranya orang-orang jahat akan menerima hajaran keras dan mereka tidak akan berani merajalela secara semena-mena.”

Thio-ciangkun, komandan pasukan itu, lalu mengerahkan pasukannya untuk membuat pembersihan, mengangkut mayat-mayat dan menangkapi sebagian dari anak buah guru silat Koa Cin Gu yang tadi melempar senjata dan menyerahkan diri.

Para pendekar muda itu bercakap-cakap dan saling mengagumi kepandaian masing-masing. Hati Kam Hong merasa girang dan juga kagum sekali kepada Sim Hong Bu dan Kao Cin Liong. Biar pun dua orang pemuda itu belum lama berselang telah menderita pukulan batin dengan penolakan Ci Sian atas pinangan mereka, namun kini sikap mereka sama sekali tidak berubah, tidak memperlihatkan penyesalan atau kekecewaan hati, seperti sikap seorang sahabat karib yang tidak pernah terjadi sesuatu yang tidak baik di antara mereka.

Juga Cu Kang Bu merasa kagum sekali pada mereka. Semenjak muda dia banyak bersembunyi di lembah dan kini baru dia mengenal para pendekar yang benar-benar amat mengagumkan hatinya dan diam-diam dia pun merasa betapa keluarganya, keluarga Cu, selama ini merasa bahwa merekalah yang paling pandai sehingga mereka itu menjadi agak angkuh dan memandang rendah orang lain. Kini, semua perasaan penasaran terhadap Kao Cin Liong dan Kam Hong yang pernah dianggap musuh oleh keluarganya itu, lenyap dari dalam hatinya.

Yu Hwi juga girang sekali. Kini dengan terjadinya peristiwa itu, di mana mereka semua berkumpul sebagai sahabat-sahabat baik yang saling bantu, ia dapat memandang wajah Kam Hong, bekas tunangannya itu, dengan sinar mata terbuka, memandangnya sebagai seorang sahabat baik yang berilmu tinggi dan tidak ada perasaan lain yang tidak baik tersisa di dalam hatinya terhadap bekas tunangannya ini.

Bahkan Cu Pek In sendiri pun berubah, dan dara ini pun mengagumi Cin Liong, Kam Hong, dan Ci Sian, yang bagaimana pun juga telah menyelamatkan keluarganya, bahkan dengan cara yang mati-matian, mengadu ilmu dengan tokoh-tokoh sesat yang amat lihai.

Kini, mendengar akan pertunangan antara Sim Hong Bu dan Cu Pek In, Ci Sian adalah orang pertama yang memberi hormat. “Kionghi (Selamat), kionghi atas pertalian jodoh antara kalian Pek In dan Hong Bu!”

Cu Pek In menjadi merah mukanya. Ia mengucapkan terima kasih sambil menundukkan mukanya. Juga wajah Hong Bu menjadi merah sekali, tapi dia membalas penghormatan Ci Sian dan berkata sambil tersenyum, “Terima kasih, Ci Sian. Kami pun mengharapkan agar segera menerima undangan kartu merahmu!”

“Ha, tidak perlu menanti lama. Tentu sebentar lagi Kam-taihiap akan mengirim kartu merahnya!”

Mendengar ini, Ci Sian mengerling kepada jenderal muda itu dan Kam Hong hanya tersenyum, sedangkan Hong Bu diam-diam merasa kaget sekali, lalu dia mendekati Kam Hong dan memegang tangan pendekar itu. “Ahhh, betapa buta mataku.... ehh, selamat, Kam-taihiap, sungguh mati, berita ini merupakan berita yang sungguh amat mengejutkan dan menggembirakan hatiku!”

Kam Hong merasa tidak enak terhadap Cin Liong. Bekas tunangannya, Yu Hwi, telah mendapatkan seorang suami yang gagah perkasa seperti Cu Kang Bu itu, dan Hong Bu juga sudah memperoleh jodoh, yaitu Nona Cu Pek In yang cukup jelita dan gagah, sedangkan dia sendiri saling mencinta dengan Ci Sian.

Akan tetapi, hanya Kao Cin Liong seoranglah yang masih belum memperoleh ganti setelah dia tidak berhasil berjodoh dengan Ci Sian. Agaknya semua orang juga merasakan hal ini, maka Kam Hong lalu berkata, “Dan bagaimana denganmu sendiri, Jenderal? Kapan kiranya kami semua akan dapat diperkenalkan kepada calon nyonya Jenderal?”

Ucapan Kam Hong ini, kalau orang lain yang mengucapkan, tentu merupakan kata-kata yang mengandung bahaya, dapat disangkanya sebagai ejekan. Akan tetapi, cara Kam Hong mengucapkannya, dan pandang matanya, sama sekali tidak mengandung ejekan, melainkan merupakan kelakar yang mengandung kesungguhan. Wajah Cin Liong menjadi merah, akan tetapi jenderal muda itu pun tertawa gembira.

“Ha-ha-ha, kalian tunggu saja! Masa aku kalah oleh kalian? Lihat saja nanti, masa di dunia ini tidak ada gadis yang mau menjadi sisihanku? Kalian semua pasti akan menerima undanganku, dan mudah-mudahan tidak akan terlalu lama lagi.”

Setelah bercakap-cakap dengan hati tulus dan dalam suasana gembira, akhirnya mereka semua saling berpisah. Sim Hong Bu bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke barat, ke Lembah Naga Siluman di daerah Himalaya di mana mereka segera pergi menghadap kepada Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang kini bertapa mengasingkan diri, untuk membuat semua laporan. Juga Sim Hong Bu melaporkan tentang tugas-tugas yang diberikan kepadanya oleh gurunya.

Mendengar semua penuturan itu, Cu Han Bu menarik napas panjang.

“Kalau pedang pusaka kita itu oleh Kaisar yang baru sudah direlakan kepada kita, tentu saja hal itu baik sekali dan kita harus berterima kasih kepada Sri Baginda Kaisar yang bijaksana. Dan bagaimana pun juga, engkau telah mengadu ilmu melawan putera Naga Sakti Gurun Pasir, juga dengan pewaris Suling Emas, sehingga dunia tidak akan memandang rendah kepada Pedang Pusaka Naga Siluman.” Kemudian kakek ini lalu merundingkan tentang perjodohan puterinya dengan Hong Bu yang akan dilakukan secepat mungkin dengan mengundang sahabat-sahabat baik saja ke lembah.

Ada pun Kam Hong dan Ci Sian, dua pewaris Ilmu Pedang Suling Emas, meninggalkan tempat itu dan pergi menuju ke Puncak Bukit Nelayan, yaitu tempat yang indah di lereng Tai-hang-san di tepi sungai itu, di mana mereka tinggal berdua dan untuk mengesahkan pernikahan mereka, dua orang ini, atas bujukan Kam Hong, lalu pergi menghadap keluarga Bu Seng Kin yang kini menetap di Cin-an.

Tentu Bu Seng Kin merasa girang sekali melihat betapa puterinya mau menganggapnya sebagai ayah dan dengan terharu dia pun memberi doa restunya, bahkan keluarga Bu ini pula yang merayakan pernikahan ganda antara puterinya Bu Ci Sian dengan Kam Hong, dan antara Siok Lan dengan Cia Han Beng.

Perayaan itu meriah sekali, dikunjungi oleh para tokoh besar dunia kang-ouw, terutama sekali para pendekar patriot. Kemudian, sebagai suami isteri, Kam Hong bersama Ci Sian tinggal di puncak Bukit Nelayan, di istana kuno bekas tempat tinggal Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek.

Bagaimana dengan Kao Cin Liong, jenderal muda yang gagal dalam bercinta itu? Dia tidak patah hati, bahkan dia merasa bergembira sekali melihat dara yang dicintanya itu berjodoh dengan Kam Hong, seorang pendekar yang amat dikagumi.

Pendekar muda putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir ini terlalu gagah untuk mudah begitu saja patah hati seperti seorang yang cengeng….


T A M A T


EPISODE SELANJUTNYA KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 01


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.