"Gu-taihiap, setelah bertukar pakaian dan bersih, ternyata nampak tampan dan gagah bukan main, seperti tokoh Si Jin Kwi!" Ia memuji terang-terangan tanpa malu-malu lagi di depan para tosu yang tertawa-tawa.
Hong Beng mengerutkan alisnya yang hitam tebal itu semakin dalam, dan wajahnya yang putih bersih itu mendadak berubah merah. Dia merasa malu dan juga marah sebab pujian itu melampaui batas, tak patut keluar dari mulut seorang wanita baik-baik, apa lagi di depan banyak orang. Orang macam apakah wanita ini, pikirnya. Dia tidak menjawab, hanya berdiri dengan kikuk.
Melihat ini, hati Sin-kiam Mo-li menjadi semakin gembira. Jelas seorang pemuda yang masih hijau, seorang perjaka yang agaknya belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan kalau tidak ditahannya, tentu air liurnya keluar dari tepi mulut seperti seekor sapi kelaparan melihat rumput muda menghijau.
"Gu-taihiap, silakan duduk," katanya menunjuk ke sebuah bangku di sisi kanannya yang kosong.
Dan karena tidak ada bangku lain yang kosong, semua sudah ditempati para tosu dan Sin-kiam Mo-li, hanya sebuah yang kosong di sebelah kanan wanita itu, dan agaknya memang sudah diatur demikian, terpaksa Hong Beng lalu duduk di situ. Baru saja dia duduk, dia telah merasa betapa lutut kirinya bersentuhan dengan lutut kanan wanita itu. Cepat dengan gerakan halus dia menarik lututnya dan merapatkan kedua pahanya.
Sin-kiam Mo-li tersenyum dan memberi isyarat kepada tiga orang pelayannya. Ang Nio datang membawa seguci arak dan dengan sikap manis ia menuangkan arak merah ke dalam sebuah cawan kosong. Sin-kiam Mo-li menyerahkan secawan arak itu kepada Hong Beng.
"Terimalah cawan arak pertama sebagai ucapan selamat datang, taihiap!" katanya.
Saat Hong Beng menerima cawan arak itu, pemuda ini merasa betapa jari tangan yang halus lunak dan hangat menyentuh jarinya. Dia tidak berani menolak, lalu menghaturkan terima kasih sambil minum arak itu sampai habis. Arak yang manis dan enak. Akan tetapi Ang Nio memenuhi cawannya lagi.
Sin-kiam Mo-li menyodorkan arak dalam cawan itu sambil berkata, "Cawan ke dua ini untuk menghormatimu sebagai tamu kami, taihiap."
Kembali Hong Beng minum arak itu tanpa membantah. Para tosu tertawa dan suasana menjadi gembira ketika Pek Nio dan Hek Nio datang seperti menari-nari, membawa baki yang berisi mangkok-mangkok penuh masakan yang beraneka macam, masih panas mengepul dan baunya sedap bukan main.
"Aihhh, bukan main sedapnya!" beberapa orang tosu berseru sambil mengecap-ngecap bibir.
Segera masakan di dalam mangkok-mangkok besar itu diatur di atas meja dan Sin-kiam Mo-li mempersilakan mereka makan minum. Hong Beng tidak bersikap malu-malu lagi karena memang perutnya juga sudah lapar sekali. Dia pun turut memainkan sepasang sumpitnya untuk memindahkan potongan-potongan daging dan sayur ke dalam perut melalui mulutnya, disiram oleh arak yang manis dan sedap.
Sebentar saja, sembilan orang itu telah makan sampai kenyang dan para tosu sudah menjadi setengah mabok karena terlalu banyak minum arak. Hong Beng menjaga diri dan hanya minum kalau setengah dipaksa oleh Sin-kiam Mo-li. Wanita ini sendiri, biar pun tidak mabok, namun wajahnya yang putih cantik itu telah menjadi merah sekali dan sepasang matanya seperti berminyak dan mengkilat.
Tiba-tiba ia menuangkan arak ke dalam cawan araknya sendiri yang setengahnya masih terisi, lalu mengangkat cawan arak itu diberikan kepada Hong Beng! Tentu saja pemuda ini ragu-ragu untuk menerimanya. Cawan itu milik Sin-kiam Mo-li, dan tadi masih ada setengahnya! Akan tetapi Sin kiam Mo-li dengan senyum manis sekali dan memandang dengan penuh gairah, berkata dengan suara yang merdu merayu."Gu-taihiap, atas nama persahabatan antara kita, demi eratnya persahabatan kita yang mesra, sudilah engkau menerima arak ini, taihiap."
Bagaimana mungkin Hong Beng mampu menolak? Suguhan arak itu diberikan dengan alasan persahabatan dan kalau dia menolak, berarti dia tidak mau bersahabat! Dan sinar mata wanita itu demikian jeli, demikian penuh permohonan, sehingga dia pun tidak tega lagi untuk menolak! Pemuda ini sama sekali tidak sadar bahwa Sin-kiam Mo-li telah mempergunakan kekuatan sihirnya, mulai merayunya melalui suguhan arak!
Hong Beng minum habis arak itu dan ketika dia meletakkan cawan kosong itu di depan Sin-kiam Mo-li, wanita itu menurunkan tangannya seperti tidak disengaja. Akan tetapi tangan itu kini menutup tangan kiri Hong Beng dan jari-jari tangan yang kecil panjang dan lunak hangat itu mencengkeram punggung tangan Hong Beng.
Seperti orang linglung, Hong Beng mengangkat muka memandang dan melihat betapa cantiknya wajah wanita di sebelahnya itu, yang memandang padanya dengan sepasang mata seperti matahari kembar dan senyum yang lebih manis dan hangat dari pada arak yang diminumnya tadi. Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar keras, jalan darahnya berdenyut-denyut dan belum pernah rasanya dia melihat wanita yang secantik Sin-kiam Mo-li!
Tanpa disadarinya, dia pun membalas senyum itu. Bahkan dia lalu membalikkan tangan kirinya dan jari-jari tangannya bertemu dengan jemari tangan wanita itu. Telapak tangan mereka juga bertemu dengan hangatnya.
"Ha-ha-ha, tiba saatnya bagi kita untuk bermesraan!" terdengar suara seorang di antara tosu-tosu itu.
Ketika Hong Beng menengok, ternyata Ok Cin Cu telah menangkap pinggang ramping dari Hek Nio. Kini gadis berpakaian serba hitam itu telah ditarik ke atas pangkuannya! Hek Nio hanya terkekeh genit ketika tosu itu meraba-raba dan menciumnya.
"Siancai...!" kata Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw dengan alis berkerut saat melihat ulah anak buahnya itu. "Kita belum lagi mengadakan rapat pembicaraan tentang perjuangan itu sampai matang. Urusan senang-senang boleh ditunda dulu."
"Hai, Ok Cin Cu, jangan tamak engkau!" seru Ang Bin Tosu tokoh Pek-lian-kauw kepada tokoh Pat-kwa-kauw itu. "Kita ada bertujuh di sini, dan ceweknya hanya ada tiga orang! Harus dibagi rata!"
"Sebaiknya mereka melayani kita secara bergilir!"
"Diundi dulu, siapa yang paling dulu dan bagaimana cara gilirannya menurut undian!"
Sambil tertawa-tawa, tujuh orang tosu itu memberi usul-usul. Akhirnya Sin-kiam Mo-li yang masih saling berpegang tangan dengan Hong Beng itu berkata,
"Cuwi totiang, harap jangan ribut-ribut. Kita di antara kawan sendiri, bukan? Dengarlah, urusan rapat, sebaiknya dilanjutkan besok siang saja karena malam ini aku... ehhh…," ia menoleh kepada Hong Beng, "ingin beristirahat dulu. Dan tiga orang pembantuku itu boleh saja melayani kalian, dan memang sebaiknya diadakan undian sehingga tidak terjadi perebutan."
Ia lalu bangkit berdiri dan menarik Hong Beng bangun. Pemuda ini menurut saja ditarik bangkit seperti orang kehilangan semangat. Memang semangat dan kemauannya telah ditekan dan dikurung oleh kekuatan sihir Sin-kiam Mo-li.
"Tentang undian itu, silakan atur sendiri. Nah, aku mengundurkan diri lebih dulu."
Sin-kiam Mo-li menarik tangan Hong Beng. Seperti seekor kerbau yang diikat hidungnya dan kini ditarik ke pejagalan, Hong Beng menurut saja walau pun pandang matanya mulai bingung. Apa yang didengar dan dilihatnya di ruangan makan itu membuat bulu tengkuknya berdiri. Dia merasa ngeri dan muak sekali, akan tetapi sungguh aneh, tidak ada kemauan untuk meronta sama sekali ketika Sin-kiam Mo-li menariknya menuju ke kamar nyonya rumah itu!
Sejak kecil Hong Beng menerima gemblengan dari Suma Ciang Bun. Ilmu-ilmu dari Pulau Es adalah ilmu yang tinggi dan cara melatih sinkang membuat batin Hong Beng kuat sekali sehingga jika memang dia menyadari dan mengerahkan kekuatan batinnya, tidak mudah dia jatuh ke bawah pengaruh sihir. Akan tetapi, ketika dia makan minum dengan Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang cerdik dan dapat menduga akan kekuatan pemuda itu telah mempergunakan sihirnya secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit sehingga tanpa disadarinya, Hong Beng tercengkeram olehnya.
Akan tetapi, begitu melihat suasana yang dianggapnya memuakkan di ruangan makan tadi, di mana para tosu memperebutkan tiga orang pelayan wanita itu, keheranan dan kemuakan menyelinap di dalam benak Hong Beng dan membuat dia bercuriga. Walau pun kemauannya sudah lemah dan dia membiarkan dirinya ditarik oleh Sin-kiam Mo-li menuju ke dalam kamarnya, tetapi diam-diam Hong Beng mulai mengerahkan kekuatan batinnya.
Begitu masuk kamar, Sin-kiam Mo-li menendang daun pintu tertutup dan ia menarik Hong Beng ke tempat tidur, lalu menerkam pemuda itu, mendekap dan menciuminya seperti seekor harimau menerkam domba, penuh dengan nafsu birahi. Akau tetapi, hal ini bahkan mempercepat kesadaran Hong Beng yang meski pun tadi dipengaruhi sihir, namun masih belum disentuh oleh nafsu birahi.
"Ihhh...!" Dia membentak, meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.
Sin-kiam Mo-li mengembangkan kedua lengannya ke arah Hong Beng sambil bangkit duduk. Sepasang matanya berminyak, mulutnya mulai merintih-rintih, namun ia masih mencoba untuk mengerahkan kekuatan sihirnya.
"Gu Hong Beng, kekasihku... kita... kita saling mencinta. Ke sinilah, sayang, marilah kita bersenang-senang... bukankah kita telah menjadi sahabat yang amat mesra dan akrab? Ke sinilah, taihiap, kekasihku tercinta..."
Akan tetapi, mendengar ucapan penuh rayuan yang amat asing baginya ini, kesadaran Hong Beng semakin pulih dan dia mengerutkan alisnya, lalu menudingkan telunjuknya dengan marah.
"Sin-kiam Mo-li, sungguh engkau perempuan yang tidak tahu malu, tidak mengenal kesusilaan. Apa yang telah kau lakukan ini? Aku bukanlah laki-laki pelacur seperti yang kau kira! Aku... aku akan pergi dari sini, mengajak pergi nona Kao Hong Li!" Berkata demikian, Hong Beng hendak keluar dari dalam kamar itu.
"Berhenti...!" Tiba-tiba suara Sin-kiam Mo-li sudah berubah.
Ketika ia berkelebat menghadang di depan pintu, Hong Beng melihat betapa wajah yang tadi nampak cantik manis itu sekarang nampak seperti wajah iblis betina yang beringas, sepasang mata itu mencorong penuh kekejaman dan mulut itu menyeringai mengerikan!
"Gu Hong Beng, laki-laki tidak mengenal budi, tidak tahu dicinta orang! Engkau sudah menentukan pilihanmu sendiri. Bukankah engkau memilih di antara dua, yaitu menjadi tamu atau menjadi tawanan? Engkau memilih menjadi tamu dan aku memperlakukanmu seperti seorang tamu agung, akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menghinaku! Jangan harap engkau dapat keluar dari sini, apa lagi membawa muridku!" Berkata demikian, wanita yang marah itu maju menghampiri. "Masih kuberi kesempatan sekali lagi. Engkau mau melayani aku dan bersenang-senang dengan aku selama sebulan ini, ataukah engkau menjadi tawananku dan mungkin akan kubunuh?"
"Cih, perempuan tak tahu malu! Siapa yang takut mati? Lebih baik mampus dari pada menyerah kepadamu melakukan perbuatan hina dan rendah!"
"Keparat sombong!" Sin-kiam Mo-li membentak.
Wanita ini telah menerjang maju dengan pukulan dahsyat, menggunakan tangan kirinya menampar ke arah pelipis kepala Hong Beng. Pemuda ini sudah nekat. Bagaimana pun juga, tidak sudi dia memenuhi permintaan wanita iblis cabul itu dan biar pun dia tahu bahwa dia berada di tempat berbahaya, namun lebih baik dia mati dari pada harus menyerah.
Melihat datangnya pukulan dahsyat itu, dia pun menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang yang sangat dingin, sedangkan tangan kirinya membarengi tangkisan itu, mendorong ke arah lambung lawan yang terbuka.
"Dukkk...!"
Dua lengan bertemu dan wanita itu cepat meliukkan tubuh menghindarkan dorongan ke arah lambungnya. Ia dapat merasa betapa tangkisan itu mengandung hawa amat dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Cepat ia mengerahkan sinkang melawan dan ia pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar tangguh, hal yang tidak aneh kalau diingat bahwa pemuda ini adalah murid keluarga Pulau Es yang terkenal memiliki sinkang dahsyat, yaitu Hwi-yang Sinkang yang panas dan Swat-im Sinkang yang amat dingin.
Maklum bahwa menghadapi pemuda ini dengan tangan kosong akan memakan waktu lama dan tidak mudah baginya untuk merobohkannya, Sin-kiam Mo-li lalu meloncat ke dekat meja dan menyambar sebatang kebutan bergagang emas yang bulunya merah. Begitu dikelebatkannya kebutan ini, nampak sinar merah bergulung-gulung menyambar ke arah Hong Beng.
Pemuda ini lalu melawan sekuat tenaga. Untuk menangkis dan menghindarkan diri dari kebutan berbulu merah yang mengandung racun itu, dia mengeluarkan ilmu silat Hong In Bun-hoat yang gerakan-gerakannya halus tapi mengandung kekuatan sinkang hebat sehingga dapat mendorong pergi ujung kebutan setiap kali ujung kebutan mengancam tubuhnya. Tetapi, karena dia tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang, sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li yang dibarengi dengan menyambarnya kebutan itu, menyerempet pinggang pemuda itu sehingga dia terpelanting dan terhuyung.
Marahlah Hong Beng. Dia kemudian nekat dan dengan mengeluarkan suara melengking nyaring, ia menyerang dengan Ilmu Silat Cui-beng Pat-ciang yang hebat. Ilmu ini adalah ilmu sesat dari Pulau Neraka, dimiliki oleh guru Hong Beng dari nenek Lulu dan biar pun ilmu ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun dahsyatnya bukan kepalang.
Begitu Hong Beng menyerang, diam-diam Sin-kiam Mo-li terkejut karena kebutannya dapat terpukul membalik, bahkan dadanya nyaris pula terkena pukulan. Untung ia masih sempat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik, lalu memutar kebutan di depan tubuh untuk menghalau serangan berikutnya.
Tapi Hong Beng tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Dia mendesak maju dengan jurus berikutnya dari Cui-beng Pat-ciang (Delapan Jurus Pengejar Arwah)! Kembali kebutan merah itu terpukul membalik dan dua pukulan tangan dari kanan kiri mengancam Sin-kiam Mo-li.
Wanita ini terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa murid keluarga Pulau Es memiliki pukulan yang demikian mengerikan, yang sifatnya ganas dan lebih tepat kalau dimiliki golongan sesat. Karena tidak mengenal jurus-jurus ini, maka ia terdesak dan terpaksa ia kembali melempar tubuh ke belakang, mendekati dinding dan sekaligus ia mencabut sebatang pedang yang tergantung di situ.
Dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li sekarang menyerang Hong Beng. Hebat memang wanita ini kalau sudah memainkan dua buah senjatanya. Pedangnya menyambar-nyambar ganas sedangkan kebutannya membantu gerakan pedang, bahkan kedua senjata itu selain saling bantu dalam serangan, juga saling melindungi. Kalau pedang menangkis, kebutan menyerang dan sebaliknya.
Dan Hong Beng yang bertangan kosong itu terdesak hebat! Ketika dia tersudut dan tidak ada jalan keluar lagi, pemuda ini menjadi nekat hendak mengadu nyawa. Sambil mengeluarkan pekik dahsyat, dia mengerahkan tenaganya dan memukul dengan Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun, yang membuat kedua tangannya menjadi lemas bagai kapas, namun mengandung tenaga dahsyat yang dapat mencabut nyawa lawan dengan sekali pukul.
Namun, pedang di tangan Sin-kiam Mo-li menyambar sedangkan kebutannya menotok ke arah pergelangan tangan yang memukul. Hong Beng tentu saja menarik tangannya karena maklum bahwa ujung kebutan itu beracun dan biar pun dia sudah miringkan tubuh, tetap saja pundaknya tercium pedang sehingga bajunya robek berikut kulit dan sedikit daging di pangkal lengan kirinya! Sebuah tendangan yang menyusul, membuat tubuhnya terlempar ke arah pintu kamar.
"Tukkk!"
Tubuh itu disambut oleh seorang tosu yang sudah menotoknya dengan ujung tongkat sehingga Hong Beng roboh dengan kaki tangan lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi.
"Ha-ha-ha, apakah pengantinmu ini banyak bertingkah, Mo-li?" kata Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw yang tadi mempergunakan tongkat naga hitamnya menotok Hong Beng yang sudah terluka.
Tosu ini sedang menunggu gilirannya karena ketika menarik undian, gilirannya adalah yang terakhir. Tiga orang tosu memasuki kamar bersama tiga orang gadis pelayan, sedangkan yang tiga orang lagi termasuk Thian Kek Sengjin, menanti giliran mereka. Karena iseng, Thian Kek Sengjin lalu berjalan-jalan menuju ke kamar Sin-kiam Mo-li sehingga dia dapat merobohkan Hong Beng yang kebetulan terlempar ke pintu ketika dia membuka daun pintu karena mendengar suara perkelahian di dalam kamar itu.
"Biar kubunuh saja tikus kecil ini!" kata pula Thian Kek Sengjin sambil menggerakkan tongkatnya.
"Jangan!" teriak Sin-kiam Mo-li. "Dia menjadi sandera yang berharga bagi kita."
Memang wanita itu cerdik. Mendapat tawanan murid keluarga Pulau Es merupakan modal yang baik, karena pemuda itu dapat menjadi sandera yang tentu akan dihargai oleh keluarga Pulau Es. Selain itu, juga diam-diam ia masih mengharapkan untuk dapat mematahkan semangat pemuda ini dan suatu saat dapat menjatuhkan hati pemuda itu serta menariknya ke dalam pelukannya.
"Ha-ha-ha, pendapat itu boleh juga," kata Thian Kek Sengjin sambil tertawa. "Dan bagai mana jika pinto saja menggantikan pemuda ini untuk menghibur hatimu yang kecewa?"
Sin-kiam Mo-li mengangkat muka memandang tosu itu. Seorang tosu yang meski pun sudah tua, namun nampak masih penuh semangat. Tubuhnya kurus kering, akan tetapi mukanya merah darah dan gerak-geriknya masih tangkas dan gesit, sepasang matanya bercahaya seperti mata kucing. Boleh juga, pikirnya, karena selain hatinya kesal atas penolakan Hong Beng dan ia membutuhkan teman untuk menghiburnya, juga ia melihat keuntungannya kalau berbaik dengan tosu Pek-lian-kauw yang lihai dan mempunyai pengaruh besar di perkumpulannya itu.
Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Baiklah, totiang. Akan tetapi bantu dulu aku melempar orang keras kepala ini ke dalam kamar tahanan karena tiga orang pelayanku sedang sibuk melayani para tosu lainnya."
Tentu saja Thian Kek Sengjin gembira sekali. Dia bukanlah seorang pengejar wanita cantik seperti Ok Cin Cu dan yang lain, akan tetapi baginya jauh lebih menyenangkan menjadi teman tidur nyonya rumah yang meski pun sudah lebih tua, namun jauh lebih cantik menarik dari pada tiga orang gadis pelayan itu, apa lagi kalau dia memperoleh giliran paling akhir! Dia lalu menyambar tubuh Hong Beng, sekali mencongkel dengan tongkatnya, tubuh pemuda itu terangkat naik dan dikempitnya.
"Ke mana ia harus dilempar?" tanyanya sambil menyeringai. Wajahnya yang kemerahan memang tidak begitu buruk seperti para tosu lainnya, maka tidak mengherankan kalau Sin-kiam Mo-li menerimanya.
"Mari ikuti aku," berkata wanita itu sambil memasuki sebuah pintu rahasia di ruangan belakang.
Pintu ini tersembunyi di balik sebuah almari yang digeser ke kiri dan di belakang pintu terdapat sebuah terowongan yang menuju ke bawah tanah. Kiranya rumah besar itu selain terjaga di sekelilingnya oleh tempat-tempat rahasia penuh jebakan, juga memiliki ruangan bawah tanah yang cukup luas!
Ia memasuki sebuah kamar tahanan di bawah tanah itu, kamar tahanan yang sangat kuat karena dindingnya dilapisi baja dan pintunya juga dari baja dengan ruji-ruji sebesar lengan yang amat kokohnya pada jendela kamar itu. Dengan kasar Thian Kek Sengjin melempar tubuh Hong Beng ke dalam kamar ini yang berlantai batu. Tubuh yang sudah lumpuh kaki tangannya dan tidak mampu bergerak itu terbanting ke atas lantai, lalu daun pintunya ditutup dan dikunci dari luar oleh Sin-kiam Mo-li.
Kebetulan Hong Beng terjatuh dengan muka menghadap keluar, maka Sin-kiam Mo-li memandang kepadanya, kemudian tersenyum dan berkata, "Gu Hong Beng, kalau aku menghendaki, saat ini engkau tentu sudah menjadi mayat."
"Bunuhlah, tak perlu banyak cerewet. Siapa takut mati?" Hong Beng menjawab. Yang lumpuh hanya kaki dan tangannya, sedangkan anggota tubuh lainnya tidak.
Sin-kiam Mo-li tidak marah, hanya tertawa. Kini ia sudah dapat mengatasi kekecewaan dan kemarahannya. Menghadapi seorang pemuda gagah perkasa dan keras hati seperti murid keluarga Pulau Es ini tidak boleh mempergunakan kekerasan seperti terhadap pemuda lain yang pernah diculiknya, hal ini ia tahu benar. Maka, ia pun ingin berganti siasat.
"Justru karena engkau tidak takut mati maka aku merasa sayang untuk membunuhmu. Nah, kuberi waktu padamu untuk merenungkan semua keadaanmu dan kuharap engkau tidak begitu tolol untuk mempertahankan kekerasan hatimu dan memilih mati secara konyol." Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li tersenyum dan menggandeng tangan Thian Kek Sengjin yang tertawa-tawa ketika mereka berdua bergandeng tangan pergi meninggalkan ruangan bawah tanah itu.
Hong Beng menggeletak di lantai kamar tahanan itu. Sunyi bukan main di situ, tidak terdengar suara apa pun dan tidak terlihat sesuatu yang bergerak. Dia merasa seperti berada di dunia lain! Untung masih ada sebuah lampu lentera tergantung di luar kamar tahanan dan sinarnya memasuki kamar melalui jendela jeruji baja.
Hong Beng maklum bahwa ia tak dapat mengharapkan bantuan dari luar. Mati hidupnya tergantung kepada dirinya sendiri dan selagi dia masih bernapas, dia tidak akan putus harapan. Akan tetapi, bagaimana pun juga, kalau jalan keselamatannya harus melalui penyerahan diri kepada Sin-kiam Mo-li seperti yang dikehendaki wanita cabul itu, dia tetap menolak dan memilih mati!
Dia sudah banyak mendengar dari suhu-nya dan juga dari pengalamannya di dunia kang-ouw mengenai wanita cabul macam Sin-kiam Mo-li. Kalau sudah bosan kepada seorang laki-laki, tentu akan dibunuhnya.
Yang paling penting adalah membebaskan totokan ini, pikirnya. Maka Hong Beng lalu memejamkan dua matanya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan pemuda ini mulai mengerahkan hawa murni di tubuhnya untuk membobol bendungan jalan darah yang tertotok. Totokan di punggung oleh tongkat tokoh Pek-lian-kauw tadi memang hebat dan melumpuhkan kedua kaki tangannya.
Akhirnya, setelah dia mulai dapat mengumpulkan tenaga dan daya totokan itu pun mulai melemah, dia mampu membebaskan diri dari totokan itu dan mampu menggerakkan kembali kaki tangannya. Hong Beng lalu bangkit duduk dan bersila, bersemedhi sekian lamanya sampai tenaganya pulih kembali.
Diperiksanya luka di pundak. Hanya luka lecet, tidak berbahaya dan darahnya sudah berhenti. Dengan robekan ikat pinggang, dibalutnya pundak itu. Kemudian dia bangkit berdiri berjalan-jalan sebentar untuk memulihkan kekakuan kedua kakinya, barulah dia mulai memeriksa kamar tahanan itu.
Dicobanya ruji baja dan pintu, namun dia mendapat kenyataan bahwa dengan tenaga biasa, tak mungkin dia akan mampu lolos dari kamar baja ini seperti yang sudah diduga. Orang macam Sin-kiam Mo-li tidak mungkin demikian ceroboh dalam membuat kamar tahanan. Tiada jalan lain baginya kecuali menanti apa yang akan datang menimpanya. Yang penting, dia sudah dapat bergerak dan masih hidup! Maka dia pun kembali duduk bersila di tengah kamar itu, di atas lantai batu yang dingin.
Entah berapa lamanya dia bersemedhi, Hong Beng tidak tahu karena di dalam kamar tahanan itu tidak pernah dapat didengar suara apa-apa, juga hanya lentera itu yang menerangi cuaca sehingga dia tidak mengenal waktu. Tiba-tiba telinganya yang terlatih mendengar langkah kaki lirih menghampiri kamarnya dan tidak lama kemudian, dari jendela terdengar suara mendesis.
"Sssttt...!"
Hong Beng mengangkat muka dan melihat wajah gadis cilik yang mengaku bernama Kao Hong Li itu sudah menjenguk dari luar jeruji jendela. Cepat-cepat dia bangkit dan menghampiri.
"Suheng, aku menyesal sekali bahwa gara-gara aku engkau sampai tertangkap dan ditawan di sini," kata Hong Li.
"Nona... ehh, sumoi Kao Hong Li, apakah engkau dapat membuka pintu ini dari luar?"
Gadis remaja itu menggelengkan kepalanya. "Penyimpan kunci adalah subo sendiri dan pintu ini tidak mungkin dibuka tanpa kunci."
Hong Beng mengerti. "Sumoi, kalau begitu, selagi kini ada kesempatan, ceritakanlah kepadaku semua pengalamanmu secara singkat saja. Bagaimana engkau yang katanya dahulu diculik seorang pendeta Lama, tahu-tahu dapat menjadi anak angkat dari murid Sin-kiam Mo-li."
Tadi ketika diusir pergi oleh gurunya, Hong Li memasuki kamarnya dan anak ini mulai memutar otaknya. Hatinya merasa tidak senang kepada subo-nya dan timbul rasa penasaran, heran dan juga curiga terhadap subo-nya yang menjamu tujuh orang tosu yang kelihatan begitu kurang ajar, kasar dan ganas. Apa lagi ketika ia teringat kepada Gu Hong Beng, orang yang bahkan menjadi utusan ayah ibunya untuk mencarinya, hatinya dipenuhi rasa khawatir.
Malam itu, diam-diam ia keluar dari tempat tidurnya kemudian melakukan pengintaian. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ia melihat Gu Hong Beng dikempit oleh seorang tosu kurus kering yang berjalan menuju ke lorong bawah tanah bersama subo-nya. Ia menanti sampai dua orang yang tertawa-tawa sambil bergandeng tangan itu keluar dari lorong bawah tanah.
Hong Li bersikap hati-hati sekali, tidak berani segera memasuki lorong itu karena dia khawatir kalau-kalau subo-nya akan kembali. Ia menanti sampai jauh malam. Setelah suasana sunyi, tidak nampak tiga orang gadis pelayan yang ia tidak tahu entah berada di mana, tidak nampak seorang pun di luar kamar, ia lalu menyelinap dan memasuki lorong bawah tanah melalui pintu rahasia yang sudah dikenalnya. Seperti yang sudah dikhawatirkannya, dia melihat pemuda itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat itu.
"Aku dulu memang diculik orang, suheng," Hong Li mulai bercerita. "Penculikku adalah seorang kakek bernama Ang I Lama. Akan tetapi, di tengah perjalanan, aku ditolong dan dilarikan oleh subo yang kemudian mengangkatku sebagai anak dan mengambil aku sebagai murid, setelah minta aku berjanji untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Karena aku merasa berhutang budi, maka aku pun berjanji dan aku menjadi muridnya sampai sekarang."
Hong Beng mengerutkan alisnya. Kalau begitu, benarlah bahwa wanita iblis itu bukan penculik Hong Li, bahkan penolongnya! Lalu ia pun teringat akan kematian Ang I Lama yang kemudian dikabarkan bahwa pembunuhnya adalah ayah ibu gadis remaja ini.
"Adik Hong Li, apakah engkau tahu apa yang selanjutnya terjadi dengan Ang I Lama, penculikmu itu?"
"Ah, dia telah datang ke sini untuk merampasku kembali, akan tetapi dalam perkelahian yang amat hebat, akhirnya dia terkena tusukan pedang subo dan dia melarikan diri, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya lagi."
Hong Beng mengangguk-angguk, kini mengerti bahwa pembunuh Ang I Lama adalah Sin-kiam Mo-li pula.
"Dengar, adik Hong Li, engkau telah terjatuh ke tangan orang yang amat jahat. Engkau tahu, orang yang menjadi gurumu itu bersekongkol dengan para tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, orang-orang yang amat jahat walau pun mereka berpakaian pendeta. Oleh karena itu sekarang engkau pergilah meninggalkan tempat ini. Selagi ada kesempatan, sumoi. Mereka semua sedang bersenang-senang dan engkau tentu akan mampu keluar dari daerah ini dengan selamat."
"Pergi? Tapi... ke mana...?" Gadis remaja itu memandang dengan mata terbelalak. "Aku tidak tahu jalan pulang..."
"Pergilah, ke mana saja asal tidak di sini. Perlahan-lahan engkau dapat mencari jalan pulang. Percayalah kepadaku, demi keselamatanmu, pergilah dari sini malam ini juga..."
"Akan tetapi engkau sendiri menjadi tawanan..."
"Jangan hiraukan aku, sumoi. Yang paling penting engkau harus bebas dari neraka ini sebelum terjadi hal yang lebih buruk atas dirimu. Aku akan menanti kesempatan dan berusaha menyelamatkan diri."
Akan tetapi gadis cilik itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, suheng. Aku tidak mungkin pergi dari sini meninggalkan subo."
"Ehhh? Kenapa tak mungkin?" Hong Beng memandang heran.
"Lupakah kau akan ceritaku tadi? Aku telah diselamatkan subo dari tangan penculikku dan aku sudah berjanji dengan sumpah untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Sebelum lewat waktu itu, tak mungkin aku pergi meninggalkannya."
"Akan tetapi, ia bukan orang baik-baik. Ia seorang yang jahat sekali, iblis betina yang kejam, ahh, engkau tidak dapat membayangkan betapa kejam dan jahatnya..."
Hong Beng bergidik membayangkan gadis cilik ini menjadi murid seorang wanita seperti Sin-kiam Mo-li. "Engkau pergilah dari sini!"
"Tidak, suheng, bagaimana pun juga aku tidak akan pergi, kecuali kalau subo yang menyuruh aku pergi atau... kalau subo sudah tidak ada lagi. Selama ia masih hidup dan tidak menyuruh aku pergi, aku tidak akan melanggar janji dan sumpahku sendiri!"
Hong Beng memandang kagum. Bagaimana pun juga, anak ini sungguh mengagumkan dan pantas menjadi puteri keluarga Kao, keturunan dari Pulau Es dan Gurun Pasir! Masih kecil namun sudah demikian gagah dan teguh memegang janji.
"Baiklah kalau begitu, pergilah keluar dari sini, sumoi, jangan sampai ketahuan orang lain bahwa engkau masuk ke sini."
"Nanti dulu, suheng, aku harus mencari akal bagaimana untuk dapat membebaskan engkau dari sini. Kalau engkau dapat keluar dari kamar ini, lalu aku mengantarkan kau keluar dari daerah kami, tentu kau akan selamat." Anak itu mengerutkan alisnya, berpikir mencari akal. Akan tetapi ia tidak dapat menemukan akal itu.
"Aihh..." ia mengeluh dan menggeleng kepala. "Satu-satunya jalan adalah mencuri kunci itu dari subo. Akan tetapi betapa mungkin kalau kunci itu selalu dikantonginya?"
“Memang tidak mungkin, murid murtad!" Tiba-tiba terdengar suara Sin-kiam Mo-li dan wanita itu telah berdiri di ambang pintu!
Hong Li membalikkan tubuhnya menghadapi subo-nya, sedikit pun tidak nampak takut! Bukan kebetulan saja Sin-kiam Mo-li memasuki lorong bawah tanah itu.
Tadi sebagai pengganti Hong Beng yang menolaknya ia mengajak Thian Kek Sengjin ke dalam kamarnya. Tetapi ia sama sekali tidak memperoleh kepuasan atau kesenangan bersama tosu ini, bahkan ia merasa muak dan akhirnya ia menyuruh tosu itu pindah ke kamarnya sendiri dengan alasan bahwa kepalanya pusing dan ia mau istirahat dan tidur sendiri.
Dengan sikap penuh kemenangan Thian Kek Sengjin lalu meninggalkan kamar nyonya rumah itu, tidak merasa bahwa sebenarnya dia telah diusir oleh wanita cantik itu karena sikap Sin-kiam Mo-li yang halus. Setelah tosu itu pergi, Sin-kiam Mo-li gelisah tidak mampu pulas karena ia masih teringat kepada Hong Beng dan merasa penasaran.
Akhirnya, ia tidak tahan lagi dan keluar dari kamarnya, memasuki lorong bawah tanah dan ia mendengar ucapan terakhir dari muridnya. Tentu saja ia marah sekali melihat muridnya berada di situ dan bercakap-cakap dengan tawanannya, apa lagi mendengar ucapan terakhir muridnya yang menyatakan ingin mencuri kunci kamar tahanan itu.
Akan tetapi, Hong Li menghadapi subo-nya dan sinar mata anak ini sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Ia menentang mata subo-nya yang mencorong itu dengan membuka matanya lebar-lebar penuh rasa penasaran.
"Subo, kenapa subo menangkap suheng-ku? Suheng Gu Hong Beng ini adalah murid dari pamanku, dan dia datang ke sini karena hendak mencari aku yang hilang diculik orang. Subo harus membebaskan dia agar dapat melapor kepada ayah ibuku bahwa aku berada dalam keadaan selamat dan menjadi murid subo di sini!"
Sin-kiam Mo-li memandang dengan muka merah. Dalam keadaan biasa, tentu ia pun merasa kagum melihat keberanian muridnya. Akan tetapi ia sedang kecewa dan marah karena penolakan Hong Beng, maka kini ia menjadi marah sekali.
"Bocah setan! Engkau malah hendak membela musuh? Dia melanggar daerahku tanpa ijin, bahkan telah menentang orang-orangku. Dan engkau malah hendak mencuri kunci membebaskannya. Anak tak mengenal budi kau!"
Tiba-tiba tangannya menyambar dan biar pun Hong Li berusaha mengelak, tahu-tahu lengannya telah dapat ditangkap dan Sin-kiam Mo-li menyeretnya dan melemparkannya ke dalam kamar tahanan kosong di sebelah kamar tahanan Hong Beng itu, kemudian mengunci pintunya dari luar.
"Nah, kalau engkau berpihak kepada musuh, berarti engkau memusuhi aku dan menjadi anak angkat dan murid yang durhaka dan murtad. Biarlah engkau merasakan hukuman selama beberapa hari di situ!" Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li meninggalkan lorong itu. Keinginannya untuk kembali membujuk Hong Beng telah menjadi hilang oleh kemarahannya terhadap Hong Li.
"Ahh, sungguh celaka. Aku tidak mampu menolongmu, bahkan aku yang membuatmu dimarahi subo-mu dan sekarang engkau pun ditangkap dan dihukum," kata Hong Beng dengan hati menyesal bukan main.
Bagaimana dia tidak akan menyesal? Tadinya, biar pun menjadi murid iblis betina, Hong Li hidup bebas dan gembira. Setelah dia datang dengan usahanya membebaskan Hong Li, dia sendiri tertangkap dan gadis cilik ini ditawan pula karena dia!
"Sudahlah, suheng tidak perlu menyesal dan mengeluh. Aku malah ingin melihat apa yang akan dilakukan subo terhadap diriku, supaya aku memperoleh keyakinan orang macam apa adanya subo dan bagaimana perasaan hatinya terhadap diriku."
"Hemm, engkau tidak tahu, sumoi. Subo-mu itu adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nionio, seorang di antara tokoh-tokoh pemberontak jahat yang tewas di tangan para pendekar termasuk keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir! Kurasa ia tak bermaksud baik terhadap dirimu, karena ia adalah musuh besar dari para pendekar."
"Akan tetapi buktinya ia selalu bersikap baik kepadaku, dan baru sekarang ia marah kepadaku. Hal ini pun karena kesalahanku sendiri. Biarlah, aku akan melihat bagaimana sikapnya selanjutnya."
Dan anak yang berhati tabah sekali ini lalu dengan tenang saja merebahkan diri di atas lantai dingin dan memejamkan matanya! Melihat ini, Hong Beng semakin kagum. Dia pun lalu duduk bersila untuk bersemedhi, mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun juga.
"Sin-kiam Mo-li...! Aku Bi-kwi murid Sam Kwi datang berkunjung. Keluarlah dan temui aku karena aku tidak ingin melanggar daerahmu!"
Wanita itu adalah Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi, wanita yang cantik. Berbeda dari hari-hari kemarin semenjak ia menjadi isteri Yo Jin, kini ia kembali seperti sebelum itu, seperti pada saat ia masih menjadi Bi-kwi yang sesat dan jahat. Kini ia mengenakan pakaian mewah sehingga membuat dirinya semakin cantik, apa lagi ia menambah pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Sebatang pedang tergantung di punggungnya.
Ini merupakan siasat yang telah diaturnya bersama Sim Houw dan Bi Lan. Untuk dapat mendekati Sin-kiam Mo-li dan menyelidiki apakah puteri keluarga Kao benar berada di situ, ia harus kembali menjadi Bi kwi murid Sam Kwi yang jahat, seorang tokoh dunia sesat yang ditakuti orang.
Sekarang ia berdiri di luar hutan pertama dari daerah tempat tinggal Sin-kiam Mo-li dan beberapa kali ia mengeluarkan seruan itu dengan teriakan melengking nyaring karena didorong oleh tenaga khikang. Ia harus pandai bersandiwara, apa lagi di tempat itu terdapat para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang pernah bermusuhan dengannya karena ia membela Yo Jin.
Baru tiga kali ia mengulangi teriakannya, muncullah seorang gadis berpakaian serba hitam yang berwajah manis dan bersikap genit. Gadis ini adalah Hek Nio, seorang di antara tiga gadis pelayan Sin-kiam Mo-li. Ia diberi tugas untuk turun menyambut tamu itu.
Ketika Sin-kiam Mo-li mendengar suara itu, ia teringat bahwa mendiang ibu angkatnya memang bekerja sama dengan Sam Kwi, tiga orang datuk sesat yang terkenal. Karena nama Bi-kwi juga sudah sangat terkenal di dunia kaum sesat, maka Sin-kiam Mo-li menganggapnya sebagai teman segolongan dan ia pun mengutus Hek Nio untuk keluar menyambut, sedangkan Ang Nio dan Pek Nio sibuk bekerja di dapur setelah mereka bertiga semalam suntuk melayani tujuh orang tosu yang tak mengenal lelah itu.
Melihat munculnya Hek Nio, Bi-kwi cepat maju menghampiri dan memberi hormat yang dibalas Hek Nio dengan hormat pula karena pelayan ini pun sudah pernah mendengar akan nama Bi-kwi yang lihai. Ia belum pernah bertemu dengan Bi-kwi, juga majikannya belum, akan tetapi tadi ia telah diberi tahu akan ciri-ciri Bi-kwi oleh Sin-kiam Mo-li yang sudah mendengar pula tentang keadaan diri Bi -kwi.
"Benarkah saya berhadapan dengan Setan Cantik (Bi-kwi) Ciong Siu Kwi?" Hek Nio berkata, sikapnya tetap menghormat.
"Benar, akan tetapi aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li sendiri, bukan orang lain," kata Bi-kwi hati-hati. Dia sengaja memperlihatkan sikap angkuh, seperti sikapnya dahulu sebelum ia menjadi nyonya Yo Jin.
Hek Nio menjura. "Maafkan, saya adalah pelayan bernama Hek Nio yang diutus oleh majikan saya untuk menyambut tamu. Akan tetapi, bagaimana saya dapat yakin bahwa engkau adalah benar Bi-kwi Ciong Siu Kwi? Kata majikan saya, kalau bukan Bi-kwi yang sesungguhnya, tidak boleh masuk."
"Huh, apakah Sin-kiam Mo-li begitu bodoh sehingga tidak mengenal mana orang asli dan mana palsu? Mau bukti? Nah, inilah buktinya!"
Tiba-tiba saja, secepat kilat menyambar, tubuh Bi-kwi sudah bergerak ke depan, akan tetapi yang meluncur maju hanya tangannya saja, sedangkan tubuhnya tetap di tempat. Jarak antara ia dan pelayan itu ada satu setengah meter, tetapi lengannya dapat mulur dan tahu-tahu tangan itu telah mencengkeram tengkuk pelayan itu dan mengangkatnya lalu melemparkannya ke atas!
Tentu saja Hek Nio terkejut setengah mati. Ia pun seorang yang sudah memperoleh latihan yang cukup lihai. Pada saat tangan Bi-kwi tadi bergerak ke depan, ia membuat perhitungan bahwa tangan itu tidak akan mencapai dirinya. Akan tetapi siapa kira bahwa lengan itu dapat mulur dan tahu-tahu tengkuknya ditangkap dan tubuhnya dilempar ke atas. Ia segera berjungkir balik dan dapat turun lagi di atas tanah dengan baik sehingga Bi-kwi mengangguk-angguk.
"Pelayan Sin-kiam Mo-li boleh juga!" katanya.
Kini Hek Nio tidak berani main-main lagi. Semua tanda-tanda yang diberikan majikannya memang cocok dengan keadaan tamu ini. Maka dia pun memberi hormat lagi sambil berkata, "Marilah, toanio. Majikan kami telah menanti di ruangan tamu," katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah ke depan.
Bi-kwi tersenyum mendengar dirinya disebut nyonya besar, dan ia pun mengikuti Hek Nio, akan tetapi dengan hati-hati dan menjaga agar ia selalu menginjak tanah bekas injakan pelayan itu. Di sepanjang perjalanan ini ia membuat cacatan dalam hatinya agar hafal akan jalan-jalan di tempat penuh rahasia itu. Karena ia memang seorang yang amat cerdik, ia sudah dapat membuat peta di dalam ingatannya, dan tahulah ia bahwa rahasia tempat itu berdasarkan hitungan pat-kwa sehingga lebih mudah untuk mengenal rahasianya.
Ketika ia dibawa masuk ke dalam rumah sampai ke ruangan tamu, di situ telah menanti Sin-kiam Mo-li dan tujuh orang tosu. Dua di antara mereka amat dikenalnya, yaitu Ok Cin Cu tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-pai!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bi-kwi pernah bentrok dengan dua orang tosu ini ketika memperebutkan Yo Jin yang ditawan oleh dua tosu itu. Dengan sikap tenang, senyum manis di mulut, Bi-kwi berjalan memasuki ruangan tamu dan langsung saja ia menghampiri Sin-kiam Mo-li yang duduk tegak dengan sikap angkuh. Pandang matanya tajam penuh selidik mengamati wajah Bi-kwi yang cantik.
Bi-kwi segera menjura ke arah Sin-kiam Mo-li dan berkata dengan sikap ramah sekali, "Benarkah aku berhadapan dengan Sin-kiam Mo-li yang terkenal itu? Sungguh sangat mengagumkan, ternyata lebih cantik dari pada yang pernah kudengar!"
Senang juga hati Sin-kiam Mo-li mendapatkan pujian ini dan ia pun bangkit berdiri, mempersilakan duduk sambil berkata, "Kiranya engkau yang berjuluk Bi-kwi? Memang julukan yang pantas, engkau cantik dan engkau cerdik, tentu juga pandai seperti setan!"
Bi-kwi tertawa. "Aih, Sin-kiam Mo-li sungguh pandai memuji, membikin aku merasa malu saja."
"Siancai...! Murid tercinta dari Sam Kwi tentu saja pandai!" tiba-tiba Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai berkata sambil tertawa. "Sebelum mati, tentu ketiga Sam Kwi juga telah mewariskan semua ilmu kepandaiannya kepada murid mereka yang sangat tercinta!"
Kakek ini memberi penekanan kepada kata ‘tercinta’ dan para tosu yang berada di situ tertawa, karena mereka semua sudah mendengar bahwa selain menjadi murid Sam Kwi, Bi-kwi juga menjadi kekasih mereka. Akan tetapi hal seperti ini dianggap tidak aneh oleh kaum sesat, maka dengan sikap enak saja, tanpa malu-malu atau kikuk, Bi-kwi menatap wajah kakek itu dengan tersenyum mengejek.
"Apa salahnya? Kalau kedua pihak sudah saling setuju, cinta boleh dimainkan oleh siapa saja, bukan? Tidak benar demikiankah, Mo-li?"
"Hi-hi-hik, sekali ini Thian Kong Cinjin termakan pertanyaannya sendiri yang usil," kata Sin-kiam Mo-li, senang dan merasa cocok dengan Bi-kwi.
"Akan tetapi nanti dulu! Jangan kita terlalu percaya kepada wanita ini!" Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata dengan lantang sambil bangkit berdiri dari bangkunya, memandang kepada Bi-kwi.
"Harap kalian semua ketahui bahwa pinto berdua Thian Kek Sengjin, pernah bentrok dengan Bi-kwi, dan dalam bentrokan itu, dia bekerja sama dengan seorang pendekar! Jangan-jangan kedatangannya ini adalah sebagai mata-mata dari para pendekar yang mengutusnya!"
Semua orang terkejut dan Sin-kiam Mo-li juga bangkit, meraba gagang pedang di punggungnya sambil memandang kepada Bi-kwi dan membentak, "Keparat! Benarkah itu, Bi-kwi?"
Bi-kwi memang sudah memperhitungkan serangan yang datang dari dua orang tosu itu sebelum ia datang ke tempat ini, maka ia pun bersikap tenang saja, malah tersenyum mengejek tanpa bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, kemudian menghadapi Sin-kiam Mo-li.
"Tidak kusangkal bahwa memang pernah aku bentrok dengan dua orang tua bangka tak tahu malu ini, akan tetapi sayang tosu Ok Cin Cu yang terhormat ini sama sekali tidak menceritakan sebab bentrokan. Nah, Mo-li, aku mau bercerita, dan dua orang tosu tua bangka boleh mendengarkan dan membantah kalau ceritaku behong."
Sin-kiam Mo-li mulai bimbang dan kecurigaannya menipis melihat sikap Bi-kwi yang demikian tenang. Orang yang mengandung niat buruk tidak mungkin dapat setenang itu. "Ceritakanlah sebenarnya!"
"Begini, Mo-li. Pada suatu hari aku mendapatkan seorang kekasih baru yang sangat kucinta. Akan tetapi pemuda kekasihku itu karena suatu percekcokan, telah ditawan orang yang dibantu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin! Nah, karena aku harus membebaskan kekasihku itu, maka terjadi bentrok antara aku dan mereka berdua sehingga terjadi perkelahian. Engkau tentu tahu sendiri bagaimana sakitnya rasa hati kalau kekasih diganggu orang, Mo-li. Apakah engkau pun tidak akan menjadi marah kalau kekasihmu yang baru saja kau peroleh dan sangat kau cinta, diganggu orang?"
Sin-kiam Mo-li mengangguk-angguk membenarkan. "Akan tetapi, bagaimana kau dapat bekerja sama dengan orang dari golongan pendekar? Benarkah itu?"
"Itu pun ada ceritanya. Biar Ok Cin Cu melanjutkan keterangannya yang bermaksud melemparkan fitnah tadi. Ok Cin Cu, siapakah pendekar yang kau maksudkan bekerja sama dengan aku itu?"
"Ha-ha-ha, jangan pura-pura menyangkal, manis. Dia adalah Pendekar Suling Naga!"
"Ahhhh...!"
Sin-kiam Mo-li terkejut karena dia pun sudah mendengar akan kehebatan pendekar ini yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Dengan alis berkerut dan mata mengandung kecurigaan ia memandang kembali kepada Bi-kwi.
"Benarkah engkau telah bekerja sama dengan Pendekar Suling Naga dalam bentrokan melawan kedua orang totiang ini, Bi-kwi?"
Bi-kwi masih tetap tenang dan tersenyum simpul mengandung ejekan kepada dua orang tosu itu.
"Tidak kusangkal, tapi hal itu pun ada penjelasannya. Biarlah kulanjutkan ceritaku, Mo-li, dan juga para totiang yang lain agar mendengarkan dan mempertimbangkan secara adil…"
Bi-kwi berhenti sebentar, dan kepada para tosu yang hadir dia memandang bergantian dengan sinar mata bercahaya terang dan senyuman manis sehingga di luar kesadaran mereka, para tosu yang terpesona oleh kecantikan wanita ini mengangguk.
"Sudah kuceritakan tadi betapa kekasih baruku ditawan oleh mereka berdua. Aku lalu berusaha untuk membebaskan kekasihku itu sehingga terjadi bentrokan di antara kami. Kemudian, Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin menemui aku dan mengajukan usul, yaitu Thian Kek Sengjin minta kepadaku untuk membantu mereka berdua untuk menyerang dan melawan seorang pendekar keluarga Pulau Es yang bernama Suma Ciang Bun.
Dan aku sudah memenuhi permintaan itu sampai akhirnya kami bertiga berhasil melukai pendekar itu sehingga ia melarikan diri. Hei, Thian Kek Sengjin, tidak benarkah ceritaku ini? Tidak benarkah bahwa aku telah membantu kalian menyerang Suma Ciang Bun dan melukainya?"Thian Kek Sengjin tidak dapat membantah dan dia pun mengangguk.
"Nah, begitu baru laki-laki jujur," kata Bi-kwi.
Ceritanya bahwa ia membantu mereka mengalahkan pendekar keluarga Pulau Es telah mendatangkan kesan baik dalam hati Sin-kiam Mo-li.
"Selain Thian Kek Sengjin, juga Ok Cin Cu minta kepadaku untuk mau melayani nafsu birahinya semalam suntuk. Kalau aku memenuhi kedua permintaan itu, barulah mereka akan membebaskan kekasihku itu. Dan permintaan Ok Cin Cu itu pun telah kupenuhi dengan hati rela. Hei, Ok Cin Cu, bukankah aku telah melayani dan tidur bersamamu selama semalam suntuk?"
Ok Cin Cu bersungut-sungut. "Tidak ada bedanya tidur ditemani sesosok mayat!"
"Tentu saja, aku tidak cinta padamu dan hatiku sedang kesal karena kalian menawan kekasihku, mana mungkin aku bersikap hangat?" Bi-kwi tertawa dan Sin-kiam Mo-li juga tersenyum.
Melihat bentuk tubuh Ok Cin Cu yang perutnya gendut sekali itu, mukanya pucat kuning dan rambutnya yang putih riap-riapan, wanita mana yang akan timbul seleranya ketika berdekatan dengan dia?
"Nah, aku telah memenuhi permintaan mereka berdua, membantu mereka mengalahkan keluarga pendekar Pulau Es dan melayani Ok Cin Cu semalam suntuk, akan tetapi apa yang mereka lakukan? Mereka tidak mau membebaskan kekasihku, bahkan menyerang dan hendak membunuh aku!"
"Hemmm...!" Sin-kiam Mo-li melirik ke arah kedua orang tosu itu yang diam saja tak dapat membantah.
"Karena aku tidak mampu mengalahkan pengeroyokan mereka dan juga tidak berhasil membebaskan kekasihku, aku berduka sekali. Kebetulan saat itu aku bertemu dengan sumoi-ku, murid ke dua dari Sam Kwi yaitu Siauw-kwi. Nah, pada waktu itu Siauw-kwi sedang berpacaran dengan Pendekar Suling Naga. Mendengar kesulitanku ini, sumoi Siauw-kwi lalu membantuku dan pacarnya, yaitu Pendekar Suling Naga, membantu pula sehingga akhirnya aku berhasil membebaskan kekasih baruku itu. Nah, apakah hal itu berarti aku bekerja sama dengan seorang pendekar untuk menentang kedua orang tosu ini? Pertemuanku dengan dia hanya kebetulan saja dan pendekar itu tidak membantuku, melainkan membantu sumoi-ku Siauw-kwi yang menjadi pacarnya."
Sin-kiam Mo-li menarik napas lega, lalu menoleh kepada Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin. "Benarkah keterangannya itu, ji-wi totiang?"
"Benar, akan tetapi sumoi-nya yang berjuluk Siauw-kwi dan bernama Can Bi Lan itu sudah bergabung dengan para pendekar!" kata Ok Cin Cu, masih bersungut-sungut karena diam-diam dia merasa jengkel bila mengenang betapa wanita cantik ini pernah melayaninya dengan dingin seperti mayat.
"Memang ada perbedaan antara aku dengan Siauw-kwi. Dia condong bekerja sama dengan para pendekar karena dia tergila-gila kepada Pendekar Suling Naga, bahkan ketika terjadi pertempuran antara kelompok yang dipimpin oleh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio, dengan kelompok para pendekar, ia pun membantu para pendekar, bahkan bentrok dan berkelahi dengan aku sendiri! Akan tetapi, ketika ia melihat aku berduka karena kehilangan kekasih baruku, ia kemudian membantu dan karena aku ingin sekali mendapatkan kekasihku yang tertawan, tentu saja bantuannya kuterima. Harapanku untuk menyelamatkan kekasihku habis ketika dua orang tosu ini melanggar janji dan menipuku!"
Sin-kiam Mo-li percaya akan keterangan Bi-kwi karena dua orang tosu itu sama sekali tidak membantah. Akan tetapi, hatinya masih merasa tidak senang mendengar betapa Bi-kwi pernah dibantu oleh Pendekar Suling Naga, musuh besarnya karena di dalam pertempuran itu, yang membunuh ibu angkatnya, Kim Hwa Nionio, adalah Pendekar Suling Naga itulah!
"Bi-kwi, apakah semenjak itu engkau tidak pernah lagi berhubungan dengan Pendekar Suling Naga?"
"Huh, untuk apa berhubungan dengan dia? Bertemu pun aku tidak pernah! Sebelum dia membantu Siauw-kwi yang membantuku, pendekar itu dan semua temannya adalah musuh-musuh besarku. Sampai sekarang pun, para pendekar adalah musuh besarku!"
"Ha-ha-ha, pendekar mana, Bi-kwi? Coba sebutkan!" kata Thian Kek Sengjin.
"Tosu bau, pendekar mana lagi kalau bukan keturunan keluarga Pulau Es? Engkau kan telah melihat dengan kedua matamu sendiri betapa aku membantu kalian mengalahkan dan melukai Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es!"
Sikap Bi-kwi yang amat membenci Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin ini memang tidak mengherankan yang lain karena tentu Bi-kwi masih mendendam oleh pelanggaran janji dan penipuan itu.
"Bi-kwi, siapakah kekasihmu itu dan di mana dia sekarang?" Sin-kiam Mo-li bertanya, tertarik melihat betapa seorang seperti Bi-kwi yang terkenal mempunyai kesukaan yang sama dengannya, dapat membela seorang kekasih seperti itu.
Bi-kwi tersenyum lebar. "Aihhh, Mo-li, seperti tidak tahu saja. Mana aku dapat tahan bersama seorang kekasih lebih dari tiga bulan? Aku sudah bosan dan sudah lama dia kusingkirkan."
Kemudian, agar tidak harus melalui ujian dengan pria lain, apa lagi dengan tosu-tosu buruk di situ yang memandang kepadanya seperti segerombolan bandot melihat rumput muda, ia pun menyambung, "Terus terang saja, Mo-li, sudah beberapa lamanya aku menjauhkan diri dari laki-laki. Aku sudah muak dengan mereka dan sebagai gantinya, aku lebih mendekatkan diriku dengan sesama wanita."
"Ehhh...?!" Sin-kiam Mo-li membelalakkan matanya memandang rekannya itu. "Apa... apa maksudmu?"
Terdengar Ok Cin Cu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, pantas saja ketika melayani aku, kau begitu dingin! Tidak tahunya kau sudah mengubah kesukaanmu, Bi-kwi. Mo-li, agaknya dalam hal kesenangan dunia, biar pun engkau lebih lihai dari Bi-kwi, akan tetapi kalah pengalaman. Sekarang Bi-kwi sudah menjadi seorang pencinta kaumnya sendiri, suka berhubungan dengan sesama wanita, seperti juga beberapa orang di antara kami lebih suka berdekatan dengan pria-pria muda remaja dari pada dengan gadis-gadis."
Sin-kiam Mo-li belum pernah mendengar akan hal yang dianggapnya aneh sekali itu, maka dia hanya bengong. Memang pengakuan Bi-kwi bahwa dia sekarang tidak suka kepada pria melainkan suka berdekatan wanita merupakan satu di antara siasatnya.
Ia sedang menyelidiki lenyapnya puteri keluarga Kao, seorang gadis remaja berusia tiga belas tahun, dan sudah mengenal pula orang macam apa adanya Sin-kiam Mo-li. Kalau ia mengaku sebagai orang yang suka menggauli sesama wanita, maka apabila benar-benar Kao Hong Li berada di situ dan masih hidup, lebih banyak kesempatan baginya untuk mendekatinya tanpa dicurigainya! Dan ia memiliki alasan untuk mendekati gadis remaja itu.
"Wah, aneh sekali! Apa senangnya... dengan sesama wanita?" berkata Sin-kiam Mo-li tanpa malu-malu, sedangkan para tosu itu hanya tertawa-tawa saja.
"Ah, engkau belum tahu, Mo-li. Kalau engkau sudah merasakan senangnya, engkau pun akan sependapat dengan aku, tidak lagi suka kepada laki-laki yang memuakkan."
Suasana menjadi gembira dan legalah hati Bi-kwi karena kini sikap mereka itu ramah dan senang, seolah-olah ia telah diterima di antara mereka dan tidak lagi dicurigai. Akan tetapi, tiba-tiba Ok Cin Cu yang cerdik berkata kepada Sin-kiam Mo-li.
"Mo-li, kalau kawan kita Bi-kwi ini sedemikian membenci pendekar keluarga Pulau Es, bahkan kini membenci pria pula, kenapa tidak suruh dia saja membunuh tikus itu?"
Hati Ok Cin Cu masih penuh dengan kebencian dan dendam kepada Hong Beng karena memang pemuda itu musuh besarnya, terutama sekali melihat betapa nyonya rumah agaknya tergila-gila pada pemuda itu.
Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Usul yang baik, pikirnya. Inilah bukti yang paling baik untuk melihat apakah benar Bi-kwi datang dengan iktikad baik ataukah menyimpan rahasia dan menjadi kaki tangan musuh.
"Hemm, baik juga. Pemuda itu sudah berani menolakku, dan berkeras kepala. Memang sebaiknya kalau Bi-kwi yang membunuhnya, akan tetapi tidak sekarang. Yang paling perlu sekarang aku ingin bertanya kepadamu, Bi-kwi. Apakah maksud kunjunganmu yang tiba-tiba ini?" Berkata demikian, sepasang mata yang mencorong itu ditujukan kepada wajah Bi-kwi dengan penuh selidik.
Bi-kwi tadi sudah terkejut setengah mati bahwa ia akan diserahi tugas membunuh seorang pemuda. Tetapi diam-diam ia mencatat kata-kata lanjutan dari Sin-kiam Mo-li yang menyatakan betapa pemuda itu telah menolaknya! Hal ini berarti bahwa Sin-kiam Mo-li jatuh hati kepada pemuda itu, entah siapa dan pemuda itu telah menolak cintanya!
Kini ditanya oleh Sin-kiam Mo-li tentang maksud kedatangannya, ia menjawab dengan lancar dan tenang karena memang sebelumnya sudah diatur terlebih dahulu sebagai siasatnya.
"Mo-li, seperti engkau ketahui juga, tiga orang guruku..."
"Juga kekasihnya... heh-heh-heh..." Ok Cin Cu mengejek.
"Benar, juga kekasihku, mereka sudah tewas oleh para pendekar. Akan tetapi, para pendekar keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu semuanya demikian lihai sehingga seorang diri saja, apakah dayaku? Aku ingin sekali membalas dendam, namun tahu akan kelemahan diri sendiri. Oleh karena itu, aku lalu teringat kepadamu, Mo-li. Bukankah engkau murid dari mendiang Kim Hwa Nionio, bahkan kabarnya juga anak angkatnya? Nah, Kim Hwa Nionio juga tewas dalam pertempuran itu. Aku yakin bahwa engkau tentu juga menaruh dendam. Karena musuh-musuh kita sama, maka kurasa alangkah baiknya kalau kita bergabung untuk menghadapi mereka. Karena itulah aku datang ke sini, Mo-li."
Sin-kiam Mo-li mengangguk-angguk sambil memandang kepada ketujuh orang tosu itu. "Dan bagaimana pendapat kalian, para totiang? Aku sendiri setuju untuk menerimanya sebagai sekutu karena Bi-kwi adalah tenaga yang sangat baik, hal ini sudah banyak kudengar."
Para tosu itu lalu saling pandang dan dari pandang mata mereka, mereka pun setuju dan senang kalau menerima bantuan seorang seperti Bi-kwi.
"Akan tetapi, tidak mudah untuk bekerja sama dengan kami, Mo-li. Kepada dirimu, kami sudah percaya sepenuhnya. Akan tetapi kalau Bi-kwi ingin bekerja sama dengan kita, sebaiknya kalau ia memenuhi beberapa syarat terlebih dulu," kata Ok Cin Cu.
Bi-kwi menjebikan bibirnya memandang kepada Ok Cin Cu. Di dalam kehidupan para tokoh sesat, memang tidak banyak dipergunakan tata susila dan sopan santun, sudah biasa mereka itu mengemukakan perasaan hatinya secara terbuka, bahkan perasaan tidak senang pun tidak disembunyikan.
"Ok Cin Cu, tosu tua bangka yang bau! Kalau syarat itu kau yang mengajukan aku tidak akan sudi karena engkau pasti akan menipuku lagi! Biarlah syaratnya ditentukan oleh Sin-kiam Mo-li. Tentu saja kalau aku disuruh melayani laki-laki, betapa pun muda dan gantengnya, aku berkeberatan karena aku sudah tidak dapat lagi melayani pria setelah aku lebih suka berdekatan dengan wanita. Apa lagi disuruh melayani kalian ini, terutama sekali engkau, Ok Cin Cu. Aku tidak sudi! Nah, syarat apa yang diajukan agar kalian percaya kepadaku?"
Biar pun di luarnya Bi-kwi bersikap tenang dan menantang, namun jantungnya berdebar penuh ketegangan karena maklum bahwa ia tentu takkan mampu melakukan perbuatan yang jahat dan kejam, yang berlawanan dengan suara hatinya yang sudah berubah sama sekali itu. Ia dapat menyamar sebagai tokoh sesat, karena hal itu hanya lahiriah saja. Akan tetapi betapa mungkin batinnya dapat berubah menjadi jahat kembali? Lebih baik mati!
"Mo-li, tidak ada bukti yang lebih baik dari pada menyuruh ia membunuh pendekar yang menjadi tawananmu itu. Kalau ia mau membunuhnya, barulah kami percaya padanya," kata Ok Cin Cu dengan marah karena ucapan Bi-kwi tadi menyinggung harga dirinya sebagai seorang pria.
Sin-kiam Mo-li mengangguk. "Bukti itu pun baik sekali. Bi-kwi, mari ikut bersamaku!"
Bi-kwi menahan guncangan hatinya dan dengan sikap dibuat tenang ia pun mengikuti Sin-kiam Mo-li, diikuti pandang mata dan tawa ketujuh orang tosu itu. Sin-kiam Mo-li membawa Bi-kwi menuruni lorong di bawah tanah.
"Hemm, menjemukan sekali tosu-tosu tua bangka itu!" Bi-kwi mengomel. "Mereka masih tidak mau percaya bahwa aku adalah musuh besar keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Padahal, tiga orang guruku tewas di tangan para pendekar itu. Berilah orang-orang dari keluarga itu kepadaku dan akan kubunuh semua mereka!"
Sin-kiam Mo-li tiba-tiba menghentikan langkahnya di jalan tangga yang menuruni lorong itu. "Ketahuilah bahwa aku memiliki dua orang tawanan dan keduanya adalah anggota keluarga dan murid dari para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir."
"Ahh...! Benarkah itu, Mo-li? Siapakah mereka?" tanya Bi-kwi terkejut bukan dibuat-buat.
Sin-kiam Mo-li tersenyum bangga akan hasil pekerjaannya. "Pertama-tama, aku sudah berhasil menculik puteri keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir."
"Benarkah? Hebat! Siapa ia?" Bi-kwi pura-pura bertanya padahal jantungnya berdebar tegang karena ternyata dugaan Bi Lan dan Sim Houw benar. Perempuan iblis inilah yang telah menculik Kao Hong Li itu.
"Ia benama Kao Hong Li, puteri dari pendekar Kao Cin Liong keturunan Gurun Pasir dan Suma Hui keturunan Pulau Es. Akan tetapi tak seorang pun yang menyangka padaku, dan baru-baru ini malah kukirim potongan rambutnya dan hiasan rambutnya kepada keluarga Kao yang mengadakan pesta ulang tahun!"
"Ihhh! Jadi engkaukah yang melakukan hal itu, yang melempar fitnah kepadaku?" Bi-kwi berseru kaget sekali, dan diam-diam ia waspada.
Kalau wanita ini yang melakukan penukaran bingkisan di dalam pesta ulang tahun Kao Cin Liong itu, berarti Mo-li sudah tahu akan kehadirannya dan tentu menaruh curiga akan hubungannya yang baik dengan para pendekar!
"He-he-he, kau kira aku begitu bodoh untuk pergi sendiri ke sana? Ketika mendengar bahwa Kao Cin Liong mengadakan pesta ulang tahunnya, aku lalu mengirimkan dua benda itu untuk membuat mereka gelisah dan berduka. Aku lalu menyuruh seorang teman yang boleh dipercaya untuk mengirim sumbangan itu tanpa dapat diketahui siapa pengirimnya. Dia adalah Sai-cu Sin-touw (Copet Sakti Kepala Singa), seorang kawan baik yang ahli untuk mencuri atau mencopet dengan kecepatan luar biasa. Dan dia sendiri pun membenci para pendekar karena sering kali dia bentrok dengan mereka dan pernah beberapa kali dihajar."
"Ahhh...!" Bi-kwi bernapas lega.
Tahulah dia kini siapa orang brewok yang menurut para pelayan dalam pesta sudah masuk ke dalam dapur pura-pura mabok, kemudian menaruh racun dalam arak. Kiranya dia itu adalah Sai-cu Sin-touw, kaki tangan Sin-kiam Mo-li. Pantas saja dapat menukar bingkisannya tanpa ada yang mengetahuinya, karena dia memang ahli copet sesuai dengan julukannya.
"Dalam satu atau dua hari ini tentu dia akan segera kembali dan ingin aku mendengar laporannya, hi-hi-hik!"
Celaka, pikir Bi-kwi. Sekarang ia harus mengubah sikapnya, tidak mungkin lagi ia dapat berpura-pura tidak tahu akan penculikan itu.
"Aihh, kiranya dia itu orangmu!" katanya lagi dengan sikap kaget sekali dan memandang pada nyonya rumah dengan mata terbelalak. "Sungguh suatu hal yang amat kebetulan sekali. Apakah barangkali engkau pula yang menyuruh Sai-cu Sin-touw itu melempar fitnah kepadaku?"
Sin-kiam Mo-li memandang tajam. "Dua kali engkau mengatakan melempar fitnah. Apa maksudmu?"
"Ketahuilah, Mo-li. Kao Cin Liong mengirim undangan dan membolehkan siapa saja mendatangi ulang tahunnya. Aku mendengar akan hal itu dan aku ingin sekali tahu apa yang terjadi dan ingin pula melihat-lihat keadaan semenjak tiga orang suhu-ku tewas. Maka aku nekat mendatangi pesta itu. Dan terjadilah fitnah itu. Orangmu itu telah menukar bingkisanku dengan bungkusan terisi rambut dan hiasan rambut itu. Dan tentu saja akulah yang dituduh menculik puteri mereka dan mereka menyerangku!"
"Ehh?! He-he-he, sungguh lucu. Aku belum tahu akan hal itu karena Sin-touw belum kembali. Akan tetapi usahanya itu baik pula karena dia hendak mengacaukan pesta itu, dan karena iseng, dan karena tahu pula bahwa engkau musuh adalah mereka, maka dia sengaja menukar bingkisan itu. Hi-hi-hik, sungguh lucu."
"Memang dia telah berhasil mengacaukan pesta dengan menaburkan racun ke dalam arak. Lagi-lagi aku yang menjadi pelampiasan amarah mereka. Tentu saja aku terpaksa melarikan diri menghadapi demikian banyaknya pendekar yang marah kepadaku. Dan aku pun lalu lari ke sini untuk berlindung dan bersekutu denganmu."
Sin-kiam Mo-li terkekeh geli, sedikit pun tidak menaruh curiga kepada Bi-kwi karena wanita ini demikian berterus terang dan tidak nampak khawatir sama sekali. Kalau nanti utusannya itu pulang, tentu ia akan mendengar laporannya dan dia akan tahu apakah Bi-kwi membohong ataukah tidak.
"Ahh, sungguh lucu sekali. Sai-cu Sin-touw memang pandai berulah. Kalau dia pulang aku akan memberi banyak hadiah kepadanya."
"Akan tetapi mengapa engkau repot-repot menahan anak itu dan tidak kau bunuh saja?" Bi-kwi bertanya, sengaja ia bertanya dengan sikap kejam untuk memperlihatkan betapa bencinya ia kepada keluarga para pendekar itu.
"Aku amat suka kepadanya. Ia anak manis dan berbakat. Dan aku menculiknya dengan menyamar sebagai Ang I Lama sehingga aku muncul sebagai penolong bagi anak itu. Maka aku lalu mengambil ia sebagai muridku, supaya aku dapat lebih lama menikmati kemenangan ini. Dan kelak, kalau saatnya tiba baru aku akan memukul benar-benar, entah dengan cara bagaimana."
"Akan tetapi, kenapa sekarang kau tawan?" Bi-kwi medesak, heran.
"Dia mulai memberontak dan berpihak kepada seorang tawanan lain yang baru saja datang menyerahkan diri. He-heh, kau tentu tidak akan mampu menduga siapa orang itu. Dialah yang akan kami minta agar kau membunuhnya. Dia datang untuk mencari Hong Li, akan tetapi aku berhasil menangkapnya. Dia tampan dan gagah, dan aku.... hemm, aku suka padanya. Akan tetapi pemuda tak tahu diri itu berani menolak cintaku! Mestinya sudah kubunuh dia, akan tetapi entah bagaimana, aku terlalu sayang untuk membunuhnya, Bi-kwi. Kau tentu tahu bagaimana rasanya hati kalau sudah tergila-gila. Dia bernama Gu Hong Beng, murid dari musuhmu, Suma Ciang Bun tokoh Pulau Es itu."
"Aihhh! Dia memang musuh besarku! Sudah beberapa kali dia bentrok dengan aku, bahkan ketika terjadi keributan di pesta, dialah yang menyerangku paling hebat, bahkan dia yang mengejar-ngejarku. Kiranya dia juga sudah tiba di sini? Tentu dalam usahanya mengejarku!"
"Aku percaya padamu, Bi-kwi. Akan tetapi para tosu itu tidak percaya, maka sebaiknya engkau bunuh saja dia."
"Apa sukarnya membunuh seekor harimau sekali pun kalau dia sudah berada di dalam kandang. Mari kita lihat."
Bi-kwi memutar otaknya untuk mencari akal karena tentu saja ia tidak mau membunuh Hong Beng, meski untuk menyelamatkan dirinya dan menyelamatkan Hong Li sekali pun.
Moli mengajaknya memasuki ruangan tahanan. Di sana, di dalam dua kamar tahanan yang berdampingan, Bi-kwi melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih tiga belas tahun yang manis sedang duduk bersandar dinding, dan di kamar lain nampak Hong Beng duduk bersila! Bi-kwi menahan perasaannya kemudian ia menghampiri dan tertawa mengejek.
"Hi-hik, kiranya Gu Hong Beng manusia sombong itu kini sudah tak berdaya, di dalam kerangkeng seperti seekor monyet!" Ia tertawa dan suaranya penuh sindiran.
Mendengar suara ini, Hong Beng membuka matanya memandang. Ketika dia melihat bahwa yang mengejeknya itu bukan lain adalah Bi-kwi yang datang bersama Sin-kiam Mo-li, mukanya menjadi merah sekali dan matanya memancarkan sinar berapi-api. Dia meloncat berdiri, bagaikan seekor harimau ingin dia dapat keluar dari kerangkeng untuk menerjang wanita itu. Dia bertolak pinggang dan menuding dengan telunjuk kirinya ke arah muka Bi-kwi.
"Bi-kwi, setan perempuan yang busuk! Perempuan busuk macam engkau ini selamanya akan tetap jahat dan busuk! Ternyata benar dugaanku bahwa engkau bekerja sama dengan Sin-kiam Mo-li untuk menculik adik Hong Li. Terkutuk engkau, Bi-kwi!"
Bi-kwi juga terkekeh mengejek. "Heh-heh, engkau seorang pemuda yang sombong dan goblok!" Kemudian setelah memandang ke arah Hong Li yang juga memandang tanpa bangkit dari duduknya, Bi-kwi berkata kepada Sin-kiam Mo-li, "Hemm, keenakan dia jika dibunuh begitu saja, Mo-li. Membunuh dia apa sih sukarnya? Akan tetapi terlalu enak baginya. Mari kita bicara di sana." Ia lalu mengajak Mo-li keluar dari tempat tahanan itu sampai tidak nampak oleh Hong Beng.
"Mo-li, sebetulnya amat sayang jika dia dibunuh begitu saja. Aku sudah sering bentrok dengan dia dan tahu betul bahwa dia adalah seorang perjaka emas!"
"Perjaka emas? Apa maksudmu?"
"Aih, kiranya engkau belum banyak pengalaman dalam hal ini walau pun kita tadinya memiliki kesukaan yang sama, Mo-li. Dia seorang perjaka asli yang bertulang baik dan berdarah bersih. Siapa yang pertama kali melakukan hubungan dengan seorang perjaka emas, tentu ia akan menjadi awet muda dan tak pernah dapat kelihatan tua!"
"Hemm, memang tadinya aku sayang kepadanya. Akan tetapi walau pun aku tadinya telah mempergunakan sihir, dia tetap menolak keinginanku."
"Hemm, mudah saja, Mo-li. Aku dapat menggunakan akal sehingga dia akan berubah menjadi seperti seekor kuda jantan yang jinak dan akan melayani segala keinginanmu dengan senang hati."
"Ahh, benarkah itu, Bi-kwi? Aku akan berterima kasih sekali kalau benar engkau mampu membuatnya jinak untukku!" kata Sin-kiam Mo-li dengan wajah berseri.
"Akan tetapi, aku mempunyai satu permintaan yang kuharap akan kau setujui sebagai upahku. Aku melihat anak perempuan itu... hemm, ia hanyalah anak dari musuh-musuh kita dan ia sudah tidak mentaatimu lagi. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak memiliki selera lagi terhadap pria, akan tetapi melihat seorang gadis remaja... hemm, bolehkah aku meminjam tawananmu itu untuk satu malam saja, Mo-li? Dengan demikian, kita berdua dapat bersenang-senang, engkau bersama pemuda yang ganteng dan gagah itu, dan aku bersama gadis remaja itu."
Mo-li sudah terlalu bernafsu untuk memikirkan hal lain. Apa lagi kini muridnya itu telah berubah, mungkin pula telah membencinya. "Baiklah, begitu pemuda itu mau memenuhi keinginanku, anak perempuan itu boleh kau miliki satu malam. Lakukanlah cepat, aku sudah tidak sabar lagi untuk melihatnya."
"Mo-li, engkau tentu tahu bahwa tujuh orang tosu itu seperti anjing-anjing yang mengilar melihat kita berdua. Mereka itu seperti hendak berebut dan akan menerkamku kalau saja aku mau melayani mereka. Kalau mereka melihat kita berdua bersenang-senang dan tak mempedulikan mereka, tentu membuat mereka iri dan marah, mungkin mereka akan menyatakan tidak setuju dengan niat kita. Karena itu, sebaiknya hal ini kita lakukan di luar pengetahuan mereka dan caranya terserah kepadamu untuk mengaturnya."
Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya dan melihat kebenaran ucapan Bi-kwi. Memang tujuh orang tosu itu sudah dilayani oleh tiga orang pelayannya, akan tetapi agaknya tiga orang itu untuk mereka masih kurang dan mereka memang selalu mengincarnya dan juga mengincar Bi-kwi seperti yang dapat ia lihat dari pandang mata mereka terhadap Bi-kwi tadi.
"Jangan khawatir, dapat diatur," katanya dan ia pun menarik sehelai tali yang tergantung di sudut lorong. Tak lama kemudian, muncul Ang Nio yang mendengar suara panggilan rahasia itu.
"Engkau cepat cari perempuan secukupnya untuk menemani tujuh orang tosu tamu kita itu. Berikan bayaran secukupnya. Aku dan Bi-kwi tidak ingin diganggu malam ini."
Ang Nio tersenyum girang. Ia dan dua orang kawannya sudah merasa muak dengan tujuh orang tosu yang terpaksa harus mereka layani itu. Kini, Mo-li menyuruh ia mencari tujuh orang perempuan dari dusun di kaki bukit. Jika ia membayar mahal, tentu banyak yang mau dan hal ini berarti ia dan kawan-kawannya akan bebas dari cengkeraman tosu-tosu tua yang rakus itu.
"Sekarang bagaimana, Bi-kwi?"
"Mo-li, sebaiknya kita lakukan usaha penjinakan pemuda itu malam nanti kalau para tosu sudah sibuk bersenang-senang di kamar masing-masing. Sementara ini, kita beritahukan kepada mereka bahwa pembunuhan atas diri pemuda itu ditunda dulu karena engkau hendak menaklukkan dia terlebih dulu dengan bantuanku."
Sin-kiam Mo-li merasa agak kecewa bahwa tidak sekarang saja ia dapat mendekap pemuda itu, akan tetapi karena ia tidak mau terganggu oleh para tosu, ia pun setuju. Mereka keluar lagi dari lorong bawah tanah dan memasuki ruangan tamu di mana para tosu itu masih makan minum sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Walau pun mereka mengenakan jubah pendeta, namun sikap mereka jauh dari pada patut untuk menjadi pendeta-pendeta yang hidup saleh.
Melihat munculnya dua orang wanita itu, Ok Cin Cu yang masih mendongkol terhadap Bi kwi segera berkata, "Wah, kalian nampaknya bukan seperti orang-orang yang baru saja membunuh musuh. Apakah tikus itu sudah dibunuh?"
"Begitu melihat Bi-kwi, dia mencak-mencak dan memaki-maki. Jelaslah bahwa dia amat membenci Bi-kwi."
"Tentu saja," kata Bi-kwi, "sudah beberapa kali aku berkelahi dengan dia dan gurunya."
"Akan tetapi, aku tak ingin dia mati begitu saja. Terlalu enak dan terlalu mudah baginya. Aku ingin menaklukkannya dulu, mempermainkan dan menghinanya sampat puas, baru aku akan membunuhnya," sambung Sin-kiam Mo-li.
"Ha-ha-ha, bagaimana hal itu mungkin, Mo-li. Dengan sihirmu pun engkau tidak dapat menundukkan dia malam itu," kata Thian Kek Sengjin.
"Akan tetapi sekarang ada Bi-kwi yang akan membantuku. Ia mempunyai cara untuk menjinakkan pemuda itu untukku. Biarkan aku bersenang-senang, dan jangan khawatir karena sekarang aku sedang memesan beberapa orang gadis cantik dari dusun untuk menemani kalian bertujuh."
Mendengar ini, tujuh orang tosu itu menjadi gembira dan mereka tidak lagi menyatakan ketidak cocokan atau kecurigaan mereka terhadap rencana Mo-li dan Bi-kwi.
Malam itu, setelah para tosu memasuki kamar mereka bersama para wanita dusun yang didatangkan Ang Nio, Sin-kiam Mo-li dan Bi-kwi memasuki lorong bawah tanah. Bi-kwi memberi tahu kepada Mo-li bahwa ia memiliki minuman yang akan dapat merampas semangat Hong Beng, membuat pemuda itu lupa diri dan tentu akan menuruti semua permintaan Sin-kiam Mo-li.
"Akan tetapi bagaimana engkau akan dapat memaksanya untuk minum?"
"Serahkan saja kepadaku, Mo-li. Aku mempunyai akal dan engkau sebaiknya jangan ikut mendekat agar Hong Beng tak menjadi curiga. Biarkan aku sendiri menghadapinya dan aku akan dapat membujuknya untuk minum obatku itu."
"Baik, tetapi jangan sampai engkau gagal, Bi-kwi." Kata-kata ini mengandung ancaman.
"Jangan khawatir, Mo-li, aku pasti berhasil. Akan tetapi ingat akan janjimu, begitu dia kelihatan menurut, gadis remaja itu harus diserahkan kepadaku."
"Baik."
"Nah, sekarang kau menanti dan mendengarkan dari sini saja, sebaiknya aku sendiri yang menghadapinya," kata Bi-kwi.
Ia lalu memasuki ruangan kamar tahanan dan di bawah sinar lampu lentera yang cukup terang, ia melihat betapa Hong Li rebah terlentang di atas lantai, sedangkan Hong Beng sudah duduk bersila lagi. Di sudut kamar terdapat mangkok-mangkok dan sumpit, sisa makanan yang diberikan kepada mereka oleh Hek Nio.
Melihat kemunculan Bi-kwi, Hong Beng lalu mengerutkan alisnya dan tetap saja duduk bersila. Sin-kiam Mo-li yang bersembunyi, mengikuti semua percakapan mereka dengan penuh perhatian. Ia seorang wanita yang cukup cerdik dan tidak ingin dikelabui, maka meski pun ia sudah percaya kepada Bi-kwi, tetap saja ia mengikuti semua peristiwa di ruangan tahanan itu dengan penuh perhatian. Ia merasa aman dan yakin bahwa hanya ia seoranglah yang dapat membebaskan Gu Hong Beng mau pun Kao Hong Li, karena kunci kedua kamar tahanan itu selalu berada di saku bajunya.
"Perempuan iblis jahanam terkutuk! Mau apa kau masuk ke sini? Mau membunuhku? Silahkan, aku tahu bahwa engkau hanyalah seorang pengecut yang beraninya hanya terhadap orang yang sudah tidak berdaya!" terdengar Hong Beng membentak dengan suara marah dan mengandung penuh kebencian sehingga hati Sin-kiam Mo-li menjadi kecil. Bagaimana mungkin Bi-kwi mampu membujuk pemuda yang demikian membenci dirinya?
"Gu Hong Beng, engkaulah laki-laki yang sama sekali tidak mengenal budi," terdengar Bi-kwi berkata. "Butakah matamu, tidak dapatkah engkau melihat betapa Sin-kiam Mo-li telah jatuh cinta kepadamu? Kalau engkau seorang pemuda yang berakal sehat, tentu engkau memilih hidup dengan menemani Sin-kiam Mo-li bersenang-senang. Mengapa engkau demikian keras kepala, bukankah engkau adalah seorang laki-laki yang dewasa dan normal?"
Sambil berkata-kata dengan suara membujuk ini, di luar tahunya Sin-kiam Mo-li karena Bi-kwi memegang kertas bertulis itu di depan perutnya sehingga Hong Beng saja yang dapat membacanya, Bi-kwi memberi tanda dengan kedipan mata kepada pemuda itu, sementara mulutnya terus membujuk.
Sejenak Hong Beng tertegun. Tulisan itu mudah dibaca karena tulisannya besar-besar dan jelas. Dia cepat membaca.
‘Aku datang untuk membebaskan engkau dan Hong Li. Terus bersikaplah bermusuhan denganku, kemudian minum obat yang kuberikan, lalu engkau pura-pura mabok terbius. Selanjutnya, pura-pura lemas saja dan serahkan kepadaku. Jangan bergerak sebelum kuberitahu.’
Hong Beng selesai membaca dan biar pun dia masih belum percaya benar, namun dia tahu bahwa tentu wanita ini datang bersama Sim Houw dan Bi Lan yang juga hendak menyelamatkan Hong Li.
"Sudahlah, perempuan siluman, jangan membujuk lagi, percuma saja!" katanya sambil memberi isarat dengan matanya bahwa dia mengerti. "Lebih baik bunuh saja aku dari pada harus tunduk dan melakukan perbuatan hina itu!"
"Gu Hong Beng, pemuda tolol! Engkau masih muda belia, tampan dan gagah. Apakah kau lebih suka mati konyol dan menolak kesenangan yang dapat kau nikmati? Sekali lagi, maukah engkau menyerah dan menuruti semua keinginan Sin-kiam Mo-li? Ingat, kalau engkau menolak, aku sudah menerima perintah untuk membunuhmu sekarang juga."
Tanpa menanti sebentar pun, tanpa keraguan sedikit pun, Hong Beng lalu membentak sesuai dengan suara hatinya, juga sesuai dengan permintaan Bi-kwi dalam surat agar dia bersikap bermusuhan.
"Keparat, tulikah engkau? Aku tidak sudi, sekali tidak sudi dan selamanya pun tak sudi. Mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut mati?"
Tiba-tiba terdengar suara halus dari kamar tahanan yang ada di sebelah, "Hemm, suara Gu-suheng demikian gagah perkasa, sedangkan suara perempuan ini bagaikan siluman tukang bujuk yang tak tahu malu!" Itulah suara Hong Li yang ikut merasa tegang dan marah.
"Aihhh, adik manis, jangan terlalu galak, nanti kemanisanmu berkurang! Engkau tunggu saja, engkau akan menikmati kesenangan luar biasa dengan aku," kata Bi-kwi, sengaja berkata demikian untuk lebih meyakinkan hati Mo-li yang mengintai dan mendengarkan.
"Siluman jahat, tidak perlu engkau membujuk atau merayu aku!" Hong Li membentak marah dan Bi-kwi mengeluarkan suara ketawa mengejek.
"Siluman jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Jika engkau datang hendak membunuhku, lakukanlah. Aku akan menghadapi kematian dengan kedua mata terbuka! Jangan harap engkau akan dapat membuat aku ketakutan dengan bujukan dan ancaman!"
"Hemm, jadi engkau tetap memilih mampus? Engkau tak takut mati? Hemm, aku masih belum mau percaya. Engkau tentu ingin menggunakan kepandaianmu untuk mencoba menipuku dan membuat aku lengah. Kalau memang benar engkau memilih mati, nah, ini aku bawakan sebotol kecil racun. Beranikah engkau meminumnya? Engkau akan mati dengan tenang, seperti orang pergi tidur saja. Ataukah engkau lebih memilih mati kuserang dengan jarum-jarum beracun dari luar kamar tahanan? Nah, minumlah ini kalau memang benar engkau tidak takut mati, bukan hanya bualan sombong belaka!"
Dari tempat persembunyiannya, Sin-kiam Mo-li terus mengintai dengan jantungnya yang berdebar-debar. Maukah pemuda itu minum obat yang akan membuatnya tunduk dan jinak seperti yang dijanjikan oleh Bi-kwi kepadanya?
"Gu-suheng, jangan percaya omongan siluman itu! Dari suaranya saja aku tahu bahwa ia adalah seorang manusia siluman yang jahat, kata-katanya penuh dengan bujuk-rayu dan tipu. Jangan mau minum racun itu!" terdengar suara Hong Li yang merasa khawatir sekali. Ia tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi di kamar tahanan sebelah, akan tetapi dapat mendengar percakapan mereka.
Akan tetapi Hong Beng, setelah bertemu pandang yang penuh arti dengan Bi-kwi, lalu menerima botol kecil berisi cairan bening itu, dan berkata dengan lantang karena dia pun tahu bahwa sikap Bi-kwi yang penuh rahasia itu menunjukkan bahwa ada orang lain, tentu iblis betina Sin-kiam Mo-li, yang melakukan pengintaian.
"Hemm, siapa takut mati?" Dan dia pun membuka tutup botol dan meminumnya sampai habis. Diam-diam dia merasa geli karena tahu bahwa yang diminumnya itu hanyalah air putih biasa saja, tidak mengandung apa-apa yang mencurigakan!
Kini Bi-kwi yang bermain sandiwara. Suaranya terdengar girang sekali.
"Hi-hi-hik, kau kira aku sedang berpura-pura dengan ancaman kosong? Ha, lihat betapa wajahmu telah menjadi pucat, dan tubuhmu pasti menjadi lemas. Ha-ha-ha, ya, engkau boleh berusaha mengerahkan sinkang-mu, Gu Hong Beng, akan tetapi percuma saja. Semua kemauanmu telah lenyap, dan engkau sekarang menjadi penurut. Engkau akan mendengarkan semua perintah dan mentaatinya tanpa melawan sedikit pun. Ha-ha-ha!"
Dan Hong Beng yang sebetulnya tidak merasakan sesuatu, kini melakukan apa yang dikatakan Bi-kwi. Dengan ilmu sinkang-nya, ia dapat menahan dan memperlambat jalan darah dan membuat mukanya tampak pucat, lalu tubuhnya terhuyung dan jika dia tidak berpegang kepada jeruji, tentu dia sudah roboh. Kepalanya menunduk dan tergantung seolah-olah kepala itu terasa berat dan pening, matanya terpejam.
"Mo-li, ke sinilah dan lihat hasilnya!" Bi-kwi berseru ke belakang.
Sin-kiam Mo-li cepat berlari mendekati kamar tahanan itu. Ia menemukan Hong Beng dalam keadaan tak berdaya, bergantung ke jeruji jendela dan nampak pucat dan lemas. Giranglah hatinya melihat ini.
"Sekarang dia akan melakukan apa saja yang kau perintahkan, Mo-li."
"Ahh, terima kasih, Bi-kwi. Aku akan membawanya ke kamarku sekarang juga."
"Aihh, jangan lupa membuka kamar tahanan sebelah, Mo-li."
"Jangan khawatir. Nih kuncinya, kau buka sendiri. Akan tetapi, jangan sampai ia terluka apa lagi terbunuh. Engkau hanya boleh meminjamnya saja untuk memuaskan seleramu yang gila itu. Aku masih belum selesai dengan anak itu!"
"Baiklah, siapa mau mencelakakannya? Aku... aku sayang pada anak-anak seperti itu, bagaikan kuncup bunga yang mulai mekar, hi-hi-hik!"
Dua orang wanita itu membuka pintu kamar tahanan. Melihat masuknya seorang wanita yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang diketahuinya adalah wanita yang tadi dimakinya siluman, yang tentunya sudah membius atau meracuni Gu Hong Beng seperti yang tadi didengarnya, Hong Li menjadi marah sekali. Begitu pintu kamar tahanan itu dibuka dari luar, dara cilik ini menyambut Bi-kwi dengan makian.
"Siluman betina keparat!"
Ia pun sudah menerjang dan menyerang dengan nekat, bagaikan seekor anak harimau yang marah. Akan tetapi, tentu saja serangannya itu tiada artinya bagi seorang wanita selihai Bi-kwi. Dengan cekatan, wanita ini menyambut tubuh kecil yang menyerangnya itu dengan tangkapan tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah menotok pundak Hong Li. Anak itu terkulai lemas dan segera dipondongnya sambil tertawa kecil...
SULING NAGA BAGIAN 20