CERITA SILAT ONLINE SERIAL BU KEK SIANSU
KARYA ASMARAMAN S KHO PING HOO
EPISODE SULING NAGA BAGIAN 02
KARYA ASMARAMAN S KHO PING HOO
EPISODE SULING NAGA BAGIAN 02
Hal ini memang sejak semalam telah diketahui oleh Suma Ciang Bun. Dia datang agak terlambat, yaitu setelah Gu Hok dan isterinya tewas. Dia melihat betapa anak kecil itu mengamuk, nekat dan tak pernah mengeluh biar pun dijadikan bola oleh para pengawal ini. Dan kini, setelah mengubur jenazah ayah ibu Hong Beng, dan mengajak anak itu berjalan terus sampai siang, melihat betapa anak itu sebenarnya menderita lahir batin namun sama sekali tidak mengeluh, Cian Bun merasa semakin kagum. Inilah seorang bocah yang amat hebat, dan pantas menjadi muridnya.
"Kita beristirahat dulu di sini. Duduklah," katanya dan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. Hong Beng juga dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput.
"Kau lelah sekali?" tanya Ciang Bun sambil memandang wajah anak itu. Seorang anak laki-laki yang berkulit kuning berwajah jernih dan tampan. Anak itu mengangguk tanpa menjawab.
"Muka dan tubuhmu sakit-sakit?" tanya lagi Ciang Bun, menatap muka yang bengkak-bengkak dan matang biru itu. Kembali Hong Beng mengangguk tanpa menjawab.
"Perutmu lapar?" Kembali anak itu mengangguk.
"Hemm, aku pun lapar sekali. Tapi di tempat sunyi seperti ini, dari mana kita bisa mendapatkan makanan?"
"Di rumahku ada telur, ada banyak ayam, dan masih ada beras."
"Rumahmu? Di Siang-nam itu?" Hong Beng mengangguk.
"Katakan di mana rumahmu."
"Di jalan kecil belakang pasar, di sebelah kiri toko yang berdagang mangkok piring, rumahku bercat kuning."
"Baik, kau tunggu saja di sini. Aku yang akan mengambil bahan makanan. Kalau kau ikut ke sana, tentu akan timbul keributan karena semua orang telah mengenalmu." Dan sebelum Hong Beng menjawab, sekali berkelebat tubuh Suma Ciang Bun telah berada jauh sekali dari situ, seperti terbang saja dan tak lama kemudian pun lenyap.
Tentu saja Hong Beng memandang dengan melongo. Tadi pun ketika melihat lelaki itu mengamuk dan membantai semua orang, dia sudah terheran-heran dan amat kagum. Akan tetapi karena kedukaan oleh kematian ayah ibunya, dia kurang memperhatikan hal itu. Kini, melihat betapa orang itu seperti terbang saja pergi dari situ, baru dia mengkirik. Ibliskah orang itu?
Dia pernah mendengar mengenai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan orang yang pandai terbang! Yang pernah dilihatnya hanya orang-orang penjual obat di pasar yang suka bermain silat dan memamerkan kekuatannya, mengangkat besi berat atau bahkan ada yang memukuli dadanya dengan benda keras memamerkan kekebalannya. Tidak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang demikian lihainya seperti penolongnya itu. Mulailah dia memperhatikan dan diam-diam dia khawatir sekali. Jangan-jangan orang itu pergi meninggalkannya dan tak akan kembali lagi.
Setelah ditinggal seorang diri, baru Hong Beng teringat bahwa dia sekarang sebatang kara. Dan bahwa keselamatannya terancam di Siang-nam. Dia harus pergi dari tempat tinggalnya. Akan tetapi ke mana? Dan apa yang harus dilakukannya? Satu-satunya harapan baginya adalah ikut bersama orang yang menolongnya tadi. Ah, kenapa tidak? Jika penolongnya itu mau, dia suka menjadi muridnya, atau jadi pelayannya sekali pun.
Dengan cepat sekali, terlalu cepat bagi Hong Beng sehingga sukar dipercaya, tiba-tiba saja orang itu telah berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di dekatnya, membawa buntalan yang cukup besar. Ketika Suma Ciang Bun menurunkan buntalan itu ke atas tanah, isi buntalan bergerak dan terdengar suara ayam!
"Nah, ini kubawakan semua keperluan dari rumahmu," berkata Suma Ciang Bun yang sudah duduk kembali.
Hong Beng membuka buntalan itu dan ternyata di dalamnya, selain terdapat belasan butir telur dan dua ekor ayam paling gemuk, juga terdapat beras yang cukup dan juga beberapa potong pakaiannya yang paling baik. Melihat pakaiannya itu, Hong Beng memandang kepada Suma Ciang Bun dengan sinar mata bertanya.
"Kau tentu membutuhkan pakaian pengganti," kata Ciang Bun. "Apakah kau dapat memasak?"
Hong Beng mengangguk. "Akan tetapi tidak ada tungku dan tidak ada api..."
Ciang Bun tersenyum. Dia sudah berpengalaman hidup merantau di gunung-gunung dan sebentar saja dia sudah dapat membuat api dan membuat tungku dari batu-batu. Hong Beng segera menanak nasi dari panci yang berada dalam buntalan, dan dua ekor ayam itu pun dipotong dan dipanggang. Tak lama kemudian, dua orang ini makan nasi dan panggang ayam dengan lahapnya, walau pun bumbunya hanya hanya garam dan bawang yang dibawa oleh Ciang Bun dari rumah kecil keluarga Gu.
"Nah, sekarang kita bicara," kata Ciang Bun setelah mereka makan kenyang. "Siapakah namamu dan apa yang telah terjadi maka ayah ibumu tewas di sana?"
Hong Beng memandang Ciang Bun dengan tajam untuk beberapa saat lamanya, lalu menceritakan segala peristiwa yang telah menimpa keluarga orang tuanya, dimulai dari peristiwa di pasar ketika ibunya diganggu oleh Bong-ciangkun sampai dia diculik dan ibu berdua ayahnya kemudian tewas.
Setelah anak itu selesai bercerita, Ciang Bun mengangguk-angguk. "Hemm, sudah kuduga tentu demikian. Aku sudah banyak mendengar akan kejahatan orang she Bong itu dan aku girang bahwa aku telah berhasil membasmi dia bersama komplotannya. Hong Beng, sekarang ayah ibumu telah tiada, lalu apa rencanamu selanjutnya? Apakah engkau memiliki sanak keluarga?"
Hong Beng menggeleng kepala.
"Jadi engkau sebatang kara saja?" Anak itu mengangguk.
"Hemmm, engkau sebatang kara dan engkau tak mungkin kembali ke Siang-nam. Di sana sudah geger dan orang-orang mulai mencari keluargamu yang lenyap. Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”
"Kalau paman suka, aku akan ikut dengan paman..."
"Ikut aku?"
"Ya, menjadi... murid atau pelayan..."
Ciang Bun tertawa. Dia semakin kagum kepada anak ini. Tidak banyak cakap, dan cukup sopan.
"Aku suka kepadamu, Hong Beng. Kalau engkau mau, aku pun suka sekali mengambil engkau sebagai muridku."
Mendengar ucapan ini, segera Hong Beng menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Ciang Bun. "Suhu, mulai saat ini, teecu akan mentaati segala perintah suhu dan teecu berjanji akan menjadi seorang murid yang baik."
Ciang Bun menyentuh kedua pundak anak itu dan menyuruhnya bangkit duduk. Ditatapnya wajah anak itu dan dia merasa senang sekali. "Berapa usiamu Hong Beng?"
"Sebelas tahun, suhu."
"Ah, engkau pantas menjadi anakku, keponakanku, atau muridku. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Aku seorang perantau yang tak tentu tempat tinggalnya, kadang-kadang bermalam di dalam hutan, di puncak gunung atau di tepi sungai. Hidupmu akan serba kekurangan dan bahkan kadang-kadang harus berani menahan kehausan dan kelaparan jika ikut aku. Beranikah engkau menghadapi semua kesukaran itu?"
Hong Beng mengangguk. "Teecu berani dan apa pun yang akan suhu perintahkan, akan teecu taati tanpa membantah."
Ciang Bun lalu bangkit dan menarik tangan Hong Beng agar berdiri dan merangkul anak itu sambil tertawa. "Ha-ha-ha, jangan khawatir, muridku. Aku belum begitu gila untuk membuat engkau sengsara. Mari kita pergi naik ke puncak bukit di depan itu. Besok, di puncak itu, akan mulai kuajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadamu. Engkau tidak akan menyesal menjadi muridku. Ketahuilah bahwa saat ini, engkau merupakan anak murid keluarga Pulau Es. Kalau engkau tekun belajar, kelak akan sukar orang menandingimu."
Demikianlah, Suma Cian Bun yang selama bertahun-tahun hidup dalam kesunyian dan kesepian, kini memperoleh seorang murid yang seolah-olah membuat hidupnya berarti dan dia berguna bagi seseorang.
Kesepian atau kesendirian merupakan suatu hal yang amat ditakuti oleh kebanyakan orang. Sendirian sama artinya dengan kematian atau lenyapnya bayangan tentang diri sendiri yang kita bentuk sendiri. Timbulnya sang aku adalah karena adanya hubungan dengan manusia lain, dengan benda mau pun dengan gagasan-gagasan. Kalau sudah berada sendirian maka sang aku pun tak dapat bergerak lagi, atau kalau pun bergerak, tentu hanya karena dorongan ingin mempertahankan hidup.
Itulah sebabnya kita selalu haus akan perhatian orang lain, selalu haus akan kasih sayang orang lain. Orang yang merasa bahwa dia tidak diperhatikan orang, tidak disukai orang, akan merasa sengsara dan hidupnya seolah-olah kosong, dapat mendatangkan penyakit hampa atau frustrasi, karena sang aku yang sudah digambarkan dan dipupuk semenjak kecil menjadi tidak berarti lagi, menjadi diremehkan.
Takut akan kesepian atau sendirian ini pula yang mendorong kita untuk mengingatkan diri dengan apa saja yang menyenangkan lahir dan batin. Kalau sudah terikat, kita merasa aman, merasa terjamin. Padahal, ikatan-ikatan inilah yang membuat kita hidup seperti robot. Pengulangan-pengulangan, kebiasaan-kebiasaan, menurut ‘umum’, dan menonjolkan sang aku sama saja dengan hidup di atas awan angan-angan dan oleh karenanya sering kali menemui kekecewaan dan kedukaan karena kenyataan berbeda sama sekali dengan angan-angan dan harapan-harapan.
Siapa yang berani meninggalkan hidup dalam dunia angan-angan dan harapan ini, dan berani membuka mata menghadapi segala macam kenyataan hidup, menerima sebagai mana adanya, barulah dia itu benar-benar hidup dan tidak akan terkecoh oleh harapan-harapan yang pada dasarnya hanyalah sang aku yang ingin senang.
Pemuda itu berjalan seorang diri menyusuri tepi Sungai Wu-kiang, sebuah sungai yang mengalir ke arah utara untuk kemudian terjun ke sungai besar Yang-ce-kiang. Sungai Wu-kiang ini mengalir di antara bukit-bukit pegunungan yang amat luas, sunyi senyap dan penuh dengan hutan liar.
Dia tidaklah sangat muda lagi. Usianya sekitar dua puluh enam tahun, bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya sederhana seperti pakaiannya, hanya sapasang matanya yang mengandung sinar penuh ketajaman itu yang menarik perhatian. Dilihat sepintas lalu, dia mirip seorang petani atau mungkin seorang pemburu karena berjalan seenaknya di tempat yang amat sunyi dan liar itu. Padahal, tempat itu amat berbahaya dan kalau tidak bersama-sama rombongan yang bersenjata lengkap, jarang ada orang berani memasuki daerah ini. Akan tetapi, orang muda itu berlenggang seenaknya dan memandang ke kiri kanan, kadang-kadang tersenyum sendiri kalau melihat kupu-kupu, atau burung, atau kelinci berkejaran.
Di tempat yang amat sunyi itu, di mana tidak terdapat manusia lain kecuali diri sendiri, membuat mata menjadi waspada sekali. Pikiran menjadi hening, tidak terisi berbagai masalah seperti jika berada di tempat ramai yang penuh orang. Pikiran tidak mengada-ada, tidak dipenuhi keinginan-keinginan, karena kosong dan hening inilah maka panca indera bekerja dengan amat baiknya, setiap anggota tubuh menjadi amat pekanya. Dan dalam keadaan hening dan waspada ini, maka segala keindahan pun nampak!
Biasanya, panca indera kita seperti menjadi tumpul karena dipenuhi oleh keinginan batin yang berupa nafsu sehingga perhatian hanyalah ditujukan kepada hal-hal yang belum ada dan sedang dikejar atau diinginkan. Akan tetapi, berada di tempat sunyi itu, barulah terasa betapa indahnya segala hal yang ada, betapa bersilirnya angin membawa suara indah melebihi alunan musik yang mana pun juga, bahkan gugurnya setangkai daun kering yang menari-nari ke bawah nampak sedemikian indahnya bagaikan tarian yang menakjubkan. Diri menjadi lenyap, seperti lebur menjadi suatu kenyataan yang ada, bukan lagi boneka yang dipermainkan oleh nafsu dan keinginan.
Pemuda itu sangat sederhana, hanya menggendong sebuah buntalan pakaian dan di pinggangnya terselip sebuah benda kecil yang terbungkus oleh sarung dari kain kuning, panjangnya kira-kira tiga kaki. Bagi orang yang tidak mengenalnya tentu mengira bahwa dia itu hanya seorang petani biasa, atau seorang pemburu dan paling hebat tentu seorang perantau yang biasa melakukan perjalanan seorang diri dengan bekal sedikit kepandaian silat untuk melindungi dirinya. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar yang amat lihai, bahkan yang baru-baru ini memperoleh julukan Pendekar Suling Naga!
Bagi para pembaca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES, pemuda ini pasti dapat diduga siapa orangnya, sebab dia merupakan salah seorang di antara para tokoh dalam kisah itu. Pemuda ini adalah Sim Houw, seorang pemuda gemblengan yang sudah mewarisi ilmu-ilmu hebat dari dua aliran yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).
Ilmu yang pertama dia peroleh dari mendiang ayahnya sendiri, yaitu Sim Hong Bu yang mewarisinya dari keluarga isterinya, keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Pegunungan Himalaya. Ada pun ilmu yang kedua itu diperolehnya dari pendekar sakti Kam Hong yang pernah menjadi calon mertuanya, tetapi perjodohannya dengan puteri gurunya ini gagal karena gadis itu mencintai orang lain.
Ayahnya, pendekar sakti Sim Hong Bu sudah gugur dalam pertempuran antara para pendekar yang melawan pasukan tentara pemerintah. Ibunya pun telah tewas sehingga dia hidup sebatang kara. Memang masih ada keluarga dari pihak ibunya, yaitu keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, akan tetapi karena ayahnya telah bercerai dari ibunya dan terjadi pertentangan antara mendiang ayahnya dan keluarga Cu, dia tidak mau lagi kembali ke lembah itu.
Demikianlah sedikit riwayat pendekar yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga itu. Baru kurang lebih tiga tahun dia diberi julukan itu setelah beberapa kali dia menghadapi datuk-datuk sesat yang lihai dan terpaksa dia menggunakan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang suling yang dapat dipergunakan sebagai pedang pula. Suling ini terbuat dari kayu yang diukir berbentuk seekor naga, kayu yang telah ribuan tahun usianya dan sudah direndam ramuan obat sehingga menjadi keras bagaikan baja, dan selain dapat ditiup sebagai suling yang suaranya merdu, juga dapat dipergunakan sebagai pedang.
Kurang lebih tiga tahun yang lalu, timbul di dalam pikiran Sim Houw untuk menjenguk keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman. Dia teringat bahwa yang bertentangan dengan ayahnya adalah ayah dari ibunya bersama seorang paman, juga ibunya sendiri.
Keluarga Cu terdiri dari tiga orang kakak beradik. Yang pertama ialah Cu Han Bu, yaitu ayah dari ibunya, ke dua adalah Cu Seng Bu dan ke tiga adalah Cu Kang Bu. Yang dulu menentang ayahnya hanyalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, keduanya sekarang telah meninggal dunia, sedangkan Cu Kang Bu tidak menentang ayahnya. Dan sekarang, yang tinggal di lembah itu hanya tinggal Cu Kang Bu dan isterinya.
Teringat akan paman kakeknya ini, seorang pendekar berjuluk Ban-kin-sian yang gagah perkasa, juga isteri pendekar ini, seorang wanita bernama Yu Hwi yang mempunyai kepandaian tinggi pula, Sim Houw menjadi rindu. Tidak ada lagi keluarganya di dunia ini kecuali paman kakek Cu Kang Bu itu, maka dia pun lalu berangkatlah ke Pegunungan Himalaya.
Akan tetapi, ketika pada suatu pagi dia tiba di lembah itu, dan menyeberangi jembatan tambang yang direntang dari dalam lembah oleh seorang murid keluarga Cu, Sim Houw menjadi terkejut bukan main melihat betapa paman kakek berdua isterinya itu berada dalam keadaan luka parah! Cu Kun Tek, putera mereka yang baru berusia dua belas tahun menjaga mereka dengan sikap murung dan berduka.
Lembah Gunung Naga Siluman itu merupakan tempat yang selain sangat indah juga tersembunyi dan tidak mungkin dapat dikunjungi orang kecuali kalau penghuni lembah itu menghendaki. Lembah itu dikurung oleh jurang yang amat curam, dan jalan masuk satu-satunya hanyalah melalui jembatan tambang yang direntang dari dalam lembah dan selalu dijaga oleh murid-murid penghuni lembah itu.
Pada waktu itu, Cu Kang Bu yang hanya mempunyai seorang putera memiliki belasan orang murid. Selain untuk menjadi teman puteranya, para murid ini juga untuk melayani segala keperluan keluarganya dan menjaga kebersihan tempat tinggal mereka. Murid-murid ini yang melakukan penjagaan jembatan tambang itu.
Ketika Sim Houw muncul dan memperkenalkan namanya, di antara murid-murid itu ada yang sudah pernah mengenalnya, maka tambang yang tadinya tergantung ke dalam jurang lalu ditarik dan direntang. Sim Houw menggunakan ilmunya untuk menyeberang melalui atas tambang yang besar itu. Kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak memiliki keberanian besar, siapa berani menyeberang melalui jembatan yang terbuat dari sehelai tambang itu? Sekali jatuh, nyawa akan melayang dan tubuh akan hancur lebur.
Melihat keadaan paman kakeknya suami isteri yang rebah dengan muka pucat, Sim Houw terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut. Suami yang nampak lemah tubuhnya itu memandang penuh perhatian, lalu terdengar Cu Kang Bu bertanya, "Orang muda, siapakah engkau dan ada keperluan apakah engkau mendatangi tempat kami ini?"
Mendengar pertanyaan kakek itu, Sim Houw merasa terharu sekali. "Cek-kong (paman kakek), saya adalah Sim Houw..."
"Sim Houw...?" Isteri kakek itu bangkit duduk dan memandang dengan penuh perhatian. Juga kakek itu bangkit duduk.
"Engkau Sim Houw putera mendiang Pek In?" tanya kakek yang kini usianya sudah lima puluh tiga tahun itu.
Disebutnya nama mendiang ibunya, Sim Houw menjadi semakin terharu. "Benar dan saya menghaturkan hormat kepada cek-kong berdua."
Suami isteri yang sedang menderita luka itu nampak gembira sekali. "Kun Tek, lihatlah, pemuda perkasa ini adalah keponakanmu sendiri, putera tunggal mendiang enci-mu Cu Pek In! Sim Houw, ini adalah anak tunggal kami, bernama Cu Kun Tek."
Sim Houw memandang kepada anak laki-laki itu. Dia hanya pernah mendengar bahwa suami isteri itu memiliki seorang anak laki-laki dan baru sekarang dia bertemu dengan anak laki-laki itu, seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih dua belas tahun dan menjadi pamannya! Dia merasa canggung, akan tetapi Sim Houw segera bangkit berdiri dan menjura kepada anak itu.
"Paman kecil, harap engkau baik-baik saja dan banyak memperoleh kemajuan."
Dari ayah bundanya Cu Kun Tek juga sudah banyak mendengar mengenai Sim Houw, maka dia pun membalas penghormatan itu. "Harap engkau tidak terlalu sungkan, karena biar pun aku terhitung pamanmu, tetapi aku jauh lebih muda dan banyak mengharapkan petunjuk darimu."
Diam-diam Sim Houw kagum dan dapat melihat bahwa paman cilik ini adalah seorang anak laki-laki yang cerdas dan ada pembawaan yang gagah perkasa seperti paman kakeknya.
"Selama ini engkau ke mana sajakah, anak Houw?" tanya Yu Hwi, isteri Cu Kang Bu itu.
"Saya merantau memperluas pengalaman dan tiba-tiba saya merasa amat rindu kepada keluarga di sini, juga tempat ini di mana saya dibesarkan, maka hari ini saya datang menghadap. Harap cek-kong berdua sudi memaafkan bahwa baru hari ini saya sempat singgah. Akan tetapi betapa kaget hati saya melihat bahwa cek-kong berdua agaknya dalam keadaan sakit... dan kalau tidak salah… menderita luka dalam. Apakah cek-kong berdua berkelahi dengan seorang lawan yang amat lihai?"
Mendengar pertanyaan ini, suami isteri itu saling pandang dan seperti diingatkan akan sesuatu yang membuat mereka penasaran. Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menjawab, "Kalau diceritakan, sungguh membuat orang menjadi jengkel dan penasaran sekali. Seperti yang sudah kau ketahui, Sim Houw, keluarga Cu selalu menjauhkan diri dari keributan, bahkan menempati lembah yang terpencil dan terasing ini, karena tidak ingin terlibat dalam permusuhan. Akan tetapi, kalau memang perkelahian akan terjadi, ke mana pun kita bersembunyi, ada saja yang datang mencari perkara. Dan kali ini yang datang mencari keributan adalah seorang kakek tua renta yang gila..."
Sim Houw terkejut dan merasa heran sekali. Seorang kakek tua renta yang gila? Dan seorang kakek gila ini demikian lihainya sehingga cek-kongnya yang lihai ini, bersama isterinya yang juga amat lihai, kalah dan menderita luka dalam.
"Cek-kong, apakah yang telah terjadi?"
Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang. "Dua pekan yang lalu, pada suatu siang muncul seorang kakek di seberang jurang dan dia berteriak dengan mempergunakan khikang, minta bertemu denganku. Karena maklum bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian tinggi maka aku menyuruh para murid merentangkan jembatan tambang. Kakek itu menyeberang dan ternyata dia sudah sangat tua, dan dia datang mengajukan usul yang aneh."
"Bagaimana usulnya itu?" Sim Houw bertanya dengan hati tertarik sekali melihat Cu Kang Bu menghentikan ceritanya.
"Ahh, sungguh aneh dan memalukan. Ia mengatakan bahwa ia memiliki sebuah benda pusaka yang akan diwariskan kepada seorang pendekar yang dapat mengalahkannya. Karena dia bertapa di Pegunungan Himalaya dan dia mendengar bahwa di lembah ini tinggal pendekar-pendekar sakti, dia lalu datang untuk minta dikalahkan agar dia dapat mewariskan pusaka itu kepada kami. Tentu saja aku yang tidak butuh pusakanya, lalu menolak. Akan tetapi dia malah marah-marah dan mengatakan bahwa kalau aku tidak mau melayaninya, dia akan membunuh aku dan seluruh penghuni lembah ini..."
"Gila..." Sim Houw berseru heran dan penasaran.
Mana di dunia ini ada peraturan seperti itu? Hendak mewariskan pusaka saja dengan syarat harus mengalahkannya, dan kalau orang tidak mau menyambut usulnya yang aneh itu, akan dibasmi seluruh keluarganya!
"Memang, agaknya dia telah gila, akan tetapi dia lihai bukan main." Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Karena ancamannya yang sangat gila itu, tentu saja aku menjadi marah dan akhirnya kami bertanding, bukan untuk memenuhi permintaannya, melainkan untuk menentang niatnya yang hendak membasmi kami itu. Akan tetapi, biar pun isteriku telah membantuku, tetap saja setelah lewat seratus jurus kami berdua terkena pukulannya yang ampuh dan terluka. Tetapi dia tidak membunuh kami, hanya mengatakan bahwa setelah kami sembuh, dia akan datang lagi, karena dia menganggap bahwa aku cukup pantas menerima warisan itu dan dia minta agar aku berlatih serta memperkuat diri agar lain kali aku dapat mengalahkannya. Kemudian dia pergi."
"Orang itu agaknya memang gila dan bisa berbahaya sekali,” kata Yu Hwi. “Bayangkan saja, cek-kongmu ini sudah mempergunakan cambuknya, dan aku pun sudah melawan mati-matian. Kami berdua hanya dapat mengimbangi saja tanpa mampu mengatasinya sehingga akhirnya kami terluka."
"Siapakah nama kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?" Sim Houw yang merasa amat tertarik dan penasaran bertanya.
"Dia belum sempat memperkenalkan diri dan kamipun tidak tahu di mana dia tinggal," jawab Cu Kang Bu. "Kami memang tidak tertarik sama sekali untuk berkenalan dengan orang gila itu, apa lagi mewarisi pusakanya."
Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara melengking tinggi yang terdengar dekat sekali, seolah-olah suara itu keluar dari mulut seorang yang berada di dalam gedung atau ruangan di mana mereka duduk bercakap-cakap. Lengkingan suara itu lalu disusul kata-kata yang lembut, "Orang she Cu, rentangkan jembatan tambang, aku datang lagi berkunjung!"
"Nah, itu dia orang gila itu datang lagi!" Cu Kang Bu berkata dan dia bersama isterinya nampak pucat. Cu Kun Tek yang masih kecil itu bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. Anak ini kelihatan marah sekali.
"Ayah dan ibu, kalau dia datang lagi, biarlah kita lawan mati-matian. Bukankah di sini ada Sim Houw yang pernah ayah ceritakan sebagai seorang yang amat lihai? Tentu dia akan membantu kita, bukankah demikian, Sim Houw?"
Sim Houw memandang kagum dan tersenyum, lalu mengangguk. "Tentu saja, paman kecil."
Sementara itu, tiga orang murid datang menghadap dengan muka pucat. Jelas nampak betapa mereka ini cemas sekali. "Suhu, kakek gila itu datang lagi...," kata mereka.
"Ada tamu datang, rentangkan jembatan, biarkan dia ke sini," kata Cu Kang Bu dengan sikap gagah.
Dia maklum bahwa selagi dalam keadaan sehat dan segar saja, dia dan isterinya yang maju mengeroyok kakek itu tidak menang dan bahkan terluka parah, apa lagi sekarang dalam keadaan masih belum sembuh benar. Maju melawan kakek itu sama saja berarti mengundang kematian. Tetapi kalau perlu dia tidak takut mati. Lebih baik mati melawan dari pada memperlihatkan rasa takut dan tidak berani merentangkan jembatan.
"Suhu, biar teecu rentangkan jembatan dan kalau Si kakek gila itu sudah menyeberang sampai di tengah-tengah, teecu akan lepaskan tambang agar dia mampus terbanting ke dalam jurang," kata seorang murid yang tinggi besar.
"Brakkkk!"
Cu Kang Bu menggebrak dipannya dengan mata melotot. "Pengecut! Hayo kau masuk ke dalam Ruangan Bertobat, tiga hari tiga malam tidak boleh keluar untuk mempelajari sikapmu yang pengecut itu sampai dapat kau hapus sama sekali dari batinmu!"
Murid tinggi besar itu berlutut dengan muka pucat, mengangguk-angguk. "Baik, teecu menerima perintah dan hukuman."
Kemudian dengan tubuh lemas dia mengundurkan diri untuk memasuki sebuah ruangan di bawah tanah yang dipergunakan untuk menghukum murid-murid yang bersalah. Di tempat ini dia terpaksa harus bertapa selama tiga hari dan tiga malam untuk menebus kesalahannya karena tadi dia telah mengeluarkan kata-kata yang sifatnya pengecut dan curang.
"Rentangkan jembatan dan biarkan dia menyeberang!" katanya kepada dua orang murid lain yang cepat mengangguk dan pergi. Pendekar itu lalu berkata kepada isterinya dan puteranya. "Kalian jangan turut campur. Biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya dan kalau perlu mengadu nyawa dengannya."
"Akan tetapi engkau pun masih belum sembuh!" seru isterinya dengan khawatir.
Sim Houw cepat maju dan berkata, "Cek-kong berdua harap tenangkan hati. Saya kira, dengan bujukan yang halus dan dapat diterima, kiranya dia dapat disadarkan dan dapat disuruh pergi tanpa kekerasan. Saya tidak sakit, maka biarlah saya mewakili cek-kong berdua karena bagaimana pun juga, saya adalah anggota keluarga di lembah ini."
Cu Kang Bu mengangguk. "Akan tetapi engkau harus berhati-hati benar, Sim Houw. Dia memiliki ilmu yang luar biasa anehnya."
“Saya mengerti, cek-kong. Orang yang mampu mengalahkan cek-kong berdua tentulah seorang sakti." Setelah berkata demikian, Sim Houw melangkah keluar, diikuti oleh Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan juga Cu Kun Tek.
Ketika mereka tiba di luar gedung, tidak lama kemudian nampak bayangan berkelebat cepat datang dari depan. Diam-diam Sim Houw terkejut bukan main karena bayangan itu sungguh memiliki ginkang yang luar biasa sehingga tubuh itu seolah-olah terbang saja ketika berlari ke arah mereka. Segera nampak seorang kakek renta berdiri di depan mereka.
Kakek itu memang nampak sudah tua sekali. Sukar menaksir berapa usianya, akan tetapi tentu mendekati seratus tahun. Rambut di kepalanya tinggal sedikit, tipis panjang dan tak terpelihara membuat kepala itu nampak kecil. Tubuhnya kurus sekali dan saking kurusnya, nampak seperti tulang terbungkus kulit belaka. Matanya sipit hampir terpejam, mulutnya kempot dengan kedua pipinya cekung ke dalam. Akan tetapi yang luar biasa adalah kulit mukanya. Kulit muka itu putih, bukan pucat melainkan putih seperti dibedaki tebal saja. Jubahnya hitam lebar dan panjang, celananya berwarna kuning.
Begitu berhadapan dengan mereka, mata yang sipit itu menujukan pandangannya ke arah Cu Kang Bu dan isterinya, lalu terdengar kakek itu berkata dengan nada suara penuh sesal, "Aihh, kalian belum sembuh! Itulah akibatnya kalau tinggi hati, kuberi obat tidak mau. Sekarang, jangankan bisa mengalahkan aku, baru menandingi seratus jurus seperti tempo hari saja kalian akan mati, lantas siapa lagi yang dapat aku harapkan mengalahkan aku dan mewarisi pusakaku? Aihhh... aku tidak mau pusakaku terjatuh ke tangan mereka, aku tidak mau biar mereka itu murid-murid keponakanku sendiri, aku tidak mau..." Dan suara kakek itu berubah seperti suara orang menangis!
Sim Houw melangkah maju menghadapi kakek itu sambil menjura dengan sikap hormat dan suaranya terdengar halus namun tegas, "Locianpwe, kami para penghuni Lembah Naga Siluman tak pernah bermusuhan dengan siapa pun juga, tak pernah mencampuri urusan orang lain, harap locianpwe suka mundur dan meninggalkan tempat kami tanpa mengganggu kami lagi. Jika locianpwe memaksa, terpaksa saya yang akan menghadapi dan melawan locianpwe!"
Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dan kini mata yang sipit sekali itu ditujukan kepada Sim Houw, memandang dari atas ke bawah.
"Heh-heh, kau gagah juga...! Apakah kau murid mereka?" Jari telunjuknya yang kurus panjang itu menunjuk ke arah Cu Kang Bu dan isterinya.
"Bukan, locianpwe. Saya adalah cucu keponakan mereka yang kebetulan tengah datang berkunjung."
"Uuh-huh-huh, murid juga bukan, malah hanya cucu keponakan! Dan kau bilang bahwa kau akan melawan aku? Heh-heh-heh, bocah, engkau sombong benar!"
"Locianpwe yang sombong, seakan-akan locianpwe pandai mengukur tingginya langit dalamnya lautan. Akan tetapi, tidak ada pertandingan dilakukan tanpa sebab, apa lagi tanpa saling mengenal. Nama saya adalah Sim Houw, dan sudah jelas bahwa saya akan mewakili cek-kong saya berdua isterinya, mewakili keluarga dan penghuni Lembah Naga Siluman untuk menandingi locianpwe, Sebaliknya, siapa pula locianpwe ini dan mengapa locianpwe datang mengacau di lembah kami?"
Kakek kurus kering itu terkekeh. "He-he-heh-heh, kau bocah kemarin sore akan tetapi omonganmu berisi! Agaknya dirimu berisi ilmu kepandaian pula. Dengarlah, aku disebut orang Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih), seorang pertapa di puncak bukit sebelah utara yang nampak dari sini itu." Dia menuding ke arah sebuah puncak bukit yang nampak samar-samar dari lembah itu, terhalang kabut mengawan. "Aku sudah tua, sudah mau mati, akan tetapi aku tak akan dapat mati dengan mata terpejam sebelum pusaka yang berada padaku kuserahkan kepada orang yang pantas memilikinya. Dan yang pantas memilikinya hanyalah seorang pendekar yang mampu menandingiku. Kalau aku tidak menemukan orang itu, pusaka itu tentu akan terjatuh ke tangan tiga orang murid keponakanku yang seperti setan, dan aku tidak rela, sungguh tidak rela! Karena itulah aku datang ke sini karena aku mendengar bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar yang sakti. Akan tetapi ternyata kepandaian mereka hanya begitu saja, sungguh mengecewakan hatiku."
"Locianpwe, mengapa bersusah payah menetapkan syarat begitu aneh dan berat? Jika memang locianpwe tak rela memberikan pusaka kepada orang lain, perlu apa mencari-cari? Kepandaian locianpwe begitu tinggi, siapa yang akan sanggup mengalahkannya? Dan kalau memang locianpwe berhasrat mewariskan pusaka itu kepada orang lain, berikan saja kepada siapa yang locianpwe sukai, tidak perlu dengan syarat yang aneh-aneh. Lagi pula, kami keluarga Lembah Naga Siluman juga tidak kepingin memperoleh pusaka apa pun juga."
Kakek itu menghela napas panjang. "Orang muda, enak saja kau bicara. Kalau aku memberikan kepada sembarang orang, berarti menyuruh dia mampus dan pusaka itu akhirnya akan terampas pula oleh tiga orang murid keponakanku. Mengertikah engkau? Aku sudah menjatuhkan pilihanku kepada penghuni lembah ini, kalau tidak ada yang mampu mengalahkan aku, berarti mengecewakan hatiku dan karenanya akan kubunuh semua!"
Sim Houw menjadi marah. "Hemm, watak locianpwe begini aneh dan jahat, pantas saja murid keponakan locianpwe juga jahat seperti setan. Nah, biarlah kini saya mewakili keluarga Cu untuk menghadapi locianpwe!"
Sambil berkata demikian, karena maklum bahwa lawannya yang sudah mengalahkan cek-kongnya bersama isterinya tentu amat sakti, dia sudah mencabut keluar sebatang suling dari balik jubahnya. Begitu suling dicabut, nampak sinar emas berkelebat yang dibarengi suara melengking dari suling itu seolah-olah ditiup. Melihat dan mendengar ini, kakek itu terbelalak.
"Ihhh...? Itu... itu senjatamu? Sebatang suling emas?" tanyanya kaget dan memandang ke arah sebatang suling terbuat dari pada emas yang berada di tangan pemuda itu.
Memang suling ini sebuah suling emas, pemberian pendekar sakti Kam Hong. Sebatang suling yang merupakan duplikat dari suling emas di tangan pendekar itu, yang dahulu digunakan oleh Sim Houw untuk berlatih ketika digembleng oleh bekas calon mertuanya itu.
"Aneh...!" Kakek itu berkata, matanya yang sipit itu agak terbelalak lebar dan mulutnya tersenyum. Wajahnya yang tadinya keruh sekarang nampak berseri penuh harapan. "Lihat seranganku!"
Tiba-tiba kakek itu telah menggerakkan kedua tangannya dan Sim Houw merasa betapa ada angin yang sangat kuat menyambar ke arahnya dari kanan kiri. Kakek itu telah menyerang dengan pukulan-pukulan yang ampuh, aneh datangnya, melengkung dari kanan kiri. Dari angin serangan itu saja dapat diketahui bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang amat kuat!
Namun, yang diserang oleh Pek-bin Lo-sian adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah matang kepandaiannya. Pemuda ini merupakan satu-satunya orang yang sudah mewarisi dua ilmu kesaktian yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Koai-liong Kiam-sut dari keluarga Cu dan juga Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dari pendekar Kam Hong!
Kini dua ilmu itu telah mendarah daging pada dirinya. Hanya ada satu orang lagi yang pandai menggabung kedua ilmu itu, ia adalah Kam Bi Eng, bekas tunangannya, puteri tunggal pendekar sakti Kam Hong yang kini menjadi isteri dari Suma Ceng Liong, cucu dari majikan Pulau Es.
Memang terdapat perbedaan antara kepandaian yang dikuasai Sim Houw dan yang dikuasai Kam Bi Eng. Sim Houw, menggabungkan kedua ilmu itu dengan dasar Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang dipelajarinya pertama kali dari ayahnya, sebaliknya Bi Eng mendasari penggabungan itu dengan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisi dari ayahnya.
Pada saat mereka dipertunangkan, Sim Houw digembleng oleh Kam Hong, bekas calon mertuanya, sebaliknya Kam Bi Eng digembleng oleh Sim Hong Bu, ayah Sim Houw. Kini keduanya telah menguasai penggabungan kedua ilmu itu, akan tetapi sayang, karena tidak adanya cinta kasih kedua pihak, maka pertunangan itu putus dan mereka tidak menjadi suami isteri.
Menghadapi serangan aneh dari Pek-bin Lo-sian, dengan tenang akan tetapi dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan, Sim Houw memutar sulingnya ke kanan kiri dan ujung sulingnya itu mengancam dua lengan lawan dengan totokan-totokan maut ke arah pergelangan tangan. Kalau serangan kakek itu dilanjutkan, sebelum kedua tangannya menyentuh tubuh lawan, maka lebih dulu kedua pergelangan tangannya akan tertotok suling emas!
"Ohhhh...!" Dia terkejut, akan tetapi juga girang.
Tadi dia sengaja mengeluarkan jurus serangannya yang sangat ampuh untuk menguji kepandaian pemuda aneh yang bersenjata suling emas itu. Kini ternyata pemuda itu tidak hanya mampu membuyarkan serangannya, bahkan berbalik mengancam kedua lengannya! Dia cepat-cepat menarik kembali kedua tangan itu dan mulailah kakek itu berloncatan dan bergerak cepat, melakukan serangan bertubi-tubi kepada Sim Houw.
Sim Houw juga tak mau berlaku sungkan lagi. Suling emasnya bergerak semakin cepat menghadang setiap serangan sehingga kini kakek itu yang berbalik terserang olehnya. Beberapa kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Suling itu berubah menjadi sinar keemasan bergulung-gulung disertai suara melengking-lengking seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang.
Hal ini membuat Pek-bin Lo-sian kagum bukan main. Pernah dia mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, dan kini dia merasa seolah-olah berhadapan dengan pendekar yang pernah terkenal di seluruh dunia persilatan itu! Dia tidak tahu bahwa memang yang dihadapinya adalah murid dari Pendekar Suling Emas Kam Hong. Belum sampai lima puluh jurus, kakek itu sudah terdesak oleh gulungan sinar yang melengking-lengking itu.
Cu Kang Bu dan isterinya yang menonton pertandingan itu menjadi kagum bukan main. Tidak mereka sangka bahwa putera mendiang Sim Hong Bu dan Cu Pek In kini telah menjadi seorang pendekar yang demikian hebat ilmu silatnya.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan mengguntur. Nampak sinar hitam berkelebat, dan tahu-tahu ia telah memegang sebuah pedang yang aneh sekali. Senjata itu disebut pedang, karena dipegang dan dimainkan seperti orang memainkan pedang, akan tetapi bentuknya adalah seekor naga yang merupakan ukiran indah sekali dan warnanya hitam pekat. Akan tetapi pada tubuh pedang berbentuk naga itu terdapat lubang-lubang seperti pada sebuah suling!
Dan ketika kakek itu menggerakkan senjata aneh ini, nampak sinar hitam berkelebat. Terdengar pula suara melengking kacau, sama sekali berbeda dengan lengking suara yang keluar dari suling emas di tangan Sim Houw yang terdengar merdu seperti melagu.
"Cringgg...!"
Nampak bunga api berpijar ketika senjata aneh itu bertemu suling emas dan Sim Houw merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Akan tetapi pemuda ini tidak menjadi gentar. Cepat dia memindahkan suling emas di tangan kiri dan begitu tangan kanannya bergerak ke bawah jubahnya, nampak sinar berkilat menyeramkan, sinar biru yang menyilaukan mata dan terdengar suara mengaum seperti seekor singa.
Itulah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) peninggalan ayahnya! Dan kini dia menggerakkan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri. Bukan main hebatnya karena pedangnya itu memainkan jurus-jurus ampuh dari Koai-liong Kiam-sut sedangkan suling emasnya memainkan jurus-jurus pilihan dari Kim-siauw Kiam-sut!
Menghadapi gabungan dua ilmu yang sakti dan ampuh ini, kembali si kakek kurus renta mengeluarkan suara terkejut bukan main dan dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak hebat.
Sekarang kakek itu benar-benar kagum bukan main, berkali-kali mengeluarkan seruan memuji, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan pemuda yang amat menarik perhatiannya itu. Dan memang ilmu silat kakek ini aneh sekali. Beberapa kali hampir saja Sim Houw tertipu dan terpancing, akan tetapi berkat keampuhan dua ilmu silat yang digabung itu, serangan-serangan kakek itu selalu gagal.
Sim Houw diam-diam merasa bingung juga. Dia tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan kakek ini, maka tadinya dia hanya ingin menandingi dan jika memang mungkin, mengalahkan tanpa melukai kakek itu. Akan tetapi, kini ternyata bahwa ilmu kepandaian kakek ini benar-benar hebat sehingga tidak mungkin kiranya tanpa melukai. Bahkan kalau dia terlalu mengalah, jangan-jangan dia sendiri yang akan roboh akhirnya!
Maka, terpaksa ia pun lalu mengeluarkan jurus-jurus terampuh yang digabung sehingga keadaan kakek itu benar-benar terkurung oleh sinar keemasan dan sinar biru yang amat dahsyat. Tiba-tiba sinar biru menyambar dahsyat menyambut pedang naga hitam itu, didukung tenaga sinkang yang amat kuat.
"Krekkk...!"
Kini patahlah senjata ampuh kakek itu, terbabat Koai-liong Po-kiam yang ampuh dan pada saat itu juga, suling di tangan kiri pemuda itu sudah menotok ke arah tenggorokan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.
"Ahhhhh...!" Kakek itu terkejut melihat senjatanya patah sehingga kurang waspada dan tahu-tahu ujung suling sudah meluncur ke arah tenggorokannya.
Melihat ini, Sim Houw yang tak ingin membunuh cepat-cepat mengurangi tenaga pada totokannya. Hanya itulah yang mampu dilakukan, karena melihat kedudukannya, tidak mungkin menarik kembali, karena tangan kiri kakek itu dapat saja melakukan pukulan kalau dia menarik kembali totokan sulingnya. Kakek itu pun biar terlambat masih dapat membuang tubuh ke samping.
"Tukkk...!" Tetap saja ujung suling masih menotok pundak kirinya.
Kakek itu mengeluh, lalu terpelanting! Bukan main girang dan kagumnya rasa hati Cu Kang Bu dan isterinya melihat betapa akhirnya cucu keponakan mereka itu berhasil mengalahkan kakek gila yang amat lihai itu.
"Aihh, locianpwe, maafkan saya...!" Sim Houw terkejut dan menyesal, cepat menyimpan sepasang senjatanya dan menjura.
"Sudahlah, aku kalah...," kakek itu mengeluh dan bangkit berdiri, napasnya terengah-engah dan dia menekan pundak kirinya. Jelas bahwa totokan itu telah mendatangkan luka di dalam dadanya. Sampai beberapa lamanya kakek itu menatap wajah Sim Houw, kemudian dia mengangguk-angguk.
"Ahhh, tidak kusangka bahwa akhirnya Suling Naga bertemu dengan majikannya. Orang muda, engkaulah orangnya yang patut sekali memiliki Liong-siauw-kiam. Engkau telah memiliki dua ilmu dengan pedang dan suling, dan kalau kini engkau mempergunakan Liong-siauw-kiam, berarti engkau dapat memainkannya dengan dua ilmu itu. Engkau telah mengalahkan aku, pusaka itu akan kuserahkan kepadamu."
"Hemmm, kakek jahat. Pusakamu itu telah patah dua, untuk apa diberikan kepada cucu keponakan kami?" Yu Hwi mencela sambil menuding ke arah senjata hitam yang patah terbabat pedang Koai-liong-po-kiam tadi.
Kakek itu tertawa, akan tetapi tiba-tiba menahan ketawanya dan menyeringai kesakitan.
"Locianpwe, engkau telah terluka. Marilah kubantu meringankan penderitaanmu," kata Sim Houw sambil melangkah maju. Akan tetapi kakek itu mundur ke belakang.
"Jangan! Aku sudah terluka dan itu adalah resiko pertandingan. Jika engkau yang kalah, engkau bukan hanya terluka melainkan mampus, orang muda! Dan siapa bilang bahwa pusaka itu benda yang patah itu? Heh-heh, kau kira aku begitu bodoh membawanya ke mana saja? Memang sama bentuknya, akan tetapi yang ini adalah buatanku sendiri, yang palsu. Yang asli mana mungkin dapat dipatahkan oleh senjata pusaka yang bagai mana ampuh pun juga? Mari, orang muda, engkau berhak memiliki Liong-siauw-kiam. Mari kau ikut denganku mengambilnya di tempat persembunyianku."
Sim Houw percaya sepenuhnya kepada kakek aneh yang amat lihai itu, maka dia pun mengangguk dan menjawab, "Baiklah, locianpwe."
"Sim Houw, jangan mudah percaya omongannya!" Tiba-tiba Yu Hwi berseru. "Orang macam dia ini mana bisa dipercaya? Jangan-jangan engkau dipancing untuk memasuki perangkap!"
Kakek itu memandang kepada Yu Hwi serta mengangguk-angguk sambil tersenyum aneh. "Nyonya ini memiliki kecerdikan yang boleh juga, heh-heh. Terserah kepadamu, orang muda, apakah engkau berani atau tidak ikut bersamaku. Kalau tidak, sungguh aku akan mati dengan mata terbuka karena kecewa dan penasaran."
"Biarlah, cek-kong berdua harap jangan khawatir. Saya dapat menjaga diri," kata Sim Houw.
Dia pun kemudian mengikuti kakek itu yang sudah membalikkan tubuh dan pergi sambil tertawa mengejek. Cu Kang Bu dan isterinya mengikuti dengan pandang mata khawatir, akan tetapi Cu Kun Tek berkata dengan kagum.
"Hebat sekali Sim Houw itu. Kalau aku menjadi dia, aku pun pasti akan pergi mengambil pusaka yang dijanjikan kakek itu."
Dua orang itu lalu menyeberangi tambang. Dengan cepat sekali kakek yang mengaku bernama Pek-bin Lo-sian itu lalu berlari seperti terbang. Agaknya ia masih ingin menguji kepandaian Sim Houw. Akan tetapi, setelah berlari secepatnya dan napasnya mulai memburu, dia menoleh ke belakang. Dia melihat betapa pemuda itu berada tepat di belakangnya, sedikit pun tidak tertinggal, bahkan tak nampak letih seperti orang berjalan seenaknya saja. Kakek itu kagum sekali dan menahan larinya, menjadi langkah biasa untuk mengatur pernapasannya. Wajahnya menjadi semakin pucat.
"Locianpwe, mengapa harus tergesa-gesa? Tidak baik untuk kesehatan locianpwe yang sedang menderita luka." Sim Houw berkata dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa pengerahan tenaga ginkang tadi memang amat berbahaya bagi kakek yang sudah menderita luka di dalam tubuhnya.
"Marilah, kita sudah dekat...!" kata kakek itu dengan napas terengah-engah dan dia mendaki bukit itu. Dan karena luka yang diderita oleh Pek-bin Lo-sian semakin parah, kini kakek itu hampir tidak kuat mendaki bukit itu.
Melihat ini, Sim Houw berkata, "Locianpwe terluka, marilah saya membantu locianpwe untuk meringankan penderitaan itu." Pemuda ini bermaksud untuk mengobati kakek itu dengan pengerahan sinkangnya. Akan tetapi kakek itu menggelengkan kepala.
"Tidak ada gunanya, hanya menghilangkan nyeri sebentar akan tetapi tak akan mampu menyembuhkan."
Sim Houw juga maklum akan hal ini dan dia merasa menyesal sekali. "Maafkan saya, locianpwe. Bukan maksud saya untuk... akan tetapi saya terdesak dan terpaksa..."
"Sudahlah, begini lebih baik. Roboh di tangan seorang pemuda seperti engkau tidak membikin hatiku penasaran. Kalau kau mau... kau gendong saja aku sampai ke puncak, aku khawatir akan putus nyawaku sebelum berhasil menyerahkan pusaka itu."
Sim Houw tanpa ragu-ragu lagi lalu menggendong kakek itu di belakang punggungnya. Baru beberapa langkah saja dia berjalan, tiba-tiba kakek yang tadinya nampak loyo itu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah tengkuk Sim Houw.
"Tolol kau! Mencari mampus sendiri!" Tetapi tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan kaget karena tengkuk yang dicengkeramnya itu lemas seperti tak berotot atau bertulang sehingga cengkeramannya meleset dan tenaga yang dipergunakannya bagai tenggelam ke dalam air saja.
Tahulah dia bahwa pemuda itu tidak setolol seperti yang disangkanya karena diam-diam pemuda itu telah bersiap melindungi dirinya dengan ilmu I-kiong-hoan-hiat, yaitu Ilmu Memindahkan Jalan Darah yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Dan sebelum dia sempat melakukan hal lain lagi, tahu-tahu tubuhnya sudah tidak dapat digerakkan karena pemuda itu telah menotoknya dan membuat kaki tangannya lumpuh! Diam-diam dia kagum dan girang sekali.
"Bagus! Kini barulah yakin hatiku bahwa engkau memang paling pantas menjadi pemilik Liong-siauw-kiam, karena selain lihai engkau pun cerdik sekali." Dia lalu menunjukkan jalan bagi Sim Houw yang tidak menjawab melainkan berlari dengan cepat mendaki bukit itu sambil menggendong tubuh kakek yang sudah tidak mampu bergerak lagi itu.
Setelah kakek itu menyuruhnya berhenti di depan sebuah goa besar, baru Sim Houw menurunkan tubuh kakek itu dari gendongan dan membebaskan totokannya sehingga kakek itu mampu bergerak lagi. "Maafkan saya yang terpaksa menotokmu, locianpwe," katanya dengan sikap tetap menghormat.
Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengangguk-angguk. "Jika engkau tidak cerdik dan tidak melindungi tubuhmu, tentu cengkeramanku akan mematikanmu. Dan memang lebih baik engkau mati kalau tidak mampu melindungi diri dari kecurangan seperti itu. Musuh-musuhmu yang akan kau hadapi puluhan kali lebih curang dari pada yang kulakukan tadi. Tadi aku memang hanya mengujimu. Kalau kau gagal, kau mampus, dan karena kau lulus, maka sekarang aku merasa lebih yakin kau akan mampu mempertahankan Liong-siauw-kiam."
Tiba-tiba kakek itu batuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya.
"Locianpwe, harap kau beristirahat...!" kata Sim Houw dengan kaget karena muntah darah itu menunjukkan bahwa luka yang diderita kakek itu sudah amat berat.
"Heh-heh-heh...!" Pek-bin Lo-sian mengusap darah dari bibirnya sehingga ujung lengan bajunya menjadi merah semua. "Kau... kau tunggu... akan kuambil pusaka itu..." Dan dengan terhuyung-huyung dia memasuki goa yang lebar dan dalam itu.
Sim Houw menanti di luar dengan hati tegang. Hatinya tidak merasa gembira sedikit pun. Tanpa sebab, tanpa permusuhan apa pun dia telah menyebabkan seorang kakek yang memiliki kesaktian luar biasa menderita luka parah, luka yang dia tahu akan membawa maut bagi kakek itu. Dan sesungguhnya dia sama sekali tidak menginginkan pusaka orang, walau pun sikap dan kata-kata kakek itu tentang pusaka yang disebut Liong-siauw-kiam menarik perhatiannya.
Tiba-tiba dia melihat kakek itu keluar lagi, dan cara jalannya semakin terhuyung-huyung, bahkan saat tiba di depan goa, kakek itu terguling roboh dan kembali muntahkan darah segar.
"Locianpwe...!" Sim Houw meloncat dan berlutut dekat kakek itu.
Akan tetapi kakek itu sudah bangkit duduk bersila, mengusap darah dari bibirnya dan dia mengangkat tinggi-tinggi sebuah benda hitam yang ternyata sama benar bentuknya dengan senjata kakek itu yang pernah patah oleh pedang Koai-liong Po-kiam.
"Inilah Liong-siauw-kiam, pusaka ampuh itu yang akan kuserahkan kepadamu, Sim Houw."
Pemuda itu memandang dengan sinar mata ragu-ragu. Benda itu serupa benar dengan senjata kakek tadi, dan tentu saja dia meragukan keampuhannya. Hanya sebuah benda sepanjang kurang lebih tiga kaki, terbuat dari kayu hitam yang diukir membentuk seekor naga, dengan ekor meruncing dan tepinya tajam seperti pedang, di tengahnya yang tebal terdapat lubang-lubang seperti suling. Sebatang Pedang Suling Naga? Jika hanya terbuat dari kayu, mana dapat menjadi senjata yang ampuh? Mana mungkin dapat dibandingkan dengan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam?
Agaknya Pek-bin Lo-sian dapat menduga apa yang diragukan pemuda itu. "Sim Houw, coba kau keluarkan pedangmu dan kau babatlah pusaka ini untuk membuktikan bahwa pusaka ini tidak kalah dibandingkan dengan pedangmu itu."
Wajah Sim Houw berubah agak merah karena isi pikirannya ternyata dapat ditebak dengan tepat oleh kakek itu. Dia lalu mengeluarkan Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar biru berkelebat menyeramkan. Pek-bin Lo-sian sendiri memandang kagum dan mengangguk-angguk.
"Pedang itu memang hebat, akan tetapi cobalah kita adu dengan pusaka ini." Dia lalu mengacungkan Liong-Siauw-kiam itu dan memegang dengan dua tangannya. "Babatlah dan pergunakan tenagamu. Aku sendiri ingin menguji keampuhan pusaka ini!"
Sim Houw lalu bangkit berdiri, mengerahkan tenaga serta mengayun pedangnya. Sinar biru berkelebat bagai kilat dan pedang itu membacok Suling Naga itu dengan kuatnya karena didasari tenaga sinkang.
"Cringggg...!"
Bunga api berpijar keras. Sim Houw merasa betapa pedangnya bertemu dengan benda seperti baja kerasnya sehingga pedangnya membalik. Akan tetapi karena tenaganya sangat besar dan kakek itu sudah lemah, hampir saja pusaka itu terlepas dari kedua tangannya. Sim Houw memandang dan ternyata benda itu sama sekali tidak rusak, lecet pun tidak! Tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Jangankan hanya kayu, biar baja sekali pun, jika bukan baja terbaik, tentu akan patah terbabat Koai-liong Po-kiam. Akan tetapi suling atau pedang kayu hitam itu sama sekali tidak rusak.
"Heh-heh-heh...!" Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengulurkan tangannya. "Nih, terimalah Liong-siauw-kiam, mulai saat ini menjadi milikmu, Sim Houw."
Sim Houw menerima benda itu. "Terima kasih, locianpwe..."
Ketika menerima pedang dia menyentuh jari-jari tangan kakek itu. Dia menjadi terkejut bukan main karena jari-jari tangan itu terasa amat panas seperti api! "Ah, kau... kenapa locianpwe?"
Kakek itu tidak menjawab dan kembali muntah-muntah darah. Wajahnya pucat bukan main dan ketika Sim Houw hendak menolongnya, dia menolak dengan tangannya. "Tak perlu ditolong lagi. Kau pergilah, bawalah pusaka yang menjadi milikmu itu, pertahankan dengan nyawamu, dan berhati-hatilah. Ada tiga orang murid keponakanku yang amat lihai mengincar pusaka itu... kau... kau harus dapat melawan mereka..."
"Siapakah mereka, locianpwe?"
"Sam-kwi... mereka... ahh, sudahlah, cepat pergilah dan tinggalkan aku sendiri." Pek-bin Lo-sian menggerakkan tangannya mengusir Sim Houw.
Terpaksa pemuda itu menjura dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, baru dia pergi dengan berlari cepat sekali turun dari bukit itu sambil membawa Liong-siauw-kiam. Dia adalah seorang pemuda yang berhati-hati sekali karena telah lama merantau di dunia kang-ouw, di mana terdapat banyak sekali kaum sesat yang licik dan curang. Dia dapat menduga bahwa melihat sikap dan perbuatannya, Pek-bin Lo-sian tentulah seorang datuk sesat pula yang mengasingkan diri, maka tadi pun dia tidak sampai kena diserang secara menggelap karena dia sudah siap siaga.
Kini pun dia belum mau menelan begitu saja semua keterangan kakek itu dan dia masih memegang pusaka itu dengan hati-hati. Dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk meneliti apakah benda itu dilumuri racun dan setelah mendapat kenyataan bahwa benda itu bersih dari racun, dia tetap masih memegangnya dengan hati-hati, khawatir kalau-kalau di situ tersembunyi senjata rahasia yang akan membahayakan dirinya.
Setelah menuruni bukit itu, barulah Sim Houw memeriksa pusaka yang barusan saja diterimanya dari Pek-bin Lo-sian. Dia memeriksa dengan teliti dan merasa kagum sekali. Benda itu benar-benar terbuat dari pada kayu, akan tatapi kayu hitam itu luar biasa keras dan kuatnya, tidak kalah dengan baja asli! Dan ukirannya demikian indah dan halus.
Pada waktu dia memegang bagian kepala yang menjadi gagang dan mencoba untuk memainkannya, dia terkejut sendiri dan juga girang. Benda itu enak benar dimainkan sebagai pedang, dengan bobot yang tepat. Dan saat dia mencoba satu dua jurus, benda itu mengeluarkan suara merdu, tidak kalah dengan suling emasnya! Lalu dia mencoba untuk meniupnya, ternyata benda itu merupakan sebuah suling yang suaranya amat merdu!
Dengan hati girang luar biasa Sim Houw lalu kembali ke Lembah Naga Siluman. Setelah dia menyeberang dan bertemu dengan Cu Kang Bu dan isterinya, dia menceritakan pengalamannya dan memperlihatkan pusaka itu. Suami isteri itu kagum bukan main dan juga merasa amat gembira.
"Ahhh, engkau sungguh beruntung, Sim Houw," kata Cu Kang Bu dengan kagum sambil mengembalikan pusaka itu. "Ternyata kakek aneh itu tidak membohongimu dan engkau telah mendapatkan sebuah pusaka yang amat hebat."
"Dengan demikian engkau memiliki tiga buah pusaka ampuh, Sim Houw," kata Yu Hwi dengan suara yang jelas mengandung iri. "Sebuah suling emas, sebuah pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dan sekarang pusaka Liong-siauw-kiam!"
Cu Kang Bu dapat mendengar suara mengandung iri dari isterinya, maka dia cepat berkata dengan suara lantang. "Tentu saja dan memang dia berhak memiliki semua itu. Suling emasnya adalah tanda bahwa dia murid Pendekar Suling Emas Kam Hong, pedang Koai-liong Po-kiam adalah warisan ayahnya, sedangkan Pedang Suling Naga ini adalah pemberian Pek-bin Lo-sian setelah Sim Houw berhasil menundukkannya. Jadi memang semua itu adalah haknya!"
Tetapi, sebelum menghadap suami isteri itu, dalam perjalanannya meninggalkan kakek itu, dan setelah mencoba Liong-siauw-kiam dan tahu benar bahwa pusaka itu memang ampuh, Sim Houw sudah mengambil satu keputusan.
"Cek-kong berdua, Liong-siauw-kiam ini bisa digunakan sebagai suling dan juga sebagai pedang. Dengan sendirinya, pusaka ini seperti pengganti suling emas dan Koai-liong Po-kiam menjadi satu. Bahkan penggabungan kedua ilmu akan dapat lebih mantap jika dimainkan dengan pusaka ini, hanya tinggal melatih saja. Karena itu Koai-liong Po-kiam beserta suling emas akan saya tinggalkan di sini, dan saya serahkan kepada cek-kong sekeluarga."
"Ah, apa maksudmu dengan keputusan ini?" Cu Kang Bu yang berwatak keras dan jujur itu bertanya dengan suara lantang dan sinar matanya menatap wajah Sim Houw penuh selidik.
"Cek-kong Cu Kang Bu, harap jangan salah mengerti. Saya sudah mendengar bahwa lembah ini dahulunya bernama Lembah Suling Emas, dan bahwa pusaka suling emas yang terkenal itu berasal dari tempat ini. Juga sekarang lembah ini diganti dengan nama Lembah Naga Siluman, dan pedang pusaka Naga Siluman juga berasal dari tempat ini. Meski suling emas di tangan saya bukan suling emas yang asli, melainkan hanya tiruan saja, akan tetapi biarlah saya serahkan kepada keluarga Cu berikut pedang pusaka Naga Siluman. Dengan demikian terhapuslah sudah semua rasa penasaran dan kedua pusaka itu kembali ke tempat asalnya."
"Akan tetapi...," Cu Kang Bu hendak membantah.
"Aihhh, mengapa engkau malah hendak menolak niat baik dari Sim Houw? Niatnya itu membuktikan bahwa dia adalah seorang gagah sejati, yang tahu akan jalannya sejarah dan mengenal pula sumbernya."
"Keluarga Cu adalah keluarga yang tadinya berhak atas kedua pusaka itu. Dan keluarga Cu masih belum habis, masih ada engkau dan sekarang ada pula Cu Kun Tek, putera kita. Apakah tidak pantas kalau puteramu kelak mewarisi pusaka-pusaka lembah yang turun-temurun dihuni oleh keluarga Cu ini?" kata Yu Hwi dengan penuh semangat.
Cu Kang Bu masih mengerutkan alisnya yang tebal. "Sim Houw, apakah tidak ada maksud-maksud tersembunyi di balik niatmu ini? Apakah engkau tidak akan menyesal kelak? Ingat, yang menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut adalah engkau seorang, jadi kedua pusaka itu memang sudah menjadi hakmu."
Sim Houw mencabut keluar suling emas dari pinggangnya, kemudian meloloskan sabuk pedang Koai-liong Po-kiam dari punggungnya, lalu menyerahkan dua pusaka itu kepada Cu Kang Bu dengan sikap hormat dan wajah penuh keramahan.
"Saya menyerahkannya dengan hati ikhlas dan rela, cek kong. Biarlah kedua pusaka ini, walau pun suling emasnya hanyalah tiruan, menjadi pusaka-pusaka keturunan keluarga Cu."
"Wah, aku senang sekali kalau punya dua senjata itu!" Tiba-tiba si kecil Kun Tek berseru girang. "Kelak aku ingin bisa menjadi seperti Sim Houw!"
"Hemm, enak saja kau bicara!" ayahnya menegur, "Tanpa mempunyai ilmu-ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, mana bisa seperti Sim Houw?”
"Jangan khawatir, Kun Tek." Ibunya menghibur. "Ayahmu dapat mengajar ilmu dengan suling emas, dan aku akan mengajarkan ilmu pedang padamu."
Nyonya ini bukan hanya membual. Ia adalah seorang ahli pedang, bahkan ia memiliki Ilmu-ilmu Kiam-to Sin-ciang, yaitu ilmu yang membuat lengannya dapat digerakkan dengan ampuh seperti berubah menjadi pedang dan golok. Di samping ini, juga ia ahli ilmu Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru) dan ilmu ini dapat pula dimainkan dengan pedang menjadi Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin.
Karena melihat kesungguhan hati dan kerelaan Sim Houw, dan juga mengingat bahwa memang bukan keliru alasan Sim Houw yang mengatakan bahwa kedua pusaka itu berasal dari lembah mereka, akhirnya Cu Kang Bu menerima juga penyerahan dua pusaka itu dengan hati girang.
"Aku akan menyimpan benda-benda ini sebagai pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman dan mudah-mudahan kami akan mampu menjaganya," katanya dengan hati lega. "Dan banyak terima kasih kepadamu, Sim Houw. Engkaulah yang telah menyatukan kembali keretakan yang pernah terjadi pada mendiang ayah dan ibumu."
Setelah tinggal di lembah itu selama tiga hari, Sim Houw lalu berpamit dan diantar oleh keluarga Cu ayah ibu dan anak itu sampai ke tepi jembatan tambang. Sim Houw lalu meninggalkan lembah itu dan mulai dengan perantauannya.
Selama tiga tahun ini, banyak sudah yang dia lakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar. Karena dia tidak pernah meninggalkan nama, atau jarang sekali memperkenalkan diri, akhirnya yang lebih dikenal di dunia kang-ouw hanyalah senjata barunya itu dan mulailah dia dijuluki orang Pendekar SULING NAGA.
Demikianlah peristiwa tiga tahun yang lalu itu, semua terbayang dalam benaknya ketika Sim Houw beristirahat ditepi Sungai Wu-kiang, duduk di atas rumput hijau tebal yang bersih itu. Alam di sekelilingnya amat indahnya, dan setelah Sim Houw menghentikan lamunannya, dia mulai masuk ke dalam keheningan yang penuh dan maha luas itu.
Pagi yang indah cerah, sinar matahari kuning emas yang menerobos celah-celah daun dan dahan nampak seperti garis-garis lurus yang amat indah. Sebagian sinar matahari sempat menimpa permukaan air sungai yang membentuk jalan lurus panjang berwarna kuning kemerahan.
Dia merasa betapa kulit pinggul dan belakang pahanya dingin, oleh karena embun yang tadinya menghias ujung rumput yang didudukinya meresap melalui celana, kemudian membasahi kulit pahanya. Semilir angin pagi yang membuat rambut kepalanya berkibar lembut mendatangkan rasa nyaman seperti membelai-belai leher dan dagunya.
Dengan kesadaran penuh akan keadaan sekeliling dirinya, Sim Houw melihat keindahan yang tiada taranya. Sukar untuk dapat diceritakan karena kata-kata amatlah terbatas.
Kata-kata hanya dapat menceritakan hal-hal yang telah lalu saja, tidak mungkin dapat menggambarkan keadaan saat ini. Keindahan dalam keheningan itu hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya pada saat itu juga. Cerita yang dituturkan kemudian sama sekali berbeda dengan kenyataan pada saat itu.
Kenyataan yang demikian indahnya, yang menimbulkan rasa bahagia dan keharuan yang mendalam sehingga tanpa terasa lagi ada air mata membasahi kedua mata Sim Houw. Bukan air mata kesenangan atau air mata kesedihan, melainkan air mata yang muncul ketika batinnya yang paling dalam tersentuh oleh sesuatu yang halus, yang mendekatkan batinnya pada hidup yang sejati, bukan kehidupan di dunia fana yang penuh dengan permainan emosi ciptaan sang aku.
Sang aku tidak ada pada saat seperti itu, dirinya telah lebur menjadi satu dengan segala sesuatu, dengan alam, dengan keheningan. Berkericiknya air sungai, berkicaunya burung-burung di dalam pohon, semua itu termasuk di dalam keheningan yang maha luas itu. Hening, tapi bukan kesepian. Keheningan yang nyaman karena tidak adanya pikiran, tidak adanya sang aku, namun bukan pula tidur lelap, bukan pula termenung atau tenggelam ke dalam sesuatu. Sadar sesadar-sadarnya, segalanya terbuka, wajar, tanpa pamrih.
Seperti otomatis, Sim Houw mengeluarkan suling naga dari balik jubahnya. Benda ini selalu berada pada dirinya, tersembunyi aman tak nampak dari luar diselipkan di ikat pinggang, tertutup baju. Keharuan selalu timbul dalam keadaan seperti itu, dan selalu mendorongnya untuk meniup suling! Getaran batin dapat disatukan melalui suara suling yang ditiup.
Segera melayang suara merdu dari suling itu ketika Sim Houw mulai meniup sulingnya. Pemuda ini memang telah menguasai ilmu-ilmu dari Kam Hong yang pernah menjadi gurunya dan juga bekas calon ayah mertuanya. Bukan hanya pelajaran ilmu kesaktian Kim-siauw Kiam-sut saja yang dipelajarinya, melainkan juga ilmu meniup suling, baik meniup dengan mulut biasa untuk menciptakan lagu mau pun tiupan dengan bantuan pengerahan khikang untuk menyerang lawan yang tangguh.
Suara suling itu mengalun dan kadang-kadang melengking tinggi sekali sampai tidak tertangkap telinga manusia biasa, kemudian merendah dan menggereng sampai lenyap dari pendengaran pula. Merdu dan sesuai sekali dengan suara-suara yang ada, dengan gemersik daun-daun yang terhembus angin pagi, dengan gemerciknya air di tepi sungai, dengan kicau burung, dengan detak jantungnya sendiri. Getaran hatinya hanyut dalam aliran suara suling yang merdu.
Demikian asyiknya Sim Houw meniup suling sehingga seluruh keadaan dirinya lahir dan batin bagaikan masuk ke dalam suara itu. Dia seperti melayang-layang bersama suara sulingnya.
"Heiiii...! Bising sekali suara sulingmu!" Mendadak terdengar suara orang menegurnya, suaranya berteriak melengking tak kalah nyaringnya menyaingi suara suling.
Sim Houw melihat meluncurnya sebuah perahu di atas air sungai dan di atas perahu itu terdapat seorang wanita muda yang memegang tangkai pancing. Gadis itulah yang berteriak menegurnya. Akan tetapi Sim Houw bersikap tenang, melanjutkan tiupan sulingnya sampai lagunya habis barulah dia menghentikan tiupan sulingnya.
Kini perahu kecil itu sudah berada di tepi sungai di depannya dan seorang gadis yang duduk di dalam perahu sambil memegang tangkai pancing itu memandang kepadanya dengan mata melotot. Kemudian gadis itu menuding ke arah Sim Houw dengan tangkai pancingnya sambil berseru marah, "Kebisingan sulingmu itu menggangguku! Kalau mau menyuling jangan di sini, mengganggu aku yang sedang berlatih!"
Sim Houw memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang gadis yang menarik sekali, wajahnya manis sekali, kecantikan yang asli karena gadis itu tidak merias mukanya. Sikapnya gagah dan rambutnya diikat ke atas dengan pita dan ujungnya digelung secara sederhana. Pakaiannya yang ringkas membayangkan bentuk tubuhnya yang penuh dan padat, di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce merah muda.
Melihat keadaan gadis ini, Sim Houw sudah dapat menduga bahwa nona di atas perahu itu adalah seorang gadis ahli silat. Apa lagi ketika gadis itu menuding dengan tangkai pancing dan ketika mengangat tangkai itu, ujungnya hanya terdapat sehelai tali tanpa pancing, dia pun dapat menduga bahwa tadi gadis itu sebenarnya bukan memancing, melainkan melakukan semacam latihan dengan bantuan tangkai pancing itu. Dan dia pun kagum ketika dia menduga bahwa tentu gadis itu sedang berlatih semedhi dengan bantuan tangkai pancing.
Banyak macam orang bersemedhi dengan maksud mengumpulkan konsentrasi pada suatu hal saja. Ada orang mengggunakan bantuan api lilin yang dipandangnya terus, atau sebuah gambar lingkaran dengan titik di tengah, atau gambar pat-kwa, ada pula yang menggunakan patung dan sebagainya. Semua itu hanya dipergunakan sebagai alat untuk menujukan seluruh perhatian.
Gadis ini agaknya menggunakan tangkai pancing dengan tali yang tak ada pancingnya, tetapi ujungnya diikatkan pada sepotong batu. Dan gadis itu tentu berlatih konsentrasi sambil mencurahkan seluruh perhatiannya pada tangkai pancing yang dipegangnya dan air di mana nampak tali pancing ini tenggelam. Sebuah cara melatih perhatian yang amat aneh akan tetapi juga istimewa.
Teringatlah Sim Houw akan sebuah dongeng tentang Sang Bijaksana Kiang Cu Ge di dalam dongeng Hong-sin-pong, ketika Kiang Cu Ge memancing seperti yang dilakukan oleh gadis itu, dengan sebatang tangkai, sehelai benang dan di ujung benang terdapat pancing yang lurus tanpa umpan! Tentu saja cara ini tak akan mendapatkan ikan! Cara memancing Kiang Cu Ge itu hanya kiasan saja, karena yang dipancing bukanlah ikan melainkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin rakyat yang bijaksana. Dan tentu saja juga dipergunakan untuk melatih konsentrasi karena pencurahan perhatian amat penting dalam ilmu silat.
"Eihh, nona, kenapa di ujung tali itu tidak ada mata pancingnya?" Dia pura-pura tidak mengerti dan bertanya heran.
Gadis itu juga tadi memandang ke arah Sim Houw dengan penuh perhatian. Tadinya ia menyangka bahwa pria yang dapat meniup suling dengan suara menggetar-getar itu tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi hatinya kecewa melihat betapa pria itu nampak sederhana saja, tidak memperlihatkan sifat-sifat gagah seorang pendekar dan agaknya hanya seorang dusun yang pandai meniup suling saja.
Juga dari atas perahunya ia tidak melihat sesuatu yang aneh pada suling yang kelihatan hitam itu, hanya sebatang suling yang bentuknya agak aneh, batangnya berlekak-lekuk seperti tubuh ular. Dan pertanyaan pemuda itu pun menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang biasa saja yang tidak tahu apa-apa tentang pancingnya.
"Hemm, kuberitahu juga engkau tidak akan mengerti. Sudahlah, engkau jangan meniup suling itu lagi."
"Kenapa, nona?"
"Suaranya tidak sedap didengar dan menggangguku! Mengerti? Tidak usah bertanya lagi, sebaiknya kau pergi saja dari sini dan jangan meniup sulingmu karena kalau kau lakukan lagi, aku akan mematahkan sulingmu itu dan membuangnya ke tengah sungai!"
Setelah berkata demikian, gadis manis itu menggunakan sebuah dayung dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri tetap memegang tangkai pancing, dan menggerakkan dayung itu. Hanya dengan sebelah tangan saja ia mendayung, akan tetapi hebatnya, perahu itu meluncur menentang arus dan laju bukan main.
Sim Houw tersenyum seorang diri. Seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa dan agaknya memiliki kepandaian yang lumayan. Seorang gadis yang agaknya suka pula akan keheningan dan berada di tempat sunyi dan liar itu seorang diri saja! Sinar mata gadis itu demikian tajamnya dan suaranya demikian merdu! Sim Houw tersenyum dalam renungannya sendiri.
Akan tetapi dia terkejut ketika melihat berkelebatnya lima orang kakek di tepi sungai dan lima orang itu agaknya mengejar ke arah perginya perahu gadis itu tadi. Entah apa sebabnya dia menduga bahwa lima orang itu membayangi gadis di dalam perahu. Akan tetapi hatinya merasa tidak enak dan ia pun cepat bangkit dan berdiri membayangi lima orang kakek itu.
Perahu gadis itu meluncur dengan amat cepatnya, dan lima orang kakek itu pun berlari dengan menggunakan ilmu berlari cepat sehingga Sim Houw menjadi semakin curiga. Akan tetapi, karena tidak mengenal lima orang itu, juga tidak mengenal siapa adanya gadis itu, dia pun hanya membayangi dari jauh saja.
Kecurigaan dan kekhawatiran hati yang mendorong Sim Houw untuk membayangi lima orang kakek itu memang tak sia-sia. Dia melihat betapa gadis itu mendayung perahunya menepi di seberang sini. Secara lincah sekali ia meloncat ke darat, menyeret perahunya dan mengikatkan tali perahu pada sabatang pohon. Tepian itu merupakan kaki sebuah bukit kecil dan nun di atas puncak bukit itu nampak sebuah pondok yang terpencil, dikelilingi ladang sayuran dan di sebelah kanan pondok itu tumbuh pohon-pohon buah dengan suburnya.
Dan begitu gadis itu selesai mengikatkan perahunya, tiba-tiba saja lima orang kakek itu berloncatan keluar dari balik semak-semak dan mengepung si gadis yang memandang dengan tajam akan tetapi sikapnya tenang, bahkan senyumnya mengejek. Sim Houw segera mendekam di balik semak belukar untuk nenonton pertemuan antara lima orang kakek dan gadis itu dengan hati tegang. Nampak jelas olehnya betapa sikap lima orang kakek itu membayangkan niat yang tidak baik terhadap si gadis.
Melihat sikap lima orang kakek itu, si gadis segera mengerutkan alisnya. Lima orang itu membentuk setengah lingkaran menghadapinya, seolah-olah mengurung. Sikap mereka tidak bersahabat, bahkan alis mereka berkerut dan sinar mata mereka mengandung kemarahan dan ancaman.
"Kalian lima orang tua ini siapakah dan mengapa menghadang perjalananku?"
Seorang di antara lima kakek itu, yang berjenggot panjang berwarna putih dan agaknya menjadi orang paling tua di antara mereka, memandang tajam. Tangan kiri mengelus jenggot, tangan kanan kini menunjuk ke arah nona itu dan bertanya, suaranya halus namun tegas dan mengandung kemarahan.
"Apakah nona yang bernama Souw Hui Lan?"
"Benar sekali, dan siapa kalian?" Gadis yang bernama Souw Hui Lan itu menjawab, sikapnya masih angkuh dan seperti orang memandang rendah, membuat kelima orang kakek itu saling pandang dan mereka menjadi semakin marah.
"Engkau murid dari Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?" bertanya pula kakek berjenggot.
Kini Hui Lan mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu. "Kalau sudah tahu kenapa kalian berani menghadang perjalananku? Kalian siapa?"
"Kami adalah Bu-tong Ngo-lo (Lima Kakek Bu-tong-pai)."
Mendengar sebutan Beng-san Siang-eng tadi Sim Houw tidak pernah mendengarnya, tetapi mendengar sebutan Bu-tong Ngo-lo, dia terkejut. Lima orang kakek Bu-tong-pai itu pernah terkenal sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi juga terkenal sebagai pemberantas penjahat-penjahat, bahkan mereka berlima pernah mengobrak-abrik perkumpulan Hui-to-pang (Perkumpulan Golok Terbang) yang berkedok sebagai perkumpulan para patriot akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan orang-orang jahat yang amat kejam.
Karena perbuatannya membongkar keburukan Hui-to-pang dan membasminya, maka nama Bu-tong Ngo-lo ini dipuji dan dikagumi orang-orang di dunia persilatan, terutama di kalangan para pendekar. Sim Houw sudah banyak mendengar nama lima kakek itu, akan tetapi baru sekarang melihat orang-orangnya dan dia pun menjadi semakin ragu-ragu melihat betapa lima orang kakek ini agaknya memusuhi gadis yang bernama begitu indah dan yang katanya murid Sepasang Garuda dari Beng-San.
Sementara itu, mendengar disebutnya nama lima orang kakek itu, si gadis tidak menjadi kaget, bahkan tersenyum mengejek.
"Hemmm, tidak peduli lima kakek dari Bu-tong atau dari Neraka, tanpa ijin kami, tidak boleh sembarangan melanggar wilayah kami. Bu-tong-san amat jauh dari sini dan kami tidak pernah ada urusan dengan Bu-tong-pai, kenapa kalian ini lima kakek Bu-tong-pai hari ini menghadang perjalanan orang dan melanggar daerah kami tanpa ijin?"
Sim Houw tercengang. Gadis ini masih muda, paling banyak dua puluh tahun usianya dan melihat sikapnya tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian, tetapi mengapa sikapnya demikian tekebur dan angkuh? Bahkan nama Bu-tong Ngo-lo yang dihormati dan dikagumi para pendekar juga tidak dipandangnya sama sekali.
Mendengar teguran itu, kelima orang itu nampak jengah, akan tetapi kakek berjenggot putih panjang segera menudingkan telunjuknya kepada Hui Lan. "Memang kami sudah melanggar daerah orang tanpa ijin dan hal ini merupakan suatu kesalahan, akan tetapi semua ini gara-gara engkau, nona jahat. Engkau mengatakan tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai, akan tetapi tiga bulan yang lalu engkau telah membunuh seorang murid Bu-tong-pai bernama Ji Kang, dan gurumu membunuh seorang tokoh perguruan kami bernama Kui Siok Cu."
Gadis itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, kemudian mengangguk-angguk. "Kami memang pernah bertanding dengan dua orang itu, akan tetapi sama sekali tidak ada urusannya dengan Bu-tong-pai. Mereka datang sebagai pelamar yang gagal, sama sekali tidak mewakili Bu-tongpai dan tidak ada urusan dengan perkumpulan itu. Juga kami tidak membunuh siapa-siapa. Jika mereka kalah, menderita luka-luka dan mungkin kemudian tewas, apakah hal itu lalu menjadi alasan kalian untuk menyalahkan kami? Bagaimana kalau dalam pertandingan waktu itu kami yang kalah, luka-luka lalu mati? Apakah kalian juga akan menyalahkan mereka? Hayo jawab!"
Sim Houw tidak tahu apa urusan yang telah timbul di antara mereka, tetapi jawaban gadis itu membuatnya menduga-duga bahwa tentu pernah terjadi masalah pribadi di antara murid dan tokoh Bu-tong-pai yang mengakibatkan perkelahian di antara mereka dengan akibat terluka dan tewasnya orang-orang Bu-tong-pai. Dan agaknya kini Bu-tong Ngo-lo datang untuk membalas dendam.
Lima orang kakek itu kembali saling lirik. Jawaban gadis itu agaknya membuat mereka sejenak bingung dan tidak mampu menjawab walau pun tidak mengurangi kemarahan mereka. Akan tetapi akhirnya si jenggot panjang berkata, suaranya tegas sekali. "Oho, kiranya selain pandai membunuh, engkau pandai pula berdebat! Kami selamanya tidak akan membela yang salah, melainkan selalu menentang yang jahat dan sewenang-wenang. Kami datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi kalau perlu membasmi gadis pembunuh yang berhati kejam, yang telah menewaskan banyak pemuda gagah perkasa dengan kecantikanmu dan dengan pedangmu!"
Gadis itu menjadi marah sekali. "Ngaco! Enak saja kalian bicara! Kalian kira aku takut kepada nama Bu-tong Ngo-lo? Kalian datang mau membasmi aku? Hemm, majulah, hendak kulihat sampai di mana kehebatan kalian, apa sepadan dengan kesombongan kalian!" Hui Lan berkata dengan marah sekali, mukanya merah, alisnya terangkat dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Memang, siapakah orangnya yang dapat melihat keangkuhan diri sendiri seperti mudahnya melihat kesombongan orang lain?
Dalam perselisihan ini, Sim Houw yang nonton tanpa berpihak itu memperoleh pelajaran yang sangat mengesankan hatinya. Kakek yang lima orang itu, yang namanya sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh tua penentang kejahatan, telah menuduh gadis itu sebagai pembunuh kejam dan mereka datang untuk membunuh gadis itu! Sebaliknya, si gadis menuduh mereka sombong dengan sikap angkuh pula.
Agaknya sukar mencari orang di dunia ini yang mau membuka mata untuk mengenal diri sendiri, sikap dan isi hati dan pikiran sendiri karena mata itu selalu sibuk untuk meneliti orang lain! Meneliti orang lain hanya akan menimbulkan suka atau benci, sedangkan meneliti diri sendiri akan menimbulkan kesadaran.
"Siancai...! Gadis ini adalah setan yang patut dibasmi!" bentak seorang di antara lima orang kakek itu dan orang ini bertubuh tinggi besar dengan muka hitam. Setelah berkata demikian, dia langsung menerjang dan mengirim pukulan dengan tangan kanan yang dimiringkan ke arah kepala Hui Lan.
"Wuuuutt...!"
Angin pukulan yang amat kuat menyambar. Pukulan itu bukan main-main, melainkan pukulan membacok dengan tangan miring yang dilakukan dengan tenaga sinkang amat kuatnya.
Diam-diam Sim Houw terkejut juga dan merasa khawatir terhadap gadis yang masih muda itu. Dia mengira bahwa gadis itu tentu akan mengelak, karena dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki gerakan yang gesit sekali. Akan tetapi, heranlah dia ketika melihat betapa gadis itu menggerakkan kedua tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan membalas dengan totokan ke arah pangkal leher.
"Dukkk...!"
Pukulan tangan kakek itu kena ditangkis dan agaknya gadis itu pun sama sekali tidak terguncang. Tangkisannya mantap dan kuat sehingga dua lengan yang bertemu itu saling terpental, akan tetapi jari tangan kanan gadis itu meluncur ke arah leher dengan kecepatan kilat.
"Ihhhh...!"
Kini kakek bermuka hitam itu yang terkejut dan cepat dia melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik. Hanya dengan cara beginilah dia dapat menghindarkan totokan pada pangkal lehernya tadi yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Dia terhindar dari mala petaka, akan tetapi segebrakan ini saja sudah menunjukkan betapa dia terdesak.
"Wuuuttt...!"
Angin pukulan menerjang Hui Lan dari kanan dan kakek ke dua sudah menyerang Hui Lan dengan cengkeraman ke arah lambung dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan kakek itu juga sudah mencengkeram ke arah kepala. Serangan berganda yang dilakukan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, amat berbahaya karena jari-jari tangan itu sudah terlatih, kini penuh dengan tenaga sinkang dan dapat mencakar hancur batu karang sekali pun!
Namun, Hui Lan tidak menjadi gentar atau gugup menghadapi serangan berbahaya itu. Sekali ini ia tidak menangkis, akan tetapi tubuhnya meliuk dengan lemas dan cepatnya, tubuh bawah ke kiri dan tubuh atas ke kanan, tubuhnya melipat dengan amat lemasnya sehingga dua serangan itu pun luput. Akan tetapi seperti juga tadi, Hui Lan membarengi gerakan mendadak itu dengan gerakan menyerang pula, yaitu dengan kedua tangannya yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menotok ke arah jalan darah di ulu hati!
Kakek kedua itu terkejut dan terpaksa harus meloncat beberapa langkah ke belakang karena sama sekali dia tidak menduga bahwa orang yang menyerangnya itu berbalik menyerang pada saat yang sama atau hanya satu dua detik berikutnya!
Dan kini Sim Houw memandang kagum. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya, memiliki tingkat kepandaian yang sama sekali tak pernah diduganya. Yang amat mengagumkan adalah cara gadis itu berkelahi. Menangkis atau mengelak sambil sekaligus menyerang, bahkan membalas kontan serangan lawan. Hal ini merupakan cara berkelahi yang membutuhkan pencurahan perhatian, membutuhkan ginkang yang amat cepat dan juga membutuhkan kesempurnaan gerakan.
Serangan yang dilakukan sambil menangkis atau mengelak itu memang berbahaya sekali. Orang yang menyerang tentu daya tahannya menjadi agak lemah, oleh karena pencurahan perhatiannya ditujukan pada serangannya sehingga kalau tiba-tiba lawan yang diserang membarengi dengan serangan, tentu saja dia terkejut dan kedudukannya menjadi lemah.
Akan tetapi kini kakek ketiga sudah menerjang lagi sebagai lanjutan serangan kakek kedua. Ketika Hui Lan juga berhasil mengelak dan balas menyerang yang membuat kakek ini terdesak, kakek ke empat lalu menyerang, disusul kakek kelima. Kiranya lima orang kakek itu biar pun tidak mengeroyok secara berbareng telah maju semua secara beruntun!
Dan melihat betapa gadis itu terlampau kuat kalau dilawan satu demi satu, akhirnya mereka mengurung dan mengeroyok Hui Lan dengan serangan-serangan mereka yang penuh! Agaknya lima orang kakek itu sudah tidak lagi melihat kenyataan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh tua Bu-tong-pai dan yang mereka hadapi hanyalah seorang gadis berusia dua puluh tahun.
Dalam keadaan biasa, andai kata mereka melakukan pibu (pertandingan silat) tentu mereka tak akan mau melakukan pengeroyokan, karena hal itu akan memalukan sekali. Akan tetapi kini mereka datang dengan niat membasmi gadis yang mereka anggap jahat dan berbahaya, maka mereka tidak lagi memakai banyak pertimbangan atau aturan lagi. Mereka datang untuk membunuh dan mengenyahkan kejahatan dari muka bumi, bukan untuk mengadu ilmu dan gadis itu ternyata memang lihai bukan main sehingga perlu dikeroyok oleh mereka berlima.
"Hemm, tidak mudah mengambil nyawaku, tua bangka tua bangka tak tahu malu!" Hui Lan membentak. Nampaklah sinar terang berkilauan ketika ia telah mencabut pedang dari punggungnya.
"Singgg…! Singgg...!"
Sinar pedangnya menyambar-nyambar, membuyarkan pengepungan lima orang kakek itu.
"Siancai...! Inilah pedang yang sudah membunuh banyak orang itu. Terpaksa kami akan menggunakan senjata pula!" Kata kakek yang berjenggot panjang.
Lima orang kakek itu serentak meraba ke bawah jubah mereka dan nampaklah senjata berkilauan di tangan. Tiga orang di antara mereka memegang pedang dan yang dua orang lagi masing-masing memegang sebuah rantai baja yang panjangnya ada enam kaki. Rantai itu tadinya menjadi ikat pinggang, sedangkan pedang para tosu Bu-tong-pai itu tadi tersembunyi di balik jubah mereka.
Lima orang kakek itu adalah pendeta-pendeta tosu dari Bu-tong-pai. Walau pun mereka bukan para pimpinan Bu-tong-pai, namun mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai dan di perkumpulan persilatan yang besar itu mereka termasuk tokoh-tokoh besar.
Hui Lan tidak mau banyak cakap lagi. Melihat betapa lima orang kakek itu benar-benar lihai dan kini mereka semua memegang senjata, dia pun lalu mengeluarkan teriakan nyaring melengking dan tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat ke depan, didahului sinar pedangnya yang bergulung-gulung.
Kembali Sim Houw tertegun kagum. Gadis itu benar-benar lihai. Kini setelah memegang pedang, ternyata gadis itu lebih hebat pula. Ilmu pedangnya aneh dan sangat cepat gerakannya, lebih lihai dibandingkan ilmu silat tangan kosongnya tadi.
Sim Houw berusaha untuk mengenali ilmu pedang ini seperti tadi pun dia berusaha mengenal ilmu silat gadis itu, akan tetapi kembali dia gagal. Dia merasa seperti pernah melihat corak ilmu silat dengan gaya seperti yang dimainkan gadis itu, namun dia lupa lagi di mana dia pernah bertemu ilmu silat seperti itu, dan dia sama sekali tidak mengenalnya.
Sebaliknya, ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang lima orang kakek itu tidak asing baginya. Dia sudah mengenal ilmu silat dari Bu-tong-pai, dan karena dia tahu betapa indah dan lihainya ilmu pedang dari perkumpulan itu, yaitu Bu-tong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bu-tong-pai), walau pun hatinya merasa semakin tegang, dia memperhatikan dengan penuh perhatian.
Ilmu pedang Bu-tong-pai memang hebat, apa lagi dimainkan oleh lima orang ahli yang tingkatnya sudah tinggi. Perlahan-lahan gadis itu mulai terdesak dan kini ia hanya dapat memutar pedangnya menjadi gulungan sinar yang melindungi seluruh tubuhnya saja. Andai kata gadis itu disiram air, atau hujan turun, tentu ia tidak akan basah karena tubuh itu terlindung oleh benteng sinar pedang!
Hebatnya, ketika seorang di antara lawannya lengah, yaitu kakek muka hitam, tangan kiri gadis itu mencuat keluar dari gulungan sinar pedangnya dan tangan yang kecil dan nampak lunak itu menampar ke arah kepala kakek ini. Si kakek muka hitam terkejut bukan main karena tidak menyangka gadis yang sudah didesak hebat itu akan mampu melakukan serangan yang demikian tiba-tiba. Tamparan ke arah kepalanya itu sangat berbahaya, maka dia cepat mengelak.
"Plakkk!"
Tetap saja telapak tangan kiri Hui Lan menyentuh pundak si kakek muka hitam dan dia menggigil seperti orang kedinginan, lalu cepat-cepat berhenti, berdiri dan menghimpun tenaga dalam untuk melawan hawa dingin menusuk yang timbul ketika pundaknya kena ditampar tadi.
Melihat ini, tiba-tiba saja Sim Houw teringat dan hampir dia meloncat ke luar dari balik semak-semak. Benar! Hanya ada satu cabang persilatan saja di dunia ini yang dapat memainkan ilmu silat yang sekaligus dapat mengerahkan sinkang keras dan lunak, panas dan dingin, Yang-kang dan Im-kang dan satu-satunya itu adalah persilatan dari keluarga Pulau Es!
Dia pernah melihat pendekar-pendekar keluarga Pulau Es dan kini dia ingat benar bahwa corak ilmu silat dan ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Souw Hui Lan ini mengandung sifat-sifat dari ilmu silat keluarga Pulau Es. Dia hampir yakin akan hal ini walau pun dia sendiri tentu saja tidak mengenal ilmu silat keluarga itu secara mendalam. Akan tetapi, setiap cabang ilmu silat mempunyai ciri-ciri khas tertentu dan di antara ciri khas ilmu keluarga para pendekar Pulau Es adalah penggunaan sinkang yang saling berlawanan itu.
Betapa pun lihainya Hui Lan dengan pedangnya, karena dikeroyok lima orang tokoh besar Bu-tong-pai, akhirnya ia kewalahan juga. Si muka hitam tadi sudah pulih kembali dan kini, sudah maju mengeroyok dengan sikap lebih hati-hati. Gadis itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk membalas lagi dan mulai repot menghadapi hujan serangan dari lima orang lawannya.
Tentu saja dengan memutar terus senjata untuk melindungi tubuhnya akan memeras tenaganya sehingga makin lama ia menjadi makin lelah dan putaran pedangnya makin berkurang kecepatannya. Akhirnya sebuah sabetan rantai baja menyerempet paha Hui Lan.
Kain celana paha kiri itu terobek, nampak kulit paha yang putih itu terhias jalur merah ketika terkena sabetan rantai baja. Walau pun gadis itu telah dapat melindungi pahanya dengan sinkang sehingga tidak terluka, namun ia terhuyung dan pada saat itu, sebatang pedang menyambar dari belakang, membabat ke arah lehernya, dan sebatang pedang lain menusuk dari kiri ke arah dadanya.
Sim Houw terkejut sekali. Sejak tadi dia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan di antara gadis dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu sehingga merasa tidak enak untuk mencampuri perkelahian mereka. Akan tetapi kini melihat nyawa gadis itu terancam maut, tubuhnya sudah menjadi tegang dan hampir dia bergerak meloncat untuk mencegah pembunuhan. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Bagaikan dua ekor burung raksasa saja dua bayangan itu meluncur dari atas, menyambar ke arah perkelahian itu.
"Tringg! Tranggg...!"
Kedua orang kakek yang sudah menyerang Hui Lan dengan pedangnya terpental ke belakang dan mereka terkejut sekali. Ketika lima orang kakek itu memandang, ternyata di situ telah berdiri dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan sejenak mereka tertegun karena melihat bahwa dua orang pria itu mempunyai wajah yang serupa. Usia mereka antara empat puluh tahun, dengan pakaian ringkas dan sikap gagah.
Mudah diduga bahwa kedua orang pria ini adalah sepasang orang kembar. Tidak hanya wajah dan bentuk badan mereka yang serupa, juga pakaian yang mereka pakai, dari potongannya sampai warna dan corak pakaiannya, semuanya serba sama! Keduanya menyarungkan kembali pedang yang tadi baru mereka pakai untuk menolong Hui Lan menangkis dua batang pedang yang mengancam nyawa gadis itu.
Hui Lan agak terpincang ketika menghampiri dua orang pria itu. Dengan nada suara manja dia lalu berkata, "Suhu, mereka ini adalah Bu-tong Ngo-lo yang tidak tahu malu mengeroyokku..."
"Kami mengerti, mundurlah kau," kata seorang di antara dua pria kembar itu.
Hui Lan melangkah mundur sambil menyimpan pedangnya dan ia mengusap keringat yang sudah membasahi dahi dan leher, bahkan pakaiannya juga kusut dan basah oleh keringat. Perkelahian tadi amat melelahkan tubuhnya dan hantaman pada paha kirinya tadi juga menyakitkan. Robek pada celananya tidak dipedulikan dan kini dengan penuh perhatian Hui Lan menonton kedua orang suhu-nya yang berhadapan dengan Bu-tong Ngo-lo. Kalian akan mampus, demikian agaknya dia berpikir di balik senyumnya yang mengejek.
Dua orang pria kembar itu kini melangkah maju dan memandang kepada lima orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kemudian seorang di antara mereka bertanya, suaranya tegas dan mantap, namun halus, "Bu-tong Ngo-lo adalah lima orang tokoh Bu-tong-pai, patutkah mengeroyok seorang wanita muda seperti murid kami? Apa maksud pengeroyokan yang tidak pantas ini?"
Lima orang kakek itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Bagaimana pun juga, mereka merasa malu karena telah maju mengeroyok seorang gadis semuda itu yang pantasnya menjadi cucu murid mereka. Dan yang lebih memalukan lagi, meski mengeroyok, mereka ternyata tidak berhasil merobohkannya!
Kakek berjenggot panjang lalu menjawab dengan sikap galak, "Apakah kalian ini yang berjuluk Beng-san Siang-eng, Sepasang Garuda dari Beng-san?"
Dua orang pria kembar itu mengangguk.
"Bagus!" kata kakek berjenggot panjang. "Kami datang untuk membunuh kalian guru dan murid agar tidak jatuh lagi korban orang-orang tidak berdosa. Kalian adalah orang-orang kejam yang telah melakukan banyak dosa dan harus dienyahkan dari permukaan bumi ini!"
Seorang di antara dua pria kembar itu tersenyum. "Hemm, katakan saja bahwa kalian datang untuk membalas dendam, ataukah kalian datang dengan maksud yang sama seperti orang-orang Bu-tong-pai itu?"
"Tidak! Kami datang sengaja untuk mencari kalian guru dan murid yang berdosa, untuk menghukum dan membunuh kalian!" Bentak kakek berjenggot panjang. Tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju bersama empat orang saudaranya, menyerang dengan senjata mereka dengan dahsyat.
Akan tetapi sekali ini lima orang kakek Bu-tong-pai itu berhadapan dengan dua orang lawan yang jauh lebih lihai dibandingkan dengan Hui Lan tadi. Dua orang pria kembar itu menghadapi lima orang pengeroyoknya dengan tangan kosong saja, walau pun tadi ketika menyelamatkan Hui Lan, mereka menggunakan pedang.
Akan tetapi, walau pun tanpa senjata, keduanya dapat bergerak dengan bebas dan lincah sekali. Gerakan mereka memang cepat dan pantas mereka dijuluki Sepasang Garuda. Tubuh mereka berloncatan ke atas dan menyelinap di antara sinar senjata lawan. Mereka juga sempat membalas dengan serangan-serangan mereka yang meski pun hanya dilakukan dengan tangan dan kaki, akan tetapi tidak kalah dahsyatnya dari senjata lawan.
Terjadi perkelahian yang amat seru. Sim Houw yang nonton perkelahian itu kini merasa yakin benar bahwa sepasang pria kembar itu memang ahli dalam ilmu silat keluarga para pendekar Pulau Es. Begitu melihat gerakan dua orang laki-laki kembar itu, Sim Houw maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada tingkat Bu-tong Ngo-lo dan walau pun dua orang kembar itu tidak memegang senjata, namun mereka tidak akan kalah.
Keduanya menguasai ginkang dan sinkang yang amat tinggi, bahkan kadang-kadang mereka berani menangkis pedang dan rantai baja dengan tangan kosong saja! Makin besar keyakinan hatinya bahwa dua orang kembar itu tentu murid para pendekar Pulau Es dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Pulau Es.
Dugaan Sim Houw ini memang tidak meleset. Dua orang kembar itu masih cucu luar dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mendiang Pendekar Super Sakti Suma Han mempunyai seorang puteri dari isterinya yang bernama Puteri Nirahai. Puteri ini diberi nama Puteri Milana yang kemudian menjadi isteri seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng. Mereka berdua sekarang telah tua sekali dan tinggal di puncak Pegunungan Beng-san, hidup sebagai petani-petani sederhana. Mereka mempunyai sepasang anak kembar yang mereka beri nama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu dua orang pria inilah.
Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, gagah perkasa dan juga memiliki jiwa patriot. Akan tetapi dia saling jatuh cinta dengan Milana yang mempunyai ibu puteri Mancu. Milana sendiri, sebagai puteri Pendekar Super Sakti, tahu bahwa ia mempunyai ibu puteri Mancu. Bahkan karena tertarik oleh ibunya, ia pernah berapa kali membantu pemerintah Mancu memimpin barisan dan menjadi panglima pasukan untuk membasmi pemberontakan.
Setelah semakin tua ia dapat melihat bahwa suaminya mulai diasingkan dan dipandang sebagai musuh oleh banyak orang gagah di dunia persilatan, sebagai seorang pendekar yang berpihak kepada pemerintah penjajah Mancu! Padahal, Milana tahu benar bahwa suaminya sama sekali tak berpihak kepada pemerintah Mancu. Ia dapat melihat betapa terjepitnya kedudukan suaminya yang oleh para pendekar dan patriot dianggap sebagai seorang pengkhianat atau antek penjajah.
Karena itulah, maka ia pun menyetujui keputusan suaminya untuk menyembunyikan diri menjadi setengah pertapa di puncak Beng-san. Dia tidak mencampuri lagi urusan dunia. Karena itulah maka kehidupan suami isteri ini menjadi terasing, bahkan nama mereka seperti terhapus di duna kang-ouw dan tidak ada orang mengetahui bagaimana dengan keadaan mereka.
Suami isteri Gak Bun Beng dan Puteri Milana ini, tentu saja mendidik anak kembar mereka dengan tekun. Akan tetapi, keduanya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi itu dapat melihat bahwa bakat anak kembar mereka dalam ilmu silat tidaklah menonjol. Betapa pun juga, karena ketekunan mereka menggembleng putera-putera mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat juga menguasai sebagian dari ilmu-ilmu ayah bunda mereka dan menjadi orang-orang yang dapat dibilang memiliki ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingan mereka.
Akan tetapi, setelah sepasang bocah kembar itu menjadi dewasa, Gak Bun Beng dan Milana mengalami kekecewaan yang amat besar. Dua orang pemuda Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu tidak mau menikah! Mereka bahkan marah-marah kalau orang tua mereka mengajak mereka bicara tentang pernikahan!
Di antara kedua pria kembar ini terdapat hubungan batin yang aneh bukan main, yang menimbulkan perasaan iri hati dan cemburu satu kepada yang lain dalam segala hal. Pakaian pun harus diberi yang serupa, dan mereka tidak boleh dibeda-bedakan karena hal ini akan menimbulkan perasaan iri yang membuat mereka marah.
Juga dalam perjodohan. Yang seorang akan menjadi iri hati dan cemburu kalau yang lain dijodohkan dengan seorang gadis. Karena inilah, maka kedua orang pria kembar ini tidak pernah menikah. Pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya akhirnya putus asa. Setelah capai membujuk tanpa hasil, akhirnya mereka pun diam saja dan lebih banyak menyepi di dalam pondok mereka di puncak Beng-san.
Betapa pun juga, akhirnya orang mengenal kelihaian kedua saudara kembar itu ketika beberapa kali terjadi peristiwa di mana keduanya terpaksa memperlihatkan kelihaian mereka. Bahkan orang tua mereka pun membujuk mereka untuk sering melakukan perantauan untuk memperluas pengalaman. Akhirnya, orang mengenal mereka sebagai Sepasang Garuda dari Beng-san!
Saat mereka berusia dua puluh empat tahun, mereka melakukan perjalanan ke selatan di mana terjadi pemberontakan. Mereka, sesuai dengan pesan ayah ibunda mereka, tidak diperbolehkan mencampuri urusan pemberontakan, artinya tidak boleh membantu pemberontakan juga tidak boleh membantu pemerintah. Mereka melihat pemberontakan dengan sikap pasif saja, hanya mereka turun tangan menolong mereka yang lemah dan pantas diselamatkan.
Ketika melihat sebuah keluarga dirampok dan dibunuh oleh gerombolan pemberontak, mereka turun tangan membela. Namun dua orang saudara kembar ini agak terlambat dan hanya berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan dari keluarga Souw itu, sedangkan keluarga itu selebihnya terbasmi dan terbunuh oleh gerombolan perampok.
Anak perempuan she Souw itu berusia empat tahun dan semenjak itu, Souw Hui Lan, anak yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lainnya, dibawa oleh Beng-san Siang-eng dan menjadi murid mereka berdua! Bahkan dalam mengajarkan ilmu kepada Hui Lan mereka pun bersaing dan mereka berdua amat menyayang anak ini sehingga memperlakukannya tidak hanya sebagai murid, bahkan sebagai adik atau puteri mereka sendiri. Tentu saja hal ini membuat Hui Lan menjadi lihai sekali, akan tetapi juga amat manja!
Baru lima tahun mereka meninggalkan Beng-san dan akhirnya menetap di bukit di tepi Sungai Wu-kiang itu, tempat yang sunyi terpencil dan amat indah pemandangannya. Beberapa tahun kemudian, setelah Hui Lan berusia tujuh belas tahun, mulailah datang godaan-godaan.
Gadis itu menjadi seorang dara yang cantik manis dan gagah perkasa sehingga tentu saja, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum serta mengandung madu yang amat manis, mengundang datangnya kumbang-kumbang berupa pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan yang menginginkan jodoh seorang dara perkasa pula. Mulailah berdatangan lamaran-lamaran yang diajukan oleh tokoh-tokoh dunia persilatan terhadap dara itu, baik untuk murid atau anak mereka sendiri.
Dan begitu muncul pinangan-pinangan ini, dua orang guru dan seorang muridnya itu lalu menentukan syarat yang amat berat, yaitu calon jodoh Hui Lan harus seorang pemuda yang mampu mengalahkan Hui Lan. Selain syarat berat ini, ditambah syarat yang lebih berat lagi yakni bahwa pemuda calon jodoh Hui Lan itu harus mengajukan guru atau orang tuanya yang mampu mengalahkan Beng-san Siang-eng!
Orang yang tergila-gila kepada seorang wanita biasanya suka melakukan apa pun juga, siap untuk berkorban. Demikianlah, banyak pemuda gagah perkasa berdatangan, hanya untuk dikalahkan oleh Hui Lan, dan guru atau orang tua jagoan mereka tak ada seorang pun mampu mengalahkan dua orang pria kembar itu. Dan yang mengejutkan, guru dan murid ini agaknya berdarah panas sehingga dalam setiap pertandingan untuk memenuhi syarat itu, mereka menjatuhkan para peminang dengan pukulan-pukulan maut sehingga banyak di antara para peminang yang kalah dengan membawa luka-luka parah, bahkan ada pula yang sampai tewas!
Seorang pemuda Bu-tong-pai yang pandai, maju pula bersama seorang susiok-nya, dan dia dikalahkan oleh Hui Lan. Juga tosu yang menjadi susiok-nya dan merupakan tokoh Bu-tong-pai, terluka hebat pula oleh Beng-san Siang-eng. Mereka berdua meninggalkan tempat itu sebagai penderita kekalahan, membawa luka dalam yang berat dan akhirnya keduanya tewas setelah menderita sakit beberapa pekan lamanya! Selama tiga tahun kurang lebih, sudah puluhan kali murid itu mengalahkan pelamar dan sudah belasan orang tewas di tangan mereka!
Demikian sedikit catatan tentang Beng-san Siang-eng yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu. Karena itu pula pada hari itu muncul Bu-tong Ngo-lo yang berniat membunuh guru dan murid yang mereka anggap kejam dan jahat itu. Lima orang tokoh dari Bu-tong ini memang bukan hanya datang untuk membalas kematian dua anggota Bu-tong-pai itu, akan tetapi juga untuk mengenyahkan guru dan murid yang dianggap jahat itu agar tidak jatuh korban lagi.
Sim Houw mengikuti jalannya perkelahian itu penuh perhatian. Hatinya merasa semakin tegang lagi. Perkelahian itu adalah perkelahian mati-matian di mana Bu-tong Ngo-lo makin lama semakin terdesak hebat oleh dua orang pria kembar itu. Mereka berkelahi untuk saling bunuh, bukan sekedar mengalahkan lawan. Jurus-jurus maut dikerahkan dan diam-diam dia merasa khawatir sekali.
Mereka adalah orang-orang gagah, orang-orang berilmu yang agaknya tentu saja bukan termasuk kaum sesat. Dua orang pria kembar itu memainkan ilmu silat Pulau Es, tentu bukan penjahat dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu tentu juga bukan orang-orang sesat. Kini mereka berkelahi mati-matian untuk saling bunuh.
Dia sendiri tidak dapat berpihak, karena dia memang tidak tahu siapa antara mereka yang bersalah. Akan tetapi, membiarkan saja mereka berkelahi, hatinya merasa tidak tega karena dia tahu bahwa satu pihak tentu akan roboh, terluka parah dan mungkin saja tewas.
Tiba-tiba dua orang kembar itu mengeluarkan teriakan nyaring melengking panjang, disusul bentakan seorang di antara mereka, "Bu-tong Ngo-lo, rebahlah kalian!"
Hebat bukan main serangan dua orang itu. Biar pun lima orang lawan mereka sudah bersiap siaga, tetap saja terjangan mereka yang dahsyat itu membuat mereka berlima terdorong dan terjengkang. Senjata mereka terlempar dan mereka terbanting keras ke atas tanah dalam keadaan terlentang! Dua orang kembar itu melangkah maju, agaknya siap untuk menurunkan pukulan terakhir, pukulan maut.
Tiba-tiba terdengar suara melengking yang aneh, suara suling yang ditiup secara aneh dan suaranya begitu mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang pria kembar itu sendiri tertegun dan menghentikan langkah mereka, lalu menengok seperti orang yang terpesona. Mereka berdiri ternganga memandang ke arah seorang pemuda yang tiba tiba saja muncul di situ sambil meniup sebatang suling.
Sim Houw yang tadi melihat betapa nyawa lima orang kakek Bu-tong-pai itu terancam maut, cepat meniup sulingnya dan keluar dari tempat persembunyiannya sambil terus meniup sulingnya. Tiupan pertama tadi dilakukan dengan pengerahan khikang dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut hingga suling itu mengeluarkan suara yang mengandung pengaruh dan wibawa amat kuatnya! Dua orang cucu dari Pendekar Super Sakti itu sendiri sampai terpesona dan tertahan dari niat mereka membunuh lima orang Bu-tong-pai yang sudah tidak mampu melindungi diri sendiri itu.
Kini Sim Houw sudah berjalan menghadapi dua orang saudara Gak itu, menghalang di antara mereka dan lima orang kakek Bu-tong-pai yang sedang merangkak bangun dengan muka pucat. Lalu Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan menjura ke arah dua orang pria kembar. Begitu suara suling berhenti, semua orang merasa seolah-olah terlepas dari himpitan yang membuat mereka seperti tidak mampu bergerak tadi.
"Ji-wi locianpwe harap jangan menyiksa lima orang kakek ini lebih lanjut. Kasihanilah mereka dan kalau mereka telah melakukan kesalahan, biarlah saya yang mintakan ampun untuk mereka."
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban dua orang pria kembar itu, Sim Houw cepat membalikkan tubuh menghadapi Bu-tong Ngo-lo, "Kalian berlima sudah diampuni oleh dua orang locianpwe ini, tidak lekas pergi apakah yang ditunggu lagi?"
Sambil berkata demikian Sim Houw mengedipkan matanya. Lima orang kakek itu yang sudah maklum bahwa mereka tak akan mampu menang, apa lagi kini sudah menderita luka dalam yang dirasakan di dalam dada, rasa yang dingin sekali, tanpa banyak cakap lagi mereka lalu memungut senjata masing-masing dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit!
"Kalian hendak lari ke mana?" Tiba-tiba Hui Lan membentak marah dan siap mengejar.
Namun Sim Houw sudah berdiri di depannya sambil mengembangkan kedua lengannya. "Nona, ji-wi locianpwe ini sudah memberi ampun, jangan kejar mereka!"
Hui Lan menjadi marah melihat betapa pemuda itu mengembangkan lengan bagaikan hendak memeluknya. Apa lagi ketika dara ini mengenal Sim Houw sebagai penyuling yang tadi dianggap mengganggu ketenangannya, dia pun menjadi semakin marah.
"Enyahlah kau!" bentaknya sambil menampar kepala pemuda itu.
"Wuuuttt...!" Tamparan tangan halus ini dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala manusia.
"Ehhh, ehhh... jangan pukul...!" Sim Houw berseru gugup dan mengangkat sebelah lengannya seperti melindungi kepalanya dengan gerakan amat kaku, sama sekali bukan gerakan silat.
"Plakkk!"
Akibat tamparan tangan yang mengenai pangkal lengannya itu membuat Sim Houw terlempar dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia bergulingan memotong jalan sehingga gadis itu tak dapat melakukan pengejaran terhadap lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah melarikan diri.
"Keparat, engkau ini selalu menggangguku!" Hui Lan meloncat dan hendak menendang tubuh Sim Houw yang masih bergulingan.
"Hui Lan, jangan pukul dia!" tiba-tiba terdengar suara Gak Jit Kong dan gadis itu pun menahan gerakan kakinya sehingga Sim Houw terhindar dari tendangan maut.
Sim Houw melirik ke arah lima orang kakek Bu-tong-pai dan merasa lega melihat bahwa lima orang kakek itu sudah melarikan diri dengan cepat dan lenyap dari situ. Dia lalu bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor terkena debu.
Biar pun Hui Lan memiliki kepandaian tinggi, namun ia belum berpengalaman dan gadis yang berwatak manja ini memang tak pernah menghargai orang lain, maka dia pun tidak sadar betapa tamparannya yang amat kuat tadi dapat ditangkis oleh pemuda penyuling ini! Padahal jika teringat, tentu ia akan terkejut melihat kenyataan betapa tamparannya itu tidak meremukkan tulang pangkal lengan pemuda itu.
Beng-san Siang-eng mengira bahwa murid mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh kepada pemuda yang dilihat dari gerak-geriknya, kelihatannya tidak memiliki kepandaian silat ini.
Gak Jit Kong lalu bertanya, "Orang muda, kenapa engkau mencampuri urusan kami dan menghalangi kami membunuh lima orang musuh tadi?"
Sim Houw menjura lagi dengan sikap hormat. Sejak tadi sulingnya telah diamankannya di balik bajunya, terselip di pinggang.
"Ji-wi locianpwe, saya pernah mendengar kata orang, bahwa seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak melawan dan tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya. Dan saya melihat bahwa mereka itu tadi sudah tak berdaya..."
"Omong kosong!" bentak Hui Lan. Kalau kami kalah, mereka tentu akan membunuh kami. Suhu, tidak perlu kiranya berdebat dengan pengacau ini!"
Akan tetapi Gak Jit Kong agaknya tertarik. "Orang muda, tahukah engkau bahwa seandainya kami kalah, lima orang Bu-tong Ngo-lo itu akan membunuh kami tanpa ragu lagi?"
"Ji-wi locianpwe, Apakah orang harus membalas pembunuhan dengan pembunuhan, membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau begitu, apa bedanya antara kita dengan si penjahat?"
"Jadi sudah sejak tadi engkau melihat perkelahian antara kami dan mereka?" tanya pula Gak Jit Kong, memandang penuh selidik.
"Semenjak tadi saya kebetulan berada disini. Karena ketakutan melihat perkelahian lalu saya bersembunyi di dalam semak belukar, nonton perkelahian. Melihat mereka sudah tidak berdaya dan khawatir ji-wi membunuh mereka, maka saya keluar..."
"Kenapa membunyikan suling?" kini Gak Goat Kong mendesak.
"Saya tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mencegah dilanjutkannya perkelahian itu. Karena saya hanya bisa meniup suling, maka dalam kegugupan saya lalu meniup suling saya untuk menarik perhatian. Syukur saya berhasil..."
"Siapakah namamu dan engkau dari perguruan silat mana?" Gak Jit Kong bertanya lagi.
"Nama saya Sim Houw dan bukan dari perguruan silat, saya hanya bisa meniup suling, tidak bisa apa-apa selain itu, locianpwe."
"Bohong! Engkau selalu mengacau dengan suara sulingmu, tentu engkau pun mengerti sedikit ilmu silat. Biar kuselidiki ia datang dari perguruan silat mana, suhu!" kata Hui Lan. Dan gadis itu sudah meloncat ke depan. Tangan kirinya menyambar, jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri itu menotok ke arah pundak kanan Sim Houw.
Sim Houw tahu bahwa jalan darah Kian-keng-hiat-to di pundaknya akan ditotok dan akibatnya sangat hebat karena jalan darah itu merupakan satu di antara jalan darah besar. Namun dia diam saja, sedikit pun tidak berkutik, tidak mengelak atau menangkis, seolah-olah dia tidak tahu bahwa nyawanya terancam oleh serangan itu.
"Hui Lan, jangan...!" Gak Goat Kong berseru kaget melihat betapa muridnya hendak membunuh pemuda yang agaknya memang tidak menyadari akan bahaya itu.
Tentu saja Sim Houw sadar sepenuhnya, bahkan dia tahu bahwa tidak ada bahaya yang mengancam dirinya. Gadis itu hanya menggertaknya saja dan sama sekali tidak berniat melakukan totokan secara sungguh-sungguh, dan andai kata demikian, dia pun dapat menyelamatkan dirinya dengan ilmu memindahkan jalan darah!
Dan benar saja dugaannya. Tanpa dicegah oleh gurunya sekali pun, Hui Lan memang tak mau membunuhnya. Gadis itu hanya ingin memaksanya mengeluarkan ilmu silatnya untuk membela diri agar ia dapat mengenal ilmu silatnya. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan totokan maut, gadis itu merasa sebal dan totokannya berubah menjadi dorongan atau tamparan pada pundak pemuda itu.
"Plakkk...!"
Dan tubuh Sim Houw terpelanting! Akan tetapi Hui Lan juga terkejut dan heran sekali, menahan rasa nyeri pada telapak tangannya. Ia tadi merasa seperti menampar benda yang lunak sekali akan tetapi dari dalam kelunakan itu muncul tenaga yang membuat tenaga tamparannya membalik sehingga ia terpukul tenaga tamparannya sendiri yang menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi buktinya, pemuda itu telah terpelanting keras oleh tamparannya!
Sebelum Hui Lan sempat menyatakan keheranannya, mendadak kedua orang gurunya berseru. "Hui Lan, hati-hati! Banyak musuh datang!"
Gadis itu cepat menggerakkan tubuh menoleh, dan benar saja. Sedikitnya dua puluh orang yang dipimpin oleh seorang wanita cantik tengah berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat itu.
Sim Houw juga sudah bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor dan berdiri di belakang tiga orang itu. Diam-diam dia merasa mendongkol juga karena gadis itu sungguh sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Seorang gadis yang selain cantik manis dan gagah perkasa, juga manja, angkuh dan ringan tangan!
Dua puluh empat orang itu semua berpakaian serba merah sehingga amat menyolok sekali. Mereka terdiri dari laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin seorang kakek berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat.
Laki-laki ini berada di depan bersama seorang wanita yang lebih menarik perhatian lagi. Wanita ini cantik dan berpakaian merah, bukan serba merah seperti yang lain, memiliki sepasang mata yang amat tajam dan gerak-geriknya lincah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Sim Houw tidak mengenal semua orang itu. Juga agaknya Beng-san Siang-eng dan murid mereka tidak mengenal wanita cantik yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun itu, apa lagi dua puluh empat orang yang berpakaian serba merah.
Wanita itu pun agaknya belum mengenal pihak tuan rumah, karena begitu berhadapan, dia sudah bertanya dengan suara lantang, "Siapakah di antara kalian yang mempunyai julukan Pendekar Suling Naga?"
Sepasang Garuda Beng-san itu saling pandang dengan murid mereka. Akan tetapi Hui Lan menggerakkan pundak dan gadis ini sudah marah sekali melihat sikap wanita yang datang bersama segerombolan orang berpakaian serba merah itu. Dia menudingkan telunjuk kanannya sambil membentak, "Dari mana datangnya perempuan liar yang membawa gerombolan bajak atau rampok ini?"
Akan tetapi, wanita cantik itu hanya mengeluarkan senyum mengejek, agaknya tidak memperhatikan kemarahan Hui Lan. Sekali lagi ia bertanya, "Siapakah Pendekar Suling Naga?"
Dan kini pandang matanya ditujukan kepada Sim Houw dan ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik. Juga dua puluh empat orang berpakaian serba merah itu memandang kepada empat orang itu bergantian dengan sinar mata mengancam. Wanita cantik itu bukan sembarang orang. Ia bukan lain adalah Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), murid pertama Sam Kwi (Tiga Iblis).
Seperti telah diceritakan di bagian depan Siu Kwi atau Bi-kwi telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari ketiga gurunya. Ketika ia pulang menjumpai guru-gurunya, ia melaporkan akan kegagalan dua macam tugas yang dipikulnya. Pertama, dia telah gagal mencari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es oleh karena pendekar sakti itu sudah tewas. Kemudian tugas ke dua, yaitu mencari Pek-bin Lo-sian untuk meminta senjata pusaka Liong-siauw-kiam juga gagal.
Ketika wanita itu menghadap Pek-bin Lo-sian yang menjadi paman guru dari ketiga Sam-kwi, ia mendapatkan kakek tua renta itu dalam keadaan sakit berat dan napasnya tinggal satu-satu! Siu Kwi atau Bi Kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari Pek-bin Lo-sian yang dijawab oleh Pek-bin Lo-sian bahwa pusaka itu telah dia berikan kepada orang lain karena dia tidak suka kalau pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, tiga orang keponakan seperguruannya sendiri yang jahat!
Mendengar jawaban ini. Bi-kwi memaksa kakek tua renta itu untuk menunjukkan siapa orang yang diserahi pusaka itu. Namun kakek yang sudah menderita penyakit berat itu hanya tersenyum mengejek, tak mau mengaku. Bi-kwi marah sekali, lalu menggunakan kekerasan terhadap kakek yang sebenarnya masih susiok-kong-nya sendiri. Disiksanya kakek itu, akan tetapi Pek-bin Lo-sian tetap tidak mau mengaku. Tubuhnya yang sudah tua dan menderita penyakit berat itu tidak dapat menahan siksaan yang dilakukan Bi-kwi dan kakek itu pun tewas tanpa menyebut nama Sim Houw yang telah diserahi pusaka Suling Naga atau Siauw-liong-kiam.
Seperti diketahui, Bi-kwi pulang dengan hati mengkal dan uring-uringan sebab ia pulang dengan tangan kosong. Akan tetapi ia mendengar berita akan munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Sebelum pulang menyampaikan laporan kepada tiga orang gurunya, terlebih dahulu dia menemui perkumpulan Ang-i-mo (Setan Berbaju Merah), yaitu perkumpulan sesat yang telah ditaklukkannya.
Perkumpulan itu dipimpin oleh seorang datuk sesat bernama Tee Kok yang berusia lima puluh tahun sebagai ketuanya. Ketika mereka bentrok dengan Bi-kwi, mereka kalah dan Tee Kok merajuk, menyatakan kalah dan menyerah. Melihat kehebatan mereka, Bi-kwi dengan cerdik mengampuni mereka dan menyuruh mereka berjanji untuk membantunya dalam segala macam hal kalau dimintanya, dan Tee Kok menyanggupi.
Bi kwi lalu memerintahkan Ang-i-mo untuk melakukan penyelidikan, mencari adanya pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan kalau ada beritanya supaya cepat memberi kabar kepadanya di puncak Thai-san, di mana ia tinggal bersama Sam Kwi. Setelah itu barulah ia pulang ke Thai-san, di mana ia terpaksa menerima Bi Lan sebagai sumoi atau murid guru-gurunya yang baru, bahkan ia lalu dengan cerdik menyediakan dirinya untuk melatih sumoi-nya itu menggantikan guru-gurunya.
Baru beberapa bulan kemudian, datang Tee Kok bersama anak buahnya yang pilihan, berjumlah dua puluh empat orang bersama dia, berkunjung ke Thai-san dan melaporkan bahwa mereka mendengar akan munculnya Pendekar Suling Naga di daerah selatan. Mendengar ini, cepat Bi-kwi meninggalkan Thai-san, bersama dua puluh empat orang itu cepat-cepat melakukan pengejaran dan pencarian ke selatan. Akhirnya, mereka bisa mengikuti jejak orang yang dicari di sepanjang pantai Sungai Wu-kiang dan tiba di kaki bukit yang menjadi tempat tinggal Beng-san Siang-eng bersama murid mereka.
Tee Kok dalam pelaporannya kepada Bi-kwi hanya mengatakan bahwa anak buahnya belum pernah ada yang berjumpa dengan pendekar yang dicari, hanya mendapat keterangan bahwa pendekar itu masih muda dan lihai sekali. Maka, ketika mereka tiba di tempat itu, perhatian Bi-kwi dan kawan-kawannya tertarik kepada Sim Houw.
Akan tetapi, mereka merasa ragu-ragu karena pemuda itu tadi mereka lihat didorong oleh gadis cantik itu saja terpelanting, mana mungkin orang lemah itu yang dinamakan Pendekar Suling Naga? Karena itu Bi-kwi lalu mengajukan pertanyaan kepada mereka, dengan sikapnya yang angkuh, siapa di antara mereka yang berjuluk Pendekar Suling Naga.
Walau pun Hui Lan telah membentaknya dengan ucapan menghina, Bi-kwi tetap tidak peduli dan mengulangi pertanyaannya.
"Siapakah Pendekar Suling Naga? Hayo mengaku, kalau tidak kalian berempat tentu akan menjadi setan-setan tanpa nyawa!" Sekali lagi dia menghardik, sekali ini sinar matanya berkilat mengeluarkan ancaman yang mengerikan.
Kalau sepasang saudara kembar Gak itu masih bersikap sabar, murid merekalah yang sudah kehabisan kesabaran lagi. "Perempuan hina! Berani engkau mengancam kami di rumah kami sendiri? Apa kau kira aku takut kepadamu dan gerombolanmu, badut-badut berpakaian merah ini? Bukalah matamu dan lihat dengan siapa kau berhadapan!"
Bi-kwi memang seorang yang aneh. Iblis betina ini tidak mudah marah, atau tidak mau menurutkan emosi dan kemarahannya, dan kalau pun ada, disimpan di dalam hati saja. Hanya sinar matanya yang menyambar saat ia menjawab, "Tidak peduli siapa orangnya, kalau tidak mau memberi tahu kepadaku di mana adanya Pendekar Suling Naga, tentu akan kami bunuh!"
"Keparat! Kami tidak mengenal Suling Naga atau Suling Ular atau Suling Cacing! Akan tetapi kedua orang suhu-ku ini adalah Beng-san Siang-eng!"
Maksud Hui Lan memperkenalkan julukan kedua orang gurunya itu adalah untuk balas menggertak supaya wanita itu menjadi terkejut dan gentar. Siapa yang tidak mengenal nama Beng-san Siang-eng?
Bi-kwi memang terkejut, akan tetapi bukan terkejut lalu gentar, bahkan terkejut lalu wajahnya berseri dan senyumnya makin mengejek. "Ahh! Ini namanya mencari bandeng tetapi mendapatkan kakap! Jadi kalian inikah Beng-san Siang-eng, keluarga Pulau Es?" katanya sambil memandang kepada dua orang pria kembar itu penuh perhatian.
Dua orang pria kembar itu membalas pandang mata tajam itu dengan alis berkerut. Gadis cantik ini masih muda tetapi sikapnya demikian angkuh dan memandang rendah, tentu bukan orang sembarangan.
"Kami dua saudara Gak memang masih cucu luar dari kakek kami Suma Han dari Pulau Es. Akan tetapi kami tak merasa pernah berurusan denganmu. Siapakah engkau, nona, dan ada urusan apakah engkau bersama rombonganmu datang ke tempat kami?"
Ciong Siu Kwi meraba gagang goloknya dengan sikap angkuh, tanpa mencabut senjata itu, dan memandang kepada dua orang pria kembar itu dengan mata tajam. "Beng-san Siang-eng, aku disebut orang Bi-kwi. Aku datang mewakili guru-guruku, Sam Kwi, untuk mencari Pendekar Suling Naga. Akan tetapi dia tidak ada dan yang ada adalah kalian, cucu dari Majikan Pulau Es. Hemm, sungguh kebetulan sekali karena aku pun memiliki tugas mewakili guru-guruku untuk membunuh semua keluarga Pulau Es setelah Majikan Pulau Es sendiri meninggal dunia!"
Dua orang pria kembar itu mengerutkan alis lagi. "Nanti dulu, Bi-kwi. Memusuhi orang dengan niat membunuh bukan merupakan hal yang tidak ada sebabnya. Mengapa guru-guru kalian memusuhi kami orang-orang Pulau Es?"
"Kakekmu pernah mengalahkan guru-guruku, dan guru-guruku sudah bersumpah untuk membalas kekalahan itu. Akan tetapi kakekmu sudah mati, maka yang harus menebus dosanya adalah keluarga dan keturunannya. Nah, kini bersiaplah kalian untuk mati, juga bocah perempuan sombong ini. Dan pemuda itu… siapakah dia?" Telunjuk kiri Bi-kwi menuding ke arah muka Sim Houw dan diam-diam hatinya berbisik betapa tampannya pemuda sederhana itu.
"Jangan ganggu dia. Kami tidak mengenalnya. Dia seorang yang baru saja datang, dan tak ada sangkut pautnya dengan kami. Jangan kira akan mudah saja membunuh kami, bahkan kalau boleh kunasehatkan supaya kamu yang masih muda ini pulang saja dan biarkan ketiga orang suhu-mu itu yang datang membuat perhitungan dengan keluarga para pendekar Pulau Es," kata Gak Jit Kong.
Gak Jit Kong merasa tidak enak juga jika ia bersama adik kembarnya harus berhadapan dan mengadu ilmu dengan seorang gadis yang masih muda itu. Memang semua tokoh persilatan yang sudah ada nama tentu akan merasa ragu untuk mengadu ilmu melawan seorang gadis muda. Jika kalah amat memalukan, kalau menang pun akan ditertawakan orang!
"Beng-san Siang-eng, kematian sudah di depan mata, tidak perlu banyak cakap lagi! Bersiaplah untuk mampus!" bentak Bi-kwi dan nampak sinar berkilat menyilaukan mata ketika wanita ini mencabut pedangnya.
"Suhu, biar aku yang menghadapi iblis wanita ini!" Hui Lan juga mencabut pedangnya dan ia meloncat ke depan gurunya, menghadapi Bi-kwi.
Dua orang pria kembar itu tidak melarang murid mereka. Memang sepatutnyalah kalau Hui Lan yang menghadapi wanita itu, dan mereka sendiri akan berjaga-jaga karena jika dua puluh empat orang berpakaian seragam merah itu maju mengeroyok, mereka akan menghadapi pasukan merah itu.
Tetapi, Bi-kwi yang sudah menghunus pedang itu memandang kepada Hui Lan dengan alis berkerut. "Bocah sombong, engkau bukanlah lawanku. Guru-gurumu itulah lawanku dan engkau nonton saja, jangan tergesa minta mampus, tunggu giliranmu tiba!"
Ucapan itu sungguh menghina sekali. Hui Lan mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah maju menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi Bi-kwi tersenyum saja dan hanya nonton ketika dari samping, Tee Kok ketua Ang-i-mo telah menggerakkan sepasang goloknya ke depan menangkis.
"Tranggg...!"
Nampak api berpijar ketika pedang Hui Lan bertemu dengan golok di tangan laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu.
"Ciong Siocia (Nona Ciong), biarkan aku menghadapi gadis ini!" kata Tee Kok.
“Matamu sudah menjadi hijau melihat perawan mulus ini, ya? Baik, kalau kau mampu, tangkaplah bocah itu dan boleh menjadi milikmu sebelum kau bunuh!"
Biar pun ucapan ini ditujukan kepada Tee Kok. akan tetapi tentu saja Hui Lan menjadi marah bukan main, demikian pula dua orang gurunya karena omongan wanita itu amat kasar dan kotor.
"Kalian adalah manusia-manusia busuk!" kata Gak Jit Kong yang segera menghunus pedangnya, diikuti oleh adik kembarnya.
"Bagus! Mari kita ramai-ramai membasmi keturunan Pulau Es!" Bi-kwi berseru dan ia pun menerjang maju, disambut oleh sepasang pria kembar yang sudah pula memegang pedang masing-masing.
Dan dalam gebrakan pertama, kedua orang she Gak itu terkejut bukan main. Mereka memang sudah menduga bahwa wanita ini tentu jahat dan juga amat lihai, akan tetapi tidak mereka sangka bahwa ketika pedang mereka bertemu dengan pedang Bi-kwi, mereka merasa betapa lengan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat dan ada hawa panas yang menyambar ke arah mereka melalui pedang di tangan gadis itu!
Tahulah mereka bahwa gadis itu benar-benar amat lihai. Mereka pun cepat mengurung dengan pengerahan tenaga dan kepandaian mereka. Maka segera terjadi perkelahian yang amat seru di antara Beng-san Siang-eng dan Ciong Siu Kwi atau Iblis Cantik itu.
Hui Lan juga segera merasakan ketangguhan lawannya. Sepasang golok lawannya bergerak menyambar-nyambar dari dua jurusan yang berlawanan, seakan-akan hendak mengguntingnya, Ternyata si tinggi kurus bermuka pucat ini pun mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat!
Boleh jadi Bi-kwi yang telah digembleng sejak kecil oleh tiga orang gurunya sekaligus kini telah menjadi seorang wanita yang lihai bukan main. Hampir seluruh ilmu dari Sam Kwi telah diresapinya dan ia memang memiliki bakat yang amat baik. Akan tetapi, kini ia melawan dua orang pria kembar yang masih cucu luar Majikan Pulau Es. Maka segera ia mendapatkan kenyataan bahwa tidak akan mudah baginya untuk dapat mengalahkan dua orang pria kembar itu, paling-paling hanya akan dapat mengimbangi ketangguhan mereka. Maka wanita itu lalu memberi aba-aba kepada pasukan Ang-i-mo itu untuk ikut maju dan membantu!
Hui Lan merasa terkejut sekali. Baru melawan si tinggi kurus seorang diri saja sudah terasa berat, apa lagi kalau lawannya dibantu oleh anak buahnya yang amat banyak. Tidak disangkanya bahwa si kurus baju merah itu dapat memainkan sepasang goloknya sedemikian lihainya.
Ia tidak tahu bahwa Tee Kok adalah bekas anak buah Hek-i-mo (Iblis Pakaian Hitam), yaitu perkumpulan yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong, datuk besar kaum sesat yang dua puluh tahun lebih yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan. Hek-i-mo telah dihancurkan oleh para pendekar, terutama oleh para pendekar Pulau Es.
Perkumpulan Hek-i-mo atau Hek-i Mo-pang sudah tidak ada, tetapi masih ada belasan orang anggota yang berhasil meloloskan diri, dipimpin oleh Tee Kok. Dia ini pernah menerima pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi langsung dari mendiang Hek-i Mo-ong, maka tentu saja ilmu silatnya cukup tinggi.
Tee Kok ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan lain yang diberi nama Ang-i Mo-pang dan semua anggotanya mengenakan pakaian seragam merah dan dia mengangkat diri menjadi ketuanya. Belasan tahun lamanya dia dan anak buahnya merajalela sampai pada suatu hari mereka berjumpa dengan Bi-kwi dan dikalahkan oleh wanita cantik ini! Oleh karena mereka itu segolongan maka ada kecocokan di antara mereka. Bi-kwi tidak membunuh mereka, bahkan meraih mereka menjadi teman dan anak buah.
Kini dua puluh orang lebih anak buah Ang-i Mo-pang serentak bergerak mengepung, membantu Bi-kwi dan Tee Kok. Tentu saja Beng-san Siang-eng dan Hui Lan menjadi terkepung dan terdesak hebat. Mereka berada dalam keadaan gawat dan terancam sekali. Akan tetapi dengan semangat meluap-luap, guru dan murid ini melawan mati-matian dan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Lan dan kedua orang gurunya itu, tiba-tiba terdengar suara suling melengking nyaring. Semua orang yang sedang berkelahi terkejut bukan main karena suara suling itu seperti menusuk telinga mereka dan langsung menyerang jantung sehingga jantung mereka terguncang. Bahkan beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang telah terpelanting jatuh dan mengeluh sambil menutupi kedua telinga mereka dengan tangan.
Beng-san Siang-eng dan Souw Hui Lan juga cepat meloncat ke belakang, kemudian mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi jantung mereka. Tidak terkecuali Bi-kwi dan Tee Kok yang juga terkena serangan suara melengking itu sehingga mereka pun terpaksa meloncat ke belakang dan menengok ke arah asal suara suling seperti yang dilakukan semua orang yang berada di situ.
Kiranya yang mengeluarkan bunyi melengking yang menyakitkan jantung dan menusuk-nusuk anak telinga itu adalah Sim Houw. Pemuda itu sekarang sudah duduk bersila dan menyuling sambil memejamkan kedua matanya, mengerahkan khikang kuat sekali ke dalam tiupan sulingnya untuk membubarkan perkelahian yang tidak adil itu.
Melihat suling berbentuk naga yang ditiup pemuda itu, Bi-kwi terkejut dan tak tertahan lagi ia berteriak, "Suling Naga!"
Semua orang terkejut mendengar teriakan ini, termasuk pula Hui Lan dan dua orang gurunya. Mereka pun cepat memandang ke arah Sim Houw dengan perasaan tegang dan penuh keheranan. Mendengar teriakan ini, Sim Houw segera menghentikan tiupan sulingnya dan membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Suling itu masih dipegangnya, dipegang pada bagian ekor naga seperti kalau menyuling.
Bi-kwi sudah dapat menekan guncangan hatinya. Ia melangkah maju menghampiri Sim Houw, pandang matanya tajam penuh selidik, wajahnya berseri karena ada rasa girang dalam hatinya bahwa akhirnya ia dapat berhadapan dengan orang yang telah menerima Liong-siauw-kiam dari mendiang Pek-bin Lo-sian.
Suara suling yang menusuk telinga dan mengguncangkan jantungnya tadi dianggapnya sebagai keampuhan suling itu, bukan karena peniupnya yang mempunyai kepandaian tinggi. Bi-kwi termasuk orang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan selalu meremehkan orang lain. Ia sudah mendapat gambaran yang jelas dari Sam Kwi tentang macamnya Pedang Suling Naga, maka melihat suling di tangan pemuda itu ia tidak merasa ragu lagi.
"Hemm, jadi engkau inikah yang berjuluk Pendekar Suling Naga? Engkaukah orangnya yang menerima suling pusaka itu dari tangan mendiang Pek-bin Lo-sian di Himalaya?" tanya Bi-kwi dengan suara lantang.
Pertanyaan ini menarik perhatian semua orang yang berada di situ sehingga mereka semua seakan-akan telah lupa akan perkelahian tadi dan semua orang lalu memandang kepada Sim Houw.
"Kita beristirahat dulu di sini. Duduklah," katanya dan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. Hong Beng juga dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput.
"Kau lelah sekali?" tanya Ciang Bun sambil memandang wajah anak itu. Seorang anak laki-laki yang berkulit kuning berwajah jernih dan tampan. Anak itu mengangguk tanpa menjawab.
"Muka dan tubuhmu sakit-sakit?" tanya lagi Ciang Bun, menatap muka yang bengkak-bengkak dan matang biru itu. Kembali Hong Beng mengangguk tanpa menjawab.
"Perutmu lapar?" Kembali anak itu mengangguk.
"Hemm, aku pun lapar sekali. Tapi di tempat sunyi seperti ini, dari mana kita bisa mendapatkan makanan?"
"Di rumahku ada telur, ada banyak ayam, dan masih ada beras."
"Rumahmu? Di Siang-nam itu?" Hong Beng mengangguk.
"Katakan di mana rumahmu."
"Di jalan kecil belakang pasar, di sebelah kiri toko yang berdagang mangkok piring, rumahku bercat kuning."
"Baik, kau tunggu saja di sini. Aku yang akan mengambil bahan makanan. Kalau kau ikut ke sana, tentu akan timbul keributan karena semua orang telah mengenalmu." Dan sebelum Hong Beng menjawab, sekali berkelebat tubuh Suma Ciang Bun telah berada jauh sekali dari situ, seperti terbang saja dan tak lama kemudian pun lenyap.
Tentu saja Hong Beng memandang dengan melongo. Tadi pun ketika melihat lelaki itu mengamuk dan membantai semua orang, dia sudah terheran-heran dan amat kagum. Akan tetapi karena kedukaan oleh kematian ayah ibunya, dia kurang memperhatikan hal itu. Kini, melihat betapa orang itu seperti terbang saja pergi dari situ, baru dia mengkirik. Ibliskah orang itu?
Dia pernah mendengar mengenai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan orang yang pandai terbang! Yang pernah dilihatnya hanya orang-orang penjual obat di pasar yang suka bermain silat dan memamerkan kekuatannya, mengangkat besi berat atau bahkan ada yang memukuli dadanya dengan benda keras memamerkan kekebalannya. Tidak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang demikian lihainya seperti penolongnya itu. Mulailah dia memperhatikan dan diam-diam dia khawatir sekali. Jangan-jangan orang itu pergi meninggalkannya dan tak akan kembali lagi.
Setelah ditinggal seorang diri, baru Hong Beng teringat bahwa dia sekarang sebatang kara. Dan bahwa keselamatannya terancam di Siang-nam. Dia harus pergi dari tempat tinggalnya. Akan tetapi ke mana? Dan apa yang harus dilakukannya? Satu-satunya harapan baginya adalah ikut bersama orang yang menolongnya tadi. Ah, kenapa tidak? Jika penolongnya itu mau, dia suka menjadi muridnya, atau jadi pelayannya sekali pun.
Dengan cepat sekali, terlalu cepat bagi Hong Beng sehingga sukar dipercaya, tiba-tiba saja orang itu telah berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di dekatnya, membawa buntalan yang cukup besar. Ketika Suma Ciang Bun menurunkan buntalan itu ke atas tanah, isi buntalan bergerak dan terdengar suara ayam!
"Nah, ini kubawakan semua keperluan dari rumahmu," berkata Suma Ciang Bun yang sudah duduk kembali.
Hong Beng membuka buntalan itu dan ternyata di dalamnya, selain terdapat belasan butir telur dan dua ekor ayam paling gemuk, juga terdapat beras yang cukup dan juga beberapa potong pakaiannya yang paling baik. Melihat pakaiannya itu, Hong Beng memandang kepada Suma Ciang Bun dengan sinar mata bertanya.
"Kau tentu membutuhkan pakaian pengganti," kata Ciang Bun. "Apakah kau dapat memasak?"
Hong Beng mengangguk. "Akan tetapi tidak ada tungku dan tidak ada api..."
Ciang Bun tersenyum. Dia sudah berpengalaman hidup merantau di gunung-gunung dan sebentar saja dia sudah dapat membuat api dan membuat tungku dari batu-batu. Hong Beng segera menanak nasi dari panci yang berada dalam buntalan, dan dua ekor ayam itu pun dipotong dan dipanggang. Tak lama kemudian, dua orang ini makan nasi dan panggang ayam dengan lahapnya, walau pun bumbunya hanya hanya garam dan bawang yang dibawa oleh Ciang Bun dari rumah kecil keluarga Gu.
"Nah, sekarang kita bicara," kata Ciang Bun setelah mereka makan kenyang. "Siapakah namamu dan apa yang telah terjadi maka ayah ibumu tewas di sana?"
Hong Beng memandang Ciang Bun dengan tajam untuk beberapa saat lamanya, lalu menceritakan segala peristiwa yang telah menimpa keluarga orang tuanya, dimulai dari peristiwa di pasar ketika ibunya diganggu oleh Bong-ciangkun sampai dia diculik dan ibu berdua ayahnya kemudian tewas.
Setelah anak itu selesai bercerita, Ciang Bun mengangguk-angguk. "Hemm, sudah kuduga tentu demikian. Aku sudah banyak mendengar akan kejahatan orang she Bong itu dan aku girang bahwa aku telah berhasil membasmi dia bersama komplotannya. Hong Beng, sekarang ayah ibumu telah tiada, lalu apa rencanamu selanjutnya? Apakah engkau memiliki sanak keluarga?"
Hong Beng menggeleng kepala.
"Jadi engkau sebatang kara saja?" Anak itu mengangguk.
"Hemmm, engkau sebatang kara dan engkau tak mungkin kembali ke Siang-nam. Di sana sudah geger dan orang-orang mulai mencari keluargamu yang lenyap. Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”
"Kalau paman suka, aku akan ikut dengan paman..."
"Ikut aku?"
"Ya, menjadi... murid atau pelayan..."
Ciang Bun tertawa. Dia semakin kagum kepada anak ini. Tidak banyak cakap, dan cukup sopan.
"Aku suka kepadamu, Hong Beng. Kalau engkau mau, aku pun suka sekali mengambil engkau sebagai muridku."
Mendengar ucapan ini, segera Hong Beng menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Ciang Bun. "Suhu, mulai saat ini, teecu akan mentaati segala perintah suhu dan teecu berjanji akan menjadi seorang murid yang baik."
Ciang Bun menyentuh kedua pundak anak itu dan menyuruhnya bangkit duduk. Ditatapnya wajah anak itu dan dia merasa senang sekali. "Berapa usiamu Hong Beng?"
"Sebelas tahun, suhu."
"Ah, engkau pantas menjadi anakku, keponakanku, atau muridku. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Aku seorang perantau yang tak tentu tempat tinggalnya, kadang-kadang bermalam di dalam hutan, di puncak gunung atau di tepi sungai. Hidupmu akan serba kekurangan dan bahkan kadang-kadang harus berani menahan kehausan dan kelaparan jika ikut aku. Beranikah engkau menghadapi semua kesukaran itu?"
Hong Beng mengangguk. "Teecu berani dan apa pun yang akan suhu perintahkan, akan teecu taati tanpa membantah."
Ciang Bun lalu bangkit dan menarik tangan Hong Beng agar berdiri dan merangkul anak itu sambil tertawa. "Ha-ha-ha, jangan khawatir, muridku. Aku belum begitu gila untuk membuat engkau sengsara. Mari kita pergi naik ke puncak bukit di depan itu. Besok, di puncak itu, akan mulai kuajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadamu. Engkau tidak akan menyesal menjadi muridku. Ketahuilah bahwa saat ini, engkau merupakan anak murid keluarga Pulau Es. Kalau engkau tekun belajar, kelak akan sukar orang menandingimu."
Demikianlah, Suma Cian Bun yang selama bertahun-tahun hidup dalam kesunyian dan kesepian, kini memperoleh seorang murid yang seolah-olah membuat hidupnya berarti dan dia berguna bagi seseorang.
Kesepian atau kesendirian merupakan suatu hal yang amat ditakuti oleh kebanyakan orang. Sendirian sama artinya dengan kematian atau lenyapnya bayangan tentang diri sendiri yang kita bentuk sendiri. Timbulnya sang aku adalah karena adanya hubungan dengan manusia lain, dengan benda mau pun dengan gagasan-gagasan. Kalau sudah berada sendirian maka sang aku pun tak dapat bergerak lagi, atau kalau pun bergerak, tentu hanya karena dorongan ingin mempertahankan hidup.
Itulah sebabnya kita selalu haus akan perhatian orang lain, selalu haus akan kasih sayang orang lain. Orang yang merasa bahwa dia tidak diperhatikan orang, tidak disukai orang, akan merasa sengsara dan hidupnya seolah-olah kosong, dapat mendatangkan penyakit hampa atau frustrasi, karena sang aku yang sudah digambarkan dan dipupuk semenjak kecil menjadi tidak berarti lagi, menjadi diremehkan.
Takut akan kesepian atau sendirian ini pula yang mendorong kita untuk mengingatkan diri dengan apa saja yang menyenangkan lahir dan batin. Kalau sudah terikat, kita merasa aman, merasa terjamin. Padahal, ikatan-ikatan inilah yang membuat kita hidup seperti robot. Pengulangan-pengulangan, kebiasaan-kebiasaan, menurut ‘umum’, dan menonjolkan sang aku sama saja dengan hidup di atas awan angan-angan dan oleh karenanya sering kali menemui kekecewaan dan kedukaan karena kenyataan berbeda sama sekali dengan angan-angan dan harapan-harapan.
Siapa yang berani meninggalkan hidup dalam dunia angan-angan dan harapan ini, dan berani membuka mata menghadapi segala macam kenyataan hidup, menerima sebagai mana adanya, barulah dia itu benar-benar hidup dan tidak akan terkecoh oleh harapan-harapan yang pada dasarnya hanyalah sang aku yang ingin senang.
**********
Pemuda itu berjalan seorang diri menyusuri tepi Sungai Wu-kiang, sebuah sungai yang mengalir ke arah utara untuk kemudian terjun ke sungai besar Yang-ce-kiang. Sungai Wu-kiang ini mengalir di antara bukit-bukit pegunungan yang amat luas, sunyi senyap dan penuh dengan hutan liar.
Dia tidaklah sangat muda lagi. Usianya sekitar dua puluh enam tahun, bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya sederhana seperti pakaiannya, hanya sapasang matanya yang mengandung sinar penuh ketajaman itu yang menarik perhatian. Dilihat sepintas lalu, dia mirip seorang petani atau mungkin seorang pemburu karena berjalan seenaknya di tempat yang amat sunyi dan liar itu. Padahal, tempat itu amat berbahaya dan kalau tidak bersama-sama rombongan yang bersenjata lengkap, jarang ada orang berani memasuki daerah ini. Akan tetapi, orang muda itu berlenggang seenaknya dan memandang ke kiri kanan, kadang-kadang tersenyum sendiri kalau melihat kupu-kupu, atau burung, atau kelinci berkejaran.
Di tempat yang amat sunyi itu, di mana tidak terdapat manusia lain kecuali diri sendiri, membuat mata menjadi waspada sekali. Pikiran menjadi hening, tidak terisi berbagai masalah seperti jika berada di tempat ramai yang penuh orang. Pikiran tidak mengada-ada, tidak dipenuhi keinginan-keinginan, karena kosong dan hening inilah maka panca indera bekerja dengan amat baiknya, setiap anggota tubuh menjadi amat pekanya. Dan dalam keadaan hening dan waspada ini, maka segala keindahan pun nampak!
Biasanya, panca indera kita seperti menjadi tumpul karena dipenuhi oleh keinginan batin yang berupa nafsu sehingga perhatian hanyalah ditujukan kepada hal-hal yang belum ada dan sedang dikejar atau diinginkan. Akan tetapi, berada di tempat sunyi itu, barulah terasa betapa indahnya segala hal yang ada, betapa bersilirnya angin membawa suara indah melebihi alunan musik yang mana pun juga, bahkan gugurnya setangkai daun kering yang menari-nari ke bawah nampak sedemikian indahnya bagaikan tarian yang menakjubkan. Diri menjadi lenyap, seperti lebur menjadi suatu kenyataan yang ada, bukan lagi boneka yang dipermainkan oleh nafsu dan keinginan.
Pemuda itu sangat sederhana, hanya menggendong sebuah buntalan pakaian dan di pinggangnya terselip sebuah benda kecil yang terbungkus oleh sarung dari kain kuning, panjangnya kira-kira tiga kaki. Bagi orang yang tidak mengenalnya tentu mengira bahwa dia itu hanya seorang petani biasa, atau seorang pemburu dan paling hebat tentu seorang perantau yang biasa melakukan perjalanan seorang diri dengan bekal sedikit kepandaian silat untuk melindungi dirinya. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar yang amat lihai, bahkan yang baru-baru ini memperoleh julukan Pendekar Suling Naga!
Bagi para pembaca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES, pemuda ini pasti dapat diduga siapa orangnya, sebab dia merupakan salah seorang di antara para tokoh dalam kisah itu. Pemuda ini adalah Sim Houw, seorang pemuda gemblengan yang sudah mewarisi ilmu-ilmu hebat dari dua aliran yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).
Ilmu yang pertama dia peroleh dari mendiang ayahnya sendiri, yaitu Sim Hong Bu yang mewarisinya dari keluarga isterinya, keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Pegunungan Himalaya. Ada pun ilmu yang kedua itu diperolehnya dari pendekar sakti Kam Hong yang pernah menjadi calon mertuanya, tetapi perjodohannya dengan puteri gurunya ini gagal karena gadis itu mencintai orang lain.
Ayahnya, pendekar sakti Sim Hong Bu sudah gugur dalam pertempuran antara para pendekar yang melawan pasukan tentara pemerintah. Ibunya pun telah tewas sehingga dia hidup sebatang kara. Memang masih ada keluarga dari pihak ibunya, yaitu keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, akan tetapi karena ayahnya telah bercerai dari ibunya dan terjadi pertentangan antara mendiang ayahnya dan keluarga Cu, dia tidak mau lagi kembali ke lembah itu.
Demikianlah sedikit riwayat pendekar yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga itu. Baru kurang lebih tiga tahun dia diberi julukan itu setelah beberapa kali dia menghadapi datuk-datuk sesat yang lihai dan terpaksa dia menggunakan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang suling yang dapat dipergunakan sebagai pedang pula. Suling ini terbuat dari kayu yang diukir berbentuk seekor naga, kayu yang telah ribuan tahun usianya dan sudah direndam ramuan obat sehingga menjadi keras bagaikan baja, dan selain dapat ditiup sebagai suling yang suaranya merdu, juga dapat dipergunakan sebagai pedang.
Kurang lebih tiga tahun yang lalu, timbul di dalam pikiran Sim Houw untuk menjenguk keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman. Dia teringat bahwa yang bertentangan dengan ayahnya adalah ayah dari ibunya bersama seorang paman, juga ibunya sendiri.
Keluarga Cu terdiri dari tiga orang kakak beradik. Yang pertama ialah Cu Han Bu, yaitu ayah dari ibunya, ke dua adalah Cu Seng Bu dan ke tiga adalah Cu Kang Bu. Yang dulu menentang ayahnya hanyalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, keduanya sekarang telah meninggal dunia, sedangkan Cu Kang Bu tidak menentang ayahnya. Dan sekarang, yang tinggal di lembah itu hanya tinggal Cu Kang Bu dan isterinya.
Teringat akan paman kakeknya ini, seorang pendekar berjuluk Ban-kin-sian yang gagah perkasa, juga isteri pendekar ini, seorang wanita bernama Yu Hwi yang mempunyai kepandaian tinggi pula, Sim Houw menjadi rindu. Tidak ada lagi keluarganya di dunia ini kecuali paman kakek Cu Kang Bu itu, maka dia pun lalu berangkatlah ke Pegunungan Himalaya.
Akan tetapi, ketika pada suatu pagi dia tiba di lembah itu, dan menyeberangi jembatan tambang yang direntang dari dalam lembah oleh seorang murid keluarga Cu, Sim Houw menjadi terkejut bukan main melihat betapa paman kakek berdua isterinya itu berada dalam keadaan luka parah! Cu Kun Tek, putera mereka yang baru berusia dua belas tahun menjaga mereka dengan sikap murung dan berduka.
Lembah Gunung Naga Siluman itu merupakan tempat yang selain sangat indah juga tersembunyi dan tidak mungkin dapat dikunjungi orang kecuali kalau penghuni lembah itu menghendaki. Lembah itu dikurung oleh jurang yang amat curam, dan jalan masuk satu-satunya hanyalah melalui jembatan tambang yang direntang dari dalam lembah dan selalu dijaga oleh murid-murid penghuni lembah itu.
Pada waktu itu, Cu Kang Bu yang hanya mempunyai seorang putera memiliki belasan orang murid. Selain untuk menjadi teman puteranya, para murid ini juga untuk melayani segala keperluan keluarganya dan menjaga kebersihan tempat tinggal mereka. Murid-murid ini yang melakukan penjagaan jembatan tambang itu.
Ketika Sim Houw muncul dan memperkenalkan namanya, di antara murid-murid itu ada yang sudah pernah mengenalnya, maka tambang yang tadinya tergantung ke dalam jurang lalu ditarik dan direntang. Sim Houw menggunakan ilmunya untuk menyeberang melalui atas tambang yang besar itu. Kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak memiliki keberanian besar, siapa berani menyeberang melalui jembatan yang terbuat dari sehelai tambang itu? Sekali jatuh, nyawa akan melayang dan tubuh akan hancur lebur.
Melihat keadaan paman kakeknya suami isteri yang rebah dengan muka pucat, Sim Houw terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut. Suami yang nampak lemah tubuhnya itu memandang penuh perhatian, lalu terdengar Cu Kang Bu bertanya, "Orang muda, siapakah engkau dan ada keperluan apakah engkau mendatangi tempat kami ini?"
Mendengar pertanyaan kakek itu, Sim Houw merasa terharu sekali. "Cek-kong (paman kakek), saya adalah Sim Houw..."
"Sim Houw...?" Isteri kakek itu bangkit duduk dan memandang dengan penuh perhatian. Juga kakek itu bangkit duduk.
"Engkau Sim Houw putera mendiang Pek In?" tanya kakek yang kini usianya sudah lima puluh tiga tahun itu.
Disebutnya nama mendiang ibunya, Sim Houw menjadi semakin terharu. "Benar dan saya menghaturkan hormat kepada cek-kong berdua."
Suami isteri yang sedang menderita luka itu nampak gembira sekali. "Kun Tek, lihatlah, pemuda perkasa ini adalah keponakanmu sendiri, putera tunggal mendiang enci-mu Cu Pek In! Sim Houw, ini adalah anak tunggal kami, bernama Cu Kun Tek."
Sim Houw memandang kepada anak laki-laki itu. Dia hanya pernah mendengar bahwa suami isteri itu memiliki seorang anak laki-laki dan baru sekarang dia bertemu dengan anak laki-laki itu, seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih dua belas tahun dan menjadi pamannya! Dia merasa canggung, akan tetapi Sim Houw segera bangkit berdiri dan menjura kepada anak itu.
"Paman kecil, harap engkau baik-baik saja dan banyak memperoleh kemajuan."
Dari ayah bundanya Cu Kun Tek juga sudah banyak mendengar mengenai Sim Houw, maka dia pun membalas penghormatan itu. "Harap engkau tidak terlalu sungkan, karena biar pun aku terhitung pamanmu, tetapi aku jauh lebih muda dan banyak mengharapkan petunjuk darimu."
Diam-diam Sim Houw kagum dan dapat melihat bahwa paman cilik ini adalah seorang anak laki-laki yang cerdas dan ada pembawaan yang gagah perkasa seperti paman kakeknya.
"Selama ini engkau ke mana sajakah, anak Houw?" tanya Yu Hwi, isteri Cu Kang Bu itu.
"Saya merantau memperluas pengalaman dan tiba-tiba saya merasa amat rindu kepada keluarga di sini, juga tempat ini di mana saya dibesarkan, maka hari ini saya datang menghadap. Harap cek-kong berdua sudi memaafkan bahwa baru hari ini saya sempat singgah. Akan tetapi betapa kaget hati saya melihat bahwa cek-kong berdua agaknya dalam keadaan sakit... dan kalau tidak salah… menderita luka dalam. Apakah cek-kong berdua berkelahi dengan seorang lawan yang amat lihai?"
Mendengar pertanyaan ini, suami isteri itu saling pandang dan seperti diingatkan akan sesuatu yang membuat mereka penasaran. Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menjawab, "Kalau diceritakan, sungguh membuat orang menjadi jengkel dan penasaran sekali. Seperti yang sudah kau ketahui, Sim Houw, keluarga Cu selalu menjauhkan diri dari keributan, bahkan menempati lembah yang terpencil dan terasing ini, karena tidak ingin terlibat dalam permusuhan. Akan tetapi, kalau memang perkelahian akan terjadi, ke mana pun kita bersembunyi, ada saja yang datang mencari perkara. Dan kali ini yang datang mencari keributan adalah seorang kakek tua renta yang gila..."
Sim Houw terkejut dan merasa heran sekali. Seorang kakek tua renta yang gila? Dan seorang kakek gila ini demikian lihainya sehingga cek-kongnya yang lihai ini, bersama isterinya yang juga amat lihai, kalah dan menderita luka dalam.
"Cek-kong, apakah yang telah terjadi?"
Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang. "Dua pekan yang lalu, pada suatu siang muncul seorang kakek di seberang jurang dan dia berteriak dengan mempergunakan khikang, minta bertemu denganku. Karena maklum bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian tinggi maka aku menyuruh para murid merentangkan jembatan tambang. Kakek itu menyeberang dan ternyata dia sudah sangat tua, dan dia datang mengajukan usul yang aneh."
"Bagaimana usulnya itu?" Sim Houw bertanya dengan hati tertarik sekali melihat Cu Kang Bu menghentikan ceritanya.
"Ahh, sungguh aneh dan memalukan. Ia mengatakan bahwa ia memiliki sebuah benda pusaka yang akan diwariskan kepada seorang pendekar yang dapat mengalahkannya. Karena dia bertapa di Pegunungan Himalaya dan dia mendengar bahwa di lembah ini tinggal pendekar-pendekar sakti, dia lalu datang untuk minta dikalahkan agar dia dapat mewariskan pusaka itu kepada kami. Tentu saja aku yang tidak butuh pusakanya, lalu menolak. Akan tetapi dia malah marah-marah dan mengatakan bahwa kalau aku tidak mau melayaninya, dia akan membunuh aku dan seluruh penghuni lembah ini..."
"Gila..." Sim Houw berseru heran dan penasaran.
Mana di dunia ini ada peraturan seperti itu? Hendak mewariskan pusaka saja dengan syarat harus mengalahkannya, dan kalau orang tidak mau menyambut usulnya yang aneh itu, akan dibasmi seluruh keluarganya!
"Memang, agaknya dia telah gila, akan tetapi dia lihai bukan main." Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Karena ancamannya yang sangat gila itu, tentu saja aku menjadi marah dan akhirnya kami bertanding, bukan untuk memenuhi permintaannya, melainkan untuk menentang niatnya yang hendak membasmi kami itu. Akan tetapi, biar pun isteriku telah membantuku, tetap saja setelah lewat seratus jurus kami berdua terkena pukulannya yang ampuh dan terluka. Tetapi dia tidak membunuh kami, hanya mengatakan bahwa setelah kami sembuh, dia akan datang lagi, karena dia menganggap bahwa aku cukup pantas menerima warisan itu dan dia minta agar aku berlatih serta memperkuat diri agar lain kali aku dapat mengalahkannya. Kemudian dia pergi."
"Orang itu agaknya memang gila dan bisa berbahaya sekali,” kata Yu Hwi. “Bayangkan saja, cek-kongmu ini sudah mempergunakan cambuknya, dan aku pun sudah melawan mati-matian. Kami berdua hanya dapat mengimbangi saja tanpa mampu mengatasinya sehingga akhirnya kami terluka."
"Siapakah nama kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?" Sim Houw yang merasa amat tertarik dan penasaran bertanya.
"Dia belum sempat memperkenalkan diri dan kamipun tidak tahu di mana dia tinggal," jawab Cu Kang Bu. "Kami memang tidak tertarik sama sekali untuk berkenalan dengan orang gila itu, apa lagi mewarisi pusakanya."
Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara melengking tinggi yang terdengar dekat sekali, seolah-olah suara itu keluar dari mulut seorang yang berada di dalam gedung atau ruangan di mana mereka duduk bercakap-cakap. Lengkingan suara itu lalu disusul kata-kata yang lembut, "Orang she Cu, rentangkan jembatan tambang, aku datang lagi berkunjung!"
"Nah, itu dia orang gila itu datang lagi!" Cu Kang Bu berkata dan dia bersama isterinya nampak pucat. Cu Kun Tek yang masih kecil itu bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. Anak ini kelihatan marah sekali.
"Ayah dan ibu, kalau dia datang lagi, biarlah kita lawan mati-matian. Bukankah di sini ada Sim Houw yang pernah ayah ceritakan sebagai seorang yang amat lihai? Tentu dia akan membantu kita, bukankah demikian, Sim Houw?"
Sim Houw memandang kagum dan tersenyum, lalu mengangguk. "Tentu saja, paman kecil."
Sementara itu, tiga orang murid datang menghadap dengan muka pucat. Jelas nampak betapa mereka ini cemas sekali. "Suhu, kakek gila itu datang lagi...," kata mereka.
"Ada tamu datang, rentangkan jembatan, biarkan dia ke sini," kata Cu Kang Bu dengan sikap gagah.
Dia maklum bahwa selagi dalam keadaan sehat dan segar saja, dia dan isterinya yang maju mengeroyok kakek itu tidak menang dan bahkan terluka parah, apa lagi sekarang dalam keadaan masih belum sembuh benar. Maju melawan kakek itu sama saja berarti mengundang kematian. Tetapi kalau perlu dia tidak takut mati. Lebih baik mati melawan dari pada memperlihatkan rasa takut dan tidak berani merentangkan jembatan.
"Suhu, biar teecu rentangkan jembatan dan kalau Si kakek gila itu sudah menyeberang sampai di tengah-tengah, teecu akan lepaskan tambang agar dia mampus terbanting ke dalam jurang," kata seorang murid yang tinggi besar.
"Brakkkk!"
Cu Kang Bu menggebrak dipannya dengan mata melotot. "Pengecut! Hayo kau masuk ke dalam Ruangan Bertobat, tiga hari tiga malam tidak boleh keluar untuk mempelajari sikapmu yang pengecut itu sampai dapat kau hapus sama sekali dari batinmu!"
Murid tinggi besar itu berlutut dengan muka pucat, mengangguk-angguk. "Baik, teecu menerima perintah dan hukuman."
Kemudian dengan tubuh lemas dia mengundurkan diri untuk memasuki sebuah ruangan di bawah tanah yang dipergunakan untuk menghukum murid-murid yang bersalah. Di tempat ini dia terpaksa harus bertapa selama tiga hari dan tiga malam untuk menebus kesalahannya karena tadi dia telah mengeluarkan kata-kata yang sifatnya pengecut dan curang.
"Rentangkan jembatan dan biarkan dia menyeberang!" katanya kepada dua orang murid lain yang cepat mengangguk dan pergi. Pendekar itu lalu berkata kepada isterinya dan puteranya. "Kalian jangan turut campur. Biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya dan kalau perlu mengadu nyawa dengannya."
"Akan tetapi engkau pun masih belum sembuh!" seru isterinya dengan khawatir.
Sim Houw cepat maju dan berkata, "Cek-kong berdua harap tenangkan hati. Saya kira, dengan bujukan yang halus dan dapat diterima, kiranya dia dapat disadarkan dan dapat disuruh pergi tanpa kekerasan. Saya tidak sakit, maka biarlah saya mewakili cek-kong berdua karena bagaimana pun juga, saya adalah anggota keluarga di lembah ini."
Cu Kang Bu mengangguk. "Akan tetapi engkau harus berhati-hati benar, Sim Houw. Dia memiliki ilmu yang luar biasa anehnya."
“Saya mengerti, cek-kong. Orang yang mampu mengalahkan cek-kong berdua tentulah seorang sakti." Setelah berkata demikian, Sim Houw melangkah keluar, diikuti oleh Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan juga Cu Kun Tek.
Ketika mereka tiba di luar gedung, tidak lama kemudian nampak bayangan berkelebat cepat datang dari depan. Diam-diam Sim Houw terkejut bukan main karena bayangan itu sungguh memiliki ginkang yang luar biasa sehingga tubuh itu seolah-olah terbang saja ketika berlari ke arah mereka. Segera nampak seorang kakek renta berdiri di depan mereka.
Kakek itu memang nampak sudah tua sekali. Sukar menaksir berapa usianya, akan tetapi tentu mendekati seratus tahun. Rambut di kepalanya tinggal sedikit, tipis panjang dan tak terpelihara membuat kepala itu nampak kecil. Tubuhnya kurus sekali dan saking kurusnya, nampak seperti tulang terbungkus kulit belaka. Matanya sipit hampir terpejam, mulutnya kempot dengan kedua pipinya cekung ke dalam. Akan tetapi yang luar biasa adalah kulit mukanya. Kulit muka itu putih, bukan pucat melainkan putih seperti dibedaki tebal saja. Jubahnya hitam lebar dan panjang, celananya berwarna kuning.
Begitu berhadapan dengan mereka, mata yang sipit itu menujukan pandangannya ke arah Cu Kang Bu dan isterinya, lalu terdengar kakek itu berkata dengan nada suara penuh sesal, "Aihh, kalian belum sembuh! Itulah akibatnya kalau tinggi hati, kuberi obat tidak mau. Sekarang, jangankan bisa mengalahkan aku, baru menandingi seratus jurus seperti tempo hari saja kalian akan mati, lantas siapa lagi yang dapat aku harapkan mengalahkan aku dan mewarisi pusakaku? Aihhh... aku tidak mau pusakaku terjatuh ke tangan mereka, aku tidak mau biar mereka itu murid-murid keponakanku sendiri, aku tidak mau..." Dan suara kakek itu berubah seperti suara orang menangis!
Sim Houw melangkah maju menghadapi kakek itu sambil menjura dengan sikap hormat dan suaranya terdengar halus namun tegas, "Locianpwe, kami para penghuni Lembah Naga Siluman tak pernah bermusuhan dengan siapa pun juga, tak pernah mencampuri urusan orang lain, harap locianpwe suka mundur dan meninggalkan tempat kami tanpa mengganggu kami lagi. Jika locianpwe memaksa, terpaksa saya yang akan menghadapi dan melawan locianpwe!"
Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dan kini mata yang sipit sekali itu ditujukan kepada Sim Houw, memandang dari atas ke bawah.
"Heh-heh, kau gagah juga...! Apakah kau murid mereka?" Jari telunjuknya yang kurus panjang itu menunjuk ke arah Cu Kang Bu dan isterinya.
"Bukan, locianpwe. Saya adalah cucu keponakan mereka yang kebetulan tengah datang berkunjung."
"Uuh-huh-huh, murid juga bukan, malah hanya cucu keponakan! Dan kau bilang bahwa kau akan melawan aku? Heh-heh-heh, bocah, engkau sombong benar!"
"Locianpwe yang sombong, seakan-akan locianpwe pandai mengukur tingginya langit dalamnya lautan. Akan tetapi, tidak ada pertandingan dilakukan tanpa sebab, apa lagi tanpa saling mengenal. Nama saya adalah Sim Houw, dan sudah jelas bahwa saya akan mewakili cek-kong saya berdua isterinya, mewakili keluarga dan penghuni Lembah Naga Siluman untuk menandingi locianpwe, Sebaliknya, siapa pula locianpwe ini dan mengapa locianpwe datang mengacau di lembah kami?"
Kakek kurus kering itu terkekeh. "He-he-heh-heh, kau bocah kemarin sore akan tetapi omonganmu berisi! Agaknya dirimu berisi ilmu kepandaian pula. Dengarlah, aku disebut orang Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih), seorang pertapa di puncak bukit sebelah utara yang nampak dari sini itu." Dia menuding ke arah sebuah puncak bukit yang nampak samar-samar dari lembah itu, terhalang kabut mengawan. "Aku sudah tua, sudah mau mati, akan tetapi aku tak akan dapat mati dengan mata terpejam sebelum pusaka yang berada padaku kuserahkan kepada orang yang pantas memilikinya. Dan yang pantas memilikinya hanyalah seorang pendekar yang mampu menandingiku. Kalau aku tidak menemukan orang itu, pusaka itu tentu akan terjatuh ke tangan tiga orang murid keponakanku yang seperti setan, dan aku tidak rela, sungguh tidak rela! Karena itulah aku datang ke sini karena aku mendengar bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar yang sakti. Akan tetapi ternyata kepandaian mereka hanya begitu saja, sungguh mengecewakan hatiku."
"Locianpwe, mengapa bersusah payah menetapkan syarat begitu aneh dan berat? Jika memang locianpwe tak rela memberikan pusaka kepada orang lain, perlu apa mencari-cari? Kepandaian locianpwe begitu tinggi, siapa yang akan sanggup mengalahkannya? Dan kalau memang locianpwe berhasrat mewariskan pusaka itu kepada orang lain, berikan saja kepada siapa yang locianpwe sukai, tidak perlu dengan syarat yang aneh-aneh. Lagi pula, kami keluarga Lembah Naga Siluman juga tidak kepingin memperoleh pusaka apa pun juga."
Kakek itu menghela napas panjang. "Orang muda, enak saja kau bicara. Kalau aku memberikan kepada sembarang orang, berarti menyuruh dia mampus dan pusaka itu akhirnya akan terampas pula oleh tiga orang murid keponakanku. Mengertikah engkau? Aku sudah menjatuhkan pilihanku kepada penghuni lembah ini, kalau tidak ada yang mampu mengalahkan aku, berarti mengecewakan hatiku dan karenanya akan kubunuh semua!"
Sim Houw menjadi marah. "Hemm, watak locianpwe begini aneh dan jahat, pantas saja murid keponakan locianpwe juga jahat seperti setan. Nah, biarlah kini saya mewakili keluarga Cu untuk menghadapi locianpwe!"
Sambil berkata demikian, karena maklum bahwa lawannya yang sudah mengalahkan cek-kongnya bersama isterinya tentu amat sakti, dia sudah mencabut keluar sebatang suling dari balik jubahnya. Begitu suling dicabut, nampak sinar emas berkelebat yang dibarengi suara melengking dari suling itu seolah-olah ditiup. Melihat dan mendengar ini, kakek itu terbelalak.
"Ihhh...? Itu... itu senjatamu? Sebatang suling emas?" tanyanya kaget dan memandang ke arah sebatang suling terbuat dari pada emas yang berada di tangan pemuda itu.
Memang suling ini sebuah suling emas, pemberian pendekar sakti Kam Hong. Sebatang suling yang merupakan duplikat dari suling emas di tangan pendekar itu, yang dahulu digunakan oleh Sim Houw untuk berlatih ketika digembleng oleh bekas calon mertuanya itu.
"Aneh...!" Kakek itu berkata, matanya yang sipit itu agak terbelalak lebar dan mulutnya tersenyum. Wajahnya yang tadinya keruh sekarang nampak berseri penuh harapan. "Lihat seranganku!"
Tiba-tiba kakek itu telah menggerakkan kedua tangannya dan Sim Houw merasa betapa ada angin yang sangat kuat menyambar ke arahnya dari kanan kiri. Kakek itu telah menyerang dengan pukulan-pukulan yang ampuh, aneh datangnya, melengkung dari kanan kiri. Dari angin serangan itu saja dapat diketahui bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang amat kuat!
Namun, yang diserang oleh Pek-bin Lo-sian adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah matang kepandaiannya. Pemuda ini merupakan satu-satunya orang yang sudah mewarisi dua ilmu kesaktian yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Koai-liong Kiam-sut dari keluarga Cu dan juga Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dari pendekar Kam Hong!
Kini dua ilmu itu telah mendarah daging pada dirinya. Hanya ada satu orang lagi yang pandai menggabung kedua ilmu itu, ia adalah Kam Bi Eng, bekas tunangannya, puteri tunggal pendekar sakti Kam Hong yang kini menjadi isteri dari Suma Ceng Liong, cucu dari majikan Pulau Es.
Memang terdapat perbedaan antara kepandaian yang dikuasai Sim Houw dan yang dikuasai Kam Bi Eng. Sim Houw, menggabungkan kedua ilmu itu dengan dasar Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang dipelajarinya pertama kali dari ayahnya, sebaliknya Bi Eng mendasari penggabungan itu dengan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisi dari ayahnya.
Pada saat mereka dipertunangkan, Sim Houw digembleng oleh Kam Hong, bekas calon mertuanya, sebaliknya Kam Bi Eng digembleng oleh Sim Hong Bu, ayah Sim Houw. Kini keduanya telah menguasai penggabungan kedua ilmu itu, akan tetapi sayang, karena tidak adanya cinta kasih kedua pihak, maka pertunangan itu putus dan mereka tidak menjadi suami isteri.
Menghadapi serangan aneh dari Pek-bin Lo-sian, dengan tenang akan tetapi dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan, Sim Houw memutar sulingnya ke kanan kiri dan ujung sulingnya itu mengancam dua lengan lawan dengan totokan-totokan maut ke arah pergelangan tangan. Kalau serangan kakek itu dilanjutkan, sebelum kedua tangannya menyentuh tubuh lawan, maka lebih dulu kedua pergelangan tangannya akan tertotok suling emas!
"Ohhhh...!" Dia terkejut, akan tetapi juga girang.
Tadi dia sengaja mengeluarkan jurus serangannya yang sangat ampuh untuk menguji kepandaian pemuda aneh yang bersenjata suling emas itu. Kini ternyata pemuda itu tidak hanya mampu membuyarkan serangannya, bahkan berbalik mengancam kedua lengannya! Dia cepat-cepat menarik kembali kedua tangan itu dan mulailah kakek itu berloncatan dan bergerak cepat, melakukan serangan bertubi-tubi kepada Sim Houw.
Sim Houw juga tak mau berlaku sungkan lagi. Suling emasnya bergerak semakin cepat menghadang setiap serangan sehingga kini kakek itu yang berbalik terserang olehnya. Beberapa kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Suling itu berubah menjadi sinar keemasan bergulung-gulung disertai suara melengking-lengking seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang.
Hal ini membuat Pek-bin Lo-sian kagum bukan main. Pernah dia mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, dan kini dia merasa seolah-olah berhadapan dengan pendekar yang pernah terkenal di seluruh dunia persilatan itu! Dia tidak tahu bahwa memang yang dihadapinya adalah murid dari Pendekar Suling Emas Kam Hong. Belum sampai lima puluh jurus, kakek itu sudah terdesak oleh gulungan sinar yang melengking-lengking itu.
Cu Kang Bu dan isterinya yang menonton pertandingan itu menjadi kagum bukan main. Tidak mereka sangka bahwa putera mendiang Sim Hong Bu dan Cu Pek In kini telah menjadi seorang pendekar yang demikian hebat ilmu silatnya.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan mengguntur. Nampak sinar hitam berkelebat, dan tahu-tahu ia telah memegang sebuah pedang yang aneh sekali. Senjata itu disebut pedang, karena dipegang dan dimainkan seperti orang memainkan pedang, akan tetapi bentuknya adalah seekor naga yang merupakan ukiran indah sekali dan warnanya hitam pekat. Akan tetapi pada tubuh pedang berbentuk naga itu terdapat lubang-lubang seperti pada sebuah suling!
Dan ketika kakek itu menggerakkan senjata aneh ini, nampak sinar hitam berkelebat. Terdengar pula suara melengking kacau, sama sekali berbeda dengan lengking suara yang keluar dari suling emas di tangan Sim Houw yang terdengar merdu seperti melagu.
"Cringgg...!"
Nampak bunga api berpijar ketika senjata aneh itu bertemu suling emas dan Sim Houw merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Akan tetapi pemuda ini tidak menjadi gentar. Cepat dia memindahkan suling emas di tangan kiri dan begitu tangan kanannya bergerak ke bawah jubahnya, nampak sinar berkilat menyeramkan, sinar biru yang menyilaukan mata dan terdengar suara mengaum seperti seekor singa.
Itulah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) peninggalan ayahnya! Dan kini dia menggerakkan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri. Bukan main hebatnya karena pedangnya itu memainkan jurus-jurus ampuh dari Koai-liong Kiam-sut sedangkan suling emasnya memainkan jurus-jurus pilihan dari Kim-siauw Kiam-sut!
Menghadapi gabungan dua ilmu yang sakti dan ampuh ini, kembali si kakek kurus renta mengeluarkan suara terkejut bukan main dan dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak hebat.
Sekarang kakek itu benar-benar kagum bukan main, berkali-kali mengeluarkan seruan memuji, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan pemuda yang amat menarik perhatiannya itu. Dan memang ilmu silat kakek ini aneh sekali. Beberapa kali hampir saja Sim Houw tertipu dan terpancing, akan tetapi berkat keampuhan dua ilmu silat yang digabung itu, serangan-serangan kakek itu selalu gagal.
Sim Houw diam-diam merasa bingung juga. Dia tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan kakek ini, maka tadinya dia hanya ingin menandingi dan jika memang mungkin, mengalahkan tanpa melukai kakek itu. Akan tetapi, kini ternyata bahwa ilmu kepandaian kakek ini benar-benar hebat sehingga tidak mungkin kiranya tanpa melukai. Bahkan kalau dia terlalu mengalah, jangan-jangan dia sendiri yang akan roboh akhirnya!
Maka, terpaksa ia pun lalu mengeluarkan jurus-jurus terampuh yang digabung sehingga keadaan kakek itu benar-benar terkurung oleh sinar keemasan dan sinar biru yang amat dahsyat. Tiba-tiba sinar biru menyambar dahsyat menyambut pedang naga hitam itu, didukung tenaga sinkang yang amat kuat.
"Krekkk...!"
Kini patahlah senjata ampuh kakek itu, terbabat Koai-liong Po-kiam yang ampuh dan pada saat itu juga, suling di tangan kiri pemuda itu sudah menotok ke arah tenggorokan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.
"Ahhhhh...!" Kakek itu terkejut melihat senjatanya patah sehingga kurang waspada dan tahu-tahu ujung suling sudah meluncur ke arah tenggorokannya.
Melihat ini, Sim Houw yang tak ingin membunuh cepat-cepat mengurangi tenaga pada totokannya. Hanya itulah yang mampu dilakukan, karena melihat kedudukannya, tidak mungkin menarik kembali, karena tangan kiri kakek itu dapat saja melakukan pukulan kalau dia menarik kembali totokan sulingnya. Kakek itu pun biar terlambat masih dapat membuang tubuh ke samping.
"Tukkk...!" Tetap saja ujung suling masih menotok pundak kirinya.
Kakek itu mengeluh, lalu terpelanting! Bukan main girang dan kagumnya rasa hati Cu Kang Bu dan isterinya melihat betapa akhirnya cucu keponakan mereka itu berhasil mengalahkan kakek gila yang amat lihai itu.
"Aihh, locianpwe, maafkan saya...!" Sim Houw terkejut dan menyesal, cepat menyimpan sepasang senjatanya dan menjura.
"Sudahlah, aku kalah...," kakek itu mengeluh dan bangkit berdiri, napasnya terengah-engah dan dia menekan pundak kirinya. Jelas bahwa totokan itu telah mendatangkan luka di dalam dadanya. Sampai beberapa lamanya kakek itu menatap wajah Sim Houw, kemudian dia mengangguk-angguk.
"Ahhh, tidak kusangka bahwa akhirnya Suling Naga bertemu dengan majikannya. Orang muda, engkaulah orangnya yang patut sekali memiliki Liong-siauw-kiam. Engkau telah memiliki dua ilmu dengan pedang dan suling, dan kalau kini engkau mempergunakan Liong-siauw-kiam, berarti engkau dapat memainkannya dengan dua ilmu itu. Engkau telah mengalahkan aku, pusaka itu akan kuserahkan kepadamu."
"Hemmm, kakek jahat. Pusakamu itu telah patah dua, untuk apa diberikan kepada cucu keponakan kami?" Yu Hwi mencela sambil menuding ke arah senjata hitam yang patah terbabat pedang Koai-liong-po-kiam tadi.
Kakek itu tertawa, akan tetapi tiba-tiba menahan ketawanya dan menyeringai kesakitan.
"Locianpwe, engkau telah terluka. Marilah kubantu meringankan penderitaanmu," kata Sim Houw sambil melangkah maju. Akan tetapi kakek itu mundur ke belakang.
"Jangan! Aku sudah terluka dan itu adalah resiko pertandingan. Jika engkau yang kalah, engkau bukan hanya terluka melainkan mampus, orang muda! Dan siapa bilang bahwa pusaka itu benda yang patah itu? Heh-heh, kau kira aku begitu bodoh membawanya ke mana saja? Memang sama bentuknya, akan tetapi yang ini adalah buatanku sendiri, yang palsu. Yang asli mana mungkin dapat dipatahkan oleh senjata pusaka yang bagai mana ampuh pun juga? Mari, orang muda, engkau berhak memiliki Liong-siauw-kiam. Mari kau ikut denganku mengambilnya di tempat persembunyianku."
Sim Houw percaya sepenuhnya kepada kakek aneh yang amat lihai itu, maka dia pun mengangguk dan menjawab, "Baiklah, locianpwe."
"Sim Houw, jangan mudah percaya omongannya!" Tiba-tiba Yu Hwi berseru. "Orang macam dia ini mana bisa dipercaya? Jangan-jangan engkau dipancing untuk memasuki perangkap!"
Kakek itu memandang kepada Yu Hwi serta mengangguk-angguk sambil tersenyum aneh. "Nyonya ini memiliki kecerdikan yang boleh juga, heh-heh. Terserah kepadamu, orang muda, apakah engkau berani atau tidak ikut bersamaku. Kalau tidak, sungguh aku akan mati dengan mata terbuka karena kecewa dan penasaran."
"Biarlah, cek-kong berdua harap jangan khawatir. Saya dapat menjaga diri," kata Sim Houw.
Dia pun kemudian mengikuti kakek itu yang sudah membalikkan tubuh dan pergi sambil tertawa mengejek. Cu Kang Bu dan isterinya mengikuti dengan pandang mata khawatir, akan tetapi Cu Kun Tek berkata dengan kagum.
"Hebat sekali Sim Houw itu. Kalau aku menjadi dia, aku pun pasti akan pergi mengambil pusaka yang dijanjikan kakek itu."
Dua orang itu lalu menyeberangi tambang. Dengan cepat sekali kakek yang mengaku bernama Pek-bin Lo-sian itu lalu berlari seperti terbang. Agaknya ia masih ingin menguji kepandaian Sim Houw. Akan tetapi, setelah berlari secepatnya dan napasnya mulai memburu, dia menoleh ke belakang. Dia melihat betapa pemuda itu berada tepat di belakangnya, sedikit pun tidak tertinggal, bahkan tak nampak letih seperti orang berjalan seenaknya saja. Kakek itu kagum sekali dan menahan larinya, menjadi langkah biasa untuk mengatur pernapasannya. Wajahnya menjadi semakin pucat.
"Locianpwe, mengapa harus tergesa-gesa? Tidak baik untuk kesehatan locianpwe yang sedang menderita luka." Sim Houw berkata dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa pengerahan tenaga ginkang tadi memang amat berbahaya bagi kakek yang sudah menderita luka di dalam tubuhnya.
"Marilah, kita sudah dekat...!" kata kakek itu dengan napas terengah-engah dan dia mendaki bukit itu. Dan karena luka yang diderita oleh Pek-bin Lo-sian semakin parah, kini kakek itu hampir tidak kuat mendaki bukit itu.
Melihat ini, Sim Houw berkata, "Locianpwe terluka, marilah saya membantu locianpwe untuk meringankan penderitaan itu." Pemuda ini bermaksud untuk mengobati kakek itu dengan pengerahan sinkangnya. Akan tetapi kakek itu menggelengkan kepala.
"Tidak ada gunanya, hanya menghilangkan nyeri sebentar akan tetapi tak akan mampu menyembuhkan."
Sim Houw juga maklum akan hal ini dan dia merasa menyesal sekali. "Maafkan saya, locianpwe. Bukan maksud saya untuk... akan tetapi saya terdesak dan terpaksa..."
"Sudahlah, begini lebih baik. Roboh di tangan seorang pemuda seperti engkau tidak membikin hatiku penasaran. Kalau kau mau... kau gendong saja aku sampai ke puncak, aku khawatir akan putus nyawaku sebelum berhasil menyerahkan pusaka itu."
Sim Houw tanpa ragu-ragu lagi lalu menggendong kakek itu di belakang punggungnya. Baru beberapa langkah saja dia berjalan, tiba-tiba kakek yang tadinya nampak loyo itu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah tengkuk Sim Houw.
"Tolol kau! Mencari mampus sendiri!" Tetapi tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan kaget karena tengkuk yang dicengkeramnya itu lemas seperti tak berotot atau bertulang sehingga cengkeramannya meleset dan tenaga yang dipergunakannya bagai tenggelam ke dalam air saja.
Tahulah dia bahwa pemuda itu tidak setolol seperti yang disangkanya karena diam-diam pemuda itu telah bersiap melindungi dirinya dengan ilmu I-kiong-hoan-hiat, yaitu Ilmu Memindahkan Jalan Darah yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Dan sebelum dia sempat melakukan hal lain lagi, tahu-tahu tubuhnya sudah tidak dapat digerakkan karena pemuda itu telah menotoknya dan membuat kaki tangannya lumpuh! Diam-diam dia kagum dan girang sekali.
"Bagus! Kini barulah yakin hatiku bahwa engkau memang paling pantas menjadi pemilik Liong-siauw-kiam, karena selain lihai engkau pun cerdik sekali." Dia lalu menunjukkan jalan bagi Sim Houw yang tidak menjawab melainkan berlari dengan cepat mendaki bukit itu sambil menggendong tubuh kakek yang sudah tidak mampu bergerak lagi itu.
Setelah kakek itu menyuruhnya berhenti di depan sebuah goa besar, baru Sim Houw menurunkan tubuh kakek itu dari gendongan dan membebaskan totokannya sehingga kakek itu mampu bergerak lagi. "Maafkan saya yang terpaksa menotokmu, locianpwe," katanya dengan sikap tetap menghormat.
Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengangguk-angguk. "Jika engkau tidak cerdik dan tidak melindungi tubuhmu, tentu cengkeramanku akan mematikanmu. Dan memang lebih baik engkau mati kalau tidak mampu melindungi diri dari kecurangan seperti itu. Musuh-musuhmu yang akan kau hadapi puluhan kali lebih curang dari pada yang kulakukan tadi. Tadi aku memang hanya mengujimu. Kalau kau gagal, kau mampus, dan karena kau lulus, maka sekarang aku merasa lebih yakin kau akan mampu mempertahankan Liong-siauw-kiam."
Tiba-tiba kakek itu batuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya.
"Locianpwe, harap kau beristirahat...!" kata Sim Houw dengan kaget karena muntah darah itu menunjukkan bahwa luka yang diderita kakek itu sudah amat berat.
"Heh-heh-heh...!" Pek-bin Lo-sian mengusap darah dari bibirnya sehingga ujung lengan bajunya menjadi merah semua. "Kau... kau tunggu... akan kuambil pusaka itu..." Dan dengan terhuyung-huyung dia memasuki goa yang lebar dan dalam itu.
Sim Houw menanti di luar dengan hati tegang. Hatinya tidak merasa gembira sedikit pun. Tanpa sebab, tanpa permusuhan apa pun dia telah menyebabkan seorang kakek yang memiliki kesaktian luar biasa menderita luka parah, luka yang dia tahu akan membawa maut bagi kakek itu. Dan sesungguhnya dia sama sekali tidak menginginkan pusaka orang, walau pun sikap dan kata-kata kakek itu tentang pusaka yang disebut Liong-siauw-kiam menarik perhatiannya.
Tiba-tiba dia melihat kakek itu keluar lagi, dan cara jalannya semakin terhuyung-huyung, bahkan saat tiba di depan goa, kakek itu terguling roboh dan kembali muntahkan darah segar.
"Locianpwe...!" Sim Houw meloncat dan berlutut dekat kakek itu.
Akan tetapi kakek itu sudah bangkit duduk bersila, mengusap darah dari bibirnya dan dia mengangkat tinggi-tinggi sebuah benda hitam yang ternyata sama benar bentuknya dengan senjata kakek itu yang pernah patah oleh pedang Koai-liong Po-kiam.
"Inilah Liong-siauw-kiam, pusaka ampuh itu yang akan kuserahkan kepadamu, Sim Houw."
Pemuda itu memandang dengan sinar mata ragu-ragu. Benda itu serupa benar dengan senjata kakek tadi, dan tentu saja dia meragukan keampuhannya. Hanya sebuah benda sepanjang kurang lebih tiga kaki, terbuat dari kayu hitam yang diukir membentuk seekor naga, dengan ekor meruncing dan tepinya tajam seperti pedang, di tengahnya yang tebal terdapat lubang-lubang seperti suling. Sebatang Pedang Suling Naga? Jika hanya terbuat dari kayu, mana dapat menjadi senjata yang ampuh? Mana mungkin dapat dibandingkan dengan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam?
Agaknya Pek-bin Lo-sian dapat menduga apa yang diragukan pemuda itu. "Sim Houw, coba kau keluarkan pedangmu dan kau babatlah pusaka ini untuk membuktikan bahwa pusaka ini tidak kalah dibandingkan dengan pedangmu itu."
Wajah Sim Houw berubah agak merah karena isi pikirannya ternyata dapat ditebak dengan tepat oleh kakek itu. Dia lalu mengeluarkan Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar biru berkelebat menyeramkan. Pek-bin Lo-sian sendiri memandang kagum dan mengangguk-angguk.
"Pedang itu memang hebat, akan tetapi cobalah kita adu dengan pusaka ini." Dia lalu mengacungkan Liong-Siauw-kiam itu dan memegang dengan dua tangannya. "Babatlah dan pergunakan tenagamu. Aku sendiri ingin menguji keampuhan pusaka ini!"
Sim Houw lalu bangkit berdiri, mengerahkan tenaga serta mengayun pedangnya. Sinar biru berkelebat bagai kilat dan pedang itu membacok Suling Naga itu dengan kuatnya karena didasari tenaga sinkang.
"Cringggg...!"
Bunga api berpijar keras. Sim Houw merasa betapa pedangnya bertemu dengan benda seperti baja kerasnya sehingga pedangnya membalik. Akan tetapi karena tenaganya sangat besar dan kakek itu sudah lemah, hampir saja pusaka itu terlepas dari kedua tangannya. Sim Houw memandang dan ternyata benda itu sama sekali tidak rusak, lecet pun tidak! Tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Jangankan hanya kayu, biar baja sekali pun, jika bukan baja terbaik, tentu akan patah terbabat Koai-liong Po-kiam. Akan tetapi suling atau pedang kayu hitam itu sama sekali tidak rusak.
"Heh-heh-heh...!" Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengulurkan tangannya. "Nih, terimalah Liong-siauw-kiam, mulai saat ini menjadi milikmu, Sim Houw."
Sim Houw menerima benda itu. "Terima kasih, locianpwe..."
Ketika menerima pedang dia menyentuh jari-jari tangan kakek itu. Dia menjadi terkejut bukan main karena jari-jari tangan itu terasa amat panas seperti api! "Ah, kau... kenapa locianpwe?"
Kakek itu tidak menjawab dan kembali muntah-muntah darah. Wajahnya pucat bukan main dan ketika Sim Houw hendak menolongnya, dia menolak dengan tangannya. "Tak perlu ditolong lagi. Kau pergilah, bawalah pusaka yang menjadi milikmu itu, pertahankan dengan nyawamu, dan berhati-hatilah. Ada tiga orang murid keponakanku yang amat lihai mengincar pusaka itu... kau... kau harus dapat melawan mereka..."
"Siapakah mereka, locianpwe?"
"Sam-kwi... mereka... ahh, sudahlah, cepat pergilah dan tinggalkan aku sendiri." Pek-bin Lo-sian menggerakkan tangannya mengusir Sim Houw.
Terpaksa pemuda itu menjura dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, baru dia pergi dengan berlari cepat sekali turun dari bukit itu sambil membawa Liong-siauw-kiam. Dia adalah seorang pemuda yang berhati-hati sekali karena telah lama merantau di dunia kang-ouw, di mana terdapat banyak sekali kaum sesat yang licik dan curang. Dia dapat menduga bahwa melihat sikap dan perbuatannya, Pek-bin Lo-sian tentulah seorang datuk sesat pula yang mengasingkan diri, maka tadi pun dia tidak sampai kena diserang secara menggelap karena dia sudah siap siaga.
Kini pun dia belum mau menelan begitu saja semua keterangan kakek itu dan dia masih memegang pusaka itu dengan hati-hati. Dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk meneliti apakah benda itu dilumuri racun dan setelah mendapat kenyataan bahwa benda itu bersih dari racun, dia tetap masih memegangnya dengan hati-hati, khawatir kalau-kalau di situ tersembunyi senjata rahasia yang akan membahayakan dirinya.
Setelah menuruni bukit itu, barulah Sim Houw memeriksa pusaka yang barusan saja diterimanya dari Pek-bin Lo-sian. Dia memeriksa dengan teliti dan merasa kagum sekali. Benda itu benar-benar terbuat dari pada kayu, akan tatapi kayu hitam itu luar biasa keras dan kuatnya, tidak kalah dengan baja asli! Dan ukirannya demikian indah dan halus.
Pada waktu dia memegang bagian kepala yang menjadi gagang dan mencoba untuk memainkannya, dia terkejut sendiri dan juga girang. Benda itu enak benar dimainkan sebagai pedang, dengan bobot yang tepat. Dan saat dia mencoba satu dua jurus, benda itu mengeluarkan suara merdu, tidak kalah dengan suling emasnya! Lalu dia mencoba untuk meniupnya, ternyata benda itu merupakan sebuah suling yang suaranya amat merdu!
Dengan hati girang luar biasa Sim Houw lalu kembali ke Lembah Naga Siluman. Setelah dia menyeberang dan bertemu dengan Cu Kang Bu dan isterinya, dia menceritakan pengalamannya dan memperlihatkan pusaka itu. Suami isteri itu kagum bukan main dan juga merasa amat gembira.
"Ahhh, engkau sungguh beruntung, Sim Houw," kata Cu Kang Bu dengan kagum sambil mengembalikan pusaka itu. "Ternyata kakek aneh itu tidak membohongimu dan engkau telah mendapatkan sebuah pusaka yang amat hebat."
"Dengan demikian engkau memiliki tiga buah pusaka ampuh, Sim Houw," kata Yu Hwi dengan suara yang jelas mengandung iri. "Sebuah suling emas, sebuah pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dan sekarang pusaka Liong-siauw-kiam!"
Cu Kang Bu dapat mendengar suara mengandung iri dari isterinya, maka dia cepat berkata dengan suara lantang. "Tentu saja dan memang dia berhak memiliki semua itu. Suling emasnya adalah tanda bahwa dia murid Pendekar Suling Emas Kam Hong, pedang Koai-liong Po-kiam adalah warisan ayahnya, sedangkan Pedang Suling Naga ini adalah pemberian Pek-bin Lo-sian setelah Sim Houw berhasil menundukkannya. Jadi memang semua itu adalah haknya!"
Tetapi, sebelum menghadap suami isteri itu, dalam perjalanannya meninggalkan kakek itu, dan setelah mencoba Liong-siauw-kiam dan tahu benar bahwa pusaka itu memang ampuh, Sim Houw sudah mengambil satu keputusan.
"Cek-kong berdua, Liong-siauw-kiam ini bisa digunakan sebagai suling dan juga sebagai pedang. Dengan sendirinya, pusaka ini seperti pengganti suling emas dan Koai-liong Po-kiam menjadi satu. Bahkan penggabungan kedua ilmu akan dapat lebih mantap jika dimainkan dengan pusaka ini, hanya tinggal melatih saja. Karena itu Koai-liong Po-kiam beserta suling emas akan saya tinggalkan di sini, dan saya serahkan kepada cek-kong sekeluarga."
"Ah, apa maksudmu dengan keputusan ini?" Cu Kang Bu yang berwatak keras dan jujur itu bertanya dengan suara lantang dan sinar matanya menatap wajah Sim Houw penuh selidik.
"Cek-kong Cu Kang Bu, harap jangan salah mengerti. Saya sudah mendengar bahwa lembah ini dahulunya bernama Lembah Suling Emas, dan bahwa pusaka suling emas yang terkenal itu berasal dari tempat ini. Juga sekarang lembah ini diganti dengan nama Lembah Naga Siluman, dan pedang pusaka Naga Siluman juga berasal dari tempat ini. Meski suling emas di tangan saya bukan suling emas yang asli, melainkan hanya tiruan saja, akan tetapi biarlah saya serahkan kepada keluarga Cu berikut pedang pusaka Naga Siluman. Dengan demikian terhapuslah sudah semua rasa penasaran dan kedua pusaka itu kembali ke tempat asalnya."
"Akan tetapi...," Cu Kang Bu hendak membantah.
"Aihhh, mengapa engkau malah hendak menolak niat baik dari Sim Houw? Niatnya itu membuktikan bahwa dia adalah seorang gagah sejati, yang tahu akan jalannya sejarah dan mengenal pula sumbernya."
"Keluarga Cu adalah keluarga yang tadinya berhak atas kedua pusaka itu. Dan keluarga Cu masih belum habis, masih ada engkau dan sekarang ada pula Cu Kun Tek, putera kita. Apakah tidak pantas kalau puteramu kelak mewarisi pusaka-pusaka lembah yang turun-temurun dihuni oleh keluarga Cu ini?" kata Yu Hwi dengan penuh semangat.
Cu Kang Bu masih mengerutkan alisnya yang tebal. "Sim Houw, apakah tidak ada maksud-maksud tersembunyi di balik niatmu ini? Apakah engkau tidak akan menyesal kelak? Ingat, yang menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut adalah engkau seorang, jadi kedua pusaka itu memang sudah menjadi hakmu."
Sim Houw mencabut keluar suling emas dari pinggangnya, kemudian meloloskan sabuk pedang Koai-liong Po-kiam dari punggungnya, lalu menyerahkan dua pusaka itu kepada Cu Kang Bu dengan sikap hormat dan wajah penuh keramahan.
"Saya menyerahkannya dengan hati ikhlas dan rela, cek kong. Biarlah kedua pusaka ini, walau pun suling emasnya hanyalah tiruan, menjadi pusaka-pusaka keturunan keluarga Cu."
"Wah, aku senang sekali kalau punya dua senjata itu!" Tiba-tiba si kecil Kun Tek berseru girang. "Kelak aku ingin bisa menjadi seperti Sim Houw!"
"Hemm, enak saja kau bicara!" ayahnya menegur, "Tanpa mempunyai ilmu-ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, mana bisa seperti Sim Houw?”
"Jangan khawatir, Kun Tek." Ibunya menghibur. "Ayahmu dapat mengajar ilmu dengan suling emas, dan aku akan mengajarkan ilmu pedang padamu."
Nyonya ini bukan hanya membual. Ia adalah seorang ahli pedang, bahkan ia memiliki Ilmu-ilmu Kiam-to Sin-ciang, yaitu ilmu yang membuat lengannya dapat digerakkan dengan ampuh seperti berubah menjadi pedang dan golok. Di samping ini, juga ia ahli ilmu Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru) dan ilmu ini dapat pula dimainkan dengan pedang menjadi Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin.
Karena melihat kesungguhan hati dan kerelaan Sim Houw, dan juga mengingat bahwa memang bukan keliru alasan Sim Houw yang mengatakan bahwa kedua pusaka itu berasal dari lembah mereka, akhirnya Cu Kang Bu menerima juga penyerahan dua pusaka itu dengan hati girang.
"Aku akan menyimpan benda-benda ini sebagai pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman dan mudah-mudahan kami akan mampu menjaganya," katanya dengan hati lega. "Dan banyak terima kasih kepadamu, Sim Houw. Engkaulah yang telah menyatukan kembali keretakan yang pernah terjadi pada mendiang ayah dan ibumu."
Setelah tinggal di lembah itu selama tiga hari, Sim Houw lalu berpamit dan diantar oleh keluarga Cu ayah ibu dan anak itu sampai ke tepi jembatan tambang. Sim Houw lalu meninggalkan lembah itu dan mulai dengan perantauannya.
Selama tiga tahun ini, banyak sudah yang dia lakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar. Karena dia tidak pernah meninggalkan nama, atau jarang sekali memperkenalkan diri, akhirnya yang lebih dikenal di dunia kang-ouw hanyalah senjata barunya itu dan mulailah dia dijuluki orang Pendekar SULING NAGA.
Demikianlah peristiwa tiga tahun yang lalu itu, semua terbayang dalam benaknya ketika Sim Houw beristirahat ditepi Sungai Wu-kiang, duduk di atas rumput hijau tebal yang bersih itu. Alam di sekelilingnya amat indahnya, dan setelah Sim Houw menghentikan lamunannya, dia mulai masuk ke dalam keheningan yang penuh dan maha luas itu.
Pagi yang indah cerah, sinar matahari kuning emas yang menerobos celah-celah daun dan dahan nampak seperti garis-garis lurus yang amat indah. Sebagian sinar matahari sempat menimpa permukaan air sungai yang membentuk jalan lurus panjang berwarna kuning kemerahan.
Dia merasa betapa kulit pinggul dan belakang pahanya dingin, oleh karena embun yang tadinya menghias ujung rumput yang didudukinya meresap melalui celana, kemudian membasahi kulit pahanya. Semilir angin pagi yang membuat rambut kepalanya berkibar lembut mendatangkan rasa nyaman seperti membelai-belai leher dan dagunya.
Dengan kesadaran penuh akan keadaan sekeliling dirinya, Sim Houw melihat keindahan yang tiada taranya. Sukar untuk dapat diceritakan karena kata-kata amatlah terbatas.
Kata-kata hanya dapat menceritakan hal-hal yang telah lalu saja, tidak mungkin dapat menggambarkan keadaan saat ini. Keindahan dalam keheningan itu hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya pada saat itu juga. Cerita yang dituturkan kemudian sama sekali berbeda dengan kenyataan pada saat itu.
Kenyataan yang demikian indahnya, yang menimbulkan rasa bahagia dan keharuan yang mendalam sehingga tanpa terasa lagi ada air mata membasahi kedua mata Sim Houw. Bukan air mata kesenangan atau air mata kesedihan, melainkan air mata yang muncul ketika batinnya yang paling dalam tersentuh oleh sesuatu yang halus, yang mendekatkan batinnya pada hidup yang sejati, bukan kehidupan di dunia fana yang penuh dengan permainan emosi ciptaan sang aku.
Sang aku tidak ada pada saat seperti itu, dirinya telah lebur menjadi satu dengan segala sesuatu, dengan alam, dengan keheningan. Berkericiknya air sungai, berkicaunya burung-burung di dalam pohon, semua itu termasuk di dalam keheningan yang maha luas itu. Hening, tapi bukan kesepian. Keheningan yang nyaman karena tidak adanya pikiran, tidak adanya sang aku, namun bukan pula tidur lelap, bukan pula termenung atau tenggelam ke dalam sesuatu. Sadar sesadar-sadarnya, segalanya terbuka, wajar, tanpa pamrih.
Seperti otomatis, Sim Houw mengeluarkan suling naga dari balik jubahnya. Benda ini selalu berada pada dirinya, tersembunyi aman tak nampak dari luar diselipkan di ikat pinggang, tertutup baju. Keharuan selalu timbul dalam keadaan seperti itu, dan selalu mendorongnya untuk meniup suling! Getaran batin dapat disatukan melalui suara suling yang ditiup.
Segera melayang suara merdu dari suling itu ketika Sim Houw mulai meniup sulingnya. Pemuda ini memang telah menguasai ilmu-ilmu dari Kam Hong yang pernah menjadi gurunya dan juga bekas calon ayah mertuanya. Bukan hanya pelajaran ilmu kesaktian Kim-siauw Kiam-sut saja yang dipelajarinya, melainkan juga ilmu meniup suling, baik meniup dengan mulut biasa untuk menciptakan lagu mau pun tiupan dengan bantuan pengerahan khikang untuk menyerang lawan yang tangguh.
Suara suling itu mengalun dan kadang-kadang melengking tinggi sekali sampai tidak tertangkap telinga manusia biasa, kemudian merendah dan menggereng sampai lenyap dari pendengaran pula. Merdu dan sesuai sekali dengan suara-suara yang ada, dengan gemersik daun-daun yang terhembus angin pagi, dengan gemerciknya air di tepi sungai, dengan kicau burung, dengan detak jantungnya sendiri. Getaran hatinya hanyut dalam aliran suara suling yang merdu.
Demikian asyiknya Sim Houw meniup suling sehingga seluruh keadaan dirinya lahir dan batin bagaikan masuk ke dalam suara itu. Dia seperti melayang-layang bersama suara sulingnya.
"Heiiii...! Bising sekali suara sulingmu!" Mendadak terdengar suara orang menegurnya, suaranya berteriak melengking tak kalah nyaringnya menyaingi suara suling.
Sim Houw melihat meluncurnya sebuah perahu di atas air sungai dan di atas perahu itu terdapat seorang wanita muda yang memegang tangkai pancing. Gadis itulah yang berteriak menegurnya. Akan tetapi Sim Houw bersikap tenang, melanjutkan tiupan sulingnya sampai lagunya habis barulah dia menghentikan tiupan sulingnya.
Kini perahu kecil itu sudah berada di tepi sungai di depannya dan seorang gadis yang duduk di dalam perahu sambil memegang tangkai pancing itu memandang kepadanya dengan mata melotot. Kemudian gadis itu menuding ke arah Sim Houw dengan tangkai pancingnya sambil berseru marah, "Kebisingan sulingmu itu menggangguku! Kalau mau menyuling jangan di sini, mengganggu aku yang sedang berlatih!"
Sim Houw memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang gadis yang menarik sekali, wajahnya manis sekali, kecantikan yang asli karena gadis itu tidak merias mukanya. Sikapnya gagah dan rambutnya diikat ke atas dengan pita dan ujungnya digelung secara sederhana. Pakaiannya yang ringkas membayangkan bentuk tubuhnya yang penuh dan padat, di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce merah muda.
Melihat keadaan gadis ini, Sim Houw sudah dapat menduga bahwa nona di atas perahu itu adalah seorang gadis ahli silat. Apa lagi ketika gadis itu menuding dengan tangkai pancing dan ketika mengangat tangkai itu, ujungnya hanya terdapat sehelai tali tanpa pancing, dia pun dapat menduga bahwa tadi gadis itu sebenarnya bukan memancing, melainkan melakukan semacam latihan dengan bantuan tangkai pancing itu. Dan dia pun kagum ketika dia menduga bahwa tentu gadis itu sedang berlatih semedhi dengan bantuan tangkai pancing.
Banyak macam orang bersemedhi dengan maksud mengumpulkan konsentrasi pada suatu hal saja. Ada orang mengggunakan bantuan api lilin yang dipandangnya terus, atau sebuah gambar lingkaran dengan titik di tengah, atau gambar pat-kwa, ada pula yang menggunakan patung dan sebagainya. Semua itu hanya dipergunakan sebagai alat untuk menujukan seluruh perhatian.
Gadis ini agaknya menggunakan tangkai pancing dengan tali yang tak ada pancingnya, tetapi ujungnya diikatkan pada sepotong batu. Dan gadis itu tentu berlatih konsentrasi sambil mencurahkan seluruh perhatiannya pada tangkai pancing yang dipegangnya dan air di mana nampak tali pancing ini tenggelam. Sebuah cara melatih perhatian yang amat aneh akan tetapi juga istimewa.
Teringatlah Sim Houw akan sebuah dongeng tentang Sang Bijaksana Kiang Cu Ge di dalam dongeng Hong-sin-pong, ketika Kiang Cu Ge memancing seperti yang dilakukan oleh gadis itu, dengan sebatang tangkai, sehelai benang dan di ujung benang terdapat pancing yang lurus tanpa umpan! Tentu saja cara ini tak akan mendapatkan ikan! Cara memancing Kiang Cu Ge itu hanya kiasan saja, karena yang dipancing bukanlah ikan melainkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin rakyat yang bijaksana. Dan tentu saja juga dipergunakan untuk melatih konsentrasi karena pencurahan perhatian amat penting dalam ilmu silat.
"Eihh, nona, kenapa di ujung tali itu tidak ada mata pancingnya?" Dia pura-pura tidak mengerti dan bertanya heran.
Gadis itu juga tadi memandang ke arah Sim Houw dengan penuh perhatian. Tadinya ia menyangka bahwa pria yang dapat meniup suling dengan suara menggetar-getar itu tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi hatinya kecewa melihat betapa pria itu nampak sederhana saja, tidak memperlihatkan sifat-sifat gagah seorang pendekar dan agaknya hanya seorang dusun yang pandai meniup suling saja.
Juga dari atas perahunya ia tidak melihat sesuatu yang aneh pada suling yang kelihatan hitam itu, hanya sebatang suling yang bentuknya agak aneh, batangnya berlekak-lekuk seperti tubuh ular. Dan pertanyaan pemuda itu pun menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang biasa saja yang tidak tahu apa-apa tentang pancingnya.
"Hemm, kuberitahu juga engkau tidak akan mengerti. Sudahlah, engkau jangan meniup suling itu lagi."
"Kenapa, nona?"
"Suaranya tidak sedap didengar dan menggangguku! Mengerti? Tidak usah bertanya lagi, sebaiknya kau pergi saja dari sini dan jangan meniup sulingmu karena kalau kau lakukan lagi, aku akan mematahkan sulingmu itu dan membuangnya ke tengah sungai!"
Setelah berkata demikian, gadis manis itu menggunakan sebuah dayung dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri tetap memegang tangkai pancing, dan menggerakkan dayung itu. Hanya dengan sebelah tangan saja ia mendayung, akan tetapi hebatnya, perahu itu meluncur menentang arus dan laju bukan main.
Sim Houw tersenyum seorang diri. Seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa dan agaknya memiliki kepandaian yang lumayan. Seorang gadis yang agaknya suka pula akan keheningan dan berada di tempat sunyi dan liar itu seorang diri saja! Sinar mata gadis itu demikian tajamnya dan suaranya demikian merdu! Sim Houw tersenyum dalam renungannya sendiri.
Akan tetapi dia terkejut ketika melihat berkelebatnya lima orang kakek di tepi sungai dan lima orang itu agaknya mengejar ke arah perginya perahu gadis itu tadi. Entah apa sebabnya dia menduga bahwa lima orang itu membayangi gadis di dalam perahu. Akan tetapi hatinya merasa tidak enak dan ia pun cepat bangkit dan berdiri membayangi lima orang kakek itu.
Perahu gadis itu meluncur dengan amat cepatnya, dan lima orang kakek itu pun berlari dengan menggunakan ilmu berlari cepat sehingga Sim Houw menjadi semakin curiga. Akan tetapi, karena tidak mengenal lima orang itu, juga tidak mengenal siapa adanya gadis itu, dia pun hanya membayangi dari jauh saja.
Kecurigaan dan kekhawatiran hati yang mendorong Sim Houw untuk membayangi lima orang kakek itu memang tak sia-sia. Dia melihat betapa gadis itu mendayung perahunya menepi di seberang sini. Secara lincah sekali ia meloncat ke darat, menyeret perahunya dan mengikatkan tali perahu pada sabatang pohon. Tepian itu merupakan kaki sebuah bukit kecil dan nun di atas puncak bukit itu nampak sebuah pondok yang terpencil, dikelilingi ladang sayuran dan di sebelah kanan pondok itu tumbuh pohon-pohon buah dengan suburnya.
Dan begitu gadis itu selesai mengikatkan perahunya, tiba-tiba saja lima orang kakek itu berloncatan keluar dari balik semak-semak dan mengepung si gadis yang memandang dengan tajam akan tetapi sikapnya tenang, bahkan senyumnya mengejek. Sim Houw segera mendekam di balik semak belukar untuk nenonton pertemuan antara lima orang kakek dan gadis itu dengan hati tegang. Nampak jelas olehnya betapa sikap lima orang kakek itu membayangkan niat yang tidak baik terhadap si gadis.
Melihat sikap lima orang kakek itu, si gadis segera mengerutkan alisnya. Lima orang itu membentuk setengah lingkaran menghadapinya, seolah-olah mengurung. Sikap mereka tidak bersahabat, bahkan alis mereka berkerut dan sinar mata mereka mengandung kemarahan dan ancaman.
"Kalian lima orang tua ini siapakah dan mengapa menghadang perjalananku?"
Seorang di antara lima kakek itu, yang berjenggot panjang berwarna putih dan agaknya menjadi orang paling tua di antara mereka, memandang tajam. Tangan kiri mengelus jenggot, tangan kanan kini menunjuk ke arah nona itu dan bertanya, suaranya halus namun tegas dan mengandung kemarahan.
"Apakah nona yang bernama Souw Hui Lan?"
"Benar sekali, dan siapa kalian?" Gadis yang bernama Souw Hui Lan itu menjawab, sikapnya masih angkuh dan seperti orang memandang rendah, membuat kelima orang kakek itu saling pandang dan mereka menjadi semakin marah.
"Engkau murid dari Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?" bertanya pula kakek berjenggot.
Kini Hui Lan mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu. "Kalau sudah tahu kenapa kalian berani menghadang perjalananku? Kalian siapa?"
"Kami adalah Bu-tong Ngo-lo (Lima Kakek Bu-tong-pai)."
Mendengar sebutan Beng-san Siang-eng tadi Sim Houw tidak pernah mendengarnya, tetapi mendengar sebutan Bu-tong Ngo-lo, dia terkejut. Lima orang kakek Bu-tong-pai itu pernah terkenal sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi juga terkenal sebagai pemberantas penjahat-penjahat, bahkan mereka berlima pernah mengobrak-abrik perkumpulan Hui-to-pang (Perkumpulan Golok Terbang) yang berkedok sebagai perkumpulan para patriot akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan orang-orang jahat yang amat kejam.
Karena perbuatannya membongkar keburukan Hui-to-pang dan membasminya, maka nama Bu-tong Ngo-lo ini dipuji dan dikagumi orang-orang di dunia persilatan, terutama di kalangan para pendekar. Sim Houw sudah banyak mendengar nama lima kakek itu, akan tetapi baru sekarang melihat orang-orangnya dan dia pun menjadi semakin ragu-ragu melihat betapa lima orang kakek ini agaknya memusuhi gadis yang bernama begitu indah dan yang katanya murid Sepasang Garuda dari Beng-San.
Sementara itu, mendengar disebutnya nama lima orang kakek itu, si gadis tidak menjadi kaget, bahkan tersenyum mengejek.
"Hemmm, tidak peduli lima kakek dari Bu-tong atau dari Neraka, tanpa ijin kami, tidak boleh sembarangan melanggar wilayah kami. Bu-tong-san amat jauh dari sini dan kami tidak pernah ada urusan dengan Bu-tong-pai, kenapa kalian ini lima kakek Bu-tong-pai hari ini menghadang perjalanan orang dan melanggar daerah kami tanpa ijin?"
Sim Houw tercengang. Gadis ini masih muda, paling banyak dua puluh tahun usianya dan melihat sikapnya tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian, tetapi mengapa sikapnya demikian tekebur dan angkuh? Bahkan nama Bu-tong Ngo-lo yang dihormati dan dikagumi para pendekar juga tidak dipandangnya sama sekali.
Mendengar teguran itu, kelima orang itu nampak jengah, akan tetapi kakek berjenggot putih panjang segera menudingkan telunjuknya kepada Hui Lan. "Memang kami sudah melanggar daerah orang tanpa ijin dan hal ini merupakan suatu kesalahan, akan tetapi semua ini gara-gara engkau, nona jahat. Engkau mengatakan tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai, akan tetapi tiga bulan yang lalu engkau telah membunuh seorang murid Bu-tong-pai bernama Ji Kang, dan gurumu membunuh seorang tokoh perguruan kami bernama Kui Siok Cu."
Gadis itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, kemudian mengangguk-angguk. "Kami memang pernah bertanding dengan dua orang itu, akan tetapi sama sekali tidak ada urusannya dengan Bu-tong-pai. Mereka datang sebagai pelamar yang gagal, sama sekali tidak mewakili Bu-tongpai dan tidak ada urusan dengan perkumpulan itu. Juga kami tidak membunuh siapa-siapa. Jika mereka kalah, menderita luka-luka dan mungkin kemudian tewas, apakah hal itu lalu menjadi alasan kalian untuk menyalahkan kami? Bagaimana kalau dalam pertandingan waktu itu kami yang kalah, luka-luka lalu mati? Apakah kalian juga akan menyalahkan mereka? Hayo jawab!"
Sim Houw tidak tahu apa urusan yang telah timbul di antara mereka, tetapi jawaban gadis itu membuatnya menduga-duga bahwa tentu pernah terjadi masalah pribadi di antara murid dan tokoh Bu-tong-pai yang mengakibatkan perkelahian di antara mereka dengan akibat terluka dan tewasnya orang-orang Bu-tong-pai. Dan agaknya kini Bu-tong Ngo-lo datang untuk membalas dendam.
Lima orang kakek itu kembali saling lirik. Jawaban gadis itu agaknya membuat mereka sejenak bingung dan tidak mampu menjawab walau pun tidak mengurangi kemarahan mereka. Akan tetapi akhirnya si jenggot panjang berkata, suaranya tegas sekali. "Oho, kiranya selain pandai membunuh, engkau pandai pula berdebat! Kami selamanya tidak akan membela yang salah, melainkan selalu menentang yang jahat dan sewenang-wenang. Kami datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi kalau perlu membasmi gadis pembunuh yang berhati kejam, yang telah menewaskan banyak pemuda gagah perkasa dengan kecantikanmu dan dengan pedangmu!"
Gadis itu menjadi marah sekali. "Ngaco! Enak saja kalian bicara! Kalian kira aku takut kepada nama Bu-tong Ngo-lo? Kalian datang mau membasmi aku? Hemm, majulah, hendak kulihat sampai di mana kehebatan kalian, apa sepadan dengan kesombongan kalian!" Hui Lan berkata dengan marah sekali, mukanya merah, alisnya terangkat dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Memang, siapakah orangnya yang dapat melihat keangkuhan diri sendiri seperti mudahnya melihat kesombongan orang lain?
Dalam perselisihan ini, Sim Houw yang nonton tanpa berpihak itu memperoleh pelajaran yang sangat mengesankan hatinya. Kakek yang lima orang itu, yang namanya sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh tua penentang kejahatan, telah menuduh gadis itu sebagai pembunuh kejam dan mereka datang untuk membunuh gadis itu! Sebaliknya, si gadis menuduh mereka sombong dengan sikap angkuh pula.
Agaknya sukar mencari orang di dunia ini yang mau membuka mata untuk mengenal diri sendiri, sikap dan isi hati dan pikiran sendiri karena mata itu selalu sibuk untuk meneliti orang lain! Meneliti orang lain hanya akan menimbulkan suka atau benci, sedangkan meneliti diri sendiri akan menimbulkan kesadaran.
"Siancai...! Gadis ini adalah setan yang patut dibasmi!" bentak seorang di antara lima orang kakek itu dan orang ini bertubuh tinggi besar dengan muka hitam. Setelah berkata demikian, dia langsung menerjang dan mengirim pukulan dengan tangan kanan yang dimiringkan ke arah kepala Hui Lan.
"Wuuuutt...!"
Angin pukulan yang amat kuat menyambar. Pukulan itu bukan main-main, melainkan pukulan membacok dengan tangan miring yang dilakukan dengan tenaga sinkang amat kuatnya.
Diam-diam Sim Houw terkejut juga dan merasa khawatir terhadap gadis yang masih muda itu. Dia mengira bahwa gadis itu tentu akan mengelak, karena dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki gerakan yang gesit sekali. Akan tetapi, heranlah dia ketika melihat betapa gadis itu menggerakkan kedua tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan membalas dengan totokan ke arah pangkal leher.
"Dukkk...!"
Pukulan tangan kakek itu kena ditangkis dan agaknya gadis itu pun sama sekali tidak terguncang. Tangkisannya mantap dan kuat sehingga dua lengan yang bertemu itu saling terpental, akan tetapi jari tangan kanan gadis itu meluncur ke arah leher dengan kecepatan kilat.
"Ihhhh...!"
Kini kakek bermuka hitam itu yang terkejut dan cepat dia melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik. Hanya dengan cara beginilah dia dapat menghindarkan totokan pada pangkal lehernya tadi yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Dia terhindar dari mala petaka, akan tetapi segebrakan ini saja sudah menunjukkan betapa dia terdesak.
"Wuuuttt...!"
Angin pukulan menerjang Hui Lan dari kanan dan kakek ke dua sudah menyerang Hui Lan dengan cengkeraman ke arah lambung dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan kakek itu juga sudah mencengkeram ke arah kepala. Serangan berganda yang dilakukan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, amat berbahaya karena jari-jari tangan itu sudah terlatih, kini penuh dengan tenaga sinkang dan dapat mencakar hancur batu karang sekali pun!
Namun, Hui Lan tidak menjadi gentar atau gugup menghadapi serangan berbahaya itu. Sekali ini ia tidak menangkis, akan tetapi tubuhnya meliuk dengan lemas dan cepatnya, tubuh bawah ke kiri dan tubuh atas ke kanan, tubuhnya melipat dengan amat lemasnya sehingga dua serangan itu pun luput. Akan tetapi seperti juga tadi, Hui Lan membarengi gerakan mendadak itu dengan gerakan menyerang pula, yaitu dengan kedua tangannya yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menotok ke arah jalan darah di ulu hati!
Kakek kedua itu terkejut dan terpaksa harus meloncat beberapa langkah ke belakang karena sama sekali dia tidak menduga bahwa orang yang menyerangnya itu berbalik menyerang pada saat yang sama atau hanya satu dua detik berikutnya!
Dan kini Sim Houw memandang kagum. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya, memiliki tingkat kepandaian yang sama sekali tak pernah diduganya. Yang amat mengagumkan adalah cara gadis itu berkelahi. Menangkis atau mengelak sambil sekaligus menyerang, bahkan membalas kontan serangan lawan. Hal ini merupakan cara berkelahi yang membutuhkan pencurahan perhatian, membutuhkan ginkang yang amat cepat dan juga membutuhkan kesempurnaan gerakan.
Serangan yang dilakukan sambil menangkis atau mengelak itu memang berbahaya sekali. Orang yang menyerang tentu daya tahannya menjadi agak lemah, oleh karena pencurahan perhatiannya ditujukan pada serangannya sehingga kalau tiba-tiba lawan yang diserang membarengi dengan serangan, tentu saja dia terkejut dan kedudukannya menjadi lemah.
Akan tetapi kini kakek ketiga sudah menerjang lagi sebagai lanjutan serangan kakek kedua. Ketika Hui Lan juga berhasil mengelak dan balas menyerang yang membuat kakek ini terdesak, kakek ke empat lalu menyerang, disusul kakek kelima. Kiranya lima orang kakek itu biar pun tidak mengeroyok secara berbareng telah maju semua secara beruntun!
Dan melihat betapa gadis itu terlampau kuat kalau dilawan satu demi satu, akhirnya mereka mengurung dan mengeroyok Hui Lan dengan serangan-serangan mereka yang penuh! Agaknya lima orang kakek itu sudah tidak lagi melihat kenyataan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh tua Bu-tong-pai dan yang mereka hadapi hanyalah seorang gadis berusia dua puluh tahun.
Dalam keadaan biasa, andai kata mereka melakukan pibu (pertandingan silat) tentu mereka tak akan mau melakukan pengeroyokan, karena hal itu akan memalukan sekali. Akan tetapi kini mereka datang dengan niat membasmi gadis yang mereka anggap jahat dan berbahaya, maka mereka tidak lagi memakai banyak pertimbangan atau aturan lagi. Mereka datang untuk membunuh dan mengenyahkan kejahatan dari muka bumi, bukan untuk mengadu ilmu dan gadis itu ternyata memang lihai bukan main sehingga perlu dikeroyok oleh mereka berlima.
"Hemm, tidak mudah mengambil nyawaku, tua bangka tua bangka tak tahu malu!" Hui Lan membentak. Nampaklah sinar terang berkilauan ketika ia telah mencabut pedang dari punggungnya.
"Singgg…! Singgg...!"
Sinar pedangnya menyambar-nyambar, membuyarkan pengepungan lima orang kakek itu.
"Siancai...! Inilah pedang yang sudah membunuh banyak orang itu. Terpaksa kami akan menggunakan senjata pula!" Kata kakek yang berjenggot panjang.
Lima orang kakek itu serentak meraba ke bawah jubah mereka dan nampaklah senjata berkilauan di tangan. Tiga orang di antara mereka memegang pedang dan yang dua orang lagi masing-masing memegang sebuah rantai baja yang panjangnya ada enam kaki. Rantai itu tadinya menjadi ikat pinggang, sedangkan pedang para tosu Bu-tong-pai itu tadi tersembunyi di balik jubah mereka.
Lima orang kakek itu adalah pendeta-pendeta tosu dari Bu-tong-pai. Walau pun mereka bukan para pimpinan Bu-tong-pai, namun mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai dan di perkumpulan persilatan yang besar itu mereka termasuk tokoh-tokoh besar.
Hui Lan tidak mau banyak cakap lagi. Melihat betapa lima orang kakek itu benar-benar lihai dan kini mereka semua memegang senjata, dia pun lalu mengeluarkan teriakan nyaring melengking dan tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat ke depan, didahului sinar pedangnya yang bergulung-gulung.
Kembali Sim Houw tertegun kagum. Gadis itu benar-benar lihai. Kini setelah memegang pedang, ternyata gadis itu lebih hebat pula. Ilmu pedangnya aneh dan sangat cepat gerakannya, lebih lihai dibandingkan ilmu silat tangan kosongnya tadi.
Sim Houw berusaha untuk mengenali ilmu pedang ini seperti tadi pun dia berusaha mengenal ilmu silat gadis itu, akan tetapi kembali dia gagal. Dia merasa seperti pernah melihat corak ilmu silat dengan gaya seperti yang dimainkan gadis itu, namun dia lupa lagi di mana dia pernah bertemu ilmu silat seperti itu, dan dia sama sekali tidak mengenalnya.
Sebaliknya, ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang lima orang kakek itu tidak asing baginya. Dia sudah mengenal ilmu silat dari Bu-tong-pai, dan karena dia tahu betapa indah dan lihainya ilmu pedang dari perkumpulan itu, yaitu Bu-tong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bu-tong-pai), walau pun hatinya merasa semakin tegang, dia memperhatikan dengan penuh perhatian.
Ilmu pedang Bu-tong-pai memang hebat, apa lagi dimainkan oleh lima orang ahli yang tingkatnya sudah tinggi. Perlahan-lahan gadis itu mulai terdesak dan kini ia hanya dapat memutar pedangnya menjadi gulungan sinar yang melindungi seluruh tubuhnya saja. Andai kata gadis itu disiram air, atau hujan turun, tentu ia tidak akan basah karena tubuh itu terlindung oleh benteng sinar pedang!
Hebatnya, ketika seorang di antara lawannya lengah, yaitu kakek muka hitam, tangan kiri gadis itu mencuat keluar dari gulungan sinar pedangnya dan tangan yang kecil dan nampak lunak itu menampar ke arah kepala kakek ini. Si kakek muka hitam terkejut bukan main karena tidak menyangka gadis yang sudah didesak hebat itu akan mampu melakukan serangan yang demikian tiba-tiba. Tamparan ke arah kepalanya itu sangat berbahaya, maka dia cepat mengelak.
"Plakkk!"
Tetap saja telapak tangan kiri Hui Lan menyentuh pundak si kakek muka hitam dan dia menggigil seperti orang kedinginan, lalu cepat-cepat berhenti, berdiri dan menghimpun tenaga dalam untuk melawan hawa dingin menusuk yang timbul ketika pundaknya kena ditampar tadi.
Melihat ini, tiba-tiba saja Sim Houw teringat dan hampir dia meloncat ke luar dari balik semak-semak. Benar! Hanya ada satu cabang persilatan saja di dunia ini yang dapat memainkan ilmu silat yang sekaligus dapat mengerahkan sinkang keras dan lunak, panas dan dingin, Yang-kang dan Im-kang dan satu-satunya itu adalah persilatan dari keluarga Pulau Es!
Dia pernah melihat pendekar-pendekar keluarga Pulau Es dan kini dia ingat benar bahwa corak ilmu silat dan ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Souw Hui Lan ini mengandung sifat-sifat dari ilmu silat keluarga Pulau Es. Dia hampir yakin akan hal ini walau pun dia sendiri tentu saja tidak mengenal ilmu silat keluarga itu secara mendalam. Akan tetapi, setiap cabang ilmu silat mempunyai ciri-ciri khas tertentu dan di antara ciri khas ilmu keluarga para pendekar Pulau Es adalah penggunaan sinkang yang saling berlawanan itu.
Betapa pun lihainya Hui Lan dengan pedangnya, karena dikeroyok lima orang tokoh besar Bu-tong-pai, akhirnya ia kewalahan juga. Si muka hitam tadi sudah pulih kembali dan kini, sudah maju mengeroyok dengan sikap lebih hati-hati. Gadis itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk membalas lagi dan mulai repot menghadapi hujan serangan dari lima orang lawannya.
Tentu saja dengan memutar terus senjata untuk melindungi tubuhnya akan memeras tenaganya sehingga makin lama ia menjadi makin lelah dan putaran pedangnya makin berkurang kecepatannya. Akhirnya sebuah sabetan rantai baja menyerempet paha Hui Lan.
Kain celana paha kiri itu terobek, nampak kulit paha yang putih itu terhias jalur merah ketika terkena sabetan rantai baja. Walau pun gadis itu telah dapat melindungi pahanya dengan sinkang sehingga tidak terluka, namun ia terhuyung dan pada saat itu, sebatang pedang menyambar dari belakang, membabat ke arah lehernya, dan sebatang pedang lain menusuk dari kiri ke arah dadanya.
Sim Houw terkejut sekali. Sejak tadi dia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan di antara gadis dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu sehingga merasa tidak enak untuk mencampuri perkelahian mereka. Akan tetapi kini melihat nyawa gadis itu terancam maut, tubuhnya sudah menjadi tegang dan hampir dia bergerak meloncat untuk mencegah pembunuhan. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Bagaikan dua ekor burung raksasa saja dua bayangan itu meluncur dari atas, menyambar ke arah perkelahian itu.
"Tringg! Tranggg...!"
Kedua orang kakek yang sudah menyerang Hui Lan dengan pedangnya terpental ke belakang dan mereka terkejut sekali. Ketika lima orang kakek itu memandang, ternyata di situ telah berdiri dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan sejenak mereka tertegun karena melihat bahwa dua orang pria itu mempunyai wajah yang serupa. Usia mereka antara empat puluh tahun, dengan pakaian ringkas dan sikap gagah.
Mudah diduga bahwa kedua orang pria ini adalah sepasang orang kembar. Tidak hanya wajah dan bentuk badan mereka yang serupa, juga pakaian yang mereka pakai, dari potongannya sampai warna dan corak pakaiannya, semuanya serba sama! Keduanya menyarungkan kembali pedang yang tadi baru mereka pakai untuk menolong Hui Lan menangkis dua batang pedang yang mengancam nyawa gadis itu.
Hui Lan agak terpincang ketika menghampiri dua orang pria itu. Dengan nada suara manja dia lalu berkata, "Suhu, mereka ini adalah Bu-tong Ngo-lo yang tidak tahu malu mengeroyokku..."
"Kami mengerti, mundurlah kau," kata seorang di antara dua pria kembar itu.
Hui Lan melangkah mundur sambil menyimpan pedangnya dan ia mengusap keringat yang sudah membasahi dahi dan leher, bahkan pakaiannya juga kusut dan basah oleh keringat. Perkelahian tadi amat melelahkan tubuhnya dan hantaman pada paha kirinya tadi juga menyakitkan. Robek pada celananya tidak dipedulikan dan kini dengan penuh perhatian Hui Lan menonton kedua orang suhu-nya yang berhadapan dengan Bu-tong Ngo-lo. Kalian akan mampus, demikian agaknya dia berpikir di balik senyumnya yang mengejek.
Dua orang pria kembar itu kini melangkah maju dan memandang kepada lima orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kemudian seorang di antara mereka bertanya, suaranya tegas dan mantap, namun halus, "Bu-tong Ngo-lo adalah lima orang tokoh Bu-tong-pai, patutkah mengeroyok seorang wanita muda seperti murid kami? Apa maksud pengeroyokan yang tidak pantas ini?"
Lima orang kakek itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Bagaimana pun juga, mereka merasa malu karena telah maju mengeroyok seorang gadis semuda itu yang pantasnya menjadi cucu murid mereka. Dan yang lebih memalukan lagi, meski mengeroyok, mereka ternyata tidak berhasil merobohkannya!
Kakek berjenggot panjang lalu menjawab dengan sikap galak, "Apakah kalian ini yang berjuluk Beng-san Siang-eng, Sepasang Garuda dari Beng-san?"
Dua orang pria kembar itu mengangguk.
"Bagus!" kata kakek berjenggot panjang. "Kami datang untuk membunuh kalian guru dan murid agar tidak jatuh lagi korban orang-orang tidak berdosa. Kalian adalah orang-orang kejam yang telah melakukan banyak dosa dan harus dienyahkan dari permukaan bumi ini!"
Seorang di antara dua pria kembar itu tersenyum. "Hemm, katakan saja bahwa kalian datang untuk membalas dendam, ataukah kalian datang dengan maksud yang sama seperti orang-orang Bu-tong-pai itu?"
"Tidak! Kami datang sengaja untuk mencari kalian guru dan murid yang berdosa, untuk menghukum dan membunuh kalian!" Bentak kakek berjenggot panjang. Tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju bersama empat orang saudaranya, menyerang dengan senjata mereka dengan dahsyat.
Akan tetapi sekali ini lima orang kakek Bu-tong-pai itu berhadapan dengan dua orang lawan yang jauh lebih lihai dibandingkan dengan Hui Lan tadi. Dua orang pria kembar itu menghadapi lima orang pengeroyoknya dengan tangan kosong saja, walau pun tadi ketika menyelamatkan Hui Lan, mereka menggunakan pedang.
Akan tetapi, walau pun tanpa senjata, keduanya dapat bergerak dengan bebas dan lincah sekali. Gerakan mereka memang cepat dan pantas mereka dijuluki Sepasang Garuda. Tubuh mereka berloncatan ke atas dan menyelinap di antara sinar senjata lawan. Mereka juga sempat membalas dengan serangan-serangan mereka yang meski pun hanya dilakukan dengan tangan dan kaki, akan tetapi tidak kalah dahsyatnya dari senjata lawan.
Terjadi perkelahian yang amat seru. Sim Houw yang nonton perkelahian itu kini merasa yakin benar bahwa sepasang pria kembar itu memang ahli dalam ilmu silat keluarga para pendekar Pulau Es. Begitu melihat gerakan dua orang laki-laki kembar itu, Sim Houw maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada tingkat Bu-tong Ngo-lo dan walau pun dua orang kembar itu tidak memegang senjata, namun mereka tidak akan kalah.
Keduanya menguasai ginkang dan sinkang yang amat tinggi, bahkan kadang-kadang mereka berani menangkis pedang dan rantai baja dengan tangan kosong saja! Makin besar keyakinan hatinya bahwa dua orang kembar itu tentu murid para pendekar Pulau Es dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Pulau Es.
Dugaan Sim Houw ini memang tidak meleset. Dua orang kembar itu masih cucu luar dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mendiang Pendekar Super Sakti Suma Han mempunyai seorang puteri dari isterinya yang bernama Puteri Nirahai. Puteri ini diberi nama Puteri Milana yang kemudian menjadi isteri seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng. Mereka berdua sekarang telah tua sekali dan tinggal di puncak Pegunungan Beng-san, hidup sebagai petani-petani sederhana. Mereka mempunyai sepasang anak kembar yang mereka beri nama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu dua orang pria inilah.
Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, gagah perkasa dan juga memiliki jiwa patriot. Akan tetapi dia saling jatuh cinta dengan Milana yang mempunyai ibu puteri Mancu. Milana sendiri, sebagai puteri Pendekar Super Sakti, tahu bahwa ia mempunyai ibu puteri Mancu. Bahkan karena tertarik oleh ibunya, ia pernah berapa kali membantu pemerintah Mancu memimpin barisan dan menjadi panglima pasukan untuk membasmi pemberontakan.
Setelah semakin tua ia dapat melihat bahwa suaminya mulai diasingkan dan dipandang sebagai musuh oleh banyak orang gagah di dunia persilatan, sebagai seorang pendekar yang berpihak kepada pemerintah penjajah Mancu! Padahal, Milana tahu benar bahwa suaminya sama sekali tak berpihak kepada pemerintah Mancu. Ia dapat melihat betapa terjepitnya kedudukan suaminya yang oleh para pendekar dan patriot dianggap sebagai seorang pengkhianat atau antek penjajah.
Karena itulah, maka ia pun menyetujui keputusan suaminya untuk menyembunyikan diri menjadi setengah pertapa di puncak Beng-san. Dia tidak mencampuri lagi urusan dunia. Karena itulah maka kehidupan suami isteri ini menjadi terasing, bahkan nama mereka seperti terhapus di duna kang-ouw dan tidak ada orang mengetahui bagaimana dengan keadaan mereka.
Suami isteri Gak Bun Beng dan Puteri Milana ini, tentu saja mendidik anak kembar mereka dengan tekun. Akan tetapi, keduanya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi itu dapat melihat bahwa bakat anak kembar mereka dalam ilmu silat tidaklah menonjol. Betapa pun juga, karena ketekunan mereka menggembleng putera-putera mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat juga menguasai sebagian dari ilmu-ilmu ayah bunda mereka dan menjadi orang-orang yang dapat dibilang memiliki ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingan mereka.
Akan tetapi, setelah sepasang bocah kembar itu menjadi dewasa, Gak Bun Beng dan Milana mengalami kekecewaan yang amat besar. Dua orang pemuda Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu tidak mau menikah! Mereka bahkan marah-marah kalau orang tua mereka mengajak mereka bicara tentang pernikahan!
Di antara kedua pria kembar ini terdapat hubungan batin yang aneh bukan main, yang menimbulkan perasaan iri hati dan cemburu satu kepada yang lain dalam segala hal. Pakaian pun harus diberi yang serupa, dan mereka tidak boleh dibeda-bedakan karena hal ini akan menimbulkan perasaan iri yang membuat mereka marah.
Juga dalam perjodohan. Yang seorang akan menjadi iri hati dan cemburu kalau yang lain dijodohkan dengan seorang gadis. Karena inilah, maka kedua orang pria kembar ini tidak pernah menikah. Pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya akhirnya putus asa. Setelah capai membujuk tanpa hasil, akhirnya mereka pun diam saja dan lebih banyak menyepi di dalam pondok mereka di puncak Beng-san.
Betapa pun juga, akhirnya orang mengenal kelihaian kedua saudara kembar itu ketika beberapa kali terjadi peristiwa di mana keduanya terpaksa memperlihatkan kelihaian mereka. Bahkan orang tua mereka pun membujuk mereka untuk sering melakukan perantauan untuk memperluas pengalaman. Akhirnya, orang mengenal mereka sebagai Sepasang Garuda dari Beng-san!
Saat mereka berusia dua puluh empat tahun, mereka melakukan perjalanan ke selatan di mana terjadi pemberontakan. Mereka, sesuai dengan pesan ayah ibunda mereka, tidak diperbolehkan mencampuri urusan pemberontakan, artinya tidak boleh membantu pemberontakan juga tidak boleh membantu pemerintah. Mereka melihat pemberontakan dengan sikap pasif saja, hanya mereka turun tangan menolong mereka yang lemah dan pantas diselamatkan.
Ketika melihat sebuah keluarga dirampok dan dibunuh oleh gerombolan pemberontak, mereka turun tangan membela. Namun dua orang saudara kembar ini agak terlambat dan hanya berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan dari keluarga Souw itu, sedangkan keluarga itu selebihnya terbasmi dan terbunuh oleh gerombolan perampok.
Anak perempuan she Souw itu berusia empat tahun dan semenjak itu, Souw Hui Lan, anak yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lainnya, dibawa oleh Beng-san Siang-eng dan menjadi murid mereka berdua! Bahkan dalam mengajarkan ilmu kepada Hui Lan mereka pun bersaing dan mereka berdua amat menyayang anak ini sehingga memperlakukannya tidak hanya sebagai murid, bahkan sebagai adik atau puteri mereka sendiri. Tentu saja hal ini membuat Hui Lan menjadi lihai sekali, akan tetapi juga amat manja!
Baru lima tahun mereka meninggalkan Beng-san dan akhirnya menetap di bukit di tepi Sungai Wu-kiang itu, tempat yang sunyi terpencil dan amat indah pemandangannya. Beberapa tahun kemudian, setelah Hui Lan berusia tujuh belas tahun, mulailah datang godaan-godaan.
Gadis itu menjadi seorang dara yang cantik manis dan gagah perkasa sehingga tentu saja, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum serta mengandung madu yang amat manis, mengundang datangnya kumbang-kumbang berupa pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan yang menginginkan jodoh seorang dara perkasa pula. Mulailah berdatangan lamaran-lamaran yang diajukan oleh tokoh-tokoh dunia persilatan terhadap dara itu, baik untuk murid atau anak mereka sendiri.
Dan begitu muncul pinangan-pinangan ini, dua orang guru dan seorang muridnya itu lalu menentukan syarat yang amat berat, yaitu calon jodoh Hui Lan harus seorang pemuda yang mampu mengalahkan Hui Lan. Selain syarat berat ini, ditambah syarat yang lebih berat lagi yakni bahwa pemuda calon jodoh Hui Lan itu harus mengajukan guru atau orang tuanya yang mampu mengalahkan Beng-san Siang-eng!
Orang yang tergila-gila kepada seorang wanita biasanya suka melakukan apa pun juga, siap untuk berkorban. Demikianlah, banyak pemuda gagah perkasa berdatangan, hanya untuk dikalahkan oleh Hui Lan, dan guru atau orang tua jagoan mereka tak ada seorang pun mampu mengalahkan dua orang pria kembar itu. Dan yang mengejutkan, guru dan murid ini agaknya berdarah panas sehingga dalam setiap pertandingan untuk memenuhi syarat itu, mereka menjatuhkan para peminang dengan pukulan-pukulan maut sehingga banyak di antara para peminang yang kalah dengan membawa luka-luka parah, bahkan ada pula yang sampai tewas!
Seorang pemuda Bu-tong-pai yang pandai, maju pula bersama seorang susiok-nya, dan dia dikalahkan oleh Hui Lan. Juga tosu yang menjadi susiok-nya dan merupakan tokoh Bu-tong-pai, terluka hebat pula oleh Beng-san Siang-eng. Mereka berdua meninggalkan tempat itu sebagai penderita kekalahan, membawa luka dalam yang berat dan akhirnya keduanya tewas setelah menderita sakit beberapa pekan lamanya! Selama tiga tahun kurang lebih, sudah puluhan kali murid itu mengalahkan pelamar dan sudah belasan orang tewas di tangan mereka!
Demikian sedikit catatan tentang Beng-san Siang-eng yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu. Karena itu pula pada hari itu muncul Bu-tong Ngo-lo yang berniat membunuh guru dan murid yang mereka anggap kejam dan jahat itu. Lima orang tokoh dari Bu-tong ini memang bukan hanya datang untuk membalas kematian dua anggota Bu-tong-pai itu, akan tetapi juga untuk mengenyahkan guru dan murid yang dianggap jahat itu agar tidak jatuh korban lagi.
Sim Houw mengikuti jalannya perkelahian itu penuh perhatian. Hatinya merasa semakin tegang lagi. Perkelahian itu adalah perkelahian mati-matian di mana Bu-tong Ngo-lo makin lama semakin terdesak hebat oleh dua orang pria kembar itu. Mereka berkelahi untuk saling bunuh, bukan sekedar mengalahkan lawan. Jurus-jurus maut dikerahkan dan diam-diam dia merasa khawatir sekali.
Mereka adalah orang-orang gagah, orang-orang berilmu yang agaknya tentu saja bukan termasuk kaum sesat. Dua orang pria kembar itu memainkan ilmu silat Pulau Es, tentu bukan penjahat dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu tentu juga bukan orang-orang sesat. Kini mereka berkelahi mati-matian untuk saling bunuh.
Dia sendiri tidak dapat berpihak, karena dia memang tidak tahu siapa antara mereka yang bersalah. Akan tetapi, membiarkan saja mereka berkelahi, hatinya merasa tidak tega karena dia tahu bahwa satu pihak tentu akan roboh, terluka parah dan mungkin saja tewas.
Tiba-tiba dua orang kembar itu mengeluarkan teriakan nyaring melengking panjang, disusul bentakan seorang di antara mereka, "Bu-tong Ngo-lo, rebahlah kalian!"
Hebat bukan main serangan dua orang itu. Biar pun lima orang lawan mereka sudah bersiap siaga, tetap saja terjangan mereka yang dahsyat itu membuat mereka berlima terdorong dan terjengkang. Senjata mereka terlempar dan mereka terbanting keras ke atas tanah dalam keadaan terlentang! Dua orang kembar itu melangkah maju, agaknya siap untuk menurunkan pukulan terakhir, pukulan maut.
Tiba-tiba terdengar suara melengking yang aneh, suara suling yang ditiup secara aneh dan suaranya begitu mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang pria kembar itu sendiri tertegun dan menghentikan langkah mereka, lalu menengok seperti orang yang terpesona. Mereka berdiri ternganga memandang ke arah seorang pemuda yang tiba tiba saja muncul di situ sambil meniup sebatang suling.
Sim Houw yang tadi melihat betapa nyawa lima orang kakek Bu-tong-pai itu terancam maut, cepat meniup sulingnya dan keluar dari tempat persembunyiannya sambil terus meniup sulingnya. Tiupan pertama tadi dilakukan dengan pengerahan khikang dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut hingga suling itu mengeluarkan suara yang mengandung pengaruh dan wibawa amat kuatnya! Dua orang cucu dari Pendekar Super Sakti itu sendiri sampai terpesona dan tertahan dari niat mereka membunuh lima orang Bu-tong-pai yang sudah tidak mampu melindungi diri sendiri itu.
Kini Sim Houw sudah berjalan menghadapi dua orang saudara Gak itu, menghalang di antara mereka dan lima orang kakek Bu-tong-pai yang sedang merangkak bangun dengan muka pucat. Lalu Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan menjura ke arah dua orang pria kembar. Begitu suara suling berhenti, semua orang merasa seolah-olah terlepas dari himpitan yang membuat mereka seperti tidak mampu bergerak tadi.
"Ji-wi locianpwe harap jangan menyiksa lima orang kakek ini lebih lanjut. Kasihanilah mereka dan kalau mereka telah melakukan kesalahan, biarlah saya yang mintakan ampun untuk mereka."
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban dua orang pria kembar itu, Sim Houw cepat membalikkan tubuh menghadapi Bu-tong Ngo-lo, "Kalian berlima sudah diampuni oleh dua orang locianpwe ini, tidak lekas pergi apakah yang ditunggu lagi?"
Sambil berkata demikian Sim Houw mengedipkan matanya. Lima orang kakek itu yang sudah maklum bahwa mereka tak akan mampu menang, apa lagi kini sudah menderita luka dalam yang dirasakan di dalam dada, rasa yang dingin sekali, tanpa banyak cakap lagi mereka lalu memungut senjata masing-masing dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit!
"Kalian hendak lari ke mana?" Tiba-tiba Hui Lan membentak marah dan siap mengejar.
Namun Sim Houw sudah berdiri di depannya sambil mengembangkan kedua lengannya. "Nona, ji-wi locianpwe ini sudah memberi ampun, jangan kejar mereka!"
Hui Lan menjadi marah melihat betapa pemuda itu mengembangkan lengan bagaikan hendak memeluknya. Apa lagi ketika dara ini mengenal Sim Houw sebagai penyuling yang tadi dianggap mengganggu ketenangannya, dia pun menjadi semakin marah.
"Enyahlah kau!" bentaknya sambil menampar kepala pemuda itu.
"Wuuuttt...!" Tamparan tangan halus ini dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala manusia.
"Ehhh, ehhh... jangan pukul...!" Sim Houw berseru gugup dan mengangkat sebelah lengannya seperti melindungi kepalanya dengan gerakan amat kaku, sama sekali bukan gerakan silat.
"Plakkk!"
Akibat tamparan tangan yang mengenai pangkal lengannya itu membuat Sim Houw terlempar dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia bergulingan memotong jalan sehingga gadis itu tak dapat melakukan pengejaran terhadap lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah melarikan diri.
"Keparat, engkau ini selalu menggangguku!" Hui Lan meloncat dan hendak menendang tubuh Sim Houw yang masih bergulingan.
"Hui Lan, jangan pukul dia!" tiba-tiba terdengar suara Gak Jit Kong dan gadis itu pun menahan gerakan kakinya sehingga Sim Houw terhindar dari tendangan maut.
Sim Houw melirik ke arah lima orang kakek Bu-tong-pai dan merasa lega melihat bahwa lima orang kakek itu sudah melarikan diri dengan cepat dan lenyap dari situ. Dia lalu bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor terkena debu.
Biar pun Hui Lan memiliki kepandaian tinggi, namun ia belum berpengalaman dan gadis yang berwatak manja ini memang tak pernah menghargai orang lain, maka dia pun tidak sadar betapa tamparannya yang amat kuat tadi dapat ditangkis oleh pemuda penyuling ini! Padahal jika teringat, tentu ia akan terkejut melihat kenyataan betapa tamparannya itu tidak meremukkan tulang pangkal lengan pemuda itu.
Beng-san Siang-eng mengira bahwa murid mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh kepada pemuda yang dilihat dari gerak-geriknya, kelihatannya tidak memiliki kepandaian silat ini.
Gak Jit Kong lalu bertanya, "Orang muda, kenapa engkau mencampuri urusan kami dan menghalangi kami membunuh lima orang musuh tadi?"
Sim Houw menjura lagi dengan sikap hormat. Sejak tadi sulingnya telah diamankannya di balik bajunya, terselip di pinggang.
"Ji-wi locianpwe, saya pernah mendengar kata orang, bahwa seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak melawan dan tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya. Dan saya melihat bahwa mereka itu tadi sudah tak berdaya..."
"Omong kosong!" bentak Hui Lan. Kalau kami kalah, mereka tentu akan membunuh kami. Suhu, tidak perlu kiranya berdebat dengan pengacau ini!"
Akan tetapi Gak Jit Kong agaknya tertarik. "Orang muda, tahukah engkau bahwa seandainya kami kalah, lima orang Bu-tong Ngo-lo itu akan membunuh kami tanpa ragu lagi?"
"Ji-wi locianpwe, Apakah orang harus membalas pembunuhan dengan pembunuhan, membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau begitu, apa bedanya antara kita dengan si penjahat?"
"Jadi sudah sejak tadi engkau melihat perkelahian antara kami dan mereka?" tanya pula Gak Jit Kong, memandang penuh selidik.
"Semenjak tadi saya kebetulan berada disini. Karena ketakutan melihat perkelahian lalu saya bersembunyi di dalam semak belukar, nonton perkelahian. Melihat mereka sudah tidak berdaya dan khawatir ji-wi membunuh mereka, maka saya keluar..."
"Kenapa membunyikan suling?" kini Gak Goat Kong mendesak.
"Saya tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mencegah dilanjutkannya perkelahian itu. Karena saya hanya bisa meniup suling, maka dalam kegugupan saya lalu meniup suling saya untuk menarik perhatian. Syukur saya berhasil..."
"Siapakah namamu dan engkau dari perguruan silat mana?" Gak Jit Kong bertanya lagi.
"Nama saya Sim Houw dan bukan dari perguruan silat, saya hanya bisa meniup suling, tidak bisa apa-apa selain itu, locianpwe."
"Bohong! Engkau selalu mengacau dengan suara sulingmu, tentu engkau pun mengerti sedikit ilmu silat. Biar kuselidiki ia datang dari perguruan silat mana, suhu!" kata Hui Lan. Dan gadis itu sudah meloncat ke depan. Tangan kirinya menyambar, jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri itu menotok ke arah pundak kanan Sim Houw.
Sim Houw tahu bahwa jalan darah Kian-keng-hiat-to di pundaknya akan ditotok dan akibatnya sangat hebat karena jalan darah itu merupakan satu di antara jalan darah besar. Namun dia diam saja, sedikit pun tidak berkutik, tidak mengelak atau menangkis, seolah-olah dia tidak tahu bahwa nyawanya terancam oleh serangan itu.
"Hui Lan, jangan...!" Gak Goat Kong berseru kaget melihat betapa muridnya hendak membunuh pemuda yang agaknya memang tidak menyadari akan bahaya itu.
Tentu saja Sim Houw sadar sepenuhnya, bahkan dia tahu bahwa tidak ada bahaya yang mengancam dirinya. Gadis itu hanya menggertaknya saja dan sama sekali tidak berniat melakukan totokan secara sungguh-sungguh, dan andai kata demikian, dia pun dapat menyelamatkan dirinya dengan ilmu memindahkan jalan darah!
Dan benar saja dugaannya. Tanpa dicegah oleh gurunya sekali pun, Hui Lan memang tak mau membunuhnya. Gadis itu hanya ingin memaksanya mengeluarkan ilmu silatnya untuk membela diri agar ia dapat mengenal ilmu silatnya. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan totokan maut, gadis itu merasa sebal dan totokannya berubah menjadi dorongan atau tamparan pada pundak pemuda itu.
"Plakkk...!"
Dan tubuh Sim Houw terpelanting! Akan tetapi Hui Lan juga terkejut dan heran sekali, menahan rasa nyeri pada telapak tangannya. Ia tadi merasa seperti menampar benda yang lunak sekali akan tetapi dari dalam kelunakan itu muncul tenaga yang membuat tenaga tamparannya membalik sehingga ia terpukul tenaga tamparannya sendiri yang menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi buktinya, pemuda itu telah terpelanting keras oleh tamparannya!
Sebelum Hui Lan sempat menyatakan keheranannya, mendadak kedua orang gurunya berseru. "Hui Lan, hati-hati! Banyak musuh datang!"
Gadis itu cepat menggerakkan tubuh menoleh, dan benar saja. Sedikitnya dua puluh orang yang dipimpin oleh seorang wanita cantik tengah berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat itu.
Sim Houw juga sudah bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor dan berdiri di belakang tiga orang itu. Diam-diam dia merasa mendongkol juga karena gadis itu sungguh sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Seorang gadis yang selain cantik manis dan gagah perkasa, juga manja, angkuh dan ringan tangan!
Dua puluh empat orang itu semua berpakaian serba merah sehingga amat menyolok sekali. Mereka terdiri dari laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin seorang kakek berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat.
Laki-laki ini berada di depan bersama seorang wanita yang lebih menarik perhatian lagi. Wanita ini cantik dan berpakaian merah, bukan serba merah seperti yang lain, memiliki sepasang mata yang amat tajam dan gerak-geriknya lincah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Sim Houw tidak mengenal semua orang itu. Juga agaknya Beng-san Siang-eng dan murid mereka tidak mengenal wanita cantik yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun itu, apa lagi dua puluh empat orang yang berpakaian serba merah.
Wanita itu pun agaknya belum mengenal pihak tuan rumah, karena begitu berhadapan, dia sudah bertanya dengan suara lantang, "Siapakah di antara kalian yang mempunyai julukan Pendekar Suling Naga?"
Sepasang Garuda Beng-san itu saling pandang dengan murid mereka. Akan tetapi Hui Lan menggerakkan pundak dan gadis ini sudah marah sekali melihat sikap wanita yang datang bersama segerombolan orang berpakaian serba merah itu. Dia menudingkan telunjuk kanannya sambil membentak, "Dari mana datangnya perempuan liar yang membawa gerombolan bajak atau rampok ini?"
Akan tetapi, wanita cantik itu hanya mengeluarkan senyum mengejek, agaknya tidak memperhatikan kemarahan Hui Lan. Sekali lagi ia bertanya, "Siapakah Pendekar Suling Naga?"
Dan kini pandang matanya ditujukan kepada Sim Houw dan ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik. Juga dua puluh empat orang berpakaian serba merah itu memandang kepada empat orang itu bergantian dengan sinar mata mengancam. Wanita cantik itu bukan sembarang orang. Ia bukan lain adalah Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), murid pertama Sam Kwi (Tiga Iblis).
Seperti telah diceritakan di bagian depan Siu Kwi atau Bi-kwi telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari ketiga gurunya. Ketika ia pulang menjumpai guru-gurunya, ia melaporkan akan kegagalan dua macam tugas yang dipikulnya. Pertama, dia telah gagal mencari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es oleh karena pendekar sakti itu sudah tewas. Kemudian tugas ke dua, yaitu mencari Pek-bin Lo-sian untuk meminta senjata pusaka Liong-siauw-kiam juga gagal.
Ketika wanita itu menghadap Pek-bin Lo-sian yang menjadi paman guru dari ketiga Sam-kwi, ia mendapatkan kakek tua renta itu dalam keadaan sakit berat dan napasnya tinggal satu-satu! Siu Kwi atau Bi Kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari Pek-bin Lo-sian yang dijawab oleh Pek-bin Lo-sian bahwa pusaka itu telah dia berikan kepada orang lain karena dia tidak suka kalau pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, tiga orang keponakan seperguruannya sendiri yang jahat!
Mendengar jawaban ini. Bi-kwi memaksa kakek tua renta itu untuk menunjukkan siapa orang yang diserahi pusaka itu. Namun kakek yang sudah menderita penyakit berat itu hanya tersenyum mengejek, tak mau mengaku. Bi-kwi marah sekali, lalu menggunakan kekerasan terhadap kakek yang sebenarnya masih susiok-kong-nya sendiri. Disiksanya kakek itu, akan tetapi Pek-bin Lo-sian tetap tidak mau mengaku. Tubuhnya yang sudah tua dan menderita penyakit berat itu tidak dapat menahan siksaan yang dilakukan Bi-kwi dan kakek itu pun tewas tanpa menyebut nama Sim Houw yang telah diserahi pusaka Suling Naga atau Siauw-liong-kiam.
Seperti diketahui, Bi-kwi pulang dengan hati mengkal dan uring-uringan sebab ia pulang dengan tangan kosong. Akan tetapi ia mendengar berita akan munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Sebelum pulang menyampaikan laporan kepada tiga orang gurunya, terlebih dahulu dia menemui perkumpulan Ang-i-mo (Setan Berbaju Merah), yaitu perkumpulan sesat yang telah ditaklukkannya.
Perkumpulan itu dipimpin oleh seorang datuk sesat bernama Tee Kok yang berusia lima puluh tahun sebagai ketuanya. Ketika mereka bentrok dengan Bi-kwi, mereka kalah dan Tee Kok merajuk, menyatakan kalah dan menyerah. Melihat kehebatan mereka, Bi-kwi dengan cerdik mengampuni mereka dan menyuruh mereka berjanji untuk membantunya dalam segala macam hal kalau dimintanya, dan Tee Kok menyanggupi.
Bi kwi lalu memerintahkan Ang-i-mo untuk melakukan penyelidikan, mencari adanya pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan kalau ada beritanya supaya cepat memberi kabar kepadanya di puncak Thai-san, di mana ia tinggal bersama Sam Kwi. Setelah itu barulah ia pulang ke Thai-san, di mana ia terpaksa menerima Bi Lan sebagai sumoi atau murid guru-gurunya yang baru, bahkan ia lalu dengan cerdik menyediakan dirinya untuk melatih sumoi-nya itu menggantikan guru-gurunya.
Baru beberapa bulan kemudian, datang Tee Kok bersama anak buahnya yang pilihan, berjumlah dua puluh empat orang bersama dia, berkunjung ke Thai-san dan melaporkan bahwa mereka mendengar akan munculnya Pendekar Suling Naga di daerah selatan. Mendengar ini, cepat Bi-kwi meninggalkan Thai-san, bersama dua puluh empat orang itu cepat-cepat melakukan pengejaran dan pencarian ke selatan. Akhirnya, mereka bisa mengikuti jejak orang yang dicari di sepanjang pantai Sungai Wu-kiang dan tiba di kaki bukit yang menjadi tempat tinggal Beng-san Siang-eng bersama murid mereka.
Tee Kok dalam pelaporannya kepada Bi-kwi hanya mengatakan bahwa anak buahnya belum pernah ada yang berjumpa dengan pendekar yang dicari, hanya mendapat keterangan bahwa pendekar itu masih muda dan lihai sekali. Maka, ketika mereka tiba di tempat itu, perhatian Bi-kwi dan kawan-kawannya tertarik kepada Sim Houw.
Akan tetapi, mereka merasa ragu-ragu karena pemuda itu tadi mereka lihat didorong oleh gadis cantik itu saja terpelanting, mana mungkin orang lemah itu yang dinamakan Pendekar Suling Naga? Karena itu Bi-kwi lalu mengajukan pertanyaan kepada mereka, dengan sikapnya yang angkuh, siapa di antara mereka yang berjuluk Pendekar Suling Naga.
Walau pun Hui Lan telah membentaknya dengan ucapan menghina, Bi-kwi tetap tidak peduli dan mengulangi pertanyaannya.
"Siapakah Pendekar Suling Naga? Hayo mengaku, kalau tidak kalian berempat tentu akan menjadi setan-setan tanpa nyawa!" Sekali lagi dia menghardik, sekali ini sinar matanya berkilat mengeluarkan ancaman yang mengerikan.
Kalau sepasang saudara kembar Gak itu masih bersikap sabar, murid merekalah yang sudah kehabisan kesabaran lagi. "Perempuan hina! Berani engkau mengancam kami di rumah kami sendiri? Apa kau kira aku takut kepadamu dan gerombolanmu, badut-badut berpakaian merah ini? Bukalah matamu dan lihat dengan siapa kau berhadapan!"
Bi-kwi memang seorang yang aneh. Iblis betina ini tidak mudah marah, atau tidak mau menurutkan emosi dan kemarahannya, dan kalau pun ada, disimpan di dalam hati saja. Hanya sinar matanya yang menyambar saat ia menjawab, "Tidak peduli siapa orangnya, kalau tidak mau memberi tahu kepadaku di mana adanya Pendekar Suling Naga, tentu akan kami bunuh!"
"Keparat! Kami tidak mengenal Suling Naga atau Suling Ular atau Suling Cacing! Akan tetapi kedua orang suhu-ku ini adalah Beng-san Siang-eng!"
Maksud Hui Lan memperkenalkan julukan kedua orang gurunya itu adalah untuk balas menggertak supaya wanita itu menjadi terkejut dan gentar. Siapa yang tidak mengenal nama Beng-san Siang-eng?
Bi-kwi memang terkejut, akan tetapi bukan terkejut lalu gentar, bahkan terkejut lalu wajahnya berseri dan senyumnya makin mengejek. "Ahh! Ini namanya mencari bandeng tetapi mendapatkan kakap! Jadi kalian inikah Beng-san Siang-eng, keluarga Pulau Es?" katanya sambil memandang kepada dua orang pria kembar itu penuh perhatian.
Dua orang pria kembar itu membalas pandang mata tajam itu dengan alis berkerut. Gadis cantik ini masih muda tetapi sikapnya demikian angkuh dan memandang rendah, tentu bukan orang sembarangan.
"Kami dua saudara Gak memang masih cucu luar dari kakek kami Suma Han dari Pulau Es. Akan tetapi kami tak merasa pernah berurusan denganmu. Siapakah engkau, nona, dan ada urusan apakah engkau bersama rombonganmu datang ke tempat kami?"
Ciong Siu Kwi meraba gagang goloknya dengan sikap angkuh, tanpa mencabut senjata itu, dan memandang kepada dua orang pria kembar itu dengan mata tajam. "Beng-san Siang-eng, aku disebut orang Bi-kwi. Aku datang mewakili guru-guruku, Sam Kwi, untuk mencari Pendekar Suling Naga. Akan tetapi dia tidak ada dan yang ada adalah kalian, cucu dari Majikan Pulau Es. Hemm, sungguh kebetulan sekali karena aku pun memiliki tugas mewakili guru-guruku untuk membunuh semua keluarga Pulau Es setelah Majikan Pulau Es sendiri meninggal dunia!"
Dua orang pria kembar itu mengerutkan alis lagi. "Nanti dulu, Bi-kwi. Memusuhi orang dengan niat membunuh bukan merupakan hal yang tidak ada sebabnya. Mengapa guru-guru kalian memusuhi kami orang-orang Pulau Es?"
"Kakekmu pernah mengalahkan guru-guruku, dan guru-guruku sudah bersumpah untuk membalas kekalahan itu. Akan tetapi kakekmu sudah mati, maka yang harus menebus dosanya adalah keluarga dan keturunannya. Nah, kini bersiaplah kalian untuk mati, juga bocah perempuan sombong ini. Dan pemuda itu… siapakah dia?" Telunjuk kiri Bi-kwi menuding ke arah muka Sim Houw dan diam-diam hatinya berbisik betapa tampannya pemuda sederhana itu.
"Jangan ganggu dia. Kami tidak mengenalnya. Dia seorang yang baru saja datang, dan tak ada sangkut pautnya dengan kami. Jangan kira akan mudah saja membunuh kami, bahkan kalau boleh kunasehatkan supaya kamu yang masih muda ini pulang saja dan biarkan ketiga orang suhu-mu itu yang datang membuat perhitungan dengan keluarga para pendekar Pulau Es," kata Gak Jit Kong.
Gak Jit Kong merasa tidak enak juga jika ia bersama adik kembarnya harus berhadapan dan mengadu ilmu dengan seorang gadis yang masih muda itu. Memang semua tokoh persilatan yang sudah ada nama tentu akan merasa ragu untuk mengadu ilmu melawan seorang gadis muda. Jika kalah amat memalukan, kalau menang pun akan ditertawakan orang!
"Beng-san Siang-eng, kematian sudah di depan mata, tidak perlu banyak cakap lagi! Bersiaplah untuk mampus!" bentak Bi-kwi dan nampak sinar berkilat menyilaukan mata ketika wanita ini mencabut pedangnya.
"Suhu, biar aku yang menghadapi iblis wanita ini!" Hui Lan juga mencabut pedangnya dan ia meloncat ke depan gurunya, menghadapi Bi-kwi.
Dua orang pria kembar itu tidak melarang murid mereka. Memang sepatutnyalah kalau Hui Lan yang menghadapi wanita itu, dan mereka sendiri akan berjaga-jaga karena jika dua puluh empat orang berpakaian seragam merah itu maju mengeroyok, mereka akan menghadapi pasukan merah itu.
Tetapi, Bi-kwi yang sudah menghunus pedang itu memandang kepada Hui Lan dengan alis berkerut. "Bocah sombong, engkau bukanlah lawanku. Guru-gurumu itulah lawanku dan engkau nonton saja, jangan tergesa minta mampus, tunggu giliranmu tiba!"
Ucapan itu sungguh menghina sekali. Hui Lan mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah maju menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi Bi-kwi tersenyum saja dan hanya nonton ketika dari samping, Tee Kok ketua Ang-i-mo telah menggerakkan sepasang goloknya ke depan menangkis.
"Tranggg...!"
Nampak api berpijar ketika pedang Hui Lan bertemu dengan golok di tangan laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu.
"Ciong Siocia (Nona Ciong), biarkan aku menghadapi gadis ini!" kata Tee Kok.
“Matamu sudah menjadi hijau melihat perawan mulus ini, ya? Baik, kalau kau mampu, tangkaplah bocah itu dan boleh menjadi milikmu sebelum kau bunuh!"
Biar pun ucapan ini ditujukan kepada Tee Kok. akan tetapi tentu saja Hui Lan menjadi marah bukan main, demikian pula dua orang gurunya karena omongan wanita itu amat kasar dan kotor.
"Kalian adalah manusia-manusia busuk!" kata Gak Jit Kong yang segera menghunus pedangnya, diikuti oleh adik kembarnya.
"Bagus! Mari kita ramai-ramai membasmi keturunan Pulau Es!" Bi-kwi berseru dan ia pun menerjang maju, disambut oleh sepasang pria kembar yang sudah pula memegang pedang masing-masing.
Dan dalam gebrakan pertama, kedua orang she Gak itu terkejut bukan main. Mereka memang sudah menduga bahwa wanita ini tentu jahat dan juga amat lihai, akan tetapi tidak mereka sangka bahwa ketika pedang mereka bertemu dengan pedang Bi-kwi, mereka merasa betapa lengan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat dan ada hawa panas yang menyambar ke arah mereka melalui pedang di tangan gadis itu!
Tahulah mereka bahwa gadis itu benar-benar amat lihai. Mereka pun cepat mengurung dengan pengerahan tenaga dan kepandaian mereka. Maka segera terjadi perkelahian yang amat seru di antara Beng-san Siang-eng dan Ciong Siu Kwi atau Iblis Cantik itu.
Hui Lan juga segera merasakan ketangguhan lawannya. Sepasang golok lawannya bergerak menyambar-nyambar dari dua jurusan yang berlawanan, seakan-akan hendak mengguntingnya, Ternyata si tinggi kurus bermuka pucat ini pun mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat!
Boleh jadi Bi-kwi yang telah digembleng sejak kecil oleh tiga orang gurunya sekaligus kini telah menjadi seorang wanita yang lihai bukan main. Hampir seluruh ilmu dari Sam Kwi telah diresapinya dan ia memang memiliki bakat yang amat baik. Akan tetapi, kini ia melawan dua orang pria kembar yang masih cucu luar Majikan Pulau Es. Maka segera ia mendapatkan kenyataan bahwa tidak akan mudah baginya untuk dapat mengalahkan dua orang pria kembar itu, paling-paling hanya akan dapat mengimbangi ketangguhan mereka. Maka wanita itu lalu memberi aba-aba kepada pasukan Ang-i-mo itu untuk ikut maju dan membantu!
Hui Lan merasa terkejut sekali. Baru melawan si tinggi kurus seorang diri saja sudah terasa berat, apa lagi kalau lawannya dibantu oleh anak buahnya yang amat banyak. Tidak disangkanya bahwa si kurus baju merah itu dapat memainkan sepasang goloknya sedemikian lihainya.
Ia tidak tahu bahwa Tee Kok adalah bekas anak buah Hek-i-mo (Iblis Pakaian Hitam), yaitu perkumpulan yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong, datuk besar kaum sesat yang dua puluh tahun lebih yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan. Hek-i-mo telah dihancurkan oleh para pendekar, terutama oleh para pendekar Pulau Es.
Perkumpulan Hek-i-mo atau Hek-i Mo-pang sudah tidak ada, tetapi masih ada belasan orang anggota yang berhasil meloloskan diri, dipimpin oleh Tee Kok. Dia ini pernah menerima pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi langsung dari mendiang Hek-i Mo-ong, maka tentu saja ilmu silatnya cukup tinggi.
Tee Kok ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan lain yang diberi nama Ang-i Mo-pang dan semua anggotanya mengenakan pakaian seragam merah dan dia mengangkat diri menjadi ketuanya. Belasan tahun lamanya dia dan anak buahnya merajalela sampai pada suatu hari mereka berjumpa dengan Bi-kwi dan dikalahkan oleh wanita cantik ini! Oleh karena mereka itu segolongan maka ada kecocokan di antara mereka. Bi-kwi tidak membunuh mereka, bahkan meraih mereka menjadi teman dan anak buah.
Kini dua puluh orang lebih anak buah Ang-i Mo-pang serentak bergerak mengepung, membantu Bi-kwi dan Tee Kok. Tentu saja Beng-san Siang-eng dan Hui Lan menjadi terkepung dan terdesak hebat. Mereka berada dalam keadaan gawat dan terancam sekali. Akan tetapi dengan semangat meluap-luap, guru dan murid ini melawan mati-matian dan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Lan dan kedua orang gurunya itu, tiba-tiba terdengar suara suling melengking nyaring. Semua orang yang sedang berkelahi terkejut bukan main karena suara suling itu seperti menusuk telinga mereka dan langsung menyerang jantung sehingga jantung mereka terguncang. Bahkan beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang telah terpelanting jatuh dan mengeluh sambil menutupi kedua telinga mereka dengan tangan.
Beng-san Siang-eng dan Souw Hui Lan juga cepat meloncat ke belakang, kemudian mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi jantung mereka. Tidak terkecuali Bi-kwi dan Tee Kok yang juga terkena serangan suara melengking itu sehingga mereka pun terpaksa meloncat ke belakang dan menengok ke arah asal suara suling seperti yang dilakukan semua orang yang berada di situ.
Kiranya yang mengeluarkan bunyi melengking yang menyakitkan jantung dan menusuk-nusuk anak telinga itu adalah Sim Houw. Pemuda itu sekarang sudah duduk bersila dan menyuling sambil memejamkan kedua matanya, mengerahkan khikang kuat sekali ke dalam tiupan sulingnya untuk membubarkan perkelahian yang tidak adil itu.
Melihat suling berbentuk naga yang ditiup pemuda itu, Bi-kwi terkejut dan tak tertahan lagi ia berteriak, "Suling Naga!"
Semua orang terkejut mendengar teriakan ini, termasuk pula Hui Lan dan dua orang gurunya. Mereka pun cepat memandang ke arah Sim Houw dengan perasaan tegang dan penuh keheranan. Mendengar teriakan ini, Sim Houw segera menghentikan tiupan sulingnya dan membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Suling itu masih dipegangnya, dipegang pada bagian ekor naga seperti kalau menyuling.
Bi-kwi sudah dapat menekan guncangan hatinya. Ia melangkah maju menghampiri Sim Houw, pandang matanya tajam penuh selidik, wajahnya berseri karena ada rasa girang dalam hatinya bahwa akhirnya ia dapat berhadapan dengan orang yang telah menerima Liong-siauw-kiam dari mendiang Pek-bin Lo-sian.
Suara suling yang menusuk telinga dan mengguncangkan jantungnya tadi dianggapnya sebagai keampuhan suling itu, bukan karena peniupnya yang mempunyai kepandaian tinggi. Bi-kwi termasuk orang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan selalu meremehkan orang lain. Ia sudah mendapat gambaran yang jelas dari Sam Kwi tentang macamnya Pedang Suling Naga, maka melihat suling di tangan pemuda itu ia tidak merasa ragu lagi.
"Hemm, jadi engkau inikah yang berjuluk Pendekar Suling Naga? Engkaukah orangnya yang menerima suling pusaka itu dari tangan mendiang Pek-bin Lo-sian di Himalaya?" tanya Bi-kwi dengan suara lantang.
Pertanyaan ini menarik perhatian semua orang yang berada di situ sehingga mereka semua seakan-akan telah lupa akan perkelahian tadi dan semua orang lalu memandang kepada Sim Houw.