CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 05
Demikianlah, akhirnya Yauw Sun Kok dan isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh kegelisahan dan kerinduan. Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung menyelimuti kehidupan keluarga ini. Yauw Bi Sian yang tadinya seakan-akan menjadi matahari yang menyinari kehidupan mereka, sekarang menghilang. Lebih-lebih lagi bagi Sie Lan Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan berat baginya.
Baru saja ia kehilangan adik kandungnya. Dalam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja tanpa disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh tahun. Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar di rumah gedung indah itu. Suaranya lantang dan yang dibacanya adalah kitab sajak para penyair jaman dulu. Suara itu merdu dan cara membacanya pun amat baik, setiap kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada suara yang tepat.
Kalau orang mengintai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, ganteng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, mau pun pakaiannya. Jelas ia adalah seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau hartawan! Cara ia duduk menghadapi kitab di atas meja itu pun telah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.
Memang anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah digembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-kitab kuno di mana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja!
Tentu saja hanya sedikit yang dapat meresapi benar akan isinya. Sebagian besar hanya mampu menghafal saja dengan lancar, akan tetapi mengenai inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara mendalam. Apa lagi menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang hartawan yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunungan Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat.
Kurang lebih delapan tahun yang lalu, saat terjadi keributan karena adanya gerombolan perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari barat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorang pun mengakuinya sebagai anggota keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang.
Semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun itu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri tidak memiliki anak laki-laki, hanya memiliki beberapa anak perempuan, maka Bong Gan disayang oleh keluarga itu. Hanya saja Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu merupakan anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang masih muda dan sehat. Coa Hun sendiri baru berusia empat puluh dua tahun ketika membawa Bong Gan pulang.
Oleh karena itu, biar pun Bong Gan amat disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggap ia bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe. Sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han.
Melihat bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau Kazak. Anak itu sendiri tidak ketahuan siapa orang tuanya. Agaknya dua hal ini, yaitu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan, sudah mendatangkan rasa iri hati.
Banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aslinya Munggan atau Boangana!
Bong Gan kini sudah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di atasnya, serta bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tak suka kepadanya.
Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali. Tubuhnya juga selalu dirawat baik-baik, mulai dari rambutnya sampai kuku kakinya. Di setiap penampilannya, ia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya!
Biar pun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di antara anggota keluarga ayah angkatnya yang hatinya merasa iri dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati sekali.
Malam itu, biar pun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu. Ini berarti bahwa meski ayah angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!
Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok. Ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya.
Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal!
Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walau pun perasaan iri itu hanya mereka simpan di hati saja. Pengaruh selir muda ini terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti akan membela sang selir termuda kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa perasaan ini sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikit pun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan suka rela, melainkan karena terpaksa.
Oleh karena itu, baru saja diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan.
Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya. Namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isyarat dan menanggapinya.
Sesungguhnya, meski usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia pun banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga kini ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini.
Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan dia pun merasa amat suka kepada wanita itu.
Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya. Dia selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.
Pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri.
Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun, akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada memberi hormat.
“Ahh, kiranya ibu yang datang malam-malam begini...”
“Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengar sebutan itu...”
“Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?”
“Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, walau pun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu.”
Bong Gan tersenyum. Hatinya gembira sekali karena wanita cantik itu bersikap begitu manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya sedang tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
“Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,” katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.
“Terima kasih,” Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu.
Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, ternyata Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.
“Kau duduklah, Bong Gan,” katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
“Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah.”
“Ahhh!” Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya, lalu ia duduk di atas pembaringan.
“Biarlah aku duduk di sini. Kau duduklah.”
Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pembaringannya.
Beberapa kali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.
“Bong Gan, huruf apakah ini...?” Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya.
Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa ia bangkit dan menghampiri, kemudian membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya lagi untuk menanyakan huruf yang tidak dia kenal sehingga beberapa kali pula pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.
“Ahh, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kau bacakan untukku saja. Kesinilah dan duduklah di sini, kita baca bersama. Kau ajari aku membaca, Bong Gan.”
Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di pembaringan itu. Walau pun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.
“Aihh, mengapa engkau malu-malu dan takut?”
“Enci... aku... aku tidak berani... nanti dianggap tidak sopan...,” kata Bong Gan gemetar, walau pun hatinya berdebar girang dan tegang.
“Aihh, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!”
Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan dia pun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka bersentuhan sehingga Bong Gan bisa merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras.
Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apa lagi, ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan mesra.
Makin lama suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau, dan akhirnya buku yang tadi dibaca oleh Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan, sedangkan di atas pembaringan itu Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang pandai dan taat.
Keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan karena perjodohannya dengan Coa-wangwe dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan.
Sebaliknya, sejak kecil Bong Gan memang haus akan kasih sayang, dan kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, dia pun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga dia pun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga sangat hina karena dia sudah berjinah dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!
Langkah pertama dilanjutkan dengan langkah berikutnya, lalu ke sekian kali, ke sekian puluh kali dan mereka berdua yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu birahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe.
Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi amat terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut sekali mendengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, kemudian dia merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati.
Bagaimana kini tiba-tiba saja ia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjinah dengan selirnya? Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah.
Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur supaya hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar. Dan pada waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!
Dapat dibayangkan alangkah kaget dan takutnya perasaan Pek Lan serta Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan keduanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.
Biar pun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tak dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya, betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara mereka.
Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat dalam otaknya siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya. Dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya.
Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan di punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali, kemudian mengusir dua orang yang punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumahnya tanpa diberi bekal secuil pun pakaian pengganti atau sepotong pun uang kecil.
Keduanya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit akan tetapi hati lebih sakit lagi, Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan gedung itu. Mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng.
Berita mengenai diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung itu dibandingkan orangnya, tentu saja karena disebarkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka mereka, sebab semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.
Sampai di luar kota, malam sudah menjelang pagi dan mereka berdua masih berjalan terus di dalam keremangan cuaca sambil menangis. Biar pun mereka tidak mempunyai tujuan ke mana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir bila ada orang-orang yang mengejar dan memperolokkan mereka.
Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, di bawah sebuah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota.
Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.
“Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darah pun tidak ada gunanya lagi,” kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat mencari jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini.
Akan tetapi, tanpa diketahuinya, kata-kata hiburannya itu bahkan membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua mala petaka yang kini menimpa dirinya ini disebabkan oleh Bong Gan!
“Engkau memang anak durhaka!” bentaknya sambil bangkit duduk dan jari telunjuknya menuding ke arah muka Bong Gan. “Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah yang menjadi penyebab mala petaka yang menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarga Coa! Aahhh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu...!”
Sepasang mata Bong Gan terbelalak. “Diam!” Dia membentak marah sekali. “Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah yang tak tahu malu. Engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempuan tak tahu malu!”
“Apa?! Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!” Pek Lan bangkit berdiri.
Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan dia pun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas pembaringan di dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat untuk memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti!
Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat.
Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan yang menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan jatuh terguling-guling.
Hal ini berarti bahwa nenek itu sudah membantunya. Maka, biar pun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis!
Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri-nyeri karena terbanting dan terguling-guling tadi. Dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang pada nenek itu dengan mata terbelalak dan hati dipenuhi perasaan seram.
Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari pada tujuh puluh tahun. Tubuhnya demikian kurus kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah usia tua sudah membuat tubuhnya mengkerut dan kering.
Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh dengan garis malang-melintang, dan sepasang matanya sampai hampir tertutup karena kelebihan kulit pada pelupuknya. Tulang-tulang pipinya menonjol, dan hidung serta mulutnya sangat kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tidak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi.
Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang itu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi oleh pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh menyeramkan sekali keadaan nenek itu, namun sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang amat mengejutkan hati orang.
Nenek itu mengangguk-angguk pada saat melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil menangis. Mendadak tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, dan tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa dia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah menggunakan ujung tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek mengangguk-angguk.
“Ceritakan, mengapa kau menangis di sini!” terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biar pun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak bergerak!
Pek Lan agaknya menyadari bahwa dia sedang bertemu dengan seorang manusia luar biasa, atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka dia pun menjawab sambil menahan tangisnya.
“Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan. Saya barusan diusir dari rumah suami saya hartawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya.”
Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri ketakutan.
“Huh-huh, bocah itu mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar supaya aku membunuhnya?”
Bulu kuduk Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimana pun marahnya terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat akan pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam hatinya terhadap Bong Gan.
“Jangan, nek, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!” katanya.
Nenek itu terkekeh. “Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!”
Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul keberaniannya. Biar pun nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia tidak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya.
Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan. Ia terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya bersiap-siap untuk melawannya.
“He-he-heh, bocah setan, bergulinglah engkau!” Nampak ia menggerakkan tongkatnya, kemudian nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling!
Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya masih tetap tertutup. Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.
“Heh-heh-ho-ho... sekarang terbanglah! Terbanglah!” Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara!
Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh ke atas, maka dia pun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!
“Tolooooong!” Dia menjerit-jerit.
“Nenek yang baik, harap jangan bunuh dia!” Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.
“Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!” kata nenek itu.
Dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting ke atas tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang menyambutnya sehingga tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi dari pada tadi! Tentu saja Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing sedang digebuki.
Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan dia pun bertepuk tangan sambil bersorak. Lupalah dia akan kedukaannya.
“Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun kepadaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini agar supaya menghentikan permainannya!”
Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, melainkan menutup dua matanya rapat-rapat.
Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan. Kemudian, tubuh itu tidak lagi meluncur ke bawah, melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek gembel!
Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat ada seorang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya sedang dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah merengek kepada gurunya.
“Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang kejam itu!”
Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut. “Waaahhh! Menghajar nenek tua itu? Mana aku berani? Dia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)...! Hiiiih... aku ngeri melihatnya...” Dan kakek gembel itu bergidik kengerian.
Melihat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jeri terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!
“Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!”
Berkata demikian, Bi Sian lalu meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dengan kedua tangan terkepal. “Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!”
Nenek itu menyeringai, lalu menoleh kepada Pek Lan, “Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya juga?”
Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek gembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.
“Nek, bocah itu mencampuri urusan kita, sebaiknya kau bunuh saja!”
Di sini telah nampak perwatakan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap orang yang tak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.
“Bunuh? He-heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!” jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membuka mulut.
Tiba-tiba dia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir.
“Wirrrr... takkkk!”
Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian.
Nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, kedua matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.
“Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek gembel gila dari Himalaya?” teriaknya marah.
Koay Tojin menyeringai pula. Dia tadi tidak berpura-pura ketika kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis itu, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!
“Dan engkau Biang Iblis Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotong pun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!”
Nenek itu semakin marah. Kata-kata ‘tidak bergigi lagi’ bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ejekan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!
“Koay Tojin keparat! Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!”
Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang sangat aneh. Dia melontarkan tongkat ularnya ke atas, dan tahu-tahu tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak!
Koay Tojin tertawa bergelak, melompat ke belakang dan dia pun lalu melempar tongkat bututnya ke depan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kini pun ‘hidup’ dan melawan tongkat ular itu.
Terjadilah pertandingan yang luar biasa aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya ‘bersilat’ tanpa ada yang memegangnya, tapi saling hantam dan saling tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat.
Melihat betapa tongkat ularnya itu tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu kemudian mengangkat tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin juga sudah ‘memanggil’ kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.
Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali. Dia melihat gadis yang menyuruh nenek tadi membunuhnya, maka ia pun segera meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan!
Walau pun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun, sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, akan tetapi Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, semenjak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri.
Maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipukul dan kakinya ditendang. Dia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan serta tamparan, akan tetapi dia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian bahkan semakin ganas dan menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.
“Nenek, tolong aku... tolooooonggg!”
Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.
Sementara itu, pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Pada mulanya, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bukan main.
Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun. Selain itu, tenaga nenek keriputan itu juga kuat, sedangkan kecepatan gerakannya juga membingungkan.
Akan tetapi begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suheng-nya, yaitu Pek-sim Siansu, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman tongkat butut. Maka, ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri.
Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.
Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan nenek itu. “Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!”
“Ha-ha, Bi Sian, sudahlah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh...!” Koay Tojin bergidik. “Hayo pergi...!”
Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terhadap anak perempuan dan kakek gembel itu, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay Tojin.
“Locianpwe yang mulia... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid...!”
Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai.
“He-he-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!” katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.
“Suhu, nanti dulu!” Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu kini menangis sesenggukan, kelihatannya sedih bukan main.
“Siapa namamu?” Bi Sian bertanya.
“Nama saya Bong Gan...,” anak laki-laki itu menjawab sambil menahan tangisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.
“Kenapa engkau hendak dibunuh mereka tadi?”
“Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng,” Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. “Perempuan jahat tadi adalah selir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah angkat telah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang mencuri adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami berdua diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu.”
Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik bukan main. Setelah selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.
“Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau bekerja apa saja... saya sudah tidak memiliki seorang keluarga pun, dan saya takut kalau... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi dan membunuh saya...”
“Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!” Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.
“Nanti dulu, suhu,” kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu. “Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!”
“Apa??” Koay Tojin terbelalak. “Untuk apa mengajak anak cengeng ini?”
“Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau memang perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak akan menangis sama sekali!”
Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik. “Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis biar pun menghadapi ancaman maut?”
“Benar, locianpwe,” kata Bong Gan, girang bahwa kakek gembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau mempedulikannya.
“Aku ingin melihat buktinya!” berkata demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.
“Plak! Plak! Plak! Bukk!”
Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu kaget bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apa lagi bila pukulan itu mengenai kepalanya.
Dia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Sekarang punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong.
Akan tetapi, anak yang amat cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka dia pun menggigit bibir. Biar pun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikit pun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.
Bajunya sudah robek-robek dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pun pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu.
Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega. “Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?” teriaknya.
“Ha-ha-ha!” Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam dia pun mulai suka kepada bocah itu.
“Mari kita pergi, Bi Sian!” katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.
Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Tadi dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tak kepalang dan sekarang kakek gila itu meninggalkannya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam kepalanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya!
Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatang kara dan selalu terancam bahaya. Ia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga diri. Ia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji!
Dengan pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat di mana kakek tadi berdiri. Dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu!
Memang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuhnya terasa nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan ditambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang akhirnya tidak kuat bertahan lagi dan dia terguling roboh. Pingsan.
Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput tebal, di pinggir sebuah sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak perempuan yang cantik dan manis sedang mengobati luka-luka di sekujur punggungnya dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali.
Agaknya anak perempuan itu mengerjakan dengan penuh kelembutan. Dia melihat anak itu memilin dan menggosok daun-daun baru di antara dua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air yang kehijauan. Kemudian daun-daun itu ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. Sungguh anak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerima dirinya sebagai murid!
“Terima kasih, kini sudah terasa nyaman...” katanya dan dia pun mengenakan bajunya.
Dia melihat kakek aneh itu duduk pula di situ, sedang memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan sikap acuh. Bong Gan cepat-cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.
“Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat...” sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.
Melihat suhu-nya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, “Suhu ini bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?”
Kakek yang melenggut itu membuka mata dan memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata, “Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng, engkau pasti akan kubunuh dengan tongkat ini!” Dia mengacungkan tongkatnya.
Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan cepat memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada gurunya. “Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.” Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. “Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu...”
Bi Sian terbelalak. “Ehh, ehh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci?”
Bong Gan tersenyum. “Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?”
“Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?”
“Tiga belas tahun.”
“Nah, itu!” Bi Sian berteriak. “Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!”
“Habis, lalu bagaimana?”
“Karena engkau lebih tua, engkau harus menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng.”
Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya sangat girang walau pun dia juga merasa kikuk.
“Baiklah sumoi.”
“Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluargamu siapa sih? Apakah Bong?”
Bong Gan menggeleng kepalanya.
“Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong.”
Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andai kata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri.
Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhu-nya dan sumoi-nya. Dia ringan kaki dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian. Sikap Bong Gan yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.
Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang salah satu janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa harus mengemis, yaitu dengan menjual hasil buruan, atau rempah-rempah yang sangat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka…..
Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka kini berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi dan sepi.
“Terima kasih, Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang harus saya lakukan sebab hidup saya sebatang kara dan tidak memiliki harapan lagi.”
“Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?”
Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Dia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia akan dibunuh! Manusia macam apakah nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi akan berguru kepada seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Akan tetapi, tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada nenek itu atau mati.
“Tentu saja saya memilih berguru, nek.”
“Hushhh! Kalau memilih berguru kepadaku, kenapa masih menyebut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!”
“Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo.”
“Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa pun harus kau taati, tahu? Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid, kemudian akan kubunuh!”
Pek Lan bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa jika ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapa pun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.
“Apa pun yang subo perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan.”
“Heh-heh-heh, bagus sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang sangat penting. Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik.”
“Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?”
“Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya, yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau panglima besar. Banyak sekali barang-barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!”
Pek Lan ikut bergembira dan ia pun pergi mengikuti subo-nya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu. Ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.
Pangeran Cun Kak Ong adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Ia adalah seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami masa surut, bukan hanya disebabkan pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan tetapi terutama sekali akibat para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan mereka terhadap tanah air dan bangsa, namun hanya mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak melakukan korupsi besar-besaran.
Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan perut sendiri. Pada saat ia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu yang disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri.
Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya sehingga tidak aneh jika hidupnya di kota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, berikut dengan istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluhan orang prajurit.
Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap bisa memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apa lagi kalau ada maling yang masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia di bawah tanah! Inilah yang menjadi penyebab kenapa orang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin menggunakan muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya, yaitu untuk mencuri harta dari pangeran itu.
Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung mancung. Akan tetapi dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!
Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua prajurit ikut menengok ke kiri, ke mana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, telah maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isyarat mereka agar berhenti.
Kiranya di tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis. Wanita yang masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan apa bila panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik sekali.
Pangeran itu turun dari atas kudanya, kemudian sambil membusungkan dadanya dia melangkah gagah menghampiri gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan tetapi, karena sejak beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan perutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.
Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, kini cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal di dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.
“Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?” Pangeran Cun bertanya.
Hatinya semakin tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk sehingga dari atas dia dapat melihat celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang bukit yang menantang.
Gadis itu tidak menjawab melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai sapu tangan sutera. Nenek di dekatnya juga ikut berlutut, akan tetapi tidak mengeluarkan suara.
“Nona, ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?”
“Maaf, Taijin... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara... saya memang bukan orang sini... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya... saya, pengantin baru... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya... di tengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali... karena itu, tolonglah kami, Taijin...”
Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang.
Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya!
Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba menyelamatkan suami dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong dengan cara ‘menampung’ Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!
“Aduh kasihan...!” Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. “Janganlah menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau akan segera melupakan mala petaka yang menimpa dirimu, he-he-he!”
Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat. Berkali-kali dia menghaturkan terima kasih, serta tak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan senyum kecil yang menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin tertarik. Seketika dia pun membatalkan kepergiannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil mengawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan dan ‘pelayannya’.
Tepat seperti diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo. Dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun sudah bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biar pun masih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.
Pek Lan memang amat cerdik. Tentu saja ia pun tidak mempunyai rasa suka kepada Pangeran Cun. Biar pun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan tetapi usianya sudah setengah abad lebih. Mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa.
Pek Lan terpaksa memejamkan mata supaya tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya, untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran.
Dalam keadaan terbuai dengan kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga hanya dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia tempat penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!
Setelah berhasil mengorek rahasia ini, Pek Lan segera memberi tahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya.
“Subo, cepatlah bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!” keluh Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. “Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan kembali dan mengambilmu dari kamarmu.”
“Tapi..., tapi... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!”
Kembali nenek itu tertawa, “Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?”
“Aihh, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku selalu pening dan tidak dapat tidur barang satu jam pun. Seleranya seperti babi, aku jijik...”
“Engkau jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat. Walau pun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan mampu merobohkan mereka,” berkata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.
Malam gelap pun tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendiri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa ‘menderita’ di dalam pelukan Pangeran Cun.
Pada waktu sang pangeran yang kelelahan telah tertidur dan mendengkur keras seperti dengkurnya babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukannya, lalu duduk di tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu pula gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal? Apakah ia tidak akan tersangkut?
Dia akan mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia tak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi!
Dengan memaksakan diri, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu merangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya supaya tidak sampai mati terhimpit!
Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berkeliaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah para anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Dua orang penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba saja ada sesosok bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali.
Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itu pun padam! Dan seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.
Tak lama kemudian kembali dua orang penjaga datang membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang gudang, tidak bergerak, mereka pun cepat-cepat lari menghampiri.
Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang ini pun berdiri seperti patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung.
Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri di belakang gudang dan seperti orang sedang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga.
Mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan melapor, mendadak mereka pun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat. Lentera dan tombak mereka terampas sebelum terbanting ke atas tanah.
Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua buah lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu ke tubuh empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka ia pun membakar empat orang penjaga itu!
Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka lalu terbakar! Mereka berlari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itu pun cepat-cepat keluar dari kamar mereka.
Empat orang yang terbakar itu berlarian cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali hanya menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian, yang membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi, sebelum mereka sempat memberi penjelasan, empat penjaga itu sudah tewas lebih dahulu oleh luka-luka bakar.
Kemudian, tiga orang jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang. Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar!
Tentu saja mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar, bukan ke dalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, dia sudah mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya pula.
Sesudah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa menyentuh anak panah beracun yang dipasang di sana, dia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian dia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan permata mulia lainnya. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang dapat membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati dia lalu mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarian menabrak sana-sini, sehingga ada beberapa tempat yang kebakaran pula.
Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela itu dan ia pun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan ginkang-nya yang tinggi, tentu dia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui.
Akan tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnya pun terdengar oleh tiga orang jago.
“Heiiii, berhenti...!” Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar.
Memang betul keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu.
Akan tetapi, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk ke dalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, mereka pun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas.
Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua penjaga itu menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo sengaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin keadaan jadi kacau, kemudian dia sengaja memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung.
Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat gelap dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya.
Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang lihai.
Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walau pun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja.
Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan menghilang ke dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal. Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan hitam itu sebetulnya bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Dengan malas Pangeran itu mengenakan pakaian, kemudian dia berkata sambil bersungut-sungut. “Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!”
Dia pun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaiannya, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.
“Brakkk!”
Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik tubuh dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa, pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata nenek itu.
Pangeran Cun masih belum sadar. Akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah. “Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!” Dan dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.
“Cerewet kau!” bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.
“Subo, kenapa babi ini tidak dibunuh saja?” berkata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua supaya tidak ‘mengganggu’ pelayanannya kepada bangsawan itu.
“Ahh, jangan, he-he-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!”
Nenek itu menyambar lengan muridnya dan membawanya ‘terbang’ melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam sambil membawa buntalan di punggung mesing-masing.
Meski Pek Lan selama dua minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, akan tetapi dia tidak merasa rugi. Pertama, dia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali barang yang tidak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika itu pula menjadi kaya raya sehingga memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang sangat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun.
Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis yang lemah lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya. Ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat…..
Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi salah sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat. Mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini lalu disebut pula Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tidak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidak mudah, orang harus melalui jurang-jurang yang curam. Sungguh pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Siansu untuk menjadi tempat tinggal sementara.
Mereka berempat menggembleng Sie Liong. Karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Siansu, maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong!
Namun, tiga orang suheng inilah yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang nantinya akan menjadi wakil mereka, maka mereka pun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.
Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih.
Pukulan ini bukan hanya kuat sekali sehingga angin pukulannya saja dapat merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan ini pun mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah pada pukulan itu terkandung hawa yang amat dingin, hawa dingin yang mampu membikin beku darah di dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Dan sesuai dengan namanya, pukulan ini mengandung tenaga raksasa yang seakan-akan dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun. Anak itu pun rajin bukan main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suheng-nya dan seorang suhu-nya, tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun.
Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apa lagi saat mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang mempunyai bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa!
Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali hanya latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan cara menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain berupa kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lainnya yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Siansu yang ahli dalam hal pengobatan.
Selama lima tahun itu, Pek-sim Siansu jarang sekali keluar dari dalam goanya. Ia duduk bersemedhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang pula dia keluar melihat kemajuan yang dicapai oleh murid barunya.
Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang diberikan oleh Pek-sim Siansu kepada tiga orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sim Siansu sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun.
Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda yang cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Siansu merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari ketiga orang suheng-nya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasai oleh muridnya, juga Pek-sim Siansu mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sinkang yang menjadi semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu, langsung di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Siansu berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.
“Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cukup pula ilmu-ilmu kau pelajari untuk kau pergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat maksud pinto dan para suheng-mu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu supaya engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal justru golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan supaya engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami.”
“Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang selama ini telah memberi bimbingan kepada teecu.”
Pek-sim Siansu lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya ikut pergi meninggalkan tempat itu. Dia menuruni puncak Ang-in-kok dan langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh.
Dia sudah mendengar keterangan dari enci-nya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut enci-nya ayah ibunya sudah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.
Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya lantas berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkan dirinya! Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia.
Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak ada seorang pun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.
Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Sikapnya biasa saja, seperti sikap kebanyakan pemuda dusun, bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu.
Ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.
“Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?”
Biar pun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu. Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itu pun menjawab.
“Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang hendak kau tanyakan?”
“Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.”
Kakek itu membelalakkan matanya dan sekarang memandang kepada Sie Liong penuh selidik. “Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?”
Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, “Saya masih terhitung sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan sedang lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.”
Kakek yang wajahnya semenjak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. “Hemm, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburan itu seharusnya ditengok, namun kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?”
Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang.
“Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu...!”
Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari, dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk mendengar apa yang akan dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampaklah bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Pakaian dan lagak mereka, apa lagi golok itu, sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah golongan petani.
Salah seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan menudingkan jari telunjuknya kepada kakek itu, tidak mempedulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.
“He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?”
Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut. “Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu... ahhh, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi sehingga banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa tahun ini saya belum mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chungcu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas.”
“Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengembalikan, ada saja alasannya! Tidak tahu malu!” bentak si hidung besar.
Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali, akan tetapi karena takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
“Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, kalau semua dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah pokok uang yang saya hutang!”
“Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kau hutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hutang itu menurut perjanjian harus dikembalikan dalam enam bulan dan sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kau bayar sekarang, mengerti?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau... harap saya diberi waktu.”
Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. “Tidak bisa! Majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!”
Kakek itu tersenyum sedih. “Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chungcu, dan sebagian lagi untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotong pun benda yang berharga.”
“Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!” Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.
Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan. “Celaka... celaka... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu...?” Suaranya bercampur tangis kebingungan.
“Lopek, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?”
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek yang sudah putus harapan itu lalu berkata, “Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahhh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya...”
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya telah tiada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
“Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!” Berkata demikian, Sie Liong lalu menarik tangan kakek itu untuk diajak berjalan cepat.
Kakek itu masih tetap ketakutan. Dia meragukan kemampuan pemuda bongkok ini yang mengajaknya untuk menentang tukang-tukang pukul yang ganas serta kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, dia pun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela. Mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali.
“Awas, Lo Kwan, cucumu...!”
“Mereka ke sana...”
“Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu...!”
Dari sikap mereka, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini. Akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani berbicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka pun tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu pula terdengar jerit tangis cucunya. Seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah sambil memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah...
Baru saja ia kehilangan adik kandungnya. Dalam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja tanpa disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh tahun. Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar di rumah gedung indah itu. Suaranya lantang dan yang dibacanya adalah kitab sajak para penyair jaman dulu. Suara itu merdu dan cara membacanya pun amat baik, setiap kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada suara yang tepat.
Kalau orang mengintai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, ganteng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, mau pun pakaiannya. Jelas ia adalah seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau hartawan! Cara ia duduk menghadapi kitab di atas meja itu pun telah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.
Memang anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah digembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-kitab kuno di mana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja!
Tentu saja hanya sedikit yang dapat meresapi benar akan isinya. Sebagian besar hanya mampu menghafal saja dengan lancar, akan tetapi mengenai inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara mendalam. Apa lagi menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang hartawan yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunungan Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat.
Kurang lebih delapan tahun yang lalu, saat terjadi keributan karena adanya gerombolan perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari barat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorang pun mengakuinya sebagai anggota keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang.
Semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun itu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri tidak memiliki anak laki-laki, hanya memiliki beberapa anak perempuan, maka Bong Gan disayang oleh keluarga itu. Hanya saja Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu merupakan anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang masih muda dan sehat. Coa Hun sendiri baru berusia empat puluh dua tahun ketika membawa Bong Gan pulang.
Oleh karena itu, biar pun Bong Gan amat disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggap ia bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe. Sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han.
Melihat bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau Kazak. Anak itu sendiri tidak ketahuan siapa orang tuanya. Agaknya dua hal ini, yaitu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan, sudah mendatangkan rasa iri hati.
Banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aslinya Munggan atau Boangana!
Bong Gan kini sudah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di atasnya, serta bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tak suka kepadanya.
Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali. Tubuhnya juga selalu dirawat baik-baik, mulai dari rambutnya sampai kuku kakinya. Di setiap penampilannya, ia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya!
Biar pun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di antara anggota keluarga ayah angkatnya yang hatinya merasa iri dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati sekali.
Malam itu, biar pun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu. Ini berarti bahwa meski ayah angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!
Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok. Ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya.
Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal!
Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walau pun perasaan iri itu hanya mereka simpan di hati saja. Pengaruh selir muda ini terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti akan membela sang selir termuda kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa perasaan ini sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikit pun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan suka rela, melainkan karena terpaksa.
Oleh karena itu, baru saja diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan.
Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya. Namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isyarat dan menanggapinya.
Sesungguhnya, meski usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia pun banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga kini ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini.
Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan dia pun merasa amat suka kepada wanita itu.
Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya. Dia selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.
Pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri.
Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun, akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada memberi hormat.
“Ahh, kiranya ibu yang datang malam-malam begini...”
“Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengar sebutan itu...”
“Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?”
“Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, walau pun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu.”
Bong Gan tersenyum. Hatinya gembira sekali karena wanita cantik itu bersikap begitu manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya sedang tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
“Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,” katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.
“Terima kasih,” Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu.
Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, ternyata Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.
“Kau duduklah, Bong Gan,” katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
“Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah.”
“Ahhh!” Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya, lalu ia duduk di atas pembaringan.
“Biarlah aku duduk di sini. Kau duduklah.”
Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pembaringannya.
Beberapa kali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.
“Bong Gan, huruf apakah ini...?” Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya.
Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa ia bangkit dan menghampiri, kemudian membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya lagi untuk menanyakan huruf yang tidak dia kenal sehingga beberapa kali pula pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.
“Ahh, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kau bacakan untukku saja. Kesinilah dan duduklah di sini, kita baca bersama. Kau ajari aku membaca, Bong Gan.”
Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di pembaringan itu. Walau pun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.
“Aihh, mengapa engkau malu-malu dan takut?”
“Enci... aku... aku tidak berani... nanti dianggap tidak sopan...,” kata Bong Gan gemetar, walau pun hatinya berdebar girang dan tegang.
“Aihh, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!”
Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan dia pun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka bersentuhan sehingga Bong Gan bisa merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras.
Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apa lagi, ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan mesra.
Makin lama suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau, dan akhirnya buku yang tadi dibaca oleh Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan, sedangkan di atas pembaringan itu Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang pandai dan taat.
Keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan karena perjodohannya dengan Coa-wangwe dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan.
Sebaliknya, sejak kecil Bong Gan memang haus akan kasih sayang, dan kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, dia pun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga dia pun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga sangat hina karena dia sudah berjinah dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!
Langkah pertama dilanjutkan dengan langkah berikutnya, lalu ke sekian kali, ke sekian puluh kali dan mereka berdua yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu birahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe.
Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi amat terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut sekali mendengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, kemudian dia merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati.
Bagaimana kini tiba-tiba saja ia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjinah dengan selirnya? Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah.
Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur supaya hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar. Dan pada waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!
Dapat dibayangkan alangkah kaget dan takutnya perasaan Pek Lan serta Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan keduanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.
Biar pun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tak dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya, betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara mereka.
Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat dalam otaknya siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya. Dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya.
Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan di punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali, kemudian mengusir dua orang yang punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumahnya tanpa diberi bekal secuil pun pakaian pengganti atau sepotong pun uang kecil.
Keduanya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit akan tetapi hati lebih sakit lagi, Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan gedung itu. Mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng.
Berita mengenai diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung itu dibandingkan orangnya, tentu saja karena disebarkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka mereka, sebab semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.
Sampai di luar kota, malam sudah menjelang pagi dan mereka berdua masih berjalan terus di dalam keremangan cuaca sambil menangis. Biar pun mereka tidak mempunyai tujuan ke mana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir bila ada orang-orang yang mengejar dan memperolokkan mereka.
Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, di bawah sebuah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota.
Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.
“Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darah pun tidak ada gunanya lagi,” kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat mencari jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini.
Akan tetapi, tanpa diketahuinya, kata-kata hiburannya itu bahkan membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua mala petaka yang kini menimpa dirinya ini disebabkan oleh Bong Gan!
“Engkau memang anak durhaka!” bentaknya sambil bangkit duduk dan jari telunjuknya menuding ke arah muka Bong Gan. “Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah yang menjadi penyebab mala petaka yang menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarga Coa! Aahhh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu...!”
Sepasang mata Bong Gan terbelalak. “Diam!” Dia membentak marah sekali. “Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah yang tak tahu malu. Engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempuan tak tahu malu!”
“Apa?! Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!” Pek Lan bangkit berdiri.
Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan dia pun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas pembaringan di dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat untuk memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti!
Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat.
Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan yang menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan jatuh terguling-guling.
Hal ini berarti bahwa nenek itu sudah membantunya. Maka, biar pun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis!
Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri-nyeri karena terbanting dan terguling-guling tadi. Dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang pada nenek itu dengan mata terbelalak dan hati dipenuhi perasaan seram.
Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari pada tujuh puluh tahun. Tubuhnya demikian kurus kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah usia tua sudah membuat tubuhnya mengkerut dan kering.
Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh dengan garis malang-melintang, dan sepasang matanya sampai hampir tertutup karena kelebihan kulit pada pelupuknya. Tulang-tulang pipinya menonjol, dan hidung serta mulutnya sangat kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tidak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi.
Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang itu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi oleh pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh menyeramkan sekali keadaan nenek itu, namun sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang amat mengejutkan hati orang.
Nenek itu mengangguk-angguk pada saat melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil menangis. Mendadak tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, dan tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa dia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah menggunakan ujung tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek mengangguk-angguk.
“Ceritakan, mengapa kau menangis di sini!” terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biar pun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak bergerak!
Pek Lan agaknya menyadari bahwa dia sedang bertemu dengan seorang manusia luar biasa, atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka dia pun menjawab sambil menahan tangisnya.
“Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan. Saya barusan diusir dari rumah suami saya hartawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya.”
Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri ketakutan.
“Huh-huh, bocah itu mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar supaya aku membunuhnya?”
Bulu kuduk Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimana pun marahnya terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat akan pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam hatinya terhadap Bong Gan.
“Jangan, nek, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!” katanya.
Nenek itu terkekeh. “Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!”
Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul keberaniannya. Biar pun nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia tidak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya.
Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan. Ia terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya bersiap-siap untuk melawannya.
“He-he-heh, bocah setan, bergulinglah engkau!” Nampak ia menggerakkan tongkatnya, kemudian nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling!
Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya masih tetap tertutup. Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.
“Heh-heh-ho-ho... sekarang terbanglah! Terbanglah!” Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara!
Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh ke atas, maka dia pun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!
“Tolooooong!” Dia menjerit-jerit.
“Nenek yang baik, harap jangan bunuh dia!” Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.
“Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!” kata nenek itu.
Dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting ke atas tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang menyambutnya sehingga tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi dari pada tadi! Tentu saja Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing sedang digebuki.
Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan dia pun bertepuk tangan sambil bersorak. Lupalah dia akan kedukaannya.
“Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun kepadaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini agar supaya menghentikan permainannya!”
Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, melainkan menutup dua matanya rapat-rapat.
Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan. Kemudian, tubuh itu tidak lagi meluncur ke bawah, melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek gembel!
Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat ada seorang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya sedang dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah merengek kepada gurunya.
“Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang kejam itu!”
Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut. “Waaahhh! Menghajar nenek tua itu? Mana aku berani? Dia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)...! Hiiiih... aku ngeri melihatnya...” Dan kakek gembel itu bergidik kengerian.
Melihat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jeri terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!
“Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!”
Berkata demikian, Bi Sian lalu meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dengan kedua tangan terkepal. “Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!”
Nenek itu menyeringai, lalu menoleh kepada Pek Lan, “Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya juga?”
Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek gembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.
“Nek, bocah itu mencampuri urusan kita, sebaiknya kau bunuh saja!”
Di sini telah nampak perwatakan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap orang yang tak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.
“Bunuh? He-heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!” jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membuka mulut.
Tiba-tiba dia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir.
“Wirrrr... takkkk!”
Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian.
Nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, kedua matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.
“Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek gembel gila dari Himalaya?” teriaknya marah.
Koay Tojin menyeringai pula. Dia tadi tidak berpura-pura ketika kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis itu, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!
“Dan engkau Biang Iblis Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotong pun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!”
Nenek itu semakin marah. Kata-kata ‘tidak bergigi lagi’ bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ejekan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!
“Koay Tojin keparat! Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!”
Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang sangat aneh. Dia melontarkan tongkat ularnya ke atas, dan tahu-tahu tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak!
Koay Tojin tertawa bergelak, melompat ke belakang dan dia pun lalu melempar tongkat bututnya ke depan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kini pun ‘hidup’ dan melawan tongkat ular itu.
Terjadilah pertandingan yang luar biasa aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya ‘bersilat’ tanpa ada yang memegangnya, tapi saling hantam dan saling tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat.
Melihat betapa tongkat ularnya itu tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu kemudian mengangkat tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin juga sudah ‘memanggil’ kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.
Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali. Dia melihat gadis yang menyuruh nenek tadi membunuhnya, maka ia pun segera meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan!
Walau pun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun, sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, akan tetapi Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, semenjak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri.
Maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipukul dan kakinya ditendang. Dia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan serta tamparan, akan tetapi dia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian bahkan semakin ganas dan menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.
“Nenek, tolong aku... tolooooonggg!”
Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.
Sementara itu, pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Pada mulanya, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bukan main.
Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun. Selain itu, tenaga nenek keriputan itu juga kuat, sedangkan kecepatan gerakannya juga membingungkan.
Akan tetapi begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suheng-nya, yaitu Pek-sim Siansu, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman tongkat butut. Maka, ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri.
Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.
Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan nenek itu. “Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!”
“Ha-ha, Bi Sian, sudahlah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh...!” Koay Tojin bergidik. “Hayo pergi...!”
Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terhadap anak perempuan dan kakek gembel itu, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay Tojin.
“Locianpwe yang mulia... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid...!”
Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai.
“He-he-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!” katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.
“Suhu, nanti dulu!” Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu kini menangis sesenggukan, kelihatannya sedih bukan main.
“Siapa namamu?” Bi Sian bertanya.
“Nama saya Bong Gan...,” anak laki-laki itu menjawab sambil menahan tangisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.
“Kenapa engkau hendak dibunuh mereka tadi?”
“Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng,” Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. “Perempuan jahat tadi adalah selir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah angkat telah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang mencuri adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami berdua diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu.”
Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik bukan main. Setelah selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.
“Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau bekerja apa saja... saya sudah tidak memiliki seorang keluarga pun, dan saya takut kalau... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi dan membunuh saya...”
“Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!” Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.
“Nanti dulu, suhu,” kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu. “Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!”
“Apa??” Koay Tojin terbelalak. “Untuk apa mengajak anak cengeng ini?”
“Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau memang perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak akan menangis sama sekali!”
Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik. “Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis biar pun menghadapi ancaman maut?”
“Benar, locianpwe,” kata Bong Gan, girang bahwa kakek gembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau mempedulikannya.
“Aku ingin melihat buktinya!” berkata demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.
“Plak! Plak! Plak! Bukk!”
Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu kaget bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apa lagi bila pukulan itu mengenai kepalanya.
Dia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Sekarang punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong.
Akan tetapi, anak yang amat cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka dia pun menggigit bibir. Biar pun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikit pun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.
Bajunya sudah robek-robek dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pun pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu.
Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega. “Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?” teriaknya.
“Ha-ha-ha!” Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam dia pun mulai suka kepada bocah itu.
“Mari kita pergi, Bi Sian!” katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.
Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Tadi dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tak kepalang dan sekarang kakek gila itu meninggalkannya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam kepalanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya!
Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatang kara dan selalu terancam bahaya. Ia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga diri. Ia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji!
Dengan pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat di mana kakek tadi berdiri. Dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu!
Memang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuhnya terasa nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan ditambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang akhirnya tidak kuat bertahan lagi dan dia terguling roboh. Pingsan.
Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput tebal, di pinggir sebuah sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak perempuan yang cantik dan manis sedang mengobati luka-luka di sekujur punggungnya dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali.
Agaknya anak perempuan itu mengerjakan dengan penuh kelembutan. Dia melihat anak itu memilin dan menggosok daun-daun baru di antara dua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air yang kehijauan. Kemudian daun-daun itu ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. Sungguh anak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerima dirinya sebagai murid!
“Terima kasih, kini sudah terasa nyaman...” katanya dan dia pun mengenakan bajunya.
Dia melihat kakek aneh itu duduk pula di situ, sedang memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan sikap acuh. Bong Gan cepat-cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.
“Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat...” sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.
Melihat suhu-nya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, “Suhu ini bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?”
Kakek yang melenggut itu membuka mata dan memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata, “Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng, engkau pasti akan kubunuh dengan tongkat ini!” Dia mengacungkan tongkatnya.
Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan cepat memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada gurunya. “Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.” Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. “Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu...”
Bi Sian terbelalak. “Ehh, ehh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci?”
Bong Gan tersenyum. “Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?”
“Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?”
“Tiga belas tahun.”
“Nah, itu!” Bi Sian berteriak. “Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!”
“Habis, lalu bagaimana?”
“Karena engkau lebih tua, engkau harus menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng.”
Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya sangat girang walau pun dia juga merasa kikuk.
“Baiklah sumoi.”
“Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluargamu siapa sih? Apakah Bong?”
Bong Gan menggeleng kepalanya.
“Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong.”
Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andai kata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri.
Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhu-nya dan sumoi-nya. Dia ringan kaki dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian. Sikap Bong Gan yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.
Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang salah satu janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa harus mengemis, yaitu dengan menjual hasil buruan, atau rempah-rempah yang sangat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka…..
*********
Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka kini berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi dan sepi.
“Terima kasih, Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang harus saya lakukan sebab hidup saya sebatang kara dan tidak memiliki harapan lagi.”
“Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?”
Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Dia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia akan dibunuh! Manusia macam apakah nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi akan berguru kepada seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Akan tetapi, tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada nenek itu atau mati.
“Tentu saja saya memilih berguru, nek.”
“Hushhh! Kalau memilih berguru kepadaku, kenapa masih menyebut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!”
“Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo.”
“Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa pun harus kau taati, tahu? Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid, kemudian akan kubunuh!”
Pek Lan bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa jika ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapa pun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.
“Apa pun yang subo perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan.”
“Heh-heh-heh, bagus sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang sangat penting. Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik.”
“Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?”
“Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya, yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau panglima besar. Banyak sekali barang-barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!”
Pek Lan ikut bergembira dan ia pun pergi mengikuti subo-nya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu. Ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.
Pangeran Cun Kak Ong adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Ia adalah seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami masa surut, bukan hanya disebabkan pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan tetapi terutama sekali akibat para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan mereka terhadap tanah air dan bangsa, namun hanya mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak melakukan korupsi besar-besaran.
Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan perut sendiri. Pada saat ia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu yang disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri.
Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya sehingga tidak aneh jika hidupnya di kota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, berikut dengan istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluhan orang prajurit.
Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap bisa memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apa lagi kalau ada maling yang masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia di bawah tanah! Inilah yang menjadi penyebab kenapa orang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin menggunakan muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya, yaitu untuk mencuri harta dari pangeran itu.
Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung mancung. Akan tetapi dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!
Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua prajurit ikut menengok ke kiri, ke mana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, telah maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isyarat mereka agar berhenti.
Kiranya di tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis. Wanita yang masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan apa bila panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik sekali.
Pangeran itu turun dari atas kudanya, kemudian sambil membusungkan dadanya dia melangkah gagah menghampiri gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan tetapi, karena sejak beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan perutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.
Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, kini cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal di dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.
“Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?” Pangeran Cun bertanya.
Hatinya semakin tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk sehingga dari atas dia dapat melihat celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang bukit yang menantang.
Gadis itu tidak menjawab melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai sapu tangan sutera. Nenek di dekatnya juga ikut berlutut, akan tetapi tidak mengeluarkan suara.
“Nona, ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?”
“Maaf, Taijin... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara... saya memang bukan orang sini... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya... saya, pengantin baru... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya... di tengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali... karena itu, tolonglah kami, Taijin...”
Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang.
Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya!
Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba menyelamatkan suami dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong dengan cara ‘menampung’ Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!
“Aduh kasihan...!” Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. “Janganlah menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau akan segera melupakan mala petaka yang menimpa dirimu, he-he-he!”
Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat. Berkali-kali dia menghaturkan terima kasih, serta tak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan senyum kecil yang menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin tertarik. Seketika dia pun membatalkan kepergiannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil mengawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan dan ‘pelayannya’.
Tepat seperti diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo. Dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun sudah bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biar pun masih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.
Pek Lan memang amat cerdik. Tentu saja ia pun tidak mempunyai rasa suka kepada Pangeran Cun. Biar pun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan tetapi usianya sudah setengah abad lebih. Mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa.
Pek Lan terpaksa memejamkan mata supaya tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya, untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran.
Dalam keadaan terbuai dengan kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga hanya dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia tempat penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!
Setelah berhasil mengorek rahasia ini, Pek Lan segera memberi tahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya.
“Subo, cepatlah bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!” keluh Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. “Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan kembali dan mengambilmu dari kamarmu.”
“Tapi..., tapi... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!”
Kembali nenek itu tertawa, “Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?”
“Aihh, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku selalu pening dan tidak dapat tidur barang satu jam pun. Seleranya seperti babi, aku jijik...”
“Engkau jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat. Walau pun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan mampu merobohkan mereka,” berkata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.
Malam gelap pun tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendiri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa ‘menderita’ di dalam pelukan Pangeran Cun.
Pada waktu sang pangeran yang kelelahan telah tertidur dan mendengkur keras seperti dengkurnya babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukannya, lalu duduk di tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu pula gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal? Apakah ia tidak akan tersangkut?
Dia akan mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia tak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi!
Dengan memaksakan diri, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu merangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya supaya tidak sampai mati terhimpit!
Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berkeliaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah para anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Dua orang penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba saja ada sesosok bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali.
Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itu pun padam! Dan seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.
Tak lama kemudian kembali dua orang penjaga datang membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang gudang, tidak bergerak, mereka pun cepat-cepat lari menghampiri.
Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang ini pun berdiri seperti patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung.
Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri di belakang gudang dan seperti orang sedang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga.
Mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan melapor, mendadak mereka pun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat. Lentera dan tombak mereka terampas sebelum terbanting ke atas tanah.
Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua buah lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu ke tubuh empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka ia pun membakar empat orang penjaga itu!
Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka lalu terbakar! Mereka berlari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itu pun cepat-cepat keluar dari kamar mereka.
Empat orang yang terbakar itu berlarian cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali hanya menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian, yang membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi, sebelum mereka sempat memberi penjelasan, empat penjaga itu sudah tewas lebih dahulu oleh luka-luka bakar.
Kemudian, tiga orang jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang. Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar!
Tentu saja mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar, bukan ke dalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, dia sudah mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya pula.
Sesudah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa menyentuh anak panah beracun yang dipasang di sana, dia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian dia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan permata mulia lainnya. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang dapat membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati dia lalu mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarian menabrak sana-sini, sehingga ada beberapa tempat yang kebakaran pula.
Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela itu dan ia pun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan ginkang-nya yang tinggi, tentu dia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui.
Akan tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnya pun terdengar oleh tiga orang jago.
“Heiiii, berhenti...!” Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar.
Memang betul keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu.
Akan tetapi, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk ke dalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, mereka pun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas.
Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua penjaga itu menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo sengaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin keadaan jadi kacau, kemudian dia sengaja memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung.
Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat gelap dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya.
Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang lihai.
Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walau pun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja.
Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan menghilang ke dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal. Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan hitam itu sebetulnya bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Dengan malas Pangeran itu mengenakan pakaian, kemudian dia berkata sambil bersungut-sungut. “Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!”
Dia pun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaiannya, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.
“Brakkk!”
Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik tubuh dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa, pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata nenek itu.
Pangeran Cun masih belum sadar. Akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah. “Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!” Dan dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.
“Cerewet kau!” bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.
“Subo, kenapa babi ini tidak dibunuh saja?” berkata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua supaya tidak ‘mengganggu’ pelayanannya kepada bangsawan itu.
“Ahh, jangan, he-he-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!”
Nenek itu menyambar lengan muridnya dan membawanya ‘terbang’ melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam sambil membawa buntalan di punggung mesing-masing.
Meski Pek Lan selama dua minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, akan tetapi dia tidak merasa rugi. Pertama, dia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali barang yang tidak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika itu pula menjadi kaya raya sehingga memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang sangat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun.
Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis yang lemah lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya. Ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat…..
**********
Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi salah sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat. Mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini lalu disebut pula Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tidak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidak mudah, orang harus melalui jurang-jurang yang curam. Sungguh pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Siansu untuk menjadi tempat tinggal sementara.
Mereka berempat menggembleng Sie Liong. Karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Siansu, maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong!
Namun, tiga orang suheng inilah yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang nantinya akan menjadi wakil mereka, maka mereka pun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.
Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih.
Pukulan ini bukan hanya kuat sekali sehingga angin pukulannya saja dapat merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan ini pun mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah pada pukulan itu terkandung hawa yang amat dingin, hawa dingin yang mampu membikin beku darah di dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Dan sesuai dengan namanya, pukulan ini mengandung tenaga raksasa yang seakan-akan dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun. Anak itu pun rajin bukan main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suheng-nya dan seorang suhu-nya, tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun.
Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apa lagi saat mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang mempunyai bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa!
Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali hanya latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan cara menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain berupa kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lainnya yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Siansu yang ahli dalam hal pengobatan.
Selama lima tahun itu, Pek-sim Siansu jarang sekali keluar dari dalam goanya. Ia duduk bersemedhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang pula dia keluar melihat kemajuan yang dicapai oleh murid barunya.
Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang diberikan oleh Pek-sim Siansu kepada tiga orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sim Siansu sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun.
Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda yang cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Siansu merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari ketiga orang suheng-nya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasai oleh muridnya, juga Pek-sim Siansu mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sinkang yang menjadi semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu, langsung di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Siansu berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.
“Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cukup pula ilmu-ilmu kau pelajari untuk kau pergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat maksud pinto dan para suheng-mu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu supaya engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal justru golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan supaya engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami.”
“Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang selama ini telah memberi bimbingan kepada teecu.”
Pek-sim Siansu lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya ikut pergi meninggalkan tempat itu. Dia menuruni puncak Ang-in-kok dan langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh.
Dia sudah mendengar keterangan dari enci-nya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut enci-nya ayah ibunya sudah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.
Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya lantas berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkan dirinya! Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia.
Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak ada seorang pun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.
Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Sikapnya biasa saja, seperti sikap kebanyakan pemuda dusun, bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu.
Ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.
“Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?”
Biar pun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu. Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itu pun menjawab.
“Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang hendak kau tanyakan?”
“Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.”
Kakek itu membelalakkan matanya dan sekarang memandang kepada Sie Liong penuh selidik. “Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?”
Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, “Saya masih terhitung sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan sedang lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.”
Kakek yang wajahnya semenjak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. “Hemm, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburan itu seharusnya ditengok, namun kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?”
Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang.
“Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu...!”
Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari, dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk mendengar apa yang akan dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampaklah bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Pakaian dan lagak mereka, apa lagi golok itu, sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah golongan petani.
Salah seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan menudingkan jari telunjuknya kepada kakek itu, tidak mempedulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.
“He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?”
Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut. “Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu... ahhh, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi sehingga banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa tahun ini saya belum mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chungcu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas.”
“Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengembalikan, ada saja alasannya! Tidak tahu malu!” bentak si hidung besar.
Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali, akan tetapi karena takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
“Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, kalau semua dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah pokok uang yang saya hutang!”
“Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kau hutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hutang itu menurut perjanjian harus dikembalikan dalam enam bulan dan sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kau bayar sekarang, mengerti?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau... harap saya diberi waktu.”
Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. “Tidak bisa! Majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!”
Kakek itu tersenyum sedih. “Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chungcu, dan sebagian lagi untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotong pun benda yang berharga.”
“Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!” Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.
Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan. “Celaka... celaka... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu...?” Suaranya bercampur tangis kebingungan.
“Lopek, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?”
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek yang sudah putus harapan itu lalu berkata, “Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahhh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya...”
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya telah tiada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
“Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!” Berkata demikian, Sie Liong lalu menarik tangan kakek itu untuk diajak berjalan cepat.
Kakek itu masih tetap ketakutan. Dia meragukan kemampuan pemuda bongkok ini yang mengajaknya untuk menentang tukang-tukang pukul yang ganas serta kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, dia pun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela. Mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali.
“Awas, Lo Kwan, cucumu...!”
“Mereka ke sana...”
“Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu...!”
Dari sikap mereka, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini. Akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani berbicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka pun tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu pula terdengar jerit tangis cucunya. Seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah sambil memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah...