CERITA SILAT ONLINE
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE:
SULING NAGA BAGIAN 01
KARYA:
ASMARAMAN S KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
EPISODE:
SULING NAGA BAGIAN 01
KARYA:
ASMARAMAN S KHO PING HOO
PENILAIAN, dalam bentuk apa pun juga, tentu dipengaruhi oleh suka dan tidak suka dari si penilai. Dan perasaan suka atau tidak suka ini timbul dari perhitungan rugi untung. Kalau si penilai merasa dirugikan, baik lahir mau pun batin, oleh yang dinilainya, maka perasaan tidak suka karena dirugikan ini yang akan menentukan penilaiannya, sehingga tentu saja hasil penilaian itu adalah BURUK. Sebaliknya, kalau merasa diuntungkan lahir mau pun batin, akan timbul perasaan suka dan hasil penilaiannya tentu BAIK.
Penilaian menimbulkan dua sifat atau keadaan yang berlawanan, yaitu baik atau buruk. Tentu saja baik atau buruk itu bukanlah sifat asli yang dinilai, melainkan timbul karena keadaan hati si penilai sendiri.
Agaknya belum pernah ada kaisar atau orang biasa siapa pun juga yang dinilai baik oleh orang seluruh dunia. Kaisar Kian Liong, seperti dapat dilihat dalam catatan sejarah, adalah kaisar yang terkenal berhasil dalam memajukan kebesaran pemerintahannya. Akan tetapi, dia pun menjadi bahan penilaian rakyat dan karena itu, tentu saja dia pun memperoleh pendukung dan juga memperoleh penentang.
Seperti dalam pemerintahan kaisar-kaisar terdahulu, dalam pemerintahan Kian Liong ini pun tidak luput dari pemberontakan-pemberontakan, baik besar mau pun kecil. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong selalu bertindak tegas dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan itu dan karena dalam pemerintahannya terdapat banyak panglima-panglima yang tangguh dan pandai, dengan bala tentara yang cukup besar, maka dia selalu berhasil memadamkan api-api pemberontakan yang terjadi di sana-sini.
Pemberontakan yang hebat terjadi pula di daerah Yunan barat daya. Bangsa Birma bersekutu dengan para pemberontak di Propinsi Yunan. Pasukan besar Bangsa Birma memasuki Propinsi Yunan bagian barat daya, menyeberangi Sungai Nu-kiang, bahkan bergerak sampai di tepi Sungai Lan-cang (Mekong).
Tentu saja Kaisar Kian Liong tidak mendiamkan saja bangsa tetangga itu mengganggu wilayah Yunan dan dia segera mengirimkan panglima-panglima perangnya, memimpin pasukan besar untuk menghalau para pengganggu dari Birma itu serta menumpas pemberontakan di Yunan. Kembali terjadi perang!
Perang adalah sebuah peristiwa yang amat jahat dan buruk dalam dunia ini. Puncak kebuasan manusia menuruti nafsu mengejar KESENANGAN. Perang merupakan perluasan dan pembiakan nafsu kotor dalam diri yang mengejar kesenangan dengan cara apa pun juga. Setiap orang atau benda yang dianggap menjadi penghalang usahanya mengejar kesenangan itu akan dihancurkan, dibinasakan.
Perang adalah permainan beberapa gelintir manusia yang kebetulan saja memperoleh kesempatan untuk duduk di tingkat paling atas, menjadi apa yang dinamakan pemimpin-pemimpin bangsa atau golongan atau kelompok, dalam usaha mereka untuk mencapai kedudukan paling tinggi dan kesenangan. Dan siapakah yang menjadi korban kalau bukan rakyat jelata? Para prajurit yang telah digembleng menjadi alat-alat membunuh atau dibunuh itu pun sebagian dari rakyat yang menjadi korban ulah beberapa gelintir manusia yang berambisi itu.
Perang itu amat kejam! Manusia-manusia dirubah untuk menjadi serigala-serigala dan harimau-harimau yang haus darah, menjadi orang-orang yang teramat kejam karena ketakutan, yang berdaya upaya untuk membunuh lebih dulu sebelum terbunuh, menjadi pembunuh berdarah dingin yang disanjung-sanjung serta dipuji-puji oleh mereka yang memperalatnya.
Di dalam perang berlakulah hukum rimba. Siapa kuat dia menang, siapa menang dia pasti benar dan berkuasa atas yang kalah. Bukan ini saja, tetapi di dalam perang juga timbul kejahatan-kejahatan yang diumbar karena desakan nafsu yang paling sesat. Para prajurit yang digembleng untuk melakukan kekerasan itu tentu saja berwatak keras. Bahaya-bahaya dan ancaman-ancaman di dalam perang membuat mereka berwatak keras dan kadang-kadang malah buas.
Ada pula akibat sampingan yang amat menyedihkan. Adanya perang membuat banyak daerah-daerah yang tak bertuan, hukum yang ada hanya hukum rimba. Kesempatan ini digunakan oleh gerombolan-gerombolan yang biasa melakukan perbuatan jahat untuk merajalela. Rakyat pula yang menjadi korban. Tempat atau daerah-daerah yang dilanda perang membuat rakyat jelata ketakutan dan larilah mereka pontang-panting, cerai-berai dan kacau balau meninggalkan dusun atau kota mereka yang mereka tinggali selama ini, sejak mereka kecil.
Terpaksa mereka melarikan diri demi mencari keselamatan, meninggalkan segala yang mereka sayang dan cinta, menuju ke tempat yang belum mereka ketahui atau kenal, memasuki nasib baru yang suram penuh rasa ketakutan dan tanpa adanya ketentuan. Mereka ini adalah rakyat jelata pula.
Pasukan prajurit, yang merupakan sebagian rakyat pula, dipaksa oleh para penguasa untuk menjadi bidak-bidak catur yang dimainkan oleh para penguasa kedua pihak yang saling bertentangan atau berebut kemenangan. Mereka, para prajurit itulah yang akan gugur tanpa dikenal.
Jika menang? Beberapa orang penguasa itulah yang akan menikmati hasil sepenuhnya, dan para prajurit yang mempertaruhkan nyawa dalam arti kata seluas-luasnya itu sudah cukup kalau diberi pujian dan sekedar hadiah atau kenaikan pangkat. Bagaimana kalau kalah? Prajurit-prajurit itu mempertahankan sampai titik darah terakhir, mati konyol atau tertawan, tersiksa, terbunuh, sedangkan para penguasa yang hanya beberapa gelintir orang itu kalau terbuka kesempatan akan cepat-cepat melarikan diri, menyelamatkan diri beserta keluarganya, tidak lupa membawa barang-barang berharga. Mereka akan mengungsi ke negara lain sebagai orang-orang yang kaya raya!
Hal ini bukanlah dongeng, melainkan kenyataan yang dapat kita saksikan, baik dengan menengok ke belakang melalui sejarah mau pun melihat keadaan sekarang di mana timbul perang yang keji itu.
Keluarga kecil itu terdiri dari suami-isteri dan seorang anak perempuan. Ayah itu berusia hampir empat puluh tahun, sang ibu baru berusia tiga puluhan tahun dan masih nampak cantik, sedangkan anak perempuan itu berusia kurang lebih sepuluh tahun. Mereka berhasil menyeberangi Sungai Lan-cang dengan sebuah perahu nelayan kecil. Mereka adalah penduduk di sebelah barat sungai itu. Karena pasukan-pasukan Birma sudah tiba di daerah itu, maka mereka melarikan diri mengungsi ke timur.
Namun mereka mendengar pula betapa pasukan Kerajaan Mancu tidak kalah buasnya dengan pasukan Birma atau pasukan pemberontak. Ternak peliharaan para penduduk desa habis disikat mereka, segala barang berharga dirampas dan banyak pula wanita-wanita diganggu untuk melampiaskan nafsu angkara mereka yang datang dengan dalih ‘hendak melindungi rakyat dari ancaman pemberontakan dan pasukan Birma’. Rakyat dihadapkan pada dua api yang sama-sama panas membakar.
"Ibu, aku capai sekali...," anak perempuan itu mengeluh setelah perahu yang mereka pergunakan untuk menyeberangi Sungai Lan-cang itu hampir tiba di tepi bagian timur.
Anak yang usianya kurang lebih sepuluh tahun itu agak pucat dan nampak lelah sekali. Pakaiannya seperti biasa anak petani dan wajahnya yang ditutupi sebagian rambut panjang kusut itu memiliki garis-garis yang cantik manis, terutama sekali mulutnya yang kecil dengan hiasan lesung pipit di kanan kirinya.
Ibu muda ini merangkulnya, mencoba untuk tersenyum walau pun jelas ada garis-garis kegelisahan dan kelelahan di sekitar matanya. Ibu yang usianya tiga puluhan tahun ini bertubuh montok, dengan kulitnya yang putih dan rambutnya yang panjang hitam. Meski pun pakaiannya sederhana, namun nampak cantik dan manis.
"Kuatkanlah dirimu, Bi Lan, kita menderita kecapaian untuk mencari keselamatan." Ibu itu lalu mengusap air mata anaknya dan memijati kedua kaki anaknya yang nampak membengkak.
Selama sepekan mereka berjalan terus, hampir tak pernah beristirahat. Bahkan makan pun sambil berjalan dan boleh dibilang tidur sambil berjalan pula. Untung bagi mereka, ketika melarikan diri dari dusun mereka dan menyusup-nyusup keluar masuk hutan, naik turun bukit, mereka tidak pernah bertemu dengan gerombolan, hanya bertemu dengan orang-orang yang lari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri dari ancaman perang. Akhirnya mereka pun tiba di tepi Sungai Lan-cang dan berhasil menemukan seorang nelayan tua yang mau menyeberangkan mereka.
"Tenanglah, anakku. Setibanya di seberang kita dapat mengaso untuk menghilangkan lelah. Setelah tiba di seberang, barulah kita aman dan selanjutnya dapat meneruskan perjalanan seenaknya," kata si ayah menghibur.
Ayah ini dengan hati terharu dan duka melihat keadaan mereka yang benar-benar sengsara. Bukan saja kaki isteri dan anaknya luka-luka dan bengkak-bengkak, juga persediaan makan tinggal satu dua hari lagi, sedangkan mereka hanya membawa bekal uang yang kiranya hanya cukup untuk dibelikan makanan selama paling lama sebulan. Setelah itu, bagaimana?
Ngeri dia membayangkan. Belum tahu ke mana tujuan pelarian mereka, belum tahu bagaimana harus mendapatkan penghasilan, dan tidak mempunyai rumah atau tanah, dengan pakaian hanya tiga empat setel saja. Akan tetapi semua itu soal nanti. Yang penting sekarang adalah berada di tempat yang aman! Dan di seberang sungai itulah tempat aman!
Akan tetapi, itu hanya harapan saja. Di jaman seperti itu, tempat manakah yang dapat dianggap aman? Baik di dalam kota, mau pun dusun, di atas bukit atau di tengah hutan sekali pun, selama tempat itu masih didatangi orang, maka keamanan diri pun tidak terjamin lagi. Kejahatan tak memilih tempat, karena kejahatan muncul dari dalam batin, dan selama ada manusia, maka perbuatan jahat pun terjadilah.
Dengan ucapan terima kasih, keluarga yang terdiri dari tiga orang itu meninggalkan nelayan tua yang juga cepat-cepat menengahkan lagi perahunya ke sungai karena bagi nelayan ini, tempat yang paling aman adalah di tengah sungai, di mana dia hanya bergaul dengan perahu, dengan kemudi, dengan dayung, kail, jala dan ikan-ikan. Dan Can Kiong bersama isteri dan puteri tunggalnya, Can Bi Lan, melanjutkan perjalanan memasuki hutan di tepi sungai itu.
Setelah tiba di sebuah pohon besar di mana terdapat petak rumput, tempat yang teduh dan nyaman, barulah Can Kiong mengajak anak isterinya berhenti. Isterinya yang sudah hampir merasa lumpuh kedua kakinya lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput tebal sambil menghela napas panjang karena lega. Puterinya, Bi Lan, segera menjatuhkan diri rebah di atas rumput, berbantal paha ibunya dan dalam waktu sebentar saja anak yang sudah hampir pingsan kelelahan ini pun pulaslah.
Bi Lan tidak tahu berapa lama ia tertidur. Tiba-tiba tubuhnya terguncang dan terdengar suara riuh. Ia cepat membuka matanya dan ternyata ia telah rebah di atas tanah, tidak lagi berbantal paha ibunya karena ibunya sudah bangkit berdiri sambil berteriak-teriak ketakutan. Ketika ia melihat, ternyata mereka telah dikepung oleh belasan orang yang berpakaian seragam namun compang-camping, dengan jenggot kasar dan pandang mata liar! Belasan orang itu semua memegang senjata golok yang mengkilap tajam.
Yang amat mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika melihat ayahnya sedang mati-matian melawan dua orang di antara mereka yang menyerang ayahnya dengan golok. Ayahnya berusaha mengelak ke sana-sini, tapi diiringi suara ketawa belasan orang itu, akhirnya dua orang itu dapat mempermainkan ayahnya dengan menyarangkan golok mereka, mula-mula hanya menyerempet saja, merobek-robek pakaian dan kulit, kemudian makin dalam dan akhirnya ayahnya, yang terus melawan mati-matian, roboh terguling dalam keadaan mandi darah. Dua batang golok masih terus mengejarnya dan menghujankan bacokan sampai tubuh ayahnya hanya menjadi onggokan daging merah yang berlumur darah!
Selagi terjadi pembantaian itu, ibunya menjerit-jerit, apa lagi ketika melihat ayahnya mandi darah dan terguling. Ibu ini hendak lari menubruk suaminya, akan tetapi tiba-tiba seorang laki-laki yang bercambang bauk, paling tinggi besar di antara mereka, dengan muka hitam totol-totol dan buruk sekali, menyambar tubuh ibunya dari belakang. Kedua tangannya meremas-remas dan muka penuh brewokan itu menciumi muka ibunya.
Wanita itu berteriak-teriak, meronta-ronta dan bahkan memukul dan mencakar, akan tetapi dengan hanya satu tangan saja, dua pergelangan tangan wanita itu ditangkap dan tubuhnya lalu dipanggul. Semua orang tertawa-tawa melihat wanita yang dipanggul itu menggerak-gerakkan kedua kaki dan pinggul, meronta-ronta dan menjerit-jerit. Mereka berbicara dalam bahasa asing karena memang mereka adalah Bangsa Birma, sisa pasukan yang terpukul mundur dan tercecer berkeliaran di dalam hutan.
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus, yang mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan liar penuh kebengisan dan kekejaman, berkata sesuatu kepada si tinggi besar yang memanggul wanita itu. Si tinggi besar tertawa dan terkekeh ketika si tinggi kurus menuding ke arah Bi Lan yang masih tetap duduk di atas tanah dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan.
Anak ini tadi ikut menjerit-jerit dan menutupi mukanya saat ayahnya dibantai, kemudian melihat ibunya ditangkap, dia pun menangis dan berteriak-teriak. Hampir dia pingsan melihat semua itu dan kini ia hanya bisa duduk dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci tersudut dan terkurung oleh segerombolan serigala.
Si tinggi kurus muka pucat itu dengan beberapa langkah saja sudah mendekati Bi Lan. Sebelum tahu apa yang terjadi, rambut Bi Lan yang panjang itu sekali dijambaknya dan dengan sekali sentakan saja membuat gadis cilik itu tubuhnya melayang ke atas dan kepalanya terasa sakit karena rambutnya dijambak dan disentakkan ke atas. Ia menjerit dan tubuhnya sudah dipondong oleh si tinggi kurus. Bi Lan menjerit dan meronta-ronta sekuat tenaga.
"Lepaskan anakku...! Jangan ganggu anakku, ohhh... bunuhlah aku, tapi jangan ganggu anakku...!" Ibu itu menjerit-jerit ketika melihat anaknya ditangkap pula.
Akan tetapi orang-orang kasar itu hanya tertawa bergelak dan Bi Lan dibawa pergi oleh si tingggi kurus. Bi Lan meronta-ronta, akan tetapi mana mungkin ia dapat melepaskan diri? Ia dibawa semakin jauh dan ia kini tidak melihat ibunya lagi, hanya mendengar jerit tangis ibunya yang makin lama makin jauh, kemudian tidak terdengar lagi sama sekali.
Kini baru Bi Lan teringat akan nasib dirinya sendiri setelah ia jauh dari ayah ibunya. Tadi ia lupa akan keadaan diri sendiri karena melihat mereka dan kini baru ia tahu bahwa dirinya dibawa pergi menjauh dari pada yang lain oleh si tinggi kurus bermuka pucat. Rasa takut membuat dia menangis sesenggukan dan tidak berteriak-teriak lagi, tidak meronta lagi.
Ketika tiba di tengah hutan, di dekat sebuah sumber air di mana tumbuh rumput tebal di bawah pohon-pohon rindang, si tinggi kurus itu melempar turun Bi Lan ke atas rumput. Anak itu terbanting perlahan, dan karena rumput itu tebal dan lunak, dia tidak terlalu menderita nyeri.
Akan tetapi, Bi Lan segera bangkit duduk. Tubuhnya masih lemas karena kelelahan, ditambah lagi dengan kengerian yang dilihatnya, dan rasa takut yang amat sangat, membuat dia seperti lumpuh. Kini, dengan muka pucat, dengan mata merah basah, dengan rambut kusut dan tubuh panas dingin, ia memandang kepada laki-laki yang berdiri amat tingginya di depannya itu dengan sinar mata liar ketakutan. Ia melihat wajah yang pucat kurus itu menyeringai, mata yang buas dan bengis itu ditujukan kepadanya.
"Nah, begitulah, anak manis. Diam saja dan jangan menangis. Aku paling benci kalau mendengar anak menangis. Nah, begitulah, jangan membikin aku marah."
Laki-laki itu menanggalkan bajunya, kemudian duduk di depan Bi Lan. Anak perempuan ini melihat betapa kulit dadanya yang kurus itu, kulit yang hanya membungkus tulang, cacat dengan guratan-guratan panjang bekas luka. Mengerikan sekali dan gadis itu semakin ketakutan. Apa lagi melihat laki-laki itu menjulurkan tangan dan jari-jari yang kecil panjang itu menyentuh dan mengusap pipinya, kemudian tangan itu mengusap rambutnya.
"Kembalikan... kembalikan aku... kepada ibuku..." Akhirnya Bi Lan mampu juga bicara karena melihat laki-laki itu tak bersikap kasar kepadanya.
Baru sekali ini nampak laki-laki itu tertawa dan hampir Bi Lan jatuh pingsan saking takut dan seramnya. Laki-laki kurus ini sejak tadi diam saja dan sikapnya itu penuh dengan kebengisan, akan tetapi kalau ia diam, masih baiklah. Akan tetapi kini dia tertawa dan suasana menjadi menyeramkan. Dia tertawa tanpa disertai bibir dan matanya. Mulutnya seperti diam saja akan tetapi dari kerongkongannya terdengar kekeh lirih yang amat mengerikan, pantasnya iblis yang bisa tertawa seperti itu.
Dan kini laki-laki itu, masih terkekeh, mencengkeram baju Bi Lan dan sekali renggut, terdengar kain robek dan baju itu pun terlepas dari pundak dan lengan Bi Lan! Tentu saja Bi Lan terkejut setengah mati dan ia pun menjerit dan menangis.
"Ehhh! Aku paling benci..." Laki-laki itu berteriak dan tangan kirinya menampar.
"Plakkk...!"
Rasa nyeri membuat Bi Lan yang terpelanting ke atas rumput itu seketika menghentikan tangisnya. Nyeri dan kaget bukan main. Tamparan pada pipinya itu membuat pandang matanya berkunang dan ujung bibirnya berdarah. Ketika ia membuka matanya lagi, tahu-tahu laki-laki itu telah menyambar tubuhnya, dipangkunya dan laki-laki itu mulai menciumi bibirnya yang berdarah.
Bagaikan seekor serigala, laki-laki itu menjilati bibir sendiri yang berlepotan darah yang keluar dari bibir Bi Lan yang pecah, kemudian menciumi lagi dengan buasnya, bukan mencium, melainkan lebih mirip hendak menghisap darah yang keluar itu sampai habis dari tubuh Bi Lan. Tentu saja Bi Lan semakin ketakutan dan kesakitan, meronta-ronta tanpa dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup mulut pria itu. Ia muak dan takut, matanya terbelalak dan ia masih belum mengerti mengapa orang itu melakukan hal seperti itu kepada dirinya. Keadaan orang tinggi kurus itu seperti mabok.
Memang, orang yang membiarkan dirinya dikuasai nafsu, tiada bedanya dengan orang yang mabok. Makin dibiarkan nafsu menguasai diri semakin parah pula maboknya itu sehingga ia lupa segala-galanya, yang teringat hanyalah bagaimana caranya untuk bisa melampiaskan nafsunya secepat mungkin dan sepuas mungkin.
Orang yang dikuasai oleh nafsu birahi seperti orang tinggi kurus itu, yang memang menjadi hamba dari nafsu birahinya dan membiasakan diri untuk tunduk kepada nafsu ini, tidak lagi melihat apakah perbuatannya dalam melampiaskan nafsunya itu sudah tepat dan benar. Dia lupa bahwa yang dicengkeramnya adalah seorang anak kecil yang baru berusia sepuluh tahun, bukan seorang wanita yang sudah dewasa dan sudah layak dijadikan pemuas nafsu birahinya. Dia tidak peduli lagi, yang penting baginya adalah bagaimana nafsunya dapat cepat tersalurkan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan diri Bi Lan itu, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa-tawa. Suara ketawa itu terdengar aneh dan halus, tetapi menusuk anak telinga sehingga si tinggi kurus yang sedang menciuminya, atau seperti hendak memakannya dengan lahapnya itu, tiba-tiba mengangkat muka yang dibenamkannya pada leher anak perempuan itu dan menoleh.
Dia terkejut sekali melihat munculnya tiga orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Karena tiga orang itu bukan anak buahnya, dia pun menjadi marah dan sekali dorong, dia telah membuat tubuh Bi Lan yang dipangkunya itu terlempar sampai dua meter lebih di depannya, bergulingan di atas rumput. Kemudian dengan sikap beringas karena merasa kesenangannya terganggu, dia meloncat ke atas seperti seekor harimau dan menghadapi tiga orang itu dengan dada dibusungkan. Tetapi karena memang tubuhnya kerempeng, biar pun dadanya dibusungkan, tetap saja nampak tidak gagah dan tidak menakutkan, malah lucu karena dadanya itu makin kelihatan kerempengnya.
Tiga orang itu memang aneh sekali keadaannya. Tiga orang kakek yang buruk rupa dan aneh, bahkan lucu dan agak menyeramkan. Usia mereka tentu tidak kurang dari enam puluh tahun.
Yang seorang bertubuh tinggi sekali, hampir satu setengah kali orang biasa dan seperti biasa orang yang mempunyai tubuh tinggi, dia condong untuk merendahkan tubuhnya hingga agak membungkuk dan kedua pundaknya pun terlipat ke dalam atau ke depan. Orang tinggi ini bertulang besar namun agak kurus, kulitnya penuh keriput kehitaman.
Mukanya agak meruncing ke depan seperti muka kuda. Kedua matanya yang berjauhan itu seperti menjuling jika memandang ke depan dan telah terbiasa untuk melihat dengan mata melirik hingga mukanya selalu tidak lurus menghadapi benda-benda yang sedang dipandangnya. Hidungnya juga mancung dan mulutnya meruncing. Mukanya yang lucu sekali, apa lagi di tambah dengan telinganya yang berdaun lebar dan panjang seperti telinga keledai.
Matanya yang menjuling itu seringkali disipitkan karena dia memang kurang awas. Kedua lengannya panjang sekali sampai tergantung ke tepi lutut, seperti lengan kera saja. Pakaiannya serba hitam yang menambah keburukannya, dengan sepatu hitam pula yang dilapisi dengan baja. Kedua kakinya juga panjang-panjang dan sedikit bengkok seperti punggungnya pula.
Orang buruk rupa ini sama sekali bukan orang yang biasa saja, bahkan keburukannya itu menambah ketenarannya di dunia kaum sesat karena orang ini adalah Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) yang memiliki kesaktian luar biasa, juga memiliki kekejaman yang hanya dapat disamakan dengan raja iblis sendiri. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini dia tak pernah keluar dan baru sekarang nampak di hutan itu, suatu hal yang kebetulan saja nampaknya.
Orang yang kedua tidak kalah anehnya. Orangnya bulat seperti bal. Tingginya hanya tiga perempat orang biasa dan karena dia amat gemuk, terutama sekali perutnya yang gendut seperti bola, maka dia kelihatan bulat seperti sebuah gentong yang mempunyai kaki dan tangan. Mukanya yang bulat itu nampak cerah selalu karena dia memiliki mulut yang tidak dapat ditutup rapat, selalu terbuka sehingga nampaknya selalu tersenyum atau tertawa ramah.
Orang ini memang segala-galanya serba bulat. Matanya, hidungnya, mulutnya yang lebar bahkan telinganya juga bundar bentuknya. Lengan dan kakinya juga gemuk bulat, apa lagi pinggul dan perutnya. Pendeknya, manusia bundar ini memang kelihatan lucu sekali dari samping atau belakang. Akan tetapi jangan melihat dari depan, karena kalau melihat sinar matanya dan kalau tersenyum, baru nampak sesuatu yang mengerikan membayang dari sinar mata dan senyumnya.
Kalau dia diam saja malah mulutnya kelihatan tersenyum ramah, akan tetapi kalau dia tertawa atau tersenyum, sungguh mukanya seketika berubah seperti muka iblis! Dan matanya itu mengeluarkan sinar mencorong yang bagaikan bukan mata manusia lagi, melainkan mata serigala buas atau mata harimau di tempat gelap. Dia ini pun seorang yang luar biasa sekali, selain sakti juga pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal dengan julukan Im-kan Kwi (Iblis Akhirat).
Orang ke tiga lebih menakutkan lagi. Tubuhnya hanya kulit pembungkus tulang saja, agaknya sama sekali tidak berdaging lagi, apa lagi bergajih. Mirip seperti tengkorak dan rangka terbungkus kulit, juga mukanya amat pucat seperti mayat. Bahkan kalau berjalan kadang-kadang mengeluarkan suara berkerotokan seakan-akan tulang-tulangnya saling beradu! Hanya kedua matanya saja yang nampak hidup, bahkan mata ini mencorong menakutkan. Orang ini sama dengan dua orang yang pertama, pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal dengan julukan Iblis Mayat Hidup.
Karena tiga orang ini selalu saling bantu dari bekerja sama, maka mereka bertiga itu dikenal di dunia kaum sesat sebagai Sam Kwi (Tiga Iblis). Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, Sam Kwi ini pernah mencoba kepandaian Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan melalui perkelahian yang amat sengit, di mana Pandekar Super Sakti dikeroyok oleh mereka bertiga, akhirnya Sam Kwi dapat dikalahkan dan masing-masing menderita kekalahan yang cukup parah.
Oleh karena tadinya mereka menyombongkan diri, merasa bahwa dengan maju bertiga mereka dapat mengalahkan siapa pun juga, dan bersumbar di depan Pendekar Super Sakti bahwa kalau mereka bertiga kalah mereka takkan muncul lagi di dunia persilatan, maka setelah dikalahkan, mereka bertiga kemudian pergi menyembunyikan diri bertapa. Mereka merasa malu dan juga penasaran. Oleh karena itu, mereka mengasingkan diri jauh ke puncak yang terpencil dari Pegunungan Thai-san, di mana mereka bertapa dan memperdalam ilmu mereka, ditemani seorang murid yang pandai.
Setelah merasa bahwa ilmu mereka mencapai tingkat yang tertinggi, dan mendengar betapa negara kacau oleh pemberontakan-pemberontakan, tiga orang itu akhirnya turun gunung dan pergi ke timur. Pada hari itu, tanpa disengaja mereka tiba di hutan yang sunyi di sebelah timur Sungai Lan-cang. Di tempat inilah mereka melihat seorang pria tinggi kurus sedang mempermainkan dan agaknya hendak memperkosa seorang anak perempuan yang masih kecil.
Perbuatan seperti itu tentu saja tiada artinya bagi tiga orang datuk sesat yang pernah melakukan segala macam kejahatan seperti iblis itu, bahkan dianggap sebagai suatu perbuatan yang tak ada artinya dan memalukan, hanya pantas dilakukan oleh bajingan kecil saja. Maka, tadinya mereka hanya tersenyum-senyum melihat tingkah laku laki-laki tinggi kurus itu dan membiarkannya saja.
Akan tetapi ketika pada suatu ketika anak perempuan itu mengangkat mukanya yang pucat dan ketiga orang kakek itu melihat anak itu, tiba-tiba mereka bertiga melangkah maju dan ketiganya merasa amat tertarik. Pandang mata mereka yang tajam segera melihat bakat terpendam yang amat hebat dalam diri anak perempuan itu! Tentu saja Hek-kwi-ong tidak dapat melihat jelas, hanya melihat betapa anak perempuan itu sama sekali tidak berteriak minta tolong walau pun berusaha dan meronta untuk melawan dan hal ini saja dianggapnya sebagai suatu keberanian luar biasa.
"Wah, anak itu bagus sekali!" kata Im-kan-kwi.
"Benar, bahkan lebih bagus dari pada murid kita," sambung Iblis Mayat Hidup. "Dan dia pemberani dan tabah," berkata pula Raja Iblis Hitam tidak mau ketinggalan, karena hal ini sama saja mengakui bahwa matanya lamur!
"Sayang daging lunak dan lezat itu hendak dimakan anjing kotor," kata Iblis Akhirat.
Ketiganya lalu mengeluarkan suara ketawa dan tubuh mereka melesat seperti terbang saja, dalam sekejap mata tiba di dekat si tinggi kurus yang sedang menciumi anak itu. Suara ketawa inilah yang mengejutkan prajurit Birma tinggi kurus itu dan dia mendorong pergi Bi Lan, kemudian meloncat bangun dengan marah.
"Keparat busuk, sungguh kalian ini tiga orang tua bangka sudah bosan hidup, berani menggangguku!" bentak si tinggi kurus sambil mengamangkan goloknya ke arah tiga orang kakek itu.
Iblis Akhirat yang lebih suka bicara dari pada dua orang kawannya, kini tertawa bergelak dan seketika prajurit Birma tinggi kurus itu tercengang dan bergidik. Setelah tertawa, kakek yang kelihatannya ramah itu menjadi begitu menakutkan mukanya. Seperti setan!
"Ha-ha-ha-hah! Cucuku, siapakah engkau?" Iblis Akhirat bertanya, suaranya tentu saja memandang rendah sekali.
Melihat sikap ketiga orang ini, si tinggi kurus yang juga bukan seorang yang hijau atau bodoh, dapat menduga bahwa tentu tiga orang kakek ini bukanlah orang sembarangan sehingga sikap dan keadaannya demikian aneh. Akan tetapi dia tidak takut, bahkan dia ingin mendatangkan kesan dan wibawa pada tiga orang ini untuk menggertak mereka, maka jawabnya dengan angkuh, "Aku adalah perwira pasukan Birma yang jaya!"
Pada waktu itu, semua orang tahu bahwa pasukan Birma bersekutu dengan pasukan pemberontak, dan semua orang takut kepada pasukan Birma ini.
Akan tetapi, Iblis Akhirat itu agaknya sama sekali tidak takut. "Apa?! Dari bahasamu, jelas kamu ini bukan orang asing, bukan orang Birma, akan tetapi pekerjaanmu sebagai perwira pasukan Birma. Wah, kalau begitu engkau ini adalah seekor cacing busuk, seorang pengkhianat, ya? Kami paling benci deh melihat pengkhianat!"
"Anjing penjilat busuk!" kata Raja Iblis Hitam.
"Serigala masih lebih baik dari pada kamu!" bentak pula Iblis Mayat Hidup.
Tentu saja si tinggi kurus menjadi marah bukan main mendengar ucapan mereka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa walau pun Sam Kwi merupakan iblis-iblis yang merajai dunia kaum sesat dan tidak segan melakukan kejahatan macam apa pun juga, akan tetapi mereka itu pada dasarnya merupakan orang-orang yang membenci pemerintahan Mancu dan karena itu tentu saja membenci negara Birma yang berani masuk dan mengganggu wilayah Yunan, dan lebih benci lagi terhadap orang-orang yang berkhianat membantu kekuasaan asing untuk memerangi bangsa sendiri.
"Keparat, kalian memang sudah bosan hidup!" bentak si tinggi kurus.
Dengan goloknya dia menerjang maju dan membacok ke arah kepala Iblis Akhirat yang berada paling dekat di depannya. Golok yang mengkilap itu menyambar ganas, kuat dan cepat ke arah kepala Iblis Akhirat yang botak. Akan tetapi si gendut itu sama sekali tidak mengelak dan agaknya bahkan tidak tahu bahwa kepalanya terancam senjata tajam yang akan dapat membelah kepalanya yang bundar dan botak itu menjadi dua!
"Singggg... krakkk!"
Perwira Birma yang sebenarnya berbangsa Cina itu mengeluarkan suara teriakan kaget. Tangannya terpaksa melepaskan gagang golok karena goloknya menimpa kepala yang kerasnya bagaikan baja, membuat golok itu rompal dan rusak. Dan saking kerasnya pertemuan antara golok dan kepala tadi, tangannya tergetar hebat dan menjadi seperti lumpuh sehingga terpaksa gagang golok terlepas dan dia sendiri kemudian terhuyung ke belakang! Barulah dia kaget dan takut. Kiranya kakek yang diserangnya itu adalah seorang sakti!
Sudah banyak dia mendengar mengenai orang sakti, dan kini, melawan seorang saja, dan baru sekali bacok goloknya malah rompal dan terlepas, apa lagi harus melawan tiga orang yang sedemikian saktinya. Dasar wataknya yang kejam itu terdorong oleh sifat pengecut dan penakut, begitu tahu bahwa dengan kekuatan dan kekuasaannya dia tak akan menang menghadapi tiga orang ini, tanpa banyak pikir lagi dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Akhirat. Tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar ketika dia berkata dengan suara mengandung penuh rasa takut.
"Harap sam-wi locianpwe (tiga orang tua sakti) sudi mengampuni nyawa hamba..."
"Uhhih, memuakkan!" Iblis Akhirat berseru sambil menggerakkan hidungnya yang bulat seperti orang mendengus bau busuk. Lalu dia menoleh kepada dua orang temannya. "Kita apakan saja tikus ini?"
"Kita bantai saja!" kata Raja Iblis Hitam.
"Siksa dia!" kata pula Iblis Mayat Hidup.
"Ampun... ampun...” Si tinggi kurus itu mengeluh ketakutan.
"Desss...!"
Tiba-tiba Iblis Akhirat menggerakkan kakinya dan kaki kanan yang pendek itu sudah menendang. Tubuh yang berlutut itu terlempar ke atas, tinggi sekali, sampai ada lima tombak tingginya. Si tinggi kurus berteriak kesakitan dan ketakutan. Ketika tubuhnya melayang turun, dia disambut oleh tendangan Raja Iblis Hitam.
"Desss...!"
Kembali tubuhnya terlempar ke atas, kini tendangan itu lebih keras lagi. Akan tetapi seperti juga tendangan Iblis Akhirat tadi, tendangan ini mengenai pangkal pahanya dan tidak mematikan, hanya menimbulkan rasa nyeri dan membuat tubuhnya terlempar jauh ke atas. Kembali si tinggi kurus berteriak ketakutan ketika tubuhnya melayang turun.
"Dukkk...!"
Sekali lagi tubuhnya mencelat ke atas ketika Iblis Mayat Hidup memperoleh giliran menyambut tubuhnya dengan tendangan. Agaknya tiga orang kakek ini tidak mau cepat membunuh korban mereka dan mereka seperti bermain bola, menendangi tubuh itu sampai berkali-kali terlempar ke atas. Baru setelah si tinggi kurus tidak mengeluh lagi, mereka membiarkan tubuh itu terjatuh ke atas tanah.
"Brukkk..."
Si tinggi kurus terbanting keras dan tidak mengeluh lagi karena sudah pingsan.
"Byurrrrr...!"
Tubuh itu terbaring ke kubangan air yang tidak dalam, akan tetapi cukup membenamkan tubuh yang jatuh miring itu. Begitu mukanya terbenam ke dalam air yang amat dingin, si tinggi kurus sadar kembali dan gelagapan bangkit dari genangan air. Dia segera teringat akan ancaman mengerikan dari tiga orang kakek itu yang kini berdiri melihat kepadanya sambil menyeringai. Rasa takut mendatangkan tenaga dalam tubuhnya yang ngilu dan nyeri semua itu, lalu dia melompat dan melarikan diri.
"Ho-ho-ho, berani melarikan diri?" tiba-tiba Iblis Akhirat berseru.
Sekali tubuhnya yang bulat bergerak, bagaikan sebuah bola yang menggelinding, cepat sekali dia mengejar dan tahu-tahu rambut kepala si tinggi kurus yang terurai karena tadi terlepas dari lindungan topi pasukan dan ikatan rambutnya ketika dijadikan bulan-bulan tendangan, sudah dijambaknya dan tubuh itu lalu diseretnya seperti seorang anak kecil menyeret sebuah benda permainannya.
"Ampun, locianpwe... ampun!" Si tinggi kurus merintih ketakutan.
"Brukkk...!"
Kakek gendut itu membanting tubuh korbannya ke atas tanah dan mereka bertiga lalu mengepungnya, seperti tiga orang anak yang sedang bermain-main dengan gembira.
"Ha-ha-ha, kau suka bermain-main dengan golok dan tadi mengetuk kepalaku dengan golokmu? Hemmm, coba sampai di mana ketajaman golok rompalmu!" Kakek gendut itu mengambil golok rompal milik si tinggi kurus yang memandang dengan pucat sekali dan mata terbelalak.
"Iblis Hitam dan Mayat Hidup," kata Iblis Akhirat kepada dua orang temannya. "Aku telah melatih semacam ilmu yang menarik sekali. Dari jauh, dengan golok ini, aku mampu mengambil daun telinga kiri tikus ini. Kalian mau lihat?"
"Apa sukarnya itu?" Iblis Mayat Hidup mendengus.
"Golok ini kubikin terbang mengambil daun telinga dan membawanya kembali ke tempat aku berdiri," sambung si gendut.
"Ahhh, masih harus dibuktikan itu!" kata Raja Iblis Hitam tak percaya.
Tentu saja dua orang datuk iblis itu tahu dan bahkan pandai menyerang lawan dengan golok terbang, yaitu hui-to atau golok yang disambitkan. Akan tetapi membuat golok itu mengambil daun telinga dan membawanya kembali ke tuannya, sungguh mustahil!
"Ha-ha-ha, kalian lihatlah baik-baik," berkata kakek gendut itu sambil meloncat menjauhi korbannya sampai sejauh lima belas meter.
Dia lalu menggunakan jari-jari kedua tangannya menekuk golok itu menjadi sebuah benda melengkung seperti gendewa patah tengahnya, dan beberapa kali ditimangnya di tangan kiri, lalu dibenarkan tekukannya. Setelah merasa puas dan menganggap bahwa bentuk senjatanya itu sudah sempurna, dia lalu mengukur jarak dengan matanya. Si tinggi kurus hanya memandang dengan muka pucat sekali, tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya.
"Terbanglah!" Tiba-tiba Iblis Akhirat menggerakkan lengan kanannya yang pendek dan benda melengkung terbuat dari golok tadi telah melayang cepat ke arah si tinggi kurus, dengan berputar-putar aneh.
"Cratttt...! Auhhh..."
Tiba-tiba si tinggi kurus berteriak dan menutupi telinga kirinya yang berdarah. Kiranya daun telinga kirinya sudah putus disambar benda terbang tadi dan hebatnya, daun telinga itu seperti menempel pada benda itu yang kini terbang terus, kembali kepada Iblis Akhirat! Kakek gendut ini bergelak dan menerima kembali senjata aneh itu yang dilemparkannya ke atas tanah bersama daun telinga itu.
"Bagus...!" Dua orang kakek yang menjadi temannya memuji.
"Kalau hanya buntung sebelah menjadi kurang patut," tiba-tiba Raja Iblis Hitam berkata.
Dan sebelum si tinggi kurus tahu maksudnya, tiba-tiba si tinggi besar seperti raksasa itu sudah menjulurkan tangannya. Lengannya yang panjang itu terjulur dan betapa takutnya hati si tinggi kurus melihat betapa lengan yang dijulurkan itu terus mulur makin panjang mengejarnya. Dia terkejut dan ketakutan, bangkit berdiri dan dengan tangan memegangi bagian telinga kiri yang buntung, dia mencoba lari.
"Krakkk... aduhhhh...!"
Tubuh si tinggi kurus terpelanting dan dia bergulingan ke atas tanah. Sekarang sebelah tangannya menutupi telinga kanan yang sudah tidak berdaun lagi karena tadi, jari-jari tangan yang diulurkan panjang itu tahu-tahu sudah meremas daun telinga itu sehingga hancur dan buntung!
"He-he-heh-heh, ilmu memanjangkan lenganmu itu pasti bagus sekali untuk melakukan pencopetan di pasar, Iblis Hitam!" Iblis Akhirat terkekeh kagum. Sungguh tidak mudah menguasai ilmu untuk membuat anggota tubuh dapat mulur seperti itu.
"Kedua tangannya menyembunyikan hasil pertunjukan kalian, biar kusingkirkan!" kata Iblis Mayat Hidup yang melangkah maju menghampiri si tinggi kurus yang kini sudah ketakutan setengah mati.
Melihat betapa kakek yang seperti mayat hidup itu menghampirinya, dia melupakan rasa nyeri pada kedua telinganya dan dia pun cepat bangkit berdiri dan lari sekuatnya!
"Tak-tuk-krok-krok...!" Terdengar suara berkerotokan dan itulah suara tubuh Iblis Mayat Hidup yang lari berloncatan mengejar.
Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu iblis ini sudah berdiri menghadang di depan si tinggi kurus yang tentu saja terbelalak kaget melihat iblis itu telah berada di depannya. Dia membalikkan diri dan berlari ke lain jurusan, akan tetapi terdengar kembali suara berkeretokan dan tahu-tahu iblis itu sudah menghadang pula di depannya. Beberapa kali dia membalik sampai akhirnya dia digiring kembali ke tempat tadi.
"Ampun... ampun...!" katanya mengangkat kedua tangan ke atas, melepaskan pinggir kepala yang tadi ditutupinya. Nampak kedua telinga itu tidak bardaun lagi dan hanya merupakan sebuah lubang berlumuran darah.
"Wuuuuut... krakkkkk!"
Tangan Iblis Mayat Hidup bergerak menyambar ke arah dua pundak si tinggi kurus dengan cepat bukan main dan tahu-tahu nampak darah menyembur dari kedua pundak si tinggi kurus itu ketika lengannya tahu-tahu sudah buntung disambar jari-jari tangan kurus dari Iblis Mayat Hidup! Dengan babatan jari-jari tangan saja tengkorak hidup itu mampu membikin buntung dua lengan sebatas pundak. Sungguh merupakan ilmu yang amat luar biasa dan kekejaman yang mencapai puncaknya.
"Ha-ha-ha, bagus!" teriak Iblis Akhirat.
"Bagus sekali!" Raja Iblis Hitam juga memuji.
Akan tetapi si tinggi kurus hanya dapat menjerit dan dia pun roboh pingsan. Darah bercucuran dari kedua pundak yang sudah tidak berlengan lagi itu.
"Heh-heh, dia tidak boleh mati dulu!" Iblis Akhirat berkata.
Dan cepat dia meloncat ke dekat tubuh yang pingsan itu, sedangkan Iblis Mayat Hidup memutar-mutar kedua lengan yang dipatahkannya itu seperti seorang anak kecil main-main, lalu melemparkan kedua lengan itu jauh sekali ke dalam jurang. Si gendut itu mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol yang berupa cairan hitam ke atas luka di kedua pundak dan juga di kedua telinga. Obat ini manjur bukan main, cepat kerjanya karena seketika darah berhenti mengalir. Dengan beberapa tekanan pada jalan darah, si tinggi kurus disadarkan kembali oleh Iblis Akhirat.
Begitu sadar si tinggi kurus itu merintih-rintih karena merasakan nyeri yang amat hebat menusuk sampai ke ulu hati. Ketika dia melihat bahwa dua lengannya telah lenyap, dia mengeluh dan dengan susah payah dia dapat bangkit duduk, memandang ke arah tiga orang kakek itu. Kini tahulah dia bahwa minta ampun tidak ada gunanya, maka dia pun menggigit bibirnya menahan nyeri, kemudian berkata, "Kalian bunuh sajalah aku!" Dia memang tidak dapat melihat jalan keluar lain kecuali mati dengan cepat.
Sementara itu, Bi Lan sejak tadi sudah bangkit duduk di atas rumput dan mengenakan kembali bajunya yang tadi direnggut lepas dan robek. Dia menonton semua peristiwa itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Selama hidup belum pernah ia menyaksikan tontonan yang demikian mengerikan. Seluruh tubuhnya menjadi panas dingin dan dia merasa ngeri sekali.
Bukan main hebatnya pengalaman yang dihadapi gadis cilik ini secara beruntun. Mula-mula dia melihat ayahnya terbunuh oleh perampok, lalu melihat ibunya diculik, dan dia sendiri dilarikan si tinggi kurus yang melakukan hal-hal tidak senonoh terhadap dirinya, perlakuan yang belum dimengertinya benar akan tetapi yang membuat ia hampir gila karena ngeri, muak dan takut.
Kemudian, munculnya tiga orang kakek aneh yang menyiksa si tinggi kurus itu membuat dia mencapai ketegangan yang sudah tiba pada puncaknya. Agaknya pemandangan menegangkan dan mengerikan yang datang bertubi-tubi menghantam perasaan Bi Lan, membuat gadis cilik itu terbiasa dan kini, meski dia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat, mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara apa pun, akan tetapi dia tidak takut lagi, bahkan mulai menggunakan pikirannya.
Jelas baginya bahwa tiga orang kakek itu telah menyelamatkannya, bahwa ketiga orang kakek yang aneh itu tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi akan tetapi juga memiliki kekejaman yang luar biasa. Dan ia tentu tidak akan terlepas dari tangan tiga orang kakek itu.
Dia harus pandai membawa diri, demikian pikirnya. Ia tidak boleh cengeng, tidak boleh bingung, harus dapat mempergunakan akalnya karena tidak ada orang lain di dunia ini yang akan dapat diharapkan menolongnya kecuali dirinya sendiri. Bahkan, di samping kengerian, timbul pula rasa senang dan puas ketika melihat betapa si tinggi kurus itu mengalami penyiksaan yang demikian mengerikan.
"Wah, ilmu kiam-ciang (tangan pedang) yang kau kuasai sudah hebat sekali, Mayat Hidup. Bagaimana pendapatmu, Iblis Hitam? Apa kau mampu menandinginya dalam hal kehebatan kiam-ciang itu?" kata si Iblis Akhirat kepada Hek-kwi-ong.
Raksasa hitam itu menggeleng kepala. "Aku tidak mampu sehebat dia."
"He-he, aku pun demikian. Akan tetapi, kita berdua pernah melatihnya. Coba kita lihat, apakah orang pengecut dan pengkhianat seperti dia ini mampu hidup tanpa lengan dan tanpa kaki," kata pula Iblis Akhirat yang melangkah maju mendekati si tinggi kurus yang sudah buntung kedua lengannya.
Hek-kwi-ong si Raja Iblis Hitam mengangguk dan menghampiri pula. Tiba-tiba mereka berdua menggerakkan tangan seperti yang dilakukan oleh Iblis Mayat Hidup tadi, tangan mereka membacok, masing-masing ke arah kaki kanan dan kaki kiri si tinggi kurus.
"Krokkk! Krokkk!"
Si tinggi kurus kembali menjerit dan tubuhnya roboh. Kedua kakinya, sebatas paha, buntung oleh bacokan tangan dua orang kakek itu! Kembali darah muncrat dan Im-kan Kwi si Iblis Akhirat yang gendut itu kembali mempergunakan obat cairan yang cepat menghentikan cucuran darah.
Ketika Im-kan Kwi mengurut jalan darah dan si tinggi kurus itu siuman kembali, tentu saja dia tidak mampu bangkit lagi. Tubuhnya hanya tinggal kepala dan badan, tanpa kaki tanpa lengan tanpa daun telinga, nampak menyedihkan sekali. Dia hanya merintih-rintih dan tergolek ke kanan kiri, mendesis-desis kesakitan. Dia tidak akan mati karena darahnya tidak bercucuran keluar, akan tetapi hidupnya takkan berguna lagi. Dan kalau tidak ditolong orang lain, tentu akhirnya akan tewas kelaparan atau diterkam binatang buas kalau dia dibiarkan di tempat itu.
Kini tiga orang kakek itu agaknya sudah bosan mempermainkan si tinggi kurus, dan mereka lalu menghampiri Bi Lan. Akan tetapi anak perempuan ini tidak takut. Ia bahkan bangkit berdiri, memandang tiga orang kakek itu dengan sinar matanya yang jernih. Mukanya masih pucat, akan tetapi tidak terbayang ketakutan pada muka yang manis itu.
"Tiga orang kakek buruk, sesudah kalian membunuh bangsat itu, apakah juga akan membunuh aku? Tapi jangan siksa aku seperti dia."
Tiga orang kakek itu saling pandang. Lalu Iblis Akhirat yang gendut terkekeh, Raja iblis Hitam yang seperti raksasa itu tersenyum lebar dan Mayat Hidup menyeringai aneh.
"Ha-ha-ha-ha, anak baik. Kami suka padamu dan tidak akan membunuhmu, akan tetapi kami ingin mengambilmu sebagai murid. Bagaimana, maukah kau menjadi murid kami? Mau tidak mau harus mau!" Dalam suara kakek gendut itu terdengar nada mengancam!
Akan tetapi Bi Lan tetap tenang. Anak ini tadi sudah memutar otaknya dan mengambil keputusan bahwa ia harus dapat menggunakan kepandaian tiga orang kakek ini untuk menolong ibunya dan membalas dendam!
"Tentu saja aku mau, akan tetapi kalian juga harus memenuhi permintaanku lebih dulu!"
Tiga orang kakek itu kembali saling pandang dan tersenyum girang. Mereka amat suka pada anak pemberani dan anak perempuan ini cukup berani, bahkan berani menyebut mereka ‘tiga kakek buruk’, sebutan yang menggembirakan hati mereka!
"Permintaan apa?" tanya Iblis Mayat Hidup yang biasanya jarang sekali bicara.
"Pertama, kalian harus menolong ibuku. Ke dua, kalian harus membunuh gerombolan penjahat yang tadi membunuh ayah dan menculik ibu."
"Ha-ha-ha, permintaan yang mudah saja. Coba, ceritakan siapa namamu dan apa yang terjadi dengan ayah ibumu," kata Iblis Akhirat.
Meski Iblis Akhirat tertawa-tawa, akan tetapi hatinya menjadi tak senang karena iri hati mendengar anak itu menyebut-nyebut ayah ibunya. Apa pun yang terjadi, jika ayah dan ibu anak itu masih ada, harus mereka bunuh dulu sebelum mengambil anak ini menjadi murid, pikirnya. Pikiran yang luar biasa kotor dan jahatnya!
"Namaku Can Bi Lan. Aku bersama ayah dan ibu sedang melakukan perjalanan untuk mengungsi dari sebelah barat Sungai Nu Kiang. Pada waktu kami menyeberang Sungai Lan-cang, di tepi sungai sebelah timur kami dikepung oleh belasan orang perampok itu dan Ayah yang melakukan perlawanan mereka bunuh, Ibu diculik dan aku dilarikan oleh si keparat itu. Nah, kalau kalian mau menolong Ibu dan membunuh belasan orang itu, aku pun mau menjadi murid kalian."
"Baik, baik, mari kita pergi!" kata iblis Akhirat. "Hek-kwi, kau yang tinggi besar dan kuat gendonglah Bi Lan murid kita ini."
Hek-kwi-ong Si Raja Iblis Hitam itu mendengus, lalu tangannya yang besar itu dijulurkan ke arah Bi Lan. Gadis ini merasa ngeri melihat lengan yang panjang itu dapat mulur ke arahnya, akan tetapi ia menahan rasa takutnya dan diam saja ketika tiba-tiba tangan itu menangkap tangannya dan sekali disentakkan tubuhnya melayang ke atas dan tiba di punggung kakek raksasa hitam itu!
Mereka bertiga lalu melangkah pergi dengan sangat cepatnya, meninggalkan si tinggi kurus yang kini tidak tinggi lagi, hanya merupakan kepala dan badan yang bergelimang di rumput yang berlepotan darah. Dia mengeluarkan suara dari tenggorokannya, entah tawa atau pun tangis. Peristiwa yang amat hebat menimpa dirinya, membuat si tinggi kurus ini menjadi gila saking takutnya.
"Brakkkkkk...!"
Pintu pondok kecil di tengah hutan yang tertutup rapat itu jebol, mengejutkan seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya bercambang bauk, juga bertotol-totol hitam buruk yang sedang rebah dengan dada telanjang, hanya mengenakan celana dalam yang tipis. Siang itu hawanya panas dan laki-laki ini pun berkeringat. Bau arak yang keras tercium ketika pintu itu jebol, dan melihat wajah laki-laki buruk rupa itu yang kemerahan, juga matanya liar, bau arak yang keluar dari mulutnya, jelas menunjukkan bahwa dia terlalu banyak minum arak.
"Ibu...!" Bi Lan menjerit ketika melihat ibunya tergantung di dalam kamar itu.
Wanita yang malang ini tergantung dalam keadaan telanjang bulat, dengan kepala di bawah dan kaki terikat pada tali yang digantungkan di tiang melintang di atas. Melihat tubuh telanjang itu sama sekali tidak bergerak, dan melihat mata yang terbuka akan tetapi tanpa sinar itu, mudah saja bagi tiga orang kakek Sam Kwi untuk menduga bahwa wanita itu sudah tewas, seperti juga mayat laki-laki yang menjadi ayah Bi Lan yang menggeletak di luar dengan tubuh hancur oleh senjata tajam.
Tiga orang Sam Kwi bernapas lega. Ayah ibu anak ini sudah mati. Bagus! Mereka tadi mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk mengejar gerombolan itu dan melihat mereka semua berada di dalam hutan itu. Anak buah pasukan Birma yang berubah menjadi gerombolan penjahat itu nampak tidur-tiduran di bawah pohon. Guci-guci arak berserakan dan agaknya mereka baru saja makan minum dan kini tertidur setelah puas kekenyangan.
Apa lagi dalam keadaan mabok dan tidur, andai kata mereka dalam keadaan sadar dan tidak tidur sekali pun, sangat mudah bagi tiga orang kakek itu untuk mendatangi pondok itu tanpa dapat mereka ketahui. Melihat bahwa ayah anak itu sudah tewas di tempat perampokan, mereka bertiga lalu melakukan pengejaran dan jelas nampak jejak kaki mereka sampai di tengah hutan itu.
Karena ibu anak itu tidak ada, mereka dapat menduga bahwa tentu wanita itu dibawa ke dalam pondok kecil itu. Maka mereka langsung saja mendobrak daun pintu itu sampai jebol. Dan benar saja, wanita itu berada di dalam kamar, akan tetapi agaknya sudah tidak bernyawa lagi setelah mungkin diperkosa beramai-ramai lalu digantung karena mungkin wanita itu melawan.
Si tinggi besar brewokan yang menjadi kepala pasukan itu, seorang Birma yang biasa hidup dalam kekerasan, terkejut bukan main. Baru saja ia memuaskan diri memperkosa dan menyiksa wanita itu sampai mati, kemudian dia makan dan minum-minum sampai mabok dan merebahkan diri untuk tidur. Kini, kaget karena melihat jebolnya daun pintu dan melihat tiga orang kakek yang aneh, seorang di antaranya menggendong anak perempuan yang tadi dilarikan oleh pembantunya, dia mencium bahaya.
Cepat dia bergerak kepada anak buahnya dan menyambar golok besarnya, menerjang ke depan, membabat ke arah Iblis Mayat Hidup yang paling menyeramkan dan berdiri paling dekat. Akan tetapi, rangka terbungkus kulit itu dapat bergerak cepat bukan main. Golok itu menyambar seperti mengenai sasarannya membabat pinggang, akan tetapi tiba-tiba saja tubuh kurus kering itu lenyap dan ternyata sudah mengelak ke samping dan pada saat itu si tengkorak hidup menggerakkan tangannya yang kurus.
"Tukkk!"
Hanya perlahan saja jari tangan Iblis Mayat Hidup menyentuh lengan yang memegang golok. Akan tetapi seketika golok itu terlepas dan lengan itu pun lumpuh dan berubah menghitam karena di sebelah dalamnya, beberapa otot besar putus dan darah mengalir liar membuat lengan itu nampak hitam! Bukan kepalang rasa nyeri pada lengan kanan itu, membuat si brewok berteriak-teriak. Namun kembali tangan kurus itu menyambar, sekali ini leher si brewok yang disentuh dan seketika si brewok roboh. Suara mengorok keluar dari lehernya, mukanya berubah hitam dan dia berkelojatan dalam sekarat.
Dia tewas tak bergerak lagi ketika anak buahnya yang belasan orang banyaknya itu sudah datang menyerbu dengan golok di tangan. Melihat betapa pemimpin mereka itu sudah roboh dengan muka berwarna hitam, tak bergerak lagi, belasan orang kasar itu menjadi marah sekali. Langsung mereka menerjang tiga orang kakek itu dengan golok mereka. Tiga orang kakek itu melangkah keluar dari pondok. Perkelahian yang aneh, lucu dan tidak seimbang pun terjadilah.
Sepasang lengan Raja Iblis Hitam itu mulur dan tanpa mempedulikan golok-golok itu, dua tangannya menangkapi lawan, membanting, melontarkan tinggi-tinggi ke atas dan mambiarkan tubuh lawan itu terbanting keras, menangkapi dua kepala dan mengadu kedua kepala itu.
Si gendut Iblis Akhirat sambil menyeringai aneh dan menyeramkan juga membiarkan golok-golok itu mengenai kepala botaknya atau lengannya, dan hanya kedua kakinya saja yang pendek-pendek dan besar-besar itu bergerak cepat ke kanan kiri dan setiap orang yang terkena tendangannya tentu terlempar, terbanting roboh dan tidak dapat bangkit kembali.
Iblis Mayat Hidup lebih mengerikan lagi. Dengan tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan, dia membagi-bagi pukulan dan setiap kali tangannya menyentuh tubuh lawan, karena sentuhan perlahan itu tidak pantas dinamakan pukulan, lawan lalu roboh dengan bagian badan yang disentuh berubah kehitaman!
Dalam waktu singkat saja, belasan orang itu roboh semua dan tidak seorang pun dapat bangkit atau bergerak lagi karena mereka telah tewas. Kepala-kepala pecah berantakan sampai otak dan darah berceceran, tulang-tulang berkerotokan pada saat patah-patah, bahkan ada kulit yang robek-robek dan mayat yang ternoda hitam-hitam mengerikan.
"Ha-ha-ha-ha! Bi Lan, murid yang baik, apakah kini engkau telah puas? Lihat, semua musuhmu telah kami bunuh," kata Iblis Akhirat kepada Bi Lan.
Gadis cilik itu melorot turun dari gendongan Raja iblis Hitam. Dia pun memasuki pondok, sejenak berdiri memandang mayat ibunya yang tergantung dengan tubuh terbalik. Pada bagian tubuh tertentu dari ibunya nampak lula-luka guratan senjata tajam. Betapa ingin dia menjerit, akan tetapi batinnya mengalami guncangan hebat sehingga dia tidak lagi dapat menangis.
"Ibumu sudah mati," tiba-tiba terdengar suara orang dan ketika gadis cilik itu menengok, yang bicara adalah Iblis Mayat Hidup.
Dua kakek lainnya juga sudah berdiri di belakangnya. Gadis cilik ini tidak tahu betapa tiga orang kakek itu memandang ke arah mayat ibunya dengan hati girang, bukan hanya karena gadis cilik itu sekarang sudah terlepas dari semua ikatan keluarga, juga karena mereka bertiga itu kagum akan cara gerombolan itu menyiksa wanita ibu Bi Lan!
"Ha-ha-ha! Bi Lan, kami sudah memenuhi semua permintaanmu, sekarang berlututlah dan angkat kami sebagai gurumu dan menyebut suhu," kata Iblis Akhirat.
"Nanti dulu," gadis cilik itu berkata. "Sebelum itu kuminta supaya kalian suka mengubur jenazah ibuku, juga jenazah ayahku, dikubur bersama dalam satu lubang di tempat ini."
Tiga orang kakek itu saling pandang. "Wah, apa-apaan ini?" Raja Iblis Hitam mengeluh.
"Ada-ada saja!" Iblis Mayat Hidup menyambung. Jelas bahwa keduanya merasa tidak senang dengan pekerjaan itu.
"Apa gunanya?" Si gendut Iblis Akhirat berseru. "Biarkan saja begitu, akhirnya juga akan habis sendiri."
"Tidak!" Bi Lan berseru. "Kalau kalian tidak mau, biar aku sendiri yang akan melakukan penguburan itu. Mereka harus dikubur supaya jenazah mereka tidak dimakan binatang buas!"
"Hemm, apa kau kira di dalam tanah tidak ada binatang buasnya? Kulit dagingnya akan digerogoti tikus dan cacing-cacing sampai habis!"
Mendengar ucapan si gendut itu, Bi Lan bergidik. "Biarlah, mereka hancur dikubur dan kalau kalian tidak mau, akan kulakukan sendiri dan aku tidak akan sudi menjadi murid kalian."
Tiga orang kakek itu saling pandang dan menggaruk-garuk kepala. Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat disertai suara berkerotokan dan Iblis Mayat Hidup sudah lenyap dari tempat itu. Tidak lama kemudian dia datang kembali membawa mayat Can Kiong, ayah Bi Lan yang sudah penuh luka itu. Dan tanpa banyak cakap lagi, tiga orang kakek itu lalu menggali sebuah lubang besar. Cepat sekali pekerjaan ini dilakukan oleh tiga orang sakti itu, mempergunakan golok-golok para korban amukan mereka tadi.
Setelah mengubur dua orang suami isteri itu dan menutupi lubang dengan tanah, atas permintaan Bi Lan mereka lalu menaruh sebuah batu bundar sebesar gajah di tempat kuburan. Mereka lalu berdiri berjajar dan menuntut agar Bi Lan suka menjadi murid mereka dan memberi hormat seperti layaknya seorang yang mengangkat guru.
Sekarang Bi Lan tidak ragu-ragu lagi. Kalau bukan tiga orang kakek aneh ini, siapa lagi manusia di dunia ini yang mempedulikannya? Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki tiga orang itu, memberi hormat dengan sungguh-sungguh.
"Suhu... suhu... suhu...!" katanya setiap kali ia menyembah di depan kaki salah seorang kakek. Tiga orang itu girang bukan main.
"Muridku yang baik!" kata Raja Iblis Hitam.
Tiba-tiba Bi Lan merasa tubuhnya melayang jauh tinggi di udara. Anak itu tentu saja terkejut bukan main, sama sekali tidak menyangka bahwa raksasa hitam yang menjadi seorang di antara gurunya itu akan melakukan hal seperti itu, melemparkan tubuhnya tinggi ke udara! Dia teringat betapa tadi suhu-nya yang ini melempar-lemparkan tubuh lawan ke atas dan tubuh itu terbanting jatuh dengan kepala pecah berantakan.
Tentu saja ingatan ini mendatangkan rasa takut yang hebat dalam batinnya yang sehari itu sudah mengalami guncangan-guncangan luar biasa. Akan tetapi justeru guncangan-guncangan hebat itu membuat Bi Lan kehilangan rasa takut, atau andai kata ada rasa takut, ia berani menghadapinya dan justru mendatangkan suatu kenekatan besar. Maka, betapa pun ngerinya, ia mengatupkan bibirnya yang kecil dan tidak mau mengeluarkan suara yang membayangkan ketakutan!
Ketika tubuhnya melayang turun berputaran, tangan Iblis Akhirat sudah menyambutnya dan kembali ia dilemparkan ke atas oleh kakek itu yang terkekeh senang. Ketika merasa betapa tubuhnya tidak terbanting melainkan disambut hendak di lemparkan lagi ke atas, mengertilah Bi Lan bahwa tiga orang gurunya itu bermain-main atau mungkin hendak menguji ketabahannya.
Hal ini membesarkan hatinya. Ia akan memperlihatkan kepada tiga orang kakek aneh itu bahwa ia tidak takut! Maka, ketika untuk kedua kalinya tubuhnya terlempar ke atas, ia mengeluarkan suara ketawa cekikikan sebagai tanda bahwa dia pun senang dilempar-lemparkan seperti itu.
Akan tetapi terdengar suara Iblis Mayat Hidup mencela. "Apa ketawa-ketawa! Dalam setiap keadaan, engkau harus belajar karena setiap peristiwa mengandung bahan yang baik untuk dipelajari!”
Dan ketika tubuhnya meluncur turun, ia disambut pula oleh kakek kurus kering itu dan dilontarkan pula ke atas. Bi Lan menghentikan ketawanya, takut kalau ketiga orang gurunya marah. Gila, pikirnya, dilempar-lempar ke udara seperti itu dapat mempelajari apakah?
Lalu teringatlah dia betapa kalau meluncur lagi ke bawah, tubuhnya berputaran tidak karuan. Kenapa ia tidak mau belajar agar luncurannya itu nyaman dengan kaki di bawah dan kepala di atas? Bukankah jika dia terpaksa terbanting ke atas tanah, akibatnya tak begitu parah kalau kakinya lebih dulu dari pada kepalanya? Mulailah dia menggerak-gerakkan kaki tangannya, mengatur keseimbangan supaya tubuhnya tidak jungkir balik atau berputaran.
Agaknya tiga orang gurunya girang melihat ini. Begitu ia meluncur turun, ia disambut lagi bergantian untuk dilontarkan pula ke atas. Akhirnya setelah puluhan kali dilontarkan ke atas, Bi Lan berhasil mengatur luncuran tubuhnya sehingga kakinya selalu meluncur di bawah, kedua tangan dikembangkan sedangkan kedua kaki dipentang seperti orang menunggang kuda. Melihat ini, tiga orang gurunya bergantian memberi petunjuk, bagai mana harus mengatur tangan atau kaki, kemudian bagaimana harus mengatur napas dan gerakan-gerakan lain.
Bi Lan yang tahu bahwa tiga orang gurunya ini adalah orang-orang aneh dan begitu ia mengangkat mereka sebagai guru, mereka itu langsung menguji dan memberi pelajaran yang begitu aneh! Maka ia pun memperhatikan dengan tekun dan tanpa mengenal lelah ia terus berusaha, walau pun tubuhnya yang memang sudah amat lelah, apa lagi baru saja mengalami hal-hal yang amat hebat itu, terasa sakit-sakit. Bahkan ia menahan rasa lapar dan kantuknya sampai akhirnya dia tertidur selagi tubuhnya dilemparkan lagi ke atas oleh Iblis Mayat Hidup.
Melihat betapa murid mereka itu meluncur turun dengan tubuh lunglai, tiga orang kakek itu terkejut setengah mati, khawatir kalau-kalau murid mereka yang masih lemah dan amat lelah itu tidak kuat dan mati di udara! Mereka menyambutnya dan legalah hati mereka melihat bahwa murid mereka itu hanya tertidur pulas!
Meledaklah suara tawa mereka dan hati mereka puas dan bangga. Dilempar-lemparkan seperti itu, murid mereka ini malah bisa tidur nyenyak, dan itu dianggap oleh mereka sebagai tanda nyali yang sangat besar, ketabahan yang jarang dimiliki seorang anak kecil, apa lagi anak perempuan.
Tiga orang Sam Kwi itu lalu meninggalkan hutan itu menuju ke timur. Mereka melakukan perjalanan cepat sekali, mengambil jalan melalui bukit-bukit dan rawa-rawa, melalui sungai dan hutan yang liar yang jarang didatangi manusia.
Mereka mengambil jalan memotong, dan menerjang jalan yang betapa sukar sekali pun, dengan kepandaian mereka yang tidak lumrah manusia. Jika mereka melalui perjalanan yang amat sukar, yang tidak dapat dilalui manusia biasa, mereka memondong Bi Lan bergantian, akan tetapi kalau melalui jalan biasa sambil menikmati pemandangan alam, mereka membiarkan Bi Lan berjalan kaki di belakang mereka.
Dasar orang-orang aneh, kadang-kadang mereka pun meninggalkan Bi Lan begitu saja, membuat gadis cilik itu berlari-larian setengah mati mengejar mereka, dan kalau Bi Lan sudah hampir putus asa karena tak mampu mengejar dan guru-gurunya lenyap, barulah mereka muncul! Di sepanjang perjalanan, mereka melatih Bi Lan dengan dasar-dasar ilmu silat, dan menggembleng gadis cilik itu dengan latihan-latihan untuk menghimpun tenaga sinkang.
Ada kalanya tiga orang itu berebut untuk melatih Bi Lan yang ternyata memiliki bakat yang sangat hebat, tepat seperti dugaan mereka. Setiap pelajaran yang diberikan guru-gurunya dapat ditangkap dengan mudah oleh Bi Lan dan hanya dalam latihan sajalah gadis cilik itu perlu memperoleh tekanan.
Dan gadis cilik itu pun cerdik bukan main. Segera ia dapat merasakan betapa tiga orang gurunya yang aneh itu amat menyayanginya, bahkan berlomba dalam menyayangnya. Hal ini dipergunakannya sebagai senjata untuk menguasai tiga orang kakek itu!
Pada suatu hari, tiga orang kakek itu terlibat dalam ketegangan dan perbantahan ketika mereka akan mulai menurunkan ilmu silat tinggi kepada murid mereka. Mereka saling memperebutkan, ilmu silat siapakah yarig harus diutamakan sebagai dasar.
"Siapa yang mampu menandingi ilmuku Hek-wan Si-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan belas Jurus Lutung Hitam)?" bentak Raja Iblis Hitam. "Aku akan mengajarkan ilmu lebih dulu kepada Bi Lan!"
"Ha-ha-ha, sombongnya. Apa artinya pukulan-pukulanmu bagi orang yang mempunyai kekebalan seperti ilmuku Kulit Baja? Sebaiknya Bi Lan kulatih lebih dahulu dalam ilmu tendanganku yang tak ada bandingan, yaitu Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin). Dan untuk kematangannya, ia perlu memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat seperti aku," bantah Iblis Akhirat.
"Ahhh, tidak! Seorang wanita seperti Bi Lan harus memiki ginkang (ilmu meringankan tubuh) seperti aku sebagai dasar, sambil mempelajari ilmu silatku Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot)!" bentak Iblis Mayat Hidup.
Tiga orang kakek itu tidak mau saling mengalah. Di atas padang rumput yang sunyi di sebuah lereng bukit itu, mereka ngotot tidak mau saling mengalah dan akhirnya mereka menentukan bahwa harus diuji lebih dulu ilmu siapa yang paling kuat dan dialah yang berhak memberi bimbingan pertama kali kepada Bi Lan. Dan terjadilah perkelahian di antara mereka!
Bukan sembarang perkelahian, bukan sekedar adu otot dan adu ilmu, tetapi perkelahian sungguh-sungguh dengan serangan-serangan mematikan. Hebat bukan main serang-menyerang yang terjadi di antara mereka bertiga dan karena memang tingkat mereka seimbang, tentu saja sukarlah bagi salah seorang di antara mereka untuk memperoleh keunggulan.
Kalau ada seorang di antara mereka yang nampaknya memperoleh angin dari orang ke dua, orang ke tiga kemudian turun tangan mendesak sehingga yang tadinya nampak memperoleh angin sebaliknya menjadi terdesak kembali. Dan perkelahian itu bukan hanya mempergunakan ilmu pukulan biasa, melainkan mempergunakan sinkang yang membuat tempat di sekitarnya dilanda angin pukulan yang bersiutan dan berdesingan. Mereka juga saling mengerahkan khikang, mengeluarkan suara berupa bentakan yang melengking nyaring.
Bi Lan yang berdiri menjauh dan merasa dilupakan oleh tiga orang gurunya, merupakan satu-satunya penonton dan satu-satunya orang yang paling menderita di antara mereka. Angin pukulan yang dahsyat dan menyambar-nyambar itu tadi telah membuat dia jatuh bangun dan terguling-guling seperti sehelai daun kering dilanda badai. Ia yang cerdik cepat menggerakkan tubuhnya bergulingan di atas padang rumput sampai agak jauh.
Akan tetapi, setelah angin pukulan tidak mampu meraihnya karena jauh, suara-suara yang mengandung tenaga khikang itu menyiksanya. Anak itu merasa betapa suara itu menusuk-nusuk anak telinganya dan biar pun dia sudah menutupi kedua telinga dengan kedua tangan, tetap saja suara itu membuat isi perutnya jungkir balik dan menyiksanya dengan hebat.
"Sudahlah, biar kalian bunuh saja aku!" Akhirnya dia berteriak sambil berlari ke tengah medan perkelahian, berloncatan dan dengan nekat terjun di antara mereka bertiga.
Tiga orang kakek yang lihai itu tentu saja dapat melihat munculnya murid mereka yang meloncat ke tengah medan perkelahian. Kalau orang lain yang berbuat demikian, tentu mereka bertiga akan menjatuhkan pukulan maut sehingga tubuh orang yang berani mengganggu mereka itu akan hancur lebur. Akan tetapi melihat bahwa yang datang adalah Bi Lan, ketiganya tiba-tiba saja menghentikan gerakan mereka, masing-masing menarik diri dan mundur, berdiri dengan tubuh berkeringat dan tidak bergerak bagaikan patung, tidak tahu harus berbuat apa.
"Kenapa suhu semua berhenti? Hayo teruskan perkelahian itu!" berkata Bi Lan dengan suara marah.
"Ahhh, berbahaya untukmu. Menyingkirlah, Bi Lan, agar kami dapat melanjutkan untuk menentukan siapa yang berhak lebih dulu mengajarmu," Iblis Akhirat berkata.
"Tidak perlu teecu menyingkir. Sejak tadi teecu sudah tersiksa. Biarlah kalau teecu mati juga, menemani seorang atau dua orang di antara suhu yang akhirnya tentu akan kalah dan mati pula!"
Baru mereka tahu bahwa Bi Lan marah karena perkelahian mereka tadi. "Kami... kami berkelahi memperebutkan hak mengajarmu lebih dulu." Kembali Iblis Akhirat berkata memberi keterangan.
"Teecu (murid) sudah mengangkat suhu bertiga menjadi guru semua, mengapa mesti berebutan lagi? Kenapa suhu bertiga tidak memberi pelajaran bersama-sama saja?" Ia berhenti sebentar untuk melihat tarikan muka mereka, lalu melanjutkan lagi, "Kalau suhu bertiga berebutan dan berkelahi lagi, teecu tidak akan mau belajar dari yang paling menang!"
Mendengar ancaman dari murid yang mereka tahu amat keras hatinya ini, tiga orang kakek itu saling pandang.
"Bergabung...?" Raja Iblis Hitam berkata bingung.
"Ilmu ketiga orang disatukan?" Iblis Mayat Hidup menyambung ragu.
"Wah, mengapa tidak? Kita ajarkan bersama ilmu-ilmu kita dan karena ilmu-ilmu itu amat tinggi, tentu sukar baginya untuk menerima semua."
"Justeru karena menerima setengah-setengah inilah maka dia akan dapat menggabung ilmu-ilmu itu menjadi hanya satu ilmu yang tentu hebat karena mengandung dasar dan kelihaian ilmu kita masing-masing!"
"Bagus!" kata Raja Iblis Hitam girang.
"Tepat sekali!" kata pula Iblis Mayat Hidup.
"Sama sekali tidak bagus dan tidak tepat!” Tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita.
Bi Lan terkejut dan merasa heran ada orang berani mencampuri percakapan tiga orang gurunya. Ketika ia menengok, ia melihat seorang wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian rapi dan mewah, berwajah cantik sekali dengan sinar mata yang tajam. Kecantikannya aneh mengandung hawa dingin, tapi ada kecabulan membayang dalam senyum dan kerlingnya.
Hati Bi Lan merasa khawatir sekali. Wanita ini sudah bosan hidup, pikirnya. Ia sudah mulai mengenal watak tiga orang gurunya yang aneh dan kadang-kadang amat kejam, apa lagi setelah ia mendengar julukan guru-gurunya yang memperkenalkan diri sebagai Sam Kwi dengan julukan yang seram-seram itu. Ia malah bisa menduga bahwa gurunya adalah orang-orang yang amat kejam dan jahat, akan tetapi yang amat baik kepadanya karena sayang kepadanya.
Karena takut kalau-kalau tiga orang gurunya itu menurunkan tangan secara tiba-tiba membunuh gadis itu, Bi Lan mendahului, meloncat dan menghadap tiga orang gurunya. "Suhu sekalian harus dapat memaafkan cici ini!" teriaknya.
Akan tetapi kini terjadi hal yang sangat mengherankan hati Bi Lan. Iblis Akhirat yang gendut pendek itu berteriak kegirangan, "Aha, Bwi-kwi (Iblis Cantik), kau baru muncul? Waah, aku sudah kangen sekali padamu!" Dan si gendut langsung memeluk pinggang wanita cantik itu dan menariknya.
Anehnya, gadis itu tersenyum lalu merendahkan kepalanya dan kakek gendut itu lantas mencium mulutnya dengan bernapsu sekali sampai mengeluarkan bunyi, "ceplok!"
Tentu saja Bi Lan menjadi bengong melihat ini, apa lagi melihat dua orang suhu-nya yang lain juga menghampiri gadis itu. Raja Iblis Hitam mengelus rambut gadis itu, dan si Iblis Mayat Hidup mencolek dadanya! Dan gadis cantk itu hanya tersenyum manis saja, sama sekali tidak marah.
"Suhu, siapakah bocah itu?" gadis itu bertanya dan kini tahulah Bi Lan bahwa gadis itu adalah murid tiga orang suhu-nya.
"Ha-ha-ha, ia adalah murid kami yang baru. Bakatnya bagus sekali, melebihimu, Bi-kwi. Namanya Can Bi Lan, heh-heh-heh, dua orang murid kami semua cantik-cantik. Kami menyebutmu Bi-kwi, biarlah mulai sekarang Bi Lan kami sebut Siauw-kwi (Iblis Kecil). Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba sepasang mata yang indah dan bersinar tajam itu berkilat memandang ke arah Bi Lan. "Murid suhu? Hemm, sejak dahulu murid suhu bertiga hanya aku, dan setiap ada orang berani merubah keadaan ini harus dibunuh. Anak ini pun harus kubunuh!"
Berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan tangan kanannya dan lengan kanan yang montok itu tiba-tiba mulur panjang dengan dua jari yang mungil menotok ke arah dada Bi Lan! Tetapi, biar baru beberapa bulan lamanya, Bi Lan sudah menerima latihan-latihan dasar dari tiga orang sakti, maka begitu ada tangan menyerangnya, gadis cilik itu mampu melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik dengan sigapnya.
"Ehh...! Ia malah sudah belajar dari suhu!" bentak Bi-kwi.
Dia pun menyerang lagi, sekarang kakinya melangkah ke depan. Akan tetapi tiba-tiba pinggangnya dipeluk dari belakang oleh Raja Iblis Hitam, dan dua tangannya dipegang masing-masing oleh Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup.
"Hemm, suhu bertiga menghalangi? Berarti suhu bertiga tidak lagi cinta kepadaku!"
"Ehhh? Tenang... sabar, sabar...! Kami sudah menjelajah dunia ramai lagi dan melihat perubahan-perubahan hebat terjadi di dunia persilatan. Engkau seorang diri tidak akan kuat menghadapi mereka, oleh karena itu kami sengaja memilih Bi Lan untuk menjadi murid kedua. Apa salahnya itu?"
"Hanya murid?" Gadis cantik itu menegaskan.
"Heh-heh, cemburu? Hanya murid karena bagi kami sebagai laki-laki, engkau seorang sudah lebih dari cukup dan memuaskan. Nah, maukah engkau berbaik dengan Bi Lan?" tanya Iblis Akhirat.
Bi-kwi mengangguk. "Baiklah, tadi pun dia sudah berusaha menolongku. Tidak apa-apa mengampuni nyawa anjingnya. Akan tetapi kalau kelak ada tanda-tanda bahwa suhu bertiga... hemm, aku pasti akan membunuhnya."
Bi Lan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu apa sebenarnya maksud percakapan aneh itu. Dia pun masih tertegun menyaksikan adegan aneh ketika gadis cantik itu menerima ciuman Iblis Akhirat dan belaian-belaian dua orang suhu-nya yang lain. Akan tetapi ia tahu bahwa gadis itu berbahaya bukan main, agaknya tak kalah jahatnya dibandingkan dengan tiga orang kakek itu. Ia harus berhati-hati menghadapi gadis ini, pikirnya.
"Ha-ha-ha, bagus… bagus sekali. Bi Lan, lekas berterima kasih kepada suci-mu (kakak seperguruanmu) yang baru saja mengembalikan nyawamu," kata Iblis Akhirat.
Sam Kwi kelihatan gembira sekali dengan pertemuan itu dan Bi Lan, walau pun hatinya tidak senang, namun anak ini mempergunakan kecerdikannya. Ia tahu bahwa gadis ini mempunyai kekuasaan atas tiga orang gurunya agaknya tiga orang gurunya pun tidak akan dapat menyelamatkannya atau menjamin keselamatannya jika sampai ia dimusuhi gadis ini. Sebaiknya ia bersiasat dan menyenangkan hati gadis ini sebelum mengenal benar keadaannya.
Maka dia pun lalu bangkit dan menjura pada gadis itu, berkata dengan suara manis dan tersenyum. Oleh tiga orang gurunya, dia diingatkan betapa manisnya kala tersenyum, betapa timbul sepasang lesung pipit kanan kiri mulutnya.
"Suci yang cantik dan gagah perkasa, aku menghaturkan terima kasih kepadamu."
Gadis cantik itu menjebikan bibirnya. "Huh, baiknya engkau tadi berusaha melindungiku dari kemarahan suhu, kalau tidak… Baiklah, kalau selanjutnya engkau tunduk dan taat kepadaku, mulai saat ini engkau adalah sumoi-ku."
"Terima kasih, suci."
"Bi-kwi, kenapa tadi engkau mengatakan bahwa pendapat kami untuk menggabungkan ilmu dan diajarkan kepada Siauw-kwi tidak betul dan tidak tepat?" Iblis Akhirat bertanya sambil menggandeng tangan wanita cantik itu dengan sikap yang kangen sekali.
"Tentu saja tidak tepat, karena di sini ada aku yang dapat mewakili suhu bertiga untuk mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada sumoi. Kalau seorang anak kecil seperti sumoi itu sekaligus menerima pelajaran dari suhu bertiga, mana kuat menerimanya? Serahkan saja kepadaku dan suhu bertiga tidak perlu susah-susah."
Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira. "Ha-ha, lihat, betapa beruntungnya kita bertiga mempunyai seorang murid seperti Bi-kwi," kata Iblis Akhirat.
"Bi-kwi, bagaimana dengan tugasmu?" tiba-tiba Raja Iblis Hitam bertanya.
Bi Lan merasa heran mendengar suara kakek raksasa hitam ini. Biasanya dia pendiam dan kalau bersuara terdengar keras, parau dan bengis, akan tetapi sekarang suaranya terdengar lembut dan mengandung kemesraan.
Gadis yang disebut Bi-kwi (Iblis Cantik) itu sebenarnya bernama Ciong Siu Kwi yang sejak berusia lima tahun sudah menjadi murid Sam Kwi. Seperti juga Bi Lan, Siu Kwi atau yang kini disebut Bi-kwi ini yatim piatu. Ayah ibunya dibunuh oleh Sam Kwi sendiri yang ingin menguasai anak ini dengan bebas.
Memang pada mulanya, Sam Kwi mengambil murid ini hanya untuk menurunkan ilmu karena melihat bakat baik pada diri Siu Kwi, juga agar anak ini dapat menemani mereka dalam persembunyian dan pertapaan mereka di puncak pegunungan Thai-san. Akan tetapi, makin dewasa, Bi-kwi atau Siu Kwi ini makin nampak watak aslinya, watak yang genit dan cabul, di samping wajahnya yang cantik.
Gadis ini mempelajari ilmu-ilmu tinggi, tetapi juga melayani Sam Kwi, mencuci pakaian, memasak dan segala macam kebutuhan tiga orang kakek itu. Setelah ia berusia hampir delapan belas tahun, tiga orang kakek itu tidak tahan melihat kegenitannya. Mulailah mereka bertiga itu tertarik sebagai pria terhadap wanita kepada murid sendiri dan mulailah terjadi hubungan perjinahan antara ketiga Sam Kwi dengan murid tunggal mereka itu!
Luar biasanya, gadis yang semenjak kecil hidup di tempat pengasingan di Thai-san itu, menyambut tiga orang kakek buruk rupa yang menjadi suhu-nya itu dengan tangan dan hati terbuka! Dan sejak berusia delapan belas tahun itulah, Siu Kwi menjadi murid dan merangkap kekasih Sam Kwi dan mulai pula dia menguasai tiga orang kakek itu yang namanya saja guru-gurunya, akan tetapi dalam banyak hal mereka bertiga itu tunduk dan taat kepada Siu Kwi!
Mendengar pertanyaan Hek-kwi-ong tentang tugasnya tadi, Siu Kwi melepaskan tangan Iblis Akhirat, dan mengerutkan alisnya, kemudian dia duduk di atas sebuah batu yang bersih. Tiga orang kakek itu pun duduk di depannya dan Bi Lan yang ingin pula turut mendengarkan juga duduk di dekat Siu Kwi.
Gadis ini menarik napas panjang beberapa kali, lalu berkata dengan suara jengkel.
"Dua urusan yang suhu serahkan kepadaku itu semua gagal! Yang pertama mengenai Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, ternyata telah tewas belasan tahun yang lalu!"
"Wah, sialan!" Raja Iblis Hitam berseru kecewa sambil mengepal tangannya yang besar.
"Pengecut! Mampus lebih dulu!" Iblis Mayat Hidup juga berseru kecewa.
"Ha-ha-ha, biarlah dia mampus, kelak di akhirat toh kita masih dapat mencarinya untuk membuat perhitungan!" berkata Iblis Akhirat yang kemudian memandang Siu Kwi. "Dan bagaimana dengan urusan yang lain?"
"Urusan Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) lebih menjengkelkan lagi. Dengan susah payah selama berbulan-bulan aku mencari kakek Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih) di sekitar Pegunungan Himalaya dan belum kutemukan jejaknya. Akan tetapi, akhirnya dari para pertapa aku mendengar bahwa kakek tua bangka itu pun sudah meninggal dunia."
"Dan pusakanya?" Raja Iblis Hitam memotong.
"Itulah yang menjengkelkan hatiku. Menurut keterangan para pertapa yang mengenal Pek-bin Lo-sian, sebelum kakek itu meninggal dunia, mereka sering kali melihat kakek itu berbincang-bincang dengan seorang pendekar sakti dan menurut mereka, sangat boleh jadi kakek itu mewariskan Liong-siauw-kiam kepada pendekar itu."
"Wah-wah, siapa pendekar jahanam itu?" bentak Iblis Akhirat dengan marah.
"Mereka tidak tahu, akan tetapi, dalam penyelidikanku selanjutnya, ada sebuah berita yang amat menarik, yaitu munculnya seorang pendekar yang dijuluki Pendekar Suling Naga yang kabarnya membawa senjata sebatang suling naga..."
"Itulah orangnya!" bentak Iblis Mayat Hidup. "Di mana dia?"
Gadis itu menggerakkan pundaknya. "Menurut penyelidikanku, pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga itu merantau ke selatan. Karena aku ingin mendengar keputusan suhu dalam hal ini, maka aku lalu mencari suhu untuk melapor."
Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Iblis Akhirat yang biasa menjadi juru bahasa mereka berkata, "Tugasmu menjadi semakin berat, Bi-kwi. Pendekar Super Sakti sudah mati, akan tetapi keturunan Suma tentu masih banyak berkeliaran. Karena itu kita harus berusaha membasmi semua keturunan Suma Han si Pendekar Super Sakti yang pernah membuat kami bertiga harus menyembunyikan diri selama puluhan tahun. Akan tetapi, di samping itu juga kita harus mencari orang yang menguasai Pedang Suling Naga untuk merampasnya. Tidak mungkin tugas-tugas berat itu kau pikul sendiri. Maka, sebaiknya kita melatih Siauw-kwi ini sampai pandai agar supaya kelak dapat membantumu menunaikan tugas-tugas itu. Kami sendiri sudah terlalu tua untuk berkeliaran mencari orang."
Bi-kwi menoleh ke arah Bi Lan dan mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang cerdik. Mewakili suhu-suhu-nya bermusuhan dengan keturunan Pendekar Super Sakti adalah tugas yang amat berat dan tidak menarik hatinya. Ia sudah mendengar bahwa Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh besar yang amat tinggi ilmu kesaktiannya dan sukar dilawan. Bahkan tiga orang gurunya yang pernah mengeroyok pendekar itu pun tidak mampu menang.
Tentu keturunannya juga sangat lihai, dan bagaimana kalau keturunannya itu banyak jumlahnya? Dan urusan balas dendam guru-gurunya karena pernah dikalahkan ini tiada apa-apanya yang menarik hatinya karena tidak ada yang menguntungkan. Sebaliknya, mencari pusaka Suling Naga itu lebih menarik baginya. Karena itu, menghadapi dua tugas ini memang sebaiknya jika ia ditemani orang yang dapat dipercaya, dan agaknya Bi Lan inilah orangnya.
"Hemm, aku meragukan apakah anak ini akan sanggup. Siauw-kwi, sanggupkah engkau membantuku kelak dalam dua urusan itu?"
Bi Lan sejak tadi mendengarkan dan kini ia menghadap ketiga orang suhu-nya. "Urusan suhu dengan keluarga Pendekar Super Sakti itu mudah teecu mengerti. karena tentu urusan dendam pribadi yang melibatkan keluarga Pendekar Super Sakti yang sudah mati. Akan tetapi urusan ke dua, teecu kurang jelas. Apakah pusaka Suling Naga itu dan mengapa dijadikan rebutan?"
"Ha-ha-ha, engkau memang anak cerdik yang ingin memasuki suatu urusan tapi tidak secara membuta. Baiklah, akan kuceritakan padamu mengenai pusaka itu."
Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat yang bertubuh pendek bundar itu lalu dengan ringkas bercerita tentang pusaka yang dinamakan Pedang Suling Naga itu. Benda pusaka itu telah ribuan tahun usianya, terbuat dari semacam kayu yang tumbuh di Pegunungan Himalaya, dan kayu itu diukir dan dibuat menjadi sebuah suling yang amat indah oleh seorang abi di Pegunungan Himalaya kurang lebih seribu tahun yang lalu. Benda itu lalu direndam dalam obat-obatan rahasia yang membuat kayu itu menjadi keras membaja, bahkan kabarnya lebih keras dari pada baja.
Pusaka yang indah itu dapat ditiup sebagai sebatang suling yang suaranya merdu, juga bisa dipegang sebagai sebatang pedang. Kepala naga menjadi gagang dan badan serta ekornya menjadi pedangnya. Ukiran naga itu sedemikian hidupnya, sepasang mata di bagian kepalanya dibuat dari batu permata sehingga nampak bernyala dan hidup sekali. Selama ratusan tahun, benda itu menjadi pusaka dan menjadi lambang kekuasaan raja-raja Khitan.
Sampai akhirnya, di jaman Kaisar Jenghis Khan, raja Mongol ini dalam penyerbuannya ke barat berhasil merampas benda itu dan karena amat kagum dan suka, benda itu menjadi pusaka kesayangan Kaisar Jenghis Khan. Akan tetapi pada suatu hari, pusaka itu lenyap dari dalam gudang pusaka. Kaisar Jenghis Khan marah sekali akan tetapi urusan itu dirahasiakan karena kaisar akan merasa malu kalau terdengar rakyat bahwa pusaka yang paling disayang itu dapat lenyap begitu saja dari dalam gudang pusaka.
Saking marahnya Kaisar Jenghis Khan menghukum mati tiga puluh orang pengawal dan pelayan yang dicurigai! Semenjak saat itu, pusaka Suling Naga dianggap lenyap dan tak pernah dapat ditemukan kembali walau pun Kaisar Jenghis Khan telah mengeluarkan banyak sekali biaya dan mengerahkan banyak orangnya untuk mencarinya.
"Sebenarnya yang mencuri benda pusaka itu ialah seorang sakti yang menyembunyikan dirinya di pegunungan sebelah utara. Benda itu menjadi kebanggaannya karena tentu saja orang yang mampu mencuri benda dari gudang pusaka Kaisar Jenghis Khan adalah seorang yang sangat sakti. Benda itu turun temurun menjadi milik murid-murid keturunannya dan akhirnya jatuh ke tangan suhu dan susiok kami yang dulu bertapa di Pegunungan Himalaya. Ketika suhu meninggal dunia, pusaka itu oleh suhu diserahkan kepada susiok Pek-bin Lo-sian yang bertapa di Pegunungan Himalaya. Kami pernah memintanya, akan tetapi susiok mengatakan bahwa pusaka itu tidak pantas menjadi milik kami. Tentu saja kami berusaha merampasnya, akan tetapi susiok Pek-bin Lo-sian terlalu tangguh bagi kami. Tak ada lain jalan kecuali menanti sampai kakek yang sudah tua renta ini mampus. Akan tetapi, sungguh tak terduga sekali halnya kami dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti sehingga kami terpaksa mengundurkan diri bertapa sampai dua puluh tahun dan ketika kami mengutus Bi-kwi, ternyata kakek tak tahu malu itu telah mampus dan mewariskan pusaka itu kepada orang lain!"
Iblis Akhirat menghentikan ceritanya dan tiga orang kakek itu nampak beringas serta marah sekali.
"Bagaimana, Siauw-kwi, maukah engkau membantu suci-mu dalam mencari pusaka itu dan membalaskan dendam kami terhadap keturunan Suma?" tiba-tiba Iblis Mayat Hidup bertanya.
Cerita itu amat menarik hati Bi Lan. Bagaimana pun juga, tiga orang suhu-nya memang berhak mendapatkan kembali pusaka itu dan pendekar yang menerimanya dari Pek-bin Lo-sian tidak berhak. "Baik, suhu. Teecu akan belajar giat agar kelak mampu membantu suci."
Mereka berlima lalu meninggalkan tempat itu, kembali ke puncak Pegunungan Thai-san. Di sepanjang perjalanan, dengan hati kaget, heran, dan muak, Bi Lan melihat betapa tiga orang gurunya itu mengadakan hubungan amat mesra dengan suci-nya. Ia belum begitu mengerti tentang hubungan perjinahan seperti itu, akan tetapi nalurinya membuat ia selalu membuang muka dan menyingkir kalau melihat pertunjukan tak tahu malu di sepanjang perjalanan itu. Karena perbuatan ini saja, diam-diam Bi Lan merasa sangat tidak suka kepada suci-nya dan kepada tiga orang suhu-nya, walau pun dengan cerdik ia dapat menyembunyikan perasaan ini di lubuk hatinya.
Demikianlah, sesudah tiba di puncak Pegunungan Thai-san, di tempat terpencil sunyi, Bi-kwi atau Su Kwi mulai melatih sumoi-nya dengan ilmu silat. Akan tetapi, dasar orang yang licik, curang dan juga hatinya diliputi penuh kebencian, Bi-kwi yang tidak rela kalau ada orang kelak lebih pandai atau setidaknya mengimbangi kepandaiannya, ia melatih dengan cara yang kadang-kadang dibalikkan, dengan harapan supaya sumoi-nya tentu mewarisi ilmu yang keliru cara melatihnya sehingga menjadi ilmu sesat yang akan membahayakan sumoi itu sendiri. Ilmu bersemedhi dan menghimpun tenaga sinkang misalnya, kalau dilatih dengan cara yang keliru, amat membahayakan, dapat membuat orang menjadi menderita luka dalam, atau dapat membikin orang menjadi gila, atau bahkan mati keracunan.
Kita tinggalkan dulu Bi Lan, anak berusia hampir sebelas tahun yang kini sedang digembleng secara keliru oleh Bi-kwi atau Siu Kwi itu, di tempat terasing, satu di antara puncak Thai-san dan mari kita menengok peristiwa yang terjadi di lain tempat, jauh dari Thai-san.
Peristiwa pemberontakan yang berkembang di dalam perang saudara antara pasukan pemerintah dan para pemberontak, yang dicampuri pula oleh pasukan asing Birma yang bersekutu dengan para pemberontak, telah membuat seluruh negeri menjadi tidak aman. Oleh karena pemerintah pusat mencurahkan perhatian terhadap pemberontakan- pemberontakan itu, maka pengurusan keamanan di daerah-daerah tidak terlalu diawasi. Hal ini membuat para pembesar setempat seakan-akan menjadi raja yang berdaulat, tidak ada yang menentang, tidak ada yang mengawasi. Akan tetapi, juga tidak ada yang melindungi sehingga pembesar-pembesar itu hanya mengandalkan pasukan keamanan setempat. Oleh karena inilah, maka para penjahat pun muncul dan merajalela di wilayah masing-masing, mengganggu rakyat jelata.
Mungkin karena mempunyai kepentingan yang sama dan keduanya mengganggu dan menentang rakyat jelata, banyak terjadi persekongkolan di antara para gerombolan penjahat yang kuat dan para pembesar setempat. Tidaklah mengherankan apabila ada sebagian rakyat yang bangkit melawan penjahat-penjahat itu, mereka akan berhadapan dengan pasukan keamanan yang akan menentang mereka dan malah membantu para penjahat!
Ada kalanya, agar perbuatan mereka tidak menyolok, petugas keamanan menangkapi para penjahat dan juga rakyat yang menentang penjahat! Beberapa hari kemudian, para penjahat yang di tangkapi itu telah berkeliaran kembali melakukan kejahatan mereka, sedangkan orang-orang yang ditangkap ketika melawan penjahat itu tetap di tahan, bahkan dihukum dengan tuduhan pemberontak!
Dalam keadaan negara kacau seperti ini terjadilah apa yang dinamakan ‘pagar makan tanaman’. Para petugas keamanan yang seharusnya menjaga keamanan hidup rakyat, sebaliknya malah membuat kehidupan rakyat menjadi tidak aman! Dan kalau petugas keamanan sudah bersekongkol dengan penjahat, dapatlah dipastikan bahwa keadaan pemerintahannya lemah, dan yang celaka adalah rakyat jelata pula.
Keadaan semacam itu pun melanda kota kecil Siang-nam yang terletak tidak jauh dari kota besar Siang-tan, di Propinsi Hunan. Kepala daerah kota Siang-nam seperti boneka saja. Hanya pakaian dan kursinya saja yang menandakan dia seorang kepala daerah, akan tetapi sikap dan perbuatannya sama sekali tak mencerminkan seorang pemimpin.
Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bong-ciangkun, yaitu komandan pasukan keamanan kota Siang-nam. Dan di atas Bong-ciangkun ini, sebagai penguasa yang tak terlihat, adalah kepala penjahat yang menguasai seluruh Siang-nam dan daerah di sekitarnya. Selalu terjadi persekutuan antara kepala penjahat dan Bong-ciangkun dalam menghadapi perkara apa pun, dan Bong-ciangkun lalu tunduk karena kepala penjahat itu memberi sogokan yang berlebihan, yang membuat komandan itu menjadi kaya raya.
Lebih celaka lagi, Bong-ciangkun sudah terkenal sebagai seorang pria congkak yang menyombongkan kedudukannya, bengis dan hal yang paling buruk, mata keranjang dan selalu ingin mendapatkan wanita mana saja yang menarik hatinya! Dia dikenal sebagai serigala kota Siang-nam dan semua penduduk merasa takut kepadanya.
Pada suatu pagi, di antara orang-orang yang sibuk pergi ke pasar, ada yang hendak berjualan dan ada pula yang hendak berbelanja, nampaklah seorang wanita bersama seorang anak laki-laki berjalan menuju ke arah pasar. Ibu dan anak ini masing-masing membawa keranjang berisi telur. Mereka memelihara banyak ayam di rumah dan kini mereka hendak menjual hasilnya ke pasar. Biasanya, yang menjual telur adalah suami wanita itu, akan tetapi pada pagi hari itu, si suami rebah di pembaringan karena masuk angin dan walau pun enggan keluar rumah dalam suasana kacau seperti itu, terpaksa si isteri mengajak putera tunggalnya untuk menemaninya membawa telur dan menjualnya ke pasar.
Wanita itu berwajah lumayan, dengan kulit kuning bersih sehingga usianya yang sudah tiga puluh tahun itu belum menghilangkan daya tariknya yang memikat. Dan puteranya, seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun, juga wajahnya mirip ibunya sehingga dia nampak tampan dan bersih, wajahnya cerah. Anak ini bernama Gu Hong Beng, dan ayahnya yang sedang sakit itu bernama Gu Hok, seorang tukang kayu yang pandai.
Selain memiliki penghasilan sebagai tukang kayu, juga isterinya dibantu oleh putera mereka memelihara atau beternak ayam yang hasilnya cukup lumayan pula. Kehidupan mereka yang tidak kaya tetapi juga tidak miskin itu cukup bahagia, dengan seorang putera yang baik dan penurut, rajin bekerja membantu ibunya merawat ayam, bahkan sudah dapat melakukan beberapa pekerjaan tukang kayu yang ringan-ringan.
Karena semua pedagang di pasar tahu bahwa telur dari ternak ayam milik tukang kayu itu selalu baru dan segar, maka dengan mudah mereka dapat menjual semua telur mereka di pasar. Dengan wajah berseri keduanya membawa uang hasil penjualan itu untuk berbelanja keperluan bumbu-bumbu masakan dan bahan-bahan makanan.
Akan tetapi, mendadak terdengar bentakan-bentakan agar semua orang minggir untuk memberi jalan kepada seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut sekali. Mukanya buruk hitam dan kulitnya tebal dengan mata lebar bundar yang selalu memandang penuh keangkuhan. Dia berjalan dengan dada dibusungkan, akan tetapi karena perutnya yang luar biasa gendutnya, yang makin membusung adalah perutnya itu.
Pakaiannya indah dan gagah, pakaian seorang perwira dengan pedang besar panjang tergantung di pinggang kiri. Kepalanya terhias topi perwira Mancu yang memakai hiasan bulu. Dengan langkah dibuat-buat perwira yang bukan lain adalah Bong-ciangkun ini menoleh ke kanan kiri, sikapnya sombong sekali ketika dia memandangi orang-orang di dalam pasar.
Sudah diketahui umum bahwa kaum wanita amat lemah terhadap harta, kedudukan dan nama kehormatan. Oleh karena itu, biar melihat bentuk perut dan mukanya laki-laki yang bernama Bong-ciangkun ini sama sekali tak dapat dibilang ganteng atau menarik, tapi kedudukannya, pangkatnya, pakaiannya yang gagah, kehormatannya dan hartanya tentu sekali membuat banyak wanita di pasar itu berlomba untuk bergaya dan menarik hati sang perwira dengan berbagai gaya. Ada yang suaranya tiba-tiba saja meninggi dan nyaring, ada yang tiba-tiba menjadi genit sekali, terkekeh, ada yang matanya lalu menjadi lincah mengerling tajam, ada yang tersenyum-senyum manis, ada pula yang memperbaiki letak rambut dan merapikan pakaian. Akan tetapi, Bong-ciangkun hanya mengangkat hidung memandang rendah.
Empat orang prajurit pengawal yang berada di depan perwira itu untuk membuka jalan bersikap kasar sekali. Ada beberapa orang laki-laki yang memikul keranjang, karena kurang cekatan menyingkir, ditendang keranjangnya sehingga isinya berantakan.
"Minggir! Minggir! Komandan kami akan lewat!" Demikian mereka membentak-bentak.
Ketika mereka tiba dekat dengan Gu Hong Beng dan ibunya yang sedang berbelanja, empat orang pengawal itu membentak-bentak dan mendorong-dorong. Seorang kakek tua kena dorong dan terhuyung menabrak ibu Hong Beng. Wanita ini menahan jerit, terjatuh dan kacang yang baru dibelinya dan dipondongnya tadi terlepas, bungkusannya pecah dan kacang itu pun berserakan di atas tanah.
"Ahhh kacangku...!" Ibu muda ini cepat berjongkok dan mengumpulkan kacang yang tumpah-tumpah itu.
Tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan ia ditarik dengan lembut ke atas. Nyonya itu terpaksa bangkit dan menoleh. Terkejutlah ia ketika melihat bahwa yang menariknya itu adalah seorang laki-laki tinggi besar berpakaian perwira yang kelihatannya galak dan bengis. Tetapi pada saat itu, laki-laki tinggi besar yang bukan lain adalah Bong-ciangkun itu menyeringai, maksudnya untuk tersenyum manis akan tetapi hasilnya sama sekali tidak manis, bahkan menyeringai menakutkan.
"Nyonya yang manis, harap jangan kaget dan takut. Maafkan pengawalku tadi bersikap kasar sehingga kacangmu tumpah. Marilah engkau ikut denganku, nyonya, dan aku akan mengganti kerugianmu sepuluh kali lipat."
Tentu saja wajah wanita itu menjadi merah sekali. Ia pernah mendengar tentang perwira yang bernama Bong-ciangkun ini dan jantungnya berdebar tegang dan takut. Dia lalu menggandeng tangan Hong Beng dan berkata kepada anaknya itu, "Hong Beng, mari kita pulang." Tanpa menoleh ia menggandeng dan menarik tangan anaknya untuk diajak pergi.
Akan tetapi kembali lengannya dipegang orang dan kini pegangannya itu agak keras membuat ia merasa nyeri.
"Nyonya, aku adalah Bong-ciangkun. Jangan takut, aku suka sekali padamu. Engkau manis, mari ikut denganku sebentar. Engkau akan senang, marilah...." Bong-ciangkun menarik lengan itu dan senyumnya melebar, matanya yang besar bundar itu berkedip-kedip penuh kegenitan dan kekurang ajaran.
Nyonya Gu Hok menarik dan merenggutkan lengannya sampai terlepas dari pegangan perwira itu. "Tidak, biarkan kami pulang...!" katanya lirih.
"Ahh, itu anakmukah, nyonya? Ajaklah dia, aku akan menjamu kalian dengan hidangan yang lezat. Marilah, dan nanti pulangnya akan kuantar dengan kereta." Bong-ciangkun kembali membujuk dengan sikap ramah.
"Tidak..., terima kasih, ciangkun, akan tetapi kami mau pulang, sudah siang..."
"Marilah, nyonya. Apakah engkau akan menolak uluran tangan dan undanganku?"
Kembali perwira itu memegang lengan wanita yang tak mampu melepaskan tangannya lagi.
"Lepaskan ibuku...!" Tiba-tiba Hong Beng berseru dan dia membantu ibunya menarik tangannya dari pegangan perwira itu.
Jika sang perwira menghendaki, tentu mereka berdua tidak mampu melepaskan tangan itu. Akan tetapi melihat betapa banyaknya orang di pasar menyaksikan peristiwa itu, dia terpaksa melepaskan pegangannya. Mukanya menjadi semakin hitam. Dia merasa malu sekali! Ada wanita berani menolaknya! Bahkan terang-terangan di depan begitu banyak orang. Dia tentu akan menjadi bahan tertawaan orang sepasar! Dan kalau dia bertindak di situ juga, dia merasa malu karena banyak orang menyaksikan dan bagaimana pun ia adalah seorang pembesar, komandan pasukan keamanan. Maka, dengan uring-uringan dia lalu mengajak para pengawalnya keluar dari pasar dan terus pulang.
Setibanya di rumah, Bong-ciangkun menjadi makin penasaran ketika mendengar bahwa nyonya manis tadi adalah isteri tukang kayu Gu Hok. Hanya isteri tukang kayu! Dan sudah berani menolaknya! Padahal, isteri orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya dan lebih kaya sekali pun akan masuk ke dalam pelukannya dengan suka rela!
Dia kemudian menghubungi Coa Pit Hu, kepala penjahat yang menguasai dunia hitam di daerah Siang-nam. Setelah mengadakan pertemuan dan juga menceritakan perasaan hatinya yang tergila-gila kepada isteri Gu Hok, serta merasa penasaran karena ditolak mentah-mentah oleh wanita itu di tengah pasar sehingga diketahui banyak orang, Coa Pit Hu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha!" Pria berusia empat puluhan yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit, hidungnya lebar dan pesek itu tertawa. "Untuk urusan kecil seperti itu, kenapa ciangkun menjadi marah-marah? Kalau pada waktu kemarin itu ciangkun menyuruh pengawal menangkap dan menyeretnya ke sini, siapa yang akan melarang dan siapa berani menghalangi tindakan ciangkun?"
"Ahh, enak saja! Di depan begitu banyak orang, bagaimana aku bisa melakukan hal itu? Tentu tidak enak dan tidak baik. Sekarang, bantulah aku bagaimana baiknya agar aku dapat menebus rasa malu itu. Wanita itu menarik sekali, kau pun tentu akan setuju jika sudah melihatnya!"
"Ha-ha-ha, bunga simpanan di dalam taman yang dipelihara tentu saja cantik menarik. Jangan khawatir, sekarang pun aku dapat menculiknya. Kalau suaminya ribut-ribut akan kubunuh saja!"
"Jangan…!" Bong-ciangkun mencegah. "Peristiwa di pasar itu sudah diketahui banyak orang. Jika sekarang isterinya diculik, tentu semua orang akan menuduhku. Sebaiknya diambil jalan halus agar wanita itu mau datang ke sini dengan suka rela, dan akan lebih menyenangkan lagi kalau ia mau melayani aku dengan suka rela. Aku sudah bosan dengan cara paksaan dan perkosaan."
"Beres!" Kepala penjahat itu membual. "Ciangkun tadi mengatakan bahwa wanita itu memiliki seorang anak laki-laki? Nah, anak buahku akan menculik anak itu, kemudian kami akan minta kepada ibu anak itu datang sendiri menjemput anaknya ke sini. Nah, bukankah dengan ditangkapnya anak itu, si ibu akan dengan suka rela melayani segala hasrat ciangkun? Ha-ha-ha!"
Komandan itu tertawa bergelak dengan hati girang sampai perutnya bergoyang-goyang naik turun dan ke kanan kiri. "Bagus, bagus! Laksanakanlah dan hadiah-hadiahnya telah menanti untuk para anak buahmu."
"Aih, kenapa ciangkun berkata demikian? Biarlah wanita itu merupakan hadiah dari kami buat ciangkun! Malam ini juga ia tentu akan datang menyembah-nyembah kaki ciangkun dan minta diajak tidur. Sebagai tebusan nyawa anaknya, ha-ha-ha-ha!" Mereka berdua tertawa-tawa. Coa Pit Hu, kepala penjahat itu, segera berpamit untuk mempersiapkan rencananya.
Siang hari itu, Gu Hok dan isterinya menjadi gelisah sekali pada saat mendengar dari beberapa orang anak tetangga bahwa Hong Beng yang sedang bermain-main dengan mereka, mendadak ditangkap oleh empat orang laki-laki yang tidak dikenal. Mulutnya disumbat dan dibawa lari oleh mereka!
"Hong Beng diculik penjahat!" demikian Gu Hok berpendapat dengan muka pucat. Dia merasa heran sekali. "Mengapa? Kita adalah keluarga miskin, perlu apa orang menculik anak kita?"
Isterinya juga merasa khawatir sekali dan sedikit pun tidak menghubungkan diculiknya anaknya itu dengan peristiwa pagi tadi di dalam pasar. Ia tidak menceritakan peristiwa itu kepada suaminya karena merasa tidak enak, takut suaminya akan marah dan ia tahu bahwa mereka tidak mampu berbuat sesuatu terhadap kekurang ajaran seorang perwira seperti Bong-ciangkun.
“Apa yang harus kita lakukan? Ke mana kita harus mencari anak kita?" Dengan wajah pucat ibu yang kehilangan anaknya itu mengeluh.
Selagi ayah dan ibu ini kebingungan, seorang petani yang menjadi tetangga mereka tergopoh datang memberi tahu bahwa selagi bekerja di ladang, dia dihampiri seorang laki-laki tinggi kurus bermata sipit yang mengatakan bahwa kalau keluarga Gu Hok menghendaki anaknya kembali dengan selamat, mereka harus menyediakan uang tebusan seratus tail perak dan yang mengantar uang itu untuk menebus anaknya haruslah ibu anak itu sendiri. Tidak boleh dikawali orang dan tidak boleh diantarkan orang lain atau ditemani orang lain. Kalau melanggar, anak itu akan dibunuh! Uang itu harus diantar malam nanti di tanah kuburan yang berada di tepi kota, tempat yang amat sunyi!
Tentu saja suami isteri itu menjadi kebingungan.
"Celaka!" kata Gu Hok. "Orang miskin seperti kita mana mampu menyediakan uang seratus tail perak?"
Akan tetapi sambil menangis isterinya membujuk-bujuknya agar mengumpulkan uang dari mana pun juga. "Biar pun tidak cukup seratus tail, cari dan kumpulkanlah uang itu, aku akan memohon kepada mereka agar suka meringankan beban itu, dan kalau anak kita sudah dikembalikan, biarlah kita cari kekurangan itu sedapat kita."
Karena khawatir akan keselamatan anaknya. Gu Hok lalu mencari pinjaman ke sana sini dan akhirnya ia dapat mengumpulkan uang sebanyak dua puluh tail perak. Isterinya lalu membungkus uang itu dengan kain dan segera pergi meninggalkan rumah. Suaminya khawatir dan hendak menemaninya, akan tetapi isterinya melarang dengan keras.
"Suamiku, anak kita terancam nyawanya, kau jangan main-main," katanya. "Bukankah mereka itu hanya menginginkan aku sendiri yang mengantarkan uang? Tentu mereka curiga, takut jika engkau membawa kawan-kawan dan menggerebek. Biarlah aku yang mengantarkan dan aku akan mohon kasihan kepada mereka."
"Tapi, apakah tidak berbahaya kalau engkau pergi sendiri? Malam-malam begini ke kuburan yang begitu sunyi?" Suaminya meragu.
"Jangankan ke kuburan, biar pun ke neraka aku bersedia kalau untuk menyelamatkan anakku!"
Terpaksa Gu Hok membiarkan isterinya pergi sendiri dan dia menanti di rumah dengan hati tidak karuan rasanya. Melarang isterinya pergi, berarti dia menaruh nyawa anak tunggalnya dalam bahaya, sedangkan membiarkan isterinya pergi, membuat hatinya merasa khawatir dan tidak enak sekali.
Juga dia tak berani secara diam-diam membayangi isterinya karena dia mengerti bahwa penjahat-penjahat itu amat berbahaya dan tentu akan tahu kalau dia mengintai. Hal ini bukan hanya dapat membahayakan keselamatan anaknya yang sedang berada dalam cengkeraman penjahat, melainkan juga dapat membahayakan isterinya karena mereka merasa dikhianati.
Dengan perasaan seram ketika memasuki kuburan yang gelap itu, nyonya Gu Hok memberanikan hatinya demi anaknya. Dia menoleh ke kanan kiri di tempat yang amat sunyi itu. Tiba-tiba dia terkejut dan hampir menjerit ketika mendadak muncul sesosok bayangan orang tinggi kurus dari belakang sebuah batu kuburan. Jika saja ia tidak tahu sebelumnya bahwa tentu ada orangnya gerombolan penjahat yang menyambutnya, tentu ia sudah menjerit ketakutan dan menyangkanya setan.
"Apakah engkau nyonya Gu Hok?" tanya laki-laki tinggi kurus itu.
"Be... benar... aku ibu dari anakku Hong Beng... aku... aku mohon kepadamu, di mana anakku?"
"Engkau datang sendirian saja?" tanya suara itu dengan galak.
"Benar..."
"Membawa uang itu?"
"Ampunkan aku, kami tidak mampu mengumpulkan uang seratus tail dan hanya berhasil terkumpul dua puluh tail saja..."
"Hemm, mana bisa...?"
Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan dirinya berlutut. "Ampunkan kami…, ampunkan anak kami. Aku mohon kepadamu, bebaskanlah anakku. Aku berjanji bahwa kekurangannya kuanggap hutang dan kelak akan kubayar dengan cicilan..."
"Wah, mana bisa?"
"Aku mohon kepadamu, kasihanilah kami..."
"Begini, nyonya. Kalau pembayarannya kurang, aku tidak dapat memutuskan. Engkau harus minta sendiri kepada pimpinan kami."
"Mana dia? Aku akan mohon kepadanya, dan mana anakku?"
"Anakmu dalam keadaan sehat, bersama pimpinan kami. Mari kita ke sana dan kau boleh bicara sendiri dengan dia dan mengambil anakmu.”
Tentu saja nyonya itu girang sekali. Dengan penuh harapan disertai kecemasan, ia pun mengikuti laki-laki tinggi kurus itu pergi ke sebuah rumah yang agak terpencil, sebuah rumah pondok kecil. Ia terus mengikuti ketika laki-laki tinggi kurus itu memasuki rumah dari pintu belakang dan hatinya gentar bukan main melihat belasan orang laki-laki yang bersenjata tajam berada di sekitar rumah pondok itu. Setahunya, pondok ini adalah rumah milik pembesar yang jarang dipakai, dan ia tidak mengerti mengapa ia dibawa ke pondok milik pembesar.
Dan ketika ia bersama orang tinggi kurus itu memasuki sebuah kamar yang besar, dan penerangan yang besar menerangi seluruh kamar itu, membuat ia dengan jelas dapat melihat laki-laki tinggi besar yang duduk di situ sambil menyeringai, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Laki-laki itu bukan lain adalah Bong-ciangkun, laki-laki muka hitam berperut gendut yang matanya besar itu, yang pagi tadi mengganggunya di tengah pasar!
"Ibuuu..."
"Hong Beng, anakku...!" Ibu itu berteriak girang melihat anaknya berada pula di sudut kamar.
Akan tetapi, ketika ia hendak lari menghampiri, pergelangan tangannya dicengkeram oleh si tinggi kurus.
"Jangan bergerak...!"
"Ibu...!" Hong Beng meloncat dan berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dan si tinggi kurus tidak mampu mencegah ibu dan anak itu saling rangkul.
Wanita itu berlutut dan berangkulan dengan anaknya. Si ibu menangis akan tetapi Hong Beng tidak menangis, melainkan memandang ke arah perwira brewokan dan si tinggi kurus itu dengan sirar mata berapi-api.
"Kalian telah meculikku, sekarang membawa ibuku ke sini. Sebetulnya kalian ini orang-orang jahat mau apakah?"
Tadi ketika ibunya belum dibawa ke situ, Hong Beng memperlihatkan sikap takut-takut, akan tetapi kini melihat ibunya juga diculik, kemarahannya meluap dan dia melupakan rasa takutnya.
"Plakkk...!"
Sebuah tamparan dari si tinggi kurus membuat Hong Beng terpelanting dan ibunya menjerit.
"Anak lancang, apakah kau bosan hidup?" Si tinggi kurus membentak anak yang kini merangkak bangun dengan pipi kiri merah membiru dan agak membengkak itu.
Akan tetapi sebelum anak itu dapat bergerak, si tinggi kurus sudah meloncat dan sekali pegang sudah mencengkeram tengkuk anak itu sehingga tidak mampu bergerak lagi.
"Jangan... jangan pukul anakku... ahhh, jangan bunuh anakku... Ini, tai-ciangkun, aku sudah membawa uangnya, tetapi masih kurang... kami hanya mampu mengumpulkan dua puluh tail saja... ampunkanlah kami dan anakku, kekurangannya akan kucicil..."
Wanita itu bicara dengan air mata bercucuran dan mengeluarkan buntalan berisi uang dua puluh tail perak. Ia berlutut di depan kaki perwira Bong yang tersenyum menyeringai karena setelah berdekatan, ternyatalah olehnya bahwa wanita ini memang mulus dan manis sekali.
"Nyonya, kalau saja sikapmu di pasar tadi tidak kasar dan lunak seperti sekarang ini, tentu aku tidak perlu membawa anakmu ke sini. Sekarang, bagaimana? Engkau pilih anakmu mati di depanmu ataukah melayani aku dan menyenangkan hatiku?"
Perwira brewok itu mengajukan pertanyaan ini tanpa malu-malu, di depan Hong Beng yang belum mengerti apa yang dimaksudkan laki-laki buruk rupa itu dan di depan si tinggi kurus Coa Pit Hu yang hanya menyeringai. Kedua lengan Hong Beng masih ditelikungnya ke belakang sehingga anak ini tidak mampu meronta.
Dapat dibayangkan betapa kaget, takut dan bingungnya hati ibu Hong Beng mendengar ucapan itu. Tidak disangkanya sama sekali bahwa ke situlah tujuan perwira ini menculik anaknya, yaitu untuk memaksanya melayani perjinahan dengan perwira itu. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi melihat puteranya dalam cengkeraman si tinggi kurus, ia tidak berani menolak secara kasar dan hendak mencari jalan lain.
"Tai-ciangkun, ampunkanlah aku, ampunkan anakku..." Dia berlutut sambil menangis. "Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk memenuhi tuntutan seratus tail itu... asal anakku dibebaskan... Aku mau bekerja keras, dan aku mau melakukan apa saja demi keselamatan anakku... akan tetapi... jangan itu..."
"Setan!" Si perwira brewok membentak. Hatinya tersinggung sekali, harga dirinya runtuh mendengar ada wanita berani menolaknya mentah-mentah. "Coa-sicu, bunuh anak itu sekarang juga di depan matanya!"
Si perwira brewok mengedipkan matanya dan Coa Pit Hu terkekeh, lalu meloloskan sebatang golok besar yang tajam mengkilat. Golok itu ditempelkannya ke leher Hong Beng. Melihat ini, tentu saja ibu anak itu menjadi pucat, matanya terbelalak lebar dan saking takutnya dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan memegang lehernya sendiri seolah-olah dia dapat merasakan bagaimana leher anaknya itu dipenggal.
"Tidak... tidak... jangan...!"
"Mau kau melayaniku?" Kembali perwira itu membentak dengan senyum mengejek.
Ibu muda itu mengangguk-angguk, namun matanya masih terus memandang anaknya sambil bercucuran air mata. Ia tak mampu mengeluarkan suara, tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tak dapat memilih lain. Yang terpenting baginya adalah keselamatan anak tunggalnya. Biar harus mengorbankan nyawa sekali pun ia rela asal anaknya selamat.
"Ha-ha-ha!" Perwira itu tertawa penuh kemenangan. "Coa-sicu, jangan bunuh anak itu dan ajaklah keluar kamar."
Coa Pit Hu menyeringai dan memandang wanita itu. "Tapi... ciangkun berjanji akan memberi bagian kepadaku..."
"Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Kalau aku suka, aku tidak akan membaginya kepada siapa pun juga dan engkau akan kuberi hadiah barang lain, akan tetapi kalau aku tidak suka, boleh saja kuberikan padamu!”
Coa Pit Hu tertawa dan menyeret Hong Beng keluar dari dalam kamar itu. Hong Beng berusaha meronta, tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang, tubuhnya tak dapat diputarnya dan dia hanya dapat memutar lehernya untuk memandang ibunya. Sebelum daun pintu ditutup oleh orang yang menyeretnya, dia melihat betapa perwira brewok itu menubruk dan merangkul ibunya, lalu ibunya yang lemas dan pucat serta bercucuran air mata itu dipondongnya ke arah pembaringan. Dia masih belum tahu apa yang terjadi, bahkan hatinya agak lega karena ibunya tidak dipukuli atau disiksa.
Dari dalam kamar itu tidak terdengar suara tangis sama sekali. Ibu Hong Beng tidak berani mengeluarkan rintihan atau tangisan karena maklum bahwa sekali saja perwira laknat ini memberi perintah, anaknya tentu akan dibunuh di luar kamar! Akan tetapi batinnya merintih dan tangis batinnya membubung tinggi ke angkasa, seperti jerit tangis wanita-wanita lain yang pernah menjadi korban perwira ini di dalam kamar itu.
Biar pun tidak terdengar suara apa pun di dalam kamar itu, Hong Beng yang berada di luar dan duduk di atas lantai, merasa tidak enak sekali hatinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi. Melihat betapa Coa Pit Hu, laki-laki tinggi kurus itu tersenyum-senyum sendiri, dia tidak dapat lagi menahan hatinya.
"Di mana ibuku? Apa yang terjadi dengan ibuku?"
Coa Pit Hu tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha, ibumu sedang bersenang-senang dengan Bong-ciangkun. Kau diam sajalah di sini dan jangan pergi kemana pun." Mengenangkan apa yang dilakukan pembesar itu terhadap si wanita mulus, Coa Pit Hu menjilat bibirnya. Dia hampir tidak sabar lagi menanti gilirannya. Waktu terasa seperti merayap perlahan sekali oleh pria ini.
Akhirnya, karena lelah menanti, Coa Pit Hu mengantuk di atas kursinya. Hong Beng sendiri tidak dapat tidur, hanya duduk bersandar dinding dengan hati diliputi kecemasan. Tengah malam telah lewat dan tiba-tiba terdengar bentakan Bong-ciangkun.
"Coa-sicu, masuklah!"
Coa Pit Hu yang sedang terkantuk-kantuk itu terkejut. akan tetapi tersenyum gembira dan dia pun membuka daun pintu.
"Nih, untukmu! Perempuan sialan, melayani seperti sepotong mayat saja!"
Hong Beng juga menjenguk dan karena daun pintu terbuka, dia dapat melihat ibunya didorong terhuyung dan disambut oleh Coa Pit Hu dengan rangkulan. Ibunya berwajah pucat dan menangis, pakaiannya tidak karuan. Akan tetapi daun pintu sudah ditutup lagi. Dia hanya mendengar suara tangis ibunya diseling suara ketawa Coa Pit Hu dan Bong-ciangkun.
Melihat kesempatan baik ini, Hong Beng lalu melarikan diri keluar dari tempat itu. Di pintu gerbang depan terdapat prajurit-prajurit yang berjaga, akan tetapi karena dari dalam tidak terdengar perintah apa-apa, mereka mengira bahwa anak itu memang dilepaskan oleh Bong-ciangkun dan mereka pun hanya memandang sambil tertawa melihat anak itu berlari keluar sambil menangis.
Hong Beng terus berlari menuju pulang. Ayahnya terkejut bukan main ketika melihat puteranya memasuki rumah sambil menangis. Ada rasa girang melihat puteranya dalam keadaan selamat, akan tetapi melihat anak itu menangis dan pulang tanpa ibunya, dia terkejut.
"Hong Beng...!"
"Ayah... ayah...!" Anak itu menubruk ayahnya dan menangis.
"Kenapa, Hong Beng? Kenapa? Mana ibumu...?" Hati Gu Hok merasa tidak enak sekali.
"Ibu... tolonglah ibu, ayah Ibu... ibu ditahan oleh Bong-ciangkun!"
"Ehh? Bong-ciangkun? Kenapa...?"
Tentu saja Gu Hok menjadi bingung karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa hilangnya puteranya itu adalah akibat perbuatan seorang pembesar yang berpengaruh itu. Siapa yang tidak mengenal Bong-ciangkun, komandan dari pasukan keamanan kota Siang-nam, yang seolah-olah menjadi raja kecil itu?
"Aku... aku ditangkap orang-orang Bong-ciangkun dan ditahan di sana. Malam ini ibu datang bersama penjahat tinggi kurus, lalu ibu ditahan di dalam kamar Bong-ciangkun... dan kulihat... ibu setengah telanjang, ibu menangis dan aku lalu lari..."
"Keparat... !" Gu Hok tentu saja sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya Bong-ciangkun yang mengatur semua itu untuk memaksa dan menggagahi isterinya!
Tukang kayu itu marah sekali dan lupa siapa adanya Bong-ciangkun. Dia mengambil sebuah kapak besar yang biasa untuk menebang pohon, lalu berlari keluar.
"Ayah...!" Hong Beng berteriak dan mengejar ayahnya.
Ayah dan anak berlarian menuju ke gedung keluarga Bong-ciangkun. Karena hari sudah lewat tengah malam, keadaan sunyi sekali dan agaknya tidak ada seorang pun melihat ayah dan anak ini berlari-larian. Akan tetapi, mereka berdua itu tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali membayangi mereka.
Setelah tiba di depan pintu gerbang gedung Bong-ciangkun, Gu Hok yang masih diikuti puteranya itu berlari masuk. Tentu saja para pengawal segera menghadangnya.
"Heii, berhenti! Mau apa kau?!" seorang pengawal membentak sambil melintangkan tombaknya.
"Minggir! Aku mau bertemu Bong-ciangkun!"
Gu Hok membentak dan mengobat-abitkan kapaknya yang besar dan tajam! Pengawal itu terkejut dan melompat-mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gu Hok untuk menerobos masuk diikuti Hong Beng.
"Heii! Berhenti kau...!"
Para pengawal itu mengejar ayah dan anak ini. Akan tetapi Gu Hok yang sudah nekat itu sudah tiba di depan pintu kamar Bong-ciangkun atas petunjuk anaknya dan segera dia mengayun kapaknya menjebol daun pintu. Dengan suara keras daun pintu itu jebol dihantam kapak dan terbuka. Orang-orang yang berada di dalam kamar itu terkejut dan apa yang dilihat oleh Gu Hok membuat tukang kayu ini menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak.
Isterinya menjerit, meronta dan terlepas dari rangkulan orang tinggi kurus itu, lalu lari ke arah suaminya dalam keadaan telanjang bulat! Ia menangis sesenggukan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suami dan puteranya.
Melihat keadaan isterinya, Gu Hok marah bukan main dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju kearah Bong-ciangkun. Akan tetapi, dari samping si tinggi kurus itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras yang membuat tubuh Gu Hok terdorong mundur keluar dari dalam kamar itu. Sekali lagi Coa Pit Hu menendang dan kini tubuh Hong Beng terlempar keluar.
"Ha-ha-ha, bunuh para pengacau itu!" kata Bong-ciangkun kepada para pengawalnya.
Isteri Gu Hok menjerit melihat suami dan anaknya ditendang keluar, dan ia pun bangkit, lupa bahwa dia berada dalam keadaan telanjang. Bagaikan seekor harimau betina yang marah, dia menerjang keluar pula untuk melindungi suami dan anaknya. Akan tetapi, seorang pengawal menggerakkan tombaknya.
"Ceppp...!"
Tombak itu menusuk perut menembus punggung wanita yang mengeluarkan suara jerit mengerikan. Tombak dicabut dan wanita itu pun roboh terkulai. Melihat hal ini, Gu Hok meloncat bangun.
"Isteriku...!" teriaknya dan dia pun mengamuk dengan kapaknya.
Akan tetapi karena dia hanya seorang tukang kayu biasa saja yang tidak pandai ilmu silat, hanya memiliki tenaga besar saja, mana mungkin dapat melawan pengeroyokan para pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat dan mereka itu memegang senjata tombak yang panjang? Dalam beberapa gebrakan saja, tubuhnya tertembus tombak pula dan dia roboh tewas di dekat mayat isterinya.
"Ayahhh...! Ibuuuu... !" Hong Beng menjerit dan menangis.
Anak ini lalu nekat menyerang para pengawal itu dengan kedua tangan dan kakinya, memukul menendang asal kena saja. Para pengawal itu tertawa, tidak mempergunakan senjata lagi melainkan menghadapi amukan anak kecil itu dengan tamparan-tamparan yang membuat tubuh Hong Beng terpelanting dan terlempar ke sana-sini. Namun anak itu bangkit lagi, menyerang lagi untuk kemudian disambut tamparan yang membuatnya terpelanting lagi. Ia dipermainkan oleh para pengawal seperti seekor tikus dipermainkan beberapa ekor kucing saja.
Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu kini sudah keluar dari dalam kamar. Melihat betapa belasan orang pengawal itu mempermainkan anak laki-laki yang mengamuk seperti gila dan nekat itu, Bong-ciangkun berseru, "Bunuh saja dia dan lempar tiga mayat mereka!"
Seorang pengawal yang berkumis tebal dan berwatak kejam lalu mengangkat goloknya dan membacok ke arah leher Hong Beng yang kembali telah terpelanting ke atas lantai.
"Singgg... tranggg... aughhhh...!"
Bukan leher Hong Beng yang terpental putus, tapi golok itu terpental dan pemegangnya roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Semua orang terkejut bukan main dan ketika mereka memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang amat gagah perkasa. Laki-laki inilah bayangan yang tadi membayangi Gu Hok dan puteranya.
Dia seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bentuk mukanya bulat dengan sepasang matanya yang mencorong tajam. Wajah yang tampan itu berkulit agak gelap. Pakaiannya serba indah dan rapi, rambutnya tersisir rapi pula, seorang laki-laki pesolek.
Ketika laki-laki ini memandang ke arah dua buah mayat suami isteri Gu Hok, dan melihat keadaan mayat wanita itu yang telanjang bulat, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat. Pandang mata mencorong itu kini ditujukan kepada Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang berdiri di depan pintu kamar, kemudian beralih kepada Hong Beng yang sudah bangkit lagi dengan muka matang biru dan hidung berdarah.
"Anak baik, apakah mereka itu ayah ibumu?"
"Benar, dan mereka... mereka dibunuh... dua orang jahanam itu dan anak buahnya."
Laki-laki gagah itu mengangguk-angguk. "Tidak aneh kalau terjadi pemberontakan di mana-mana. Pejahat-pejahat pemerintah bertindak sewenang-wenang dan berkomplot dengan para penjahat. Manusia-manusia macam ini memang harus dibasmi!"
Coa Pit Hu sudah dapat menenangkan hatinya yang terkejut melihat munculnya orang yang membunuh seorang pengawal itu. Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka laki-laki itu dan membentak, "Kurang ajar! Siapakah engkau berani mengantar nyawa di sini? Hayo mengaku sebelum kupenggal kepalamu!"
Laki-laki itu tersenyum, senyumnya dingin sekali. "Tidak ada gunanya engkau mengenal namaku karena kalian semua akan mati malam ini!"
"Kurang ajar!" Coa Pit Hu marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok lalu menyerang dengan amat ganasnya. Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi, yaitu hendak memenggal kepala orang yang berani menentang dia dan Bong-ciangkun.
"Singgg...!"
Goloknya menyambar ke leher laki-laki gagah itu. Laki-laki itu hanya menggerakkan tangan, dan telapak tangannya sudah menampar dada Coa Pit Hu sebelah kanan.
"Plakkk!"
Coa Pit Hu mengeluarkan teriakan panjang. Tubuhnya terpelanting, roboh dan matanya mendelik. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah dan dia sudah tidak berkutik lagi karena telah tewas seketika. Jantungnya pecah karena getaran pukulan telapak tangan yang amat dahsyat itu!
Melihat ini, Bong-ciangkun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi dia masih ingat untuk memberi aba-aba, "Serbu dan bunuh penjahat ini!" Lalu dia sendiri membalikkan tubuhnya hendak lari bersembunyi ke dalam rumahnya.
"Hemm, pembesar lalim! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" Laki-laki gagah itu menyambar golok yang tadi lepas dari tangan Coa Pit Hu, dan sekali menyambit, golok itu terbang meluncur.
"Cappp...!"
Pembesar Bong-ciangkun menjerit pada saat golok itu menembus punggungnya sampai dada. Dia pun roboh tersungkur, menelungkup di atas lantai. Darah membanjir keluar dari punggung dan dadanya, dan tubuhnya hanya sebentar saja berkelojotan, lalu tak bergerak lagi.
Belasan, orang pengawal menjadi terkejut dan mereka pun lalu mengeroyok kalang kabut. Akan tetapi, tubuh pria yang gagah itu berkelebatan ke sana-sini dan setiap kali tangannya bergerak tentu seorang pengeroyok roboh dan tewas. Sebentar saja sepuluh orang telah roboh. Sisanya hendak lari, tetapi laki-laki itu tidak mau memberi ampun dan dengan lemparan-lemparan tombak atau golok yang berserakan, dia lalu merobohkan mereka yang melarikan diri sehingga tak seorang pun ketinggalan! Tempat itu berubah menjadi tempat mengerikan di mana mayat berserakan dan lantai banjir darah!
Hong Beng sendiri yang merasa sakit hati dan mendendam terhadap Bong-ciangkun, sekarang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan pembunuhan yang lebih tepat dinamakan pembantaian yang dilakukan laki-laki gagah perkasa itu.
Laki-laki itu kemudian berkata kepada Hong Beng yang berdiri di sudut dengan tubuh menggigil dan muka pucat. "Anak baik, mari kita pergi dari sini."
"Tapi... tapi... aku ingin mengubur jenazah ayah ibuku..."
Laki-laki itu menarik napas panjang. "Hemm, baiklah!"
Dia kemudian mengambil sebatang golok dan dengan golok itu dia memenggal leher Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu. Rambut dari dua buah kepala itu dia ikat menjadi satu, lalu dia menyerahkan dua kepala itu kepada Hong Beng. "Kau bawalah dua kepala ini dan aku akan membawa jenazah ayah ibumu."
Tentu saja Hong Beng terbelalak ngeri. Melihat orang mati saja belum pernah, sekarang setelah menyaksikan belasan orang berserakan menjadi mayat dalam keadaan mandi darah, dia harus membawa dua buah kepala orang! Akan tetapi, karena mendengar bahwa laki-laki perkasa itu akan membawakan dua jenazah ayah ibunya, terpaksa dengan gemetaran dia menerima dua kepala itu, dipegang pada rambut yang diikat menjadi satu dan dibawanya kepala yang lehernya masih meneteskan darah itu.
Laki-laki itu merenggut beberapa helai tirai sutera dari tempat itu, menyelimuti tubuh isteri Gu Hok yang telanjang, kemudian dia mengambil dua mayat itu dengan ringan dan mudah.
"Mari kita pergi," katanya lagi dan dia membawa dua mayat itu berjalan keluar, diikuti oleh Hong Beng yang membawa dua buah kepala orang!
Setelah kedua orang ini pergi, barulah para pelayan rumah pondok yang biasanya digunakan Bong-ciangkun untuk menjagal wanita-wanita yang menjadi korbannya itu berani keluar. Melihat betapa mayat-mayat berserakan, di antaranya adalah mayat Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang sudah tidak berkepala lagi, tentu saja para pelayan itu menjerit-jerit ketakutan, bahkan ada yang roboh pingsan. Tempat itu segera ramai di datangi orang dan gegerlah kota Siang-nam.
Pasukan keamanan datang dan para pembesar di kota ribut-ribut mencari siapa yang telah membunuh Bong-ciangkun dan belasan orang itu. Akan tetapi semua orang yang menjadi saksi telah tewas, maka sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan siapa pembunuhnya.
Kegemparan itu makin menghebat ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang berdatangan ke pasar menjadi terkejut melihat adanya dua buah kepala digantung di atas pintu gerbang pasar. Itulah kepala Bong-cioangkun dan Coa Pit Hu! Dan di atas tembok pintu gerbang itu terdapat tulisannya, tulisan yang bergaya kuat dan berbentuk indah, ditulis dengan darah yang telah menghitam.
‘BONG CIANGKUN BERSEKONGKOL DENGAN PENJAHAT-PENJAHAT MENINDAS RAKYAT. INILAH HUKUMANNYA AGAR MENJADI CONTOH BAGI PARA PEJABAT LAIN’.
Tentu saja kota Siang-nam menjadi gempar dan semua orang menduga-duga siapa gerangan orang yang begitu berani membunuh seorang komandan pasukan keamanan, bahkan membunuh Coa Pit Hu yang terkenal sebagai pimpinan penjahat di sekitar tempat itu, bahkan menggantungkan kepala mereka di atas pintu gerbang pasar tanpa diketahui seorang pun. Dengan hati kecut dan ketakutan, kepala daerah memerintahkan pasukan keamanan untuk menjaga rumahnya dan sebagian ditugaskan untuk mencari pembunuh itu.
Sementara itu, si pembunuh pada keesokan harinya telah berjalan seenaknya di luar kota Yang-nam sambil menggandeng tangan Hong Beng. Dia telah membantu anak itu mengubur jenazah ayah ibu anak itu di luar kota Siang-nam, di sebuah lereng bukit yang sunyi, kemudian mengajak anak itu pergi dari situ.
Siapakah laki-laki gagah perkasa itu? Kalau saja ada yang mengenalnya, kegemparan di Siang-nam tentu akan bertambah dengan rasa takut dan kagum. Laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti yang beberapa tahun yang lalu namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw. Dia bernama Suma Ciang Bun.
Para pembaca kisah-kisah yang menyangkut keluarga Pulau Es tentu sudah mengenal nama ini. Suma Ciang Bun adalah cucu mendiang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, majikan Pulau Es. Ayahnya, bernama Suma Kian Lee, putera majikan Pulau Es itu, seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, dan ibunya bernama Kim Hwee Li, juga seorang wanita yang sakti. Ayah ibunya kini sudah tua, sudah sekitar enam puluhan tahun usianya. Mereka bertempat tinggal di Thian-cin, sebuah kota di sebelah selatan kota raja.
Suma Ciang Bun yang kini berusia tiga puluh tahun ini belum menikah. Semenjak muda remaja, ia memiliki suatu kelainan yang pernah menyiksa batinnya dengan hebat sekali. Kelainan ini amat aneh, akan tetapi banyak dialami pria di dunia ini, yaitu bahwa gairah kelaminnya tidak seperti pria umumnya, tidak ditujukan terhadap wanita tetapi terhadap sejenis kelaminnya sendiri. Gairahnya timbul bukan terhadap wanita, tapi terhadap pria! Tentu saja kelainan itu menimbulkan peristiwa-peristiwa yang aneh dan menyeretnya ke lembah kesengsaraan batin yang hebat.
Tubuhnya saja pria, akan tetapi seleranya seperti wanita. Maka, pernah beberapa kali dia patah hati, mencinta seorang pria, bahkan pernah dia tergila-gila seorang pria, yang ternyata adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Hal ini menghancurkan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia benar-benar mencinta orang itu, tak peduli orang itu pria mau pun wanita. Namun segalanya sudah terlambat. Orang itu telah pergi meninggalkannya karena merasa dihina dan disakitkan hatinya. Hal ini dapat dibaca dalam ‘KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES’.
Akan tetapi, pengalaman pahit yang telah bertubi-tubi dirasakannya, kemudian nasehat-nasehat terutama dari adik misannya sendiri yang bernama Suma Ceng Liong, dan dari kakak perempuannya yang bernama Suma Hui, dia akhirnya dapat mengetahui dirinya sendiri dan dapat melihat bahwa tak mungkin dia menuruti seleranya yang tidak lumrah itu.
Suma Ciang Bun sekarang telah sembuh! Tidak lagi timbul gairah birahinya melihat pria tampan, meski sampai kini dia belum juga dapat menimbulkan gairah birahinya terhadap wanita. Biar pun sudah sembuh, namun Ciang Bun masih belum dapat melenyapkan sifat-sifatnya yang seperti wanita, yaitu pesolek, rapi dan suka akan kelembutan!
Sudah bertahun-tahun lamanya Suma Ciang Bun meninggalkan rumah orang tuanya di Thian-cin, hidup sebagai seorang pendekar perantau yang tak tentu tempat tinggalnya. Di mana pun dia berada, pendekar ini selalu mengulurkan tangannya untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dengan gigih. Berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, yang membuat dia dapat disebut orang sakti, maka jarang dia menemui lawan yang mampu menandinginya, dan karenanya, namanya amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan.
Banyak orang pernah melihat sepak terjangnya yang amat hebat. Akan tetapi karena dia tidak pernah meninggalkan nama, maka orang-orang yang belum pernah melihatnya dan hanya mendengar saja penuturan orang, tidak dapat menduga siapa sebenarnya pendekar sakti itu. Sepasang pedang dengan ronce-ronce biru selalu tersembunyi di balik jubahnya, dan siang-kiam (sepasang pedang) ini jarang sekali dipergunakannya, karena dengan kaki tangannya saja dia sudah sukar dikalahkan lawan.
Setelah matahari naik tinggi, Suma Ciang Bun mengajak Hong Beng berhenti mengaso di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan yang sunyi. Anak itu sejak pagi tadi, sejak meninggalkan makam ayah ibunya, tidak pernah bicara, hanya menurut saja ketika tangannya digandeng oleh Ciang Bun dan diajak pergi. Tak pernah bertanya hendak ke mana, tak pernah mengeluh meski keringatnya sudah membasahi seluruh pakaiannya dan nampaknya lelah sekali.
Maklumlah, semalam suntuk anak itu tidak pernah tidur, apa lagi mengalami hal-hal yang amat menegangkan dan menekan batinnya. Melihat betapa dirinya dikurung, lalu munculnya ibunya, kemudian melihat betapa ayah ibunya tewas di depan matanya, dan dia sendiri dihajar babak belur dan bengkak-bengkak oleh para pengawal yang terdiri dari anak buah penjahat itu, kemudian melihat pula betapa semua orang itu dibantai oleh penolongnya ini. Ditambah lagi sejak kemarin dia tidak mau makan. Perutnya lapar, badannya sakit-sakit, hatinya berduka, akan tetapi anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh...
Penilaian menimbulkan dua sifat atau keadaan yang berlawanan, yaitu baik atau buruk. Tentu saja baik atau buruk itu bukanlah sifat asli yang dinilai, melainkan timbul karena keadaan hati si penilai sendiri.
Agaknya belum pernah ada kaisar atau orang biasa siapa pun juga yang dinilai baik oleh orang seluruh dunia. Kaisar Kian Liong, seperti dapat dilihat dalam catatan sejarah, adalah kaisar yang terkenal berhasil dalam memajukan kebesaran pemerintahannya. Akan tetapi, dia pun menjadi bahan penilaian rakyat dan karena itu, tentu saja dia pun memperoleh pendukung dan juga memperoleh penentang.
Seperti dalam pemerintahan kaisar-kaisar terdahulu, dalam pemerintahan Kian Liong ini pun tidak luput dari pemberontakan-pemberontakan, baik besar mau pun kecil. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong selalu bertindak tegas dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan itu dan karena dalam pemerintahannya terdapat banyak panglima-panglima yang tangguh dan pandai, dengan bala tentara yang cukup besar, maka dia selalu berhasil memadamkan api-api pemberontakan yang terjadi di sana-sini.
Pemberontakan yang hebat terjadi pula di daerah Yunan barat daya. Bangsa Birma bersekutu dengan para pemberontak di Propinsi Yunan. Pasukan besar Bangsa Birma memasuki Propinsi Yunan bagian barat daya, menyeberangi Sungai Nu-kiang, bahkan bergerak sampai di tepi Sungai Lan-cang (Mekong).
Tentu saja Kaisar Kian Liong tidak mendiamkan saja bangsa tetangga itu mengganggu wilayah Yunan dan dia segera mengirimkan panglima-panglima perangnya, memimpin pasukan besar untuk menghalau para pengganggu dari Birma itu serta menumpas pemberontakan di Yunan. Kembali terjadi perang!
Perang adalah sebuah peristiwa yang amat jahat dan buruk dalam dunia ini. Puncak kebuasan manusia menuruti nafsu mengejar KESENANGAN. Perang merupakan perluasan dan pembiakan nafsu kotor dalam diri yang mengejar kesenangan dengan cara apa pun juga. Setiap orang atau benda yang dianggap menjadi penghalang usahanya mengejar kesenangan itu akan dihancurkan, dibinasakan.
Perang adalah permainan beberapa gelintir manusia yang kebetulan saja memperoleh kesempatan untuk duduk di tingkat paling atas, menjadi apa yang dinamakan pemimpin-pemimpin bangsa atau golongan atau kelompok, dalam usaha mereka untuk mencapai kedudukan paling tinggi dan kesenangan. Dan siapakah yang menjadi korban kalau bukan rakyat jelata? Para prajurit yang telah digembleng menjadi alat-alat membunuh atau dibunuh itu pun sebagian dari rakyat yang menjadi korban ulah beberapa gelintir manusia yang berambisi itu.
Perang itu amat kejam! Manusia-manusia dirubah untuk menjadi serigala-serigala dan harimau-harimau yang haus darah, menjadi orang-orang yang teramat kejam karena ketakutan, yang berdaya upaya untuk membunuh lebih dulu sebelum terbunuh, menjadi pembunuh berdarah dingin yang disanjung-sanjung serta dipuji-puji oleh mereka yang memperalatnya.
Di dalam perang berlakulah hukum rimba. Siapa kuat dia menang, siapa menang dia pasti benar dan berkuasa atas yang kalah. Bukan ini saja, tetapi di dalam perang juga timbul kejahatan-kejahatan yang diumbar karena desakan nafsu yang paling sesat. Para prajurit yang digembleng untuk melakukan kekerasan itu tentu saja berwatak keras. Bahaya-bahaya dan ancaman-ancaman di dalam perang membuat mereka berwatak keras dan kadang-kadang malah buas.
Ada pula akibat sampingan yang amat menyedihkan. Adanya perang membuat banyak daerah-daerah yang tak bertuan, hukum yang ada hanya hukum rimba. Kesempatan ini digunakan oleh gerombolan-gerombolan yang biasa melakukan perbuatan jahat untuk merajalela. Rakyat pula yang menjadi korban. Tempat atau daerah-daerah yang dilanda perang membuat rakyat jelata ketakutan dan larilah mereka pontang-panting, cerai-berai dan kacau balau meninggalkan dusun atau kota mereka yang mereka tinggali selama ini, sejak mereka kecil.
Terpaksa mereka melarikan diri demi mencari keselamatan, meninggalkan segala yang mereka sayang dan cinta, menuju ke tempat yang belum mereka ketahui atau kenal, memasuki nasib baru yang suram penuh rasa ketakutan dan tanpa adanya ketentuan. Mereka ini adalah rakyat jelata pula.
Pasukan prajurit, yang merupakan sebagian rakyat pula, dipaksa oleh para penguasa untuk menjadi bidak-bidak catur yang dimainkan oleh para penguasa kedua pihak yang saling bertentangan atau berebut kemenangan. Mereka, para prajurit itulah yang akan gugur tanpa dikenal.
Jika menang? Beberapa orang penguasa itulah yang akan menikmati hasil sepenuhnya, dan para prajurit yang mempertaruhkan nyawa dalam arti kata seluas-luasnya itu sudah cukup kalau diberi pujian dan sekedar hadiah atau kenaikan pangkat. Bagaimana kalau kalah? Prajurit-prajurit itu mempertahankan sampai titik darah terakhir, mati konyol atau tertawan, tersiksa, terbunuh, sedangkan para penguasa yang hanya beberapa gelintir orang itu kalau terbuka kesempatan akan cepat-cepat melarikan diri, menyelamatkan diri beserta keluarganya, tidak lupa membawa barang-barang berharga. Mereka akan mengungsi ke negara lain sebagai orang-orang yang kaya raya!
Hal ini bukanlah dongeng, melainkan kenyataan yang dapat kita saksikan, baik dengan menengok ke belakang melalui sejarah mau pun melihat keadaan sekarang di mana timbul perang yang keji itu.
Keluarga kecil itu terdiri dari suami-isteri dan seorang anak perempuan. Ayah itu berusia hampir empat puluh tahun, sang ibu baru berusia tiga puluhan tahun dan masih nampak cantik, sedangkan anak perempuan itu berusia kurang lebih sepuluh tahun. Mereka berhasil menyeberangi Sungai Lan-cang dengan sebuah perahu nelayan kecil. Mereka adalah penduduk di sebelah barat sungai itu. Karena pasukan-pasukan Birma sudah tiba di daerah itu, maka mereka melarikan diri mengungsi ke timur.
Namun mereka mendengar pula betapa pasukan Kerajaan Mancu tidak kalah buasnya dengan pasukan Birma atau pasukan pemberontak. Ternak peliharaan para penduduk desa habis disikat mereka, segala barang berharga dirampas dan banyak pula wanita-wanita diganggu untuk melampiaskan nafsu angkara mereka yang datang dengan dalih ‘hendak melindungi rakyat dari ancaman pemberontakan dan pasukan Birma’. Rakyat dihadapkan pada dua api yang sama-sama panas membakar.
"Ibu, aku capai sekali...," anak perempuan itu mengeluh setelah perahu yang mereka pergunakan untuk menyeberangi Sungai Lan-cang itu hampir tiba di tepi bagian timur.
Anak yang usianya kurang lebih sepuluh tahun itu agak pucat dan nampak lelah sekali. Pakaiannya seperti biasa anak petani dan wajahnya yang ditutupi sebagian rambut panjang kusut itu memiliki garis-garis yang cantik manis, terutama sekali mulutnya yang kecil dengan hiasan lesung pipit di kanan kirinya.
Ibu muda ini merangkulnya, mencoba untuk tersenyum walau pun jelas ada garis-garis kegelisahan dan kelelahan di sekitar matanya. Ibu yang usianya tiga puluhan tahun ini bertubuh montok, dengan kulitnya yang putih dan rambutnya yang panjang hitam. Meski pun pakaiannya sederhana, namun nampak cantik dan manis.
"Kuatkanlah dirimu, Bi Lan, kita menderita kecapaian untuk mencari keselamatan." Ibu itu lalu mengusap air mata anaknya dan memijati kedua kaki anaknya yang nampak membengkak.
Selama sepekan mereka berjalan terus, hampir tak pernah beristirahat. Bahkan makan pun sambil berjalan dan boleh dibilang tidur sambil berjalan pula. Untung bagi mereka, ketika melarikan diri dari dusun mereka dan menyusup-nyusup keluar masuk hutan, naik turun bukit, mereka tidak pernah bertemu dengan gerombolan, hanya bertemu dengan orang-orang yang lari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri dari ancaman perang. Akhirnya mereka pun tiba di tepi Sungai Lan-cang dan berhasil menemukan seorang nelayan tua yang mau menyeberangkan mereka.
"Tenanglah, anakku. Setibanya di seberang kita dapat mengaso untuk menghilangkan lelah. Setelah tiba di seberang, barulah kita aman dan selanjutnya dapat meneruskan perjalanan seenaknya," kata si ayah menghibur.
Ayah ini dengan hati terharu dan duka melihat keadaan mereka yang benar-benar sengsara. Bukan saja kaki isteri dan anaknya luka-luka dan bengkak-bengkak, juga persediaan makan tinggal satu dua hari lagi, sedangkan mereka hanya membawa bekal uang yang kiranya hanya cukup untuk dibelikan makanan selama paling lama sebulan. Setelah itu, bagaimana?
Ngeri dia membayangkan. Belum tahu ke mana tujuan pelarian mereka, belum tahu bagaimana harus mendapatkan penghasilan, dan tidak mempunyai rumah atau tanah, dengan pakaian hanya tiga empat setel saja. Akan tetapi semua itu soal nanti. Yang penting sekarang adalah berada di tempat yang aman! Dan di seberang sungai itulah tempat aman!
Akan tetapi, itu hanya harapan saja. Di jaman seperti itu, tempat manakah yang dapat dianggap aman? Baik di dalam kota, mau pun dusun, di atas bukit atau di tengah hutan sekali pun, selama tempat itu masih didatangi orang, maka keamanan diri pun tidak terjamin lagi. Kejahatan tak memilih tempat, karena kejahatan muncul dari dalam batin, dan selama ada manusia, maka perbuatan jahat pun terjadilah.
Dengan ucapan terima kasih, keluarga yang terdiri dari tiga orang itu meninggalkan nelayan tua yang juga cepat-cepat menengahkan lagi perahunya ke sungai karena bagi nelayan ini, tempat yang paling aman adalah di tengah sungai, di mana dia hanya bergaul dengan perahu, dengan kemudi, dengan dayung, kail, jala dan ikan-ikan. Dan Can Kiong bersama isteri dan puteri tunggalnya, Can Bi Lan, melanjutkan perjalanan memasuki hutan di tepi sungai itu.
Setelah tiba di sebuah pohon besar di mana terdapat petak rumput, tempat yang teduh dan nyaman, barulah Can Kiong mengajak anak isterinya berhenti. Isterinya yang sudah hampir merasa lumpuh kedua kakinya lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput tebal sambil menghela napas panjang karena lega. Puterinya, Bi Lan, segera menjatuhkan diri rebah di atas rumput, berbantal paha ibunya dan dalam waktu sebentar saja anak yang sudah hampir pingsan kelelahan ini pun pulaslah.
Bi Lan tidak tahu berapa lama ia tertidur. Tiba-tiba tubuhnya terguncang dan terdengar suara riuh. Ia cepat membuka matanya dan ternyata ia telah rebah di atas tanah, tidak lagi berbantal paha ibunya karena ibunya sudah bangkit berdiri sambil berteriak-teriak ketakutan. Ketika ia melihat, ternyata mereka telah dikepung oleh belasan orang yang berpakaian seragam namun compang-camping, dengan jenggot kasar dan pandang mata liar! Belasan orang itu semua memegang senjata golok yang mengkilap tajam.
Yang amat mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika melihat ayahnya sedang mati-matian melawan dua orang di antara mereka yang menyerang ayahnya dengan golok. Ayahnya berusaha mengelak ke sana-sini, tapi diiringi suara ketawa belasan orang itu, akhirnya dua orang itu dapat mempermainkan ayahnya dengan menyarangkan golok mereka, mula-mula hanya menyerempet saja, merobek-robek pakaian dan kulit, kemudian makin dalam dan akhirnya ayahnya, yang terus melawan mati-matian, roboh terguling dalam keadaan mandi darah. Dua batang golok masih terus mengejarnya dan menghujankan bacokan sampai tubuh ayahnya hanya menjadi onggokan daging merah yang berlumur darah!
Selagi terjadi pembantaian itu, ibunya menjerit-jerit, apa lagi ketika melihat ayahnya mandi darah dan terguling. Ibu ini hendak lari menubruk suaminya, akan tetapi tiba-tiba seorang laki-laki yang bercambang bauk, paling tinggi besar di antara mereka, dengan muka hitam totol-totol dan buruk sekali, menyambar tubuh ibunya dari belakang. Kedua tangannya meremas-remas dan muka penuh brewokan itu menciumi muka ibunya.
Wanita itu berteriak-teriak, meronta-ronta dan bahkan memukul dan mencakar, akan tetapi dengan hanya satu tangan saja, dua pergelangan tangan wanita itu ditangkap dan tubuhnya lalu dipanggul. Semua orang tertawa-tawa melihat wanita yang dipanggul itu menggerak-gerakkan kedua kaki dan pinggul, meronta-ronta dan menjerit-jerit. Mereka berbicara dalam bahasa asing karena memang mereka adalah Bangsa Birma, sisa pasukan yang terpukul mundur dan tercecer berkeliaran di dalam hutan.
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus, yang mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan liar penuh kebengisan dan kekejaman, berkata sesuatu kepada si tinggi besar yang memanggul wanita itu. Si tinggi besar tertawa dan terkekeh ketika si tinggi kurus menuding ke arah Bi Lan yang masih tetap duduk di atas tanah dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan.
Anak ini tadi ikut menjerit-jerit dan menutupi mukanya saat ayahnya dibantai, kemudian melihat ibunya ditangkap, dia pun menangis dan berteriak-teriak. Hampir dia pingsan melihat semua itu dan kini ia hanya bisa duduk dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci tersudut dan terkurung oleh segerombolan serigala.
Si tinggi kurus muka pucat itu dengan beberapa langkah saja sudah mendekati Bi Lan. Sebelum tahu apa yang terjadi, rambut Bi Lan yang panjang itu sekali dijambaknya dan dengan sekali sentakan saja membuat gadis cilik itu tubuhnya melayang ke atas dan kepalanya terasa sakit karena rambutnya dijambak dan disentakkan ke atas. Ia menjerit dan tubuhnya sudah dipondong oleh si tinggi kurus. Bi Lan menjerit dan meronta-ronta sekuat tenaga.
"Lepaskan anakku...! Jangan ganggu anakku, ohhh... bunuhlah aku, tapi jangan ganggu anakku...!" Ibu itu menjerit-jerit ketika melihat anaknya ditangkap pula.
Akan tetapi orang-orang kasar itu hanya tertawa bergelak dan Bi Lan dibawa pergi oleh si tingggi kurus. Bi Lan meronta-ronta, akan tetapi mana mungkin ia dapat melepaskan diri? Ia dibawa semakin jauh dan ia kini tidak melihat ibunya lagi, hanya mendengar jerit tangis ibunya yang makin lama makin jauh, kemudian tidak terdengar lagi sama sekali.
Kini baru Bi Lan teringat akan nasib dirinya sendiri setelah ia jauh dari ayah ibunya. Tadi ia lupa akan keadaan diri sendiri karena melihat mereka dan kini baru ia tahu bahwa dirinya dibawa pergi menjauh dari pada yang lain oleh si tinggi kurus bermuka pucat. Rasa takut membuat dia menangis sesenggukan dan tidak berteriak-teriak lagi, tidak meronta lagi.
Ketika tiba di tengah hutan, di dekat sebuah sumber air di mana tumbuh rumput tebal di bawah pohon-pohon rindang, si tinggi kurus itu melempar turun Bi Lan ke atas rumput. Anak itu terbanting perlahan, dan karena rumput itu tebal dan lunak, dia tidak terlalu menderita nyeri.
Akan tetapi, Bi Lan segera bangkit duduk. Tubuhnya masih lemas karena kelelahan, ditambah lagi dengan kengerian yang dilihatnya, dan rasa takut yang amat sangat, membuat dia seperti lumpuh. Kini, dengan muka pucat, dengan mata merah basah, dengan rambut kusut dan tubuh panas dingin, ia memandang kepada laki-laki yang berdiri amat tingginya di depannya itu dengan sinar mata liar ketakutan. Ia melihat wajah yang pucat kurus itu menyeringai, mata yang buas dan bengis itu ditujukan kepadanya.
"Nah, begitulah, anak manis. Diam saja dan jangan menangis. Aku paling benci kalau mendengar anak menangis. Nah, begitulah, jangan membikin aku marah."
Laki-laki itu menanggalkan bajunya, kemudian duduk di depan Bi Lan. Anak perempuan ini melihat betapa kulit dadanya yang kurus itu, kulit yang hanya membungkus tulang, cacat dengan guratan-guratan panjang bekas luka. Mengerikan sekali dan gadis itu semakin ketakutan. Apa lagi melihat laki-laki itu menjulurkan tangan dan jari-jari yang kecil panjang itu menyentuh dan mengusap pipinya, kemudian tangan itu mengusap rambutnya.
"Kembalikan... kembalikan aku... kepada ibuku..." Akhirnya Bi Lan mampu juga bicara karena melihat laki-laki itu tak bersikap kasar kepadanya.
Baru sekali ini nampak laki-laki itu tertawa dan hampir Bi Lan jatuh pingsan saking takut dan seramnya. Laki-laki kurus ini sejak tadi diam saja dan sikapnya itu penuh dengan kebengisan, akan tetapi kalau ia diam, masih baiklah. Akan tetapi kini dia tertawa dan suasana menjadi menyeramkan. Dia tertawa tanpa disertai bibir dan matanya. Mulutnya seperti diam saja akan tetapi dari kerongkongannya terdengar kekeh lirih yang amat mengerikan, pantasnya iblis yang bisa tertawa seperti itu.
Dan kini laki-laki itu, masih terkekeh, mencengkeram baju Bi Lan dan sekali renggut, terdengar kain robek dan baju itu pun terlepas dari pundak dan lengan Bi Lan! Tentu saja Bi Lan terkejut setengah mati dan ia pun menjerit dan menangis.
"Ehhh! Aku paling benci..." Laki-laki itu berteriak dan tangan kirinya menampar.
"Plakkk...!"
Rasa nyeri membuat Bi Lan yang terpelanting ke atas rumput itu seketika menghentikan tangisnya. Nyeri dan kaget bukan main. Tamparan pada pipinya itu membuat pandang matanya berkunang dan ujung bibirnya berdarah. Ketika ia membuka matanya lagi, tahu-tahu laki-laki itu telah menyambar tubuhnya, dipangkunya dan laki-laki itu mulai menciumi bibirnya yang berdarah.
Bagaikan seekor serigala, laki-laki itu menjilati bibir sendiri yang berlepotan darah yang keluar dari bibir Bi Lan yang pecah, kemudian menciumi lagi dengan buasnya, bukan mencium, melainkan lebih mirip hendak menghisap darah yang keluar itu sampai habis dari tubuh Bi Lan. Tentu saja Bi Lan semakin ketakutan dan kesakitan, meronta-ronta tanpa dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup mulut pria itu. Ia muak dan takut, matanya terbelalak dan ia masih belum mengerti mengapa orang itu melakukan hal seperti itu kepada dirinya. Keadaan orang tinggi kurus itu seperti mabok.
Memang, orang yang membiarkan dirinya dikuasai nafsu, tiada bedanya dengan orang yang mabok. Makin dibiarkan nafsu menguasai diri semakin parah pula maboknya itu sehingga ia lupa segala-galanya, yang teringat hanyalah bagaimana caranya untuk bisa melampiaskan nafsunya secepat mungkin dan sepuas mungkin.
Orang yang dikuasai oleh nafsu birahi seperti orang tinggi kurus itu, yang memang menjadi hamba dari nafsu birahinya dan membiasakan diri untuk tunduk kepada nafsu ini, tidak lagi melihat apakah perbuatannya dalam melampiaskan nafsunya itu sudah tepat dan benar. Dia lupa bahwa yang dicengkeramnya adalah seorang anak kecil yang baru berusia sepuluh tahun, bukan seorang wanita yang sudah dewasa dan sudah layak dijadikan pemuas nafsu birahinya. Dia tidak peduli lagi, yang penting baginya adalah bagaimana nafsunya dapat cepat tersalurkan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan diri Bi Lan itu, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa-tawa. Suara ketawa itu terdengar aneh dan halus, tetapi menusuk anak telinga sehingga si tinggi kurus yang sedang menciuminya, atau seperti hendak memakannya dengan lahapnya itu, tiba-tiba mengangkat muka yang dibenamkannya pada leher anak perempuan itu dan menoleh.
Dia terkejut sekali melihat munculnya tiga orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Karena tiga orang itu bukan anak buahnya, dia pun menjadi marah dan sekali dorong, dia telah membuat tubuh Bi Lan yang dipangkunya itu terlempar sampai dua meter lebih di depannya, bergulingan di atas rumput. Kemudian dengan sikap beringas karena merasa kesenangannya terganggu, dia meloncat ke atas seperti seekor harimau dan menghadapi tiga orang itu dengan dada dibusungkan. Tetapi karena memang tubuhnya kerempeng, biar pun dadanya dibusungkan, tetap saja nampak tidak gagah dan tidak menakutkan, malah lucu karena dadanya itu makin kelihatan kerempengnya.
Tiga orang itu memang aneh sekali keadaannya. Tiga orang kakek yang buruk rupa dan aneh, bahkan lucu dan agak menyeramkan. Usia mereka tentu tidak kurang dari enam puluh tahun.
Yang seorang bertubuh tinggi sekali, hampir satu setengah kali orang biasa dan seperti biasa orang yang mempunyai tubuh tinggi, dia condong untuk merendahkan tubuhnya hingga agak membungkuk dan kedua pundaknya pun terlipat ke dalam atau ke depan. Orang tinggi ini bertulang besar namun agak kurus, kulitnya penuh keriput kehitaman.
Mukanya agak meruncing ke depan seperti muka kuda. Kedua matanya yang berjauhan itu seperti menjuling jika memandang ke depan dan telah terbiasa untuk melihat dengan mata melirik hingga mukanya selalu tidak lurus menghadapi benda-benda yang sedang dipandangnya. Hidungnya juga mancung dan mulutnya meruncing. Mukanya yang lucu sekali, apa lagi di tambah dengan telinganya yang berdaun lebar dan panjang seperti telinga keledai.
Matanya yang menjuling itu seringkali disipitkan karena dia memang kurang awas. Kedua lengannya panjang sekali sampai tergantung ke tepi lutut, seperti lengan kera saja. Pakaiannya serba hitam yang menambah keburukannya, dengan sepatu hitam pula yang dilapisi dengan baja. Kedua kakinya juga panjang-panjang dan sedikit bengkok seperti punggungnya pula.
Orang buruk rupa ini sama sekali bukan orang yang biasa saja, bahkan keburukannya itu menambah ketenarannya di dunia kaum sesat karena orang ini adalah Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) yang memiliki kesaktian luar biasa, juga memiliki kekejaman yang hanya dapat disamakan dengan raja iblis sendiri. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini dia tak pernah keluar dan baru sekarang nampak di hutan itu, suatu hal yang kebetulan saja nampaknya.
Orang yang kedua tidak kalah anehnya. Orangnya bulat seperti bal. Tingginya hanya tiga perempat orang biasa dan karena dia amat gemuk, terutama sekali perutnya yang gendut seperti bola, maka dia kelihatan bulat seperti sebuah gentong yang mempunyai kaki dan tangan. Mukanya yang bulat itu nampak cerah selalu karena dia memiliki mulut yang tidak dapat ditutup rapat, selalu terbuka sehingga nampaknya selalu tersenyum atau tertawa ramah.
Orang ini memang segala-galanya serba bulat. Matanya, hidungnya, mulutnya yang lebar bahkan telinganya juga bundar bentuknya. Lengan dan kakinya juga gemuk bulat, apa lagi pinggul dan perutnya. Pendeknya, manusia bundar ini memang kelihatan lucu sekali dari samping atau belakang. Akan tetapi jangan melihat dari depan, karena kalau melihat sinar matanya dan kalau tersenyum, baru nampak sesuatu yang mengerikan membayang dari sinar mata dan senyumnya.
Kalau dia diam saja malah mulutnya kelihatan tersenyum ramah, akan tetapi kalau dia tertawa atau tersenyum, sungguh mukanya seketika berubah seperti muka iblis! Dan matanya itu mengeluarkan sinar mencorong yang bagaikan bukan mata manusia lagi, melainkan mata serigala buas atau mata harimau di tempat gelap. Dia ini pun seorang yang luar biasa sekali, selain sakti juga pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal dengan julukan Im-kan Kwi (Iblis Akhirat).
Orang ke tiga lebih menakutkan lagi. Tubuhnya hanya kulit pembungkus tulang saja, agaknya sama sekali tidak berdaging lagi, apa lagi bergajih. Mirip seperti tengkorak dan rangka terbungkus kulit, juga mukanya amat pucat seperti mayat. Bahkan kalau berjalan kadang-kadang mengeluarkan suara berkerotokan seakan-akan tulang-tulangnya saling beradu! Hanya kedua matanya saja yang nampak hidup, bahkan mata ini mencorong menakutkan. Orang ini sama dengan dua orang yang pertama, pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal dengan julukan Iblis Mayat Hidup.
Karena tiga orang ini selalu saling bantu dari bekerja sama, maka mereka bertiga itu dikenal di dunia kaum sesat sebagai Sam Kwi (Tiga Iblis). Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, Sam Kwi ini pernah mencoba kepandaian Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan melalui perkelahian yang amat sengit, di mana Pandekar Super Sakti dikeroyok oleh mereka bertiga, akhirnya Sam Kwi dapat dikalahkan dan masing-masing menderita kekalahan yang cukup parah.
Oleh karena tadinya mereka menyombongkan diri, merasa bahwa dengan maju bertiga mereka dapat mengalahkan siapa pun juga, dan bersumbar di depan Pendekar Super Sakti bahwa kalau mereka bertiga kalah mereka takkan muncul lagi di dunia persilatan, maka setelah dikalahkan, mereka bertiga kemudian pergi menyembunyikan diri bertapa. Mereka merasa malu dan juga penasaran. Oleh karena itu, mereka mengasingkan diri jauh ke puncak yang terpencil dari Pegunungan Thai-san, di mana mereka bertapa dan memperdalam ilmu mereka, ditemani seorang murid yang pandai.
Setelah merasa bahwa ilmu mereka mencapai tingkat yang tertinggi, dan mendengar betapa negara kacau oleh pemberontakan-pemberontakan, tiga orang itu akhirnya turun gunung dan pergi ke timur. Pada hari itu, tanpa disengaja mereka tiba di hutan yang sunyi di sebelah timur Sungai Lan-cang. Di tempat inilah mereka melihat seorang pria tinggi kurus sedang mempermainkan dan agaknya hendak memperkosa seorang anak perempuan yang masih kecil.
Perbuatan seperti itu tentu saja tiada artinya bagi tiga orang datuk sesat yang pernah melakukan segala macam kejahatan seperti iblis itu, bahkan dianggap sebagai suatu perbuatan yang tak ada artinya dan memalukan, hanya pantas dilakukan oleh bajingan kecil saja. Maka, tadinya mereka hanya tersenyum-senyum melihat tingkah laku laki-laki tinggi kurus itu dan membiarkannya saja.
Akan tetapi ketika pada suatu ketika anak perempuan itu mengangkat mukanya yang pucat dan ketiga orang kakek itu melihat anak itu, tiba-tiba mereka bertiga melangkah maju dan ketiganya merasa amat tertarik. Pandang mata mereka yang tajam segera melihat bakat terpendam yang amat hebat dalam diri anak perempuan itu! Tentu saja Hek-kwi-ong tidak dapat melihat jelas, hanya melihat betapa anak perempuan itu sama sekali tidak berteriak minta tolong walau pun berusaha dan meronta untuk melawan dan hal ini saja dianggapnya sebagai suatu keberanian luar biasa.
"Wah, anak itu bagus sekali!" kata Im-kan-kwi.
"Benar, bahkan lebih bagus dari pada murid kita," sambung Iblis Mayat Hidup. "Dan dia pemberani dan tabah," berkata pula Raja Iblis Hitam tidak mau ketinggalan, karena hal ini sama saja mengakui bahwa matanya lamur!
"Sayang daging lunak dan lezat itu hendak dimakan anjing kotor," kata Iblis Akhirat.
Ketiganya lalu mengeluarkan suara ketawa dan tubuh mereka melesat seperti terbang saja, dalam sekejap mata tiba di dekat si tinggi kurus yang sedang menciumi anak itu. Suara ketawa inilah yang mengejutkan prajurit Birma tinggi kurus itu dan dia mendorong pergi Bi Lan, kemudian meloncat bangun dengan marah.
"Keparat busuk, sungguh kalian ini tiga orang tua bangka sudah bosan hidup, berani menggangguku!" bentak si tinggi kurus sambil mengamangkan goloknya ke arah tiga orang kakek itu.
Iblis Akhirat yang lebih suka bicara dari pada dua orang kawannya, kini tertawa bergelak dan seketika prajurit Birma tinggi kurus itu tercengang dan bergidik. Setelah tertawa, kakek yang kelihatannya ramah itu menjadi begitu menakutkan mukanya. Seperti setan!
"Ha-ha-ha-hah! Cucuku, siapakah engkau?" Iblis Akhirat bertanya, suaranya tentu saja memandang rendah sekali.
Melihat sikap ketiga orang ini, si tinggi kurus yang juga bukan seorang yang hijau atau bodoh, dapat menduga bahwa tentu tiga orang kakek ini bukanlah orang sembarangan sehingga sikap dan keadaannya demikian aneh. Akan tetapi dia tidak takut, bahkan dia ingin mendatangkan kesan dan wibawa pada tiga orang ini untuk menggertak mereka, maka jawabnya dengan angkuh, "Aku adalah perwira pasukan Birma yang jaya!"
Pada waktu itu, semua orang tahu bahwa pasukan Birma bersekutu dengan pasukan pemberontak, dan semua orang takut kepada pasukan Birma ini.
Akan tetapi, Iblis Akhirat itu agaknya sama sekali tidak takut. "Apa?! Dari bahasamu, jelas kamu ini bukan orang asing, bukan orang Birma, akan tetapi pekerjaanmu sebagai perwira pasukan Birma. Wah, kalau begitu engkau ini adalah seekor cacing busuk, seorang pengkhianat, ya? Kami paling benci deh melihat pengkhianat!"
"Anjing penjilat busuk!" kata Raja Iblis Hitam.
"Serigala masih lebih baik dari pada kamu!" bentak pula Iblis Mayat Hidup.
Tentu saja si tinggi kurus menjadi marah bukan main mendengar ucapan mereka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa walau pun Sam Kwi merupakan iblis-iblis yang merajai dunia kaum sesat dan tidak segan melakukan kejahatan macam apa pun juga, akan tetapi mereka itu pada dasarnya merupakan orang-orang yang membenci pemerintahan Mancu dan karena itu tentu saja membenci negara Birma yang berani masuk dan mengganggu wilayah Yunan, dan lebih benci lagi terhadap orang-orang yang berkhianat membantu kekuasaan asing untuk memerangi bangsa sendiri.
"Keparat, kalian memang sudah bosan hidup!" bentak si tinggi kurus.
Dengan goloknya dia menerjang maju dan membacok ke arah kepala Iblis Akhirat yang berada paling dekat di depannya. Golok yang mengkilap itu menyambar ganas, kuat dan cepat ke arah kepala Iblis Akhirat yang botak. Akan tetapi si gendut itu sama sekali tidak mengelak dan agaknya bahkan tidak tahu bahwa kepalanya terancam senjata tajam yang akan dapat membelah kepalanya yang bundar dan botak itu menjadi dua!
"Singggg... krakkk!"
Perwira Birma yang sebenarnya berbangsa Cina itu mengeluarkan suara teriakan kaget. Tangannya terpaksa melepaskan gagang golok karena goloknya menimpa kepala yang kerasnya bagaikan baja, membuat golok itu rompal dan rusak. Dan saking kerasnya pertemuan antara golok dan kepala tadi, tangannya tergetar hebat dan menjadi seperti lumpuh sehingga terpaksa gagang golok terlepas dan dia sendiri kemudian terhuyung ke belakang! Barulah dia kaget dan takut. Kiranya kakek yang diserangnya itu adalah seorang sakti!
Sudah banyak dia mendengar mengenai orang sakti, dan kini, melawan seorang saja, dan baru sekali bacok goloknya malah rompal dan terlepas, apa lagi harus melawan tiga orang yang sedemikian saktinya. Dasar wataknya yang kejam itu terdorong oleh sifat pengecut dan penakut, begitu tahu bahwa dengan kekuatan dan kekuasaannya dia tak akan menang menghadapi tiga orang ini, tanpa banyak pikir lagi dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Akhirat. Tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar ketika dia berkata dengan suara mengandung penuh rasa takut.
"Harap sam-wi locianpwe (tiga orang tua sakti) sudi mengampuni nyawa hamba..."
"Uhhih, memuakkan!" Iblis Akhirat berseru sambil menggerakkan hidungnya yang bulat seperti orang mendengus bau busuk. Lalu dia menoleh kepada dua orang temannya. "Kita apakan saja tikus ini?"
"Kita bantai saja!" kata Raja Iblis Hitam.
"Siksa dia!" kata pula Iblis Mayat Hidup.
"Ampun... ampun...” Si tinggi kurus itu mengeluh ketakutan.
"Desss...!"
Tiba-tiba Iblis Akhirat menggerakkan kakinya dan kaki kanan yang pendek itu sudah menendang. Tubuh yang berlutut itu terlempar ke atas, tinggi sekali, sampai ada lima tombak tingginya. Si tinggi kurus berteriak kesakitan dan ketakutan. Ketika tubuhnya melayang turun, dia disambut oleh tendangan Raja Iblis Hitam.
"Desss...!"
Kembali tubuhnya terlempar ke atas, kini tendangan itu lebih keras lagi. Akan tetapi seperti juga tendangan Iblis Akhirat tadi, tendangan ini mengenai pangkal pahanya dan tidak mematikan, hanya menimbulkan rasa nyeri dan membuat tubuhnya terlempar jauh ke atas. Kembali si tinggi kurus berteriak ketakutan ketika tubuhnya melayang turun.
"Dukkk...!"
Sekali lagi tubuhnya mencelat ke atas ketika Iblis Mayat Hidup memperoleh giliran menyambut tubuhnya dengan tendangan. Agaknya tiga orang kakek ini tidak mau cepat membunuh korban mereka dan mereka seperti bermain bola, menendangi tubuh itu sampai berkali-kali terlempar ke atas. Baru setelah si tinggi kurus tidak mengeluh lagi, mereka membiarkan tubuh itu terjatuh ke atas tanah.
"Brukkk..."
Si tinggi kurus terbanting keras dan tidak mengeluh lagi karena sudah pingsan.
"Byurrrrr...!"
Tubuh itu terbaring ke kubangan air yang tidak dalam, akan tetapi cukup membenamkan tubuh yang jatuh miring itu. Begitu mukanya terbenam ke dalam air yang amat dingin, si tinggi kurus sadar kembali dan gelagapan bangkit dari genangan air. Dia segera teringat akan ancaman mengerikan dari tiga orang kakek itu yang kini berdiri melihat kepadanya sambil menyeringai. Rasa takut mendatangkan tenaga dalam tubuhnya yang ngilu dan nyeri semua itu, lalu dia melompat dan melarikan diri.
"Ho-ho-ho, berani melarikan diri?" tiba-tiba Iblis Akhirat berseru.
Sekali tubuhnya yang bulat bergerak, bagaikan sebuah bola yang menggelinding, cepat sekali dia mengejar dan tahu-tahu rambut kepala si tinggi kurus yang terurai karena tadi terlepas dari lindungan topi pasukan dan ikatan rambutnya ketika dijadikan bulan-bulan tendangan, sudah dijambaknya dan tubuh itu lalu diseretnya seperti seorang anak kecil menyeret sebuah benda permainannya.
"Ampun, locianpwe... ampun!" Si tinggi kurus merintih ketakutan.
"Brukkk...!"
Kakek gendut itu membanting tubuh korbannya ke atas tanah dan mereka bertiga lalu mengepungnya, seperti tiga orang anak yang sedang bermain-main dengan gembira.
"Ha-ha-ha, kau suka bermain-main dengan golok dan tadi mengetuk kepalaku dengan golokmu? Hemmm, coba sampai di mana ketajaman golok rompalmu!" Kakek gendut itu mengambil golok rompal milik si tinggi kurus yang memandang dengan pucat sekali dan mata terbelalak.
"Iblis Hitam dan Mayat Hidup," kata Iblis Akhirat kepada dua orang temannya. "Aku telah melatih semacam ilmu yang menarik sekali. Dari jauh, dengan golok ini, aku mampu mengambil daun telinga kiri tikus ini. Kalian mau lihat?"
"Apa sukarnya itu?" Iblis Mayat Hidup mendengus.
"Golok ini kubikin terbang mengambil daun telinga dan membawanya kembali ke tempat aku berdiri," sambung si gendut.
"Ahhh, masih harus dibuktikan itu!" kata Raja Iblis Hitam tak percaya.
Tentu saja dua orang datuk iblis itu tahu dan bahkan pandai menyerang lawan dengan golok terbang, yaitu hui-to atau golok yang disambitkan. Akan tetapi membuat golok itu mengambil daun telinga dan membawanya kembali ke tuannya, sungguh mustahil!
"Ha-ha-ha, kalian lihatlah baik-baik," berkata kakek gendut itu sambil meloncat menjauhi korbannya sampai sejauh lima belas meter.
Dia lalu menggunakan jari-jari kedua tangannya menekuk golok itu menjadi sebuah benda melengkung seperti gendewa patah tengahnya, dan beberapa kali ditimangnya di tangan kiri, lalu dibenarkan tekukannya. Setelah merasa puas dan menganggap bahwa bentuk senjatanya itu sudah sempurna, dia lalu mengukur jarak dengan matanya. Si tinggi kurus hanya memandang dengan muka pucat sekali, tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya.
"Terbanglah!" Tiba-tiba Iblis Akhirat menggerakkan lengan kanannya yang pendek dan benda melengkung terbuat dari golok tadi telah melayang cepat ke arah si tinggi kurus, dengan berputar-putar aneh.
"Cratttt...! Auhhh..."
Tiba-tiba si tinggi kurus berteriak dan menutupi telinga kirinya yang berdarah. Kiranya daun telinga kirinya sudah putus disambar benda terbang tadi dan hebatnya, daun telinga itu seperti menempel pada benda itu yang kini terbang terus, kembali kepada Iblis Akhirat! Kakek gendut ini bergelak dan menerima kembali senjata aneh itu yang dilemparkannya ke atas tanah bersama daun telinga itu.
"Bagus...!" Dua orang kakek yang menjadi temannya memuji.
"Kalau hanya buntung sebelah menjadi kurang patut," tiba-tiba Raja Iblis Hitam berkata.
Dan sebelum si tinggi kurus tahu maksudnya, tiba-tiba si tinggi besar seperti raksasa itu sudah menjulurkan tangannya. Lengannya yang panjang itu terjulur dan betapa takutnya hati si tinggi kurus melihat betapa lengan yang dijulurkan itu terus mulur makin panjang mengejarnya. Dia terkejut dan ketakutan, bangkit berdiri dan dengan tangan memegangi bagian telinga kiri yang buntung, dia mencoba lari.
"Krakkk... aduhhhh...!"
Tubuh si tinggi kurus terpelanting dan dia bergulingan ke atas tanah. Sekarang sebelah tangannya menutupi telinga kanan yang sudah tidak berdaun lagi karena tadi, jari-jari tangan yang diulurkan panjang itu tahu-tahu sudah meremas daun telinga itu sehingga hancur dan buntung!
"He-he-heh-heh, ilmu memanjangkan lenganmu itu pasti bagus sekali untuk melakukan pencopetan di pasar, Iblis Hitam!" Iblis Akhirat terkekeh kagum. Sungguh tidak mudah menguasai ilmu untuk membuat anggota tubuh dapat mulur seperti itu.
"Kedua tangannya menyembunyikan hasil pertunjukan kalian, biar kusingkirkan!" kata Iblis Mayat Hidup yang melangkah maju menghampiri si tinggi kurus yang kini sudah ketakutan setengah mati.
Melihat betapa kakek yang seperti mayat hidup itu menghampirinya, dia melupakan rasa nyeri pada kedua telinganya dan dia pun cepat bangkit berdiri dan lari sekuatnya!
"Tak-tuk-krok-krok...!" Terdengar suara berkerotokan dan itulah suara tubuh Iblis Mayat Hidup yang lari berloncatan mengejar.
Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu iblis ini sudah berdiri menghadang di depan si tinggi kurus yang tentu saja terbelalak kaget melihat iblis itu telah berada di depannya. Dia membalikkan diri dan berlari ke lain jurusan, akan tetapi terdengar kembali suara berkeretokan dan tahu-tahu iblis itu sudah menghadang pula di depannya. Beberapa kali dia membalik sampai akhirnya dia digiring kembali ke tempat tadi.
"Ampun... ampun...!" katanya mengangkat kedua tangan ke atas, melepaskan pinggir kepala yang tadi ditutupinya. Nampak kedua telinga itu tidak bardaun lagi dan hanya merupakan sebuah lubang berlumuran darah.
"Wuuuuut... krakkkkk!"
Tangan Iblis Mayat Hidup bergerak menyambar ke arah dua pundak si tinggi kurus dengan cepat bukan main dan tahu-tahu nampak darah menyembur dari kedua pundak si tinggi kurus itu ketika lengannya tahu-tahu sudah buntung disambar jari-jari tangan kurus dari Iblis Mayat Hidup! Dengan babatan jari-jari tangan saja tengkorak hidup itu mampu membikin buntung dua lengan sebatas pundak. Sungguh merupakan ilmu yang amat luar biasa dan kekejaman yang mencapai puncaknya.
"Ha-ha-ha, bagus!" teriak Iblis Akhirat.
"Bagus sekali!" Raja Iblis Hitam juga memuji.
Akan tetapi si tinggi kurus hanya dapat menjerit dan dia pun roboh pingsan. Darah bercucuran dari kedua pundak yang sudah tidak berlengan lagi itu.
"Heh-heh, dia tidak boleh mati dulu!" Iblis Akhirat berkata.
Dan cepat dia meloncat ke dekat tubuh yang pingsan itu, sedangkan Iblis Mayat Hidup memutar-mutar kedua lengan yang dipatahkannya itu seperti seorang anak kecil main-main, lalu melemparkan kedua lengan itu jauh sekali ke dalam jurang. Si gendut itu mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol yang berupa cairan hitam ke atas luka di kedua pundak dan juga di kedua telinga. Obat ini manjur bukan main, cepat kerjanya karena seketika darah berhenti mengalir. Dengan beberapa tekanan pada jalan darah, si tinggi kurus disadarkan kembali oleh Iblis Akhirat.
Begitu sadar si tinggi kurus itu merintih-rintih karena merasakan nyeri yang amat hebat menusuk sampai ke ulu hati. Ketika dia melihat bahwa dua lengannya telah lenyap, dia mengeluh dan dengan susah payah dia dapat bangkit duduk, memandang ke arah tiga orang kakek itu. Kini tahulah dia bahwa minta ampun tidak ada gunanya, maka dia pun menggigit bibirnya menahan nyeri, kemudian berkata, "Kalian bunuh sajalah aku!" Dia memang tidak dapat melihat jalan keluar lain kecuali mati dengan cepat.
Sementara itu, Bi Lan sejak tadi sudah bangkit duduk di atas rumput dan mengenakan kembali bajunya yang tadi direnggut lepas dan robek. Dia menonton semua peristiwa itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Selama hidup belum pernah ia menyaksikan tontonan yang demikian mengerikan. Seluruh tubuhnya menjadi panas dingin dan dia merasa ngeri sekali.
Bukan main hebatnya pengalaman yang dihadapi gadis cilik ini secara beruntun. Mula-mula dia melihat ayahnya terbunuh oleh perampok, lalu melihat ibunya diculik, dan dia sendiri dilarikan si tinggi kurus yang melakukan hal-hal tidak senonoh terhadap dirinya, perlakuan yang belum dimengertinya benar akan tetapi yang membuat ia hampir gila karena ngeri, muak dan takut.
Kemudian, munculnya tiga orang kakek aneh yang menyiksa si tinggi kurus itu membuat dia mencapai ketegangan yang sudah tiba pada puncaknya. Agaknya pemandangan menegangkan dan mengerikan yang datang bertubi-tubi menghantam perasaan Bi Lan, membuat gadis cilik itu terbiasa dan kini, meski dia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat, mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara apa pun, akan tetapi dia tidak takut lagi, bahkan mulai menggunakan pikirannya.
Jelas baginya bahwa tiga orang kakek itu telah menyelamatkannya, bahwa ketiga orang kakek yang aneh itu tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi akan tetapi juga memiliki kekejaman yang luar biasa. Dan ia tentu tidak akan terlepas dari tangan tiga orang kakek itu.
Dia harus pandai membawa diri, demikian pikirnya. Ia tidak boleh cengeng, tidak boleh bingung, harus dapat mempergunakan akalnya karena tidak ada orang lain di dunia ini yang akan dapat diharapkan menolongnya kecuali dirinya sendiri. Bahkan, di samping kengerian, timbul pula rasa senang dan puas ketika melihat betapa si tinggi kurus itu mengalami penyiksaan yang demikian mengerikan.
"Wah, ilmu kiam-ciang (tangan pedang) yang kau kuasai sudah hebat sekali, Mayat Hidup. Bagaimana pendapatmu, Iblis Hitam? Apa kau mampu menandinginya dalam hal kehebatan kiam-ciang itu?" kata si Iblis Akhirat kepada Hek-kwi-ong.
Raksasa hitam itu menggeleng kepala. "Aku tidak mampu sehebat dia."
"He-he, aku pun demikian. Akan tetapi, kita berdua pernah melatihnya. Coba kita lihat, apakah orang pengecut dan pengkhianat seperti dia ini mampu hidup tanpa lengan dan tanpa kaki," kata pula Iblis Akhirat yang melangkah maju mendekati si tinggi kurus yang sudah buntung kedua lengannya.
Hek-kwi-ong si Raja Iblis Hitam mengangguk dan menghampiri pula. Tiba-tiba mereka berdua menggerakkan tangan seperti yang dilakukan oleh Iblis Mayat Hidup tadi, tangan mereka membacok, masing-masing ke arah kaki kanan dan kaki kiri si tinggi kurus.
"Krokkk! Krokkk!"
Si tinggi kurus kembali menjerit dan tubuhnya roboh. Kedua kakinya, sebatas paha, buntung oleh bacokan tangan dua orang kakek itu! Kembali darah muncrat dan Im-kan Kwi si Iblis Akhirat yang gendut itu kembali mempergunakan obat cairan yang cepat menghentikan cucuran darah.
Ketika Im-kan Kwi mengurut jalan darah dan si tinggi kurus itu siuman kembali, tentu saja dia tidak mampu bangkit lagi. Tubuhnya hanya tinggal kepala dan badan, tanpa kaki tanpa lengan tanpa daun telinga, nampak menyedihkan sekali. Dia hanya merintih-rintih dan tergolek ke kanan kiri, mendesis-desis kesakitan. Dia tidak akan mati karena darahnya tidak bercucuran keluar, akan tetapi hidupnya takkan berguna lagi. Dan kalau tidak ditolong orang lain, tentu akhirnya akan tewas kelaparan atau diterkam binatang buas kalau dia dibiarkan di tempat itu.
Kini tiga orang kakek itu agaknya sudah bosan mempermainkan si tinggi kurus, dan mereka lalu menghampiri Bi Lan. Akan tetapi anak perempuan ini tidak takut. Ia bahkan bangkit berdiri, memandang tiga orang kakek itu dengan sinar matanya yang jernih. Mukanya masih pucat, akan tetapi tidak terbayang ketakutan pada muka yang manis itu.
"Tiga orang kakek buruk, sesudah kalian membunuh bangsat itu, apakah juga akan membunuh aku? Tapi jangan siksa aku seperti dia."
Tiga orang kakek itu saling pandang. Lalu Iblis Akhirat yang gendut terkekeh, Raja iblis Hitam yang seperti raksasa itu tersenyum lebar dan Mayat Hidup menyeringai aneh.
"Ha-ha-ha-ha, anak baik. Kami suka padamu dan tidak akan membunuhmu, akan tetapi kami ingin mengambilmu sebagai murid. Bagaimana, maukah kau menjadi murid kami? Mau tidak mau harus mau!" Dalam suara kakek gendut itu terdengar nada mengancam!
Akan tetapi Bi Lan tetap tenang. Anak ini tadi sudah memutar otaknya dan mengambil keputusan bahwa ia harus dapat menggunakan kepandaian tiga orang kakek ini untuk menolong ibunya dan membalas dendam!
"Tentu saja aku mau, akan tetapi kalian juga harus memenuhi permintaanku lebih dulu!"
Tiga orang kakek itu kembali saling pandang dan tersenyum girang. Mereka amat suka pada anak pemberani dan anak perempuan ini cukup berani, bahkan berani menyebut mereka ‘tiga kakek buruk’, sebutan yang menggembirakan hati mereka!
"Permintaan apa?" tanya Iblis Mayat Hidup yang biasanya jarang sekali bicara.
"Pertama, kalian harus menolong ibuku. Ke dua, kalian harus membunuh gerombolan penjahat yang tadi membunuh ayah dan menculik ibu."
"Ha-ha-ha, permintaan yang mudah saja. Coba, ceritakan siapa namamu dan apa yang terjadi dengan ayah ibumu," kata Iblis Akhirat.
Meski Iblis Akhirat tertawa-tawa, akan tetapi hatinya menjadi tak senang karena iri hati mendengar anak itu menyebut-nyebut ayah ibunya. Apa pun yang terjadi, jika ayah dan ibu anak itu masih ada, harus mereka bunuh dulu sebelum mengambil anak ini menjadi murid, pikirnya. Pikiran yang luar biasa kotor dan jahatnya!
"Namaku Can Bi Lan. Aku bersama ayah dan ibu sedang melakukan perjalanan untuk mengungsi dari sebelah barat Sungai Nu Kiang. Pada waktu kami menyeberang Sungai Lan-cang, di tepi sungai sebelah timur kami dikepung oleh belasan orang perampok itu dan Ayah yang melakukan perlawanan mereka bunuh, Ibu diculik dan aku dilarikan oleh si keparat itu. Nah, kalau kalian mau menolong Ibu dan membunuh belasan orang itu, aku pun mau menjadi murid kalian."
"Baik, baik, mari kita pergi!" kata iblis Akhirat. "Hek-kwi, kau yang tinggi besar dan kuat gendonglah Bi Lan murid kita ini."
Hek-kwi-ong Si Raja Iblis Hitam itu mendengus, lalu tangannya yang besar itu dijulurkan ke arah Bi Lan. Gadis ini merasa ngeri melihat lengan yang panjang itu dapat mulur ke arahnya, akan tetapi ia menahan rasa takutnya dan diam saja ketika tiba-tiba tangan itu menangkap tangannya dan sekali disentakkan tubuhnya melayang ke atas dan tiba di punggung kakek raksasa hitam itu!
Mereka bertiga lalu melangkah pergi dengan sangat cepatnya, meninggalkan si tinggi kurus yang kini tidak tinggi lagi, hanya merupakan kepala dan badan yang bergelimang di rumput yang berlepotan darah. Dia mengeluarkan suara dari tenggorokannya, entah tawa atau pun tangis. Peristiwa yang amat hebat menimpa dirinya, membuat si tinggi kurus ini menjadi gila saking takutnya.
"Brakkkkkk...!"
Pintu pondok kecil di tengah hutan yang tertutup rapat itu jebol, mengejutkan seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya bercambang bauk, juga bertotol-totol hitam buruk yang sedang rebah dengan dada telanjang, hanya mengenakan celana dalam yang tipis. Siang itu hawanya panas dan laki-laki ini pun berkeringat. Bau arak yang keras tercium ketika pintu itu jebol, dan melihat wajah laki-laki buruk rupa itu yang kemerahan, juga matanya liar, bau arak yang keluar dari mulutnya, jelas menunjukkan bahwa dia terlalu banyak minum arak.
"Ibu...!" Bi Lan menjerit ketika melihat ibunya tergantung di dalam kamar itu.
Wanita yang malang ini tergantung dalam keadaan telanjang bulat, dengan kepala di bawah dan kaki terikat pada tali yang digantungkan di tiang melintang di atas. Melihat tubuh telanjang itu sama sekali tidak bergerak, dan melihat mata yang terbuka akan tetapi tanpa sinar itu, mudah saja bagi tiga orang kakek Sam Kwi untuk menduga bahwa wanita itu sudah tewas, seperti juga mayat laki-laki yang menjadi ayah Bi Lan yang menggeletak di luar dengan tubuh hancur oleh senjata tajam.
Tiga orang Sam Kwi bernapas lega. Ayah ibu anak ini sudah mati. Bagus! Mereka tadi mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk mengejar gerombolan itu dan melihat mereka semua berada di dalam hutan itu. Anak buah pasukan Birma yang berubah menjadi gerombolan penjahat itu nampak tidur-tiduran di bawah pohon. Guci-guci arak berserakan dan agaknya mereka baru saja makan minum dan kini tertidur setelah puas kekenyangan.
Apa lagi dalam keadaan mabok dan tidur, andai kata mereka dalam keadaan sadar dan tidak tidur sekali pun, sangat mudah bagi tiga orang kakek itu untuk mendatangi pondok itu tanpa dapat mereka ketahui. Melihat bahwa ayah anak itu sudah tewas di tempat perampokan, mereka bertiga lalu melakukan pengejaran dan jelas nampak jejak kaki mereka sampai di tengah hutan itu.
Karena ibu anak itu tidak ada, mereka dapat menduga bahwa tentu wanita itu dibawa ke dalam pondok kecil itu. Maka mereka langsung saja mendobrak daun pintu itu sampai jebol. Dan benar saja, wanita itu berada di dalam kamar, akan tetapi agaknya sudah tidak bernyawa lagi setelah mungkin diperkosa beramai-ramai lalu digantung karena mungkin wanita itu melawan.
Si tinggi besar brewokan yang menjadi kepala pasukan itu, seorang Birma yang biasa hidup dalam kekerasan, terkejut bukan main. Baru saja ia memuaskan diri memperkosa dan menyiksa wanita itu sampai mati, kemudian dia makan dan minum-minum sampai mabok dan merebahkan diri untuk tidur. Kini, kaget karena melihat jebolnya daun pintu dan melihat tiga orang kakek yang aneh, seorang di antaranya menggendong anak perempuan yang tadi dilarikan oleh pembantunya, dia mencium bahaya.
Cepat dia bergerak kepada anak buahnya dan menyambar golok besarnya, menerjang ke depan, membabat ke arah Iblis Mayat Hidup yang paling menyeramkan dan berdiri paling dekat. Akan tetapi, rangka terbungkus kulit itu dapat bergerak cepat bukan main. Golok itu menyambar seperti mengenai sasarannya membabat pinggang, akan tetapi tiba-tiba saja tubuh kurus kering itu lenyap dan ternyata sudah mengelak ke samping dan pada saat itu si tengkorak hidup menggerakkan tangannya yang kurus.
"Tukkk!"
Hanya perlahan saja jari tangan Iblis Mayat Hidup menyentuh lengan yang memegang golok. Akan tetapi seketika golok itu terlepas dan lengan itu pun lumpuh dan berubah menghitam karena di sebelah dalamnya, beberapa otot besar putus dan darah mengalir liar membuat lengan itu nampak hitam! Bukan kepalang rasa nyeri pada lengan kanan itu, membuat si brewok berteriak-teriak. Namun kembali tangan kurus itu menyambar, sekali ini leher si brewok yang disentuh dan seketika si brewok roboh. Suara mengorok keluar dari lehernya, mukanya berubah hitam dan dia berkelojatan dalam sekarat.
Dia tewas tak bergerak lagi ketika anak buahnya yang belasan orang banyaknya itu sudah datang menyerbu dengan golok di tangan. Melihat betapa pemimpin mereka itu sudah roboh dengan muka berwarna hitam, tak bergerak lagi, belasan orang kasar itu menjadi marah sekali. Langsung mereka menerjang tiga orang kakek itu dengan golok mereka. Tiga orang kakek itu melangkah keluar dari pondok. Perkelahian yang aneh, lucu dan tidak seimbang pun terjadilah.
Sepasang lengan Raja Iblis Hitam itu mulur dan tanpa mempedulikan golok-golok itu, dua tangannya menangkapi lawan, membanting, melontarkan tinggi-tinggi ke atas dan mambiarkan tubuh lawan itu terbanting keras, menangkapi dua kepala dan mengadu kedua kepala itu.
Si gendut Iblis Akhirat sambil menyeringai aneh dan menyeramkan juga membiarkan golok-golok itu mengenai kepala botaknya atau lengannya, dan hanya kedua kakinya saja yang pendek-pendek dan besar-besar itu bergerak cepat ke kanan kiri dan setiap orang yang terkena tendangannya tentu terlempar, terbanting roboh dan tidak dapat bangkit kembali.
Iblis Mayat Hidup lebih mengerikan lagi. Dengan tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan, dia membagi-bagi pukulan dan setiap kali tangannya menyentuh tubuh lawan, karena sentuhan perlahan itu tidak pantas dinamakan pukulan, lawan lalu roboh dengan bagian badan yang disentuh berubah kehitaman!
Dalam waktu singkat saja, belasan orang itu roboh semua dan tidak seorang pun dapat bangkit atau bergerak lagi karena mereka telah tewas. Kepala-kepala pecah berantakan sampai otak dan darah berceceran, tulang-tulang berkerotokan pada saat patah-patah, bahkan ada kulit yang robek-robek dan mayat yang ternoda hitam-hitam mengerikan.
"Ha-ha-ha-ha! Bi Lan, murid yang baik, apakah kini engkau telah puas? Lihat, semua musuhmu telah kami bunuh," kata Iblis Akhirat kepada Bi Lan.
Gadis cilik itu melorot turun dari gendongan Raja iblis Hitam. Dia pun memasuki pondok, sejenak berdiri memandang mayat ibunya yang tergantung dengan tubuh terbalik. Pada bagian tubuh tertentu dari ibunya nampak lula-luka guratan senjata tajam. Betapa ingin dia menjerit, akan tetapi batinnya mengalami guncangan hebat sehingga dia tidak lagi dapat menangis.
"Ibumu sudah mati," tiba-tiba terdengar suara orang dan ketika gadis cilik itu menengok, yang bicara adalah Iblis Mayat Hidup.
Dua kakek lainnya juga sudah berdiri di belakangnya. Gadis cilik ini tidak tahu betapa tiga orang kakek itu memandang ke arah mayat ibunya dengan hati girang, bukan hanya karena gadis cilik itu sekarang sudah terlepas dari semua ikatan keluarga, juga karena mereka bertiga itu kagum akan cara gerombolan itu menyiksa wanita ibu Bi Lan!
"Ha-ha-ha! Bi Lan, kami sudah memenuhi semua permintaanmu, sekarang berlututlah dan angkat kami sebagai gurumu dan menyebut suhu," kata Iblis Akhirat.
"Nanti dulu," gadis cilik itu berkata. "Sebelum itu kuminta supaya kalian suka mengubur jenazah ibuku, juga jenazah ayahku, dikubur bersama dalam satu lubang di tempat ini."
Tiga orang kakek itu saling pandang. "Wah, apa-apaan ini?" Raja Iblis Hitam mengeluh.
"Ada-ada saja!" Iblis Mayat Hidup menyambung. Jelas bahwa keduanya merasa tidak senang dengan pekerjaan itu.
"Apa gunanya?" Si gendut Iblis Akhirat berseru. "Biarkan saja begitu, akhirnya juga akan habis sendiri."
"Tidak!" Bi Lan berseru. "Kalau kalian tidak mau, biar aku sendiri yang akan melakukan penguburan itu. Mereka harus dikubur supaya jenazah mereka tidak dimakan binatang buas!"
"Hemm, apa kau kira di dalam tanah tidak ada binatang buasnya? Kulit dagingnya akan digerogoti tikus dan cacing-cacing sampai habis!"
Mendengar ucapan si gendut itu, Bi Lan bergidik. "Biarlah, mereka hancur dikubur dan kalau kalian tidak mau, akan kulakukan sendiri dan aku tidak akan sudi menjadi murid kalian."
Tiga orang kakek itu saling pandang dan menggaruk-garuk kepala. Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat disertai suara berkerotokan dan Iblis Mayat Hidup sudah lenyap dari tempat itu. Tidak lama kemudian dia datang kembali membawa mayat Can Kiong, ayah Bi Lan yang sudah penuh luka itu. Dan tanpa banyak cakap lagi, tiga orang kakek itu lalu menggali sebuah lubang besar. Cepat sekali pekerjaan ini dilakukan oleh tiga orang sakti itu, mempergunakan golok-golok para korban amukan mereka tadi.
Setelah mengubur dua orang suami isteri itu dan menutupi lubang dengan tanah, atas permintaan Bi Lan mereka lalu menaruh sebuah batu bundar sebesar gajah di tempat kuburan. Mereka lalu berdiri berjajar dan menuntut agar Bi Lan suka menjadi murid mereka dan memberi hormat seperti layaknya seorang yang mengangkat guru.
Sekarang Bi Lan tidak ragu-ragu lagi. Kalau bukan tiga orang kakek aneh ini, siapa lagi manusia di dunia ini yang mempedulikannya? Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki tiga orang itu, memberi hormat dengan sungguh-sungguh.
"Suhu... suhu... suhu...!" katanya setiap kali ia menyembah di depan kaki salah seorang kakek. Tiga orang itu girang bukan main.
"Muridku yang baik!" kata Raja Iblis Hitam.
Tiba-tiba Bi Lan merasa tubuhnya melayang jauh tinggi di udara. Anak itu tentu saja terkejut bukan main, sama sekali tidak menyangka bahwa raksasa hitam yang menjadi seorang di antara gurunya itu akan melakukan hal seperti itu, melemparkan tubuhnya tinggi ke udara! Dia teringat betapa tadi suhu-nya yang ini melempar-lemparkan tubuh lawan ke atas dan tubuh itu terbanting jatuh dengan kepala pecah berantakan.
Tentu saja ingatan ini mendatangkan rasa takut yang hebat dalam batinnya yang sehari itu sudah mengalami guncangan-guncangan luar biasa. Akan tetapi justeru guncangan-guncangan hebat itu membuat Bi Lan kehilangan rasa takut, atau andai kata ada rasa takut, ia berani menghadapinya dan justru mendatangkan suatu kenekatan besar. Maka, betapa pun ngerinya, ia mengatupkan bibirnya yang kecil dan tidak mau mengeluarkan suara yang membayangkan ketakutan!
Ketika tubuhnya melayang turun berputaran, tangan Iblis Akhirat sudah menyambutnya dan kembali ia dilemparkan ke atas oleh kakek itu yang terkekeh senang. Ketika merasa betapa tubuhnya tidak terbanting melainkan disambut hendak di lemparkan lagi ke atas, mengertilah Bi Lan bahwa tiga orang gurunya itu bermain-main atau mungkin hendak menguji ketabahannya.
Hal ini membesarkan hatinya. Ia akan memperlihatkan kepada tiga orang kakek aneh itu bahwa ia tidak takut! Maka, ketika untuk kedua kalinya tubuhnya terlempar ke atas, ia mengeluarkan suara ketawa cekikikan sebagai tanda bahwa dia pun senang dilempar-lemparkan seperti itu.
Akan tetapi terdengar suara Iblis Mayat Hidup mencela. "Apa ketawa-ketawa! Dalam setiap keadaan, engkau harus belajar karena setiap peristiwa mengandung bahan yang baik untuk dipelajari!”
Dan ketika tubuhnya meluncur turun, ia disambut pula oleh kakek kurus kering itu dan dilontarkan pula ke atas. Bi Lan menghentikan ketawanya, takut kalau ketiga orang gurunya marah. Gila, pikirnya, dilempar-lempar ke udara seperti itu dapat mempelajari apakah?
Lalu teringatlah dia betapa kalau meluncur lagi ke bawah, tubuhnya berputaran tidak karuan. Kenapa ia tidak mau belajar agar luncurannya itu nyaman dengan kaki di bawah dan kepala di atas? Bukankah jika dia terpaksa terbanting ke atas tanah, akibatnya tak begitu parah kalau kakinya lebih dulu dari pada kepalanya? Mulailah dia menggerak-gerakkan kaki tangannya, mengatur keseimbangan supaya tubuhnya tidak jungkir balik atau berputaran.
Agaknya tiga orang gurunya girang melihat ini. Begitu ia meluncur turun, ia disambut lagi bergantian untuk dilontarkan pula ke atas. Akhirnya setelah puluhan kali dilontarkan ke atas, Bi Lan berhasil mengatur luncuran tubuhnya sehingga kakinya selalu meluncur di bawah, kedua tangan dikembangkan sedangkan kedua kaki dipentang seperti orang menunggang kuda. Melihat ini, tiga orang gurunya bergantian memberi petunjuk, bagai mana harus mengatur tangan atau kaki, kemudian bagaimana harus mengatur napas dan gerakan-gerakan lain.
Bi Lan yang tahu bahwa tiga orang gurunya ini adalah orang-orang aneh dan begitu ia mengangkat mereka sebagai guru, mereka itu langsung menguji dan memberi pelajaran yang begitu aneh! Maka ia pun memperhatikan dengan tekun dan tanpa mengenal lelah ia terus berusaha, walau pun tubuhnya yang memang sudah amat lelah, apa lagi baru saja mengalami hal-hal yang amat hebat itu, terasa sakit-sakit. Bahkan ia menahan rasa lapar dan kantuknya sampai akhirnya dia tertidur selagi tubuhnya dilemparkan lagi ke atas oleh Iblis Mayat Hidup.
Melihat betapa murid mereka itu meluncur turun dengan tubuh lunglai, tiga orang kakek itu terkejut setengah mati, khawatir kalau-kalau murid mereka yang masih lemah dan amat lelah itu tidak kuat dan mati di udara! Mereka menyambutnya dan legalah hati mereka melihat bahwa murid mereka itu hanya tertidur pulas!
Meledaklah suara tawa mereka dan hati mereka puas dan bangga. Dilempar-lemparkan seperti itu, murid mereka ini malah bisa tidur nyenyak, dan itu dianggap oleh mereka sebagai tanda nyali yang sangat besar, ketabahan yang jarang dimiliki seorang anak kecil, apa lagi anak perempuan.
Tiga orang Sam Kwi itu lalu meninggalkan hutan itu menuju ke timur. Mereka melakukan perjalanan cepat sekali, mengambil jalan melalui bukit-bukit dan rawa-rawa, melalui sungai dan hutan yang liar yang jarang didatangi manusia.
Mereka mengambil jalan memotong, dan menerjang jalan yang betapa sukar sekali pun, dengan kepandaian mereka yang tidak lumrah manusia. Jika mereka melalui perjalanan yang amat sukar, yang tidak dapat dilalui manusia biasa, mereka memondong Bi Lan bergantian, akan tetapi kalau melalui jalan biasa sambil menikmati pemandangan alam, mereka membiarkan Bi Lan berjalan kaki di belakang mereka.
Dasar orang-orang aneh, kadang-kadang mereka pun meninggalkan Bi Lan begitu saja, membuat gadis cilik itu berlari-larian setengah mati mengejar mereka, dan kalau Bi Lan sudah hampir putus asa karena tak mampu mengejar dan guru-gurunya lenyap, barulah mereka muncul! Di sepanjang perjalanan, mereka melatih Bi Lan dengan dasar-dasar ilmu silat, dan menggembleng gadis cilik itu dengan latihan-latihan untuk menghimpun tenaga sinkang.
Ada kalanya tiga orang itu berebut untuk melatih Bi Lan yang ternyata memiliki bakat yang sangat hebat, tepat seperti dugaan mereka. Setiap pelajaran yang diberikan guru-gurunya dapat ditangkap dengan mudah oleh Bi Lan dan hanya dalam latihan sajalah gadis cilik itu perlu memperoleh tekanan.
Dan gadis cilik itu pun cerdik bukan main. Segera ia dapat merasakan betapa tiga orang gurunya yang aneh itu amat menyayanginya, bahkan berlomba dalam menyayangnya. Hal ini dipergunakannya sebagai senjata untuk menguasai tiga orang kakek itu!
Pada suatu hari, tiga orang kakek itu terlibat dalam ketegangan dan perbantahan ketika mereka akan mulai menurunkan ilmu silat tinggi kepada murid mereka. Mereka saling memperebutkan, ilmu silat siapakah yarig harus diutamakan sebagai dasar.
"Siapa yang mampu menandingi ilmuku Hek-wan Si-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan belas Jurus Lutung Hitam)?" bentak Raja Iblis Hitam. "Aku akan mengajarkan ilmu lebih dulu kepada Bi Lan!"
"Ha-ha-ha, sombongnya. Apa artinya pukulan-pukulanmu bagi orang yang mempunyai kekebalan seperti ilmuku Kulit Baja? Sebaiknya Bi Lan kulatih lebih dahulu dalam ilmu tendanganku yang tak ada bandingan, yaitu Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin). Dan untuk kematangannya, ia perlu memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat seperti aku," bantah Iblis Akhirat.
"Ahhh, tidak! Seorang wanita seperti Bi Lan harus memiki ginkang (ilmu meringankan tubuh) seperti aku sebagai dasar, sambil mempelajari ilmu silatku Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot)!" bentak Iblis Mayat Hidup.
Tiga orang kakek itu tidak mau saling mengalah. Di atas padang rumput yang sunyi di sebuah lereng bukit itu, mereka ngotot tidak mau saling mengalah dan akhirnya mereka menentukan bahwa harus diuji lebih dulu ilmu siapa yang paling kuat dan dialah yang berhak memberi bimbingan pertama kali kepada Bi Lan. Dan terjadilah perkelahian di antara mereka!
Bukan sembarang perkelahian, bukan sekedar adu otot dan adu ilmu, tetapi perkelahian sungguh-sungguh dengan serangan-serangan mematikan. Hebat bukan main serang-menyerang yang terjadi di antara mereka bertiga dan karena memang tingkat mereka seimbang, tentu saja sukarlah bagi salah seorang di antara mereka untuk memperoleh keunggulan.
Kalau ada seorang di antara mereka yang nampaknya memperoleh angin dari orang ke dua, orang ke tiga kemudian turun tangan mendesak sehingga yang tadinya nampak memperoleh angin sebaliknya menjadi terdesak kembali. Dan perkelahian itu bukan hanya mempergunakan ilmu pukulan biasa, melainkan mempergunakan sinkang yang membuat tempat di sekitarnya dilanda angin pukulan yang bersiutan dan berdesingan. Mereka juga saling mengerahkan khikang, mengeluarkan suara berupa bentakan yang melengking nyaring.
Bi Lan yang berdiri menjauh dan merasa dilupakan oleh tiga orang gurunya, merupakan satu-satunya penonton dan satu-satunya orang yang paling menderita di antara mereka. Angin pukulan yang dahsyat dan menyambar-nyambar itu tadi telah membuat dia jatuh bangun dan terguling-guling seperti sehelai daun kering dilanda badai. Ia yang cerdik cepat menggerakkan tubuhnya bergulingan di atas padang rumput sampai agak jauh.
Akan tetapi, setelah angin pukulan tidak mampu meraihnya karena jauh, suara-suara yang mengandung tenaga khikang itu menyiksanya. Anak itu merasa betapa suara itu menusuk-nusuk anak telinganya dan biar pun dia sudah menutupi kedua telinga dengan kedua tangan, tetap saja suara itu membuat isi perutnya jungkir balik dan menyiksanya dengan hebat.
"Sudahlah, biar kalian bunuh saja aku!" Akhirnya dia berteriak sambil berlari ke tengah medan perkelahian, berloncatan dan dengan nekat terjun di antara mereka bertiga.
Tiga orang kakek yang lihai itu tentu saja dapat melihat munculnya murid mereka yang meloncat ke tengah medan perkelahian. Kalau orang lain yang berbuat demikian, tentu mereka bertiga akan menjatuhkan pukulan maut sehingga tubuh orang yang berani mengganggu mereka itu akan hancur lebur. Akan tetapi melihat bahwa yang datang adalah Bi Lan, ketiganya tiba-tiba saja menghentikan gerakan mereka, masing-masing menarik diri dan mundur, berdiri dengan tubuh berkeringat dan tidak bergerak bagaikan patung, tidak tahu harus berbuat apa.
"Kenapa suhu semua berhenti? Hayo teruskan perkelahian itu!" berkata Bi Lan dengan suara marah.
"Ahhh, berbahaya untukmu. Menyingkirlah, Bi Lan, agar kami dapat melanjutkan untuk menentukan siapa yang berhak lebih dulu mengajarmu," Iblis Akhirat berkata.
"Tidak perlu teecu menyingkir. Sejak tadi teecu sudah tersiksa. Biarlah kalau teecu mati juga, menemani seorang atau dua orang di antara suhu yang akhirnya tentu akan kalah dan mati pula!"
Baru mereka tahu bahwa Bi Lan marah karena perkelahian mereka tadi. "Kami... kami berkelahi memperebutkan hak mengajarmu lebih dulu." Kembali Iblis Akhirat berkata memberi keterangan.
"Teecu (murid) sudah mengangkat suhu bertiga menjadi guru semua, mengapa mesti berebutan lagi? Kenapa suhu bertiga tidak memberi pelajaran bersama-sama saja?" Ia berhenti sebentar untuk melihat tarikan muka mereka, lalu melanjutkan lagi, "Kalau suhu bertiga berebutan dan berkelahi lagi, teecu tidak akan mau belajar dari yang paling menang!"
Mendengar ancaman dari murid yang mereka tahu amat keras hatinya ini, tiga orang kakek itu saling pandang.
"Bergabung...?" Raja Iblis Hitam berkata bingung.
"Ilmu ketiga orang disatukan?" Iblis Mayat Hidup menyambung ragu.
"Wah, mengapa tidak? Kita ajarkan bersama ilmu-ilmu kita dan karena ilmu-ilmu itu amat tinggi, tentu sukar baginya untuk menerima semua."
"Justeru karena menerima setengah-setengah inilah maka dia akan dapat menggabung ilmu-ilmu itu menjadi hanya satu ilmu yang tentu hebat karena mengandung dasar dan kelihaian ilmu kita masing-masing!"
"Bagus!" kata Raja Iblis Hitam girang.
"Tepat sekali!" kata pula Iblis Mayat Hidup.
"Sama sekali tidak bagus dan tidak tepat!” Tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita.
Bi Lan terkejut dan merasa heran ada orang berani mencampuri percakapan tiga orang gurunya. Ketika ia menengok, ia melihat seorang wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian rapi dan mewah, berwajah cantik sekali dengan sinar mata yang tajam. Kecantikannya aneh mengandung hawa dingin, tapi ada kecabulan membayang dalam senyum dan kerlingnya.
Hati Bi Lan merasa khawatir sekali. Wanita ini sudah bosan hidup, pikirnya. Ia sudah mulai mengenal watak tiga orang gurunya yang aneh dan kadang-kadang amat kejam, apa lagi setelah ia mendengar julukan guru-gurunya yang memperkenalkan diri sebagai Sam Kwi dengan julukan yang seram-seram itu. Ia malah bisa menduga bahwa gurunya adalah orang-orang yang amat kejam dan jahat, akan tetapi yang amat baik kepadanya karena sayang kepadanya.
Karena takut kalau-kalau tiga orang gurunya itu menurunkan tangan secara tiba-tiba membunuh gadis itu, Bi Lan mendahului, meloncat dan menghadap tiga orang gurunya. "Suhu sekalian harus dapat memaafkan cici ini!" teriaknya.
Akan tetapi kini terjadi hal yang sangat mengherankan hati Bi Lan. Iblis Akhirat yang gendut pendek itu berteriak kegirangan, "Aha, Bwi-kwi (Iblis Cantik), kau baru muncul? Waah, aku sudah kangen sekali padamu!" Dan si gendut langsung memeluk pinggang wanita cantik itu dan menariknya.
Anehnya, gadis itu tersenyum lalu merendahkan kepalanya dan kakek gendut itu lantas mencium mulutnya dengan bernapsu sekali sampai mengeluarkan bunyi, "ceplok!"
Tentu saja Bi Lan menjadi bengong melihat ini, apa lagi melihat dua orang suhu-nya yang lain juga menghampiri gadis itu. Raja Iblis Hitam mengelus rambut gadis itu, dan si Iblis Mayat Hidup mencolek dadanya! Dan gadis cantk itu hanya tersenyum manis saja, sama sekali tidak marah.
"Suhu, siapakah bocah itu?" gadis itu bertanya dan kini tahulah Bi Lan bahwa gadis itu adalah murid tiga orang suhu-nya.
"Ha-ha-ha, ia adalah murid kami yang baru. Bakatnya bagus sekali, melebihimu, Bi-kwi. Namanya Can Bi Lan, heh-heh-heh, dua orang murid kami semua cantik-cantik. Kami menyebutmu Bi-kwi, biarlah mulai sekarang Bi Lan kami sebut Siauw-kwi (Iblis Kecil). Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba sepasang mata yang indah dan bersinar tajam itu berkilat memandang ke arah Bi Lan. "Murid suhu? Hemm, sejak dahulu murid suhu bertiga hanya aku, dan setiap ada orang berani merubah keadaan ini harus dibunuh. Anak ini pun harus kubunuh!"
Berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan tangan kanannya dan lengan kanan yang montok itu tiba-tiba mulur panjang dengan dua jari yang mungil menotok ke arah dada Bi Lan! Tetapi, biar baru beberapa bulan lamanya, Bi Lan sudah menerima latihan-latihan dasar dari tiga orang sakti, maka begitu ada tangan menyerangnya, gadis cilik itu mampu melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik dengan sigapnya.
"Ehh...! Ia malah sudah belajar dari suhu!" bentak Bi-kwi.
Dia pun menyerang lagi, sekarang kakinya melangkah ke depan. Akan tetapi tiba-tiba pinggangnya dipeluk dari belakang oleh Raja Iblis Hitam, dan dua tangannya dipegang masing-masing oleh Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup.
"Hemm, suhu bertiga menghalangi? Berarti suhu bertiga tidak lagi cinta kepadaku!"
"Ehhh? Tenang... sabar, sabar...! Kami sudah menjelajah dunia ramai lagi dan melihat perubahan-perubahan hebat terjadi di dunia persilatan. Engkau seorang diri tidak akan kuat menghadapi mereka, oleh karena itu kami sengaja memilih Bi Lan untuk menjadi murid kedua. Apa salahnya itu?"
"Hanya murid?" Gadis cantik itu menegaskan.
"Heh-heh, cemburu? Hanya murid karena bagi kami sebagai laki-laki, engkau seorang sudah lebih dari cukup dan memuaskan. Nah, maukah engkau berbaik dengan Bi Lan?" tanya Iblis Akhirat.
Bi-kwi mengangguk. "Baiklah, tadi pun dia sudah berusaha menolongku. Tidak apa-apa mengampuni nyawa anjingnya. Akan tetapi kalau kelak ada tanda-tanda bahwa suhu bertiga... hemm, aku pasti akan membunuhnya."
Bi Lan mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu apa sebenarnya maksud percakapan aneh itu. Dia pun masih tertegun menyaksikan adegan aneh ketika gadis cantik itu menerima ciuman Iblis Akhirat dan belaian-belaian dua orang suhu-nya yang lain. Akan tetapi ia tahu bahwa gadis itu berbahaya bukan main, agaknya tak kalah jahatnya dibandingkan dengan tiga orang kakek itu. Ia harus berhati-hati menghadapi gadis ini, pikirnya.
"Ha-ha-ha, bagus… bagus sekali. Bi Lan, lekas berterima kasih kepada suci-mu (kakak seperguruanmu) yang baru saja mengembalikan nyawamu," kata Iblis Akhirat.
Sam Kwi kelihatan gembira sekali dengan pertemuan itu dan Bi Lan, walau pun hatinya tidak senang, namun anak ini mempergunakan kecerdikannya. Ia tahu bahwa gadis ini mempunyai kekuasaan atas tiga orang gurunya agaknya tiga orang gurunya pun tidak akan dapat menyelamatkannya atau menjamin keselamatannya jika sampai ia dimusuhi gadis ini. Sebaiknya ia bersiasat dan menyenangkan hati gadis ini sebelum mengenal benar keadaannya.
Maka dia pun lalu bangkit dan menjura pada gadis itu, berkata dengan suara manis dan tersenyum. Oleh tiga orang gurunya, dia diingatkan betapa manisnya kala tersenyum, betapa timbul sepasang lesung pipit kanan kiri mulutnya.
"Suci yang cantik dan gagah perkasa, aku menghaturkan terima kasih kepadamu."
Gadis cantik itu menjebikan bibirnya. "Huh, baiknya engkau tadi berusaha melindungiku dari kemarahan suhu, kalau tidak… Baiklah, kalau selanjutnya engkau tunduk dan taat kepadaku, mulai saat ini engkau adalah sumoi-ku."
"Terima kasih, suci."
"Bi-kwi, kenapa tadi engkau mengatakan bahwa pendapat kami untuk menggabungkan ilmu dan diajarkan kepada Siauw-kwi tidak betul dan tidak tepat?" Iblis Akhirat bertanya sambil menggandeng tangan wanita cantik itu dengan sikap yang kangen sekali.
"Tentu saja tidak tepat, karena di sini ada aku yang dapat mewakili suhu bertiga untuk mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada sumoi. Kalau seorang anak kecil seperti sumoi itu sekaligus menerima pelajaran dari suhu bertiga, mana kuat menerimanya? Serahkan saja kepadaku dan suhu bertiga tidak perlu susah-susah."
Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira. "Ha-ha, lihat, betapa beruntungnya kita bertiga mempunyai seorang murid seperti Bi-kwi," kata Iblis Akhirat.
"Bi-kwi, bagaimana dengan tugasmu?" tiba-tiba Raja Iblis Hitam bertanya.
Bi Lan merasa heran mendengar suara kakek raksasa hitam ini. Biasanya dia pendiam dan kalau bersuara terdengar keras, parau dan bengis, akan tetapi sekarang suaranya terdengar lembut dan mengandung kemesraan.
Gadis yang disebut Bi-kwi (Iblis Cantik) itu sebenarnya bernama Ciong Siu Kwi yang sejak berusia lima tahun sudah menjadi murid Sam Kwi. Seperti juga Bi Lan, Siu Kwi atau yang kini disebut Bi-kwi ini yatim piatu. Ayah ibunya dibunuh oleh Sam Kwi sendiri yang ingin menguasai anak ini dengan bebas.
Memang pada mulanya, Sam Kwi mengambil murid ini hanya untuk menurunkan ilmu karena melihat bakat baik pada diri Siu Kwi, juga agar anak ini dapat menemani mereka dalam persembunyian dan pertapaan mereka di puncak pegunungan Thai-san. Akan tetapi, makin dewasa, Bi-kwi atau Siu Kwi ini makin nampak watak aslinya, watak yang genit dan cabul, di samping wajahnya yang cantik.
Gadis ini mempelajari ilmu-ilmu tinggi, tetapi juga melayani Sam Kwi, mencuci pakaian, memasak dan segala macam kebutuhan tiga orang kakek itu. Setelah ia berusia hampir delapan belas tahun, tiga orang kakek itu tidak tahan melihat kegenitannya. Mulailah mereka bertiga itu tertarik sebagai pria terhadap wanita kepada murid sendiri dan mulailah terjadi hubungan perjinahan antara ketiga Sam Kwi dengan murid tunggal mereka itu!
Luar biasanya, gadis yang semenjak kecil hidup di tempat pengasingan di Thai-san itu, menyambut tiga orang kakek buruk rupa yang menjadi suhu-nya itu dengan tangan dan hati terbuka! Dan sejak berusia delapan belas tahun itulah, Siu Kwi menjadi murid dan merangkap kekasih Sam Kwi dan mulai pula dia menguasai tiga orang kakek itu yang namanya saja guru-gurunya, akan tetapi dalam banyak hal mereka bertiga itu tunduk dan taat kepada Siu Kwi!
Mendengar pertanyaan Hek-kwi-ong tentang tugasnya tadi, Siu Kwi melepaskan tangan Iblis Akhirat, dan mengerutkan alisnya, kemudian dia duduk di atas sebuah batu yang bersih. Tiga orang kakek itu pun duduk di depannya dan Bi Lan yang ingin pula turut mendengarkan juga duduk di dekat Siu Kwi.
Gadis ini menarik napas panjang beberapa kali, lalu berkata dengan suara jengkel.
"Dua urusan yang suhu serahkan kepadaku itu semua gagal! Yang pertama mengenai Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, ternyata telah tewas belasan tahun yang lalu!"
"Wah, sialan!" Raja Iblis Hitam berseru kecewa sambil mengepal tangannya yang besar.
"Pengecut! Mampus lebih dulu!" Iblis Mayat Hidup juga berseru kecewa.
"Ha-ha-ha, biarlah dia mampus, kelak di akhirat toh kita masih dapat mencarinya untuk membuat perhitungan!" berkata Iblis Akhirat yang kemudian memandang Siu Kwi. "Dan bagaimana dengan urusan yang lain?"
"Urusan Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) lebih menjengkelkan lagi. Dengan susah payah selama berbulan-bulan aku mencari kakek Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih) di sekitar Pegunungan Himalaya dan belum kutemukan jejaknya. Akan tetapi, akhirnya dari para pertapa aku mendengar bahwa kakek tua bangka itu pun sudah meninggal dunia."
"Dan pusakanya?" Raja Iblis Hitam memotong.
"Itulah yang menjengkelkan hatiku. Menurut keterangan para pertapa yang mengenal Pek-bin Lo-sian, sebelum kakek itu meninggal dunia, mereka sering kali melihat kakek itu berbincang-bincang dengan seorang pendekar sakti dan menurut mereka, sangat boleh jadi kakek itu mewariskan Liong-siauw-kiam kepada pendekar itu."
"Wah-wah, siapa pendekar jahanam itu?" bentak Iblis Akhirat dengan marah.
"Mereka tidak tahu, akan tetapi, dalam penyelidikanku selanjutnya, ada sebuah berita yang amat menarik, yaitu munculnya seorang pendekar yang dijuluki Pendekar Suling Naga yang kabarnya membawa senjata sebatang suling naga..."
"Itulah orangnya!" bentak Iblis Mayat Hidup. "Di mana dia?"
Gadis itu menggerakkan pundaknya. "Menurut penyelidikanku, pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga itu merantau ke selatan. Karena aku ingin mendengar keputusan suhu dalam hal ini, maka aku lalu mencari suhu untuk melapor."
Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Iblis Akhirat yang biasa menjadi juru bahasa mereka berkata, "Tugasmu menjadi semakin berat, Bi-kwi. Pendekar Super Sakti sudah mati, akan tetapi keturunan Suma tentu masih banyak berkeliaran. Karena itu kita harus berusaha membasmi semua keturunan Suma Han si Pendekar Super Sakti yang pernah membuat kami bertiga harus menyembunyikan diri selama puluhan tahun. Akan tetapi, di samping itu juga kita harus mencari orang yang menguasai Pedang Suling Naga untuk merampasnya. Tidak mungkin tugas-tugas berat itu kau pikul sendiri. Maka, sebaiknya kita melatih Siauw-kwi ini sampai pandai agar supaya kelak dapat membantumu menunaikan tugas-tugas itu. Kami sendiri sudah terlalu tua untuk berkeliaran mencari orang."
Bi-kwi menoleh ke arah Bi Lan dan mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang cerdik. Mewakili suhu-suhu-nya bermusuhan dengan keturunan Pendekar Super Sakti adalah tugas yang amat berat dan tidak menarik hatinya. Ia sudah mendengar bahwa Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh besar yang amat tinggi ilmu kesaktiannya dan sukar dilawan. Bahkan tiga orang gurunya yang pernah mengeroyok pendekar itu pun tidak mampu menang.
Tentu keturunannya juga sangat lihai, dan bagaimana kalau keturunannya itu banyak jumlahnya? Dan urusan balas dendam guru-gurunya karena pernah dikalahkan ini tiada apa-apanya yang menarik hatinya karena tidak ada yang menguntungkan. Sebaliknya, mencari pusaka Suling Naga itu lebih menarik baginya. Karena itu, menghadapi dua tugas ini memang sebaiknya jika ia ditemani orang yang dapat dipercaya, dan agaknya Bi Lan inilah orangnya.
"Hemm, aku meragukan apakah anak ini akan sanggup. Siauw-kwi, sanggupkah engkau membantuku kelak dalam dua urusan itu?"
Bi Lan sejak tadi mendengarkan dan kini ia menghadap ketiga orang suhu-nya. "Urusan suhu dengan keluarga Pendekar Super Sakti itu mudah teecu mengerti. karena tentu urusan dendam pribadi yang melibatkan keluarga Pendekar Super Sakti yang sudah mati. Akan tetapi urusan ke dua, teecu kurang jelas. Apakah pusaka Suling Naga itu dan mengapa dijadikan rebutan?"
"Ha-ha-ha, engkau memang anak cerdik yang ingin memasuki suatu urusan tapi tidak secara membuta. Baiklah, akan kuceritakan padamu mengenai pusaka itu."
Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat yang bertubuh pendek bundar itu lalu dengan ringkas bercerita tentang pusaka yang dinamakan Pedang Suling Naga itu. Benda pusaka itu telah ribuan tahun usianya, terbuat dari semacam kayu yang tumbuh di Pegunungan Himalaya, dan kayu itu diukir dan dibuat menjadi sebuah suling yang amat indah oleh seorang abi di Pegunungan Himalaya kurang lebih seribu tahun yang lalu. Benda itu lalu direndam dalam obat-obatan rahasia yang membuat kayu itu menjadi keras membaja, bahkan kabarnya lebih keras dari pada baja.
Pusaka yang indah itu dapat ditiup sebagai sebatang suling yang suaranya merdu, juga bisa dipegang sebagai sebatang pedang. Kepala naga menjadi gagang dan badan serta ekornya menjadi pedangnya. Ukiran naga itu sedemikian hidupnya, sepasang mata di bagian kepalanya dibuat dari batu permata sehingga nampak bernyala dan hidup sekali. Selama ratusan tahun, benda itu menjadi pusaka dan menjadi lambang kekuasaan raja-raja Khitan.
Sampai akhirnya, di jaman Kaisar Jenghis Khan, raja Mongol ini dalam penyerbuannya ke barat berhasil merampas benda itu dan karena amat kagum dan suka, benda itu menjadi pusaka kesayangan Kaisar Jenghis Khan. Akan tetapi pada suatu hari, pusaka itu lenyap dari dalam gudang pusaka. Kaisar Jenghis Khan marah sekali akan tetapi urusan itu dirahasiakan karena kaisar akan merasa malu kalau terdengar rakyat bahwa pusaka yang paling disayang itu dapat lenyap begitu saja dari dalam gudang pusaka.
Saking marahnya Kaisar Jenghis Khan menghukum mati tiga puluh orang pengawal dan pelayan yang dicurigai! Semenjak saat itu, pusaka Suling Naga dianggap lenyap dan tak pernah dapat ditemukan kembali walau pun Kaisar Jenghis Khan telah mengeluarkan banyak sekali biaya dan mengerahkan banyak orangnya untuk mencarinya.
"Sebenarnya yang mencuri benda pusaka itu ialah seorang sakti yang menyembunyikan dirinya di pegunungan sebelah utara. Benda itu menjadi kebanggaannya karena tentu saja orang yang mampu mencuri benda dari gudang pusaka Kaisar Jenghis Khan adalah seorang yang sangat sakti. Benda itu turun temurun menjadi milik murid-murid keturunannya dan akhirnya jatuh ke tangan suhu dan susiok kami yang dulu bertapa di Pegunungan Himalaya. Ketika suhu meninggal dunia, pusaka itu oleh suhu diserahkan kepada susiok Pek-bin Lo-sian yang bertapa di Pegunungan Himalaya. Kami pernah memintanya, akan tetapi susiok mengatakan bahwa pusaka itu tidak pantas menjadi milik kami. Tentu saja kami berusaha merampasnya, akan tetapi susiok Pek-bin Lo-sian terlalu tangguh bagi kami. Tak ada lain jalan kecuali menanti sampai kakek yang sudah tua renta ini mampus. Akan tetapi, sungguh tak terduga sekali halnya kami dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti sehingga kami terpaksa mengundurkan diri bertapa sampai dua puluh tahun dan ketika kami mengutus Bi-kwi, ternyata kakek tak tahu malu itu telah mampus dan mewariskan pusaka itu kepada orang lain!"
Iblis Akhirat menghentikan ceritanya dan tiga orang kakek itu nampak beringas serta marah sekali.
"Bagaimana, Siauw-kwi, maukah engkau membantu suci-mu dalam mencari pusaka itu dan membalaskan dendam kami terhadap keturunan Suma?" tiba-tiba Iblis Mayat Hidup bertanya.
Cerita itu amat menarik hati Bi Lan. Bagaimana pun juga, tiga orang suhu-nya memang berhak mendapatkan kembali pusaka itu dan pendekar yang menerimanya dari Pek-bin Lo-sian tidak berhak. "Baik, suhu. Teecu akan belajar giat agar kelak mampu membantu suci."
Mereka berlima lalu meninggalkan tempat itu, kembali ke puncak Pegunungan Thai-san. Di sepanjang perjalanan, dengan hati kaget, heran, dan muak, Bi Lan melihat betapa tiga orang gurunya itu mengadakan hubungan amat mesra dengan suci-nya. Ia belum begitu mengerti tentang hubungan perjinahan seperti itu, akan tetapi nalurinya membuat ia selalu membuang muka dan menyingkir kalau melihat pertunjukan tak tahu malu di sepanjang perjalanan itu. Karena perbuatan ini saja, diam-diam Bi Lan merasa sangat tidak suka kepada suci-nya dan kepada tiga orang suhu-nya, walau pun dengan cerdik ia dapat menyembunyikan perasaan ini di lubuk hatinya.
Demikianlah, sesudah tiba di puncak Pegunungan Thai-san, di tempat terpencil sunyi, Bi-kwi atau Su Kwi mulai melatih sumoi-nya dengan ilmu silat. Akan tetapi, dasar orang yang licik, curang dan juga hatinya diliputi penuh kebencian, Bi-kwi yang tidak rela kalau ada orang kelak lebih pandai atau setidaknya mengimbangi kepandaiannya, ia melatih dengan cara yang kadang-kadang dibalikkan, dengan harapan supaya sumoi-nya tentu mewarisi ilmu yang keliru cara melatihnya sehingga menjadi ilmu sesat yang akan membahayakan sumoi itu sendiri. Ilmu bersemedhi dan menghimpun tenaga sinkang misalnya, kalau dilatih dengan cara yang keliru, amat membahayakan, dapat membuat orang menjadi menderita luka dalam, atau dapat membikin orang menjadi gila, atau bahkan mati keracunan.
Kita tinggalkan dulu Bi Lan, anak berusia hampir sebelas tahun yang kini sedang digembleng secara keliru oleh Bi-kwi atau Siu Kwi itu, di tempat terasing, satu di antara puncak Thai-san dan mari kita menengok peristiwa yang terjadi di lain tempat, jauh dari Thai-san.
Peristiwa pemberontakan yang berkembang di dalam perang saudara antara pasukan pemerintah dan para pemberontak, yang dicampuri pula oleh pasukan asing Birma yang bersekutu dengan para pemberontak, telah membuat seluruh negeri menjadi tidak aman. Oleh karena pemerintah pusat mencurahkan perhatian terhadap pemberontakan- pemberontakan itu, maka pengurusan keamanan di daerah-daerah tidak terlalu diawasi. Hal ini membuat para pembesar setempat seakan-akan menjadi raja yang berdaulat, tidak ada yang menentang, tidak ada yang mengawasi. Akan tetapi, juga tidak ada yang melindungi sehingga pembesar-pembesar itu hanya mengandalkan pasukan keamanan setempat. Oleh karena inilah, maka para penjahat pun muncul dan merajalela di wilayah masing-masing, mengganggu rakyat jelata.
Mungkin karena mempunyai kepentingan yang sama dan keduanya mengganggu dan menentang rakyat jelata, banyak terjadi persekongkolan di antara para gerombolan penjahat yang kuat dan para pembesar setempat. Tidaklah mengherankan apabila ada sebagian rakyat yang bangkit melawan penjahat-penjahat itu, mereka akan berhadapan dengan pasukan keamanan yang akan menentang mereka dan malah membantu para penjahat!
Ada kalanya, agar perbuatan mereka tidak menyolok, petugas keamanan menangkapi para penjahat dan juga rakyat yang menentang penjahat! Beberapa hari kemudian, para penjahat yang di tangkapi itu telah berkeliaran kembali melakukan kejahatan mereka, sedangkan orang-orang yang ditangkap ketika melawan penjahat itu tetap di tahan, bahkan dihukum dengan tuduhan pemberontak!
Dalam keadaan negara kacau seperti ini terjadilah apa yang dinamakan ‘pagar makan tanaman’. Para petugas keamanan yang seharusnya menjaga keamanan hidup rakyat, sebaliknya malah membuat kehidupan rakyat menjadi tidak aman! Dan kalau petugas keamanan sudah bersekongkol dengan penjahat, dapatlah dipastikan bahwa keadaan pemerintahannya lemah, dan yang celaka adalah rakyat jelata pula.
Keadaan semacam itu pun melanda kota kecil Siang-nam yang terletak tidak jauh dari kota besar Siang-tan, di Propinsi Hunan. Kepala daerah kota Siang-nam seperti boneka saja. Hanya pakaian dan kursinya saja yang menandakan dia seorang kepala daerah, akan tetapi sikap dan perbuatannya sama sekali tak mencerminkan seorang pemimpin.
Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bong-ciangkun, yaitu komandan pasukan keamanan kota Siang-nam. Dan di atas Bong-ciangkun ini, sebagai penguasa yang tak terlihat, adalah kepala penjahat yang menguasai seluruh Siang-nam dan daerah di sekitarnya. Selalu terjadi persekutuan antara kepala penjahat dan Bong-ciangkun dalam menghadapi perkara apa pun, dan Bong-ciangkun lalu tunduk karena kepala penjahat itu memberi sogokan yang berlebihan, yang membuat komandan itu menjadi kaya raya.
Lebih celaka lagi, Bong-ciangkun sudah terkenal sebagai seorang pria congkak yang menyombongkan kedudukannya, bengis dan hal yang paling buruk, mata keranjang dan selalu ingin mendapatkan wanita mana saja yang menarik hatinya! Dia dikenal sebagai serigala kota Siang-nam dan semua penduduk merasa takut kepadanya.
Pada suatu pagi, di antara orang-orang yang sibuk pergi ke pasar, ada yang hendak berjualan dan ada pula yang hendak berbelanja, nampaklah seorang wanita bersama seorang anak laki-laki berjalan menuju ke arah pasar. Ibu dan anak ini masing-masing membawa keranjang berisi telur. Mereka memelihara banyak ayam di rumah dan kini mereka hendak menjual hasilnya ke pasar. Biasanya, yang menjual telur adalah suami wanita itu, akan tetapi pada pagi hari itu, si suami rebah di pembaringan karena masuk angin dan walau pun enggan keluar rumah dalam suasana kacau seperti itu, terpaksa si isteri mengajak putera tunggalnya untuk menemaninya membawa telur dan menjualnya ke pasar.
Wanita itu berwajah lumayan, dengan kulit kuning bersih sehingga usianya yang sudah tiga puluh tahun itu belum menghilangkan daya tariknya yang memikat. Dan puteranya, seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun, juga wajahnya mirip ibunya sehingga dia nampak tampan dan bersih, wajahnya cerah. Anak ini bernama Gu Hong Beng, dan ayahnya yang sedang sakit itu bernama Gu Hok, seorang tukang kayu yang pandai.
Selain memiliki penghasilan sebagai tukang kayu, juga isterinya dibantu oleh putera mereka memelihara atau beternak ayam yang hasilnya cukup lumayan pula. Kehidupan mereka yang tidak kaya tetapi juga tidak miskin itu cukup bahagia, dengan seorang putera yang baik dan penurut, rajin bekerja membantu ibunya merawat ayam, bahkan sudah dapat melakukan beberapa pekerjaan tukang kayu yang ringan-ringan.
Karena semua pedagang di pasar tahu bahwa telur dari ternak ayam milik tukang kayu itu selalu baru dan segar, maka dengan mudah mereka dapat menjual semua telur mereka di pasar. Dengan wajah berseri keduanya membawa uang hasil penjualan itu untuk berbelanja keperluan bumbu-bumbu masakan dan bahan-bahan makanan.
Akan tetapi, mendadak terdengar bentakan-bentakan agar semua orang minggir untuk memberi jalan kepada seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut sekali. Mukanya buruk hitam dan kulitnya tebal dengan mata lebar bundar yang selalu memandang penuh keangkuhan. Dia berjalan dengan dada dibusungkan, akan tetapi karena perutnya yang luar biasa gendutnya, yang makin membusung adalah perutnya itu.
Pakaiannya indah dan gagah, pakaian seorang perwira dengan pedang besar panjang tergantung di pinggang kiri. Kepalanya terhias topi perwira Mancu yang memakai hiasan bulu. Dengan langkah dibuat-buat perwira yang bukan lain adalah Bong-ciangkun ini menoleh ke kanan kiri, sikapnya sombong sekali ketika dia memandangi orang-orang di dalam pasar.
Sudah diketahui umum bahwa kaum wanita amat lemah terhadap harta, kedudukan dan nama kehormatan. Oleh karena itu, biar melihat bentuk perut dan mukanya laki-laki yang bernama Bong-ciangkun ini sama sekali tak dapat dibilang ganteng atau menarik, tapi kedudukannya, pangkatnya, pakaiannya yang gagah, kehormatannya dan hartanya tentu sekali membuat banyak wanita di pasar itu berlomba untuk bergaya dan menarik hati sang perwira dengan berbagai gaya. Ada yang suaranya tiba-tiba saja meninggi dan nyaring, ada yang tiba-tiba menjadi genit sekali, terkekeh, ada yang matanya lalu menjadi lincah mengerling tajam, ada yang tersenyum-senyum manis, ada pula yang memperbaiki letak rambut dan merapikan pakaian. Akan tetapi, Bong-ciangkun hanya mengangkat hidung memandang rendah.
Empat orang prajurit pengawal yang berada di depan perwira itu untuk membuka jalan bersikap kasar sekali. Ada beberapa orang laki-laki yang memikul keranjang, karena kurang cekatan menyingkir, ditendang keranjangnya sehingga isinya berantakan.
"Minggir! Minggir! Komandan kami akan lewat!" Demikian mereka membentak-bentak.
Ketika mereka tiba dekat dengan Gu Hong Beng dan ibunya yang sedang berbelanja, empat orang pengawal itu membentak-bentak dan mendorong-dorong. Seorang kakek tua kena dorong dan terhuyung menabrak ibu Hong Beng. Wanita ini menahan jerit, terjatuh dan kacang yang baru dibelinya dan dipondongnya tadi terlepas, bungkusannya pecah dan kacang itu pun berserakan di atas tanah.
"Ahhh kacangku...!" Ibu muda ini cepat berjongkok dan mengumpulkan kacang yang tumpah-tumpah itu.
Tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan ia ditarik dengan lembut ke atas. Nyonya itu terpaksa bangkit dan menoleh. Terkejutlah ia ketika melihat bahwa yang menariknya itu adalah seorang laki-laki tinggi besar berpakaian perwira yang kelihatannya galak dan bengis. Tetapi pada saat itu, laki-laki tinggi besar yang bukan lain adalah Bong-ciangkun itu menyeringai, maksudnya untuk tersenyum manis akan tetapi hasilnya sama sekali tidak manis, bahkan menyeringai menakutkan.
"Nyonya yang manis, harap jangan kaget dan takut. Maafkan pengawalku tadi bersikap kasar sehingga kacangmu tumpah. Marilah engkau ikut denganku, nyonya, dan aku akan mengganti kerugianmu sepuluh kali lipat."
Tentu saja wajah wanita itu menjadi merah sekali. Ia pernah mendengar tentang perwira yang bernama Bong-ciangkun ini dan jantungnya berdebar tegang dan takut. Dia lalu menggandeng tangan Hong Beng dan berkata kepada anaknya itu, "Hong Beng, mari kita pulang." Tanpa menoleh ia menggandeng dan menarik tangan anaknya untuk diajak pergi.
Akan tetapi kembali lengannya dipegang orang dan kini pegangannya itu agak keras membuat ia merasa nyeri.
"Nyonya, aku adalah Bong-ciangkun. Jangan takut, aku suka sekali padamu. Engkau manis, mari ikut denganku sebentar. Engkau akan senang, marilah...." Bong-ciangkun menarik lengan itu dan senyumnya melebar, matanya yang besar bundar itu berkedip-kedip penuh kegenitan dan kekurang ajaran.
Nyonya Gu Hok menarik dan merenggutkan lengannya sampai terlepas dari pegangan perwira itu. "Tidak, biarkan kami pulang...!" katanya lirih.
"Ahh, itu anakmukah, nyonya? Ajaklah dia, aku akan menjamu kalian dengan hidangan yang lezat. Marilah, dan nanti pulangnya akan kuantar dengan kereta." Bong-ciangkun kembali membujuk dengan sikap ramah.
"Tidak..., terima kasih, ciangkun, akan tetapi kami mau pulang, sudah siang..."
"Marilah, nyonya. Apakah engkau akan menolak uluran tangan dan undanganku?"
Kembali perwira itu memegang lengan wanita yang tak mampu melepaskan tangannya lagi.
"Lepaskan ibuku...!" Tiba-tiba Hong Beng berseru dan dia membantu ibunya menarik tangannya dari pegangan perwira itu.
Jika sang perwira menghendaki, tentu mereka berdua tidak mampu melepaskan tangan itu. Akan tetapi melihat betapa banyaknya orang di pasar menyaksikan peristiwa itu, dia terpaksa melepaskan pegangannya. Mukanya menjadi semakin hitam. Dia merasa malu sekali! Ada wanita berani menolaknya! Bahkan terang-terangan di depan begitu banyak orang. Dia tentu akan menjadi bahan tertawaan orang sepasar! Dan kalau dia bertindak di situ juga, dia merasa malu karena banyak orang menyaksikan dan bagaimana pun ia adalah seorang pembesar, komandan pasukan keamanan. Maka, dengan uring-uringan dia lalu mengajak para pengawalnya keluar dari pasar dan terus pulang.
Setibanya di rumah, Bong-ciangkun menjadi makin penasaran ketika mendengar bahwa nyonya manis tadi adalah isteri tukang kayu Gu Hok. Hanya isteri tukang kayu! Dan sudah berani menolaknya! Padahal, isteri orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya dan lebih kaya sekali pun akan masuk ke dalam pelukannya dengan suka rela!
Dia kemudian menghubungi Coa Pit Hu, kepala penjahat yang menguasai dunia hitam di daerah Siang-nam. Setelah mengadakan pertemuan dan juga menceritakan perasaan hatinya yang tergila-gila kepada isteri Gu Hok, serta merasa penasaran karena ditolak mentah-mentah oleh wanita itu di tengah pasar sehingga diketahui banyak orang, Coa Pit Hu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha!" Pria berusia empat puluhan yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit, hidungnya lebar dan pesek itu tertawa. "Untuk urusan kecil seperti itu, kenapa ciangkun menjadi marah-marah? Kalau pada waktu kemarin itu ciangkun menyuruh pengawal menangkap dan menyeretnya ke sini, siapa yang akan melarang dan siapa berani menghalangi tindakan ciangkun?"
"Ahh, enak saja! Di depan begitu banyak orang, bagaimana aku bisa melakukan hal itu? Tentu tidak enak dan tidak baik. Sekarang, bantulah aku bagaimana baiknya agar aku dapat menebus rasa malu itu. Wanita itu menarik sekali, kau pun tentu akan setuju jika sudah melihatnya!"
"Ha-ha-ha, bunga simpanan di dalam taman yang dipelihara tentu saja cantik menarik. Jangan khawatir, sekarang pun aku dapat menculiknya. Kalau suaminya ribut-ribut akan kubunuh saja!"
"Jangan…!" Bong-ciangkun mencegah. "Peristiwa di pasar itu sudah diketahui banyak orang. Jika sekarang isterinya diculik, tentu semua orang akan menuduhku. Sebaiknya diambil jalan halus agar wanita itu mau datang ke sini dengan suka rela, dan akan lebih menyenangkan lagi kalau ia mau melayani aku dengan suka rela. Aku sudah bosan dengan cara paksaan dan perkosaan."
"Beres!" Kepala penjahat itu membual. "Ciangkun tadi mengatakan bahwa wanita itu memiliki seorang anak laki-laki? Nah, anak buahku akan menculik anak itu, kemudian kami akan minta kepada ibu anak itu datang sendiri menjemput anaknya ke sini. Nah, bukankah dengan ditangkapnya anak itu, si ibu akan dengan suka rela melayani segala hasrat ciangkun? Ha-ha-ha!"
Komandan itu tertawa bergelak dengan hati girang sampai perutnya bergoyang-goyang naik turun dan ke kanan kiri. "Bagus, bagus! Laksanakanlah dan hadiah-hadiahnya telah menanti untuk para anak buahmu."
"Aih, kenapa ciangkun berkata demikian? Biarlah wanita itu merupakan hadiah dari kami buat ciangkun! Malam ini juga ia tentu akan datang menyembah-nyembah kaki ciangkun dan minta diajak tidur. Sebagai tebusan nyawa anaknya, ha-ha-ha-ha!" Mereka berdua tertawa-tawa. Coa Pit Hu, kepala penjahat itu, segera berpamit untuk mempersiapkan rencananya.
Siang hari itu, Gu Hok dan isterinya menjadi gelisah sekali pada saat mendengar dari beberapa orang anak tetangga bahwa Hong Beng yang sedang bermain-main dengan mereka, mendadak ditangkap oleh empat orang laki-laki yang tidak dikenal. Mulutnya disumbat dan dibawa lari oleh mereka!
"Hong Beng diculik penjahat!" demikian Gu Hok berpendapat dengan muka pucat. Dia merasa heran sekali. "Mengapa? Kita adalah keluarga miskin, perlu apa orang menculik anak kita?"
Isterinya juga merasa khawatir sekali dan sedikit pun tidak menghubungkan diculiknya anaknya itu dengan peristiwa pagi tadi di dalam pasar. Ia tidak menceritakan peristiwa itu kepada suaminya karena merasa tidak enak, takut suaminya akan marah dan ia tahu bahwa mereka tidak mampu berbuat sesuatu terhadap kekurang ajaran seorang perwira seperti Bong-ciangkun.
“Apa yang harus kita lakukan? Ke mana kita harus mencari anak kita?" Dengan wajah pucat ibu yang kehilangan anaknya itu mengeluh.
Selagi ayah dan ibu ini kebingungan, seorang petani yang menjadi tetangga mereka tergopoh datang memberi tahu bahwa selagi bekerja di ladang, dia dihampiri seorang laki-laki tinggi kurus bermata sipit yang mengatakan bahwa kalau keluarga Gu Hok menghendaki anaknya kembali dengan selamat, mereka harus menyediakan uang tebusan seratus tail perak dan yang mengantar uang itu untuk menebus anaknya haruslah ibu anak itu sendiri. Tidak boleh dikawali orang dan tidak boleh diantarkan orang lain atau ditemani orang lain. Kalau melanggar, anak itu akan dibunuh! Uang itu harus diantar malam nanti di tanah kuburan yang berada di tepi kota, tempat yang amat sunyi!
Tentu saja suami isteri itu menjadi kebingungan.
"Celaka!" kata Gu Hok. "Orang miskin seperti kita mana mampu menyediakan uang seratus tail perak?"
Akan tetapi sambil menangis isterinya membujuk-bujuknya agar mengumpulkan uang dari mana pun juga. "Biar pun tidak cukup seratus tail, cari dan kumpulkanlah uang itu, aku akan memohon kepada mereka agar suka meringankan beban itu, dan kalau anak kita sudah dikembalikan, biarlah kita cari kekurangan itu sedapat kita."
Karena khawatir akan keselamatan anaknya. Gu Hok lalu mencari pinjaman ke sana sini dan akhirnya ia dapat mengumpulkan uang sebanyak dua puluh tail perak. Isterinya lalu membungkus uang itu dengan kain dan segera pergi meninggalkan rumah. Suaminya khawatir dan hendak menemaninya, akan tetapi isterinya melarang dengan keras.
"Suamiku, anak kita terancam nyawanya, kau jangan main-main," katanya. "Bukankah mereka itu hanya menginginkan aku sendiri yang mengantarkan uang? Tentu mereka curiga, takut jika engkau membawa kawan-kawan dan menggerebek. Biarlah aku yang mengantarkan dan aku akan mohon kasihan kepada mereka."
"Tapi, apakah tidak berbahaya kalau engkau pergi sendiri? Malam-malam begini ke kuburan yang begitu sunyi?" Suaminya meragu.
"Jangankan ke kuburan, biar pun ke neraka aku bersedia kalau untuk menyelamatkan anakku!"
Terpaksa Gu Hok membiarkan isterinya pergi sendiri dan dia menanti di rumah dengan hati tidak karuan rasanya. Melarang isterinya pergi, berarti dia menaruh nyawa anak tunggalnya dalam bahaya, sedangkan membiarkan isterinya pergi, membuat hatinya merasa khawatir dan tidak enak sekali.
Juga dia tak berani secara diam-diam membayangi isterinya karena dia mengerti bahwa penjahat-penjahat itu amat berbahaya dan tentu akan tahu kalau dia mengintai. Hal ini bukan hanya dapat membahayakan keselamatan anaknya yang sedang berada dalam cengkeraman penjahat, melainkan juga dapat membahayakan isterinya karena mereka merasa dikhianati.
Dengan perasaan seram ketika memasuki kuburan yang gelap itu, nyonya Gu Hok memberanikan hatinya demi anaknya. Dia menoleh ke kanan kiri di tempat yang amat sunyi itu. Tiba-tiba dia terkejut dan hampir menjerit ketika mendadak muncul sesosok bayangan orang tinggi kurus dari belakang sebuah batu kuburan. Jika saja ia tidak tahu sebelumnya bahwa tentu ada orangnya gerombolan penjahat yang menyambutnya, tentu ia sudah menjerit ketakutan dan menyangkanya setan.
"Apakah engkau nyonya Gu Hok?" tanya laki-laki tinggi kurus itu.
"Be... benar... aku ibu dari anakku Hong Beng... aku... aku mohon kepadamu, di mana anakku?"
"Engkau datang sendirian saja?" tanya suara itu dengan galak.
"Benar..."
"Membawa uang itu?"
"Ampunkan aku, kami tidak mampu mengumpulkan uang seratus tail dan hanya berhasil terkumpul dua puluh tail saja..."
"Hemm, mana bisa...?"
Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan dirinya berlutut. "Ampunkan kami…, ampunkan anak kami. Aku mohon kepadamu, bebaskanlah anakku. Aku berjanji bahwa kekurangannya kuanggap hutang dan kelak akan kubayar dengan cicilan..."
"Wah, mana bisa?"
"Aku mohon kepadamu, kasihanilah kami..."
"Begini, nyonya. Kalau pembayarannya kurang, aku tidak dapat memutuskan. Engkau harus minta sendiri kepada pimpinan kami."
"Mana dia? Aku akan mohon kepadanya, dan mana anakku?"
"Anakmu dalam keadaan sehat, bersama pimpinan kami. Mari kita ke sana dan kau boleh bicara sendiri dengan dia dan mengambil anakmu.”
Tentu saja nyonya itu girang sekali. Dengan penuh harapan disertai kecemasan, ia pun mengikuti laki-laki tinggi kurus itu pergi ke sebuah rumah yang agak terpencil, sebuah rumah pondok kecil. Ia terus mengikuti ketika laki-laki tinggi kurus itu memasuki rumah dari pintu belakang dan hatinya gentar bukan main melihat belasan orang laki-laki yang bersenjata tajam berada di sekitar rumah pondok itu. Setahunya, pondok ini adalah rumah milik pembesar yang jarang dipakai, dan ia tidak mengerti mengapa ia dibawa ke pondok milik pembesar.
Dan ketika ia bersama orang tinggi kurus itu memasuki sebuah kamar yang besar, dan penerangan yang besar menerangi seluruh kamar itu, membuat ia dengan jelas dapat melihat laki-laki tinggi besar yang duduk di situ sambil menyeringai, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Laki-laki itu bukan lain adalah Bong-ciangkun, laki-laki muka hitam berperut gendut yang matanya besar itu, yang pagi tadi mengganggunya di tengah pasar!
"Ibuuu..."
"Hong Beng, anakku...!" Ibu itu berteriak girang melihat anaknya berada pula di sudut kamar.
Akan tetapi, ketika ia hendak lari menghampiri, pergelangan tangannya dicengkeram oleh si tinggi kurus.
"Jangan bergerak...!"
"Ibu...!" Hong Beng meloncat dan berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dan si tinggi kurus tidak mampu mencegah ibu dan anak itu saling rangkul.
Wanita itu berlutut dan berangkulan dengan anaknya. Si ibu menangis akan tetapi Hong Beng tidak menangis, melainkan memandang ke arah perwira brewokan dan si tinggi kurus itu dengan sirar mata berapi-api.
"Kalian telah meculikku, sekarang membawa ibuku ke sini. Sebetulnya kalian ini orang-orang jahat mau apakah?"
Tadi ketika ibunya belum dibawa ke situ, Hong Beng memperlihatkan sikap takut-takut, akan tetapi kini melihat ibunya juga diculik, kemarahannya meluap dan dia melupakan rasa takutnya.
"Plakkk...!"
Sebuah tamparan dari si tinggi kurus membuat Hong Beng terpelanting dan ibunya menjerit.
"Anak lancang, apakah kau bosan hidup?" Si tinggi kurus membentak anak yang kini merangkak bangun dengan pipi kiri merah membiru dan agak membengkak itu.
Akan tetapi sebelum anak itu dapat bergerak, si tinggi kurus sudah meloncat dan sekali pegang sudah mencengkeram tengkuk anak itu sehingga tidak mampu bergerak lagi.
"Jangan... jangan pukul anakku... ahhh, jangan bunuh anakku... Ini, tai-ciangkun, aku sudah membawa uangnya, tetapi masih kurang... kami hanya mampu mengumpulkan dua puluh tail saja... ampunkanlah kami dan anakku, kekurangannya akan kucicil..."
Wanita itu bicara dengan air mata bercucuran dan mengeluarkan buntalan berisi uang dua puluh tail perak. Ia berlutut di depan kaki perwira Bong yang tersenyum menyeringai karena setelah berdekatan, ternyatalah olehnya bahwa wanita ini memang mulus dan manis sekali.
"Nyonya, kalau saja sikapmu di pasar tadi tidak kasar dan lunak seperti sekarang ini, tentu aku tidak perlu membawa anakmu ke sini. Sekarang, bagaimana? Engkau pilih anakmu mati di depanmu ataukah melayani aku dan menyenangkan hatiku?"
Perwira brewok itu mengajukan pertanyaan ini tanpa malu-malu, di depan Hong Beng yang belum mengerti apa yang dimaksudkan laki-laki buruk rupa itu dan di depan si tinggi kurus Coa Pit Hu yang hanya menyeringai. Kedua lengan Hong Beng masih ditelikungnya ke belakang sehingga anak ini tidak mampu meronta.
Dapat dibayangkan betapa kaget, takut dan bingungnya hati ibu Hong Beng mendengar ucapan itu. Tidak disangkanya sama sekali bahwa ke situlah tujuan perwira ini menculik anaknya, yaitu untuk memaksanya melayani perjinahan dengan perwira itu. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi melihat puteranya dalam cengkeraman si tinggi kurus, ia tidak berani menolak secara kasar dan hendak mencari jalan lain.
"Tai-ciangkun, ampunkanlah aku, ampunkan anakku..." Dia berlutut sambil menangis. "Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk memenuhi tuntutan seratus tail itu... asal anakku dibebaskan... Aku mau bekerja keras, dan aku mau melakukan apa saja demi keselamatan anakku... akan tetapi... jangan itu..."
"Setan!" Si perwira brewok membentak. Hatinya tersinggung sekali, harga dirinya runtuh mendengar ada wanita berani menolaknya mentah-mentah. "Coa-sicu, bunuh anak itu sekarang juga di depan matanya!"
Si perwira brewok mengedipkan matanya dan Coa Pit Hu terkekeh, lalu meloloskan sebatang golok besar yang tajam mengkilat. Golok itu ditempelkannya ke leher Hong Beng. Melihat ini, tentu saja ibu anak itu menjadi pucat, matanya terbelalak lebar dan saking takutnya dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan memegang lehernya sendiri seolah-olah dia dapat merasakan bagaimana leher anaknya itu dipenggal.
"Tidak... tidak... jangan...!"
"Mau kau melayaniku?" Kembali perwira itu membentak dengan senyum mengejek.
Ibu muda itu mengangguk-angguk, namun matanya masih terus memandang anaknya sambil bercucuran air mata. Ia tak mampu mengeluarkan suara, tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tak dapat memilih lain. Yang terpenting baginya adalah keselamatan anak tunggalnya. Biar harus mengorbankan nyawa sekali pun ia rela asal anaknya selamat.
"Ha-ha-ha!" Perwira itu tertawa penuh kemenangan. "Coa-sicu, jangan bunuh anak itu dan ajaklah keluar kamar."
Coa Pit Hu menyeringai dan memandang wanita itu. "Tapi... ciangkun berjanji akan memberi bagian kepadaku..."
"Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Kalau aku suka, aku tidak akan membaginya kepada siapa pun juga dan engkau akan kuberi hadiah barang lain, akan tetapi kalau aku tidak suka, boleh saja kuberikan padamu!”
Coa Pit Hu tertawa dan menyeret Hong Beng keluar dari dalam kamar itu. Hong Beng berusaha meronta, tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang, tubuhnya tak dapat diputarnya dan dia hanya dapat memutar lehernya untuk memandang ibunya. Sebelum daun pintu ditutup oleh orang yang menyeretnya, dia melihat betapa perwira brewok itu menubruk dan merangkul ibunya, lalu ibunya yang lemas dan pucat serta bercucuran air mata itu dipondongnya ke arah pembaringan. Dia masih belum tahu apa yang terjadi, bahkan hatinya agak lega karena ibunya tidak dipukuli atau disiksa.
Dari dalam kamar itu tidak terdengar suara tangis sama sekali. Ibu Hong Beng tidak berani mengeluarkan rintihan atau tangisan karena maklum bahwa sekali saja perwira laknat ini memberi perintah, anaknya tentu akan dibunuh di luar kamar! Akan tetapi batinnya merintih dan tangis batinnya membubung tinggi ke angkasa, seperti jerit tangis wanita-wanita lain yang pernah menjadi korban perwira ini di dalam kamar itu.
Biar pun tidak terdengar suara apa pun di dalam kamar itu, Hong Beng yang berada di luar dan duduk di atas lantai, merasa tidak enak sekali hatinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi. Melihat betapa Coa Pit Hu, laki-laki tinggi kurus itu tersenyum-senyum sendiri, dia tidak dapat lagi menahan hatinya.
"Di mana ibuku? Apa yang terjadi dengan ibuku?"
Coa Pit Hu tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha, ibumu sedang bersenang-senang dengan Bong-ciangkun. Kau diam sajalah di sini dan jangan pergi kemana pun." Mengenangkan apa yang dilakukan pembesar itu terhadap si wanita mulus, Coa Pit Hu menjilat bibirnya. Dia hampir tidak sabar lagi menanti gilirannya. Waktu terasa seperti merayap perlahan sekali oleh pria ini.
Akhirnya, karena lelah menanti, Coa Pit Hu mengantuk di atas kursinya. Hong Beng sendiri tidak dapat tidur, hanya duduk bersandar dinding dengan hati diliputi kecemasan. Tengah malam telah lewat dan tiba-tiba terdengar bentakan Bong-ciangkun.
"Coa-sicu, masuklah!"
Coa Pit Hu yang sedang terkantuk-kantuk itu terkejut. akan tetapi tersenyum gembira dan dia pun membuka daun pintu.
"Nih, untukmu! Perempuan sialan, melayani seperti sepotong mayat saja!"
Hong Beng juga menjenguk dan karena daun pintu terbuka, dia dapat melihat ibunya didorong terhuyung dan disambut oleh Coa Pit Hu dengan rangkulan. Ibunya berwajah pucat dan menangis, pakaiannya tidak karuan. Akan tetapi daun pintu sudah ditutup lagi. Dia hanya mendengar suara tangis ibunya diseling suara ketawa Coa Pit Hu dan Bong-ciangkun.
Melihat kesempatan baik ini, Hong Beng lalu melarikan diri keluar dari tempat itu. Di pintu gerbang depan terdapat prajurit-prajurit yang berjaga, akan tetapi karena dari dalam tidak terdengar perintah apa-apa, mereka mengira bahwa anak itu memang dilepaskan oleh Bong-ciangkun dan mereka pun hanya memandang sambil tertawa melihat anak itu berlari keluar sambil menangis.
Hong Beng terus berlari menuju pulang. Ayahnya terkejut bukan main ketika melihat puteranya memasuki rumah sambil menangis. Ada rasa girang melihat puteranya dalam keadaan selamat, akan tetapi melihat anak itu menangis dan pulang tanpa ibunya, dia terkejut.
"Hong Beng...!"
"Ayah... ayah...!" Anak itu menubruk ayahnya dan menangis.
"Kenapa, Hong Beng? Kenapa? Mana ibumu...?" Hati Gu Hok merasa tidak enak sekali.
"Ibu... tolonglah ibu, ayah Ibu... ibu ditahan oleh Bong-ciangkun!"
"Ehh? Bong-ciangkun? Kenapa...?"
Tentu saja Gu Hok menjadi bingung karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa hilangnya puteranya itu adalah akibat perbuatan seorang pembesar yang berpengaruh itu. Siapa yang tidak mengenal Bong-ciangkun, komandan dari pasukan keamanan kota Siang-nam, yang seolah-olah menjadi raja kecil itu?
"Aku... aku ditangkap orang-orang Bong-ciangkun dan ditahan di sana. Malam ini ibu datang bersama penjahat tinggi kurus, lalu ibu ditahan di dalam kamar Bong-ciangkun... dan kulihat... ibu setengah telanjang, ibu menangis dan aku lalu lari..."
"Keparat... !" Gu Hok tentu saja sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya Bong-ciangkun yang mengatur semua itu untuk memaksa dan menggagahi isterinya!
Tukang kayu itu marah sekali dan lupa siapa adanya Bong-ciangkun. Dia mengambil sebuah kapak besar yang biasa untuk menebang pohon, lalu berlari keluar.
"Ayah...!" Hong Beng berteriak dan mengejar ayahnya.
Ayah dan anak berlarian menuju ke gedung keluarga Bong-ciangkun. Karena hari sudah lewat tengah malam, keadaan sunyi sekali dan agaknya tidak ada seorang pun melihat ayah dan anak ini berlari-larian. Akan tetapi, mereka berdua itu tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali membayangi mereka.
Setelah tiba di depan pintu gerbang gedung Bong-ciangkun, Gu Hok yang masih diikuti puteranya itu berlari masuk. Tentu saja para pengawal segera menghadangnya.
"Heii, berhenti! Mau apa kau?!" seorang pengawal membentak sambil melintangkan tombaknya.
"Minggir! Aku mau bertemu Bong-ciangkun!"
Gu Hok membentak dan mengobat-abitkan kapaknya yang besar dan tajam! Pengawal itu terkejut dan melompat-mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gu Hok untuk menerobos masuk diikuti Hong Beng.
"Heii! Berhenti kau...!"
Para pengawal itu mengejar ayah dan anak ini. Akan tetapi Gu Hok yang sudah nekat itu sudah tiba di depan pintu kamar Bong-ciangkun atas petunjuk anaknya dan segera dia mengayun kapaknya menjebol daun pintu. Dengan suara keras daun pintu itu jebol dihantam kapak dan terbuka. Orang-orang yang berada di dalam kamar itu terkejut dan apa yang dilihat oleh Gu Hok membuat tukang kayu ini menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak.
Isterinya menjerit, meronta dan terlepas dari rangkulan orang tinggi kurus itu, lalu lari ke arah suaminya dalam keadaan telanjang bulat! Ia menangis sesenggukan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suami dan puteranya.
Melihat keadaan isterinya, Gu Hok marah bukan main dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju kearah Bong-ciangkun. Akan tetapi, dari samping si tinggi kurus itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras yang membuat tubuh Gu Hok terdorong mundur keluar dari dalam kamar itu. Sekali lagi Coa Pit Hu menendang dan kini tubuh Hong Beng terlempar keluar.
"Ha-ha-ha, bunuh para pengacau itu!" kata Bong-ciangkun kepada para pengawalnya.
Isteri Gu Hok menjerit melihat suami dan anaknya ditendang keluar, dan ia pun bangkit, lupa bahwa dia berada dalam keadaan telanjang. Bagaikan seekor harimau betina yang marah, dia menerjang keluar pula untuk melindungi suami dan anaknya. Akan tetapi, seorang pengawal menggerakkan tombaknya.
"Ceppp...!"
Tombak itu menusuk perut menembus punggung wanita yang mengeluarkan suara jerit mengerikan. Tombak dicabut dan wanita itu pun roboh terkulai. Melihat hal ini, Gu Hok meloncat bangun.
"Isteriku...!" teriaknya dan dia pun mengamuk dengan kapaknya.
Akan tetapi karena dia hanya seorang tukang kayu biasa saja yang tidak pandai ilmu silat, hanya memiliki tenaga besar saja, mana mungkin dapat melawan pengeroyokan para pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat dan mereka itu memegang senjata tombak yang panjang? Dalam beberapa gebrakan saja, tubuhnya tertembus tombak pula dan dia roboh tewas di dekat mayat isterinya.
"Ayahhh...! Ibuuuu... !" Hong Beng menjerit dan menangis.
Anak ini lalu nekat menyerang para pengawal itu dengan kedua tangan dan kakinya, memukul menendang asal kena saja. Para pengawal itu tertawa, tidak mempergunakan senjata lagi melainkan menghadapi amukan anak kecil itu dengan tamparan-tamparan yang membuat tubuh Hong Beng terpelanting dan terlempar ke sana-sini. Namun anak itu bangkit lagi, menyerang lagi untuk kemudian disambut tamparan yang membuatnya terpelanting lagi. Ia dipermainkan oleh para pengawal seperti seekor tikus dipermainkan beberapa ekor kucing saja.
Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu kini sudah keluar dari dalam kamar. Melihat betapa belasan orang pengawal itu mempermainkan anak laki-laki yang mengamuk seperti gila dan nekat itu, Bong-ciangkun berseru, "Bunuh saja dia dan lempar tiga mayat mereka!"
Seorang pengawal yang berkumis tebal dan berwatak kejam lalu mengangkat goloknya dan membacok ke arah leher Hong Beng yang kembali telah terpelanting ke atas lantai.
"Singgg... tranggg... aughhhh...!"
Bukan leher Hong Beng yang terpental putus, tapi golok itu terpental dan pemegangnya roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Semua orang terkejut bukan main dan ketika mereka memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang amat gagah perkasa. Laki-laki inilah bayangan yang tadi membayangi Gu Hok dan puteranya.
Dia seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bentuk mukanya bulat dengan sepasang matanya yang mencorong tajam. Wajah yang tampan itu berkulit agak gelap. Pakaiannya serba indah dan rapi, rambutnya tersisir rapi pula, seorang laki-laki pesolek.
Ketika laki-laki ini memandang ke arah dua buah mayat suami isteri Gu Hok, dan melihat keadaan mayat wanita itu yang telanjang bulat, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat. Pandang mata mencorong itu kini ditujukan kepada Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang berdiri di depan pintu kamar, kemudian beralih kepada Hong Beng yang sudah bangkit lagi dengan muka matang biru dan hidung berdarah.
"Anak baik, apakah mereka itu ayah ibumu?"
"Benar, dan mereka... mereka dibunuh... dua orang jahanam itu dan anak buahnya."
Laki-laki gagah itu mengangguk-angguk. "Tidak aneh kalau terjadi pemberontakan di mana-mana. Pejahat-pejahat pemerintah bertindak sewenang-wenang dan berkomplot dengan para penjahat. Manusia-manusia macam ini memang harus dibasmi!"
Coa Pit Hu sudah dapat menenangkan hatinya yang terkejut melihat munculnya orang yang membunuh seorang pengawal itu. Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka laki-laki itu dan membentak, "Kurang ajar! Siapakah engkau berani mengantar nyawa di sini? Hayo mengaku sebelum kupenggal kepalamu!"
Laki-laki itu tersenyum, senyumnya dingin sekali. "Tidak ada gunanya engkau mengenal namaku karena kalian semua akan mati malam ini!"
"Kurang ajar!" Coa Pit Hu marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok lalu menyerang dengan amat ganasnya. Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi, yaitu hendak memenggal kepala orang yang berani menentang dia dan Bong-ciangkun.
"Singgg...!"
Goloknya menyambar ke leher laki-laki gagah itu. Laki-laki itu hanya menggerakkan tangan, dan telapak tangannya sudah menampar dada Coa Pit Hu sebelah kanan.
"Plakkk!"
Coa Pit Hu mengeluarkan teriakan panjang. Tubuhnya terpelanting, roboh dan matanya mendelik. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah dan dia sudah tidak berkutik lagi karena telah tewas seketika. Jantungnya pecah karena getaran pukulan telapak tangan yang amat dahsyat itu!
Melihat ini, Bong-ciangkun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi dia masih ingat untuk memberi aba-aba, "Serbu dan bunuh penjahat ini!" Lalu dia sendiri membalikkan tubuhnya hendak lari bersembunyi ke dalam rumahnya.
"Hemm, pembesar lalim! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" Laki-laki gagah itu menyambar golok yang tadi lepas dari tangan Coa Pit Hu, dan sekali menyambit, golok itu terbang meluncur.
"Cappp...!"
Pembesar Bong-ciangkun menjerit pada saat golok itu menembus punggungnya sampai dada. Dia pun roboh tersungkur, menelungkup di atas lantai. Darah membanjir keluar dari punggung dan dadanya, dan tubuhnya hanya sebentar saja berkelojotan, lalu tak bergerak lagi.
Belasan, orang pengawal menjadi terkejut dan mereka pun lalu mengeroyok kalang kabut. Akan tetapi, tubuh pria yang gagah itu berkelebatan ke sana-sini dan setiap kali tangannya bergerak tentu seorang pengeroyok roboh dan tewas. Sebentar saja sepuluh orang telah roboh. Sisanya hendak lari, tetapi laki-laki itu tidak mau memberi ampun dan dengan lemparan-lemparan tombak atau golok yang berserakan, dia lalu merobohkan mereka yang melarikan diri sehingga tak seorang pun ketinggalan! Tempat itu berubah menjadi tempat mengerikan di mana mayat berserakan dan lantai banjir darah!
Hong Beng sendiri yang merasa sakit hati dan mendendam terhadap Bong-ciangkun, sekarang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan pembunuhan yang lebih tepat dinamakan pembantaian yang dilakukan laki-laki gagah perkasa itu.
Laki-laki itu kemudian berkata kepada Hong Beng yang berdiri di sudut dengan tubuh menggigil dan muka pucat. "Anak baik, mari kita pergi dari sini."
"Tapi... tapi... aku ingin mengubur jenazah ayah ibuku..."
Laki-laki itu menarik napas panjang. "Hemm, baiklah!"
Dia kemudian mengambil sebatang golok dan dengan golok itu dia memenggal leher Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu. Rambut dari dua buah kepala itu dia ikat menjadi satu, lalu dia menyerahkan dua kepala itu kepada Hong Beng. "Kau bawalah dua kepala ini dan aku akan membawa jenazah ayah ibumu."
Tentu saja Hong Beng terbelalak ngeri. Melihat orang mati saja belum pernah, sekarang setelah menyaksikan belasan orang berserakan menjadi mayat dalam keadaan mandi darah, dia harus membawa dua buah kepala orang! Akan tetapi, karena mendengar bahwa laki-laki perkasa itu akan membawakan dua jenazah ayah ibunya, terpaksa dengan gemetaran dia menerima dua kepala itu, dipegang pada rambut yang diikat menjadi satu dan dibawanya kepala yang lehernya masih meneteskan darah itu.
Laki-laki itu merenggut beberapa helai tirai sutera dari tempat itu, menyelimuti tubuh isteri Gu Hok yang telanjang, kemudian dia mengambil dua mayat itu dengan ringan dan mudah.
"Mari kita pergi," katanya lagi dan dia membawa dua mayat itu berjalan keluar, diikuti oleh Hong Beng yang membawa dua buah kepala orang!
Setelah kedua orang ini pergi, barulah para pelayan rumah pondok yang biasanya digunakan Bong-ciangkun untuk menjagal wanita-wanita yang menjadi korbannya itu berani keluar. Melihat betapa mayat-mayat berserakan, di antaranya adalah mayat Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang sudah tidak berkepala lagi, tentu saja para pelayan itu menjerit-jerit ketakutan, bahkan ada yang roboh pingsan. Tempat itu segera ramai di datangi orang dan gegerlah kota Siang-nam.
Pasukan keamanan datang dan para pembesar di kota ribut-ribut mencari siapa yang telah membunuh Bong-ciangkun dan belasan orang itu. Akan tetapi semua orang yang menjadi saksi telah tewas, maka sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan siapa pembunuhnya.
Kegemparan itu makin menghebat ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang berdatangan ke pasar menjadi terkejut melihat adanya dua buah kepala digantung di atas pintu gerbang pasar. Itulah kepala Bong-cioangkun dan Coa Pit Hu! Dan di atas tembok pintu gerbang itu terdapat tulisannya, tulisan yang bergaya kuat dan berbentuk indah, ditulis dengan darah yang telah menghitam.
‘BONG CIANGKUN BERSEKONGKOL DENGAN PENJAHAT-PENJAHAT MENINDAS RAKYAT. INILAH HUKUMANNYA AGAR MENJADI CONTOH BAGI PARA PEJABAT LAIN’.
Tentu saja kota Siang-nam menjadi gempar dan semua orang menduga-duga siapa gerangan orang yang begitu berani membunuh seorang komandan pasukan keamanan, bahkan membunuh Coa Pit Hu yang terkenal sebagai pimpinan penjahat di sekitar tempat itu, bahkan menggantungkan kepala mereka di atas pintu gerbang pasar tanpa diketahui seorang pun. Dengan hati kecut dan ketakutan, kepala daerah memerintahkan pasukan keamanan untuk menjaga rumahnya dan sebagian ditugaskan untuk mencari pembunuh itu.
Sementara itu, si pembunuh pada keesokan harinya telah berjalan seenaknya di luar kota Yang-nam sambil menggandeng tangan Hong Beng. Dia telah membantu anak itu mengubur jenazah ayah ibu anak itu di luar kota Siang-nam, di sebuah lereng bukit yang sunyi, kemudian mengajak anak itu pergi dari situ.
Siapakah laki-laki gagah perkasa itu? Kalau saja ada yang mengenalnya, kegemparan di Siang-nam tentu akan bertambah dengan rasa takut dan kagum. Laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti yang beberapa tahun yang lalu namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw. Dia bernama Suma Ciang Bun.
Para pembaca kisah-kisah yang menyangkut keluarga Pulau Es tentu sudah mengenal nama ini. Suma Ciang Bun adalah cucu mendiang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, majikan Pulau Es. Ayahnya, bernama Suma Kian Lee, putera majikan Pulau Es itu, seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, dan ibunya bernama Kim Hwee Li, juga seorang wanita yang sakti. Ayah ibunya kini sudah tua, sudah sekitar enam puluhan tahun usianya. Mereka bertempat tinggal di Thian-cin, sebuah kota di sebelah selatan kota raja.
Suma Ciang Bun yang kini berusia tiga puluh tahun ini belum menikah. Semenjak muda remaja, ia memiliki suatu kelainan yang pernah menyiksa batinnya dengan hebat sekali. Kelainan ini amat aneh, akan tetapi banyak dialami pria di dunia ini, yaitu bahwa gairah kelaminnya tidak seperti pria umumnya, tidak ditujukan terhadap wanita tetapi terhadap sejenis kelaminnya sendiri. Gairahnya timbul bukan terhadap wanita, tapi terhadap pria! Tentu saja kelainan itu menimbulkan peristiwa-peristiwa yang aneh dan menyeretnya ke lembah kesengsaraan batin yang hebat.
Tubuhnya saja pria, akan tetapi seleranya seperti wanita. Maka, pernah beberapa kali dia patah hati, mencinta seorang pria, bahkan pernah dia tergila-gila seorang pria, yang ternyata adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Hal ini menghancurkan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia benar-benar mencinta orang itu, tak peduli orang itu pria mau pun wanita. Namun segalanya sudah terlambat. Orang itu telah pergi meninggalkannya karena merasa dihina dan disakitkan hatinya. Hal ini dapat dibaca dalam ‘KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES’.
Akan tetapi, pengalaman pahit yang telah bertubi-tubi dirasakannya, kemudian nasehat-nasehat terutama dari adik misannya sendiri yang bernama Suma Ceng Liong, dan dari kakak perempuannya yang bernama Suma Hui, dia akhirnya dapat mengetahui dirinya sendiri dan dapat melihat bahwa tak mungkin dia menuruti seleranya yang tidak lumrah itu.
Suma Ciang Bun sekarang telah sembuh! Tidak lagi timbul gairah birahinya melihat pria tampan, meski sampai kini dia belum juga dapat menimbulkan gairah birahinya terhadap wanita. Biar pun sudah sembuh, namun Ciang Bun masih belum dapat melenyapkan sifat-sifatnya yang seperti wanita, yaitu pesolek, rapi dan suka akan kelembutan!
Sudah bertahun-tahun lamanya Suma Ciang Bun meninggalkan rumah orang tuanya di Thian-cin, hidup sebagai seorang pendekar perantau yang tak tentu tempat tinggalnya. Di mana pun dia berada, pendekar ini selalu mengulurkan tangannya untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dengan gigih. Berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, yang membuat dia dapat disebut orang sakti, maka jarang dia menemui lawan yang mampu menandinginya, dan karenanya, namanya amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan.
Banyak orang pernah melihat sepak terjangnya yang amat hebat. Akan tetapi karena dia tidak pernah meninggalkan nama, maka orang-orang yang belum pernah melihatnya dan hanya mendengar saja penuturan orang, tidak dapat menduga siapa sebenarnya pendekar sakti itu. Sepasang pedang dengan ronce-ronce biru selalu tersembunyi di balik jubahnya, dan siang-kiam (sepasang pedang) ini jarang sekali dipergunakannya, karena dengan kaki tangannya saja dia sudah sukar dikalahkan lawan.
Setelah matahari naik tinggi, Suma Ciang Bun mengajak Hong Beng berhenti mengaso di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan yang sunyi. Anak itu sejak pagi tadi, sejak meninggalkan makam ayah ibunya, tidak pernah bicara, hanya menurut saja ketika tangannya digandeng oleh Ciang Bun dan diajak pergi. Tak pernah bertanya hendak ke mana, tak pernah mengeluh meski keringatnya sudah membasahi seluruh pakaiannya dan nampaknya lelah sekali.
Maklumlah, semalam suntuk anak itu tidak pernah tidur, apa lagi mengalami hal-hal yang amat menegangkan dan menekan batinnya. Melihat betapa dirinya dikurung, lalu munculnya ibunya, kemudian melihat betapa ayah ibunya tewas di depan matanya, dan dia sendiri dihajar babak belur dan bengkak-bengkak oleh para pengawal yang terdiri dari anak buah penjahat itu, kemudian melihat pula betapa semua orang itu dibantai oleh penolongnya ini. Ditambah lagi sejak kemarin dia tidak mau makan. Perutnya lapar, badannya sakit-sakit, hatinya berduka, akan tetapi anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh...