CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 02
Sie Liong yang merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya itu, tidak mau lagi menerima pukulan begitu saja. Dia mengangkat kedua lengannya ke atas dengan jurus yang dikenalnya dari Bi Sian. Jurus itu menurut Bi Sian bernama ‘Dua Tiang Penyangga Langit’.
Kedua lengannya dengan kekuatan sepenuhnya diangkat ke atas menangkis dua tangan lawan yang menghantam ubun-ubun kepalanya.
"Dukkk!"
Kuat sekali kedua lengan Sie Liong itu. Lu Ki Cong sampai berteriak kesakitan ketika kedua lengannya bertemu dengan dua lengan lawan yang menangkisnya.
Pada saat itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya ‘terbuka’ sampai ke perut. Dia cepat merendahkan tubuhnya. Kepalanya yang memang sudah terjulur ke depan karena bongkoknya itu ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga dia pun menyeruduk ke depan! Kepalanya secara telak mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!”
Dan tubuh Lu Ki Cong terjengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang telah roboh itu. Si muka hitam mengaduh-aduh memegangi telunjuk kanannya yang hampir putus tergigit, sedangkan Ki Cong tidak mampu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian.
Kini ia meloncat dan menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan tangan Bi Sian. Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang anak itu terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk.
Tiga orang anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta ampun, bahkan dua orang di antaranya menangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh kekaguman.
“Paman Liong, engkau sungguh hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka...,” kata Bi Sian sambil maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik itu dengan penuh kekaguman. “Dan engkaulah yang telah menolongku, paman!”
Sie Liong merasa betapa hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri di tubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini bergelimang rasa malu dan dia pun dengan lembut menarik kedua tangannya sambil membuang muka.
“Ahhh... sudahlah, Bi Sian. Di mana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayam-ayamnya berloncatan jauh. Mari kita kumpulkan!”
Mereka berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapa pun mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga ada banyak barang belanjaan menjadi rusak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas panjang.
“Ahh, aku tentu akan dimarahi enci Hong!”
“Tidak, biar aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!”
“Jangan, Bi Sian! Jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku...!”
“Mengapa ayah harus marah? Bukankah engkau sudah menolongku, paman? Biar nanti aku yang menceritakan dan kalau ayah dan ibu tetap marah kepadamu, aku yang akan membelamu!”
“Jangan, Bi Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu agar jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan supaya aku tidak berkelahi. Dia tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku. Kuminta, jangan kau ceritakan bahwa aku berkelahi!”
Bi Sian memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak ke arah muka itu, dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan biru itu. “Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku tadi sempat melihat betapa engkau dipukuli dan ditendangi...”
Tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya. “Tidak, tidak berapa nyeri...”
“Paman, kalau nanti aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolongku dan berkelahi mengalahkan lima orang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak ini dan bertanya?”
Sie Liong meraba mukanya. Dia tidak dapat melihat mukanya yang lebam membiru, akan tetapi dapat merasakan nyeri di tepi kedua matanya dan di pipi kirinya, juga dia dapat merasakan betapa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat membayangkan bahwa dari mukanya akan mudah kelihatan bekas-bekas perkelahian.
“Ah, bagaimana baiknya...? Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.” Dia kelihatan bingung.
Melihat kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan walau pun dianggapnya sikap itu berlebihan.
“Baiklah, paman. Aku tidak akan menceritakan mereka tentang perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak karena ada lima orang anak nakal yang mengganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang adalah tanggung-jawabku.”
“Dan engkau akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau dimarahi enci Hong tentang kehilangan itu, biarlah kukatakan bahwa barang-barang itu tadinya kubawa, dan hilang karena aku dipukuli mereka. Dan engkau tak dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima.”
Bi Sian mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang dikhawatirkan Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
“Aihh! Apa yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belanjaan ini! Dan ayamnya hanya tiga ekor? Ehh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?” Sie Lan Hong berseru dengan alis berkerut.
”Sie Liong! Engkau tadi berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?” Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-bengkak.
Sie Liong hanya menundukkan mukanya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya kalau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia lalu berkata, “Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!”
Mendengar kata-kata dan melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri. “Bi Sian, engkau berkelahi? Mengapa? Ceritakan apa yang sudah terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan menjadi kotor berantakan dan ada yang hilang?”
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu kelihatan kesakitan dan mukanya bengkak-bengkak, lalu berkata, “Biarkan mereka duduk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.”
Kedua orang anak itu minum air teh yang semenjak tadi tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
“Pada waktu kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi di dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-laki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak nakal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengatakan paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Tetapi mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan. Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, sementara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali tiga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat sekali seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan keamanan di kota ini, ayah.”
“Apa?! Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun Kok bertanya kaget sekali. “Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami tak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu adalah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aihh!” Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri.
Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan hanya sahabat baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul percakapan tentang menjodohkan anak masing-masing satu sama lain. Perwira itu hanya memiliki seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Meski pun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberi tahu tentang hal itu, di antara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi!
Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi Sian, coba ceritakan sekali lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkelahian itu? Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?”
Bi Sian bersungut-sungut, “Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang hendak mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia bersama teman-temannya malah memukuli paman Liong.”
Ah, kini mengertilah Sun Kok. Anak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu telah diberi tahu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodohkan dengan Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu saja isterinya menjadi heran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
“Mengapa ayah tertawa?” tanyanya berani.
Sun Kok masih tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil tersenyum. “Ha-ha, dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha-ha, bagaimana dia bisa cemburu? Sie Liong adalah seorang anak cacat... ehh, dia kan pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kau beri tahu?”
Bi Sian menjadi penasaran. “Sudah kuberi tahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia cemburu, ayah? Ada hak apa dia cemburu?”
Yauw Sun Kok masih tersenyum ketika menjawab. “Tentu anak itu sudah mendengar dari ayahnya akan rencana ayahnya dan aku untuk menjodohkan engkau dengan dia...”
“Ayah...!” Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, alisnya berkerut.
Sejenak anak ini memandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, tetapi ia lalu lari masuk ke dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya, lalu mengundurkan diri ke dapur sambil membawa barang-barang belanjaan untuk menyerahkan kepada pelayan di dapur.
“Aih, Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau bicara tentang perjodohan dengan ia yang belum mengerti apa-apa itu?” Sie Lan Hong menegur suaminya.
Suaminya hanya tersenyum. “Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan omong-omong antara kawan saja, belum resmi mereka meminang. Karena itu, engkau pun belum kuberi tahu. Bagaimana pun juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku. Peristiwa perkelahian antara kedua orang anak yang ingin kami jodohkan itu sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau sampai puteranya terluka oleh tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke sana untuk minta maaf.” Yauw Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu.
Sie Lan Hong lalu memasuki kamar puterinya dan disambut oleh anaknya yang matanya merah karena baru saja menangis. Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. “Ibu, aku tidak sudi dijodohkan dengan tikus jerawatan itu!”
“Ehhh? Tikus jerawatan yang mana?” ibunya bertanya heran karena dia memang tidak mengerti.
“Itu, anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkan dengan dia, ibu? Kalau benar, aku akan minggat saja!”
“Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan sahabatnya saja. Belum ada pinangan resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu akan mengajak aku berunding, dan engkau pun akan kuberi tahu. Sudahlah, jangan marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi ke sana untuk minta maaf.”
“Ayah pergi ke rumahnya? Celaka...!” Akan tetapi Bi Sian segera menutup mulut dengan tangan.
Terlambat. Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa curiga.
“Sian-ji, ada apakah? Mengapa engkau terkejut dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun? Mengapa engkau mengatakan celaka tadi?”
Bi Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik ia lebih dulu memberi tahukan ibunya dan menarik ibunya di pihaknya supaya nanti membela dia dan pamannya.
“Ibu, aku tadi... berbohong kepada ayah, maka aku amat kaget mendengar ayah pergi ke rumah komandan itu,” katanya mengaku.
“Bohong? Bohong bagaimana, Bi Sian?”
“Aku memang berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan kelima orang itu dia hajar sampai luka-luka dan mereka semua melarikan diri.”
“Sie Liong? Tidak mungkin!” kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu dapat mengalahkan lima orang anak nakal yang lebih besar?
“Benar, ibu. Aku tidak berbohong.”
Bi Sian lalu menceritakan semua yang sudah terjadi. Betapa lima orang anak nakal itu menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja. Dialah yang marah-marah dan memukul. Akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang anak lain memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berhasil menolongnya. Mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
“Paman Liong minta kepadaku, supaya jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut berkelahi, maka aku lalu berbohong. Akan tetapi sekarang ayah pergi ke sana, tentu tikus jerawatan itu akan mengadu kepada ayah dan menceritakan bahwa paman Liong yang memukulnya.”
Sie Lan Hong masih bingung dan heran. “Tapi... tapi... Sie Liong cacat dan lemah....”
Walau pun matanya masih merah oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
“Jangan ibu kira bahwa paman Liong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua ilmu silat yang diajarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada aku, ibu. Ketika melawan anak-anak nakal itu, dia hebat bukan main!”
Terkejutlah hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya telah mempelajari ilmu silat! Ahhh, jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Hal itulah yang sangat dibenci suaminya, dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam!
Perih rasa hati Lan Hong. Ia sendiri sering kali termenung dan merasa berdosa kepada ayah ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, walau pun dengan alasan untuk membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan dia telah terpaksa menyerahkan diri kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya.
Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini, apa lagi setelah ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia pun tak menginginkan terjadi permusuhan antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi, sekarang terjadi peristiwa itu dan suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari ilmu silat.
“Sian-ji... jangan... jangan kau menceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka mendengar Sie Liong belajar ilmu silat.”
“Tapi, kenapa ibu? Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat? Paman Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa? Aku yang seorang anak perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah justru melarangnya?”
“Ayahmu... lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apa lagi cacat di punggung. Berbahaya sekali jika dia mempelajari ilmu silat. Sudahlah, lebih baik kau tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu.”
Akan tetapi hal itu tidak ada gunanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini keluar dengan hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam dengan muka merah.
Memang Sun Kok marah sekali. Ketika ia berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun, ia bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah di pembaringan karena dia mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Liong. Sahabatnya itu bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbahaya sekali.
“Bukan hanya Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali.”
Tentu saja Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaimana Sie Liong dapat menjadi seorang anak yang demikian kuat dan menurut penuturan Ki Cong, pandai silat pula? Teringatlah dia akan keadaannya sendiri.
Kalau Sie Liong dibiarkan terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang pandai, kelak keselamatan nyawanya tentu akan terancam! Akan tetapi, jalan satu-satunya untuk mengatasi ini hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau melakukan hal itu.
Bukan hanya karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa selamanya dia tidak akan membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus membunuhnya. Bagaimana pun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang sangat baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia dapat mempunyai kepandaian ilmu silat?
“Sie Liong...!” Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan tangannya masih basah karena ketika dipanggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah itu dengan lap dan air.
“Ci-hu memanggil saya?” tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di depan cihu-nya yang duduk dan memandang kepadanya dengan mata bernyala.
“Sie Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?” bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam Sie Liong terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki ketabahan yang luar biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak memperlihatkan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat.
Apakah anak perempuan itu yang memberi tahukan ayahnya? Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian sudah memberi tahu, tak mungkin cihu-nya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya? Dia tidak ingin melibatkan Bi Sian, takut kalau-kalau anak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihu-nya dengan berani.
“Saya tidak belajar silat dari siapa pun, cihu.”
“Brakkk!”
Yauw Sun Kok menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja itu retak.
“Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-ciangkun dan kawan-kawannya, dan engkau mengalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
“Ayah, yang memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih dulu menghina dan memukul!” Bi Sian memprotes.
“Diam kau! Tadi kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong tidak berkelahi! Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
Sie Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan keponakannya yang selalu mencoba untuk membelanya itu. “Cihu, memang saya mempelajari ilmu silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri.”
Yauw Sun Kok memandang dengan mata melotot. “Tidak mungkin bisa belajar silat tanpa guru! Coba kau mainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku melihat ilmu silatmu!” katanya, setengah mengejek, setengah marah. “Hayo cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar laranganku!”
Sie Liong memandang pada enci-nya. Sang enci merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi dia tahu bahwa kalau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu akan menjadi semakin marah. Bagaimana pun juga, kemarahan suaminya itu cukup beralasan karena larangannya sudah dilanggar oleh Sie Liong. Maka dia lalu mengangguk kepada adiknya itu.
“Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah kau pelajari agar cihu-mu melihatnya, Sie Liong,” katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang secara diam-diam telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
“Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan ditertawakan sebab permainanku tentu jelek dan tidak karuan.”
Maka dia pun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti jika dia berlatih silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut sekali karena gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti...!” bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya dan berdiri di depan Sie Liong yang segera menghentikan gerakan kaki tangannya. “Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!”
“Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan... mencuri lihat dan mengintai ketika... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan di dalam hati, lalu saya menirukan gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya...”
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang sangat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempelajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian. Dia pun mencari akal.
“Sie Liong, pada waktu aku melarang engkau belajar silat, tentu hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikanmu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali jika engkau mempelajari ilmu silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat sebentar. Keluarkan semua jurus yang sudah kau pelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti aku pun akan menyerang engkau dengan jurus yang sama. Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, seranglah!”
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihu-nya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedikit pun dia tidak menaruh hati curiga dan dia pun mentaati perintah itu. Dia lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, menyerang cihu-nya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar. Wanita ini masih belum tahu apa yang dikehendaki oleh suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ini ternyata benar-benar sudah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong. Ia pun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu ketika mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bahwa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu sangat sayang kepadanya dan ia pun merasa amat sayang kepada pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut. Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar jika dibandingkan anak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan bila lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibiarkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak akan menjadi orang pandai dan akan membahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-serangan Sie Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihu-nya menyerang dengan jurus-jurus yang telah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihu-nya. Tiba-tiba gerakan tangan cihu-nya demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
“Plakkk! Plakkk!”
Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tubuh anak itu masih berputar, sekali lagi tangannya menghantam punggung yang bongkok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah!
Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas. Akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
“Ayah, kenapa ayah memukul paman Liong?” Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga sudah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa yang kau lakukan?” katanya dengan suara nyaring dan mata memandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya. “Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan kepada dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi tidak akan membuatnya muntah darah.”
Untunglah tadi dia masih ingat sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya. Kalau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melanggar sumpahnya dan tentu akan terjadi perubahan dalam hubungannya dengan isterinya tercinta.
Bi Sian cepat membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu sama sekali tidak kelihatan menyesal atau marah, walau pun dia menyeringai kesakitan dan mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
“Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tak berdosa! Ayah, paman Liong membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia tidak pernah mengintai, tidak mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah mengajarkan semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!” Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
“Hushh,” ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
“Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!”
“Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw Sun Kok.
“Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Paman Liong sama sekali tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!” Kembali Bi Sian membantah biar pun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara.
“Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba kau bayangkan. Jika engkau pergi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah akan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?”
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal sekali bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayahnya sendiri.
“Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian.”
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimana pun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya.
Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Jika ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan seluruh kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
“Coba kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap supaya Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri…..
Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang leluhur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun.
Tadinya dia sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu pada waktu dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang pertama. Seolah-olah dia sudah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang telah tiada, juga melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya sehingga setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.
Sie Liong masih menderita akibat pukulan cihu-nya dua hari yang lalu. Dia masih sering batuk-batuk. Meski kini batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pun terasa pusing.
Selama dua malam ini kalau sedang tidur di kamarnya, dia gelisah dan beberapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihu-nya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihu-nya malah memukulnya.
Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijodohkan dengan Lu Ki Cong putera Lu-ciangkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian. Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, tetapi akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu!
Dia pun teringat kepada enci-nya, dan merasa kasihan kepada enci-nya. Dia merasa betapa enci-nya sangat sayang kepadanya, dan enci-nya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika melihat dia dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan enci-nya gara-gara dia.
Dan dia pun sering kali memergoki enci-nya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang amat mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatangkan kesedihan di hati enci-nya.
Cihu-nya amat baik dan sayang kepada enci-nya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan enci-nya juga sudah serba cukup dan menyenangkan. Lalu masalah apa yang menyebabkan enci-nya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka?
Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol akibat peristiwa dua hari yang lalu. Mukanya nampak muram. Setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja sembahyang, dia pun lalu meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke tokonya di mana dia berdagang rempah-rempah dibantu oleh beberapa orang pegawai.
Di ruangan sembahyang itu sekarang tinggal Sie Lan Hong, Sie Liong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
“Bi Sian, sekarang engkau bersembahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat pada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar.” Yang disebut kakek nenek dalam ialah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio dan mulai bersembahyang. Pada waktu Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya!
Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Enci-nya lalu menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka karena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok juga terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin sedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Liong yang biasanya keras dan tabah itu dan dia pun lalu menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang.
Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis. Pamannya yang kuat, amat tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Ia pun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.
“Paman Liong, ada apa? Apakah... apakah engkau sakit...?” Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari gadis cilik itu menambah keharuan hatinya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis.
Melihat keadaan adiknya, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong cepat mendekati dan berlutut, lalu merangkul adiknya.
“Adik Liong, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini? Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa sakit?”
Sie Liong menggeleng kepala sambil mengusap air matanya, mengeraskan hatinya untuk menghentikan tangisnya.
“Yang sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? Ataukah ada yang membunuh mereka?”
“Aku pun merasa heran, ibu, dan sering aku bertanya kepada diri sendiri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda? Melihat betapa usia paman Liong tak banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ketika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?”
Ditanya oleh adik dan anaknya seperti itu, jantung Sie Lan Hong berdebar-debar penuh ketegangan! Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi sebelas atau dua belas tahun yang lalu! Betapa ayahnya dan ibunya, juga suheng-nya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh.
Kemudian muncul si pembunuh yang sangat kejam itu! Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian! Pada saat itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpaksa menyerahkan dirinya bulat-bulat karena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!
Kemudian, sesudah menjadi isteri Yauw Sun Kok, dia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan juga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian.
Lalu bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya? Menceritakan bahwa suaminya sendiri adalah pembunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya? Sudah lama dia menghapus permusuhan ini, kebencian berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mempunyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimana pun, dia tidak akan membongkar rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
“Enci, mengapa enci tidak menjawab pertanyaan kami? Mengapa enci kelihatan sangat ragu-ragu?” Sie Liong mendesak enci-nya, dan sekarang sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah enci-nya dengan penuh selidik.
“Ahh, tidak,” Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup. “Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi? Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kau dengarkan ceritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita sudah menjadi korban wabah yang sangat berbahaya. Penyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang sehingga meninggal dunia. Untuk menghindarkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah ke sini.”
Mendengar cerita enci-nya ini, Sie Liong menarik napas panjang. “Kasihan sekali ayah dan ibu kita, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci.”
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata. Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walau pun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya!
“Enci, di manakah kita tinggal dahulu?”
Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut. “Mengapa engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat mala petaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan. Kita sekarang menjadi penghuni kota Sung-jan ini.”
“Aku hanya ingin tahu, enci. Siapa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu.”
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tidak mungkin dia membohongi adiknya lagi, dan pula, apa salahnya kalau ia memberi tahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembahyang di depan makam orang tua mereka.
“Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, bernama dusun Tiong-cin.”
Sie Liong mencatat nama dan letaknya dusun ini di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur. Dia gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, apalagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri…..
Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di atas Tembok Besar! Tembok Besar itu merupakan bangunan raksasa yang sangat hebat, naik turun bukit dan jurang, serta memanjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li).
Beberapa bagian dari Tembok Besar ini dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang sedang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itu pun berjalan seorang diri dalam kesunyian.
Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan jurang-jurang yang penuh hutan lebat itu.
Tembok Besar
memanjang ribuan li
bekas tangan manusia
masih hidup atau sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan
untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia mati
untuk menciptakan bangunan ini?
Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin bertiup kencang dan menimbulkan suara ketika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-kibar seperti bendera.
Orang itu sudah tua sekali. Jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang semua sudah putih dibiarkan riap-riapan. Akan tetapi wajahnya masih nampak merah dan halus seperti wajah orang muda. Tubuhnya yang tinggi kurus itu masih berdiri tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang bagai langkah seekor harimau. Usianya tentu paling sedikit tujuh puluh tahun.
Pakaiannya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang diikat dengan tali kulit kayu. Kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula.
Sambil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, ia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu meter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu di berjalan, melainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja.
Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia beramah tamah dengan alam di sekitarnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya. Meski hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat.
Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan liar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langit pun akan sukar saking lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekelilingnya dengan jelas.
Beberapa ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus dari tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan dia pun tersenyum penuh bahagia.
Alangkah bahagianya orang yang masih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kita pun akan dapat melihat segala keindahan itu!
Dalam gerak-gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan semua itu!
Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala macam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, kekhawatiran, permusuhan, iri hati, cemburu, kebencian, yang semuanya mendatangkan kesengsaraan di dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan.
Tiba-tiba kakek itu mengangkat muka ke atas, agaknya dia baru teringat akan urusannya. “Aihh, perjalanan masih amat jauh, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan begini.”
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur ke barat dan lenyap!
Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan goa pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat.
Para penduduk perkampungan sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan. Karena kakek itu dikabarkan sangat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia pun disebut sebagai Pek-sim Siansu.
Sebutan ‘pek-sim’ ini mungkin dimaksudkan untuk memujinya sebagai orang yang berhati putih, seorang yang sangat budiman. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Siansu (Guru Suci Berhati Putih).
Kakek ini telah mengalami suatu kejadian aneh. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai tengah malam dia bersemedhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapa pun, ia pergi begitu saja meninggalkan goa pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat! Yang dituju adalah perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet!
Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dirinya supaya melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Siansu, peristiwa mendapat ilham atau isyarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi.
Manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang dengan nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu, maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka!
Kekuatan alam ini merupakan kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam sudah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan serta batin manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima isyarat-isyarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan penglihatan, dalam sadar mau pun dalam tidur.
Dan Pek-sim Siansu sudah mencapai tingkat seperti itu. Maka, tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat.
Mari kita tengok apa yang tengah terjadi di daerah perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tidak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke selatan, nampak Pegunungan Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet. Biar pun tidak sebesar dan seluas atau setinggi Pegunungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san ini pun telah terkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang berani memasukinya.
Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang yang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu di antata orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.
Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa orang pertapa di Himalaya. Penyebabnya hanyalah perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat!
Betapa banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama diadakan sebagai tuntunan terhadap manusia agar supaya dapat hidup tenteram dan damai, menjauhi segala bentuk permusuhan, kebencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, di antara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!
Bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak pula yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak!
Banyak di antara para pertapa yang benar-benar telah menjauhkan diri dari permusuhan. Maka mereka itu mengalah, lalu diam-diam menyingkir dari Himalaya dan sebagian dari mereka ‘mengungsi’ ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet.
Demikianlah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pelarian dari Himalaya. Dan Pek-sim Siansu juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pengungsiannya ke timur, amat jauh di timur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.
Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang mengamuk serta menyerang para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih menaruh dendam terhadap para pertapa asal Himalaya. Mendengar betapa para pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah Merah itu lalu mengamuk ke sana!
Menurut kabar, lima orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!
Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-pai. Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biar pun Kun-lun-pai tidak tersangkut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak enak.
Kun-lun-pai sudah diakui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui bahwa Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Apa bila kini ada orang-orang asing mengacau di Kun-lun-san, membunuh para pertapa yang tak berdosa, maka berarti mereka itu memandang rendah kepada Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayahnya dan bahkan mendatangkan kekacauan.
Sementara itu, serbuan lima orang pendeta Lama Jubah Merah dari Tibet itu kemudian mendatangkan perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menganut Agama Buddha banyak yang berpihak pada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang.
Perpecahan ini menimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang sangat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat hebat dan yang mengguncang Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.
Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hwat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sute-nya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi.
Di perguruan Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam empat tingkatan. Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.
Thian Hwat Tosu dan Thian Khi Tosu merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pagi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorang pun murid karena mereka ingin bicara empat mata saja.
“Suheng, keadaan ini tidak mungkin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik walau pun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!” kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.
“Siancai-siancai-siancai...!” Thian Hwat Tosu berseru lembut sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau maksudkan gerakan yang dilakukan oleh para Lama Jubah Merah itu, bukan?”
“Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama Jubah Merah itu sungguh sombong sekali. Mereka menyerang dan membunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat membiarkan mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?”
“Aihh, sute, apa yang dapat kita lakukan? Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelanjutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya. Para pendeta Lama itu agaknya mewakili Dalai Lama di Tibet untuk memberi hukuman kepada mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak terlibat apa pun, bagaimana kita dapat mencampuri? Apa bila kita ikut bertindak, mungkin malah dapat menimbulkan salah paham yang lebih besar, sute.”
“Tidak, suheng, pinto tidak setuju dengan pendapat seperti itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar supaya mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu justru memberi contoh yang buruk sekali kepada para murid?”
“Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itu pun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya yang terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri? Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan. Jangan engkau membawa Kun-lun-pai ke dalam permusuhan antara mereka. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.”
“Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas itu? Ah, pinto akan bersemedhi dan mohon kekuatan batin bagi kita semua, suheng,” berkata demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu lalu meninggalkan suheng-nya untuk bersemedhi di dalam kamarnya sendiri.
Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pemuda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia lebih kurang dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai.
Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biar pun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru mencapai tingkat tiga. Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama.
Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, walau pun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk dipergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat bila mereka melanggar peraturan perguruan.
Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap. Mereka baru saja pulang dari sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempah-rempah dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis.
Tiba-tiba keduanya berhenti melangkah dan memandang ke arah kiri, dari mana mereka mendengar suara orang membentak-bentak.
“Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kami bunuh di sini!” demikian suara yang membentak itu.
“Siancai...! Puluhan tahun yang lalu, pada waktu pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto tidak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam usia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa,” terdengar suara yang halus menjawab.
Ciang Sun dan Kok Han sudah menurunkan bawaan mereka dan menyelinap dengan hati-hati di antara pepohonan mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila di atas tanah. Pakaian tosu itu robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengancam di depannya.
Dua orang Lama itu berusia sekitar lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar. Kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah. Ada pun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian, rambutnya sudah putih semua, panjang dan digelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.
“Tidak berdosa? Omitohud... mana ada orang mengakui kesalahannya? Kalian ini para pertapa, semenjak puluhan tahun yang lalu telah mempunyai rencana jahat di Himalaya, yaitu berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama serta merampas kekuasaan. Kalau orang-orang macam kalian ini tidak dibasmi, kelak hanya akan mendatangkan keributan saja!” bentak Lama yang ada codet bekas luka di dahinya.
“Sudahlah, untuk apa lagi bicara panjang lebar dengan dia? Heh, tosu keparat, bukankah engkau adalah seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?!” teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.
“Siancai... memang pinto disebut Pek In Tosu. Kami tiga orang kakek dari Himalaya telah bersumpah tidak akan membiarkan kebencian menguasai hati, apa lagi memberontak.”
“Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!” kata pula si codet. “Kalau hendak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!”
“Siancai...! Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian ke sana.”
“Apa?! Kalau begitu, kami akan membunuhmu di sini juga!” teriak si muka bopeng.
Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran mereka pun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak pertama kali masuk ke perguruan itu sudah diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka menjadi marah melihat sikap dua pendeta Lama itu. Apa lagi mereka pun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah mendengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang.
Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal ini sudah menimbulkan perasaan tidak senang di dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke depan dua orang pendeta Lama dengan sikap gagah.
“Kalian ini adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah pendeta!” teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar. “Tetapi tindakan kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!”
“Totiang, silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!” kata Kok Han.
Sementara itu, kedua orang pendeta Lama itu saling pandang, lalu mereka menghadapi dua orang pemuda itu dengan alis berkerut. Si codet menyapu kedua orang pemuda itu dengan pandang matanya yang liar dan tajam bagaikan mata harimau, dan suaranya terdengar parau serta penuh teguran.
“Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari mana berani ikut mencampuri urusan orang-orang tua? Mengingat bahwa kalian masih kanak-kanak, biar pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang ini. Pergilah sebelum kami kehilangan kesabaran.”
“Kami bukan orang yang suka usil mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan orang yang dapat begitu saja membiarkan terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami telah digembleng untuk menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!” kata pula Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia tampak gagah sekali. Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan, apa lagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat dia pun nampak gagah.
Dua orang Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng itu berkata, “Ha-ha-ha, semenjak kapankah Thian Hwat Tosu ikut-ikutan mencampuri urusan kami dan berani menentang para Lama dari Tibet?”
Lama yang mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata mencorong, lalu berkata, “Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Harimau dari Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!”
“Kami tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami ini! Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian menggunakan kekerasan dan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang ini, baru kami mau sudah!” kata Ciang Sun.
“Siancai...! Ji-wi kongcu harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu bisa membahayakan keselamatan ji-wi sendiri,” kata tosu itu dengan wajah khawatir.
“Biarlah totiang, kami yang bertanggung jawab,” kata Ciang Sun.
Sedangkan Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu. “Sekali lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami dua orang muda tidak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!” berkata demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya dikepal. Juga Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding!
Kembali dua orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa.
Thay Si Lama yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek, “Kami tidak akan membebaskan dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikun-tikus cilik dari Kun-lun-pai dapat melakukan apakah?”
Ini merupakan tantangan! Tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah, apa lagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina perkumpulan mereka pula.
“Engkau memang Pendeta sesat yang jahat!” bentak Ciang Sun sambil menyerang Thay Si Lama si muka bopeng.
“Kalian memang patut dihajar supaya tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!” bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang bermuka codet.
“Plak! Plak!”
Pukulan dua orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua orang Lama itu, bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemuda itu dengan tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi?
Dua orang pemuda itu terpental ke belakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan mereka telah menjadi bengkak dan membiru!
Dasar orang muda yang kurang pengalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan mereka berdua pun menyerbu ke depan, menusukkan pedang mereka ke arah dada dua orang pendeta Lama itu.
Kini dua orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan tangan telanjang. Pedang dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka yang mencengkeram.
“Krekkk! Krekkk!”
Dua batang pedang itu patah dan hancur dalam cengkeraman dua orang kakek Lama itu. Sebelum dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah melangkah maju. Dua kali tangannya bergerak ke arah pundak dua orang murid Kun-lun-pai itu dan mereka pun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darah mereka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya bisa memandang dengan mata melotot.
Thay Si Lama yang mukanya bopeng mencela temannya. “Suheng, kenapa tidak engkau habiskan saja mereka ini? Dari pada kelak menjadi penyakit, biar kuhabiskan saja nyawa mereka!” Berkata demikian, Thay Si Lama melangkah maju. Tangannya sudah bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang sudah tidak berdaya itu.
“Siancai..., kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!”
Tiba-tiba kakek yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah berkelebat. Nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si Lama ke arah dua orang pemuda itu telah tertangkis.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong ke belakang dan terhuyung. Kini mereka berdua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu menjadi merah padam.
“Omitohud, bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu unjuk gigi dan melawan kami!” kata Thay Ku Lama si muka codet sambil menyeringai mengejek. “Mengapa tadi pura-pura alim dan sama sekali tidak melakukan perlawanan?”
“Siancai...! Sudah puluhan tahun kami para pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk nafsu, dan kami pantang mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa kalian hendak membunuh dua orang muda yang sama sekali tidak berdosa, bagaimana mungkin pinto mendiamkannya saja? Kalian telah menghajar dua orang bocah ini untuk kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh? Apakah kalian juga telah siap untuk menentang Kun-lun-pai?”
“Pek In Tosu, semua orang tahu bahwa engkau adalah seorang di antara Himalaya Sam Lojin yang kabarnya memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan mengira kami Lima Harimau Tibet akan gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah kesaktianmu karena kami hendak membunuh engkau dan juga dua orang bocah ini!” kata Thay Ku Lama.
Pendeta Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut itu tiba-tiba memasang kuda-kuda yang aneh, yaitu seperti orang berjongkok. Kedua lengan ditekuk dengan tangan membentuk cakar, telentang di kanan kiri dada, dan perutnya yang gendut itu makin lama semakin menggembung ketika dia menyedot napas sebanyaknya sampai keluar suara angin berdesis. Lalu dari dalam perutnya terdengar suara.
“Kok-kok-kok!”
Dan kedua tangan yang tadinya telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan. Seluruh tubuhnya tergetar dan seluruh syarafnya menegang karena dia sudah siap melancarkan pukulan maut yang amat dahsyat.
Agaknya, untuk menghadapi seorang di antara Himalaya Sam Lojin, Lama yang bermuka codet dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan ilmu simpanannya supaya dengan sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan mampu merobohkan lawannya yang dia duga tentu lihai sekali.
Diam-diam Pek In Tosu terkejut. Dia sudah pernah mendengar akan ilmu yang sekarang diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah semacam pukulan jarak jauh yang mengandalkan sinkang dan khikang, yang dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Sakti Awan Hitam dan Badai). Perut gendut yang menggembung itulah yang menjadi sumbernya dorongan tenaga sakti yang amat ampuh.
Maklum bahwa lawan telah mengeluarkan ilmu simpanannya, siap menyerangnya, Pek In Tosu berkata lembut, “Siancai... pinto terpaksa melanggar pantangan, semoga mendapat pengampunan...!”
Dan kakek ini pun menggerakkan kedua lengannya, diputar seperti membentuk bulatan-bulatan yang saling dorong. Tubuhnya makin direndahkan dan kedua kakinya dipentang lebar, lalu kedua tangannya berhenti bergerak, saling bertemu di depan dada seperti menyembah dan dia pun sudah siap menanti serangan dahsyat dari lawannya.
Bunyi kokok dari perut Thay Ku Lama semakin keras dan semakin cepat, dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam! Telapak tangan itu pun berubah kehitaman. Sungguh dahsyat bukan main ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi lawan.
Pek In Tosu melihat ini semua. Akan tetapi dia masih tetap tenang saja, bukan tenang memandang rendah, melainkan tenang menghadapi apa pun yang terjadi dan yang akan menimpa dirinya.
Tiba-tiba Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda seperti seekor katak itu menerjang dan tubuhnya meloncat ke atas depan. Bunyi kokok itu semakin keras dan tiba-tiba ada angin besar sekali menyambar ke arah Pek In Tosu, angin keras yang membawa tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam!
Bukan main dahsyatnya serangan ini. Angin itu saja sudah mengandung tenaga sakti yang amat kuat dan mampu merobohkan lawan, dan asap hitam itu pun mengandung racun yang berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan sampai tersentuh oleh kedua telapak tangan hitam itu.
Tetapi, tiba-tiba dari kedua telapak tangan Pek In Tosu keluar asap putih! Itulah ilmu sakti Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar ke depan, menyambut angin dan asap hitam dari pukulan lawan. Kaki kakek tua itu bergeser ke kiri dan kedua tangannya membuat gerakan memutar dari kiri, menangkis kedua tangan lawan yang digerakkan lurus ke depan seperti orang mendorong daun pintu.
“Plakk! Plakk!”
Dua pasang tangan itu saling bertemu, dan akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku Lama terpelanting ke kiri. Akan tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu juga terguncang sehingga kakek itu terpaksa melangkah mundur tiga langkah untuk mengembalikan keseimbangan tubuh.
Pada saat itu, dari arah kanan Thay Si Lama telah datang menyerangnya. Lama muka bopeng ini juga lihai bukan main, dan begitu menyerang dia sudah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu yang disebut Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti).
Bukan saja kedua tangan itu membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga dari kedua telapak tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan suara bercuitan, dan juga mengandung tenaga mukjizat dari ilmu sihir yang membuat kedua tangan itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan menyerang dari semua sudut!
“Siancay…!” Pek In Tosu memuji dan berseru, dilanjutkan dengan pembacaan mantera dan dia pun tetap mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In Sin-ciang.
Terjadilah pertandingan silat yang aneh dan seru. Semua sambaran tangan Thay Si Lama yang disertai hawa mukjizat itu seperti tertolak mundur semua oleh awan putih yang keluar dari kedua telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan kini asap atau awan putih semakin besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si Lama yang mulai main mundur! Melihat Thay Si Lama semakin terdesak, Thay Ku Lama mengeluarkan suara kokok lagi dan dia pun membantu sute-nya, mengeroyok Pek In Tosu!
Dikeroyok dua oleh dua orang Lama yang sakti itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu kelihatan terdesak! Sebetulnya dengan tenaga sinkang-nya yang setingkat lebih kuat, disertai keringanan tubuhnya yang memudahkan ia untuk berkelebat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan dahsyat kedua orang lawannya, Pek In Tosu tidak perlu terdesak.
Namun, usianya sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya sudah mulai lemah dimakan usia. Apa lagi selama puluhan tahun ini dia tidak pernah bertanding, sebab itu tentu saja dia kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang lawannya, dua orang pendeta Lama yang usianya baru lima puluhan tahun itu, agaknya memang terlatih dan mereka sering kali berkelahi, maka gerakan mereka lebih lincah dan juga daya tahan mereka lebih kuat.
Tiba-tiba Pek-sin Tosu berseru, “Siancai...!” dan dia lalu duduk bersila di atas tanah!
Thay Ku Lama dan Thay Si Lama tertegun dan cepat menahan gerakan mereka. Mereka merasa amat heran melihat lawan mereka kini tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang bersemedhi, kedua telapak kakinya telentang di atas paha. Itulah cara duduk bersila dalam kedudukan Teratai yang kokoh kuat.
Mereka mengira bahwa kakek itu telah kelelahan dan pasrah untuk mati, maka keduanya lalu saling pandang dan Thay Ku Lama menghantamkan tangan kanannya ke ubun-ubun kepala Pek In Tosu. Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang hanya dapat dilakukan dalam keadaan berjongkok dan menyerang ke atas, ke arah lawan yang berdiri. Kini lawannya itu duduk bersila, maka tentu saja dia tidak dapat menggunakan tenaga katak sakti itu!
Dia menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala. Kalau saja pukulan itu tepat mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi lawannya tentu akan tewas seketika! Akan tetapi, Pek In Tosu mengangkat tangan kirinya menangkis.
“Dukkk!”
Tubuh Thay Ku Lama terpental! Kiranya kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus harapan dan pasrah menerima binasa, melainkan dia mengambil sikap bertahan dan melindungi tubuhnya secara yang paling istimewa dan paling kuat!
Kedudukan seperti Teratai itu memang merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat seperti piramida, dan seolah-olah kakek itu dapat menyedot hawa bumi yang membuat tubuhnya kuat sekali dan tangkisannya membuat lawan terpental!
Thay Si Lama menjadi penasaran dan dia pun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi, kembali Pek In Tosu menangkis, tangannya diangkat ke arah belakang dan begitu kedua tangan bertemu, tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung!
Dua orang pendeta Lama itu menjadi makin penasaran. Mereka adalah dua orang tokoh yang kenamaan, dua di antara Lima Harimau Tibet yang sudah sangat terkenal. Sejak belasan tahun ini mereka merupakan tulang punggung dari pemerintahan Dalai Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan dan kekuasaan Dalai Lama sehingga ditaati oleh jutaan orang manusia!
Selama ini, belum pernah Harimau Tibet bertemu tanding. Mustahil bila kini menghadapi seorang pertapa tua renta saja mereka sampai tak mampu merobohkan, padahal pertapa itu kini sama tidak dapat membalas lagi, hanya duduk bersila sambil membela diri!
Namun, berkali-kali menyerang, baik bergantian mau pun berbareng dan hasilnya sama saja. Setiap kali ditangkis, mereka terpental dan terhuyung, bahkan pernah pula hampir terjengkang. Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka.
Keduanya saling pandang, memberi isyarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba mereka pun menghentikan serangan mereka dan hanya berdiri di depan dan belakang Pek In Tosu dalam jarak kurang lebih tiga meter. Kemudian, mulailah mereka berjalan mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasanya mereka nyanyikan di dalam kuil mereka untuk memuja para dewa.
Akan tetapi, lagu yang mereka nyanyikan ini lain lagi, ada hubungannya dengan ilmu sihir. Nyanyian ini bukan untuk memuja para dewa saja, tetapi juga untuk mengundang setan dan meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!
Suara nyanyian itu aneh dan menyeramkan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan kadang-kadang di dalam suaranya ada selingan suara kokok seperti kalau dia sedang mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit.
Suara nyanyian itu bukan suara sembarangan, melainkan dikeluarkan dengan tenaga khikang dan sihir. Suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang pendeta Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini kepala mereka pun menggeleng-geleng menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang! Makin lama, tindakan mereka itu seolah-olah terseret oleh gelombang suara nyanyian mereka sendiri.
Mula-mula tubuh Pek In Tosu gemetar. Kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang membubung ke atas. Itulah tandanya bahwa ia sedang berjuang mati-matian untuk melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu!
Pek In Tosu bukanlah seorang yang lemah batinnya. Sebaliknya, karena hasil semedhi yang berpuluh tahun, dia memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia dipengaruhi kekuatan apa pun dari luar.
Akan tetapi, diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar walau pun dia berusaha keras mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu memiliki kekuatan gaib untuk menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran!
Getaran yang disebabkan suara itu membuat tubuh Pek In Tosu gemetar. Dia pun lalu melawan, mengerahkan khikang sehingga dari kepalanya keluar uap putih yang semakin lama semakin menebal. Namun, pertahanannya agaknya goyah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti, kepala Pek In Tosu mulai bergoyang-goyang.
Mula-mula goyangan itu hanya perlahan-lahan. Tetapi makin lama goyangan kepala Pek In Tosu semakin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya!
Sekarang keadaan kakek tua renta itu gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu ialah sejenis ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang mengandung sihir. Jika Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu akan mudah dirobohkan dan dibunuh karena semangatnya seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua orang pendeta Lama itu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di dalam kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara lainnya yang memecahkan kesunyian. Tadinya yang terdengar hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta Lama itu, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada batu!
Suara ini pun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan dan menjadi kebalikannya. Tentu saja kini terdengar suara yang kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang dipukul-pukul batu. Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu?
Tidak jauh dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu sedang memukuli batu besar di depannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan ‘paduan suara’ antara mereka.
Dua orang pendeta Lama itu terkejut dan marah. Mereka lalu cepat-cepat menyesuaikan irama nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena jika mereka bisa membuat irama mereka bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi semakin enak didengar dan menghanyutkan.
Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu semakin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepala!
Akan tetapi hal itu hanya berlangsung sebentar saja karena ketukan bambu itu sekarang berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawanan dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama. Bahkan kini ketukannya menjadi lebih keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, kadang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat. Kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, lalu berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya.
Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka. Kini bunyi-bunyian yang terdengar demikian kacau balaunya sehingga daya hanyutnya menjadi kacau dan lemah sekali.
Pek In Tosu seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia sudah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak bergerak! Dari kepalanya juga tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak lagi digeleng-gelengkan.
Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan menggeleng-gelengkan kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka menjadi kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan!
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal dan robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang dan tidak terawat, awut-awutan, bahkan sebagian menutupi dahi dan mukanya.
Wajah itu tidak buruk, malah bentuknya tampan. Matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, akan tetapi wajah itu mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya. Punggungnya bongkok dan agaknya ada daging menonjol di punggung itu. Anak itu bukan lain adalah Sie Liong!
Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bahkan juga menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apa lagi ketika mereka melakukan sembahyangan dan dia mendengar bahwa ayah ibunya meninggal dunia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya merasa semakin berduka dan gelisah. Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah.
Tiba-tiba dia mendengar suara enci-nya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan membentak! Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara tadi keluar melalui celah-celah jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada di sebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar enci-nya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
“Jelas bahwa dia salah besar!” terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. “Pertama, dia mencuri belajar ilmu silat padahal sudah kularang dia belajar silat! Kedua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan dia memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang sungguh keterlaluan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!”
“Apa? Bongkok jelek katamu? Jangan kau kira aku tidak tahu bahwa engkaulah yang membuat dia menjadi bongkok!”
“Ehh? Apa yang kau katakan itu?” cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan Sie Liong yang mendengar ucapan enci-nya itu.
“Ya, engkau yang membuat dia menjadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau melarang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!”
“Ssttt...! Lan Hong, apa yang kau katakan ini?”
Terdengar enci-nya menangis. “Setelah... setelah apa yang kulakukan untukmu semua... setelah kuserahkan badanku, cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku dapat diselamatkan..., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia telah menjadi bongkok, cacat, dan engkau... masih juga membencinya?”
“Kau jelas keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa aku pun suka padanya, hanya aku..., benarlah, aku khawatir dan kau pun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu... dia seolah-olah menjadi penghalang kebahagiaan kita... aku selalu khawatir dan kadang-kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur...”
Hening sejenak, lalu terdengar enci-nya berkata lirih. “Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!”
“Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan.”
“Apa?!” enci-nya setengah menjerit. “Maksud... maksudmu...?”
“Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar di sana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia dapat menjadi seorang hwesio. Bukankah hal itu sangat baik baginya? Menjadi seorang hwesio merupakan kedudukan yang terhormat, mulia dan bahkan disegani orang.”
“Ahhh... tetapi... tetapi...”
“Tidak ada tetapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau juga menghendaki supaya kebahagiaan kita tidak terganggu dan keselamatan adikmu terjamin pula?”
Setelah hening sampai lama, lalu terdengar enci-nya berkata, “Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititipkan, dan aku boleh mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu...”
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, ingin menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia takkan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat enci-nya cekcok dengan suami enci-nya. Bagaimana pun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya.
Bukankah enci-nya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihu-nya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihu-nya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut?
Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia kemudian mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi sebuah buntalan yang cukup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong.
Biar pun baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dia hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan!
Kedua lengannya dengan kekuatan sepenuhnya diangkat ke atas menangkis dua tangan lawan yang menghantam ubun-ubun kepalanya.
"Dukkk!"
Kuat sekali kedua lengan Sie Liong itu. Lu Ki Cong sampai berteriak kesakitan ketika kedua lengannya bertemu dengan dua lengan lawan yang menangkisnya.
Pada saat itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya ‘terbuka’ sampai ke perut. Dia cepat merendahkan tubuhnya. Kepalanya yang memang sudah terjulur ke depan karena bongkoknya itu ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga dia pun menyeruduk ke depan! Kepalanya secara telak mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!”
Dan tubuh Lu Ki Cong terjengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang telah roboh itu. Si muka hitam mengaduh-aduh memegangi telunjuk kanannya yang hampir putus tergigit, sedangkan Ki Cong tidak mampu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian.
Kini ia meloncat dan menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan tangan Bi Sian. Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang anak itu terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk.
Tiga orang anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta ampun, bahkan dua orang di antaranya menangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh kekaguman.
“Paman Liong, engkau sungguh hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka...,” kata Bi Sian sambil maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik itu dengan penuh kekaguman. “Dan engkaulah yang telah menolongku, paman!”
Sie Liong merasa betapa hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri di tubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini bergelimang rasa malu dan dia pun dengan lembut menarik kedua tangannya sambil membuang muka.
“Ahhh... sudahlah, Bi Sian. Di mana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayam-ayamnya berloncatan jauh. Mari kita kumpulkan!”
Mereka berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapa pun mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga ada banyak barang belanjaan menjadi rusak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas panjang.
“Ahh, aku tentu akan dimarahi enci Hong!”
“Tidak, biar aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!”
“Jangan, Bi Sian! Jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku...!”
“Mengapa ayah harus marah? Bukankah engkau sudah menolongku, paman? Biar nanti aku yang menceritakan dan kalau ayah dan ibu tetap marah kepadamu, aku yang akan membelamu!”
“Jangan, Bi Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu agar jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan supaya aku tidak berkelahi. Dia tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku. Kuminta, jangan kau ceritakan bahwa aku berkelahi!”
Bi Sian memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak ke arah muka itu, dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan biru itu. “Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku tadi sempat melihat betapa engkau dipukuli dan ditendangi...”
Tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya. “Tidak, tidak berapa nyeri...”
“Paman, kalau nanti aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolongku dan berkelahi mengalahkan lima orang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak ini dan bertanya?”
Sie Liong meraba mukanya. Dia tidak dapat melihat mukanya yang lebam membiru, akan tetapi dapat merasakan nyeri di tepi kedua matanya dan di pipi kirinya, juga dia dapat merasakan betapa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat membayangkan bahwa dari mukanya akan mudah kelihatan bekas-bekas perkelahian.
“Ah, bagaimana baiknya...? Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.” Dia kelihatan bingung.
Melihat kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan walau pun dianggapnya sikap itu berlebihan.
“Baiklah, paman. Aku tidak akan menceritakan mereka tentang perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak karena ada lima orang anak nakal yang mengganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang adalah tanggung-jawabku.”
“Dan engkau akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau dimarahi enci Hong tentang kehilangan itu, biarlah kukatakan bahwa barang-barang itu tadinya kubawa, dan hilang karena aku dipukuli mereka. Dan engkau tak dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima.”
Bi Sian mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang dikhawatirkan Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
“Aihh! Apa yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belanjaan ini! Dan ayamnya hanya tiga ekor? Ehh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?” Sie Lan Hong berseru dengan alis berkerut.
”Sie Liong! Engkau tadi berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?” Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-bengkak.
Sie Liong hanya menundukkan mukanya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya kalau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia lalu berkata, “Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!”
Mendengar kata-kata dan melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri. “Bi Sian, engkau berkelahi? Mengapa? Ceritakan apa yang sudah terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan menjadi kotor berantakan dan ada yang hilang?”
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu kelihatan kesakitan dan mukanya bengkak-bengkak, lalu berkata, “Biarkan mereka duduk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.”
Kedua orang anak itu minum air teh yang semenjak tadi tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
“Pada waktu kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi di dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-laki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak nakal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengatakan paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Tetapi mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan. Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, sementara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali tiga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat sekali seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan keamanan di kota ini, ayah.”
“Apa?! Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun Kok bertanya kaget sekali. “Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami tak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu adalah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aihh!” Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri.
Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan hanya sahabat baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul percakapan tentang menjodohkan anak masing-masing satu sama lain. Perwira itu hanya memiliki seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Meski pun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberi tahu tentang hal itu, di antara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi!
Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi Sian, coba ceritakan sekali lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkelahian itu? Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?”
Bi Sian bersungut-sungut, “Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang hendak mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia bersama teman-temannya malah memukuli paman Liong.”
Ah, kini mengertilah Sun Kok. Anak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu telah diberi tahu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodohkan dengan Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu saja isterinya menjadi heran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
“Mengapa ayah tertawa?” tanyanya berani.
Sun Kok masih tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil tersenyum. “Ha-ha, dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha-ha, bagaimana dia bisa cemburu? Sie Liong adalah seorang anak cacat... ehh, dia kan pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kau beri tahu?”
Bi Sian menjadi penasaran. “Sudah kuberi tahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia cemburu, ayah? Ada hak apa dia cemburu?”
Yauw Sun Kok masih tersenyum ketika menjawab. “Tentu anak itu sudah mendengar dari ayahnya akan rencana ayahnya dan aku untuk menjodohkan engkau dengan dia...”
“Ayah...!” Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, alisnya berkerut.
Sejenak anak ini memandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, tetapi ia lalu lari masuk ke dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya, lalu mengundurkan diri ke dapur sambil membawa barang-barang belanjaan untuk menyerahkan kepada pelayan di dapur.
“Aih, Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau bicara tentang perjodohan dengan ia yang belum mengerti apa-apa itu?” Sie Lan Hong menegur suaminya.
Suaminya hanya tersenyum. “Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan omong-omong antara kawan saja, belum resmi mereka meminang. Karena itu, engkau pun belum kuberi tahu. Bagaimana pun juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku. Peristiwa perkelahian antara kedua orang anak yang ingin kami jodohkan itu sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau sampai puteranya terluka oleh tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke sana untuk minta maaf.” Yauw Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu.
Sie Lan Hong lalu memasuki kamar puterinya dan disambut oleh anaknya yang matanya merah karena baru saja menangis. Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. “Ibu, aku tidak sudi dijodohkan dengan tikus jerawatan itu!”
“Ehhh? Tikus jerawatan yang mana?” ibunya bertanya heran karena dia memang tidak mengerti.
“Itu, anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkan dengan dia, ibu? Kalau benar, aku akan minggat saja!”
“Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan sahabatnya saja. Belum ada pinangan resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu akan mengajak aku berunding, dan engkau pun akan kuberi tahu. Sudahlah, jangan marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi ke sana untuk minta maaf.”
“Ayah pergi ke rumahnya? Celaka...!” Akan tetapi Bi Sian segera menutup mulut dengan tangan.
Terlambat. Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa curiga.
“Sian-ji, ada apakah? Mengapa engkau terkejut dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun? Mengapa engkau mengatakan celaka tadi?”
Bi Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik ia lebih dulu memberi tahukan ibunya dan menarik ibunya di pihaknya supaya nanti membela dia dan pamannya.
“Ibu, aku tadi... berbohong kepada ayah, maka aku amat kaget mendengar ayah pergi ke rumah komandan itu,” katanya mengaku.
“Bohong? Bohong bagaimana, Bi Sian?”
“Aku memang berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan kelima orang itu dia hajar sampai luka-luka dan mereka semua melarikan diri.”
“Sie Liong? Tidak mungkin!” kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu dapat mengalahkan lima orang anak nakal yang lebih besar?
“Benar, ibu. Aku tidak berbohong.”
Bi Sian lalu menceritakan semua yang sudah terjadi. Betapa lima orang anak nakal itu menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja. Dialah yang marah-marah dan memukul. Akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang anak lain memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berhasil menolongnya. Mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
“Paman Liong minta kepadaku, supaya jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut berkelahi, maka aku lalu berbohong. Akan tetapi sekarang ayah pergi ke sana, tentu tikus jerawatan itu akan mengadu kepada ayah dan menceritakan bahwa paman Liong yang memukulnya.”
Sie Lan Hong masih bingung dan heran. “Tapi... tapi... Sie Liong cacat dan lemah....”
Walau pun matanya masih merah oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
“Jangan ibu kira bahwa paman Liong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua ilmu silat yang diajarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada aku, ibu. Ketika melawan anak-anak nakal itu, dia hebat bukan main!”
Terkejutlah hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya telah mempelajari ilmu silat! Ahhh, jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Hal itulah yang sangat dibenci suaminya, dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam!
Perih rasa hati Lan Hong. Ia sendiri sering kali termenung dan merasa berdosa kepada ayah ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, walau pun dengan alasan untuk membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan dia telah terpaksa menyerahkan diri kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya.
Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini, apa lagi setelah ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia pun tak menginginkan terjadi permusuhan antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi, sekarang terjadi peristiwa itu dan suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari ilmu silat.
“Sian-ji... jangan... jangan kau menceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka mendengar Sie Liong belajar ilmu silat.”
“Tapi, kenapa ibu? Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat? Paman Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa? Aku yang seorang anak perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah justru melarangnya?”
“Ayahmu... lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apa lagi cacat di punggung. Berbahaya sekali jika dia mempelajari ilmu silat. Sudahlah, lebih baik kau tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu.”
Akan tetapi hal itu tidak ada gunanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini keluar dengan hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam dengan muka merah.
Memang Sun Kok marah sekali. Ketika ia berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun, ia bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah di pembaringan karena dia mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Liong. Sahabatnya itu bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbahaya sekali.
“Bukan hanya Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali.”
Tentu saja Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaimana Sie Liong dapat menjadi seorang anak yang demikian kuat dan menurut penuturan Ki Cong, pandai silat pula? Teringatlah dia akan keadaannya sendiri.
Kalau Sie Liong dibiarkan terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang pandai, kelak keselamatan nyawanya tentu akan terancam! Akan tetapi, jalan satu-satunya untuk mengatasi ini hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau melakukan hal itu.
Bukan hanya karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa selamanya dia tidak akan membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus membunuhnya. Bagaimana pun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang sangat baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia dapat mempunyai kepandaian ilmu silat?
“Sie Liong...!” Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan tangannya masih basah karena ketika dipanggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah itu dengan lap dan air.
“Ci-hu memanggil saya?” tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di depan cihu-nya yang duduk dan memandang kepadanya dengan mata bernyala.
“Sie Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?” bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam Sie Liong terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki ketabahan yang luar biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak memperlihatkan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat.
Apakah anak perempuan itu yang memberi tahukan ayahnya? Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian sudah memberi tahu, tak mungkin cihu-nya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya? Dia tidak ingin melibatkan Bi Sian, takut kalau-kalau anak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihu-nya dengan berani.
“Saya tidak belajar silat dari siapa pun, cihu.”
“Brakkk!”
Yauw Sun Kok menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja itu retak.
“Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-ciangkun dan kawan-kawannya, dan engkau mengalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
“Ayah, yang memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih dulu menghina dan memukul!” Bi Sian memprotes.
“Diam kau! Tadi kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong tidak berkelahi! Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
Sie Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan keponakannya yang selalu mencoba untuk membelanya itu. “Cihu, memang saya mempelajari ilmu silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri.”
Yauw Sun Kok memandang dengan mata melotot. “Tidak mungkin bisa belajar silat tanpa guru! Coba kau mainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku melihat ilmu silatmu!” katanya, setengah mengejek, setengah marah. “Hayo cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar laranganku!”
Sie Liong memandang pada enci-nya. Sang enci merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi dia tahu bahwa kalau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu akan menjadi semakin marah. Bagaimana pun juga, kemarahan suaminya itu cukup beralasan karena larangannya sudah dilanggar oleh Sie Liong. Maka dia lalu mengangguk kepada adiknya itu.
“Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah kau pelajari agar cihu-mu melihatnya, Sie Liong,” katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang secara diam-diam telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
“Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan ditertawakan sebab permainanku tentu jelek dan tidak karuan.”
Maka dia pun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti jika dia berlatih silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut sekali karena gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti...!” bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya dan berdiri di depan Sie Liong yang segera menghentikan gerakan kaki tangannya. “Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!”
“Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan... mencuri lihat dan mengintai ketika... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan di dalam hati, lalu saya menirukan gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya...”
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang sangat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempelajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian. Dia pun mencari akal.
“Sie Liong, pada waktu aku melarang engkau belajar silat, tentu hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikanmu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali jika engkau mempelajari ilmu silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat sebentar. Keluarkan semua jurus yang sudah kau pelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti aku pun akan menyerang engkau dengan jurus yang sama. Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, seranglah!”
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihu-nya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedikit pun dia tidak menaruh hati curiga dan dia pun mentaati perintah itu. Dia lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, menyerang cihu-nya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar. Wanita ini masih belum tahu apa yang dikehendaki oleh suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ini ternyata benar-benar sudah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong. Ia pun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu ketika mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bahwa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu sangat sayang kepadanya dan ia pun merasa amat sayang kepada pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut. Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar jika dibandingkan anak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan bila lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibiarkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak akan menjadi orang pandai dan akan membahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-serangan Sie Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihu-nya menyerang dengan jurus-jurus yang telah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihu-nya. Tiba-tiba gerakan tangan cihu-nya demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
“Plakkk! Plakkk!”
Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tubuh anak itu masih berputar, sekali lagi tangannya menghantam punggung yang bongkok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah!
Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas. Akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
“Ayah, kenapa ayah memukul paman Liong?” Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga sudah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa yang kau lakukan?” katanya dengan suara nyaring dan mata memandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya. “Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan kepada dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi tidak akan membuatnya muntah darah.”
Untunglah tadi dia masih ingat sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya. Kalau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melanggar sumpahnya dan tentu akan terjadi perubahan dalam hubungannya dengan isterinya tercinta.
Bi Sian cepat membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu sama sekali tidak kelihatan menyesal atau marah, walau pun dia menyeringai kesakitan dan mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
“Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tak berdosa! Ayah, paman Liong membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia tidak pernah mengintai, tidak mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah mengajarkan semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!” Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
“Hushh,” ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
“Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!”
“Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw Sun Kok.
“Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Paman Liong sama sekali tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!” Kembali Bi Sian membantah biar pun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara.
“Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba kau bayangkan. Jika engkau pergi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah akan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?”
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal sekali bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayahnya sendiri.
“Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian.”
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimana pun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya.
Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Jika ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan seluruh kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
“Coba kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap supaya Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri…..
**********
Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang leluhur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun.
Tadinya dia sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu pada waktu dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang pertama. Seolah-olah dia sudah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang telah tiada, juga melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya sehingga setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.
Sie Liong masih menderita akibat pukulan cihu-nya dua hari yang lalu. Dia masih sering batuk-batuk. Meski kini batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pun terasa pusing.
Selama dua malam ini kalau sedang tidur di kamarnya, dia gelisah dan beberapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihu-nya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihu-nya malah memukulnya.
Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijodohkan dengan Lu Ki Cong putera Lu-ciangkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian. Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, tetapi akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu!
Dia pun teringat kepada enci-nya, dan merasa kasihan kepada enci-nya. Dia merasa betapa enci-nya sangat sayang kepadanya, dan enci-nya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika melihat dia dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan enci-nya gara-gara dia.
Dan dia pun sering kali memergoki enci-nya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang amat mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatangkan kesedihan di hati enci-nya.
Cihu-nya amat baik dan sayang kepada enci-nya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan enci-nya juga sudah serba cukup dan menyenangkan. Lalu masalah apa yang menyebabkan enci-nya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka?
Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol akibat peristiwa dua hari yang lalu. Mukanya nampak muram. Setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja sembahyang, dia pun lalu meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke tokonya di mana dia berdagang rempah-rempah dibantu oleh beberapa orang pegawai.
Di ruangan sembahyang itu sekarang tinggal Sie Lan Hong, Sie Liong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
“Bi Sian, sekarang engkau bersembahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat pada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar.” Yang disebut kakek nenek dalam ialah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio dan mulai bersembahyang. Pada waktu Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya!
Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Enci-nya lalu menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka karena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok juga terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin sedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Liong yang biasanya keras dan tabah itu dan dia pun lalu menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang.
Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis. Pamannya yang kuat, amat tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Ia pun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.
“Paman Liong, ada apa? Apakah... apakah engkau sakit...?” Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari gadis cilik itu menambah keharuan hatinya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis.
Melihat keadaan adiknya, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong cepat mendekati dan berlutut, lalu merangkul adiknya.
“Adik Liong, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini? Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa sakit?”
Sie Liong menggeleng kepala sambil mengusap air matanya, mengeraskan hatinya untuk menghentikan tangisnya.
“Yang sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? Ataukah ada yang membunuh mereka?”
“Aku pun merasa heran, ibu, dan sering aku bertanya kepada diri sendiri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda? Melihat betapa usia paman Liong tak banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ketika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?”
Ditanya oleh adik dan anaknya seperti itu, jantung Sie Lan Hong berdebar-debar penuh ketegangan! Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi sebelas atau dua belas tahun yang lalu! Betapa ayahnya dan ibunya, juga suheng-nya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh.
Kemudian muncul si pembunuh yang sangat kejam itu! Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian! Pada saat itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpaksa menyerahkan dirinya bulat-bulat karena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!
Kemudian, sesudah menjadi isteri Yauw Sun Kok, dia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan juga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian.
Lalu bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya? Menceritakan bahwa suaminya sendiri adalah pembunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya? Sudah lama dia menghapus permusuhan ini, kebencian berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mempunyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimana pun, dia tidak akan membongkar rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
“Enci, mengapa enci tidak menjawab pertanyaan kami? Mengapa enci kelihatan sangat ragu-ragu?” Sie Liong mendesak enci-nya, dan sekarang sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah enci-nya dengan penuh selidik.
“Ahh, tidak,” Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup. “Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi? Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kau dengarkan ceritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita sudah menjadi korban wabah yang sangat berbahaya. Penyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang sehingga meninggal dunia. Untuk menghindarkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah ke sini.”
Mendengar cerita enci-nya ini, Sie Liong menarik napas panjang. “Kasihan sekali ayah dan ibu kita, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci.”
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata. Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walau pun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya!
“Enci, di manakah kita tinggal dahulu?”
Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut. “Mengapa engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat mala petaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan. Kita sekarang menjadi penghuni kota Sung-jan ini.”
“Aku hanya ingin tahu, enci. Siapa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu.”
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tidak mungkin dia membohongi adiknya lagi, dan pula, apa salahnya kalau ia memberi tahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembahyang di depan makam orang tua mereka.
“Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, bernama dusun Tiong-cin.”
Sie Liong mencatat nama dan letaknya dusun ini di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur. Dia gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, apalagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri…..
********************
Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di atas Tembok Besar! Tembok Besar itu merupakan bangunan raksasa yang sangat hebat, naik turun bukit dan jurang, serta memanjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li).
Beberapa bagian dari Tembok Besar ini dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang sedang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itu pun berjalan seorang diri dalam kesunyian.
Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan jurang-jurang yang penuh hutan lebat itu.
Tembok Besar
memanjang ribuan li
bekas tangan manusia
masih hidup atau sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan
untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia mati
untuk menciptakan bangunan ini?
Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin bertiup kencang dan menimbulkan suara ketika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-kibar seperti bendera.
Orang itu sudah tua sekali. Jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang semua sudah putih dibiarkan riap-riapan. Akan tetapi wajahnya masih nampak merah dan halus seperti wajah orang muda. Tubuhnya yang tinggi kurus itu masih berdiri tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang bagai langkah seekor harimau. Usianya tentu paling sedikit tujuh puluh tahun.
Pakaiannya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang diikat dengan tali kulit kayu. Kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula.
Sambil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, ia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu meter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu di berjalan, melainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja.
Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia beramah tamah dengan alam di sekitarnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya. Meski hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat.
Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan liar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langit pun akan sukar saking lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekelilingnya dengan jelas.
Beberapa ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus dari tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan dia pun tersenyum penuh bahagia.
Alangkah bahagianya orang yang masih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kita pun akan dapat melihat segala keindahan itu!
Dalam gerak-gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan semua itu!
Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala macam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, kekhawatiran, permusuhan, iri hati, cemburu, kebencian, yang semuanya mendatangkan kesengsaraan di dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan.
Tiba-tiba kakek itu mengangkat muka ke atas, agaknya dia baru teringat akan urusannya. “Aihh, perjalanan masih amat jauh, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan begini.”
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur ke barat dan lenyap!
Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan goa pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat.
Para penduduk perkampungan sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan. Karena kakek itu dikabarkan sangat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia pun disebut sebagai Pek-sim Siansu.
Sebutan ‘pek-sim’ ini mungkin dimaksudkan untuk memujinya sebagai orang yang berhati putih, seorang yang sangat budiman. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Siansu (Guru Suci Berhati Putih).
Kakek ini telah mengalami suatu kejadian aneh. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai tengah malam dia bersemedhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapa pun, ia pergi begitu saja meninggalkan goa pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat! Yang dituju adalah perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet!
Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dirinya supaya melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Siansu, peristiwa mendapat ilham atau isyarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi.
Manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang dengan nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu, maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka!
Kekuatan alam ini merupakan kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam sudah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan serta batin manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima isyarat-isyarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan penglihatan, dalam sadar mau pun dalam tidur.
Dan Pek-sim Siansu sudah mencapai tingkat seperti itu. Maka, tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat.
Mari kita tengok apa yang tengah terjadi di daerah perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tidak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke selatan, nampak Pegunungan Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet. Biar pun tidak sebesar dan seluas atau setinggi Pegunungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san ini pun telah terkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang berani memasukinya.
Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang yang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu di antata orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.
Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa orang pertapa di Himalaya. Penyebabnya hanyalah perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat!
Betapa banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama diadakan sebagai tuntunan terhadap manusia agar supaya dapat hidup tenteram dan damai, menjauhi segala bentuk permusuhan, kebencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, di antara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!
Bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak pula yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak!
Banyak di antara para pertapa yang benar-benar telah menjauhkan diri dari permusuhan. Maka mereka itu mengalah, lalu diam-diam menyingkir dari Himalaya dan sebagian dari mereka ‘mengungsi’ ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet.
Demikianlah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pelarian dari Himalaya. Dan Pek-sim Siansu juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pengungsiannya ke timur, amat jauh di timur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.
Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang mengamuk serta menyerang para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih menaruh dendam terhadap para pertapa asal Himalaya. Mendengar betapa para pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah Merah itu lalu mengamuk ke sana!
Menurut kabar, lima orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!
Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-pai. Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biar pun Kun-lun-pai tidak tersangkut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak enak.
Kun-lun-pai sudah diakui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui bahwa Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Apa bila kini ada orang-orang asing mengacau di Kun-lun-san, membunuh para pertapa yang tak berdosa, maka berarti mereka itu memandang rendah kepada Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayahnya dan bahkan mendatangkan kekacauan.
Sementara itu, serbuan lima orang pendeta Lama Jubah Merah dari Tibet itu kemudian mendatangkan perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menganut Agama Buddha banyak yang berpihak pada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang.
Perpecahan ini menimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang sangat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat hebat dan yang mengguncang Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.
Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hwat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sute-nya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi.
Di perguruan Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam empat tingkatan. Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.
Thian Hwat Tosu dan Thian Khi Tosu merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pagi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorang pun murid karena mereka ingin bicara empat mata saja.
“Suheng, keadaan ini tidak mungkin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik walau pun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!” kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.
“Siancai-siancai-siancai...!” Thian Hwat Tosu berseru lembut sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau maksudkan gerakan yang dilakukan oleh para Lama Jubah Merah itu, bukan?”
“Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama Jubah Merah itu sungguh sombong sekali. Mereka menyerang dan membunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat membiarkan mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?”
“Aihh, sute, apa yang dapat kita lakukan? Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelanjutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya. Para pendeta Lama itu agaknya mewakili Dalai Lama di Tibet untuk memberi hukuman kepada mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak terlibat apa pun, bagaimana kita dapat mencampuri? Apa bila kita ikut bertindak, mungkin malah dapat menimbulkan salah paham yang lebih besar, sute.”
“Tidak, suheng, pinto tidak setuju dengan pendapat seperti itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar supaya mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu justru memberi contoh yang buruk sekali kepada para murid?”
“Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itu pun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya yang terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri? Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan. Jangan engkau membawa Kun-lun-pai ke dalam permusuhan antara mereka. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.”
“Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas itu? Ah, pinto akan bersemedhi dan mohon kekuatan batin bagi kita semua, suheng,” berkata demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu lalu meninggalkan suheng-nya untuk bersemedhi di dalam kamarnya sendiri.
Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pemuda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia lebih kurang dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai.
Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biar pun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru mencapai tingkat tiga. Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama.
Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, walau pun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk dipergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat bila mereka melanggar peraturan perguruan.
Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap. Mereka baru saja pulang dari sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempah-rempah dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis.
Tiba-tiba keduanya berhenti melangkah dan memandang ke arah kiri, dari mana mereka mendengar suara orang membentak-bentak.
“Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kami bunuh di sini!” demikian suara yang membentak itu.
“Siancai...! Puluhan tahun yang lalu, pada waktu pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto tidak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam usia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa,” terdengar suara yang halus menjawab.
Ciang Sun dan Kok Han sudah menurunkan bawaan mereka dan menyelinap dengan hati-hati di antara pepohonan mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila di atas tanah. Pakaian tosu itu robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengancam di depannya.
Dua orang Lama itu berusia sekitar lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar. Kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah. Ada pun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian, rambutnya sudah putih semua, panjang dan digelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.
“Tidak berdosa? Omitohud... mana ada orang mengakui kesalahannya? Kalian ini para pertapa, semenjak puluhan tahun yang lalu telah mempunyai rencana jahat di Himalaya, yaitu berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama serta merampas kekuasaan. Kalau orang-orang macam kalian ini tidak dibasmi, kelak hanya akan mendatangkan keributan saja!” bentak Lama yang ada codet bekas luka di dahinya.
“Sudahlah, untuk apa lagi bicara panjang lebar dengan dia? Heh, tosu keparat, bukankah engkau adalah seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?!” teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.
“Siancai... memang pinto disebut Pek In Tosu. Kami tiga orang kakek dari Himalaya telah bersumpah tidak akan membiarkan kebencian menguasai hati, apa lagi memberontak.”
“Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!” kata pula si codet. “Kalau hendak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!”
“Siancai...! Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian ke sana.”
“Apa?! Kalau begitu, kami akan membunuhmu di sini juga!” teriak si muka bopeng.
Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran mereka pun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak pertama kali masuk ke perguruan itu sudah diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka menjadi marah melihat sikap dua pendeta Lama itu. Apa lagi mereka pun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah mendengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang.
Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal ini sudah menimbulkan perasaan tidak senang di dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke depan dua orang pendeta Lama dengan sikap gagah.
“Kalian ini adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah pendeta!” teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar. “Tetapi tindakan kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!”
“Totiang, silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!” kata Kok Han.
Sementara itu, kedua orang pendeta Lama itu saling pandang, lalu mereka menghadapi dua orang pemuda itu dengan alis berkerut. Si codet menyapu kedua orang pemuda itu dengan pandang matanya yang liar dan tajam bagaikan mata harimau, dan suaranya terdengar parau serta penuh teguran.
“Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari mana berani ikut mencampuri urusan orang-orang tua? Mengingat bahwa kalian masih kanak-kanak, biar pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang ini. Pergilah sebelum kami kehilangan kesabaran.”
“Kami bukan orang yang suka usil mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan orang yang dapat begitu saja membiarkan terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami telah digembleng untuk menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!” kata pula Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia tampak gagah sekali. Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan, apa lagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat dia pun nampak gagah.
Dua orang Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng itu berkata, “Ha-ha-ha, semenjak kapankah Thian Hwat Tosu ikut-ikutan mencampuri urusan kami dan berani menentang para Lama dari Tibet?”
Lama yang mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata mencorong, lalu berkata, “Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Harimau dari Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!”
“Kami tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami ini! Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian menggunakan kekerasan dan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang ini, baru kami mau sudah!” kata Ciang Sun.
“Siancai...! Ji-wi kongcu harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu bisa membahayakan keselamatan ji-wi sendiri,” kata tosu itu dengan wajah khawatir.
“Biarlah totiang, kami yang bertanggung jawab,” kata Ciang Sun.
Sedangkan Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu. “Sekali lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami dua orang muda tidak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!” berkata demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya dikepal. Juga Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding!
Kembali dua orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa.
Thay Si Lama yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek, “Kami tidak akan membebaskan dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikun-tikus cilik dari Kun-lun-pai dapat melakukan apakah?”
Ini merupakan tantangan! Tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah, apa lagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina perkumpulan mereka pula.
“Engkau memang Pendeta sesat yang jahat!” bentak Ciang Sun sambil menyerang Thay Si Lama si muka bopeng.
“Kalian memang patut dihajar supaya tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!” bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang bermuka codet.
“Plak! Plak!”
Pukulan dua orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua orang Lama itu, bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemuda itu dengan tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi?
Dua orang pemuda itu terpental ke belakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan mereka telah menjadi bengkak dan membiru!
Dasar orang muda yang kurang pengalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan mereka berdua pun menyerbu ke depan, menusukkan pedang mereka ke arah dada dua orang pendeta Lama itu.
Kini dua orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan tangan telanjang. Pedang dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka yang mencengkeram.
“Krekkk! Krekkk!”
Dua batang pedang itu patah dan hancur dalam cengkeraman dua orang kakek Lama itu. Sebelum dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah melangkah maju. Dua kali tangannya bergerak ke arah pundak dua orang murid Kun-lun-pai itu dan mereka pun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darah mereka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya bisa memandang dengan mata melotot.
Thay Si Lama yang mukanya bopeng mencela temannya. “Suheng, kenapa tidak engkau habiskan saja mereka ini? Dari pada kelak menjadi penyakit, biar kuhabiskan saja nyawa mereka!” Berkata demikian, Thay Si Lama melangkah maju. Tangannya sudah bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang sudah tidak berdaya itu.
“Siancai..., kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!”
Tiba-tiba kakek yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah berkelebat. Nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si Lama ke arah dua orang pemuda itu telah tertangkis.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong ke belakang dan terhuyung. Kini mereka berdua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu menjadi merah padam.
“Omitohud, bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu unjuk gigi dan melawan kami!” kata Thay Ku Lama si muka codet sambil menyeringai mengejek. “Mengapa tadi pura-pura alim dan sama sekali tidak melakukan perlawanan?”
“Siancai...! Sudah puluhan tahun kami para pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk nafsu, dan kami pantang mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa kalian hendak membunuh dua orang muda yang sama sekali tidak berdosa, bagaimana mungkin pinto mendiamkannya saja? Kalian telah menghajar dua orang bocah ini untuk kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh? Apakah kalian juga telah siap untuk menentang Kun-lun-pai?”
“Pek In Tosu, semua orang tahu bahwa engkau adalah seorang di antara Himalaya Sam Lojin yang kabarnya memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan mengira kami Lima Harimau Tibet akan gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah kesaktianmu karena kami hendak membunuh engkau dan juga dua orang bocah ini!” kata Thay Ku Lama.
Pendeta Lama yang mukanya codet dan perutnya gendut itu tiba-tiba memasang kuda-kuda yang aneh, yaitu seperti orang berjongkok. Kedua lengan ditekuk dengan tangan membentuk cakar, telentang di kanan kiri dada, dan perutnya yang gendut itu makin lama semakin menggembung ketika dia menyedot napas sebanyaknya sampai keluar suara angin berdesis. Lalu dari dalam perutnya terdengar suara.
“Kok-kok-kok!”
Dan kedua tangan yang tadinya telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan. Seluruh tubuhnya tergetar dan seluruh syarafnya menegang karena dia sudah siap melancarkan pukulan maut yang amat dahsyat.
Agaknya, untuk menghadapi seorang di antara Himalaya Sam Lojin, Lama yang bermuka codet dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan ilmu simpanannya supaya dengan sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan mampu merobohkan lawannya yang dia duga tentu lihai sekali.
Diam-diam Pek In Tosu terkejut. Dia sudah pernah mendengar akan ilmu yang sekarang diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah semacam pukulan jarak jauh yang mengandalkan sinkang dan khikang, yang dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Sakti Awan Hitam dan Badai). Perut gendut yang menggembung itulah yang menjadi sumbernya dorongan tenaga sakti yang amat ampuh.
Maklum bahwa lawan telah mengeluarkan ilmu simpanannya, siap menyerangnya, Pek In Tosu berkata lembut, “Siancai... pinto terpaksa melanggar pantangan, semoga mendapat pengampunan...!”
Dan kakek ini pun menggerakkan kedua lengannya, diputar seperti membentuk bulatan-bulatan yang saling dorong. Tubuhnya makin direndahkan dan kedua kakinya dipentang lebar, lalu kedua tangannya berhenti bergerak, saling bertemu di depan dada seperti menyembah dan dia pun sudah siap menanti serangan dahsyat dari lawannya.
Bunyi kokok dari perut Thay Ku Lama semakin keras dan semakin cepat, dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam! Telapak tangan itu pun berubah kehitaman. Sungguh dahsyat bukan main ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi lawan.
Pek In Tosu melihat ini semua. Akan tetapi dia masih tetap tenang saja, bukan tenang memandang rendah, melainkan tenang menghadapi apa pun yang terjadi dan yang akan menimpa dirinya.
Tiba-tiba Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda seperti seekor katak itu menerjang dan tubuhnya meloncat ke atas depan. Bunyi kokok itu semakin keras dan tiba-tiba ada angin besar sekali menyambar ke arah Pek In Tosu, angin keras yang membawa tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam!
Bukan main dahsyatnya serangan ini. Angin itu saja sudah mengandung tenaga sakti yang amat kuat dan mampu merobohkan lawan, dan asap hitam itu pun mengandung racun yang berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan sampai tersentuh oleh kedua telapak tangan hitam itu.
Tetapi, tiba-tiba dari kedua telapak tangan Pek In Tosu keluar asap putih! Itulah ilmu sakti Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar ke depan, menyambut angin dan asap hitam dari pukulan lawan. Kaki kakek tua itu bergeser ke kiri dan kedua tangannya membuat gerakan memutar dari kiri, menangkis kedua tangan lawan yang digerakkan lurus ke depan seperti orang mendorong daun pintu.
“Plakk! Plakk!”
Dua pasang tangan itu saling bertemu, dan akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku Lama terpelanting ke kiri. Akan tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu juga terguncang sehingga kakek itu terpaksa melangkah mundur tiga langkah untuk mengembalikan keseimbangan tubuh.
Pada saat itu, dari arah kanan Thay Si Lama telah datang menyerangnya. Lama muka bopeng ini juga lihai bukan main, dan begitu menyerang dia sudah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu yang disebut Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti).
Bukan saja kedua tangan itu membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga dari kedua telapak tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan suara bercuitan, dan juga mengandung tenaga mukjizat dari ilmu sihir yang membuat kedua tangan itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan menyerang dari semua sudut!
“Siancay…!” Pek In Tosu memuji dan berseru, dilanjutkan dengan pembacaan mantera dan dia pun tetap mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In Sin-ciang.
Terjadilah pertandingan silat yang aneh dan seru. Semua sambaran tangan Thay Si Lama yang disertai hawa mukjizat itu seperti tertolak mundur semua oleh awan putih yang keluar dari kedua telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan kini asap atau awan putih semakin besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si Lama yang mulai main mundur! Melihat Thay Si Lama semakin terdesak, Thay Ku Lama mengeluarkan suara kokok lagi dan dia pun membantu sute-nya, mengeroyok Pek In Tosu!
Dikeroyok dua oleh dua orang Lama yang sakti itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu kelihatan terdesak! Sebetulnya dengan tenaga sinkang-nya yang setingkat lebih kuat, disertai keringanan tubuhnya yang memudahkan ia untuk berkelebat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan dahsyat kedua orang lawannya, Pek In Tosu tidak perlu terdesak.
Namun, usianya sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya sudah mulai lemah dimakan usia. Apa lagi selama puluhan tahun ini dia tidak pernah bertanding, sebab itu tentu saja dia kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang lawannya, dua orang pendeta Lama yang usianya baru lima puluhan tahun itu, agaknya memang terlatih dan mereka sering kali berkelahi, maka gerakan mereka lebih lincah dan juga daya tahan mereka lebih kuat.
Tiba-tiba Pek-sin Tosu berseru, “Siancai...!” dan dia lalu duduk bersila di atas tanah!
Thay Ku Lama dan Thay Si Lama tertegun dan cepat menahan gerakan mereka. Mereka merasa amat heran melihat lawan mereka kini tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang bersemedhi, kedua telapak kakinya telentang di atas paha. Itulah cara duduk bersila dalam kedudukan Teratai yang kokoh kuat.
Mereka mengira bahwa kakek itu telah kelelahan dan pasrah untuk mati, maka keduanya lalu saling pandang dan Thay Ku Lama menghantamkan tangan kanannya ke ubun-ubun kepala Pek In Tosu. Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang hanya dapat dilakukan dalam keadaan berjongkok dan menyerang ke atas, ke arah lawan yang berdiri. Kini lawannya itu duduk bersila, maka tentu saja dia tidak dapat menggunakan tenaga katak sakti itu!
Dia menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala. Kalau saja pukulan itu tepat mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi lawannya tentu akan tewas seketika! Akan tetapi, Pek In Tosu mengangkat tangan kirinya menangkis.
“Dukkk!”
Tubuh Thay Ku Lama terpental! Kiranya kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus harapan dan pasrah menerima binasa, melainkan dia mengambil sikap bertahan dan melindungi tubuhnya secara yang paling istimewa dan paling kuat!
Kedudukan seperti Teratai itu memang merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat seperti piramida, dan seolah-olah kakek itu dapat menyedot hawa bumi yang membuat tubuhnya kuat sekali dan tangkisannya membuat lawan terpental!
Thay Si Lama menjadi penasaran dan dia pun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi, kembali Pek In Tosu menangkis, tangannya diangkat ke arah belakang dan begitu kedua tangan bertemu, tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung!
Dua orang pendeta Lama itu menjadi makin penasaran. Mereka adalah dua orang tokoh yang kenamaan, dua di antara Lima Harimau Tibet yang sudah sangat terkenal. Sejak belasan tahun ini mereka merupakan tulang punggung dari pemerintahan Dalai Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan dan kekuasaan Dalai Lama sehingga ditaati oleh jutaan orang manusia!
Selama ini, belum pernah Harimau Tibet bertemu tanding. Mustahil bila kini menghadapi seorang pertapa tua renta saja mereka sampai tak mampu merobohkan, padahal pertapa itu kini sama tidak dapat membalas lagi, hanya duduk bersila sambil membela diri!
Namun, berkali-kali menyerang, baik bergantian mau pun berbareng dan hasilnya sama saja. Setiap kali ditangkis, mereka terpental dan terhuyung, bahkan pernah pula hampir terjengkang. Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka.
Keduanya saling pandang, memberi isyarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba mereka pun menghentikan serangan mereka dan hanya berdiri di depan dan belakang Pek In Tosu dalam jarak kurang lebih tiga meter. Kemudian, mulailah mereka berjalan mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasanya mereka nyanyikan di dalam kuil mereka untuk memuja para dewa.
Akan tetapi, lagu yang mereka nyanyikan ini lain lagi, ada hubungannya dengan ilmu sihir. Nyanyian ini bukan untuk memuja para dewa saja, tetapi juga untuk mengundang setan dan meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!
Suara nyanyian itu aneh dan menyeramkan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan kadang-kadang di dalam suaranya ada selingan suara kokok seperti kalau dia sedang mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit.
Suara nyanyian itu bukan suara sembarangan, melainkan dikeluarkan dengan tenaga khikang dan sihir. Suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang pendeta Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini kepala mereka pun menggeleng-geleng menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang! Makin lama, tindakan mereka itu seolah-olah terseret oleh gelombang suara nyanyian mereka sendiri.
Mula-mula tubuh Pek In Tosu gemetar. Kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang membubung ke atas. Itulah tandanya bahwa ia sedang berjuang mati-matian untuk melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu!
Pek In Tosu bukanlah seorang yang lemah batinnya. Sebaliknya, karena hasil semedhi yang berpuluh tahun, dia memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia dipengaruhi kekuatan apa pun dari luar.
Akan tetapi, diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar walau pun dia berusaha keras mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu memiliki kekuatan gaib untuk menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran!
Getaran yang disebabkan suara itu membuat tubuh Pek In Tosu gemetar. Dia pun lalu melawan, mengerahkan khikang sehingga dari kepalanya keluar uap putih yang semakin lama semakin menebal. Namun, pertahanannya agaknya goyah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti, kepala Pek In Tosu mulai bergoyang-goyang.
Mula-mula goyangan itu hanya perlahan-lahan. Tetapi makin lama goyangan kepala Pek In Tosu semakin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya!
Sekarang keadaan kakek tua renta itu gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu ialah sejenis ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang mengandung sihir. Jika Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu akan mudah dirobohkan dan dibunuh karena semangatnya seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua orang pendeta Lama itu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di dalam kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara lainnya yang memecahkan kesunyian. Tadinya yang terdengar hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta Lama itu, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada batu!
Suara ini pun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan dan menjadi kebalikannya. Tentu saja kini terdengar suara yang kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang dipukul-pukul batu. Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu?
Tidak jauh dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu sedang memukuli batu besar di depannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan ‘paduan suara’ antara mereka.
Dua orang pendeta Lama itu terkejut dan marah. Mereka lalu cepat-cepat menyesuaikan irama nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena jika mereka bisa membuat irama mereka bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi semakin enak didengar dan menghanyutkan.
Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu semakin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepala!
Akan tetapi hal itu hanya berlangsung sebentar saja karena ketukan bambu itu sekarang berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawanan dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama. Bahkan kini ketukannya menjadi lebih keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, kadang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat. Kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, lalu berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya.
Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka. Kini bunyi-bunyian yang terdengar demikian kacau balaunya sehingga daya hanyutnya menjadi kacau dan lemah sekali.
Pek In Tosu seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia sudah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak bergerak! Dari kepalanya juga tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak lagi digeleng-gelengkan.
Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan menggeleng-gelengkan kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka menjadi kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan!
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal dan robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang dan tidak terawat, awut-awutan, bahkan sebagian menutupi dahi dan mukanya.
Wajah itu tidak buruk, malah bentuknya tampan. Matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, akan tetapi wajah itu mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya. Punggungnya bongkok dan agaknya ada daging menonjol di punggung itu. Anak itu bukan lain adalah Sie Liong!
Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bahkan juga menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apa lagi ketika mereka melakukan sembahyangan dan dia mendengar bahwa ayah ibunya meninggal dunia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya merasa semakin berduka dan gelisah. Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah.
Tiba-tiba dia mendengar suara enci-nya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan membentak! Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara tadi keluar melalui celah-celah jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada di sebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar enci-nya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
“Jelas bahwa dia salah besar!” terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. “Pertama, dia mencuri belajar ilmu silat padahal sudah kularang dia belajar silat! Kedua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan dia memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang sungguh keterlaluan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!”
“Apa? Bongkok jelek katamu? Jangan kau kira aku tidak tahu bahwa engkaulah yang membuat dia menjadi bongkok!”
“Ehh? Apa yang kau katakan itu?” cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan Sie Liong yang mendengar ucapan enci-nya itu.
“Ya, engkau yang membuat dia menjadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau melarang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!”
“Ssttt...! Lan Hong, apa yang kau katakan ini?”
Terdengar enci-nya menangis. “Setelah... setelah apa yang kulakukan untukmu semua... setelah kuserahkan badanku, cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku dapat diselamatkan..., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia telah menjadi bongkok, cacat, dan engkau... masih juga membencinya?”
“Kau jelas keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa aku pun suka padanya, hanya aku..., benarlah, aku khawatir dan kau pun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu... dia seolah-olah menjadi penghalang kebahagiaan kita... aku selalu khawatir dan kadang-kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur...”
Hening sejenak, lalu terdengar enci-nya berkata lirih. “Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!”
“Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan.”
“Apa?!” enci-nya setengah menjerit. “Maksud... maksudmu...?”
“Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar di sana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia dapat menjadi seorang hwesio. Bukankah hal itu sangat baik baginya? Menjadi seorang hwesio merupakan kedudukan yang terhormat, mulia dan bahkan disegani orang.”
“Ahhh... tetapi... tetapi...”
“Tidak ada tetapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau juga menghendaki supaya kebahagiaan kita tidak terganggu dan keselamatan adikmu terjamin pula?”
Setelah hening sampai lama, lalu terdengar enci-nya berkata, “Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititipkan, dan aku boleh mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu...”
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, ingin menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia takkan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat enci-nya cekcok dengan suami enci-nya. Bagaimana pun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya.
Bukankah enci-nya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihu-nya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihu-nya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut?
Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia kemudian mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi sebuah buntalan yang cukup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong.
Biar pun baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dia hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan!