CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 06
Pada saat gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walau pun pakaiannya amat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.
“Kong-kong, tolonglah aku...!”
Gadis itu meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang dia dapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menangis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
“Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo cepat lepaskan Siu Si...!” teriaknya sambil lari mendekati si hidung besar dan berusaha untuk membebaskan cucunya.
Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu lantas menendang sehingga tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
“Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan jika engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!”
Dia kemudian memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu. Dia lalu menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan terus menangis melihat kakeknya ditendang roboh.
“Kawan, perlahan dulu!”
Tiba-tiba saja Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung besar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.
“Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?” bentaknya marah.
“Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya,” kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar. “Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?” Dia menunjuk ke arah hidungnya yang besar. “Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. “Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Oleh karena itu, kalau tidak kau bebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya.”
“Hah?!” Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh.
“Kau... kau... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!” Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak. “Hajar mampus setan bongkok ini!”
Kedua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada lagi kesenangan yang lebih mengasyikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam.
Selain itu, mendatangkan uang pula karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang teramat mudah, pikir mereka.
Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan sejati, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apa lagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak menunjukkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan hanya seorang pemuda bongkok sederhana saja.
“Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!” salah seorang di antara mereka mengejek.
“Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!” Orang ke dua memperoloknya.
Namun Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka. Memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlomba siapa yang akan terlebih dahulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja teramat lambat datangnya. Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya, lalu terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka terbanting keras ke atas tanah.
Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
“Tuan-tuan... jangan membunuh orang...!” kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok para tukang pukul itu. “Orang muda, pergilah, larilah...!”
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak ingin mempedulikannya.
Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun, lalu berkata, “Lopek, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, karena itu mereka patut dihajar...”
Baru saja Sie Liong bicara demikian, dua orang sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri, mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya. Mereka tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu segera akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah.
Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.
“Plak! Plakkk!”
Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras.
“Ngek! Ngek!”
Mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap ke mana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!
“Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!” bentaknya.
Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. “Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!” katanya.
Tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biar pun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar. Tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar melepaskan goloknya karena tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga.
Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah ke depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, menyambut Sie Liong dengan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.
“Aduh... aduhhh... aughhhhh!”
Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mendorongnya sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lalu lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
“Taihiap... mata kami buta, harap maafkan...” kata Kwan Sun. “Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan sudah menyelamatkan kami, akan tetapi... harap taihiap cepat pergi dari sini... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama banyak anggota gerombolannya...”
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biar pun dirinya sendiri dan cucunya sedang terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadi pun menganjurkan agar dia melarikan diri supaya tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.
“Bangkitlah, lopek,” katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. “Engkau juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun yang jahat itu muncul!”
Tidak sukar pekerjaan ini sebab tadi pun, pada saat pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka takuti, hampir seluruh penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa perlu diperintah lagi, mereka sudah mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini banyak orang berdatangan ke rumah kakek Kwan Sun.
Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemuda bongkok itu hendak berbicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tua pun tak mau ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
“Saudara-saudara,” katanya dengan suara lantang, “kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, mengapa diam saja dan tidak melawan?”
Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.
“Mana kami berani?” akhirnya seorang laki-laki muda menjawab.
“Andai kata Sie Kauwsu masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun ini?” tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua karena tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.
Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab. “Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hidup!”
“Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!”
“Kami... kami tidak berani...” beberapa orang berseru. “Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai.”
“Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apa lagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat saja aku akan menghajar mereka!” berkata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan nada penasaran. Mengapa begini banyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat?
Meski pun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi sudah mengalahkan tiga orang tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chungcu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.
“Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga kalau pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan kejahatan para pejabat di sini.”
Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian. Dengan demikian, andai kata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chungcu.
Tidak lama kemudian, terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya.
Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi telah dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya.
Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin. Baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil.
Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya telah datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai. Dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.
Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan berseru, “Itulah si setan bongkok!”
Lurah Bouw mendongkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Akan tetapi, tiga orang tukang pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu!
Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buahnya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.
“Engkau ini orang bongkok dari mana, beraninya datang ke dusun kami dan membikin kacau?”
Sie Liong mengangkat muka dan memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu. Sie Liong pun tersenyum.
“Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini. Aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya kini dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam! Engkau telah mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan membersihkan dusun kami ini dari serigala-serigala berwajah manusia yang berkeliaran di sini!”
Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.
“Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!” Dan dia menoleh kepada para anak buahnya. “Pukul dia sampai mati!”
Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie Liong.
Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri. Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu dan bersembunyi di rumah sendiri saking takut terlibat.
Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan serta merta membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh!
Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang. Sementara itu, yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang semakin ganas.
Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi sangat penasaran. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia pun maju menyerang dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat.
Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacokan itu luput dan lewat di dekat pundaknya. Sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku!
Di lain saat, Sie Liong sudah mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka!
Sie Liong terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya ke atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba saja datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang memukuli ini adalah orang-orang dusun!
Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan para anak buahnya, mereka menjadi bersemangat. Pada waktu melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan mereka!
Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan masih pening akibat terbanting keras, kini hanya mampu berkaok-kaok ketika dikeroyok serta dipukuli oleh para penduduk dusun! Makin keras dia memaki dan mengancam, semakin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuh mereka pun babak bundas, pakaian mereka robek-robek!
Sie Liong tersenyum gembira melihat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk dusun itu setelah semangat mereka lenyap selama bertahun-tahun di bawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka dia pun segera melempar tubuh kepala dusun Bouw yang langsung jatuh berdebuk, kemudian terguling-guling.
Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan dia pun terkejut ketika kini orang-orang dusun mengejarnya dan memukulinya.
“Hei...! Keparat... ini aku, lurahmu...!” teriaknya.
Akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pukulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas dendam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini banyak pula wanita dusun yang keluar dari rumah dan mereka pun ikut pula memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan gagang-gagang sapu!
Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai seluruh muka mereka bengkak-bengkak!
Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga supaya mereka tidak sampai melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring.
“Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!”
Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu. Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, “Hidup putera mendiang Sie Kauwsu...!”
Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat agar mereka tenang, lalu dia memeriksa keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh amat menyedihkan, keadaannya lebih dari setengah mati.
Muka mereka bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai hidung lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya.
Akan tetapi Sie Liong merasa bersyukur bahwa tidak ada di antara enam belas orang itu yang tewas. Dia lalu menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, berusaha keras untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
“Orang she Bouw, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?”
Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli oleh rakyat, dia yang tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.
“Ampun... ampunkan saya... saya tidak berani lagi... saya berjanji akan menjadi lurah yang baik...”
Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak keras. “Tidak! Kami tidak mau dia menjadi lurah kami!”
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu. “Nah, engkau sudah mendengar sendiri. Kalau tidak ada aku di sini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri kami sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang cepat engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi harus kau tinggalkan, karena itu milik rakyat yang kau peras!”
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong karena mereka semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia bersama anak buahnya, lalu kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Sekarang mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Liong.
“Sie-taihiap,” kata Kwan Sun dengan suara nyaring, “kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang sudah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon supaya taihiap suka menjadi kepala dusun kami.”
“Hidup Sie-taihiap...!”
“Kami setuju!”
“Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!”
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada pula yang dengan pandang mata kasihan.
Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih memiliki tugas yang sangat penting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apa lagi mengingat bahwa aku tidak mempunyai pengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang benar-benar dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.”
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
“Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang sangat tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!”
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, kini diangkat menjadi lurah. “Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya bisa menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?”
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena dia pun baru tahu akan hal itu sekarang.
“Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu. Akan kuceritakan pula tentang keadaan di Tiong-cin ini, juga tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!”
Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak-anak buahnya.
“Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?” tanya seorang penduduk muda.
Kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, langsung membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
“Janganlah kalian takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di sini dan disebut Sie Kauwsu? Siapa di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?”
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tak pernah berlatih, akan tetapi pada saat Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
“Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang berani main-main.”
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan, terlebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
“Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini. Sekarang lebih dulu saya ingin pergi berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?”
“Ahh, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman penduduk kita.” Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berjejer. Makam yang sederhana sekali, dan tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah dan ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, dia pun membersihkan rumput-rumput liar di makam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
“Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri turut mengubur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.”
Sie Liong terkejut dan heran. “Apakah suheng Kim Cu An ini pun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?”
Kini lurah Kwan itu yang memandangnya dengan mata terbelalak. “Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?”
“Bukankah... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?”
“Ahh, dari mana taihiap mendengar berita itu? Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!”
Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak di wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah ibunya dan suheng-nya, lalu dengan lembut dia berkata, “Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.”
Kwan Sun mengangguk-angguk. “Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia memiliki dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.”
“Akulah anak itu, lopek.”
Kakek itu mengangguk. “Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walau pun tadinya kami ragu-ragu...” Dia memandang ke arah punggung Sie Liong. “Mendiang ayahmu memiliki beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang pada saat itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada satu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali...” Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
“Kemudian bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?” Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi pada ayah ibunya.
Kwan Sun menghela napas panjang. “Akulah seorang di antara para tetangga yang pertama kali menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh.”
“Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. “Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Enci-mu, Sie Lan Hong dan engkau sendiri, tidak berada di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Akan tetapi barang-barang itu, rumah itu, telah lama dirampas oleh lurah Bouw.”
Sie Liong mengepal tinjunya. “Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!”
Kakek Kwan menggeleng kepala. “Saya kira bukan, taihiap. Walau pun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi enci-mu, Sie Lan Hong...”
“Lopek,” Sie Liong memotong, “apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?”
Kakek itu menggeleng kepala lagi.
“Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua merasa bersedih dan kehilangan.”
Sie Liong mengerutkan alisnya, sejenak ia termenung. “Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.” Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan kedua matanya, bersemedhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.
Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa enci-nya bercerita lain? Mengapa enci-nya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah enci-nya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah enci-nya sengaja membohonginya? Tetapi, bagaimana mungkin enci-nya berbohong kepadanya?
Dia yakin benar betapa besar kasih sayang enci-nya kepadanya. Tadi dia tidak mau lagi membicarakan urusan itu dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau-kalau orang-orang mencurigai enci-nya. Tetapi betapa pun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa enci-nya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya enci-nya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari enci-nya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, enci-nya.
Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya supaya para penduduk itu dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang dulu pernah belajar silat pada Sie Kauwsu, berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan sambil merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya.
Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit.
Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali enci-nya dan dia! Apa artinya ini semua dan mengapa enci-nya harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari enci-nya.
Pada keesokan harinya ia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.
“Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang sudah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan dengan taihiap.”
Sie Liong tersenyum. Ia memang memiliki rasa persaudaraan yang dekat sekali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Apa bila para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa hari pun apa salahnya? Biar pun hatinya ingin sekali segera mendengar dari enci-nya tentang kematian orang tuanya, namun dia tidak perlu tergesa-gesa.
“Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?”
“Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?”
Sie Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kalau saja dia belum menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan bongkok pula!
“Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri.”
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap.”
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir mengenai jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau dijodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat kelahirannya sendiri.
“Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apa bila dibandingkan dengan taihiap.”
“Ahh, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.”
“Tapi... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?”
Sie Liong menggelengkan kepala.
Lurah Kwan menjadi girang bukan main. “Terima kasih, taihiap! Aku akan memberi tahu kepada kawan-kawan agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah enci-mu!”
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri.
Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberi tahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah serta senyum pada bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan.
Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka lantas menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan.
Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan mereka pun diam. Wajah mereka berseri-seri dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.
“Kemarin, perjodohan ini sudah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan dia pun tidak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusan darinya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada enci-nya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang dahulu ke Sung-jan untuk minta persetujuan enci-nya.”
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka, bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
“Maafkan cucuku. Maklum, dia malu-malu,” katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia sudah akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana bila ternyata enci-nya menyetujui ikatan jodoh itu?
Kalau enci-nya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau enci-nya tak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apa lagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita.
Akan tetapi, bagaimana kalau enci-nya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut enci-nya? Ini pun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada enci-nya.
Dan Bi Sian... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termenung. Bi Sian!
Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat pada Bi Sian? Uhhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin!
Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan? Sekarang dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.
Mendadak Sie Liong bangkit duduk. Dia pun memejamkan mata sambil mengerahkan pendengarannya yang sudah sangat terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan!
Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak beres, apa lagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.
Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.
“Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Biar pun tidak secara resmi, bahkan kong-kong telah menyetujui jika Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan tetapi mengapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan... Si Bongkok itu?”
“Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Sie Liong adalah seorang pendekar sakti yang budiman...”
“Aku tidak peduli! Biar dia sakti seperti dewa sekali pun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa yang mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?” Siu Si menangis lagi.
“Hushh, kau tidak boleh berkata demikian, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?”
“Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Sui-koko...”
“Hushhh...!”
Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapa pun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya.
Dia menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi kini dia dituduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin! Dengan tubuh lemas dan jari-jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukanlah calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.
Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, pergi meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit.
Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk sambil memeluk kedua lutut, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara isaknya. “Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok...”
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Dia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Namun kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Mengapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan kebongkokannya, dengan keburukannya.
Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang!
Apabila kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, mengapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia?! Untuk membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, sudah tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain.
Ya, dia malah harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan ‘terima nasib’, bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
“Terima kasih, Siu Si...” dia berbisik, lalu bangkit berdiri.
Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.
“Terima kasih, matahari, terima kasih untuk pagi yang seindah ini...” dia kembali berbisik sambil memandang matahari. Tidak lama, karena sebentar saja sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata.
Sie Liong membalikkan tubuh, kemudian menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
“Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini...” dia berbisik penuh rasa syukur.
Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau pun tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang paling sempurna, dan patut disyukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati.
Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang menyengsarakan kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada. Tidak, dia tak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, tetapi dia adalah seorang pemuda yang berbahagia….
“Liong-te...!”
Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu merangkul dan menangis di dada adiknya. “Aih, Liong-te... betapa girangnya hatiku melihatmu...!”
Sie Liong membiarkan enci-nya menangis sambil menumpahkan semua perasaan haru serta rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang sudah lama menghilang itu sekarang muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.
“Enci, marilah kita duduk dan bicara,” kata Sie Liong, “dan mana ci-hu (kakak ipar)?”
“Cihu-mu... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.”
Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di situ. Enci-nya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat enci-nya nampak tua. Padahal kini usianya sendiri dua puluh tahun, berarti enci-nya baru tiga puluh empat tahun. Usianya belum setua nampaknya! Tentu selama ini enci-nya hidup dalam duka, pikirnya. Karena dia pergi?
Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh atau delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempah-rempah dapat dikatakan hidup makmur walau pun tidak terlalu kaya. Dahulu, perabot rumahnya cukup mewah dan keluarga enci-nya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sungguh berbeda sekali keadaannya.
Pakaian yang dikenakan enci-nya juga tak seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak perhiasan mahal. Dan perabot rumah sudah berganti semua, terganti oleh perabot yang murah dan buruk. Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali, walau pun wajahnya tidak membayangkan sesuatu pada saat dia duduk berhadapan dengan enci-nya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu lalu berseri-seri melihat betapa adiknya, walau pun punggungnya masih bongkok, akan tetapi telah menjadi seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.
“Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?”
“Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.” Sie Liong kemudian menceritakan secara singkat mengenai riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar cerita ini, enci-nya girang sekali.
“Ahhh, syukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka...”
Sie Liong merasa heran. Biasanya dulu enci-nya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.
“Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku.”
Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan yang sangat hebat. “Apa... apakah yang ingin kau tanyakan, adikku?”
“Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?”
Wanita itu nampak semakin kaget. “Ayah dan ibu? Mereka... mereka meninggal dunia...”
“Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku telah mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, serta dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!”
Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, “Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu supaya tidak membuat engkau penasaran dan diracuni oleh dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andai kata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula...”
Sie Liong memandang wajah enci-nya dengan tajam dan penuh selidik. “Enci, di dusun kita itu tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?”
Sie Lan Hong menangis lagi dan menggelengkan kepala keras-keras. “Tidak... ahh, aku tidak tahu... aku tidak tahu... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tahu siapa pembunuh itu...”
Melihat enci-nya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar bahwa ayah ibunya, suheng-nya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu.
Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. “Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?”
Enci-nya kembali memperlihatkan wajah duka. “Ia juga pergi mempelajari ilmu. Dulu ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.”
“Ahhh...!” Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti!
“Siapakah nama gurunya, enci?”
“Namanya Koay Tojin...”
Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Siansu, gurunya sendiri!
“Kapan ia pulang, enci?” tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
“Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.”
“Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan di dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?”
Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja enci-nya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mulai mereda, Sie Liong memegang tangan enci-nya, digenggamnya tangan itu.
“Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan bisa meringankan semua beban penderitaan batinmu, enci.”
Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Aihh, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu, ahh, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini... hampir setiap malam dia pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tak diurus lagi sehingga bangkrut... dan dia... dia hanya berjudi dan pelesir saja...”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat mencampuri urusan rumah tangga enci-nya? Betapa pun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan.
Sie Lan Hong teringat bahwa adiknya baru datang. Cepat diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum. “Aihh, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.”
“Biar kubersihkan sendiri, enci. Aku pun tidak akan lama sekali tinggal di sini.”
“Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah enci-mu yang kesepian ini, Liong-te. Ahh, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.”
“Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.”
Diam-diam dia bermaksud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan menggunakan teguran keras!
Setelah jauh malam, barulah nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya.
Ia merasa bosan dengan isterinya, lalu ia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya akhirnya bangkrut karena tak pernah diurusnya sehingga semua perabot rumah yang berharga sudah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak peduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.
Melihat enci-nya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga segera keluar dari dalam kamarnya.
“Brakkkkkk!”
Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh enci-nya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir jatuh.
“Dasar perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau kini engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!” bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.
Oleh karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, sekarang tidak dapat menahan kemarahannya.
“Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!”
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu amat berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya pun kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
“Apa?! Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang sudah mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?”
Yauw Sun Kok mengangkat tangannya ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong langsung maklum bahwa enci-nya bisa celaka kalau terkena pukulan itu.
Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan ia pun menangkap pergelangan tangan cihu-nya sambil berkata, “Harap jangan memukul!”
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Pada saat melihat ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
“Bagus! Sungguh perempuan tidak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas sekarang engkau berani melawan aku, suamimu!”
Yauw Sun Kok maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya. “Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan menuduh yang bukan-bukan!”
“Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok...?!” Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seakan-akan tidak dapat melihat dengan jelas, kemudian mendekatkan mukanya. “Engkau bongkok...? Benarkah engkau Sie Liong?”
“Benar, cihu. Aku Sie Liong.”
“Sie Liong...? Ha-ha-ha...!” Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. “Engkau sudah dewasa, akan tetapi tetap saja masih cacat. Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
“Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dahulu lagi. Dia sudah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,” kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
“Apa?! Engkau...? Engkau hendak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemmm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kau kira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kau kira akan dapat melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apa lagi engkau?”
“Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?”
“Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang sangat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walau pun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanya, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita enci-nya dan tadi pun dia melihat betapa enci-nya akan dipukuli.
“Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak peduli! Dan sekarang pun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!”
“Apa? Kau anak kurang ajar... Hemm, enci-mu sudah mengadu, ya...?”
“Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan hendak memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, harta habis-habisan, sebab kau habiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur...”
“Tutup mulutmu, keparat!”
Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Walau pun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong. Meski pun dia seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia adalah murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu, manusia sakti dari He-lan-san itu.
Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari samping sehingga tubuh Yauw Sun Kok lantas terpelanting!
“Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!”
Melihat betapa akibat serangannya justru membuat dirinya yang terpelanting, Sun Kok menjadi marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding, di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Meski dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.
“Jangan...! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang...!” Sie Lan Hong berteriak ketakutan.
Akan tetapi suaminya tidak mempedulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya. Pedang pun menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat dan berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi, dengan cepat pedang yang menyambar itu telah membalik dan sekarang menusuk ke arah dadanya.
“Cihu, engkau sedang mabok!” bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!”
Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihu-nya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya kini bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
“Dukkk!”
Keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras. Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak.
Pada waktu itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahian yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya.
“Hemmm, sudahlah. Engkau sedang mabok, maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah... tidurlah...” Ia membantu suaminya bangkit berdiri, lalu memapah suaminya itu menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah.
Biar pun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka dia pun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar.
Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur…..
Kakek gembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh pada siang hari yang amat panas itu. Angin semilir sejuk membuat kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan.
Kakek gembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun umurnya. Pakaiannya butut penuh tambalan.
Kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini mendadak terbuka dan dia tertawa-tawa seorang diri, kemudian memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang gembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat gembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati.
Kakek tua renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Ia adalah Koay Tojin, seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biar pun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!
Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampaklah bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun.
Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan dua matanya yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis ini pun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biar pun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis!
Pemuda itu pun berwajah tampan. Matanya mengandung kecerdikan dan bibirnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang lain dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.
Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biar pun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).
“Suhu, ini teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak beserta bubur!” kata gadis itu sambil duduk di atas batu di dekat suhu-nya sambil menyerahkan bungkunan makanan.
“Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!” kata pula Bong Gan yang dengan gembira menyerahkan seguci arak.
Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya.
“Heh-heh, kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tidak bergigi lagi, heh-heh-heh. Dan arak Hang-ciu ini memang harum dan keras! Ha-ha-ha!”
Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka hanyalah berkelakar karena baru kemarin dulu mereka masih menyaksikan betapa guru mereka itu, dengan mulutnya tanpa gigi sebuah pun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan mata meram-melek! Dengan kekuatan sinkang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat dari pada gigi orang-orang muda!
Kakek itu makan minum tanpa mempedulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik.
Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik.
Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan amat sukar diselami walau pun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati pula.
Akan tetapi ada sesuatu dalam pandangan mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Suatu ketika pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoi-nya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu birahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya!
Sungguh seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan.
Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suheng-nya. “Wataknya sukar diselami,” demikian dia berkata.
Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. “Aihhh, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?”
Setelah makan, Koay Tojin mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut. “Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.”
“Suhu, ada keperluan apakah?” Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja sekali.
Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa mendadak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya ini mendatangkan rasa sakit? Padahal selama hidupnya belum pernah dia merasakan hal seperti ini!
Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu baik, amat menyenangkan hatinya, sehingga selama tujuh tahun Bi Sian menjadi muridnya, hidup di sampingnya, gadis itu seolah-olah menjadi matahari yang menyinari hidupnya!
Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti berada dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!
Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara wajar merupakan seni hidup itu sendiri.
“Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk saling memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja.”
Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, ia pun merasakan lebih banyak senang dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.
“Tapi, suhu... rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!” bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhu-nya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhu-nya yang sudah tua itu!
Koay Tojin tertawa dan nampak mulutnya yang tanpa gigi itu. “Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang tentunya kini telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa ukurannya? Apa yang selama ini kau pelajari sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian. Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkau pun sudah dewasa dan kepandaianmu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat digunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat digunakan untuk melakukan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.”
Diingatkan pada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoi-nya.
“Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu sudah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu, dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,” kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetes pun air matanya tumpah. Dia memang pantang menangis, apa lagi setelah menjadi murid Koay Tojin.
Koay Tojin tersenyum. “Engkau anak baik. Apa bila hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian yang sudah kau peroleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.”
“Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,” kata Bong Gan.
Koay Tojin tersenyum saja, akan tetapi memandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia sendiri tidak dapat menduga apa isi hatinya.
“Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum engkau menundukkan musuh, sebaiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.”
Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.
“Sekarang, pergilah kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!” kata Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi pada dua orang muridnya yang sedang berlutut di depannya.
Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka mereka berdua segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka pun terhindar dari serangan kilat itu dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa.
Tahulah Bi Sian bahwa suhu-nya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka ia pun menjura dan berkata dengan suara dibuat nyaring gembira.
“Suhu, selamat tinggal! Semoga suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!”
“Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!”
Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun, matanya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghela napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya…..
Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Walau pun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama satu jam itu ia terus berlari cepat sambil menahan getaran hatinya yang penuh haru, sekarang wajah dan lehernya basah oleh keringat.
Diambilnya sapu tangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mengusap keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walau pun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua tambalannya kain yang baru.
“Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke mana?” tanya Bi Sian.
Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoi-nya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoi-nya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari gadis manis ini?
Membayangkan perpisahan dengan gadis yang sudah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tujuh tahun, hampir tidak pernah mereka saling berpisah dan selalu mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.
“Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak memiliki keluarga sama sekali, tidak memiliki handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?”
“Justru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.”
Bi Sian memandang wajah suheng-nya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suheng-nya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali.
Memang kadang-kadang suheng-nya suka pergi meninggalkan ia dan suhu-nya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Pada saat pulang, suheng-nya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suheng-nya pernah berpamit pada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, akan tetapi tidak pernah lancang mengajaknya.
Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur dengan rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!
“Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andai kata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu engkau hendak ke mana?”
“Aku... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke mana pun engkau pergi... tentu saja kalau... kalau aku tidak terlalu mengganggumu.”
Bi Sian tersenyum dan menggelengkan kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus. “Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah engkau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal dan bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin nanti dapat membantumu mencari pekerjaan.”
Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoi-nya.
“Ahhh, sumoi, sungguh engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!”
Bi Sian membalas penghormatan suheng-nya dan tertawa. “Ihhh, suheng ini! Engkau adalah suheng-ku dan lebih tua, kenapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya apa bila kita saling bantu, bukan?”
Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tak menemui banyak gangguan. Andai kata dia melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri.
Akan tetapi sikap Bong Gan yang gagah itu membuat banyak orang menjadi jeri untuk mengganggu mereka. Padahal, andai kata pun ada gangguan, tentu saja Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!
Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup. Segera ia mengajak suheng-nya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.
Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri dan melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.
“Bi Sian...!”
“Ibuuu...!”
Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis di dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang.
Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tidak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!
Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri dan menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama enci-nya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri sedikit canggung.
Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Dia pun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.
“Ibu... ahhh, ibu... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?”
Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu. “Ayahmu sedang tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau temui dulu pamanmu...”
Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia berteriak, “Paman Liong...!”
Sie Liong juga tersenyum. “Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!”
Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itu pun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.
“Paman Liong! Ahh, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau... ahh, engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan... hemm...”
Gadis itu melepaskan tangannya, lalu mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali mukanya.
“Dan... bongkok!” sambungnya mendahului, dari pada didahului gadis itu.
“Ahh, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!”
Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang, akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.
“Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!” Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!
“Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Ia ini adalah suheng-ku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong.”
Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoi-nya dan pemuda bongkok itu. Biar pun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.
“Ibu, mana ayah?”
“Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...” Ibu itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah.
Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia pun menjadi salah tingkah. Dia bukan anggota keluarga, bagaimana berani ikut masuk?
Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka ia pun menoleh dan berkata kepadanya. “Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu.”
Sejak tadi Sie Liong memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya jadi ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.
“Saudara Bong, silakan masuk,” katanya dan Bong Gan menganguk.
“Terima kasih, terima kasih...!”
Mereka berempat pun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu, Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Perabot-perabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak lagi mengenakan perhiasan sedikit pun, dan toko mereka sudah ditutup!
“Kong-kong, tolonglah aku...!”
Gadis itu meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang dia dapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menangis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
“Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo cepat lepaskan Siu Si...!” teriaknya sambil lari mendekati si hidung besar dan berusaha untuk membebaskan cucunya.
Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu lantas menendang sehingga tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
“Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan jika engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!”
Dia kemudian memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu. Dia lalu menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan terus menangis melihat kakeknya ditendang roboh.
“Kawan, perlahan dulu!”
Tiba-tiba saja Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung besar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.
“Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?” bentaknya marah.
“Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya,” kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar. “Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?” Dia menunjuk ke arah hidungnya yang besar. “Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. “Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Oleh karena itu, kalau tidak kau bebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya.”
“Hah?!” Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh.
“Kau... kau... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!” Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak. “Hajar mampus setan bongkok ini!”
Kedua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada lagi kesenangan yang lebih mengasyikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam.
Selain itu, mendatangkan uang pula karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang teramat mudah, pikir mereka.
Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan sejati, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apa lagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak menunjukkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan hanya seorang pemuda bongkok sederhana saja.
“Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!” salah seorang di antara mereka mengejek.
“Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!” Orang ke dua memperoloknya.
Namun Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka. Memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlomba siapa yang akan terlebih dahulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja teramat lambat datangnya. Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya, lalu terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka terbanting keras ke atas tanah.
Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
“Tuan-tuan... jangan membunuh orang...!” kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok para tukang pukul itu. “Orang muda, pergilah, larilah...!”
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak ingin mempedulikannya.
Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun, lalu berkata, “Lopek, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, karena itu mereka patut dihajar...”
Baru saja Sie Liong bicara demikian, dua orang sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri, mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya. Mereka tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu segera akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah.
Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.
“Plak! Plakkk!”
Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras.
“Ngek! Ngek!”
Mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap ke mana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!
“Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!” bentaknya.
Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. “Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!” katanya.
Tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biar pun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar. Tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar melepaskan goloknya karena tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga.
Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah ke depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, menyambut Sie Liong dengan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.
“Aduh... aduhhh... aughhhhh!”
Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mendorongnya sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lalu lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
“Taihiap... mata kami buta, harap maafkan...” kata Kwan Sun. “Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan sudah menyelamatkan kami, akan tetapi... harap taihiap cepat pergi dari sini... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama banyak anggota gerombolannya...”
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biar pun dirinya sendiri dan cucunya sedang terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadi pun menganjurkan agar dia melarikan diri supaya tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.
“Bangkitlah, lopek,” katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. “Engkau juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun yang jahat itu muncul!”
Tidak sukar pekerjaan ini sebab tadi pun, pada saat pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka takuti, hampir seluruh penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa perlu diperintah lagi, mereka sudah mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini banyak orang berdatangan ke rumah kakek Kwan Sun.
Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemuda bongkok itu hendak berbicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tua pun tak mau ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
“Saudara-saudara,” katanya dengan suara lantang, “kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, mengapa diam saja dan tidak melawan?”
Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.
“Mana kami berani?” akhirnya seorang laki-laki muda menjawab.
“Andai kata Sie Kauwsu masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun ini?” tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua karena tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.
Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab. “Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hidup!”
“Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!”
“Kami... kami tidak berani...” beberapa orang berseru. “Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai.”
“Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apa lagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat saja aku akan menghajar mereka!” berkata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan nada penasaran. Mengapa begini banyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat?
Meski pun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi sudah mengalahkan tiga orang tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chungcu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.
“Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga kalau pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan kejahatan para pejabat di sini.”
Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian. Dengan demikian, andai kata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chungcu.
Tidak lama kemudian, terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya.
Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi telah dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya.
Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin. Baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil.
Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya telah datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai. Dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.
Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan berseru, “Itulah si setan bongkok!”
Lurah Bouw mendongkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Akan tetapi, tiga orang tukang pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu!
Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buahnya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.
“Engkau ini orang bongkok dari mana, beraninya datang ke dusun kami dan membikin kacau?”
Sie Liong mengangkat muka dan memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu. Sie Liong pun tersenyum.
“Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini. Aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya kini dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam! Engkau telah mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan membersihkan dusun kami ini dari serigala-serigala berwajah manusia yang berkeliaran di sini!”
Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.
“Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!” Dan dia menoleh kepada para anak buahnya. “Pukul dia sampai mati!”
Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie Liong.
Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri. Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu dan bersembunyi di rumah sendiri saking takut terlibat.
Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan serta merta membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh!
Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang. Sementara itu, yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang semakin ganas.
Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi sangat penasaran. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia pun maju menyerang dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat.
Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacokan itu luput dan lewat di dekat pundaknya. Sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku!
Di lain saat, Sie Liong sudah mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka!
Sie Liong terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya ke atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba saja datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang memukuli ini adalah orang-orang dusun!
Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan para anak buahnya, mereka menjadi bersemangat. Pada waktu melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan mereka!
Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan masih pening akibat terbanting keras, kini hanya mampu berkaok-kaok ketika dikeroyok serta dipukuli oleh para penduduk dusun! Makin keras dia memaki dan mengancam, semakin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuh mereka pun babak bundas, pakaian mereka robek-robek!
Sie Liong tersenyum gembira melihat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk dusun itu setelah semangat mereka lenyap selama bertahun-tahun di bawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka dia pun segera melempar tubuh kepala dusun Bouw yang langsung jatuh berdebuk, kemudian terguling-guling.
Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan dia pun terkejut ketika kini orang-orang dusun mengejarnya dan memukulinya.
“Hei...! Keparat... ini aku, lurahmu...!” teriaknya.
Akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pukulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas dendam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini banyak pula wanita dusun yang keluar dari rumah dan mereka pun ikut pula memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan gagang-gagang sapu!
Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai seluruh muka mereka bengkak-bengkak!
Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga supaya mereka tidak sampai melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring.
“Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!”
Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu. Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, “Hidup putera mendiang Sie Kauwsu...!”
Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat agar mereka tenang, lalu dia memeriksa keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh amat menyedihkan, keadaannya lebih dari setengah mati.
Muka mereka bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai hidung lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya.
Akan tetapi Sie Liong merasa bersyukur bahwa tidak ada di antara enam belas orang itu yang tewas. Dia lalu menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, berusaha keras untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
“Orang she Bouw, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?”
Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli oleh rakyat, dia yang tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.
“Ampun... ampunkan saya... saya tidak berani lagi... saya berjanji akan menjadi lurah yang baik...”
Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak keras. “Tidak! Kami tidak mau dia menjadi lurah kami!”
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu. “Nah, engkau sudah mendengar sendiri. Kalau tidak ada aku di sini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri kami sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang cepat engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi harus kau tinggalkan, karena itu milik rakyat yang kau peras!”
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong karena mereka semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia bersama anak buahnya, lalu kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Sekarang mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Liong.
“Sie-taihiap,” kata Kwan Sun dengan suara nyaring, “kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang sudah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon supaya taihiap suka menjadi kepala dusun kami.”
“Hidup Sie-taihiap...!”
“Kami setuju!”
“Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!”
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada pula yang dengan pandang mata kasihan.
Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih memiliki tugas yang sangat penting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apa lagi mengingat bahwa aku tidak mempunyai pengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang benar-benar dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.”
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
“Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang sangat tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!”
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, kini diangkat menjadi lurah. “Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya bisa menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?”
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena dia pun baru tahu akan hal itu sekarang.
“Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu. Akan kuceritakan pula tentang keadaan di Tiong-cin ini, juga tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!”
Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak-anak buahnya.
“Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?” tanya seorang penduduk muda.
Kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, langsung membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
“Janganlah kalian takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di sini dan disebut Sie Kauwsu? Siapa di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?”
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tak pernah berlatih, akan tetapi pada saat Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
“Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang berani main-main.”
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan, terlebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
“Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini. Sekarang lebih dulu saya ingin pergi berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?”
“Ahh, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman penduduk kita.” Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berjejer. Makam yang sederhana sekali, dan tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah dan ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, dia pun membersihkan rumput-rumput liar di makam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
“Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri turut mengubur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.”
Sie Liong terkejut dan heran. “Apakah suheng Kim Cu An ini pun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?”
Kini lurah Kwan itu yang memandangnya dengan mata terbelalak. “Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?”
“Bukankah... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?”
“Ahh, dari mana taihiap mendengar berita itu? Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!”
Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak di wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah ibunya dan suheng-nya, lalu dengan lembut dia berkata, “Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.”
Kwan Sun mengangguk-angguk. “Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia memiliki dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.”
“Akulah anak itu, lopek.”
Kakek itu mengangguk. “Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walau pun tadinya kami ragu-ragu...” Dia memandang ke arah punggung Sie Liong. “Mendiang ayahmu memiliki beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang pada saat itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada satu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali...” Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
“Kemudian bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?” Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi pada ayah ibunya.
Kwan Sun menghela napas panjang. “Akulah seorang di antara para tetangga yang pertama kali menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh.”
“Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. “Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Enci-mu, Sie Lan Hong dan engkau sendiri, tidak berada di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Akan tetapi barang-barang itu, rumah itu, telah lama dirampas oleh lurah Bouw.”
Sie Liong mengepal tinjunya. “Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!”
Kakek Kwan menggeleng kepala. “Saya kira bukan, taihiap. Walau pun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi enci-mu, Sie Lan Hong...”
“Lopek,” Sie Liong memotong, “apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?”
Kakek itu menggeleng kepala lagi.
“Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua merasa bersedih dan kehilangan.”
Sie Liong mengerutkan alisnya, sejenak ia termenung. “Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.” Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan kedua matanya, bersemedhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.
Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa enci-nya bercerita lain? Mengapa enci-nya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah enci-nya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah enci-nya sengaja membohonginya? Tetapi, bagaimana mungkin enci-nya berbohong kepadanya?
Dia yakin benar betapa besar kasih sayang enci-nya kepadanya. Tadi dia tidak mau lagi membicarakan urusan itu dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau-kalau orang-orang mencurigai enci-nya. Tetapi betapa pun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa enci-nya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya enci-nya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari enci-nya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, enci-nya.
Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya supaya para penduduk itu dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang dulu pernah belajar silat pada Sie Kauwsu, berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan sambil merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya.
Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit.
Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali enci-nya dan dia! Apa artinya ini semua dan mengapa enci-nya harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari enci-nya.
Pada keesokan harinya ia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.
“Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang sudah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan dengan taihiap.”
Sie Liong tersenyum. Ia memang memiliki rasa persaudaraan yang dekat sekali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Apa bila para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa hari pun apa salahnya? Biar pun hatinya ingin sekali segera mendengar dari enci-nya tentang kematian orang tuanya, namun dia tidak perlu tergesa-gesa.
“Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?”
“Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?”
Sie Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kalau saja dia belum menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan bongkok pula!
“Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri.”
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap.”
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir mengenai jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau dijodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat kelahirannya sendiri.
“Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apa bila dibandingkan dengan taihiap.”
“Ahh, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.”
“Tapi... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?”
Sie Liong menggelengkan kepala.
Lurah Kwan menjadi girang bukan main. “Terima kasih, taihiap! Aku akan memberi tahu kepada kawan-kawan agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah enci-mu!”
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri.
Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberi tahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah serta senyum pada bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan.
Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka lantas menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan.
Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan mereka pun diam. Wajah mereka berseri-seri dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.
“Kemarin, perjodohan ini sudah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan dia pun tidak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusan darinya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada enci-nya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang dahulu ke Sung-jan untuk minta persetujuan enci-nya.”
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka, bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
“Maafkan cucuku. Maklum, dia malu-malu,” katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia sudah akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana bila ternyata enci-nya menyetujui ikatan jodoh itu?
Kalau enci-nya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau enci-nya tak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apa lagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita.
Akan tetapi, bagaimana kalau enci-nya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut enci-nya? Ini pun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada enci-nya.
Dan Bi Sian... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termenung. Bi Sian!
Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat pada Bi Sian? Uhhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin!
Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan? Sekarang dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.
Mendadak Sie Liong bangkit duduk. Dia pun memejamkan mata sambil mengerahkan pendengarannya yang sudah sangat terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan!
Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak beres, apa lagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.
Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.
“Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Biar pun tidak secara resmi, bahkan kong-kong telah menyetujui jika Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan tetapi mengapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan... Si Bongkok itu?”
“Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Sie Liong adalah seorang pendekar sakti yang budiman...”
“Aku tidak peduli! Biar dia sakti seperti dewa sekali pun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa yang mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?” Siu Si menangis lagi.
“Hushh, kau tidak boleh berkata demikian, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?”
“Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Sui-koko...”
“Hushhh...!”
Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapa pun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya.
Dia menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi kini dia dituduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin! Dengan tubuh lemas dan jari-jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukanlah calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.
Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, pergi meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit.
Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk sambil memeluk kedua lutut, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara isaknya. “Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok...”
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Dia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Namun kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Mengapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan kebongkokannya, dengan keburukannya.
Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan. Kakeknya memang sewenang-wenang!
Apabila kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, mengapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia?! Untuk membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, sudah tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain.
Ya, dia malah harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan ‘terima nasib’, bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
“Terima kasih, Siu Si...” dia berbisik, lalu bangkit berdiri.
Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.
“Terima kasih, matahari, terima kasih untuk pagi yang seindah ini...” dia kembali berbisik sambil memandang matahari. Tidak lama, karena sebentar saja sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata.
Sie Liong membalikkan tubuh, kemudian menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
“Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini...” dia berbisik penuh rasa syukur.
Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau pun tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang paling sempurna, dan patut disyukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati.
Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang menyengsarakan kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada. Tidak, dia tak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, tetapi dia adalah seorang pemuda yang berbahagia….
**********
“Liong-te...!”
Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu merangkul dan menangis di dada adiknya. “Aih, Liong-te... betapa girangnya hatiku melihatmu...!”
Sie Liong membiarkan enci-nya menangis sambil menumpahkan semua perasaan haru serta rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang sudah lama menghilang itu sekarang muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.
“Enci, marilah kita duduk dan bicara,” kata Sie Liong, “dan mana ci-hu (kakak ipar)?”
“Cihu-mu... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.”
Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di situ. Enci-nya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat enci-nya nampak tua. Padahal kini usianya sendiri dua puluh tahun, berarti enci-nya baru tiga puluh empat tahun. Usianya belum setua nampaknya! Tentu selama ini enci-nya hidup dalam duka, pikirnya. Karena dia pergi?
Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh atau delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempah-rempah dapat dikatakan hidup makmur walau pun tidak terlalu kaya. Dahulu, perabot rumahnya cukup mewah dan keluarga enci-nya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sungguh berbeda sekali keadaannya.
Pakaian yang dikenakan enci-nya juga tak seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak perhiasan mahal. Dan perabot rumah sudah berganti semua, terganti oleh perabot yang murah dan buruk. Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali, walau pun wajahnya tidak membayangkan sesuatu pada saat dia duduk berhadapan dengan enci-nya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu lalu berseri-seri melihat betapa adiknya, walau pun punggungnya masih bongkok, akan tetapi telah menjadi seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.
“Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?”
“Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.” Sie Liong kemudian menceritakan secara singkat mengenai riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar cerita ini, enci-nya girang sekali.
“Ahhh, syukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka...”
Sie Liong merasa heran. Biasanya dulu enci-nya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.
“Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku.”
Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan yang sangat hebat. “Apa... apakah yang ingin kau tanyakan, adikku?”
“Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?”
Wanita itu nampak semakin kaget. “Ayah dan ibu? Mereka... mereka meninggal dunia...”
“Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku telah mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, serta dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!”
Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, “Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu supaya tidak membuat engkau penasaran dan diracuni oleh dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andai kata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula...”
Sie Liong memandang wajah enci-nya dengan tajam dan penuh selidik. “Enci, di dusun kita itu tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?”
Sie Lan Hong menangis lagi dan menggelengkan kepala keras-keras. “Tidak... ahh, aku tidak tahu... aku tidak tahu... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tahu siapa pembunuh itu...”
Melihat enci-nya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar bahwa ayah ibunya, suheng-nya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu.
Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. “Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?”
Enci-nya kembali memperlihatkan wajah duka. “Ia juga pergi mempelajari ilmu. Dulu ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.”
“Ahhh...!” Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti!
“Siapakah nama gurunya, enci?”
“Namanya Koay Tojin...”
Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Siansu, gurunya sendiri!
“Kapan ia pulang, enci?” tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
“Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.”
“Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan di dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?”
Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja enci-nya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mulai mereda, Sie Liong memegang tangan enci-nya, digenggamnya tangan itu.
“Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan bisa meringankan semua beban penderitaan batinmu, enci.”
Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Aihh, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu, ahh, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini... hampir setiap malam dia pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tak diurus lagi sehingga bangkrut... dan dia... dia hanya berjudi dan pelesir saja...”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat mencampuri urusan rumah tangga enci-nya? Betapa pun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan.
Sie Lan Hong teringat bahwa adiknya baru datang. Cepat diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum. “Aihh, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.”
“Biar kubersihkan sendiri, enci. Aku pun tidak akan lama sekali tinggal di sini.”
“Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah enci-mu yang kesepian ini, Liong-te. Ahh, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.”
“Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.”
Diam-diam dia bermaksud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan menggunakan teguran keras!
Setelah jauh malam, barulah nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya.
Ia merasa bosan dengan isterinya, lalu ia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya akhirnya bangkrut karena tak pernah diurusnya sehingga semua perabot rumah yang berharga sudah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak peduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.
Melihat enci-nya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga segera keluar dari dalam kamarnya.
“Brakkkkkk!”
Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh enci-nya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir jatuh.
“Dasar perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau kini engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!” bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.
Oleh karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, sekarang tidak dapat menahan kemarahannya.
“Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!”
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu amat berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya pun kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
“Apa?! Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang sudah mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?”
Yauw Sun Kok mengangkat tangannya ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong langsung maklum bahwa enci-nya bisa celaka kalau terkena pukulan itu.
Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan ia pun menangkap pergelangan tangan cihu-nya sambil berkata, “Harap jangan memukul!”
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Pada saat melihat ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
“Bagus! Sungguh perempuan tidak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas sekarang engkau berani melawan aku, suamimu!”
Yauw Sun Kok maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya. “Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan menuduh yang bukan-bukan!”
“Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok...?!” Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seakan-akan tidak dapat melihat dengan jelas, kemudian mendekatkan mukanya. “Engkau bongkok...? Benarkah engkau Sie Liong?”
“Benar, cihu. Aku Sie Liong.”
“Sie Liong...? Ha-ha-ha...!” Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. “Engkau sudah dewasa, akan tetapi tetap saja masih cacat. Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
“Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dahulu lagi. Dia sudah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,” kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
“Apa?! Engkau...? Engkau hendak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemmm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kau kira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kau kira akan dapat melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apa lagi engkau?”
“Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?”
“Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang sangat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walau pun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanya, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita enci-nya dan tadi pun dia melihat betapa enci-nya akan dipukuli.
“Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak peduli! Dan sekarang pun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!”
“Apa? Kau anak kurang ajar... Hemm, enci-mu sudah mengadu, ya...?”
“Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan hendak memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, harta habis-habisan, sebab kau habiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur...”
“Tutup mulutmu, keparat!”
Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Walau pun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong. Meski pun dia seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia adalah murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu, manusia sakti dari He-lan-san itu.
Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari samping sehingga tubuh Yauw Sun Kok lantas terpelanting!
“Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!”
Melihat betapa akibat serangannya justru membuat dirinya yang terpelanting, Sun Kok menjadi marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding, di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Meski dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.
“Jangan...! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang...!” Sie Lan Hong berteriak ketakutan.
Akan tetapi suaminya tidak mempedulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya. Pedang pun menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat dan berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi, dengan cepat pedang yang menyambar itu telah membalik dan sekarang menusuk ke arah dadanya.
“Cihu, engkau sedang mabok!” bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!”
Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihu-nya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya kini bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
“Dukkk!”
Keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras. Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak.
Pada waktu itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahian yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya.
“Hemmm, sudahlah. Engkau sedang mabok, maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah... tidurlah...” Ia membantu suaminya bangkit berdiri, lalu memapah suaminya itu menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah.
Biar pun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka dia pun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar.
Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur…..
**********
Kakek gembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh pada siang hari yang amat panas itu. Angin semilir sejuk membuat kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan.
Kakek gembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun umurnya. Pakaiannya butut penuh tambalan.
Kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini mendadak terbuka dan dia tertawa-tawa seorang diri, kemudian memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang gembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat gembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati.
Kakek tua renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Ia adalah Koay Tojin, seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biar pun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!
Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampaklah bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun.
Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan dua matanya yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis ini pun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biar pun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis!
Pemuda itu pun berwajah tampan. Matanya mengandung kecerdikan dan bibirnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang lain dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.
Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biar pun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).
“Suhu, ini teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak beserta bubur!” kata gadis itu sambil duduk di atas batu di dekat suhu-nya sambil menyerahkan bungkunan makanan.
“Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!” kata pula Bong Gan yang dengan gembira menyerahkan seguci arak.
Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya.
“Heh-heh, kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tidak bergigi lagi, heh-heh-heh. Dan arak Hang-ciu ini memang harum dan keras! Ha-ha-ha!”
Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka hanyalah berkelakar karena baru kemarin dulu mereka masih menyaksikan betapa guru mereka itu, dengan mulutnya tanpa gigi sebuah pun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan mata meram-melek! Dengan kekuatan sinkang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat dari pada gigi orang-orang muda!
Kakek itu makan minum tanpa mempedulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik.
Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik.
Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan amat sukar diselami walau pun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati pula.
Akan tetapi ada sesuatu dalam pandangan mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Suatu ketika pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoi-nya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu birahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya!
Sungguh seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan.
Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suheng-nya. “Wataknya sukar diselami,” demikian dia berkata.
Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. “Aihhh, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?”
Setelah makan, Koay Tojin mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut. “Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.”
“Suhu, ada keperluan apakah?” Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja sekali.
Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa mendadak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya ini mendatangkan rasa sakit? Padahal selama hidupnya belum pernah dia merasakan hal seperti ini!
Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu baik, amat menyenangkan hatinya, sehingga selama tujuh tahun Bi Sian menjadi muridnya, hidup di sampingnya, gadis itu seolah-olah menjadi matahari yang menyinari hidupnya!
Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti berada dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!
Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara wajar merupakan seni hidup itu sendiri.
“Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk saling memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja.”
Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, ia pun merasakan lebih banyak senang dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.
“Tapi, suhu... rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!” bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhu-nya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhu-nya yang sudah tua itu!
Koay Tojin tertawa dan nampak mulutnya yang tanpa gigi itu. “Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang tentunya kini telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa ukurannya? Apa yang selama ini kau pelajari sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian. Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkau pun sudah dewasa dan kepandaianmu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat digunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat digunakan untuk melakukan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.”
Diingatkan pada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoi-nya.
“Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu sudah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu, dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,” kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetes pun air matanya tumpah. Dia memang pantang menangis, apa lagi setelah menjadi murid Koay Tojin.
Koay Tojin tersenyum. “Engkau anak baik. Apa bila hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian yang sudah kau peroleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.”
“Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,” kata Bong Gan.
Koay Tojin tersenyum saja, akan tetapi memandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia sendiri tidak dapat menduga apa isi hatinya.
“Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum engkau menundukkan musuh, sebaiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.”
Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.
“Sekarang, pergilah kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!” kata Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi pada dua orang muridnya yang sedang berlutut di depannya.
Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka mereka berdua segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka pun terhindar dari serangan kilat itu dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa.
Tahulah Bi Sian bahwa suhu-nya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka ia pun menjura dan berkata dengan suara dibuat nyaring gembira.
“Suhu, selamat tinggal! Semoga suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!”
“Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!”
Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun, matanya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghela napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya…..
**********
Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Walau pun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama satu jam itu ia terus berlari cepat sambil menahan getaran hatinya yang penuh haru, sekarang wajah dan lehernya basah oleh keringat.
Diambilnya sapu tangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mengusap keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walau pun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua tambalannya kain yang baru.
“Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke mana?” tanya Bi Sian.
Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoi-nya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoi-nya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari gadis manis ini?
Membayangkan perpisahan dengan gadis yang sudah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tujuh tahun, hampir tidak pernah mereka saling berpisah dan selalu mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.
“Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak memiliki keluarga sama sekali, tidak memiliki handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?”
“Justru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.”
Bi Sian memandang wajah suheng-nya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suheng-nya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali.
Memang kadang-kadang suheng-nya suka pergi meninggalkan ia dan suhu-nya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Pada saat pulang, suheng-nya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suheng-nya pernah berpamit pada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, akan tetapi tidak pernah lancang mengajaknya.
Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur dengan rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!
“Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andai kata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu engkau hendak ke mana?”
“Aku... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke mana pun engkau pergi... tentu saja kalau... kalau aku tidak terlalu mengganggumu.”
Bi Sian tersenyum dan menggelengkan kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus. “Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah engkau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal dan bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin nanti dapat membantumu mencari pekerjaan.”
Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoi-nya.
“Ahhh, sumoi, sungguh engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!”
Bi Sian membalas penghormatan suheng-nya dan tertawa. “Ihhh, suheng ini! Engkau adalah suheng-ku dan lebih tua, kenapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya apa bila kita saling bantu, bukan?”
Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tak menemui banyak gangguan. Andai kata dia melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri.
Akan tetapi sikap Bong Gan yang gagah itu membuat banyak orang menjadi jeri untuk mengganggu mereka. Padahal, andai kata pun ada gangguan, tentu saja Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!
Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup. Segera ia mengajak suheng-nya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.
Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri dan melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.
“Bi Sian...!”
“Ibuuu...!”
Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis di dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang.
Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tidak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!
Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri dan menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama enci-nya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri sedikit canggung.
Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Dia pun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.
“Ibu... ahhh, ibu... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?”
Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu. “Ayahmu sedang tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau temui dulu pamanmu...”
Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia berteriak, “Paman Liong...!”
Sie Liong juga tersenyum. “Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!”
Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itu pun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.
“Paman Liong! Ahh, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau... ahh, engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan... hemm...”
Gadis itu melepaskan tangannya, lalu mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali mukanya.
“Dan... bongkok!” sambungnya mendahului, dari pada didahului gadis itu.
“Ahh, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!”
Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang, akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.
“Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!” Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!
“Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Ia ini adalah suheng-ku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong.”
Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoi-nya dan pemuda bongkok itu. Biar pun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.
“Ibu, mana ayah?”
“Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...” Ibu itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah.
Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia pun menjadi salah tingkah. Dia bukan anggota keluarga, bagaimana berani ikut masuk?
Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka ia pun menoleh dan berkata kepadanya. “Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu.”
Sejak tadi Sie Liong memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya jadi ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.
“Saudara Bong, silakan masuk,” katanya dan Bong Gan menganguk.
“Terima kasih, terima kasih...!”
Mereka berempat pun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu, Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Perabot-perabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak lagi mengenakan perhiasan sedikit pun, dan toko mereka sudah ditutup!